TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides Linn.) Tanaman bandotan merupakan tumbuhan dari famili Asteraceae. Tanaman ini di berbagai daerah di Indonesia memiliki nama yang berbeda-beda, diantaranya di Jawa disebut babadotan, di Sumatera dikenal sebagai daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tumbuhan ini merupakan herba menahun, tumbuh tegak dengan tinggi sekitar 30-90 cm dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya sehingga mudah tumbuh dimana saja dan sering dianggap sebagai gulma bagi para petani. Batang bulat berambut, jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar. Daun bulat telur dengan pangkal membulat, ujung runcing dan berwarna hijau dengan panjang 1-10 cm dan lebar 0,5-6 cm (Sukamto 2007). Bentuk fisik tanaman bandotan dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Tanaman bandotan Tanaman bandotan dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan dalam kingdom Plantae, superdivisi Spematophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub-kelas Astericae, ordo Asterales, familia Asteraceae, genus Ageratum, spesies Ageratum conyzoides. L. Tumbuhan ini di berbagai daerah Indonesia memiliki nama yang berbeda antara lain di Jawa disebut bandotan, di Sumatera dikenal daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mudah tumbuh dimana-mana dan sering menjadi gulma yang merugikan para petani (Sukamto 2007). Meskipun tanaman ini sering dipandang sebagai gulma, namun di balik itu Ageratum dapat pula digunakan sebagai obat, pestisida dan herbisida, bahkan digunakan untuk pupuk dimana dapat meningkatkan hasil produksi tanaman padi (Sukamto 2007). 5 Tanaman bandotan sejak dahulu telah digunakan secara luas dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat di berbagai belahan dunia, terutama negara-negara beriklim tropis dan subtropis (Mustafa et al. 2005). Keseluruhan tumbuhan ini bisa dijadikan obat, mulai dari akar hingga bagian di atas tanah (herba). Herba yang digunakan berupa herba segar atau yang telah dikeringkan. Herba ini rasanya sedikit pahit dan pedas. Bandotan berkhasiat stimulan untuk mengobati kolik, flu, demam, antidisentri diare, rematik, tonik, pereda demam (antipiretik), antitoksik, menghilangkan pembengkakan, menghentikan pendarahan (hemostatis), peluruh haid (emenagog), peluruh kencing (diuretik), dan dapat digunakan pula sebagai insektisida nabati (Ming 1999; Hasim 2005; Anonim 2008). Igoli (2005) menambahkan, tanaman bandotan merupakan tanaman obat tradisional di wilayah Nigeria yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Fitokimia Bandotan Tumbuhan memproduksi dua jenis senyawa, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer merupakan produk essensial yang terdapat pada semua makhluk hidup yang digunakan untuk kelangsungan hidup dan berkembang biak, misalnya protein, lemak, dan asam nukleat. Metabolit sekunder merupakan produk khas yang ditemukan pada tumbuhan tertentu saja. Naim (2004) menyatakan bahwa tanaman memiliki suatu kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk mensintesis senyawa-senyawa aromatik, kebanyakan dari senyawa tersebut adalah kelompok senyawa fenol. Pada banyak kasus, senyawa-senyawa metabolit sekunder tersebut berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan mikroorganisme, insekta, dan herbivora (Naim 2004). Tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan, keberadaan senyawa-senyawa metabolit sekunder ini dapat dikatakan sebagai faktor penentu tanaman dapat dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional. Tanaman bandotan sebagai salah satu tanaman obat tradisional diketahui mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, terpena, kromen, kromon, benzofuran, kumarin, minyak atsiri, sterol dan tanin (Ming 1999; Kamboj & Saluja 2008). 6 Banyaknya senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam bandotan menyebabkan tanaman ini memiliki banyak sekali manfaat. Beberapa peneliti hingga saat ini juga telah berhasil mengembangkan pemanfaatan tanaman bandotan, diantaranya sebagai insektisida alami (Calle et al. 1990; Amelot et al. 2003), biolarvasida (Moehammadi 2005), antimalaria (Ehiagbonare 2007), antijamur (Widodo et al. 2007), dan sebagai antibakteri (Almagboul et al. 1985; Ekundayo et al. 1988; Oladejo et al. 2003; Mustafa et al 2005; Widodo et al. 2007). Calle et al. (1990) berhasil mengisolasi senyawa golongan kromen (prekosen I dan prekosen II) dari ekstrak petroleum eter A. conyzoides yang dapat menghambat hormon juvenil dalam serangga. Borthakur dan Baruah (1987), diacu dalam Utami dan Robara (2008) berhasil mengisolasi prekosen II dari ekstrak heksana pucuk daun A.conyzoides yang memiliki aktivitas antijamur. Wiedenfeld dan Roder (1991), diacu dalam Ming (1999) telah berhasil mengisolasi 1,2desipropirrolizidin, likopsamin dan intermedin yang bersifat hepatotoksik. Berapa senyawa metabolit sekunder lain yang pernah diidentifikasi terdapat pada tanaman bandotan, yaitu senyawa heksametoksiflavon (Horri et al. 1993), 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen (Katepa et al. 1998), β-sitosterol dan stigmasterol (Dubey et al. 1989, diacu dalam Kamboj & Saluja 2008). Struktur kimia dari senyawa-senyawa tersebut disajikan pada Gambar 2. O HO friedelin HO β-sitosterol stigmasterol HO O O HO O OH O N kumarin heksametoksiflavon O O O likopsamin O O O O 7-metoksi-2,2-dimetil -6-vinil-2H-kromen prekosen 1 prekosen 2 Gambar 2 Struktur kimia beberapa senyawa metabolit sekunder dari tanaman bandotan 7 Bakteri Uji Bakteri yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri yaitu S. aureus dan E. coli. Alasan penggunaan kedua bakteri tersebut adalah untuk melihat aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat dan masing-masing fraksi terhadap bakteri gram postif dan bakteri gram negatif. S. aureus adalah bakteri gram positif, sedangkan E. coli adalah bakteri gram negatif. Staphylococus aureus S. aureus adalah bakteri yang bersifat anaerobik fakultatif, termasuk dalam kelompok bakteri gram positif dan menghasilkan asam laktat. Sel S. aureus berbentuk bulat memiliki diameter sekitar 1 μm, berwarna kuning terang dan cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur atau tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur, tidak berspora, dan dapat menghemolisis sel darah (Gambar 3). Gambar 3 Staphylococcus aureus (www.netwellness.org) S. aureus mudah tumbuh dalam banyak pembenihan bakteriologik dalam keadaan aerobik atau mikroaerobik, tumbuh optimum pada suhu 30-37 0C, pH optimum 7,0-7,5 dan tumbuh baik dalam larutan NaCl 15%. Bakteri ini diisolasi dari luka bernanah, terutama dalam selaput hidung, folikel rambut, kulit dan perineum. Komponen utama dinding sel terdiri dari peptidoglikan, asam terikoat, dan protein (Pelczar & Chan 1986). S. aureus dapat menyebabkan beberapa infeksi yang serius seperti radang paru-paru (pneumonia), radang otot, dan pembengkakan otak bagian luar (Todar 2002). Bakteri ini juga bersifat patogen terhadap manusia dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada kulit seperti bisul dan luka gores. 8 Escherichia coli E. coli adalah salah satu jenis bakteri yang secara normal hidup dalam saluran pencernaan baik manusia maupun hewan yang sehat. E. coli merupakan bakteri dengan struktur dinding sel yang relatif tipis dan berlapis tiga, dinding selnya memiliki kandungan lipida tinggi dengan kandungan peptidoglikan relatif rendah dan tidak memiliki asam terikoat. Membran luar bakteri gram negatif mempunyai peranan sebagai barier masuknya senyawa-senyawa yang tidak dibutuhkan oleh sel, diantaranya bakteriosin, enzim dan senyawa-senyawa yang bersifat hidrofobik (Alokomi et al. 2000). Bakteri ini memiliki bentuk batang (basil) dengan ukuran lebar 0,5 nm dan panjang 1,0-3,0 nm serta tidak berkapsul (Gambar 4). Gambar 4 Escherichia coli (www.universitycalifornia.edu) Bakteri yang kurang rentan terhadap penisilin ini merupakan bakteri fakultatif anaerobik dengan suhu dan pH optimum pertumbuhan yang sama seperti S. aureus. Nama bakteri ini diambil dari nama seorang bakteriologist yang juga berhasil membuktikan bahwa diare dan gastroenteritis disebabkan oleh bakteri E. coli. Antibakteri Antibakteri adalah zat yang membunuh atau menekan pertumbuhan atau reproduksi bakteri. Suatu antibakteri dapat memiliki spektrum luas apabila dapat membunuh bakteri Gram negatif dan Gram positif, spektrum sempit apabila antibakteri hanya membunuh bakteri Gram positif atau Gram negatif saja, dan spektrum terbatas apabila antibakteri efektif terhadap satu spesies bakteri tertentu saja (Dwijoseputro 1990). Cara kerja antibakteri ada yang bersifat mematikan 9 bakteri (bakterisida) dan ada yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri disebut sebagai bakteriostatik (Shcunack et al. 1990). Kerja antibakteri dipengaruhi oleh konsentrasi zat uji, jumlah bakteri, adanya bahan organik, dan pH (Pelzcar & Chan 1986). Stout dalam Maryuni (2008) mengelompokkan antibakteri ke dalam 3 kelompok, yaitu antibakteri dengan aktivitas rendah, sedang, kuat dan sangat kuat (Tabel 1). Tabel 1 Pengelompokan aktivitas antibakteri menurut Stout Aktivitas Rendah Sedang Kuat Sangat Kuat Diameter Zona Hambat (mm) <5 5-10 10-20 >20 Sumber : Stout dalam Maryuni (2008) Konsentrasi terendah dari suatu antibakteri untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri masing-masing dikenal sebagai Minimum Inhibition Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration (MBC). Efektivitas antibakteri semakin baik apabila nilai MIC dan MBC rendah. Efektivitas antibakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain senyawa antibakteri, suhu, waktu inkubasi, jenis, jumlah, dan umur bakteri, serta sifat kimia subtrat seperti pH dan kadar air. Berdasarkan fitokimianya, antibakteri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori yang meliputi senyawa fenolik dan polifenol, terpenoid, minyak esensial, akaloid, pektin dan polipeptida. Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai satu atau dua gugus hidroksil. Brock dan Madigan (1991) menyatakan bahwa pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan antibakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau mikrostatik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Menurut Pelczar dan Chan (1986), penghambatan aktivitas bakteri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, penghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, penghambat sintesis sel bakteri, dan penghambat sintesis asam nukleat. 10 Ekstraksi Dalam proses ekstraksi, hal utama yang harus diperhatikan adalah pemilihan pelarut yang akan digunakan dalam proses ekstraksi. Prinsip yang mendasari pemilihan pelarut pada proses ekstraksi adalah kaidah “like dissolve like”, yang artinya kepolaran senyawa yang dianalisis harus sama dengan kepolaran pelarutnya. Umumnya ekstraksi dilakukan untuk pemisahan dalam laboratorium, misalnya pemisahan senyawa-senyawa organik (fase organik) dari larutan berair (fase air) dengan menggunakan pelarut yang tidak dapat bercampur (Harvey 2000). Dalam pemilihan pelarut yang akan dipakai, harus diperhatikan sifat kandungan kimia (metabolit) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah kepolaran dan gugus polar pada senyawa yang akan diekstrak seperti gugus OH, COOH, dan juga gugus fungsi lainnya. Dengan mengetahui sifat metabolit yang akan diekstraksi, maka dengan mudah dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan kepolaran metabolit dan pelarut. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa non-polar akan larut dalam pelarut non-polar. Derajat kepolaran bergantung pada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik maka akan semakin polar pelarut tersebut. Beberapa pelarut organik yang sering digunakan dalam proses ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya Titik didih (0C) Air 100 Asam format 100 Asetonitril 81 Metanol 68 Etanol 78 Aseton 56 Metil klorida 40 Asam asetat 118 Etil asetat 78 Dietil eter 45 Heksana 69 Benzena 80 Sumber : http://www.usm.maine.edu/newton Pelarut Tetapan dielektrik 80 58 36,6 33 24,3 20,7 9,08 6,15 6,02 4,34 2,02 2,28 11 Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non-polar (heksana atau benzena) lalu dengan pelarut yang semi polar (etil asetat atau dietil eter), kemudian dengan pelarut polar (metanol atau etanol). Dengan demikian akan diperoleh ekstrak kasar yang mengandung berturut-turut senyawa non-polar, semi polar dan senyawa polar (Hostetmann et al. 1997). Ekstrasi dengan pelarut non-polar biasanya diperlukan untuk penghilangan lemak sebelum diekstraksi dengan pelarut yang sesuai. Dengan demikian, ekstrak yang diperoleh bersifat bebas lemak (Harborne 1996). Dalam proses ekstraksi untuk memisahkan senyawa flavonoid dari bahan tanaman umumnya digunakan pelarut yang bersifat polar seperti etanol dan metanol. Senyawa flavonoid yang bersifat polar akan larut dalam pelarut metanol dan etanol karena memiliki sifat kepolaran yang sama. Selain larut dalam pelarut polar, beberapa senyawa flavonoid juga diketahui dapat dipisahkan dengan pelarut semi polar. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sifat kepolaran dari senyawa tersebut yang cendrung larut dalam pelarut dengan tingkat kepolaran yang lebih rendah. Fraksinasi Senyawa Aktif Pada tahap pemurnian suatu senyawa yang tercampur di dalam suatu ekstrak dapat dipisahkan dengan cara tertentu, diantaranya yang umum dilakukan adalah teknik kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi. Teknik kromatografi untuk pemisahan suatu campuran komponen dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan di dalam eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fasa diam dan interaksi pelarut dengan fase gerak (Harborne 1996; Hostettmann et al. 1997) Pada saat ini, kromatografi merupakan metode pemisahan yang paling banyak digunakan untuk tujuan kualitatif, kuantitatif, dan preparatif. Pemisahan dengan kromatografi dilakukan dengan memodifikasi langsung beberapa sifat umum molekul seperti kelarutan, adsorptibilitas, dan volatilitas (Gritter et al. 1991). Keuntungan penggunaan kromatografi antara lain waktunya singkat, cukup efektif dan dapat melakukan pemisahan yang tidak mungkin dilakukan dengan metode lain (Nur & Adijuawana 1989). 12 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi menyerupai ekstraksi dalam hal partisi di antara 2 fase, tetapi berbeda dalam hal terlibatnya perpindahan senyawa dari fase diam ke fase gerak dan kembali ke fase diam. Senyawa yang terserap lebih kuat pada fasa diam (mempunyai nilai Rf lebih rendah) akan lebih sedikit yang mengalami migrasi sepanjang fasa diam. Pemisahan selektif komponen-komponen dalam suatu senyawa terjadi karena perbedaan interaksi komponen-komponen tersebut sepanjang fasa diam. KLT termasuk dalam kromatografi adsorpsi dan adsorben bertindak sebagai fasa stationer/diam. Adsorben yang umum digunakan adalah silika gel, alumina, kieselguhr dan selulosa. Komponen fasa gerak dapat berupa larutan murni dan dapat pula gabungan beberapa larutan. Beberapa keuntungan KLT antara lain waktu operasi yang cepat, peralatan sederhana dan mudah disiapkan serta banyaknya parameter percobaan yang dapat divariasikan untuk mendapatkan efek pemisahan yang terbaik. KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai macam senyawa. Senyawa-senyawa tersebut antara lain ion-ion anorganik, kompleks senyawa organik dengan anorganik dan senyawa organik baik yang terdapat di alam maupun hasil sintetik. Fasa gerak biner yang paling sering digunakan pada pemisahan secara KLT dalam berbagai perbandingan yaitu, heksana etil asetat, heksana aseton, dan kloroform etanol. Penambahan sedikit asam asetat atau dietilamina berguna untuk memisahkan berturut-turut senyawa asam dan senyawa basa (Khopkar 1990). Kromatografi Kolom (KK) Prinsip dasar dari kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis sama, yaitu partisi komponen-komponen yang merupakan suatu tipe kesetimbangan dimana komponen-komponen akan terbagi diantara fase diam dan fase gerak. Perbedaan dari kedua kromatografi ini terletak pada jumlah sampel yang dapat dipisahkan. Kromatografi kolom digunakan untuk pemisahan dengan jumlah sampel yang lebih banyak dengan menggunakan material terpadatkan (adsorben) pada sebuah kolom gelas vertikal. Ukuran kolom tergantung pada banyaknya sampel yang akan dipisahkan. 13 Sampel yang merupakan campuran dari beberapa komponen dimasukkan melalui bagian atas kolom sambil dialiri eluen terbaiknya. Masing-masing komponen akan teradsorbsi pada fase diam dan bergerak keluar dari kolom secara perlahan. Perbedaan kekuatan adsorbsi komponen-komponen tersebut oleh fase diam berpengaruh terhadap pergerakannya di dalam kolom. Komponen yang diserap lemah oleh adsorben akan keluar lebih cepat bersama eluen, sedangkan komponen yang diserap kuat akan keluar lebih lama (Gritter et al. 1991). Spektrofotometer UV-Vis (Ultraviolet-Visible) Spektrofotometer Ultraviolet digunakan untuk identifikasi senyawa kimia karena banyak senyawa-senyawa kimia menunjukkan sifat khusus pada daerah UV. Spektrum UV senyawa-senyawa kimia dalam tumbuhan dapat ditentukan dengan contoh yang sangat sedikit dan dengan konsentrasi yang sangat encer serta blanko yang digunakan adalah pelarut dari cuplikan tersebut. Spektroskopi menggunakan prinsip difraksi dan interferensi untuk memisahkan cahaya yang dihasilkan oleh suatu objek menjadi garis-garis warna berbeda yang dikenal sebagai spektrum. Ketika elektron pada atom mendapatkan energi baik melalui tumbukan dengan elektron lain atau melalui pengaruh gelombang elektromagnetik (seperti cahaya). Energi tinggi yang digunakan pada spektrofotometer UV-Vis menyebabkan terjadinya eksitasi elektron dari energi rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Elektron-elektron tersebut akan turun kembali dengan cepat ke keadaan awalnya dengan melepaskan energi yang sebanding dengan beda energi antara dua tingkat energi atom dan menghasilkan puncak pada panjang gelombang tertentu. Munculnya puncak-puncak tersebut dapat menggambarkan ikatan-ikatan yang terdapat pada cuplikan molekul sampel uji. Cahaya ultraviolet mempunyai panjang gelombang 200-400 nm dengan energi 75-150 kkal/mol, sedangkan cahaya tampak menggunakan cahaya dengan panjang gelombang 400-800 nm dan tingkat energi sebesar 37-75 kkal/mol. Spektrum UV-Vis sangat lebar dan umumnya hanya memperlihatkan beberapa puncak saja yaitu pada panjang gelombang maksimum (Hart 2003). 14 Spektrofotometer Inframerah Spektrofotometer inframerah merupakan salah satu instrumen analitik yang telah populer digunakan untuk menentukan gugus-gugus fungsional suatu senyawa. Disamping itu spektra infra merah dapat memberikan informasi yang sangat karakteristik untuk setiap senyawa. Oleh karena itu, kemampuan teknik infra merah dalam analisis kualitatif tidak diragukan lagi asalkan didukung oleh interpretasi data hasil pengamatan dengan benar. Spektrofotometer inframerah dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Kisaran panjang gelombang yang digunakan adalah 4000-400 cm-1 (Silverstein et al. 2005). Panjang gelombang radiasi infra merah lebih panjang dibandingkan dengan radiasi UV/tampak yang berkisar antara 200-800 nm. Hal ini menyebabkan energi elektromagnetik infra merah tidak mampu untuk mengeksitasi elektron, tetapi mampu menyebabkan atom-atom atau gugus atom bervibrasi. Keadaan vibrasi memiliki sifat karakteristik dan terkuantisasi, yaitu hanya akan terjadi bila molekul mengabsorbsi energi yang sesuai. Hal ini menyebabkan absorpsi energi tidak terjadi secara kontinyu tetapi sebagai deretan puncak-puncak tertentu. Spektrum IR pada prinsipnya dihasilkan dengan cara melewatkan radiasi IR ke contoh kemudian diproses dengan menggunakan interferometer. Keadaan ini secara kontinu akan menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut interferogram (Sudjadi 1983). Absorpsi molekul pada daerah inframerah umumnya disebabkan oleh perubahan tingkat energi vibrasi (Nur & Adijuwana 1989). Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi. Gugus Fungsi C-H aromatik alkana alkena aldehid C=C alkena aromatik C=O aldehid keton asam karboksilat Bilangan gelombang (cm-1) 3100-2990 3000-2840 3100-3000 2900-2800 1667-1640 1600-1475 1740-1720 1870-1540 1720-1706 15 Bilangan gelombang (cm-1) O-H bebas 3700-3584 ikatan hidrogen 3550-3200 asam karboksilat 3300-2500 C-N amina (alipatik) 1250-1020 amina aromatik) 1342-1266 C-O alkoho, eter, ester, asam karbiksilat 1300-1000 N-H strech 3500-3250 bend 1650-1580 Sumber: Silverstein et al. (2005) Gugus Fungsi Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (GC-MS) Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (GC-MS) merupakan salah satu teknik pemisahan dan identifikasi suatu senyawa yang telah berhasil dikembangkan dengan menggabungkan dua instrumen dengan dasar analisis yang berbeda tetapi saling menunjang. Keuntungan dalam penggunaan alat ini adalah dalam menentukan komponen dan komposisi suatu zat menjadi lebih mudah dan sederhana (Agusta 2000). Prinsip dari alat ini adalah menggabungkan dua instrumen dengan suatu interfase. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah komponen campuran dalam sampel, sedangkan spektroskopi massa berfungsi untuk mendeteksi masing-masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada sistem kromatografi. Teknik spektroskopi massa tidak berdasarkan pengukuran radiasi elektromagnetik, melainkan molekul-molekul ditembak dengan berkas elektron berenergi tinggi dan hasilnya direkam sebagai spektrum dari pecahan-pecahan ion bermuatan positif yang disebut spektrum massa. Terpisahnya pecahan-pecahan ion positif didasarkan pada massanya.