Isu Papua dalam Komunikasi Diplomat Dikirim oleh prasetya1 pada 22 Maret 2006 | Komentar : 0 | Dilihat : 3328 Masalah Papua atau Irian pada hakekatnya sebagai masalah dalam negeri Indonesia. Akan tetapi perhatian luar negeri terhadap masalah ini cukup tinggi. Hal ini terlihat dengan adanya dukungan dari masyarakat internasional terhadap integritas NKRI yang mencakup Papua/Irian hingga akhir-akhir ini dinyatakan dalam berbagai kesempatan. Kredibilitas NKRI di mata dunia jika dilihat dari hukum internasional yang mengamanatkan kewajiban negara-negara untuk menghormati integritas negara lain dan tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Mangasi Sihombing Lutfi Rauf Perhatian yang sangat besar terhadap kasus ini mengharuskan Departemen Luar Negeri untuk mengkomunikasikannya dengan masyarakat internasional. Kasus yang sedang hangat dibicarakan ini kemudian dijadikan bahan kuliah umum oleh Program Ilmu Sosial (PIS) pada Selasa, (21/03). Mereka kemudian mengambil tema “Isu Papua dalam Konteks Hukum Internasional : Sebuah Studi Kasus Dalam Komunikasi Diplomatik”. Kuliah umum ini menghadirkan 2 pembicara dari Departemen Luar Negeri (DEPLU) yaitu Lutfi Rauf MA (Direktur Informasi dan Media, Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik) dan Mangasi Sihombing (Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik). Menurut Maulina Pia Wulandari Ssos MComm, salah satu dosen PIS kuliah ini dilaksanakan sehubungan dengan rencana dibukanya jurusan baru yaitu Hubungan Internasional pada tahun akademik 2006-2007. Selain itu acara ini sebagai stimulus awal untuk program kekhususan yang akan dibuka nantinya yakni komunikasi diplomat. Promosi citra Kegiatan diplomasi yang melibatkan stakeholder merupakan pengaturan tata cara komunikasi bernegara. Menurut teori, tujuan komunikasi yaitu menyampaikan pesan atau informasi untuk sampai ke sasaran. Sehingga sasaran tersebut dapat mengikuti kepentingan kita dalam hal ini bangsa dan negara untuk kepentingan nasional. “Permasalahannya adalah bagaimana untuk mempromosikan citra,” ujar Lutfi Rauf, Direktur Informasi dan Media di Deplu. Menurut pria kelahiran Watan Soppeng, Sulawesi Selatan ini citra sangat penting untuk membuat masyarakat lebih mengerti tentang kita, menciptakan persepsi positif terhadap kita atau membuat orang mempunyai pandangan yang sama dan mempengaruhi mereka agar mendukung kita sebagai f“avoured partner” Perubahan tatanan internasional yang lebih memperhatikan pada isu-isu global (HAM, good governance, lingkungan hidup dan lainnya), meningkatnya peran LSM, berubahnya sistem pemerintah yang lebih demokratis dan kemajuan iptek mengharuskan Indonesia untuk mengikutinya. “Promosi citra Indonesia merupakan kebutuhan yang harus tetap digalakkan untuk memulihkan kepercayaan dan simpati masyarakat internasional", jelas Lutfi. Terbentuknya citra tidak lepas dari peran media. Sebagai upaya peningkatan citra pria berkacamata ini menjelaskan perlu sinergisitas atau koordinasi antar sesama instansi pemerintah terutama dalam hal ketersediaan data tentang berbagai isu yang menjadi fokus perhatian publik. Citra Indonesia yang telah buruk di mata internasional merupakan kewajiban diplomat untuk mengkomunikasikan keadaan negara yang juga perlu didukung berbagai pihak di dalam negeri. Lutfi Rauf, pria lulusan S2 University Wellington, New Zealand, ini menjelaskan ada beberapa usaha yang dilakukan oleh Deplu untuk memulihkan citra. Di antaranya dengan meningkatkan kapasitas pelaku fungsi penerangan di Luar negeri, memanfaatkan media, memanfaatkan beberapa forum dan menggunakan media lain (buletin, pameran kebudayaan, dll). Papua Kasus Papua sebagai salah satu masalah yang hangat diperbincangkan, ditambah lagi dengan insiden Freeport, telah menjadi sorotan internasional. Mangasi Sihombing, Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik, mengatakan dalam rangka total diplomasi maka diperlukan partisipasi seluruh komponen masyarakat untuk mengkomunikasikan pandangan-pandangan. Berdasarkan hukum internasional, Papua merupakan bagian dari wilayah NKRI. Bahkan hal itu telah mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang telah diakui oleh pihak Belanda yang dipertegas dengan dilaksanakannya Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969. “Penerimaan Belanda atas proklamasi kemerdekaan adalah penerimaan yang berlakunya asasuti possidetis juris,” kata Mangasi. Hukum internasional mengakui adanya entitas baru (kemerdekaan) yang termasuk dalam koloni menjadi sebuah wilayah yang utuh yang disebut dengan dekolonisasi. Ada 3 prinsip dekolonisasi (memerdekakan daerah jajahan) yaitu asas uti possidetis juris (asas yang menjelaskan bahwa sebuah entitas baru akan menguasai wilayah dari negara jajahan), sekali untuk selamanya dan tidak bisa diulang dan dilakukan secara utuh. Mangasi menegaskan, aksi-aksi separatis yang dilakukan dalam wilayah negara yang berdaulat sangatlah dikecam oleh PBB. Menurut aturan hukum di Indonesia, hal itu termasuk dalam hukum pidana. Dikatakannya, beberapa usaha untuk meredam itu semua adalah dengan memberikan otonomi khusus, sehingga rata-rata kehidupan di Papua bisa setara dengan kehidupan masyarakat Indonesia lainnya. Usaha pembangunan juga perlu dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha itu menurutnya bukan hanya tugas pemerintah saja akan tetapi juga tugas seluruh bangsa Indonesia. [vty]