prosedur implementasi research grant

advertisement
LAPORAN AKHIR
PENUNJANG PROSES PEMBELAJARAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
JUDUL PENELITIAN
Pengembangan Studi Ekonomi Makro Financial
Deepening dan Penelusuran Intermediasi Perbankan
Dalam Rangka Memacu Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia, 2000 - 2013
TIM PENELITI
Dr. I Gede Sujana Budhiasa, SE, Msi
NIDN : 0022115407
Dr. I.B. Purbadharmaja, SE, ME
NIDN : 0018066801
JURUSAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
5
HALAMAN PENGESAHAN
PENELITIAN PENUNJANG PROSES PEMBELAJARAN
Judul : Pengembangan Studi Ekonomi Makro Financial Deepening dan
Penelusuran Intermediasi Perbankan Dalam Rangka Memacu
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 2000 - 2013
1. Nama Mata Kuliah
2. Ketua Peneliti
a. Nama
b. NIDN
c. Pangkat/Gol.
d. Jab. Fungsional
e. Jurusan
f. Alamat Rumah
g. Telp Rumah/HP.
h. E-mail
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
3. Jumlah Anggota Peneliti
4. Lama Penelitian
5. Jumlah Biaya
Ekonomi Makro Lanjutan
Dr. I Gede Sujana Budhiasa, SE, MSi
1954 1122 198403 1 002 /0022115407
IV/A
Lektor Kepala
Studi Pembangunan
Raya Sempidi Ilalang Blok C 2 Badung
081 55 8888 3 111
[email protected]
:
:
:
2 Orang
5 Bulam
Rp. 5.000.000,-
Denpasar, 2 Juli 2014
Ketua Jurusan
Studi Pembangunan,
Ketua Peneliti,
Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE, MS
NIP. 19540429 198303 1 002
Dr. Gede Sudjana Budhiasa, SE, MSi
NIP. 1954 1122 198403 1 002
Mengetahui:
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universityas Udayana
Prof. Dr. I Gst Bagus Wiksuana, MS
NIP 19610827 196801 1
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebijakan
moneter
meskipun
dilaksanakan
secara
terpusat
melalui
kewenangan otoritas moneter Bank Indonesia, tetapi dimasa depan dapat saja
dipetakan kebijakan moneter yang ber-orientasi kepada kepentingan kawasan
percepatan pembangunan ekonomi
yang dikelompokkan berdasarkan koridor
ekonomi dalam rangka melihat dinamika kebijakan moneter berdimensi regional.
Fakta empiris menunjukkan adanya perbedaan kondisi latar belakang sumber daya
alam dan sumber daya manusia yang menjadi tantangan tersendiri dalam
membangun konektivitas produk antar pusat pertumbuhan ekonomi pada koridor
Bali Nusra ( Sudjana Budhi dan Rahyuda, 2011), Sudjana Budhi (2012). Studi
tentang kawasan koridor menjadi relatif penting, tidak saja dalam kerangka
membangun konektivitas ekonomi antar pusat pertumbuhan ekonomi pada koridor
ekonomi bersangkutan, tetapi juga melihat lebih jauh peranan intermediasi
perbankan sebagai perpanjangan tangan otoritas moneter dalam upaya mencapai
sasaran akhir efektivitas kebijakan moneter dalam rangka memacu pertumbuhan
ekonomi pada wilayah koridor ekonomi bersangkutan.
Keterbatasan data ekonomi moneter yang selama ini menjadi kendala bagi
pengembangan pemodelan makro ekonomi regional sebagaimana juga tampak
menjadi keterbatasan pada Kajian Ekonomi Regional (KER BI, 2012) Bank
Indonesia yang dilakukan pada setiap kantor cabang Bank Indonesia di seluruh
Indonesia adalah tidak tersedianya data tentang jumlah uang beredar (JUB) ditingkat
propinsi, sehingga tidak memungkinkan dapat dilakukan penelusuran efektivitas
7
kebijakan moneter pada tingkat regional/propinsi melalui pendekatan variabel JUB.
Dalam rangka pengembangan analisis tentang dampak kebijakan moneter dalam
rangka memahami fungsi intermediasi perbankan secara nasional, maka tulisan ini
melakukan penelusuran melalui financial deepening model, setidaknya akan dapat
diketahui termasuk di dalamnya peranan intermediasi perbankan dalam memacu
pertumbuhan ekonomi secara nasional untuk melihat dinamika kinerja perbankan
Indonesia sebagai lembaga intermediasi di satu pihak melakukan mobilisasi dana
masyarakat dalam bentuk tabungan dan simpanan berjangka, untuk kemudian
menjadi tugas industri perbankan untuk menyalurkan kembali dana masyarakat
tersebut untuk pembiayaan sektor riel. Studi yang terkait dengan pengembangan
pemodelan financial deepening untuk kajian Indonesia dilakukan oleh Abdurohman
(2003), menemukan bahwa libralisasi pasar keuangan berpengaruh nyata terhadap
dinamika pergerakan investasi dan mobilisasi dana masyarakat.
Agenor et al (2000) menyatakan kegagalan kebijakan moneter di negara
berkembang disebabkan oleh credit crunch, yaitu keengganan pihak perbankan untuk
menyalurkan pinjaman disebabkan oleh resiko kredit macet yang relatif tinggi,
sehingga akan berdampak pada resiko usaha dan kinerja perolehan laba.
Kompleksitas kebijakan moneter dalam konteks pengendalian pasar keuangan
dinyatakan sebagai inside the black box yang perlu dikaji dengan lebih seksama
seperti fenomena balance sheet channel dan Bank Lending Channel ( Bernanke dan
Getler, 1995). Kajian Bank Indonesia (BI, 2008), melihat financial deepening dari
dua aspek kepentingan. Pertama, financial deepening dalam rangka monetary
stability. Kedua, financial deepening dapat ditinjau dari sisi pengaruhnya terhadap
efektivitas kebijakan moneter. Bahwa rekomendasi Bernanke dan Getler (1995),
serta kajian Bank Indonesia terhadap relevansi financial deepening, memberikan
8
indikasi penting tentang perlunya pengkajian secara cermat dan berkesinambungan
dinamika financial deepening yang tampaknya relative berbeda berdasarkan potensi
sumber daya alam, keberadaan mutu sumber daya manusia, serta kesiapan industri
perbankan dalam memenuhi kinerja perbankan sebagaimana telah digariskan melalui
strategi penataan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang mulai diperkenalkan
Bank Indonesia sejak tahun 2004.
1.2
Perumusan Pokok Masalah
Rumusan pokok masalah yang diuraikan sejalan dengan latar belakang
penelitian yang telah disampaikan di atas, yaitu sebagai berikut.
a. Bagaimana pengaruh finansial credit, financial saving, dan inflasi terhadap
pembentukan produk domestik bruto pada perekonomian Indonesia.
b. Bagaimana pengaruh tidak langsung dari pertumbuhan Loan deposit ratio (LDR)
dan non performing loans (NPL) terhadap pembentukan produk domestik bruto
melalui variabel antara financial credit.
c. Bagaimana pengaruh tidak langsung dari pertumbuhan income per capita
terhadap pembentukan PDB melalui variabel antara financial saving.
d. Bagaimana pengaruh pertumbuhan PDB terhadap pertumbuhan inflasi pada
perekonomian Indonesia.
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penelitian pembelajaran ini antara lain,
a. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi secara langsung finansial credit,
financial saving, dan inflasi terhadap pembentukan produk domestik bruto di
pada perekonomian Indonesia.
9
b. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi secara tidak langsung dari pertumbuhan
Loan deposit ratio (LDR) dan non performing loans (NPL) terhadap
pembentukan produk domestik bruto melalui variabel antara financial credit.
c. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi secara tidak langsung dari pertumbuhan
income per capita terhadap pembentukan produk domestik bruto melalui variabel
antara financial saving.
d. Untuk
mengetahui
pengaruh
signifikansi
pertumbuhan
PDB
terhadap
pertumbuhan inflasi pada perekonomian Indoinesia.
1.4
Luaran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan luaran (output) sebagai berikut.
a. Sebagai bahan acuan dalam melengkapi bahan ajar mata kuliah Makro Ekonomi
Lanjutan, dalam rangka memperkaya wawasan mahasiswa terhadap penyusunan
pemodelan makro ekonomi yang difokuskan kepada kebijakan moneter dalam
kaitannya dengan arah perkembangan ekonomi regional kawasan ekonomi
Indonesia.
b. Ikut serta memberi dukungan pada pengkaitan mata kuliah ekonomi makro dalam
penyediaan kajian berkaitan dengan kebijakan moneter dan fungsi intermediasi
perbankan di Indonesia.
10
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1
Desain Pemodelan Financial Deepening Regional Bali Nusra
Intermediasi pasar keuangan sebagai media konektivitas antara uang dan
barang adalah merupakan proses dari mekanisme transmisi monetary policy telah
digagas pertama kalinya oleh Gurley dan Shaw (1960), yang menyatakan bahwa
jumlah uang beredar akan menurun bersamaan dengan keberhasilan dalam
pengembangan pasar keuangan. Dengan demikian, maka jumlah uang beredar
bukanlah indikator yang secara otomatis akan memacu pertumbuhan ekonomi,
melainkan adalah peran strategis dari financial capacity. Maka sesungguhnya
terpacunya percepatan pertumbuhan sektor riel yang digerakkan oleh entrepreneurs
karena profit motive, maka financial capacity adalah ruang bagi entrepreneurs untuk
mendapatkan sumber pendanaan melalui banyak pilihan kemudahan baik melalui
akses perbankan maupun melalui pasar modal.
Pembahasan ekonomi makro modern dewasa ini tidaklah sekedar
sebagaimana diteorikan melalui pendekatan konsep IS-LM sebagaimana diteorikan
oleh JR Hick (1937), tetapi lebih penting dari sekedar pemahaman tentang product
market dan money market, adalah upaya mendalami konsep dari Gurley dan Shaw
tentang financial capacity, sehingga analisis model makro ekonomi menjadi penting
mempertimbangkan dinamika perkembangan pasar keuangan alternative, selain
fungsi mediasi perbankan. Teori yang sejalan dengan itu telah dikembangkan oleh
Rudi Dornbusch bersama dengan Stanley Fischer (1990), keduanya dari MIT USA.
11
Gambar 1.1 : Asset Approach Macroeconomic Model
Sumber : Dornbusch & Fischer (1990).
Di negara berkembang, termasuk Indonesia, struktur pasar keuangan masih
sebagian besar didominasi oleh peran intermediasi industri perbankan, terutama di
berbagai daerah di luar Jakarta. DKI Jakarta sebagai pusat perdagangan saham,
belum merambat secara merata ke pelbagai daerah, dimana seharusnya pengusaha di
daerah dapat memanfaatkan sumber pembiayaan yang ditawarkan di luar industri
perbankan.
Permasalahan sumber daya, ukuran perusahaan serta akses informasi adalah
kendala terbesar dewasa ini bagi sebagian besar entrepreneurs yang bermukim di
daerah dalam rangka menggali sumber pembiayaan yang lebih menguntungkan
dalam rangka pengembangan perusahaan. Hal Ini pula menjadi kendala yang harus
diupayakan di masa depan oleh pemerintah bersama Bank Sentral untuk memperluas
financial capacity di pelbagai daerah, sehingga kebijakan moneter yang dilaksanakan
Bank Indonesia menjadi lebih mudah dalam mencapai sasaran akhirnya.
Tulisan ini berusaha untuk mengembangkan sebuah pemodelan makro
ekonomi moneter, sebagai rintisan untuk mencermati dinamika kebijakan moneter
yang dilaksanakan secara sentral dari pusat otoritas kebijakan moneter Bank
Indonesia di Jakarta, untuk kemudian dilakukan kajian konektivitas kebijakan
12
moneter tersebut terhadap perekonomian di daerah khususnya pada kawasan
ekonomi koridor Bali Nusra yang telah menetapkan Bali sebagai pintu gerbang
pariwisata internasional untuk diharapkan dapat mewujudkan perannya di masa
depan dalam berkonektivitas dengan pertumbuhan sektor riel di Indonesia..
2.2.
Kebijakan Moneter di Indonesia
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, bahwa balance sheet channel
(Bernanke dan Getler, 1995), berkaitan dengan posisi neraca perusahaan yang
kondisi kepekaannya akan berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain
dalam menghadapi dinamika kebijakan expensive monetary policy atau tightening
monetary policy, yang bisa berubah dari waktu ke waktu karena pergeseran
opportunity pada pelbagai sektor produksi dan investasi. Maka, terdapat ketidak
pastian kemampuan pengguna DVB untuk mencapai sasaran pembentukan suku
bunga.
Fakta demikian dinyatakan sebagai the black box monetary policy, sehingga
mendorong para perumus kebijakan moneter dewasa ini untuk melakukan terobosan
dengan mengajak serta para entrepreneurs dan publik untuk berbagi informasi
dengan pusat kekuasaan otoritas moneter melalui kerangka kebijakan inflation
targeting framework (ITF) yang sudah dilaksanakan Bank Indonesia sejak tahun
2005 berdasarkan Tylor Rule (Taylor, 2000). Svendsen (2002), Woodford (2001),
Sudjana Budhi (2011).
Bank Indonesia saat ini mempergunakan instrumen moneter suku bunga BI
Rate, kurs tukar, dan giro wajib minimum (GWM). (Warjiyo dan Solihin, 2003).
Berbeda dengan Negara penganut ITF lainnya yang mempergunakan suku bunga
sebagai instrumen tunggal, maka di Indonesia diperlukan dukungan instrumen lain,
13
karena mengandalkan suku bunga BI rate sebagai instrument moneter bersifat
tunggal tidak dapat mencapai sasaran akhir yang bersifat segera (Ascarya, 2000).
Tulisan ini mengabaikan variabel nilai tukar dan GWM, tidak saja karena belum
tersedianya data secara memadai, tetapi juga melalui penyederhanaan model
diharapkan dapat lebih mudah dikendalikan kompleksitas data series yang
melibatkan penggunaan alat analisis ekonometrik, sehingga pada model makro yang
lebih sederhana menjadi lebih controllable dan manageable.
Intermediasi industri perbankan dan konektivitasnya dengan sektor riel
adalah tujuan akhir yang ingin dicapai paper ini, berdasarkan strategi pengembangan
industri perbankan Indonesia yang telah ditetapkan Bank Indonesia sejak tahun 2004,
adalah mencakup komponen perbankan nasional, perbankan regional dan BPR (lihat
Gambar 1.2) yang dikenal dengan Arsitektur Perbankan Indonesia, dipolakan
berdasarkan
pedoman
pilar-pilar
pengembangan indusri perbankan (Lihat
Gambar 1.3).
Gambar 1.2
Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
14
Gambar 1.3
Pilar Industri Perbankan Indonesia
The sixt pilar sebagaimana disajikan pada Gambar 1.3 adalah kewenangan
Bank Indonesia yang saat ini telah sebagian besar beralih ke Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), sebagai kendali pengawasan, meskipun pada tahap akhir Bank Indonesia
berperan dalam memberikan pertimbangan akhir terhadap sanksi atas pelanggaran
kebijakan moneter yang telah digariskan Bank Indonesia terhadap perbankan di
wilayah Indonesia.
Bank Indonesia berupaya untuk membangun industri perbankan yag kuat,
dengan harapan dapat menjadi lembaga mediasi yang kuat dalam rangka mobilisai
dana masyarakat untuk diteruskan ke pembiayaan sektor riel. Dengan demikian,
maka dalam konteks kebijakan ekonomi makro Bank Sentral (Bank Indonesia), maka
industri perbankan yang sehat tentu akan mampu dijadikan partnership dalam rangka
pelaksanaan kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi ekonomi di berbagai daerah di Indonesia.
15
2.3
Konektivitas Ekonomi Regional Melalui Intermediasi Perbankan
Kajian tentang intermediasi perbankan diperoleh dari Suseno dan Abdullah,
(2003), serta pendekatan konsep intermediasi perbankan dengan mengembangkan
pemodelan financial deepening (Aryanti, 2000), Abdurohman (2003), Eichergreen
(2004), serta Sahoo (2013). Melalui pemetaan financial credit (FC= Credit/PDB),
Financial Saving (FS= Saving/PDB), serta suku bunga BI rate, akan dipetakan
sebagai kerangka model yang secara rinci disajikan pada Gambar 1.4.
Pemodelan yang akan dituju sebagai sasaran akhir, adalah untuk
mendapatkan gambaran tentang keberhasilan intermediasi perbankan dalam
melaksanakan fungsi
perbankan, dalam rangka menjembatani
kepentingan
masyarakat penabung dan masyarakat pengusaha dan lainnya yang memerlukan
kebutuhan permodalan. Gambar 1.4 menyajikan analisis keseimbangan mekanisme
pasar dari terbentuknya suku bunga pasar dimana ro menunjukkan harga atas suku
bunga deposito dan r1 menunjukkan harga suku bunga kredit, maka gaya tarik
mekanisme pasar akan membentuk intermediasi di titik tengah menuju r* atau r**,
hal mana seharusnya akan terjadi pergeseran ke titik A atau titik B berdasarkan arah
persaingan pasar.
Berdasarkan teori klasik modern, efisiensi akan terjadi apabila mekanisme
pasar dibiarkan bekerja tanpa campur tangan pemerintah atau Bank Sentral. Hanya
persaingan yang dapat menciptakan efisiensi. Pada kebijakan moneter berbasis suku
bunga BI rate saat ini, BI rate masih ditetapkan berdasarkan target kuantum tertentu
untuk mengatur besaran BI rate tertentu (Ascarya, 2000). Penetapan BI rate
diperlukan sebagai strategi kebijakan moneter untuk mencapai sasaran akhir
stabilitas perekonomian nasional, sebagaimana menjadi tugas pokok Bank Indonesia.
16
Sepanjang Bank Indonesia belum mengupayakan semakin berfungsinya pasar
skunder dari BI rate dalam membentuk tingkat keseimbangan suku bunga perbankan
BI rate tersebut, maka pasar keuangan Indonesia masih tetap lemah dan belum
berkembang untuk menjadi pasar uang yang lebih modern, tidak ketergantungan
dengan peranan pasar primer melalui pola lelang yang sekarang ini sedang berjalan.
Gambar 1.4 : Proses Intermediasi Perbankan
Berdasarkan mekanisme penetapan BI rate tersebut, keberhasilan monetary
policy dalam mencapai tujuan akhirnya dapat ditentukan secara lebih pasti untuk
menjamin efektivitas suku bunga sebagai instrumen pengendali target inflasi yang
diinginkan.
Meskipun target makro ekonomi Bank Sentral telah mencapai sasaran yang
diinginkan, tentu akan ditanggapi dengan respon yang berbeda di pelbagai daerah,
karena perbedaan kondisi sumber daya alam, sumber daya manusia, serta pada
akhirnya kualitas layanan industri perbankan regional dan BPR sebagai perpanjangan
tangan otoritas moneter di daerah. Bahwa untuk melihat dampak kebijakan moneter
terhadap perekonomian di daerah, maka dibangun pemodelan financial deepening
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.5.
17
Sasaran akhir yang ingin dicapai dari pemodelan Gambar 1.5 adalah
berkaitan dengan pertanyaan apakah dinamika pasar keuangan (financial deepening )
serta instrumen kebijakan moneter BI rate memiliki konektivitas kuat dalam memacu
pertumbuhan ekonomi di daerah khususnya pada koridor Bali Nusra serta bersamaan
dengan itu dapat ditingkatkan partisipasi masyarakat pada aktivitas produktif dengan
dukungan industri perbankan yang semakin efisien.
18
BAB III
KERANGKA PIKIR PENELITIAN
3.1
Kerangka Pikir Penelitiam
Perubahan kewenangan kelembagaan yang sangat fundamental telah
dilaksanakan sejak tahun 1999 dengan perubahan kewenangan Bank Indonesia
untuk berdiri sendiri dan tidak lagi dibawah kekuasaan pemerintah. Dengan
demikian, berdasarkam UU Nomor 17 uhun 1999, maka Bank Indonesia
mengemban tugas pokok melaksanakan dan memelihara stabilitas nilai rupiah.
Dengan tugas tersebut, maka Bank Indonesia sejak tahun 2005 telah menetapkan
kebijakan inflation targeting framework (ITF) yang mempergunakan instrumen
suku bunga BI rate sebagai instrumen kebijakan untuk mengendalikan besaran
inflasi. Pertama, bahwa kebijakan moneter di Indonesia dilakukan melalui
otoritas moneter Bank Indonesia secara terpusat berlaku di seluruh Indonesia.
Kedua, bahwa kebijakan moneter yang dilaksanakan Bank Indonesia
didukung oleh keberadaan industri perbankan nasional, regional dan lokal
setingkat BPR serta lembaga keuangan
mendapatkan gambaran prihal
mikro
lainnya.
Dalam
rangka
efektivitas kebijakan moneter bagi kinerja
pertumbuhan ekonomi, kajian ini memberikan focus kepada dinamika sektor
financial khususnya pada mobilisasi dana tabungan masyarakat yang dikelola
perbankan, serta pada saat bersamaan juga dapat disalurkan sebagai pinjaman
atau bantuan permodalan kepada masyarakat umum maupun pengusaha.
Pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan pemetaan
pengaruh kebijakan moneter terhadap kinerja industri perbankan nasional
dilakukan dengan menganalisis prilaku financial credit (Kredit/M2), financial
19
saving (tabungan/M2), serta perilaku inflasi dimana diprediksi dipengaruhi oleh
dinamika sektor riel dan dinamika sektor moneter.
Berdasarkan kajian Romer (2000), Michael (2009) dan Sutikno (2007),
Deasy Ariyanti (2008), Sato (2001), Hussain (2009), maka dapat disusun
kerangka pikir penelitian tentang kinerja kebijakan moneter terhadap pembentuan
ekonomi regional Bali sebagaimana disajikan pada Gambar 2.3. Pembentukan
PDB dinyatakan sebagai produk domestic regional bruto Propinsi Bali yang
dipengaruhi pergerakannya oleh arah perubahan suku bunga riel (suku bungainflasi), financial saving (FS) yang merupakan ratio dari Tabungan/PDB, serta
financial credit (FC) yang merupakan ratio dari total kredit/PDB.
Pada sisi lain, penelitian juga merespon perilaku suku bunga SBI terhadap
frinancial saving (FS) dan financial_credit (FC). sehingga dimungkinkan dapat
diperoleh gambaran lebih nyata peranan dari instrument moneter suku bunga
SBI terhadap pembentukan PDB Propinsi Bali melalui jalur transmisi financial
saving dan financial credit. Dengan demikian, diharapkan dapat dikembangkan
model simulasi suku bunga SBI untuk diletakan pengaruhnya terhadap kondisi
financial saving dan financial credit, untuk kemudian diharapkan dapat ditelusuri
dampak akhir dari perubahan financial saving dan financial credit terhadap
pembentukan produk secara nasional.
3.2
Konsep Operasonal Makro Ekonomi Financial Deepening
Model
persamaan makro
ekonomi
disusun atas tiga tingkatan
persamaan struktural, yaitu persamaan PDB/M2 sebagai fungsi dari FC dan FS.
Persamaan (2) adalah menurunkan fungsi FC pada persamaan (1) untuk
20
diturunkan menjadi reduce-form yaitu persamaan yang berstatus mengkoreksi
keseimbangan model pada persamaan (1), jika terjadi dinamika pada persamaan
(2). Sedangkan persamaan (3) adalah dampak yang mungkin akan terjadi yaitu
perubahan atas pertumbuhan inflasi
sebagai akibat dari dinamika sektor
intermediasi perbankan yang direpresentasikan pada persamaan (1), sehingga
dampak dari laju pertumbuhan inflasi akan ditentukan sebagian oleh pergerakan
sektor riel pada persamaan (1), sebagai akibat dari dinamika sektor perbankan
pada persamaan (2).
Gambaran dari dinamika makro ekonomi sebagaimana disampaikan
diatas, dirumuskan dalam sebuah model berskala kecil sebagaimana disajikan
pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1
Konektivitas Kebijakan Moneter Bank Indonesia Intermediasi Perbankan Nasional
Melalui Pendekatan Financial Deepening
INFL/M2
PDB/M2
FC/M2
(SBI-INFL)/
M2
FS/M2
LDR/M2
NPL/M2
CINC/M2
Sumber : Model Moneter dikonstruksi dari berbagai referens.
21
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Lokasi Penelitian
Penelitian ini melakukan kajian tentang peranan kebijakan moneter untuk
memahami peran intermediasi perbankan di Indonesia, untuk mendapatkan gambaran
tentang efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap kinerja ekonomi
Indonesia dan koridor ekonomi Indonesia Bali Nusra.
Lokasi penelitian adalah
untuk kinerja industri perbankan di seluruh Indonesia.
4.2
Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, objek yang diteliti adalah komponen makro ekonomi
financial deepening yang berkembang berdasarkan dinamika ekonomi pada ketiga
kawasan regional Bali Nusra. Sejumlah variabel ekonomi makro yang menjadi focus
pengamatan pada penelitian financial deepening adalah kinerja PDRB, financial
saving, financial credit serta perilaku inflasi berkaitan dengan dinamika
pertumbuhan PDRB masing-masing region.
4.3
Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini variable dikelompokkan menjadi dua variable yaitu
variable endogen (terikat) dan variable eksogen (bebas).
Tabel 4.1
Deskripsi Variabel Endogen dan Eksogen
No
1
2
3
4
5
Nama Variabel
PDB
Financial Saving
Financial Credit
SBI-Infl
Inflasi
Deskripsi
Produk Domestik regional
Ratio deposito dan PDB
Ratio kredit dan PDB
Rasio Suku bunga dan Inflasi
Inflasi Regional
Katagori
Endogen
Endogen
Endogen
Eksogen
Eksogen
22
4.4
Definisi Operasional Variabel
1.
Financial saving (FS)
Merupakan rasio dari pertumbuhan transaksi mobilisasi dana pihak ketiga
termasuk tabungan dan deposito yang dapat dikumpulkna perbankan dibandingkan
dengan produk domestic bruto pada jangka waktu dari tahun 2000 sampai dengan
tahun 2013.
2.
Financial Credit (FC)
Merupakan rasio dari pertumbuhan transaksi kredit yang dapat direalisasikan
industri perbankan dibandingkan dengan produk domestic bruto pada jangka waktu
dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2013.
3.
Suku Bunga Riel (SBI-INFL)
Merupakan rasio dari kebijakan suku bunga BI rate terhadap pertumbuhan
inflasi ditingkat regional dibandingkan dengan produk domestic bruto pada jangka
waktu dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2013.
4.
PDRB
Merupakan jumlah produksi yang dapat dihasilkan oleh propinsi di seluruh
Indonesia untuk kemudian dijumlahkan menjadi data global PDB Indonesia pada
jangka waktu dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2013, dihitung berdasarkan harga
konstan.
4.5
Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan dua metode pengumpulan data, yaitu:
1. Studi Pustaka
Peneliti mengumpulkan data dan teori yang relevan terhadap permasalahan
yang akan diteliti dengan melakukan studi pustaka terhadap literatur dan
23
bahan pustaka lainnya seperti artikel, media cetak, buku dan penelitian
terdahulu.
2. Dokumentasi
Pengumpulan data sekunder yang berupa laporan keuangan diperoleh
langsung dari publikasi SEKI Bank Indonesia Jakarta dan sumber lain dari
BPS Jakarta.
4.6
Pemodelan Financial Deepening Koridor Bali Nusra
Konektivitas kebijakan moneter dengan perekonomian sektor riel di pelbagai
daerah akan sangat ditentukan oleh kondisi struktur pasar keuangan pada daerah
bersangkutan. Sebagaimana dinyatakan oleh Gurley dan Shaw (1960) tentang
financial capacity, serta dinamika dari balance sheet channel (Bernanke dan Getler,
1995), menjadikan monetary policy stance perlu memperhatikan dinamika
perekonomian nasional ekonomi Indonesia.
Pemodelan memerlukan jastifikasi melalui tahapan uji simultaneous equation
model (SEM) dengan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan apakah data timeseries layak dipergunakan, dengan melakukan pengujian berdasarkan prosedur
Granger (Johnston dan Dinardo, 2004), (Gujarati, 2005), serta penyelesaian uji
pemodelan dengan mempergunakan metode regressi dua tahap,
Pindyck &
Rubinfeld (1997), Thomas RL (1997), Enders (2004), serta Maddala (2001).
Model persamaan Makro Ekonomi Regional Berbasis Moneter yang disusun
sejalan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, adalah upaya untuk menguji
konektivitas mediasi industri perbankan dengan sektor riel perekonomian Indonesia.
Pendekatan konektivitas makro ekonomi sektor riel dengan kebijakan moneter Bank
Indonesia dilakukan melalui proksi pendekatan financial deepening (Gurley dan
24
Shaw, 1960). Kajian tentang intermediasi perbankan diperoleh dari Suseno dan
Abdullah, (2003), serta pendekatan konsep intermediasi perbankan dengan fokus
pada pengembanga pemodelan financial deepening (Aryanti, 2000), Abdurohman
(2003), Eichergreen (2004), serta Sahoo (2013). Melalui pemetaan financial credit
(FC= Credit/PDB), Financial Saving (FS= Saving/PDB), serta suku bunga BI rate,
dapat dijabarkan model persamaan makro ekonomi Indonesia sebagai berikut.
(1)
(2)
(3)
(4)
PDB/M2 = α1 + β1FC/M2 + β2(SBI-INFL)/M2 + β3FS + e1 (1.1)
FC/M2 = α2 + β4 (LDR/M2) + β5 (NPL/M2) + e2
(1.2)
FS/M2 = α3 + β6 (PerCapita Income/M2) + e3
(1.3)
INFLASI REGIONAL/M2 = α4 + β7 (PDB/M2)
(1.4)
Berdasarkan persamaan (1.1) sampai dengan persamaan (1.4) dapat diterjemahkan
menjadi framework pemodelan dengan alur sebagaimana disajikan pada Gambar 1.5.
4.7
Matode Analisis
Penelitian ini mempergunakan pendekatan metode ekonometrik
untuk
memprediksi besaran ekonomi makro yang mencakup tiga wilayah koridor ekonomi
sesuai dengan pemodelan yang dibangun seperti tersaji pada Gambar 1.5. Data
series yag dikumpulkan terlebih dahulu akan diuji kelayakan stasionaritas
berdasarkan uji Granger
ECM dan Kointegrasi untuk dilanjuutkan dengan
penggunaan metode econometric termasuk penggunaan FIRML, Regression weight
dan TSLS (Gujarati, 2004) Pyndick Rubin (1994), Thomas LR (1997) serta Walter
Enders (2004).
25
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Pertumbuhan Ekonomi Makro Indonesia
Sejak tahun 2002 sampai tahun 2012 akhir, perekonomian Indonesia telah
berkembang tumbuh rata-rata mencapai 5% per tahun, di tengah krisis ekonomi
global. Meskipun demikian, tantangan perubahan harga minyak dunia dan fluktuasi
nilai tukar merupakan tantangan tersendiri yang membuat sejumlah target
penerimaan negara tidak dapat dicapai. Dalam rangka pencapaian pertumbuhan
ekonmomi sebesar 56% tersebut, Bank Indonesia telah menerapkan kebijakan
moneter kontraktif, terbukti melalui pertumbuhan produksi nasional (PDB) yang
relatif pesat pada kurun waktu 2002 sampai dengan tahun 2012, jumlah uang beredar
(JUB) berkembang lebih lamban dibandingkan dengan laju pertumbuhan PDB (lihat
Gambar 4.1).
Gambar 5.1
0
500000
1000000150000020000002500000
Pertumbuan PDB Indonesia dan perubahan jumlah Uang Beredar (JUB).
2002
2004
2006
2008
2010
2012
thn
JUB
PDB
26
Sejumlah kontraksi moneter tidak saja senantiasa disebabkan oleh sentuhan
kebijakan Bank Indonesia dalam mengatur jumlah uang beredar di dalam negeri,
tetapi juga dapat disebabkan oleh pembatasan pembiayaan sektor riel oleh industri
perbankan yang disebabkan oleh resiko perbankan dalam upaya memperluas kredit
yang lebih ekspansif. Gambar 4.2 menyajikan arah pergerakan variabel non
performing loan (kredit macet/total kredit), yang sangat nyata merupakan resiko
perbankan atas kemungkinan kredit macet tak tertagih.
.02
.04
NPL
.06
.08
Gambar 5.2
Kinerja Industri Perbankan Dan Resiko NPL.
2002
2004
2006
2008
2010
2012
thn
Credit risk pada industri perbankan menyebabkan tidak seluruh sumber dana
yang dihimpun perbankan dari dana pihak ketiga tersalurkan sesuai dengan
permintaan pinjaman dari masyarakat pengguna, sehingga pada akhirnya memberi
dampak pada kinerja sektor riel. Gambaran atas kinerja pelayanan kredit perbankan
dapat dilihat dari loan to deposit ratio (LDR) sebagaimana digambarkan pada
Gambar 5.3.
27
.4
.5
LDR
.6
.7
Gambar 5.3
Kinerja Industri Perbankan Dan LDR.
2002
2004
2006
2008
2010
2012
thn
Berdasarkan Gambar 5.3 tersajikan arah pertumbuhan LDR perbankan yang
tampak menjadi stagnan pada periode tahun 2006 sampai dengan memasuki tahun
2012, tapi relatif berfluktuasi pada periode triwulanan pada tahun bersangkutan.
Dinamika perubahan LDR akan menjadi salah satu barometer peran industri
perbankan sebagai lembaga mediasi keuangan dalam mendorong pertumbuhan sektor
riel.
Meskipun perubahan komposisi LPD sebagian akan sangat tergantung kepada
kinerja sektor riel dalam melaksanakan kewajiban kemitraan usahanya dengan
perbankan, pada saat bersamaan, maka kebijakan suku bunga SBI Bank Indonesia,
serta arah perubahan inflasi juga menjadi parameter yang menggambarkan kinerja
makro ekonomi Indonesia dalam menghasilkan keseimbangan menuju pertumbuhan
ekonomi tanpa terbebani dengan gangguan stabilitas inflasi yang mengancam
penurunan lapangan kerja dan investasi. Kebijakan moneter Bank Indonesia sejak
28
tahun 2005 telah menetapkan penggunaan BI rate sebagai instrumen kebijakan
moneter untuk mengendalikan pertumbuhan inflasi agar tetap berada pada kisaran
target yang telah ditetapan pada awal tahun anggaran.
0
5
10
15
20
Gambar 5.4
Perkembangan Inflasi dan Penetapan BI Rate
2002
2004
2006
2008
2010
2012
thn
infl
sbi
+
Sejak telah ditetapkannya BI rate sebagai acuan kebijakan moneter untuk
mengendalikan inflasi pada tahun 2005, maka tampak bahwa suku bunga BI rate
telah disesuaikan dengan arah pertumbuhan inflasi. Pedoman kebijakan moneter
berbasis kepada instrumen BI rate adalah bahwa apabila terjadi pergerakan kenaikan
inflasi, maka BI rate akan dinaikkan mengikuti besaran inflasi tersebut.
Berdasarkan Gambar 5.4, tampak bahwa BI rate berfungsi cukup efektif
dalam upaya mengendalikan inflasi, meskipun pada besaran inflasi yang menurun
akan mempersulit penggunaan suku bunga BI rate untuk diturunkan, karena pada
posisi penurunan suku bunga BI rate melewati batas yang lebih rendah dari suku
29
bunga di pasar uang internasional, dapat mengancam terjadinya capital flight,
disebabkan oleh suku bunga domestic lebih rendah dari suku bunga internasional.
Studi penelitian ini memberikan focus studi yang terbatas pada potensi
industri perbankan, intermediasi industri perbankan serta kajian kedalaman pasar
keuangan financial deepening, yang akan menentukan efektivitas kebijakan suku
bunga BI rate dalam mencapai sasaran jangka pendek yang bersifat lebih segera. Hal
demikian hanya akan terjadi, apabila peran industri perbankan dapat menjalankan
fungsi intermediasinya secara efektif dalam menggali sumber dana pihak ketiga
disatu fihak, serta menggulirkannya kembali ke pihak pengguna yaitu sektor riel.
Gamba 5 5.5 menyajikn arah perkembangan sumber dana pihak ketiga berupa
tabungan dan deposito yang dapat dihimpun perbankan nasional, dengan realisasi
penyaluran kredit kepada masyarakat umum dan pengusaha di dalam negeri.
5000
10000
15000
20000
25000
Gambar 5.5
Perkembangan Inflasi dan Penetapan BI Rate
2002
2004
2006
2008
2010
2012
thn
kredit
dpk
30
Ternyata sejak awal tahun 2008, pergerakan kenaikan permintaan jasa
perkreditan bergerak lebih kuat dibandingkan dengan kemampuan perbankan dalam
menggali sumber dana dari masyarakat. Maka pengembangan pemodelan makro
ekonomi berskala kecil, yang terfokus kepada studi financial deepening perlu
disusun untuk menjawab sekaligus menetapkan prediksi atas besaran variabel makro
ekonomi yang membentuk kekuatan kedua variabel sumber dana pihak ketiga dan
pelayanan perkreditan sebagai fungsi utama industri perbankan dalam melaksanakan
pelayanan intermediasinya dan sekaligus mengawal stabilitas perekonomian
Idonesia.
5.2
Penetapan Uji Stasioner Model Makro Ekonomi
Studi penelitian ini mempergunakan sumber data time-series sebagai acuan
dalam melakukan investigasi dan kemudian memverifikasi atas perilaku antar
variabel makro ekonomi yang diamati. Agar data time-series menjadi bermanfaat dan
tidak menghasilkan prediksi yang bias, maka sangat perlu dilakukan sejumlah
tahapan pengujian model makro untuk menetapkan apakah data time-series memiliki
kondisi stationer atau sebaliknya.
Langkah pertama, adalah pengujian kelayakan data stasioner jangka pendek
yang dikenal sebagai uji residual error correction model (ECM), yang menetapkan
apakah stabilitas data series memiliki konsistensi sebaran varian statistik atau tidak.
Jika sebaran nilai t Thau negative lebih kecil dibandingkan dengan t Thau, maka data
dinyatakan stasioner jangka pendek. Sebaliknya, apabila nilai t Thau tidak lebih
besar negative dinbandingkan dengan nilai t Thau, maka data series tidak memiliki
stabilitas stasioner dalam jangka pendek (Gujarati, 2004), Thomas (1997), Pindyck &
Rubin, 1998.
31
Penyusunan model makro mencakup tiga persamaan, yaitu persamaan
financial deepening (persamaan 1), persamaan fungsi kredit (persamaan 2) serta
persamaan inflasi (persamaan 3), dapat dilihat pada hasil analisis pada Lampiran 1
sampai dengan Lampiran 2, pada Gambar 1.1 sampai dengan Gambar 1.3. Hasil
analisis Gambar 1.1 sampai dengan Gambar 1.3 pada Lampiran 1.1 dan Lampiran
1.2 diperlukan untuk mendapatkan residual pada masing-masing fungsi (resid 01,
resid 02 dan resid 03), sebagai basis untuk mendapatkan prediksi uji ECM untuk
ketiga model persamaan makro tersebut di atas.
Analisis uji ECM mempergunakan dukungan software Eviews 6, hasil
analisis disajikan pada Lampiran 3, yang dikutip kembali sebagaimana disajikan
pada Tabel 4.1.
Gambar 5.6
Hasil Analisis Uji ECM Persamaan (1)
Dependent Variable: D(PDB/JUB)
Method: Least Squares
Date: 12/09/14 Time: 00:43
Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4
Included observations: 19 after adjustments
Variable
Coefficient
C
D(KREDIT/JUB)
D(DPK/JUB)
D(INFL)
RESID01(-1)
0.114697
23.86647
9.790931
0.039310
-0.233035
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.350690
0.165173
0.119028
0.198348
16.38078
1.890340
0.168109
Std. Error
t-Statistic
0.033725 3.400916
31.51691 0.757259
25.60953 0.382316
0.022723 1.729920
0.127614 -1.826090
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
Prob.
0.0043
0.4615
0.7080
0.1056
0.0892
0.128710
0.130272
-1.197977
-0.949440
-1.155914
1.903813
32
Hasil uji ECM persamaan (1) yang tersajikan pada Gambar 5.6 menunjukkan
nilai t-statistic sebesar -1.82 dengan p value sebesar 0.08 ternyata menunjukkan
kondisi data series tidak sepenuhnya stationer pada tingkat kepercayaan 5%. Dengan
kata lain, data series dinyatakan memiliki kondisi stationer pada tingkat kepercayaan
8%.
Hasil uji ECM untuk persamaan (2) bahkan lebih jauh dari kondisi yang
diharapkan, yaitu model persaaan (2) tidak stasioner pada uji jangka pendek dengan
mempergunakan porosedur uji ECM. (Lihat Gambar 4.7).
Gambar 5.7
Hasil Analisis Uji ECM Persamaan (2)
Dependent Variable: D(KREDIT/JUB)
Method: Least Squares
Date: 12/09/14 Time: 00:46
Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4
Included observations: 19 after adjustments
Variable
Coefficient
C
D(LDR)
D(NPL)
RESID02(-1)
0.000657
0.003907
0.016210
-0.089224
R-squared
0.103575
Adjusted R-squared -0.075710
S.E. of regression
0.001384
Sum squared resid
2.87E-05
Log likelihood
100.3538
F-statistic
0.577712
Prob(F-statistic)
0.638532
Std. Error
t-Statistic
0.000320 2.054745
0.005391 0.724713
0.027030 0.599703
0.113413 -0.786718
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
Prob.
0.0578
0.4798
0.5577
0.4437
0.000691
0.001335
-10.14250
-9.943672
-10.10885
1.749071
Model persamaan (3) yang disajikan pada Gambar 4.8 adalah memenuhi
syarat stasioner jangka pendek pada tingkat kepercayaan 5%, dimana nilai t Thau
table negative lebih kecil dibandingkan dengan nilai t Thau sebesar -2.142 atau
dengan p value sebesar 0.05.
33
Berdasarkan tahapan uji ECM untuk ketiga persamaan yang telah diuji
tersebut, ternyata hanya model persamaan (3) yang memenuhi syarat stasioner jangka
pndek, selebihnya persamaan (1) dan persamaan (2) tiodak memenuhi syarat
stasioner pada tingkat kepercayaan 5%. Meskipun demikian, model persamaan (1)
dan (2) masih tetap dapat dilanjutkan, sepanjang stabilitas stasioner jangka panjang
yang dilakukan dengan uji kointegrasi menunjukkan syarat kecukupan berdasarkan
criteria uji 5%.
Uji kointegrasi berdasarkan pendekatan Granger Representation model
sebagaimana disarankan Gujarati (2004), dilakukan untuk mendapatkan kondisi
jangka panjang data time-series, apakah memenuhi syarat stasioner atau sebaliknya.
Gambar 5.8
Hasil Analisis Uji ECM Persamaan (3)
Dependent Variable: D(INFL)
Method: Least Squares
Date: 12/09/14 Time: 00:49
Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4
Included observations: 19 after adjustments
Variable
Coefficient
C
D(PDB)
D(JUB)
D(INFL(-1))
RESID03(-1)
-0.344805
4.89E-06
-3.20E-05
0.294797
-0.890840
R-squared
0.450708
Adjusted R-squared 0.293768
S.E. of regression
1.223913
Sum squared resid
20.97147
Log likelihood
-27.89771
F-statistic
2.871843
Prob(F-statistic)
0.062688
Std. Error
t-Statistic
0.508549 -0.678017
5.25E-06 0.930730
2.02E-05 -1.587390
0.321611 0.916625
0.415744 -2.142763
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
Prob.
0.5088
0.3678
0.1347
0.3749
0.0502
-0.222105
1.456387
3.462917
3.711453
3.504979
2.072824
Berdasarkan hasil uji kointegrasi untuk ketiga persamaan, ternyata didapatkan
bahwa data times-series terkointegrasi dalam jangka panjang. Hasil analisis uji
34
kointegrasi yang dikutip kembali dari Lampiran 3, disajikan kembali pada Gambar
5.9.
Gambar 5.9
Hasil Analisis Uji Kointegrasi Persamaan (1)
Dependent Variable: D(RESID01)
Method: Least Squares
Date: 12/09/14 Time: 00:52
Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4
Included observations: 19 after adjustments
Variable
Coefficient
RESID01(-1)
-0.941708
R-squared
0.455519
Adjusted R-squared 0.455519
S.E. of regression
0.288915
Sum squared resid
1.502498
Log likelihood
-2.855387
Durbin-Watson stat 1.842266
Std. Error
t-Statistic
0.242495 -3.883412
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Prob.
0.0011
0.009804
0.391543
0.405830
0.455538
0.414243
Hasil analisis uji kointegrasi untuk persamaan (1) menunjukkan p value
sebesar 0.001 yang lebih kecil dari 5%, sehingga dapat dinyatakan bahwa model
persamaan (1) adalah data series stationer yang terkointegrasi dalam jangka panjang.
Gambar 5.10
Hasil Analisis Uji Kointegrasi Persamaan (2)
Dependent Variable: D(RESID02)
Method: Least Squares
Date: 12/09/14 Time: 00:53
Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4
Included observations: 19 after adjustments
Variable
Coefficient
RESID02(-1)
-0.384111
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.158434
0.158434
0.002359
0.000100
88.49785
2.429850
Std. Error
t-Statistic
0.170892 -2.247680
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Prob.
0.0374
0.000698
0.002571
-9.210300
-9.160593
-9.201888
35
Gambar 5.10
Hasil Analisis Uji Kointegrasi Persamaan (3)
Dependent Variable: D(RESID03)
Method: Least Squares
Date: 12/09/14 Time: 00:53
Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4
Included observations: 19 after adjustments
Variable
Coefficient
RESID03(-1)
-1.211752
R-squared
0.607417
Adjusted R-squared 0.607417
S.E. of regression
1.127974
Sum squared resid
22.90186
Log likelihood
-28.73423
Durbin-Watson stat 2.014106
Std. Error
t-Statistic
0.229549 -5.278846
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Prob.
0.0001
-0.032715
1.800253
3.129919
3.179627
3.138332
Meskipun dalam uji jangka pendek tidak terbukti data series adalah stasioner
untuk model (1) dan model (2), namun uji stasioner jangka panjang menunjukkan
data series adalah stabil, sehingga data times-series dapat dimanfaatkan untuk
dijadikan sumber data pada penggunaan metode regresi two stages least square
(TSLS) sebagai inti model pengujian model makro ekonomi penelitian ini.
Dukungan yang lain ditunjukkan pada uji normalitas data Jaque Berra
normality test yang disajikan pada Lampiran 4, yang menujukkan bahwa data series
memiliki sebaran normal, terbukti dengan dukungan p value lebih besar dari 5%,
kecuali pada persamaan (3) dimana p value lebih kecil dari 5%. Catatan atas uji
normalitas tersebut, bahwa normalitas tidak tercapai pada uji 5% untuk model
persamaan (3), tetapi justru syarat stasioner jangka pendek terpenuhi. Dengan
demikian, model persamaan (3) masih relatif layak untuk dipercaya dan dapat
dilanjutkan ke tingkat penyelesaian model fungsi dengan metode ekonometrik TSLS.
Dukungan uji LM test autocorrelation menunjukkan kondisi yang memberikan
dukungan bahwa ketiga model persamaan makro ekonomi yang dirumukan dari sejak
36
awal memenuhi syarat dan terbebas dari deteksi auto-correlation (lihat Gambar 1.13
dan Gambar 1.14 pada Lampiran 1.6 serta Gambar 1.15 pada Lampiran 1.7) tentang
uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test).
5.3
EstimasiModel Makro Financial Deepening
Prediksi model makro ekonomi dilakukan melalui metode ekonometrik
simultan, dimana satu sama lainnya dari persamaan (1), persamaan (2) dan
persamaan (3) digabungkan dalam sebuah proses ekonometrik melalui bantuan
software Eviews, dengan menempatkan katagori persamaan endogen dan eksogen
(instrument) maka didapatkan hasil analisis simultan berdasarkan metode TSLS
(Pindyck & Rubin, 1978), Maddala (2002). Hasil analisis yang telah disajikan pada
Lampiran 8 dan dikutip kembali disajikan pada Gambar 4.10 ternyata hanya
financial credit (Kredit/JUB) yang memiliki signifikansi dengan tingkat kepercayaan
5%.
Gambar 5.11
Hasil Analisis Simultan TSLS Persamaan (1)
Dependent Variable: PDB/JUB
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 12/09/14 Time: 01:15
Sample (adjusted): 2002Q2 2012Q4
Included observations: 43 after adjustments
Instrument list: LDR NPL INFL INFL(-1)
Variable
Coefficient
C
KREDIT/JUB
DPK/JUB
INFL
-1.245955
131.1014
-12.37097
0.031035
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.820920
0.807144
0.334073
30.22649
0.000000
Std. Error
t-Statistic
1.935372 -0.643781
24.66463 5.315359
27.88933 -0.443574
0.059326 0.523136
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
Prob.
0.5235
0.0000
0.6598
0.6038
3.037289
0.760719
4.352578
0.250941
14.18491
37
Meskipun demikian, apabila model makro diprediksi secara serentak, maka
statistic F menunjukkan signifikan pada level 5%. Nilai R2 menunjukkan R2 = 0.82,
menunjukkan bahwa sebesar 0.18 atau 18% dari variasi nilai PDB/JUB dijelaskan
oleh faktor lain di luar model. Model dinyatakan adalah fits dan memadai untuk
menjadi prediksi bagi perilaku output yang dijelaskan oleh fenomena intermediasi
perbankan.
Estimasi peranan kredit perbankan bertanda positif, hal mana sejalan dengan
teori yang tersedia, sehingga dapat dinyatakan bahwa peningkatan satuan rupiah
sebesar satu satuan dalam pemberian pinjaman kepada masyarakat dan pengusaha,
akan mengakibatkan peningkatan output sebesar 131 satuan. Dengan demikian,
bahwa
pernyataan
dimana
peningkatan
realisasi
kredit
perbankan
dalam
menggerakkan roda perekonomian domestic mendapat dukungan penelitian ini.
Estimasi tentang dinamika pelayanan kredit perbankan pada saat bersamaan
dipicu oleh dinamika pergerakan loan deposit ratio (LDR) dan resiko kredit macet
non performing loan (NPL), sehingga secara simultan dapat ditelusuri bahwa peran
kebijakan perkreditan didorong oleh dinamika variabel makro LDR dan NPL.
Gambar 5.12 menyajikan estimasi model makro persamaan (2), ternyata
model secara bersama bahwa kredit ditentukan oleh NPL dan LDR adalah signifikan
berdasarkan nilai F sebesar 9.65 dengan p value lebih kecil dari 5%. Nilai R2 masih
relatif kecil yaitu R2 = 0.35 yang mensyaratkan masih perlunya ditingkatkan
sejumlah tambahan variabel independen baru selain LDR dan NPL, sehingga nilai
R2 dapat ditingkatkan, dan model regressi semakin memenuhi syarat fits.
38
Gambar 5.12
Hasil Analisis Simultan TSLS Persamaan (2)
Dependent Variable: KREDIT/JUB
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 12/09/14 Time: 00:54
Sample (adjusted): 2002Q2 2012Q4
Included observations: 43 after adjustments
Instrument list: LDR NPL INFL INFL(-1)
Variable
Coefficient
C
LDR
NPL
0.001086
0.062067
-0.012342
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.325579
0.291858
0.004183
9.655078
0.000379
Std. Error
t-Statistic
0.008461 0.128335
0.014567 4.260658
0.041460 -0.297682
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
Prob.
0.8985
0.0001
0.7675
0.034557
0.004971
0.000700
0.540533
0.000700
Penelusuran terhadap prosedur pengujian secara parsial, ternyata hanya
variabel LDR yang memenuhi syarat signifikansi, yaitu dengan p value lebih kecil
dari tingkat kepercayaan 5%. Dengan demikian, bahwa pernyataan variabel makro
ekonomi LDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap dinamika kebijakan
perkreditan perbankan nasional dapat didukung dalam penelitian ini.
Bahwa peningkatan variabel LDR sebesar ratio prosentase tertentu, akan
meningkatkan per satuan prosen dari satuan rupiah sebesar 0.062. Kontribusi yang
positif dari variabel LDR menujukkan bahwa dinamika intermediasi industri
perbankan di Indonesia telah berjalan dengan baik, sehingga memberikan dorongan
fungsi perbankan sebagai media dalam memicu roda perekonomian nasional melalui
kinerja sektor riel.
39
Hasil analisis untuk dinamika inflasi yang disusun sebagai persamaan (3)
menunjukkan model inflasi memenuhi syarat kelayakan model dengan uji statistic F
sebesar F = 7.33 dengan p value lebih kecil dari 5%. Kondisi nilai R2 yang negative
masih menyisakan kendala secara ekonometrik bahwa informasi variasi penentu
tingkat inflasi dapat diprediksi dengan baik, selain upaya untuk meningkatkan
variabel independen dalam rangka mendorong penyesuaian nilai R2 menjadi positif
dan mendekati nilai R2 yang lebih masuk akal.
Gambar 5.13
Hasil Analisis Simultan TSLS Persamaan (2)
Dependent Variable: INFL
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 12/09/14 Time: 00:58
Sample (adjusted): 2002Q2 2012Q4
Included observations: 43 after adjustments
Instrument list: LDR NPL INFL INFL(-1)
Variable
Coefficient
C
PDB
JUB
2.922362
-1.11E-05
4.41E-05
R-squared
-0.922921
Adjusted R-squared -1.019067
S.E. of regression
2.966372
F-statistic
7.338711
Prob(F-statistic)
0.001928
Std. Error
t-Statistic
2.505081 1.166574
3.10E-06 -3.561656
1.52E-05 2.902740
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
Prob.
0.2503
0.0010
0.0060
6.121628
2.087614
351.9745
0.347803
53.88962
Berdasarkan Tabel 4.13 didapatkan kedua variabel independen yaitu PDB
dan JUB adalah signifikan berdasarkan uji parsial statistic t, dengan tingkat
keyakinan sebesar 5%. Inflasi yang dipengaruhi oleh dinamika perubahan PDB
adalah bentuk dari Philips curve, sehingga dapat dinyatakan bahwa Philips curve
masih relevan di Indonesia.
Parameter prediksi bertanda negatif menunjukkan
bahwa inflasi memiliki hubungan yang berlawanan dengan dinamika PDB adalah
40
sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa peningkatan pengangguran atau
penurunan PDB akan berpengaruh secara berlawanan dengan prilaku inflasi.
Dengan hasil analisis tersebut di atas, dimana parameter PDB sebesar -0.0001
menunjukkan bahwa peningkatan PDB (penurunan pengangguran) sebesar satu
satuan rupiah tertentu akan
menurunkan pertumbuhan infkasi sebesar -0.0001.
Apabila PDB dianggap seteris paribus, maka pembentukan pertumbuhan inflasi
ditentukan oleh fenomena moneter yang ternyata signifikan pada level kepercayaan
lebih kecil dari 5%. Hal ini menujukkan bahwa fenomena sektor riel produksi dan
fenomena moneter, keduanya memberikan kontribusi signifikan bagi stabilitas inflasi
di Indonesia.
Prediksi tentang dinamika sektor riel yang dipicu oleh financial credit sektor
perbankan nasional disajikan pada Gambar 5.14.
Gambar 5.14
Hasil Prediksi Pertumbuhan Sektor Riel Melalui
Dukungan Intermediasi Perbankan
Berdasarkan Ganbar 5.14 tampak bahwa output memiliki dinamika yang
relatif berfluktuatif setelah melewati tahun 2004, ketika terdapat arah perubaan
kebijakan moneter dari basis money aggregates ke basis suku bunga BI rate.
41
Meskipun tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa pergerakan output yang fluktuatif
tersebut disebabkan oleh perubahan arah kebijakan moneter, namun tantangan
kondisi pasar global yang semakin berat ditandai dengan krisis ekonomi Eropa, serta
pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di negara China dan India dengan komoditi
ekspor yang semakin murah, telah mempersulit Indonesia mendapatkan pangsa pasar
yang lebih luas bagi komoditi ekspor Indonesia, sehingga menjadikan gerakan output
menjadi melambat.
Hasil prediksi persamaan (2) berbeda dengan pola dinamika sektor riel,
dimana prilaku kredit sektor perbankan relatif ditentukan oleh kemampuan
perbankan dalam menggali sumber dana masyarakat baik dalam bentuk tabungan
maupun dalam bentuk deposito. Peranan sumber dana pihak ketiga dan
penyalurannya ke masyarakat melalui pinjaman dapat dipetakan dengan loan deposit
ratio (LDR), sehingga hubungan fungsi yang telah disusun menjadi persamaan (2)
menghasilkan prediksi sebagaimana disajikan pada Gambar 5.14.
Gambar 5.15
Hasil Prediksi Pertumbuhan Sektor KreditMelalui
Kondisi loan to deposit ratio (LDR)
Fluktuasi yang lebih tajam terjadi pada pergerakan realisasi jumlah
pinjaman yang disalurkan kepada masyarakat umum dan pengusaha meng42
indikasikan kondisi sektor riel yang tidak sepenuhnya menjadi tempat investasi yang
aman bagi industri perbankan dalam melaksanakan kewajiban pendampingan kepada
masyarakat yang memerlukan bantuan permodalan. Dengan demikian, prediksi atas
pergerakan kredit belum mencapai tingkat optimal industri perbankan nasional dalam
melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan.
Pada saat yang bersamaan, perekonomian Indonesia ternyata lebih
menunjukkan stabilitas yang relatif mantap, berdasarkan kinerja sektor riel dan arah
kebijakan moneter yang konservatif. Jumlah pembatasan jumlah uang beredar
melalui tightening monetary policy relative mampu mewujudkan arah pertumbuhan
inflasi yang cenderung menurun, dibandingkan dengan situasi perekonomian
Indonesia periode 1997 sampai dengan tahun 2004.
Gambar 5.16
Hasil Prediksi Pertumbuhan Inflasi Melalui
Pergerakan output dan Jumlah Uang Beredar
Gambar 5.16 menunjukkan bahwa kebijalan pengelolaan fiscal APBN dan upaya
kuat Bank Indonesia untuk melakukan control atas jumlah uang beredar,
43
pengendalian inflasi melalui instrumen suku bunga BI rate memberikan kawalan
nyata bahwa kombinasi antara politik anggaran APBN yang ditentukan oleh
kebijakan pemerintah, dengan independensi Bank Indonesia dalam menanggapi arah
pergerakan inflasi, adalah model kebijakan moneter yang cukup efektif dalam
memelihara stabilitas perekonomian Indonesia sebagaimana ditetapkan sebagai tugas
pokok Bank Indonesia untuk selalu menjaga stalilitas nilai rupiah dengan inflasi yang
terkendali stabil sesuai dengan target inflasi tahun berjalan sebagaimana selalu
diumumkan Bank Indonesia pada setiap awal than anggaran.
**********************
44
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson (1994), Elemenary Numerical Analysis second edition. John Willey &
Son, Singapore.
Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. (2012), Berbagai edisi
penerbitan dan website : www.bi.go.id. Jakarta : Bank Indonesia
Bank Indonesia, (2012) Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah, Berbagai edisi
penerbitan Surabaya : Bank Indonesia
Bradley, S.P. & D. B. Crane. (1973), Management of Commercial Bank Government
Security Portfolio: An Optimization Approach under Uncertainty. Journal of
Bank Research. Spring pp. 18-30.
Echols, M. E. & J. W. Elliot, (1976), A Quantitative Yield curve Model for
Estimating the Term Structure of Interest Rate. Journal of Financial and
Quantitative Analysis. pp. 87-114
Fabozzi, F. J. & T.D. Fabozzi. (1989), Bond Markets, Analysis and Strategies.
Prentice Hall, Englewood Cliff, New Jersey.
Fabozzi, F. J. & T.D. Fabozzi. (1989), The Handbook of Fixed Income Securities
Fourth edition. Burr Ridge, New York.
Goeltom, Miranda.S., dan Doddy Zulverdi, (2003), Manajemen Nilai tukar di
Indonesia dan Permasalahannya,∆ Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,
Jakarta
Gujarati, Damodar R. 2006, Dasar-dasar Ekonometrika, Jilid 1, Alih Bahasa Julius
Mulyadi, Jakarta: Erlangga.
Hendry, David F, (1997), Dynamic Econometrics Advance Texts in Econometric
Modelling Using PcGive Volume l, Tumberlake Consultants Ltd, UK.
Insukindro. 2003, Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel
Makroekonomi di Indonesia Tahun 1983.1 - 2003.2. Tesis, FE-UGM,
Yogyakarta.
Kurniati, Yati dan A.V. Hardiyanto, (1999), Perubahan Sistim Nilai Tukar, Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.2, Bank Indonesia, Jakarta,September
1999.
Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Terjemahan.
Jakarta : Penerbit Erlangga
McCulloch, J. H. (1971), Measuring Term Structure Interest Rate. Journal of
Business, 44:19-31
45
McNelis, Paul D.,” Inflation Targeting In Emerging Market Economies: A General
Equilibrium Model For Bank Indonesia “, Department of Economics,
Georgetown University, Wasington
Mendoza, Enrique G (1995), The Terms of Trade, the Real Exchange Rate, and
Economic Fluctuation”, International Economic Review 36: 101-137. DC,
August 2000.
Mishkin, Frederic S. (2004). The Economy of Money, Banking & Financial Market.
Seventh Edition. New York : Columbia University Press
Nelson, C. R. & A.F. Siegal. 1987. Parsimonious Modeling of yield curve. Journal of
Business. pp. 473-489
Pohan, Aulia. 2008,Potret Kebijakan Moneter Indonesia, Cetakan Pertama,
Jakarta:PT. Raja Grafindo.
Peraturan Bank Indonesia No. 6/15/PBI/2004 tgl 1 Juli 2004 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
Peraturan Bank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 tgl 4 Oktober 2010 tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta
Asing
Peraturan Bank Indonesia No.13/10/PBI/2011 tgl 9 Februari 2011 tentang
Perubahan atas PeraturanBank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro
Wajib Minimum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing.
Ryan, Ronald J. (ed), 1997. Yield Curve Dynamics. Fitzroy Dearbon Publisher,
Chicago and London.Bartolomeo, Giovanni Di and Debora Di Gioacchino.
Fiscal-Monetary Policy Coordination and Debt Management: A Two Stage
Dynamic Analysis. Working Paper No. 74, Universita Degli Studi di Roma La
SapienzaΔ Dipartiento di Economia Pubblica, 2004.
,1999. Undang Undang Republik Indonesia No. 23 tentang Bank Indonesia
,2004. Undang Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia
,1992. Undang Undang Republik Indonesia No. 7 tentang Perbankan
.1998. Undang Undang Republik Indonesia No. 10 tentang Perubahan atas
UU RI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
, 2010, Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana No. 244/H14/HK/2007.
Tentang Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan
Disertasi.pada Program Pascasarjana. Denpasar : Fakultas Ekonomi
Universitas Udayana.
Samuelson, Paul and William Nordhaus. 2004, Macroeconomi, Twelves Edition,
New York: McGraw-Hill, Book Company Inc.
46
Simorangkir, Iskandar. (2005) Koordinasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal
di Indonesia: Suatu Pendekatan dengan Game Theory. PPSK Bank
Indonesia Working Paper,
Stein, J.L. et al (1997), Fundamental Determinants of Exchange Rates, Clarendon
Press, Oxford, UK.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/24/DPNP tgl 25 Oktober 2011, Perihal
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Throop, A.W. (1994), International Financial Market Integration and Linkages of
National Interest Rates, Federal Reserve bank of San Francisco Economic
Review, No.3 .
Tucker, Alan J, et al. (1991), International Financial Market, West Publishing Co.
St. Paul .
Warjiyo, Perry dan Doddy Zulverdi. 1998. "Penggunaan Suku Bunga Sebagai
Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia" Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, Vol. 1, Nomor 1, Jakarta: Bank Indonesia
*****************
47
Download