Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali dalam Pembinaan Remaja Moh. Mukhlas* Abstrak Al-Ghazali adalah salah seorang pemikir ulung yang tidak hanya menyoroti hal-hal yang berkaitan dengan filsafat dan tasawuf, akan tetapi beliau juga mengupas eksistensi akhlak dalam kehidupan manusia. Pelaksanaan pendidikan akhlak, terutama di kalangan remaja akhir-akhir ini masih dianggap kurang memadai dan kurang berpedoman pada ketentuanketentuan yang berlaku, seperti norma-norma hukum yang berlaku di suatu tempat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya dekadensi moral dalam berbagai bentuk, seperti penyalahguunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas yang dilakukan oleh remaja, dan lain-lain. Untuk itu, tulisan ini berusaha mengungkap secara konseptual aktualisasi pendidikan akhlak al-Ghazali pada remaja dengan menggunakan pendekatan deskriptif afialistis. Dari hasil analisis diketahui bahwa aktualisasi konsep pendidikan akhlak al-Ghazali pada remaja yang memiliki berbagai macam perkembangan adalah dengan cara menanamkan keimanan dan akhlak yang baik dengan metode yang sesuai dengan perkembangan individunya. Kata Kunci: akhlak, pendidikan akhlak, remaja. Pendahuluan Akhlak adalah salah satu dari ajaran Islam1 yang harus dimiliki oleh setiap individu muslim dalam menunaikan kehidupannya seharihari. Oleh karena itu, akhlak menjadi sangat penting artinya bagi manusia dalam hubungannya dengan Sang Khaliq dan dengan sesama manusia. Akhlak sangat mempengaruhi kualitas kepribadian seseorang *Penulis adalah alumni FT PAI ISID Gontor, memperoleh Magister Pendidikan dari UNISMA Malang, Dosen tetap STAIN Ponorogo 1 Secara umum, ajaran Islam itu mencakup tiga hal pokok, yakni ajaran yang terkait dengan masalah aqidah, akhlak, dan ajaran yang terkait dengan masalah ibadah. 19 Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali... yang menyangkut pola berpikir, bersikap, berbuat, minat, falsafah hidup, dan keberagamaannya. Akhak yang merupakan situasi batiniyah manusia memproyeksikan dirinya ke dalam perbuatan-perbuatan lahiriyah yang akan tampak sebagai wujud nyata dari hasil perbutan baik atau buruk menurut Allah SWT dan manusia. Kesempurnaan kepribadian seseorang akan sangat dipengaruhi oleh intensitas akhlaknya. Kajian tentang akhlak di dalam Islam yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-sunnah tidak mungkin untuk mengesampingkan seorang pemikir yang bertaraf internasional, yaitu al-Ghazali. Pemikiran tentang akhlak dalam Islam banyak dijumpai di dalam karya-karyanya, terutama di dalam karya monomentalnya Ihya ‘Ulumuddin. Sarjana muslim bergelar “Hujjatul Islam” ini telah berjasa besar membangun dan mengembangkan ilmu akhlak di dalam Islam. Berkat karya itu, istilah akhlak seperti riya, ‘ujub, takabbur, sabar, dan sebagainya menjadi popular dan terus dipakai oleh umat Islam sampai sekarang. Ajaran akhlak yang dibangun oleh al-Ghazali berdasarkan alQur’an dan al-sunnah serta melalui perenungan rasional terhadap kedua pedoman tersebut dan karya-karya moral yang ada pada masa itu, adalah hasil praktik-praktik nyata yang ditunjukkan oleh dirinya sendiri di dalam keidupannya. Dengan kata lain, ajaran akhlak al-Ghazali bukan saja bersifat religius-rasional, melainkan bersifat praktis dan realistis. Oleh sebab itu, kajian mengenai akhlak dan bagaimana pola pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali menjadi sangat penting, sehingga dapat ditemukan pokok-pokok dan tekanan-tekanan utamanya untuk dijadikan landasan dan acuan dalam pengembangan pendidikan Islam sebagaimana yang diharapkan. Salah satu tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk pribadi muslim yang mendekati kepada kesempurnaan. Kajian mengenai akhlak inipun menjadi sangat vital jika dihubungkan dengan kondisi jaman yang sarat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat sekarang ini. Ajaran akhlak yang diperkenalkan oleh al-Ghazali banyak dijumpai dalam berbagai literatur yang berkaitan dengan karya-karya itu. Namun, ada di antaranya yang tidak dihubungkan dengan masalah remaja. Oleh sebab itu, sangatlah wajar jika ajaran tentang akhlak yang dibangun oleh Al-Ghazali dipadukan dengan salah satu masa perkembangan individu, yaitu masa remaja. Sebab masa perkembangan ini ditandai oleh gejala-gejala menarik dari unsur-unsur kepribadian 20 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 Moh. Mukhlas seseorang yang memberikan pengaruh besar kepada keberhasilan suatu proses pembentukan pribadi yang berakhlak mulia, terutama remaja. Konsep Akhlak Al Ghazali Al-Ghazali merupakan pemikir muslim yang memiliki semangat intelektual amat tinggi dan terus menerus ingin tahu dan mengkaji segala sesuatu. Oleh kalangan tertentu, ia digolongkan sebagai salah seorang yang paling berpengaruh dan menentukan jalannya sejarah Islam dan bangsa-bangsa muslim. Bahkan di bidang pemikiran dan peletakan dasar ajaran-ajaran Islam ditempatkan pada urutan kedua setelah Rasulullah SAW.2 Al-Ghazali yang dikenal sebagai seorang pemikir kenamaan, ternyata tidak hanya berkecimpung dalam dunia ketasawwufannya, akan tetapi bergelut pula dalam masalah akhlak. Ia banyak sekali menghasilkan karya-karya ilmiyah yang khusus mengkaji tentang akhlak. Al-Ghazali adalah sarjana muslim yang sangat berjasa dalam membangun dengan baik sistem akhlak (etika Islam), sehingga pengaruhnya sangat luas dan kuat sampai sekarang. Namun demikian muncul kritikus-kritikus yang mengkritik ajaran akhlaknya, karena adanya beberapa kemiripan di dalamnya dengan ajaran moral filosoffilosof Yunani, terutama sekali Plato dan Ariestoteles serta para sarjana muslim sebelumnya .3 Misalnya, pandangan Al-Ghazali tentang perlunya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa, yang dipengaruhi oleh “teori harmoni-nya Plato, pandangannya tentang keadaan pertengahan (wasth) bagi pokok-pokok akhlak, yang dipengaruhi oleh “teori moderasi”-nya Aristoteles.4 Misalnya lagi, pengertian akhlak menurut al-Ghazali, mirip dengan pengertian yang diberikan oleh al-Maskawih, Nurcholis Madjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), p. 280. 3 M. Syarif MA., ed., History of muslim Philosophy, (Weisbaden: Otto Horrassowittz, 1963), p. 625, dan James Hasting, ed., Ensyclopedia of Religion and Ethicts, (Edinburgh: T&T Clark), Volume V, p. 508. 4 Zaki Mubarak, Al-Akhla>k ‘Inda Al-Ghazali>y, (Cairo: Da>r al-Ka>tib al-‘Arabi> , tt.), p. 145-146; dan Dr. Muhammad Yusuf Musa, op.cit., p. 153-162. selanjutnya mengenai etika Plato dan Aristoteles, baca : Dr. Taufiq al-Thawi>l, Falsafat al-Akhla>q Nasy’atuha> wa Tathawwuruha>, (Kairo: Da>r Al-Nahdat al-Arabiyya>t, 1979), p. 73 dan 82; Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tintamas, 1983), p. 106dan 132; dan Dr. K. Berten, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), p. 112 dan 157 2 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 21 Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali... serta semangat mistik di dalam konsepsi akhlaknya yang dipengaruhi oleh al-Muhasibi, seorang sufi besar yang tampaknya dijadikan model oleh al-Ghazali.5 Adanya pengaruh ajaran-ajaran moral terhadap konsepsi akhlak al-Ghazali, baik dari para filosof Yunai maupun dari kaum moralis muslim adalah suatu hal yang mungkin, karena al-Ghazali adalah seorang “kutu buku” yang membaca, dapat dipastikan, seluruh karya-karya filsafat dan etika pada masanya. Akan tetapi, tidaklah benar jika dikatakan bahwa ia menggantungkan inspirasinya kepada filsafat Yunani.6 Sebab kenyataanya, al-Ghazali menekankan nilai-nilai spiritual, seperti syukur, taubat, tawakkal, sabar dan lain-lain, serta mengarahkan tujuan akhlak kepada pencapaian ma’rifat Alla>h dan kebahagiaan di akhirat. Semua ini jelas bersumber kepada Islam dengan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai landasan utamanya, yang tidak dijumpai di dalam pemikiran etika Yunani yang rasional dan sekuler itu. Tidaklah benar pula jika dikatakan bahwa ia menggantungkan inspirasinya semata kepada ajaran para moralis muslim sebelumnya, sebab konsepsi akhlaknya, terutama yang tertuang di dalam Ihya > ‘Ulumuddi > n , lahir justru setelah ia menjalani pengembaraan intelektual dan terjun langsung ke dalam dunia sufi, dunia intuitif, sebagaiman telah dikemukakan di atas, bersumber kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal inilah yang membedakan konsepsi akhlak al-Ghazali dari konsepsi akhlak para moralis muslim sebelumnya yang sebenarnya lebih bersifat rasional atau intelektual semata. Dari gambaran di atas, dapat pula dilihat bahwa konsepsi akhlak yang dibangun oleh Al-Ghazali memiliki corak religius, rasional, dan sufistik-intuitif, di samping menunjukkan kemajemukan karena beragamnya sumber yang dikaji oleh al-Ghazali. Corak inilah yang akan terkesan di dalam konsepsi akhlaknya sebagaimana akan digambarkan lebih lanjut. Dalam kehidupan sehari-hari, akhlak sering diidentikkan dengan moral dan etika.7 Akhlak sebenarnya berbeda dari formula moral atau Fahrul Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, (Bandung : Pustaka, 1984), p. 194. 6 M. Syafir, MA., op.cit., p. 626. 7 Dalam leteratur umum, istilah moral dan etika mempunyai hubungan erat dari sudut kosa katanya. Keduanya berati “kebiasaan” atau “cara hidup”, dan sering dipakai sebagai sinonim. Tetapi kecenderungan sekarang, istilah moral dipakai untuk 5 22 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 Moh. Mukhlas etika, karena akhlak lebih menunjukkan kepada situasi batiniah manusia. Akhlak juga berarti berkurangnya suatu kecendrungan manusia atas kecenderungan-kecenderungan lain dalam dirinya, dan berlangsung secara terus-menerus itulah akhlak.8 Menurut al-Ghazali, akhlak adalah ungkapan tentang sesuatu keadaan yang tetap di dalam jiwa, yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa membutuhkan pemikiran dan penelitian. Apabila dari keadaan ini muncul perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syari’at, maka keadaan itu dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang muncul perbuatan-perbuatan buruk, maka keadaan itu dinamkan akhlak yang buruk.9 Dari defenisi di atas terlihat bahwa Al-Ghazali menjadikan jiwa sebagai titik utama dari konsepsi akhlaknya. Jiwa merupakan hakikat manusia, dan kualitas seorang individu sangat bergantung kepadanya. Oleh karena itu, aspek bathin ini harus mendapatkan perhatian sepenuhnya untuk mencapai akhlak yang baik. Dengan memberikan tekanan kepada aspek batin manusia, jiwanya dapat dikatakan bahwa konsepsi akhlak al-Ghazali bersifat pribadi atau individualistik, dalam artian mengarah kepada pembangkitan pribadi untuk pemurnian jiwanya. Di samping itu, terlihat pula bahwa keadaan jiwa akan dipandang sebagai akhlak harus bersifat tetap atau mantap dan memunculkan perbuatan-perbuatan lahiriah secara spontan dan mudah, tanpa dipikir dan diteliti lebih dahulu. Di dalam defenisi itu terkesan pula, al-Ghazali mengisyaratkan bahwa sandaran baik dan buruk akhlak beserta perilaku lahiriah adalah syari’at dan akal. Dengan ungkapan lain, untuk menilai apakah akhlak itu baik atau buruk haruslah ditelusuri melalui agama dan akal sahat. Hal ini seiring dengan pernyataan bahwa akal dan syari’at menunjukkan tingkah laku, baik ataupun buruk. Sedangkan istilah etika dipakai untuk menunjukkan ilmu atau kajian tentang tingkah laku itu. Lihat, Titus Smith dan Nolan, Persoalan-Persoalan Filasat, alih bahasa oleh Prof. Dr. H. M. Rasyidi, (Jakarta :Bulan Bintang, 1984), p. 141. Formula ini menggambarkan sifat kelahiran dari moral dan etika, yaitu mengacu kepada tingkah laku lahiriah manusia. 8 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), alih bahasa oleh Prof. K.H. Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), p. 62. Lihat juga Manshur Ali Rajab, Ta’ammula>t fi Falsafat al-Akhla>k, (Mesir: Maktabah Al-‘Anjilu, 1961), p. 90. 9 Imam Al-Ghazali, Ihya, op.cit., Juz III, p.52. At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 23 Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali... itu saling melengkapi, akal saja tidak cukup dalam kehidupan moral dan begitu pula wahyu, keduanya haruslah dipertemukan.10 Al-Ghazali berpendapat bahwa akhlak bukan sekedar perbuatan, bukan pula sekedar kemampuan berbuat, juga bukan pengetahuan. Akan tetapi, akhlak harus menggabungkan dirinya dengan situasi jiwa yang siap memunculkan perbuatan-perbuatan, dan situasi itu harus melekat sedemikian rupa sehingga perbuatan yang muncul darinya tidak bersifat sesaat melainkan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Kesempurnaan akhlak sebagai suatu keseluruhan tidak hanya bergantung kepada satu aspek pribadi, akan tetapi terdapat empat kekuatan di dalam diri manusia yang menjadi unsur bagi terbentuknya akhlak baik atau buruk. Kekuatan-kekuatan itu ialah kekuatan ilmu, kekuatan nafsu sahwat, kekuatan amaran dan kekuatan keadilan di antara ketiga kekuatan ini.11 Al-Ghazali meletakkan akhlak bukan sebagai tujuan akhir manusia di dalam perjalanan hidupnya, melainkan sebagai alat untuk ikut mendukung fungsi tertinggi jiwa dalam mencapai kebenaran tertinggi, ma’rifat Allah, yang di dalamnya manusia dapat menikmati kebahagiaannya. Adapun kebahagiaan yang diharapkan oleh jiwa manusia adalah terukirnya dan menyatunya hakikat-hakikat ketuhanan di dalam jiwa sehingga hakikat-hakikat tersebut seakan-akan jiwa itu sendiri.12 Jadi, akhlak sebagai salah satu dari keseluruhan hidup manusia dan proses kesempurnaannya memiliki target yang hendak dicapai, yakni berupa kebahagiaan. Pendidikan Akhlak Menurut Al-Ghazali Suatu bidang ilmu pengetahuan yang paling banyak mendapat perhatian, pengkajian, dan penelitian oleh al-Ghazali adalah lapangan ilmu akhlak, karena banyak berkaitan dengan perilaku manusia. Hampir setiap kitabnya selalu berhubungan dengan dengan pelajaran akhlak dan pembentukan budi pekerti manusia. Al-Ghazali dikenal sebagai pakar ilmu akhlak dan gerakan moral yang bersendikan ajaran wahyu, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia Ibid., p. 16. Ibid., p.52. 12 Ibid., p. 221. 10 11 24 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 Moh. Mukhlas menyelidiki bidang ilmu akhlak ini dengan berbagai macam metode, antara lain dengan pengamatan yang teliti, pengalaman yang mendalam, penguji cobaan yang matang terhadap semua manusia dalam berbagai lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pandangan dan pikirannya mengenai konsep pendidikan akhlak sangat luas dan mendalam. Pribadi al-Ghazali, seperti yang diceritakan sendiri dalam AlMunziq min al-Dhala >l, menggambarkan kedahagaan untuk mencari kebenaran yang tidak pernah puas. Sifat ini diakuinya bermula semenjak masa kanak-kanak, sudah menjadi fitrah yang tidak dapat diletakkan ketidakpuasan ini membawa munculnya sebuah wajah baru pada tngkah laku al-Ghazali semenjak ia berumur kira-kira 20 tahun, yaitu keraguan terhadap kepercayaan dari nenek moyang. Tidak jemu-jemunya mengarungi gelombang pertarungan kepercayaan dan ilmu yang tidak dialaminya untuk mencari kebenaran itu.13 Di antara bidang yang didalaminya adalah bidang moral atau akhlak. Pendidiakan akhlak dalam kosepsi al-Ghazali tidak hanya terbatas pada apa yang dikenal dengan teori menengah saja, akan tetapi meliputi sifat keutamaannya yang bersifat pribadi, akal dan amal perorangan dan masyarakat. Atas dasar itulah, pendidikan akhlak menurut al-Ghazali memiliki tiga dimensi, yakni (1) dimensi diri, yakni orang dengan dirinya dan Tuhannya, (2) dimensi sosial, yakni masyarakat, pemerintah, dan pergaulan dengan sesamanya, dan (3) dimensi metafisik, yakni aqidah dan pegangan dasar.14 Selanjutnya, al-Ghazali mengklasifikasikan pendidikan akhlak yang terpenting dan harus diketehui meliputi (1) perbuatan baik dan buruk, (2) kesanggupan untuk melakukannya, (3) mengetahui kondisi akhlaknya, dan (4) sifat yang cenderung kepada satu dari dua hal yang berbeda, dan menyukai salah satu di antara keduanya, yakni kebaikan atau keburukan.15 Dari beberpa ketetangan di atas dapat dipahami bahwa pendidikan akhlak menurut konsepsi al-Ghazali adalah suatu usaha untuk menghilangkan semua kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah di jelaskan Al-Ghazali, Al-Munziq> Min al-Dhalal> , (Beirut: Al-Maktabah Al-Sya’biyah , 1960), 13 p. 39. Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), p. 35. Al-Ghazali, op. cit., p. 204 14 15 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 25 Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali... oleh syari’at secara terperinci, hal-hal yang harus dijauhi oleh manusia, sehingga akan terbiasa dengan akhlak-ahklak yang mulia. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pendidikan akhlak menurut al-Ghazali adalah proses pembentukan akhlak manusia yang ideal dan pembinaan yang sungguhsungguh sehingga terwujud suatu keseimbangan dan iffah. Akan tetapi tidak ada manusia yang dapat mencapai keseimbangan yang sempurna dalam keempat unsur akhlak tersebut (tetap harus berupaya kearah itu) kecuali Rasulullah saw, karena beliau sendiri ditugaskan oleh Allah swt untuk menyempurnakan akhlahk manusia dan oleh karenanya beliau harus sempurna terlebih dahulu. Remaja dan Problematikanya Remaja merupakan masa pubertas (Latin), yakni kelelaki-lakian, kedewasaan yang ditandai oleh sifat dan tanda-tanda kelaki-lakian,16 suatu umur anak antara 12 sampai dengan 16 tahun.17 Dengan ungkapan lain, Zakiah Darajat mengatakan bahwa remaja adalah suatu tingkatan umur di mana anak-anak tidak lagi anak, akan tetapi belum dapat dipandang dewasa,18 yakni peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa dalam segala segi, dan ia sedang mengalami kegoncanagan dan ketidakpastian. Dengan ungkapan lain, Koentjoroningrat19 memandang remaja sebagai manusia yang memiliki idealis tingggi, seperti beliau kemukakan di bawah ini: “Manusia yang oleh pihak luar disatukan berdasarkan atas ciri, yaitu sifat muda. Namun, kecuali ciri objektif tersebut, golongan sosial ini digambarkan oleh umum sebagai suatu golongan manusia yang penuh idealisme, yang belum terikat oleh kewajiban-kewajiban hidup yang membebankan, dan yang karena itu masih sanggup mengabdi dan berkorban kepada masyadrakat yang masih penuh semangat dan vitalitas, yang mempunyai daya memperbaharui serta kreativitas yang besar….” Ny. Singgih D. Gunarsa, Psikoligi Remaja, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1990), Cet. Ke-2, p. 109. 17 Ny. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. gunarsa, Psikologi Untuk Muda-Mudi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), p. 28. 18 Zakiah Darajat, Pembinaan Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), p. 28 19 Koentjoroningrat, Pengantar Ilmu Antropoligi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990), Cet. Ke-8, p. 151. 16 26 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 Moh. Mukhlas Sedangkan menurut Soekanto,20 masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang senantiasa dipengaruhi oleh kegoncangan jiwa, karena pada periode tersebut seseorang meninggalkan tahap kehidupan anakanak untuk menuju ke tahap selanjutnya yaitu kedewasaan, dan masa ini dirasakan sebagai masa krisis karena belum adanya pegangan, sedangkan kepribadiannya mengalami pembentukan. Dari beberapa uraian singkat di atas dapat disimpukan bahwa remaja adalah suatu masa tertentu yang dialami setiap manusia sebelum memasuki masa dewasa yang memiliki ciri khas dimana pada masa ini si anak banyak memerlukan bimbingan dan arahan dari pihak-pihak yang bertanggung jawab, guna memberi rasa aman dan diharapkan dapat berkembang dengan baik. Pada masa ini lazim dikenal dengan istilah generasi muda. Remaja adalah sosok manusia baya yang mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Kondisi fisik dan emosinya berkembang dengan cepat, dan kestabilan emosi pun sering tidak terkendali. Pada masa ini, remaja mengalami beberapa perkembangan, baik itu fisik maupun psikis, seperti konsep diri, intelegensi, emosi, peran sosial, peran seksual, dan perkembangan moral dan religi. Secara fisik, remaja mengalami perkembangan yang cukup cepat, seperti pertumbuhan tubuh (badan semakin penjang dan tinggi), mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki), dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh. 21 Dari ciri-ciri pertumbuhan fisik pada remaja tersebut menandakan bahwa remaja bukan lagi anak-anak, tetapi ia mulai beranjak dewasa dan mulai memperlihatkan sifat kedewasaannya walaupun masih belum dianggap dewasa sepenuhnya. Ia mulai matang keadaan fisiknya dan mulai menyenangi lawan jenisnya. Secara psikologis, remaja sebagaimana yang dikatakan oleh Sarlito Wirawan Sarwono bahwa tinjauan ini akan dilakukan dari berbagai segi, yaitu konsep diri, intelegensia, emoasi, seksual, motif sosial, dan moral serta relegi.22 Perkembangan konsep diri, ia mulai menunjukkan Soerjono Soekanto, Sosioligi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), Cet. Ke-14, p. 414-415. 21 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikoligi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), p. 51. 22 Ibid., p. 71 20 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 27 Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali... dan mencerminkan kepribadiannya yang khas yang berbeda dengan ketika ia masih kanak-kanak. Pada masa ini anak mulai bersikap kritis, logis dan realistis. Hal ini disebabkan karena perkembangan psikis remaja sudah matang.23 Pada perkembangan intelegensinya24, remaja sudah mampu berfikir secara kritis, meskipun kadangkala masih diwarnai dengan emosi yang cukup tinggi. Perkembangan intelegensi ini banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik itu intern maupun ekstern. Di antara faktor yang mempengaruhinya adalah faktor pembawaan, kemasakan, pembentukan, dan faktor minat.25 Dari sisi emosinya,26 pada masa ini, remaja masih labil dan kurang mampu mengendalikan gejolak emosinya. Hal ini disebabkan oleh jiwa egonya yang mendominasi dalam dirinya. Permasalahan tentang emosi ini bila dikaitkan dengan kondisi psikologis remaja adalah bentuk emosi yang lebih mengarah kepada hal-hal yang kurang normatif bahkan bisa terjerumus kepada tindakan asusila. Akan tetapi di lain keadaan emosi remaja yang menggebu tersebut bermanfaat, karena remaja tersebut dapat terus mencapai identitas dirinya. Perkembangan peran sosial, ia lebih mementingkan pegaulan dalam lingkungan sosialnya dari pada lingkungan keluarganya. Hal ini dikarenakan emosi remaja tersebut mulai memuncak. Oleh karena itu, motivasi yang agamis dari orang tuanya sangat penting terhadap anaknya yang sedang mnginjak masa remaja di samping keadaan lingkungan Zulkifli L., Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1987), Cet. Ke-2, p. 15. 24 Intelegensi merupakan kemampuan/kecakapan intelektual yang berdaya guna dan berhasil guna untuk menghadapi atau bertindak/berbuat dalam suatu situasi atau dalam menyelesaikan suatu masalah atau suatu tugas, misalnya dalam menulis surat, mencatat membaca, mengarang, menghadapi ujian, mempelajari suatu buku, memecahkan masalah, berselisih paham, menyalurkan dorongan jiwa, dan lain sebagainya, dimana dalam berbuat atau bertindak atau memecahkannya tampak “intelegen” atau “bodoh”. Jadi orang yang intelegen adalah orang yang mampu berbuat/bertindak bijaksana (cepat, tepa dan berhasil). Lihat M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), p. 111. 25 Akyas Azhari, Psikologi Pendidikan, (Semarang: Bina Utama, 1996), p.29. 26 Emosi merupakan salah satu sifat yang terdapat pada setiap individu yang biasanya berkaitan dengan persaan, seperti perasaan senang, sedih, marah, dan sabar. Lihat Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar, op.cit. p. 83. 23 28 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 Moh. Mukhlas sosialnya yang juga religius. Dalam hal ini, Zakiyah Darajat27 menyatakan bahwa perkembangan sosial anak dapat berpindah dari satu fase ke fase yang lain. Oleh karena itu, agar anak remaja dapat menyalurkan peran sosialnya ke arah yang positif, maka tugas keluarga dan lingkunganyalah untuk memberikan pengertian tentang norma-norma dan nilai-nilai sosial, serta lebih ditekankan kepada hal-hal yang berbau keagamaan. Masalah perkembangan peran seksual bagi remaja sangat menentukan terhadap identitas kepribadian dan jati dirinya. Adanya perkembangan seksual pada remaja tersebut dapat menimbulkan gejolak yang begitu besar, sehingga banyak remaja yang terjerumus kepada tindakan-tindakan anarkis. Dalam hal ini, Zulkifli menyatakan bahwa seksual mengalami perkembangan yang kadang-kadang menimbulkan masalah dan menjadi penyebab timbulnya perkelahian, bunuh diri, dan lain sebagainya.28 Selain perkembangan-perkembangan di atas, remaja juga mengalami perkembangan moral dan religi. Moral dan religi merupakan suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan dalam mengatur hidup dan kehidupan. Manusia akan kehilangan jejak dan sinar kehidupan yang hakiki bila tidak disertai atau dipedomani oleh moral dan religi. Moral dan religi ini hanya berlaku untuk hayawan al-natiq (makhluk yang berakal). Sejalan dengan perkembangan remaja, problematika remaja sering muncul, bahkan kearah tindakan negatif. Kartono29 mengatakan bahwa motivasi remaja melakukan kejahatan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keserakahan, dorongan seksual, dan kesalahan pendidikan. Terjadinya tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukan oleh remaja tersebut tidak terlepas dari banyaknya problem yang dihadapinya. Namun menurut Zakiyah Darajat bahwa di antara faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya problematika remaja yang dahulu dirasakan dan sekarang semakin tampak jelas ialah masalah hari depan, hubungan dengan orang tua, masalah moral, dan agama.30 Zakiah Darajat, Ilmu, op.cit., p.53. Zulkifli L., op.cit., p. 87. 29 Kartini Kartono, Patalogi sosial II/Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), Cet. Ke-2, p. 10. 30 Zakiah Darajat, op.cit., p.126. 27 28 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 29 Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali... Pengaruh pendidikan orang tua terhadap anaknya yang sedang menginjak usia remaja sangatlah penting, terutama untuk mengatasi problemanya yang sangat besar, karena orang tua merupakan pendidik utama dan pertama terhadap anaknya, sedangkan guru hanya sebatas membantu kekurangan pengetahuan bagi anak tersebut.31 Dengan demikian jelaslah bahwa sikap dan tingkah laku anak itu terletak pada sikap dan tingkah laku orang tuanya juga. Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali pada Remaja Di dalam konsep pendidikan akhlak, al-Ghazali sama sekali tidak menyinggung masalah akhlak yang berhubungan dengan remaja, akan tetapi beliau lebih menitikberatkan pendidikan akhlaknya kepada anak dan orang dewasa. Hal ini mungkin dianggap lebih sulit, karena masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja dan akhirnya sampailah ke masa dewasa, atau mungkin ini merupakan salah satu kekurangan al-Ghazali, sehingga beliau tidak membicarakan masalah akhlak remaja. Adapun mengenai relevansi konsep pendidikan akhlak al-Ghazali dan kondisi remaja, pembahasannya lebih dititikberatkan kepada pengupasan tentang masalah perkembangan remaja itu sendiri, karena masa remaja merupakan masa penting dalam proses pematangan dan pendewasaan pribadi seseorang, termasuk di dalam hal ini penyempurnaan akhlaknya. Pada masa kanak-kanak, seseorang masih dalam proses menjadi dan mematang. Unsur-unsur pisiknya yang masih kecil belum dapat berfungsi secara sempurna, dan unsur-unsur psikisnya, intelektual, ataupun emosional, belum selesai pertumbuhannya. Anak-anak belum dapat hidup secara mandiri serta masih banyak bergantung kepada orang lain dan media-media yang ada di lingkungannya untuk pematangan seluruh potensi-potensi yang ada pada dirinya. Oleh karena itu, anakanak belum dapat diberi tanggung jawab atas segala hal.32 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Cet. Ke- 31 1, p. 36. Zakiah Darajat, op.cit., p. 87; dan Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), p. 89. 32 30 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 Moh. Mukhlas Sedangkan pada masa dewasa, seseorang telah mencapai kematangan, baik pisik maupun psikis. Oleh karena itu, ia dapat hidup mandiri, tidak semata-mata bergantung kepada orang lain, serta dapat dipercaya untuk memikul tanggung jawab didalam kehidupan sosialnya.33 Bila demikian itu masa kanak-kanak dan masa dewasa, maka pada masa remaja yang menghubungkan kedua masa tersebut, seseorang memperlihatkan perkembangan-perkembangan yang sepintas tampak sebagai perkembangan pada masa kanak-kanak dan sepintas tampak sebagai perkembangan pada masa dewasa. Berikut ini disajikan sekilas mengenai beberapa aspek perkembangan yang terjadi pada masa remaja yang meliputi aspek biologis, intelektual, emosional, agama, moral, dan aspek penemuan diri. Pertama, aspek biologis. Memasuki masa remaja, seorang anak akan mengalami perkembangan besar dari segi pisik. Pertumbuhan tubuhnya lebih cepat dibandingkan dengan masa kanak-kanak, baik itu pada laki-laki maupun wanita. Perkembangan pisik yang cepat ini membutuhkan penyesuaian tingkah laku yang cepat pula. Tetapi, pada umumnya penyesuaian tingkah laku ini tidak dapat mengimbangi perkembangan pisik yang begitu cepat itu, sehingga sering dijumpai remaja selalu canggung dalam tingkah lakunya, tubuhnya besar tinggi, tetapi tingkah lakunya mirip anak kecil. Perkembangan pisik remaja, pada umumnya mencapai kematangan pada usia 18 tahun. Perkembangan pisik pada remaja dibarengi pula dengan perkembangan seksual. Permulaan masa remaja biasanya ditandai dengan kematangan seksual, dalam arti organ-organ seksualnya sudah dapat berfungsi sepenuhnya untuk memperoleh keturunan. Sehubungan dengan kematangan seksual ini, timbul pada seorang gadis perasaan tertarik kepada pemuda, dan begitu pula sebaliknya. Akibatnya, setiap anak akan lebih memperhatikan dirinya agar selalu tampil menawan dan menarik perhatian lawan jenisnya. Jika pada masa sebelumnya kurang memberikan perhatian terhadap penampilan tubuhnya, maka pada remaja ini seorang anak selalu berusaha menghiasinya dengan berbagai media yang mungkin diperolehnya, dan ini akan membawa implikasi pada mereka.34 Ibid., p. 89. Implikasi kematangan seksual di masa remaja ini sebagaimana digambarkan oleh Kartono sebagai berikut: “Anak laki-laki yang selalu bersifat “jorok”, acuh tak acuh, sekarang menjadi seorang dendy kecil yang gila mode. Semua ini dikerjakan oleh anak 33 34 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 31 Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali... Dengan matangnya fungsi seksual, timbul pula dorongandorongan atau keinginan-keinginan untuk pemuasan seksual. Gejolak seksual ini semakin naik pada pertengahan dan akhir masa remaja, di mana goncangan-goncangan psikis juga bergejolak. Kedua, aspek intelektual. Apabila pada masa kanak-kanak, seorang anak masih bepikir konkrit atau mengambil kesimpulan tetang sesuatu yang sederhana dan tampak pada indranya, maka pada masa remaja ia sudah berpikir abstrak yang ditandai dengan kemampuan menghubungkan sebab dan akibat. Ini berarti pada masa remaja, seorang anak sudah berpikir logis, ia tidak mudah menerima setiap pernyataan yang tidak ditopang oleh alasan-alasan yang kuat. Ia sudah berpikir kritis dan mengambil suatu sikap tertentu bukan tanpa pengertian melainkan setelah melalui penganalisaan. Oleh karena itu, anak remaja sering menolak saran-saran atau mengkritik pendapat yang berlawanan dengan hasil kesimpulan yang diambilnya. Ia akan mempertanyakan setiap sesuatu sampai memberikan kepuasan intelektualnya. Perkembanag intelektual yang kritis dan logis ini sering menimbulkan kegoncangan dan konflik batin di dalam jiwa remaja, apabila setiap setiap pertanyaan yang muncul di dalam dirinya tidak terjawab atau terjawab tapi tidak memberikan kepuasan atas bahkan berlawanan dengan hasil pengenalisaannya. Ketiga, aspek emosional. Perkembangan emosi pada masa remaja tidak menentu dan menunjukkan kelebihan. Bermacam-macam emosi yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain muncul pada masa ini. suatu saat seorang remaja merasa sedih sekali, tapi tiba-tiba muncul rasa gembira. Ia merasa gundah dan resah, tapi tidak tahu megapa demikian. Ia harus menolak anjuran dan harapan, tapi tidak tahu apa yang harus dilakaukan setelah menolaknya. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka dari pikiran yang realistis,35 karena dominasi emosi yang tidak stabil ini, remaja sering terombang-ambing antara emosi-emosi yang tak meluap-luap. bukannya semata-mata untuk menirukan tingkah laku orang dewasa saja, akan tetapi khusus untuk membelai-belai secara konkrit harga dirinya, memupuk kekerasan kewanitaannya, dan memuaskan kebutuhan baru untuk tampak lebih cantik menarik. Lihat Kartono, op.cit. p. 172. 35 Zulkifli L., Psikologi Perkembangan, (Bandung: CV. Remaja Karya, 1987), p. 89. 32 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 Moh. Mukhlas Keadaan emosi remaja yang labil itu dipengaruhi oleh perbedaanperbedaan hasrat yang muncul di dalam dirinya. Demikian pula dorongan-dorongan seksualnya yang tidak dapat terpenuhi karena dirintangi oleh norma, serta konflik sosial dan konflik psikis yang tejadi di dalam dirinya juga ikut menciptakan kelabilan emosi remaja. Namun demikian, kelabilan emosi ini segara hilang setelah remaja menemukan jati dirinya. Keempat, aspek sosial. Pertumbuhan aspek sosial pada seseorang sebenarnya sudah terjadi sejak lahir, karena secara kodrati manusia adalah makhluk sosial. Pada masa kanak-kanak, seorang anak sudah membutuhkan orang lain, hanya saja pada masa ini aspek sosialnya lebih didorong oleh keharusan kodrati, tersebut, dalam arti bahwa ia tidak mungkin hidup sendiri dan pergaulan bersama orang lain pasti terjadi. Akan tetapi pada masa remaja, perkembangan aspek sosial anak bukan semata-mata karena keharusan kodrati melainkan juga melibatkan orang lain, yaitu untuk mendapatkan perhatian atau penerimaan sosial terutama dari teman-teman sebayanya. Ia bukan hanya sekedar ingin bergaul, melainkan juga ingin diperhatiakan dan mendapatkan tempat didalam kelompok teman-temanya itu. Oleh karena itu, ia cenderung meniru mereka dalam perbuatan, pandangan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Teman-teman sekelompoknya sering dijadikan ukuran dalam kegiatan hidupnya, sehingga ia juga cenderung membela mereka sekalipun salah. Di samping dorongan di atas, perkembangan sosial remaja ditandai pula dengan keinginan mendapatkan status dan peranan di dalam masyarakat, karena dengan status dan peranan sosial yang diperolehnya, ia merasa dirinya diperhitungkan dan dihargai orang, dan keberadaanya di tengah-tengah masyarakat tidak sia-sia. Hilangnya status dan peranan sosial ini dari remaja, bisa mengakibatkan ia berbuat sesuatu yang menarik perhatian masyarakat, bila perlu melakukan tindakantindakan asosial, seperti berkelahi atau mengganggu orang lain di jalanan. Oleh karena itu, pengakuan dengan bentuk pemberian status dan peranan sosial kepada remaja, tidak saja dirasakan sebagai penghargaan sosial oleh remaja, melainkan juga sebagai kasih sayang sosial. Penghargaan dan kasih sayang sosial ini dapat menjadikan kondisi jiwa remaja sehat dan stabil.36 Musthafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat, alih bahasa Prof. Dr. Zakiah Darajat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), p. 58. 36 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 33 Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali... Kelima, aspek agama. Perkembangan keberagamaan pada masa remaja seiring dengan perkembang intelektual dan emosionalnya. Pada masa ini, agama tidak hanya akan diterima begitu saja oleh remaja, tetapi masih diikuti dengan kematangan intelektualnya, dan ajaranajaran agama yang pernah diterimanya di masa kecil mulai dipertanyakan oleh akalnya. Dalam keadaan tentram dan tenang, ia tampak kurang memperdulikan agama, tetapi sebaliknya, ketika mengalami kegelisahan atau kesulitan, ia akan sangat memperhatikan agama, ia merasa harus berdekat diri kepada Allah SWT melalui shalat atau membaca al-Qur’an. Jadi, perkembangan keberagamaan pada masa remaja bukan sesuatu yang tetap, melainkan berubah-ubah. Pada masa ini, sikap remaja kepada agama terbagi menjadi empat sikap, yakni sikap ikuti-ikutan, percaya secara sadar, diliputi kebimbangan, dan tidak percaya.37 Keenam, aspek moral. Perkembangan aspek moral di sini menyangkut pandangan dan kesesuaian tingkah laku remaja dengan nilai-nilai moral38 yang berlaku di dalam masyarakatnya. Perkembangan moral pada masa remaja dipengaruhi pula oleh perkembangan intelektual, dan mencapai kematangan ketika perkembangan intelektualnya mencapai kematangan. Pada masa kanak-kanak, nilai-nilai moral seseorang dicapai melalui pembiasaan-pembiasaan dan peniruanpeniruan yang dialaminya di dalam lingkungan keluarga dan didalam hubungan-hubungan dengan anak-anak lain. Sebagai nilai-nilai moral ini akan menetap sepanjang hidup, dan sebagian lain sedikit demi sedikit mengalami perubahan, karena perkembangan intelektualnya serta karena hubungannya dengan lingkungannya menyebabkan timbulnya konflik-konflik, dan nilai-nilai moral suatu lingkungan yang satu berada dengan yang lain atau berbeda dengan nilai-nilai yang sudah terbentuk. Nilai-nilai moral yang saling berbeda di dalam masyarakat bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tidak baik di dalam jiwa remaja. Ia akan mengalami ketegangan-ketegangan psikis, ketidakpuasan batin dan nilai-nilai moral menjadi kabur dalam pandangannya. Remaja akan terombang-ambing dan dipaksa untuk memilih satu nilai moral untuk diikutinya, tetapi hal ini tidak selalu dapat terpenuhi. Pada akhirnya Zakiah Darajat, op.cit., p. 110. Nilai-nilai moral yang dimaksud ialah ketentuan-ketentuan baik dan buruk, atau nilai-nilai yang berlaku dalam suatu kelompok yang membatasi tingkah laku individu dalam kelompok. Lihat Sarlito Wirawan Sarwono, op.cit., p. 110. 37 38 34 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 Moh. Mukhlas bisa terjadi, ia kehilangan pegangan hidup dan berakibat buruk yang mengambil bentuk tingkah laku moral atau kenakalan remaja yang tidak asing itu. Ketujuh, penemuan diri. Masa remaja dipandang orang sebagai masa kehidupan manusia yang sangat menarik, karena adanya perkembangan-perkembangan yang khas. Perkembangan lain yang sangat menonjol pada masa remaja ini adalah bahwa perasaan dengan proses kematangan pisik, seksual, intelektual, dan emosional remaja timbul pula di dalam dirinya, kesadaran yang tinggi akan dirinya sendiri, di mana ia mulai meyakini kemauan, potensi dan cita-citanya sendiri. Dengan kesadaran ini, remaja berhak menemukan jalan hidupnya sendiri, mulai mencari nilai-nilai dirinya sendiri dan mulai menyatakan pendapat-pendapatnya sendiri yang berbeda dari orang lain.39 Kesadaran untuk merealisasikan diri dan menemukan jati dirinya, mendorong munculnya rasa ingin bertanggung jawab secara penuh dan ingin hidup bebas tanpa suatu ikatan yang membatasi geraknya. Ia akan cenderung melakukan sesuatu yang dapat dipandang hebat, melebihlebihkan kemampuan dirinya dan berusaha keras untuk berbeda dengan yang lain. Identifikasi diri kepada orang tuanya, yang sebelumnya begitu kuat, kini mulai berkurang, dan segara ia mencari figur-figur lain sesuai dengan citarasanya. Usaha menemukan diri ini mendorong remaja pula suka memberontak terhadap orang tuanya, gurunya, atau orang lain yang dipandangnya membatasi kewibawaan dan kebebasan dirinya. Ia akan berani melawan arus, atau menetang norma-norma dan nilai-nilai moral yang telah mapan di dalam masyarakat, bahkan menentang ajaranajaran agama yang tidak berkenan di hatinya. Akan tetapi, disamping itu timbul pula di dalam dirinya keraguraguan, kecemasan, dan ketakutan kepada perkembangan pisik dan seksualnya yang meningkat matang, tetapi belum dimengerti betul oleh remaja itu, semantara itu pula ia belum cukup kuat untuk berdiri sendiri. Kondisi tersebut akan menimbulkan kelelahan pisik dan psikis, konflikkonflik batin dan ketidakseimbangan jiwa pada remaja. 39 Lebih lanjut dikatakan bahwa hakikat masa remaja terutama adalah menemukan diri, meneliti sikap hidup yang lama dan mencoba-coba yang baru untuk menjadi pribadi yang dewasa. Lihat Sumadi Suryabrata, Perkembangan Individu, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), p. 31. At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 35 Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali... Itulah beberapa aspek perkembangan terpenting yang terjadi pada masa remaja. Gejala-gejala yang terjadi pada masing-masing aspek memperlihatkan hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, pola pembentukan atau pembinaan anak remaja menjadi dewasa dan berakhlak mulia tidak dapat mengabaikan salah satu aspek perkembangannya, melainkan harus mengayom dan mengarahkan seluruh aspek perkembangan itu. Pendidikan akhlak al-Ghazali diarahkan kepada masa dewasa di mana seseorang telah selesai mengalami kegoncangan masa remaja dan telah memiliki pemahaman tentang arti akhlak dalam kehidupan manusia, serta diarahkan pula kepada kanak-kanak yang masih belum terjadi kegoncangann batin, bahkan untuk masa kanak-kanak ini alGhazali menggambarkan beberapa perkembangannya. Menurut Al-Ghazali pola pendidikan akhlak terbagi kepada dua bagian, yaitu akhlak baik dan akhlak buruk. Akhlak yang baik dapat diperoleh dengan cara kemurahan Ilahi, pembiasaan, dan ta’allum. Sedangkan untuk menghilangkan akhlak yang buruk dipergunakan dua bentuk cara, yaitu prinsip psikologis dan prinsip oposisi. Di dalam konsepsi pendidikan akhlaknya, Al-Ghazali sama sekali tidak menyinggung masalah remaja, padahal masa remaja ini, seperti telah dikemukakan, merupakan masa penting dalam proses pematangan dan pendewasaan pribadi seseorang, temasuk dalam hal ini penyempurnaan akhlaknya. Gejolak psikis yang meluap-luap pada masa ini, yang apabila tidak dapat dikendalikan dan diarahkan, bisa menjadikan nilainilai akhlak yang telah diterima remaja pada kanak-kanaknya mengalami perubahan, bahkan boleh dibilang bisa hilang sama sekali. Kenyataan menunjukkan, seperti dampak pada zaman sekarang, anak yang pada masa kecilnya telah memperoleh pengalaman-pengalaman atau didikandidikan secara baik pula, anak itu berubah menjadi berakhlak buruk. Oleh karena itu, tidak dibicarakannya masalah remaja merupakan kekurangan utama dalam konsepsi pendidikan akhlak Al-Ghazali. Ada dua sebab yang dapat dijadikan alasan oleh Al-Ghazali tidak membahas akhlak yang berkaitan dengan masa remaja. Pertama, alGhazali memasukkan masa remaja ke dalam masa dewasa. Hal ini bisa disebabkan oleh pengaruh ajaran Islam, sebagai sumber paling utama konsepsi akhlaknya, tentang usia aqil baligh di mana seseorang dianggap dewasa, yang banyak dijumpai didalam ilmu fiqih. Usia aqil baligh 36 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 Moh. Mukhlas ditandai dengan mimpi basah pada anak laki-laki dan menstruasi pada anak wanita.40 Ketika memasuki usia aqli baligh inilah seseorang dianggap dewasa dan menerima tanggung jawab agama yang sama, tidak beda antara anak remaja dengan orang dewasa, termasuk pula tanggung jawab akhlak. Karena pengaruh ajaran Islam (ilmu Fiqih) ini, barangkali alGhazali mengarahkan konsepsi pendidikan akhlaknya kepada masa kanak-kanak dan masa dewasa. Kedua, penjelasan al-Ghazali mengenai perkembangan individu hanya dipusatkan pada masa kanak-kanak. Bahkan boleh dikatakan, tekanan utama yang diberikan oleh al-Ghazali di dalam pendidikan akhlaknya ditujukan kepada masa kanak-kanak. Hal ini karena optimisme al-Ghazali yang begitu kuat akan pengaruh positif yang akan diberikan oleh proses dan hasil pendidikan di masa kanak-kanak untuk masa-masa berikutnya. Karena inilah barangkali, ia tidak perlu membicarakan perkembangan individu remaja setelah masa kanak-kanak. Metode pendidikan akhlak yang diterapkan oleh al-Ghazali adalah metode pembiasaan. Metode pembiasaan merupakan metode yang baik dan cukup efektif untuk menanamkan akhlak mulia khususnya pada masa kanak-kanak. Demikian pula pada masa remaja, hanya saja pada masa ini, metode itu tidak selalu berjalan mulus. Pada masa ini tidak mudah memberikan kebiasaan baru, karena remaja cenderung menolak setiap ketentuan baru yang membatasi dirinya, bahkan ia sering melepaskan kebiasaan yang baik yang telah diterimanya pada masa kanak-kanak, karena konflik-konflik yang dialaminya. Suatu kebiasaan terkadang tidak berjalan konstan emosinya yang selalu berubah. Karena sebab yang sama pula, metode pencegahan dari pergaulan yang tidak baik akan juga mengalami hambatan jika dihadapkan pada remaja. Apalagi pada masa ini, seorang anak remaja membutuhkan perhatian dan penerimaan dari teman-teman sebayanya, sehingga sekalipun lingkungan pergaulan tersebut berkebiasaan tidak baik, tetapi dapat saling memberikan perhatian dan dukungan mental karena menghadapi persoalan yang sama, maka anak remaja agak sulit diindahkan dan mengindarkan diri dari pergaulan tersebut. Prinsip oposisi untuk menghilangkan kecenderungan akhlak buruk tidak selamanya perlu diwujudkan pada masa remaja. Sebab 40 Singgih D. Gunars, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1984), p. 40 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 37 Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali... kecenderungan buruk pada remaja terkadang hanya bersifat sementara karena merupakan ekses dari suatu perkembangan tertentu yang berlangsung di dalam dirinya yang segera hilang jika perkembangan tersebut telah seleai atau mencapai kematangan. Adakalanya pula, kecenderungan buruk itu ditimbulkan oleh gejolak jiwanya yang ingin menemukan dan merealisasaikan kemampuan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Adakalanya pula kecenderungan buruk itu merupakan sikap protes terhadap kondisi luar dirinya yang menghambat usaha penemuan diri dan yang nampak tidak sesuai dengan pandangannya. Karena itu, setiap usaha mencegah kecenderungan buruk untuk digantikan dengan kebiasan yang baik sering dilawan oleh remaja. Di sini sangat dibutuhkan sikap arif dari para orang tua dan pendidik dalam mengahadapi anak ramaja. Metode ta’allum dan metode mengetahui diri yang dikemukakan al-Ghazali sebenarnya merupakan otometode, yaitu metode yang hanya dipergunakan oleh diri sendiri. Otometode hanya ditempuh oleh seseorang yang telah memiliki kesadaran akan kekuatan dirinya sendiri, kemudian ada keinginan untuk memperbaikinya dan meningkatkan kepribadiannya secara lebih baik. Pada masa remaja, otometode ini hanya bisa mungkin ditempuh oleh anak remaja yang telah mencapai kematangan intelektual dan kestabilan emosional, serta segera menemukan dirinya dan pegangan hidupnya, atau ia hanya dapat ditempuh oleh anak remaja yang tidak banyak mengalami goncangan batin dan melalui perkembangan intelektualnya yang agak stabil ia memahami arti akhlak yang baik bagi kehidupannya. Namun secara umum, anak remaja sebagaimana talah dijelaskan, menunjukkan kelabilan perkembangan, ingin lebih memperlihaatkan dirinya dari pada meniru orang lain dan sering mengalami keterombangan-ambingan psikis, sehingga ia sulit melihat kekurangan dirinya, bahkan ia belum memahami secara penuh tentang siapa dirinya beserta perkembangannya yang terjadi. Pada saat begini, anak remaja sangat membutuhkan pengarahan dan bimbingan untuk memahaminya dirinya. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pendidikan akhlak al-Ghazali adalah kecendrungan sufistiknya, dalam arti kecenderungan menjauhi dunia. Sebab, dunia tidak salalu dan selamanya buruk. Ia akan menjadi buruk bila berada di tangan orang yang berakhlak buruk dan cinta dunia, dan ia akan menjadi baik bila berada di tangan orang yang 38 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 Moh. Mukhlas berakhlak baik dan menghargai dunia. Karena itu, dunia pun dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan akhlak manusia. Terlepas dari hal-hal yang perlu dipertimbangkan dari konsepsi pendidikan akhlak al-Ghazali di atas, terdapat pula hal-hal yang sangat berharga dan perlu mendapatkan perhatian dalam menanamkan akhlak yang baik pada anak didik. Prinsip psikologis yang sangat dianjurkan alGhazali sangat penting untuk menanamkan akhlak yang yang baik dan menghilangkan akhlak yang buruk. Konsepsi akhlaknya yang banyak bersumber pula kepada ajaran agama Islam, memperlihatkan corak religius dan universal, maka hal ini jelas ikut membantu mengurangi konflik-konflik psikis yang dialami anak remaja, yang disebabkan oleh perbedaan dan pertentangan nilai-nilai moral yang terdapat didalam masyarakat. Hal yang sangat menarik dari al-Ghazali ialah pandangannya tentang peran akhlak transendental di dalam proses pendidikan akhlak. Unsur transendetal ini tidak akan dijumpai didalam konsepsi pendidikan modern yang umumnya datang dari Barat dan yang dihasilkan oleh rumusan akal semata-mata. Daftar Pustaka Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. Jakarta: Bulan Bintang. Amin, Ahmad. 1986. Etika (Ilmu Akhlak). Alih Bahasa oleh Prof. K.H. Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang. Al-Subki, Taj al-Di>n. tt. Thabaqa>t Al-Sya>fi’iyya>t Al-Kubra. Mesir : Mustafa Al-Ba>b a-Halabi. Al-Ghazali. 1960. Al-Munzi>q Min al-Dhala>l. Beirut: Al-Maktabah AlSya’biyah. Al-Nadwi, Abu Al-Hasan. 1969. Rija>l al-Fikr wa al-Dakwat fi al-Isla>m. Kuwait: Da>r al-Qalam. Azhari, Akyas. 1996. Psikologi Pendidikan. Semarang: Bina Utama. Berten, K. 1987. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. Darajat, Zakiyah. 1987. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. —————. 1976. Pembinaan Remaja. Jakarta: Bulan Bintang. Daudy, Ahmad. 1986. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Dunya, Sulaiman. 1971. Al-Haqi>qa>t fi Nazhar Al-Ghaza>liyy. Kairo: Da>r AlAt-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428 39 Aktualisasi Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali... Ma’a>rif. Fahmi, Musthafa. 1977. Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat. Alih Bahasa Prof. Dr. Zakiah Darajat. Jakarta: Bulan Bintang. Gunarsa, Ny. Singgih D. 1990. Psikoligi Remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. —————, Ny. Singgih D. dan Singgih D. Gunarsa. 1982. Psikologi Untuk Muda-Mudi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hatta, Mohammad Hatta. 1983. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tintamas Kartono, Kartini. 1992. Patalogi sosial II/Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Press. Ma’arif, Ahmad Safi’i. “Al-Ghazali: Figur Anti intelektualisme?”, makalah disampaikan pada Simposium Tentang Al-Ghazali, oleh badan kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta Indonesia, Jakarta, 26 Januari 1985. Madjid, Nurcholis. 1987. Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan. Mubarak, Zaki. tt. Al-Akhlak> ‘Inda al-Ghazaliy> . Cairo: Da>r al-Ka>tib al-‘Arabi. Rahman, Fahrul. 1984. Isla>m. Alih Bahasa oleh Ahsin Mohammad. Bandung : Pustaka. Rajab, Manshur Ali. 1961. Ta’ammula>t fi Falsafat al-Akhla>k . Mesir: Maktabah Al-‘Anjilu. Sabri, M. Alisuf. 1993. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Sarwono, Sarlito Wirawan. 1976. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang. Soekanto, Soerjono. 1991. Sosioligi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Smith, Titus dan Nolan. 1984. Persoalan-Persoalan Filasat. Alih Bahasa oleh Prof. Dr. H. M. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang. Sujanto, Agus. 1986. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru. Suryabrata, Sumadi. 1982. Perkembangan Individu. Jakarta: Rajawali Press. Syarif, M. MA., ed. 1963. History of muslim Philosophy. Weisbaden: Otto Horrassowittz. Widgwry, Alban G. Pendahuluan, dari Sekh Nawa>b Ali. 1988. RahasiaRahasia Ajaran Tasawuf al-Ghazali. Alih bahasa oleh: Drs. Hamid Lutfi A. Basalamah. Bandung: Gema Risalah Press. Zulkifli L. 1987. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 40 At-Ta’dib Vol.3 No.1 Shafar 1428