BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Teori 1. Hakikat Kemampuan Menghitung Bilangan Bulat pada Siswa Sekolah Dasar (SD) a. Pengertian Kemampuan Siswa dalam dirinya pasti memiliki kemampuan, kemampuan tersebut digunakan untuk bekal dikehidupannya. Munandar (Susanto, 2012:97) menyatakan bahwa, kemampuan merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Seseorang dapat melakukan sesuatu karena adanya kemampuan yang dimilikinya. Kemampuan ini juga merupakan potensi seseorang yang mereka bawa sejak lahir serta dipermatang dengan adanya pembiasaan dan latihan, sehingga seseorang dapat melakukan sesuatu. Hal senada juga dinyatakan oleh Sunarto&Hartono (2008:120), suatu kemampuan yang dimiliki individu dapat dikembangkan sepenuhnya di masa mendatang apabila latihan dilakukan secara optimal. Ivancevich, dkk (2007:85) juga mengemukakan, “Kemampuan adalah bakat seseorang untuk melakukan tugas secara fisik atau mental”. Dengan demikian, pengertian kemampuan bagi siswa adalah sesuatu yang mereka bawa dan akan terus berkembang dengan adanya pembiasaan serta latihan dalam proses pembelajarannya untuk menyelesaikan tugasnya dan kehidupan di masa mendatang. Tugas-tugas diperlukan dalam menumbuhkan kemampuan anak. Hal tersebut diperjelas oleh Gordon (Mulyasa, 2006:38), menyatakan bahwa, “Kemampuan adalah suatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya”. Menurut Kamsiyati (2012: 12) yang mengutip simpulan Gagne, kemampuan adalah kecakapan untuk melakukan suatu tugas khusus dalam kondisi yang telah ditentukan. Kemampuan juga dapat ditingkatkan jika subtugas yang dibutuhkan untuk menuntaskan tugas-tugas yang lebih luas sudah 9 10 diidentifikasi dan diurutkan. Dengan demikian, bila siswa memiliki kemampuan mereka akan mampu menyelesaikan berbagai jenis tugas baik yang termudah sampai tersulit sekalipun dan harus selalu diasah untuk mengembangkan kecakapannya. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan merupakan kecakapan yang dimiliki individu untuk melakukan berbagai tugas sebagai hasil pembawaan dan latihan (belajar) sehingga dapat menjawab tantangan dalam kondisi yang ditentukan dalam pembelajaran. b. Pengertian Menghitung Salah satu cabang matematika adalah menghitung. Susanto (2012: 98-99) mengemukakan bahwa, menghitung merupakan dasar dari beberapa ilmu yang dipakai dalam setiap kehidupan manusia. Dalam setiap aktivitasnya manusia tidak dapat terlepas dari cara menghitung matematika, mulai dari penambahan, pengurangan, pembagian, sampai perkalian yang kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Tanpa adanya matematika yaitu menghitung, maka kegiatan kehidupan manusia akan terhenti dan menjadi tidak ada artinya. Sejalan dengan hal tersebut, Delphie (2009: 80) berpendapat bahwa, siswa dapat mengetahui sejauh mana kemampuan penguasaan di bidang matematika dalam pelajaran menghitung yaitu mencari jumlahnya (sisanya, pendapatannya) dengan menjumlahkan, mengurangi, membagi, mengalikan, dan cara pemecahan masalah. Oleh karena itu, semua aktivitas manusia tidak lepas dari cara menghitung, dan hal tersebut perlu dilatih dan diasah dalam rangka mengembangkan kemampuan untuk pemecahan masalah. Kertu,dkk (2015), mengutip simpulan Alwi (2003), dalam jurnal eJournal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Volume 5 Nomor 1, hal 5 menyatakan bahwa, menghitung berasal dari kata hitung yang mempunyai makna keadaan, setelah mendapat awalan me- akan berubah menjadi makna yang menunjukkan suatu kegiatan menjumlahkan, 11 mengurangi, mengalikan, dan sebagainya. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang selalu dilakukan di kehidupan sehari-hari. Hal senada dijelaskan oleh Abdurrahman (2012: 203) yang mengutip pendapat Naga, menyatakan bahwa menghitung merupakan cabang matematika yang berkenaan dengan sifat hubungan-hubungan bilangan nyata dengan perhitungan menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Sehingga dapat dikatakan menghitung merupakan pengetahuan tentang bilangan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, menghitung mengacu pada pengetahuan tentang bilangan dan aktivitas/kegiatan individu mengenal angka dengan cara menghitung mulai dari menjumlahkan, mengurangi, membagi, dan mengalikan untuk pemecahan masalah dan untuk menangani situasi kehidupan sehari-hari yang mencakup perhitungan. c. Konsep Pembelajaran Bilangan Bulat di SD Ruang lingkup matematika di SD sesuai dengan KTSP adalah (1) bilangan; (2) geometri dan pengukuran; (3) pengolahan data. Pada penelitian ini bilangan bulat termasuk ruang lingkup matematika berupa bilangan. Jadi, bilangan bulat harus dikuasai oleh siswa dalam mata pelajaran matematika. Matematika merupakan pelajaran penting, sehingga siswa dapat memperoleh kemampuan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. 1) Pentingnya Pembelajaran Matematika di SD Seseorang menuntut ilmu pasti mengalami pembelajaran dan pembelajaran membutuhkan proses. Dick dan Carey (2005) (dalam Pribadi, 2010: 11) mengemukakan bahwa: Pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa atau kegiatan yang disampaikan secara terstruktur dan terencana dengan menggunakan sebuah atau beberapa jenis media. Proses pembelajaran mempunyai tujuan agar siswa dapat mencapai kompetensi seperti yang diharapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut proses pembelajaran perlu dirancang secara sistematik dan sistemik. 12 Pasal 1 butir 20 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar serta didukung oleh beberapa komponen. Lima komponen pembelajaran yaitu: interaksi siswa, pendidik, sumber belajar, dan lingkungan belajar. Interaksi mengandung arti hubungan timbal balik antara guru dan siswa yang paling utama. Sejalan dengan hal tersebut, Suprijono (2013: 13) mendefinisikan pembelajaran berdasarkan makna leksikal yaitu pembelajaran merupakan proses, cara, perbuatan mempelajari. Pembelajaran guru mengajar diartikan sebagai upaya guru mengorganisir lingkungan terjadinya pembelajaran. Guru mengajar dalam pandangan pembelajaran adalah guru menyediakan fasilitas belajar bagi siswanya untuk mempelajarinya. Subjek pembelajaran adalah siswa. Pembelajaran juga berupa dialog interaktif. Dalam pengertian tersebut pembelajaran berupa interaksi antara guru dan siswa baik dengan penggunaan media maupun sumber belajar yang dirancang secara sistematis. Pembelajaran memiliki banyak unsur-unsur yang saling mempengaruhi, pembelajaran menurut Hamalik (2008:57), menyatakan bahwa: Suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material, meliputi bukubuku, papan tulis, dan kapur, fotografi, slide, film, audio, dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian, dan sebagainya Pada dasarnya pembelajaran merupakan kegiatan terencana yang merangsang siswa agar bisa belajar dengan baik dan sesuai tujuan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran bermuara pada dua kegiatan. 13 Pertama,bagaimana siswa melakukan tindakan perubahan tingkah laku melalui kegiatan belajar. Kedua, begaimana guru melakukan tindakan penyampaian ilmu pengetahuan melalui kegiatan mengajar (Majid, 2013: 5). Di sisi lain, Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 45) berpendapat bahwa proses belajar dan pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan siswa, artinya ketika pendidik mulai mengajar dengan seperangkat materi yang akan ditransformasi kepada siswa, maka mereka sudah siap mental dan daya ingatnya. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran dilakukan oleh guru dalam mengkondisikan siswa untuk belajar, karena proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kesiapan siswa. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah interaksi siswa dengan pendidik, dan sumber belajar sehingga diperlukannya kombinasi antara unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara terencana di mana subjek dari pembelajaran adalah siswa. Siswa di sini yang melakukan perubahan tingkah laku melalui kegiatan belajar dan guru sebagai penyampai ilmu pengetahuan dengan menyediakan fasilitas. Proses pembelajaran juga terjadi secara berulang-ulang dan menyebabkan perubahan perilaku yang cenderung bersifat tetap. Matematika mempunyai peranan penting dalam pendidikan dan merupakan salah satu bidang studi yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengertian matematika pada Depdiknas dalam Hamzah & Muhlisrarini (2014:48), mengemukakan bahwa: Matematika berasal dari akar kata mathema artinya pengetahuan, mathanein artinya berpikir atau belajar. Dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan matematika adalah ilmu tentang bilangan hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. 14 Heruman (2008: 1), yang mengutip pendapat Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa, matematika adalah bahasa simbol ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif, ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi mulai dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil. Sejalan dengan pendapat tersebut Johnson dan Myklebust (Sundayana, 2013:2), menyatakan bahwa matematika merupakan bahasa simbolis yang mempunyai fungsi praktis untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan. Dengan kata lain, matematika adalah bekal bagi siswa untuk berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif. Matematika juga merupakan ilmu yang kajian objeknya bersifat abstrak. Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar hingga sekolah tinggi untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematik, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif (Aisyah, 2007: 1.3). Sejalan dengan hal tersebut, Shadiq berpendapat bahwa matematika merupakan pelajaran yang sangat penting untuk dipelajari karena mempelajari matematika dapat menata kemampuan berpikir para siswa, bernalar, memecahkan masalah, berkomunikasi, serta mampu menggunakan dan memanfaatkan teknologi. Standar matematika sekolah meliputi standar isi dan standar proses. Standar proses meliputi pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, keterkaitan, komunikasi, representasi (2014: 9-10). Maka dari itu, siswa harus dapat menguasai matematika. Hasratuddin (2010), dalam jurnal Pendidikan Matematika PARADIGMA. Volume 6 Nomor 2, hal 132. menyatakan bahwa: Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia dan cara menggunakan 15 informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Dengan demikian, dari beberapa pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa matematika adalah ilmu abstrak dan ilmu logika yang memiliki banyak simbol yang digunakan untuk penyelesaian masalah tentang menghitung dalam bilangan. Dibutuhkan cara berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif sehingga dapat memberikan solusi dalam pemecahan masalah di kehidupan sehari-hari dan dalam prosesnya meliputi pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, keterkaitan, komunikasi, representasi. Matematika selalu digunakan dalam menjalani kehidupan di manapun berada, maka matematika memiliki peran yang penting dalam perkembangan zaman dengan memajukan teknologi yang canggih. Berdasarkan matematika, dapat pengertian pembelajaran dirumuskan simpulan dan bahwa pengertian pembelajaran matematika merupakan serangkaian kegiatan yang terencana dan disengaja dalam kegiatan belajar matematika yang digunakan untuk penyelesaian masalah tentang menghitung dalam bilangan, sehingga siswa dapat menemukan sendiri pengetahuan yang dibutuhkannya untuk memberikan pengalaman dan memperoleh kompetensi tentang matematika, setiap proses pembelajaran harus dilalui agar dapat menguasai secara mendalam dan mantap. 2) Karakteristik Matematika di SD Materi yang diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai bilangan bulat operasi hitung penjumlahan dan pengurangan yang merupakan materi pelajaran di SD kelas IV, untuk mengajarkannya harus disesuaikan dengan karakteristik matematika yang ada, karena pembelajaran matematika di SD merupakan pembelajaran awal dan 16 dasar yang dipahami oleh siswa. Oleh karena itu, pendidik harus memahami karakteristik anak SD untuk mendukung pembelajaran matematika bilangan bulat, agar pembelajaran menjadi efektif, bermakna dan menyenangkan. Anak Sekolah Dasar (SD) pada umumnya berumur 6 atau 7, sampai 12 atau 13 tahun. Piaget, menyatakan bahwa: Anak seumur ini berada pada periode operasi konkret. Periode ini disebut operasi konkret sebab berpikir logisnya didasarkan pada manipulasi fisik objek-objek konkret. Anak yang masih berada pada periode ini untuk berpikir abstrak masih membutuhkan bantuan memanipulasi objek-objek konkret atau pengalaman-pengalaman yang langsung dialaminya (Pitadjeng, 2015: 36). Pitadjeng (2015: 36) juga berpendapat belajar bukan hanya menerima informasi dan pengalaman lama yang dimiliki anak didik untuk mengkomodasikan informasi dan pengalaman baru. Oleh karena itu tahap operasi konkret adalah pembelajaran yang didasarkan pada benda-benda konkret agar mempermudah anak dalam memahami konsep-konsep matematika. Perkembangan belajar matematika anak melalui 4 tahap yaitu tahap konkret, semi konkret, semi abstrak dan abstrak (1) Pada tahap konkret, kegiatan yang dilakukan anak adalah untuk mendapatkan pengalaman langsung atau manipulasi objek-objek konkret. Misal: anak melihat 2 buah balon untuk memahami bilangan 2; (2) Tahap semi konkret ini sudah tidak perlu manipulasi objek-objek konkret lagi seperti pada tahap konkret, tetapi cukup dengan gambaran dari objek yang dimaksud. Misal: dengan melihat gambar 2 buah balon anak mampu memahami bilangan 2; (3) Tahap semi abstrak ini memanipulasi/ melihat tanda sebagai ganti gambar untuk dapat berfikir abstrak. Misal: dengan melihat 2 tanda, anak mampu memahami bilangan 2; (4) Tahap abstrak anak dengan melihat lambang/simbol atau membaca/mendengar secara verbal tanpa kaitan dengan objek-objek konkret. Misal: dengan melihat angka-angka atau mendengar “dua”, 17 anak sudah mampu memahami bilangan 2. (Piaget dalam Kamsiyati, 2012: 3) Pembelajaran Matematika disesuaikan dengan perkembangan kognitif anak sehingga belajar anak menjadi mudah. Guru dalam proses pembelajaran harus memahami karakteristik siswa, agar proses pembelajaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Menurut Bruner dalam Kamsiyati (2012: 4), “Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsepkonsep dan struktur-struktur matematika”, kemudian Bruner melukiskan perkembangan anak melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu: a) Tahap Enaktif Pada tahap ini dalam belajar anak didik menggunakan atau memanipulasi objek-objek konkret secara langsung. Misalnya untuk memahami konsep operasi pengurangan bilangan bulat 7-2, anak memerlukan pengalaman mengambil 2 benda dari sekelompok 7 benda. b) Tahap Ikonik Pada tahap ini kegiatan anak didik mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek konkret. Anak didik tidak memanipulasi langsung objek-objek konkret seperti pada tahap enaktif melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambar di objek-objek tersebut. Misalnya pada penjumlahan bilangan bulat 2 + -2, anak diperlihatkan gambar 2 buah kartu muatan positif dan dijumlahkan dengan kartu muatan negatif. c) Tahap Simbolis Tahap ini merupakan tahap manipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak ada lagi kaitannya dengan objek-objek. Misalnya untuk penjumlahan 2 + 3 siswa sudah diperkenalkan simbol angka 2, penjumlah, dan 3. 18 Teori pembelajaran matematika di atas, perkembangan kognitif anak bahwa pembelajaran matematika di SD pada dasarnya berawal dari konkret atau benda nyata selanjutnya tahap yang abstrak yaitu simbolsimbol dari matematika. Siswa SD pada tahap ini anak memerlukan pengalaman langsung dalam proses pembelajaran. Guru dalam mengajar matematika harus mengupayakan agar anak didik dapat menerima dengan baik serta memahami materi yang dipelajari. Upaya tersebut dapat terlaksana dengan strategi yang tepat dan guru harus memahami anak didiknya. Terdapat 3 sudut pandang yang perlu dipahami guru tentang anak didiknya yaitu memahami perkembangan intelektual anak, memahami sifat-sifat anak, dan memahami perbedaan individu. Menurut Piaget 6 tahap perkembangan belajar anak yaitu, (1) hukum kekekalan bilangan (6-7 tahun); (2) hukum kekekalan materi (7-8 tahun); (3) hukum kekekalan panjang (8-9 tahun); (4) hukum kekekalan luas (8-9 tahun); (5) hukum kekekalan berat (9-10 tahun); hukum kekekalan isi (14-15 tahun). Anak-anak memiliki karakteristik sifat yang berbeda-beda. Pitadjeng (2015: 7-15) mengutip pendapat Kardi (1999) sifat anak SD dikelompokkan menjadi 2 yaitu, (1) sifat anak SD kelompok umur 6 – 9 tahun. Anak kelompok umur ini sifat psikisnya sangat aktif sehingga mudah merasa letih dan memerlukan istirahat. Guru hendaknya mencipakan suasana belajar yang santai dengan menggunakan permainan (2) sifat anak SD kelompok umur 9 – 12 tahun. Anak kelompok umur ini senang dan sudah dapat mempergunakan alat-alat dan benda-benda kecil dan memiliki sifat mudah terpengaruh tingkah laku kelompok dan mulai terjadi persaingan. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat menggunakan trik untuk menyelaraskan pembelajaran matematika yaitu membagi kelas menjadi beberapa kelompok. Mereka akan berlomba-lomba untuk mendapatkan hasil terbaik namun tetap dapat dipertanggungjawabkan. 19 Dalam pembelajaran matematika bilangan bulat di Sekolah Dasar ini anak belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika. Guru dalam membelajarkan anak harus memperhatikan perkembangan individunya baik berupa intelektualnya maupun sifatsifat individu. Anak SD masih pada tahap operasional konkret yaitu memahami matematika bilangan bulat dengan memperkenalkan objekobjek konkret baru dengan simbolnya sehingga diperlukan media dan model yang inovatif serta menyenangkan untuk anak memperolah pengalamannya sendiri. Karakteristik anak SD yang aktif dan mulai terjadi persaingan dalam pembelajaran. Bila guru dapat memilih pembelajaran yang inovatif yang sesuai dengan perkembangan anak tersebut maka anak mudah untuk menerima materi pembelajaran bilangan bulat. 3) Pengertian Bilangan Bulat Kamsiyati (2012: 43) menyatakan bahwa, “bilangan (number) adalah suatu ide yang bersifat abstrak. Bilangan itu bukan simbol atau lambang, dan bukan pula lambang bilangan. Bilangan itu adalah suatu yang bersifat abstrak yang memberi keterangan mengenai banyaknya anggota suatu himpunan”. Jadi banyaknya anggota dari bilangan bulat dapat dijelaskan sebagai berikut: Sistem bilangan cacah, operasi pengurangan dan pembagian tidak selalu memberi hasil yang pasti. Misalnya, tidak ada bilangan cacah yang sama dengan (2 - 5). Untuk itu perlu memperluas bilangan cacah agar terdapat suatu sistem bilangan yang tertutup terhadap semua operasi hitung. Sistem bilangan hasil perluasan disebut bilangan bulat. Pada sistem bilangan cacah, pengurangan (2 – 5) supaya ada hasilnya bilangan terkurang ditambah dengan 3, berarti bilangan terkurang masih kurang 3 atau (2 – 5) = (-3) (dibaca negatif 3). Maka himpunan bilangan bulat adalah (...., -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, ......) (Kamsiyati, 2012: 81). 20 Sejalan dengan pendapat di atas, pengertian bilangan bulat menurut United States Agency for International Development (USAID) (2015: 52) adalah bilangan yang utuh atau tidak pecah. Himpunan semua bilangan dilambangkan dengan Z yang berasal dari Zahlen (bahasa jerman untuk bilangan). Diperjelas melalui pendapat Wahyudi (2014: 140) menyatakan bahwa bilangan bulat merupakan gabungan antara bilangan asli dengan bilangan negatif serta bilangan nol. Bilangan bulat juga dapat diartikan sebagai gabungan antara bilangan negatif dan bilangan cacah. Bilangan bulat anggotanya terdiri dari bilangan positif, bilangan negatif, dan bilangan nol. Himpunan bilangan asli = {1, 2, 3, 4, ....... } Himpunan bilangan cacah = {0, 1, 2, 3, 4, .....} Himpunan bilangan bulat = { ......, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, .....} Jadi, tiap bilangan cacah, misalnya 6, diciptakan dua simbol baru +6 dan -6. Simbol bilangan yang diawali tanda plus kecil mewakili bilangan positif. Biasanya tanda plus ini dihilangkan untuk menyatakan positif, sehingga +4 juga berarti 4, selanjutnya simbol yang diawali dengan tanda minus kecil mewakili bilangan negatif. Misalnya -3 mewakili bilangan “negatif 3”, untuk bilangan 0 (nol) bukan bilangan positif dan bukan bilangan negatif maka tidak perlu menambahi tanda apapun. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, bilangan bulat adalah gabungan dari himpunan semua bilangan cacah dan semua bilangan bulat negatif yang tidak mempunyai bagian pecahan. Terdiri dari bilangan bulat positif atau bilangan asli, yaitu: 1, 2, 3, 4, ..... atau bilangan positif dilambangkan dengan (+) dan biasanya dihilangkan untuk menyatakan positif. bilangan bulat nol, yaitu 0 dan bilangan bulat negatif yaitu: -1, -2, -3, -4, ...... jadi dapat dituliskan anggota bilangan bulat sebagai berikut (....-4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, .....). 21 4) Operasi Hitung Penjumlahan Bilangan Bulat Muhsetyo (2007: 3.23), sebaran penjumlahan bilangan bulat mencakup: a) Penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif. Contohnya: 3 + 4 = 7 b) Penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif. Contohnya: 3 + (- 8) = - 5 c) Penjumlahan bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat positif. Contohnya: (- 6) + 9 = 3 d) Penjumlahan bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif. Contohnya: (- 2) + (-8) = - 10 Pada operasi hitung bilangan bulat, terdapat sifat-sifat penting yang harus dipahami, Kamsiyati (2012: 82), sebagai berikut: a) Sifat tertutup Sifat tertutup, yaitu a + b = c, maka c ϵ B. Perhatikan himpunan bilangan bulat B = (....., -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, ......). Operasikan 2 bilangan bulat yang berbeda yaitu 2 + (-3), hasilnya sama dengan – 1, dan ternyata – 1 adalah bilangan bulat. Bila kita mengambil sembarang dua buah bilangan bulat, maka jumlah kedua bilangan itu merupakan bilangan bulat lagi. Jadi himpunan bilangan bulat tertutup terhadap operasi penjumlahan. b) Sifat komutatif (pertukaran) Sifat komutatif (pertukaran), yaitu a + b = b + a Operasikan dua bilangan bulat yang berbeda, sebagai misal a = 4 dan b = - 7. Hasil dari a + b = 4 + ( - 7) = -3 dan hasl dari b + a = (-7) + 4 = -3. Jadi, hasil penjumlahan dari a + b dan b + a yang sama-sama menghasilkan bilangan bulat yaitu -3. dari hasil penjumlahan tersebut memberi petunjuk bahwa, jumlah dua buah bilangan bulat hasilnya akan tetap walaupun letak kedua bilangan itu dipertukarkan. c) Sifat Asosiatif (pengelompokan) 22 Sifat pengelompokan, yaitu (a + b) + c = a + (b + c) Operasikan tiga buah bilangan bulat yang berbeda, sebagai misal a = - 5, b = 2, c = - 7 dan hasil dari (a+b) = (-5 + 2) = - 3, jadi (a+b) + c = -3 + (-7) = - 10. Sedangkan untuk (b+c) = 2 + (-7) = -5, jadi a + (b+c) = -5 + (-5) = -10. Dari hasil penjumlahan tersebut memberi petunjuk bahwa, penjumlahan tiga buah bilangan bulat hasilnya akan sama, bila pengelompokan pada penjumlahan itu dipertukarkan. d) Sifat bilangan 0 sebagai elemen identitas yaitu a + 0 = 0 + a = a Pada himpunan bilangan bulat, terdapat unsur yang mempunyai sifat bila ditambah dengan suatu bilangan atau bila suatu bilangan diitambah dengan bilangan yang dimaksud hasilnya tidak berubah. Sebagai contoh, (-10) + 0 = - 10 dan 0 + 75 = 75. Dari contoh tersebut memberikan petunjuk bahwa suatu bilangan bulat apabila dijumlahkan dengan bilangan 0, hasilnya adalah bilangan bulat itu sendiri. e) Sifat, tiap elemen mempunyai elemen invers (lawan). Lawan 0 = 0 lawan (-5) = 5 Pada garis bilangan tersebut, tampak jelas bahwa titik yang bertanda 1 dan titik bertanda -1 mempunyai jarak yang sama terhadap titik 0, yaitu sejauh 1 satuan. Jadi, setiap bilangan bulat (kecuali 0) dapat dipasangkan dengan bilangan bulat yang lain sedemikian sehingga jumlah pasangan itu adalah 0. Bilangan 0 (nol) tidak termasuk karena 0 pasangannya adalah 0 sendiri. 23 Penanaman konsep diperlukan di mana karakteristik anak SD masih pada tahap operasional konkret yaitu memahami matematika bilangan bulat dengan memperkenalkan objek-objek konkret baru dengan simbolnya. Tahap penanaman konsep penjumlahan bilangan bulat, sebagai berikut: a) Tahap pengenalan konsep secara konkret Menggunaan peragaan menurut Wahyudi (2014: 144-146), seperti berikut: (sebut saja peragaan dengan “Muatan”) Melambangkan bilangan negatif Melambangkan bilangan positif Melambangkan bilangan 0 ( pasangan positif dan negatif ) Lambang bilangan negatif (lambang -4) Lambang bilangan positif (lambang +4) Lambang (karena -4 + 4 = 0) 24 Melambangkan – 2 (negatif 2) Melambangkan 1 (positif 1) Contoh: 2 + ( - 5) = ......... Jika soal tersebut diperagakan dengan muatan, maka langkahnya adalah: (1) Tunjukkan muatan positif sebanyak 2 buah (2) Tambah muatan negatif sebanyak 5 buah 25 (3) Pasangkan muatan positif dan muatan negatif yang ada. Untuk melihat hasilnya, perhatikan muatan yang tidak berpasangan (yaitu terdapat 3 buah muatan negatif) 2 -5 Jadi 2 + (-5) = (-3) Contoh: (-2) + (-2) = ......... diperagakan dengan muatan menjadi: + = -4 Pitadjeng ( 2015: 166), memberikan contoh: 243 + (-221) = .......... 2 4 3 2 2 1 + + 2 2 Tampak bahwa 243 + (-221) = 22 26 b) Tahap pengenalan konsep dengan garis bilangan Menjumlahkan dua buah bilangan bulat dengan pendekatan yang semi konkret atau semi abstrak dengan menggunakan garis bilangan. Muhsetyo (2007: 3.23-3.25) menjabarkan cara penggunaan garis bilangan, sebagai berikut: Contoh: 6 + ( - 8) = ..... (1) (3) Caranya sebagai berikut: (1) Dari skala 0, langkahkanlah anak panah ke arah bilangan positif dan berhenti pada skala 6. (2) Karena bilangan penjumlahnya merupakan bilangan negatif, maka pada skala 6 tersebut ujung anak panahnya harus dihadapkan ke arah bilangan negatif, yaitu oleh bilangan 8 berarti anak panah tersebut harus dilangkahkan maju sebanyak 8 langkah. (3) Posisi akhir dari ujung panah pada langkah ketiga tepat berada di atas skala – 2 dan ini menunjukkan hasil dari 6 + (-8) = - 2 Contoh: - 3 + ( - 4) = ........ (2) (1) (3) Caranya sebagai berikut: 27 (1) Dari skala 0, langkahkanlah anak panah ke arah bilangan negatif dan berhenti pada skala – 3. (2) Karena operasi hitungnya berkenaan dengan penjumlahan, dan anak panah arahnya sudah sesuai dengan jenis bilangan keduanya, maka langkahkanlah maju anak panah tersebut sebanyak 4 langkah dari posisi skala – 3. (3) Posisi akhir dari ujung panah pada langkah kedua tepat berada di atas skala – 7, dan ini menunjukkan hasil dari (-3) + (-4) = (7) c) Tahap Pengenalan Konsep dengan Nomograf Menurut Riyadi (2011), menyatakan bahwa kata nomograph yang berasal dari Yunani dan mempunyai arti aturan tertulis, dapat diterapkan dalam matematika pada sebuah teknik dengan grafik untuk menghitung dan untuk menyelesaikan persamaan tertentu. Nomograf berupa tiga buah garis bilangan yang diletakkan sejajar dengan sifat skala pada garis bilangan yang terletak di tengah-tengah besarnya sama dengan setengah kali skala pada garis bilangan yang mengapitnya (Wahyudi, 2014: 146). Wahyudi ( 2014: 147), cara membuat dan penggunaan nomograf dalam operasi penjumlahan bilangan bulat, sebagai berikut: Pada garis bilangan a, buatlah skala 0 (di tengah) dan di atas 0 adalah bilangan positif, serta di bawah 0 adalah bilangan negatif. Pada garis bilangan b, buatlah skala 0 (di tengah) dan di atas 0 adalah bilangan positif, serta di bawah 0 adalah bilangan negatif. Pada garis bilangan c, buatlah dengan skala 0 (di tengah) dan di atas 0 adalah bilangan positif, serta di bawah 0 adalah bilangan negatif. 28 Contoh: 3 + ( - 5 ) = ..... Langkah-langkah: (1) Letakkan paku pada garis bilangan paling kiri posisi 3 (2) Latakkan paku pada garis bilangan paling kanan pada posisi ( -5) (3) Hubungkan paku pada angka 3 dan – 5 dengan benang atau karet. (4) Untuk melihat hasil penjumlahan, perhatikan bilangan pada garis bilangan yang terletak ditengah yang dilalui benang atau karet. (5) Jadi 3 + ( - 5 ) = - 2 ( perhatikan garis bilangan yang tengah) 5) Operasi Hitung Pengurangan Bilangan Bulat Muhsetyo (2007: 3.32), sebaran pengurangan bilangan bulat mencakup: a) Pengurangan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif. Contohnya: 8 - 6 = 2 b) Pengurangan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif. 29 Contohnya: 4 - (- 4) = 8 c) Pengurangan bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat positif. Contohnya: (- 6) - 9 = -15 d) Pengurangan bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif. Contohnya: (- 8) - (-3) = - 5 Sifat-sifat pengurangan bilangan bulat menurut (Kamsiyati, 2012: 86-88) sebagai berikut: Pengurangan bilangan bulat bersifat tertutup. Untuk menunjukkan hal itu harus ditunjukkan untuk setiap a dan b bilanganbilangan bulat selalu ada satu saja bilangan bulat (a-b). Pertama tunjukkan adanya bilangan bulat yaitu a – b = k. Menurut definisi pengurangan a – b = k jika dan hanya jika a= b + k a + ( - b) a + ( - b) = ( b + k) + ( - b ) sifat kesamaan = ( k + b) + ( - b ) sifat komutatif =k+(b+(-b)) sifat asosiatif =k+0 sifat invers penjumlahan = k, atau k = a + ( - b ) Ini menunjukkan bahwa ada bilangan bulat k sedemikian hingga a – b = k. Selanjutnya akan diperlihatkan bahwa bilangan bulat k ( yang sama dengan a + (-b) ). Misalnya terdapat bilangan bulat k dan n, dengan n ≠ k jadi a = b + n. Karena a = b + k maka b + n = b + k (b+n)+(-b) =(b+k)+(-b) sifat kesamaan (n+b)+(-b) =(k+b)+(-b) sifat komutatif n+(b+(-b)) =k+(b+(-b)) sifat asosiatif n+0 =k+0 sifat invers penjumlahan Hal ini bertentangan dengan pemisalan di atas. Jadi hanya ada satu bilangan bulat tertentu sehingga a = b + k Dengan demikian a – b = k dengan k = a + ( - b ), sehingga definisi pengurangan dapat dirubah dalam bentuk penjumlahan sebagai berikut: a–b=a+(-b) 30 Salah satu konsep bilangan bulat sebagai berikut: Pembuktian a – b = a + ( - b ), Bentuk tersebut sebagai kalimat pengurangan dengan a sebagai terkurang, ( - b ) sebagai pengurang dan ( a + b ) sebagai selisihnya. Sehingga yang harus dibuktikan sama artinya dengan ( a + b ) + ( - b ) = a Bukti: (a+b)+(-b) = (a+(b+(-b)) = a+0 = a Jadi, ( a + b ) + ( - b )= Terbukti bahwa sifat asosiatif sifat invers penjumlahan a a–(-b)=a+(b) Penanaman konsep pada operasi hitung pengurangan bilangan bulat adalah sebagai berikut: a) Tahap pengenalan konsep secara konkret Menggunaan peragaan menurut Wahyudi (2014: 152-153), seperti berikut: (sebut saja peragaan dengan “Muatan”). Operasi pengurangan dengan peragaan Muatan berarti mengurangkan atau mengurangi atau mengambil. Contoh: 8 – 3 = ...... Jika diperagakan dengan muatan, maka langkahnya adalah: (1) Tunjukkan muatan positif sebanyak 8 buah (2) Kemudian dikurangi (diambil muatan positif sebanyak 3 buah) (3) Sisanya merupakan hasil pengurangan tersebut. - jadi, 8 – 3 = 5 31 Contoh: 5 - (-2) = ..... diperagakan dengan muatan menjadi: ini adalah lambang 5 Kemudian dikurangi (diambil) 2 buah muatan negatif ( - 2) menjadi Jadi 5 – (-2) = 7 Pitadjeng (2015: 166-167), pengurangan bilangan bulat sebagai contoh: (-212) – 131 = ..... 2 1 2 1 3 1 - 3 4 3 Caranya: (1) Anak diminta memasang kartu-kartu yang sesuai di tempatnya. Selanjutnya anak memasang satu kartu pengurang dengan satu kartu yang dikurangi yang berwarna sama. 32 (2) Pemasangan dimulai dari satuan. Karena tidak ada kartu yang berwarna sama, maka di tambah pasangan kartu sebanyak pengurang. Untuk mengingat bahwa sepasang kartu merah dan biru harganya nol, dipasang kartu nol. (3) Karena yang dikurangi sudah mempunyai kartu yang sama warnanya dengan pengurang, maka pengambilan kartu yang dikurangi sesuai pengurang dapat dilakukan. Lihat sisa kartunya berjumlah berapa. b) Tahap pengenalan konsep dengan garis bilangan Pengurangan dua buah bilangan bulat dengan pendekatan yang semi konkret atau semi abstrak dengan menggunakan garis bilangan. Muhsetyo (2007: 3.34-3.35) menjabarkan cara penggunaan garis bilangan, sebagai berikut: Contoh: (- 3) – (-5) = ..... (2) (3) Caranya sebagai berikut: (1) Dari skala 0, langkahkanlah anak panah ke arah bilangan negatif dan berhenti pada skala – 3. Hal ini menunjukkan bilangan pertamanya (negatif 3). (2) Karena operasi hitungnya berkenaan dengan pengurangan dan anak panah arahnya sudah sesuai dengan jenis bilangan yang keduanya (- 5), maka anak panah tersebut dilangkahkan mundur sebanyak 5 langkah dari skala – 3. (3) Posisi akhir dari pangkal panah pada langkah kedua, tepat di atas skala 2. Hal ini menunjukkan hasil dari (– 3) – (- 5) = 2 c) Tahap Penggunaan konsep dengan Nomograf 33 Wahyudi (2014: 154-155), mengungkapkan cara dan penggunaan nomograf, sebagai berikut: Cara membuat nomograf pengurangan yaitu, pada garis bilangan a buatlah skala nol (di tengah) dan di atas nol adalah bilangan positif, serta di bawah nol adalah bilangan negatif. Pada garis bilangan b buatlah skala nol (di tengah) dan di atas nol adalah bilangan negatif, serta di bawah nol adalah positif. Pada garis bilangan c buatlah skala nol (di tengah) dan di atas nol adalah bilangan positif, serta di bawah nol adalah bilangan negatif Contoh: 2 – 5 = .... a c b Langkah –langkah: (1) Letakkan paku pada garis bilangan paling kiri posisi 2 (2) Latakkan paku pada garis bilangan paling kanan pada posisi (5) (3) Hubungkan paku pada angka 2 dan 5 dengan benang atau karet. 34 (4) Untuk melihat hasil pengurangan, perhatikan bilangan pada garis bilangan yang terletak ditengah yang dilalui benang atau karet. (5) Jadi 2 - ( 5 ) = - 3 ( perhatikan garis bilangan yang tengah) (a) d. Kemampuan Menghitung Bilangan Bulat di SD Kemampuan menghitung merupakan kemampuan yang dimiliki setiap anak untuk mengambangkan kemampuannya. Sejalan dengan perkembangan kemampuan anak, bermula dari lingkungan terdekat dengan dirinya dan akhirnya dapat meningkat ke tahap yang lebih rumit berupa penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian (Susanto, 2012:98). Sedangkan menurut Aisyah, “Kemampuan berhitung merupakan salah satu kemampuan yang penting dalam kehidupan sehari-hari, dapat dikatakan bahwa semua aktivitas kehidupan manusia memerlukan kemampuan ini” (2007: 6.5). Mengingat begitu pentingnya kemampuan menghitung bagi siswa, maka kemampuan menghitung ini perlu diajarkan sejak dini. Putri,dkk (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Meningkatan Kemampuan Berhitung Anak Usia Dini Melalui permainan Kartu Angka Modifikatif ”. Volume 3 Nomor 1, hal 8. menyatakan bahwa, kemampuan menghitung adalah pemahaman anak terhadap bilangan dan operasi bilangan seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian pada kondisi yang telah ditentukan sehingga menjadi pondasi yang kokoh pada anak untuk mengembangkan kemampuan membilang pada tahap selanjutnya. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 pembelajaran matematika bilangan bulat di Sekolah Dasar kelas IV semester II mengacu pada Standar Kompetensi (SK): 5. Menjumlahkan dan mengurangkan bilangan bulat. Pada Kompetensi Dasar (KD): 5.2 Menjumlahkan bilangan bulat dan 5.3 Mengurangkan bilangan bulat. 35 Indikator: 5.2.1 Menjumlahkan dan mengurangkan dua bilangan bulat dan 5.2.2 Menjumlahkan dan mengurangkan tiga bilangan bulat. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, kemampuan menghitung bilangan bulat di SD yang dimaksud pada penelitian ini adalah kecakapan seseorang untuk melakukan berbagai tugas/latihan dalam penguasaan ilmu hitung matematika berupa penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat untuk memecahkan persoalan secara tepat yang dihadapinya dalam kondisi yang telah ditentukan pada pembelajaran. Kemampuan menghitung dapat menjadi bekal kehidupan siswa di masa depan. Kemampuan siswa perlu diasah sehingga menjadi terlatih untuk terus berkembang dan akhirnya kemampuan menghitungnya meningkat. Semakin tinggi kemampuan siswa dalam menghitung maka anak semakin mudah untuk memecahkan masalah yang lebih rumit tentang perhitungan matematika. Kemampuan menghitung dapat dilihat secara langsung dalam pelaksanaan evaluasi yang dilaksanakan dalam pembelajaran. 2. Hakikat Model Pembelajaran Problem Posing Model pembelajaran problem posing merupakan salah satu model pembelajaran yang inovatif dari berbagai macam model pembelajaran yang ada. Terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa problem posing merupakan metode pembelajaran. Namun di sini problem posing lebih menjurus pada model pembelajaran, dikarenakan model merupakan bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Selain model pembelajaran problem posing, terdapat model pembelajaran yang lainnya yaitu : (1) Problem Based Learning; (2) Problem Solving; (4) Open Ended; (5) Problem Prompting. Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai model pembelajaran problem posing, berikut ini adalah pemaparan tentang segala hal yang mengenai model pembelajaran problem posing untuk 36 memahami arti sebuah model yang digunakan untuk peningkatan kualitas pembelajaran dengan siswa memperoleh pengalaman belajar. a. Pengertian Model Pembelajaran Kegiatan pembelajaran digunakan untuk membantu siswa mencapai kemampuan secara optimal untuk dapat belajar lebih mudah dan efektif dimasa datang. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan model pembelajaran. Anitah (2009: 45) yang menyatakan bahwa “model adalah suatu kerangka berpikir yang dipakai sebagai panduan untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan tertentu”. Sejalan dengan pendapat tersebut Sugiyanto (2009: 3) mengutip simpulan Winataputra, menyatakan bahwa: Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan model pembelajaran agar dapat bermanfaat secara maksimal dalam membelajarkan siswa. Menurut Sugiyanto (2009: 3), hal-hal yang perlu dipertimbangkan yaitu, (1) tujuan pembelajaran yang ingin dicapai; (2) sifat bahan / materi pembelajaran; (3) kondisi siswa; (4) ketersediaan sarana dan prasarana. Model pembelajaran pasti memiliki acuan di dalamnya, seperti pendapat Arends (1997), model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, berupa tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan (Trianto, 2010: 51). Dalam pelaksanaannya, suatu pembelajaran harus dikemas secara matang dengan berbagai hal yang perlu dipertimbangkan dan acuan yang harus diperhatikan agar kegiatan pembelajaran dapat tersusun secara sistematis. Mills bahwa model adalah proses aktual yang memungkinkan seorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model 37 tersebut. Model pembelajaran ini sebagai pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru di kelas (Suprijono, 2013: 45-46). Sejalan dengan pendapat tersebut, Majid (2013: 13) menyatakan bahwa, istilah model secara umum diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Jadi model pembelajaran adalah kerangka konseptual dan prosedur mengorganisasikan yang disusun secara sistematik dalam pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pelaksanaannya model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran serta para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Aktivitas dalam pembelajaran merupakan kegiatan yang tersusun secara sistematis. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanakan kegiatan pembelajaran, penyusunan kurikulum, materi ajar, dan sebagai petunjuk guru yang dirancang secara sistemik agar siswa memiliki pengalaman belajar dan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Namun dalam pemilihan model pembelajaran agar berfungsi secara maksimal diperlukan pertimbangan yang matang dari berbagai segi. b. Macam – Macam Model Pembelajaran Seorang pendidik yang profesional bukan hanya dilihat dari kemampuannya mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi lebih pada kemampuannya untuk melaksanakan pembelajaran yang menarik dan bermakna bagi siswa. Untuk mencapai hal tersebut perlu kerangka konseptual yaitu berupa model pembelajaran. Beberapa model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli yaitu, (1) model pembelajaran kontekstual; (2) model pembelajaran kooperatif; (3) model pembelajaran kuantum; (4) model pembelajaran berbasis masalah; dan masih banyak lagi model pembelajaran yang dikembangkan. Model pembelajaran kontekstual adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan 38 menghadirkan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari (TIM PLPG Rayon 24, 2012: 115). Model pembelajaran kontekstual disajikan dalam tujuh komponen, menurut Sugiyanto, tujuh komponen pembelajaran kontekstual yaitu, (1) konstruktivisme; (2) bertanya; (3) menemukan; (4) masyarakat belajar; (5) pembelajaran terpadu; (6) pemodelan; dan (7) penilaian sebenarnya (2009:4). Model pembelajaran kontekstual pada dasarnya siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri yang melibatkan tujuh komponen utama. Model pembelajaran kooperatif menurut Wisudawati & Sulistyowati (2014: 53) yang mengutip simpulan Arend bahwa: Model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan pencapaian akademik dan sikap sosial peserta didik melalui kerja sama di antara mereka. Model pembelajaran kooperatif bertujuan dalam peningkatan pencapaian akademik, peningkatan rasa toleransi dan menghargai perbedaan, serta membangun keterampilan sosial peserta didik. Tahapan dalam pembelajaran model kooperatif menurut Sugiyanto (2009: 6) yaitu, (1) mengklarifikasi tujuan; (2) mempresentasikan informasi/ mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar; (3) membantu kerja kelompok belajar; (4) menguji berbagai materi; (5) memberikan pengakuan. Terdapat beberapa pengembangan dalam model ini, beberapa tipe model pembelajaran kooperatif menurut Huda, antara lain, (1) Teams Games Tournament (TGT); (2) Teams Assisted Individualization (TAI); (3) Student Team Achievement Diviaion (STAD); (4) Numbered Head Together (NHT); (5) Jigsaw; dsb (2013: 197). Model pembelajaran kooperatif dilakukan melalui kerja sama dalam kelompok dengan berbagai tahapan pembelajaran sehingga meningkatkan sikap sosial dan toleransi. Model ini memiliki beberapa tipe dengan karakteristik masing-masing. 39 Pembelajaran Kuantum sebagai salah satu model pembelajaran yang memadukan berbagai kondisi dan interaksi dengan lingkungan yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa, model ini membiasakan belajar menyenangkan sehingga menimbulkan motivasi siswa untuk mempengaruhi proses belajar mereka (Huda, 2013: 196). Prinsip utama pembelajaran kuantum menurut Sugiyanto (2009: 79-83) yaitu, bawalah dunia mereka (siswa) ke dalam dunia kita (guru), dan antarkan dunia kita (guru) ke dalam dunia mereka (siswa). Sehingga, tahapan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kuantum diperkenalkan dengan konsep yaitu Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan (TANDUR) . Unsur-unsur tersebut yang melandasi model pembelajaran kuantum dalam mempengaruhi proses pembelajaran yang menyenangkan. Model pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan terampil dalam pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep dari materi pelajaran. Pengajaran berbasis masalah digunakan untuk berpikir tingkat tinggi termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar (TIM PLPG Rayon 24, 2012: 119). Siswa diharapkan mampu memiliki beberapa kompetensi dalam penggunaan model pembelajaran berbasis masalah. Menurut Huda (2013: 270-271) kompetensi yang akan dimiliki berupa (1) meneliti; (2) mengemukakan pendapat; (3) menerapkan pegetahuan sebelumnya; (4) memunculkan mengorganisasi ide-ide; ide-ide, (5) membuat membuat keputusan-keputusan; hubungan-hubungan; (6) (7) menghubungkan wilayah interaksi; (8) mengapresiasi. Guru harus memberikan kesempatan siswa menambah kemampuan menemukan dan kecerdasan. Beberapa model pembelajaran yang termasuk dalam pembelajaran berbasis masalah antara lain, (1) Problem Based Learning; (2) Problem Solving; (3) Problem Posing; (4) Open Ended; (5) Problem Prompting; (6) SAVI; dsb. Peran guru dalam model pembelajaran sebagai 40 pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dapat mengembangkan pemikiran kritis untuk pemecahan masalah yang ada. Berdasarkan berbagai macam model pembelajaran di atas penelitian ini menggunakan model pembelajaran berbasis masalah yaitu model pembelajaran problem posing di mana pelajaran matematika merupakan pelajaran yang memerlukan pemecahan masalah dan di analisa secara kritis. Model ini menggunakan masalah untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan terampil dalam pemecahan masalah, sehingga sangat sesuai untuk menangani masalah dalam penelitian ini yaitu kemampuan menghitung pada mata pelajaran matematika materi bilangan bulat. c. Pengertian Problem Posing Problem posing merupakan istilah yang pertama kali dikembangkan oleh para ahli pendidikan asal Brasil, Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed (1970) dan dikembangkan di tahun 1997 oleh Lyn D. English dan berakar dalam teori belajar konstruktivisme yang mengadopsi dari karya Piaget dan Dewey. Awalnya diterapkan dalam mata pelajaran matematika selanjutnya model ini dikembangkan pula pada mata pelajaran lain. Problem posing juga merujuk pada strategi pembelajaran yang menekankan pemikiran kritis demi mencapai tujuan yang diharapkan (Huda, 2013: 276). Pengetahuan dibangun oleh individu dengan menggunaan pengalaman mereka sendiri untuk berpikir kritis di mana siswa membuat soal. Menurut Aqib (2009: 25) menyatakan bahwa, problem posing berarti pengajuan masalah yang meminta siswa untuk membuat soal atau masalah berdasarkan informasi yang diberikan, di mana soal yang penyelesaiannya dikerjakan maupun tidak. Sedangkan menurut Ngalimun (2014: 164), problem posing yaitu pemecahan masalah dengan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana untuk dipahami. Sintaknya adalah (1) pemahaman; (2) jalan keluar; (3) identifikasi 41 kekeliruan; (4) minimalisasi tulisan-hitungan; (5) cari alternatif; (6) menyusul soal/pertanyaan. Siswa dituntut kemampuannya untuk membuat sebuah soal. Sejalan dengan pendapat tersebut, Akay, H. & Boz, N (2010) dalam jurnal The effect of Problem posing Oriented Analyses-II Course on the Attitudes toward Mathematics Self-Efficacy of Elementary Prospective Mathematics Teacher. Australian Journal of Teacher Education. Volume 35 Issue 1, menyatakan bahwa: “Problem posing is defined as occuring when students are engaged in reformulating given problems and also when producing new problems or questions. Thus, problem posing is not independent from problem solving”. Problem posing adalah suatu model yang berbentuk pengajuan soal/masalah yang didefinisikan sebagai permasalahan ketika siswa terlibat dalam memberikan masalah dan juga ketika siswa membuat masalah atau pertanyaan yang baru kemudian siswa mampu memecahkannya. Dengan demikian, model problem posing ini berbeda dengan model problem solving karena problem solving hanya memecahkan soal dari guru, tetapi problem posing siswa dituntut mampu membuat soal kemudian mampu menyelesaikannya. Problem posing / pengajuan masalah menurut Brown dan Walter terdiri dari dua aspek penting yaitu accepting dan challenging. Accepting berupa sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan oleh guru. Sedangkan, challenging berupa sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan sehingga melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah atau soal (Thobroni dan Mustofa, 2012: 345). Pengajuan masalah yang dibuat secara mandiri dapat membantu siswa untuk mengembangkan proses nalar mereka. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa problem posing adalah model pembelajaran yang menekankan pemikiran kritis di mana siswa dimotivasi membuat soal / pertanyaan sendiri sesuai topik yang diberikan dan diharapkan siswa dapat memecahkan masalah tersebut sehingga mereka tertantang dalam proses pembelajaran. 42 d. Penerapan Model Problem Posing dalam Pembelajaran Problem posing / pengajuan soal merupakan kegiatan yang mengarah pada sikap kritis dan kreatif. Di pembelajaran matematika sangat diperlukan latihan soal untuk mengasah kemampuan siswa. Pada hakikatnya model problem posing berupa pengajuan soal dan siswa diminta untuk membuat pertanyaan dari informasi yang diberikan. Pengajuan soal dapat meningkatkan kemampuan menghitung anak dalam pembelajaran matematika di SD. Penerapan problem posing yang dikemukakan oleh Shoimin (2014: 134-135) sebagai berikut: 1) Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Penggunaan alat peraga untuk memperjelas konsep sangat disarankan. 2) Guru memberikan latihan soal secukupnya. 3) Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat pula dilakukan secara kelompok. 4) Pada pertemuan berikutnya, secara acak, guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan siswa secara selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa. 5) Guru memberikan tugas rumah secara individual. Sejalan dengan hal tersebut, penerapan problem posing menurut Aqib (2009: 26) sebagai berikut: 1) Berikan kepada siswa soal tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa membuat pertanyaan sesuai informasi tersebut. 2) Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok. Tiap kelompok ditugasi membuat soal sekaligus penyelesaiannya. Selanjutnya, soal-soal tersebut dikerjakan oleh kelompok lain. Sebelumnya, soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan kesiapannya. Soal-soal tersebut didiskusikan pada masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini akan memberikan 43 nilai komunikasi dan pengalaman belajar. Siswa dapat menanyakan soal tersebut yang dibuat secara individu. 3) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari daftar tersebut untuk diselesaikan. Dengan mendaftar pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan masalah tersebut, hal ini akan membantu siswa memahami masalah. Langkah-langkah di atas dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan guru dalam mengajar, karena posisi guru dalam pembelajaran menggunakan model problem posing adalah sebagai fasilitator yang membimbing, menunjukkan jalan dengan memperhitungkan kepribadian siswa. Guru berperan sebagai pengantar siswa dalam memahami konsep dengan cara menyiapkan situasi sesuai dengan pokok bahasan yang diajarkan, sehingga siswa mengonstruksi sendiri masalah tersebut. Pengajuan soal juga dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan. Silver dan Cai (Thobroni dan Mustofa, 2012: 352) menjelaskan bahwa pengajuan soal mandiri dapat diaplikasikan dalam tiga bentuk aktivitas kognitif Matematika, yakni sebagai berikut: 1) Pre-solution posing, yaitu jika seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan. Jadi, guru diharapkan mampu membuat pertanyaan yang berkaitan dengan pernyataan yang dibuat sebelumnya. 2) Within solution posing, yaitu jika seorang siswa mampu merumuskan ulang pertanyaan soal tersebut menjadi sub-sub pertanyaan baru yang urutan penyelesaiannya seperti yang telah diselesaikan sebelumnya. Jadi, diharapkan siswa mampu membuat sub-sub pertanyaan baru dari sebuah pertanyaan yang ada pada soal yang bersangkutan. 3) Post-solution posing, yaitu jika seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal baru yang sejenis. 44 Guru matematika dalam rangka mengembangkan model pembelajaran problem posing yang berkualitas dan terstruktur dalam pembelajaran matematika, menurut Thobroni dan Mustofa (2012: 353) dapat menerapkan prinsip-prinsip dasar, sebagai berikut: 1) Pengajuan soal harus berhubungan dengan apa yang dimunculkan dari aktivitas siswa di dalam kelas. 2) Pengajuan soal harus berhubungan dengan proses pemecahan masalah. 3) Pengajuan soal dapat dihasilkan dari permasalahan yang ada dalam buku teks, dengan memodifikasikan dan membentuk ulang karakteristik bahasa dan tugas. Berdasarkan pendapat di atas, guru dalam menerapkan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran problem posing harus dapat memodifikasi proses pembelajaran dalam menggunakan pemecahan masalah. Keterlibatan siswa untuk turut belajar dengan menerapkan model pembelajaran problem posing merupakan salah satu indikator keefektifan belajar. e. Kelebihan Problem Posing Model pembelajaran pasti memiliki kelebihan masing-masing. Kelebihan model pembelajaran problem posing menurut Thobroni dan Mustofa (2012: 344-350) sebagai berikut: 1) Mendidik siswa untuk berpikir kreatif, karena bertanya merupakan pangkal semua kreasi. Orang yang memiliki kemampuan mencipta (berkreasi) dikatakan memiliki sikap kreatif. Di dalam pengajuan soal siswa diberikan kesempatan aktif secara mental, fisik, dan sosial serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki dan juga membuat soal. 2) Mendidik murid berpikir kritis, di mana siswa membuat sendiri soal dan urutan penyelesaiannya. 3) Siswa aktif dalam pembelajaran. Di mana peran guru dalam pembelajaran adalah fasilitator sehingga mengantarkan siswa dalam memahami konsep dengan cara menyiapkan situasi sesuai dengan pokok bahasan yang diajarkan. 45 4) Belajar menganalisis suatu masalah, di mana siswa mengembangkan sendiri suatu masalah yang disajikan menjadi soal-soal dan penyelesaiannya. 5) Mendidik anak percaya pada diri sendiri di mana dalam pembuatan soal, sebelumnya harus memahami konsep-konsep yang ada sehingga dalam pemecahan soal yang dibuatnya sendiri siswa mampu memahaminya dan timbullah kepercayaan diri tersebut. 6) Siswa dapat mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap pelajaran, sebab ide-ide siswa dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan kemampuannya dalam pemecahan masalah. 7) Siswa lebih bertanggung jawab dalam belajarnya. 8) Siswa dapat mudah mengingat dan memahami materi pelajaran. 9) Perhatian siswa dapat terpusat dalam pembelajaran. Menambah pendapat di atas, Shoimin (2014: 135) mengungkapkan kelebihan model pembelajaran problem posing yaitu perbedaan pendapat antara siswa dapat diketahui sehingga mudah diarahkan pada diskusi yang sehat, karena dalam pengajuan suatu masalah siswa dapat menggali pengetahuannya, alasan, serta pandangan siswa yang lain dalam pemecahan masalah tersebut. Di sisi lain kelebihan problem posing menurut Kilic, C dalam jurnal Turkish Primary School Teacher’ Opinions about Problem posing Applications: Students, the Mathematics Curriculum and Mathematics Textbooks. Australian Journal of Teacher Education. Volume 38 Issue 5. Dalam jurnalnya menyatakan bahwa: Problem posing is a reflective and dynamic process that enables students to reflect on their mathematical perceptions. It also allows students to connect their mathematical knowledge and abilities to each other, which helps them develop reasoning and communicating skills. Moreover, problem posing helps students to think in a flexible way and assess themselves. In problem posing activity students can realize their potential and advance their learning. 46 Problem posing merupakan proses reflektif dan dinamis yang memungkinkan siswa untuk merefleksikan persepsi matematika mereka. Hal ini juga memungkinkan siswa untuk menghubungkan pengetahuan dan kemampuan matematika mereka satu sama lain, yang membantu mereka mengembangkan penalaran dan keterampilan berkomunikasi. Selain itu, problem posing membantu siswa untuk berpikir dalam cara yang fleksibel dan menilai sendiri. Dalam aktivitas problem posing siswa dapat mengembangkan potensi dan memajukan pembelajaran mereka. Dapat disimpulkan dari pendapat di atas bahwa model pembelajaran problem posing dapat membantu siswa dalam berpikir kritis, kreatif, mengembangkan penalaran, keterampilan berkomunikasi dan siswa aktif dalam pembelajaran sehingga kemampuan siswa dalam menghitung meningkat serta tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai harapan. f. Kelemahan Problem Posing Model pembelajaran problem posing juga mempunyai beberapa kelemahan, Thobroni dan Mustofa (2012: 350) menyatakan beberapa kelemahan model pembelajaran problem posing, sebagai berikut: 1) Memerlukan waktu yang cukup banyak, karena di dalam pembelajaran tidak semua siswa memiliki kemampuan berpikir yang sama. 2) Tidak bisa digunakan di kelas-kelas rendah sehingga hanya dapat digunakan di kelas tinggi yaitu kelas 4, 5, dan 6. Pembelajaran menggunakan model pembelajaran problem posing diperlukan pemikiran yang kritis dan siswa dituntut untuk membuat soal sendiri dan pemecahannya. 3) Tidak semua murid terampil bertanya karena penerapan problem posing ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Dari uraian di atas, tampak bahwa keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar dengan menerapkan model pembelajaran problem posing sangatlah penting. Siswa tidak hanya menerima saja materi dari guru, tetapi juga menggali dan mengembangkan sendiri. Hasil belajar tidak hanya meningkatkan pengetahuan, tetapi juga meningkatkan kemampuan berpikir. 47 Kemampuan siswa untuk mengerjakan soal-soal dan sampai pembuatan soal sendiri perlu dilatih agar penerapan model problem posing dapat optimal. Kemampuan siswa untuk mengerjakan soal dapat dideteksi lewat kemampuannya untuk menjelaskan penyelesaian soal yang diajukan di depan kelas. Dalam penerapan model pembelajaran problem posing siswa dapat dilatih kreatif, disiplin, dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa. g. Langkah-Langkah Penggunaan Model Problem Posing materi bilangan bulat pada Pembelajaran Bilangan Bulat Pembelajaran Matematika dengan menggunakan model pembelajaran problem posing, dalam proses pembelajaran diperlukan langkah-langkah pembelajaran yang sudah dimodifikasi dan disesuaikan kebutuhan siswa, sebagai berikut: 1) Membuka kegiatan pembelajaran. 2) Menyampaikan tujuan pembelajaran. 3) Menjelaskan materi pembelajaran (penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat) 4) Memberikan contoh soal (penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat). 5) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang belum jelas. 6) Memberikan kesempatan pada siswa untuk membuat soal dan penyelesaiannya secara berkelompok. 7) Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan. 8) Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan yang dibuat siswa. 9) Menutup kegiatan pembelajaran. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran problem posing diawali dengan penyampaian materi dan penanaman konsep pada bilangan bulat. Kemudian, memberikan contoh soal berupa penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dan dibahas bersama-sama. Selanjutnya, pemberian contoh dalam pembuatan masalah dari masalah yang ada dan 48 membuat penyelesaian masalah tersebut. Kemudian siswa melakukan pembelajaran dengan menggunakan model problem posing. Dengan pengajuan masalah atau soal dapat dilakukan secara kelompok. Tingkat pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi yang dipelajarinya dapat dilihat melalui pertanyaan yang diajukan. Pengajuan masalah secara kelompok merupakan salah satu cara membangun kerja sama yang saling menguntungkan sehingga dapat memberi kesempatan pada setiap siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, tiap anggota kelompok merasa dirinya sebagai bagian yang bertanggung jawab pada soal yang diajukan dengan penyelesaiannya. Pengajuan soal pada operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, siswa mengubah dan memvariasikan situasi diberikan menjadi masalah, soal, atau pertanyaan baru sesuai kemampuan mereka. Di sisi lain, pertanyaan tersebut yang sudah dirancang secara kelompok dapat diajukan ke kelompok lain untuk dijawabnya sehingga siswa harus berani untuk menyelesaikan masalah/ soal yang dirumuskan oleh temannya. Guru dalam proses pembelajaran juga memberi motivasi pada siswa untuk menyelesaikan masalah, soal, atau pertanyaan tersebut. Dengan hal tersebut, siswa akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal dan diharapkan kemampuan siswa dalam menghitung akan meningkat. Pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan model pembelajaran problem posing dapat juga berupa, siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan permasalahan bilangan bulat secara kelompok. Maka dalam diri anak akan muncul pertanyaan-pertanyaan dan jawaban dari soal yang diberikan guru. Pemilihan masalah bisa dari buku pelajaran Matematika atau buku LKS Matematika. Kemampuan siswa akan tampak dengan jelas bila siswa mampu mengajukan soal-soal. Kemampuan siswa dalam menghitung untuk mengerjakan soal tersebut dapat dideteksi lewat kemampuannya untuk menjelaskan penyelesaian soal yang diajukan di depan kelas dengan 49 berbagai modifikasi pembelajaran penggunaan model problem posing oleh guru. Pembelajaran berakhir dengan guru memberikan penekanan kembali tentang konsep bilangan bulat. Siswa diminta untuk memberikan kesimpulan mengenai proses pembelajaran bilangan bulat sehingga guru dapat merangkum kesimpulan tersebut, selanjutnya siswa diberikan evaluasi di akhir pembelajaran untuk mengukur kemampuan menghitung bilangan bulat. 3. Penelitian yang Relevan Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian-penelitian terdahulu yang relevan yaitu, penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti dengan model pembelajaran yang sama maupun permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Penelitian tersebut ialah sebagai berikut: Penelitian Saputro (2013) yang berjudul “Penggunaan Model Pembelajaran Problem Posing untuk Meningkatkan Keterampilan Operasi hitung Pecahan pada Siswa Kelas V SD Negeri 01 Kalijirak Tasikmadu Karanganyar Tahun Ajaran 2012/2013”, Persamaan dari penelitian Saputro (2013) dengan penelitian ini terdapat pada variabel bebas yaitu penggunaan model pembelajaran problem posing. Sedangkan perbedaannya terdapat pada variabel terikat, penelitian yang dilakukan Saputro (2013) mengenai keterampilan operasi hitung pecahan sedangkan penelitian ini menggunakan kemampuan menghitung bilangan bulat. Hasil awal penelitian ini menunjukkan bahwa, sebanyak 10 siswa dari 33 siswa atau 30,30 % nilainya melebihi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Siswa yang mencapai batas KKM pada siklus I sebanyak 23 siswa dari 33 siswa atau 69,69 %, sedangkan pada siklus II sebanyak 30 siswa dari 33 siswa atau 90,90 %. Dengan demikian, model pembelajaran problem posing dapat meningkatkan keterampilan operasi hitung pecahan pada siswa kelas V SD Negeri 01 Kalijirak Tasikmadu Karanganyar Tahun Ajaran 2012/2013. Penelitian Widhi (2015) yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Menghitung Bilangan Bulat Menggunakan Media Papan Berpasang Siswa 50 Kelas IV SD Negeri 1 Cangkreplor Purworejo Tahun Ajaran 2014/2015”, Persamaan dari penelitian Widhi (2015) dan penelitian ini terdapat pada variabel terikat yaitu kemampuan menghitung bilangan bulat. Sedangkan perbedaannya terdapat pada variabel bebas, penelitian yang dilakukan Widhi (2015) mengenai penggunaan media papan berpasang, sedangkan penelitian ini menggunakan model pembelajaran problem posing. Setelah guru menganalisis data, di peroleh simpulan bahwa kemampuan menghitung bilangan bulat pada siswa kelas IV SD Negeri 1 Cangkreplor Purworejo Tahun Ajaran 2014/2015, mengalami peningkatan. Hasil awal penelitian ini menunjukkan bahwa, sebanyak 15 siswa dari 34 siswa atau 44,12 % nilainya melebihi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Siswa yang mencapai batas KKM pada siklus I sebanyak 28 siswa dari 34 siswa atau 82,35 %, sedangkan pada siklus II sebanyak 32 siswa dari 34 siswa atau 94,12%. Penelitian-penelitian di atas tersebut dijadikan rujukan dan penguatan bagi peneliti bahwa dengan menggunakan model pembelajaran problem posing dapat meningkatkan kemampuan menghitung bilangan bulat pada siswa kelas IV SD Negeri 02 Papahan Tahun Ajaran 2015/2016. B. Kerangka Berpikir Kondisi awal pembelajaran sebelum dilaksanakannya tindakan pada materi bilangan bulat yaitu, proses pembelajaran di kelas belum menggunakan model pembelajaran yang bervariasi hanya berupa posisi duduk siswa yang berkelompok. Siswa hanya diminta untuk mengerjakan soal, padahal belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya bukan hanya untuk mengetahuinya saja. Di sisi lain, siswa merasa bingung dalam membedakan tanda bilangan positif (+) dan tanda bilangan negatif (-) pada bilangan bulat. Salah satu penyebab hal tersebut, tidak ditunjukkan dengan media / alat peraga untuk pemahaman awal tentang konsep matematika. Hal tersebut akan berdampak pada tidak optimalnya penguasaan materi pembelajaran di tingkat selanjutnya, kemudian minat dalam belajar akan menurun. Di sisi lain, kemampuan siswa dalam menghitung kelas IV SD Negeri 02 Papahan Tasikmadu Karanganyar 51 tergolong masih rendah, dan nilai rata-rata siswa di bawah KKM. Sehingga, perlu adanya perbaikan dan modifikasi dalam sistem pembelajaran di kelas. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut yaitu dengan melakukan inovasi pembelajaran. Dengan inovasi tersebut, diharapkan pembelajaran di kelas mempunyai suasana baru yang positif dan diharapkan mampu memberikan perubahan terhadap kemampuan siswa dalam menghitung. Inovasi pembelajaran yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan model pembelajaran yang inovatif yaitu menggunakan model pembelajaran problem posing sebagai alternatif pemecahan masalah. Problem posing ini, merupakan suatu model pembelajaran yang bukan hanya menerima dan mengerjakan soal saja, melainkan mengharuskan siswa untuk menyusun pertanyaan sendiri atau memecah suatu soal menjadi pertanyaanpertanyaan yang lebih sederhana. Sehingga, siswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran. Dengan penggunaan problem posing siswa dapat dilatih kreatifitas, disiplin, dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Penggunaan model pembelajaran problem posing dilakukan dalam dua siklus, setiap siklusnya terdiri dari 4 tahap yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Siklus II dilakukan setelah pembenahan dari siklus I. Penelitian ini menetapkan indikator kinerja yaitu sebesar 85% . Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran problem posing dapat meningkatkan kemampuan menghitung bilangan bulat pada siswa kelas IV SD Negeri 02 Papahan Tasikmadu Karanganyar Tahun Ajaran 2015/2016. Untuk memperjelas hal-hal tersebut secara skematis, kerangka berpikir dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini: 52 Kondisi awal Tindakan Kondisi akhir Dalam pembelajaran guru belum menggunakan model pembelajaran yang bervariasi secara tepat dan efektif Pembelajaran menghitung bilangan bulat menggunakan model pembelajaran problem posing. Penggunaan model pembelajaran problem posing dapat meningkatkan kemampuan menghitung bilangan bulat pada siswa kelas IV SD Negeri 02 Papahan Tasikmadu Karanganyar tahun ajaran 2015/2016 Gambar 2. 1 Bagan Kerangka Berpikir Kemampuan menghitung bilangan bulat pada siswa kelas IV SD Negeri 02 Papahan Tasikmadu Karanganyar masih rendah 1. 2. 3. 4. Siklus I Perencanaan Tindakan Observasi Refleksi 1. 2. 3. 4. Siklus II Perencanaan Tindakan Observasi Refleksi 53 C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut, “Melalui penggunaan model pembelajaran problem posing dapat meningkatkan kemampuan menghitung bilangan bulat pada siswa kelas IV SD Negeri 02 Papahan Tasikmadu Karanganyar Tahun Ajaran 2015/2016”.