1 Bab I PENGANTAR A. Latar Belakang Jantung

advertisement
Bab I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Jantung merupakan organ yang paling penting fungsinya diantara organorgan tubuh lainnya. Ungkapan tersebut diperkuat karena jantunglah yang
memiliki fungsi penting bagi manusia jauh sebelum seseorang dilahirkan.
Jantung merupakan pendeteksi dini kehidupan manusia semenjak manusia
masih berbentuk janin berusia dua bulan dalam kandungan (Hutapea, 2005).
Jantung dianggap sebagai organ pemberi hidup, hal tersebut membuktikan
jantung adalah inti kehidupan manusia.
Jantung bekerja selama 24 jam tanpa berhenti, karena organ ini merupakan
organ yang tetap bekerja meskipun dalam keadaan tidak sadar. Apabila fungsi
jantung mengalami gangguan, maka besar pengaruhnya terhadap organ-organ
tubuh lainnya, terutama ginjal dan otak (Firdaus, 2014).
Masyarakat dunia sebaiknya mewaspadai penyakit-penyakit non infeksi,
salah satunya adalah penyakit kardiovaskular pada waktu mendatang yang
diprediksi akan menjadi beban kesehatan utama di dunia (Nita, 2008). WHO
memperkirakan pada tahun 2020 penyebab utama beban penyakit di seluruh
dunia adalah penyakit jantung yang menduduki peringkat ke-satu, lalu depresi
pada urutan ke-dua dan penyakit serebrovaskular (sroke) pada urutan ke-empat.
Penyakit jantung koroner (PJK) menduduki peringkat pertama penyebab
kematian secara global: lebih banyak orang meninggal setiap tahunnya akibat
PJK daripada penyakit lainnya. WHO menaksir sebanyak 17,5 juta orang
meninggal akibat PJK pada 2012 mewakili 31% dari semua kematian. Jumlah
1
2
kematian global, diperkirakan 7,4 juta tersebut dikarenakan sakit jantung koroner
dan 6,7 juta tersebut dikarenakan stroke (WHO, 2015).
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan salah satu masalah
kesehatan utama di negara maju maupun berkembang. Penyakit ini menjadi
penyebab nomor satu kematian di dunia setiap tahunnya. Kematian yang
disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan
stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada
tahun 2030 (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Pada tahun 2008 diperkirakan
sebanyak 17,3 juta kematian disebabkan oleh PJK. Lebih dari 3 juta kematian
tersebut terjadi sebelum usia 60 tahun (Depkes, 2014). Berdasarkan riset yang
telah dilakukan oleh Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2013 menunjukkan
hasil prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia yang berdasarkan
diagnosis dokter, tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447
orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau
diperkirakan sekitar 2.650.340 orang (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Data di
Jawa Tengah menunjukkan bahwa jumlah pasien jantung koroner pada tahun
2013 menduduki peringkat ketiga di Indonesia yang diperoleh berdasarkan
diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner sebesar 0,5% atau
diperkirakan
sekitar
120.447
orang,
sedangkan
berdasarkan
diagnosis
dokter/gejala sebesar 1,4% atau diperkirakan sekitar 337.252 orang. Kematian
yang disebabkan oleh penyakit jantung pembuluh darah, terutama penyakit
jantung koroner dan stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3
juta kematian pada tahun 2030 (Depkes, 2014).
Penyakit jantung koroner ialah penyakit jantung yang terutama disebabkan
karena penyempitan arteri koroneria akibat proses aterosklerosis atau spasme
3
atau kombinasi keduanya (Majid, 2008). Serangan jantung mungkin merupakan
tanda pertama pada jantung koroner. Selebihnya, peristiwa jantung koroner
dapat melemahkan otot jantung dan menjadi penyebab gagal jantung dan
arrhythmias. Jantung koroner sering ditandai dengan nyeri berat di tengah dada
yang bisa menyebar pada lengan, leher, rahang, muka, punggung atau perut
(Marks, Murray, Evans, & Estacio, 2011).
Beberapa faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah telah diketahui
yaitu hipertensi, disiplidemia, hiperglikemia, obesitas, merokok, aktivitas fisik
yang kurang, diet yang buruk, dan minum alkohol yang berlebihan (Depkes,
2014). Selain faktor risiko yang dapat diubah di atas, terdapat faktor risiko yang
tidak dapat diubah dan faktor risiko baru. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
adalah usia, jenis kelamin laki-laki, riwayat keluarga, dan etnis, sedangkan
faktor risiko baru diantaranya inflamasi, fibrinogen, homosistein, dan stress
oksidatif (Majid, 2008).
Pasien jantung koroner membutuhkan pengobatan, diantaranya adalah
pengobatan farmakologis dan revaskularisasi miokard (Majid, 2008). Perlu
diingat bahwa tidak ada satupun cara tersebut yang sifatnya menyembuhkan,
maka dari itu diperlukan perubahan untuk mendukung mengatasi faktor
penyebab dan menghambat progresi penyakit.
Dennollet (1998) melaporkan tentang adanya hubungan emosi negatif
dengan jantung koroner, yang meliputi kecemasan, marah, gejala depresi,
kekhawatiran, stress psikologis, kelelahan yang berlebihan dan putus asa. Emosi
negatif dan ciri-ciri sifat kepribadian telah diasosiasikan dengan perkembangan
dan tingkat keparahan jantung koroner. Bukti kuat ditemukan oleh Lochner
(2011) untuk menghubungkan diagnosis jantung koroner dengan depresi. Pasien
4
dengan seluruh diagnosis yang berkaitan dengan jantung koroner dan
komorbiditas depresi menunjukkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi
daripada mereka yang tanpa depresi. Oleh karena itu, untuk menghambat
progresifitas dan menstabilkan kondisi pasien jantung koroner, dibutuhkannya
afek positif.
Penyakit jantung koroner termasuk penyakit menahun dan mematikan.
Kedua hal tersebut menimbulkan perasaan takut, cemas, sedih pada diri pasien.
Perasaan tersebut merujuk pada afek negatif pasien jantung koroner. Afek
negatif menunjuk pada pengertian ketegangan dan ketidaknyamanan, sebagai
akibat dari macam-macam mood yang tidak mengenakkan diantaranya marah,
rasa hina, muak, rasa bersalah, takut, dan gugup (Watson, Clark, & Tellegen,
1988). Afek negatif yang tinggi dapat berpengaruh buruk pada kondisi fisik
pasien jantung koroner, dengan kata lain afek negatif dapat memperburuk dan
memperparah kondisi pasien jantung koroner.
Afek positif, afek negatif, dan kepuasan hidup merupakan tiga komponen
pada subjective well-being (Albuquerque, de Lima, Figueiredo, & Matos, 2012).
Ketiga komponen tersebut merupakan penentu pada subjective well-being
seseorang. Afek positif penting dimiliki oleh pasien jantung koroner, karena buktibukti menunjukkan suatu hubungan antara trait afek positif dan rendahnya
keadaan tidak sehat, serta afek positif dapat mengurangi gejala dan nyeri
(Pressman & Cohen, 2005). Apabila pasien jantung koroner memiliki afek positif
yang tinggi, maka kondisi fisiknya akan terhindar dari kekambuhan nyeri dada
atau angina apalagi pada kematian. Seperti pernyataan di atas bahwa afek positif
dapat mengurangi gejala dan nyeri pada pasien. Absennya angina atau nyeri
dada pada pasien dapat membuat pasien menjadi bahagia dalam melakukan
5
berbagai aktivitas yang ingin dilakukan. Afek positif adalah keadaan saat
seseorang memiliki energi yang tinggi, konsentrasi penuh, dan kenyamanan,
sedangkan afek positif yang rendah ditandai dengan kesedihan dan keletihan
(Watson dkk, 1988). Ketika seseorang memiliki afek positif yang tinggi, orang
tersebut menjadi bersemangat, gembira, bahagia, ceria, dan perasaannya
tersebut dapat berpengaruh pada dirinya saat menghadapi penyakit yang
dideritanya. Seperti yang dijelaskan oleh Clark, Watson dan Leeka (dalam
Pressman & Cohen, 2005) afek positif merupakan perasaan yang mencerminkan
suatu tingkatatan ikatan yang nyaman dengan lingkungan, seperti kebahagiaan,
keceriaan, kegembiraan, bersemangat dan kepuasan hati.
Diener, Scollon, dan
Lucas (2003) mengartikan subjective
well-being
sebagai penilaian pribadi individu mengenai hidupnya, bukan berdasarkan
penilaian dari ahli, termasuk di dalamnya mengenai kepuasan (baik secara
umum,
maupun
pada
aspek
spesifik), afek
yang menyenangkan dan
rendahnya tingkat afek yang tidak menyenangkan. Subjective well-being
mengacu pada evaluasi seseorang pada hidup mereka yang dapat dinilai
seperti kepuasan hidup, evaluasi berdasarkan perasaan, termasuk suasana hati
dan emosi (Diener & Chan, 2011). Menurut Diener dan Chan (2011) ketika
seseorang merasakan suasana hatinya sedang sedih atau merasakan emosi
bahagia, itu disebabkan mereka merasakan kehidupan mereka lebih buruk atau
lebih baik.
Jantung koroner merupakan penyakit yang sangat memunculkan stres pada
diri seseorang. Perasaan takut, cemas, merasa bersalah sering muncul pada diri
pasien ketika mengetahui dirinya terdiagnosis jantung koroner. Hal tersebut
disebabkan oleh ancaman munculnya nyeri sewaktu-waktu yang dapat berakibat
6
terganggunya aktivitas bahkan kematian. Nyeri dada yang dapat menyebabkan
tergangunya aktivitas tersebut akan meningkatkan afek negatif pada diri pasien,
seperti marah karena tidak bisa melakukan kegiatan seperti sedia kala, bersalah
dengan keluarga yang disebabkan tidak bisa bekerja serta merepotkan orang
lain, dan takut karena ancaman jantung koroner yang dapat berakibat fatal. Hal
ini dapat terlihat dari pernyataan salah satu pasien, “saya setelah jantung koroner
ini jadi tidak bekerja di pasar lagi, karena takut untuk berpergian jauh nanti kalau
saya kumat di jalan, dan bahkan sekarang saya jarang ikut kegiatan ibu-ibu PKK
di desa karena saya tidak bisa berangkat sendiri. Saya harus diantar suami saya,
saya sekarang merepotkan banyak orang” (M, 55th). M bekerja menjadi
pedagang pakaian di pasar “K” yang letaknya berbeda kota dengan rumah M.
Tingkat kecemasan yang tinggi juga terlihat dari pernyataan M (55th) “saya beso
akan pergi ke Jogja, karena keponakan saya mau jadi manten. Setiap malam
akhir-akhir ini saya sholat hajat, supaya saya bisa diberi kesehatan dan tidak
seseg dari berangkat hingga pulang lagi, biar saya tidak merepotkan keluarga
saya yang lainnya.” M mengungkapkan tersebut dengan berlinang air mata. Hal
tersebut memperlihatkan bahwa cemas, takut, dan gelisah pada diri pasien
dalam melakukan setiap kegiatan. Munculnya beberapa afek negatif tersebut
berdampak pada evaluasi yang rendah terhadapa kepuasan hidupnya. Orang
jawa menganggap sakit terkait dengan ketidak mampuan menjalankan
kewajiban, bekerja, mencari uang, berkegiatan atau aktivitas yang terganggu,
stress hingga marah-marah, dengan kata lain sakit berhubungan dengan bekerja,
tanggung jawab, dan produktivitas (Hidajat dalam Faisal, 2015).
Menurut Eid dan Larsen (2008), studi ilmiah tentang subjective well-being
umumnya
berfokus
pada
dua
komponen
kunci
yang
terkait
dengan
7
kebahagiaan atau well-being. Pertama, keseimbangan antara suasana hati
negatif dan positif yang dialami oleh individu pada kehidupan sehari-harinya.
Kedua adalah jumlah kepuasan global tentang kehidupan individu yang
diungkapkan oleh mereka (Eid & Larsen, 2008). Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Diener, Suh, Lucas, dan Smith (1999) yang menyatakan bahwa
subjective well-being terdiri dari dua komponen utama yaitu afek dan kepuasan
hidup.
Subjective well-being sangat dibutuhkan bagi pasien jantung koroner.
Subjective well-being yang tinggi dapat meningkatkan kondisi kesehatan pada
seseorang (Diener, 2009a). Peluang untuk memiliki subjective well-being yang
tinggi menjadi lebih terbuka ketika pasien dapat mengatasi tuntutan baru yang
mengikuti jantung koroner. Hal tersebut dibuktikan oleh Smedema dan Catalano
(2010) bahwa proactive coping dapat berpengaruh pada subjective well-being
seseorang. Proses adaptasi pasien yang semula tidak terdiagnosis jantung
koroner lalu terdiagnosis jantung koroner tentu tidak mudah. Ada beberapa
perubahan yang terjadi pada kehidupan pasien, seperti tentang risiko yang ada,
kemungkinan terburuk yang akan dihadapi, proses pengobatan serta hal-hal
yang perlu dijaga serta dihindari untuk mencegah semakin memperparah
penyakit atau mencegah kemungkinan buruk terjadi. Proactive coping diperlukan
untuk menghadapi peristiwa-peristiwa seperti ini. Pasien melihat risiko tuntutan
dan peluang pada jauh-jauh hari akan penyakit yang mereka derita, namun
mereka tidak menilainya sebagai ancaman, kerugian, dan kehilangan (Lazarus,
dalam Lopez & Snyder, 2003). Justru mereka menerima situasi yang penuh
tuntutan sebagai tantangan personal.
8
Pasien jantung koroner pasti sudah mengetahui tuntutan yang mengikuti
dirinya setelah terdiagnosis jantung koroner. Proses pengobatan, penjagaan
suasana hati, serta aktivitas-aktivitas yang dihindari yang dimungkinkan memicu
kekambuhan dan memperparah kondisi pasien, menjadi tuntutan bagi pasien.
Namun, tuntutan tersebut tidak dijadikan sebagai suatu hal yang negatif, hal
tersebut justru dijadikan sesuatu yang menantang bagi pasien untuk melawan
penyakit yang dideritanya.
Gan, Hu, dan Zhang (2010) menemukan bahwa ketika seseorang melihat
tuntutan tersebut menjadi tantangan, maka upaya yang akan dilakukan
selanjutnya adalah dengan mencari tantangan baru serta menciptakan peluang
baru. Pasien mulai berfikir bagaimana caranya untuk bisa melawan penyakit
yang dideritanya dengan menciptakan peluang-peluang baru yang menantang.
Peluang tersebut digunakan untuk membantu pasien dalam proses pengobatan
serta penyembuhan.
Proses pengobatan dan penyembuhan tidak terlepas dari kepatuhan berobat.
Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyakit kronis, dimana penyakit
ini merupakan penyakit menahun yang dalam proses pengobatan berjalan lama,
diasumsikan akan membawa dampak kelelahan dalam mematuhi saran atau
rekomendasi yang diberikan oleh praktisi kesehatan. Apabila saran dan
rekomendasi oleh praktisi kesehatan tersebut diabaikan, maka akan berdampak
buruk pada proses pengobatan, yang berakibat proses pengobatan tidak berjalan
secara
maksimal.
Wetheimer
dan
Santella
(dalam
Marks
dkk,
2011)
membuktikan bahwa ketidakpatuhan pasien di Amerika dapat berakibat sekitar
125.000 orang meninggal serta biaya rumah sakit yang dikeluarkan untuk
9
pengobatan pasien yang tidak taat sekitar 8,5 miliar dolar. Oleh karena itu,
kepatuhan sangatlah penting bagi pasien, khususnya pasien jantung koroner.
Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan
secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai
dengan 9 bulan (Departemen Kesehatan RI, 2005). Ketika seseorang dapat
menjalankan pengobatan secara teratur 6 sampai 9 bulan, mereka dapat
dikatakan
patuh.
Haynes
(dalam
Brannon,
Feist,
&
Updegraff,
2014)
menyarankan definisi yang lebih luas sebagai perluasan yang mana perilaku
seseorang (dalam istilah mengambil pengobatan, mengikuti pola makan, atau
melaksanakan perubahan gaya hidup) bertepatan dengan saran medis atau
kesehatan. Dengan kata lain merupakan suatu konsep yang kompleks dengan
orang-orang menjadi patuh dalam satu situasi dan tidak patuh dalam situasai lain
(Schoenthaler, Ogedegbe, & Allegrante, 2007). Seseorang yang patuh dengan
rekomendasi praktisi kesehatan, Ia akan mematuhi saran tersebut yang
dianjurkan, dan tidak mematuhi keinginannya untuk mengikuti larangan-larangan
yang diberikan oleh praktisi kesehatan.
Ketidakpatuhan pasien dapat memperburuk kondisi pasien. Bila kejadian
penyakit kardiovaskular tinggi, maka kejadian afek negatif juga akan tinggi
(Kubzansky, Soarrow, & Vokonas, dalam Alman dkk, 2014). Dengan kata lain
bila kejadian penyakit kardiovaskular rendah, afek negatif juga akan rendah dan
dapat berdampak pada subjective well-being pasien.
Kepatuhan dan coping tidak terlepas dari peran anggota keluarga untuk
memberikan dukungannya. Keluarga merupakan unit terkecil dari kelompok yang
lebih besar yang disebut masyarakat. Tidak dipungkiri bahwa, tidak sedikit
keluarga-keluarga di Indonesia yang terpukul mendengar vonis dari dokter dan
10
itu bisa jadi pasangan, anak, atau orang tua. Kesedihan tersebut tidak hanya
dirasakan oleh penderita namun juga anggota keluarga yang lain. Masalah
tentang hidup dan mati bukan urusan yang sepele. Jantung koroner merupakan
penyakit yang mungkin akan dapat disembuhkan namun bukan berarti akan
kembali seperti sedia kala.
Kunci yang terpenting bagi pasien jantung koroner adalah dukungan sosial
(Marks dkk, 2011). Dukungan sosial keluarga menurut Friedman (dalam Nusi,
Wijayanti, & Rahayu, 2010) adalah sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga
terhadap anggotanya atau penderita yang sakit. Pasien jantung koroner
membutuhkan dukungan dari keluarga yang dapat menguatkan pasien,
membantu pasien dalam beberapa jenis bentuk dukungan yang dapat membantu
proses penyembuhan dan pengobatan pasien. Saat pasien telah mendapatkan
dukungan dari orang-orang yang dicintainya, muncul kebesaran hati pasien
dalam menghadapi penyakit yang dideritanya. Pasien akan mendapatkan
dukungan emosional, penghargaan, instrumental serta informatif (House dalam
Smet,
1994),
yang
dapat
membuat
pasien
merasa
didukung
untuk
kesembuhannya. Ketika pasien melihat dan merasakan dukungan dari
keluarganya, pasien menjadi melihat segala tuntutan yang ada di depan menjadi
sebuah tantangan. Tuntutan serta risiko yang ada pada PJK, akan menjadi suatu
hal yang harus pasien lalui dan mencari peluang-peluang baru untuk mengatasi
penyakitnya. Hal tersebut terjadi karena pasien merasa tidak berjuang sendirian
dalam melawan penyakit yang dideritanya.
Dukungan sosial keluarga sangatlah dibutuhkan, karena sangat berdampak
pada kondisi kesehatan pasien jantung koroner (Cobb, 1976). Pernyataan
tersebut diperkuat dengan penelitian Friedman (1998) yang menemukan bahwa
11
keberhasilan pemulihan akan berkurang bila tidak ada dukungan sosial.
Dukungan sosial memiliki hubungan secara positif terhadap subjective well-being
(Gulacti,
2010).
Subjective
well-being
sangatlah
penting
karena
akan
berpengaruh pada kondisi kesehatan pasien (Diener, 2009a).
Angina paling umum terjadi pada pasien jantung koroner, yang ditandai
dengan nyeri berat di tengah dada yang bisa menyebar pada lengan, leher,
rahang, muka, punggung atau perut (Marks dkk, 2011). Hal tersebut membuat
pasien jantung koroner menjadi tidak nyaman dalam melakukan aktivitasnya
sehari-hari. Sesuai dengan hasil wawancara dengan dua orang pasien jantung
koroner, mereka merasakan banyak aktivitas yang menjadi terhambat oleh
angina tersebut. Aktivitas tersebut seperti; tidak kuat untuk berjalan jauh,
mengangkat benda berat, mengangkat tangan ke atas, bahkan pada kegiatan
sederhana seperti mandi, mereka mengaku tidak kuat mengangkat gayung saat
mandi. Pernyataan tersebut didukung oleh Lewin dkk (dalam Marks dkk, 2011),
bahwa orang dengan nyeri dada atau angina dapat meningkatkan risiko
kecemasan dan depresi.
Sesuatu yang membahagiakan bagi pasien jantung koroner adalah dapat
melakukan kegiatan tanpa adanya nyeri dada atau angina. Afek positif akan
semakin tinggi, bila kejadian kardiovaskuler rendah (Kubzansky dkk dalam Alman
dkk, 2014). Dengan kata lain, subjective well-being akan tinggi bila kejadian
kardiovaskuler rendah.
Proactive coping sangat diperlukan dalam proses penyembuhan penderita
jantung koroner sebagai upaya pencapaian kebahagiaan pasien dengan
absennya angina atau kekambuhan. Proactive coping diperlukan karena
merupakan pengaturan diri pasien untuk bisa mengatur dan mengatasi tuntutan-
12
tuntutan dan peristiwa yang kritis yang merupakan tantangan, ancaman,
kerusakan, kehilangan atau suatu yang menguntungkan individu (Lazarus dalam
Lopez & Snyder, 2003). Pada perkembangannya, kini didalamnya juga tercakup
self regulated goal dan juga personal growth (Lopez & Snyder, 2003). Coping
adalah kognitif, upaya perilaku untuk mengatur tuntutan baik di dalam maupun
diluar yang dinilai berat atau melebihi sumberdaya atau kemampuan seseorang
(Schwarzer dalam Lopez & Snyder, 2003).
Tuntutan yang pasien ubah menjadi sebuah tantangan tersebut, salah
satunya adalah minum obat yang rutin. Penyakit menahun seperti jantung
koroner ini menyebabkan pasien terkadang bosan dan lelah untuk meminum
obat secara rutin seperti yang disarankan oleh praktisi kesehatan. Namun,
karena pasien merasa tidak berjuang sendiri serta pasien mengubah tuntutan
seperti minum obat itu menjadi tantangan, kepatuhan dalam berobat akan
terlaksanakan. Kepatuhan berobat seperti yang disarankan oleh praktisi
kesehatan tersebut, tentu berdampak baik pada penyakitnya dalam proses
penanganannya. Ketika keluarga menjalankan fungsi perannya dengan baik,
didukung dengan kesadaran dan kemauan pasien untuk terus semangat dalam
melawan penyakitnya serta melaksanakan aturan pengobatan yang disarankan
oleh praktisi kesehatan, akan berdampak baik bagi kesehatan pasien. Hal
tersebut pula akan berdampak pada kesejahteraan pasien. Saat pasien mampu
merasakan dampak yang positif dalam kehidupannya dengan adanya kesehatan
yang lebih baik, pasien akan mampu mengevaluasi seluruh kejadian yang ada
dalam hidupnya. Kejadian yang terjadi dalam hidup pasien tersebut akan
menimbulkan kepuasan terhadap kehidupannya, yang akan berdampak pada
kebahagiaan atau subjective well-being pasien.
13
Uraian di atas menimbulkan ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian
tentang subjective well-being pada pasien jantung koroner dengan proactive
coping, kepatuhan berobat, dan dukungan sosial keluarga. Oleh karena itu,
peneliti mengadakan sebuah penelitian dengan judul
"Hubungan antara
Proactive Coping, Kepatuhan Berobat, dan Dukungan Sosial Keluarga dengan
Subjective well-being pada Pasien Jantung Koroner".
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian ini
adalah:
Apakah Proactive Coping, Kepatuhan Berobat, dan Dukungan Sosial
Keluarga dapat memprediksi Subjective Well-Being Pasien Jantung Koroner?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan tujuan penelitian ini
adalah:
Mengetahui Proactive Coping, Kepatuhan Berobat, dan Dukungan Sosial
Keluarga dapat memprediksi Subjective Well-Being Pasien Jantung Koroner.
2. Manfaat
a. Manfaat teoritis
1. Mengembangkan ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi sosial.
2. Memberikan informasi tentang subjective well-being, proactive coping,
dukungan sosial keluarga, kepatuhan berobat.
14
b. Manfaat praktis
1. Bagi pasien, memunculkan proactive coping dan kepatuhan berobat
sehingga menumbuhkan semangat untuk sembuh dimana semangat
tersebut akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan pasien yang mengarah
pada kegiatan positif yang dapat meningkatkan subjective well-being
pasien.
2. Bagi keluarga pasien, dapat meningkatkan dukungannya pada pasien
agar dapat memotivasi pasien sehingga meningkatkan subjective wellbeing pasien.
3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian dapat digunakan sebagai
bahan referensi bagi peneliti lain yang akan melanjutkan peneltian
sejenis atau penelitian.
4. Bagi rumah sakit, memberikan masukan tentang perlunya faktor
psikologis yaitu proactive coping, kepatuhan berobat, serta dukungan
sosial keluarga untuk penanganan bagi pasien jantung dan penyakit
kronis lainnya.
Download