9 HARMONI ANTAR PAHAM KEAGAMAAN (Studi terhadap Konstruksi Pemikiran Elit Agama dalam Membangun Harmonisasi Antar Paham di Madura) Mohamad Suhaidi (Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra STKIP PGRI Sumenep) Email: [email protected] Abstrak Kurikulum Berbagai paham dan aliran keagamaan transnasional seperti HTI, FPI, Ansorut Tauhid, dan paham Syiah, secara perlahan terus berkembang dan mulai tumbuh di tengah-tengah masyarakat Madura, baik di Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Oleh karena itu, keberadaan ulama memegang peranan yang sangat strategis dalam kontelasi perbedaan paham yang ada, khususnya di Madura, karena secara sosiologis, keberadaan ulama di kalangan masyarakat Madura tidak hanya dianggap sebagai elit agama, melainkan juga sebagai pemimpin non formal oleh masyarakat Madura yang dianggap memiliki otoritas sosial untuk menentukan hidup dan kehidupan masyarakat. Peran ulama (elit agama) dalam mengelola perbedaan paham keagamaan menjadi kekuatan harmoni, merupakan cita-cita suci dalam membumikan kehidupan yang rukun dan toleran. Kata Kunci: Harmoni, Elit Agama, Paham Keagamaan Abstract Curriculum Numbers of trans-national religious views and ideologies such as HTI, FPI, Ansoruttauhid, and Syiah have eventually and continuously spread out and started to grow within Madurese society in Bangkalan, Sampang, Pamekasan, and Sumenep Regions. Therefore, the ulama (muslim scholars) play a very important and strategic role in the constellation of the differences arising in religious views especially in Madura Island. It is due to the Madurese’s sociological point of view which regards ulama is not only religious elites but also non-formal leaders. Madurese people believe that ulama have social authority in determining the people’s life. The ulama’s role in managing and handling the differences of religious views is a power of harmony; a holly idea in creating a peaceful and tolerant life. Key Words: Harmony, Religious Elite, Religious Views A. Pendahuluan Reformasi politik di Indonesia yang telah digulirkan sejak 1998 telah memberikan dampak kebebasan yang luas bagi seluruh rakyat. Hak sipil diberikan seluas-luasnya untuk diekspresikan atasnama kebebasan sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Dasar 1945. Gerakan keagamaan dengan segala dimensinya menjadi salah satu aspek yang menemukan kebebasannya di era reformasi ini. M. Imdadun Rahmat-Khamami Zada (dalam Jurnal Tasawuf Afkar, 2004:26) menulis bahwa, kebebasan (yang terbuka di era reformasi) memungkinkan kalangan gerakan Islam untuk lebih leluasa menyatakan pendapat, membentuk organisasi, memilih asas/ideologi dan platform, melakukan berbagai kegiatan dakwah dan terjun dalam kegiatan politik praktis. Munculnya bermacam-macam paham dan aliran keagamaan pada gilirannya menjadi sesuatu yang faktual di tengah arus kebebasan yang ada. Bahkan munculnya fenomena paham dan aliran itu sudah menyebar ke tingkat komunitas pedesaan dengan segala varian yang ditimbulkannya, Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 10 HARMONI ANTAR PPAHAM KEAGAMAAN termasuk di Madura yang dikenal sebagai komunitas yang sangat teguh dalam beragama. Abdul A’la (dalam Abdur Rozaki, 2004:v) menjelaskan bahwa potret masyarakat Madura sebagai masyarakat dengan keberagamaan yang kuat, tetapi sekaligus “dianggap” nyaris lekat dengan tradisi atau budaya yang tidak selamanya mencerminkan nilai-nilai Islam mengisyaratkan tentang kompleksitas kehidupan budaya keagamaan masyarakat Madura itu sendiri. Berbagai paham dan aliran keagamaan, selain paham keagamaan yang sudah menjadi mainstream di kalangan masyarakat Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep) seperti paham keagamaan ala NU, dan beberapa paham keagamaan lain yang telah mulai berkembang, seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, LDII, al-Hidayah, dan lain sebagainya, juga sudah mulai berkembang paham-paham keagamaan transnasional seperti HTI, FPI, Ansorut Tauhid, dan paham Syiah. Paham-paham itu secara perlahan telah mulai berkembang dan tumbuh di tengahtengah kehidupan spritual masyarakat Madura, baik di Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Semua paham itu, kemudian menyatu dengan paham mayoritas yang telah diyakini oleh masyarakat Madura dan melakukan kegiatan sesuai dengan keyakinan paham yang dianutnya. Dalam konteks Madura, paham keagamaan Syiah telah menjadi paham yang sejak beberapa bulan terakhir sempat menjadi sesuatu yang fenomenal di Madura, terutama setelah terjadinya aksi kekerasan terhadap penganut ajaran Syiah di Kabupaten Sampang Madura dan telah menjadi aib tersendiri dalam bangunan kerukunan antar paham di tanah Madura. Konflik yang oleh media dinggap sebagai konflik antar dua paham yang berbeda, yaitu Sunni dan Syiah tersebut menggambarkan tentang hubungan disharmoni antara kedua paham yang sejatinya tidak boleh terjadi, apalagi masyarakat Madura memiliki ikatan solidaritas sosial yang sangat tinggi. Jurnal Pelopor Pendidikan Sunni yang dalam konteks Madura identik dengan warga NU merupakan penganut terbanyak di Sampang, dan bahkan di Madura. Mayoritas masyarakat Madura merupakan penganut paham NU, sehingga paham ini menjadi paham terbesar yang diyakini oleh masyarakat Madura, khususnya masyarakat Sampang sebagai paham keagamaan prioritas. Konflik Syiah yang berujung dengan perilaku anarkhisme merupakan puncak dari ketegangan dua paham yang berbeda. Pihak Sunni melihat paham Syiah sebagai gerakan keagamaan yang berlawanan dengan keyakinan yang dianut oleh masyarat penganut paham Sunni, sehingga perbedaan paham ini menimbulkan resistensi yang kemudian berujung pada konflik kekerasan antarmasyarakat. Dalam catatan Monthly Reporton Religius The Wahid Institute (edisi XXXIII, Mei 2011: 11) bahwa konflik Syiah-Ahlussunah wal jamaah di kabupaten Sampang Madura telah terjadi sejak 2006 yang terjadi karena fitnah yang disebarkan secara intensif. Ada usaha yang dilakukan secara terus menerus untuk menetapkan Syiah sebagai ajaran sesat. Perkembangan paham Syiah di Sampang, pada gilirannya ini telah mampu menimbulkan berbagai reaksi dan upaya-upaya penanganan yang dilakukan oleh sejumlah pihak berkaitan dengan paham Syiah, misalnya PC NU Sampang telah mengeluarkan sikap Nomor. 255/PC/A.2/L-36/I/2012 berkaitan dengan ajaran yang dibawa oleh Ali Murtadlo (Tajul Muluk), rekomendasi hasil musyawarah Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura (BASSRA), Selasa 3 Januari 2012 yang salah satu isinya meminta agar MUI Propinsi Jawa Timur mengeluarkan fatwa tentang ajaran Syiah. Dalam keterkaitan itu, keberadaan ulama memegang peranan yang sangat strategis dalam kontelasi perbedaan paham yang ada, khususnya di Madura. Secara sosiologis, keberadaan ulama di kalangan masyarakat Madura tidak hanya dianggap sebagai elit agama atau elit sosial, melainkan juga sebagai pemimpin non formal oleh masyarakat Madura Mohamad Suhaidi yang dianggap memiliki otoritas sosial untuk menentukan hidup dan kehidupan masyarakat. Di kalangan masyarakat, dengan karakteristik agamamis seperti masyarakat Madura, keberadaan kiai (ulama) adalah sebagai uswatun hasanah, contoh dan model yang baik seluruh perilaku, tindak tanduk, perangai dan tabiat pribadinya bagi para santri dan komunitas di lingkungannya. Pengaruh kiai atau ulama tidak saja dalam masalah keagamaan, tetapi juga dalam ranah politik (Faisal Ismail, dkk., 1999:21). Munculnya berbagai paham dan aliran di Madura yang notabene penganut paham Sunni, terutama paham Syiah merupakan fenomena yang berlawanan dengan mainstream paham Sunni yang dianut oleh masyarakat Madura secara umum. Oleh karena itu, keberadaan paham Syiah yang dikembangkan di Madura dengan corak dan tradisi berfikir keagamannya yang khas, secara tidak langsung telah menciptaan problem baru dalam kontruksi hubungan sosial masyarakat, apalagi penolakan terhadap paham Syiah itu (disinyalir) dilakukan oleh kalangan ulama, sehingga mengkibatkan potensi konflik sosial yang bisa meledak dalam setiap waktu. Disinilah peran ulama Madura kembali diuji untuk membangun harmonisasi kehidupan sosial masyarakat antar paham, terutama setelah terjadinya konflik Syiah-Sunni di Sampang Madura. Ulama tentu saja memiliki tanggung jawab yang besar untuk melakukan langkah-langkah yang strategis dalam rangka meminimalisir potensi konflik antar paham di Madura, khususnya terhadap penganut ajaran Syiah yang notabene ada di setiap kabupaten yang ada di Madura. Oleh karena itu, kajian ini akan difokuskan pada beberapa pertanyaan mendasar, yaitu. Pertama, bagaimana karakter dan cara pandang keagamaan masyarakat Madura? Kedua, bagaimana posisi sosial ulama dalam dinamika kehidupan sosial masyarakat Madura, terutama dalam masalah keberagamaan? Ketiga, bagaimana konstruksi pemikiran elit agama Madura dalam mengelola potensi perbedaan paham keagamaan menjadi kekuatan harmoni dalam rangka membangun kehidupan yang toleran dan moderat? Penelitian ini merupakan penelitian field research (penelitian lapangan), dengan beberap model pengumpulan data, yang meliputi observasi (pengamatan), wawancara mendalam (indepth interview), dan metode dokumentasi. Penentuan populasi dan sampel ditetapkan sebagai narasumber dilakukan dengan menggunakan teknik snow-ball, yaitu penggalian data melalui wawancara mendalam dari satu responden ke responden lainnya dan seterusnya sampai peneliti tidak menemukan informasi baru lagi, jenuh, informasi “tidak berkualitas” lagi (Syahiron, 2007 : 75). Sementara, teknik analisis isi (content analisys) digunakan untuk menggambarkan tentang katagori-katagori yang ditemukan dan muncul dari data yang ada sehingga dapat melahirkan analisis yang obyektif konstruksi pemikiran elit agama dalam mengelola perbedaan paham menjadi kekuatan harmoni di Madura. B. Agama dan Militansi Orang Madura Masyarakat Madura merupakan masyarakat dengan karakter religius dan agamis yang sangat militan. Dengan karakter keagamaan yang sangat kuat tersebut, Madura pada gilirannya dijuluki sebagai serambi Madinah. Julukan itu, nyaris sama dengan Propinsi Aceh yang dijuluki sebagai serambi Mekah. Julukan itu sangat mendasar, mengingat kultur keagamaan masyarakat Madura yang sangat kental dengan tradisi keagamaan yang unik, walaupun memang tidak seratus persen sama dengan kondisi keagamaan masyarakat Madinah. Tetapi, sadar atau tidak, masyarakat Madura sangat kental dengan pola keberagamaan sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Madinah. Yang menarik, semangat masyarakat Madinah, ternyata tidak hanya pada aspek militansi keagamaan yang terbangun di Madura, melainkan juga terletak pada pola keberagamaan yang beragam, sehingga memberikan ruang toleransi yang besar terhadap penganut agama yang berVolume 7, Nomor 1, Desember 2014 11 12 HARMONI ANTAR PPAHAM KEAGAMAAN beda. Sebab, struktur masyarakat Madinah tidak hanya terdiri dari satu keyakinan, melainkan terdapat beberapa keyakinan yang hidup dan berkembang di dalamnya. Ali Bulac (2003:265) menulis bahwa Madinah tidak hanya terdiri dari kaum muslim saja. Ada beberapa penduduk asli di dalamnya; yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab yang tidak menerima Islam. Hazrat (yang mulia) Muhammad SAW. Menghadapi masalah penting yaitu mendamaikan dan menyatukan kelompok-kelompok sosial ini, menemukan formula yang tepat untuk dapat hidup berdampingan. Oleh karena itu, wacana sebagai serambi Madinah yang dilekatkan kepada masyarakat Madura, tidak hanya karena faktor militansi keagamaan, melainkan juga terletak pada struktur sosial keagamaan yang inklusif sesuai dengan semangat Piagam Madinah yang pernah dicetuskan oleh Rasulullah SAW. Madinah di satu sisi merupakan potret wilayah dengan potensi keagamaan yang kuat karena Madinah menjadi salah satu basis dakwah gerakan Islam yang dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi, di sisi yang lain, Madinah juga menjadi potret tentang interaksi dan pola hubungan keagamaan yang menempatkan toleransi antar-agama sebagai perekat kehidupan sosial yang sangat kuat. Pola keagamaan religius tersebut, pada dasanya tidak lepas dari aspek historis masuknya Islam ke tanah Madura. Perkembangan Islam yang dilakukan oleh kalangan ulama pada tempo dulu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pola keagamaan masyarakat Madura yang sangat religius. Dalam keterkaitan itu, pola keberagamaan yang militan di kalangan masyarakat Madura tersebut, merupakan salah satu bukti tentang adanya komitmen keberagamaan yang utuh. Sebab, mayoritas masyarakat Madura menganut paham keagamaan ala Nahdlatul Ulama (NU) yang dekat dengan paham Sunni, baik masyarakat yang ada di Bangkalan, Sampang, Pamekasan maupun Sumenep. Penganut paham Islam ala NU menjadi sangat dominan Jurnal Pelopor Pendidikan di Madura, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Bahkan, kedekatan paham NU dengan masyarakat kultural, acapkali melahirkan militansi ke-NU-an yang sangat tinggi, karena ada sebagian masyarakat Madura yang berani menganggap NU sebagai agama bagi mereka. Penyebutan beragama NU oleh sebagian masyarakat Madura, bukan berarti menunjukkan ketertinggalan dalam memahami NU sebagai bagian dari paham Islam, melainkan hal itu menunjukkan kedalaman dan kesungguhan orang Madura dalam beragama Islam ala NU. Sebab, penggunaan “agama NU” bukan hanya dipakai oleh orang Madura, tetapi juga dipakai oleh orang-orang di luar Madura. Hal itu ditegaskan oleh Ahmad Baso (dalam Iskandar Zulkarnain, 2005:10): Sebutan “agama NU” juga dipakai orangorang Madura, orang-orang Yogjakarta (Seperti almarhum Mbah Marijan) dan orang-orang Jawa lainnya di desa-desa, di kampung-kampung. Ketika penguasa militer Orde Baru berkuasa di awal-awal 1970-an, mereka didatangi petugas kependudukan untuk didata. Ketika ditanya, agama kalian apa? “Agama NU!”, spontan jawab mereka. “Itu tidak ada dalam formulir”, jawab petugas, “Yang ada ya hanya agama Islam!” Akhirnya, mereka pun didata sebagai penganut “agama Islam”. Namun demikian, penyebutan agama NU di kalangan orang Madura, bukan berarti tidak ada paham lain yang juga berkembang di Madura, karena penganut paham keagamaan yang lain juga menjadi bagian dari kondisi faktual masyarakat Madura, seperti paham yang dianut kalangan Muhamadiyah, SI, Hidayatullah, LDII, Syiah, Persis dan pahampaham lain yang juga berkembang. Sementara keberadaan paham Ahmadiyah belum ditemukan data kongkrit atau informasi akurat di Madura, sehingga muncul kesimpulan bahwa paham ini belum berkembang di Madura sebagaimana paham-paham yang lain (Iskandar Zulkarnain, 2005:5). Apalagi Mohamad Suhaidi penganut paham Ahmadiyah tidak sebanyak pengajut paham ala NU dan Muhammadiyah yang berkembang di Indonesia. Sebagai pulau dengan pola keagamaan Islam tradisional yang dominan, masyarakat Madura memiliki pola keberagamaan dengan amaliah ala warga nahdliyin sebagaimana yang terjadi di seluruh nusantara, yaitu penganut paham Suni, walaupun nilai-nilai keMaduraannya tetap kental dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat Madura dalam beragama sangat taat, tetapi juga tidak bisa lepas dari nilai-nilai budaya yang arif. Agama dan kebudayaan Madura, dalam prakteknya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Madura. Dalam konteks itu, pilihan beragama bagi orang Madura merupakan pilihan hakiki yang sangat substansial, terutama pilihan terhadap agama Islam yang menjadi agama mayoritas yang dianut oleh orang Madura. Argumentasi Latif Wiayata di atas menegaskan tentang komitmen keagamaan orang Madura yang sangat mendasar, karena pilihan agama merupakan peneguhan identitas. Agama Islam kemudian menjadi identitats yang terbumikan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Madura. Bahkan, identitats keagamaan itu tidak hanya tercermin dalam seperangkat keimanan yang bersifat batini, melainkan juga menjadi identitats simbolik yang menghiasai proses kehidupan sosial masyarakat Madura. Kondisi itu di satu sisi memperlihatkan tentang militansi dan antusiasme keagamaan masyarakat Madura. Bentuk konkrit antusiasme itu, salah satunya bisa dilihat dalam kehidupan masyarakat Madura untuk memakmurkan masjid, mushalla dan langgar yang notabene bertebaran dia seluruh penjuru Madura. Nyaris di setiap kampung dan desa terdapat bangunan masjid dan mushalla, bahkan nyaris di setiap rumah masyarakat Madura terdapat bangunan tempat ibadah (bisa langgar dan mushalla ukuran mini) sebagai tempat untuk menunaikan kewajiban beribadah sesuai dengan ajaran agama Islam. Abd. A’la (dalam Abdur Rozaki, 2004 : v) memberikan gambaran bahwa potret masyarakat Madura sebagai masyarakat dengan keberagamaan yang kuat, tapi sekaligus “dianggap” nyaris lekat dengan tradisi atau budaya yang tidak selamanya mencerminkan nilai-nilai Islam mengisyaratkan tentang kompleksitas kehidupan budaya keagamaan masyarakat Madura itu sendiri. C. Konstruksi Pemikiran Elit Agama: Dari Tradisi Dialog ke Khutbah Toleransi Secara substansial, kalangan alit agama di Madura menghendaki adanya kedamaian dan toleransi yang kua antar paham maupun antar agama. Komitmen mereka dalam membangun kehidupan yang damai dan sejuk, menunjukkan adanya kemauan yang keras untuk menempatkan perbedaan paham sebagai pondasi dalam merajut kehidupan yang harmoni. Konstruksi pemikiran elit agama Madura dalam membangun harmoni antar paham, mengerujut pada beberapa gagasan mendasar, mulai dari pengembangan tradisi dialog, pendidikan dan sampai sosialisasi melalui kegiatan formal maupun non formal keagamaan. Sehinga bisa dijadikan sebagai kekuatan dalam menciptakan kerukunan dan toleransi antar paham yang ada. Secara garis besar, gagasan elit agama Madura tentang harmoni antara paham, dapat dilakukan dengan beberapa langkah, yang meliputi dialog, Hal itu bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : 1. Dialog Terbuka Lintas Paham Keagamaan Konflik bisa terjadi, akibat tidaknya ada ruang komunikasi yang dinamis dan terbuka bagi kedua belah pihak. Keterbukaan untuk menerima pihak lain sebagai patner dialog, merupakan kunci utama dalam menciptakan kehidupan yang damai. Demikian pula halnya, sikap menutup diri terhadap pihak lain yang berbeda paham, hanya akan menciptakan ruang sempit yang bisa menghasilkan kondisi dimana antara yang satu dengan Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 13 14 HARMONI ANTAR PPAHAM KEAGAMAAN yang lainnya dihantui oleh rasa saling curiga. Disinilah truth claim akan menjadi embrio lahirnya konflik kedua belah pihak dan pada gilirannya menimbulkan suasana yang tidak kondusif dalam membangun kerukunan antar paham. Dalam konteks itu, dialog merupakan salah satu sarana yang tepat untuk bertemu dan menyampaikan gagasan yang berbeda, guna mencari titik persamaan yang bisa dipertemukan. Apalagi setiap perbedaan, tidak secara mutlak berbeda, melainkan ada sisi persamaan yang bisa dijadikan sebagai pijakan untuk disatukan. Ruang dialog antar paham yang berbeda di Madura dapat menjadi kostruksi sosial baru di tengah-tengah masyarakat Madura yang tengah mengalami masa multi paham keagamaan saat ini sebagai wahana untuk menyelesaikan setiap perbedaan pandangan yang berbeda, apalagi dalam konteks perbedaan penafsiran agama yang sudah menjadi fakta sosial. Sebab, perbedaan paham keagamaan yang terjadi dalam Islam, akibat perbedaan penafsiran yang dihasilkan, sehingga melahirkan perbedaan cara pandang. Ruang dialog dapat dijadikan sebagai momentum reunifikasi (penyatuan) pandangan yang berbeda untuk mendapatkan titik temu yang positif, sehingga konflik sosial antara paham bisa diminimalisir atau bahkan diantisipasi untuk tidak terjadi. Menurut Kiai Dardiri Zubairi (wawancara pada tanggal 22 Juni 2014), pengasuh pesantren Nas’atul Muta’allimin Desa Gapura Timur Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep: “Salah satu solusi yang bisa dibangun di tengah-tengah masyarakat Madura untuk mengantisipasi potensi konflik antar paham adalah dengan cara dialog dengan melibatkan setiap pihak yang berbeda, yang dalam konteks perbedaan agama Islam, misalnya perbedaan antar paham. Mereka harus diajak untuk duduk bersama untuk Jurnal Pelopor Pendidikan berdialog dengan rela dan penuh semangat saling menghormati. Tujuannya untuk mendiskusikan banyak hal, bukan hanya untuk mencari titik temu perbedaan penafsiran paham keagamaan, melainkan juga untuk membangun komitmen bersama dalam menjaga keharmonisan antar penganut paham yang berbeda. Semakin ruang dialog dibuka akan semakin membuat akrab dan bisa saling terbuka. Masing-masing kelompok perlu ada keseriusan untuk selalu bermusyawarah dan berdialog untuk saling memahami tentang perbedaan, sehingga dapat mencari titik temu untuk saling merekatkan hubungan kebangsaan dan kekeluargaan”. Oleh karena itu, dialog akan dapat menjadi jembatan yang baik dalam rangka membuka ruang inklusifitas antar penganut paham yang berbeda. Dengan kata lain, dialog akan dapat menjadi wasilah (sarana) untuk menata setiap ketertutupan yang terbangun dan menggantinya dengan keterbukaan, sehingga melahirkan sikap yang saling terbuka. Karena dialog lebih merepresentasikan ruang komunikasi yang selama ini kerapkali menjadi akar masalah. Haryatmoko (dalam Ngainun Naim, 2011:45) menyatakan bahwa tanpa adanya ruang dialog untuk membangun persepsi dan pemahaman terhadap perbedaan yang ada, dan watak “sangar” yang menunjukkan kekerasan tanpa kompromi. Kondisi tidak toleran akan mengkristal manakala seseorang atau sekelompok tersingkir dalam dinamika sosial, politik, budaya maupun kekuasaan. Posisi dan peran dialog dalam menuntaskan setiap perbedaan yang terjadi sangat strategis, karena ruang dialog tidak hanya akan menjadi ruang diskusi, melainkan menjadi ruang untuk melahirkan persamaan dan solusi atas perbedaan (permasalahan) yang dihadapi. Menurut Abd. A’la (2009:76) bahwa dialog sebenar- Mohamad Suhaidi nya merupakan salah satu sarana dengan tingkat signifikansi cukup tinggi untuk meredam konflik dan menjadikan perbedaan sebagai pengkayaan pandangan dalam merumuskan solusi terbaik bagi persoalan yang dihadapi bangsa. Dalam konteks itu, dialog menjadi jembatan komunikasi yang bisa mempertemukan titik-titik perbedaan pemahaman keagamaan, sehingga menemukan jalan tengah tanpa menimbulkan konflik, karena dialog pada hakikatnya merupakan pintu masuk untuk memulai proses komunikasi timbal balik. Apalagi, setiap konflik sosial keagamaan yang terjadi, pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dari masalah komunikasi yang tidak mampu dibangun dengan terbuka dan sikap persaudaraan yang hakiki. Oleh karena itu, pola komunikasi yang dialogis dianggap sebagai salah satu sarana yang tepat untuk mengantisipasi setiap potensi konflik antar paham di Madura, sehingga dari setiap perbedaan yang ada dapat dikelola dengan dinamis dan jauh dari benih konflik antar paham. Setiap elit paham keagamaan harus duduk sama rata untuk berdialog sebagaiman telah dilakukan di Kabupaten Pamekasan yang telah mengagendakan pertemuan bulanan dengan sejumlah elit agama dengan latar belakang yang berbeda. Bahkan, kalangan elit agama yang berbeda paham di Pamekasan telah membentuk forum khusus yang bernama FOKUS (Forum Komunikasi Ormas Islam). Forum semacam ini dimaksudkan untuk menyatukan pandangan dan membangun kebersamaan antar paham keagamaan yang ada di Pamekasan Madura. Dalam setiap pertemuan dijadikan kesempatan untuk membicarakan masalahmasalah keislaman. Bahkan, forum ini juga bisa dijadikan sebagai sarana atau mediasi untuk mendeteksi setiap gejala keagamaan yang muncul, sehingga dengan mudah bisa diatasi. Zainal Alim, Ketua 1 PD Muham-madiyah Pamekasan mengatakan bahwa: “Dalam menyelesaikan masalah konflik antar paham, semua pihak harus terlibat, khususnya umat Islam. Kalau di Pamekasan kami sudah membentuk Forum Komunikasi Ormas Islam (FOKUS) yang melibatkan semua ormas Islam yang ada di Pemekasan. Forum ini selalu mengadakan pertemuan dalam setiap bulan dan membahas masalah keagamaan yang urgen” (Wawancara pada tanggal 17 juni 2014). Jadi, secara substansial pertemuan lintas paham itu merupakan bentuk nyata dari semangat silaturrahim yang bisa digunakan untuk melakukan dialog dan tabayyun (klarifikasi) atas persoalan keagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Artinya, silaturrahim itu merupakan langkah yang positif untuk membangun hubungan yang baik dengan siapapun, karena dalam silaturrahim ada semangat persaudaraan dan keakraban antara satu dengan yang lainnya. Silaturrahim-dialogis yang paling prinsip merupakan momentum memperkuat pertemanan hakiki setiap individu, apalagi orang Madura memaknai pertemanan dengan landasan resipokral. Menurut Latif Wiyata (2013:21), apabila hubungan pertemanan itu dikelola dengan baik dan senantiasa dijadikan semangat, referensi dan landasan dalam kehidupan sosial oleh orang Madura, maka konflik (kekerasan) sudah pasti dapat diantisipasi dan sekaligus dicegah sedini mungkin, yang pada gilirannya kehidupan sosial orang Madura niscaya akan selalu dalam suasana yang nyaman, sejuk, dan teduh yang penuh dengan kedamaian sebagaimana makna ungkapan rampa’ naong, baringen korong. Pengembangan tradisi silaturrahim dialogis yang menekankan pada aspek kajian kritis dan terbuka terhadap setiap Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 15 16 HARMONI ANTAR PPAHAM KEAGAMAAN perbedaan agama dan paham akan memberikan ruang diskusi yang lebar bagi setiap perbedaan paham dalam mencari titik temu. Dialog pada gilirannya dapat dijadikan sebagai jalan tengah untuk menemukan benang merah perbedaan menujuk titik persamaan yang hakiki, sehingga bisa menghasilkan kesepakatan untuk membangun kejernihan dalam beragama. Dengan dialog, trut claim oleh satu paham akan bisa diminimalisir dengan baik. Hal itu ditegaskan oleh M. Amin Abdullah (2011:15) bahwa: “Untuk mengurangi ketegangan yang diakibatkan oleh ‘truth claim’ yang secara metapisis dan psikologis memang dapat dimengerti, namun pada ruang lingkup pergumulan sosiologis-kultural, kadang terasa sangat mencekam –terutama bagi masyarakat yang bersifat empiris pluralistik– studi dan pendekatan agama yang bersifat empiris-historiskritis, agaknya, akan dapat menyumbangkan jasanya untuk mengurangi kadar dan intensitas ketegangan tersebut, tanpa harus berpretensi dapat menghilangkan sama sekali. Lewat kajian dan pendekatan agama yang bersifat kritishistoris, yakni lewat analisis yang tajam terhadap aspek historis daripada normativitas ajaran wahyu akan membantu menjernihkan duduk perkaranya “keberagamaan manusia”. Oleh karena itu, dialog yang komunikatif dapat menjadi sarana yang pas untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan sikap eksklusif yang notabene ada dalam setiap penganut paham keagamaan tertentu. Ekslusifitas penganut paham yang dipertahankan cenderung menutup kran dialog dengan pihak lain dan pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik sosial dan konflik agama yang menakutkan. Iqnas Kleden (dalam Rosyidi, 2009:45) menegaskan bahwa di sisi lain bentuk Jurnal Pelopor Pendidikan kehidupan keagamaan yang tertutup atau fanatik juga merupakan sumber konflik yang mengancam keutuhan masyarakat. Potensi atau sumber konflik yang ada dapat berkembang menjadi konflik, apababila terjadi persaingan yang bersifat emosional. Corak emosional ini lebih banyak muncul pada komunitas‘eksklusif minoritas atau ekslusif mayoritas. Komunitas ekslusif terbentuk sebagai akibat terpisahnya kegiatan sosial antar kelompok agama yang ada, sehingga menimbulkan kecenderungan untuk menutup diri dan saling berprasangka antar kelompok agama tersebut. Melalui dialog yang terbangun dengan baik, maka konflik akan dapat dicegah sedini mungkin, apalagi dialog pada hakikatnya merupakan salah satu sarana dengan tingkat signifikansi cukup tinggi untuk meredam konflik dan menjadikan perbedaan sebagai pengkayaan pandangan dalam merumuskan solusi terbaik bagi persoalan yang dihadapi (Abd. A’la, 2009). 2. Peran Kolaboratif Umaro’ dan Ulama’ Dalam konstelasi keberagaman masyarakat, khususnya di Madura, yang terus dinamis, keberadaan pemerintah tetap menjadi sesuatu yang strategis dalam pengatasi potensi konflik antar paham di Madura. Pemerintah dianggap memiliki tanggungjawab yang besar untuk menjadi penengah dan fasilitator dalam menjaga keharmonisan antar paham di Madura, sehingga keberadaannya dapat menjadi katalisator bagi rekatnya keakraban masyarakat antar paham yang ada di Madura. Dalam kerangka itu, pemerintah tetap dianggap sebagai pihak yang paling berwenang dalam menjaga dan memelihara potensi konflik antar paham yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Madura. Sejumlah narasumber yang diwawancarai menjelaskan bahwa ke- Mohamad Suhaidi beradaan pemerintah sangat penting dalam menjembatani setiap perbedaan yang berkembang dan menjadikannya bagian dari kerukunan yang harmonis. Pemerintah memiliki peran yang strategis dalam membagun masyarakat yang harmonis dengan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan, sehingga terbangun kehidupan yang egaliter dan damai dengan perbedaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, terutama dalam merangkai harmoni di tengah banyak paham yang berbeda. Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah adalah mendorong masyarakat untuk terus membumikan spirit kebersamaan dan gotong royong dalam menyelesaikan berbagai problem yang terjadi, apalagi ketaatan seseorang pada dasarnya ditentukan oleh sikapnya dalam bermasyarakat. Hal itu sejalan dengan pandangan Mohammad Natsir (dalam Charles Kurzman, 2003:68) di sebuah tulisannya “Revolusi Indonesia” menegaskan bahwa: “Nilai individu dan harga dari ketaatannya beragama ditentukan oleh sikapnya dalam bermasyarakat. Jika kita ingin membangun, kita harus berupaya keras menjadikan masyarakat secara struktural bersikap “tasamuh” (toleransi) dan gotong royong. Secara internal, semangat gotong royong merupakan pupuk dalam memenuhi fardlu kifayah. Tidak ada keraguan lagi bahwa sistem tersebut sangat cocok dengan mentalitas bangsa Indonesia. Di dalam masyarakat kita, Indonesia, tidak ada kesempatan bagi sebuah sistem yang didasarkan atas pertentangan satu kelompok dengan kelompok lainnya, atau satu kelas dengan lainnya untuk muncul ke permukaan. Sistem yang sesuai dengan mentalitas bangsa Indonesia adalah keharmonisan hidup sebagai suatu kelengkapan. Namun, gotong royong juga sama baiknya. Itulah ajaran yang dibawa oleh Pemimpin Besar Revolusi, Nabi Muhammad SAW”. Disinilah posisi pemerintah (umaro’) dan ulama memiliki memiliki tanggung jawab yang sama untuk menyatukan persepsi dalam membangun masyarakat yang kondusif dengan membumikan kembali spirit gotong royong sebagai wujud adanya kebersamaan tanpa memandang perbedaan yang ada. Oleh karena itu, pemerintah khususnya, dengan kewenangan yang dimiliki bisa menggunakan kekuasaannya untuk meredam setiap gejala ada, maka potensi konflik antar paham, karena pemerintah memiliki Undang-Undang yang jelas. Artinya, pemerintah bisa meredam setiap paham yang dianggap berlawanan dengan Undang-Undang dan paham-paham yang bisa memicu konflik sehingga memudarkan kerukunan, sehingga keamanaan dan jaminan hidup tenang bisa diberikan oleh pemerintah. Menurut KH. Syarifuddin Damanhuri, Ketua MUI Bangkalan: “Memang perbedaan paham itu sudah lumrah terjadi di Madura, ada Muhammadiyah dan NU. Dua ormas ini memang berbeda secara fiqih, tetapi akidahnya sama. Sejak dulu sudah harmonis dan tidak ada konflik. Memang, Syiah itu pada satu sisi berbeda, tetapi masalah keyakinan tetap kita berikan pada pemiliknya, tetapi jangan sampai menyebarkan aqidah yang berbeda di tengah aqidah masyarakat Madura yang sudah mapan, karena orang Madura bisa memberontak. Untuk itu, agar perbedaan paham ini ke depan di Madura tidak menjadi konflik, pmerintah harus tetap berperan lebih proaktif untuk memediasi setiap potensi konflik antar paham yang akan terjadi. Jangan sampai ada paham lain yang memaksakan aqidahnya pada pihak lain yang sudah memiliki aqidah yang Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 17 18 HARMONI ANTAR PPAHAM KEAGAMAAN mapan. Pemerintah yang berwenang dan lembaga ormas Ialam bisa menjadi bagian dalam menjembatani agar tidak menjadi konflik horizontal yang berbahaya (Wawancara pada tanggal 2 Juni 2014)”. Peran mediator itu, merupakan pilihan yang tepat bagi pemerintah untuk menjadi bagian penting dalam setiap potensi konflik yang akan muncul. Disinilah ketegasan pemerintah dalam memandang perbedaan paham yang ada sangat diperlukan. Dengan kata lain, pemerintah harus aktif memproteksi setiap gerakan paham yang muncul dan bisa menimbulkan percikan konflik di tengah-tengah masyarakat, apalagi di Madura yang mayoritas beramaliah Islam Ahlus Sunah Wal Jamaah dengan sangat militan. Selain itu, peran pemerintah bisa dilakukan dengan cara menfasilitasi kegiatan yang mengarah pada penyadaran masyarakat terhadap perbedaan, salah satunya dengan cara melakukan kegiatan pendidikan resolusi konflik yang diberikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat memiliki pemahaman yang universal tentang konflik dan dampak yang akan ditimbulkan. Penyadaran semacam itu, memiliki makna yang sangat signifikan dalam menata kesadaran masyarakat di tengah kehidupan sosial yang beragam, terutama dalam menyikapi perbedaan antar paham. Pemerintah harus selalu melakukan komunikasi intensif dengan para elit agama di Madura, bahkan harus mampu membangun komunikasi yang aktif, karena masyarakat Madura memiliki ketergantunggan yang sangat tinggi terhadap elit agama. Salah satu bentuk religiusitas masyarakat Madura adalah memiliki ketaatan yang tinggi terhadap figur kiai dan tokoh agama yang ada di lingkungannya. Konsolidasi dengan para kiai menjadi mutlak dilakukan, karena logika berfikir mayoritas masyarakat Madura adalah Jurnal Pelopor Pendidikan masih menjadikan kiai sebagai teladan kehidupan yang nyaris tanpa batas. Untuk itu, sekeras apapun perbedaan yang terjadi tidak akan pernah terjadi konflik selama masih ada kiai, karena orang Madura dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan tidak lepas dari upaya meminta restu kepada figur kiai yang dihormati. Kondisi itu terjadi karena orang Madura memiliki falsafah hidup yang terbangun sangat kuat, misalnya terangkum dalam konsepsi kultural masyarakat Madura Buppa’, Bappu’, Guruh Ratoh (Bapak, Ibu, Guru dan Pemerintah). Hal itu memberikan indikasi nyata bahwa masyarakat Madura selalu mengutamakan keberadaan seorang bapak, ibu, guru (elit agama) dan pemerintah dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, hirarki sosial tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan bahwa setiap perilaku sosial masyarakat Madura tidak pernah lepas dari urutan posisi itu, khususnya pada posisi seorang “guruh” (elit agama). Menurut Latif (2013: 30) bahwa orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orang tua, kemudian kepada ghuru (ulama/kiai), dan terakhir pada rato (peminpin formal atau biasa disebut birokrasi). Artinya, dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standar referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hirarhikal. Oleh karena itu, kordinasi dan konsolidasi terhadap kalangan elit agama di Madura dapat menjadi salah satu bagian penting dalam upaya menjaga keharmonisan antar paham, sehingga potensi konflik bisa diantisipasi. Apabila, kalangan elit agama memiliki satu pandangan dan persepsi dalam memahami perbedaan paham, maka konflik tidak akan terjadi, karena masyarakat Madura yang militan terhadap agama tersebut, selalu patuh terhadap apa yang disampaikan oleh para kiai (elit agama). Artinya, aksi kekerasan terhadap penganut paham yang lain, tidak Mohamad Suhaidi akan pernah terjadi selama kalangan elit agama di Madura masih tetap memiliki komitmen yang kuat untuk mengendalikan masyarakatnya. Pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki tetap memiliki tanggungjawab yang besar untuk menjembatani setiap perbedaan paham yang muncul dan mengelolanya menjadi kekuatan harmoni yang dinamis. Rasa nyaman dan tenang dalam menjalankan keyakinan dan paham keagamaan setiap individu membutuhkan perhatian dan pengawalan yang serius dari pemerintah. Apalagi, peran pemerintah dalam memberikan jaminan terhadap keselamatan fisik setiap anggota masyarakat, juga menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku. Hal itu ditegaskan oleh Abdurahman Wahid dalam sebuah prolog yang ditulisnya dengan judul “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”: “........ jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masingmasing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenarbenarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup (worldview, weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial” (Nurcholish Majid, 2007:3). 3. Pendidikan Multikultural dan Resolusi Konflik Perbedaan yang diyakini sebagai kodrat kehidupan tidak bisa dipungkiri. Apalagi, perbedaan itu telah menjadi ciri khas bagi bangsa Indonesia. Berbeda adalah identitas unik yang hidup dan berkembang dalam wadah NKRI yang Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan budaya, etnik, sosial dan agama serta perbedaan paham yang terjadi di Indonesia, menggambarkan tentang bangsa ini yang multikultural dan heterogen. Oleh karena itu, dengan keragaman yang terjadi, di satu sisi juga membuat bangsa ini memiliki potensi konflik yang sangat besar. Sebab, keragaman yang ada, apabila tidak dikelola dengan baik dan benar, akan menjadi amunisi untuk saling menyerang antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dalam konteks yang lebih khusus, perbedaan agama dan paham telah menjadi salah satu bagian dari perbedaan yang dimiliki bangsa ini, termasuk di Madura. Dengan karakter keagamaan yang militan, masyarakat Madura tidak hanya memilih satu paham keagamaan yang tunggal, melainkan banyak paham yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu, perbedaan paham yang dianggap melenceng jauh dari paham yang sudah diyakini kebenarannya oleh mayoritas Madura, kerapkali bisa menjadi pemicu lahirnya konflik sosial yang serius. Kekerasan terhadap penganut paham Syiah yang terjadi di Sampang, merupakan gambaran utuh tentang dampak perbedaan paham yang sangat terasa di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks itu, bagi orang Madura perbedaan paham memang bisa tidak menjadi masalah, selama paham itu bisa memenuhi etika dan bisa menghargai terhadap paham mayoritas yang sudah hidup lama di tengah-tengah masyarakat Madura. Dengan kata lain, paham baru yang masuk ke Madura diharapkan bukanlah paham yang memiliki pertentangan yang sangat dahsyat, sehingga apabila dipaksakan hanya akan menimbulkan konflik sosial. Setidakanya, itulah Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 19 20 HARMONI ANTAR PPAHAM KEAGAMAAN substansi dari argumentasi elit Muhammadiyah di atas bahwa memang pada dasarnya orang Madura bisa memahami keberadaan paham lain, selama paham lain itu bisa beradaptasi dengan paham yang sudah jamak diyakini oleh masyarakat Madura. Sebab, perbedaan paham yang terlalu jauh dengan paham mayoritas, apalagi paham baru tersebut tidak hanya sekedar berbeda pandangan, tetapi sampai pada batas menyalahkan paham mayoritas atau bahkan menjelek-jelekkan paham yang ada. Hal itu akan menjadi pemicu lahirnya pertentangan sosial atasnama agama di Madura. Kasus penganut paham Syiah di Sampang merupakan salah satu fakta tentang adanya penolakan yang keras dari masyarakat sebagai penganut paham masyoritas, yang pada gilirannya menimbulkan kekerasan. Munculnya paham baru di Madura dengan jalan dakwah mengejek dan menjelekkan paham lain yang sudah ada, memang merupakan ancaman bagi pengembangan kehidupan yang harmonis di Madura. Sebab, mengejek dan menjelek-jelekkan paham lain, kerapkali dianggap sebagai paham menyimpang dan dianggap sebagai pengganggu, sehingga masyarakat akan menganggap layak untuk –meminjam istilah KH. Syafraji– “diamputasi”. Paham dengan gaya menjelek-jelekkan paham lain ini, juga mendapatkan respon kurang baik dari salah seorang anggota Jemaah Tabligh asal Sumenep, Rifa’i Hasyim mengatakan: “Perbedaan paham apabila menjadi modal untuk persatuan, saya kira tidak jadi masalah. Tetapi, apabila perbedaan paham itu menjadi modal untuk perpecahan, itu yang menjadi masalah. Misalnya, satu paham mengejek dan menyindir paham yang lain atau menganggap dirinya sebagai yaang paling benar (Wawancara pada tanggal 25 juni 2014). Jurnal Pelopor Pendidikan Dalam keterkaitan itu, kesadaran terhadap perbedaan paham serta kedewasaan dalam menempatkan perbedaan sebagai kodrat kehidupan, merupakan langkah nyata untuk dibangun. Truth claim dan salvation claim yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang pada gilirannya menghasilkan keyakinan sepihak sebagai paham yang paling benar dan paham lain salah, merupakan problem krusial dalam penataan kehidupan antar paham yang harmonis. Keragaman paham yang tumbuh dan berkembang di Madura, di satu sisi merupakan potensi dalam membangun masyarakat yang multikultural, tetapi pada sisi yang lain, keragaman paham tersebut bisa menjadi potensi konflik yang dapat merusak hubungan antar penganut paham yang berbeda. Apalagi, paham-paham baru yang mulai berkembang di Madura merupakan paham radikal dan salafi yang dianggap mengancam terhadap paham yang diyakini mayoritas masyarakat Madura. Potensi konflik pada gilirannya dianggap sebagai sesuatu yang bisa terjadi dan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dalam konteks itu, pendidikan multikultural di Madura menjadi sesuatu yang sangat urgen untuk ditanamkan secara holistik di tengah-tengah masyarakat, yang pada gilirannya akan mampu membentuk pola pikir dan kesadaran maksimal masyarakat dalam menerima dan menghargai perbedaan paham sebagai bagian dari takdir kehidupan umat beragama. Bahkan, di tengah keragaman paham yang ada di Madura, selain dilakukan dalam bentuk pendidikan multikultural, pemahaman tentag resolusi konflik di Madura juga memiliki makna yang strategis dalam memperkuat komitmen orang Madura dalam merespon perbedaan antar paham. Dalam keterkaitan itu, resolusi konflik bisa memberikan perspektif baru bagi bagi masyarakat dalam menempatkan per- Mohamad Suhaidi bedaan sebagai rahmah dan dijadikan sebagai modal untuk mengokohkan kembali kebersamaan dan toleransi antar paham. Resolusi konflik, tidak hanya diberikan kepada elit agama, melainkan juga dilakukan pada tataran masyarakat bawah, sehingga dapat terbangun dengan kuat dari akar rumput, karena membangun resolusi konflik itu tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab semua elemen masyarakat Madura, baik kiai, pemuda, ormas dan elemen lain yang ada di Madura. Walaupun, untuk memulai hal itu, pemerintah yang sejatinya dapat menjadi fasilitator dalam mengupayakan resolusi konflik berbasis masyarakat itu. 4. Penyadaran Toleransi Melalui Khutbah dan Kegiatan Kultural Kesadaran masyarakat untuk menerima perbedaan antar paham memang sangat urgen untuk dikembangkan, karena tanpa adanya kesadaran masyarakat, toleransi yang menjadi kekuatan tidak akan menjadi perekat. Harmoni antar paham dan atau antar agama sekalipun, tidak bisa dipisahkan dengan prinsip toleransi, karena toleransi mengidealkan pola hubungan dimana antara yang satu dengan yang lainnya merasa sama dan setara, sehingga diharuskan untuk saling menghargai, menghormati dan saling menjaga. Kesadaran untuk menerima perbedaan secara substansial bisa dilakukan, apabila toleransi dijadikan sebagai spirit dalam menjalani kehidupan yang pluralis. Untuk membangun kesadaran toleransi terhadap perbedaan paham, bisa dilakukan dengan menggunakan media khutbah dan kumpulan kultural yang memang sudah biasa dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Khutbah yang biasanya disampaikan oleh para kiai pada saat shalat Jumah ataupun pada saat momentum yang lain, seperti dalam kegiatan kumpulan bisa diisi dengan pemahaman-pemahaman yang bisa memberikan pencerahan terhadap masyarakat akan pentingnya menerima perbedaan sebagai rahmat. Menurut Rifa’i Hasyim: “Upaya mencegah aksi kekerasan terhadap paham lain, bisa melalui khutbah dan media kumpulan. Itu bisa dilakukan untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat dalam memahami perbedaan yang ada. Jadi, tidak usah terpancing dengan paham yang dikembangkan oleh paham lain. Tidak perlu terpancing. Kita tetap saja istiqamah menjalankan apa yang kita yakini, apabila ada informasi yang tidak dipahami, tolong tanyakan kepada kiai dan ulama yang bisa mengayomi. Untuk itu, khutbah bisa dijadikan sebagai media untuk memberikan pemahaman dan penyadaran terhadap masyarakat untuk belajar menerima perbedaan dan memahami perbedaan sebagai sesuatu yang biasa. Tak perlu merespon perbedaan itu dengan cara-cara yang kurang baik” (Wawancara pada tanggal 27 juni 2014). Dalam keterkaitan itu, khutbah dan kegiatan kumpulan yang sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat muslim Madura, bisa memberikan makna yang penting dalam membangun minsed masyarakat dalam menjalankan agama dan keberagamaan. Khutbah dan kumpulan sejatinya tidak hanya diisi dengan informasi-informasi keagamaan yang memang sudah biasa disampaikan, melainkan juga bisa diarahkan pada upaya untuk membangun kesadaran toleransi masyarakat yang substansial. Dengan cara demikian, khutbah dan kumpulan bisa menjadi media pendidikan dan pembelajaran hidup toleran yang strategis, karena hidup toleran dan rukun pada hakikatnya merupakan ajaran agama yang selalu relevan dengan kehidupan masyaVolume 7, Nomor 1, Desember 2014 21 22 HARMONI ANTAR PPAHAM KEAGAMAAN rakat yang heterogen. Menurut Imron Rosyidi (2009:13) sikap toleransi dan kerukunan umat beragama merupakan salah satu ajaran Islam yang relevan dengan kemajuan zaman yang akan selalu masuk ke dalam ruang gerak kehidupan manusia. Disinilah, toleransi akan ditetapkan sebagai bagian tidak terpisahkan dari pluralisme kehidupan yang nyata. Tanpa ada kesadaran hidup toleran, maka pluralisme tidak akan mampu berdiri kokoh. Peran kiai dan elit agama sangat memegang peran penting, sehingga setiap momentum Khutbah dan kegiatan lainnya bisa dijadikan sebagai media untuk memperkuat kesadaran tentang kemajemukan, pluralisme dan hidup dengan semangat toleransi yang kuat. Moh. Shofan dalam buku Jalan Ketiga Pemikiran Islam dengan detail menjabarkan tentang posisi pluralisme yang harus digerakan dalam tindakan nyata. Pluralisme sebagai desain Tuhan (design of God) harus diamalkan berupa sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi multikulturalisme. Namun tidak sekedar berhenti pada wacana pentingnya pluralisme dan multikulturalisme, akan tetapi lebih diejawantahkan pada tataran praksis. Yakni, tidak pula sekedar menjadi homo pluralis yang menghargai keragaman hidup, melainkan juga sebagai homo multikulturalis yang berkeyakinan bahwa, relasi pluralitas yang di dalamnya terdapat problem minoritas vs mayoritas, harus dibangun dengan tindakan nyata berdasarkan pengakuan atas persamaan, kesetaraan, dan keadilan. Dengan cara demikian, perbedaan antar paham akan terikat oleh prinsip toleransi yang kuat, sehingga tercipta harmoni yang kokoh di tengah-tengah masyarakat. Islam sebagai agama, walaupun di dalamnya masih ada perbedaan penafsiran atas beberapa masalah, akan tetap berpijak pada kerangka perbedaan sebagai rahmat. Penganut agama Islam, Jurnal Pelopor Pendidikan walaupun berbeda paham, harus tetap menjunjung setinggi mungkin misi dasar Islam sebagai agama pembawa kedamaian, karena Islam bukan agama kasar dan bukan agama yang suka kekerasan, tetapi agama yang datang untuk melindungi umat manusia dengan prinsip kedamaian. D. Penutup Konstruksi pemikiran elit agama di Madura dalam membangun kehidupan yang harmoni antara paham keagamaan, merupakan salah satu komitem luhur yang sejatinya harus dibumikan. Sebab, elit agama dalam kehidupan masyarakat Madura menjadi penentu sosial yang sangat sentral. Anggapan masyarakat bahwa “semua bergatung pada elit agama” termasuk dalam keberagamaan, menjadi dasar penting bagi kalangan elit agama di Madura untuk menjadi kekuatan guna menciptakan kehidupan keberagaman yang kondusif. Dalam konteks kajian di atas, penulis dapat mengajukan beberapa kesimpulan mendasar tentang konstruksi pemikiran elit agama dalam mengelola potensi perbedaan antar paham di kalangan masyarakat Madura. Pertama, masyarakat Madura termasuk masyarakat yang memiliki karakter religius dan sangat agamis. Hal itu terjadi, karena masyarakat Madura dihuni oleh mayoritas penganut agama Islam yang militan, terutama penganut paham Ahlussunah wal Jamaah (NU) yang ketat. Pola keagamaan semacam itu, pada gilirannya menjadi karakter keagamaan yang khas, salah satunya karekter khas keagamaan masyarakat Madura bisa dilihat dalam kehidupan masyarakat Madura untuk memakmurkan masjid, mushalla dan langgar yang notabene bertebaran dia seluruh penjuru Madura. Hampir di setiap kampung dan desa terdapat bangunan masjid dan mushalla, bahkan nyaris di setiap rumah masyarakat Madura terdapat bangunan tempat ibadah (bisa langgar dan mushalla ukuran mini) sebagai tempat untuk menunaikan kewajiban beribadah sesuai dengan ajaran agama Islam yang diyakini. Mohamad Suhaidi Kedua, kiai dan ulama di tengah-tengah masyarakat Madura memiliki posisi sosial yang sangat tinggi. Kiai dan ulama bahkan dianggap sebagai figur sentral komunitas masyarakat Madura, bukan hanya dalam satu aspek saja, melainkan di semua aspek, baik agama, sosial dan budaya. Apalagi, sosok kiai dianggap sebagai seorang guru, dan guru bagi orang Madura identik dengan kiai, sehingga dalam derajat sosial orang Madura, kiai menempati pada posisi yang teratas, sehingga dalam kehidupan masyarakat Madura, kiai selalu menjadi rujukan utama dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Ketiga, elit agama di Madura memiliki pandangan yang sama dalam merespon perbedaan paham dan bahkan perbedaan agama sebagai potensi yang harus dikelola dengan baik. Perbedaan tidak dipahami sebagai potensi konflik yang bisa meruntuhkan bangunan harmoni antar agama, karena perbedaan paham pada hakikanya berakar pada perbedaan penafsiran, sehingga memiliki peluang untuk berbeda. Oleh karena itu, perbedaan paham yang ada di Madura, dianggap sebagai dinamika keberagamaan yang harus dikelola sebaik mungkin menjadi kekuatan harmoni. Terdapat beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengelola potensi perbedaan paham menjadi kekuatan di harmoni di Madura, antara lain (a) mengintensifkan kegiatan dialog lintas paham keagamaan, (b) memaksimalkan peran kolaboratif ulama-umaro’, (c) mengembangkan pendidikan multikultural dan resolusi konflik, dan (d) penyadaran signifikansi hidup toleran melalui khutbah atau kegiatan kultural lainnya.[] DAFTAR PUSTAKA A’la, Abd. 2009. Agama Tanpa Penganut : Memudarnya Nilai-Nilai Moralitas dan Signifikansi Pengembangan Teologi Kritis. Yogjakarta : Kanisius. Abdullah, M. Amin. 2011. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Baso, Ahmad. 2013. Agama NU untuk NKRI. Tangerang Selatan: Pustaka Afid Djauhari, Mohammad Tidjani. 2008. Membangun Madura. Jakarta: TAJ Publishing. Ismail, Faisal dkk. 1999. NU, Gusdurisme dan Politik Kiai. Yogjakarta: Tiara Wacana. Kurzman, Charles (ed.). 2003. Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global. Jakarta: Paramadina. Makmun, Achmad Rodli. 2006. Sunni dan Kekuasan Politik. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press. Majid, Nurcholish. 2007. Islam Universal. Yogjakarta : Pustaka Pelajar Naim, Ngainun. 2011. Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Yogjakarta: Teras Rahmat, M. Imdadun. -Khamami Zada, “Agenda Politik Gerakan Islam Baru” dalam Jurnal Taswirul Afkar, edisi No.16 Tahun 2004 Rozaki, Abdur. 2004. Menabur Kharisma, Menuai Kuasa : Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura. Yogjakarta: Pustaka Marwa, 2004 Sodiqin, Mochammad Ali. 2013. Muhammadiyah itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakani. Jakarta: Naoura Boks. Sosyidi, Imron. 2009. Pendidikan Berparadigma Insklusif. Malang: UIN Malang Press. Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 23 24 HARMONI ANTAR PPAHAM KEAGAMAAN Shofan, Moh. Jalan Ketiga Pemikiran Islam : Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme. Yogjakarta : IRCiSoD Zulkarnain, Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogjakarta: LKiS. Jurnal Pelopor Pendidikan