Sirah Nabi Muhammad SAW Telaah Historis Atas Sirah Nabi MUHAMMAD SAW Sejarah Perjuangan, Peperangan dan Kesehatan Penerjemah: Muhammad Nursamad Kamba Judul Asli: DIRASAT FI AL-SIRAH AL-NABAWIYYAH Pengarang: Prof. Husein Mu’nis Judul Asli:Dirasat fi al sirah al nabawiyyah Pengarang: Prof. Husein Mu’nis Penerbit: Al Zahro li al i’lam al ‘arabi, Cairo, 1988 Penerjemah: Muhammad Nursamad Kamba Judul: Telaah Historis Atas Sirah Nabi Muhammad SAW: Sejarah Perjuangan, Peperangan, dan Kesehatan Contents PROLOG......................................................................................................................................... 1 SIRAH ANTARA VISI HISTORIS DAN SEMANGAT EMOSIONAL KEAGAMAAN (GHIRAH) ....................................................................................................................................... 3 Al-Waqidi menulis sebagai berikut: ........................................................................................... 6 BAB 1 ............................................................................................................................................. 9 PERJALANAN HIDUP DAN PERJUANGAN MUHAMMAD............................................... 9 1. PERIODE MEKKAH ......................................................................................................... 9 2. PERIODE MADINAH. .................................................................................................... 23 BAB. 2 .......................................................................................................................................... 40 TURUNNYA WAHYU, AWAL PERJALAN KENABIAN DAN RISALAH. ...................... 40 1. DARI MIMPI YANG NYATA HINGGA PERISTIWA GUA HIRA ............................. 40 2. BEBERAPA SAAT SEBELUM TURUNNYA WAHYU ............................................... 48 3. DI GUA HIRA. ................................................................................................................. 54 4. WAHAI YANG BERSELIMUT, BANGKITLAH .......................................................... 59 BAB. 3 .......................................................................................................................................... 66 AL-MAGHAZY, PERANG BADR DAN BEBERAPA KONTAK MILITER ......................... 66 1. POKOK-POKOK PIKIRAN DI SEKITAR AL-MAGHAZY ......................................... 66 2. AL-MAGHAZY ADALAH SATU KESATUAN............................................................ 70 3. DELAPAN OPERASI AL-MAGHAZI MENDAHULUI PERANG BADR. ................. 74 4. PRA PERANG BADR ...................................................................................................... 77 5. PERSIAPAN YANG CERMAT DAN MOBILISASI. .................................................... 81 6. MOBILISASI DI PIHAK QUREISY ............................................................................... 85 7. MALAM MENJELANG PECAHNYA PERANG BADR .............................................. 90 8. MEMASUKI MEDAN PERTEMPURAN ....................................................................... 94 9. PERIODE PERTAMA PERTEMPURAN ....................................................................... 98 10. PERIODE KEDUA PERTEMPURAN ........................................................................ 102 11. PENGARUH PERANG BADR TERHADAP ISLAM ................................................ 106 12 PENGARUH PERANG BADR TERHADAP QUREISY DAN BANGSA ARAB ..... 110 BAB. 4 ........................................................................................................................................ 115 SEJARAH KESEHATAN DAN WAFATNYA RASULULLAH ......................................... 115 1. SEJARAH KESEHATAN RASULULLAH .................................................................. 115 2. MUHAMMAD TIDAK DICIPTAKAN DARI BESI .................................................... 122 3. HAMBA YANG MEMILIH APA YANG DITENTUKAN ALLAH ........................... 131 4. BETAPA KERAS SAKITMU WAHAI RASULULLAH ............................................. 141 5. TAK AKAN ADA LAGI BERITA DARI LANGIT ..................................................... 149 6. PERSELISIHAN BANGSA ARAB PUN BANGKIT KEMBALI DAN BELUM PERNAH PADAM HINGGA KINI. .................................................................................. 157 7. SELAMAT JALAN RASULULLAH. ........................................................................... 166 EPILOG ...................................................................................................................................... 178 PROLOG ﺳﻢﷲاﻟرﺣﻤﻦاﻟرﺣﻴﻢ .. Dengan nama Allah Segala puji bagiNya Selawat dan Salam kepada Rasulullah SAW Lambang kasih sayang Sejak sepuluh tahun terakhir perhatian penulis terfokus pada pengkajian dan penelitian Sirah. Beberapa hasil studi telah dipublikasikan kedalam bahasa Inggeris untuk memenuhi kebutuhan saudara-saudara kita di Sinegal dan di wilayah-wilayah bagian selatan benua Afrika, yang menderita kemiskinan informasi tentang Islam. Untuk memahami kandungan al-Qur'an dan Sejarah Islam mereka hanya dapat menggunakan karya-karya penulis non muslim yang kebanyakan cenderung merugikan Islam. Dalam konteks sejarah sebagai disiplin ilmu, Sirah merupakan lapangan studi yang masih relatif baru namun ternyata cukup menarik, bahkan membawa kepuasan tersendiri. Melalui referensi yang memuat demikian banyak data, catatan peristiwa dan aspek-aspek sejarah, suatu cakrawala baru terbuka sangat luas demi mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang Islam, terutama melalui kehidupan yang dipraktekkan dan dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Bahkan beberapa penemuan baru -setidaknya bagi pribadi penulis- dapat dicatat dari analisis terhadap pelbagai aktifitas Rasul selama masa hidupnya yang cemerlang. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencermati setiap data dan ungkapan yang menguraikan suatu peristiwa, merenungkan kata demi kata, baris demi baris dan paragraf demi paragraf. Hal ini perlu untuk menyimak rahasia dari suatu kebijakan yang digariskan Rasulullah. Apabila berhasil menarik suatu kesimpulan, tidak serta-merta penulis terima sebagai hasil yang final tetapi tetap membuka peluang untuk melakukan revisi, kiranya ada hal-hal yang perlu diperbaiki atau diluruskan. Buku yang sedang anda baca ini terdiri atas empat hasil penelitian yang sebagian diantaranya secara berkala telah dimuat di majalah mingguan. Beberapa sanggahan dan tanggapan para ahli juga telah berperan melengkapi lahirnya. Meskipun di sana sini telah dilakukan penyempurnaan dengan ralat, perubahan dan tambahan seperlunya namun tanggapan dan pengarahan para pembaca tetap diharapkan demi memperkecil kehilafan yang bisa terjadi. 1 Penelitian pertama, berangkat dari asumsi penulis mengenai perlunya menggunakan pendekatan historis untuk memahami Sirah. Dalam konteks tersebut bagian pertama akan menjelaskan secara rinci metodologi yang layak diterapkan bagi sebuah reformulasi sejarah perjalanan hidup dan kehidupan Muhammad Saw; bukan untuk menambah pengetahuan pembaca melainkan membuka pintu dialog dan diskusi, mengingat sejarah adalah dialog antara masa lalu dengan masa kini; dialog antara penulis sejarah dengan pembaca. Pada akhirnya semua itu bermuara kepada satu tujuan; yakni kebenaran yang merupakan dambaan setiap mukmin. Sebab itu penulis mengajak para pembaca mencermati sejarah Nabi berdasarkan ketelitian nalar dan ketajaman rasa, agar dapat lebih mengenal Rasulullah, lebih tertarik kepada ajarannya dan lebih cinta kepadanya. Bagian-bagian selanjutnya merupakan lanjutan penelitian yang berkisar pada penerapan metodologi yang diusulkan. Penulis mengajak pembaca secara bersama-sama merenungkan kesimpulan-kesimpulan yang telah dituangkan dalam buku ini. Meski berbagai fakta mendukung namun tidak begitu saja dipaparkan tetapi telah melalui proses perenungan panjang. Penulis percaya sepenuhnya bahwa ketenangan adalah faktor terpenting dalam menentukan kualitas karya tulis. Pepatah yang mengatakan "jangan undurkan pekerjaan hari ini sampai esok hari" dalam hal ini perlu dirubah menjadi "jangan tulis hari ini apa yang dapat ditulis lebih baik dan lebih sempurna di esok hari". Akhirnya, kepada Allah jua kita memohon semoga usaha ini bermanfaat. Dia yang Maha Penolong dan kepada-Nya pula setiap niat baik bermuara. Tiada dambaan kita kecuali memperoleh ridlo-Nya. 2 SIRAH ANTARA VISI HISTORIS DAN SEMANGAT EMOSIONAL KEAGAMAAN (GHIRAH) -Sebuah PengantarPenulisan Sirah dimulai bersama lahirnya sejumlah ahli sejarah yang mencatat peristiwaperistiwa dalam kehidupan Nabi yang kemudian diuraikan generasi selanjutnya secara teliti dan lebih runtut. Generasi pertama terdiri atas tokoh-tokoh seperti ‘Urwa ibn al-Zubair, Abban ibn ‘Usman dan 'Ubaid ibn Sharia. Generasi kedua terdiri atas tokoh-tokoh seperti : Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar al-Muttalibi, Musa ibn ‘Uqba, Saif ibn ‘Umar, Muhammad ibn Sa’d, Ahmad ibn Yahya Al-Baladzari, Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Tabari dan Ahmad ibn Wadlih alYa'qubi. Sejak gerakan kodifikasi dan klasifikasi hadis-hadis yang dimulai oleh Malik ibn Anas dalam karyanya, al-muwaththa', hingga oleh al-Bukhari dan Muslim, maka Sirah menjadi bagian dari pengkajian ilmu hadis yang pada gilirannya menimbulkan perbedaan antara persepsi sejarah dengan persepsi ilmu hadis, menyusul pendekatan dan metodologi yang berbeda. Para ahli hadis mengandalkan sanad (pertalian perawi) dan memberikan prioritas kepada pemenuhan kriteria riwayat berupa jujur, konsekwen, taqwa dan wara', yang diukur berdasarkan kriteria-kriteri al-jarh wa al-ta'dil, yakni sejauh mana seseorang diakui sebagai perawi yang akurat. Mereka lakukan itu dengan tujuan agar keaslian dan originalitas suatu hadis tetap dapat dipertahankan. Kreteria-kriteria ilmiah yang cukup objektif memang. Akan tetapi lambat laun kegiatan tersebut terbawa arus kecenderungan fiqih yang sektarian, sehingga tidak lagi menggunakan skala pengecekan berita maupun sumbernya secara objektif, tetapi lebih mengutamakan kecenderungan ulama fiqh. Penulisan Sirah pun dilakukan dengan semangat emosional. Hal ini terlihat pada formulasi mengambang dalam karya Abdul Malik ibn Hisyam yang menguraikan tulisan-tulisan Ibn Ishaq berdasarkan kecenderungan intelektual pribadi, sehingga yang dituangkan dalam riwayatnya hanya yang sejalan dengan kajian fiqh, sementara yang lain diabaikan meskipun dari sudut kajian sejarah justeru sangat penting. Oleh karena itulah maka Sirah versi Ibn Hisyam, yang kemudian menjadi standar penulisan sejarah Nabi pada masa-masa selanjutnya, tidak memiliki ketelitian, perbandingan, pengecekan berita dan pertalian peristiwa. Tidak heran jika penulisan Sirah selanjutnya menjadi ‘beku’ dan tidak inovatif karena hanya terbatas pada pembetulan nama dan tanggal peristiwa, penambahan paragraf berdasarkan hadis-hadis Nabi dan penjelasan syarh1. Dengan kata lain, pengkajian sejarah mengalami stagnasi, sehingga Sirah tidak lagi merupakan salah satu sarana untuk mengenal dan memahami Islam tetapi lebih sesuai sebagai bahan ceramah dan pidato. Kecenderungan fiqih yang sektarian disamping mengakibatkan formulasi Sirah yang mengambang, juga telah mengabaikan karya al-Waqidi, al-Magazy (Sejarah peperangan Rasulullah), demikian pula terjadi distorsi dalam karya Ibn Sa'd, al-thabaqat yang memuat biografi sejumlah perawi dari masa ke masa. Bahkan suatu karya tulis dalam bentuk ringkasan yang penuh kerancuan telah menggantikan posisi sumber-sumber asli tersebut. 1 Makna setiap kata 3 Kondisinya masih berlanjut hingga kini, tatkala kami sedang berupaya mengajukan suatu formulasi Sirah dengan pendekatan yang lebih metodologis. Kami percaya bahwa Sejarah Nabi adalah dasar penulisan sejarah Islam. Memahami dan mencatat peristiwa-peristiwa dalam sejarah Nabi dengan tepat dan teliti adalah langkah awal dan mendasar untuk mempelajari sejarah Islam secara objektif. Berbeda dengan kecenderungan fiqih, para perawi peristiwa sejarah generasi pertama seperti alWaqidi dan Ibn Sa'd menganut cara kerja pertalian riwayat kolektif, yakni mencatat pelbagai riwayat menyangkut peristiwa tertentu, dibandingkan satu sama lain kemudian secara induktif ditarik satu kesimpulan subtantif yang selanjutnya dituangkan dalam satu bentuk riwayat sebagai yang tertera dalam karya-karya mereka. Hal ini tidak berarti mereka tidak mengadakan pengecekan riwayat, tetapi hasil pengecekan tersebut dituangkan dan dicatat dalam bentuk yang lebih kontekstual. Menurut hemat kami, cara kerja mereka bukanlah sesuatu yang perlu diingkari. Materi-materi yang mereka ajukan kita pelajari dan teliti berdasarkan pendekatan historis melalui pengecekan berita, perbandingan satu riwayat dengan lainnya, pertimbangan logika peristiwa dan yang terpenting kesesuaian suatu berita dengan kenyataan sejarah di saat mana peristiwa terjadi. Adalah visi emosional keagamaan yang masih tetap populer saat kami memulai studi ini, sebagaimana terlihat pada tulisan-tulisan dan karya-karya al-Khudary, Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sulaiman al-Nadawy dan lain-lain. Karya-karya tersebut tidak mencerminkan adanya penelitian bahkan tidak melakukan pengecekan data peristiwa atau pemilihan sumber-sumber referensi yang tepat. Karya-karya mereka hanya bisa diterima sebagai petunjuk-petunjuk mengenai taqwa dan wara' atau bahan ceramah mengenai etika di sekitar Sirah Rasulullah Saw. Justeru tidak bisa diterima sebagai penulisan sejarah. Termasuk dalam kategori ini karya-karya para sastrawan seperti Muhammad Husein Heikal, Taha Husein, Abbas Mahmud al-Akkad dan sejumlah penulis populer dewasa ini. Karya mereka bukanlah hasil penelitian sejarah melainkan sekedar lintasan pemikiran, refleksi atau ekspresi perasaan yang ditulis dengan gaya sastra. Kami tidak menemukan satu pun diantara karya-karya tersebut berupaya melakukan studi historis terhadap setiap peristiwa yang dibicarakan secara metodologis. Sebagai sejarawan, kami mempunyai pertimbangan bahwa kehidupan Rasulullah Saw seluruhnya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipilah-pilah. Dalam kegiatan militer umpamanya, terdapat kebijakan-kebijakan Rasulullah menentukan tugas dan misi suatu sariya2 serta sistem pendelegasian yang ditempuh, tidak dapat dipisahkan dari kegiatan-kegiatan sipil yang semua itu merupakan satu kesatuan yang terikat oleh garis historis. Jika kegiatan almagazy3 mulai dilakukan Rasulullah setelah dua bulan berhijrah dan menetap di Madinah almunawwarah, sedangkan pada tahun ke-10 H semenanjung Arab seluruhnya sudah takluk memeluk Islam, maka keberhasilan yang spektakuler tersebut tidak dapat tercapai kecuali dengan pertimbangan bahwa keseluruhan kegiatan al-magazy telah dicanangkan dengan penuh perhitungan; baik dari segi penentuan waktu (timing) maupun sasaran dan targetnya. Dalam konteks ini kami tidak dapat menerima pernyataan bahwa setiap kegiatan militer ditempuh karena Rasulullah memperoleh informasi mengenai ancaman serangan salah satu suku Arab, lantas Rasulullah mendahului dengan mengutus sariyah. Pernyataan seperti ini 2 3 Ekspedisi Militer 4 menganggap kegiatan militer bersifat reaksionil padahal seluruh aktifitas Rasulullah bersifat proaktif, berencana dan dicanangkan dengan penuh perhitungan. Oleh karena itu formulasi Sirah yang kami usulkan berupaya merumuskan keseluruhan kegiatan dan kebijakan Rasulullah dalam satu rangkaian garis pertalian antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya, atau satu kebijakan dengan kebijakan lainnya, ibarat episode-episode cerita yang runtut. Setiap episode mencerminkan kebijakan yang ditempuh untuk mencapai target tertentu. Sebenarnya, seluruh kegiatan militer berhubungan erat dengan serangkaian surat-surat Rasulullah yang dikirimkan kepada para pemimpin negeri atau kepala suku; baik di dalam semenanjung Arab maupun di luarnya. Rasulullah mengajak mereka memeluk Islam dengan janji akan tetap mengakui dan menjamin hak-hak atas tanah dan negeri bagi mereka. Atau menawarkan perjanjian damai apabila mereka masih senang menganut agama mereka sendiri. Hal ini tetap berlaku hingga mereka memeluk Islam. Sementara itu delegasi-delegasi yang datang ke Madinah juga berhubungan erat dengan kegiatan militer; apakah dengan tujuan memeluk Islam atau memenuhi tawaran perjanjian damai atau pun meminta bantuan militer. Jika tujuan memeluk Islam sebagai kepentingan agama maka bergabungnya mereka ke dalam masyarakat Islam merupakan kepentingan politik, karena dengan kedatangannya ke Madinah, mereka yakin bahwa Rasulullah cukup setia menepati janji seperti yang tertulis dalam suratsuratnya, terutama mengenai jaminan hak dan ketentraman negeri atau suku mereka. Meneliti surat-surat Rasulullah dan delegasi-delegasi tersebut di samping kegiatan militer akan memberikan kejelasan betapa Rasulullah memiliki sifat kepemimpinan yang agung dan cara kerja yang amat sistimatik dalam menyiapkan dan membina suatu bangunan umat yang kokoh. Demikian antara lain kesimpulan yang dapat dicapai melalui pendekatan historis. Sebaliknya dengan hanya semangat emosional tidak mampu menemukan motivasi setiap kegiatan atau meneliti keterkaitan antara satu kegiatan dengan lainnya serta garis besar rencana Rasulullah. Maka kesimpulan yang dapat dicatat hanya berupa pernyataan bahwa semua itu berjalan sesuai dengan kehendak Allah. Sebagai sejarawan, meskipun kami percaya sepenuhnya akan kehendak Allah, namun misi dan tugas kami tidak terbatas sampai di situ. Kami memandang perlu menemukan dan memperjelas garis historis dan logika peristiwa dalam setiap kebijakan Rasulullah, berdasarkan pendekatan sejarah. Suatu pekerjaan yang membutuhkan seperangkat keahlian seperti sistim argumentasi, analisis peristiwa dan cara penentuan kesimpulan yang tepat demi memperoleh kepuasan intelektual. Sudah barang tentu bukan maksud kami mempertentangkan pendekatan historis dengan semangat keagamaan. Bahkan keduanya bisa saling mendukung. Semangat keagamaan dapat memenuhi kebutuhan religius setiap muslim, sedangkan pendekatan historis dapat memenuhi kebutuhan intelektual. Tapi perlu dicatat bahwa pendekatan historis memiliki kelebihan karena potensial meyakinkan dan mempertebal keimanan orang yang sudah beriman atau bahkan dapat menarik non muslim untuk memeluk Islam. Dengan kata lain, pendekatan historis dapat memberikan petunjuk kepada orang-orang tersesat tanpa menyentuh keimanan orang yang sudah beriman. 5 Berikut penulis berikan contoh betapa besar nilai pendekatan historis dalam memperkaya materi sejarah dan manfaat yang diperoleh dari uraian sejarah Nabi. Pada umumnya kita sudah membaca Sirah versi Ibnu Hisyam dan para muridnya mulai dari al-Suheily dengan al-raudlul anif-nya, sampai kepada Sirah versi Ibnu Katsier, seorang ahli hadis dan sejarawan klasik terkenal. Karya-karya tersebut cukup berfaedah4 terutama karena orientasi linguistik al-Suheily menjelaskan makna kosa kata, sekalipun beliau menulis Sirah dengan penuh perasaan. Tulisannya banyak memuat uraian yang irrasionil. Sementara Ibnu Katsier dengan orientasi fiqhnya mengutip hadis-hadis dari Sirah yang berupaya mengangkat suatu hukum atau menjelaskan filsafat hukum Islam. Hal yang sama berlaku pada karya-karya sastrawan seperti Heikal, yang sekalipun dari sudut pandangan sejarah tidak ada nilainya namun sangat berguna untuk membangkitkan semangat keagamaan dan apresiasi sastra. Akan tetapi berhubung Sirah adalah sumber inspirasi dan dinamika agama maka perumusannya perlu menggabungkan ketepatan nalar dengan ketajaman rasa. Selanjutnya, mari kita menyimak beberapa paragraf dalam karya al-Waqidi saat menyinggung awal peristiwa perang Badr, agar jelas betapa pendekatan historis dapatmemperkaya suatu uraian peristiwa sejarah, bahkan menggiring pembacanya ikut menyaksikan dinamika dan realitas kehidupan di masa Rasulullah. Al-Waqidi menulis sebagai berikut: "Telah datang menghadap Rasulullah masing-masing Oday ibn Abi al-Zagba dan Basbus ibn Amr. Keduanya berkisah bahwa di sini dan di tempat ini, kami bani Salamah5 bermusyawarah dan kemudian mengumumkan perang atas Yahudi husaikah. Kami yang berhasil memenangkan perang tersebut, dan sejak itu kaum Yahudi takluk kepada kami. Kini kami telah siap siaga pula menghadapi kaum Qureisy dengan penuh harapan bahwa hasilnya akan memuaskan"; Berkisah Khallad ibn Amir ibn al-Jumuh meriwayatkan Ayahnya yang berkata : "Aku yakin perang akan meletus". Selanjutnya beliau berkomentar, suatu kabar gembira bahwa Rasulullah saat ini sedang bermusyawarah di baqie'. Aku optimistis kaum muslim akan memenangkan perang melawan musyrik Qureisy. Dari baqie' itu pula kami berangkat ketika bersiap perang melawan Yahudi huseikah. Katanya lagi: Sesungguhnya Rasulullah telah mengganti nama baqie' menjadi buyut al-suqya. Aku bermaksud membeli areal tanah itu seandainya tidak didahului oleh Sa'd ibn Abi Waqqash yang telah membelinya seharga 2 unta muda atau tujuh awqiya emas. Untuk jual beli tersebut Rasulullah berkomentar :"Sebuah transaksi yang amat beruntung". Diriwayatkan bahwa pada malam hari Ahad tanggal 12 Ramadhan Rasulullah bersama 305 sahabat lengkap dengan pakaian perang mengendarai unta masing-masing, berjalan berbaris dua, berbaris tiga dan berbaris empat.. Sa'd ibn Zaid, Salamah ibn Salamah, Abbad ibn Basyir, Rafi' ibn Yazid dan Harits ibn Khurmah masing-masing hanya berbekal sekilo kurma". (al-Waqidi: AlMagazy. volume. 1, halaman. 23 -24). 44 5 Mamfa’at Suku keturunan Salamah 6 Nilai ilmiah yang dapat dipetik dari beberapa paragraf tersebut di atas, antara lain berkaitan dengan sejarah, politik dan ekonomi: Pertama, dapat diketahui bahwa Oday ibn Abi al-Zagba' dan Basbus ibn Amr adalah pemuka suku Juhaena yang garis keturunannya berakar pada suku (induk) al-qudla'iyah dan bukan pada suku mudlor. Ini berarti pada masa yang dibicarakan suku Juhaena sudah memeluk Islam dan memperlihatkan loyalitas cukup tinggi, hal mana akan berperan penting dalam perjalanan sejarah Islam berikutnya. Keberadaan Juheina dalam barisan Islam adalah hasil pendekatan intensif yang dilakukan Rasulullah sejak berada di Madinah karena posisinya yang sangat strategis setaraf dengan suku-suku lain yang berakar kepada al-qudla'iyah. Suatu bukti betapa Rasulullah Saw ahli mengenai hal-ihwal semenanjung Arab al-Hijaz dan penduduknya. Kedua, Huseikah di mana Rasulullah melakukan musyawarah mempersiapkan perang Badr adalah wilayah bekas pemukiman Yahudi yang telah jatuh kedalam kekuasaan Bani Salamah -salah satu cabang keturunan golongan Khazraj-. Ini berarti satu suku di Madinah dapat memperluas daerah kekuasaannya jauh dari pemukiman asli. Jarak antara Huseikah dengan Baqie' tidak begitu berjauhan dan yang terakhir ini juga dinamakan Buyut al-Suqya. Rasulullah yang memberikan nama itu dan hingga kini masih tercatat dalam literatur. Ketiga, Huseikah terletak di pegunungan Dzubab yang cukup masyhur dalam georafi Madinah karena pernah menjadi ajang peperangan dahsyat antara golongan 'Aous dan Khazraj di satu pihak dengan kaum Yahudi di pihak lain untuk menguasai Madinah. Ini adalah data baru yang amat penting. Keempat, dari ungkapan Khallad ibn Amr ibn al-Jumuh dipahami bahwa ia dengan membaca situasi dapat meramalkan perang akan meletus dan optimistis kaum muslim akan memenangkannya. Berbeda dengan Asyad ibn Khudeir yang tidak membaca situasi sehingga tidak ikut perang. Kelima, Sa'd ibn Abi Waqqash telah membeli sumur Buyut al-Suqya seharga dua unta muda yang sama dengan tujuh awqiya emas. Ini berarti satu unta muda (waktu itu) seharga 3.5 awqiya. Satu awqiya sama dengan bobot satu dinar, yaitu 2.4 gr. emas. Hal ini amat berarti dalam menggambarkan kehidupan ekonomi Madinah kala itu, karena kita dapat mengetahui bahwa unta adalah mata uang yang digunakan dalam jual beli. Satu unta sama dengan sepuluh kambing. Seorang pembunuh hukumnya didenda seratus unta. Dengan demikian kekayaan seseorang dapat dinilai dengan seberapa jumlah ekor unta yang dimiliki. Dari riwayat yang menguraikan peristiwa perang Badr kita dapat mengetahui pula bahwa sebelum mengumumkan perang, Rasulullah terlebih dahulu mengutus Talhah ibn 'Ubaidillah bersama Said ibn Zaid ke al-tihyar, suatu kawasan perbatasan semenanjung Arab dengan negeri Syam dibawah kekuasaan Kasyad al-Juhni dari suku Juhaena, untuk memantau kafilah dagang Abu Sufyan. Sudah nyata bahwa daerah kekuasaan Juhaena demikian luas sampai ke wilayah perbatasan. Dan pendekatan strategis yang dilakukan Rasulullah terhadap Juhaena di Madinah ternyata tidak sia-sia, karena kaum muslim kini sudah dapat membentuk front bersama melawan Qureisy. Maka kedua utusan Rasulullah tersebut aman dalam perlindungan Kasyad al-Juhni. Ketika kafilah melewati perbatasan, Abu Sufyan bertanya kepada Kasyad apakah ia melihat mata-mata 7 Muhammad yang dijawabnya dengan tidak, "mana mungkin mata-mata Muhammad sampai ke al-tihyar? tambahnya. Selanjutnya al-Waqidi mengisahkan: "Ketika kafilah melewati perbatasan, kedua utusan Rasulullah masih menginap di kediaman Kasyad dan esok harinya mereka berangkat dengan bergegas diantar oleh Kasyad melewati pesisir Houran. Dalam waktu yang sama Rasulullah dan angkatan perangnya beranjak dari Madinah menuju tempat pertemuan yang ditentukan sebelumnya, yaitu Tirkan. Rasulullah sangat menghargai bantuan Kasyad tersebut, sebab itu beliau menawarkan kawasan Yanbu' kepadanya tetapi ia menolak dan memberikan hak itu kepada kemanakannya”. Kiranya cukup jelas strategi yang dicanangkan Rasulullah untuk menarik simpati suku Juhaena yang memiliki kekuasaan teritorial memanjang dari Tihyar sampai Yanbu'. Hal itu tiada lain kecuali untuk mengamankan Madinah dan menguasai jalur perdagangan. Suatu bukti lagi betapa Rasulullah memiliki ketajaman pandangan dalam mengatur strategi dan rencana dakwahnya. Kesimpulan seperti ini tidak akan pernah didapatkan melalui pendekatan yang hanya mengandalkan semangat keagamaan belaka. Pada studi lain di sekitar Sirah telah kami lakukan telaah historis terhadap kegiatan militer, suratsurat Nabi dan pergerakan delegasi dari dan ke Madinah. Semua itu memberikan temuan-temuan yang dapat membuat setiap muslim bangga, bahkan dapat menarik simpati mereka yang mendambakan kebenaran. Sejauh ini telah dijelaskan bagaimana pendekatan historis dilakukan dan sebesar apa manfaat yang akan diperoleh dari penerapannya. Sekarang saatnya membicarakan Sirah lebih rinci. Kepada Allah jua seluruh keutamaan kembali. 8 BAB 1 PERJALANAN HIDUP DAN PERJUANGAN MUHAMMAD Suatu telaah historis 1. PERIODE MEKKAH Nabi Muhammad SAW yang agung, sejak dilantik menjadi rasul hingga wafat, hidup selama 23 tahun hijriyah6. Selama 13 tahun berjuang di Mekkah dengan segala upaya intensif membawa misi dan petunjuk kebenaran dari Tuhan kepada suatu kaum yang secara apriori7 telah memutuskan untuk menolaknya, berhubung tradisi intelektual yang mereka miliki tidak dapat menerima sesuatu yang dinamakan risalah atau kenabian ataupun agama dari Tuhan. Seluruh pemikiran mereka hanya berkisar pada sukuisme. Dunia mereka adalah status sosial dan bagaimana memperoleh keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Abu Jahal meninggal dunia dalam keyakinan sepenuhnya bahwa masalah kenabian hanyalah suatu tipu daya Bani Hasyim - Abdul Mutthalib (anak cucu Hasyim dan Abdul Mutthalib) untuk mengembalikan kepemimpinan leluhur mereka yang hilang bersama perginya Abdul Mutthalib. Kepemimpinan kini sedang berada di pihaknya. Ia dan golongannya telah bersusah payah memperoleh kekuasaan tersebut, walaupun dengan cara menumpuk kekayaan tanpa menghiraukan batas-batas moral yang telah dicanangkan Abdul Mutthalib sejak dahulu. Tidak heran jika untuk tujuan itu mereka melakukan pemaksaan, pemalsuan, penipuan, dan mempermainkan jadwal pembayaran utang-piutang. Akibatnya, tiada lagi tempat bagi pedagang kecil di Mekkah. Suatu ketika Muhammad merasa berkewajiban menegur Abu Jahal menyusul perlakuannya mengambil hak seorang pedagang kecil dengan cara paksa. Karena merasa segan, Abu Jahal kemudian mengembalikan hak sang pedagang. Perlu diketahui bahwa penampilan Muhmmad di samping keramahan dan kasih-sayangnya serta tidak senang kepada kekerasan, beliau juga bertubuh kekar dengan perawakan tegas dan penuh wibawa yang menimbulkan rasa segan pada diri kawan dan lawan. Sebenarnya, penolakan para pemimpin Qureisy terhadap Islam tidak disebabkan oleh karena mereka benci agama atau tidak senang kepada kebenaran tetapi karena mereka adalah elit masyarakat yang sedang menikmati segala keistimewaan yang ada. Meskipun masyarakat mengarah kepada kehancuran, namun mereka bahagia dengan kondisi yang ada, sedangkan Islam menawarkan perubahan secara radikal. Dalam konteks ini kita dapat mengerti sikap mental Abu Jahal. Ia tidak sebodoh dan sebrutal yang dibayangkan sementara orang, sebab Rasulullah bercita-cita kiranya Islam diperkuat oleh satu diantara tokoh-tokoh kuat pada saat itu; yakni Umar ibn Khattab, Abul Hakam Amr ibn Hisyam atau Abu Jahal. Bagaimana Rasulullah berpandangan demikian seandainya Abu Jahal bukan tokoh yang diperhitungkan? 6 7 Dimulai sekitar tahun 622 Tidak mutlak namun kebanyakan 9 Persoalannya adalah bahwa ia dan kelompok penentang dakwah Islam tidak menginginkan adanya perubahan. Status quo yang mereka pertahankan adalah realitas yang mereka sudah kenal. Sementara dakwah Islam, bagi mereka, masih berupa bayang-bayang dan memerlukan petualangan. Karena itu kendatipun kepentingan dan kecenderungan mereka berbeda-beda, namun sama dalam sikap mental yang menolak dakwah secara totaliter dengan sikap arogansi dan kekerasan. Golongan penentang dapat dibagi ke dalam dua bagian: Pertama, generasi muda yang seumur dan sebaya dengan Muhammad, termasuk pamannya Abdul 'Uzzay ibn Abdul Mutthalib, yakni Abu Lahab, dan Abul Hakam 'Amr ibn Hisyam, yakni Abu Jahal, al-Harits ibn Qeladah, 'Uqbah ibn Abi Mu'ith serta al-Aswad ibn Abdu Yaguth. Mereka dikenal orang-orang yang paling membenci Muhammad hanya karena irihati dan dengki ditambah pula kekhawatiran bahwa dengan alasan kenabian mereka lantas dipimpin Muhammad. Prilaku mereka yang cenderung menggunakan kekerasan penuh kebencian adalah akibat dari sikap mental tersebut. Termasuk dalam golongan ini juga Dhirar ibn Khattab, penyair terkenal kala itu, Suheil ibn 'Amr, tokoh yang akan memimpin dialog dengan Rasulullah pada pertemuan Hudeibiyah dan Sufyan ibn Harits yang masih mempunyai hubungan famili dengan Muhammad dan teman sejawat sejak kecil. Namun ketika Muhammad dilantik menjadi Nabi, rasa cemburu dan irihati merasuk jiwanya sehingga menjadi lawan dan penentang paling keras. Kedua, golongan pemimpin-pemimpin para suku Arab yang telah lama bersaing dengan Bani Hasyim dan al-Mutthalib. Mereka menolak dakwah Islam karena Islam merupakan ancaman bagi status sosial dan sumber kekayaan mereka. Dapat dicatat tokoh-tokoh yang menonjol seperti alWalid ibn Mugirah dan 'Utbah ibn Rabi'a yang pernah diutus oleh golongan penentang menemui Rasulullah dan pamannya Abu Thalib setelah gerakan Abu Jahal gagal membendung dakwah Islam dengan kekerasan, karena ternyata cara kekerasan malah menambah banyak pengikut Muhammad dan menambah kuat pendirian mereka. Oleh karena faktor umur yang relatif lebih tua, mereka ini memperlihatkan sikap penolakan yang lebih lunak yaitu dengan menempuh cara dialog; baik dengan Muhammad secara langsung maupun melalui pamannya. Tercatat empat kali pertemuan dialog diadakan yang semuanya mengalami jalan buntu. Masingmasing bertahan dalam pendirian. Abu Thalib tetap dalam sikapnya melindungi dan mendukung Muhammad, sekalipun di pihak lain ia mengusulkan agar Rasulullah mengurangi propaganda provokatifnya terhadap Tuhan-Tuhan Qureisy dan mengurangi intensitas kritiknya terhadap sistim kehidupan masyarakat, tetapi Muhammad tetap pada pendiriannya. Dengan demikian, para penentang; baik yang tua maupun yang muda sama-sama telah menabur kebencian, kekerasan dan teror menghadapi dakwah Islam. Segala cara ditempuh demi menjauhkan orang-orang dari Islam. Rasulullah terpaksa mengajak pengikutnya berhijrah ke alHabasyah (kini Etopia). Ironisnya, Islam tetap berkembang terutama setelah Umar ibn Khattab bergabung kedalam pengikut Muhammad. Pada akhirnya, golongan penentang menemukan suatu cara yang menurut mereka lebih efektif membendung gerak maju dakwah Islam. Yaitu dengan menyebarkan isu-isu bahwa Muhammad adalah tukang sihir yang memiliki daya hipnotis tinggi, membuat orang-orang mendukung dan mengikuti keinginannya. 10 Hal itu mereka lakukan sebagai upaya pesimistis, setelah kurang lebih sepuluh tahun berkecamuk perlawanan buta terhadap Islam tanpa menghasilkan apapun yang berarti. Yang menarik dalam hal ini adalah bahwa walaupun bermacam-macam halangan dan rintangan yang dihadapi, dan meskipun benteng kebencian dan perlawanan demikian kuatnya, serta kendatipun pelbagai kegiatan teror dan siksaan menimpa Muhammad dan para pengikutnya, namun sepanjang periode tersebut beliau tidak pernah -walau sekalipun- kehilangan daya kontrol; baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sama sekali tidak pernah kehilangan kesabaran, tidak pula sedikit pun rasa putus asa menyentuh jiwanya. Suatu sikap perjuangan yang perlu kita pedomani pada diri Rasulullah SAW. Para penulis Sirah yang berwawasan emosional keagamaan dengan penuh semangat menguraikan dan merinci cara-cara perlawanan kaum musyrik sementara menanamkan kesan bahwa Allah jua yang memelihara Rasulullah dari segala perbuatan keji yang dapat mencelakakan beliau, dan bahwa Allah yang menjamin beliau akan berhasil dalam misinya. Mereka tidak menyadari bahwa pandangan demikian itu mengurangi nilai jerih payah dan usaha Rasulullah menghadapi lawannya. Sejauh mana ketauladanan beliau yang penuh ketabahan mengemban tugas. Sirah adalah wahana pendidikan. Kita mempelajarinya dengan tujuan supaya dapat mengikuti jejak Rasulullah dalam akhlak dan prilaku, dalam bersikap dan bertindak. Beliau sebagai suritauladan dengan sengaja diperhadapkan kepada berbagai tantangan, cobaan dan perlakuan yang menyakitkan agar setiap pengikutnya menyadari bahwa semua itu adalah bagian dari perjuangan hidup setiap muslim yang jujur memperjuangkan agama. Dalam perjuangan, nyata diperlukan akhlak yang tinggi, prilaku yang sehat serta tindakan yang arif. Semuanya telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sunnah Rasul ialah segenap jejak Rasulullah; baik ungkapan, perbuatan maupun ketentuanketentuannya. Perjuangan Rasulullah pada periode Mekkah banyak memberikan ketauladanan dalam mengemban tugas perjuangan, antara lain ketetapan iman, tegak di atas kebenaran, menghadapi dunia manusia dengan penuh pengertian, mengontrol diri dalam cobaan, memelihara ucapan dan menggunakan pikiran. Semua itu adalah Sunnah Rasul. Barangsiapa yang mengabaikannya lalu membiarkan dirinya terbawa arus emosi, kemudian lepas kontrol dalam perkataan dan perbuatan di saat-saat bergelut dan berdebat, maka ia telah menyalahi sunnah karena sunnah adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipilah-pilah. Jika hal itu wajib bagi setiap muslim maka lebih wajib lagi bagi para penguasa. Dapat dibayangkan bagaimana prikeadaan kaum muslim seandainya pemahaman terhadap sunnah berdasarkan kepada cakrawala pandangan yang luas seperti ini. Dan seandainya sunnah Nabi sudah menjadi bagian dari kepribadian umat Islam dan para penguasanya, tentu tidak akan pernah terjadi peristiwa-peristiwa mengerikan dalam sejarah umat Islam, seperti adanya rasa kebebasan menyiksa orang-orang, balas dendam dan pembantaian lawan politik atau rasa kebebasan memerangi jiwa, merampok harta dan melanggar kehormatan. Harus diyakini bahwa melakukan tindakan-tindakan brutal tersebut dapat menyebabkan seseorang keluar dari rel sunnah bahkan dari rel Islam. Adalah tepat bahwa Allah menjamin keberhasilan risalah-Nya, namun mempercayakannya kepada Muhammad dan membiarkannya mengarungi perjuangan di dunia manusia dengan caracara manusiawi. 11 Maka kehidupan Muhammad, di samping indah juga pada waktu yang sama merupakan simbol keagungan dan bahan pelajaran bagi setiap muslim sepanjang masa. Beliau mengajarkan bagaimana memelihara prinsip agar tidak tergoyahkan oleh tantangan apapun, bagaimana menghadapi lawan dengan sikap sabar, tabah dan penuh lapang dada dan bagaimana meyakinkan orang-orang secara persuasif dengan argumentasi yang tepat serta bagaimana menghadapi tantangan dengan semangat iman yang dalam dan hati yang teguh. Di dalam Al-Qur'an Allah menegaskan bahwa Dia menjadikan Rasul-Nya sebagai suri-tauladan dan Rasulullah telah menerapkan semua itu dengan sempurna. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar bersabda "Sesungguhnya tiadalah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia". Sudah menjadi takdir Allah bahwa dalam perjuangannya, umat Islam akan menghadapi tantangan dan kondisi yang sama dengan yang dihadapi Rasulullah; dan untuk itu contoh dari kehidupan Rasulullah akan merupakan modal dasar bagi kesuksesan perjuangan mereka. Jika ingin mencari jalan keluar bagi kondisi umat Islam yang demikian menyedihkan dewasa ini niscaya ada dalam Sirah Rasulullah. Tapi perlu membaca Sirah dari sumber aslinya, yaitu melalui sumber-sumber sejarah yang belum terjamah oleh pena para penulis yang menguraikan Sirah Nabi berdasarkan kecenderungan dan kepentingan masanya, seumpama Abdul Malik ibn Hisyam yang kami nilai memasukkan data-data sejarah yang tidak otentik kedalam uraian Sirah hanya untuk memuaskan kecenderungan intelektualnya. Sumber-sumber yang asli dapat diperoleh dalam riwayat generasi pertama seperti 'Urwah ibn Zubeir, Abban ibn ‘Usman, Musa ibn ‘Uqba, 'Ubeid ibn Sharia kemudian Ibnu Ishaq, alBaladzary, al-Waqidy, Ibnu Sa'd dan al-Ya'quby. Dapat digabungkan ke dalam kelompok mereka, Ibnu ‘Abd al-Bar dengan al-Isti'ab fi Ma'rifatis Shahabah-nya, yang meski hanya memuat sekelumit Sirah sebagai prolog, namun sarat dengan nilai ilmiah yang tidak terdapat pada karya-karya lain. Hal ini disebabkan karena Ibnu ‘Abd al-Bar, demikian juga Ibnu Hazm dan Ibnu Sidinnas semuanya menggunakan referensi asli. Dengan membaca Sirah melalui sumber-sumber asli tersebut akan memberikan kemampuan mengenal siapa Muhammad dalam sorotan sinar memukau yang dapat menerangi derap langkah kita hari ini dan esok. Telah disinggung sebelumnya, bahwa pendekatan tradisional tidak melakukan klasifikasi dan periodisasi tahap-tahap kehidupan Muhammad, tidak pula berupaya menjelaskan motivasi yang melatar-belakangi setiap tahap dan targetnya. Padahal Sirah bukanlah sekedar uraian peristiwaperistiwa dalam kehidupan Nabi melainkan rangkaian episode yang setiap tahap-tahapnya mengandung ajaran dan pelajaran. Sudah barang tentu akan kehilangan rahasia di balik setiap periode jika tidak mampu menemukan motivasi dan dasar pemikirannya. Yang dimaksud, bukan periode-periode kehidupan Nabi yang sering kita dengar lewat khutbah Jum'at tradisional melainkan tahap-tahap yang dapat dijadikan percontohan bagi perjalanan umat Islam selanjutnya. Motivasi dan dasar pemikiran setiap kebijakan Rasulullah merupakan pelita bagi umat Islam ke arah kesuksesan, kedamaian dan kesejahteraan. Untuk mempertajam pandangan historis, mari kita mengamati garis keturunan Muhammad yang telah kita hafalkan luar kepala sejak kecil dan berkali-kali dikutip dari buku-buku sejarah. Tapi adakah kita menangkap satu pedoman? 12 Ada empat tokoh suku Qureisy yang sangat berperan dalam pembentukan kepribadian Muhammad dan dalam perkembangan kondisional masyarakat saat Islam pertama kali muncul. Mereka adalah pilar-pilar suku Qureisy: Qushay ibn Kilab, Abdu Manaf ibn Qushay, Hasyim ibn Abdu Manaf Abdul Mutthalib ibn Hasyim. Qushay ibn Kilab adalah negarawan, politisi dan militer ulung yang memimpin suku Qureisy ketika masih merupakan suku kecil yang berpindah-pindah tempat sebelum masuk ke Kota Mekkah. Cukup lama waktu yang diperlukan untuk memisahkan diri dari suku (induknya), Kinanah yang bermukim di belahan utara semenanjung Arab Hijaz, yang kemudian memilih pemukiman bertetangga dengan Bani 'Udzrah. Dan dengan menggunakan pengaruh dan kekuasaan pemimpin Bani 'Udzrah, Qushay mencanangkan suatu rencana pendudukan kota Mekkah dan bilamana berhasil ia telah siap dengan sistim kemasyarakatan yang dapat menjadikan Qureisy sebagai suku yang terkuat dengan kemampuan menjaga stabilitas dan keamanan pusat-pusat perdagangan di kota Mekkah dan sekitarnya, sehingga suku-suku yang bermukim di sekitar Tihamah dan Hijaz dengan mudah dapat diatur dan dikuasai. Ini berarti Qushay adalah simbol transformasi sosial dalam bangsa Qureisy dari masyarakat nomadisme8 menjadi masyarakat urbanisme9 tanpa kehilangan ciri-ciri nomadisnya. Adalah transformasi seperti ini merupakan fenomena umum yang berlaku pada bangsa Arab sebelum Islam, sebab dengan sistim organisasi tribalisme yang mengandalkan solidaritas tribal (suku), segala aturan konstitusi berjalan baik dan menjamin keamanan dan ketentraman setiap anggota masyarakat. Karakteristik kesukuan inilah yang kesukuan inilah yang memungkinkan Qureisy menguasai semenanjung Arab dan peran tokoh-tokohnya pun akan terlihat kelak pada perkembangan dan ekspansi Islam. Abdu Manaf ibn Qushay, seorang politisi dan diplomat yang berhasil membentuk ‘pakta konfiderasi’ dengan suku-suku yang bertebaran di sekitar kota Mekkah dan Hijaz terutama suku Khuza'ah. Ia juga berhasil menjalin kerjasama dengan bangsa al-Habasyah. Dengan demikian maka posisi Qureisy semakin kuat. Rasulullah sendiri banyak memperoleh faedah dari adanya perjanjian-perjanjian kerjasama tersebut yang masih berlaku sampai masa lahirnya Islam, terutama dengan Khuza'ah. Hasyim ibn Abdu Manaf, seorang pengusaha dan pedagang sukses yang telah menopang perkembangan potensi-potensi perdagangan di kota Mekkah. Ia berhasil memperoleh beberapa kontrak perdagangan dengan suku-suku yang bermukim di sepanjang jalur perdagangan Mekkah seperti: - Syam - Yaman - Iraq dalam rangka mengamankan jalur perdagangan; baik di musim dingin maupun di musim panas. Abdul Mutthalib ibn Hasyim, seorang agamawan yang berhasil menjadikan Ka'bah sebagai pusat peribadatan animisme Arab melalui suatu kebijakan meletakkan dan menggantungkan model-model sembahan setiap suku di dinding-dinding Ka'bah. 8 9 Suku yang berpindah-pindah tempat tinggalnya Semi-modren perkotaan 13 Mekkah pada akhirnya menjadi pusat kegiatan agama disamping pusat perdagangan. Keberhasilan Abdul Mutthalib mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan keagamaan di Mekkah semakin memperkuat posisi suku Qureisy dan menghantarkan Mekkah mencapai puncak kejayaannya pada masa pra Islam. Kemajuan yang dicapai Mekkah, yang sudah menjadi negeri yang penuh dinamika, kaya, terbuka dan masyarakatnya hidup sejahtera, memberikan gambaran tentang kondisi dan kecenderungan masyarakat di mana Muhammad lahir dan tumbuh dewasa, yaitu pada saat menjelang akhir kepemimpinan Abdul Mutthalib. Para penulis Sirah tradisional menggambarkan situasi masyarakat saat Muhammad dilahirkan dengan sangat menyedihkan. Pertumbuhan beliau sejak masa kanak-kanak hingga menginjak dewasa digambarkan sebagai anak yatim yang dirundung malang dan derita kemiskinan, sematamata karena di dalam Al-Qur'an Allah berfirman: “Engkau (Muhammad) tersesat, maka Allah memberimu petunjuk; engkau serba kekurangan, maka Dia menjadikanmu berkecukupan” 10. Q.S. al-Dhuha:7-8. Padahal selama hidupnya, Rasulullah tidak pernah fakir dan tidak pernah miskin. Jadi, maksud ayat tersebut adalah bahwa beliau yatim sehingga diasuh oleh kakek kemudian pamannya. Ia akan tersesat jika bukan Allah yang menghindarkannya dari kesesatan dan segala macam bahaya, sebagai persiapan untuk mengemban tugas risalah. Beliau dianugerahi kekayaan melalui kegiatan berdagang kemudian diberi pangkat kenabian. Secara historis tidak ada bukti bahwa beliau fakir atau miskin. Pada masa mudanya, sebelum nikah dengan Khadijah RA beliau adalah pedagang sukses dan hidup berkecukupan. Hal ini terlihat pada sikap Khadijah mempercayakan usaha dagangnya kepada beliau. Berkat kejujuran dan pengalamannya, beliau sukses berdagang dan kekayaannya semakin bertambah. Setelah berkeluarga tidak pernah mengandalkan kekayaan Khadijah, bahkan usahanya tetap berlangsung mengikuti cara pedagang-pedagang senior Mekkah. Ungkapan-ungkapan Khadijah menenangkan beliau setelah menerima wahyu adalah bukti nyata mengenai hal ini. Khadijah berkata: "Demi Allah, Tuhan tidak akan pernah mengecewakanmu, engkau suka menolong kaum lemah dan kaum papa, memberi orang yang tak punya dan selalu berderma kepada orang yang tertimpa bencana". Ungkapan seperti itu adalah indikasi bahwa beliau adalah orang yang berkecukupan, sebab sekiranya hanya mengandalkan kekayaan Khadijah tentu yang tersebut terakhir tidak layak berkata demikian. Para penulis Sirah tradisional tidak mampu merenungkan makna yang terkandung di dalam ungkapan Khadijah tersebut. Tetapi lebih ganjal lagi uraian Encyclopedia Britanica yang menggambarkan Muhammad sebagai pemilik toko. Padahal, baik sebelum maupun sesudah dilantik menjadi Nabi, Muhammad tidak pernah memiliki toko, namun beliau termasuk pedagang senior kota Mekkah yang umumnya memiliki gudang tempat menyimpan stok barang kemudian melakukan transaksi jual-beli; baik di kediaman masing-masing atau di tempat-tempat tertentu di sekitar Ka'bah. Dalam pendekatan historis, kehidupan Rasulullah di Mekkah dibagi kedalam empat periode, masing-masing mengandung nilai sejarah bagi kaum muslim di setiap tempat dan waktu. Periode pertama, berlangsung sekitar dua tahun, dimulai sejak dilantik menjadi Nabi hingga kegiatan Dakwah di Darul Arqam. 10 Q.S Al Dhuha:7-8 14 Periode kedua, periode Darul Arqam dan berlangsung tiga tahun yang berakhir beberapa saat setelah Umar ibn Khattab memeluk Islam. Banyak yang beranggapan bahwa Umar memeluk Islam pada tahun ketiga kenabian, tapi penelitian yang tepat membuktikan hal itu terjadi pada tahun kelima, sedangkan yang memeluk Islam pada tahun ketiga adalah Hamzah ibn Abdul Mutthalib. Periode ketiga, kegiatan dakwah secara terang-terangan, berlangsung selama lima tahun, sejak keluar dari Darul Arqam sampai beliau hijrah ke dan dari Thaif, suatu periode yang penuh pergolakan dan pergelutan dengan Qureisy. Hijrah ke Thaif merupakan bukti bahwa beliau menaruh harapan lebih besar bagi pengembangan dan penyebaran dakwah di luar Qureisy. Periode keempat, dakwah di luar kota Mekkah; apakah dengan mengunjungi pemukimanpemukiman suku di sekitar Mekkah atau dengan menemui setiap pendatang ke kota Mekkah. Pada periode inilah terbuka jalur hijrah ke Madinah. Jumlah pengikut yang berhasil direkrut pada periode pertama terlalu sedikit untuk dicatat sebagai keberhasilan. Diantara mereka terdapat pemuka masyarakat seperti: Khadijah, Ali ibn Abi Thalib, Zaid ibn Haritsa dan Abu Bakar al-Shiddieq; terdapat pula golongan yang tidak mempunyai status sosial seperti Bilal, Khubab, Ammar ibn Yasir serta sejumlah orang-orang yang terpandang rendah di mata Qureisy. Mereka dihimpun oleh Rasulullah dan duduk sama-sama di suatu sudut Ka'bah mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an, menerima penjelasan-penjelasan mengenai dasar-dasar iman dan membaca ayat-ayat secara bersamaan dengan suara keras. Orang-orang Qureisy merasa tidak senang dengan adanya orang-orang yang mereka pandang lemah dan rendah itu duduk sama posisi dengan orang-orang terpandang dan pemuka masyarakat. Bagi mereka kala itu, tidak mengapa Muhammad menyerukan agamanya karena masalah agama bukanlah persoalan selama TuhanTuhan dan leluhur mereka tidak dijelek-jelekkan, tetapi gengsi Qureisy enggan mengakui golongan lemah dan rendah, duduk sama posisi dengan pemuka masyarakat, bahkan menurutnya, mereka tidak berhak duduk di tempat tersebut. Kala itu belum digunakan istilah muslim, tetapi pengikut Muhammad (atba' Muhammad) atau al-Shabi' (yang meninggalkan agama warisan dan menerima agama baru). Sebagian orang Qureisy tidak dapat menerima adanya sesuatu yang dinamakan wahyu. Mereka memperolokkan pernyataan Muhammad kalau beliau mendapat wahyu dan mencemoohkan dengan ungkapanungkapan yang penuh ejekan seperti kata mereka "Bocah keluarga Abdul Mutthalib menganggap dirinya mendapat ilham dari langit". Pelaksanaan ibadah-ibadah pun masih terbatas pada waktu-waktu tertentu, yaitu sekali shalat di waktu pagi dan sekali di waktu petang dengan menekankan pentingnya shalat di waktu fajar. Istilah shalat pada dasarnya berarti do'a memohon rahmat Allah SWT. Dari pemantauan Rasulullah terhadap masyarakat Qureisy, beliau cukup optimistis bahwa banyak orang yang berkeinginan menerima dakwahnya. Namun terhambat oleh teror dan ancaman serta cemooh para penentang jika pertemuan antara pengikutnya dilakukan di tengah keramaian terutama karena sulit melakukan komunikasi. Tatkala beliau berhasrat mencari tempat yang sesuai, sahabat muda yang bernama al-Arqam ibn Abi al-Arqam menawarkan kediamannya yang terletak di jalur al-Sofa'. Rasulullah dengan senang hati menerima tawaran tersebut diikuti oleh para sahabat lainnya. 15 Kegiatan dakwah selanjutnya berlangsung di kediaman al-Arqam dan hal itu dimulai sejak dakwah memasuki tahun ketiga. Suatu langkah yang memperlihatkan hasil positif, karena beberapa tokoh Qureisy berhasil diajak memeluk Islam berkat keahlian kader-kader Rasulullah seperti Abu Bakar yang mengajak Usman ibn Madz'un, Mush'ab ibn 'Umair dan Usman ibn 'Affan untuk datang menyatakan diri memeluk Islam di hadapan Rasulullah. Jumlah pengikut yang dapat dicatat selama periode Darul Arqam berkisar tujuh puluh orang. Mereka melakukan pertemuan-pertemuan rutin di Darul Arqam dengan bersama-sama membaca ayat-ayat al-Qur'an, mendalami dasar-dasar aqidah dan shalat berjamaah yang semuanya dipimpin oleh Rasulullah. Setahun kemudian, Hamzah ibn Abdul Mutthalib menyatakan diri memeluk Islam. Dengan demikian para pengikut Muhammad semakin terdorong untuk secara bebas dan terbuka melaksanakan kegiatan keagamaan. Maka dibawah pimpinan Abu Bakar berbondong-bondong menuju Ka'bah dan berkumpul di salah satu sudutnya kemudian membaca ayat-ayat al-Qur'an dengan suara keras. Merasa tidak setuju dengan kegiatan tersebut, orang-orang Qureisy membrontak dan ketika bentrokan fisik tak dapat dihindarkan, Abu Bakar terkena pukulan yang mengakibatkannya tak sadarkan diri. Kegiatan-kegiatan keagamaan selanjutnya kembali ke Darul Arqam. Pada penghujung tahun kelima Umar ibn Khattab menyatakan diri masuk Islam. Ia mendapat informasi bahwa adiknya, Fatimah dan suaminya, Said ibn Zaid ibn Nufeil telah memeluk Islam dan aktif mengikuti pertemuan-pertemuan di Darul Arqam. Seketika Umar naik pitam dan langsung menuju ke rumah adiknya tersebut. Sesaat sebelum menjejak pintu rumah ia mendengar Khubab ibn Irth mendengungkan beberapa ayat dari Surah Thaha. Sekonyongkonyong hati Umar tergetar dan amarah yang tadinya berkecamuk menjelma menjadi simpati. Langsung saja ia menemui Rasulullah di Darul Arqam dan menyatakan diri memeluk Islam. Dengan bergabungnya Umar ibn Khattab di Darul Arqam kaum muslim saat itu amat sangat bahagia. Mereka tidak perlu lagi merasa segan mengajakkan dakwah Islam secara terangterangan. Maka suatu pergolakan dan konfrontasi hebat pun telah dimulai antara kaum muslim dengan Qureisy yang merupakan periode ketiga, yang berlangsung lima tahun itu. Kita dapat melakukan periodisasi11 tahap-tahap dakwah di Mekkah secara tepat sebagai berikut: Dari sejak pelantikan menjadi nabi hingga kegiatan di Darul Arqam berlangsung selama dua tahun Kegiatan dakwah di Darul Arqam berlangsung tiga tahun (dari tahun ke-3 s/d tahun ke-5) Dakwah secara terbuka selama lima tahun (dari tahun ke-6 s/d tahun ke-10). Selama periode terakhir ini terjadi peristiwa-peristiwa besar. Rasulullah dengan penuh percaya diri melaksanakan tugas dakwahnya sementara menerima ayat demi ayat, surah demi surah alQur'an. Beliau berdakwah dengan penuh bijaksana dan pengajaran yang baik. Sebaliknya penduduk Mekkah menghadapi semua itu dengan perlawanan, tindakan-tindakan kejahatan dan penuh ingkar. Perlawanan tersebut dipimpin Abu Jahal dan golongan kaum mudanya, yang umumnya sebaya dengan Muhammad. Seringnya terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang berakibat fatal bagi kedua belah pihak mengganggu ketentraman kaum tua. Dari Thaif segera didatangkan 'Utbah ibn Rabi'a 11 Waktu dari penerimaan wahyu pertama 16 dan Al-Walid ibn al-Mughira untuk memimpin suatu upaya perlawanan yang lebih lunak dan diplomatis. Sesekali mereka meminta Abu Thalib, paman Nabi, agar membatasi kegiatan Muhammad. Setelah permintaan keempat kalinya, akhirnya Abu Thalib terpaksa meminta Muhammad agar menghormati kaum Qureisy dengan tidak mencela leluhur dan Tuhan-Tuhan mereka. Namun Rasulullah menolak dan menyatakan bahwa tiada kompromi yang boleh diajukan menyangkut masalah ketuhanan. Sabda beliau yang terkenal "Demi Allah, wahai pamanku, sekalipun mereka meletakkan matahari di samping kananku dan bulan di samping kiriku, namun tiada akan kutinggalkan tugas ini sampai aku berhasil atau hancur di dalam memperjuangkannya". Kenyataan bahwa Rasulullah tidak dapat dibujuk untuk meninggalkan dakwahnya telah menjadikan pemimpin-pemimpin Qureisy berpikir mencari cara lain seperti penindasan terhadap pengikut Muhammad yang berstatus lemah dan rendah (al-mustadl'afien) yang diantaranya adalah Bilal, 'Ammar dan Khubab. Kepada mereka Rasulullah menawarkan agar berhijrah ke Habsyah. Meskipun perjalanan ke Habsyah terlalu sukar namun pada tahap pertama ada sebelas lelaki dan empat wanita yang sempat berlayar kemudian diikuti kurang lebih tujuh puluh sahabat lainnya. Di sana mereka dengan tentram dapat melaksanakan kegiatan agama dan juga dapat membuka usaha dagang dengan baik. Menurut sementara anggapan, hijrah ke Habsyah berlangsung dua tahap, tetapi yang benar adalah bahwa hijrah tersebut bersifat ulang-alik. Itu sebabnya mereka dijuluki ashabul-hijratain (pelaku dua hijrah). Muhammad sendiri tetap tinggal di Mekkah bersama sejumlah sahabat senior antara lain Abu Bakar, Umar dan Hamzah. Sahabat yang tergolong kaya berusaha membebaskan pengikut yang tertindas dari statusnya sebagai hamba sahaja dengan menebus sejumlah bayaran kepada tuan yang memilikinya. Adalah Abu Bakar dan Usman yang dikenal banyak berjasa dalam hal ini. Dengan demikian sudah nyata bagi kaum musyrik keteguhan pendirian kaum muslim memegang aqidah dan kesiapan mengorbankan segala yang dimiliki. Ternyata Islam tidak segampang yang mereka bayangkan dan sudah menjadi tantangan yang harus diperhitungkan dengan menyiapkan segala potensi dan daya upaya untuk menghadapinya. Sementara itu ayat-ayat al-Qur'an yang turun semakin intensif menyerang animisme, kekufuran dan syirik serta mengajak untuk meninggalkan sikap-sikap dan perbuatan yang sia-sia menuju kepada keimanan yang utuh terhadap keEsaan Allah. Bagi mereka, Islam sudah merupakan ancaman yang membahayakan ideologi mereka, sistim kehidupan dan status sosial yang mereka nikmati sebagai elit penguasa dan pemiliknya. Perlawanan mereka beralih menjadi difensif demi mempertahankan status quo dari penetrasi ideologi baru dengan segala konsekwensinya yang tidak akan pernah menerima kompromi. Oleh karena itulah pemimpin Qureisy menggunakan kekerasan dan teror. Meskipun seluruh kekuatan sudah mereka curahkan untuk memberantas dakwah Islam namun tidak berhasil, karena Muhammad adalah Rasulullah dan para pengikutnya sangat teguh memegang pendirian, tabah menghadapi setiap ancaman dan cobaan terutama karena al-Qur'an selalu membekali mereka dengan keterangan-keterangan yang jelas. Di bawah pimpinan Rasulullah mereka mengajak ke jalan Allah dengan penuh hikmah dan pengajaran yang baik. 17 Memang, perjalanan dakwah mengalami hambatan tetapi Rasulullah telah memperjuangkannya dengan percaya diri dan tanpa pamrih serta tidak segan menghadapi berbagai macam tantangan. Kader-kader yang telah direkrut oleh beliau dengan sebaik-baiknya selalu dengan setia berjuang bersamanya. Adapun mereka yang hijrah ke Habsyah dapat dibagi kedalam tiga golongan : Pertama, kelompok pemuda Qureisy. Mereka adalah putra-putri keluarga aristokrat Qureisy yang memiliki kecerdasan tinggi, berbakat dan teguh dalam pendirian. Mereka bergabung kedalam dakwah atas keyakinan mendalam yang tak akan pernah tergoyahkan lagi. Termasuk dalam kelompok ini Abu Bakar, Ali ibn Abi Thalib, Hamzah, Abu Salamah, Usman, Umar, Said dan Ubeidah. Mereka inilah yang akan tercatat sebagai pahlawan-pahlawan terkemuka dan simbol perjuangan yang gigih dalam sejarah umat manusia. Kedua, kelompok pemuda dari kalangan rakyat biasa. Mereka masuk Islam dengan semangat tinggi penuh cita-cita akan dapat mengembangkan bakat dan memperoleh kesempatan berperan aktif dalam kehidupan sosial. Adalah tradisi jahiliyah bahwa putra kedua dan seterusnya tidak mempunyai fungsi dalam keluarga ketimbang anak sulung, sehingga mereka praktis menganggur dan menghabiskan waktu luang dengan memburu atau bersendagurau. Kejelian Muhammad dalam mengarahkan dakwah kepada mereka melambangkan keahlian seorang pemimpin. Termasuk dalam kelompok ini Mush'ab ibn Numeir dan Usman ibn Madz'un. Ketiga, kelompok kaum lemah (al-mustadz'afien) yang tidak mempunyai status sosial yang berarti dalam tatanan masyarakat jahiliyah. Mereka adalah korban eksploitasi dan perlakuan sewenang-wenang oleh elit penguasa Qureisy. Di antara mereka terdapat Bilal, Ammar, Khubab, Abdullah ibn Mas'ud dan Amir ibn Fuheira. Dalam Islam, mereka lalu mendapat persamaan kedudukan dan eksistensi yang memiliki hak-hak sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Dapat dikatakan bahwa keseluruhan pendukung pertama dakwah merupakan kaula muda. Umur Rasulullah sendiri baru menginjak 40an, sedangkan Abu Bakar lebih muda dua tahun. Maka tiada yang lebih tua dari Rasulullah kecuali Ubeida ibn Harits. Teror dan kekerasan Qureisy selanjutnya semakin menjadi-jadi, karena sudah tidak terbatas kepada Muhammad dan pengikutnya saja tetapi mencakup seluruh keluarga Abdul Mutthalib. Terjadilah boikot yang terkenal itu, di mana semua pihak yang mempunyai garis kekeluargaan dengan Rasulullah dikepung di kawasan yang dikuasai keluarga Abu Thalib. Seluruh jalur perdagangan ditutup dan tidak ada supply pangan. Kondisinya semakin menyedihkan saja ketika persediaan dan modal mereka terkikis dan terkonsumsi. Mereka terancam kelaparan karena boikot tersebut berjalan selama dua tahun. Jika bukan dengan campur-tangan al-Muth'am ibn Jubeir, seorang tokoh Qureisy, yang tidak setuju dengan kebijakan boikot, barangkali keluarga bani Hasyim dan Abdul Mutthalib akan punah. Pada itu kondisi kesehatan Khadijah juga semakin menurun. Selama perjuangan panjang yang membutuhkan ketabahan prima mendampingi suami telah mempengaruhi kesehatannya dan akhirnya wafat pada tahun ke-10. Pamannya, Abu Thalib yang bertambah tua juga menyusul pada tahun yang sama setelah dengan segala kemampuan yang dimiliki mendukung dan melindungi keponakannya, sekalipun tidak sempat menyatakan diri memeluk Islam. Rasulullah mendapatkan dirinya sebatang kara, tiada yang mengurus hidup keluarganya. 18 Hanya Ummu Hani, adik kandung Ali ibn Thalib yang membantu untuk mengurus dan mengasuh ketiga putrinya: Ruqayyah, Ummu Kaltsum dan Fatimah. Peristiwa isra' ke Bait alMaqdis dan mi'raj ke langit terjadi di kediaman Ummu Hani. Peristiwa isra' dan mi'raj itu sendiri adalah bagian dari kebesaran Muhammad yang telah melapangkan dada dan menambah kuat imannya di saat beliau sedang dirundung kesedihan dan dalam suasana yang seluruhnya memancing keputus-asaan. Keadaan ini tergambar dalam pembicaraan beliau dengan Ummu Hani sesaat setelah baru saja menjalani peristiwa tersebut. Beliau menceritakan seluruh pengalamannya kepada Ummu Hani yang tertegun dan tercengangcengang mendengarkan. Ia meminta Rasulullah agar tidak menceritakan hal itu kepada khalayak, khawatir mereka akan menaruh syak dan keraguan atau bahkan mendustakan. Tapi Rasulullah sudah memutuskan untuk menceritakannya kepada khalayak. Dan ternyata dugaan Ummu Hani benar adanya, karena para pengikut yang masih lemah imannya seketika meninggalkan Islam, namun yang imannya kuat seperti Abu Bakar tidak terpengaruh sedikit pun dan sejak itu Abu Bakar mendapat julukan al-Shiddieq; yakni sangat membenarkan apa saja yang dikatakan Rasulullah. Hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa isra'-mi'raj adalah bahwa peristiwanya terjadi pada saat penduduk Mekkah sudah menutup seluruh pintu harapan bagi Rasulullah dengan gerakan perlawanan dan terus-menerus mendustakannya. Allah ingin memperlihatkan betapa tinggi derajat Muhammad diantara para Nabi dan Rasul yang pernah diutus ke dunia. Itu sebabnya mengapa Muhammad mengimami mereka shalat di Bait al-Maqdis kemudian dimi'rajkan ke langit dimana dapat menyaksikan cahaya kebesaran Allah, bertemu dan bercakap-cakap dengan sebagian Nabi seperti Musa AS. Semua itu adalah mu'jizat yang dianugerahkan Allah kepadanya saat sedang menjalani cobaan paling berat, seakan-akan Allah berfirman kepadanya "Wahai Muhammad, mereka mendustakan dan melawanmu karena mereka tidak mengetahui derajat kemuliaanmu di sisi-Ku dan keistimewaan yang engkau miliki melebihi segenap Nabi dan Rasul bahkan melebihi segenap umat manusia". Kisah isra'-mi'raj kelak akan sangat berpengaruh dalam kesusastraan Arab dan Eropa. Ia akan berkembang menjadi rangkaian cerita yang memukau dan bernilai kreatifitas tinggi dengan keajaiban dan imajinasinya yang tidak pernah terputus. Suatu cerita dalam bentuknya yang final telah diterjemahkan kedalam pelbagai bahasa Eropa yang pengaruhnya dapat dilihat pada Divina Commedia karya Dante. Hal itu adalah pertanda nasib Islam yang baik, karena para pemuda yang tumbuh dalam didikan Rasulullah dan yang direkrut untuk mampu menghadapi segala macam tantangan dan cobaan dengan kesiapan berjuang tanpa pamrih, telah mampu menjadi pilar-pilar dakwah yang memimpin bangsa-bangsa di bawah bendera Islam. Jika Rasulullah telah berhasil meletakkan dasar-dasar bangunan umat Islam yang kokoh, maka para kadernya itulah yang berhasil mengembangkan dan memperluasnya. Misi pengembangan dan perluasan ekspansi Islam didukung oleh umur mereka yang panjang. Kesimpulan ini adalah bukti bahwa adanya pengikut dan pendukung pertama Rasulullah dari kaula muda bukanlah suatu hal yang kebetulan melainkan strategi dakwah Rasulullah yang berpandangan jauh ke depan. Kita tidak dapat menentukan secara pasti kapan peristiwa isra'-mi'raj terjadi, mungkin setelah Rasulullah kembali dari hijrah ke Thaif, tetapi yang jelas peristiwa tersebut terjadi setelah 19 wafatnya Khadijah dan Abu Thalib; dan yang terakhir ini terjadi pada tahun ke-10. Berarti setelah peristiwa isra'-mi'raj, Rasulullah masih akan tinggal selama tiga tahun lagi di Mekkah untuk mencukupkan periode Mekkah 13 tahun. Setelah pergolakan berjalan semakin memuncak sejak kaum muslim menggalakkan kegiatan dakwahnya di luar Darul Arqam, tidak terdapat harapan untuk perdamaian antara kedua belah pihak. Kaum musyrik telah mengatur basis pertahanan dan perlawanan yang beku dengan segala upaya untuk membatasi laju perkembangan dakwah Islam. Sedangkan kaum muslim di pihak lain sebagian besar telah berhijrah ke Habsyah. Menyadari bahwa perkembangan dakwah sangat lamban di Mekkah, maka Rasulullah berpikir untuk mencari tempat lain. Adalah ciri khas misi Muhammad yang merupakan keistimewaan tersendiri, tatkala Allah menggariskan dalam al-Qur'an seperti dalam firman-Nya "Kami (Allah) menjadikan kalian sebagai ummatan wasthan (menengah, moderat) agar menjadi syuhada (contoh) bagi segenap umat manusia"12. Kata syuhada dalam ayat tersebut adalah bentuk plural dari kata syahid yang berarti bukti, contoh dan model. Interpretasi13 historis ayat itu adalah Allah menjadikan kaum muslim sebagai bangsa atau golongan menengah dan moderat di antara bangsa-bangsa maupun golongan lain; tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin, tidak pula berasal dari satu kelompok dan tingkat masyarakat tertentu tetapi merupakan himpunan masyarakat yang majemuk dan plural. Sesungguhnya struktur sosial demikian itulah yang merupakan standar kehidupan manusia atau selayaknya begitu. Rasulullah adalah contoh dan tauladan yang baik. Dengan mencontoh Rasulullah berarti umat Islam seharusnya menjadi contoh dan tauladan bagi segenap umat manusia. Tak pelak lagi, bilamana umat Islam menyadari kedudukannya seperti itu tentu mereka akan tampil memimpin dunia. Sudah tentu Muhammad tiada akan disesali oleh siapapun jika tinggal diam di Mekkah dan merasa cukup dengan ibadah-ibadahnya, setelah segala cara ditempuh untuk menarik simpati penduduk Mekkah tidak ada yang berhasil. Tapi tidak demikian pribadi Muhammad dan sikap seperti itu tidak ada dalam kepribadiannya. Bilamana Mekkah telah menutup segala pintu harapan, maka dicari tempat lain. Beliau menaruh harapan pada penduduk Thaif. Dengan ditemani anak angkatnya, Zaid ibn Haritsa beliau berangkat menuju Thaif, namun tidak membuahkan hasil, karena kecenderungan penduduk yang terdiri dari keturunan tsaqief itu terlalu jauh untuk memikirkan aqidah atau agama. Mereka adalah pemilik-pemilik tanah yang subur dan produktif. Perjalanan hijrah ke Thaif memerlukan renungan oleh kita. Seperti telah disinggung terdahulu bahwa seluruh pintu harapan sudah tertutup di Mekkah. Sedangkan sepeninggal Abu Thalib kepemimpinan keluarga Abdul Mutthalib jatuh ke tangan Abu Lahab yang pada gilirannya tidak menunjukkan kesiapan untuk melindungi Muhammad sebagaimana Abu Thalib. Ini berarti bahwa Muhammad tidak mendapat perlindungan sukunya ketika meninggalkan Mekkah menuju Thaif. Dengan demikian tatkala kembali ke Mekkah beliau harus meminta perlindungan al-Muth'am ibn Jubeir yang pada gilirannya mempersyaratkan tidak boleh berdakwah di dalam kota Mekkah. Suatu kenyataan yang memaksa beliau mengarahkan dakwah ke luar kota. 12 13 Q.S Al Baqarah:126 Makna atau terjemahan 20 Abu Lahab sendiri sebelumnya telah menyatakan kesiapan melindungi dengan syarat yang agak lebih berat yaitu Muhammad harus meninggalkan dakwahnya yang segera ditolaknya. Sebab itu beliau pergi ke tempat lain. Sekembalinya ke Mekkah dengan tetap bertahan pada pendiriannya mengakibatkan beliau masuk kota Mekkah tanpa perlindungan kepala suku yakni; Abu Lahab. Adakah semua itu mengurangi semangat Muhammad? Tidak, sama sekali tiada indikasi yang menunjukkan keputus-asaan sedikit pun. Meski setiap hari ditemani Abu Bakar bepergian ke luar kota Mekkah mengajak suku-suku yang bermukim di sekitar Mekkah namun tiada membawa hasil yang berarti, akan tetapi Muhammad tetap Muhammad sebagai seorang pejuang yang tahan cobaan dan berani menghadapi setiap kesulitan. Kegiatan Rasulullah menemui setiap pendatang ke Mekkah untuk diajak masuk Islam tidak pernah terputus. Suatu saat mendapat informasi adanya delegasi golongan Khazraj dari Madinah yang datang ke Mekkah hendak memperoleh pakta pertahanan bersama dengan Qureisy, menyusul kekalahan mereka melawan golongan Aous, maka bergegaslah Rasulullah menemui mereka. Namun tidak mendapat respon positif bahkan pemimpin mereka memperlakukan beliau dengan tidak sopan. Hal yang sama dilakukan Rasulullah ketika giliran golongan Aous datang ke Mekkah. Adalah pertemuan pertama ini yang membawa banyak harapan karena di samping sebagian dari mereka sudah ada yang simpati kepada Islam, juga terdapat enam orang di antara mereka yang sudah bertekad memeluk Islam sehingga pada pertemuan-pertemuan selanjutnya lahir persetujuanpersetujuan bersama. Pertama dikenal dengan Bai'ah Aqabah I disusul yang kedua Bai'ah Aqabah II dimana tercapai kesepakatan: bahwa Rasulullah akan berhijrah ke Yatsrib14. Dan tatkala hijrah direalisasikan ternyata sambutan orang-orang Yatsrib terhadap kedatangan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya begitu hangat15. Di sini perlu dicatat bahwa bukanlah orang-orang Yatsrib yang datang mengetuk pintu Rasulullah hendak memeluk Islam, melainkan usaha beliau tak kenal lelah menemui setiap pendatang ke Mekkah. Ditambahkan pula upaya beliau mengutus Mush'ab ibn Umeir ke Madinah yang turut mempercepat terjadinya peristiwa hijrah ke Madinah mengawali periode Madinah yang akan kita bicarakan lebih lanjut. Untuk mengakhiri masa periode Mekkah beberapa renungan perlu diajukan. Periode Mekkah berlangsung kurang lebih 13 tahun. Jika kita membaca Sirah versi Ibnu Hisyam maka yang kita dapatkan adalah suatu perjalanan hidup yang penuh kesengsaraan, penderitaan, siksaan dan penindasan yang semuanya hanya akan memberikan kesan pesimistis. Pendekatan sejarah yang kami lakukan hendak merubah kesan tersebut dengan berupaya membangkitkan sikap yang optimistis. Kepribadian Rasulullah selalu melambangkan keagungan baik dalam penderitaan dan kesengsaraan maupun dalam kemenangan dan kebahagiaan. Sesungguhnya kebesaran seorang tokoh pejuang ditentukan oleh sikap mentalnya menghadapi segalam macam penderitaan ketimbang sikap mentalnya dalam masa kemenangan dan kejayaan. Apakah derita yang telah dialami Rasulullah selama periode Mekkah itu sedikit? Adakah sikap mental yang lebih besar dari daya tahan, keteguhan dan kerja keras yang dicontohkan Rasulullah selama masa periode Mekkah? Hal inilah yang perlu mendapat perhatian setiap muslim dewasa ini, terutama dalam menghadapi tantangan masa kini dan yang akan datang. 14 15 Madinah Sambutan dengan selawat Thala albaadrul alayna 21 Sebagai penutup, berikut disajikan jadual tahun terjadinya setiap peristiwa penting dalam periode Mekkah berdasarkan penanggalan Masehi: Tahun 610 M Peristiwa Pelantikan dan awal turunnya al-qur’an. 611 M Proklamasi dakwah dan kegiatan dakwah terbuka 613 M 615 M 615 M (penghujung) Dakwah memasuki periode Darul Arqam. Hamzah ibn Abdul Mutthalib menyatakan diri memeluk Islam. Upaya kelompok pengikut pertama melakukan kegiatan agama secara terbuka yang mengundang serangan kaum musyrik dan terjadi konflik fisik di mana Abu Bakar cedera. Umar ibn Khattab masuk Islam. Upaya kedua kelompok pengikut Muhammad melakukan kegiatan agama secara terbuka mengawali masa pergolakan panjang. Awal masa penindasan kaum mustadz'afien. Hijrah I ke Habasyah. 616 M Hijrah II ke Habasyah. 616 M 619 M 620 M Bani (keluarga) Hasyim dan Abdul Mutthalib diboikot. Berakhirnya masa boikot. Wafatnya Khadijah Wafatnya Abu Thalib. Hijrah nabi ke Thaif Terjadinya peristiwa isra'- mi'raj. Pertemuan I dengan orang-orang Yatsrib. 621 M 622 M 622 M 22 Pertemuan II dengan orang-orang Yatsrib dicapainya perjanjian Aqabah I. Pertemuan III dan perjanjian Aqabah II. dan Hijrah Rasulullah ke Madinah dan awal penanggalan Hijriyah 2. PERIODE MADINAH. Para penulis tradisional sangat antusias merinci mu'jizat Rasulullah; seperti yang dilakukan oleh al-Qadli 'Iyadl dalam karyanya al-Syifa fi al-Ta'rifi bi al-Musthafa, demikian juga Ibnu Hazm dalam karyanya Jawami al-Sirah. Mereka lalai bahwa setelah al-Qur'an, mu'jizat Rasulullah yang paling besar adalah kehidupan Muhammad itu sendiri. Bukti-bukti mengenai hal ini dapat disimak dalam Periode Madinah yang sedang dibicarakan. Dalam periode Madinah, melalui pendekatan historis akan diajukan uraian historis yang mendeskripsikan tahap-tahap perjuangan Rasulullah dan urgensi setiap kebijakan yang digariskan dalam setiap tahap dan motivasi serta hasil-hasil pelaksanaannya. Dan yang terpenting dari semua itu adalah nilai sejarah yang terdapat dalam setiap tahap kebijakan yang ditempuh. Rasulullah SAW tiba di Madinah pada pagi hari Senin tanggal 12 Rabi'ul Awal (12 September 622 M) dan wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi'ul Awal 11 H. ( 8 Juni 632 M ). Maka, menurut penanggalan Masehi, periode Madinah kurang dari sepuluh tahun. Periode yang sangat pendek menurut perhitungan masa di kala itu. Tapi justru dalam masa tersebut Rasulullah menyelesaikan misinya dengan hasil yang sangat gemilang dan spektakuler. Rasulullah, ditemani Abu Bakar, pertama kali menginjakkan kaki di Quba, salah satu kawasan pemukiman yang terletak di bagian selatan Madinah. Beliau memasuki suatu negeri yang belum pernah dikenalnya kecuali melalui informasi yang dikirim oleh Mush'ab ibn Umeir mengenai keadaan Madinah dan penduduknya setelah dicapai persetujuan Aqabah I. Ketepatan informasi yang dikirimkannya membuktikan bahwa keputusan Rasulullah mengutusnya bukanlah sembarang keputusan melainkan berdasarkan rencana yang matang. Yang dibutuhkan Rasulullah kini adalah pengenalan hal-ihwal Madinah lebih dekat dan menyeluruh karena di sini beliau akan membangun umat Islam. Umat Islam ialah kelompok muslim yang akan dipersiapkan untuk mengemban amanat Dakwah Islam. Jika masyarakat Madinah adalah masyarakat yang saling bermusuhan antara satu golongan dengan lainnya, maka tugas pertama yang segera dilakukan Rasulullah adalah mempersatukan mereka berdasarkan persaudaraan dan persahabatan di bawah naungan Islam dan demi tercapainya suatu tujuan yang sangat mulia, yaitu tersebarnya dakwah Islam di kalangan segenap umat manusia dan untuk sepanjang masa. Umat Islam akan berjuang tanpa menggunakan kekerasan pedang, tetapi dengan perdamaian, pengajaran yang berbudi dan tauladan yang baik. Kekerasan hanya dapat digunakan jika menghadapi lawan yang sengaja menabur rintangan bagi penyampaian pesan-pesan Islam kepada setiap orang. Bersikap keras bukan sebagai alasan untuk menyebarkan agama melainkan untuk melapangkan jalannya dakwah. Keberhasilan Rasulullah melakukan transformasi sosial yang hebat dan mena'jubkan itu, sangat ditentukan oleh rencana kerja yang sistimatis yang diperkuat dengan kader-kader pendukung dan penyebar misi yang berkualitas tinggi sehingga mereka menjadi basis perjuangan yang mampu merealisasikan pesan-pesan dan ketentuan Allah dengan tepat waktu dan penuh konsekwen. Maka sebelum Rasulullah wafat, umat Islam sudah tersebar di semenanjung Arab dan menjadi basis kekuatan ideologis dan militer yang belum pernah dikenal sebelumnya. Bagaimanakah semua itu tercapai tanpa ada rencana yang matang? Mengapa dapat dikatakan bahwa peradaban 23 manusia baru mengenal perencanaan di abad modern saja? Adakah bentuk perencanaan yang lebih sempurna selain perencanaan Muhammad SAW? Penekanan kepada adanya perencanaan Rasulullah ini amat penting karena umumnya penulis Sirah, baik tradisional maupun sebagian besar di abad modern, cenderung tidak menjadikan Sirah sebagai wahana pendidikan ketimbang mementingkan popularitas diri sendiri. Sebagian besar dari mereka berasumsi bahwa Muhammad SAW tiba di Madinah mendapatkan segala sesuatunya sudah teratur dan terorganisasi dengan baik serta siap berjalan di bahwa bendera Islam karena penduduk sudah menjadi muslim sejati. Guru kita Ibnu Hisyam berbicara panjang lebar tentang peperangan dan permusuhan antara penduduk Madinah sebelum Rasulullah hijrah, serta-merta saja berbicara tentang persatuan dan persaudaraan serta kesejahteraan hidup masyarakat Madinah sebagai akibat hijrah, tanpa menyinggung sedikitpun usaha-usaha dan ikhtiar Rasulullah demi mencapai sukses yang memukau itu. Padahal dalam sejarahnya yang panjang, bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang sangat individualistis dan egois. Permusuhan intern mereka melebihi permusuhannya dengan bangsabangsa lain. Bahkan pikiran mereka tidak mengenal adanya bangsa yang bersatu dan bekerjasama. Keadaan Madinah saat kedatangan Rasulullah belum merupakan ‘kota’ tapi hanya terdiri atas oase-oase yang tersebar panjang mengikuti gugusan bukit-bukit yang dikenal dengan gugusan bukit al-madinah. Kata Madinah berasal dari bahasa Suryani, midinta; yang berarti kawasan luas yang dihuni suatu kaum yang kondisi dan kepentingannya sama. Gugusan bukit-bukit tersebut diapit dua dataran tinggi al-bazilt (krikil-krikil hitam) terpisahkan oleh oase-oase antara lain quba, yatsrib, sineh, ratij, huseikah. Golongan-golongan masyarakat seperti Aous, Khazraj dan Yahudi masing-masing menguasai oase tertentu. Daerah kekuasan suatu golongan dibatasi dengan pagar yang mengitari tanah pertanian, peternakan dan pemukiman mereka. Antara satu daerah kekuasaan dengan lainnya terbentang kawasan luas yang belum digarap atau dihuni. Kawasan-kawasan itu pun terpisahpisah oleh telaga-telaga yang kering di musim kemarau dan menampung air di musim hujan, yang diantaranya adalah telaga mudzainab, rawa'um dan aqieq. Maka, di samping bagian-bagian gugusan bukit tersebut terpisah-pisah oleh kawasan luas antara satu daerah kekuasaan dengan lainnya juga telaga-telaga tersebut memisahkan bagian-bagian Madinah satu sama-lain. Ringkasnya, belum ada kota yang dinamakan Madinah. Yang menjadikan Madinah sebagai 'kota' adalah Rasulullah, maka dinamakan madinaturasulillah atas jasa-jasa dan jerih payah beliau mengalihkan gugusan bukit-bukit Madinah menjadi pusat kegiatan sosio-kultural, sosio-politik dan militer. Pada awalnya Rasulullah mendirikan Masjid yang berfungsi ganda; sebagai tempat ibadah dan juga sebagai pusat kegiatan sosial. Salah satu sudut masjid dijadikan sebagai kediaman beliau. Dari kelompok muhajirin16 dan al-anshar17 beliau mengangkat penasehat-penasehat ‘eksekutif’ yang akan dididik dan dilatih untuk memegang tonggak-tonggak kepemimpinan militer, politik dan kemasyarakatan. 16 17 Mujahirin adalah muslim Mekkah yang ikut berhijrah ke Madinah Al-anshar adalah muslim yang sudah ada di Madinah sebelum Baginda Rasulullah hijrah ke Madinah 24 Adalah kader-kader yang tampil pada perjanjian Aqabah II yang merupakan cikal-bakal penasehat-penasehat itu. Rasulullah memandang perlu dibangun jalan yang menghubungkan masjid dengan bukit sal'a di sebelah barat dan terealisasi dengan baik. Perlu dicatat bahwa dalam pembangunan jalan tersebut Rasulullah tidak sekedar memerintah, tetapi beliau ikut bekerja. Hal ini adalah satu di antara kepribadian Muhammad yang mengagumkan. Oleh karena sebelum menentukan suatu kebijakan, terlebih dahulu ada musyawarah. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah mengikat semua pihak. Maka sudah barang tentu tidak diperlukan lagi komando. Cukup dengan memulai sendiri lantas diikuti oleh jama'ah. Inilah salah satu aspek petunjuk dalam diri Muhammad yang banyak diabaikan penulis sejarah. Mereka menggambarkan Nabi sebagai seorang baginda yang bertitah dari atas singgasananya. Padahal kepribadian beliau sama sekali tidak demikian. Yang benar adalah seperti yang difirmankan Allah dalam al-Qur'an."Sesungguhnya kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad) sebagai suri tauladan, pemberi kabar gembira dan pembawa peringatan yang selalu mengajak kepada jalan Allah berdasarkan izin-Nya serta menjadi obor penerang (hidup umat manusia)"18. Rasulullah bukan petitah melainkan pembawa petunjuk, bukan pembawa perintah dan larangan melainkan pembawa kabar gembira. Sifat-sifat seperti inilah yang selayaknya menjadi contoh bagi kita dalam menjalankan urusan umat sebagai penerapan sunnah Rasul. Selanjutnya di sebelah timur terdapat sebidang tanah kosong dengan rerumputan berduri. Rasulullah ingin menjadikannya sebagai tempat pemakaman umum setelah diratakan. Kemudian dibangun pula jalan yang menghubungkannya dengan masjid. Dengan demikian sudah terdapat dua jalan utama yang memanjang dari timur ke barat. Selanjutnya dibangun lagi jalan utama yang menghubungkan quba' , di sebelah selatan dan oase suneh di sebelah utara. Tatkala penduduk membangun rumah di sepanjang dua sisi jalan-jalan utama tersebut Madinah mulai menampakkan diri sebagai suatu kota yang tertata rapih. Dalam perjanjian sebelumnya disepakati bahwa Rasulullah berhak sepenuhnya atas setiap tanah kosong di Madinah. Oleh karena itu beliau membagi-bagikan tanah kepada sahabat yang membutuhkan dengan syarat harus membangun rumah atau menggarapnya sebagai lahan pertanian atau peternakan. Ini mengakibatkan kegiatan membangun atau bercocok tanam menjadi marak. Dan dengan memfungsionalisasikan tanah-tanah kosong, kini antara satu oase dengan lainnya sudah saling bersambung. Cermati buku berjudul wafa' al-wafa, karya As-Samanhudi untuk mendapatkan data sejarah yang amat menakjubkan tentang pandangan Rasulullah yang jauh dan persepsinya yang tepat mengenai pentingnya suatu perencanaan. Analisa pula buku berjudul al-taratibul idariyah, karya ‘Abd al-Hay untuk memperoleh gambaran tentang strategi yang dicanangkan Rasulullah untuk merubah kehidupan Arab badui yang nomadis menjadi masyarakat yang beradab dan maju. Diantara pandangan Rasulullah yang amat berarti dalam hal ini adalah beliau sangat memperhatikan pentingnya stabilitas karena hubungannya yang erat dengan proses civilization19. 18 19 QS Al Ahzab:45-46 Peradaban (dalam hal ini yang sejahtera) 25 Dan salah satu makna hijrah adalah meninggalkan cara hidup badui (nomadisme) ke arah sistim kehidupan yang beradab. Ini adalah salah satu aspek pemikiran Raslulllah mengenai peradaban yang tidak pernah disinggung penulis sejarah. Di antara bukti-bukti mengenai ketepatan pandangan Rasulullah adalah beliau sangat memperhatikan urusan al-girasat, yakni kebijakan pertanian. Beliau selalu mendorong sahabatnya untuk bercocok tanam dan beliau menghargai ketekunan dan ketrampilan mengolah lahan pertanian. Jenis tanaman yang beliau prioritaskan adalah gandum, kurma dan buah-buahan. Sabdanya, “siapa menanam kurma di dunia niscaya akan memperoleh taman di surga”. Sekali waktu Rasulullah pernah menyaksikan seorang sedang menanam kurma dengan hati-hati sekali; menggali, meletakkan biji, menyiramnya kemudian menutup kembali dengan menggunakan tangannya sendiri. Demi menyaksikan hal itu beliau bersabda :”Tangan itu sungguh berberkah”. Rasulullah menghargai struktur tata kota yang baik. Ketika nyata bahwa salah satu jalan utama melintasi telaga muzainab dan menghambat kelancaran lalu-lintas Madinah, beliau segera mengusulkan kepada salah seorang insinyur yang pernah belajar di negeri Persia agar membangun jembatan dengan imbalan satu kavling tanah. Rasulullah menyenangi bangunan indah meski tidak perlu terlalu mentereng. Menyaksikan adanya sumur di pelataran rumah salah seorang sahabat, beliau mengusulkan perlu ada batako berikut bak air di sampingnya untuk diisi setiap hari. Dan supaya tidak tercemar kotoran, sumur dan bak air sebaiknya tertutup. Rasulullah mendorong etos kerja yang tinggi dan selalu memuji pekerjaan yang baik. Beliau sendiri adalah lambang dinamika yang tak kenal istirahat. Selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan, termasuk pekerjaan-pekerjaan di rumah sendiri seperti menjahit pakaian, membersihkan alas kaki, mencuci pakaian dan menyapu rumah. Tentu saja di sekelilingnya terdapat sahabat-sahabat yang bersedia mengerjakan semua itu tetapi Rasulullah ingin mendidik sahabatnya dengan memperlihatkan contoh dan memberi tauladan yang baik. Tatkala pada suatu hari beliau lewat di tempat ahlussuffah dan melihat banyak kotoran yang bertebaran di sekitarnya, beliau langsung memanggil Abu Dzar untuk mengambilkan sapu dan mulailah membersihkan tempat yang kotor tersebut. Menyaksikan hal itu, Abu Dzar berteriak menangis dan berkata “Demi Allah, Wahai Rasulullah, sia-sialah hidup kami jika paduka mengerjakan hal itu untuk kami”. Ia lalu mengambil sapu dari tangan Rasulullah kemudian memanggil kawan-kawannya, dan dalam sekejap tempat itu menjadi bersih. Saat itu Rasulullah berkomentar: “Beginilah cara hidup muslim yang sejati. Jangan biarkan kotoran bertebaran di sekitarmu”. Kediaman Rasulullah sendiri adalah lambang kebersihan. Beliau tidak tahan melihat sesuatu yang tidak bersih. Tidak senang pula terhadap penampilan yang tak rapih. Suatu kali Anas ibn Qatadah menghadap dalam pakaian kotor dan jenggot yang tidak dicukur rapih. Sebelum ia buka mulut, Rasulullah sudah mendahuluinya dengan teguran “Wahai Anas, bukankah kamu sudah mempunyai isteri yang memperhatikan dirimu? Jawab Anas: Benar, Ya Rasulallah. Kata Rasulullah lagi “Kembalilah ke rumah dan minta isterimu merapikan rambut-rambut itu, mandi dan tukar pakaian. Wahai Anas, kamu sebagai orang terpandang tidak pantas berpenampilan begini”. 26 Pada saat sedang dalam perjalanan hijrah ke Madinah beliau meminta kepada Abdurrahman ibn 'Auf agar membelikan pakaian baru buat beliau dan Abu Bakar yang akan dikenakan saat memasuki Madinah; dan agar ia menunggu di ambang quba' pada salah satu tempat yang sudah ditentukan. Sebelum memasuki quba' beliau mandi dan memakai pakaian baru, demikian juga Abu Bakar. Beliau ingin masuk Madinah dengan penampilan yang penuh simpatik. Dan ternyata orang-orang begitu terpukau dengan kebersihan pakaian Rasulullah bersama Abu Bakar. Mereka bahkan tidak mampu mengidentifikasi Rasulullah kecuali setelah melihat Abu Bakar memayungi beliau dari terik matahari. Mereka pun segera berbondong-bondong menyalaminya. Rasulullah sangat menghargai pribadi setiap orang sehingga beliau tidak pernah membiarkan orang mencium tangannya. Beliau duduk sebagai orang biasa dalam pertemuan-pertemuan. Sama sekali tidak pernah melukai hati dan perasaan seorang pun, justeru beliau memiliki tenggang rasa yang sangat tinggi. Beliau menjenguk orang sakit, ikut menyembahyangkan dan mengantar jenazah serta menghadiri acara-acara pernikahan. Hal-hal seperti itu beliau lakukan bukan sebagai basa-basi melainkan partisipasi yang tulus. Beliau adalah manusia paripurna. Pelayannya Anas ibn Malik bercerita bahwa "Rasulullah sama sekali tidak pernah menghardik seorang pun, tiada satu ucapan pun dari beliau yang melukai hati atau perasaan. Jika ada yang bersalah beliau cukup diam dan hal itu justeru lebih menyiksa". Kota Madinah adalah hasil karya dan berkat jerih payah Rasulullah. Beliau membangun peradaban Madinah dengan dasar-dasar moral Islam dalam bergaul dan bermasyarakat serta dengan sistim syura (permusyawaratan) dalam urusan politik. Sebelum meletakkan dasar-dasar syura, beliau memantapkan persatuan dan persaudaraan antara muhajirin dan al-anshar yang saling mencintai. Untuk pertama kali dalam sejarah, orang-orang Arab mengenal adanya suatu ikatan persaudaraan tanpa hubungan kerabat. Yang mereka kenal sebelumnya hanyalah balas dendam dan pertumpahan darah atas dasar fanatisme suku. Semboyan mereka adalah "tolonglah saudaramu baik dalam keadaan teraniaya maupun semenamena". Rasulullah merubah semboyan tersebut dengan mengulang-ulangi anjuran al-Qur'an: 'Beradalah di pihak yang benar dan bantulah yang benar walau dengan melawan dirimu sendiri'. Aisyah RA. amat tepat menggambarkan bahwa "akhlak Rasulullah adalah al-Qur'an". Maksudnya, akhlak Rasulullah adalah personifikasi dan refleksi keseluruhan ajaran dan anjuran al-Qur'an yang diterapkan pada diri Rasulullah dan tercermin dalam prilakunya. Rasulullah sangat peramah, beliau dapat saja membiarkan seseorang bersalah satu, dua sampai tiga kali. Jika tiba saatnya baru beliau mengarahkan dan meluruskan. Seorang sahabat bernama Salamah ibn Salamah ibn Waqsy yang berperangai banyak bicara dan tidak mengontrol ucapanucapannya. Dan hal itu tidak menyenangkan bagi Rasulullah. Sewaktu pasukan kaum muslim kembali dari perang Badr dengan kemenangan gemilang, penduduk Madinah menyambut mereka dan bertanya apa yang telah terjadi? Serta-merta saja Salamah bangkit menjawab “Ah, tiadalah yang kami lawan kecuali orang-orang jompo”. Di sini Rasulullah merasa perlu meluruskan, karena ucapan Salamah terkesan memperkecil nilai perjuangan yang telah dicapai. Beliau menegurnya :”Wahai saudara, mereka yang berperang melawan kita adalah pemimpinpemimpin Qureisy”. Seketika Salamah sadar, agaknya ada yang tidak berkenan di hati Rasulullah dan bertanya: seakan-akan paduka tidak senang padaku? 27 Rasulullah segera menghitung-hitung kekeliruan dan kehilafan yang pernah dilakukannya, sehingga Salamah merasa malu sendiri. Bahkan saudara kandungnya murka dan berhasrat menderanya tetapi Rasulullah meminta untuk dibiarkan. Sifat-sifat dan prilaku Salamah selanjutnya menjadi baik dan terkontrol. Dalam pergaulan, Rasulullah dikenal sangat berbudi luhur. Jika merasa bahwa dari perkataan atau perbuatan beliau ada yang menyakitkan seseorang, beliau segera menebusnya dan minta maaf. Ketika seorang wanita datang mengadukan perihal suaminya yang suka memukuli, Rasulullah langsung memanggil sang suami dan setelah menyelidiki beliau pun yakin bahwa sang suami menganiaya isterinya. Ditanyakannya: 'Maukah engkau menceraikan isterimu? karena banyak orang yang berhak mengawininya'. Ketika sang suami menyatakan masih cinta, Rasulullah menasehati: ”Perlakukanlah isterimu seperti aku memperlakukan isteriku, tiada seorang pun yang pernah aku pukuli, dan tiada satu ucapanku pun yang melukai hati mereka”. Sang suami menangis dan mohon maaf kemudian membawa pulang isterinya yang sangat bahagia karena sejak itu tidak pernah disakiti lagi. *** 28 “Batas-batas geografis negeri yang terdiri dari Madinah, pemukiman suku-suku yang ada di sekitarnya dan semua tempat pemukiman suku yang mengakui legalitas Piagam”. Dengan begitu wilayah kekuasaan Madinah bertambah luas setelah suku-suku yang bermukim di sekitarnya bergabung kedalam kelompok umat Islam. Undang-undang dasar itu juga menjelaskan hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat, sebagai jaminan keadilan, kesetiaan, ketentraman dan keamanan jiwa dan harta. Umat secara menyeluruh bertanggung jawab atas stabilitas dalam negeri. Ditegaskan : Kaum mu'min semuanya bersatu melawan setiap usaha yang mengancam keamanan dan stabilitas dalam negeri; Umat secara keseluruhan bertanggung jawab dalam membantu meringankan beban penderitaan anggota masyarakat; yang dililit utang dan yang menderita sakit. Umat bertanggung jawab menebus setiap anggota masyarakat yang kebetulan tertawan oleh lawan. Setiap kelompok masyarakat bertanggung jawab atas ketentraman internal masingmasing dan atas keamanan Madinah serta keselamatannya dari segala macam ancaman. Undang-undang mengakui kepemimpinan yang ada pada setiap kelompok masyarakat. Dasar pergaulan adalah kesetiaan. Allah akan menganugerahkan daya tahan bagi piagam ini selama ada kesetiaan. Apabila Madinah mendapat serangan, maka wajib bagi setiap anggota masyarakat berpartisipasi mempertahankannya, tetapi jika umat berperang di luar negeri maka tanggung jawab tersebut dibebankan kepada mereka yang mengajukan diri secara sukarela”. Meskipun undang-undang tersebut tidak mewajibkan kepada setiap anggota masyarakat untuk ikut berperang di luar negeri, namun atas dasar suka-rela, ternyata tiada yang menolak bilamana Rasulullah melimpahkan suatu tugas dan wewenang. Keseluruhan materi Piagam tersebut adalah merupakan nilai-nilai al-Qur'an yang menjelma menjadi kepribadian umat menggantikan kepribadian jahiliyah. Jika kepribadian jahiliyah membolehkan pembunuhan dan mengajak pertumpahan darah seperti yang terlihat dalam puisi dan sajak-sajak penyair 'Antarah, maka kepribadian Islam mengagungkan kasih-sayang, menanamkan sifat-sifat pemaaf, baik budi dan rasa kasih sayang terhadap anak-anak yatim serta perhatian kepada kaum tertindas. Keseluruhan nilai-nilai al-Qur'an telah dipraktekkan dan dicontohkan serta dijelaskan oleh Rasulullah, dan demikian itulah yang kita namakan sunnah; yakni akhlak, perbuatan dan sabdasabda Rasulullah. Dalam hal ini salah satu yang paling universal adalah sabdanya “Aku meninggalkan (sesuatu) yang jika dipegang teguh, kalian akan terhindar dari kesesatan; yaitu : Al-Qur'an dan Sunnahku". Dengan diberlakukannya Piagam, berarti masa perbudakan dan rasialisme telah berakhir bagi seluruh penduduk yang mengakui Piagam, termasuk kelompok-kelompok Yahudi dan orangorang munafik. Meskipun Rasulullah mengetahui sifat-sifat mereka namun tidak menindak kecuali jika ada yang mengacau keamanan. Beliau demikian berlapang dada menghadapi mereka dengan harapan mudah-mudahan akan terpetunjuk dan sadar. 29 Setiap kelompok masyarakat berhak menyelesaikan problema internal masing-masing, kecuali jika ada ancaman menyangkut umat secara keseluruhan, maka hak penyelesaiannya berada di tangan Rasulullah. Sejauh ini telah diajukan agak rinci namun tidak sistimatis sebagian dari materi-materi Piagam Madinah, yang walaupun merupakan undang-undang dasar bertaraf tinggi namun para ulama kita, terutama yang terdahulu, tidak mengkajinya secara seksama bahkan meragukan keasliannya hanya karena tidak memenuhi kriteria sanad ulama hadis. Barangkali -dan ini yang terpenting- mereka segan menuntut penerapan Piagam karena hak-hak umat tidak diakui oleh dinasti yang berkuasa, apakah umawi, abbasi ataupun dinasti dan pemerintahan lainnya. Kini, kita memandang perlu mempelajari kembali materi-materi Piagam tersebut karena ia sarat dengan topik-topik aktual yang berwawasan inovatif dalam rangka menegakkan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kemerdekaan dan pentingnya suatu konstitusi. Jika membaca uraian-uraian dan diskursus di sekitar sistim-sistim pemerintahan dewasa ini maka suatu pertanyaan yang muncul adalah mengapa persepsi kita demikan jauh dari apa yang telah dicanangkan al-Qur'an sejak empat belas abad lalu? Sebagian penulis populer senang mendengungkan bahwa Rasulullah berhasil mendirikan negara di Madinah dan beliau adalah kepala negara. Pernyataan demikian amat jauh dari kebenaran, karena Rasulullah bukan mendirikan negara melainkan membangun umat yang bersaudara dan saling menolong serta saling menghormati demi kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena itu di masa Rasulullah tidak ada lembaga-lembaga negara seperti lembaga eksekutif, legislatif dan semacamnya tapi ketentuan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah yang diterapkan oleh anggota masyarakat secara jujur dan konsekwen berdasarkan kesadaran hati sanubari. Mereka tidak memerlukan pegawai karena setiap anggota masyarakat mengetahui dan menyadari tugas dan kewajiban serta hak masing-masing; yang berarti jika mereka melakukan sesuatu apapun maka sebenarnya ia telah melayani dan menyenangkan diri sendiri. Rasululah adalah pengarah, pengayom, pemberi petunjuk dan penerang jalan kehidupan. Lebih keliru lagi asumsi yang menganggap Muhammad sebagai politisi, karena dalam politik selalu ada kesan tipu-daya, sedangkan hal semacam itu tidak boleh bagi seorang Rasul atau Nabi. Demikian juga sebagai panglima perang, karena panglima umumnya bertugas menghancurkan lawan, sedangkan Muhammad sebagai Rasul tidak pernah betujuan menghancurkan atau menewaskan lawan. Termasuk tidak boleh menjuluki Rasulullah sebagai diplomat, karena dalam diplomasi selalu ada kecenderungan tipu-muslihat, atau hipokrit20 bahkan dusta, sedangkan sifatsifat seperti itu tidak boleh bagi seorang Nabi. Jadi, yang lebih layak dan pantas ialah julukan yang diberikan Allah dalam al-Qur'an-Nya atau julukan yang ditetapkan oleh beliau sendiri; yaitu : al-Syahid yakni: contoh, bukti, tauladan, penunjuk jalan, pemberi kabar gembira yang mengajak kepada jalan Allah atas izin-Nya. Demikian itu adalah merupakan terminologi dari al-Qur'an sendiri dan dapat menjelaskan sifat dan fungsi Rasulullah. 20 Kemunafikan 30 Sesungguhnya kepemimpinan Muhammad berdasar kepada tiga azas yaitu: akidah, syari'at dan moralitas Islam. Dan berkat kepemimpinan beliau dengan sistim syura (permusyawaratan) dan sistim pendidikan dengan ketauladanan yang baik, telah berhasil menghidupkan dan membangkitkan kesadaran positif manusia yang merupakan dasar bagi bangunan suatu umat yang kokoh. Kesadaran positif yang telah menghantarkan masyarakat Madinah di bawah bimbingan Rasulullah, kepemimpinan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab serta sebagian masa pemerintahan Usman ibn Affan, ke arah keberhasilan yang gemilang. Mengenai kesadaran positif yang dimaksud ada satu contoh menarik. Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Peperangan selalu terjadi antara golongan Aous dan Khazraj21. Orang-orang Yahudi adalah penyuluh utama peperangan tersebut dengan mengadu domba mereka. Kekalahan yang diderita golongan Khazraj menyebabkan yang disebut terakhir mengadakan pendekatan kepada kaum Qureisy untuk memeperoleh pakta pertahanan bersama. Seperti disinggung sebelumnya, Rasulullah telah menggunakan kesempatan kunjungan mereka ke Mekkah untuk diajak masuk Islam tetapi mereka menolak. Hal yang sama dilakukan Rasulullah ketika giliran golongan Aous yang datang ke Mekkah dengan tujuan yang sama. Kepada mereka yang disebut terakhir ini Rasulullah berhasil mengadakan kontak pembicaraan dan memperoleh harapan akan mendapat dukungan. Suatu langkah yang akan menjadi titik awal dari kejayaan Islam. Bagaimanakah permusuhan yang sudah turun-temurun itu terhapuskan sehingga tiada pernah terdengar lagi sesudah Rasulullah hijrah? Kebijakan-kebijakan apakah gerangan yang ditempuh Rasulullah dalam melunakkan hati mereka yang sudah saling membenci sehingga dapat bersatu dalam satu ikatan persaudaraan yang dinamakan al-anshar? Bukankah kenyataan ini suatu bukti kehebatan Muhammad sebagai seorang pemberi petunjuk? Apakah dalam hal ini beliau perlu menggunakan konsep-konsep diplomasi atau politik ? Sungguh amat nyata bahwa tiada yang diandalkan oleh Rasulullah dalam mencapai semua itu kecuali kekuatan iman, kebesaran petunjuk dan kedalaman cintanya kepada manusia dan kepada kebaikan. Ironisnya, kedua golongan yang bermusuhan tersebut masing-masing datang ke Mekkah untuk memperoleh bantuan militer dari kaum Qureisy dalam rangka melanjutkan peperangan. Ketika salah satu kelompok-kelompok tersebut ditakdirkan bertemu dengan Rasulullah, mereka lantas tidak memikirkan perang lagi sebab ternyata Rasulullah membawa sesuatu yang belum pernah dikenal mereka, yakni cinta dan kedamaian. Dalam suatu pertemuan di quba', di kediaman sahabat Sa'd ibn Khaithama dan di hadapan Rasulullah, pemimpin Khazraj yang bernama As'ad ibn Zarara mengajak pemimpin kelompok Aous, Abu al-Haitham ibn al-Tihan untuk lebih memperkokoh perdamaian antara kedua golongan agar tidak terjadi lagi perselisihan untuk selama-lamanya. Bahwa semasa hidup Rasulullah perselisihan antara mereka tidak pernah muncul, memang merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah, tetapi hal itu tidak berarti bahwa benih-benih perpecahan sudah hilang sama sekali mengingat faktor-faktor perselisihan tetap ada selama manusia hidup dan dalam bermasyarakat. 21 Suku-suku di Madinah dan sekitar nya yang belum beragama Islam 31 Akan tetapi hidup dan bangkitnya kesadaran mereka untuk lebih mendahulukan kepentingan kesatuan dan persatuan serta kesadaran keislaman yang tinggi maka orang-orang tidak lagi memikirkan kepentingan individual maupun golongan tetapi kepentingan bersama. Yang menyebabkan kesadaran tersebut lahir dan hidup adalah kenyataan bahwa dengan menerapkan nilai-nilai Islam seperti yang diarahkan oleh Rasulullah mereka memperoleh ketenangan, stabilitas, keamanan jiwa dan harta serta kehormatan masing-masing. Memperjuangkan Islam berarti memperjuangkan suatu sistim yang menjamin kepentingan mereka sendiri. Kesadaran keislaman yang tinggi hanya dapat ditumbuh-kembangkan dengan membersihkan jiwa dan menjernihkan hati nurani, dan hal itu merupakan titik sentral ajaran dan pesan-pesan al-Qur'an. Di bawah bimbingan Rasulullah mereka melakukan pembersihan jiwa hingga nurani mereka bangkit menjadi daya kontrol setiap langkah dan perbuatan. Pada gilirannya menanamkan kesadaran bahwa kepentingan Islam adalah kepentingan mereka dan kemenangan Islam adalah kemenangan mereka secara bersama-sama. *** 32 Masalah lain yang perlu mendapat perhatian dalam konteks historis adalah mengenai isteri-isteri Rasulullah. Hal ini penting karena umumnya penulis Sirah kami nilai tidak berhasil menguraikan perkaranya secara utuh dan tepat. Akibatnya, hakekat sejarah berlalu begitu saja dan bahkan telah dieksploitasi oleh musuh-musuh Islam untuk menyerang Rasulullah. Para penulis klasik, mulai dari Ibnu Ishaq hingga al-Qadli 'Iyadl tidak berhasil menyelesaikan persoalannya secara memuaskan. Uraian Ibnu Ishaq terkesan serampangan seakan lahir tanpa reserve22. Ia menguraikan peristiwa yang aneh mengenai pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Gahsy. Dikisahkan: “Suatu hari Rasulullah mengunjungi Zaid ibn Haritha, sahabat yang juga merupakan anak angkatnya, yang kebetulan sedang tidak di rumah sementara isterinya, Zainab binti Gahsy dalam pakaian tipis. Melihat keadaan demikian Rasulullah merasa tergoda dan menolak masuk rumah lalu pergi sembari bergumam ‘Maha suci Allah yang mengalihkan kecenderungan hati’”. Demikian uraian Ibnu Ishaq yang kami nilai tidak logis dan akan kami buktikan sebentar lagi. Adapun versi al-Qadli 'Iyadl lain lagi. Karena agaknya ia menggunakan kesempatan untuk berbicara mengenai kejantanan Rasulullah yang menurutnya sekuat empat puluh lelaki. Kami menilai pandangan seperti ini amat bersahaja, tidak lebih dari pandangan seorang penulis yang hidup di abad 5 H. / 11 M. di mana semangat lelaki pada saat itu di Spanyol sedang mengalami kelemahan. Ia berupaya memberikan motivasi kepada generasinya dengan memberi kesan akan kejantanan Rasulullah. Pada dasarnya Ibnu Ishaq ingin menafsirkan ayat: "Dan engkau (Muhammad) menyembunyikan apa yang Allah hendak di tampakkan"23. Sesungguhnya yang benar dan tepat Zainab binti Gahsy ibn Ri'ab adalah sepupu Rasulullah, putri bibinya dari keturunan Bani Asad ibn Abdul 'Uzzay. Sedangkan ibunda Rasulullah Siti Aminah adalah keturunan Bani Zuhrah, sehingga ia dan adik kandungnya Halimah telah dikenal oleh Rasulullah sejak mereka masih kecil, bahkan Rasulullah mengenal baik keluarga Gahsy secara keseluruhan. Di antara mereka ada yang menjadi pelopor dan pahlawan Islam seperti Abdullah ibn Gahsy, Abu Ahmad ibn Gahsy dan Ubaidillah ibn Gahsy. Rasulullah biasa masuk rumah mereka seperti halnya masuk rumah sendiri. Umur Zainab sendiri jauh lebih muda dan termasuk putri-putri muda yang menjadi tanggungan Rasulullah. Maka sangat mengherankan jika Ibnu Ishaq menggambarkan seolah-olah Rasulullah baru pertama kali melihat kecantikannya.Kemudian ia (Zainab) tidak termasuk putri-putri cantik, karena tak seorang pun yang membicarakan kecantikannya seperti halnya mereka yang suka dipuji oleh para penyair. Bahkan Abu Umar Yusuf ibn Abdul Bar an-Numeiry dalam bukunya al-I'tishab mengatakan bahwa Zainab mengidap penyakit rahim yang menyebabkan haid tidak terputus. Sudah barang tentu Rasulullah mengetahui hal ini. Persoalan sebenarnya, berdasarkan data sejarah yang lebih akurat, adalah Rasulullah yang menjodohkan Zaenab dengan Zaid yang dahulu berstatus hamba kemudian dimerdekakan oleh Rasulullah. Perawakan Zaid dengan hidung pesek memang kurang menarik terutama bagi Zaenab, sehingga ia tidak mampu mencintainya. Ia menganggap pernikahannya dengan Zaid sebagai sesuatu yang menjatuhkan martabatnya. Di pihak lain Zaid juga tidak merasa bahagia 22 23 Cadangan Q.S Al Ahzab:37 33 dengan pernikahan itu, bahkan ia sering mengadukan perihalnya kepada Rasulullah dan beliau selalu menyabarkan hati Zaid dan mengharapkan agar tetap memelihara keutuhan perkawinannya. Ketika ternyata persoalan mereka tidak dapat diatasi lagi, Rasulullah hanya berharap agar Allah membebaskan Zaenab dari suaminya tanpa melukai hati Zaid yang cukup disayangi Rasulullah berkat keimanan, kejujuran dan loyalitasnya. Harapan itulah yang disembunyikan Rasulullah dalam hati dimana Allah menampakkannya dengan menurunkan ayat al-Qur'an yang membolehkan Rasul mengawini bekas isteri hamba sahajanya, sehingga hal itu akan menjadi jalan keluar, baik bagi Zaenab karena akan menjadi semacam kompensasi24 dari perkawinannya dengan orang yang dianggapnya lebih rendah, maupun bagi Zaid yang tidak merasa bahagia dalam rumah tangganya. Kenyataan ini adalah realitas sejarah yang data-datanya tidak digunakan oleh penulis tradisional karena visi mereka tidak menggunakan pendekatan ilmiyah, sehingga ketika para orientalis menguraikan masalahnya dengan mengandalkan riwayat Ibnu Ishaq tiada seorangpun di antara kita yang mampu menyanggahnya secara objektif. Coba perhatikan tulisan Heikal yang tidak lebih dari sekedar mengatakan bahwa kehormatan Rasulullah jauh lebih tinggi dari adanya kecenderungan tergoda oleh Zaenab yang sedang dalam pakaian tipis. Sebagai seorang muslim kita percaya bahwa Rasulullah tidak mungkin berbuat demikian tetapi bagi orientalis, apalagi yang membenci Rasulullah dan Islam tentu tidak akan mampu mencerna. Karena itulah kami menghimbau mereka yang berhasrat menulis Sirah agar membaca dan meneliti terlebih dahulu sebelum menuangkan kesimpulan. Hal itu akan lebih baik dari pada hanya sekedar mengulang-ulang yang sudah ada. Pendekatan yang kami tawarkan tidak puas dengan riwayat dan penumpukan data tetapi didasarkan kepada pemikiran, perenungan dan pertimbangan rasional sesuai dengan pendekatan dan logika sejarah. Kami memilah pendapat pendahulu yang layak untuk diterima dan dihormati. Oleh karena pendekatan emosional dan orientasi akhirat mereka menganggap bahwa kesempurnaan agama mengharuskan seseorang mengorbankan kebenaran demi memperoleh kepuasan perasaan, padahal hal itu tidak benar karena Islam adalah ilmu dan amal, jiwa dan raga, rasa dan nalar, dunia dan akhirat. Ada sementara anggapan yang mengatakan bahwa tujuan Rasulullah memperbanyak isteri adalah karena ingin mengambil simpati suku-suku Arab. Sesungguhnya asumsi tersebut amat jauh dari kebenaran. Meskipun perkawinan adalah ikatan suci yang dihormati dan dianjurkan dalam alQur'an namun tidaklah layak bagi seorang Muhammad melakukannya dengan tujuan politik. Buktinya, beliau tidak menikahi satu perempuan pun dari kaum al-anshar padahal secara politik kaum al-anshar lebih berhak untuk didekati. Rasulullah tidak pernah menikahi seseorang dengan tujuan menjinakkan suatu golongan atau suku. Muhammad SAW membangun kota Madinah sebagai satu kesatuan negeri yang terdiri dari oaseoase yang selama bertahun-bertahun saling berjauhan dan penduduknya saling bermusuhan. Dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, populasi penduduk Madinah bertambah lima kali lipat sejak Rasulullah Hijrah. Madinah lantas menjadi tempat tinggal ideal bagi orang-orang yang merindukan stabilitas keamanan dan keadilan serta berkah dan kesejahteraan hidup berdekatan dengan Rasulullah dalam merealisasikan ajakan al-Qur'an untuk berhijrah. 24 Ganti rugi 34 Meskipun populasi penduduk bertambah dan terus meningkat namun tidak pernah terdengar ada gangguan keamanan, atau problem perumahan ataupun kekurangan bahan-bahan kebutuhan. Bagaimanakah Rasulullah berhasil mengatur semua itu? Rasulullah meletakkan dasar-dasar pembangunan suatu umat yang kokoh berdasarkan kekuatan iman dan kearifan serta ketauladanan yang tinggi. Beliau tidak berupaya untuk memperoleh kekuasaan duniawi yang totaliter. Beliau tidak mempunyai pegawai ataupun lembaga tertentu yang mengatur pelaksanaan hukum seperti polisi yang menjaga keamanan atau penjara bagi pelanggar hukum. Bahkan di masa Rasulullah tidak ada sistim kemiliteran di mana ada panglima, gaji dan pangkatpangkat kemiliteran, rumah dinas dan lainnya, karena beliau menjadikan umat seluruhnya sebagai tentara yang siap siaga berperang memperjuangkan agama Allah. Terkadang beliau sendiri yang memimpin perang, tidak jarang pula mempercayakan kepada sahabat-sahabatnya yang terpilih dan dianggap ahli. Dan jika suatu misi militer berakhir maka panglima atau komandan yang ditunjuk kembali menjadi rakyat biasa. Dasar dari kebijakan tersebut adalah bahwa penguasa tunggal umat Islam adalah Allah. Mereka bekerja, berjuang dan berserah diri hanya kepada Allah, sehingga pemerintah adalah umat dan umat adalah pemerintah. Di sini tiada yang memerintah tiada pula yang diperintah tetapi umat memerintah diri sendiri di bawah arahan dan lindungan serta ketauladanan Rasulullah berdasarkan kesadaran hati sanubari yang lebih fungsional dalam mengawasi gerak-langkah seseorang lebih dari bentuk pengawasan lainnya Dan dalam memberikan ganjaran mental lebih pedih dan menyiksa dari bentuk ganjaran yang bersifat fisik. Tetapi ironisnya ada saja yang beranggapan bahwa Rasulullah membentuk negara Islam di Madinah dan bahwasanya beliau sendiri adalah kepala negaranya padahal jelas sekali bahwa penguasa umat Islam hanyalah Allah. Umat merealisasikan seluruh perintah agama, sehingga tidak membutuhkan perantara manusia. Asumsi mengenai adanya negara Islam sudah demikian populer dewasa ini sedangkan tidak ada fakta yang dapat memperkuatnya kecuali sebagai tradisi menerima peninggalan masa lalu; dan jika ilmu sudah menjadi tradisi maka ia akan mati. Al-Qur'an memberikan ketentuan mengenai lembaga yang mengatur urusan umat dan mengajak agar di antara mereka ada golongan yang selalu mengajak kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran. Maksudnya, masyarakat memilih sekolompok ahli yang mampu mengatur urusan umat di mana aturan, batas-batas wewenang dan masa jabatannya ditentukan oleh umat. Rincian mengenai pokok-pokok masalah yang amat penting ini dapat disimak pada Bab Kedua nanti. Kita tidak mengerti mengapa para penulis Sirah mengabaikan hal-hal tersebut padahal merupakan bukti nyata tentang kepribadian Muhammad dan keistimewaan sifat-sifatnya yang sengaja dijadikan Allah sebagai sifat-sifat manusiawi yang potensial untuk ditauladani. Sunnah Rasul bukan hanya sekedar perkataan dan keputusan Rasulullah melainkan lebih dari itu adalah tindakan dan prilaku beliau dalam segala aspek kehidupan. Perjuangan beliau yang secara spektakuler berhasil melakukan transformasi sosial Arab dari sistim badui (nomadisme) kepada sistim kehidupan yang maju dan beradab adalah inti dari sunnah beliau. 35 Rasulullah menangani masalah-masalah kehidupan dan menyelesaikannya berdasarkan pertimbangan yang tepat, pemikiran yang jernih dan pandangan yang jauh. Kelompok masyarakat yang hijrah ke Madinah oleh Rasulullah diberikan satu kavling tanah untuk tempat tinggal dan garapan pertanian atau peternakan. Pemuka sahabat menunjukkan kepada mereka cara membangun yang baik sementara mereka yang mendapat tempat di pinggir kota dianjurkan untuk beternak kuda atau unta. Untuk pertama kali mereka diberikan bantuan modal sampai keadaan mereka stabil. Dalam masyarakat Madinah tidak dibenarkan ada pengangguran. Rasulullah sangat tidak senang kepada orang-orang pemalas bahkan benci kepada pengemis kecuali jika benar-benar tidak mampu bekerja. Namun beliau mempersyaratkan agar para pengemis tidak berseliweran di tempat-tempat umum, biar masyarakatlah yang mengantarkan makanan untuk mereka. Pernah ditanyakan kepada Rasulullah makna ayat: "Dan janganlah menghardik pengemis"25 Beliau mengatakan pengemis ialah orang-orang karena cacat tubuh tidak mampu bekerja. Ini berarti bahwa seseorang yang tidak cacat tubuh dan mampu bekerja tidaklah beralasan untuk mengemis. Rasulullah pernah menegur beberapa orang dari kelompok ahlussuffah yang sudah merasa senang dengan berdiam diri mengandalkan bantuan orang, lalu beliau memerintahkan kepada mereka untuk mencari nafkah sendiri. Pindah kepada topik sejarah peperangan Rasulullah, yang menurut penulis terdahulu dan para ahli Hadis digambarkan sebagai rangkaian ekspedisi militer yang dilakukan Rasulullah secara reaksionil dalam rangka mengantisipasi serangan orang-orang Arab badui. Ibnu Hisyam misalnya, menceritakan tatkala Rasulullah mendapat informasi bahwa salah satu suku Arab sedang memobilisasi pasukan untuk menyerang Madinah lalu Rasulullah mengutus pasukannya untuk mendahului serangan mereka. Apakah hal ini berarti bahwa seandainya tidak ada ancaman beliau tidak pernah melakukan ekspedisi militer? Sebenarnya sejarah peperangan Rasulullah yang dikenal dengan nama al-maghazy bukanlah sekedar peperangan semata melainkan rangkaian kegiatan dakwah yang mencakup peperangan itu sendiri, ekspedisi militer dan utusan khusus untuk mengajak orang-orang masuk Islam, yang semuanya menjadi realisasi dari janji Allah akan kemenangan Rasul-Nya dengan turunnya ayat yang membolehkan kaum muslim berperang bilamana mereka diperlakukan lalim dan semenamena; sebagaimana QS: 22 al-hajj: 39 Al-Maghazy adalah rangkaian kegiatan yang tahap-tahap dan periodenya telah dicanangkan Rasulullah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang berikut cara-cara perealisasiannya sehingga pada tahun ke-8 H Mekkah sudah dapat menggabungkan diri kedalam umat Islam atau dibebaskan dari kekuasaan Qureisy. Dan jika rencana itu berhasil maka pada tahun ke-10 H semenanjung Arab sudah akan masuk Islam atau dikuasai Islam. Jadi, ekspedisi-ekspedisi militer mulai dari saef al bahr yang dipimpin oleh Hamzah ibn Abdul Mutthalib pada bulan Ramadlan tahun ke-1 H sampai dengan ekspedisi nakhlah pada bulan Rajab tahun ke-8 H bertujuan menguasai jalur perdagangan Mekkah-Syam agar ekonomi Mekkah hancur dan penduduknya tunduk tanpa perang. Intensitas penguasaan jalur perdagangan tersebut dilakukan Rasulullah sampai dicapainya perjanjian al-Hudaebiyah mengakibatkan ekonomi Mekkah lemah sehingga orang-orang Qureisy 25 Q.S Al Dhuha:11 36 menghabiskan modal mereka untuk biaya konsumsi , suatu indikasi bahwa Mekkah akan tunduk kepada Madinah. Disamping tujuan ekonomi ekspedisi-ekspedisi tersebut juga bertujuan untuk melatih para sahabat memimpin perang. Karena itulah pimpinan ekspedisi selalu diganti secara bergilir. Maka lahirlah figur-figur pemimpin yang tangguh seperti Hamzah ibn Abdul Mutthalib, Ali ibn Abi Thalib, Sa'd ibn Abi Waqash dan Abi 'Ubeida 'Amir ibn al-Jarah. Pada waktu yang sama sahabat-sahabat yang lain juga dilatih mengorganisasi kegiatan perang seperti dalam hal mobilisasi pasukan, pengaturan amunisi dan memonitor pasukan selama berada di tempat tugas termasuk menyantuni keluarga yang ditinggal. Tokoh-tokoh yang paling menonjol dalam urusan ini adalah Abu Bakar dan Umar. Mereka pada akhirnya menjadi ahli dalam bidang administrasi, organisasi dan pelayanan kesejahteraan prajurit dan mampu menjabarkan keinginan Rasulullah secara utuh, konsekwen dan memuaskan. Kiranya nyata bahwa ekspedisi militer bukanlah untuk mengantisipasi serangan suku Arab badui melainkan tujuan yang lebih mulia dan berwawasan lebih jauh ke depan. Ekspedisi militer nakhlah adalah pra perang Badr. Kondisinya sudah demikian memaksa untuk memperlihatkan kepada Mekkah akan kekuatan Madinah. Itulah sebabnya Rasulullah memberi petunjuk kepada pimpinan ekspedisi yang jatuh kepada Abdullah ibn Gahsy bahwa misinya tidak untuk masuk Mekkah dan hanya sampai di perbatasan karena tujuannya hanyalah untuk memberikan kesan kepada penduduk Mekkah bahwa mereka tidak akan pernah lepas dari pengawasan Madinah. Rasulullah memandang cukup dengan memberikan peringatan tersebut sehingga tidak menganjurkan untuk perang. Akan tetapi ternyata bentrokan militer terjadi di luar rencana sehingga menjadi keharusan Madinah untuk bersiap-siap memasuki perang besar-besaran dengan Mekkah. Kemudian terjadilah peristiwa perang Badr. Rasulullah, berdasarkan pandangan jauhnya, meramalkan akan terjadi perang karena yakin bahwa orang-orang Qureisy bersedia mempertaruhkan segalanya demi mengamankan kafilah dagangannya. Oleh sebab itu ketika sedang menuju Badr beliau memandang perlu memperbarui persetujuan para pengikutnya, karena banyak diantara mereka yang ikut, tidak bermaksud perang sehingga perlu diinformasikan adanya perkembangan baru; yakni akan terjadi perang. Hal itu beliau lakukan untuk memberi kesempatan kepada yang tidak siap perang untuk kembali ke Madinah, namun ternyata semua pengikutnya sepakat untuk perang dan berdasarkan kesepakatan tersebut Rasulullah memutuskan untuk perang. Ini adalah salah satu contoh betapa Rasulullah sangat memperhatikan asas musyawarah dan ketentuan konstitusional dalam mengambil keputusan atau menggariskan kebijakan. Sikap tersebut akan bertambah jelas ketika kita kelak menguraikan sejarah peperangan Rasulullah, almaghazy. Sudah tentu beliau berhak memerintahkan para pengikutnya untuk perang, tetapi beliau bukanlah diktator. Beliau lebih percaya kepada permusyawaratan yang kini kita namakan demokrasi. Contoh lain mengenai hal ini adalah sebelum disepakati perjanjian aqabah II beliau meminta pihak Madinah memilih 12 pemimpin sebagai wakil mereka dalam perundingan. Para penulis tradisional telah mengabaikan nilai sejarah yang terdapat dalam permintaan Rasulullah tersebut. Mereka hanya puas dengan mengatakan bahwa Rasulullah dalam hal ini 37 mengikuti tradisi Nabi Musa as. Dalam konteks ini juga sesampainya di Madinah Rasulullah berhak memberlakukan aturannya kepada penduduk Madinah berdasarkan persetujuan perjanjian, tetapi beliau tidak melakukannya. Beliau tetap meminta ada kelompok elit Madinah yang dipilih untuk membantu beliau menjalankan urusan-urusan umat. Contoh ketiga adalah pada perang hudeibiya. Tatkala beliau berhenti di kawasan hudeibiya yang merupakan ambang pintu Mekkah untuk mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya. Sementara itu beliau telah mengutus Utsman ibn Affan untuk mencari informasi mengenai keadaan kota Mekkah dan keinginan penduduknya. Keterlambatan Utsman kembali mengakibatkan tersebarnya isu bahwa ia sudah terbunuh dan seketika emosi kaum muslim meluap. Mereka mengharapkan dikeluarkan perintah Rasulullah menyerbu Mekkah. Kemungkinan akan pecah perang sangat besar, sehingga situasi telah berubah. Niat semula, rombongan datang ke Mekkah untuk menunaikan ibadah umroh, sehingga bekal persenjataan yang mereka bawa hanyalah beberapa pedang. Tetapi Rasulullah sudah melakukan antisipasi dengan membekali anggota rombongan dari suku khuza'ah yang berangkat paling akhir dengan persenjataan lengkap. Maka tatkala perang tidak dapat dihindari Rasulullah kembali mengajak seluruh pengikutnya bermusyawarah, barangkali di antara mereka ada yang tidak ingin perang. Rasulullah kemudian mengumumkan bahwa siapa yang tidak ingin perang boleh kembali ke Madinah tanpa dipersalahkan atau disesali. Namun tiada satupun yang menyatakan hasratnya untuk kembali ke Madinah; berarti ada kesepakatan untuk ikut perang. Akan tetapi karena sikap konstitusionalnya dan penghargaannya kepada asas musyawarah, Rasulullah tidak merasa cukup dengan kesepakatan (implisit) tersebut. Beliau lebih jauh mengajak para sahabatnya untuk sama-sama menyatakan bai'ah (tekad bulat) sehingga lahir bai'ah ridlwan yang terkenal itu; di mana setiap sahabat satu-persatu menyatakan sikapnya untuk ikut perang. Selanjutnya datang utusan kaum Qureisy dibawah pimpinan Shafwan ibn Umaiyah kemudian, seperti yang kita ketahui, berlangsung perundingan panjang yang sempat membuat Umar ibn Khattab naik pitam, karena ulah Shafwan ibn Umayah yang tidak menyetujui kata ‘Rasulullah’ dicantumkan dalam redaksi perjanjian. Ia merasa cukup dengan ‘Muhammad ibn Abdullah’. Tetapi Rasulullah mementingkan yang lebih baik dan beliau dengan lapang dada memenuhi kemauan Shafwan karena beliau yakin bahwa bagaimanapun Allah dan Rasul-Nya jua yang akan menang. Perjanjian perdamaian al-Hudeibiya akhirnya tercapai juga. Kaum muslim yang berhaluan ekstrim tidak puas dengan perjanjian itu karena ambisi ingin menyerang atau menyerbu Mekkah. Dalam pertimbangan Rasulullah Mekkah tidak selayaknya diserang atau diserbu berhubung di dalamnya terdapat Ka'bah dan merupakan tanah suci. Di samping itu tokoh-tokoh Mekkah cukup potensial untuk pengembangan Islam sehingga amat ideal jika Mekkah ditundukkan dengan jalan damai. Lebih dari itu dalam pandangan Rasulullah Mekkah belum saatnya masuk Islam karena para pemimpin dan pemuka masyarakatnya masih hidup dalam impian lama sebagai penguasa Mekkah yang kuat. Maka dengan perjanjian perdamaian, arus komunikasi dan hubungan bilateral antar kedua negeri semakin lancar; dan hal itu memberikan kesempatan lebih banyak 38 bagi penduduk Mekkah untuk memeluk Islam sehingga mulai tahun ke-6 sampai dengan tahun ke-8 H hampir seluruh penduduk Mekkah sudah memeluk Islam. Itu sebabnya dikatakan bahwa Mekkah tunduk pada saat ditandatanganinya perjanjian al-Hudeibiya. Yang lebih menarik dalam strategi Rasulullah adalah meskipun beliau sudah yakin Mekkah akan menyerah dalam jangka dua tahun, namun beliau tetap melakukan antisipasi sehubungan dengan kemungkinan Mekkah dapat menjalin kerja sama dengan suku Ghathfan, yang berdasarkan pengalaman dari perang Khandaq, merupakan mitra orang-orang Qureisy. Suku ghathfan yang dikenal berpengaruh luas dan cukup diperhitungkan, oleh Rasulullah berusaha diisolasi dari Mekkah. Sebagaimana lazimnya sistim kehidupan di padang pasir, suku ghatfan tidak dapat bertahan hidup tanpa mengandalkan pusat perdagangan di sekitarnya. Adalah kota Khaibar dalam hal ini, di mana suku ghatfan menggantungkan diri, baik dalam hal melestarikan kekuatan, menjual hasil-hasil usaha maupun dalam hal membeli barang-barang kebutuhan konsumsi. Strategi Rasulullah adalah menguasai Khaibar agar ghatfan hanya mengandalkan Madinah yang saat itu sudah menjadi pusat perdagangan terbesar di semenanjung Arab. Demikianlah beberapa contoh kami ajukan guna meyakinkan para pembaca bahwa kita perlu menelaah kembali Sirah Nabi dengan pendekatan baru agar perjalanan hidup Rasulullah betulbetul menjadi obor penerang jalan bagi perjuangan kaum muslim di setiap tempat dan waktu. Cukup sampai di sini penulis menjelaskan bagaimana pentingnya pendekatan sejarah dan besarnya hasil guna yang dapat diperoleh jika melalui pendekatan sejarah kita mampu memahami Sirah dan menangkap subtansi historisnya. Pelbagai dimensi Sirah yang tadinya masih samar-samar kini sudah bertambah jelas, seperti kesimpulan kita mengenai al-maghazy sebagai suatu kesatuan peristiwa-peristiwa sejarah yang secara historis saling mengikat satu sama lain. Pendekatan sejarah, sekali lagi, tidak mengurangi nilai pendekatan emosional keagamaan, karena ia akan mempertinggi rasa keagamaan dan mengembangkan kesukaan membaca Sirah. Tetapi pendekatan sejarah memiliki keistimewaan karena di samping berdialog dengan hati juga berdialog dengan akal sehingga tujuan yang akan dicapai dari pelajaran Sirah diusahakan seefektif dan sesempurna mungkin. 39 BAB. 2 TURUNNYA WAHYU, AWAL PERJALAN KENABIAN DAN RISALAH. 1. DARI MIMPI YANG NYATA HINGGA PERISTIWA GUA HIRA Uraian berikut ini amat serius, sebaiknya seseorang membacanya dalam keadaan tenang dan menyendiri agar dapat menyimak rincian-rinciannya. Kita akan membicarakan bagaimana seorang Muhammad ibn Abdullah beralih dari seorang manusia biasa menjadi seorang Nabi yang dipilih lalu diutus oleh Allah SWT untuk mengemban risalah atau suatu misi dengan membawa al-Qur'an bagi umat manusia. Kita akan memantau dari dekat kelahiran Islam bersamaan dengan proses peralihan itu. Meskipun peristiwa peralihan tersebut amat penting dan sangat unik, namun tiada seorang pun mempelajarinya secara baik. Peristiwa turunnya wahyu kepada Muhammad adalah spesifik karena dalam kisah Nabi-Nabi dan Rasul, baik dalam kitab Perjanjian Lama (Bible) maupun dalam tulisan-tulisan Injil bahkan tulisan-tulisan para pemimpin Gereja; dari Paulus hingga St. Augustine, tiada satupun yang kita dapatkan mengurai secara jelas dan terpercaya mengenai turunnya wahyu kepada seorang Nabi atau Rasul, sebelum Muhammad. Sangat disayangkan bahwa tiada seorang pun dari penulis Yahudi yang dapat menguraikan kepada kita bagaimana proses peralihan seseorang menjadi Nabi lalu menjadi Rasul. Musa AS. menurut pandangan Yahudi dilahirkan dalam keadaan Nabi. Uraian seperti itu tidak memberikan pengetahuan mengenai proses pengangkatan seseorang menjadi Nabi. Hal yang sama berlaku dalam agama Kristen. Mereka bahkan menutup-nutupi perkara kenabian Isa al-Masih, menyusul perobahan-perobahan yang dilakukan oleh Paulus dalam memodifikasi ajaran-ajaran agama Kristen. Di samping itu Isa al-Masih dilahirkan dalam keadaan Nabi dan telah memperlihatkan mu'jizat dapat berbicara sedang dalam keadaan masih bayi, sehingga tidak mengalami prosesi pengangkatan sebagai Nabi atau Rasul, bagaimana jalannya proses itu sendiri dan apakah pengaruh yang terjadi bagi aspek-aspek fisik, psikologis dan suasana batin pada diri manusia dalam menjalani suatu transformasi spiritual yang maha hebat seperti yang dialami Muhammad. Jadi, Nabi Muhammad adalah satu-satunya dalam sejarah, yang secara ilmiah dapat memberikan gambaran tentang tahap demi tahap beserta pengaruh yang terjadi dalam dirinya dari seluruh rangkaian pengalaman kenabian tersebut. Layak kita sebutkan di sini bahwa proses yang mengagumkan itu tidak terbatas pada saat turunnya wahyu di Gua Hira, karena sebelumnya beliau telah menjalani beberapa tahap pengembangan diri dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Adalah sangat menguntungkan bahwa dalam pernyataan-pernyataan Muhammad SAW mengenai apa yang dialami selama proses pengangkatannya cukup jelas dan eksplisit. Beliau menggambarkan bagaimana perubahan-perubahan terjadi dalam dirinya tanpa diketahui dari mana asalnya. Oleh karen itu perasaan-perasaan takut, resah dan bingung silih berganti menyelimuti dirinya sampai yakin betul bahwa beliau telah dipilih oleh Allah SWT untuk mengemban misi Ilahi. Untuk memberikan gambaran mengenai apa yang akan kami uraikan dalam studi ini, ada baiknya -sebagai bahan perbandingan- mengutip uraian peristiwa turunnya wahyu sebagaimana 40 yang tercatat dalam buku Muhammad karya Husein Heikal sebagai buku Sirah yang terpopuler dewasa ini. Diriwayatkan “tatkala Muhammad sedang tidur suatu hari di dalam gua hira beliau kedatangan malaikat membawa suatu lembaran lalu menyuruhnya membaca, Muhammad menjawab: apa yang aku baca? Terasa malaikat seakan mencekiknya kemudian melepaskan dan menyuruh lagi membaca yang dijawabnya seperti semula: apa yang kubaca? Terasa malaikat seakan mencekiknya lagi kemudian melepaskan dan menyuruh membaca. Dijawabnya dalam keadaan takut untuk dicekik lagi: apa yang aku baca ? Malaikat berkata : “ Bacalah dengan nama Tuhanmu yang maha Pencipta; Dia Menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah, Tuhanmu maha Mulia; Dia yang mengajarkan menulis; Dia yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui”26 Kemudian beliau membaca ulang dan malaikatpun beranjak pergi, sedangkan ayat-ayat tersebut telah tercatat di hatinya”. Demikian Heikal menguraikan peristiwa turunnya wahyu kepada Muhammad tanpa berupaya mempertanyakan apakah Muhammad benar dalam keadaan tidur ketika malaikat datang? Bagaimanakah bentuk lembaran di tangan malaikat? Lalu tangan apakah gerangan yang terasa seakan mencekiknya. Jika Muhammad adalah seorang ummy27 yang tidak dapat membaca dan menulis, mengapa justeru malaikat datang membawa lembaran? Apakah benar Muhammad mengatakan apa yang kubaca? Apakah maksud pertanyaan ini jika beliau tidak dapat membaca? Sebenarnya, dalam versi lain diriwayatkan bahwa Muhammad tidak bertanya apa yang kubaca tetapi menyatakan "aku bukan pembaca"; dan riwayat tersebut kami nilai lebih logis. Kemudian apakah makna pembacaan itu sendiri? Apakah pembacaan yang kita kenal ataukah bermakna mengulangi tilawahnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak pernah terbetik dalam benak Heikal, padahal amat penting mendiskusikannya, bahkan seseorang akan mendapat kesenangan tersendiri saat merenungkan dan menghayatinya. Secara intelektual Heikal dapat dimaafkan karena ia bukanlah sejarawan, bukan pula peneliti sejarah melainkan sastrawan yang memiliki gaya tersendiri. Maka wajar jika memformulasikan Sirah sesuai dengan gaya sastra yang dianutnya. Hal yang sama berlaku bagi sastrawan dan pujangga lainnya seperti Taha Husein, Akkad dan lain-lain yang memiliki apresiasi tinggi dengan daya nalar kuat. Karya-karya mereka dalam bidang Sirah telah memperkaya kesusasteraan, namun tidak dapat dianggap sebagai karya ilmiah terutama dari sudut pandangan disiplin ilmu sejarah. Berdasarkan penelitian sejarah, kami dapat menegaskan bahwa sesungguhnya pengalaman Muhammad dalam menjalani masa-masa peralihan dari manusia biasa menjadi Nabi sangat panjang. 26 27 Q.S Al ‘Alaq:1-5 seorang yang tidak pernah mengalami pendidikan akademis 41 Bermula dari sejak usianya menghampiri 40 tahun, di mana beliau dipersiapkan secara psikologis untuk mengemban tugas kenabian yang oleh Ibnu Katsier dikatakan bahwa “perkara kenabian itu berlanjut melewati masa fatrah yakni masa-masa terputusnya wahyu, sampai turunnya surah al-Muddatstsir, yang berisi perintah untuk bangkit memberi peringatan, mengagungkan Tuhan, membersihkan pakaian, menghindari kejahatan dan berbuat tanpa pamrih. Demikian itu makna ayat-ayat pertama surah al-Muddatstsir. Di kala itu hati dan jiwa Muhammad mulai stabil dan tenang. Beliau telah yakin dengan apa sebenarnya yang dialaminya; dengan penuh percaya diri bahwa Allah telah memilihnya untuk suatu tugas dan misi yang maha agung, maka beliau bangkit merealisasikan perintah Allah melewati episode-episode Sirah selanjutnya. Adanya proses peralihan Muhammad dari manusia biasa menjadi Nabi dan Rasul sebagai satu kesatuan dalam suatu proses panjang seperti telah disinggung di muka, mengundang kajian lebih lanjut. Mengapa demikian, karena riwayat-riwayat yang menguraikan peristiwa peralihan tersebut amat bervariasi dan berbeda-beda. Ironisnya, riwayat tersebut berasal dari sumber-sumber yang handal dan diterima oleh mayoritas ahli Hadis seperti at-Thabary, al-Baladzary, al-Ya'qubi dan yang sederajat. Namun setelah melakukan pengecekan seksama ternyata mereka hanyalah kolektorkolektor riwayat yang menulis apa saja yang mereka terima tanpa reserve. Justru kita menemukan sorang ahli Hadis dan sejarawan yang lahir kemudian bernama Abu 'Amr Yusuf ibn Abdul Bar al-Numeiry, jauh lebih mendalam pemahamannya dibandingkan dengan mereka. Sungguh ringkasan Sirah yang ditulisnya sebagai pengantar al-Isti'ab adalah kitab Sirah yang paling bernilai meskipun sangat simple. Hal yang sama berlaku bagi 'uyun al-atsar karya Ibnu Sidinnas. Barangkali, yang lebih layak dipercayai dalam hal ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam kumpulan Hadis-hadis shahihnya yang merupakan induk segala buku Hadis dan buku sejarah yang menguraikan Sirah Rasulullah. Oleh sebab itu kita akan memilih salah satu riwayatnya yang lebih sesuai dengan logika sejarah, sebagai riwayat standar yang kita andalkan, selanjutnya dapat ditambah dari berbagai sumber untuk menyempurnakan gambaran yang akan kita jelaskan. Berikut riwayat Imam Bukhari berdasarkan isnad28nya dari Hisyam ibn 'Urwah dari ayahnya dari Aisyah RA. Hadis ini kami pilah-pilah menjadi beberapa paragraf untuk memudahkan analisis. “Berkata Aisyah RA. : 1. Pertama kali Rasulullah berhubungan dengan wahyu melalui mimpi benar dan nyata ibarat menyaksikan fajar menyingsing; 2. Kemudian beliau merasa senang melakukan khalwat (menyendiri) selama berhari-hari di Gua Hira hingga perbekalannya habis, lalu kembali ke Khadijah mengambil bekal untuk hari-hari berikutnya; 3. Sedang berada di Gua Hira kebenaran datang kepadanya berupa malaikat yang menyuruhnya membaca. Beliau bersabda:“Jawabku, bukanlah aku seorang pembaca”. Beliau bersabda: “malaikat itu merangkul dan memeluk tubuhku hingga merasa tak berdaya, kemudian melepasakan dan menyuruh membaca, aku jawab: “bukanlah aku seorang pembaca”, lalu malaikat itu merangkul dan memelukku lagi seperti semula hingga merasa tak berdaya, kemudian melepaskan dan menyuruh aku membaca; “aku 28 SemacamWisuda/kelulusan/sandaran 42 4. 5. 6. 7. jawab bukanlah aku pembaca” lalu merangkul dan memelukku lagi kemudian melepaskan dan berkata :"Bacalah dengan nama Tuhanmu....."; Dengan hati bergetar, bahkan dengan tubuh menggigil Rasulullah kembali ke rumahnya mendapatkan Khadijah dan meminta untuk diselimuti. Kemudian setelah perasaannya kembali reda beliau menceritakan kepada Khadijah apa yang telah terjadi dan bersabda :"Aku sangat cemas". Khadijah menenangkan dan mengatakan: Tidak, Demi Allah, Tuhan tidak akan pernah mengecewakanmu; Sesungguhnya engkau tiada pernah mengabaikan silaturrahim, tidak pernah memutuskan hubungan kekeluargaan, engkau suka mengatasi persoalan yang dihadapi oleh orang lain, engkau adalah penyantun bagi yang tak punya dan selalu memuliakan tetamu serta selalu berlapang dada menghadapi setiap cobaan" Maka Khadijah mengantar beliau menghadap sepupunya, Waraqah ibn Noufal yang sudah sepuh dan daya penglihatannyapun sudah melemah. Waraqah adalah pengikut agama Nasrani dan banyak menulis kitab Injil dalam bahasa Ibrani. Khadijah meminta kepadanya untuk mendengarkan berita peristiwa yang terjadi pada diri Rasulullah. Setelah mendengarkan kisahnya yang langsung dari Rasulullah sendiri dengan tenang Waraqah berkata: "sesungguhnya ini adalah kabar gembira yang telah disampaikan Allah kepada Nabi Musa as. Oh ! seandainya aku masih kuat aku akan membantumu. Semoga aku panjang umur dapat bersamamu tatkala kaummu mengusirmu. Rasulullah bertanya: Apakah mereka akan mengusirku? Jawab Waraqah: ya, karena tiadalah seseorang mengemban tugas seperti yang telah dipercayakan kepadamu kecuali diperangi. Dan jika aku masih hidup aku berjanji akan mendukungmu sepenuhnya. Tetapi segera setelah itu Waraqah wafat dan wahyu pun terputus.” Sisa uraian peristiwa yang menentukan itu kita dapat temukan di berbagai riwayat lain, namun yang lebih dekat kepada logika sejarah adalah riwayat Bukhari . Tiba saatnya menganalisis pengalaman Rasulullah tersebut. Perlu dicatat bahwa apa yang diuraikan di sini adalah erat hubungannnya dengan uraian terdahulu bahwa sebelum Muhammad memasuki tahap-tahap proses kenabian, jiwa dan hati serta seluruh perhatian beliau sudah tercurahkan dan terpusatkan pada pencarian kebenaran, seperti yang dilakukan oleh kelompok "al-Hanifiyah" yang sadar bahwa penyembahan berhala-berhala adalah pekerjaan sia-sia. Beliau mendambakan agama Nabi Ibrahim as. Hal ini erat hubungannnya dengan keadaan beliau sebelumnya di mana Allah telah mengarahkan kehidupan beliau pada jalan yang benar, mulia dan penuh kebajikan, sehingga beliau menjadi contoh bagi kemuliaan, kebajikan dan kebersihan dari noda-noda lahir maupun batin. Seperangkat sifat-sifat dan nilai-nilai moral yang tepat untuk seseorang yang akan mengemban tugas suci. Adalah aneh sekali bahwa beliau tumbuh dan berkembang di bawah asuhan kakeknya, Abdul Muththalib yang merupakan pelopor penyatuan dan pengaturan penyembahan kepada berhalaberhala. Menurut Abdul Mutthalib setiap suku berhak menyembah berhalanya di rumah masing-masing. Apabila musim haji tiba setiap suku memasang berhala mereka di Ka'bah untuk disembah oleh setiap orang Arab yang datang melaksanakan haji. Abdul Mutthalib adalah pemimpin Qureisy yang berhasil mengatur pelaksanaan haji dengan menyesuaikan kecenderungan masing-masing suku Arab dalam suatu sistim dan aturan yang 43 pelaksanaannya dipercayakan kepada kaum Qureisy. Karena itulah sistim dan aturan tersebut dikenal dengan nama agama Abdul Mutthalib yang kemudian dipertahankan mati-matian oleh lawan-lawan Muhammad sendiri. Jadi, seolah-olah Muhammad dihadapkan kepada kenyataan bahwa ia berkewajiban menghancurkan agama kakeknya sendiri demi memenangkan agama Allah. Agama Abdul Mutthalib tidak mengingkari eksistensi Allah bahkan percaya sepenuhnya bahwa Allah Maha Pencipta segala sesuatu seperti yang digambarkan dalam QS: al-Zumar(39): 38. Ini adalah sisa-sisa agama Nabi Ibrahim yang sudah bercampur dengan noda syirik, karena tidak adanya kitab suci ataupun catatan-catatan mengenai ajaran-ajarannya. Namun seriingnya Ibrahim AS berpindah tempat dan perkelanaannya menyerukan agama Allah sedikit banyaknya telah meniggalkan bekas pada daerah-daerah yang pernah dikunjunginya terutama daerah Mekkah dimana ia menancapkan pondasi Ka'bah bersama putranya Islamil AS. Setelah Ibrahim, Allah mengutus beberapa Nabi; dan diantara mereka ada yang mendapat kitab suci seperti Nabi Musa dengan kitab Taurat dan Nabi Isa dengan kitab Injil. Tapi oleh karena kegiatan pencatatan kitab-kitab suci tersebut berlangsung setelah berselang lama wafatnya Nabi Musa dan Isa menyebabkan isinya berbeda-beda antara pelbagai versi yang ada. Namun semuanya seragam dalam hal mengakui eksistensi Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta dan Kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya serta janji-janji-Nya kepada mereka yangmengikuti ajakan dan perintah-Nya. Perobahan apapun yang telah melanda kitab-kitab suci tersebut namun tetap mengakui Allah sebagai Tuhan Maha Pencipta. Hanya sebagian kecil saja dari teks-teks kitab-kitab suci tersebut yang sampai ke semenanjung Arab. Orang-orang Yahudi, baik yang berkebangsaan asli Arab maupun sebagai pendatang dari bangsa Ibrani cenderung tertutup dan tidak mempunyai ambisi untuk menyebarkan agamanya kepada penduduk setempat. Sedangkan orang-orang Kristen sangat pasif, sehingga dikatakan misalnya bahwa seseorang seperti Waraqah ibn Noufal memeluk agama Kristen namun tidak suka membaca kitab Injil, justeru lebih suka membaca kitab Taurat. Adalah Utsman ibn al-Huweirith yang dikenal vokal menyerukan agama Kristen karena ambisi pribadi ingin menjadi representatif bagi imperium29 Romawi di wilayah Mekkah dan semenanjung Arab namun ia mendapat perlawanan ketat dari kaumnya sendiri menyebabkan ia dibuang ke Syam di mana ia ditangkap, dipenjarakan kemudian dibunuh oleh penguasa Romawi sendiri. Akan tetapi keyakinan akan adanya Allah tetap mewarnai keimanan orang-orang Arab. Mereka mempersukutukan Allah dengan berhala-berhala karena menurutnya berhala-berhala itu dapat menjadi perantara untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Di antara berhala-berhala ada yang mereka namakan putri-putri Allah. Sungguh maha suci Allah dari perbuatan mereka. Dengan demikian, agama Abdul Mutthalib adalah bentuk syirik yang mempersekutukan berhala dengan Allah dalam hal ketuhanan dan ke-maha-kuasaan. Abdul Mutthalib telah mencanangkan aturan-aturan mengenai pelaksanaan dan tata cara persembahan kepada berhala yang secara konsekwen diikuti oleh mayoritas penduduk Mekkah. 29 Kekaisaran 44 Ada sebagian kecil penduduk yang mengingkari penyembahan kepada berhala tersebut dan tetap berpegang teguh kepada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mereka dikenal dengan nama al-Hanifiyah yang walaupun konsepsi keimanannya masih samar namun tetap komitmen menegakkan dasar-dasar akhlak dan moral yang dianjurkan dalam kitab-kitab suci yang pernah ada. Di antara tokoh-tokohnya yang terkemuka adalah Zaid ibn 'Amr ibn Nufeil dan Waraqah ibn Noufal yang sering diidentikkan dengan golongan pencari kebenaran. Oleh sebab itulah tepat sekali tindakan Khadijah RA. ketika bersegera menemui Waraqah untuk menanyakan perihal yang dialami suaminya. Dan langkah itu sendiri menunjukkan kepada kita betapa agung kepribadian Khadijah sebagai pelopor dan pemuka Islam, karena dengan tindakan tersebut dapat memberikan ketenangan kepada Rasulullah bahwa yang dialaminya bukanlah godaan setan, ataupun mimpi buruk melainkan kabar gembira akan datangnya kemuliaan yang agung. Budi pekerti Muhammad yang luhur sejak masa pertumbuhan hingga dewasa adalah bagian dari proses penobatannya sebagai Nabi walaupun bersifat tidak langsung. Mari kita simak proses penobatan tersebut seperti yang telah dikutip dari riwayat Bukhari: Dikatakan bahwa pertama kali Muhammad berhubungan dengan wahyu adalah melalui mimpi yang shalihah atau shadiqah, yakni nyata, indah, melapangkan dada dan menyenangkan jiwa mirip dengan ilusi kaum sufi. Keadaan seperti itu mulai dialami Rasulullah sejak menginjak umur 39 tahun, sebagai akibat khalwatnya di gua hira atau di tempattempat sunyi lainnya. Adalah tidak tepat pendapat yang menganggap bahwa Muhammad melakukan kegiatan khalwat selama sebulan setiap tahun sebelum beliau mencapai umur 40 tahun, karena beliau giat berdagang semenjak masa remaja dan tetap dalam pekerjaan itu hingga menjadi Nabi. 45 Al-Baladzary meriwayatkan bahwa setelah penobatannya, ada seseorang yang mendatangi Rasulullah untuk melunasi sangkutannya namun beliau mengisyaratkan bahwa urusan harta sudah tidak begitu penting lagi baginya. Kita tidak dapat memastikan hakekat dari mimpi-mimpi tersebut dan pada waktu yang sama kita juga tidak dapat menerima pandangan-pandangan para penulis Sirah yang datang kemudian seumpama az-Zarqoni dalam syarh al-mawahib al-ladunniyah yang sebenarnya merupakan komentar terhadap karya al-Qastallani, al-mawahib al-ladunniyah yang juga komentar terhadap karya Ibnu Hisyam. Jadi, buku tersebut adalah komentar atas komentar. Sedangkan karya Ibnu Hisyam sendiri adalah formulasi individual yang dilakukan oleh Muhammad ibn Abdul Malik ibn Hisyam dengan memodifikasi Sirah yang ditulis oleh Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar alMutthaliby. Oleh karena itu kami tetap memandang perlu memisahkan antara karya Ibnu Hisyam dengan karya Ibnu Ishaq. Di samping sumber-sumber terpercaya lainnya yang terdiri dari kitab-kitab Hadis dan terutama al-Qur'an, kami tetap mengandalkan karya-karya Ibnu Ishaq, al-Baladzary, alWaqidy, al-Ya'quby dan yang sederajat dan hampir tidak merujuk kepada karya Ibnu Hisyam sama sekali. Sesungguhnya pemandangan-pemandangan indah yang terlihat oleh Muhammad dalam mimpi-mimpi itu adalah semacam pengetahuan emanasi dari kontemplasi spiritual yang membuat beliau penuh lapang dada dan melihat kehidupan amat indah tatkala bangun dari tidurnya. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh pengalaman seperti ini adalah kecenderungan untuk meninggalkan aktifitas-aktifitas yang tidak berarti. Namun beliau dalam hal ini tidak memisahkan diri dari keramaian dan pergaulan hidup. Hal itu adalah suatu persiapan untuk memasuki tahap kenabian. Kata-kata yang digunakan untuk mengekspresikan pengalaman tersebut, yakni falaq al-shubh (fajar menyingsing) dapat memberikan gambaran tentang perihalnya. Seseorang diantara kita yang pada malam hari tidur nyenyak dan pulas, lalu bangun di pagi hari dan melayangkan pandangan ke taman bunga maka ia akan merasa dirinya diliputi cahaya sejuk ibarat sejuknya cahaya fajar menyingsing. Al-falaq sendiri adalah terminologi al-Qur'an seperti dalam firman Allah:"Katakanlah (Muhammad) aku berlindung kepada Allah Tuhan al-Falaq30". Menurut para pakar tafsir, falaq berarti Allah membelah kehampaan yang gelap dengan cahaya keimanan. Dan cahaya seperti itulah yang dirasakan oleh Muhammad meliputi dirinya setiap kali sadar dari mimpi-mimpi yang shalihah itu. Tidak mesti mimpi-mimpi yang emanatif ibarat cahaya fajar tersebut terjadi ketika Muhammad sedang tidur di malam hari, tetapi bisa saja terjadi di siang hari setiap kali Muhammad lengah atau mengalami kontemplasi31 spiritual lalu terlihat olehnya pemandangan-pemandangan indah yang melapangkan dada dan menyejukkan jiwanya. Kemudian beliau merasa senang melakukan khalwat dan pergi ke gua hira melakukan ibadah. Adalah konsekwensi psikologis setelah Muhammad sering mengalami mimpimimpi indah bahwa beliau mendapatkan dirinya terdorong untuk melakukan khalwat, menyendiri di tempat-tempat sunyi karena kontemplasi spiritual amatlah mengasyikkan baginya. Ibnu Arabi, seorang sufi terkenal dalam karyanya, al-futuhat al-makkiyah dan turjuman alasywaq berbicara tentang kerinduan jiwa yang mendapat titian nur ilahi untuk selalu ingin berkhalwat dan menjauhi keramaian. 30 31 Jika persoalannya adalah proses kenabian maka tidaklah layak bagi Muhammad dan bagi keagungan proses tersebut, bahwa wahyu datang begitu saja seketika sementara Muhammad sedang sibuk dalam urusan kehidupan sehari-hari dan dalam pergaulan umum, atau bahkan di tengah keluarga, isteri dan putra-putrinya. Semenjak jiwanya sadar dan bergejolak mencari kebenaran, agama Ibrahim AS; Muhammad sudah sering melakukan khalwat di hampir setiap gua yang ada pada bukitbukit yang mengitari kota Mekkah. Tapi kali terakhir itu, khalwat sudah menjadi langkah yang diperlukan dalam rangka persiapan kenabian sehingga berlangsung agak lebih lama di mana beliau untuk sementara waktu harus menjauhkan diri dari keramaian dan pergaulan umum agar transformasi spiritualnya berlangsung sempurna untuk selanjutnya dapat menerima risalah kemudian kembali ke dunia nyata sebagai Nabi yang mengajak kepada keimanan yang dipatrikan oleh Allah dalam hatinya. Kata al-tahannuts (melakukan ibadah) adalah istilah baru yang menurut sebagian penafsiran penulis Sirah berarti "beribadah terus-menerus sepanjang malam". Sedangkan menurut penafsiran yang lain berarti "kegiatan berderma" dalam rangka pembersihan jiwa. Q.S Al Falaq:1 Perenungan 46 47 Sehubungan dengan ini al-Thabari meriwayatkan pendapat Ibnu Humeid yang mengatakan bahwa "Setiap tahun Rasulullah SAW berderma memberi makan setiap fakir miskin selama satu bulan". Tapi kegiatan seperti ini juga dilakukan oleh mereka yang termasuk golongan al-Hanifiyah, pencari kebenaran, sehingga sehubungan dengan proses kenabian, tahannuts pasti memiliki makna lain. Dikatakan bahwa tahannuts ialah melakukan ibadah dalam keadaan menyendiri. Pertanyaannya adalah dengan cara apakah Muhammad melakukan ibadah? Dan jika maknanya "berderma" dengan memberi makan fakir miskin, sedangkan fakir-miskin tidak datang meminta makan pada waktu malam; mengapa justeru beliau menginap berhari-hari? Kemudian fakir miskin dari manakah diberi makan oleh Muhammad? Sesungguhnya kawasan yang terletak di timur laut Mekkah di mana terdapat bukit Hira seperti yang dapat disaksikan dewasa ini adalah kawasan yang paling kering di mana tidak ada pepohonan, air dan rerumputan. Tapi terbukti secara ilmiah bahwa kawasan tersebut pada masa Rasulullah justeru merupakan daerah-daerah hijau yang kaya akan tumbuhan, pepohonan dan rerumputan dengan pesona kicau burung dan binatang gembalaan yang bertebaran menghiasi padang luas di sekitar bukit Hira dan bukit-bukit lainnya. Secara geografis kita memasuki tahap-tahap akhir era ketiga proses transisi era salju di mana kekeringan telah membuat padang pasir menjadi gersang dan tandus. Tapi seribu empat ratus tahun lalu masih tersisa kawasan hijau menutupi daerah padang pasir yang ada pada setengah wilayah dunia di sebelah utara oleh peralihan salju ke arah utara. Jadi, Muhammad berjalan ke gua Hira bukan melalui tanah tandus dan gersang melainkan tanah subur yang ditumbuhi rerumputan menghijau yang merupakan daerah ideal bagi para pengembala melepas binatang gembalaannya. Kepada mereka itulah Muhammad dan para pencari kebenaran berderma memberi makan setiap kali lewat menuju tempat khalwat. 2. BEBERAPA SAAT SEBELUM TURUNNYA WAHYU Meskipun telah disinggung terdahulu bahwa tahannuts yang dilakukan Muhammad dapat berarti "berderma memberi makan" kepada para fakir-miskin dan walaupun beliau benar melakukan hal itu seperti halnya para pencari kebenaran, namun yang pasti beliau pergi ke gua hira bukan untuk tujuan tersebut. Ketika membaca al-Qur'an pada ayat:“Sesungguhnya Ibrahim adalah hamba yang qunut ikhlas kepada Allah dan bukan orang-orang mempersekutukan Allah”32; penulis terkesan dengan suatu penafsiran baru yang dapat membantu untuk memperoleh pemahaman yang lebih konprehensif33 mengenai phase kehidupan Muhammad dalam periode yang kita bicarakan. Rupanya bentuk ibadah Nabi Ibrahim AS. adalah qunut yaitu berzikir dalam keadaan sunyi sepi; suatu praktek ibadah yang sampai kini masih dilaksanakan oleh orang-orang sholeh. Penyair Andalusia, Lisanuddin ibn al-Khatib dalam salah satu sajaknya menggunakan kata qunut untuk menyatakan betapa kesepian yang dialami seseorang yang sudah mati dan meninggal dunia, sebagai berikut: Maut adalah ibarat qunut (keheningan zikir) Setiap kali usai sholat jahar. Jadi tahannuts adalah qunut yang merupakan bentuk ibadah dalam agama Nabi Ibrahim yaitu berzikir, khusyu di hadapan Allah SWT dengan membaca dalam hati. Penafsiran ini memberikan keterangan mengenai apa dan bagaimana bentuk ibadah yang dilakukan oleh Muhammad sebelum syari'at al-Qur'an. Kegiatan tahannuts yang dilakukan dalam khalwat jauh dari keramaian adalah tahap kedua dalam proses penobatan kenabian. Suatu tahapan yang sudah menjadi ketentuan Allah untuk dilalui oleh Muhammad. Adalah sangat memungkinkan seandainya saja Allah menginginkan peralihan tersebut terjadi secara drastis tanpa melalui proses atau menjadikan Muhammad lahir dalam keadaan sebagai Nabi seperti halnya Nabi Musa AS dan Isa AS. Tapi karena misi Muhammad merupakan percontohan dan keatauladanan maka beliau perlu menjalani tahap-tahap proses peralihan secara manusiawi. Dan meskipun misi yang dibawanya adalah yang paling paripurna dari Tuhan namun Muhammad tetap pada statusnya sebagai manusia yang berikhtiar. Dalam mengemban misinya seperti lazimnya manusia lainnya, mengalami kebahagiaan, penderitaan, kepedihan, ketekunan, keberhasilan atau ketidak-berhasilan dalam pelbagai usahanya, yang pada akhirnya berhasil menyelesaikan seluruh tugas-tugasnya dengan cara manusiawi. Semua itu dimaksudkan agar kehidupannya menjadi suri tauladan; dan perjuangannya menjadi contoh sehingga apa yang disampaikan dari Tuhan benar-benar merupakan cahaya ilahi yang menerangi jalan hidup umat manusia. Itulah sebabnya mengapa misi Muhammad paripurna. Di antara penemuan baru dalam studi ini yang belum pernah disinggung oleh para peneliti sejarah adalah kondisi geografis dan keadaan cuaca di padang pasir yang menutupi setengah bumi dari arah utara, termasuk seluruh wilayah semenanjung Arab pada masa Rasulullah. 32 33 Q.S n Nahl:120 Menyeluruh 48 Berbeda dengan kondisi dan keadaan sekarang. Daerah semenanjung Arab dan padang pasir di Afrika, sebelumnya merupakan kawasan tanah subur dengan semak belukar dan rerumputan yang terhampar di antara pepohonan yang rindang, tumbuh di atas permukaan tanah yang subur akibat sisa-sisa air yang tertinggal oleh larutnya salju yang mengalir ke arah utara pada era salju ketiga. Genangan air dapat disaksikan pada jalur-jalur kecil atau pada telaga yang menampung air di musim dingin dan kering di musim panas ataupun pada sumber-sumber mata air, baik yang dalam maupun yang dangkal. Uraian Abu 'Ubeid al-Bakri yang merujuk tulisan-tulisan pakar geografi Arab pada abad 2 - 3 H. seumpama al-Sukuny, al-Harby dan al-'Arram ibn al-Ashyag menyebutkan banyaknya sumber air di semenanjung Arab, bahkan katanya "Air demikian mudah terpencar dari bawah tanah". Demikian juga dalam rincian mengenai utusan Rasulullah, ekspedisi militer dan peperangan yang terjadi di masa Rasulullah disebutkan bahwa mereka berjalan melintasi rawa-rawa dan semak belukar di antara pepohonan di mana terdapat banyak binatang buruan seperti rusa, kambing liar dan kuda zebra. Tanah subur tersebut menjadi gersang akibat kekeringan yang berkelanjutan membuat lapisan tanah pecah, berserakan dan beterbangan oleh tiupan angin. Dan lama-kelamaan terkikis habis sehingga hanyalah batu yang muncul ke permukaan dan menjadi tandus seperti yang kita saksikan sekarang. Ini berarti bahwa pada masa itu gua Hira tidaklah setinggi letaknya sekarang dan tidak begitu sulit mencapainya. Kesimpulan ini jelas tidak betentangan dengan pernyataan al-Qur'an mengenai daerah Mekkah yang merupakan "lereng bukit yang tidak kaya dengan lahan pertanian34"; maksudnya tidak digarap sebagai lahan bercocok tanam, tidak berarti bahwa pada kawasan tersebut sama sekali tidak terdapat tumbuh-tumbuhan, sebab secara umum tumbuh-tumbuhan terbagi dua, ada yang tumbuh sendiri ada pula yang tumbuh melalui garapan. Yang terakhir ini yang dimaksudkan dalam pernyataan al-Qur'an. Jadi, Mekkah bukan merupakan lahan pertanian namun tidak berarti tiada tumbuh-tumbuhan sama sekali. Dengan demikian, kepergian Muhammad ke gua Hira tidaklah melalui jalan yang memotong padang tandus yang gersang tetapi berjalan naik turun bukit mengikuti jalur air di mana di samping kiri kanan terdapat pepohonan. Dan pada saat duduk di dalam gua beliau melayangkan pandangan ke arah pepohonan dan kehijauan yang membuat jiwa tenang sebelum memulai tahannuts atau zikir dan ibadahnya. Tiba saatnya menyimak apa yang terjadi di gua Hira saat turunya wahyu. Sebagaimana uraian Muhammad Husein Heikal tatkala Muhammad sedang tidur suatu hari di dalam gua Hira beliau kedatangan malaikat membawa suatu lembaran lalu menyuruhnya membaca, Muhammad menjawab: ‘apa yang aku baca?’ Terasa malaikat seakan mencekiknya kemudian melepaskan dan menyuruh lagi membaca yang dijawabnya seperti semula:’apa yang kubaca?’ Terasa malaikat seakan mencekiknya lagi kemudian melepaskan dan menyuruh membaca. Dijawabnya dalam keadaan takut untuk dicekik lagi: ‘apa yang aku baca?’ dan seterusnya.. Formulasi demikian, menurut hemat kami telah mengabaikan banyak nilai wahyu dan kebangkitan risalah Muhammad. Keseluruhan peristiwanya digambarkan terjadi pada saat tidur yakni mimpi. 34 Petikan dari Q.S Ibrahim:37 49 Padahal yang terpenting dalam peristiwa tersebut adalah Muhammad menerima wahyu dalam keadaan sadar sepenuhnya, sebab apalah arti turunnya wahyu dan bagaimana nilainya jika diperoleh melalui mimpi yang semua orang dapat mengalaminya. Kemudian lembaran apakah gerangan yang oleh malaikat diperintahkan kepada Muhammad untuk dibaca? sedangkan beliau ummy, tidak dapat membaca dan menulis? Sudah pasti bahwa uraian tersebut bukanlah rekayasa Heikal melainkan cuplikan dari karya orientalis Perancis Emile Dermenghem yang menulis Sirah Muhammad dengan pendekatan yang lumayan dapat diterima. Kiranya karya tersebut cukup menarik bagi Heikal, sehingga ia memuat ringkasannya pada rubrik al-Siyasah al-Usbu'iyah, kemudian karena daya tarik dan pesona Sirah selanjutnya memusatkan perhatian untuk secara khusus menulis sejarah kehidupan Muhammad yang kini menjadi karyanya yang terpopuler dan meskipun tampil beda namun dalam gaya penulisan dan pendekatannya belum mampu melepaskan diri dari pengaruh Emile Dermenghem. Sedangkan yang terakhir ini, dan umumnya orientalis amat senang berasumsi bahwa Muhammad menerima wahyu dalam keadaan tidur yakni mimpi. Yang benar sesungguhnya adalah wahyu turun bukan dalam keadaan mimpi melainkan kenyataan yang dialami oleh Muhammad secara sadar penuh. Beliau telah dipersiapkan untuk tujuan ini melalui mimpi-mimpi yang shalihah sebelumnya dan melalui titian nur ilahi yang menyelimuti jiwanya setiap kali melakukan khalwat di sekitar bukit dan gua Hira. Secara ilmiah, dapat dibuktikan bahwa Muhammad tidak selamanya mengurung diri di dalam gua tetapi kadangkala beliau berjalan-jalan di sekitar bukit Hira. Diriwayatkan oleh Muhammad ibn Ishaq bahwa "pada saat-saat menjelang dimuliakannya Muhammad dengan penobatan menjadi Nabi dan Rasul, beliau berjalan-jalan sampai batas kejauhan, dari mana terlihat olehnya perumahan penduduk dengan samar-samar jika beliau ingin melepas hajat. Dalam perjalanan itu setiap kali melewati batu atau pohon terdengar olehnya sapaan “assalamu alaika ya Rasulallah”, dan saat beliau menoleh ke kanan, kiri dan belakang yang terlihat olehnya hanyalah batu dan pohon. Demikian seterusnya beliau mendengar lalu memandang kiri, kanan dan ke belakang sampai Jibril datang membawa penghormatan dari Allah di saat beliau sedang di gua Hira pada bulan Ramadlan." Riwayat ini tidak seluruhnya dapat dibenarkan. Sebab jika pohon dan batu menyapanya sebagai Rasulullah sebelum peristiwa gua Hira mengapa justeru beliau diliputi ketakutan yang sangat setelah turunnya wahyu pertama? Tapi yang penting dalam riwayat itu ada menyinggung kegiatan Muhammad berjalan-jalan di alam bebas, berenung dan tafakkur kemudian kembali ke dalam gua melanjutkan tahannuts. Pernyataan bahwa wahyu turun sebagai mimpi menurut Dermenghem yang diikuti oleh Heikal bukanlah ciptaan mereka, melainkan uraian yang terdapat dalam riwayat Ibnu Hisyam dan penulis Sirah terdahulu seperti Abdullah ibn al-Zubeir yang mengatakan bahwa pada malam dimuliakannya beliau (Muhammad) dengan risalah sebagai tanda kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya, Jibril datang membawa perintah Allah; Rasulullah bersabda :"Sedang aku tidur, Jibril datang dengan suatu lembaran berisi tulisan lalu menyuruh aku membaca"; lebih lanjut beliau bersabda: "setelah malaikat usai menyuruh aku membaca ia pun beranjak pergi kemudian tatkala aku bangun terasa tulisan-tulisan itu terpatri di hatiku". Padahal keseluruhan riwayat ini tidak dapat dipertanggung-jawabkan menurut skala pengecekan dan penelitian sejarah. Dengan tidak beralasan Muhammad ibn Ishaq terlanjur meriwayatkannya sehingga Ibnu Hisyam mengutipnya begitu saja tanpa pertimbangan, selanjutnya dirujuk oleh 50 para orientalis yang kemudian menjadikannya sebagai dalih untuk menyerang kita, termasuk uraian Heikal yang secara tidak sadar telah merugikan Sirah. Ibnu Katsier berupaya menyesuaikan dengan menggabungkan antara dua versi apakah wahyu turun sebagai mimpi ataukah saat Muhammad dalam keadaan sadar, tulisnya "Rasulullah menjalani peristiwa turunnya wahyu pertama sebanyak dua kali; sekali pada saat beliau tertidur dan sekali pada saat sadar; Ditambahkannya bahwa keterangan ini secara eksplisit ditulis oleh Musa ibn ‘Uqba dalam karyanya, al-magazy (sejarah peperangan Rasulullah) berdasarkan riwayat az-Zahry bahwa beliau mimpi menerima wahyu kemudian tatkala sadar, malaikat pun mendatanginya". Penulis tidak mengerti dari mana sumber Musa ibn ‘Uqba. Adalah benar bahwa Musa ibn ‘Uqba merupakan tokoh yang piawai dalam bidang al-magazy menurut pengakuan Malik ibn Anas, tapi al-magazy hanyalah salah satu bagian dari Sirah, sehingga seseorang yang piawai dalam bidang al-magazy tidak mutlak ahli yang handal dalam bidang Sirah. Terbukti dengan al-Waqidi yang walaupun termasuk salah seorang yang handal dalam bidang al-magazy, namun tidak dapat menyamai kedudukan Ibnu Ishaq dalam bidang Sirah secara umum. Untuk menguatkan penyesuaian kedua versi tersebut Abu Nou'eim al-Asfahany mengatakan bahwa "sesungguhnya ini adalah tradisi Nabi-Nabi. Mereka pada umumnya menerima wahyu pertama melalui mimpi (sebagai persiapan) sampai mereka mampu menerima wahyu dan datangnya malaikat dalam keadaan sadar. Ia menambahkan pendapat Iqrimah yang mengatakan bahwa yang pertama kali diterima oleh para Nabi adalah melalui mimpi agar hati mereka menjadi tenang dan kuat kemudian setelah itu wahyu pun turun berturut-turut". Kita tidak tahu dari mana sumber Abu Nou'eim al-Asfahany dan Iqrimah, sebab data-data mengenai Nabi-Nabi sebelum Muhammad amat sedikit yang bisa diterima sebagai data sejarah yang akurat kecuali yang terdapat dalam al-Qur'an. Sedangkan dari semua data yang ada, tidak satupun di antaranya yang menyinggung cara turunnya wahyu melalui mimpi kemudian dalam keadaan sadar, bahkan tiada satupun data yang menguraikan cara-cara turunnya wahyu kepada seorang Nabi kecuali kepada Muhammad. Dan seperti yang telah disinggung di atas bahwa Muhammadlah satu-satunya yang menjalani proses peralihan dari status sebagai manusia biasa menjadi Nabi dan Rasul yang seluruh tahaptahapnya berlangsung secara manusiawi, sehingga beliau adalah manusia dan pada saat yang sama Nabi dan Rasul atau menurut terminologi al-Qur'an basyaran rasula, manusia Rasul. Seluruh proses kenabian dan kerasulan yang manusiawi itu mempunyai arti dan peranan dalam pembinaan kepribadian muslim dan penentuan karakter masyarakat Islam. Masih dalam konteks cara-cara turunnya wahyu, guru kita Imam Abu Zahra berpendapat bahwa wahyu turun dengan cara mimpi dalam keadaan sadar. Meskipun pengalaman semacan ini nyata, namun tidak layak bagi suatu peristiwa yang kelak akan merubah perjalanan sejarah. Jadi, kesimpulan yang dapat dipegang dalam hal ini adalah riwayat Imam Bukhari yang menegaskan bahwa Muhammad SAW menerima wahyu pertama di gua hira dalam keadaan sadar sepenuhnya, sebab hal demikian jua yang sesuai dengan agungnya peristiwa itu sendiri. Al-Tabary menyebutkan riwayat 'Ubeid ibn ‘Umar al-Laithy bahwa "Muhammad berangkat bersama keluarganya ke gua Hira pada hari akan diturunkannya wahyu pertama". Yang dimaksud ialah Khadijah yang acapkali menemani suaminya ke gua Hira. Kadang menunggu sampai zikir dan tahnnutsnya selesai, terkadang pula hanya sekedar menghantarkan beliau dan 51 bekal makanan-minuman sampai ke mulut gua, kemudian kembali ke rumah. Dari riwayat Imam Bukhari dapat difahami bahwa menjelang turunnya wahyu pertama, beliau berbekal untuk tinggal di gua berhari-hari dan jika perbekalannya habis beliau menjemput bekal untuk hari-hari selanjutnya. Hal ini dilakukan beliau pada awal-awal bulan Ramadlan. Sedangkan pada hari-hari menjelang turunnya wahyu agaknya beliau pulang setiap hari sebelum matahari terbenam, karena pada hari itu ketika matahari terbenam sedang Muhammad tak kunjung datang Khadijah cemas dan mengutus suruhannya untuk menjemput atau memperoleh keterangan akan sebab keterlambatannya. Berdasarkan riwayat Qatadah, Al-Tabary lebih lanjut menerangkan bahwa sesaat setelah menerima wahyu, Rasulullah keluar dari gua Hira dan mendapatkan Jibril dalam bentuk seseorang berdiri di ufuk langit dan menyapanya: Wahai Muhammad, aku Jibril dan engkau Rasulullah (utusan Allah), sabda Rasullah: seketika aku tertegun dan setiap aku melayangkan pandangan ke arah setiap penjuru terlihat olehku pemandangan yang sama sehingga aku berdiam diri, tidak maju, tidak mundur sampai utusan Khadijah datang menyaksikan aku dalam keadaan seperti itu, lalu ia pergi dan aku pun beranjak menuju rumah. Setiba di rumah langsung duduk di hadapan Khadijah yang segera bertanya: dari manakah gerangan wahai Abal Qasim? aku amat cemas sampai mengutus orang dan baru saja kembali. Di sini Qatadah mencampur-baur riwayat, karena seandainya Jibril menampakkan diri di ufuk langit saat Muhammad berangkat meninggalkan gua lalu menyapanya dengan sebutan Rasulullah, tentu beliau tidak perlu merasa takut dari apa yang baru saja dialami, dan tidak perlu Khadijah bergegas menghantar beliau menemui Waraqah ibn Noufal. Ditambahkan pula, bahwa ketika Muhammad menceritakan kejadiannya, beliau tidak menyebutkan adanya malaikat Jibril di ufuk langit. Bahwa Muhammad menyaksikan Jibril dalam bentuk seperti yang telah diuraikan memang benar, namun tidak pada saat itu tetapi pada masa akhir fatrah, yakni masa terputusnya wahyu setelah wahyu pertama, yaitu tatkala Allah ingin meyakinkan kepada Muhammad akan kenabian dan kerasulannya agar tidak bingung lagi dan segera memulai tugas-tugasnya. Yang amat penting untuk dicermati adalah kecemasan Khadijah atas keterlambatan suaminya, karena pertama, menguatkan asumsi bahwa pada hari-hari menjelang turunnya wahyu beliau setiap hari pulang sebelum matahari terbenam. Sebab jika tidak, mengapa justeru Khadijah cemas dan mengutus suruhannya? kedua, menguatkan pula asumsi bahwa turunnya wahyu terjadi setelah dzuhur. Oleh karena itu beliau terlambat pulang, sebab seandainya wahyu turun pada waktu pagi hari tentu beliau bersegera pulang dan sudah tiba di rumah pada waktu dzuhur, sehingga Khadijah tidak perlu cemas. Adalah mustahil wahyu turun di waktu malam, sebab menurut sejarah, selepas malaikat membacakan ayat-ayat pertama surah al-Alaq, Muhammad tetap di gua untuk beberapa saat dalam keadaan menggigil, kemudian segera pulang ke rumahnya. Hal ini amat jelas dalam uraian Bukhari di mana dalam paragraf 4 berbunyi: “Dengan hati bergetar bahkan dengan tubuh menggigil Rasulullah kembali ke rumahnya mendapatkan Khadijah dan meminta untuk diselimuti”. Mereka menyelimutinya hingga beliau kembali tenang. Nah, seandainya hal itu terjadi di waktu malam hari tentu beban yang harus ditanggung oleh Rasulullah dan Khadijah amatlah berat. Perlu dicatat bahwa Khadijah sudah pasti telah merasakan adanya sesuatu yang akan menimpa suaminya. Tidaklah masuk akal jika seorang suami pergi meninggalkan rumah selama sebulan 52 yang sebelumnya tidak pernah terjadi, meskipun sewaktu-waktu kembali pada saat sebelum matahari terbenam dalam rangka berbekal untuk hari-hari selanjutnya, yang semuanya adalah gejala baru dalam kehidupan rumah tangganya tanpa menimbulkan pertanyaan sang isteri. Setidaknya menanyakan apa yang terjadi pada diri suaminya. Dan bagi Muhammad sendiri pertanyaan semacam itu kiranya normal dan biasa adanya, terutama jika datangnya dari orang yang paling dekat di hatinya, sebagai tanda cinta dan kasih sayang. Tapi ternyata Khadijah tidak pernah bertanya dan bahkan tidak heran melihat gejala baru tersebut. Ia dengan setulus hati memenuhi permintaan suaminya tanpa bertanya, seakan-akan tahu dan ikut merasakan kebutuhan suaminya untuk berkhalwat, menyendiri dan mengapa perlu berkhalwat. Oleh karena itu ia menyediakan bekal makan dan minum untuk beberapa hari. Karena itu pula ia sering ikut menemani atau menghantarkan suaminya; apakah dengan tinggal di gua menunggu sampai selesai ataupun langsung pulang ke rumah. Semua ini merupakan ketentuan Allah, yang menghendaki bahwa di samping Muhammad dipersiapkan untuk menerima wahyu juga Khadijah dipersiapkan untuk menerima Muhammad sebagai Nabi dan Rasul. Ketika Rasulullah mengisahkan kejadiannya, Khadijah tidak heran atau meragukan tetapi dengan penuh percaya ia menenangkan Rasulullah dengan kata-katanya yang indah itu, kemudian mengantar Rasulullah menemui Waraqah, bukan untuk menanyakan apakah hal yang dialami suaminya mungkin terjadi melainkan untuk lebih memperjelas apa yang dirasakannya. Menentukan tanggal yang pasti bagi terjadinya peristiwa turunnya wahyu pertama bukanlah pekerjaan gampang. Sehubungan dengan itu tidaklah tepat pendapat al-Barra ibn 'Azib bahwa peristiwa itu terjadi saat Muhammad menginjak umur 40 th. lebih satu hari, karena kesimpulannya yang terkesan dibuat-buat hanya sekedar mengikuti irama ma'na ayat 16 S.Yunus. Hal yang sama berlaku bagi pendapat Muhammad ibn Yusuf al-Khuwarazmy, seorang ahli ilmu falak yang handal, bahwa Muhammad dinobatkan menjadi Nabi pada hari Senin tanggal 9 Rabi'ul Awal tahun 40 menurut penanggalan aam al-fiel35. Persoalannya bukanlah persoalaln ilmu falak melainkan ketepatan sejarah. Telah terbukti secara ilmiah bahwa kelahiran Muhammad bukan pada waktu serangan pasukan gajah ke Mekkah karena pada waktu itu Abdul Mutthalib, kakek Muhammad, masih berumur muda sedangkan Muhammad lahir pada masa Abdul Mutthalib sudah berumur tua. Berarti antara peristiwa serangan pasukan gajah dan kelahiran Muhammad berselang tidak kurang dari 30 tahun. Kemudian dari mana al-Khuwarazmy yakin bahwa tanggal 9 Rabi'ul Awal 40 tahun gajah jatuh pada hari Senin? Jika tahun gajah itu sendiri tidak dapat dipastikan kapan terjadinya bagaimana bisa mengetahui bahwa tanggal 9 Rabi'ul Awal dari tahun gajah jatuh pada hari Senin? Yang tepat adalah mengikuti batas-batas riwayat Bukhari yang tidak menyinggung hari dan tanggal. Namun mayoritas umat Islam percaya bahwa kebangkitan risalah Muhammad dimulai pada bulan Ramadlan ketika Muhammad mencapai umur 40 tahun dan bahwa terjadi pada harihari sepuluh terakhir bulan Ramadlan, mengingat ayat-ayat al-Qur'an diturunkan untuk pertama kali pada lailatul-qadr. Tidak seorangpun yang menentukan kapan lailatul-qadr itu, namun Rasulullah mengisyaratkan untuk berusaha memperolehnya pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan. Dan apa yang digariskan oleh Rasulullah itulah yang patut menjadi anutan dan pedoman 35 Tahun gajah 53 3. DI GUA HIRA. Kita masih tetap mengacu kepada riwayat Bukhari, karena keaslian dan bebasnya dari tambahan dan penyelewengan. Telah ditegaskan terdahulu betapa kerugian yang menimpa Sirah jika ditulis dan diuraikan tanpa pengecekan seksama atau penelitian yang cermat. Ibnu Hisyam yang mengutip pendapat Abdullah ibn Zubeir menyatakan wahyu melalui mimpi yang pada gilirannya dikutip oleh Heikal tidak langsung tetapi melalui tulisan Emile Dermenghem, telah mengakibatkan terabaikannya nilai-nilai yang terkandung dalam proses dan cara turunnya wahyu. Bagaimanapun, mimpi bukanlah kenyataan melainkan kesan yang dirasakan oleh seorang yang tidur dan akan terhapus apabila bangun dari tidurnya. Nilai-nilai yang agung dalam kesadaran Muhammad menerima wahyu di antaranya adalah bahwa beliau merupakan bukti bagi pengalaman manusia menjalani sebuah peralihan spiritual. Beliau mengalami perasaan-perasaan takut, ragu, bingung dan bimbang bahkan derita yang mengiringi lahirnya perasaan-perasaan semacam ini dalam diri manusia, yang kemudian berganti menjadi harapan, optimisme, kepercayaan diri dan kebenaran mengenai apa yang dialami dan makna serta substansi pengalaman itu sendiri. Proses peralihan dari status sebagai manusia biasa menjadi Nabi dan Rasul sepenuhnya berlangsung secara pengalaman manusiawi. Sama dan sesuai dengan pernyataan al-Qur'an surah al-Isra' “katakanlah Muhammad, Maha suci Tuhanku, bukankah aku hanya sebagai manusia Rasul”. Hal ini mempunyai nilai ganda. Statusnya sebagai manusia agar menjadi suri tauladan bagi segenap manusia dalam mengurus dan mengatur kehidupan. Sedangkan statusnya sebagai Rasul agar menjadi petunjuk bagi segenap manusia dalam menjalani kehidupan menuju akhirat. Selanjutnya, berikut kita simak paragraf ketiga dari riwayat Bukhari yang berbunyi : “Sedang berada di Gua Hira kebenaran datang kepadanya berupa malaikat yang menyuruhnya membaca. Beliau bersabda: Jawabku, bukanlah aku seorang pembaca. Beliau bersabda: “malaikat itu merangkul dan memeluk tubuhku hingga aku merasa tak berdaya, kemudian melepaskan dan menyuruh membaca, aku jawab: bukanlah aku seorang pembaca, lalu merangkul dan memelukku lagi seperti semula hingga merasa tak berdaya, kemudian melepaskan dan menyuruhku lagi membaca; aku jawab bukanlah aku pembaca lalu merangkul dan memelukku lagi kemudian melepaskan dan berkata: “Bacalah dengan nama Tuhanmu.....”; Ini adalah uraian yang dengan tepat dan ringkas menerangkan kejadian maha agung dalam sejarah umat manusia; yakni peristiwa lahirnya Muhammad sebagai Nabi, peristiwa lahirnya Islam. Oleh karena peristiwa ini adalah yang satu-satunya terjadi dalam sejarah di mana seorang manusia menerima wahyu dan beralih menjadi Nabi, maka layak untuk mencermati setiap kata dan setiap gejala yang ada di antara baris-baris dan kejadiannya. Seperti telah disinggung di atas waktu terjadinya peristiwa tersebut adalah antara dzuhur dan magrib. Pada hari itu Muhammad dijadwalkan kembali ke rumah sebelum matahari terbenam. Kesendirian Muhammad di gua pada saat kejadian tanpa ditemani oleh keluarganya mempunyai makna tersendiri. Tidaklah memungkinkan bagi Muhammad untuk ditemani oleh siapapun karena beliaulah sendiri yang harus menyaksikan dirinya menerima wahyu agar dapat merasakan seluruh pengalaman yang mengiringinya. 54 Pengalaman itu sendiri adalah mu'jizat yang spesifik untuk Muhammad, berbeda dengan pengalaman Nabi Ibrahim AS. yang sejak semula sudah menyadari bahwa Allah selalu bersamanya sehingga tatkala dilemparkan kedalam unggukan api ia yakin akan merasa sejuk dan damai serta selamat keluar dari bara api. Berbeda pula dengan Nabi Musa AS. yang sejak masih dalam kandungan hingga lahir bahkan sampai menginjak masa remaja dalam pemeliharaan Tuhan, sehingga tatkala menghadapi ahliahli sihir Fir'aun, ia yakin akan mendatangkan mu'jizat yang akan mengalahkan semua sihir mereka betapapun tingginya. Berbeda pula dengan keadaan Nabi Isa AS. yang sejak masih bayi sudah dapat berbicara. Terdengar oleh Muhammad suara yang menyuruhnya membaca tanpa melihat sesuatupun. Seluruh perhatiannya tertuju kepada suara yang tidak diketahui dari mana asalnya itu dan yang didengarnya dengan sangat sadar. Maka beliau bertanya apa yang kubaca? lalu merasa dicekik hingga tak berdaya seakan menghadapi sakrat al-maut. Agak sulit memang membayangkan malikat -yang sampai detik-detik peristiwa itu berlangsung tidak diketahui apakah Jibril atau selainnya- menguasai jiwa raga Muhammad sehigga terasa tercekik seolah-olah sedang menyelam di dasar laut dan seakan menghadapi sakrat al- maut itu. Apa yang dirasakan Muhammad saat itu adalah perasaan kaget bercampur ketakutan tiada tara hingga terasa tercekik, kemudian sedikit-demi sedikit perasaannya reda dan pernafasannya mulai normal kembali. Inilah maksud pernyataannya "kemudian melepaskan aku", dan saat itu beliau menjawab: aku bukanlah pembaca. Membaca di sini dapat berarti membaca sesuatu yang tertulis, juga dapat berarti membaca sesuatu yang dihafalkan, dapat pula berarti mengulangi bacaan yang diterima atau yang didengarkan. Makna yang manapun yang kita pilih, jawaban Muhammad sesuai dengan kondisi dialog, karena beliau ummy tidak dapat membaca; maka maksudnya adalah aku bukan pembaca; demikian juga jika yang dimaksudkan mengulangi bacaan, karena suara itu menyuruh membaca maka maksudnya adalah bacaan apa yang kuulangi bacaannya? Kemudian suara itu menyuruh lagi membaca dan kembali Muhammad merasa tercekik hingga seolah-olah kematian telah menjemputnya. Perasaan seperti itu lumrah dalam keadaan sangat takut. Kedua perintah membaca itu dimaksudkan sebagai persiapan agar Muhammad memusatkan seluruh perhatian dan sepenuhnya untuk dapat menerima ayat-ayat yang akan dituangkan kedalam hatinya, sehingga pada perintah ketiga, lima ayat pertama surah al-'alaq dibacakan. Menurut kesepakatan ulama, walaupun Bukhari hanya menyebutkan empat ayat pertama. Ulama lainnya menambahkan ayat kelima; karena dari ayat pertama sampai ayat kelima adalah merupakan satu kesatuan makna. Ayat selanjutnya berhubungan dengan masalah lain yang akan datang kemudian. Sengaja penulis menggunakan kata “suara yang terdengar oleh Muhammad” dan berarti malaikat karena sampai detik itu beliau belum mengetahui bahwa yang menyuruhnya membaca adalah malaikat. Hal ini untuk mengikuti jalannya peristiwa itu lebih realistis. Perlu diperhatikan bahwa menurut hadis riwayat Bukhari tidak disebutkan Muhammad mengulang-ulangi ayat-ayat yang telah dibacakan kepadanya tetapi hanya mengatakan "Muhammad pulang dalam keadaan ayat-ayat itu telah terlukis dalam dadanya". Adalah wajar bahwa Muhammad merasa amat ketakutan akibat kejadian yang baru saja menimpanya. Dan sudah pasti sesaat setelah itu tertegun di dalam gua dalam berusaha 55 menenangkan dirinya atau sementara menunggu terdengarnya suara kembali tetapi setelah itu ternyata suara tersebut sudah tak kunjung terdengar lagi beliau beranjak keluar gua dan dalam keadaan menggigil bergegas pulang. Demikianlah persisnya kejadian yang menimpa Muhammad pada hari itu seorang diri sedang alam sekitarnya dalam keheningan membisu. Kami menilai uraian Imam Bukhari tepat dan benar. Bukti mengenai hal itu akan terlihat pada kejadian-kejadian berikutnya. Adalah tidak mungkin bagi seorang manusia menerima wahyu kecuali dalam bentuk seperti yang telah digambarkan. Tidak mungkin pula perasaan Muhammad yang mengiringi kejadian tersebut kecuali seperti yang telah diriwayatkan. Oleh karena itu apa yang digambarkan oleh perawi lain bahwa sebelum kejadian itu Rasulullah melihat dan mendengar suara malaikat di langit atau mendengar suara yang menyapanya lalu tidak melihat sumber dari mana asalnya, semua itu tidak mungkin terjadi. Muhammad ibn Ishaq keliru dalam riwayatnya yang menggambarkan bahwa Muhammad berjalan-jalan sampai batas kejauhan dari mana terlihat olehnya perumahan penduduk dengan samar-samar jika beliau ingin melepas hajat. Dalam perjalanan itu setiap kali melewati batu atau pohon terdengar olehnya sapaan assalamu alaika ya Rasulallah, dan saat beliau menoleh ke kanan, kiri dan belakang yang terlihat olehnya hanyalah batu dan pohon. Lebih lanjut Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa sejenak Rasulullah tertegun, mendengarkan dan melayangkan pandangan dan keadaan seperti itu selalu dialami oleh Rasulullah hingga Jibril datang membawa wahyu dari Allah pada bulan Ramadlan". Hal ini tidak mungkin terjadi sebelum peristiwa gua hira dan barangkali terjadi sesudahnya. Akan kembali kami diskusikan masalah ini nanti pada tempatnya. Tapi yang pasti bahwa seandainya hal itu terjadi tentu Rasulullah tidak perlu merasa amat ketakutan seperti yang telah digambarkan. Kemudian dikatakan bahwa "Muhammad sejenak tertegun, mendengarkan dan melayangkan pandangan". Mengenai apa yang didengarkannya telah kita ketahui tetapi apakah gerangan yang dilihatnya? Uraian-uraian seperti ini sangat merugikan Sirah karena telah mengundang lawan-lawan Islam melakukan penafsiran dan interpretasi yang tidak proporsional. Tapi tidak layak dipersalahkan sebelum para penulis tradisional kita dimintai pertanggung-jawabannya, karena mereka menulis tanpa pengecekan, menuangkan pendapat tanpa pertimbangan dan menyimpulkan tanpa penelitian. Selayaknyalah mengandalkan riwayat Bukhari yang asli tanpa diperlukan penambahan sesuatu yang tidak benar dan tidak sesuai dengan pengalaman Nabi kita yang kebangkitannya telah merubah jalannya sejarah umat manusia. Di antara riwayat yang merugikan itu adalah formulasi dalam al-Sirah al-Halabiyah karya seorang yang bernama pemimpin Adil Sulaiman al-Timy yang menyebutkan bahwa “ketika Muhammad menceritakan kejadian yang dialaminya, Khadijah segera berangkat ke Syam...”. Tidak masuk akal tentunya kepergian ke Syam dalam kondisi seperti ini. Riwayat demikian banyak mendatangkan persoalan yang tidak akan selesai, karena telah dieksploitasi oleh para orientalis yang penuh dengki seumpama Alois Sprenger dan Henri Lamnes untuk menarik kesimpulan bahwa Muhammad memperoleh pengajaran dari pendeta "Bahira" dalam ajaranajaran yang dibawanya. Kata Bahira bukanlah nama melainkan kata sifat yang berarti pandai, cendekia dan pakar. Padahal semenjak kejadian gua Hira, Rasulullah tidak pernah bertemu dengan seorang pendeta 56 apalagi memperoleh pengajaran. Apa yang diriwayatkan sementara ini bahwa dalam perjalanan Muhammad menemani pamannya ke Syam ketika beliau masih berumur 8 atau 9 tahun sempat bertemu dengan seorang pendeta -tidak bernama Bahira tetapi Sergius- adalah catatan yang masih diragukan keabsahannya. Tapi lihatlah betapa besar kerugian yang menimpa Sirah akibat kelalaian dan minimnya daya nalar serta ketidak telitian sebagian penulis tradisional kita terutama penulis al-Sirah alHalabiyah yang walaupun demikian populer namun tidak bisa diterima kecuali setelah melakukan pengecekan yang ekstra teliti terhadapnya. Pindah kepada paragraf 4 dan 5 dalam riwayat Bukhari yang berbunyi: “Dengan hati bergetar bahkan dengan tubuh menggigil Rasulullah kembali ke rumahnya mendapatkan Khadijah dan meminta untuk diselimuti. Kemudian setelah perasaannya kembali reda beliau menceritakan kepada Khadijah apa yang telah terjadi dan bersabda: “Aku sangat cemas” dan untuk itu Khadijah menenangkan dengan mengatakan: Tidak, Demi Allah, Tuhan tidak akan pernah mengecewakanmu. Sesungguhnya engkau tiada pernah mengabaikan silaturrahim, tidak pernah memutuskan hubungan kekeluargaan, engkau suka mengatasi persoalan yang dihadapi oleh orang lain, engkau adalah penyantun bagi yang tak punya dan selalu memuliakan tetamu serta selalu berlapang dada menghadapi setiap cobaan”. Uraian ini lebih mendekati kenyataan, karena setelah mengalami yang terjadi di gua dan sejenak berdiam diri sementara berusaha mengembalikan kekuatannya Muhammad segera beranjak pergi meninggalkan gua menuju rumahnya sedang sekujur tubuhnya sedemikian dingin dan menggigil. Karena itu beliau meminta untuk diselimuti dan ketika tubuhnya mulai menghangat, jiwanya mulai tenang dan rasa takutnya mereda beliau menceritakan kejadiannya. Uraian yang terdapat dalam riwayat Ibnu Hisyam mengutip Abdullah ibn Zubeir dalam hal ini tidak sesuai dengan kenyataan, sebab sekiranya Rasulullah melihat Jibril di ufuk langit yang menyapanya dengan sebutan Rasulullah saat keluar dari gua, mengapa kemudian beliau merasa takut dan menggigil? Adalah pada tempatnya jika Muhammad diliputi rasa takut dari kejadian yang dirasakannya amat mengerikan itu, sebab bagi beliau ada dua hal yang jika menimpa manusia menjadi pantangan dalam hidupnya bahkan tidak mampu memandangnya, yaitu: orang gila gara-gara penyakit dan orang yang karakternya suka bertutur kata tanpa kontrol. Apalagi dalam tradisi jahiliyah dikatakan bahwa orang gila ialah orang yang kesurupan atau terkuasai oleh jin. Yang menarik dalam paragraf kelima adalah Khadijah tidak merasa takut atau 'ngeri' sedikitpun setidaknya yang terlihat pada sikapnya, barangkali karena kepercayaannya yang penuh akan suaminya yang dikenal sebagai orang yang amat berfikir jernih, baik budi, penuh simpatik dalam pergaulan dan memiliki sifat-sifat yang indah dan terpuji lagi mulia, sedangkan orang yang berperangai seperti ini tidak mungkin dikecewakan oleh Allah. Kata-katanya yang menenangkan jiwa itu menunjukkan kepribadiannya, yang berkat kebersamaan dan keikhlasannya mendampingi suaminya selama ini telah menjadikannya pula salah seorang dari kelompok alHanifiyah, pencari kebenaran yang percaya terhadap keesaan Tuhan yang maha pencipta. Sang pencipta yang menjadi dambaan hati suaminya dan sang pencipta yang tidak akan mungkin tersentuh oleh jin. Sedangkan ketakutan Muhammad berdasar kepada kekhawatirannya akan tersentuh oleh jin, yang menurut tradisi jahiliyah orang gila adalah orang yang dikuasai oleh jin. Karena itu ia menenangkan hati suaminya. 57 Dan kata-katanya mempunyai makna tersendiri yaitu bahwa sejak menikah dengannya, Muhammad termasuk orang-orang berada yang mendermakan harta-miliknya demi kebaikan, yang sebagian jenisnya disebutkan Khadijah. Sekiranya Muhammad mengandalkan harta Khadijah seperti yang dibayangkan oleh sementara orang, tentu tidak berhak menyatakan apa yang telah dikatakannya itu. Minimal sebagai basabasi ia akan mengatakan: kita menjalin hubungan silaturrahim, kita menanggung beban orang lain, kita membantu yang butuh dan seterusnya. Tapi dengan jelas dan eksplisit Khadijah menegaskan bahwa semua itu dilakukan oleh suaminya secara pribadi yang berarti dari harta dan kekayaannya sendiri. Kesimpulan itulah kiranya yang tepat, walaupun tidak banyak diperhatikan oleh mayoritas penulis Sirah dan sejarawan kita. Sebelum pernikahannya dengan Khadijah, Muhammad sudah dikenal sebagai pedagang ulung yang suskses dan ahli dalam urusan perdagangan. Ibnu Katsier menyebutkan dalam bukunya al-bidayah wa al-nihayah "bahwa ketika 'Amr ibn Asd, paman Khadijah mendengar berita Muhammad dilamar Khadijah ia berkomentar: Ini (Muhammad) adalah tokoh yang tak pernah tersaingi". Berkata al-Baladzary: "Sejak Khadijah mempercayakan dagangannya kepada Muhammad usahanya bertambah lancar dan lebih berkembang". Jika dalam mengembangkan modal usaha orang lain saja Muhammad berhasil, maka lebih berhasil lagi mengembangkan usahanya sendiri. Catatan lain mengenai keutamaan perempuan yang agung itu, Khadijah, adalah sikapnya yang barangkali agak sulit bagi orang lain melakukannya, yakni idenya yang cemerlang menghantarkan suaminya menemui Waraqah ibn Noufal untuk memperoleh keterangan mengenai apa sebenarnya yang menimpa suaminya. Waraqah adalah saudara sepupu Khadijah, tetapi bukan karena hal itu ia lantas menjatuhkan pilihannya kepada Waraqah melainkan sebagai orang yang layak untuk dimintai konsultasi mengenai perkara hebat seperti ini. Kiranya pilihan itu tepat adanya. Sudah barang tentu Khadijah mengetahui pribadi Waraqah yang tidak jelas apakah betul menganut agama Nasrani. Namun yang pasti, ia bagi Khadijah, adalah salah seorang pengikut al-Hanifiyah sama dengan suaminya yang mendambakan kebenaran. Atas keyakinan itulah wanita pelopor ini memainkan peranannya yang sangat besar dalam perjalanan sejarah Islam. Sampai di sini kita membicarakan transformasi spiritual yang terjadi dalam diri Muhammad. Semestinya kita lebih lanjut membicarakan keadaan dan gejala-gejala psikologis yang lahir dalam diri Muhammad sebagai seorang yang baru saja dinobatkan menjadi Nabi, setelah menerima wahyu. Tetapi sampai saat itu persoalan yang beliau hadapi belum begitu jelas. Beliau justeru amat bimbang, ragu dan bingung. Meskipun oleh Waraqah telah ditenangkan bahwa yang terjadi pada dirinya adalah suatu pendahuluan bagi misi yang maha agung, namun keterangan itu sendiri semakin memperdalam rasa takutnya menyusul keterlambatan datangnya wahyu kedua. Jika benar beliau akan menjadi pembawa risalah Tuhan seperti kata Waraqah mengapa justeru wahyu tak kunjung datang lagi? Memasuki suatu periode yang paling pahit dialami oleh Muhammad selama hidupnya, yaitu periode fatrah, terputusnya wahyu untuk beberapa waktu. Keterlambatan wahyu itulah yang menambah bimbang dan memperdalam rasa takutnya. Pandangan kita yang berangkat dari keyakinan bahwa pilihan Allah yang jatuh kepada Muhammad untuk mengemban misi adalah ni'mat besar dan limpahan rahmat tiada tara sering membuat kita lupa akan derita yang telah 58 dialami Rasulullah selama masa-masa peralihan. Demikian berat derita itu sehingga beranganangan menjatuhkan diri dari puncak gunung. 4. WAHAI YANG BERSELIMUT, BANGKITLAH Pada pembicaraan sebelumnya kita berhenti pada sikap Khadijah, ummul-mu'minin36 yang tegar menghadapi kejadian yang menimpa suaminya dan kepercayaannya yang penuh terhadap apa yang diceritakan suaminya serta perjuangannya demi menenangkan jiwa dan memperkuat hati suaminya dalam suasana, yang seandainya bukan Khadijah pasti akan kehilangan akal. Aneh sekali bahwa para penulis sejarah tidak menghargai sikap dan kepribadian Khadijah dalam hal ini dan yang lebih aneh lagi pertanyaan yang mereka ajukan; siapakah yang pertama kali memeluk Islam? apakah Khadijah atau Abu Bakar? Ada yang menjawab bahwa Abu Bakarlah yang pertama kali memeluk Islam. Padahal sejak detik-detik pertama kelahiran Islam justeru Khadijah yang lebih awal mempercayai semua yang diberitakan Muhammad dan selanjutnya ikut mendampingya meniti jalan perjuangan yang sangat menegangkan. Dilaluinya tahap demi tahap hingga mereka berdua yakin bahwa yang terjadi tiada lain kecuali kenabian dan kerasulan. Lebih aneh pula yang diuraikan oleh Heikal bahwa “sedang Muhammad tertidur, Khadijah meliriknya dengan pandangan penuh iba bercampur harap-cemas, kemudian beranjak meninggalkan dan membiarkan pulas dalam tidurnya, lalu membawa dirinya kedalam renungan mengenai kejadian yang menggetarkan dan membangkitkan bisikan hatinya yang penuh harap bahwa suaminya akan menjadi Nabi bagi bangsa Arab yang sedang dalam kegelapan dan kesesatan”. Semua itu hanyalah sejumlah untaian kata dengan gaya sastra yang sama sekali tidak didukung oleh fakta sejarah. Jika Muhammad sendiri sampai saat dan detik itu belum terlintas dalam benaknya bahwa beliau akan menjadi Nabi, bagaimana mungkin terbetik dalam benak Khadijah? Kemudian apakah gerangan yang membangkitkan bisikan hatinya? Apakah ada dalam dialognya dengan Muhammad yang menunjukkan hal itu? Pertanyaan yang bernada kritik ini sengaja kami ajukan untuk lebih memperdalam kesan bahwa kita harus sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata yang digunakan untuk menguraikan sejarah hidup Rasulullah. Susunan kata yang memperhatikan gaya sastra nan indah hanyalah akan mengaburkan masalah dan menghalangi kita memahami dan mencerna susbtansi sejarah. Pemahaman itu sendiri akan jauh lebih indah dan lebih mengena dari pada memilih gaya bahasa sastra, apatah lagi jikalau gayanya cuma merupakan ciplakan dan cuplikan dari tulisan seorang orientalis Perancis seperti Emile Dermenghem. Dalam volume II buku Tarikh al-Islam karya Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman az-Dzahaby tercatat pengakuan Musa ibn ‘Uqba dalam bukunya, al-magazy bahwa ketika Rasulullah merasakan beban berat dari mimpi-mimpinya dan menceritakannya kepada Khadijah, Allah SWT melapangkan dadanya dan memeliharanya dari sikap ingkar sehingga ia menenangkan suaminya dengan mengatakan "suatu tanda kebaikan". Kemudian beliau menceritakan bahwa dadanya dibelah lalu dicuci, dibersihkan dan ditutup kembali seperti sedia kala, ia berkata "ini betul-betul pertanda kebaikan, maka bergembiralah". Pernyataan 'Uqbah yang menegaskan bahwa Allah melapangkan dada Khadijah untuk percaya dan memeliharanya dari sikap ingkar 36 Ibu dari orang-orang muslim/muslimah 59 semakin memperkuat asumsi kita bahwa Allah telah mempersiapkan Khadijah untuk menghadapi segala macam pengalaman pahit dan cobaan berat yang akan dialami oleh suaminya selama masa peralihannya menjadi Nabi dan Rasul. Tindakan yang ditempuhnya dengan menghantarkan Rasulullah menemui Waraqah adalah yang terbaik dan tidak mungkin ada yang lebih baik dari itu. Sekiranya perempuan lain, ia akan melakukan salah satu dari dua kemungkinan: apakah menyembunyikan kejadian dan membiarkan diri dan suaminya dirundung ketakutan dan kebingungan, ataukah misalnya pergi menemui pamannya, Amr ibn Abdul 'Uzzay yang dahulu hadir dalam acara pernikahannya, lalu menceritakan peristiwanya untuk meminta bantuan. Tapi Khadijah tidak memilih alternatif itu, malah mendatangi Waraqah sebagai satu-satunya orang yang dapat dimintai konsultasi mengenai perkara sehebat ini. Pertanyaan yang muncul, kenapa Waraqah? Beberapa uraian mengenai jati diri Waraqah telah dikemukakan terdahulu. Ia adalah sepupu Khadijah. Ayahnya, Noufal bersaudara kandung dengan ayah Khadijah, Khuweilid ibn Asd ibn Abdul 'Uzzay; bersaudara kandung pula dengan Amr yang menjadi wali dalam pernikahannya. Telah diketahui pula bahwa Waraqah termasuk golongan pencari agama lama al-Hanifiyah; yakni agama Nabi Ibrahim AS. Sebagian penulis sejarah menyebutnya sebagai pemeluk agama Nasrani dan kami meragukan keabsahannya. Dalam catatan Musa ibn ‘Uqba, salah seorang penulis Sirah yang handal, mengenai keempat tokoh pencari agama Nabi Ibrahim as. yaitu Waraqah ibn Noufal, 'Ubeidillah ibn Gahsy, Utsman ibn al-Huweirith dan Zaid ibn 'Amr ibn Noufeil, kita dapatkan Zaid jauh lebih penting dari pada Waraqah. Menurut Musa ibn ‘Uqba, Zaid adalah tokoh yang dikenal lebih gigih mencari alHanifiyah, agama Ibrahim dengan kegiatannya berkelana ke mana-mana. Dalam uraiannya didapatkan pula pernyataan Sa'd, salah seorang sahabat putra Zaid ibn Noufeil, yang mengatakan “suatu saat ayahku Zaid pergi bersama Waraqah mencari agama dambaan mereka; setibanya di Syam Waraqah memeluk agama Nasrani sedangkan Zaid mendapat informasi bahwa yang dicarinya itu ada di Mousal sehingga ia melanjutkan perjalanannya ke sana”. Ini berarti bahwa Waraqah telah menentukan sikapnya dengan memeluk agama Nasrani, sedangkan Zaid tidak puas dengan praktek Nasrani di Syam sehingga ia melanjutkan perjalanannya ke Mousal. Demikian juga menurut mayoritas penulis Sirah lainnya, posisi Zaid lebih tinggi dari Waraqah, sebab menurut Ibnu Hazm, Zaid telah memproklamirkan protesnya terhadap animisme Arab dan penyembahan berhala di masa jahiliyah dan tetap komitmen dengan agama Ibrahim, alHanifiyah. Diriwayatkan bahwa mengenai perihalnya, Rasulullah bersabda: “Ia (Zaid) akan dibangkitkan di hari kemudian sebagai satu umat yang berdiri sendiri”. Dari segi kekeluargaan, ia masih ada hubungan dengan Rasulullah dari pihak ibundanya. Karena alasan-alasan inilah sehingga Zaid semestinya lebih berhak dipilih oleh Khadijah untuk tempat konsultasi dari pada Waraqah yang diisukan telah memeluk Nasrani. Namun jikalau benar ia telah menganut Nasrani maka dialah yang merupakan pilihan terakhir untuk memperoleh keterangan mengenai perkara-perakara seperti yang dialami Muhammad, sebab pada masa itu orang Nasrani masih dalam keyakinan lama bahwa kedatangan Isal AS. sebenarnya adalah realisasi dari kabar gembira yang disampaikan oleh seluruh Nabi-Nabi bani Israil melalui Kitab Perjanjian Lama, sehingga tidaklah layak perihal kenabian dan kerasulan yang lahir setelah Nabi Isa AS ditanyakan kepada seorang Nasrani. 60 Tapi atas pemeliharaan Allah kepada Khadijah dan kelapangan dadanya serta kecerdasannya, sehingga ia memilih Waraqah atas dasar keyakinan sepenuhnya bahwa ia bukanlah Nasrani, bukan pula Yahudi melainkan pencari agama Ibrahim yang murni dan sejati. Adalah benar bahwa ia membaca Kitab-Kitab suci yang ditemukannya, baik Injil maupun Taurat dan dapat berbahasa Ibrani, namun tidak pernah memeluk Nasrani. Kala itu ia sudah demikian sepuh dengan penglihatan yang melemah, sehingga tidak mungkin ia memiliki sifat-sifat dengki dan hasad, justeru baik budi dan jauh dari perangai jahiliyah. Ia pula yang mendukung hasrat dan keinginan Khadijah untuk nikah dengan Muhammad. Disebutkan dalam buku-buku Sirah bahwa sewaktu Abdul Mutthalib kehilangan Muhammad pada waktu masih kanak-kanak dan sangat cemas dengan kejadian itu, ia pulalah yang menemukannya dan mengembalikannya kepada Abdul Mutthalib. Atas alasan dan pertimbangan seperti inilah Khadijah memilihnya. Pilihan yang tepat adanya. Selanjutnya pada paragraf keenam dalam uraian Hisyam ibn 'Urwah dikatakan “Khadijah mengantar Muhammad menghadap sepupunya, Waraqah ibn Noufal yang sudah sepuh dan daya penglihatannyapun sudah melemah. Waraqah adalah pengikut agama Nasrani dan banyak menulis kitab Injil dalam bahasa Ibrani. Khadijah meminta kepadanya untuk mendengarkan berita peristiwa yang terjadi pada diri Rasulullah. Setelah mendengarkan kejadiannya iapun berkata: “sesungguhnya ini adalah namus yang telah diturunkan kepada Nabi Musa, sekiranya aku masih muda.. sekiranya aku masih hidup sewaktu kaummu mengusirmu. Rasulullah bertanya: “Apakah mereka akan mengusirku?” Ia menjawab: betul, karena tiada yang mengemban tugas seperti yang dibebankan kepadamu kecuali akan diperangi. Dan aku berjanji jika umurku masih panjang aku akan membantu dan mendukung perjuanganmu”. Kemudian Waraqah wafat, wahyu pun terputus”. Dengan demikian Waraqah adalah orang pertama yang menenangkan Muhammad bahwa yang menyuruhnya membaca dan mengulangi bacaannya bukanlah syetan, bukan pula roh jahat melainkan namus yang pernah turun menemui Musa, dan itu berarti suatu kebaikan. Tapi apakah yang dimaksud namus ? Di antara banyak makna yang disebutkan Ibnu Mandzur dalam kamus lisan al-arab mengenai kata ini: namus adalah bejana atau wadah pengetahuan, dapat juga berarti Jibril. Para ahlul-kitab menyebutkan Jibril dengan istilah namus. Kemudian Ibnu Mandzur mengutip uraian mengenai kepergian Khadijah mengantar Muhammad menemui Waraqah dengan jawaban yang berbeda dengan riwayat yang sedang kita bicarakan, namun terdapat dalam sebagian besar riwayat lainnya. Ibnu Mandzur menulis “Jika yang kamu (Khadijah) katakan benar berarti ia (Muhammad) telah didatangi oleh namus yang pernah mendatangi Musa AS”. Dalam riwayat lain dikatakan: “Sesungguhnya ia telah memperoleh namus yang agung.” Dalam riwayat lainnya lagi dikatakan: “Maha suci Tuhan, Demi Tuhan yang menguasai jiwa Waraqah, wahai Khadijah jika kamu percaya sesungguhnya ia (Muhammad) telah memperoleh namus yang agung yang pernah diperoleh Musa. Sesungguhnya dia itu adalah Nabi zaman ini. Katakanlah kepadanya agar lebih tegar menghadapi semua ini”. Kelemahan riwayat ini terdapat pada adanya kesan bahwa Muhammad tidak pergi bersama Khadijah menemui Waraqah. Ini jauh dari kenyataan, sebab tidak mungkin Muhammad duduk diam di rumah dan membiarkan isterinya pergi mencari tahu akan hakekat yang menimpanya padahal beliau sendiri justeru amat berkeinginan mengetahuinya. 61 Sudah nyata bahwa yang dimaksudkan dengan namus bukanlah bejana ilmu, bukan pula Jibril. Sebagaimana telah pasti pula bahwa Waraqah tidak mengatakan Maha suci Tuhan. Pertanyaan yang segera muncul adalah jika Waraqah pengikut Nasrani mengapa ia mengisyaratkan kepada namus yang datang kepada Nabi Musa dan tidak menyebutkan sesuatupun menyangkut Nabi Isa? Syeikh Abu Zahrah, seorang professor sejarah dan perbandingan agama-agama, berupaya menjawab pertanyaan ini. Kata beliau “Di dalam Taurat terdapat syari'at yang dipedomani dan dipraktekkan oleh para pemimpin agama sepeninggal Nabi Musa AS dimana Nabi Isa diutus untuk menghidupkannya setelah orang-orang Yahudi mengabaikan penerapan ajaranajarannya”. Diriwayatkan bahwa Nabi Isa bersabda: “Aku datang untuk menghidupkan namus”. Dalam Kitab-Kitab Suci kaum Nasrani ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan Taurat tetap diterapkan selama tidak betentangan dengan ketentuan Kitab Injil. Pernyataan tersebut di atas ada benarnya, tetapi pada waktu yang sama menunjukkan pengetahuan yang sangat terbatas tentang agama Yahudi dan Nasrani. Hal ini dapat dimaklumi karena pengetahuan mengenai agama-agama terutama Yahudi dan Nasrani, apalagi memperbandingkannya satu sama lain membutuhkan seperangkat pengetahuan luas tentang asalusul agama-agama tersebut dalam bahasa Suryani dan Ibrani. Setidaknya tentang kajian-kajian dan studi sejarah agama-agama yang beredar sangat luas di Barat. Sebenarnya, kata namus tidak berasal dari bahasa Ibrani tetapi berasal dari bahasa Yunani. Oleh karena itu bukan bermakna Jibril melainkan undang-undang atau wahyu Tuhan kepada para Nabi. Adalah wajar jika Waraqah menggunakan istilah namus karena bacaan dan pengetahuannya yang luas tentang kitab-kitab suci agama tanpa menghiraukan antara Nasrani atau Yahudi. Istilah namus populer dalam penggunaan para kelompok Gnostik, suatu sekte agama yang lahir dan berkembangan pada masa-masa awal agama Kristen yang menggabungkan ajaran-ajaran agama dengan kepercayaan animisme. Sekte tersebut telah terhapus oleh berkembangnya agama Kristen terutama setelah Paulus memberikan batasan-batasan bagi agama Kristen dalam bentuk yang diinginkannya, menjadikan Kristen berdiri sendiri dan terpisah dari agama Yahudi. Pemikirannya didasarkan kepada pertimbangan bahwa kebangkitan Isa adalah realisasi ajaranajaran yang diserukan oleh Nabi-Nabi bani Israil yang mereka catatkan kitab-kitab di samping Taurat yang kemudian dikodifikasi dalam bentuk lima bagian dalam Kitab Perjanjian Lama. Waraqah menemukan istilah namus dari literatur Gnostik dan menyadari maknanya yang berarti undang-undang Tuhan atau syari'at yang diturunkan kepada Nabi Musa AS. Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS. semestinya memperkuat status dan posisinya tetapi ketentuan Injil kemudian terhapus sehingga makna namus beralih menjadi catatan-catatan sahabat dekat Nabi Isa mengenai sabda dan pengalaman-pengalaman Nabi Isa AS. Diantara kitab-kitab Injil tersebut ada yang diakui oleh Gereja tetapi lebih banyak yang tidak diakui sehingga seluruhnya dinamakan ‘kitab-kitab Injil palsu’. Karena itu tepat yang dikatakan oleh Waraqah bahwa yang terdengar oleh Muhammad tiada lain kecuali pendahuluan bagi datangnya suatu syari'at seperti yang pernah diterima oleh Nabi Musa AS. Muhammadpun sepenuhnya mengerti maksudnya sehingga jiwanya menjadi agak tenang. Setidaknya beliau yakin bahwa yang menimpanya bukanlah sentuhan setan atau jin melainkan sesuatu dari langit. 62 Yang tidak mengerti maksudnya justru para penulis tradisional mengakibatkan mereka samarsamar dalam memberikan uraian. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa maksud namus adalah Jibril, sedangkan Waraqah menurut riwayat Bukhari tidak menegaskan maksud tersebut. Apa yang ditegaskan oleh data sejarah yang lebih akurat dalam catatan Ibnu Ishaq dan diriwayatkan oleh al-Tabary adalah “bahwa hal itu telah meringankan beban kebimbangan Muhammad”. Dari riwayat lain terdapat tambahan kalimat yang dapat dapahami bahwa Waraqah bertemu kembali dengan Khadijah setelah pertemuan pertama dan mengulangi apa yang telah disampaikan kepada Muhammad dengan menganjurkan agar tegar menghadapinya. Barangkali maksudnya agar Muhammad lebih tegar dan tidak perlu takut dan 'ngeri' jika mendengar suara seperti itu lagi, karena semuanya adalah pertanda kebaikan. Kata-kata Waraqah telah berperan menenangkan hati Rasulullah dan sudah camkan untuk siap menghadapi kejadian yang sama berikutnya. Karena itulah beliau memuji Waraqah dengan sabdanya yang diriwiyatkan oleh Turmudzy dari Aisyah mengisahkan "Rasulullah pernah ditanya oleh Khadijah mengenai Waraqah ibn Noufal, yang dijawab oleh beliau: "Aku mimpi melihatnya dalam pakaian putih, sekiranya termasuk penduduk neraka tentu akan berpakaian lain". Dalam kumpulan hadis-hadis mursal oleh 'Urwah tercatat bahwa Rasulullah bersabda :"Aku melihat Waraqah mempunyai dua jannah". Hadis mursal ialah hadis yang susunan perawinya tidak lengkap dan yang dimaksud dengan jannah adalah bustan, taman. Waraqah telah berperan penting dalam menenangkan hati Muhammad tetapi pada waktu yang sama, juga akan menjadi sumber kekhawatirannya. Sebab di satu pihak beliau telah bersiap-siap untuk tegar dalam menerima wahyu kedua kalinya, di pihak lain wahyu tak kunjung datang juga dan penantiannya cukup lama. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan berapa lama wahyu terputus antara tiga hari sampai tiga tahun. Perhitungan tiga hari adalah tidak masuk akal sebab Rasulullah sangat bimbang, sedangkan perhitungan tiga tahun tidak tepat pula sebab tidak mungkin Allah membiarkan selang waktu antara wahyu pertama dengan kedua selama itu. Kita memiliki banyak data yang menerangkan keadaan Muhammad selama masa fatrah yang berlangsung antara dua atau tiga minggu, maksimal satu bulan. Diantara data yang lebih sejalan dengan uraian kita adalah sekali lagi riwayat Bukhari termasuk riwayat Ahmad ibn Hanbal yang mengatakan: “Diriwayatkan oleh al-Zahry dari 'Urwah dari Aisyah bahwa wahyu telah terputus sehingga Rasulullah demikian sedih sehingga beliau sering berhasrat untuk menjatuhkan diri dari puncak gunung dan setiap kali ingin melakukannya Jibril menampakkan diri kepadanya dan menyapanya: Wahai Muhammad engkau benar Rasul, utusan Allah. Beliau kembali tenang dan jika keadaannya berkepanjangan beliau melakukan hal yang sama dan Jibril pun menampakkan diri lagi seperti sebelumnya dan dengan sapaan yang sama”. Dalam sebagian riwayat lain dikatakan bahwa “Muhammad kembali ke gua menunggu datangnya wahyu yang tak kunjung datang”. Hal ini sangat memungkinkan, barangkali karena alasan untuk meringkas uraiannya sehingga Bukhari dan Ahmad ibn Hanbal tidak menyebutkannya, sebab tidak masuk akal jika baru beberapa hari saja berselang lalu Muhammad menderita kekhawatiran dan kembali merasakan ketakutan yang dahsyat sampai berhasrat menjatuhkan diri dari puncak gunung untuk melepaskan diri dari kekhawatiran dan ketakutan tersebut. Barangkali yang lebih dekat kepada kenyataan adalah kekhawatiran dan ketakutan mulai mengganggu jiwa Muhammad setelah masa fatrah berlangsung dua atau tiga minggu. 63 Masa-masa itu dikenal sebagai yang paling pahit dalam hidup Rasulullah. Waraqah tutup usia beberapa saat sebelumnya dan dalam jiwa Muhammad berkecamuk kekhawatiran dan ketakutan tiada tara sehingga berfikir untuk menghabiskan hidupnya. Perlu dicatat bahwa pada waktu sapaan pertama Muhammad belum mengetahui bahwa sumber suara yang didengarnya adalah dari malaikat tetapi yang diketahui beliau menurut penjelasan Waraqah adalah suara yang datang dari langit. Dan hal inilah yang membuatnya takut ketika masa terputusnya wahyu berkepanjangan. Kita dapat memperhitungkan bahwa selama hari-hari pertama setelah wahyu pertama sama sekali tidak ada komunikasi spiritual. Setelah masanya berlarut-larut dan Muhammad bertambah takut dan khawatir mulailah beliau mendengar suara yang menenangkannya seperti yang telah diuraikan terdahulu. Hal itu adalah kasih sayang Allah kepadanya agar lebih kuat menerima wahyu yang akan berisi ayat-ayat al-Qur'an selanjutnya. Kami mempunyai asumsi bahwa suara yang didengarnya banyak bersifat menghibur. Di sini kita saksikan limpahan cerita dari para penulis Sirah terutama Ibnu Hisyam yang mengisahkan “Rasulullah mendengar suara menyapanya dari langit wahai Muhammad, engkau Rasul, utusan Allah dan aku Jibril”. Lebih lanjut Rasulullah bersabda “Seketika aku memandang ke langit ternyata Jibril dalam bentuk seorang berdiri di ufuk langit menyapaku wahai Muhammad, engkau Rasul, utusan Allah dan aku Jibril”. Dan banyak lagi cerita semacamnya. Masa fatrah berakhir secara alami. Setelah jiwa Rasulullah berkecamuk ketakutan dan kebimbangan serta kekhawatiran bahkan keputus-asaan, lahir harapan dengan terdengarnya suara-suara menyapa dan menegaskan beliau adalah Nabi sebagai pelipur lara dan penghibur hati. Kemudian datang kabar gembira yang membahagiakan dengan semakin jelasnya suara itu dan dari mana asalnya serta apa maknanya. Dalam kitab ansab al-asyraf karya al-Baladzary berdasarkan riwayat Ibnu Syihab dari Mu'ammar ibn Rasyid dari Sufyan al-Tsaury dari Syureih ibn Yunus dari Abil-Harith dikatakan “Setelah wahyu pertama yang berisi ayat-ayat ‘iqra’, wahyu kemudian terputus membuat Rasulullah sedemikian sedih sehingga seringkali bermaksud menjatuhkan diri dari puncak gunung dan setiap kali ingin melakukannya Jibril menampakkan diri dan menyapanya "engkau adalah Nabi" lalu beliau tenang kembali. Rasulullah sendiri yang menceritakan hal itu dengan sabdanya ".Suatu hari aku berjalan-jalan, sekonyong-konyong aku melihat malaikat yang pernah mendatangiku di gua Hira, berada diantara langit dan bumi. Demi menyaksikannya aku langsung jatuh terkulai karena ketakutan lalu segera kembali ke rumah dan meminta Khadijah untuk menyelimutiku"; Berkata Khadijah:”kami pun menyelimutinya hingga Allah menurunkan ayat-ayat dari surah al-muddatstsir ‘wahai orang yang berselimut’” Mengenai hal ini cukup banyak versi, umpamanya ada yang mengatakan "malaikat menampakkan diri sedang duduk di antara langit dan bumi”, yang lain mengatakan "malaikat menyapanya : engkau adalah Rasulullah". Tapi riwayat al-Baladzary lebih mendekati kenyataan sebab sebelum turunnya al-muddatstsir Muhammad masih berstatus sebagai Nabi, setelah itu baru menjadi Nabi dan Rasul. Ini berarti bahwa al-muddatstsir merupakan tahap terakhir dalam proses peralihan Muhammad dari statusnya sebagai manusia biasa menjadi nabi kemudian menjadi Nabi dan Rasul. Akhirnya malaikat menampakkan diri kepada Muhammad, yang membuatnya amat ketakutan hingga jatuh terkulai kemudian bangkit dan segera pulang ke rumahnya dan meminta mereka menyelimutinya. 64 Ketika beliau tenang kembali beliau mendengar suara yang sudah tidak asing lagi baginya, mengatakan atau menfirmankan “Wahai orang yang berselimut bangkitlah menyampaikan risalah Tuhanmu, agungkan Tuhanmu, bersihkan pakaianmu, hindari kejahatan, jangan bersikap angkuh dan sombong; dan tabahlah demi Tuhanmu”. Demikian makna ayat-ayat pendek yang mengawali surah al-muddatstsir yang dalam susunan alQur'an menempati surah ke 74; didengarkan oleh rasulullah dengan penuh sadar, faham dan tercerna seperti halnya sewaktu turunnya Iqra'. Beliau kini yakin sepenuhnya bahwa suara itu tidak mungkin datang kecuali dari langit, sebab ada tegur sapa kepadanya wahai orang yang beselimut, sedangkan beliau betul sedang dalam keadaan berselimut, ada pula sejumlah perintah dan larangan serta anjuran; Perintah untuk bangkit menyampaikan pesan-pesan ini dan yang akan datang kemudian kepada segenap umat manusia, perintah mengagungkan Tuhan, membersihkan pakaian dan meninggalkan sesuatu yang tidak berkenan di sisi Allah atau tidak diridloi oleh-Nya; Larangan dari sikap sombong atas limpahan nikmat dalam risalah ini dengan terpilihnya menjadi pembawa risalah; Anjuran untuk tabah mengemban tugas-tugas besar dan berat yang dibebankan kepadanya. Dengan demikian, Muhammad sebagai manusia biasa telah resmi menjadi Nabi dan Rasul. Lalu wahyupun berturut-turut diturunkan kepadanya sebagaimana yang diuraikan secara rinci dalam buku-buku sejarah. Muhammad segera bangkit pula memulai tugas-tugas kenabian dan kerasulannya dengan tetap memelihara statusnya sebagai manusia paripurna, insan kamil, dan sebagai Rasul pemberi petunjuk. Adalah perjalanan yang cukup panjang, menegangkan dan melelahkan bagi orang ummy ini yang secara tiba-tiba dan mengagetkan terpilih oleh Allah untuk mengemban risalah-Nya. Selama perjalanan tersebut Muhammad mengalami banyak penderitaan namun berkat kasih sayang dan rahmat Allah jua sehingga beliau tegar dan kuat serta berhasil lolos dari segala macam cobaan. Untuk menutup bagian studi ini ada baiknya mengemukakan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam tanpa sanad yang menyatakan bahwa “Jibril mendatangi Muhammad membawa titipan salam dari Tuhan kepada Khadijah. Kepada Khadijah beliau bersabda: wahai Khadijah Jibril telah datang menyampaikan titipan salam dari Tuhan. Jawab Khadijah: Damai Tuhanku, dari Tuhan jua segala kedamaian dan damai pula Jibril”. 65 BAB. 3 AL-MAGHAZY, PERANG BADR DAN BEBERAPA KONTAK MILITER 1. POKOK-POKOK PIKIRAN DI SEKITAR AL-MAGHAZY Membaca sejarah peperangan Rasulullah seseorang merasa lebih dekat kepada beliau. Sebab dalam mempersiapkan setiap peperangan, beliau berkumpul bersama sejumlah kecil saja dari para sahabatnya. Sehingga begitu sangat akrab dan mudah mendekatinya, dan kesempatan ini menjadi sangat ideal bagi seorang yang segan berbicara langsung kepada beliau. Dari seluruh peperangan Rasulullah, kecuali perang Uhud, Fath Mekkah, Tabuk dan Hunein, beliau hanya ditemani sejumlah kecil sahabatnya. Beliau tidak memilih-milih siapa diantara sahabat yang harus menemaninya, tetapi siapa saja yang sempat hadir pada pertemuan saat itu. Jika jumlah yang diinginkan sudah mencukupi Rasulullah segera beranjak mengajak para sahabatnya yang sudah siap dengan secara optimal menampilkan diri sesederhana dan seakrab mungkin, sehingga bagi setiap orang yang bersamanya seolah-olah dia saja yang telah memperoleh cinta dan kasih sayang Rasul. Hal ini sebagai motivasi kepada mereka dalam menghadapi kondisi yang membutuhkan pengorbanan jiwa dan raga dan dalam suasana perjuangan mempertahankan kehormatan demi mendapatkan ampunan dan pahala dari Tuhan. Kita akan menyaksikan dari dekat betapa Rasulullah dan para sahabatnya tidak pernah mengenal rasa takut ataupun gentar sedikitpun dalam menghadapi setiap suasana sesulit apapun dan setiap bahaya betapapun besarnya, karena Rasulullah adalah orang yang paling tegar dan pemberani. Di dalam kecamuk perang kerapkali ada sahabat yang tersentak oleh dahsyatnya bentrokan pertama namun Rasulullah tetap tegar dan menguasai situasi, mengatur dan memimpin jalannya perang seolah-olah beliau tidak sedang dalam medan perang. Beliau sama sekali tidak pernah mementingkan diri lebih dari perhatiannya kepada para sahabatnya dan bagaimana memenangkan perang. Seusai perang, beliau tidak pernah menilai siapa diantara para sahabatnya yang telah melakukan kesalahan, karena menyadari bahwa beliau bukan panglima melainkan soko-guru dan pemberi petunjuk dengan menjadikan dirinya sebagai contoh dan suri tauladan hingga yang merasa bersalah sadar sendiri akan kesalahannya dan tidak akan pernah mengulangi lagi tanpa Rasulullah merasa perlu menegurnya. Di antara kelebihan dan keistimewaan Rasulullah adalah beliau mampu mengenali para sahabatnya walaupun dalam perang besar-besaran. Dalam perang yang sedang berkecamuk sekalipun, beliau selalu memantau keadaan mereka. Beliau dengan mudah dapat mengenali wajah asing yang umumnya adalah mata-mata. Lebih dari sekali terjadi bahwa wajah asing tersebut ternyata mata-mata yang menggabungkan diri kedalam barisan sahabat dalam rangka memperoleh informasi yang akan disampaikannya kepada pihak lawan. Rasulullah sendiri yang langsung menghadapinya dan diajak masuk Islam; jika ia bersedia beliau memaafkannya karena Islam menghapuskan kehilafan dan dosa-dosa lama. 66 Bahkan bisa saja seorang mata-mata menyelinap masuk dalam rombongan kaum muslim untuk membunuh Rasulullah, tetapi begitu ia memandang wajah Rasulullah dan mendengar suaranya, kebencian dalam dirinya tiba-tiba terhapus begitu saja dan menjadi orang yang paling cinta kepada beliau, lalu menyatakan diri memeluk Islam. Di antara faktor-faktor yang mendorong penulis mengajak para pembaca untuk mengkaji almaghazy, sejarah peperangan Rasulullah, adalah bahwa ketika kajian di sekitar perjalanan hidup Rasulullah sudah rampung dan segera memulai kajian mengenai Al-Maghazy, ternyata banyak sekali keistimewaan dan keahlian yang dimiliki oleh Rasulullah yang sebelumnya kita tidak ketahui. Dalam studi ini kita akan mempelajari secara rinci keistimewaan dan kelebihan tersebut. Meskipun kaum muslim terdahulu banyak menulis buku tentang al-maghazy secara lengkap dan menjadi referensi induk, namun yang utuh diantaranya hanyalah karya Al-Waqidi 207 H sekitar 822M. Tapi banyak penulis lain yang secara terpisah menguraikan paragraf atau yang kurang dalam referensi induk tersebut sehingga dapat menjadi ganti bagi yang hilang. Kita tetap berharap bahwa referensi yang hilang tersebut pada suatu hari dapat ditemukan kembali. Di antara penulis yang memenuhi kebutuhan tersebut sesudah Al-Waqidi adalah Ibnu Sa'd dalam karyanya al-thabaqat, disusul oleh Ibnu Hisyam yang menyusun kembali karya Ibnu Ishaq dengan banyak menambah dan mengurangi, namun secara umum masih menggambarkan pemikiran asli, kemudian al-Thabary dan Al-Baladzary. Pada volume II karya Al-Baladzary dengan judul ansab al-asyraf, di antaranya ada yang sudah dipublikasikan, banyak berbicara tentang al-maghazy walaupun dalam konteks biografi para sahabat. Demikian juga pada tulisan-tulisan yang muncul kemudian, baik yang tebal maupun yang tipis, terdapat rincian berharga yang sepantasnya diperhatikan oleh setiap peneliti sejarah. Dalam hal ini amat penting memperhatikan al-isti'ab karya al-Numeiry, asad al-ghabah karya Ibn al-Atsier dan al-ishabah karya Ibnu Hajar Al-Asqallani. Ketiga buku penting ini saling melengkapi karena secara lengkap menguraikan biografi Rasulullah dan banyak lagi rincian yang tidak didapatkan pada buku-buku yang tebal dan berjilid-jilid sekalipun. Hal itu disebabkan karena para penulisnya hidup pada masa di mana referensi-referensi induk masih ada sehingga mereka leluasa mengutip data-data yang tidak sempat dicatat oleh penulis lainnya. Rincian mengenai biografi sahabat dalam buku-buku tersebut tidak terhitung banyaknya. Secara khusus yang terpenting di antara ketiganya adalah al-isti'ab karya al-Numeiry AlAndalusy yang hidup di abad 5 H sekitar abad 11 M, seorang penulis berbakat dan peneliti sejarah yang berpandangan jauh. Termasuk dalam kategori ini juga al-bidayah wa al-nihayah karya Ibnu Katsier, seorang ahli hadis dan mufassir yang handal. Ia dapat menunjukkan hadis-hadis yang berhubungan dengan almaghazy yang terdapat dalam semua kitab-kitab hadis yang ada. Demikian juga 'uyun al-atsar karya Ibnu Sidinnas 671 H. atau sekitar 1272M, seorang yang berpikiran luas dan kreatif. Ia banyak mengutip catatan-catatan sejarah yang ada sebelum masa kodifikasi Sirah yang lengkap. Catatan-catatan tersebut dikutip beserta daftar perawinya sehingga dengan membaca karyanya, kita dapat memperoleh pengetahuan mengenai daftar perawi peristiwa yang tidak didapatkan pada referensi induk. Ada juga tulisan-tulisan lepas Ibnu Hazm yang meskipun tidak khusus menulis Sirah dalam suatu buku yang berdiri sendiri, namun ia menguraikan sejumlah rincian Sirah dalam tulisan-tulisan lepasnya yang seluruhnya dapat ditemukan dalam karyanya jawami' 67 al-sirah yang memuat indeks Sirah yang akan dipergunakannya dalam merampungkan karangankarangan lainnya. Data-data yang akurat mengenai Sirah cukup melimpah dalam karya tersebut di samping pandangan dan pemikiran-pemikirannya sendiri. Karya Ibnu Hazm lainnya yang berhubungan dengan Sirah secara umum dan al-maghazy khususnya adalah jamharat ansab al-arab yang memuat rincian dan data-informasi mengenai kegiatan-kegiatan Rasulullah dan para sahabatnya yang tidak boleh dilewatkan oleh peneliti. Kelebihan Ibnu Hazm bahwa ia memiliki pengetahuan luas dan berpandangan inovatif. Penulis yakin bahwa dialah satu-satunya sejarawan terkemuka pada abad 7 dan 8 H, yang merumuskan penulisan sejarah Haji Rasulullah yang sudah menjadi referensi utama untuk generasi selanjutnya. Semua buku penting dan referensi yang telah kami sebutkan mutlak dirujuk oleh setiap orang yang ingin melakukan kajian serius dan profesional terhadap al-maghazy, sejarah peperangan Rasulullah bukan sekedar kajian ‘amatiran’ yang meliput data alakadarnya dari sumber-sumber terbatas yang dimilikinya lalu berdasarkan pengetahuan yang bersahaja itu menyusun satu buku atau hasil studi. Para pembaca akan menemukan daftar referensi induk yang lengkap di akhir buku ini dan beberapa hasil studi baru. Bagi penulis yang lebih prioritas adalah karya Al-Waqidi kemudian karya Ibnu Sa'd karena beberapa alasan: Pertama, karena data-datanya yang melimpah, lengkap dan akurat; Kedua, karena ketepatannya memilih topik dengan pembahasan yang ringkas tapi padat. Kedua tokoh tersebut mempunyai pendekatan yang tidak sama dengan pendekatan kelompok ahli hadis. Kelompok yang terakhir ini mencatat setiap peristiwa dengan sangat terikat pada sistim pencantuman perawi sehingga jika susunan perawi berbeda maka mereka mencatatnya secara terpisah walaupun yang diriwiyatkan mengenai peristiwa yang sama. Sedangkan para sejarawan menggunakan pendekatan riwayat kolektif, yaitu mencatat pelbagai riwayat menyangkut peristiwa tertentu, dibandingkan satu sama lain kemudian secara induktif ditarik satu kesimpulan substantif yang selanjutnya dituangkan dalam satu bentuk riwayat. AlWaqidi dan Ibnu Sa'd umpamanya mencatat daftar perawi yang menjadi sumber setiap berita yang dimuatnya dan kadangkala berita yang dicatatnya mempunyai rangkaian pertalian perawi. Ini tidak menghalangi mereka untuk mencatat satu berita tertentu beserta susunan perawinya. Pendekatan yang sama juga dianut oleh al-Thabari namun dengan sistimatika yang berbeda dengan yang kita dapatkan pada Al-Waqidi dan Ibnu Sa'd. Ketiga tokoh tersebut adalah sejarawan yang memiliki pendekatan yang berbeda dengan yang dianut oleh para ahli hadis. Oleh karena tidak mengikuti pendekatan ahli hadis maka mereka mendapat kritik tajam dari para ahli hadis bahkan seringkali mereka dituduh mendusta atau memalsukan. Tuduhan yang sama sering pula ditujukan oleh ahli hadis kepada Ibnu Ishaq, padahal ia adalah penulis terbaik dan terlengkap mengenai Sirah. Karyanya yang sangat berharga ini telah dimanipulasi oleh Ibnu Hisyam yang memformulasikannya kembali dengan melakukan intervensi merubah dan megganti sebagian paragrafnya, yang kemudian dipublikasikan oleh AlBakkaty. Oleh karena itu kami memandang karya Ibnu Hisyam sebagai salah satu versi Sirah tersendiri yang tidak ada hubungannya dengan karya Ibnu Ishaq sedangkan naskah yang terakhir ini masih berupa manuskrip yang kami temukan di berbagai perpustakaan di Maroko dan sudah tidak utuh lagi. 68 Tapi dari karya Ibnu Hisyam kita dapat menemukan banyak dari pokok-pokok rumusannya. Kita hanya berharap bahwa naskah seutuhnya kelak dapat ditemukan untuk selanjutnya kami publikasikan. Cara dan sistimatika Al-Waqidi dapat diriumuskan sebagai berikut: Pertama-tama ia menyebutkan susunan perawi yang menjadi sumber berita yang akan dicatatnya; umpamanya mengenai satu peperangan atau suatu misi ‘detasmen’ , kemudian lebih lanjut menguraikan dengan mengatakan :"masing-masing (perawi) menceritakan kepadaku mengenai perihal ini, di antara mereka ada yang lebih mengerti dari yang lainnya; selain mereka ada juga yang menceritakan padaku mengenai perihal yang sama; Yang mereka ceritakan adalah :........". Kemudian ia pun menulis beritanya secara lengkap. Kadangkala ia menggunakan kata yang tidak sama dengan aslinya tapi tidak keluar dari makna.; kerapkali pula ia menyebutkan berita satu persatu beserta perawi masing-masing secara tersendiri. Dengan menyelidiki daftar perawi Al-Waqidi kita dapat yakin bahwa karyanya cukup akurat karena ternyata perawi-perawi yang menjadi sumbernya adalah yang terpercaya. Disamping sistimatika yang menarik, Al-Waqidi juga memiliki kelebihan-kelebihan seperti kepekaan historisnya yang tinggi dan kemampuan menggunakan gaya penulisan yang indah dengan formulasi uraian yang baik. Uraian Ibnu Sa'd dalam al-thabaqat agak lebih ringkas tetapi lebih akurat dari gurunya, AlWaqidi. Karena itu kami lebih mengandalkan penulis Sirah yang satu ini. Orang menganggap bahwa tulisan Ibnu Sa'd mengenai al-maghazy hanyalah ringkasan terhadap karya Al-Waqidy. Tapi, sekarang sesudah naskah lengkap Al-Waqidi dipublikasikan atas jasa baik Orientalis Amerika, Mardson Johns, anggapan tersebut kiranya tidak tepat, sebab ternyata Ibnu Sa'd memiliki ciri khas tersendiri berbeda dengan Al-Waqidi. Keistimewaan Ibnu Sa'd menulis Al-Maghazy terletak pada rangkaian perawinya memuat tiga dari empat riwayat yang pertama kali menguraikan Sirah, yaitu secara berturut-turut riwayat Ibnu Ishaq, Al-Waqidi dan Musa ibn 'Uqba. Daftar perawi Ibnu Sa'd mencakup perawi-perawi pertama yang terpercaya. Diantara mereka terdapat Muhammad ibn Abdullah ibn Muslim ibn Akhay az-Zahry, Abdullah ibn Ja'far ibn Abdurrahman ibn Al-Masur ibn Makhrama az-Zahry, Yahya ibn Abdullah ibn Abi Qatada Al-Anshary, Rabi'a ibn Utsman ibn Abdullah ibn AlHudzeil al-Taimy, Abdurrahman ibn Abi al-Zanad, Muhammad ibn Shaleh al-Tammar, Muhammad ibn Ishaq, Husein ibn Muhammad dari Abi Ma'syar dan Ismail ibn Abdullah ibn Abi Uweis Al-Madany, Ismail ibn Ibrahim ibn Uqba dari pamannya Musa ibn 'Uqba dan yang sederajat. Mereka adalah para perawi yang diandalkan oleh penulis hadis-hadis shahih dan penulis sejarah. Pembicaraan yang cukup penjang mengenai referensi ini dimaksudkan untuk membuktikan kepada para pembaca bahwa kajian Sirah membutuhkan pengetahuan luas lebih dari sekedar membaca karya Ibnu Hisyam atau al-Tabary. Para pujangga dan sastrawan kita dengan mengandalkan kedua referensi lemah itu telah berbangga dapat menulis sesuatu mengenai Sirah yang tidak lebih dari hanya sekedar harapan memperoleh berkah atau sekedar pamer ataupun untuk mencari rezki. Penulis tidak mencela pekerjaan mereka tetapi selayaknya kita menghargai sesuatu dalam batas-batas yang sesuai dengan nilainya. Karya mereka, sekali lagi, bukan sejarah dan tidak termasuk dalam lingkupnya. 69 2. AL-MAGHAZY ADALAH SATU KESATUAN Secara khusus di sini penulis akan membicarakan delapan peperangan yang mendahului pecahnya perang Badr. Dan sebelumnya penulis ingin menegaskan bahwa al-maghazy adalah istilah yang digunakan dalam sejarah Islam yang maknanya mencakup seluruh kegiatan yang dilakukan Rasulullah dalam rangka penyebaran Islam dan perluasan jangkauan umatnya, ataupun untuk mengamankan perbatasan geografisnya. Al-Maghazy tidak mutlak berarti kegiatan militer tetapi bisa saja merupakan utusan Rasulullah untuk melakukan dakwah, atau untuk mengajarkan dasar-dasar ajaran agama, atau untuk mengajarkan Al-Qur'an sebagaimana yang terjadi pada dua misi ‘detasmen’ masing-masing ma'una dan rujei' di mana keduanya diutus kepada dua suku Arab atas permintaan mereka sendiri. Dalam kedua misi itu terjadi pengkhianatan sehingga hampir seluruh personilnya mengalami mati syahid. Kadang-kadang suatu misi hanya sekedar pemantauan keadaan lawan tanpa terjadi bentrokan bersenjata, sebagaiman yang terjadi pada ‘detasmen’ saef al-bahr yang dipimpin oleh Hamzah ibn Abdul-Mutthalib, yang menurut sementara pendapat merupakan kegiatan militer pertama yang dilakukan oleh kaum muslim di luar perbatasan Madinah, walaupun ada indikasi adanya kegiatan militer yang mendahuluinya, yaitu yang diutus oleh Rasulullah kepada suku Juheina di sebelah utara Madinah, dibawah pimpinan Abdullah ibn Gahsy. Terkadang pula personel suatu ‘detasmen’ hanya terdiri dari satu orang yang diutus untuk tugas militer tertentu seperti ‘detasmen’ Ibnu Anis kepada Sufyan ibn Khalid ibn Nubeij, pada bulan Muharram tahun 6H. Pelaksanaan Ibadah Haji Wada' dan al-Tamam juga dalam sejarah dimasukkah dalam kategori al-maghazy padahal bukan peperangan. Demikian juga sebagian dari kegiatan sosial seperti diutusnya para dermawan mengunjungi pemukiman suku-suku Arab yang terjadi sesudah pelaksanaan Ibadah Haji wada'. Bertolak dari fakta-fakta tersebut di atas maka al-maghazy terbagi kedalam empat kategori dengan nama masing-masing sebagai berikut: 1. Al-Ghazawat: kegiatan militer yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. 2. Al-Saraya: kegiatan militer yang dipimpin oleh satu atau lebih sahabat yang ditunjuk oleh Rasulullah 3. Al-Buuts: utusan yang terdiri dari satu atau sejumlah kecil sahabat yang ditunjuk oleh Rasulullah untuk suatu misi pelaksanaan kebijakan tertentu. Termasuk dalam kategori ini kegiatan-kegiatan dakwah yang diutus untuk mengajarkan dasar-dasar ajaran Islam. Dalam kegiatan tersebut kadang terjadi bentrokan bersenjata terkadang pula tidak, tetapi pada dasarnya bukan misi militer. 4. Al-A'mal: semua kegiatan yang dilakukan oleh Rasulullah di Madinah yang bertujuan menjelaskan cara pelaksanaan ibadah seperti ibadah Haji wada', atau dalam merumuskan kebijakan tertentu mengenai kegiatan sosial dan penerapannya seperti mengutus para dermawan. Semua itu dalam sejarah Islam dimasukkan dalam al-maghazy yang secara bahasa berarti peperangan-peperangan, bentuk jamak (plural) dari kata maghzah yang penggunaannya tidak begitu populer, justeru istilah yang sering digunakan Rasulullah dalam surat-suratnya adalah kata gaziyah. 70 Dengan meneliti seluruh kegiatan-kegiatan tersebut secara cermat dan seksama akan jelas bahwa al-maghazy merupakan satu kesatuan dari rangkaian yang saling mengikat satu sama lain. Ini adalah suatu rangkaian kegiatan militer dan politik yang sasarannya adalah penyebaran Islam dan ekspansi kekuatannya. Hal ini tidak begitu jelas bagi sejarawan tradisional kita, sehingga mereka mengkaji al-maghazy secara terpisah satu sama lain. Karena itu, mereka tidak dapat menemukan hikmah dibalik itu semua. Kadangkala mereka mengajukan keterangan yang amat bersahaja, yang -tidak ada hubungannya dengan misi dan target perang- mengenai motivasi lahirnya suatu keputusan Rasulullah untuk mengutus satu ‘detasmen’. Dalam hal ini mereka mengatakan misalnya “informasi telah sampai kepada Rasulullah bahwa suatu suku Arab mengadakan mobilisasi untuk menyerang Madinah, lalu Rasulullah mendahului serangan mereka, baik dengan memimpin langsung atau menunjuk seorang sahabat untuk memimpinnya”. Mereka secara tidak sadar menjadikan seluruh kebijakan dan kegiatan Rasulullah bersifat reaksional. Dari keterangan mereka difahami bahwa Rasulullah tidak menugaskan ‘detasmen’ dzi-amarr kecuali karena adanya informasi bahwa suku ghatfan dengan pasukannya telah bergerak menuju perbatasan Madinah untuk mengadakan serangan. Tapi jika kita kaji lebih seksama akan terlihat bahwa al-maghazy seluruhnya telah diatur dan dicanangkan secara cermat sekali sebagai satu kesatuan kegiatan militer dan politik yang bertujuan untuk menundukkan semenanjung Arab dan penduduknya kedalam Islam agar menjadi basis kekuatan penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Bahkan lebih dari itu kami mempunyai asumsi bahwa setiap kategori al-maghazy memiliki keterikatan satu sama lain dari segi urgensi dan target masing-masing. Setiap kegiatan dalam satu kategori selalu berakhir dengan hasil yang semakin menampakkan gejala ekspansif. Bukti-bukti mengenai asumsi ini akan segera kita simak. Delapan kegiatan militer yang mendahului pecahnya perang Badr adalah contoh paling dekat, karena semuanya merupakan pendahuluan perang Badr, sedangkan perang Badr sendiri dicanangkan oleh Rasulullah sebagai tahap akhir dari tahap-tahap ekspansi kekuatan Madinah dan pengamanan perbatasannya. Yang menjadi pertimbangan kesimpulan ini adalah jika kita memantau keseluruhan al-maghazy akan terlihat bahwa ia merupakan satu kesatuan perencanaan matang untuk menaklukkan Mekkah pada tahun 8 H. Dan takluknya Mekkah berarti seluruh wilayah Hijaz dan Tihama sudah pasti masuk Islam. Kesimpulan ini tidak betentangan dengan keterlambatan Thaif dan Tsaqief memeluk Islam karena keterlambatan tersebut mempunyai kondisi tertentu yang dapat difahami dengan menggunakan logika sejarah. Di satu sisi Tsaqief adalah salah satu suku besar yang menggantungkan diri pada Mekkah dan di sisi lain juga mengandalkan Huwazin. Ketika Mekkah sudah takluk Tsaqief masih mempunyai basis kekuatan di Huwazin, sehingga yang terakhir ini perlu waktu untuk menaklukkannya agar Tsaqief terisolasi dari masyarakat Arab seluruhnya sehingga tiada lain baginya kecuali masuk Islam. Dan sesungguhnya siapapun yang mengetahui kondisi geografis semenanjung Arab, kemudian memeriksa karakteristik bangsa Arab yang tidak pernah mengenal nilai persatuan, akan terheranheran bagaimana bisa Rasulullah berhasil menyelesaikan misinya secara spektakuler hanya dalam jangka delapan tahun. Sekiranya Rasulullah berhasil memasukkan Hijaz dan Tihama kedalam Islam pada tahun 8 H. maka keberhasilan itu saja sudah cukup hebat. 71 Bagaimana dengan takluknya Mekkah yang merupakan pintu utama bagi masuknya semenanjung Arab seluruhnya ke dalam Islam? Dengan ditaklukkannya Mekkah maka seluruh semenanjung Arab bergerak satu baris menuju Islam secara sukarela dan dalam keadaan damai yang terjadi pada tahun. 9 H. yang dikenal dengan tahun wufud, berbondong-bondongnya penduduk Arab masuk Islam; dan tahun. 10 H. yang dikenal dengan Haji Wada'. Untuk memahami kenyataan ini kiranya perlu menyimak kondisi geofisika semenanjung Arab, yakni keadaan iklim, letak geografis dan hubungan organik antara pelbagai wilayahnya satu sama lain. Karya-karya ilmuan geografi klasik dalam hal ini tidak mendukung, karena meskipun pengetahuan mereka cukup melimpah namun penentuan letak geografis berbagai wilayah semenanjung kurang tepat, ditambahkan pula keterbatasan pengetahuan mereka tentang struktur geografis semenanjung dan keterikatan antar wilayah satu sama lain. Kesimpulan mereka bahwa semenanjung Arab terbagi kedalam enam wilayah, yaitu: Hijaz, Tihama, Nejd, 'Urudl, Yaman dan Bahrain adalah tidak tepat bahkan keliru, karena ternyata wilayahnya lebih dari itu. Kemudian pembagian wilayah yang mereka lakukan tidak berdasarkan iklim dan letak geografis, sebab antara Hijaz dan Tihama terdapat perbedaan gografis, sementara Nejd secara geografis bukan satu wilayah melainkan terdiri dari beberapa wilayah. Demikian juga 'Urudl dan Bahrain. Lalu siapa yang mengatakan bahwa Yaman adalah wilayah pesisir selatan semenanjung yang memanjang dari pesisir Amman sampai dengan pesisir Laut Merah? Di sini kita tidak akan mendiskusikan persoalan yang merupakan bidang kajian geografi semenanjung ini. Walaupun sebenarnya layak untuk dikaji lebih lanjut. Tapi yang penting bahwa nama-nama wilayah yang tertera dalam karya mereka umumnya benar dan tepat. Tidak demikian halnya dengan data-data yang berhubungan dengan semenanjung sebagai satu kesatuan geografis yang mencakup banyak wilayah, masing-masing memiliki ciri khas sendiri, hal mana tidak masuk dalam perhitungan ilmuan klasik. Sebenarnya penentuan letak geografis wilayah-wilayah semenanjung tidak berhubungan dengan apa yang kami maksudkan sebagai latar belakan geografis yang dapat membantu memahami dan mencermati keberhasilan misi Rasulullah, tapi uraian di atas dimaksudkan sebagai pendahuluan untuk mencatat tiga kenyataan mendasar dalam kehidupan semenanjung Arab: Kenyataan Pertama: Fenomena umum yang berlaku dalam kehidupan Arab Jahiliyah, terutama masa jahiliyah II, yakni dua abad sebelum Islam, adalah ketergantungan kehidupan masyarakat kepada pusat-pusat kegiatan dan perkampungan yang ada pada areal tanah subur dengan sumber mata air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan hidup mereka, dan yang memungkinkan bagi mereka menggarap lahan pertanian yang dapat memenuhi kebutuhan pokok makan dan minum, terutama dalam bercocok tanam kurma, gandum dan kebutuhan makanan bagi hewan gembalaan. Jika andalan kehidupan mereka yang stabil tergantung pada pertanian dan peternakan maka para penduduk badui yang berpindah-pindah mengandalkan peternakan saja. Hewan-hewan mereka makan dari tumbuhan dan rerumputan berduri dan kering yang selanjutnya memproduksi susu, daging dan wol. Artinya kehidupan mereka tergantung pada hewan. Fenomena ini terlihat pada pusat-pusat kegiatan dan perkampungan di Hijaz dan Tihama yang meliputi Mekkah, Madinah, Thaif, Khaebar, Tayma, Wadil-Qura mendaki sampai ke utara semenanjung, dan Besya, Saraah serta Ghamid turun ke arah selatan. Pusat-pusat kegiatan dan perkampungan tersebut juga meliputi areal tanah subur yang mengitari telaga-telaga dengan air melimpah seperti di Nejd, demikian juga di Bahrain yang memiliki sumber-sumber mata air, 72 kemudian wilayah-wilayah Amman dan Yaman yang mengandalkan air musim hujan. Pusatpusat tersebut merupakan modal hidup bermasyarakat, bercocok tanam dan beternak, apakah peternakan sapi atau kambing ataupun domba. Maka siapa yang ingin menguasai semenanjung Arab ia harus mampu mencermati pusat-pusat kehidupan tersebut, yang meskipun luasnya relatif terbatas namun pada dasarnya sedemikian strategis sehingga dapat menentukan kelangsungan hidup di semenanjung. Kenyataan Kedua: Fenomena adanya kelompok-kelompok Arab badui yang hidup di luar pusat kegiatan dan perkampungan. Mereka itu adalah suku-suku dari bani Mudlar dan bani Aylan yang masih ada hubungan kerabat dengan suku Kinana dan Qureisy yang juga bani (anak cucu) Mudlar namun dari keturunan Ilyas. Pergelutan antara kedua anak cucu Mudlar ini cukup panjang. Selain Kinana, Qureisy dan Aylan, seluruh kelompok-kelompok keturunan Mudlar lainnya hidup sebagai suku-suku badui yang tersebar menduduki areal luas di mana terdapat sedikit mata air atau frequensi hujan musiman yang tidak banyak dan tak teratur. Tetapi air yang mereka dapatkan cukup untuk kebutuhan mereka dan hewan-hewannya. Kelompok-kelompok induk dari keturunan Mudlar yang membentuk suku-suku Hawazin, Ghatfan, Asd, 'Abs, Dzaeban, Bakr, Taghlub, Rabi'ah dan seterusnya yang menguasai areal luas tersebut adalah merupakan gudang sumber daya manusia yang paling menentukan dalam kehidupan di semenanjung Arab, walaupun kehidupan mereka sendiri tergantung kepada pusat-pusat kegiatan masyarakat dan perkampungan yang ada. Kelangsungan hidup suku-suku Ghatfan, Asd, 'Abs dan Dzaeban tergantung dan menyandarkan diri kepada perkampungan Khaebar, Fadk dan WadilQura. Sedangkan suku-suku Hawazin tergantung kepada Mekkah dan Thaif. Orang-orang badui di bagian timur semenanjung tergantung kepada Nejd; dan yang di bagian utara Yaman tergantung kepada Najran dan 'Useir; seterusnya ke arah pesisir di selatan. Jika seseorang ingin menguasai wilayah Hijaz maka ia harus menduduki perkampunganperkampungan Madinah hingga Khaebar; jika ingin menguasai wilayah Tihama ia harus menduduki perkampungan-perkampungan Mekkah dan Thaif. Jika ingin menundukkan sukusuku Ghatfan, Asd, 'Abs dan Dzaeban maka harus menguasai perkampungan Khaebar, Fadk dan Ummul-Qura; jika ingin menguasai wilayah timur semenanjung kuncinya ada pada perkampungan-perkampungan Nejd, sedangkan jika menguasai wilayah Yaman yang meliputi Besya, Turba, Najran dan Sha'dah berarti telah menundukkan kedua wilayah utara Yaman. Posisi-posisi strategis ini berlaku pada masa Rasulullah dan abad-abad sesudahnya hingga penghujung abad pertengahan. Perubahan-perubahan radikal yang terjadi pada abad modern telah merubah posisi-posisi tersebut, sehingga abad modern memiliki kondisi tertentu dengan logika sejarah tersendiri. Kenyataan ketiga: adalah urgensi telaga-telaga yang berfungsi ganda; di samping menampung air juga sebagai jalur perjalanan dan perdagangan yang menghubungkan antar perkampungan satu sama lain, yang pada akhirnya menjadi urat nadi kehidupan di semenanjung. Siapa yang ingin menundukkan satu wilayah di semenanjung maka ia harus menguasai telaga-telaga tersebut. Kenyataan-kenyataan ini menjelaskan betapa rencana Rasulullah Saw. untuk memasukkan semenanjung Arab ke dalam Islam didasarkan pada strategi yang amat tinggi dan perhitungan yang matang sekali. 73 3. DELAPAN OPERASI AL-MAGHAZI MENDAHULUI PERANG BADR. Pembahasan kita sekarang adalah mengenai delapan operasi militer atau peperangan kecil yang mendahului perang Badr. Dalam operasi-operasi tersebut akan terlihat implementasi apa yang telah kita catat terdahulu bahwa al-maghazy seluruhnya adalah satu kesatuan yang mempunyai sasaran ekspansi islam dan perluasan jangkauan umatnya atau penyebaran Islam di seluruh semenanjung Arab sebagai upaya menjadikannya sebagai basis penyebaran Islam ke seluruh dunia. Artinya, kegiatan al-maghazy tetap berlangsung sampai Islam berkuasa di atas bumi. Hal itu adalah tugas dan tanggung-jawab umat Islam baik secara kelompok maupun perorangan. Berikut catatan kedelapan operasi militer tersebut : 1. Operasi saef al-ahr dipimpin oleh Hamzah ibn Abdul Mutthalib. Sasarannya mencegat kafilah dagang orang-orang Mekkah yang dikawal 300 orang sementara pasukan Hamzah hanya terdiri dari 15 personil. Dilaksanakan pada bulan Ramadlan tahun 1H/Maret 623M. 2. Operasi rabig dipimpin oleh 'Ubeidah ibn Al-Harith untuk mencegat kafilah dagang yang dikawal 200 personil Qureisy dibawah pimpinan 'Ikrimah ibn Abu Jahal. Dilaksanakan pada bulan Syawal 1H/April 623M. 3. Operasi al-kharrar dipimpin oleh Sa'd ibn Abi Waqqash beranggotakan 20 personil kavaleri untuk mencegat kafilah dagang Qureisy, namun tidak terjadi bentrokan bersenjata karena ternyata kafilah melewati jalur lain. Rasulullah memberikan petunjuk bahwa misi ‘detasmen’ tidak boleh melewati telaga al-kharrar dan harus kembali ke Madinah. Terjadi pada bulan Dzul-qa'dah 1H/Mei 623M. 4. Perang al-abwa dipimpin langsung oleh Rasulullah. Tidak diketahui secara tepat berapa jumlah personil pasukan. Tidak pula terjadi bentrokan senjata, namun Rasulullah mengadakan perjanjian pertahanan bersama dengan kelompok Bani Dhamrah. Terjadi pada bulan Safar 2H/Agustus 623M. 5. Perang bawath operasi yang terjadi di gunung bawath, salah satu diantara pengunungan Juheina yang terletak di sudut radlwa dekat dzi-kashab yang berbatasan dengan Madinah. Personil pasukan Rasulullah terdiri atas 200 orang dengan pembawa bendera Sa'd ibn Abi Waqqash. Sasarannya mencegat kafilah dagang Qureisy dibawah pimpinan Umayah ibn Khalaf beranggotakan 100 personil berikut 2500 ekor unta. Terjadi pada bulan Rabiul.Awal 2H/September 623M. 6. Perang Badr I Rasulullah mengejar gerombolan Kurz ibn Jabir Al-Fihry yang merampok peternakan Madinah di Jamma' yang terletak pada sekitar 3 mil (5,5 km) arah timur laut Madinah. Pengejaran dilakukan sampai daerah Badr namun tidak berhasil menangkap mereka lalu kembali. Terjadi pada bulan Rabiul.Awal 2H/September 623M. 7. Pada bulan Jumadil-Ula tahun itu juga Rasulullah memimpin pasukannya ke arah Dzatul-Usyeira untuk mencegat kafilah dagang Qureisy yang sedang kembali ke Mekkah. Pada operasi ini tidak terjadi bentrokan bersenjata seperti halnya pada operasi Bawath yang sasarannya kafilah yang sama sewaktu sedang berangkat ke Syam. Tapi pada kesempatan itu Rasulullah berhasil mengadakan perjanjian pertahanan bersama dengan bani Mudlaj dan para sekutunya dari bani Dhamrah. 8. Operasi nakhla. Nakhla al-Syamsiah terletak pada perbatasan utara Mekkah. Operasi dipimpin oleh Abdullah ibn Gahsy yang beranggotakan 'Ukasyah ibn Muhsin, Sa'd ibn Abi Waqqash, Waqid ibn Abdullah dan 'Utban ibn Ghazwan. Meskipun misinya digariskan oleh Rasulullah sebagai sekedar pemantauan dan tidak ada instruksi perang, namun kontak bersenjata terjadi juga. Terdapat perbedaan pendapat tanggal terjadinya 74 antara bulan Jumadil-Ula, Jumadil Akhir dan awal Rajab 2H/Januari 624M. Setibanya pasukan di Madinah ayat Al-Qur'an turun mengizinkan kaum muslim melakukan perang pada bulan-bulan haram jika sifatnya mempertahankan diri dan agama. Kontak bersenjata yang terjadi di Nakhla adalah pra perang Badr. Dan dengan dicapainya kemenangan gemilang pada perang Badr nanti, berarti tahap pertama pembangunan keagamaan dan politik di Madinah telah tercapai dengan semakin mantapnya stabilitas sehingga Madinah menjadi umat yang aman dan terkuat di wilayah Hijaz. Demikian delapan operasi al-maghazy mendahului perang Badr; empat diantaranya berupa sariyyah, yakni saef al-bahr, rabig, al-kharrar dan nakhla; empat berupa ghazawat, yakni alabwa, bawath, pengejaran gerombolan Kurz Al-Fihry dan dzat al-'usyeira. Dilihat dari misinya enam di antaranya dimaksudkan untuk mengamankan perbatasan Madinah dan pendekatan terhadap suku Arab yang bermukim di sekitar perbatasan, terutama terhadap suku Juheina dan dhamrah; satu di antaranya sebagai pemantauan dan satu berupa pengejaran gerombolan perampok. Rasulullah merasa perlu memimpin sendiri operasi pengejaran tersebut karena beliau sangat concern37 dengan keamanan perbatasan dan pusat-pusat logistik Madinah. Begitu mendengar ada perampokan beliau langsung beranjak bersama siapa saja yang hadir pada saat itu untuk segera melakukan pengejaran. Demikian itu untuk memberikan pelajaran dan memberikan efek jera bagi orang-orang badui agar tidak berambisi lagi melakukan perampokan. Adalah tradisi orang-orang badui bahwa apabila ada perkampungan yang memiliki lahan pertanian dan peternakan berproduksi mereka melakukan pembantaian dan perampokan di dalamnya sebagai ancaman kepada penduduk agar mereka rela membayar upeti demi keamanan. Orang-orang Qureisy di Mekkah dan para penduduk Thaif, Khaebar, Tayma dan Fadk dan seluruh perkampungan yang ramai dengan aktifitas umumnya membayar upeti demi keamanan. Jumlah upeti kadangkala dengan cara bagi dua hasil panen seperti di Khaebar di mana suku Ghatfan mendapat upeti dari hasil panen orang-orang Yahudi yang bermukim di Khaebar. Rasulullah sejak awal sudah menolak sistim pembayaran upeti ini, karena beliau memandang bahwa penduduk Madinah mampu melakukan pengamanan sendiri dan tidak pernah memenuhi tuntutan gerombolan badui. Beliau juga menolak sistim pembayaran khafarat yaitu pajak yang dipungut oleh suku-suku yang dilalui kafilah dagang Madinah dengan cara mendorong mereka untuk masuk Islam sehingga daerah kekuasaan mereka masuk dalam wilayah perbatasan Madinah, sehingga penduduknya menjadi bagian dari umat Islam. Jika para penduduk masih belum rela memeluk Islam, minimal melakukan perjanjian pertahanan bersama agar umat Islam tidak perlu mebayar ‘pajak lewat’ dan upeti. Dengan demikian, pada tahap ini orientasi al-maghazy telah diarahkan menguasai pesisir laut di sebelah barat (saef al-bahr), barat daya dan barat laut mengikuti jalur perdagangan dengan tujuan meyakinkan suku-suku yang bermukim di wilayah-wilayah tersebut akan pentingnya bergabung ke dalam umat atau perjanjian Madinah agar Mekkah kehilangan sekutu; dan hal itu berarti memperkecil kekuatan Qureisy. Kenyataan terlihat jelas pada operasi saef al-bahr yang sasarannya mencegat kafilah dagang Qureisy dibawah pimpinan Abu Jahal. Ketika menemukan jejak kafilah, Hamzah sebagai komandan operasi segera mengatur pasukannya yang hanya berpersonil 15 orang untuk 37 Perhatian yang sepenuhnya 75 menghadapi kafilah Abu Jahal yang berpersonil 300 orang. Tapi kontak bersenjata ternyata dapat dihindari atas usaha mediasi yang dilakukan oleh Maghdi ibn 'Amr Al-Juhni, pemimpin suku Juheina yang berusaha keras untuk menghindarkan wilayahnya dari kecamuk perang. Berkata Al-Waqidi 10/10: “Atas usaha mediasi yang dilakukan oleh Magdi ibn Amr dengan berulangalik antara kedua belah pihak, akhirnya perang dapat dihindarkan sehingga kafilah Abu Jahal melanjutkan perjalanan ke Mekkah sementara Hamzah dan pasukannya kembali ke Madinah”. Rasulullah sendiri memuji usaha Magdi ibn Amr tersebut. Beliau bersabda: “Orang-orang Qureisy memandangnya sebagai sekutu”. Ketika orang-orang Juheina mendatangi Rasulullah di Madinah dan sempat menanyakan sikap Rasulullah terhadap pimpinan mereka, beliau menjawab: “Ia adalah orang yang memiliki kejelian”. Dalam sebagian riwayat dikatakan bahwa lima belas anggota personil operasi pertama terdiri dari Al-anshar dan itu tidak benar, karena orang-orang Al-anshar mulai ikut operasi al-maghazy sejak perang Badr. Hal ini berhubungan dengan kebijaksanaan Rasulullah yang secara konstitusional sampai perang Badr didasarkan pada perjanjian aqabah II, di mana digariskan bahwa "orangorang Al-anshar berjanji melindungi Rasulullah seperti halnya melindungi diri dan keluarga sendiri dari setiap ancaman, baik dari dalam maupun dari luar Madinah". Oleh karena itu tidak wajib bagi mereka ikut serta dalam operasi al-maghazy dalam bentuk apapun. Di pihak lain Rasulullah pun tidak meminta kepada mereka sampai peristiwa perang Badr. Ini berarti bahwa yang ikut dalam operasi al-maghazy yang mendahului perang Badr seluruhnya adalah orangorang Muhajirin. Dalam merealisasikan operasi-operasi al-maghazy pada tahap ini Rasulullah merekrut pasukan yang berjumlah kecil. Dapat dicatat misalnya dalam operasi rabig jumlah anggota pasukan 60 personil. Sedangkan operasi lainnya tidak lebih dari 20 personil, kecuali perang dzat al-usyeira di mana Rasulullah berangkat bersama 150 atau 200 personil. Jika kita mengingat kembali bahwa sampai saat itu jumlah Muhajirin tidak lebih dari 250 orang berarti hampir seluruh orang-orang Muhajirin telah ikut dalam operasi militer. Demikian itu adalah kebijakan yang akan menjadi tradisi umat Islam selanjutnya. Bahwa Rasulullah ingin menjadikan umat seluruhnya sebagai tentara dan tentara adalah umat agar dalam diri umat tidak perlu ada perbedaan antara penduduk sipil dengan militer. Kiranya kebijakan seperti itulah yang sesuai dengan status umat beriman. Dalam keempat operasi sariyah, Rasulullah menunjuk komandan secara bergantian. Mereka adalah masing-masing: Pertama, Hamzah ibn Abdul Mutthalib (paman Rasulullah); kedua, 'Ubaeida ibn Al-Harith ibn Abdul Mutthalib (sepupu beliau); ketiga, Sa'd ibn Abi Waqqash dan yang keempat, Abdullah ibn Gahsy. Dari mereka hanya Ubeida satu-satunya yang berumur lebih tua dari Rasulullah. Maksud Rasulullah melakukan penunjukan secara bergantian adalah untuk menampilkan dan mengorbitkan serta memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki bakat kepemimpinan agar tiada satupun dari potensi-potensi umat yang tidak memperoleh kesempatan mengembangkan bakat dan potensinya. 76 4. PRA PERANG BADR Pendekatan emosional tradisional terhadap operasi al-maghazy tidak berhasil menemukan garis pertalian historis yang menghubungkan satu operasi dengan lainnya sehingga tidak mampu merumuskan bagaimana perjuangan telah berhasil menciptakan suatu masyarakat yang dicanangkan oleh Rasulullah. Hal itu disebabkan karena mereka membaca dan mengkaji almaghazy secara terpisah dan parsial. Untuk membuktikan bahwa di dalam operasi-operasi al-maghazy terdapat garis pertalian historis yang berhubungan dengan bangunan masyarakat yang diinginkan oleh Rasulullah, mari kita sejenak merenungkan apa yang terjadi pada operasi nakhla yang terjadi pada akhir bulan Rajab atau awal Syawal 2H/ akhir Januari 624M. yang merupakan pendahuluan perang Badr, yang akan pecah pada tanggal 17 Ramadlan 2H/15 Maret 624M. Bukti-bukti yang ada seluruhnya menunjukkan kepada adanya keterikatan erat antara kedua operasi tersebut sebab setelah 7 operasi sebelumnya Rasulullah memandang bahwa saat yang menentukan sudah tiba untuk secara final menampakkan posisi Madinah sebagai kekuatan yang disegani di Hijaz dan Tihama. Sebelum hijrahnya Rasulullah, Qureisy adalah penguasa yang tak tersaingi di wilayah-wilayah tersebut. Tetapi Rasulullah memahami bagaimana membangun dan mengatur suatu masyarakat berdasarkan Islam, suatu sistim kehidupan masyarakat yang belum pernah dikenal oleh bangsa Arab dalam sejarahnya; yaitu sistim kesatuan umat yang bersaudara dan sama posisi dalam struktur sosial, harga diri dan tanggung jawab tanpa menghapuskan loyalitas suku. Islam tidak menghapuskan dan tidak menginginkan terhapusnya sistim kesukuan sebab loyalitas suku telah memainkan peran penting dan nyata dalam sistim kehidupan sosio-politik masyarakat semenanjung Arab. Umat Madinah, seperti yang tercatat dalam surat-surat perjanjian Rasulullah dengan para Muhajirin dan Al-Anshar serta para sekutu mereka, tidak diatur dengan cara pemerintahan, tetapi setiap suku yang merupakan unit-unit kelompok masyarakat wajib melaksanakan syari'at dan kewajiban-kewajibannya terhadap umat secara keseluruhan, sehingga tidak perlu selalu bersandar kepada Rasulullah dalam memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan, kecuali jika menghadapi bahaya besar yang mengancam umat di mana unit-unit suku tersebut tidak mampu mengatasi atau menghindarinya. Dengan kata lain umat tidak diatur melalui sistim sentralisasi pemerintahan. Sistim kesukuan adalah bagian dalam konsepsi umat dalam Islam dengan menghapuskan unsurunsurnya yang jelek dan memelihara serta melestarikan yang baik dan konstruktif yang sesuai dengan aqidah.Islam menyamakan kedudukan manusia demi tertanamnya rasa persaudaraan . Q.S. 3 aal Imran :103; tetapi tidak membatalkan loyalitas suku. Betapapun pengkajian yang dilakukan, tidak akan ditemukan bukti bahwa Islam menghapuskan loyalitas seseorang kepada suku atau kaumnya (bangsanya) karena ia merupakan bagian dari karakteristik manusia. Yang dihapuskan oleh Islam ialah kepribadian atau gengsi suku dan digantikan dengan kepribadian agama atau gengsi Islam. Rasulullahmemperlakukan qabilah = suku induk, 'asabiyat = suku cabang dan buyut = unit terkecil dalam suku, sesuai dengan status mereka tetapi staus-status tersebut pudar sendirinya oleh persaudaraan, syari'at dan kepentingan Islam. Selama beberapa bulan semenjak hijrah sampai operasi nakhla, Rasulullah berjuang memperkokoh bangunan umat dan mengamankan perbatasan negerinya; yakni Madinah, dengan cara menanamkan keimanan, persaudaraan dan semangat pegorbanan; mengatur jalannya kehidupan berdasarkan satu syari'at yang pada gilirannya menciptakan kesamaan tradisi dan adat istiadat pergaulan; menjadikan suku-suku Arab Hijaz sebagai sekutu atau memasukkannya 77 kedalam Islam selama memungkinkan; serta berhasil mereduksi laju perekonomian Mekkah; sehingga akhirnya tiada jalan lain lagi bagi Mekkah kecuali konfrontasi militer. Pada perang abwa dan bawath, umat Islam berhasil menguasai kedua jalan alternatif perdagangan Mekkah-Madinah yang mengapit jalur perdagangan Mekkah-Syam. Sekutu-sekutu Juheina, Belluy dan Dhamrah yang bermukim di sepanjang jalur tersebut berhasil ditarik masuk kedalam barisan umat Islam. Seperti telah disinggung terdahulu, ketika gerombolan Kurz AlFihry merampok gudang logistik Madinah Rasulullah sendiri memimpin pengejaran sebagai tanda penolakan beliau terhadap sistim upeti, bahkan memberikan ganjaran kepada mereka yang mempunyai ambisi mengancam ketentraman Madinah, sehingga pengejaran dilakukan demikian jauh sampai mendekati daerah Badr kemudian kembali ke Madinah. Oleh karena itu operasi itu dinamakan perang Badr I. Setelah itu Rasulullah memimpin pasukan yang terdiri atas 150 atau 200 personil angkatan perang menuju dzat al-usyeira untuk mencegat kafilah dagang Mekkah, yang terdiri atas 2500 ekor unta, yang dikawal oleh 100 personil pasukan Qureisy dibawah pimpinan Umayah ibn Khalaf Al-Makhzumy, yang sedang kembali dari Syam menuju Mekkah. Sebulan sebelumnya Rasulullah telah memimpin operasi yang sama ketika kafilah tersebut sedang menuju Syam tetapi terlambat. Dan ketika diinformasikan bahwa kafilah tersebut sedang kembali dari Syam, Rasulullah bersama balatentaranya segera menuju dzat al-usyeira, tetapi terlambat karena baru saja beliau tiba ternyata kafilah sudah berlalu. Rupanya target operasi yang dipimpin langsung oleh Rasulullah tersebut bukan untuk mencegat kafilah melainkan untuk menguji loyalitas dan komitmen suku bani Dhamrah yang bermukim di wilayah dzat al-usyeira yang kaya akan tanah pertanian dan sumber mata air yang melimpah dan berada pada jalur strategis perdagangan Mekkah-Syam. Pada operasi sebelumnya, yaitu pada perang abwa, 2 Safar 2H/ Agustus 623M telah dicapai kesepakatan pakta pertahanan bersama antara Rasulullah dengan bani Dhamrah. Mengenai operasi abwa, Al-Waqidi berkata (vol.1/12): “ ... hingga Rasulullah tiba di abwa, kafilah telah berlalu. Dalam operasi ini beliau melakukan perjanjian dengan bani Dhamrah dari suku induk kinanah demi keamanan Madinah dari arah dan pihaknya. Operasi tersebut membutuhkan waktu selama 15 hari”. Penegasannya mengenai bani Dhamrah dari suku kinanah mengundang perhatian kita, sebab yang masyhur dalam buku nasab asal-usul keturunan Arab bahwa dhamrah berasal dari Juheina dan qudha'a, tetapi rupanya sebagian dari keturunan kinanah bergabung kedalam keluarga Juheina akibat terpencarnya qudha'a ke berbagai tempat dan suku lainnya. Suatu gejala yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian orang hijaz dan Madinah. Semenjak Rasulullah menginjakkan kakinya di Madinah, beliau telah menaruh perhatian besar kepada suku-suku Juheina, belluy dan cabang-cabangnya dari qudha'a dalam upaya memasukkan mereka ke dalam barisan umat Islam. Dan hal ini kiranya akan sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam, baik pada masa Nabi maupun sesudahnya. Setelah operasi dzat al-usyeira, menyusul operasi nakhla dan yang disebut terakhir, perlu kita renungkan motivasi dan target pelaksanaannya. Setelah melihat loyalitas yang tinggi dan kesetiaan suku Juheina dan Bellay, Rasulullah menyadari bahwa orang Mekkah sudah pasti merasa terancam dengan semakin sempitnya ruang gerak peniagaannya dan tentu membuat mereka tidak tinggal diam. Oleh karena itu Rasulullah dan para sahabatnya melakukan pemantauan intensif terhadap setiap kafilah dagang yang melewati pesisir. 78 Perlu diperhatikan di sini bahwa Rasulullah selalu berusaha menjadi pemrakarsa pertama dengan langkah antisipasinya yang lebih cepat. Kepribadian beliau sama sekali bertentangan dengan sikap-sikap reaksionil yang menunggu sesuatu terjadi baru mengambil tindakan. Beliau segera mengutus ekspedisi nakhla dengan tujuan ingin meguji kekuatan Mekkah dan reaksinya. Dalam operasi tersebut beliau mempersiapkan personil dan komandan pasukan yang terbaik dengan menunjuk Abdullah ibn Gahsy, seorang yang dikenal sangat disiplin di antara pemuka-pemuka sahabat, sebagai komandannya. Penunjukannya berjalan sangat resmi dan tegas. Selepas shalat Isya beliau memanggil Abdullah ibn Gahsy dan membisikkan: “Datanglah shalat subuh dengan senjata lengkap, aku akan mengutusmu untuk suatu misi”. Setelah shalat subuh, ia mendahului ke kediaman Rasulullah, dan setibanya beliau segera memanggil sekretarisnya, Ubay ibn Ka'b untuk menulis surat perintah yang berbunyi sebagai berikut: “penulis menunjuk saudara sebagai komandan pasukan dan setelah berjalan dua malam, bukalah surat ini, selanjutnya laksanakan isinya”. Bertanya Abdullah ibn Gahsy: “Kearah mana kami wahai Rasulullah?” Jawab beliau:”Ke arah Rukbah al-Najdiyah”. Orientalis Amerika, Mardson Johons, yang mempublikasikan naskah lengkap Al-Waqidi membacanya Rakibbah, dan pada catatan kaki tulisannya ia menafsirkan Rakibbah sebagai suatu sumur, padahal tidak demikian kenyataannya. Yang benar adalah Rukbah, yaitu salah satu bukit di sebelah timur laut dari arah Mekkah yang namanya masih dikenal sampai sekarang, sedangkan al-najdiyah adalah jalur perdagangan Mekkah-Iraq melewati Nejd yang juga masih tetap terpelihara sampai sekarang, walupun dengan ganti nama jalur Zubeidah, mengabadikan nama permaisuri Raja Harun Al-Rasyid yang bernama Zubeidah, yang dikenal sangat memperhatikan perbaikan dan pemeliharaan jalur niaga tersebut berikut sumber mata air yang ada di sekitarnya. Selama ini Rasulullah belum pernah mengeluarkan surat tugas seresmi dan dalam bentuk seperti itu, menandakan bahwa kini tiba saatnya beliau mengajarkan bagaimana mempersiapkan, memimpin dan mengatur siasat perang, setelah sekian lama sudah melakukan latihan-latihan dalam menjadikan umat seluruhnya pejuang sebagai tentara di kala perang dan sipil di kala damai. Sebelum wafat, umatnya sudah menjadi basis kekuatan militer teratur rapi dan mampu berperang berdasarkan kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip kemiliteran. Kemenangan umat Islam dalam perang melawan suku Huwazin dan sekutunya Tsaqief, perang Hunein dan Authas adalah contoh-contoh yang paling dekat. Meskipun lawan-lawan mereka cukup kuat dan pertempuran berlangsung dalam kondisi geografis yang amat berat, namun mereka mampu memenangkan perang secara gemilang dengan kerugian yang sangat tipis, sebab dalam peperangan-peperangan tersebut tercatat hanya empat orang dari kaum muslim yang mati syahid. Di antara ajaran Raulullah yang sangat berharga adalah penanaman sikap disiplin dan ketulusan hati pasukan seperti yang tercermin dalam surat perintahnya yang berbunyi: “Jangan sekali-kali memaksa seseorangpun untuk maju bersamamu, tetapi majulah sesuai dengan perintahku bersama siapa saja yang sukarela, hingga tiba di kawasan nakhla untuk memantau kafilah Qureisy”. Islam meminta kepada umatnya agar menjadi pejuang secara sukarela, berdasarkan cinta kepada Allah dan agama-Nya serta tanpa pamrih dalam mempertahankan agama. Dalam surat perintah Rasulullah tidak terdapat instruksi perang, tetapi terjadi juga di mana satu orang orang Qureisy terbunuh dan dua ditawan oleh kaum muslimin. Rasulullah menyayangkan terjadinya pertempuran karena dua hal; pertama, beliau tidak memberikan instruksi perang; kedua, hari itu masih termasuk bulan Rajab yang merupakan satu di antara bulan-bulan haram, 79 yaitu bulan yang tidak boleh berperang di dalamnya. Para sahabat juga ikut mengecam tindakan Abdullah ibn Gahsy dan pasukannya, tetapi Allah menolong mereka dengan turunnya ayat 217 surah al-Baqaroh. Pertempuran terjadi di ambang pintu perbatasan Mekkah; suatu tantangan nyata bagi orang Qureisy. Jika selama ini orang-orang Qureisy terjepit oleh ancaman dan gangguan terhadap jalur perdagangannya dan tidak mengangkat senjata, maka tantangan provokatif di ambang pintu Mekkah tersebut semestinya membakar emosi mereka untuk menghabisi pasukan ‘detasmen’ nakhla, namun mereka tidak melakukan sesuatu apapun. Tapi demikianlah kehendak Allah. Dia yang maha memelihara umatnya dan maha mengetahui segala akibat dari perbuatan dan tindakan. Berdasarkan keadaan yang telah diuraikan, sudah dapat dipastikan bahwa umat Islam akan menghadapi lawan-lawannya dalam suatu pertarungan yang menentukan. Tidak menjadi masalah di mana peristiwanya terjadi; di Badr atau di tempat lain, dan kapan terjadi; pada tanggal 17 Ramadlan 2H atau pada hari lain, yang pasti adalah bahwa pertarungan menentukan itu tidak dapat dielakkan lagi, bukan sebagai apa yang dalam sejarah dinamakan kepastian sejarah, melainkan demikianlah logika peristiwa berjalan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Tuhan yang maha mengetahui segala yang gaib Allah SWT. Menjalankan segala sesuatu melalui hukum sebab-akibat sesuai dengan logika yang dapat dimengerti oleh dunia manusia, agar manusia dan bangsa-bangsa tidak hanyut ke dalam faham determinisme, sebab yang nyata adalah Allah mengatur terciptanya situasi yang menyebabkan manusia dapat melakukan pilihan sehingga ketentuan Allah bertemu dengan hasil pilihan dan ikhtiar manusia. 80 5. PERSIAPAN YANG CERMAT DAN MOBILISASI. Catatan sejarah cukup banyak mengenai peristiwa perang Badr. Tapi cerita-cerita di sekitarnya jauh lebih melimpah. Barangkali karena bercerita mengenai suatu kemenangan yang pertama kali diperoleh secara gemilang oleh Islam, yang menyebabkan kekuatan umat Islam semakin mantap, menghantarkan perjuangan Islam ke arah keberhasilan dalam mengalahkan kekuatan syirik, kebodohan, kelaliman lawan-lawan Islam, para pemimpin Mekkah. Dalam menjalani cobaan, krisis dan tantangan-tantangan dewasa ini, bangsa Arab dan umat Islam berusaha mendapatkan motivasi dan semangat juang dari kenangan-kenangan indah masa lalu. Di antaranya yang paling penting ialah peristiwa perang Badr yang hebat. Hebat karena kandungan sejarahnya dan karena yang memimpin adalah Rasulullah SAW; yang memberikan pelajaran sangat berharga tentang bagaimana memenangkan perang dengan kekuatan iman, kejujuran, semangat pengorbanan dan kepemimpinan yang baik. Ia juga hebat karena Al-Qur'an banyak menyinggung perihalnya. Ada rasa bangga yang membuat para sejarawan kita larut dalam suasana emosional mengisahkan kepahlawanan kaum muslim, yang pada gilirannya mengakibatkan kaburnya substansi sejarah, yang justeru amat diperlukan oleh peneliti sejarah demi memperjelas aspek-aspek penting pada peristiwa yang agung ini. Cerita-cerita kepahlawanan, walaupun penting, hanya akan mengalihkan perhatian dari garis besar perang, menghalangi kejelasan makna yang terkandung dalam tahap-tahap jalannya pertempuran, padahal peperangan adalah pengalaman dan pelajaran, sebagaimana perdamaian adalah pengalaman dan pelajaran. Dan sesungguhnya Rasulullah adalah soko guru yang ulung bagi ummat ini karena itu Allah menamakan beliau dengan julukan pemberi petunjuk dan pelita yang terang benderang. Menurut mayoritas penulis klasik dikatakan bahwa pada dasarnya Rasulullah melakukan operasi militer hanya untuk mencegat kafilah dagang Qureisy Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan Sakhr ibn Harb yang sudah terlanjur berlalu sebelum Rasulullah tiba di tempat sehingga segera beliau dan balatentaranya beranjak kembali menuju Madinah seandainya Abu Jahal dan beberapa anggota rombongannya muncul dengan tantangan provokatifnya menantang pasukan Madinah dalam rangka memenuhi ambisinya untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Qureisy masih kuat seperti sedia kala sebagai penguasa Hijaz yang tak tersaingi, pemegang kunci kemajuan perekonomian dan pemelihara Ka'bah, tanpa menghiraukan kekuatan Islam yang menantangnya di Madinah. Tapi jika kita memperhatikan data-data dan keadaan saat itu, nyata bahwa Rasulullah benar dalam uacapannya mengajak para sahabatnya mencegat kafilah, namun berkat kejelian Rasulullah dan kemampuan antisipasinya yang tinggi serta pandangannya yang jauh beliau tidak menutup kemungkinan akan terjadi pertempuran. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa operasi ‘detasmen’ nakhla telah menghantarkan kaum musyrikin kepada kondisi di mana pilihan untuk perang tidak terelakkan lagi, karena kaum muslim sudah menguasai sebagian besar jalur perdagangan Mekkah-Syam dan mereka selalu menjadi ancaman bagi kafilah dagang Mekkah, terutama karena pada operasi nakhla telah terjadi pertarungan yang dimenangkan oleh pihak Islam. Orang-orang Qureisy saat itu dihadapkan pada pilihan satu di antara dua alternatif; apakah menghentikan perniagaannya ke Syam karena kaum muslim tidak akan pernah membiarkan 81 kafilah mereka berlalu tanpa gangguan dan rintangan yang merugikan mereka, ataukan mengangkat senjata melawan Madinah dalam suatu perang menentukan yang jika dapat dimenangkan berarti jalur niaga terbuka dan aman sekaligus mengakhiri ancaman bagi ketentraman Mekkah, keamanan ekonomi dan ancaman bagi harga dirinya. Jika kondisinya sudah sedemikian rupa maka sikap dan prakarsa Abu Jahal mengajak orangorang Mekkah ke suatu tempat yang masyhur di sekitar jalur niaga, di mana mereka makan, minum dan menari-nari dibawah alunan lagu-lagu al-qayyan, setelah kafilah mereka berlalu tanpa gangguan, kiranya tepat untuk menanamkan kesan bahwa Qureisy masih tetap dalam kedudukannya sebagai penguasa Tihama dan Hijaz, dan bahwasanya tidak gentar menghadapi kekuatan Madinah. Kita sudah terbiasa menilai tindakan-tindakan Abu Jahal sebagai prilaku orang tolol dan congkak, padahal dengan merenungkan situasi yang sedang dihadapi justeru tindakannya terlihat sangat rasional, tentu dari sudut pandangan jahiliyah. Pada umumnya sejarawan kita tidak berhasil memformulasikan suatu kesimpulan bahwa dalam memulai pembangunan umat setibanya di Madinah, Rasulullah sejak awal sudah menaruh perhatian besar kepada pemukiman-pemukiman suku di sekitar Madinah, baik yang berada pada jalur Madinah-Syam amupun pada jalur Madinah-Mekkah, karena beliau menyadari betul letak geografis Madinah yang dikelilingi oleh berbagai pemukiman suku-suku yang belum pernah mengenal adanya hidup dalam kelompok msyarakat yang teratur berdasarkan keimanan agama dan semangat persaudaraan. Justeru tidak berdasarkan pada semangat sukuisme yang selama ini mereka alami. Keadaan yang terlihat pada kelompok masyarakat Madinah tersebut adalah stabilitas keamanan yang tinggi, kedamaian yang merata dan jumlah penduduk yang bertambah. Sementara kesejahteraan hidup semakin meningkat dan pada saat yang sama menolak membayar upeti kepada gerombolan badui, bahkan sudah nyata bagi gerombolan Kurz Al-Fihry bahwa Madinah bukan lagi ‘tanah subur’ bagi hidup mereka yang mengandalkan perampokan, setelah mereka dikejar sampai sejauh 150 km. ke arah barat laut Madinah, terbukti dengan tidak adanya lagi perampokan yang terjadi sesudahnya baik oleh mereka maupun gerombolan badui lainnya. Rasulullah telah berusaha memperoleh simpati dan dukungan suku Juheina karena pengaruhnya yang luas dan wilayah kekuasaannya yang strategis. Adalah tidak mungkin menguasai jalur perdagangan tanpa mendahulukan perjanjian kerja sama dengan Juheina, sehingga sejak awal Rasulullah sudah mengutus Abdullah ibn Gahsy dalam suatu ekspedisi untuk memperoleh perjanjian tersebut dan berhasil, bahkan dalam bentuk perjanjian tertulis sesuai dengan permintaan mereka kepada Rasulullah dan beliau menyetujui. Sejak itu Juheina menjadi sekutu Madinah dan setia menyampaikan laporan informasi setiap perkembangan yang terjadi di wilayahnya. Kesetiaan itu tergambar dalam pepatah yang tetap populer sampai sekarang ‘hanya pada Juheina berita yang pasti’. Untuk tujuan yang sama, Rasulullah juga berusaha memperoleh dukungan suku Judzam dan Belqien yang menguasai jalur dagang di wilayah yang memanjang dari wadi al-qura melalui mu'tah, tabuk, hesmy dan madyan sampai perbatasan selatan Palestina. Tapi hal ini dilakukan Rasulullah setelah perang Hudeibiya. Tatkala Rasulullah memutuskan untuk mencegat kafilah quriesy, Juheina berikut seluruh anak cabangnya sudah memperlihatkan loyalitas tinggi, karena melihat pada diri Rasulullah ketegasan dan ketekunan yang sunguh-sungguh dalam berupaya menarik simpati orang-orang Arab Hijaz 82 untuk memeluk Islam yang menjanjikan keamanan dan kedamaian wilayahnya. Orang-orang Qureisy telah menggunakan mereka hanya untuk keamanan kafilah dagangnya tanpa ada imbalan berarti. Sebaliknya Rasulullah telah membuktikan kepada mereka akan kesetiaan yang tulus merealisasikan perjanjian dengan mengutus suatu pasukan dibawah pimpinan Abdullah ibn Gahsy untuk menyerang salah satu anak cabang suku kinanah yang pernah menjadi ancaman keamanan mereka. Setelah itu mereka yang disebut terakhir juga telah mengirim utusan untuk memperoleh pakta pertahanan bersama yang meskipun Rasulullah menyetujui untuk tidak dicantumkan persyaratan masuk Islam di dalam butir-butir perjanjian namun ternyata mereka semua pada akhirnya memeluk Islam, bahkan ada di antara mereka yang menjadi tokoh terkemuka Islam dengan gelar muhajir-anshar. Rasulullah mengakui kedaulatan negeri mereka yang bernama dzil-marwah. [lihat uraian dalam Sirah versi Ibnu Hisyam Vol. 2/106, dan kitab jamharat ansab al-Arab karya Ibn al-Kalaby, yang masih berupa manuskrip di Museum Britania - Lampiran no. 22346 lembaran A73. Lihat pula al-ishabah karya Ibnu Hajar Vol.4/175, dan ansab al-asyraf, karya AlBaladzary]. Data-data ini semakin menambah keyakinan kita akan kejelian Rasulullah dan pandangannya yang jauh serta perencanaannya yang baik. Beliau menerima wahyu dan memperoleh petunjuk dari Allah, namun bertindak secara manusiawi agar tindakannya menjadi pedoman dan tauladan yang dicontoh. Berdasarkan data dan informasi yang diterimanya, beliau yakin akan keamanan kaum muslim kemudian beliau mengajak para sahabatnya untuk segera beranjak menghadapi kafilah Qureisy. Dalam ajakan Rasulullah tersebut beliau tidak menyinggung adanya perang meskipun kemungkinan akan terjadi pertempuran sangat besar. Tapi jika saatnya nanti telah tiba beliau akan bertindak lain sesuai dengan kejujuran dan komitmennya terhadap perlunya musyawarah. Saat itu golongan Al-Anshar belum diwajibkan ikut bertempur, karena perjanjian Aqabah II sebagai landasan Hijrah Rasulullah ke Madinah hanya menyebutkan kewajiban melindungi Rasulullah dan Islam dari segala ancaman di Madinah; justru tidak untuk bertempur di luar Madinah. Tapi ternyata dengan adanya berita yang lengkap mengenai kafilah dan keberhasilan Rasulullah menanamkan keimanan pada diri mereka, serta dalam rangka membuktikan cinta mereka kepada Rasulullah dan kepercayaan sepenuhnya akan kepemimpinannya, maka tiada satu pun di antara mereka yang menolak jika Rasulullah mengumandangkan perang. Bahkan semangat perjuangan yang mereka miliki sedemikian tinggi sehingga seseorang di antara mereka harus melakukan undian bersama putranya untuk menentukan siapa yang harus tinggal menjaga keluarga. Semangat bukan saja didorong oleh melimpahnya harta yang akan diperoleh dari perang melainkan juga semangat untuk mati syahid. Sehubungan dengan ini diriwayatkan bahwa Sa'd ibn Khaithama melakukan undian bersama Ayahnya untuk menentukan siapa yang ikut perang, ia berkata:“Seandainya bukan karena syurga niscaya aku mengorbankan kepentinganku, sesungguhnya aku ingin mati syahid dalam perang ini”. Selanjutnya sang Ayah berkata pula:“Berikanlah kesempatan ini kepadaku dan kamu tinggal bersama keluarga”, lalu keduanya pun melakukan undian yang dimenangkan oleh sang putra dan menjadi syahid dalam perang Badr”. (Al-Waqidi, Vol. 1/20). Ini adalah salah satu contoh betapa Rasulullah telah berhasil dalam dakwahnya dengan cara didikan yang baik dan ketauladanan yang tinggi serta kepemimpinan yang tidak menggunakan sistim tekanan dan paksaan. 83 Masih sehubungan dengan itu pula diriwayatkan bahwa banyak di antara sahabat yang tidak ikut perang karena anggapan tidak akan terjadi perang. Dan seandainya mereka memastikan akan terjadi pertempuran niscaya tidak ada satupun yang rela tinggal berpangku tangan. Di antara mereka adalah Useid ibn Hudeir yang menyatakan kepada Rasulullah saat kembali dari perang:“Aku bersyukur, bahwa Allah menganugerahkan kemenangan bagimu wahai Rasulullah. Demi Allah yang mengutusmu, Aku tidak ikut perang bukan karena aku memikirkan diriku dan kepentinganku tetapi aku mengira bahwa tidak akan terjadi pertempuran dalam mencegat kafilah. Jawab Rasulullah:“kamu benar”. (Al-WaqidiVol.1/21) Demikianlah, cara Rasulullah memberikan petunjuk dan memimpin umatnya. Sebelum mengeluarkan keputusan beliau selalu mempelajari situasi dan kondisi secara cermat dan mengatur perencanaan yang panjang. Disamping melalui delapan operasi al-maghazy sebelumnya beliau telah memberikan kesempatan kepada kaum muslim untuk berlatih disiplin menghormati petunjuk pimpinan atas dasar keyakinan dan loyalitas. Dalam operasi nakhla beliau juga telah menguji kekuatan orang-orang Mekkah dibandingkan dengan kekuatan umatnya untuk suatu pertempuran yang menentukan. Beliau tidak lupa memikirkan pengamanan Madinah dari segala penjuru dengan melakukan perjanjian-perjanjian bersama suku-suku penting seperti Juheina dan bagaimana menarik mereka kedalam barisan umat Islam. Bahkan beliau merencanakan untuk menjadikan Yanbu' sebagai basis kekuatan bagi Juheina demi keamanan Madinah. Terakhir beliau mengutus mata-mata untuk memantau pergerakan kafilah dan untuk mendapatkan informasi lengkap. Setelah segala sesuatunya telah dipelajari dan diperhitungkan secara matang, terutama mengenai kemampuan pasukannya, beliau lalu mengambil keputusan untuk mencegat kafilah dengan tidak mengabaikan perlunya mempersiapkan pasukan cadangan sebagai antisipasi terjadinya perang. Pada saat fajar menyingsing tanggal 12 Ramadlan 2H/ Maret 624M Rasulullah bersama para pengikutnya yang suka-rela bergerak menuju Baqie' dan disana seperti biasanya, sementara mengatur barisan beliau juga tetap memberikan kesempatan kepada mereka yang terlambat untuk segera bergabung. 84 6. MOBILISASI DI PIHAK QUREISY Uraian mengenai perang Badr cukup banyak. Hanya dengan pemeriksaan yang cermat terhadap limpahan data-data tersebut, seseorang dapat menemukan hikmah dan bahan pelajaran. Dalam konteks ini yang menarik perhatian kita adalah do'a yang dipanjatkan Rasulullah saat beliau menuju Badr: “Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim, hamba dan Nabi kesayangan-Mu, memanjatkan do'a untuk penduduk Mekkah; Dan aku, Muhammad, hamba dan Nabi-Mu memanjatkan do'a untuk penduduk Madinah, anugerahkanlah kehidupan yang sejahtera kepada mereka dan hindarkan dari segala macam penyakit menular serta jadikan Madinah sebagai negeri tercinta bagi kami; Ya Allah, sesungguhnya aku telah menjadikan Madinah sebagai tanah-haram sebagaimana Ibrahim menjadikan Mekkah sebagai tanah-haram”. Penyebutan Madinah sebagai tanah-haram di sini untuk menguatkan persetujuan yang telah disepakati oleh Rasulullah bersama penduduk Madinah sebagai tanah-haram yang tersurat secara eksplisit dalam Piagam Madinah. Dikatakan: “Yatsrib adalah tanah-haram atas persetujuan seluruh penduduk Madinah”. (Ibnu Hisyam, Vol. 2/149) Rasulullah terkesan amat haru melihat keadaan pasukannya saat melakukan pemeriksaan barisan. Beliau memanjatkan do'a:“Ya Allah, sesungguhnya mereka tanpa alas-kaki, Engkaulah yang mudahkan perjalanannya; mereka tanpa pakaian, Engkaulah pelindungnya; mereka tanpa makanan, Engkaulah yang menjadikan mereka kenyang; mereka adalah fakir-miskin, Engkaulah yang membuat mereka kaya dengan segala anugerah-Mu”(Al-WaqidiVol. 1/26). Suatu pernyataan yang menggambarkan betapapun sederhananya keadaan kaum muslimin, mereka dapat memenangkan perang berkat perkenan Allah kepada do'a Nabi-Nya. Segenap data sejarah juga menguatkan kenyataan ini. Di antaranya diriwayatkan bahwa “pada saat itu kaum muslim hanya memiliki 70 ekor unta, sehingga mereka harus mengatur barisan secara berdua, bertiga dan berempat. Seorang di antara mereka yaitu Sa'd ibn Abi Waqash cukup berbangga selama hidupnya karena ia berjalan kaki; baik di kala pergi maupun di kala pulang, padahal ia adalah sahabat yang paling ahli memanah”. (Al-WaqidiVol. 1/26) Secara konseptual dikatakan ‘Rasulullah mengerahkan balatentaranya menuju Badr’ padahal saat itu belum jelas tujuan pasukan, bahkan belum pasti apakah akan terjadi pertempuran. Yang menguatkan asumsi ini adalah bahwa Rasulullah tidak secara langsung menuju Badr tetapi menempuh jalan alternatif dari jalur niaga Mekkah-Madinah. Beliau berangkat dari Baqie' menuju Tiryan melalui Bathnul-'aqieq, Bathn Azahir, Bathn Malal, sedangkan kafilah Qureisy sudah sampai di Ghazzah, yaitu tapal batas wilayah kekuasaan Madinah. Di Tiryan beliau melihat seekor kambing liar yang segera dibidik oleh Sa'd ibn Abi Waqash dan mengenai sasaran. Seketika dipotong dan Rasulullah membagi-bagikan dagingnya kepada para sahabatnya. Setelah itu dengan melewati Rawha mereka menuju 'Irqidz-zabiyya di mana Rasulullah mendapatkan laporan mengenai pergerakan kafilah Qureisy. Ghazzah adalah tempat di mana kafilah Qureisy melakukan transaksi jual-beli. Rupanya kafilah kali ini adalah yang terbesar dalam sejarahnya, barangkali karena lebih dari satu tahun sebelumnya Qureisy tidak melakukan perjalanan sehingga nampaknya modal-modal besar Mekkah telah dikerahkan untuk mendukungnya. Omset permodalan yang dikerahkan dalam perjalanan itu ditakdirkan mencapai 50.000 dinar Emas yang sebagian besar dari kekayaan keluarga Abi Uheida Said ibn al-Ash. Demikian juga dari kekayaan keluarga Makhzum dan Umayah ibn Khalaf pemimpin bani Gamh serta kekayaan keluarga Al-Harith ibn Noufeil yang merupakan tokoh tokoh utama Mekkah yang 85 meraih kekuasaan dari keluarga Abdul Mutthalib dengan mengandalkan harta kekayaan. Pemimpin kafilah dipercayakan kepada Sufyan Sakhr ibn Harb ibn Umayah ibn Abd Syams. Kala itu Abu Jahal belum menjadi pemimpin Qureisy karena kepemimpinan masih dipegang oleh para sesepuh seperti Al-Walid ibn Al-Mughirah dan 'Utbah ibn Rabi'ah, tetapi karena semangat, ambisi, keberanian dan keangkuhan yang dimilikinya kiranya tepat menggambarkan masyarakat pedagang Mekkah yang mengandalkan kekayaan. Di dalam masyarakat seperti itu, orang-orang kuat memperlakukan kaum lemah secara semenamena sehingga tiada tempat dan kesempatan hidup bagi pedagang-pedagang kecil. Abu Jahal telah memproklamirkan diri sebagai pembela sistim kehidupan jahiliyah ini menghadapi dakwah Islam yang mengajak kepada keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan menyamakan kedudukan manusia dalam hak dan kewajiban. Abu Jahal menggambarkan kenyataan tersebut seperti yang secara rinci diriwayatkan oleh Al-Waqidi dan secara ringkas oleh Ibnu Ishaq bahwa setelah menunjuk kepada kepercayaan Qureisy yang diberikan kepada bani Hasyim dalam mengurus peribadatan, penyediaan logistik dan pengamanan yang semuanya dilakukan dengan imbalan pajak. Abu Jahal lebih lanjut mengatakan: “Sesungguhnya kita (bani Hasyim dan bani Abdul Mutthalib) bersama-sama telah berjuang keras untuk mengangkat keagungan Qureisy berjalan seiring dan seirama ibarat dua taruhan. hingga kalian beranggapan ada di antara kalian yang diangkat menjadi Nabi kemudian mengakui lagi ada di antara kalian yang menjadi tukang ramal; Maka demi Tuhan Laat dan 'Uzza kami tidak akan pernah membiarkan kondisi ini berlarut-larut”. Tukang ramal yang dimaksud adalah Atikah binti Abdul Mutthalib, bibi Rasulullah yang pernah melihat dalam mimpinya bahwa penduduk Mekkah akan menderita kekalahan saat Abu Jahal mengajak mereka menantang kekuatan Madinah selepas kafilah melewati titik rawan. Di sini seperti biasanya Abu Jahal tetap mengolok-olok dakwah Islam. Oleh karena itu, sementara Rasulullah melakukan persiapan pasukan, beliau mengutus dua orang sahabat yaitu Thalhah ibn Ubeidillah dan Said ibn Zaid ibn Noufeil untuk melakukan pemantauan dan mencari informasi mengenai kafilah ketika sedang melewati wilayah kekuasaan salah seorang pemimpin Juheina yaitu Kasyd di dekat Houran. Pada saat kafilah sedang lewat Abu Sufyan sempat bertanya kepada Kasyd apakah ia ada melihat mata-mata Muhammad? yang dijawabnya tidak, sedangkan kedua utusan Rasulullah sedang bersembunyi di dalam rumahnya. Dan segera setelah kafilah berlalu kedua utusun itu beranjak kembali menghadap Rasulullah melaporkan hasil pemantauannya kemudian disusul oleh Kasyd. Rasulullah memuji sikap Kasyd dan menawarkan kepadanya daerah Yanbu' tetapi ia menolak tawaran itu untuk dirinya lalu menyerahkan kepada sepupunya. Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa penawaran Rasulullah sebagai hadiah kavling wilayah kekuasaan kepada Kasyd, padahal sesungguhnya Yanbu' masih terbilang wilayah kekuasaan Juheina dimana Kasyd salah satu pemimpinnya. Yang benar adalah Rasulullah menginginkan Kasyd agar berpindah tempat dari Houran ke Yanbu'. Uraian mengenai data-data ini semakin menambah yakin kita akan kejelian pandangan Rasulullah dan strategi perencanaannya yang panjang dan berwawasan jauh ke depan. Beliau menerima wahyu, memperoleh petunjuk dan bimbingan langsung dari Allah namun bertindak secara manusiawi agar tindakannya menjadi pedoman dan tauladan yang dicontoh. Berdasarkan data dan informasi yang diterimanya dan setelah yakin akan keamanan kaum muslim jika melakukan operasi mencegat kafilah, beliau mengajak para sahabatnya untuk segera 86 berangkat ke tempat tujuan dengan sabdanya: “Kafilah dagang Qureisy akan lewat, barangkali Allah akan menganugerahkan kekayaan mereka kepada kalian”. Beliau tidak menyinggung akan ada perang padahal kemungikan untuk itu sangat besar. Setelah melakukan berbagai transaksi jual-beli yang cukup menguntungkan, kafilah berangkat meninggalkan Ghazzah bersama barang-barang bawaan dan kekayaannya menuju Mekkah melalui Az-Zarqa kemudian Adzru'at. Sebelum tiba di Mi'an salah seorang dari suku Judzam menyampaikan informasi bahwa kaum muslim akan menghadang mereka. Diriwayatkan oleh AlWaqidi bahwa “salah seorang dari suku Judzam menemui mereka (kafilah) dan melaporkan bahwa pada saat kafilah berangkat menuju Syam, Muhammad telah merencanakan untuk menyerang mereka tapi terlambat”. Yang dimaksud adalah operasi gazwat al-abwa. Di sini terdapat kekeliruan dalam riwayat yang mengatakan bahwa Muhammad menunggu kafilah selama satu bulan sebelum kembali ke Yatsrib. Kemudian lebih lanjut sang Judzami melaporkan bahwa “jika pada saat berangkat dengan bawaan ringan dan sedikit saja Muhammad sudah berambisi menyerang kafilah maka sepulangnya kafilah dengan bawaan berat berikut kekakayaan melimpah akan lebih memancing lagi ambisinya, dan kali ini pasti sudah mempunyai perencanaan yang lebih matang. Maka waspadalah dan jaga kafilah baik-baik, karena aku tidak melihat ada persiapan persenjataan. Selanjutnya terserah bagi kalian menentukan keputusan”. (Al-Waqidi Vol. 1/28) Kiranya jelas bahwa sang Judzami cukup prihatin terhadap bahaya yang mengancam kafilah. Suatu indikasi bahwa dirinya adalah sekutu Qureisy. Suku Judzam umumnya adalah orang-orang Arab Nasrani atau keturunan bangsa Romawi. Hal ini menunjukkan bagaimana orang-orang Qureisy mengatur keamanan kafilah dan perdagangannya di Syam dan dari Syam ke Mekkah. Tapi jika Judzam bersekutu dengan Qureisy dan Romawi maka Nabi Muhammad telah berhasil memperoleh simpati dan dukungan suku Juheina yang lebih strategis. Informasi sang Judzami telah mengagetkan Qureisy sehingga para pemimpin kafilah mempercepat laju perjalanan kafilah dan menyewa salah seorang suku Ghiffar yang bernama Dhamdham sebagai penunjuk jalan dengan imbalan 20 mitsqal. Ini adalah data menyangkut perekonomian. Mitsqal ialah satuan ukuran berat emas. Satu dinar emas Romawi sama dengan 425 gr. emas. Raja Abdul Malik ibn Marwan menetapkan pada tahun 77 H/ 696M uang dinar Arab yang beratnya 65,5 point sama dengan nilai 425 gr. emas yang pecahannya terdiri dari 40 dirham perak. Para pemimpin kafilah mendesak Dhamdham agar segera menuju Mekkah untuk memberitahukan kepada segenap penduduk akan bahaya yang mengancam kafilah. Serta-merta saja pemimpin-pemimpin Mekkah panik dan sedemikian takutnya sehingga Atikah binti Abdul Mutthalib, bibi Rasulullah bermimpi melihat kekalahan orang-orang Mekkah dalam perang melawan Madinah. Abu Jahal mencela sikap dan perasaan takut tersebut, yang hanya didasarkan kepada suatu mimpi. Ia bahkan memperolok-oloknya dengan mengatakan bahwa rupanya bani Hasyim tidak merasa cukup dengan anggapan munculnya seorang Nabi, tetapi harus pula menampilkan tukang ramal. Tersebarnya berita akan bahaya yang mengancam kafilah, telah memancing semangat para pemimpin Qureisy untuk berjuang sekuat tenaga dan dengan apa yang dimiliki demi keamanan dan keselamatan kafilah. Abu Jahal sangat senang dengan perkembangan ini, karena sejak dahulu ia sangat berkeinginan membalas dendam kepada Muhammad dan mencelakakan umat Islam. Meskipun ia bukan pemimpin tertinggi Qureisy namun dialah yang paling giat melawan Islam karena ia termasuk pemuka-pemuka Qureisy yang merasa terancam oleh kepemimpinan 87 Muhammad. Sesaat sebelum terbunuh di perang Badr, Al-Abbas ibn Abdul Mutthalib sempat melihatnya sebagai "seorang sosok yang berpenampilan gesit, berperawakan keras, bersuara lantang serta pandangan mata yang tajam". (Al-WaqidiVol. 1/31) Para pemuka Qureisy sangat bersemangat untuk bergabung kedalam barisan tentara yang akan dikirim untuk mengamankan dan melindungi kafilah. Pernyataan-pernyataan mereka yang dapat disimak dalam pelbagai riwayat sungguh menunjukkan betapa penting bagi mereka melakukan penyelamatan kafilah. Di antara yang paling tepat menggambarkan semangat tersebut adalah pernyataan Zum'ah ibn Al-Aswad:"Demi Laat dan Uzza, sesungguhnya kalian tidak pernah menghadapi persoalan sehebat ini; Muhammad dan penduduk Yatsrib berambisi merampas modal hidup kalian. Maka bergabunglah semuanya ke dalam barisan pasukan dan jangan ada yang ketinggalan. Demi Tuhan, jika Muhammad berhasil kali ini maka ketakutan kalian tidak akan pernah berhenti". Demikian tinggi semangat orang-orang Qureisy sehingga baik para pembesar maupun rakyat biasa bersama-sama mendukung kekuatan pasukan, apakah dengan ikut bergabung dalam pasukan atau menyumbangkan apa saja yang dimiliki. Ada di antara pembesar Qureisy yang menyumbangkan 20 orang anak buahnya berikut 20 ekor unta lengkap dengan persenjataannya; ada pula yang menyumbangkan 10 ekor unta; ada yang menyumbang 500 dinar untuk membelanjai pasukan, ada pula yang 200 dinar. Semua ini menunjukkan betapa besar ketakutan dan kepanikan yang melanda mereka. Bahkan seluruh persenjataan Mekkah, baik yang berupa pedang maupun perisai yang selama ini tersimpan dalam gudang senjata, al-nadwah telah dikeluarkan. Menurut Al-Waqidi, mobilisasi pasukan Mekkah berjalan sangat serius, seluruh perhatian terpusat padanya, menandakan perkara yang mereka hadapi amatlah besarnya. Setiap orang tidak luput dari dua kemungkinan; apakah ikut bergabung ke dalam pasukan ataukah mengutus satu orang yang mewakilinya. Semua ini menunjukkan bahwa orang-orang Qureisy memiliki kepedulian tinggi dan kemampuan mengatur kekuatan dengan kesediaan mengorbankan jiwa dan harta demi mempertahankan identitas dan harga-diri. Suatu gambaran yang sangat berbeda dengan apa yang sering kita baca dalam buku-buku sejarah klasik, yang menggambarkan mereka sebagai orangorang tolol dibawah pimpinan Abu Jahal, bertindak tanpa didasari pemikiran sehat dan tanpa perencanaan. Padahal dengan menggambarkan kepribadian Qureisy seperti ini secara tidak sadar mengurangi nilai perjuangan umat Islam pada perang Badr. Apalah artinya sebuah perjuangan jika lawan hanyalah orang-orang tolol? Kita mengatakan bahwa perencanaan Mekkah cukup matang karena disamping mobilisasi pasukan yang dilakukan semaksimal mungkin, orang-orang Qureisy juga pada waktu yang sama berusaha menyelesaikan perselisihan mereka dengan suku-suku tetangganya, bani Bakr dengan memperbarui perjanjian pertahanan bersama yang sempat terganggu oleh adanya perselisihan tersebut. Pembaruan perjanjian sangat diperlukan sebagai upaya preventif untuk membendung kemungkina bani Bakr menduduki Mekkah saat penguasa dan pasukan berada di luar negeri. Perjanjian kali ini akan berjangka panjang karena tetap berlaku hingga umat Islam kelak berhasil menaklukkan Mekkah. Pasukan Mekkah ditaksir berkisar 950 personil infantri dengan 750 ekor unta ditambah 100 personil kavaleri. Mereka berangkat dari Mekkah sementara Abu Sufyan menggiring kafilah menuju peristirahatan di Badr. Setibanya di sana, ia menanyakan kepada seorang yang bernama 88 Magdi ibn Amr dari suku Juheina, apakah ia melihat anak buah Muhammad? yang dijawabnya tidak, tetapi menurutnya sehari sebelumnya ia melihat dua orang asing lewat di tempat ini. Yang dimaksud tentunya, adalah utusan Rasulullah, Basbas ibn Amr dan Adiy ibn Abiz-Zaghba yang juga dari suku Juheina. Segera saja Abu Sufyan menyelidiki jejak mereka dan terbukti bahwa kedua orang tersebut berasal dari Madinah. Kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan menambah cepat laju kafilah ke arah pesisir hingga yakin bahwa kafilah telah berhasil melewati titik rawan dan mengirim berita ke Mekkah sehingga tidak diperlukan lagi ada kekuatan pengamanan. 89 7. MALAM MENJELANG PECAHNYA PERANG BADR Kafilah sedang menuju bukit Badr yang terletak sekitar 150 km. dari Madinah. Badr adalah pusat perdagangan, yang kendatipun tidak sebesar Ukadz namun karena sumber mata airnya yang mempesona maka selama 10 hari pada bulan Dzulqa'dah setiap tahun selalu ramai dipadati orang-orang Arab yang datang dari berbagai penjuru untuk berbelanja atau menjajakan dagangan. Target Abu Jahal adalah menyelamatkan kafilah sampai di Badr. Jika ternyata selamat, maka mereka akan tinggal beberapa hari; makan, minum dan bersenang-senang untuk membuktikan kepada dunia bahwa mereka tidak gentar menghadapi siapapun dan bahwasanya jalur perdagangan telah terbuka oleh Qureisy tanpa ada yang berani menghadang atau mengganggu kafilah dagang. Dan jika ternyata tidak selamat maka Qureisy juga telah siap siaga untuk angkat senjata. Pesepsi Abu Jahal dalam kondisi seperti ini kiranya tepat dan logis. Bahkan sekiranya kafilah selamat sekalipun, orang-orang Qureisy harus menampakkan kekuatannya agar dunia dapat melihat bahwa mereka tidak gentar menghadapi Muhammad dan kekuatan Madinah. Kesempatan satu-satunya untuk tujuan tersebut hanya terdapat di Badr. Mereka dapat menampakkan diri sebagai orang-orang berkecukupan, kaya dan kuat, tak ketinggalan gaya santai yang menunjukkan sikap memandang remeh lawan. Dengan demikian diharapkan bahwa orang-orang Arab yang telah berpaling dari Qureisy seperti suku Juheina, Bellay, Dhamrah dan penduduk Hijaz lainnya bergabung kembali dalam persekutuan dengan Qureisy. Orang-orang Qureisy cukup mengerti watak penduduk yang hidup di semenanjung luas itu tanpa pemerintah, tanpa undang-undang dan tanpa jaminan keamanan kecuali berlindung di bawah suku terkuat. Simpati mereka hanya dapat diperoleh melalui pembuktian nyata. Qureisy sejak dahulu disegani oleh penduduk Hijaz dan Tihama karena kekuatan dan kekayaannya mampu menjamin adanya semacam stabilitas keamanan yang lumayan bagi kondisi umum kehidupan semenanjung kala itu. Umat Islam sebagai kekuatan baru, muncul memperlihatkan tantangan bahkan ancaman serius bagi kedudukan Qureisy dengan menjanjikan babak sejarah baru dalam suatu sistim kehidupan baru berdasarkan agama baru pula, yakni Islam. Secara umum suku-suku Arab belum mengetahui sampai dimana kekuatan Madinah atau bahkan tidak mengetahui kandungan ajaran Islam. Oleh karena itu mereka selalu memantau perkembangan dalam penantian siapa yang terkuat. Jika Qureisy membuktikan bahwa ia masih tetap terkuat seperti sedia kala dan mampu menahan tekanan kekuatan Madinah sehingga apapun yang terjadi tidak akan pernah mempengaruhi kedudukanya, maka segala sesuatu menjadi normal kembali dan itu berarti tidak perlu mengkhawatirkan kekuatan Madinah yang telah kehilangan masa depan. Demikianlah situasinya menjelang pecahnya perang Badr. Asumsi yang menganggap mayoritas pemimpin Qureisy tidak senang dengan pandangan Abu Jahal adalah tidak benar. Dukungan mereka justeru mutlak dan pasti, mengingat kepentingan suku. Adalah wajar jika terjadi perbedaan pendapat antara para pemimpin demikian juga penarikan diri bani Zuhra dan bani 'Adiy karena perang betapapun kecilnya tetaplah menakutkan. Kemudian kedua keluarga tersebut bukanlah termasuk kelompok utama Qureisy, sehingga penarikan dirinya tidak memberikan pengaruh yang berarti. Atau barangkali cerita penarikan diri itu sendiri adalah hasil rekayasa perawi yang berketurunan bani Zuhra dan Adiy sebagai usaha pembersihan diri dari citra yang jelek menentang dan memerangi Islam pada perang Badr. 90 Perjalanan pasukan Qureisy telah mendekati bukit Badr yang terletak di sebelah barat perkampungan Badr. Jalur yang ditempuh untuk mencapai bukit dari arah perkampungan adalah telaga yang dinamakan telaga Badr. Oleh karena bukit Badr merupakan pasar yang ramai, dan dari arah utara terdapat pegunungan yang menghalangi penglihatan maka demi keamanan, orangorang Qureisy memilih perkemahan di luar, demikian juga kaum muslimin, tidak menginjakkan kaki di bukit kecuali pada saat menduduki dan mengusai sumber mata-air pada malam pecahnya perang. Tiada data yang menjelaskan secara eksplisit letak kedua pasukan kecuali firman Allah dalam surah Al-Anfal, ayat 42. Penafsiran-penafsiran yang diajukan para ulama mengenai ayat ini seluruhnya tidak beralasan, maka lebih baik menggunakan logika. Oleh karena kaum muslim datang dari arah utara maka kemungkinan mereka memilih tempat perkemahan di lereng bukit dari sebelah utara atau tepatnya di arah barat laut, karena bukit Badr berbentuk persegi memanjang yang sisi puncaknya menghadap ke arah barat laut yang menjadi hulu telaga Badr; sedangkan orang-orang Qureisy kemungkinan memilih tempat di lereng bukit dari arah selatan atau tenggara. Adalah Al-Waqidi yang memperkuat asumsi ini. Ia mengatakan: “Kaum muslim memilih tempat pada lereng bukit dari arah Syam dan orang-orang Mekkah pada lereng bukit dari arah Yaman”. Ini berarti bahwa kafilah memang sudah berlalu ke arah selatan sebelum kaum muslim tiba di tempat. Ayat Al-Qur'an menegaskan bahwa masing-masing pasukan tempur mendapatkan dirinya memilih tempat yang tidak direncanakan. Seolah-olah sudah merupakan takdir Allah semata, agar pertempuran itu berakhir dengan kemenangan bagi mereka yang mengetahui cara-cara memenangkan perang dan sebaliknya. Masing-masing pasukan telah memilih tempat tanpa mengetahui di mana lawan. Orang-orang Qureisy mengikuti keputusan Abu Jahal, atas pertimbangan ingin menetap di Badr untuk beberapa hari. Di pihak lain kaum muslim memilih tempat di dekat sumber mata air untuk memantau situasi. Banyak di antara kaum muslim yang menganggap bahwa kafilah belum lewat, sehingga keinginan untuk memperoleh harta rampasan perang masih berkecamuk dalam semangat juangnya. Sedangkan Rasulullah dengan mengandalkan pertolongan Tuhan siap menghadapi segala kemungkinan. Jika ternyata kafilah belum berlalu tentu serangan akan memorak-porandakan kekuatan Qureisy, tetapi jika yang akan dihadapi ialah balatentara Qureisy dan mampu mematahkan perlawanannya berarti mitos Qureisy yang tak tersaingi segera dapat berakhir. Untuk keterangan ini kita dapat mengandalkan firman Allah dalam surah Al-Anfal, ayat 6 dan seterusnya. Indikasi adanya perdebatan sebelum perang di sini amat penting, sebab mayoritas kaum muslim menggabungkan diri ke dalam pasukan pada dasarnya didorong oleh keinginan memperoleh harta kafilah. Ketika muncul kemungkinan lebih besar akan terjadi pertempuran, perdebatanpun dimulai. Adalah wajar jika sebagian kaum muslim dilanda rasa bimbang menghadapi perang; dan hal ini adalah kenyataan yang diakui oleh Al-Qur'an seolah-olah mereka menyaksikan dirinya digiring ke lubang maut. Yang mereka hadapi bukan main-main, bukan pula untuk bersenang-senang melainkan pertempuran menentukan yang resikonya adalah maut. Tapi berkat keimanan Rasulullah yang mendalam dan kebijaksanannya yang sangat tinggi semua itu akan terhapus seperti yang akan kita saksikan. *** 91 Sejenak kita kembali menemani perjalanan Rasulullah dan balatentaranya di saat melewati IrqizZabiya yang belum begitu jauh meninggalkan Madinah, di mana beliau ditemui oleh seorang badui yang membawa berita mengenai kafilah. Sebuah informasi yang sebenarnya tidak begitu berharga. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Rouha pada malam Rabu pertengahan Ramadlan. Di sana beliau bermalam; dan pada pagi hari melanjutkan perjalanan melalui telaga Rouha yang banyak belokan. Mereka menamakan telaga tersebut dengan julukan telaga sagasig, mirip dengan kata zigzag dalam bahasa Eropa. Segera setelah melewati telaga dan semakin mendekati Badr, beliau menganjurkan kepada para sahabat untuk membatalkan puasa karena melihat ada kemungkinan perang, namun kaum muslim masih tetap melanjutkan puasa. Ketika tiba di lereng bukit beliau memilih tempat perkemahan pasukan dan mengajak sahabatnya berunding dan musyawarah untuk menentukan keputusan akhir. Di sini kita menyaksikan suatu pemandangan yang kurang menarik perhatian para penulis klasik akan makna dan kandungannya yang amat penting. Sewaktu pasukan berangkat dari Madinah, tujuan yang tertanam dalam benak mereka adalah mencegat dan menyerang kafilah. Ini berarti bahwa kemungkinan akan adanya perang jauh dari perhitungan mereka. Kemungkinan tersebut semakin nampak sehingga Rasulullah merasa perlu merundingkan situasi baru tersebut bersama para sahabat. Sekiranya bukan Muhammad pasti secara apriori sudah beranggapan bahwa para pengikut harus tunduk dan patuh melaksanakan kemauan pemimpinnya untuk bertempur. Tapi Rasulullah adalah demokrat sejati yang menghormati konstitusi. Beliau sangat memperhatikan perlunya memaparkan persoalan di hadapan jamaah untuk mereka diskusikan kemudian menyatakan pendapat masing-masing secara jelas, karena kepemimpinan adalah tanggung jawab besar dan jamaahlah yang selayaknya menentukan keputusan. Tidaklah pantas bagi seorang pemimpin jamaah atau pemimpin masyarakat Islam menentukan keputusan sendiri tanpa melibatkan mereka, lantaran keterlibatan mereka berarti setiap anggota masyarakat menyadari apa yang akan dilaksanakan dan tujuan apa yang akan dicapai. Ini adalah salah satu dasar ajaran dan petunjuk Muhammad yang telah diabaikan oleh mayoritas pemimpin Islam dahulu dan sekarang. Al-Waqidi meriwayatkan:“Rasulullah melanjutkan perjalanan, hingga segera setelah tiba di lereng bukit Badr, beliau memperoleh informasi mengenai keadaan Qureisy lalu beliau mengajak orang-orang bermusyawarah” (Vol. 1/48) Hal itu dilakukan oleh Rasulullah atas pertimbangan bahwa di dalam deretan pasukan terdapat golongan Al-Anshar. Sedangkan mereka, berdasarkan perjanjian Aqabah tidak wajib perang, kecuali dalam mempertahankan Madinah. Situasinya sudah berobah karena perang akan terjadi jauh dari Madinah. Di samping Al-Anshar juga terdapat orang-orang yang mewakili suku-suku Juheina, Qudha'a dan Bahran. Perjanjian antara Rasulullah dengan Qudha'a terbatas pada saling menghormati dan saling menahan diri dari saling menyerang satu sama lain. Jadi, untuk mengambil keputusan perang perlu meminta pendapat orang-orang Qudha'a. Dalam musyawarah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah masing-masing pemuka golongan berbicara diawali Abu Bakar dan Umar mewakili Al-Muhajirin yang menyatakan kesetiaan dan kesediaan penuh mengikuti keputusan Rasulullah. Disusul Al-Miqdad ibn Amr yang lebih populer dengan nama Al-Miqdad ibn Al-Aswad mewakili golongan Bahran yang daftar anggotanya cukup panjang. Penyebutannya di sini hanya untuk sekedar menyatakan bahwa umat Islam pada saat itu tidak terbatas pada golongan Al-Muhajirin dan Al-Anshar saja tetapi juga dari 92 golongan-golongan yang mewakili Qudha'a, Bahran, Juheina dan lain-lain. Dari pernyataan AlMiqdad dapat disimak betapa penting peranan yang dimainkan oleh tokoh ini. Ia menyatakan di hadapan Rasulullah: “Demi Allah, kami tidak akan membiarkan Nabi kami bertempur seperti orang-orang bani Israil yang tega menyatakan kepada Nabinya (‘pergilah bertempur bersama Tuhanmu karena kami tidak akan ikut’) tetapi kami menyatakan ikut bertempur bersama Rasulullah dan Tuhan”. Selanjutnya Rasulullah tetap membuka kesempatan pembicaraan. Kali ini beliau sebenarnya mempersilahkan golongan Al-Anshar yang belum mengambil bagian. Maka bangkitlah Said ibn Mu'adz menyatakan: “Wahai Nabi, Demi Allah yang mengutusmu, apapun yang baginda putuskan kami rela melaksanakannya, walau dengan menempuh lautan luas sekalipun”. Ia tidak lupa mohon maaf atas tidak ikutnya golongan Aous karena mereka menganggap bahwa operasi ini hanya untuk mencegat kafilah. Dan sebelum mengakhiri pembicaraannya ia mengusulkan agar pos komando ditempatkan di bagian belakang medan laga di mana Rasulullah memimpin jalannya pertempuran; jika ternyata pasukan ini kalah, beliau dapat diselamatkan. Setelah Rasulullah merasa yakin dengan sikap para sahabatnya beliau mengumumkan perang. Sehubungan dengan itu dalam riwayat Al-Waqidi terdapat uraian yang luput dari pengamatan para sejarawan kita yaitu :”sejak itu Rasulullah membagi pasukan ke dalam 3 brigade berikut persenjataan yang baru ditampakkan pada saat itu”.(Vol. 1/50). Maka lihatlah betapa tinggi kebijaksanaan Nabi kita dalam mengatur urusan jamaah. Beliau memberikan kesempatan kepada mereka untuk menentukan sikap secara terbuka, sambil mengayomi dan mengarahkan. Bilamana sudah yakin dengan sikap dan dukungan mereka baru beliau mengambil keputusan. 93 8. MEMASUKI MEDAN PERTEMPURAN Rasulullah dan pengikutnya berangkat dari Rouha, melalui Al-Khabiratain belok ke kanan kemudian ke kiri meniti terjal yang berliku-liku, dari kheifa al-mu'taridha sampai tsaniyat almu'taridha hingga tiba di al-tiya (letak geografis tempat-tempat tersebut telah dibuktikan secara ilmiyah pakar kita Hamdu al-Jasir). Setibanya di al-Tiya mereka bertemu dengan seorang badui yang bernama Sufyan Al-Dhamary. Ia memperkirakan pasukan Qureisy berada di dekat al-Tiya, ketika Rasulullah menanyakan kepadanya perihal Qureisy; dan atas kecerdikan Rasulullah, beliau juga menanyakan di manakah Muhammad dan para sahabatnya diperkirakan berada, sang badui menjawab sesuai dengan informasi yang didengarnya, mereka pasti berada di dekat tempat yang sama. Ketika ia balik bertanya kepada siapa ia berbicara? Rasulullah menjawab “kami datang dari sumber mata air”, lalu pergi meninggalkan sang badui dalam keadaan bingung. Beliau jujur dalam jawabannya, karena mereka memang datang dari sumber mata air. Bagaimanapun, jawaban sang badui menunjukkan bahwa mereka cukup mengetahui perkembangan yang terjadi meskipun nampaknya mereka adalah orang-orang yang sangat bersahaja. Rasulullah bersama para sahabat kemudian melanjutkan perjalanan meniti jalan turun mengikuti telaga Badr pada malam jum'at 17 Ramadlan 2H/13 Maret 624M. Mereka sejenak beristirahat di arah utara sebuah bukit berpasir. Bukit mana, oleh Al-Waqidi dinamakan Qouz yang terletak tidak jauh dari sebuah tempat yang bernama Al-'Aqanqal. Menurutnya tempat tersebut menjadi batas antara pasukan kaum Muslim dengan pasukan Mekkah. Tetapi anggapan itu tidak benar. Yang tepat ialah di belakang bukit pasir ini, yakni di sebelah timur lautnya, terdapat Badr dan telaga Badr yang berhubungan dengannya. Terdapat pula dua bukit pasir di ujung bukit Badr di mana dari sebelah selatan pasukan Mekkah memilih tempat. Di tengah bukit terdapat jurang yang dinamakan Adz-Dzarib yang di sampingnya terdapat mata air. Rasulullah mengutus Ali ibn Abi Thalib, Zubeir ibn Al-Awwam, Sa'd ibn Abi Waqqash dan Basbas ibn 'Amr Al-Juhni untuk memantau keadaan mata air yang oleh Rasulullah dinamakan Queib yakni sumur. Ketika utusan tersebut tiba, mereka mendapatkan orang-orang sedang mengambil air dan mengantarnya ke tempat orang-orang Qureisy. Segera saja mereka pergi dan satu diantara mereka yang memberitakan kepada Qureisy bahwa kaum Muslim telah tiba dan berkata: “Wahai keluarga Ghalib, Muhammad dan sahabatnya sudah tiba dan menguasai sumber air kalian, lalu orang-orang Qureisy pun kisruh dan tidak senang mendengarnya” Al-Waqidi, Vol. I/51. Dengan cepat Rasulullah menyadari bahwa saatnya sudah tiba untuk segera bergerak dan mengambil prakarsa agar tidak terlambat. Segera saja beliau mengutus sekelompok sahabat untuk menguasai mata-mata air dan menangkap orang-orang yang sedang mengambil air dan membawa mereka kembali ke perkemahan untuk diinterogasi. Kebanyakan kaum Muslim pada saat itu berharap bahwa mereka ini adalah orang-orang upahan Abu Sufyan untuk memberi minum unta dan kafilah mereka, yang berarti kafilah segera akan dikuasai tanpa banyak mangalami kesulitan, tetapi Allah menentukan yang lain seperti disinggung dalam Al-Qur'an. Mereka yang tertangkap bilamana menjawab bahwa mereka hanyalah upahan orang-orang Qureisy mereka dipukuli, sedangkan jika mereka menjawab upahan Abu Sufyan mereka diamkan. Sementara itu Rasulullah sedang melakukan shalat. Tatkala beliau selesai melakukan shalat beliau bersabda :”Jika mereka menjawab jujur kalian pukuli dan jika mereka menjawab tidak 94 jujur kalian diamkan”. Kemudian beliau mengumumkan kepada para sahabat bahwa sesungguhnya Qureisy telah mengirim balatentara untuk melindungi kafilah. Pendudukan kaum muslim terhadap mata-mata air berdasarkan komando Rasulullah merupakan gerakan yang menentukan, yang akan menjamin kemenangan bagi kaum muslim. Dapat dibayangkan balatentara Qureisy yang berjumlah 950 personil berikut 100 personil infantri dan 700 unta terancam kehausan tanpa air. Kaum Qureisy menyadari hal ini, dan amat panik karena mereka dapat memperihitungkan akibatnya. Hakim ibn Hizam dari kelompok bani Asd b 'Abd al-'Uzzay ibn Qushay, yaitu keponakan Khadijah dan sepupu Al-Zubeir ibn Al-Awwam berkata: Kami sedang menikmati makanan daging segar yang baru saja matang tatkala berita itu tersebar membuat nafsu makan kami langsung hilang, lalu kami saling menatap satu sama lain dan aku menemui 'Utbah ibn Rabi'ah dan berkata kepadanya : wahai Abu Khalid, aku belum pernah mengalami sesuatu yang lebih aneh dari keadaan kita, sesungguhnya kafilah sudah selamat, mengapa harus memancing mereka yang selama ini memang menginginkan perkembangan seperti ini? jawabnya: nampaknya suatu keterpaksaan, dan ini adalah gara-gara Abu Jahal. Wahai Abu Khalid apakah anda merasa takut jika kita diserang pada malam hari? jawabku aku tidak yakin, ia berkata jadi apa yang harus dilakukan? jawabnya kita berjaga-jaga secara bergantian hingga pagi hari. 'Utbah menerima usulan tersebut sehingga kami gantian berjaga hingga pagi hari. Abu Jahal bertanya: apa yang kalian lakukan, apakah ini adalah usulan 'Utbah? Ia memang tidak menginginkan pertempuran dengan pasukan Muhammad dan itu sangat aneh ! Apakah kalian mengira bahwa Muhammad dan sahabatnya mampu menyerang kita? Demi Tuhan, aku akan menggiring sekolompok dari kafilah dan tidak memerlukan penjagaan. Lalu ia mengajak kelompoknya berpisah pada saat hujan sedang turun. 'Utbah pun berkomentar : inilah pertanda sial, mereka telah menguasai sumber mata air” Ibn Katsier menambahkan bahwa penduduk Mekkah tidak tidur semalam suntuk pada saat itu. Dan ini semua memberikan indikasi betapa kepanikan melanda orang-orang Mekkah tatkala kaum muslim menguasai sumber mata air. Segera akan kita saksikan bagaimana Muhammad dan para sahabatnya memulai prakasa penyerangan pada fajar hari berikutnya demi memantapkan posisi yang lebih kuat lagi dari serangan pendudukan yang menentukan tersebut. *** Pada fajar hari berikutnya seusai shalat shubuh Rasullah mengajak musyawarah mengenai rencana dan strategi pertempuran. Al-Hubab ibn Al-Mundzir segera bertanya apakah hal ini termasuk ketentuan wahyu atau perhitungan perang? Rasullah menjawab ini adalah masalah perhitungan perang. Al-Hubab ibn Al-Mundzir adalah seorang sahabat yang pernah menganut Kristen yang memiliki keahlian strategi perang atau apa yang disebut keahlian mengatur taktik dan siasat perang. Rasulullah sengaja memberikan kesempatan kepada para sahabatnya yang memiliki bakat keahlian untuk dimunculkan, karena kelompok jama'ah yang baik adalah yang memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk menampakkan bakat keahliannya. Adapun jama'ah yang tidak baik akan selalu mengubur setiap bakat keahlian dari anggotanya. Sahabat ini akan tetap memperlihatkan bakat keahliannya pada peristiwa-peristiwa berikutnya seperti pada perang Uhud, Khandaq dan Khaebar, sehingga ia menjadi terkenal dengan julukan 95 ahli siasat perang yang pada saat itu berumur 33 tahun. Ibn Ishaq mengutip pendapatnya ketita ia berkata : “wahai Rasulullah posisi kita tidak strategis. Lebih baik kita membelakangi sumbersumber mata air dan menutup semuanya kecuali satu sumur lalu kita memasang galian di depannya sehingga pada saat perang berkecamuk kita dapat minum dan mereka tidak, hingga perang usai. Rasulullah bersabda itu adalah pendapat yang baik lalu memerintahkan untuk dilaksanakan” (Ibn Al-Atsier, Asad Al-Ghabah, vol. 1/436) Strategi tersebut merupakan penyempurnaan terhadap apa yang telah direncanakan Rasulullah setelah menduduki sumber mata air. Al-Hubab menganjurkan agar kaum muslim mengambil posisi di depan sumber-sumber mata air tersebut dan membelakanginya kemudian menutup semuanya kecuali satu, kemudian menggali kolam yang diisi air sehingga pasukan muslim dapat minum dengan leluasa. Sebaliknya, kaum musyrik tidak akan minum sehingga hal ini akan menjadi faktor utama bagi kekalahan mereka. Kala itu pagi hari tanggal 17 Ramadlan 2 H/13 Maret 623 M. Meskipun saat itu musim dingin, namun karena cuaca cerah dan tanpa perlindungan untuk berteduh dari teriknya matahari, menambah cepat rasa haus terutama mereka yang sedang berada dalam pakaian perang yang demikian berat termasuk kuda dan onta yang semuanya berjumlah lebih dari seribu personil. Jumlah pasukan sebanyak ini tidak akan mungkin betahan tanpa ada air minum sedangkan pendudukan terhadap sumber mata air terjadi pada malam hari sebelumnya. Yang paling pertama dibutuhkan oleh onta dan kuda di waktu pagi adalah air. Kaum muslim sepenuhnya telah menguasai sumber-sumber mata air sehingga hal ini merupakan faktor utama bagi kekalahan kaum musyrik. Datanglah ke 'kolam air', pada akhirnya menjadi semboyan dan perlambang ridlo Allah. Dalam hadis-hadis Rasulullah banyak digunakan sebagai kata kiasan yang menunjukkan hal tersebut sedangkan orang yang tidak diridloi Allah, dikatakan tidak boleh mendatangi 'kolam air' Bahkan kolam air menjadi simbol kehidupan di surga. Ini adalah pengabadian saat menentukan di kala kaum muslim memperlihatkan cinta sejati kepada Nabi. Malam itu hujan turun membasahi pasirpasir kering yang segera menelan air dan menjadi pijakan rapuh di mana kaum musyrik memilih tempat sementara kaum muslim bergerak menuju bukit yang dasar tanahnya bertambah kuat saat tersiram oleh air hujan. Kaum musyrik hampir tidak ada yang tidur malam itu sedangkan kaum muslim dengan tenang istirahat di bawah pengawasan Rasulullah karena mereka sekonyongkonyong merasa terkantuk sebagaiman firman Allah : Al-Anfal : 11. Kaum muslim mendirikan tempat khusus bagi Rasulullah sebagai 'pos komando' dari mana beliau dapat memimpin jalannya pertempuran dijaga ketat dan dengan pedang terhunus oleh Sa'd ibn Mu'adz, pemimpin golongan Aous. Rasulullah didampingi Abu Bakr. ***** Pos komando telah rampung sebelum matahari terbit. Mereka dengan segar bugar mempersiapkan diri di saat mana lawan mereka dalam keadaan menyedihkan. Di sini kita mengikuti uraian sumber data satu per satu dan sedapat mungkin menghindari pengaruh perasaan di dalam membayangkan jalannya kejadian. Berkata Al-Waqidi: “Rasulullah memeriksa barisan sebelum Qureisy turun ke medan perang, bahkan Qureisy sudah bergerak sementara Rasulullah masih memeriksa barisan. Setelah mereka mengisi kolam air, kemudian Rasulullah memberi komando kepada Mush'ab ibn 'Umeir untuk memegang bendera memimpin satu batalion dan memerintahkan untuk bergerak menuju posisi yang telah ditentukan. Lalu Rasulullah memeriksa lagi barisan hingga matahari 96 tergelincir ke barat sehingga pasukan muslim membelakangi matahari sementara kaum Qureisy akan menghadapi silau matahari”. (Al-Waqidi, vol. 1/56). Demikianlah Rasulullah mengambil prakarsa dan mengarahkan persiapan-persiapan. Ada seseorang yang datang mengusulkan agar posisi dirubah, beliau menjawab tidak, sementara beliau tetap berjalan memeriksa barisan. Pasukan Rasulullah tidak sebesar apa yang digambarkan oleh penulis-penulis sejarah yang datang kemudian tetapi tidak mengapa kita mengatakan bahwa pasukan Rasulullah terdiri dari dua brigade; satu untuk golongan Al-Khazraj dan satu lagi untuk golongan Aous. Sudah barang tentu pengertian brigade di sini tidak sama dengan apa yang kita kenal sekarang karena pada saat itu pakaian seragam saja tidak ada; justru yang membedakan satu pasukan dengan pasukan lainnya hanyalah benderanya, sebagai tanda dari mana prajurit maju untuk kembali lagi ke tempat semula. Mereka akan bergerak mengikuti benderanya. Di sini terjadi peristiwa mengharukan yang dialami oleh Sawad ibn Ghizyah yang berdiri di luar baris. Rasulullah mendorongnya masuk barisan yang membuatnya terjatuh. Ia berkata: wahai Rasulullah baginda membuat aku terjatuh, sudilah kiranya membantu aku berdiri. Rasulullah membuka pakaian perangnya dan membantu berdiri tegak, serta merta saja ia gunakan kesempatan itu untuk memeluk Rasulullah sembari berkata: aku ingin menjadikan saat-saat terakhir hidupku di dunia dengan memeluk baginda. Rasulullah kemudian berpidato, dan sudah menjadi tradisi beliau bahwa sebelum memasuki medan pertempuran beliau selalu mengawali dengan pidato yang amat penting untuk disimak tetapi karena khawatir terlalu panjang maka tidak dapat dimuat di sini. Selengkapnya dapat dilihat pada Al-Waqidi, vol. 1/58 - 59. Riwayat-riwayat mengenai perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan pemimpin Qureisy cukup banyak terutama menyangkut keinginan 'Utbah ibn Rabi'ah ibn'Abd Syams untuk mundur. Usulan itu tak akan pernah diterima karena tiadalah suatu kaum akan terhormat lagi jika mundur dari pertempuran yang sudah disiapkan dengan penuh semangat. Lagi pula Abu Jahal sudah mendahului dan memotong setiap harapan untuk mundur. Ia menjatuhkan keputusannya berdasarkan pandangannya bahwa Qureisy memasuki perang Badr bukan untuk pekerjaan siasia, bukan pula kesombongan melainkan untuk mencapai target yang sering kita singgung sebelumnya. Abu Jahal berkata: “Demi Tuhan kami tidak akan mundur setelah kesempatan telah terbuka untuk memberikan kepastian bahwa setelah (perang) ini tiada lagi yang berani mengganggu perjalanan kafilah kita untuk selama-lamanya”. (Al-Waqidi, vol. 1/61) Ungkapan tersebut memberikan gambaran bahwa Abu Jahal tidak puas dengan keberhasilan menyelamatkan kafilah. Ia ingin memperoleh kemenangan yang dapat mengamankan jalur pedagangan yang pernah tertutup. Ini nyata pada ungkapannya "tiada lagi yang berani mengganggu perjalanan kafilah kita untuk selama-lamanya". Abu Jahal adalah figur jahiliyah yang tempramental cepat marah namun di sini ia mengerti apa yang dilakukan, karena gangguan dan ancaman terhadap jalur perdagangan berarti bahaya bagi Mekkah. Oleh karena itu persoalan ini harus diselesaikan dan jalur perdagangan harus dikuasai. Inilah yang menjadi rebutan dalam perang. 97 9. PERIODE PERTAMA PERTEMPURAN Sejumlah riwayat berupaya menggambarkan 'Utbah ibn Rabi'ah ibn 'Abd Syams sebagai figur yang sadar, dan berpandangan jauh, yang selalu mengusulkan hingga detik-detik terakhir untuk mundur tanpa perang dan bahwasanya ada perdebatan panjang yang terjadi antara dia dengan Abu Jahal yang pada gilirannya amat ambisi untuk bertempur. Menurut hemat kami upaya sejarawan kita tersebut tiada bermakna karena kondisinya sudah memasuki tahap 'pantang mundur'. Sekiranya Qureisy mundur pasti akan menderita penghinaan yang jauh lebih memalukan dari pada kalah dalam pertempuran. Tetapi yang penting dalam uraian-uraian para sejarawan kita ialah pemandangan pasukan muslim yang sedang tegak berbaris dalam keadaan hening menunggu komando. Dikatakan bahwa Qureisy mengutus 'Umeir ibn Wahb Al-Jumahi melakukan pengintaian yang, setelah mengendarai kudanya mengelilingi medan naik turun telaga ia kembali membawa laporan bahwa mereka (lawan) tidak mempunyai cadangan amunisi, tidak pula ada jebakan dengan taksiran jumlah pasukan sebanyak 300 personil, kalaupun lebih hanya sedikit ditambah 70 unta; kemudian ia menambahkan:”wahai Qureisy ingat bahwa semangat juang adalah kunci kemenangan, aku melihat mereka ibarat orang menggali kuburannya mereka sendiri; mereka tidak memakai perisai tidak pula mempunyai pelindung kecuali pedang. Mereka diam membisu tetapi siaga penuh seperti ular hendak mematok mangsa. Demi Tuhan aku yakin bahwa jika satu prajurit mereka gugur pasti ada satu pula yang gugur dari kita, dan jika hal ini terjadi maka betapa malunya kita". Gambaran tentang kesiagaan pasukan muslim dalam keadaan berbaris tegak dan hening dengan tekad bulat dan semangat yang terlihat pada wajah-wajah mereka adalah indikasi terhadap kemajuan yang dicapai kaum muslim pada saat itu dalam organisasi dan latihan. Bukanlah tradisi jahiliyah bahwa pasukan berbaris dalam keadaan hening dengan penuh keteraturan melambangkan tekad bulat keseriusan menghadapi perang. Di sini betul-betul kita menyaksikan suatu umat yang berjuang, sehingga tujuan dari pada setiap perang yang dilakukan oleh Rasulullah untuk membangkitkan semangat juang dan memperdalam keimanan telah terealisasi dan umat menjadi tentara pejuang atau umat tentara. Dari atas pos komando Rasulullah memandang pasukannya dalam keadaan puas dan penuh optimisme. Sebagian uraian sejarah mengatakan bahwa "beliau terkantuk sejenak lalu terbangun". Kami tidak mengerti dari mana sumber uraian ini dan untuk apa? sebab yang jelas beliau sangat segar dan sadar sepenuhnya hingga beliau menetapkan komando: “jangan memulai pertempuran sebelum aku mengisyaratkan dan jika mereka menyerang bidiklah dengan panah, jangan menghunuskan pedang sebelum berhadapan langsung..kemudian Rasulullah memulai do'anya: “Ya Allah kalau aku kalah kali ini, syirik akan bertambah merajalela dan agamaMu tidak akan pernah tegak lagi”. Do'a tersebut terdapat dalam kitab-kitab hadis dengan variasi yang berbeda-beda. Sementara itu Abu Bakr menyakinkan Rasulullah akan kemenangan kaum muslim dan akan perkenan Allah kepada do'anya. 'Utbah ibn Rabi'ah maju memulai pertempuran. Seorang pemimpin suku Ghiffar, Ima ibn Rukhsoh Al-Ghiffari yang merupakan penduduk setempat mengisahkan bagaimana keadaan pasukan muslim pada saat itu yang sedang tegak berbaris dan siaga penuh memasuki 98 pertempuran. Ia berkata: "Aku melihat sahabat Nabi saw berdiri tegak berbaris pada hari pertempuran Badr, mereka tidak menghunuskan pedang, dan menjadikan pedang mereka sebagai perisai dari serangan panah; aku melihat pedang mereka saling menutupi satu sama lain sedangkan pasukan yang lain (kaum musyrik) sudah menghunuskan pedang mereka, lalu aku tanyakan setelah itu kepada salah seorang dari muhajirin mengapa demikian? jawabnya : karena Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk tidak menghunuskan pedang sebelum berhadapan langsung (dengan lawan)". Hal ini menunjukkan betapa kedisiplinan dan kesetiaan kaum muslim saat itu mengikuti perintah Rasulullah. Pada saat itu Ima ibn Rukhsoh bersama beberapa orang dari kaumnya sedang mengintai dari jauh di atas bukit dalam rangka menunggu hasil perang. Ia kemudian memeluk Islam, tetapi orang-orang dari suku Giffar mengklaim bahwa sebagian dari mereka sudah masuk Islam sebelum hijrah. Kenyataan yang dapat ditarik dari uraian ini adalah bahwa suatu suku Arab termasuk suku Ghiffar saat itu dari jauh menyaksikan pertempuran. Hal ini menunjukkan bahwa mereka ingin mengetahui hasil perang. Yang menguatkan asumsi bahwa orang-orang Qureisy sangat berambisi memasuki pertempuran dan menunjukkan juga salah perhitungan mereka terhadap kekuatan pasukan Islam adalah AlAswad ibn 'Abd Al-Asad Al-Makhzumi yang 'nekad' ingin menembus pasukan muslim menuju kolam air dan berkata "Demi Tuhan aku akan minum dari kolam mereka atau aku menhancurkannya ataupun aku tewas karenanya". Rasulullah sendiri tidak melarang jika tujuannya hanya minum sekedar melepas dahaga dan beliau telah mengizinkan sebagian kaum Qureisy untuk minum. Tapi keangkuhan dan kesombongan yang ditampakkan oleh Al-Aswad harus dihadapi dengan kekerasan pula sehingga Hamzah maju dan memukulnya membuat salah satu kakinya terpotong dan dengan satu kaki Al-Aswad melompat ke kolam lalu minum. Orangorang Makhzum termasuk kelompok yang paling benci kepada Islam dan orang-orang muslim. Tradisi yang berlaku dalam setiap pertempuran sepanjang abad pertengahan baik di dalam semenanjung Arab maupun di luarnya adalah bahwa pertempuran dimulai dengan saling menantang (satu per satu) antara prajurit yang dijagokan dari kedua belah pihak hingga situasi 'memanas' dan perang pun berkecamuk. Maka majulah tiga orang dari kaum Qureisy masing-masing 'Utbah ibn Rabi'ah, Syaibah ibn Rabi'ah dan Al-Walid ibn 'Utbah ibn Rabi'ah. Dari kaum golongan al-anshar maju tiga orang menerima tantangan mereka masing-masing Mu'adz, Mu'awwadz dan 'Auf, ketiganya putra 'Afra' yang beraliansi dengan Al-Harith dari golongan Khazraj. Tetapi Rasulullah tidak menginginkan jika yang pertama kali menerima tantangan dari al-anshar. Berkata Al-Waqidi : "Beliau (Rasulullah) menginginkan jika prakarsa pertama dilakukan oleh para sepupunya atau dari bangsanya". (Al-Waqidi, vol. 1/69). Ia menambahkan bahwa kaum musyrik menantang yang paling dijagokan dari kaum muslim yang berbangsa Qureisy". Berkata Al-Waqidi : "Maka Rasulullah menyeru wahai bani Hasyim bangkit dan bertempurlah demi kebenaran yang olehnya Allah mengutus Nabi-Nya karena mereka datang dengan kebatilan untuk memadamkan cahaya Allah". Kami yakin bahwa uraian ini sengaja ditambahkan oleh keturunan Hasyim berikutnya terutama golongan Abbasia sebagai upaya untuk meyakinkan bahwa mereka berhak memerintah kaum muslim dengan mengada-ada apa yang tidak pernah Rasulullah ucapkan. Adalah tidak mungkin bagi Rasulullah mengutamakan bani Hasyim dan mengunggulkannya dari kaum muslim lainnya. Tidak mungkin pula beliau menginginkan prakarsa pertama dari sepupunya atau dari bangsanya, tanpa membuka kesempatan kepada kaum muslim lainnya. Termasuk dalam kategori 99 'menambah-nambah' seperti ini riwayat Ibn 'Abbas yang mengatakan bahwa Nabi melarang sahabatnya membunuh orang-orang bani Hasyim pada hari perang Badr. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda "Jika kalian berhadapan dengan salah seorang dari bani Hasyim jangan dibunuh, barangsiapa di antara kalian yang menemui Abu Al-Bukhtarri ibn AlHarith ibn Asad jangan dibunuh, barang siapa di antara kalian yang menemui Al-Abbas ibn Abd Al-Mutthalib, paman Rasulullah jangan dibunuh karena ia ikut perang hanya karena terpaksa". Ini semua adalah penambahan orang-orang keturunan Abbas. Saat itu jumlah pasukan Islam sedikit dan kurang tiga kali lipat dibandingkan dengan jumlah pasukan Qureisy yang setiap personilnya menggabungkan diri dengan sukarela untuk bertempur. Kami tidak dapat memastikan apakah menerima keabsahan teks tersebut lalu berasumsi bahwa Rasulullah membeda-bedakan seseorang dari yang lainnya? Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa AlAbbas menggabungkan diri dalam pasukan Qureisy dengan sukarela karena ia adalah orang kafir sehingga apa yang dianggap pernyataan Rasulullah "melarang membunuh Al-Abbas karena ikut dalam keadaan terpaksa" hanyalah pemalsuan data sejarah belaka yang dilakukan oleh 'kantor berita (dinasti) Abbasia'. Dari pasukan Islam maju tiga orang menerima tantangan Qureisy masing-masing Hamzah ibn Abd Al-Mutthalib, Ali ibn Abi Thalib dan 'Ubaidah ibn Al-Harith ibn Abd Al-Mutthalib. Yang terakhir ini adalah tokoh satu-satunya dari kaum muhajirin yang umurnya lebih tua dari Rasulullah dan masih termasuk paman beliau. Meski sebagian riwayat mengatakan bahwa Hamzah juga lebih tua empat tahun dari Rasulullah. Hamzah berhadapan dengan 'Utbah ibn Rabi'ah dan menghabiskan riwayatnya, Ali ibn Abi Thalib menghadapi Al-Walid ibn Rabi'ah dan mengakhiri hayatnya sedangkan 'Ubaidah ibn Al-Harith terkena tangannya oleh pedang Syaibah ibn Rabi'ah dan jatuh tersungkur lalu Hamzah dan Ali segera datang bersama-sama memukul Syaibah ibn Rabi'ah dan membunuhnya kemudian menggotong 'Ubaidah kembali ke dalam barisan pasukan. Sesampainya di hadapan Rasulullah ia bertanya bukankah aku seorang yang syahid? jawab Rasulullah tentu, dan ia pun menghembuskan nafas terakhir. Akhirnya tokoh yang lebih tua dari Rasulullah sepuluh tahun ini, dan yang selama ini dipercaya Rasulullah sebagai komandan operasi militer yang ketujuh telah syahid. Dengan terbunuhnya tiga tokoh Qureisy Abu Jahal dirundung kekhawatiran akan mempengaruhi semangat juang pasukan Qureisy. Maka ia maju membakar semangat. Sementara itu seorang yang bernama Suraqoh ibn Malik ibn Ju'thum Al-Mudliji dari bani Murrah ibn Abd Manaf ibn Kinanah yang beraliansi dengan Qureisy telah mengundurkan diri dari medan tempur. Abu Jahal menyeru wahai Qureisy janganlah terpengaruh dengan Suraqoh, ia memang bersekongkol dengan Muhammad, nanti kita akan meminta kaumnya untuk mempertanggung jawabkan tindakannya ini jika kita pulang melewati qudeid (jalan menuju Mekkah). Jangan terpengaruh dengan terbunuhnya 'Utbah, Syaibah dan Al-Walid karena mereka terburu-buru. Demi Tuhan, kita tak akan meninggalkan tempat ini kecuali jika Muhammad dan pengikutnya kita seret dalam keadaan terikat ke Mekkah". Orang-orang Mudlij di kemudian hari berusaha menutup-nutupi coreng muka yang disebabkan oleh mundurnya Suraqoh dengan mengatakan bahwa syetan telah masuk dalam jiwanya sehingga yang 'kabur' adalah syetan. Dapat dipahami dari ungkapan Abu Jahal bahwa wilayah kekuasan kaum mudlij berada di dekat qudeid yang terdapat pada jalur Mekkah-Madinah. Pernyataan Abu Jahal tersebut menunjukkan bahwa pertempuran adalah tanggung jawabnya. Kepemimpinan keluarga bani 'Abd Syams telah patah dan berakhir dengan tewasnya 'Utbah, 100 Syaibah dan Al-Walid pada hari itu, sedangkan Abu Sufyan tidak nampak dalam pertempuran, maksudnya keluarga bani Umayyah tidak ada yang dapat memimpin pertempuran sehingga kepemimpinan secara otomatis berada di tangan Abu Jahal, figur yang ditokohkan keluarga bani Makhzum dan lambang perlawanan Qureisy terhadap Islam. Antusiasnya untuk bertempur melawan pasukan Islam yang sedemikian tinggi adalah indikasi akan kepemimpinannya terhadap kaum Qureisy dan sosok yang di'jago'kan oleh keluarganya sendiri dari bani Al-Mughirah ibn Abdullah ibn 'Umar ibn Makhzum yang merupakan basis kekuatan militer dan logistik Qureisy. Ikut mendampingi Abu Jahal saat itu kemanakannya Al-Fakih dan putranya Abu Qaes ibn AlFakih ibn Hisyam ibn Al-Mughirah dan keduanya tewas bersama Abu Jahal. Ada 80 orang dari keluarga bani Makhzum yang ikut dalam pertempuran ini. Jumlah tersebut merupakan sepersepuluh dari kekuatan Qureisy seluruhnya, 25 orang di antaranya tewas, sepertiga dari jumlah pasukan Qureisy yang tewas dan 5 orang tertawan. Kaum muslim telah yakin bahwa saatnya sudah tiba untuk menghabiskan riwayat lambang kekafiran yakni Abu Jahal. Maka mereka berbondong-bondong mencarinya dan berusaha menembus benteng pertahanan yang dikawal oleh keluarga bani Makhzum. Pasukan pengawal Abu Jahal masih bertahan hingga 16 orang di antara mereka tewas. Dan yang pertama kali menemukan Abu Jahal bukanlah termasuk pahlawan senior Islam seperti Ali ibn Abi Thalib atau Hamzah ibn Abd Al-Mutthalib ataupun Abu Dujanah, melainkan salah seorang dari kelompok pejuang Al-Anshar yang berhasil menembus pengawalan bani Makhzum, yaitu Mu'adz ibn 'Amr ibn Al-Jumuh dari keluarga bani Salamah golongan Khazraj, sepupu Al-Hubab b Al-Mundzir sang ahli taktik perang yang telah kita singgung di sebelumnya. Mu'adz memukul kaki Abu Jahal yang langsung terpotong membuatnya terjatuh kemudian disusul pukulan Mu'awwadz dan 'Aof putra 'Afra' yang tadinya ingin lebih awal menerima tantangan pertama. Pukulan keduanya membuat Abu Jahal tak berdaya lagi dalam keadaan terkulai berlumuran darah, selanjutnya dihabisi oleh Abdullah ibn Mas'ud, seorang yang pernah menjadi hamba sahaja yang dahulu menjadi bulan-bulanan penyiksaan Abu Jahal. Al-Waqidi menguraikan peristiwa tewasnya Abu Jahal yang menggambarkan betapa penting orang ini (Abu Jahal) bagi masa depan Qureisy dalam pandangan kaum musyrik terutama keluarga bani Makhzum. Berkata Al-Waqidi: "Tatkala keluarga bani Makhzum menyaksikan banyak pasukan yang tewas mereka berseru 'lindungi Abul-Hakam (Abu Jahal) karena kedua putra Rabi'ah telah tewas diluar perlindungan keluarganya. Maka para keluarga bani Makhzum mengatur pengawalan ketat terhadapnya dan membuka pakaian perangnya lalu dipasangkan kepada salah seorang dari mereka yaitu Abdullah ibn Al-Mundzir ibn Abi Rifa'ah yang langsung mendapat serangan dari Ali ibn Abi Thalib dan menewaskannya, sedang Abu Jahal menyaksikan. Kemudian pakaian tersebut dipasangkan lagi kepada Abu Qaes ibn Al-Fakih yang langsung diserang oleh Hamzah dan menewaskannya, sedang Abu Jahal menyaksikan, kemudian dipakaikan lagi kepada Harmalah ibn Umar dan diserang oleh Ali ibn Abi Thalib dan menewaskannya, sedang Abu Jahal menyaksikan dari dalam pagar pengawalan.. kemudian mereka hendak memasangkannya lagi kepada Khalid ibn Al-A'lam tapi ia menolak..; berkata Mu'adz ibn Amr ibn Al-Jumuh : aku melihat Abu Jahal samar-samar tetapi ketika aku mendengar seruan 'lindungi Abul-Hakam' aku pun yakin bahwa dialah orangnya dan aku bersumpah: tiada yang dapat menghalangi aku untuk menyelesaikannya kecuali mati". 101 10. PERIODE KEDUA PERTEMPURAN Kesempatan tidak terluang untuk merinci lebih lanjut detik-detik peristiwa tewasnya Abu Jahal pada paragraf sebelumnya. Pada bagian untuk membicarakan periode kedua pertempuran yang menentukan dalam sejarah Islam dan sejarah umat manusia ini kita masih menyambung detikdetik peristiwa tersebut sebagaimana yang diuraikan oleh Mu'adz ibn 'Amr yang dikutip AlWaqidi "..aku bersumpah : tiada yang dapat menghalangi aku untuk menyelesaikannya kecuali mati dan secepat kilat aku menyerangnya dan berhasil mengenai kakinya, kemudian aku mendapat serangan dari putranya, 'Ikrimah' yang mengenai lenganku dan terpotong tapi masih lengket dan aku bisa menariknya ke belakang; ketika aku merasakan sakitnya aku injak dan memotongnya sendiri kemudian aku melihat 'Ikrimah lewat, sekiranya tanganku masih ada tentu aku sudah menghabiskannya pula" (Al-Waqidi, vol. 1/78) Kemudian Al-Waqidi meriwayatkan: "Setelah pertempuran usai Rasulullah memerintahkan untuk mencari Abu Jahal; berkata Ibn Mas'ud: lalu aku mendapatkannya sedang berlumuran darah, aku meletakkan kaki-ku di lehernya dan berkata kepadanya: Al-hamdu lillah, aku bersyukur kepada Allah yang mencelekakanmu, ia menjawab: yang celaka ialah putra hamba sahaja (maksudnya Abdullah ibn Mas'ud), kamu sudah bisa bertingkah hai pengembala cilik ! siapa yang berkuasa sekarang ? kataku: Allah dan Rasul-Nya. Berkata Abdullah ibn Mas'ud : lalu dia memegang bahunya dan aku berkata: aku akan membunuhmu wahai Abu Jahal! ia menjawab: kamu bukanlah hamba sahaja pertama yang membunuh tuannya; oh, betapa sial nasibku hari ini kalau kamu yang membunuhku, mengapa aku tidak terbunuh oleh orang-orang terpandang! Lalu Abdullah memukulnya dengan pedang yang memotong lehernya dan kepalanya terpisah terbang hinggap di tangan Ibn Mas'ud kemudian ia menariknya". (AlWaqidi, vol. 1/89-90). Barangkali, ceritanya agak berlebihan tetapi bagaimanapun, demikianlah nasib Abu Jahal, bahwa yang terakhir dilihatnya di dunia adalah wajah Abdullah ibn Mas'ud yang dipandangnya sebagai hamba sahaja yang hina tapi ia tewas di tangannya. Kematian Abu Jahal adalah kematian jahiliah karena dialah yang merupakan lambang personifikasi kehidupan jahiliah, pelopor dan pejuangnya yang mengerahkan segala kekuatan yang dimiliki untuk mempertahankannya, tapi ia telah dicampakkan oleh laju Islam melalui Mu'adz, Mu'awwadz dan Ibn Mas'ud. Dan dengan tewasnya Abu Jahal, periode pertama pertempuran yang menentukan di Badr telah berakhir. Keluarga bani Makhzum bukanlah satu-satunya kelompok Qureisy yang menderita pukulan berat pada hari itu melainkan juga keluarga bani Abd Syams. Bahkan pukulan yang dirasakan oleh yang terakhir ini lebih berat membuat mereka hilang dari peredaran cukup lama setelah itu. Tewasnya 'Utbah dan Syaibah putra Rabi'ah serta Al-Walid ibn 'Utbah bukanlah hal kecil. Apalagi tokoh-tokoh dari keluarga mereka ada 10 orang tewas antara lain: 'Ubaidah ibn Sa'id ibn Al-'Ash dan putranya Al-'Ash ibn Sa'id ibn Al-'Ash, ditambah tokoh-tokoh yang beraliansi dengannya seperti 'Amir ibn Al-Hadrami, saudara kandung Al-'Ala ibn Al-Hadrami, yang tewas dalam operasi ‘detasmen’ nakhla. Keikutsertaan dan ambisi 'Amir ibn Al-Hadrami untuk mendorong dan membakar semangat Qureisy memasuki pertempuran ini disebabkan oleh keinginannya membalas dendam atas kematian saudaranya, tapi ternyata ia sendiri ikut tewas. Termasuk dalam daftar tawanan 'Uqbah ibn Abi Mu'ith ibn Abi Amr ibn Umayyah ibn Abd Syams, seorang figur penentang Islam yang sangat gigih dan tidak pernah berhenti menghina Islam dan kaum muslim lalu pada perang Badr tertawan oleh 'Ashim ibn Tsabit ibn Abi AlAqlah. 102 Ia digiring bersama tawanan lainnya pergi meninggalkan medan pertempuran ketika kaum muslim beranjak menuju Madinah. Tapi setibanya di 'irq al-dhabiyah untuk istirahat, Rasulullah mengisyaratkan kepada 'Ashim untuk menghabiskan riwayatnya. Nasib yang sama dialami oleh Al-Nadr ibn Al-Harits ibn Kaladah ibn Abd Manaf ibn Abd Qushay, yang merupakan figur penentang yang paling banyak mengolok-olok Islam dan Rasulnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir terlihat mulutnya berbusa. Di antara kelompok Qureisy yang menderita pukulan berat pada perang Badr adalah keluarga bani Asad ibn Abd Al-'Uzzay ibn Qushay. Dari mereka tewas dalam pertempuran antara lain pemimpinnya sendiri, Rabi'ah ibn Al-Aswad yang dijuluki 'singa Qureisy', Abu Al-Bukhtari AlAsh ibn Hasyim ibn Al-Harits ibn Abd 'Uzzay ibn Qushay, Al-Harits ibn Rabi'ah ibn Al-Aswad, 'Uqeil ibn Al-Aswad ibn Abd Al-Mutthalib dan Noufal ibn Khuwailid ibn Asad, yang terkenal dengan nama Ibn Al-Adawiyah. Mereka ini adalah tokoh-tokoh elit Qureisy dan pilar-pilar masyarakat Mekkah. Dalam masyarakat kecil seperti di Mekkah ketergantungan anggota masyarakat kepada pemuka-pemukanya cukup tinggi dan mereka betul-betul berpengaruh dalam masyarakat. Tokoh seperti Abu Al-Bukhtari Al-Ash ibn Hasyim amat terhormat dan disegani, yang meskipun musyrik Rasulullah menaruh simpati kepadanya karena dialah yang pertama kali bangkit merobek-robek pengumuman boikot kepada bani Abd Al-Mutthalib dahulu. Dikatakan bahwa Rasulullah berpesan agar tidak membunuhnya. Cukup ditawan, dan betul ia tertawan, tapi ia tidak rela melihat salah seorang mitra kelompoknya dari bani Laits bertempur sendirian, sehingga begitu hendak membantunya segera dipukul mati oleh Al-Mujdarr ibn Ziyad Al-Balawi. Nasib yang sama dialami oleh Umayyah ibn Khalaf Al-Jumahi, ayah Shafwan ibn Umayyah ibn Khalaf yang akan menjadi pemimpin Qureisy kelak, menemukan ajalnya di tangan Bilal ibn Rabah Al-Habasyi, yang dahulu pada waktu masih di Mekkah sering disiksa oleh Umayyah. Maka, begitu melihatnya tertawan Bilal langsung sadar dan berseru eh, tonggak kekufuran, Umayyah ibn Khalaf, aku atau dia yang lolos dan segera menembus barisan lalu membunuhnya di tengah-tengah tawanan. Pukulan ini cukup berat bagi keluarga bani Jumuh sehingga mereka tidak pernah disebut lagi kecuali setelah munculnya Shafwan memimpin Qureisy. Tapi peranan keluarga bani Jumuh dalam masyarakat quriesy betul-betul sudah berakhir. Setelah mereka ini tewas semua, Qureisy melihat dengan nyata bahwa mereka telah kalah. Saat itu lewat waktu dzuhur. Para pemimpin Qureisy yang masih tertinggal menyerah untuk ditawan; dan perlawanan yang dihadapi kaum muslim sudah tidak berarti lagi. Dari atas pos komando Rasulullah didampingi oleh Abu Bakr yang sejak awal mengikuti dan memimpin jalannya pertempuran yakin akan kemenangan yang telah dicapai. Diriwayatkan bahwa pada saat-saat berkecamuknya pertempuran kaum muslim menyerang pasukan Qureisy dengan penuh semangat. Mereka maju memasuki kancah pertempuran, menyerang dan memukul dan setiap kali kembali melapor di pos komando Rasulullah membakar semangat mereka dan memberkatinya kemudian maju lagi. Kadang-kadang ada yang kehilangan pedang maka ia kembali kepada Rasulullah dan beliau memberinya pedang baru. Diriwayatkan oleh sebagian sahabat bahwa setiap kali pedangnya tumpul mereka kembali kepada Rasulullah, lalu Rasulullah memberinya sepotong kayu tiba-tiba menjelma menjadi pedang. Riwayat-riwayat seperti ini banyak dijumpai dalam kitab dalail alnubuwwah karya Abu Al-Husein Ahmad Al-Baihaqi, yang cukup populer menguraikan jalannya peristiwa perang Badr lebih rinci dan lebih dekat kepada hakekat sejarah dari pada karya Abu Nou'aim Al-Asfahani dengan judul yang sama. 103 Rasulullah tetap di posnya hingga pertempuran usai. Saat terlihat bahwa sudah tidak ada lagi kaum musyrik yang melawan. Ada sekelompok Arab badui yang sejak awal mengintai dan mengikuti jalannya pertempuran, ketika melihat kekalahan Qureisy mereka masuk medan pertempuran untuk melakukan perampasan. Rasulullah memerintahkan untuk mencegat mereka, sambil beliau mengikuti jalannya pengaturan tawanan dan pengumpulan harta perolehan perang. Hal itu berlangsung hingga waktu maghrib tiba. Pada hari itu Rasulullah sholat ashar dan maghrib sekaligus. Faktor penyebab kemenangan yang paling menonjol hari itu bagi kaum muslim -setelah keimanan mereka yang mendalam- adalah kedisiplinan dan keteraturan serta ketrampilan tempur yang mereka miliki. Mereka menyerang dengan penuh tekad bulat, tegar bagaikan beton maju menembus barisan lawan yang segera terpencar-pencar. Serangan demi serangan mereka lancarkan dengan amat akurat dan teratur. Nyata sekali bahwa semua itu adalah hasil latihan panjang yang telah dilakukan oleh Rasulullah sejak menginjakkan kaki di Madinah. Bangsa Arab sampai saat itu belum pernah mengenal pertempuran kecuali dalam bentuk 'tantang-menantang' antara yang di'jago'kan dari kedua belah pihak. Pada perang Badr mereka menyaksikan sebuah pertempuran yang terorganisir dengan baik sesuai dengan 'rencana perang' dan dibawah suatu komando pimpinan. Rasulullah sendiri yang memimpin pertempuran didampingi oleh senior sahabat seperti Abu Bakr, Sa'd ibn Mu'adz dan Umar ibn Al-Khattab, yang juga sempat turun ke medan pertempuran dan menewaskan satu prajurit pasukan musyrik. Seandainya bukan tugas-tugasnya yang mengharuskan kembali ke pos komando, tentu lebih banyak lagi orang-orang musyrik yang menemui ajalnya gara-gara pedang Umar. Pertempuran ini melahirkan sejumlah pejuang muslim yang menjadi pahlawan lambang keberanian, kecekatan, keimanan yang kokoh dan ketrampilan serta daya tempur yang tinggi. Yang paling pertama harus dicatat dalam hal ini adalah Ali ibn Abi Thalib yang pada hari itu merupakan 'bintang' pertempuran. Meski tanpa mengendarai kuda memasuki kancah pertempuran ia -dengan keberanian, ketrampilan dan daya tempur yang tinggimampu mematahkan perlawanan personil-personil kavaleri. Pergerakannya selama pertempuran bagaikan 'amukan singa'. Begitu selesai menewaskan satu lawan pindah kepada yang lainnya. Jika melihat ada saudaranya dari kaum muslim yang terdesak ia segera datang membantunya. Daftar orang-orang yang tewas dengan pedang Ali cukup panjang antara lain yang dapat dicatat 'Utbah ibn Rabi'ah, Handzalah ibn Abi Sufyan, Al-'Ash ibn Sa'id Al-'Ash, Al-Walid ibn 'Utbah ibn Rabi'ah ibn Abd Syams, Al-Harits ibn Rabi'ah, Noufal ibn Khuwailid ibn Asad ibn Abd Al'Uzzay, yang terkenal dengan nama Ibn Al-Adawiyah, Al-Nadr ibn Al-Harits ibn Kaladah, Yazid ibn Muleish, hamba milik Umeir ibn Hasyim ibn Abd Manaf ibn Abd Al-Dar, Umeir ibn Usman ibn Ka'b ibn Sa'd ibn Taym, Mas'ud ibn Abi Umayyah, Nabih ibn Al-Hajjaj dari keluarga bani Jumuh dan Al-'Ash ibn Manbah. Jumlah pasukan lawan yang tewas oleh pedang Ali atau ikut menewaskannya mencapai 22 orang. Maka yang menjadi 'bintang' pada hari itu setelah Rasulullah adalah Ali ibn Thalib. Konsekwensi dari kecemerlangan Ali pada hari ini adalah bahwa suatu 'dendam kesumat' tertanam dalam diri bani Umayyah dan para kelompok aliansinya. Hal ini akan berpengaruh dalam karirnya di masa depan. Keturunan bani Abd Syams tidak akan pernah melupakan apa yang diderita keluarganya. Dendam tersebut akan dibalasnya jika kelak mereka mendapat kesempatan dalam naungan Islam, terutama pada periode pemerintahan Usman ibn 'Affan (yang dibayang-bayangi oleh bani Abd Syams). Mereka meminta pertanggung-jawaban Ali atas pembunuhan Usman sebagai prasyarat bagi penerimaan mereka terhadap penobatan Ali sebagai 104 Khalifah. Kebencian bani Abd Syams kepada Ali lahir dari perang Badr. Apa yang dilakukan oleh Abd Al-Rahman ibn 'Auf dalam permusyawaratan dengan upaya menyisihkan Ali dari kursi Khalifah sebenarnya membuka jalan bagi suatu benturan berbahaya yang akan menimpa umat Islam sejak pemerintahan Usman. Benturan mana mengakibatkan terbunuhnya Usman sendiri lalu Ali dimintai pertanggung jawaban. Sebuah kemelut besar yang akan mengganggu pemerintahan Ali dan akan mengakhirinya dengan 'fitnah yang maha hebat' kemudian pemerintahan pindah ke tangan bani Umayyah dan munculnya kelompok Syi'ah. Suatu fitnah yang betul-betul meretakkan bangunan umat Islam. Bintang pahlawan berikutnya adalah Hamzah ibn Abd Al-Mutthalib, Abu 'Ubeidah ibn AlJarrah, Al-Zubeir ibn Al-Awwam dari kelompok muhajirin; sedangkan dari kelompok al-anshar bintang mereka adalah Abu Dujanah yakni Sammad ibn Khursyah dari bani Sa'dah ibn Ka'b dari golongan Al-Khazraj, yang senang membalut kepalanya dengan kain merah memasuki kancah pertempuran, menembus barisan pertahanan lawan dan menyerang dengan cara yang sangat menakjubkan. Ia sendiri menewaskan 7 atau 8 dari pasukan musyrik hari itu. Ia masih akan hidup setelah Rasulullah dan ikut dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya hingga ia mati syahid pada pertempuran al-yamamah pada perang al-riddah (perang melawan orang-orang murtad). Figur-figur lain yang masuk dalam daftar pahlawan terkemuka dari kelompok al-anshar pada hari itu adalah Al-Hubab ibn Al-Mundzir ibn Al-Jumuh, Tsabit ibn Al-Jadza', Al-Mujdarr ibn Ziyad, Mu'adz ibn Amr ibn Al-Jumuh, Sa'd ibn Al-Rabi' dan Abdullah, Zuheir, Al-Saib semuanya putra Abi Rifa'ah, selanjutnya Abu Burdah ibn Tsiyar. Setelah kaum muslim mengamankan para tawanan, Rasulullah mengamanatkan urusan harta perolehan perang yang cukup melimpah kepada salah seorang sahabat. Ada perbedaan pendapat antara para perawi mengenai apakah Rasulullah membagi-bagikan semuanya kepada para pejuang ataukah mengeluarkan seperlimanya, kemudian sisanya dibagikan kepada para pejuang karena ayat mengenai hal ini dalam surah Al-Anfal turun setelah itu. Pembagian tersebut dilaksanakan ketika tiba di suatu tempat yang dinamakan al-naziyah yang terletak pada jalur yang menghubungkan al-shofra yang tidak jauh dari Madinah. Disana, Rasulullah menginap satu malam dan meminta para sahabatnya untuk tidak terburu-buru pergi menemui keluarga masing-masing. Beliau meminta mereka untuk berkemas-kemas dengan rapih agar masuk Madinah dengan penampilan yang layak bagi suatu kemenangan gemilang seperti yang telah dicapai. Ini menunjukkan betapa Rasulullah sangat memperhatikan segala hal sampai yang sekecil-kecilnya. Bahkan beliau tidak mau meninggalkan medan tempur sebelum mayatmayat seluruhnya dikuburkan. Semua ini merupakan pelajaran baik yang dapat diperoleh dari renungan terhadap perjuangan Rasulullah. Beliau adalah contoh tauladan dan oleh karena itu sunnah menduduki posisi kedua dalam pokok-pokok perundang-undangan, akhlak dan prilaku Islam. 105 11. PENGARUH PERANG BADR TERHADAP ISLAM Sejarah kehidupan bangsa Arab sebelum Islam adalah sejarah peperangan. Catatan-catatan sejarah mereka sarat dengan cerita pertempuran dan kepahlawanan. Tapi seluruh peperangan tersebut adalah peperangan suku yang berlangsung dengan cara saling 'tantang-menantang' antara yang di'jago'kan dari kedua belah pihak. Justeru bukan sebagai peperangan dalam bentuk perang militer, kecuali -barangkali peperangan dzi qar- yang berhasil mengakhiri ancaman Persia terhadap orang-orang Arab keluarga Syaiban dan Rabi'ah dan cabang-cabangnya dari suku Qaes 'Aylan yang berinduk ke Mudlor dan yang hidup di perbatasan. Termasuk dalam catatan penting sejarah bangsa Arab juga peristiwa khuzazi atau khuzaz di mana sejumlah besar cabang-cabang suku Ma'd ibn 'Adnan menghimpun diri melawan pasukan Jemeir di bawah pimpinan Kuleib ibn Wail, pahlawan yang dikenal dengan nama Sayyid Rabi'ah. Tapi perang Badr yang terjadi pada tanggal 17 Ramadlan 2H/13 Maret 624M adalah peperangan pertama yang layak dinamakan perang, dan tentara Islam yang berangkat menuju Badr betulbetul merupakan pasukan militer yang pertama kali dikenal dalam sejarah mereka. Kaum Qureisy sendiri sebenarnya berangkat ke Badr bukan dalam bentuk sebagai angkatan perang melainkan sebagai kelompok 'jago'an yang ingin pamer kekuatan dengan anggapan bahwa persoalan yang akan dihadapi tidak akan lebih dari sekedar 'tantang-menantang' antara kedua belah pihak kemudian akan dihelai oleh salah seorang kepala suku sebagai penengah dan masing-masing menerima usulan untuk berdamai. Persoalan kemudian dapat diakhiri dengan membayar ganti rugi atau denda, lalu jalur niaga terbuka dan selesai. Tapi pukulan pertama yang diarahkan pasukan Islam dan menewaskan tiga tokoh Qureisy dalam waktu yang sangat singkat telah menggoyahkan dan menurunkan semangat tempurnya. Pada waktu yang sama, seketika pasukan Islam dengan secara bersama-sama menggempur dan membuat barisan lawan terpecah. Mereka kelabakan tidak mengetahui lagi yang terjadi. Apa yang dapat dilakukan oleh keluarga bani Makhzum hanyalah memasang pengawasan ketat untuk melindungi Abu Jahal sedangkan yang lain telah terpencar-pencar mencari posisi bagaimana menyelamatkan diri. Kaum muslim menerobos pertahanan dan menewaskan sebagian pengawal Abu Jahal seperti Abu Bukhtari Al-'Ashi ibn Hasyim dan putranya Al-Aswad ibn Al-Bukhtari serta Umayyah ibn Khalaf. Seketika Qureisy kehilangan keseimbangan. Barisan mereka diselimuti suasana panik yang tak terkendali. Setelah Abu Jahal tewas dan kaum muslim telah menguasai keadaan nampak dengan jelas bahwa umat Islam yang sedang tumbuh di Madinah adalah awal dari suatu periode baru. Disini terlihat suatu umat bersatu dalam satu akidah di bawah pimpinan seorang Rasul dan memiliki sistim kemiliteran dan ideologi yang belum pernah dikenal di kalangan bangsa Arab sebelumnya. Jika sebagian dari penduduk Madinah, hingga saat itu belum dapat mencerna betul apa hakekat Islam dan kekuatan umatnya maka setelah perang Badr mata mereka terbuka lebar untuk menyaksikan suatu fakta nyata. Catatan-catatan yang ada mengungkapkan bahwa seluruh induk suku-suku Arab dari Aous dan Khazraj telah memeluk Islam dan atau memantapkan keislamannya setelah kemenangan gemilang ini. Hanya satu kelompok kecil dari anak cabang suku Aous manat yang masih ragu memeluk Islam hingga kelak terjadi pertempuran Khandaq. Dan jika sebagian penduduk Madinah sampai detik itu belum melihat dengan jelas apa gunanya loyal terhadap umat Islam dan keistimewaan petunjuknya maka setelah perang Badr mereka dapat menyaksikannya dengan nyata sehingga masuknya mereka kedalam Islam sudah betul106 betul mantap dengan keimanan yang mendalam serta tekad bulat untuk siap mengikuti panggilan jihad. Wilayah kekuasaan umat Islam bertambah luas, kesatuan lebih teratur dengan sikap yang lebih tegas lagi. Sebelum perang Badr tercatat hanya dua atau tiga mesjid karena umumnya para pemimpin suku membangun mushallah masing-masing; ada mushallah Sa'd ibn Mu'adz, mushallah Sa'd ibn 'Ubadah dan sebagainya. Setelah perang Badr terlihat banyak mesjid yang dibangun; maka ada mesjid Al-Fath, mesjid AlSayiq dan mesjid Al-Salai; semua itu dibangun dalam bentuk yang lebih permanen dan lebih luas dapat menampung lebih banyak jumlah jama'ah yang datang menunaikan shalat-shalat fardlu. Namun mesjid Rasulullah tetap sebagai mesjid raya yang berfungsi juga sebagi pusat kegiatan penduduk Madinah yang sepanjang hari menyaksikan kesibukan dan dinamika. Sementara itu telah dibangun pula beberapa kamar untuk Rasulullah di bagian tenggara mesjid dan beliau tinggal di sana. Di tepi kamar-kamar itulah Rasulullah selalu berkumpul bersama para sahabatnya berbagi pendapat dan dengan terbuka bagi siapa saja yang hendak bertemu dengan beliau, mendengarkan hadis-hadisnya dan menanyakan berbagai hal. Keikutsertaan kaum muhajirin dan al-anshar ditambah bergabungnya orang-orang dari suku Juheina, Bellawi dan Ghiffari dengan rasa kebersamaan dalam perang Badr telah mendorong semakin mantapnya kesetiakawanan dan solidaritas umat. Adalah sulit dipercaya (tapi nyata) bahwa jurang pemisah antar suku dan golongan sudah terhapus sama sekali. Rasulullah dalam hal ini adalah suri tauladan mereka sebab meskipun sepupunya, Ali ibn Abi Thalib telah memperlihatkan kepahlawanan dalam medan tempur, namun Rasulullah tidak memperlakukannya secara istimewa sebagai upaya untuk menghilangkan kesan kesukuan keluarga Hasyim. Demikian juga dengan Hamzah, seluruh umat Islam dalam pandangan Rasulullah sama. *** Tapi kita dapat mencatat sekelompok elit kaum muslim yang memiliki ketajaman pendapat dan kecekatan mengambil prakarsa serta kesiapan berkorban demi umat. Mereka adalah antara lain Abu Bakar, Umar ibn Al-Khattab, Abu Ubaidah ibn Al-Jarrah, Al-Zubair ibn Al-Awwam dari golongan muhajirin dan dari golongan al-anshar Sa'd ibn Mu'adz, Sa'd ibn Ubadah, Al-Hubab ibn Al-Mundzir ibn Al-Jumuh, Sa'd ibn Al-Rabi', Abu Burdah ibn Niyar, Sa'd ibn Malik, dan Muhammad ibn Muslimah serta banyak lagi lainnya. Mereka ini menempati kedudukan khusus di sisi Rasulullah karena ketrampilan yang mereka miliki dalam ketetapan iman, ketajaman pendapat dan vitalitas yang tinggi. Mereka adalah penasehat-penasehat Rasulullah, jika keluar dari kamarnya beliau duduk dalam majlis bersama mereka atau jika diperlukan beliau menyuruh orang untuk menjemputnya. Berbagai riwayat ulama hadis mengatakan bahwa beliau senang duduk di majlisnya agak lama. Tetapi yang tepat beliau lambang dinamika, tidak suka duduk lama. Beliau selalu melakukan kegiatan, apakah dengan mengadakan kunjungan ke tempattempat pemukiman suku dan shalat bersama di mesjid mereka atau mengunjungi orang sakit atau mengantar jenazah dan melimpahkan wewenang kepada para sahabatnya untuk tugas-tugas tertentu. Salah satu contohnya adalah ketika beliau membebankan kepada salah seorang sahabat untuk mengawasi keadaan di quba selama kaum muslim berada di Badr sementara menunjuk yang lain untuk tugas yang sama di pemukiman bani Amr ibn Auf yang terletak di sebelah selatan Madinah. Ada pula dua sahabat yang telah ditugaskan oleh beliau sebagai pengintai kafilah Qureisy di Houran. Semua petugas-petugas tersebut mendapat bagian dari perolehan harta 107 perang, karena menurut Rasulullah mereka juga melaksanakan tugas-tugas pelayanan umat. Beliau menetapkan bagian untuk dua sahabat yang tidak ikut perang lantaran patah akibat jatuh sewaktu mereka berangkat ke medan pertempuran. Bahkan beliau tetap memberikan bagian kepada Sa'd ibn Ubadah yang juga tidak ikut perang lantaran terpatok ular sewaktu bertugas keliling mengundang penduduk untuk berkumpul sebelum pasukan berangkat ke Badr. Rasulullah memberikan perhatian besar kepada pembangunan fisik kota Madinah setelah keamanannya betul-betul sudah terjamin dengan kemenangan gemilang di Badr. Beliau mendorong pembangunan perumahan dan mengajak para orang-orang badui yang bermukim di sekitar Madinah untuk hijrah. Hijrah disini tidak berarti mereka harus berpindah ke Madinah tetapi hijrah dalam arti menetap dan stabil dengan meninggalkan kebiasaan dalam kehidupan badui. Kehidupan badui adalah jahiliyah dan stabilitas dan memeluk Islam adalah peradaban dan kemajuan. Banyak sekali orang-orang Arab badui yang datang bermukim di Madinah dan menjadi bagian dari umat Islam serta memperoleh status golongan muhajirin walaupun sukunya termasuk golongan al-anshar yang bersekutu dengan Rasulullah termasuk suku Juhni dan Bellawi yang pindah menetap di Madinah sementara sebagian yang lain memperoleh status muhajirin meskipun masih menetap di daerah pemukiman mereka. Dan sebentar lagi kita jumpai cabang-cabang suku khuza'ah yang bermukim di wilayah antara Mekkah dan Madinah akan segera masuk Islam dan menjadi pendukung Rasulullah. Mereka semua menjadi muhajirin apakah dengan berpindah untuk menetap di Madinah atau tetap tinggal di wilayahnya. Sebagai konsekwensi dari perkembangan ini, wilayah Madinah bertambah luas berikut pertumbuhan populasi penduduk. Orang-orang mulai menggarap tanah-tanah pertanian luas yang terletak di lereng-lereng bukit, yang memisahkan antara satu pemukiman suku dengan yang lainnya. Dan dengan menyimak keterangan dalam buku wafa al-wafa karya Al-Samhudi -suatu karya yang kami nilai sebagai referensi terbaik mengenai sejarah Madinah- didapatkan bahwa populasi Madinah bertambah tiga kali lipat sebelum perang Khandaq, dan setelah perang Khandaq populasi jumlah penduduk semakin berlipat ganda. Dalam piagam Madinah telah ditetapkan bahwa setiap penduduk daerah pemukiman golongan al-anshar bertanggung jawab terhadap keamanan daerahnya dan keamanan Madinah. Pengaturan pemukiman orang-orang yang datang menetap di Madinah harus didasarkan kepada ketentuan ini sehingga orang muhajirin mutlak menjadi sekutu bagi penduduk al-anshar di mana ia menetap. Harta perolehan perang yang cukup melimpah telah memungkinkan bagi Rasulullah memberikan bantuan kepada mereka yang baru datang dan membutuhkan bantuan. Banyak sekali orang-orang dari suku qudla'a terutama anak cabangnya dari bani Aslum, Juheina, Bellah dan Dhebbah masuk kedalam wilayah Madinah. Mereka ini cukup mendapat perhatian dari Rasulullah karena mereka adalah orang-orang badui. Bahkan terdapat pula sejumlah orang-orang badui dari suku qeys 'aylan yang bergabung ke Madinah termasuk bani dhebbah dari suku fihri. Orang-orang fihri sebenarnya termasuk suku Qureisy tapi karena mereka tidak menetap di Mekkah maka dinamakan suku fihri. Keterikatan mereka dengan suku Qureisy hanyalah dalam bentuk aliansi sehingga ada enam orang dari mereka yang ikut dalam perang Badr. Orang-orang merasa senang hidup dalam naungan Islam yang mengembangkan integritas mereka sehingga mereka hidup dalam kesejahteraan yang belum pernah mereka rasakan selama ini. Meskipun perhatian para penulis sejarah sangat tinggi untuk mencatat segala sesuatu yang terjadi pada masa Rasulullah, namun tidak ada kita jumpai berita mengenai pertentangan atau tindakan108 tindakan kejahatan. Hal itu disebabkan oleh ketauladanan Rasulullah yang selalu hadir dalam kesadaran mereka. Kita tidak mendapatkan ada polisi atau lembaga eksekutif atau dinas pajak atau urusan keuangan namun kehidupan sehari-hari berjalan lancar dan teratur. Tidak ada yang mengeluh dari kesemrautan, tiada percekcokan antar penduduk, tiada pula serangan pembantaian atau perampokan terhadap hasil-hasil panen. Syari'at Islam terlaksana secara menyeluruh memberikan umat yang baru lahir ini suatu citra kekuatan, stabilitas dan kesejahteraan. Kepercayaan terhadap idealisme Islam menjalar di seluruh jiwa raga setiap orang. Setiap kali Rasulullah hendak mengutus ekspedisi atau ‘detasmen’ ada saja yang mengajukan diri secara sukarela berikut orang-orang yang mampu membiayainya. Madinah sudah menjadi suatu umat tentara atau tentara umat, maksudnya umat pejuang demi agama. Dalam kenyataan umat yang hidup dalam kondisi seperti ini persoalan individual dan percekcokan semakin berkurang. Orang-orang hidup dalam suasana kebersamaan berorientasi kedermawanan dengan berupaya semaksimal mungkin menghindarkan diri dari pelanggaranpelanggaran moral seperti mencuri atau memperkosa dan semacamnya. Bahkan lahir sikap-sikap dan prilaku terpuji dan indah yang belum pernah dikenal di semenanjung Arab selama ini yaitu sikap saling mendahulukan kepentingan sesama dan kesediaan berkorban demi sesama. Sikap yang dipuji Allah dalam al Qur’an. Orang-orang menanyakan perihal tetangganya sebelum keluarganya sendiri. Orang kaya memberi makan yang miskin tanpa diminta, atau tanpa ada juru dakwah yang menganjurkan, kaum dermawan berlomba-lomba mencari orang-orang yang berjuang di jalan Allah untuk diberi makan. Sa'd ibn Mu'adz sendiri membeli sepuluh gudang logistik seharga tiga puluh dinar emas dan membagi-bagikannya kepada anak-anak asuhan bani Abd Al-Asyhal. Ia bahkan berpesan kepada saudaranya Amr “wahai Amr janganlah kita didahului oleh orang-orang Aous atau Al-Khazraj dalam membela dan memperjuangkan agama Allah. Mari kita mengasuh anak-anak kita dan melatih mereka menggunakan pedang agar jumlah orang-orang dari kita semakin banyak yang ikut berjuang bersama Rasulullah”. Ketika Sa'd ibn Al-Rabi' kedatangan sekelompok orang-orang muhajirin dari suku bellah yang datang ke Madinah ia memberikan rumahnya berikut segala isinya termasuk pohon kurma dan sumur air kepada mereka, lalu Rasulullah menanyakan kepadanya apakah keluargamu tidak membutuhkan rumah, kurma dan sumur tersebut? jawabnya: “adakah orang di antara kita yang membutuhkan sesuatu sedang Rasulullah ada di tengah-tengah kita? Demi Allah, wahai Rasulullah memandang wajahmu sekali saja jauh lebih agung di sisiku dan di sisi keluargaku dari pada seluruh kekayaan di dunia”. Berita-berita mengenai kehidupan di Madinah tersebar ke seluruh pelosok semenanjung Arab dan mereka merasa bahwa suatu era baru telah tiba. Suku-suku qaes 'aylan, anak cabang suku mudlor yang hidup tersebar di sebelah timur saraah mengikuti berita-berita tersebut dalam keadaan antusias untuk memeluk agama ini. Ada seorang ibu-ibu keras kepala, berhati kotor dan berbicara kasar mendengar berita-berita mengenai peristiwa perang Badr dan tidak senang dengan sikap orang-orang Aous dan AlKhazraj yang patuh kepada Rasulullah. Ia menggubah sebuah syair yang selalu dibaca oleh kaumnya dari bani Umayyah ibn Zaid, anak cabang suku Aous manat yang belum masuk Islam. Demi mendengar berita ini seorang penduduk Madinah yang bernama Umeir ibn Uday ibn Khirsyah ibn Zaid dengan prakarsanya sendiri berangkat dengan pedang terhunus ke tempat ibu tersebut dan menghunjamkannya langsung menembus dada. Seketika bani Umayyah ibn Zaid 109 berteriak ketakutan melihat kematian ibu tersebut yang bernama 'Ashma' binti Marwan. Demikian besar loyalitas bani Khathmat terhadap Islam. 12 PENGARUH PERANG BADR TERHADAP QUREISY DAN BANGSA ARAB Kemenangan kaum muslim terhadap Qureisy pada perang Badr merupakan pukulan paling berat yang diderita Qureisy semenjak perang al-fijar. Semenanjung Arab seluruhnya belum pernah mengenal adanya pertempuran menentukan seperti yang terjadi pada perang Badr, di mana sejumlah pemimpin dan pemuka masyarakat serta golongan elitnya tewas dalam waktu kurang lebih dua jam pada pagi hari, tanggal 17 Ramadlah 2H. Yang lebih menyakitkan lagi adanya 74 pemuka Qureisy tertawan oleh pasukan Islam, membuat orang-orang Qureisy dengan enggan tapi terpaksa datang ke Madinah untuk menebus keluarga mereka yang tertawan. Rasulullah berkenan dan dengan suka rela melepaskan tawanan yang miskin. Tawanan yang mempunyai keahlian baca-tulis dibebani tugas mengajar kaum muslim membaca dan menulis sebagai tebusannya. Adapun tawanan yang termasuk orang kaya, Rasulullah menetapkan penebusan mereka tidak boleh kurang dari 4000 dirham. Salah seorang dari mereka yang tertawan adalah Abu Uzaiz ibn Umeir, saudara kandung Mush'ab ibn Umeir dari bani Abd Al-Dar. Mush'ab berkata kepada Muhriz ibn Fudhlah yang menawannya: pasang harga yang tinggi (untuk penebusannya) karena orang tuanya di Mekkah banyak harta. Jawab 'Uzaiz: wahai saudara ini, adalah wasiatmu; berkata Mush'ab lagi: ia adalah saudaraku terserah saja padamu, lalu ibunya datang menebusnya dengan harga 4000 dirham. Yang aneh dalam riwayat Al-Waqidi mengenai para tawanan dari bani Hasyim, sama sekali tidak menyinggung Al-Abbas ibn Abd Al-Mutthalib, padahal termasuk tawanan perang Badr yang oleh Rasulullah secara khusus meminta kepada penawannya agar jangan menerima tebusan kurang dari 4000 dirham. Padahal sahabat yang bersangkutan sudah berniat melepaskannya tanpa tebusan karena menghormati keluarga Rasullah. Tidak disinggungnya Al-Abbas di sini merupakan satu contoh dari usaha dinasti Abbasia untuk menggelapkan dan memalsukan kenyataan sejarah. Al-Waqidi ikut terlibat dalam kasus ini karena kita tidak mengerti mengapa ia cuma menyebutkan 'Uqeil ibn Abi Thalib, saudara kandung Ali ibn Abi Thalib sebagai tawanan dari bani Hasyim. Sejak penobatan Khalifah Al-Mahdi, dinasti Abbasia telah berupaya keras untuk menjatuhkan martabat keluarga Ali ibn Abi Thalib untuk kepentingan anak cucu AlAbbas. (Al-Waqidi, vol. 1/740) Rasulullah menyadari kerugian Qureisy dan amat puas dengan tertawannya pemimpin-pemimpin Qureisy karena hal itu akan menambah penderitaan yang mereka alami. Kenyataan ini tergambar dalam teguran beliau kepada Salamah ibn Salaamah ibn Waqsy yang selama ini banyak berbicara tanpa kontrol dan didiamkan oleh beliau dengan harapan ia dapat berubah sendiri. Tapi ternyata tidak, karena tatkala kaum muslim penduduk Madinah menyambut kedatangan pasukan Badr dengan ucapan-ucapan selamat atas kemenangan yang dicapai, Salamah bangkit berbicara: “wah, untuk apa kalian mengucapkan selamat. Demi Allah lawan-lawan yang kami jumpai hanyalah orang-orang jompo, botak bagaikan unta terikat yang langsung kami sembelih! Mendengar ucapan itu Rasulullah tersenyum dan bersabda:"wahai saudara, mereka itu adalah elit, pemuka masyarakat dan pemimpin-pemimpin Qureisy". Seketika Salamah sadar, agaknya ada yang tidak berkenan di hati Rasulullah dan langsung bertanya: seakan-akan paduka tidak senang padaku? beliau bersabda:"Nah, kalau kamu yang menanyakannya aku jawab ya, sudah terlalu banyak kamu melakukan hal seperti ini tapi aku diamkan dengan harapan kamu akan menyadari sendiri..". Salamah merasa malu tak kepalang dan mengaku bertobat serta 110 bersumpah tidak akan pernah mengulangi lagi untuk selama-lamanya, yang penting Rasulullah ridlo. Demikianlah cara Rasulullah mendidik sahabatnya, tidak langsung mengecam dan mencela agar tidak terlalu berat bebannya kepada sahabatnya. Beliau mendiamkan dan menunggu waktu yang sesuai untuk menegurnya dengan halus dan penuh kasih sayang. Cara seperti ini lebih cepat mempengaruhi jiwa seseorang dari pada penyiksaan seberat apa pun. (Ibn Katsier, al-bidayah wa al-nihayah, vol.3/305) Data-data sejarah menggambarkan kepada kita betapa besar siksaan yang diderita Qureisy akibat kekalahannya di Badr. Peristiwa tersebut bagaikan petir menyambar mereka yang selama ini dengan penuh keangkuhan menetapkan dirinya sebagai pemimpin Arab, tuan-tuan yang memiliki nilai plus38 dalam hal pengetahuan, martabat, kedudukan, harta dan keberanian. Begitu menghadapi sejumlah kecil umat Islam, beberapa pembesar mereka jatuh satu per satu dan banyak pemimpinnya yang tertawan diseret dalam keadaan terikat. Meski derita yang dialami cukup besar dan pengaruhnya di dalam jiwa amat mendalam, namun orang-orang Qureisy tidak mampu menangkap makna dan kandungan yang tersirat dalam kenyataan ini karena perasaan akan kepemimpinan dan keperkasaan sudah demikian lama melekat sehingga mereka belum mampu mencerna makna kebesaran Islam dalam waktu singkat. Sebelum itu mereka sudah menutup segala kemungkinan untuk menerima dakwah Islam dengan menanamkan bahwa Muhammad adalah tukang sihir yang memiliki daya hipnotis tinggi dan dapat membuat orang-orang mengikutinya. Al-Qur'an yang dibacakannya juga tidak lebih dari sihir. Kala itu kepercayaan kepada sihir cukup berpengaruh, karena bagi mereka, orang yang terkena sihir dapat melakukan apa saja yang diinginkan dan dikehendaki oleh penyihirnya. Dan ternyata menjadi alat paling ampuh mencegah orang mengikuti dakwah Muhammad sehingga laju perkembangan Islam di Mekkah berhenti total karena orang-orang menutup pendengarannya begitu mendengan suara Muhammad atau ayat-ayat Al-Qur’an demi menghindarkan diri dari pengaruh sihir *** Tapi yang terjadi di Badr tidak mungkin digolongkan sebagai sihir karena merupakan kenyataan yang mereka alami. Qureisy menderita kekalahan berat yang disaksikan oleh dunia. Kehormatannya terinjak-injak dengan cara yang tidak mungkin diterima oleh para pembesar dan pemimpinnya. Oleh karena itu, reaksi mereka terhadap kenyataan ini bersifat jahiliyah. Mereka saling berpesan agar jangan ada yang menangisi kematian keluarganya dan jangan pula ada yang pergi menebus tawanan agar Muhammad dan para sahabatnya tidak memandang rendah. Menghindari untuk dipandang rendah karena kekalahannya dalam pertempuran itulah prioritas utama mereka. Sebaliknya kepribadian Muhammad amat jauh dari pemikiran bersahaja dan jahiliyah seperti ini, yang sesungguhnya tidak realistis. Sebab begitu usai memenangkan pertempuran di Badr, Muhammad segera melakukan langkah berikutnya memperluas wilayah umat Islam di Tihamah sendiri, yang merupakan wilayah pengaruh dan basis kekuasaan Qureisy. Pada waktu yang sama beliau meletakkan batas bagi kemungkinan adanya serangan orang-orang badui yang sering merampok di Madinah, yaitu orang-orang badui dari bani Muharib, bani Asad, 38 lebih 111 bani Sulaim ibn Manshur dan bani Hilal ibn Amir ibn Sho'sho'ah dari anak cabang suku qaes 'aylan yang menguasai wilayah yang memanjang mengikuti jalur niaga Mekkah-Madinah. Pada saat Rasulullah berupaya menjadikan umat Islam menguasai keadaan di jalur niaga tersebut dan memantapkannya dengan kemenangan di Badr, yang dengan sendirinya memungkinkan untuk menguasai jalur niaga yang memanjang dari Yanbu' hingga negeri Syam, orang-orang Qureisy masih dalam pemikiran jahiliyahnya yang tidak mau dipandang rendah. Pemikiran mereka terpusat pada bagaimana memperoleh kesempatan untuk balas dendam. Para kaum wanita Qureisy banyak yang tak dapat menahan diri untuk tidak menangisi keluarga mereka yang tewas dalam pertempuran. Ketika keadaannya bertambah luas, salah seorang dari pemimpin aliansi mereka yang bernama Noufal ibn Mu'awiya Al-Deili yang juga ikut menyaksikan perang Badr berseru: wahai kaum Qureisy, kalian telah kehilangan kesadaran dan tak dapat menguasai kaum wanita, apakah mereka yang telah tewas berhak untuk ditangisi? Mereka itu jauh lebih terhormat untuk ditangisi! Jika dengan cara menangis kalian dapat menghibur diri dalam penderitaan yang ditimpakan oleh Muhammad dan sahabatnya maka semangat untuk balas dendam tidak boleh pudar. Ikut mendengarkan seruannya Abu Sufyan ibn Harb dan berkata kepadanya: “wahai Abu Mu'awiyah, aku cukup terkesan! Aku tidak pernah melihat wanita dari bani Abd Syams yang menangisi keluarganya yang meninggal kecuali hari ini. Bahkan penyair saja yang menangis aku larang, tapi semua itu tidak akan berlangsung lama hingga kita membalas dendam kepada Muhammad dan para sahabatnya. Putraku Handzalah dan banyak pembesar negeri ini telah tewas menjadikan negeri bergetar kehilangan mereka” (Al-Waqidi, vol. 1/124-125) Untuk pertama kali kita mendengar Abu Sufyan berbicara atas nama Abd Syams dan para pemimpin Qureisy yang tewas. Sebelum pertempuran, keluarga bani Abd Syams bukanlah termasuk kelompok yang antipati dan sangat berambisi melawan Islam dan Muhammad SAW. Bahkan Abu Sufyan memandang tidak perlu ada perang selama kafilah sudah berlalu dengan selamat. Demikian juga 'Utbah ibn Rabi'a ibn Abd Syams memperlihatkan sikap lunak dan tidak menyetujui pandangan Abu Jahal dan para kelompoknya yang sangat ekstrim dalam perlawanannya kepada Islam. Bagi pembesar bani Abd Syams biarkanlah Muhammad dan Islamnya menghadapi seluruh orang-orang Arab. Jika mereka mengalahkannya kita akan tetap berkuasa dan jika ia mengalahkan mereka bagaimana pun Muhammad juga adalah orang Qureisy. Tapi kali ini Abu Sufyan maju ke depan dan mengumumkan bahwa ia akan melakukan pembalasan dengan penuh kemurkaan atas kematian putranya dan para keluarga bani Abd Syams serta orang-orang Qureisy yang telah terwas. Dari sinilah dimulai dan lahir sejarah kebencian yang panjang antara dua keluarga besar keturunan Hasyim dan keturunan Abd Syams yang akan mewarnai perjalanan sejarah umat Islam dan bangsa Arab -paling tidak- hingga runtuhnya dinasti Umawiyah. Pandangan yang mengatakan bahwa kebencian tersebut lahir sejak Hasyim dan Abd Syams, dua putra Abd Manaf yang dilahirkan kembar lengket dan dipisahkan dengan pedang; atau pun yang mengatakan bahwa kebencian antara keduanya lahir sebelum itu maka semuanya tidak beralasan. Kebencian tersebut sebenarnya berawal dari perang Badr di mana pembesar keturunan Abd Syams dan para sekutunya tewas sebanyak 12 orang ditambah 7 yang tertawan. 112 Penderitaan yang mereka alami sangat besar, dan yang dapat menandinginya hanyalah kerugian yang diderita oleh keluarga bani Makhzum. Namun pembesar bani Makhzum, yakni Abu Jahal ikut tewas bersama pembesar lainnya sehingga riwayat keluarga tersebut telah berakhir dan musnah, sementara Abu Sufyan yang merupakan pemimpin keluarga bani Abd Syams tidak ikut bertempur meski putranya ikut tewas. Abu Sufyan adalah tokoh Qureisy yang berpandangan jauh, berpikiran tenang dan tidak mudah terpengaruh oleh perasaan. Ia dapat dengan tenang mengambil alih tonggak kepemimpinan di Mekkah walaupun banyak pembesar Qureisy yang tidak mendukungnya. Dari pasca perang Badr hingga perang Khandaq Abu Sufyan, di kemudian hari akan tetap memegang tonggak kepemimpinan Qureisy, dan akan kembali lagi kepadanya setelah perang al-Hudeibiyah. Pada masa kepemimpinannya terbuka jalan bagi hubungan antara Islam dan Mekkah sebagai pendahuluan bagi masuknya Islam tanpa perang atau perlawanan yang hanya akan menghabiskan tenaga. Persoalan utama yang diderita oleh Abu Sufyan dalam dirinya sebenarnya adalah ketidak mampuannya mempercayai Islam sepenuh hati setelah Mekkah takluk karena materialisme dan loyalitasnya yang amat mendalam terhadap ideologi jahiliyah berikut wataknya yang 'kering-rasa'. Selama memimpin Qureisy dalam pergelutan melawan Islam tidak pernah melakukan hal-hal yang berarti. Padahal sebenarnya ia memiliki potensi untuk itu, penyebabnya adalah ia tidak mendapatkan dukungan penuh dari sebagian kelompok Qureisy seperti keluarga bani Zuhrah. Abu Sufyan bersikeras tidak boleh menangisi orang-orang yang telah tewas agar Muhammad dan kaum muslim tidak memandang rendah. Seluruh perhatiannya terpusat pada balas dendam, seakan-akan persoalan antara Mekkah dengan umat Islam adalah persoalan balas dendam. Sekiranya Abu Sufyan berfikir misalnya untuk melakukan konsolidasi kekuatan Qureisy demi memperkuat kedudukan politik Mekkah dengan berupaya mengembalikan jalinan hubungan dengan suku-suku bangsa Arab yang cenderung berafiliasi ke Madinah seperti Khuza'ah dan Juheinah, tentu ia dapat menghasilkan sesuatu. Tapi problematika Abu Sufyan dan umumnya bani Abd Syams adalah loyalitas kesukuan yang mereka miliki amat rendah. Hal ini nyata pada kedua anak cabangnya, yakni keturunan Sufyan dan Marwan. Barangkali, yang dapat dikecualikan dari kenyataan ini ialah Usman ibn 'Affan, tapi ironisnya ketika Usman memegang jabatan Khalifah ia tidak dapat melepaskan hubungan emosionalnya dengan keluarga bani Abd Syams, dan disinilah letak tragedinya. Adalah Hind binti Utbah ibn Rabi'ah yang lebih gigih memperjuangkan nasib keturunan Abd Syams dari suaminya sendiri, Abu Sufyan. Wanita yang keras hati itu dengan penuh dengki ikut mendorong politik Mekkah ke arah perlawanan yang berlebihan sehingga menghalangi Qureisy menemukan jalan yang aman baginya untuk keluar dari dilemma yang melilitnya. Dilemma mana, terlihat pada kemampuan Islam mengisolasi Mekkah dari dunia sekitarnya. Mekkah pada dasarnya tidak memiliki potensi yang menjanjikan kesejahteraan kecuali letak geografisnya sebagai terminal perjalanan niaga yang juga merupakan perjalanan haji. Hubungan antara keduanya (perjalanan haji dan perjalanan niaga) sedemikian erat sehingga orang Arab di masa jahiliyah datang ke Mekkah bukan karena kepercayaan yang benar terhadap Tuhan-Tuhan yang disembahnya melainkan kepercayaan takut -sebagaimana halnya kepercayaan dalam setiap animisme- dari yang tak terlihat. Maka mereka mengajukan sesembahan dalam rangka menghindarkan kemurkaannya. Mereka pergi haji karena ada keterikatan perdagangan. Setelah melakukan perjalanan niaga ke berbagai pusat-pusat perdagangan di seluruh wilayah 113 Hijaz mereka datang ke Mekkah untuk memperoleh 'berkah' dari Ka'bah dan berhala-berhala yang ada di sekitarnya. Tatkala kaum muslim menguasai Mekkah dan mulai menghancurkan setiap berhala yang ada, tiada satu pun dari suku-suku Arab yang maju mempertahankan berhalanya. Perdagangan Mekkah telah hancur maka kegiatan haji berhenti sehingga penyembahan jahiliyah mulai pudar. Sedangkan penyembahan berhala sejak dahulu merupakan pilar kedua kekuatan Mekkah. Ini berarti bahwa kekuatan Mekkah dan Qureisy akan mulai pudar berikut citra dan wibawanya di mata bangsa Arab. Dari hari ke hari kekayaannya terkikis oleh konsumsi. Sementara itu Madinah sedang naik angin berkat Islam, keimanan dan kesadaran terhadap petunjuk Muhammad. Mekkah masih akan bangkit berupaya keluar dari dilemma yang menimpanya demi menembus isolasi yang mengepungnya. Hal itu terjadi dua kali, yang pertama pada perang Uhud dan yang kedua pada upaya Qureisy menggempur Madinah pada perang alAhzab yang dialihkan oleh kecerdikan dan keahlian Muhammad kepada perang Khandaq. Pada kedua pertempuran itu Qureisy menderita kegagalan berat. 114 BAB. 4 SEJARAH KESEHATAN DAN WAFATNYA RASULULLAH 1. SEJARAH KESEHATAN RASULULLAH Al-Qur’an seluruhnya adalah kebajikan, petunjuk dan cahaya penerang jalan. Tiada satupun aspek kebajikan yang tidak ditunjukkan oleh Allah dalam ayat-ayat-Nya yang cukup jelas. Sebaliknya, tiada satu pun aspek kejahatan dan kesesatan kecuali diperingatkan oleh-Nya untuk dihindari juga melalui ayat-ayat-Nya yang jelas. Di antara kemungkinan perbedaan pendapat dan ancaman fitnah serta kerusakan yang pintunya ditutup oleh Al-Qur’an secara ketat adalah perbedaan pendapat mengenai wafatnya Nabi yang agung, Muhammad SAW. Al-Qur’an sejak awal sudah menegaskan secara eksplisit bahwa beliau akan wafat, meniggal dunia seperti halnya setiap manusia. Orang-orang telah menyaksikan beliau berbaring sebagai mayat sehingga tidak perlu ada perbedaan pendapat, tidak pula ada mazhab atau teori-teori penjelasan sebagaimana yang terjadi dalam sejarah, bahwa para pengikut tidak mendapat kejelasan mengenai wafatnya seorang Nabi seperti Nabi Isa putra Maryam. Allah telah menutup kemungkinan adanya kesamaran mengenai hal ini dengan dua rangkaian ayat dalam Al-Qur’an yang amat jelas dan eksplisit. Yang pertama, pada surah Al Imran: 142-145 dalam konteks mengingatkan kaum mu'minin akan anugerah Allah kepada mereka pada perang Uhud, tatkala mereka hampir kalah dalam periode pertama pertempuran saat mereka kalang kabut ketika digempur oleh pasukan kavaleri Qureisy yang mengakibatkan banyak di antara mereka yang mati syahid. Bahkan jidat dan bibir Rasulullah terluka dan bercucuran darah. Beliau terjatuh kedalam suatu galian membuat lututnya cedera bercucuran darah. Tapi Allah telah menolong kaum mu'minin pada hari yang genting itu berkat ketetapan dan daya tahan Rasulullah dalam lautan maut sembari mendorong kaum muslim untuk tetap bertahan dan menyerang pada periode kedua dari pertempuran hingga perang usai. Kemudian tertutuplah kesempatan bagi Qureisy untuk merealisasikan tujuannya dan kembali ke Mekkah tanpa meniggalkan kerugian berat pada barisan umat Islam. Ayat-ayat Al-Qur’an jelas sekali menegaskan bahwa Muhammad saw akan meninggal dunia seperti halnya orang lain, sesuai dengan ajal yang telah ditentukan oleh Allah yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Adapun ayat-ayat yang kedua yang menjelaskan bahwa Rasulullah wafat seperti halnya orang lain adalah firman Allah dalam ayat 31 dan 32 pada surah yang sama, Al Imran. Sekiranya bukan dengan ayat-ayat yang jelas tersebut niscaya kaum muslim tertimpa cobaan maha hebat dan tentu kita sekarang ini menghadapi berbagai mazhab dan aliran yang seluruhnya akan merupakan kesesatan nyata. Bahkan cobaan tersebut hampir muncul pada hari wafatnya Rasulullah seandainya bukan Abu Bakar Al-Shiddieq yang mengambil prakarsa -dalam suasana kesedihan memuncakmengingatkan orang-orang kepada ayat-ayat tersebut. Untunglah ia tidak hilang kesadaran sehingga dapat menyadarkan orang-orang dengan membaca ayat-ayat tersebut berulang-ulang kali membuat mereka percaya dan menerima kenyataan bahwa Rasulullah telah wafat sesuai dengan ajal yang telah ditentukan oleh Allah. 115 Kita sudah mengetahui kisah wafatnya Rasulullah. Tetapi karena terlalu ringkas maka perlu kita uraikan di sini sesuai dengan urut-urutannya agar kita dapat membayangkan betapa berat cobaan yang menimpa umat Islam pada hari naas kala itu. Beritanya diriwayatkan dari Ibn Sa'd, penulis catatan Al-Waqidi dan muridnya yang merupakan perawi yang paling dipercaya dalam hal ini. Ia berkata: “diriwayatkan dari Anas ibn Malik berkata: ketika Rasulullah wafat orang-orang menangis dan Umar ibn Al-Khattab bangkit berpidato mengatakan: "Aku tidak ingin mendengar ada yang mengatakan Muhammad telah meninggal. Beliau hanya dipanggil oleh Allah seperti Musa ibn Imran dipanggil-Nya kemudian raib dari kaumnya selama empat puluh malam; demi Allah aku bersumpah akan memotong kaki dan tangan orang-orang yang beranggapan Muhammad telah meninggal” Dari Ikrimah yang berkata: pada hari wafatnya Rasulullah, mereka mengatakan bahwa beliau dimi'rajkan rohnya seperti roh Nabi Musa. Umar bangkit berpidato "Sesungguhnya Rasulullah tidak meninggal tetapi rohnya dimi'rajkan seperti roh Nabi Musa; Rasulullah tidak akan wafat hingga seluruh bangsa-bangsa (di dunia) takluk". Lebih lanjut dikatakan bahwa Umar tetap mengulang-ulangi ucapannya hingga bibirnya kering. Kala itu Al-Abbas berkata “tubuh Rasulullah sudah mulai berubah seperti halnya mayat manusia, sesungguhnya Rasulullah telah wafat. Selayaknya dikebumikan, apakah manusia lainnya mati sekali dan beliau mati dua kali? beliau jauh lebih terhormat dari itu. Jikalau anggapan kalian memang benar, tidaklah sulit bagi Allah memerintahkan kepada tanah untuk membangkitkannya kembali. Beliau pergi setelah menjelaskan dengan terang jalan hidup yang benar, batas-batas antara yang halal dan yang haram, urusan nikah-talak (dan sebagainya), pedoman perdamaian dan peperangan. Pengembala kambing yang membawa tuannya pergi melintasi puncak gunung lalu menggalikan kuburan dengan tangannya tidak lebih sayang dari pada kasih sayang Rasulullah terhadap kalian”. “Dari Aisyah berkata pada hari wafatnya Rasulullah Umar dan Al-Mughirah ibn Syu'bah meminta izin masuk kamar dan melihat wajah Rasulullah. Umar berkata sedang tidak sadarkan diri? wah, betapa berat yang sedang dialami Rasulullah! tatkala mereka sampai di pintu, AlMughirah berkata wahai Umar Rasulullah sudah mendahului kita. Umar langsung menimpali kamu berdusta! Rasulullah tidak wafat, cuma kamu yang senang menyebar fitnah, beliau tidak akan wafat sebelum orang-orang munafiq terhapus dari dunia. Abu Bakr datang sementara Umar berpidato, lalu Abu Bakar menegurnya dan mengisyaratkan untuk diam. Abu Bakar naik mimbar; setelah mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah ia membacakan firman Allah “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka juga akan mati” diteruskan dengan: “Tiadalah Muhammad kecuali Rasul yang telah didahului oleh banyak Rasul, apakah kalian lantas berbalik (kepada kekufuran) jika ia mati atau terbunuh, sesungguhnya barangsiapa yang berbalik niscaya tidak akan merugikan Allah sedikit pun; Sesungguhnya Allah akan memberi imbalan bagi orang-orang yang bersyukur.”; Abu Bakar lebih lanjut berkata: “Barangsiapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad telah pergi; barangsiapa yang menyembah Allah maka Allah Maha Hidup dan tidak akan mati”. Umar pun tersadar dan bertanya: apakah semua itu ada dalam kitabullah? jawab Abu Bakar:”ya”. Umar berkata: “wahai kaum muslim saksikanlah bahwa aku membai'at Abu Bakar (sebagai khalifah pengganti Rasulullah) dan aku harap kalian melakukan hal yang sama, maka orang-orang pun membai'atnya.” Riwayat-riwayat ini semuanya secara umum dapat diterima. Penuturan Al-Abbas bahwa "tubuh Rasulullah sudah berubah seperti halnya mayat manusia" kiranya tepat karena jenazah Rasulullah terlambat dikebumikan akibat paniknya kaum muslimin. Beliau wafat menjelang 116 dzuhur tanggal 12 R.Awal 11 H. Sesuai dengan riwayat yang paling sah. Hari itu adalah hari Senin bertepatan dengan tanggal 8 Juni 632M. Jenazah beliau masih tetap di tempat sepanjang hari itu hingga malam sampai sehari semalam berikutnya. Perkataan Al-Abbas dan tibanya Abu Bakar terjadi pada waktu ashar hari ketiga, karena Abu Bakar -seperti yang akan kita saksikanmenghilang pada pagi hari wafatnya Rasulullah. Dikatakan bahwa ia datang menjenguk Rasulullah dan mendapatkannya sadar dan baik-baik sehingga ia tenang dan mohon izin untuk mengunjungi isterinya, Umm Kharijah di Sunh, salah satu daerah pemukiman di sebelah utara Madinah yang dihuni oleh keluarga bani Al-Harits dari golongan Al-Khazraj, dari keluarga mana Abu Bakar menikah dengan salah satu putri mereka yaitu Habibah binti Kharijah. Dikatakan pula bahwa ia tidak pernah muncul kecuali pada hari itu (hari ketiga). Kita akan meneliti hal ini lebih lanjut nanti. Ketika Al-Abbas mengatakan, apakah manusia lainnya mati sekali dan beliau dua kali? dan seterusnya. Ia menunjuk kepada anggapan sebagian kaum muslim termasuk Umar ibn AlKhattab bahwa Rasulullah tak sadarkan diri dan akan bangkit kembali melanjutkan perjuangannya. Setelah itu kemudian wafat. Al-Abbas berusaha menyakinkan mereka bahwasanya Rasulullah sudah wafat karena misinya sudah selesai. Beliau adalah orang yang paling sayang kepada para sahabatnya maka kalian seharusnya lebih sayang pula (dengan cepatcepat mengebumikan).Demikianlah, ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan oleh Abu Bakar telah menghindarkan umat Islam dari suatu bahaya besar. Tapi Al-Qur’an tidak menegaskan apakah Rasulullah juga sakit seperti halnya manusia lainnya? Dan bilamana jatuh sakit apakah akan pulih sehat kembali di saat Allah menghendaki? Hal ini dapat dimengerti tanpa ada teks, karena termasuk aspek manusiawi Rasulullah. Namun tidak adanya teks telah membuat orang-orang berkeyakinan bahwa beliau diciptakan dari besi. Para pengikutnya yakin bahwa beliau tidak sakit dan tidak lelah. Mereka membuat beliau sibuk sepanjang hari dan tetap mengganggu beliau walaupun sedang istirahat. Oleh karena cinta dan kasih sayangnya maka beliau tidak pernah mengecewakan seorang pun yang memanggilnya meski dari belakang kamar hingga Allah memperingatkan mereka -sebagai tanda sayang kepada Nabi-Nya- bahwa perbuatan tersebut jelek adanya. Selain al-syaqiqah, yaitu rasa kepala pening yang sering berlangsung agak lama kemudian hilang, tak ada informasi yang menyinggung suatu penyakit yang pernah diderita oleh Rasulullah saw. Mereka menyebutkan adanya al-syaqiqah dengan terpaksa karena penyakit tersebut kambuh lagi pada saat pertempuran sedang berkecamuk untuk menguasai Khaebar di mana Rasulullah untuk sementara menyerahkan kepemimpinan perang kepada Ali ibn Abi Thalib, yang pada gilirannya memperlihatkan keberanian dan kemampuan tiada tara dalam pertempuran yang membuat kaum muslim tercengan-cengang. Kaum Syi'ah cukup panjang merinci kepahlawanan Ali pada perang Khaebar. Sedangkan kaum Ahlussunnah di pihak lain memperkecil peranan Ali. Bahkan ada di antara mereka yang tidak menyebutkan sama sekali. Mereka berharap Ali ibn Abi Thalib tidak mempunyai kedudukan penting dalam Sirah Nabi. Anggapan kaum muslim bahwa Nabi SAW. tidak sakit dan tidak lelah semakin kuat seiring dengan perkembangan masa. Diketahui bahwa penulisan Sirah Nabi mengalami beberapa tahap sejak penulisan pertama yang dilakukan oleh generasi Ibn Ishaq, Al-Waqidi, Musa ibn 'Uqbah dan Ibn Sa'd hingga dewasa ini. Setiap tahap memiliki ciri khsusus. Perbedaan antara Sirah yang ditulis pada masa generasi pertama tersebut dan Sirah yang ditulis oleh generasi pertengahan kedua abad ke-3 hingga abad ke-4H seperti Al-Thabari, Al-Ya'qubi, Ibn Hisyam; dengan Sirah yang ditulis oleh generasi abad ke-4 dan ke-5H seperti Abu Umar Yusuf ibn Abd Al-Barr Al117 Numeiri, Al-Qadli 'Iyadl ibn Musa; dengan Sirah yang ditulis dan atau dikomentari oleh generasi abad-abad ke-6, ke-7 dan ke-8H seperti Abu Abd Al-Rahman Al-Suheili, Abu Dzar Al-Khusyni, Abu Al-Rabi' Sulaiman Al-Kalla'i, Ibn Hajar Al-'Asqallani, Abu Al-Fath ibn Sayyid Al-Nas, AlMaqrizi dan Al-Suyuthi; dengan yang ditulis dan atau dikomentari oleh generasi setelah itu hingga abad modern seperti yang kita jumpai dalam Sirah Al-Halabiyah dan kunuz al-haqaiq karya Al-Mannawi, al-muntaqa min sirat al-musthafa karya Badr Al-Din ibn Habib AlMaoushali dan nihayat al-irb karya Al-Nuweiri dengan Sirah yang ditulis dewasa ini seperti yang kita lihat pada karya-karya Muhammad Husein Heikal, Thaha Husein, Al-Akkad dan geneasi sesudahnya seperti Abd Al-Hamid Goudah Al-Sahhar, Sayyid Qutub dan Khalid Muhammad Khalid. Setiap tahap tersebut penulisan Sirah berbeda-beda dalam gaya dan bentuknya. Belum ada suatu studi hingga kini yang berupaya meneliti perkembangan penulisan Sirah padahal layak untuk diperhatikan oleh para sarjana atau peneliti. Adalah cerita-cerita rakyat yang didasarkan pada kitab-kitab Sirah pertama dan hadis-hadis shahih serta kitab-kitab hadis lainnya (sunan) lambat laun mempengaruhi penulisan Sirah sehingga melekat pada bayangan kaum muslim profil Nabi Muhammad yang tidak sakit dan tidak lelah. Ditambah lagi dengan cerita-cerita lain sebagai (bumbunya) terutama yang ditulis oleh penduduk Andalusia (kini Spanyol) misalnya, karena mereka menghadapi orang-orang Nasrani dengan saling membanggakan Nabi masing-masing. Hal ini nyata pada karya Ibn Hazm ketika menulis kisah Nabi-Nabi dalam karyanya al-fishol fi al-milal wa al-ahwa wa al-nihal yang merupakan buku sejarah pertama mengenai perbandingan agama. Dalam hubungannya dengan Sirah tidak satu pun kelebihan atau keistimewaan dan mu'jizat yang terdapat pada Nabi-Nabi sebelumnya kecuali mencatat yang mengunggulinya dalam diri Rasulullah. Ini mengingatkan kita kepada adanya yang disebut 'geografika Sirah'; maksudnya pengaruh letak geografis terhadap penulisan Sirah. Simak misalnya kitab khayyir al-basyar karya Ibn Dhzafr Al-Shaqalli akan terkesan anda membaca karya seorang yang sedang bertempur dan berjuang menggunakan Sirah. Ibn Dhzafr hidup di Sicilia yang selalu menjadi markas besar perjuangan Islam melawan Nasrani. Termasuk kitab Sirah yang paling populer lebih gigih mempertahankan Islam al-syifa bi ta'rifi huquq al-mushtofa karya Al-Qadli Abu Al-Fadl 'Iyadl ibn Musa Al-Yuhshubi, seorang pemuka agama dan ulama fiqih yang handal (476-544 H/1054-1149 M.) Berasal dari Sebtah, Maroko sebagai negeri asal tetapi secara pemikiran dan intelektual tergolong tokoh pemikir Andalusia. Dalam masa hidupnya dan karir intelektualnya ia menulis dalam keadaan Islam di Barat sedang menghadapi pergelutan hebat untuk mempertahankan diri dari tekanan-tekanan politik, militer dan pemikiran Kristen yang semakin intensif. Pengaruh kondisi tersebut nampak jelas dalam setiap halaman al-syifa. Al-Qadli 'Iyadl berjuang dalam kancah pergelutan tersebut menggunakan Sirah dan menjadikan Rasulullah SAW sebagai benteng Islam baginya dan bagi penduduk di setiap tempat dan masa. Ia mengatakan bahwa Rasulullah dikarunia kekuatan dan daya tahan tubuh yang tidak mungkin ada pada selainnya. Di sini ia terkesan berlebih-lebihan dan banyak memberi bumbu, karena seperti yang kami katakan ia sedang bertempur menggunakan Sirah sebagai senjatanya yang ampuh. Hal yang sama berlaku untuk Ibn Hazm dalam setiap topik yang ditulisnya mengenai Sirah. Demikian juga Abu Bakar ibn Al-Arabi, seorang ulama fiqih yang hidup pada masa transisi negeri Islam bagian barat dari dinasti murabithin ke al-muwahhidin pada pertengahan pertama abad ke-6 H/ke-12M sedang situasi yang dihadapi Islam semakin genting dan tertekan oleh lawan-lawannya secara intensif. Maka ia berinisiatif mengibarkan bendera sahabat dan 118 menulis karyanya yang populer al-'awashim min al-qawashim. Ia menegaskan (dalam karyanya tersebut) bahwa memperbolehkan adanya keraguan sedikitpun mengenai kredibilitas seorang sahabat merupakan dosa besar. Untuk menghindari hal ini, ia menganjurkan agar selalu mengagungkan sahabat semuanya. Mereka mutlak dihormati dan diagungkan. Mereka tidak boleh dikritik. Mereka jauh lebih tinggi dan lebih terhormat untuk dikritik. Menurutnya, melakukan hal tersebut berarti melemahkan posisi front perjuangan Islam. Mereka (sahabat) adalah perisai Islam dan lambang keabadiannya. Dewasa ini, buku tersebut dipublikasikan oleh Muhibb Al-Din Al-Khatib, seorang penganut salafiyah yang ekstrim. Ia menulis catatan dan komentar yang memberikan ancaman bahwa mempertanyakan satu prilaku sahabat adalah dosa besar. Semua ini adalah sikap-sikap mental yang dapat dimengerti (jika melihat kondisinya). Dan kami menghargai tujuan dan keikhlasan mereka serta menghormati pendekatannya, walaupun kami tidak harus mengikutinya. Kami berupaya menulis Sirah dengan menggunakan pendekatan lain dan dengan gaya baru untuk memperjelas dinamika dan vitalitas masa kehidupan Rasulullah yang mengagumkan. Kami berasumsi bahwa Sirah selalu aktual karena Rasulullah dalam hadis-hadisnya berbicara kepada segenap umat manusia di setiap masa, ruang dan waktu. Berikut ini kami akan memaparkan gambaran kesehatan Rasulullah SAW sebagaimana yang terkesan dalam buku al-syifa. Tapi (sebelum itu) kami ingin mengingatkan bahwa pemaparan ini tidak bertujuan mendiskusikan atau menyangkal apa yang terurai dalam kitab tersebut. Al-Qadli 'Iyadl dan para penulis yang sederajat, bagi kami adalah ulama terkemuka dan terhormat. Justru kami dapat lebih memperkuat argumentasinya karena motivasi mereka didorong oleh cinta yang mendalam terhadap Rasulullah, keagungan beliau dan keyakinan terhadap kebenaran Islam. Kami menulis buku ini dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan mendesak dewasa ini dalam memperkuat keimanan dan memantapkannya. Bahkan kami dapat memperkuat argumentasi untuk membuktikan semua (mu'jizat) yang diuraikan dalam kitab dalail al-nubuwwah berikut gejala-gejala supranatural yang terjadi sebelum kenabian, sepanjang data-data dan kenyataan sejarah memperkuatnya seperti 'peristiwa dibelahnya dada Rasulullah untuk dibersihkan'. Kami tidak sepakat dengan sikap sebagian kaum modernis yang menganggap bahwa mengingkari peristiwa dibelahnya dada Rasulullah adalah sikap intelektual yang tinggi. Kami dapat mengajukan sanggahan berikut; jika kalian percaya bahwa Rasulullah SAW adalah Nabi yang terpilih oleh Allah untuk menerima wahyu-Nya, yakni Al-Qur’an untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia dan membuka babak sejarah baru bagi kemanusiaan; lalu apa artinya mengingkari peristiwa dibelahnya dada atau tunduknya tangkai pohon menghormat Rasulullah? Bukankah jenisnya sama? Jika akal anda tak dapat mengerti peristiwa-peristiwa supranatural mengapa bisa mengerti Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya di Gua (Hira) suatu Al-Qur’an dengan bahasa Arab yang jelas? Padahal wahyu itu juga luar biasa? Sungguh menarik makalah yang ditulis oleh Prof. DR. Muhammad Abduh Yamani, mantan Menteri Penerangan Arab Saudi dalam majalah al-faishal edisi Rajab 1402 H / Mei 1982 M. yang mengajukan sebuah pendekatan Sirah dan sepenuhnya kami mendukung karena sesuai dengan ketentuan akal, keimanan yang jujur dan watak misi Muhammad itu sendiri. Kembali kepada kitab al-syifa untuk mengutip beberapa paragraf mengenai pandangan sejumlah ulama tentang kesehatan Rasulullah SAW, yang mengatakan bahwa beliau dikarunia kekuatan dan daya tahan tubuh tidak sama dengan manusia lain. Pada gilirannya pandangan seperti ini 119 menjadi kendala bagi kita dalam menguraikan sejarah kesehatan Rasulullah SAW. Tapi kami tetap tidak menyangkalnya sebagai penghargaan kepada penulisnya dan bukan berarti kami mendukungnya. Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam uraian para ulama ada yang sesuai dengan logika Sirah ada pula yang tidak. Untuk yang terakhir ini kami serahkan kepada para pembaca bagaimana menyikapinya. Al-Qadli 'Iyadl menulis: "Berkata Mujahid: Jika Rasulullah saw sedang sembahyang beliau dapat melihat siapa yang ada di belakangnya seperti halnya melihat yang ada di sampingnya. Dari sini ia menafsirkan firman Allah "dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud39" Dalam kitab al-muwattha' diriwayatkan Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya aku dapat melihat kamu yang ada di belakang". Dalam versi lain: "Sesungguhnya aku dapat melihat yang ada di belakangku seperti halnya aku melihat yang di sampingku". Versi lain lagi: "Aku dapat melihat melalui bahuku seperti halnya aku melihat yang di sampingku". Diriwayatkan oleh Baqiy ibn Mukhlad bahwa Aisyah mengatakan: "Rasulullah dapat melihat pada (suasana) gelap seperti halnya melihat pada (suasana) terang". Al-Syekh Muhammad AlBajjawi yang mempublikasikan al-syifa (edisi Kairo, 1977, vol. 1/92, fn. 10) berusaha mengajukan penafsiran rasional.".. maksudnya ialah bahwa Kami (Tuhan) memperlihatkan kedalam hatimu (Muhammad) bagaimana pandangan matamu menjangkau orang-orang yang berada di belakangmu sehingga mengetahui apa yang mereka lakukan. Uraian hadis ini ingin membuktikan ketajaman indera Rasulullah. Penafsiran ini sesuai dengan asumsi bahwa Rasulullah betul-betul melihat orang yang ada di belakangnya". Tapi Al-Qadli 'Iyadl menyatakan keberatan. "Semua ini berarti bahwa Rasulullah melihat mereka dengan pandangan mata kepala”. Ini adalah pendapat Ahmad ibn Hanbal dan beberapa ulama lainnya. Penafsiran yang lain mengatakan pandangan tersebut bersifat pengetahuan sedangkan bukti-bukti tidak mendukungnya. Jangkauan penglihatan Rasulullah kepada yang ada di belakangnya bukanlah sesuatu yang mustahil. Justru hal itu merupakan ciri khusus kenabian seperti yang diriwayatkan oleh Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad Al-'Adl dalam tulisannya: “diceritakan kepada kami oleh Abu Al-Hasan Al-Muqri Al-Farghani, yang mengatakan: diceritakan kepada kami oleh Umm Al-Qasim dari ayahnya yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:"Tatkala Allah membuka tabir cahaya-Nya kepada Nabi Musa, ia kemudian dapat melihat semut pada saat gelap gulita di shafa yang jaraknya sejauh 10 farsakh". Gejala semacam ini tidak mustahil terjadi pada diri Rasulullah setelah melakukan isra-mi'raj dimana beliau telah melihat tandatanda kebesaran Tuhannya. Mengenai kekuatan dan daya tahan tubuh serta kejantanan Rasulullah SAW berkata Al-Qadli 'Iyadl: "dalam hal ini Rasulullah adalah orang yang paling kuat dan perkasa. Oleh karena itu beliau diperbolehkan menikan lebih dari yang diperbolehkan kepada selainnya”. Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah dapat menyelesaikan kunjungannya kepada isteri-isteri beliau yang 11 orang dalam jangka satu jam sehari semalam. Diriwayatkan oleh Thawus bahwa beliau memiliki keperkasaan 40 lelaki. Dengan nada yang sama diriwayatkan pula dari Shafwan ibn Suleim, berkata Salma, salah seorang pelayannya, bahwa setiap kali Rasulullah selesai mengunjungi salah seorang isterinya beliau selalu mandi dan bersuci sebelum mendatangi yang lain. Begitu seterusnya hingga selesai dari yang kesembilan. Beliau bersabda: "Ini lebih baik dan 39 Q.S. Al Syu’ara:219 120 lebih suci".. Anas berkata: kami sering membicarakan bahwa beliau memiliki keperkasaan 30 lelaki. Diriwayatkan oleh Al-Nasa'i dengan nada yang sama dari Abu Nafi'” Pandangan kami mengenai hal-hal semacam ini dan yang disebutkan sebagai gejala-gejala supranatural dalam diri Rasulullah adalah sebagai berikut. Jika sesuai dengan karakteristik misinya sebagai Rasul serta tidak bertentangan dengan fakta sejarah kami tetap menerimanya. Lain dari pada itu kami menyangkalnya. Kita mengetahui misalnya bahwa dada Rasulullah pernah dibelah oleh malaikat untuk dibersihkan pada waktu beliau masih kecil. Hal semacam ini menurut pandangan kami adalah normal karena selama Allah telah memilih, menunjuk dan mensucikannya maka tiada yang dapat menyangkalnya baik bentuk maupun caranya. Jika seorang penulis mengatakan bahwa pembersihan dan pemilihan tersebut dilakukan dengan cara 'anu' maka kami tidak menyangkalnya karena persoalannya masuk dalam kasus pemilihan dan penunjukan oleh Allah serta persiapan untuk menerima risalah. Jika Anas mengatakan: "Rasulullah memiliki keperkasaan 30 lelaki" kami pun terima sebagaimana adanya karena tidak menyebutkan secara khusus pada bidang apa keperkasaan tersebut. Yang pasti dari penelitian kami mengenai perjalanan hidup Rasulullah adalah beliau memiliki kekuatan dan daya tahan tubuh serta keperkasaan yang tiada bandingannya. Bukti mengenai hal ini akan segera kita saksikan dalam uraian Sejarah Kesehatan Rasulullah. Adapun jika seorang pelayan beliau yang bernama Salma mengatakan bahwa "setiap kali beliau mengunjungi isteri... dan seterusnya" kami menyangkal karena satu-satunya cara untuk membenarkannya, bahwa Salma mengikuti kunjungan Rasulullah dari rumah ke rumah, melihat beliau masuk dan keluar serta mandi bersuci sebanyak sembilan kali. Ini tentu tidak terjadi karena kita akan menyaksikan betapa kesibukan Rasulullah setiap hari. Kemudian mereka yang disebutkan sebagai wanita-wanita yang melayani Rasulullah dan para gundiknya tidak dapat dibuktikan secara historis bahwa mereka pernah ada dalam wujud ini. Disebutkan bahwa beliau memiliki 16 pelayan wanita dan 11 gundik. Ini tidak benar sama sekali. Ulama-ulama yang terpercaya meragukan kebenarannya. Bagaimanapun, tidaklah masuk akal jika Rasulullah memiliki pelayan sebanyak itu padahal kita mengetahui bahwa beliau lebih senang melayani diri sendiri. Kemudian mengapa bisa dikatakan bahwa beliau memiliki pelayan sebanyak itu dan tentu beliau mampu membelanjai mereka, lalu setelah wafat diriwayatkan bahwa senjata perangnya digadaikan untuk membelanjai keluarga tanggungannya? Cerita penggadaian ini juga kami tolak karena Rasulullah selama hidupnya baik sebelum maupun sesudah dinobatkan menjadi Nabi dan Rasul termasuk orang-orang yang berkecukupan dari usahanya sendiri memperoleh harta yang halal. Apakah masuk akal jika seorang pejuang pemberani, kesatria dan pendekar menggadaikan senjatanya? Tiada seorang pejuang pun yang memperbolehkan dirinya menggadaikan senjata. Mereka bahkan menambahkan bahwa senjata tersebut digadaikan kepada seorang Yahudi? Perkataan seperti ini kami tolak mentah-mentah karena menodai dan mencemarkan citra Rasulullah SAW. Kami dengan tegas mengatakan hal ini karena kita perlu menetapkan batas-batas antara mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak. Jika tidak, bagaimana mungkin kita menulis Sirah dengan benar sedangkan batas-batas yang benar dari yang salah saja belum jelas? *** 121 Adalah fakta sejarah bahwa kesehatan Rasulullah, baik tubuh maupun mental sangat prima sejak masa kecil dengan postur tubuh yang kekar. Tertulis dalam buku ansab al-asyraf karya AlBaladzari mengenai Abu Lahab sebagai berikut: “Abu Lahab termasuk orang yang menantang dakwah Rasulullah dan menyakitinya. Suatu kali ia (Abu Lahab) bertikai dengan Abu Thalib dan terjadi pergelutan, di mana Abu Lahab membanting Abu Thalib lalu duduk di dadanya dan memukuli mukanya. Demi melihat kejadian itu Muhammad (muda) tidak tertahankan diri dan langsung menarik Abu Lahab kemudian membantingnya; selanjutnya membantu Abu Thalib duduk di dadanya balas memukul. Abu Lahab berkata kepada Nabi: ia adalah pamanmu dan aku juga pamanmu, mengapa kamu perlakukan aku demikian, demi Tuhan hatiku tidak akan mencintaimu lagi untuk selama-lamanya" (vol. 1/130-131) Berita ini nyata dan benar dalam konteks peristiwanya terjadi kala Muhammad sudah menjadi seorang pemuda. Umur beliau hampir sebaya dengan Abd Al-'Uzzay ibn Abd Al-Mutthalib yakni Abu Lahab, Hamzah ibn Abd Al-Mutthalib dan Abul Hakam Amr ibn Hisyam yakni Abu Jahal. Mereka adalah satu generasi yang usianya tidak jauh berbeda sehingga antara mereka sering terjadi persaingan sebagaimana yang terjadi pada kalangan kaula muda. Abu Thalib adalah putra Abd Al-Mutthalib yang sudah beranjak dewasa dan berumur lebih tua. Tidak segenerasi dengan Muhammad. Dalam hal usia ia menempati kedudukan ketiga setelah kedua putra Abd Al-Mutthalib lainnya yaitu Al-Harits dan Al-Zubair. Tidak logis tentunya jika peristiwa tersebut terjadi sesudah pelantikan sebagai Nabi dan Rasul. Artinya garis kehidupan masing-masing sudah jelas. Berarti terjadi jauh sebelum itu ketika mereka masih muda-muda karena ungkapan seperti itu biasanya antara kaula muda. Yang terjadi adalah Abd Al-'Uzzay (Abu Lahab) menyakiti kakaknya, Abu Thalib yang selama hidupnya menjalin kesetiakawanan dengan Muhammad walaupun dengan perbedaan umur yang ada. Muhammad dengan cepat membanting tubuh Abu Lahab hingga jatuh ke lantai. Ini menggambarkan kekuatan fisik tubuhnya. Dan gara-gara kejadian inilah sehingga Abd Al-'Uzzay membenci Muhammad, dengki selama hidupnya dan merupakan penyebab kekufurannya. Kedengkian umumnya berlaku antara orang-orang yang sebaya. Kita tidak memperoleh informasi mengenai kesehatan Rasulullah hingga beliau memasuki pernikahan, dilantik menjadi Nabi dan Rasul kemudian dikaruniai putra putri. Disini kita berhadapan dengan suatu pemandangan yang mirip dengan apa yang telah kita riwayatkan sebelumnya; yakni riwayat yang menunjukkan bagaimana Rasulullah dapat memelihara kekuatan fisiknya dan dapat mengungguli orang yang lebih muda sepuluh tahun seperti Umar ibn Al-Khattab. 2. MUHAMMAD TIDAK DICIPTAKAN DARI BESI Kiranya Rasulullah SAW bertubuh kekar dan memiliki kekuatan fisik sejak kecil dan masa muda. Hal ini nampak bagi kita sebagai sesuatu yang normal. Tapi sebenarnya beliau dalam hal ini di luar dari yang biasa karena para Nabi yang telah diutus sebelumnya -kecuali Nabi Musa, Sulaiman dan Daud- umumnya kurus-kurus, lemah dan cenderung berpenyakitan. Sebaliknya, Muhammad memiliki kekuatan fisik dengan tubuh kekar dan sehat sejak kecil. Menyerah kepada keadaan bukanlah jalan hidupnya. Beliau berserah diri kepada Allah lalu bangkit membela dakwahnya dengan segala daya yang dimiliki. Ini adalah salah satu keistimewaan khusus yang dianugerahkan oleh Allah dalam Islam sebagai agama yang benar dan harus kuat. Agama yang harus disebarkan dengan kekuatan. Kebenaran tidak ada artinya jika tidak didukung oleh 122 kekuatan. Sejumlah ungkapan yang selalu kita dengarkan melalui khutbah Jum'at tapi tidak ada pengaruhnya dalam kehidupan kaum muslimin. Kekuatan fisik tersebut terlihat pada saat Umar masuk Islam pada penghujung tahun ke-5 dari pelantikan. Kala itu, Rasulullah sudah berumur 45 tahun dan Umar lebih muda sekitar 13 tahun. Tepatnya usia Umar pada saat itu 33 tahun dan sedang di puncak kekuatannya dan kesehatannya yang prima. Disamping itu ia terkenal dengan perangai keras, tegas dan kejam sehingga ia begitu disegani oleh kaumnya dari bani 'Uday ibn Ka'b ibn Lu'ay. Ibundanya Hantamah sepupu Abu Jahal, termasuk kaum bani Makhzum. Pendapat yang mengatakan bahwa ibundanya bersaudara dengan Abu Jahal yang berarti bahwa Abu Jahal paman Umar adalah keliru. Yang menarik perhatian kita dalam peristiwa masuknya Umar ke dalam Islam, ketika ia mengetuk pintu rumah adiknya, Fatimah, isteri Sa'id ibn Zaid ibn Noufail seketika orang-orang di dalam rumah ketakutan sedangkan Khubab ibn Al-Irth yang sedang membacakan mereka AlQur’an, langsung menghilang. Tiada yang berani menghadapinya kecuali adiknya, Fatimah setelah suaminya Sa'id ibn Zaid telah jatuh tak berkutik oleh pukulan Umar. Amukan Umar semakin menjadi-jadi sehingga tak perduli lagi. Ia kemudian memukul adiknya menyebabkan bibirnya terluka dan bercucuran darah. Demi melihat keadaan adiknya, ia sadar dan timbul rasa iba dalam hatinya. Maka ia meminta lembaran yang mereka baca, yakni beberapa ayat Al-Qur’an mengawali surah Thaha. Tatkala ia membaca ayat-ayat tersebut sanubarinya tersentuh dan ia pun sadar bahwa yang telah dibacanya belum pernah terdengar olehnya sembari berkata: "Betapa indah dan agung ungkapan-ungkapan ini". Mereka segera berharap agar kesempatan ini tidak terlewatkan untuk mengajaknya memeluk Islam. Dari dalam persembunyiannya Khubab menampakkan diri dan akhirnya mereka berhasil membuka hatinya untuk mendapat petunjuk dari Allah. Dengan pedang terhunus ia beranjak untuk memeluk Islam di sisi Rasulullah dan keluar rumah menuju dar al-arqam yang telah diketahuinya bahwa Rasulullah sedang berada di sana. Tatkala ia mengetuk pintu, kaum muslim seluruhnya ketakutan kecuali Rasulullah. Di tengah-tengah mereka terdapat pula Hamzah -dikatakan bahwa ia (Hamzah) lebih tua lima tahun dari Rasulullah dan pemuda yang terkenal paling pemberani di mata Qureisy- yang segera memberikan aba-aba agar semuanya bersiap-siap jikalau Umar mengamuk, mereka dapat mengamankannya dengan cepat, lalu Rasulullah mengisyaratkan untuk membuka pintu sementara beliau bangkit dari duduknya dengan merapikan dan melilit jubahnya untuk menemui Umar di kamar. Beliau bertanya: untuk apa kamu datang wahai Ibn Al-Khattab? Demi Allah jika niatmu jahat kamu tidak akan selesai dari urusan ini kecuali kamu tersambar petir"; jawab Umar :"wahai Rasulullah aku datang untuk memeluk Islam dan mempercayai apa yang datang dari Allah", seketika Rasulullah bertakbir ALLAHU AKBAR membuat seluruh penghuni yakin bahwa Umar telah memeluk Islam". Rasulullah tidak mengetahui bahwa kedatangan Umar bertujuan memeluk Islam sedangkan Umar datang dengan pedang terhunus. Rasulullah tidak segan melihat keadaan itu dan beliau sendiri yang ingin menanganinya. Justru tidak mempercayakan kepada Hamzah. Sekiranya beliau tidak percaya diri dan tidak merasa mampu mengambil alih pedang Umar jika ia berniat jahat tentu beliau tidak berani bangkit menghadapinya. Pemandangan ini saja sudah merupakan bukti betapa kuat fisik Rasulullah dan kecekatannya, yang sebenarnya tidak memerlukan penjelasan. Hal yang sama terjadi pada peristiwa seorang pedagang kecil yang datang dari suatu negeri bernama Arasyi, Yaman yang menjual seekor unta kepada Abu Jahal tapi yang terakhir ini memperlambat pembayaran. Pedagang tersebut mengadukan nasibnya kepada para pembesar 123 Qureisy di Ka'bah dan kebetulan Rasulullah sedang duduk di salah satu pojoknya. Orang-orang Qureisy ingin memperolok-olok Rasulullah maka mereka mununjuk ke arah Rasulullah sembari berkata kepada sang pedagang : apakah kamu melihat orang yang sedang duduk itu ? pergilah kesana nanti ia yang akan menyelesaikan persoalanmu. Mereka melakukan hal ini karena mengetahui ketegangan antara Rasulullah dengan Abu Jahal. Mereka pun yakin bahwa Muhammad tidak akan mampu membantu sang pedagang. Tapi setelah Rasulullah mendengar pengaduannya, beliau bangkit sementara orang-orang Qureisy tercengang melihatnya dan mengira bahwa Muhammad akan membayarnya dari hartanya sendiri. Tapi ternyata beliau mengajaknya menuju kediaman Abu Jahal lalu mengetuk pintu. Diriwayatkan oleh Yunus ibn Bakier dari Muhammad ibn Ishaq dari Abu Sufyan Al-Tsaqafi yang berkata :"Demi Allah, begitu melihat wajah Rasulullah di pintu ia (Abu Jahal) seketika pucat dan Muhammad pun berkata kepadanya: berikan hak orang ini, yang dijawabnya: ya, jangan tinggalkan tempat sebelum seluruh haknya aku bayarkan. Beberapa saat setelah itu orang-orang Qureisy menanyakan kepada Abu Jahal: apa yang terjadi, demi Tuhan kami belum pernah menyaksikan hal seperti itu? jawab Abu Jahal: "tunggu dulu, demi Tuhan, begitu ia mengetuk pintu dan mendengar suaranya aku ketakutan, aku melihat ke arahnya bagaikan aku mengahadapi unta raksasa yang sedang lepas kendali, aku merasa jika tak menunaikan keinginannya bisa-bisa aku habis riwayat" Secara umum hikayatnya dapat diterima kecuali penghujungnya. Muhammad SAW merasa terpaksa bangkit menolong orang tersebut kala melihat olok-olokan orang-orang Qureisy yang sebenarnya tidak pernah akan memperbolehkan bagi dirinya menerima perlakuan seperti itu meskipun beliau terkenal dengan perangai rendah hati dan pema'af. Kemudian beliau menyadari bahwa dirinya adalah kemanakan Abu Thalib yang ikut menyetujui perjanjian hilf al-fudlul, suatu perjanjian yang mengharuskan kepada setiap anggotanya memperlakukan kaum lemah dengan baik dan menjamin hak-hak mereka. Yang terjadi adalah Abu Jahal tidak melihat unta raksasa tapi melihat Muhammad SAW dengan wajah murka dan sang pedagang di sampingnya sehingga ia segera mengembalikan haknya. Diketahui kemudian sejak Abu Jahal memaki-maki Rasulullah pada saat Hamzah memeluk Islam, ia tidak berani lagi berpapasan dengan Muhammad di tengah jalan bilamana sendirian. Kisah Rikanah ibn Abd Yazid ibn Hasyim yang digulat oleh Rasulullah berkali-kali juga cukup populer yang diriwayatkan oleh Ibn Ishaq. Diriwayatkan pula oleh masing-masing Abu Daud dan Turmuzi dari salah seorang cucu Rikanah yang bernama Abu Ja'far ibn Muhammad ibn Rikanah. Meskipun keduanya menyangkal adanya cucu Rikanah menyandang nama Abu Ja'far dan menilai ada keanehan dalam riwayat namun Ibn Hazm menguatkan berita mengenai pergulatan. Ibn Ishaq berkata:"Adalah Rikanah ibn Abd Yazid ibn Al-Mutthalib ibn Hasyim ibn Abd Manaf salah seorang yang dikenal sebagai orang terkuat. Pada suatu hari ia berdua dengan Rasulullah di salah satu penjuru kota Mekkah di mana Rasulullah berkata kepadanya: wahai Rikanah jika aku mampu menggulatmu kamu bisa percaya bahwa aku benar? (mengenai dakwahnya), jawabnya: ya, beliau berkata: ayo mari bergulat. Maka baru saja Rikanah bangkit Rasulullah sudah membantingnya yang membuatnya kesakitan, kemudian ia berkata: wahai Muhammad sekali lagi, Rasulullah membantingnya lagi sehingga ia berkata: demi Tuhan, wahai Muhammad ini benar-benar aneh! Kamu dapat mengalahkanku? Rasulullah menjawab: lebih aneh dari itupun aku dapat perlihatkan jika kamu mau percaya dan tunduk kepadaku. Aku dapat memanggil pohon itu dan datang ke sini" Riwayat ini masih disusul dengan satu bagian lagi yang tidak dimuat oleh Ibn Hazm, barangkali karena sebab inilah sehingga Abu Daud dan Turmuzi menilai aneh. Tapi yang penting dalam 124 riwayat ini bahwa Rikanah sedemikian tercengang melihat dirinya terbanting sehingga ia menilai kemampuan Rasulullah sebagai sihir. Maka ia kembali kepada kaumnya menyeru: wahai bani Abd Manaf, putra kalian betul-betul tukang sihir. Demi Tuhan, belum pernah aku melihat sihir sehebat itu. Ia pun menceritakan apa yang telah dilihat dan dialaminya. Kala itu Rikanah belum rela memeluk Islam tapi jauh setelah itu ketika Mekkah takluk baru memeluk Islam dan wafat di Madinah pada masa pemerintahan Mu'awiyah. Ia mempunyai saudara yang bernama Al-Saib ibn Abd Yazid dan dari cucu Al-Saib ini lahir Muhammad ibn Idris Al-Syafi'ie, ulama (pemimpin mazhab) fiqih yang terkenal. Bagian yang dimuat oleh Ibn Hazm adalah logis dapat diterima karena Rasulullah ingin membuktikan kebenaran kepada Rikanah dengan cara yang membuatnya dapat mengerti; yaitu dengan menggulatnya dan membantingnya berkali-kali atas izin Allah dimana Rikanah hanya dapat tercengang dan menganggapnya sihir karena sebelumnya tak pernah membayangkan bahwa Rasulullah sekuat itu. Para sahabat cukup mengetahui hal ini pada diri Rasulullah. Kegiatan dan vitalitas beliau tiada tara. Abu Hureirah berkata: "Aku belum pernah melihat orang berjalan lebih cepat dari Rasulullah. Beliau berjalan seakan-akan bumi terlipat untuknya, kami sering tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya dan beliau tak perduli." Segenap penulis Sirah sepakat apabila Rasulullah berjalan beliau melangkah tegap bagaikan turun dari atas puncak gunung. *** Popularitas Rasulullah sebagai sosok yang memiliki kekuatan fisik dan kesehatan prima menyebabkan orang-orang berpendapat bahwa beliau tidak sakit dan tidak akan pernah lelah. Maka mereka setiap saat dapat membebaninya dan memanggilnya dari belakang pintu seakanakan Rasulullah tidak berhak untuk istirahat walau sejenak saja di siang hari. Allah dalam AlQur’an-Nya telah menegur mereka dalam hal ini bahwa perlakuan terhadap Nabi dengan cara seperti itu adalah tidak baik. Inilah salah satu faktor yang antara lain menyebabkan mengapa para penulis Sirah tidak menyinggung ada penyakit yang menimpa Rasulullah atau rasa lelah kecuali penyakit yang menyebabkan beliau wafat. Satu-satunya isyarat yang kita dapatkan dalam hal ini -disamping kepala pening- adalah yang diriwayatkan oleh Aisyah mengenai penyakit terahkir. Aisyah berkata:"Rasulullah wafat di rumahku dan sedang dalam pangkuanku (akan dibicarakan lebih lanjut). Dahulu jika beliau mengeluh dari suatu penyakit Jibril datang mengajarkan do'a, dan aku selalu membacakan do'a tersebut lalu beliau membuka mata dan menengadah ke langit : "kembali ke pangkuan Allah, kembali kepangkuan Allah". Dari riwayat ini dapat dipahami bahwa beliau sewaktu-waktu ditimpa penyakit dan Jibril datang mengajarkan do'a sehingga Aisyah dapat menghafalkan do'a tersebut. Kiranya keadaan demikianlah yang logis. Adapun yang beranggapan bahwa beliau sama sekali tidak pernah sakit dan atau merasa lelah maka merupakan anggapan yang tidak pada tempatnya. Namun ada suatu berita otentik mengenai adanya penyakit yang pernah menimpa Rasulullah, yang mana para perawi menganggapnya sebagai akibat beliau terkena sihir dari seseorang. Sekiranya peristiwa tersebut tidak dirinci oleh sebagian ulama terkemuka, baik yang terdahulu maupun sekarang niscaya kami cukup menyebutkannya sebagai gejala penyakit yang menimpa Rasulullah kemudian sembuh. Oleh karena mereka membicarakannya secara rinci maka kami pun terpaksa ikut urun rembug. Peristiwanya terjadi di Madinah pada awal-awal tahun ke-6H atau sekitar pertengahan 628M berhubung diuraikan dalam konteks pasca perang 'Uraniyin yang terjadi pada tahun-tahun 125 tersebut Berikut kisahnya yang dikutip dari volume ke-2 buku 'tarikh al-Islam' karya Al-Hafidz Muhammad ibn Ahmad ibn Usman Al-Dzhahabi yang menulis sebagai berikut: "Berkata Wahib berdasarkan riwayat dari Hisyam ibn 'Urwah dari ayahnya dari Aisyah bahwa Rasulullah pernah disihir yang mengakibatkan beliau melihat dirinya melakukan sesuatu padahal tidak melakukannya. Hingga pada suatu hari, aku melihatnya menyeru dan bersabda: "apakah kamu menyadari bahwa Allah telah menetapkan sesuatu bagiku ketika aku memintanya: aku kedatangan dua orang, yang salah satunya duduk di sisi kepalaku dan yang lain duduk di sisi kakiku. Salah seorang dari mereka berkata: penyakit apa yang sedang dialami oleh orang ini? jawab kawannya: ia telah kemasukan; yang satunya bertanya: dari siapa? jawabnya : dari Lubaid ibn Al-A'sham; bertanya lagi: dengan cara apa? jawabnya: dengan sisir dan pohon kurma jantan; bertanya lagi: di mana? jawabnya: di sumur auran. Maka Rasulullah pergi, dan sekembalinya beliau memberitahu Aisyah: seolah-olah pohon-pohon kurma di sekitar sumur auran seperti kepala-kepala setan, dan air sumurnya kemerah-merahan. Aku (Aisyah) berkata: wahai Rasulullah beritahulah orang-orang; beliau menjawab: aku telah sehat dan tidak perlu membuat orang-orang panik di sekitar sumur auran". Diriwayatkan oleh Umar, anak buah 'Afrah salah seorang dari generasi Tabi'ien bahwa Lubaid ibn Al-A'sham adalah seorang Yahudi yang pernah menyihir Rasulullah membuat beliau sakit dan dijenguk oleh para sahabatnya. Kemudian Jibril dan Mikail datang memberitahu beliau yang segera memanggilnya (Lubaid) yang dari pihaknya mengaku benar telah menyihir Rasulullah kemudian iapun mengeluarkan sihirnya dari sumur, menarik dan melepaskannya sehingga Rasulullah terbebas dan sehat kembali". Diriwayatkan pula oleh Yunus dari Al-Zuhri yang berpendapat bahwa para tukang sihir tidak boleh diperangi dengan berdasarkan kepada riwayat mengenai seorang Yahudi yang menyihir Rasulullah dan beliau tidak memerintahkan untuk membunuhnya. Diriwayatkan pula dari 'Ikrimah bahwa Rasulullah sehat kembali dari pengaruh sihir tersebut. Berkata Al-Waqidi : “riwayat yang mengatakan bahwa beliau tidak memerintahkan untuk membunuh tukang sihir adalah lebih akurat dari pada riwayat yang mengatakan bahwa beliau memerintahkan membunuhnya.” Kami yakin bahwa keadaan yang menimpa Rasulullah adalah suatu penyakit yang tidak sempat mendapatkan diagnosa yang tepat oleh seorangpun dan tidak perlu mengatakan bahwa keadaan itu adalah akibat sihir. Sepanjang sihir tidak masuk dalam kamus perjuangan Rasulullah, mengapa harus memasukkannya disini? Tapi ada dua tokoh ulama terkemuka masa kini yang mengupas permasalahannya. Pendapat mereka dapat dimuat di sini secara singkat. Yang pertama adalah Al-Allamah Al-Syekh Muhammad Zahir Al-Kautsari dan yang kedua adalah Grand Syekh Muhammad Al-Khedlr Husein, Grand Syekh Al-Azhar. Menurut Syekh Muhammad Zahir Al-Kautsari usaha percobaan menyihir Rasulullah SAW adalah kenyataan yang ril. Adapun pengaruhnya seperti yang dikemukakan oleh para perawi yang handal (sekalipun) maka telah ditolak oleh para ulama terpandang dan aku cenderung mengikuti penolakan tersebut karena Allah berfirman:".. dan tukang sihir tak kan pernah berhasil dari manapun datangnya"; dan firman Allah mengisahkan pendapat orang-orang musyrik mengenai diri Nabi: ".. yang kalian ikuti hanyalah orang yang terkena sihir"; sedangkan pernyataan ini disebutkan oleh Allah dalam konteks menyangkal (pendapat orang-orang musyrik). Dan juga berdasarkan kepada firman Allah:"Dan Allah yang melindungimu (Muhammad) dari (perbuatan jahat) orang" 126 Lebih lanjut Al-Kautsari mengatakan: "berupaya menetapkan pengaruh sihir pada diri Rasulullah karena memperjuangkan nama baik sebagian perawi adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya, walaupun yang melakukan hal itu adalah mayoritas ulama. Tidak mengapa menuduh sebagian perawi yang handal sekalipun, terutama karena penerimaan pengaruh sihir tersebut amat berbahaya bagi pemikiran, maka lebih baik berpegang teguh kepada ketentuan ayat wallahu a'lam.” Menurut Al- Syekh Muhammad Al-Khedlr Husein "permasalahan yang terdapat dalam 'hadis sihir' seluruhnya dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya percobaan telah terjadi dan ril namun pengaruhnya hanya menyentuh aspek jasmani Rasulullah dan bukan aspek spiritual dan akal budinya. Yang memperkuat pandangan ini adalah hadis yang diriwayatkan dalam kutipan Ibn Sa'd dari Ibn Abbas bahwa "Rasulullah SAW jatuh sakit dan tidak mampu mendatangi isteriisterinya. Beliau kehilangan nafsu makan dan minum hingga dua malaikat datang...". Ditambahkan pula perkataan Aisyah yang diriwayatkan oleh Sufyan ibn 'Uyainah bahwa "Rasulullah melihat dirinya seakan mendatangi isteri-isterinya padahal tidak". Inilah riwayat pokok sedangkan riwayat-riwayat lainnya yang tidak senada perlu dita'wilkan, ditafsirkan dan disesuaikan dengan riwayat pokok ini atau mengadopsi asumsi bahwa sebagian perawi telah keliru dalam riwayatnya". Selanjutnya Al- Syekh Muhammad Al-Khedlr Husein menguatkan bahwa Rasulullah benar-benar pernah disihir. Menurut hemat kami tidaklah tepat menuduh sesat atau berniat jahat orang yang mengingkari hadis ini, karena argumentasi yang mereka ajukan cukup kuat. Persoalannya, penilaian terhadap hadis tersebut tidak memperhatikan dasar-dasar dan sistimatika pengecekan dan evaluasi hadis sesuai dengan yang ditetapkan dalam ilmu hadis; tidak pula memperhatikan jabatan kenabian dan agungnya kedudukan Nabi yang terpelihara ('ishmah) dan lebih tinggi dari kemungkinan terpengaruh oleh sihir. Lebih jauh lagi Al-Syekh Al-Khedr Husein mengatakan:“Adapun pendapat mereka apabila seorang Nabi terkena sihir tidaklah mempengaruhi kedudukannya sebagai Nabi maka kami setuju dengan syarat bahwa pengaruhnya hanya menyentuh aspek jasadnya saja, bukan akal budinya. Pengaruh mana terlihat dalam diri Rasulullah yang menyebabkan beliau tidak mampu menggauli isteri-isterinya, tugas-tugas mana tidak ada hubungannnya dengan kedudukan beliau sebagai Nabi. Selanjutnya menetapkan bahwa ungkapan "beliau melihat dirinya melakukan sesuatu padahal tidak melakukannya" harus ditafsirkan dalam konteks riwayat Sufyan yang mengatakan bahwa beliau seakan menggauli isterinya padahal tidak. Kami berasumsi ada kekeliruan dalam periwayatan karena kemungkinan para perawi mengganti ungkapan Aisyah "seakan menggauli isterinya" dengan ungkapan "seakan melakukan sesuatu" dan mengganti ungkapan "padahal tidak mendatangi isterinya" dengan ungkapan "padahal tidak melakukannya". Adapun riwayat yang mengatakan beliau "seakan melakukan sesuatu padahal tidak" yang mengandung arti bahwa pengaruh sihir telah menyentuh daya pikirnya dan semacamnya yang mengatakan "seakan beliau melakukan sesuatu padahal tidak melakukannya"; semua itu kami tafsirkan dalam konteks kemungkinan para perawi keliru meriwayatkan. Banyak ulama terkemuka telah menuduh keliru para perawi dalam kitab-kitab hadis shahih karena makna yang terkandung dalam hadis yang diriwayatkannya tidak sesuai dengan keadaan yang dapat diterima dan tidak logis. Ini berarti bahwa riwayat tetap benar namun ungkapan atau lafalnya yang keliru". 127 Demikian uraian Al-Syekh Al-Khedlr Husein. Dapat disimpulkan kiranya beliau berpendapat bahwa Rasulullah benar-benar pernah disihir walaupun pengaruhnya hanya menyentuh aspek jasmani dan bukan akal budi Rasulullah. Dalam konteks kesehatan Rasulullah, kami dapat menegaskan tanpa harus menyinggung rincian tuduhan kepada para ulama hadis dan ulama fiqih bahwa pada awal-awal tahun ke-6H Rasulullah tertimpa suatu penyakit. Barangkali beliau menderita demam lalu orang-orang menganggapnya sihir kemudian beliau sehat kembali dan melanjutkan kegiatan dan kesibukan-kesibukannya seperti sedia kala. Dengan meneliti data-data dan berbagai informasi mengenai peristiwa tersebut didapatkan bahwa semua riwayat pada dasarnya berasal dari 'Urwah ibn Al-Zubair dari bibinya Aisyah, demikian juga rincian-rinciannya. Bahkan ungkapan yang disandarkan kepada Rasulullah juga berasal dari 'Urwah ibn Al-Zubair. Tidak didapatkan satu riwayat pun dari versi lain yang dapat memperkuatnya. Oleh karena itu kami menegaskan bahwa yang terjadi, Rasulullah tertimpa penyakit yang membuat beliau berbaring di tempat beberapa hari. Aisyah tidak mau menerima kenyataan itu (bahwa Rasulullah sakit) dan menganggapnya sebagai akibat sihir. Sikap Aisyah dapat dimengerti karena selama ini kondisi kesehatan Rasulullah jauh dari kemungkinan terkena penyakit. Atau barangkali, karena Rasulullah memberitakan ada dua oknum yang mendatanginya dimana salah seorang di antaranya duduk di sisi kepala dan seorang lagi duduk di sisi kakinya sehingga ia menganggapnya sihir sedangkan Rasulullah menutup segala kemungkinan dengan mengatakan kepada Aisyah, yang meminta supaya beliau mengeluarkan sihir dari sumur agar orang-orang terhindar darinya, beliau bersabda: “aku sudah sehat dan tidak perlu membuat orang-orang panik di sekitar sumur auran jangan sampai mereka menghindarinya atau mereka menutupnya sama sekali”. Padahal Rasulullah ingin sumur tersebut tetap didatangi orang tanpa merasa takut. Al-Samhudi cukup panjang lebar berbicara mengenai sumur ini yang sebenarnya tidak perlu sebab yang menimpa Rasulullah adalah suatu penyakit. Hingga kini orang-orang terdekat kita masih sering beranggapan ada pengaruh sihir jika seseorang yang disayanginya terkena suatu penyakit dan mereka berupaya menyembuhkannya secara paranormal. Apa yang membuat Aisyah heran Rasulullah tertimpa penyakit ialah karena ia menyaksikan kondisi kesehatan dan daya tahan fisik Rasulullah yang selalu prima selama ini. Ia beranggapan bahwa beliau tidak mungkin sakit. Tapi bagaimana dengan pandangan para sahabat yang juga beranggapan Rasulullah tidak sakit? Persoalan yang kita bicarakan disini bersifat historis semata, karena jika kita melihat aktifitas dan pekerjaan-pekerjaan berat yang dilakukan oleh Rasulullah tanpa mengeluh sakit atau lelah, kita dapat memahami mengapa orang-orang di sekitarnya menjauhkan kemungkinan beliau sakit. Disamping penderitaan yang dialami beliau dari orang-orang kafir sebelum peristiwa boikot kepadanya dan kepada keluarga bani Hasyim di wilayah pemukimannya (di Mekkah) kita melihat bahwa boikot tersebut telah melelahkan dan memberatkan sahabatnya yang mana pengaruhnya terlihat pada diri mereka kecuali Rasulullah. Kondisi kesehatan Khadijah sendiri semakin menurun dan wafat tidak lama setelah 'pengumuman boikot' dirobek. Anak-anak dan kaum ibu juga menderita kelaparan. Sedemikian menyedihkan kondisi tersebut sehingga sejumlah orang-orang Qureisy bergerak mengambil prakarsa untuk mengakhiri perlakuan yang tidak manusiawi ini. Salah seorang di antara mereka adalah Zuhair ibn Abi Umayyah ibn Al-Mughirah Al-Makhzumi yang dengan iba menggambarkan penderitaan tersebut 128 dalam ungkapannya: "Wahai penduduk Mekkah apakah kita makan dan berpakaian sedangkan keluarga bani Hasyim sedang menuju kepada kepunahan, tidak menjual dan tidak membeli?" Peristiwa boikot selesai, dan tak pelak lagi Muhammad tentu lebih menderita dari yang lainnya karena beliaulah yang merupakan sasarannya. Tapi beliau tidak pernah mengeluh dan tidak terlihat sedikitpun lelah sementara Abu Thalib tidak mengalami penderitaan sedikitpun dari perlakuan ini karena menurut riwayat Ibn Hisyam ia sedang berada di luar pemukiman bani Hasyim kala itu. Dalam hubungan ini kami ingin menjelaskan bahwa anggapan sementara orang mengatakan bahwa kaum Qureisy telah menggiring keluarga bani Hasyim dan bani Abd AlMutthalib ke suatu wilayah tandus di celah-celah pegunungan, seakan mereka dipenjara dalam suatu pos penahanan, adalah tidak benar karena Qureisy melakukan pemboikotan dengan cara mengepung bani Hasyim dalam pemukiman mereka dan melarang masuknya bahan makanan. Adalah tidak layak bagi bani Hasyim jika dikatakan bahwa orang-orang Qureisy menggiring mereka ke suatu tempat penahanan di celah gunung. Kaum Qureisy belum sehina itu dan keluarga bani Hasyim dan bani Abd Al-Mutthalib jauh lebih tinggi kedudukannya untuk diperlakukan semacam itu. Yang terjadi hanyalah boikot dan larangan bergaul dengan mereka dan mencegah agar bahan konsumsi tidak sampai ke pemukiman mereka. *** Sepeninggal wafatnya Khadijah dan Abu Thalib, Rasulullah menghadapi masa-masa berat dan genting. Beliau mendapatkan dirinya sebatang kara bersama putri-putrinya Ruqayyah, Umm Kaltsum dan Fatimah yang semuanya masih kecil. Tidak ada yang mengasuhnya sedangkan beliau sudah berusia 51 tahun, pada usia mana seseorang memerlukan perhatian dan pelayanan. Yang membantu beliau hanyalah Umm Hani binti Abu Thalib, sepupunya dan saudari kandung Ali ibn Abi Thalib, yang belum memeluk Islam. Dialah yang mengasuh putri-putri Rasulullah, dan kadang-kadang beliu menginap di rumahnya dimana terjadi peristiwa isra'-mi'raj. Peristiwa isra' terjadi setelah beliau mengadakan hijrah ke Thaif. Dalam pembicaraan mengenai hijrah ke Thaif kita lebih disibukkan oleh sikap penerimaan penduduk Thaif yang menyakitkan dan menyebalkan, padahal seandainya kita dapat merenungkan sejenak akan didapatkan bahwa penderitaan yang dialami Rasulullah dalam perjalanan ke Thaif sebenarnya jauh lebih menyusahkan. Letak Thaif dari Mekkah kini adalah sejauh 140 km. dengan jalan tol yang hampir sama dengan jarak perjalanan dahulu. Terletak setinggi antara 1700 dan 2500 m (dari permukaan laut). Orang yang berangkat ke Thaif dari Mekkah akan mendaki setelah menempuh setengah jarak perjalanan. Pendakian cukup menyulitkan karena harus menempuh gugusan pegunungan saraat yang umumnya merupakan jalan-jalan sempit sedangkan tanahnya amat keras. Seseorang tidak akan selamat dari luka atau goresan atau pun pembengkakan biarpun memakai alas kaki. Penulis sengaja berhenti di beberapa tempat sepanjang jalan tersebut dan turun dari kendaraan berjalan beberapa ratus meter untuk merasakan sendiri betapa sulitnya menempuh jalan tersebut lalu penulis bertambah cinta kepada Rasulullah disebabkan karena beliau menempuh jarak sepanjang itu dengan berjalan kaki; mengingat tidak ada indikasi beliau menggunakan unta atau kuda. Dengan berbekal kurma dan air minum di bahu, beliau ditemani oleh sahabatnya Zaid ibn Haritsah. Sang pejuang berjalan diikuti oleh Zaid dari belakang. Beliau mendaki dengan terdorong oleh keimanan dan harapan untuk mendapatkan ridlo Allah. Adapun perbekalan yang 129 bersifat duniawi hanyalah "dua zat yang berwarna hitam, kurma dan air" sebagaimana ungkapan penyair. Pertanyaannya apakah aktifitas seberat ini tidak mempengaruhi kesehatan Rasulullah? Sungguh menarik hasil-hasil mu'tamar yang pernah diadakan di Universitas Johns Hobkens, Amerika Serikat tentang penyakit-penyakit singkat. Didapatkan bahwa tubuh manusia menghitung segala sesuatu ibarat 'argo'40; setiap cedera atau penyakit yang menimpa tubuh walaupun sudah pulih kembali akan tetap meninggalkan bekas dalam tubuh baik dirasakan atau tidak. Setiap penyakit atau cedera tersebut telah mematikan salah satu daya tahan tubuh atau sistim pertahanannya. Untuk itu mereka mengusulkan agar setiap manusia tidak boleh tidak harus istirahat total selama sebulan setiap tahun untuk memberikan kesempatan kepada tubuh melakukan rekonstruksi sistim pertahanannya. Sudah barang tentu perjalan Rasulullah ke Thaif telah mempengaruhi kondisi kesehatannya dan tentu beliau tidak memperoleh kesempatan istirahat dalam rangka rekonstruksi sistim pertahanan tubuhnya, yang terjadi justru sebaliknya. Setelah kembali dari Thaif kesulitan yang dihadapi bertambah banyak yang memerlukan akifitas dan pemikiran lebih intensif sampai tiba masanya beliau berhijrah ke Madinah. Setelah hijrah periode perjuangannya memasuki era baru sehingga tanggung jawab dan akitifitas semakin membengkak yang pada gilirannya semakin menekan energi beliau. Pada saat yang sama beliau tidak mendapatkan kesempatan untuk istirahat. Secara kedokteran diketahui bahwa banyak komponen-komponen yang terdapat dalam telinga, mata, otak, urat saraf, hati dan jantung yang tak dapat direkonstruksi jika sel-selnya musnah. Kami mengetengahkan hal ini karena banyak orang yang membaca Sirah, sejarah perjuangan Rasulullah seperti kepergian beliau ke Thaif lalu tidak menyadari bahwa kondisi kesehatan beliau akan terpengaruh oleh aktifitas seberat itu sedangkan Muhammad SAW tidak diciptakan dari besi. Bahkan besi akan mengalami apa yang dinamakan metal fatigue41 dan aus akibat tekanan pekerjaan yang lebih berat. Bagaimanakah dengan seorang manusia yang sedang menginjak usia 51 tahun? Kemudian alangkah kejam penderitaan yang dialami Rasulullah setelah menempuh perjalan sejauh dan seberat-beratnya, lalu penerimaan oleh penduduk Thaif adalah penolakan yang biadab dan perkataan yang menyakitkan, sementara para pengembala dan anak-anak melempari beliau dengan kerikil membuat kakinya bercucuran darah lalu berlindung ke suatu pagar taman di salah satu pojok pemukiman. Oh, betapa kecewanya. Saat itulah Muhammad SAW yang agung dan benar-benar agung menghadapkan diri ke Khaliqnya dengan sebuah do'a berikut ini yang merupakan bisikan paling indah yang diarahkan oleh seseorang kepada Tuhannya. Sebuah do'a yang sebenarnya personifikasi dari keimanan yang digubah dalam bentuk untaian kalimat, puncak dari segala untaian kalimat yang dapat disusun atau diucapkan oleh seorang manusia. (Beliau berdo'a): “Ya Allah kepada Engkau aku mengadukan kelemahan dan keterbatasan diriku serta kehinaanku dalam pandangan orang, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari yang segala kasih, Engkaulah Tuhan orang-orang lemah, Engkau Tuhanku. Kepada siapakah gerangan Engkau menyerahkan diriku? apakah kepada orang jauh yang menyerangku, ataukah kepada lawan yang engkau berikan kekuatan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka, aku tak perduli semua itu tapi ma'af-Mu jauh lebih luas bagiku. Aku berlindung kepada cahaya wajahMu -yang menerangi segala kegelapan dan memperbaiki kehidupan dunia-akhirat- dari kemungkinan Engkau murka atau benci padaku. Engkaulah yang menentukan segalanya dan 40 41 Tarif Kelelahan 130 Engkau yang berhak untuk ridlo; Tiada daya dan tiada upaya kecuali dengan kekuatan dariMu". Apakah pembaca yang budiman mengira bahwa semua ini ringan bagi jiwa-raga Muhammad SAW? Apakah anda mengira bahwa beliau menjalaninya seakan angin sepoi menggoda wajahnya yang mulia? Tidak, dan demi Allah sekali lagi tidak, sungguh semua itu telah meninggalkan bekas yang mendalam dalam diri Rasulullah. Bacalah berita berikut ini yang diriwayatkan oleh Ibn Katsier dari Yunus ibn Yazid dari Ibn Syihab yang berkata: "Aku diberitahu oleh 'Urwah ibn Al-Zubair bahwa Aisyah, bibinya telah berbicara kepadanya bahwa ia pernah menanyakan kepada Rasulullah: adakah perihal yang paling berat dihadapi oleh baginda Rasulullah selain perang Uhud? jawab beliau: tiada yang paling berat aku hadapi kecuali kepergianku ke Thaif menawarkan da'wahku kepada Ali ibn Abd Yalail ibn Kullal dari bani Tsaqif lalu ia tidak menerimaku sehingga aku pulang dalam keadaan tertekan jiwa penuh kekecewaan. Aku tidak menyadari (perjalanan sedemikian jauh) kecuali setelah berada di qarn al-tsa'alib" Apakah anda mengira bahwa penyakit (terakhir) yang diderita beliau secara drastis menimpanya dan mengakhiri hayatnya dalam jangka dua minggu adalah sesuatu yang mengherankan? Sungguh tidak mengherankan sama sekali karena penyakit tersebut menimpa seorang yang membebani tubuhnya (dengan berbagai aktifitas berat) dari hari ke hari hingga menghabiskan semua sistim pertahanan tubuh. Sudah barang tentu penyakit-penyakit singkat yang selama ini telah meninggalkan bekas dalam diri beliau mengingat para dokter mengatakan bahwa tubuh bagaikan 'argo'. Tapi meskipun demikian Abu Muhammad Abd Al-Malik ibn Hisyam seorang ulama fiqih dari Bashrah dan dari Mesir yang dengan segala kesenangan yang mengitarinya di kediamannya di Fusthath (Cairo) tidak menyinggung samasekali persoalan tersebut karena ia beranggapan bahwa Muhammad diciptakan dari besi! Dan selama Ibn Hisyam tidak menyebutkan berita-berita seperti itu sudah barang tentu Muhammad Husein Heikal dan para pengikutnya tidak akan menaruh perhatian untuk menyinggungnya karena tidak menemukannya dalam karya Ibn Hisyam sedangkan mereka tidak memiliki (sumber data) kecuali Ibn Hisyam 3. HAMBA YANG MEMILIH APA YANG DITENTUKAN ALLAH Kita berhenti dalam bagian sebelumnya pada paragraf yang menyinggung kepergian Rasulullah ke Thaif dan kejamnya penderitaan selama pergi dan setelah pulang. Apalagi yang dialaminya berkenaan dengan penyambutan penduduk yang biadab dan pengusiran yang lebih keras lagi dengan segala kesan dan pengaruh yang ditinggalkan dalam dirinya. Ditambahkan pula bahwa ketika pulang dari Thaif beliau tidak boleh masuk Mekkah kecuali di bawah perlindungan salah seorang pembesar yang berkuasa, yaitu Al-Muth'am ibn 'Uday sehingga beliau kembali ke negeri dengan penuh kekecewaan dan tekanan jiwa. Kita juga telah menyinggung pengaruh tersebut dalam uraian riwayat Aisyah yang menanyakan kondisi yang paling berat dihadapi Rasulullah selain perang Uhud? yang dijawabnya bahwa "yang paling berat dihadapinya ialah kepergiannya ke Thaif menawarkan da'wah kepada Ali ibn Abd Yalail ibn Kullal dari bani Tsaqif yang diterima dengan penolakan sehingga pulang dalam keadaan tertekan jiwa penuh kekecewaan. “Aku, kata Rasulullah, tidak menyadari (perjalanan sedemikian jauh) kecuali setelah berada di qarn al-tsa'alib" Sengaja kami menyebutkan semua ini untuk menunjukkan bertapa penderitaan yang dialami Rasulullah dalam memperjuangkan dakwahnya dan pengaruh semua itu terhadap kondisi kesehatannya. Kondisi kesehatan yang kelak akan tampak di masa tua karena tubuh adalah 131 semacam 'argo'. Sedangkan kesibukan dan aktifitas-aktifitas berat serta penyakit-penyakit singkat dan yang tidak singkat menumpuk berakumulasi dalam tubuh yang dirasakan oleh seseorang setelah berlalu sekian tahun tanpa ada kesempatan istirahat. Seseorang tiba-tiba merasakan tekanan berat hari-hari tua sedang di dalam jiwa tertumpuk akumulasi bekas cobancobaan kehidupan. Kalau tidak, mengapa harus ada hari-hari tua di mana daya tahan tubuh semakin menurun? Sedangkan Rasulullah SAW seperti kita terdiri dari daging dan darah dan beliau tidak diciptakan dari besi. Para sejarawan Sirah, baik yang klasik maupun modern sering melupakan suatu kenyataan penting berkenaan dengan kembalinya Rasulullah dari Thaif. Yaitu bahwa tradisi yang berlaku dalam kehidupan bangsa Arab (jahiliyah) adalah kepala suku berhak menghapuskan perlindungannya kepada anggota sukunya jika suatu saat ia tidak menepati kewajiban suku. Abu Lahab yang telah menjadi pemimpin keluarga bani Abd Al-Mutthalib sepeninggal kematian Abu Thalib memandang bahwa ia tidak berkewajiban melindungi Muhammad selama masih tetap dalam pendiriannya melancarkan dakwah dan menantang Qureisy. Ia sudah pernah melakukan negosiasi dengan Rasulullah tapi beliau menyatakan tidak memerlukan perlindungan Abu Lahab bilamana pembatasan kegiatan dakwahnya yang menjadi taruhan. Maka ketika Rasulullah pergi menuju Thaif dengan harapan akan mendapatkan perlindungan kaumnya di luar Mekkah kesempatan menjadi besar terluang bagi Abu Lahab untuk memantapkan kekuasaannya kepada bani Abd Al-Mutthalib terlepas dari Rasulullah. Jika beliau pada saatnya ingin kembali ke Mekkah beliau harus dan mutlak meminta perlindungan salah seorang pembesar Mekkah lainnya. Hal ini telah diperhitungkan Rasulullah. Tahun-tahun yang dilaluinya semenjak pulang dari Thaif hingga hijrah ke Madinah bukanlah perihal gampang. Beliau bediri tegak menghadapi lawan-lawan dakwah dengan didampingi hanya segelintir sahabatnya karena yang lain umumnya sudah hijrah ke Al-Habasyah. Konsekwensi keterikatan Rasulullah kepada perlindungan yang diberikan oleh Al-Muth'am adalah beliau tidak boleh melakukan perbuatan yang dapat merusak nama baik pelindungnya. Maka selama Qureisy memerangi dakwah Muhammad dan selama beliau berada dalam perlindungan tersebut berarti beliau tidak dapat terus menerus menantang orang-orang Mekkah. Kemudian beliau sendiri sudah yakin bahwa upaya maksimal telah dilakukan untuk mengajak orang-orang Mekkah dan tidak menunjukkan adanya harapan karena mereka sudah merasa cukup dengan keyakinan bersama bahwa Muhammad adalah tukang sihir. Sepanjang persoalannya tiada lain kecuali sihir berarti apapun yang terjadi hanyalah berupa ilusi, bukan kenyataan yang ril, bukan pula kebenaran. Sihir ialah menjadikan mata melihat sesuatu yang tidak ril dan menjadikan telinga mendengarkan sesuatu yang bukan suara. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an S. Al-A'raf : 116 sehubungan dengan Musa dan Fir'aun berikut tukang-tukang sihirnya: "Musa menjawab: "Lemparkanlah (lebih dahulu)!" Maka tatkala mereka lemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut serta mereka mendatangkan sihir yang besar (mena'jubkan)". Maksudnya pengaruh sihir tidak menyentuh realitas, tidak menggantikannya tidak pula menciptakan dari tiada. Ia cuma menyulap mata dan telinga sehingga melihat dan mendengar sesuatu yang tidak ril. Tukang sihir dalam hal ini mampu melakukan hipnotis menjadikan seseorang melihat atau mendengar apa yang diinginkannya sementara semuanya hanyalah sekedar ilusi. Keyakinan seperti ini yang telah bercokol dalam jiwa orang-orang kafir di Mekkah dan amat berpengaruh dalam sikap keengganan mereka dan dalam gerakan menentang dakwah. setiap kali mendengarkan Al-Qur’an lalu merasa terkesan dan terpengaruh mereka tidak perduli 132 karena ini hanyalah ilusi akibat sihir Muhammad. Demikian itulah benteng pertahanan terakhir Qureisy yang nampaknya paling ampuh karena setelah itu hampir dikatakan bahwa laju perkembangan dakwah di Mekkah sudah berhenti sama sekali. Keputusan untuk menanamkan keyakinan bahwa yang dilakukan Muhammad hanyalah sihir semata adalah hasil pertemuan panjang kaum penentang di Mekkah yang rinciannya dimuat dalam buku-buku Sirah. Kemudian terjadi peristiwa isra'-mi'raj yang merupakan tanda dukungan Allah kepada Rasul-Nya dalam menjalani masa-masa berat dan semacam konpensasi atas tantangan dan kekufuran yang menghadangnya; seakan-akan Allah ingin mengatakan kepadanya bahwa jika mereka mendustakanmu, mengecewakan, memerangi dan tidak percaya kepadamu, Aku akan memperlihatkan bagaimana tingginya kedudukanmu di sisi-Ku dengan melakukan isra' dari Mekkah ke Bait Al-Maqdis untuk mengimami shalat para Nabi lalu mi'raj melintasi seluruh langit memasuki kerajaan-Ku dan semakin mendekat kepada-Ku hingga melihat cahaya-Ku. Dan demikianlah yang dirasakan oleh Muhammad setelah menjalani isra'-mi'raj; jiwanya bertambah kuat dengan keimanan semakin mendalam demikian juga keimanan para pemuka sahabatnya seperti Abu Bakar, Umar dan lain-lain sementara mereka yang tadinya hanya ikutikutan menilai isra'-mi'raj sebagai sesuatu yang tak mungkin terjadi. Tapi semua ini tidak menghalangi Rasulullah melanjutkan dan melancarkan dakwahnya walaupun membawa tekanan baru dalam jiwa. Jika dakwah kepada orang-orang Mekkah sudah tertutup harapan maka beliau mengarahkannya kepada orang-orang pendatang atau dengan ditemani Abu Bakar beliau mengunjungi perkampungan-perkampungan suku di sekitar kota Mekkah yang bagimanapun hasilnya adalah minim. Kondisi-kondisi yang memberatkan ini ditambah dengan urusan rumah tangganya yang membutuhkan pengasuh putri-putrinya semuanya tentu telah mempengaruh kondisi kesehatannya. Meskipun Umm Hani masih tetap membantunya namun ia belum memeluk Islam, kemudian beliau nikah dengan Saodah binti Zum'ah yang dapat melayani sekedar kemampuan karena ia sendiri tidak bebas penyakit akibat badannya yang gemuk. Tapi Rasulullah dapat menanggung semua beban ini dengan tabah, ikhlas dan penuh harapan bahkan beliau sudah mulai menjalin hubungan dengan orang-orang Yatsrib dari mana harapan akan keberhasilan nampak. Namun kondisi yang baru itupun menambah besar beban pikiran. Secara umum kenyataan-kenyataan tersebut tentu telah banyak mempengaruhi kondisi kesehatan Rasulullah. *** Setelah hijrah dan setibanya di Madinah pada tanggal 12 R.Awal 1H/24 September 622M mulailah suatu periode akselerasi42 pelaksanaan dan perealisasian apa yang telah dicanangkan Rasulullah selama masa-masa perjuangan pahit di Mekkah dalam suatu perencanaan menyeluruh dan terpadu untuk menyelesaikan misinya sesuai dengan petunjuk Allah. Perjuangan yang menguras energi Rasulullah selama masa akselerasi perealisasian misinya seperti yang telah kita ketahui tidak gampang menemukannya kecuali jika membaca buku-buku induk dengan penuh hati-hati dengan perenungan dan penghayatan. Kita sangat terpesona melihat keteraturan, kesuksesan dan kemenangan (di Madinah) tetapi jarang sekali kita memperhitungkan betapa besar pengorbanan kesehatan dan waktu istirahat yang harus dipertaruhkan oleh Rasulullah dalam mensukseskan setiap langkah pembinaan umat di Madinah. Kita misalnya membaca uraian mengenai kemenangan peperangan Badr tanpa memperhitungkan 42 Kelancaran 133 usaha-usaha berat baik pemikiran maupun tenaga yang telah dilakukan untuk mendukung kemenangan tersebut. Ironisnya ada saja sebagian orang yang menceritakan peristiwa perang Badr seakan persoalan gampang yang semestinya harus terjadi biarpun Muhammad sedang tidur! Bahkan Imam Al-Allamah Abd Al-Halim Mahmoud mengatakan tentang perang Badr bahwa Allah 'memanjakan' kaum muslimin. Referensi yang paling utama menurut kami adalah dua kitab shahih: Bukahri dan Muslim dan kitab al-rijal karya Al-Bukhari yang dengan tepat merinci banyak fakta yang tidak boleh diabaikan oleh setiap peneliti Sirah, kemudian menempati posisi berikutnya menurut hemat kami adalah musnad karya Imam Ibn Hanbal yang merupakan lautan permata intan memuat skala kebenaran tentang apa yang disabdakan dan dilakukan oleh Rasulullah menyangkut banyak hal. Rasulullah tiba di Madinah dan menetap di kediaman Abu Ayyub Khalid ibn Zaid Al-Anshari untuk beberapa hari. Beliau kemudian memulai akselerasi pekerjaan beruntun dan bertahap yang sudah direncanakan dengan rapih. Kita yang telah mengetahui watak orang-orang Arab dan prilaku mereka sepanjang sejarahnya segera melihat betapa tinggi kedudukan dan martabat Rasulullah karena beliau mampu dalam jangka 10 tahun hijriyah lebih beberapa bulan dan hari menggunakan dan membentuk mereka seperti yang telah kita ketahui semua; baik secara umum maupun rinciannya. Jika Al-Qur’an adalah mu'jizat Islam yang paling hebat maka Muhammad SAW tak pelak lagi adalah mu'jizat yang menempati posisi kedua. Bagaimanakah pendapat anda tentang seorang yang tiba di Madinah pada bulan Juni 622M dan wafat pada tanggal 8 Juni 632M sedangkan seluruh misinya telah rampung: menyampaikan risalah dan merealisasikannya, membangun umat Islam dan menjadikan semenanjung Arab seluruhnya sebagai basis kekuatan satu umat yang hidup dibawah bendera Islam yang telah dipersiapkan untuk menyebarkan Islam ke segala penjuru dunia? Pekerjaan yang dilakukan oleh Rasulullah secara beruntun tanpa istirahat dan dengan penuh vitalitas dalam suatu iklim geografis yang kejam dan di tengah-tengah masyarakat yang tiada berkumpul dua orang kecuali berselisih -dan demikianlah keadaan mereka yang kita saksikan hingga kini. Semua usaha tersebut tidak berhasil dengan sendirinya karena tiada satupun pekerjaan atau keberhasilan sekecil apapun dalam hal ini kecuali atas jasa Muhammad. Sepanjang periode tersebut -kurang dari 10 tahun menurut penanggalan masehi- Rasulullah memimpin dan atau merencanakan dan mengatur 82 peperangan atau ekspedisi militer selain kegiatan haji wada' yang pada dasarnya juga merupakan pekerjaan berat yang dilakukan oleh beliau sementara sudah mulai terlihat dalam dirinya suatu gejala penyakit. Ini berarti bahwa dalam setiap tahun terdapat 8 peperangan dan atau ekspedisi militer dengan rata-rata sekali dalam sebulan di mana semuanya disiapkan dengan penuh perhitungan dan berhasil sesuai dengan yang direncanakan. Dalam setiap kegiatan militer Rasulullah tidak pernah berdiam diri atau tidur enak di kediamannya. Justeru sebalikanya beliau ikut sibuk menyusun, mengatur, memonitor, memperhatikan para pejuang yang sedang bertugas berikut keluarganya yang ditinggal. Bahkan dalam ekspedisi-ekspedisi di mana para pejuang tersebut menemui ajalnya dan mati syahid seperti ‘detasmen’ bi'r ma'unah dan al-rujei' sebenarnya tidak ada yang berjalan tanpa perhitungan dan Rasulullah tidak membiarkan darah para syuhada mengalir begitu saja tanpa beliau menjadikannya sebagai pelajaran yang berguna bagi umat Islam. Beliau amat sedih dan sedemikian dalam duka-citanya atas kematian para pejuang pada peperangan bani Lihyan sehingga beliau memanjatkan do'a berikut ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Waqidi 134 yang menceritakan peristiwa peperangan yang terjadi pada bulan Rabiul Awal 6H./ Juli 627M:"Rasulullah amat sedih dan sedemikian dalam duka-citanya atas apa yang menimpa 'Ashim ibn Tsabit dan pasukannya (mereka adalah syuhada ‘detasmen’ al-rujei') sehingga beliau mengangkat senjata berikut 200 personil infantri dan 20 personil kavaleri... sebelum itu ketika mendapat berita jatuhnya para pasukan ‘detasmen’ (bi'r ma'unah) sebagai korban syuhada yang disebabkan oleh para pengkhianat dari penduduk Arab di Nejd, beliau memanjatkan do'a selepas shalat shubuh : "Ya Allah, jangan biarkan kaum Mudlor hidup tanpa merasakan beratnya azabMu, ya Allah ambil alihlah urusan bani Lihyan, Zighab, Ri'al, Dzikwan dan 'Ushayyah karena mereka mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, ya Allah ambil alihlah urusan bani Lihyan, 'Udhl dan Al-Qaarrah" (yang semuanya merupakan anak-anak cabang suku Qaes 'Aylan ibn Mudlor), "Ya Allah selamatkanlah Al-Walid ibn Al-Walid dan Salamah ibn Hisyam, 'Iyash ibn Rabi'ah dan orang-orang mu'min yang lemah; Ghiffar semoga Allah mengampuninya, selamatkanlah ya Allah mereka yang suka damai". Kemudian beliau sujud dan hal itu dilakukan selama 15 (malam), ada yang mengatakan 40 hari hingga turunnya ayat yang berbunyi: "Tidak mengapalah wahai Muhammad, (jangan terlalu memikirkannya) karena Allah yang akan menerima taubat atau menyiksa mereka lantaran mereka adalah orang-orang aniaya"43. Demikianlah watak orang yang amat cinta kasih kepada kaum muslimin, selalu memikirkan dan memperhatikan mereka. Pemusatan perhatian seperti ini akan membebani tubuh dan jantung serta membuatnya lelah. Bahkan simaklah apa yang dihikayatkan oleh Al-Waqidi mengenai peperangan al-ghabah yang terjadi pada bulan Rabiul Akhir 6H/Agustus 627M suatu peristiwa yang menggambarkan betapa perhatian Rasulullah selalu terpusat kepada umatnya dan keprihatinan beliau terhadap mereka satu per satu. Peristiwanya secara umum berupa pengejaran yang cukup melelahkan yang ditujukan kepada orang-orang Arab badui dari suku Ghathfan yang merampok pusat peternakan unta dan kuda serta gudang bait al-mal. Pada malam itu Abu Dzar mohon pamit kepada Rasulullah untuk menginap bersama keluarganya di sekitar peternakan tersebut sekaligus melakukan penjagaan. Maka Rasulullah bersabda kepadanya:"Aku mengkhawatirkanmu jika terjadi perampokan karena daerah itu belum aman dari kemungkinan serangan dari (gerombolan) 'Uyaenah ibn Hishn". Tapi Abu Dzar bersikeras sehingga Rasulullah lebih lanjut bersabda:"yang aku khawatirkan jika putra dan isterimu terbunuh sedangkan kamu hanya mengandalkan tongkat". Kiranya benar terjadi apa yang dikhawatirkan Rasulullah karena pada malam itu gerombolan 'Uyaenah ibn Hishn merampok peternakan dan isteri dan putra Abu Dzar pun korban. Di sini terlihat betapa perhatian Rasulullah tiada tara terhadap setiap orang. Kemudian beliau memanggil beberapa sahabat dan mengendarai kudanya berangkat mengejar para gerombolan. Operasi pengejaran berlanjut terus hingga sebagian dari barang-barang yang dirampok dapat diselamatkan. Salah seorang sahabatnya masih ingin melanjutkan pengejaran hingga semua unta dapat dikembalikan tetapi karena Rasulullah melihat sudah banyak yang lelah mengingat operasi tersebut berlangsung 5 malam dan beliau tidak ingin membebani mereka lebih berat maka beliau bersabda:"kiranya sudah cukup, apa yang mereka dapatkan dima'afkan saja; yang penting mereka akan 'kapok' melakukan perampokan lagi". Dan ternyata gerombolan tidak pernah melakukan perampokan lagi setelah itu. Ini menyangkut satu operasi kecil yang tidak diketahui rinciannya kecuali para penuls Sirah. Dapat dibayangkan bagaimana besarnya tenaga dan pikiran yang dicurahkan Rasulullah dalam 43 Q.S. Al Imran:128 135 merencanakan dan mengatur suatu peperangan besar seperti: Badr, Uhud, Khandaq, alHudeibiyah, Fath Mekkah, Hunein dan atau Thas, Tsaqief dan Tabuk? Apakah semua itu tidak menguras habis tenaga Rasulullah dan daya tahan tubuhnya? Meskipun demikian para pembaca tidak menemukan satu pun penulis Sirah yang menyinggung rasa lelah atau penyakit yang diderita oleh Rasulullah karena mereka beranggapan bahwa beliau diciptakan dari besi ! *** Berikut ini penulis ingin mengajak pembaca untuk ikut menyaksikan sebuah peperangan Rasulullah agar pembaca dapat menyimak betapa besar tenaga Rasulullah terkuras dalam satu peperangan. Dari peristiwa perang Khandaq hingga perang Khaebar di mana mulai disebutkan ada penyakit yang diderita oleh Rasulullah SAW. Adalah aliansi kelompok-kelompok Qureisy, ghathfan, asd, asyju', sulaim dan murrah membentuk barisan sekutu mengepung Madinah dan sedang mengancam di seberang Khandaq (galian) pada tanggal 8 Dzulqa'dah 5H/April 627M. Pengepungan berlangsung 15 hari, suatu peperangan berjarak jauh dan terpisah oleh galian-galian. Pasukan lawan terdiri dari 10.000 personil dan penduduk Madinah tidak memiliki pejuang sejumlah seperempatnya. Penduduk Madinah telah melakukan penggalian di salah satu penjuru perbatasan Madinah sementara sudut lain dijaga ketat kecuali satu sudut lagi dibiarkan tanpa galian dan penjagaan karena mereka menyangka bahwa orang-orang Yahudi dari bani qureidhzah yang bermukim di situ tidak akan berkhianat. Walaupun Rasulullah sudah dapat meramalkan pengkhianatan mereka, namun sebagaimana biasanya beliau selalu berdasarkan kepada sikap lahiriyah dan tidak pernah memulai dengan prasangka buruk, su' al-dzann. Beliau selalu berpikir positif. Tapi tentu dengan sikap kewaspadaan dan kehati-hatian. Semua ini adalah pelajaran baik dalam kehidupan politik dan suasana perang; sekiranya kaum muslim dapat menauladaninya pada diri Rasulullah niscaya mereka selalu memenangkan cobaan yang menimpanya seperti halnya Rasulullah menjadikan setiap tantangan dan cobaan sebagai jalan keberhasilan. Tapi kita membaca Sirah hanya sekedar 'iseng' dan tidak menjadikannya sebagai pedoman dan gaya hidup. Suatu hari penulis menyaksikan di desa kami seorang Imam mesjid membacakan khutbah Jum'at dengan fasih menguraikan Sirah dan amat berkesan bagaikan syair-syair membuai pendengarnya. Tapi segera setelah sembahyang usai tak seorangpun mendahului sang Imam tiba di kedai penjual daging. Beliau lalu meminta potongan besar dengan harga yang jauh lebih murah dari semestinya. Tidak puas dengan ‘penganiayaan’ itu ia meminta pula dan berserikeras mendapatkan sepotong gajih tanpa dibayar. Setelah itu kami menyaksikannya berbaring di pelataran rumahnya sesak nafas karena perut kepenuhan ibarat "kerbau di kubangan" sebagaimana kata pepatah. Penulis sejenak tertegun dan menganggukkan kepala lalu memandang ke arah sekitar kehidupan dengan kondisi yang menyedihkan maka penulis berkesimpulan "hmm.., tak mengherankan..". Penulis pernah membaca salah satu sabda Rasulullah SAW yang diucapkannya saat beliau cedera dan bercucuran darah, yang sebenarnya mempunyai kandungan makna yang sangat jauh ke depan. Beliau bersabda "Tiada satu kaum pun yang akan beruntung jika memperlakukan Nabinya seperti ini". Dalam hal ini Rasulullah benar dan dibenarkan. Simak berita-berita berikut ini yang menggambarkan betapa banyak tenaga Rasulullah terkuras selama hari-hari perang Khandaq yang dikutip oleh Al-Waqidi dari sejumlah sahabat yang rangkaian perawinya melacak kepada Abu Waqid Al-Laitsi, salah seorang sahabat yang 136 menyaksikan perang Khandaq. Ia berkata:"Kaum muslim kala itu berjumlah 3000 orang. Aku melihat Rasulullah ikut menggali lubang, kadang dengan linggis, kadang dengan cangkul; terkadang pula beliau mengangkut tanah galian; sungguh aku pernah menyaksikan beliau sedemikian lelah sehingga beliau meminggir dan duduk menyandarkan diri di batu di sebelah kirinya dan seketika saja pulas dalam tidurnya. Menyaksikan hal itu Abu Bakar dan Umar datang dan berdiri untuk memberitahu orang-orang agar jangan lewat di arah itu; aku sedang berdiri agak dekat, dan tiba-tiba beliau terbangun dan bersabda:"apakah kalian membangunkan aku?" Lalu beliau mengambil linggisnya dan mulai menggali lagi..." Baca pula berita hebat berikut ini yang diriwayatkan oleh Umm Salamah, ummul-mu'minin yang ikut mendampingi Rasulullah di pos komando (pertempuran) yang terpasang di arah utara gunung 'sala'. Umm Salamah berkata: "Sungguh di saat tengah malam aku menyaksikan Rasulullah sedang tertidur hingga terdengar seorang yang menyeru: ya khaelallah, (Rasulullah telah menetapkan bahwa kata sandi kaum muhajirin adalah ya khaelallah) maka Rasulullah terbangun dan keluar dari posnya menemukan beberapa sahabat yang sedang menjaga posnya dimana terdapat di antara mereka Abbad ibn Basyar. Rasulullah bertanya kepada Abbad: apa yang terjadi? jawab Abbad: Umar ibn Al-Khattab yang tiba giliran jaganya memperderngarkan suara ya khaelallah sehingga orang-orang menuju ke arah pos (penjagaannya) yang terletak di arah Huseikah, antara Dzubab dan mesjid al-Fath. Maka Rasulullah bersabda: wahai Abbad coba pergi lihat apa yang terjadi dan kembali beritakan padaku. Berkata Umm Salamah: aku berdiri di pintu pos mendengarkan pesan-pesan Rasulullah kepada Abbad. Berkata lagi (Umm Salamah): Rasulullah tetap bediri hingga Abbad datang melaporkan bahwa Amr ibn Abd bersama pasukannya dari kaum musyrikin didukung oleh pasukan Mas'ud ibn Dakhilah ibn Rabats ibn Ghathfan sedang menyerang barisan kaum muslim yang bertahan dengan melempar batu dan membidikkan panah. Berkata Umm Salamah: maka Rasulullah masuk (pos) memakai pakaian perang dan perisainya kemudian keluar mengendarai kudanya mengajak para sahabat ikut menuju ke tempat berkecamuknya pertempuran. Tidak berselang lama beliau dengan wajah gembira datang dan bergumam: mereka (lawan) telah terusir dan pasti banyak di antara mereka yang terluka. Lalu beliau tertidur lagi dengan pulas hingga terdengar lagi seruan. Beliau terbangun dan bertanya kepada Abbad: apa yang terjadi? jawab Abbad: ada pasukan Dhirar ibn Al-Khattab bersama kaum musyrikin didukung oleh pasukan 'Uyaenah ibn Hishn dari Ghathfan menyerang dari arah bukit bani 'Ubaid sedang kaum muslim bertahan dengan melempar batu dan membidik panah. Rasulullah bangkit, memasang pakaian perang dan mengendarai kudanya mengajak para sahabat ikut menuju ke tempat berkecamuknya pertempuran. Beliau pulang setelah waktu sahur dan bergumam: mereka pulang dengan terikat dan pasti banyak di antara mereka yang terluka. Kemudian beliau memimpin shalat subuh dan duduk istirahat. Berkata Umm Salamah: Aku telah banyak menyaksikan pertempuran sengit dan menakutkan: alMeresei', Khaebar, al-Hudeibiyah, Fath Makkah dan Hunein. Peperangan-peperangan tersebut tidak lebih melelahkan Rasulullah dari perang Khandaq karena kaum muslim dalam kondisi genting sedangkan bani qureidhzah tidak dapat dipercaya. Madinah dijaga ketat, dari sana sini terdengar takbiran kaum muslim sepanjang malam hingga perang usai dan mereka (lawan) pergi tanpa merugikan kaum muslimin; dan sesungguhnya Allah yang menentukan kapan perang berakhir". Simak pula berita berikut ini yang diriwayatkan oleh Aisyah agar dapat mengetahui sebesar apa beban yang ditanggung oleh Rasulullah pada perang Khandaq. Berkata Aisyah, ummulmu'minin: Aku mencatat suatu pengalaman dari Sa'd ibn Abi Waqqash pada suatu malam sedang kita berada di Khandaq yang hingga kini masih dan akan tetap kusukai. Pada suatu malam 137 (giliran) Rasulullah menjaga galian tsalamah; bilamana beliau tak tertahankan udara dingin beliau datang kepadaku dan aku menghangatkan badannya dalam pelukanku; jika sudah merasa hangat pergi lagi ke pos penjagaannya sembari bersabda: aku tidak mengkhawatirkan pos-pos penjagaan (yang dapat ditembus oleh lawan) kecuali yang satu ini.. tatkala beliau dalam pangkuanku dan badannya sudah menghangat beliau bersabda: "seandainya saja ada orang shaleh yang dapat menggantiku sejenak". Tak lama berselang aku mendengar suara desikan besi dan senjata maka Rasulullah bertanya: siapa ini? yang ditanya menjawab: Aku Sa'd ibn Abi Waqqash; Rasulullah bersabda kepadanya: kamu yang menjaga tsalamah. Berkata Aisyah: kemudian Rasulullah pun tertidur pulas". Sepanjang hari-hari pengepungan menunjukkan betapa besar beban yang ditanggung oleh Rasulullah dan sedemikian sibuknya. Perang Khandaq terjadi pada bulan April 627M dimana angin musim dingin bertiup keras menambah beratnya beban pertempuran dan penjagaan. Usia Rasulullah kala itu 57 tahun dan masih terlihat gesit sebagai seorang pejuang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan melakukan penjagaan. Baru saja tertidur, kemudian terbangun lagi dan melanjutkan tugas-tugasnya hingga beliau merasa lelah dan berusaha mengatasi kelelahannya hingga tak tertahankan lagi maka istirahat sejenak tetapi segera bangkit begitu mendengar seruan. Para penulis Sirah tidak pernah menyinggung rasa sakit yang dialami Rasulullah atau rasa lelah karena mereka beranggapan bahwa beliau diciptakan dari besi. Padahal beliau adalah tubuh dari daging dan darah dan semua pekerjaan berat tersebut tentu menguras tenaga dan daya tahan tubuh. Seperti yang selalu kita katakan tubuh adalah semacam 'argo' dan kesehatan adalah suatu 'tabungan' dari Allah yang kita belanjakan, kadangkala yang sudah terbelanjakan dapat diganti dengan istirahat tetapi jika tiada istirahat jangan harap akan terganti. Penulis tidak ingin meninggalkan pembicaraan mengenai perang Khandaq sebelum menyerukan kepada para pemimpin kaum muslim: Demikianlah kiranya tanggung jawab memimpin umat dalam memperjuangkan Islam, bukan dengan enak tidur di istana sedang bala tentara di front pertempuran, kemudian bangun pada esok harinya mendapatkan lawan sudah memporak porandakan pasukan dan melumpuhkan angkatan udara. (kritik terhadap sikap Presiden Gamal Abdel Nashir pada perang Mesir-Israil 1967). Ini demi Allah bukan iman, bukan kebangsaan bukan juga Islam. Di sini juga penulis harus mengatakan "hmm.., tak mengherankan.." Pindah kepada perang Khaebar dimana kita dapat menyaksikan gejala adanya penyakit yang diidap Rasulullah. Peristiwanya terjadi pada pertengahan pertama bulan Muharram 7H/ Mei-Juni 628M sementara usia Rasulullah sudah mencapai 58 tahun, yang menurut perhitungan kala itu merupakan usia yang sudah tua sekali karena orang mengatakan "sudah cukup sepuh dan tinggal menunggu tanggal perginya". Tapi Rasulullah memiliki suatu keistimewaan yang sebenarnya merupakan anugerah besar dan sangat membantu seseorang yang memilikinya untuk lebih kuat menanggung tekanan-tekanan kehidupan. Yaitu bahwa beliau memiliki 'tubuh yang penurut', begitu merebahkan badan hendak tidur dalam beberapa detik sudah pulas. Apa yang disebutkan sebagai kamar-kamar beliau di mesjid sebenarnya bukanlah kamar karena pemisah hanyalah berupa kain sehingga suara hiruk pikuk orang-orang yang lalu lalang tetap terdengar namun Rasulullah dapat tidur dengan pulas kapan saja beliau hendak tidur. Beliau bersembahyang hingga menjelang fajar kemudian tidur sejenak, bangun setelah fajar menyingsing membaca Al-Qur’an di waktu fajar. Kepatuhan tubuh 138 seperti itu adalah suatu keistimewaan yang tidak dihargai kecuali oleh orang yang tak memilikinya. Tanpa bermaksud memperbandingkan, dikatakan bahwa Napoleon termasuk tokoh yang memiliki keistimewaan ini. Ia mengatur barisan pasukannya, menggariskan rencana perang dan memberikan pengarahannya kepada para komandan perang lalu ia merebahkan badan dan pulas. Ia akan terbangun beberapa saat sebelum perang dimulai. Ia pernah berkata: "aku memenangkan seluruh peperanganku dalam keadaan tidur". Maksudnya ia dapat menikmati tidur nya beberapa saat sebelum perang sehingga dengan segar dan penuh kesadaran dapat memimpin pertempuran sementara lawannya sudah lelah terlebih dahulu karena terlalu banyak pikiran dan tidak tidur. Termasuk memiliki keistimewaan tersebut juga Winston Charchel. Ia datang menghadiri sidang dewan angkatan perang kemudian menggarut matanya dan pamit kepada para sahabatnya dan terkantuk sementara mereka sedang berdiskusi. Dalam keadaan kecamuk perang sekalipun ia dapat tertidur pulas dan nyenyak lalu terbangun setelah beberapa saat. Ciri khusus bagi keistimewaan tersebut adalah bahwa yang memilikinya akan tetap giat dan gesit hingga begitu tertimpa penyakit dan berakhir secara drastis. Napoleon meninggal dalam usia 55 tahun. Charchel seusai perang, setelah menyempurnakan otobiografinya sejenak berjalan-jalan di tengah derasnya hujan serta merta saja jatuh terkulai dan tak dapat ditolong lagi. Keistimewaan lain dalam tubuh yang penurut, disamping kondisi fisik yang selalu prima, juga tidak mengalami gangguan pencernaan. Maka lumrah jika Rasulullah tak terpengaruh bilamana makan sampai sekenyang-kenyangnya. Pada peperangan al-ghabah sahabat menangkap zebra. Rasulullah memakan satu kaki depan seluruhnya -daging zebra halal dimakan, yang haram daging keledai-. Cuma saja beliau menyantap apa adanya; jika yang tersedia hanya cuka dan minyak beliau makan, jika ada tersedia daging beliau makan. Selera makan beliau tidak memilih jenis tertentu. Tidak seperti yang digambarkan oleh sebagian kaum sufi. Tidak pula seperti yang digambarkan oleh Al-Qadli 'Iyadl misalnya, beliau kembali ke pangkuan ilahi sedang beliau tidak pernah kenyang dari sepotong roti sekalipun. Semua itu bertentangan dengan watak Rasulullah yang lemah lembut dan jujur dalam bersikap tidak dibuat-buat. Lalu mengapa beliau tidak makan sekenyangnya dari sepotong roti? Hikmah dan keutamaan apakah gerangan di balik itu, selama sepotong roti tersedia bagi sahabatnya yang paling miskin sekalipun? Temasuk ciri khusus keistimewaan tersebut adalah bahwa seluruh organ tubuh bekerja dengan lancar tanpa mengalami gangguan. Dalam berbagai riwayat diinformasikan bahwa jika hendak melepas hajat beliau pergi jauh dari pemukiman orang-orang hingga rumah-rumah mereka terlihat samar lalu beliau melepas hajat tanpa susah payah. Oleh karena itu beliau tidak pernah mengeluh dari gangguan pencernaan, perut, lambung, jantung dan ginjal yang semuanya masih merupakan penyakit-penyakit yang mengancam di hari-hari tua. Setelah perang Khandaq usai beliau mulai lagi kegiatan rutinnya. Barangkali Rasulullah satusatunya dalam sejarah yang memperlihatkna vitalitas sedemikian rupa padahal usianya semakin tua. Perang al-hudabiyyah pecah pada bulan Dzulqa'dah 6H. dan operasi penaklukan Mekkah terjadi pada bulan Ramadlan 8H. Selama masa yang relatif pendek tersebut Muhammad SAW merealisasikan berbagai kegiatan besar yang spektakuler yang sekiranya tidak nyata sangatlah sulit untuk dipercaya. Beliau telah meratakan jalan bagi tersebarnya Islam di bagian utara semenanjung Arab dan tengahnya; beliau menaklukkan Khaebar yang merupakan penghalang utama bagi Islam menyebar dari Mekkah (ke utara). Pada waktu yang sama beliau telah mengakhiri ancaman 139 gerombolan Arab badui yang selama ini melelahkan Madinah yaitu gerombolan Ghathfan dan Asd yang terkenal kejam dan pengkhianat dengan menumpas markas pertahanannya di antara dua bukit Aja' dan Salma yang terletak di sekitar jalur niaga Mekkah-Yordania-Balqa. Menyusul setelah itu takluknya wilayah Fadk secara damai yang merupakan oase luas yang terletak pada jalur menuju Iraq. Kemudian Rasulullah mengutus ekspedisi Umar ibn Al-Khattab ke turabah di arah selatan Mekkah dan Thaif sementara mengutus ekspedisi Abu Bakar ke Nejd untuk mengakhiri perlawanan bani Murrah. Segera setelah itu semua rampung beliau memulai langkahnya yang paling hebat dalam rangka menguatkan misi dakwah Islam yang universal. Beliau mengirim surat kepada para raja dan penguasa kafir dan Kristen yang berada di sekitar negeri-negeri Arab. Menyusul kemudian pelaksanaan lebih dari tujuh peperangan dan atau operasi sariyah yang seluruhnya direalisasikan dengan penuh perencanaan dan berhasil dengan sukses, hingga jika nantinya Mekkah takluk maka tiada lagi yang dapat menghalangi tercapainya kemenangan mutlak dan keberhasilan misi. Semua itu dilakukan oleh Rasulullah sendiri. Adalah benar bahwa di sekitarnya terdapat tokohtokoh berketrampilan tinggi berkat rekrutmen beliau berdasarkan Al-Qur’an dan ketauladanan dan menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dunia sepeninggalnya antara lain Abu Bakar, Umar, Abu 'Ubaidah, Ali, Sa'd ibn Abi Waqqash, Muhammad ibn Muslimah, Usaid ibn AlHudheir, Abbad ibn Basyar dan Al-Hubab ibn Al-Mundzir Al-Jumuh. Namun beliaulah sebagai otak pemikir dan spirit serta semangatnya yang berdasarkan keimanan dan kearifannya mencanangkan perencanaan dan kebijakan yang tak mengenal kegagalan. Apakah semua itu berhasil tanpa usaha berat dan kerja keras yang membebani dirinya dengan beban yang melebihi kemampuan manusia biasa? Mari bersama-sama menghitung kegiatan sehari-hari Rasulullah untuk memperoleh gambaran final mengenai tenaga yang terkuras habis mengurus kepentingan umat dalam hal-hal ibadah, kepemimpinan, kepeloporan, pemikiran dan perencanaan. Beliau (setiap harinya) tidak akan selesai mengurus kepentingan orang per orang dan jama'ah sebelum shalat 'isya. Beliau kemudian masuk ke kamar-kamarnya sesuai dengan jadwal isteri-isterinya yang mendapat giliran. Beliau adalah suami yang paling sayang kepada isterinya, suka mendengarkan ceritaceritanya, menjalin hubungan yang paling mesra dan kasih sayang sepenuh hati; barangkali dengan kemesraan dan kasih sayang suami isteri tersebut beliau terhibur dan meringankan beban kegiatan di luar rumah. Kemudian setelah itu beliau membiarkan isterinya tertidur pulas baru memulai ibadahnya hingga larut malam. Hanya beberapa jam, tidak lebih dari empat jam beliau tidur lalu bangun berwudlu' atau mandi dan membaca Al-Qur’an di waktu fajar. Bila suara adzan Bilal terdengar beliau keluar dari kamarnya untuk memimpin shalat. Para sahabat pada umumnya kembali ke rumah masing-masing setelah shalat subuh, sedangkan beliau tetap di tempat meluruskan badan memikirkan perihal agama dan dunia. Pada saat matahari terbit ummul-mu'minin Maemunah binti Al-Harits segera muncul membawa air susu segar yang baru diperah dan meletakkannya di samping beliau. Terkadang beliau belum menyantap apa-apa tibatiba Umar atau Abu Bakar lewat dan beliau bangkit untuk memulai aktifitas keseharian. Ketika Maemunah mengingatkan Rasulullah belum meminum susunya tiba-tiba terdengar tangisan anak kecil ditinggal ayahnya. Maka Rasulullah mendatangi dan memberinya susu yang ada di tangannya. Beliau membasuh mulut anak kecil itu dengan ujung jubahnya. Sang anak kemudian tersenyum tanda terima kasih yang dibalasnya dengan senyuman pula. 140 Demi menyaksikan pemandangan itu Umm Sa’d ibn 'Ubadah, ibunda sang bocah yang sangat dermawan cepat-cepat menggantinya dengan susu lain dan bersikeras agar Rasulullah meminumnya, lantas beliau meminum sedikit sembari mendo’akan keluarga Sa’d ibn ‘Ubadah. Setelah itu tugas-tugas kenabian dan urusan jamaah serta ibadah setiap hari berjalan seperti biasa. Beliau tidak kembali ke majlis di mesjid kecuali setelah shalat isya’. Kiranya beliau tidak istirahat dalam sehari semalam kecuali tiga atau empat jam. Dikatakan terkadang beliau mendapatkan kesempatan untuk tidur beberapa saat setelah dhzuhur tapi bagaimanapun saat-saat istirahat tersebut seluruhnya tidak akan lebih dari empat jam. Dapat dibayangkan keadaannya jika aktifitas seperti ini berlangsung sejak beliau menerima wahyu pertama hingga akhir hayatnya. Pertanyaannya, terutama kepada para dokter, apakah kegiatan dan aktifitas yang padat dan memberatkan seperti semua ini, padahal waktu istirahat sedikit sekali, tidak menjadikan besi aus apalagi Muhammad SAW yang tidak diciptakan dari besi? *** Agak mundur sedikit ke peristiwa perang Khaebar yang pada saat itu usia Rasulullah sudah menginjak 58 tahun sedangkan peperangan tersebut bukanlah peperangan gampang. Khaebar adalah wilayah semenanjung bagian utara yang paling kaya dengan tanah pertanian yang subur dan peternakan dimana terdapat pusat-pusat perniagaan yang kaya pula. Para penduduknya mampu menurunkan 10.000 pejuang ditambah ribuan personil pasukan gerombolan Ghathfan yang bersekutu dengan mereka. Pertempuran sedemikian sengitnya sehingga salah satu anak panah sampai mengenai pakaian Rasulullah memaksa beliau memindahkan pos komandonya berkali-kali. Pertempuran berlangsung lebih dari 20 hari dan usai setelah pertahanan akhir Khaebar takluk dan rela menerima hukum Allah. Kala itu, pada hari keempat atau kelima 'sakit kepala dan rasa pening' kambuh seketika. Sedemikian berat sakit yang dirasakannya sehingga Rasulullah tidak dapat keluar bertempur. Informasinya tidak didapatkan pada Ibn Ishaq atau Musa ibn 'Uqbah atau pada siapapun penulispenulis yang kita andalkan. Riwayatnya diberitakan oleh Abu Al-Hasan Al-Baihaqi dalam karyanya dalail al-nubuwwah berdasarkan riwayat dari Yunus ibn Bakier dari Al-Musayyab ibn Muslimah Al-Azdi dari Bureidah dari ayahnya berkata: "Rasulullah SAW merasakan sakit kepala dan pening memaksa beliau tidak keluar selama satu hingga dua hari. Tatkala perang Khaebar sedang berkecamuk penyakit tersebut kambuh lagi menyebabkan beliau tidak ikut bertempur sehingga meminta Abu Bakar untuk memakai pakaian perangnya lalu memasuki medan laga kemudian saat kembali oleh Rasulullah diberikan kepada Umar dan memasuki medan pertempuran yang lebih sengit lagi kemudian sekembalinya Rasulullah SAW bersabda: "Besok akan kuberikan kepada orang yang lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya yang juga Allah dan Rasul-Nya pun cinta kepadanya; kepada siapa yang akan meletakkan batas akhir peperangan ini. Esok harinya beliau memberikannya kepada Ali ibn Abi Thalib dan Khaebar pun takluk". 4. BETAPA KERAS SAKITMU WAHAI RASULULLAH Sebagian sejarawan klasik berpendapat bahwa racun yang dipasang oleh seorang wanita Yahudi dari Khaebar pada makanan Rasulullah SAW seusai perang Khaebar telah berpengaruh pada kesehatannya dan menyebabkan beliau wafat. Perang Khaebar terjadi pada bulan Shafar 7H sedangkan Rasulullah jatuh sakit dan wafat pada hari-hari akhir bulan Shafar dan awal bulan Rabiul Awal 11H. Adalah logis jika racun tersebut melemahkan daya tahan tubuh dan menjadikan mudah terjangkit penyakit. Tapi gejala-gejala penyakit yang diderita Rasulullah 141 tidak ada yang berindikasi pengaruh racun. Namun Rasulullah sendiri menyinggung adanya hubungan antara usaha percobaan meracun beliau dengan penyakit yang diidapnya. Penyakit yang menyebabkan wafatnya. Agar persoalannya menjadi lebih jelas kami akan memaparkan dengan singkat peristiwa percobaan meracun Rasululah dari riwayat versi al-maghazi karya Muhammad ibn Umar AlWaqidi, meski menurut ulama hadis belakangan, al-Waqidi adalah yang ‘tertuduh’, barangkali karena ia tidak mengikuti cara dan pendekatan yang dianut mereka dalam meriwayatkan suatu berita. Agak berbeda memang dengan pendekatan ilmu hadis dan hal ini tidak menyenangkan bagi ulama hadis. Untuk itu Ibn Katsier berkata: “al-Waqidi memuat berita-berita tentang wafatnya Rasulullah secara berlebihan dan sarat dengan informasi yang cukup aneh. Kelemahannya terdapat pada komposisi sanad yang lemah, teks yang tidak akurat terutama menyangkut berita-berita yang diceritakan oleh para ‘tukang hikayat’ masa belakangan. Riwayat-riwayat tersebut umumnya palsu tentunya, sedangkan dalam hadis-hadis shahih dan hasan yang termuat dalam kitab-kitab hadis populer sudah tersedia. Dengan demikian, tidak perlu memperhatikan ‘omong kosong’ dan berita-berita yang tidak diketahui sanadnya.” Mengenai hadis racun, para perawi yang diandalkan mengatakan bahwa setelah Rasulullah SAW menduduki dan menguasai Khaebar seorang wanita bernama Zainab binti Al-Harits ibn Abi AlHaqiq dengan penuh dengki berencana meracun Rasulullah. Pertama-tama ia mencari tahu bagian manakah dari daging kambing yang paling disukai oleh Muhammad? Mereka menjawab: kaki depan dan bahunya. Maka ia pun menangkap seekor kambing piaraannya dan memotongnya lalu ia minta tolong kepada orang-orang Yahudi untuk menunjukkan racun yang paling ampuh. Merekapun memberi kan kepadanya kemudian ia memasangnya pada kambing (yang sudah terpotong) dengan memperbanyak pada bagian kaki depan dan bahu. Kemudian ia datang dan menunggu Rasulullah di tempat peristirahatan beliau selepas shalat Maghrib. Dengan alasan memberi hadiah kepada Rasulullah ia menyerahkan kambing yang sudah siap dihidangkan. Rasulullah kemudian mengajak para sahabat untuk santap malam. Adalah Basyar ibn Al-Barra yang pertama kali menerima bagian pemberian Rasulullah. Tiba-tiba tangan Rasulullah bergetar dan seketika beliau bersabda: tunggu, jangan ada yang meneruskan karena kaki depan ini memberitahu aku ia beracun. Basyar pun berkata: sungguh aku merasakannya wahai Rasulullah namun aku tidak memuntahkan karena tidak mau baginda merasa jijik. Sekonyong-konyong sekujur tubuh Basyar menjadi kaku. Akibatnya ia pun lumpuh selama setahun dan meninggal. Riwayat lain mengatakan ia meninggal seketika di tempat sedangkan Rasulullah hidup sesudahnya selama tiga tahun. Diketahui setelah Rasulullah memanggil Zainab dan memintai klarifikasi apakah betul ia memasang racun, bahwa ia mencoba meracun Rasulullah atas dua alasan; pertama, karena dendam atas kematian ayah, paman, dan suaminya; kedua, untuk memastikan jika Muhammad betul-betul nabi maka kambing itu sendiri yang akan memberitahunya; dan jika ia berambisi kerajaan maka dengan memakan racun ‘orang-orang akan terbebas dari kekuasaannya’. Terdapat perbedaan riwayat apakah petunjuk Rasulullah mengenai Zainab dibunuh dan disalib atau dimaafkan.” Diriwayatkan bahwa ibunda Basyar ibn Al-Barra datang menjenguk Rasulullah saat beliau sedang sakit keras. Ia mengusap badan beliau yang sedang panas demam, lalu berkata: "belum pernah aku melihat seorangpun yang menderita penyakit sekeras ini". Rasulullah bersabda: "sebagaimana pahala dilipat-gandakan untuk kami (para nabi) juga cobaan lebih berat". Lebih lanjut Rasulullah menceritakan kepada ibunda Basyar bahwa mereka, para sahabat beranggapan ini adalah penyakit dzat al-janb, tapi anggapan tersebut hanyalah bisikan setan, yang benar -kata 142 Rasulullah- “adalah pengaruh racun yang telah aku makan bersama putramu di Khaebar yang sering aku rasakan kambuh (selama ini) dan nampaknya kali yang terakhir ini akan mengakhiri abhurku". Menurut pendapat yang lebih mendekati kebenaran kata abhur berarti batalion dan penyakit dzat al-janb adalah usus buntu. (kita akan bicarakan lebih lanjut). *** Rasulullah terserang penyakit keras pada saat kondisi umat sedang menghadapi ancaman berat. Beliau baru saja selesai menyiapkan pasukan Usamah ibn Zaid ibn Haritsah untuk diutus ke Syam mengajak orang-orang Arab Kristen dan Romawi yang berada di bagian selatan Syam memeluk Islam atau menyetujui perjanjian perdamaian. Mereka yang dahulu mengalahkan pasukan kaum muslim dalam pertempuran mu'tah di mana Zaid ibn Haritsah, Ja'far ibn Abu Thalib dan Abdullah ibn Rawahah tewas mati syahid. Kemudian disusul lagi munculnya gerakan-gerakan murtad dan para nabi-nabi palsu. Sungguh aneh orang-orang Arab ini! Tiada Allah menganugerahkan kepada mereka suatu nikmat kecuali dirusaknya. Kebangkitan risalah Muhammad adalah tanda kasih sayang Allah yang pertama kali amat sulit diterima oleh orang-orang kafir Mekkah, dan baru saja gerakan pengingkaran mereka dipadamkan dan mendapat bimbingan masuk kedalam jalan yang benar lantas muncul di tengah-tengah mereka seorang yang bernama 'Abhalah Al-Yamani dan bergelar Al-Aswad Al-'Ansi yang menganggap dirinya nabi, mendapat wahyu, diikuti dan dipercayai oleh orang-orang Yaman yang subversif. Disusul pula anggapan Musailamah ibn Habib dari bani Hanifah di Tamim dalam wilayah Al-Yamamah bahwa dirinya seorang nabi, diikuti dan dipercayai pula oleh banyak kaumnya. Yang lebih berbahaya lagi adalah gerakan Thulaihah ibn Khuwailid Al-Asdi yang meproklamirkan kepada kaumnya bani Asd dan Wathi' yang menghuni pesisir barat Nejd klaim dirinya sebagai nabi dan mengutus salah seorang saudaranya menemui Rasulullah untuk berdamai. Ia mengklaim dirinya didatangi utusan dari Allah bernama dzan-nun. Kaum bani Asd dan Wathi' tersebut memiliki sejarah kekufuran yang amat panjang, dan kelak akan memperlihatkan perjuangan besar demi Islam. Salah seorang pemimpin mereka yang sudah memeluk Islam bernama Asd ibn Dhirar ibn Al-Azwar mengajak pengikutnya untuk memerangi Thulaihah tapi ternyata kalah, dan semakin bertambah yakinlah pengikut nabi palsu tersebut akan kemu'jizatan Thulaihah. Tatkala beritanya sampai kepada Rasulullah beliau bersabda: “Semoga Allah memerangimu dan mengharamkan bagimu surga-Nya”. Gerakan-gerakan tersebut telah mengakibatkan tersebarnya fitnah dan kekacauan hingga salah seorang wanita dari bani Tamim bernama Saja' yang hidup di tengah-tengah keluarga bani Taghlab di bagain barat daya Iraq menganggap dirinya juga sebagai nabi. Gerakan-gerakan itu muncul pada saat Rasulullah sedang sakit keras. Abu Bakar kelak akan berhasil memadamkannya dan mengembalikan kesesatan orang-orang Arab ke jalur petunjuk. Bagaimanapun, perhatian Rasulullah tidak begitu tertuju kepada gerakan orang-orang Arab kerdil tersebut melebihi perhatiannya kepada bangsa Arab-Romawi dan kekalahan kaum muslim pada pertempuran mu'tah. Beliau berbaring sakit sedang bersikeras agar ekspedisi Usama tetap terlaksana. *** Keseluruhan riwayat sepakat bahwa penyakit yang diderita Rasulullah adalah satu bagian dalam kehidupan beliau yang pada dasarnya, menurut hemat kami termasuk mu'jizatnya. Hal ini didasarkan pada frekwensi kunjunganya yang intensif ke baqie', makam para sahabat dan 143 syuhada termasuk Usman ibn Madz'un. Seringkali Rasulullah datang ke baqie' memohonkan ampun bagi para ahli kubur beberapa saat di malam hari kemudian kembali ke rumahnya. Tahun itu, yaitu sepulang dari menunaikan haji wada' pada bulan dzulhijjah 11 H/Maret 632M beliau terlihat cukup lelah. Kondisi kesehatannya juga sudah tampak menurun sebelum itu, pada saat beliau melaksanakan haji saat beliau tawaf mengendarai unta. Kemudian pada khutbah wada' beliau mengisyaratkan ajal yang akan menjemputnya dalam waktu dekat. Informasi yang disampaikan oleh Saif ibn Amr yang dimuat oleh Al-Thabari -dan kami cukup hati-hati menerima riwayat yang bersumber dari Saif- menyampaikan bahwa Abu Muwaihibah, pelayan Rasulullah berkata:"Sepulang Rasulullah dari haji wada' di mana tersebar berita bahwa beliau amat lelah dan tawaf dengan mengendarai untanya muncul gerakan Al-Aswad di Yaman dan Musailamah di Al-Yamamah yang beritanya sampai kepada Rasulullah. Lalu muncul pula gerakan Thulaihah di negeri bani Asd setelah Rasulullah sehat kembali dan pada bulan Muharram penyakitnya kambuh lagi hingga beliau wafat" (Al-Thabari, vol. 3/147). Menurut riwayat yang lebih populer Rasulullah mengeluh sakit dan tak dapat bangkit lagi pada hari-hari akhir bulan Shafar 11H. yang menunjukkan bahwa seakan-akan gejala-gejala penyakitnya telah nampak pada saat melakukan haji wada'. Sepulangnya dari haji, gejala tersebut semakin nyata. Beban pikiran beliau bertambah berat dengan munculnya gerakan-gerakan nabi palsu sehingga beliau tak mampu lagi bangkit dari tempat tidur sejak itu. Agak sulit melakukan rekonstruksi peristiwa yang berkaitan dengan masalah ini. Catatan sejarah, seperti biasanya memberikan data-data terpisah tanpa memperhatikan kronologis kejadian. Khusus mengenai penyakit yang menimpa Rasulullah seseorang hampir tidak mampu mengidentifikasi perkembangannya. Penulis ingin mencoba berikut ini melakukan rekonstruksi perkembangan penyakit Rasulullah sesuai dengan gejala-gejala dan indikasinya. Sementara itu dipersilahkan kepada para pembaca yang budiman, terutama dari kalangan kedokteran untuk diagnosa lebih lanjut karena latar belakang uraian ini hanya berdasar kepada percakapan singkat bersama dokter ahli Dr. Muhsthofa Al-Diwani -semoga panjang umur dan tetap memberikan darma baktinya. Penulis menghaturkan terima kasih atas pendapatnya yang amat berguna. Para perawi kita sepakat bahwa pertama kali Rasulullah terjangkit penyakit pada saat beliau berkunjung ke baqie' pada saat larut malam. Menurut hemat kami hal itu justru gejala kerasnya sakit yang mulai dirasakan Rasulullah. Beliau dengan daya intuisinya yang tajam telah merasakan hal itu karena ungkapan-ungkapannya di hadapan para ahli kubur di baqie' merupakan sepotong benda sejarah yang abadi. Kita telah menyinggung munculnya gerakan-gerakan nabi palsu dan gejala-gejala fitnah yang mengancam akan meruntuhkan sendi-sendi kemajuan yang telah dicapai selama ini. Simak pernyataan berikut ini: "Damai dan sejahteralah para ahli kubur. Adalah beban kalian jauh lebih ringan dibandingkan dengan keadaan orang-orang (hidup); fitnah sedang mengancam bagaikan malam gelap gulita akan beruntun datang yang esok harinya lebih buruk dari hari sebelumnya". Menurut sejarawan Islam tradisional, yang dimaksudkan Rasulullah dalam pernyataan itu untuk menggambarkan pri-keadaan umat Islam setelah berabad-abad. Kaum sufi yang dipimpin muhy al-din, Ibn Arabi berpendapat bahwa yang dimaksud adalah gejala hari kiamat yang semakin mendekat. Pandangan kami justru mengacu kepada munculnya gerakan-gerakan nabi palsu dan ancaman fitnah itu Abu Muwaihibah, pelayan Rasulullah yang menemani beliau ke baqaie' pada saat larut malam di akhir bulan Shafar tersebut, yang tentunya sedang malam gelap gulita karena akhir bulan, lebih 144 lanjut mengisahkan bahwa Rasulullah bersabda (kepadanya): "wahai Abu Muwaihibah aku telah dipersilahkan untuk menentukan satu di antara dua pilihan; apakah kekayaan dan keabadian dunia berikut surga, atau menemui Tuhanku berikut surga; Abu Muwaihibah menyela: demi ayah-bundaku, demi baginda, pilihlah kekayaan dan keabadian dunia berikut surga, beliau bersabda: "Demi Allah tidak, wahai Abu Muwaihibah aku telah memilih untuk menemui Tuhanku berikut surga. Lalu Rasulullah memohonkan ampun kepada para ahli kubur baqie' dan beranjak pergi sedang beliau menahan rasa sakit". Imam Bukhari mengutip riwayat Abu Bakar ibn 'Iyasy dari Abu Hureirah bahwa Rasulullah selalu i'tikaf selama 10 hari setiap bulan. Pada tahun wafatnya beliau i'tikaf selama 20 hari setiap bulan. Al-Qur’an dibacakan kepada beliau sekali dalam setiap bulan puasa. Pada tahun wafatnya Al-Qur’an dibacakan kepada beliau dua kali dalam bulan puasa. Selanjutnya, para perawi menyepakati hadis riwayat Aisyah, yang berdasarkan isnadnya diriwayatkan oleh Al-Zuhri kepada Ibn Ishaq yang mengisahkan bahwa pada pagi hari itu, sekembalinya dari tempat Maemunah binti al-Haritsah Rasulullah mengeluhkan sakit kepala. Sejak di tempat Maemunah beliau bangkit dari tempat tidur dan kelihatan membungkuk menahan sakit, bahkan pada saat beliau sedang berjalan menuju tempat Aisyah. Maemunah adalah isteri terakhir Rasulullah yang dinikahi pada saat 'Umroh seusai perang al-Hudeibiyyah. Oleh karena itu kita tidak dapat memastikan apakah tempatnya termasuk dalam deretan kamar isteri-isteri sebelumnya seperti Aisyah, Umm Salamah dan Hafshah atau di tempat lain terdekat. Tapi yang jelas berdekatan dengan kediaman saudarinya Asma binti 'Umeis, janda mendiang Ja'far ibn Abu Thalib yang tewas mati syahid dalam perang mu'tah. Rasulullah, dari tempat Maemunah merasa masih mampu berjalan menuju kamar Aisyah sebagaimana yang sudah lazim dilakukannya selama ini, bahwa setiap pagi beliau harus berada di sekitar keluarga Abu Bakar (Aisyah) di mana beliau dapat bertemu dengan sahabat-sahabatnya. Dapat dipahami dari data-data yang ada bahwa rasa sakit yang dialaminya agak mereda karena setelah mendengarkan Aisyah mengeluhkan sakit kepalanya, beliau sempat menggoda: "justru aku yang sakit kepala" dan lebih lanjut beliau bersabda: "kira-kira bagaimana ya? seandainya kamu yang meninggal duluan lalu aku memandikan, mengkafani, menyembahyangkan dan mengebumikanmu?" yang oleh Aisyah dijawab dengan menggoda pula: "ya, aku dapat menyaksikan baginda pulang ke rumahku lalu berbulan madu dengan isteri-isteri yang masih ada". Berkata Aisyah: “saat itu Rasulullah tersenyum dan kembali mengeluh rasa sakit tapi beliau tetap mengikuti jadwal kunjungannya kepada setiap isterinya". Kunjungan tersebut tidak diatur dengan cara mengunjungi satu persatu setiap hari. Tidak pula untuk semua isterinya karena di antara mereka ada yang memiliki jadwal tetap, ada pula yang tidak. Sudah barang tentu beberapa hari berlalu beliau merasakan sakit yang akhirnya semakin keras di kediaman Maemunah. Beliau memberikan perhatian lebih kepada Maemunah karena ia adalah saudari Umm Al-Fadhl, isteri Al-Abbas ibn Abd Al-Mutthalib dan saudari Asma binti 'Umeis, salah seorang isteri Abu Bakar. Informasi selanjutnya diriwayatkan oleh Al-Baladzari, Ahmad ibn Yahya ibn Jabir yang, setelah menguraikan rangkaian sanadnya yang lumayan, mengatakan "Rasulullah tetap mengunjungi isteri-isterinya sedang beliau sudah merasakan sakitnya, hingga pada suatu hari beliau bertanya kepada mereka: "giliran siapa besok?" lalu mereka memberitahunya satu per satu. Sebagian dari mereka menimpali dan mengatakan: sebenarnya maksud Rasulullah adalah kapan giliran putri Abu Bakar. Lantas mereka dengan rela mengizinkan dan berkata kepada beliau: kami rela wahai 145 Rasulullah, kami adalah bersaudara. Beliau bertanya:“dengan rela?” Mereka menjawab: “ya”. Maka Rasulullah mengambil jubahnya dan pergi ke rumah Aisyah dan tidak lama setelah tiba beliaupun tak sadarkan diri". Di sini kita menyaksikan keluarganya berupaya mengobatinya yang beritanya secara lengkap diriwayatkan oleh Muhammad lbn Sa’d berdasarkan riwayat AlWaqidi:"dari Mu'ammar ibn Rasyid dari Al-Zuhri bahwa Rasulullah SAW mengeluh sakit di rumah Maemunah, isterinya, dan hadir pula Umm Al-Fadhl binti Al-Harits ibn Hizan, isteri AlAbbas dan Umm Abdullah ibn Al-Abbas, saudari Maemunah serta Asma bt 'Umeis (saudari Memunah juga) dan mereka berembug untuk mengobati Rasulullah dengan ladud. Tatkala sadar beliau bertanya: siapa yang memberi aku ladud? jawab mereka : kami mengira bahwa Rasulullah menderita usus buntu, beliau bersabda: "aku lebih terhormat di sisi Allah dari penyakit usus buntu, Allah tidak akan menyiksaku dengan penyakit tersebut". Kemudian lebih lanjut beliau bersabda: "Semua yang ada dalam rumah akan diberi ladud (sebagai ganjaran) kecuali pamanku". Berkata Abu Bakar ibn Abd Al-Rahman Al-Harits ibn Hisyam ibn 'Urwah ibn AlZubair: maka Maemunah pun ikut diberi ladud mengikuti perintah Rasulullah padahal ia sedang puasa. Ladud yang mereka berikan kepada Rasulullah adalah suatu obat yang sangat pahit rasanya yang dibawa ke Hijaz oleh orang-orang yang hijrah ke Al-Habasyah. Dalam kamus dikatakan al-ladud ialah suatu obat yang dimasukkan lewat mulut. Kembali kepada Al-Baladzari yang berdasarkan sanadnya meriwayatkan: "Tatkala Rasulullah jatuh sakit (pingsan) di rumah isterinya Maemunah, beliau diberi obat dari al-kasab dan al-zait, dan tatkala sadar beliau bertanya siapa yang memberiku obat? jawab mereka: pamanmu dan Zainab binti Gahsy serta Aisyah. Beliau bertanya: siapa memberitahu kalian (mengenai) obat ini? jawab mereka: Asma' binti Umeis dan Umm Salamah (keduanya pernah hijrah ke AlHabasyah)... Kiranya obat yang diberikan kepada Rasulullah adalah sebuah ramuan terdiri dari bahan tumbuh-tumbuhan berasal dari India dicampur dengan wars, tumbuh-tumbuhan berasal dari Yaman. Bilamana dicampurkan dengan minyak akan pahit sekali rasanya. *** Setelah Rasulullah diberi obat, keluarga sepakat beliau pindah ke rumah Aisyah. Tidak diketahui secara pasti apakah keputusan tersebut diambil berdasarkan keinginan Rasulullah sendiri atau mereka mengusulkannya ataupun mereka mengusulkan demikian itu karena Rasulullah nampaknya sedang sakit keras. Persoalan disini bukan masalah rinci melainkan mempunyai dimensi politik karena jika beliau tetap berada di rumah Maemunah berarti orang-orang yang akan mengitari beliau pada saat wafatnya hanyalah keluarga ahl al-bait yaitu: Al-Abbas, Umm Al-Fadhl, Asma dan Ali ibn Abi Thalib. Adapun jika beliau pindah ke rumah Aisyah berarti beliau akan berada di antara Abu Bakar dan Umar. Kenyataan ini mempunyai pengaruh besar pada perkembangan selanjutnya karena kita akan segera menyaksikan bahwa kepindahan beliau ke rumah Aisyah melapangkan jalan bagi Abu Bakar dan Umar untuk menguasai keadaan dan menjauhkan ahl al-bait dari khilafah . Rasulullah pindah ke rumah Aisyah yang terletak didalam mesjid dan lebih penting lagi jauh dari ahl al-bait. Mari bersama penulis membaca berita berikut ini yang diriwayatkan oleh AlBaladzari dari Ibn Ishaq dan Al-Zuhri mengenai keadaan setiba Rasulullah di kediaman Aisyah: "Rasulullah tiba di kediaman Aisyah dalam keadaan mengikat kepalanya kemudian beliau duduk di mimbar. Pertama-tama beliau mendo'akan para pejuang Uhud dan memohonkan ampun bagi mereka kemudian beliau bersabda:"Sesungguhnya ada seorang hamba yang oleh Allah diberikan pilihan antara dunia dengan apa yang ada di sisi Allah maka ia memilih apa yang ada di sisi Allah". Abu Bakr mengerti bahwa yang dimaksud adalah dirinya maka dengan amat 146 terharu ia berkata:"kami bersedia berkorban dengan harta dan jiwa raga serta putra-putri kami demi untukmu (wahai Rasulullah)”. Selanjutnya beliau bersabda:"Pandanglah kalian kepada semua pintu-pintu yang terbuka -atau jalur-jalur menuju ke dan dari mesjid, atau kalimat semacamnya- aku menginginkan semuanya ditutup kecuali pintu Abu Bakr karena aku tahu tiada yang lebih utama dan lebih dekat persahabatannya kepadaku darinya". (Al-Baladzari , vol. 1/547). Riwayat senada tersebar di seluruh buku-buku Sirah dengan variasi yang berbeda-beda; diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad dalam musnad-nya, Al-Baihaqi, Al-Hakim dalam AlMustadrak dan Muslim walaupun versi Al-Bukhari lebih rinci: Rasulullah bersabda "Sesungguhnya orang yang paling mempercayaiku dalam persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakr, sekiranya aku boleh memiliki khalil (kawan akrab) kecuali Tuhanku niscaya aku telah menjadikan Abu Bakr sebagai khalil-ku", namun kesetiakawanan di Islam adalah kasih sayangnya, semua pintu mesjid ditutup kecuali pintu Abu Bakr" (Ibn Katsir , vol. 5/228). Pertanyaan yang muncul adalah apakah maksud permintaan Rasulullah menutup semua pintupintu(mesjid)? Kita mengetahui bahwa mesjid kala itu mempunyai beberapa pintu, yakni: dua dari arah timur (yang sejajar dengan kamar-kamar Rasulullah), satu dari arah selatan dan satu atau dua dari arah timur yang bersebelahan. Pintu-pintu yang dimaksud sebenarnya bukanlah pintu yang dapat dibuka-tutup melainkan jalur-jalur keluar masuk dari dan ke mesjid. Lalu mengapa jalur-jalur tersebut harus ditutup? Persepsi kita berdasarkan riwayat-riwayat yang ada bahwa sejak saat itu orang-orang tidak diperbolehkan masuk mesjid di luar waktu-waktu shalat kecuali melewati pintu Abu Bakr yang terletak di samping kamar-kamar Rasulullah. Dengan kata lain yang lebih jelas: keluar-masuk untuk menemui Rasulullah sejak saat itu tidak diperbolehkan kecuali atas izin Abu Bakr dan kelompoknya yang terdiri dari Umar, Abu 'Ubaidah, Sa'd ibn Abi Waqqas, 'Abd Al-Rahman ibn 'Awf, Al-Zubair ibn Al-'Awwam dan yang sederajat, termasuk dari kaum Al-Ansar Muhammad ibn Muslimah, 'Abbad ibn Basyr, Abu Burdah ibn Niyar dan yang sederajat. Apakah ini suatu perencanaan? Ya, suatu perencanaan yang amat bernilai karena setiba di kediaman Aisyah, Rasulullah merasakan sakitnya bertambah berat diiringi suhu badan yang bertambah panas sehingga beliau meminta sekujur badannya disiram dengan air dari pelbagai sumur yang terletak jauh (agar sementara air tersebut dibawa dari kejauhan ia menjadi dingin di tengah perjalanan). Berkata Aisyah:"Kami mendudukkan Rasulullah di kolam miliki Hafshah dan menyiramnya terus hingga beliau mengisyaratkan sudah cukup, kemudian beliau keluar memimpin shalat dan berpidato kepada mereka" (Al-Nuweiri, vol. 18/336) Jadi, Rasulullah merasa agak segar setelah tubuhnya disiram dengan air sejuk dan dapat memimpin shalat namun Abu Bakr menyadari sepenuhnya bahwa beliau sedang sakit keras dan jika kembali ke tempat tidur penyakitnya akan bertambah keras lagi. Berita berikut ini yang diriwayatkan oleh Ibn Ishaq dan Al-Baladzari mengisyaratkan hal itu. Berkata Aisyah, menuturkan kondisi kesehatan Rasulullah yang nampak sudah sangat lemah:"Beliau berjalan diapit oleh dua orang; salah satunya Al-Fadhl ibn Al-Abbas dan seorang lagi yang lain, beliau melangkah dengan amat berat sedang kepalanya diikat dengan (selendang) memasuki rumahku", berkata: 'Ubeidillah ibn 'Abdullah ibn 'Utbah:”aku memperdengarkan uraian ini (hadis Aisyah) kepada Ibn 'Abbas yang berkata: apakah anda mengetahui orang lain yang disinggung oleh Aisyah? jawabku tidak, ia berkata : 'orang lain' tersebut adalah Ali ibn Abi Thalib, ia sebenarnya mampu menyebutkan namanya cuma tidak mau" (Al-Baladzari, vol. 1/540). 147 Hubungan baik antara Aisyah dengan Ali ibn Abi Thalib terganggu sejak peristiwa hadits al-ifk yang terkenal itu. Tapi yang lebih penting untuk dicermati disini adalah bahwa mulai saat itu Ali ibn Abi Thalib sudah tidak akan bebas bertemu dengan Rasulullah karena sejak beliau tiba dari rumah Maemunah semua jalur telah ditutup sesuai dengan permintaannya kecuali pintu Abu Bakr. Ini berarti bahwa mulai dari saat itu tanggung jawab mengenai keamanan Rasulullah berada di tangan Abu Bakr dan kelompoknya sehingga tiada seorangpun yang akan masuk menemui Rasulullah kecuali melalui Abu Bakar dan atas izinnya. Demikianlah makna logis yang dapat dipahami dari informasi-informasi yang terdapat dalam referensi yang kita rujuk, bahkan sikap Al-Abbas ibn Abd al-Mutthalib yang memahami perkembangan situasi memperkuat asumsi tersebut. Meski baru memeluk Islam dan belum terbebas dari pengaruh ideologi jahiliyyah-nya namun berkat kecerdasan dan ketajaman pandangannya dapat membaca situasi dengan tepat. Untuk mengerti yang penulis maksud silahkan simak berita berikut ini yang terdapat hampir di seluruh sumber-sumber Sirah."Tatkala Ali ibn Abi Thalib keluar dari menjenguk Rasulullah orang-orang bertanya kepadanya: bagaimana keadaan Rasulullah wahai Aba al-Hasan? yang dijawabnya (dengan penuh optimistis): al-hamdu lillah membaik, sekonyong-konyong Al-Abbas menarik lengannya dan berkata kepadanya: wahai 'Ali sungguh kamu bersahaja, demi Allah aku melihat tanda-tanda kematian pada wajah Rasulullah. Ini sudah lumrah pada wajah keturunan 'Abd Al-Mutthalib, mari kita menghadap kepada beliau menanyakan apakah persoalan (pengganti beliau) berada di tangan kita atau jika harus dengan orang lain kita meminta supaya beliau mewasiatkan kepada kita, yang dijawab oleh 'Ali: tidak, jika (ketahuan) kita memintanya sekarang orang tidak akan memberikannya kepada kita sesudah beliau pergi"(Al-Baladzari , vol. 1/540). Ada sementara riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah wafat tidak beselang lama setelah itu. Tapi tidak tepat karena kita akan menyaksikan bahwa dalam tahap akhir penyakitnya beliau akan diam tak berbicara dengan siapapun selama dua hari kemudian menghembuskan nafas terakhir kembali ke pangkuan ilahi. Dengan demikian Al-Abbas cukup menyadari situasi politik di saat penyakit Rasulullah bertambah keras di rumah Aisyah dan sudah dapat memperhitungkan bahwa 'Ali tidak akan menerima langsung tonggak kepemimpinan. Yang menarik adalah bahwa apa yang diperhitungkan oleh Al-Abbas telah diperhitungkan pula oleh Abu Bakr. Sebagaimana Al-Abbas mengetahui tanda-tanda kematian pada wajah Rasulullah juga Abu Bakr. Adalah rahmat kasih sayang Allah kepada umat Islam bahwa Abu Bakr cukup menyadari situasinya sehingga dapat mengambil langkah-langkah antisipasi. Allah menginginkan bahwa Abu Bakrlah yang berfikir dan berencana karena tiada yang lebih berhak melanjutkan perjuangan Rasulullah kecuali dia dan 'Umar. *** Dapat dipahami dari informasi-informasi yang ada, bahwa Rasulullah berpidato di mesjid dan kembali ke tempat tidur. Kemudian jika merasa agak segar beliau dengan diapit keluar memimpin shalat atau ikut shalat dengan duduk di belakang Abu Bakr. Penyakit beliau semakin berat diiringi suhu panas badan yang bertambah tinggi (kita masih akan kembali membicarakan hal ini lebih rinci lagi nanti). Berkata Abu Sa'id Al-Khudri sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam sunan dan diperkuat oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak serta diuraikan oleh Al-Qadli 'Iyad dalam al-syifa, (vol. 2/917) bahwa ada seseorang yang meletakkan tangannya pada tubuh Rasulullah dan 148 berkata:”demi Allah tanganku tidak tahan merasakan panas demam dalam tubuhmu wahai Rasulullah, yang lain mengatakan: betapa berat sakitmu wahai Rasulullah”, yang dijawab oleh beliau: "kami para Nabi-Nabi diberi cobaan yang lebih berat". 5. TAK AKAN ADA LAGI BERITA DARI LANGIT Kita telah menyinggung makna politis pindahnya Rasulullah dari rumah Maemunah ke rumah Aisyah. Kini saatnya mengajukan berbagai bukti dan data yang memperkuat asumsi tersebut karena di saat Rasulullah sedang bergelut menghadapi akhir ajalnya bersamaan dengan itu pula pergelutan mengenai siapa yang akan melanjutkan kepemimpinannya juga telah dimulai. Amanat yang akan ditinggalkan oleh Rasulullah cukup banyak dan berat: agama Allah yang lurus berikut umatnya yang telah dipersiapkan untuk membela dan memelihara agama serta bertanggung jawab atas penyebarannya; umat yang telah dibangun, dibina dan dikembangkan oleh beliau berdasarkan pilar-pilar agama yang kokoh dan telah merekrut tenaga-tenaga pemimpinnya. Jika ketentuan Allah menghendaki bahwa beliau harus kembali ke pangkuan-Nya perlu ada pemimpin atau sekolompok pemimpin yang dapat melanjutkan perjuangan. Pertanyaannya adalah siapakah pemimpin tersebut? atau terdiri dari siapakah kelompok pemimpin tersebut? Memahami situasi demikian Al-Abbas yang cukup lihai membaca situasi segera mengajak 'Ali menemui Rasulullah menanyakan "apakah persoalan (pengganti beliau) berada di tangan kita atau jika harus dengan orang lain kita meminta supaya beliau mewasiatkan untuk kita, yang dijawab oleh 'Ali: tidak, jika (ketahuan) kita memintanya sekarang, orang tidak akan memberikannya kepada kita sesudah beliau pergi". Jadi, ada 'persoalan' dimana orang harus mengetahui siapa yang akan berhak memegang tanggung jawab politik dan keagamaan yang sangat besar itu berkenaan dengan perjalanan dan kesinambungan perjuangan umat. Persoalan inilah yang menjadi pusat perhatian ketika mereka melihat Rasulullah sakit keras dan sewaktu-waktu ajal akan menjemputnya. Kita telah mengatakan bahwa pindahnya Rasulullah dari rumah Maemunah ke rumah Aisyah mengandung makna politis. Yang akan mengitari Rasulullah jika tetap tinggal di rumah Maemunah adalah keluarganya sendiri dari ahl al-bait yang diwakili oleh Ali ibn Abi Thalib, Al Fadhl ibn al Abbas , Qatsm ibn Al-Abbas dan para pendukungnya. Sedangkan jika beliau tinggal di rumah Aisyah yang akan mengitarinya adalah kelompok Abu Bakr yang terdiri dari Umar dan Abu Ubaidah Amr ibn al Jarrah serta Useid ibn al Hudleir, pemimpin golongan Al-Aous yang merupakan pendukung Umar. Sejauh pelacakan yang dilakukan pada sumber-sumber yang ada tidak satupun ditemukan berita mengenai kehadiran Ali ibn Abi Thalib pada hari-hari terakhir Rasulullah. Bagaimana hal ini bisa terjadi padahal ia adalah ujung tombak ahl al-bait, sepupu dan menantu Rasulullah? Kita semua maklum bahwa jika seseorang sakit keras dan terasa ajal sudah diambang pintu seluruh keluarga terdekat berkumpul. Lalu kemana 'Ali? Jawabnya ada pada kebijakan meminta semua pintu ditutup kecuali pintu Abu Bakr yang berarti bahwa keluar-masuk untuk menemui Rasulullah yang sedang sakit keras sejak berada di rumah Aisyah harus dengan seizin Abu Bakr dan kelompoknya. Prosedur tersebut adalah pendahuluan bagi kebijakan berikutnya yang tidak akan berjalan segampang yang dibayangkan. Bahkan kelompok ahl al-bait sudah dapat membacanya. Suatu berita dalam thabaqat karya Ibn Sa'd yang meski kami tidak dapat menguatkan kebenarannya namun maknanya tetap relevan. Dikatakan bahwa Al-Abbas menyampaikan protes kepada Rasulullah dan bertanya: mengapa harus 149 menutup pintu orang-orang sementara yang lain dibuka? yang dijawab oleh Rasulullah dengan sabdanya: "wahai 'Abbas: urusan menutup dan membuka (pintu) bukan atas kehendakku" (AlNuweiri, vol. 18/365). Menurut penafsiran ahl al-sunnah hal itu adalah kehendak Allah, tetapi menurut penafsiran kami berdasarkan logika sejarah justru yang tepat adalah tindakan jama'ah yang memandang perlu melakukan antisipasi terhadap setiap perkembangan yang mungkin terjadi dan mengarahkannya kepada kepentingan dan kemaslahatan serta keselamatan umat Islam. Dengan demikian aman untuk mengatakan suatu tapal batas telah mengitari Rasulullah sedang beliau berbaring di tempat tidurnya. Hal ini terasa sekali bagi Umm al-Fadhl binti al-Harits ibn Hazan, saudari Maemunah, umm al-mu'minin dan isteri Al-Abbas yang mengatakan: aku duduk dalam keadaan menangis di samping Rasulullah ketika beliau sedang sakit keras, maka beliau bertanya: apakah yang membuat kamu menangis? jawabku: aku sangat prihatin dan tidak tahu bagaimana nasib kami setelah baginda tiada. Beliau bersabda:"kalian akan menjadi golongan almustadl'afin, tertindas" (Al-Baladzari , vol. 1/551). Demikianlah yang dapat kita pahami mengapa 'Ali tidak muncul kecuali setelah Rasulullah wafat dan hadir untuk mengurus jenazah dalam mempersiapkan pemakaman. Sebaliknya, pada saat pemakaman -dan cukup aneh- bahwa tidak ada sumber yang menyebutkan kehadiran Umar, Abu Bakr, dan Abu 'Ubaidah. Kiranya mereka sedang dalam kesibukan lain menyangkut masa depan umat dalam upaya menguasai keadaan. Mereka mempercayakan kepada 'Ali dan ahl al-bait mengurus jenazah. Kita masih sedang mengikuti perkembangan kondisi kesehatan Rasulullah yang agak segar kembali setelah disiram air yang diambil dari sumur-sumur yang jauh agar lebih sejuk dalam perjalanan karena kala itu sedang musim panas yaitu pada bulan Juni dimana seperti yang kita ketahui air di wilayah Hijaz akan menghangat bahkan panas dalam bulan tersebut. Maksud Rasulullah dari siraman air tersebut untuk menurunkan panas demam yang dirasakannya dan sering membuatnya tak sadarkan diri. Sumber-sumber mengatakan beliau sering tak sadarkan diri hingga mereka pernah memberinya obat ladud tanpa izin dan beliau kemudian menyatakan keberatannya. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa tatkala beliau sedang disirami air beliau sejenak tak sadarkan diri lagi kemudian sadar kembali dan merasa agak segar kemudian jikalau mengisayaratkan sudah cukup mereka menggotong beliau ke tempat tidurnya. Tempat tidur beliau yang disebutkan dalam sumber-sumber sebagai sarir (ranjang) bukan dalam arti yang lazim kita pahami melainkan tikar dari anyaman. Kamar Aisyah dimana beliau berbaring di dalamnya adalah bangunan yang paling bersahaja yang dapat dibayangkan oleh seseorang. Bangunan terdiri dari bata (tanah liat). Tak dapat dipastikan berapa ukurannya namun bagaimanapun, ruangannya cukup sempit dan merupakan salah satu kamar dari setidaknya tujuh kamar-kamar yang berderet berdampingan satu sama lain yang terletak pada sudut tenggara qubbah mesjid. Yang jelas menghuni kamar-kamar tersebut di samping Aisyah adalah Hafshah dan Saodah binti Zum'ah. Selainnya tidak diketahui dengan pasti siapa lagi dari isteri-isteri Rasulullah. Kamar-kamar tersebut tidak memiliki pintu-pintu tetapi hanya ditutup dengan kain. Karena itulah kita dapat memahami bagaimana Rasulullah dapat memandang kaum muslim shalat jama'ah sedang beliau berbaring di tempat tidurnya. Beliau sangat puas melihat kedisiplinan dan keteraturan mereka lalu beliau meminta (kamarnya) ditutup kembali. Kami yakin bahwa Rasulullah pindah ke rumah Aisyah kurang lebih tujuh hari sebelum wafat sebab diperhitungkan 150 beliau tinggal beberapa hari di rumah Maemunah tatkala mulai merasa sakit dan setelah disiram air di rumah Aisyah beliau agak segar kembali dua atau barangkali tiga hari. Selama masa-masa itu beliau tetap bertahan menanggung sakit dan sewaktu-waktu bangkit diapit dua orang untuk memimpin shalat dalam keadaan duduk. Penulis akan mengesampingkan dulu perdebatan panjang mengenai sukses Abu Bakr yang ditunjuk Rasulullah mengimami shalat pada hari-hari terakhir tersebut karena semua ini merupakan persoalan politik. Akan dibicarakan nanti pada saatnya sesudah selesai mengikuti perkembangan kondisi kesehatan Rasulullah hingga beliau wafat. Demam panas kambuh lagi dan semakin menjadi-jadi. Kita telah menyinggung berita mengenai kedatangan ibunda Basyr ibn al-Barra ibn Ma’ruf menjenguknya dan membasuhnya lalu berkata: aku tidak pernah melihat demam seberat ini ; yang dijawab Rasulullah:"sebagaimana pahala dilimpahkan untuk kami para Nabi juga cobaan lebih berat; ini adalah akibat kambing yang aku makan bersama putramu di Khaebar dan nampaknya kali yang terakhir ini akan mengakhiri abhurku" (Al-Baladzari , vol. 1/549). Informasi cukup melimpah mengenai demam ini. Suatu kali Abu Sa'id al-Khudri datang menjenguk dan meletakkan tangannya di tubuh Rasulullah dan mengatakan:"aku tak tahan merasakan panas demam-mu" (Ibn Katsir , vol. 5/237). Demam panas tersebut diiringi rasa sakit yang sangat tetapi Rasulullah tidak pernah mengeluh dan beliau menanggungnya sebagai cobaan dari Allah. Berkata Ibn Katsir: diriwayatkan oleh AlBukhari dan Muslim dari Sufyan al-Tsauri dan Syu'bah ibn al-Hajjaj yang ditambahkan oleh Muslim berdasarkan riwayat Jarir dari ketiga perawi tersebut dari al-A'masy dari Abi Wail Syafiq ibn Salamah dari Masruq dari Aisyah yang berkata:"aku belum pernah melihat sakit seberat apa yang diderita Rasulullah". Dan dalam shahih Al-Bukhari berdasarkan riwayat Yazid ibn al-Had 'Abd al-Rahman dari Aisyah berkata:"Rasulullah wafat dalam pangkuanku sehingga aku tidak gentar lagi menghadapi seberat apapun kematian sepeninggal beliau".(Ibn Katsir , vol. 5/237). Rasa sakit yang mengiringi demam panas tersebut diiringi pula sesak nafas. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Al-Zuhri Ubeid ibn 'Abdallah ibn 'Utbah:" dari Aisyah dan Ibn 'Abbas mengatakan: "Ketika Rasulullah sedang sakit keras beliau selalu meletakkan kain basah pada (mengompres) mukanya" (Ibn Katsir , vol. 5/238). Suatu berita yang diriwayatkan oleh Ibn Sa'd dari Aisyah juga (mengatakan) bahwa apabila Rasulullah sedang menahan sakitnya beliau"menghembus (nafas) seperti menghembuskan kulit biji zabib". Yang dimaksud tentu bukannya Rasulullah menghembuskan kulit biji melainkan akibat sesak nafas. Untuk meringankan rasa sakitnya beliau selalu membasahi muka dengan air. Segenap kitab-kitab hadis sepakat bahwa tatkala Rasulullah sakit keras terdapat di sampingnya bejana air di mana beliau memasukkan tangannya lalu membasuh muka sementara berdo'a: "Ya Allah ringankanlah beban sakarat al-maut". Beliau selalu melakukan hal itu hingga menghembuskan nafas terakhir. (Al-Baladzari , vol. 1/522) Suatu berita lain yang diriwayatkan oleh Ibn Sa'd juga menyempurnakan berita ini dan dimuat oleh Al-Bukhari dari berbagai versi:"Aku diberitakan bahwa Rasulullah selama ini selalu mendo'akan dirinya untuk sembuh jika merasakan suatu penyakit tetapi kali ini beliau tidak berdo'a kecuali selalu bertanya: wahai jiwa mengapa harus menghindar?”(Al-Baladzari , vol. 1/522) 151 Penulis telah melacak seluruh referensi mengenai penyakit terakhir yang menimpa Rasulullah dan tidak didapatkan satu beritapun yang menyinggung beliau bedo'a untuk sembuh. Yang beliau lakukan hanyalah memohon kepada Allah untuk meringankan beban sakarat al-maut dan menyatakan kerinduannya untuk kembali ke pangkuan ilahi. Sebagaimana diketahui dari berbagai sumber bahwa keadaan sadar dan tidak sadarkan diri silih berganti dialami Rasulullah sejak jatuh sakit hingga menghembuskan nafas terakhir. Menurut pendapat populer beliau wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal 11H yang bertepatan dengan 7 Juni 632M. Tetapi setelah melakukan pengecekan didapatkan bahwa tanggal 12 Rabiul Awal 11H bukan hari Senin melainkan hari Ahad bertepatan dengan tanggal 7 Juni 632M. Jika harus mengatakan bahwa Rasulullah wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal berarti beliau wafat pada hari Ahad, sedangkan jika ingin menetapkan hari wafatnya pada hari Senin berarti tanggal 13 Rabiul Awal 11H dan bukan hari Minggu. Sepanjang tradisi yang berlaku menetapkan bahwa beliau wafat sesuai dengan tanggal kelahirannya yaitu 12 Rabiul Awal maka beliau wafat pada hari Ahad (12 Rabiul Awal 11H) bukan hari Senin yang dalam hal ini bertepatan dengan 7 Juni dan bukan 8 Juni 632M. Kondisi kesehatan Rasulullah semakin menurun selama dua atau tiga hari semenjak kembali ke rumah Aisyah -seperti telah disinggung di atas- dan selama itu menahan sakit dan bangkit mengimami shalat jika beliau merasa mampu. Bilamana tidak merasa mampu beliau meminta Abu Bakr menggantinya. Diperkirakan shalat terakhir beliau di mesjid pada hari Kamis tanggal 9 Rabiul Awal 11H dimana beliau menyampaikan pidato umum terakhir; pada kesempatan mana Al-Abbas menyampaikan protes kepada Rasulullah dan bertanya: mengapa harus menutup pintu orang-orang sementara yang lain dibuka? yang dijawab oleh Rasulullah dengan sabdanya: "wahai 'Abbas: urusan menutup dan membuka (pintu) bukan atas kehendakku". Naskah pidato beliau yang sampai kepada kita cukup bervariasi dalam bentuknya yang ditambah atau dikurangi menurut kecenderungan politik perawi namun paragraf yang kita pentingkan disini adalah sabda beliau:"Selanjutnya, wahai kaum al-muhajirin kalian terlihat akhir-akhir semakin bertambah banyak jumlahnya sementara jumlah kaum al-anshar tetap seperti sedia kala; mereka (kaum alanshar) adalah orang-orang kepercayaanku dan tempat aku berlindung maka muliakanlah kalangan terhormat mereka dan ma'afkan yang bersalah". Lebih lanjut beliau bersabda:"Sesungguhnya ada seorang hamba yang oleh Allah diberikan pilihan antara dunia dengan apa yang ada di sisi Allah maka ia memilih apa yanga ada di sisi Allah". Tak seorang pun dapat memahami sabda terakhir tersebut di kalangan kaum muslim kecuali Abu Bakr. Adanya Rasulullah menyinggung kaum al-anshar disini mengundang pertanyaan: bukankah kita sedang berada di negeri mereka? Mengapa lantas Rasulullah menetapkan bahwa jumlah kaum almuhajirin semakin bertambah sementara kaum al-anshar tidak? Adalah kenyataan bahwa di saat beliau berpidato yang terakhir kalinya beliau hanya melihat orang-orang al-muhajirin; lalu kemana orang-orang al-anshar? Sudah barang tentu prosedur yang dilakukan oleh kelompok Abu Bakr dan Umar telah menghalangi orang-orang al-anshar bebas masuk mesjid menyebabkan Rasulullah berpesan agar mereka dihormati. Ada 'sesuatu' yang menghalangi mereka masuk menemui Rasulullah pada hari-hari terakhir ini sehingga mereka akan terpaksa masuk mesjid dengan rombongan seperti yang akan kita saksikan. Satu-satunya orang al-anshar yang hadir hanyalah ibunda Basyr ibn al-Barra ibn Ma'rur; lalu kemana Sa'd ibn Abi 'Ubadah yang selama ini setiap hari mengunjungi Rasulullah dan selalu mengirimkan makanan. Kemana 'Abbad ibn Bisyr penjaga yang selama ini tidak pernah meninggalkan pintu Rasulullah; kemana Al-Hubab ibn al-Mundhir ibn al-Jumuh sang ahli strategi perang yang menjadi konsultan militer 152 pada perang Badr dan Khaebar? Mereka tidak hadir karena satu alasan, yaitu bahwa 'kelompok perencana' menyadari bahwa jika tidak melakukan antisipasi preventif akan kehilangan kontrol dan tak dapat menguasai keadaan di tengah mayoritas kaum al-anshar berikut prioritas bani Hasyim yang perlu dikedepankan pada situasi yang genting ini. Pertanyaan-pertanyaan dan persoalan yang penulis ajukan bukanlah hasil renungan terhadap jalannya peristiwa belaka melainkan fakta, yang penulis akan uraikan lebih lanjut beserta buktibuktinya pada paragraf berikutnya. Barangkali sebagian dari argumentasi itu dapat diajukan sekarang dan kita akan menyaksikan kenyataan bahwa begitu Rasulullah pindah ke rumah Aisyah dan tampak penyakitnya semakin keras serta diperkirakan ajalnya sudah dekat, persoalan lantas menjadi urusan politik. Suatu perencanaan masa depan (suksesi) mulai dicanangkan dan yang paling pertama mengambil prakarsa dalam hal ini adalah Abu Bakr dan Umar termasuk Abu Ubeidah, Sa'd ibn Abi Waqqash dan juga barangkali Al-Mughirah ibn Syu'bah. Kami menilai pandangan mereka tepat dan kami memuji pula langkah-langkah mereka karena bahaya yang sedang mengancam tidak boleh dibiarkan tergantung kepada kondisi. Umat yang sedang bangkit dengan kekuasaan yang meluas mencakup seluruh semenanjung Arab bahkan sedang merambah ke luar; demikian pula harta kekayaan yang terkumpul yang meski jumlah banyaknya sedekah tidak begitu berpengaruh dalam kehidupan umat namun sebagai kekayaan yang merupakan lambang kesatuan umat , semua itu tidak boleh dibiarkan tergantung kepada keadaan dimana jika terjadi kerusuhan suatu umat besar akan hilang begitu saja? Kembali mengikuti perkembangan situasi di mana Musa ibn 'Uqbah berkata: "Tatkala Nabi SAW jatuh sakit para isterinya berkumpul melayaninya beberapa hari dan beliau pun selalu mengimami shalat. Suatu saat kala azan dikumandangkan beliau memerintahkan mu'azin untuk memberitahu Abu Bakr agar memimpin shalat; Aisyah sempat mengomentari permintaan Rasulullah dan mengatakan: Abu Bakr terlalu halus perasaan sehingga jika didudukkan pada posisimu ia akan menangis, mengapa bukan Umar saja? tetapi Rasulullah sudah memutuskan untuk meminta Abu Bakr dan kembali lagi Aisyah menyatakan seperti semula hingga beliau bersabda: kalian kaum wanita sama dengan wanita-wanita penggoda Nabi Yusuf; maka Abu Bakr (sejak itu) selalu memimpin shalat hingga malam Senin 12 Rabiul Awal pada saat mana Rasulullah merasa agak segar dan dapat kembali memimpin shalat walaupun dengan bersandarkan kepada Al-Fadhl dan salah seorang pelayannya yang bernama Tsauban. Dengan diapit oleh keduanya Rasulullah menuju tempat shalat jamaah yang diimami Abu Bakar. Pada saat jamaah bangkit dari sujud untuk raka’at kedua Rasulullah masuk melewati barisan saf dan maju mengambil tempat di samping Abu Bakr sedangkan Abu Bakr mundur memberi tempat namun Rasulullah menarik baju Abu Bakr dan mengisyaratkan untuk tetap lanjut memimpin shalat. Beliau duduk dan Abu Bakr berdiri membaca ayat. Begitu Abu Bakr usai membaca ayat, Rasulullah bangkit berdiri dan mengambil alih mengimami kemudian ruku' dan sujud terakhir bagi jamaah, sedangkan Rasulullah setelah salam berdiri kembali mencukupkan shalatnya. Kemudian setelah itu beliau menggeser duduknya ke salah satu pojok mesjid… Pada saat itu ekspedisi Usamah sedang dalam persiapan" (Tarikh Al-Dhahabi, vol. 2/388-389) Mengenai berita inilah para perawi dari ahlussunnah menguraikan panjang lebar di satu pihak dan di pihak lain oleh para perawi syi'ah. Golongan pertama merinci dengan nada tertentu dalam rangka memperkuat kepemimpinan Abu Bakr. Golongan lain merinci dengan nada lain lagi dalam rangka melemahkannya. Kita akan ikut urun rembug mengenai masalah ini pada saat menyinggung perkembangan yang terjadi di tsaqifah bani Sa'idah karena semuanya masih terkait dengan topik yang sedang kita bicarakan mengingat bahwa Rasulullah wafat sebelum pertemuan 153 di tsaqifah dan jenazahnya yang mulia tetap ditempat, belum dikebumikan selama dua hari penuh padahal suhu udara bulan Juni di Hijaz cukup lembab yang menyebabkan adanya perubahan warna tubuh Rasulullah. Bagaimanapun, yang baik adalah yang telah ditentukan Allah. Termasuk rahmat dari Allah kepada umat ini bahwa masalah pengganti beliau berhasil disepakati, ditentukan, ditetapkan semasih jenazah beliau di tengah-tengah umatnya dan belum dikebumikan. Barangkali riwayat Musa ibn 'Uqbah kurang tepat karena semestinya shalat shubuh tapi jika menghitung raka'atnya ternyata lebih dari dua raka'at. Lebih dari itu ada pendapat lain bahwa shalat terakhir Rasulullah adalah shalat dhuhur. Tampaknya pendapat ini lebih mendekati kebenaran karena sesuai dengan kronologi peristiwa. Ibn 'Abbas berpendapat bahwa shalat terakhir ini terjadi pada hari Kamis tetapi masih perlu dipertanyakan bahkan diragukan. Ibn Sa'd merilis satu riwayat tersendiri yang kami anggap perlu diketengahkan disini meski kami tidak yakin kebenarannya tetapi memiliki indikasi dimana terlihat bahwa kaum al-anshar menyadari bahwa mereka telah 'dijauhkan' sebagaimana perasaan yang sama dialami oleh bani Hasyim. Sekolompok besar dari mereka datang menjenguk Rasulullah. Berkata Ibn Sa'd, berdasarkan riwayat yang cukup layak (untuk diterima) melacak kepada Ibn Abbas (yang mengatakan): ada yang mendatangi Rasulullah dan mengatakan kepada beliau: bagaimanalah nasib orang-orang al-anshar yang sedang berkumpul lelaki dan perempuan semuanya menangis; Rasulullah bertanya: apa yang membuat mereka menangis? mereka menjawab: karena prihatin jika baginda meninggal. (Berkata Ibn Sa'd) Para perawi dengan nada sama meriwayatkan bahwa Rasulullah mendatangi mereka dan duduk merunduk di atas mimbar dalam keadaan kepala terikat. Kepada mereka, Rasulullah mewasiatkan setelah memanjatkan puji syukur kepda Allah sebagai berikut: sesungguhnya orang-orang al-muhajirin semakin bertambah banyak jumlahnya sedangkan al-anshar tidak bertambah. Peran mereka cuma ibarat garam pada makanan. Maka siapa saja yang akan memimpin hendaklah menghargai mereka yang berbuat baik dan memaafkan yang bersalah" (Ibn Sa'd, vol. 2/13). Riwayat setelah itu bermacam ragam; sebagian di antaranya meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:"Demi Allah yang menguasai diriku, sungguh aku sangat mencintai kalian, sesungguhnya al-anshar telah menunaikan tugasnya dengan baik dan kalian berkewajiban menghargai mereka yang berbuat baik dan mema'afkan yang bersalah". Beberapa hari sebelum Rasulullah jatuh sakit beliau telah mempersiapkan ekspedisi militer dengan menunjuk Usamah ibn Zaid ibn Haritsah sebagai pemimpinnya. Seorang sahabat masih muda belia yang belum genap berusia 20 tahun. Berkata Ibn Sa'd: perintah tugas yang diterimanya adalah menuju Balqa, di mana dahulu ayahandanya bersama Ja'far tewas mati syahid dalam peperangan mu'tah. Sementara Usamah mempersiapkan pasukannya yang berkema di Juruf, salah satu bukit di sekitar Madinah dari arah utara, Rasulullah terserang penyakit sehingga dengan mengikat kepala keluar menyeru: "wahai orang-orang, laksanakan ekspedisi Usamah.. (diucapakan tiga kali) tetapi tampaknya mereka agak keberatan". Sebenarnya berita ini tidak menggambarkan kejadian secara menyeluruh. Masih ada ketinggalan satu potongan yang diriwayatkan oleh Ibn Sa'd yang mengatakan setelah menyebutkan sanadnya: "Telah sampai ke pendengaran Rasulullah bahwa orang-orang muhajirin dan al-anshar merasa keberatan atas penetapan kepemimpinan kepada Usamah ibn Zaid sehingga Rasulullah keluar dan duduk di mimbar. Dan setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah beliau lebih lanjut bersabda:"wahai orang-orang laksanakanlah ekspedisi Usamah, demi Tuhan kalian merasa keberatan atas kepemimpinannya sebagaimana (dahulu) keberatan atas pengangkatan ayahnya, 154 sesungguhnya ia dan ayahnya berhak untuk memimpin". Lalu pasukan Usamah berangkat menuju perkemahan Juruf dan pada saat yang sama penyakit Rasulullah bertambah keras sehingga Usamah berhenti di perkemahan menunggu perkembangan. Usamah berkata: tatkala (mendengar berita) bahwa penyakit Rasulullah bertambah berat aku turun dari perkemahan dan mendapatkan Rasulullah tak sadarkan diri dan tak dapat berbicara kecuali dengan isyarat mengangkat tangannya ke arah langit lalu mengusapkannya kepadaku, aku yakin bahwa beliau mendao'akanku" (Ibn Sa'd, vol. 2/41). Demikianlah keadaannya, Rasulullah dalam kondisi kesehatan (memprihatinkan) sementara orang-orang di sekitarnya dalam urusan lain. Beliau memikirkan masa depan Islam dan kesinambungan misinya sedangkan mereka memikirkan diri mereka sendiri masing-masing memikirkan nasib dan masa depannya. Beliau inigin memperlihatkan hasil usaha beliau merekrut generasi muda pejuang-pejuang baru Islam yang dipersonifikasikan melalui figur Usamah ibn Zaid ibn Haritsah. Yang menyebabkan keterlambatan melaksanakan ekspedisi Usamah adalah bahwa para pembesar muhajirin dan al-anshar merasa berat (dahulu) dipimpin oleh Zaid ibn Haritsah yang merupakan mantan budak; dan ketika ia telah tewas dan mati syahid mereka merasa berat lagi dipimpin oleh putranya Usamah ibn Zaid terutama karena Rasulullah, dalam rangka meyakinkan orientasinya untuk menciptakan generasi baru, beliau menetapkan agar Abu Bakr dan Umar serta Abu 'Ubaidah ikut sebagai anggota pasukan dengan pemegang bendera dari keluarga Khuza'ah yang kelak keturunannya akan berperan penting dalam sejarah Islam dengan lahirnya dinasti Abbasiah yaitu Buraidah ibn al-Khasib al-Aslumi al-Khuza'i. Beban perdebatan ini menambah berat penyakit Rasulullah dan menguras habis tenaganya yang masih tersisa. Mereka tetap saja melibatkan Rasulullah dalam urusan-urusan mereka yang melelahkan sementara beliau dalam keadaan sakit berat. Abu Bakr dan pada kelompok pendukungnya menyadari bahwa waktunya sedemikian kasib sehingga mereka bergerak secara diam-diam. Kala itu hari sudah senja ketika Abu Bakr datang menjenguk Rasulullah dan mengatakan: aku melihat baginda agak segar, hari ini adalah giliran (isterinya) binti Kharijah "maka Abu Bakr pun pamit untuk pergi mengunjungi isterinya kemudian kembali setelah Rasulullah wafat. Ia membuka penutup tubuh Rasulullah dan memandang wajahnya lalu mengecup jidatnya sembari berkata: demi ayah, engkau dan ibuku sesungguhnya baginda tetap wangi baik saat hidup maupun sesudah wafat". (Al-Baladzari, vol. 1/559). Umm Kharijah adalah isteri Abu Bakr dari keluarga al-anshar yaitu Habibah binti Kharijah dari bani Haritsah ibn Al-Khazraj. Ia tinggal di tengah keluarganya di Sunh, sebelah barat laut Madinah. Adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh Abu Bakr bahwa ia pergi ke rumah Umm Kharijah dan menginap semalam dalam situasi seperti ini. Lebih dari itu ia tidak pulang menjenguk Rasulullah pada pagi hari berikutnya hingga sore. Ia kembali pada hari ketiga wafatnya Rasululah dan Madina seluruhnya sedang dalam keadaan berkabung. Pertanyaannya adalah kemanakah Abu Bakr pergi selama ini? Apa yang dilakukannya? Jawabnya ada para paragraf berikut ini insya Allah. Keadaan Rasulullah sudah demikian parah namun beliau tetap bertahan melanjutkan misinya. Seseorang yang melihatnya pada hari terakhir ini yaitu Anas ibn Malik mengatakan: aku melihat wajahnya bagaikan secarik kertas". Maksudnya tampak kurus dan pucat sekali. Malam terakhir dari kehidupan Rasulullah adalah malam yang paling sibuk. Anda dapat menyimak bahwa kami berupaya keras untuk menyusun urut-urutan kejadian sesuai dengan berita yang kami terima dari berbagai referensi seakan kumpulan sampah yang tak teratur. Setiap 155 orang meriwayatkan yang diketahuinya dan setiap orang yang memiliki tujuan tertentu menambah atau mengurangi. Kami sebagai peneliti sejarah harus berupaya menyusun, membaca dan merekonstruksi agar dapat memperjelas jalur-jalur peristiwa: Abu Bakr pergi meninggalkan Umar yang sudah menguasai keadaan. Matahari terbenam sementara penyakit Rasulullah bertambah parah dikerumuni isteri-isterinya dalam suatu ruangan sempit. Sesekali beliau tersadar, barangkali pada malam pertama di rumah Aisyah yakni malam Ahad, 12 Rabiul Awal atau malam Senin, 13 Rabiul Awal 11H. bertepatan dengan 7 atau 8 Juni 632M dan merasa bahwa orang-orang di sekitarnya cukup prihatin. Beliau bersabda: "berikan aku lembaran (kosong) dan tinta, aku akan menulis (wasiat) kepada kalian agar tidak tersesat sepeninggalku untuk selama-lamanya". Maksudnya beliau akan mendiktekan wasiat. Dalam versi lain dikatakan beliau meminta kepada Abd al-Rahman ibn Abu Bakr, saudara kandung Aisyah. Keberadaannya di rumah saudarinya masuk akal. Beliau meminta lembaran atau sepotong tulang. Beliau ingin mendiktekan suatu wasiat. Maka isteri-isteri beliau atau yang hadir berkata: penuhilah permintaan beliau. Tiba-tiba Umar mencegah dan tidak setuju jika Rasulullah mendiktekan hal-hal seperti itu dan menghardik mereka: kalian diam, kalian selalu mencari garagara; jika beliau sakit kalian baru meperlihatkan rasa sayang tetapi di saat beliau sehat kalian selalu memberatkannya. Maka Rasulullah bersabda: sesungguhnya mereka jauh lebih baik (Tabaqat, vol. 2/37: Al-Nuweiri, vol. 18/377). Umar masih berusaha berbicara tetapi Rasulullah mengisyaratkan untuk diam. Dalam situasi penuh duka dan kisruh tersebut seseorang berkata: Rasulullah ‘mengigau’ (garagara demam panasnya). Suatu pernyataan yang berimplikasi luas dan mempunyai konsekwensi berat, menyebabkan para ulama ahlussunnah berupaya keras untuk mengingkarinya sebagai perkataan Umar. Atau menafsirkannya dengan cara yang dapat diterima oleh setiap orang yang mencintai Rasululah dan mengerti kedudukannya. Tetapi jelas bahwa Umar ibn al-Khattab benar-benar mengatakannya. Ada suatu riwayat dari Abdullah ibn Abdullah ibn 'Utbah ibn Mas'ud mengatakan: ketika Rasulullah dijemput ajalnya terdapat di dalam rumah beberapa lelaki antara lain Umar ibn al-Khattab. Rasululah hendak mewasiatkan agar umat tidak tersesat selamalamanya" Maka Umar berkata: sesungguhnya Rasulullah lepas kontrol akibat penyakitnya, bukannya ada Al-Qur’an dan cukup. Ketika orang-orang berselisih pendapat ada yang memenuhi permintaan Rasulullah, adapula yang sependapat dengan Umar. Perdebatan menjadi ramai maka Rasulullah mengusir mereka:"enyahlah kalian" Para ulama ahlussunnah berupaya keras membela Umar dan mencarikan alasan yang dapat diterima. Untuk hal ini periksa uraian Al-Qadli 'Iyadh dalam karyanya al-syifa; Al-Fasi dalam karyanya bulugh al-maram; Ibn Katsier dalam al-bidayah wa al-nihayah; Al-Nuweiri, vol. 18/374 dan Al-Baladzari 562. Orang-orang keluar meninggalkan Rasulullah bersama para isteri-isterinya. Sedangkan Aisyah tetap membacakan do'a-do'a yang pernah diajarkan Jibril. Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: tidak perlu lagi membaca do'a-do'a itu karena hanya berguna sewaktu umur masih banyak tersisa (dahulu)". Wasiat terakhir Rasulullah meminta agar tidak terdapat dua agama di semenanjung Arab. Para sahabat diminta menghormati dan menghargai orang-orang yang datang memeluk Islam. Ungkapan terakhir beliau menyatakan:"(Peliharalah) Shalat dan orang-orang yang berada dalam tanggungan kalian". Beliau tetap mengucapkan hal itu hingga beliau tak kuasa lagi menggerakkan lidahnya. (Ibn Katsier, vol. 5/238). 156 Abd al-Rahman ibn Abu Bakr masuk membawa siwak44 dan terlihat oleh Rasulullah seakan-akan beliau menginginkannya. Segera saja Aisyah mengambil dan memotongnya dengan mulut kemudian diberikan kepada Rasulullah sehigga beliau bersiwak (gosok gigi) sebaik-baiknya sedang beliau menghadapi sakrat al-maut. Rasulullah tetap memasukkan tangannya ke bejana yang penuh air disampingnya lalu membasuh mukanya dalam keadaan diam, kemudian berkata: La Ilah Illa Allah, sesungguhnya maut ada sakaratnya, lalu beliau menengadahkan jari-jari kirinya sembari berkata: kembali ke pangkuan ilahi, dan tangannya pun terjatuh ke bejana air (Ibn Katsier, vol. 5/240). Peristiwa tersebut terjadi pada hari Senin 13 Rabiul Awal 11 H/ 8 Juni 632M. Beritapun tersebar dan dunia berkabung. Umm Ayman berkata: aku menangis hanya karena sedih bahwa berita dari langit telah terputus."Umar pun bangkit ingin menutup mulut siapa saja yang mengatakan bahwa Rasulullah telah wafat. Hal itu dilakukannya sementara jenazah Rasulullah tetap terbaring di tempat selama hari Senin hingga Selasa ketika Abu Bakr tiba-tiba muncul. Apa yang terjadi setibanya Abu Bakr ? 6. PERSELISIHAN BANGSA ARAB PUN BANGKIT KEMBALI DAN BELUM PERNAH PADAM HINGGA KINI. Roh Rasulullah SAW telah kembali ke pangkuan ilahi pada waktu antara terbitnya matahari dan dhuha pada hari Senin tanggal 13 Rabiul Awal 11H bertepatan dengan 8 Juni 632M. Telah diuraikan terdahulu kondisi terakhir ketika beliau merentangkan tangannya hendak memasukkan ke bejana yang berisi air untuk dibasuhkan ke mukanya namun tangannya tak kunjung bergerak lagi dan beliau wafat. Demikian Riwayat Al-Baladzari. Versi lain yang meriwayatkan saat-saat terakhir yang mengharukan tersebut, saat-saat Rasulullah meninggal dunia kita dapatkan dalam riwayat Ibn Sa'd dari Aisyah juga yang tidak begitu jauh berbeda namun penulis akan memuatnya di sini untuk memperluas pengetahuan anda mengenai saat-saat yang memilukan hati ini. Aisyah berkata, setelah membaca pada isyarat pandangan Rasulullah kepada siwak di tangan saudaranya Abd al-Rahman ibn Abu Bakr:".. maka aku memecah ujungnya, merendahkan dan memberinya wewangian lalu aku berikan kepada beliau. Beliau bersiwak yang terbaik dan seketika siwaknya terjatuh. Atas kehendak Allah liurku bergabung dengan liur beliau pada saat terakhir hidup di dunia dan hari pertama hidup di akhirat. Pada saat siwak jatuh dari tangannya yang mulia itulah saat terakhir hidupnya di dunia". Kemudian Aisyah mengambil bantal. Aisyah berkata:"aku menyandarkan kepalanya di atas bantal kemudian aku bangkit bersama para ibu-ibu berteriak dengan histeri sementara kepalanya telah aku sandarkan pada bantal dan memindahkannya dari pangkuanku" (Tabaqat, vol. 2/50). Kita telah mengidentifikasi bahwa saat-saat memilukan tersebut terjadi pada jam-jam pertama pagi hari Senin (atau Ahad) 13 atau 12 Rabiul Awal 11H bertepatan dengan 8 atau 7 Juni 632M. Dan seketika beritanya tersebar ke kamar-kamar lain di mana terdapat isteri-isteri dan keluarga beliau sehingga mereka berteriak memukul-mukul kepala sebagaimana yang dapat dipahami dari ungkapan Aisyah. Ada versi lain yang agak berbeda dengan ini kita juga perlu muat tanpa menentukan riwayat mana yang paling benar mengingat bahwa kita sedang berhadapan dengan tumpukan berita melalui buku-buku dan hanya Allah yang Maha Mengetahui mana yang lebih benar di antaranya. Berikut teksnya yang dimuat oleh Ibn Sa'd dalam Tabaqat:"Diceritakan kepada kami Muhammad 44 Ranting pohon yang mempunyai anti bakteri yang digunakan untuk bersikat gigi 157 ibn Umar Al-Waqidi, mengatakan aku diberitahu oleh Abdallah ibn Muhammad ibn Umar ibn Ali ibn Abi Thalib dari ayahnya berkata: Rasulullah meminta kepada Ali pada saat sedang sakit keras untuk mendo'akannya. Setelah mendo'akannya beliau memintanya lagi untuk lebih mendekat, maka aku (Ali) mendekat dan beliau menyandarkan diri padaku. Dalam keadaan itu beliau terus berbicara denganku hingga air liur beliau membasahi diriku kemudian beliau (ternyata) telah pergi dan aku merasakan beban (badannya) lebih berat dalam pangkuanku maka aku berteriak: wahai Abbas tolong, aku telah binasa. Kemudian Al-Abbas datang dan bersamasama membaringkan beliau". Riwayat lain yang lebih rinci mengatakan:"Aku diberitahu oleh Muhammad ibn Umar al-Waqidi mengatakan aku diceritakan oleh Sulaiman ibn Daud ibn al-Hushaini dari ayahnya dari Abi Ghathfan berkata: aku bertanya kepada Ibn Abbas, apakah anda melihat Rasulullah wafat dalam pangkuan seseorang? jawabnya: beliau wafat sedang dipangku oleh Ali; karena menurut 'Urwah ibn al-Zubair (kemanakan Aisyah) Aisyah berkata kepadanya bahwa: Rasulullah wafat dalam pangkuannya; maka Ibn Abbas menimpali: apakah hal itu masuk akal? Demi Allah beliau wafat dalam pangkuan Ali. Dialah yang memandikannya bersama saudaraku Al-Fadhl ibn Abbas sedang kakekku Al-Abbas tidak hadir. Lebih lanjut dikatakan bahwa Rasulullah meminta kepada kami ahl al-bait untuk tidak menonjolkan diri maka Al-Abbas melakukannya (Tabaqat, vol. 2/52). Bagaimanapun keadaannya segenap riwayat sependapat bahwa dalam keadaan beliau terbaring di tempat tidur jenazahnya ditutupi dengan kain hitam (Tabaqat, vol. 2/3). Riwayat lain yang besumber dari Aisyah juga mengatakan"setelah demam panas Rasulullah semakin memuncak dan wajahnya terlihat memerah, jidat berkeringat, sebelum itu aku belum pernah melihat seseorang meninggal; Beliau meminta supaya aku mendudukkannya dan menyandarkannya pada diriku (memangku) lalu aku mengusap kepalanya kemudian tanganku terjatuh ketika beliau mengalihkan kepala dan aku merasa ada gumpalan dingin membasahi dadaku kemudian kami menutupi mayatnya dengan kain, sementara teriakan histeri membahana dari para ibu-ibu. Orang-orangpun berbondong-bondong bagaikan gelombang berdatangan ke mesjid sementara mereka seakan tidak percaya bahwa Rasulullah telah 'diculik' dari tengahtengah mereka sedemikian cepat. Lalu Umar ibn Al-Khattab bersama Al-Mughirah ibn Syu'bah meminta izin (untuk masuk melihat mayat Rasulullah) dan aku (Aisyah) mengizinkannya. Umar menegur Rasulullah tapi tak kunjung terjawab, maka aku berkata beliau tak sadarkan diri sejak beberapa saat yang lalu. Umar pun membuka kain penutup lalu berkata: oh, betapa beliau tak sadarkan diri dan menutupnya kembali sedangkan Al-Mughirah diam membisu. Tatkala mereka berdua beranjak pergi dan tiba di pintu, Al-Mughirah membisikkan: wahai Umar beliau telah wafat; yang dijawab oleh Umar: tidak, engkau berbohong, beliau tidak akan wafat sebelum memerintahkan untuk memerangi orang-orang munafiq, engkau hanya ingin menyebar fitnah (Al-Baladzari , vol 1/563). Orang-orang ikut mempercayai pandangan Umar karena Abu Bakr -sebagaimana kita telah katakan- tidak berada di tempat. Mereka mempunyai alasan masing-masing untuk meyakinkan diri bahwa Rasulullah tidak wafat. Kami yakin bahwa rasa bingung yang mereka derita hari itu tetap berlangsung hingga hari berikutnya, hari Senin. Pada hari Selasa, Umar merasa tidak mampu lagi menguasai keadaan sehingga ia bangkit berpidato dan berseru: aku tidak ingin mendengar suara yang mengatakan bahwa Muhammad telah meninggal. Beliau cuma dipanggil menghadap Allah seperti halnya Nabi Musa ketika pergi dari kaumnya selama 40 hari. Demi Allah aku ingin mereka yang mengatakan beliau sudah wafat agar tangan dan kakinya dipotong. 158 Diberitakan oleh Arim ibn Al-Fadhl dari Hammad ibn Zaid dari Ayyub dari Ikrimah yang berkata: Rasulullah telah wafat tetapi mereka mengatakan beliau hanya dimi'rajkan rohnya seperti halnya Nabi Musa. Umar berpidato mengancam orang-orang munafiq dan berkata: sesungguhnya Rasulullah tidak wafat tetapi dimi'rajkan Rohnya seperti halnya Nabi Musa. Beliau tidak akan wafat sebelum tangan dan lidah orang-orang (tertentu) dipotong. Ia (Umar) tetap mengulang-ulang ungkapannya hingga bibirnya kering. Selanjutnya diberitakan pada saat itulah Al-Abbas menyampaikan pendapatnya yang secara utuh telah disinggung di muka. Namun untuk lebih mendapatkan kejelasan mengenai maknanya kami ingin memuatnya kembali tapi dengan penafsiran kami sehingga para pembaca akan melihat bahwa ungkapan Al-Abbas tersebut telah berperan menormalisasi keadaan sepanjang hari berikutnya setelah semalam suntuk orang dirundung kesedihan dengan teriakan dan tangisan para ibu-ibu, sedangkan para bapak-bapak bingung, ragu dan kesima. Al-Abbas mengatakan yang maknanya: kalian sadarlah dan terima kenyataan bahwa Rasulullah telah wafat sebagaimana manusia lainnya. Beliau telah pergi dan tak akan kembali lagi baik setelah 40 hari seperti halnya Musa maupun setelah 100 hari. Lihatlah warna tubuh beliau sudah mulai berubah, tinggalkanlah angan-angan kalian dan yakinkanlah bahwa beliau telah wafat dan bergegaslah mengebumikannya sebelum tubuhnya menjadi bangkai. Apakah kalian beranggapan bahwa beliau meninggal sekarang dan akan hidup kembali nanti? Apakah kalian meninggal sebanyak satu kali dan beliau dua kali? Sesungguhnya beliau lebih mulia dari itu. Jika Allah akan berkenan membangkitkannya kembali setelah 40 hari seperti anggapan kalian; apakah Allah tidak Maha Kuasa membelah bumi lagi untuk membangkitkannya kembali jika Dia menginginkannya? Lalu untuk apa Muhammad dibangkitkan kembali? Bukankah beliau melapangkan jalan kebenaran di hadapan kalian dengan sejelas-jelasnya? Beliau telah membangun dasar-dasar agama, menetapkan yang halal dan mencegah yang haram. Beliau telah memberikan suri tauladan dalam berkeluarga, dalam perdamaian dan dalam peperangan. Kasih sayang beliau kepada kalian melebihi kasih sayang pengembala kambing kepada kambingnya yang dibawanya ke padang rumput di puncak gunung dengan penuh kehati-hatian agar tidak seekor pun hilang. Ia mengawasinya dengan tongkat yang tidak pernah dipukulkannya kecuali kepada pohon-pohon kecil untuk memancing mereka berkumpul agar tidak berkeliaran. Jika ia (pengembala) menginginkan agar kambingnya istirahat ia mendirikan pagar dari tanah dan menggali kolam air dengan menggunakan tangannya sendiri; Jika Rasulullah jauh lebih kasih dan sayang kepada kalian melebihi pengembala maka seharusnyalah kalian lebih sayang pula kepada beliau dengan cepat-cepat mengebumikan beliau sebelum tubuhnya membusuk (Teks selengkapnya dalam Al-Nuweiri, vol. 18/386). Tapi siapa yang peduli? sedangkan Umar dengan suara yang sekeras-kerasnya menyerukan bahwa Rasulullah tidak wafat dan mengancam akan memotong tangan dan lidah siapa pun yang menganggap beliau sudah wafat. Umar benar-benar bingung karena tidak melihat Abu Bakr sebagai orang satu-satunya yang dapat dipercaya dan dipatuhi olehnya. Yang menarik perhatian kita di sini adalah bahwa Umar tidak mempertanyakan kemana Abu Bakr, seakan-akan ia mengetahui di mana adanya dan apa yang sedang dilakukan. Indikasi dan bukti-bukti mengenai hal ini akan segera kita saksikan. Dalam suasana panik di mana orang-orang bingung, takut dan penuh prihatin Al-Abbas merasa ada 'sesuatu' di balik layar. Abu Bakr tidak kelihatan dan tidak seorang pun mengetahui di mana ia berada. Sedangkan Umar di tengah-tengah kelompoknya menyerukan ancamannya sementara 159 tubuh Rasulullah terbaring dan tertutupi kain hitam dikelilingi ibu-ibu yang sedang menangis histeri. Padahal hingga saat itu sudah berlalu lebih dari 24 jam Rasulullah menghembuskan nafas terakhir pada saat mana sedang musim panas dan udara lembab. Al-Abbas ingin mengalihkan perhatian orang kepada apa yang dianggapnya menguntungkan baginya dan bagi keluarganya karena ia yakin sepenuhnya bahwa persoalan yang ada bukan persoalan wafatnya Rasulullah melainkan pasca-wafatnya beliau. Bagi Al-Abbas Rasulullah sudah pergi dan tak akan kembali lagi sedangkan Ali ibn Abi Thalib dalam kebingungan. Ia merasa tidak perlu terlalu memikirkan masa pasca Rasulullah karena ia adalah menantu, sepupu, sahabat dan pahlawan Rasulullah yang par excellent. Kemudian 'sesuatu' yang amat jelas bagi Al-Abbas dan lebih jelas lagi bagi Abu Bakr tidak begitu jelas dalam persepsi Ali. Muhammad adalah Rasul pilihan Allah, pembawa petunjuk dan penerang jalan di mana umat seluruhnya bersatu di sekitarnya dan memperoleh inspirasi serta semangat kekuatan dari padanya. Apakah yang akan terjadi sepeninggal beliau? Adakah orang yang mampu mengganti posisi Rasulullah tersebut? Jika umat ini harus memiliki pemimpin yang dapat membimbing mereka ke jalan yang lurus sebagaimana yang telah digariskan Rasulullah maka tiada lain kecuali dia (Ali) karena siapakah di antara sahabat yang berani maju mencalonkan diri sebagai rivalnya? Persoalan kurang begitu jelas dalam pandangannya. Ali termasuk salah satu kelompok terbaik yang atas petunjuk Rasulullah merupakan konsultan dalam mengatur jalannya kehidupan umat. Apakah yang akan terjadi setelah Rasulullah pergi? Tentu kelompok elit tersebut tetap akan menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya. Jika umat merasa perlu ada pemimpin yang berwibawa dan disegani oleh semua dan menguasai sunnah Rasulullah maka tak pelak lagi Ali adalah orangnya. Oleh karena itu dengan tenang ia sibuk mengurus persiapan pemakaman Rasulullah dan dengan penuh keyakinan bahwa apa yang dibayangkannya itulah yang akan terjadi. Maka sia-sia saja Al-Abbas mengingatkannya. Al-Abbas tiba-tiba bangkit bertanya, barangkali hanya dia dan Abu Bakr yang tidak panik pada saat yang menegangkan itu, "apakah ada diantara kalian ada yang telah mendapat pesan khusus dari Rasulullah? yang mereka jawab dengan tidak. Selanjutnya ia berkata: saksikanlah bahwa tiada seorangpun yang telah mendapat pesan khusus dari Rasulullah dan sesungguhnya beliau telah wafat" (Ibn Katsier, vol. 5/243). Pemikiran Al-Abbas amat realistis. Rasulullah telah wafat dan menurutnya persoalan yang segera perlu diperjelas adalah peninggalan Rasulullah. Ia tenang dan yakin bahwa Rasulullah tidak pernah memberikan pesan khusus kepada seorangpun sehingga tertutup kemungkinan akan adanya orang yang ingin memperoleh bagian dari peninggalan beliau. Dengan begitu tertutup kemungkinan pula akan adanya orang yang mengklaim diri mendapat pesan dari Rasulullah untuk memimpin umat sehingga hak menggantikan Rasulullah tetap berada pada keluarganya karena merekalah yang merupakan pewaris segala peninggalannya. Ini adalah logika dan tradisi jahiliyah yang masih melekat dalam diri Al-Abbas yang hingga saat itu berpikiran realistis. Madinah masih tetap dalam suasana berkabung, panik dan keadaan tak menentu hingga hari kedua sedang (mayat) Rasulullah masih tetap di tempat tiada yang berani menyentuhnya karena orang belum yakin bahwa beliau benar-benar telah berpulang ke rahmatullah. Bagaimanakah seorang Rasulullah dapat dikatakan wafat? *** 160 Tiba pada pagi hari ketiga yaitu pada hari Rabu 14 Rabiul Awal 11H/ 10 Juni 632M sedangkan suasana bertambah panik. Al-Abbas merasa tak sabar lagi sehingga sekonyong-konyong mengajak Ali ibn Abi Thalib "mari aku umumkan bahwa aku telah membai'atmu (sebagai pengganti Rasulullah) di hadapan orang banyak dan niscaya tiada yang akan keberatan" yang ditolak oleh Ali dan dijawabnya:"adakah orang yang berani mengambil alih hak kita dalam hal ini? Berkata Al-Abbas: engkau akan menyaksikan hal itu akan terjadi. Maka tatkala Abu Bakr dibai'at, Al-Abbas mengingatkannya:"bukankah aku telah mengatakan kepadamu wahai Ali?". Kiranya para pembaca yang budiman mendapat kesan bahwa penulis menguraikan peristiwa secara teratur dan runtun mengalir. Demikianlah upaya penulis di sini dalam rangka memperoleh ketepatan optimal mengenai kejadian yang agung ini. Itu pulalah batas-batas wewenang dan tanggung jawab penulis sebagai sejarawan karena melakukan intervensi ke dalam riwayat seperti yang dilakukan penulis lainnya akan mempengaruhi pembaca dan menjadi penghalang baginya untuk menilai peristiwa secara objektif. Tapi penulis ingin menekankan di sini bahwa terlepas dari apakah Al-Abbas benar-benar mengatakan seperti yang diriwayatkan atau tidak? adalah mutlak bagi Ali ibn Abi Thalib untuk maju mengambil prakarsa dan menyelesaikan masalah sebelum Abu Bakr. Penulis tidak mengatakan bahwa Ali lebih unggul karena yang terbaik adalah yang telah ditentukan oleh Allah. Sikap Ali sebenarnya menggambarkan pemikiran, keimanan, sifat-sifat dan usianya. Ia adalah agamawan yang sangat komitmen terhadap keimanannya. Politik tidak begitu menemukan jejak dalam dirinya karena jikalau politik menguasai diri seseorang akan merusak agama, keimanan dan kebenaran. Disinilah tragedi Ali dan keunggulannya pada saat yang sama. Jika dunia Islam kita hingga kini masih menderita pertentangan antara Syi'ah dan Sunnah maka awalnya bermula dari sini. Perbedaan yang beranjak dari dua orientasi yang tak akan pernah bertemu: Ada orang yang berkeyakinan bahwa Islam adalah agama, keimanan dan umat yang mutlak berjalan di atas rel kebenaran yang telah digariskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mengatur diri sendiri melalui suatu kelompok elitnya yang menyadari aspirasi umat, mereka berkumpul bermusyawarah untuk segala hal menyangkut kepentingan umat seperti halnya pada masa Rasulullah. Setiap anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama, tiada yang unggul kecuali dengan taqwa dan kesalehan. Apa pun yang dilakukan dalam rangka kepentingan umat adalah merupakan kepentingan bagi pelakunya sendiri. Yang lain memandang bahwa Islam memang agama, kebenaran dan keimanan tetapi harus ada politik. Politik menurut kelompok Abu Bakr dan Umar di sini berarti transformasi keimanan menjadi kekuatan politik dan militer. Kepemimpinan yang berwibawa dan mampu mengambil prakarsa dalam waktu yang tepat kemudian mengajak umat untuk mendukungnya. Menggiring umat dengan kekuatan menurut perhitungan politik ke arah yang dipandang oleh kelompok tersebut sebagai jalan yang benar. Dan selama persoalannya adalah perhitungan politik maka segala faktor yang dapat mendukung tujuannya merupakan sesuatu yang legal termasuk kekerasan dan kekejaman pedang. Rasulullah menggunakan kekuatan di luar wilayah negeri demi keamanan serta mengembangkan sayap negeri. Tetapi sepeninggal Rasulullah, yang akan terjadi adalah kekuatan, kekerasan dan pedang akan digunakan juga di dalam wilayah negeri dan dalam mengatur urusan internal umat. Jika jalan yang dapat dilalui untuk mencapai kebenaran hanya dengan jalan keimanan maka realitas yang akan dicapai melalui politik memiliki seribu jalan. 161 Hal ini tidak berarti bahwa kenyataan itulah yang hendak ditempuh oleh Abu Bakr dan Umar berikut kelompoknya, sebab keduanya merupakan kesinambungan tradisi Rasulullah dipandang dari segala aspek. Oleh karena itu selama kepemimpinan keduanya urusan umat menjadi lancar, keadaan sejahtera dan perjuangan Rasulullah berlanjut mencapai kesuksesannya bahkan melebihi target yang pernah diperhitungkan sebelumnya. Namun problema muncul ketika kepemimpinan dipegang oleh orang-orang yang tidak menerima cara-cara mengurus kepentingan umat langsung dari Rasulullah dalam bentuk yang mendalam dan tepat. Maka yang terjadi adalah kepentingan politik lebih diprioritaskan dari pada ketentuan iman padahal kepentingan iman yang justru prioritas utama pada masa kepemimpinan Abu Bakr dan Umar. *** Setidaknya Abu Bakr baru muncul pada waktu dhuha hari Rabu 14 Rabiul Awal/10 Juni 632M. Sumber-sumber mengatakan bahwa ia datang setelah mendapat berita atas wafatnya Rasulullah seakan-akan tidak tahu-menahu perkembangan yang terjadi sedangkan Madinah seluruhnya dalam suasana berkabung, panik dan bingung. Cukup mengherankan bahwa sumber-sumber tersebut menggambarkan Abu Bakr seakan dengan tenang istirahat di rumah isterinya Umm Kharijah Habibah. Yang diketahuinya hanyalah keadaan Rasulullah yang membaik sewaktu ia meninggalkannya dan pamit beberapa hari yang lalu. Namun ada satu baris dalam kitab alBidayah wa al-Nihayah karya Ibn Katsier yang barangkali akan memperjelas keadaan yang mengherankan ini. Dikatakan: ".. maka Salim ibn Ubaid pergi memberitahu Abu Bakr di Sunh berita wafatnya Rasulullah. Setibanya di tempat, Abu Baka langsung masuk kamar dan melihat wajah Rasulullah untuk memastikan bahwa beliau benar-benar telah wafat". Apakah baru saat itu Abu Bakr mengetahui wafatnya Rasulullah? sungguh mengherankan! Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Yahya ibn Bakir: diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Ibn Luhai'ah yang berkata kami diceritakan oleh Abu al-Aswad dari 'Urwah ibn al-Zubair mengenai peristiwa wafatnya Rasulullah: ".. dan Abu Bakr pun datang dari Sunh mengendarai keledainya hingga turun di depan mesjid. Ia terlihat sangat sedih dan pilu, lalu ia meminta izin kepada putrinya Aisyah (apakah masuk akal jika seseorang meminta izin kepada putrinya dalam suasana seperti ini? penulis) dan ia pun mengizinkannya. Diiringi air matanya yang berlinang ia mengecup kening Rasulullah. Ia berkata Rasulullah benar telah wafat, semoga Rahmat Allah selalu menyelimuti dirimu wahai Rasulullah, betapa harum tubuhmu baik di kala hidup maupun setelah wafat! Kemudian ia menutupnya kembali dan bergegas keluar menuju mesjid melalui kerumunan orang. Setibanya di mimbar Umar pun segera mengambil tempat duduk" (AlBidayah wa Al-Nihayah, vol. 5/243). Pertanyaan kita adalah jika Abu Bakr bergegas datang dari rumahnya dan segera langsung masuk ke kamar Rasulullah, dari manakah ia memperoleh berita mengenai pandangan Umar? Jika Umar selama ini selalu menyerukan bahwa Rasulullah tidak meninggal mengapa ia tidak mencari Abu Bakr padahal tidak melihatnya selama setidaknya satu setengah hari? dan mengapa ia lantas duduk terdiam tatkala melihat kedatangan Abu Bakr? Sebelum menguraikan riwayat selanjutnya kita perlu mencatat bahwa sebelum Abu Bakr bertindak lebih lanjut terlebih dahulu ingin meyakinkan diri bahwa Rasulullah benar sudah wafat karena menurut Umar beliau hanya tak sadarkan diri atau wafat pertama. Akan tetap di tempatnya, tidak berubah-ubah keadaannya hingga Allah mengutusnya kembali setelah 40 hari atau kapan saja Allah menghendaki. Namun setelah melihat wajah Rasulullah ia pun yakin sepenuhnya bahwa beliau benar telah wafat. Terbukti dengan tubuh beliau sudah mulai berubah 162 warnanya. Jika saja tubuh beliau tidak berubah selama hampir dua hari, tentu ada kemungkinan pandangan Umar benar dan perlu tetap menunggu. Tapi setelah melihat bukti tersebut ia yakin sepenuhnya bahwa Rasulullah telah tiada dan pandangan Umar tidak benar. Mengikuti riwayat selanjutnya mengatakan:"..lalu Abu Bakr berdiri di samping mimbar dan mengajak orang-orang untuk berkumpul. Perama-tama Abu Bakr mengucapkan syahadat kemudian melanjutkan 'sesungguhnya Allah telah memberitakan akan kematian Rasul-Nya sementara beliau masih hidup di tengah-tengah kalian seperti halnya memberitakan akan kematian kalian juga. Segala sesuatu yang hidup akan mengalami kematian, yang abadi hanyalah Allah semata. Allah berfirman:”Muhammad hanyalah seorang Rasul yang telah didahului oleh Rasul-Rasul lainnya; apakah kamu sekalian akan kembali (menjadi kafir) seperti sedia kala jika ia meninggal atau terbunuh? dan barangsiapa yang berbalik maka tidak akan merugikan Allah sama sekali dan Allah akan memberi pahala bagi orang-orang bersyukur”45. Umar segera bertanya apakah ayat tersebut ada dalam kitab Allah?“Demi Allah serasa aku belum pernah mendengar ayat tersebut kecuali hari ini” (lebih lanjut Abu Bakr menyambung) “sesungguhnya Allah telah berfirman kepada Muhammad sebagai berikut: ((Sungguh engkau (Muhammad) akan mati dan mereka juga akan mati)) Firman-Nya lagi: ((Segala sesuatu akan binasa kecuali Allah dan kepada-Nya lah kamu sekalian akan kembali)) dan Firman-Nya lagi: ((Setiap jiwa akan mengalami kematian, dan pahala untuk kamu sekalian akan dipenuhi pada hari kiamat)) dan Firman-Nya lagi: ((Siapa pun yang berada di atas bumi akan binasa dan Dzat Tuhanmu yang Maha Agung dan Mulia akan tetap abadi)) Abu Bakr lebih lanjut mengatakan:"Sesungguhnya Allah telah menganugerahkan umur panjang kepada Rasulullah dalam meletakkan dasar-dasar agama, memenangkan agama Allah, menyampaikan risalah-Nya dan berjuang di jalan Allah. Beliau wafat dalam keadaan demikian sedangkan beliau telah meninggalkan kalian dalam jalan yang lurus. Maka tiada yang celaka kecuali akibat perbuatannya sendiri. Barangsiapa yang menyembah Allah sebagai Tuhannya sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tak akan pernah mati, dan barangsiapa yang menyembah Muhammad dan menempatkannya sebagai Tuhan berarti Tuhannya telah binasa. Wahai orangorang bertaqwalah dan bertawakkal kepada Tuhan karena agama cukup kokoh dan ketentuan Allah Maha paripurna. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya dan meninggikan derajat agama-Nya. Sesugguhnya kitab Allah ada di tengah-tengah kita yang menupakan cahaya penerang dan pelipur lara. Dengan kitab tersebut Allah memberikan petunjuk kepada Muhammad SAW, di dalamnya terdapat apa-apa yang dihalalkan dan apa-apa yang diharamkan. Demi Allah kita tidak akan membiarkan seseorangpun mengancam stabilitas kita. Sesungguhnya pedang masih terhunus dan lagi 'dipensiunkan', kita akan tetap berjuang memerangi mereka yang mengancam kita seperti halnya kita berjuang bersama Rasulullah. Tiada yang dirugikan oleh orang yang berbuat aniaya kecuali dirinya sendiri" (Ibn Katsier, vol. 5/243). 45 Q.S. Al Imran:144 163 Sengaja kami memuat keseluruhan pidato yang cukup panjang ini sebagaimana adanya berdasarkan riwayat Al-Baihaqi dengan sanad yang melacak kepada Aisyah. Tidak pasti apakah Abu Bakr benar-benar mengucapkan keseluruhannya karena menurut sumber-sumber lain pidato tersebut diriwayatkan lebih pendek. Penulis memuat semua ini karena setidaknya dari segi makna merupakan gambaran tentang ide-ide yang menjadi perhatian kelompok yang memenangkan pergelutan politis siapa yang akan menjadi Khalifah pengganti Rasulullah yang juga merupakan kesepakatan pemikir Ahlussunnah dan para ulama fiqih kelak. Pidato dengan nada demikian itu, bagaimanapun bervariasi dalam sumber-sumber, sebenarnya mengisyaratkan bahwa Abu Bakr telah mempersiapkannya secara matang karena dengan sangat cerdas mengekspresikan gagasan-gagasan yang dapat mempengaruhi umat untuk memilihnya pemimpin sepeninggal mendiang Rasulullah. Adalah tidak mungkin Abu Bakr tak muncul selama dua hari hanya untuk beristirahat di rumahnya, di Sunh. Agak sulit pula membenarkan dugaan yang dibangun para pemikir ahlussunnah seolah-olah Abu Bakr baru mengetahui perkembangan saat itu lantas menyampaikan pidato ‘politik’ yang sangat rapih bahkan menjadi faktor penentu dalam mengembalikan kesadaran jamaah. Pidato tersebut juga menunjukkan kepada kenyataan bahwa hanya Abu Bakr saja yang memiliki integritas pribadi lebih tinggi mengungguli sahabat lainnya. Ia pun mampu menguasai perasaannya, memiliki ketajaman pandangan, ketepatan perhitungan bahkan memiliki kharisma lebih tinggi. Begitu menyampaikan pidatonya seketika orang-orang menjadi sadar kembali, meninggalkan angan-angan mereka dan dapat menerima kenyataan. Oleh karena itu ia menjadi figur yang dibutuhkan dalam suasana seperti ini. Ia pun mampu membuktikan dirinya sebagai tokoh dan pemimpin yang memiliki keberanian dan kepribadian tinggi. Tak mengherankan jika kelak pada masanya ia mampu memimpin dan membuktikan kredibilitasnya sebagai tokoh yang tepat menggantikan Rasulullah dalam membimbing umat dan mengayomi dalam segala hal. Bukti ini saja -tanpa argumentasi teologi yang berbelit-belit yang dikemukakan Ahlussunnahsudah cukup untuk mencalonkan Abu Bakr sebagai Khalifah. Ahlussunnah mengajukan argumentasi sebanyak-banyaknya demi memperkuat pencalonan Abu Bakr sebagai khalifah karena pengetahuan mereka yang tidak memadai mengenai (logika) sejarah. Mereka tidak mempertimbangkan aspek psikologi massa dalam suasana kekalutan. Sikap yang ditunjukkan oleh Abu Bakr tersebut juga pernah ditunjukkan oleh Iskandar Agung tatkala ayahnya, Phillip meninggal membuat bangsa Muqdunian kalut dalam ketakutan dari ancaman Greek. Ia yang baru berusia 20 tahun lebih sedikit berdiri di depan mayat ayahnya dan berkata: "Apa yang terjadi? Apa yang menimpa kalian? Phillip sudah meninggal tapi aku ada di sini. Selama aku ada, Phillip tidak mati". Dengan ungkapan pendek ini Iskandar meletakkan dirinya dalam posisinya yang tepat dalam sejarah sebagaimana Abu Bakr meletakkan dirinya dalam posisi yang tepat dalam sejarah dengan pidato yang telah kita kutip. Segera setelah orang-orang tersadarkan dan rela menerima kenyataan bahwa Nabi telah wafat mereka mulai mempersiapkan pemakamannya. Saat itu sudah berlalu lebih dari 48 jam yang merupakan waktu yang cukup lama bagi seorang yang meninggal di Hijaz pada bulan Juni. Dapat disimak dalam riwayat sebelumnya bahwa perut Rasulullah mulai mengembung sehingga mutlak segera dimakamkan. Hal inilah yang sejak awal dianjurkan oleh Al-Abbas mengingatkan kepada kaum muslim bahwa kewajiban mereka pada saat seperti ini adalah mempercepat pemakaman sebagai kasih sayang kepada beliau yang jauh lebih sayang kepada umatnya dari pengembala kambing yang dengan menggunakan tangannya membangun pagar bagi kambingnya mengamankan mereka dari serigala. 164 Diceritakan oleh Sa'd yang bersumber dari Al-Waqidi dari keluarga Al-Zubair dari Ibn Syihab "bahwa kaum muhajirin masuk kedalam kamar Rasulullah sementara Ali ibn Abi Thalib bersama Al-Abbas sedang sibuk mempersiapkan pemakaman Rasulullah. Dalam suasana keheningan, sekonyong-konyong datang Ma'n ibn 'Uday dan 'Uwaim ibn Sa'idah membisikkan kepada Abu Bakr: sesungguhnya fitnah telah mengancam.. jika Allah tidak menutup pintunya olehmu niscaya tidak akan pernah tertutup lagi. Sa'd ibn Ubadah dari Al-Anshar telah mengajak orang berkumpul di Tsaqifah untuk membai'atnya (menjadi Khalifah). Maka Abu Bakr dan Umar berikut Abu 'Ubaidah ibn Al-Jarrah segera pergi ke sana mendapatkan Sa'd ibn Ubadah sedang duduk menyandarkan diri pada bantal. Saat itu ia sedang sakit demam. Ketika Abu Bakr bertanya: Bagaimana pendapatmu wahai Abu Tsabit? dijawabnya: aku di pihakmu" (AlBaladzari , vol. 1/581). Uraian ini perlu kita renungkan. Siapakah sebenarnya 'Uwaim ibn Sa'idah dan Ma'n ibn 'Uday yang melapor kepada Abu Bakr? Mengapa mereka mengatakan "fitnah mengancam jika Allah tidak menutup pintunya olehmu niscaya tidak akan pernah tertutup lagi"? Lalu mengapa laporannya disampaikan kepada Abu Bakr justru bukan kepada Ali ibn Abi Thalib misalnya yang sedang menangani persiapan pemakaman Nabi? 'Uwaim ibn Sa'idah adalah seorang dari kaum Al-Anshar dari golongan Aous keluarga bani 'Auf ibn 'Amr ibn Malik yang dahulu menetap di kawasan quba. Mereka termasuk kelompok yang sering menyebarkan fitnah. Di antara mereka ada pendeta yang bernama Abu Amir yang pernah menantang Rasulullah dan dijuluki oleh kaum muslim sebagai Abu Amir Al-Fasiq. Mesjid Dhirar dibangun di kawasan mereka yang akhirnya menjadi sumber fitnah, lalu Rasulullah menghancurkannya. Di tengah-tengah mereka ada yang setia kepada Rasulullah yang selalu melaporkan kepada beliau setiap perkembangan yang terjadi. Termasuk di antara mereka 'Uwaim ibn Sa'idah yang juga ikut dalam kedua perjanjian aqabah dan kemudian bergabung dalam kelompok Abu Bakr-Umar. Ia ikut aktif dalam segala aktifitas Rasulullah selama ini. Adalah rasa loyalitasnya kepada golongan Aous yang mendorongnya untuk bergegas mengajak Abu Bakr menghadiri pertemuan yang diprakarsai oleh Sa'd ibn 'Ubadah, pembesar golongan Khazraj untuk memilih dan membai'atnya sebagai pemimpin umat Islam. Golongan Aous seluruhnya tidak menginginkan jika kepemimpinan beralih kepada golongan Khazraj rival mereka sejak dahulu. Mereka kemudian bergabung ke dalam kelompok Abu Bakr-Umar karena mereka tidak ingin dipimpin oleh seorang dari golongan Khazraj. Ini adalah salah satu faktor yang paling menentukan kemenangan politik Abu Bakr di Tsaqifah. Sekiranya kedua golongan Aous dan Khazraj bersatu padu dalam kondisi seperti ini tentu ceritanya akan lain. Asumsi ini dikuatkan oleh Ibn Al-Atsier dalam catatan biografi 'Uwaim ibn Sa'idah dalam karyanya Usd Al-Ghabah (vol. 4/316) bahwa ia sangat berpengaruh dalam menentukan kemenangan Abu Bakr. Tak mengherankan jika kelak Umar akan berdiri di depan pusaranya sesaat setelah pemakamannya berkata:"Tiada seorangpun di muka bumi yang berhak menganggap dirinya lebih baik dari orang yang sedang dalam kubur ini. Tiadalah bendera yang dikumandangkan Rasulullah kecuali 'Uwaim ada di bawah bayangbayangnya" (Usd Al-Ghabah, vol. 4/316). Ma'n ibn 'Uday lain lagi ceritanya. Ia bukan kaum muhajirin bukan pula al-anshar melainkan dari keluarga Bally ibn 'Amr ibn al-Hafi ibn Qudha'ah. Mereka ini bersama anak cabang dari suku Qudha'ah yakni bani Aslum yang bermigrasi ke Madinah dan menetap di sana ketika dikuasai oleh orang-orang Yahudi memperoleh perlakuan kejam dan hina serta kerja paksa tatkala golongan Aous dan Khazraj silih berganti menguasai Madinah. Setelah hijrah Rasulullah 165 menarik mereka masuk dalam barisan umat dan menempatkannya dalam posisi sebagai alanshar. Dari kalangan mereka banyak yang direkrut oleh Rasulullah untuk menjadi pemimpin dan pembesar Islam yang di kemudian hari seluruhnya bergabung kedalam kelompok Abu BakrUmar. Kiranya motivasi yang mendorong Ma'n ibn 'Uday dan 'Uwaim ibn Sa'idah untuk mengajak Abu Bakr bersifat politis dan didasarkan pada pandangan loyalitas suku. Oleh karena itu mereka mengatakan "fitnah mengancam jika Allah tidak menutup pintunya olehmu niscaya tidak akan pernah tertutup lagi". Itu berarti bahwa fitnah antara bangsa Arab memang telah berkobar (dan hingga kini belum terpadamkan lagi!). Abu Bakr dan Umar segera berangkat meninggalkan Rasulullah yang masih terbaring di tempatnya untuk menyelesaikan persoalan politik ini. Politik telah mengakibatkan keterlambatan pemakaman Rasulullah hingga matahari terbenam. 7. SELAMAT JALAN RASULULLAH. Abu Bakr dan Umar memandang bahwa jika orang-orang al-anshar dibiarkan mengambil keputusan sepihak mengenai siapa yang akan menggantikan Rasulullah dalam memimpin umat akan sulit merubahnya kelak karena al-anshar adalah mayoritas penduduk Madinah. Artinya merupakan mayoritas umat kala itu dan tidak mudah merubah keputusan yang ditetapkan melalui pilihan mayoritas terutama jika didasarkan kepada fanatisme golongan seperti halnya yang sedang mereka hadapi. Sepuluh tahun lebih beberapa bulan dalam perhitungan hijriyah adalah waktu yang relatif sangat singkat untuk melupakan dan menghapuskan sisa-sisa fanatisme kesukuan. Orang-orang Qureisy yang hijrah masih banyak yang mempertahankan rasa superioritas terhadap suku lain dengan sikap keangkuhan yang tinggi. Di antara mereka yang membaur dan nikah dengan orang-orang al-anshar terbilang sedikit sekali. Abu Bakr misalnya yang meski memperisterikan Umm Kharijah Habibah dari keluarga Al-Harits ibn Al-Khazraj dan menetap di tengah keluarga mereka di Sunh namun keluarga besarnya masih tetap diwakili oleh Aisyah dan ibundanya Umm Rouman serta saudara kandungnya Abd Al-Rahman. Hubungan Umar dengan al-anshar jauh lebih sedikit lagi walaupun ia mengasuh sejumlah pemuda Aous dari keluarga bani Abd Al-Asyhal terutama yang paling menonjol adalah Usaid ibn Al-Hudeir sebagaimana ia mengasuh sekolompok pemuda dari bani Haritsah dari Khazraj seperti Basyir ibn Sa'd dan Muhammad ibn Muslimah. Mereka adalah pemuda al-anshar yang juga masih tergolong adik-adik ipar Abu Bakr. Orang-orang al-anshar secara umum adalah tokoh-tokoh yang memperlihatkan kedalaman iman, keikhlasan, keberanian dan kesediaan berkorban di jalan Allah. Mereka semua adalah orangorang yang paling dicintai Rasulullah dan lebih mengetahui cara kerja beliau. Kekurangan mereka terletak pada ketidakmampuan memperhitungkan keadaan dan belum memperoleh persepsi yang tepat tentang tujuan umat dalam jangka panjang. Inilah yang menjadi faktor utama bagi prakarsa Abu Bakr karena tiada seorangpun yang dapat lebih dekat kepada Rasulullah dan mengembangkan diri dalam asuhan beliau serta mengambil sebanyak mungkin pelajaran akan totalitas tujuan Islam lebih dari Abu Bakr. Barangkali Ali ibn Abi Thalib dapat dikatakan menyamai Abu Bakr dalam hal ini tapi masih terlalu muda. Umur mereka berselisih 30 tahun. Usia Abu Bakr hampir sama dengan Rasulullah. Ketika pertama kali memeluk Islam ia sudah hampir menginjak usia 40 tahun sedangkan Ali baru berumur belasan tahun. Pada saat Rasulullah wafat Ali berumur 33 atau 34 tahun. Bagi orang-orang Arab kala itu masalah usia cukup menentukan dalam memilih pemimpin. Kalausaja Ali ibn Abi Thalib ikut menghadiri pertemuan di Tsaqifah niscaya tidak akan mengajukan dirinya untuk dicalonkan. Problema Ali 166 sebenarnya -bahkan dari sudut pandangan orang-orang Syi'ah yang moderat- bukan karena terpilihnya Abu Bakr, bukan pula karena Abu Bakr menyerahkan kepemimpinan langsung kepada Umar melainkan problema yang mulai muncul selama pemerintahan Umar yang menyaksikan perkembangan-perkembangan baru berupa orientasi politik, kecenderungan fanatisme suku dan ambisi-ambisi keduniaan dalam diri para pemimpin umat. Ketika Umar terbunuh persolan-persoalan tersebut semakin jelas karena cara yang digunakan untuk menangani kasusnya dalam pertemuan-pertemuan kelompok enam, jelas banyak memperlihatkan penganiayaan terhadap hak Ali sehingga kelahiran kelompok Hasyimiyah sebagai kekuatan politik tak dapat dibendung lagi. Maka secara perlahan-lahan semakin mengacu kepada kekuatan ideologis Syi'ah dengan segala dimensi dan levelnya yang tetap menjadi problematika besar umat dewasa ini. *** Dengan meninggalkan Ali ibn Abi Thalib bersama Al-Fadhl ibn Al-Abbas dan saudaranya Qathm ibn Al-Abbas sedang menyelesaikan persiapan pemakaman Rasulullah Abu Bakr dan Umar dengan bergegas beranjak menuju Tsaqifah sebelum terlambat. Mereka memandang bahwa persoalannya cukup serius dan berbahaya untuk dibiarkan berlarut-larut. Abu Bakr sebenarnya sudah cukup antisipatif menghadapi perkembangan ini. Ia telah memperhitugkan sebelumnya bahwa jika ada yang berambisi dalam persoalan ini maka orangnya adalah Sa'd ibn Ubadah ibn Duleim yang merupakan pembesar keluarga Ka'b ibn Al-Khazraj ibn Haritsah. Kelompok keluarga yang lebih banyak pengikutnya dan lebih kuat dibandingkan dengan kelompok keluarga bani Al-Najjar. Lebih dari itu Sa'd ibn 'Ubadah menempati posisi tinggi dalam Islam. Ia adalah tokoh perjanjian aqabah dan salah seorang anggota kelompok elit 12 yang terpilih baik dalam penjanjian aqabah maupun dalam piagam Madinah. Pejuang Badr yang legendaris dan termasuk orang-orang kaya di Madinah. Pemilik tanah pertanian, kebun kurma, dan anggur yang luas. Apalagi amat dermawan, tidak berpikir panjang jika perjuangan Islam membutuhkan dana. Setiap hari mengirim satu set makanan lengkap kepada Rasulullah di kala sedang di Madinah dan jika pergi bersama Rasulullah dalam suatu kegiatan militer ia selalu membawa seekor unta sebagai bekal untuk disembelih dan dikonsumsi para pasukan Islam. Tidak pernah absen dalam setiap pertempuran yang dipimpin Rasulullah. Ditambahkan pula putranya, Qaes ibn Sa'd ibn 'Ubadah adalah pemuda yang paling dicintai Rasulullah dan beliau memandangnya berpikiran lebih tajam dan lebih arif dari sang ayah. Beliau menjadikannya semacam polisi pengawas yang selalu berada di samping beliau. Sedang Abu Bakr dan Umar dalam perjalanan, Abu 'Ubaidah ibn Al-Jarrah bergabung. Mereka tiba dan mendapatkan orang-orang tengah berkumpul di Tsaqifah (yakni tempat pertemuan mereka yang terbuka) untuk bermusyawarah. Tsaqifah bukanlah suatu bangunan melainkan sebidang tanah lapang yang teduh atau yang diberi atap. Oleh karena itu dinamakan juga 'perteduhan bani Sa'dah'. Pada saat itu Sa'd ibn'Ubadah sedang menderita demam dan tidak mampu berbicara langsung kepada khalayak. Dengan duduk menyandarkan diri pada bantal berbicara kepada orang-orang melalui orang kedua. Maksudnya ia berbicara dengan suaranya yang rendah kemudian ada satu orang yang meneruskan bicaranya dengan suara keras. Perlu dicatat bahwa pertemuan Tsaqifah adalah satu-satunya pertemuan politik bebas yang dilakukan oleh umat Islam sepanjang sejarahnya. Mereka bermusyawarah dengan sangat terbuka mengenai perihal yang menjadi kepentingan bersama.Rasulullah selama ini melakukan permusyawaratan serupa jika umat sedang menghadapi masalah dan persoalan-persoalan keduniaan yang serius dan menyangkut kepentingan umat. Beliau membuka pertemuan dan 167 mempersilahkan setiap orang berbicara. Beliau mendengarkan setiap pembicaraan secara seksama. Apabila mereka telah mencapai kesepakatan, keputusan kemudian ditetapkan oleh beliau. Hal seperti itu beliau lakukan sewaktu merumuskan piagam Madinah yang seluruh pasalpasalnya didiskusikan dalam pertemuan terbuka. Dilakukan pula oleh beliau sewaktu mempersiapkan perang Badr, dan perang Uhud. Juga pada perang al-hudaibiyyah yang berakhir dengan perjanjian al-hudaibiyyah. Demikianlah tradisi Rasulullah selama ini. Umat adalah pemegang kekuasaan tertinggi menyangkut persoalanpersoalan keduniaan dan urusan politik yang merupakan kepentingan mereka. Rasulullah mendengarkan setiap perdebatan dan sesekali saja beliau mengarahkan lalu memutuskan pendapat yang disepakati. Tradisi inilah yang menjadikan umat Madinah sebagai masyarakat beriman yang merdeka, duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Beliau tidak pernah memperlakukan seseorang dengan perlakuan istimewa kecuali atas dasar-dasar kemampuan dan bakat-bakat keahliannya terutama kredibilitas keimanan. Sa'd ibn 'Ubadah yang segera akan memperoleh perlakuan 'keras' pada akhir pertemuan ini adalah orang yang paling dicintai Rasulullah. Tidak sekali saja beliau pernah memuji-muji dan mendo'akannya untuk senantiasa mendapat rahmat Allah. Ia sesungguhnya tidak mempunyai ambisi tetapi kaumnya yang memaksa. Tatkala Abu Bakr tiba dan bertanya kepadanya: bagaimana pendapatmu, Abu Tsabit? jawabnya: aku termasuk dalam golonganmu" (Al-Baladzari , vol. 1/581). Dalam karya-karya Ibn Sa'd, Thabari dan Al-Baladzari terdapat kutipan yang hampir mencakup seluruh catatan (semacam notulen) pertemuan tersebut. Sebuah pertemuan yang menjadi kebanggaan umat Islam hasil didikan Rasulullah SAW dan kelanjutan tradisinya. Hanya pada pertemuan ini yang menjadi peristiwa satu-satunya dalam sejarah umat Islam hingga abad modern dimana keputusan menentukan bagi kepentingan umat seluruhnya ditetapkan berdasarkan permusyawaratan murni, terbuka dan bebas. Di sini dan pada saat itu saja kita dapat mengikuti apa yang terjadi dan siapa yang berbicara kadang dengan panjang terkadang pula dengan pendek dalam suatu permusyawaratan yang murni demokratis. Setiap orang mengajukan pendapatnya dan sering suara-suara bertambah keras tetapi tidak melewati batas-batas yang wajar, tidak melanggar etika permusyawaratan tidak pula mengabaikan sopan santun yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang yang merasa dirinya salah satu bagian dari satu umat. Bahkan ketika Abu Bakr pergi mengajak kelompok bani Aslum dari suku Qudha'ah untuk ikut hadir dalam pertemuan demi memperbanyak suara mayoritas pendukungnya juga merupakan langkah demokratis yang konstitusional. Pada dasarnya Abu Bakr tidak pernah membayangkan jika pertemuan dilaksanakan di tempat ini. Justru dalam perhitungannya akan terjadi di mesjid seusai upacara pemakaman Rasulullah. Ia (Abu Bakr) menyadari sepenuhnya betapa minoritas al-muhajirin dibandingkan dengan alanshar. Maka ia berusaha memperbanyak pendukung dengan menghubungi bani Aslum sewaktu mereka berada di mesjid (sebelum berangkat ke pertemuan). Kiranya ketentuan Allah menghendaki pertemuan diadakan di Tsaqifah dan sebelum jenazah Rasulullah dimakamkan. Meskipun sebelum bani Aslum masuk bergabung ke dalam pertemuan suasana sudah menunjukkan ke arah dukungan kepada Abu Bakr. Namun keterlibatan mereka telah berperan menentukan. Kita juga harus mengatakan bahwa pertemuan yang demokratis murni dan konstitusional satu-satunya dalam sejarah umat Islam ini dilakukan saat Rasulullah masih berada di muka bumi, seakan-akan tradisinya yang mengagumkan tak kuasa dipraktekkan kecuali jika beliau tetap berada di muka bumi. Tatkala beliau sudah dikebumikan segala sesuatu yang mengagumkan ikut pula terkuburkan! 168 Dalam sumber-sumber hadis dan Sirah ditemukan ungkapan yang diutarakan oleh Anas ibn Malik, pelayan Rasulullah dan perawi banyak ucapan-ucapan Rasulullah mengatakan:"Ketika Rasulullah mulai diutus segala sesuatu di penjuru dunia terlihat terang benderang. Tatkala beliau pergi gelap gulita menyelimuti segala sesuatu. Begitu kita selesai meratakan tanah makamnya kita segera mengingkari kata nurani kita" (Ibn Sa'd, vol. 2/59). Suatu ungkapan yang amat dan amat dalam maknanya! *** Abu Bakr, Umar dan Abu 'Ubaidah Al-Jarrah tiba di Tsaqifah mendapatkan Abu Tsabit Sa'd ibn 'Ubadah sedang menyampaikan pidatonya dari tempat duduknya dan melalui suara orang kedua. Kutipan Al-Thabari cukup baik menggambarkan jalannya pertemuan seakan laporan notulen yang rinci. Kepergian Abu Bakr, Umar dan Abu 'Ubaidah Al-Jarrah ke Tsaqifah agak lebih cepat agar bisa tiba di tempat sebelum mereka memutuskan sesuatu sementara masing-masing mempersiapkan apa yang akan disampaikan. Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal dalam musnadnya Abu Bakr dan Umar datang dalam keadaan berlari. Mereka masih dapat mendengarkan beberapa potong pernyataan Sa'd ibn 'Ubadah. Pernyataan-pernyataan mana cukup logis dan representatif mewakili aspirasi al-anshar. Ia menyebutkan bagaimana Rasulullah berdakwah di tengah kaumnya selama lebih dari sepuluh tahun (di Mekkah) tetapi yang beriman mengikutinya sedikit sekali. Mereka (kaumnya) tidak mampu membela Rasulullah dan tidak mampu pula melindunginya "hingga tatkala hendak memuliakan kalian beliau datang membawa kemuliaan dan ni'mat yang khusus untuk kalian. Yaitu bahwa Allah menganugerahkan kalian keimanan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.. Kalian lebih tegas dalam membela beliau ketimbang mereka, kalian lebih banyak berkorban mendukung perjuangannya hingga bangsa Arab seluruhnya takluk kepada agama Allah baik rela maupun terpaksa, kalian adalah pasukannya yang membuat pemimpin-pemimpin yang angkuh datang bertekuk lutut, hingga Allah menganugerahkan stabilitas dan kesejahteraan di bumi dan berkat pedang kalian bangsa Arab tunduk. Rasulullah wafat dengan amat puas dan sangat senang terhadap dukungan kalian. Kalian harus lebih berhak menguasai 'perihal' ini dari pada orang lain" (Thabari, vol. 3/216). Pertanyaannya, adalah 'perihal' apakah gerangan yang disinggung Sa'd ibn 'Ubadah sebagai yang berhak untuk dikuasai oleh kaumnya? Rasulullah telah wafat meninggalkan agama Allah dan umat yang percaya terhadap agama tersebut. Ada Al-Qur’an sebagai imam dan undang-undang dasar bagi umat ini baik dalam kehidupan, pemikiran maupun dalam praktek hidup sehari-hari. Al-Qur’an adalah pedoman hidup yang semestinya diikuti oleh umat, mereka harus komitmen dengan setiap ketentuan yang ada di dalamnya agar mereka tidak meleset dari jalan yang digariskan Allah karena jika mereka keluar dari relnya berarti mereka tidak tergolong umat Islam. Kewajiban umat adalah menyambung kesinambungan tradisi Rasulullah yang juga merupakan tradisi Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah undang-undang dasar yang paling tinggi sedangkan sunnah Rasulullah adalah petunjuk pelaksanaan dan suri tauladannya. Alangkah cepat semua ini beralih menjadi suatu 'perihal', yakni sesuatu yang teraba dan dapat dikuasai oleh orang-orang tertentu? Bagaimana suatu agama beralih dalam beberapa saat saja menjadi sebuah kekuasaan? Bagaimana kekuasaan beralih menjadi suatu keuntungan yang diperebutkan oleh orang-orang dan masing-masing ingin menguasai sendiri? Dari satu segi Umar dan Abu Bakr bergegas datang sementara di pihak lain Sa'd ibn 'Ubadah sedang memesan kaumnya untuk 'menguasai'. Riwayat lain mengatakan:" Sewaktu Rasulullah telah wafat orang-orang al-anshar mendukung Sa'd ibn 'Ubadah di Tsaqifah sedangkan Ali, Al-Zubair dan Thalhah menyingkir ke rumah Fatimah. Al-muhajirin mendukung Abu Bakr dan Umar berikut Usaid ibn Al-Hudeir dari 169 bani Abd Al-Asyhal sedangkan Rasulullah belum selesai dimakamkan. Seseorang datang kepada Abu Bakr membisikkan agar "segera menangani masalahnya sebelum menjadi besar" (AlBaldzari, vol. 1/582). Kita mengetahui bahwa Rasulullah wafat sedangkan di semenanjung Arab bangkit pergerakan nabi-nabi palsu yang mengancam Islam dan harus dipadamkan sebelum menjalar. Setidaknya ada tiga nabi palsu yang memproklamirkan diri di semenanjung dan satu lagi di bani Taghlab. Mengapa tidak seorangpun yang berebut mendapatkan 'perihal' di Tsaqifah ada yang menyinggung ancaman pergerakan-pergerakan tersebut dan mengajak untuk bersatu padu menghadapinya serta memadamkan sumber-sumber fitnahnya dan setelah itu baru dapat menyelesaikan 'perihal' berikut menguasainya? Adalah benar persoalan ini telah hadir dalam benak Abu Bakr dan kelak yang paling pertama dilakukannya adalah memadamkan semua fitnah tersebut namun ia tidak menyinggung sama sekali dalam pidatonya. Menurut pendapat kami ia harus menyinggungnya. Dalam perdebatan yang berlangsung di Tsaqifah ada sebagian pendapat mengatakan bahwa orang-orang al-muhajirin niscaya akan menolak jika kepemimpinan berada di tangan al-anshar karena mereka adalah sahabat Rasulullah yang pertama "kami adalah keluarga dan pendukung pertamanya, dengan dasar apa kalian (al-anshar) menentang kami sesudahnya?", ada pula yang mengatakan: dari kami ada pemimpin dan dari kalian ada pemimpin. Kami tidak rela menerima keputusan selain itu. Ketika Sa'd ibn 'Ubadah mendengar pendapat tersebut ia segera mengatakan: ini adalah kelemahan pertama. (Tabari, vol. 3/219). Ia menyatakan kelemahan alanshar karena bagaimana umat memiliki dua pemimpin: satu dari al-anshar dan satu lagi dari almuhajirin? Apakah ada satu umat atau dua umat? Sebenarnya ia menginginkan kalau dukungan al-anshar seluruhnya tertuju pada dirinya. Tampaknya orang yang menyatakan pendapat: kami mempunyai pemimpin dan kalian juga demikian adalah Al-Hubab ibn Al-Mundzir ibn Al-Jumuh, pemuka bani Salamah dari keluarga bani Jasym dari Al-Khazraj, seorang militer dan ahli strategi perang. Ia yang merancang strategi perang Badr dan ia pula yang merumuskan sebuah rencana perang untuk menaklukkan Khaebar. Rasulullah menyukainya dan sering menerima pendapatnya. Di sini ia berbicara dengan bahasa militer bahwa kekuatanlah yang harus menyelesaikan masalah. Kali ini pendapatnya hanya menggambarkan keperkasaan kaumnya. Ia mengatakan:"Wahai kaum al-anshar, tenang dan berusahalah menguasai keadaan karena orang-orang membayang-bayangi kalian (al-muhajirin). Tidak seorang pun yang berani berbeda pendapat dengan kalian. Orang tidak akan bertindak kecuali atas persetujuan kalian. Kalian adalah orang-orang perkasa, kaya, mayoritas dan berpengalaman serta tegas dan suka menolong. Orang akan menilai apa yang pernah kalian perbuat. Jangan berselisih karena perselisihan akan melemahkan posisi kalian. Jika mereka menolak maka dari kita ada pemimpin dan dari mereka ada pemimpin" (Al-Nuweiri, vol. 19/34). Akhirnya terjadi perdebatan sengit duel antara Umar dan Al-Hubab, satu mendukung al-anshar dan yang lain mendukung al-muhajirin, lalu Abu 'Ubaidah menengahi. Seorang tokoh yang dalam seluruh jiwa raganya terpatri keimanan yang mulia. Ia berkata:"Wahai kaum al-anshar, sesungguhnya kalian adalah orang-orang pertama yang menolong dan mendukungnya (Rasulullah) maka janganlah menjadi orang-orang yang pertama berubah sikap". Seorang dari alanshar yakni Basyir ibn Tsa'labah ibn Al-Jallas dari bani Al-Harits ibn Al-Khazraj yang nampak dalam ungkapakannya pengaruh pemikiran Abu Bakr akan kemaslahatan umat Islam, kemungkinan besar Abu Bakr sudah mendiktenya sejak menginap di bani Al-Harits, memberanikan diri maju menyampaikan pendapatnya sebagai berikut:"Wahai orang-orang al170 anshar, jika benar bahwa kita merasa teristimewa dan lebih unggul dalam memerangi orangorang musyrik dan lebih awal memperjuangkan agama ini sesungguhnya semua itu kita lakukan demi mencari keridloan Allah dan semata untuk mentaati Nabi kita Muhammad SAW serta demi memperoleh pahala untuk kita. Adalah tidak layak jika semua itu kita jadikan alat untuk bersikap sombong di hadapan orang-orang hanya untuk memperoleh kepentingan dunia yang sementara. Bukankah semua itu kita lakukan atas dasar bimbingan dan petunjuk Allah jua? Tapi Allah yang Maha Pemurah tetap memperhitungkan semua itu sebagai jasa baik kita dalam memperjuangkan agama, namun karena Muhammad SAW adalah dari orang Qureisy dan kaumnya tentu lebih layak (menggantinya) maka demi Allah aku tak ingin Allah menyaksikan aku menentang mereka dalam perihal ini. Bertaqwalah kepada Allah dan jangan menentang mereka". Ini adalah pernyataan orang mu'min yang melihat kepentingan Islam bukan kepentingan diri pribadinya. Ungkapannya menyusul pernyataan Abu 'Ubaidah telah melapangkan jalan bagi pidato Abu Bakr yang menentukan di mana ia membuktikan dirinya sebagai orang yang berhak menyandang julukan 'al-shiddiq' dan lebih berhak memimpin umat sepeninggal wafatnya Nabi. Dalam pidatonya ia mengakui hak setiap orang. Dimulai dengan puji syukur ke hadirat Allah, kemudian berbicara tentang al-muhajirin dan keutamaan yang mereka miliki. Ia menyinggung bagaimana Allah menjadikan mereka sebagai orang-orang khusus pendukung Nabi dan pelipur laranya ketika sedang menghadapi penentangan kaumnya yang menyedihkan dan menyakitkan. Di saat orang-orang memeranginya dan masing-masing dari mereka menganggapnya sebagai kutukan zaman. Mereka (al-muhajirin) tidak pernah merasa tegar hanya karena alasan jumlah mereka sedikit tidak pula merasa berkecil hati jika mereka dimaki-maki oleh bangsanya sendiri. Mereka adalah orang pertama yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya dan orang pertama pula yang menyembah Allah di muka bumi. Mereka adalah pejuang agama Allah. Mereka adalah keluarga beliau dan yang menentang dalam hal ini adalah aniaya sedangkan kalian wahai alanshar tiada seorang pun yang berani mengingkari jasa dan keutamaan kalian dalam agama ini. Allah telah meridloi kalian sebagai orang-orang penolong agama dan pelindung Nabi-Nya. Orang-orang al-muhajirin yang lebih awal sekalipun tidak akan pernah menyamai kedudukan kalian, jika kami (al-muhajirin) ibarat pangeran maka kalian adalah menteri-menterinya. Kalian akan tetap diajak musyawarah dan keputusan tak akan ditetapkan tanpa persetujuan kalian" (Tabari, vol. 3/220; al-Nuweiri, vol. 19/34). Pidato Abu Bakr akhirnya menempatkan segala sesuatu dengan tepat dan menjelaskan siapa sebenarnya yang berhak memimpin umat setelah Rasulullah SAW. Perlakuannya kepada orangorang lebih mendekati cara-cara dan tradisi Rasulullah. Nampaknya Al-Hubab kembali berbicara dan hendak memperjelas masa depan dirinya. Dalam pembicaraannya yang kedua kalinya ini tidak ditujukan langsung kepada Abu Bakr tetapi kepada orang-orang al-muhajirin yang dikhawatirkan kekejamannya demikian juga kepada orang-orang yang dikhawatirkan dapat memecah belah orang-orang al-anshar. Pernyataannya kali ini telah mengakhiri karir dan masa depannya. Dalam suasana seperti ini kesalahan sedikit saja dapat menjadi fatal. Ia berkata:"Wahai orang-orang al-anshar, janganlah terpengaruh oleh pidato orang ini dan para pendukungnya karena dengan demikian kalian akan kehilangan bagian dari 'perihal' ini. Jika mereka tidak rela menerima kemauan kalian lebih baik mereka diusir saja dari negeri ini sehingga kalianlah yang berkuasa. Sungguh kalian lebih berhak dikarenakan orang-orang Arab tunduk kepada agama ini yang sekiranya bukan dengan berkat pedang kalian mereka tak akan pernah tunduk dan akulah ahlinya yang ulung, jika ada yang menyerang kami akan 171 membalasnya. maka siapakah yang berani menantangku?" (Al-Baladzari , vol.1/582; Tabari, vol. 3/221). Umar hendak maju tapi segera didiamkan oleh Abu Bakr yang dengan tenang dan bijaksana serta penuh kearifan kembali berbicara. Ia menyadari betul bahwa Al-Hubab ingin memperoleh bagian dalam kekuasaan untuk diri pribadi dan kaumnya. Abu Bakr tidak keberatan dengan hal itu dan lebih lanjut mengatakan:"kami adalah orang pertama memeluk Islam dan tempat tinggal kami cukup bersahaja. Kalian adalah saudara kami dalam Islam dan serumpun seagama. Kalian telah menolong dan melindungi serta menerima kami maka semoga Allah membalasnya dengan limpahan pahala. Kami adalah pangeran dan kalian menterinya. Orang-orang Arab tidak akan tunduk kecuali kepada sekelompok orang-orang Qureisy ini. Kalian tentu telah mendengar sabda Rasulullah "pemimpin adalah dari Qureisy". Adalah layak bagi kalian untuk tidak dengki kepada saudara seagama dari al-muhajirin hanya karena Allah menganugerahkan keistimewaan kepada mereka" (Al-Baldzari, vol. 1/582). Pernyataan Abu Bakr tersebut telah menghapuskan segala bentuk kekhawatiran oposan al-anshar dan kembali Al-Hubab berbicara mengatakan:"sesungguhnya kami tidak ada rasa dengki kepadamu dan kepada para sahabatmu tapi kami khawatir jika kekuasaan dipegang oleh orangorang yang pernah kami perangi lalu mereka ingin membalas dendam kepada kami". Abu Bakr menjawab: jika kalian mau mengikuti pendapatku setujulah menerima satu di antara kedua orang ini. Yang dimaksud Umar dan Abu 'Ubaidah tapi keduanya mengundurkan diri dan dalam sekejap Basyir ibn Sa'd maju membai'at Abu Bakr yang diikuti oleh Umar, Abu 'Ubaidah kemudian Useid ibn Al-Hudeir dan yang lain. Umar masih tetap dirundung kekhawatiran menyusul sikap Sa'd ibn 'Ubadah yang masih menolak demikian juga Al-Hubab ibn Al-Mundzir. Sudah barang tentu banyak dari kaumnya yang akan berdiri di belakangnya. Di sini Al-Tabari mengutip suatu riwayat yang akan menjawab pertanyaan kita di manakah Abu Bakr berada selama dua hari ini. Ia ternyata berhasil merekrut Basyir ibn Sa'd dan kaumnya dari bani Al-Harits ibn Al-Khazraj. Tentu ia juga berhasil mengontak bani Aslum dari Qudha'ah dan memperoleh jaminan mereka akan hadir dalam pertemuan. Adalah logis jika mereka ini pertama-tama berangkat ke mesjid sesuai dengan persetujuan dengan Abu Bakr yang memperhitungkan pertemuan akan berlangsung di mesjid seusai pemakaman Rasulullah. Tiba-tiba pertemuan berlangsung di Tsaqifah menyebabkan Abu Bakr, Umar dan Abu 'Ubaidah serta segenap kaum al-muhajirin kecuali Ali dan Al-Abbas bergegas menuju kesana. Berselang beberapa saat kemudian orang-orang Aslum mengetahui bahwa pertemuan ternyata berlangsung di Tsaqifah dan mereka bersegera pula menyusul. Berkata Al-Tabari:"Diriwayatkan dari Abu Bakr Muhammad Al-Khuza'i bahwa orang-orang Aslum datang dengan rombongan banyak untuk membai'at Abu Bakr. Berkata Umar: begitu aku melihat orang-orang Aslum telah tiba aku yakin kita akan menang" (Tabari, vol. 3/222). Yang menarik perhatian kita dalam riwayat tersebut adanya disebutkan bahwa orang-orang Aslum datang untuk membai'at Abu Bakr seakan-akan kedatangan mereka memang hanya untuk tujuan tersebut di mana sebelumnya telah disepakati bersama dengan Abu Bakr. Pernyataan Umar mengandung makna bahwa ia menunggu kedatangan orang-orang Aslum. Jika tidak mengetahui sikap mereka sebelumnya tentu tidak akan langsung merasa menang begitu melihat kedatangan mereka. Patut dicatat pula orang-orang Aslum datang berombongan dengan jumlah banyak sehingga tidak termuat oleh tempat yang tersedia. Jumlah yang besar di sini sangat diperlukan karena Abu 172 Bakr memperhitungkan bahwa pertemuan akan dilangsungkan untuk bermusyawarah di mana kesepakatan mayoritas akan menentukan. Ia menyadari bahwa orang-orang al-muhajirin tidak mempunyai harapan untuk menang tanpa bantuan kelompok besar yang datang secara mendadak seperti yang dilakukan oleh Aslum dan kaumnya. Jika argumentasi ini tepat berdasarkan sumbersumber yang ada maka wajar jika semua ini adalah hasil rekayasa yang amat baik dan jeli oleh Abu Bakr. Orang-orang Aslum adalah kaum muslim yang merupakan anggota masyarakat Islam. Meminta dukungan mereka dalam kondisi seperti ini adalah logis, konstitusional dan ada hikmahnya sebab dari mana orang-orang al-muhajirin dapat memperoleh dukungan suara banyak di tengah lautan manusia dari al-anshar yang diantara mereka ada yang berpikiran seperti AlHubab. Tentu umat akan terancam berantakan. Menurut Al-Hubab jika harus terpaksa, orangorang al-anshar memisahkan diri seperti sedia kala dan menentang pemerintahan orang-orang almuhajirin. Suatu ancaman perseteruan sengit yang mengerikan. Maka siapakah yang mampu memimpin umat ini sekiranya Abu Bakr tidak melakukan rekayasa dan perencanaan baik yang sangat menguntungkan itu? Jika orang-orang al-anshar cenderung menggunakan kekerasan sesungguhnya Abu Bakr lebih memprioritaskan permusyawaratan untuk mufakat. Dan dengan sikap seperti ini ia telah menyelamatkan umat dari ancaman kebinasaan. Bahkan seandainya Ali ibn Abi Thalib hadir dalam pertemuan niscaya ia tak mampu memenangkan pergelutan karena dibutuhkan kelompok besar untuk membentuk mayoritas. Sungguh Abu Bakr telah menangani persoalan dengan cara demokratis dan memenangkannya melalui suara mayoritas. Banyak di antara penulis kita tidak menyadari bahwa Ali ibn Abi Thalib saat itu baru berusia lebih dari 30 tahun sedangkan Abu Bakr sudah lebih dari 60 tahun. Perbedaan usia mereka berselang 30 tahun. Dalam hal posisi dan kepribadian mereka hampir sama. Mereka adalah orang-orang pertama memeluk Islam, termasuk dalam tokoh-tokoh terkemuka pilihan. Jadi, mereka sama dalam keutamaan, keistimewaan, keikhlasan dan kejujuran sehingga faktor usia di sini cukup menentukan. Yang lebih aneh lagi ada sebagian ulama seperti Al-Qadli Abu Bakr Ibn al-Arabi yang menulis dalam bukunya al-'awashim min al-qawashim bahwa:"mendiamkan apa yang terjadi di Tsaqifah lebih afdlol". Dalam pendapatnya, jelas mengikuti jalur mereka yang selalu menginginkan umat ini tetap dalam keadaan 'buta sejarah', tidak mempunyai pengetahuan sama sekali tentang kenyataan yang terjadi. Sungguh tiada sesuatu pun yang lebih merusak dan mencelakakan umat ini kecuali larangan untuk mengetahui kenyataan-kenyataan sejarah dan menghalangi mereka memperoleh pengalaman masa lalu. Semua itu dilakukan dengan dalih ketaqwaan dan rasa hormat kepada para pendahulu salaf yang saleh. Penulis tidak mengerti dari mana para pendahulu dirugikan hanya karena meriwayatkan kejadian sebenarnya? Justru yang terjadi adalah sebaliknya bahwa kini kita dapat melihat betapa mereka lebih saleh dan lebih cerdas. Dan sikap yang dimainkan oleh Abu Bakr telah menambah keimanan dan keyakinan kita bahwa berdasarkan alasan-alasan: keimanan dan kejujurannya, kecintaan kepada Rasulullah dan bakat keahliannya, semua itu menjadikannya berhak menduduki posisi sebagai pelanjut Rasulullah dalam memimpin umat. Alangkah pentingnya umat ini mengetahui kenyataan setiap peristiwa yang terjadi dalam sejarahnya sehingga dengan demikian mereka niscaya akan memiliki pengalaman dan dapat belajar lebih banyak dari pengalaman tersebut. Prikeadaan bangsa Arab dan umat Islam yang disaksikan amat bersahaja dewasa ini disebabkan tiada lain kecuali karena 'persekongkolan' untuk menjadikan mereka tetap dalam keadaan 'buta sejarah', hidup dalam angan-angan, jauh dari kenyataan dan tak pernah diajak berpartisipasi walau dengan satu pendapat menyangkut 173 keputusan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Apakah kita mencatat sejarah untuk kepentingan diri sendiri atau untuk memberi pelajaran kepada umat? Apakah alasan kita tepat jika tetap menutup mata umat dari kenyataan-kenyataan baik yang sudah maupun yang akan terjadi hanya karena ingin menghormati pendahulu, al-salaf al-shaleh? Lalu adakah di antara yang kita uraikan di sini telah merugikan mereka dan mengurangi rasa ketaqwaan kita? *** Tapi untuk apa kita mengikuti sikap Abu Bakr Ibn Al-'Arabi dan semacamnya sedangkan Umar sendiri menyatakan secara terus terang sebagaimana yang selalu menjadi kepribadiannya alasan mengapa ia dan Abu Bakr bertindak seperti yang telah dilakukannya dan berhasil mencapai tujuannya. Dalam suatu keterangan panjang yang dikutip oleh Imam Ahmad ibn Hanbal Umar menguraikan peristiwanya. Kita akan mengutip hanya beberapa paragraf yang berhubungan dengan yang sedang kita bicarakan. Setelah menyinggung perbedaan pendapat di kala Rasulullah wafat lebih lanjut Umar berkata:".. Ali dan Al-Zubair menyingkir ke rumah Fatimah, sedangkan orang-orang al-anshar melakukan pertemuan di Tsaqifah sementara orang-orang al-muhajirin berkumpul di sekitar Abu Bakr. Aku berkata kepada Abu Bakr, mari kita pergi mengikuti pertemuan saudara-saudara kita al-anshar. Maka kami pun berangkat diikuti oleh orang-orang almuhajirin. Di tengah jalan kami bertemu dengan dua orang baik yang menyampaikan kepada kami perkembangan yang terjadi (di Tsaqifah). Keduanya bertanya: mau kemana orang-orang almuhajirin? kami ingin menemui saudara-saudara kami al-anshar, jawabku. Keduanya menyarankan tidak perlu dan lebih baik kalian (al-muhajirin) memutuskan sendiri. Aku berkata: tidak, kami akan tetap menemui mereka. Kami pun melanjutkan perjalanan dan tatkala tiba di Tsaqifah ada yang sedang meyampaikan pendapatnya: akulah ahlinya yang ulung, dari kita ada pemimpin dan dari kalian wahai orang-orang Qureisy ada pemimpin. Lebih lanjut Umar mengatakan: keadaan menjadi kisruh dan banyak suara terdengar keras hingga kami khawatir akan terjadi pertentangan. Aku berkata: wahai Abu Bakr, rentangkan kedua tanganmu, dan iapun merentangkan kedua tangannya lalu aku membai'at diikuti oleh orang-orang al-muhajirin disusul oleh orang-orang al-anshar. Kami selanjutnya menuju ke tempat Sa'd ibn 'Ubadah. Ada di antara mereka mengatakan sungguh kalian telah membunuh Sa'd; aku menjawab: Allah yang akan melakukannya" (Ibn Katsier, vol. 5/246). Cukup jelas bahwa ada 'sesuatu' yang terjadi telah merubah situasi sehingga orang-orang almuhajirin mendapat dukungan mayoritas dalam pertemuan tersebut dan mereka dengan penuh kepercayaan diri maju mengambil prakarsa untuk membai'at Abu Bakr. Di pihak lain suara AlHubab ibn Al-Mundzir dan pendukungnya tak terdengarkan lagi sementara Sa'd ibn 'Ubadah lenyap dalam keramaian. 'Sesuatu' tersebut tiada lain kecuali bergabungnya orang-orang Aslum. Umar sendiri menyinggung hal itu dalam sebuah uraian lain yang telah kita kutip. Selanjutnya ia mengatakan:"..sungguh tiada yang mengharukan dari peristiwa-peristiwa yang telah kami alami melebihi bai'at Abu Bakr. Kami khawatir jika orang-orang tidak sepakat sedangkan kami tidak akan menyetujui setiap bai'at selain Abu Bakr. Jika yang terakhir ini yang terjadi maka kami menghadapi dua kemungkinan; apakah tetap menerima dengan terpaksa hasil keputusan mereka ataukah kami menolak dan jelas akan terjadi kerusakan. Kami berkesimpulan bahwa siapapun yang dibai'at tanpa persetujuan kaum muslim kami tidak mengakui otoritasnya, tidak pula akan mengakui legalitasnya" (Ibn Katsier, vol. 5/246). Kiranya dapat dipahami bahwa Abu Bakr dan Umar telah menguasai keadaan sehingga mereka dapat memilih dua alternatif; apakah merasa cukup dengan dukungan orang-orang al-muhajirin ataukah menambah kuat lagi dengan dukungan orang-orang al-anshar yang sudah terpecah 174 menyusul bergabungnya kelompok Aslum. Demikianlah kejadiannya sehingga Sa'd ibn 'Ubadah hampir menemukan ajalnya di tengah keramaian orang datang membai'at Abu Bakr. Tapi Umar memandang kiranya pilihan yang lebih tepat dalam rangka menghindarkan fitnah dan demi kesatuan umat. Sekiranya ia dan Abu Bakr tidak bertindak demikian niscaya tidak dicapai bai'at massal. Mereka menyelesaikan 'perihal' yang maha besar tersebut sebelum maghrib. Ini menunjukkan kepakaran kedua tokoh ini dan kemampuannya dalam menggiring situasi ke arah yang lebih baik dalam menghadapi persoalan-persoalan berat. Mereka datang kembali ke mesjid dan orang-orang di sekitar pada bertakbir. Berkata Al-Baladzari:"Adalah Basyir ibn Sa'd yang mengantar Abu Bakr kedalam mesjid kemudian mereka semua ikut membai'atnya. Al-Abbas dan Ali mendengar riuh takbir di mesjid sementara mereka belum selesai memandikan jenazah Rasulullah SAW. Mereka bertanya: apa ini? jawab Al-Abbas: tak akan ada yang mampu menolak sesuatu seperti ini untuk selamanya (uraiannya kurang jelas, seakan ingin mengatakan: tiada lagi yang akan menentang Abu Bakr mengenai perihal ini). Untuk inilah aku mengusulkan kepadamu sebelumnya. Kemudian Ali keluar dan berkata kepada Abu Bakr: apakah engkau tidak memandang kami berhak untuk ini? jawabnya: ya, betul engkau berhak, tapi aku mengkhawatirkan akan terjadi fitnah, aku telah dibebani tanggung jawab besar. Ali berkata: Aku tahu bahwa Rasulullah SAW. mempercayakan kepadamu memimpin shalat, dan engkau adalah temannya di gua. Namun layaklah sekiranya kami diikutkan musyawarah. Semoga Allah mengampunimu. Dan akhirnya iapun ikut membai'atnya" (Al-Baladzari , vol. 1/582). Dengan selesainya bai'at kepada Abu Bakr yang kini sebagai pewaris tanggung jawab terhadap peninggalan Rasulullah yang paling besar dan paling penting yaitu keseluruhan umat yang dibangunnya berdasarkan agama Islam. Ia -dalam kapasitasnya sebagai pemegang kekuasaandatang menyaksikan upacara pemakaman Rasulullah. Adalah Ibn Sa'd yang lebih rinci menguraikan peristiwa tersebut dalam Tabaqatnya. Hal ini tidak menghalangi kita untuk mengatakan bahwa kenyataan sejarah dalam hal ini -dan dalam hal-hal lain menyangkut urusan umat- dapat ditemukan pula di berbagai sumber-sumber yang menjadi referensi kita. Namun Muhammad ibn Sa'd seperti halnya gurunya Al-Waqidi memiliki keistimewaan tersendiri bahwa perhatian mereka selalu terpusat kepada pemberian informasi yang lebih lengkap. Dalam hal ini Ibn Sa'd mengutip beberapa riwayat yang salah satunya yang paling mendekati kenyataan yang terjadi, menurut hemat kami, adalah uraian yang riwayatnya melacak kepada Ali ibn Abi Thalib yang bersama para keluarga ahl al-bait bertanggung jawab atas persiapan pemakaman Rasulullah SAW. Ali berkata:"Ketika kami mulai memandikan Rasulullah pintu-pintu kami tutup dan mencegah orang-orang mendekat. Orang-orang al-anshar mengajukan protes mengatakan: kami juga adalah orang-orang terdekatnya dan status kami dalam Islam sama. Ikut pula orang-orang Qureisy mengatakan: kami adalah kaum sesukunya. Abu Bakr menengahi: wahai kaum muslim masing-masing dari kalian berhak mengurus jenazah beliau tapi jika kalian semua masuk upacara pemakaman akan terhambat". Kiranya benar apa yang dikatakannya karena pemakaman Rasulullah sudah demikian terlambat. Beliau menghembuskan nafas terakhir pada pagi hari Senin 12 Rabiul Awal dan kala itu sudah menanjak waktu maghrib hari Rabu 14 Rabiul Awal. Jadi, sudah berselang waktu lebih dari 48 jam. Tentu saja tubuh Rasulullah sudah mulai berubah mengingat suhu udara bulan Juni ini yang lembab. Sumber-sumber sejarah semuanya tidak menutupi kenyataan ini. Ibn Sa'd, setelah mengajukan sanad riwayat, mengatakan: "Rasulullah dibiarkan setelah wafat selama sehari semalam (yang benar adalah dua hari dua malam lebih) hingga jasadnya mulai mengembung". 175 Dalam riwayat lain ia mengatakan:"Rasulullah tidak dimakamkan kecuali setelah diyakinkan bahwa beliau benar telah wafat karena warna kukunya sudah mulai menghijau" (Tabaqat, vol. 2 bag. II / 58-59). Barangkali yang lebih tepat adalah 'kukunya cenderung kehitam-hitaman'. Riwayat Al-Baladzari ikut menguatkan. Katanya:"warna (tubuh) Rasulullah sudah berubah" (AlBaladzari , vol. 1/568). Al-Tabari berkata:"Ketika Rasulullah sakit (keras) Abu Bakr absen. Ia baru datang setelah tiga hari. Tatkala datang ia membuka penutup tubuh beliau dan mengecup antara kedua matanya sementara berkata: demi engkau demi ayahbundaku, engkau tetap harum baik dalam keadaan hidup maupun sesudah wafat" (Tabari, vol. 3/201). Rincian-rincian ini sengaja kami uraikan untuk menjadi pertimbangan bagi banyak orang yang berkeyakinan bahwa seorang wali tetap dalam keadaannya yang normal setelah wafatnya penulis tidak tahu- beberapa bulan atau jenazahnya langsung hilang begitu saja. Untuk mereka ini kami mengatakan: tentu wali kalian lebih mulia dari Rasulullah SAW dan mendapat penghormatan khusus dari Allah melebihi nabi pilihan-Nya sendiri yang diutus-Nya untuk semesta alam! Keadaan semakin mendesak untuk mempercepat pemakaman. Beliau dimandikan oleh Ali ibn Abi Thalib bersama kedua sepupunya Al-Fadhl dan Qathm keduanya putra Al-Abbas dibantu oleh pelayan Rasulullah Tsauban dan putra pelayan beliau Usamah ibn Zaid. Ikut menyaksikan Aous ibn Khouli dari al-anshar. Beliau dimandikan dalam pakaiannya sebagai penghormatan dan dengan air yang didatangkan dari sebuah sumur di quba al-ghars, sumur mana Rasulullah sangat menyukai airnya yang sejuk dan jernih. Air dicampur dengan sadr, suatu tumbuhan yang wangi. Kemudian dikafani dalam tiga lipatan kain putih buatan Yaman, ada yang mengatakan dua lipatan, lalu ditutup dengan kain hitam (Tabaqat, vol. 2/63). Dikatakan bahwa tubuh beliau yang mulia diletakkan di atas suatu selimut merah untuk mencegahnya dari pengaruh lembab udara Madinah. Berdasarkan pendapat Abu Bakr mereka sepakat memakamkan beliau di mana beliau wafat. Untuk cara pemakaman ada yang berpendapat makamnya dibangun seperti kamar di bawah tanah dan kemudian meletakkan jenazah yang mulia di dalamnya; ada pula yang berpendapat cukup menggali tanah dan meletakkan tubuhnya yang mulia kemudian meratakan tanah kembali. Tapi pendapat pertama yang akhirnya diterima. Maka tempat tidur Rasulullah yang suci digeser dan mereka pun mulai menggali tanah dan kemudian membangun kamar dengan menggunakan bata. Setelah itu Ali dan mereka yang ikut memandikan, menurunkan jenazah yang mulia ke dalam kamar (makam). Waktu sahur telah tiba saat mereka menutup pintu makam. Aisyah berkata: "kami tidak mengetahui bahwa pemakaman Rasulullah telah usai hingga kami mendengar suara 'pembangun' di waktu sahur". Sebelum memakamkan Rasul termulia SAW, orang-orang shalat jenazah bergantian masuk tanpa ada imam. Pertama-tama kaum lelaki disusul kaum wanita selanjutnya para pemuda dan anak-anak. Pada saat-saat terakhir waktu sahur, dan di saat fajar sudah hampir menyingsing, pada hari Kamis 15 R. Awal 11H/Juni 632M yang kelabu, datanglah Abu Ayyub Khalid ibn Zaid alAnshari, sahabat Rasulullah yang kediamannya pertama kali ditempati beliau setiba di Madinah. Ia datang dengan membawa pelita yang pernah dinyalakannya sewaktu Rasulullah menetap di rumahnya. Pelita yang terbuat dari fikhar yang bersumbu. Di hadapan makam Rasulullah ia menyalakan pelitanya sementara duduk menghibur hati melipur lara membayangkan seakan Rasulullah masih hidup bersamanya dan bergurau seperti sediakala sewaktu tinggal di rumahnya dahulu. Rasa kantuk menyerangnya seketika dan ia pun pulas hingga waktu subuh tiba. Dalam mimpinya ia melihat dirinya mengendarai seekor kuda perkasa melewati pintu kerajaan 176 Kostantinopel (Turki) dengan membawa bendera kekasihnya, Rasulullah SAW. Ia tidak menyadari bahwa pelita kecil itu akan menerangi dunia. Kiranya mimpinya semacam ramalan akan kejadian masa datang. Kelak pada masa pemerintahan Sulaiman ibn Abd al-Malik, Abu Ayyub akan menemui ajalnya sebagai pahlawan syahid di perbatasan Konstantinopel. Oleh karena tidak ingin orang-orang Romawi menyentuh tubuhnya ia meminta pasukan kaum muslim menggiring kuda-kuda mereka melewati dan menginjak kuburnya berkali-kali (agar jejaknya hilang sama sekali) tetapi Tuhan menentukan yang lain karena pada masa pemerintahan Turki Ottoman kuburnya berhasil diidentifikasi dan dibangun di atasnya sebuah mesjid mewah yang berdiri tegak hingga kini. Di dalam mesjid itulah seluruh khalifah Ottoman dibai'at. Dari mesjid Abu Ayyub pula setiap pasukan Islam berangkat menuju istana-istana Istambul yang sudah menjadi kota Islam setelah dahulu pernah menjadi kota Kristen. Pujangga Perancis, Pierre Loti (1850 - 1923) sering berkunjung ke mesjid ini pada saat-saat sahur. Dilihatnya di pintu mesjid datang seorang Turki yang saleh dengan lilin di tangan. Ia meletakkan lilin tersebut di pintu mesjid dan menyalakannya. Tatkala beranjak pergi sang pujangga bertanya mengenai keadaannya. Dalam jawabannya ia kemudian menceritakan kisah hidup Abu Ayyub yang menyalakan pelita di makam Rasulullah pada malam pemakamannya. Selanjutnya berkata: sesungguhnya cahaya Muhammad SAW selalu menerangi dunia. Lilin ini adalah perlambang dari pelita Abu Ayyub, aku menyalakannya setiap malam dan dalam waktuwaktu seperti ini. Pada setiap tempat pada setiap pojok dan pada setiap arah di seluruh penjuru dunia ada saja pemeluk Islam dan beriman seperti aku. Mereka membawa secercah sinar dari cahaya Rasulullah untuk menerangi kegelapan hidup. Berkata Pierre Loti: sekiranya aku orang beriman niscaya seketika aku sujud di hadapan cahaya Allah. Dan.. selamat jalan Rasulullah hingga kita ditakdirkan bertemu dalam cahaya Allah.. di dalam surga ridlwan-Nya. Semoga kita semua menjadi peduduk surga ridlwan.. Amien.. 177 EPILOG Barangkali pembaca bertanya-tanya mengapa penulis menyebutkan sedikit sekali referensi non bahasa Arab di sini padahal kajian-kajian menyangkut sirah yang dilakukan oleh orang-orang Barat cukup melimpah. Ini tidak berarti bahwa penulis tidak membaca hasil karya mereka. Justru sebaliknya yang benar, karena upaya yang penulis lakukan untuk meneliti dan membaca karya-karya mereka jauh lebih banyak menghabiskan waktu penulis dari pada meneliti karya-karya dalam bahasa Arab. Tapi problema yang dihadapi dalam referensi Barat berkenaan dengan sirah adalah bahwa ia berangkat dari suatu titik yang tidak akan menyampaikan kepada suatu kesimpulan yang berarti; yaitu bahwa mereka berangkat dari ketidak percayaan terhadap kenabian dan kerasulan Muhammad SAW. Sebaik-baik pendapat dalam pemikiran mereka tidak lebih dari memandang Muhammad sebagai seseorang yang 'dikuasai' oleh suatu kondisi psikologis yang membuatnya merasa 'terlantar'. Dirinya yang diliputi kebingungan berupaya untuk keluar dari kondisi tersebut sehingga ia cenderung bersikap marginal dan ingin menjauhi keramaian. Akhirnya ia merasa senang berkhalwat46 untuk merenungkan keadaan dirinya. Dalam salah satu 'gangguan jiwa' yang dialaminya (saya memohon ampun kepada Allah untuk mengutip ungkapan ini) terbayangkan olehnya mendengar suara yang tidak diketahui sumbernya menegurnya dan meminta mengikuti bacaan yang diperdengarkan47. Ia merasa sangat takut dan merasa tercekik. Setelah keadaan itu berlarut ia pun dapat mengulang-ulangi apa yang dibayangkannya terdengar olehnya. Kemudian beranjak pergi dalam keadaan takut dan menggigil. Kembali kepada isterinya Khadijah yang mengantarkannya menemui sepupunya Waraqah ibn Noufal 48. Waraqah yang pertama kali menyadarkan Muhammad bahwa Tuhan pernah mengutus kepada Nabi Musa suatu undang-undang yang mirip dengan yang diterimanya. Ia pun menenangkannya dengan optimistis. Sedikit demi sedikit jiwanya kembali tenang hingga merasa memperoleh misi dari Allah untuk dibacakan kepada orang-orang. Itulah dia Al-Qur’an yang meminta kepadanya untuk disampaikan kepada orang-orang dan mengajak mereka percaya padanya. Kemudian setelah itu Muhammad SAW berdakwah dan segelintir orang bergabung kepadanya. Pergelutan pun dimulai menghadapi kaumnya yang menentangnya dengan sangat keras. Bagi pendahulu para penulis Barat, sirah yakni sejarah kehidupan dan perjuangan Muhammad SAW pada dasarnya tidak ada. Hanya sebuah 'kumpulan' yang disusun setelah wafatnya dalam bentuk sebagai berikut : 46 Menyendiri, semacam meditasi Pada saat Muhammad SAW menerima wahyu pertama 48 Waraqah ibn Noufal adalah pendeta dari agama terdahulu 47 178 AlQur’an Cerita-cerita para sahabat Dogengdongeng Ucapan ucapan Muhammad SAW Tafsir AlQur’an Sirah Mereka tidak dapat menerima Al-Qur’an sebagai landasan penulisan Sirah kecuali setelah tiga tokoh pakar mereka melakukan kajian serius terhadap sejarah Al-Qur’an dan strukturnya. Mereka ini berkesimpulan bahwa teks Al-Qur’an yang sampai kepada kita cukup akurat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiyah. Kesimpulan mereka seperti yang termuat dalam karya-karya Th. Noeldecke, F. Schwally. G. Bergstraesser, Geschichte Qurans (Leipzig 1919) Kiranya mereka mengakui Al-Qur’an sebagai sumber primer49 bagi Sirah tetapi Al-Qur’an itu sendiri adalah ciptaan Muhammad (a'udzu billah). Sedangkan interpretasi para ulama tafsir serta ucapan-ucapan Muhammad adalah pelengkapnya. Para pendahulu orientalis di Eropa yang menulis sirah tidak percaya satu baris pun dalam AlQur’an, dalam Tafsir dan Hadis. Contoh yang paling menonjol dalam hal ini adalah karya karya para tokoh yang termasuk pembesar dan pemuka-pemuka non muslim seperti, Sir William Muir, Alois Sprenger, Leone Caetano, Henri Lammens, Sprenger Abraham Geiger dan Richard Bell. Secara bertahap terutama setelah kajian-kajian peneliti terkemuka seperti Ignaz Goldzuheir misalnya dan Yulius Valhaozn serta Hrofitz mereka akhirnya dapat 'mengakui' ada sejarah yang ril50 bagi kehidupan Muhammad SAW. Maju lagi sedikit akhirnya menerima sebagian banyak karya tulisan Ibn Ishaq, Tabari, Ibn AlAtsier dan Al-Ya'qubi. Setelah Alfred Gibom menterjemahkan sirah karya Ibn Hisyam kedalam bahasa Inggeris, mereka baru mulai melihat ada koherensi51 historis tapi tetap mengingkari Muhammad sebagai Nabi atau Rasul. Mereka dapat menerima julukan apa saja kecuali yang satu ini. 49 Utama Nyata 51 Hubungan atau muatan 50 179 Bahkan tokoh yang dikenal lebih moderat seperti Montgamori Watt telah menyatakan bahwa Muhammad SAW cukup jujur dalam hal apa yang dirasakan dan apa yang disampaikannya dari Tuhannya ataupun apa yang diuraikan dari hasil ciptaannya sendiri, tapi ia bukan Nabi bukan pula Rasul melainkan tokoh politik yang telah berhasil mempengaruhi jalannya sejarah! (Astaghfirullah) Ia telah membangun suatu agama dan negara. Demikianlah Muhammad menurut mereka. Jangan bertanya tentang tulisan yang 'kurang-ajar' dan menjijikkan dalam karya mereka yang dianggap pemuka dan pembesar orientalis seperti: Regis Blachere, Gaudefroy Demombyne, Frantz Buhl, J. Weinsink, Henri Lammens, Hurbert R. Bell dan Ghrianme Gustav Weil. Oleh karena itu dan demi menjaga selera pembaca, perasaan dan keimanannya penulis tidak menyinggung karya orang-orang itu. Penulis sendiri tidak meperoleh faedah kecuali dalam 'cara penelitian' mereka atau metodologinya. Adapun pendapat mereka mengenai Rasulullah SAW dan uraian mereka tentang sirah sesungguhnya omong kosong belaka. Penulis tidak ingin menyia-nyiakan umur penulis dan umur para pembaca dalam 'berjuang' seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara kita dari anak benua India dalam upaya meyakinkan Barat akan kebenaran Rasulullah SAW dan originalitas Islam. Yang dapat penulis catat dalam hal ini perjuangan yang dilakukan oleh ulama terhormat seperti Syed Amir Ali (semoga nama baiknya selalu ditinggikan Allah) dan DR. Muhammad Humeid Allah Al-Haidrabadi; karena berdiskusi dengan orang-orang non muslim hanya akan menambah besar kekufuran dan keangkuhannya. Hati mereka keras dan tertutup dari kebenaran. Tidak begitu bernilai bagi kita jika mereka beriman apalagi tidak beriman karena Islam tidak memerlukan mereka meskipun kita berkewajiban melindungi saudara-saudara kita di Afrika, di negara Arab dan di Asia dari segala bentuk kesesatan. Kiranya kebutuhan tersebut cukup mendesak dan penulis sendiri sudah tidak terlalu berharap untuk berbuat lebih banyak karena usia sudah cukup lanjut. Penulis telah memulai dengan menulis sirah dalam bahasa Inggeris untuk saudara-saudara kita yang tidak berbahasa Arab, yang masih tersisa adalah kewajiban anda semua. Allah tidak membebankan sesuatu kecuali yang mampu dilakukan hamba-Nya. Setiap baris yang penulis tulis adalah penolakan terhadap pandangan orang kafir dan argumentasi bagi 'tukang ingkar' tanpa harus meperpanjang diskusi bersama orang-orang yang tidak akan pernah sadar dengan hanya sekedar diskusi. Yang membuat bentuk penulisan sirah yang dilakukan oleh para orientalis bertambah jelek adalah karena kebanyakan penulisnya adalah orang-orang Yahudi dan Katholik fanatik. Pembaca dapat membayangkan bagaimanakah bentuknya sirah yang ditulis atau ikut berpartisipasi dalam penulisan dan penelitiannya orang-orang Zionis. Semua ini membuat penulis merasa tidak perlu menyebutkan satu pun buku sirah karya para orientalis. Selain metodologi karya mereka hanyalah omong kosong. Penulis sendiri cukup banyak mengambil faedah dari metodologi mereka dan terpaksa menelan pahit-pahit apa yang mereka tuangkan dalam karya seperti tulisan Leoni Caetani dalam karyanya yang menjijikkan Annali de 'll Islam. Demikian juga kajian-kajian Henri Lammens yang meskipun penuh dengan kekurang-ajaran penulis harus membacanya untuk mengenal metodologi yang baik dan melihat sampai di mana penelusurannya. Bagaimanapun keengganan penulis membaca karya-karya keduanya penulis harus mengakui bahwa mereka dan yang sederajat seperti Alois Sprenger dan Abraham Geiger adalah orang-orang yang jauh lebih loyal terhadap agama mereka dari keikhlasan kita kepada agama kita. Kendati pun Islam adalah ni'mat Allah kepada kita namun 180 upaya kita menjelaskan kebenarannya kepada dunia hanya setitik dari lautan dibandingkan dengan upaya yang telah mereka lakukan. Dunia pada dasarnya adalah arena perlombaan. Allah telah menganugerahkan Islam kepada kita sebagai motivasi untuk berbuat lebih banyak bukan sebagai perteduhan untuk menggelar kasur di bawahnya lalu tertidur pulas. Jika anda ingin mengetahui sehebat apa usaha-usaha yang dilakukan para orientalis dalam memperjuangkan agamanya dan untuk menyerang Islam bacalah karya-karya berikut ini (walaupun kami tidak merujukkan riset metodologi, daftar buku-buku tersebut dibawah bermaksud untuk memperluas bacaan): J. Sauvaget, Introduction a l'histoire de l'orient musulman, Paris, 1943;(Telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab) G. Pfannmueller, Handbuch der Islam Literatiur, Berlin - Leipzig, 1923; M. Pareja, A. Bausani, L. Haitling, Islamologia, Roma, 1951; Regis Blachere, Le Probleme de Mohamet, Paris 1952; Gaudefroy Demombynes, Mohamet, Paris 1960. Yang terakhir adalah buku yang amat mengerikan. Ditulis oleh seorang pakar Perancis yang sudah berusia lebih dari 80 tahun dan meninggal dunia sebelum merevisinya. Tapi ia bersikeras untuk tidak meninggalkan dunia ini kecuali setelah memenuhi tuntutan yang dirasakannya sebagai kewajiban terhadap bangsa dan agamanya. Meski penuh dengan kesimpulan-kesimpulan yang tidak rasional namun anda tak dapat membayangkan seberapa banyak kitab yang dibacanya sebelum menulis karyanya. Ia telah membaca tanpa berlebih-lebihan seluruh kitab-kitab sumber sirah dan kitab-kitab induk dalam Islam! Penulis terpaksa menelan pil pahit dalam membaca dan menelusuri seluruh sumber-sumber yang digunakannya. Ironisnya seluruh kesimpulannya bersandar kepada sumber-sumber yang kita andalkan, cuma saja ia merekayasa dan memalsukan demi memenuhi tujuannya. Meski enggan namun tiada yang harus dilakukan kecuali penulis menyatakan salut. Apalagi dibandingkan dengan umum penulis dari kalangan kita yang hanya membaca beberapa sumber dan mengambil kulitnya untuk disusun menjadi satu buku dan menyusun kalimat-kalimat indah tanpa makna lalu merasa sudah melakukan 'sesuatu' dalam rangka membela Islam.(Demi Allah) Islam tidak memerlukan pembelaan kita dan pembelaan siapa pun karena Allah yang akan memelihara, menolong dan mengangkat derajatnya sebagaimana Dia yang menurunkannya. Sekiranya Islam mengandalkan kita niscaya sudah lama terhapus dari muka bumi. Yang lebih aneh lagi ada saja di antara kita yang menulis buku mengenai Rasulullah SAW dan menganggap dirinya sebagai pembela beliau. Suatu anggapan ibarat tong kosong yang nyaring bunyinya dan tidak dimiliki kecuali oleh orang yang tidak mengerti siapa Rasulullah. Beliau tidak memerlukan pembela ataupun pembelaan. Allah yang memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan dakwah dan Dia yang memelihara dan melindunginya. Maka siapakah yang mampu mengalahkannya jika Tuhan yang melindunginya? Kita perlu membela diri kita sendiri. Biarlah Allah yang memelihara dan melindungi agama dan Rasul-Nya karena Dia Maha Penolong dan Maha Pemelihara. Jika kita ingin menulis dalam bidang sirah hendaklah berbuat lebih serius, meneliti, membaca dan berusaha menciptakan sesuatu yang bernilai yang sesuai dengan kemuliaan Islam dan Nabinya. Adapun susunan kalimat-kalimat indah sesungguhnya hanyalah kepalsuan yang 181 dijadikan alat oleh penyusunnya untuk memperoleh uang. Tapi harus disadari bahwa hal itu tiada harganya di sisi Allah. Untuk menjadi orang yang berhak menyandang nama Islam dan pengikut setia Rasulullah cukuplah dengan menjadikan akhlak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW membawa Islam untuk menjadikan seluruh umat manusia sebagai muslim. Tapi lihatlah prikeadaan kaum muslim yang amat menyedihkan di saat mana pengikut Karl Marks dan Lenin jauh lebih banyak dari umat Islam sendiri. Dan tiada daya dan upaya kecuali atas Kekuasaan Allah. LA HAULA WA LA QUWWATA ILA BILLA. 182