BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku altruistik adalah salah satu dari sisi sifat manusia yang dengan rela untuk berbuat sesuatu untuk orang lain, tanpa berharap mendapatkan imbalan apa pun, sebaliknya egoisme menggunakan kepentingan sendiri di atas kepentingan orang lain untuk mengejar kesenangan (Sears dkk,1994). Perilaku altruis didasarkan pada sikap empati yang cukup besar terhadap orang lain. Seseorang yang memiliki perilaku altruis cenderung untuk lebih mau peduli dan memperhatikan orang lain yang membutuhkan suatu pertolongan. Perilaku tolong menolong selalu diajarkan dalam suatu keluarga sejak masa kecil seseorang. Dalam keluargapun, seorang anak diajarkan untuk mau menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan ataupun balasan. Namun di dalam praktiknya, seringkali ajaran orang tua mengenai sikap tolong menolong pun tidak terlaksana dengan seharusnya. Masih banyak orang yang mengharapkan imbalan sebagai balasan atas perlakuannya menolong orang lain. Dalam kehidupan remaja pun tidak jauh berbeda. Menurut Hamidah (dalam Arif, 2010), remaja cenderung egois dan berbuat untuk mendapatkan suatu imbalan (materi). Remaja sering kali meminta upah atau imbalan ketika mereka harus menolong orang lain bahkan kepada orang tuanya sekalipun. Meminta imbalan menimbulkan dampak yang cukup buruk bagi perkembangan sosial remaja, terutama di kota-kota besar. Karena sikap seperti 1 ini akan menimbulkan ketidak pedulian remaja terhadap lingkungan sekitarnya. Sikap ini membuat norma-norma di masyarakat mulai pudar, karena remaja lebih mementingkan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan orang lain. Hal inilah yang menyebabkan kemerosotan moral, etika dan nilai-nilai kesetiakawanan serta sikap tolong menolong, dan yang ada hanyalah sikap egoisme. Kehidupan manusia saat ini banyak dibantu dan dipermudah oleh kemajuan teknologi yang ada. Hal ini menjadi salah satu penyebab kurangnya individu untuk melakukan sosialisasi secara langsung dengan individu yang lain, dan semakin lama membuat manusia menjadi lebih individualis dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Nilai yang ada dalam diri manusiapun berubah ketika seseorang sudah tidak peduli dengan orang lain, sudah tidak ada rasa tolong menolong. Terlebih dalam situasi seperti sekarang, setiap orang mempunyai banyak kesibukan dan aktivitas masing-masing yang menyebabkan sifat individualism menjadi ciri yang nampak dalam masyarakat modern saat ini. Sikap individualisme ini merupakan sikap egoisme dimana seseorang sudah tidak peduli lagi dengan masalah orang lain. Sikap individualisme banyak terjadi pada setiap individu baik dewasa maupun remaja, termasuk para mahasiswa. Dalam penelitian Arif (2010), dijelaskan bahwa remaja saat ini sudah tidak mau memperdulikan orang lain. Sikap ini sering dimunculkan oleh remaja zaman sekarang. Terlebih di kota-kota besar, bahkan remaja pun seolah-olah tidak peduli dengan nilai-nilai masyarakat yang ada. Misalnya saja 2 ketika naik bus atau kendaraan umum lain, ada orang tua atau wanita hamil yang harus berdiri berdesak-desakan, sedangkan ada remaja yang mengetahui hal itu namun tetap duduk santai tanpa memperdulikan orang tua atau wanita hamil tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwa remaja saat ini tidak lagi memiliki perasaan ingin berkorban untuk orang lain. Bukan hanya di tempat umum, bahkan di sekolah pun. Ketika mengetahui atau melihat temannya yang sedang kesulitan tidak membuat remaja untuk menolong justru menghindar supaya tidak ikut-ikutan terkena masalah dan tidak repot harus menolong orang lain. Sikap kurang peduli terhadap orang lain tidak hanya dilakukan oleh remaja saja namun juga orang dewasa. Peristiwa lainnya, ketika terjadi bencana alam banyak relawan yang dibayar baru mau bekerja, yang acuh tak acuh di lapangan, absent dari tugas yang sudah dijadwalkan Rahmad (dalam Arif, 2010). Ada juga relawan yang mencuri bantuan untuk pengungsi (Ham dalam Arif, 2010), padahal seharusnya seorang relawan menyalurkan bantuan yang dikumpulkan pada pihak-pihak yang berhak menerima seperti korban bencana alam namun relawan justru mengambil bantuan itu untuk dirinya sendiri. Sehingga pertolongan dan bantuan yang diberikan kepada para korban tidak mencapai ke tujuan. Dari berbagai peristiwa relawan bencana yang mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri dapat diketahui bahwa individu saat ini sudah tidak peduli dengan individu lain, tidak mau berkorban untuk orang lain, tidak menghormati orang yang lebih tua, menolong individu lain, memperhatikan 3 dan membantu individu lain. Contoh lain yaitu ketika terjadi kecelakaan lalu lintas di jalan raya, sebagian masyarakat lebih banyak yang menonton dari pada memberikan pertolongan, ataupun dalam peristiwa-peristiwa tawuran atau perkelahian antara remaja, masyarakat juga tidak ikut melerai ataupun menolong dengan segara korban yang terluka Susanto (Arif, 2010). Perlu adanya bimbingan dan pendidikan yang lebih kepada para remaja, baik melalui orang tua, guru, maupun lingkungan masyarakat untuk lebih mengembangkan moral. Perlu adanya pendidikan yang melatih dan mendidik remaja agar menjadi orang yang mau peduli terhadap orang lain dan mau menolong orang lain yang mengalami kesulitan dengan sukarela dan iklhas tanpa mengharapkan suatu imbalan apapun. Remaja juga perlu dibimbing agar mampu peduli terhadap penderitaan orang lain dan memiliki sikap altruis. Cohen (Staub, 1978) aspek-aspek perilaku altruis yaitu: keinginan untuk memberi, empati, sukarela tidak mengharapkan imbalan. Perilaku altruis dipengaruhi sikap empati, sehingga seseorang yang altruis mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Salovey dan Mayer (Shapiro, 1999) menjelaskan bahwa kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan, di antaranya adalah empati, mengungkapkan kemandirian, dan memahami kemampuan perasaan, memecahkan mengendalikan masalah pribadi, amarah, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat. Kecerdasan emosional dapat membantu untuk mengendalikan dan memahami akan perasaan diri sendiri maupun orang lain, dan memampukan untuk mau mengerti orang lain. 4 Dari beberapa uraian mengenai perilaku remaja yang tidak lagi peduli kepada orang lain, dapat diketahui bahwa pada saat ini, remaja kurang memiliki sikap altruis. Hal ini dapat dilihat melalui fenomena-fenomena yang terjadi, serta ketidak pedulian remaja dan individu sekarang dalam hubungannya dengan orang lain. Remaja juga masih dikendalikan oleh rasa egois yang tinggi yang membuatnya lebih mementingkan dirinya sendiri daripada kepentingan orang lain. Dalam perilaku altruis, faktor dalam diri yaitu mood atau suasana hati dapat mempengaruhi seseorang untuk menolong. Emosi positif akan meningkatkan perilaku altruis, sedangkan emosi negatif memungkinkan seseorang untuk menolong lebih kecil sehingga sangat penting untuk mengelola dan mengatur emosi dengan baik agar dapat berperilaku altruis (Hunaini, 2012). Membina hubungan merupakan salah satu aspek penting dalam kecerdasan emosional. Bagaimana seseorang mampu berkomunikasi dengan orang lain sehingga mampu membaca situasi yang terjadi pada orang tersebut hal ini akan mempengaruhi seseorang tersebut dalam melakukan tindakan altruis (Hunaini, 2012). Dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 tanggal 11 Juni 2008 mengenai Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor disebutkan bahwa ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak 5 jangka panjang dari pelayanan yang diberikan. Mengacu pada hal tersebut, maka diharapkan mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling memiliki rasa empati yang tinggi dan memiliki perilaku altruis, sehingga nantinya mampu menjadi konselor yang memenuhi standar kompetensi konselor. Untuk dapat mewujudkan ekspektasi kinerja konselor yang sesuai dengan standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor dalam penyelenggaraan layanan BK tersebut, maka perlu dipersiapkan sejak awal sehingga nantinya setiap guru pembimbing atau konselor mampu menyelenggarakan layanan BK dengan benar dan tepat. Hal ini dapat dimulai dengan mendidik mahasiswa program studi bimbingan dan konseling untuk mampu menumbuhkan rasa empati yang tinggi dan senantiasa digerakkan oleh motif altruis untuk dapat menolong orang lain atau konseli. Berdasarkan hasil wawancara dengan 4 mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling dari angkatan yang berbeda, diketahui bahwa dari 4 mahasiswa yang diwawancarai, hanya 1 mahasiswa yang menunjukkan perilaku altruis. Hal tersebut diketahui berdasarkan jawaban yang diberikan sesuai dengan aspek-aspek dari perilaku altruis menurut Cohen (Staub, 1978). Tiga mahasiswa lainnya kurang menunjukkan perilaku altruis pada aspek perilaku memberi yaitu mengenai memberikan bantuan atau pertolongan secara spontan dan aspek sukarela mengenai tujuan memberikan pertolongan. Berdasar penelitian Arif (2010) yang meneliti mengenai Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Intensi Altruisme Pada Siswa SMA N 1 Tahunan 6 Jepara, ditemukan hasil bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada siswa SMA, artinya semakin tinggi kecerdasan emosi, maka semakin tinggi pula intensi altruis pada siswa. Penelitian yang dilakukan Hunaini (2012) mengenai Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Perilaku Altruistik Pada Siswa SMA N 1 Bangil ditemukan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan dan berkorelasi positif antara kecerdasan emosional dengan perilaku altruistik pada siswa SMA N 1 Bangil. Pujiyanti (2009) meneliti tentang Kontribusi Empati Terhadap Perilaku Altruisme Pada Siswa Siswi SMA Negeri 1 Setu Bekasi ditemukan hasil bahwa kontribusi empati signifikan terhadap altruisme dengan p=0,000. Nilai r= 0,710 dan r square= 0,504. Dari latar belakang tersebut maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku altruis pada mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana. Peneliti melakukan pra penelitian dengan menyebarkan skala kecerdasan emosional dan skala perilaku altruistik kepada 30 mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana dan diperoleh hasil sebagai berikut : 7 Tabel 1.1 Kategori Kecerdasan Emosional (Pra Penelitian) Kategori Interval Frekuensi % 109-117 Sangat Rendah 8 26,7 118-125 Rendah 11 36,7 126-133 134-142 Sedang Tinggi 8 3 30 26,7 9,9 100 Total Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dijelaskan bahwa sebagian besar mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling memiliki skor kecerdasan emosional pada kategori rendah (36,7%). Tabel 1.2 Kategori Perilaku Altruis (Pra Penelitian) Kategori Interval Frekuensi % 96-107 Sangat Rendah 6 20 108-118 Rendah 14 46,7 119-129 130-141 Sedang Tinggi 8 2 30 26,7 6,6 100 Total Berdasarkan Tabel 1.2 dapat dijelaskan bahwa sebagian besar mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling memiliki skor perilaku altruis pada kategori rendah (46,7%). Tabel 1.3 Korelasi antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Altruis (Pra Penelitian) EI Kendall's tau_b EI Correlation Coefficient Altruis 1.000 .192 . .146 30 30 Altruis Correlation Coefficient .192 1.000 Sig. (2-tailed) .146 . 30 30 Sig. (2-tailed) N N 8 Berdasarkan Tabel 1.3 dapat dilihat hasil korelasi antara kecerdasan emosional dengan perilaku altruis mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana, didapatkan nilai rxy= 0,192 dengan p= 0,146 > 0,05 maka dapat dikatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional perilaku altruis mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana. Berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti, didapatkan hasil yang bertolak belakang dengan penelitian Arif (2010), maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Altruis pada Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana”. 1.2 Rumusan Masalah Adakah hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku altruis pada mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui signifikansi hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku altruis pada mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis : Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi perkembangan bidang ilmu pengetahuan khususnya mengenai hubungan 9 kecerdasan emosional dengan perilaku altruis. Selanjutnya hasil penelitian ini bisa dijadikan salah satu bahan acuan bagi penyusunan materi program pengembangan profesi konselor pada program studi bimbingan dan konseling khususnya yang berkaitan dengan pengembangan kecerdasan emosional serta perilaku altruis pada mahasiswa. 1.4.2 Manfaat Praktis : Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan untuk peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku altruis pada mahasiswa, sehingga hasil yang diperoleh dapat digunakan demi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam mengembangkan perilaku altruis. 1.5 Sistematika Penelitian Bab I, Pendahuluan yang mencakup tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II Landasan Teori yang mencakup pengertian kecerdasan emosional, aspek kecerdasan emosional, faktor kecerdasan emosional, pengertian altruis, aspek-aspek altruis, faktor-faktor yang mempengaruhi altruis, kajian hasil penelitian, dan hipotesis. Bab III Metode Penelitian yang mencakup jenis penelitian, variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel, teknik pengumpulan data, uji coba instrumen penelitian, dan teknik analisis data. 10 Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan yang mencakup deskripsi subyek penelitian, pelaksanaan penelitian, hasil penelitian, analisis korelasi dan pembahasan BAB V Penutup yang berisi, kesimpulan dan saran-saran 11