Topik Utama PEMETAAN POTENSI ENERGI ANGIN INDONESIA Nurry W. Hesty, Dian G. Cendrawati, Errie Kusriadie Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalstrikan, Energi Batu, Terbarukan, dan Konservasi Energi [email protected] SARI Pemanfaatan aplikasi penginderaan jauh untuk bidang meteorologi dan klimatologi memiliki acuan yang sangat luas.Integrasi penginderaan jauh dan SIG melalui analisis dan pemodelan data dapat menghasilkan potensi angin Indonesia yang cukup komprehensif sebagai panduan awal studi kelayakan potensi angin. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra satelit yang dapat memberikan informasi kecepatan angin. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan software GIS, sehingga dapat menghasilkan peta tematik dan nilai parameter kecepatan angin rata-rata selama 10 tahun. Data citra satelit untuk kecepatan angin diambil dari dataset National Centers for Environmental Prediction (NCEP) dengan resolusi 2,5o x 2,5o, atau 277 km x 277 km. Data ini kemudian dibandingkan dengan data pengukuran langsung di beberapa lokasi yang telah dilakukan P3TKEBTKE. Kata kunci : angin, penginderaan jauh, peta, SIG 1. PENDAHULUAN Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan suatu ilmu yang digunakanuntuk mendapatkan informasi mengenai permukaan bumi seperti lahan dan air dari citra yang diperoleh dari jarak jauh dengan menggunakan sensor yang dipasang pada wahana satelit. Data yang diperoleh dari penginderaan jauh dapat berbentuk hasil dari variasi daya, gelombang bunyi atau energi elektromagnetik. Sebagai contoh grafimeter memperoleh data dari variasi daya tarik bumi (gravitasi),sonar pada sistem navigasi memperoleh data dari gelombang bunyi dan mata kita memperoleh data dari energi elektromagnetik. Penggunaan penginderaan jauh semakin meningkat disegala bidang dikarenakan: 1) Citra menggambarkan obyek, daerah dan gejala dipermukaan bumi secara wujud dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letaknya dipermukaan bumi, relatif lengkap, cakupan daerah luas, dan permanen. 2) Dari jenis citra dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensi apabila pengamatannya dilakukan dengan alat yang disebut stereoskop, sehingga dapat mengkaji model medan yang berbeda, relief lebih jelas karena adanya pembesaran vertikal, memungkinkan pengukuran beda tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk peta kontur, perencanaan lintas jalan, dan saluran irigasi, dan memungkinkan pengukuran lereng untuk menentukan kelas lahan, konservasi, dan keperluan lainnya. 3) Karakteristik objek yang tampak dapat diwujudkan dalam bentuk citra sehingga dimungkinkan pengenalan objeknya. Objek dapat dikenali berdasarkan beda suhunya. Daerah yang direkam dengan citra inframerah termal tampak gelap pada malam hari, ini dapat diwujudkan dalam bentuk sensor yang cukup jelas. Selain itu, kebocoran pipa gas bawah tanah atau kebakaran tambang batubara bawah tanah 55 Topik Utama juga mudah dikenali pada citra inframerah termal. Objek tersebut tidak tampak oleh mata karena terletak di bawah tanah. Meskipun terlihat langsung oleh mata, air panas yang keluar dari industri dapat dibedakan terhadap air lainnya dalam wujud yang sama. Air panas dapat dikenali dengan baik pada citra inframerah termal. 4) Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara langsung (terestrial). Hal ini dapat dibuktikan pada pemetaan daerah rawa, hutan, dan pegunungan. Jika cuacanya baik, daerah tersebut dapat dipotret dengan citra secara cepat. Sebagai contoh, perekaman satu lembar foto udara dengan menggunakan perekaman citra LANDSAT untuk daerah seluas 34.000 km2 dapat dilakukan dalam waktu 25 detik. 5) Merupakan satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana karena tidak ada cara lain yang mampu memetakan daerah bencana secara cepat saat terjadi bencana, misalnya banjir, gempa bumi, gunung meletus, seperti letusan Gunung Galunggung tahun 1982 yang terekam antara lain pada citra satelit Cuaca GMS dan NOAA. 6) Citra satelit dibuat dengan periode ulang yang pendek, misalnya citra LANDSAT IV periode 16 hari dan citra NOAA setiap dua kali per hari bagi. Dengan demikian, citra merupakan alat yang tepat untuk memantau perubahan yang cepat, seperti pembukaan hutan, pemekaran kota, atau perubahan kualitas lingkungan. 1.1. Manfaat Penginderaan Jauh di Bidang Pembuatan Peta Peta citra merupakan citra yang telah bereferensi geografis sehingga dapat dianggap sebagai peta. Informasi spasial yang disajikan dalam peta citra merupakan data raster yang bersumber dari hasil perekaman citra satelit sumber alam secara kontinyu. Peta citra memberikan semua informasi yang terekam pada bumi tanpa adanya generalisasi. Peranan peta citra ( space map) dimasa mendatang akan menjadi penting sebagai upaya untuk 56 mempercepat ketersediaan dan penentuan kebutuhan peta dasar yang memang belum dapat meliputi seluruh wilayah nasional pada skala global dengan informasi terbaru (up to date). Peta citra mempunyai keunggulan informasi dibandingkan peta biasa. Hal ini disebabkan karena citra merupakan gambaran nyata di permukaan bumi, sedangkan peta biasa dibuat berdasarkan generalisasi dan seleksi bentang alam ataupun buatan manusia. Contohnya: peta topografi dan peta tata guna tanah. Beberapa keunggulan pemetaan menggunakan teknologi inderaja antara lain : – Hasil inderaja dapat digunakan untuk memetakan daerah yang sangat luas dengan cepat, pemetaan manual biasanya hanya digunakan untuk memetakan daerah yang sangat sempit. – Berbiaya lebih murah. – Dapat memetakan bermacam-macam peta tematik sekaligus – Proses pembuatan lebih cepat. 1.2. Manfaat Penginderaan Jauh di Bidang Meteorologi Pemanfaatan aplikasi penginderaan jauh untuk bidang meteorologi dan klimatologi memiliki acuan yang sangat luas. Data yang dihasilkan oleh inderaja penting untuk diterapkan guna mengetahui keadaan lingkungan atmosfer. Guna memperoleh data lingkungan tentang atmosfer melalui inderaja, wahana yang diperlukan adalah satelit. Di antara satelit-satelit yang digunakan untuk informasi lingkungan atmosfer misalnya Synchronous Meteoroligical Satellite (SMS) yang diluncurkan pada tanggal 17 Mei 1974. Generasi ke-tiga dari satelit tersebut digantinamanya menjadi Geosyncronous Operational Environment Satellite (GOES) yang diluncurkan pada 16 Oktober 1975. Manfaat penginderaan jauh di bidang meteorologi adalah sebagai berikut: – Mengamati iklim suatu daerah melalui pengamatan tingkat perawanan dan kandungan air dalam udara M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012 Topik Utama – – – Membantu analisis cuaca dan peramalan/ prediksi dengan cara menentukan daerah tekanan tinggi dan tekanan rendah serta daerah hujan badai dan siklon Mengamati sistem/pola angin permukaan Melakukan pemodelan meteorologi dan set data klimatologi 2. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Georaphic Information System (GIS) adalah alat dengan sistem komputer yang digunakan untuk memetakan kondisi dan peristiwa yang terjadi dimuka bumi. Teknologi SIG ini dapat mengintegrasikan sistem operasi database seperti query dan analisis statistik dengan berbagai keuntungan analisis geografis yang ditawarkan dalam bentuk peta. Dengan kemampuan pada sistem informasi pemetaan (informasi spasial) yang membedakan dengan sistem informasi lain seperti database, maka SIG banyak digunakan oleh masyarakat, pengusaha dan instansi untuk menjelaskan berbagai peristiwa, memprediksi hasil dan perencanaan strategis (Environmental Systems Research Institute, ESRI). SIG memiliki kapabilitas menghubungkan berbagai lapisan data di suatu titik yang sama pada tempat tertentu, mengkombinasikan, menganalisis data tersebut dan memetakan hasilnya. Teknologi ini juga dapat mendeskripsikan karakteristik objek pada peta dan menentukan posisi koordinatnya, melakukan query dan analisis spasial serta mampu menyimpan, mengelola, memperbaharui data secara terorganisir dan efisien (Zainuddin, 2006). Sistem Informasi Geografis merupakan suatu kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya fisik dan logika yang berkenaan dengan objek-objek yang terdapat di permukaan bumi (Yuliastuti, 2010). Selain itu, SIG merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Sistem ini menangkap, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kondisi permukaan bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lainnya yang membuatnya menjadi berguna berbagai kalangan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang terjadi. Sistem Informasi Geografis dapat dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mendapatkan data yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital. Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan data non spasial, sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa informasi di dalamnya untuk dengan berbagai keperluan. SIG merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial, dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini lebih padat (komprehensif) dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel, atau dalam bentuk konvensional lainya yang akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan (Aini, 2007). Menurut Paryono (1994), sistem informasi geografi memerlukan data masukan agar dapat berfungsi dan memberikan informasi hasil analisisnya. Data masukan tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain yaitu: data lapangan, GPS, peta analog dan citra penginderaan jauh. 2.1. Peta Analog Peta analog adalah peta dalam bentuk cetakan. Pada umumnya peta analog dibuat dengan teknik kartografi, sehingga sudah mempunyai referensi spasial seperti koordinat, skala, arah mata Pemetaan Potensi Energi Angin Indonesia ; Nurry W. Hesty, Dian GC, Errie K 57 Topik Utama angin dsb. Peta analog dikonversi menjadi peta digital dengan berbagai cara yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Referensi spasial dari peta analog memberikan koordinat sebenarnya di permukaan bumi pada peta digital yang dihasilkan.Biasanya peta analog direpresentasikan dalam format vektor. 2.3. Data Hasil Pengukuran Lapangan 2.2. Data Penginderaan Jauh Contoh data hasil pengukuran lapang adalah batas administrasi, batas kepemilikan lahan, batas persil, batas hak pengusahaan hutan, kecepatan dan arah angin rata-rata, yang dihasilkan berdasarkan teknik perhitungan tersendiri.Pada umumnya data ini merupakan sumber data atribut. Data Pengindraan Jauh dapat dikatakan sebagai sumber data yang terpenting bagi SIG karena ketersediaannya secara berkala. Dengan adanya bermacam-macam satelit di ruang angkasa dengan spesifikasinya masing-masing, kita bisa memanfaatkan berbagai jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian. Data ini biasanya direpresentasikan dalam format raster, antara lain citra satelit, foto udara, dsb. Citra penginderaan jauh, atau foto udara dapat diinterpretasi terlebih dahulu sebelum dikonversi kedalam bentuk digital. Sedangkan citra yang diperoleh dari satelit sudah dalam bentuk digital dapat langsung digunakan setelah diadakan koreksi seperlunya. Lebih lanjut dinyatakan ketiga sumber tersebut saling mendukung satu terhadap yang lain. Data lapangan dapat digunakan untuk membuat peta fisik, sedangkan data penginderaan jauh juga memerlukan data lapangan untuk lebih memastikan kebenaran data tersebut. Jadi ketiga sumber data saling berkaitan, melengkapi dan mendukung, sehingga tidak ada yang terabaikan. Data yang belum dalam bentuk digital dapat diubah menjadi bentuk digital dengan cara manual, yaitu mengubah informasi geografis menjadi data digital dengan sistem kisi - kisi (grid atau raster system). Cara manual lain namun lebih maju adalah dengan menggunakan digitizer, sedangkan yang otomatis menggunakan scanner. Untuk cara manual diperlukan ketelitian operator yang mengkonversi data, sehingga data yang diperoleh masih sesuai atau mendekati aslinya. Untuk penggunaan scanner, perlu diperhatikan resolusi scanner yang digunakan agar data yang tersimpan tidak banyak mengalami kehilangan detilnya atau mengalami degradasi resolusi. 58 Data ini diperoleh langsung dari pengukuran lapangan secara langsung, seperti pH tanah, salinitas air, curah hujan, jenis tanah, dan sebagainya.Data dapat diperoleh melalui cara sensus ataupun survei (sampel). 2.4. Data GPS Teknologi GPS memberikan terobosan penting dalam menyediakan data bagi SIG. Keakuratan pengukuran GPS semakin tinggi dengan berkembangnya teknologi. Data ini biasanya direpresentasikan dalam format vektor. 3. INTEGRASI PENGINDERAAN JAUH DAN SIG DALAM PEMETAAN POTENSI ANGIN INDONESIA Pemanfaatan dan optimalisasi dari potensipotensi sumber energi baru terbarukan, khususnya energi angin masih jauh dari harapan. Salah satu penghambat dalam mengoptimalkan potensi tersebut karena kurangnya informasi yang komprehensif mengenai potensi sumber energi baru terbarukan. Sistem informasi yang dapat dikatakan memenuhi kebutuhan untuk menyajikan informasi mengenai potensi sumber EBT ini adalah sistem informasi geografis dimana informasi yang disajikan tidak hanya sekedar data tekstual akan tetapi menyajikan informasi yang bersifat geografis yaitu letak, kontur, dan luasan. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem yang mengambil, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spatial (keruangan) mereferensikan kepada kondisi bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi- M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012 Topik Utama operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Citra yang diperoleh melalui pengindraan jauh merupakan data dasar atau input yang selanjutnya diolah dan disajikan oleh sistem informasi geografi. Posisi data dalam citra pengindraan jauh dapat dikoreksi kembali dalam sistem informasi geografi. Dengan demikian, integrasi antara data pengindraan jauh dengan sistem informasi geografi akan memperoleh informasi yang optimal sebagai data wilayah Integrasi Penginderaan Jauh dan SIG melalui analisis dan pemodelan data dapat menghasilkan pemetaan potensi angin Indonesia yang cukup komprehensif sebagai panduan awal studi kelayakan potensi angin. 4. METODOLOGI Langkah awal dimulai dengan mengumpulkan dan mempersiapkan semua data yang akan digunakan. Data citra kecepatan angin 10 meter merupakan data per 6 jam selama 10 tahun (2000-2009). Sedangkan data pengukuran digunakan untuk validasi data citra (Gambar 1). Sedangkan data lapangan yang digunakan adalah data yang dapat membantu penyempurnaan hasil data yang diambil dari citra satelit tersebut (Gambar 1). 4.1. Metode Analisis Data Jenis data dilihat dari format atau isinya terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : data grafis terdiri atas peta (lokasi, topografi, tata guna tanah, penggunaan sarana prasarana, dan sebagainya), citra satelit, foto dan data tekstual meliputi tabel data (data lapangan). Pada penelitian ini, analisis data yang dilakukan: a. Analis spasial dilakukan dengan menggunakan teknologi piranti lunak Sistim Informasi Geografis (GIS) meliputi pengolahan data vektor dan raster terutama dengan menggunakan aplikasi ArcView versi 3.3 dan ArcGIS 9.0 yang dipadukan untuk mendapatkan hasil yang optimal. 1). Analisis citra satelit. Data citra diambil dari dataset National Centers for Environmental Prediction (NCEP), waktu perekaman (akuisisi data) diambil antara bulan Januari 2000 hingga bulan Desember 2009. Citra ini kemudian diregistrasi sesuai dengan posisi geometrik yang tepat, sesuai dengan sistim proyeksi tertentu dalam hal ini sistim proyeksi UTM, ketepatan posisi diuji dengan pengambilan data ground control point menggunakan alat Global Positioning System (GPS). 2). Vektorisasi data citra Vektorisasi adalah proses konversi data raster menjadi data vektor yang lebih umum disebut dengan istilah digitalisasi yang aktifitasnya disebut digitasi. Wujud digitalisasi ini diklasifikasikan secara spesifik dalam tema-tema tertentu yang direpresentasikan oleh bentuk garis, poligon dan titik. Proses vektorisasi ini menghasilkan suatu wujud peta topografi yang menggambarkan keadaan permukaan bumi atau bentang alam. Sifat data secara geometris menunjukkan ukuran dimensi yang sesungguhnya. 2). Integrasi basisdata spasial Peta digital yang telah terbangun tidak menjelaskan objek secara komprehensif. Diperlukan dukungan penjelasan data berupa atribut dan data tabular pada setiap objek yang dapat diidentifikasi, oleh karena itu integrasi data ini menjadi tahapan proses yang tak terpisahkan dalam pembangunan GIS. Basisdata disusun secara tematik, yaitu nama kabupaten dan kecepatan angin rata-rata. b. Analisis deskriptif data, dilakukan dengan membuat tabulasi data terutama untuk mengolah data-data hasil pengukuran lapangan sebagai bahan validasi data citra. Teknik statistika yang digunakan dalam analisis data tabulasi ini ditunjukkan dalam Pemetaan Potensi Energi Angin Indonesia ; Nurry W. Hesty, Dian GC, Errie K 59 Topik Utama DATABASE Data Lapangan Data Pengukuran Lapangan Data Citra Satelit • Download Data NCEP-FNL : Uncompress, cropping http://dss.ucar.edu/dataset s/ds083.2 Preprocessing • ASCII (Bujur, lintang, kecepatan arus/angin. • Excel ke dbf • Interpretasi • Plotting data • Penentuan arah • Overlay dengan peta administratif dan peta landcrop Processing Pemetaan Software GIS Peta Potensi Energi Angin Gambar 1. Metode penelitian tabel distribusi data baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dengan melakukan analisis mean. 5. PETA KECEPATAN ANGIN INDONESIA Pemetaan terhadap potensi angin yang telah dilakukan, disajikan dalam bentuk peta kecepatan angin Indonesia dengan tiap gradien warna yang . 60 mewakili nilai kecepatan angin rata-rata. Peta ini rencananya akan ditampilkan secara online di situs Puslitbangtek KEBTKE (www.p3tkebt. esdm.go.id) apabila sudah memenuhi standar resolusi sebagai peta dasar yang dapat digunakan untuk acuan/ rujukan nasional. Sebagai acuan awal, data yang digunakan adalah dari dataset National Centers for Environmental Prediction (NCEP) yang M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012 Topik Utama mempunyai resolusi 2,5ox2,5o, atau 277km x 277km, citra hasil satelit ini mempunyai resolusi yang tergolong kasar sehingga variasi kecepatan angin tiap daerah tidak begitu tampak. Verifikasi baru bisa dilakukan terhadap daerah yang sudah dilakukan pengukuran kecepatan angin dengan membangun menara ukur untuk jangka waktu 12 hingga 24 bulan oleh P3TKEBTKE. Lokasi pengukuran ditampilkan dalam bentuk titik menara di peta kecepatan angin tersebut (Gambar 2). Hingga saat ini telah dilakukan pengukuran kecepatan angin berikut analisanya sehingga dapat diketahui karakteristik dan potensinya di sejumlah 6 (enam) lokasi. Pengukuran yang saat ini masih berlangsung adalah berada di 5 (lima) lokasi baru. Gambar 2 memperlihatkan gambar tampilan Peta Kecepatan Angin yang bisa di akses oleh pengguna internet ketika mengakses peta potensi energi baru terbarukan yang akan dipasang di situs resmi P3TKEBTKE. Lokasilokasi menara yang pernah dan sedang terpasang disajikan pada dengan Tabel 1. Ketika pengguna mengakses situs peta kecepatan angin secara online, maka selain dapat mengetahui kecepatan angin rata-rata seluruh Indonesia, pengguna juga dapat mengetahui informasi detail (data atribut) untuk tiap sembarang titik yang dipilih pada level kabupaten: kecepatan angin dan nama kabupaten pada titik tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Verifikasi yang dilakukan adalah dengan membandingkan data hasil pengukuran dalam jangka waktu tertentu dengan polanya data NCEP untuk periode waktu yang sama. Sebagai contoh verifikasi dilakukan dengan melakukan interpolasi data primer hasil pengukuran di ketinggian yang sama dengan data NCEP. Salah satu dari lokasi menara ukur (Tabel 1) yang pernah terpasang untuk dijadikan contoh sebaran data angin adalah di desa Taman Jaya, Sukabumi, Jawa Barat. Perbandingan hasil pengukuran dengan data NCEP seperti terlihat pada Gambar 4. Dari grafik pada Gambar 4 terlihat bahwa data hasil pengukuran mempunyai kecenderungan pola yang sama dengan data hasil ekstrapolasi NCEP. Data ekstrapolasi mempunyai nilai bervariasi (terkadang lebih rendah) bila dibandingkan dengan data hasil pengukuran. Hal ini wajar mengingat data ekstrapolasi diambil dari data citra yang mempunyai resolusi cukup kasar dengan tingkat akurasi yang rendah. (m/dtk) Gambar 2. Tampilan online Peta Kecepatan Angin Indonesia dengan menara ukur yang sudah pernah terpasang Pemetaan Potensi Energi Angin Indonesia ; Nurry W. Hesty, Dian GC, Errie K 61 Topik Utama Tabel 1. Lokasi penelitian potensi angin P3TKEBTKE No Lokasi Koordinat 1 Uncen, Jayapura, Papua S 02034'57" E 140039'27" 2 Bantaeng, Sulawesi Selatan S 05034'67" E 120002.85' 3 Taman Jaya, Sukabumi, Jawa Barat S 07013.188' E 106031'44" 4 Tahuna, Sulawesi Utara N 03036.47' E 125030.396' 5 Lembeh, Sulawesi Utara N 01026'10" E 125014'58" 6 Probolinggo, Jawa Timur S 07045.188' E 113012'566" 7 Serdang Bedagai, Sumatera Utara S 05055.275' E 106008.407 8 Pulo Panjang, Banten S 05056.13' E 106008.47' 9 Pandeglang, Jawa Barat S 06054.001' E 106009.138' 10 11 Lampung Barat, Lampung Tanah Laut, Kalimantan Selatan S 05015.43' S 04005.136' E 103059.292' E 114037.729' Gambar 3. Tampilan online Peta Kecepatan Angin Indonesia dan data atribut pada titik tertentu yang dipilih (Kabupaten Lebak) 62 M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012 Topik Utama Gambar 4. `Grafik time series perbandingan kecepatan angin NCEP dengan kecepatan angin hasil observasi pada ketinggian 10 meter. Pada grafik ditunjukkan bahwa data NCEP kurang baik dalam merepresentasikan data observasi angin pada ketinggian 10 meter. Namun setelah dilakukan koreksi dengan menggunakan metode regresi linear, secara umum hasilnya tidak signifikan mengalami perubahan. Nilai korelasi dari hasil koreksi data masih kecil yaitu 0,3, sedangkan nilai Root Mean Square Error (RMSE) juga masih cukup besar, yaitu 3,5. Hal ini dikarenakan data NCEP-FNL yang digunakan dalam penelitian ini memiliki resolusi yang kasar untuk menyajikan data kecepatan angin 10 meter di satu titik pengamatan yang membutuhkan data dengan resolusi yang tinggi dan juga karena metode ini cukup sederhana dengan mengabaikan banyak hal, seperti nilai ekstrim dan nilai lainnya. Berdasarkan grafik (Gambar 5) bahwa pada musim kering (JJA) arah angin didominasi oleh angin yang bertiup dari barat laut. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh sistem angin monsoonal, dimana sirkulasi angin global yang bertiup di atas ekuator adalah hasil dari angin yang bertiup dari belahan bumi selatan menuju ke belahan bumi utara. Karena angin berasal dari benua Australia, maka angin yang bertiup di atas ekuator membawa uap kering, dalam artian sedikit hujan atau bahkan tidak menghasilkan hujan sama sekali. Pada penerapan pemanfaatan energi angin, informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan letak turbin agar dapat menangkap angin dominan yang bertiup di daerah tersebut. Pemetaan Potensi Energi Angin Indonesia ; Nurry W. Hesty, Dian GC, Errie K 63 Topik Utama menjadi energi listrik sebagai salah satu bentuk implementasi pemenuhan kebutuhan energi nasional dan sumber energi terbarukan. Untuk mendapatkan peta yang lebih tinggi tingkat akurasinya, perlu dilakukan downscalling terhadap dataset National Centers for Environmental Prediction (NCEP) yang resolusi yang tergolong kasar agar mendapatkan resolusi lebih tinggi. Dengan demikian diharapkan mampu mereduksi kesalahan pada data dan menghasilkan performa yang lebih baik. Gambar 6. Sebaran arah angin selama bulan Juni, Juli dan Agustus DAFTAR PUSTAKA 6. PENUTUP Aini, A., 2007, Sistem Informasi Geografis Pengertian dan Aplikasinya. Sekolah Tinggi Manaemen Informasi Komputer AMIKOM, Yogyakarta. Pemetaan terhadap kecepatan rata-rata angin di Indonesia ini merupakan salah satu bentuk penyediaan database terhadap potensi angin nasional. Informasi berupa visualisasi ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan informasi global untuk mendukung upaya pengembangan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kemajuan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Selain dapat mengidentifikasikan daerah-daerah yang mampu menjadi ladang angin, peta ini juga menjadi data dasar perhitungan untuk melakukan studi kelayakan potensi energi angin suatu daerah termasuk menghemat waktu karena tidak perlu melakukan pengambilan data primer berupa kecepatan angin dimana memerlukan waktu pengukuran minimal 12 bulan secara kontinyu. Peta ini juga bisa menjadi pemicu bagi penelitian lebih lanjut khususnya berkenaan dengan pengembangan kemajuan teknologi pembangkit listrik tenaga angin di Indonesia yang umumnya terkendala dengan karakteristik angin Indonesia yang memiliki kecepatan rata-rata tidak tinggi dan intermittent dikarenakan letak geografis negara kita. Akhirnya diharapkan peta ini bisa menjadi acuan bagi berbagai pihak yang berkeinginan untuk mengembangkan potensi energi angin 64 Tjasjono, Bayong, 2004, Klimatologi Umum. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Robert Atlas, Ross N. Hoffman, Joseph Ardizzone, S. Mark Leidner, Juan Carlos Jusem, Deborah K. Smith, Daniel Gombos, 2011, A Cross-calibrated, Multiplatform Ocean Surface Wind Velocity Product for Meteorological and Oceanographic Applications, AMS Journals Online, Online ISSN: 1520-0477, American Meteorological Society. Washington DC, United States. Joseph, George, 2005, Fundamental of Remote Sensing, Universitis Press, Hyderabad, India. Denny charter, Irma Agtrisari, 2002, Desain dan Aplikasi GIS, Elexmedia Komputindo, Bandung. Aniati Murni, Dr, GIS : Sejarah & Perkembangan, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Jakarta. Aniati Murni, Dr, Sistem Inderaja dan GIS, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Jakarta. M&E, Vol. 10, No. 4, Desember 2012