BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Hakikat Kemampuan Menghitung Bilangan Bulat pada Siswa Sekolah
Dasar (SD)
a. Pengertian Kemampuan
Siswa dalam dirinya pasti memiliki kemampuan, kemampuan
tersebut digunakan untuk bekal dikehidupannya. Munandar (Susanto,
2012:97) menyatakan bahwa, kemampuan merupakan daya untuk
melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan.
Seseorang dapat melakukan sesuatu karena adanya kemampuan yang
dimilikinya. Kemampuan ini juga merupakan potensi seseorang yang
mereka bawa sejak lahir serta dipermatang dengan adanya pembiasaan dan
latihan, sehingga seseorang dapat melakukan sesuatu. Hal senada juga
dinyatakan oleh Sunarto&Hartono (2008:120), suatu kemampuan yang
dimiliki individu dapat dikembangkan sepenuhnya di masa mendatang
apabila latihan dilakukan secara optimal. Ivancevich, dkk (2007:85) juga
mengemukakan, “Kemampuan adalah bakat seseorang untuk melakukan
tugas secara fisik atau mental”. Dengan demikian, pengertian kemampuan
bagi siswa adalah sesuatu yang mereka bawa dan akan terus berkembang
dengan adanya pembiasaan serta latihan dalam proses pembelajarannya
untuk menyelesaikan tugasnya dan kehidupan di masa mendatang.
Tugas-tugas diperlukan dalam menumbuhkan kemampuan anak.
Hal tersebut diperjelas oleh Gordon (Mulyasa, 2006:38), menyatakan
bahwa, “Kemampuan adalah suatu yang dimiliki oleh individu untuk
melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya”. Menurut
Kamsiyati (2012: 12) yang mengutip simpulan Gagne, kemampuan adalah
kecakapan untuk melakukan suatu tugas khusus dalam kondisi yang telah
ditentukan. Kemampuan juga dapat ditingkatkan jika subtugas yang
dibutuhkan untuk menuntaskan tugas-tugas yang lebih luas sudah
9
10
diidentifikasi dan diurutkan. Dengan demikian, bila siswa memiliki
kemampuan mereka akan mampu menyelesaikan berbagai jenis tugas baik
yang termudah sampai tersulit sekalipun dan harus selalu diasah untuk
mengembangkan kecakapannya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa kemampuan merupakan kecakapan yang dimiliki individu untuk
melakukan berbagai tugas sebagai hasil pembawaan dan latihan (belajar)
sehingga dapat menjawab tantangan dalam kondisi yang ditentukan dalam
pembelajaran.
b. Pengertian Menghitung
Salah satu cabang matematika adalah menghitung. Susanto (2012:
98-99) mengemukakan bahwa, menghitung merupakan dasar dari beberapa
ilmu yang dipakai dalam setiap kehidupan manusia. Dalam setiap
aktivitasnya manusia tidak dapat terlepas dari cara menghitung
matematika, mulai dari penambahan, pengurangan, pembagian, sampai
perkalian yang kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan
manusia sehari-hari. Tanpa adanya matematika yaitu menghitung, maka
kegiatan kehidupan manusia akan terhenti dan menjadi tidak ada artinya.
Sejalan dengan hal tersebut, Delphie (2009: 80) berpendapat bahwa, siswa
dapat mengetahui sejauh mana kemampuan penguasaan di bidang
matematika dalam pelajaran menghitung yaitu mencari jumlahnya
(sisanya, pendapatannya) dengan menjumlahkan, mengurangi, membagi,
mengalikan, dan cara pemecahan masalah. Oleh karena itu, semua aktivitas
manusia tidak lepas dari cara menghitung, dan hal tersebut perlu dilatih
dan diasah dalam rangka mengembangkan kemampuan untuk pemecahan
masalah.
Kertu,dkk (2015), mengutip simpulan Alwi (2003), dalam jurnal eJournal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Volume
5 Nomor 1, hal 5 menyatakan bahwa, menghitung berasal dari kata hitung
yang mempunyai makna keadaan, setelah mendapat awalan me- akan
berubah menjadi makna yang menunjukkan suatu kegiatan menjumlahkan,
11
mengurangi, mengalikan, dan sebagainya. Kegiatan tersebut merupakan
kegiatan yang selalu dilakukan di kehidupan sehari-hari. Hal senada
dijelaskan oleh Abdurrahman (2012: 203) yang mengutip pendapat Naga,
menyatakan bahwa menghitung merupakan cabang matematika yang
berkenaan dengan sifat hubungan-hubungan bilangan nyata dengan
perhitungan menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian. Sehingga dapat dikatakan menghitung merupakan pengetahuan
tentang bilangan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, menghitung mengacu pada
pengetahuan tentang bilangan dan aktivitas/kegiatan individu mengenal
angka dengan cara menghitung mulai dari menjumlahkan, mengurangi,
membagi, dan mengalikan untuk pemecahan masalah dan untuk menangani
situasi kehidupan sehari-hari yang mencakup perhitungan.
c. Konsep Pembelajaran Bilangan Bulat di SD
Ruang lingkup matematika di SD sesuai dengan KTSP adalah (1)
bilangan; (2) geometri dan pengukuran; (3) pengolahan data. Pada
penelitian ini bilangan bulat termasuk ruang lingkup matematika berupa
bilangan. Jadi, bilangan bulat harus dikuasai oleh siswa dalam mata
pelajaran matematika. Matematika merupakan pelajaran penting, sehingga
siswa dapat memperoleh kemampuan yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari.
1) Pentingnya Pembelajaran Matematika di SD
Seseorang menuntut ilmu pasti mengalami pembelajaran dan
pembelajaran membutuhkan proses. Dick dan Carey (2005) (dalam
Pribadi, 2010: 11) mengemukakan bahwa:
Pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa atau kegiatan yang
disampaikan secara terstruktur dan terencana dengan
menggunakan sebuah atau beberapa jenis media. Proses
pembelajaran mempunyai tujuan agar siswa dapat mencapai
kompetensi seperti yang diharapkan. Untuk mencapai tujuan
tersebut proses pembelajaran perlu dirancang secara sistematik
dan sistemik.
12
Pasal 1 butir 20 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar serta didukung oleh beberapa
komponen. Lima komponen pembelajaran yaitu: interaksi siswa,
pendidik, sumber belajar, dan lingkungan belajar. Interaksi mengandung
arti hubungan timbal balik antara guru dan siswa yang paling utama.
Sejalan dengan hal tersebut, Suprijono (2013: 13) mendefinisikan
pembelajaran
berdasarkan
makna
leksikal
yaitu
pembelajaran
merupakan proses, cara, perbuatan mempelajari. Pembelajaran guru
mengajar diartikan sebagai upaya guru mengorganisir lingkungan
terjadinya
pembelajaran.
Guru
mengajar
dalam
pandangan
pembelajaran adalah guru menyediakan fasilitas belajar bagi siswanya
untuk
mempelajarinya.
Subjek
pembelajaran
adalah
siswa.
Pembelajaran juga berupa dialog interaktif. Dalam pengertian tersebut
pembelajaran berupa interaksi antara guru dan siswa baik dengan
penggunaan media maupun sumber belajar yang dirancang secara
sistematis.
Pembelajaran
memiliki
banyak unsur-unsur
yang saling
mempengaruhi, pembelajaran menurut Hamalik (2008:57), menyatakan
bahwa:
Suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi,
material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling
mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat
dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga
lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material, meliputi bukubuku, papan tulis, dan kapur, fotografi, slide, film, audio, dan
video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari ruangan
kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur,
meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik,
belajar, ujian, dan sebagainya
Pada dasarnya pembelajaran merupakan kegiatan terencana yang
merangsang siswa agar bisa belajar dengan baik dan sesuai tujuan
pembelajaran. Kegiatan pembelajaran bermuara pada dua kegiatan.
13
Pertama,bagaimana siswa melakukan tindakan perubahan tingkah laku
melalui kegiatan belajar. Kedua, begaimana guru melakukan tindakan
penyampaian ilmu pengetahuan melalui kegiatan mengajar (Majid,
2013: 5). Di sisi lain, Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 45) berpendapat
bahwa proses belajar dan pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan
siswa, artinya ketika pendidik mulai mengajar dengan seperangkat
materi yang akan ditransformasi kepada siswa, maka mereka sudah siap
mental dan daya ingatnya. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran
dilakukan oleh guru dalam mengkondisikan siswa untuk belajar, karena
proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kesiapan siswa.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran adalah interaksi siswa dengan
pendidik, dan sumber belajar sehingga diperlukannya kombinasi antara
unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur.
Kegiatan pembelajaran dilakukan secara terencana di mana subjek dari
pembelajaran adalah siswa. Siswa di sini yang melakukan perubahan
tingkah laku melalui kegiatan belajar dan guru sebagai penyampai ilmu
pengetahuan dengan menyediakan fasilitas. Proses pembelajaran juga
terjadi secara berulang-ulang dan menyebabkan perubahan perilaku
yang cenderung bersifat tetap.
Matematika mempunyai peranan penting dalam pendidikan dan
merupakan salah satu bidang studi yang mendukung perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengertian matematika pada
Depdiknas dalam Hamzah & Muhlisrarini (2014:48), mengemukakan
bahwa:
Matematika berasal dari akar kata mathema artinya
pengetahuan, mathanein artinya berpikir atau belajar. Dalam
kamus Bahasa Indonesia diartikan matematika adalah ilmu
tentang bilangan hubungan antara bilangan dan prosedur
operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah
mengenai bilangan.
14
Heruman (2008: 1), yang mengutip pendapat Ruseffendi (1991)
menyatakan bahwa, matematika adalah bahasa simbol ilmu deduktif
yang tidak menerima pembuktian secara induktif, ilmu tentang pola
keteraturan, dan struktur yang terorganisasi mulai dari unsur yang tidak
didefinisikan ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan
akhirnya ke dalil. Sejalan dengan pendapat tersebut
Johnson dan
Myklebust (Sundayana, 2013:2), menyatakan bahwa matematika
merupakan bahasa simbolis yang mempunyai fungsi praktis untuk
mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan.
Dengan kata lain, matematika adalah bekal bagi siswa untuk berpikir
logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif. Matematika juga merupakan
ilmu yang kajian objeknya bersifat abstrak.
Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa
mulai dari sekolah dasar hingga sekolah tinggi untuk membekali siswa
dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematik, kritis dan kreatif,
serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar
siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang
selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif (Aisyah, 2007: 1.3). Sejalan
dengan hal tersebut, Shadiq berpendapat bahwa matematika merupakan
pelajaran yang sangat penting untuk dipelajari karena mempelajari
matematika dapat menata kemampuan berpikir para siswa, bernalar,
memecahkan masalah, berkomunikasi, serta mampu menggunakan dan
memanfaatkan teknologi. Standar matematika sekolah meliputi standar
isi dan standar proses. Standar proses meliputi pemecahan masalah,
penalaran dan pembuktian, keterkaitan, komunikasi, representasi (2014:
9-10). Maka dari itu, siswa harus dapat menguasai matematika.
Hasratuddin (2010), dalam jurnal Pendidikan Matematika
PARADIGMA. Volume 6 Nomor 2, hal 132. menyatakan bahwa:
Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban
terhadap masalah yang dihadapi manusia dan cara menggunakan
15
informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan
ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan
yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu
sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.
Dengan demikian, dari beberapa pendapat di atas dapat
dirumuskan bahwa matematika adalah ilmu abstrak dan ilmu logika
yang memiliki banyak simbol yang digunakan untuk penyelesaian
masalah tentang menghitung dalam bilangan. Dibutuhkan cara berpikir
logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif sehingga dapat memberikan
solusi dalam pemecahan masalah di kehidupan sehari-hari dan dalam
prosesnya meliputi pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian,
keterkaitan, komunikasi, representasi. Matematika selalu digunakan
dalam menjalani kehidupan di manapun berada, maka matematika
memiliki peran yang penting dalam perkembangan zaman dengan
memajukan teknologi yang canggih.
Berdasarkan
matematika,
dapat
pengertian
pembelajaran
dirumuskan
simpulan
dan
bahwa
pengertian
pembelajaran
matematika merupakan serangkaian kegiatan yang terencana dan
disengaja dalam kegiatan belajar matematika yang digunakan untuk
penyelesaian masalah tentang menghitung dalam bilangan, sehingga
siswa dapat menemukan sendiri pengetahuan yang dibutuhkannya untuk
memberikan
pengalaman
dan
memperoleh
kompetensi
tentang
matematika, setiap proses pembelajaran harus dilalui agar dapat
menguasai secara mendalam dan mantap.
2) Karakteristik Matematika di SD
Materi yang diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai
bilangan bulat operasi hitung penjumlahan dan pengurangan yang
merupakan materi pelajaran di SD kelas IV, untuk mengajarkannya
harus disesuaikan dengan karakteristik matematika yang ada, karena
pembelajaran matematika di SD merupakan pembelajaran awal dan
16
dasar yang dipahami oleh siswa. Oleh karena itu, pendidik harus
memahami karakteristik anak SD untuk mendukung pembelajaran
matematika bilangan bulat, agar pembelajaran menjadi efektif,
bermakna dan menyenangkan.
Anak Sekolah Dasar (SD) pada umumnya berumur 6 atau 7,
sampai 12 atau 13 tahun. Piaget, menyatakan bahwa:
Anak seumur ini berada pada periode operasi konkret. Periode
ini disebut operasi konkret sebab berpikir logisnya didasarkan
pada manipulasi fisik objek-objek konkret. Anak yang masih
berada pada periode ini untuk berpikir abstrak masih
membutuhkan bantuan memanipulasi objek-objek konkret atau
pengalaman-pengalaman yang langsung dialaminya (Pitadjeng,
2015: 36).
Pitadjeng (2015: 36) juga berpendapat belajar bukan hanya
menerima informasi dan pengalaman lama yang dimiliki anak didik
untuk mengkomodasikan informasi dan pengalaman baru. Oleh karena
itu tahap operasi konkret adalah pembelajaran yang didasarkan pada
benda-benda konkret agar mempermudah anak dalam memahami
konsep-konsep matematika.
Perkembangan belajar matematika anak melalui 4 tahap yaitu
tahap konkret, semi konkret, semi abstrak dan abstrak (1) Pada tahap
konkret, kegiatan yang dilakukan anak adalah untuk mendapatkan
pengalaman langsung atau manipulasi objek-objek konkret. Misal: anak
melihat 2 buah balon untuk memahami bilangan 2; (2) Tahap semi
konkret ini sudah tidak perlu manipulasi objek-objek konkret lagi
seperti pada tahap konkret, tetapi cukup dengan gambaran dari objek
yang dimaksud. Misal: dengan melihat gambar 2 buah balon
anak
mampu memahami bilangan 2; (3) Tahap semi abstrak ini
memanipulasi/ melihat tanda sebagai ganti gambar untuk dapat berfikir
abstrak. Misal: dengan melihat 2 tanda, anak mampu memahami
bilangan 2; (4) Tahap abstrak anak dengan melihat lambang/simbol atau
membaca/mendengar secara verbal tanpa kaitan dengan objek-objek
konkret. Misal: dengan melihat angka-angka atau mendengar “dua”,
17
anak sudah mampu memahami bilangan 2. (Piaget dalam Kamsiyati,
2012: 3)
Pembelajaran Matematika disesuaikan dengan perkembangan
kognitif anak sehingga belajar anak menjadi mudah. Guru dalam proses
pembelajaran harus memahami karakteristik siswa, agar proses
pembelajaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Menurut Bruner
dalam Kamsiyati (2012: 4), “Belajar matematika adalah belajar tentang
konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam
materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsepkonsep dan struktur-struktur matematika”, kemudian Bruner melukiskan
perkembangan anak melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu:
a) Tahap Enaktif
Pada tahap ini dalam belajar anak didik menggunakan atau
memanipulasi objek-objek konkret secara langsung. Misalnya untuk
memahami konsep operasi pengurangan bilangan bulat 7-2, anak
memerlukan pengalaman mengambil 2 benda dari sekelompok 7
benda.
b) Tahap Ikonik
Pada tahap ini kegiatan anak didik mulai menyangkut mental
yang merupakan gambaran dari objek-objek konkret. Anak didik
tidak memanipulasi langsung objek-objek konkret seperti pada tahap
enaktif melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai
gambar di objek-objek tersebut. Misalnya pada penjumlahan
bilangan bulat 2 + -2, anak diperlihatkan gambar 2 buah kartu
muatan positif dan dijumlahkan dengan kartu muatan negatif.
c) Tahap Simbolis
Tahap ini merupakan tahap manipulasi simbol-simbol secara
langsung dan tidak ada lagi kaitannya dengan objek-objek. Misalnya
untuk penjumlahan 2 + 3 siswa sudah diperkenalkan simbol angka 2,
penjumlah, dan 3.
18
Teori pembelajaran matematika di atas, perkembangan kognitif
anak bahwa pembelajaran matematika di SD pada dasarnya berawal dari
konkret atau benda nyata selanjutnya tahap yang abstrak yaitu simbolsimbol dari matematika. Siswa SD pada tahap ini anak memerlukan
pengalaman langsung dalam proses pembelajaran.
Guru dalam mengajar matematika harus mengupayakan agar
anak didik dapat menerima dengan baik serta memahami materi yang
dipelajari. Upaya tersebut dapat terlaksana dengan strategi yang tepat
dan guru harus memahami anak didiknya. Terdapat 3 sudut pandang
yang perlu dipahami guru tentang anak didiknya yaitu memahami
perkembangan intelektual anak, memahami sifat-sifat anak, dan
memahami perbedaan individu. Menurut Piaget 6 tahap perkembangan
belajar anak yaitu, (1) hukum kekekalan bilangan (6-7 tahun); (2)
hukum kekekalan materi (7-8 tahun); (3) hukum kekekalan panjang (8-9
tahun); (4) hukum kekekalan luas (8-9 tahun); (5) hukum kekekalan
berat (9-10 tahun); hukum kekekalan isi (14-15 tahun). Anak-anak
memiliki karakteristik sifat yang berbeda-beda.
Pitadjeng (2015: 7-15) mengutip pendapat Kardi (1999) sifat
anak SD dikelompokkan menjadi 2 yaitu, (1) sifat anak SD kelompok
umur 6 – 9 tahun. Anak kelompok umur ini sifat psikisnya sangat aktif
sehingga mudah merasa letih dan memerlukan istirahat. Guru
hendaknya
mencipakan
suasana
belajar
yang
santai
dengan
menggunakan permainan (2) sifat anak SD kelompok umur 9 – 12
tahun.
Anak
kelompok
umur
ini
senang
dan
sudah
dapat
mempergunakan alat-alat dan benda-benda kecil dan memiliki sifat
mudah terpengaruh tingkah laku kelompok dan mulai terjadi
persaingan. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat menggunakan trik
untuk menyelaraskan pembelajaran matematika yaitu membagi kelas
menjadi beberapa kelompok. Mereka akan berlomba-lomba untuk
mendapatkan hasil terbaik namun tetap dapat dipertanggungjawabkan.
19
Dalam pembelajaran matematika bilangan bulat di Sekolah
Dasar ini anak belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur
matematika. Guru dalam membelajarkan anak harus memperhatikan
perkembangan individunya baik berupa intelektualnya maupun sifatsifat individu. Anak SD masih pada tahap operasional konkret yaitu
memahami matematika bilangan bulat dengan memperkenalkan objekobjek konkret baru dengan simbolnya sehingga diperlukan media dan
model yang inovatif serta menyenangkan untuk anak memperolah
pengalamannya sendiri. Karakteristik anak SD yang aktif dan mulai
terjadi persaingan dalam pembelajaran. Bila guru dapat memilih
pembelajaran yang inovatif yang sesuai dengan perkembangan anak
tersebut maka anak mudah untuk menerima materi pembelajaran
bilangan bulat.
3) Pengertian Bilangan Bulat
Kamsiyati (2012: 43) menyatakan bahwa, “bilangan (number)
adalah suatu ide yang bersifat abstrak. Bilangan itu bukan simbol atau
lambang, dan bukan pula lambang bilangan. Bilangan itu adalah suatu
yang bersifat abstrak yang memberi keterangan mengenai banyaknya
anggota suatu himpunan”. Jadi banyaknya anggota dari bilangan bulat
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sistem bilangan cacah, operasi pengurangan dan pembagian
tidak selalu memberi hasil yang pasti. Misalnya, tidak ada bilangan
cacah yang sama dengan (2 - 5). Untuk itu perlu memperluas bilangan
cacah agar terdapat suatu sistem bilangan yang tertutup terhadap semua
operasi hitung. Sistem bilangan hasil perluasan disebut bilangan bulat.
Pada sistem bilangan cacah, pengurangan (2 – 5) supaya ada hasilnya
bilangan terkurang ditambah dengan 3, berarti bilangan terkurang masih
kurang 3 atau (2 – 5) = (-3) (dibaca negatif 3). Maka himpunan bilangan
bulat adalah (...., -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, ......) (Kamsiyati, 2012: 81).
20
Sejalan dengan pendapat di atas, pengertian bilangan bulat
menurut United States Agency for International Development (USAID)
(2015: 52) adalah bilangan yang utuh atau tidak pecah. Himpunan
semua bilangan dilambangkan dengan Z yang berasal dari Zahlen
(bahasa jerman untuk bilangan). Diperjelas melalui pendapat Wahyudi
(2014: 140) menyatakan bahwa bilangan bulat merupakan gabungan
antara bilangan asli dengan bilangan negatif serta bilangan nol.
Bilangan bulat juga dapat diartikan sebagai gabungan antara bilangan
negatif dan bilangan cacah. Bilangan bulat anggotanya terdiri dari
bilangan positif, bilangan negatif, dan bilangan nol.
Himpunan bilangan asli
=
{1, 2, 3, 4, ....... }
Himpunan bilangan cacah =
{0, 1, 2, 3, 4, .....}
Himpunan bilangan bulat =
{ ......, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, .....}
Jadi, tiap bilangan cacah, misalnya 6, diciptakan dua simbol baru
+6 dan -6. Simbol bilangan yang diawali tanda plus kecil mewakili
bilangan positif. Biasanya tanda plus ini dihilangkan untuk menyatakan
positif, sehingga +4 juga berarti 4, selanjutnya simbol yang diawali
dengan tanda minus kecil mewakili bilangan negatif. Misalnya -3
mewakili bilangan “negatif 3”, untuk bilangan 0 (nol) bukan bilangan
positif dan bukan bilangan negatif maka tidak perlu menambahi tanda
apapun.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa, bilangan bulat adalah gabungan dari himpunan semua bilangan
cacah dan semua bilangan bulat negatif yang tidak mempunyai bagian
pecahan. Terdiri dari bilangan bulat positif atau bilangan asli, yaitu: 1,
2, 3, 4, ..... atau bilangan positif dilambangkan dengan (+) dan biasanya
dihilangkan untuk menyatakan positif. bilangan bulat nol, yaitu 0 dan
bilangan bulat negatif yaitu: -1, -2, -3, -4, ...... jadi dapat dituliskan
anggota bilangan bulat sebagai berikut (....-4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4,
.....).
21
4) Operasi Hitung Penjumlahan Bilangan Bulat
Muhsetyo (2007: 3.23), sebaran penjumlahan bilangan bulat
mencakup:
a) Penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif.
Contohnya: 3 + 4 = 7
b) Penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif.
Contohnya: 3 + (- 8) = - 5
c) Penjumlahan bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat positif.
Contohnya: (- 6) + 9 = 3
d) Penjumlahan bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif.
Contohnya: (- 2) + (-8) = - 10
Pada operasi hitung bilangan bulat, terdapat sifat-sifat penting
yang harus dipahami, Kamsiyati (2012: 82), sebagai berikut:
a) Sifat tertutup
Sifat tertutup, yaitu a + b = c, maka c ϵ B.
Perhatikan himpunan bilangan bulat B = (....., -3, -2, -1, 0, 1,
2, 3, ......). Operasikan 2 bilangan bulat yang berbeda yaitu 2 + (-3),
hasilnya sama dengan – 1, dan ternyata – 1 adalah bilangan bulat.
Bila kita mengambil sembarang dua buah bilangan bulat, maka
jumlah kedua bilangan itu merupakan bilangan bulat lagi. Jadi
himpunan bilangan bulat tertutup terhadap operasi penjumlahan.
b) Sifat komutatif (pertukaran)
Sifat komutatif (pertukaran), yaitu a + b = b + a
Operasikan dua bilangan bulat yang berbeda, sebagai misal a
= 4 dan b = - 7. Hasil dari a + b = 4 + ( - 7) = -3 dan hasl dari b + a =
(-7) + 4 = -3. Jadi, hasil penjumlahan dari a + b dan b + a yang
sama-sama menghasilkan bilangan bulat yaitu -3. dari hasil
penjumlahan tersebut memberi petunjuk bahwa, jumlah dua buah
bilangan bulat hasilnya akan tetap walaupun letak kedua bilangan itu
dipertukarkan.
c) Sifat Asosiatif (pengelompokan)
22
Sifat pengelompokan, yaitu (a + b) + c = a + (b + c)
Operasikan tiga buah bilangan bulat yang berbeda, sebagai
misal a = - 5, b = 2, c = - 7 dan hasil dari (a+b) = (-5 + 2) = - 3, jadi
(a+b) + c = -3 + (-7) = - 10. Sedangkan untuk (b+c) = 2 + (-7) = -5,
jadi a + (b+c) = -5 + (-5) = -10. Dari hasil penjumlahan tersebut
memberi petunjuk bahwa, penjumlahan tiga buah bilangan bulat
hasilnya akan sama, bila pengelompokan pada penjumlahan itu
dipertukarkan.
d) Sifat bilangan 0 sebagai elemen identitas yaitu a + 0 = 0 + a = a
Pada himpunan bilangan bulat, terdapat unsur yang
mempunyai sifat bila ditambah dengan suatu bilangan atau bila suatu
bilangan diitambah dengan bilangan yang dimaksud hasilnya tidak
berubah. Sebagai contoh, (-10) + 0 = - 10 dan 0 + 75 = 75. Dari
contoh tersebut memberikan petunjuk bahwa suatu bilangan bulat
apabila dijumlahkan dengan bilangan 0, hasilnya adalah bilangan
bulat itu sendiri.
e) Sifat, tiap elemen mempunyai elemen invers (lawan).
Lawan 0 = 0 lawan (-5) = 5
Pada garis bilangan tersebut, tampak jelas bahwa titik yang
bertanda 1 dan titik bertanda -1 mempunyai jarak yang sama
terhadap titik 0, yaitu sejauh 1 satuan. Jadi, setiap bilangan bulat
(kecuali 0) dapat dipasangkan dengan bilangan bulat yang lain
sedemikian sehingga jumlah pasangan itu adalah 0. Bilangan 0 (nol)
tidak termasuk karena 0 pasangannya adalah 0 sendiri.
23
Penanaman konsep diperlukan di mana karakteristik anak SD
masih pada tahap operasional konkret yaitu memahami matematika
bilangan bulat dengan memperkenalkan objek-objek konkret baru
dengan simbolnya. Tahap penanaman konsep penjumlahan bilangan
bulat, sebagai berikut:
a) Tahap pengenalan konsep secara konkret
Menggunaan peragaan menurut Wahyudi (2014: 144-146),
seperti berikut: (sebut saja peragaan dengan “Muatan”)
Melambangkan bilangan negatif
Melambangkan bilangan positif
Melambangkan bilangan 0 ( pasangan positif dan
negatif )
Lambang bilangan negatif
(lambang -4)
Lambang bilangan positif
(lambang +4)
Lambang
(karena -4 + 4 = 0)
24
Melambangkan – 2 (negatif
2)
Melambangkan 1 (positif 1)
Contoh: 2 + ( - 5) = .........
Jika soal tersebut diperagakan dengan muatan, maka
langkahnya adalah:
(1) Tunjukkan muatan positif sebanyak 2 buah
(2) Tambah muatan negatif sebanyak 5 buah
25
(3) Pasangkan muatan positif dan muatan negatif yang ada. Untuk
melihat hasilnya, perhatikan muatan yang tidak berpasangan
(yaitu terdapat 3 buah muatan negatif)
2
-5
Jadi 2 + (-5) = (-3)
Contoh: (-2) + (-2) = ......... diperagakan dengan muatan
menjadi:
+
= -4
Pitadjeng ( 2015: 166), memberikan contoh:
243 + (-221) = ..........
2
4
3
2
2
1
+
+
2
2
Tampak bahwa 243 + (-221) = 22
26
b) Tahap pengenalan konsep dengan garis bilangan
Menjumlahkan dua buah bilangan bulat dengan pendekatan
yang semi konkret atau semi abstrak dengan menggunakan garis
bilangan. Muhsetyo (2007: 3.23-3.25) menjabarkan cara penggunaan
garis bilangan, sebagai berikut:
Contoh: 6 + ( - 8) = .....
(1)
(3)
Caranya sebagai berikut:
(1) Dari skala 0, langkahkanlah anak panah ke arah bilangan positif
dan berhenti pada skala 6.
(2) Karena bilangan penjumlahnya merupakan bilangan negatif,
maka pada skala 6 tersebut ujung anak panahnya harus
dihadapkan ke arah bilangan negatif, yaitu oleh bilangan 8
berarti anak panah tersebut harus dilangkahkan maju sebanyak 8
langkah.
(3) Posisi akhir dari ujung panah pada langkah ketiga tepat berada
di atas skala – 2 dan ini menunjukkan hasil dari 6 + (-8) = - 2
Contoh: - 3 + ( - 4) = ........
(2)
(1)
(3)
Caranya sebagai berikut:
27
(1) Dari skala 0, langkahkanlah anak panah ke arah bilangan negatif
dan berhenti pada skala – 3.
(2) Karena operasi hitungnya berkenaan dengan penjumlahan, dan
anak panah arahnya sudah sesuai dengan jenis bilangan
keduanya, maka langkahkanlah maju anak panah tersebut
sebanyak 4 langkah dari posisi skala – 3.
(3) Posisi akhir dari ujung panah pada langkah kedua tepat berada
di atas skala – 7, dan ini menunjukkan hasil dari (-3) + (-4) = (7)
c) Tahap Pengenalan Konsep dengan Nomograf
Menurut Riyadi (2011), menyatakan bahwa kata nomograph
yang berasal dari Yunani dan mempunyai arti aturan tertulis, dapat
diterapkan dalam matematika pada sebuah teknik dengan grafik
untuk menghitung dan untuk menyelesaikan persamaan tertentu.
Nomograf berupa tiga buah garis bilangan yang diletakkan sejajar
dengan sifat skala pada garis bilangan yang terletak di tengah-tengah
besarnya sama dengan setengah kali skala pada garis bilangan yang
mengapitnya (Wahyudi, 2014: 146).
Wahyudi ( 2014: 147), cara membuat dan penggunaan
nomograf dalam operasi penjumlahan bilangan bulat, sebagai
berikut:
Pada garis bilangan a, buatlah skala 0 (di tengah) dan di atas
0 adalah bilangan positif, serta di bawah 0 adalah bilangan negatif.
Pada garis bilangan b, buatlah skala 0 (di tengah) dan di atas 0
adalah bilangan positif, serta di bawah 0 adalah bilangan negatif.
Pada garis bilangan c, buatlah dengan skala 0 (di tengah) dan di atas
0 adalah bilangan positif, serta di bawah 0 adalah bilangan negatif.
28
Contoh: 3 + ( - 5 ) = .....
Langkah-langkah:
(1) Letakkan paku pada garis bilangan paling kiri posisi 3
(2) Latakkan paku pada garis bilangan paling kanan pada posisi
(
-5)
(3) Hubungkan paku pada angka 3 dan – 5 dengan benang atau
karet.
(4) Untuk melihat hasil penjumlahan, perhatikan bilangan pada
garis bilangan yang terletak ditengah yang dilalui benang atau
karet.
(5) Jadi 3 + ( - 5 ) = - 2 ( perhatikan garis bilangan yang tengah)
5) Operasi Hitung Pengurangan Bilangan Bulat
Muhsetyo (2007: 3.32), sebaran pengurangan bilangan bulat
mencakup:
a) Pengurangan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif.
Contohnya: 8 - 6 = 2
b) Pengurangan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif.
29
Contohnya: 4 - (- 4) = 8
c) Pengurangan bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat positif.
Contohnya: (- 6) - 9 = -15
d) Pengurangan bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif.
Contohnya: (- 8) - (-3) = - 5
Sifat-sifat pengurangan bilangan bulat menurut (Kamsiyati,
2012: 86-88) sebagai berikut:
Pengurangan
bilangan
bulat
bersifat
tertutup.
Untuk
menunjukkan hal itu harus ditunjukkan untuk setiap a dan b bilanganbilangan bulat selalu ada satu saja bilangan bulat (a-b). Pertama
tunjukkan adanya bilangan bulat yaitu a – b = k.
Menurut definisi pengurangan a – b = k jika dan hanya jika a= b + k
a + ( - b)
a + ( - b)
= ( b + k) + ( - b )
sifat kesamaan
= ( k + b) + ( - b )
sifat komutatif
=k+(b+(-b))
sifat asosiatif
=k+0
sifat invers penjumlahan
= k, atau k = a + ( - b )
Ini menunjukkan bahwa ada bilangan bulat k sedemikian hingga a – b =
k. Selanjutnya akan diperlihatkan bahwa bilangan bulat k ( yang sama
dengan a + (-b) ). Misalnya terdapat bilangan bulat k dan n, dengan n ≠
k jadi a = b + n.
Karena a = b + k maka b + n = b + k
(b+n)+(-b)
=(b+k)+(-b)
sifat kesamaan
(n+b)+(-b)
=(k+b)+(-b)
sifat komutatif
n+(b+(-b))
=k+(b+(-b))
sifat asosiatif
n+0
=k+0
sifat invers penjumlahan
Hal ini bertentangan dengan pemisalan di atas. Jadi hanya ada satu
bilangan bulat tertentu sehingga a = b + k
Dengan demikian a – b = k dengan k = a + ( - b ), sehingga definisi
pengurangan dapat dirubah dalam bentuk penjumlahan sebagai berikut:
a–b=a+(-b)
30
Salah satu konsep bilangan bulat sebagai berikut:
Pembuktian a – b = a + ( - b ), Bentuk tersebut sebagai kalimat
pengurangan dengan a sebagai terkurang, ( - b ) sebagai pengurang dan
( a + b ) sebagai selisihnya. Sehingga yang harus dibuktikan sama
artinya dengan ( a + b ) + ( - b ) = a
Bukti:
(a+b)+(-b)
=
(a+(b+(-b))
=
a+0
=
a
Jadi, ( a + b ) + ( - b )=
Terbukti bahwa
sifat asosiatif
sifat invers penjumlahan
a
a–(-b)=a+(b)
Penanaman konsep pada operasi hitung pengurangan bilangan
bulat adalah sebagai berikut:
a) Tahap pengenalan konsep secara konkret
Menggunaan peragaan menurut Wahyudi (2014: 152-153),
seperti berikut: (sebut saja peragaan dengan “Muatan”). Operasi
pengurangan dengan peragaan Muatan berarti mengurangkan atau
mengurangi atau mengambil.
Contoh: 8 – 3 = ......
Jika diperagakan dengan muatan, maka langkahnya adalah:
(1) Tunjukkan muatan positif sebanyak 8 buah
(2) Kemudian dikurangi (diambil muatan positif sebanyak 3 buah)
(3) Sisanya merupakan hasil pengurangan tersebut.
-
jadi, 8 – 3 = 5
31
Contoh: 5 - (-2) = ..... diperagakan dengan muatan menjadi:
ini adalah lambang 5
Kemudian dikurangi (diambil) 2 buah muatan negatif ( - 2) menjadi
Jadi 5 – (-2) = 7
Pitadjeng (2015: 166-167), pengurangan bilangan bulat sebagai
contoh:
(-212) – 131 = .....
2
1
2
1
3
1
-
3
4
3
Caranya:
(1) Anak diminta memasang kartu-kartu yang sesuai di tempatnya.
Selanjutnya anak memasang satu kartu pengurang dengan satu
kartu yang dikurangi yang berwarna sama.
32
(2) Pemasangan dimulai dari satuan. Karena tidak ada kartu yang
berwarna sama, maka di tambah pasangan kartu sebanyak
pengurang. Untuk mengingat bahwa sepasang kartu merah dan
biru harganya nol, dipasang kartu nol.
(3) Karena yang dikurangi sudah mempunyai kartu yang sama
warnanya dengan pengurang, maka pengambilan kartu yang
dikurangi sesuai pengurang dapat dilakukan. Lihat sisa
kartunya berjumlah berapa.
b) Tahap pengenalan konsep dengan garis bilangan
Pengurangan dua buah bilangan bulat dengan pendekatan
yang semi konkret atau semi abstrak dengan menggunakan garis
bilangan. Muhsetyo (2007: 3.34-3.35) menjabarkan cara penggunaan
garis bilangan, sebagai berikut:
Contoh: (- 3) – (-5) = .....
(2)
(3)
Caranya sebagai berikut:
(1) Dari skala 0, langkahkanlah anak panah ke arah bilangan
negatif dan berhenti pada skala – 3. Hal ini menunjukkan
bilangan pertamanya (negatif 3).
(2) Karena operasi hitungnya berkenaan dengan pengurangan dan
anak panah arahnya sudah sesuai dengan jenis bilangan yang
keduanya (- 5), maka anak panah tersebut dilangkahkan
mundur sebanyak 5 langkah dari skala – 3.
(3) Posisi akhir dari pangkal panah pada langkah kedua, tepat di
atas skala 2. Hal ini menunjukkan hasil dari (– 3) – (- 5) = 2
c) Tahap Penggunaan konsep dengan Nomograf
33
Wahyudi (2014: 154-155), mengungkapkan cara dan
penggunaan nomograf, sebagai berikut:
Cara membuat nomograf pengurangan yaitu, pada garis
bilangan a buatlah skala nol (di tengah) dan di atas nol adalah
bilangan positif, serta di bawah nol adalah bilangan negatif. Pada
garis bilangan b buatlah skala nol (di tengah) dan di atas nol adalah
bilangan negatif, serta di bawah nol adalah positif. Pada garis
bilangan c buatlah skala nol (di tengah) dan di atas nol adalah
bilangan positif, serta di bawah nol adalah bilangan negatif
Contoh: 2 – 5 = ....
a
c
b
Langkah –langkah:
(1) Letakkan paku pada garis bilangan paling kiri posisi 2
(2) Latakkan paku pada garis bilangan paling kanan pada posisi
(5)
(3) Hubungkan paku pada angka 2 dan 5 dengan benang atau
karet.
34
(4) Untuk melihat hasil pengurangan, perhatikan bilangan pada
garis bilangan yang terletak ditengah yang dilalui benang atau
karet.
(5) Jadi 2 - ( 5 ) = - 3 ( perhatikan garis bilangan yang tengah)
(a)
d. Kemampuan Menghitung Bilangan Bulat di SD
Kemampuan menghitung merupakan kemampuan yang dimiliki
setiap anak untuk mengambangkan kemampuannya. Sejalan dengan
perkembangan kemampuan anak, bermula dari lingkungan terdekat dengan
dirinya dan akhirnya dapat meningkat ke tahap yang lebih rumit berupa
penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian (Susanto, 2012:98).
Sedangkan menurut Aisyah, “Kemampuan berhitung merupakan salah satu
kemampuan yang penting dalam kehidupan sehari-hari, dapat dikatakan
bahwa semua aktivitas kehidupan manusia memerlukan kemampuan ini”
(2007: 6.5). Mengingat begitu pentingnya kemampuan menghitung bagi
siswa, maka kemampuan menghitung ini perlu diajarkan sejak dini.
Putri,dkk (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Meningkatan
Kemampuan Berhitung Anak Usia Dini Melalui permainan Kartu Angka
Modifikatif ”. Volume 3 Nomor 1, hal 8. menyatakan bahwa, kemampuan
menghitung adalah pemahaman anak terhadap bilangan dan operasi
bilangan seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian
pada kondisi yang telah ditentukan sehingga menjadi pondasi yang kokoh
pada anak untuk mengembangkan kemampuan membilang pada tahap
selanjutnya.
Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
pembelajaran matematika bilangan bulat di Sekolah Dasar kelas IV
semester II mengacu pada Standar Kompetensi (SK): 5. Menjumlahkan
dan mengurangkan bilangan bulat. Pada Kompetensi Dasar (KD): 5.2
Menjumlahkan bilangan bulat dan 5.3 Mengurangkan bilangan bulat.
35
Indikator: 5.2.1 Menjumlahkan dan mengurangkan dua bilangan bulat dan
5.2.2 Menjumlahkan dan mengurangkan tiga bilangan bulat.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, kemampuan
menghitung bilangan bulat di SD yang dimaksud pada penelitian ini adalah
kecakapan seseorang untuk melakukan berbagai tugas/latihan dalam
penguasaan ilmu hitung matematika berupa penjumlahan dan pengurangan
bilangan bulat untuk memecahkan persoalan secara tepat yang dihadapinya
dalam kondisi yang telah ditentukan pada pembelajaran. Kemampuan
menghitung dapat menjadi bekal kehidupan siswa di masa depan.
Kemampuan siswa perlu diasah sehingga menjadi terlatih untuk terus
berkembang dan akhirnya kemampuan menghitungnya meningkat.
Semakin tinggi kemampuan siswa dalam menghitung maka anak semakin
mudah untuk memecahkan masalah yang lebih rumit tentang perhitungan
matematika. Kemampuan menghitung dapat dilihat secara langsung dalam
pelaksanaan evaluasi yang dilaksanakan dalam pembelajaran.
2. Hakikat Model Pembelajaran Problem Posing
Model pembelajaran problem posing merupakan salah satu model
pembelajaran yang inovatif dari berbagai macam model pembelajaran yang
ada. Terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa problem posing
merupakan metode pembelajaran. Namun di sini problem posing lebih
menjurus pada model pembelajaran, dikarenakan model merupakan bentuk
representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau
sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Selain
model pembelajaran problem posing, terdapat model pembelajaran yang
lainnya yaitu : (1) Problem Based Learning; (2) Problem Solving; (4) Open
Ended; (5) Problem Prompting. Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai
model pembelajaran problem posing, berikut ini adalah pemaparan tentang
segala hal yang mengenai model pembelajaran problem posing untuk
36
memahami arti sebuah model yang digunakan untuk peningkatan kualitas
pembelajaran dengan siswa memperoleh pengalaman belajar.
a. Pengertian Model Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran digunakan untuk membantu siswa mencapai
kemampuan secara optimal untuk dapat belajar lebih mudah dan efektif
dimasa datang. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan model
pembelajaran. Anitah (2009: 45) yang menyatakan bahwa “model adalah
suatu kerangka berpikir yang dipakai sebagai panduan untuk melaksanakan
kegiatan dalam rangka mencapai tujuan tertentu”. Sejalan dengan pendapat
tersebut Sugiyanto (2009: 3) mengutip simpulan Winataputra, menyatakan
bahwa:
Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi
sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para
pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas
pembelajaran.
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
model pembelajaran agar dapat bermanfaat secara maksimal dalam
membelajarkan siswa. Menurut Sugiyanto (2009: 3), hal-hal yang perlu
dipertimbangkan yaitu, (1) tujuan pembelajaran yang ingin dicapai; (2)
sifat bahan / materi pembelajaran; (3) kondisi siswa; (4) ketersediaan
sarana dan prasarana. Model pembelajaran pasti memiliki acuan di
dalamnya, seperti pendapat Arends (1997), model pembelajaran mengacu
pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, berupa tujuan
pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan
pembelajaran,
dan
pengelolaan
(Trianto,
2010:
51).
Dalam
pelaksanaannya, suatu pembelajaran harus dikemas secara matang dengan
berbagai hal yang perlu dipertimbangkan dan acuan yang harus
diperhatikan agar kegiatan pembelajaran dapat tersusun secara sistematis.
Mills bahwa model adalah proses aktual yang memungkinkan
seorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model
37
tersebut. Model pembelajaran ini sebagai pola yang digunakan untuk
penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada
guru di kelas (Suprijono, 2013: 45-46). Sejalan dengan pendapat tersebut,
Majid (2013: 13) menyatakan bahwa, istilah model secara umum diartikan
sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan suatu kegiatan. Jadi model pembelajaran adalah kerangka
konseptual dan prosedur
mengorganisasikan
yang disusun secara sistematik dalam
pengalaman
belajar
untuk
mencapai
tujuan
pembelajaran. Dalam pelaksanaannya model pembelajaran berfungsi
sebagai pedoman bagi perancang pengajaran serta para guru dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Aktivitas
dalam pembelajaran merupakan kegiatan yang tersusun secara sistematis.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, model pembelajaran adalah
kerangka
konseptual
yang
digunakan
sebagai
pedoman
dalam
pelaksanakan kegiatan pembelajaran, penyusunan kurikulum, materi ajar,
dan sebagai petunjuk guru yang dirancang secara sistemik agar siswa
memiliki pengalaman belajar dan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Namun dalam pemilihan model pembelajaran agar berfungsi secara
maksimal diperlukan pertimbangan yang matang dari berbagai segi.
b. Macam – Macam Model Pembelajaran
Seorang pendidik yang profesional bukan hanya dilihat dari
kemampuannya mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi lebih pada
kemampuannya untuk melaksanakan pembelajaran yang menarik dan
bermakna bagi siswa. Untuk mencapai hal tersebut perlu kerangka
konseptual
yaitu
berupa
model
pembelajaran.
Beberapa
model
pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli yaitu, (1) model
pembelajaran kontekstual; (2) model pembelajaran kooperatif; (3) model
pembelajaran kuantum; (4) model pembelajaran berbasis masalah; dan
masih banyak lagi model pembelajaran yang dikembangkan.
Model pembelajaran kontekstual adalah suatu konsep belajar yang
membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan
38
menghadirkan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa untuk
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapan dalam kehidupan sehari-hari (TIM PLPG Rayon 24, 2012: 115).
Model pembelajaran kontekstual disajikan dalam tujuh komponen,
menurut Sugiyanto, tujuh komponen pembelajaran kontekstual yaitu, (1)
konstruktivisme; (2) bertanya; (3) menemukan; (4) masyarakat belajar; (5)
pembelajaran terpadu; (6) pemodelan; dan (7) penilaian sebenarnya
(2009:4). Model pembelajaran kontekstual pada dasarnya siswa harus
mengkonstruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri yang melibatkan
tujuh komponen utama.
Model
pembelajaran
kooperatif
menurut
Wisudawati
&
Sulistyowati (2014: 53) yang mengutip simpulan Arend bahwa:
Model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan
suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan pencapaian
akademik dan sikap sosial peserta didik melalui kerja sama di
antara mereka. Model pembelajaran kooperatif bertujuan dalam
peningkatan pencapaian akademik, peningkatan rasa toleransi dan
menghargai perbedaan, serta membangun keterampilan sosial
peserta didik.
Tahapan dalam pembelajaran model kooperatif menurut Sugiyanto
(2009: 6) yaitu, (1) mengklarifikasi tujuan; (2) mempresentasikan
informasi/ mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar;
(3) membantu kerja kelompok belajar; (4) menguji berbagai materi; (5)
memberikan pengakuan. Terdapat beberapa pengembangan dalam model
ini, beberapa tipe model pembelajaran kooperatif menurut Huda, antara
lain, (1) Teams Games Tournament (TGT); (2) Teams Assisted
Individualization (TAI); (3) Student Team Achievement Diviaion (STAD);
(4) Numbered Head Together (NHT); (5) Jigsaw; dsb (2013: 197). Model
pembelajaran kooperatif dilakukan melalui kerja sama dalam kelompok
dengan berbagai tahapan pembelajaran sehingga meningkatkan sikap
sosial dan toleransi. Model ini memiliki beberapa tipe dengan karakteristik
masing-masing.
39
Pembelajaran Kuantum
sebagai salah satu model pembelajaran
yang memadukan berbagai kondisi dan interaksi dengan lingkungan yang
dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa, model ini
membiasakan belajar menyenangkan sehingga menimbulkan motivasi
siswa untuk mempengaruhi proses belajar mereka (Huda, 2013: 196).
Prinsip utama pembelajaran kuantum menurut Sugiyanto (2009: 79-83)
yaitu, bawalah dunia mereka (siswa) ke dalam dunia kita (guru), dan
antarkan dunia kita (guru) ke dalam dunia mereka (siswa). Sehingga,
tahapan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kuantum
diperkenalkan
dengan
konsep
yaitu
Tumbuhkan,
Alami,
Namai,
Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan (TANDUR) . Unsur-unsur tersebut
yang melandasi model pembelajaran kuantum dalam mempengaruhi proses
pembelajaran yang menyenangkan.
Model pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model
pembelajaran yang menggunakan masalah untuk belajar tentang cara
berpikir kritis dan terampil dalam pemecahan masalah serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep dari materi pelajaran. Pengajaran
berbasis masalah digunakan untuk berpikir tingkat tinggi termasuk di
dalamnya belajar bagaimana belajar (TIM PLPG Rayon 24, 2012: 119).
Siswa
diharapkan
mampu
memiliki
beberapa
kompetensi
dalam
penggunaan model pembelajaran berbasis masalah. Menurut Huda (2013:
270-271) kompetensi yang akan dimiliki berupa (1) meneliti; (2)
mengemukakan pendapat; (3) menerapkan pegetahuan sebelumnya; (4)
memunculkan
mengorganisasi
ide-ide;
ide-ide,
(5)
membuat
membuat
keputusan-keputusan;
hubungan-hubungan;
(6)
(7)
menghubungkan wilayah interaksi; (8) mengapresiasi. Guru harus
memberikan kesempatan siswa menambah kemampuan menemukan dan
kecerdasan. Beberapa model pembelajaran yang termasuk dalam
pembelajaran berbasis masalah antara lain, (1) Problem Based Learning;
(2) Problem Solving; (3) Problem Posing; (4) Open Ended; (5) Problem
Prompting; (6) SAVI; dsb. Peran guru dalam model pembelajaran sebagai
40
pembimbing
dan
fasilitator
sehingga
siswa
dapat
belajar
dan
menyelesaikan masalahnya sendiri. Penggunaan model pembelajaran
berbasis masalah dapat mengembangkan pemikiran kritis untuk pemecahan
masalah yang ada.
Berdasarkan berbagai macam model pembelajaran di atas penelitian
ini menggunakan model pembelajaran berbasis masalah yaitu model
pembelajaran problem posing di mana pelajaran matematika merupakan
pelajaran yang memerlukan pemecahan masalah dan di analisa secara
kritis. Model ini menggunakan masalah untuk belajar tentang cara berpikir
kritis dan terampil dalam pemecahan masalah, sehingga sangat sesuai
untuk menangani masalah dalam penelitian ini yaitu kemampuan
menghitung pada mata pelajaran matematika materi bilangan bulat.
c. Pengertian Problem Posing
Problem posing merupakan istilah yang pertama kali dikembangkan
oleh para ahli pendidikan asal Brasil, Paulo Freire dalam bukunya
Pedagogy of the Oppressed (1970) dan dikembangkan di tahun 1997 oleh
Lyn D. English dan berakar dalam teori belajar konstruktivisme yang
mengadopsi dari karya Piaget dan Dewey. Awalnya diterapkan dalam mata
pelajaran matematika selanjutnya model ini dikembangkan pula pada mata
pelajaran lain. Problem posing juga merujuk pada strategi pembelajaran
yang menekankan pemikiran kritis demi mencapai tujuan yang diharapkan
(Huda, 2013: 276). Pengetahuan dibangun oleh individu dengan
menggunaan pengalaman mereka sendiri untuk berpikir kritis di mana
siswa membuat soal. Menurut Aqib (2009: 25) menyatakan bahwa,
problem posing berarti pengajuan masalah yang meminta siswa untuk
membuat soal atau masalah berdasarkan informasi yang diberikan, di mana
soal yang penyelesaiannya dikerjakan maupun tidak.
Sedangkan menurut Ngalimun (2014: 164), problem posing yaitu
pemecahan masalah dengan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali
masalah menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana untuk dipahami.
Sintaknya adalah (1) pemahaman; (2) jalan keluar; (3) identifikasi
41
kekeliruan; (4) minimalisasi tulisan-hitungan; (5) cari alternatif; (6)
menyusul soal/pertanyaan. Siswa dituntut kemampuannya untuk membuat
sebuah soal. Sejalan dengan pendapat tersebut, Akay, H. & Boz, N (2010)
dalam jurnal The effect of Problem posing Oriented Analyses-II Course on
the Attitudes toward Mathematics Self-Efficacy of Elementary Prospective
Mathematics Teacher. Australian Journal of Teacher Education. Volume
35 Issue 1, menyatakan bahwa:
“Problem posing is defined as occuring when students are engaged
in reformulating given problems and also when producing new
problems or questions. Thus, problem posing is not independent
from problem solving”.
Problem posing adalah suatu model yang berbentuk pengajuan
soal/masalah yang didefinisikan sebagai permasalahan ketika siswa
terlibat dalam memberikan masalah dan juga ketika siswa membuat
masalah atau pertanyaan yang baru kemudian siswa mampu
memecahkannya. Dengan demikian, model problem posing ini
berbeda dengan model problem solving karena problem solving
hanya memecahkan soal dari guru, tetapi problem posing siswa
dituntut
mampu
membuat
soal
kemudian
mampu
menyelesaikannya.
Problem posing / pengajuan masalah menurut Brown dan Walter
terdiri dari dua aspek penting yaitu accepting dan challenging. Accepting
berupa sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan
oleh guru. Sedangkan, challenging berupa sejauh mana siswa merasa
tertantang dari situasi yang diberikan sehingga melahirkan kemampuan
untuk mengajukan masalah atau soal (Thobroni dan Mustofa, 2012: 345).
Pengajuan masalah yang dibuat secara mandiri dapat membantu siswa
untuk mengembangkan proses nalar mereka.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
problem posing adalah model pembelajaran yang menekankan pemikiran
kritis di mana siswa dimotivasi membuat soal / pertanyaan sendiri sesuai
topik yang diberikan dan diharapkan siswa dapat memecahkan masalah
tersebut sehingga mereka tertantang dalam proses pembelajaran.
42
d. Penerapan Model Problem Posing dalam Pembelajaran
Problem posing / pengajuan soal merupakan kegiatan yang
mengarah pada sikap kritis dan kreatif. Di pembelajaran matematika sangat
diperlukan latihan soal untuk mengasah kemampuan siswa. Pada
hakikatnya model problem posing berupa pengajuan soal dan siswa
diminta untuk
membuat pertanyaan dari informasi yang diberikan.
Pengajuan soal dapat meningkatkan kemampuan menghitung anak dalam
pembelajaran matematika di SD.
Penerapan problem posing yang dikemukakan oleh Shoimin (2014:
134-135) sebagai berikut:
1) Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa.
Penggunaan alat peraga untuk memperjelas konsep sangat
disarankan.
2) Guru memberikan latihan soal secukupnya.
3) Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang
dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya.
Tugas ini dapat pula dilakukan secara kelompok.
4) Pada pertemuan berikutnya, secara acak, guru menyuruh siswa
untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal
ini, guru dapat menentukan siswa secara selektif berdasarkan
bobot soal yang diajukan oleh siswa.
5) Guru memberikan tugas rumah secara individual.
Sejalan dengan hal tersebut, penerapan problem posing menurut
Aqib (2009: 26) sebagai berikut:
1) Berikan kepada siswa soal tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi
yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa
membuat pertanyaan sesuai informasi tersebut.
2) Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi
kelompok.
Tiap
kelompok
ditugasi
membuat
soal
sekaligus
penyelesaiannya. Selanjutnya, soal-soal tersebut dikerjakan oleh
kelompok lain. Sebelumnya, soal diberikan kepada guru untuk diedit
tentang kebaikan dan kesiapannya. Soal-soal tersebut didiskusikan
pada masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini akan memberikan
43
nilai komunikasi dan pengalaman belajar. Siswa dapat menanyakan
soal tersebut yang dibuat secara individu.
3) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah
pertanyaan yang berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan
kemudian diseleksi dari daftar tersebut untuk diselesaikan. Dengan
mendaftar pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan masalah
tersebut, hal ini akan membantu siswa memahami masalah.
Langkah-langkah di atas dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan guru
dalam mengajar, karena posisi guru dalam pembelajaran menggunakan
model problem posing adalah sebagai fasilitator yang membimbing,
menunjukkan jalan dengan memperhitungkan kepribadian siswa. Guru
berperan sebagai pengantar siswa dalam memahami konsep dengan cara
menyiapkan situasi sesuai dengan pokok bahasan yang diajarkan, sehingga
siswa mengonstruksi sendiri masalah tersebut. Pengajuan soal juga dapat
dimodifikasi sesuai kebutuhan. Silver dan Cai (Thobroni dan Mustofa,
2012: 352) menjelaskan bahwa pengajuan
soal mandiri dapat
diaplikasikan dalam tiga bentuk aktivitas kognitif Matematika, yakni
sebagai berikut:
1) Pre-solution posing, yaitu jika seorang siswa membuat soal dari situasi
yang diadakan. Jadi, guru diharapkan mampu membuat pertanyaan
yang berkaitan dengan pernyataan yang dibuat sebelumnya.
2) Within solution posing, yaitu jika seorang siswa mampu merumuskan
ulang pertanyaan soal tersebut menjadi sub-sub pertanyaan baru yang
urutan penyelesaiannya seperti yang telah diselesaikan sebelumnya.
Jadi, diharapkan siswa mampu membuat sub-sub pertanyaan baru dari
sebuah pertanyaan yang ada pada soal yang bersangkutan.
3) Post-solution posing, yaitu jika seorang siswa memodifikasi tujuan
atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal baru
yang sejenis.
44
Guru matematika dalam rangka mengembangkan model pembelajaran
problem posing yang berkualitas dan terstruktur dalam pembelajaran
matematika, menurut Thobroni dan Mustofa (2012: 353) dapat
menerapkan prinsip-prinsip dasar, sebagai berikut:
1) Pengajuan soal harus berhubungan dengan apa yang
dimunculkan dari aktivitas siswa di dalam kelas.
2) Pengajuan soal harus berhubungan dengan proses pemecahan
masalah.
3) Pengajuan soal dapat dihasilkan dari permasalahan yang ada
dalam buku teks, dengan memodifikasikan dan membentuk
ulang karakteristik bahasa dan tugas.
Berdasarkan pendapat di atas, guru dalam menerapkan
pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran problem
posing harus dapat memodifikasi proses pembelajaran dalam menggunakan
pemecahan masalah. Keterlibatan siswa untuk turut belajar dengan
menerapkan model pembelajaran problem posing merupakan salah satu
indikator keefektifan belajar.
e. Kelebihan Problem Posing
Model pembelajaran pasti memiliki kelebihan masing-masing.
Kelebihan model pembelajaran problem posing menurut Thobroni dan
Mustofa (2012: 344-350) sebagai berikut:
1) Mendidik siswa untuk berpikir kreatif, karena bertanya merupakan
pangkal semua kreasi. Orang yang memiliki kemampuan mencipta
(berkreasi) dikatakan memiliki sikap kreatif. Di dalam pengajuan soal
siswa diberikan kesempatan aktif secara mental, fisik, dan sosial serta
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki dan juga
membuat soal.
2) Mendidik murid berpikir kritis, di mana siswa membuat sendiri soal dan
urutan penyelesaiannya.
3) Siswa aktif dalam pembelajaran. Di mana peran guru dalam
pembelajaran adalah fasilitator sehingga mengantarkan siswa dalam
memahami konsep dengan cara menyiapkan situasi sesuai dengan
pokok bahasan yang diajarkan.
45
4) Belajar menganalisis suatu masalah, di mana siswa mengembangkan
sendiri
suatu
masalah
yang disajikan
menjadi
soal-soal
dan
penyelesaiannya.
5) Mendidik anak percaya pada diri sendiri di mana dalam pembuatan
soal, sebelumnya harus memahami konsep-konsep yang ada sehingga
dalam pemecahan soal yang dibuatnya sendiri siswa mampu
memahaminya dan timbullah kepercayaan diri tersebut.
6) Siswa dapat mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap
pelajaran, sebab ide-ide siswa dicobakan untuk memahami masalah
yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan kemampuannya dalam
pemecahan masalah.
7) Siswa lebih bertanggung jawab dalam belajarnya.
8) Siswa dapat mudah mengingat dan memahami materi pelajaran.
9) Perhatian siswa dapat terpusat dalam pembelajaran.
Menambah pendapat di atas, Shoimin (2014: 135) mengungkapkan
kelebihan model pembelajaran problem posing yaitu perbedaan pendapat
antara siswa dapat diketahui sehingga mudah diarahkan pada diskusi yang
sehat, karena dalam pengajuan suatu masalah siswa dapat menggali
pengetahuannya, alasan, serta pandangan siswa yang lain dalam
pemecahan masalah tersebut. Di sisi lain kelebihan problem posing
menurut Kilic, C dalam jurnal Turkish Primary School Teacher’ Opinions
about Problem posing Applications: Students, the Mathematics Curriculum
and Mathematics Textbooks. Australian Journal of Teacher Education.
Volume 38 Issue 5. Dalam jurnalnya menyatakan bahwa:
Problem posing is a reflective and dynamic process that enables
students to reflect on their mathematical perceptions. It also
allows students to connect their mathematical knowledge and
abilities to each other, which helps them develop reasoning and
communicating skills. Moreover, problem posing helps students
to think in a flexible way and assess themselves. In problem
posing activity students can realize their potential and advance
their learning.
46
Problem posing merupakan proses reflektif dan dinamis
yang memungkinkan siswa untuk merefleksikan persepsi
matematika mereka. Hal ini juga memungkinkan siswa untuk
menghubungkan pengetahuan dan kemampuan matematika
mereka satu sama lain, yang membantu mereka mengembangkan
penalaran dan keterampilan berkomunikasi. Selain itu, problem
posing membantu siswa untuk berpikir dalam cara yang fleksibel
dan menilai sendiri. Dalam aktivitas problem posing siswa dapat
mengembangkan potensi dan memajukan pembelajaran mereka.
Dapat disimpulkan dari pendapat di atas bahwa model pembelajaran
problem posing dapat membantu siswa dalam berpikir kritis, kreatif,
mengembangkan penalaran, keterampilan berkomunikasi dan siswa aktif
dalam pembelajaran sehingga kemampuan siswa dalam menghitung
meningkat serta tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai harapan.
f. Kelemahan Problem Posing
Model pembelajaran problem posing juga mempunyai beberapa
kelemahan, Thobroni dan Mustofa (2012: 350) menyatakan beberapa
kelemahan model pembelajaran problem posing, sebagai berikut:
1) Memerlukan waktu yang cukup banyak, karena di dalam pembelajaran
tidak semua siswa memiliki kemampuan berpikir yang sama.
2) Tidak bisa digunakan di kelas-kelas rendah sehingga hanya dapat
digunakan di kelas tinggi yaitu kelas 4, 5, dan 6. Pembelajaran
menggunakan
model
pembelajaran
problem
posing
diperlukan
pemikiran yang kritis dan siswa dituntut untuk membuat soal sendiri
dan pemecahannya.
3) Tidak semua murid terampil bertanya karena penerapan problem posing
ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan.
Dari uraian di atas, tampak bahwa keterlibatan siswa secara aktif
dalam belajar dengan menerapkan model pembelajaran problem posing
sangatlah penting. Siswa tidak hanya menerima saja materi dari guru,
tetapi juga menggali dan mengembangkan sendiri. Hasil belajar tidak
hanya meningkatkan pengetahuan, tetapi juga meningkatkan kemampuan
berpikir.
47
Kemampuan siswa untuk mengerjakan soal-soal dan sampai
pembuatan soal sendiri perlu dilatih agar penerapan model problem posing
dapat optimal. Kemampuan siswa untuk mengerjakan soal dapat dideteksi
lewat kemampuannya untuk menjelaskan penyelesaian soal yang diajukan
di depan kelas. Dalam penerapan model pembelajaran problem posing
siswa dapat dilatih kreatif, disiplin, dan meningkatkan kemampuan berpikir
siswa.
g. Langkah-Langkah
Penggunaan
Model
Problem
Posing
materi
bilangan
bulat
pada
Pembelajaran Bilangan Bulat
Pembelajaran
Matematika
dengan
menggunakan model pembelajaran problem posing, dalam proses
pembelajaran diperlukan langkah-langkah pembelajaran yang sudah
dimodifikasi dan disesuaikan kebutuhan siswa, sebagai berikut:
1) Membuka kegiatan pembelajaran.
2) Menyampaikan tujuan pembelajaran.
3) Menjelaskan materi pembelajaran (penjumlahan dan pengurangan
bilangan bulat)
4) Memberikan contoh soal (penjumlahan dan pengurangan bilangan
bulat).
5) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal
yang belum jelas.
6) Memberikan kesempatan pada siswa untuk membuat soal dan
penyelesaiannya secara berkelompok.
7) Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan.
8) Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan yang dibuat siswa.
9) Menutup kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran problem
posing diawali dengan penyampaian materi dan penanaman konsep pada
bilangan bulat. Kemudian, memberikan contoh soal berupa penjumlahan
dan pengurangan bilangan bulat dan dibahas bersama-sama. Selanjutnya,
pemberian contoh dalam pembuatan masalah dari masalah yang ada dan
48
membuat penyelesaian masalah tersebut. Kemudian siswa melakukan
pembelajaran dengan menggunakan model problem posing. Dengan
pengajuan masalah atau soal dapat dilakukan secara kelompok. Tingkat
pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi yang dipelajarinya
dapat dilihat melalui pertanyaan yang diajukan. Pengajuan masalah secara
kelompok merupakan salah satu cara membangun kerja sama yang saling
menguntungkan sehingga dapat memberi kesempatan pada setiap siswa
untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, tiap anggota
kelompok merasa dirinya sebagai bagian yang bertanggung jawab pada
soal yang diajukan dengan penyelesaiannya.
Pengajuan soal pada operasi penjumlahan dan pengurangan
bilangan bulat, siswa mengubah dan memvariasikan situasi diberikan
menjadi masalah, soal, atau pertanyaan baru sesuai kemampuan mereka. Di
sisi lain, pertanyaan tersebut yang sudah dirancang secara kelompok dapat
diajukan ke kelompok lain untuk dijawabnya sehingga siswa harus berani
untuk menyelesaikan masalah/ soal yang dirumuskan oleh temannya. Guru
dalam proses pembelajaran juga memberi motivasi pada siswa untuk
menyelesaikan masalah, soal, atau pertanyaan tersebut. Dengan hal
tersebut, siswa akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu
hal dan diharapkan kemampuan siswa dalam menghitung akan meningkat.
Pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan model
pembelajaran problem posing dapat juga berupa, siswa diberikan soal dan
diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan
permasalahan bilangan bulat secara kelompok. Maka dalam diri anak akan
muncul pertanyaan-pertanyaan dan jawaban dari soal yang diberikan guru.
Pemilihan masalah bisa dari buku pelajaran Matematika atau buku LKS
Matematika.
Kemampuan siswa akan tampak dengan jelas bila siswa mampu
mengajukan soal-soal. Kemampuan siswa dalam menghitung untuk
mengerjakan soal tersebut dapat dideteksi lewat kemampuannya untuk
menjelaskan penyelesaian soal yang diajukan di depan kelas dengan
49
berbagai modifikasi pembelajaran penggunaan model problem posing oleh
guru. Pembelajaran berakhir dengan guru memberikan penekanan kembali
tentang konsep bilangan bulat. Siswa diminta untuk memberikan
kesimpulan mengenai proses pembelajaran bilangan bulat sehingga guru
dapat merangkum kesimpulan tersebut, selanjutnya siswa diberikan
evaluasi di akhir pembelajaran untuk mengukur kemampuan menghitung
bilangan bulat.
3. Penelitian yang Relevan
Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian-penelitian terdahulu yang
relevan yaitu, penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti dengan
model pembelajaran yang sama maupun permasalahan yang sama dengan
penelitian ini. Penelitian tersebut ialah sebagai berikut:
Penelitian
Saputro
(2013)
yang
berjudul
“Penggunaan
Model
Pembelajaran Problem Posing untuk Meningkatkan Keterampilan Operasi
hitung Pecahan pada Siswa Kelas V SD Negeri 01 Kalijirak Tasikmadu
Karanganyar Tahun Ajaran 2012/2013”, Persamaan dari penelitian Saputro
(2013) dengan penelitian ini terdapat pada variabel bebas yaitu penggunaan
model pembelajaran problem posing. Sedangkan perbedaannya terdapat pada
variabel terikat, penelitian yang dilakukan Saputro (2013) mengenai
keterampilan operasi hitung pecahan sedangkan penelitian ini menggunakan
kemampuan menghitung bilangan bulat. Hasil awal penelitian ini menunjukkan
bahwa, sebanyak 10 siswa dari 33 siswa atau 30,30 % nilainya melebihi
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Siswa yang mencapai batas KKM pada
siklus I sebanyak 23 siswa dari 33 siswa atau 69,69 %, sedangkan pada siklus
II sebanyak 30 siswa dari 33 siswa atau 90,90 %. Dengan demikian, model
pembelajaran problem posing dapat meningkatkan keterampilan operasi hitung
pecahan pada siswa kelas V SD Negeri 01 Kalijirak Tasikmadu Karanganyar
Tahun Ajaran 2012/2013.
Penelitian Widhi (2015) yang berjudul “Peningkatan Kemampuan
Menghitung Bilangan Bulat Menggunakan Media Papan Berpasang Siswa
50
Kelas IV SD Negeri 1 Cangkreplor Purworejo Tahun Ajaran 2014/2015”,
Persamaan dari penelitian Widhi (2015) dan penelitian ini terdapat pada
variabel terikat yaitu kemampuan menghitung bilangan bulat. Sedangkan
perbedaannya terdapat pada variabel bebas, penelitian yang dilakukan Widhi
(2015) mengenai penggunaan media papan berpasang, sedangkan penelitian ini
menggunakan model pembelajaran problem posing. Setelah guru menganalisis
data, di peroleh simpulan bahwa kemampuan menghitung bilangan bulat pada
siswa kelas IV SD Negeri 1 Cangkreplor Purworejo Tahun Ajaran 2014/2015,
mengalami peningkatan. Hasil awal penelitian ini menunjukkan bahwa,
sebanyak 15 siswa dari 34 siswa atau 44,12 % nilainya melebihi Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM). Siswa yang mencapai batas KKM pada siklus I
sebanyak 28 siswa dari 34 siswa atau 82,35 %, sedangkan pada siklus II
sebanyak 32 siswa dari 34 siswa atau 94,12%.
Penelitian-penelitian di atas tersebut dijadikan rujukan dan penguatan
bagi peneliti bahwa dengan menggunakan model pembelajaran problem posing
dapat meningkatkan kemampuan menghitung bilangan bulat pada siswa kelas
IV SD Negeri 02 Papahan Tahun Ajaran 2015/2016.
B. Kerangka Berpikir
Kondisi awal pembelajaran sebelum dilaksanakannya tindakan pada materi
bilangan bulat yaitu, proses pembelajaran di kelas belum menggunakan model
pembelajaran yang bervariasi hanya berupa posisi duduk siswa yang
berkelompok. Siswa hanya diminta untuk mengerjakan soal, padahal belajar akan
lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya bukan hanya untuk
mengetahuinya saja. Di sisi lain, siswa merasa bingung dalam membedakan tanda
bilangan positif (+) dan tanda bilangan negatif (-) pada bilangan bulat. Salah satu
penyebab hal tersebut, tidak ditunjukkan dengan media / alat peraga untuk
pemahaman awal tentang konsep matematika. Hal tersebut akan berdampak pada
tidak optimalnya penguasaan materi pembelajaran di tingkat selanjutnya,
kemudian minat dalam belajar akan menurun. Di sisi lain, kemampuan siswa
dalam menghitung kelas IV SD Negeri 02 Papahan Tasikmadu Karanganyar
51
tergolong masih rendah, dan nilai rata-rata siswa di bawah KKM. Sehingga, perlu
adanya perbaikan dan modifikasi dalam sistem pembelajaran di kelas. Salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut yaitu dengan
melakukan
inovasi
pembelajaran.
Dengan
inovasi
tersebut,
diharapkan
pembelajaran di kelas mempunyai suasana baru yang positif dan diharapkan
mampu memberikan perubahan terhadap kemampuan siswa dalam menghitung.
Inovasi pembelajaran yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan model
pembelajaran yang inovatif yaitu menggunakan model pembelajaran problem
posing sebagai alternatif pemecahan masalah.
Problem posing ini, merupakan suatu model pembelajaran yang bukan
hanya menerima dan mengerjakan soal saja, melainkan mengharuskan siswa
untuk menyusun pertanyaan sendiri atau memecah suatu soal menjadi pertanyaanpertanyaan yang lebih sederhana. Sehingga, siswa dapat berperan aktif dalam
proses pembelajaran. Dengan penggunaan problem posing siswa dapat dilatih
kreatifitas, disiplin, dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Penggunaan
model pembelajaran problem posing dilakukan dalam dua siklus, setiap siklusnya
terdiri dari 4 tahap yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Siklus II
dilakukan setelah pembenahan dari siklus I. Penelitian ini menetapkan indikator
kinerja yaitu sebesar 85% .
Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran problem
posing dapat meningkatkan kemampuan menghitung bilangan bulat pada siswa
kelas IV SD Negeri 02 Papahan Tasikmadu Karanganyar Tahun Ajaran
2015/2016. Untuk memperjelas hal-hal tersebut secara skematis, kerangka
berpikir dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
52
Kondisi
awal
Tindakan
Kondisi
akhir
Dalam pembelajaran guru
belum menggunakan
model pembelajaran yang
bervariasi secara tepat dan
efektif
Pembelajaran
menghitung bilangan
bulat menggunakan
model pembelajaran
problem posing.
Penggunaan model
pembelajaran problem posing
dapat meningkatkan
kemampuan menghitung
bilangan bulat pada siswa kelas
IV SD Negeri 02 Papahan
Tasikmadu Karanganyar
tahun ajaran 2015/2016
Gambar 2. 1 Bagan Kerangka Berpikir
Kemampuan menghitung
bilangan bulat pada siswa
kelas IV SD Negeri 02
Papahan Tasikmadu
Karanganyar masih rendah
1.
2.
3.
4.
Siklus I
Perencanaan
Tindakan
Observasi
Refleksi
1.
2.
3.
4.
Siklus II
Perencanaan
Tindakan
Observasi
Refleksi
53
C. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan di
atas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut, “Melalui penggunaan
model
pembelajaran
problem
posing
dapat
meningkatkan
kemampuan
menghitung bilangan bulat pada siswa kelas IV SD Negeri 02 Papahan Tasikmadu
Karanganyar Tahun Ajaran 2015/2016”.
Download