I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Infeksi saluran akar adalah suatu penyakit yang disebabkan salah satunya oleh bakteri yang menginfeksi saluran akar. Proses terjadinya kerusakan saluran akar gigi melalui suatu reaksi kimia oleh bakteri (Fouad, 2009), dimulai dari kematian jaringan lunak (nekrosis pulpa) kemudian berlanjut ke saluran akar gigi. Kecepatan penyebaran bakteri di saluran akar dipengaruhi oleh kondisi jaringan pulpa. Jaringan pulpa yang nekrosis lebih cepat mengalami infeksi saluran akar dibanding jaringan pulpa sehat (Walton dan Torabinejad, 2008). Mikroorganisme yang biasa ditemukan dalam infeksi saluran akar antara lain, Staphylococcus aureus, Steptococcus mutans, Enterobacteriaceae, Streptococcus faecalis (Fouad, 2009), Fusobacterium sp, Eubacterium sp, Actinomyces sp, Candida albicans, Peptostreptococcus anaerobius (Hargreaves dkk., 2002). Staphylococcus aureus merupakan flora normal gram positif berbentuk bulat yang terdapat pada rongga mulut, namun dapat menjadi patogen jika jumlahnya meningkat dan terjadi penurunan daya tahan tubuh. Faktor virulensi S. aureus seperti peptidoglikan dan lipoteichoic acids (LTA) ikut berperan menginfeksi saluran akar (Fouad, 2009; Brooks dkk., 2010). Selain infeksi saluran akar, bakteri ini juga dapat menyebabkan endokarditis, meningitis, pneumonia, dan sepsis (Brooks dkk., 2010). Endokarditis adalah suatu infeksi pada katup jantung. Penyakit ini terjadi salah satunya karena bakteri S. aureus yang berasal dari infeksi saluran akar, masuk ke pembuluh darah melalui foramen apikal gigi mengikuti aliran darah kemudian menempel pada katup jantung yang berlangsung lama. Sehingga katup jantung akan menjadi rentan terhadap perlekatan bakteri dan terbentuk koloni bakteri S. aureus yang menyebabkan inflamasi pada katup jantung (Sudibyo, 2003). Dengan demikian, mengingat sifat patologis bakteri S. aureus sangat besar, bahkan dapat menyebabkan penyakit infeksi yang berbahaya seperti endokarditis, oleh karena itu, diperlukan bahan antibakteri untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri tersebut. Antibiotik merupakan bahan organik yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang memiliki kemampuan menghambat atau membunuh mikroorganisme lain. Antibiotik dalam dosis dan jenis yang tepat diperlukan untuk menangani berbagai penyakit infeksi (Sumardjo, 2009). Antibiotik yang biasa digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri S. aureus yaitu Penicillin G, Tetrasiklin, Aminoglikosida, Kloramfenikol, Eritromisin, Vankomisin, dan lainlain (Brooks dkk., 2010). Pemakaian atau peresepan antibiotik yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi bakteri (Brooks dkk., 2010). Resistensi bakteri terhadap antibiotik mengakibatkan penyakit sulit diobati karena bakteri menjadi kebal, sehingga harus menggunakan antibiotik dengan dosis yang lebih tinggi. Penggunaan antibiotik dengan dosis yang tinggi menimbulkan efek toksik, misalnya, pemakaian Kloramfenikol dengan dosis yang tinggi dapat merusak sumsum tulang belakang sehingga pembentukan sel darah merah terganggu. Selain itu, pemberian antibiotik terhadap orang yang alergi terhadap antibiotik tersebut dapat menimbulkan respon hipersensitivitas, misalnya, pemberian Penicillin pada orang yang alergi Penicillin dapat menimbulkan gatal-gatal, bintik-bintik merah pada kulit, bahkan menyebabkan pingsan (Sumardjo, 2009). Oleh karena itu, perlu dikembangkan alternatif bahan antibakteri yang lebih aman untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh bakteri S. aureus. Masyarakat di Indonesia telah banyak mengunakan tanaman obat untuk mengobati berbagai macam penyakit (Utami, 2006). Penggunaan obat dari bahan alami secara umum dinilai lebih aman dan memiliki efek samping yang lebih sedikit dibanding dengan penggunaan obat dari bahan kimia. Selain itu, pada umumnya harganya relatif murah dan bahannya mudah didapat dibandingkan dengan obat bahan kimia yang harganya lebih mahal (Sari, 2006). Indonesia merupakan sumber tanaman obat terbesar kedua setelah Brasil (Mangan, 2003). Salah satu yang digunakan untuk tanaman obat adalah tanaman cengkeh. Cengkeh (Syzygium aromaticum) merupakan tanaman herbal yang berasal dari Maluku. Bagian cengkeh yang paling sering dimanfaatkan adalah bunganya (Bhowmik dkk., 2012). Bunga cengkeh dimanfaatkan sebagai analgesik, antiseptik, rempah, bahan parfum, industri rokok, sumber eugenol (Kardinan, 2005), obat masuk angin, penambah nafsu makan, penurun panas, obat batuk, obat sakit gigi, obat penyakit mata, dan obat radang membran mukosa mulut (Sudarsono dkk., 2002). Khasiat cengkeh yang banyak, menjadikan cengkeh menjadi salah satu komoditas perdagangan penting di dunia (Kardinan, 2005). Kandungan utama dalam bunga cengkeh adalah minyak atsiri (Kardinan, 2005). Penelitian tentang manfaat minyak atsiri bunga cengkeh telah banyak dilakukan. Minyak atsiri bunga cengkeh mampu menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas solanacearum (Wijayakusuma, 2006), minyak atsiri cengkeh yang dikombinasikan dengan minyak atsiri kayu manis mampu meningkatkan daya antibakteri dan degradasi biofilm bakteri S. mutans (Ardiani dkk., 2010), minyak atsiri bunga cengkeh mampu menghambat pertumbuhan bakteri Eschericia coli (Noviansari dkk., 2013). Selain mengandung minyak atsiri, bunga cengkeh juga mengandung asam oleanolat, asam galotanat, fenilin, karyofelin, resin, dan gom (Utami, 2006). Asam oleanolat merupakan senyawa alami yang ditemukan pada beberapa tanaman obat. Asam oleanolat termasuk golongan triterpena pentasiklik yang tidak mudah menguap dengan penyulingan uap. Cara untuk memperoleh asam oleanolat ialah dengan difraksinasi (Harborne, 2006). Menurut Nowak dkk. (2013), asam oleanolat dari bunga cengkeh kering dapat diperoleh dengan metode high performance thin layer cromatography (HPTLC)-densitometry. Asam oleanolat memiliki banyak manfaat diantaranya digunakan sebagai antibakteri (Fontanay dkk., 2008), antikanker (Chakravarti dkk., 2012), dan efektif mengobati alergi kulit (Choi, 2013). Asam oleanolat mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri. Menurut penelitian Fontanay dkk. (2008), asam oleanolat mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, timbul suatu permasalahan apakah asam oleanolat hasil fraksinasi bunga cengkeh (Syzygium aromaticum) berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus? Keaslian Penelitian Menurut penelitian Prakash dkk. (2013), asam oleanolat mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mitis dan Lactobacillus sp. Kurek dkk. (2012) menyatakan bahwa asam oleanolat yang dikombinasikan dengan antibiotik β-laktam efektif melawan infeksi yang disebabkan oleh bakteri S. aureus, Staphylococcus epidermidis, Listeria monocytogenes, dan Pseudomonas aeruginosa. Dalam penelitian ini, asam oleanolat yang digunakan adalah hasil fraksinasi bunga cengkeh (Syzygium aromaticum) terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus tanpa kombinasi dengan antibiotik. Tujuan Penelitian Menguji pengaruh asam oleanolat hasil fraksinasi bunga cengkeh (Syzygium aromaticum) terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus secara in vitro. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh asam oleanolat hasil fraksinasi bunga cengkeh (Syzygium aromaticum) terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus.