PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN PREMARITAL SEKS BERDASARKAN LAYANAN PIK-KRR PADA SISWA SMK SWASTA Sigit Ambar Widyawati, Ita Puji Lestari1 Najib2) Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo, 2BKKBN Provinsi Jawa Tengah email: [email protected] email: [email protected] email: [email protected] 1 Abstract Kehidupan remaja merupakan kehidupan yang sangat menentukan bagi kehidupan masa depan mereka selanjutnya. Perilaku berhubungan seksual sebelum menikah (premarital sex) yang semakin permisif di kalangan remaja mendorong peningkatan kejadian kehamilan tidak diinginkan (KTD). Perencanaan kehidupan berkeluarga adalah suatu program untuk memfasilitasi terwujudnya tegar remaja. Salah satu program KRR yang mengembangkan strategi diatas adalah PIK-KRR (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja). Penelitian ini bertujuan mengukur perbedaan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dan premarital seks berdasarkan layanan PIK-KRR pada siswa SMK Swasta di Kabupaten Semarang. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian komparatif dengan pendekatan cross sectional. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan tingkat pengetahuan berdasarkan layanan PIK-KRR, meliputi : Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (0,00001)< (0,05), Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR,p value (0,419) > (0,05), Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang dampak premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (1,000) > (0,05), Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang pencegahan premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (0,005) < (0,05). Disarankan hendaknya memfasilitasi layanan PIK-KRR pada semua sekolah, dikarenakan masih banyak remaja yang belum paham mengenai pengetahuan premarital seks, dampak premarital seks dan pencegahan premarital seks. Keywords: Kesehatan Reproduksi, Premarital Seks, SMK Swasta, PIK-KRR 1. PENDAHULUAN Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. Kehidupan remaja merupakan kehidupan yang sangat menentukan bagi kehidupan masa depan mereka selanjutnya. Pada tahun 2010 jumlah remaja umur 10-24 tahun sangat besar yaitu sekitar 64 juta atau 27,6% dari jumlah Penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa (Sensus Penduduk, 2010). Melihat jumlahnya yang sangat besar, maka remaja sebagai generasi penerus bangsa perlu dipersiapkan menjadi manusia yang sehat secara jasmani, rohani, mental dan spiritual.Faktanya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa remaja mempunyai permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan masa transisi yang dialami remaja. Masalah yang menonjol dikalangan remaja yaitu permasalahan seputar TRIAD Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) (kususnya dalam aspek Seksualitas, HIV dan AIDS serta Napza), rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja dan median usia kawin pertama perempuan relatif masih rendah yaitu 19,8 tahun (SDKI 2007). Prosiding | 171 PILAR PKBI Jawa Tengah, sebagai pusat studi, rujukan, dan training center kesehatan reproduksi remaja, pernah melakukan studi tentang perilaku seksual remaja di tahun 2002 dan 2006. Pada tahun 2002, sebanyak 1000 responden remaja ada 97 orang (9,7%) yang telah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya. Kemudian pada tahun 2006, dari 500 responden, sebanyak 51 orang (10,2%) telah berhubungan seksual sebelum menikah. Sedangkan menurut data info kasus PILAR PKBI Jawa Tengah terhadap remaja usia 10-24 tahun dari Januari 2002-Desember 2007, permintaan konseling terbanyak di klinik kesehatan reproduksi remaja adalah mengenai kasus hubungan seksual pra nikah, yaitu sebanyak 651 kasus (Suharyo, 2008). Perilaku berhubungan seksual sebelum menikah (premarital sex) yang semakin permisif di kalangan remaja mendorong peningkatan kejadian kehamilan tidak diinginkan (KTD). Hal ini menunjukkan satu ironi bahwa ditengah kemudahan akses informasi, ditengah membaiknya tingkat pendidikan generasi muda dan meningkatnya kesejahteraan penduduk, jumlah remaja yang memilih menikah dini dan memutuskan melahirkan anak pada usia muda justru meningkat (BKKBN, 2012). Untuk merespon permasalahan tersebut, Badan Kependudukan Keluarga Berencana (BKKBN) telah melaksanakan dan mengembangkan program Kesehatan Reproduksi Remaja melalui program perencanaan kehidupan berkeluarga bagi remaja (PKBR). Perencanaan kehidupan berkeluarga adalah suatu program untuk memfasilitasi terwujudnya tegar remaja. Salah satu program KRR yang mengembangkan strategi diatas adalah PIK-KRR (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja). 2. METODE PENELITIAN Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dan premarital seks berdasarkan layanan PIK-KRR Pada siswa SMK Swasta Di Kabupaten Semarang, maka penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian 172 | Prosiding kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan penelitian komparatif. Menurut Silalahi Ulber (2005) penelitian komparatif adalah penelitian yang membandingkan dua gejala atau lebih. Penelitian komparatif dapat berupa komparatif deskriptif (descriptive comparatif) maupun komparatif korelasional (correlation comparatif). Komparatif deskriptif membandingkan variabel yang sama untuk sampel yang berbeda. Selanjutnya menurut Hasan (2002: 126-127) analisis komparasi atau perbandingan adalah prosedur statistik guna menguji perbedaan diantara dua kelompok data (variabel) atau lebih. Komparasi antara dua sampel yang saling lepas (independen) yaitu sampel-sampel tersebut satu sama lain terpisah secara tegas dimana anggota sampel yang satu tidak menjadi anggota sampel lainnya. Arikunto Suharsini (1998:236) mengatakan bahwa dalam penelitian komparasi dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda-benda, tentang orang, prosedur kerja, ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau prosedur kerja. Penelitian ini melakukan pengambilan sampel terpilih dari suatu populasi dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling pada 5 sekolah SMK Swasta di Kabupaten Semarang yaitu 1) SMK yang sudah memiliki pusat informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja (PIKKRR) dan sudah memiliki komitmen untuk melaksanakan program pendidikan kesehatan reproduksi dimana program tersebut sampai saat ini berjalan dengan baik yaitu SMK Tarunatama Getasan, 2) SMK yang belum memiliki pusat informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja (PIK-KRR) terdiri dari SMK Teresiana Bandungan, SMK Islam Sudirman 1 Ambarawa, SMK SPP Kanisius Ambarawa, SMK Widya Praja Ungaran. Penentuan tersebut dengan dasar pertimbangan jika dilihat dari karakteristiknya, status sekolah tersebut memiliki akreditasi B dan kondisi latar belakang siswanya hampir sama dimana sebagian besar berasal dari keluarga ekonomi menengah. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK Swasta di Kabupaten Semarang sebanyak 5 sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 286 siswa.. Karakteristik responden penelitian, layanan PIK-KRR dan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi seperti berikut: 1. Distribusi responden frekuensi Karakteristik Kelompok usia (th) 14–16 (remaja awal) 17–20 (remaja akhir) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat Pendidikan Ortu Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Akademi/PT karakteristik Frekuensi (n=286) % 172 114 60,1 39,9 99 187 34,6 65,4 19 163 56 44 4 6,6 57,0 19,6 15,4 1,4 Tabel 2. Distribusi frekuensi layanan PIK-KRR Variabel Layanan PIK-KRR Ya Tidak Partner diskusi tentang kesehatan reproduksi Teman Ayah Ibu Guru Pacar Akses sumber infor-masi kesehatan repro-duksi Mata pelajaran Guru Orang tua Teman Organisasi Media elektronik Media cetak Sumber informasi yang diinginkan Mata pelajaran 79 115 25 18 89 19 27,6 40,2 8,7 6,3 31,1 6,6 Tabel 3. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel Guru Orang tua Teman Organisasi Media elektronik Media cetak Frekuensi (n=286) % 94 192 32,9 67,1 162 28 155 33 20 56,6 9,8 54,2 11,5 7,0 166 128 119 86 30 165 52 58,0 44,8 41,6 30,1 10,5 57,7 18,2 76 26,6 Tingkat Pengetahuan Frekuensi % (n=286) Tingkat Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi Rendah 50 17,5 Sedang 157 54,9 Tinggi 79 27,6 Tingkat Pengetahuan tentang Premarital Seks Rendah 45 Sedang 74 Tinggi 167 15,7 25,9 58,4 Tingkat Pengetahuan Frekuensi % (n=286) Tingkat Pengetahuan tentang Dampak Premarital Seks Rendah 238 83,2 Sedang 41 14,4 Tinggi 7 2,4 Tingkat Pengetahuan tentang Tencegahan Premarital Seks Rendah 9 Sedang 65 Tinggi 212 3,1 22,8 74,1 Menurut Notoatmojo (2007), umur merupakan lama hidup yang dihitung sejak dilahirkan. Semakin bertambah umur seseorang, semakin bertambah pula daya tangkapnya. Seseorang dengan umur semakin bertambah, akan semakin baik dalam menentukan pilihan karena sudah banyak menerima informasi dari lingkungan sekitar, teman, tetangga dan orang tua. Adapun mayoritas pendidikan orang tua yang tamat SD sebanyak 163 responden (57,0%). Peran PIK-KRR di lingkungan remaja sangatlah penting dalam membantu remaja untuk mendapatkan informasi dan pelayanan konseling yang benar tentang KRR. (Muadz, 2009). Program Kesehatan Reproduksi Remaja difokuskan pada empat sasaran utama yaitu: Peningkatan komitmen terhadap program KRR, Komunikasi perubahan perilaku remaja, Peningkatan kemitraan dan Prosiding | 173 kerjasama dalam program KRR dan Peningkatan memberikan nasihat yang tepat mengenai mencari pelayanan kesehatan akses dan kualitas pengelolaan dan pelayanan bagaimana reproduksi yang tepat bagi remaja. Oleh karena Pusat Informasi dan Konseling KRR (PIK-KRR). Menurut SKRRI (Survey Kesehatan itu, keluarga harus menjadi sumber informasi membimbing remaja mendapatkan Reproduksi Remaja Indonesia), 2002-2003 51% untuk remaja perempuan dan 47% remaja laki-laki pelayanan kesehatan yang aman (Anusornteerakul, mengaku mendapat pelajaran kesehatan reproduksi 2008). Mayoritas tingkat pengetahuan tentang pada saat sekolah di SLTP. Ini berarti peran sekolah dalam menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi pada kategori sedang kesehatan reproduksi belum optimal, akibatnya sebanyak 157 responden (54,9%), sedangkan kebutuhan remaja terhadap informasi kesehatan responden yang berpengetahuan rendah hanya 50 reproduksi remaja masih sangat kurang. Hal ini responden (27,6 %). Pengetahuan seseorang dikelompokkan secara karena informasi yang diterima dari teman sebaya yang masih sama-sama belum mengetahui secara bertahap mulai dari tahap yang paling sederhana benar dan banyak disalah artikan dan ke tahap yang paling lengkap. Dalam penelitian ini, pengetahuan responden masuk dalam tahap diselewengkan (Saroha Pinem, 2009). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa “tahu” yang diartikan bahwa responden memiliki responden lebih banyak memilih teman sebagai kemampuan untuk mengingat kembali suatu partner diskusi tentang kesehatan reproduksi. materi yang telah dipelajari sebelumnya. Teman sebaya merupakan kelompok yang Termasuk menginat kembali sesuatu yang spesifik anggota-anggotanya terikat oleh kesamaan minat, dari informasi yang diterima. Mayoritas tingkat pengetahuan tentang kepentingan dan tujuan tanpa mempersoalkan etnik, agama dan latar belakang sosial lainnya. premarital seks pada kategori tinggi sebanyak 167 Teman sebaya juga merupakan kelompok yang responden (58,4%), sedangkan responden yang para anggotanya memiliki kesadaran dan berpengetahuan rendah hanya 45 responden (15,7 kepercayaan yang satu sama lain dan kepercayaan %). Mayoritas tingkat pengetahuan tentang tersebut mengikat satu sama lain untuk dampak premarital seks pada kategori rendah bertanggung jawab (Nargis, 2004). Untuk akses sumber informasi kesehatan sebanyak 238 responden (83,2%), sedangkan reproduksi mayoritas berasal dari mata pelajaran responden yang berpengetahuan tinggi hanya 7 sebanyak 166 responden (58,0%) kemudian dari responden (2,4 %). Mayoritas tingkat pengetahuan tentang guru sebanyak 128 responden (44,8%). Pengetahuan remaja mengenai kesehatan pencegahan premarital seks pada kategori tinggi reproduksi merupakan perpaduan antara sebanyak 212 responden (74,1%), sedangkan pengetahuan yang diperoleh dari mata pelajaran responden yang berpengetahuan rendah hanya 9 biologi disekolah dan pengetahuan local yang responden (3,1 %). bersumber dari interaksi sehari-hari dalam Tabel 4. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan kehidupan sosial (Saefuddin, 1999). tentang kesehatan reproduksi Sedangkan sumber informasi yang diinginkan berdasarkan layanan PIK-KRR mayoritas dari orangtua sebanyak 115 responden (40,2%). Hal ini sesuai dengan apa yang Tingkat Pengetahuan diungkapkan oleh PATH (2000) bahwa tentang Kesehatan pendidikan kesehatan reproduksi remaja idealnya Layanan Total p Reproduki diberikan oleh orang tua di rumah, namun banyak PIK-KRR Rendah Sedang Tinggi orang tua yang mengalami kesulitan dalam cara % % % menyampaikan kepada anak remajanya. Orang tua Tidak 22,9 54,7 22,4 67,1 0,00001 Ada 6,4 51,6 38,3 32,9 harus berusaha berkomunikasi yang terbuka 17,5 54,9 27,6 100,0 Total dengan anak-anak remaja untuk memahami masalah-masalah yang mereka hadapi dan 174 | Prosiding Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dalam penelitian ini adalah kemampuan pemahaman yang telah dimiliki responden terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi yang meliputi pengertian seks dan seksual pranikah pada remaja, macam-macam perilaku seks pranikah, dampak dari perilaku seks pranikah dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah. Beberapa hal yang dapat menggambarkan pengetahuan responden tentang kesehatan reproduksi yang masih salah antara lain sebanyak 89,2% tentang hormon yang dihasilkan oleh perempuan, sebanyak 83,2% tentang hormon yang dihasilkan oleh laki-laki, sebanyak 81,5% tentang tanda utama kehamilan dan sebanyak 64,3% tentang penyebab HIV/AIDS. Hasil temuan tersebut sangat mengkhawatirkan, karena pengetahuan yang salah tentang hormon, tanda utama kehamilan dan penyebab HIV/AIDS dapat mengakibatkan responden melakukan tindakantindakan yang beresiko. Hal ini dapat terjadi kemungkinan disebabkan karena informasi yang diterima responden belum benar terutama tentang perubahan hormon yang berperan terhadap munculnya dorongan seksual. Seiring dengan berkembangnya sistem reproduksi pada diri remaja menuju kematangan, hormon-hormon yang mulai berfungsi juga mempengaruhi dorongan seks pada remaja. Para remaja mulai merasakan adanya peningkatan dorongan seks dalam dirinya, misalnya munculnya ketertarikan kepada orang lain dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Karena remaja sudah mulai mengalami proses kematangan sistem reproduksi, maka seorang remajapun telah mampu menjalankan fungsi prokreasinya, atau dengan kata lain, seorang remaja telah memiliki kemampuan untuk menghasilkan keturunan. Meskipun begitu, bukan berarti remaja sudah mampu bereproduksi dengan aman secara fisik sebab usia reproduksi sehat dan aman bagi seorang wanita adalah 20-30 tahun. Kebanyakan wanita berumur kurang dari 20 tahun perkembangan fisik organ reproduksinya belum siap untuk memelihara hasil pembuahan dan perkembangan janin (Anas, 2010). Banyak remaja di Indonesia yang kurang memiliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Contoh sederhananya adalah remaja tidak mendapatkan pengetahuan yang mempersiapkan mereka memasuki masa pubertas sehingga mereka tidak siap memasuki periode menstruasi pertama bagi remaja putri dan periode mimpi basah bagi remaja putra. Bagi sebagian besar remaja, seksualitas tidak hanya tentang hubungan seksual, tapi juga tentang ketertarikan, status sosial atau reputasi, menemukan cinta dan intimasi, dan tentang hubungan itu sendiri. Sementara itu, tidak tersedia informasi yang cukup tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi remaja membuat pengetahuan remaja akan seksualitas dan kesehatan reproduksi menjadi sangat rendah. Rendahnya pengetahuan remaja tentang struktur dan fungsi alat reproduksinya membuat remaja menjadi sangat mudah terpengaruh oleh informasi-informasi yang tidak benar dan justru membahayakan kesehatan reproduksi remaja itu sendiri. Rendahnya pengetahuan remaja tersebut juga berpengaruh terhadap perilaku remaja dalam memperlakukan organ reproduksinya. Akibatnya, remaja tidak mampu mengatasi masalah-masalah kesehatan reproduksi yang sering mereka alami seperti menstruasi yang tidak teratur dan terasa sakit, mimpi basah, dorongan seksual yang tinggi dan hubungan seks pra nikah untuk memenuhi dorongan seksual tersebut, dan cara-cara menghindari penyakit menular seksual (IPPF, 2006). Dari uji statistik Chi Square diperoleh p value (0,00001) < (0,05) maka ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR. Tabel 5. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang premarital seks berdasarkan layanan PIK-KRR Layanan PIK-KRR Tidak Ada Total Tingkat Pengetahuan tentang Premarital Seks Total p Rendah Sedang Tinggi % % % 17,7 25,5 56,8 67,1 0,419 11,7 26,6 61,7 32,9 15,7 25,9 58,4 100,0 Pengetahuan tentang premarital seks dalam penelitian ini adalah kemampuan pemahaman Prosiding | 175 yang telah dimiliki responden terhadap hal-hal yang berkaitan dengan premarital seks yang meliputi pengertian keperawanan, pengertian premarital seks, penyebab remaja melakukan hubungan seksual dan faktor yang mempengaruhi perilaku seksual beresiko pada remaja. Dalam benak orang, perilaku seks sering disamakan dengan hubungan seks. Padahal kedua hal tersebut memiliki cakupan yang berbeda. Menurut Sarwono, bentuk perilaku seksual bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Penyaluran dengan orang lain terkadang dilakukan karena banyak dari remaja yang tidak dapat menahan dorongan seksualnya sehingga mereka melakukan hubungan seks pranikah (Sarwono, 2004). Beberapa hal yang dapat menggambarkan pengetahuan responden tentang premarital seks yang masih salah antara lain sebanyak 58,0% tentang pengetahuan seks pranikah, sebanyak 43,7% tentang faktor yang mempengaruhi perilaku seksual beresiko pada remaja, sebanyak 39,9% penyebab remaja melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan sebanyak 31,5% faktor penyebab remaja jatuh kedalam berbagai persoalan seks. Walaupun persentase dari hasil temuan tersebut jumlahnya kecil, akan tetapi temuan ini sangat mengkhawatirkan. Menurut Hurlock (1999), faktor pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Pengetahuan remaja yang rendah cenderung melakukan hubungan seks lebih dini. Data yang ditemukan dari 176survei Komnas Perlindungan Anak di 33 Provinsi Januari s/d Juni 2008 menyimpulkan sebesar 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno; sebesar 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba alat kelamin) dan oral sex (sex melalui mulut); sebesar 62,7% remaja SMP tidak perawan serta sebesar 21,2% remaja mengaku pernah aborsi. Dalam kesehariannya, siswa berinteraksi langsung dengan orang tua, teman sebaya dan guru. Oleh karena itu peran dan tanggung jawab orang tua, teman sebaya dan guru sangat besar untuk mencegah ternyadinya perilaku seksual pranikah yang tidak sesuai toleransi. Hal 176 | Prosiding yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah diantaranya menyediakan sarana PIK-KRR. Sekolah merupakan sebuah organisasi dimana sekumpulan orang bekerja bersama untuk sebuah tujuan. Sekolah terdiri dari guru, kepala sekolah, dan pekerja yang lain yang salah satu tujuannya adalah untuk menyediakan pendidikan bagi siswa. Jika sekolah memiliki kesempatan yang sangat besar di dalam melaksanakan pendidikan kesehatan reproduksi remaja, maka sekolah perlu melakukan pengembangan-pengembangan sehingga dapat memenuhi kebutuhan siswa mengenai informasi kesehatan reproduksi. Tidak hanya mengembangkan materi, misalnya seperti materi yang dimasukkan dalam pelajaran biologi atau pelajaran integrasi lainnya, tetapi juga perlu dilakukan pengembangan guru yang memberikan materi kesehatan reproduksi (Saito MI, 1998). Hal ini sesuai dengan beberapa teori yang menyebutkan bahwa dari pengetahuan yang dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang baik (positif) maupun tidak baik (negatif) kemudian diinternalisasikan kedalam dirinya. Kalau apa yang dipersepsikan tersebut positif, maka seseorang cenderung berperilaku sesuai dengan persepsinya. Namun sebaliknya, kalau mempersepsikannya secara social, maka seseorang cenderung menghindari atau tidak melakukan hal itu dalam pemikirannya. Sehingga apa yang diketahui seringkali tidak konsisten dengan apa yang muncul dalam perilakunya. Meskipun seseorang mempunyai pengetahuan bahwa seksual pranikah itu tidak baik, namun karena situasi dan kesempatan memungkinkan maka individu tersebut tetap melakukan hubungan seks praikah, akibatnya perilaku tidak konsisten dengan pengetahuannya (Dariyo, 2004). Menurut Reiss bahwa skala Premarital Seksual Permisivves (PSP) membuktikan bahwa mempercayai perilaku-perilaku premarital seksual adalah suatu hal yang dapat diterima pada tingkat emosional dari suatu hubungan. Hal ini kemungkinan karena terjadinya pergeseran nilai pada remaja yang sudah mulai berubah bahwa sikap serba membolehkan dalam berpacaran, responden juga menganggap bahwa perilaku berpacaran yang serba membolehkan adalah merupakan gaya hidup remaja sekarang dan masih adanya pemahaman yang salah tentang pendidikan seks, pendidikan seks dianggap tabu untuk dibicarakan didepan umum karena mereka beranggapan bahwa masalah seks adalah bersifat pribadi. Walaupun terjadi perbedaan pengetahuan tentang premarital seks antara siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dengan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, akan tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan. Artinya sekolah yang tidak memiliki layanan PIK-KRR siswanya juga memiliki pengetahuan yang tidak jauh berbeda dengan SMK yang memiliki layanan PIK-KRR. Hal ini dikarenakan semua SMK memiliki aturan-aturan, nilai dan norma yang sangat kuat untuk diterapkan pada siswa yaitu tuntutan dalam kehidupan sehari-hari senantiasa berperilaku sesuai dengan penanaman nilai akhlaq dan moral. Dengan aturan-aturan inilah kemungkinan para siswa sudah mendapatkan informasi tentang batasan-batasan premarital seks. Tabel 6. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang dampak premarital seks berdasarkan layanan PIK-KRR Tingkat Pengetahuan Layanan tentang Premarital Seks Total PIK-KRR Rendah Sedang Tinggi % % % Tidak 17,7 25,5 56,8 67,1 Ada 11,7 26,6 61,7 32,9 15,7 25,9 58,4 100,0 Total p 0,419 Pengetahuan tentang dampak premarital seks dalam penelitian ini adalah kemampuan pemahaman yang telah dimiliki responden terhadap hal-hal yang berkaitan dengan dampak premarital seks yang meliputi dampak fisik, dampak psikologis dan dampak sosial. Beberapa hal yang dapat menggambarkan pengetahuan responden tentang dampak premarital seks yang masih salah antara lain: 1) dampak fisik remaja yang melakukan premarital seks sebanyak 93,0% dada terasa sesak dan sebanyak 90,6% merasakan refresing/relaksasi, 2) dampak psikologis remaja yang melakukan premarital seks sebanyak 88,5% prihatin akan keadaan pasangan dan sebanyak 79,4% tidak bebas dalam mengungkapkan perasaan kesal dan marah , 3) dampak sosial remaja yang melakukan premarital seks sebanyak 85,0% mempererat hubungan dan sebanyak 76,2% muncul keyakinan akan keseriusan dari pasangan. Hal ini menunjukkan bahwa responden masih belum mengetahui dampak premarital seks dari aspek fisik, psikologis dan soaial. Kurangnya pengetahun ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya informasi yang lengkap tentang dampak-dampak premarital seks. Selain itu, keterpaparan remaja saat ini terhadap pornografi dalam bentuk bacaan berupa buku porno dan film porno semakin meningkat. Di sisi lain bacaan tentang seksualitas dan penerangan melalui media yang bersifat audio visual sangat terbatas dan kalaupun ada bentuknya kurang menarik bagi remaja. Sebenarnya, pemahaman aspek-aspek tentang dampak premarital seks dapat diberikan oleh sekolah, karena pada dasarnya tujuan pendidikan seksualitas atau pendidikan kesehatan reproduksi remaja (PKRR), adalah untuk membekali para remaja dalam menghadapi gejolak biologisnya agar: 1) Mereka tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah karena mengetahui risiko yang dapat mereka hadapi, 2) Seandainya mereka tetap melakukannya juga (tidak semua orang dapat dicegah agar tidak melakukannya), mereka dapat mencegah risiko buruk yang dapat terjadi, 3) Jika risiko tetap terjadi juga, mereka akan menghadapinya secara bertanggung jawab. Melihat besarnya keberadaan remaja di sekolah, maka salah satu cara yang efektif dan efisien adalah membekali pengetahuan dan menanamkan perilaku yang sehat dan bertanggung jawab melalui pendidikan di sekolah dalam bentuk pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi yang relevan dalam pelayanan kesehatan berbasis sekolah. Program- program berbasis sekolah adalah pendekatan yang esensial untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak muda (Kay, 2004). Pelayanan kesehatan dibutuhkan remaja untuk membantu remaja dalam masa pencegahan, awal intervensi, dan untuk pendidikan. Jadi 177sosial177 remaja memanfaatkan pelayanan kesehatan karena ada kebutuhan tertentu dari remaja (Brindis, 2003). Penyebab utama remaja memanfaatkan pelayanan kesehatan baik karena keluhan fisik maupun psikologis adalah karena kebutuhan (Vingilis, 2007). Salah satu tujuan Prosiding | 177 remaja memanfaatkan pelayanan kesehatan pendidikan formal menghadapi masalah dalam penyampaian, penyerapan, dan reproduksi adalah untuk mencari informasi tentang konteks aktualisasinya dalam tindakan. Secara khusus, pendidikan reproduksi dan seksualitas. Faktor lain yang juga mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan kebudayaan yang penerimaan akseptabilitas remaja untuk diakibatkan oleh derasnya arus informasi melalui menggunakan pelayanan kesehatan reproduksi media massa, dan aneka ragam informasi lain, adalah petugas pemberi pelayanan. Remaja seringkali tidak mampu disaring sepenuhnya oleh cenderung untuk mengungkapkan permasalahan perangkat institusi lokal maupun nasional kita, dan yang mereka hadapi jika merasa dekat dengan memberi dampak langsung terhadap kehidupan konselor. Melalui model konselor sebaya jarak remaja. antara guru pembimbing (konselor) dapat frekuensi tingkat didekatkan, sehingga hambatan psikologis yang Tabel 7. Distribusi pengetahuan tentang pencegahan menyebabkan siswa tertekan dapat premarital seks berdasarkan layanan dikurangi/dihilangkan. Siswa yang berperan PIK-KRR sebagai pendidik dan konselor sebaya diperlukan karena remaja lebih terbuka kepada sebayanya Tingkat Pengetahuan sehingga informasi lebih mudah didapatkan dan tentang Kesehatan Layanan lebih mudah dipahami sebab menggunakan gaya Total p Reproduki PIKbahasa yang sama (Hasmi, 2002) KRR Rendah Sedang Tinggi Walaupun terjadi perbedaan pengetahuan % % % tentang dampak premarital seks antara siswa SMK Tidak 4,7 26,6 68,8 67,1 0,005 0,0 14,9 85,1 32,9 yang memiliki layanan PIK-KRR dengan SMK Ada 3,1 22,7 74,1 100,0 Total yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, akan tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan. Artinya Pengetahuan tentang pencegahan premarital sekolah yang tidak memiliki layanan PIK-KRR seks adalah kemampuan pemahaman yang telah siswanya juga memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki responden terhadap hal-hal yang berkaitan jauh berbeda dengan SMK yang memiliki layanan dengan pencegahan premarital seks yang meliputi PIK-KRR. Hal ini dikarenakan pendidikan cara mengurangi munculnya dorongan biologis, kesehatan reproduksi di semua sekolah diajarkan cara meningkatkan kemampuan mengendalikan berdasarkan kurikulum yang disusun dan dorongan biologis, dukungan orang tua dan dikembangkan secara sistematis, dan pengajaran dukungan pemerintah. disampaikan secara teratur dan berjenjang. Beberapa hal yang dapat menggambarkan Individu diharapkan menyerap seperangkat pengetahuan responden tentang dampak premarital pengetahuan berdasarkan usia dan jenjang seks yang masih salah antara lain : sebanyak pendidikannya. Sebagian lagi proses belajar 88,8% membiasakan mengenakan pakaian yang tersebut berlangsung dalam kehidupan sehari-hari sopan dapat mengurangi munculnya dorongan melalui interaksi individu dengan keluarga, biologis, sebanyak 75,5% menghindari membaca kelompok-kelompok sosial, peer group, dan buku porno dapat mengurangi munculnya sebagainya. Sehingga secara keseluruhan kedua dorongan biologis dan sebanyak 48,3% orang tua proses tadi membentuk manusia sebagai mahluk tidak memberikan fasilitas (termasuk uang saku) sosial yang memiliki pengetahuan, kemampuan, yang berlebihan merupakan tindakan pencegahan persepsi, nilai-nilai yang digunakannya untuk terjadinya seksual pranikah. Jika dilihat dari hasil beradaptasi dalam kehidupannya. temuan ini, kemungkinan disebabkan karena Secara ideal, pendidikan formal dalam sistem remaja yang masih labil. Walaupun kondisi kemasyarakatan kita diharapkan berjalan dan psikologis remaja masih labil, tetapi berkembang seimbang dengan proses belajar di perkembangan kognitif remaja sudah berfungsi luar sekolah. Sehingga kedua-duanya membentuk dengan baik, sehingga memungkinkan mereka dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam kenyataannya, proses 178 | Prosiding berfikir secara abstrak, kritik dan teoritik (Dister, 1991). Dukungan keluarga dan lingkungan sosial juga memiliki peran penting untuk pencegahan premarital seks. Selain itu, sekolah juga diharapkan menyediakan layanan kesehatan reproduksi karena remaja memiliki kebutuhan informasi seksual dan kesehatan reproduksi yang unik sehingga dibutuhkan pelayanan kesehatan reproduksi yang efektif dan khusus untuk remaja. Oleh sebab itu, pelayanan yang diberikan diharapkan bersifat secara sosial, murah, mudah, rahasia, tidak menghakimi, dan ramah remaja (Kamau, 2006). BKKBN Kota Semarang pada tahun 2008, juga telah melaksanakan program-program yang berkaitan dengan KRR, salah satunya yaitu: Pemberian informasi tentang KRR kepada remaja pada organisasi sosial, pondok pesantren, karangtaruna dan pada sekolah-sekolah SMP maupun SMA. Pusat Informasi dan Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) sebagai wadah bagi remaja untuk memperoleh informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi (BKKBN, 2002). Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan tingkat pengetahuan tentang pencegahan premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR. Hal ini disebabkan karena keberadaan dan peranan PIK-KRR pada tingkat sekolah, memudahkan remaja untuk mendapatkan informasi serta pelayanan konseling yang benar dan secara kontinyu tentang kesehatan reproduksi remaja dan pencegahan premarital seks yang diberikan berdasarkan buku panduan PIKKRR seperti yang disusun oleh BKKBN. Disamping itu, dukungan sekolah juga dapat diketahui dari dukungan yang diberikan kepala sekolah sebagai pemimpin dalam pelaksanaan seluruh kegiatan di sekolah. Karena, peran kepala sekolah juga menentukan jalannya seluruh kegiatan di sekolah. Dari hasil wawancara diketahui bahwa Kepala Sekolah di SMK Getasan sangat mendukung kegiatan di PIK-KRR. 4. KESIMPULAN Gambaran kondisi dan tingkat pengetahuan remaja tentang masalah kesehatan reproduksi remaja mayoritas pada kategori sedang sebanyak 157 responden (54,9%), sedangkan gambaran kondisi dan tingkat pengetahuan remaja tentang premarital seks mayoritas pada kategori tinggi sebanyak 167 responden (58,4%). Kondisi dan tingkat pengetahuan remaja tentang dampak premarital seks mayoritas pada kategori rendah sebanyak 238 responden (83,2%), sedangkan kondisi dan tingkat pengetahuan remaja tentang pencegahan premarital seks mayoritas pada kategori tinggi sebanyak 212 responden (74,1%). Perbedaan tingkat pengetahuan berdasarkan layanan PIK-KRR, meliputi: 1) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (0,00001) < (0,05) 2) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR,p value (0,419) > (0,05). 3) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang dampak premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (1,000) > (0,05). 4) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang pencegahan premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (0,005) < (0,05). 5. UCAPAN TERIMA KASIH Pelaksanaan kegiatan ini tidak terlapas dari keterlibatan beberapa pihak. Oleh karena itu, kami menghaturkan terima kasih kepada BKKBN Provinsi Jawa Tengah melalui dan LPPM Ngudi Waluyo yang telah memberikan bantuan pendanaan sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik. Prosiding | 179 Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Sekolah SMK Swasta di Kabupaten Semarang, serta seluruh sasaran kegiatan yang telah banyak membantu sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik. 6. REFERENSI Anas SH. 2010. Sketsa Kesehatan Reproduksi Remaja. Jurnal Studi Gender & Anak.;5(1):199-214. Anusornteerakul S, Khamanarong K, Thinkhamrop S. The influence factors that affect Thailand’s management of youth reproductive health service. Journal of Diversity Management,2008;3(4). Arikunto, Suharsimi (1998), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : PT. Rineka Cipta, Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Binarupa Aksara. Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. Pedoman Pengelolaan Bina Keluarga Remaja (BKR). Jakarta: Direktorat Bina Ketahanan Remaja. Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. Pedoman Pengelolaan Pusat Informasi Dan Konseling Remaja Dan Mahasiswa (Pik Remaja/Mahasiswa). Jakarta: Direktorat Bina Ketahanan Remaja. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2005. Laporan Perkembangan Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, Jakarta. Basri.H. 2000. Remaja Berkualitas Problematika Remaja dan Solusinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. BKKBN. 2001. Pedoman Kebijaksanaan Teknis Upaya Kesehatan Reproduksi Remaja.http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ ceria/pengelolaceria/pkkebijakanteknisprog ramkrr.html.diakses 7 Februari 2014 BKKBN. 2002. Panduan Pembinaan dan Pengembangan Pusat Informasi dan Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Jakarta, 180 | Prosiding Brindis CD, Morreale MC, English A. 2003. The unique health care needs of adolescent. The future of Children,;13(1):117-35. Dariyo, Agoes, 2004. Psikologi Perkembangan Remaja Dister W.N. 1991. Psycology of Religion: Classic and Contemporary View, New York; Willy Glanz K, Rimer BK, Viswanath K, 2008. editors Health Behavior and Health Education: Theory, Research, and Practice. United States of America: Jossey-Bass. Grogger, J and Stephen B. 1993. The Socioeconomics Consequences of Teenage Childbearing: Findings from a Natural Experiment. Family Planning Perspective, 25(4): 156-61 & 174 http://eprints.undip.ac.id/32662/ Hasan, M. Iqbal, 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Ghalia Indonesia, Bogor. Hasmi E. 2002. Pedoman pemberdayaan pendidik dan konselor sebaya dalam program kesehatan reproduksi remaja. BKKBN, Jakarta. Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta, Erlangga IPPF. 2008. Hak-Hak Seksual. Deklarasi IPPF. Kamau AW. 2006. Factors influencing access and utilization of preventive reproduction health services by adolescent in Kenya. Dissertation. Faculty of Health Sciences, School of Public Health. University of Bielefeld, Germany Kirby D.1995. Sex and HIV/AIDS education in Schools. BMJ. Lawrence RS, Gootman JA, Sim LJ., 2009. Adolescent Health Services. Washington D. C.: National Academy of Sciences. Manuaba, I. A. C., Manuaba, I. B. G. F., dan Manuaba, I. B. G. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Edisi 2. Jakarta: ECG. Mardiya, 2013. Artikel dalam rangka HARI KEPENDUDUKAN SEDUNIA TAHUN 2013 : Saatnya Tahu dan Peduli Terhadap Masalah Remaja, diakses 1 April 2014. www.kulonprogokab.go.id/.../getfile.php?... Artikel%2 Mc.Kay A. 2004. Sexual health education in the school: questions and answers. The Canadian J Hum Sex, 13(3-4):129-41. Muadz, M. Masri. 2009. Beberapa Faktor yang Mendorong Anak Remaja Usia SMP dan SMU melakukkan Hubungan Seks di Luar Nikah. Error! Hyperlink reference not valid. Diakses pada tanggal 5 Desember 2014 Nargis. 2004. Hubungan Struktur dan Fungsi Keluarga dengan Perilaku Seksual Pranikah Remaja SMU di Wilayah Ujung Berung Bandung (Tesis) Notoatmodjo,S. 1983. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: FKM UI PATH. 1998. Kesehatan Reproduksi : Membangun Perubahan yang Bermakna, , http://www.path.org/files/Indonesian 163.pdf. diakses 10 Desember 2008 PATH.2000. Kesehatan reproduksi remaja: membangun perubahan yang bermakna. Outlook, 16:1-8. Pinem,Saroha. 2009. Kesehatan reproduksi dan kontrasepsi. Jakarta: Trans Info Media Profil Program KBN Jawa Tengah, 2008 Rafidah, dkk, 2009. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009 Rahma F J., 2012. Resiko Pada Remaja Akibat Pernikahan Dini, diakses 29 Mei, 2012 http://modalyakin.blogspot.com. Roleff TL, 2002. editor. Teen Sex. United States of America: Greenhaven. Saefuddin A.F dan Hidayana. 1999. Seksualitas Remaja . Pustaka Sinar Harapan, Lab.Antropologi FISIP UI & Ford Foundation, Jakarta Saito MI, 1998. Sex Education in School: Preventing Unwanted Pregnancy in Adolescents. International Journal of Gynecology and Obstetrics. 63(1):157-60. Santrock, John W. 2003. Adolescence. Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, diakses Agustus 2009 http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-211.pdf Sarwono, S.W. Psikologi Remaja. PT. Grafindo Raja Persada, 2004 SDKI Tahun 2007 SDKI Tahun 2012 Sensus Penduduk Tahun 2010 Sibagariang, E., dkk., 2010. Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: Trans Info Menika. Silalahi Ulber, 2005. Metode Penelitian Sosial, Bandung, Unpar Press. Silva M. 2002. The Effectiveness of School-Based Sex Education Programs in The Promotion of Abstinent Behavior: A Meta-Analysis. Oxford Journal. 17(4):471-81 Situmorang A. 2003. Adolescent Reproductive Health in Indonesia. Jakarta: Johns Hopkins University, Program CfC Suharyo. 2008. Masalah Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) di Kalangan Remaja dan Dampak Ketidakadilan Gender. KEMAS. 4(1):90-8. Suparmi, 2006. Hubungan antara Remaja Aktif Seksual dengan Kurangnya Pengawasan Orang Tua.UNDIP.Skripsi tidak dipublikasikan. Suryoputro.et.all,. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah : Implikasinya terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual Tatang AM. 2003. Pokok-Pokok Teori Penggunakan Sistem. UNPFA. . 2005. Child marriage fact sheet. didapat dari: www.unpfa.org diakses 11 April 2014 USAID. 2006. Preventing child marriage: protecting girls health. didapat dari: www.usaid.gov. diakses 11 April 2014 Vingilis E, Wadeb T, Seeleya J. 2007. Predictors of adolescent health care utilization. Journal of adolescent, 30:773-800. Zulkifli, .1999. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakary Prosiding | 181