karakterisasi senyawa aktif antibakteri

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides Linn.)
Tanaman bandotan merupakan tumbuhan dari famili Asteraceae. Tanaman
ini di berbagai daerah di Indonesia memiliki nama yang berbeda-beda,
diantaranya di Jawa disebut babadotan, di Sumatera dikenal sebagai daun tombak,
dan di Madura disebut wedusan. Tumbuhan ini merupakan herba menahun,
tumbuh tegak dengan tinggi sekitar 30-90 cm dan mempunyai daya adaptasi yang
tinggi terhadap lingkungannya sehingga mudah tumbuh dimana saja dan sering
dianggap sebagai gulma bagi para petani. Batang bulat berambut, jika menyentuh
tanah akan mengeluarkan akar. Daun bulat telur dengan pangkal membulat, ujung
runcing dan berwarna hijau dengan panjang 1-10 cm dan lebar 0,5-6 cm (Sukamto
2007). Bentuk fisik tanaman bandotan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Tanaman bandotan
Tanaman bandotan dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan dalam
kingdom
Plantae,
superdivisi Spematophyta, divisi Magnoliophyta, kelas
Magnoliopsida, sub-kelas Astericae, ordo Asterales, familia Asteraceae, genus
Ageratum, spesies Ageratum conyzoides. L. Tumbuhan ini di berbagai daerah
Indonesia memiliki nama yang berbeda antara lain di Jawa disebut bandotan, di
Sumatera dikenal daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tanaman ini
mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mudah tumbuh dimana-mana dan
sering menjadi gulma yang merugikan para petani (Sukamto 2007). Meskipun
tanaman ini sering dipandang sebagai gulma, namun di balik itu Ageratum dapat
pula digunakan sebagai obat, pestisida dan herbisida, bahkan digunakan untuk
pupuk dimana dapat meningkatkan hasil produksi tanaman padi (Sukamto 2007).
5
Tanaman bandotan sejak dahulu telah digunakan secara luas dalam
pengobatan tradisional oleh masyarakat di berbagai belahan dunia, terutama
negara-negara beriklim tropis dan subtropis (Mustafa et al. 2005). Keseluruhan
tumbuhan ini bisa dijadikan obat, mulai dari akar hingga bagian di atas tanah
(herba). Herba yang digunakan berupa herba segar atau yang telah dikeringkan.
Herba ini rasanya sedikit pahit dan pedas. Bandotan berkhasiat stimulan untuk
mengobati kolik, flu, demam, antidisentri diare, rematik, tonik, pereda demam
(antipiretik),
antitoksik,
menghilangkan
pembengkakan,
menghentikan
pendarahan (hemostatis), peluruh haid (emenagog), peluruh kencing (diuretik),
dan dapat digunakan pula sebagai insektisida nabati (Ming 1999; Hasim 2005;
Anonim 2008). Igoli (2005) menambahkan, tanaman bandotan merupakan
tanaman obat tradisional di wilayah Nigeria yang dapat dimanfaatkan untuk
pengobatan Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Fitokimia Bandotan
Tumbuhan memproduksi dua jenis senyawa, yaitu metabolit primer dan
metabolit sekunder. Metabolit primer merupakan produk essensial yang terdapat
pada semua makhluk hidup yang digunakan untuk kelangsungan hidup dan
berkembang biak, misalnya protein, lemak, dan asam nukleat. Metabolit sekunder
merupakan produk khas yang ditemukan pada tumbuhan tertentu saja. Naim
(2004) menyatakan bahwa tanaman memiliki suatu kemampuan yang hampir
tidak terbatas untuk mensintesis senyawa-senyawa aromatik, kebanyakan dari
senyawa tersebut adalah kelompok senyawa fenol.
Pada banyak kasus, senyawa-senyawa metabolit sekunder tersebut
berfungsi
sebagai
mekanisme
pertahanan
tanaman
terhadap
serangan
mikroorganisme, insekta, dan herbivora (Naim 2004). Tidak hanya bermanfaat
bagi tumbuhan, keberadaan senyawa-senyawa metabolit sekunder ini dapat
dikatakan sebagai faktor penentu tanaman dapat dimanfaatkan dalam pengobatan
tradisional. Tanaman bandotan sebagai salah satu tanaman obat tradisional
diketahui mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, terpena,
kromen, kromon, benzofuran, kumarin, minyak atsiri, sterol dan tanin (Ming
1999; Kamboj & Saluja 2008).
6
Banyaknya senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam bandotan
menyebabkan tanaman ini memiliki banyak sekali manfaat. Beberapa peneliti
hingga saat ini juga telah berhasil mengembangkan pemanfaatan tanaman
bandotan, diantaranya sebagai insektisida alami (Calle et al. 1990; Amelot et al.
2003), biolarvasida (Moehammadi 2005), antimalaria (Ehiagbonare 2007),
antijamur (Widodo et al. 2007), dan sebagai antibakteri (Almagboul et al. 1985;
Ekundayo et al. 1988; Oladejo et al. 2003; Mustafa et al 2005; Widodo et al.
2007).
Calle et al. (1990) berhasil mengisolasi senyawa golongan kromen
(prekosen I dan prekosen II) dari ekstrak petroleum eter A. conyzoides yang dapat
menghambat hormon juvenil dalam serangga. Borthakur dan Baruah (1987), diacu
dalam Utami dan Robara (2008) berhasil mengisolasi prekosen II dari ekstrak
heksana pucuk daun A.conyzoides yang memiliki aktivitas antijamur. Wiedenfeld
dan Roder (1991), diacu dalam Ming (1999) telah berhasil mengisolasi 1,2desipropirrolizidin, likopsamin dan intermedin yang bersifat hepatotoksik.
Berapa senyawa metabolit sekunder lain yang pernah diidentifikasi
terdapat pada tanaman bandotan, yaitu senyawa heksametoksiflavon (Horri et al.
1993), 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen (Katepa et al. 1998), β-sitosterol
dan stigmasterol (Dubey et al. 1989, diacu dalam Kamboj & Saluja 2008).
Struktur kimia dari senyawa-senyawa tersebut disajikan pada Gambar 2.
O
HO
friedelin
HO
β-sitosterol
stigmasterol
HO
O
O
HO
O
OH
O
N
kumarin
heksametoksiflavon
O
O
O
likopsamin
O
O
O
O
7-metoksi-2,2-dimetil
-6-vinil-2H-kromen
prekosen 1
prekosen 2
Gambar 2 Struktur kimia beberapa senyawa metabolit sekunder
dari tanaman bandotan
7
Bakteri Uji
Bakteri yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri yaitu S.
aureus dan E. coli. Alasan penggunaan kedua bakteri tersebut adalah untuk
melihat aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat dan masing-masing fraksi terhadap
bakteri gram postif dan bakteri gram negatif. S. aureus adalah bakteri gram
positif, sedangkan E. coli adalah bakteri gram negatif.
Staphylococus aureus
S. aureus adalah bakteri yang bersifat anaerobik fakultatif, termasuk dalam
kelompok bakteri gram positif dan menghasilkan asam laktat. Sel S. aureus
berbentuk bulat memiliki diameter sekitar 1 μm, berwarna kuning terang dan
cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur atau tersusun dalam
kelompok-kelompok yang tidak teratur, tidak berspora, dan dapat menghemolisis
sel darah (Gambar 3).
Gambar 3 Staphylococcus aureus
(www.netwellness.org)
S. aureus mudah tumbuh dalam banyak pembenihan bakteriologik dalam
keadaan aerobik atau mikroaerobik, tumbuh optimum pada suhu 30-37 0C, pH
optimum 7,0-7,5 dan tumbuh baik dalam larutan NaCl 15%. Bakteri ini diisolasi
dari luka bernanah, terutama dalam selaput hidung, folikel rambut, kulit dan
perineum. Komponen utama dinding sel terdiri dari peptidoglikan, asam terikoat,
dan protein (Pelczar & Chan 1986).
S. aureus dapat menyebabkan beberapa infeksi yang serius seperti radang
paru-paru (pneumonia), radang otot, dan pembengkakan otak bagian luar (Todar
2002). Bakteri ini juga bersifat patogen terhadap manusia dan dapat menyebabkan
terjadinya infeksi pada kulit seperti bisul dan luka gores.
8
Escherichia coli
E. coli adalah salah satu jenis bakteri yang secara normal hidup dalam
saluran pencernaan baik manusia maupun hewan yang sehat. E. coli merupakan
bakteri dengan struktur dinding sel yang relatif tipis dan berlapis tiga, dinding
selnya memiliki kandungan lipida tinggi dengan kandungan peptidoglikan relatif
rendah dan tidak memiliki asam terikoat. Membran luar bakteri gram negatif
mempunyai peranan sebagai barier masuknya senyawa-senyawa yang tidak
dibutuhkan oleh sel, diantaranya bakteriosin, enzim dan senyawa-senyawa yang
bersifat hidrofobik (Alokomi et al. 2000). Bakteri ini memiliki bentuk batang
(basil) dengan ukuran lebar 0,5 nm dan panjang 1,0-3,0 nm serta tidak berkapsul
(Gambar 4).
Gambar 4 Escherichia coli
(www.universitycalifornia.edu)
Bakteri yang kurang rentan terhadap penisilin ini merupakan bakteri
fakultatif anaerobik dengan suhu dan pH optimum pertumbuhan yang sama
seperti S. aureus. Nama bakteri ini diambil dari nama seorang bakteriologist yang
juga berhasil membuktikan bahwa diare dan gastroenteritis disebabkan oleh
bakteri E. coli.
Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang membunuh atau menekan pertumbuhan atau
reproduksi bakteri. Suatu antibakteri dapat memiliki spektrum luas apabila dapat
membunuh bakteri Gram negatif dan Gram positif, spektrum sempit apabila
antibakteri hanya membunuh bakteri Gram positif atau Gram negatif saja, dan
spektrum terbatas apabila antibakteri efektif terhadap satu spesies bakteri tertentu
saja (Dwijoseputro 1990). Cara kerja antibakteri ada yang bersifat mematikan
9
bakteri (bakterisida) dan ada yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri
disebut sebagai bakteriostatik (Shcunack et al. 1990). Kerja antibakteri
dipengaruhi oleh konsentrasi zat uji, jumlah bakteri, adanya bahan organik, dan
pH (Pelzcar & Chan 1986). Stout dalam Maryuni (2008) mengelompokkan
antibakteri ke dalam 3 kelompok, yaitu antibakteri dengan aktivitas rendah,
sedang, kuat dan sangat kuat (Tabel 1).
Tabel 1 Pengelompokan aktivitas antibakteri menurut Stout
Aktivitas
Rendah
Sedang
Kuat
Sangat Kuat
Diameter Zona Hambat (mm)
<5
5-10
10-20
>20
Sumber : Stout dalam Maryuni (2008)
Konsentrasi
terendah
dari
suatu
antibakteri
untuk
menghambat
pertumbuhan dan membunuh bakteri masing-masing dikenal sebagai Minimum
Inhibition Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration
(MBC). Efektivitas antibakteri semakin baik apabila nilai MIC dan MBC rendah.
Efektivitas antibakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain senyawa
antibakteri, suhu, waktu inkubasi, jenis, jumlah, dan umur bakteri, serta sifat
kimia subtrat seperti pH dan kadar air.
Berdasarkan fitokimianya, antibakteri dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori yang meliputi senyawa fenolik dan polifenol, terpenoid, minyak esensial,
akaloid, pektin dan polipeptida. Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa
yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai satu atau dua gugus hidroksil.
Brock dan Madigan (1991) menyatakan bahwa pengaruh komponen antibakteri
terhadap sel bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel yang berlanjut pada
kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan antibakteri dapat bersifat mikrosidal
(kerusakan bersifat tetap) atau mikrostatik (kerusakan yang dapat pulih kembali).
Menurut Pelczar dan Chan (1986), penghambatan aktivitas bakteri dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain gangguan pada senyawa penyusun
dinding sel, penghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, penghambat
sintesis sel bakteri, dan penghambat sintesis asam nukleat.
10
Ekstraksi
Dalam proses ekstraksi, hal utama yang harus diperhatikan adalah
pemilihan pelarut yang akan digunakan dalam proses ekstraksi. Prinsip yang
mendasari pemilihan pelarut pada proses ekstraksi adalah kaidah “like dissolve
like”, yang artinya kepolaran senyawa yang dianalisis harus sama dengan
kepolaran pelarutnya. Umumnya ekstraksi dilakukan untuk pemisahan dalam
laboratorium, misalnya pemisahan senyawa-senyawa organik (fase organik) dari
larutan berair (fase air) dengan menggunakan pelarut yang tidak dapat bercampur
(Harvey 2000).
Dalam pemilihan pelarut yang akan dipakai, harus diperhatikan sifat
kandungan kimia (metabolit) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah
kepolaran dan gugus polar pada senyawa yang akan diekstrak seperti gugus OH,
COOH, dan juga gugus fungsi lainnya. Dengan mengetahui sifat metabolit yang
akan diekstraksi, maka dengan mudah dapat dipilih pelarut yang sesuai
berdasarkan kepolaran metabolit dan pelarut. Senyawa polar akan larut dalam
pelarut polar dan senyawa non-polar akan larut dalam pelarut non-polar. Derajat
kepolaran bergantung pada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik
maka akan semakin polar pelarut tersebut. Beberapa pelarut organik yang sering
digunakan dalam proses ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya
Titik didih (0C)
Air
100
Asam format
100
Asetonitril
81
Metanol
68
Etanol
78
Aseton
56
Metil klorida
40
Asam asetat
118
Etil asetat
78
Dietil eter
45
Heksana
69
Benzena
80
Sumber : http://www.usm.maine.edu/newton
Pelarut
Tetapan dielektrik
80
58
36,6
33
24,3
20,7
9,08
6,15
6,02
4,34
2,02
2,28
11
Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan
pelarut non-polar (heksana atau benzena) lalu dengan pelarut yang semi polar (etil
asetat atau dietil eter), kemudian dengan pelarut polar (metanol atau etanol).
Dengan demikian akan diperoleh ekstrak kasar yang mengandung berturut-turut
senyawa non-polar, semi polar dan senyawa polar (Hostetmann et al. 1997).
Ekstrasi dengan pelarut non-polar biasanya diperlukan untuk penghilangan lemak
sebelum diekstraksi dengan pelarut yang sesuai. Dengan demikian, ekstrak yang
diperoleh bersifat bebas lemak (Harborne 1996).
Dalam proses ekstraksi untuk memisahkan senyawa flavonoid dari bahan
tanaman umumnya digunakan pelarut yang bersifat polar seperti etanol dan
metanol. Senyawa flavonoid yang bersifat polar akan larut dalam pelarut metanol
dan etanol karena memiliki sifat kepolaran yang sama. Selain larut dalam pelarut
polar, beberapa senyawa flavonoid juga diketahui dapat dipisahkan dengan pelarut
semi polar. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sifat kepolaran dari senyawa
tersebut yang cendrung larut dalam pelarut dengan tingkat kepolaran yang lebih
rendah.
Fraksinasi Senyawa Aktif
Pada tahap pemurnian suatu senyawa yang tercampur di dalam suatu
ekstrak dapat dipisahkan dengan cara tertentu, diantaranya yang umum dilakukan
adalah teknik kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair
kinerja tinggi. Teknik kromatografi untuk pemisahan suatu campuran komponen
dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan di dalam
eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fasa diam
dan interaksi pelarut dengan fase gerak (Harborne 1996; Hostettmann et al. 1997)
Pada saat ini, kromatografi merupakan metode pemisahan yang paling
banyak digunakan untuk tujuan kualitatif, kuantitatif, dan preparatif. Pemisahan
dengan kromatografi dilakukan dengan memodifikasi langsung beberapa sifat
umum molekul seperti kelarutan, adsorptibilitas, dan volatilitas (Gritter et al.
1991). Keuntungan penggunaan kromatografi antara lain waktunya singkat, cukup
efektif dan dapat melakukan pemisahan yang tidak mungkin dilakukan dengan
metode lain (Nur & Adijuawana 1989).
12
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi menyerupai ekstraksi dalam hal partisi di antara 2 fase,
tetapi berbeda dalam hal terlibatnya perpindahan senyawa dari fase diam ke fase
gerak dan kembali ke fase diam. Senyawa yang terserap lebih kuat pada fasa diam
(mempunyai nilai Rf lebih rendah) akan lebih sedikit yang mengalami migrasi
sepanjang fasa diam. Pemisahan selektif komponen-komponen dalam suatu
senyawa terjadi karena perbedaan interaksi komponen-komponen tersebut
sepanjang fasa diam.
KLT termasuk dalam kromatografi adsorpsi dan adsorben bertindak
sebagai fasa stationer/diam. Adsorben yang umum digunakan adalah silika gel,
alumina, kieselguhr dan selulosa. Komponen fasa gerak dapat berupa larutan
murni dan dapat pula gabungan beberapa larutan. Beberapa keuntungan KLT
antara lain waktu operasi yang cepat, peralatan sederhana dan mudah disiapkan
serta banyaknya parameter percobaan yang dapat divariasikan untuk mendapatkan
efek pemisahan yang terbaik.
KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai macam senyawa.
Senyawa-senyawa tersebut antara lain ion-ion anorganik, kompleks senyawa
organik dengan anorganik dan senyawa organik baik yang terdapat di alam
maupun hasil sintetik. Fasa gerak biner yang paling sering digunakan pada
pemisahan secara KLT dalam berbagai perbandingan yaitu, heksana etil asetat,
heksana aseton, dan kloroform etanol. Penambahan sedikit asam asetat atau
dietilamina berguna untuk memisahkan berturut-turut senyawa asam dan senyawa
basa (Khopkar 1990).
Kromatografi Kolom (KK)
Prinsip dasar dari kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis sama,
yaitu partisi komponen-komponen yang merupakan suatu tipe kesetimbangan
dimana komponen-komponen akan terbagi diantara fase diam dan fase gerak.
Perbedaan dari kedua kromatografi ini terletak pada jumlah sampel yang dapat
dipisahkan. Kromatografi kolom digunakan untuk pemisahan dengan jumlah
sampel yang lebih banyak dengan menggunakan material terpadatkan (adsorben)
pada sebuah kolom gelas vertikal. Ukuran kolom tergantung pada banyaknya
sampel yang akan dipisahkan.
13
Sampel yang merupakan campuran dari beberapa komponen dimasukkan
melalui bagian atas kolom sambil dialiri eluen terbaiknya. Masing-masing
komponen akan teradsorbsi pada fase diam dan bergerak keluar dari kolom secara
perlahan. Perbedaan kekuatan adsorbsi komponen-komponen tersebut oleh fase
diam berpengaruh terhadap pergerakannya di dalam kolom. Komponen yang
diserap lemah oleh adsorben akan keluar lebih cepat bersama eluen, sedangkan
komponen yang diserap kuat akan keluar lebih lama (Gritter et al. 1991).
Spektrofotometer UV-Vis (Ultraviolet-Visible)
Spektrofotometer Ultraviolet digunakan untuk identifikasi senyawa kimia
karena banyak senyawa-senyawa kimia menunjukkan sifat khusus pada daerah
UV. Spektrum UV senyawa-senyawa kimia dalam tumbuhan dapat ditentukan
dengan contoh yang sangat sedikit dan dengan konsentrasi yang sangat encer serta
blanko yang digunakan adalah pelarut dari cuplikan tersebut.
Spektroskopi menggunakan prinsip difraksi dan interferensi untuk
memisahkan cahaya yang dihasilkan oleh suatu objek menjadi garis-garis warna
berbeda yang dikenal sebagai spektrum. Ketika elektron pada atom mendapatkan
energi baik melalui tumbukan dengan elektron lain atau melalui pengaruh
gelombang elektromagnetik (seperti cahaya). Energi tinggi yang digunakan pada
spektrofotometer UV-Vis menyebabkan terjadinya eksitasi elektron dari energi
rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Elektron-elektron tersebut akan turun
kembali dengan cepat ke keadaan awalnya dengan melepaskan energi yang
sebanding dengan beda energi antara dua tingkat energi atom dan menghasilkan
puncak pada panjang gelombang tertentu. Munculnya puncak-puncak tersebut
dapat menggambarkan ikatan-ikatan yang terdapat pada cuplikan molekul sampel
uji.
Cahaya ultraviolet mempunyai panjang gelombang 200-400 nm dengan
energi 75-150 kkal/mol, sedangkan cahaya tampak menggunakan cahaya dengan
panjang gelombang 400-800 nm dan tingkat energi sebesar 37-75 kkal/mol.
Spektrum UV-Vis sangat lebar dan umumnya hanya memperlihatkan beberapa
puncak saja yaitu pada panjang gelombang maksimum (Hart 2003).
14
Spektrofotometer Inframerah
Spektrofotometer inframerah merupakan salah satu instrumen analitik
yang telah populer digunakan untuk menentukan gugus-gugus fungsional suatu
senyawa. Disamping itu spektra infra merah dapat memberikan informasi yang
sangat karakteristik untuk setiap senyawa. Oleh karena itu, kemampuan teknik
infra merah dalam analisis kualitatif tidak diragukan lagi asalkan didukung oleh
interpretasi data hasil pengamatan dengan benar.
Spektrofotometer inframerah dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif. Kisaran panjang gelombang yang digunakan adalah 4000-400 cm-1
(Silverstein et al. 2005). Panjang gelombang radiasi infra merah lebih panjang
dibandingkan dengan radiasi UV/tampak yang berkisar antara 200-800 nm. Hal
ini menyebabkan energi elektromagnetik infra merah tidak mampu untuk
mengeksitasi elektron, tetapi mampu menyebabkan atom-atom atau gugus atom
bervibrasi. Keadaan vibrasi memiliki sifat karakteristik dan terkuantisasi, yaitu
hanya akan terjadi bila molekul mengabsorbsi energi yang sesuai. Hal ini
menyebabkan absorpsi energi tidak terjadi secara kontinyu tetapi sebagai deretan
puncak-puncak tertentu.
Spektrum IR pada prinsipnya dihasilkan dengan cara melewatkan radiasi
IR ke contoh kemudian diproses dengan menggunakan interferometer. Keadaan
ini secara kontinu akan menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut
interferogram (Sudjadi 1983). Absorpsi molekul pada daerah inframerah
umumnya disebabkan oleh perubahan tingkat energi vibrasi (Nur & Adijuwana
1989). Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3 Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi.
Gugus Fungsi
C-H aromatik
alkana
alkena
aldehid
C=C alkena
aromatik
C=O aldehid
keton
asam karboksilat
Bilangan gelombang (cm-1)
3100-2990
3000-2840
3100-3000
2900-2800
1667-1640
1600-1475
1740-1720
1870-1540
1720-1706
15
Bilangan gelombang (cm-1)
O-H bebas
3700-3584
ikatan hidrogen
3550-3200
asam karboksilat
3300-2500
C-N amina (alipatik)
1250-1020
amina aromatik)
1342-1266
C-O alkoho, eter, ester, asam karbiksilat
1300-1000
N-H strech
3500-3250
bend
1650-1580
Sumber: Silverstein et al. (2005)
Gugus Fungsi
Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (GC-MS)
Kromatografi Gas – Spektroskopi Massa (GC-MS) merupakan salah satu
teknik pemisahan dan identifikasi suatu senyawa yang telah berhasil
dikembangkan dengan menggabungkan dua instrumen dengan dasar analisis yang
berbeda tetapi saling menunjang. Keuntungan dalam penggunaan alat ini adalah
dalam menentukan komponen dan komposisi suatu zat menjadi lebih mudah dan
sederhana (Agusta 2000). Prinsip dari alat ini adalah menggabungkan dua
instrumen dengan suatu interfase. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat
pemisah komponen campuran dalam sampel, sedangkan spektroskopi massa
berfungsi untuk mendeteksi masing-masing molekul komponen yang telah
dipisahkan pada sistem kromatografi.
Teknik spektroskopi massa tidak berdasarkan pengukuran radiasi
elektromagnetik, melainkan molekul-molekul ditembak dengan berkas elektron
berenergi tinggi dan hasilnya direkam sebagai spektrum dari pecahan-pecahan ion
bermuatan positif yang disebut spektrum massa. Terpisahnya pecahan-pecahan
ion positif didasarkan pada massanya.
Download