segara widya - ISI Denpasar

advertisement
“SEGARA WIDYA”
JURNAL HASIL-HASIL PENELITIAN
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
ISSN: 2354-7154
Volume 2, Nomor 1,
November 2014
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
JURNAL “SEGARA WIDYA”
Diterbitkan oleh
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
ISSN: 2354-7154, Volume 2, Nomor 1, November 2014
Pengarah
Dr. I Gede Arya Sugiartha, SSKar., M.Hum
(Rektor ISI Denpasar).
Prof. Dr. Drs. I Nyoman Artayasa, M.Kes.
(PR I ISI Denpasar)
Penanggungjawab
Dr. Drs. I Gusti Ngurah Ardana, M.Erg.
(Ketua LP2M ISI Denpasar)
Redaktur
Drs. I Wayan Mudra, M.Sn.
(Kepala Pusat Penelitian LP2M ISI Denpasar)
Dewan Redaksi
Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, MA. (ISI Denpasar)
Prof. Dr. A.A.I.N. Marhaeni, MA. (Undiksha)
Prof. Dr. Ir. I Ketut Santriawan, MT. (Unud)
Dr. I Komang Sudirga S.Sn., M.Hum. (ISI Denpasar)
Drs. I Gusti Ngurah Seramasara, M.Hum. (ISI Denpasar)
Penyunting Bahasa
Ni Ketut Dewi Yulianti, S.S., M.Hum. (Bahasa Inggris)
Ni Kadek Dwiyani, SS., M.Hum. (Bahasa Indonesia)
Desain Cover
Ni Luh Desi In Diana Sari, SSn., M.Sn.
Tata Usaha & Sirkulasi
Drs. I Ketut Sudiana.
I Gusti Ngurah Putu Ardika, S.Sos.
I Putu Agus Junianto, ST.
I Wayan Winata Astawa.
I Made Parwata.
Jurnal “SEGARA WIDYA” terbit sekali setahun pada bulan November.
Alamat Jalan Nusa Indah Denpasar ( (0361) 227316, Fax (0361) 236100
E-mail: [email protected]
JURNAL “SEGARA WIDYA”
Diterbitkan oleh
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
ISSN : 2354-7154, Volume 2, Nomor 1, November 2014
DAFTAR ISI
Ida Ayu Gede Artayani, Agus Mulyadi Utomo, Penciptaan Tegel Keramik Stoneware
Dengan Penerapan Motif Tradisi Bali……………………………………………………...…
249
Ida Bagus Kt. Trinawindu, Cok Alit Artawan, Ni Luh Desi In Diana Sari, Aktualisasi
Lontar Prasi Di Era Global Menggunakan Teknologi Digital………………..........................
257
Ni Made Ruastiti, Ni Nyoman Manik Suryani, I Gede Yudarta, Rancang Bangun
Model Kesenian Lansia Di Kelurahan Tonja Denpasa………………………………………
267
I Nyoman Wiwana. I Wayan Sukarya, Kajian Ornamen Kuno Pada Bangunan-Bangunan
Puri Di Kabupaten Karangasem Bali…...……………………………………………………
273
Cok Gd Rai Padmanaba, Made Pande Artadi, Ida Ayu Dyah Maharani, Ungkapan
Estetis Sistem Konstruksi Pada Interior Bangunan Tradisional Bali………………………….
285
I Kadek Dwi Noorwatha, I Nyoman Adi Tiaga, Peciren Bebadungan: Studi Identitas
Arsitektur Langgam Denpasar………………………………………………………………...
291
I Nyoman Adi Tiaga, I Kadek Dwi Noorwatha, Kajian Ikonografi Lukisan Pada Plafon
Interior Ashram Vrata Wijaya Di Denpasar……………………..…………………………...
298
Ida Ayu Dyah Maharani & Toddy Hendrawan Yupardhi, Arsitektur Tradisional Bali
Pada Desain Hybrid Bangunan Retail Di Kuta Bali………………………………………….
304
I Wayan Agus Eka Cahyadi, Ni Ketut Rini Astuti, Kajian Makna Tanda-Tanda Budaya
Bali Pada Baliho Kampanye Calon Anggota DPD RI Dapil Bali Tahun 2014…………………
314
Nyoman Lia Susanthi, Ni Wy. Suratni, Potret Komunikasi Skaa Janger Kolok Di Desa
Bengkala Buleleng…………………………………………………………………………………….
322
Arya Pageh Wibawa1, I Wayan Agus Eka Cahyadi, Amoga Lelo Octavianus,
Perbandingan Penggunaan Media Buku Dan Video Tutorial Mata Pelajaran Seni Rupa Pada
Siswa SMA Dan SMK Negeri Di Denpasar……………………………………………………….
331
Wahyu Sri Wiyati, Kajian Musisi Dalam Industri Musik Di Villa Sanctus Uluwatu
Bali …………...……………………………...…………….....................................................................
336
I Gede Mawan, Revitalisasi Musik Mandolin Di Desa Pupuan Tabanan Sebagai Perekat
Budaya Bangsa…………………...……………………………………………….…………………...
346
Ni Ketut Dewi Yulianti, Rinto Widyarto, Ni Ketut Yuliasih, Eksistensi Tari Bali Dan
Jawa Dalam Bahasa Indonesia Dan Inggris ......................................................................................
357
Ni Kadek Dwiyani, I Kadek Puriartha, Peran Stasiun Televisi Lokal Di Bali Dalam
Upaya Pemertahanan Bahasa Bali Sebagai Bahasa Ibu…………………………………………...
368
Ni Luh Desi In Diana Sari, Alit Kumala Dewi, Identitas Budaya Lokal Pada Desain
Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali………………………………………………………………………
378
I Komang Arba Wirawan, Dari Konflik Desa Ke Layar Kaca: Analisis Wacana
Liputanbali TV Berita Bentrok Kemoning-Budaga, Klungkung, Bali……………………….......
388
I Wayan Adnyana, Modal Sosial Institusional Pita Maha (Praktik Sosial Pelukis Bali 1930An)............................................................................................................................................................
394
Nyoman Dewi Pebryani, Dewa Ayu Sri Suasmini, Inventarisasi Dan Identifikasi Motif
Tenun Endek Di Kabupaten Gianyar………………………………………………………………..
402
I Wayan Budiarsa, Suminto, Bentuk Pertunjukan Dramatari Genggong Di Desa Batuan
Gianyar………………………………………………..……………..…………………………………
412
Ni Ketut Rini Astuti, Cokorda Alit Artawan, Media Promosi Objek Wisata Monkey
Forest Ubud Gianyar Bali Sebuah Kajian Semiotika ……………………………………………..
421
I Nyoman Laba, I Made Bayu Pramana, Modifikasi Bentuk dan Ornamen Penjor Di Desa
Kapal Di Kabupaten Badung Bali…………………………………………………………….
431
JURNAL “SEGARA WIDYA”
Diterbitkan oleh
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
ISSN: 2354-7154, Volume 2, Nomor 1, November 2014
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL PADA JURNAL”SEGARA WIDYA”
Jurnal “Segara Widya” adalah publikasi ilmiah khusus hasil-hasil penelitian dibidang seni
rupa, desain dan seni pertunjukan. Naskah artikel yang diterima adalah hasil penelitian yang belum
pernah dipublikasikan pada jurnal yang lain. Naskah yang diterima harus memenuhi persyaratan
penulisan sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan MS Word pada kertas A4,
font Times New Roman 11, spasi 1 termasuk abstrak, daftar pustaka dan tabel.
Margin batas atas 2,5 cm, bawah 2,5 cm, tepi kiri 3 cm dan kanan 2,5cm.
Jumlah halaman artikel maksimal 12 halaman.
Kerangka tulisan berurutan sebagai berikut:
a. JUDUL (ukuran huruf 12)
b. Nama peneliti (tanpa gelar)
c. Nama program studi, fakultas dan institusi.
d. Email peneliti (ketua dan anggota).
e. Abstrak dalam Bahasa Indonesia maksimal 200 kata, abstrak juga ditulis dalam
bahasa Inggris, lengkap dengan kata kunci. Abstrak berisi uraian tujuan penelitian,
metode dan hasil penelitian.
f. PENDAHULUAN (uraiannya berisi latar belakang, perumusan masalah, teori,
hipotesis, tujuan).
g. METODE PENELITIAN (berisi uraian waktu dan tempat, bahan/cara
pengumpulan data, metode analisa data)
h. HASIL DAN PEMBAHASAN
i. SIMPULAN
j. DAFTAR PUSTAKA
Judul, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan dan daftar pustaka diketik
dengan huruf kapital tebal (bold). Judul maksimal 12 kata dan mencerminkan inti tulisan.
Jika penulis lebih dari satu orang nama penulis diletakkan di belakang nama sebelumnya.
Kata kunci 2 – 5 kata, ditulis italic.
Jika menggunakan bahasa daerah atau bahasa Inggris, ditulis dengan huruf miring (italic)
Redaksi: editor/penyunting mempunyai kewenangan mengedit dan mengatur pelaksanaan
penerbitan sesuai format jurnal “Segara Widya”
Naskah dapat dikirim ke LP2M ISI Denpasar dengan alamat Jalan Nusa Indah Denpasar (
(0361) 227316, Fax (0361) 236100. Kontak Person : Pak Mudra (03617889910), atau
dikirim melalui email: [email protected]
249 PENCIPTAAN TEGEL KERAMIK STONEWARE
DENGAN PENERAPAN MOTIF TRADISI BALI
Ida Ayu Gede Artayani, Agus Mulyadi Utomo
Program Studi Kriya Seni Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected]
Abstrak
Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah penciptaan desain produk berupa pembuatan
tegel keramik bakaran tinggi (stoneware) yang bisa dikembangkan dan dipasarkan secara luas,
pengembangan desain tegel ini memungkinkan untuk dikembangkan karena mengingat
pertumbuhan ekonomi masyarakat semakin bagus, sehingga banyak hunian yang membutuhkan
tambahan dekorasi interior ataupun eksterior bangunan, guna menambah eksotisme hunian. Target
khusus yang ingin dicapai adalah memberikan pemahaman ke pada masyarakat perajin keramik,
untuk mau berinovasi dalam hal pengembangan desain, berupa penciptaan tegel cetak keramik
stoneware dengan penerapan unsur tradisi local yang memiliki ciri khas kedaerahan dengan
mengombinasikan antara seni tradisi dengan seni modern sehingga membantu para perajin seni
kerajinan keramik untuk membuat produk yang memenuhi kebutuhan home accessories rumah
modern saat ini. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini Tahun II ini, memperlihatkan bahwa
perajin memahami, mau dan mampu membuat suatu trobosan inovasi baru dalam pengembangan
produk kerajinan keramik, membuat benda-benda nonpropan khususnya mengembangkan kerajin
keramik stoneware dengan pengembangan motif yang lebih bervariatif.
Kata kunci: Penciptaan, tegel, keramik stoneware, motif tradisi
Abstract
The long term goal of this research is the creation of a product design specifically the
manufacture of high burnt ceramic tiles (stoneware ) which can be developed and widely marketed
and commercialized, the development of the design allows the tiles develop sustainably considering
the good economic growth nowadays, so there are so many residences or buildings need some
additional interior decoration or exterior with artsy touch , in order to expose the building’s
exoticism. The Specific targets to be achieved is to give understanding to the community of ceramic
artisans is : be innovate to developed design, such as the creation of moulding stoneware ceramic
tiles with application of traditional elements that specific combination traditional art with modern
art that help the ceramics maker to create products that meet the needs of home accessories
modern home today. The results get in this study is , Showed that the artisans understand, willing
and able to make a new breakthrough innovation in product development of ceramic crafts, making
objects nonprofan particularly developing ceramic stoneware with the development of a more
varied motifs.
Keywords : Creation,Tiles, Stoneware Ceramic, Traditional motif
PENDAHULUAN
Pengembangan desain dalam dunia seni kerajinan dipandang sangat perlu dan mendesak
sekali untuk ditingkatkan, karena dengan pengembangan desain-desain kreatif bisa membantu
perajin dalam persaingan pada perdagangan bebas saat ini. Bila dilihat dari hasil penelitian ini
nantinya, sangat mendukung program pemerintah dalam pengembangan usaha kerajinan kreatif,
karena dalam aplikasi tahapan tahun kedua ini diadakan semacam pendampingan perajin, kegiatan
yang dilaksanakan berupa pelatihan pembuatan desain, teknik pembuatan cetakkan berbahan
gypsum, pembuatan barang sampai finishing karya.
Ada beberapa hal yang nantinya menjadi permasalahan yang akan diteliti pada tahapan
lanjutan ini dan menjadi kriteria penilaian berhasil tidaknya uji coba produk yang lebih luas pada
penelitian ini adalah: a) sejauh mana kemampuan perajin bisa memahami pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman dalam pengembangan produk?, b) Apakah produk yang
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
250 diimplementasikan ke masyarakat perajin memiliki nilai ilmu, keindahan dan kepraktisan, c)
Sejauh mana produk tersebut dapat dikembangkan dalam jangka waktu yang tersedia. Pada surve
yang kami lakukan, dengan mengamati perkembangan kerajinan keramik khususnya kerajinan
keramik Bali, yang difokuskan pada hasil-hasil bendanya maka produk yang banyak dikembangkan
adalah berupa produk-produk kebutuhan rumah tangga dan keperluan pariwisata. Bila dilihat dari
desain benda-benda yang dihasilkan oleh perajin, baik dari segi bentuk, dekorasi dan finishingnya
rata-rata memiliki kesamaan, hal ini memperlihatkan kurangnya pengembangan dalam desain yang
lebih kreatif.
Dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan pada penelitian tahap I, maka didapatkan
alasan kenapa kurangnya inovasi dalam perkembangan kerajinan keramik. Alasan yang
disampaikan perajin, rata-rata dari mereka mengungkapkan alasan yang sama yaitu karena mereka
kurang pemahaman dalam bidang desain, pemanfaatan teknologi dan kurangnya bereksperimen
dengan bahan, dan alasan yang paling mendasar perajin tidak mau membuat sesuatu yang baru
karena mereka takut nantinya tidak laku terjual, dan akan menanggung kerugian. Sehubungan
dengan hal tersebut dan melihat prospek peluang pasar yang ada, timbul pemikiran peneliti untuk
mengembangkan seni keramik Bali ke arah yang lebih maju, memiliki kreativitas tinggi dan
memiliki ciri khas budaya lokal melalui penerapan ornamen tradisi pada penciptaan tegel keramik
ini. Di Indonesia dan khususnya di daerah Bali seni kerajinan dikerjakan pada rumah-rumah
produksi (home industry) yang berskala mikro, maupun yang berkelompok sebagai sentra industri
seni kerajinan. Mereka memproduksi secara manual dengan alat yang sederhana dan menonjolkan
kerja dengan ketrampilan yang turun-temurun, memiliki keunikan dan karakteristik bahan maupun
proses pengerjaan.Semakin meluasnya pasar seni kerajinan, ternyata juga menjadikan kompetisi
semakin bertambah ketat pula. Seni kerajinan harus berlomba menampilkan produk-produk yang
inovatif, original dan up to date, sehingga dapat beriringan dengan perkembangan peradaban dan
ilmu pengetahuan.
Produk baru dengan tampilan baru ternyata dapat memberikan dampak yang signifikan
terhadap keberlangsungan sebuah usaha produksi seni kerajinan. Produk baru itu memberikan
semangat baru pada diri kriyawan ataupun pengrajin untuk mempelajari dengan seksama akan
sebuah trend produk interior pada saat itu. Masalahnya sekarang kreatifitas seorang pengrajin
tampaknya kurang, maka dukungan dari para kriyawan menjadi hal yang sangat diperlukan.
Perkembangan seni kriya merupakan salah satu dalam ekonomi kreatif itu, yaitu ide adalah suatu
komediti yang dapat dieksplorasi dengan tiada habisnya. Manusia dengan akal budinya disertai
kreativitas yang ditempatkan dalam lingkungan yang kondusif akan mampu menghasilkan produkproduk kreatif bernilai ekonomi. Bidang-bidang yang mencangkup dalam koridor ekonomi kreatif
terdapat di dalamnya seni kriya. Produk-produk kriya telah menjadi elemen penunjang interior dan
eksterior fasilitas kepariwisataan. Melihat potensi kekayaan seni kriya Indonesia yang begitu tinggi
menjadi sangat penting untuk dikembangkan menjadi kontributor utama dalam era ekonomi kreatif.
Karena dari semua ekonomi kreatif yang ada seni kriya tidak tergantung pada teknologi tinggi baik
perangkat keras maupun perangkat lunak yang mahal harganya. Seni kriya sangat sesuai dengan
kondisi sosial budaya Indonesia dan dapat mendorong penigkatan ekonomi kerakyatan. Industri
kriya dapat dikembangkan secara padat karya sehingga dapat memberikan pekerjaan kepada
masyarakat.
Produk seni kerajinan memiliki perubahan begitu cepat secepat perubahan mode dunia.
Sebagai kebutuhan pelengkap unterior, seni kerajinan bergerak mengikuti life style masa tententu.
Dari hasil Penelitian tahap I yang dilakukan pada tahun 2013 menunjukkan bahwa produk-produk
kerajinan yang sudah dihasilkan oleh perajin lebih banyak membuat produk-produk untuk
kebutuhan rumah tangga, sebagai pelengkap kebutuhan pariwisata dan membuat souvenir. Bantuk
dari tampilan benda-benda keramik yang dibuat hamper memiliki kesamaan dan warna glasyir
yang diterapkan pada benda keramik relative memiliki kesamaan warna. Hal tersebut menunjukkan
bahwa perajin kurang penguasaan pada pengembangan desain, kurang melakukan uji coba bahan,
sehingga ada kecendrungan peniruan bentuk pada produksi keramik yang dibuat perajin.
Dari hasil studi pada penelitian tahap pertama tersebut terlihat hasil-hasil produksi perajin
kurang adanya keunikan, tidak adanya penampilan identitas dan sedikit menampilkan identitas
budaya lokal.Bila dilihat pengembangan desain keramik tegel jumlahnya sangat sedikit, itu pun
dulunya hanya ada di daerah Pejaten yang pernah berkembang tegel gerabah bakaran rendah dan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
251 sekarang sudah tidak dikembangkan lagi, karena perajin sendiri lebih banyak mengembangkan
genteng sebagai atap bangunan.Pengembangan desain pada penelitian tahap II ini difokuskan pada
pengembangan desainnya, dibuat pengembangan sesuai dengan wujud prototife yang dibuat pada
penelitian tahap I pertama.Pada penelitian tahap II yang dilakukan tahun 2014 ini akan
dikembangkan desain-desain tegel stoneware, berdasarkan ide-ide yang lebih inovatif yang
desainnya akan dibuat oleh perajin itu sendiri.Tujuan inovasi yang ditargetkan pada penelitian ini
adalah penciptaan tegel keramik stoneware dengan motif tradisi bali yang memiliki ciri khas
kedaerahan dengan mengombinasikan antara seni tradisi dengan seni modern sehingga membantu
para perajin seni kerajinan keramik untuk membuat produk yang memenuhi kebutuhan home
accessories rumah modern saat ini. Pengembangan desain tegel cetak keramik bakaran tinggi
(stoneware) ini, akan memberikan nuansa yang berbeda dari benda-benda yang dikerjakan para
perajin selama ini.
Desain tegel cetak keramik yang diwujudkan merupakan benda kerajinan terapan atau
fungsi maka dalam pembuatannya harus terpenuhi syarat-syarat sepert: utility atau aspek kegunaan
(Security yaitu jaminan tentang keamanan orang menggunakan barang-barang itu), Comfortable,
yaitu enaknya digunakan memiliki nilai praktis yang tinggi, dan Flexibility, yaitu keluwesan
penggunaan barang yang wujudnya sesuai dengan kegunaan atau terapannya, disamping syarat
tersebut dalam penciptaan benda-benda seni perlu dipikirkan mengenai estetika atau syarat suatu
keindahan. Dengan pemahaman tersebut diharapkan para perajin sebagai pelaku dalam melakoni
pembuatan benda-benda kerajinan bisa bekerjasama dan memiliki kepekaan yang baik dalam
membaca pasar dari gejala-gejala yang ada, untuk bisa mengikuti perubahan dan trend pasar yang
ada pada bidang kerajinan.
METODE PENELITIAN
Motif ornamen yang dikembangkan pada penelitian ini adalah motif Patra Olanda,
dipilihnya motif ini karena pada motif terdiri dari bunga, batang, daun, dan sulur-suluran, sehingga
memudahkan dalam pengembangan motif dan mendapatkan pengembangan motif yang bervariatif.
Motif Patra Olanda pada gambar dibawah:
Sumber Gambar: refro buku ornamen tradisi bali
Penelitian ini direncanakan selama dua tahun, rencana tahun ke dua merupakan langkah
pengujian penelitian pada tahap uji yang lebih luas, yang akan dilakukan pada masyarakat perajin.
Pada tahun kedua, tahap pertama peneliti merencanakan pendampingan perajin. Pendampingan
perajin pada proses ini untuk menguji apakah hasil uji coba yang telah dilakukan pada tahun
pertama bisa diterima oleh masyarakat, terutama masyarakat perajin keramik. Karena penelitian ini
menggunakan metode Penelitian dan Pengembangan atau (R&D), dan penelitian jenis ini bisa
dikatakan berhasil apabila, hasil penelitian tersebut bisa dikembangkan dan bermanfaat bagi
masyarakat.
Pada penelitian ini bagan alir penelitian (fishbone diagram) dapat dijabarkan sebagai
berikut: Langkah 1). menyepakati permasalahan dibuat dalam diagram fishbone, Penciptaan desain
tegel keramik stoneware dengan motif tradisi (pengembangan tahap II). Langkah 2).
mengidentifikasi kategori-kategori yang mungkin menjadi “cabang” sebab utama dari masalah
pada penelitian ini, Langkah 3). menemukan sebab-sebab potensial dengan cara brainstorming, dan
langkah ke- 4). dilakukan pengkajian dan menyepakati sebab-sebab yang paling memungkinkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Penciptaan desain tegel keramik stoneware pada penelitian tahap lanjutan ini,
merupakan pengembangan hasil dari penelitian tahap I, pengambilan sampel pada penelitian ini
dipilihlah salah satu tempat perajin yang dijadikan sebagai objek pada pengembangan desain tegel
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
252 kramik stoneware ini adalah,”Studio Canting Moulding keramik” yang menjadi objek penelitian.
Studio ini terletak di Br Kengetan, Singakerta Ubud Gianyar Bali, yang menjadi pertimbangan
kami memilih studio ini sebagai objek penelitian dikarenakan beberapa pertimbangan antra lain:
Studio keramik ini tergolong baru berkembang. Desain keramik yang dihasilkan tidak jauh berbeda
dengan studio-studio keramik yang lain, yaitu membuat benda-benda pakai (perlengkapan rumah
tangga), sehingga perlu kiranya dibuka wawasan untuk mengembangkan bentuk-bentuk keramik
baru sebagai alternatif pengembangan desain, di samping pertimbangan tersebut kami melihat
bahwa pemilik studio canting Keramik ini mau terbuka menerima kedatangan kami untuk
bekerjasama, saling bertukar pikiran dan ada keinginan beliau untuk mau berkembang membuat
karya-karya baru. Bapak I Made Arta, sebagai pemilik dari Studio Canting Moulding Keramik,
pemilik sebelumnya pernah bekerja pada perusahan keramik Jenggala dan Gaya ceramic dan
sekarang beliau mandiri membangun usaha kerajinan keramik. Studio ”Canting keramik” ini sudah
berjalan empat tahun, Studio milik pak Made ini, biasanya banyak kedatangan tamu (wisatawan
asing) yang ingin kursus singkat selama berlibur di Bali. Produk-produk yang dihasilkan
merupakan pesanan dari beberapa hotel yang ada di Bali, dan juga menerima pesanan benda-benda
keramik untuk kebutuhan perorangan. Desain biasanya dibawa oleh konsumen langsung, perajin
hanya mengerjakan apa yang dipesan. Kendala yang dihadapi perajin ini adalah masalah bahan
baku yang masih didatangkan dari wilayah luar Bali, dari pengolahan bahan sampai pengolahan
warna-warna glasir dilakukan sendiri. Bila banyak order biasanya perajin dalam pemenuhan bahan
biasanya membeli dari sesama rekan perajin, dan tidak menutup kemungkinan beberapa pekerjaan
disubkan kepada rekan perajin sendiri, untuk memenuhi order.
Pada penelitian Hibah Bersaing tahap - II ini, ada beberapa hal yang dikerjakan dalam
proses pengerjaannya. Pertama dilakukan pendampingan pada perajin, pendampingan disini dalam
arti lebih banyak memberikan pemahaman kepada perajin, akan arti penting sebuah desain dalam
proses pengerjaan sebuah produk. Pendampingan disini dilakukan dengan memberikan penjelasan
kepada perajin, proses pengerjaan desain dan teknik pembuatannya. Dari proses tersebut akan bisa
dilihat kemampuan dari perajin dalam proses pengerjaan produk yang diciptakan. Produk yang
berhasil diwujudkan perajin, pada penelitian ini akan dianalis dilakukan tahapan pemilihan desain,
dan validasi dari para akhli di bidangnya. Penilaian pada penelitian dilakukan oleh pakar dibidang
keramik dan konsultan yang bergerak pada bidang arsitektur dan interior.
Analisis data yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah data yang dimunculkan
peneliti, data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data
kualitatif peneliti ambil dari awal proses pengerjaan di lapangan yaitu mulai bulan Mei-Agustus
2014. Data yang diambil dari penelitian ini adalah mengamati kemampuan objek penelitian
(perajin) dalam proses pembelajarannya. Menurut Denzin dan Lincon (dalam Meleong:2007),
menyebutkan data kualitatif mengemukakan latar alamiah yang menggambarkan fenomena yang
terjadi. Data yang dimunculkan atau diadakan disini adalah melihat kemampuan perajin dalam hal
menerima proses pembelajaran atau pelatihan yang diberikan sebelumnya, yang merupakan
penilaian dari proses belajar dengan teknik ceramah pada saat menjelaskan arti penting sebuah
desain sebelum pembuatan sebuah benda, dan dilanjutkan dengan praktikum berupa pembuatan
desain sampai perwujudan desain dan menjadi barang jadi. Data tersebut bersifat deskriftif karena
penggambarannya diungkapkan dengan kata-kata, pada penelitian ini peneliti terfokus pada
bagaimana proses penelitian itu berlangsung. Indicator penilaian kemampuan perajin tersebut
mengacu kepada tiga jenis ranah penilaian yang ada pada objek peserta yaitu : a). Ranah proses
berpikir, b).Ranah nilai atau sikap, c). Ranah ketrampilan. Pada kegiatan penilaian ini, ranah
pisikomotorik ini merupakan kepekaan dari kemampuan kognitif peserta (perajin) dalam menerima
dan memahami sesuatu, dan pisikomotoriknya adalah kemampuan dan skil yang dimiliki peserta
dalam mengerjakan atau membuat tegel keramik dengan motif tradisi. Sedangkan ranah affective
terlihat dari sikap dan tingkah laku peserta selama mengikuti kegiatan.
Data kuantitatif diperoleh dari lembar penilaian produk oleh pakar di bidang keramik dalam
hal ini yang peneliti tunjuk sebagai tim penilai yang lain adalah Consultan Desain Interior ”Wikan
Interior”. Bapak Pintara ST. Beliau banyak menangani proyek-proyek arsitektur dan interior.
Tujuan ditunjuknya tim penilai dari consultan interior ini adalah bertujuan untuk mengetahui
pandangan-pandangannya, mengenai produk yang dihasilkan, mengingat tegel keramik Sotoneware
motif ini nantinya difungsikan sebagai pemenuhan kebutuhan pada bidang eksterior dan interior
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
253 dinding ruangan sebagai penambah eksotisme kebutuhan home accessories rumah modern saat ini.
Lembar penilaian produk yang dipergunakan dalam penelitian ini, untuk mengetahui kualitas
produk yang dibuat, hasil yang diperoleh nantinya untuk mengetahui apakah produk yang telah
berhasil diwujudkan oleh perajin, apakah layak untuk diproduksi dan dipasarkan.
Untuk mengadakan penilaian terhadap karya seni rupa terapan, dalam hai ini penilaian
produk berupa tegel keramik yang dibuat oleh perajin. Berikut adalah beberapa aspek yang bisa
dijadikan ukuran atau kriteria sebuah penilaian. Dari aspek atau ukuran penilaian yang akan
dibahas nanti, tidak mutlak semua harus digunakan, karena tidak semua karya seni terapan cocok
dengan ukuran penilaian tersebut. Menurut Arini, Sri Hermawati Dewi (2008), menyebutkan
aspek-aspek atau ukuran penilaian itu adalah :
a) Aspek Ide atau Gagasan yaitu: Proses kreatif dalam dunia kesenirupaan merupakan
suatu proses yang timbul dari imajinasi menjadi kenyataan. Proses mencipta suatu benda melalui
pikiran, dan melaksanakannya melalui proses sehingga masyarakat dapat menikmati dan
memanfaatkannya. Pada penelitian ini penilaian akan aspek idea tau gagasan dalam menciptakan
produk berupa tegel tersebut, dapat dilihat dari keunikan atau ide-ide kreatif dari pengembangan
motif yang dibuat oleh perajin sendiri.
b). Aspek penguasaan teknis yaitu: Teknik adalah cara untuk mewujudkan suatu ide
menjadi hal-hal yang kongkrit dan punya nilai. Ketidaktrampilan dalam penggunaan teknik akan
berdampak pada karya yang dihasilkan. hal pemilihan teknik juga harus menjadi bahan
pertimbangan dalam pembuatan karya seni. Kesalahan dalam pemilihan teknik, juga akan
berdampak pada karya yang dihasilkan. Itulah sebabnya aspek penguasaan teknik perlu
dipertimbangkan dalam penilaian sebuah karya.
c). Aspek penguasaan bahan yaitu: Untuk menciptakan sebuah karya penguasaan bahan
sangat diperlukan karena setiap bahan mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda, Untuk itu
seorang pencipta karya harus tahu betul sifat dan karakter bahan yang digunakan. Kesalahan dalam
memilih bahan juga akan berakibat pada hasil karya yang dibuatnya. Untuk itulah aspek
penguasaan bahan dalam penilaian karya seni rupa terapan patut dipertimbangkan.
d). Asfek kegunaan yaitu: aspek pertimbangan penciptaan karya seni terapan, perlu
mempertimbangkan aspek kegunaan (applied), maka dalam penilaian juga perlu
mempertimbangkan aspek tersebut. Hal ini sangat penting mengingat fungsi utama dalam seni rupa
terapan adalah kegunaan. Segi-segi penilaian yang perlu dipertimbangkan dalam kegunaan adalah
segi kenyamanan dalam penggunaan, segi keluwesan/fleksibelitas dan segi keamanan.
e) Aspek wujud (form) yaitu: Aspek wujud (form) adalah aspek yang berhubungan erat
dengan prinsip-prinsip komposisi. Prinsip-prinsip komposisi itu meliputi proporsi, keseimbangan
(balance), irama (ritme), kontras, klimaks, kesatuan (unity). Prinsip itulah yang menjadi ukuran
untuk menilai karya seni dari segi wujud atau form.
d) Aspek kreativitas yaitu: Kreativitas yang dimaksud di sini adalah kreativitas yang
bersangkutan dengan karya. Banyak cara untuk menemukan kreativitas, misalnya dalam
penggunaan media, bahan, alat, dan teknik yang berbeda dari yang sebelumnya. Kreativitas juga
bisa didapat dengan menampilkan bentuk-bentuk baru atau memadukan unsur baru dengan yang
lama. Bila hal- hal di atas dapat dicapai pada penciptaan karya, khususnya karya seni rupa terapan,
maka penilaian dari aspek ini menjadi penting untuk dipertimbangkan.
e) Aspek tempat Pertimbangan tempat di mana karya itu akan diletakkan harus mendapat
perhatian dari seorang perancang karya seni rupa terapan.
f) Aspek selera yaitu: Seorang seniman yang ingin membuat karya seni terapan yang dapat
digunakan oleh orang banyak, harus dapat menyesuaikan karyanya dengan selera pasar. Dalam hal
ini selera harus dipertimbangkan hal-hal yang sedang menjadi tren di masyarakat, misalnya dari
segi model/bentuk, warna, ukuran, bahan yang digunakan, hal-hal yang menjadi bahan
pertimbangan, misalnya penerapan motif pada karya garapan.
Disamping mengacu pada pendapat di atas mengenai penilaian terhadap karya terapan,
unsur penting yang perlu mendapatkan perhatian adalah mengenai kreativitas perajin. Pada
dasarnya kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik
berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Menurut Amabile dalam tulisan Dedi Supriadi (1994), menyebutkan bahwa tanpa ada kejelasan
mengenai kriteria kreativitas, suatu kajian kreativitas patut diragukan keabsahannya. Penentuan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
254 kriteria kreativitas menyangkut tiga dimensi yaitu dimensi proses, person dan produk kreatif.
Penentuan kriteria kreativitas menyangkut tiga dimensi yaitu dimensi proses, person dan produk
kreatif.
a). Dengan menggunakan dimensi proses dalam proses kreatif sebagai ciri kreativitas, maka
segala produk yang dihasilkan dari proses itu dianggap sebagai produk kreatif dan orangnya
disebut sebagai orang kreatif. Menurut konsep kreativitas proses kreatif diartikan bersibuk diri
secara kreatif menunjukan kelancaran, fleksibilitas (keluwesan,orisinalitas dalam berfikir dan
berperilaku). Dalam proses berpikir keratif sama dengan melakukan pemecahan masalah yang
dilakukan manusia, yang melalui empat fase yaitu: a). Persiapan (mencari atau mengumpulkan
informasi), b). Inkubasi (pengeraman), c). Iluminasi (memperoleh kunci pemecahan sebagai
pemahaman yang tepat). d). Evaluasi atau Verifikasi (mengecek untuk mengetahui apakah
pemecahan itu berhasil atau mengalami kendala).
b). dengan menggunakan demensi person, pengertian person sebagai criteria kreativitas
identik dengan apa yang disebut kepribadian kreatif, orang kreatif memiliki ciri-ciri kepribadian
yang secara signifikan berbeda dengan orang yang kurang kreatif.
c). dengan menggunakan demensi produk yaitu: produk kreatif menunjuk pada hasil
perbuatan kinerja, atau karya seseorang dalam bentuk barang atau gagasan sehingga disebut puncak
reativitas, kriteria puncak kreatif dari suatu produk harus memiliki nilai kebaruan yang
menggambarkan suatu kemampuan untuk melahirkan idea tau produk baru yang berguna di
masyarakat.
Pada penelitian ini semua indicator diatas tampak bahwa kualitas produk kreatif ditentukan
oleh sejauhmana produk tersebut memiliki kebaruan, bermanfaat dan dapat menyelesaikan
masalah. Ini karena produk kreatif secara langsung menggambarkan penampilan actual seseorang
dalam kegiatan kreatif. Pengukuran-pengukuran dari kreativitas tersebut dapat dibedakan atas
pendekatan-pendekatan yang dipergunakan untuk mengukurnya.
Pengukuran kreativitas
Pengukuran aktifitas cara dalam proses penilaian terhadap produk kreatif. Analisa obyektif
digunakan untuk menilai secara langsung kreativitas suatu produk berupa benda atau karya-karya
yang dapat di observasi wujud aslinya, kelemahan menggunakan metode ini dalam pengukuran
kreativitas akan sangat sulit mendiskrifsikan secara matematis untuk menilai kualitas instrinsiknya,
dan kelebihan ddari pengukuran dengan metode ini adalah secara langsung dapat menilai
kreativitas yang melekat pada obyek, yaitu karya kreatif, (Amabile dalam Dedi Supriadi:1994).
Penialaian kreativitas dengan menggunakan analisis subyektif secara konseptual suatu produk
dinilai kreatif apabila dianggap produk tersebut memiliki criteria penilaian seperti: a) produk
tersebut baru, unik, berguna atau bernilai bila dilihat dari segi kebutuhan tertentu, b). lebih bersifat
heuristic atau menampilkan metode yang masih belum pernah dilakukan oleh orang lain
sebelumnya sehingga dapat dilihat sejauhmana ada kesepakatan untuk mengatakan sebuah produk
tersebut kreatif.
Pertimbangan kriteria penilaian dengan analisis subyektif bila dilihat secara konsensual
menekankan segi produk kreatif yang dinilai kreativitasnya oleh pengamat adalah menekankan dari
kesepakatan pengamat, dimensi dari konseptual tercermin pada kriteria kreativitas yaitu : novelty
(baru/bersifat orisinal), teable (berlaku), useful (berguna) dan sastisfaying (memuaskan), hal ini
sejauh dinilai oleh orang lain dan berdasar pada konsep yang disetujui oleh para ahli. Pengukuran
menggunakan analisis ini memiliki kelebihan dalam penilaiannya dimana dapat diterapkan pada
berbagai bidang kegiatan kreatif (praktis), dapat menjaring orang-orang atau produk yang sesuai
dengan kreativitas yang ditentukan oleh pengukur.
Pengukuran dari hasil kreativitas perajin pada penelitian hibah bersaing ini, dapat dinilai
dari tahap awal proses kegiatan yang di kerjakan di lapangan sampai karya-karya yang berhasil
diwujudkan oleh perajin. Penilaian tersebut menggunakan analisis subyektif karena hasil dari
penlitian ini adalah berupa produk kreatif yang merupakan pengembangan desain keramik berupa
tegel dengan motif tradisi. Penilaian dilakukan oleh tim peneliti sendiri dengan membandingkan
dengan hasil pengerjaan prototife penelitian tahap I, dan penilaian berikutnya dilakukan oleh tim
ahli dibidangnya untuk dilakukan validasi terhadap produk.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
255 Dari hasil pengamatan tersebut dan dihubungkan dengan data-data yang ada di lapangan
dengan apa yang dihasilkan perajin akan menjadi tolak ukur penilaian mengenai kemampuan
perajin dalam berkarya dan berkreativitas membuat produk keramik berupa tegel motif dan
kelayakan dari produk yang diciptakan untuk dikembangkan. Selanjutnya dari data yang sudah
terkumpul dilakukan penafsiran data. Menurut Moh Nasir (2005), menyebutkan bahwa
memberikan penjelasan yang lebih terperinci dari materi yang dipaparkan yang bertujuan : a)
menegakkan hasil penelitian dalam artian menghubungkan penelitian yang satu dengan penelitian
yang lainnya, b) bertujuan menghasilkan suatu konsep yang bersifat menerangkan atau
menjelaskan.
Penjelasan data penilaian pada penelitian ini, adalah sebagai berikut:
Ide dan Gagasan, Kreativitas mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan manusia.
Melalui kreativitas yang dimilikinya, manusia memberikan bobot dan makna terhadap
kehidupanya. Dari bentuk-bentuk motif yang dihasilkan perajin dilihat dari tahap awal proses
pengerjaan yaitu pembuatan sketsa pada awalnya perajin mengalami kesulitan dalam menemukan
atau menuangkan idenya kedalam kertas gambar, hal ini dapat dimaklumi karena mereka terbiasa
bekerja berdasarkan pesanan yang mana desainnya sudah dibawakan oleh sipemesan produk.
Untuk memudahkan perajin dalam membuat sketsa, peneliti memberikan gambaran atau contoh
dari hasil penelitian tahap I (prototife), bahwa desain yang mereka buat akan diwujudkan seperti
prototife tersebut. Perajin diberikan kebebasan dalam pengembangan motif, tiadak harus
mengambil motif tradisi secara utuh melainkan dibuat dengan menstilir bentuk-bentuk motif
dengan mengambil bagian-bagian yang menarik, motif-motif yang dikembangkan bisa diambil dari
motif daun, motif bunga dan batang. Dari beberapa kali pertemuan pada akhirnya mereka bisa
memahami mengenai penjelasan materi yang diberikan dan akhirnya berhasil membuat
skesa/gambar dengan motif-motif yang bervariatif.
Aspek penguasaan teknik, dari hasil pengamatan, perajin sudah menguasai teknik dalam
pembuatan keramik, hal ini terbukti dari proses pembuatan moulding tegel cetak ini. Keahlian
meraka dalam mengukir sudah sangat bagus, hanya mereka belum memahami bagaimana mencetak
lempengan gypsum yang telah diukir tersebut untuk mendapatkan negative cetakkannya dan
melepaskannya setelah lempengan gypsum tersebut mongering. Hal ini menunjukkan perajin perlu
kiranya lebih banyak melakukan eksperimen untuk menemukan teknik-teknik baru dalam
pembuatan keramik.
Aspek penguasaan bahan, data yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan, perajin
sudah memahami mengenai pengolahan bahan, proses pencampuran sampai proses pengerjaannya
dan tahap terakhir berupa finishing. Tetapi ada hal yang perlu diperhatikan adalah dalam proses
finishing yaitu penggarapan perlu diperhatikan kerapiannya dan tahap akhir pada saat pemberian
lapisan warna glasir, sangat perlu kehati-hatian karena sifat glasir adalah menutup body keramik,
sebaiknya permukaan tegel motif ini tidak diberikan lapisan warna secara menyeluruh agar tidak
menutup body keramik. Dari hasil produk tersebut terlihat produk yang diberikan lapisan warna
secara menyeluruh kelihatan kurang bagus karena motif tertutup oleh warna.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
256 Aspek daya tahan produk yang dihasilkan dari hasil pengamatan yang dilakukan, seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa tegel keramik stoneware ini menggunakan tanah
keramik Kalimantan (singkawang). Tanah ini telah teruji memiliki kwalitas baik sebagai bahan
pembuatan keramik, daya tahan suhu pembakaran bisa mencapai 1250˚C sehingga keramik tegel
stoneware ini bila dilihat dari kwalitas bahan dan kekuatannya sudah cukup baik dengan melalui
dua kali tahap pembakaran dan sudah diberikan lapisan pewarna glasir. Dengan diberikannya
lapsan pewarna ini, ditinjau dari segi kwalitas sudah sangat bagus karena lapisan pewarna dapat
menunjang estetika disamping bertujuan membuat keramik tersebut kedap air, anti lumut dan
sangat mudah dalam membersihkannya.
SIMPULAN
Dari hasil penilaian tersebut maka terlihat bahwa produk yang diciptakan pada penelitian
ini, memiliki prospek yang cukup bagus untuk dikembangkan mengingat pesaing yang ada dipasar
bisa dikatakan belum ada karena produk-produk tegel keramik yang dijual dipasaraan masih
bakaran rendah sejenis gerabah, biasanya difungsikan pada dinding luar bangunan dan difungsikan
untuk tegel lantai. Sedangkan produk yang diciptakan pada penelitian ini keunggulannya pada
produk sudah bakaran tinggi (sejenis porstlin) dan bisa difungsikan sebagai hisan motif pada
dinding interior dan eksteror bangunan dan juga bisa difungsikan sebagai border pada lantai sesuai
kebutuhan. Produk-produk yang dihasilkan perajin ini dikembangkan dengan membuat produk
dalam jumlah terbatas, sehingga tidak ada kesamaan motif. Produk yang diciptakan kwalitasnya
bisa terjaga dan perajin akan lebih kreatif lagi dalam hal pengembangan desain.
Gambar hasil perwujudan penciptaan
tegel keramik stoneware dengan motif tradisi
DAFTAR PUSTAKA
Sri Herawati, Arini, 2008. Seni Budaya, Jakarta Pusat perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional.
Supriadi, Dedi, 1994. Kretivitas Kebudayaan dan Perkembangan Iptek. Bandung: Alfabeta.
Nasir, Moh, 2005. Metode Penelitian, Bogor : Ghalia Indonesia.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
257 AKTUALISASI LONTAR PRASI DI ERA GLOBAL
MENGGUNAKAN TEKNOLOGI DIGITAL
Ida Bagus Kt. Trinawindu, Cok Alit Artawan, Ni Luh Desi In Diana Sari
Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected], [email protected].
Abstrak
Setiap provinsi memiliki ciri khas tersendiri dan kekuatan lokal yang luar biasa. Kesenian
daerah merupakan salah satu dari warisan kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Era globalisasi
ini merupakan sebuah peluang bagi pengembangan potensi diri. Di sisi lainnya globalisasi dilihat
sebagai ancaman terhadap eksistensi budaya lokal dan keberlanjutan budaya lokal itu sendiri. Salah
satu hasil maha karya nenek moyang masyarakat Bali adalah Lontar yang sudah berusia ratusan
tahun lamanya. Lontar yang ada di Bali biasanya berisi mantra-mantra suci untuk berbagai aktivitas
masyarakat Hindu Bali. Didalam Lontar-Lontar tersebut tersurat dan terkandung berbagai macam
ilmu pengetahuan tentang agama, filsafat, etika, arsitektur, astronomi, pengobatan dan lain
sebagainya. Salah satu contoh adalah Lontar Prasi yang terdapat di Desa Tenganan Pegringsingan
yang berada di Karangasem-Bali. Dengan adanya perkembangan teknologi seperti sekarang ini
maka diharapkan warisan budaya yang telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lampau ini dapat
terekam dalam media digital yang nantinya dapat menjadi sebuah pustaka digital tentang Lontar
Prasi dan mampu menjadi pelopor dalam melestarikan warisan budaya yang direkam ke dalam
media digital dengan memanfaatkan teknologi komputer sehingga diharapkan agar warisan budaya
ini dapat terselamatkan dan dapat dinikmati oleh anak cucu kita di masa yang akan datang.
Kata Kunci : Warisan kebudayaan, Lontar Prasi dan Digitalisasi.
Abstract
Each province has its own characteristics and superb local force. Local arts is one of the
cultural heritage that owned by Indonesia. This globalization era is an opportunity for selfpotential development. On the other side, globalization is seen as a threat to the existence of the
local culture and the sustainability of the local culture itself. One of the ancestors of Balinese
people masterpiece results’ is lontar which is hundreds years old. Thr Lontar in Bali usually
contains sacred mantras for various activities of the Balinese Hindu people. In the lontars various
kinds of knowledge about religion, philosophy, ethics, architecture, astronomy, medicine, and so
forth are expressed and contained. One example is found in the Lontar Prasi which is located in
Tenganan Pegringsingan village, in Karangasem Bali. With the development of technology like
today, it is expected that the cultural heritage that has existed since hundreds years ago can be
recorded in digital media services and will become a digital library of Lontar Prasi and also can
be a pioneer in preserving cultural heritage which is recorded into the digital media using
computer technology so that it is expected that this heritage can be saved and can be enjoyed by
our children and grandchildren in the future.
Keywords : Cultural Heritage, Lontar Prasi and Digitalization.
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa berlimpah, baik itu kekayaan alam, sumber
daya manusia maupun kekayaan seni dan budaya. Dari sekian banyak pulau yang dimiliki oleh
republik ini ternyata semua memendam banyak sumber daya alam, sumber daya manusia dan seni
budaya yang adi luhung. Setiap provinsi memiliki ciri khas tersendiri dan kekuatan lokal yang luar
biasa. Kesenian daerah merupakan salah satu dari warisan kebudayaan yang dimiliki oleh
Indonesia. Berbagai macam dan ragam budaya menghasilkan berbagai macam cabang budaya
seperti kesenian yang akan memperkaya kebudayaan dimasing-masing daerah. Salah satu daerah
yang memiliki seni budaya yang sangat terkenal di dunia adalah pulau Bali. Kebudayaan Pulau
Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu dalam eksistensinya memiliki ciri yang unik, kaya variasi
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
258 serta mempunyai akar dan perjalanan sejarah yang yang amat panjang. Keanekaragaman unsur
budaya yang terdapat di Bali masih banyak yang belum terungkap sehingga sangat potensial
dikembangkan sebagai daya tarik pariwisata. Pariwisata budaya yang dikembangkan di daerah
Bali, menampilkan kekuatan budaya masyarakat Bali dengan akar budaya tradisi yang kokoh,
terbukti mampu melindungi nilai-nilai budaya dimana kesenian religius yang memiliki nilai yang
agung untuk kehidupan budaya masyarakat tetap lestari dan berjalan bersamaan serta mampu
memberi nilai lebih pada kegiatan kesenian untuk konsumsi pariwisata.
Seiring dengan perkembangan pariwisata yang semakin pesat, banyak wisatawan yang
datang ke Bali ingin memahami dengan sungguh-sungguh kebudayaan, adat istiadat dan agama
yang ada. Mereka tidak hanya mencoba memahami dengan membaca buku atau guide book tetapi
mereka juga ada yang langsung melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat Bali baik yang
berkaitan dengan adat istiadat, kehidupan sosial yang ada dan hasil local genius yang ada di
masyarakat Bali. Salah satu hasil maha karya nenek moyang masyarakat Bali adalah Lontar yang
sudah berusia ratusan tahun lamanya.Kehadiran Lontar di Bali tidak dapat terpisahkan dari
masyarakat Hindu Bali dan sudah ada sejak jaman dahulu yang menjadi bagian hidup dari
masyarakat.Kata Lontar berasal dari ron dan tal. Di dalam bahasa Bali pohon palmyra dinamai tal
yang berasal dari tala nama sansekerta untuk pohon palm talipot. Ini tercemin dalam kata Lontar
yang berakar dari kata ron(daun) dan tal(pohon). Lontar adalah daun siwalan atau tal (Borassus
flabellifer atau palmyra) yang dikeringkan dan dipakai sebagai bahan naskah dan kerajinan. Di
Bali, kata Lontar sangat terkenal dan merupakan warisan budaya yang adi luhung dan sangat
identik dengan kegiatan keagamaan. Lontar sudah ada dari sejak jaman nenek moyang masyarakat
Hindu Bali, sebuah tradisi tua di Bali yang sudah melewati masa keemasan beratus-ratus tahun
lamanya. Lontar yang ada di Bali biasanya berisi mantra-mantra suci untuk berbagai aktivitas
masyarakat Hindu Bali. Di Bali, Populasi Lontar puluhan ribu jumlahnya tersebar di seluruh Bali,
yang tersebar dan tersimpan di rumah-rumah penduduk seperti Geria, Puri, Jero dan ada juga yang
dikoleksi di museum-museum yang ada di Bali. Didalam Lontar-Lontar tersebut tersurat dan
terkandung berbagai macam ilmu pengetahuan tentang agama, filsafat, etika, arsitektur, astronomi,
pengobatan dan lain sebagainya. Lontar hadir dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali sejak lahir
sampai mereka meninggal. Pada jaman dulu Lontar berfungsi sebagai buku untuk menuliskan
cerita, puisi, pedoman kehidupan masyarakat Bali kuno, serta filsafat kehidupan masyarakat Hindu
Bali dan masyarakat sangat mengkramatkan Lontar tersebut sehingga tidak sembarang orang bisa
membuka apalagi membacanya. Lontar jenis ini boleh dibuka, dibaca hanya oleh orang tertentu
seperti pedanda atau sulinggih dan orang suci atau orang yang disucikan oleh masyarakat Hindu
Bali dan biasanya tidak di sembarang tempat bahkan ada yang memang harus dibuka dan dibaca
pada saat peristiwa atau upacara khusus. Lontar pada umumnya.
Selain Lontar yang disebutkan di atas, ada jenis Lontar yang memuat berbagai cerita yang
dituliskan dan digambarkan / divisualisasikan sarat dengan makna dan nilai estetika yang tinggi.
Lontar yang dimaksud adalah Lontar Prasi yang terdapat di Desa Tenganan Pegringsingan yang
berada di Karangasem, Bali. Seni ini sudah tumbuh dan berkembang sejak agama Hindu mulai
merasuki serat-serat kehidupan masyarakat Hindu Bali. Lontar Prasi merupakan salah satu karya
seni rupa tradisional masyarakat Hindu Bali, termasuk warisan budaya nenek moyang yang
memiliki nilai estetika tinggi dan mempunyai karakteristik tersendiri. Lontar Prasi berasal dari kata
amarasi yang berarti ngerajah atau melukis, dengan demikian Lontar Prasi tersebut adalah
Rerajahan atau lukisan dapat juga disebut gambar bercerita diatas daun Lontar atau komik Lontar.
Lontar Prasi pada awalnya merupakan suatu media yang disucikan, berkembang memenuhi
kebutuhan estetis dan ekonomis bahkan lebih lanjut kegiatannya berkembang menjadi usaha
industri seni. Lontar Prasi yang ada di Bali terkenal dibuat di Desa Tenganan Pegringsingan,
Karangasem. Lontar Prasi yang berkembang di desa Tenganan Pegeringsingan merupakan salah
satu contoh warisan budaya yang mampu diadaptasi untuk kepentingan pariwisata. Keberadaan
Lontar Prasi di desa Tenganan Pegeringsingan umumnya hanya berupa Lontar Prasi Ramayana
dan Mahabrata yang hampir sama dengan Lontar Prasi di daerah Sidemen yang perkembangannya
lebih dahulu. Masalah yang mucul adalah Lontar Prasi yang ada di Bali akan mengalami kerusakan
akibat dari berbagai macam sebab diantaranya adalah rusak akibat cuaca, penempatan yang kurang
bagus, bahan Lontar yang digunakan adalah bahan alami yang sudah pasti akan mengalami
kerusakan, serta kurang terawatnya Lontar tersebut. Masalah berikutnya adalah tidak pernah
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
259 terdokumentasikannya hasil karya lontar yang sudah pernah dibuat oleh seniman-seniman Prasi
yang ada di Desa Tenganan. Keadaan yang demikian dipandang perlu adanya upaya untuk
melestarikan warisan budaya ini agar tidak punah sehingga pada suatu saat nanti generasi
mendatang masih memahami apa yang dimaksud dengan Lontar Prasi.
Dengan adanya perkembangan teknologi seperti sekarang ini maka diharapkan warisan
budaya yang telah ada dari sejak beratus-ratus tahun yang lampau ini dapat terekam dalam media
digital yang nantinya dapat menjadi sebuah pustaka digital tentang Lontar Prasi dan mampu
menjadi pelopor dalam melestarikan warisan budaya yang direkam ke dalam media digital dengan
memanfaatkan teknologi komputer sehingga diharapkan agar warisan budaya ini dapat
terselamatkan dan dapat dinikmati oleh anak cucu kita di masa yang akan datang.
METODE PENELITIAN
Penentuan subyek penelitian ditentukan dengan teknik purposive sampling. Hal ini
dilakukan, karena teknik ini lebih mampu menangkap realitas yang tidak tunggal.Teknik sampling
ini memberikan kesempatan maksimal pada kemampuan peneliti untuk menyusun teori yang
dibentuk di lapangan (grounded theory), dengan sangat memperhatikan kondisi lokal dengan
kekhususan ideografis atau nilai-nilainya (Sutopo, 1996: 37).
Subyek penelitian ini diambil dari Desa Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem Bali yang masih memiliki peninggalan karya-karya Lontar Prasi. Subyek yang dipilih sebagai
sampel adalah: (1) Karya-karya Lontar Prasi yang ada di Desa Tenganan Pegringsingan Kabupaten
Karangasem - Bali yang representatif; (2) Dikenal oleh masyarakat Bali; (3) Masih dipelihara dan
difungsikan dalam aktivitas oleh masyarakat Hindu di Bali. Berdasarkan pertimbangan tersebut di
atas dan karena terbatasnya waktu, serta dana penelitian, maka subyek yang dipilih sebagai sampel
adalah karya-karya Lontar warisan budaya yang masih terjaga keasliannya dan terpelihara
keadaannya sehingga dalam perekaman ke dalam tehnik digital nantinya mendapatkan hasil yang
maksimal. Data primer diperoleh berdasarkan pengamatan langsung, pemotretan, pengukuran,
wawancara dengan beberapa pakar pada bidangnya dan wawancara dengan beberapa tokoh
masyarakat yang memiliki Lontar Prasi.
PEMBAHASAN
Lontar Prasi
Menurut Koentjaraningrat (1990: 109) dalam bukunya “Sejarah Teori Antropologi II”
mengatakan bahwa terjadinya inovasi akibat dari penemuan baru dalam bidang teknologi.
Koentjaraningrat mengambil pendapat pendapat R. Linton dalam karya tulisnya The Study of Man
(1936) menyebutkan “Suatu penemuan baru, baik penemuan berupa alat atau ide baru yang
diciptakan seorang individu dalam masyarakat, disebut discovery. Apabila adat atau ide baru itu
sudah diakui dan diterima oleh sebagian besar warga dalam masyarakat, maka penemuan baru tadi
menjadi apa yang disebut invention. Proses sejak tahap discovery sampai ke tahap invention sering
berlangsung lama, dan kadang-kadang tidak hanya menyangkut satu individu, yaitu si pencipta
pertama, tetapi serangkaian individu yang terdiri dari beberapa orang pencipta”.
Komik bukanlah cergam-cerita bergambar seperti apa yang kita kenal selama ini. Dalam
cergam, gambar berperan sebagai ilustrasi, pelengkap, dan sebagainya tanpa hadirnya gambarpun
cerita masih bisa dinikmati pembacanya. Dalam komik yang terjadi sebaliknya, teks atau tulisan
berperan sebagai pelengkap gambar, misalnya : memberi dialog, narasi, dan sebagainya. Jadi lebih
tepatnya komik adalah gambar bercerita (Masdianto, 1998 : 9)
Menurut Kirtiningrat, Lontar secara umum dapat diklasifikasikan menjadi berapa jenis,
yakni: Kekawin: merupakan kesusastraan Jawa Kuno berbentuk puisi. Parwa: kesusastraan Jawa
Kuno berbentuk prosa. Kidung: kesusatraan berbahasa Jawa Tengahan. Geguritan: kesusastraan
Bali berbentuk puisi dan berkaitan dengan pupuh. Tutur/tatwa: kesusatraan berbahasa Kawi yang
isinya kehidupan praktis di masyarakat yang mengandung tuntunan hidup. Tatwa ini juga dikenal
sebagai akar budaya.Usada: berisi cara-cara pengobatan dengan obat tradisional. Wariga: berisi
pengetahuan cara-cara mencari hari baik serta keadaannya (padewasan). Babad: berisi
sejarah/silsilah keturunan. Pujamantra: berisi langsung tentang mantra-mantra atau weda.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
260 Pembuatan Lontar Prasi pertama-tama dibuat tidak begitu populer karena dibuat oleh orang
tertentu yang betul-betul mengetahui tentang ilmu kerohanian. Umumnya dibuat oleh orang-orang
dilingkungan kasta Brahmana. Pembuatan Lontar Prasi pada jaman itu disesuaikan dengan
fungsinya sebagai lambang atau perlambang dalam hal pengobatan atau ilmu pengobatan dan juga
berfungsi sebagai pengijeng atau penjaga diri, dengan lukisan yang mengandung arti tertentu sesuai
dengan fungsinya (Sutiari, dkk, 1993 : 12)
Ilustrasi berasal bahasa Latin yaitu Ilustrare, menerangkan / menghias, berarti pengiring,
pendukung, sebagai penghias guna membantu proses pemahaman terhadap suatu obyek. ; Gambar
ilustrasi dapat berarti gambar yang menghias dan membantu pemahaman terhadap sesuatu.
Gambar ilustrasi ini bukan hanya yang berbentuk gambar coretan tangan, tetapi dapat juga hasil
fotografi, bahkan susunan huruf, komposisi tipografi.Namun yang umum dibicarakan adalah
gambar ilustrasi dalam pengertian paling populer yaitu gambar yang diciptakan oleh seniman lewat
garis bentuk dan warna.Jika kartun dan karikatur berkembang sejak munculnya teknologi cetak
grafis, gambar ilustrasi berkembang sejak masa klasik. Hikayat masyarakat Bali yang dituliskan di
daun Lontar sudah menyertakan gambar ilustrasi didalamnya. (Ensiklopedia Nasional Indonesia,
1989 : 35).
Menurut I Nyoman Lodra, Seni lukis yang memanfaatkan media daun Lontar, dengan
menggambarkan adegan ceritra pewayangan, tantri, disertai dengan tulisan aksara Bali. Teknik
pembuatan dengan memakai benda tajam (pengutik) yang digoreskan sehingga menampakan
guratan-guratan sesuai dengan konsep, ide dan gagasan. Hasil goresan tersebut kemudian dilumuri
cairan arang yang terbuat dari buah kemiri yang telah dicampur minyak kelapa dan mengelap
kembali dengan kain kering. Sisa cairan arang kemiri yang masuk pada bagian goresan akan tetap
mengendap sehingga menampakan motif gambar dan tulisan sesuai dengan yang di konsepkan.
Karya seni lukis yang dibuat dari daun Lontar yang ditores dengan benda tajam tersebut di atas
lazim disebut dengan Seni Lukis Lontar Prasi. Seni lukis Lontar Prasi ini telah ada dan
berkembang di abad ke 14, pada zaman kerajaan Bali Kuno.
Desa Tenganan Pegeringsingan
Tenganan Pegeringsingan adalah desa adat kuno berbudaya asli yang masih bertahan di
pulau Bali. Letak Desa Tenganan Pegringsingan berjarak sekitar 66 kilometer sebelah timur kota
Denpasar. Desa ini diapit oleh bukit kangin dibagian timur dan bukit kauh di barat yang bertemu di
utara membentuk bentang melingkar seperti tapal kuda. Dikalangan para pengamat memperkirakan
bahwa kemungkinan munculnya sebutan Tenganan untuk desa Age ini, karena berada di tengahtengah bukit (tengahan) yang kemudian sering mengalami ucapan Tenganan (Sulistyawati, 1997 :
72). Dalam prasasti Ujung dari abad IX disebutkan bahwa Desa Tenganan semula bernama
Peneges terletek di pinggir pantai dekat Candi Dasa, tetapi karena erosi air laut mereka pindah
ketengah ke daerah pedalaman (ngatengahan). Dari kata ngatengahan dalam perkembangannya
kemudian berubah menjadi Tenganan (Korn,1960 : 307).
Kehidupan budaya rnasyarakat Tenganan Pegeringsingan
agak berbeda dengan masyarakat Bali umumnya perbedaannya
antara lain dari sasihnya yang tersendiridimana rerainan purnarna
dan tilem berbeda dengan pelaksanaan purnama tilemumumnya di
Bali, tata bangimannya tersendiri yaitu keberadaan jarak antara
satubangunan sangat dekat dengan bangunan lain pada satu
keluarga atau pekurenan, perbedaan itu menjadi bukti kekuatan
masyarakat desa Tenganan Pegeringsinganmempetahankan diri
sebagai Desa Bali Age dari pengaruh luar yang diperkirakantelah
mendapat pengaruh dari Jawa (Majapahit).
Munculnya seni lukis wayang dimulai pada waktu
kerajaan Gelgel jatuh dan pindah ke Klungkung pada tahun 1686
M. Dalem Klungkung sangat menaruh perhatian dan memberi
pengayoman serta pembinaan kepada para pelukis di Kamasan.
Pada waktu itu Dalem Klungkung menugaskan seorang sangging
untuk membuat sebuah wayang. Dalem Klungkung sangat puas
Gambar 1. Lontar Prasi
Kalender Bali Age
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
261 dengan hasil yang dibuat sangging tersebut, ia diberi nama Mahudara. Sangging Mahudara inilah
yang dianggap sebagai peloporseni lukis tradisional Kamasan (Kanta, 1996 : 10).
Tinjauan tentang digitalisasi
Digitalisasi (bahasa Inggris: digitizing) merupakan sebuah terminologi untuk menjelaskan
proses alih media dari bentuk tercetak, audio, maupun video menjadi bentuk digital. Digitalisasi
dilakukan untuk membuat arsipdokumen bentuk digital, untuk fungsi fotokopi, dan untuk membuat
koleksiperpustakaandigital. Digitalisasi memerlukan peralatan seperti komputer, scanner,
operatormediasumber dan software pendukung. Dokumen tercetak dapat dialihkan ke dalam bentuk
digital dengan bantuan program pendukung scanning dokumen seperti Adobe Acrobat dan
Omnipage. Dokumenaudio dapat dialihkan ke dalam bentuk digital dengan bantuan program
pengolah audio seperti CoolEdit dan JetAudio. Dokumen video dapat dialihkan ke dalam bentuk
digital dengan bantuan program pengolah video. Tujuan Digitalisasi, tidak lain adalah untuk
mendapatkan efisiensi dan optimalisasi dalam banyak hal antara lain efisiensi dan optimalisasi
tempat penyimpanan, keamanan dari berbagai bentuk bencana, untuk meningkatkan resolusi,
gambar dan suara lebih stabil. (http://id.wikipedia.org/wiki/Digitalisasi)
Prasi di Desa Tenganan Pegeringsingan
Prasi pada awalnya merupakan suatu media yang disucikan yang bentuk awalnya banyak
terdapat pada usada yaitu Ilmu pengobatan yang berkembang di Bali yang di tulis dan di gambar
pada bilahan Lontar, berkembang memenuhi kebutuhan estetis dan ekonomis bahkan lebih lanjut
kegiatannya berkembang menjadi usaha industri seni. Prasi yang berkembang di Desa Tenganan
Pegeringsingan merupakan salah satu contoh warisan budaya yang mampu diadaptasi untuk
kepentingan pariwisata.
Adanya prasi secara pasti kapan dan siapa yang pertama membuat tidak diketahui
keberadaannya namun berdasarkan bentuk prasi yang ada sekarang ini berupa prasi Ramayana dan
Mahabharata pertama kali dibuat oleh I Wayan Mudita Adnana pada tahun 1972. Menurut beliau
keahlian menggores daun lontar diperoleh dari orang tuanya dan mulai melukis prasi karena adanya
himbauan dari seorang wisatawan asing asal Jerman dimana disarankan menampilkan gambar
sebagai ilustrasi suatu cerita sehingga lebih menarik dan mudah dipahami. Prasi di Desa Tenganan
Pegeringsingan mulai marak dibuat pada tahun 1975-1980 an sejalan dengan peningkatan jumlah
kunjungan wisata yang cukup besar, semenjak itu prasi bernilai ekonomis sebagai benda seni yang
dapat dijual kepada wisatawan sebagai cindera mata.
Keberadaan prasi di desa Tenganan Pegeringsingan umumnya hanya berupa prasi
Ramayana dan Mahabrata karena boleh dikatakan hanya seorang seniman Mudita Adnana yang
mampu merancang prasi sekaligus mengerjakannya sedangkan lainnya adalah pengrajin prasi yang
membuat hasil tiruan prasi yang sudah ada, sehingga perlu kiranya dilakukan suatu upaya
pengembangan untuk menambah keanekaragamannya sekaligus menciptakan ciri khas prasi
Tenganan Pegeringsingan.
Proses Berkarya
Pembuatan prasi dilakukan oleh Mudita Adnana melalui pendalaman berbagai pengetahuan
tentang ilmu sastra Bali menginngat dalam prasi terdapat tiga komponen pokok yang harus
diketahui yaitu bahasa, pakem wayang dan cerita. Perkenalannya pada sastra dan wayang dimulai
dari masa kecil dimana kecintaannya pada wayang membuatnya sampai mendaki dan melewati
bukit untuk sekedar menonton wayang didesa Bugbug sebuah desa tetangga yang terletak
diseberang bukit. Obsesinya tersebut menjadikannya menjadi dalang cilik di desanya dengan
wayang dari Kloping/pelepah bunga Kelapa, kemudian berkembang sampai wayang karton
Kemudian mulai mempelajari tabuh/musik dengan gender wayang.
Setelah menguasai semua pakem gender wayang barulah belajar wayang dan mendalang
pada kakek Merata seorang dalang yang masih kerabatnya dari Besan Klungkung, selama dua
bulan memaksimalkan tikas/gerakan wayang dengan mengendarai sepeda dayung menempuh jarak
kira-kira 20 kilometer. Berceritalah kakek dalang di akhir pengajarannnya, sekarang kamu sudah
boleh mendalang tapi ada tetapinya tidak boleh mendalang untuk upacara. Setelah diupacarai
mulailah mendalang dengan meminjam wayang di desa Pesedahan desa tetangganya sejalan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
262 dengan itu mulailah meniru beberapa wayang dari dalang di Pasedahan dengan wayang yang telah
berumur 300 tahun tentunya dengan permohonan ijin terlebih dulu dan selalu dimulai melalui
proses upacara.
Proses nedunan/meniru dengan melalui upacara khusus pada wayang sehingga
diperbolehkan mengeluarkan dari keropak/kotak wayang. Dari sinilah dimulai perkenalannya pada
dunia rupa, dengan jalan setiap meniru maksimal menurunkan dua wayang dengan cara ngeblat,
menjiplak wayang dengan kertas semen yang dicari hanya bentuk luarnya saja. Setelah sampai
memiliki wayang berjumlah 150 karakter mulailah menggunakan wayang sendiri untuk mendalang.
Perkenalan dengan seorang wisatawan asal jerman memberikan pencerahan padanya untuk
menulis carita diatas daun lontar dengan memvisualkan berbagai karakter dalam ceritanya.
Penelitianpun dilakukan sampai ke kabupaten Buleleng mencari bentuk-bentuk wayang mualilah
tahun 1972 membuat prasi.
Bahan Dan Alat
Sebagai bahan bakunya adalah daun lontar yang serat-seratnya halus dan mulus.
Di Bali umumnya dikenal 2 jenis lontar yaitu : Lontar telur (ntal taluh), serat-seratnya halus,
daunnya lebih lebar dan panjang. Apabila ditulisi tekanan dari pengrupak sangat sedikit
menimbulkan suara karena goresan tidak terlalu keras. Lontar gagak (ntal goak), serat-seratnya
agak kasar, daunnya lebar dan panjang. Tekanan dari pengrupak menimbulkan suara karena
goresan agak keras.
Bahan yang lainnya yaitu kayu untuk bahan-bahan pengepres, kemiri yang dibakar
dicampur minyak kelapa sebagai bahan pewarna, bilahan bambu untuk bingkai, benang atau tali
untuk pengikat prasi.
Peralatan yang diperganakan antara lain :
Pisau khusus untuk menoreh lontar/pengerupak ada tiga jenis yaitu pengerupak besar,
menengah, dan kecil. Alat lainnya adalah serut yang digunakan untuk menghaluskan bagian
samping dari daun lontar. Prosesnya dengan cara daun lotar digabungkan jadi satu kemudian dijepit
dan dihaluskan dengan menggunakan serut.
Gambar 4. Daun lontar, bahan pembuatan
prasi.(sumber gambar: dokumen pribadi)
Gambar 5. Pengerupak, alat pembuatan
Lontar Prasi (sumber gambar: dokumen pribadi)
Proses Pengerjaan Lontar Prasi
Untuk menghasilkan karya seni bermutu dalam proses pembuatan prasi dilakukan tahapantahapan sebagai berikut :
Tahap pemilihan bahan.
Dalam membuat prasi haruslah memilih daun lontar yang serat-seratnya halus dan mulus,
untuk dapat atau tidaknya daun lontar tersebut dipergunakan, terlebih dahulu diperhatikan ujung
lontar tersebut. Apabila lontar sudah kering ujungnya kira-kira 2,5 cm, pada waktu itu bisa dipetik
dari pohonnya, kemudian dijemur selama satu hari supaya kering Setelah diperoleh daun lontar
yang baik kemudian daun lontar diiris untuk menghilangkan lidi-lidinya, kemudian dibentuk segi
empat panjang dengan ukuran kira-kira lebar 3,5 cm dan panjang 25 cm proses ini disebut mirip.
Kemudian dibuat 3 buah lubang pada setiap daun lontar, setelah itu direndam dalam air, kemudian
direbus dengan air disertai rempah-rempah diantaranya kunyit warangan, gambir, daun liligundi
untuk pengawetan. Kemudian dikeringkan dan dihaluskan serta dipres. Untuk mencapai kwalitas
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
263 yang baik pengepresan dilakukan antara tiga sampai enam bulan agar lontar rata tidak
melengkung, selanjutnya daun lontar siap dibuat prasi atau dilukis.
Tahap pembuatan
Dalam tahap pembuatan ini disiapkan peralatan yaitu pengerupak besar, menengah dan
kecil. Alat pengerupak tersebut sebagai penggores atau menggambar dalam pembuatan prasi,
biasanya pengerajin langsung menggambar di atas daun lontar sesuai keinginan tanpa sket terlebih
dahulu ini dilakukan oleh yang telah berpengalaman, berbeda dengan orang yang tidak begitu
terampil, sket dengan pensil perlu dilakukan karena kesalahan pada penggambaran tokoh wayang
sulit bisa dihilangkan.
Tahap pewarnaan
Setelah penggambaran ceritera yang dikehendaki selesai maka tahap selanjutnya pemberian
warna. Warna yang dipergunakan terbuat dari buah kemiri yang dibakar kemudian dihancurkan
lalu dicampur minyak kelapa, cara pemberian warna dengan memoles atau menggosok dengan
tangan diatas daun lontar yang sudah digambar maka gambar akan terlihat jelas.
Tahap penyelesaian/finishing
Tahap ini merupakan tahapan menyusun daun lontar sesuai jalan ceritanya dari awal sampai
akhir, kemudian diikatkan benang / tali dengan memasukkan benang tersebut kelobang yang telah
dibuat, tahap akhir adalah memberikan bingkai pada sisi atas atau bawah pada rangkaian lontar
yang dibuat dari belahan bambu, biasanya diberi ukiran atau ornamen tertentu sebagai pemanis atau
pelengkap.
Gambar 6. Proses pembuatan
goresan. (Sumber gambar:
dokumen pribadi)
Gambar 7. Proses pewarnaan.
(Sumber gambar: dokumen
pribadi)
Gambar 8.Hasil akhir Lontar
Prasi. (Sumber gambar: dokumen
pribadi)
Prasi Karya I Wayan Mudita Adnana
Prasi hasil karya Mudita Adnana merupakan kelanjutan dari karya-karyanya terlebih dahulu
berupa karya sastra tulisan daun lontar yang berisikan kekawin Ramayana dan Mahabharata,
dimana kekuatan cerita dan bahasa yang telah dikuasai dengan teknik menggambar diatas daun
lontar yang telah terasah melalui latihan panjang menggores berbagai huruf Bali memerlukan
ketekunan dan kesabaran yang luar biasa karena proses kesalahan akan sangat kentara dan
diperlukan kekuatan tarikan garis yang spontan untuk menghidupkan karakter dalam suatu cerita.
Apabila sebuah karya seni dalam proses penggarapannya tidak berdasarkan kepada kepekaan dan
ketrampilan yang baik (mumpuni), maka tidak ada kesempatan bagi kita menikmati karya tersebut
sebagai karya seni (Bandem, 2002).
Prasi Ramayana yang berjudul Prasi berjudul Aranyaka Kanda, karya pengerajin I Wayan
Mudita Adnyana, menceritakan keadaan Rama, Sita dan Laksmana di dalam hutan membantu
pertapa dari serangan raksasa yang selalu merusak hutan, serta rayuan Surpanaka terhadap
Laksmana yang menyebabkan marahnya Laksmana dengan memotong hidung Surpanaka.
Dilanjutkan dengan cerita Patih Merica menjelma menjadi kijang, Rahwana menjelma menjadi
orang tua yang menculik Dewi Sita, diakhiri dengan nasib yang menimpa Garuda Jatayu hingga
tewas. Prasi ini berukuran Lebar 3,5 cm panjang 25 cm, terdiri dari 15 bilah lontar dengan 14 lontar
berupa gambar mengikuti uraian atau ringkasan cerita disebelah kanan menggunakan olesan tinta
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
264 hitam dari arang buah kemiri dicampur minyak dan 1 bilah lontar yang berisi keterangan judul dan
seniman penciptanya.
Prasi Ramayana berjudul Kiskinda Kanda karya pengerajin I Wayan Mudita Adnyana,
mengisahkan Sang Rama mendapat sahabat karib yang bernama Sugriwa yang diketemukan saat
perang saudara dengan Subali, karena istri Sugriwa di rebut oleh Subali. Sang Rama membantu
Sugriwa, berkat panah Sang Rama Subali tewas. Prasi terdiri dari 13 bilah daun lontar dengan
ukuran lebar 3,5 cm dan panjang 25 cm, bilah pertama berisikan judul dan keterangan seniman
penciptanya, bilah berikutnya sebanyak 12 lembar berisikan gambar bercerita dengan uraian
tentang cerita ada disebelah kanan dengan memakai bilasan tinta hitam dari arang kemiri.
Berdasarkan hasil pengamatan prasi karya Mudita Adnana di desa Tenganan
Pegeringsingan garis yang tegas dimiliki olehnya mengingat pendalamannya terhadap olahan
kekuatan tangan dalam menggoreskan pisau pengerupak sehingga garis tegas menjadikan
visualisasi cerita menjadi sangat kuat. Ketekunanya menciptakan berbagai karakter sesuai dengan
kekuatannya terhadap pengetahuan cerita yang diketahuinya melalui membaca dan mempelajari
lontar dengan pendalaman terhadap karakter bahasa, cerita pakem wayang dan teknik menjadikan
tangannya sangat pasih dalam memainkan pisau untuk menciptakan komik lontar. Perjuangan
kreativitas untuk memunculkan diri dalam usaha mencari pengakuan harus diikutii dengan
kekuatan wacana yang merupakan pangkal dasar publikasi dan informasi yang menjembatani
antara wujud visual, isi dan makna yang terkandung dalam sebuah karya seni. Teori quantum
sangat relevan untuk dimanfaatkan untuk mengkaji hal tersebut dimana menurut teori quantum
bahwa sesuatu terdiri dari gelombang dan partikel.Wujud visual merupakan partikel dan wacana
merupakan gelombangnya sesuai dengan kaedah prasi berupa gambar dan teks penjelas
yangkeduanya selalu terikat dan saling dukung mendukung. Kedudukan partikel dan gelombang
tidak tetap, dalam arti dapat berubah-ubah silih berganti yaitu gelombang menjadi partikel dan
sebaliknya partikel dapat menjadi gelombang. Suatu karya juga terdiri dari teks dan konteks.
Konsep adalah teks dan karya adalah konteks.
Namun penguasaannya pada pakem wayang yang ada sedikit memenjarakan nilai
kreatifitasnya sehingga prasi yanng dibuatnya hanya berkisar pada cerita Ramayana dan
Mahabharata karana hanya karakter wayang inilah yang dianggapnya jelas dan telah terpakem.
Kekukuhannya terhadap apa yang dikenalnya membuatnya sedikit takut untuk berekspresi lebih
bebas, sehingga dari segi komposisi terlihat hal yang monoton pemanfaatan ruang belum terlihat
karena semuanya terlihat penuh sesuai dengan kekuatan tradisi yang lebih banyak terlihat sebagai
pengulangan. Menurutnya bahwa apa yang dibikinnya sama sekali tidak boleh membuat orang
bingung dan harus jelas disinilah nilai paradoknya bahwa secara tidak sadar kita telah dipatok oleh
pengetahuan yang sebenarnya merupakan hasil interpretasi dan pengembangan suasana jaman,
namun walaupun semua itu sudah diketahui sebagai ilmu pengetahuan yang terus berkembang, kita
terlalu takut untuk disalahkan terhadap apa yang sebenarnya bisa menjadi suatu terobosan baru
yang apabila dilakukan dengan pendalaman yang kuat bisa menjadi pengetahuan baru.Suatu
gejolak yang tak mungkin ditolak dan semestinya diakui, karena setiap jaman yang ditangkap akan
melahirkan teks yang sesuai dengan konteks yaitu konstelasi jaman.
Mudita Adnana adalah seorang kreator prasi didesa Tenganan Pegeringsingan yang
menciptakan prasi atas interpretasinya terhadap lingkungan budayanya yang masih sangat kental
bau tradisinya dengan pendalaman yang benar-benar terhadap suatu penggabunngan berbagai
bidang ilmu yang bersinergi menjadi karya yang agung yang walaupun berasal dari anak desa yang
putus sekolah namun karena keinginan yang tinggi untuk belajar selain menjalankan adatnya dia
berusaha mengembangkan apa yang dimiliki dengan pendobrakan secara halus dijamannya
terhadap adat istiadat setempat menyerap budaya luar yang bermanfaat dan berkaitan dengan
budayanya dan diterima oleh masyarakat setempat sebagai hal yang tidak tabu untuk dilanjutkan
sekaligus sebagai penopang kebudayaan yang bernilai ekonomis dan menjadi inspirasi dari belasan
seniman prasi didesanya sejalan dengan perkembangan pariwisata yang dikembangkan Pemerintah
Daerah Bali mengingat Tenganan Pegeringsingan sebagai daerah tujuan wisata andalan. Prasi
adalah salah satu peninggalan budaya bangsa yang berisikan cerita yang mengandung ajaran-ajaran
filsafat sehingga sangat perlu dikemukakan sebagai usaha menggali konsep-konsep ajaran etika dan
moral yang tinggi didalamnya untak bahan renungan dalam mengisi pembangunan dewasa ini.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
265 Pengembanganprasisangat mungkin untuk dilakukan menurutbapak I Wayan Mudita
Adnana cerita-cerita yang ada di Bali dan Nusantara sangat potensial dikembangkan mengingat
cerita yang digarap saat ini hanya berkisar antara Ramayana dan Mahabrata sehingga menjadi
monoton dan cerita yang dimiliki hendaknya dimanfaatkan sebagai suatu daya tarik dan
nantinyamenambah keanekaragaman prasi di Desa Tenganan Pegeringsingan dengan menampilkan
visualisasi yang lebih kreatif sehingga menambahkekayaan budaya Bangsa.
Proses Kerja Digitalisasi
Dalam poses digital yang telah dilakukan, ada dua teknik pengerjaan digitalisasi
lontarantara lain:
Tehnik Fotografi.
Fotografi merupakan sebuah hasil karya foto yang dihasilkan dengan menggunakan alat
perekam berupa kamera foto. Fotografi juga dapat diartikan sebagai suatu seni atau proses
menghasilkan gambar dengan menggunakan media cahaya. Fotografi adalah kegiatan seni dan jenis
fotografi ada bermacam-macam. Untuk itu dibutuhkan seorang fotografer yang Karya yang
dihasilkan dalam tehnik fotogrfi ini 100% menyerupai asli. Untukmenghasilkan sebuah karya yang
bagus dan menarik ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor utama yang sangat
berpengaruh terhadap hasil karya fotografi ini adalah faktor pencahayaan, tanpa pencahayaan yang
baik akan sulit untuk menghasilkan hasil karya yang bagus. Faktoryang kedua adalah fotografer.
Disini fotografer akan dituntutdan diuji seni dan kreatifitasnya betul-betul mengerti seni dan jenis
fotografi yang ada padadirinya. Dalam berkaryauntuk menghasilkan sebuah foto yang bagus dan
menarik. Faktor yang ketiga adalah kamera yang digunakan. Kamera adalah alat pokokdalam
fotografi, tentunya didukung oleh lensa, alat bantu pencahayaan, reflektor, tripod dan lain-lain.
Dengan menggunakan tehnik fotografi sudah barang tentu akan ada kelebihan dan kelemahan dari
hasil yang tercipta. Keunggulan menggunakan tehnik fotografi adalah foto yang dihasilkan lebih
cepat dan dapat diambil dengan berulang kali sehingga kita dapat memilih hasil terbaik yang akan
disimpan dalam file digital, foto lebih konkrit dan realistis, dapat mengatasi batasan ruang dan
waktu, dapat mengatasi keterbatasan pengamatan, dapat memperjelas masalah, murah harganya
dan mudah digunakan. Kelemahannya adalah jika mengambil foto lontar dengan jarak yang agak
jauh, harus mengambil dua kali pemotretan disebabkan oleh panjang lontar dengan lebar lontar
perbandingannya sangat jauh. Kelemahan berikutnya adalah tidak setabilnya pencahayaan yang ada
jika kita tidak menggunakan cahaya bantuan berupa lampu studio. Foto lontar akan telihat kurang
bagus karena disatu sisi akan terlihat gelap dan disisi yang lain akan terlihat lebih terang, sehingga
sangat dibutuhkan pencahayaan yang tepat dalam proses pemotretan ini. Kelemahan berikutnya
adalah terjadinya distorsi dalam pemotretan dimana lebar dan panjang antara sisi atas dan bawah
terlihat kurang seimbang. Kelemahan fotografi secara umum adalah foto diinterpretasikan secara
personal dan subyektif, foto hanya menampilkan persepsi indra mata, foto biasanya disajikan dalam
ukuran yang sangat kecil. Dibawah ini adalah karya lontar yang diambildengan menggunakan
tehnik fotografi dengan beberapa kelemahannya. Pada foto diatas terlihat gambar lontar prasi
dengan distorsi bentuk yang dihasilkan oleh kamera dan cara pengambilan gambar yang kurang
sejajar dengan obyek yang difoto. Hasil yang didapatkan dari tehnik fotografi ini mendapatkan
resolusi yang berbeda dengan tehnik scanning, sehingga jika nantinya mengubah ke dalam
beberapa bentuk media seperti media yang dicetak seperti buku diperlukan kembali untuk
melakukan scanning untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam tehnik ini dibutuhkan
beberapa peralatan pendukung untuk menghasilkan sebuah foto yang memang benar-benar
maksimal baik dari segi bentuk yang dihasilkan maupun dari sisi warna yang dimunculkan oleh
obyek yang difoto.
Tehnik Scanning
Tehnik yang kedua adalah tehnik scanning. Dalam proses scanning alat yang dibutuhkan
adalah scanner. Scanner adalah sebuah alatelectronic yang funsinya mirip dengan mesin fotocopy.
Mesin fotocopy hasilnya dapat langsung dilihat pada kertas sedangkan scanner hasilnya
ditampilkan pada layar monitor komputer kemudian dapat diubah dan dimodifikasi sehingga
tampilan dan hasilnya menjadi lebih bagus dan dapat disimpat dalam format text, dokumen dan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
266 gambar. Fungsi dari scanner adalah perangkat yang digunakan untuk memindai atau memindahkan
teks dokument, foto, benda dan lain-lain. Hasilpemindaian akan di simpan ke dalam memori
komputer sebagai data digital. Dewasa ini jenis-jenis scanner sudah ada berbagai macam jenisnya,
begitu juga fungsinya ada yang dalam satu paket yaitu terdapat fungsi scanner, fotocopi, printer dan
fax, sehingga fungsi scanner sekarang ini sudah lebih lengkap lagi karena dengan scanner
multifungsi kita sudah dapat memfotocopi dokumen baik dalam model hitam putih maupun
berwarna.
Kelebihan mengunakan scanner adalah hasil scan lontar lebih bagus dan warna yang akurat,
tidak terjadinya distorsi pada bentuk lontar, hasil dapat diedit dikomputer dengan mudah.
Sedangkan kelemahannya adalah jika menggunakan scanner multifungsi apabila salah satu
perangkat mengalami gangguan maka keleuruhan sistem tidak berfungsi, jika lontar lebih besar
dari kertas A4 maka harus dilakukan scanning dua kali agar mendapatkan hasil yang sama dengan
lontar aslinya.
Pada proses scanning ini, lontar yang berukuran kecil di jejer diatas layar scanner jadi satu
kemudian dilakukan pemindaian dengan resolusi tinggi yaiu 300dpi. Pemindaian dilakukan dengan
memindai satu persatu lontar yang ada. Dari sekian banyak deretan lontar yang ada yang kira-kira
sampai 5 deretan lontar, dilakukan pemindaian per lembar untuk memudahkan dalam pengolahan
dan urutan lontar tidak sesuai dengan urutan lotar aslinya. Resolusi tinggi ini dimaksudkan agar
gambar yang dihasilkan benar-benar sempurna dan sesuai dengan aslinya. Dengan resolusi ini, file
yamg ada bisa digunakan untuk media digital lainnya karena file yang tersimpan sudah merupakan
file master sehingga jika diperlukan untuk pembuatan media digital atau media yang dicetak tidak
perlu lagi melakukan pemindaian.
SIMPULAN
Lontar Prasi merupakan salah satu peninggalan budaya bangsa yang berisikan cerita yang
mengandung ajaran-ajaran filsafat sehingga sangat perlu dikemukakan sebagai usaha menggali
konsep-konsep ajaran etika dan moral yang tinggi didalamnya untuk bahan renungan dalam diri
manusia. Perekaman Lontar Prasi dengan menggunakan teknik digital merupakan sebuah usaha
untuk melestarikan warisan budaya yang kita miliki agar tidak mengalami kepunahan di jaman
modern. Dengan menyimpan karya lontar prasi kedalam media digital dapat menggugah para
seniman untuk berkarya lebih bagus lagi karena hasil karya mereka sudah didokumentasikan yang
nantinya dapat dilihat dalam bentuk digital. Kondisi yang ada sekarang ini adalah semua karyakarya seniman ini tidak ada yang didokumentasikan dalam bentuk digital baik itu difoto apalagi
discan dengan menggunakan scanner sehingga kita tidak tahu hasil karya seni lontar prasi ini
seperti apa. Terciptanya produk baru dari seni prasi dalam bentuk yang berbeda yaitu dalam bentuk
digital yang dapat diakses dengan mudah oleh generasi muda sehingga nilai-nilai yang terkandung
dalam prasi tersebut dapat dipahami dan dimaknai oleh pembaca. Kecendrungan prasi dalam
bentuk digital jauh lebih mudah diakses dewasa ini karena perkembangan teknologi digital yang
semakin modern.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedia Nasional Indonesia,1989, PT Cipta Adi Pustaka, Indonesia.
Kanta, I Made,1977, Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan, Proyek Sasana Budaya Bali.
Koentjaraningrat,1990, Sejarah Teori Antropologi II Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Korn,V.E.,1960. Bali Studies in Life, Throught and Ritual.
Lodra, I Nyoman, 2011, Seni Lukis Prasi Dan Peradaban Bali Kuno,
http://padma.jurnal.unesa.ac.id - Jurnal Padma, Edisi: Volume 6 No. 2, September 2011
Masdianto, Toni, 1998, 14 Jurus Membuat Komik, Kreativ Media, Jakarta.
Sutiari, I Gusti Ayu, Jelada, I Made et.al, 1993, Penelitian Prasi Ramayana di Desa Sidemen,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sutopo, Heribertus B., 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
267 RANCANG BANGUN MODEL KESENIAN LANSIA
DI KELURAHAN TONJA DENPASAR
Ni Made Ruastiti, Ni Nyoman Manik Suryani, I Gede Yudarta.
Program Studi Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar.
[email protected]
Abstrak
Rancang Bangun Model Kesenian Lansia adalah sebuah konsep dasar yang berisi tentang
kaidah-kaidah dalam mengembangkan Model Kesenian Lansia, yang mencakup ragam gerak,
koreografi, struktur pertunjukan, iringan musik tari, dan tata rias busana pertunjukan tersebut.
Kelurahan Tonja, Denpasar Timur, memiliki potensi kesenian yang dilakukan oleh para lansia.
Para lansia di daerah tersebut sangat berharap dapat terus berkesenian, walaupun mereka telah
memasuki usia senja. Untuk memecahkan permasalahan tersebut, para lansia di Kelurahan Tonja
dibuatkan sebuah model kesenian yang sesuai dengan kondisi fisik mereka.
Metodologi yang digunakan adalah metodologi penelitian kualitatif. Dengan
mengembangkan konten kesenian mereka yakni tari Janger, sebuah tari pergaulan bagi muda-mudi
menjadi sebuah Model Kesenian Lansia, dengan langkah-langkah penelitian secara bertahap: (1).
Membuat Rancang Bangun Model Kesenian Lansia; (2). Implementasi/Penerapan Model;
(3).Ujicoba Model/pentas, diseminasi, monitoring, evaluasi, dan revisi model. Dengan menurunkan
volume dan kuantitas beberapa variabel dari konten kesenian mereka secara bertahap maka
terwujudlah Kesenian Janger Lansia yang lebih fungsional, yang dapat mereka kembangkan secara
bekelanjutan
Kata kunci : Pengembangan Model Kesenian Lansia, Lansia di Kelurahan Tonja, Denpasar.
Abstract
The Elderly Performing Art Design is a concept that contains the basic rules of developing
the performing art of the elderly people, in which it involves a variety of movement, choreography,
performance structure, the accompaniment of dance music, and fashion makeup of these
performances.Tonja Village of Eastern Denpasar which has numerous elderly people who keen on
the performing arts. They hope that they are able to keep on the performing arts despite of their
aging lives. To resolve such problems, the elderly people at Tonja Village were provided with
performing art model which appropriate with their physical conditions.
The methodology used a qualitative research. By developing the contents of their
performing art namely the Janger dance, a social dance for young people, to become a model of
the performing art for the elderly by the following steps: (1). Creating the design model of the
elderly performing art; (2) Application/implementation of the model; (3). Model testing/show,
dissemination, monitoring, evaluation, and model revision. By reducing the volume and quantity of
some variables from the content of their performing art, by the following steps it was eventually
created the Elderly Janger Performing Art which is more functional, that they will be able to
develop in a sustainable manner.
Key words: Development of the Elderly Performing Art Model, Elderly at the Village of Tonja,
Denpasar.
PENDAHULUAN
Rancang Bangun Model Kesenian Lansia adalah sebuah konsep dasar yang berisi tentang
kaidah-kaidah dalam mengembangkan Model Kesenian Lansia, yang mencakup ragam gerak,
koreografi, struktur pertunjukan, iringan musik tari, dan tata rias busana pertunjukan tersebut.
Kelurahan Tonja termasuk wilayah kecamatan Denpasar Timur, memiliki potensi kesenian yang
dilakukan oleh para lansia. Kesenian lansia merupakan sebuah model kesenian yang ditarikan oleh
para lansia, kelompok masyarakat berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999).
Darmojo (2004) mengatakan bahwa masyarakat lanjut usia (lansia) pada umumnya dianggap
sebagai kelompok masyarakat yang sudah tidak produktif lagi untuk mencari nafkah dalam
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
268 memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, karena menurunnya kemampuan akal dan fisik yang
bersangkutan.
Sebagaimana diketahui bahwa ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai
kemampuan fisik yang prima sehingga mereka dapat melakukan reproduksi dan melahirkan anak.
Namun, seiring bertambahnya usia, maka kondisi fisik manusia itupun berubah. Manusia yang
telah lanjut usia akan mulai kehilangan tugas dan fungsi tubuhnya secara perlahan-lahan, satupersatu, kemudian mati.
Namun berbeda halnya dengan para lansia di Kelurahan Tonja. Mereka menganggap bahwa
usia lanjut bukan merupakan faktor penghambat untuk berkesenian. Mereka bahkan menganggap
bahwa dengan usia lanjut seseorang akan lebih banyak memiliki pengalaman dalam berkesenian,
khususnya seni pertunjukan tradisonal. Oleh sebab itu, mereka sangat berharap dapat terus
berkesenian, walaupun mereka telah memasuki usia senja.
Hasratnya yang begitu tinggi untuk berkesenian itu tampaknya tidak bertepuk sebelah
tangan, karena pada perayaan hari jadi pemerintah Kota Denpasar, Para lansia di daerah tersebut
pernah memperoleh pembinaan seni, berupa pelatihan tari Janger. Namun karena model kesenian
tersebut tidak sesuai dengan kondisi fisik mereka, maka kesenian itu tidak berkelanjutan lagi.
Untuk memecahkan permasalahan tersebut kiranya agak sulit diatasi jika hanya
mengandalkan kemampuan diri mereka saja. Oleh sebab itu, pemerintah melalui lembaga
masyarakat yang terbawah yakni kelurahan Tonja, tempat penelitian ini dilakukan mencari solusi
untuk memecahkan persoalan yang dihadapi para lansia itu dengan melakukan kerjasama dalam
menangani permasalahan tersebut. Karena masalah kesenian bukan saja menyangkut kebutuhan
jasmani (fisik) saja, tetapi juga menyangkut pemenuhan masalah rohani (hasrat). Perlakuan yang
seimbang terhadap pemenuhan kedua hal itu menjadi penting, agar para lansia tersebut dapat
menikmati kehidupan yang sehat secara lahir dan batin.
Untuk itu, melalui penelitian terapan ini mereka dibuatkan sebuah Model Kesenian Lansia
yang sesuai dengan kondisi fisik mereka, dengan tahapan sebagai berikut: (1). Membuat Rancang
Bangun Model Kesenian Lansia; (2). Implementasi Rancang Bangun Model; (3). Uji coba model,
evaluasi dan penyempurnaan model.
Pengetahuan mengenai hal tersebut penting diketahui agar Kesenian Lansia yang sesuai
dengan kondisi fisik mereka itu dapat dikembangkan secara berkelanjutan. Tanpa menggunakan
metode ini kiranya model kesenian yang akan dihasilkan kurang mengakar pada masyarakat yang
bersangkutan, bahkan implemnetasinyapun bisa saja akan dapat menimbulkan konflik di
masyarakat, karena sebagaimana dikemukakan oleh Soemardjan (1993), bahwa banyak gagasan
pembangunan yang tidak sampai pada tujuan utamanya untuk mensejahterakan masyarakat yang
bersangkutan.
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena sangat bermanfaat baik secara teoritis
maupun praktis. Manfaat teoritisnya, melalui riset ini akan dapat diketahui tentang bagaimana
strategi pembuatan model kesenian lansia yang sesuai dengan kondisi fisik mereka, namun juga
dapat menarik bagi penonton, serta kendala-kendala yang dihadapi oleh para lansia tersebut dalam
berkesenian, serta solusi bagi para lansia agar dapat berkesenian secara berkelanjutan. Sementara,
manfaat praktis dari riset ini akan dapat ditemukan strategi yang tepat untuk membuat model
kesenian bagi para lansia yang sesuai dengan harapan semua pihak serta menarik bagi masyarakat
yang menontonnya. Dengan mendapat apresiasi dari berbagai pihak, maka para lansia itupun akan
merasa senang dan lebih bersemangat dalam berkesenian. Hal itu tentunya akan dapat berimplikasi
bagi peningkatan kesehatan mereka baik secara lahir maupun batin.
Rancang Bangun Model Kesenian Lansia Yang Sesuai Dengan Kondisi Fisik Lansia
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa Rancang Bangun Kesenian Lansia adalah sebuah
konsep dasar yang berisi tentang kaidah-kaidah dalam mengembangkan kesenian lansia, yang
mencakup ragam gerak, koreografi, struktur pertunjukan, iringan musik tari, dan tata rias busana
pertunjukan tersebut. Rancang Bangun Model sebuah kesenian sangat penting untuk diwujudkan
terlebih dahulu sebelum model kesenian yang dimaksud dibangun dan diterapkan. Hal ini
dilakukan mengingat bahwa telah banyak model kesenian tercipta, namun pada akhirnya kesenian
tersebut tidak dapat berkembang secara berkelanjutan. Untuk itu, dalam mewujudkan Model
Kesenian Lansia yang sesuai dengan kondisi fisik mereka diperlukan pertimbangan dan pemikiran
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
269 yang holistik karena model kesenian tersebut mesti sesuai dengan keinginan, harapan, dan potensi
berkesenian mereka, serta kondisi fisik para lansia tersebut, yang sudah tentu tidak bisa maksimal
lagi dalam melakukan gerakan tari.
Dengan melakukan observasi, wawancara dengan para lansia di Kelurahan Tonja diperoleh
kesepakatan untuk menyusun Rancang Bangun Kesenian Lansia yang sesuai dengan harapan dan
kondisi fisik mereka. Dengan mengembangkan konten kesenian mereka, yakni tari Janger Mudamudi melalui beberapa tahapan: pertama, menyeleksi dan menata ragam gerak tari yang
disesuaikan dengan kondisi fisik para lansia tersebut, yang tentu saja berbeda jika dibandingkan
dengan ragam gerak tari Janger pada umumnya; kedua, menata iringan musik tari atau gamelannya
yang ritme dan temponya disesuaikan dengan kondisi fisik para lansia tersebut; ketiga, menata
gending-gending yang disesuaikan dengan usia dan fenomena yang sedang terjadi di lingkungan
para lansia tersebut. Gending-gending yang dirancang inipun tidak sama dengan gending-gending
yang umumnya dinyanyikan oleh tari Janger; keempat, menata struktur pertunjukannya yang
tentunya juga disesuaikan dengan kondisi fisik para lansia tersebut, kelima, menata tata rias
busananya yang disesuaikan model serta warnanya dengan kondisi fisik para lansia tersebut, agar
busana yang dikenakannya itu nyaman dipakai namun juga indah dipandang oleh penonton.
Model kesenian yang baru tercipta ini menyerupai kesenian Janger, namun jika diamati
koreografi maupun struktur pertunjukannya tidaklah sama, karena kesenian ini memiliki ragam
gerak, gending-gending, musik iringan tari, tata rias busana, maupun durasi pertunjukannya ditata
baru sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut agar Model Kesenian tersebut lebih mudah
dipahami dan mudah diperagakan sehingga Model Kesenian tersebut lebih fungsional dan dapat
mereka kembangkan secara berkelanjutan.
Struktur Pertunjukan Kesenian Lansia
Struktur pertunjukan merupakan susunan, urut-urutan antar bagian pertunjukan yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Struktur pertunjukan terwujud atas kalimat, frase-frase
gerak yang mengandung makna tertentu, yang umumnya di setiap peralihannya ditandai oleh
peralihan frase gerak dengan perubahan gending-gending tertentu.
Dalam konteks itu, untuk menyusun struktur pertunjukan kesenian lansia, kemampuan
untuk menggerakan fisik menjadi salah satu faktor penentu volume ragam gerak yang akan
digunakan dalam tarian tersebut, yang mudah diperagakan namun juga indah dipandang mata.
Selain itu, tempo dan ritme gerak menjadi pertimbangan khusus dalam meyusun struktur
pertunjukan kesenian lansia tersebut. Mereka tentunya tidak akan dapat mengikuti gerakan-gerakan
tari yang umumnya dilakukan oleh para penari yang masih muda karena kelenturan fisik mereka
sudah mulai menurun. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan Rancang Bangun Kesenian ini para
lansia tersebut diajak bekerjasama dengan tim peneliti untuk mewujudkan harapan dan tujuan
penelitian ini.
Para Lansia di kelurahan Tonja yang telah pernah mendapat pembinaan seni dari tim
kesenian Kota Denpasar sebagian besar memang telah memiliki pengalaman dalam bidang
berkesenian. Namun karena beberapa variabel dari kesenian tersebut kurang sesuai dengan kondisi
fisik mereka maka kesenian tersebut tidak berkelanjutan lagi. Berbagai faktor yang menjadi
penghambat kelangsungan kesenan lansia sebelumnya ditelusuri agar Model Kesenian yang baru
tercipta ini dapat diterima oleh semua pihak dan dapat dikembangkan secara berkelanjutan. Selain
unsur gerak, tempo, tata rias busana, iringan musik tarinya, serta tata cara penyajiannya yang
kurang disesuaikan dengan kondisi fisik para lansia tersebut. Untuk itu dalam penelitian ini mereka
dibuatkan sebuah Model Kesenian Lansia yang struktur maupun tata cara penyajiannya disesuaikan
dengan kondisi fisik mereka.
Kelurahan Tonja meskipun lokasinya di tengah-tengah kota Denpasar, namun para
lansianya tampak belum seluruhnya mampu memelihara kesehatan fisik dan mentalnya sesuai
dengan standar kesehatan nasional. Perbedaan kondisi fisik dan mental para lansia di kelurahan
Tonja secara tidak langsung akan dapat mempengaruhi daya serap mereka untuk mengingat
susunan gerak tari yang terlalu banyak dengan tempo yang terlalu cepat. Oleh sebab itu, struktur
pertunjukan yang dibangun dari ragam gerak yang disesuaikan dengan kondisi fisik mereka agar
mudah diingat dan lebih mudah memperagakannya.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
Elastisitas otot dan persendian para lansia yang mulai menurun seiring dengan
bertambahnya jumlah usia mereka menghendaki model kesenian yang sesuai dengan kondisi
mereka. Oleh karena itu Model Kesenian Lansia yang diciptakan ini dibangun oleh ragam gerak,
lagu, tempo yang sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut. Selain daya dukung fisik, daya
ingat, dan mental diperlukan perhatian khusus dalam mewujudkan Rancang Bangun Model
Kesenian Lansia ini, sebagaimana tampak di bawah ini.
Gending dan Musik Iringan Kesenian Lansia
Tari Janger merupakan kesenian rakyat yang menggabungkan tiga komponen seni yaitu
gerak tari, lagu dan instrumen (gamelan) yang mengirinya. Kesenian Janger dikenal sebagai
kesenian yang dibawakan oleh sekelompok penari laiki-laki (kecak) dan penari perempuan
(janger). Lagu-lagu (gending) yang dinyanyikan oleh para penarinya pada umumnya adalah
gending-gending yang irama, nadanya bernuansa gembira dan terkadang juga bernuansa kecewa.
Kecak dan janger bernyanyi dengan berbalas pantun yang pada intinya seperti layaknya laki-laki
yang ingin menyampaikan isi hatinya kepada perempuan pasangannya.
Gerak tari dan lagu yang dibawakan ini sering mengundang tawa para penontonnya karena
pantun lagu yang dinyanyikan lucu dan menghibur itu dibarengi gerakan yang sesuai dengan
pantun lagu tersebut. Gending atau lagu-lagu yang dinyanyikan berisi tentang pantun pergaulan
laki-laki dan perempuan itu mengandung makna kriktik sosial dan kekecewaan yang dialami oleh
masyarakat. Kritik sosial yang disampaikan melalui pantun oleh para Janger dan Kecak tersebut
dikaitkan dengan situasi politik dan ekonomi sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat
yang bersangkutan. Selain itu, gending yang dibawakan itupun berisi tentang pesan programprogram pembangunan yang akan dan sedang dilakukan pemerintah.
Terkait dengan gending Kesenian Lansia di kelurahan Tonja sudah tentu pantun lagunya
disesuaikan dengan usia para penarinya, agar tampilan kesenian tersebut tidak tampak terlalu
menyimpang dari norma-norma budaya setempat. Gending Janger Lansia yang baru diciptakan ini
akan lebih mengedapankan kegembiraan kelompok masyarakat yang sudah lanjut usia yang tentu
saja akan berbeda dibandingkan dengan gending Janger yang pada umumnya dibawakan oleh
muda-mudi.
Mengingat bahwa usia para penari Janger Lansia di kelurahan Tonja sudah lanjut usia,
maka lagu (gending) yang akan dinyanyikan itu ditata tidak terlalu rumit agar mereka mudah
mengingatnya sesuai dengan usia para lansia tersebut. Musik iringan tari Janger yang pada
umumnya ditata dengan suasana gembira, tidak jauh berbeda dengan tari Janger Lansia di
kelurahan Tonja. Kesenian tersebut juga menggunakan musik iringan yang tidak jauh berbeda
dengan musik iringan tari Janger yang pada umumnya dibawakan oleh muda-mudi. Hanya saja
pada penampilan tari Janger Lansia tersebut dimainkan oleh lansia laki-laki dengan tempo yang
tidak terlalu cepat.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
271 Agar iringan musik tari Janger Lansia ini sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut,
maka temponya dirancang lebih lambat dibandingkan dengan iringan musik tari Janger muda-mudi.
Oleh sebab itu, gamelan tari Janger Lansia ini ditata lebih lambat sesuai dengan kemampuan gerak
para lansia tersebut. Hal itu sengaja dilakukan agar Kesenian Lansia ini betul-betul sesuai dengan
kemampuan fisik para lansia tersebut. Terwujudnya Kesenian Lansia di kelurahan Tonja
diharapkan selain dapat menghibur semua pihak, para lansia itupun diharapkan menjadi lebih sehat.
Seringnya mereka menarikan kesenian tersebut akan berimplikasi bagi pelestarian kesenian Janger
itu sendiri.
Tata Rias Busana Kesenian Lansia
Di Bali pada umumnya jenis seni tari mempunyai tata rias busana yang khas, sehingga
penonton akan cepat mengetahui tari apa yang sedang tampil pada sebuah pementasan. Demikian
juga kesenian lansia di kelurahan Tonja. Agar kesenian yang akan dibawakan oleh para lansia
tersebut menarik untuk ditonton, maka tata rias busana yang digunakannyapun dirancang sesuai
dengan kondisi fisik dan usia mereka yang sudah tidak muda lagi. Pada waktu mereka menarikan
tari Janger remaja sebelumnya, para lansia tersebut masih menggunakan tata rias busana sama
seperti tata rias busana yang digunakan oleh tari Janger remaja pada umumnya. Namun tata rias
busana yang digunakan itu dirasakan kurang sesuai dengan kodisi fisik para lansia tersebut. Dengan
menggunakan tata rias busana seperti itu, mereka merasa kurang leluasa melakukan gerakan ketika
menari. Kekurang-leluasaan para lansia tersebut menggunakan tata rias busana seperti tari Janger
remaja tersebut, disikapi dalam penelitian ini, dengan menata tata rias busana yang sesuai dengan
usia dan kondisi fisik mereka yang sudah tidak kuat lagi menggunakan tata rias busana sempit dan
kaku sebagaimana ketika mereka muda dulu. Oleh sebab itu, maka tata rias busana kesenian lansia
itu ditata lebih sederhana, lebih ergonomis dan tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya.
Tata rias busana kesenian lansia dalam penelitian ini dirancang lebih sederhana dan lebih
elastis. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam merancang tata rias busana kesenian
lansia di kelurahan Tonja yaitu pertama, pemilihan bahan (kain). Kain yang digunakan untuk tata
rias busana akan digunakan kain yang sejuk dan gampang menyerap keringat. Hal itu bertujuan
untuk menjaga suhu tubuh dan kulit para penari yang sudah tidak elastis lagi; Kedua, ukuran tata
rias busana akan dirancang lebih longgar, dalam arti tidak ketat seperti tata rias busana penari
remaja; dan ketiga, pemilihan warna. Warna tata rias busana akan dirancang lebih lembut
sehingga tidak membuat penari kesenian lansia tersebut tampil terlalu mencolok. Secara
keselurahan tata rias busana Kesenian Janger Lansia di kelurahan Tonja akan tampak berbeda
dibandingkan dengan tari Janger Remaja pada umumnya, tapi tetap akan tampil sebagai sebuah
kesenian yang mengedepankan etika dan estetika sebuah garapan seni pertunjukan.
Rancangan tata rias busana Kesenian Lansia di kelurahan Tonja sudah tentu dibuat
berdasarkan berbagai pertimbangan. Selain model, bahan, warna yang harus disesuaikan dengan
kondisi fisik para lansia tersebut, faktor keindahan juga tetap menjadi perhatian karena tata rias
busana tari selain harus membuat si pemakai merasa nyaman, namun juga harus dapat membuat
senang baik bagi si pemakai maupun yang melihatnya. Terlebih lokasi penelitian ini yakni di
kelurahan Tonja tidak terlalu jauh dari kota Denpasar, maka rancangan tata rias busananya juga
akan dibuat sesuai dengan keinginan dan harapan dari berbagai pihak. Untuk penyempurnaannya,
tentu masukan atau informasi yang diperoleh selama melakukan penelitian ini akan menjadi
pertimbangan khusus bagi tim peneliti.
Durasi Pertunjukan Kesenian Lansia
Penyajian kesenian lansia di kelurahan Tonja tetap akan berpedoman pada etika dan estetika
tari Janger. Etika dan estetika sebuah garapan tari sering dikaitkan dengan pakem. Secara umum,
struktur pertunjukan kesenian lansia di kelurahan Tonja tetap akan dibagi mejadi tiga bagian yaitu
papeson (awal), pengawak (inti), pakaad (akhir). Ketiga pembagian struktur pertunjukan kesenian
lansia di kelurahan Tonja akan ditampilkan dalam waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan
dengan tari Janger Remaja pada umumnya. Ketiga bagian dari struktur pertunjukan kesenian lansia
tersebut, pada masing-masing bagiannya akan menyajikan gerak tari dan gending (lagu-lagu) yang
ditata baru. Ragam Gerak yang ditata menyatu dengan musik iringannya itu ditampilkan tidak
terlalu lama durasinya agar sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut. Agar penyajian
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
272 Kesenian Lansia di kelurahan Tonja tidak terlalu lama, maka ragam gerak tari dan lagu atau
gending-gending yang dibawakan dirancang lebih singkat tetapi tidak mengurangi makna dari
sebuah seni pertunjukan.
Kesenian Lansia Sebagai Penguat Karakter Bangsa
Kesenian Lansia yang dirancang sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut diharapkan
dapat berkembang secara berkelanjutan, karena dikembangkan dari konten kesenian mereka,
sehingga hal ini akan berimplikasi bagi peningkatan kesehatan mereka baik secara lahir maupun
batin. Kesenian Lansia yang sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut akan membuat para
lansia tersebut senang, dan merekapun akan semakin sehat karena dapat bergerak dan bergembira.
Melalui kesenian ini para lansia itupun akan semakin senang dan bangga dengan kemampuannya
berkesenian. Rasa bangga itu akan berkembang menjadi kebanggaan nasional, karena pada
dasarnya representasi kebudayaan daerah yang semakin menguat itu merupakan unsur dari
kebudayaan nasional Indonesia.
Berkembangnya rasa bangga yang diiringi menguatnya posisi Kesenian Lansia yang baru
tercipta tersebut akan mendorong para lansia itu untuk mengidentifikasikan dirinya dengan
kesenian tersebut. Dengan demikian, merekapun akan semakin semangat untuk mempelajari dan
mengaktualisasikan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian tersebut.
Pengaktualisasiannya inilah yang berpotensi besar bagi penguatan karakter bangsa, baik di
kalangan orang di daerah itu sendiri maupun orang-orang dari luar daerah tersebut. Sebab karakter
suatu bangsa terbangun atas dasar konfigurasi nilai budaya yang ada di dalam kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan (Danandjaja, 1988).
Kesenian Lansia yang diwujudkan ini bermanfaat untuk menguatkan karakter bangsa di
kalangan para partisipan dalam pengembangan seni pertujukan tradisional Bali yang berbasis
masyarakat tersebut. Karakter bangsa itu tercermin dalam sikap dan perilaku masyarakatnya yang
secara sadar mengutamakan nilai-nilai seni pertunjukan tradisional daerah Bali, karena Kesenian
Lansia yang dikembangkan dari seni pertunjukan tradisional ini menjadi Kesenian Lansia yang
mampu memberikan kesenangan bagi para partisipannya dan mampu meningkatkan kesehatan
pisik para lansia tersebut, yang sekaligusberimplikasi bagi pelestarian seni pertunjukan tradisional
tersebut. Ini artinya bahwa pelestarian seni pertunjukan tradisional yang dilakukan dengan cara
mengembangkannya menjadi Kesenian Lansia yang sesuai dengan kondisi fisik mereka itu
bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan para pelakunya. Masyarakat yang bersangkutanpun
akan semakin mencintai keseniannya yang merupakan kearifan lokal.
Apresiasi dan kontribusi yang memadai dari masyarakat akan membuat para lansia itu
senang membawakan kesenian tersebut. Sehingga melalui kesenian ini para lansia itu akan lebih
mudah bersosialisasi di masyarakat, dan masyarakat lainnya itupun akan turut menarikannya.
Kesenian Lansia yang dirancang sesuai dengan kondisi fisik mereka itupun akan semakin diminati
pelakunya karena bermanfaat bagi yang bersangkutan. Oleh sebab itu merekapun akan turut
mengembangkan kesenian tersebut secara berkelanjutan, yang merupakan konfigurasi nilai
kesenian tradisional daerah setempat, yang merupakan kearifan lokal yang secara tidak langsung
akan dapat membangun karakter para lansia tersebut.
SIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Rancang Bangun Model Kesenian
Lansia adalah sebuah konsep dasar yang berisi tentang kaidah-kaidah dalam mengembangkan
kesenian lansia, yang mencakup ragam gerak, koreografi, struktur pertunjukan, iringan musik tari,
dan tata rias busana pertunjukan tersebut. Rancang Bangun Kesenian Lansia merupakan tahap awal
dari tahapan riset Pengembangan Model Kesenian Lansia yang berlokasi di Kelurahan Tonja,
Denpasar.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Kelurahan
Tonja, Denpasar Timur memiliki potensi kesenian yang dilakukan oleh para lansia. Para lansia di
daerah tersebut sangat senang dan berharap dapat terus berkesenian, walaupun mereka telah
memasuki usia senja. Mereka menganggap bahwa usia lanjut bukan merupakan faktor penghambat
untuk berkesenian. Hasratnya yang begitu tinggi untuk berkesenian itu tampak tidak bertepuk
sebelah tangan, karena pada perayaan hari jadi pemerintah Kota Denpasar, mereka pernah
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
273 diberikan pembinaan seni berupa pelatihan tari Janger. Namun karena model kesenian tersebut
tidak sesuai dengan kondisi fisik mereka, maka kesenian itu tidak berkelanjutan lagi.
Untuk memecahkan permasalahan tersebut, melalui penelitian terapan ini para lansia
tersebut dibuatkan sebuah model kesenian yang sesuai dengan kondisi fisik mereka. Dengan
mengembangkan konten kesenian mereka yakni tari Janger, sebuah tari pergaulan bagi muda-mudi
menjadi sebuah Model Kesenian Lansia yang sesuai dengan kondisi fisik mereka. Dengan
menurunkan volume dan kuantitas ragam gerak, struktur pertunjukan, gending-gending, iringan
musik tari dan tata rias busana kesenian mereka, yakni tari Janger bagi muda-mudi tersebut maka
terciptalah Model Kesenian Lansia, yang lebih fungsional sehingga akan lebih mudah mereka
kembangkan secara berkelanjutan demi peningkatan kualitas hidup mereka baik lahir maupun
batin.
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo,B.2004.“TuaTidak HarusRenta”.www.Suara Merdeka.com/harian/04.06/15 ked 07.htm.
Hardywinoto dan Setiabudhi. 1999. Panduan Gerontologi-Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup
Para Lanjut Usia. Jakarta: Gramedia Pustaka.
KAJIAN ORNAMEN KUNO PADA BANGUNAN-BANGUNAN PURI DI
KABUPATEN KARANGASEM BALI
I Nyoman Wiwana. I Wayan Sukarya.
Program Studi Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengkaji ornamen kuno pada bangunan
puri di Kabupaten Karangasem. Teknik pengambilan datanya observasi, wawancara dan
dokumentasi. Sumber data penelitian adalah ornamen-ornamen kuno pada bangunan puri yang
melekat pada ukiran pintu, jendela, gapura, dan lain-lain. Sebagai informan kunci adalah
penglingsir puri keturunanan raja di puri tersebut. Hasil yang diperoleh adalah Puri Agung
Karangasem merupakan salah satu puri di Kabupaten Karangasem yang masih memiliki ornamen
kuno. Jenis-jenis ornamen yang terdapat di Puri Agung Karangasem dapat dibedakan menjadi dua
yaitu ornamen dengan gaya Cina dan Bali. Teknik pembuatan ornamen yaitu teknik ukir dan teknik
cetak. Pengaruh gaya Eropa (Belanda) dan gaya Cina sangat kental terlihat penampilan ornamen di
puri tersebut. Visualisasi ornamen puri tersebut dapat bermakna bahwa kerajaan di Karangasem
pada zaman dahulu telah menjalin hubungan dengan dunia luar, kesenian dan teknologi seni cetak
telah berkembang dengan baik. Sejarah terwujudnya ornamen di puri tersebut sangat sulit dianalisis
karena tidak ditemukan dokumen-dokumen yang mendukung sejarah pembuatannya. Kondisi fisik
ornamen beberapa telah mengalami kerusakan.
Kata kunci: ornamen, kuno, bangunan, puri.
Abstract
The general purpose of this study is to examine ancient ornaments on castle building in
Karangasem regency. Data retrieval techniques of observation, interviews. The data source is
study of ancient ornaments on castle building attached to the carved door, window, gate, and
others. Oldest’s generation castle king of the castle as the key informant.The result is Puri Agung
Karangasem is one of the castle in Karangasem regency which still has the old-fashioned
ornaments. The types of ornaments contained in Karangasem Puri Agung can be divided into two
ornaments with Chinese style and Bali. manufacture technic of ornaments that carving techniques
and printing techniques. The influence of European style (the Netherlands) and a very thick
Chinese style ornaments visible appearance in the castle. Visual ornament of the castle can mean
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
274 that the Karangasem kingdom in many years ago, have a relationship with the outside world, the
arts and the art of printing technology has been well developed. History realization of ornaments in
the castle is very difficult to analyze because it can not find the documents that support the making
of history. The physical condition of some of the ornaments have been damaged.
Key word: ornaments, ancient, building, castle.
PENDAHULUAN
Beberapa tahun belakangan ini pembangunan di Bali terus berkembang sesuai dengan
zamannya, disisi yang lain terjadi pergeseran-pergeseran dalam berbagai bidang. Pergeseran dalam
bidang budaya dapat dilihat dari perubahan-perubahan seperti mengganti bangunan model lama
dengan bangunan-bangunan model baru (post structural), misalnya dalam gaya/style, teknik, bahan
dan termasuk dalam ornamen yang digunakan. Masa-masa pembangunan seperti itu sering disebut
model-model pembangunan poststruktural, suatu masa yang telah bergeser menuju suatu hal baru
yang masih menampakkan karakter sebelumnya maupun tidak (Piliang, 2010: xvii). Dalam
pergeseran style, pembangunan sekarang cendrung polos, simple, tanpa ornamen ukiran, walaupun
masih berkarakter Bali. Contoh untuk ini bisa dilihat dari pembangunan gapura, bale kulkul,
tembok penyengker dan sebagainya.
Jika pergeseran-pergeseran itu terus berlanjut maka peradaban-peradaban lama/kuno, suka
atau tidak suka berangsur-angsur akan hilang. Salah satu yang kami khawatirkan adalah ornamen
kuno pada bangunan-bangunan bekas raja-raja tempo dulu yang ada di beberapa puri di Bali saat
ini. Salah satu misalnya yang ada di Kabupaten Karangasem Bali. Di Kabupaten Karangasem
terdapat beberapa puri yang sampai saat ini masih meninggalkan bangunan-bangunan kuno bekas
raja-raja tempo dulu dan perlu untuk diberi apresiasi supaya tetap bisa dipertahankan. Walaupun
demikian peneliti merasa khawatir dengan keberadaannya pada masa-masa mendatang, karena
pada beberapa puri lain di Bali sudah mulai terjadi pemugaran-pemugaran bangunan mengganti
dengan baru baik style maupun materialnya termasuk ornamennya. Maka dari itu penelitian ini
dirasakan sangat penting untuk dilakukan karena merupakan bagian dari rasa kepedulian budaya
masa lalu, sebagai pelestarian bahkan bila memungkinkan merekonstruksinya kembali jika
ditemukan kerusakan-kerusakan.
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel dilakukan secara porposive sampling. Teori ini diterapkan dalam
menentukan sumber data jenis-jenis ornamen yang menjadi sumber data primer dalam penelitian
ini. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan teori snowballing yaitu pengambilan sampel
dengan bantuan key-informan (Iskandar, 2009: 114-115). Diawali dengan menetapkan beberapa
informan kunci, kemudian dari informan kunci tersebut berkembang keinforman-informan yang
lainnya.
Pada proses pengumpulan data peneliti dibantu oleh satu orang pembantu peneliti, tenaga
lapangan satu orang mahasiswa sebagai pencatat dan pengambilan foto. Teknik pengambilan
sampel dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Sumber data yang ditetapkan
pada penelitian ini adalah ornamen-ornamen kuno pada bangunan-bangunan puri seperti yang
terlihat pada ukiran pintu, jendela, gapura, dan lain-lain. Sumber data lain sebagai informan
ditentukan adalah para tetua/penglingsir puri/keturunan raja-raja di Kabupaten Karangasem dan
pihak-pihak lain yang terkait. Untuk memperoleh hasil penelitian yang masksimal dilakukan proses
triangulasi, atau proses pengumpulan, pengolahan dan proses verifikasi serta berulang-ulang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Puri adalah sebuah nama yang dipakai untuk menyebut tempat tinggal para kaum penguasa
(raja) pada zaman dahulu di Pulau Bali dan nama tersebut masih digunakan sampai saat ini oleh
para keturunan raja dan keluarga dekat yang masih memiliki hubungan darah dengan raja.
Berdasarkan sistem pembagian triwangsa atau kasta, maka puri ditempati oleh bangsawan
berwangsa ksatria. Pemimpin puri yang umumnya sekaligus pemimpin lembaga kekerabatan puri,
biasanya disebut sebagai Penglingsir atau Pemucuk. Para keturunan raja tersebut dapat dikenali
melalui gelar yang ada pada nama mereka, misalnya Ida I Gusti, Cokorda, Anak Agung Ngurah,
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
275 Dewa Agung, Ratu Agung, Ratu Bagus dan lain-lain untuk pria; serta Cokorda Istri, Anak Agung
Istri, Dewa Ayu, dan lain-lain untuk wanita (Wikipedia, 2014).
Hampir semua kabupaten dan kota di Bali memiliki puri, karena masing-masing tempat
tersebut pernah diperintah oleh raja. Uniknya lagi adalah masing-masing kabupaten dan kota
tersebut memiliki peninggalan puri lebih dari satu. Seperti misalnya di Kabupaten Karangasem,
ditemukan beberapa puri dan raja yang pernah berstana di puri tersebut antara lain: Puri Agung
Karangasem: AA Gde Putra Agung, Puri Kelodan: I Gusti Agung Putu Agung, Puri Kaleran: AA
Arya Mataram, Puri Kanginan, Puri Kauhan: Ratu Agung Krishna Bagoes Oka, Puri Batu Aya: Ida
I Dewa Gede Batuaya, Puri Celuk Negara: I Gusti Agung Ngurah Agung, Puri Kaler Kauh: dr I
Gusti Bagus Ngurah (Wikipedia, 2014).
Komplek bangunan puri di Kabupaten Karangasem yang paling mudah diingat adalah
bangunan Puri Agung Karangasem. Puri tersebut terletak di sebelah timur jalan dan berhadapan
dengan puri yang ada di sebelah barat jalan. Puri Agung Karangasem dibangun pada abad ke-19
oleh Anak Agung Gede Jelantik, raja pertama Kerajaan Karangasem, yang pada waktu itu menjabat
sebagai Stedehouder (wakil pemerintah Belanda). Puri Agung Karangasem terletak sekitar 80
kilometer dari Denpasar. Puri Agung Karangasem adalah salah satu bangunan kuno di Bali.
Puri Agung Karangasem saat ini dikelola sebagai objek wisata. Biaya masuk pengunjung
tidak ditentukan secara pasti, cukup dikenakan sumbangan sukarela untuk dapat berkeliling dan
menikmati kemegahan puri. Puri Agung Karangasem masih dilestarikan kondisinya seperti jaman
kerajaan tempo dulu, tetapi tidak digunakan sebagai tempat aktifitas sehari-hari keluarga keturunan
raja. Hasil dari aktifitas wisata pada puri ini digunakan untuk biaya pemeliharaan puri tersebut.
Pada saat pengambilan data penelitian ini dilakukan, kami disapa oleh dua orang penjaga wanita
yang memberikan penjelasan tentang keberadaan puri, walaupun dengan penjelasan yang terbatas
tanpa panduan. Kondisi kunjungan wisatawan waktu itu tidak ramai, hanya beberapa orang
wisatawan melintas ketika kami mengumpulkan data penelitian. Kemungkinan karena kunjungan
wisatawan yang masih jarang proses penjagaannya tidak seperti objek-objek wisata lainnya yang
ada di Bali yang semuanya tertata rapi bertujuan memberikan kepuasan maksimal kepada
kunjungan wisatawan. Berbeda dengan penjagaan di Puri Agung Karangasem, penjagaan tidak
ketat, penjaga tidak mengenakan kostum seragam, tidak disertai panduan yang berisi informasi
tentang Puri Agung Karangasem dan sebagainya. Bahkan penjaga dalam melakukan tugasnya,
masih kelihatan sibuk melakukan pekerjaan lainnya, seperti membuat canang.
Istana Puri Agung Karangasem mempunyai keunikan terutama dalam bidang arsitektur dan
juga pola menetapnya. Dilihat dari denah puri, Puri Agung Karangasem mempunyai dua tipe, yaitu
tipe tradisional dan tipe modern. Pada bagian selatan wilayah puri tersebut mencerminkan denah
dan tipe bangunan tradisional Bali. Wilayah puri bagian selatan ini merupakan puri yang lebih tua
yang lebih dahulu dibangun oleh para raja di Puri Agung Karangasem yaitu sekitar tahun 1875.
Denah pada bagian yang kuno masih mengikuti pola tradisional puri, mulai dari pintu masuk
bagian selatan melalui sebuah bagian yang di sebut bacingah atau ancak saji, kemudian masuk ke
jaba tengah, petandakan, pamengkang dan terkahir disebut loji, yaitu tempat tinggal raja. Tipe atau
bentuk bangunannya masih tradisional dengan tiang-tiang berukir. Sedangkan di bagian utara
wilayah puri memiliki ciri yang lebih modern dibandingkan dengan wilayah bagian selatan dan
dibuat tahun 1900. Unsur modern tersebut dapat dilihat dari bentuk bangunan, ornamen yang
digunakan dan nama-nama bangunan yang digunakan. Pada wilayah modern tersebut terlihat
pengaruh asing dalam perwujudan arsitektur/bangunan tersebut, terutama yang kental terlihat
adalah pengaruh Belanda dan Tiongkok. Dari segi arsitektur, baik bangunan maupun hiasannya
banyak kena pengaruh Tiongkok, seperti pada hiasan pintu ada ornamen barong sai, ornamen
pahatan pada daun pintu banyak bercorak Tiongkok.
Puri-puri di Kabupaten Karangasem yang masih memiliki ornamen kuno
Hampir sebagain besar puri-puri di kabupaten Karangasem memiliki ornamen kuno. Puripuri tersebut adalah Puri Agung Karangasem, Puri Kelodan, Puri Kaleran, Puri Kanginan, Puri
Kauhan, Puri Batu Aya, Puri Celuk Negara dan Puri Kaler Kauh.
Jenis-jenis bangunan yang masih memiliki ornamen kuno di Puri Agung Karangasem.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
276 Secara keseluruhan Puri Agung di Kabupaten Karangsem masih menerapkan ornamen
kuno, yaitu ornamen yang ada saat ini merupakan ornamen yang telah ada pada saat zaman
kerajaan. Bangunan-bangunan di Puri Agung Karangamem yang masih tetap dengan ornamen
kuno tersebut adalah Candi Kurung , ada dua Candi Kurung yaitu Candi Kurung pertama sebagai
pintu masuk pertama dan Candi Kurung kedua berada di bagian dalam yang merupakan pintu
masuk menuju bangunan utama. Selanjutnya ada bangunan Bale Kambang, Bale Maskerdam, Bale
Pawedan dan Bale Pemandesan.
Jenis-jenis / Motif Ornamen pada bangunan-bangunan di Puri Agung Karangasem
Jenis atau motif ornamen yang ada pada bagunan-bangunan di Puri Agung Karangasem
dapat ditelusuri melalui pembagian denah puri tersebut mulai dari Candi Kurung pertama yang
menjulang tinggai sebagai pintu masuk dari jalan raya, selajutnya masuk kewilayah bencingah,
jabe tengah, di dalamnya ada pohon leci besar yang konon merupakan tanaman yang dibawa dari
Cina, dan taman dilengkapi kolam; Kemudian masuk keareal utama (tempat raja). Masing-masing
wilayah tersebut memiliki bangunan dilengkapi ornamen yang masih asli dibuat pada masa lalu
yaitu:
Ornamen pada Bangunan di wilayah Bencingah\
Bencingah adalah sebutan untuk wilayah depan dari pembagian sebuah kerajaan. Wilayah
Bencingah ini sampai saat ini dapat dijumpai di berbagai puri lainnya di Bali, seperti Puri Kesiman,
dan Puri Kesatria di Kota Denpasar, Puri Ubud di Kabupaten Gianyar, Puri Kerambitan di
Kabupaten Tabanan, Puri Kaba-kaba di Desa Kediri Kabupaten Tabanan, Puri Mengwi di
Kabupaten Badung dan lain-lainnya. Pada kondisi saat ini banyak wilayah bencingah ini berubah
fungsi menjadi bangunan-bangunan untuk melaksanakan kegiatan aktifitas ekonomi, bukan lagi
difungsikan untuk melakukan aktifitas budaya dan agama seperti fungsi pada zaman kerajaan.
Namun beberapa puri seperti halnya Puri Agung Karangasem, kondisi zaman dulu masih
dipertahankan sebagaimana aslinya, walaupun di tempat tersebut tidak lagi dilakukan aktifitas
kemanusiaan, terlihat hanya sebagai bangunan tua tidak dihuni dan halamannya dilengkapi dengan
taman. Fungsi awal bencingah umumnya dipakai sebagai tempat melaksanakan berbagai aktifitas
kerajaan seperti kesenian, kegiatan adat, dan sebagainya.
Untuk masuk wilayah Bencingah Puri Agung Karangasem ini, pengunjung akan dihadapkan
pada sebuah Candi sebagai pintu masuk yang menjulang tinggi terbuat dari bata merah seperti
gambar di bawah ini. Candi ini dihiasi patra punggel pada masingmasing sudut atap candi yang dibuat dengan teknik cetak. Candi ini
memiliki ciri berbeda dengan candi kurung pada umumnya di Bali.
Candi Bentar atau Candi Kurung di Bali umumnya didominasi
oleh penerapan ornamen motif pepatran dan kekarangan yang
terkesan meriah. Namun Candi Kurung di Puri Agung Karangasem
tampil dengan bentuk yang berbeda, tinggi, minim ornamen dan
berkesan sederhana, tetapi kelihatan agung dan megah. Ornamen
yang ditampilkan berbeda dengan ornamen pada candi bentar atau
candi kurung pada umumnya di Bali. Ornamennya terdiri dari
ornamen cetakan dari bahan campuran pasir, semen dan kawat jaring
yang dipasang dengan teknik tempel. Objek yang ditampilkan pada
ornamen tersebut adalah berbagai tokoh dalam pewayangan
Mahabrata dan Ramayana. Karena telah berumur tua, beberapa
ornamen cetakan ini sudah mengalami kerusakan pada bagian-bagian
Gambar 1. Bagian depan
tetentu, dan terlihat kurang ada perawatan. Demikian juga pada bagian
candi Puri Agung
tembok candi kurung yang terbuat dari bata merah, beberapa bagian
Karangasem dihiasi
sudah terlihat keropos, bagian-bagian batanya ada yang terlepas
ornamen cetak, patung
sehingga memunculkan cekungan-cekungan pada dinding candi.
singa dan patung
Disatu sisi kondisi seperti ini mungkin bagi beberapa pengunjung
pewayangan yang memakai
dipandang dapat menimbulkan rasa prihatin, tetapi di sisi yang lain
kain poleng (kotak-kotak
mungkin dapat menimbulkan rasa kekaguman juga, karena candi
hitam dan putih) tersebut memperlihatkan kondisi aslinya yang kuno, usianya yang kuno
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
277 maka wajarlah kondisinya sudah mulai rapuh. Untuk menjaga keaslian kondisi puri tersebut dan
mempertahankan dari kerapuhan diperlukan ahli-ahli revitalisasi bangunan untuk mengembalikan
ke- keadaan semula. Karena saat ini sangat banyak peninggalan-peninggalan kuno di Bali
dihilangkan diganti dengan yang baru.
Dari visualisasi ornamen ini belum terlihat ada pengaruh budaya dari luar Bali. Namun
kemungkinan teknik cetak yang digunakan dalam pembuatan ornamen tersebut didapatkan dari
hubungan dengan pihak-pihak luar yang menjalin hubungan dengan raja Karangasem. Pada jaman
kerajaan dulu sudah dikenal oleh para raja teknik cetak karena berhubungan dengan berbagai
bangsa luar yang lebih dulu maju dalam teknologi. Salah satu penglingsir puri A.A. Putra Jelantik
mengatakan teknik cetak yang diterapkan pada pembuatan ornamen tersebut lebih dahulu dikenal
dari teknik cetak yang dipakai dalam pembuatan sanggah di Desa Kapal Mengwi Badung
(wawancara Mei 2014).
Visualisasi ornamen pada candi di atas, menampilkan tokoh-tokoh bentuk pewayangan dan
bentuk lainnya dengan indentitas lokal Balinya. Unsur-unsur pengaruh dari luar dilihat dari teknis
maupun bentuk belum dapat dilihat dengan jelas. Karakter wayang Bali yang ditampilkan masih
jelas terlihat walaupun dibuat dengan dengan teknik cetak. Ornamen pada dinding penyengker ini
terlihat kurang ada kesatuan dengan temboknya, karena penampilan warna yang kurang menyatu.
Ornamen cetakan berwarna putih dan tembok bata dengan warna merah, dari pewarnaan ini
terkesan terlihat lepas. Alas patung yang berisi ornamen singa berdiri membawa bendara pada
keempat sisinya, dibuat dengan teknik cetak dengan satu jenis cetakan. Keempat cetakan
digabungkan membentuk sebuah kotak yang berfungsi sebagai alas patung di depan candi.
Memasuki candi pertama pengunjung akan masuk areal yang disebut bencingah. Pada
wilayah ini terdapat dua buah bangunan yang terletak di sebelah selatan menghadap ke utara dan
sisi sebelah utara yang menghadap ke selatan. Bangunan-bangunan ini pada masa pemerintahan
raja difungsikan sebagai tempat peristirahatan para tamu raja. Bangunan tua di sebelah selatan ini
sudah tidak ditempati oleh keluarga raja atau tidak difungsikan lagi untuk melakukan aktifitas
sehari-hari, kondisinya terlihat kurang terawat. Dibandingkan dengan banguna-bangunan pada
umumnya sekarang, bangunan tersebut lebih rendah. Bangunan tersebut terdiri dari beberapa ruang
dalam bentuk kamar-kamar. Sedangkan bangunan di sebelah utara sampai penelitian ini dilakukan,
masih terlihat dihuni untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Pada bangunan di sebelah utara areal
bencingah ini terlihat lebih terawat dan lebih bersih. Namun peneliti belum memastikan
penghuninya tersebut masih kerabat keturunan raja atau para penjaga puri. Pada bagian jendela
bangunan di sebelah selatan terlihat dilengkapi ornamen dalam bentuk tumbuh-tumbuhan yang
dibuat dengan teknik ukir. Pada dinding bawah bangunan tersebut dipenuhi dengan ornamen
menggambarkan kisah Mahabrata dan juga Ramayana namun kisahnya tidak dihadirkan secara
runtut, seperti terlihat pada ornamen pada bangunan sebelah selatan di bawah ini.
Bangunan asli yang terlihat sederhana untuk ukuran saat ini, pada bagian jendelanya juga
sedikit menggunakan ornamen. Karena obyek dan dasarnya ornamen ini warnanya putih, sehingga
detailnya tidak terlihat dengan jelas mulai dari jarak kira-kira 5m. Penempatan ornamen pada
bangunan ini tidak menyesuaikan dengan fungsi bangunan. Sehingga antara ornamen yang satu
dengan yang lainnya tidak ada hubungannya baik dari segi cerita maupun pesan yang ingin
disampaikan. Berikut ditampilkan beberapa detail ornamen tersebut :
Gambar 2 dan 3 Detail ornamen pada bangunan di bencingah sebelah selatan.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
278 Ornamen di atas mengambil obyek seekor burung garuda (paksi) ditunggangi oleh sang
Rama (Garuda Wisnu) dalam posisi vertikal. Hasil cetakannya cukup tajam dan halus namun
dangkal sehingga hasil cetakannya tipis. Pada bagian pinggir dibuat seolah-olah bingkai dengan
ornamen mas-masan. Sedangkan gambar singa bersayap dengan leher tegap dilengkapi latar
belakang burung dan kupu-kupu yang membuat singa tersebut seolah-olah terbang diangkasa. Pada
tiap sudut ornamen Singa ini dilengkapi ornamen yang sama, berupa ornamen stiliran dedaunan
namun tidak memperlihatkan ciri khas Bali yang kental. Penampilan ornamen ini terkesan tidak
merujuk pada kekhasan suatu daerah tertentu. Mungkin ini merupakan akibat dari adanya pengaruh
asing terhadap ornamen yang ada di Puri Karangasem Bali. Ornamen tersebut lebih bersifat umum
dibuat dengan perpaduan garis lengkung dengan motif dedaunan yang telah disetilir atau digubah,
dikomposisikan secara teratur. Ornamen Singa bersayap terbang diapit kanan dan kiri oleh
ornamen Garuda Wisnu.
Pada relief yang lain diungkapkan kisah peperangan Mahabrata pada saat Sang Arjuna di
atas kereta melepaskan panah-panahnya dan Sang Kresna sebagai kusir. Penggambaran suasana
perang diperkuat dengan panah-panah Arjuna memunculkan api dan binatang naga dari senjata
musuh. Ornamen ini hanya memberikan gambaran sepenggal tentang kisah perang Mahabrata dan
penempatannya pun pada dinding bagian bawah tembok menyentuh lantai, sehingga kurang enak
dilihat dari sisi yang penikmat seninya. Untuk dapat mengapresiasi dengan baik ornamen ini harus
dilakukan posisi jongkok. Karena usia ornamen ini sudah tua, dan keasliannya masih utuh maka
warnanya kelihatan coklat kusam. Dalam ornamen ini belum terlihat nampak secara jelas pengaruh
asing yang masuk di dalamnya.
Ornamen pada Bangunan di Wilayah Jabe Tengah
Ornamen selanjutnya dapat diamati dari ornamen-ornamen yang ada pada bangunanbangunan di areal kawasan jabe tengah dari Puri Agung Karangasem. Areal yang cukup indah
menampilkan identitas kekunoan, peristiwa masa lalu, pada masanya difungsikan sebagai areal
bersenang-senang, penjamuan tamu raja dan pementasan kesenian. Jaba Tengah dibatasi dengan
sebuah tembok dan candi (gate) sebagai pintu masuk dengan empat undagan atap. Ornamen dan
bentuknya sama dengan candi pintu masuk di Bencingah atau candi yang pertma. Candi ini juga
diiasi ornamen tempel yang sama seperti candi di Bencingah. Namun candi ini dilengkapi dengan
patung yang dipasang pada bagian tengah candi yang dibuat ruang yang bagian atasnya dibuat
seperti kubah. Bentuk-bentuk kubah seperti ini biasanya diterapkan oleh bangunan Belanda baik
untuk pintu maupun untuk jendela. Maka dari itu kemungkinan besar bentuk kubah tersebut
merupakan adopsi dari bangunan Belanda. Namun setelah dikonfirmasi kepada pihak keluarga
keturunan raja hal tersebut tidak dapat dipastikan. Pada candi ditengah ini di depannya juga
dilengkapi sepasang patung harimau duduk dan patung lainnya.
Candi pada bagian depan dan belakang di jabe tengah ini memiliki ornamen yang sama,
pada bagian bawah candi pada setiap sudut diisi ornamen motif karang asti, di atasnya ditempel
cetakan persegi dengan ornamen singa bersayap. Pada setiap bagian tingkatan ke atas juga diisi
ornamen dengan ornamen bermotif tokoh pewayangan. Beberapa dari motif ornamen tersebut
kondisinya sudah rapuh, ada bagian-bagian tertentu yang terlepas atau terkelupas, sehingga dapat
mengurangi keindahan bangunan tersebut. Kondisi ini nampaknya sudah terjadi cukup lama,
karena terlihat dari visualnya yang terkesan lama, sehingga perlu diadakan perbaikan untuk
mengembalikan keadaan seperti semula.
Jika diamati kondisi ornamen candi tersebut, perlu ada restorasi untuk mengembalikan
kekondisi semula untuk menjaga peninggalan sejarah tetap dapat diwariskan pada generasi
berikutnya. Karena warisan dengan style seperti ini hanya ada di Puri Agung Karangasem. Untuk
merestorasi kondisi memerlukan kesadaran dan kebijakan dari pihak puri maupun kepedulian dari
pemerintah daerah setempat, sebagai penghargaan terhadap nilai-nilai sejarah yang bernilai tinggi.
Jika hal tersebut tidak dilakukan kehancuran akan terus berjalan seiring dengan perguliran waktu.
Pada wilayah jabe tengah terdapat pohon leci (leechee) yang sudah tua sebagai salah satu ciri
khasnya. Pohon leci tersebut tanaman yang sudah tua, hal tersebut terlihat dari kar-akarnya
menyebar melebar dibawah pohonnya. Keberadaan pohon tersebut membuat kondisi di Jaba
Tengah menjadi teduh dan sejuk pada siang hari.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
279 Pada wilayah Jaba Tengah, identitas utama ditandai dengan adanya kolam yang posisinya
di sebelah selatan wilayah utama Maskerdam. Di tengah-tengah kolam tersebut berdiri sebuah
bangunan yang disebut Bale Kambang atau Gili. Bale kambang tersebut difungsikan sebagai
tempat raja melakukan pertemuan, penjamuan dengan tamu-tamu penting dan termasuk untuk
melakukan kegitan hiburan. Bangunan persegi ini, terbuka, materialnya masih tetap
memperlihatkan keasliannya dan memiliki tiang 18 buah.
Gambar 4. Bale Kambang tampak dari barat dan selatan.
Pada Bale Kambang ini tidak banyak ornamen yang bisa ditemukan, atapnya menggunakan
material genteng, terkesan sederhana dan tidak menggunakan hiasan pemucu, seperti bangunan
beridentitas Bali pada umumnya. Pada ruang dalam bangunan ini terdapat lampu hias yang
tergantung di tengah-tengah ruangan tersebut. Lantai bangunan menggunakan tegel yang terbuat
dari semen dan bagian tengahnya dipasang keramik lantai berwarna dan bermotif geometris.
Menurut sumber puri, keramik tersebut memang telah ada semasa pemerintahan raja terdahulu.
Ornamen lain yang terlihat pada bangunan Bale Kambang tersebut adalah ornamen pada alas tiang
bangunan (sendi) yang terbuat dari semen cetakan. Pada pojok barat laut dari bangunan Bale
Kambang tersebut terdapat sebuah bangunan kecil, segi empat yang posisinya terletak di pinggir
kolam. Kemungkinan bangunan tersebut fungsinya terkait dengan aktifitas di kolam atau aktifitas
lainnya pada jaman dulu. Dari sumber data kelurga raja tidak mampu menjelaskan secara detail
fungsi yang sebenarnya dari bangunan tersebut. Pada bagian dalam bangunan tersebut yaitu
dipojok bagian atas dinding tembok terdapat lukisan keramik yang bergaya China. Sumber dari
keluarga raja menyebutkan bahwa ornamen tersebut merupakan benda keramik yang dibuat oleh
orang China. Namun kondisinya saat penelitian ini dilakukan kurang terawat, terlihat kotor dan
kusam. Pada ornamen tersebut diperlihatkan gambar vas bunga dipadukan dengan ornamen
dedaunan gaya khas China yang dibuat dengan teknik lukis. Bangunan yang mirip seperti ruang
tunggu tersebut berdekatan dengan bangunan di pojok selatan bagian barat yang diperkirakan
sebagai dapur istana yang keadaannya juga kurang terawat terkesan dibiarkan.
Ornamen pada Bangunan Utama
Pada wilayah bangunan utama ini merupakan wilayah ketiga setelah memasuki wilayah
bencingah dan jaba tengah. Untuk memasuki wilayah utama ini harus melewati pintu masuk yang
disebut dengan Candi Kurung yang menghadap ke barat. Ukuran dan bentuk candi kurung ini
berbeda dengan dua candi sebelumnya, yaitu ukurannya lebih rendah dan bentuknya hampir sama
dengan Candi Kurung seperti pada umumnya yang ada di Bali. Candi tersebut juga dilengkapi
dengan ornamen tempel seperti candi yang lainnya. Bangunan sebagai pintu masuk ini dibuat dari
bahan bata merah, terkesan polos seperti candi kurung atau sering disebut kori atau gapura pada
bangunan-bangunan Bali di pedesaan dan memiliki kemiripan dengan candi-candi yang ada di
masyarakat Bali pada umumnya. Ornamen dari candi tersebut dapat dilihat dari hiasan pada puncak
bangunan tersebut yang sering disebut dengan mudra. Ornamen tersebut juga dibuat dengan teknik
cetak menggunakan bahan semen seperti yang terdapat pada candi yang pertama dan kedua. Di
depan candi tersebut dipasang 2 patung raksasa dengan style patung yang berkembang saat ini,
dibalut dengan kain poleng (kain kotak-kotak hitam putih) serta dibelakangnya dipasang tedung.
Nampaknya patung tersebut merupakan karya baru yang tujuannya hanya untuk menghias.
Di lingkungan yang termasuk wilayah utama dari Puri Agung Kerangasem terdiri dari tiga
bangunan, yaitu gedung Maskerdam (bangunan utama), Bale Pemandesan, dan Bale Pawedan.
Penamaan gedung Maskerdam merupakan adopsi dari nama kota di Belanda yaitu Amsterdam.
Bangunan tersebut memiliki banjah (teras depan yang luas) seperti bangunan bale daja pada
perumahan di Bali jaman dahulu yang memiliki teras yang luas. Bangunan ini terdiri dari tiga pintu
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
280 utama, pada pintu paling barat saat ini sebagai tempat masuk keruang yang memiliki pajangan
kursi raja. Pintu timur saat ini sebagai tempat masuk menuju ruang peristirahatan raja ditandai
dengan sebuah tempat tidur dilengkapi dengan kelambu. Sedangkan pintu tengah sebagai tempat
masuk keruang tengah yang menghubungkan kamar-kamar dibelakang lainnya termasuk untuk
menuju ruang dapur kerajaan yang berada dibagian belakang bangunan Maskerdam tersebut. Pada
bangunan Maskerdam ini tempat menerima tamu penting raja pada jaman kolonial.
Gambar 5. Bangunan Maskerdam
dari arah selatan
Gambar 6. Teras depan bangunan
Maskerdam
Gambar 7. Hiasan dinding bagian
bawah bangunan
Pada bangunan utama ini ditemukan ornamen yang menampilkan gaya China seperti yang
terdapat pada ornamen pintu dan jendela bangunan tersebut. Motif-motif yang ditampilkan serta
style ukiran pada daun pintu tersebut menceritakan kehidupan alam dengan gaya Cina, sehingga
tampilannya menjadi berbeda dibandingkan dengan ornamen daun pintu pada umumnya di Bali.
Namun perbedaan ini sepintas tidak akan terlihat jelas, karena tampilannya memiliki kemiripan
dengan daun pintu pada umumnya di Bali. Sebaliknya jika diamati secara teliti perbedaan tersebut
akan nampak dengan jelas. Ukiran tersebut menceritakan kisah-kisah dari negeri China dengan
style yang khas beridentitas China dengan kualitas garapan sangat baik, rapi dan kerumitannya
sangat tinggi. Sehingga secara keseluruhan ornamen tersebut mampu menampilkan kesan unik
karena menampilkan perbedaan dengan style ornamen pintu pada umumnya di Bali. Pada dinding
tembok bangunan Maskerdam tersebut dipajang gambar-gambar keturunan raja yang pernah
memerintah di Puri Agung Kerangasem.
Elemen penghias lain yang dapat ditemukan di bangunan Maskerdam tersebut adalah dua
buah patung yang dipasang di beranda depan bangunan tersebut seperti terlihat pada gambar 5 di
atas. Namun tidak dapat dipastikan apakah patung tersebut merupakan patung lama/kuno yang
seumur dengan bangunan tersebut atau sebaliknya. Dari key informan dan sumber lain, kami belum
menemukan data yang dapat menjelaskan hal tersebut. Namun perkiraan peneliti, patung tersebut
seumur dengan ornamen yang dipasang pada beberapa bangunan lain yang menjadi ciri khas Puri
Agung Karangasem dan dibuat dengan menggunakan teknik cetak pula. Hal tersebut dapat dikenali
dari kesimetrisan patung tersebut dan memiliki kesamaan antara patung yang pertama dengan
patung yang kedua. Patung tersebut sepertinya menggambarkan seorang pendeta berdiri tegak,
pada tangan kanannya membawa simbol berbentuk kendi bersayap. Patung yang sama juga terlihat
terpasang di depan candi/gapura pertama. Menurut beberapa sumber dari para keturunan raja,
memperkirakan ornamen cetak termasuk patung tersebut yang ada pada bangunan ini dibuat setelah
jaman Belanda namun masih dalam bentuk kerajaan. Patung tersebut dihias dengan kain merah dan
poleng seperti patung-patung yang ada di depan candi bentar sebelumnya. Patung tersebut dapat
dimaknai bermacam-macam, misalnya sebagai simbol penjaga raja, simbol kemakmuran, dan lainlain. Ornamen patung ini dapat dilihat dari visualisasi gelung dan hiasan badannya, menunjukkan
karakter Bali. Ornamen lain yang dapat dilihat pada teras bangunan ini adalah ornamen pada tiang
bangunan yang menunjukkan pengaruh Belanda. Hal tersebut ditunjukkan dengan motif-motif daun
dan bunga realis, dikomposisikan simetris. Ornamen lain yang menunjukkan pengaruh Belanda
adalah ornamen hiasan di bawah atap (ringring), ornamen di bawah atap di atas tiang besi,
ornamen pada pagar pada sisi kiri dan kanan teras Maskerdam, ornamen pada meja, ornamen pada
bingkai foto raja dan lain-lain. Visualisasi motif ornamen ini mengutamakan garis lengkung, motif
daun dan bunga dengan warna-warna lembut. Motif model seperti ini, di Bali kini dikenal dengan
nama patra bancih. Maksudnya adalah gabungan dari patra ulanda dan patra sari. Motif dedaunan
dan bunga ini kemudian divariasikan dan dikembangkan sesuai dengan imajinasi pembuat karya
tersebut.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
281 Pengaruh asing yang paling dominan kelihatan adalah pada ornamen ukiran ketiga pintu
gedung Maskerdam ini. Pengaruh Cina sangat kental terlihat dari gaya dan motif yang ditampilkan.
Informasi yang kami dapatkan dari para keturunan raja bahwa pada pemerintahan Raja
Kerangasem, ukiran tersebut dibuat orang China yang diundang datang ke Bali untuk membuat
karya tersebut walaupun hal tersebut masih bisa diperdebatkan. Karena belum ada data atau
dokumen yang menunjukkan hal tersebut.
Ornamen pada daun pintu pada bangunan Maskerdam, secara umum mulai dari atas ke
bawah menampilkan kehidupan binatang dengan tumbuhannya seperti binatang kesayangan dengan
pepohonannya, di bawahnya terlihat motif bunga lambang matahari. Pada ornamen pintu juga
diungkapkan kehidupan burung dengan alamnya. Pohon bambu menjadi motif pepatran pada pintu
ini dipadukan dengan motif burung bangau, menjadi suatu keserasian seperti yang ditampilkan
pada lukisan cina. Ornamen style cina dicirikan dengan pola vertikal seperti pohon bambu serta
pohon yang lainnya.
Ornamen pintu dibuat simetris yaitu ornamen pintu sebelah kanan sama dengan ornamen
sebelah kiri, baik bagian atas maupun bagaian bawah. Ornamen ini memperlihatkan ketrampilan
yang sangat tinggi dari pembuatnya, ukirannya metelek (tajam), rapi, dengan komposisi dan
proporsi yang baik. Style Bali dari ornamen pintu ini dapat dilihat dari pola perwujudan motif
ornamen dari tumbuh-tumbuhan pada pinggir pintu yang memperlihatkan pola pengulangan secara
teratur dan simetris. Walaupun motif ornamen yang secara umum dipergunakan di Bali seperti
patra sari atau patra punggel tidak nampak pada ornamen pintu tersebut. Pintu tersebut terlihat
difinishing dengan prada gede dan latar belakangnya warna biru, terkesan antik karena beberapa
bagian prada terlihat sudah terlepas dan kusam. Pada bingkai pintu ditampilkan ornamen dari motif
tumbuhan anggur lengkap dengan buahnya, dikomposisikan seperti patra ulanda.
Ornamen pada tiang pintu memperlihatkan gabungan motif dari Cina dan patra mesir. Patra
mesir memberlihatkan karakter perbaduan beberapa garis lurus dikombinasikan dengan motif
tumbuhan seperti terlihat pada gambar berikut. Jika dilihat lurus dari depan ornamen ini tidak
nampak, karena posisinya pada samping pintu. Ornamen pada pintu utama (tengah) memiliki
bentuk pintu bagian atas dibuat seperti kubah, bentuk ini tidak dimiliki oleh 2 bentuk pintu yang
lainnya. Nampaknya pembuatan pintu yang di tengah ini
diberikan penekanan lebih sesuai dengan fungsi pintu
tersebut.
Ornamen pada bagian atas sebagai penutup pintu
dapat dilihat tema yang diungkapkan adalah naga/ular gaya
cina dilengkapi dengan motif ikan. Menurut Chendra Ling
pada media on line menyebutkan naga Tiongkok adalah
figur kebaikan yang melambangkan kejantanan &
kesuburan. Naga atau Long (Liong dalam dialek Hokkian),
adalah salah satu obyek hiasan yang paling disukai.
Binatang mithologi ini sesungguhnya adalah lambang
keberagaman yang melahirkan suatu harmoni. Lambang
kejayaan atau kemakmuran karena persatuan berbagai unsur
yang ada. Sebab itu Long dirancang berdasarkan gabungan
anggota badan bermacam-macam binatang seperti: kepalaunta, mata-kelinci, tanduk-rusa, sisik-ikan, badan-ular,
paha-harimau, cakar-elang.
Semula “long” merupakan totem salah satu suku
Huaxia, kemudian pada jaman Dinasti Han mulai dijadikan
lambang kekaisaran. Singgasana Kaisar berukir naga
sembilan, jubah kaisar juga bersulam naga. Pemakaian
hiasan naga untuk keluarga kerajaan di bawah kaisar pun
dibagi menurut tingkatnya. Jadi ornamen naga berjari 5 ini
hanya boleh untuk yang berhubungan dengan kaisar, seperti
jubah kaisar, kursi tahta kaisar dan istana kaisar. TiangGambar 8. Ornamen pintu bangunan
tiang istana dan atap juga dihiasi dengan ukiran naga.
Maskerdam yang di tengah.
Sesuai kosmologi Tiongkok, naga merupakan salah satu
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
282 dari empat lambang mata angin, naga melambangkan arah Timur identik dengan kesuburan, musim
semi & hujan, dalam hal ini disebut naga hijau (qing long). Ornamen dua ekor naga sedang
bermain dengan bola api, melambangkan kesuburan, karena dipercaya hal ini menimbulkan hujan.
Hujan sangat penting bagi masyarakat Tiongkok yg agraris. Makhluk naga, terutamanya yang
berwarna kuning atau emas dan bercakar lima pada setiap kaki, merupakan lambang bagi maharaja
pada kebanyakan dinasti Cina; nyata sekali pada pakaian kebesaran maharaja pasti ada lukisan atau
sulaman naga.
Seperti telah dijelaskan di atas, pada sumber yang lain juga menyebutkan di dalam mitologi
Cina, naga memiliki kaitan yang sangat erat dengan angka "9". Misalnya, Naga Cina sesungguhnya
memiliki 9 karakteristik yang merupakan kombinasi dari makhluk-makhluk lainnya, yaitu 1. ia
memiliki kepala seperti unta, 2. Sisiknya seperti ikan, 3. Tanduknya seperti rusa, 4. Matanya seperti
siluman, 5. Telinganya seperti lembu, 6. Lehernya seperti ular, 7. Perutnya seperti tiram, 8. Telapak
kakinya seperti harimau, 9. Dan cakarnya seperti rajawali (xfile-enigma.blogspot.com, 2014)
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa penggunaan motif naga pada ornamen pintu
tersebut sangat terkait dengan kerajaan dan kesejahteraannya. Dengan ornamen tersebut diharapkan
kerajaan selalu diberkahi kesuburan, kebaikan, ketentraman dan dapat hidup dengan damai. Hal ini
menjadi hal utama karena ornamen tersebut diletakkan paling atas dari pintu bagian tengah
tersebut. Analisis tersebut masih bisa diperdebatkan karena peneliti mengiterpreatsikan dengan
menghubungkan symbol-simbol yang ditemukan pada ornamen tersebut. Finishing objek dengan
prada gede dengan warna dasar biru, membuat objek ukiran menjadi menonjol. Kami belum
menemukan maksud mengapa tema yang diungkapkan pada bagian atas penutup pintu itu dibuat
ornamen seperti itu. Dari tiang sampai daun pintu dapat dilihat dalam 4 bagian, mulai dari tiang
pintu/kusen dengan ornamen yang telah dijelaskan sebelumnya. Bagian kedua adalah termasuk
bingkai pintu kedua yang dipasang menjorok kedalam sekitar 5cm dari tiang pintu. Sedangkan
yang termasuk bingkai pintu ketiga bingkai yang bersentuhan langsung dengan daun pintu, dengan
ornamen tumbuh-tumbuhan dan binatang.
Komposisi ornamen bagian atas daun pintu tengah lebih padat, lebih rapat dibandingkan
dengan ornamen pintu sebelumnya. Pada ornamen masih tetap memperlihatkan motif binantang
dan tumbuhan seperti detail gambar berikut. Pada ornamen ini terlihat para pembuatnya ingin
menceritakan suatu kehidupan manusia di alam ini. Motif-motif yang digunakan antara lain seperti
manusia dalam bentuk seorang kaesar, pedagang dan rakyat. Sedangkan motif binatang yang
diungkapkan untuk mendukung suatu kisah kehidupan tersebut adalah kambing, singa, kuda dan
binatang lainnya. Ornamen di atas tidak simetris antara ornamen daun pintu kanan dan kiri. Namun
keduanya menunjukkan satu kesatuan cerita. Finishing yang digunakan adalah prada gede dengan
warna dasar biru. Sedangkan ornamen pinggir daun pintu adalah patra mesir digabungkan dengan
setiliran dedaunan. Pada ornamen daun pintu bagian bawah dibuat simetris antara daun pintu kiri
dan kanan. Pada ornamen ini digambarkan kehidupan burung bangau dan angsa, dengan berbagai
macam geraknya di atas tanaman. Beberapa objek burung digambarkan sedang menangkap ikan.
Pengungkapan burung dengan teknik realis, namun dengan penggambaran tanaman air dan pohon
yang digambarkan dengan mengubah bentuk aslinya kedalam bentuk yang imajinatif. Pengubahan
itu tentu disesuaikan dengan style ornamen cina.
Tegel yang digunakan pada bangunan Maskerdam adalah tegel yang terbuat dari semen dan
batu kerikil hitam dengan permukaan halus dibuat dalam berbentuk tegel. Tegel tersebut juga
digunakan pada dinding bagian bawah tembok teras. Teknik pembuatan tegel seperti itu saat ini
dikenal dengan teknik pemasangan batu sikat. Tegel lantai ini juga digunakan pada bangunan Balai
Kambang. Sedangkan tegel yang digunakan pada lorong tengah bangunan (ruang dalam)
Maskerdam memiliki motif bunga pada bagian tengahnya. Pemasangan motif bunga tersebut
dilakukan setelah sebelumnya dipasang tegel lantai seperti tegel pada lantai teras. Motif tersebut
dibuat dengan semen yang permukaannya dihaluskan.
Teknik Pembuatan, Teknik Finishing, Perawatan Ornamen dan Bahan
Ornamen-ornamen yang ada di Puri Agung Karangasem bahannya dapat dibedakan menjadi
3 yaitu berbahan kayu, besi, dan beton cetak. Ornamen berbahan kayu khususnya kayu jati dapat
dilihat pada ukiran daun pintu, jendela, plapon dan perlengkapan ruang pada bangunan-bangunan
yang ada di di areal bangunan utama seperti bangunan Maskerdam, Bale Pawedan dan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
283 Pemandesan. Ornamen berbahan kayu tersebut dikerjakan dengan teknik ukir dengan kualitas yang
sangat baik, tidak kalah kalau dibandingkan dengan jenis-jenis ukiran yang ada saat ini. Finishing
ornamen ukiran kayu tersebut umumnya menerapkan warna-warna gelap pada latar belakang
seperti warna biru, sedangkan objek utamanya dilapisi menggunakan prada gede. Hal ini bisa
dipahami karena ornamen-ornamen tersebut merupakan ornamen yang ada pada puri yang
memiliki kekuasaan sangat tinggi pada jamannya. Namun belum dapat dijelaskan secara pasti jenis
bahan cat dan prada yang digunakan, tetapi dapat diperkikan bahan-bahan finishing tersebut
didatangkan dari Tiongkok (Cina). Ornamen berbahan besi dapat dilihat pada ringring bangunan
Maskerdam dan hiasan tiang bagian atas pada bangunan Pemandesan. Finishing ornamen berbahan
besi ini menggunakan cat minyak warna warni.
Ornamen yang yang dibuat dengan bahan semen, pasir dan besi kawat dibuat menggunakan
teknik cetak. Ornamen-ornemen tersebut terpasang pada bangunan-bangunan candi, bangunanbangunan di bencinga dan lantai bangunan, dengan berbagai motif pewayangan dan binatang.
Finishing ornamen tersebut dipulas dengan cat putih, namun beberapa tanpa menggunakan
finishing karena masih memperlihatkan bahan cetakannya.
Pengaruh Asing pada Ornamen di Puri Agung Karangasem
Pengaruh asing yang paling nampak pada ornamen bangunan Puri Agung Karangasem
adalah pengaruh style ukiran Cina yang terdapat pada bangunan-bangunan di wilayah utama puri
tersebut. Sedangkan pengaruh Eropa terutama Belanda dapat dilihat juga dari bentuk bangunan
utama yaitu Maskerdam dan dari sisi ornamennya dapat dilihat dari bentuk ornamen cetak yang
dipergunakan untuk hiasan bentala (hiasan paling atas candi/pintu masung masing-masing areal
puri. Bentuknya yang menyerupai simbol-simbol kerajaan pada kerajaan di Eropa.
Makna dari Ornamen di Puri Agung Karangasem.
Makna hubungan dengan Negara-negara Eropa dan Cina. Hal ini dapat dilihat dari visual
ornamen yang dipengaruhi oleh kedua negara tersebut. Pengaruh asing tersebut sangat kuat waktu
itu karena raja-raja tersebut ada dibawah pengaruh kuat asing, mereka memiliki kekuatankekekuatan lebih dibandingkan kekuatan kerajaan, bukan saja dalam kekuatan kemeliteran namun
dalam kekuatan ekonomi. Sehingga wajarlah pengaruh-pengaruh asing dapat masuk mempengaruhi
kekuasaan raja. Kekuatan asing dapat menghegemoni raja-raja jaman dulu karena mereka memiliki
modal ekonomi dan keamanan yang lebih baik, sehingga proses penguasaan dapat dilakukan
dengan mudah. Makna lain yang dapat dibaca dari keberadaan ornamen di Puri Agung Karangasem
tersebut adalah pada jaman kerajaan tersebut kesenian khususnya seni rupa di dalamnya termasuk
seni kriya dan teknologi yang menyertai sudah berkembang sangat baik. Berkaitan dengan
teknologi yang menyertai bahwa pada jaman tersebut telah dikenal teknik cetak yang kemungkinan
juga didapat dari adanya hubungan dengan negara asing baik Belanda maupun Cina. Teknik cetak
dalam pembuatan ornamen tersebut dapat ditemui dalam pembuatan benda-benda kriya dan benda
seni lainnya saat ini.
Sejarah Pembuatan Ornamen di Puri Agung Karangasem
Peneliti tidak menemukan dokumen dan informasi yang valid mengenai sejarah pembuatan
ornamen di puri. Peneliti mencoba mencari dari beberapa sumber online yang kebenarnnya masih
bisa diperdebatkan. Sebenarnya sejarah pembuatan ornamen tersebut dapat ditelusuri dari sejarah
berdirinya kerajaan tersebut yang dari satu generasi ke generasi berikutnya memiliki kegemaran
yang berbeda yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesenian dilingkungan puri. Anak
Agung Putra Jelantik (75 tahun), yang merupakan salah satu keturunan raja (Wawancara Juni 2014)
menjelaskan bahwa Puri Agung Karangasem ini didirikan di akhir abad ke-19 oleh Anak Agung
Gede Djelantik yang merupakan raja Karangasem yang pertama yang juga merupakan pendiri puri
tersebut. Saat itu beliau adalah seorang Stedehouder atau bisa di artikan sebagai wakil pemerintah
kolonial Belanda yang pertama di antara tahun 1896 dan 1908. Lalu semenjak tahun 1909, Anak
Agung Gede Djelantik digantikan oleh keponakannya yakni I Gusti Bagus Djelantik, dan
merupakan Anak Agung Bagus Djelantik. I Gusti Bagus Djelantik inilah yang merupakan raja
terakhir yang meninggal di Puri Agung tersebut pada tahun 1966. I Gusti Bagus Djelantik yang
juga memiliki nama Ida Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem juga tidak kalah berjasanya bagi
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
284 Puri Agung Karangasem. Karya dari berbagai bidang telah beliau tinggalkan selama menjadi raja
Puri Agung Karangasem, juga atas perindah beliau di.ciptakan Kuri Agung atau gapura istana.
Sampai saat ini peninggalannya masih terjaga. Selain itu dua buah taman, yakni Taman Sukadasa
yang didirikan pada tahun 1919 dan Taman Tirta Gangga yang didirikan pada tahun 1948 juga
merupakan rancangannya.
Kondisi pisik Ornamen Kuno di Puri Agung Karangasem saat ini.
Pada saat penelitian ini dilakukan Juni-September 2014, kondisi fisik beberapa ornamen
yang ada di Puri Agung Karangasem telah mengalami kerusakan. Ornamen yang masih dalam
keadaan utuh namun tampilan warnanya sudah kusam, karena nampaknya tanpa terlalu banyak
sentuhan pembaharuan. Hal ini dipertahankan karena untuk menjaga kelestariannya dan dibalik
tampilan yang masih asli tersebut justru mampu menimbulkan kesan antik, kuno, dan rasa kagum
bagi orang-orang yang menyukai sejarah dan menghargai peninggalan-peninggalan masa lalu.
Karena iklim globalisasi yang tidak bisa dibendung dicirikan dengan pertukaran informasi yang
semakin cepat, dunia terkesan sempit dan sikap manusia yang hedonis, menyebabkan manusia ingn
bersikap praktis demi kemajuan, sehingga dapat mengurangi penghargaan terhadap budaya-budaya
masa lalu. Namun nampaknya di Puri Agung Karangasem tersebut, kondisi ini sangat disadari
sehingga upaya-upaya pelestarian puri tetap dilakukan walaupun dengan pendanaan swadaya.
Untuk mengantisifasi kerusakan ornamen-ornamen tersebut pihak puri telah melakukan pencetakan
kembali terhadap ornamen-ornamen cetak yang rusak atau rapuh dimakan usia.
SIMPULAN
Puri yang masih mempertahankan ornamen kuno di Kabupaten Karangasem adalah Puri
Agung Kerangasem. Wilayah Puri Agung Karangasem dapat dibagi menjadi tiga areal yaitu
wilayah bencingah, jaba tengah, dan wilayah utama. Bangunan yang memiliki ornamen kuno di
puri tersebut terlihat di masing-masing wilayah tersebut. Jenis-jenis ornamen yang terdapat di Puri
Agung Karangasem adalah dapat dibedakan menjadi dua jenis ornamen yaitu adalah ornamen
dengan gaya Cina seperti pada ukiran-ukiran pintu dan jendela pada ruang utama terutama pada
bangunan Maskerdam dan Bale Pemandesan. Sedangkan yang kedua adalah ornamen dengan gaya
Bali seperti ornamen cetakan yang menampilkan motif kekarangan dan pewayangan yang dipasang
pada bangunan candi/gapura dan bangunan-bangunan di wilayah bencingah.Teknik pembuatan
ornamen dilakukan dengan teknik ukir dan teknik cetak. Pengaruh gaya Eropa (Belanda) dan gaya
Cina sangat kental terlihat pada penampilan ornamen di Puri Agung Karangasem.Visualisasi dari
oramen puri tersebut dapat dimaknai sebagai hubungan yang telah terjadi pada jaman kerajaan
dengan dunia luar. Disamping itu pada jaman kerajaan di puri tersebut telah berkembang kesenian
dan teknologi yang mendukung kesenian tersebut, walaupun ornamen Bali kurang terlihat
maksimal jika dibandingkan dengan ornamen-ornamen puri lainnya di Bali. Sejarah terwujudnya
ornamen di puri tersebut sangat sulit dianalisis karena tidak ditemukan dokumen-dokumen yang
mendukung sejarah pembuatannya. Namun demikian sejarah pembuatan ornamen tersebut
sebetulnya dapat ditelusuri dari sejarah kerajaan Puri Agung Karangasem yang menaruh perhatian
lebih terhadap kesenian yaitu Anak Ida Agung Anglurah Ketut Karagasem. Kondisi fisik ornamen
puri tersebut, saat ini beberapa telah mengalami kerusakan, maka diperlukan restorasi untuk
mengembalikan keadaan seperti semula. Sehingga kelestarian puri tersebut dapat dipertahankan
dan diinformasikan kepada generasi berikutnya sebagai suatu fakta sejarah dan budaya yang tidak
ternilai harganya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2014 Legenda Naga China dan Penampakannya dalam Sejarah. http://xfile-enigma.
blogspot.com (diakses tangga 28 Juli 2014).
Iskandar. 2009. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press.
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Post Realitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Post Metafisika.
Yogyakarta: Jalasutra.
Puri Agung Karangasem (online), http://www.karangasemtourism.com diakses 18 Feb 2013.
Website Dinas Pariwisata Kabupaten Karangasem, diakses 14 Maret 2013.
Wikipedia, 2014
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
285 UNGKAPAN ESTETIS SISTEM KONSTRUKSI
PADA INTERIOR BANGUNAN TRADISIONAL BALI
Cok Gd Rai Padmanaba, Made Pande Artadi, Ida Ayu Dyah Maharani
Program Studi Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected]
Abstrak
Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali terkenal dengan keelokan bentuknya.
Konstruksi yang dipakai adalah sistem konstruksi yang tidak kaku, melainkan bisa bergerak dengan
fleksibel dan terkenal dengan konstruksi tahan gempa yang sudah diakui secara internasional.
Sistem stuktur dan konstruksi pada interior bangunan Bali sangat jelas dan jujur. Dalam penelitian
ini akan mengambil lima kabupaten/ kota yang ada di Bali sebagai populasi, dengan mengambil
sampel secara acak, untuk mengetahui penerapan konstruksi bangunan dan unsur estetis yang
diterapkan. Bangunan yang akan dipakai sampel dibatasi hanya pada bale dangin saja, karena
konstruksi pada bale dangin paling mudah terlihat secara menyeluruh, dengan ruang terbuka, hanya
dilengkapi dinding pada dua sisi luarnya saja. Penilaian didasari atas kondisi bale dangin,
menyangkut bagaimana sistem konstruksi yang diterapkan, bagaimana cara memperindah sistem
konstruksi dengan berbagai unsur-unsur estetis dan pengaruh perkembangan bahan dan teknologi,
terhadap nilai estetisnya. Hasil penelitian, menunjukkan bahwa bale dangin yang difungsikan
sebagai tempat mengadakan upacara manusa yadnya dan pitra yadnya, umumnya masih
menunjukkan keasliannya pada sistem konstruksinya, dengan masih mempertahankan sistem
bongkar pasang pada tiang dan kap bangunannya.
Kata kunci : Estetis, Sistem konstruksi, Interior, Tradisional Bali
Abstract
Traditional Balinese house is well known with its elegance shape. Construction used is not
a rigid construction, but it can be flexible; and it well known with earthquake-resistant
construction that has been recognized internationally. System structure and construction on the
interior of the Balinese traditional building is very clear and honest. This research take five
regencies/ cities in Bali as population, by taking random samplein, to determine the application of
building construction as well as aesthetic elements that applied. The building to be used is limited
on Bale Dangin, because Bale Dangin construction is the most visible over all, with open space
and only equipped with two sidewalls on the outside. Assessment is based on the condition of Bale
Dangin, regarding how the beautify of construction system with various aesthetic elements
influence with the development of materials and technology. The research process, its indicating
that the Bale Dangin which functioned as a place to hold a ceremony of Manusa Yadnya and Pitra
yadnya, is generally still showing the originality of construction system, which maintains
knockdown on the pole and the hood of the building.
Keywords: Aesthetic, Construction system, Interior, Traditional Bali
PENDAHULUAN
Bangunan rumah tinggal tradisional Bali yang terkenal dengan keelokan bentuknya.
Konstruksi yang dipakai pada berbagai sambungan elemen-elemen pembentuknya adalah sistem
konstruksinya yang tidak kaku, melainkan bisa bergerak dengan fleksibel pada saat gempa, dan
ditunjang dengan sistem sambungan yang knock down. Konstruksi ini juga terkenal dengan
konstruksi tahan gempa yang sudah diakui secara internasional. Bali sebagai daerah yang terkenal
dengan seninya juga tercermin pada kemampuan menampilkan nilai estetika pada bangunan
tradisional, sehingga beberapa konstruksi yang diterapkan pada bangunan tidak nampak kaku,
melainkan menjadi suatu unsur estetika yang menarik dan menutupi sambungan elemen-elemen
yang membentuk bangunan. Sistem struktur dan konstruksi bangunan Bali diperlihatkan dengan
jujur dan apa adanya, karena selain sebagai penguat dan pengokoh juga sebagai unsur estetika
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
286 bangunan.(Dwijendra, 2009) Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan
konsep yang dinamakan tri angga, yaitu kaki, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi atau
bataran sebagai penyangga bangunan diatasnya. Badan, yang diwujudkan dalam bangunan dinding,
tiang, jendela dan pintu. Sedangkan “kepala” adalah simbol dari bangunan bagian atas yang
diwujudkan dalam bentuk atap. Pada ketiga unsur Tri Angga ini, baik pada kaki(pondasi), badan
(tiang) maupun kepala(atap) dihubungkan dengan sistem konstruksi yang kadangkala disamarkan
dengan berbagai bentuk-bentuk elemen yang mengandung nilai estetis, sehingga menampilkan
sesuatu wujud yang bisa memperindah penampilan sambungan konstruksinya. . Penelitian terhadap
30 tukang dan perusahaan dibidang bangunan tradisional Bali di Gianyar, Denpasar, Badung dan
Tabanan menunjukkan bahwa 100% tahu tentang Arsitektur Tradisional Bali (ATB) namun 50%
tidak memiliki refrensi mengenai ATB.Kurang dari 25% yang menyatakan menerapkan rumusan
ATB pada order yang diterima (Adimastra 2004 ).
Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan adalah mengenai pengaplikasian unsur-unsur
estetis pada konstruksi bagian kaki, badan maupun kepala bangunan bale dangin, karena bale
dangin merupakan bale yang berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan upacara manusa
yadnya dan pitra yadnya yang sangat erat hubungannya dengan agama Hindu.. Dengan fungsinya
sebagai tempat melakukan upacara manusa yadnya dan pitra yadnya, maka bale dangin biasanya
jarang difungsikan dalam kehidupan sehari- hari, melainkan hanya pada saat-saat tertentu saja,
sehingga biasanya tidak banyak mengalami perubahan interiornya. Disamping itu bale dangin
adalah bale yang mempunyai interior paling terbuka karena hanya mempunyai dinding pada sisi
tertentu saja, tanpa adanya pintu, sehingga paling banyak memperlihatkan sistem konstruksi yang
diterapkan. Berdasarkan uraian di atas akhirnya penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang
penerapan sistem konstruksi tahan gempa pada bale dangin, dan cara mengemasnya menjadi suatu
unsur estetika yang bisa memperindah desain interiornya
METODE PENELITIAN
Metode dan teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan suatu
kesatuan metode dan teknik penelitian deskriptif kualitatif, dengan memaparkan obyek penelitian,
yaitu berupa penerapan unsur-unsur estetika pada konstruksi pada bangunan tradisional Bali Bale
dangin yang ada di daerah Bali. Objek penelitian dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu bale
dangin yang tergolong sederhana, sedang dan mewah, berdasarkan pemilihan bahan, dan tingkat
penyelesaian elemen-elemen bangunan. Sumber data primer didapat dari pemngamatan langsung,
pemotretan dan melalui wawancara. Sebagai responden adalah para pemilik bangunan dan orangorang yang berkompeten dalam bidang arsitektur tradisional Bali. Selanjutnya data sekunder
diperoleh melalui buku-buku literatur dan hasil penelitian. Oleh karena itu data penelitian ini
didapatkan melalui observasi, wawancara, studi pustaka. Data-data yang didapat kemudian
dianalisis secara kualitatif dengan memberi penilaian berdasarkan penerapan konstruksi tahan
gempa pada bale dangin serta nilai estetika yang diterapkan pada konstruksi yang membentuk
bangunan. Sample penelitian diambil secara acak dari bangunan bale dangin yang mempunyai
tiang enam (sakanem) hingga yang bertiang dua belas (saka roras) pada perumahan yang
tergolong sederhana hingga yang tergolong mewah dengan populasi pada daerah yang lebih banyak
mendapat pengaruh pariwisata yaitu Kabupaten Gianyar, Tabanan, Badung, Buleleng dan Kota
Denpasar, dengan target 9 buah bale dangin pada masing-masing populasi dengan pertimbangan
bale dangin umumnya paling sedikit mendapat sentuhan modifikasi karena hanya difungsikan
sewaktu-waktu pada saat ada upacara manusa yadnya,. sampel yang diambil secara acak yang
mewakili perumahan yang tergolong sederhana, menengah hingga yang tergolong mewah. jenis
sampel diasumsikan termasuk homogen sehingga diharapkan sudah dapat mewakili populasi
penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil survei data lapangan, menunjukkan bahwa Bale dangin yang difungsikan sebagai
tempat mengadakan upacara manusa yadnya dan pitra yadnya, umumnya masih menunjukkan
keasliannya pada sistem konstruksinya, dengan masih mempertahankan sistem bongkar pasang (
akit-akitan) pada tiang dan kap bangunannya. Penelitian di lima kabupaten/ kota di Bali yaitu
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
287 Badung, Gianyar, Tabanan Buleleng dan Kodya Denpasar mendapatkan beberapa bentuk bale
dangin baik yang bertiang enam maupun dua belas, seperti di bawah ini.
Gambar 1-4 . Bale Dangin (Bale Gede) bertiang duabelas, (sumber: hasil observasi penulis)
Gambar 5-6 . Bale dangin bertiang delapan
(sumber: hasil observasi penulis)
Gambar 7-8 . Bale dangin bertiang enam (sumber: hasil
observasi penulis)
Dominasi penggunaan kayu umumnya terlihat di bagian badan dan kepala bangunan,
sedangkan di kaki menggunakan bahan tanah, cadas, batu. Ada beberapa sampel sudah
menggunakan keramik pada bagian bebaturan dan lantainya, seperti contoh gambar di atas. Dengan
wujud bangunan seperti terlihat di atas, maka sistem konstruksi yang terkenal tahan gempa masih
dipertahankan, dimana beban struktur rangka disalurkan secara merata pada sineb dan lambang ke
tiang (saka) dan selanjutnya ke sendi dan akhirnya diteruskan ke jongkok asu. Beban dinding
pengisi diterima fondasi keliling yang berfungsi sebagai batur (bataran). Pertemuan antara tiang
dan sendi dibuat tidak rigrid, tetapi diperlakukan sebagai sendi sehingga jika ada pergerakan
horizontal atau vertikal, tiang akan bergerak mengikuti arah gerakan, sehingga bangunan tidak
roboh. Pengaku dirancang di ujung tiang bagian atas yang menghubungkan tiang dengan lambang
sineb.Kekuatan konstrruksi juga diperkuat oleh sunduk yang ada pada bale-bale dengan sistem
pasak yang bisa bertambah kendor jika terjadi goyangan gempa
Penerapan nilai estetika pada konstruksi agar interior bangunan tradisional Bali tampil lebih
indah.
Untuk mendapat nilai estetis yang lebih tinggi, bangunan tradisional Bali umumnya
diberikan sentuhan-sentuhan unsur estetika yang diterapkan pada berbagai elemen interiornya
sebagai berikut.
Unsur Estetiks pada bagian kepala bangunan ( interior plafond ekspos)
Gambar 9. Hiasan pada pasak konstruksi apit-apit dan
pemade. (Sumber: hasil observasi penulis)
Gambar 10. Dedeleg dengan hiasan ukiran
sebagai penutup konstruksi sambungan ujung atas
iga-iga. (Sumber: hasil observasi penulis)
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
288 Pada bagian kepala bangunan unsur estetika umumnya diterapkan pada Pertemuan tugeh
dengan pementang yang dibuat berbentuk sendi yang berukir atau patung sebagai sendinya. Hiasan
juga dibuat sebagai penutup pasak yang menempati pertemuan antara apit-apit dan pemucu ataupun
pemade hiasan pada dedeleg atau petaka yang berfungsi sebagai konstruksi sambungan ujung atas
iga-iga. Dari hasil survey menunjukkan bahwa yang paling dominan adalah hiasan pada petaka
atau dedeleg, yang diberikan ornamen berupa ukiran pepatran. Hal ini disebabkan puncak
bangunan yang berupa petaka atau dedeleg bisa menjadi pusat perhatian pada interior, karena
semua ujung atas iga-iga mengarah pada elemen tersebut. Tugeh yang dilandasi dengan sendi
patung maupun ukiran lainnya, tidak banyak diterapkan, hanya pada beberapa bale gede yang
mempunyai dihias secara menyeluruh pada setiap elemen bangunannya. Yang paling sedikit
mendapat sentuhan estetika pada konstruksinya adalah pertemuan antara apit-apit dengan pemade
atau pemucu, yang berupa ukiran sebagai penutup pasaknya. Kebanyakan dari sampel yang
disurvei membiarkan konstruksi tersebut berupa pasak atau paku yang ditancapkan dari apit-apit ke
pemade maupun pemucunya seperti gambar berikut.
Gambar. 11.
Konstruksi pada apit-apit dan iga-iga, serta pemade yang
tidak mendapatkan sentuhan bentuk-bentuk estetis.
(Sumber: hasil observasi penulis)
Unsur Estetika Pada Bagian Badan
Tiang (saka) sebagai badan bangunan berperan penting pada struktur konstruksi sebagai
penyangga bagian kepala(atas) bangunan tersebut. Pada tiang terdapat dua sambungan, karena
berperan sebagai penghubung kaki dengan badan, dan badan dengan kepala. Pada sambungan
antara kaki dan badan, saka ditopang oleh sendi yang kududukannya di atas jongkok asu yang
berperan sebagai pondasi bangunan. Unsur estetis biasanya diterapkan pada pertemuan antara sendi
dengan saka bagian bawah dengan berbagai variasinya, baik terpisah dengan sendi maupun
menjadi kesatuan yang utuh, seperti gambar berikut.
Gambar 12-14 . Penerapan unsur estetis pada konstruksi saka dan sendi
Penambahan elemen-elemen estetetis pada gambar di atas mampu mengurangi kekakuan
bentuk pertemuan segi empat pada sendi dan garis vertikal pada tiang dengan memperbanyak garisgaris dengan arah yang horizontal. Sehingga bisa menyamarkan sambungan konstruksi yang tidak
mendapat sentuhan estetis seperti gambar di bawah ini.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
289 Gambar 15. Konstruksi hubungan saka dan sendi
Sedangkan pada bagian atas, konstruksi terdapat pada pertemuan saka dengan lambang dan
sineb yang menopang beban atap bangunan. Pada bagian pertemuan dua elemen ini umumnya tidak
diberikan tambahan unsur-unsur estetika sebagai penutup, melainkan secara langsung dibuat
berupa permainan bidan dan ornamenn, baik pada tiang maupun pada lambang dan sineb.
Penambahan unsur estetis hanya berupa penambahan bentuk kencut pada saka (tiang) yang tidak
menopang beban bangunan, seperti misalnya pada saka yang tidak menopang lambang pada bagian
sisi bangunan, melainkan hanya menopang pementang di bagian tengan bangunan, seperti gambar
di bawah ini.
Gambar 16
Konstruksi saka dan
lambang pada bagian sisi
bangunan dan bagian
tengah bangunan
Gambar 17
Saka dengan kencut
pada sudut bangunan
Beberapa bangunan yang memenpatkan saka dengan kencut pada saka yang posisinya di
bagian sisi luar bangunan, memberikan beban atap kepada kencut yang bentuknya dibuat mengecil
dari ukuran penampang tiang. Hal ini akan sangat rawan jika terjadi goncangan gempa yang
memungkinkan menyebabkan kencut patah dan mengakibatkan bangunan roboh.
Unsur Estetis pada bagian kaki
Bagian kaki bangunan (bataran) yang berfungsi sebagai lantai dan sekaligus menutup
konstruksi pondasi jongkok asu yang ada di dalamnya merupakan bentuk bidang yang cukup luas
yang bisa dipakai sebagai tempat untuk berkreasi, sehingga pada bagian ini sering dimanfatkan
untuk menampilkan berbagai bentuk kreasi baik yang sederhana maupun yang dilengkapi dengan
berbagai bentuk-bentuk ornamen, sepereti gambar berikut.
Gambar 18-19 . Bentuk-bentuk ornamen pada bataran (bagian kaki) (sumber: hasil observasi penulis)
Penerapan unsur estetis berdasarkan pertimbangan kemudahan dalam beraktifitas untuk naik
turun dari halaman ke lantai sehingga tangga, seperti di gambar di bawah ini.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
290 Gambar 20-21. Bataran yang didominasi dengan tangga (sumber: hasil observasi penulis)
Dampak perkembangan kehidupan modern, terhadap sistem konstruksi dan estetika pada
bangunan tradisional Bali.
Kehidupan modern tidak tampak banyak berpengaruh pada wujud Bale Dangin, sehingga
secara umum masih tetap dipertahankan wujudnya yang asli. Konstruksinya masih
mempertahankan kayu dan bambu yang menunjukkan wujud bangunan yang dekat dengan alam.
Pengaruh pemikiran modern yang mengutamakan kepraktisan terlihat dari perubahan pemilihan
bahan, yang dahulunya berbahan tanah, bata ataupun batu paras, sekarang berbahan semen ataupun
keramik, baik sebagai lantai maupun sebagai bataran. Dari hasil survei di lapangan didapatkan hasil
perkembangan wujud bataran seperti di bawah ini.
Gambar 22-23. Bataran denagan material batu bata
dan paras (sumber: hasil observasi penulis)
Gambar 24-25. Pemakaian Keramik sebagai lantai
dan bataran (sumber: hasil observasi penulis)
SIMPULAN
Pertama; Sistem konstruksi akit-akitan (knock down) arsitektur tradisional Bali yang
terkenal tahan gempa, sampai saat ini masih tetap dipertahankan untuk konstruksi bangunan bale
dangin, karena bangunan ini merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat untuk
melaksanakan upacara manusa yadnya dan pitra yadnya, sehingga kedudukannya sangat dihormati
untuk tetap dipertahankan tanpa banyak membuat pengembangan seperti halnya bangunan yang
lainnya. Dengan pemakaian yang tidak terlalu sering, memungkinkan bangunan ini tidak menuntut
penambahan ataupun perubahan interiornya, sehinggga diantara bangunan yang ada dalam suatu
pekarangan, umumnya bale dangin yang paling dipertahankan bentuknya. Kedua; Penerapan unsur
estetika pada bale dangin untuk memperindah sambungan konstruksinya terdapat di seluruh
bagian, baik pada bagian kepala, badan maupun kakinya. Penerapan estetika ini paling terlihat
menonjol pada bagian kaki yaitu pada bagian bebaturan dengan berbagai variasi bentuk dan bahan
yang dipergunakan. Pada bagian ba danb hanya terlihat pada pertemuan antara saka dan sendi serta
saka dan lambang. Pertemuan antara saka dan sendi diselesaikan dengan menanbahkan elemen
ulam sebagai garis horizontal untuk menambahkan garis horizontal bagian atas sendi. Dengan
demikian sambungan sendi dan saka tidak nampak kaku, namun bisa menampilkan suatu bentuk
yang menarik. Sedangkan pada bagian kepala tdak banyak yang menerapkan unsur estetika, tetapi
dibiarkan sebagai konstruksi pembentuk atap. Hanya ada beberapa sampel yang menerapkan hiasan
pada bagian bawah tugeh, pertemuan apit-apit dan pemade atau pemucu serta hiasan pada dedeleg.
DAFTAR PUSTAKA
Adhimastra, I K. 2004 Penerapan Sistem Matrik Dalam Satuan Gegulak untuk Ukuran Bangunan
Rumah Tinggal Tradisional Bali. (Tesis), Denpasar Universitas Udayana
Budiarjo, Eko, 1988, Architectural Conservation in Bali, Yogyakarta: Gajahmada University Press,
Dwijendra. N K A. 2009. Arsitektur Rumah Tradisional Bali, Denpasar, Udayana University Press
Eaton.M M, 2010, Persoalan-persoalan Dasar Estetika. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
291 Kusmiati, A . 2004, Dimensi Estetika Pada Karya Arsitektur dan Disain
Moloeng, Lexy, J.1995, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Roskarya,
Parwata, I W 2009, Humanisasi Kearifan &Harmoni Ruang Masyarakat Bali, Denpasar,Penerbit,
Yayasan Tri Hita Karana Bali.
Suardana, Nyoman Gde, Bali Post Minggu Paing, 11 Januari 200.
Sulistyawati, 1996, Berbagai Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Wujud Arsitektur,
Studi Kasus Rumah Tinggal Tradisional di Desa Adat Kuta. Tesis UI Jakarta.
Tim Universitas Udayana, 1980. Pengaruh Mass Tourism Terhadap Tata Kehidupan Masyarakat
Bali. Denpasar, Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian dan Pengembangan.
PECIREN BEBADUNGAN:
STUDI IDENTITAS ARSITEKTUR LANGGAM DENPASAR
I Kadek Dwi Noorwatha, I Nyoman Adi Tiaga
Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected]. [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian untuk merumuskan ciri khas arsitektur langgam Denpasar (ALD) sebagai
patokan dalam memahami keanekaragaman elemen-elemen arsitektur tradisional Bali (ATB).
Penelitian ini juga tidak berhenti pada tahap perumusan identitas yang bersifat romanticretrospektif semata, namun melihat fenomena aplikasi identitas tersebut dalam arsitektur kekinian
yang bersifat critical-prospektif. Dengan pemahaman tersebut maka penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif-kualitatif yang secara induksi mengamati, mengklasifikasikan dan
menginterpretasi elemen-elemen arsitektural sehingga dapat merumuskan suatu identitas ALD
yang disebut peciren bebadungan.
Hasil penelitian menunjukkanbahwa identitas ALD ditandai dengan pemakaian batu bata
sebagai unsur utama dan modulasi bangunan. ALD lebih adaptif terhadap perpaduan dengan
budaya asing dan proporsi bangunan ALD tampak lebih lebih lebar yang memberikan karakter
kokoh dan tegas, mencerminkan karakter masyarakat Denpasar. Unsur-unsur yang menjadi
pembentuk peciren bebadunganadalah: Unsur Kreatifitas yaitu unsur pengembangan elemen yang
disesuaikan dengan aspek fungsi namun tetap mempertahankan karakter Bali. Unsur Akseptabilitas
yaitu unsur keterbukaan terhadap akulturasi dengan budaya asing tanpa menghilangkan karakter
dan jati diri. Unsur Komformitas yaitu kesesuaian peruntukan dan visualisasi bangunan untuk
mengakomodasi kebutuhan dan gaya hidup Modern.
Kata kunci: Peciren Bebadungan, Identitas Arsitektur, Langgam Arsitektur Denpasar
Abstract
The goal of this research is to formulate the characteristic of Denpasar architectural style
(DAS) as a benchmark in understanding the diversity of the elements of traditional Balinese
architecture. The study also does not stop at the stage of formulation of romantic-retrospective
perspective identity alone, but also to look at the phenomenon of the application of the identity in
contemporary architecture that is critical–prospective. With this understanding , this study is a
descriptive - qualitative research which inductively observes, classifies and interprets architectural
elements so as to formulate an identity of DAS called Peciren Bebadungan.
The findings of this research shows that the identity of the DAS which is characterized by
the use of brick as the main elements and the modulation of the building. DAS is more adaptive to
the combination with other foreign culture and the proportions of the building looks wider that
shows strong and firm characters, reflecting the character of Denpasar community. The elements
that form peciren bebadungan are: the elements of creativity that is to say elements of the
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
292 development which are customized with the element of function but still retaining the character of
Balinese architecture. The element of acceptability namely the element of “openness” towards
acculturation with the foreign culture without eliminating the character and identity as Balinese.
The elements of comformity i.e. conformance designation and visualization of buildings to
accomodates modern needs and modern lifestyle.
Keywords : Peciren Bebadungan , Architecture Identity , Denpasar Architectural Style
PENDAHULUAN
Menggeliatnya gerakan untuk merekontruksi kembali arsitektur tradisional untuk
mengakomodasi kehidupan modern menjadi suatu fenomena tersendiri dalam kalangan arsitek dan
desainer Indonesia. Seluruh kota-kota besar di Indonesia sekarang semakin giat dalam menata,
menggali dan bahkan meneguhkan warisan budaya khususnya arsitektur tradisionalnya untuk
memperkuat karakter, jati diri dan identitas daerah; salah satunya adalah Kotamadya Denpasar.
Dalam konteks arsitektur, proses pelestarian bangunan pusaka (heritage) tidak semata-mata
melestarikan secara fisikal namun juga yang non fisikal seperti nilai budaya, filosofis dan estetis.
Kedua unsur tersebut (fisikal maupun non fisikal) membangun satu kesatuan wujud fisik bangunan
yang mencitrakan identitas suatu kota.
Jati diri dengan landasan kebudayaan Bali ini menjadi kata kunci bagi keberhasilan
pembangunan Kota Denpasar. Jati diri tidak sekadar identitas dan pembeda satu kelompok
masyarakat dengan yang lain. Jati diri pun sekaligus menjadi pencitraan yang sangat dibutuhkan
dalam persaingan global. Apakah arsitektur langgam Denpasar (ALD) tersebut? Arsitekturlanggam
Denpasar atau lebih dikenal dengan Peciren Bebadungan (wawancara dengan AA Gde Kusuma
Wardana (Penglingsir Puri Kesiman) dan Kadek Wahyudita (kelihan Penggak Men Mersi Puri
Agung Kesiman 2013). Dalam prakteknya, ALD masih tenggelam akan hegemoni Arsitektur
tradisional Bali (ATB). Dalam realitas lapangan, seluruh Kabupaten di Bali memiliki ciri khas
arsitektur tradisional tersendiri baik dari pemanfaatan material, tata letak, arah orientasi, proporsi
dan karakteristik dekorasi.
Eksplorasi tentang peciren bebadungan sebagai jatidiri ALD menarik untuk digali
selanjutnya, sebagai penguatan citra kota Denpasar sebagai Kota Kreatif Berbasis Budaya
Unggulan yang nantinya dijadikan acuan pengembangan kota lainnya di Bali. Dari pemaparan di
atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu:
Apakah identitas peciren bebadungan sebagai jatidiri arsitektur langgam Denpasar? Unsurunsur apa sajakah yang menjadi pembentuk peciren bebadungan sebagai identitas langgam
arsitektur Denpasar? Eksplorasi peciren bebadungan sebagai identitas arsitektur langgam Denpasar
merupakan suatu usaha untuk melihat artefak budaya arsitektur sebagai media simbolisasi yang
menggambarkan sisi historis, sosial, budaya dan teknologi yang berkembang pada jamannya.
Dengan eksplorasi tersebut dapat diimplementasikan kedalam beragam jenis visualisasi desain
arsitektural maupun interior kekinian, namun tetap mempertahankan jiwa peciren bebadungan yang
masih relevan dengan konteks kehidupan modern. Proses eksplorasi tersebut juga menghindarkan
desainer dari penggunaan ornamen, material, proporsi, tata letak yang bersifat tempelan dalam
bangunan modern sebagai inti dari gerakan regionalisme; dan juga dapat menguatkan citra jati diri
kota Denpasar sebagai kota “metropolitan” yang berwawasan budaya.
Identitas kota adalah ciri khas yang membedakan kota tersebut dengan kota lainnya.
Karakter sebuah kota muncul dari banyak hal. Sejarah kota, kosmologi kota, kepercayaan
masyarakatnya dan seterusnya (Kusuma, 2013).Dalam konteks struktur pembentuk arsitektur, Frick
dan Purwanto (1998: 13-15) mengemukakan bahwa bentuk dan gaya arsitektur selalu berhubungan
erat dengan cara kontruksi dan bahan bangunan yang laku pada jaman itu (terbangunnya). Di
samping fungsi statis dalam pembentukan arsitektur sebagai penguat bangunan dan menyalurkan
segala beban maupun tekanan ke dalam tanah, di Asia sering pengaruh simbol dan mistik lebih
diutamakan. Hiasan yang sejak dahulu kala digunakan untuk menyampaikan gagasan kosmologis
dan metafisis dalam bentuk simbol dan bukan melambangkan alam sebagai sumber fungsi statis.
Pada jaman dahulu kebanyakan bentuk struktur yang autotonos sangat terbatas menurut
pengalaman dan teknik pertukangan maupun oleh faktor-faktor metafisis (adat, primbon, tantangan
agama, dsb) menurut bentuk, lebar bentang, serta bahan bangunan yang digunakan secara
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
293 tradisional, seperti misalnya pendopo dan saka guru di Jawa atau struktur rumah Toba Batak. Pada
jaman dahulu sistem bentuk struktur merupakan faktor kecil pada keindahan sebuah gedung.
Struktur bangunan yang tidak diselimuti sering dianggap kasar dan belum selesai, dibandingkan
dengan masa kini yang menilai keindahan makin lama makin lebih baik dibandingkan dengan
sekedar logika sistem bentuk struktur yang berhubungan dengan bentuk arsitektur.Dalam konteks
penelitian identitas arsitektur langgam daerah tertentu, Edi Sedyawati, 1990 (dalam Munandar,
2005: 11) mengemukakan bahwa karya arsitektur yang termasuk dalam bentuk kebudayaan materi
sehingga mudah diamati dan diobservasi. Dalam mengkaji karya arsitektur terdapat tiga aspek
besar yang dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya: (1) aspek struktur (2) aspek makna
simbolis, dan (3) aspek fungsi sosial. Ketiganya memang berkaitan satu sama lain, tetapi masih
mungkin dibahas secara terpisah.
Dalam penelitian ini diarahkan pada kajian terhadap aspek struktur dalam arsitektur
langgam Denpasar yang dikaitkan dengan khasnya dan kedua adalah aspek makna simbolis dari
masing-masing struktur pembentuk tersebut.Jika merujuk pengertian identitas dalam perspektif
cultural studies khususnya dalam cultural identity, identitas dapat didefinisikan dalam istilah
persamaan (sameness) dan perbedaan (difference). Lebih spesifik, perbedaan (masih dalam koridor
differance (keliyanan)) selalu terdapat identitas yang tampak sama; meskipun fixity (perpotongan,
pemutusan hubungan positioning) secara temporer diperlukan pada proses identitifikasinya,
“selalu ada sesuatu yang ditinggalkan (Hall dalam Rutherford, 1990: 55).
Penerapan identitas budaya dalam konteks arsitektur dalam suatu kawasan membuat suatu
citra kota yang khas sesuai dengan budaya yang direpresentasi tersebut. Berbagai desain
arsitektural yang menjadi elemen kota (gedung, monumen, lapangan, kawasan permukiman etnis,
kawasan kota lama, pantai dan lain-lainya), akan memberikan ciri karateristik atau identitas pada
kota. Objek-objek kota tersebut memberikan ciri khas pada kota terhadap sejarah perkembangan
suatu kota. Identitas kota timbul dari pandangan seseorang terhadap suatu elemen atau objek yang
ada pada suatu kota. Pandangan seseorang terhadap suatu elemen kota akan dikenang selamanya
olehnya dan menjadi ikatan terhadap kota tempat tinggalnya (Heryanto dkk, 2012).
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian di Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar Provinsi Bali, dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif (descriptive research methods) (Nazir, 2003) yang
bersifat kualitatif. Untuk pemilihan objek penelitian dilaksanakan dengan purpossive sampling
dengan memilih sampel yang dipilih yang dianggap mewakili identitas arsitektur langgam
Denpasar dengan sebelumnya disesuaikan dengan literature (Sugiyono, 2011). Sampel yang dipilih
berdasarkan kriteria: (1) Bangunan berumur diatas 50 tahun Selain merupakan fasad dari suatu
bangunan tradisional bangunan tersebut harus berumur 50 tahun dari sejak penelitian ini dilakukan
(dibangun di atas tahun 1970 an). (2) Material menggunakan bahan lokal Denpasar yaitu
menggunakan batu bata merah, tanah pol-polan dll. Sebagai variabel dalam penelitian ini dan
disesuaikan dengan literatur dan narasumber, maka variabel dalam penelitian ini adalah: Struktur:
dapat diartikan sebagai struktur bentuk pemesuan dibagi menjadi angkul-angkul cacadian dan atau
makakerep. Material: dapat diartikan material adalah seluruh bahan bangunan mentah sebagai
bahan penyusun wujud fisik bangunan. Proporsi: dapat diartikansebagai perbandingan tinggi dan
lebar pemesuan (secara tampak depan) dan dihitung berdasarkan jumlah batu batanya. Dekorasi:
dapat diartikan sebagaielemen dekorasi pada arsitektur tradisional Bali yaitu pepalihan,
kekarangan, bebaturan, elemen patung dan lain-lain.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara: observasi, wawancara (interview) interview
yang digunakan dalam penelitian ini adalah structured interview dan dokumentasi. analisis data
adalah kualitatif adalah bersifat induktif. Data ditabulasikan untuk kemudahan pembacaan dan
proses perumusan suatu kesimpulan-kesimpulan awal yang kemudian disusun menjadi suatu
kesimpulan akhir.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah diadakannya survey pada kecamatan Denpasar Timur, maka didapat gambaran
mengenai penerapan identitas arsitektur langgam Denpasar di berbagai tempat. Untuk
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
294 mempermudah tahap analisis data maka data dimasukan ke dalam tabel seperti yang tampak pada
tabel di bawah ini.
Tabel 5.2. Sebaran Data Objek Penelitian Berdasarkan Lokasi
No.
Lokasi Penelitian
1.
Kelurahan Kesiman
2.
Desa Kesiman Petilan
3.
Desa Kesiman Kertalangu
4.
Desa Penatih Dangin Puri
5.
Kelurahan Penatih
6.
Desa Dangin Puri Kelod
7.
Desa Sumerta Kauh
8.
Kelurahan Sumerta
9.
Desa Sumerta Kaja
10.
Desa Sumerta Kelod
Jumlah Objek Penelitian
Jumlah total Objek Penelitian
Sumber: Hasil Survey 2014
Jumlah Total
18
39
11
33
15
2
1
16
3
11
Umah
5
4
7
8
3
0
0
3
0
1
31
Puri
6
3
0
0
0
0
0
0
0
9
Pura
7
32
4
25
12
2
1
13
3
10
109
149
Dari tabel dapat dilihat masing-masing objek penelitian dari lokasi penelitian yang spesifik.
Tampak pada tabel di atas dari total 149 buah objek, objek penelitian berupa pura mempunyai
jumlah yang paling besar yaitu 109 buah atau 73 % dari jumlah seluruh objek. Objek penelitian
berupa umah berjumlah 31 buah atau sekitar 20,8 % dan Objek penelitian puri berjumlah 9 buah
atau sekitar 6,04 %. Dari data tersebut dapat ditarik suatu pemahaman awal bahwa arsitektur
tradisional yang masih dipertahankan tersebut adalah suatu arsitektur yang mencirikan identitas
Denpasar atau menggunakan peciren Bebadungan. Dari data tersebut dapat ditarik suatu
pemahaman awal bahwa arsitektur tradisional yang masih dipertahankan tersebut adalah suatu
arsitektur yang mencirikan identitas Denpasar atau menggunakan peciren Bebadungan. Sehingga
dapat dipastikanbahwa objek yang telah terpilih merupakan arsitektur asli Denpasar yang
selanjutnya akan dianalisis berdasarkan variabel penelitian (struktur, material, proporsi dan
dekorasi) sehingga didapatkan suatu rumusan identitas langgam arsitektur Denpasar sebagai
kesimpulan akhir. Alasan dibalik masih dipertahankannya arsitektur asli Denpasar tersebut menurut
beberapa narasumber terdapat beragam alasan yang melatarbelakanginya antara lain:
Alasan Warisan leluhur, bahwa arsitektur asli yang dianggap sebagai representasi peciren
bebadungan sampai saat ini dilestarikan karena beberapa hal yaitu:
Pertama adalah masih adanya kepercayaan bahwa peninggalan leluhur tersebut wajib
dilestarikan akibat dari mitos kutukan (tulah, kepongor dll); pun jika mengubah diwajibkan tidak
menggunakan bahan yang jauh berbeda dan memperhatikan wujud, proporsi dan elemen
pembentuknya terutama dimensi (sikut) dan peletakannya. Kedua, material batu bata menurut
beberapa narasumber merupakan representasi dari arsitektur Majapahit. Dari pemahaman tersebut
dalam konteks pura kawitan, masih dipertahankannya wujud arsitektural tersebut sebagai penanda
pemilik atau pengempon pura tersebut adalah keturunan Dalem (Majapahit) sebagai peletak dasar
kebudayaan Bali Madya atau Bali Arya di Bali.
Alasan Ekonomis, pengempon mengaku tidak adanya dana untuk pembangunan baik secara
renovasi ataupun membangun yang baru. Alasan Durabilitas, dimana para pengempon masih
mengakui bahwa material dan struktur bangunan masih layak dipertahankan karena dirasakan
masih kokoh dan layak ditempati. Alasan Konservasi, dimana para pemilik bangunan yang sadar
bahwa wujud bangunan tersebut merupakan warisan leluhur dan jikalau terjadi kerusakan parah
baik akibat bencana alam, manusia maupun korosi. Alasan konservasi ini telah dilakukan oleh Puri
Agung Kesiman (Wawancara dengan AA. Gde Kusuma Wardana dan I Kadek Wahyudita tahun 2013) untuk
merestorasi Beberapa bangunan purinya. Diperlukan dedikasi yang tinggi, kesadaran akan sejarah
dan ekonomi untuk mempertahankan arsitektur “asli” Denpasar ini.
Jadi dapat dijelaskan bahwa identitas langgam asitektur Denpasar adalah karakteristik yang
khas dalam wujud arsitektural heritage (warisan) yang berlokasi di Denpasar; dengan
menggunakan material, ungkapan estetis dan struktur yang mencitrakan tipikal (stereotype)
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
295 masyarakat Denpasar dalam konteks sosial budaya. Langgam arsitektur Denpasar dikenal dengan
istilah beblakasan yaitu visual langgam arsitektur yang minim dekorasi, hanya menggunakan
pepalihan (permainan pasangan batu bata), mayoritas batu bata, ukirannya tidak mendetail
cenderung besar-besar, struktur yang lebih lebar, tebal dan tinggi. Sedangkan arsitektur Gianyar
yang agak “monyer” yaitu dekorasi yang agak rumit, mendetail, kecil-kecil, memenuhi bidang,
biasanya ukiran diwarnai mencolok dipadukan cat emas (prada); struktur lebih ramping (kurus) dan
lengkap menempatkan elemen dekorasi seperti pepalihan, kekarangan, pepatran, keketusan,
bebaturan dll.
Analisis Struktur
Tampak pada objek penelitian fasad arsitektural rumah tinggal mayoritas menggunakan
angkul-angkul cacadian pada bagian “kepala”angkul-angkul. Tampaknya para penghuni
mementingkan aspek fungsi dan durabilitas. Pemilihan material juga dipilih berdasarkan
kekuatannya kecuali pada batu bata yang menurut narasumber merupakan identitas khas Denpasar
atau Badung. Para pemilik rumah tinggal yang mempertahankan angkul-angkul batu bata pada
umumnya “takut” mengubah struktur dasar dari angkul-angkul warisan pendahulunya;meskipun
menurut para pemilik bahan batu bata mempunyai kelemahan terhadap cuaca dan cepat korosi
dibandingkan dengan material yang lain.Struktur pemesuan dalam arsitektur Denpasar 53 objek
(85,4%) menggunakan struktur lengkap dan 9 objek (14,5%) menggunakan struktur belum lengkap.
Ketidaklengkapan tersebut tampak pada tidak diterapkannya unsur lelengen. Hal tersebut
membuktikan bahwa (1) dalam arsitektur Denpasar masih mengacu pada struktur pemesuan
arsitektur tradisional Bali (2) terjadi penyederhanaan bentuk dari struktur lengkap pemesuan
tradisional Bali. Aspek fungsional kembali menjadi faktor dominan dalam visualisasi bentuk
arsitektur Denpasar dibandingkan sisi kelengkapan secara tradisional. Dapat disimpulkan
sementara dari segi struktur, arsitektur berlanggam Denpasar masih mempertahankan struktur
kelengkapan bentuk dari pemesuan namun untuk beberapa kasus telah memodifikasi berdasarkan
aspek fungsional. Aspek fungsional kembali menjadi faktor dominan dalam visualisasi bentuk
arsitektur Denpasar dibandingkan sisi kelengkapan secara tradisional. Dapat disimpulkan
sementara dari segi struktur, arsitektur berlanggam Denpasar masih mempertahankan struktur
kelengkapan bentuk dari pemesuan namun telah mengadakan modifikasi berdasarkan aspek
fungsional semata dan tetap mempertahankan karakter aslinya yaitu penggunaan batu bata.
Analisis Proporsi
Dalam proses tabulasi selanjutnya dalam konteks proporsi, dengan jalan menganalisis hasil
dokumentasi berupa foto yang didapat pada survey penelitian. Untuk penghitungan proporsi akan
dihitung jumlah batu bata baik untuk lebar maupun tinggi bangunan dengan memakai standar batu
bata: lebar 8 cm, panjang 24 cm dan tebal 5 cm. Berdasarkan data lapangan dapat dilihat
perbandingan proporsi pemesuan berlanggam Denpasar secara umum yang berkisar pada proporsi
antara tinggi berbanding dengan lebar pemesuan adalah: 1:1 (sejumlah 13buah), 2:1 (sejumlah 1
buah), 3:2 (sejumlah 4 buah), 5:6 (sejumlah 1 buah) , 6:5 (sejumlah 14 buah), 7:5 (sejumlah 8 bah),
8:5 (sejumlah 3 buah), 9:5 (sejumlah 1 buah), 11:10 (sejumlah 8 buah), 12:5 (sejumlah 1 buah) dan
17:10 (sejumlah 2 buah). Proporsi 6:5 paling banyak diterapkan pada bangunan arsitektur
Denpasar, diikuti dengan proporsi 1:1, selanjutnya 11:10 dan 7:5. Dapat diketahui bahwa
perbandingan antara tinggi dan lebar yang membentuk proporsi arsitektur Denpasar mendekati 1:1.
Jadi dapat disimpulkan sementara, bahwa dari segi proporsi langgam arsitektur Denpasar
menggunakan proporsi 1:1. Citra langgam arsitektur Denpasar dibangun melalui proporsi bangunan
yang mengesankan bangunan yang kuat dan kokoh dengan menampilkan kelebaran bentuk fasad.
Aspek kuat dan kokoh tersebut didukung dengan aspek dekorasi yang terkesan minimalis, tanpa
ukiran yang menjelimet dan menggunakan permainan pasangan batu bata sebagai elemen
dekorasinya. Kejelasan struktur dan material sangat diperlihatkan yang menambah kesan
penyederhanaan bentuk arsitektur tradisional Bali dalam wujud langgam arsitektur Denpasar.
Analisis Material
Dari 149 objek penelitian dapat ditabulasikan penggunaan material pada bangunan
arsitektural yang nantinya memberikan suatu gambaran material bangunan yang mencirikan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
296 arsitektur berlanggam Denpasar, seperti yang tampak pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.3 Penerapan Material Pada Objek Penelitian
No.
Material
1.
Tanah Citakan/Pol-Polan
2.
Kombinasi Tanah Citakan dan Batu Bata
3.
Batu Bata Kasar
4.
Batu Bata dengan Finishing
5.
Batu Bata Kombinasi Paras
6.
Paras
7.
Batu Bata dengan Atap Genteng
8.
Batu Bata dengan Atap Beton
Jumlah
Sumber: Hasil Survey 2014
Jumlah
2
1
62
2
26
3
18
35
149
Presentase
1,34 %
0,67 %
41,61%
1,34 %
17,44 %
2,01 %
12,08 %
23,74 %
100 %
Mayoritas objek pada tabel di atas menggunakan batu bata kasar yaitu bata bata tanpa
finishing tambahan yaitu berjumlah 62 buah yaitu 41,61 %. Hal tersebut sesuai dengan hasil
wawancara dengan narasumber yang menyebutkan arsitektur tradisional Denpasar menggunakan
material utama batu bata kasar. Bahkan dengan tegas narasumber mengemukakan bahwa material
batu bata memang mencirikan arsitektur Denpasar sebagai penanda bangunan Majapahit. Pada
urutan berikutnya adalah batu bata dengan beratap beton berjumlah 35 buah yaitu 23,74 % dan batu
bata beratap genteng berjumlah 18 buah yaitu 12,08%. Kedua material tersebut yaitu beratap
genteng dan beton menurut narasumber penerapannya dimulai setelah Belanda memerintah di
Denpasar. Aspek material selain menggunakan material lokal yang dekat dekat lokasi
pembangunan, juga menjadi semacam penanda langgam arsitektur tertentu (Majapahit). Jadi dapat
disimpulkan sementara bahwa material yang digunakan lebih kepada penanda suatu citra
tertentudibandingkan aspek durabilitas semata.
Analisis Dekorasi
Untuk mencari kekhususan dekorasi arsitektur langgam Denpasar maka akan dibahas
beberapa dekorasi yang unik, terutama yang menurut beberapa narasumber mencitrakan langgam
arsitektur Denpasar; seperti yang tampak pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.6 Penggunaan Dekorasi Pada Arsitektur Berlanggam Denpasar
No.
1.
Objek
Dekorasi
Ornamen
Kolonial
Image
Keterangan
2.
Kekarangan 1
3.
Kekarangan 2
Ornamen diterapkan pada bagian gidat pemesuan merajan
kauhan Puri Penatih. Visual estetis menggunakan estetika
Bali yaitu dengan motif pepatran. Menunjukkan perpaduan
antara ornamen asing dengan ekspresi estetis Bali
mengesankan kesatuan.
Penerapan ornamen yang merupakan simplifikasi dari motif
kekarangan khususnya karang sae atau karang boma yang
ditempatkan di gidat pemesuan. Bentuk ornamen tersebut
dibentuk dari permainan susunan batu bata yang membentuk
motif kekarangan.
Penempatan elemen dekorasi kekarangan yang dibentuk dari
susunan batu bata. Meskipun tata urutannya mengikuti
pakem tradisional, namun secara visualisasi bentuknya
menjadi minimalis karena dibentuk dari susunan batu bata
yang menyerupai bentuk kekarangan tertentu. Tampak ada
usaha meminimalisasi bentuk ornamen namun tetap
mempertahankan karakternya.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
297 4.
Penerapan
Piring China
5..
Pepalihan 1
6.
Pepalihan 2
penerapan tempelan piring keramik China sebagai unsur
penambah estetika dalam bangunan. Piring keramik China
dianggap sebagai barang mewah pada masanya untuk
menambah prestise dan status sosial pemilik bangunan.
Tempelan piring keramik tersebut ditempatkan pada
permainan pasangan batu bata, sehingga terkesan terintegral
dengan keseluruhan bangunan.
7.
Pepalihan 3
Permainan pasangan bata dengan penjorokan dan cerukan
yang menimbulkan bentuk-bentuk tertentu. Bentuk tersebut
adalah bentuk dasar dari kekarangan dalam keseluruhan
bebaturan bangunan Bali. Pepalihan ini adalah salah satu ciri
khas arsitektur berlanggam Denpasar.
Permainan pasangan batu bata yang menghiasi lobang pintu
masuk yang membentuk bentuk tertentu. Dekorasi ini
biasanya digunakan pada kori agung pada bangunan Pura
yang besar. Pepalihan ini juga menjadi salah satu ciri khas
pada arsitektur berlanggam Denpasar namun jarang
digunakan secara umum, khususnya untuk bangunan pura
dan puri semata.
Permainan pasangan bata dengan penjorokan dan cerukan
yang menimbulkan bentuk-bentuk tertentu.
Dekorasi ini menghiasi lobang angin disamping lobang pintu
masuk. Di sampingnya dihiasi bentuk ornamen yang
melengkung yang membentuk telinga atau sayap. Pepalihan
ini adalah salah satu ciri khas arsitektur berlanggam
Denpasar.
Sumber: Hasil Survey 2014
Dari segi dekorasi ada beberapa hal penting yang dapat disimpulkan sementara yaitu:
Permainan pasangan batu bata baik penjorokan atau cerukan yang biasa disebut pepalihan yang
mencirikan arsitektur berlanggam Denpasar. Pasangan batu bata tersebut selain menjadi bagian dari
konstruksi bangunan juga sekaligus menjadi elemen dekorasi bangunan.. Pada pepalihan tersebut
juga terdapat penyederhanaan bentuk kekarangan ataupun pepatran menyebabkan arsitektur
berlanggam Denpasar selain berkesan lebih minimalis dibandingkan arsitektur daerah Bali lainnya
namun tetap mempertahankan karakter bangunan Bali tersebut.
Terdapat suatu kreatifitas pengembangan dekorasi bangunan tradisional Bali yang
merupakan sebuah keberanian untuk keluar dari pakem arsitek tradisional Bali. Kreatifitas tersebut
masih dalam koridor konsep dekorasi arsitektur tradisional Bali.Adanya akulturasi budaya luar
yang diadopsi dalam arsitektur berlanggam Denpasar menegaskan bahwa arsitektur berlanggam
Denpasar terbuka untuk dimasukan unsur-unsur budaya lainnya; namun tetap mempertahankan
karakter bangunan, ungkapan estetik dan gaya pengerjaan yang mengacu kepada arsitektur
tradisional Bali. Dari ketiga kesimpulan sementara tersebut bahwa bangunan berlanggam Denpasar
terbukti mampu mengakomodasi perkembangan jaman.
SIMPULAN
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya maka penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut: Identitas peciren bebadungan sebagai jatidiri arsitektur langgam Denpasar dapat
dijabarkan sebagai berikut: Pemakaian Batu bata merah sebagai unsur utama dan modulasi
bangunan. Batu bata merah tersebut di satu sisi merupakan penanda arsitektur Majapahit di sisi lain
warna merah pada batu bata juga menyiratkan karakter atau watak Denpasar yang berani, tegas,
beblakasan dan to the point. Karakter arsitektur langgam Denpasar juga lebih mementingkan aspek
kejelasan struktur pasangan batu bata sebagai elemen dekorasi dengan menerapkan aspek repetisi
dan permainan pemasangannya (rhythm). Langgam Arsitektur Denpasar lebih adaptif terhadap
perpaduan dengan budaya asing, ditandai banyaknya perpaduan gaya Eropa dan China pada wujud
fasad tanpa menghilangkan karakter bangunan Bali itu sendiri. Proporsi bangunan arsitektur
langgam Denpasar tampak lebih tinggi dan lebih lebar dengan proporsi yang memakai
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
298 perbandingan 1:1, 2:1, 3:2, 5:6, 6:5, 7:5, 8:5, 9:5, 11:10, 12:5 dan 17:10. Proporsi tersebut
memberikan karakter kokoh dan tegas mencerminkan karakter masyarakat Denpasar.Unsur-unsur
yang menjadi pembentuk peciren bebadungan sebagai identitas langgam arsitektur Denpasar
adalah:Unsur Kreatifitas yaitu unsur pengembangan elemen arsitektur tradisional Bali yang
disesuaikan dengan aspek fungsi namun tetap mempertahankan karakter dari bangunan tradisional
Bali.Unsur Akseptabilitas yaitu unsur keterbukaan terhadap akulturasi dengan budaya asing yang
dengan “damai” melebur pada artefak budaya lokal tanpa menghilangkan karakter dan jati diri
arsitektur tradisional Bali. Unsur Komformitas yaitu kesesuaian peruntukan dan visualisasi
bangunan berlanggam Denpasar untuk mengakomodadi kebutuhan dan gaya hidup Modern.
DAFTAR PUSTAKA
Frick, Heinz dan Purwanto, LMF, 1998, Sistem Bentuk Struktur Bangunan: Dasar-Dasar
Konstruksi Dalam Arsitektur, Seri Konstruksi Arsitektur 1, Semarang: Kanisius
Heryanto, Bambang dan Ihsan dan Venny Veronica Natalia, 2012, Identitas Kota dan Keterikatan
Pada Tempat, Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik Volume 6 Desember 2012,
Makassar: Universitas Hasanudin
Kusuma, Dewa, 2013, Arsitektur Kota Denpasar Berbasis Kearifan Budaya Lokal, makalah dalam
Sarasehan Arsitektur “Arsitektur Kreatif Berbasis Budayaan Unggulan di Kota Denpasar,
yang dilangsungkan di Ruang Pertemuan Sewaka Dharma, Kantor Badan Pelayanan
Perijinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Denpasar, 13 Desember 2013.
Munandar, Agus Aris, 2005, Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad ke 14-19, Depok:
Komunitas Bambu
Nazir, Moh., 2003, Metode Penelitian, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia
Rutherford, Jonathan Eds., 1990, Identity: Community, Culture, difference, London: Lawrence &
Wishart
Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Penerbit Alfabeta
KAJIAN IKONOGRAFI LUKISAN PADA PLAFON INTERIOR
ASHRAM VRATA WIJAYA DI DENPASAR
I Nyoman Adi Tiaga, I Kadek Dwi Noorwatha
Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
Art [email protected]
Abstrak
Ashram Vrata Wijaya merupakan sebuah bangunan arsitektur Ashram yang berusaha
menyelaraskan diri dengan lokasi dan lingkungannya. Ashram Vrata Wijaya dengan bentuk
interior plafon dengan lukisannya yang unik menjadi daya tarik bagi pemakai ruang dan mereka
yang memasuki ruangan, menjadi bahan pertanyaan, apa maksud dan makna dari lukisan plafon
tersebut? Sehingga untuk itu agar menghindari terjadinya kesalahan informasi maka penelitian ini
sangat diharapkan nantinya sebagai sumber yang akurat mengenai makna yang terkandung dari
lukisan plafon pada interior Ashram Vrata Wijaya. Ashram Vrata Wijaya dibangun sebagai tempat
memperdalam ilmu spiritual khususnya kesiwaan. Arsitektur dan interiornya bukan semata-mata
hanya untuk memenuhi kebutuhan fungsi sebagai tempat suci untuk menaungi kebutuhan aktivitas
para bhakta (umat) namun juga sebagai usaha penyelasaran hubungan manusia dengan alam. Lukis
pada plafon interior banyak dibuat dalam bentuk dan motif karya dua dimensi lukis bercorak lukis
wayang kamasan dilihat dari teknik pengerjaan dan bahan-bahan yang digunakan sebagai usaha
memunculkan makna dan keindahan dimasa proses pebangunan arsitektur dan interiornya jika
dieksplor secara mendalam makna yang terkandung dalam lukisan plafon ashram ini ingin
mengabadikan semangat pengabdian yang tulus yang lahir dari dalam diri bakta untuk menjadi
bakta yang baik dan berbakti pada ajaran jnana buda siwa.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
299 Kata kunci : lukisan plafon interior Ashram Vrata Wijaya, ikonografi, wujud, makna.
Abstract
Ashram Vrata Wijaya is an architectural building of Ashram which tries to align
themselves with the location and its surroundings. The building is unique in the shape of the
building, especially the interior of its ceiling which has a shape whose form is full with a variety
of symbols and their meanings. Ashram Vrata Wijaya with the interior of ceiling with unique
paintings, becomes interesting for the user space and those who enter the room, becomes the
subject of the question, what is the purpose and meaning of the painting in the ceiling? So in order
to avoid misinformation, this study is expected as an accurate source of meaning contained in the
interior of the ceiling painting in Ashram Vrata Wijaya.
Ashram Vrata Wijaya was built as a place of learning spiritual knowledge, especially
kesiwaan deepen. Architecture and interior are not only to meet the needs of the function as a
shrine to protect the need of activities of devotees (people) but also as an attempt to harmonize
the relationship between man and the nature. The painting on the ceiling interior are made in
many shapes and motifs of two-dimensional works of painting with puppet painting Kamasan seen
from the construction techniques and materials that are used, as an attempt to bring meaning and
beauty in the process of building the architecture and interior. If explored deeply the meaning
contained in the ceiling painting of this ashram is that to capture the spirit of sincere devotion
born from the devotees to be good devotees at the teachings of jnana buda Siwa.
Keywords: the ceiling painting of Ashram Vrata Wijaya interior, iconography, form, meaning
PENDAHULUAN
Setiap kegiatan masyarakat Bali sangat terkait dengan kesenian dan yadnya. R.M
Soedarsono menegaskan, Bali sebagai pulau dewata tidak lepas dari sifat masyarakat Bali itu
sendiri, yakni masyarakat yang terbuka dan sangat kreatif. Pengaruh dari luar seperti apapun
setelah jatuh ke tangan seniman Bali selalu berciri Bali. Walaupun di bawah kekuasaan Jawa
(Majapait) kesenian Hindu Bali mempunyai sifat dan corak tersendiri. Oleh sebab itu, tidak
berlebihan jika Vickers dalam Bukunya berjudul Bali Paradise diketemukanya Bali itu berarti
pembukaan tabir yang meliputi suatu keindahan dan kemolekan yang mempesonakan. Pulau Bali
taman firdaus, kata Houtman. Keindahan yang tidak lepas dari aktifitas ritual sebagai pengisi
aktifitas masyarakat Bali yang menyatu dalam olah seni.(Vickers,1989: 242).
Pada setiap cabang kesenian di Bali bisa ditemukan beberapa ikon yang memiliki referensi
berupa benda nyata maupun benda abstrak, dari cerita-cerita mitologi. Seperti pada lukisan di
langit-langit (plafon) bale kambang Kertagosa (Klungkung) yang merupakan ikon dengan
mengambil referensi cerita perjalanan hidup manusia sejak mulai dilahirkan hingga kematiannya,
yang secara implisit mengandung ajaran-ajaran moral yang harus dipatuhi sehingga bisa
dipertanggungjawabkan di dunia akhirat nantinya. Demikian juga dengan arsitektur tradisional Bali
yang memiliki ciri khas sangat spesifik Pembagian ruang luar, jenis dan bentuk bangunan, serta
interior pada arsitektur disesuaikan dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing di dalam
suatu tatanan adat tertentu. Seperti pada bangunan yang difungsikan untuk melakukan upacara
keagamaan (ibadah) bangunan Ashram salah satunya yang saat ini sudah mulai berkembang di
Bali.
Ashram Vrata Wijaya yang dibangun pada daerah perkotaan tepatnya di Tohpati Denpasar
Timur adalah salah satu bangunan Ashram yang dibangun menyesuaikan kondisi lingkungan
dengan memanfaatkan lahan yang sangat terbatas seluas 5,5 are atau 550 M² ini merupakan suatu
arsitektur Ashram yang berusaha menyelaraskan diri dengan lokasi dan lingkungannya. Memiliki
keunikan tersendiri. Pada bangunanya baik arsitektur dan interiornya memiliki bentuk yang sarat
dengan simbol-simbol dan berbagai makna terkandung didalamnya, salah satunya pada bagian
interior desain plafonnya menggunakan lukisan yang sangat unik sehingga menarik untuk
diungkap sebagai topik dalam penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat kualitatif sehingga analisa yang relevan adalah analisis deskriptif
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
300 kualitatif. Metode ini dilakukan dalam proses penyusunan, pengkategorian, pencarian tema atau
pola dengan tujuan memahami maknanya, dengan langkah deskripsi data, reduksi data, interpretasi
data dari unsur –unsur bentuk lukis plafon interior Ashram Vrata Wijaya dengan menggunakan
analisis metode ikonografi Erwin Panofsky yang menerapkan tiga langkah dalam menganalisa
yaitu (1) pre-ikonografi, (2) ikonografis dan (3) ikonologi. Ketiga langkah pokok pembahasan ini
menurut Erwin Panofsky (1955), oleh peneliti untuk memahami atau mengkaji makna elemen
bentuk dan tema lukis plafon interior Ashram Vrata Wijaya sebagai sebuah karya seni, Panofsky
memberi tiga tahapan atau tingkatan dalam menganalisis, tahapan tersebut dijelaskan dalam
bukunya berjudul “Meaning in The Visual Arts” yaitu: tahapan deskripsi pra-ikonografi (preiconographical description), analisis ikonografis (iconographical analysis) dan interpretasi
ikonologis (iconological interpretation) (Panofsky, 1955: 26-40)
Deskripsi Pra-ikonografi (makna primer)
Berisi tanggapan awal terhadap aspek tekstual yang berada dalam batasan dunia motif
artistik. Dunia motif artistik merupakan makna primer yang terbentuk dari makna faktual dan
ekspresional. Makna faktual dipahami dengan cara mengidentifikasikan bentuk yang tampak
dengan obyek tertentu dan mengidentifikasi perubahannya dengan aksi atau peristiwa tertentu.
Makna ekspresional dipahami dengan cara “empati”, dimana si pengamat mampu mengartikan
sesuatu yang diamatinya, berdasarkan rasa familier yang dimiliki terhadap obyek dan peristiwa.
Makna primer wujud dab tema lukis plafon Interior Ashram Vrata Wijaya Denpasar dapat
dipahami dengan mengidentifikasikan bentuk murni yaitu, konfigurasi tertentu dari garis, warna,
bentuk, dan juga teknik, dan material yang digunakan dalam pembuatan lukisan pada plafon
interior Ashram Vrata Wijaya, sebagai representasi dari objek alami seperti, manusia, binatang,
tanaman, peralatan dan sebagainya, dengan mengidentifikasikan hubungan dari keduanya sebagai
peristiwa-peristiwa dan merasakan kualitas ekspresional sebagai karakter dari pose atau bahasa
tubuh dari objek (Panofsky, 1955: 33-34). Alat yang digunakan dalam deskripsi pra-ikonografi
adalah selain pengalaman praktis dan rasa familier terhadap objek dan peristiwa juga perlu
dihubungkan dengan prinsip korektif terhadap kondisi historis yang bervariasi yang disebut dengan
sejarah gaya / style. Maka untuk melihat sejarah gaya / style lukis plafon interior Ashram Vrata
Wijaya Denpasar dapat ditinjau dari perkembangan karakteristik lukis wayang tradisional Bali
yaitu gambar Wayang Kamasan yang ada di Klungkung, Bali.
Analisis ikonografi (Makna sekunder)
Analisis Ikonografis merupakan tahapan untuk mengidentifikasi makna sekunder, dengan
melihat hubungan antara motif sebuah karya seni lukis plafon dari tema dan konsep, yang
dimanifestasikan dalam gambar, cerita, dan motif. Hal ini menunjukan sesuatu yang lebih dari rasa
familier terhadap objek dan peristiwa yang diperoleh dari pengalaman praktis. Sesuatu yang lebih
dari rasa familier tersebut mengisyaratkan rasa familier terhadap tema dan konsep dari suatu karya
seni, seperti yang dikirimkan melalui sumber literatur, apakah didapatkan melalui membaca atau
melalui tradisi mulut ke mulut atau narasumber pembuatnya, (Panofsky, 1955: 35).
Interpretasi ikonologis (Makna intrinsik)
Interpretasi ikonologis merupakan tahapan yang paling hakiki dan mendasar (esensial)
untuk memahami isi dari sebuah karya seni. Interpretasi yang mendalam dari makna instrinsik
dapat dipahami dengan menegaskan prinsip dasar yang memaparkan perilaku dari suatu bangsa
atau kelompok, zaman, kelas, persuasi filosofis dan religiusitas yang dapat memenuhi syarat
kepribadian dan dipadatkan ke dalam satu karya.
Untuk mendapatkan prinsip dasar yang mendasari pilihan dan interpretasi dari gambar,
cerita, dan alegori, yang dapat memberikan makna pada susunan formal dan prosedur teknis yang
digunakan, menurut Panofsky sangat diperlukan kemampuan mental, yang disebut dengan “intuisi
sintesis”, (Panofsky, 1955: 38). Namun semakin subyektif dan irasionalnya sumber interpretasi
tersebut, maka semakin diperlukan aplikasi dari korektif, seperti halnya pengalaman praktis yang
harus dikoreksi oleh suatu pandangan ke dalam cara di mana proses penggalian makna, menurut
kondisi sejarah yang bervariasi, obyek dan peristiwa dinyatakan oleh bentuk (sejarah gaya), tema
dan konsep dinyatakan melalui obyek dan peristiwa, maka intuisi sintetis yang dimiliki juga harus
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
dikoreksi oleh pandangan ke dalam cara di mana interior Ashram itu dibentuk, di bawah kondisi
sejarah yang bervariasi, tendensi umum dan esensial dari pikiran manusia dinyatakan melalui tema
dan konsep khusus, yang disebut dengan sejarah gejala cultural atau “simbol” dalam makna Ernst
Cassirer. Sejarah gejala cultural dalam penelitian ini akan ditinjau berdasarkan budaya masyarakat
Bali di mana objek lukis plafon tentunya ada fungsi dan pesan yang ingin disampaikan. Pada
penelitian ini peneliti akan menerapkan tiga langkah proses analisa yang didapat dari metode
ikonografi Erwin Panofsky yang akan di analisis berurutan dan akan diperkuat dengan teori-teori
bantu yang dianggap relevan yaitu teori dari Edmund Burke Feldmen, terkait dengan struktur dan
gaya/style seni yang dijelaskan dalam bukunya berjudul “Art as Image and Idea”. Teori ini
nantinya akan digunakan untuk mengkaji aspek dan unsur-unsur bentuk garis dan warna lukis
plafon interior Ashram Vrata Wijaya pada tahap deskripsi pra-ikonografi.
Kelebihan metode ikonografi ini dari metode yang lain menurut penulis menganggap
kemampuannya dalam membongkar bentuk dan makna yang dipakai untuk memahami secara kritis
bahasa rupa yang terselubung secara idiologi yang direproduksi oleh suatu sistem petanda. Sebagai
kasus dalam penelitian ini adalah lukis plafon pada interior Ashram Vrata Wijaya yang sarat
dengan muatan simbol pada setiap elemen lukis plafonya interiornya. untuk mengungkap makna
isi dibalik semua unsur lukisan plafon pada interior Ashram Vrata Wijaya tersebut dapat diurai
dengan analisis pre-ikonografi, ikonografis, yang telah dipaparkan pada di atas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh di lapangan akan dianalisis dengan pendekatan ikonografi
Panofsky, yang merupakan salah satu pendekatan sejarah yang sangat komperhensif untuk
bisa melihat fenomena penelitian dalam bidang seni rupa, yaitu lukis plafon pada interior
Ashram Vrata Wijaya dengan data-data yang dijumpai di lapangan antara lain Ashram
Vrata Wijaya terletak di jalan Siulan gang Nusa Indah no 4, Tohpati, Denpasar Timur.
Bangunan ini memiliki daya tampung 250 hingga 300 orang. Arsitekturnya terbagi dalam
tiga zona yaitu zona bawah, zona tengah dan zona atas. Ada pun lokasi Ashram Vrata
Wijaya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Pera Pulau Bali, (Sumber : www,
google earth.com, Th 2014)
Gambar 2. Site Plan Ashram Vrata Wijaya
(Sumber : www, google earth.com, Th 2014)
Kondisi Bangunan
Ashram Vrata Wijaya menurut fungsi dan aktifitas spiritualnya, terdiri dari tiga zona yaitu:
zona atas yang berfungsi sebagai tempat pemujaan yang ditempati khusus untuk Maha Guru
sebagai pemimpin jalannya ritual upacara, zona tengah adalah area persiapan untuk melakukan
persembahyangan dalam mengiringi prosesi ritual dan sebagai tempat bhakta melakukan doa atau
pemujaan. Zona bawah merupakan area paling bawah sebagai ruang terbuka yang terdapat
beberapa lingga seperti Lingga Sri Karnath, Lingga Nandini, Lingga Guru.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
302 Pembagian zona pada Ashram Vrata Wijaya digambarkan pada gambar 2a denah zona
dengan perbedaan zona antar zona yang lain dengan perbedaan warna. Zona atas digambarkan
dengan warna merah, zona tengah digambarkan dengan warna biru dan zona bawah digambarkan
dengan warna hijau. Sedangkan Lay out Ashram Vrata Wijaya pada gambar 2b dijelaskan dengan
area bawah atau area ruang luar yang terdiri dari beberapa Lingga yaitu: A) Sri Karnath, B)
Lembu Nandini, C) Lingga Guru, D)Beji Agung, Area tengah yang di tempati oleh : E) Graha
Guru, F) Graha Tapa, G) area Pemujaan, H) Area Altar Shiva sebagai sentra pemujaan utama, I)
Ruang Persiapan, J) Kori Agung, K) Kori Samping.
Gambar 3. Pembagaian zona (area) Pada Ashram Vrata
Wijaya, (Sumber : Dokumen Penulis 27 Maret 2013)
Gambar 4. Lay out Ashram Vrata Wijaya
( Sumber : Dokumen Penulis 27 Maret 2013)
Lukisan plafon pada Ashram Vrata Wijaya terletak pada bangunan wantilan yang terbagai
dalam sebelas prim adegan yang masing- masing adegan memiliki cerita yang saling terkait di
pasang mengelilingi semua plafon pada wantilan Ashram ini merupakan tempat pemujaan siwa
yang di lakukan setiap tanggal 10 dan tangal 13 setiap bulannya atau pada hari purnama dan tilem.
Bentuk plafon
Bentuk plafon pada bangunan wantilan dibuat dengan plafon ekspos berbahan kayu dan
penutup anyaman bambu untuk memunculkan kesan tradisi, pada plafon dipasang lukisan yang
akan di bahas sebagai onbyek penelitian pada kasus ini.
Gambar 5. Banguan
wantilan Ashram Vrata
Wijaya
( Sumber : Dokumen
Penulis 20 mei 2014) Gambar 6.
Letak lukisan plafon pada
Ashram Vrata Wijaya.
(Sumber: Dokumen Penulis
20 Mei 2014) Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
303 Pre-Ikonografi lukisan pada plafon interior arsitektur ashram vrata wijaya.
Ashram Vrata Wijaya dibangun sebagai tempat memperdalam ilmu spiritual yang
berlandaskan ajaran kesiwaan. Arsitektur dan interiornya bukan semata-mata hanya untuk
memenuhi kebutuhan fungsi akan tempat untuk menaungi kebutuhan aktivitas para bhakta (umat)
namun juga sebagai usaha penyelasaran hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam,
manusia dengan tuhan (siwa). Arsitektur dan interior banyak dibuat dalam bentuk dan motif hias
yang memunculkan makna dan keindahan salahsatunya lukisan pada plafonya memiliki pesan dan
tujuan tertentu tidak hanya sekedar penutup atap jika dieksplor secara mendalam.
Lukis pada plafon interior pada arsitektur Ashram Vrata Wijaya yang difokuskan dalam
penelitian ini hanya akan mengupas bentuk, fungsi dan makna lukisan plafonya yang memiliki
bentuk sangat unik yang tidak anya sekedar sebagai unsure pembentuk ruang semata. Berdasarkan
analisa awal dari paparan diatas dapat diputuskan bahwa lukisan pada plafon yang ada pada ashram
vrata wijaya ini terinfirasi dari bentuk plafon lukis wayang yang ada pada bangunan balai
kambang kerta gosa Kelungkung. Namun keunikan dan perbedaan yang membedakan lukis plafon
yang di ashram dengan di kerta gosa Kelungkung, berbeda pada bentuk dan cerita yang menjadi
tema lukisan pada masing plafon tersebut. Bentuk Lukisan yang dibuat pada plafon interior nya
memiliki bentuk yang menunjukkan usaha untuk menceritakan semua proses perjuangan bakta
dalam melaksanakan darma kewajibannya sebagai bakta dalam mebangun tenpat pemujaan yang
sekarang diberi nama Ashram Vrata Wijaya. Lukisan plafon pada ashram terbentuk dalam sebelas
prin yang saling berkaitan antar prim yang ada. Lukisan plafon dalam Ashram ini terpampang
pada plafon wantilan yang merupakan tempat pemujaan dalam Ashram Vrata Wijaya, Bangunan
Wantilan mengambil bentuk bangunan wantilan pada umumnya di Bali namun fungsinya yang
berbeda. Wantilan pada umumnya berfungsi sebagai fasilitas umum kegiatan masyarakat warga
banjar (Dwijendra, 2009:24). Berbeda dengan di Ashram Vrata Wijaya bangunan Wantilan sebagai
fasilitas kegiatan ritual dan aktifitas pembelajaran dalam Ashram. Lukisan plafon Ashram
mengambil bentuk dasar lukisan tradisi yang bercorak teknik lukis wayang kamasan begitu juga
pewarnaan dan material yang di gunakan. Bentuk-bentuk yang di gambarkan menceritakan jalan
cerita proses pembuatan ashram , di munculkan gambaran pigur-pigur manusia tidak berupa
gambar wayang sehinga hal ini yang membedakan lukisan kamasan dengan lukis plafon pada
Ashram Vrata Wijaya. Setiap prim dari sebelas prim menceritakan kejadian peristiwa demi
peristiwa dengan adegan sesuai dengan peoses yang terjadi saat pembangunan arsitektur dan
interior ashram itu sendiri.
Ikonografi Arsitektur dan Interior Ashram Vrata Wijaya
Pada tahapan ikonografi lukisan plafon pada interior Ashram Vrata Wijaya dikaji
berdasarkan tempat pemujaan siwa yang saat ini di beri nama Ashram Vrata Wijaya seperti yang
sudah dijelaskan diatas terdiri dari sebelas prim dengan adegan dan menggambarkan peristiwa
kejadian menjadi satu deretan peristiwa yang terjadi saat proses terbentuknya arsitektur ashran ini:
prim satu mengisahkan kejadian turunya pada dewa memberikan restu untuk membangun tempat
suci yaitu Ashram, prim dua mengisahkan bakta memohon petunjuk pada mahaguru mengenai
keinginan bakta akan membangun ashram, prim tiga mengisahkan bakta mendapat restu langung
saat bermeditasi yaitu restu tembat lahan untuk membangun ashram, prim empar menceritakan
bakta melakukan meditasi dilahan rencana tempat membangun ashram dan meyaksikan lingga yoni
tegak dihadapanya, prim lima menggambarkan bakta bergotong royong di tenpat lahan yang akan
di bangun ashram, prim enam masi menyambung cerita prim lima, prim tujuh menggambarkan
prosesi peletakan batu pertama pembangunan ashram, prim delapan menceritakan kejadian demi
kejadian hadirnya sosok naga dan empas saat proses pembangunan ashram, prim sembilan
menggambarkan semangat para bakta saat menempatkan batu sebagai lingga guru, prim sepuluh
menggambarkan proses pembentukan patung siwa, ganesa dan hanoman, serta prim sebelas sebagai
prim terahir menceritakan proses ditemukanya batu lingga nandini di pantai batu kelotok
kelungkung, saat ini menjadi lingga nandini yang di tempatkan diarea Asheram Vrata Wijaya,
terlihat pada gambar 4 diatas.
Interpretasi Ikonologi Kori Agung Ashram Vrata Wijaya
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
304 Tahapan ikonologi merupakan pemahaman mengenai makna intrinsik yang terdapat dalam
objek lukisan plafon dengan mengungkapkan prinsip-prinsip dasar yang kemudian dapat
menunjukkan perilaku sikap dasar dari sebuah bangsa atau masyarakat tertentu dalam hal ini bakta
ashram yang masih memegang teguh tatanan tradisi yang memperlakukan semua benda sebagai
mahluk hidup seperti arsitektur atau bangunan bukan sekedar benda mati semata, Keindahan
bentuk yang menghadirkan nilai-nilai merupakan wujud simbolisasi perjuangan dan pengorbanan
bakta saat membangun tempat suci ashram, Tentunya kerelijiusan dan kesakralan yang tersirat pada
lukisan plafon bangunan arsitektur dan interior Ashram Vrata Wijaya merupakan usaha sebagai
upaya menggambarkan kemahakuasaan dan kekuatan Shiva serta sifat-sifatnya sebagai jalan untuk
mempertebal keyakinan dan kepercayaan pemakai ruang atau umat (bhakta).
SIMPULAN
Ashram Vrata Wijaya dibangun sebagai tempat memperdalam ilmu spiritual
khususnya kesiwaan. Arsitektur dan interiornya bukan semata-mata hanya untuk
memenuhi kebutuhan fungsi akan tempat untuk menaungi kebutuhan aktivitas para bhakta
(umat) namun juga sebagai usaha penyelasaran hubungan manusia dengan alam. Lukis
pada plafon interior banyak dibuat dalam bentuk dan motif karya dua dimensi lukis
bercorak lukis wayang kamasan dilihat dari teknik pengerjaan dan bahan-bahan yang di
gunakan sebagai usaha memunculkan makna dan keindahan dimasa proses pebangunan
arsitektur dan interiornya jika dieksplor secara mendalam makna yang terkandung dalam
lukisan plafon ashram ini ingin mengabadikan semangat pengabdian yang tulus yang lahir
dari dalam diri bakra untuk menjadi bakta yang baik dan berbakti pada ajaran jenana bunda
siwa.
DAFTAR PUSTAKA
Dwijendra, Ketut Acwin.(2008), Arsitektur Bangunan Suci Hindu berdasarkan Asta
Kosala-kosali. Penerbit CV. Bali Media Adhikarsa dan Udayana University Press,
Denpasar Bali
Feldmen, Edmund Burke. (1967), Art As Image And Idea, Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs,
New Jersey.
Lauraen, Jaice Marcella. (2004), Arsitektur & Perilaku Manusia. Penerbit Grasindo Jakarta
Moleong, Lexy J. (2010), Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya. Bandung
Panofsky, Erwin, Meaning In The Visual Art, The Uneversity Of Chicago Press
(1979), The Meaning of art, Washington, Praeger Publ. Inc., New York
Sudana, I Nyoman Gede, (2005), Arsitektur Bertutur, Yayasan Pustaka Bali
ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA DESAIN HYBRID
BANGUNAN RETAIL DI KUTA BALI
Ida Ayu Dyah Maharani & Toddy Hendrawan Yupardhi
Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain,Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected], [email protected].
Abstrak
Arsitektur di Bali berkembang dengan pesatnya. Pengaruh-pengaruh dari luar Bali
membawa perubahan terhadap bentuk arsitektur Bali. Fenomena kebebasan dalam mengekpresikan
nilai-nilai estetika mendapatkan porsi lebih besar dan menekan unsur-unsur budaya lokal.
Permasalahan muncul ketika sesuatu yang sifatnya masih kokoh bertahan dengan sifat provan
(tradisional) bertemu dengan bentuk-bentuk profit (modern). Seolah-olah menghilangkan
regionalisme dan menampilkan internasionalisme (Prijotomo, 2008:17).
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
305 Penelitian ini bersifat deskriptif, pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling
di kompleks pertokoan Kuta Galeria-Bali. Pada komples bangunan retail ini, terdapat banyak jenis
bangunan hybrid yang unsur-unsur lokal Bali hanya sekedar menjadi tempelan yang ditunjukkan
melalui pemanfaatan ornamen-ornamen arsitektur tradisional Bali. Hasil penelitian ini adalah
bahwa bangunan retail pada obyek terpilih mayoritas “merasa kesulitan” untuk menampilkan
arsitektur lokal Bali dalam upayanya mewujudkan konsep hybrid, berpadu dengan arsitektur
modernnya. Pada bagian akhir penelitian disertai rekomendasi tentang pertimbangan dalam
mendesain bangunan retail dengan konsep hybrid yang menyatukan arsitektur modern dengan
arsitektur tradisional Bali.
Kata Kunci: arsitektur Bali, arsitektur modern, desain hybrid, bangunan retail
Abstract
In this era of globalization, architecture in Bali has grown rapidly. Influences from outside
Bali brings changes toward the form of Balinese architecture. A freedom phenomenon in
expressing aesthetic value gets a bigger portions and presses the elements of the local culture.
Problem arises when something that is still firm holding the natural (traditional) character meets
with other forms of profit (modern). As if eliminating the regionalism and displaying the
internationalism (Prijotomo, 2008:17).
This research is a descriptive research, taking several samples based on purposive sampling
in the shopping complex Galeria Kuta-Bali. In this retail building complex, there are many kinds
of hybrid building whose local Balinese elements are only stickers that are shown through the use
of Balinese architecture ornaments. This research lead to the conclusion that the retail building on
the selected objects "feels difficulty" in majority to display the local Balinese architecture in its
efforts to realize the concept of hybrid, combined with modern architecture. This research finding
formulation of recommendation about a consideration in designing a retail building with a hybrid
concept that unifies the modern architecture and the traditional one.
Key words: Balinese architecture, modern architecture, hybrid design, retail building
PENDAHULUAN
Pada dasarnya arsitektur Bali merupakan bangunan-bangunan yang selalu berupaya
berselaras dengan lingkungannya, dengan tetap mengikuti pedoman tradisi religius lokal.
Arsitektur Bali seolah menyatu dengan alam sebagai tempat tinggal makrokosmosnya yang
tertuang dalam konsep Tri Hita Karana dimana terdapat tiga unsur penghubung antara alam dan
manusia untuk membentuk kesempurnaan hidup yaitu jiwa, raga dan tenaga (Arrafiani, 2012:17),
agama Hindu, adat istiadat, kebudayaan serta kepercayaan dalam masyarakat, dimana hal ini
disebabkan masyarakat Bali yang selalu memegang teguh budaya adat istiadat. Arsitektur Bali juga
selalu berupaya berselaras dengan manusia sebagai alam mikrokosmos, seperti dengan adanya
beberapa aturan yang mengharuskan adanya penyesuaian antara ukuran detail-detail bangunan
dengan manusia penghuninya atau yang sering disebut dengan istilah asta kosala kosali.Namun
akhir-akhir ini dapat dilihat bahwa arsitektur Bali berkembang dengan pesat. Pengaruh-pengaruh
dari luar Bali yang memang tidak bisa dihindari membawa perubahan pada bentuk arsitektur Bali,
yang bisa dilihat terutama pada unsur-unsur yang terkait dengan budayanya atau kebiasaan turunmenurun yang telah berlangsung sejak lama, bentuk, warna bangunan yang bisa diperoleh dari
warna asli bahan bangunan yang digunakan, cat atau bahkan dari unsur dekorasinya
(Darmaprawira, 2002:125), bahan bangunan dan teknologi modern dari luar. Hal ini melahirkan
fenomena baru dimana nilai-nilai kebebasan dalam mengekpresikan estetika lebih mendapatkan
porsi besar dan menekan unsur-unsur budaya lokal. Desain arsitektur Bali dan juga interiornya, pun
berkembang semakin kreatif dan inovatif.
Walaupun mendapat pengaruh dari kebudayaan luar Bali sebagai wujud akulturasi budaya,
namun pada akhirnya rangkuman arsitektur Bali tersebut memiliki gaya tersendiri. Muncullah
permasalahan ketika sesuatu yang sifatnya masih kokoh bertahan dengan sifat provan (tradisional)
bertemu dengan bentuk-bentuk profit (modern), dimana masyarakat Bali masih sangat percaya
dengan kosmologi bertemu dengan bentuk-bentuk yang mengikuti form follows function. TeoriJurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
306 teori fungsionalisme dalam arsitektur terus berkembang, sejalan dengan perkembangan budaya
modern dan industri, yang lebih memberi penekanan pada fungsi dan teknologi (Sumalyo,
1997:65). Di abad ke-19 ketika pengaruh arsitektur Barat mulai aktif di tanah air, manusia
nusantara juga mulai menganggap karya seni (termasuk juga arsitektur) sebagai jawaban terhadap
pembebasan dari tantangan yang dilancarkan oleh alam. Padahal konsep asli yang dimiliki
Indonesia adalah penyesuaian dan pelarasan diri dengan alam (Mangunwijaya, 1995:150).
Sehingga terkadang menyebabkan terjadinya gap budaya. Ikhwanuddin (2005) dalam bukunya
Menggali Pemikiran Postmodern Dalam Arsitektur, mengemukakan pemikiran adanya sebuah
konsep arsitektur yang dapat dipergunakan untuk menciptakan karya arsitektur berkarakter budaya
lokal, yaitu konsep desain hybrid. Gagasan pokok konsep desain hybrid adalah mencampur atau
menggabungkan dua atau lebih kode arsitektur untuk kemudian dapat menghasilkan kode arsitektur
yang baru. Kode arsitektur yang dimaksud dapat berupa karakter, elemen atau pola, serta bisa
berasal dari sejarah, memori, tradisi atau masa kini.
Pengertian hybrid sendiri adalah penggabungan dua unsur yang berlawanan tetapi tetap
mempertahankan karakter unsur-unsur tersebut. Konsep hybrid telah diterapkan di berbagai negara
maju di berbagai belahan dunia ini. Dalam desain arsitektur perlu memperhatikan karakter budaya
lokal, agar karya-karya arsitektur tidak asing berada di suatu tempat dan agar suatu tempat
memiliki karakternya yang unik. Salah satu cara untuk mendesain karya-karya berkarakter lokal
adalah dengan menggunakan konsep desain yang tepat dan diantaranya adalah konsep hybrid.
Sehingga konsep desain hybrid, dengan gagasan pokoknya mencampur atau menggabungkan dua
hal yang berbeda untuk menghasilkan sesuatu yang baru, menjadi hal yang menarik untuk diangkat
sebagai topik penelitian ini.
Perkembangan hybrid di Indonesia merupakan bagian perkembangan desain postmodern
yang mulai menggejala dari akhir tahun 80-an hingga kini (Sachari, 2001:163). Desain postmodern
sendiri membawa nilai-nilai baru, terutama mengakui adanya pluralitas, perlunya menggali
kekayaan sejarah dan ekspresi bentuknya, melahirkan bentuk-bentuk yang lebih kompleks dan
model kerja kolektif (Widagdo, 2000:214). Upaya kreatif para arsitek untuk dapat mengawinkan
suatu konsep desain dari luar yang dalam hal ini adalah konsep desain modern dan budaya lokal
nyatanya menghasilkan karya hybrid yang masih lebih memunculkan karakter desain modern dan
menenggelamkan karakter desain lokalnya, dikarenakan masih banyak yang belum dapat
diterapkan dalam komposisi yang tepat. Investor asing yang mempekerjakan arsitek lokal,
seringkali menjadi dominan membawa pengaruh gaya desain-desain arsitektur di negara asalnya.
Penyebab lainnya, adanya arsitek lokal yang berkolaborasi dengan arsitek asing mencoba
menghadirkan unsur modern dalam desain yang bercita rasa lokal, namun justru menghasilkan
desain hybrid yang “tanggung” karena kurangnya pemahaman atas desain modern dan lokal itu
sendiri. Seharusnya pada bangunan hybrid, unsur-unsur lokal juga masih bisa terlihat atau tidak
hilang dari kehadiran modernitas itu sendiri. Namun kenyataannya, bangunan-bangunan hybrid
tersebut terlalu menonjolkan ”kemodernannya” dan menenggelamkan unsur lokalnya.
Tidak adanya suatu Peraturan Daerah setempat yang dapat mengatur batas-batas sejauh
mana modernitas dapat hadir dalam sebuah bangunan, juga dapat memperparah tenggelamnya
unsur-unsur arsitektur lokal. Seperti misalnya pada bangunan-bangunan retail yang terdapat di
sepanjang jalan Cihampelas - Bandung, yang dipilih sebagai obyek perbandingan desain hybrid
dalam penelitian ini, untuk menunjukkan kasus-kasus yang akan terjadi jika sebuah daerah tidak
memiliki suatu peraturan tentang wajah arsitekturnya yang diharapkan dapat mengcounter atau
membatasi sejauh mana arsitektur modern bisa tampil dalam sebuah desain hybrid bangunan retail.
Dengan tidak adanya peraturan ini, memang seorang arsitek atau desainer bisa mengeksplorasi ideidenya dengan lebih bebas dan menjadi sangat kreatif, namun yang terjadi justru menjadi
berlebihan, liar dan tanpa makna. Daerah yang berada pada Bandung kota ini, pada awalnya
terkenal dengan adanya toko-toko jeans. Dalam perkembangannya, di daerah ini juga muncul dan
mulai menjamur dengan keberadaan Factory Outlet, seperti halnya di sepanjang jalan Dago (Ir. H.
Juanda) Bandung. Hampir sama dengan kompleks pertokoan Kuta Galeria, toko-toko di
Cihampelas juga mayoritas menggunakan bentuk-bentuk analogi namun dengan tema superhero
barat seperti superman dan spyderman, dan tokoh-tokoh kartun dongeng lainnya seperti aladin dan
pinokio. Tokoh-tokoh ini ditampilkan sesuai dengan nama tokonya, seperti toko jeans Aladin yang
kemudian menampilkan bentuk analogi tokoh Aladin lengkap bersama putri Jasmine dan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
307 permadani ajaibnya. Di sebuah mal besar di Cihampelas, yaitu Cihampelas Walk (Ciwalk), juga
terdapat konsep analogi yang digunakan pada bangunan KFC (Kentucky Fried Chicken) pada
kompleks pertokoan tersebut yang menggunakan bentuk ember yang sering digunakan KFC untuk
mewadahi pembelian ayam goreng dalam jumlah yang banyak.
Gambar 1 Penerapan tema analogi di daerah Cihampelas
Sedangkan di Bali, walaupun sudah memiliki Peraturan Daerah Provinsi Bali no.5 tahun 2005
salah satunya disebutkan tentang wajah bangunan di Bali yang diharuskan bernafaskan pakempakem Arsitektur Tradisional Bali, namun dalam pelaksanaannya di lapangan terutama pada
bangunan-bangunan retail, unsur lokal hanya dijadikan sekedar tempelan saja, tanpa memahami
falsafah dan karakter yang terkandung dalam detail-detail tersebut. Hal ini bisa dilihat pada contoh
kasus yang diangkat pada penelitian ini yaitu bangunan-bangunan retail di kompleks pertokoan
Kuta Galeria. Ppada komplek bangunan retail ini banyak terdapat jenis bangunan hybrid yang
unsur-unsur lokal Bali hanya sekedar menjadi tempelan (terutama pada pemanfaatan ornamenornamen arsitektur tradisional Bali). Beda halnya dengan desain hybrid pada bangunan tempat
tinggal, sebagian besar penerapan konsep desain hybrid pada bangunan retail tidak berhasil dengan
baik. Padahal sebagai bangunan retail yang merupakan public space, justru bisa menjadi media
promosi tetap memperkenalkan bentuk arsitektur lokal Bali di dalam upayanya untuk selalu
beradaptasi dengan kemajuan jaman melalui desain modern.
Gambar 2. Pada bangunan (1) yang menggunakan bentuk kolom Yunani, bangunan (2) dan (4) yang
menampilkan ukiran Bali, bangunan (3) berupaya menampilkan ornamen-ornamen khas Bali, bangunan (5)
menampilkan atap berbentuk meru
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Adapun jenis penelitian dapat dikategorikan
sebagai fenomenologi yaitu mengamati fenomena yang terjadi di bidang arsitektur, khususnya
arsitektur bangunan retail di Kuta-Bali. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah
onbservasi, wawancara, dokumentasi dan kepustakaan.
Data-data disajikan dalam bentuk teks dan gambar hasil AutoCad dan diagram. Metode
analisisnya adalah metode deskriptif dengan memaparkan segala gambaran yang terkait dengan
obyek penelitian. Teori pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling yaitu
difokuskan di kompleks pertokoan Kuta Galeria-Bali. Pada kompleks pertokoan tersebut terbagi
menjadi beberapa tema yang diterapkan pada masing-masing blok bangunan, sehingga sample
diambil dari masing-masing pembagian tema tersebut.
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berbagai pemikiran tentang desain hybrid, seperti pemikiran Charles Jencks yang
menganggap desain hybrid sebagai salah satu karakter arsitektur postmodern yang merupakan
campuran atau turunan elemen-elemen yang saling bertentangan dan Kisho Kurokawa yang
memberi nama lain konsep hybrid sebagai konsep simbiosis yang menggabungkan atau
mencampur berbagai unsur terbaik dari budaya yang berbeda, baik antara budaya masa kini dengan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
308 masa lalu (diakronik), atau antar budaya masa kini (sinkronik), maka dapat ditarik suatu kesamaan
bahwa desain hybrid pada dasarnya merupakan penggabungan dua hal atau lebih yang sebenarnya
memiliki karakter yang berbeda, dalam proporsi keberadaan yang sama, sehingga karakter masingmasing pembentuknya masih terlihat seimbang keberadaannya. Jadi dalam desain hybrid tidak ada
salah satu bagiannya yang terlihat dominan. Penjelasan tahapan terbentuknya desain hybrid pada
bangunan retail di Bali adalah sebagai berikut :
Tahap pertama: eklektik atau quotation, dengan menelusuri dan memilih
perbendaharaan bentuk dan elemen arsitektur tradisional Bali dari jaman Bali madya yang
dianggap potensial untuk diangkat kembali. Asumsi dasar penggunaan elemen-elemen arsitektur
tradisional Bali madya adalah karena telah mapannya kode dan makna yang dimiliki sehingga
mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Tahap kedua: manipulasi dan modifikasi, dengan cara-cara yang dapat menggeser,
mengubah dan atau memutarbalikan makna yang telah ada. Dari beberapa teknik manipulasi yang
ada, yang digunakan yaitu :
Reduksi atau simplifikasi : penyederhanaan dengan mengurangi bagian-bagian yang
dianggap tidak penting. Hal ini dilakukan dengan dikuranginya penggunaan ornamen-ornamen
dari arsitektur Bali yang berlebih pada bangunan. Seperti yang dikatakan oleh Robert Venturi : less
is not more, less is a bore (Trachtenberg, 2002:534), maka ornamen yang digunakan bisa dalam
bentuk yang sudah distilir (berupa outline) dengan tetap memperhatikan makna-makna simbolik
yang dimiliki masing-masing ornamen tersebut.
Distorsi bentuk : perubahan dari bentuk asalnya dengan cara misalnya dipuntir (rotasi),
ditekuk, dicembungkan, dicekungkan dan diganti bentuk geometrinya. Pada beberapa bangunan
retail di Bali, hal ini ada yang dilakukan pada bagian bebaturan (kaki bangunan) yang diubah
bentuknya menjadi tangga selebar bangunan itu sendiri yang berfungsi untuk tempat bersantai
sejenak bagi pengunjung yang ingin beristirahat. Pada bagian badan bangunan juga ada yang
menggunakan bentuk lengkung seperti di Beachwalk Kuta, yang juga menggunakan atap dengan
bentuk dasar lingkaran berbahan ijuk. Bangunan dengan bentuk dasar lengkung tersebut bukan
merupakan bentuk dasar arsitektur Bali, dan ini meminjam bentuk-bentuk dari post-modern.
Disporsisi : perubahan proporsi tidak mengikuti sistem proporsi referensi (model). Pada
bangunan retail di Bali, teknik manipulasi ini yang paling sering digunakan. Misalnya dengan
membuat bagian bebaturan yang lebih tinggi dari proporsi semestinya dan saka (tiang atau kolom
penyangga) yang dibuat out of scale.
Tahap ketiga : penggabungan (kombinasi atau unifikasi), penyatuan beberapa elemen
yang telah dimanipulasi atau dimodifikasi ke dalam desain yang telah ditetapkan ordernya.
Elemen-elemen arsitektur Bali yang dimanipulasi atau dimodifikasi tersebut pada dasarnya
melahirkan bentuk-bentuk baru yang mengadopsi dari bentuk-bentuk arsitektur modern.
Desain Hybrid Pada Obyek Terpilih: Kompleks Pertokoan Kuta Galeria
Kompleks Pertokoan Kuta Galeria sebagai obyek dalam penelitian ini berada Kuta Central
Park di jalan Patih Jelantik-Kuta, sekitar 15 km dari pusat kota Denpasar dengan jarak tempuh
sekitar 30 menit. Fasade kompleks pertokoan ini menghadap ke utara (ke arah jalan Patih JelantikKuta). Entrance utama juga berada di sisi utara dari site. Sedangkan side entrance berada pada sisi
timur site, langsung menuju ke arah peralihan jalan Imam Bonjol menuju jalan raya Kuta.
Kompleks pertokoan ini terdiri dari 260 unit, dibangun sejak tahun 2002. PT Kuta Galeri Gemilang
sebagai pemilik sekaligus pengelolanya merupakan anak perusahaan Istana Group Bandung. Luas
per unitnya adalah 60m2 yang terdiri dari tiga lantai dengan ukuran per lantainya adalah 5x12m2.
Pada lantai keempat yaitu roof top, diijinkan oleh pihak pengelola untuk dimanfaatkan
sebagai lahan bangunan semi permanen. Kompleks ini terdiri dari beberapa tenant (penyewa),
dimana jenis-jenisnya adalah berupa hotel, salon, restoran, travel agent, model agency, toko kain,
toko pakaian dan aksesoris, toko furniture, toko peralatan rumah tangga, kantor pengacara, kantor
asuransi, kantor property, bank, tempat kursus hingga gereja. Para tenant ini ada yang berstatus
sebagai penyewa langsung ke pihak pengelola dan sebagai pemilik (namun beberapa di antaranya
ada yang menyewakannya lagi ke pihak berikutnya). Oleh pihak pengelola, penempatan tenant
berada pada beberapa blok bangunan yang dibedakan menjadi enam jenis tema yaitu valet,
broadway, promenade, etnik, techno dan ring. Pemilihan tipe dan bentuk bangunan bergantung
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
pada kondisi-kondisi publik yang bersifat khusus, lebih dari sekedar mengatasi kebutuhan civitas
bangunan dan kemungkinan-kemungkinan arsitekturnya di masa depan (Krier, 2001:163). Maka
jika tenant ingin melakukan perubahan fasade pada bangunan yang disewa atau dibelinya, masih
diperbolehkan sepanjang masih mengikuti tema yang sudah diatur pembagiannya per blok
bangunan.
PROMENADE
TECHNO
RING
ETNIK
PROMENADE
VALET
PROMENADE
BROADWAY
Gambar 3 Pembagian tema pada setiap blok bangunan
Tema Valet
Valet, menurut devinisinya adalah pelayan pria atau yang sering disebut sebagai kacung.
Tema ini diaplikasikan pada bangunan-bangunan di sisi utara kompleks pertokoan, karena pada sisi
utara terdapat lahan parkir yang dimanfaatkan untuk area loading dock (bongkar muat barang).
Jenis usaha yang berada di sisi utara memang merupakan jenis yang memerlukan area ini, seperti
circleK, toko alat-alat dan aksesoris lighting, toko kitchen set, toko pakaian, laundry yang memiliki
akses kerjasama ke hotel-hotel dan sebagainya Selain itu, pada sisi ini terdapat main lobby Kuta
Central Parking Hotel, sehingga area parkir ini pun digunakan sebagai drop area maupun parkir
kendaraan pengunjung hotel. Dari penjabaran tersebut, penentuan tema valet untuk area tersebut
tidak berhubungan dengan fasade bangunannya. Bentuk bangunan-bangunannya cenderung
bernuansa modern, dengan bentuk deretan jendela kotak berbahan modern seperti kaca, beratap plat
beton (karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pihak pengelola masih mengijinkan
pemanfaatan roof top untuk bangunan semi permanen). Nafas arsitektur Bali hanya bisa didapatkan
dari adanya karang boma pada bagian atas bangunan (yang tentu saja sangat berbeda dengan
kehadiran karang boma pada bagian atas pintu masuk ke pekarangan rumah yang memiliki arti
untuk mencegah masuknya niat jahat dan menjaga penghuni rumah) dan adanya patung penari Bali
(legong) pada bagian depan main lobby Kuta Central Parking Hotel). Sedangkan ornamen lainnya
cenderung mengambil analogi bentuk-bentuk alam seperti bentuk sinar matahari. Warna-warna
yang digunakan berimbang antara warna-warna lokal yang berasal dari warna bahan-bahan lokal
yang digunakan tanpa difinishing, dengan warna-warna hasil campuran seperti violet. Dalam hal
teknologi, lebih dominan menggunakan teknologi modern seperti yang terlihat pada struktur
bangunan yang digunakan untuk bangunan berlantai tiga. Jadi disini desain hybridnya masih
terlihat bahwa antara arsitektur lokal, dalam hal ini arsitektur Bali, masih terlepas dengan bentukbentuk arsitektur modernnya.
Gambar 4 Penentuan tema valet yang dilatarbelakangi adanya fungsi parkir
Tema Broadway
Broadway merupakan nama sebuah jalan raya di New York City yang membentang
sepanjang pulau Manhattan dan berlanjut hingga wilayah utara Westchester County, Amerika.
Broadway menjadi terkenal setelah adanya teater Broadway yang merupakan teater profesional
paling dikenal oleh publik Amerika dan yang paling banyak menghasilkan uang bagi para pemeran,
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
teknisi dan pihak lainnya.Bersama dengan teater West End dari London, teater ini menjadi rujukan
utama dari teater komersial kelas tinggi di negara-negara lainnya. Teater Broadway merujuk pada
sebuah pertunjukan, biasanya sebuah drama musikal, yang tampil di gedung dengan kapasitas
sekitar 500 tempat duduk. Pertunjukan-pertunjukan yang hadir di Broadway biasanya sukses
secara historis dan dianggap sebagai karya-karya yang pantas dikonsumsi khalayak ramai dan
bukan karya-karya yang “mendalam” secara artistik seperti yang diproduksi oleh teater-teater lain.
Pada kompleks pertokoan ini tema broadway diterapkan pada blok bangunan di sisi timur
dan barat dari main entrance. Dapat dijumpai kesamaan keberadaan signage yang mendominasi di
sepanjang jalan masuk Pertokoan Kuta Galeria ini menuju ke central parking yang berada di sisi
selatan kompleks. Signage sebagian besar berupa petunjuk arah menuju masing-masing tenant atau
toko yang dimaksud. Sedangkan untuk fasade bangunan, sama seperti fasade bangunan-bangunan
yang bertema valet, juga lebih didominasi dengan gaya dan teknologi arsitektur modern yang
menenggelamkan gaya arsitektur lokalnya. Terdapat beberapa bentuk analogi pada area ini seperti
payung besar yang lebih menyerupai jamur, bentuk bunga hingga patung setengah badan yang
menyerupai patung oscar (hal ini terkait dengan tema broadway yang berujung kepada pemberian
penghargaan oscar sebagai penghargaan tertinggi dalam dunia perfilman Amerika).
Gambar 5 Penerapan tema broadway pada area entrance pertokoan
Tema Promenade
Arti kata promenade itu sendiri adalah tempat untuk berjalan-jalan. Istilah ini memiliki
pengertian yang sama dengan esplanade (istilah dari Spanyol). Area ini biasanya merupakan area
pedestrian yang cukup lebar dan berada di tepi perairan seperti sungai, danau atau laut, namun bisa
juga berada di tengah perkotaan. Aktitivitas yang diwadahi tidak melulu berjalan kaki namun kini
lebih bervariasi seperti duduk-duduk, berekreasi, membeli dan menikmati es krim dan sebagainya.
Pada kompleks pertokoan ini, tema promenade diaplikasikan pada beberapa blok bangunan bagian
tengah. Sesuai pengertiannya, maka pada area ini kendaraan tidak bisa masuk dengan cara
meninggikan level pedestriannya beberapa centimeter jauh lebih tinggi daripada jalan utamanya,
dan juga menggunakan bahan yang berbeda yaitu paving. Sehingga, pengunjung pertokoan pada
area ini harus memarkir kendaraannya terlebih dahulu di sisi selatan kompleks pertokoan dan
kemudian berjalan kaki. Namun promenade di kompleks pertokoan ini tidak dijumpai adanya
fasilitas untuk duduk-duduk ataupun kegiatan rekreasi lainnya. Sehingga promenade di sini hanya
digunakan sebagai area berjalan kaki saja menuju tenant atau toko. Fasade bangunan tidak jauh
berbeda dengan dua tema sebelumnya, masih berupaya menampilkan bentuk arsitektur hybrid,
namun keberadaan antara arsitektur lokal dan modernnya masih terpisah. Arsitektur modern masih
mendominasi, sedangkan arsitektur lokal dalam hal ini arsitektur Bali masih dijadikan tempelan.
Gambar 6 Sesuai pengertiannya maka area promenade didominasi keberadaan pedestrian way
Tema Etnik
Pengertian etnik sendiri merujuk pada kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk
pada orang-orang yang berada di dalam kelompok tersebut. Dalam Ensiklopedi Indonesia
disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa dan sebagainya.
Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa
(baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, adat istiadat dan tradisi. Keberadaan etnik
hingga kini tetap diperlukan terkait dengan kebutuhan akan identitas-identitas. Meskipun terdapat
kesamaan-kesamaan dengan etnik lainnya, hal tersebut tidak menghalangi untuk tetap merasa
berbeda. Identitas etnik yang diperkuat , dimana identitas etnik makin kerap ditonjolkan dalam
kehidupan sosial seperti yang terjadi belakangan ini, menjadi kontradiktif dengan keberadaan
penjunjung globalisasi. Justru perkuatan identitas etnik lahir sebagai bentuk perlawanan atas
globalisasi. Di kompleks pertokoan ini, menurut pembagian temanya maka tema etnik diterapkan
pada area tengah (Everyday Smart Hotel). Sebagai budaya lokal, semestinya area ini mengangkat
tema etnik Bali. Namun disini tidak terlihat keberadaan pengaplikasian tema tersebut, kecuali pada
unsur-unsur dekorasi yang digunakan pada Everyday Smart Hotel seperti lukisan dindingnya,
lukisan taplak meja dan juga patung-patung penari Bali. Sehingga pada konsep hybrid area ini juga
masih dapat dilihat unsur-unsur pembentuknya yaitu arsitektur modern dan lokal Bali masih
berjalan sendiri-sendiri, dan arsitektur lokal masih sangat mendominasi keberadaannya,
mengalahkan arsitektur lokal Bali yang hanya dijadikan tempelan saja.
Tema Techno
Kata techno merupakan istilah singkat atau populer dari kata teknologi yang merupakan
pengetahuan terhadap penggunaan alat dan kerajinan, dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi
kemampuan untuk mengontrol dan beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Pengertian teknologi
yang tertua, sangat sederhana dan paling umum dikenal orang lain adalah sebagai barang buatan
manusia untuk membantu mempermudah kehidupannya. Maka teknologi memiliki tiga ragam dasar
yang sekaligus menunjukkan perkembangan historis yang berlainan. Ragam dasar tersebut adalah
alat, mesin dan automaton. Tema techno pada kompleks pertokoan Kuta Galeria ini diaplikasikan
pada blok sisi barat daya dari kompleks pertokoan. Pengaplikasian tema techno itu sendiri lebih
terlihat pada pemanfaatan bahan-bahan hasil teknologi itu sendiri seperti kaca yang dimanfaatkan
sebagai dinding penerima beban atap. Selain itu, terdapat bentuk-bentuk lengkung yang
pembuatannya juga memerlukan teknologi yang tidak biasa. Bentuk arsitektur lokal Bali hanya
terlihat pada ragam hiasnya, sehingga keberadaan konsep hybrid tidak berhasil.
Gambar 7 Penerapan tema techno dengan memanfaatkan bahan-bahan hasil teknologi
Tema Ring
Ring, secara harfiah berarti cincin dan dering. Namun tema ini lebih merujuk pada bentuk
ring yaitu lingkaran. Aplikasi tema ini hanya terlihat pada bentuk blok yang melingkar, namun
menjadi tidak konsisten karena di sisi selatan menggunakan bentuk lurus (jadi bisa dikatakan lebih
tepat jika area ini menggunakan tema ”setengah lingkaran” karena bentuknya yang tidak berupa
lingkaran penuh). Sedangkan fasade bangunan, masih didominasi dengan bentuk modern dengan
bentuk-bentuk detail arsitektur lokal Bali yang hanya sebagai tempelan, walaupun sudah terlihat
adanya upaya penempatan yang lebih tepat seperti penempatan karang boma di atas pintu masuk
AceHardware. Warna-warna yang digunakan lebih pada warna yang sudah menjadi ciri khas
tenant, seperti dominasi penggunaan warna merah yang memang merupakan warna ciri dari
AceHardware.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
Gambar 8 (1) Penerapan tema ring dengan menggunakan bentuk lingkaran pada bloknya,
2) Menggunakan bentuk lurus pada bagian belakangnya/selatan blok
Perbandingan Desain Hybrid Bangunan Retail Di Bali
Kedua bangunan retail di bawah ini (Mal Bali Galeria dan Ramayana Mal Bali) diangkat
sebagai pembanding dalam penelitian desain hybrid ini, untuk menunjukkan bagaimana sebaiknya
desain hybrid untuk bangunan retail di Bali diterapkan sesuai yang dimaksud dalam Peraturan
Daerah Provinsi Bali no. 5 tahun 2005 dengan tetap menampilkan wajah arsitektur lokalnya.
Mal Bali Galeria-Simpang Siur Dewa Ruci, Kuta
Kompleks pertokoan di Kuta ini berdiri sekitar tahun 1995, Terdiri dari tiga bangunan yaitu
Duty Free Shop, bioskop Galeria 21 dan malnya itu sendiri. Sebagai pemilik dan pengelola, PT Inti
Dufree Promosindo Jakarta, berupaya tetap menghadirkan nuansa arsitektur Bali pada bangunan
berlantai dua ini. Dalam hal bahan, mal ini lebih banyak menggunakan bahan lokal seperti bata,
paras, genteng hingga ijuk bagi penutup atapnya. Namun juga tidak tertutup terhadap penggunaan
bahan hasil olahan teknologi modern, yaitu adanya penggunaan kaca terutama pada daerah etalase.
Dalam hal tata ruang, mal ini memiliki ruang terbuka di bagian tengahnya, sehingga sebut saja
ruang ini menyerupai natah. Dalam hal proporsi, bangunan ini juga memenuhi tatanan Tri Angga
yang memiliki tiga bagian tubuh yakni kepala (atap), badan (dinding) dan kaki (bebaturan).
Bangunan retail ini masih menggunakan warna-warna asli dari bahan-bahan lokalnya. Teknologi
yang digunakan dalam bangunan ini jelas menggunakan teknologi modern untuk bangunan
berlantai dua dengan bentang yang sangat lebar.
bahan ijuk
menyerupai natah
(a)
Gambar 9 Mal Bali Galeria - Simpang Siur Kuta. Sumber (a) Wijaya, 2002: hal.81
Ramayana Mal Bali - Denpasar
Kompleks pertokoan di jalan Diponegoro, Denpasar ini terdiri dari tiga lantai. Sama halnya
dengan Mal Bali Galeria, bangunan ini juga menghadirkan nuansa arsitektur Bali. Dalam hal
bahan, mal ini banyak menggunakan bahan lokal seperti bata, paras hingga genteng bagi penutup
atapnya. Dalam hal tata ruang, mal ini memiliki ruang semi terbuka di bagian tengah yang berupa
void. Dalam hal proporsi, bangunan ini juga memenuhi tatanan Tri Angga yang memiliki tiga
bagian tubuh yakni kepala (atap), badan (dinding) dan kaki (bebaturan).
Gambar 10 Ramayana Mal Bali - Denpasar
Bangunan retail sebagai public space, dituntut untuk selalu bersifat mengikuti globalisasi,
yang berarti menghilangkan batas-batas nasionalnya. Namun di Bali, bangunan jenis ini dituntut
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
313 untuk tetap bisa menampilkan wajah lokalnya terkait dengan apa yang sudah diatur dalam
Peraturan Daerah Provinsi Bali no.5 tahun 2005. Hal ini memunculkan semacam dilema pada
desain sebuah bangunan retail, apakah akan memenuhi tuntutan globalisasi yang dapat diterima
oleh semua kalangan tanpa batas atau mempertahankan arsitektur tradisional Bali yang sarat akan
nilai-nilai tradisinya. Sehingga disinilah kemudian konsep hybrid pada bangunan retail dilahirkan.
Namun pada desain hybrid bangunan retail di Bali nyatanya ada yang berhasil menyeimbangkan
keberadaan unsur pembentuknya dan ada yang masih terlihat didominasi salah satu unsur
pembentuknya, yaitu arsitektur modern. Beberapa penyebab terjadinya dominasi salah satu
pembentuk desain hybrid bangunan retail di Bali sebagai berikut:
Khususnya pada obyek yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini yaitu Kompleks
Pertokoan Kuta Galeria, hal ini disebabkan dengan terikatnya tema yang telah ditetapkan pada
masing-masing blok, di mana beberapa di antara tema-tema tersebut sebenarnya masih bisa
dikaitkan ke arsitektur Bali. Promenade yang bisa diterjemahkan ke dalam bahasa natah. Valet
yang bisa diterjemahkan sebagai area pelayanan atau service area. Tema etnik bisa diterjemahkan
sebagai bentuk-bentuk kearifan lokal Bali. Namun juga terdapat beberapa tema yang tidak bisa
dikaitkan ke arsitektur Bali, seperti tema techno, broadway dan ring, yang kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa arsitektur modern. Namun sayangnya, keseluruhan tema masih dominan
diterjemahkan ke dalam bahasa arsitektur modern.
Sifat bangunan retail yang pada dasarnya merupakan public space, selalu dituntut untuk
mengikuti arus globalisasi. Apa yang menjadi kebutuhan fungsi aktifitas di dalamnya menjadi hal
yang selalu diutamakan (form follows function). Diikuti dengan apa yang menjadi trend bentukbentuk bangunan retail, apakah dalam hal interiornya, teknologi maupun bahan yang digunakan
pada bangunan retail tersebut. Sehingga disini, arsitektur lokal Bali hanyalah menjadi pelengkap
atau tempelan saja demi memenuhi kaidah-kaidah dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali no.5 tahun
2005.
SIMPULAN
Penelitian yang telah berjalan selama ini menghasilkan kesimpulan bahwa pada bangunan
retail pada obyek terpilih yaitu kompleks pertokoan Kuta Galeria ini mayoritas “merasa kesulitan”
untuk menampilkan arsitektur lokal Bali dalam upayanya mewujudkan konsep hybrid, berpadu
dengan arsitektur modernnya (walaupun ada beberapa bangunan retail lainnya di Bali yang
dianggap telah berhasil mengaplikasikan konsep hybrid). Adanya Peraturan Daerah Provinsi Bali
no.5 tahun 2005 dimana salah satunya disebutkan tentang wajah bangunan di Bali yang diharuskan
bernafaskan pakem-pakem Arsitektur Tradisional Bali, sangatlah sulit untuk diterapkan
sepenuhnya pada sebuah bangunan retail, yang sangat berbanding terbalik dengan bangunan rumah
tinggal dan sejenisnya.Bangunan retail sebagai public space, dituntut untuk selalu bersifat
mengikuti globalisasi, yang berarti menghilangkan batas-batas nasionalnya. Namun di Bali,
bangunan jenis ini dituntut untuk tetap bisa menampilkan wajah lokalnya. Hal ini memunculkan
semacam dilema pada saat membuat desain hybrid sebuah bangunan retail, apakah akan memenuhi
tuntutan globalisasi atau mempertahankan tradisi seperti halnya memilih antara profit ataukah
provan. Sehingga banyak sekali bangunan retail yang menampilkan konsep hybrid “banci”.
Berkonsep dominan arsitektur modern, namun menggunakan arsitektur lokal Bali sebagai polesan
dalam upayanya menyelamatkan diri dari ditolaknya rancangan atau desain bangunan karena tidak
mematuhi Peraturan Daerah Provinsi Bali no.5 tahun 2005, yang salah satunya berujung pada tidak
dikeluarkannya IMB.
Sesuai dengan tujuan akhir penelitian ini dan dengan telah dibandingkannya obyek
penelitian yang diangkat menjadi kasus penelitian tentang desain hybrid pada bangunan retail di
Bali (kompleks pertokoan Kuta Galeria) dengan beberapa bangunan retail lainnya yang dianggap
lebih berhasil dalam mewujudkan konsep hybrid, maka dapat dilakukan perumusan sebuah
rekomendasi, khususnya dalam hal bentuk bangunan, warna bangunan, bahan dan teknologi yang
digunakan, pola ruang yang diterapkan dan pemakaian unsur ornamen, yang dapat menjadi
pertimbangan dalam mendesain bangunan retail dengan konsep hybrid yang baik dimana desain
luar dalam hal ini arsitektur modern bisa menyatu dengan desain lokalnya yaitu arsitektur
tradisional Bali.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
314 DAFTAR PUSTAKA
Arrafiani, 2012. Rumah Etnik Bali. Griya Kreasi. Jakarta
Darmaprawira, Sulasmi, 2002. Warna Teori dan Kreatifitas Penggunaannya. Penerbit ITB.
Bandung
Krier Rob, 2001. Komposisi Arsitektur. Penerbit Erlangga. Jakarta
Mangunwijaya YB, 1995. Wastu Citra. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Prijotomo Josef, 2008. Pasang Surut Arsitektur Indonesia. Wastu Lanas Grafika. Surabaya
Sachari Agus & Sunarya Yanyan, 2001. Desain dan Dunia Kesenirupaan Indonesia dalam Wacana
Transformasi Budaya. Penerbit ITB. Bandung
Sumalyo Yulianto, 1997. Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Trachtenberg Marvin, Hyman Isabelle, 2002. Architecture from Prehistory to Postmodernity.
Harry N. Abrams Inc. New York
Widagdo, 2000. Desain dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta
Wijaya Made, 2002. Architecture of Bali. Archipelago Press. Singapore & Wijaya Words. Bali
-, 2011. Architectural Theory from the Renaissance to the Present. Taschen. USA
KAJIAN MAKNA TANDA-TANDA BUDAYA BALI PADA BALIHO KAMPANYE
CALON ANGGOTA DPD RI DAPIL BALI TAHUN 2014
I Wayan Agus Eka Cahyadi, Ni Ketut Rini Astuti
Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain,
Institut Seni Indonesia Denpasar.
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini berusaha memberikan penjelasan secara ilmiah mengenai fenomena
penggunaan tanda-tanda budaya Bali pada baliho kampanye calon anggota DPD RI di daerah
pemilihan propinsi Bali. Pada kampanye pemilu legislatif tahun 2014, baliho tetap banyak dipilih
para caleg sebagai media kampanye. Berbagai cara dan strategi dilakukan untuk menarik perhatian
para pemilik suara. Salah satunya dengan memanfatkan tanda-tanda budaya Bali pada tampilan
baliho.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tanda-tanda budaya Bali
ditampilkan pada baliho, dan makna dari tanda-tanda budaya Bali tersebut. Penelitian ini bersifat
deskriptif kualitatif, objek penelitian adalah baliho kampanye para caleg DPD RI di daerah
pemilihan Bali. Pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi dan studi pustaka.
Tahapan analisis: pertama data yang berhasil dihimpun dikelompokkan dan diidentifikasi
untuk memberikan penjelasan terhadap tanda-tanda budaya Bali yang ditampilkan. Kedua, dengan
menggunakan analisis semiotika untuk mengetahui makna yang terkandung dari penggunaan tandatanda budaya itu. Kesimpulan yang dihasilkan bahwa tanda-tanda budaya Bali tampil dalam
ilustrasi, teks dan warna baliho. Makna yang muncul dari penggunaan tanda-tanda budaya tersebut
adalah sebagai pencitraan diri para caleg sebagai orang Bali dengan identitas serta mitos yang
menyertai tanda-tanda itu.
Kata kunci: Baliho, makna, budaya bali
Abstract
This study provides a scientific explanation of the phenomenon of the use of signs of
Balinese culture on the campaign billboard of the candidate of Region Candidate Council
(DPD)Republic of Indonesia (RI) in the electoral province of Bali. In the 2014 legislative election
campaigns, many billboards were still chosen by the candidates as a media of campaign. Various
ways and strategies were conducted to attract the attention of voters. One of them is by using the
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
315 signs of Balinese culture on the display of the billboards. The purpose of this study is to determine
how the signs of Balinese culture displayed on the billboards and their meaning. This research is a
descriptive qualitative research, and the object is the billboard campaign of Region Candidate
Council (DPD) candidates in the electoral district of Bali. Data collection was conducted by
documentation and library research.
Stages of analysis: first, the collected data were grouped and identified to provide an
explanation of the signs of Balinese culture displayed. Secondly, by using semiotic analysis to
determine the meaning of cultural signs. The conclusion is that the signs of Balinese culture appear
in the illustrations, text and color of the billboards. Meaning that arises from the use of the signs is
that a self-image of the the candidates as a Balinese with the identity and myths that accompany
these signs.
Keywords: Billboards, meaning, Balinese culture
PENDAHULUAN
Bergantinya orde Baru ke Era reformasi menjadikan bangsa Indonesia berada dalam kondisi
yang sangat dinamis. Kemerdekaan berpendapat, berkumpul dan mengekpresikan diri adalah suatu
hal yang menjadi perhatian masyarakat. Sebagai negara yang dibentuk dari keberagaman, negara
ini menyadari akan perbedaan potensi dan masalah yang dimiliki setiap daerah yang ada di
Indonesia. Kebijakan otonomi daerah dianggap mampu menjawab pemerataan pembangunan di
daerah. Di tengah kebijakan tersebut, terjadi fenomena di mana kuatnya keinginan tiap daerah
menonjolkan identitas kedaerahan.
Pada era reformasi tiap-tiap daerah berlomba-lomba membangkitkan identitas regional
mereka. Di Bali cetusan-cetusan ‘Bali merdeka’, gerakan ‘ajeg Bali’ perjuangan otonomi khusus
Bali, penguatan desa pekraman, dan seterusnya adalah contoh-contoh bangkitnya identitas
kedaerahan di Bali. Serangan teroris yang dahsyat berturut-turut tahun 12 Oktober 2002 dan
oktober 2005 telah menimbulkan semacam krisis yang mendorong menguatnya identitas kolektif
masyarakat Bali untuk mengajegkan Bali.
Menguatnya identitas kedaerahan juga terasa pada ajang pertarungan politik pemilihan calon
anggota legislatif khususnya anggota Dewan Perwakilan Daerah di Bali. Sebagai wakil rakyat yang
berasal dari daerah, anggota DPD tentu merupakan perwakilan daerah dimana dia berasal. Mereka
bukan diusung oleh partai politik, sehingga tidak menuntut penggunaan atribut partai politik. Yang
mengemuka kemudian adalah para calon anggota DPD RI asal Bali banyak yang menampilkan
atribut atau tanda-tanda yang diambil dari budaya Bali. Tampilan caleg DPD RI akan dapat
menjadi cerminan kecendrungan karakter budaya masyarakat Bali.
Pemilihan caleg pada era sekarang yang dilakukan secara langsung, menuntut seorang caleg
mengenal identitas budaya masyarakat yang akan menjadi pemilihnya. Sistem “pemilihan
langsung” memberikan kesempatan yang luas kepada setiap warga negara yang memiliki hak suara
untuk menentukan wakilnya yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Sehingga efektivitas komunikasi budaya sangat penting untuk
diperhatikan. Bagaimana caleg harus mampu menarik perhatian dan juga mampu menarik simpati
para pemilik suara yang berasal dari budaya yang khas.
Berbagai cara dan strategi kampanye dilakukan para kandidat untuk mensosialisasikan diri
kepada masyarakat. Kampanye dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung (Sanyoto,
2009:11), langsung dengan turun langsung, blusukan, dari pintu ke pintu berdialog dengan
masyarakat pemegang hak suara atau tidak langsung yaitu melalui perantara media. Saat ini,
terdapat banyak alternatif pilihan media yang bisa digunakan para caleg. Salah satu media
kampanye yang banyak dipilih caleg adalah melalui media baliho. Pada pemilu tahun 2014, media
baliho masih merupakan media sosialisasi yang paling digemari para calon legislatif. Menurut
mereka, baliho merupakan media yang cukup efektif serta efisien dibandingkan media komunikasi
massa yang lain (detik news, 11-02-2014). Pujirianto (2005: 24) mendefinisikan baliho sebagai
media komunikasi grafis yang terbuat dari material yang cukup sederhana, dengan format relatif
besar berkontruksi kayu atau bambu. Pembuatan baliho bisa dibilang cukup ekonomis, dengan
jangkauan target sasaran yang sangat luas.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
316 Maraknya pemasangan baliho di sepanjang jalan, seakan menjadi penanda datangnya pemilu.
Suasana pemilu dapat dirasakan di hampir seluruh daerah di Indonesia. Tidak terkecuali di provinsi
Bali. Tebaran baliho-baliho kampanye politik menghiasi sudut-sudut kota hingga pedesaan. Di
tempat-tempat strategis, di persimpangan jalan dan tempat keramaian menjadi sasaran pemasangan
baliho. Berbagai strategi kreatif dalam penampilan visual baliho dilakukan untuk mencuri
perhatian. Di Bali ditemui adanya kecendrungan media baliho calon legislatif khususnya calon
anggota DPD, menampilkan tanda-tanda budaya Bali. Misalnya, penampilan potret diri dengan
mengenakan busana tradisional Bali, dan kadang disertai dengan sikap mencakupkan kedua tangan
di dada, dan masih banyak penggunaan tanda-tanda budaya Bali lainnya yang ditampilkan dalam
baliho kampanye para caleg di Bali.
Fenomena penggunaan tanda-tanda budaya Bali pada baliho kampanye ini tentu sangat
menarik ditelusuri untuk ditemui penjelasan secara ilmiah, mengenai tanda-tanda budaya yang
tampil pada baliho kampanye dan apa makna dari tampilnya tanda-tanda budaya pada baliho
kampanye calon anggota DPD RI di dapil Bali.
Identitas
Chris Barker dalam Cultural Studies: Teori dan Praktik (2000) menyebutkan bahwa identitas
diri bertalian dengan konsepsi yang kita yakini tentang diri kita, sementara harapan dan pendapat
orang lain membentuk identitas sosial. Berger dan Luckmann (1990) menyebutkan bahwa identitas
lahir melalui proses sosialisasi dan identifikasi yang terus menerus. Samovor, Porter dan McDaniel
(2010: 187) Identitas etnik mengacu kepada sekelompok orang yang memiliki kesamaan sejarah,
tradisi nilai, prilaku, asal daerah, dan bahasa yang didapat melalui warisan.
Bahwa identitas etnik lebih banyak mengacu kepada penanda kebudayaan. Identitas etnik
bisa menyatu dengan identitas budaya. Setiap etnik menempati lokalitas tertentu sebagai ruang
hidupnya. Akibatnya lokalitas sering dipakai label dan atau disatukan dengan nama etnik. Dengan
demikian etnik memiliki karakteristik budaya yang khas dan lokalitas tersendiri sebagai ruang
hidupnya. Karakteristik ini tidak saja untuk membedakan dirinya dengan etnik lain, tetapi juga
untuk menunjukkan orang kita, kelompok atau in-group. Sebalik diluar itu adalah orang luar,
kelompok atau out-group. Pembedanya adalah karakteristik budaya etnik dan asal kedaerahan.
Penguatan identitas etnik yang menyatu dengan identitas budaya dan lokalitas secara mudah bisa
memunculkan faham kekitaan dan kemerekaan (Atmadja, 2010)
Identitas Bali
Identitas suatu bangsa pada umumnya terbentuk karena karakteristik dan ciri khas
kebudayaannya (Sachari,1986, 65). Etnik Bali merupakan salah satu etnik yang tercakup di dalam
negara kesatuan indonesia. etnik Bali memiliki identitas, yakni kesamaan-kesamaan budaya dan
teritorialitas, yakni Pulau Bali. Bagus (2007:286) menggambarkan etnik Bali adalah sekelompok
manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, baik budaya lokal Bali maupun
kebudayaan nasional. Rasa kesadaran akan kesatuan kebudayaan Bali ini diperkuat oleh kesatuan
bahasa, yakni bahasa Bali, agama Hindu, dan kesatuan perjalanan sejarah dan kebudayaannya.
Supatra (2006: 92) menyebutkan bahwa identitas orang Bali yang paling mendasar adalah
keyakinan yang menjadi pedoman dan landasan hidup orang Bali, yakni agama Hindu. Keyakinan
terhadap agama Hindu inilah yang melahirkan berbagai macam tradisi, adat, budaya, kesenian, dan
lain sebagainya yang memiliki karakteristik yang khas, yang merupakan perpaduan antara tradisi
dan agama. Dalam kehidupan sehari-hari, karakteristik identitas kebudayaan Bali mewujudkan diri
dalam berbagai konsepsi, aktivitas sosial maupun karya fisik artefaktual orang Bali, termasuk di
dalamnya penataan ruang dan lingkungan tempat tinggal (Supatra, 2006)
Menunjukkan perbedaan kebudayaan adalah suatu strategi dalam menunjukkan identitas.
Rupa identitas Bali paralel dengan perubahan sosial politik di Indonesia sepanjang abad ke 20.
Secara umum perubahan sosial politik di Indonesia dibagi menjadi empat fase besar, yaitu era
kolonialisme (1848-1945), era kemerdekaan atau revolusi nasional atau era orde lama (1945-1965),
era orde baru (1966-1998) dan era reformasi (1998-sekarang).
Pada zaman kolonial, identitas kedaerahan atau kebalian sangat menonjol. Pada zaman
kemerdekaan atau revolusi nasional semangat nasionalisme berkobar kuat, membuat identitas
kebalian tergeser ke belakang. Semangat kebangsaan ini dipertahankan secara otoriter oleh
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
317 pemerintahan orde baru, akibatnya pada era reformasi yang ditandai dengan kebijakan otonomi
daerah membuat semangat kedaerahan mencuat secara radikal. (Putra, 2011, 34-35). Pada era
reformasi tiap-tiap daerah berlomba-lomba membangkitkan identitas regional mereka. Di Bali
cetusan-cetusan ‘Bali merdeka’, gerakan ‘ajeg Bali’ perjuangan otonomi khusus Bali, penguatan
desa pekraman, dan seterusnya adalah contoh-contoh bangkitnya identitas kedaerahan di Bali.
Serangan teroris yang dahsyat berturut-turut tahun 12 Oktober 2002 dan oktober 2005 telah
menimbulkan semacam krisis yang mendorong menguatnya identitas kolektif masyarakat Bali
untuk mengajegkan Bali.
Menurut Darma Putra, 2011, menguatnya kembali identitas etnik Bali mengingatkan kita
pada apa yang terjadi pada zaman kolonial namun mencuatnya identitas kebalian pada zaman
reformasi ini ditandai dengan multiple identitas, dimana walaupun mereka menonjolkan identitas
etnik, kebalian, orang Bali pada saat yang bersamaan adalah orang Indonesia.
Komunikasi Nonverbal
Secara sederhana, komunikasi non verbal didefinisikan sebagai komunikasi tanpa kata-kata
atau selain dari kata-kata yang kita pergunakan (Dedy Mulyana, 2005: 308). Paul Elman
menjelaskan bahwa fungsi dari lambang-lambang verbal maupun non verbal adalah untuk
memproduksi makna yang komunikatif. Secara historis, kode non verbal sebagai suatu multi
saluran akan mengubah pesan verbal melalui enam fungsi yaitu repetition, contradiction,
subtitution, regulation, accentuation, complementation (Sandjaja, 31-33). Jalaluddin Rahmat
mengelompokkan pesan-pesan non verbal menjadi : pesan kinesik, merupakan bentuk komunikasi
non verbal yang menggunakan gerakan tubuh, dan pesan Proksemik, merupakan pesan yang
disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang.
Dari berbagai literatur yang dipelajari, komunikasi non verbal dapat dikategorikan dalam
beberapa bentuk (Deddy Mulyana, 2005: 316-380) antara lain Eye Geze (gerakan Mata), Touching
(sentuhan), Paralanguage, Diam, Postur Tubuh, Kedekatan dan Ruang, Artifak dan Visualisasi,
Warna, waktu, Bunyi, Bau
Konsep Semiotika
Menurut Piliang (1998: 262) dalam Tinarbuko (2009:11) semiotika berasal dari kata Yunani
yaitu semeion, yang artinya tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign),
berfungsinya tanda dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu
yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat
disebut tanda. Karena itu tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya
peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua itu dapat disebut dengan
tanda.
Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) dalam Tinarbuko pula (2009: 12) tanda
adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas.
Dimana ada tanda, disana ada sistem. Artinya sebuah tanda (berwujud kata atau gambar)
mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang
penanda atau bentuk. Asfek lainnya disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna.
Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang
dipresentasikan oleh aspek pertama, selain itu dikatakan pula bahwa penanda terletak tingkatan
ungkapan dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar,
warna, objek dan sebagainya.
Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos
Spradley (1997: 122) menyebutkan bahwa makna denotatif adalah hal-hal yang ditunjukkan
oleh kata-kata (makna refrensial). Piliang (1998: 14) mengartikan makna denotatif sebagai
hubungan ekplisit antara tanda dengan refrensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif.
Sedangkan makna konotasi menurut Spradley (1997:123) adalah semua signifikasi sugesti dari
simbol yang lebih dari arti refrensialnya. Menurut Pilliang (1998:17), makna konotatif meliputi
aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi.
Sementara itu Roland Barthes dalam Noviani (2002:78) menyebutkan bahwa sign itu
memiliki makna denotatif, dan memiliki makna tambahan yang disebut makna konotatif. Denotatif
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
318 dan konotatif ini sebetulnya adalah istilah yang digunakan untuk mendiskripsikan hubungan antara
penanda dan petanda atau refrensinya. Denotasi digunakan untuk mendeskripsikan makna
definisional, literal, gamblang, atau common sense dari sebuah tanda. Sedangkan konotasi
mengacu pada asosiasi-asosiasi sosial budaya dan personal (ideologi, emosional, dan sebagainya)
sementara itu Stuart Hall dalam Noviani (2002: 78) pula, mengatakan bahwa makna denotasi
adalah makna literal dari sebuah tanda, karena makna literal tersebut dikenal secara umum, apalagi
diskursus visual diikutsertakan. Oleh karena itu makn adenotasi ini tidak melibatkan intervensi
kode. Konotasi di sisi lain mengacu pada sesuatu yang kurang pasti dan oleh karenanya maknanya
bisa berubah, dikonvensionalisasikan dan bersifat asosiatif.
Mitos dalam pemahaman Barthes adalah pengkodean makna dan niali-nilai sosial (yang
sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah (Tommy Christomy,
2004: 94). Ferdinand Comte membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional dan mitos
modern. Mitos modern ini dibentuk oleh dan mengenai gejala-gejala politik, oleahraga, sinema,
televisi, dan pers. Mitos adalah suatu jenis tuturan, sesutau yang hampir mirip dengan ‘re-presentasi kolektif’ di dalam sosiologi Durkheim. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia
membawakan pesan. Maka itu mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun gagasan,
melainkan suatu cara signifikasi suatu bentuk (Alex Sobur, 2004: 224).
Baliho
Baliho merupakan salah satu jenis media komunikasi grafis luar ruang (outdor). Media
outdor merupakan media yang dapat ditemukan dalam berabagai ukuran baik berupa poster, dan
papan-papan bercat, entah itu terbuat dari besi, kayu atau bambu, serta dihias dan dipajang di jalan
jalan dan atau pada tempat-tempat yang terbuka yang sekiranya cukup strategis untuk dilihat
sebanyak mungkin orang yang lewat. (Jetkins, 1997: 127). Istilah baliho digunakan untuk
menyebutkan jenis poster yang memiliki ukuran besar (billboard) yang menggunakan kontruksi
kayu atau bambu, yang bersifat temporer atau tidak untuk jangka waktu lama. (Pujirianto, 2005,
24). Ukuran Baliho yang digunakan dewasa ini sangat bervariasi tergantung pada ruang dimana
media ini dipajang.
Karakteristik baliho antara lain (1) ukuran dan dominasi; ukuran yang cukup besar, iklan ini
mampu mendominasi pemandangan dan mudah menarik perhatian, (2) warna, (3) pesan-pesan
singkat; karena dimaksudkan untuk menarik perhatian orang-orang yang bergerak, dan dilihat dari
kejauhan, maka kalimat atau pesan-pesan tertulis biasanya terbatas pada slogan singkat atau
sekedar satu nama yang dicetak dengan huruf-huruf besar dan mencolok, (4) zoning; diorganisir
dalam suatu daerah atau kota tertentu, (5) efek mencolok ; kemampuannya dalam menciptakan
kesan ingatan pemirsa melalui penebalan warna, ukuran, dan pengulangan (Jetkins, 1997: 128129). Pujirianto menyebutkan terdapat tiga unsur komunikasi grafis yang terdapat pada Baliho
seperti teks, ilustrasi dan warna (Pujirianto, 2005: 24).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengambil objek baliho-baliho kampanye para calon anggota DPD RI dapil
Bali, yang didokumentasikan pada masa kampanye pemilu legislatif tahun 2014. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis deskriptif-kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan observasi lapangan dan studi pustaka. Analisis data diawali dengan pengumpulan
data yang berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian, kemudian dianalisis lewat teori yang
dipilih dalam penelitian, lalu diperoleh kesimpulan yang menerangkan masalah. Dalam kajian ini
data tersebut berupa baliho-baliho calon anggota DPD RI dapil Bali, yang dipasang di seputar Bali.
Selanjutnya data tersebut diidentifikasi untuk menemukan tanda-tanda budaya Bali yang digunakan
pada baliho. Kemudian dengan pendekatan semiotika untuk menemukan makna dari tanda-tanda
budaya Bali pada media kampanye baliho calon anggota DPD RI dapil Bali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data calon tetap (DCT) yang diperoleh dari KPU (dct.kpu.go.id, 2013), pada
pemilu legislatif tahun 2014 di propinsi Bali terdapat 41 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Para kandidat berasal dari pelbagai kalangan dan berdomisili dari kabupaten-kabupaten di Bali dan
juga berasal dari luar Bali. Dari observasi lapangan terhadap baliho yang menjadi media kampanye
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
319 para caleg DPD RI dapil Bali, berhasil didokumentasikan sebanyak 25 baliho. Baliho-baliho ini
ditemui tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Bali. Sebelum pelaksanaan kampanye yang
dijadwalkan KPU, baliho-baliho mereka sudah mulai dipasang. Umumnya setiap caleg memiliki
satu desain baliho yang disebar di daerah-daerah di Bali, tetapi ada juga beberapa kandidat yang
memiliki dua atau lebih desain yang berbeda. Pemasangan dilakukan di tempat-tempat keramaian,
seperti di pinggir jalan protokol, bypass Ida Bagus Mantra, di persimpangan jalan, di pinggirpinggir jalan perkotaan hingga pedesaan. Dari 41 kandidat calon anggota DPD RI, yang
menggunakan media kampanye berupa baliho sebanyak 25 kandidat.
Gambar 1. Baliho kampanye calon anggota DPD RI Dapil Bali pada pemilu 2014
Tanda-tanda Budaya Bali Pada Baliho Kampanye Calon Anggota DPD RI
Dari data-data dokumentasi Baliho calon anggota DPD RI dapil Bali hampir semua baliho
menampilkan tanda-tanda budaya Bali. tanda-tanda budaya Bali dapat dilihat pada unsur-unsur
komunikasi grafis yaitu pada ilustrasi, teks dan warna.
Ilustrasi
Memperhatikan ilustrasi pada baliho calon anggota DPD RI dapil Bali dapat diketahui semua
baliho menampilkan foto diri caleg. Foto diri ditampilkan dengan pose close up dan medium close
up. Sikap badan menghadap ke depan, dengan pandangan lurus ke depan, wajah mengumbar
senyum tipis atau lebar, yang terkadang disertai dengan sikap kedua tangan dicakupkan di depan
dada atau melambaikan tangan kanan. Ada juga yang menampilkan mimik wajah serius dengan
tangan diam atau mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Penggunaan busana adat Bali
menjadi tanda yang paling banyak dipilih para caleg. Secara umum, busana adat Bali dapat
digolongkan menjadi tiga jenis yaitu busana adat agung, busana adat madya dan busana adat nista.
Pembedaan jenis busana adat Bali ini berdasarkan kelengkapan atribut serta fungsinya dalam
kegiatan adat di Bali. Pada potret diri caleg, busana adat madya paling banyak. busana adat madya
dapat diidentifikasi dari penggunaan ikat kepala yang disebut udeng bagi pria dan mengenakan
sanggul untuk yang perempuan. Orang Bali mengenakan busana ini untuk tujuan melakukan
persembahyangan ke pura atau menghadiri acara atau upacara adat. Udeng yang digunakan ada
yang terbuat dari kain dengan motif batik, kain putih dan kain tenun songket.
Selain mengenakan busana adat Bali ada juga caleg yang memilih mengenakan busana
formal, dengan mengenakan jas dan kemeja yang dilengkapi dengan dasi. Kemudian ada juga yang
menggunakan baju seragam kerja. Ada juga caleg yang menggunakan busana ala funk dengan
rambut berdiri kaku yang dikombinasikan dengan makeup tebal ala seniman pertunjukan rakyat
Bali. Pemilihan jenis busana yang dipakai caleg sangat penting untuk memudahkan calon pemilih
ketika menentukan pilihannya di bilik suara. Pada format surat suara KPU untuk pemilihan anggota
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
320 DPD RI, foto diri calon akan termuat di dalamnya. Sehingga foto diri adalah hal utama yang mudah
diingat oleh calon pemilih.
Disamping penampilan potret diri dengan pelbagai pilihan busana, banyak juga baliho yang
menampilkan tanda-tanda yang lain seperti sekuntum atau dua kuntum bunga jepun putih,
bangunan pura yang ditampilkan secara ikonik, grafis dengan motif kotak-kotak berwarna hitam
dan putih (poleng rwabineda) maupun kotak-kotak berwarna hitam, abu-abu dan putih (poleng
sudamala), dan grafis bermotif kotak atau garis-garis berwarna merah, putih, dan hitam (poleng
tridatu). Ada juga baliho yang menampilkan seekor ayam jago.
Di samping penggunaan tanda-tanda budaya Bali yang banyak ditampilkan pada baliho,
terdapat juga tanda-tanda dipakai secara umum seperti bendera merah putih, format surat suara
KPU, gambar paku sebagai alat coblos pada saat pemilihan atau gambar tangan kanan
menancapkan paku.
Teks
Pada teks, tanda-tanda budaya Bali tampil melalui penulisan nama caleg. Nama ditulis
lengkap berikut gelar akademis. Dalam tradisi Bali, ada istilah-istilah nama untuk mengidentifikasi
seseorang apakah dia golongan atau kasta brahmana, ksatria, wesiya, atau sudra. Seperti misalnya,
nama Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Nengah, Putu dll., untuk nama bagi orang dari keluarga
sudra. Kemudian nama dari keluarga brahmana seperti Ida Bagus, ida Ayu, serta gelar nama dari
keluarga kesatria seperti Cokorda, Anak Agung, dan nama dari keluarga wesiya seperti I Gusti dll.
Pada baliho sering ditemui penulisan kalimat dengan menggunakan bahasa Bali. misalnya
“coblos sane me-udeng poleng”, “nunas doa lan dukungan semeton Bali sareng sami”. Penggunaan
istilah-istilah dan konsep-konsep tradisi Bali juga sering dijumpai, seperti: Tri Hita Karana, Desa
Pekraman, Poleng, dsb.
Warna
Pada Baliho caleg warna yang dominan dipakai adalah warna merah, hitam dan putih. Ketiga
warna ini dalam tradisi Bali dikenal dengan sebutan warna Tridatu. Warna tridatu dianggap sebagai
simbol tiga kekuatan dewa trimurti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa.
Makna Tanda-Tanda Budaya Bali berdasarkan pendekatan Semiotika
TANDA-TANDA
BUDAYA BALI
Caleg
memakai
baju
kemeja/safari dengan ikat
kepala “udeng motif batik”
DENOTASI
Busana adat madya
untuk
kegiatan
agama dan tradisi
MAKNA
KONOTASI
Citra dan Identitas caleg sebagai
orang Bali yang menghargai
warisan agama dan tradisi
daerahnya
Citra dan identitas caleg sebagai
orang Bali yang menjaga dan
melestarikan warisan tradisi
Citra dan identitas caleg sebagai
orang
Bali
yang
taat
melaksanakan agama
Citra caleg nasionalis-modern
Caleg memakai baju kemeja
dengan ikat kepala “udeng
berbahan kain songket”
Caleg mengenakan baju
safari putih dengan ikat
kepala “udeng putih”
Caleg mengenakan kemeja
dan dasi serta dilengkapi jas
Grafis motif kotak-kotak
berwarna hitam-putih
Busana adat madya
untuk kegiatan adat
Grafis motif kotak-kotak
berwarna hitam, putih dan
abu-abu
Kain
sudamala
poleng
Identitas etnik Bali
Grafis motif kotak-kotak
berwarna merah putih dan
hitam
Bunga jepun
berwarna
Kain poleng tridatu
Identitas etnik Bali
Bunga jepun
Bunga yang identik dengan Bali
Busana adat madya
untuk
kegiatan
keagamaan
Busana
formal
nasional
Kain poleng rwa
bineda
Sebagai identitas etnik Bali
MITOS
Spirit anak muda
dan dinamis
Spirit wibawa
raja dan
bangsawan
religius
Karakter pejabat
negara
Bali yang sakral,
dan memiliki
energi spiritual
Bali yang sakral,
memiliki energi
spiritual dan
harmonis
Bali yang sakral,
dan memiliki
energi spiritual
Bali yang indah
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
321 putih
Pura
Peta pulau Bali
Caleg berbusana ala punk
Foto caleg mengenakan
kemeja dan peci
Teks berbahasa Bali
Teks, “I Wayan, I Made,
Nyoman dll.
Warna merah, putih dan
hitam
Bali
dan harmonis
Bali tempat yang
suci, indah dan
damai
Gambar bangunan
pura
yang
dilengkapi
meru
bertingkat 11
Gambar peta pulau
Bali
Caleg dengan gaya
rambut
berdiri
dengan baju kaos
serta
make-up
tradisioanal Bali
Caleg mengenakan
busana
pejuang
kemerdekaan
Identitas religi orang
sebagai umat hindu Bali
Ungkapan
berbahasa bali
Nama khas Bali
Identitas sebagai etnik Bali
Orang Bali
memiliki
semangat
perjuangan
“Ajeg” Bali
Identitas etnik Bali
“Ajeg” Bali
Warna tridatu
Identitas warna Bali
Kesakralan
Identitas wilayah Bali
Citra/identitas caleg sebagai
orang
Bali
yang
terbuka
terhadap pengaruh budaya asing
Citra/identitas diri caleg dengan
semangat nasionalisme
Pulau tempat
wisata
Orang Bali yang
kokoh dan
dinamis
Tabel 1. Makna tanda-tanda budaya Bali
SIMPULAN
Tanda-tanda budaya Bali pada Baliho caleg DPD RI dapil Bali terdapat pada unsur-unsur
komunikasi grafis baliho yaitu pada ilustrasi seperti foto diri dengan busana adat madya, busana
modern jas dan dasi, busana kerja, gaya punk, gambar bunga jepun, bangunan pura, grafis poleng
rwabineda, sudamala, dan tridatu. Pada teks, seperti penggunaan kalimat berbahasa Bali,
penggunaan nama khas Bali dan konsep-konsep Bali. Pada warna adalah penggunaan warna Hitam,
putih dan merah yang dalam tradisi Bali disebut warna tridatu. Makna tanda-tanda budaya Bali
pada Baliho memiliki makna denotasi sebagai tanda untuk menunjukkan kondisi para caleg sebagai
orang Bali. Makna konotasinya, dengan penampilan tanda-tanda tersebut adalah sebagai pencitraan
caleg yang memanfaatkan makna tanda-tanda budaya Bali sebagai citra dan identitas orang Bali
Mitos, menegaskan mitos tentang citra Bali sebagai tempat yang damai, harmonis, indah,
sakral. Dengan para penghuninya yang taat menjalankan warisan leluhur, berwibawa, memiliki
jiwa pengabdian, pejuang dan dinamis terhadap pengaruh luar. Penggunaan tanda-tanda budaya ini
merupakan suatu strategi komunikasi dari para caleg dalam menunjukkan citra diri sebagai caleg
yang berasal dari Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, N.B. 2010. Ajeg Bali: Gerakan Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS
Bagus, I.G.N. 1985. “Hubungan Patronase dalam Masyarakat Bali Dewasa ini, Sebuah Catatan
Kecil”. dalam Bahasa Sastra Budaya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Berger, P.L. dan Luckmann, T. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Sebuah Risalah Tentang
Sosiologi Pengetahuan. Jakarta:LP3ES
Christomy, Tommy.2004. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia
H. Hoed, Benny. 2011. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Jetkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta: Erlangga
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Piliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang milenium
ketiga dan Matinya Posmodernisme.Bandung: Penerbit Mizan
Pujiriyanto. 2005. Desain Grafis Komputer. Yogyakarta: Andi Offset
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
322 Putra, I Nyoman Darma. 2011. “Metamorfose Identitas Bali Abad ke-20 dan Kontribusinya dalam
Pembentukan Kebudayaan Bangsa”, dalam I Nyoman Darma Putra dan I Gde Pitana (ed.)
Bali dalam Proses Pembentukan Karakter Bangsa. Denpasar: Pustaka Larasan.
Sandjaja, Sasa Djuarsa. 2005. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sachari, Agus.1986. “Humanisme Desain”, dalam Agus Sachari (ed.) Seni Desain dan Teknologi.
Bandung: Penerbit Pustaka.
Samovar, L.A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. 2010. Comunication between Cultures (7th Edition
ed). Boston, USA: Wadsworth Cengage Learning
Sanyoto, Sadjiman Ebdi. 2009. Metode Perancangan Komunikasi Visual Periklanan. Yogyakarta:
dimensi Press.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda
Spradly, James P. 1997. Metode Etnografi. Penerjemah Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Supatra, I.N.K. 2006. Sigug, Karakter Bali Modern & Pudarnya Identitas Orang Bali. Denpasar:
Pustaka Bali Post.
Tinarbuko, Sumbo, 2009, “Semiotika Iklan Visual” dalam Widyatmoko ed., Irama Visual Dari
Tukang Reklame Sampai Komunikator Visual, Yogyakarta: Jalasutra).
POTRET KOMUNIKASI SKAA JANGER KOLOK
DI DESA BENGKALA BULELENG
Nyoman Lia Susanthi, Ni Wy. Suratni
Program Studi TV dan Film, FSRD, Program Studi Seni Pedalangan FSP
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected]
Abstrak
Unsur utama tari Janger adalah menari dan bernyanyi mengikuti irama. Namun di Desa
Bengkala, Buleleng Bali, tari Janger dibawakan oleh warga tuna rungu (kolok). Mereka tergabung
dalam kelompok kesenian (skaa) Janger Kolok. Keunikan komunikasi nonverbal tersebut menarik
peneliti untuk mengamati bagaimana teknik komunikasi nonverbal serta ingin mengetahui
misrepresentasi yang timbul dari komunikasi nonverbal tersebut. Membedah rumusan masalah
tersebut, maka peneliti menggunakna teori Kinesik dan teori Simbolik dengan menggunakan
metode kualitatif dan pendekatan etnografi. Dari metode penelitian tersebut ditemukan bahwa
simbol bahasa isyarat desa Bengkala merupakan ciptaan warga kolok yang tersusun lama, menjadi
kesepakatan warga desa setempat dan digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Teknik komunikasi
saat latihan menggunakan model peraga dan teknik melempar batu oleh pelatih sebagai tanda
“salah” yang telah menjadi kesepakatan bersama (legisigns). Dari proses latihan hingga
pementasan, pesan kinesik penari kolok adalah sikap bahagia, berminat, dan responsif.Saat
pementasan,penari berpatokan pada arahan dari pemain kendang yang memberikan aba-aba tangan
kanan ke atas. Dari tiga babak, penanda (signifier) dilihat dari aba-aba tangan kanan ke atas,
sedangkan pertanda (signified) berarti "mulai". Dalam garapan tari janger kolok terdapat
kontinuitas adegan. Setiap adegan 1 adalah tanda untuk bersiap-siap dan akhir adegan ditandai
dengan gerakan laki-laki menunduk dan menghembuskan nafas.
Kata kunci: Janger Kolok, Komunikasi, Bahasa Nonverbal, Bengkala
Abstract
The main elements of Janger dance is dancing and singing to the rhythm. But in the
Bengkala village, Buleleng, Bali, Janger dance is performed by deaf people or in Bali known as
kolok. They are members of the art group (skaa) Janger Kolok. The uniqueness of nonverbal
communication is attracting researchers to observe how nonverbal communication techniques and
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
323 want to know misrepresentation of the non-verbal communication. According to the problem, the
researcherused the symbolic theory, kinesik theory and qualitative and ethnographic approaches.
From these studies it was found that sign language symbols in Bengkala village was created by
deaf peoplein Bengkala village, into an agreement of local villagers and has been used as an dialy
language. Communication techniques to train kolok dancers used visual models and stone
throwing techniques by coaches as the symbol "wrong" who had been a mutual agreement
(legisigns). According to the practice process of kinesik message that reflected the attitude of kolok
dancers was happy, interested, and responsive. In the performance process, the dancers based on
the direction of drum players who always gave the upper right hand cue. Of the three rounds,
markers (signifier) seen from the upper right-hand cue, while the sign (signified) which means
"start". In Janger kolok dance there was continuity scene. Each first scene was a sign to get ready
and the final scene was marked by the movement of men head down and exhalation.
Keywords: Janger Kolok, Communication, Nonverbal Language, Bengkala
PENDAHULUAN
Tari Janger merupakan tari pergaulan masyarakat Bali yang berawal dari budaya agraris
sebagai hiburan setelah lelah bekerja. Sambil menari mereka melantunkan lagu yang di Bali
dikenal dengan nama gending dari ritual tari sakral Sanghyang sebagai gending penolak bala.
Gending Janger pun berkembang menjadi gending kerakyatan. Sifat tari yang lincah dan ceria
menjadikan tari ini sebagai tari berpasangan yang dibawakan oleh para truna-truni (pemudapemudi) Bali. Materi inti tari Janger adalah menari dan menyanyi yang mengikuti irama gamelan
(Suartaya, 2011). Menurut Sukraka (2009) nama Janger muncul dari peniruan bunyi (anomatope)
yang berasal dari lagu penari yang dinyanyikan berulang-ulang.
Namun uniknya tari Janger yang unsur utamanya adalah menari dan menyanyi mengikuti
irama ini mampu ditarikan oleh kelompok atau skaa Janger yang memiliki keterbatasan fisik yaitu
tuna rungu. Mereka tergabung dalam kelompok seni (skaa) Janger Kolok. Kolok merupakan bahasa
Bali yang berarti tidak bisa bicara. Skaa Janger Kolok ini berasal dari desa Bengkala, Kecamatan
Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, tepatnya di utara Pulau Bali. Jumlah penduduk di Desa
Bengkala mencapai 2.135 jiwa yang terdiri dari 1.041 laki-laki dan 1.094 pesempuan. Penduduk
Desa Bengkala sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani. Cikal bakal terbentuknya
skaa Janger Kolok ini sama dengan awal mulanya lairnya tari Janger. Penduduk Bengkala yang
waktu ini haus akan hiburan menjadikan mejangeran sebagai hiburan meraka setelah lelah bekerja.
Pendiri skaa Janger Kolok pada tahun 1969 sampai 1970-an oleh Wayan Nedeng (Almarhum).
Beliau adalah penduduk asli Desa Bengkala yang memiliki kondisi fisik normal. Keunikan tari
Janger Kolok adalah menari dengan menggunakan bahasa isyarat (Pertiwi, 2011).
Keberhasilan yang dapat diambil dari skaa janger ini adalah mampu menarikan tari Janger
walaupun memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi. Komunikasi menjadi media yang sangat
ampuh untuk menyampaikan pesan dan infromasi dalam menjalankan kehidupan sosial. Tanpa
komunikasi manusia akan mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan yang lainnya. Bagi
penderita tuna rungu mereka lebih menggunakan cara komunikasi yang berbeda dengan manusia
normal. Jenis komunikasi yang digunakan adalah komunikasi non verbal, yaitu komunikasi dengan
menggunakan bahasa isyarat.
Dari fenomena tersebut maka menarik peneliti untuk mengamati metode komunikasi yang
digunakan anggota skaa Janger Kolok dalam proses berkesenian. Sehingga dapat mendeskripsikan
keunikan bahasa isyarat yang berlaku bagi kelompok ini. Penelitian ini penting dilakukan agar
memberi kontribusi ilmu bagi penderita tuna rungu yang ingin belajar tari Janger, bisa mengikuti
metode yang diterapkan di Desa Bengkala. Selain itu dengan melakukan penelitian ini dapat
sebagai pengayaaan bahan ajar untuk mata kuliah ilmu komunikasi yang mana salah satu sub
bahasannya adalah bahasa non verbal. Melalui penelitian ini makan dapat menjadi gambaran kasus
sebagai bahan contoh dari komunikasi non verbal dalam kehidupan sosial. Khususnya bagi
pengajar di perguruan tinggi seni, contoh nyata dari hasil penelitian ini akan menjadi sumbangan
besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang komunikasi.
Untuk mengetahui bagaimana potret komunikasi skaa Janger Kolok di Desa Bengkala,
Buleleng, maka peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Teknik
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
324 pengumpulan data sebagain besar akan diperoleh dari wawancara mendalam dengan informan
kunci. Pengamatan penting lainnya adalah peneliti memperhatikan lingkungan, bahasa tubuh,
mimik dan suasana wawancara. Dengan konsep komunikasi yaitu teori Kinesik dan teori
Semiotika. Kedua teori ini akan mampu mengungkapkan teknik-teknik komunikasi yang digunakan
skaa Janger Kolok. Pertama diamati terlebih dahulu kinesik dari para seniman Janger Kolok setelah
itu dengan teori Semiotik maka menganalisis tanda/simbul yang muncul selama proses
berkesenian. simbul-simbul kunci ini bisa menjadi acuan untuk merumuskan penanda dari tari
Janger Kolok ini. Hasil analisis akan mampu sebagai pegangan bagi para tuna rungu yang ingin
belajar tari Janger untuk mempelajarinya.
Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan teknik-teknik komunikasi
nonverbal skaa Janger Kolok di Desa Bengkala Buleleng dan mengetahui hambatan yang dihadapi.
Keterbatasan fisik dalam berkesenian bagi penderita tuna rungu akan menemuni beberapa
hambatan.
METODE PENELITIAN
Untuk mendeskripsikan komunikasi yang digunakan Skaa Janger Kolok ini maka peneliti
akan menggunakan metodologi kualitatif. Fenomena sosial yang terjadi di Desa Bengkala tidak
bisa diukur dengan kuantifikasi, peneliti memerlukan strategi untuk dapat mengungkapkan maknamakna yang tersembunyi hingga bisa muncul dalam peristiwa tersebut. Penelitian ini dilakukan di
Desa Bengkala Kabupaten Buleleng, Bali. Proses pengumpulan data, peneliti secara langsung
terjun kelapangan, karena mengamati keberagaman dan kemajemukan budaya yang
melingkupinya. Dalam memecahkan rumusan masalah tersebut digunakan pendekatan etnografi.
Metode ini dianggap sangat tepat untuk dapat memberi gambaran lebih alamiah pada saat proses
berkesenian para seniman kolok ini. Pemahamman terhadap fenomena tidak cukup hanya menarik
kesimpulan terhadap sebab akibat suatu peristiwa tanpa memperhatikan aspek internal individu
sehingga kita akan bisa memahami alam pikiran individu dalam menjalankan kehidupannya (Have,
2004).
Etnografi memposisikan peneliti bertugas menyimak dan melukiskan realitas tanpa harus
mengintervensi realitas tersebut, sehingga akan mendapatkan data senatural mungkin terhadap
realitas tersebut. Untuk itu penerapan metode ini memang membutuhkan waktu lama untuk
menyerap keseharian objek yang diteliti, namun dengan asumsi bahwa peneliti tinggal di Bali dan
juga pernah menetap di wilayah Kabupaten Buleleng, maka pengalaman peneliti dapat juga
digunakan preresearch. Peneliti bertugas menangkap nuasa, konteks dan temuan non verbal.
Etnografi sesungguhnya berasal dari ilmu antropologi yang ingin melihat suatu kejadian secara
holistik. Begitupula metode etnografi komunikasi juga ingin mengamati dengan baik keseluruhan
realitas sosial yang terjadi.
HASIL DAN PEMBAHASAN\
Bengkala Memiliki Satu-satunya Sekolah Inklusi di Asia
Tingkat pendidikan masyarakat Desa Bengkala sudah meningkat baik karena Desa Bengkala
sudah memiliki sarana pendidikan yaitu 1 Taman Kanak-Kanak (TK) dan 2 Sekolah Dasar (SD).
Dari 2 SD yang ada di Bengkala, yaitu SD N 1 Bengkala dan SD N 2 Bengkala, SD N 2 Bengkala
merupakan satu-satunya sekolah inklusi di Asia dan salah satu dari 3 sekolah inklusi yang ada di
dunia. Inklusi merupakan konsep pendidikan yang dirancang sangat efektif dengan tujuan
memberikan hak kepada setiap orang tanpa terkecuali untuk mengeyam pendidikan. Termasuk anak
dengan kebutuhan khusus (ABK) seperti bisu tuli di Desa Bengkala berhak bersekolah yang sama
dengan anak-anak normal. SD N 2 Bengkala dijadikan sekolah inklusi (khusus) pada 19 Juli 2007.
Sejak saat itu SD N 2 Bengkala yang merupakan sekolah reguler (biasa) mulai menerima anak
dengan kebutuhan khusus serta menyediakan sistem layanan pendidikan yang juga menyesuaikan
dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK). ABK melakukan penyesuaian terhadap
kurikulum, pembelajaran, penilaian serta sanara prasarana (Sumber: Wawancara Kepala Desa
Bengkala dan I Ketut Kanta).
Bengkala Memiliki Bahasa Isyarat Ciptaan Sendiri
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
325 Desa Bengkala dengan jumlah penduduk 2819 jiwa yang terdiri dari 43 jiwa kolok, memiliki
keunikan dalam penggunaan bahasa isyarat. Bahasa-bahasa isyarat yang beredar dan digunakan
untuk berkomunikasi antara masyarakat sesama kolok atau masyarakat kolok dengan yang normal
adalah menggunakan bahasa isyarat lokal. Tanda-tanda bahasa isyarat di Desa Bengkala tercipta
dari penduduk kolok. Tanda-tanda ini tidak sama dengan ini Sistem Isyarat Bahasa Indonesia
(SIBI) dan American Sign Languge (ASL), karena SIBI dan ASL merupakan hasil rekayasa orang
normal yang menciptakan tanda-tanda kedalam bahasa isyarat. Sementara bahasa isyarat Bengkala
dikembangkan oleh penduduk bisu tuli Bengkala itu sendiri (Sumber: Wawancara Kepala Desa
Bengkala dan I Ketut Kanta). Bahasa isyarat lokal desa Bengkala sangat sederhana, sehingga
sangat mudah dipelajari dalam waaktu singkat. Sehingga dalam komunikasi sehari-hari, penduduk
kolok tidak kesulitan menggunakan bahasa isyarat untuk berkomuniksai, karena uniknya warga
yang tidak kolok fasih berkomunikasi dengan bahasa isyarat lokal Bengkala. Mereka lebih suka dan
sering menggunakan bahasa isyarat lokal untuk berkomunikasi. Delapan puluh persen masyarakat
Bengkala sudah menguasai bahasa isyarat lokal.
Janger Kolok Desa Bengkala: Dulu dan Sekarang
Cikal bakal lahirnya paguyuban Janger Kolok di Desa Bengkala tidak terlepas dari
banyaknya jumlah penduduk kolok di desa bengkala. Dari sekitar 2000 penduduk sebanyak sekitar
2 persen penduduk bisu tuli (kolok). Hal inilah yang melatarbelakangi seorang seniman lokal
Bengkala bernama I Wayan Nedeng (almarhum) mendirikan kelompok tari (skaa) Janger Kolok di
era tahun 70an. I Wayan Nedeng belajar seni secara otodidak, karena tidak pernah mengenyam
pendidikan seni secara formal sebelumnya. Beliau belajar lewat mengikuti perkumpulan gamelan
(skaa gong) yang ada di sekitar desa. I Wayan Nedeng saat itu adalah penjual nasi di kampung
Bengkala. Sementara Bengkala yang pada waktu itu belum teraliri air, mengharuskan penduduknya
mencari air ke suangai atau membeli air dari penjual air. Dari beberapa warga penjual air terdapat
2-3 orang adalah warga tuli bisu. I Wayan Nedeng yang berprofesi sebagai pedagang juga tidak
luput untuk membeli air dari warga tuli bisu. Keseharian berinteraksi dengan tuli bisu
memunculkan ide kreatif dari I Wayan Nedeng untuk mendirikan skaa janger kolok (Sumber:
Wawancara I Ketut Kanta).
Namun Skaa Janger Kolok ini sempat vakum beberapa tahun karena banyak hambatan.
Hingga saat I Ketut Kanta yang pada saat itu sebagai Kepala Dusun, tahun 1994 I Wayan Nedeng
menawari Kepala Dusun untuk menghidupkan kembali skaa janger kolok ini. Tahun 1988 selain I
Wayan Nedeng skaa janger ini juga pernah dilatih oleh salah satu sanggar yang dipimpin oleh
Durpa, di Buleleng dibawah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kebudayaan
Kabupaten Buleleng. Dibawah binaan Durpa, gerakan tari dan jalan cerita skaa janger kolok mulai
bervariasi. Sebagai pelatih beliau tidak sekedar menambahkan gerakan tapi juga menggali bakatbakat yang dimiliki penari kolok, dengan memunculkan bakat bela diri dalam garapan tari janger.
Salah seorang dari penari Janger mengusai ilmu bela diri, dan ilmu tersebut telah meluas dipelajari
oleh generasi muda Bengkala khsusunya warga kolok. Selain itu penampilan skaa janger kolok ini
juga sudah semakin baik. Berkat bantuan dari pemerintah daerah mereka sudah mulai
menggunakan pakaian janger. (Sumber: Wawancara Kepala Desa Bengkala dan I Ketut Kanta).
Paguyuban Janger Kolok terdiri dari satu ketua paguyuban, dua asisten dan beranggotakan 13
penari yaitu: Ketua (I Ketut Kanta), Assisten (I Made Wisnu Giri, Mangku Mandra), Anggota
penari laki-laki (Getar, Punda, Pindi, Narda, Sudarma, Riana, Santya, Subentar, Subentir,
Suarayasa dan Arta) dan penari perempuam (Sukasti dan Pundu).
Janger kolok hingga saat ini masih tetap eksis dan banyak tamu baik lokal maupun
internasional datang ke Bengkala untuk menyaksikan garapan janger kolok. Selain tampil di desa
sendiri, skaa janger kolok ini sering juga diminta tampil baik di luar desa yaitu di kecamatan, di
kabupaten, di provinsi hingga di luar negeri. Setiap bulan sudah dipastikan mereka selalu tampil.
Adapun agenda tampil mereka yaitu sebagai berikut. (Sumber: Wawancara Kepala Desa
Bengkala). Nominal upah mereka tampil juga ditentukan oleh jauh dekatnya tempat pementasan.
Jika pentas di desa Bengkala maka biayanya sekitar Rp 1.500.000 hingga Rp. 2.000.000. Apabila
keluar kecamatan biayanya Rp. 3.000.000 dan bila di provinsi biayanya diatas Rp 3.000.000.
Sebagian dari upah mereka simpan untuk beberapa kegiatan upacara agama. (Sumber: Wawancara
Kepala Desa Bengkala).
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
326 Mereka dikoordinir dalam sebuah paguyuban yang dipantau oleh desa dan kedepan akan
dikembangkan dalam bentuk yayasan. Jika sudah terbentuk yayasan, maka kesejahteraan warga
kolok dapat ditingkatkan. Saat ini ada beberapa dari mereka masih bekerja di luar desa, sehingga
jika ada upah untuk tampil perlu waktu untuk mengumpulkan mereka. Apabila sudah menjadi
yayasan maka mereka tampil secara rutin dan profesi menari bisa menjadi pegangan hidup mereka,
tanpa harus bekerja di luar desa. Potensi ini juga membawa desa pada rencana program desa
kedepan untuk menjadi desa wisata. Kreativitas warga kolok selain menari tapi juga keahlian
lainnya seperti karya cindramata dapat dijual unutk mendukung desa Bengkala sebagai desa wisata.
(Sumber: Wawancara Kepala Desa Bengkala).
Pembabakan Tari Janger Kolok
Garapan tari janger kolok desa Bengkala berdurasi 66 menit atau 1 jam 6 menit. Garapan ini
diawali dengan keluarnya seorang pemain kendang yang akan mengiringi seluruh tarian hingga
akhir. Instrumen tari janger kolok ini hanya menggunakan satu kendang saja. Pemain kendang
keluar sambil menari, kemudian mencari posisi di depan sebagai pemandu garapan. Jalan cerita
garapan ini diciptakan oleh pelatih tari janger kolok yaitu Durpa. Dalam satu garapan tari janger
yang mengambil konsep “Arjuna Metapa” terdiri dari 3 babak, dengan cuplikan babak sebagai
berikut:
Babak I adalah pepeson yang berarti prolog atau introduction, yang terdiri dari 7 adegan,
setiap pergantian adegan ditandai dengan satu tangan pemain kendang dinaikkan keatas.
Gambar 1. Adegan 1. Penari laki-laki keluar
beriringan, terbagi dalam dua baris
Gambar 2. Adegan 2. Penari laki-laki hormat dengan
mencakupkan kedua tangan dan menunduk
Gambar 3. Adegan 3.
Selesai hormat
Gambar 4. Adengan 4.
Penari laki-laki menari tampil kedepan
Gambar 5. Adegan 5. Penari lak-laki yang
terbagi dalam 2 baris berbalik saling berhadapan
Gambar 6. Adegan 6
Penari laki-laki duduk saling berhadapan
Gambar 7. Adegan 7.
Penari laki-laki selesai menari, masuklah dua penari perempuan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
327 Makna penghormatan diawal tarian memiliki makna permohonan dengan sembahyang
mencakupkan kedua tangan agar para penari semua dapat menari dengan baik dan selamat. Babak
II adalah pengawak atau isi dari garapan. Pada babak ini mulai masuk pada inti dari garapan tari
yang terdiri dari 14 bagian pengawak. Setiap bagaian dari pengawak terdiri dari beberapa adegan,
dan setiap pergantian adegan ditandai dengan satu tangan pemain kendang dinaikkan keatas.
Pengawak I
Gambar 8. Adegan 1.
Penari perempuan melakukan penghormatan dengan
mencakupkan kedua tangan, sementara penari lakilaki bersiap-siap
Gambar 9. Adegan 2.
Penari perempuan tampil kedepan sambil menari
dengan media bantu kipas. Penari perempuan tampil
kedepan sambil menari dengan media bantu kipas.
Gambar 10. Adegan 3.
Sampai di depan penari perempuan berbalik mencari
pasangannya dan duduk saling berhadapan dengan
penari laki-laki
Gambar 11. Adegan 4.
Penari laki-laki menari menggerakkan tangan kanan,
kekanan dan ke kiri, sementara penari perempuan
menari duduk bersimpuh sambil menggerakgerakkan badannya kekanan dan kekiri.
Gambar 12. Adegan 5.
Perubahan gerakan penari laki-laki yaitu menunjuk
dengan tangan kanan ke arah penari perempuan.
Sementara penari perempuan masih pada gerakan
yang sama
Gambar 13. Adegan 6.
Penari perempuan merespon penari laki-laki dengan
gerakan tangan kanan menyentuh dada yang berarti
saya, gerakan telunjuk tangan kanan dan kiri
disantukan berarti tresna atau suka, dilanjutkan
dengan menyentuh dagu penari laki-laki berarti bli
atau kamu. Keseluruhan artinya tiang tresna tekan
bli atau saya suka dengan anda.
Gambar 14. Adegan 7
Penari perempuan berdiri, sedangkan penari laki-laki
masih duduk bersila. Adegan 8 Penari perempuan
kembang ke belakang dan penari laki-laki menari
dengan kedua tangan diletakkan di tumit
Gambar 15. Adegan 9
Selesai. Penari laki-laki menunduk sambil
menghembuskan nafas
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
328 Gambar di atas adalah aalah satu adegan babak 2 Tari Janger Kolok Desa Bengkala,
Buleleng. Dalam pengawak I ini ketika penari laki-laki dan perempuan bertemu merupakan cerita
tentang kisah percintaan. Awalnya penari laki-laki ingin melamar penari perempuan. Kemudia
penari perempuan merespon yang menyatakan juga bahwa dia juga mencintai sang laki-laki dan
mau menikah. Babak III adalah pekaad atau penutup yang terdiri dari 5 adegan setiap pergantian
adegan ditandai dengan satu tangan pemain kendang dinaikkan keatas.
Gambar 16. Adegan 1 Penari laki-laki maupun
perempuan bersiap-siap
Gambar 17. Adegan 2 Penari laki-laki berdiri dan
penari perempuan menari didepan
Gambar 18. Adegan 3 Penari laki-laki membentuk 2
baris Adegan 4 Perempuan tampil di barisan
terdepan setalah 2 baris penari laki-laki
Gambar 19. Adegan 5 Semua penari hormat, dan
pementasan selesai
Potret Komunikasi Skaa Janger Kolok
Pola komunikasi penari janger kolok dalam studi semiotik yaitu pertama tanda atau simbol
bahasa isyarat di desa Bengkala merupakan ciptaan dari warga kolok desa Bengkala yang hanya
dimengerti oleh kalangan penduduk desa Bengkala. Kedua yaitu kode-kode bahasa isyarat yang
tersusun telah terbentuk lama dan sudah menjadi kesepakatan warga desa setempat. Kode kode
tersebut dibentuk untuk menyatukan persepsi dalam kebudayaan di masyarakat Bengkala. Ketiga
kode bahasa isyarat teresebut telah digunakan sebagai bahasa sehari-hari warga kolok termasuk
para penari janger kolok dalam berkomunikasi, sehingga kode tersebut menjadi sebuah
kebudayaan.
Teknik komunikasi untuk melatih penari janger kolok memerlukan teknik spesial. Setiap
gerakan harus menggunakan model untuk dilihat oleh para penari kolok, kemudian baru ditiru. Cara
menyajian dengan contoh atau model peraga ditambahkan dengan bahasa isyarat lokal. Karena
pelatih tidak menguasai bahasa isyarat baik lokal maupun nasional dengan baik, maka proses
komunikasi melewati penterjemah bahasa isyarat lokal terlebih dahulu, sebelum sampai ke penari.
Pola komunikasi skaa janger kolok dengan pelatih dapat digambarkan dalam elemen makna milik
Peirce, yang terdiri dari tanda (sign), objek (object) dan interpretant (interpretan).
Selain menggunakan model peraga, teknik mengajar lainnya dengan teknik melempar batu.
Jika diamati dari jalur logika, hubungan penandanya dengan jenis penandanya, maka bentuk
lemparan batu sebagai tanda yang memiliki sifat legisigns. Tanda melempar batu jika diartikan
dalam tanda kenyataan, adalah tindakan kasar atau tidak suka. Namun dalam prilaku komunikasi
pelatih janger kolok dengan penari janger kolok hal itu adalah tanda. Tanda lemparan batu telah
menjadi kesepakatan (legisigns) dikalangan Skaa janger Kolok.
Pola komunikasi yang terjadi dari interaksi kelompok penari janger kolok desa Bengkala
adalah para penari tidak bisa menyembunyikan rasa dan emosi selama interaksi. Dalam
mengungkapkan rasa dan emosi penari kolok ini jarang dapat diatur secara sadar, sehingga dalam
menyampaikan makna dan maksud relatif lebih bebas. Untuk itu pola komunikasi skaa janger kolok
desa Bengkala masuk dalam pesan nonverbal dengan kategori kinesik atau gerak tubuh. Pesan
kinesik yang menggunakan tiga komponen gerakan tubuh yaitu pesan fasial, pesan gestural, dan
pesan postural, diterapkan semua oleh penari kolok. Dari proses latihan hingga pementasan pesan
kinesik umumnya mencerminkan sikap bahagia, berminat, dan responsif.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
329 Pesan fasial atau wajah yang dimunculkan dari penari kolok selama proses latihan
mengandung beberapa makna diantaranya kebahagiaan, berminat, dan bingung. Pesan wajah juga
diikuti oleh gerak anggota badan seperti mata, tangan dan kaki rata rata penari kolok ini selama
proses latihan menunjukkan pesan menyesuaikan, responsif, perasaan positif, memperhatikan,
melancarkan dan menyetujui. Berikut beberapa ekspresi wajah yang muncul dalam keterlibatan
mereka selama proses latihan.
Gambar 20, 21. Fasial: bahagia
Gestural: menyesuaikan, responsif, perasaanpositif, memperhatikandanmeyetujui
Postural: immediacy ungkapan kesukaan terhadap individu lain; (2) Power mengungkapkan status
sama dengan komunikator; (3) responsiveness berekasi secara emosional pada lingkungan secara positif
Gambar 22, 23. Fasial: Minat
Gestural: menyesuaikan, responsif, perasaanpositif, memperhatikan
Postural: immediacy ungkapan kesukaan terhadap individu lain; (2) Power mengungkapkan status
sama dengan komunikator; (3) responsiveness berekasi secara emosional pada lingkungan secara positif
Gambar 24. Fasial: Tekad
Gestural: menyesuaikan, responsif, perasaanpositif,
memperhatikan. Postural: immediacy ungkapan kesukaan
terhadap individu lain; (2) Power mengungkapkan status sama
dengan komunikator; (3) responsiveness berekasi secara
emosional pada lingkungan secara positif
Gambar di atas menunjukkan pesan kinesik penari Janger Kolok Desa Bengkala, Buleleng
Dalam proses pementasan tari janger kolokdibawakan oleh 13 penari dan satu penabuh. Tari
janger kolok diiringi oleh instrumen yaitu kendang yang juga dimainkan oleh salah seorang warga
kolok. Sehingga para penari berpatokan pada arahan dari pemain kendang. Tanda yang digunakan
pemain kendang untuk memberikan aba-aba adalah tangan
kanan ke atas. Dari tiga babak, setiap ada pergantian
gerakkan (adegan) ditandai dengan aba-aba tangan kanan ke
atas.
Gambar 25. Pemain kendang memberi aba-aba tangan kanan ke atas
sebagai tanda “mulai”
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
330 Dikaitkan dengan teori semiotik yang membagi menjadi dua bagian yaitu penanda (signifier)
dan pertanda (signified). Penanda dilihat dari bentuk atau wujud bahasa nonverbal yaitu aba aba
tangan kanan ke atas, sedangkan pertanda dilihat dari makna dari bahasa nonverbal dari tanda
tangan pemain kendang naik ke atas yang memiliki arti "mulai". Hubungan keduanya dinamakan
signification (upaya dalam memberi makna bahasa nonverbal tersebut. Tanda tersebut telah
berdasarkan kesepakatan dari seluruh penari dan penabuh.
Selain itu dalam garapan tari janger kolok yang berdurasi 66 menit, terdapat kontinuitas
adegan. Setiap adegan 1 adalah tanda untuk bersiap-siap. Dan akhir dari setiap adegan ditandai
dengan gerakan laki-laki menunduk dan menghembuskan nafas. Pola tanda tersebut sudah
merupakan kesepakatan bersama antara penari dan penabuh.
SIMPULAN
Pola komunikasi penari janger kolok dalam studi semiotik yaitu pertama tanda atau simbol
bahasa isyarat di desa Bengkala merupakan ciptaan dari warga kolok desa Bengkala yang hanya
dimengerti oleh kalangan penduduk desa Bengkala. Kode-kode bahasa isyarat yang tersusun telah
terbentuk lama dan sudah menjadi kesepakatan warga desa setempat. Kode kode tersebut dibentuk
untuk menyatukan persepsi dalam kebudayaan di masyarakat Bengkala. Kode bahasa isyarat
teresebut telah digunakan sebagai bahasa sehari-hari warga kolok termasuk para penari janger kolok
dalam berkomunikasi, sehingga kode tersebut menjadi sebuah kebudayaan. Teknik komunikasi
untuk melatih penari janger kolok memerlukan teknik spesial. Setiap gerakan harus menggunakan
model untuk dilihat oleh para penari kolok, kemudian baru ditiru. Cara menyajian dengan contoh
atau model peraga ditambahkan dengan bahasa isyarat lokal. Karena pelatih tidak menguasai
bahasa isyarat baik lokal maupun nasional dengan baik, maka proses komunikasi melewati
penterjemah bahasa isyarat lokal terlebih dahulu, sebelum sampai ke penari.
Selain menggunakan model peraga, teknik mengajar lainnya dengan teknik melempar batu.
Jika diamati dari jalur logika, hubungan penandanya dengan jenis penandanya, maka bentuk
lemparan batu sebagai tanda yang memiliki sifat legisigns. Tanda melempar batu jika diartikan
dalam tanda kenyataan, adalah tindakan kasar atau tidak suka. Namun dalam prilaku komunikasi
pelatih janger kolok dengan penari janger kolok hal itu adalah tanda. Tanda lemparan batu telah
menjadi kesepakatan (legisigns) dikalangan Skaa janger Kolok. Pola komunikasi yang terjadi dari
interaksi kelompok penari janger kolok desa Bengkala adalah para penari tidak bisa
menyembunyikan rasa dan emosi selama interaksi. Dalam mengungkapkan rasa dan emosi penari
kolok ini jarang dapat diatur secara sadar, sehingga dalam menyampaikan makna dan maksud
relatif lebih bebas. Untuk itu pola komunikasi skaa janger kolok desa Bengkala masuk dalam pesan
nonverbal dengan kategori kinesik atau gerak tubuh. Pesan kinesik yang menggunakan tiga
komponen gerakan tubuh yaitu pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural, diterapkan semua
oleh penari kolok. Dari proses latihan hingga pementasan pesan kinesik umumnya mencerminkan
sikap bahagia, berminat, dan responsif.
Dalam proses pementasan tari janger kolok dibawakan oleh 13 penari dan satu penabuh. Tari
janger kolok diiringi oleh instrumen yaitu kendang yang juga dimainkan oleh salah seorang warga
kolok. Penari berpatokan pada arahan dari pemain kendang. Tanda yang digunakan pemain
kendang untuk memberikan aba-aba adalah tangan kanan ke atas. Dari tiga babak, setiap ada
pergantian gerakkan (adegan) ditandai dengan aba-aba tangan kanan ke atas. Dikaitkan dengan
teori semiotik yang membagi menjadi dua bagian yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified).
Penanda dilihat dari bentuk atau wujud bahasa nonverbal yaitu aba aba tangan kanan ke atas,
sedangkan pertanda dilihat dari makna dari bahasa nonverbal dari tanda tangan pemain kendang
naik ke atas yang memiliki arti "mulai". Hubungan keduanya dinamakan signification (upaya
dalam memberi makna bahasa nonverbal tersebut. Tanda tersebut telah berdasarkan kesepakatan
dari seluruh penari dan penabuh. Selain itu dalam garapan tari janger kolok yang berdurasi 66
menit, terdapat kontinuitas adegan.
DAFTAR PUSTAKA
Have, Paul Ten. 2004. Understanding Qualitative Researchand Ethnomethodology, London: Sage
Publications
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
331 Pertiwi, Murni Ari. 2013. Perkembangan Skaa Janger Kolok di Desa Bengkala, Kubutambahan,
Buleleng Periode 1998-2011. Singarja: Candra Sangkala, Jurnal Jurusan Pendidikan
Profil Bengkala. Diunggahtanggal 4 Agustus 2014, http://kubutambahan.bulelengkab.go.id.
Sukraka, I Gde. 1999. PerkembanganTari Janger di Bali, Jurnal Mudra. Denpasar: Upt. Penerbitan
ISI Denpasar
Suartaya, I Kadek. 2011. Janger Bergirang CeriaPasca Trauma G30S/PKI. Diunggahpada 10
Desember 2013, jurnal.isi-dps.ac.id
PERBANDINGAN PENGGUNAAN MEDIA BUKU DAN VIDEO TUTORIAL
MATA PELAJARAN SENI RUPA PADA SISWA SMA
DAN SMK NEGERI DI DENPASAR
Arya Pageh Wibawa1, I Wayan Agus Eka Cahyadi2, Amoga Lelo Octavianus3.
Program Studi Desain Komunikasi Visual1,2., Program Studi Fotografi3,
Fakutas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar
Abstrak
Pendidikan sebagai sebuah aktivitas penting dalam mempertahankan kelangsungan hidup
manusia mengalami perkembangan yang begitu pesat. Pendidikan sebagai sebuah aktivitas penting
tentunya memiliki sebuah proses yang disebut dengan proses belajar mengajar. Proses belajar
mengajar merupakan proses belajar yang terjadi baik secara langsung dengan menggunakan tutor
maupun secara tidak langsung dengan memanfaatkan media. Media yang umum digunakan dalam
proses belajar adalah buku. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh BPS (Biro Pusat Statistik)
didapatkan hasil bahwa minat baca cukup rendah terutama dikalangan siswa. Dengan demikian,
tentu perlu adanya alternatif media untuk terus meningkatkan minat baca dikalangan siswa.
Alternatif media yang saat ini banyak dikembangkan adalah video tutorial. Pengembangan media
alternatif ini perlu diujikan untuk melihat dampak yang terjadi dikalangan siswa. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif deskriptif dengan menyebarkan kuesioner.
Populasi yang digunakan adalah siswa SMA dan SMK Negeri yang ada di kota Denpasar. Hasil
yang diperoleh adalah penggunaan media berbasis audio video lebih menarik dibandingkan dengan
media yang berbasis teks.
Keywords: Media pembelajaran, Buku, Video Tutorial
Abstract
Education as an important activity in maintaining the viability of human experiences a
rapid development. Education as an important activity must have a process called teachinglearning process. Teaching and learning process is a learning process that occurs either directly
by using a tutor or indirectly by utilizing the media. Media commonly used in the learning process
is the book. According to the survey conducted by BPS (Biro Pusat Statistik /Central Bureau of
Statistics)it showed that interest in reading is quite low, especially among students. Therefore, this
is certainly a need for an alternative media to continue to increase interest in reading among
students. Alternative media which is currently widely developed is video tutorials. The development
of this alternative media needs to be tested to see the effects that occur among students. The tests
are carried out by using descriptive quantitative method to distribute questionnaires. The
populations used werethe students of senior high school and vocational high schools in Denpasar.
The result is the use of audio-video based media is more interesting than the use of text-based
media.
Keywords: Media of learning, Book, Tutorial video
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
332 PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai sarana manusia dalam mengembangkan potensi dan kemampuan yang
dimiliki manusia dan juga merupakan wadah untuk lebih meningkatkan keterampilan dan
membentuk pola pikir intelektual agar manusia dapat menghadapi kehidupan dimasa yang akan
datang serta mampu membangun sikap yang positif sesuai dengan karakter budaya yang dianut
oleh lingkungan dan masyarakatnya. Menurut Tirtarahardja & La Sulo (2008:51), unsur-unsur yang
terlibat didalam pendidikan sebagai proses pendidikan yaitu : subyek yang dibimbing (peserta
didik), orang yang membimbing (pendidik), interaksi antara peserta didik dengan pendidik
(interaksi edukatif), kearah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan), pengaruh yang
diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan), dan cara yang digunakan dalam bimbingan (alat
dan metode), serta tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).
Keseluruhan unsur-unsur tersebut memiliki keterkaitan satu dengan lainnya sehingga tidak
mungkin untuk dipisahkan. Dalam aktivitasnya, pendidikan mengenal proses belajar mengajar.
Proses belajar mengajar hendaknya diartikan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan secara
langsung dengan menggunakan tutor atau guru dan secara tidak langsung dengan menggunakan
media sebagai perantara dari proses tersebut.
Media yang umum digunakan dalam proses belajar mengajar adalah buku. Tiap siswa
tentunya sangat mengenal media buku ini. Buku-buku teks sudah sangat mudah didapat bahkan
dengan harga yang sangat kompetitif. Walaupun begitu permasalahan yang terjadi dikalangan
masyarakat adalah rendahnya minat baca yang dimiliki oleh siswa. Menurut survey yang dilakukan
oleh BPS (Biro Pusat Statistik) tahun 2006 menyatakan bahwa di Indonesia, aktivitas membaca
sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton televisi 85,9% dan
mendengarkan radio 40,3%. Data tersebut juga memberikan catatan bahwa penduduk dengan usia
diatas 10 tahun yang menonton televisi berjumlah 85,86% dan membaca surat kabar 23,46%. Pada
tahun 2009 menurut BPS, penduduk yang menonton televisi mencapai 90,27% dan membaca surat
kabar 18,94%. Tahun 2012 yang lalu menurut BPS menunjukkan penduduk yang menonton televisi
terjadi peningkatan menjadi sebesar 91,68% dan yang membaca surat kabar berjumlah 17,66%
(http://bktp.dikpora, diakses tanggal 29/08/2013). Jumlah pembaca ini tentunya akan terus merosot
dari tahun ke tahun dengan semakin menariknya acara-acara yang disiarkan televisi. Sehingga
perlu adanya pengembangan media alternatif dalam meningkatkan minat baca. Media alternatif
dalam proses belajar mengajar yang saat ini cukup banyak beredar adalah video tutorial.
Pengembangan media baru itu cukup pesat dan beragam mengikuti kebutuhan masyarakat akan
informasi pendidikan. Hal ini cukup menarik mengingat masih kurangnya penelitian-penelitian
terhadap pengujian media pada tingkat efektifitas media dikalangan siswa.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskripti. Pengumpulan data dilakukan
dengan memberikan kuesioner pada siswa SMA dan SMK Negeri yang ada di Denpasar. Metode
sampling yang digunakan adalah purposive dengan responden adalah dari siswa SMA Negeri 1
Denpasar, SMA Negeri 3 Denpasar, SMA Negeri 7 Denpasar, SMK Negeri 1 Denpasar dan SMK
Negeri 5 Denpasar. Pemilihan responden adalah bersifat random untuk siswa SMA dan SMK
Negeri 1 adalah siswa jurusan multimedia dan non multimedia serta siswa jurusan akomodasi
perhotelan untuk SMK Negeri 5 Denpasar. Analisa yang digunakan adalah menggunakan statistik
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah responden yang diperoleh pada penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
(1) Siswa SMA Negeri 1 Denpasar sebanyak 99 orang; (2) Siswa SMA Negeri 3 Denpasar
sebanyak 180 orang; (3) Siswa SMA Negeri 7 Denpasar sebanyak 163 orang; (4) SMK Negeri 1
Denpasar jurusan multimedia sebanyak 25 orang dan jurusan selain multimedia sebanyak 236
orang; (5) SMK Negeri 5 Denpasar jurusan akomodasi perhotelan sebanyak 40 orang. Hasil yang
diperoleh adalah sebagai berikut.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
Gambar 1. Perbandingan Strategi persuasi antara buku dan video tutorial
dikalangan siswa SMA Negeri 1,3,dan 7
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa secara strategi persuasi maka siswa SMA
Negeri merasa bahwa informasi yang disajikan dalam video tutorial memiliki ketertarikan yang
tinggi dibandingkan dengan buku. Hal ini disebabkan oleh sajian pada video tutorial berbasis audio
video dimana menurut Lynn O’Brien (dalam Rose dan Nicholl, 2003:131), direktur studi diagnostic
spesifik Rockville, Maryland, menyatakan dalam sebuah studi terhadap 5000 siswa di Amerika
Serikat, Hongkong, dan Jepang, kelas 5 hingga 12 menunjukkan kecenderungan belajar sebagai
berikut : menggunakan visual sebesar 29%, auditori 34%, dan kinestetik sebesar 37% tetapi pada
saat usia dewasa, kelebihsukaan pada gaya belajar visual ternyata lebih mendominasi. Kenyataan
ini membuktikan bahwa pembelajaran menggunakan audio visual lebih efektif digunakan bagi
siswa SMA. Nilai rata-rata terendah yang diberikan adalah ketersediaan media video tutorial yang
ada dipasaran. Hal ini terkait dengan hasil yang diberikan pada gambar 1 yang menunjukkan
rendahnya nilai rata-rata yang diberikan pada koleksi video tutorial yang diberikan. Sehingga
peneliti menyimpulkan bahwa penyebab rendahnya angka rata-rata kepemilikan koleksi video
tutorial adalah ketersediaan video tutorial dipasaran yang rendah.
Gambar 2. Perbandingan strategi interaksi antara buku
dan video tutorial dikalangan siswa SMA Negeri
1,3,dan 7
Berdasarkan data diatas didapatkan hasil bahwa secara strategi interaksi, video tutorial
memiliki rata-rata ketertarikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan buku. Nilai rata-rata yang
diperoleh sangat signifikan secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran
menggunakan video tutorial memberikan dampak yang signifikan pada strategi interaksi. Siswa
SMA memberikan respon yang sangat positif pada strategi interaksi yang berarti bahwa media
pembelajaran video tutorial memiliki banyak kemudahan secara interaksi bagi mereka.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
Gambar 3. Perbandingan strategi hiburan
antara buku dan video tutorial dikalangan
siswa SMA Negeri 1,3,dan 7
Berdasarkan data yang diberikan oleh siswa SMA diperoleh hasil bahwa pada strategi
hiburan secara umum dapat dikatakan belum memberikan dampak hiburan yang sangat signifikan
bagi siswa. Hal ini dapat dilihat pada nilai rata-rata yang diberikan dimana pada tampilan visual
dan desain media tidak memberikan perbedaan yang sangat signifikan. Menurut siswa, tampilan
visual yang disajikan buku dan video tutorial secara umum memiliki perbedaan yang sangat kecil
bahkan bisa dianggap sama. Hal yang sama juga terjadi pada desain media tersebut. Hanya nilai
kesenangan saja yang memberikan perbedaan yang sangat signifikan antara buku dan video
tutorial.
a.
Strategi persuasi
b.
Strategi interaksi
c. Strategi hiburan
Gambar 4. Perbandingan strategi antara buku dan video tutorial dikalangan siswa SMK Negeri 1 dan 5
Berdasarkan data yang diperoleh didapatkan hasil bahwa pada strategi persuasi memiliki
karakteristik yang berbeda antara siswa SMK Negeri 1 dan 5. Menurut siswa SMK Negeri 1, secara
persuasi buku memiliki kelebihan yaitu lebih mudah mendapatkan dan kemudahan membaca
dibandingkan dengan video. Berbeda dengan SMK Negeri 5 yang tetap mengganggap bahwa
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
335 media video tutorial lebih memiliki keunggulan secara umum dibandingkan dengan media buku.
Hanya memiliki selisih perbedaan nilai rata-rata yang sangat kecil yaitu pada informasi yang
disajikan dan juga keterbacaan media. Pada strategi interaksi, nilai rata-rata secara keseluruhan
tertinggi diberikan oleh SMK Negeri 1 terhadap media video tutorial dibandingkan dengan media
buku. Selisih perbedaan nilai rata-rata yang kecil terjadi pada kenyaman mengunakan media dan
kemudahan operasional antara video tutorial dengan buku. Sedangkan untuk strategi hiburan,
media video tutorial secara umum SMK Negeri 1 memiliki nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan
SMK Negeri 5. Selisih nilai rata-rata terkecil terjadi pada bagian desain media dimana SMK Negeri
1 mengasumsikan bahwa media buku lebih menarik dari sisi desain media dibandingkan dengan
video tutorial. Hal yang sama juga diberikan oleh SMK Negeri 5 yang memberikan nilai rata-rata
tinggi pada sisi desain media untuk buku dibandingkan dengan video tutorial.
Pada kedua hasil yang disajikan dapatlah secara umum dikatakan bahwa karakteristik dari
kedua siswa ini memiliki kesamaan dalam menilai media pembelajaran. Hal ini mungkin
disebabkan karena pengaruh internal dan eksternal. Pengaruh internal terjadi yaitu berdasarkan
pengalaman pribadi yang dimiliki oleh siswa dalam proses belajar menggunakan media tersebut.
Disamping itu, faktor kebiasaan yang dimiliki siswa dalam pembelajaran. Siswa mungkin merasa
nyaman menggunakan media yang berbasis audio video dibandingkan dengan media yang berbasis
teks. Hal ini mungkin disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang
semakin pesat terjadi dikalangan siswa. Siswa sudah terbiasa berinteraksi dengan media iPad,
iPhone dan internet yang banyak dijumpai dimana-mana. Kebiasaan ini yang menyebabkan adanya
ketertarikan siswa dalam memilih media untuk proses belajar yang dilakukan.
Faktor eksternal terjadi pada diri siswa ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan, baik
lingkungan sekolah maupun lingkungan tempat siswa tersebut tinggal. Pengaruh lingkungan
sekolah dimulai dari guru pembimbing mata pelajaran serta kurikulum yang ada di sekolah. Kedua
hal ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan pada diri siswa tersebut secara langsung maupun
tidak langsung. Hal lain yang juga memberikan pengaruh adalah lingkungan tempat siswa tersebut
yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulan siswa. Lingkungan keluarga dapat dilihat dari
keseharian keluarga tersebut dominan menggunakan media. Sedangkan lingkungan pergaulan
siswa dimulai dari pergaulan siswa tersebut dengan saudara, kerabat dan teman pergaulan seharihari. Kebiasaan penggunaan media ketika mereka berkomunikasi satu dengan yang lainnya sangat
berpengaruh pada kebiasaan belajar siswa tersebut. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa
kedua hal ini memberikan pengaruh yang cukup besar pada siswa untuk memilih media
pembelajaran yang disenanginya.
SIMPULAN
Perbandingan media buku dan video tutorial dari sisi strategi persuasi memberikan hasil
bahwa media video tutorial sebagai pembelajaran diasumsikan lebih persuasif dibandingkan
dengan media buku. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata yang diberikan oleh siswa terhadap media
tersebut.Perbandingan media buku dan video tutorial dari sisi strategi interaksi memberikan hasil
bahwa media video tutorial lebih interaktif dibandingkan dengan media buku. Perbandingan media
buku dan video tutorial dari sisi strategi hiburan memberikan hasil bahwa media video tutorial
lebih menghibur dibandingkan dengan media buku.
DAFTAR PUSTAKA
Rose, C. dan Nicholl, M.(2003). Accelerated Learning for the 21st Century (translate by
Dedy). Bandung:Penerbit Nuansa
Tirtarahardja, U. & La Sulo, S.L.(2008).Pengantar Pendidikan (Edisi Revisi).Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
http://bktp.dikpora, diakses tanggal 29/08/2013
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
336 KAJIAN MUSISI DALAM INDUSTRI MUSIK
DI VILLA SANCTUS ULUWATU BALI
Wahyu Sri Wiyati
Program Seni Musik, Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesi Denpasar
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti musisi dalam industri musik live
performance di Villa Sanctus Bali. Pertunjukan tersebut bertujuan untuk memberikan
pelayanan dan hiburan kepada tamu. Pengamatan awal menunjukan bahwa para musisi di
sana dapat memberi suasana hikmat pada acara wedding ceremony dan suasana santai di
acara hiburan. Para musisi berasal dari latar belakang pendidikan formal dan otodidak.
Walaupun dengan latar belakang yang berbeda tetapi mereka bisa bermain dengan kompak.
Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk menyingkap fenomena musisi berpendidikan
formal dan musisi otodidak, dengan mengadakan studi kasus pada musisi yang bekerja di
Villa Sanctus Bali. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan jawaban yaitu; pertama
bagaimana bentuk industri musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali, kedua bagaimana
metode musisi dalam bermain musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali, ketiga bagaimana
pengembangan musikalitas dari musisi yang ada di Villa Sanctus Uluwatu Bali.
Kata kunci: musisi, industri musik, live musik.
Abstract
This study is intended to examine the musicians especially in live performance industry at
Villa Sanctus Bali. The performance aims to provide services and entertainments for the guests.
The initial observations showed that the musicians can give a solemn atmosphere at the wedding
ceremony and a relaxed atmosphere on the entertainment events. The musicians have a formal
educational background and autodidac one. Although they are from different backgrounds, but
they can play the music cohesivelly. Therefore, this study tries to reveal the phenomenon of
formally educated musician and autodidac musician, by conducting a case study on the musicians
who worked at the Sanctus Villa, Uluwatu, Bali.This research is to find the answer of; firstly What
are the forms of the music industry at the Sanctus Villa , Uluwatu, Bali, secondly how is the
musicians’ method in playing music, and thirdly is regarding the development of musicality of the
existing musicians at the Sanctus Villa , Uluwatu, Bali.
Key words: musicians, music industry, live music.
PENDAHULUAN
Bali dikenal dengan pariwisata yang termasyur di Indonesia sehingga banyak
bermunculan usaha seperti hotel, villa, restoran, dan lain sebagainya. Dari perkembangan
sektor wisata salah satunya menawarkan beragam jenis musik baik untuk keperluan
ceremony maupun party. Pertunjukan live music yang semua itu menjadi lahan basah bagi
para musisi. Namun demikian, sebelum hubungan yang saling menguntungkan antara
musisi dengan dunia pariwisata dijelaskan lebih jauh, maka penting diuraikan hakekat
musisi. Sebenarnya yang dimaksud musisi seseorang bekerja dengan cara bermain musik
dalam hal ini Pono Banoe mengatakan musisi adalah seorang pelaku musik (Banoe.
2003:288). Kajian musisi atau entertainer (penghibur) bekerja dengan cara bermain musik
yang terdiri dari beberapa jenis musik antara lain musik klasik, jazz, rock, musik pop
Indonesia dan pop Barat. Proses dalam memainkan musik melalui tahapan latihan-latihan
dan pembelajaran untuk bisa menguasai lagu dengan baik.
Musik adalah karya seni yang media atau wujud hasil karyanya berupa bunyi atau
nada-nada. Karya musik lazimnya berupa nada-nada yang disusun dengan
mempertimbangkan unsur ritme, melodi dan harmoni Pono Banoe mengenai musik
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
337 menyatakan: Cabang seni yang membahas dan menetapkan berbagai suara kedalam polapola yang dapat dimengerti dan dipahami manusia.(Banoe. 2003:288)
Industri musik sebagai dunia bisnis dalam dunia musik lahir dan berkembang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan zamannya. Dalam hal ini Ben Pasaribu menyatakan
dalam dunia bisnis belantika musik, segala perangkat entertainment merupakan suatu
komoditas penting dalam industri budaya. Jaringan industri meliputi perekaman,
pertunjukan, penjualan aksesoris dan atribut, penciptaan dan aransemen musik serta hak
cipta, pengadaan pemain musik dan urusan penerbitan buku notasi lagu-lagu, buku tentang
musik dan pemusik (Pasaribu.2006:138).
Transisi zaman dan revolusi-revolusi dunia seperti revolusi industri, telah
menimbulkan banyak perubahan kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek. Demikian
juga dalam bidang seni musik. Industri musik berkembang sangat pesat dengan mengemas
produknya dalam berbagai format selaras dengan kemajuan zaman. Secara garis besar
terdapat dua macam bentuk penyajian musik yakni dalam rekaman dan dalam bentuk
pertunjukan langsung (live performance).
Representasi musik dalam bentuk rekaman dilakukan oleh musisi dengan cara
merekam lagu-lagu mereka selain itu mereka juga merekam performance atau
penampilannya yang berupa media audio dan audio-visual. Industri musik dalam bentuk
pertunjukan langsung (live performance), pada prinsipnya adalah pertunjukan langsung
pementasan musik yang dikelola secara terorganisasi. Di Bali khususnya di villa-villa
daerah Uluwatu salah satunya di Villa Sanctus kegiatan wedding ceremony dan acaraacara hiburan sangat diminati karena menjual paket dengan kemasan yang menarik salah
satunya menggunakan live music. Dalam perkembangannya pertunjukan musik melibatkan
berbagai macam pekerjaan yang harus ditangani. Hal itu menuntut suatu pertunjukan
ceremony maupun hiburan khususnya live music dikelola dengan manajemen yang bagus.
Dengan demikian selain sebagai tempat untuk menginap para tamu, villa atau hotel juga
menjadi penyelenggara industri seperti wedding ceremony maupun acara hiburan. Dengan
adanya industri musik wedding ceremony maupun hiburan, muncul musisi-musisi yang
bekerja sesuai dengan permintaan industri.
Musisi adalah musisi yang melayani kebutuhan orang lain atau kepentingan
kebanyakan orang. Melalui industri mereka menjual jasa, dan berusaha memenuhi
kebutuhan masyarakat pada umumnya. Mereka mempunyai beberapa fleksibilitas dan
menafsirkan harapan dari pelanggan mereka secara langsung. Penyelenggaraan musik
langsung (live music) merupakan fasilitas standart salah satunya di villa dengan
menyuguhkan musik-musik yang menghibur seperti pop, klasik, country, jazzy, dll
sekaligus untuk kemasan seperti wedding ceremony. Dalam penelitian ini akan diamati
bentuk-bentuk musik yang ditampilkan di Villa Sanctus. Penelitian ini akan mengambil
subjek musisi dalam industri musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali. Berdasarkan data
penelitian di atas fenomena tersebut dapat dikatakan bahwa banyak musisi (entertainer)
yang bermain di hotel, villa, bar, cafe sekalipun tanpa pendidikan musik formal bisa
mencapai sukses dalam pekerjaannya. Hal itu menimbulkan beberapa dugaan dan
pertanyaan yang menarik untuk dapat diketahui dan diungkapkan melalui suatu penelitian
yang mendalam guna mengetahui proses atau cara mereka beradaptasi mempelajari materi
pekerjaannya.
Proses belajar musik secara umum meliputi penguasaan materi-materi teknik
bermain instrument musik, pengembangan musikalitas, dan penguasaan repertoar.
Penguasaan materi-materi tersebut juga berlaku pada pembelajaran musik klasik maupun
musik popular. Proses belajar musik yang dilakukan oleh musisi menarik untuk diamati,
karena diperkirakan mempunyai hal-hal yang berkaitan dengan penguasaan materi-materi
belajar musik tersebut. Oleh karena itu musisi live music di Villa Sanctus dipandang tepat
untuk dijadikan subjek pengamatan pada penelitian kasus ini di karenakan musisi yang ada
memiliki latar belakang pendidikan formal dan otodidak.
Dalam dunia pendidikan musik formal banyak dikenal metode-metode belajar,
antara lain Metode Suzuki untuk biola, Metode Yamaha untuk keyboard, gitar, bass gitar,
drum, dan lain-lain. Metode-metode itu telah dikenal luas karena sistematis dan materinya
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
338 terstruktur dari tingkat pengenalan awal hingga tingkat mahir. Proses pembelajaran musik
semua diatur dalam tingkat-tingkat keterampilan (grade) yang menunjukkan tingkat-tingkat
kesulitan yang harus ditempuh siswa sehingga tingkat keterampilannya dapat terukur
dengan jelas.Pengamatan sekilas menunjukkan adanya kenyataan khusus musisi otodidak
kurang memahami metode belajar musik. Hal itu dikarenakan para musisi otodidak hanya
belajar sendiri mengandalkan pendengaran dan rasa terhadap lagu yang mereka pelajari
selanjutnya dihafalkan.
Persepsi masyarakat tentang pentingnya pendidikan terkait dengan dunia
kesenimanan dan pekerjaannya juga belum dipahami dengan baik. Selain itu terdapat fakta
bawah musisi maupun umum yang meyakini bahwa secara material musik ceremony dan
hiburan tidak harus dipelajari melalui pendidikan formal yang ilmiah. Banyak musisi
belajar sendiri berbekal kemauan yang keras. Otodidak adalah proses bagi orang yang
belajar dengan menggunakan cara-caranya sendiri. Persoalan cara belajar itu akan menjadi
bahan kajian utama pada penelitian kasus ini. Dalam perspektif belajar sendiri, bisa
dipastikan segala daya upaya digunakan untuk dapat mengetahui hal yang ingin dipelajari.
Dengan segala daya upaya inilah orang akan menggali atau mengeksplorasi segala
kemungkinan dan potensi diri dalam rangka memecahkan persoalan atau masalah-masalah
yang dihadapinya.
Musisi-musisi otodidak kebanyakan menghadapi banyak masalah tentang belajar
musik. Pertama, mereka tidak paham tentang notasi musik, terutama notasi balok. Bebrapa
kasus ada yang mampu membaca notasi angka, tetapi kebanyakan hanya mampu
menuliskan atau mencatat symbol-simbol akor tanpa bisa menuliskan melodinya. Kedua,
oleh karena mereka hanya bisa menghapal lagu-lagu yang dimainkan, maka mereka tidak
mampu mempelajari lagu secara cepat apalagi lagu yang panjang.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini penting
untuk dikaji secara mendalam mengenai bentuk industri musik di Villa Sanctus Uluwatu
Bali, metode musisi dalam bermain musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali, dan
pengembangan musikalitas dari musisi yang ada di Villa Sanctus Uluwatu Bali.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang bersifat ilmiah memerlukan suatu metode untuk memecahkan
masalah penelitian yang dihadapi. Disamping itu, metode penelitian berguna untuk
memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Metode adalah suatu syarat mutlak
dan selalu disesuaikan dengan objek studi. Jadi metode adalah suatu cara kerja untuk
dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan dan dipilih dengan
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek studi yang menjadi sasaran penelitian.
Penyusunan penelitian ini dirancang sebagai penelitian tentang kajian musisi dalam
industri musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali metode pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian yang temuannya diperoleh melalui prosedur
pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara, dan dokumentasi dari dunia empiris.
Sesuai dengan topik dan judul penelitian ini sebagai penelitian kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
The Sanctus adalah diambil dari bahasa latin yang berarti Holly atau Kudus, atau
Suci. Villa Sanctus termasuk dalam katagory Luxury Private Villa. Villa Sanctus Uluwatu
Bali beralamat Jalan Batu Bunggul, Nyang Nyang, Uluwatu Bali, Indonesia
www.thesanctus.com. Villa Sanctus pertama dipergunakan untuk acara wedding pada
tanggal 14 April 2012. Live music yang ditampilkan di Villa sanctus terdiri dari musik
untuk kepentingan ceremony dan musik untuk hiburan, musik yang digunakan untuk
ceremony biasanya adalah jenis musik klasik, dan lagu-lagu yang digunakan untuk
keperluan acara hiburan atau party mayoritas adalah lagu pop,baik Pop Barat ataupun Pop
Indonesia.
Live music di butuhkan di Villa Sanctus untuk keperluan acara wedding ceremony
dan hiburan. Penggunaan live music digemari oleh kebanyakan orang karena bisa ada
interaksi atara pemain dan penikmatnya sehingga kelihatan hidup. Karena banyak
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
339 digemari, banyak pemilik modal memanfaatkan daya tarik live music untuk kepentingan
bisnisnya untuk meraih banyak keuntungan. Mereka sangat cermat dan hati-hati
mengembangkan produk seni musik tersebut.
Bisnis villa tidak luput juga memanfaatkan daya tarik live music. Villa Sanctus
Uluwatu Bali memanfaatkan live music untuk kepentingan menarik minat tamuya. Salah
satu live music yang dimanfaatkan adalah musik untuk wedding ceremony dan hiburan.
Villa tersebut menyelengarakan live music entertainment setiap ada permintaan dari tamu
sebagai pelayanannya. Hiburan live music di Villa Sanctus Uluwatu Bali diselenggarakan
untuk memenuhi kelengkapan fasilitas bagi villa, namun tujuan utamanya adalah meraih
keuntungan atau pemasukan uang dari penjualan tempat.
Villa Sanctus sengaja dibuat dengan konsep terbuka supaya bisa di lihat dari segala
arah. Hal itu dibuat dengan tujuan agar setiap orang yang masuk akan segera melihat
segala fasilitas yang ada di sekitar lobi termasuk villa. Suasana sekitar villa menjadi lebih
hidup setiap sore pukul 16.30 sampai dengan 18.00 saat acara wedding ceremony dengan
live music disajikan di villa. Bagi tamu yang hadir dalam acara wedding ceremony bisa
menikmati prosesi baik dari acara pemberkatan, musik dan suasana sunset yang ada di
Villa Sanctus Uluwatu Bali yang sangat indah.
Dengan berpedoman kepada hal tersebut di atas Villa Sanctus Uluwatu Bali
mengelola penyajian musik pada villa. Walaupun tujuan utamanya bukan menjual produk
seni dalam hal ini musik, tetapi selera musik kebanyakan orang menjadi pertimbangan.
Sajian musik yang ditampilkan di Villa Sanctus Uluwatu Bali bertujuan untuk memberikan
kepuasan selera kebanyakan orang khususnya pengunjungnya. Live music secara langsung
baik acara wedding ceremony maupun hiburan masing-masing mempunyai karakteristik
yang berbeda untuk dapat dipentaskan pada suatu tempat.
Berdasarkan pengamatan, berikut ini adalah beberapa hal mengapa live music
ditampilkan di Villa Sanctus Uluwatu Bali:
a. Suasana villa. Live music sangat mendukung dalam setiap suasana acara baik wedding
ceremony maupun hiburan, sehingga musik itu tepat untuk ditampilkan di Villa Sanctus.
Suasana hikmat dan nyaman bagi para pengunjung menjadi perhatian utama pengelola
villa, termasuk musik yang disajikan yakni musik yang dapat membuat suasana villa
menjadi nyaman. Pada pementasan di villa dalam acara hiburan, repertoar demi repertoar
ditampilkan dalam suasana yang sangat santai. Musisi selain memainkan repertoar yang
sudah disiapkan, juga melayani request atau permintaan para tamu. Selain itu musisi setiap
saat siap untuk diminta mengiringi tamu menyanyi. Sedangkan untuk acara wedding
ceremony repertoar yang sudah disiapkan disesuaikan dengan acara prosesi. Suasana
wedding terasa hikmat dengan adanya live music.
Para musisi Villa Sanctus pada umumnya datang sekitar 15 menit sebelum bermain.
Setelah melakukan persiapan penggunaan peralatan atau instrumen musik, mereka mulai
bermain on time sesuai jadwal acara layaknya musisi profesional. Ada beberapa hal yang
menjadi pertimbangan mereka untuk menentukan urutan lagu yang akan dibawakan, Pada
umumnya mereka mempertimbangkan tempo yakni slow, medium atau fast. Menurut
mereka untuk mendapatkan penampilan yang baik, urutan lagu yang disajikan harus
disusun dengan baik. Mereka membuat urutan beberapa lagu yang bertempo lambat
diselingi lagu bertempo cepat, serta mempertimbangkan irama yang dipakai lagu-lagu
tersebut. Hal itu dilakukan untuk dapat menyajikan musik secara variatif, agar tidak
monoton dan tidak membosankan.
b. Kreativitas musisi. Musisi dalam bermain, dituntut untuk dapat membuat variasivariasi tertentu sesuai dengan kreativitas masing-masing. Kondisi atau situasi sangat
berperan untuk menentukan kreativitas permainan mereka. Musisi juga dituntut untuk dapat
bermain dengan suasana hati yang baik. Selain itu juga harus dapat mengembangkan
permainan musik dan berimprovisasi dengan baik. Tino, seorang pemain solo piano atau
keyboard yang sudah cukup lama bekerja sebagai musisi di Villa Sanctus, selalu berusaha
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
340 untuk dapat tampil sebaik-baiknya dengan membaca situasi audiens. Apabila ada tamu
yang sudah dikenal akan dimainkan repertoar atau lagu-lagu kesukaan tamu tersebut.
Apabila belum dikenal akan menanyakan terlebih dahulu lagu-lagu apa yang menjadi
kesukaannya. Dalam bermain musisi tersebut selalu berusaha memunculkan kreativitas
teknis tertentu misalnya memperkaya harmonisasi suatu lagu yang semula hanya
menggunakan akor sederhana, dimainkan dengan pengembangan-pengembangan akor yang
lebih variatif. Demikian juga irama atau pola ritme yang digunakan apabila memungkinkan
akan dibuat variasi yang lebih kaya sesuai dengan suasana hati saat bermain. Misalnya lagu
yang biasanya dimainkan dengan irama 8 beat, dimainkan dengan irama yang lebih
dinamis.
Musisi yang tampil di Villa Sanctus, selalu berusaha bermain dengan sebaikbaiknya. Mereka latihan dua atau tiga hari sebelum pentas sebab reportoar yang dimainkan
sama dengan reportuar yang dipakai sebelumnya sehingga lagu-lagunya sudah dikuwasai
kecuali ada lagu baru melatih lebih lama lagi. Kekompakan bermain selalu diutamakan
dalam grup itu. Dengan segala kemampuan dan pengalamannya, mereka selalu berusaha
memenuhi permintaan lagu para tamu. Dalam memenuhi permintaan para tamu baik untuk
menyanyikan lagu yang diminta maupun mengiringi para tamu, mereka berusaha sebaik
mungkin. Permintaan lagu yang belum dikenal, akan diusahakan untuk dibawakan sedapat
mungkin.
c. Efektif dan efisien. Musik ringan ditampilkan di villa juga dengan pertimbangan
efektivitas dan efisiensi, Efisien, ditinjau dari penggunaan peralatan atau instrumen musik.
Musik yang ditampilkan di villa hanya menggunakan beberapa peralatan sederhana untuk
ukuran pementasan musik. Efektif karena sudah dapat menjangkau tujuan utamanya yakni
memainkan berupa lagu-lagu musik untuk kebutuhan baik wedding ceremony maupun
hiburan.Dari pengamatan yang dilakukan didapatkan data peralatan musik yang digunakan
di Villa Sanctus sangat sederhana. Peralatan itu antara lain, biola 1 biola 2 biola alto dan
cello. Keyboard yang dipergunakan adalah Roland BK-3, dengan pertimbangan untuk
mengganti instrument piano yang berfungsi sebagai pengiring laguehingga selain
digunakan untuk mengeringi band, dapat juga digunakan untuk solo keyboard ketika format
musik yang harus ditampilkan adalah solo keyboard. Masyarakat penggemar musik
mempunyai selera berbagai macam jenis musik. Jenis musik yang banyak digemari antara
lain klasik, jazzy, sweet memories, back to sixties, oldies, dan lain-lain. Untuk lebih
meningkatkan daya tarik tamu. Pihak pengelola villa menyusun secara variatif. Hal itu
bertujuan untuk memberikan kepuasan customer dengan menyesuaikan selera jenis musik
yang digemarinya.
Tujuan pengelolaan villa oleh pihak villa Sanctus untuk menarik banyak costumer
adalah senada dengan teori tentang popular art yang dikemukakan oleh Arnold Hauser dan
pernyataan tentang musik musik oleh Dieter Mack. Pengamatan tentang penyajian musik di
Villa Sanctus menunjukkan adanya kesamaan dengan teori di atas, yakni mementingkan
selera kebanyakan orang. Villa Sanctus Uluwatu Bali dengan sangat hati-hati mengelola
penyajian live music dalam hal ini wedding ceremony dan hiburan, untuk menarik minat
banyak orang. Kepuasan dan selera banyak orang menjadi tolok ukur keberhasihan
penampilan musik musik yang ditandai dengan banyaknya tamu yang memanfaatkan
program di villa ini. Pengelolaan villa dengan melibatkan musik musik sebagai daya tarik
tersebut apabila digambarkan dengan bagan atau alur adalah sebagai berikut:
Pengunjung/ tamu
Villa Sanctus
Uluwatu Bali
Fasilitas Musik
Dampak/Tujuan
utama
Event Tingkat hunian
villa
Bagan 1. Musik sebagai sarana villa mencapai tujuan utama
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
341 Repertoar
Repertoar musik yang secara rutin ditampilkan musisi untuk acara wedding
ceremony antara lain lagu-lagu klasik yang terdiri dari canon in D, wedding mars, ave
maria, spring, winter dan lain-lain. Sedangkan untuk acara party atau hiburan lagunya
tidak dibatasi kebanyakan lagu lagu pop atau lagu kenangan lama seperti Autumn Leaves,
Monalisa, When I Fall in Love, dan lain-lain. Lagu-lagu itu menjadi semacam standart
yang dimainkan dalam penampilan musisi.
Lagu ini dimainkan dengan formasi trio yaitu instrument biola 1 memainkan melodi
pokok, instrument biola 2 memainkan suara 2 dan cello sebagai pelengkap harmoni yang
memperindah lagu. Lagu ini bawakan dalam acara wedding ceremony, dimainkan ketika
kedua pengantin datang dan berjalan memasuki capel. Jadi fungsi lagu ini untuk mengiringi
perjalanan penganten menuju capel. Panjang dan pendek lagu ini di sesuaikan dengan
lamanya jalanya pengantin, jadi bisa dimainkan utuh dan bisa juga dimainkan sebagian.
Formasi musik yang disajikan di Villa Sanctus
Ada bermacam-macam formasi musik yang di Villa Sanctus, sesuai dari permintaan
para tamu. Pertunjukan live music terdiri dari 5 bentuk yaitu:
a. Kuartet.Terdiri dari 4 pemain, biasanya diisi dengan instrument biola 1, biola 2, biola
alto, cello. Bentuk kuartet ini paling sering di mainkan di acara ceremony. Biola 1
memainkan suara 1, biola 2 memainkan suara 2, biola alto memainkan suara 3 dan cello
sebagai pengiring, sehingga harmoninya menjadi lengkap.
b. Trio. Terdiri dari 3 pemain, instrumenya terdiri dari: biola 1, biola 2 dan cello, tetapi
terkadang bentuk formasinya terdiri dari biola,cello, keyboard atau piano. Biola memaikan
melodi pokok atau suara satu, keyboard atau piano sebagai pengiring, dan cello sebagai
pengisi atau pemanis melodi. Bentuk trio ini sering di minta dalan acara ceremony dan
acara hiburan.
c. Duet. Terdiri dari 2 pemain, instrumenya terdiri dari biola 1 dan biola 2, bentuk duet
ini juga sering di mainkan di acara ceremony, Biola 1 memainkan suara 1, biola 2
memainkan suara 2.
d. Solo. Terdiri dari 1 pemain, instrumenya piano atau keyboard. Kebanyakan lagu yang
dimainkan adalah lagu pop dalam acara hiburan.
e. Campuran. Campuran ini terdiri dari beberapa instrument yang pemainya lebih dari 4
orang. Instrumenya terdiri dari: biola 1, biola 2, cello, piano dan vocal. Bentuk campuran
ini sering di pakai untuk acara non ceremony atau dalam acara hiburan atau party. Lagu
yang di mainkan terdiri dari lagu klasik dan pop. Vocal: menyanyikan melody pokok. Biola
1: memainkan melody pokok yang bergantian dengan vocal. Biola 2: sebagai pemanis,
memainkan suara 2 dan mengisi kekosongan. Cello: sebagai pemanis dan penguat harmoni.
Piano: sebagai pengiring.
Latar Belakang Musisi di Villa Sanctus
Musisi di Villa Sanctus Uluwatu Bali terdiri dari musisi berlatar belakang
pendidikan formal dan musisi otodidak. Pada musisi berpendidikan formal tidak lepas dari
faktor lingkungan seperti kebanyakan berasal dari keluarga musisi, sehingga keinginan
untuk belajar musik terprogram dari awal. Sedangkan musisi otodidak pada umumnya
menekuni dunia musik diawali dengan hoby dengan belajar sendiri. Untuk lebih jelasnya
berikut adalah uraianya ;
Musisi berlatar belakang pendidikan formal
Musisi berlatar belakang pendidikan formal ini belajar musik bukan hanya sekedar
hoby saja,tetapi mereka memang bernar-benar merencanakan untuk menjadi musisi melalui
pendidikan formal, seperti Sekolah Menengah Musik, Institute Seni Indonesia. Mereka
belajar secara detail baik teori musik, sejarah musik, praktek instrument dan ilmu-ilmu
yang ada hubunganya dengan musik. Dalam keseharian mereka berkecimpung di bidang
musik, sekitar 75% ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu musik, terutama praktek. Konserkonser selalu mereka lakukan baik dikampus maupun luar kampus. Tetapi konser yang
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
342 mereka lakukan adalah konser klasik, dengan membaca partitur, semua yang mereka
mainkan berdasarkan part yang tertulis baku, tanpa mengurangi dan menambah. Partitur
yang sudah ada, yaitu karya-karya komponis besar seperti:Bach, Mozart, bethoven, vivaldi,
dan lain- lain. Mereka belajar dengan kurikulum yang sudah terprogram dengan baik. Dan
ketika mereka lulus nanti akan jadi musisi yang profesional.
Musisi berlatar belakang otodidak
Musisi pada umumnya menekuni dunia musik diawali dengan hoby, diawali ketika
musik menjadi suatu hobi untuk menyalurkan kesenangan. Pada mulanya mereka bermain
musik dengan teman-teman sebaya di keluarga, sekolah, atau kawan permainan, Pada tahap
itu mereka belum berpikir untuk mengembangkan dunia musik secara profesional. Mereka
sudah cukup senang dan puas dapat tampil di atas pentas panggung-panggung kesenian
kampung dan sekolah seperti event perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, atau
perayaan tutup tahun sekolah. Karena hanya bersifat menyalurkan kesenangan atau hobi,
tidak terpikir untuk mendapatkan bayaran sebagai imbalan dari bermain musik tersebut.
Dibeberapa event tertentu mereka mendapatkan honor tetapi belum menjadi tujuan
utamanya.
Musik sebagai syarat kelengkapan fasilitas dan daya tarik pengunjung. Dengan
bermain hanya untuk menyalurkan hoby membuat mereka tidak berpikir akan perlunya
pendidikan musik formal. Pendidikan formal mereka tetap pada sekolah umum, dalam arti
bukan sekolah seni khususnya musik. Setelah mencapai jenjang pendidikan yang lebih
tinggi mereka harus menempuh pendidikan sesuai keinginan dan cita-citanya. Sambil
menekuni pendidikan formal umum, mereka tetap menyalurkan bakat dan minatnya pada
musik. Dengan pergaulan yang semakin luas, tempat pementasan mereka tidak terbatas
hanya di sekolah tempat mereka belajar, tetapi meningkat pada event lain seperti pesta
pernikahan, ulang tahun, dan lain-lain. Pada tahap ini selain menyalurkan hobi, mereka
sudah mempunyai tujuan lain yakni mendapatkan imbalan uang.
Bali merupakan daerah pariwisata, sebagai penunjang industri pariwisata musik
sangat diperlukan. Villa, hotel, bar banyak dibangun di kota ini. Sebagai kelengkapan
fasilitas pada umumnya. villa berstandar internasional kebanyakan menyelenggarakan
pementasan live demikian banyak dibutuhkan tenaga musisi bermain pada villa, hotel dan
bar di Bali. Setelah banyak bermain pada event-event pengalaman mereka semakin banyak,
jam terbang mereka semakin banyak, dan mereka mengembangkan hoby bermain musik
menjadi profesi, dan tawaran-tawaranpun mulai berdatangan dari villa, hotel, bar di Bali,
musik bukan lagi sebagai penyaluran kesenangan atau hoby, tetapi bekerja untuk mencari
uang. Mereka dituntut untuk dapat memberikan pelayanan musik atau entertainment bagi
tamu pengunjung.
Pengalaman dan belajar sendiri dari lingkungan adalah cara untuk meningkatkan
kompetensi teknis bermain .musik maupun kompetensi yang lain seperti performance,
berkomunikasi dengan audiens, dan kemampuan lain dalam bidang entertainment. Dengan
demikian jalan mereka sebagai musisi tidak dilakukan melalui metode pendidikan musik
formal.
Metode yang di gunakan oleh musisi di Villa Sanctus
Musisi di Villa Sanctus Uluwatu Bali terdiri dari musisi otodidak dan musisi
berlatar belakang formal. Metode yang di gunakan berbeda antara lain:
Metode yang digunakan musisi otodidak
Metode yang digunakan musisi otodidak adalah, belajar instrumen musik sendiri
tanpa guru, atau belajar dari lingkungannya, tanpa melalui sekolah musik formal.Proses
belajar musik sendiri tanpa guru sangat unik, karena dapat dikatakan belajar bermain musik
tanpa belajar teori musik. Ada beberapa teknik yang diketahuinya, tetapi hanya sebagian
kecil saja. Beberapa hal atau kemampuan yang mereka miliki antara lain:
Musikalitas. Secara umum musikalitas mereka sangat bagus, menonjol pada kemampuan
mendengarkan. Mereka menyebut kemampuan mendengarkan adalah feeling atau perasaan,
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
343 yakni kemampuan menebak nada-nada lagu dengan tepat. Kemampuan inilah yang
dijadikan modal utama mereka mengembangkan kompetensi musiknya.
1) Cara membaca notasi. Sebagian besar musisi otodidak membaca notasi angka,
sedangkan notasi balok hanya yang mudah-mudah saja. Karena mereka masih asing dengan
not balok, tetapi tetap berusaha membaca dari yang paling mudah. Mereka juga membaca
simbul-simbul akord yang dikembangkan sendiri.
2) Teknik bermain instrument musik. Teknik memegang instrument banyak yang masih
belum benar, misalkan pada biola tangan kiri terlalu turun, kurang tegap. Dan teknik posisi
juga banyak yang masih asal, dalam instrument biola misalnya teknik posisi yang benar
sudah diatur sesuai kebutuhan, namun musisi otodidak hanya mengutamakan suara yang
dihasilkan, jadi posisi sering tidak diperhatikan, hal ini disebabkan kurangnya belajar
teknik posisi dari metode klasik.
3) Ilmu harmoni. Pengetahuan tentang ilmu harmoni pada umumnya hanya sedikit,
namun mereka paham tentang akord untuk mengiringi sebuah lagu. Mereka dapat
mengetahui tepat atau tidaknya sebuah akord diterapkan, karena terbiasa mempelajari lagu
yang sudah ada unsur harmoninya atau iringannya.mereka mengetahui unsur-unsur nada
yang ada dalam akord, sehingga mereka mengembangkanya sesuai keinginannya masingmasing
4) Kreatifitas. Tingkat kreatifitas dan kemandirian dari musisi otodidak sangat tinggi,
kondisi tanpa guru menuntut mereka untuk lebih mandiri dan kreatif. Sehingga mereka
mempunyai kemampuan improvisasi yang bagus, kepekaan feeling yang kuat, dan tidak
tergantung pada notasi.
Mendengarkan
Mengingat-ingat/
menghafal
Memainkan Bagan 2 Proses pembelajaran musisi otodidak
Metode yang digunakan musisi pendidikan formal
Metode yang digunakan musisi pendidikan formal adalah, belajar instrumen musik
secara formal di sekolah formal, dengan menggunakan metode-metode klasik yang sudah
ada. Dalam proses belajar musik klasik ini selalu didampingi guru minimal satu kali
dalam seminggu. Jadi guru mengontrol perkembangan muridnya setiap seminggu sekali,
dan murid wajib belajar sendiri atau berlatih sekurang-kurangnya 2 jam setiap hari. Hal-hal
yang harus dipelajari dalam metode klasik yaitu scale dan arpeggios, teknik, etude, lagulagu sesuai grade.saja. Beberapa hal atau kemampuan yang mereka miliki antara lain:
1) Musikalitas. Selain bakat musikalitas yang bagus, ketekunan dalam berlatih adalah
modal utama mereka dalam bermusik. musisi berpendidikan formal menonjol pada
kemampuan permainan teknik, sight reading, permainan scale dan arpeggios, penguasaan
repertoar klasik yang banyak.
2) Cara membaca notasi. Musisi ini belajar membaca notasi dari dasar, dari not yang
paling dasar, dibutuhkan konsentrasi, kesabaran, dan kemauan untuk bisa membaca notasi
balok. Dengan bertahap dari dasar ke tingkat yang lebih susah dan seterusnya, hingga
grade paling tinggi.sehingga kemampuan membaca notasi balok mereka sangat bagus,
karena sudah terlatih setiap hari. Bahkan lebih bagus dari pada penguasaan dalam membaca
not angka. Sight reading sangat bagus, dengan part yang baru dan grade tinggi mereka
tidak ada masalah dalam membaca, dan langsung bias tanpa harus mempelajarinya terlebih
dahulu. Hal ini akan mempermudah mereka untuk mempelajari lagu-lagu baru dan teknik
yang udah ada di buku. Sehingga tak ada kendala dalam memperkaya atau memperdalam
ilmu musik.
3) Tekhnik bermain instrumen musik. Teknik bermain instrument musik mereka sangat
bagus, berbagai macam teknik mereka pelajari, baik teknik fingering, posisi, dan teknik
lainnya. Kebayakan dipelajari dari guru dan membaca buku-buku tehnik yang udah ada.
Seperti pada buku zuzuki, hohman heim, kaesyer, wolhfat, violin metode, dalam buku
tersebut memuat teknik, scale arpeggios, dan lagu klasik sesuai grade dan kebutuhan.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
344 4) Ilmu harmoni. Pengetahuan tentang ilmu harmoni pada umumnya sudah mereka
kuasai, karena mereka mendapatkan pelajaran atau mata kuliah ilmu harmoni, baik secara
teori maupun praktek, sehingga bisa dijadikan modal untuk mengaransemen lagu-lagu bila
diperlukan. Hal tersebut mereka lakukan dengan cara mengaransemen yang ditulis dahulu
berupa notasi-notasi baru yang nantinya akan dimainkan.
5) Kreatifitas. Musisi ini sangat tergantung dengan notasi balok, sehingga kreatifitas
mereka kurang, mereka hanya bisa bermain dengan lancar dan bagus ketika bermain
dengan membaca notasi balok. Tanpa notasi balok mereka akan tersendat-sendat dalam
bermain, dalam hal improvisasi, kepekaan feeling mereka sangat kurang.
Pengembangan musikalitas musisi di Villa Sanctus
Musisi di Villa Sanctus Uluwatu Bali terdiri dari musisi otodidak dan musisi
berlatar belakang formal. Pengembangan yang di gunakan dengan saling melengkapi antara
lain
Pengembangan pemain musik otodidak
Pemain musik otodidak memiliki bakat musikalitas yang luar biasa dalam dirinya,
hanya saja mereka tidak mendapatkan kesempatan belajar dengan guru musik di pendidikan
formal. Mereka belajar sendiri dengan melihat video-vidio, you tube, dan melihat dan
mencuri ilmu dari musisi yang mereka jumpai. Dengan modal kemauan dan bakat yang
tinggi mereka bisa menjadi musisi yang bisa disetarakan dengan musisi yang dari
pendididkan formal. Tetapi tentu saja mereka mempunyai banyak keterbatasan baik secara
tekhnik dan dalam membaca notasi. Dengan bertemunya mereka dengan musisi yang
berpendidikan formal mereka bisa mengembangkan musikalitas mereka dengan saling
bertukar ilmu sehingga kekurangan mereka bisa terlengkapi,sehingga ilmu mereka tidak
mengalami stagnasi. Adapun unsur-unsur musikalitas yang menjadi kekurangan musisi
otodidak yang harus di latih dan dikembangkan adalah :
1) Teknik bermain scale. Teknik tangga nada yaitu permainan nada-nada yang berurutan
seperti 1, 2, 3, 4, 5, 6,7, i (do, re, mi, fa, sol, la, si, do) terdiri dari satu oktaf sampe 3
oktaf, tangga nada ini bisa dimulai dari beberapa kunci seperti G, A, Bes, C, D dan lainlain. Tapi ini yang paling basic.
2) Teknik arpeggios. Teknik tri suara atau tiga nada yang melompat seperti 1, 3, 5, I (do,
mi, sol, do ) teknik ini dimainkan pada setiap tangga nada.
3) Teknik bermain etude. Merupakan latihan penjarian dengan memainkan bermacammacam teknik sperti staccato, legato, spicato, pzicato, dan lain-lain.
4) Teknik membaca notasi. Belajar membaca not balok memerlukan suatu ketekunan,
kesabaran, kedisiplinan dan konsentrasi. Karena dalam membaca not balok ada perpaduan
antara ilmu matematika dengan logika yang di padukan dengan rasa. Apa yang sudah
tertulis dengan baku harus dimainkan sesuai tulisan, dalam belajar membaca notasi tempo
harus lambat dulu tetapi harus teratur, tidak boleh berubah-ubah, kalau sudah lancar tempo
bisa di percepat lagi. Belajar not balok memerlukan proses tidak bisa instant.
Pengembangan musisi berpendidikan formal
Selain bakat musik yang tinggi, kebanyakan latar belakang musisi berpendidikan
formal dari keluarga musisi juga. Jadi lingkungan mereka sudah terbisaa dengan musik,
bahkan sejak kecil mereka sudah diajari musik oleh orang tuanya sehingga mereka memang
sudah mempersiapkan belajar musik dari usia dini. Mereka belajar musik dengan metode
klasik, sehingga penguasaan teori musik dan teknik-teknik seperti: scale dan arpeggios,
etude, teknik posisi, membaca repertoar sangat mereka kuasai. Namun mereka sangat
tergantung dengan notasi balok, tanpa notasi mereka tidak akan lancer dalam bermain
music. Hal ini merupaka kekurangan dari musisi berpendidikan formal. Supaya kekurangan
tersebut bisa terlengkapi perlu adanya pengembangan musikalitas yang harus mereka latih
dan gali seperti :
1) Kepekaan feeling. Kepekaan feeling selain memang bakat dari lahir, muncul juga
karena kebisaaan latihan tiap hari, dengan cara mendengarkan lagu tanpa melihat
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
345 notasinya, sehingga apa yang di dengar berusaha di cari dengan memainkan instrumen
tersebut seperti apa yang telah didengar. Dengan sering berlatih seperti itu feeling akan
terlatih dengan baik.
2) Improvisasi. Improvisasi merupakan penuangan ide-ide secara spontan dari seorang
musisi yang mengalir begitu saja. Dengan mengembangkan lagu pokok dengan
menambahkan filler, cengkok, sehingga lagu akan terdengar sedikit berbeda, bahkan lebih
manis karena tambahan sentuhan dari pemain. Improvisasi bila diulang tidak akan
sama,terdengar berbeda karena pemain benar-benar bebas menuangkan kreatifitas dalam
permainanya. Improvisasi juga bisa dilatih pelan-pelan dengan memainkan lagu secara
utuh dulu, jika lagu pokok sudah dihafal, maka bisa menambahkan beberapa nada yang
masih dalam satu unsur harmoni.
3) Cara cepat menghafal lagu (memorizing). Teknik menghafal lagu sebenarnya
bukanlah hal yang susah, merupakan suatu kebisaaan saja. Bisaanya musisi yang tidak bisa
lepas dengan part atau notasi akan kesusahan dalam menghafal lagu. Jadi cara yang mudah
ialah sesekali harus bermain tanpa melihat notasi, supaya tidak terlalu tergantung dengan
notasi, dan akan cepat dalam mengahafal lagu.
4) Penjiwaan lagu. Musisi klasik bisaanya bermain musik dalam formasi orkes, semua
diatur oleh kondakter, dari dinamika, tempo dan lain-lain. Berbeda dengan musisi otodidak
yang kebanyakan bermain dalam formasi yang lebih kecil, sperti kwartet, trio, duet, solo.
Jadi mereka bermain tanpa kondakter, mereka harus menuangkan interprestasi mereka
dalam permaianannya tanpa panduan dari kondakter. Sentuhan- sentuhan ekspresi harus
murni mereka munculkan tanpa aba-aba dari kondakter, terutama pada pemain solo mereka
akan lebih bisa menjiwai lagu penuh dengan ekspresi tanpa terpaku dengan adanya notasi,
jadi konsentrasi dalam menjiwai lagu akan lebih muncul. Dengan cara berlatih tiap hari
dan juga sering memainkan lagu-lagu tanpa notasi.
Kompetensi Non Teknis Musik
Dalam pengamatan dan wawancara didapatkan kenyataan bahwa musisi harus
menguasai materi pokok yakni teknis bermain musik atau membawakan lagu. Di samping
itu, mereka dituntut juga untuk mempunyai kompetensi penunjang yang lain. Kompetensi
penunjang diperlukan untuk mendukung penampilannya pada waktu bekerja melaksanakan
tugasnya menghibur tamu. Kompetensi non teknis mereka adalah menghibur tamu yang
harus didukung dengan hal-hal berikut:
a. Komunikasi. Kemampuan berkomunikasi yang baik kepada penonton sangat
diperlukan ketika berada di atas pentas. Kemampuan berbahasa asing juga penting karena
tuntutan tamu yang datang banyak dari luar negri. Sesuai dengan tujuan seni musik adalah
memberikan rasa senang kepada penggemarnya.Untuk dapat memberikan kepuasan
pengunjung villa, maka musisi Villa Sanctus Uluwatu Bali harus dapat membuat para tamu
benar-benar nyaman. Mereka tidak hanya sekedar memainkan musik, tetapi juga membuat
suasana menjadi lebih hidup. Suasana yang lebih hidup diciptakan dengan cara melakukan
komunikasi yang baik kepada pengunjung.
b. Penggunaan kostum. Musisi Villa Sanctus Uluwatu Bali pada waktu bertugas,
bagaimanapun juga adalah sosok yang tampil di atas pentas dan ditonton oleh audiens.
Mereka dituntut untuk dapat tampil sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang sedang
dijalaninya. Mereka menggunakan kostum yang menarik tetapi sesuai dengan etika, dan
tata rias yang baik yang disesuaikan dengan acaranya .
c. Bersikap sopan. Dalam penampilannya dipanggung, musisi Villa Sanctus Uluwatu
Bali diharapkan dapat menggunakan bahasa tubuh serta sikap yang baik dan sopan untuk
mendukung gaya dan performance mereka. Selain itu di sela-sela bermain musik atau
menyanyi kadang tamu meminta mereka untuk menemani berdansa atau sekedar mengajak
berbincang. Hal itu menuntut mereka untuk dapat bersikap yang baik, selalu menjaga etika
dan sopan santun.
SIMPULAN
Musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali ditampilkan sebagai kelengkapan fasilitas
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
346 villa standar internasional. Musik tersebut dikemas dalam bentuk live music atau musik
langsung untuk prosesi wedding ceremony dan hiburan. Adapun formasinya bisa kwartet,
trio, duo,solo dan campuran akan tetapi dalam acara didominasi dengan formasi kwartet.
Selain sebagai fasilitas villa, terdapat beberapa faktor terkait yang dianggap mempunyai
pengaruh terhadap kemajuan bisnis villa dalam hal ini, antara lain: Live music memberikan
kenyamanan untuk dinikmati, sehingga musik itu dianggap tepat untuk ditampilkan di Villa
Sanctus sebagai salah satu vasilitas.
Suasana acara di villa memungkinkan para pengunjung menikmati musik dalam
suasana hikmat dan menghibur. Pekerjaan musisi sangat spesifik yakni bermain musik
untuk prosesi wedding ceremony dan hiburan.Musisi selain menyajikan lagu-lagu yang
sudah disiapkan dengan hikmat khususnya untuk wedding ceremony, untuk hiburan juga
melayani request atau permintaan para tamu, dan siap mengiringi para tamu menyanyi atau
berdansa. Segala sesuatu yang dilakukan musisi pada saat bermain atau bekerja adalah
untuk memberikan kepuasan bagi para pengunjung villa. . Musik dianggap efisien
ditampilkan di villa karena ditinjau dari peralatan atau instrumen musik yang digunakan
hanya sederhana, namun efektif.
Metode yang digunakan musisi dalam bermain musik di villa ini, adalah: metode klasik
dan metode otodidak. Musisi yang ada pada umumnya belajar dengan cara saling
melengkapi. Dengan bertemunya para musisi yang berpendidikan formal dan non formal,
mereka bisa mengembangkan musikalitas diri dengan saling bertukar ilmu sehingga
kekuranganny terlengkapi. Kekurangan musisi otodidak yang harus dilatih dan
dikembangkan adalah teknik bermain scale. teknik arpeggios, teknik bermain etude, teknik
bermain posisi dan teknik membaca notasi.
DAFTAR PUSTAKA
Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta. Kanisius.
Pasaribu,Ben M, 2006. MusikMusik. Jakarta:Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.
REVITALISASI MUSIK MANDOLIN DI DESA PUPUAN TABANAN
SEBAGAI PEREKAT BUDAYA BANGSA
I Gede Mawan
Program Studi Pendidikan Sendratasik,Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected]
Abstrak
Ragam bentuk gamelan yang diwarisi oleh masyarakat Bali, merupakan peninggalan
budaya daerah yang sangat penting artinya dalam sejarah perkembangan kesenian Bali. Musik
Mandolin yang merupakan musik golongan baru, dalam perkembangannya mengalami pasang
surut yang biasa dialami oleh semua jenis kesenian yang berkembang di masyarakat. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor, bentuk, dan persepsi masyarakat tentang musik
Mandolin di desa Pupuan Kabupaten Tabanan. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian studi
kasus tentang revitalisasi musik mandolin dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang
diperoleh dari hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan kurang
berkembangnya musik Mandolin di masyarakat. Faktor internalnya antara lain; kurangnya bakat
dan kemampuan, kurangnya sikap terbuka, kurang kreatif dalam memanfaatkan peluang dan
kesempatan yang ada. Sedangkan faktor eksternalnya antara lain; faktor ekonomi, teknologi, serta
media yang menjadi penyebar informasi. Eksistensi sebuah kesenian yang berkembang di
masyarakat tidak terlepas dari peranan masyarakat pendukungnya. Revitalisasi dan regenerasi
merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk menyelamatkan sebuah seni pertunjukan.
Masyarakat beranggapan bahwa betapa pentingnya melakukan revitalisasi terhadap berbagai jenis
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
347 kesenian yang berkembang di masyarakat, agar keberadaannya tetap lestari sebagai warisan budaya
yang adiluhung dan sekaligus sebagai identitas daerah dalam merekatkan budaya bangsa.
Kata kunci: Revitalisasi, Musik Mandolin, Perekat Budaya Bangsa.
Abstract
Various forms of gamelan which are inherited by the people of Bali is a local cultural
heritage that is very important in the history of Balinese art. Mandolin music which is a new class
of music, in its development has tide that commonly experienced by all types of art developing in
the community. This study aimed to describe factors, shape, and public perception of the music in
the village Mandolin Pupuan Tabanan. This study was designed as a case study on the
revitalization of mandolin music by using a qualitative approach. Data obtained from the research
results indicate that there are two factors that cause of underdevelopment Mandolin music in the
community. The internal factors are; lack of talent and ability, lack of openness, lack of creativity
in exploiting opportunities and opportunities. While the external factors are ; economic factors,
technology, and media that spreading the information. The existence of arts which are developing
in the community is inseparable from the role of community supporters. Revitalization and
regeneration are absolute and must be done to protect a performance art. People assume the
importance of revitalizing the various types of art that developed in the community, in order to
sustain as a valuable cultural heritage and also regional identity in unifying the culture of the
nation.
Keywords: Revitalization, Music Mandolin, Adhesives Culture Nation.
PENDAHULUAN
Di Bali, saat ini seni pertunjukan masih memiliki tempat yang sangat istimewa khususnya di
kalangan masyarakat Hindu Bali. Hal ini tiada lain karena begitu pentingnya peranan seni
pertunjukan dalam berbagai aspek kegiatan sosial dan keagamaan pada masyarakat setempat. Seni
pertunjukan adalah seni yang ekspresinya dilakukan dengan jalan dipertunjukkan, karenanya seni
ini bergerak dalam ruang dan waktu. Oleh sebab itu, seni pertunjukan merupakan seni yang sesaat,
seni yang tidak awet dan hilang berlalu setelah seni itu dipentaskan. Seni pertunjukan meliputi seni
tari, seni musik, dan seni drama (teater). Masyarakat Bali percaya bahwa upacara keagamaan bisa
terlaksana dengan baik dan sempurna setelah kehadiran pagelaran seni pertunjukan (tari, karawitan,
wayang) baik sebagai pengiring upacara maupun pelaksana suatu upacara agama.
Sebagai salah satu sarana upacara yang mengandung nilai-nilai satyam (kebenaran), siwam
(kesucian), dan sundaram (keindahan) dalam agama Hindu-Bali, Seni Karawitan Bali sangat
dibutuhkan keberadaannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan spiritual keagamaan
masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena fungsinya yang begitu kompleks dalam berbagai
kegiatan upacara sehingga Seni Karawitan Bali (gamelan) mendapat porsi yang cukup istimewa di
kalangan masyarakat Hindu-Bali. Ketiga domain gejala manusiawi itu sebenarnya berada di
wilayahnya sendiri-sendiri. Keindahan berada dalam cakupan tangkapan indrawi, sementara
kesucian ditangkap melalui moral atau hati nurani , dan kebenaran bersangkutan dengan tangkapan
rasio (Hadi, 2006 :20). Keindahan seni yang sering dihubung-hubungkan dengan kebenaran dan
bahkan kesucian, karena seni dapat dilihat pula sebagai lencana bagi kebenaran moral maupun
etika kebaikan pada umumnya, dapat pula diibaratkan maksud etis yang diselimuti bentuk
inderawi.
Karakteristik masyarakat Bali umumnya mempunyai fleksibelitas adaptasi yang tinggi.
Sesuai dengan sifat itu, masyarakat Bali pada umumnya masih mempertahankan kesenian
tradisional yang telah ada sejak zaman lampau dengan cara mendekatkan seni mereka dengan
konteks kehidupan masyarakat secara fungsional. Dalam konteks ini, seni di samping diperlakukan
sebagai hiburan juga diperlakukan sebagai tujuan ritual, sehingga aktivitas keseharian masyarakat
seakan-akan tidak pernah ada jarak dengan kehidupan seni. Walaupun mereka sangat fanatik
menempatkan seni tradisi dalam berbagai upacara ritual, namun mereka sangat terbuka dan
antusias terhadap hasil karya seni yang bernafas baru (Dibia, 1999 : 9).
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
348 Hadirnya globalisasi telah secara perlahan-lahan membuat dunia tempat manusia hidup
menjadi satu dengan yang lain, batas-batas politik, budaya, ekonomis yang tadinya jelas, dimasa
sekarang menjadi semakin kabur serta tampak kesalingberhubungan. Zaman terus berubah, dunia
terus bergerak, dan teknologi komunikasi semakin canggih sehingga tidak menutup kemungkinan
terjadi mobilitas sosial. Pada saat ini di Bali, kenyataannya bahwa tidak saja berdomisili orang
Bali, tetapi bertempat tinggal juga berbagai etnis dengan agamanya yang berbeda-beda pula, sesuai
dengan tugas, fungsi, dan kebutuhannya.
Kehadiran globalisasi juga bertujuan untuk meningkatkan hubungan-hubungan global
multiarah di bidang ekonomi, sosial, kultural dan politik di seluruh dunia serta membuka kesadaran
kita betapa pentingnya membuka hubungan yang seluas-luasnya dengan negara lain. Dengan kata
lain globalisasi merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk mengekspresikan produk global
dan hal-hal lokal atau produk lokal dan hal-hal global (Barker, 2008: 126).
Hadirnya beragam jenis kesenian yang ada di Bali juga tidak terlepas dari pengaruh budaya
global tersebut yang telah lama kita rasakan. Selain memang merupakan budaya asli daerah Bali
ada juga yang mendapat pengaruh dari budaya luar yang dibawa oleh penduduk pendatang yang
datang ke daerah Bali. Pengaruh ini pada umumnya dibawa oleh orang-orang asing yang datang ke
daerah Bali yang tujuannya utamanya untuk berdagang serta mencari rempah-rempah yang kaya di
bumi Nusantara ini. Sambil berdagang mereka juga membawa budaya termasuk juga kesenain yang
mereka miliki. Di antara bangsa-bangsa yang datang ke daerah Bali, yang paling menonjol dan
membawa pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan kesenian Bali adalah Bangsa Tionghoa.
Kedatangan orang-orang Tionghoa (Cina) di Bali juga tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan
perdagangan. Putrawan (2008 : 23-24) dalam tulisannya menyatakan hal sebagai berikut.
“Sebagai bukti, bahwa hubungan dengan orang-orang Cina sudah berlangsung sejak
lama adalah adanya barang-barang dagangan dari Cina seperti mangkok, piring, guci, dan
alat tukar berupa uang kepeng. Kedatangan orang-orang Cina ini pada mulanya hanya
terdiri dari kaum laki-laki saja. Setelah situasi membaik, yakni setelah perang dunia
pertama, maka para migran Cina membawa serta wanita dan keluarganya. Sejak itu banyak
orang-orang Cina yang datang ke Indonesia dan juga sampai ke Bali. Kebanyakan mereka
berasal dari Fukien dan Kwantung”.
Di lain pihak (Sulistyawati, 2011:1) mengatakan bahwa hubungan komunitas
Tionghoa dengan masyarakat Bali memiliki sejarah yang cukup panjang. Bukti-bukti
arkeologi menunjukkan bahwa hubungan Bali dengan Tionghoa tampaknya telah dimulai
sekurang-kurangnya sejak awal abad pertama Masehi. Temuan cermin perunggu yang
berasal dari zaman dinasti Han dalam sarkopagus di desa Pangkung Paruk, kecamatan
Seririt, Buleleng dapat dikatakan sebagai awal hubungan Bali dengan Tionghoa.
Berdasarkan kenyataan tersebut, ternyata di Bali sampai saat ini banyak pengaruh budaya
bangsa Tionghoa dapat dirasakan dan terperlihara dengan baik, yang meliputi ke tujuh
unsur kebudayaan yaitu: (1) Sistem Religi dan upacara keagamaan; (2) Sistem organisasi
kemasyarakatan; (3) Sistem pengetahuan; (4) Bahasa; (5) Kesenian; (6) Sistem mata
pencaharian hidup; (7) Sistem teknologi dan peralatan.
Dalam bidang kesenian kiranya budaya Tionghoa mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap keberadaan kesenian yang ada di Bali. Dalam bidang kesenian pengaruh budaya Tionghoa
tersebut dapat dilihat seperti : dikenalnya pertunjukan tari sakral Barong Landung sejenis ondelondel Betawi, Tari Baris Cina sejenis Rodat, termasuk iringannya gong Bheri, cerita Sam Pik Ing
Tay, (baik dalam bentuk geguritan ataupun seni pertunjukan) (Sulistyawati, 2011 : 29). Musik
Mandolin diduga merupakan alat musik Tionghoa yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa yang
merantau ke daerah Bali pada zaman yang lampau hingga akhirnya berakulturasi dengan kesenian
daerah yang ikut memperkaya keberadaan kesenian yang ada di Bali. yang keberadaannya kini
hanya ada di beberapa desa yang ada di Bali.
Sejalan dengan modernisasi dan perkembangan zaman, yang ditandai dengan kemajuan
dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan terjadinya hubungan yang sangat intens
antarbudaya, sehingga tercipta perkembangan maupun pembaharuan dalam segala aspek kehidupan
terutama dalam bidang seni budaya. Pesta Kesenian Bali (PKB) yang dilaksanakan tiap tahun oleh
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
349 pemerintah provinsi Bali ternyata belum mampu untuk mensejajarkan perkembangan jenis
kesenian yang ada di seluruh Bali. Seakan-akan kesenian yang ada di Bali hanya didominasi oleh
kesenian-kesenian yang besar seperti: Gong Kebyar, Semar Pagulingan, Gong Gede, dan yang
sejenisnya. Masyarakat lebih cenderung menikmati kesenian yang berbau kekinian, kontemporer,
megah, dan yang memberikan nuansa meriah. Akan tetapi kesenian-kesenian yang kecil dan langka
seperti musik Mandolin ini kurang mendapat respon dan apresiasi yang baik dari masyarakat
sehingga keberadaannya menjadi terpinggirkan. Bertitik tolak dari dasar-dasar pemikiran di atas
maka dipandang sangat penting untuk mengadakan penelitian ini, sehingga hasil penelitian ini
diharapkan dapat memotivasi generasi muda, merasa terpanggil untuk mempelajari dan
mengembangkan, yang dapat dijadikan sumbangan pemikiran dalam rangka penggalian,
pelestarian, dan pengembangan seni karawitan Bali yang keberadaannya sangat dibutuhkan dalam
kehidupan sosial dan spiritual masyarakat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis
penelitian yang temuannya diperoleh melalui prosedur pengumpulan data melalui
pengamatan, wawancara, dan dokumentasi dari dunia empiris. Tujuan penelitian ini adalah
pertama, merumuskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kurang berkembangnya
musik Mandolin di desa Pupuan, kedua bentuk revitalisasi yang dilakukan terhadap musik
Mandolin, dan ketiga, merumuskan tentang persepsi masyarakat terhadap revitalisasi
musik Mandolin. Lokasi penelitian ini difokuskan di desa Pupuan kecamatan Pupuan
kabupaten Tabanan, dengan fokus penelitian pada musik Mandolin.
Sumber data dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data skunder. Data primer
adalah data yang diperoleh dari informan dan data hasil observasi langsung di lapangan,
berbentuk catatan dan rekaman hasil wawancara, pengamatan langsung baik dari pemain
gamelan atau pelaku seni itu sendiri, komposer, budayawan, tokoh masyarakat di mana
obyek penelitian tersebut dilaksanakan. Sedangkan data sekunder adalah data yang
diperoleh melalui studi pustaka (library research) melalui buku-buku yang ada
relevansinya dengan penelitian yang dilakukan seperti buku, berita koran, rekaman
pertunjukan (rekaman kaset, CD dan VCD), notulen hasil diskusi/seminar, dan jurnaljurnal ilmiah yang berkaitan dengan objek penelitian dan fenomena budaya di masyarakat.
Dalam konteks penelitian ini, ditetapkan empat buah teknik pengumpulan data yakni:
observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi kepustakaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kurang Berkembangnya Musik Mandolin Di Desa
Pupuan Kabupaten Tabanan
Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau keberadaan kesenian rakyat berada pada titik
yang terendah dan mengalami berbagai tantangan dan tekanan-tekanan baik dari pengaruh luar
maupun dari dalam. Tekanan dari pengaruh luar terhadap kesenian rakyat ini dapat dilihat dari
pengaruh berbagai karya-karya kesenian populer dan juga karya-karya kesenian yang lebih modern
lagi yang dikenal dengan budaya pop. Kesenian-kesenian populer tersebut lebih mempunyai
keleluasan dan kemudahan-kemudahan dalam berbagai komunikasi baik secara alamiah maupun
teknologi, sehingga hal ini memberikan pengaruh terhadap masyarakat. Selain itu, aparat
pemerintah nampaknya lebih mengutamakan atau memprioritaskan segi keuntungan ekonomi
(bisnis) ketimbang segi budayanya, sehingga kesenian rakyat semakin tertekan.
Segi komersialisasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah ini tentu saja didasarkan atas
pemikiran yang pragmatis dan cenderung mengikuti perkembangan-perkembangan dan perubahanperubahan yang ada. Dengan demikian, pengaruh ini jelas-jelas mempunyai dampak yang besar
terhadap perkembangan dan kreativitas kesenian rakyat itu sendiri. Di pihak lain, adanya
masyarakat yang masih setia kepada tradisinya perlahan-lahan mengikuti perkembangan
pembangunan.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
350 Kebanyakan hal tersebut (kesenian tradisional) tidak dapat bangun lagi karena kerasnya
daya saing dengan kesenian-kesenian yang sangat modern. Sementara itu pemerintah hampir tidak
peduli lagi dengan keadaan kesenian tradisional di daerah. Hal ini bisa saja disebabkan oleh
adanya asumsi-asumsi yang dikaitkan dengan konsep-konsep dasar pembangunan di bidang
kesenian yang penekanan dan intinya melestarikan dan mengembangkan kesenian yang bertaraf
dengan kecenderungan universal. Sehingga kesenian-kesenian yang ada sekarang ini dapat
dianggap tidak sesuai dengan objek-objek dan tujuan dari pembangunan yang sedang
dijalankannya. Dengan kata lain, bahwa keaslian dari suatu kesenian dipandang belum dapat
dibanggakan sebagai bukti keberhasilan suatu pembangunan di daerahnya.
Musik tradisional, yakni oleh masyarakat Bali sering disebut-sebut sebagai seni klasik,
adiluhung, dan fungsional, dianggap musik ideal yang mencerminkan nilai-nilai luhur kebudayaan
Bali sehingga perlu dilestarikan melalui kontrol sosial secara internal dengan bentuk keyakinan
pada norma yang berlaku (Sugiartha, 2012: 170). Kontrol sosial secara internal untuk
mempertahankan eksistensi musik tradisional Bali membentuk sistem dan gagasan-gagasan yang
bersifat menguasai, yakni oleh Gramsci disebut dengan hegemoni (dalam Atmaja, 2010:203,
Barker, 2008:13). Dalam hal ini terkait dengan situasi dan tempat di mana kelompok yang berkuasa
mendapatkan kewenangan dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat dengan cara
memenangi kesadaran. Kesadaran yang dibangun dilakukan dengan memenangkan pergulatan
wacana secara terus menerus, bahwa budaya popular dianggap budaya modern yang telah mapan
dan mampu beradaptasi dengan budaya global. Hal ini dilakukan secara terus menerus melalui
berbagai media massa sehingga menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menirunya.
Perkembangan, kemajuan, dan eksistensi sebuah seni pertunjukan tidak dapat dilepaskan
dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang bisa berasal dari dalam ataupun pengaruh dari luar.
Soedarsono, ( 2002 :1) mengatakan, penyebab dari hidup-matinya sebuah seni pertunjukan ada
bermacam-macam. Ada yang disebabkan oleh perubahan yang terjadi di bidang politik, ada yang
disebabkan oleh masalah ekonomi, ada yang karena terjadi perubahan selera masyarakat penikmat,
dan ada pula yang karena tidak mampu bersaing dengan bentuk-bentuk pertunjukan yang lain.
Selain itu, perkembangan seni pertunjukan bisa pula dilihat dari siapa yang menjadi penyandang
dana produksinya. Ada dua faktor pokok yang mempengaruhi perkembangan musik mandolin di
Desa Pupuan Kabupaten Tabanan.
Faktor Internal
Kurangnya Bakat dan Kemampuan
Bakat adalah salah satu bekal di antara bekal-bekal lainnya yang dikaruniai oleh
Sang Pencipta untuk mengarungi hidup di dunia.Kalau diibaratkan, bakat bagaikan cairan
kental/jel yang akan berubah bentuk sepanjang usia manusia yang sangat membutuhkan
wadah pembentuk. Di mana material wadah pembentuk bersumber dari lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Bakat ini akan berkembang
dengan baik bila didukung oleh kondisi lingkungan. Pembentukan bakat dan karakter
berkesenian juga sangat ditentukan oleh tradisi lingkungan keluarga. Kebiasaan orang tua
memberikan apresiasi terhadap berbagai bentuk kesenian sejak usia dini melalui sistem
oral, imaginatif dan imitatif merupakan akumulasi pembentukan karakter anak sejak balita.
Seperti halnya berdongeng sebelum tidur, membuai si anak dengan melantunkan tembang,
dan menyanyikan lagu-lagu gamelan sambil menggerak-gerakkan anggota badannya,
sungguh merupakan kenangan masa kecil yang tak dapat dilupakan. Jika kemudian ia
tumbuh menjadi seorang seniman yang berbakat, tentu di samping secara biologis dari
faktor genetika alamiah, tampaknya proses pembentukan watak sejak usia dini melalui
peran lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar juga tak dapat diabaikan.
Masyarakat Pupuan adalah masyarakat agraris yang mayoritas penduduknya sebagai
petani. Kehidupan keseharian masyarakatnya disibukkan dengan kegiatan pertanian. Di
samping sebagai petani sebagian masyarakatnya juga sebagai buruh tani, pedagang,
wiraswasta, pegawai negeri, dan lain sebagainya. Melihat kondisi seperti ini hampir setiap
hari baik orang tua, remaja, maupun anak-anak selalu disibukkan dengan rutinitas
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
351 kesehariannya masing-masing. Sehingga keterampilan dan kemampuan yang dimiliki
dalam bidang olah seni hanya sebatas hiburan belaka untuk mengisi waktu luang. Mereka
melakukan kegiatan kesenian sebagai dorongan nurani untuk melestarikan kesenian daerah
yang mereka miliki.
Kurangnya Motif Berprestasi
Sebagai seorang seniman yang kreatif sangat terdorong oleh berbagai situasi dan
motivasi yang memberikan stimulasi dan rangsangan untuk mengekspresikan dalam
sebuah karya. Inspirasi-ispirasi yang menarik ditorehkan dalam berbagai media sesuai
kapasitasnya sebagai seniman. Apa yang diangan-angankan terkadang disimpan dulu
dalam sebuah file notasi, sampai tiba saatnya pada sebuah moment yang tepat untuk
menuangkannya. Untuk mengasah kemampuannya seorang seniman tidak jarang
melakukan pelatihan secara mendalam, bahkan dengan semangat yang tinggi pantang
menyerah, mencari dan mendatangi guru untuk belajar segala sesuatu yang diinginkan. Ini
merupakan langkah yang prestisius dilakukan untuk meningkatkan bakat dan kemampuan
guna menuju prestasi yang lebih tinggi.
Di Bali, bahkan juga mungkin di daerah lain, tentu para seniman tidak ingin
membiarkan kesenian tradisinya menjadi beku, terpuruk, bahkan tenggelam digilas zaman.
Oleh karena itu setiap generasi muda sudah seharusnya mempunyai sikap kreatif dengan
melakukan inovasi-inovasi terhadap kesenian tradisi yang mereka warisi. Para seniman
muda harus sadar dan kreatif memberi ide-ide yang segar guna memberi sentuhan nafas
baru yang dapat mendekatkan kesenian tradisi dengan konteks kehidupan masyarakat. Para
seniman muda hendaknya terus berinovasi guna menunjukkan jati diri sehingga dapat
meraih prestasi yang unggul. Semangat berprestasi ini tidak cukup dalam pikiran saja,
namun harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang.
Kehidupan dan keberlanjutan sebuah seni tradisi di masyarakat tidak terlepas dari
prestasi yang pernah diraih oleh seni tersebut. Kehadirannya di masyarakat akan selalu
ditunggu-tunggu apabila seni tersebut dapat menunjukkan ciri dan identitasnya serta dapat
melakukan inovasi-inovasi yang kreatif tanpa meninggalkan ketradisiannya. Sebuah seni
akan ditinggalkan oleh masyarakatnya apabila tidak adanya sikap kreatif dan motif
berprestasi dari pendukungnya.
Kurangnya Sikap Terbuka
Dalam menghadapi akselerasi ilmu pengetahuan dan teknologi, transportasi dan komunikasi
yang begitu canggih, tentunya kurang bijaksana bila menutup diri terhadap perkembangan dunia.
Sedyawati (1999:2), mengatakan dalam perkembangan seni pertunjukan di Indonesia telah banyak
terjadi hubungan lintasbudaya, baik di antara suku-suku bangsa di Indonesia sendiri maupun antara
bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain. Pelaku yang tampak lebih aktif dalam hal ini adalah
yang berasal dari ”sisi pentas”. Para seniman ”pentas umum” yang melakukan anjangsana budaya
itu pada dasarnya telah mempunyai kesiapan untuk membuka diri dan menyibak sumber-sumber
baru yang di hadapannya merupakan suatu misteri ataupun tantangan.
Pendapat tersebut di atas mengindikasikan bahwa betapa pentingnya melakukan hubungan
dengan dunia luar dalam hal ini adalah berkomunikasi dengan seniman-seniman luar baik dari luar
daerah maupun dari luar negeri. Hal ini penting dilakukan untuk mengukur sejauh mana
perkembangan seni tradisi yang kita miliki, serta mengukur kemampuan kita dalam
mengembangkan, melestarikan, serta melakukan inovasi terhadap kesenian yang kita miliki.
Untuk dapat menghasilkan sebuah bentuk seni yang ideal seniman pendukung, seniman
pelaku, dan pimpinan organisasi harus terbuka dalam menerima kritikan, saran, dan masukan yang
nantinya dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk melangkah kedepan sebagai bahan pijakan dan
landasan untuk tetap bisa menjaga eksistensi sebuah bentuk seni tradisi di masyarakat. Hariyati
Soebadio (1991: 62), mengatakan sebagai bangsa yang berusaha mengembangkan diri supaya
menjadi setaraf dengan bangsa-bangsa maju, bangsa Indonesia mutlak harus mengikuti
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
352 perkembangan zaman dengan menyesuaikan diri terhadapnya. Lebih jauh dikatakan bahwa
bangsa-bangsa yang hidup tertutup atau dalam daerah terpencil, seni bersama dengan seluruh
kebudayaannya, tetap statis pada taraf tradisional yang sama, serta tampak sulit berkembang
sepanjang zaman.
Kurangnya Sikap Kreatif
Sikap kreatif seorang seniman muncul karena dorongan naluri untuk berkarya sebagai luapan
emosi yang meledak-ledak; sedangkan dorongan untuk maju (Bali : rasa jengah) merupakan etos
berkesenian (competitive pride) yang mendorong untuk menghasilkan karya bermutu. Sebagai
seorang seniman kreatif sangat terdorong oleh berbagai situasi dan motivasi yang memberikan
stimulasi untuk mengekspresikan dalam sebuah karya. Inspirasi-inspirasi yang menarik tersebut
ditorehkan dalam berbagai media sesuai kapasitasnya selaku seniman. Sebagai seorang seniman
karawitan maka apa yang diangan-angankan terkadang disimpan dulu dalam sebuah file, sampai
suatu saat ada kesempatan yang tepat untuk menuangkannya.
Memang secara realitas sangat jarang ditemukan seniman yang berkarya secara idealisme.
Artinya tanpa ada peluang dan pesanan ia tetap berkarya dan berkarya, namun umumnya seniman
kita berkarya apabila ada permintaan, pesanan atau ditugaskan dari atasan. Kendatipun demikian
tidak semuanya sebagai produk seni. Oleh karena di dalam proses karyanya tidak selamanya ada
campur tangan dari yang memesan. Tidak jarang sebuah karya memang murni merupakan
ungkapan dari kegelisahan senimannya, hanya karena faktor investasi (finansial) yang
menyebabkan ia harus menunda ekspresi emosionalnya.
Seorang seniman pada dasarnya bersifat kreatif, ia mampu melahirkan atau mewujudkan
karya yang baru, sesuatu yang belum pernah terwujud dan dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
Apabila seseorang aktifis seni hanya baru mewujudkan sesuatu seperti apa yang telah ada
sebelumnya, maka ia hanya dikatakan pengrajin, dan apabila ia melakukan atas apa yang
dianjurkan atau diajarkan orang kepadanya, bukan lahir dari gagasan atau idenya sendiri, maka ia
disebut pekerja atau pelaku seni. Dari sisi kreatifitas itulah terlihat perbedaan antara seniman dan
pengrajin atau pelaku seni, serta pikiran ini pula yang menunjukkan bahwa seniman itu adalah
seseorang yang idealis dan kreatif.
Mengkaji pendapat di atas dan dengan melihat kenyataan di lapangan bahwa musik Mandolin
di desa Pupuan dalam realitanya kurang mendapat respon dan apresiasi dari masyarakat,
disebabkan kurang adanya pembaharuan, baik dalam bentuk instrumen maupun dalam pola
repertoarnya. Lagu-lagu yang dimainkan masih terpola pada lagu-lagu tradisi yang telah ada. Tidak
ada lagu-lagu/karya-karya baru yang lebih inovatif yang dimiliki oleh sekaa ini. Seniman
pendukungnya kurang kreatif dan jeli dalam melihat pelung-peluang ke depan. Untuk mendapatkan
apresiasi yang baik dari masyarakat seharusnya dilakukan pembaharuan-pembaharuan dalam musik
tersebut, ditandai dengan masuknya gagasan-gagasan baru, untuk mencapai keadaan mantap yang
sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat masa kini. Di Bali misalnya, tentu para seniman
tidak ingin membiarkan kesenian tradisinya menjadi beku, terpuruk bahkan tenggelam digilas
zaman. Karena itu setiap seniman terus berupaya untuk melakukan inovasi-inovasi. Para seniman
secara sadar kreatif dan selektif memberi ide-ide yang segar guna memberi ‘nafas’ baru yang dapat
mendekatkan kesenian mereka dengan konteks kehidupan masyarakat masa kini. Kesadaran seperti
itu kiranya menjadi landasan pijak bagi para seniman di dalam mengolah seni sebagaimana seorang
komposer memberikan sentuhan nafas yang baru pada hasil karya karawitan yang digarapnya.
Keterpinggiran dan keterpurukan musik Mandolin selama ini disebabkan oleh kuarng
kreatifnya seniman pendukung untuk mengubah keadaan. Misalnya menciptakan garapan-garapan
baru guna membangkitkan kembali gaerah berkeseniannya, melakukan inovasi-inovasi terhadap
bentuk pertunjukan, komposisi dan strukur lagu, tanpa menghilangkan ciri khas dan identitas dari
musik Mandolin itu sendiri.
Faktor eksternal
Ekonomi
Ekonomi merupakan barbagai usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya guna mencapai
kemakmuran kehidupan atau taraf kehidupan yang lebih baik dan tinggi. Gaya dan taraf kehidupan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
353 suatu masyarakat mempunyai hubungan dan keterkaitan yang erat dengan gaya dan taraf kehidupan
keseniannya. Faktor ekonomi akan berpengaruh terhadap kehidupan kesenian suatu komunitas.
Ekonomi merupakan bagian penting dalam pengkajian sosial budaya, termasuk untuk pengkajian
kesenian. Ekonomi menempati posisi yang besar dalam aktivitas kehidupan manusia. Satu sisi akan
menjadi subjek aktivitas, dan disisi lainnya akan menjadi objek aktivitas. Sebagai subjek aktivitas
ekonomi menjadi motor penggerak. Aktivitas terlaksana karena faktor ekonomi, besar atau
kecilnya aktivitas tergantung pada ekonomi. Sebagai objek aktivitas ekonomi akan menjadi tujuan
atau sasaran aktivitas, dengan kata lain aktivitas bertujuan untuk meraih ekonomi dan mendapatkan
kesejahteraan atau taraf kehidupan yang lebih baik.
Kehidupan sebuah kesenian di lingkungan masyarakat tradisional pada dasarnya adalah
sebagai solidaritas sosial. Seniman (komposer, koreografer) tidak mengharapkan imbalan materi
atas kesenian yang ia tampilkan. Meraka akan merasa bangga dan senang ketika karyanya diterima
dan dipergunakan dalam kehidupan komunitas sosialnya, mereka akan menjadi orang terpandang
dan dihormati di lingkungan sosial tersebut. Itulah imbalan yang tidak ternilai harganya oleh
seniman tradisional. Namun walaupun demikian bukan berarti faktor ekonomi tidak berpengaruh
terhadap kesenian tradisional.
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, sektor ekonomi akan mempengaruhi seluruh
bidang kehidupan secara umum. Demikian juga halnya dengan masyarakat Pupuan juga terkena
pengaruh dari globalisasi tersebut yang dapat mempengaruhi faktor ekonomi ke dalam kehidupan
berkeseniannya. Aktivitas berkesenian masyarakat akan berjalan dengan baik jika didukung oleh
faktor ekonomi yang baik pula.
Sebagai sebuah seni pertunjukan, seni tradisi memerlukan ivent atau acara tertentu sebagai
wadah dalam pelaksanaannya agar dapat terus hidup dan bekembang. Kehidupan berkesenian di
Bali biasanya selalu dikaitkan dengan upacara keagamaan. Aktivitas upacara dapat terlaksana dan
berjalan dengan baik jika perekonomian masyarakatnya baik pula. Demikian pula dalam
pelaksanaan upacara akan terasa meriah apa bila disertai dengan aktivitas kesenian. Suatu upacara
akan bisa semarak dan meriah kalau didukung oleh perekonomian masyarakat yang baik. Jika
perkonomian masyarakat tidak baik, maka kehidupan keseniannya juga tidak akan bisa hidup dan
berkembang dengan baik.
Masyarakat desa Pupuan adalah masyarakat agraris yang mana sebagian besar penduduknya
bekerja sebagai petani dan sektor informal lainnya. Selain menggeluti pekerjaan seperti tersebut di
atas, sebagian lagi masyarakat desa Pupuan bekerja sebagai pegawai swasta, pengusaha, Pegawai
Negeri Sipil, dan sebagian lagi ada yang bekerja di luar desa Pupuan yakni merantau ke kota.
Teknologi
Saat ini, dunia berubah demikian cepat dan menyeluruh sehingga apa yang dianggap
mukjizat kemarin, hari ini menjadi hal biasa. Perubahan-perubahan terus berlangsung terutama
dimotori oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informatika.
Akibatnya, tidak hanya komoditas fisik yang leluasa diangkut keseluruh pelosok, tetapi juga terjadi
kemudahan mobilitas manusia ke seluruh penjuru dunia. Yang tidak kalah menarik ialah
penyebaran informasi. Berkat kecanggihan perangkat keras dan perangkat lunak, maka dapat
dikatakan penyebaran informasi semakin menjagat, serentak dan secara terus-menerus
mengunjungi khalayak di seluruh lapisan dunia. Terkait dengan itu, salah satu contoh pengaruh
teknologi informasi dalam bentuk berbagai alat rekam media canggih juga sangat mewarnai
perkembangan seni pertunjukan Indonesia, terutama melalui televisi, Compact Disc (CD), Video
Compact Disc (VCD), beserta antena parabolanya. Secara positif teknologi informasi telah
memungkinkan bangsa Indonesia menikmati berbagai bentuk seni pertunjukan (tari, musik, dan
teater), baik yang disajikan secara langsung maupun yang ditayangkan lewat media rekam canggih,
sehingga dapat memperkaya wawasan dan informasi yang lebih luas lagi. Namun bila media rekam
itu dipergunakan secara negatif, seperti dengan sengaja menonton VCD porno, penggunaan obatobatan terlarang, tawuran, terorisme maka semakin merosotlah etika dan moral bangsa ini.
Bersamaan dengan kemajuan teknologi, masyarakat pada umumnya mempunyai
kecendrungan untuk meniru. Misalnya dalam cara berpakaian, cara berhias, selera makan, selera
musik maupun selera tari. Sejalan dengan adanya fenomena seperti itu, terdapat kecendrungan
setiap individu semakin bebas untuk memilih selera yang ia inginkan. Hal ini terjadi dalam dunia
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
354 kesenian, yang sekarang masyarakat khususnya kaum muda sudah mulai terpengaruh oleh musikmusik dari luar Indonesia seperti break dance, disco, flamengko, dan lain-lain. Demikian juga yang
terjadi pada masyarakat desa Pupuan khususnya, anak-anak muda yang ada di sana lebih menyukai
kesenian dari luar (budaya populer; musik, tari telenovela, film, dan lain-lain) dibandingkan dengan
kesenian daerahnya sendiri.
Media
Kemajuan teknologi dan komunikasi memberi kemungkinan berkembangnya berbagai
media, dari print media yang bersifat tunggal dan linier hingga elektronik media yang bersifat
multimedia dan interaktif. Kemajuan tersebut tentu saja memberikan kekuatan yang berlipat ganda
pada media untuk semakin mudah mempengaruhi manusia. Media diciptakan oleh manusia dalam
rangka memudahkan terjadinya suatu proses komunikasi atau menciptakan komunikasi antar
manusia dalam rangka semakin meningkatkan kualitas hidupnya. Namun kemudian kehebatan
media ternyata justru sering menjadikan manusia terikat oleh kemampuan media. Keterikatan ini
menimbulkan bahaya ketika media dikuasai oleh suatu kepentingan. Media merupakan sarana
komunikasi dalam memberikan informasi dan pesan kepada khalayak. Media yang dimaksud di
sini adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan agen pemberitaan atau publikasi baik secara visual
maupun tertulis, misalnya buku, majalah, brosur, iklan, radio, televisi, dan situs internet.
Pada awalnya penyajian seni pertunjukan apapun seperti pementasan tari, karawitan, dan
pakeliran (pedalangan/wayang) dilakukan pada tempat-tempat tertentu, misalnya di kalangan jaba
pura, wantilan, dan tempat-tempat tertentu lainnya yang biasanya selalu dikaitkan dengan upacara
yadnya. Masyarakat mengetahui adanya pertunjukan tersebut melalui berita dari mulut ke mulut
atau apabila di suatu tempat ada upacara keagamaan biasanya selalu dikaitkan dengan seni
pertunjukan. Dengan adanya perkembangan teknologi dan informasi, bermunculanlah berbagai
macam bentuk media. Pertunjukan yang disajikan oleh para seniman diliput oleh media seperti:
untuk dokumentasi pribadi, dokumen penyelenggara acara/panitia, televisi, juga tidak ketinggalan
para wartawan dan media cetak lainnya.
Pertunjukan yang awalnya hanya bisa kita lihat di wantilan atau arena jaba pura pada saatsaat tertentu saja, akan tetapi berkat media seperti televisi yang tersebar di seluruh pelosok negeri,
pertunjukan seni dapat ditonton oleh masyarakat luas. Media televisi sangat bermanfaat sekali
terutama dalam pemberian informasi-informasi kepada masyarakat. Dengan masuknya arus
globalisasi menempatkan media sebagai salah atu faktor penting dalam dimensi perubahan sosial
budaya dalam masyarakat.
Bentuk Revitalisasi Musik Mandolin Di Desa Pupuan
]
Rekonstruksi
Seni tradisi adalah gudang penyimpanan makna-makna kebudayaan masyarakat
pendukungnya, memiliki kontribusi penting membangun karakter bangsa di tengah era globalisasi.
Secara bentuk dan isi, seni tradisi merupakan media komunikasi spesifik yang mengandung nilainilai estetik dan moral yang merefleksikan kebeningan nurani dan pencerahan budhi, dua pondasi
utama dari kualitas konstruksi karakter bangsa. Untuk tampil sebagai budaya tanding globalisasi,
seni tradisi sudah seharusnya mencari posisi strategis atau reposisi kultural yang merepresentasikan
dirinya sebagai modal budaya jati diri bangsa. Aktualisasi seni tradisi dalam konteks membangun
karakter bangsa dalam pengejawantahan jati diri bangsa di tengah transformasi budaya dan
hegemoni budaya massa, memerlukan idealisme berkesenian yang konstrukstif-prospektif. Ekspresi
artistik dalam seni tradisi harus direkonstruksi secara kreatif. Nilai-nilai estetik yang mengendap
pada seni tradisi tak ditabukan didekonstruksi secara kritis.
Dahsyatnya gempuran arus globalisasi, tampaknya memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap keterdesakan sejumlah kesenian tradisional Bali. Tidak sedikit dari kesenian tradisional
tersebut terancam punah lantaran sudah sangat jarang dipentaskan. Bahkan ada diantaranya sudah
lenyap tanpa bekas. Kekawatiran terjadinya sejumah kematian masal jenis-jenis kesenian
tradisional pun menyeruak. Jika upaya merekonstruksi kesenian- kesenian tradisional tersebut tidak
dilakukan secepatnya niscaya seni tradisi yang ada di Bali akan lenyap keberadaannya.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
355 Merekontruksi bukan hanya terhadap alat-alat musiknya saja, akan tetapi juga terhadap
lagu-lagu/tabuh-tabuh yang dimainkan. Hal ini penting dilakukan agar lagu-lagu yang dimiliki
yang kemungkinan hamper hilang dapat dibangkitkan kembali melalui rekonstruksi ini.
Merokonstruksi berarti menggali dan menghidupkan kembali hal-hal yang dulunya pernah ada,
yang sekarang hampir hilang dan terlupakan. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah
membangkitkan kembali musik Mandolin dari keterpinggiran dan keterdesakan akibat arus
globalisasi yang melanda seluruh dunia. Hal ini dilakukan agar keberadaannya dapat terus
dipertahankan di tengah-tengah masyarakat yang plural ini. Merekonstruksi juga berarti menata
ulang, dalam hal ini musik Mandolin yang ada di desa Pupuan perlu ditata ulang apakah dalam hal
instrumentasinya, jenis repertoarnya, ataupun bentuk penyajiannya.
Regenerasi
Lahirnya berbagai bentuk dan jenis kesenian di masyarakat tidak terlepas dari peran aktif
masyarakat, seniman, organisasi-organisasi seni (sekaa), serta dukungan dari pemerintah. Sebagai
landasan utama orang Bali berkarya khususnya dalam bidang seni karawitan adalah sebagai wujud
persembahan kepada Tuhan melalui yadnya (persembahan). Musik dalam hal ini musik tradisi
(karawitan Bali) menduduki peranan yang sangat penting di masyarakat jika dikaitkan dengan
fungsinya dalam berbagai jenis upacara yang ada di Bali. Dalam setiap upacara yang
dilangsungkan oleh umat Hindu khususnya upacara-upacara yang berlangsung baik lingkungan
sanggah, mrajan, dadia, maupun di pura tidak luput dari hadirnya suara gamelan. Umat Hindu
(teristimewa umat Hindu di Bali dan umat Hindu asal Bali) di manapun mereka berada, dalam
melaksanakan kegiatan ritual tidak pernah terlepas dengan penggunaan bunyi gamelan. Ritual
dalam agama Hindu merupakan bentuk implementasi dari filsafat dan etika (Donder, 2005 : 3).
Begitu pentingnya fungsi gamelan dimata masyarakat, sampai saat ini gamelan Bali khususnya
masih sangat eksis berkembang di masyarakat baik di dalam maupun di luar Bali. Gamelan pada
saat ini di dalam masyarakat Jawa hanya dianggap sebagai sarana seni, sedangkan di Bali (Hindu)
gamelan memiliki sifat, fungsi, dan kedudukan ganda. Gamelan di Bali selain sebagai sarana seni
pertunjukan, tetapi yang paling penting adalah bahwa gamelan juga sebagai sarana untuk
mengiringi berbagai macam ritual (Donder, 2005 : 2).
Pertumbuhan dan perkembangan gamelan di Bali dewasa ini sangatlah pesat. Hal ini dapat
dibuktikan dengan hadirnya berbagai jenis gamelan yang tersebar di seluruh pelosok pulau Bali.
Bali dikenal sangat terbuka dengan hadirnya budaya luar hanya saja masyarakat sudah semakin
pintar untuk menyeleksi mana yang baik dan mana yang tidak baik dan tidak sesuai dengan budaya
daerah sendiri. Keberadaan musik mandolin di desa Pupuan sampai saat sangatlah
menggembirakan, hal ini dikarenakan anggota/sekaa ini keseluruhan merupakan generasi muda
yang tergabung dalam sekaa “bungsil Gading” di bawah pimpinan I Made Ardana. Regenerasi
sangat penting diperlukan sebagai upaya penyegaran kembali dan sebagai pelanjut generasi yang
sudah tua.
Persepsi Masyarakat Desa Pupuan Kabupaten Tabanan Terhadap Revitalisasi Musik
Mandolin
Banyak faktor diera globalisasi ini yang memberikan kontribusi bagi pembentukan budaya
generasi muda seperti keberadaan musik barat yang makin digandrungi oleh generasi muda.
Dengan kemajuan teknologi, proses komunikasi antar manusia bukan lagi merupakan masalah.
Dalam praktiknya, seringkali nilai-nilai budaya disirnakan oleh kekuatan yang menampak dalam
masyarakat yang cenderung belum semua memahami artinya budaya. Artinya sering terlihat dalam
praktik, adanya hegemoni budaya global yang berdampak secara perlahan-lahan terhadap budaya
lokal dalam masyarakat yang menjadikan budaya lokal semakin terpinggirkan. Hal tersebut
memerlukan transformasi nilai-nilai budaya lokal secara efektif guna menyiapkan mental
masyarakat dalam menghadapi dampak globalisasi. Selama ini, mungkin budaya lokal dari peran
remaja Bali lebih dipandang berada pada wilayah ‘ketradisian” bagi masyarakatnya harus
mengikuti yang kemudian secara ideal, masyarakat menjadi tertib sosial, kultural maupun religious
sehingga terciptalah masyarakat yang bermental positif dan berperadaban tinggi (Siraj dalam
Shirmuhammad, 2003:7 dalam Wahyu 2013).
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
356 Bermacam budaya ditawarkan pada masyarakat dengan kelebihan dan kekurangannya,
kalau kurang cermat menyeleksi membawa dampak kepada budaya setempat yang mungkin bisa
berdampak pada penurunan minat bagi masyarakat pendukungnya. Tingkat penurunan yang paling
dikhawatirkan terutama bagi kalangan generasi muda, adalah kurangnya minat terhadap budaya
lokal yang dikarenakan adanya pengaruh budaya luar tersebut. Masyarakat desa Pupuan tergolong
masyarakat yang heterogen. Ini dapat kita lihat dari jenis agama dan kelompok masyarakat yang
hidup di daerah ini. Hampir semua agama ada di desa ini dan hidup berdampingan dari sejak lama
dan berbaur dengan masyarakat penduduk asli daerah ini. Kehadiran musik Mandolin pun
ditengarai di bawa oleh orang-orang Cina yang merantau ke daerah ini pada zaman yang lampau,
dan sekarang menjadi kesenian rakyat yang tumbuh di desa Pupuan.
Masyarakat sangat apresiatif dan senang apabila kesenian yang ada di lingkungannya dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik. Kita sadari bersama bahwa keberadaan seni tradisi di
masyarakat akan terus hidup dan berkembang apabila mereka diberikan ruang untuk
mengekspresikan diri. Kita sangat sering mendengar suatu kesenian hilang setelah tidak pernah
dipentaskan lagi. Setiap kesenian mempunyai pendukung dan penggemar tersendiri sesuai dengan
kapabelitias dari kesenian tersebut. Suatu kesenian akan surut perkembangannya setelah muncul
kesenian baru yang lebih menarik dari sebelumnya. Sekarang tergantung selera masyarakat yang
memilihnya. Kesenian di masyarakat akan tetap lestari dan berkembang tertgantung apresiasi dan
selera masyarakat. Apalagi kesenian yang tumbuh dan berkembang di masyarakat bukan
merupakan budaya sendiri.
Keberadaan kebudayaan tidak mungkin berkembang sendiri tanpa bersinggungan dengan
kebudayaan lain. Jika masyarakat pendukung kebudayaan itu aktif dan bersikap selektif, maka
dalam memilih segala sesuatu yang ada di dalam kebudayaan lain mendapatkan manfaat untuk
melengkapi budaya yang dimiliki. Akan tetapi ada pandangan lain yang membuat budaya itu
sendiri tidak berkembang seperti sikap etnosentris dan primordial. Etnosentrisme menurut Piliang
(2004:18) adalah sikap dikalangan para anggota suku bangsa atau Negara (atau ilmuwan) yang
secara tidak kritis menganggap adanya superioritas kelompok atau kebudayaan sendiri atas
kebudayaan-kebudayaan lain. Sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat
subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka selalu memandang budaya orang lain dari
kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah
menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan
cenderung dipertahankan apabila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya. Masyarakat Pupuan
sangat bersyukur bahwa mereka dapat menerima budaya luar yang masuk ke daerahnya asalkan
sesuai dengan kepribadian masyarakatnya.
SIMPULAN
Pertama, kehadiran sebuah seni pertunjukan di masyarakat tidak terlepas dari peran serta
masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang konsisten dalam mempertahankan keberadaan seni
tradisinya akan berdampak terhadap keberlanjutan seni tersebut. Musik Mandolin adalah sebuah
fenomena, yang mana kehadirannya di masyarakat selalu diharapkan, akan tetapi di sisi lain
mengalami tantangan dan hambatan yang begitu besar, dan harus bersaing dengan keseniankensenian yang lain yang mempunyai fungsi dan kualitas relatif lebih tinggi di mata masyarakat.
Kedua, ada dua factor yang menyebabkan musik Mandolin kurang berkembang di desa
Pupuan. Dari faktor internal dapat dilihat dari bakat dan kemampuan seniman pendukungnya,
kurang motif berprestasi dari seniman pendukungnya, kurangnya sikap kreatif, dan terbuka
menerima kritikan dan masukan yang bisa membangun kembali musik Mandolin di tengah-tengah
keterpurukannya. Hadirnya kesenian-kesenian yang baru sebagai tantangan untuk tetap
melestarikan kesenian tradisi, merupakan tantangan yang harus dihadapi dan disikapi dengan arif
dan bijaksana, dipakai sebagai acuan untuk dapat terus memotivasi diri.
Ketiga, Faktor eksternal dapat dilihat dari segi ekonomi, teknologi, dan media. Keberadaan
perekonomian masyarakat akan dapat mempengaruhi segala sektor dalam kehidupannya, termasuk
juga dalam bidang kesenian. Demikian juga bagi masyarakat Pupuan yang masyarakatnya sebagian
besar bekerja di bidang pertanian, yang menyebabkan kurangnya waktu untuk bersosialisasi dengan
anggota masyarakat lain, menyebabkan kurangnya perhatian terhadap keberadaan musik mandolin
itu sendiri. Kehadiran teknologi bagi masyarakat Pupuan merupakan peluang yang sekaligus
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
357 tantangan. Peluang yang dimaksud adalah dengan adanya teknologi yang semakin canggih
memungkinkan mengakses informasi lebih mudah, transportasi lebih mudah dan lain sebagainya.
Keempat, generasi muda merasa tertantang untuk membangkitkan kembali keberadaan
musik mandolin yang keberadaannya sekian lama tak terdengar. Berkat dorongan dan semangat
yang tinggi ahkirnya musik Mandolin yang ada di desa Pupuan dapat direkonstruksi kembali
sehingga dapat berfungsi kembali di masyarakat sebagai hiburan. Rekonstruksi dan revitalisasi ini
dilakukan dalam berbagai hal mulai instrument, repertoar, dan lain sebagainya. Masyarakat sangat
apresiatif terhadap adanya upaya untuk membangkitkan kembali kesenian Mandolin ini. Mereka
berharap besar agar keberadaannya tetap dilestarikan bahkan dikembangkan kembali agar dapat
dikenal oleh masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Nengah Bawa 2010. Komodifikasi Tubuh Perempuan, Joged “Ngebor” Bali. Denpasar:
Pustaka Larasan.
Barker, Chris. 2008. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Dibia, I Wayan. 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukkan Bali. Bandung: Masyarakat
Seni Pertunjukkan Indonesia.
Donder, I Ketut. 2005. Esensi Bunyi Gamelan Dalam Prosesi Ritual Hindu:Perspektif Filosofisteologis, Psikologis dan Sains. Surabaya : Paramita.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta : Pustaka.
Paliang, Yasraf Amir. 2003. Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
----------, 2006. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta:
Jalasutra.
Putrawan. Nyoman.2008.Babad Bali Baru.Denpasar: Pustaka Manik Geni.
Sedyawati, Edi. 1999. “Multikultural Dalam Ranah Tatap Muka Dan Perantaraan Media”,
(Makalah disampaikan dalam rangka Vestival dan Temu Ilmiah Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia di Karangasem, Bali 9-14 September 1999).
Soebadio, Haryati. 1991. “Menghadapi Globalisasi Seni” dalam Seni Jurnal Pengetahuan dan
Penciptaan Seni, No.I/01, BP.ISI Yogyakarta.
Soedarsono, R. M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Sugiartha, I Gede Arya. 2008. Gamelan Pegambuhan Tambang Emas Karawitan Bali. Denpasar:
Sari Kahyangan.
--------. 2012. ”Kreativitas Musik Bali garapan Baru di Kota Denpasar”. Disertasi (tidak
diterbitkan) Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Sulistyawati. (editor). 2011. Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali dan Indonesia.
Denpasar: Universitas Udayana.
EKSISTENSI TARI BALI DAN JAWA
DALAM BAHASA INDONESIA DAN INGGRIS
Ni Ketut Dewi Yulianti, Rinto Widyarto, Ni Ketut Yuliasih
Program Studi Seni Karawitan, Program Studi Pendidikan Sendratasik
Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected]
Abstrak
Ide awal dari penelitian ini terinspirasi dari visi ISI Denpasar untuk menjadi centre of
excellence. Untuk menjadi pusat unggulan dan menghasilkan lulusan yang unggul, kemampuan
berbahasa Inggris memegang peranan yang sangat penting. Salah satu cara untuk meningkatkan
kemampuan bahasa Inggris baik mahasiswa maupun dosen yang ada di lingkungan ISI Denpasar
adalah dengan membuat inovasi dalam pengajaran tari Bali dan Jawa dengan menggunakan bahasa
Indonesia dan Inggris bagi mahasiswa ISI Denpasar, yang dikemas dalam buku dwi-bahasa
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
358 (Indonesia-Inggris). Selain sebagai sarana peningkatan kemampuan berbahasa Inggris, hasil
penelitian ini juga dapat mendukung persebaran kebudayaan Bali dan Jawa ke dunia internasional.
Pengajaran tari bagi mahasiswa asing di ISI Denpasar dengan menggunakan bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia sementara ini tidak dilengkapi buku panduan berbahasa Indonesia-Inggris
(bilingual) sebagai acuan mahasiswa asing maupun dosennya. Dengan buku panduan yang
merupakan luaran dari penelitian ini, kiranya mahasiswa dapat lebih cepat dalam mendalami
pemahaman tentang eksistensi tari Bali dan Jawa.
Metode yang ditempuh dalam penelitian ini adalah metode penelitian penerjemahan bahasa
yang dikombinasikan dengan metode penelitian seni tari, yang diawali dengan mengumpulkan
informasi tentang eksistensi tari Bali dan Jawa, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Hasil penerjemahan tersebut diujicobakan dalam pengajaran tari bagi mahasiswa jurusan tari ISI
Denpasar. Hasil penelitian ini berupa deskripsi eksistensi tari Bali dan Jawa dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, yang kemudian dicetak berupa buku teks berbahasa Indonesia dan
bahasa Inggris ber-ISBN yang dapat dijadikan referensi dan panduan bagi dosen pengajar dan
mahasiswa ISI Denpasar yang sedang belajar tari Bali dan Jawa, dan juga bagi sanggar tari Bali
dan Jawa yang memiliki siswa asing.
Key words: inovasi, eksistensi, tari Bali dan Jawa, dan dua bahasa.
Abstract
The initial idea of this research is inspired by the vision of ISI Denpasar for being the
centre of excellence. In order to be the centre of excellence and producing great scholars, the
ability of speaking English plays an important role. One of the ways of improving the ability of
speaking English of both students and lecturers of ISI Denpasar is by making an innovation in
teacing Balinese and Javanese dances by using Indonesian and English for the students which is
presented in a bilingual book (Indonesian-English). Besides being a means of enhancing the ability
of speaking English, the result of this research can also support the spread of Balinese and
Javanese cultures internationally. The teaching of dance for the international students of ISI
Denpasar by using both English and Indonesian is not completed with an Indonesian-English book
(bilingual) as the reference for the students and the lecturers. By using this book which is the result
of this research, the students are hoped to understand the existence of Balinese and Javanese
dances more quickly.
The method adopted in this research is the translation research methods combined with
dance research method, which is started with collecting information about the existence of Balinese
and Javanese dances, then translated into English. The translation results are tested in teaching
dance to students of dance department at ISI Denpasar. The results of the research in the form of
description of the existence of Balinese and Javanese dances, which is then printed in the form of
bilingual textbook with ISBN as a reference and guidance for the lecturers and students at ISI
Denpasar who are studying Balinese and Javanese dances, and also for sangar (clubs) of Balinese
and Javanese dance that have international students.
Key words : innovation, existence, Balinese and Javanese dance, and two languages
PENDAHULUAN
Visi Institut Seni Indoensia (ISI) Denpasar adalah untuk menjadi pusat unggulan (centre of
excellence) dalam bidang penciptaan, pengkajian, dan penyaji serta pembina kesenian baik di
tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Meningkatkan kemampuan bahasa Inggris dosen dan
mahasiswa dengan menyiapkan buku panduan dalam bahasa Indonesia-Inggris yang berisi tentang
eksistensi tari Bali dan Jawa merupakan salah satu upaya yang dapat mendukung tercapainya visi
tersebut. Buku panduan pengajaran tari Bali dan Jawa dalam bahasa Inggris akan memberikan
dampak yang sangat signifikan bagi dosen pengajar maupun mahasiswa terutama mahasiswa asing
yang belajar seni tari. Para dosen pengajar akan secara langsung dapat meningkatkan kemampuan
bahasa Inggris mereka.
Hasil penelitian ini tidak hanya bermanfaat bagi dosen pengajar dan mahasiswa ISI
Denpasar, namun juga bagi semua pihak yang berkecimpung dalam dunia seni, khususnya seni tari,
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
359 mengingat pulau Bali yang merupakan daerah kunjungan wisata yang sangat terkenal di dunia,
yang selalu dikunjungi oleh wisatawan mancanegara dengan tujuan tidak hanya berwisata atau
berbinis, namun juga untuk mempelajari seni budaya Bali dan Jawa. Sanggar-sanggar seni yang
tersebar diseluruh Bali juga dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai acuan yang baku dalam
mengajarkan tari kepada orang asing, sehingga hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk
memperkenalkan budaya Bali dan Jawa ke dunia Internasional. Tulisan ini membahas eksistensi
tari Bali dan Jawa serta terjemahannya dalam Bahasa Inggris dengan menggunakan teori
penerjemaha, dengan penyajian hasil penelitian secara deskriptif. .
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap yaitu dengan menyiapkan buku panduan
pengajaran tari Bali dan Jawa ber-ISBN sebagai lanjutan dari penelitian tahun pertama, serta
membuat DVD rekaman pembelajaran tari Bali dan Jawa dalam bahasa Inggris. Lokasi penelitian
ini adalah di Denpasar. Publikasi hasil penelitian melalui seminar internasional dan jurnal
terakreditasi Mudra.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksistensi Tari Bali
1 Aspek Tari dan Kepenarian
Tari Bali yang terdiri dari bermacam-macam bentuk baik tari tunggal (solo), duet
(berpasangan) dan tarian kelompok tidak terlepas dari empat aspek yang ada di dalamnya, untuk
dapat menentukan kwalitas kepenariannya. Aspek-aspek tersebut antara lain: agem, tandang,
tangkis dan tangkep. Agem dalam tarian Bali merupakan gerakan pokok yang dilakukan dalam
posisi di tempat (non-lokomotif). Contoh agem antara lain: mungkah lawang, ngembat, ngelung,
dan butangwesari. Tandang adalah gerakan tari yang dilakukan secara berpindah tempat
(lokomotif). Yang termasuk gerak tandang seperti: ngumpal, malpal, milpil, seregseg, gandanggandang. Tangkis adalah gerak tari yang dilakukan dalam posisi diam di tempat, tapi terdapat lebih
banyak variasi dibandingkan agem yang biasanya untuk mendukung pendramaan seperti: ulapulap, nabdab geleng, nabdab urangke, nabdab gelangkana. Sedangkan tangkep adalah
menyangkut masalah penjiwaan atau penyertaan rasa gerak dari dalam seperti: ekspresi marah,
sedih, terkejut, dan takut.
Di samping aspek-aspek tersebut ada pula istilah-istilah yang berkaitan dengan kualitas
gerak yang dibawakan serta penjiwaannya seperti adung, pangus dan lengut. Istilah adung
digunakan untuk menyebutkan seorang penari yang oleh penonton dirasakan sangat cocok, sesuai,
atau tepat dalam membawakan suatu peran atau tarian (baik yang memakai lakon maupun tanpa
lakon) berdasarkan bentuk postur tubuhnya (wiraga misalnya: seorang penari oleg tamulilingan
akan dikatakan tubuh yang semampai, berperangai lemah lembut, berwajah cantik yang postur
tubuhnya sama, berwatak halus dan dengan penari pria dengan rupa yang tampan). Pasangan penari
oleg tamulilingan seperti ini akan dikatakan pasangan adung yang berarti cocok. Kalau terjadi
sebaliknya dikatakan tusing adung (tidak cocok), atau matah (mentah).
Pangus, adalah istilah yang diperuntukan kepada seorang penari, biasanya dalam sebuah
dramatari, yang berhasil membawakan suatu peran sekalipun tidak memiliki persyaratan yang ideal
untuk peran yang dibawakan. Contohnya: seorang penari bertubuh agak kurus, tidak terlalu tinggi,
tidak begitu gagah, dengan wajah yang tidak terlalu tampan, namun ketika membawakan tokoh
Gatutkaca dalam dramatari Parwa atau Patih Prebangsa dalam dramatari Gambuh ternyata ia
berhasil membawakan penjiwaannya yang matang di atas panggung. Ketidak tepatan postur, dan
wajah tidak menjadi kendala bagi penari ini untuk membawa tokoh Gatutkaca atau Prebangsa.
Lengut, hampir sama pengertiannya dengan pangus, yaitu seorang penari tepat
membawakan suatu karakter namun lebih menonjolkan kelucuannya. Misalnya: seorang penari
dengan tubuh yang kurus, sedikit tinggi mampu membawakan tokoh dalam dramatari Wayang
Wong dengan ciri khas dan karakter tokoh yang dibawakan.
Abra dalam bahasa Indonesia berarti gagah dan berwibawa, istilah ini diperuntukkan bagi
seorang penari yang gagah dan tampan serta berwibawa yang cocok membawakan tokoh raja
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
360 dalam suatu tarian baik yang berlakon maupun tanpa lakon dalam bentuk dramatari, ataupun
sendratari. Kalau yang terjadi sebaliknya dikatakan tengal atau tidak punya wibawa.
Taksu, atau kekuatan dalam yang bersifat spiritual, adalah salah satu faktor yang sangat
menentukan bagi suatu penyajian tari Bali. Walaupun seorang seniman secara teknis sudah
menguasai, bila dilihat tanpa disertai taksu, maka penampilannya hambar tanpa daya tarik. Oleh
sebab itu seorang penari Bali sering kali melakukan berbagai upaya spiritual agar bisa metaksu.
2 Karakterisasi Tari
Berdasarkan karakternya tarian-tarian Bali dapat dibedakan menjadi dua yaitu tari putra
yang meliputi semua jenis tari yang menampilkan watak laki-laki baik ditarikan oleh penari putra
maupun putri, dan tari putri yang meliputi semua jenis tarian yang menampilkan watak wanita,
walaupun dibawakan oleh penari putra. Tarian putra selanjutnya masih bisa dibedakan menjadi tari
putra keras/gagah yang meliputi: tari Baris, Jauk Keras, Trunajaya, Wiranta,dan tari putra
manis/alus seperti Topeng Dalem, Kebyar Duduk, Panji dalam Gambuh. Dalam tari putri juga
terlihat tari-tarian yang dapat dikategorikan tari putri keras yaitu: Condong Lenggong, KakanKakan Gambuh, Limbur, Desak dan Liku (dalam Arja). Tari-tarian yang mempunyai watak
campuran atau putri dan putra, atau keras dan halus seperti : Panji Sumirang, Margapati, Tenun dan
lain-lain yang biasa disebut tari bebancihan (Dibia, 1999:8).
Atas dasar bentuk koreografinya tari-tarian dapat diklafisikasikan menjadi beberapa bentuk
yakni tarian tunggal/tarian yang dibawakan oleh satu orang penari (solo). Contohnya : tari Baris
Tunggal, tari Margapati, tari Wiranata, tari Panji Semirang, tari Taruna Jaya, tari duet
(berpasangan) atau tarian yang dibawakan oleh 2 orang penari, contohnya: tari Oleg Tamulilingan,
tari Cendrawasih dan tari kelompok/tarian, misalnya : tari Wirayuda, tari Puspawresti dan tari
Ciwanataraja.
3 Fungsi Tari Bali
Tarian-tarian Indonesia ditinjau dari fungsinya dibagi menjadi tiga yaitu: tari-tarian
upacara, tari-tarian hiburan, dan tari-tarian pertunjukan.
Yang termasuk dalam tari-tarian upacara adalah tari-tarian magis yang biasanya dipakai
oleh masyarakat primitif untuk mempengaruhi alam, tari-tarian ritual yang diadakan oleh
masyarakat pada waktu ada upacara. Adapun yang termasuk tari-tarian hiburan adalah tari-tarian
dimana titik berat tarian tersebut bukanlah keindahan tetapi lebih pada segi hiburan dan umumnya
merupakan tari pergaulan seperti: tarian Joged dari Bali, tari Ledek dari Jawa dan tarian Ronggeng
dari Sumatra. Sedangkan tari pertunjukan adalah tari klasik, tari romantik dan tari kreasi baru. Tari
pertunjukan ini nilai seninya sangat diutamakan. Sedangkan fungsi tari Bali berdasarkan ritual dan
sosial, sesuai keputusan seminar seni sakral dan profane bidang tarian tahun 1971 di Denpasar
dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
a.Tari Wali yaitu tari-tarian yang ditarikan di pura-pura yang memiliki nilai-nilai religius, sangat
disakralkan (disucikan dan dikramatkan) karena melibatkan benda-benda sakral. Pementasan
kesenian ini tidak boleh sembarangan melainkan harus pada waktu dan tempat tertentu berkaitan
dengan pelaksanaan upacara ritual misalnya: tari Rejang, tari Sanghyang, tari Baris Gede, dan lainlain.
b.Tari Bebali yaitu tarian yang berfungsi sebagai pengiring upacara, umumnya tarian ini memakai
lakon (ceritera) seperti tari Gambuh, Wayang Wong, Wayang Sudamala.
c.Tari Balih-balihan meliputi jenis-jenis tari yang lebih menonjolkan nilai-nilai entertaimen dan
estetis, yang pertunjukannya lebih bersifat dan bersuasana sekuler. Kesenian ini dapat dipentaskan
kapan dan dimana saja tanpa ada batasan waktu, tempat serta peristiwa-peristiwa yang terlalu
mengikat. Tarian balih-balihan ini sangat banyak jenisnya seperti: tari Joged, tari Janger, tari
Tenun, tari Margapati dan tari Kekebyaran lainnya.
4 Tari dan Unsur-Unsur Dasarnya
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
361 Gerak
Materi baku dari tari adalah gerak. Gerak tari hanyalah gerakan-gerakan dari bagian tubuh
manusia yang telah diolah dari gerak wantah menjadi suatu bentuk gerak tertentu, dalam istilah
kesenian, gerak yang telah mengalami stilisasi atau distorsi. Dari gerak yang mengalami stilisasi
inilah lahir dua jenis gerak tari yaitu gerak tari yang bersifat murni dan gerak yang bersifat
maknawi. Gerak murni adalah gerak tari dari hasil penciptaan gerak wantah yang dalam
pengungkapan tidak mempertimbangkan suatu pengertian tetapi lebih mementingkan faktor nilai
keindahan dari gerak tarinya saja, misalnya seregseg, angsel dan lain-lain. Sedangkan gerak
maknawi adalah gerak wantah yang telah diolah menjadi suatu gerak tari dalam pengungkapannya
mengandung suatu pengertian atau maksud disamping keindahannya, misalnya: menggambarkan
nelayan yang sedang mendayung dalam tari nelayan.
Ruang
Berbicara masalah ruang, ruang dapat dibagi menjadi dua yaitu ruang dari gerakan tubuh
penari dan ruang pentas. Suatu tempat dimana tarian itu ditampilkan atau dipentaskan. Ruang dari
gerakan tubuh manusia seperti: desain simetri dan asimetri; dimana simetri menghadirkan perasaan
yang kokoh, sedangkan asimetri menghadirkan perasaan yang aktif, dinamis dan riang. Desain
garis menimbulkan berbagai macam kesan seperti: garis lurus memberi kesan sederhana dan kuat,
garis lengkung memberi kesan lembut, sedangkan garis tegak lurus memberikan kesan tenang,
seimbang dan garis melingkar memberi kesan manis, sedang garis menyilang diagonal memberi
kesan dinamis (Sedyawati, 1986: 24-25)
Selain ruang dalam gerakan tubuh penari, ada ruang yang lain yaitu ruang pentas, dimana
ruang pentas ini adalah tempat dimana suatu pertunjukan ditampilkan. Kemudian ada juga ruang
arena dimana penonton bisa melihat/ menonton pertunjukan dengan jarak yang lebih dekat
sehingga menghadirkan suasana yang lebih akrab.
Iringan
Secara tradisional musik dan tari erat sekali hubungannya satu sama lain, keduanya berasal
dari sumber yang sama yaitu dorongan dari naluri ritmis manusia. Iringan tari ada dua yaitu iringan
tari secara internal dan eksternal. Iringan internal adalah iringan tari yang datang atau dimainkan
oleh penari sendiri seperti: tepukan tangan, hentakan kaki atau krincingan gelang-gelang dari
logam. Sedangkan iringan eksternal yaitu iringan yang datangnya dari luar tubuh penarinya seperti:
alat musik tradisional gambelan, gambelan Gong Kebyar, Semarpegulingan, gambelan Gong Gede
dan lain-lain. Iringan tari dibutuhkan sesuai dengan tema tarinya hingga nantinya dapat memberi
ritme, tempo, dan pencipta suasana dalam suatu tarian.
Tata Rias dan Busana
Busana adalah segala perlengkapan yang dikenakan diatas pentas oleh penari. Busana tari
memberikan ciri khas suatu bangsa atau daerah. Busana pentas meliputi semua pakaian dan
accessories yang dikenakan para penari dengan segala perlengkapan baik yang terlihat maupun
yang tidak terlihat oleh penonton. Demikian pula halnya dengan tata rias.
Busana yang dipakai oleh penari, harus dipahami dan disesuaikan dengan kebutuhan penari
supaya tidak mengganggu gerak tari. Di samping itu pemakaian warna dari busana disesuaikan
dengan tokoh atau karakter yang dibawakan di atas pentas karena warna-warna itu bersifat
simbolis. Seperti: warna putih berarti suci, warna merah berarti berani, dan sebagainya.
Sedangkan tata rias akan menentukan wajah dan perwatakan serta memperkuat ekspresi.
Tata rias harus dibedakan, mana tata rias untuk sehari-hari mana tata rias untuk pangung, karena
kalau salah memberikan warna, hasilnya akan fatal sehingga tidak sesuai dengan karakter yang
dibawakan karena fungsi tata rias disamping memperindah juga untuk memperkuat perwatakan.
Tema
Tema dalam suatu tarian dapat dibagi menjadi dua yaitu tema literer dan non literer. Tema
literer adalah tari yang digarap untuk menyampaikan pesan-pesan seperti; cerita panji, pengalaman
pribadi, kehidupan alam, kehidupan binatang, legenda, sejarah dan lain-lain. Sedangkan non literer
adalah tarian yang digarap berdasarkan penjelajahan gerak, ruang, waktu dan tenaga, eksplorasi
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
362 permainan suara dan unsur-unsur estetis lainnya. Tema-tema literer contohnya dapat diambil dari
epos Ramayana dan Mahabarata, tema yang diangkat dari flora dan fauna seperti: tari Cendrawasih,
tari Kijang Kencana, tari Tani, tari Sekar Jempiring dan lain-lain.
The Existence Of Balinese Dance
1 Aspects of Dance and the Dance
Balinese dance, which consists of a variety of dance forms both single and pair dances is
inseparable from the four aspects in it in order to be able to determine the quality of the dance.
These aspects include agem, tandang, tangkis and tangkep. Agem in Balinese dance is a basic
movement that is performed at the same place (non-locomotive). The examples of agem are
mungkah lawang, ngembat, ngelung, and butangwesari. Tandang is how to move from one basic
movement to another so it becomes one flow of movements that connects to each other. Tandang
includes ngumpal, malpal, milpil, seregseg, gandang-gandang. Tangkis is a dance performed
when the dancer remains quiescent, but there are more variations than agem which usually supports
theatrical performance (pendramaan) like ulap-ulap, nabdab geleng, nabdab urangke, nabdab
gelangkana. While tangkep is the facial expresion that reflects the soul of the dance such as the
expression of anger, sadness, surprise and fear.
Besides these aspects, there are also some terms related to the quality of movement and the
soul reflection such as adung, pangus and lengut. Adung is the term used by the audience to
describe the best dancer, the most suitable, or the dancer who is appropriate to play a character in a
dance (either taking the story or not) based on body posture (wiraga, for example: a dancer of
Oleg Tamulilingan with slim body, gentle mannered, beautiful face and the same posture, with
such a mild-mannered and handsome). Oleg Tamulilingan dancers like this are called adung which
means suitable. If the opposite occurs, it is called tusing adung (not suitable) or weird.
Pangus is a term given to a dancer who usually performs in a theatrical dance (dramatari)
and is successful to perform the character although they do not have ideal qualification for the
charácter he/she performs. For example, although a dancer is very thin, not so tall, strong, and very
good-looking, when he/she performs the character of Gatutkaca in a dramatari Parwa or Patih
Prebangsa and Gambuh, he/she manages to bring great performance on the stage. The inaccuracy
of posture and face is not an obstacle for the dancer to bring the figure Gatutkaca or Prebangsa.
Lengut, almost has the same meaning with pangus that is a dancer who is more appropriate
for a humorous character. For example a dancer with a thin body, a bit tall and is able to bring a
high figure in dramatari Wayang Wong with the uniqueness and the character of the figure he
performs.
Abra (gagah) means manly and authoritative. This term is used for a dancer who is strong,
handsome and has authoritative figures who is appropriate to perform the king figure in a dance
which is performed both in a play and without a play in the form of dramatari, or sendratari. If the
opposite happens, it is called weird or having no power.
Taksu or the inner spiritual force is one of the most determining factors for performing
Balinese dance. Although, technically an artist has mastered the dance which can be seen from the
perfection but if it is not accompanied with taksu, it will not look special, without no attraction.
Therefore, a Balinese dancer often performs a variety of spiritual effort in order to get the inner
spiritual force.
2 Dance Characterization
Based on their characters, Balinese dances can be divided into two categories. First, the
male dance that includes all types of dance featuring the character of good men that can be danced
by both male and female dancers including all types of dance featuring the character of a woman,
even if it is performed by male dancers. Male dances can still be divided into strong dance that
includes Baris dance, Jauk Keras, Trunajaya, Wiranta, and refined male dance such as Topeng
Dalem, Kebyar Duduk, Panji in Gambuh. Second, female dance also has strong character such as
Condong Lenggong, Kakan-kakan Gambuh, Limbur, Desak dan Liku (in Arja). Dances that have a
mixed character or male and female, or strong and refined dances such as: Panji Semirang dance,
Mergapati dance, Tenun dance, etc which are called Bebancihan dance (Dibia, 1999:8).
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
363 Based on the form of its choreography dance can be classified into some forms namely
solo dance, performed by one dancer, for example: Baris Tunggal dance, Margapati dance,
Wiranata dance, Panji Semirang dance, Teruna Jaya. Partner dance is a dance performed by two
dancers, for examples Oleg Tamulilingan dance, Cendrawasih dance, and dance group which is
performed in a group, for example: Wirayuda dance, Puspawresti dance, and Ciwanataraja dance.
3 Function of Balinese Dance
Based on its function, Indonesian dances are divided into three categories namely
ceremonial dance, entertainment dance, and performing dance. Ceremonial dance includes magical
dance that is usually used by primitive societies to influence nature, ritual dances held by the
society when they have ceremonies. Entertainment dance includes the dances aiming at
entertaining and is usually categorised into social dance such as Joged dance from Bali, Ledek
dance from Java, and Ronggeng dance from Sumatra. While performing dance includes classical
dance, romantic dance, and new creation dance. These dances have their own primary art
characteristic.Meanwhile, the function of Balinese dance should be based on ritual and social
aspects. This is in accordance with the decision of sacred and profane art seminar on dance in
Denpasar in 1971. This can be divided into three parts:
a.Wali dance is the dance performed at the temples that have religious values, highly sacred (being
purified and sacred) because they involve sacred objects. Wali dance should be performed in a
certain time and certain place in relation to the implementation of such rituals. For example, Rejang
Dance, Trance Dance, Baris Gede dance, etc.
b.Bebali dance fucntions as accompaniment of ceremony, and the dance generally use the play
such as Gambuh dance, Wayang Wong, Puppet Sudamala.
c.Balih-Balihan dance includes the types of dance that highlight entertaiment and
aesthetic values, whose show is more secular. This art can be performed anytime and anywhere
regardless of time limit, place and events that are too binding. There are various kinds of BalihBalihan dance, such as Joged dance, Janger dance, Tenun dance, Margapati dance and other
Kekebyaran dances.
4 Dance and Its Basic Elements
Movement
Basic material of dance is movement. Dance movements are the movements of parts of
human body that have been processed from basic movement into a particular form of movement, in
terms of art, which has been stylized or distorted. From the style of movement there are two types
of dance emerge namely pure dance movements and meaningful dance movements. Pure
movement is the movement of dance that results in the creation of basic movement that does not
consider a meaning or sense but is more concerned only with the aesthetics of the movement factor
such as seregseg, angsel, etc. But the meaningful movement is the basic movements that have been
processed into a dance and they contain a meaning or intention in addition to its beauty, for
example describing the fishermen who were paddling in the Nelayan dance.
Space
Space is divided into two types namely spaces of movement of the dancers and stage space.
It is the place where the dance is performed. Space of human body movement such as symmetrical
and asymmetrical designs. A symmetrical design presents a strong feeling, while the asymmetrical
one brings an active, dynamic and cheerful feeling. Line design causes various impressions such as
straight lines give the impression of simple and robust, curved lines give the impression of a
softness, while the vertical line gives the impression of calm, balanced, and circular lines give the
impression of sweetness, while crossed diagonal lines giving a dynamic impression (Edy
Sedyawati, 1986:24-25)
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
364 In addition to space in a dancer body movement, there is another space where a dance is
performed. There is also a space where spectators can see/watch the show with a shorter distance
so as to present a more intimate atmosphere.
Accompaniment
Traditionally, music and dance are closely related to each other i.e. both come from the
same source, namely the encouragement of rhythmic of human instinct. There are two types of
dance accompaniment namely internal and external accompaniments. Internal accompaniment is a
dance accompaniment played by the dancers themselves such as clapping, pounding feet or the
sound of bracelets which are made from metal. While the external accompaniment is
accompaniment which comes from outside such as gambelan traditional musical instrument,
gambelan Gong Kebyar, Semar-pegulingan, gambelan Gong Gede, etc. Dance accompaniment is
required in accordance with the theme of the dance so that it can give rhythm, tempo, and creates a
good mood in a dance.
Makeup and Costume
Costume is all the equipments worn by the dancers on stage. Dance costume gives typical
characteristic of a nation or region. Costume for performance includes all costume and accessories
worn by the dancers with all their equipments both visible and invisible to the audience.
Costume worn by the dancers must be understood and adapted to the needs of dancers in
order not to disturb the dance movement. In addition, the use of the colour of costume is adapted
to the character who performed on the stage because the colour is symbolic. For example, white
means pure or holy, red means bold, and so on.
The makeup will determine the facial expression and the characters and also strengthen the
expression. Makeup must be distinguished into makeup for everyday life and makeup for
performance because if one gives the inappropriate color, the result will be fatal. It will not fit with
the performance since the function of makeup is not only for beauty but also for strengthening the
characters.
Theme
Theme in a dance can be divided into two namely literary and non-literary themes. Literary
theme is a dance that is created in order to convey messages such as the story of Panji, personal
experience, natural life, animal life, legends, history, etc. While non-literary is a dance that is
choreographed based on the exploration of movement, space, time and energy, exploration of
sound elaboration and other aesthetic elements. The examples of literary themes can be taken from
the epics of Ramayana and Mahabharata, the theme of flora and fauna such as Cendrawasih dance,
Kijang Kencana dance, Tani dance, Sekar Jempiring dance, etc.
Eksistensi Tari Jawa
Seni tari memiliki dampak perkembangan yang positif. Tari-tarian yang merupakan
puncak-puncak kebudayaan tari yang ada di seluruh tanah air, antara lain tari-tarian Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya.
Munculnya puncak-puncak kebudayaan tari berasal dari kesenian-kesenian gaya lokal yang
diakui oleh masyarakat pendukungnya sebagai hasil kesenian tari yang konvensional dengan gaya
atau ciri khas dari daerah masing-masing. Sudah barang tentu seperti tari Jawa khususnya, terdapat
berbagai gaya lokal. Jawa Barat terbagi dalam gaya Betawi, Sunda, Banyumas. Jawa Tengah
terbagi dua, yakni gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta, sedangkan Jawa Timur antara lain terdapat
gaya Madura dan Banyuwangi. Adanya berbagai gaya dari tari Jawa sendiri, maka penetapan dan
pemilihan obyek dalam penelitian ini adalah tari Jawa gaya Yogyakarta, untuk tari putri dan putra
gagah.
Pada umumnya seni tari merupakan suatu ekspresi secara sadar, sebagai ungkapan untuk
menanggapi alam sekeliling dengan melalui bahasa gerak. Melalui gerak tubuhnya seorang penari
merasakan suasana dan ritme-ritme alam sekitar. Sebagai media komunikasi ia mengekspresikan
perasaannya, sehingga dapat berhubungan dengan sesama dan dunianya. Demikian pula halnya
dengan tari tradisi yang tumbuh dari kehidupan, merefleksikan kehidupan, dan merupakan
kehidupan itu sendiri. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila perkembangan seni tradisi itu
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
365 tetap dapat dimengerti dan dihayati. Edi Sedyawati menyatakan, bahwa jika seni tradisi sebagai
kesenian yang memiliki sejumlah norma yang menetap, maka dapat dilihat bahwa tujuannya ialah
untuk mengembangkan rasa keindahan, dengan pengolahan teknik melalui jalur tertentu yang
dianggap paling efektif.1
Seni tari sebagai bentuk aktivitas budaya tidak bisa lepas dari seluruh kompleksitas yang
ada di dalam lembaga budaya tersebut. Seluruh imajinasi tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan dari
pengaruh sosial yang ada ketika karya itu tercipta. Seluruh aktivitas sosial senantiasa kait mengait,
saling tergantung secara integral mencerminkan suatu kosmos, dalam hal ini dunia kraton.2 Tari
klasik gaya Yogyakarta yang terdiri dari tari putri, tari putra halus, dan tari putra gagah adalah juga
produk seni tradisi yang merupakan salah satu bentuk aktivitas budaya yang cukup populer di
kalangan masyarakat seni Yogyakarta. Tari klasik gaya Yogyakarta yang semula dikembangkan
oleh dan di lingkungan kraton ini kemudian semakin berkembang luas, sehingga masyarakatpun
juga merasa memiliki dan aktif mengambil bagian dalam pelestarian dan pengembangannya.
Tari Jawa klasik gaya Yogyakarta sering juga disebut sebagai Joged Mataram. Kecuali
lebih singkat untuk ditulis dan diucapkan, nama ini juga lebih tepat dipakai untuk merangkum
pengertian tari yang bersifat kedaerahan dan memiliki nilai seni budaya yang tinggi, sebagaimana
kebesaran yang dimiliki oleh Kerajaan Mataram.3 Di dalam tari klasik gaya Yogyakarta dikenal
pula istilah anjoged dan jogedan. Anjoged berarti menari dengan penuh keyakinan disertai gerakgerak mantap, berisi, dan indah dilihat, sedangkan jogedan hanyalah menggerakkan bagian-bagian
tubuh tanpa makna dan keyakinan. Dalam peng-hayatannya, seorang penari harus berbekal ilmu
Joged Mataram, karena teknik tari merupakan unsur lahiriah atau wadahnya, sedangkan ilmu
Joged Mataram adalah isinya. Ilmu Joged Mataram itu sendiri terdiri dari 4 (empat) unsur, yaitu:
1. Sawiji (konsentrasi)
2. Greged (dinamik/ semangat)
3. Sengguh (percaya diri)
4. Ora Mingkuh (tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran).4
Mempelajari suatu bentuk tarian, apalagi tari klasik, sebenarnya menyangkut beberapa hal
yang tidak dapat diabaikan. Aspek tersebut antara lain menyangkut masalah bakat, minat,
ketekunan, dan kesungguhan. Semua aspek tersebut saling terkait dan sangat perlu, agar dapat
dengan mudah menguasai tarian tersebut. Mengingat bahwa tingkat kesulitan teknik tari Jawa
klasik ini cukup tinggi, maka dipandang perlu untuk menulis secara jelas tentang teknik tari Jawa.
Hal ini dimungkinkan untuk memperlancar dan mempermudah bagi mahasiswa untuk mempelajari
teknik tari Jawa.
Setiap karya seni sangat perlu dikomunikasikan kepada masyarakat, dengan alasan bahwa
komunikasi itu sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas kesenian. Di dalam
seni tari orang berkomunikasi lewat gerak-gerak tubuh yang diatur dengan irama, dan dalam
komposisi tertentu. Semakin baik teknik yang dimiliki oleh seorang penari, maka penari tersebut
akan semakin yakin akan dirinya dalam berkomunikasi pada penonton. Sal Murgiyanto
menyatakan bahwa teknik tari bagi penari adalah vokabuler, dengan apa ia berbicara. Lebih
menguasai teknik berarti banyak yang bisa dibicarakan dengan lebih menarik. Kemahiran dan
keahlian akan teknik adalah sangat mutlak, agar kita dapat berbicara secara bebas dan
meyakinkan.5
Untuk meningkatkan kemampuan teknik tari, seorang penari tidak saja hanya dituntut
untuk terus berlatih dan menari, akan tetapi kewajiban lain seorang penari adalah menonton saat
latihan-latihan maupun pementasan pertunjukan tari. Dengan cara itu seorang penari akan dapat
mengetahui bagaimana teknik yang baik dan benar dalam melakukan gerak tari tersebut.
1
Edi Sedyawati. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Seri Esni 4. Jakarta: Sinar Harapan, 1981: 119.
2
Y.Sumandiyo Hadi. “Perkembangan Tari Tradisional: Usaha Pemeliharaan Kehidupan Budaya.” Dalam
Beberapa Cattan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Editor Soedarso SP. Yogyakarta: BP ISI, 1991: 100.
3
Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengenal Ta-ri Klasik Gaya Yogyakarta: Proyek
Pengembanagn Kesenian DIY, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981:34.
4
Ibid., 1981: 88 – 93
5
Sal Murgiyanto. Ketika Cahaya Merah Memudar (Sebuah Kritik Tari).Jakarta: Deviri Ganan,1993: 38.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
366 Tari terdiri atas unsur-unsur dasar wiraga, wirama dan wirasa. Penulisan ini lebih
mengarah pada wiraga saja. Unsur dasar lainnya wirama akan dapat dimengerti setelah penguasaan
terhadap wiraga sudah betul-betul jelas dan mapan. Setelah itu baru mengarah pada unsur dasar
wirasa secara bertahap melaui proses rasa sedikit demi sedikit dan secara kontinyu lewat
penghayatan gerak tersebut, sehingga wiraga di sini akan lebih dianggap sebagai hal yag paling
penting dalam pengenalan bentuk tari putra gagah Jawa gaya Yogyakarta. Untuk lebih jelasnya
pengertian dari ketiga unsur tersebut adalah :
- Wiraga, merupakan keseluruhan dari unsur gerak tari, baik berupa sikap, gerak dan
penggunaan tenaga serta proses geraknya penari, ataupun kesatuan seluruh unsur dan motif
gerak tari yang terdapat dalam satu teks tari.
- Wirama, adalah berkaitan dengan pengertian irama gendhing, irama gerak dan ritme gerak.
Seluruh gerak dari tubuh harus selaras dengan wiramanya, baik dari ketukan hitungan tari,
kecepatan pukulan balungan dalam suatu gendhing, maupun suasana gendhingnya. Unsur
wirama inilah yang nantinya akan membuat panjang-pendeknya suatu frase gerak.
- Wirasa, akan lebih banyak berkaitan erat dengan “isi” dari suatu tari. Dalam studi tari Jawa
tentang “isi” ini akan berkaitan dengan pengertian dalam filsafat joged Mataram, Hasta
Sawanda untuk Surakarta dan kalau di Bali dikenal dengan nama “Taksu”, sehingga dalam hal
ini penjiwaan seorang penari harus lebuh dulu menerapkan wiraga dan wirama tarinya sesuai
dengan arti, makna dan tujuan dari tari tersebut yang akhirnya akan tercermin penjiwaan yang
utuh.
Dengan demikian ketiganya betul-betul merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan serta berurutan dan tidak bisa dibolak-balik. Semuanya selaras dengan simbol gerak
yang diterapkannya.
The Existence Of Javanese Dance
Dances have a positive developmental impact. The dances, which are the peak of the
culture come from the regions in Indonesia namely Sumatra, Java, Kalimantan, Sulawesi, and Irian
Jaya.
The peak of dance culture is from the local art that is recognized by the local community as
a result of conventional dance style or the characteristic of each area. Of course, for the Javanese
dance, in particular, there are a variety of local styles. West Javanese dance style is divided into
Betawi, Sunda, Banyumas. Central Javanese dance is divided into two namely the style of
Yogyakarta and Surakarta style, while East Java, among others, there are Madura and Banyuwangi
styles. Since there are various styles of Javanese dance, this study focuses on Yogyakartan style
dance, namely male and female dances.
In general, the art of dance is an expression of the conscious respond to the surrounding
through language of movement. Through the gestures of the dancers, the atmosphere and rhythms
of nature can be felt. As a medium of communication, the dancers express their feelings in the
dance so that they can relate to each other and their world. Similarly, the dance tradition emerges
from life, reflects on the life, and it is life itself. Therefore, it is not surprising that the development
of traditional art can still be understood and internalized. Edi Sedyawati states that the traditional
art which has a number of norms that can be seen from its aim that is to develop a sense of beauty.
It is processed through certain techniques that are considered the most effective medium.
The art of dance as a form of cultural activity cannot be separated from all of the
complexities involved in the cultural institutions. The whole imagination cannot be released and
separated from social influence that exists when the work was created. The whole social activities
are always related, interdependent and integrated. It reflects the cosmos, in this case, the royal life.
Yogyakarta classical dance style consists of female dance, refined male dance, and strong male
dance are also a traditional art products, which is quite popular among the people of Yogyakarta.
Classical dance style of Yogyakarta which was originally developed by and in the palace was then
increasingly widespread. Thus, the community also have the sense of belonging and take an active
part in the preservation and development.
The Yogyakarta style Javanese classical dance is often called as Joged Mataram. Besides
being shorter to be written and said the name, it is also used to represent a more precise
understanding of dance that is regional and has a high value of art and culture, as well as the
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
367 greatness that is owned by the Kingdom of Mataram. In the classical dance style of Yogyakarta,
there are also two terms namely anjoged and jogedan. Anjoged means dancing with confidence
with steady motions, strong and wonderful views, while jogedan means just moving the body parts
without meaning and belief. In understanding a dance, a dancer must have the knowledge of Joged
Mataram, because the dance techniques are the physical elements, whereas the knowledge of Joged
Mataram is the content. The knowledge of Joged Mataram itself consists of 4 (four) elements,
namely:
1. Sawiji (concentration)
2. Greged (dynamism/spirit)
3. Sengguh (confidence)
4. Ora Mingkuh (brave to face obstacles)
Learning a form of dance, especially classical dance, is actually about a few things that
cannot be ignored. This includes several aspects regarding the problem of talent, interest,
perseverance, and sincerity. All these aspects are interrelated and very necessary in order to be able
to easily master the dance. Given that the technical difficulty of classical Javanese dance is quite
high, it is necessary to write clearly about Javanese dance techniques. It is possible to expedite and
make it easier for students to learn the techniques of the Javanese dance.
Each work of art is very important to be communicated to the community with a reason
that the communication itself is an integral part of art activities. In the art of dance people
communicate through dance movements which are arranged into the rhythm of the body,
particularly composition. The better technique which is owned by a dancer is that the more they
will be sure of himself in communicating with the audience. Sal Murgiyanto stated that the dance
technique for a dancer is their vocabularies with what they speak. The more they master the
technique, the more they can talk and communicate interestingly and excitingly. Proficiency and
ability will be very absolute techniques so they can speak freely and convincingly.
To improve the technical skills of dance, a dancer is not just simply required to keep
practicing and dancing, but other obligations as a dancer is to watch the exercises and dance
performances. Through this way, a dancer will be able to know good and true technique of
performing the dance.
Dance consists of the three basic elements namely wiraga, wirama and wirasa. This study
is more directed at wiraga. The other basic element, wirama is understood after mastering the
wiraga clearly and firmly. After that, wirasa will be gradually mastered through the a bit-by-bit
process and continuously through the understanding and appreciation of the motion, so wiraga will
be considered as the most important thing in the introduction form of Yogyakarta style Javanese
strong male dance. The detail explanation of these three elements are as follows:
- Wiraga is an element of the overall motion of the dance, both in the form of attitude,
movement and the use of energy and the dancers’ movement processes, or the unity of all
elements of dance movements and patterns contained in the text of the dances.
- Wirama is associated with a sense of the rhythm of the song called gendhing, and rhythm of
motion. The entire motion of the body must be in harmony with the wirama, both of the beats
of the dance, the speed of balungan in a gamelan, and the atmosphere. This element of Wirama
which will make the length of a movement.
- Wirasa, is more closely related to the "contents" of a dance. In a study of Javanese dance about
"content" it would be relevant for understanding the philosophy of Joged Mataram, Hasta
Sawanda for Surakarta and in Bali it is known as "Taksu", so in this case the inspiration of a
dancer must first apply wiraga and dance wirama in accordance with the complete meaning,
significance and purpose.
The complete union of these aspects cannot be separated and cannot be inverted.
Everything is in harmony with the symbols used in it.
SIMPULAN
Menerjemahkan eksistensi tari Bali dan Jawa dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa
Inggris dalam penelitian ini telah melibatkan penari dan dosen tari Bali dan Jawa, yang sangat
siginifikan dalam memberikan masukan untuk pemilihan kata sehingga menghasilkan
penerjemahan yang sepadan dengan bahasa sumbernya.Masih ada begitu banyak informasi terkait
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
368 tari Bali dan Jawa dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Namun dengan adanya keterbatasan
dalam berbagai hal, penyajian dalam paper ini masih sangat terbatas, sehingga masih terbuka
peluang bagi peneliti lainnya untuk mengembangkan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 1981. Mengenal Tari Klasik Gaya
Yogyakarta: Proyek Pengembanagn Kesenian DIY, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Dibia, I Wayan. 1999. Selayang Pandang, Seni Pertunjukan Bali, Masyarakat Seni Pertunjuklan
Indonesia.
Murgiyanto, Sal. 1993. Ketika Cahaya Merah Memudar (Sebuah Kritik Tari). Jakarta: Deviri
Ganan.
Sal Murgiyanto. 1993. Ketika Cahaya Merah Memudar (Sebuah Kritik Tari).Jakarta: Deviri
Ganan,
Sedyawati, Edi. (ed) 1986. Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari . Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
______ 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Seri Esni 4. Jakarta: Sinar Harapan
Y.Sumandiyo Hadi. 1991. “Perkembangan Tari Tradisional: Usaha Pemeliharaan Kehidupan
Budaya.” Dalam Beberapa Cattan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Editor Soedarso
SP. Yogyakarta: BP ISI
PERAN STASIUN TELEVISI LOKAL DI BALI
DALAM UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA BALI SEBAGAI BAHASA IBU
Ni Kadek Dwiyani, I Kadek Puriartha
Program Studi Televisi dan Film, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected]
Abstrak
Di Bali khususnya, sampai saat ini telah muncul 4 stasiun televisi lokal yaitu TVRI Bali,
Bali TV, Dewata TV, dan BMCTV. Secara keseluruhan, keempat stasiun televisi lokal ini
memberikan berbagai pilihan acara yang menampilkan kehidupan sosial dan budaya masyarakat
Bali dari berbagai aspek kehidupan dari segi isi dan visualnya.Namun jika ditinjau dari pemakaian
bahasa Ibu, yaitu Bahasa Bali, program acara yang ditampilkan oleh keempat stasiun ini masih bisa
dihitung dengan jari. Ruang lingkup penulisan ini akan difokuskan untuk menganalisis profil 4
televisi lokal di Bali, program acara yang menggunakan bahasa Bali, nilai –nilai sosial yang
terkandung pada program acara yang menggunakan bahasa Bali sekaligus untuk
mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kiprah televisi dalam pemertahanan Bahasa
Ibu, dimana metode yang digunakan adalah metode deskriprif kualitatif. Simpulan dari penelitian
adalah gambaran umum setiap televisi lokal dapat ditinjau dari profil yang mereka miliki; program
acara yang menggunakan Bahasa Bali terdiri dari 4 kategori yaitu: Berita, Religi, Seni Tradisional
dan Hiburan; Nilai-nilai sosial yang terkandung pada program acara yang menggunakan Bahasa
Bali yaitu reativitas, pelestarian, edukasi, religi dan hiburan; Faktor yang mempengaruhi program
acara menggunakan Bahasa Bali adalah kebijakan pemerintah, idelogi, kreativitas, masyarakat dan
globalisasi.
Kata Kunci:Stasiun Televisi lokal, Pemertahanan , Bahasa Ibu
Abstract
Particularly in Bali, there are 4 local stations television such as TVRI Bali, Bali TV,
Kompas TV Dewata, and BMCTV. Overall, those four local television stations provide a wide
selection of programs that are dominated by programs of social and cultural life of the Balinese
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
369 people from different aspects of life in terms of content and visual. But, it seems so difficult for us
to see the offered program, which used Balinese language as main language within the program.
Based on the fact, this research is focused to analyze profiles of local TV stations in Bali, programs
with Balinese language as it main language, social values within the programs using Balinese
language as it main language and also to discover factors which influenced the program with
Balinese language as main language, and those analyzed by using descriptive qualitative method.
The conclusion stated that general information of each local stations television is represented by
their profile; program using Balinese language can be categorized into four groups such as: News,
Religi, Tradisional Art and Entertainment; Social values found within program using Balinese
language are creativity, preservation, education, religi and entertainment; Factor influenced
towards program using Balinese language are government policy, ideology, creativity, community
and globalization.
Keywords: Local Stations Television, Prevention, Mother Tongue
PENDAHULUAN
Dengan tugas pokok sebagai media yang harus menyiarkan program acara yang bermuatan
pendidikan, penerangan, hiburan dan promosi, stasiun televisi lokal khususnya, harus dapat
memberikan warna baru pilihan program acara pada pemirsanya dengan lebih mengutamakan tugas
utamanya dengan mengesampingkan muatan komersialisasi sebagai tujuan utama penyiaran
(Istanto, 1999: 22). Stasiun televisi lokal harus mampu mengakomodasi dan merepresentasikan
segala bentuk kehidupan sosial budaya yang mencerminkankan masyarakat tempat televisi tersebut
mengudara. Hal ini sangatlah penting untuk dapat diminati pemirsa yang merupakan orang daerah,
karakteristik daerah semestinya dapat diangkat, baik dari segi tampilan visual dan tentunya bahasa
yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tayangan program tersebut. Seiring dengan
semakin bergesernya penggunaan Bahasa Bali dalam kehidupan bermasyarakat di Bali , maka
sudah menjadi tugas utama bagi lembaga penyiaran seperti media televisi lokal di Bali untuk turut
serta dalam upaya pemertahanan Bahasa Bali sebagai Bahas Ibu di Bali.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kualitatif deskriptif yang
menekankan pada pemaparan hasil observasi dan dokumentasi dari hasil pengambilan data
(Bogdan, 1992:34) yang diambil dari empat stasiun televisi lokal yang ada di Denpasar. Proses
analisis dilakukan terhadap data jenis-jenis program acara yang ditayangkan oleh masing-masing
stasiun televisi lokal yang muatannya mewakili kehidupan sosial budaya masyarakat di Bali yang
menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar. Tujuan program acara terkait juga akan
ditelaah sehingga nantinya dapat diketahui upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak stasiun televisi
lokal dalam pemertahanan bahasa Bali sebagai bahasa Ibu.
HAIL DAN PEMBAHASAN
Profil Stasiun Televisi Lokal Di Bali
Tvri Stasiun Bali
Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia Stasiun Bali adalah stasiun televisi
bersiaran lokal yang didirikan pada tanggal hari Sabtu, 16 Juli 1978 di Denpasar merupakan salah
satu stasiun televisi bersiaran lokal yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Bali yang berkantor di
Jalan Kapten Cokorda Agung Tresna dari lingkungan Jayagiri, kelurahan Dangin Puri Klod,
kecamatan Denpasar Timur, kota Denpasar (merupakan ibu kota provinsi Bali). TVRI Bali merelay 92% Siaran TVRI Nasional dan 8% Acara TVRI Bali membuat program daerah provinsi Bali
yang ditayangkan setiap hari Senin hingga Minggu menjelang siaran waktu sore hingga malam
mulai pada pukul 16:00 sampai dengan 20:00 WITA dengan siaran waktu selama 4-jam untuk
kekuatan daya pancar saat ini adalah 20-kilowatt yang dipancarkan dari kawasan Bukit Bakung,
kelurahan Jimbaran, kecamatan Kuta Selatan, kabupaten Badung pada channel 29 UHF.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
370 BALI TV
TV lokal bernama Bali TV di bawah bendera PT Bali Ranadha Televisi mulai resmi
mengudara pada 26 Mei 2002. Kehadiran Bali TV bisa dikatakan sebagai salah satu tonggak
bersejarah bagi Bali. Sebab sebagai TV lokal, Bali TV sangat mengedepankan siaran-siaran budaya
Bali maupun agama Hindu di Bali. Sementara sebelumnya, pemirsa TV di Bali hanya “dipaksa”
menerima siaran-siaran TV nasional.Dengan motto Matahari Dari Bali, Bali TV hadir sebagai
program yang memfokuskan terhadap kebudayaan, adat istiadat, dan keunikan yang khas dari
Pulau Bali. Selain itu, motto Matahari dari Bali ini juga berasal dari nama perusahaan tersebut,
yaitu "Rhanada". Jika dijabarkan, arti "Rha" adalah bahasa Yunani yang berarti Matahari,
sementara "Nadha" dalam bahasa sansakerta berarti mencerahkan. Dengan motto Matahari Dari
Bali dan Visi Bali TV diharapkan dapat mewujudkan visi misi awal yaitu untuk tetap mewujudkan
ajeg Bali. Saat ini Bali TV melakukan siaran dari pukul 05.52 hingga 24.00 wita dengan program
yang sebagian besar produksi sendiri. Untuk mendukung siarannya, Bali TV punya dua pemancar
yaitu 599,25 MHz dan 615,25 MHz. Pemancar pertama menjangkau hampir seluruh wilayah Bali
selatan dan bermain di frekuensi 37 UHF. Sedangkan pemancar lain yang bermain di frekuensi 39
UHF menjangkau Bali utara dan sebagian Bali barat.
KOMPAS TV DEWATA
Kompas TV Dewata (sebelumnya bernama Dewata TV) merupakan Stasiun televisi swasta
lokal yang berdiri dan mengudara di Denpasar, Bali. Mengudara resmi tgl 25 November 2007,
Kompas TV Dewata pun memiliki slogan Inspirasi Bali. Kompas TV Dewata lebih fokus terhadap
kearifan lokal budaya Bali dengan acara utama Pentas Dewata yang diminati masyarakat pedesaan.
Selain menayangkan acara budaya TV ini juga menayangkan acara berita lokal berbahasa
Indonesia. Stasiun TV ini sejak 9 September 2011 menayangkan program acara dari Kompas TV.
Kompas TV Dewata mengudara di kanal 23 UHF dapat diterima hampir diseluruh Bali kecuali
Singaraja. Desain logo yang dimiliki dengan berbagai variasi warna merepresentasikan pilihan
acara yang bervariatif yang ditawarkan kepada pemirsa.
BMCTV Bali
Bali Music Channel atau lebih dikenal oleh masyarakat Bali, "BMC" adalah salah satu dari
empat TV lokal swasta di Bali. BMC sendiri mengusung tema News & Entertainment dengan
program andalan berita dan hiburan. BMC mengudara selama 17 Jam dari Pk. 07.00 Wita-00.00
Wita, dimana acara unggulannya antara lain Klip Bali By Request, Bali News, Gumi Bali, Dharma
Gita Wacana dan lain-lain. BMC sendiri berada pada kanal 53 UHF. Area Coveragenya sudah
mencakup seluruh wilayah Bali. Desain logo yang dipergunakan oleh BMCTV merupakan desain
minimalis dengan menampilkan huruf BMCTV sehingga lebih mudah diingat oleh pemirsa.
Content Program Acara Stasiun Televisi Lokal di Bali yang Menggunakan Bahasa Bali
Sebagai Bahasa Pengantar
Stasiun televisi lokal yang ada di Bali pada dasarnya memiliki visi dan misi yang hampir
sama satu lainnya, dimana pada intinya mereka ingin melestarikan unsur-unsur kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat Bali pada umumnya, termasuk salah satu satunya adalah penggunaan
Bahasa Ibu masayarakat Bali, yaitu Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dalam berbagai content
acara yang mereka tayangan. Dari hasil pengamatan dana analisa awal yang dilakukan, maka
content program acara stasiun televisi lokal yang ada di Bali yang menggunakan bahasa Bali
sebagai bahasa pengantar dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu:
Berita.
Content berita yang ditayangkan oleh stasiun TV lokal yang ada di Bali mengusung konsep
untuk menyampaikan berita yang terjadi di dalam kehidupam masyarakat Bali, yang tidak hanya
terbatas pada berita terkait kegiatan agama dan budaya, melainkan juga meliputi berita terkait
dengan politik, sosial, hukum dan pendidikan. Target audience yang ingin dijangkau adalah
kelompok dewasa yang tentunya sudah bisa mencerna dan memahami informasi yang diberikan
pada setiap tayangan berita. Hal ini ditunjukkan dengan pemilihan jam tayang yang berkisar antara
pukul 18.00-20.00, dimana anak-anak menggunakan waktu mereka untuk belajar. Ada baiknya jika
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
371 anak-anak memiliki kesempatan untuk menonton content program acara ini, maka orang tua wajib
untuk mendampingi dan mampu memberikan penjelasan sejelas-jelasnya kepada anak-anak mereka
karena kompleksitas pengunaan bahasa Bali tidak dipahami dengan mudah oleh sembarang orang
walaupun orang Bali asli. Kompleksitas penggunaan bahasa Bali dalam program berita disebabkan
dengan pemilihan tingkat bahasa yang digunakan biasanya cenderung menggunakan bahasa Bali
dengan tingkat kesopanan level atas. Artinya penggunaan bahasa Bali yang dipilih biasanya hanya
akan dimengerti oleh sebagian masyarakat Bali yang memang mengerti dengan aturan bahasa Bali
(Sor Singgih). Jika dicermati dengan baik, biasanya akan muncul penggunaan kata-kata yang
biasanya digunakan dalam program acara tersebut yang kurang pantas didengarkan oleh anak-anak,
terutama biasanya jika terkait dengan berita hukum dan kriminal. Sehingga untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan biasanya stasiun televise terkait akan menayangkan running text dan
deskripsi singkat terkait berita yang ditayangkan dengan menggunakan bahasa Indonesia sehingga
informasi yang ingin disampaikan dapat dipahami dengan mudah oleh para pemirsa. Secara ringkas
kelompok content program acara ini dapat dirangkum sebagai berikut:
No.
1.
2.
3.
4.
Nama Program Acara
Stasiun TV yang Menayangkan
Gatra Bali
TVRI BALI
Orti Bali
BALI TV
Gatra Dewata
KOMPAS TV DEWATA
Bali News
BMCTV
Tabel 1. Daftar Content Program Berita Menggunakan Bahasa Bali
Pada Televisi Lokal Di Bali
Dari pemilihan judul program Berita yang diatas, identitas Bali langsung dapat dikenali
dengan penggunaan kata-kata yang sangat identik dengan bahasa Bali, seperti penggunaan kata
Gatra, Orti dan Bali. Namun satu judul yang mungkin bisa menggiring target audience pada
persepsi yang berlawanan, yaitu program berita yang ditayangkan oleh BMCTV yang
menggunakan judul campuran antara unsur kata bahasa Bali (Bali) dan bahasa Inggris (News).
Namun walaupun demikian, dalam hal ini BMCTV tetap menggunakan bahasa Bali sebagai
pengantar dalam program berita yang mereka tayangkan ini. Dengan fakta bahwa penggunaan
Bahasa Bali sebagi bahasa pengantar membuktikan bahwa peran dari stasiun televisi lokal yang ada
di Bali sangat memberikan kontribusi dalam proses pemertahanan Bahasa Bali sebagai (bahasa Ibu
yang memberikan andil besar pada pengenalan bahasa Ibu kepada seluruh lapisan masyarakat Bali
melalui program berita. Hal ini tentu saja senada dengan apa yang dikemukan oleh Aron (2010: 45)
dalam kajian strategi pemertahanan Bahasa-Bahasa Nusantara yang tentunya dapat dilakukan
melalui media penyiaran.
Religi
Informasi yang diberikan oleh stasiun televisi yang ada di Bali saat ini tidak hanya terbatas
pada berita yang telah, sedang dan akan terjadi di dalam kehidupan masyarakat Bali, melainkan
juga informasi yang tidak kalah pentingnya untuk dibagikan kepada masyarakat Bali khususnya,
yaitu content program acara religi. Dalam hal ini, keempat stasiun televisi lokal yang ada di Bali
memilih untuk merepresentasikan content acara mereka dalam bentuk ceramah dengan pendekatan
diskusi dengan melibatkan masyarakat Bali sebagai target yang tentunya diharapkan mampu
mendapatkan manfaat dari ceramah religi yang mereka peroleh. Berikut adalah kelompok program
acara yang ditayangkan oleh keempat stasiun televisi lokal yang ada di Bali dengan content religi:
No.
1.
2.
3.
4.
Nama Program Acara
Siraman Rohani Hindu
Dharma Wacana
Dharma Upadesa
Dharma Gita Wacana
Stasiun TV yang Menayangkan
TVRI BALI
BALI TV
Kompas TV Dewata
BMCTV
Tabel 2. Daftar Content Program Religi Menggunakan Bahasa Bali
Pada Televisi Lokal Di Bali
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
372 Pengunaan bahasa Bali dalam program acara dengan content religi pada stasiun televisi di
Bali mungkin bisa dikatakan lebih bisa merangkul pemirsa baik dari anak-anak sampai dewasa,
karena hampir semua program tersebut diatas mengkolaborasikan pendekatan ceramah dan diskusi
dengan penggunaan bahasa Bali yang lebih sederhana dan mudah dimengerti oleh pemirsa bail
yang terlibat langsung dalam acara tersebut ataupun pemirsa yang menyaksikan dari rumah. Bahasa
yang digunakan jauh lebih lugas dan santai, dikondisikan dengan kondisi masyarakat yang terlibat
sehingga tahapan diskusi berjalan dengan baik. Semakin banyak munculnya pertanyaan yang
disampaikan oleh pemirsa yang terlibat dalam acara tersebut diatas menandakan bahwa proses
komunikasi antara yang memberikan ceramah dengan masyarakat yang terlibat langsung
mendengarkan ceramah yang diberikan berjalan dengan baik. Pendekatan ceramah yang terkadang
diselipkan dengan gaya bahasa lelucon semakin menambah minat masayarakat yang terlibat untuk
terus mendengarkan ceramah keagamaan yang diberikan. Salah satu tokoh agama yang bisa
dikatakan sebagai pioneer pemberi ceramah yang mampu membuka wawasan keagamaan dengan
pendekatan beliau yang santai dan terkesan lucu adalah Peranda Gunung yang memiliki karisma
dan andil yang sangat besar bagi perubahan paradigm penyampaian ceramah keagamaan, yang
kemudian banyak diikuti oleh tokoh-tokoh agama, khususnya yang ada di Bali. Pemaparan diatas
menunjukkan bahwa proses pemertahanan bahasa Ibu terjadi karena terjadinya alur timbal balik
antara komunikan dan komunikator dapat terjaga dengan baik dimana kedua belah pihak
menggunakan Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar. Hal ini mencirikan bahwa dimana suatu
bahasa dapat dipertahankan dan diakui sebagai bahasa Ibu maka bahasa tersebut adalah identitas
budaya dari daerah yang dimaksud, dan tidak terkecuali bahasa Bali yang tentunya merupakan
identitas Budaya dari Bali (Suastra, 2009: 25)
Seni Tradisional
Eksistensi Seni Tradisional Bali saat ini tidak dapat dipungkiri telah memasuki fase yang
bisa dikatakan mulai mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan jaman yang muali
menggerus kreativitas seniman Bali untuk menciptakan karya seni yang akan dapat diingat oleh
orang lain sepanjang masa. Generasi muda Bali mulai memalingkan hati pada seni modern yang
bisa mewakili ego mereka sebagai remaja yang ingin selalu menjadi trend setter. Jika tidak mulai
diantisipasi oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan untuk selalu
mencintai seni tradisional yang ada di Bali maka tidak mungkin seni tradisional Bali akan tergeser
kedudukannya oleh seni modern.
Bertitik berat pada fenomena ini, stasiun TV lokal yang ada di Bali rupanya telah
memberikan kontribusi yang tidak bisa dikatakan sedikit dalam menayangkan berbagai bentuk seni
tradisional yang ada di Bali, khususnya yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa
pengantarnya. Bentuk seni tradisional Bali yang sangat bervariasi menjadi pilihan yang mampu
membuat para pemirsa di rumah dengan antusias tetap memilih untuk menonton tayangan terkait.
Adapun kelompok program acara yang ditayangkan oleh stasiun TV lokal yang ada di Bali dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
No.
1.
2.
2.
3.
4.
5.
Nama Program Acara
Stasiun TV yang Menayangkan
Gegirang
TVRI BALI
Geguntangan
TVRI BALI
Gita Shanti
BALI TV
Lila Cita
BALI TV
Dharma Gita Wacana
BMCTV
Pentas Seni (Arja, Bondres, Drama TVRI BALI, BALI TV, KOMPAS
Gong, Wayang)
TV DEWATA, BMCTV
Tabel 3.Daftar Content Program Seni Tradisional Menggunakan Bahasa Bali
Pada Televisi Lokal Di Bali
Melalui content acara seni tradisional, stasiun televisi lokal di Bali mampu menyajikan
acara dengan format yang lebih bervariatif. Sebut saja misalnya program acara gegirang,
geguntangan dan gita shanti yang menggunakan format interaktif dengan melibatkan pemirsa yang
ada di rumah menggunakan saluran telepon. Masyarakat yang memiliki minat yang sama dalam
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
373 menembangkan gegendingan tradisional Bali dapat perparstisipasi aktif menyumbangkan suara
mereka dan dapat didengarkan dan ditonton oleh masyarakat luas.
Berbeda halnya dengan program acara lila cita dan pentas seni yang tentunya memiliki
format yang berbeda pula, penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar juga sama-sama
memiliki potensi yang kurang baik, jika tidak dipahami dengan baik oleh pemirsa yang ada di
rumah. Tidak dapat dipungkuri bahwa para seniman yang biasnya terlibat dalam pentas seni
bondres, drama gong, arja atau wayang, biasanya akan memberikan guyonan supaya mampu
membuat pemirsa tertawa. Namun dari hasil observasi yang diperoleh dari hasil penayangan
program pentas seni, para seniman cenderung menggunakan kata kata lucu yang mengindikasikan
hal-hal berbau cabul, mengejek orang lain atau bahkan memaki orang. Biasanya pemilihan katakata yang kurang pantas ini digunakan oleh mereka yang memerankan tokoh punakawan.
Pemakaian bahasa Bali untuk menciptakan guyonan lucu yang tidak mendidik inilah yang harus
diperhatikan oleh orang tua, paling tidak kita sebagai orang mampu menjadi mesin seleksi untuk
anak-anak kita sehingga mereka tidak akan terpengaruh atau menguunakan kata-kata yang tidak
baik itu dalam proses mereka berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan untuk seniman yang
berperan sebagai ksatria atau putri yang bersifat protagonis, cenderung akan menggunakan katakata dalam bahasa Bali yang tingkat kesopanannya lebih tinggi daripada mereka yang berperan
sebagai punakawan. Proses pemertahanan melalui sen tradisional yang ditayangkan oleh stasiun
televisi lokal yang ada di Bali tentunya merupakan strategi yang sangat baik untuk lebih bisa
mendekatkan diri pada masyarakat multikultural yang ada di Bali, tak pelak menyangkut kota
Denpasar sebagai tempat mayoritas masyarakat multikultural yang ada di Bali. Analisa ini
memiliki keterkaitan dengan yang disampaikan oleh Merti (2010: 67) dalam tesisnya yang dimana
dalam kehidupan masyarakat multicultural yang ada di Bali, khususnya di Denpasar, media
penyiaran televisi telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mempertahankan
keberadaaan Bahasa Bali sebagai bahasa Ibu.
Hiburan
Tidak lengkap rasanya jika tayangan televisi tidak dibuat dalam bentuk hiburan, karena
bagaimanapun juga masyarakat yang harus menghabiskan waktu mereka berkutat dengan segala
pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Oleh karena itu, untuk mengurangi kepenatan mereka,
biasanya mereka akan mencari hiburan, dan hiburan termurah yang bisa memberikan pilihan yang
lebih bervariasi adalah program acara hiburan yang ditayangkan oleh stasiun televisi.
Demikian pula halnya dengan stasiun televisi lokal yang ada di Bali, jenis pilihan hiburan
yang mereka tayangkan sangat bervariasi, dimulai dari acara musik, interaktif karaoke, sinetron dan
hiburan untuk anak-anak. Adapun daftar program acara dengan content hiburan dapat
dikelompokan sebagai berikut:
No.
1.
2.
2.
3.
4.
4.
5.
6.
Nama Program Acara
Stasiun TV yang Menayangkan
Dedalu
TVRI BALI
Bali Metembang
TVRI BALI
Sinetron Bali
BALI TV
Tembang Bali
BALI TV
Video Musik Bali
KOMPAS TV DEWATA
Sinema Dewata
KOMPAS TV DEWATA
Rare Anggon: Melajah
KOMPAS TV BALI
Rare Anggon: Mesatua
KOMPAS TV BALI
Tabel 4. Daftar Content Program Hiburan Menggunakan Bahasa Bali
Pada Televisi Lokal Di Bali
Penggunaan bahasa Bali dalam program acara hiburan yang terangkum diatas memiliki
paradigma yang tidak jauh berbeda dengan penggunaan bahasa Bali pada program acara yang
sudah dibahas sebelumnya. Dimana terkadang orang-orang terlibat langsung dalam acara seperti
dedalu, Bali metembang, tembang Bali, video musik Bali, sinema dewata dan sinetron Bali
cenderung menggunakan pilihan bahasa Bali yang sederhana, yang mudah untuk dipahami oleh
semua kalangan umur, namun ada beberapa kemungkinan akan muncul penggunaan kata-kata yang
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
374 seharusnya belum didengarkan atau diketahui oleh anak-anak kecil. Contohnya pada acara dedalu
yang merupakan acara musik interaktif, dimana pemirsa di rumah dapat berpartisipasi aktif dalam
acara karaoke ini, biasanya baik pembawa acara ataupun pemirsa yang mengadakan kontak
telepon, kelepasan bercanda dengan pilihan kata-kata yang mengandung makna tidak sopan.
Demikian juga halnya dengan Bali metembang, tembang Bali, video musik Bali, sinetron Dewata
dan Sinetron. Kebanyakan bahasa Bali yang diadaptasi adalah pilihan bahasa Bali sehari-hari yang
tujuannya agar masyarakat dapat menerima pesan yang ingin disampaikan dalam program acara
terkait. Penyampaian bahasa yang jauh lebih sederhana akan sangat mempengaruhi minat pemirsa
untuk menjadikan program acara hiburan yang diberikan oleh stasiun televisi terkait. Berbeda
halnya dengan dengan program acara Rare anggon (melali dan mesatua) yang merupakan program
acara dengan content hiburan yang memang diperuntukkan bagi kalangan anak-anak. Pembawa
acara yang digunakan pada program acara melali merupakan anak-anak yang secara lugas mempu
berbahasa Bali dengan sopan, walaupun bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali dalam
tingkatan aturan bahasa Bali menengah (bahasa Bali madya). Pembawa acara mesatua, yang juga
melibatkan orang dewasa mampu menggunakan bahasa Bali dengan pilihan kata sopan yang tetap
bisa dipahami oleh kalangan anak-anak.
Nilai-Nilai Sosial pada Program Acara Stasiun Televisi Lokal di Bali yang Menggunakan
Bahasa Bali Sebagai Bahasa Pengantar
Berdasarkan pada visi dan misi dari masing-masing stasiun televisi lokal yang ada di Bali,
yang selalu berupaya untuk merepresentasikan Ajeg Bali dalam stiap program acara yang
ditayangkan. Ajeg Bali berarti tidak hanya menunjukkan perannya dalam mempertahankan bahsa
Bali sebagai bahasa Ibu, namun kontribusi lain yang mampu memberikan manfaat positif bagi
masyarakat Bali. Hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan visi misi itu adalah melalui program
acara dengan content yang harus memiliki nilai-nilai sosial yang berguna dalam pembentukan
karakter masyarakat Bali untuk diarahkan menuju kondisi yang lebih baik.
Berkaitan dengan hal ini, maka pada pembahasan ini, akan dibahas mengenai nilai-nilai
sosial yang terkandung dalam program acara yang menggunakan bahasa Bali sebagai pengantar,
sehingga diketahui sejauh mana pihak stasiun televisi lokal mampu berkontribusi lebih bagi upaya
pelestarian bahasa Bali sekaligus mampu turut serta membangun mental dan karakter masyarakat
Bali. Adapun nilai-nilai sosial yang terkadung dalam program acara televisi lokal yang ada di Bali
dengan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya meliputi nilai kreativitas, nilai pelestarian,
religius dan hiburan.
Nilai Kreativitas
Adanya nilai kreativitas yang bisa dilihat pada setiap program acara yang menggunakan
bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya, dapat dilihat berdasarkan format acara yang dibuat oleh
pihak stasiun televisi lokal di Bali. Berikut adalah nilai-nilai kreativitas yang dilakukan oleh pihak
stasiun televisi lokal untuk terus berupaya dalam memberikan pilihan program acara yang dapat
memuaskan pemirsa di rumah:
Sistim alih bahasa
Pada content program acara berita, walaupun menggunakan tingkatan bahasa yang
dimengerti oleh beberapa kalangan orang, namun pihak stasiun televisi memberikan solusi melalui
running text yang berisikan alih bahasa dari bahasa Bali yang digunakan ke dalam bahasa
Indonesia sehingga pemirsa di rumah akan bisa memahami pesan yang disampaikan.
Format acara
Format acara yang dimaksud disini konsep acara dan ide. Format acara interaktif ini dapat
melibatkan pemirsa di rumah sebagai pengisi acara secara langsung tanpa dipungut biaya apapum
pemirsa di rumah hanya cukup melakukan panggilan telepon pada saat acara sedang berlangsung.
Format acara ini dapat kita lihat pada program acara dengan content seni tradisional seperti
gegirang dan geguntangan (TVRI Bali), gita shanti (Bali TV), content hiburan seperti dedalu dan
Bali metembang (TVRI Bali), Tembang Bali dan video musik Bali (Bali TV). Ide acara yang
melatarbelakangi suatu acara juga semakin bervariasi. Kita dapat menemukan berbagai content
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
375 acara yang tidak kalah menariknya dengan televise nasional yang ada di Indonesia, seperti program
acara berita, religi, seni tradisional, hiburan dan dan kuliner.
Format Rerun atau siaran tunda
Berbagai peristiwa terkait kesenian besar seringkali dilaksanakan di Bali, namun
sayangnya masyarakat yang seharusnya menikmati hal tersebut tidak dapat menikmati disebabkan
oleh kesibukan mereka dalam bekerja dan bermasyarakat. Misalnya pelaksanaan Pesta Kesenian
Bali (PKB) yang diadakan setahun sekali, namun tidak semua kalangan masyarakat mampu
menikmati dengan utuh pilihan pentas kesenian yang dipertunjukkan selama PKB berlangsung.
Dengan membaca situasi ini maka stasiun televisi lokal yang ada di Bali memberikan pilihan siaran
tunda, dimana masyarakat mampu menyaksikan kembali berbagai pilihan pertunjukan kesenian
yang mereka tidak dapat dapat saksikan secara langsung.
Nilai Pelestarian
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa terkait dengan visi dan misi yang dimiliki
oleh stasiun televisi lokal yang ada di Bali seluruhnya mengacu pada prinsip Ajeg Bali maka sudah
seharusnya secara kontinyu mereka harus menggagas dan menghasilkan program acara yang
mampu mendorong dan memberikan motivasi bagi masyarakat Bali untuk lebih hal-hal yang terkait
dengan Bali. Adapun nilai pelestarian yang direpesentasikan dalam program acara menggunakan
bahasa Bali dapat kita lihat melalui:
Pelestarian Bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu
Pelestarian bahasa Bali sebagai bahasa Ibu dapat kita lihat dengan penggunaan bahasa Bali
sebagai bahasa pengantar pada beberapa tayangan program acara yang diberikan oleh stasiun
televisi lokal (sesuai dengan pembahasan sebelumnya). Hal ini dilakukan untuk memperkenalkan
keberadaan bahasa Bali kepada kalangan anak, remaja dan dewasa yang belum mengenal dan
memahami bagaimana menggunakan bahasa Bli dengan baik dan benar, sehingga nantinya mereka
mampu turut aktif menggunakan bahasa Bali secara katif dalam berbagi aktivitas bermasyarakat.
Pelestarian Seni Tradisional
Berbagai program acara seni tradisional ditampilkan oleh stassiun televisi lokal seperti
drama gong, arja bondres, sendratari. Hal ini disebabkan mulai terherusnya keberadaan kesenian
tradisional, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Dengan menayangkan program acara seni
tradisional ini, diharapkan kepada generasi muda untuk lebih mengenal dan bahkan mulai
termotivasi untuk mempelajari seni tradisional yang di Bali, sehingga kedepannya mampu lebih
berinovasi dalam menghasilkan karya seni tradisional yang lebih menumental.
Pelestarian Kuliner Bali
Seperti yang telah dibahas pada sub bab 5.2.5 mengenai kuliner, disini dapat kita lihat
bahwa dengan memperkenalkan kuliner tradisional yang ada di Bali, BMCTV telah turut
memberikan kontribusi untuk melestarikan keberadaan kuliner Bali kepada masyarakat Bali
sehingga eksistensinya dapat terus dipertahankan.
Nilai Edukasi
Layaknya hak untuk mendapatkan pendidikan secara formal, masyarakat atau pemirsa
televisi, khususnya masyarakat Bali berhak untuk mendapatkan informasi dari program acara yang
memiliki nilai edukasi yang tentunya bermanfaat bagi pembentukan karakter dan moral masyarakat
Bali. Informasi edukasi ini bisa diperoleh melalui program acara yang ditayangkan, misalnya
melalui program berita yang informatif masyarakat dapat memiliki wawasan tentang kondisi
berbagai aspek kehidupan yang sedang terjadi dalam kehidupan.
Berbagai pesan moral juga dapat ditemukan dalam seni tradisional yang biasanya
diselipkan pada dialog dengan cara menyampaikan beberapa petuah yang ditujukan kepada pemirsa
yang menonton. Dengan menyimak dan memilah nilai-nilai edukasi yang ditransfer melalui
penayangan program acara yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya akan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
376 lebih memberikan edukasi kepada masyarakat Bali untuk lebih mencintai dan aktif menggunakan
bahasa Bali dalam berbagai kesempatan.
Nilai Religius
Melalui program siaran rohani, masyarakat Bali akan memperoleh banyak pencerahan
untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama. Dengan menyaksikan dan mendengar langsung
dari narasumber yang memang berkompeten di bidang keagamaan, tentunya akan menggiring
persepsi yang awalnya salah menjadi benar dan yang sudah memiliki prinsip beragama yang sudah
baik akan lebih ditingkatkan dan dipertahankan.
Nilai Hiburan
Nilai hiburan yang bisa diperoleh oleh pemirsa telivisi akan sangat berbeda antara yang
satu dengan yang lain, karena tentunya akan dipengaruhi oleh minat seseorang terhadap satu
tayangan program acara, namun satu hal yang pasti ketika seseorang mampu mendapatkan suatu
tingkat kepuasan tersendiri terhadap suatu tayangan program acara, maka setidaknya hal itu dapat
mewakili perasaan terhibur yang mereka peroleh setelah menyaksikan suatu program acara.
Dengan berbagai variasi format acara yang diberikan oleh stasiun televisi lokal yang ada di Bali,
paling tidak hal tersebut mampu memberikan hiburan yang bermanfaat kepada pemirsanya sesuai
dengan pilihan mereka masing-masing.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Program Acara Stasiun Televisi Lokal di Bali
yang Menggunakan Bahasa Bali Sebagai Bahasa Pengantar
Dalam pembuatan suatu program acara, pihak stasiun televisi lokal akan mempertimbangan
berbagai macam kemungkinan sehingga nantinya program acara yang mereka buat akan dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat. Terkait dengan hal ini maka ada beberapa faktor yang telah
mempengaruhi produksi program acara yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar
sebagai berikut:
Faktor Kebijakan Pemerintah
Terkait dengan UU No.32 Th. 2002 Tentang Penyiaran, disebutkan pada Bab II ayat 2-4
bahwa:
a. Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.
b. Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya
watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa,
memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri,
demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.
c. Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, dan dalam menjalankan fungsi
sebagaimana dimaksud, penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.
Mengacu pada hal tersebut maka sudah jelas bahwa dengan menayangkan program acara
menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar maka stasiun televise lokal yang ada di Bali
telah mengikuti aturan sebagaimana mestinya untuk memberikan edukasi dan dorongan kepada
masyarakat untuk lebih mencintai dan aktif menggunakan bahasa Bali dengan baik dan benar.
Faktor Ideologi
Faktor ideologi merupakan prinsip dasar yang dituangkan oleh stasiun televisi lokal
tentunya dalam menghasilkan program acara yang berkualitas. Prinsip dasar yang dituangkan
dalam misi visi yang dimiliki oleh masing masing stasiun televisi lokal di Bali yang seluruhnya
tetap berpedoman pada keinginan untuk mewujudkan ajeg Bali tentunya sudag dapat kita saksikan
dari berbagai pilihan program acara terkait dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang
ditayangkan dengan menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya.
Faktor Kreativitas
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
377 Dengan berbagai format acara menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar yang
ditayangkan oleh stasiun televisi lokal yang ada di Bali seperti program berita, seni tradisional,
hiburan, kuliner dan sebagainya, membuktikan bahwa sejumlah tayangan sejenis yang juga
ditampilkan oleh stasiun televisi nasional bahkan bisa dikemas dengan unik dan lebih menarik oleh
stasiun televisi lokal yang ada di Bali. Dengan mengedepankan content acara dengan menggunakan
bahasa Bali sebagai bahasa pengantar, stasiun televisi lokal dapat memberikan nuansa tayangan
yang beridentitas Bali namun tidak monoton sehingga masyarakat atau pemirsa tidak akan pernah
bosan untuk menyaksikan tayangan tersebut. Dengan format acara interaktif juga telah menujukkan
kreativitas yang disambut baik oleh pemirsa dengan tingginya minat pemirsa yang ingin terlibat
melalui saluran telepon. Dengan faktor kreativitas ini maka kedepannya program-program acara
menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar akan memperoleh tempat di hati pemirsa
televisi, karena dengan kreativitas yang terus ditingkatkan maka content acara tentunya akan lebih
bervariasi.
Faktor Masyarakat
Eksistensi program acara yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar
tentunya sedikit banyak akan sangat berpengaruh pada minat pemirsa untuk menikmati siaran
program acara terkait. Seperti yang telah disampaikan pada awal pembahasan, bahwa kenyataan
dewasa ini menunjukkan bahwa minat untuk mempelajari dan menggunakan bahasa Bali yang baik
dan benar sudah mulai tergeser, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Jika masyarakat
mampu memahami dengan benar penggunaan bahasa Bali dalam setiap tayangan program acara
yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya, maka udah sangat jelas bahwa
program acara yang dimaksud dapat terus bertahan sehingga nantinya dapat memberikan dampak
positif bagi masyarakat, khususnya terkait pembelajaran untuk menggunakan bahasa Bali yang baik
dan benar.
Faktor Globalisasi
Indikasi ketergeseran bahasa Bali sebagai bahasa Bali dalam masyarakat Bali mau tidak
mau sangat dipengaruhi oleh perkembangan globalisasi yang membawa masuknya budaya luar
dengan mudahnya sehingga bersaing dengan keberadaan bahasa Bali. Era global mengahruskan
paling tidak seorang individu mampu berkomunikasi tidak hanya dengan bahasa Ibu dan bahasa
Nasional, melainkan juga yang sangat penting adalah seseorang harus mampu berkomunikasi
dengan baik dengan menggunakan bahasa Internasional. Jika tidak mampu menempatkan bahasa
Bali sebagai bahasa Ibu dalam kehidupan bersosialisasi, maka akan muncul kemungkinan bahasa
Bali sebagai bahasa Ibu akan semakin tergerus oleh jaman. Dengan mengacu pada kemungkinankemungkinan ini, stasiun televisi lokal yang ada di Bali telah memberikan kontribusinya dengan
menayangkan program acara menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar, sehingga misi
untuk mempertahankan ideologi ajeg Bali akan dapat tersampaikan dan dijaga bersama-sama
dengan masyarakat Bali sebagai pemirsa televisi.
SIMPULAN
Profil dari masing-masing televisi yang terdiri dari visi misi, motto dan logo merupakan
satu kesatuan yang sangat penting sebagai dasar dalam pembuatan dan penayangan suatu program
acara, sehingga content program acara akan sesuai dengan ideologi untuk mewujudkan konsep ajeg
Bali dalam kehidupan masyarakat di Bali pada khususnya. Content program acara yang
menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar yang ditayangkan oleh 4 stasiun televisi lokal
di Bali terdiri dari; content berita (Gatra Bali (TVRI Bali), Orti Bali (Bali TV), Gatra Dewata
(Kompas TV Bali) dan Bali News (BMCTV); content Religi (Siraman Rohani Hindu (TVRI Bali),
Dharma Wacana (Bali TV), Dharma Upadesa (Kompas TV Bali) dan Dharma Gita Wacana
(BMCTV); content Seni Tradisional (Gegirang, Pentas Seni (TVRI Bali), Gita Shanti, Lila Cita
(Bali TV), Pentas Seni (Kompas Dewata TV); content hiburan (Dedalu, Bali metembang (TVRI
Bali), Tembang Bali, Sinetron Bali, Video Musik Bali (Bali TV), Sinema Dewata, Rare Anggon
Melali, Rare Anggon Mesatua (Kompas TV Dewata). Nilai-nilai yang terkandung pada program
acara menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar terdiri dari nilai kreativitas, nilai
pelestarian, nilai edukasi, religius dan hiburan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penayangan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
378 program acara menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar adalah sebagai berikut; faktor
kebijakan pemerintah, faktor ideologi, faktor kreativitas, faktor masyarakat dan faktor globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Aron, Meko Mbete. 2010. Strategi Pemertahanan Bahasa-Bahasa Nusantara. Makalah pada
Seminar Internasional Bahasa Ibu oleh Magister Linguistik Pps. Undip pada tanggal 6 Mei
2010. Semarang.
Abroro, Nisa. Profil Televisi Lokal di Bali. 2009. Sosiologi Budaya Wordpress. Com. (diakses pada
tanggal 24 Mei 2014)
Bogdan, R and Biklen SK. 1992.Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory
and Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Field, John. Psycholinguistics: a resource book for students. New York: Routledge. 2003.
Istanto,Freddy H. Peran Televisi Dalam Masyarakat Citraan Dewasa Ini Sejarah, Perkembangan
Dan Pengaruhnya. NIRMANA Vol. 1, No. 2. 1999. Jurnal Jurusan Desain Komunikasi
Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra
Merti, Ni Made. 2010. Pemertahanan Bahasa Bali Dalam Masyarakat Multikultural di Kota
Denpasar. (Tesis). Universitas Udayana. Denpasar Bali
Suastra, I Made. 2009. Bahasa Bali Sebagai Identitas Budaya.Jurnal Linguistika Vol.16. No 01.
Fakultas Sastra. Universitas Udayana
Wijana, Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2006. SOSIOLINGUISTIK Kajian Teori dan
Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
IDENTITAS BUDAYA LOKAL PADA DESAIN KEMASAN
OLEH-OLEH KOPI BALI
Ni Luh Desi In Diana Sari, Alit Kumala Dewi
Program Studi Desain Komuikasi Visual Fakultas Seni Rupa Dan Desain,
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected], [email protected]
Abstrak
Desain kemasan dengan identitas budaya lokal sangat diminati oleh wisatawan akan tetapi
masih perlu dikembangkan, karena Bali memiliki keaneka ragaman warisan budaya adiluhung yang
belum banyak diperkenalkan. Kaidah-kaidah dalam pengemasan dan perancangan aspek-aspek
grafis kemasan masih belum digarap secara maksimal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui berbagai identitas budaya lokal sebagai daya tarik pada desain kemasan oleh - oleh
kopi Bali yang dijual di pasar oleh - oleh. Fokus penelitian ini adalah mengidentifikasi identitas
budaya lokal yang terdapat pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali berdasarkan prinsip desain
komunikasi visual dengan metode deskriftif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
identitas budaya lokal yang paling dominan ditonjolkan sebagai identitas kemasan oleh-oleh kopi
Bali adalah kesenian, arsitektur dan upacara ritual dengan tampilan kemasan yang bervariasi. Hasil
penelitian ini dapat dijadikan pijakan bagi sektor IKM dalam merancang daya tarik desain kemasan
dengan menampilkan identitas budaya lokal, agar memiliki perbedaan dengan produk lain sejenis.
Sehingga identitas budaya lokal Bali yang beraneka ragam dapat dihadirkan dengan konsep
berbeda dan produk IKM mampu bersaing dengan produk kompetitor yang telah memiliki nama
dibenak konsumen.
Kata kunci : Identitas Budaya, Desain Kemasan, Kopi Bali
Abstract
Design packaging with a local culture very popular by travelers but still needs to develop,
because Bali having variousity cultural heritage which is not widely introduced. Norms in
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
379 packaging and design of graphic aspects packaging still not uncultivated maximally. The focus of
this research is identify a local culture that are found on design packaging Bali coffee, that is
based on the principles of visual communication design by a method of descriptive-qualitative. This
research result indicates that a local culture the most dominant highlighted as packaging identity
are, local art, architectural and ritual ceremony with various appearance styles of design. This
research result can be used as a reference for small and medium enterprises sector of industry in
designing the attractiveness design of souvenirs packaging, by displaying cultural identity local--a
so as to have the difference with other products of a kind. Packaging design is able to present the
various identity of the Bali culture through various creative concept of packaging design. So that,
the products of small and medium enterprises able to compete with the competitors that has been
popular
Key Words : Culture Identity, Packaging Design, Bali Coffe
PENDAHULUAN
Kebutuhan wisatawan akan oleh-oleh khas dengan identitas budaya lokal pada desain
kemasan, memberikan dampak positif bagi peningkatan perekonomian sektor industri kecil
menengah yang memproduksi kopi Bali. Peluang ini melahirkan berbagai ide dan kreatifitas dalam
mengemas kopi Bali sebagai oleh-oleh khas dengan menonjolkan identitas budaya lokal pada
desain kemasannya. Desain kemasan yang mampu menciptakan perbedaan dan daya tarik, menjadi
strategi yang dikembangkan produsen oleh-oleh kopi Bali untuk dapat bersaing dengan produk
sejenis di pasaran.
Ikon identitas budaya lokal sebagai daya tarik pada desain kemasan kopi Bali yang familiar
ditampilkan terdiri dari tarian, kesenian, bangunan pura, dan panorama alam. Ikon ini dijadikan
sebagai simbol untuk mewakili identitas Bali, sekaligus mempertegas bahwa produk ini merupakan
oleh-oleh kopi khas Bali dan dikemas khusus. Upaya ini dilakukan produsen untuk meningkatkan
citra produk lokal daerah sebagai oleh-oleh khas Bali, sekaligus memperkenalkan berbagai
keunikan budaya lokal khususnya Bali kepada wisatawan.
Desain kemasan oleh-oleh kopi Bali dengan identitas budaya lokal masih perlu
dikembangkan, karena Bali memiliki keaneka ragaman warisan budaya adiluhung yang belum
banyak diperkenalkan. Selain itu kaidah-kaidah dalam pengemasan dan perancangan aspek-aspek
grafis kemasan masih belum digarap secara maksimal. Sebagai langkah awal untuk mengetahui
berbagai identitas budaya lokal yang telah ada dan digunakan sebagai identitas pada desain
kemasan oleh-oleh kopi Bali, maka fokus penelitian ini dilakukan di toko oleh-oleh daerah
Denpasar dan Badung yang menjual oleh-oleh kopi Bali dengan menampilkan identitas budaya
lokal pada desain kemasannya. Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi
desainer komunikasi visual, sektor IKM dan mahasiswa dalam merancang desain kemasan dengan
identitas budaya lokal yang memiliki ciri khas dan karakter yang berbeda serta mampu bersaing.
Desain kemasan dan elemen visual yang terdapat didalamnya, terdiri dari logo sebagai
identitas merek, bentuk kemasan, ilustrasi, warna, huruf, dan tata letak (layout), merupakan unsur
yang memegang peranan dalam proses penyampaian pesan kemasan secara visual. Desain kemasan
meliputi segala aspek grafis terdiri dari logo sebagai identitas merek, ilustrasi, warna, huruf dan
tata letak (layout), serta berperan penting dalam menciptakan daya tarik produk dibenak konsumen,
sehingga dapat mempengaruhi keputusan pembelian ditempat penjualan.
Berdasarkan atas uraian pada latar belakang di atas, maka masalah pokok yang menarik
untuk dikaji pada penelitian ini adalah a). Identitas budaya lokal apa yang dihadirkan pada desain
kemasan oleh-oleh kopi Bali ? b). Bagaimana identitas budaya lokal tersebut dihadirkan pada
desain kemasan oleh-oleh kopi Bali ?. Dari perumusan masalah tersebut tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui berbagai identitas budaya lokal sebagai daya tarik pada desain kemasan oleholeh kopi Bali yang dijual di pusat penjualan oleh-oleh khas Bali di daerah Denpasar dan Badung.
Selain itu tujuan penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui penerapan identitas budaya lokal
pada desain kemasan sebagai identitas dan ciri khas produk oleh-oleh kopi Bali dilihat dari sudut
pandang desain kemasan sebagai salah satu rumpun ilmu desain komunikasi visual.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
380 METODE PENELITIAN
Deskriftif kualitatif pada penelitian ini digunakan untuk meneliti berbagai identitas budaya
lokal yang dijadikan sebagai daya tarik pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali. Identitas budaya
lokal tersebut kemudian diobservasi, diidentifikasi hal-hal yang bersifat fisik pada obyek untuk
selanjutnya diinterpretasi berdasarkan sudut pandang peneliti. Sumber data pada penelitian ini
diperoleh melalui metode prosedur kuota dianggap juga sebagai jenis prosedur purposif yaitu
menentukan sample berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Kriteria yang telah ditentukan
memungkinkan penulis untuk fokus pada obyek penelitian dan memudahkan dalam mengumpulkan
sample penelitian (Bungin, 2011:108). Adapun kriteria dalam memilih sample kemasan yang
diteliti diasarkan pada kemasan oleh-oleh kopi Bali dengan menonjolkan identitas budaya Bali
berupa kesenian, bangunan, motif tekstil, ragam hias, kerajinan dll. Memiliki keunikan, cirikhas,
dengan konten informasi yang lengkap dan diambil dari beberapa toko oleh-oleh yang banyak
dikunjungi wisatawan yaitu Denpasar dan Badung.
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui metode survey lapangan guna
membatasi populasi wilayah pengumpulan sample. Popolasi sample dilakukan dipusat penjualan
oleh-oleh khas Bali yang berada di daerah Denpasar dan Badung. Populasi tempat pengambilan
sample ditentukan karena wilayah ini, merupakan barometer pariwisata di Bali dan banyak
dikunjungi oleh wisatawan. Hal ini diperkuat dengan banyaknya sarana akomodasi penunjang
kegiatan pariwisata seperti hotel, restoran, club malam, spa dan sarana hiburan lainnya berada di
lokasi ini. Mengacu pada metode prosedur kuota, pengumpulan sample dilakukan melalui metode
observasi. Observasi dilakukan dengan mengamati beberapa sample desain kemasan oleh-oleh kopi
Bali, yang representatif mewakili identitas budaya lokal pada desain kemasannya. Berdasarkan
hasil observasi ini didapatkan beberapa sample desain kemasan kopi Bali dari berbagai merek
dengan identitas budaya lokal sebagai daya tarik pada tampilan desain kemasannya. Sampel ini
kemudian dijadikan sebagai data untuk diidentifikasi dan dianalisis lebih lanjut untuk menjawab
rumusan masalah pada bab pendahuluan. Selain menggunakan metode observasi, pengumpulan
data pada penelitian ini menggunakan sumber data tertulis bersumber dari buku bacaan, jurnal
terkait dengan obyek penelitian. Sumber data yang juga dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah
foto, untuk menunjang keabsahan data. Sumber data berupa foto dihasilkan oleh penulis sendiri dan
sumber foto dari orang lain.
Adapun variabel yang dikaji pada penelitian ini meliputi desain kemasan dan elemen visual
yang terdapat pada sample oleh-oleh kopi Bali. Terdiri dari logo sebagai identitas merek, ilustrasi,
warna, huruf dan layout. Variabel ini akan dianalisis menggunakan teori desain kemasan terkait
fungsi, informasi dan tampilan visual kemasan.
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pertama, menentukan masalah
penelitian dengan merumuskan permasalahan. Kedua, teknik sampling dilakukan untuk
memfokuskan objek penelitian dalam hal ini desain kemasan kopi yang dijadikan sebagai oleh-oleh
khas Bali, dengan identitas budaya lokal sebagai daya tarik desain kemasan. Ke-tiga menentukan
jenis data sebagai tahapan penting dalam penelitian untuk mendapatkan jawaban dari rumusan
masalah yang ditentukan. Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Tahap ke-empat menentukan alat pengambilan data yang dilakukan dengan metode observasi,
wawancara dan dokumentasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil observasi dan pengumpulan data dilapangan. Desain kemasan oleh-oleh
kopi Bali yang teridentifikasi menggunakan identitas budaya lokal di toko oleh-oleh daerah
Denpasar dan Badung terdiri dari beberapa merek. Merek tersebut ada yang diproduksi di Bali
maupun di luar Bali. Desain kemasan oleh-oleh kopi Bali yang telah terkumpul kemudian
diklasifikasikan dan dianalisis. Tahapan analisis meliputi analisis konteks budaya dalam hal ini
identitas budaya lokal, tampilan kemasan meliputi elemen visual kemasan sebagai daya tarik,
identitas kemasan dan aspek informasi. Dibawah ini akan diuraikan desain kemasan oleh-oleh kopi
Bali berdasarkan wilayah pengumpulan sampel.
Dari hasil pengumpulan data, terdapat empat jenis identitas budaya lokal yang banyak
digunakan sebagai daya tarik pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali. Identitas budaya tersebut
terdiri dari kesenian, kerajinan, upacara ritual dan arsitektur. Berikut beberapa desain kemasan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
381 oleh-oleh kopi Bali dengan identitas budaya lokal yang didapat dari toko oleh-oleh di daerah
Denpasar dan Badung. Identitas budaya lokal pada tampilan kemasan dibawah ini telah
diklasifikasikan berdasarkan empat jenis diantaranya kesenian, kerajinan, upacara ritual dan
arsitektur.
Identitas Budaya Lokal Pada Desain Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali Dalam Bentuk Kesenian
Kesenian merupakan salah satu ikon identitas budaya lokal yang paling banyak digunakan
pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali. Kesenian bagi masyarakat Bali merupakan wujud budaya
yang sangat lekat dengan kehidupan beragama umat Hindu di Bali. Seni dipergunakan sebagai
sarana upacara keagamaan umat Hindu. Berikut beberapa identitas budaya lokal dalam bentuk
kesenian yang dijadikan daya tarik pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali.
Desain Kemasan “Bali Supremo Gourmet Coffe”
Merek
: Kopi Bali (The Butterfly Globe Brand)
Nama Produk : Bali Supremo Gourmet Coffe
Rasa
: Arabica Roasted Bean (Kopi dalam bentuk biji)
Berat
: 100gr
Gambar 1 Desain bagian depan, Gambar 2. Desain bagian belakang.
Sumber : Foto penulis
Konteks identitas budaya local
Indentitas budaya lokal pada desain kemasan Bali Supremo Gourmet Coffe merek The
Butterfly Globe Brand, menggunakan ikon penari Baris dengan latar belakang ornamen patra Bali
motif Mas-Masan (Gb 1.1 Kiri). Secara visual ikon penari baris digambarkan tidak utuh, hanya
nampak setengah badan. Tari Baris merupakan seni tari yang menggambarkan tarian ritual
peperangan dimainkan oleh penari laki-laki. Bagian khas dari kostum tari baris adalah hiasan
kepala dengan segitiga tinggi (udeng-udengan). Kata baris berarti “bebaris” di dalam formasi
militer (Covarubias, 2013:259). Tari Baris merupakan tarian yang sering digunakan dalam
mengiringi upacara keagamaan umat Hindu di Bali. Penggunaan ikon penari Baris pada desain
kemasan produk ini dimaksudkan untuk menginformasikan tarian khas daerah Bali yang telah
tersohor dan memiliki nilai religius dengan tampilan yang lebih menarik menggunakan ilustrasi
vektor. Akan tetapi informasi mengenai Tarian Baris di Bali tidak dicantumkan dalam desain
kemasan. Sehingga konsumen tidak mendapat pengetahuan mengenai apa itu tari Baris sebagai
salah satu identitas budaya lokal Bali.
Tampilan Desain Kemasan
Bentuk fisik kemasan luar (kemasan sekunder) berbentuk kantong mengambil gagasan dari
bentuk karung goni yang diperkecil (Gb 1.1 Kiri & Gb 1.2 Kanan). Karung goni umumnya
digunakan untuk menyimpan kopi dalam jumlah banyak. Gagasan ini kemudian menginspirasi
produsen untuk membuat desain kemasan berbahan Goni. Penggunaan Goni pada kemasan
sekunder bertujuan untuk mengkomunikasikan originalitas produk, dengan tetap konsisten menjaga
nilai-nilai tradisi dalam mengolah kopi, sehingga menghasilkan kopi yang berkualitas.
Kemasan primer bersentuhan dengan produk kopi, menggunakan bahan plastik alumunium
kedap udara, bertujuan agar aroma kopi tetap terjaga kualitasnya. Produk berupa biji kopi yang
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
382 telah disangrai (roasted bean) dikemas terlebih dahulu menggunakan plastik alumunium foil
kemudian dimasukkan kedalam kantong yg terbuat dari Goni, dan diberi label pada bagian atas
dengan teknik dijarit. Label berfungsi sebagai segel pengaman dan juga memberikan informasi
produk kepada konsumen. Label yang dijaritkan pada bagian atas kemasan merupakan PDU (panel
display utama) untuk menempatkan identitas merek dan elemen-elemen komunikasi utama,
berfungsi sebagai sarana informasi produk.
Elemen-elemen pada PDU yang diperlukan pada umumnya meliputi : tanda merek, nama
merek, nama produk, keterangan komposisi, (ingredient), berat bersih, informasi nilai gizi, tanggal
kadaluarsa, peringatan bahaya, arahan penggunaan, dosis, intruksi, ragam, barcode. Sedangkan
elemen yang diatur dengan desain meliputi : warna, citra, huruf, ilustrasi, sarana grafis, foto (non
informasi), simbol (non informasi), ikon, hirarki visual (Klimchuck dan Krasovec,2007:84,85).
Pada desain kemasan produk “Bali Supremo Gourmet Coffe” Informasi yang disyaratkan ada pada
PDU telah memenuhi syarat, informasi tersebut terdiri dari nama produk, jenis produk, berat
bersih, diletakkan pada bagian depan label berwarna hitam berbentuk persegi panjang (Gb 1.1
Kiri). Elemen visual kemasan terdiri dari ilustrasi, warna, huruf dan teks dilayout simetris
memenuhi bidang PDU (panel display utama) berbentuk persegi panjang. Ilustrasi berupa ikon
penari Baris diletakkan pada sisi sebelah kiri, dibuat memenuhi sebagian bidang kotak dengan
background patra Bali dibelakangnya. Informasi mengenai nama produk “Bali Supremo Gourmet
Coffe” diletakkan disebelah ikon penari Baris. Komposisi berkesan seimbang. Hirarki penempatan
informasi dan ukuran huruf menuntun pembaca dalam memahami informasi yang disampaikan.
Dimana urutan informasi dibuat sistematis mulai dari nama produk “Bali Supremo” diikuti jenis
produk “Gourmet Coffe” dengan ukuran huruf yang lebih kecil. Urutan informasi yang terakhir
adalah teks berat isi.
Pemilihan jenis huruf untuk teks informasi dominan menggunakan jenis huruf sanserif.
Huruf ini memiliki tingkat readability yang cukup baik, sehingga informasi yang tertera pada label
mudah dibaca, terlebih bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Legibility berhubungan
dengan kemudahan mengenali dan membedakan masing-masing huruf, karakter. Legibility
menyangkut desain, bentuk huruf yang digunakan. Suatu jenis huruf atau karakter-karakternya
mudah dikenali dan dibedakan dengan jelas satu sama lain (Rustan 2010:74). Ada bagian teks
berbunyi “ Kopi Bali 100% Pure Bali Coffe” menggunakan jenis huruf serif dengan ukuran yang
cukup besar. Hal ini dimaksudkan untuk menginformasikan dengan tegas kepada konsumen bahwa
produk ini mengandung 100% kopi murni tanpa bahan campuran. Jumlah huruf yang dipakai ada 4
tipe. Warna yang digunakan pada label menggunakan warna-warna bernuansa sunset yaitu
dominan warna hitam oranye, dan kuning (Gb 1.1 Kiri).
Informasi penjelasan produk, tanggal kadaluarsa, kode produksi, identitas produsen dan
logo The Butterfly Globe Brand diletakkan pada bagian belakang (Gb 1.2). Layout dibuat simetris
dimana hirarki urutan pembacaan informasi dimulai dari bagian kiri ke kanan. Urutan pembacaan
teks bagian kiri berisi informasi mengenai produk Bali Supremo, diikuti teks penjelasan mengenai
dibawahnya. Urutan pembacaan teks bagian kanan berisi informasi identitas produsen. Hirarki
semacam ini sudah menjadi konvensi dan berlaku di Indonesia. Terdapat enam butir pertimbangan
dalam menyusun hirarki elemen-elemen visual desain diantaranya; keseimbangan, fokus, kontras,
proporsi, urutan (squence), dan kesatuan (unity) (Wirya,1999:35). Hal ini dikenal sebagai prinsip
dasar layout. Desain kemasan produk “Bali Supremo Gourmet Coffe” telah memenuhi
pertimbangan dalam menyusun hirarki elemen-elemen visual desain.
Desain kemasan ini secara visual tampak menarik, akan tetapi konsumen tidak mempunyai
bayangan mengenai isi, bentuk, dan warna dari produk tersebut, karena pada kemasan tidak
dilengkapi gambar produk atau jendela yang memudahkan konsumen untuk melihat isi. Untuk
mengetahui isi produk, konsumen dapat membaca informasi yang tertera pada label kemasan.
Secara keseluruhan informasi pada label cukup jelas terbaca, akan tetapi pada label bagian depan
(Gb 1.1 Kiri) fokus informasi yang disampaikan kurang, karena dihalangi oleh latar belakang motif
yang juga menonjol. Informasi mengenai cara simpan, cara pembuatan, kandungan isi produk tidak
tertera. Informasi mengenai penjelasan produk dan kadaluarsa cukup memadai.
Penggunaan goni pada kemasan sekunder memberikan daya tarik unik bagi konsumen
sehingga mampu membangkitkan hasrat untuk membeli. Goni secara tradisional berbentuk karung
menjadi modern ketika dibentuk menjadi sebuah kantong kecil, dan dapat mengingatkan kembali
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
383 akan wadah masa lalu. Kemasan sekunder ini juga dapat digunakan kembali untuk mewadahi
sesuatu dan mudah dibawa karena ukurannya kecil. Secara keseluruahan antara kemasan dengan
label sudah serasi. Bahan alumunium sebagai kemasan primer memberikan kesan higienis dan
tahan lama.
Aspek Informasi
Secara keseluruhan aspek informasi yang dibutuhkan oleh konsumen telah tercantum pada
label. Merujuk pada aturan ketentuan Undang-Undang Label dan Pangan RI tahun 1999 yang
dikeluarkan oleh Badan POM menyatakan
“bahwa pada label sekurang-kurangnya memuat nama produk, daftar bahan yang
digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi, atau
memasukkan pangan ke wilayah indonesia keterangan tentang halal, serta tanggal, bulan, dan
tahun kadaluarsa (pasal 30 ayat 1)” (Fardiaz dkk, 2003:16). Maka desain kemasan “Bali Supremo
Gourmet Coffe” telah memenuhi aspek hukum dengan memuat informasi yang harus dicantumkan
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Secara keseluruhan desain kemasan “Bali Supremo Gourmet Coffe” telah memenuhi enam
fungsi untuk menciptakan kemasan ideal sebagai strategi untuk menarik perhatian target audiens.
Menurut Steven Dupuis & John Silva dalam Package Design Work Book, (2008:106), enam fungsi
tersebut terdiri dari : 1). Fungsi kemudahan fisik, dimana bentuk kemasan mampu melindungi
produk dengan menggunakan kemasan alumunium, 2). Fungsi keamanan, penggunaan bahan
aluminium dan karung goni tidak berpengaruh terhadap isi produk. 3) Fungsi Proteksi, kemasan
harus mampu memberikan perlindungan fisik terhadap isi produk, penggunaan label sebagai segel
pada kemasan ini telah memberikan perlindungan secara fisik terhadap isi produk. 4) Fungsi
Kemudahan dalam Pengelompokkan, Penempatan, Penyimpanan. Kemasan “Bali Supremo
Gourmet Coffe” sangat mudah dikelompokkan dan ditata di rak display. 5) Fungsi Informasi,
memberikan informasi yang sesuai dan dibutuhkan kepada khalayaknya, baik secara verbal
maupun visual. 6). Fungsi Marketing, kemasan yang baik adalah yang bisa memvisualisasikan
“brand” alias membantu branding sebuah produk.
Identitas Budaya Lokal Pada Desain Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali Dalam Bentuk
Kerajinan
Kerajinan merupakan salah satu identitas budaya lokal yang dijadikan sebagai ikon untuk
mengemas oleh-oleh kopi Bali. Kerajinan merupakan wujud budaya yang dihasilkan melalui
ketrampilan tangan yang dimiliki oleh masyarakat Bali, menghasilkan berbagai produk untuk
keperluan upacara agama Hindu. Kerajinan yang dihasilkan terbuat dari besi, kayu, bambu. Berikut
desain kemasan oleh-oleh kopi Bali yang mengadopsi bentuk kerajinan untuk mengemas oleh-oleh
kopi Bali.
Desain Kemasan “Bali Coffe Gift Pack Keben”
Merek
: Bali Coffe
Nama Produk : Bali Coffe Gift Pack Keben
Rasa
: Kopi Bubuk
Berat
: 40 gr
Gambar 3. Desain Kemasan Oleh – Oleh Kopi Bali Merek “Bali Coffe” Sumber : Foto penulis
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
384 Konteks identitas budaya lokal
Identitas budaya lokal pada desain kemasan ini mengambil inspirasi keben yang dijadikan
sebagai wadah bagi umat Hindu di Bali untuk membawa sara upakara. Wujud fisik keben
dihadirkan dengan ukuran yang diperkecil berbahan dasar plat alumunium dengan ukiran ornamen
sebagai hiasan (Gb.2). Selain itu identitas budaya lokal yang bisa dilihat pada desain kemasan ini
adalah bunga jepun dan ikon penari legong sebagai elemen visual desain pada label kemasan.
Tampilan Desain Kemasan
Bentuk fisik kemasan mengadopsi keben sebagai wadah sarana upakara umat Hindu.
Kemasan sekunder terbuat dari alumunium. Label yang terdapat pada kemasan berfungsi sebagai
PDU (Panel Display Utama) untuk menempatkan segala informasi tentang produk. Kemasan
primer yang bersentuhan langsung dengan produk dibuat dari bahan plastik kedap udara. Kemasan
sekunder kemasan primer kemudian dibungkus lagi dengan plastik agar pada saat dipajang
kemasan sekunder tidak rusak, kemudian pada bagian atas disematkan bunga jepun yang menjadi
ciri khas Bali.
Informasi mengenai nama produk, jenis produk, berat isi dan ijin sanitasi diletakkan pada
bidang persegi panjang yang ditempel pada sisi depan kemasan sekunder. Informasi yang disajikan
dilayout memenuhi bidang label, berkesan statis, dan kaku. Urutan informasi yang disajikan cukup
baik. Hirarki urutan informasi yang disampaikan mampu menuntun pembaca untuk membaca
informasi yang disampaikan. Urutan informasi jelas mana yang dibaca terlebih dahulu kemudian
teks selanjutnya. Logo merek “Bali Coffe” digolongkan kedalam Letter mark, didominasi oleh
tulisan, bisa berupa atau mengandung : kata, huruf, singkatan, angka, tanda baca, foto, gambar
kongkrit, gambar abstrak, disederhanakan (Rustan, 2009:21), menggunakan jenis font serif. Akan
tetapi keterbacaan logo kurang terlihat jelas karena antara warna logo dan latar belakang dibuat
senada hanya dengan menambahkan outline yang berkesan berat. Tipe huruf pada teks informasi
menggunakan jenis sanserif dengan tingkat keterbacaan yang cukup baik.
Secara keseluruhan tampilan desain kemasan ini cukup unik, akan tetapi informasi
mengenai produk secara detail tidak terlihat. Konsumen tidak memiliki gambaran mengenai isi di
dalam kemasan. Tidak ada ruang untuk memperlihatkan isi dalam kemasan. Dari segi informasi
masih relatif belum informatif, oleh karena informasi yang disajikan kurang lengkap hanya berisi
informasi mengenai produk, berat isi, dan ijin sanitasi. Warna berkesan monoton tidak ada daya
tarik.
Aspek Informasi
Aspek informasi masih belum memenuhi standar yang merujuk pada peraturan UndangUndang Label dan Pangan RI tahun 1999 yang dikeluarkan oleh Badan POM. Masih belum
terdapat teks informasi mengenai identitas produsen, keterangan tentang halal dan tanggal
kadaluarsa produk.
Identitas Budaya Lokal Pada Desain Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali Dalam Bentuk Upacara
Ritual.
Upacara ritual umat Hindu di Bali memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang
berkunjung ke Bali. Daya tarik tersebut terlihat dari sarana upacara yang digunakan berupa sajen
yang terbuat dari buah, bunga, janur yang dirangkai membentuk karya seni yang indah. Tradisi
ritualnya pun unik melibatkan hampir seluruh masyarakat dalam pelaksanaannya. Hal ini kemudian
menginspirasi produsen oleh-oleh kopi Bali untuk menjadikan upacara ritual sebagai ikon identitas
budaya Bali pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali. Berikut beberapa desain kemasan yang
mengambil ide upacara ritual.
Desain Kemasan “Kopi Bali”
Merek
: Kupu-Kupu Bola Dunia (The Butterfly Globe Brand)
Nama Produk : Kopi Bali
Rasa
: Kopi Bali Original, Bali Sunrise, Bali Gold Special
Berat
: 80 gr
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
385 Gambar 4 dan 5 Desain Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali Merek
“Kupu – Kupu Bola Dunia”Sumber : Foto penulis
Konteks identitas budaya lokal
Pada desain kemasan ini, ikon identitas budaya lokal Bali yang menonjol adalah ilustrasi
gambar tangan sosok wanita Bali yang membawa sesajen (Gebogan) yang menjulang tinggi diatas
kepalanya. Ritual ini hanya ada di Bali dan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Informasi mengenai ritual ini tidak dijelaskan secara detail pada kemasan hanya dijadikan sebagai
elemen estetis dengan cirikhas Bali.
Tampilan Desain Kemasan
Kemasan sekunder terbuat dari kotak mika tebal bening memuat tiga jenis produk berbeda
yang dibungkus dengan plastik alumunium sebagai kemasan primer. Tiap jenis diberikan warna
yang berbeda, misalnya warna hitam untuk jenis Bali Coffe Original, warna krem untuk Bali
Sunrise dan warna gold untuk Bali Gold Special. Penggunaan bahan plastik pada kemasan
memberikan kesan higienis dan kualitas produk terjaga dengan baik. PDU yang memuat elemen
visual desain sebagai sarana informasi produk terdapat tidak hanya pada kemasan sekunder
melainkan pada kemasan primer. Pada kemasan sekunder elemen visual kemasan terdiri dari
ilustrasi, teks, huruf dan warna dilayout horisontal dengan tiga bagian untuk menjelaskan produk
yang berbeda (Gb 3.1 atas). Pemilihan jenis huruf cukup baik, dimana huruf yang digunakan dipilih
dari jenis huruf serif dan sanserif, yang memudahkan konsumen membaca teks informasi yang
disajikan dengan ukuran kecil dan banyak. Pemilihan warna tidak terlalu banyak sehingga mudah
dikenali dan memiliki karakter. Warna pada kemasan sekunder terdiri dari dua yaitu warna coklat
dan krem memberikan kesan klasik dan vintage.
Aspek Informasi
Secara keseluruhan informasi pada kemasan sudah memenuhi standar sebagaimana
tertuang dalam aturan ketentuan Undang-Undang Label dan Pangan RI tahun 1999 dari BPOM.
Identitas Budaya Lokal Pada Desain Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali Dalam Bentuk
Arsitektur
Arsitektur Bali menjadi salah satu ikon identitas budaya lokal yang banyak menginspirasi
produsen untuk mengemas oleh-oleh kopi Bali. Berbagai bentuk dan ukiran yang terdapat didalam
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
386 bangunan arsitektur masyarakat Bali memiliki nilai seni dan mencerminkan masyarakat Bali adalah
seorang seniman yang dapat menghasilkan karya-karya berkualitas tinggi. Berikut beberapa desain
kemasan oleh-oleh kopi Bali yang mengadopsi arsitektur Bali sebagai daya tarik desain kemasan
oleh-oleh kopi Bali.
Desain Kemasan “Kopi Bali 100% Pure Bali Coffe”
Merek
: Kopi Bali Cap Kupu-Kupu Bola Dunia (The Butterfly Globe Brand)
Nama Produk : Kopi Bali 100% Pure Bali Coffe
Rasa
: Ground Coffe
Berat
: 250 gr
Gambar 6.7. Desain Kemasan Oleh – Oleh Kopi Bali Merek
“Kupu – Kupu Bola Dunia” Sumber : Foto penulis
Konteks identitas budaya lokal
Identitas budaya lokal bali pada desain kemasan ini dapat dikenali lewat ilustrasi yang
digunakan yakni ilustrasi yang menggambarkan suasana masyarakat Bali yang sedang
melaksanakan upacara tradisi di Pura. Gambar yang menjadi cirikhas pada ilustrasi kemasan
produk ini adalah gambar Pura dengan atap (meru) yang bertingkat-tingkat. Pura di Bali merupakan
bangunan arsitektur yang difungsikan untuk memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa yang berstana
disetiap wilayah Desa di Bali. Penjelasan mengenai keberadaan Pura di Bali tidak dijelaskan pada
kemasan, hanya memenuhi fungsi estetis saja.
Tampilan Desain Kemasan
Tampilan desain kemasan sangat menarik dengan penggunaan bahan Goni sebagai
kemasan sekunder. Bahan Goni yang digunakan sebagai kemasan sekunder memberikan kesan
segar dan alami. Sedangkan kemasan primer yang mengemas produk secara langsung terbuat dari
bahan plastik aluminium kedap udara bertujuan agar kualitas kopi tetap terjaga sampai ke tangan
konsumen. Secara visual tampilan desain kemasan ini sama dengan kemasan kopi Bali Supremo
pada (Gb 1.1 kiri) dan (Gb 1.2 kanan), yang membedakan adalah elemen visual kemasan pada
label. Posisi label dijaritkan pada bagian atas kemasan selain berfungsi sebagai segel produk, juga
difungsikan sebagai Panel Display Utama memuat segala informasi mengenai isi produk. Elemen
visual kemasn sebagai sara informasi produk terdiri dari ilustrasi, teks, huruf, warna dan layout.
Ilustrasi aktifitas masyarakat Bali yang sedang melaksanakan upacara di Pura dilayout memenuhi
bidang PDU (4.1 kiri). Ilustrasi dibuat dengan teknik gambar tangan menerapkan warna-warna
pastel pada keseluruhan ilustrasi dan berkesan lembut. Informasi mengenai nama produk “100%
Pure Bali Coffe” dan “Kopi Bali’ diletakkan pada bidang kosong dari ilustrasi sehingga antara
ilustrasi dan teks tidak saling tumpang tindih. Urutan keterbacaan informasi sangat sistematis. Pada
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
387 bagian belakang teks penjelas mengenai produk, saran penyajian, penyimpanan dibuat dengan teks
berwarna putih, hal ini sangat memudahkan konsumen membaca informasi yang disampaikan.
Pemilihan jenis huruf sangat baik menggunakan jenis huruf serif dan sanserif dengan tingkat
keterbacaan baik. Identitas produk tidak terlihat sehingga konsumen tidak mendapat gambaran
mengenai isi, bentuk dan warna kopi didalam kemasan.
Aspek Informasi
Secara keseluruhan informasi pada kemasan telah memenuhi standar sebagaimana tertuang
dalam aturan ketentuan Undang-Undang Label dan Pangan RI tahun 1999 dari BPOM, akan tetapi
ada beberapa informasi yang belum dicantumkan diantaranya kandungan bahan dan logo halal.
SIMPULAN
Identitas budaya lokal pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali yang menjadi obyek
penelitian dan telah teridentifikasi terdiri dari kesenian diantaranya seni tari, seni patung, seni lukis,
kerajinan, arsitektur dan upacara ritual umat Hindu di Bali. Penggunaan ikon identitas budaya
lokal ini memiliki persamaan antara satu merek dengan merek yang lain. Ada beberapa desain
kemasan yang menggunakan nama merek dengan bahasa lokal seperti Kopi Nini, Legong Kraton,
Saraswati, Dewi Seri dan Banyuatis. Kesemua identitas ini memberikan ciri khas dan karakter
terhadap produk kopi yang dijadikan sebagai oleh-oleh khas Bali.
Elemen visual desain kemasan pada PDU (Panel Display Utama) ada yang dikreasikan
dengan label, dan ada pula yang langsung dicantumkan pada kemasan sekunder. Bentuk kemasan
antara merek satu dengan merek yang lain memiliki persamaan, kebanyakan menggunakan bentuk
kemasan tas dengan tali yang mudah dibawa. Ada satu kemasan paling beda menggunakan bahan
goni sebagai kemasan sekunder. Informasi yang ditampilkan pada kemasan belum sepenuhnya
memenuhi aturan yang disyaratkan oleh BPOM. Warna kemasan kecenderungan memiliki nuansa
yang sama. Pemilihan huruf sudah cukup baik, dimana jenis huruf yang digunakan tidak terlalu
banyak.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa, desainer, dan produsen yang
mengemas produk oleh-oleh khas Bali dengan identitas budaya lokal pada desain kemasannya.
Melalui penelitian ini banyak aspek penting dalam desain kemasan yang belum mendapat perhatian
dari desainer kemasan. Sebaiknya desainer sebelum merancang desain kemasan hendaknya
memperhatikan aturan dibidang pangan yang dikeluarkan oleh BPOM, karena informasi tersebut
sangat membantu sebuah produk untuk bisa bersaing dengan produk sejeni, terlebih produk ini
dijadikan sebagai produk oleh-oleh khas Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, Yogyakarta : Kencana
DuPuis, Steven & Silva John. 2008. Package Design Work Book, USA :Rockport Publishers, Inc
Klimchuk, Rosner & Krasovec. A. Sandra. 2006. Packaging Design Successful Product
Branding From Concept to Shelf atau Desain Kemasan Perencanaan Merek Produk yang
Berhasil Mulai dari Konsep Sampai Penjualan, terjemahan Bob Sabran. 2007, Jakarta :
Erlangga
Miguel Covarrubias. 1937. Island of Bali atau Pulau Bali yang Menakjubkan,
terjemahan Sunaryo Basuki Ks. 2013, Denpasar : Udayana University Press
Rustan, Surianto. 2008. Layout Dasar dan Penerapannya, Jakarta: PT. Gramedia
_____. 2009. Mendesain Logo, Jakarta: PT. Gramedia
_____. 2010. Hurufonttipografi, Jakarta : PT. Gramedia
Wirya, Iwan. 1999. Kemasan yang Menjual, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
388 DARI KONFLIK DESA KE LAYAR KACA: ANALISIS WACANA LIPUTANBALI
TV BERITA BENTROK KEMONING-BUDAGA, KLUNGKUNG, BALI
I Komang Arba Wirawan
Program Studi Televisi dan Film, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis wacana liputan Bali TV Berita KemoningBudaga, Klungkung, Bali. Wacana pemberitaan pembubaran desa pakraman pascabentrok
Kemoning-Budaga oleh Bali Post edisi Senin, 19 September 2011 yang dikembangkan, di-setting,
dan di-framing dalam berita Bali TV. Pertama dalam sejarah pers di Bali, Bali Post berkonflik
dengan Gubernur Bali Made Mangku Pastika menjadi permasalahan hukum perdata dan menarik
untuk dianalisis. Teori analisis yang digunakan dalam penelitian meliputi teori wacana (Michel
Foucault), agenda setting (Weber), framing (Todd Gitlin), semiotika (Ferdinand de Saussure) dan
Komodifikasi (Mosco). Temuan penelitian ini adalah analisis wacana berita Bali TV dengan angel
wacana berita “pembubaran desa pakraman”, pasca bentrok Kemoning-Budaga, Klungkung, Bali
berkaitan dengan agenda setting, komodifikasi, kapitalisme media, disinformasi media dan konflik
kepentingan media dalam memproduksi, mendistribusi, mereproduksi berita sebagai wacana dalam
komodifikasi media. Simpulan penelitian ini adalah wacana liputan Bali TV dan wacana tanding
Gubernur Bali Made Mangku Pastika masing-masing memiliki kepentingan ekonomi, politik dan
ideologi dalam komodifikasi media untuk memperebutkan opini khalayak sebagai konsumsi atas
produksi, reproduksi dan distribusi media. Saran hasil penelitian di pihak pemerintah, dewan pers,
organisasi pers, dan wartawan agar memberikan manfaat bagi kehidupan dan pembangunan
sehingga dapat berperan menjadi literasi media.
Kata kunci: konplik, wacana, berita, liputan, televisi
Abstract
The research aimed at the analysis of reporting discourse by Bali TV on the case of
Kemoning-Budaga, Klungkung, Bali, a conflict which exploded in September 19, 2011. This case
pushed the Governor of Bali, I Made Pastika in a difficult situation, since he wanted to disperse
pekraman villages in Bali. Meanwhile, Bali TV and other mass media, especially those under Bali
Post Media Group keep exploit the dispersed of pekraman Village issue subjectively. Mangku
Pastika did not accept this situation and even offered an accusation and claimed civil law to Bali
TV. The good relationship between Mangku Pastika and Bali TV previously then turned into a very
serious conflict. The reporting discourse by Bali TV which affected the conflict even more serious
is interested to be observed to expose subjective agenda behind the politic of news broadcast The
main data used in this research was the reporting discourse of Bali TV on the case of
KemoningBudaga in a form of documentation of broadcast news material. Supporting data which
used were related news on printed media and interview with reporters and editors of related mass
media and also community figures who involved during the case of Kemoning-Budaga was
handled. Theories used in analyzing the reporting discourse by Bali TV on the case of KemoningBudaga, Klungkung Bali consist of discourse theory (Michel Foucault), setting agenda (Weber),
framing (Todd Gitlin), dan semiotics (Ferdinand de Saussure). Those 4 theories was applied
eclectically. This research applied critical discourse paradigm using fenomenalogic approach and
qualitatif method.The result of this result showed that the reporting discourse on the case of
Kemoning-Budaga by Bali TV was the prolongation of Bali Post printed media discourse which
manage using a clearly setting agenda to fullfill social, politic and ideology needs.
Keywords: discourse, setting agenda,framing, television news production Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
389 PENDAHULUAN
Tonggak reformasi yang bermula tahun 1998 memberikan sekurang-kurangnya dua hal
penting dalam dunia pertelevisian di Indonesia. Pertama, izin mendirikan televisi dipermudah
dengan program menjadi “luar biasa” karena terkait pemilihan tema peliputan dan teknik
pengemasan yang berbeda dibandingkan TVRI. Realita-realitas yang sebelumnya tidak dijamah
program-program berita TVRI justru menjadi agenda setting. Saat itu khalayak pun seakan
dibangunkan dari tidurnya untuk menyaksikan wacana dan petanda-petanda lain yang disuguhkan
media televisi RCTI dan SCTV sebelum reformasi. Bukan hanya tema peliputan dan teknik
pengemasan, tetapi juga gaya news presenter muncul dibanyak televisi tidak hanya di ibu kota,
tetapi juga di daerah. Setelah reformasi stasiun televisi di Indonesia berjumlah dua belas stasiun
televisi nasional, yaitu ANTV, Global TV, Indosiar, Metro TV, MNCTV, RCTI, SCTV, Trans TV,
Trans7, TVONE, Kompas TV, dan NET TV. Kemunculan stasiun televisi swasta tidak hanya di
pusat melainkan juga di daerah-daerah seperti di Bali ada empat stasiun televisi lokal Bali yang
berizin, yaitu Bali TV, Dewata TV, ATV, BMC TV, berdirinya setelah reformasi. Dan satu lembaga
penyiaran publik jasa penyiaran televisi TVRI Bali, yang berdiri sebelum reformasi dan siaran
televisi berlangganan berbayar di antaranya Indovision (PT MNC Sky Vision Tbk), Telkomvision
(PT Telkom Tbk) dan banyak televisi berjaringan dan berbayar sedang mohon izin di Bali (KPID
Bali, 2012).
Kedua, stasiun televisi sebagai lembaga penyiaran dapat memproduksi berita-berita kritis
sebagai informasi di mata khalayak. Pada zaman Orde Baru (Orba) hanya ada TVRI yang boleh
memproduksi dan menyiarkan berita walaupun RCTI (Seputar Indonesia) dan SCTV (Liputan 6),
sebagai stasiun televisi swasta siaran sebelum reformasi telah memproduksi berita namun tidak
sebebas setting berita-berta televisi setelah reformasi. Kini stasiun televisi nasional dan lokal
menjadikan berita sebagai salah satu acara unggulan untuk meningkatkan rating atau menonjolkan
jati dirinya. Televisi-televisi lokal, seperti Bali TV dan Dewata TV sangat mengutamakan berita daerah
dan mengungkap liputan sosial politik dan budaya untuk memperkuat jati dirinya sebagai media
informasi bagi khalayak Bali.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis wacana berita ”pembubaran desa pakraman”
dalam liputan Bali TV
pascabentrok Kemoning-Budaga, Klungkung, Bali. Pemberitaan
pembubaran desa pakraman pascabentrok Kemoning-Budaga oleh Bali Post edisi Senin, 19
September 2011 yang selanjutnya dikembangkan, di-setting, dan di-framing dalam berita Bali TV
sehingga menjadi permasalahan melalui pengadilan perdata. Gugatan penguasa atau masyarakat
kepada media massa atau Bali Post yang selama ini jarang terjadi menjadi perhatian menarik bagi
khalayak. Menariknya gugatan ini dilakukan oleh Made Mangku Pastika Gubernur Bali yang
sedang berkuasa. Made Mangku Pastika beralasan gugatannya kepada Bali Post di samping
berupaya memperoleh keadilan juga bermaksud memberikan pembelajaran kepada masyarakat
tentang jalur hukum yang elegan. Jalur ini yang semestinya ditempuh ketika merasakan
ketidakadilan akibat sajian produk informasi pers, khususnya dalam bentuk berita (Wahidin, 2012:
133).
Wacana berita Bali TV diproduksi dan didistribusi tidak hanya dalam berita Seputar Bali
Pagi tentang kasus pascabentrok Kemoning-Budaga juga acara lainnya, seperti Seputar Bali
Petang6 dan Giliran Anda7. Berita yang didistribusi tersebut secara mendasar seharusnya didasari
teknik pencarian, pengumpulan, penulisan, dan pelaporan beritanya bersifat objektif, faktual, dan
profesional. Namun, masih dianggap belum memenuhi kriteria jurnalistik yang profesional oleh
Gubernur Bali Made Mangku Pastika.
Kajian budaya (cultural studies) telah lama bertautan dan memiliki hubungan yang erat
dengan kajian media (media studies). Hubungan yang erat antara kajian budaya dan media tersebut
terjadi terutama pada media televisi. Karena televisi dalam sejarahnya merupakan media informasi
utama di sebagian besar masyarakat Barat dan menjadi pokok perhatian kajian media selama kurun
6
Lihat Berita - berita terkini yang terjadi di Bali dan sekitarnya, ditayangkan setiap hari mulai pukul 18.05,
http://balitv.tv/btv2/index.php, diakses, 2 Juni 2013.
7
Lihat Program dialog interaktif dengan penonton membahas isu-isu terkini seputar Bali, ditayangkan setiap
pukul 19.00, http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid= 29&id=6302 2,
diakses, 2 Juni 2013.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
390 waktu yang cukup lama. Hal ini menyebabkan tidak ada media lain yang dapat menandingi televisi
dalam hal volume teks budaya pop yang diproduksi dan banyaknya penonton (Barker, 2004: 271).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut; Bagaimanakah proses pembentukan wacana “pembubaran desa pakraman”
dalam liputan Bali TV pascabentrok Kemoning-Budaga?, Faktor-faktor apakah yang mendukung
proses pembentukan wacana “pembubaran desa pakraman” dalam liputan Bali TV pascabentrok
Kemoning-Budaga?, Bagaimanakah wacana tanding “pembubaran desa pakraman” pascabentrok
Kemoning-Budaga?.
Ada beberapa teori yang diperlukan untuk membahas analisis wacana berita media Bali
TV pascabentrok Kemoning-Budaga. Tujuannya agar permasalahan yang telah dirumuskan dapat
dijawab sesuai dengan kenyataan dan temuan di lapangan yang dapat dibuktikan dengan teoriteori. Teori yang digunakan dalam penelitian ini bersifat eklektik yang meliputi: Teori wacana
(Michel Foucault), wacana atau diskursus dipahami sebagai penjelasan, pendefinisian,
pengklasifikasian, dan pemikiran tentang orang, pengetahuan, dan sistem abstrak pemikiran—yang
menurutnya semuanya itu tidak terlepas dari relasi kekuasaan melalui mekanisme-mekanisme
selektif yang negatif (Foucault, 2002: 228)., agenda setting (Weber), Teori agenda setting adalah
teori yang menyatakan bahwa media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan
kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam
agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang
dianggap penting oleh media massa. Teori framing, adalah sebuah cara bagaimana peristiwa
disajikan oleh media. Analisis framing dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui
bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media (Mulyana,
2002: 3). Teori semiotika adalah teori yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia (Hoed,
2011: 3). Artinya, apa yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang
harus kita beri makna. Semiotika adalah teori untuk mempelajari segala sesuatu yang digunakan
dalam komunikasi, seperti kata, gambar, tanda lalu lintas, bunga, musik, gejala, atau tanda
berkenaan dengan ilmu kedokteran, dan banyak lagi yang lainnya (Seiter, 1992: 31) dan Teori
komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan oleh Karl Marx sebagai ’ideologi’ yang
bersemayam di balik media. Proses berlasungnya industrialisasi di media massa yang sangat
industrialis pada media cetak menyebabkan adanya komodifikasi.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis wacana, agenda setting, dan
framing pemberitaan Bali TV. Di samping itu itu, juga menganalisis tanda-tanda visual dalam
liputan Bali TV yang digunakan untuk menyampaikan wacana tertentu. Untuk memahami proses
pembentukan wacana atas “pembubaran desa pakraman” dalam liputan Bali TV pascabentrok
Kemoning-Budaga. Untuk mengetahui faktor-faktor pembentukan wacana atas “pembubaran desa
pakraman” dalam liputan Bali TV pascabentrok Kemoning-Budaga. Untuk mengungkap wacana
tanding atas “pembubaran desa pakraman”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan paradigma wacana kritis dengan pendekatan fenomenologis
dan metode kualitatif. Berbagai langkah konkret dirancang untuk memungkinkan proses penelitian
dapat dilakukan yaitu: metode kualitatif, penetapan jenis sumber data, penentuan informan,
instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik penyajian hasil
penelitian. Sumber data dokumentasi Bali TV oleh KPID Bali, internet (website) youtube, berupa
berita Bali TV dan berita-berita online yang diunggah oleh berbagai media dan masyarakat. Data
yang diperoleh berjumlah tiga puluh rekaman berita Bali TV dan satu rekaman siaran satu hari
penuh. Data yang diambil sepuluh rekaman siaran berita Bali TV dari tanggal 19 SeptemberNopember 2011, dan sepuluh rekaman berita Bali TV rangkaian sidang Februari-April 2012
Gubernur Bali Made Mangku Pastika melawan Bali Post. Data yang diambil dirasa cukup karena
data rekaman tersebut saat terjadinya peristiwa dan sidang di pengadilan Negeri Denpasar dimana
opini dan pemberitaan dengan itensitas wacana sangat tinggi. Sesuai dengan metode kualitatif yang
digunakan dalam penelitian ini, maka analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan
interpretatif mempergunakan analisis wacana Eriyanto (2005). Analisis wacana untuk mencari
mengetahui isi teks berita, dan pesan yang disampaikan. Analisis data merupakan proses mencari
dan menyususn secara sistematis hasil wawancara, observasi, dan bahan-bahan dokumen. Data
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
391 yang berkaitan dengan sejarah perkembangan televisi lokal, yang menjadikan berita media Bali TV
sebagai produk televisi sebagai wacana dalam menyebarkan ideologinya. Data penelitian ini
dianalisis dalam empat tahap.
Tahap pertama, analisis dilakukan untuk memeroleh gambaran umum dan menyeluruh
tentang situasi sosial yang diteliti yang merupakan objek penelitian. Pada tahap kedua, analisis
dilakukan terhadap keseluruhan data yang terkumpul secara lebih terperinci dan mendalam. Data
yang dianalisis pada tahap kedua ini meliputi berbagai fenomena wacana media massa dan
keterlibatan atau partisipasi para ahli media massa di Kota Denpasar dan Provinsi Bali.
Tahap ketiga meliputi keterlibatan lembaga penyiaran dalam memproduksi, mereproduksi,
dam mendistribusikan siaran beritannya. Tahap keempat, yaitu analisis wacana berita media Bali
TV oleh para ahli media massa terhadap wacana dan makna ideologi yang ditawarkan. Artinya
relasi kekuasaan media dan pemerintah dalam hal ini Gubernur Made Mangku Pastika melawan
Bali Post.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Media massa kontemporer tidak saja menjadi media masyarakat yang merefleksi
kepentingan masyarakat secara luas, namun terpenting adalah media massa menjadi bagian dari
institusi kapitalistik yang menyuarakan kepentingan pemilik kapital tertentu. Dengan demikian,
selain media massa memiliki visi untuk mencerdaskan masyarakat, namun juga pencerahan yang
dilakukan oleh media massa terkadang sangat tendesius dan memihak pada para pemilik modal.
Posisi ambivalen ini sering menyulitkan media massa sendiri, karena ternyata visi kapitalisme
menjadi model produksi media massa dengan dalih ’revitalisasi institusional’ padahal dalih ini
hanya sebagai langkah ambil untung dalam model produksi kapitalis.
Jadi, ketika alasan revitalisasi institusional ini digunakan sebagai alasan liberalisasi
pemberitaan dan informasi, maka terkadang media massa tidak lagi mempertimbangkan moral
sebagai satu-satunya alat mengontrol langkah mereka. Dari sini kita dapat memahami mengapa
model pemberitaan media massa kapitalis begitu mengabaikan kepentingan masyarakat, karena
dominasi aksi ambil untung (komodifikasi) menjadi kiblat mereka dalam setiap langkah dan model
produksi yang mereka terapkan.
Salah satu model produksi media kapitalis dimaksud adalah selalu merefleksi realitas sosial
yang sangat ekstrem di masyarakat. Ada tiga isu abadi dalam dunia jurnalisme kapitalis Indonesia,
yaitu harta, tahta, dan wanita. Ketiga isu ini menjadi realitas sosial yang dikontruksi secara
bergantian menjadi realitas media. Ada semacam dialektika dalam model produksi media kapitalis,
bahwa media senantiasa merefleksi kepentingan kapitalis dengan berbagai cara dan argumentasi
mereka untuk mempertahankan hidup, sedangkan kapitalisme senantiasa merefleksi masyarakat itu
sendiri. Jadi proses ini saling menghidupkan, di mana media dihidupkan kapitalis, sedangkan
kapitalisme mencari keuntungan dari sisi buruk kebutuhan masyarakat (Bungin, 2005: 110).
Kapitalisme pers pada awalnya bukan motivasi awal kelahiran pers di Bali (1924), dengan
terbitnya Newsletter Santi Adnyana. Motivasi awalnya adalah semangat untuk mencerdaskan
masyarakat, mendorong mereka untuk berpikir dan berbuat maju sesuai dengan keadaan. Unsur
pendidikan jauh lebih menonjol dari pada aspek bisnisnya. Media massa diterbitkan organisasi
sosial dengan missi sosial.
Dalam perjalanan berikutnya, sejarah juga mencatat betapa pers di Bali terlibat langsung
dalam gerakan perjuangan bangsa baik pada masa penjajahan maupun dalam masa kemerdekaan,
terutama untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih bangsa Indonesia. Komitmen
kebangsaan, pengabdian dan itikad untuk mencerdaskan bangsa begitu kental menjiwai perjalanan
pers di Bali.
Namun seiring dengan perkembangan jaman, pers pun mengalami dinamika internal dan
eksternal. Teknologi informasi yang demikian pesat dan bersifat padat modal telah memaksa pers
kembali berhitung menyangkut aspek-aspek bisnis yang menyertainya. Secara yuridis
diundangkannya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers pun kembali memberi legitimasi yuridis.
Dalam pasal 2 UU tersebut amat jelas disebutkan selain sebagai lembaga sosial juga lembaga
ekonomi. Berangkat dari sinilah sejumlah pengelola media seakan-akan memperolah pengesahan
yuridis untuk menonjolkan aspek bisnisnya dalam pengelolaan pers, termasuk di Bali.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
392 Terkait dengan sumber daya manusia, ada semacam kegelisahan di kalangan jajaran pers
bahwa begitu gampangnya orang mendirikan perusahaan pers hingga komitmen, kompetisi, dan
kapabilitas para jurnalis yang dipekerjakan acap kali menjadi sorotan. Dengan mendirikan
perusahaan pers maka dengan sekejap seorang mantan tukang ojek, pedagang dan bahkan
pengangguran bisa menjadi wartawan. Potret semacam ini pada gilirannya merusak citra wartawan
dan pers itu sendiri.
Di sisi lain, tumbuh dan berkembangnya perusahaan pers tanpa kendali meyebabkan
masing-masing perusahaan pers dengan segala daya berupaya mempertahankan eksisitensi
kehidupan lembaganya. Tak pelak tingkat persaingan untuk memperebutkan pendapatan dari sektor
periklanan pun begitu ketat. Padahal, justru dari sektor inilah sejatinya kontribusi terbesar
pendapatan media massa.
Dari sinilah konflik kepentingan antara pengelola media yang bermisi sosial dengan
bermisi bisnis mulai terjadi. Tarik-menarik kepentingan itu begitu ketat, terlebih lagi ketika
menyangkut kelangsungan hidup media tersebut. Pada akhirnya, realitas tersebut yang mendorong
pengelola media mulai berpikir pragmatis dengan memasuki wilayah-wilayah yang sebelumnya
sama sekali tidak tersentuh. Dalam persoalan pemberitaan politik misalnya, sebelumnya tidak
pernah terjadi kebijakan media untuk memperlakukan informasi politik sebagai komoditas yang
daripadanya diharapkan diperoleh sejumlah pendapatan. Namun fakta kini menunjukkan lain.
Dalam perhelatan politik, sejumlah media cetak tanpa canggung mengenakan tarif terhadap
pemuatan politik terutama berkaitan dengan kegiatan kampanye kandidat bersangkutan.
Implikasi dari kebijakan ini amat jelas. Hak publik untuk memperoleh informasi yang
jernih, kritis dan bermakna diabaikan oleh media. Ruang publik yang seharusnya netral dikelola
oleh media menjadi terkontaminasi. Media begitu asyik melakukan “perselingkuhan” politik
dengan para tokoh politik hingga media sekadar berfungsi menjadi corong alat propaganda para
politisi. Dalam kondisi ini terjadi hegemoni oleh media sedemikian rupa hingga publik secara sadar
menerima informasi yang dikemas media oleh karena tidak ada pilihan informasi lain. Hegemoni
ini terjadi begitu halus dengan kemasan produk informasi sedemikian rupa.
Realitas semacam ini sungguh-sungguh memuculkan kegelisahan dan kecemasan akan
nasib media, hak publik, dan proses pendidikan politik yang semestinya terus diupayakan.
Kegelisahan akan nasib media terjadi dalam bentuk kekhawatiran bahwa media massa akan makin
terseret dalam aroma kepentingan bisnisnya hingga akhirnya melupakan akar sejarahnya, jati
dirinya dan sisi sosial dan idealismenya. Ada kekhawatiran bahwa produk informasi yang dimiliki
berdampak amat besar dalam berbagai kehidupan, akan disamakan dengan produk material lainnya
yang dijual di berbagai mall dan supermarket. Jika itu yang terjadi, maka informasi niscaya makin
tak punya makna, makin banal dan tidak mampu meningkatkan kualitas peradaban dan kehidupan
manusia. Begitu pula hak publik untuk memperoleh informasi yang luas, berimbang, jujur, jernih
dan mencerdaskan akan makin jauh dari harapan. Implikasinya, proses pendidikan politik bangsa
akan makin mandeg atau jalan ditempat. Kekhawatiran paling dalam adalah bahwa fenomena yang
menyeret berbiaknya kapitalisme media akan menyebabkan perkembangan media yang keropos di
satu sisi dan kualitas kehidupan demokrasi yang stagnan di sisi lain.
Berangkat dari kenyataan ini kiranya sejumlah penataan yang melembaga seyogyanya
mulai dilakukan jajaran pers di seluruh tanah air. Penataan dimaksudkan agar kebebasan pers yang
telah diraih saat ini tidak berubah menjadi bumerang yang justru akan merusak tatanan pers di satu
sisi dan sendi-sendi peradaban dan kemanusiaan di sisi lain. Oleh karena itu, beberapa rekomendasi
berikut patut dijadikan bahan pemikiran.
Pertama, penataan kualitas dan standar kelembagaan hendaknya terus didorong dan
diwujudnyatakan. Jika saat ini Dewan Pers telah melakukan verifikasi terhadap organisasi
wartawan maka tahap selanjutnya verifikasi juga mutlak perlu dilakukan terhadap perusahaan pers.
Entah lembaga mana yang melakukan yang jelas publilk wajib tahu dan dibuatkan standard
perusahaan pers mana yang dinyatakan sehat dan tidak sehat. Pada tahap selanjutnya standar
verifikasi itu digunakan sebagai acuan jika seseorang hendak mendirikan perusahaan pers.
Kedua, penataan kualitas standar kompetensi kewartawanan juga mutlak perlu dilakukan.
Wartawan sebagai profesi mesti ditempatkan secara terhormat dan untuk memperoleh predikat
tersebut tidaklah mudah. Entah lembaga mana yang menyelenggarakan standard kompetensi
menjadi seorang wartawan haruslah diwujudkan. Jika seseorang hendak bekerja sebagai wartawan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
393 pada sebuah perusahaan pers, yang bersangkutan mestilah memiliki semacam sertifikat bukti
kelulusan sesuai standard kompetensi yang diatur. Dengan demikian dapat diyakinkan mereka
benar-benar terjamin integritas, kualitas intelektual, dan menjadi wartawan terampil.
Ketiga, Dewan Pers seyogyanya mulai memikirkan regulasi dan soal patut/tidaknya sebuah
informasi dikomodifikasikan. Kalau memag patut, regulasi dan sanksi yang tegas perlu
diberlakukan agar publik tidak menjadi korban hegemoni oleh media yang menjadi agen produksi
wacana. Yang juga jauh lebih penting adalah, Dewan Pers agar mendorong revisi UU 40 Tahun
1999, dengan mengatur secara tegas bahwa pemilik media tidak boleh langsung terjun ke ranah
politik, dengan menjadikan medianya sebagai alat propaganda politik. Jika terjun ke politik, yang
bersangkutan seharusnya keluar dari pengelolaan dan pemilikan media.
Dengan upaya-upaya itu, tentu diharapkan media masa memerankan fungsinya secara tepat
dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi pengembangan kualitas dan peradaban umat manusia dan
kualitas kehidupan secara keseluruhan. Jika demikian, media dapat menempatkan dirinya sebagai
literasi media sehingga keluhan Frank Miller Jr. menjadi benar “Ketika Anda menulis untuk
menyenangkan orang lain, Anda tidak lagi berada di dunia jurnalistik tetapi Anda berada di dunia
pertunjukan.
SIMPULAN
Pertama, proses produksi, reproduksi, distribusi dan konsumsi berita pascabentrok
Kemoning-Budaga, Gubernur: “Bubarkan Saja Desa Pakraman”. Sebagai wacana dari Bali Post
dalam teks berita tersebut secara berkelanjutan, berkembang ceritanya berdasarkan kondisi yang
memengaruhinya dan ideologi dominan dari media dan didistribusikan kepada pemirsa. Bagaimana
sebuah berita juga merupakan sebuah narasi. Hal itu berarti bahwa berita mengikuti atau memenuhi
syarat-syarat sebagai suatu narasi proses konstruksi realitas. Di mana berita merupakan sebuah
rangkaian peristiwa pascabentrok Kemoning-Budaga dirangkai dengan kunjungan gubernur, yang
dilanjutkan dengan berita pada sidang paripurna DPRD Provinsi Bali. Jurnalis tidak mungkin
hanya meliput satu peristiwa sebab bila hanya meliput satu peristiwa yang diangkat, maka peristiwa
tersebut menjadi tidak bermakna. Selanjutnya konsumsi wacana Bali TV didasarkan pada pasar,
uang dan keuntungan sebagai konsekuensi kapitalisme media. Kapitalisme media merupakan
segala wacana yang dikonsumsi harus menghasilkan capital. Seperti wacana ‘pembubaran desa
pakraman’ juga terdapat running text yang menyertai opini tersebut. Ini menandakan bahwa
wacana yang dibangun Bali TV tidak mengorbankan unsur bisnis yang menyertainya.
Karakter pengusaha Bali TV secara kasat mata telah ‘terlibat’ ke dalam dunia politik dan
menjadi alat kepentingan pemiliknya. Seperti konflik Bali Post dan Gubernur Bali Made Mangku
Pastika, Bali TV menproduksi wacana ‘pembubaran desa pakraman’ beritanya disetting dan
diframing menghasilkan wacana berita yang tidak berimbang (memiliki kepentingan politis) dan
tanpa dikonfirmasi, sehingga Bali Post dapat dikatakan melanggar Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik.
Kedua, faktor-faktor yang mendukung proses pembentukan wacana atas “pembubaran desa
pakraman” dalam liputan Bali TV pascabentrok Kemoning-Budaga, sebagai angel berita Bali TV
secara kritis membangun wacana yang cukup progresif, sehingga wacana ini memberi efek
mengagetkan masyarakat umum apakah benar gubernur Bali membubarkan desa pakraman.
Berikutnya yang mendukung pembentukan wacana adalah pertikaian atau konflik sosial merupakan
wacana yang menjadi perhatian khalayak sebagai produk wacana budaya media. Hubungan
kekuasaan budaya media merupakan pergulatan antara kelompok, termasuk pergulatan KMB
dengan Gubernur Bali Made Mangku Pastika.
Ketiga, wacana tanding atas “pembubaran desa pakraman” dalam liputan Bali TV,
pascabentrok Kemoning-Budaga, gubernur melakukan mobilisasi dengan pengumpulan tokohtokoh masyarakat, pers dan agamawan untuk memberikan klarifikasi secara langsung. Dengan
klarifikasi tersebut gubernur melayangkan somasi sebagai wacana perihal pemberitaan
“pembubaran desa pakraman”. Agenda setting Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengirimkan
somasi ke Bali Post sebagai wacana tanding yang subtansinya hak jawab prihal pemberitaan
‘pembubaran desa pakraman’. Tidak hanya sampai pada somasi gubernur juga mengadukan
prihalnya kepada Dewan Pers, institusi yang mengurusi kinerja jurnalistik. Dewan Pers kemudian
mengeluarkan pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR) Dewan Pers No. 09/PPR-DP/XI/2011
tentang pengaduan Gubernur Bali Made Mangku Pastika terhadap Bali Post. Interpretasi secara
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
394 akademik atas wacana yang berkembang menjadi wacana tanding gubernur dengan diterbitkannya
buku karya Samsul Wahidin, dengan judul “Dimensi Etika dan Hukum Profesionalisme Pers”.
Berikut nya bedah buku, seminar di UNWAR dan UNUD secara akademik membahas wacana
media yang berkembang. Beberapa pernyataan yang mengkritisi Bali Post dan Bali TV, serta
pemilik media ini diunggah oleh Humas Pemerintah Provinsi Bali di berita online YouTube sebagai
wacana tanding dari gubernur.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan Dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Barker Chris and Dariusz Galasiñski. 2001. Cultural Studies and Discourse Analysis: A dialogue
on Language and Identity. Sage Publication: London. Thousand Oaks. New Delhi.
Barker, Chris. 2004. Culture Studies, Teori dan Praktek. SAGE Publicatio
Bungin Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Kencana: Jakarta.
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jalasutra: Yogyakarta.
Foucault Michel. 1978. Arkeologi Pengetahuan. IRCiSoD: Jogjakarta.
Mosco Vincent. 2010. The Political Economy of Communication. SAG
Wahidin Samsul. 2012. Dimensi Etika Dan Hukum Profesionalisme Pers. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
MODAL SOSIAL INSTITUSIONAL PITA MAHA
(PRAKTIK SOSIAL PELUKIS BALI 1930-AN)
I Wayan Adnyana
Prgram Studi Sei Rupa Murni. Fakultas Seni Rupa dan Desain,
Institut Seni ndonesia Denpasar
[email protected]
Abstrak
Seni lukis yang merupakan pengembangan mutakhir dari seni lukis klasik wayang
Kamasan. Pola pengembangan tidak saja tentang teknik artistik, tetapi juga menyangkut paradigma
estetik. Penciptaan dan penyebaran paham seni lukis yang berjarak dari pola stilistik moyang
wayang Kamasan, berikut membiakkan seni lukis sebagai media ekspresi personal. Para pelaku
seni dan patronis mengonsolidasi praktik seni dalam lintasan fungsi yang tertata dan profesional.
Agen baik itu puri, pelukis Bali, pelukis negeri manca, maupun kolektor dan dealer bersatu dalam
gerakan sosial seni bernama lembaga Pita Maha. Sesungguhnya Pita Maha juga memayungi genre
seni patung, tetapi penelitian ini lebih memfokuskan pada tilas seni lukis saja. Penggunaan metode
sosio-sejarah akan menggali lebih jauh karakteristik dan model modal sosial-institusional yang
melahirkan sekaligus mempopulerkan ideologi seni lukis generasi Pita Maha. Topik ini juga
menjadi bagian penting dari penelitian disertasi penulis yang berjudul Pita Maha: Gerakan Sosial
Seni Lukis Bali 1930-an. Pembahasan menyangkut modal sosial-institusional meniscayakan
pendalaman dan eksplorasi lebih utuh tentang konstruksi sosio-historis kelahiran lembaga Pita
Maha. Berikut penelusuran aspek-aspek modal sosial yang mewujudkan kelahiran Lembaga Pita
Maha, sehingga seni lukis Bali mengalami perkembangan luar biasa, baik dari segi “ideologi”
estetik, maupun dari kecakapan institusional para pelukis.
Kata kunci : modal sosial-institusional, pita maha
Abtracts
The artwork is considered to be the latest development of classical paintings of Kamasan
puppet. The pattern of development is not just on artistic technique, but also on aesthetic paradigm.
Yet, the invention and development of painting concept, which were previously adopted from
stylistic pattern of puppet Kamasan has successfully disseminated paintings as a medium of
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
395 personal expression. The artist and patron consolidated art practice in the art function, which was
well ordered and professional. Agents including palaces, Balinese and foreign painters as well as
collectors and dealers were united in arts social movement, named Pita Maha. Despite the fact that
Pita Maha also encompassed the sculpture, this research focuses more on the path of paintings.
Socio-historical method is applied to explore the characteristics and models of social capitalinstitutional ideology that brought forth and commercialized paintings on Pita Maha generation.
This topic is also an important part of the writer’s dissertation entitled Pita Maha: Social
Movement on Balinese Paintings in 1930s. The discussion on social-institutional capital enables
expansion and exploration of a more complete socio-historical construction on Pita Maha
existence. The study on social capital aspects, which embodies the initiation of Pita Maha, has
constructed a tremendous growth of Balinese paintings, both in terms of aesthetic "ideology", and
institutional competence of the painters.
Keywords: Pita Maha, Social-Institutional Capital
PENDAHULUAN
Citra artistik seni lukis Bali tahun 1930-an memang jauh berbeda dengan apa yang penulis
saksikan di masa kecil di desa yang lebih mengakrabi seni lukis wayang Kamasan. Setiap pura,
seperti pada papan kayu yang menjadi dinding bale-bale pura (parbe), juga pada berbagai
perangkat ritual, diantaranya: umbul-umbul, bendera (kober), seni lukis rerajahan (gambar bersifat
magis yang dipakai dalam ritual Ngaben) dan kain korden (langse) selalu dihias seni lukis wayang
Kamasan dengan beragam narasi mitologis. Bahkan sampai sekarang pun seni lukis wayang yang
telah populer di masa raja Dalem Waturenggong memerintah Bali (abad XIV) itu, lengkap dengan
tema naratif epos Mahabrata, Ramayana, dan juga ajaran mistis tradisional tetap tidak tergantikan
sebagai bagian properti ritual keagamaan di Bali.
Ketika lebih seksama melihat riwayat para pelukis Bali era ’30-an, ternyata mereka telah
memiliki kemampuan melukis wayang Kamasan dengan sangat canggih jauh sebelum Pita Maha
secara kelembagaan dibentuk. Anak Agung Sobrat telah memerlihatkan kecakapan dan daya serap
dalam melukis sosok imajiner dunia wayang secara proporsional dalam karyanya tahun 1930,
koleksi Museum Puri Lukisan. Karya tersebut memerlihatkan bagaimana kisah wayang dengan
tokoh-tokoh satria, seperti Rama, Laksamana, Sugriwa, Hanoman dari petikan epos Ramayana
dengan capaian proporsi wayang secara tepat dan pola komposisi memenuhi bidang kertas
berukuran 46,3X59,1 Cm), ini secara visual telah mulai berjarak dari pola komposisi wayang
Kamasan. Begitu juga pelukis lain, seperti Ida Bagus Made Poleng, I Ngendon, dan lain-lain karyakarya usia mudanya telah memerlihatkan kecakapan baik teknis maupun penguasaan atas mitos di
balik tema wayang itu.
Bakat melukis sejak usia anak-anak ini bahkan semakin tumbuh mekar dan menemukan
ketegasan kreativitas bersifat profesional justru sejak aktifnya lembaga Pita Maha melakukan
proses sosialisasi dan juga pembelajaran kreativitas bersama. Aktivitas saling menyambut antara
lembaga Pita Maha dan para anggota pelukis yang bernaung di dalamnya, telah mencipta etos
kreatif sehingga berhasil menelorkan karakter estetika seni lukis Bali yang baru.
Keberadaan seni lukis Bali baru ini sangat berkait dengan suasana kolaboratif pelukis Bali
dengan pelukis negeri manca, terutama Walter Spies dan Rudolf Bonnet ketika itu. Dua pelukis
Barat ini dengan fasilitas punggawa puri Ubud, yakni Tjokorda Gde Raka Sukawati dan adiknya
Tjokorda Gde Agung Sukawati, membuka ruang bergaul yang sangat luas dengan pelukis-pelukis
setempat. Di samping juga peran para seniman Bali senior saat itu, seperti Gusti Nyoman Lempad,
Ida Bagus Gelgel, dan Ida Bagus Kembeng. Pendirian Pita Maha tahun 1936, dan Museum Puri
Lukisan (diresmikan 1956) menjadi “jalan raya” dan muara dari arena pergerakan sosial seni yang
berlangsung dekade ’30-an. Termasuk tentu saja berkait genome manusia Bali yang memiliki bakat
seni sejak lahir, menjadikan suasana berkesenian tumbuh dan mekar justru pada era yang
sesungguhnya dalam peta geo-politik dunia yang sedang kacau karena perang.
Terkait dengan kompleksitas kelahiran seni lukis Pita Maha, peneliti ingin mengetahui dan
menguraikan pemahaman modal sosial-institusional Pita Maha 1930-an, menjelaskan secara
komprehensif peran modal-institusional dalam memayungi praktik sosial pelukis Bali 1930-an dan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
396 menjelaskan peran modal-institusional Pita Maha dalam merumuskan “ideologi” estetika seni lukis
Bali 1930-an.
Berdasar kepentingan untuk memeroleh hasil analisis yang komprehensif dari topik Modal
Sosial-Institusional Pita Maha (Praktik Sosial Pelukis Bali 1930-an), dipergunakan landasan teori
sosiologi Bourdieu yang kontekstual dengan bidang kajian seni dan juga sosio-budaya, yakni
konsep Arena (fields), Modal (capital), Habitus dan Praktik (practice).
Konsep Arena menurut Bourdieu, dirumuskan sebagai serangkaian manifestasi struktur
agen-agen sosial yang terlibat dalam arena seni yang di dalamnya terdapat perjuangan dan
pergulatan untuk memeroleh posisi oleh kepemilikan modal spesifik dalam jumlah tertentu
sekaligus oleh posisi yang sudah kokoh di dalam struktur modal spesifik (1993: 30). Menjadi
beralasan kemudian konsep ini lebih diposisikan sebagai “arena kekuatan (a field of Forces)” dan
“arena pergulatan yang menantang (a field of struggles). Arena dalam semua waktu merupakan
suatu sistem relasi objektif dari kekuatan antara posisi sosial dengan poin-poin simbolik: karya
seni, manifesto artistik, deklarasi politik, dan seterusnya.
Pemahaman konsep Arena dalam konteks lembaga Pita Maha, tentu saja secara
komprehensif menelusuri struktur dari agen-agen dalam lingkaran ruang produksi seni lukis tahun
1930-an yang berkembang di Ubud dan desa sekitar. Berikut mengurai pergulatan dan pola relasi
antar agen untuk mengakses sebuah nilai ideal yang dicita-citakan bersama dalam lembaga Pita
Maha. Dalam praktek kreatif antara agen berlomba dengan modal kreativitas dan modal relasi yang
dimiliki.
Sementara konsep praktik yang dilakukan agen dilahirkan dalam lingkup habitus spesifik.
Bourdieu mengajukan teori tentang Habitus, sebagai sekumpulan disposisi yang tercipta dan
terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah pribadi. Disposisi diperoleh dalam
berbagai posisi sosial yang ada dalam suatu arena, dan berimplikasi kepada penyesuaian subjektif
atas posisi tersebut. Secara singkat, habitus, merupakan produk dari sejarah, individu yang
menghasilkan, dan juga kolektif, dengan demikian sejarah sesuai skema dilahirkan oleh sejarah
(Bourdieu, 1977: 82). Menyangkut modal, Bourdieu mendefinisikannya dengan begitu majemuk,
yakni menyangkut hal-hal material yang memiliki nilai simbolis, atribut “yang tidak tersentuh”
tetapi memiliki signifikansi secara budaya, dan juga terkait dengan modal budaya yang di
dalamnya termasuk selera dan pola-pola konsumsi (Harker, Mahar & Wilkes, 1990: 13). Dalam
konteks lembaga Pita Maha, atau lebih khusus menyangkut kondisi arena seni pra-Pita Maha,
sangat jelas bagaimana agen dengan kepemilikan modal budaya dan juga atribut sosial menjadi
penentu keberlangsungan sirkuit praktekn kreatif, seperti hadirnya tokoh puri Tjokorda Raka
Sukawati, dan juga pelukis pribumi senior seperti Gusti Nyoman Lempad yang tampil sebagai
patron sosial.
“the theory of the mode of generation of practice, which is the precondition for
establishing an experimental science of the dialectic of the internalization of externality and
the externalization of internality, or more simply, of incorporation and objectification”
(Bourdieu, 1977 :72).
Praktik, sebagaimana konsep Bourdieu di atas jelas mengurai sebagai hasil dinamika
dialektis antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior atau dinamika dialektis antara
internalisasi segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan
pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi menjadi bagian dari diri pelaku sosial
(Rusdiarti, 2003 : 33). Teori praktik ini dipakai untuk menganalisis dinamika kreativitas pelukis
Bali di tahun 1930-an, dalam hal menunjuk karya yang dihasilkan, akan terlihat ulang-alik antara
dinamika internalisasi dan eksternalisasi tersebut.
Adapun pola analisis yang dapat dikembangkan adalah, bahwa modal sosial-institusional
Pita Maha, adalah [(habitus)(modal)]+arena=praktek, di mana praktek dihasilkan karena ada
akumulasi antara arena, habitus dan modal. Bourdieu menolak pemahaman rumusan ini sebagai
objektivikasi, bahkan diharapkan untuk melakukan upaya dinamis untuk membacanya.Terhadap
subjek penelitian Modal Sosial-Institusional Pita Maha (Praktik Sosial Pelukis Bali 1930-an),
rumusan ini lebih dipakai untuk membangun artikulasi dan analisis atas kondisi dan fakta yang
dapat dirajut sebagai kompleksitas lintasan modalitas, arena, habitus, dan juga praktik seni.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
397 METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan sejarah sosial seni,
menggunakan teori sosiologi Bourdieu, dan kajian estetika berupa perspektif hermeneutika
mendalam (depth-hermeneutical) oleh Thompson. Penelitian kualitatif, menurut Kirk dan Muller
penelitian yang bersumber pada pengamatan kualitatif, lebih menekankan pada segi kualitas secara
alamiah karena menyangkut pengertian, konsep, nilai serta ciri-ciri yang melekat pada objek
penelitian (Kaelan, 2005: 5). Penulis memakai metode purposive sampling, yaitu menentukan
sampel dengan pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal
(Arikunto, 2002: 15).
Sumber data penelitian karya seni lukis Bali ’30-an, notulensi wawancara, dan dokumen
berupa katalog pameran Pita Maha dan majalah Djawa (terbitan Java Instituut) seputaran ’30-an
dan ’40-an yang memuat publikasi Pita Maha.Data diperoleh dengan teknik observasi langsung,
dokumen photo, wawancara, dan studi kepustakaan. Sementara instrumen pengambilan data
meliputi tape recorder, daftar pertanyaan, dan kamera foto.
Teknik analisis data dilakukan merujuk pada pendekatan sosiologi Bourdieu, dalam konteks
penelitian ini menekankan pada analisis modal sosial-institusional seni, dan sejarah diakronik
praktek seni lukis di Bali pada pra-Pita Maha, Pita Maha, dan pasca Pita Maha. Konsep praktik
sosial seni menyangkut habitus, modal, dan arena. Karena praktik para agen diyakini hadir oleh
peran habitus, kepemilikan modal majemuk, dan kondisi arena.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sejarah Mula: Warisan dan Tradisi
Sejarah seni lukis Bali identik dengan rangkaian panjang pergerakan sosio-budaya manusia
Bali dalam membangun pemetaan-perumusan konsep estetika dan capaian artistik visual. Evolusi
konsep estetika berlangsung sejak adanya pengakuan resmi tentang profesi seni oleh raja Bali kuno,
kisaran awal abad ke-11. Konsep estetika juga muncul pada mitos-mitos yang tersebar di Bali
seperti terkisah dalam tutur dan cerita rakyat. Sementara capaian artistik yang dapat dinikmati
sebagai bukti perjalanan panjang seni lukis Bali hingga kini, telah melahirkan beberapa langgam
evolutif, dari tradisi seni gambar yang bersifat magis-sakral, seni relief di dinding gua pertapaan,
mazab seni lukis klasik wayang Kamasan, Klungkung, hingga kemudian langgam Pita Maha tahun
’30-an.
Konsep estetika visual dan teknik artistik seni lukis memang harus disebut mengalami
pergerakan progresif di akhir tahun 1920-an hingga 1930-an lewat kelahiran langgam seni lukis
baru yang kemudian lazim dikenal sebagai seni lukis Pita Maha. Namun, sebelum menyoal capaian
artistik dan konsep estetika seni lukis Bali baru ini, menjadi penting untuk menelusuri konsep seni
yang dirumuskan oleh raja Bali Kuno tentang pengakuan sah profesi seni lukis, yang tentu saja
menjadi fondasi pergerakan seni di masa berikutnya.
Raja Bali kuno, yakni Marakata kisaran tahun caka 944 (1022 Masehi), menatah di prasasti
Batuan adanya profesi citrakara (sebuah profesi bagi empu-empu yang piawai menggambarmelukis), istilah culpika (empu-empu di bidang pemahat/patung), dan istilah-istilah profesi seni
lain (Gorris, 1954: 97). Citrakara adalah sebutan untuk profesi seniman lukis, senada dengan istilah
“artist” dalam terminologi Barat yang merujuk pada pengertian “painter”. Raja merumuskan istilah
“Citrakara” jelas sebagai bukti pengakuan legal bagi kelangsungan masyarakat pengusung profesi
ahli seni lukis.
Tersurat dalam lontar Tantu Panggelaran, Usana Jawa dan Niti Praja, menyatakan bahwa,
Dewa Khayangan yang turun ke dunia untuk mengajarkan manusia keterampilan hidup. Karena
para Dewa risau melihat manusia tidak ubah segerombolan binatang yang hanya tidur dan
memakan makanan yang telah ada. Seni dan keterampilan belum dikenal oleh manusia. Maka para
Dewa berinisiatif turun ke dunia untuk mengajarkan manusia berbagai bidang seni: Brahma
mengajar soal teknik pembuatan senjata dengan bahan logam; Mahadewa mengajar teknik tempa
emas dan perak; Citra Gotra untuk spesialis perhiasan; Bhagawan Ciptagupta mengajarkan seni
lukis; Bhagawan Wiswakarma mengajarkan arsitektur (Sura dan tim, 2003: 109; Ramseyer, 2002:
60). Oleh para Dewa inilah tersurat dalam mitos profesi seni diajarkan kepada manusia. Sehingga
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
398 seni menjadi entitas sakral sekaligus kebanggaan komunitas, dan sebaliknya tabu jika melakukan
kegiatan penodaan atas profesi seni, karena seni melekat dalam praktek kehidupan masyarakat Bali.
Hubungan terintegrasi antara titah raja dan perangkat mitos ini, menempatkan akhlak
profesi menjadi begitu tinggi. Seniman sebagai subyek; pemilik sah atas hak otonom seni,
menjunjung profesi itu sebagai martabat kehidupan. Seni menubuh dalam nafas kehidupan; melekat
sebagai ideologi, keyakinan spiritis, juga sebagai jalan dan laku sehari-hari. Saking melekatnya
seni sebagai nafas hidup, terkadang manusia Bali di masa lalu tidak merasa perlu untuk
mendefinisikan seni secara khusus. Andaikan pun ada upaya untuk mengkonstruksi soal
pengertian-pengertian seni, secara epistemologi tentu akan berhadapan dengan bahasan seni yang
berbaur-padu dengan kehidupan sehari-hari manusia Bali. Sebagaimana istilah yang berhubungan
dengan seni yang terwarisi hingga kini-setidaknya dari literatur yang saya akses-hanyalah pada
pemahaman seni sebagai profesi, seperti istilah-istilah: citrakara, culpika, dan lain-lain adalah
semata untuk menunjuk pada profesi/kerja, bukan pada benda-benda seni yang dihasilkan.
Berdasar otoritas yang dimiliki kaum Citrakara tersebut, terbukti di setiap generasinya
memunculkan kebangkitan baru. Taruhlah pada generasi Sangging Modhara (pelukis tersohor di
Kamasan pada akhir abad ke-19) menjejakkan pencapaian seni lukis wayang Kamasan,
sebagaimana kita bisa lihat di langit-langit Gedong Kertagosa, Klungkung. Sementara generasi Ida
Bagus Gelgel, Ida Bagus Kembeng awal tahun ’30-an mengorbitkan cara penalaran baru yang
membumi dalam bertutur soal wiracerita. Berikut generasi Anak Agung Sobrat, Ida Bagus Made
Poleng mengobarkan struktur gambar lebih realistik, dan mulai ada tanda-tanda pembongkaran
mitos-mitos. Lihat misalnya Ida Bagus Made berani melukiskan barong sedang menuju sungai.
Tentu cara pandang yang tak lazim di zamannya, di mana barong merupakan benda sakral.
Sebuah ringkasan sederhana dapat dirangkai bahwa pada awal dekade kedua melinium ke2, Bali telah mengakui profesi seniman sebagai ruang otonom setiap individu pengusung profesi
tersebut untuk berkarya sesuai garis profesinya. Sebagaimana citrakara sebagai label profesi, maka
dapat dimaknai pula bahwa bagi masyarakat Bali berkesenian adalah totalitas pilihan hidup.
Berkesenian bukanlah sekedar pengisi waktu luang. Seni menyatu dalam laku pikir dan totalitas
kerja sehari-hari.
Sementara teks seni lukis, yakni sebuah torehan bersubyek wayang pada lempeng tembaga
ditemukan di Pura Kehen, Bangli, berangka tahun 1126 caka, atau 1204 masehi. Pada prasasti ini
diterangkan Bhatara Guru Adikunti bertangan empat dengan lingkaran cahaya (prabha). Model
prabha yang di Jawa baru mulai muncul zaman Majapahit. Banyak sumber menyebut torehan
gambar pada prasasti yang indah ini menjadi tonggak evidensi seni lukis Bali. Kemudian baru
berkaitan dengan panji-panji kejayaan raja Waturenggong, Klungkung abad ke-15, dengan warisan
seni lukis wayang, lazim disebut dengan gaya klasik Kamasan. Kemunculan seni lukis wayang ini
mencapai puncak keemasan (hampir bersamaan dengan Renaisance di Eropa) yaitu, ketika mazab
seni lukis Kamasan, dengan citra wayang menjadi bagian integeral dengan riwayat ritual suci di
seantero Bali, sampai abad ke-19.
Secara teknik, lukisan wayang Kamasan mengutamakan pola pewarnaan sigarmangsi (pola
penyusunan warna secara gradatif sepanjang garis limit subjek gambar), dan pewarnaannya dengan
memanfaatkan warna-warna alam yang diolah secara tradisional. Warna dominan, adalah ocher,
hitam, merah, biru dan putih. Secara visual, lukisan wayang Kamasan menekankan penuturan
hierarkis wiracerita.
Seni lukis Bali mengalami revolusi modernitas, yakni di era ’30-an dengan kemunculan
mazab Pita Maha. Kehadirannya dimotori pelukis-pelukis yang tergabung dalam organisasi Pita
Maha tahun 1936 di Ubud. Kemunculan mazab seni lukis baru ini boleh dikata lahir dari pusaran
tiga induk artefak seni Bali tadi, yakni: gambar-gambar rajah yang sakral dan magis (bercitra
surealistik), gestur naturalistik relief dinding pertapaan Yeh Pulu, dan citra wayang pada lukisan
Kamasan.
Selain oleh artefak tradisi lampau, kelahiran seni lukis baru tahun 1930-an juga muncul oleh
kondisi Bali sebagai entitas kultural yang terbuka; berdenyut dalam etos penciptaan kultural yang
berkesinambungan. Perjalanan tiap generasi pelukis Bali seperti menyintesakan warisan estetika
masa lalu dengan eksplorasi yang bersifat personal. Mereka meramu estetika masa lalu dan
melahirkan capaian baru yang otentik.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
399 Pendek kata, hampir seribu tahun seni rupa Bali telah berevolusi. Bermetamorfosa dari
sosoknya yang “aristokrat” diamini oleh raja dalam fungsi sebagai bakti para empu kepada Yang
Widhi (Maha Pencipta), berikut ke lingkup lebih sekuler agraris-pedesaan, hingga ke wujud
terkininya sebagai ekspresi-eksperimental kreatif yang soliter.
Interaksi dan Modal Sosial-Institusional Baru
Tradisi berkumpul dalam sebuah komunitas di Bali telah berlangsung turun-temurun, baik
itu berbasis wilayah seperti organisasi banjar, berdasar geneologi/klan (dadia), atau pun solidaritas
antar pemilik bakat-bakat khusus (sekaa) tertentu. Ketiga model organisasi ini harus dicatat sebagai
modal sosial bagaimana generasi seniman Bali di tahun 1930-an merintis berdirinya komunitas
seniman seni rupa.
Norma dan nilai yang tumbuh dalam kemasyarakat manusia Bali sangat tegas mengurai
sikap-sikap toleran dan terbuka, yang tentu saja merangkum prinsip-prinsip kejujuran dan
kepercayaan dalam pergaulan. Terbukti bagaimana mereka hidup berdampingan bersama Walter
Spies dan Bonnet dalam membangun suasana interaksi sosial-budaya yang intensif. Modal sosial
yang terwarisi dari tradisi berkumpul dan berorganisasi memunculkan sikap terbuka dan adaptif
terhadap pengaruh budaya luar.
Bali secara kultural bersentuhan dengan Barat, tentu ketika pariwisata pertama rintisan
pemerintah Hindia-Belanda tahun 1914 mulai dirintis; dimana Bali adalah salah satu destinasi yang
harus dituju. Termasuk pula oleh ekspansi kolonial Belanda atas Bali pada akhir abad ke-19,
dengan peristiwa perang di Jagaraga Buleleng, dan juga tahun pertama abad ke-20 pada perang
Puputan Badung dan Klungkung. Dengan kekalahan Bali dalam perang inilah, praktis urusan
administrasi pemerintahan dikontrol langsung oleh Hindia-Belanda di Batavia. Oleh pariwisata
pertama untuk Bali ini pula, pemerintah kolonial menghendaki agar keunikan kebudayaan Bali;
tentang pola laku keseharian masyarakat Bali yang agraris-religius untuk tetap dipertahankan.
Tetapi visi pariwisata Hindia-Belanda yang berkeinginan atas kelestarian (lebih tepatnya
isolasi) atas kebudayaan Bali, jelas sebuah jebakan untuk menjadikan Bali sebagai ruang
kebudayaan yang tak berubah. Tentu sebuah strategi yang ahistoris; kalau berkaca bagaimana Bali
berdenyut oleh berbagai perbauran kebudayaan luar (Cina, India, dan Jawa) di masa lalu.
Ihwal pengaruh seni lukis Barat di Bali memang berjalan lewat sentuhan interaktif
langsung. Sebagaimana pada akhir dasawarsa ‘20-an, serta pada seluruh dasarwarsa ’30-an di Bali
ditengarai terjadi fenomena unik, yaitu ‘’intervensi’’ langsung dari seniman Barat, yang akan
memberikan corak tersendiri pada perkembangan seni pedesaan Bali selanjutnya. Seniman Barat
itu adalah Walter Spies dan Rudolf Bonnet, yang bersama-sama patron Puri Ubud, Cokorde Gde
Raka Sukawati, mengayuh perkembangan ke arah pergerakan seni rupa Bali yang baru.
Oleh Spies dan Bonnet pelukis-pelukis Ubud, seperti Ida Bagus Made Poleng, Anak Agung
Sobrat, Dewa Putu Bedil dan lain-lainnya, dapat diduga memang diperkenalkan pada pandanganpandangan artistik seni lukis Barat, entah menyangkut pola komposisi, plastisitas kebentukan atau
pun menyangkut tema. Namun oleh sikap artistik yang terbuka-lintasan pengetahuan Barat dan
keyakinan artistik leluhur-oleh para pelukis Bali disintesakan ke arah model kreatif baru seni lukis
Bali moderen. Memang ada peran Bonnet dan Spies dalam penampilan seni lukis Bali ke arah seni
lukis yang baru ini. Tetapi sepuluh Bonnet dan Sepuluh Pita Maha tidak akan dengan sendirinya
menumbuhkan seni lukis baru Bali jika tidak terdapat kelentural jiwa pelukis Bali sendiri untuk
menempatkan hal-hal baru dan kesiapan mereka untuk berubah (Yuliman, 2001:301).
29 Januari 1936, Pita Maha, organisasi seniman Bali diproklamasikan dengan prakarsa
Tjokorde Raka Sukawati, Tjokorde Gde Agung Sukawati, Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Gusti
Nyoman Lempad. Nama Pita Maha diambil dari bahasa kawi (Jawa Kuno), yang berarti leluhur
yang agung; menunjuk kepada sakti dari Brahma yakni Saraswati, dewi ilmu pengetahuan.
Sebagai ketua dipilih Ida Bagus Putu, dengan sekretaris Tjokorde Gde Rai (punggawa puri
Peliatan). Rolf Neuhaus pemilik galeri dan juga tempat hiburan berupa akuarium ikan di Sanur,
ditunjuk juga sebagai sekretaris di tahun 1936. Berikut dipindahkan kepada Marianne van Wessem,
di tahun 1938. Kepengurusan dan anggota sepertinya telah mengakomodasi semua tingkatan sosial
di Bali, termasuk komponen penyangga seni seperti galeri. Selain membawahi pelukis, anggota
Pita Maha juga dari kalangan pematung dan pemahat. Total jumlah seniman yang tergabung antara
120-150 orang (Couteau, 1999: 30-31).
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
400 Aktivitas Pita Maha sangatlah padat, sehingga dengan cepat bisa populer. Couteau (1999)
juga menerangkan bahwa pameran pertama di gedung Sesono Budoyo Yogyakarta, 1936, atas
dukungan kunstkring. Pada giliran berikut, dilangsungkan di Kunstkring Batavia (1936,
1937,1939), di Bandung (1936, 1938), di Tegal (1938), Medan, Palembang dan Surabaya (1939).
Di luar negeri, pameran dilangsungkan di tempat-tempat prestisius, seperti Koninklijk Kolonial
Instituut, Belanda, juga di Paris, New York, dan Nagoya. Selain itu juga di galeri privat di beberapa
negara seperti India, Eropa, dan Amerika.
Terlebih Bonnet juga berinisiatif untuk memamerkan karya-karya pelukis Pita Maha ke
mana-mana, terutama dengan mengadakan hubungan dengan Nyonya J. de Loos-Haaxman,
komisaris dari Bon van Kunstkring dan dengan Ver v. Vrienden van Aziatische Kunst
(Perkumpulan Pencinta Seni Asia) di Negeri Belanda. Dengan terjalinnya hubungan ini, hasil karya
anggota Pita Maha bisa dipamerkan di Museum Aziatische Kunst-Amsterdam, di Kunstzal van
Lier-Amsterdam, di Pulchri Studio-Den Haag, dan di Calman Gallery-London (Dermawan T, 2006:
30-31).
Selain menjalin hubungan dengan para kolektor dan pencipta seni, seni lukis Pita Maha juga
direspon dengan sangat baik oleh kalangan kritikus seni. Birnbaum membandingkan lukisan
Batuan dengan karya Douanier Rousseu dan lukisan Ubud dengan Beardsley-pelukis yang
dikagumi Bonnet, di mana karya awal Bonnet banyak terinspirasi dari pelukis ini. Bahkan tahun
1940, kritikus seni terkenal Jo de Gruyter menulis keindahan patung Bali dengan keistimewaan
dalam hal keseimbangan atas alam, dan juga gaya stilistiknya, sementara seni gambarnya ditulis
sebagai sesuatu yang simbolik dan naturalistik (Hinzler dalam Couteau, 1999: 31)
Nama-nama anggota Pita Maha pun mulai dikenal dan kemudian populer, seperti Anak
Agung Sobrat, Anak Agung Meregeg, Ida Bagus Made Poleng, Gusti Ketut Kobot, Anak Agung
Raka Puja, Nengah Madia, Ketut Tungeh, Dewa Putu Bedil, Wayan Tohjiwa, dan lain-lain. Karyakarya mereka selain mengobarkan identitas kolektif dengan karakter Bali yang khas, juga
mengajukan pencapaian pribadi yang memukau.
Pita Maha: Praktik Sosial Seni Lukis Bali
Lembaga Pita Maha merupakan organisasi seniman yang gemilang dengan prestasi.
Keanggotaannya meliputi berbagai profesi seni rupa di Bali. Kegemilangan tersebut dapat dicatat
selain karena berhasil merumuskan konsep stilistik perupaan baru pada seni lukis Bali, juga sukses
mempopulerkan puluhan pelukis dengan bakat-bakat genial.
Generasi pertama Pita Maha inilah yang menemukan teknik seni lukis Bali, dengan
tahapan-tahapan proses yang sistemik. Tidak lagi menganut pola pewarnaan sigarmangsi; warna
disusun gradatif dari terang ke gelap, dengan menggunakan warna alam, seperti dalam lukisan
wayang Kamasan, melainkan diolah semakin rumit, berlapis, dan memakan waktu relatif lama.
Secara umum teknik seni lukis Pita Maha diawali proses sketsa (ngorten), biasanya untuk
merangkai narasi dan komposisi dalam pola-pola gambar yang kasar. Kemudian membuat karakter
gambar (nampad) untuk membubuhi ketegasan batas limit juga membuat karakter subjek gambar,
biasanya dengan garis tinta china. Berikutnya memoles terang-gelap (ngabur) juga dengan tinta
china yang diencerkan. Setelah terang gelap, kemudian diberi aksen warna putih untuk membuat
kesan volume (nyelah). Tahap selanjutnya pewarnaan (ngewarnain) dengan warna tempera yang
sangat encer. Kemudian baru membuat detail (nyawi) dengan membuat garis tegas pada bagian
ornamen dan lain-lain. Terakhir memberi aksen warna pada bagian yang menonjol untuk memberi
ketegasan plastis dan drama penyinaran (nyenter). Sangat panjang tahapan proses yang dilalui
sehingga kerumitan dan kedalaman warna dalam karya seni lukis ini dapat dirasakan.
Selain soal teknik melukis, revolusi paling fundamental yakni munculnya kesadaran untuk
mengajukan subjek figurasi manusia dalam tema-tema keseharian sebagai tema karya. Termasuk di
dalamnya terkait kisah tentang aktivitas ritual di pura, suasana panen padi di sawah, prosesi festival
tradisional di sebuah desa, suasana keramaian pasar, dan juga kehidupan binatang. Andaikan pun
figurasi wayang dan narasi dunia pewayangan sesekali tetap menjadi tema lukisan, namun secara
citra figurasi dan komposisi telah mengalami perkembangan ke arah lebih naturalistik. Ada
penggarapan unsur volume, dan juga mulai masuknya perspektif dalam seni lukis.
Secara ringkas dapat dijelaskan, bahwa capaian pelukis Pita Maha tidak lagi secara utuh dan
bulat melanggengkan langgam seni lukis wayang klasik Kamasan. Baik dari segi tema yang telah
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
401 berkembang, juga pelukisan detail figurasi manusia mengalami perombakan luar biasa; figur
wayang yang pipih tetap menjadi mata air pijakan kreatif, kemudian dinaturalisasi untuk semakin
mendekati kebenaran objektif proporsi manusia biasa.
Teknik melukis juga dikembangkan semakin rumit demi mencapai plastisitas objektif
figurasi dan juga keriuhan suasana pemandangan. Begitu juga komposisi subjek gambar pada seni
lukis baru ini, begitu memenuhi bidang gambar, nyaris tidak menyisakan ruang kosong. Sementara
seni lukis wayang Kamasan, ruang kosong dihargai sebagai ruang langit, hanya dibubuhi beberapa
motif ragam hias bercitra awan, selebihnya dibiarkan tetap putih. Seni lukis Pita Maha yang
kemudian tetap dirayakan sampai kini, membiarkan kerumitan dan ruang yang penuh itu sebagai
ruang bertutur tentang keutuhan alam Bali, di mana kehidupan manusia berpadu utuh dengan elok
suasana alam. Sangat banyak pragmen kehidupan yang ditawarkan dalam sebuah karya. Sehingga
tidak mungkin menemukan fokus tunggal dalam sebuah lukisan. Keberadaan seni lukis Pita Maha
boleh dibilang telah mencapai usia lebih dari 80 tahun, yang dalam perjalanannya selalu mengalami
proses keberlanjutan dan transformasi tanpa henti hingga kini. Tiap lapis generasi baru muncul
dengan tabiat kreatif anyar. Mereka melanggengkan langgam Pita Maha lebih ke arah perluasan
konsep artistik, yakni upaya tiap generasi untuk merawat sekaligus menyebarkan warisan teknik
melukis ala tahun ’30-an tersebut kepada komunitas sekitar dan juga murid-murid informal.
Konsep pewarisan dan penyebaran inilah yang melahirkan tradisi pengempu keahlian melukis nan
rumit ini.
Dalam pandangan sosiologi, di sinilah habitus lahir dan bekerja. Seperti yang digariskan
Bourdieu, habitus sebagai sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi
struktur objektif dan sejarah pribadi. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang ada
dalam suatu arena, dan berimplikasi kepada penyesuaian subjektif atas posisi tersebut (Harker,
Mahar & Wilkes, 1990: 10). Secara singkat, habitus adalah produk dari sejarah, individu yang
menghasilkan, dan juga kolektif, dengan demikian sejarah sesuai skema dilahirkan oleh sejarah
(Bourdieu, 1977: 82). Dari sini dapat dianalisis bahwa lintasan gagasan kreatif dan juga kode-kode
artistik yang dicipta tiap individu (generasi) pelukis Bali yang mana di dalamnya tetap menawarkan
kode artistik langgam Pita Maha bisa dipandang sebagai disposisi habitus, baik itu disebabkan oleh
sejarah pribadi (keluarga dan lingkungan tempat tinggal para pelukis) maupun kondisi bawah
sadar.
SIMPULAN
Modal sosial-institusional Pita Maha tahun 1930-an merupakan muara dari perjalanan
panjang sejarah seni lukis Bali. Sejarah yang identik dengan rangkaian panjang pergerakan sosiobudaya manusia Bali dalam membangun pemetaan-perumusan konsep estetika dan capaian artistik
visual. Evolusi konsep estetika berlangsung sejak adanya pengakuan resmi tentang profesi seni
oleh raja Bali kuno, kisaran awal abad ke-11. Konsep estetika juga muncul pada mitos-mitos yang
tersebar di Bali seperti terkisah dalam tutur dan cerita rakyat. Sementara capaian artistik yang dapat
dinikmati sebagai bukti perjalanan panjang seni lukis Bali hingga kini, telah melahirkan beberapa
langgam evolutif, dari tradisi seni gambar yang bersifat magis-sakral, seni relief di dinding gua
pertapaan, mazab seni lukis klasik wayang Kamasan, Klungkung, hingga kemudian langgam Pita
Maha tahun ’30-an.
Konsep estetika visual dan teknik artistik seni lukis memang harus disebut mengalami
pergerakan progresif di akhir tahun 1920-an hingga 1930-an lewat kelahiran langgam seni lukis
baru yang kemudian lazim dikenal sebagai seni lukis Pita Maha. Pergerakan progresif organisasi
Pita Maha menjadi modal sosial-institusional, modal yang berangkat dari kekuatan spirit
kebersamaan antara pelukis, maesenas seni, dan kritikus dalam memperjuangkan ideologi estetika.
Lembaga Pita Maha berhasil tumbuh menjadi organisasi seniman yang gemilang dengan
prestasi karena modal sosial yang melekat pada organisasi ini. Kegemilangan tersebut dapat dicatat
selain karena berhasil merumuskan konsep stilistik perupaan baru pada seni lukis Bali, juga sukses
mempopulerkan puluhan pelukis dengan bakat-bakat genial.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2002), Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka
Cipta.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
402 Bourdieu, Pierre., (1977), Outline Of A Theory of Practice, Cambridge University Press,
Cambridge.
______, (1993), The Field of Cultural Production, Colombia University Press, Colombia US.
Couteau, Jean. 1999, Museum Puri Lukisan, Yayasan Ratna Warta, Ubud.
DermawanT, Agus. (2006), Bali Bravo: Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 Tahun, Panitia Bali
Bangkit, Jakarta.
Gorris, Roelof. (1954), Prasasti Bali I, Lembaga Bahasa dan Budaya Universitas Indonesia,
Jakarta.
Gorris, Roelof, dan P.L. Dronkers. (1954), Bali Atlas Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta.
Kaelan, MS. (2005), Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Paradigma, Yogyakarta.
Rusdiarti, Suma Riella. (2003), “Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan”, dalam majalah
Basis, No. 11-12, November-Desember 2003.
Sura, I Gede., dan tim., (2003), Alih Aksara dan Terjemahan: Tutur Rare Angon, Siwa Guru, dan
Tantu Panggelaran, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Denpasar.
Yuliman, Sanento. (2001), Dua Seni Rupa (Sepilihan Tulisan), Ed. Asikin Hasan, Yayasan Kalam,
Jakarta
INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MOTIF TENUN ENDEK
DI KABUPATEN GIANYAR
Nyoman Dewi Pebryani, Dewa Ayu Sri Suasmini.
Program Studi Desain Fashion, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected]
Abstrak
Kain tenun endek merupakan kain khas Bali yang merupakan tenun ikat dengan tambahan
teknik coletan atau nyantri pada benang yang diikat. Kain endek memiliki keragaman jenis dan
motif yang perlu dikaji perkembangannya pada sebuah wilayah, khususnya kabupaten Gianyar
sebagai salah satu tempat berkembangnya tenun endek sejak dahulu, serta memiliki banyak sentra
pertenunan yang telah berdiri sejak tahun delapan puluhan. Penelitian diawali dengan inventarisasi
motif tenun endek yang ada di lima pertenunan di Kabupaten Gianyar, kemudian dari motif-motif
yang terkumpul diidentifikasi untuk mengetahui perkembangan motif tenun endek di Kabupaten
Gianyar. Perkembangan motif tenun Endek secara garis besar diklasifikasikan dalam lima jenis
ragam hias, yakni ragam hias bangun berulang, ragam hias patra, ragam hias karang, ragam hias
manusia, dan ragam hias prembon.
Kata kunci: inventarisasi, identifikasi, motif tenun endek, Gianyar
Abstract
Endek is a Balinese ikat woven with additional coletan or nyantri technique on the thread
that tied. Endek woven cloth has diverse types and patterns that need to be identified and
inventoried its development in a region, especially Gianyar Regency as one place which the
development of endek woven cloth has been existed long time ago, and has a lot of weaving centers
that have been established since the eighties. The research begins with inventory process of endek
weaving motifs that exist in five weaving place in Gianyar regency, then from the collected motifs,
its identified to determine the development endek woven motifs Gianyar regency. The development
of endek weaving cloth broadly classified into five types of ornamentation types, namely ragam
hias bangun berulang (repeated ornament), ragam hias patra (plants ornament), ragam hias
karang (animal ornament), ragam hias manusia (human ornamentation), and ragam hias prembon
(mix ornament).
Keywords: inventory, identify, endek weaving motifs, Gianya.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
403 PENDAHULUAN
Keragaman kain-kain tradisional dihasilkan oleh perbedaan geografis yang mempengaruhi
corak hidup setiap suku bangsa di Nusantara. Perbedaan sumber kehidupan masyarakat turut
mempengaruhi keragaman jenis kain dan ragam hiasnya. Unsur lingkungan telah menghasilkan
keragaman teknik, jenis-jenis bahan, serta penciptaan peralatan yang pada akhirnya turut pula
mempengaruhi hasil akhir sehelai kain. Aktivitas masyarakat yang berbeda-beda di setiap wilayah
mempengaruhi nilai budaya dan adat istiadat yang diciptakan oleh leluhur atau pendahulunya.
Filosofi kehidupan tertuang dan tercermin dalam adat, serta terjalin dengan kepercayaan dan agama
yang dianutnya. Dalam kaitan dengan nilai-nilai kepercayaan, unsur-unsur ragam hias pada kain
merupakan salah satu bentuk ekspresi pengakuan terhadap keberadaan, keagungan, dan kebesaran
Tuhan, Sang Maha Pencipta kehidupan semua mahluk di dunia, hal mana tersirat pada sehelai kain
yang mengandung makna tentang arti kehidupan, serta dalam selembar kain pula mampu
mengungkapkan perjalanan sejarah sebuah bangsa.
Pulau Bali sebagai salah satu pulau yang kaya akan artefak kebudayaan, memiliki
peninggalan beragam tenun tradisional khususnya tenun ikat endek. Kain tenun khas Bali yakni
endek merupakan tenun ikat yang ditenun dari helaian benang pakan yang sebelumnya diikat dan
dicelupkan ke dalam zat pewarna alami. Alat tenun yang dipakai adalah alat tenun bukan mesin.
Ada satu teknik ikat yang berkembang khususnya di Bali yaitu pada penyempurnaan ragam hias
ikat pada kain di bagian-bagian tertentu yang ditambah dengan coletan yang disebut nyantri.
Nyantri adalah penambahan warna dengan goresan kuas dari bambu seperti orang yang melukis.
Keindahan ragam hias pola nyantri ini ditekankan pada penyempurnaan warna hiasan berbentuk
flora dan fauna serta motif-motif yang diambil dari mitologi Bali dan wayang. Motif-motif inilah
yang menjadi ciri khas kain endek.
Menurut Suwarti Kartiwa, (1993:10) dalam bukunya yang berjudul Ragam Kain
Tradisional Indonesia mengungkapkan bahwa menurut para ahli suatu teknik menenun yang relatif
baru berpengaruh di kepulauan Indonesia adalah teknik ikat pakan. Masuknya kain dengan teknik
ikat pakan ini pada periode yang sama dengan dikenalnya benang sutera dalam perdanganan sekitar
abad XIV dan XV. Gittinger dalam (Kartiwa, 1993:11), mengungkapkan bahwa daerah yang
menghasilkan tenunan dengan desain benang emas dan perak terdapat di daerah-daerah yang sama
dengan daerah yang membuat desain ikat pakan dan mempergunakan benang sutera, daerah itu
adalah Sumatera, Jawa, dan Bali.
Hal ini menunjukkan bahwa kain ikat pakan khususnya endek telah berkembang di Bali
pada abad ke-15 dan masih terus berkembang hingga saat ini, oleh karena itu, diperlukan usaha
untuk mengetahui perkembangan motif tenun endek tradisional Bali melalui proses inventarisasi
atau pengumpulan data hingga identifikasi mengenai perkembangan motif endek tradisional Bali
yang telah berkembang selama ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Disperindag Propinsi Bali, sentra pertenunan endek
di pulau Bali banyak berkembang di pulau Bali bagian timur, khususnya kabupaten Gianyar.
Kabupaten Gianyar telah memiliki beberapa sentra pertenunan besar di tahun 1980-an yang masih
bertahan dan berkembang hingga saat ini. Hal inilah yang membedakan Kabupaten Gianyar dengan
kabupaten lainnya di Pulau Bali, sehingga proses identifikasi dan inventarisasi motif tenun endek
tradisional Bali pada penelitian ini dilakukan di kabupaten Gianyar, disamping juga karena
memiliki unsur historis dalam perkembangan endek di Bali.
Kain tenun endek memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat Bali, sehingga
diperlukan usaha untuk mengetahui perkembangan motif tenun endek melalui proses inventarisasi
dan identifikasi jenis dan motif tenun endek di kabupaten Gianyar.
METODE PENELITIAN
Pengumpulan data terbagi dua yakni data primer dan data sekunder. Pengumpulan data
primer terdiri dari observasi yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan objek untuk
mengidentifikasi jenis dan motif tenun endek tradisional Bali. Wawancara atau interview dilakukan
kepada beberapa pengrajin serta pengamat endek untuk mengumpulkan data historikal atau sejarah
tenun endek tradisional Bali. Selanjutnya pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
404 dokumentasi berupa buku harian, rekaman kaset, video, dan foto untuk menginventarisasi motifmotif tenun endek tradisional Bali. Analisis data dilakukan dengan proses mencari dan menyusun
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi
dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, kemudian
melakukan sintesa dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun
orang lain.Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang
diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungannya dengan kajian historis dari motif-motif
yang didapat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Perkembangan Tenun Endek di Kabupaten Gianyar
Kesadaran berkesenian dalam masyarakat Bali sudah mulai sejak dahulu, tradisi itu turun
temurun hingga kini, demikian juga tradisi menenun kain di Bali. Menurut Lontar Purana Bali,
menenun sebagai aktivitas seni dalam kehidupan masyarakat Bali dan kegiatan menenun
merupakan kiat seni yang tinggi bagi gadis-gadis Bali pada zaman dahulu. Mulai tahun 1966,
perkembangan kesenian Bali termasuk menenun cukup menonjol. Disamping motivasi yang kuat
dari agama, kehidupan berkesenian Bali didukung oleh program pemerintah untuk menggali,
melestarikan, dan mengembangkan kesenian Bali.
Perkembangan ragam hias tenun Bali tidak terpisah dengan perkembangan ragam hias di
daerah lain di Indonesia. Hal ini dapat dicermati melalui banyaknya ragam hias pola wayang yang
tema pusatnya diambil dari Ramayana dan Mahabharata, pengaruh Cina berupa Barong Sae atau
singa barong, pengaruh ragam hias Barat didominasi oleh ragam hias bangun berulang, kuta Mesir
(Arab), dan Patra Welanda, semua ragam hias asing yang mempengaruhi ragam hias Bali
dipadukan secara serasi oleh para perancang seni kain tenun Bali sehingga muncul ragam-ragam
hias khas sebagai milik orang Bali.
Keberadaan penenun tekstil tradisional Bali saat ini telah berkurang jauh, hal ini
dikarenakan berbagai faktor penyebab, namun di beberapa daerah yang menjadi sentra-sentra tenun
endek para pengrajin masih mempertahankan budaya menenun sebagai pekerjaan utama.
Kerumitan pembuatan tekstil tradisional Bali yakni kain endek dan keunikannya yang merupakan
warisan budaya turun temurun dari leluhur sudah seharusnya dipertahankan, terlebih pelestarian
budaya yang memiliki nilai ekonomi seperti ini bisa dikemas dalam ekonomi kreatif, hal ini telah
disadari oleh pemerintah selaku pendukung usaha daerah.
Pemerintah Provinsi Bali telah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap
keberadaan penenun tradisional Bali, menurut data yang didapat dari dinas perindustrian dan
perdagangan Propinsi Bali menyebutkan beberapa kabupaten di Pulau Bali memiliki sentra
kerajinan pertenunan endek, namun jumlahnya yang paling banyak terdapat di Kabupaten Gianyar.
Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam memberdayakan penenun tekstil
tradisional Bali telah mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya seiring dengan
pengenalan konsep ekonomi kreatif. Kabupaten Gianyar memiliki sentra-sentra pertenunan besar
yang telah berkembang sejak tahun 1980-an seperti pertenunan Togog yang terletak di jalan besar
Astina Utara, sentra-sentra pertenunan ini dulunya mampu memasok produksi hingga 3000m per
bulan dan mampu mengekspor ke berbagai negara di Eropa, namun pada tahun-tahun berikutnya
kemampuan produksinya semakin menurun dengan alasan berbagai hal.
Inventarisasi Motif tenun Endek di Kabupaten Gianyar
Proses inventarisasi motif tenun endek dilakukan dengan mengunjungi 5 sentra pertenunan
Endek di Kabupaten Gianyar untuk mendapatkan data-data mengenai motif yang telah diciptakan
dan dibuat oleh masing-masing pertenunan sepanjang sejarah berdirinya pertenunan tersebut.
Kemudian dilanjutkan dengan proses identifikasi dari proses inventarisasi motif tenun endek yang
telah dilakukan sebelumnya.
Pertenunan Togog di Kota Gianyar
Pertenunan Togog terletak di Kabupaten Gianyar, telah berdiri sejak tahun 1980-an, adapun
karya endek yang telah dimiliki oleh pertenunan Togog adalah sebagai berikut:
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
405 Gambar 2. Motif tenun Endek Pepatran - Pertenunan Togog
Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Togog
Gambar 3. Motif tenun Endek Pepatran 2
- Pertenunan Togog. Sumber : Dokumentasi
Pribadi diambil dari Pertenunan Togog
Gambar 4. Motif tenun Endek Pengulangan Pertenunan Togog. Sumber: Dokumentasi Pribadi
diambil dari Pertenunan Togog
Adapun sumber yang didapat pada pertenunan Togog di Kota Gianyar yang dahulunya
sempat berjaya sebagai pertenunan terbesar di Pulau Bali ini hanya sebagian koleksi kain yang
dimiliki oleh pemilik pertenunan Togog, tanpa dilengkapi mengenai asal-usul tahun pembuatan
kain. Menurut Tude Togog, putra pemilik pertenunan Togog yang juga merupakan designer,
mengungkapkan bahwa motif tenun endek yang dibuat pada pertenunan ini saat ini cenderung
mengikuti trend dan permintaan pasar, yang sebagian besar merupakan perulangan serta gabungan
dari motif baru dengan motif lama dan tidak memiliki nama khusus.
Pertenunan Setia cap Cili di Kota Gianyar
Pertenunan Setia Cap Cili terletak di Kota Gianyar, tepatnya di Jalan Ciung Wanara no.7,
pertenunan ini telah berdiri sekitar tahun 1980-an, dan merupakan salah satu pertenunan terbesar di
masanya yang mampu menghasilkan ribuan meter kain perbulannya berdasarkan data dari
Disperindag kota Gianyar. Namun hal tersebut tidak terlalu tampak saat ini, dimana keadaannya
berbanding terbalik dengan jumlah tenaga pengrajin yang jauh berkurang serta hasil produksi yang
tidak terlalu banyak.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
406 Gambar 1. Motif Simetris 1 - Pertenunan Setia
Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Setia
Pertenunan Setia cap Cili, memiliki areal butik yang menampilkan hasil karya berupa
lembaran kain tenun, hingga kain tenun yang telah diolah menjadi pakaian dewasa maupun anakanak, serta beberapa diolah menjadi aksesoris, tas, taplak meja, hingga sarung bantal. Adapun
motif-motif yang masih disimpan dan masih dibuat hingga saat ini dapat dilihat pada contohcontoh kain dibawah ini.
Gambar 2. Motif Simetris 2 - Pertenunan Setia
Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Setia
Pertenunan Putri Ayu di Kecamatan Blahbatuh
Putri Ayu berdiri pada tahun 1991 dengan lokasi di jalan Lapangan Astina Jaya,
Blahbatuh-Gianyar. Awal berdirinya, Putri Ayu hanya memiliki lima buah alat tenun, kemudian
berkembang memiliki 30 alat songket pada tahun 1995. Tahun 1997 di Putri Ayu inilah
berkembang ide pembuatan kain tenun tehnik air brush dengan ide penggunaan warna alam. Pada
tahun 2000 Putri Ayu membuat show room untuk menyajikan ragam kain tenun hasil karya
pertenunan Putri Ayu. Motif geringsing yang diambil oleh pertenunan Putri Ayu ini diberikan
sentuhan tambahan dengan mengkolaborasikan berbagai motif lainnya dalam satu lembar kain.
Selain itu, pertenunan Putri Ayu juga menghasilkan motif geringsing dengan teknik doby yang
menggunakan mesin khusus, sehingga menimbulkan efek tiga dimensi.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
407 Gambar 3. Motif Geringsing 1- Pertenunan Putri Ayu
Sumber: Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Putri Ayu
Gambar 4. Motif Tenun Pepatran teknik Air Brush- Pertenunan Putri Ayu
Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Putri Ayu
Pertenunan Dewi Karya di Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh
Pertenuna Dewi Karya berada di Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh, berdiri pada tahun
1990-an, diprakarsai oleh Gusti Karya. Beliau berkecimpung dalam dunia pertenunan semenjak
tahun 1980-an dengan kelebihan di bidang pembuatan motif. Adapun keahlian pembuatan motif
telah diturunkan dari orang tuanya, beliau juga merupakan salah satu pembuat motif untuk seragam
pemerintahan yang didesain khusus olehnya serta telah memiliki Hak paten untuk karyanya
tersebut.
Gambar 5. Motif Pemda – Pertenunan
Dewi Karya. Sumber : Dokumentasi
Pribadi diambil dari Pertenunan Dewi
Karya
Gambar 6. Motif patra rapat – patra jarang - simetris berulang.
Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Dewi
Karya
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
408 Pertenunan Ananta Kusuma di Desa Bona, Blahbatuh
Pertenunan Ananta Kusuma terletak di Desa Bona, merupakan sebuah pertenunan yang
telah berdiri sejak tahun 1990-an.
Gambar 7. Motif Manusia dalam berbagai warna
Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari
Pertenunan Ananta Kusuma
Gambar 8. Motif Pepatran Bali
Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari
Pertenunan Ananta Kusuma
Identifikasi motif Tenun Endek di Kabupaten Gianyar
Menurut I Made Bandem (1993:19) dalam bukunya Wastra Bali: Makna Simbolis Kain
Bali, mengungkapkan bahwa ragam hias yang terdapat pada kain-kain tenun Bali dapat dibagi
menjadi lima kelompok, untuk itu dalam mengidentifikasi motif-motif tenun endek yang telah
didapat dari pertenunan di Kabupaten Gianyar, menggunakan lima kelompok ragam hias bagun
berulang tersebut, yakni:
Kelompok ragam hias bangun berulang
Ragam hias berulang berupa garis lurus, garis putus-putus, garis lengkung, lingkaran,
poleng, jajaran genjang, berbiku-biku, bebintangan, tumpal (segitiga), gigin barong, ganggongan,
meander, kuta mesir, dan tapak dara.
Gambar di sebelah
merupakan proses
regenerasi yang
dilakukan oleh
peneliti guna
menemukan motif
sesungguhnya
dalam warna hitam
putih atau tanpa
warna. Terlihat
bahwa motif
awalnya berbentuk
lonjong dan
terinspirasi dari
kulit kayu.
Gambar 9. Regenerasi dari motif tenun endek motif
kulit kayu. Sumber: Nyoman Dewi Pebryani, 2014
Pada gambar
regenerasi di
sebelah yang
diambil dari
contoh motif di
pertenunan
Togog, terlihat
bentuk awal
berupa bidang
origami yang
kemudian disusun
berulang, serta
diselingi tanda
tambah yang
mengelilingi
bidang.
Gambar 10. Regenerasi motif origami. Sumber :
Nyoman Dewi Pebryani, 2014
Kelompok ragam hias patra
Ragam hias tumbuhan meliputi berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan, daundaunan, dan buah-buahan, yang distilisasikan sedemikian rupa sehingga memancarkan keindahan
dan keanggunan.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
409 Regenerasi motif pada
gambar sebelah
menunjukkan motif bunga
dalam wujud pepatran yang
digabungkan dengan
mahkota Bunga sebagai
inti, perkembangan motif
patra bunga-bungaan saat
ini telah mengalami
inovasi.
Gambar 11. Regenerasi
motif Bunga dalam wujud
pepatran. Sumber :
Nyoman Dewi Pebryani,
2014
Kelompok ragam hias karang (binatang)
Beberapa jenis binatang juga menjadi ragam hias yang popular dalam kain bali, seperti
lembu, singa, menjangan, anjing, gajah, burung merak, burung cendrawasih, burung merpati,
burung murai, kalajengking, ular, kupu-kupu, capung, lebah, ikan, dan udang.
Gambar 12. Regenerasi motif penyu atau kura-kura
Sumber : Nyoman Dewi Pebryani, 2014
Motif Regenerasi yang diambil dari kain tenun yang dimiliki oleh pertenunan Togog,
dilakukan regenerasi oleh peneliti untuk menemukan motif yang sesungguhnya tanpa adanya
warna, sehingga terlihat wujud kura-kura atau penyu yang ada dalam motif tenun endek tersebut.
Motif ini termasuk dalam kelompok ragam hias karang (binatang).
Kelompok ragam hias manusia
Ada beberapa jenis ragam hias manusia yang sering digunakan dalam kain tenun Bali,
seperti cili, wayang, dan muka kedok (topeng) manusia sederhana.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
410 Gambar 13. Regenerasi motif ragam hias manusia
Sumber : Nyoman Dewi Pebryani, 2014
Regenerasi motif ragam hias manusia seperti terlihat diatas berwujud ragam hias manusia
yang diwujudkan dalam bentuk garis –garis tanpa lengkungan pepatran, ragam hias ini serupa
dengan bentukan cili dan masuk dalam jenis kelompok ragam hias manusia.
Kelompok ragam hias prembon
Kata prembon berarti perpaduan atau kombinasi. Ragam hias prembon dimaksudkan
sebagai ragam hias perpaduan atau kombinasi dari berbagai ragam hias yang telah disebutkan
diatas.
Regenerasi motif pada gambar
sebelah menunjukkan gabungan
motif antara patra mesir,
kemudian perwujudan lambang
Kabupaten Gianyar dan patra
bunga-bungaan, adapun karya
tenun endek ini digunakan oleh
pegawai Pemda Kabupaten
Gianyar dan masuk dalam
kelompok ragam hias prembon,
karena memiliki banyak
kombinasi atau perpaduan
ragam hias.
Gambar 14. Regenerasi motif
lambang kabupaten Gianyar
Sumber : Nyoman Dewi
Pebryani, 2014
Pengaruh kain tenun endek dalam aspek sosial, ekonomi, religi, dan estetika masyarakat
Kabupaten Gianyar
Kain tenun endek memiliki fungsi dan makna sosial dalam kehidupan terutama untuk
menunjukkan dan menunjang status sosial anggota masyarakat dari kelompok-kelompok sosial
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
411 masyarakatnya. Menurut A.A.Muter dalam bukunya Puspawarna Wastra Bali mengungkapkan
bahwa busana bayi, baik laki-laki maupun perempuan pada upacara nelubulanin, upacara paweton,
upacara nutug kelih, upacara potong gigi, serta pawiwahan, untuk golongan triwangsa – yakni kasta
brahmana, ksatria, dan wesya - menggunakan skordi atau songket dan prada, sedangkan untuk
kasta sudra berupa kamben endek maupun songket. Dalam hal ini terlihat bahwa kasta kain endek
lebih cenderung dipakai oleh kalangan dari kasta bawah.
Dalam hal aspek ekonomi, kain merupakan salah satu yang dipertukarkan untuk memenuhi
kebutuhan yang lain yang diperlukan. Tujuan pertukaran ini merupakan salah satu gerak dinamis
masyarakat untuk berkomunikasi dengan kelompok lain di sekitarnya. Di dalam upacara-upacara
keagamaan kain tenun khusus dipergunakan untuk melengkapi acara, yang biasanya digunakan
oleh pelaksana upacara. Aspek religi atau kepercayaan ini terjalin dengan seluruh kegiatan yang
berhubungan dengan upacara-upacara sekitar lingkaran kehidupan manusia dari lahir sampai
meninggal.
Aspek estetika tampak bahwa ketrampilan, ketelitian, ketekunan di dalam menciptakan
suatu karya yang dikerjakan dengan mengambil sebagian waktunya dari hari ke hari, bermingguminggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun akan melahirkan suatu karya yang indah dan
mempesona. Baik dalam komposisi jalur, garis, bentuk motif dengan warna dan keserasian dari
seluruh komponen-komponennya melahirkan bentuk estetika yang tinggi. Keharmonisan dan
keserasian dalam ragam hias pada kain-kain tenun terlihat pada bentuk-bentuk kain yang dipakai
sebagai kain sarung, kamen, baju, udeng, saput maupun senteng atau selendang.
SIMPULAN
Pertenunan yang ada di Kabupaten Gianyar menghadapi banyak tantangan berkaitan dengan
mahalnya bahan baku hingga berkurangnya tenaga ahli yang mampu mengerjakan tenun namun
kreatifitas pengrajin pembuat motif tidak berhenti pada satu titik melainkan berusaha untuk
mengenal trend yang berkembang di pasaran. Perkembangan motif tenun endek yang berada di
Kabupaten Gianyar memiliki banyak pengaruh, hal ini terlihat dari penggunaan bermacam-macam
kelompok ragam hias dalam sebuah kain tenun endek. Dilihat dari sisi historis kain tenun endek
yang merupakan kain tenun ikat pakan telah berkembang di kabupaten Gianyar pada abad ke 18, hal
ini terus berkembang hingga saat ini. Saat ini ada lima kelompok ragam hias yang mewarnai motif
tenun endek, yakni kelompok ragam hias bangun berulang, kelompok ragam hias patra, kelompok
ragam hias karang, kelompok ragam hias manusia, dan kelompok ragam hias prembon.
Perkembangan motif tenun endek telah melalui proses inventarisasi dari lima pertenunan yang ada
di kabupaten Gianyar, kemudian seluruh koleksi motif tenun endek tersebut diidentifikasi
berdasarkan motif atau kelompok ragam hiasnya. Proses identifikasi juga dilanjutkan dengan
mendigitalisasi motif-motif yang ada agar terarsip dengan baik untuk kepentingan penelitian
selanjutnya atau dijadikan sebagai bahan literature.
DAFTAR PUSTAKA
Bandem, I Made. 1996. Wastra Bali: Makna Simbolis Kain Bali. Denpasar:
Brinkgreve, Francine, 2010. Bali Art, Ritual, Performance. Asian Art Museum. San Francisco.
Disperindag Kabupaten Klungkung. Data UMKM Kabupatern Klungkung 2013.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Gianyar. Data UMKM Kabupatern Gianyar 2013.
Eiseman, Fred B, 1990. Bali: Sekala & Niskala. Singapore: Periplus Edition.
Gunawan, Belinda. 2012. Fashion Pro: Kenali Tekstil. Jakatrta:Dian Rakyat.
Kartiwa, Suwarti. 2007. Ragam Kain Tradisional Indonesia:Tenun Ikat. Jakarta:Gramedia Pustaka
Utama.
Kartiwa, Suwarti. 1996. Kain Songket Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan.
Kartiwa, Suwarti. 1993. Tenun Ikat Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
KreatifMoeleong, Lexy. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung : Penerbit
PT Remaja Rosdakarya.
Prasetyo, Bambang, 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakartta:Raja Grafindo Persada.
Sachari, Agus. 2002. Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Jakarta:Penerbit Erlangga.
Suprayitna, Sunarti, 2000. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Penerbit PT.Gramedia Pustaka
Utama.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
412 BENTUK PERTUNJUKAN DRAMATARI GENGGONG
DI DESA BATUAN GIANYAR
I Wayan Budiarsa, Suminto.
Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected]
Abstrak
Dramatari genggong merupakan jenis kesenian rakyat (seni hiburan) di Bali, yang salah
satunya terdapat di Desa Batuan, Gianyar. Penyajiannya menggunakan cerita Panji (Malat), tokoh
utamanya adalah Raden Panji (godogan), dan Galuh Candrakirana (putri). Rumusan masalah yang
diangkat dalam penelitian ini; Bagaimanakah bentuk pertunjukan dramatari genggong di Desa
Batuan, Gianyar?, apa fungsinya, serta bagaimanakah tata rias dan busananya. Penelitian ini
menerapakan metode kualitatif, pengumpulan data secara observasi, wawancara, studi kepustakaan,
studi dokumen, dilanjutkan dengan analisis data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif.
Hasilnya diuraiakan secara deskriptif yang diolah dari para informan. Menerapkan teori estetika
dan teori fungsional untuk membedah dari rumusan masalah yang diangkat. Penelitian difokuskan
pada bentuk, fungsi, tata rias dan busana dari seni pertunjukan dramatari genggong di Desa Batuan
Gianyar. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa bentuk pertunjukan dramatari gengong di Desa
Batuan Gianyar didukung oleh elemen-elemen seperti cerita, penari, struktur pementasan, ragam
gerak, musik iringan, dan tempat pementasan (kalangan). Fungsinya, berfungsi sebagai sosial/
hiburan, ekonomi dan pengenalan pariwisata, serta tata rias dan busananya dapat dibagi menjadi
rias kepala, badan, dan kaki, disesuaikan dengan peranan tokoh yang dibawakan, seperti tari-tarian
tradisi Bali pada umumnya.
Kata Kunci; dramatari genggong, Desa Batuan
Abstract
Dance drama genggong is a type of folk art (arts and entertainment) in Bali, one of which
is located in the village of Batuan, Gianyar regency. The presentation uses the story of Panji
(malat), the main character is Raden Panji (frog/Godogan), and Galuh Candrakirana (daughter).
The formulation of the issues raised in this study; How does the shape show dance drama genggong
in Batuan Village, Gianyar ?, what does it do, and how the makeup and clothing. This research
applying the methods of qualitative, observational data collection, interviews, literature study,
study documents, followed by a descriptive analysis of qualitative data and interpretive. The results
were processed by descriptive of the informants. Applying the theory of aesthetic and functional
theory to dissect from the formulation of the issues raised. The study focused on the form, function,
and fashion makeup of performing arts dance drama genggong in Batuan Village, Gianyar regency.
From the results of this study found that the shape of the show dance drama genggong in the village
of Batuan Gianyar supported by elements such as story, dancers, staging structure, the range of
motion, musical accompaniment, and the staging (circles). Function, serves as a social /
entertainment, economy and the introduction of tourism, as well as makeup and fashion makeup
can be divided into head, body, and legs, adapted to the role of figures presented, such as
traditional Balinese dance in general.
Keywords; dramatari genggong, Batuan Village
Pendahuluan
Beberapa daerah/ desa di Kabupaten Gianyar memiliki berbagai jenis seni pertunjukan tari
yang khas, dengan corak dan gaya yang berbeda dengan daerah lainnya seperti Desa Saba, Peliatan,
Bedulu, terkenal dengan tari legongnya. Singapadu, Keramas terkenal dengan tarian arjanya, Desa
Bona, Teges dengan tari cak-nya, Batubulan dengan barong-nya, Desa Ketewel terkenal dengan
topeng legong, Desa Tampak Siring dan Sebatu terkenal dengan gudangnya tari baris gede, dan
Desa Batuan terkenal dengan jenis tarian gambuh, topeng, calonarang, sutri, barong, dan genggong.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
413 Desa Batuan sebagai salah satu desa di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar banyak
memiliki kekayaan seni budaya yang sampai kini masih tetap lestari walaupun dalam pengaruh
globalisasi. Salah satu kekayaan seni budayanya adalah berupa tarian genggong. Seni pertunjukan
genggong merupakan jenis kesenian hiburan yang selama ini dikenal dengan sebutan “Frog
Dance” (brosur di hotel-hotel). Jenis kesenian genggong sangat unik, telah dikenal oleh masyarakat
umum dan bentuk kesenian ini terutama intrumennya hampir terdapat di seluruh daerah Bal. Sekaa
genggong yang ada di Desa Batuan diantaranya; sekaa genggong Batur Sari, Satriya Lelana, Tri
Pusaka Sakti, Kakul Mas, Tri Suari, dan Dana Swara. Di Desa Batuan Gianyar, jenis kesenian ini
adakalanya dipentaskan saat adanya upacara di pura-pura setempat yang disesuaikan dari konteks
jalannya upacara di sebuah pura, dan untuk para wisatawan sebagai wahana seni hiburan. Alur
pertunjukannya dibingkai oleh cerita Panji (malat) dan didominasi oleh peran binatang kodok
(godogan) dan katak. Tokoh/ peran inilah yang sering mengundang gelak tawa penonton, karena
terkadang tokoh ini dapat langsung berinteraksi dengan penonton.
Rai (2001:72-73) menyatakan bahwa genggong sebagai alat musik sering dimainkan oleh
para petani di sawah dan juga sebagai alat untuk menarik perhatian wanita (kekasihnya) dan dalam
perkembangannya dari alat musik solo menjadi sebuah barungan gamelan, kemudian menjadi
iringan tari genggong. Perkembangan ini tak terlepas dari faktor internal, yakni motivasi/ keinginan
dari sekaa (organisasi) agar memperoleh dampak tertentu, dan dari faktor eksternal, yakni adanya
motivasi dari masyarakat luar. Senada dengan itu Soedarsono & Tati Narawati (2011:343)
menyebutkan genggong merupakan sebuah instrumen musik yang khas dalam memainkan
diletakkan di atas mulut sebagai resonator, yang di Jawa disebut rinding, yang dalam bahasa
inggris disebut jaw harp.
Bahan kajian penelitian ini adalah seni pertunjukan tari genggong yang ada di Desa Batuan
Gianyar, dengan studi kasusnya pada sekaa genggong Batur Sari dan sekaa genggong Satriya
Lelana. Ketertarikan peneliti untuk meneliti jenis kesenian ini karena selama ini belum ada yang
meneliti mengenai tata rias dan busana, fungsi, dan bentuk pertunjukannya secara keseluruhan.
Bahan kajian penelitian ini adalah seni pertunjukan tari genggong yang ada di Desa Batuan
Gianyar, dengan studi kasusnya pada sekaa genggong Batur Sari dan sekaa genggong Satriya
Lelana. Ketertarikan peneliti untuk meneliti jenis kesenian ini karena selama ini belum ada yang
meneliti mengenai tata rias dan busana, fungsi, dan bentuk pertunjukannya secara keseluruhan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut: 1) Bagaimanakah bentuk pertunjukan dramatari Genggong di Desa Batuan
Gianyar? 2) Apa fungsi dramatari Genggong di Desa Batuan Gianyar? 3) Bagaimanakah tata rias
dan busana dramatari Genggong di Desa Batuan Gianyar? Tujuan dari penelitian ini adalah
mendeskripsikan bentuk, fungsi, tata rias dan busana dramatari genggong di Desa Batuan Gianyar.
Dari hasil penelitian ini yang diharapkan adalah menambah pengayaan informasi guna
pengembangan wawasan seni dan ilmu pengetahuan khususnya di lingkungan lembaga ISI
Denpasar, serta pada masyarakat umumnya. Penelitian ini penting untuk memberikan rangsangan,
pemahaman, motivasi positif bagi proses perkuliahan mahasiswa di Prodi/ Jurusan Tari, Fakultas
Seni Pertunjukan, ISI Denpas. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi proses belajar
mengajar dalam perkuliahan di lingkungan ISI Denpasar, dan pada akhirnya mahasiswa
mengetahui serta memahami dalam konteks seni pertunjukan. Memperkaya data tertulis sehingga
memudahkan bagi mahasiswa untuk belajar berbagai seni hiburan di Bali. Luaran hasil penelitian
ini berupa laporan hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi kepada
masyarakat luas. Publikasi ilmiah melalui jurnal lokal yang mempunyai ISSN atau jurnal Nasional
yang terakreditasi guna pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Penelitian ini
menerapkan teori Estetika Djelantik dan teori fungsionalnya Soedarsono, yakni seni pertunjukan
dapat dilihat sebagai fungsi primer dan sekunder.
METODE PENELITIAN
Penelitian tentang bentuk pertunjukan dramatari Genggong di Desa Batuan Gianyar
menerapkan metode kualitatif interpretatif, serta metode kuantitatif sebagai pendukung data dalam
penelitian ini. Lokasinya di Desa Batuan, Sukawati Gianyar, karena kesenian dramatari genggong
Batuan dapat dibedakan dengan daerah lainnya di Bali. Studi kasusnya pada sekaa genggong Batur
Sari dan sanggar seni Satriya Lelana, Banjar Pekandelan, Batuan, Gianyar.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
414 Penelitian ini berdasarkan jenis dan sumber data yakni berdasarkan jenis data kualitatif
yaitu data yang diperoleh di lapangan tidak berupa angka-angka, melainkan berupa deskripsi
bentuk pertunjukan tari genggong di Desa Batuan Gianyar. Selain itu, sumber data penelitian ini
berupa data primer yaitu pertunjukan genggong di Desa Batuan Gianyar sebagai pusat observasi
dan para informan, serta sumber data sekunder yaitu sumber-sumber yang berasal dari buku-buku,
laporan hasil penelitian, jurnal, dan lain sebagainya. Mengenai penentuan informan akan dipilih
orang-orang yang mengetahui secara detail, dan mengetahui secara jelas tentang seni tari
genggong. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, serta pedoman wawancara, alat tulis, tape
kmera, dan video recorder.
Pengumpulan data melalui Observasi; pengamatan langsung, Wawancara; dengan
informan yang telah dipilih, studi kepustakaan; menelaah beberapa buku-buku yang relevan dengan
penelitian ini, serta melalui studi dokumen dengan jalan mengkaji beberapa dokumen penting yang
terkait dengan penelitian ini (foto-foto, Audio Visual, dan lain-lain). Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif dan interpretatif, yaitu data yang terkumpul dari hasil
observasi, wawancara, studi kepustakaan, dan studi dokumen diolah secara deskriptif dan
interpretatif. Sebagaimana Strauss dan Corbin (dalam Ratna,2010:309) menyebutkan bahwa
analisis data adalah proses pengkodean (coding) yaitu menguraikan, mengkonsepkan, dan
menyusun kembali dengan cara baru. Terdapat tiga proses pengkodean yaitu pengkodean terbuka
(open coding), berporos (axial coding), dan pengkodean terpilih (selective coding). Selanjutnya
penyajian hasil analisis data dilakukan secara formal dan informal, sajian formal yakni mencakup
penggunaan bagan, foto dan bentuk yang sesuai aturan penyajian formal, sedangkan secara
informal berupa uraian narasi yang jelas untuk melengkapi keperluan penulisan ilmiah.
HASIL DAN DAN PEMBAHASAN
Bentuk Pertunjukan Dramatari Genggong Di Desa Batuan Gianyar
Berbagai bentuk seni pertunjukan tradisional yang terdapat di daerah Bali sampai kini
masih terpelihara dengan baik oleh masyarakat pendukungnya, baik berupa seni tari, pewayangan,
karawitan, drama dan lain sebagainya, dibingkai oleh kegiatan upacara keagamaan sehingga
keberadaanya mampu dipertahankan. Tak dipungkiri dari kegiatan berkesenian oleh para
senimannya tersebut mampu melahirkan gaya/style, corak tersendiri, dan merupakan kekayaan
lokal yang mencerminkan identitas daerahnya. Hal tersebut merupakan daya kreativitas, inovatif,
pengembangan imajinasi yang mampu mewujudkan kebaruan dalam bentuk kreasi. Bandem
(1996:33) menyatakan kesenian tercipta secara konsepsional dan berakar pada sistem nilai budaya
setempat. Kesenian Bali, nilai budaya merupakan satu kesatuan bulat yang tidak dapat dipisahkan.
Sistem nilai budaya merupakan hal yang vital untuk mewujudkan kesenian dan memberi corak
terhadap kesenian yang diciptakan.
Tak terkecuali dengan keberadaan seni pertunjukan dramatari genggong yang terdapat di
Desa Batuan Gianyar, yang merupakan pengembangan atau pola-polanya mengikuti kesenian
klasik gambuh dan pecalonarangan,serta patopengan. Hal mana gambuh dan topeng identik dengan
Batuan, karena sudah menjadi ciri khas/ identitas Desa Batuan. Baik dari segi struktur papeson
maupun jenis/ ragam gerak tariannya bersumber pada kesenian tersebut.
Kemunculan kesenian ini tak terlepas dari kebiasaan masyarakat setempat yang senang
memainkan alat musik genggong diwaktu senggang, tetrutama seusai bekerja di sawah, atau disaat
mereka berkumpul di balai banjar. Konon pada jaman dahulu para lelaki memainkan alat musik
genggong digunakan untuk merayu para gadis pujaannya. Sebagai desa yang banyak mempunyai
seniman tari tergerak hatinya untuk mengembangkan genggong menjadi sebuah seni pertunjukan
yang membawakan sebuah lakon. Awal dari kemunculan dramatari genggong tak terlepas dari
peranan besar para seniman Desa Batuan kala itu di era 1930-an yakni; Dewa Putu Kebes, I
Nyoman Kakul, Jero Mangku Desa/Puseh (Nurada), Anak Agung Raka, dan yang lainnya. Sebagai
bentuk seni pertunjukan genggong, musik lebih awal muncul dari tariannya, namun berkat keahlian
I Nyoman Kakul terciptalah tarian "Onang Ocing" yang struktur tariannya mengikuti lagu
iringannya. Maestro I Nyoman Kakul menciptakan tarian tersebut mengikuti lagu yang sudah ada
dengan menambahkan atau mengemasnya agar terwujud keharmonisan antara tarian dengan musik
iringannya. Beberapa seniman Batuan menyatakan bahwasanya perkembangan dramatari genggong
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
415 Desa Batuan tak terlepas dari peran serta, sentuhan kreativitas sang seniman I Nyoman Kakul.
Berkat kreatifitasnya genggong menjadi lebih dikenal oleh masyarakat luas dan menjadi tontonan
rakyat yang sangat digemari. Kemunculan dramatari genggong tak terlepas dari pengaruh
lingkungan yang memegang teguh adat tradisi terutama kesenian wali yang diwarisi secara turun
temurun, yakni di Desa Batuan saat menjelang sasih ke-enem sampai ke-sanga (bulan ke enam
sampai bulan ke sembilan) menyelenggarakan pertunjukan seni sakral berupa tari Rejang Sutri
setiap hari, yang dimulai pukul 19.00 Wita sampai selesai. Dari sinilah ide terbentuknya
pertunjukan dramatari genggong yang oleh masyarakat Desa Batuan digunakan untuk mengisi
acara sebelum pertunjukan Rejang Sutri dimulai. Bahkan kelompok-kelompok kesenian dari luar
desa Batuan sesekali ikut aktif untuk mengadakan pertunjukan, baik secara ditanggap maupun
secara suka rela. Kegiatan semacam ini ternyata sangat efektif untuk menjalin interaksi komunikasi
secara positif. Jenis kesenian ini muncul sejaman dengan baris melampahan, baris kembar, arja
godogan, dan lain sebagainya. Djelantik (2004:15-20) menyatakan bahwa semua benda atau
peristiwa kesenian mengandung tiga aspek dasar, yakni: wujud atau rupa (appearance), bobot atau
isi (content), dan penampilan atau penyajian (presentation). Wujud adalah terdiri dari bentuk,
susunan atau struktur. Wujud terdiri dari bentuk (form) atau unsur yang mendasar, dan susunan
atau struktur (structure). Wujud mengacu pada kenyataan yang nampak secara kongkrit dan yang
tidak. Terkait dengan karya seni tari didalam wujud ditemukan wujud-wujud khusus yang detail,
seperti wujud kain, gelungan, hiasan, dan sebagainya. Senada dengan itu Timbul Haryono
(2009:133) menyatakan struktur pada hakekatnya merupakan susunan dari bahan-bahan yang
diolah, ditata, diatur sedemikian rupa sehingga menjadi bentuk yang bermakna.
Sebagai bentuk/ wujud pertunjukan dramatari Genggong tentunya didukung oleh beberapa
elemen-elemen/ komponen diantaranya adalah cerita, penari, tata rias dan busana, struktur
pementasan, ragam gerak, musik iringan, tempat pementasan, dan sebagainya. Elemen-elemen
yang dimaksud ditata sedemikian rupa sehingga terbentuk menjadi sebuah kesenian yang
bermakna. Adapun kandungan unsur-unsur yang terdapat pada dramatari Genggong di Desa Batuan
Gianyar akan diuraikan sebagai berikut.
Cerita
Bandem dan Sal Murgiyanto (1996:50) menyatakan bahwa cerita atau lakon merupakan
salah satu unsur penting dalam teater. Dari kisah-kisah kehebatan para leluhur, tema diperluas
dengan cerita rakyat, legenda, mite, babad, sejarah, epos, dan cerita kepahlawanan. Sumber-sumber
cerita tersebut diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya secara lisan, sehingga sumber yang
sama cukup beragam dari daerah masing-masing.
Di daerah Bali seni pertunjukan (tari) memang cukup banyak memakai lakon/ cerita yang
bersumber dari epos Ramayana (wayang kulit, sendratari, dramatari, dan lain-lainnya),
Mahabaratha (wayang kulit, dramatari, sendratari dan lainnya), Tantri (wayang kulit, arja, drama
gong, sendratari, dan lainnya), Malat (wayang gambuh, dramatari gambuh, arja, drama gong, dan
lainnya), cerita rakyat seperti cerita Ni Bawang teken Ni Kesuna, Pan Balang Tamak, Basur, dan
lainnya. Akibat berkembangnya beberapa cerita/ epos dalam masyarakat sehingga berpengaruh
kepada hasil-hasil bentuk garapan baru seeranya sebagai sumber inspirasi bagi para seniman, tak
terkecuali genggong tersebut. Cerita yang digunakan dalam pertunjukan genggong adalah cerita/
epos Panji (malat) yang merupakan sumber cerita dramatari gambuh, namun dalam penyajiannya
telah dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pertunjukannya. Adapun ringkas ceritanya adalah;
"tersebutlah di hutan Pemagetan hidup satu keluarga I Godogan, Ayahnya, Ibunya, dan para katak.
Suatu ketika I Godogan mengutarakan keinginannya untuk mempersunting putri Daha, namun
hasratnya ditentang oleh orang tuanya, karena tidak mungkin seekor binatang memperistri manusia.
Dengan tekad yang mantap dan merupakan jelmaan Raden Inu, I Godogan akhirnya dapat
memperistri Diah Galuh. Untuk menunjukkan jati diri yang sebenarnya, selanjutnya I Godogan
melakukan tapa yoga semadhi untuk memperoleh anugrah dari Dewa Siwa, yakni anugrah dapat
dikembalikan wujudnya seperti semula sebagai Raden Inu. Berkat anugrah (sesupatan) Dewa Siwa
akhirnya I Godogan menjelma kembali sebagai putra Kahuripan yang tampan, dan mereka dapat
hidup berdampingan.
Penari
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
416 Dibia (2004:4-5) mengungkapkan bahwa seni pertunjukan adalah kesenian yang lahir dari
kolaborasi sejumlah seniman dan pelaku seperti; penyusun naskah atau lakon, sutradara, pemain
musik, penari, aktor dan aktris, penata dekorasi, penata lampu, dan sebagainya. Dalam
pementasannya mereka bekerja sama sesuai bakat dan ketrampilan yang dimiliki oleh masingmasing individu. Lebih lanjut Dibia menyatakan bahwa dikalangan masyarakat Bali sebutan
pragina dapat diberikan kepada setiap penari atau aktor. Terdapat dua pengertian mengenai
pragina. Pertama, pragina adalah seniman/seniwati pelaku seni pentas (penari/aktor). Kedua,
pragina berasal dari kata “para” yang berarti banyak, dan “gina” yang berarti profesi. Jadi pragina
mengandung pengertian orang yang memiliki berbagai macam keahlian seni (2004:12-13).
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa peranan penari dalam suatu pertunjukan tari sangat penting
sebagai media penyampaian lakon yang disampaikan dengan keahlian seninya (tari) yang mereka
miliki. Penari-penari dalam dramatari Genggong di Desa Batuan sebagaimana struktur pementasan
dalam penelitian ini terdiri dari; 4-6 penari perempuan sebagai peran sisia bunga, 1 orang laki-laki
sebagai penari topeng keras, 1 orang laki-laki/ perempuan sebagai penari Onang-Ocing sekaligus
sebagai penari Raden Inu, 4-6 penari laki-laki sebagai penari katak, 1 orang penari laki-laki sebagai
peran Godogan, dan 1 orang penari laki-laki sebagai tokoh rangda.
Struktur Pementasan
Djelantik (2004:39) menyatakan struktur atau susunan dari suatu karya seni adalah aspek
yang menyangkut keseluruhan dari karya itu serta meliputi peranan masing-masing bagian dalam
keseluruhannya. Struktur dalam karya seni mengandung pengertian bahwa dalam karya seni
tersebut terdapat suatu pengorganisasian, penataan, sehingga ada hubungan antara bagian-bagian
terususun itu. Tiga unsur estetik mendasar dalam struktur setiap karya seni adalah; 1) keutuhan atau
kebersatuan (unity), 2) penonjolan atau penekanan (dominance), dan keseimbangan (balance).
Berdasarkan uraian di atas, struktur pementasan dramatari genggong di Desa Batuan
Gianyar telah disusun sedemikian rupa untuk memperoleh nilai estetik yang diinginkan sesuai
dengan unsur keutuhan, penonjolan dan keseimbangan. Antara struktur bagian satu dengan yang
lainnya terdapat hubungan tak terpisahkan yang terwujud melalui perpaduan unsur-unsur estetik
yang saling mengisi, baik dari segi gerak, tata rias busana, papeson, musik iringan, dan pendukung
lainnya. Adapaun struktur pementasan dramatari genggong di Desa Batuan Gianyar adalah; diawali
dengan tabuh pategak, 1) tabuh telu, 2) Gong-gongan, 3) Angklung Dentiyis, 4) Angklung Sayan,
5) Angklung Kuta, 6) Kecipir, 7) Tabuh Gruda, dan 8) Tabuh Menda. Setelah beberapa tabuh
pategak dibawakan, selanjutnya memasuki bagian pertunjukan dramatari Genggong. Diawali
pemunculan peran sisia bunga (ngelembar) sebagai tarian pembuka/ pangeleb dengan diiringi
gending/ tabuh pangeleb. Kedua, tarian topeng keras (ngelembar) sebagai tarian tambahan dengan
diiringi gending kekebyaran sebagai tarian tambahan adakalanya tarian topeng keras diganti
dengan tari baris tunggal atau yang lainnya. Ketiga, tarian "onang-ocing" (ngelembar) dengan
diiringi gending glagah puun. Keempat, penampilan tarian katak (ngelembar) dan Godogan
(ngelembar) dengan diiringi gending katak ngongkek. Selanjutnya, muncul putri Daha (galuh)
diiringi dengan gending jogor bawa, adegan roman (aras-arasan) antara sang putri dengan I
Godogan (gending ipuk-ipuk), kesedihan godogan diiringi gending tangis. Kelima, muncul Rangda
(ngelembar) sebagai perwujudan Dewa Siwa (ngelembar) diiringi dengan gending durgha. Adegan
ini merupakan gambaran Dewa Siwa berkenan memberkati Godogan untuk bisa kembali
kewujudnya yang semula, yaitu Raden Inu. Perubahan godogan menjadi Raden Inu diperankan
oleh penari "Onang-ocing". Selanjutnya Raden Inu mendatangi sang putri, mengatakan dialah
suaminya (godogan), namun sang putri tidak dipercaya begitu saja. Munculah Dewa Siwa di
hadapan mereka berdua, dan menjelaskan kepada sang putri bahwa orang tampan di hadapannya itu
merupakan Raden Inu jelmaan dari Godogan. Diakhiri aras-arasan (roman) antara Raden Inu
dengan Putri Daha, diiringi gending ipuk-ipuk.
Ragam Gerak
Djelantik (2004:25) menyatakan gerak merupakan unsur penunjang yang paling besar
peranannya dalam seni tari. Dengan gerak terjadinya perubahan tempat, perubahan posisi dari
benda, tubuh penari atau sebagian dari tubuh. Semua gerak melibatkan ruang dan waktu, ruang
sesuatu yang bergerak menempuh jarak tertentu, dan jarak dalam waktu tertentu ditentukan oleh
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
417 kecepatan gerak. Senada dengan hal tersebut Timbul Haryono (penyunting, 2009:141) menyatakan
bahwa gerak merupakan substansi dasar baku tari, dan menonton tari pada dasarnya adalah
menonton gerak. Tari adalah ekspresi jiwa manusia yang terungkap lewat gerak-gerak yang indah.
Dipertegas lagi oleh Dibia bahwa tari Bali yang lincah, dinamis, ekspresif, dan dramatik, lahir dari
perpaduan empat jenis gerak, yaitu: agem, tandang, tangkis, dan tangkep. Keempat jenis gerak ini
dapat dibedakan melalui posisi poros tubuh, ruang yang digunakannya, fungsi gerak, serta jenis
gerak ini bisa terjadi secara terpisah maupun secara simultan (2013:64). Dari uraian ini, bahwa
gerak sebagai unsur media vital dalam tari Bali dapat ditonton dan melibatkan ruang dan waktu
yang mengandung unsur agem, tandang, tangkis, dan tangkep. Beberapa macam gerak yang dapat
ditemukan dari masing-masing tokoh dalam dramatari genggong Desa Batuan Gianyar adalah;
agem kiwa dan tengen, Ngeseh, Luk nerudut, Ngumbang (ombak segara dan luk penyalin), Seledet,
Ngenjet, Nabdab oncer/ selendang, Ngelung, Ngembat, Ngeregah, Ngumad, Ngeteb, Durgha,
Seregseg, Nyakup bawa, Mungkah lawang, Kipekan, Kirig udang, Ulap-ulap, Ngalih pajeng,
Nguliang pajeng, Kecas-kecos, megaang, Ngonang, Ngambig kereb, ngelayak, dan lain sebagainya.
Musik Iringan
Tari dan musik tidak dapat dipisahkan karena musik sebagai pengiring suatu tarian
merupakan elemen penting sebagai pemberi suasana adegan di atas pentas. Sebagaimana Timbul
Haryono (penyunting, 2009:134) menyatakan bahwa iringan pada dasarnya memiliki kekuatan
pendukung yang handal, terutama untuk membangun imajinasi dramatikalnya sekaligus
memperkuat ekspresi gerak laku di atas pentas. Musik iringan Genggong berupa seperangkat
gamelan yang terdiri dari; kendang 1 buah, jir, tawa-tawa (kempung tiing), klenang, cengceng,
kentit, suling 4 buah (besar dan kecil), genggong dan enggung 4-6 pasang yang merupakan elemen
penting dalam pertunjukan genggong, yang dalam permainannya ada yang disebut molosin dan
nyangsihin. Musik iringan sangat diperlukan dalam pementasan dramatari Genggong, karena
bagian tak terpisahkan dari tari, sebagaimana Dibia (2013:116) menyatakan bahwa musik (tabuh)
adalah elemen terpenting dalam tari Bali, karena selain memberikan landasan bagi struktur
koreografi, memperkuat identitas suatu tarian, musik memberikan kehidupan bagi tari secara
keseluruhan, sekaligus musik sebagai pegangan maupun pedoman bagi penari. Dramatari
Genggong namanya menunjuk pada jenis alat musik iringannya yakni genggong, yang terbuat dari
pelepah pohon enau yang sudah tua ( pupug jake ane wayah).
Tempat Pementasan
Dibia (2013:95) menyatakan bahwa tempat atau arena pentas disebut dengan kalangan,
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan penyajian tari Bali. Tempat
pementasan bisa dibangun di sembarang tempat seperti jalanan, tanah lapang, halaman depan pura,
dan lain-lain, berdasarkan kebutuhan. Dalam masyarakat tradisional, tempat-tempat pertunjukan itu
sering berfungsi ganda, sebagai tempat upacara, pertemuan, rumah kediaman, tempat beribadah,
dan sebagainya (Bandem & Murgiyanto,1996:52). Pada pertunjukan Genggong di Desa Batuan
tidak adanya aturan baku dalam penggunaan jenis kalangan-nya, namun yang lebih sering dalam
pementasannya menggunakan bentuk tapal kuda dan arena. Ini disebabkan jenis pertunjukan
tersebut bersifat tradisi kerakyatan, dan penonton dapat dengan mudah menonton dari segala arah,
sehingga memunculkan suasana keakraban. Tempat pementasan Genggong selain mempertunjukan
di panggung wantilan pura desa (jaba sisi/ nista mandala), juga dipentaskan di halaman tengah
pura dan di halaman luar pura/puri. Bilsa pentas di hotel-hotel, biasanya dari pihak hotel telah
menyediakan panggung pertunjukan sesuai dengan keinginan dari pihak pengelola pertunjukannya.
Genggong berfungsi sebagai sosial, hiburan
Secara umum sesuai kesepakatan seminar seni sakral dan profan pada tahun 1971
memutuskan fungsi tarian Bali sesuai dengan klasifikasinya antara lain: 1) tari wali adalah tarian
yang dipentaskan sebagai bagian dari jalannya upacara agama dan bersifat sakral, dan biasanya
dipentaskan pada bagian halaman utama sebuah pura (jeroan/ utama mandala). Tarian wali ini
sangat terikat oleh adat tradisi desa setempat atau ruang dan waktu pementasannya ditentukan oleh
masyarakat pendukungnya. 2) tari bebali adalah tarian yang dipentaskan sebagai pengiring jalannya
suatu upacara keagamaan Hindu di Bali, biasanya dipertunjukan pada bagian halaman tengah
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
418 sebuah pura (jaba tengah/ madya mandala). 3) tari balih-balihan adalah tarian yang diperuntukan
khusus sebagai tontonan atau hiburan, biasanya dipertunjukan pada bagain paling luar sebuah pura
(jaba sisi/ nista mandala). Memfungsikan sebuah kesenian dalam suatu kegiatan keagamaan di
Bali sesuai dengan klasifikasi di atas menandakan masyarakat Bali menempatkan antara seni dan
agama (Hindu) adalah saling terkait, saling mendukung, bahkan sebagai pelengkap suatu jalannya
upacara keagamaan, dan kegiatan tersebut merupakan suatu budaya yang terwarisi sampai
sekarang. Sebagaimana Dibia (2012:54) menyatakan dalam tradisi Bali, seni dan agama adalah dua
hal yang tidak dapat dipisahkan. Hampir semua upacara keagamaan (Hindu) memerlukan sajian
seni dan dalam kegiatan seni melibatkan berbagai ritual dan persembahan. Kegiatan seni dan ritual
dilakukan dengan penuh rasa cinta, seni merupakan sesuatu yang istimewa karena kemunculannya
memadukan hasil karya cipta manusia dengan adanya anugrah Tuhan, sehingga para seniman
beranggapan berkesenian merupakan sebuah ritual atau yadnya.
Masyarakat Hindu Bali dalam berkesian selalu memegang konsep bahwa kegiatan
berkesenian adalah salah satu jalan yadnya, sehingga keberadaan kesenian (tari) di Bali sangatlah
dipentingkan dalam siklus kehidupan manusia di bumi, dan merupakan bagian dari hidupnya. Ini
ditandakan bagaimana hampir pada setiap kegiatan upacara keagamaan (piodalan di sebuah pura),
baik tingkat pura banjar, keluarga/ dadia, kahyangan tiga, dang khayangan, kahyangan jagat, dan
sebagainya selalu dipentaskan jenis kesenian (tari) sebagai wujud rasa bhakti sekaligus tarian
sebagai sarana ritual dan hiburan. Sejalan dengan perkembangan jaman yang dipengaruhi oleh era
globalisasi, lebih-lebih Bali menjadi tujuan wisata beberapa jenis kesenian yang terdapat di daerah
Bali mengalami pergeseran fungsi sesuai dengan teks dan konteks dari kesenian tersebut
dipentaskan, baik yang awalnya berfungsi sakral/ wali, dan bebali sebagai pengiring jalannya
upacara keagamaan Hindu Bali. Ataupun kesenian yang terwujud setelah maraknya pariwisata
akibat tuntutan atau pesanan dari para wisatawan yang berkunjung ke Bali. Sebagaimana teori yang
diungkapkan oleh Soedarsono, bahwa seni pertunjukan pada setiap lingkungan masyarakat
memiliki fungsi primer dan sekunder. Dengan menilik teori ini maka dramatari genggong dapat
dikelompokan menjadi fungsi primer sebagai hiburan pribadi dan sebagai presentasi estetis,
sedangkan dalam kapsitasnya sebagai fungsi sekunder, genggong dapat sebagai pengikat solidaritas
kelompok masyarakat dan bangsa, media komunikasi, media propaganda keagamaan, politik,
program-program pemerintah, media meditasi, sarana terapi, dan sebagai perangsang produktivitas.
Pada tahun 2009, Desa Pakraman Batuan Gianyar telah menyelenggarakan upacara besar
ngusaba desa lan nini, padudusan agung, mupuk pedagingan, mamungkah, tawur agung di pura
Desa lan Puseh dengan tingkatan utaming utama yang dirayakan selama sebelas hari. Ketika itu,
mempertunjukan tari-tarian wali dan bebali seperti topeng pajegan, rejang sutri, baris gede,
gambuh, wayang wong, telek, sendratari, dan lain-lainnya. Sebagai penyajian tarian balih-balihan,
di sela-sela acara hiburannya dipentaskan salah satunya berupa kesenian dramatari genggong oleh
kumpulan seniman Batuan yang diprakarsai oleh I Wayan Pageh (alm), serta beberapa seniman dari
sanggar Pondok Pekak-Ubud. Dalam penyajiannya sanggar ini secara berturut-turut menampilkan
tarian barong bangkal (barong babi), selanjutnya menampilkan struktur pertunjukan dramatari
genggong sebagaimana biasanya. Dari penyajian tersebut dapat dikatakan genggong memiliki
fungsi hiburan. Dikatakan demikian karena dalam konteks pertunjukannya memang diadakan
untuk menghibur para penonton yang berada di areal pura. Juga berfungsi sosial karena para
penyaji tidak mendapat bayaran atau upah, dan kegiatan ini dapat memberikan nilai kekrabatan
atau bertujuan mempererat hubungan antar individu-individu, khususnya dalam dunia berkesenian.
Di Desa Batuan genggong memang sangat jarang dipentaskan dalam konteks upacara di pura-pura
di sekitar Batuan sebagai hiburan, namun keberadaannya masih eksis sampai sekarang.
Sebagaimana Hadi (dalam Parmi, Mudra, 2006:13) menyatakan bahwa seni mengandung sifat
sosial yaitu bersifat manusiawi, karena hakekat seni adalah untuk dikomunikasikan, untuk
dinikmati, ditonton, diperdengarkan atau diresapi. Kehadiran seni mencakup ketiga faktor yang
saling berhubungan yakni si pencipta, hasil karya seni, dan pengamat atau penonton, ketiganya
merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan atau menjadi sebuah lingkaran setan yang satu
menunjuk yang lain. Soedarsono menyatakan bahwa seni pertunjukan yang berfungsi sekunder
akan memberikan dampak sebagai pengikat solidaritas sekelompok masyarakat, sebagai
pembangkit solidaritas bangsa, sebagai media komunikasi massa, sebagai media propaganda
keagamaan, sebagai media propaganda politik, sebagai media propaganda program-program
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
419 pemerintah, sebagai media meditasi, sebagai sarana terapi, dan sebagai perangsang produktivitas
(1999:169). Jadi, kesenian dikatakan sosial atau sebagai hiburan karena berkesenian tersebut
mengutamakan kegiatan/ aktivitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan, sehingga
memunculkan rasa solidaritas dalam skala kelompok masyarakat dan bangsa.
Genggong berfungsi ekonomi dan pengenalan pariwisata
Setelah masuknya pengaruh pariwisata dan Bali sebagai tujuan wisata domestik maupun
mancanegara berdampak pula pada fungsi seni pertunjukan Bali yang awalnya hanya bersifat sosial
(ngayah) berubah menjadi sebagai komersial atau pertunjukan yang mementingan keuntungan uang
(dibayar) yang tidak terikat lagi oleh ruang dan waktu. Pelipatan bentuk penyajiannya juga terjadi
guna memenuhi kepentingan pariwisata, yakni pementasan yang secara tradisi dengan durasi
pertunjukannya yang semula 2-3 jam, dikemas durasi pertunjukannya menjadi 45 menit atau
sampai 1 jam. Fenomena ini tiada lain karena penyajian pertunjukannya mengikuti selera pasar,
yang dalam hal ini para turis yang tidak memiliki waktu panjang selama liburan tetapi berkeinginan
menonton seni pertunjukan Bali yang kaya ragamnya. Dari kegiatan pertunjukan tersebut para
sekaa sebagai penyaji mendapatkan upah/ bayaran dari pihak hotel sesuai kesepakatan harga,
tentunya bayaran tersebut merupakan hasil dari penjualan tiket atau paket perjalanan yang
ditawarkan oleh agen wisata yang memasukan jenis kesenian Bali (genggong) yang dapat
disaksikan oleh wisatawannya. Sekaa-sekaa yang mengadakan pertunjukan di hotel-hotel walaupun
secara sadar tidak dapat mendukung perekonomian keluarganya secara penuh, namun sangat
dirasakan berdampak positif bagi perputaran perekonimannya dengan jalan pementasan secara
reguler. Bali sebagai tujuan wisata yang mengunggulkan pariwisata budaya, yang salah satunya
seni pertunjukan tari secara tidak langsung berdampak terhadap beberapa kelompok-kelompok
kesenian yang ada di Bali/ di sekitar berkembangnya daerah tujuan wisata. Sebagaimana Muljadi
(dalam Budiarsa, 2012:162) menyatakan jenis-jenis keuntungan pariwisata jika dikembangkan
dengan sebaik-baiknya memperoleh keuntungan ekonomi yang mencakup ; 1) memberikan
pekerjaan dan penghasilan kepada masyarakat daerah setempat di lokasi pariwisata yang
dikembangkan, 2) menghasilkan devisa negara yang bersangkutan, 3) sebagai perangsang
pengembangan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya (pertanian, pengrajin, dan lain-lain), 4) dapat
membantu membiayai pembangunan prasarana yang mempunyai manfaat serba guna.
Dari pengamatan penulis semenjak tahun 1980-an hingga sekarang (2014), Genggong
lebih sering dipentaskan di hotel-hotel untuk menghibur para wisatawan yang berkunjung ke
daerah Bali, atau pada acara pesanan (ditanggap) oleh masyarakat lokal untuk kegiatan resepsi
perkawinan, upacara di pura lingkungan keluarga sebagai hiburan, dan lain-lainnya. Di antara
sekian sekaa Genggong yang ada di Batuan, salah satunya adalah sekaa Batur Sari (terbentuk tahun
1971) selain pentas ke hotel-hotel daerah Sanur dan Nusa Dua, pada awalnya sering mengadakan
pementasan sesuai pesanan untuk wisatawan asing yang datang ke daerah Batuan, pementasannya
dilaksanakan di rumah Jero Mangku Desa baik pada malam hari maupun pagi hari, ini sekitar tahun
1970-an. Di sisi lain, dipentaskannya dramatari Genggong untuk pariwisata di beberapa hotel-hotel
di Bali, mengisi acara Pesta Kesenian Bali, dan ke luar negeri oleh beberapa sekaa kesenian di
Batuan, di antaranya oleh sekaa Bapak I Ketut Kantor, Bapak I Made Djimat mempunyai andil/
konstribusi besar terhadap perkembangan kesenian ini,disamping sebagai promosi budaya daerah
Bali khususnya, serta secara nasional, sebagai tujuan wisata. Apalagi group bapak I Made Djimat
(yayasan Tri Pusaka Sakti) yang secara rutin menyelenggarakan pementasan pariwisata setiap
tanggal 1 dan 15 setiap bulannya sesekali mementaskan jenis kesenian dramatari genggong
tersebut, bertempat di stage rumahnya (rumah kodok stage) di desa Batuan Gianyar. Dramatari
Genggong dalam kedudukannya sebagai fungsi sosial, hiburan, ekonomi, dan pengenalan
pariwisata sebagaimana tersebut di atas, merupakan daya kreativitas, perkembangan daripada
masyarakat pendukungnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soedarsono bahwa seni pertunjukan
dapat berfungsi primer jika seni tersebut jelas siapa penikmatnya, bahwa seni pertunjukan
dipertunjukan kepada penikmat, dan apabila seni pertunjukan tersebut bertujuan bukan sekedar
untuk dinikmati tetapi untuk kepentingan yang lain berarti fungsinya adalah sekunder (1999:167).
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
420 Tata Rias dan Busana Dramatari Genggong
Dibia (2013: 66-69) menyatakan bahwa tata rias dan busana adalah elemen penting dan
menentukan dalam tari Bali, yakni untuk merubah wajah penari dan menutupi tubuh penari sesuai
dengan karakter. Berdasarkan fungsinya tata rias tari Bali dapat dibedakan menjadi rias natural
(sehari-hari) yang berfungsi untuk mempercantik wajah penari, dan rias teatrikal (rias watak)
digunakan untuk membentuk karakter atau penokohan yang digambarkan dalam sebuah tarian atau
dramatari. Tata rias tari Bali terkait erat dengan tiga hal yakni jenis kelamin, perwatakan, dan jenis
tari. Ketiga hal ini tidak saja menentukan penggunaan warna melainkan juga intensitas garis dan
arah goresannya pada muka penari. Tata rias digunakan untuk mempertegas perbedaan perwatakan
tari terutama antara yang keras dengan yang halus. Lebih lanjut Dibia (2013:81) menyatakan tata
busana digunakan untuk menunjukan identitas gender, status sosial, karakter, dan genre tarian,
selain untuk menambah daya tarik pertunjukan. Dari penataan busana penonton sudah bisa
mengetahui jenis kelamin (pria atau wanita), peran atau kedudukan, perwatakan, genre dari tarian
yang mereka saksikan. Berdasarkan pernyataan ini, bahwa tata rias dan busana berfungsi
mempertegas peranan tokoh yang dibawakan di atas pentas oleh penari, dan dari penggunaanya
dapat digolongkan menjadi rias bagian kepala, rias bagian badan, dan rias bagian kaki. Dalam
penggunaan rias dan busana disesuaikan dengan karakter penokohan yang ditampilkan, karena rias
serta busana akan memberikan identitas suatu tarian/ tokoh yang akan ditampilkan, serta
memberikan perbedaan dari genre suatu tarian.
Tata Rias dan Busana Penari Sisia Bunga; Dasar bedak, bedak, merah pipi, alis-alis, aye
shadow, caling kidang, gecek putih. Bagian kepala; bunga imitasi 5-8 buah, bunga merah, bunga
kamboja, semanggi 1 buah, atin sasak, antol/ cemara. Bagian badan; gelang kana (atas-bawah),
badong manis, tutup dada, sabuk prada, oncer, ampok-ampok, dan kamen/ kain. Tata Busana Tari
Topeng Keras; gelungan tipe keklopingan, topeng/ tapel, bunga kuping diisi daun girang, wig,
badong besar, baju, gelang kana, angkeb pala, angkeb bulet, saput, semayut, kamen putih, sabuk/
ikat pinggang, jaler, stewel, dan keris. Tata Rias dan Busana Onang-Ocing dan Raden Inu;
Gelungan tipe jejonteran, bunga imitasi 1 buah, bunga kuping, badong manis, gelang kana (atas –
bawah), tutup dada, sabuk prada, ampok-ampok, kamen/ kain. Properti; pengonangan (alat untuk
menagkap capung). Tata Busana Tari Katak dan Godogan; Tapel katak dan tapel godogan, baju
warna hijau motif loreng, selop tangan dan kaki. Tata Rias dan Busana Putri/ Galuh; Gelungan,
bunga imitasi 10 buah, bunga kamboja, semanggi, bunga merah, antol/ cemara, badong kulit lenter,
gelang kana (atas-bawah), tutup dada, sapuk prada, selendang, ampok-ampok, kamen/ kain
lelancingan. Tata Busana Rangda; Tapel rangda, badong kulit diisi bulu-bulu di pinggirnya, baju
dan jaler loreng (merah putih), usus-ususan, tapih (endek/ gringsing), ampok-ampok, selop tangan
yang berisi kuku, kekereb warna putih.
SIMPULAN
Penelitian bentuk pertunjukan dramatari genggong di Desa Batuan Gianyar ini dapat
disimpulkan sebagai berikut; 1) Bahwa bentuk pertunjukan dramatari Genggong di Desa Batuan
Gianyar terwujud dari beberapa elemen/ unsur-unsur, seperti cerita/ lakon yang bersumber dari
cerita Malat atau cerita Panji, penari (pria dan wanita), struktur pementasan, ragam gerak, musik
iringan, dan tempat pementasan (kalangan). 2) Fungsi dramatari genggong adalah berfungsi sosial/
hiburan (balih-balihan) yakni pertunjukannya bersentuhan langsung dengan kegiatan
kemasyarakatan pendukungnya seperti upacara piodalan di sebuah pura, halmana dalam penyajian
tersebut murni sebagai rasa yadnya/ ngayah, tanpa memperoleh imbalan berupa uang. Sedangkan
berfungsi ekonomi, genggong dalam pertunjukannya (di hotel-hotel) murni untuk ditonton oleh
para wisatawan (orang yang menanggap), dan kelompok tersebut mendapat bayaran melalui hasil
penjualan tiket. Pengenalan pariwisata khususnya di tingkat daerah Bali memberikan imbas besar
melalui pementasan ke luar negeri oleh beberapa sekaa genggong di Desa Batuan, karena dapat
mempromosikan kekayaan seni budaya daerah setempat. 3) Mengenai tata rias dan busana
dramatari genggong dapat digolongkan menjadi rias kepala, badan, dan kaki, yang pada intinya
masih berpedoman pada rias dan busana tari-tarian tradisi Bali pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bandem, I Made. 1996. Etnologi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
421 Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Budiarsa, I Wayan. 2012. "Komodifikasi Dramatari Gambuh di Desa Batuan Gianyar" sebuah
Tesis (S2) Kajian Budaya, Universitas Udayana Denpasar.
Dibia, I Wayan. 2004. Pragina: Penari, Aktor, dan Pelaku Seni Pertunjukan Bali. Malang: Sava
Media.
_______. 2012. Taksu Dalam Seni dan Kehidupan Bali. Denpasar: Bali Mangsi.
_______. 2012. Geliat Seni Pertunjukan Bali. Denpasar: Buku Arti.
_______. 2013. Puspasari Seni Tari Bali. Denpasar: UPT. Penerbitan ISI Denpasar.
Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia.
Haryono, Timbul (penyunting). 2009. Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang, Dan Waktu. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra.
Rai S., I Wayan, 2001. Gong Antologi Pemikiran. Denpasar:Bali Mangsi Press.
Ratna, Kutha I Nyoman, 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora
Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
______1999. Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia.
______1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan Dan Seni Rupa. Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
Soedarsono dan Tati Narawati. 2011. Dramatari di Indonesia Kontinuitas dan Perubahan.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
MEDIA PROMOSI OBJEK WISATA MONKEY FOREST
UBUD GIANYAR BALI SEBUAH KAJIAN SEMIOTIKA
Ni Ketut Rini Astuti, Cokorda Alit Artawan
Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa Dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
[email protected], [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan, mengidentifikasikan tanda verbal dan visual
sebagai elemen pembentuk media komunikasi visual, serta menerjemahkan makna di balik tanda
verbal maupun non verbal pada media promosi objek wisata Monkey Forest Ubud Gianyar Bali
sebuah kajian semiotika, sehingga dapat diketahui citra dan nilai budaya yang ada di masyarakat,
khususnya desa Padangtegal Ubud Gianyar Bali. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif kualitatif, dengan analisis komunikasi visual yang dilakukan dalam pemahaman
dan pembacaan terhadap tanda. Penelitian ini mengacu pada teori semiotika yang membahas tanda
visual dan tanda verbal dalam memahami sistem tanda dan makna yang tersimpan pada Media
Promosi Objek Wisata Monkey Forest Ubud, Gianyar, Bali. Hasil dari penelitian ini melalui
analisis semiotika dapat dimaknai bahwa pada hakekatnya Media Promosi Objek Wisata Monkey
Forest Ubud Gianyar Bali memakai konsep ajaran Tri Hita Karana berdasarkan filosofi agama
Hindu di Bali, damai dan kemerdekaan menjadi satu dalam hidup kita. Dengan menghadirkan
ilustrasi pura, hutan, dan monyet sebagai objek utamanya, yang memiliki makna sakral, keagungan
dan kesucian. Dengan menunjukkan gambar visual seperti ini, tentunya untuk dapat
mempromosikan objek wisata monkey forest dengan memperlihatkan keunikan, keindahan seni
budaya melalui media promosi sebagai pemeliharaan dan pelestarian nilai-nilai kebudayaan
setempat, menjadi kekayaan budaya Hindu.
Kata Kunci : Media Promosi Objek Wisata Monkey Forest
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
422 Abstract
The purpose of this study to describe, identify signs of verbal and visual as constituent
elements of visual communication media, as well as translating the meaning behind the verbal and
non-verbal signs in the media campaign attractions Monkey Forest Ubud Gianyar Bali a study of
semiotics, so it can be seen the image and cultural value in the community, especially the village of
Ubud Gianyar Bali Padangtegal. The method used in this research is descriptive qualitative, visual
communication with the analysis carried out in the understanding and reading of the sign. This
study refers to the semiotic theory that addresses the visual sign and verbal sign in understanding a
system of signs and meanings that are stored on the Media Campaign Attractions Monkey Forest
Ubud, Gianyar, Bali. The results of this research through semiotic analysis can be interpreted that
the essence of the Media Campaign Attractions Monkey Forest Ubud Gianyar Bali using the
concept of Tri Hita Karana teachings based on the philosophy of Hinduism in Bali, peace and
freedom become one in our lives. By presenting illustrations temples, forests, and monkeys as its
main object, which has a sacred meaning, majesty and holiness. By showing visual images like
this, of course, to be able to promote the attraction monkey forest to show the uniqueness, the
beauty of art and culture through the medium of promotion as the maintenance and preservation of
local cultural values, to be a wealth of Hindu culture.
Keywords: Media Promotion Attractions Monkey Forest
PENDAHULUAN
Objek Wisata Monkey Forest (The Sacred Monkey Forest Sanctuary) merupakan wisata
alam yang menawarkan keindahan hutan dengan 300 kera di dalamnya, serta kultur Bali yang
masih sangat kuat. Dari kejauhan wisatawan dapat melihat dua patung kera Bali berukuran besar di
kanan dan kiri jalan sebelum pintu masuk. Di dalam hutan juga terdapat tiga pura suci, yakni: Pura
Dalem Agung, Pura Mandi Suci, dan Pura Prajapati, dengan 3 (tiga) konsep; pertama adalah
utama mandala, yaitu tempat pemandian para Dewa; kedua adalah madia mandala, dimana
terdapat sebuah kolam suci; dan yang ketiga adalah nista mandala sebagai tempat pemandian untuk
umum. Tempat ini sangat mudah dicapai dengan menyusuri jalan Monkey Forest di Ubud Gianyar
Bali atau cukup dengan berjalan kaki hanya sekitar 15 menit dari Jalan Raya Ubud. Tarif masuk ke
objek wisata Monkey Forest ini, baik tamu wisatawan mancanegara, domestik, maupun lokal
adalah sama yaitu Rp. 30.000 untuk dewasa dan Rp. 20.000 untuk anak-anak.
Ubud terletak 25 km dari timur laut kota Denpasar. Ubud merupakan pusat suatu puri yang
amat kuat, dan kini menjadi salah satu kelurahan dari kabupaten Gianyar yang terbagi dalam enam
desa adat (Picard M, 2006:120). Di antara desa Padangtegal dan Nyuh Kuning, kecamatan Ubud,
kabupaten Gianyar, terdapat sebuah hutan kecil yang dihuni oleh ratusan Kera Bali yang cukup
jinak dan dapat diajak bermain-main saat para wisatawan menikmati liburan di kawasan wisata.
Hutan kecil itulah yang disebut dengan "Monkey Forest", karena di dalam hutan terdapat ratusan
kera. Para wisatawan yang datang ke tempat ini, selain dapat bermain dengan kera, juga dapat
melihat kuburan dengan arsitektur Balinya. Mereka juga dapat menyaksikan lengkap dengan
upacara di pura (odalan) maupun upacara pembakaran mayat (ngaben) jika waktu kunjungannya
kebetulan bertepatan dengan hari upacara di pura tersebut. Daerah ini adalah daerah keramat dan
terdapat peninggalan purbakala di dalamnya. Kawasan ini berada di jalan utama kota Ubud
mengarah ke arah Selatan berada di kaki sebuah bukit, dan luas hutan 8 hektar ini adalah salah satu
pusat penangkaran monyet di Bali.
Objek wisata Monkey Forest, terletak di Desa Padangtegal, Ubud, Gianyar, Bali. Objek ini
diupayakan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan tujuan pengelolaan yang lebih baik
dalam menjaga integritas suci dari hutan monyet, sebagai situs yang terbuka untuk pengunjung
dari seluruh dunia. Manajemen pengelolaan diupayakan agar memenuhi kriteria syarat pariwisata
yang baik yakni sangat menarik dan unik, mudah diakses setiap saat dan selalu produktif, mudah
dipahami sehingga banyak pengunjung yang datang ke tempat ini. Oleh karena itu, kesakralan
objek yang masih terdapat hutan ditengah-tengah pemukiman penduduk, dan dalam proses upacara
ritual menjadi agenda wisata yang sakral, sehingga upacara ritual menjadi daya tarik pengunjung
karena kesenian dan budaya Bali, seperti tarian, kecak dan dance, Ramayana, patung-patung,
ukiran dan cerita-cerita rakyat dapat dinikmati.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
423 Encyclopedia of Britanica yang dikutip Pirous (2006: 96), menyatakan bahwa media
adalah bentuk pengumuman yang dicetak, ditulis atau digambar dan disampaikan kepada umum
secara terbuka. Ruang lingkup yang dibawa media adalah pesan-pesan visual dan tekstual dari
manusia kepada manusia lain. Karena memiliki fungsi untuk menyampaikan pesan, maka media
harus memiliki penampilan yang menarik perhatian bagi khalayak. Media komunikasi visual
memiliki peranan yang sangat penting dalam objek wisata Monkey Forest karena kehadiran dan
keberadaannya sangat diperlukan sebagai media promosi. Media merupakan cerminan realitas
sosial dalam budaya masyarakat Bali, juga dapat menjadi salah satu cara mempelajari realitas sosial
budaya masyarakat dengan mempertemukan tanda-tanda dalam media dengan berbagai teori
maupun data temuan di lapangan. Berbagai media komunikasi visual yang digunakan sebagai
media promosi, seperti: media brosur, t-shirt, website, facebook, tiket, papan nama, dan iklan di
Bali Travel News.
Mengungkap makna yang ada di balik tanda visual maupun verbal, dapat diketahui citra
dan nilai-nilai budaya objek wisata monkey forest, melalui media promosi. Selain itu dapat pula
dipelajari budaya yang terbentuk maupun norma sosial yang ada dalam masyarakat yang
mempengaruhi penciptaan media. Analisis secara semiotik terhadap tanda-tanda visual dan verbal
media promosi objek wisata Monkey Forest, yaitu pada budaya tradisional yang mengarah pada
kesenian dan budaya tradisi Bali khususnya desa Padangtegal Ubud. Keunikan dan karakteristiknya
mengandung muatan nilai-nilai yang kompleks dan mendalam, sehingga keberadaannya memiliki
peranan sangat penting bagi keberlangsungan pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya
Bali, khususnya di desa Padangtegal, Ubud, Gianyar.
Berdasarkan latar belakang di atas, memang memunculkan semangat untuk mengkaji lebih
jauh tentang pentingnya media komunikasi visual sebagai media promosi pada objek wisata
Monkey Forest Ubud Gianyar Bali, dan ada beberapa masalah yang dirumuskan pada penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1). Apakah tanda verbal dan visual yang ditampilkan dalam media-media
komunikasi visual objek wisata monkey forest Ubud Gianyar Bali? 2). Bagaimana makna konotasi
yang terbangun di balik tanda verbal maupun visual pada Media Promosi Objek Wisata Monkey
Forest Ubud Gianyar Bali?
Media komunikasi visual yang berisi tulisan dan gambar dalam satu lembaran kertas atau
kain dengan tujuan untuk mempromosikan sesuatu. Teks/tulisan dan gambar ini sering disebut
verbal dan visual. Media sebagai media informasi/penyampaian pesan, memiliki berbagai fungsi
seperti, remainder, menggugah kesadaran, membentuk suatu citra maupun menumbuhkan minat
pada pemirsanya. Media pada umumnya dirancang berdasarkan kombinasi antara tipografi/verbal
dengan visual. Keberhasilan dalam merancang desain media, perancang harus mampu
mengkombinasikan antara teks (verbal), dan gambar (visual).
Media merupakan bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi visual. Untuk dapat
menjangkau khalayak sasarannya, komunikasi visual memerlukan media yang sesuai dengan
khalayak sasarannya. Pemilihan media disesuaikan dengan gaya hidup konsumen, tingkat
pendidikan, sosial dan ekonomi, kebiasaan, pekerjaan, tempat tinggal konsumen, dan sebagainya.
Dalam suatu promosi, biasanya terdapat media primer dan media sekunder yang digunakan. Media
primer merupakan media utama untuk mengkomunikasikan pesan pada khalayak sasaran. Media
primer ini didukung oleh media sekunder sehingga dapat lebih menguatkan pesan yang
disampaikan ataupun menjangkau khalayak sasarannya. Kekuatan pesan media juga turut
ditentukan oleh media yang digunakan. Media, visualisasi dan pesan media berkaitan erat dengan
kehidupan masyarakat. Media dapat membawa budaya yang ada dalam suatu masyarakat, namun
dapat juga menciptakan budaya baru di dalam masyarakat.
Media dapat dibagi menjadi media cetak, elektronik, luar dan dalam ruangan. Media cetak
misalnya surat kabar, majalah dan tabloid. Media elektronik contohnya: radio, televisi dan internet,
media dalam ruangan seperti: brosur, folder, poster, sedangkan media luar ruangan adalah segala
media massa yang berada di luar ruangan yang pada umumnya berukuran sangat besar seperti;
poster, baliho dan billboard. Salah satu media yang cukup menarik dan jelas adalah poster. Media
promosi objek wisata Monkey Forest, Ubud, Gianyar, Bali sebuah kajian semiotika dalam bahasan
ini adalah media-media promosi yang dibuat oleh Desa Padangtegal yang berisi gambaran tentang
Monkey Forest, kebudayaan, dan keindahan alam.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
424 Komunikasi secara umum diartikan sebagai suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide,
gagasan) dari satu pihak ke pihak lain agar terjadi saling memengaruhi di antara keduanya. Adapun
penyampaiannya bisa bersifat nyata, simbolis, ekspresif dan juga bisa bernuansa promosi/
propaganda, protes, himbauan, estetis, didaktis. Cara penyampaian komunikasi bisa berupa
komunikasi verbal, bila itu disampaikan dengan kata-kata, baik oral maupun tertulis, bisa juga
komunikasi non-verbal yang disampaikan dengan cara visual melalui gambar atau gerak.
Tampilannya bisa berupa hal yang realis, ekspresif, naturalis, maupun dekoratif. Desain
Komunikasi Visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif,
yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis
yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi dan layout (Tinarbuko,
2009: 24). Media-media promosi sebagai bagian dari desain komunikasi visual memiliki elemen
desain grafis tersebut.
Berbicara ilustrasi dalam konteks komunikasi visual, sama dengan memperbincangkan
gambar dalam bingkai fungsi. Sisi fungsional sangat melekat dalam kata `ilustrasi. Ilustrasi adalah
area khusus dari seni yang menggunakan gambar berupa representasi atau ekspresi untuk membuat
sebuah pernyataan visual. Ilustrasi dapat berupa grafik, animasi, gambar dan lukisan. Ilustrasi
menjadi hal penting dalam desain terutama dalam desain cetak sebelum fotografi banyak
digunakan. Ilustrasi digunakan untuk membantu mengkomunikasikan pesan dengan tepat, cepat,
serta tegas 'clan merupakan terjemahan dari sebuah judul. Ilustrasi diharapkan mampu untuk
membentuk suatu suasana penuh emosi, dan menjadikan gagasan-gagasan seakan-akan nyata.
Dengan ilustrasi maka pesan menjadi lebih berkesan, karena pembaca akan lebih mudah mengingat
gambar daripada kata-kata. Pada perkembangannya, ilustrasi banyak digunakan untuk menjelaskan
sesuatu yang bersifat teks meskipun terkadang ilustrasi berdiri sendiri.
Huruf merupakan bagian terkecil dari struktur bahasa tulis dan merupakam elemen dasar
untuk membangun sebuah kata atau kalimat. Rangkaian huruf dalam sebuah kata atau kalimat
bukan saja memberikan suatu makna yang mengacu pada sebuah objek ataupun gagasan, tetapi
juga mempunyai kemampuan untuk menyuarakan suatu citra ataupun kesan secara visual. Huruf
memiliki paduan nilai fungsional dan nilai estetik. Pengetahuan mengenai huruf dapat dipelajari
dalam sebuah disiplin seni yang disebuf tipografi (Sihombing, 2001: 2-3).
Huruf sendiri merupakan tanda, dan tanda-tanda yang disusun akan memunculkan tanda
baru. Sehingga dalam memaknai sebuah teks tanda berupa huruf, tidak sekedar memaknai bunyi
teks itu semata, namun juga memaknai penyusunannya, pemilihan bentuk dan besar huruf satu
dengan yang lainnya. Pemilihan huruf yang tepat tentu memiliki teknik tersendiri, karena huruf
memiliki keragaman bentuk yang masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Karakterkarakter tersebut akan berpengaruh terhadap pesan yang akan disampaikan. Hal ini karena karakter
huruf memberikan sebuah citra dan pesan yang ingin disampaikan.
Tipografi biasanya menjadi elemen utama dalam halaman cetak. Tipografi menjadi
penekanan dalam sebuah konsep sehingga menjadi perhatian dalam sebuah desain informasi.
Tinarbuko (2009:26) menjelaskan bahwa tipografi dalam konteks desain komunikasi visual
mencakup pemilihan bentuk huruf, besar huruf, cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata
atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersil) yang ingin disampaikan, sehingga
tipografi memiliki peranan penting dalam komunikasi tanda.
Warna menjadi elemen yang penting dalam desain, lebih lanjut Danesi (2010: 97-104),
mengungkapkan bahwa kemampuan untuk mempersepsikan warna dalam berbagai wujud
merupakan dasar dari banyak aktivitas pembuatan dalam penggunaan tanda di seluruh dunia.
Dalam semiotika, istilah warna adalah penanda verbal yang mendorong orang untuk cendrung
memerhatikan terutama rona-rona yang disandikan penanda. Dalam tingkat denotasi, penafsiran
tanda berupa warna sebagai gradasi rona pada spektrum cahaya. Rona merupakan ciri penuntun
penyebutan warna atau pemberian warna seperti merah, biru, kuning dan sebagainya. Warna juga
digunakan untuk tujuan konotasi. Penggunaan warna secara konotasi tersebut tersebar lebih luas
dibandingkan dengan denotasi warna itu sendiri sehingga warna menjadi penting dalam wilayah
simbolisme.
Kata komposisi berasal dari bahasa inggris composition, dari kata kerja to compose yang
berarti mengarang, menyusun atau menggubah. Menyusun, mengarang atau menggubah biasanya
digunakan dalam kegiatan seni termasuk seni rupa (Darmaprawira, 2002: 65). Jadi kegiatan yang
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
425 berhubungan dengan keindahan. Tentu saja bentuk susunan, karangan atau gubahan itu berdasarkan
aturan-aturan atau kaedah yang berlaku bagi masing-masing cabang seni. Komposisi pada media
promosi ini berarti penyusunan tanda verbal dan tanda visual dalam bidang gambar yang
membentuk keseimbangan statis/kaku atau dinamis/tidak resmi.
Layout dijabarkan oleh Rustan (2009: hal..) sebagai tata letak elemen-elemen desain
terhadap sesuatu bidang dalam media tertentu untuk mendukung konsep atau pesan yang
dibawanya. Tampilan layout yang tampak merupakan proses perjalanan eksplorasi kreasi manusia
yang tiada henti dari masa lalu. Tampilan layout dapat menjadi penanda kapan layout itu dibuat.
Layout memiliki banyak elemen yang masing-masing mempunyai peran yang berbeda dalam
membangun keseluruhan layout. Lebih lanjut Rustan menyebutkan pengelompokan elemen layout
terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu elemen teks, elemen visual dan invisible element. Untuk elemen teks
antara lain: judul/ headline, deck/standfirst, byline, body teks, subjudul, caption, callout, kickers,
initial caps, indent, lead line, spasi, header & footer, running heat, catatan kaki, nomor halaman,
sugnature, jumps, nameplate, masthead. Elemen visual layout dapat terdiri dari foto, artworks,
infographic, garis, kotak, inzet dan point. Sedangkan yang termasuk pada invisible element adalah
margin dan grid.
Pendekatan semiotika digunakan untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah
tersebut. Semiotika sebagai metode penelitian dilakukan dengan pemahaman dan pembacaan
(decoding) terhadap sebuah karya desain komunikasi visual karena terjadi suatu proses penyandian
(encoding) pesan menjadi tanda visual (visual sign) dan tanda verbal. Untuk mengalihsandikan
(decoding) tanda visual dan tanda verbal tersebut dalam rangka memahami sistem tanda dan makna
yang tersimpan dalam media-media promosi objek wisata Monkey Forest maka membutuhkan
metode yang berangkat dari ilmu tanda. Tanda adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya
selembar kertas. Dimana ada tanda, di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata
tulisan atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut signifier,
bidang penanda atau bentuk. Aspek lainnya disebut signified, bidang petanda atau konsep atau
makna. Tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang yaitu bidang penanda
untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan petanda untuk menjelaskan konsep atau makna.
Merujuk teori Pierce, tanda-tanda dalam media dapat dilihat sebagai ikon, indeks dan simbol.
Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat juga dikatakan ikon adalah
tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksud. Indeks merupakan tanda yang
memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai
bukti. Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan atau perjanjian yang telah
disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah
disepakati sebelumnya. Dalam penelitian ini, teks verbal (tulisan) dan teks visual (gambar) yang
dihadirkan dalam media dipandang sebagai tanda.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1). Untuk dapat mendeskripsikan dan
mengidentifikasikan tanda verbal dan visual sebagai elemen pembentuk media komunikasi visual
objek wisata Monkey Forest Ubud, Gianyar Bali. 2). Untuk dapat menerjemahkan makna konotasi
dibalik tanda verbal maupun non verbal pada media komunikasi visual objek wisata monkey forest
sehingga dapat diketahui citra dan nilai budaya yang ada di masyarakat Ubud Bali.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriftif-kualitatif, adapun tahapan-tahapannya
dilakukan dengan proasedur sebagai berikut. Pertama, menentukan masalah penelitian dengan
merumuskan masalah yang akan diteliti. Kedua, teknik sampling dilakukan untuk memfokuskan
objek penelitian dalam hal ini media promosi objek wisata Monkey Forest, Ubud, Gianyar, Bali.
Ketiga, menentukan jenis data sebagai tahapan penting dalam penelitian untuk mendapatkan
jawaban dari rumusan masalah yang ditentukan. Sumber data yang digunakan adalah data primer
dan data sekunder. Keempat, menentukan alat pengambilan data yang dilakukan dengan metode
survey, observasi, wawancara, dokumentasi, dan kajian pustaka. Kelima, menentukan teknik
analisis menggunakan pendekatan kajian semiotika. Penelitian ini lokasinya di Desa Padangtegal
Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali. Jangka waktu penelitian ini dilakukan selama
1 (satu) tahun dari bulan Januari sampai bulan Desember 2014.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
426 HASIL DAN PEMBAHASAN
Media adalah sarana komunikasi untuk menyebarluaskan pesan melalui ruang dan waktu
untuk menjangkau banyak orang yang dikelompokkan ke dalam tatanan media massa atau biasa
disebut media. Promosi penjualan merupakan salah satu bentuk sistem komunikasi pemasaran di
samping iklan. Promosi penjualan terdiri atas berbagai kegiatan atau “alat” yang didesain untuk
merangsang pasar, agar meningkatkan pembelian produk yang dipromosikan.
Objek wisata Monkey Forest berada di Desa Padangtegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten
Gianyar, Propvinsi Bali, dikelola oleh Desa Padangtegal, yang diritualkan pada objek ini adalah
pura, kuburan, tempat permandian, kera dan hutan. Upacaranya berdasarkan filosofi agama Hindu
di Bali, dalam ajaran Tri Hita Karana adalah damai dan kemerdekaan menjadi satu dalam hidup,
apabila kita menghargai dan menjaga ketiga keharmonisan dan kebersamaan yang terdapat pada
ajaran Tri Hita Karana yaitu: Tuhan Yang Maha Esa memberkati hidup dan segala ciptaannya di
dunia ini, alam memberikan kehidupan, keharmonisan yang dibutuhkan dalam setiap aktivitas
mahluk hidup, dan mahluk hidup mempunyai peraturan yang ditetapkan sebagai dasar struktur
kehidupan tradisional. Membangun candi sebagai tempat melaksanakan ibadah, upacara adat
keagamaan, serta sebagai tempat bermusyawarah dan menyelesaikan masalah bersama-sama. Bagi
umat Hindu di Bali harmonisasi terhadap alam dilakukan dengan upacara ritual yang disebut
dengan Tumpek Kandang dan Tumpek Uduh. Tumpek Kandang jatuh setiap hari Sabtu Kliwon
wuku Uye, adalah upacara utuk segala jenis hewan piaraan dalam hal ini ditujukan kepada kerakera yang ada di hutan Maonkey Forest. Sementara Tumpek Uduh jatuh setiap hari Sabtu Kliwon
wuku Wariga upacara difokuskan untuk tumbuh-tumbuhan yang ada di sana. Pada hari-hari
tersebut masyarakat setempat membuat sesaji istimewa untuk hutan dan kepada semua binatang.
Fungsinya dipeluas yang tadinya dipakai atau disajikan untuk upacara ritual keagamaan
(sembahyang) yang tertutup untuk umum, namun saat ini dikomodifikasi melalui berbagai media
promosi.
Makna dari objek wisata ini bagi masyarakat sekitar merupakan situs hutan suci yang
sakral dan dikeramatkan sebagai tempat upacara ritual yang tadinya disakralkan kemudian
dikomodifikasi. Sejak dibukanya objek wisata Monkey Forest sebagai tempat pariwisata, mampu
menopang kehidupan ekonomi masyarakatnya. Dulu masyarakat Padangtegal mata pencahariannya
adalah bercocok tanam (petani) dan dalam karya seni yang dihasilkan hanya dimanfaatkan untuk
mendukung aktifitas atau kegiatan ritual keagamaan, seperti tarian kecak dan dance dalam cerita
epos Ramayana yang ditarikan pada saat ritual saja. Dengan meningkatnya wisatawan yang
berkunjung ke Bali, khususnya ke Padangtegal-Ubud-Gianyar-Bali telah mengubah objek-objek di
Monkey Forest untuk dijadikan komoditas dengan memodifikasi kesakralan tempat dan ritual
menjadi sesuatu yang profan, kemudian dikemas untuk dapat dipertunjukkan secara umum, yang
tentunya tidak melanggar aturan atau norma-norma yang berlaku di daerah tersebut.
Jenis Media-Media Promosi Objek Wisata Monkey Forest
Media Brosur
Media promosi yang dipakai pada objek wisata Monkey Forest berupa brosur yang
menampilkan ilustrasi monyet, pura, hutan dan lain-lain dengan teks yang menjelaskan secara rinci
keindahan dan daya tarik di tempat tersebut. Tipografinya memakai huruf grotesque sans serif, dan
warna hijau yang digunakan sangat dominan pada media brosur, yang mewakili keasrian dari hutan
tersebut. Fungsi dan manfaat dari media brosur sangat efektif dan komunikatif dalam
menginformasikan objek wisata Monkey Forest-Ubu-Gianyar-Bali.
Gambar 1. Media Brosur Tampak Depan dan Tampak Belakang Sumber : Dokumen Penulis, 2014
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
427 Analisis Desain Komunikasi Visual
Desain Komunikasi Visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan
ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam berbagai media komunikasi visual dengan
mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf atau tipografi, warna,
komposisi, dan layout (Tinarbuko, 2009: 24). Unsur Verbal yang terdiri dari “Selamat Datang
Mandala Suci Wenara Wana (The Sacred Monkey Forest Sanctuary) Padangtegal Ubud Bali”
menggunakan jenis huruf grotesque sans serif, dengan memakai warna putih yaitu sans serif yang
muncul sebelum abad ke-20 masuk dalam golongan grotesque (Rustam, 2010: 49). Unsur visual
yang ditampilkan pada lipatan depan adalah ilustrasi dengan teknik fotografi yaitu berupa wajah
kera yang dijadikan ilustrasi merupakan karya dua dimensional dengan bahan art paper dan cat
yang berukuran panjang 42 cm x 12 cm.
Visualisasinya menggambarkan ilustrasi wajah kera yang melihat ke atas, kera yang duduk,
serta beberapa anak kera yang sedang menikmati makanan, menampilkan pura, meru, dan hutan.
Background yang ditampilkan pada media brosur ini menampilkan suasana hutan dengan warna
hijau, pura dan kera-kera sesuai warna aslinya. Dilihat dari prinsip-prinsip desain media brosur ini
menggunakan keseimbangan asimetris, keserasian kurang dibentuk dari kesatupaduan unsur warna.
Dari segi proporsi terlihat dari unsur visual yang lebih mendominasi dibandingkan unsur verbal.
Skala pada media brosur ini terlihat kurang seimbang terutama perbandingan antara tipografi
dengan ilustrasi. Kesan irama juga kurang terbentuk dari besar kecil huruf yang semua hampir
sama, sehingga kurang memiliki dominasi baik dari pusat perhatian (centre of interest), titik pusat
(focal point), ataupun penarik pandang (eye catcher). Dari segi warna didominasi warna hijau,
putih, menggunakan layout informal balance. Tipografi yang digunakan yaitu jenis huruf grotesque
sans serif yang muncul sebelum abad ke-20 masuk dalam golongan grotesque yang artinya
lucu/aneh. Komposisi yang diterapkan asimetris dengan gaya desain surealis. Warna yang lebih
dominan ditampilkan adalah warna hijau, putih, dan hitam.
Analisis Semiotika Brosur
Ikon wajah kera, hutan, pura, denah lokasi serta logo, indeks pandangan mata kera, dengan
ekspresi wajah memandang ke atas, simbol kera, hutan, meru, dan pura. Makna “Selamat Datang
Mandala Suci Wenara Wana (The Sacred Monkey Forest Sanctuary) Padangtegal Ubud Bali”.
Tanda ikon dan indeks pada media promosi ini dijadikan sebagai simbol identitas dari objek wisata
Monkey Forest dan sebagai citra budaya tradisi bagi para pengunjung. Media brosur sebagai media
informasi atau penyampaian pesan yang memiliki berbagai fungsi menggugah kesadaran,
membentuk citra maupun menumbuhkan minat pada pemirsanya atau masyarakat yang melihatnya,
dibuat berdasarkan kombinasi antara teks (verbal) dan gambar (visual). Media brosur pada objek
wisata Monkey Forest-Ubud-Gianyar-Bali ini dibuat di atas kertas dengan teknik cetak offset, gaya
desain surealis. Komposisi yang dihadirkan menampilkan gambar visual pada bidang sebelah kiri
dan dilengkapi dengan tulisan (verbal) pada bagian kanan bidang gambar (visual).
Media brosur objek wisata Monkey Forest-Ubud-Gianyar-Bali, menampilkan wajah kera
dimana kera-kera yang hidup di dalam tempat yang aman dan damai ini dinamakan kera Bali, yang
juga dikenal dengan nama kera ekor panjang, nama ilmiahnya adalah macaca fascicularis. Hutan
adalah tempat tinggal kera, sangat penting untuk memperlakukan kera dengan baik. Berdasarkan
analisa dari Pura Purana (buku suci terbuat dari lontar yang merupakan barang bersejarah dari pura
setempat). Pura kera suci ini dibangun sekitar pertengahan abad ke-11, saat itu kerajaan dikuasai
oleh dinasti Pejeng, sekitar awal dinasti Gelgel. Maka media brosur objek wisata Monkey ForestUbud-Gianyar-Bali dari tampilan visual secara keseluruhan sudah sesuai konsep yaitu Tri Hita
Karana yang berarti tiga penyebab kebahagiaan. Masyarakat Bali masih konsisten menjalankan
tata aturan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Sebagai pemeluk agama Hindu, masyarakat
Bali memiliki pandangan bahwa kehidupan ini akan berjalan harmonis didasarkan atas
keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan manusia, dan
antara manusia dengan alamnya (Wiana, 2004: 124). Dengan azas berbakti kepada Tuhan Hyang
Maha Esa menumbuhkan loyalitas untuk mengabdi. Sesuai dengan keyakinan masyarakat Bali,
bahwa rasa bakti itu diwujudkan dalam bentuk yadnya yang ditujukan kepada Tuhan/ Hyang Widhi
Wasa. Simbol yadnya ini bisa dilihat dari berbagai sesajen yang dibuat seperti canang sari ,
kwangen, gebogan (susunan berbagai macam buah dan janur/daun kelapa yang dibentuk) yang
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
428 dihaturkan sebagai rasa syukur dan bakti kehadapan Tuhan. Tidak hanya itu, dalam setiap upacara
keagamaan, selalu dihadirkan kegiatan kesenian seperti seni tabuh, seni tari dan seni karawitan
sebagai bagian dari yadnya.
Pelaksanaan azas kebersamaan dengan sesama manusia mendorong manusia untuk
berorientasi kepada sesamanya untuk saling menghormati, dan menjaga hubungan baik dengan
semua umat manusia. Manusia adalah mahluk sosial yang religius, tidak akan bisa hidup
menyendiri, melainkan saling memerlukan bantuan sesamanya yang disebut tat twam asi (dia
adalah engkau). Hal ini yang menjadi landasan tata kehidupan didalam menuju harmonisasi yang
dilakukan oleh masyarakat Bali, untuk menyikapi pergaulan antar umat manusia, baik secara
individu maupun secara berkelompok. Kemudian peghormatan terhadap alam, orang Bali
menerapkannya dengan tidak menebang pohon/kayu sembarangan. Salah satu contoh, saat
memotong pohon bambu tidak boleh hari sembarangan, tapi harus sesuai dengan hari baik. Pada
hari tumpek wariga, orang Bali menghaturkan sesajen pada setiap tumbuhan sebagai rasa
syukurnya yang telah memberikan kesejukan dan sangat bermanfaat dalam kehidupan.
Konsep ini merupakan filsafat Tri Hita Karana tersebut, artinya dalam kehidupan ini
manusia tidak hidup sendiri, melainkan dikelilingi oleh komunitinya yang disebut dengan sistem
makrokosmos, dimana manusia merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsur kecil saja yang ikut
terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar. Jadi media brosur yang dibuat oleh
Desa Padangtegal untuk mempromosikan objek wisata Monkey Forest sudah memenuhi konsep Tri
Hita Karana dalam wujud visualnya yakni warna hijau melambangkan perenungan, kepercayaan
(agama), dan keabadian, kesegaran, petumbuhan, dan kesuburan yang telah ditampilkan pada hutan
yag tumbuh dengan subur sebagai implementasi aspek palemahan.
Media T-shirt
Media T-shirt atau kaos oblong adalah busana yang bentuknya menyerupai hurup T, leher
bulat tidak berkerah dan berlengan pendek, yang terbuat dari kain tipis yang agak jarang-jarang
tenunannya, serta terbuat dari bahan katun ataupun katun dicampur rayon atau nilon, dengan
berbagai ukuran S (Small), M (Medium) L (Large), dan XL (Extra Large), yang bisa dipakai oleh
siapa saja. Fungsi t-shirt secara umum tidak hanya digunakan sebagai baju dalam, akan tetapi telah
dikembangkan menjadi trend pakaian santai yang memiliki kelebihan-kelebihan khususnya bagi
kaum muda disamping difungsikan sebagai pakaian olah raga. T-shirt, disamping sebagai benda
souvenir dan cindera mata baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara, juga dapat
berfungsi sebagai media komunikasi visual.
Gambar 2. Desain T-Shirt Tampak Depan dan Belakang. Sumber : Dokumen Penulis, 2014
Analisis Unsur Desain Komunikasi Visual
Unsur verbal “save the forest” menggunakan jenis huruf script dan cursive bentuknya
didesain menyerupai tulisan tangan, ada yang seperti goresan kuas atau pena kaligrafi. Kalau script
huruf-huruf kecilnya saling menyambung, sedangkan cursive tidak. Script maupun curcive didesain
untuk digunakan dalam teks yang memadukan huruf besar-kecil, bukan huruf besar semua,
(Rustam, 2010: 50), dengan warna merah, putih, coklat, hijau dan kuning. Tipografi Mandala
Wisata Wenara Wana (Sacred Monkey Forest Sanctuary) Padangtegal - Ubud - Bali”,
menggunakan jenis huruf grotesque sans serif yaitu sans serif yang muncul sebelum abad ke-20
masuk dalam golongan grotesque, dengan memakai warna hitam. Sedangkan pada desain belakang
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
429 t-shirt berisi teks save the planet, www.monkeyforestubud.com, menggunakan jenis huruf script
dan cursive bentuknya didesain menyerupai tulisan tangan, ada yang seperti goresan kuas atau pena
kaligrafi dengan warna hijau. Unsur visual menggunakan keseimbangan simetris yang tujuh puluh
persen dipenuhi ilustrasi, dengan menghadirkan ilustrasi 4 kera dan warna abu-abu, ilustrasi
rumput hijau, dan buah pisang warna kuning. Keseimbangan dari t-shirt ini adalah asimetris dengan
gaya desain surealis. Dari segi proporsi terlihat pada perbandingan besar gambar dengan tipografi
yang berada di bawah member kesan kurang seimbang. Lebih dominan warna yang dipakai abuabu, hijau, coklat, putih, dan hitam, menggunakan Quadran layout.
Analisis Semiotika T-shirt
Ikon pada media t-shirt ini adalah beberapa ekor kera, rumput, dan buah pisang, indeksnya
pandangan kera yang saling bertatapan, simbolnya kera, rumput, dan pisang. Tanda ikon dan
indeks pada media promosi ini dijadikan sebagai simbol identitas dari objek wisata monkey forest
dan sebagai citra budaya tradisi bagi para pengunjung. Dalam media t-shirt ini menampilkan
beberapa kera-kera yang hidup di dalam tempat yang aman dan damai yang dinamakan kera Bali,
juga dikenal dengan nama kera ekor panjang. Ilustrasinya juga berupa rumput hijau yang tumbuh di
dalam hutan, dan buah pisang yang merupakan makanan dari kera, yang melambangkan mahluk
hidup dan alamnya saling memberikan kehidupan, keharmonisan yang dibutuhkan dalam setiap
aktivitas mahluk hidup. Makna dari media t-shirt pada objek wisata Monkey Forest, Ubud,
Gianyar, Bali, ini sesuai dengan konsepnya yaitu keseimbangan antara hubungan mahluk hidup
dengan alamnya seperti pohon, tumbuhan, binatang serta struktur lain diperlakukan dengan baik
saling melindungi, menghargai, dan menghormati kehidupan di dalamnya. Kawasan Monkey
Forest yang merupakan tempat suci memiliki keindahan dan keajaiban, karena kera merupakan
hewan yang penting dalam kebudayaan masyarakat Bali.
Media Tiket
Tiket merupakan suatu alat/media yang digunakan oleh perusahaan tertentu sebagai
pengganti uang langsung. Tiket biasanya berupa kertas yang di dalamnya terdapat item-item
tertentu yang menunjukkan suatu nilai. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud
dengan tiket adalah sesuatu yang dianggap sebagai alat pembayaran yang digunakan oleh suatu alat
transportasi yang ada. Media tiket objek wisata Monkey Forest menggunakan jenis huruf grotesque
sans serif yaitu sans serif yang muncul sebelum abad ke-20 masuk dalam golongan grotesque
dengan warna kuning, putih dan hitam. Ilustrasi yang ditampilkan wajah kera, candi, lingkungan
hutan, dan air pancuran yang suci.
Gambar 3. Desain Tiket Dewasa dan Anak-anak Sumber : Dokumen Penulis, 2014
Gambar 4. Desain Tiket Tampak Belakang. Sumber : Dokumen Penulis, 2014
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
430 Analisis Desain Komunikasi Visual
Unsur verbal pada headline “Mandala Suci Wenara Wana” menggunakan jenis huruf
grotesque sans serif yaitu sans serif yang muncul sebelum abad ke-20 masuk dalam golongan
grotesque (Rustam, 2010: 49), dengan menggunakan warna kuning, sub-headline teks “Sacred
Monkey Forest Sanctuary Padangtegal - Ubud – Bali, Phone: +62-361-971304, 972774 Email :
[email protected] Website : www.monkeyforestubud.com”, Body copy Padangtegal Clean &
Green warna kuning, Opening Hours : daily 8.30 am -6 pm menggunakan warna putih, ilustrasi yang
ditampilkan dengan teknik fotografi yaitu berupa foto wajah kera, candi, permandian suci, dari
unsur garis terlihat dari rangkaian tipografi membentuk garis-garis lurus horizontal. Tipografi
menggunakan bentuk huruf grotesque sans serif, besar huruf yang digunakan bervariasi seperti
pada teks. Unsur bentuk pada media tiket ini, menggunakan bentuk-bentuk simetris berupa bentukbentuk persegi. Dari segi tekstur, media tiket ini menggunakan tekstur kasar semu. Unsur ruang
pada media tiket ini, berupa kesan ruang kedalaman dengan penggambaran gelap terang warna.
Dilihat dari prinsip-prinsip desain, komposisi pada tiket ini menggunakan keseimbangan simetris,
dan keserasian dibentuk dari kesatu paduan unsur warna. Dari segi proporsi terlihat dari unsur
visual yang lebih mendominasi dari pada unsur verbal. Skala pada media tiket ini terlihat
perbandingan kurang seimbang antara tipografi dan ilustrasi, dan kesan irama kurang terbentuk dari
besar kecil huruf. Segi warna didominasi warna hijau, kuning, putih, dan hitam, serta menggunakan
layout Multi Panel layout. Media tiket ini dalam tampilannya hanya mengutamakan foto-foto
kepala kera, candi, tempat permandian suci yang terkesan ramai namun tidak memperhatikan
elemen-elemen lain seperti tipografi, warna, layout maupun komposisi, sehingga belum tampak
unsur-unsur kesederhanaan (simplicity), kesatuan (unity), kejutan (surprise) antara elemen-elemen
visual dan verbal.
Analisis Semiotika Tiket
Tanda ikon dan indeks pada media promosi ini dijadikan sebagai simbol identitas dari
objek wisata monkey forest dan sebagai citra budaya tradisi bagi para pengunjung. Kehadiran logo
dan teks dari Mandala Suci Wenara Wana yang berbentuk huruf T terbalik yang merupakan tanda
dari hutan monyet yang berarti sangat penting untuk memperlakukan kera suci dengan baik dimana
hutan adalah tempat tinggal mereka. Makna pada media tiket memiliki makna yang merupakan
rangkaian huruf yang memiliki pesan bahwa dengan Mandala Suci Wenara Wana yang artinya
hutan suci kera yang dilindungi sarat nilai dan kaya makna, ini sudah sesuai dari konsep ajaran
agama Hindu yaitu Tri Hita Karana, keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan,
antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alamnya. Dalam penerapannya sudah
dapat dilihat dari pengertian teksnya, ilustrasi, warna serta dalam layout-nya sudah sesuai dari
konsep. Dan juga merupakan sebuah informasi bagi masyarakat lokal, domestik, maupun
mancanegara untuk bisa berkunjung atau dapat menyaksikan seni dan budaya pada acara atau
moment tertentu, dimana pada pemukiman penduduk masih ada hutan suci dan kera ekor panjang.
SIMPULAN
Setiap tanda yang dihadirkan dalam Media Promosi Objek Wisata Monkey Forest Ubud
Gianyar Bali memiliki makna konotasinya yang mempresentasikan Monkey Forest, dan setiap
tanda memberikan citra khas terhadap seni dan kebudayaan Bali, serta hadirnya media-media
promosi objek wisata monkey forest ini, bisa dikonotasikan sebagai penggalian kreativitas, dan
pelestarian terhadap hutan dan monyet. Objek wisata Monkey Forest yang unik dan menarik yang
syarat dengan konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan) yaitu masyarakat Bali masih
konsisten menjalankan tata aturan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Sebagai pemeluk agama
Hindu, masyarakat Bali memiliki pandangan bahwa kehidupan ini akan berjalan harmonis
didasarkan atas keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan yaitu Tuhan Yang Maha
Esa memberkati hidup dan segala ciptaan-Nya di dunia ini, antara manusia dengan manusia yaitu
mahluk hidup mempunyai peraturan yang ditetapkan sebagai dasar struktur kehidupan tradisional.
Membangun candi sebagai tempat melaksanakan ibadah, upacara adat keagamaan, serta sebagai
tempat bermusyawarah dan menyelesaikan masalah bersama-sama, dan antara manusia dengan
alamnya yaitu alam memberikan kehidupan, keharmonisan yang dibutuhkan dalam setiap aktivitas
mahluk hidup.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
431 Tanda Visual media promosi objek wisata Monkey Forest memiliki makna konotasi yaitu:
masyarakat Bali memiliki hutan dengan kera sucinya. Pemaknaan-pemaknaan yang muncul dari
tanda-tanda yang dihadirkan dalam objek wisata Monkey Forest memberikan gambaran di dalam
pemukiman masih terdapat hutan dan kera suci yang dikelola oleh Desa Padangtegal. Dalam kaitan
ini Desa Padangtegal bertujuan dalam upaya memfungsionalisasikan objek wisata Monkey Forest
sebagai promosi pariwisata dalam meningkatkan pendapatan ekonomi, menggali kreativitas, serta
menjaga kelestarian hutan dan kera-kera Bali yang menjadi komponen penting dalam spiritual dan
kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Picard, Michel. (2006), Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia).
Piliang, Yasraf Amir (2009) Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika
Yogyakarta:Jalasutra.
______(2003). Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta:Jalasutra.
Rustam, Surianto. (2009) Layout Dasar & Penerapan. Jakarta:Gramedia.
Tinarbuko, Sumbo (2009) Semiotika Komunikasi Visual (edisi revisi). Yogyakarta:Jalasutra
Wiana, I Ketut. (2007), Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita.
MODIFIKASI BENTUK DAN ORNAMEN PENJOR
DI DESA KAPAL DI KABUPATEN BADUNG BALI
I Nyoman Laba, I Made Bayu Pramana
Program Studi Kriya Seni dan Program Studi Fotografi, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
Abstrak
Penjor merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan upacara keagamaan di Bali,
dimana penjor merupakan lambang dari wujud rasa terima kasih manusia kehadapan-Nya. Dalam
perkembangan selanjutnya penjor banyak digunakan sebagai hiasan untuk lomba, pesta seni atau
perayaan hari besar lainnya. Berbagai bentuk penjor telah banyak dijumpai dan telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal itu tidak terlepas dari perkembangan era globalisasi yang
membawa dampak signifikan bagi alam pikiran manusia Bali dalam menghaturkan persembahan
kehadapan-Nya. Penelitian yang dilakukan menggunakan penelitian kualitatif, dan permasalahan
yang diangkat adalah bagaimana terjadinya modifikasi penjor di Desa Kapal serta apa dampak
yang ditimbulkan dari adanya modifikasi.
Dari hasil penelitian diketahui, bahwa penjor sebagai salah satu bentuk artefak budaya
tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara, namun penjor kini juga dipakai sebagai
sebuah simbol representasi seseorang dalam struktur masyarakat Hindu di Bali. Orang yang
memiliki status ekonomi yang tinggi cenderung membuat penjor sangat megah dan mewah serta
hiasannya siap pasang dan mudah di beli. Hal ini membawa dampak positif bagi para perajin penjor
di Desa Kapal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi imformasi positif bagi masyarakat
Bali tentang perkembangan Seni Budaya Bali dan posisi penjor dalam ritus budaya Bali sehingga
pembuatan penjor tidak menyimpang dari tujuan pokoknya.
Kata Kunci: Penjor, Modifikasi, Gaya Hidup
Abstract
Penjor is an unseparated part of religion activities in Bali where penjor has an emblem of
thanksgiving of human to the supreme God. In a further development, penjor is used a lot as
decoration for competitions, art’s parties or other big evens. Many penjor shapes has been seen
and has significant development. This development is because of globalization movement that has
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
432 crucial effect for human thinking of Balinese people when making an offering to God. Research
had done is used qualitative method and how penjor modification happen in Kapal village and its
effect as a problem of this research.
From the research’s result is known that penjor as one of cultural artifact is not only has
function as complement of ceremony but nowadays penjor has been used also as representation
symbol of someone in Balinese Hindu community structural in Bali. A person who has wealthy
economy status mostly makes very stately and elegant penjor with ready for installation and easy to
buy penjor’s garnish. This situation gives a positive impact for penjor craftsperson in Kapal
Village. The research’s result is hoped that giving positive information for Balinese society about
Balinese culture development and penjor position on Balinese Cultural rite so when making the
penjor. It is not out of its main purpose.
Key words: Penjor, Modification, Life Style.
PENDAHULUAN
Penjor merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan upacara keagamaan di Bali,
seperti upacara galungan dan kuningan serta piodalan di pura-pura, dimana penjor merupakan
lambang dari wujud rasa terima kasih manusia kehadapan-Nya. Dalam perkembangan selanjutnya
penjor juga banyak digunakan sebagai hiasan untuk lomba, pesta seni atau perayaan hari besar
lainnya. Berbagai bentuk penjor telah banyak dijumpai dan telah mengalami perkembangan yang
sangat pesat dengan selera seni yang tinggi. Masyarakat dengan ekonomi kelas atas cenderung akan
membuat penjor yang besar dan terkesan mewah. Widiastuti (2013) memberikan pandangannya
bahwa perkembangan penjor di era masyarakat pasca modern dan pasca industri cenderung
mengarah pada ajang kontestasi. Penjor sebagai sarana upacara agama Hindu kini telah mengalami
pergeseran, yakni menunjukkan kemewahan, bahkan hiperpakem. Bentuk-bentuk penjor yang
mewah dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni hiperpakem polos, hiperpakem dengan simbol
binatang mitologi, dan hiperpakem dengan simbol dewa-dewi. Penjor-penjor hiperpakem ini lebih
difungsikan sebagai pemuasan hasrat gaya hidup manusia. Tumbuh suburnya penjor-penjor
hiperpakem ini merupakan jawaban atas kebutuhan hasrat gaya hidup manusia Bali yang semakin
tinggi, yang terbingkai dalam menghaturkan persembahan kehadapan Tuhan.
Adian (2005; 65-78) dalam pemikiran postmodernnya tentang gaya hidup, mengkondisikan
bahwa postmodernisme adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi
dan reproduksi informasi, dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan yaitu
masyarakat. Adalah masyarakat konsumen yang bekerja tidak lagi demi memenuhi kebutuhan
pokoknya, melainkan demi memenuhi hasrat gaya hidupnya. Hal ini sejalan dengan pemikiran
Pilliang (2004 ) yang banyak memberi kita pandangan betapa manusia kini hidup dalam kesemuan
yang bertujuan hanya untuk memenuhi hasratnya, sehingga manusia akan terseret pada ideologi
pasar dan konsumerisme yang menggila. Dengan demikian ketika konsumerisme masyarakat
terhadap hiasan penjor terus meningkat, maka produsen (kapitalis) akan terus berkreativitas dan
memodifikasi untuk menghasilkan bentuk dan ornamen penjor yang dapat diterima oleh
masyarakat luas sebagai pemenuhan hasrat gaya hidupnya dan pengukuhan status sosial yang
disandangnya.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sejauh mana perkembangan
kerajinan hiasan penjor di Desa Kapal yang telah mengalami modifikasi serta dampak yang
ditimbulkan dari adanya modifikasi penjor. Dari hasil penelitian diketahui, bahwa penjor sebagai
salah satu bentuk artefak budaya tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara, namun
penjor kini juga dipakai sebagai sebuah simbol representasi seseorang dalam struktur masyarakat
Hindu di Bali. Orang yang memiliki status ekonomi yang tinggi cenderung membuat penjor sangat
megah dan mewah serta menghabiskan biaya yang tidak sedikit, dimana sebagian besar hiasannya
siap pasang dan bisa dibeli di sentra pembuatan penjor. Tumbuh kembangnya penjor tidak terlepas
dari kemampuan para pengerajin yang terampil memodifikasi penjor dan menjadi peluang bisnis
bagi para kapitalis di bidang industri budaya yang mampu mengambil peluang atas penomena
masyarakat yang menjungjung tinggi agama pasar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
informasi positif bagi masyarakat Bali tentang perkembangan Seni Budaya Bali dan posisi penjor
dalam ritus budaya Bali sehingga pembuatan penjor tidak menyimpang dari tujuan pokoknya.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
433 METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan teknik pendekatan kualitatif yang diarahkan pada kondisi asli
objek penelitian. Objek penelitian tidak ditentukan dengan teknik pemilihan sampling (cuplikan)
yang bersifat acak (random sampling), tetapi lebih bersifat purposive sampling. Hal ini dilakukan,
karena teknik ini lebih mampu menangkap realitas yang tidak tunggal dengan sangat
memperhatikan kondisi lokal dengan kekhususan ideografis atau nilai-nilainya (Sutopo, 1996: 37).
Alokasi waktu penelitian dipilih bulan Mei 2014 bertepatan dengan perayaan hari besar umat
Hindu Bali yaitu hari raya Galungan dan Kuningan, sehingga data yang diperoleh di lapangan lebih
valid. Objek penelitian ini adalah bentuk-bentuk penjor yang telah mengalami modifikasi baik
bentuk maupun ornamennya serta para perajin hiasan penjor di Desa Kapal, Mengwi, Badung Bali
Dalam penelitian ini pengumpulan data akan dilakukan secara observasi, wawancara dan
studi pustaka. Data yang diperoleh berupa data primer dan skunder akan dianalisis, sehingga hasil
data yang diperoleh dari lapangan merupakan pedoman atau konsep dasar dalam penelitian ini.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Data yang telah terkumpul
dipilih terlebih dahulu, kemudian dibandingkan untuk mencari kemiripan, selanjutnya dikaitkan
dengan fenomena yang ada.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Hiasan Penjor di Desa Kapal
Penjor adalah salah satu sarana upakara dalam merayakan Hari Raya Galungan dan
Kuningan, dan merupakan simbul Gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Bagi
masyarakat Bali yang beragama Hindu, menjadi suatu kewajiban untuk mendirikan penjor baik di
pintu gerbang (angkul-angkul) rumahnya (Sudiana, 2014). Berbagai bentuk penjor telah banyak
dijumpai dan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat baik bentuk maupun struktur
penjor tersebut. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan era globalisasi yang membawa dampak
signifikan bagi alam pikiran manusia Bali dalam menghaturkan persembahan kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Saat ini penjor telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
keagamaan di Bali baik upacara Rsi Yadnya maupun Manusia Yadnya. Begitu pesatnya
perkembangan bentuk penjor tersebut membuka peluang bisnis bagi sebagian masyarakat Bali
terutama di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
Berbagai sarana penjor yang dihasilkan di Desa Kapal sudah sangat dikenal oleh
masyarakat Bali. Terlebih lagi bagi masyarakat Bali dengan penghasilan ekonomi menengah ke
atas yang notabene ingin membuat segala sesuatunya dengan mudah dan cepat, cenderung akan
membuat penjor yang megah dan mengarah pada kesan kemewahan, dimana sebagian besar
asessorisnya siap pasang dan mudah dibeli. Mereka tidak akan merasa segan untuk mengeluarkan
biaya yang tidak sedikit “jor-joran” demi sebuah pengakuan dan sebagai sebuah simbol
representasi seseorang dalam struktur masyarakat Hindu di Bali. Penjor sebagai salah satu bentuk
artefak budaya tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara, namun penjor kini juga
dipakai sebagai sebuah simbol representasi seseorang dalam struktur masyarakat Hindu di Bali.
Perkembangan ekonomi masyarakat Bali yang terus meningkat membuat produk hiasan
penjor ikut mengalami perkembangan. Hal itu terlihat dari berbagai bentuk varian ornamen penjor
yang kreatif dan inovatif, dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit dan mewah. Hal itu
tidak terlepas dari kemampuan para pengerajin yang sangat terampil memodifikasi berbagai bentuk
sarana penjor tersebut sesuai dengan tuntutan pasar dengan kemasan yang sangat menarik. Pasar
sebagai penentu sebuah produk diterima atau tidak senantiasa mengalami perubahan yang
diakibatkan oleh gaya hidup. Gaya hidup yang pada akhirnya menjadi sebuah identitas seseorang
(Aldin, 2009), mengakibatkan perubahan terhadap produk-produk yang dihasilkan, termasuk pada
berbagai bentuk hiasan dan model penjor yang diproduksi dan dijual oleh masyarakat yang ada di
Desa Kapal. Perubahan yang terjadi diantaranya perubahan bentuk hingga perubahan bahan baku.
Kondisi tersebut sejalan dengan pemikiran SP. Gustami (Berata, 2009: 29) yang
mengatakan bahwa sebuah perkembangan tidak terlepas dari adanya perubahan. Perubahan dapat
berarti bergerak dari satu titik ke titik lainnya, bergerak dan mengalir dengan arus yang semakin
meningkat. Perubahan bukan sekedar berubah, tetapi perubahan haruslah memberi berbagai
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
434 peningkatan dari berbagai aspek. Seperti halnya perubahan bentuk dan ornamen penjor yang
berkembang di Desa Kapal, Mengwi, badung Bali. Perubahan tersebut tidak terlepas dari
terampilnya para pengerajin memodifikasi berbagai bentuk hiasan penjor, sehingga permintaan
akan sarana penjor terus mengalami peningkatan sesuai tuntutan pasar.
Agus Eka salah seorang pemilik toko Dharma Yadnya di Pasar Desa Kapal.
mengungkapkan bahwa, perkembangan hiasan penjor saat ini terus meningkat dan berubah tiap 6
(enam) bulan sekali atau setiap menjelang perayaan hari raya Galungan. Hal ini dikarenakan
permintaan akan kreasi baru dari para pembeli menuntutnya selalu kreatif dalam menciptakan
hiasan penjor walaupun bentuk polanya sama. Secara umum pola dasar yang dijadikan acuan dalam
membuat hiasan penjor adalah Karang Waluh. Bentuk-bentuk janur tersebut banyak terinspirasi
dari alam sekitar dan kekarangan serta pepatraan khas Bali, seperti bentuk tunjung, bentuk kelopak,
bentuk kotak, segi delapan, bentuk burung, karang manuk, bentuk canang sari dan bentuk sanggah
(merajan). Ornamen dan reringgitan yang diterapkan pada hiasan janur banyak memakai motif
mas-masan yang telah distilir lebih sederhana dan juga menerapkan motif patra samblung dan
motif kuta mesir (wawancara, 12 Mei 2014).
Gambar: 1, 2, 3, 4 Bentuk sampyan Gempong penjor yang telah mengalami modifikasi, terinspirasi dari
bentuk burung, kotak, kelopak, tunjung dan mengambil motif karang Manuk.
Dengan semakin banyaknya permintaan yang datang membuat kreativitas para pengerajin
terus meningkat untuk menciptakan kreasi baru guna menarik setiap pembeli agar kerajinan yang
dihasilkan selalu diminati. Desain Penjor pun beragam, mulai dari yang bergaya tradisional
(standar) hingga yang lebih modern (kreasi baru). Mulai dari desain yang sederhana seharga
ratusan ribu, hingga desain yang sophisticated dengan harga jutaan rupiah. Hal inilah yang menjadi
pendorong utama perkembangan bentuk-bentuk hiasan penjor yang terus tumbuh di Desa Kapal
sesuai perkembangan jaman dan permintaan konsumen. Budaya konsumerisme yang menjadi trend
di kalangan masyarakat saat ini membawa dampak yang positif tidak saja peningkatan pendapatan
para kapitalis tetapi juga bagi perkembangan seni penjor di Bali.
Perubahan Bentuk dan Ornamen Penjor
Perkembangan bentuk dan ornamen penjor di Desa Kapal menghasilkan perubahan hiasan
yang beraneka ragam. Perubahan bentuk dan ornamen penjor tersebut dengan mudah dijumpai di
berbagai daerah di Bali utamanya di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Dari segi bentuk,
penjor telah mengalami berbagai perubahan baik struktur, isian penjor maupun ornamen
pendukungnya. Jaman dulu penjor seluruhnya dibuat dengan sederhana. Perubahannya kini, bentuk
penjor telah mengalami perubahan yang sangat pesat. Dari segi struktur penjor tidak banyak yang
berubah karena memang secara umum penjor terbagi menjadi 3 yaitu bagian pangkal, tengah dan
atas, namun dari segi isian penjor dapat terlihat jelas perubahannya terutama penggunaan Pala
Bungkah dan Pala Gantung hampir tidak terlihat atau diisi hanya sekedarnya. Hal ini dilakukan
demi memenuhi hasrat estetika pemiliknya sehingga makna penjor sesungguhnya menjadi bias.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
435 Bangunan penjor umumnya dihias menggunakan bahan daun lontar, namun saat ini
penggunaan bahan-bahan lainnya seperti penggunaan bahan stayform menjadi mutlak dilakukan.
Penggunaan bahan stayform untuk bahan awal rangkaian janur dan untuk bahan pembuatan patung
dewa-dewi dan binatang mitologi Hindu yang peruntukannya hanya sebagai pelengkap hiasan
untuk memenuhi unsur keindahannya. Hal ini dikarenakan selera seni dan tarap hidup masyarakat
Bali terus meningkat sehingga perubahan-perubahan tersebut menjadi suatu kewajaran dan seolaholah menjadi tuntutan di kalangan masyarakat Bali. Terlebih lagi dengan budaya latah (ikut-ikutan)
dan budaya konsumerisme serta gaya hidup masyarakat Bali yang cenderung ingin memenuhi
hasrat dari pada kebutuhannya. Perubahan tersebut terlihat terutama dari kemewahan, kemegahan
dan kemeriahan asessoris penjor yang dipakai.
Gambar: 5 & 6 Bangunan penjor jaman dahulu yang masih sangat sederhana dengan isian yang masih
sangat lengkap. (Sumber: Foto Repro. Penulis
Gambar: 7, 8, 9
Bangunan penjor saat ini dengan variasi hiasan yang rumit dan terkesan
mewah, namun minim isian seperti Pala Bungkah dan Pala Gantung, sehingga
penjor terkesan sebagai penjor hiasan semata.
(sumber: Dokumen Penulis)
Bentuk dan Struktur Penjor
Penjor adalah salah satu sarana Upakara dalam merayakan Hari Raya Galungan, dan
merupakan simbul Gunung yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan, seperti halnya
Gunung Agung. Menurut Atmaja, dkk (2008:49), secara umum penjor memiliki dua jenis yaitu
penjor sakral dan penjor profan. Bentuk penjor sakral adalah penjor yang dibangun untuk upacara
keagamaan dan isiannya lengkap berupa pala bungkah dan pala gantung. Sedangkan penjor profan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
436 adalah penjor yang dibuat sifatnya sebagai dekorasi pada perayaan event-event tertentu dan boleh
dibuat tidak lengkap dalam artian hanya mengejar keindahan semata. Bahan baku penjor adalah
bambu yang ujungnya melengkung, kain putih, kelapa, janur dan ambu (daun enau muda), Daundaunan (daun endongan, daun beringin, dan daun plawa), pala bungkah (umbi-umbian), pala
gantung (mentimun), pala wija (biji-bijian seperti jagung dan padi-padian), jajan, tebu, dan uang
kepeng. Pada ujung penjor digantungkan sampyan penjor lengkap dengan porosan (sirih, kapur,
pinang) dan bunga.
Struktur penjor dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian pangkal, bagian tengah, dan
bagian atas. Bagian pangkal dihiasi dengan berbagai daun-daunan (janur, ambu) plawa, kelapa dan
dipasang sanggah penjor. Bagian tengah dihiasi tebu, pala bungkah, pala gantung dan dihiasi
bakang-bakang dari daun enau muda (ambu) atau janur. Dan pada bagian atas atau pada pucuk
bambuyang melengkung dipasang kober putih kuning. Dekat dengan kober digantung jajan gina
dan jajan uli. Terakhir pada ujung bambu digantung sampian penjor. Masing-masing bahan baku
tersebut merupakan simbol Ista Dewata menurut Teologi Hindu.
Selain bentuk-bentuk hiasan penjor seperti pada umumnya, bentuk-bentuk hiasan penjor
saat ini banyak mengambil bentuk-bentuk simbol binatang mitologi Hindu dan simbol dewa-dewi
dengan dicat warna-warni sehingga penjor terlihat lebih indah dan meriah. Bambu
penjor dibungkus dengan kertas aneka warna. Bahkan ada juga yang membungkus dengan kain
beludru. Dilengkapi lagi dengan padi serta berbagai jenis pala bungkah dan pala gantung serta
sampian penjor yang berukuran jumbo, penuh warna. Masyarakat banyak yang menyebut penjorpenjor tersebut dengan istilah paenjorin ( jor-joran) Hal ini juga dilakukan oleh I Ketut Yuliarta
salah seorang warga dari Desa Dalung (wawancara: 19 Mei 2014), menurutnya mengeluarkan
biaya yang banyak hingga jutaan rupiah dalam pembuatan penjor tidak menjadi soal baginya, yang
terpenting adalah mendapatkan kepuasan batin ketika melihat bangunan penjor yang didirikannya.
Dari fenomena tersebut, dapat diasumsikan bahwa selain mengejar kepuasan batiniah, penjor juga
dipakai sebagai pemenuhan hasrat gaya hidup sebuah simbol representasi seseorang dalam struktur
masyarakat Hindu di Bali.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Dalam penataan rumah tempat tinggal masyarakat Bali, satu pekarangan rumah bisa diisi
oleh dua atau lebih kepala keluarga. Oleh karena itu, pada hari raya galungan satu pekarangan
tersebut akan membuat hanya satu penjor Galungan. Seperti yang terjadi pada keluarga I Made
Padma Winata salah seorang warga Desa Dalung, Kuta Selatan (wawancara: 19 Mei 2014), satu
pekarangan rumahnya dimiliki oleh empat kepala keluarga. Oleh karenanya mereka hanya
membuat satu penjor Galungan. Mereka akan bergotong royong baik pendanaan maupun
pembuatan penjor tersebut. Dalam pembuatan penjor tersebut mereka aktif berinteraksi satu sama
lain. Dan dari situ terjalin suatu kerukunan antar keluarga sehingga masing-masing individu
melakukan kewajiban dan fungsinya dengan baik. Dengan adanya pembuatan penjor Galungan
tersebut, mereka melakukan interaksi sosial dan terjadi dalam kegiatan religius, sehingga hubungan
tersebut ada dalam suasana kekeluargaan, kesucian dan kedamaian.
Selain dampak sosial, dampak ekonomi yang ditimbulkan dari adanya modifikasi penjor di
Desa Kapal memberi dampak positif terutama para perajin penjor di Desa Kapal dan desa-desa
sekitarnya. Salah satunya adalah semakin meningkatnya tarap hidup para perajin penjor, penjual
hiasan penjor dan penjual bahan baku pembuatan penjor. Hal itu disebabkan dalam proses
pembuatan penjor banyak bahan yang harus didatangkan dari berbagai tempat. Dari kasus tersebut
tercermin bahwa pembuatan penjor tersebut, dalam proses pembuatan penjor hingga menjadi
bangunan penjor terdapat alur distribusi barang dan jasa, maka dari situ banyak pihak yang bisa
diuntungkan dan mendapat penghasilan lebih. Suatu siklus roda perekonomian yang tidak pernah
putus antara fungsi ekonomi dan fungsi religius yang selalu sejalan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Bali.
Makna Keindahan dan Pendakian Spiritual
Secara filosofis, penjor merupakan simbul Gunung yang memberikan keselamatan serta
kesejahteraan. Penjor juga merupakan simbul dari rasa terima kasih manusia atas kemakmuran
yang dilimpahkan Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa) (Atmaja, 2007). Selain pemaknaan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
437 filosofisnya, dewasa ini penjor telah mengalami pergeseran makna walaupun makna dasar dari
penjor tersebut masih dapat dibaca. Makna tersebut dapat dirasakan ketika melihat berbagai bentuk
dan ornamen penjor yang megah dan indah serta terkesan mewah yang berkembang di masyarakat
Bali. Hadirnya penjor-penjor yang megah dan mewah menunjukkan adanya perubahan budaya
gaya hidup masyarakat Bali. Awalnya pembuatan penjor murni untuk persembahan dan rasa syukur
manusia kehadapan Tuhan, namun kini penekanannya lebih pada pemenuhan hasrat semata. Hal ini
terjadi karena masyarakat Bali pada umumnya masih suka akan sanjungan dan kemewahan. Seperti
yang diungkapkan oleh Chaney (2009), bahwa jika seseorang mampu tampil bergaya maka dia
akan diakui keberadaannya. Bergaya mengikuti gaya hidup yang beredar di masyarakat tidak lepas
dari budaya ikut-ikutan. Penjor sebagai salah satu bentuk artefak budaya tidak lagi hanya berfungsi
sebagai pelengkap upacara, namun penjor kini juga dipakai sebagai sebuah simbol representasi
seseorang dalam struktur masyarakat Hindu di Bali. Orang yang memiliki status ekonomi yang
tinggi cenderung membuat penjor sangat megah dan mewah serta menghabiskan biaya yang tidak
sedikit untuk mengukuhkan status sosial yang disandangnya.
Keindahan yang terpancar dari bangunan penjor dapat terlihat secara kasat mata. Bentuk
lengkungan bambu menjuntai ke bawah yang dipakai sebagai bahan utama bangunan penjor
memancarkan keindahan. Keindahan itu terasa alami, yang didapatkan dari anugerah Tuhan. Alam
merupakan pengungkapan dari sang pencipta, sedangkan keindahan alam mencerminkan karya
kreatif dari Devine Artist (Seniman Sempurna). Keindahan alam adalah God’s Handiwork
(pekerjaan tangan Tuhan) yang diciptakan untuk kesenangan dan pendidikan makhluk-makhlukNya di dunia (Hunter Mead dalam Gie, 2004: 55)
Dari bentuk dan struktur penjor juga mengandung makna spiritual yang bisa dijadikan
pijakan atau penghayatan bagi masyarakat Bali. Dari bawah penjor dihias dengan sangat mewah,
kemudian makin ke atas semakin sederhana dan pada ujungnya digantung sampyan penjor. Bentuk
dan materi bahan penjor tersebut bisa ditafsirkan maknanya dalam pendakian spiritual. Semakin
tinggi tingkat religiusitas dan spiritualitas seseorang, semakin sederhanalah mereka dan keinginan
mereka pun semakin sederhana serta semakin tidak terikat akan kemewahan duniawi. Pada bagian
pangkal penjor di buat dengan hiasan yang sangat mewah. Hal ini merupakan simbul dari
kemewahan duniawi, yang tingkat spiritualitasnya masih rendah yang pada umumnya masih
menggandrungi kemewahan duniawi. Namun setelah melakukan pendakian spiritual semakin tinggi
akan semakin melepaskan keterikatan tersebut, sehingga pada akhirnya menyatu dengan Tuhan.
SIMPULAN
Perkembangan bentuk dan ornamen penjor di Desa Kapal menghasilkan bentuk dan ornamen
penjor yang beraneka ragam. Perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari selera seni
masyarakat Bali serta daya kreativitas para pengerajin dan kepekaan mereka akan peluang bisnis
dan daya kreasi yang dimilikinya. Perkembangan hiasan penjor telah mengalami perubahan yang
sangat pesat baik bentuk, ukuran, ornamen, isian, reringgitan maupun kerumitannya. Pola dasar
yang dijadikan acuan dalam membuat hiasan penjor adalah Karang Waluh. Bentuk-bentuk janur
tersebut banyak terinspirasi dari alam sekitar dan kekarangan serta pepatraan khas Bali sedangkan
ornamennya banyak memakai motif mas-masan yang telah distilir lebih sederhana dan juga motif
patra samblung dan motif kuta mesir. Struktur penjor dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian
pangkal, bagian tengah, dan bagian atas. Masing-masing bagian dihias dengan berbagai ornamen
yang indah dan terkesan mewah. Dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan dari adanya
modifikasi penjor sangat beragam. Salah satunya adalah semakin meningkatnya tarap hidup para
perajin dan penjual hiasan dan penjual bahan-bahan penjor tersebut. Dampak sosialnya adalah
terjalinnya suatu kerukunan antar keluarga sehingga masing-masing individu melakukan kewajiban
dan fungsinya dengan baik.
Makna keindahan penjor dapat dirasakan ketika melihat berbagai bentuk dan ornamen penjor
di masyarakat. Penjor sebagai salah satu bentuk artefak budaya tidak lagi hanya berfungsi sebagai
pelengkap upacara, namun penjor kini juga dipakai sebagai sebuah simbol representasi seseorang
dalam struktur masyarakat Hindu di Bali. Dari bentuk dan struktur penjor mengandung makna yang
bisa dijadikan penghayatan bagi masyarakat Bali. Bagian bawah penjor dihias dengan mewahnya,
kemudian makin ke atas semakin sederhana. Bentuk dan materi bahan penjor tersebut bisa
ditafsirkan maknanya, bahwa dalam pendakian spiritual semakin tinggi tingkat spiritualitas
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
438 seseorang, semakin sederhanalah mereka, begitu sebaliknya ketika melihat hiasan penjor yang
dibuat sangat mewah pada bagian pangkal dapat ditafsirkan masih lemahnya tingkat spiritualitas
seseorang sehingga masih memikirkan hal-hal yang bersifat keduniawian.
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, 2005, Percik Pemikiran Kontemporer Sebuah Pengantar Komprehensif,
Yogyakarta
Atmaja, I Made Nada, 2007, Nilai Filosofis Penjor Galungan dan Kuningan, Surabaya: Paramita
Surabaya.
Berata, I Made, 2009, “Perkembangan Seni Kerajinan Ukir Batu Padas di Desa Singapadu Kaler,
Gianyar, Bali”, Jurnal Prabangkara, Volume 12 Nomor 15. Halm 29
Chaney, David, 2009, Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Bandung
Gie, The Liang, 2014, Filsafat Keindahan, Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB), Yogyakarta
Pilliang, Yasraf A., 2004, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Yogyakarta: Jalasutra
Sudiana, I Gusti ngurah, 2014, “Penjor Merupakan Simbul Gunung dan Merupakan Sarana
Upakara yang Dipersembahkan untuk Ida Bhatara yang Berstana di Gunung Agung
Merupakan Pemberi Kesuburan” dalam Tribun Bali, Buda Kliwon Dunggulan, Caka 1936,
No. 49/ Tahun 1, Rabu 21 Mei 2014.
Sutopo, Heribertus B., 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Suwanto, Adrian, 2014, “Penjor Siap Antar-Tancap Banjir Pesanan”, dalam Metro Denpasar, Rabu
21 Mei 2014.
PENGKEMASAN MODEL KESENIAN TRADISIONAL
NUSA TENGGARA BARAT SEBAGAI SARANA PENUNJANG DAYA TARIK
WISATAWAN DI KOTA MATARAM
Ida Ayu Trisnawati, Antonia Indrawati, I Gusti Lanang Oka Ardika
Program Studi Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia Denpasar
Abstrak
Pulau Lombok merupakan daerah tujuan wisata setelah Bali, maka kajian tentang
pengkemasan model kesenian yang ada di kota Mataram khususnya perlu dilakukan dengan baik.
Hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa pulau Bali dan Lombok khususnya kota Mataram mempunyai
banyak kemiripan. Sejak kedua masyarakat saling berinteraksi satu sama lain, tidak saja dalam
perdagangan (ekonomi) dan kepolitikan tetapi juga dalam aspek sosial serta seni budaya.
Keanekaragaman seni budaya merupakan aset atau sumber daya tarik tersendiri untuk
dikemas, dikelola dan ditawarkan sebagai suatu produk yang menarik. Oleh karena itu, dalam
mengingkatkan daya saing sebagai daerah destinasi pariwisata Lombok khususnya kota Mataram,
perlu melakukan pengkemasan model-model kesenian tradisional sebagai sarana penunjang
pariwisata kota Mataram.
Kata kunci : Kesenian Tradisional, Penunjang Daya Tarik Wisata, Kota Mataram
Abstrct
Lombok Island is tourism destination site after Bali, furthermore the study of arts
packaging in Mataram city, should be done well. It can be denied that Bali and Lombok
particularly Mataram have a lot of commons. Since both communities interact with one another,
not only in a way of trade but also in political and cultural aspects.
Cultural diversity constitutes valuable asset or source for the attraction to be packaged,
managed and offered as a fascinating product. Therefore, in order to improve the competitiveness
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
439 of Lombok or Mataram as a tourism destination, it needs to do some packaging upon traditional
arts as a means of supporting factors to tourism in Mataram.
Keyword : tradisional art, supporting tourism attraction, the city of mataram
PENDAHULUAN
Suku terbesar di Pulau Lombok adalah Sasak sebagai penduduk asli. Islam merupakan
agama yang paling banyak penganutnya. Suku Sasak dikenal memiliki keyakinan waktu telu, yaitu
kepercayaan yang memiliki unsur-unsur Hindu, Budha, dan kepercayaan tradisional kuno lainnya.
Desa Sasak paling kuno adalah Desa Bayan di dekat kaki Gunung Rinjani yang merupakan kubu
waktu telu.
Kota Mataram memiliki letak yang sangat strategis dan menjadi pusat berbagai aktivitas, di
antaranya pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat perdagangan dan jasa, pusat perbelanjaan,
jalur transportasi antar kabupaten dan propinsi. Pintu masuk sebelah Barat adalah daerah Ampenan
Pasar KebonRoek, sebelah Timur Pelabuhan Kayangan Labuan Lombok yang datang dari Pulau
Sumbawa, sebelah Utara Kecamatan Gunung Sari dan Desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat, dan
sebelah Selatan Pelabuhan Lembar yang datang dari Padang Bai (Bali). Tidak dapat dipungkiri
juga bahwa Pulau Bali dan Pulau Lombok adalah dua pulau berbeda di satu kesatuan kepulauan
Nusa Tenggara (NUSRA) dan tanah air Indonesia. Sejak dahulu, kedua masyarakat saling
berinteraksi satu sama lain, tidak saja dalam perdagangan (ekonomi) dan kepolitikan tetapi juga
dalam aspek sosial serta seni dan budaya.
Pulau Lombok baru memulai pengalamannya sebagai daerah tujuan wisata. Pembangunan
pariwisata ini menjadi semakin penting, karena pariwisata nampaknya semakin memberikan
kontribusi nyata terhadap kehidupan ekonomi, sosial, budaya, serta kesempatan kerja dan
kesempatan usaha.
Digelarnya berbagai event nasional peluang emas bagi kota Mataram untuk menjual
berbagai potensi wisata dan kekhasannya di antaranya; Kecamatan Ampenan mempunyai objek
taman rekreasi dengan wisata bahari, pantai Ampenan dengan sunsetnya, Taman Bumi Gora
dengan wisata kuliner, Kecamatan Cakranegara dengan Pura Meru, Kecamatan Sandubaya dengan
Pasar Mandalika, Makam Van Ham, Kecamatan Mataram dengan Taman Sangkareang, Kecamatan
Sekarbela dengan pantai bangsal, wisata sejarah, wisata budaya, wisata religi, dan pusat accesoris
dan souvenir. Pun juga ada berbagai Festival baik festival budaya maupun festival kesenian.
Melihat sumber potensi yang dimiliki Kota Mataram terdapat juga beberapa peluang yang sayang
kalau tidak di perhatikan.
Keanekaragaman seni budaya merupakan aset atau sumber daya tarik tersendiri untuk
dikemas, dikelola dan ditawarkan sebagai suatu produk yang menarik. Oleh karena itu, dalam
meningkatkan daya saing objek maupun seni budaya sebagai daya tarik wisatawan berkunjung ke
Lombok khususnya Kota Mataram, perlu melakukan Pengkemasan model–model kesenian
tradisional sebagai sarana penunjang daya tarik wisatawan di Kota Mataram.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif: sumber data dalam penelitian ini sudah
dikenal oleh masyarakat Lombok, peneliti sebagai instrumen penelitian, secara langsung
mengadakan pengamatan, wawancara dan pengamatan di lapangan. Data-data yang digunakan
bersifat deskriptif, tidak menggunakan angka-angka atau statistik (kuantitatif).
Sesuai dengan sumbernya, teknik pengumpulan data dilakukan secara interaktif dan noninteraktif. Pengumpulan data berdasarkan teknik interaktif dilakukan dalam bentuk pengamatan
intensif, wawancara dan non-interaktif seperti penyeleksian dokumentasi.
Motode observasi adalah cara yang dilakukan dalam memperoleh data dengan melakukan
pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Melalui teknik tersebut, peneliti langsung datang
ke lokasi penelitian dan melakukan pengamatan dengan melaksanakan pencatatan segala gejala
yang ditemui. Wawancara menjadi perangkat yang demikian penting. Wawancara yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Dalam hal ini, wawancara (interview)
merupakan suatu proses tanya jawab antara peneliti dengan informan, dengan tujuan untuk
mendapatkan keterangan-keterangan secara lisan, yang berkaitan dengan permasalahan. Di
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
440 samping wawancara dan observasi, penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi. Dokumentasi
merupakan pengumpulan data yang dilakukan terkait dengan masalah penelitian, baik dari sumber
dokumen, gambar, buku, koran, dan majalah.
Tahapan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian untuk mendapatkan hasil yang sesuai
dengan harapan, maka diperlukan empat tahap, yaitu persiapan, pengumpulan data, pengolahan dan
analisis data, penyusunan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengkemasan Model Kesenian Tradisional Nusa Tenggara Barat sebagai Sarana Penunjang
Daya tarik Wisatawan di Kota Mataram.
Kota Mataram salah satu wilayah yang masyarakatnya plural dengan berbagai etnik
masyarakat, sehingga menyimpan dan mempunyai potensi budaya yang sangat beragam. Selain
mempunyai potensi di bidang pariwisata, kota Mataram juga menonjol di bidang kesenian. Di
samping kesenian Sasak juga terdapat, beberapa jenis seni etnik lainnya seperti Bali, Jawa,
Tionghoa. Keragaman suku atau etnik yang mendiami wilayah tersebut masing-masing hidup
dengan tradisi dan budaya masing-masing sehingga menjadikan Kota Mataram sebagai wilayah
yang multikultur. Masyarakat yang multikultur ini secara tidak langsung akan memunculkan Kota
Mataram sebagai wilayah dengan budaya yang multikultur termasuk salah satunya adalah di bidang
keseniannya
Berbagai jenis kesenian Bali hidup dan berkembang di kalangan orang-orang Bali yang
menetap di Kota Mataram. Keberadaan kesenian tersebut terhimpun dalam sanggar-sanggar seni
atau sekaa-sekaa yang tersebar di beberapa wilayah Kota Mataram. Memperhatikan catatan
kesenian di atas, Kota Mataram menyimpan potensi budaya yang sangat tinggi dan beragam
khususnya di bidang kesenian. Potensi budaya tersebut merupakan modal budaya yang dapat
dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seperti halnya pertunjukan tahunan
yang diadakan di Senggigi menampilkan bebagai jenis kesenian. Mulai dari kesenian asli
masyarakat sasak, masyarakat pendatang (hindu Bali) dan kesenian alkulturasi dari berbagai
budaya.
Foto 1. Pengkemasan Seni Pertunjukan Dalam Festival Senggigi 2013
(Dok. Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata NTB)
Kesenian ini di kemas dengan baik hanya pada event-event tertentu saja, sedangkan pada
hari biasa seni pertunjukan ini akan terlupakan, kadang di dalam kalangan masyarakat pendukung
sendiri jarang yang menggunakan kesenian tersebut sebagai hiburan. Masyarakat lebih sering
menggunakan musik pop, karena itu lebih dianggap modern.
Terkait dengan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya di daerah
Lombok, pemerintah NTB telah mengambil satu langkah kebijakan yaitu dengan mengembangkan
kepariwisataan di wilayah NTB termasuk di Kota Mataram. Keberadaan berbagai jenis kesenian
sebagaimana diuraikan di atas tentunya menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi para
wisatawan dan bisa dijadikan komoditas dalam industri pariwisata dan sebagai penunjang
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
441 perkembangan pariwisata yang bertaraf internasional dan bersaing dengan pulau Bali yang telah
duluan mengembangakan sektor pariwisata sebagai penunjang sektor perekonomian masyarakat.
Kesenian Tradisi Masyarakat Sasak
Kesenian tradisional Sasak adalah kesenian yang dilandasi oleh nilai tradisi dan budaya
masyarakat Sasak. Masyarakat Sasak memiliki nilai-nilai tradisi yang telah lama diwarisi secara
turun-temurun di mana nilai-nilai tersebut masih terdapat dalam kehidupan masyarakat yang
menganut tradisi wetu telu yang juga dikenal dengan Islam Wetu Telu di mana kehidupannya
terpadu antara nilai-nilai tradisi, adat istiadat dengan keagamaan. Di samping itu juga terdapat
masyarakat yang menganut tradisi Waktu Lima, yaitu masyarakat Sasak yang kehidupannya di
landasi dengan nilai-nilai agama Islam yang sifatnya fundamentalis atau Islam murni. Kedua
paham ini akhirnya memunculkan tradisi kesenian yang berbeda, di mana terdapat kesenian
tradisional yang masih kental dengan budaya tradisionalnya dan kesenian yang dilandasi nilai-nilai
keagamaan. Adapun kesenian-kesenian yang dilandasi nilai-nilai tradisional diantaranya:, gendang
bele/ oncer, tambur, tawaq-tawaq, barong tengkoq, klentangan, tembang pesasakan beberapa jenis
tarian seperti gandrung, prisean, barong girang, batek baris, tandang mendet, topeng pengarad,
drama tari cupak grantang, wayang Sasak dan berbagai bentuk lainnya.
Oncer/gendang bele’/kecodak
Gendang Beleq suatu jenis seni tari yang dibawakan sambil memainkan/memukul
instrument. Jenis seni tari ini adalah melukiskan gerak-gerak peperangan. Menurut sejarahnya
konon Gendang Beleq dipertunjukkan pada pesta kerajaan mengiringi pasukan yang berangkat
perang atau datang dari medan perang dan untuk mengisi keramaian-keramaian dan upacara adat.
Namun perkembangan dewasa ini Gendang Beleq dijadikan sebagai tari penyambutan tamu yang
datang ke NTB. Hampir di seluruh kecamatan di Lombok Tari Gendang Beleq ini masih ada,
karena tarian ini merupakan warisan dari seniman Gendang Beleq yang ada di daerah tersebut.
Foto 2 Pertunjukan Gendang Beleq (Dok. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB)
Presean
Suatu jenis tari yang menggunakan/membawa perisai dari kulit sapi. Jenis ini dilakukan
oleh dua orang dengan saling pukul memukul. Penggunaannya untuk mengisi keramaiankeramaian. Prisean merupakan tari kreasi daerah Lombok. Peresean semula adalah sebuah
permainan rakyat di daerah Lombok yang merupakan ekspresi sifat kesatria, sportivitas dari
masyarakat Lombok. Ditarikan oleh 2 orang pepadu (yang bertarung) dan 1 orang pakembar
(wasit). Presean sendiri pada awalnya adalah sebuah latihan pedang dan perisai oleh prajurit
kerajaan di Lombok sebelum mereka menghadapi perang yang sesungguhnya di medan perang.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
442 Foto 3 Prisean (Dok. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB)
Rudat
Satu jenis kesenian yang sampai sekarang masih terdapat di Lombok adalah Rudat. Rudat
suatu jenis seni tari yang dibawakan oleh satu pasukan orang-orang dengan berbaris yang
melukiskan ketangkasan angkatan perang, ini terlihat pada gerak tari, formsi, pakaian, dan juga dari
sejarah perkembangannya (tari ini pengaruh dari turki). Penggunaannya untuk mengisi keramaiankeramaian dan upacara adat. Ditarikan sambil menyanyi, tariannya seperti pencak silat. Sedang
nyanyiannya berirama Timut Tengah. Lagu-lagunya dalam bahasa Arab yang ucapannya
kebanyakan sudah tidak jelas lagi bahasa aslinya, karena sudah terpengaruh lidah Indonesia. Ada
juga satu dua syair yang berbahasa Indonesia, tetapi iramanya tetap irama padang pasir.
Para pemain rudat seluruhnya menggunakan pakaian ala angkatan perang turki, terdiri atas:
Kopiah tarbus berwarna merah darah terbuat dari belundru dengan jambul benang sutra di atasnya
sepanjang ±15 cm dan pinggiran songkok diberi hiasan renda; Baju jas tutup berwarna hitam atau
biru hitam dengan hiasan kancing pada bagian dada, terdapat renda pada leher dan ujung lengan;
Celana panjang tiga perempat (sampai di bawah lutut) warna hitam/biru hitam diberi hiasan renda
pada bagian ujung kaki celana; Sepatu hitam berlaras tinggi atau sepatu biasa dengan kaos kaki
panjang sehingga menutup kaki sampai lutut.
Foto 4 Rudat (Dok. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB)
Selain mengunakan pakaian ala perang tari Rudat ini juga menggunakan hiasan atau
atribut-atribut untuk mendukung tarian seperti : Tanda pangkat pada kedua bahu, misalnya
komandan berbintang lima, sedang yang lain berbintang tiga; Selempang, dari bahu kiri kanan ke
pinggang selebar kira-kira 10 cm warna hitam dengan pinggiran ada renda; Sabuk (ikat pinggang)
dengan bahan dan warna yang sama dengan selempang.
Gandrung
Tari gandrung adalah sebuah tarian rakyat di Lombok dari kalangan suku sasak, tarian ini
tidak diketahui dengan jelas siapa penciptanya. Tari Gandrung Berkembang di Lombok dan Bali,
diduga kuat tari gandrung di Lombok pada awalnya juga dibawakan oleh kaum pria tetapi sekarang
talah dibawakan oleh kaum wanita. Seperti pemeran (penari gandrung yang biasa disebut
“gandrung” saja) dilakukan oleh seorang wanita yang menjadi penari utama. Tidak jelas bagaimana
dan kapan terjadi perubahan ini. Tetapi seorang penari gandrung (wanita) sekarang ini pada setiap
penampilannya selalu memperkenalkan diri dengan kata: “tiang lanang (saya laki-laki)” dan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
443 seterusnya yang dibawakan dengan cara menanyi yang disebut “Basandaran” atau “Bedede”.
Dalam “besandaran“ selalu memperkenalkan diri dengan istilah “taing lanang”.
Pola tarinya tampak luar biasa, dikatakan luar biasa karena tidak mengikuti pola gerak serta
iringan lagu yang sesuai dengan patokan yang lazim, geraknya masih tradisi.
Foto 5. Tari Gandrung Pementasan Tradisional Penari
dan Pengibing Pria Menari (Dok. Dayu 2013)
Foto 6. Tari Gandrung dalam Kemasan Pariwisata di Taman Budaya
dan Para Penari Menepek Para Pengibing Asing
(Dok. Dayu 2013)
Pertunjukan tari gandrung dipentas jauh berbeda dengan pementasan secara tradisional.
Secara tradisonal para pengibing sebelum menari harus mengikuti musik kapan harus menari
dengan panari gandrung, sedangkan pertunjukan di atas pentas, para pengibing langsung saja
menari tanpa mengikuti nada dari musik pengiring tarian tersebut.
Tandang Mendet
Tandang Mendet merupakan tarian perang. Tari ini telah ada sejak zaman kejayaan
Kerajaan Selaparang yang menggambarkan keprajuritan. Tarian ini dimainkan oleh belasan orang
yang berpakaian lengkap dengan membawa tombak, tameng, kelewang (pedang bersisi tajam satu),
dan diiringi dengan gendang beleq serta syair-syair yang menceritakan tentang keperkasaan dan
perjuangan. Tandang Mendet seni pertunjukan rakyat yang hidup dan berkembang di daerah
Lombok bagian timur yang terletak di Lereng Gunung Rinjani. Mendet dari kata pendet istilah
yang dipakai untuk penyebutan bunga. Penyajian tandang mendet mempunyai waktu yang cukup
panjang bisa sanpai 1 jam dengan gerak yang diulang-ulang dan improvisasi.
Foto 7. Pementasan Tandang Mendet di Festival Singgingi 2013
(Dok. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB)
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
444 Pada awalnya tari tandang mendet ini hanya dipertunjukan satu kali dalam 3 tahun pada
upacara Ngayu-Ayu, dan berfungsi sebagai ucapan rasa sukur atas kekuatan yang telah melindungi
dan membinan kelestarian tradisi dalam rangka menciptakan dan mendorong rasa kebersamaan
warga.
Wayang sasak
Wayang adalah salah satu jenis seni pedalangan, Wayang Sasak adalah pemberian
nama terhadap wayang kulit yang berkembang di Lombok Nusa Tenggara Barat. Wayang
kulit di Lombok diperkirakan masuk bersamaan dengan penyebaran agama Islam. Sedang
Agama Islam masuk Lombok pada abad 16 yang dibawa oleh Sunan Prapen putra dari
Sunan Giri. Ada juga yang berpendapat bahwa wayang di Lombok diciptakan oleh
pangeran Sangupati. Ia adalah seorang mubalig Islam. Sedangkan Sunan Giri juga dikenal
sebagai penggubah wayang gedog dan konon juga beliau bersama Pengeran Trenggono
(Sunan Kudus) menciptakan wayang "Kidang kencana" pada tahun 1477 sehingga tidak
menutup kemungkinan bahwa Sunan Prapen membawa wayang ke Lombok.
Foto 8. Wayang Sasak
Cerita wayang di Lombok pada dasarnya mengambil cerita Menak (Sasak) yang berasal
dari Persia yang masuk ke Indonesia melalui tanah Melayu lalu masuk ke Jawa dan tersebar sampai
ke Lombok. Cerita-cerita ini ditulis di atas daun lontar dalam bahasa Jawa dengan huruf Jejawan
(huruf Sasak). Cerita Menak ini ditulis sesuai dengan peristiwanya seperti: Bangbari, Gendit
Birayung, Bidara Kawitan, Selandir, Dewi Rengganis dan sebagainya.
Foto 9 Naskah Wayang Kulit Lombok (Dok. Dayu 2013)
Masyarakat Sasak Mataram juga tidak terlepas dari kesenian-kesenian sebagaimana telah
diuraikan di atas juga terdapat seni suara seperti cepung, tambur, tawaq-tawaq, barong tengkoq,
klentangan, tembang pesasakan, rebana, gambus, kasidah, hadrah, zikir zaman dan Slober. Dan
dari hasil kreativitas para seniman saat ini banyak bermunculan kesenian yang bernuansa modern
seperti kecimol dan ale-ale yang cukup populer di kalangan generasi muda Sasak. Sedangkan
kesenian yang dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan diantaranya: rebana, gambus, kasidah, hadrah,
zikir zaman.
Kesenian Tradisi Masyarakat Pendatang Pendatang/Hindu Bali
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
445 Kesenian Bali adalah kesenian yang dilandasi oleh nilai-nilai tradisi dan budaya Bali. Di
dalam kehidupan orang-orang di Kota Mataram terdapat berbagai jenis kesenian di mana kesenian
tersebut dapat digolongkan seni wali, bebali dan balih-balihan. Seni wali adalah kesenian yang erat
kaitannya dengan upacara keagamaan. Terdapat beberapa bentuk seni wali dalam kehidupan orangorang Bali di Kota Mataram di antaranya: sanghyang jaran, sanghyang dedari, barong, telek, tari
canang sari, topeng sidakarya dan beberapa bentuk lainnya. Kesenian-kesenian ini senantiasa
ditampilkan sebagai bagian dari ritual keagamaan umat Hindu di Kota Mataram. Seperti tari
canang sari dan topeng sidakarya, kesenian ini senantiasa disajikan dalam setiap upacara di purapura yang terdapat di sekitar wilayah Kota Mataram, bahkan di seluruh Lombok.
Dalam tradisi orang-orang Bali di Kota Mataram, di samping menyajikan tari canang sari,
rejang dan topeng sidakarya sebagai wali, juga sering ditampilkan beberapa jenis tarian yang
sifatnya aturan ayah yang disajikan oleh para penari. Tari-tarian yang disajikan sebagian besar
merupakan tari-tari tradisi atau tari kreasi yang populer di masyarakat, diantaranya: wayang Bali,
puspanjali, sekar jagat, selat segara, pendet, panyembrama, oleh tamulilingan, cendrawasih,
trunajaya dan berbagai jenis tari kreasi baru lainnya. Tari-tarian tersebut di samping sebagai
pengiring upacara juga berfungsi sebagai balih-balihan tontonan untuk menghibur masyarakat
yang ada saat dilaksanakannya upacara keagamaan.
Wayang Bali
Suatu jenis seni pedalangan yang melakonkan ceritera petikan dari baratha yuda.
Penggunaannya untuk mengisi acara adat dan keramaian-keramaian. Perkembangannya meliputi
sekitar cakranegara.
Pelegongan
Suatu jenis tari yang melukiskan gerak-gerak kehidupan sesuatu atau melukiskan perasaan
dengan menggunakan gerak-gerik tari, mimik, action, yang diiringi dengan instrument gong
gebyar. Penggunaannya untuk mengisi keramaian-keramaian, dan acara adat. Perkembangannya di
sekitar masyarakat penganut hindu dharma di Lombok Barat.
Arja
Suatu jenis tari yang membawakan suatu lakon dengan menggunakan tari, lagu, action dan
iringan instrument kendang, suling dan gong. Penggunaannya untuk mengisi acara-acara adat dan
keramaian lainnya. Perkembangannya meliputi masyarakat umat hindu dharma di Lombok Barat.
Kesenian Akulturasi.
Interaksi budaya dalam masyarakat multikultur sangat memungkinkan munculnya budaya
hibrid yaitu budaya baru yang merupakan hasil perpaduan antara dua atau lebih budaya yang
berinteraksi secara intens. Dalam proses interaksi tersebut, yang berinteraksi tidak hanya individuindividu atau kelompok-kelompok tertentu, akan tetapi ikon-ikon budaya pun berinteraksi sehingga
sangat memungkinkan munculnya budaya baru. Mengacu pada teori interaksi simbolik sebagai
sebuah proyek multidisiplin dalam rangka studi kultural, teori interaksi simbolik dikaitkan dengan
masalah pokok yaitu bagaimana individu yang saling berinteraksi dapat mengaitkan berbagai
pengalaman hidupnya dengan representasi cultural.
Interaksi yang terjadi tidak hanya dalam bentuk komunikasi antar individu, namun lebih
jauh juga terjadi interaksi budaya di mana simbol-simbol budaya masyarakat pendatang
berinteraksi dengan simbol-simbol budaya lokal. Interaksi simbol-simbol budaya antara dua
masyarakat yang berbeda secara positif menghasilkan sebuah akulturasi budaya sehingga
membentuk sebuah budaya baru. Akulturasi budaya sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat
(1990:91) adalah suatu proses sosial yang terjadi apabila manusia dalam suatu masyarakat, dengan
suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda
sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing terintegrasikan ke dalam kebudayaan lokal tanpa
kehilangan kepribadian dari kebudayaan setempat. Akulturasi sebagai perubahan budaya ditandai
dengan hubungan antar dua kebudayaan, keduanya saling mempengaruhi memberi dan menerima.
Shorter (dalam Hadi, 2000:34) menyatakan hal ini sebagai the encounter between two
cultures (pertemuan antar dua budaya). Terjadinya interaksi mutualistik saling memberi dan
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
446 menerima di antara budaya Bali dengan Sasak muncul tradisi budaya baru yang tentunya
mencerminkan diantara kedua budaya tersebut. Seperti dua warna primer dicampurkan maka
muncul warna sekunder yang merupakan hasil dari percampuran tersebut. Apabila warna yang
tercampur memiliki intensitas yang sama maka tidak ada warna yang dominan dan warna sekunder
tersebut tampak harmonis dan seimbang, akan tetapi apabila intensitas warna yang dicampur
berbeda, maka warna sekunder yang muncul akan didominasi oleh warna yang dominan.
Selama kurang lebih 150 tahun kekuasaan Bali (kerajaan Karangasem) atas Lombok,
berimplikasi terhadap terjadinya akulturasi budaya antara orang-orang Bali dengan masyarakat
setempat. Terjadinya interaksi budaya dalam kurun waktu tersebut banyak memunculkan hal-hal
baru yang bersifat hybrid terutama dalam bidang seni pertunjukan. Hibriditas seni pertunjukan
secara umum di Lombok dapat dilihat pada kesenian gendang beliq, gandrung, cepung, barong
tengkoq, batek baris, drama cupak grantang dan beberapa kesenian lainnya. Dari konsep pakaian,
jenis instrument atau gamelan yang digunakan, teknik permainan serta motifnya dan nuansa
estetiknya tampak jelas adanya persenyawaan antara budaya Bali dengan Sasak.
Kemasan Seni Pertunjukan Akulturasi
Seni kemasan dalam konteks dunia kepariwisataan dapat dipahami sebagai keseluruhan
sajian seni pertunjukan yang tampilkan sebagai hiburan kepada wisatawan. Struktur dari karya seni
adalah aspek yang menyangkut keseluruhan dari karya itu dan meliputi juga peranan masingmasing bagian dalam keseluruhan itu. Seni kemasan wisata adalah merupakan pengkemasan
beberapa bentuk ke dalam sebuah paket yang mampu memberikan hiburan dan rasa indah kepada
wisatawan. Keindahan itu muncul dari teknik penataan, penyusunan dan menghubungkan bagianbagian yang ada di dalamnya.
Dari berbagai bentuk paket seni wisata sebagaimana telah digarap oleh seniman di
Lombok, dalam penampilannya terdapat struktur penyajian atau susunan yang ditata sedemikian
rupa sehingga paket tersebut menarik untuk disaksikan dan tidak menimbulkan kebosanan. Di
beberapa hotel struktur pertunjukannya terdiri atas 4 materi tari-tarian yang terdiri atasGendang
Beleq, Briuk Tinjal, Presian dan ditutup dengan Gandrung. Untuk memberikan variasi dalam
struktur tersebut beberapa tarian juga disajikan secara bergantian. Namun demikian tarian
Gandrung masih tetap disajikan sebagai tarian penutup untuk memberikan kepada para wisatawan
yang menyaksikan pagelaran tersebut terlibat secara aktif dengan ikut berjoged dengan para penari
Gandrung.
Sama halnya dengan penyajian paket di atas, paket Bali juga terdiri atas 4 tarian yang
terdiri atas tari penyambutan selanjutnya diikuti dengan 3 tarian lainnya. Tari penyambutan yang
dipergunakan diantaranya: Pendet, Puspanjali, Sekar Jagat dan setelah itu dilanjutkan dengan
penyajian 3 tarian lainnya yaitu: Cendrawasih, Oleg dan Gopala.
Memperhatikan paket-paket sajian seni pertunjukan di atas hal tersebut menunjukkan
bahwa sajian paket seni wisata masih menunjukkan identitas kedaerahan tanpa melihat fakta yang
ada di masyarakat. Untuk memberikan keragaman budaya sebagai “nilai tambah” lebih menarik
paket seni wisata disajikan dengan menampilkan keragaman etnik yang ada dalam masyarakat
multikultur. Seni kemasan wisata sebagai sebuah kesatuan dari unsur-unsur seni yang terdapat di
dalamnya, memiliki tiga unsur estetik mendasar dalam struktur penyajiannya. Adapun tiga unsur
estetik tersebut adalah keutuhan atau kebersatuan (unity); penonjolan atau penekanan (dominance);
dan keseimbangan (balance).
Pengkemasan seni pertunjukan dalam sebuah paket seni wisata tentunya memiliki tujuan
untuk memberikan rasa senang atau hiburan kepada wisatawan. Bahwa di Lombok dan Kota
Mataram khususnya memiliki beraneka ragam budaya dari berbagai etnik, hal ini dapat ditampilkan
dan disajikan kepada para wisatawan dalam format kemasan seni pertunjukan.
Kolaborasi antara seniman Sasak dengan seniman Bali juga banyak menghasilkan karyakarya baru yang mencerminkan ada perpaduan budaya. Beberapa tarian seperti Putri Mandalika,
Beriuk Tinjal, Presian dan yang lainnya, merupakan hasil kolaborasi antara seniman Sasak dan
seniman Bali yang telah menetap di Lombok. Pada proses akulturasi dan kolaborasi tersebut
masing-masing identitas melebur dan unsur-unsur seni yang terdapat di dalamnya bercampur
membentuk kesenian yang baru. Seni yang bersifat hibrid yang muncul dari proses akulturasi
budaya merupakan salah satu fenomena yang sangat menarik untuk disaksikan dan dicermati,
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
447 karena hal tersebut merupakan salah satu proses terbentuknya budaya baru dari perpaduan antara
dua budaya dengan latar belakang yang berbeda. Terjadinya akulturasi sehingga terbentuknya
budaya baru hal ini menunjukkan adanya komunikasi yang harmonis antara dua budaya. Dalam
kata lain komunikasi antar budaya yang terjalin dengan harmonis merupakan sebuah proses
akulturasi yang menyebabkan timbulnya budaya baru.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2002. Sejarah Daerah Nusa Tengggara Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Anonym. 2011. Multikulturalisme dan Intergrisi Bangsa: Memperkuat Karakter Masyarakat
Multikultural. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Direktorat Seni Pertunjukan Tari Tradisional, 1999. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
(MSPI) Bekerja Sama Dengan Arti-Line.
Hadi, Sutrisno. 2000. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Moleong, L. J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Nawawi. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Safi’I, Lalu. 1999. Suku Sasak dalam Dekapan Budaya Cetakan Pertama. Jakarta: PT Ardadizya.
Soedarsono, RM. 1997. Buku Tari-Tarian Indonesia 1: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Proyek Media Pengembangan Kebudayaan.
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif, Dilengkapi Contoh Proposal Dan Laporan
Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.
Widyarto, Rinto. 2009. “Dokumentasi Dan Inventarisasi Seni Pertunjukan Tari Nusa Tenggara
Barat”. Laporan Penelitian. Dibiayai Oleh Progam Hibah Kompetisi Unggulan Bidang Seni
(PHK B-Seni) Batch IV ISI Denpasar Tahun Anggaran 2009. Jurusan Seni Tari, Fakultas
Seni Pertunjukan ISI Denpasar.
Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154
Download