MAHAR DAN PAENRE` DALAM ADAT BUGIS (Studi Etnografis

advertisement
MAHAR DAN PAENRE’ DALAM ADAT BUGIS
(Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis
Di Bulukumba Sulawesi Selatan)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ANDI ASYRAF
NIM. 1111044100031
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
(A H W A L A L – S Y A K H S I Y Y A H)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2015 M/ 1437 H
MAIIAR DAN PI,ENRE'DALAM ADAT BUGIS
(Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis
Di Bulukumba Sulawesi Selatan)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salatr Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
1111044100031
Dibawatr Bimbingan
19681014
PROGRAM STUDI IIUKUM KELUARGA
(AH WAL AL-
S
YAKrr S IYYAH)
EAKULTAS SYARIAH DAII IIUKUM
UNIYERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF IIIDAYATULLAH
JAKARTA
2015M11437 H
+,
Lt ->*\
Y'
i
LEMBAR PERNYATAAI\
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
L
Slaipsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata
I
di Universitas Islam
Negeri (UIIID Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
semua. sumber yang saya gunakan dalam penulisan
canfumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
ini telah
saya
di Universitas Islam
Negeri (Uh{) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti hhwa lrolrya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di universitas Islam Negeri
(ul$,Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta
12 Oktober 2015
28 Dzulhijjah 1436 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "MAHAR DAN PAENRE DALAM ADAT BUGIS (Studi
Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis
Di
Bulukumba Sulawesi
Selatan)" telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 Oktober
2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu
(S1) Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga Islam (Ahwal alSyakhshiyyah).
Jakarta, 1 9 Oktober 201
5
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
NIP.
1
969
1
2t6t996031001
PANITIA UJIAN SKRIPSI
Dr. H. Abdul HaliF. M.A.
NrP. 19670608 199403 1005
Ketua
Sekertaris
Arip Purkon, S.HI..M.A.
NrP.
Pembimbing
1
9790 427 2003 121002
Dr. H. Yavan Eopyan. S.H., M.A.
NIP: 1 968 1 0141996031002
Penguji I
.1 . ..)
NrP. 1954030319761 1 r001
Penguji
II
,r
Drs. Sirril Wafa. M.A..
NrP. 1 96003 1 8 199103 I 001
ilr
)
l
ABSTRAK
Andi Asyraf. NIM 1111044100031. Mahar dan Paenre’ Dalam Adat
Bugis (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis di
Bulukumba Sulawesi Selatan). Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga Islam,
Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. (ix halaman, 86
halaman, dan 30 halaman lampiran).
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis landasan yang digunakan oleh
masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba dalam menetapkan mahar dan
paenre’, memahami sudut pandang masyarakat Bugis di Bulukumba,
hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan perspektif mengenai
dunianya, yang berkaitan dengan mahar dan paenre’, serta menjelaskan dan
mensinergikan serta mengetahui korelasi pandangan Islam tehadap mahar dan
paenre’ dalam pemahaman masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field research),
dan merupakan jenis penelitian problem oriented etnography,penelitian ini
bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan
bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa
dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi, adapun pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis. Kriteria
data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah observasi, wawancara secara mendalam, studi
dokumentasi, dan studi pusataka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahar dan paenre’ dalam
masyarakat Bugis di Bulukumba ditentukan berdasarkan strata sosial pengantin
perempuan, namun strata sosial disini tidak hanya disebabkan oleh karena ia
keturunan bangsawan, tetapi dapat juga disebabkan karena jabatan, pekerjaan
ataupun jenjang pendidikan yang telah ditempuh. Dibalik hal itu terdapat makna
filosofis yang terkandung di dalamnya berupa nilai-nilai kearifan lokal yang dapat
harmonis dan terintegrasi ataupun bersinergi dengan ajaran Islam.
Kata Kunci
Pembimbing
DaftarPustaka
: Mahar, Paenre’, Adat Bugis, Etnografi, Bulukumba.
: Dr. Yayan Sopyan, S.H.,M.A.
: 1974-2014.
iv
KATA PENGANTAR
‫بسم اهلل الرّحمن الرّحيم‬
Segala puji
bagi
Allah Swt.
Tuhan semesta alam,
yang telah
memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka
bumi ini, khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan
kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, serta para sahabatnya, yang merupakan
suri tauladan bagi seluruh umat manusia
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.A. Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam
beserta Arip Purkon, S.HI., M.A., Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga Islam, yang terus mendukung dan memotivasi penulis untuk
segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
3. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.A., Wakil Dekan III Fakultas Syariah dan
Hukum, sebagai dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan
terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini.
v
4. Dr. Supriyadi Ahmad, M.A., dosen penasehat akademik penulis, yang
telah sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu
penulis dalam merumuskan desain judul skripsi ini.
5. Terimakasih kepada Prof. Dr. H.A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., dan
Drs. Sirril Wafa, M.A., dosen penguji dalam munaqasyah, para dosen yang
telah memberikan ilmunya kepada penulis, beserta seluruh staf dan
karyawan yang telah memberikan pelayanan maksimal.
6. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
data-data terkait penelitian ini, Drs. M. Arskal Salim GP, M.A., Ph.D.
(Ketua PPM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Drs. Abdul Hafid, MAP.,
(Kasi Bimas Islam Kemenag Bulukumba), Andi Jumliadi Adil (Tokoh
adat Bulukumba), beserta beberapa elemen masyarakat, Andi Megawati
Adil, BA., Andi Sriwati, M.M., M.Pd., Andi Asmawati Kr. Ade, S.Sos.,
M.M., dan Andi Indah Kumalasari.
7. Paling istimewa untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Andi Abdul
Rahman, S.Sos. dan ibunda Andi Asliwati Adil, yang tak pernah jenuh dan
tak menyerah untuk memberikan dukungan serta tak henti-hentinya
mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan, (you are my
everything). Adikku tersayang Andi Hikman Rahman, saudara-saudaraku,
serta seluruh Keluarga Besar Puang Kuntung di Bone dan Keluarga Besar
Karaeng Ade’ di Bulukumba.
8. Sahabat terbaikku, Hendrawan, Rudi Niyarto, Ketum Irpan, Hira Hidayat,
Lilis, Safira, Lian, Juni, Vemi, Nadia, Didah, Kamelia, Triana, Tiflen,
vi
Fadly, Saidi, Farhan, you all the best ever. Kepada seluruh teman-teman
Peradilan Agama angkatan 2011, semoga ukhuwah kita tetap terjaga.
9. Kakanda dan adinda yang berkecimpung dalam Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya kepada
kawan-kawan kader di Program Studi Hukum Keluarga, Reza, Ricky,
Habibi, Ipeh, Ais, Haji Alim, Jamil, Fachra, Eno, Mella, Neng ema, Ajeng,
Saripeh, Sidiq, Angga, Ilham, Fitroh, Ody, Riyad, Ulhaq, terimakasih atas
masa-masa indah yang kita lalui di HMPS Hukum Keluarga (sudah
waktunya untuk mengambil kembali apa yang sudah sepantasnya kalian
dapatkan), serta seluruh kader yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu. Tetaplah semangat berproses.
10. Kawan-kawan Masyhar MQ (PP. Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang),
H. Ismail, Azhar, Ivan, Ihfal, Rajab, Yunus, Anas, Salman. Semoga motto
haamil al-qur’aan lafdhan, wa ma’nan, wa ‘amalan tetap terjaga.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan perbaikan.
Oleh karena itu, saran dan kritik akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya
serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah Swt., Amin.
Ciputat, 12 Oktober 2015
Ttd.
Andi Asyraf
Penulis
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................................... iii
ABSTRAK .............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah.................................................................... 8
C. Batasan dan Rumusan Masalah................................................... 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................... 10
E. Kerangka Teori............................................................................ 11
F. Metode Penelitian........................................................................ 13
G. Review Studi Terdahulu.............................................................. 20
H. Sistematika Penulisan.................................................................. 21
BAB II
EKSISTENSI MAHAR DALAM PERKAWINAN..................... 23
A. Pengertian Mahar......................................................................... 23
B. Dasar Hukum Mahar................................................................... 25
C. Syarat dan Jenis-Jenis Mahar...................................................... 27
D. Ketentuan Mengenai Bentuk dan Kadar Mahar......................... 30
E. Tujuan dan Hikmah Mahar: Antara Akad Muamalah dan
Nihlah.......................................................................................... 34
F. Kehalalan Istimta’: Sebab Akad atau Mahar............................... 36
viii
BAB III
BUDAYA
MASYARAKAT
BUGIS
DI
BULUKUMBA
SULAWESI SELATAN................................................................. 39
A. Potret Kabupaten Bulukumba..................................................... 39
B. Sistem Kemasyarakatan Dalam Masyarakat Bugis..................... 41
C. Prosesi Perkawinan Dalam Adat Istiadat Bugis......................... 44
D. Islam dan Budaya....................................................................... 48
E. Masuknya Islam di Sulawesi Selatan.......................................... 53
F. Mahar Dalam Perspektif Budaya Bugis...................................... 55
BAB IV
MAHAR DAN PAENRE’: TINJAUAN ETNOGRAFIS HUKUM
ISLAM ............................................................................................. 57
A. Mahar dan Paenre’ Dalam Perspektif Masyarakat Bugis di
Bulukumba.................................................................................. 57
B. Makna Mahar dan Paenre’ Dalam Sudut Padang Masyarakat
Bugis di Bulukumba................................................................... 65
C. Harmonisasi Mahar dan Paenre’ Dalam Perspektif Masyarakat
Bugis
di
Bulukumba
Dengan
Islam:
Sebuah
Analisis....................................................................................... 71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 79
B. Saran-saran.................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 82
LAMPIRAN............................................................................................................ 87
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragaman. Baik itu
etnik, budaya, adat maupun agama. Untuk yang terakhir, agama di Indonesia lahir
dan berkembang dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnya.
Selanjutnya, norma ini mulai menyerap dalam institusi masyarakat. Masyarakat
muslim, diatur perilakunya oleh hukum Islam. Baik itu yang berkaitan dengan
hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. Titik fungsional hukum Islam terus
menerus membentuk struktur sosial masyarakat muslim dalam menjalani
kehidupan sosialnya.1 Karena harus ada norma yang harus dipatuhi dalam
kehidupan bersama, norma-norma melekat kuat sebagai fakta di dalam realitas.2
Penegakan syariat Islam, secara substansial tentu saja bagus untuk mewarnai
dan memberi kontribusi dalam membangun masyarakat yang sadar hukum dan
berkeadaban. Namun kita juga sadar bahwa Islam hadir bukannya dalam wilayah
kosong, melainkan sudah ada tradisi sebelumnya di samping ada agama lain yang
tumbuh dan memiliki hak yang sama di depan hukum, sehingga diperlukan
metodologi yang bijak dan tepat. Lebih mendasar dari itu, Indonesia ini bukannya
negara agama melainkan negara yang mendasarkan ideologi dan semangat
1
Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 11
2
Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah Nurulita Yusron, (Bandung: Nusa
Media, 2009), Cet. II, h. 214
2
kebangsaan, yang mayoritas warganya memang muslim. Penerapan syariat Islam
mesti mengemban spirit “Islam rahmatan li al-‘aalamin”. Penataan sistem
hukum yang bertabrakan dengan watak pluralisme masyarakat akan bersifat
kontra produktif sekaligus melelahkan.3
Walaupun pemikiran sebagai tidak semata-mata menstrukturkan kebudayaan,
tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketetapan dari kebudayaan: suatu
pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional,
kognitif, subyektif, dan individual.4 Usaha untuk mengaplikasikan Islam dalam
tiap unsur kehidupan masyarakat tidak terlepas dari budaya, kebiasaaan, dan
hukum adat yang masih sangat dipertahankan di sebagian daerah. Setiap suku
(dalam konteks Indonesia) memiliki adat istiadat atau kebiasaan tersendiri yang
berbeda-beda. Salah satu perbuatan dimana negara juga mewajibkan untuk
melakukannya menurut agama dan kepercayaannya masing-masing ialah
perkawinan.
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut
dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam
kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan
hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin,
seperti dalam surat An-Nisa’ (4): 3. Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja
dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab (33): 37. Secara
arti kata nikah berarti bergabung, hubungan kelamin dan juga berarti akad.
3
Komaruddin Hidayat dalam kata pengantar pada buku Yayan Sopyan, Islam Negara:
Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, h. 12
4
Zainuddin Ali, Antropologi Hukum, (Palu: Yayasan Indonesia Baru, 2013), h. 12
3
Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam AlQur’an memang mengandung dua arti tersebut. Tetapi dalam Al-Qur’an terdapat
pula kata nikah dengan arti akad, seperti tersebut dalam firman Allah surat anNisa’ (4): 22.5
Definisi lain tentang nikah adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntutan agama.
Ada juga yang mengartikan suatu perjanjian atau aqad (ijab dan qabul) antara
seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah
sebagaimana suami isteri yang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukunrukun yang ditentukan oleh syariat Islam.6
Islam telah mengatur tata cara pelaksanaan dalam membina rumah tangga.
Jika seluruh umat Islam mengikutinya, insya Allah akan tecipta keturunan yang
baik, manusia yang mulia di muka bumi ini.7 Pernikahan juga memiliki unsurunsur ibadah. Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan
agar tidak terjerumus dari hal-hal yang diharamkan.8 Melaksanakan perkawinan
berarti
melaksanakan
sebagian
dari
ibadah
dan
berarti
pula
telah
menyempurnakan sebagian dari agama.9
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 35-36
6
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS,
2008), h. 3-4
7
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer, (Bandung:
Penerbit Angkasa, 2005), h. 134.
8
9
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2004), h. 6516
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1974), h. 5
4
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 (tiga) dirumuskan bahwa perkwainan
bertujuan untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang sakinah. Surat ArRum (30): 4 menjelaskan bahwa keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan dan
ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang
(rahmah). Ia terdiri dari isteri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus,
ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lembut dan berperasaan
halus, putera-dan puteri yang taat patuh dan taat dan kerabat yang saling
membina silaturrahim dan tolong menolong. Hal ini dapat tercapai bila masingmasang anggota keluarga tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.10
Keluarga merupakan tempat fitrah yang sesuai dengan keinginan Allah Swt.
bagi kehidupan manusia sejak keberadaan khalifah (QS. Ar-Ra’d (13): 38).
Kehidupan manusia secara individu berada dalam perputaran kehidupan dengan
berbagai arah yang menyatu dengannya. Karena sesungguhnya fitrah kebutuhan
manusia mengajak untuk menuju keluarga sehingga mencapai kerindangan dalam
tabiat kehidupan. Bahwasanya tiadalah kehidupan yang dihadapi dengan
kesungguhan oleh pribadi yang kecil.11
Perkawinan menurut ajaran Islam terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi
diantaranya kewajiban memberikan mahar oleh suami kepada isteri (QS. AnNisa’ (4): 3). Ayat tersebut menjelaskan bahwa pemberian itu ialah maskawin
yang besar kecilnya ditetapakan atas persetujuan kedua belah pihak, karena
pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas pada dasarnya. Berdasarkan ayat itu
10
11
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, h. 114.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), h. 23.
5
dapat kita pahami bahwa mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh pihak suami
kepada isteri untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar
merupakan bentuk award yang diberikan seorang pria sebagai ungkapan
kesetiaan dan cintanya kepada sang isteri.
As-Sadlan sebagaimana dikutip oleh Abu Malik Kamal mengungkapkan,
bahkan mahar boleh saja berupa sesuatu yang memiliki nilai material maupun
immaterial, dan inilah yang disepakati oleh dalil-dalil yang ada sesuai dengan
pengertian yang benar dari pensyariatan mahar. Sebab substansinya bukanlah
sebagai kompensasi yang bersifat materi saja, akan tetapi ia lebih merupakan
simbolisasi keinginan dan ketulusan niat untuk hidup bersama dalam biduk
rumah tangga sehingga ia boleh diwujudkan dalam bentuk uang atau materi (yang
sudah berlaku umum), dan dalam bentuk sesuatu yang memiliki nilai immaterial,
selama mempelai wanita ridho atau rela menerima hal tersebut.12
Mengenai pernikahan, memang banyak adat yang mengatur di setiap daerah.
Baik itu yang bertentangan dengan syariat Islam maupun tidak. Tidak dapat kita
pungkiri bahwa pernikahan harus mengikuti adat yang berlaku di daerah tersebut.
Pernikahan
memanglah
salah
satu
adat
yang
berkembang
mengikuti
berkembangnya masyarakat, namun kepercayaan untuk berpegang teguh kepada
hukum adat masih berlaku di dalam sebuah adat pernikahan tersebut. Karena
hukum akan efektif apabila mempunyai basis sosial yang relatif kuat. Artinya
hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat secara sukarela.13
12
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah. Penerjemah Khairul Amri
Harahap dan Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 254.
13
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 340
6
Tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda dari
masyarakat adat yang lain, antara suku bangsa yang satu berbeda dengan suku
bangsa yang lain, antara yang beragama Islam berbeda dari yang beragama
Kristen, Hindu, dan lain-lain. Begitu pula antara masyarakat desa dari masyarakat
kota.
Dikarenakan
perbedaan
tata
tertib
adat
maka
seringkali
dalam
menyelesaikan perkawinan antar adat menjadi berlarut-larut, bahkan kadangkadang tidak tercapai kesepakatan antar kedua pihak dan menimbulkan
ketegangan. 14
Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara paling umum dilakukan oleh
masyarakat adalah melalui peminangan. Dalam hal peminangan pada tiap
masyarakat (hukum adat) yang ada di Indonesia cara yang digunakan dalam
melakukan pelamaran atau peminangan pada hakikatnya terdapat kesamaan,
namun perbedaan-perbedaannya hanyalah (kira-kira) terdapat pada alat atau
sarana pendukung proses peminangan tersebut.15
Di Indonesia, terdapat sebuah suku yang bernama Suku Bugis dimana dalam
adat istiadatnya, secara garis besar upacara perkawainannya dimulai dengan
mappaenre’ balanca yaitu sebuah prosesi mempelai laki-laki disertai rombongan
dari kaum kerabatnya, pria dan wanita, tua maupun muda dengan membawa
macam-macam makanan, seperangkat pakaian wanita, buah-buahan (seperti
kelapa, pisang, dan lain-lin), dan maskawin. Sampai dirumah mempelai wanita,
14
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 12
15
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberti, 2007), h. 107
7
maka dilangsungkan upacara pernikahan yang dilanjutkan dengan pesta
perkawinan. Pada pesta ini para tamu dari luar diundang, memberi kado atau
uang sebagai sumbangan (saloreng).16
Pada masyarakat Bugis, dalam menetukan mahar mereka mempunyai patokan
tersendiri, adat Bugis di daerah Sulawesi Selatan dalam proses perkawinannya
meskipun sudah menggunakan syariah Islam sebagai landasan dasar serta syaratsyarat perkawinan dalam kebiasaanya, tetapi pada tahap prosesi baik menjelang
maupun dalam dan setelahnya masih menggunakan adat istiadat setempat sebagai
salah satu syarat pelaksanaan perkawinan. Sebagai contoh, dalam Islam kita
mengenal istilah mahar yang sudah sedikit disinggung sebelumnya, dalam adat
Bugis dikenal dengan istilah sunrang atau sompa’.
Sompa atau sunrang itu besar kecilnya, sesuai dengan derajat sosial dari gadis
yang dipinang dan dihitung dalam nilai rella (real) alah nominal Rp. 2,-.
Maskawin yang diberi nilai nominal menurut jumlah rella dapat saja terdiri dari
sawah, kebun, keris pusaka, perahu dan sebagainya yang semuanya mempunyai
makna penting dalam perkawinan.17
Di lain sisi, dalam adat istiadat Bugis sebelum acara pernikahan (dalam
bahasa Bugis mappabotting) terdapat pula beberapa syarat harus dipenuhi oleh
mempelai pria yang disebut paenre’. Ia adalah sejumlah uang yang ditetapkan
oleh pihak mempelai wanita kepada calon mempelai pria untuk mengetahui
kerelaan atau kemampuan sang calon mempelai untuk menjadi bagian keluarga
16
17
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 235.
Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979), h. 269
8
mereka. Uang belanja ini digunakan untuk membiayai pesta pernikahan yang
digelar pihak wanita. Besaran paenre’ atau panai’ lagi-lagi sangat beragam dan
sangat tergantung pada status sosial si calon mempelai wanita. Semakin tinggi
status sosial calon mempelai wanita maka tentunya akan semakin tinggi.18
Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang hingga saat ini menggunakan adat
istiadat Bugis tersebut adalah Kabupaten Bulukumba, yang dalam prosesi
perkawinannya baik sebelum maupun di dalamnya masih mempertahankan adat
istiadat tersebut. Dari sudut pandang etnografis, adat istiadat yang masih
dipertahankan hingga kini tersebut tentunya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang secara tersirat mempunyai makna
filosofis yang terkandung di dalamnya. Maka dari itu, atas pertimbangan tersebut
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “MAHAR DAN
PAENRE’ DALAM ADAT BUGIS (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam
Perkawinan Adat Bugis di Bulukumba Sulawesi Selatan)”
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam latar
belakang diatas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu:
1. Bagaimana asal-muasal ditetapkannya mahar dan paenre’ dalam
masyarakat Bugis ?
2. Apa yang menjadi dasar dalam menetapkan mahar dan paenre’ oleh
masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba ?
18
Artikel dikutip pada 04 Mei 2014 pukul 15.29 WIB dari MksBolKm.com, disarikan dari
buku Tata Cara Perkawinan Menurut Adat Bone: Lembaga Adat Saoraja Bone.
9
3. Bagaimana peran pemerintah setempat dalam menanggapi aturan adat
tersebut ?
4. Adakah kontradiksi antara hukum postif yang berlaku di Indonesia
dengan aturan adat tersebut ?
5. Bagaimana perspektif fiqh dalam memandang penetapan mahar dan
paenre’ dalam masyarakat Bugis ?
6. Apa makna filosofis yang terkandung dalam pemahaman masyarakat
Bugis di Bulukumba mengenai mahar (sunrang) dan panai’ atau paenre’ ?
7. Bagaimana korelasi Islam dengan mahar dan paenre’ dalam Adat Bugis di
Kabupaten Bulukumba ?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar pembahasan pada penelitin ini tidak melebar, maka pembahasan
mengenai mahar dan paenre’ (biaya perkawinan yang keseluruhannya ditanggung
oleh pihak laki-laki), dibatasi pada mahar dan paenre’ dalam adat Bugis, adat
Bugis dibatasi pada seputar pemahaman adat Bugis di Kabupaten Bulukumba
(kecuali kecamatan Kajang),19 Sulawesi Selatan.
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut;
1. Apa yang menjadi dasar dalam menetapkan mahar dan paenre’ oleh
masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba ?
19
Terdapat sepuluh 10 kecamatan di Bulukumba, diantaranya: Gantarang, Ujung Bulu, Ujung
Loe, Bonto Bahari, Bonto Tiro, Herlang, Kajang, Bulukumpa, Rilau Ale, Kindang. Sembilan
kecamatan memiliki rumpun suku yang sama yaitu Bugis-Makassar, kecuali Kecamatan Kajang
dihuni oleh suku Badui Kajang, yang memiliki adat istiadatnya tersendiri. (Badan Pusat Statistik
Bulukumba, Statistik Kabupaten Bulukumba 2014. Bulukumba: BPS Bulukumba. 2014.)
10
2. Apa makna filosofis yang terkandung dalam pemahaman masyarakat
Bugis di Bulukumba mengenai mahar (sunrang) dan panai’ atau paenre’ ?
3. Bagaimana korelasi Islam dengan mahar dan paenre’ dalam Adat Bugis di
Kabupaten Bulukumba ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari sebuah penelitian ialah mengungkapkan secara jelas sesuatu yang
hendak dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari pemahaman tersebut,
maka tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut ;
1. Untuk menganalisis landasan yang digunakan oleh masyarakat Bugis di
Kabupaten Bulukumba dalam menetapkan mahar dan paenre’.
2. Untuk memahami sudut pandang masyarakat Bugis di Bulukumba,
hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan perspektif mengenai
dunianya, yang berkaitan dengan mahar dan paenre’.
3. Untuk menjelaskan dan mensinergikan serta mengetahui korelasi
pandangan Islam tehadap mahar dan paenre’ dalam pemahaman
masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba.
Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, demikian pula dengan
penelitian yang penulis adakan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut;
1. Sebagai sumbangsih kepustakaan bagi para mahasiswa Fakultas Syariah
dan Hukum serta masyarakat luas pada umumnya.
2. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah kepustakaan
Islam, khususnya dalam bidang studi Hukum Keluarga Islam (ahwal alsyakhshiyyah).
11
3. Secara akademis, agar dapat memberikan motivasi dan dorongan kepada
penulis lain untuk mengadakan penelitian yang bersifat etnografis.
Sehingga dapat mengharmonisasikan dan mensinergikan kehidupan di
Indonesia yang berbudaya dan memiliki adat istiadatnya masing-masing
dengan Islam.
E. Kerangka Teori
Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata,
melainkan ikatan suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada
Allah, dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu
perkawinan itu harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang
menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera
(mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.20
Dalam akad nikah tersebut disebutkan nilai, rupa, atau jumlah mahar yang
akan diberikan pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan.
Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemberian wajib
berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan
ketika dilangsungkan akad nikah.21 Menurut Peunoh Daly mahar adalah hak isteri
yang diterima dari suaminya; pihak suami memberikannya dengan suka rela tanpa
mengharap imbalan sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami
atas kesejahteraan keluarganya. Mahar bukanlah imbalan daripada budhu’
20
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 206
21
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 696
12
(mempergauli) isteri karena kenikmatan dan kesenangan bergaul itu dirasakan
oleh kedua belah pihak.22
Dasar diwajibkannya meberikan mahar terkandung dalam QS. An-Nisa’ (4): 4
dan QS. An-Nisa’ (4): 24, dan aturan mengenai tata cara pemberiannya tertuang
dalam QS. Al-Baqarah (2): 237 dan QS. Al-Baqarah (2): 236, yang
mengindikasikan tidak ada batasan maksimal dalam memberikan mahar,
meskipun terapat khilafiyah ulama (perbedaan pendapat) dalam menentukan
batasan minimal mahar. Namun dalam salah satu hadis yang diriwayatkan AlBaihaqi menyebutkan: dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw: sebaikbaiknya wanita (isteri) adalah yang tercantik wajahnya dan termurah
maharnya.23
Dalam prosesi pernikahan adat istiadat Bugis-Makassar, mahar dikenal
dengan istilah sunrang (Bugis) atau sompa (Makassar). Sunrang atau sompa sama
halnya dengan mahar yang pada umumnya dimaksud, disebutkan dalam akad
nikah, namun dalam ketentuan adat istiadat Bugis, termasuk di Bulukumba, nilai
atau jumlahya harus disesuaikan berdasarkan strata sosial yang dimiliki oleh pihak
mempelai perempuan yang dahulu dinilai dengan rella.24 Sebelum acara
pernikahan (dalam bahasa Bugis mappabotting) terdapat pula beberapa syarat
harus dipenuhi oleh mempelai pria yang disebut paenre’. Ia adalah sejumlah uang
22
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 219
23
Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz
III, h. 13
24
Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, h. 269
13
yang ditetapkan oleh pihak mempelai wanita kepada calon mempelai pria,
digunakan untuk membiayai pesta pernikahan yang digelar pihak wanita.
Jumlahnya pun tergantung pada status sosial calon mempelai wanita.
F. Metode Penelitian
Dalam membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, diperlukan suatu
metode untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang dibahas
dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat. Terdapat
beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain ;
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field research)
yang sumber datanya terutama diambil dari obyek penelitian (masyarakat atau
komunitas sosial) secara langsung di daerah penelitian.25
Penelitian ini
merupakan penelitian etnografi. Tentu saja sebagai suatu rancagan penelitian,
metode etnografi dengan sendirinya menyediakan perangkat-perangkat yang
memungkinkan proses penelitian berlangsung secara lebih baik. Terdapat dua
kelompok dalam memandang etnografi (etnografi sebagai paradigma filosofis
dan etnografi sebagai sebuah metode dalam penelitian). Namun ada yang
yang menganggap etnografi sebagai keduanya, artinya di satu sisi sebagai
paradigma filosofis, sedangkan di lain sisi merupakan rancangan penelitian
yang hendak dilakukan.26
25
26
Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar, 2009), h. 28
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,
(Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h. 59
14
Terdapat dua jenis penelitian etnografi, yaitu Tradisional Ethnography
dan Problem-Oriented Ethnography. Traditional ethnography mencoba untuk
memberikan gambaran lengkap dari seluruh budaya berdasarkan pengalaman
dari para etnografer yang hidup di tengah-tengah masyarakat paling tidak
selama satu tahun. Di masa lampau inilah tujuan utama dari etnografi, pada
masa kini, banyak etnografer menggunakan pendekatan melalui masalahmasalah yang berorientasi (issue-oriented approach) ke lapangan, yang
berkonsentasi pada satu aspek dari sebuah budaya.27 Dan penelitian etnografi
ini termasuk kedalam jenis problem-oriented etnography.
Jadi dapat dikatakan bahwa etnografi adalah suatu kebudayaan yang
mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan
pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai
macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulang kali bermakna untuk
membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai semua kebudayaan
manusia dan perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu.
Etnografi didasarkan pada asumsi berikut: pengetahuan dari semua
kebudayaan itu sangat tinggi nilainya.28
2. Metode Pendekatan
Saat ini banyak para etnografer mengambil sebuah pendekatan yang
disebut etnografi refleksif. Kategori yang luas ini mengacu pada bagian-
27
Roberts Edward Leinkeit, Introducing Cultural Anthropology, (New York: The McGrawHill Campanies, 2004), Lampiran A, h. 2.
28
James P. Spradley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth. (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 12.
15
bagian yang mencakup perspektif pribadi dan reaksi dari peneliti di lapangan
ketika sedang tenggelam dalam hiruk pikuk situasi di lapangan. Data sering
disajikan seolah-olah seperti sebuah dialog yang terjadi antara satu atau lebih
informan dari masyarakat asli dengan etnografer tersebut, sehingga lebih
menyerupai penulisan sastra daripada sebuah deskripsi ilmiah. Biasanya
etnografi tidak memasukkan data pembanding atau kuantifikasi data.
Etnografi
merupakan
cerminan
dari
pandangan
humanistik
dan
posmedernis.29
Etnografer lainnya masih mencampurkan beberapa pendekatan, etnografer
ini menunjukkan komitmennya pada metode ilmiah, dengan penekanan pada
pengamatan yang objektif, metode komparatif, dan kuantifikasi data. Di saat
yang sama para etnografer memasukkan beberapa elemen refleksif, seperti
komentar mengenai perasaan mereka pada saat pengumpulan data, serta sudut
pandang dan pendapat dari penduduk asli.30
Metode
pendekatan
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
juga
menggunakan pendekatan antropologis, pendekatan antropologis lebih
diarahkan pada penelusuran pola-pola yang dicita-citakan dalam masyarakat.
Antropologi lebih memusatkan pada usaha-usaha untuk merekonstruksikan
kebudayaan-kebudayaan
didalam
suatu
keseluruhan
atau
kebulatan.
Pendekatan antropologis akan menghasilkan pola-pola yang ideal dari hukum,
yang didasarkan pada aspirasi-aspirasi para warga masyarakat. Bedanya
29
Roberts Edward Leinkeit, Introducing Cultural Anthropology, h. 54.
30
Roberts Edward Leinkeit, Introducing Cultural Anthropology, h. 54.
16
dengan pendekatan filosofis adalah bahwa antropologi memperoleh hasilhasilnya dari kontak langsung dengan masyarakat (melalui penelitian di
lapangan).31
3. Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian
deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik
tertentu. Tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana
hal itu terjadi.32
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bulukumba, kabupaten yang
terletak di ujung selatan dari provinsi Sulawesi Selatan. Alasan mengapa
penulis memilih Bulukumba sebagai lokasi penelitian terbagi menjadi dua,
yaitu alasan subyektif (subjective reason) dan alasan obyektif (objective
reason). Subjective reason yang penulis gunakan, karena penulis merupakan
bagian dari masyarakat Bugis yang berdomisili di Bulukumba, penelitian ini
untuk menjelaskan mindset yang ada alam benak masyarakat Bugis pada
umumnya, disamping itu karena jaminan akses atau pengumpulan data-data
yang penulis butuhkan dapat terpenuhi dengan baik.
Meskipun begitu, penulis tidak akan menafikkan objective reason
dipilihnya Bulukumba sebagai lokasi penelitian. Pertama, Bulukumba
merupakan titik temu (di ujung selatan) antara dua kerajaan besar di Sulawesi
31
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1981), h. 397-398
32
Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, h. 20
17
Selatan pada zaman dahulu kala, yaitu Kerajaan Gowa (meliputi Makassar,
Gowa, Talakar, Jeneponto, Bantaeng), dan Kerajaan Bone (diantaranya Bone
dan Sinjai), akulturasi kebudayaan Bugis-Makassar sangat kental, dibuktikan
dengan kemampuan mayoritas masyarakat Bulukumba menggunakan dua
bahasa daerah (yaitu Bahasa Konjo, dialek yang sama dengan Bahasa
Makassar dan bahasa Bugis), sehingga budaya lokal masih dapat terjaga
dengan baik, salah satu contoh dalam tradisi perkawinannya. Disamping itu,
sebagaimana yang sudah diketahui bersama bahwa Bulukumba merupakan
kabupaten pertama di Indonesia yang memberlakukan peraturan daerah
(Perda) berbasis syariah, tertuang dalam Perda No. 3 Tahun 2002 tentang
Pelarangan Penjualan Minuman Keras, Perda No. 4 Tahun 2003 tentang
Berbusan Muslim dan Muslimah, dan Perda No. 6 Tahun 2003 tentang Pandai
Baca Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin di Kabupaten Bulukumba.
Kenyataan tesebut memunculkan anggapan bahwa antara budaya dan
agama (Islam) di Bulukumba dapat berjalan beriringan, harmonis, tanpa ada
konfrontasi berarti. Hal demikianlah yang mendorong penulis memiliki
keinginan untuk menggali lebih dalam perihal adat istiadat dan keagamaan di
Bulukumba dengan asumsi “pasti ada sesuatu (alasan) yang dipegang teguh
oleh masyarakat Bulukumba di balik itu semua”.
5. Kriteria dan Sumber Data
a. Data primer, data yang didapat dari hasil observasi, wawancara
langsung dengan masyarakat, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh
agama serta ilmuwan Bugis. Termasuk keberadaan penulis yang juga
18
berasal dari masyarakat atau Suku Bugis yang berdomisili di
Bulukumba, tempat dimana data-data dari penelitian ini diambil.
b. Data sekunder, dalam penelitian ini data yang digunakan penulis
adalah data yang dikumpulkan oleh orang lain, pada waktu penelitian
dimulai data telah tersedia.33 Selain itu data yang memberikan bahan
tidak langsung atau data yang didapatkan selain data primer. Data ini
juga dikumpulkan melalui studi pustaka yang berkaitan diantaranya
buku-buku fiqh, sejarah, dan data lain yang terkumpul yang
mempunyai hubungan dengan tema ini.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang
dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Umumnya cara
mengumpulkan data dapat menggunkan teknik: wawancara (interview),
angket (questioner), pengamatan (observation), studi dokumentasi, dan Focus
Group Discussion (FGD).34 Penulis menggunakan teknik sebegai berikut:
a. Tehnik observasi, yaitu dengan cara mengadakan analisa, pengamatan
dan pencatatan secara terperinci serta sistematis tentang mahar dan
paenre’ di Kabupaten Bulukumba. Observasi dilaksanakan dalam
kurun waktu satu bulan agar mendapatkan penjelasan lebih terperinci.
33
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h. 37
34
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 138
19
b. Tehnik inteview (wawancara), selama ini metode wawancara
seringkali dianggap sebagai metode yang efektif dalam pengumpulan
data primer dilapangan.35 Mengggunakan pedoman secara mendalam
dengan pokok permasalahan guna menghidari penyimpangan dari
masalah penelitian dan kevakuman selama wawancara.
c. Studi dokumentasi yaitu meliputi studi bahan hukum yang terdiri dari
bahan hukum primer dan hukum sekunder.36 Juga data yang diperoleh
dari referensi atau literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
d. Studi pustaka yaitu pengindentifikasian secara sistematis dan
melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat
informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian
yang akan dilakukan. Terdiri dari dua langkah yaitu kepustakaan
penelitian yang meliputi laporan penelitian yang telah diterbitkan, dan
kepustakaan konseptual meliputi artikel atau buku-buku yang ditulis
oleh para ahli yang memberikan pendapat, pengalaman, teori-teori
atau ide-ide tentang apa yang baik dan buruk, hal-hal yang diinginkan
dan tidak dalam bidang masalah.37
35
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 57.
36
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Peneiltian Hukum, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 82.
37
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17-18.
20
G. Review Studi Terdahulu
Untuk menemukan pembahasan dan penulisan skripsi ini penulis menelaah
literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis sampaikan
dalam penulisan skripsi, diantaranya yaitu;
No
JUDUL
PEMBAHASAN
PERBEDAAN
1
Konsep Mahar
Membahas tentang
Perbedaan skripsi tersebut
Menurut Empat
mahar menurut
dengan skripsi yang penulis
Imam Mazhab
imam mazhab
susun
oleh Eva
empat dalam hal
tersebut lebih menekankan
Fatimah pada
syarat-syarat mahar, pada kajian mahar menurut
Tahun 2004.
diwajibkannya
empat mazhab sedangkan
mahar, macam-
pembahasan yang disusun
macam mahar, dan
oleh penulis mengenai studi
hikmah pemberian
etnografis pada pemahaman
mahar.
masyarakat
adalah
skripsi
Bugis
di
Bulukumba perihal mahar
dan paenre’ .
2
Konsep Mahar
Membahas
Perbedaan skripsi tersebut
Dalam Counter
mengenai konsep
dengan skripsi yang penulis
Legal Draft
mahar dalam CLD
susun ialah bahwa skripsi
(CLD) Hukum
KHI yang berisi
yang penulis susun lebih
Islam) oleh
tentang syarat,
menekankan
Azwar Anas
bentuk, dan kadar
paenre’ dalam perspektif
mahar
dan
21
pada Tahun
mahar.
2011,
3
masyarakat
Bugis
di
Kabupaten Bulukumba.
Impelementasi
Membahas tentang
Perbedaan dengan skripsi
Pemberian
bagaimana
tersebut
Mahar Pada
perspektif hukum
bahwa skripsi ini fokus
susun
adalah
Masyarakat Suku Islam mengenai
kepada pandangan hukum
Bugis Dalam
mahar dalam suku
Islam
Perspektif
Bugis di Kelurahan
dalam suku Bugis yang
Hukum Islam,
Kalibaru, Jakarta
berada di daerah Kalibaru,
Studi Kasus di
Utara.
Jakarta Utara. sedangkan
terhadap
mahar
Kelurahan
skripsi yang akan penulis
Kalibaru
susun
Kecamatan
etnografis pada masyarakat
Cilincing,
Bugis
Jakarta Utara
tentang mahar dan paenre’
adalah
di
studi
Bulukumba
oleh Nurul
Hikmah pada
Tahun 2011.
H. Sitematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis
menyusun penulisan skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut;
22
a. Bab Kesatu, merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
manfaat dan tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, review studi
terdahulu, dan kerangka teori, beserta sistematika penulisan.
b. Bab Kedua, membahas mengenai eksistensi mahar dalam perkawinan:
meliputi pengertian mahar, dasar hukum mahar, syarat dan jenis-jenis mahar,
ketentuan mengenai bentuk dan kadar mahar, tujuan dan hikmah mahar:
antara akad muamalah atau nihlah serta halalnya istimta’’: sebab akad atau
mahar.
c. Bab Ketiga, membahas mengenai budaya masyarakat Bugis di Bulukumba
Sulawesi Selatan, yaitu potret kabupaten Bulukumba, sistem kemasyarakatan
dalam adat Bugis, prosesi perkawinan dalam adat Bugis, Islam dan budaya,
masuknya Islam di Sulawesi Selatan, mahar dalam perspektif budaya di
Indonesia.
d. Bab Keempat, membahas mengenai mahar dan paenre’: tinjauan etnografis
hukum Islam, meliputi mahar dan paenre’ dalam perspektif masyarakat Bugis
di Bulukumba, makna mahar dan paenre’ dalam sudut pandang masyarakat
Bugis di Bulukumba, serta harmonisasi mahar dan paenre’ dalam perspektif
masyarakat Bugis di Bulukumba dengan Islam yang berupa sebuah analisis
dari penulis.
e. Bab Kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran terkait
kajian yang dimaksud dari awal sampai akhir pembahasan beserta lampiranlampiran terkait.
23
BAB II
EKSISTENSI MAHAR DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian Mahar
Secara etimologi mahar berasal dari bahasa Arab merupakan kata benda yang
berbentuk mashdar (ً‫ )ٍٖسا‬yang berasal dari ‫( فعو‬kata kerja) ً‫ ٍٖسا‬-‫ ٌَٖس‬-‫ٍٖس‬,
sedangkan jika digunakan dalam sebuah kalimat seperti ‫( ٍٖسٓ اىَسأة‬dia (laki-laki)
memberikan mahar kepada perempuan) atau ً‫ جعو ىٖب ٍٖسا‬artinya (memberinya
mahar).1 Adapun ُ‫( اىَْٖس‬jamak: ٌ‫ (ٍُٖ٘ز‬bermakna ُ‫ اىّصِدَاق‬yang berarti maskawin.2
Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada
calon isteri sebagai bentuk ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa
cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya, atau suatu pemberian yang
diwajibkan bagi calon suami kepada calon isterinya, baik dalam bentuk benda
maupun jasa (memerdekakan, mengajar dan sebagainya).3
Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pemberian wajib
berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan
ketika dilangsungkan akad nikah.4 Mahar juga disebut sebagai harta yang wajib
dalam akad nikah atas isteri dalam menerima beberapa manfaat budhu‟
1
Ibrahim Madzkur, al-Mu’jam al-Wasiith, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilid ke-2, h. 889.
2
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 1363
3
4
Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h, 84.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 696
24
(mempergauli). Mahar memiliki beberapa nama, yaitu; ,‫ اىفسٌضت‬,‫ اىّْحيت‬,‫اىّصداق‬
‫اىَٖس‬, ‫اىعقس‬, ‫ األجس‬.5 Makna dasar shadaq yaitu memberikan derma (dengan sesuatu),
nihlah artinya pemberian, fariidhah artinya memberikan.6
Namun menurut Peunoh Daly mahar adalah hak isteri yang diterima dari
suaminya; pihak suami memberikannya dengan suka rela tanpa mengharap
imbalan sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas
kesejahteraan
keluarganya.
Mahar
bukanlah
imbalan
daripada
budhu‟
(mempergauli) isteri karena kenikmatan dan kesenangan bergaul itu dirasakan
oleh kedua belah pihak.7
Mahar atau shadaq dalam hukum perkawinan Islam merupakan kewajiban
yang harus dibayarkan oleh seorang pengantin laki-laki kepada pengantin
perempuan.
8
Mahar adalah satu diantara hak isteri yang didasarkan atas
Kitabullah, Sunnah Rasul, dan Ijma’ kaum muslimin. 9 Mahar dalam bahasa
Indonesia dikenal atau disebut juga dengan maskawin. Maskawin atau mahar
menurut Abd. Shomad adalah: 10
5
Ibnu Humam, Syarah Fath al-Qadiir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III, h. 316
6
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 121
7
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 219
8
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI
Press, 1986), h. 68
9
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B. dkk.,
(Jakarta: Lentera, 1999), h. 364.
10
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana Grup, 2010), h. 299
25
a. Pemberian seorang suami kepada isterinya sebelum, sesudah atau pada
waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib.
b. Sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam
rangka akad perkawinan antara keduannya, sebagai lambang kecintaan
calon suami terhadap calon isteri serta kesediaan calon isteri untuk
menjadi isterinya.
Adapun mahar menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 1 huruf d
disebutkan; “Pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
B. Dasar Hukum Mahar
Hukum pemberian mahar adalah wajib. 11 Adapun dasar hukum kewajiban
mengenai mahar terdapat pada QS. An-Nisa‟ (4): 4 ;


    





   
Artinya: ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya.”12
11
12
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam. h. 68
Menurut Abu Ja‟far bin Jarir At-Thabari makna (‫ِ ّحيت‬
ّ ٖ‫ )ٗات٘ اىّْسبء صدقبت‬adalah bahwa Allah
Ta‟ala mengawali ayat ini dengan khitab yang ditujukan kepada orang-orang yang menikahi kaum
perempuan, kemudian Allah melarang mereka berbuat zalim dan aniaya terhadap kaum
perempuan, serta memberitahukan kepada mereka jalan yang dapat menyelamatkan mereka dari
kezaliman terhadap perempuan. Makna firman Allah ini adalah “berikanlah mahar kepada kaum
perempuan yang kalian nikahi sebagai sebuah pemberian wajib”. Perintah (memberikan mahar
26
Dalam QS. An-Nisa‟ (4): 24 juga disebutkan ;
    



    



...    
Artinya: “Dihalalkan bagimu (mengawini) perempuan-perempuan dengan
hartamu (mahar), serta beristeri dengan dia, bukan berbuat jahat. Jika
kamu telah menikmati (bersetubuh) dengan perempuan itu, hendaklah
kamu memberikan kepadanya mas kawin (ujur, faridhah) yang telah
kamu tetapkan.”
Berangkat dari ayat-ayat ini para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu
hukumnya wajib berdasarkan al-Qur‟an, sunnah dan ijma‟.13 Hadis Nabi Saw. ;
‫ فرٕب ثٌّ زجع‬.‫ اذٕب اىى إيل فبّظس ٕو تجد شٍئب‬: ‫ فقبه‬,‫ الٗاهلل ٌب زس٘ه اهلل‬: ‫ٕو عْدك ٍِ شًء ؟ قبه‬
‫ ال ٗ اهلل ٌب‬:‫ فرٕب ثٌّ زجع فقبه‬.‫ اّظس ٗى٘ خبتَب ٍِ حدٌد‬:‫ فقبه زس٘ه اهلل‬.‫ ال ٗاهلل ٍب ٗجدث شٍئب‬:‫فقبه‬
ٌ‫ ٍب تّصْع ببشازك اُ ىبستٔ ى‬:‫ فقبه زس٘ه اهلل‬.ٔ‫زس٘ه اهلل ٗال خبتَب ٍِ حدٌد ٗىنِ ٕرا اشازي فيٖب ّّصف‬
ٓ‫ فجيس اىسجو حتّى اذا طبه ٍجيسٔ قبً فسا‬.‫ٌنٍْنِ عيٍٖب ٍْٔ شًء ٗاُ ىبستٔ ىٌ ٌنِ عيٍٖب ٍْٔ شًء‬
-‫ ٍعً س٘زة مرا ٗمرا – عدّدٕب‬: ‫ ٍبذا ٍعل ٍِ اىقساُ ؟ قبه‬:‫ فيَّب جبء قبه‬, ً‫زس٘ه اهلل ٍ٘اىٍبً فبٍس بٔ فدع‬
.ُ‫ فقد ٍينتنٖب بَب ٍعل ٍِ اىقسا‬,‫ اذٕب‬:‫ قو‬.ٌ‫ ّع‬:‫ تقسؤِّٕ عِ ظٖس قيبل ؟ قبه‬:‫فقبه‬
Artiya: “Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar ? tidak, demi Allah
wahai Rasulullah, jawabnya. “Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin
engkau mendapatkan sesuatu” pinta Rasulullah. Laki-laki itu pun pergi,
tak berapa lama ia pun kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan
sesuatu pun” ujarnya. Rasulullah bersabda: “Carilah walaupun hanya
berupa cincin dari besi”. Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa
lama ia kembali, “Demi Allah wahai Rasulullah, saya tidak mendapatkan
dalam ayat ini) merupakan perintah Allah yang ditujukan kepada para suami kaum perempuan
yang telah menggauli mereka, sekaligus telah mennetukan mahar untuk mereka. Perintah ini
adalah perintah untuk memberikan mahar kepada mereka, bukan karena wanita yang dicerai
sebelum digauli dan sebelum ditentukan maharnya dalam akad nikah. Mengenai makna ayat ( ُ‫فب‬
...ٌ‫طبِ ىن‬.) Abu Ja‟far berkata: maknanya adalah “kemudian jika ister-isterimu menyerahkan
kepadamu wahai kaum lelaki, sebagian dari mahar mereka, karena kebaikan hati mereka atas hal
itu, maka makanlah (ambillah) pmberian itu (sebagai makanan) yang sedap dan baik akibatnya.
Lihat Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, penerjemah Akhmad
Afandi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 411-415.
13
h. 252
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut, Dar al-Fikr, 1986), Juz VII,
27
walau cincin dari besi, tapi ini sarung saya, setengahnya untuk wanita
ini”. “Apa yang dapat kau perbuat dengan sarungmu ? jika kau
memakainya maka wanita ini tidak mendapat sarung itu, dan jika dia
memakainya berarti kamu tidak memakai sarung itu.” Laki-laki itu pun
duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah
melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk
memanggil laki-laki tersebut, ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah,
beliau bertanya: “Apa yang kau hafal dari Al-Qur’an ?” “Saya hafal
surat ini dan sura itu” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya
dalam hatimu ?” tegas Rasulullah. “Iya” jawabnya. “Bila demikian,
baiklah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanta ini dengan
mahar berupa surah-surah Al-Qur’an yang engkau hafal.” Kata
Rasulullah. (HR. Al-Bukhari No. 5087).14
C. Syarat dan Jenis-jenis Mahar
Menurut M.A. Tihami dan Sohari Fahrani, mahar yang diberikan kepada
calon isteri harus memenuhi syarat-syarat berikut: 15
1. Harta berharga, tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun
tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tapi
bernilai tetap sah disebut mahar.
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat, tidak sah mahar dengan
memberikan khamr, babi atau darah, karena semua itu haram.
3. Bukan barang ghasab, artinya mengambil barang milik orang lain tanpa
seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat
mengembalikannya nanti. Jika memberikan mahar dengan barang hasil
ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah, dan bukan barang yang tidak
jelas keadaanya, tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak
14
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Bait alAfkar ad-Dauliyyah, 1998), Juz II, h. 251
15
M. A. Tihami dan Sohari Fahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 39-40
28
jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.
Kemudian berdasarkan jenisnya, mahar dapat dibagi kedalam dua kategori,
yaitu;
a. Mahar musamma, adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki
dan perawan yang disebutkan dalam redaksi akad.16
b. Mahar mitsil, menurut Hanafi, mahar mitsil ditetapkan berdasarkan
keadaan wanita yang serupa dari pihak suku ayah, bukan suku ibunya.
Tetapi menurut Maliki, mahar diterapkan berdasarkan kedaan wanita
tersebut
baik
fisik
maupun
moralnya,
sedangkan
Syafi‟I
menganalogikannya dengan isteri dari anggota keluarga, yaitu isteri
saudara dan paman, kemudian dengan saudara perempuan, dan seterusnya.
Bagi
Hambali,
hakim
harus menentukan
mahar mitsil
dengan
menganalogikannya pada wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita
tersebut, misalnya ibu dan bibi. Sementara itu Imamiyah mengatakan
bahwa, mahar mitsil tidak mempunyai ketentuan dalam syara‟. Untuk itu,
nilainya ditentukan oleh „urf yang paham ihwal wanita, baik dalam hal
nasab maupun kedudukan, juga mengetahui keadaan yang dapat
menambah atau berkurangnya mahar, dengan syarat tidak melebihi mahar
yang berlaku menurut ketentuan sunnah, yaitu senilai 500 dirham.17
16
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muhammad dan Idrus Al-Kaff., h. 364
17
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muhammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 368.
29
Jenis barang yang dijadikan mahar, wujud dari sesuatu yang dapat dijadikan
mahar dapat berupa;18
a. Barang berharga baik berupa barang bergerak atau tetap;
b. Pekerjaan yang dilakukan oleh calon suami untuk calon isteri;
c. Manfaat yang dapat nilai dengan uang.
Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa,
harta perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Disyaratkan
bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya seratus lire, atau
secara global semisal sepotong emas, atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa
diketahui dari berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah
mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki, akad tetap sah, tetapi
maharnya batal. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa, akadnya fasid (tidak sah)
dan di-fasakh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila telah dicampuri, akad
dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil.19
Syarat lain bagi mahar adalah hendaknya yang dijadikan mahar itu barang
yang halal dan dinilai berharga dalam syariat Islam. Jadi, kalau mahar musamma
itu berupa khamr, babi atau bangkai dan benda-benda lain yang tidak bisa dimiliki
secara sah, maka Maliki mengatakan bahwa bila belu terjadi percampuran,
akadnya fasid. Tetapi bila telah terjadi percampuran, maka akad dinyatakan sah
18
19
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 299
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366
30
dan si isteri berhak atas mahar mitsil. Sementara itu, Syafi‟I, Hanafi, dan Hambali
dan mayoritas ulama‟ mazhab Imamiyah berpendapat bahwa, akad tetap sah dan
isteri berhak atas mahar mitsil. Sebagian ulama mazhab Imamiyah member
batasan bagi hak isteri atas mahar mitsil denga adanya percampuran, sedangkan
sebagian yang lain, sependapat dengan empat mazhab, memutakkannya (tidak
memberi batasan).20
Jika mahar tersebut berupa barang rampasan, misalnya suami memberi mahar
berupa perabot tumah tangga milik ayahnya atau milik orang lain, maka Maliki
berpendapat bahwa, kalau perabot itu barang yang dikenal oleh mereka berdua,
sedangkan kedua-duanya dewasa, maka akadnya dinyatakan fasid dan difasakh
sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah dicampuri, akad dinyatakan sah
dengan menggunakan mahar mitsil. Syafi‟I dan Hambali menyatakan bahwa akad
tetap sah dan isteri berhak atas mahar mitsil.21
D. Ketentuan Mengenai Bentuk dan Kadar Mahar
Mahar adalah pemberian sesuatu dari pihak pria sesuai dengan permintaan
perempuan dengan batas-batas yang ma’ruf. Besarnya mahar tidak dibatasi. Islam
memberikan prinsip pokok yaitu “secara ma’ruf”. Artinya dalam batas yang wajar
sesuai kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan oleh isteri.22
Syariat tidak menetapkan batasan minimal, tidak pula maksimal atas mahar
20
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366, h. 366
21
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366-367
22
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 78-79
31
(yang harus diberikan kepada pihak perempuan). Sebab, manusia memiliki
keberagaman dalam tingkat kekayaan dan kemiskinan. Manusia pun berbeda-beda
dari segi kondisi sulit dan lapang, serta masing-masing komunitas memiliki
kebiasaan dan tradisi yang berbeda-beda. Dari itu, syariat tidak memberi batasan
tertentu atas mahar, agar masing-masing memberi sesuai dengan kadar
kemampuannya dan sesuai dengan kondisi serta kebiasaan komunitasnya. Dari
semua teks syariat yang ada mensinyalir bahwasanya tidak ada syariat terkait jenis
mahar selain berupa sesuatu yang memiliki nilai tanpa memandang sedikit
maupun banyak. Dengan demikian, mahar boleh hanya berupa cincin dari besi,
atau berupa semangkuk korma, atau berupa jasa pengajaran kitab Allah, dan atau
semacamnya, jika kedua belah pihak yang melaksanakan akad nikah saling
meridhainya.23
Adapun benda atau uang pemberian itu adalah milik perempuan. Jika
dikehendaki olehnya atau atas inisiatif dari perempuan itu maka bolehlah suami
sekedar ikut memakan dan ikut hidup dari mahar yang ia berikan, yang telah
menjadi milik isteri. 24 Mengenai ketentuan mahar, jumlahnya tergantung dari
kemampuan calon suami atas persetujuan isteri, namun hendaklah tidak
berlebihan.25
Jabir ra. menuturkan, Rasulullah bersabda; “Seandainya seorang pria
memberi makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang wanita,
23
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath li I‟lam al-„Arabi, 1999), h. 101-102
24
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, h. 68
25
Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Bogor: Cahaya Islam, 2006), h. 448.
32
sesungguhnya wanita itu halal baginya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)26. Para
ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut
karena adanya firman Allah QS. An-Nisa‟ (4): 20 yang berbunyi ;
   



   
  
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun.”27
Tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Syafi‟I, Hambali
dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar. Segala
sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar
sekalipun hanya satu qirsy. Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa jumlah
minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad dilakukan dengan mahar
kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar mahar sepuluh dirham.
Maliki mengatakan, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad
dilakukan dengan mahar kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi
percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi bila belum
mencampuri, dia boleh memilih antara tiga dirham (dengan melanjutkan
26
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan
Abu Dawud, Penerjemah Muhammad Ghazali dkk., (Jakarta: Almahira, 2013), Cet. I, h. 434
27
Dari ayat ini dipahami bahwa tidak ada batas maksimal dari maskawin. Umar ibn alKhattab pernah mengumumkan pembatasan maskawin tidak boleh lebih dari empat puluh auqiyah
perak, tetapi seorang wanita menegurnya dengan berkata, “Engkau tidak boleh membatasinya,
karena Allah berfirman: Kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka qinthar
(harta yang banyak)”. Umar ra. membatalkan niatnyaa sambil berkata, “seseorang wanita berucap
benar dan seorang pria keliru”. Lihat dalam M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. II, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 366-367
33
perkawinan) atau fasakh akad, lalu mebayar separuh mahar musamma.28
Dalam hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar tetapi didasarkan pada
kemampuan masing-masing orang keadaan dan tradisi keluarga. Dengan
ketentuan bahwa jumlah mahar merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang
akan melakukan akad nikah. Dalam syariat Islam hanya ditetapkan bahwa
maskawin harus berbentuk dan bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Walau tidak
ada batas minimal dan maksimal namun hendaknya berdasarkan pada
kesanggupan dan kemampuan suami. Islam tidak menyukai mahar yang
berlebihan,29 Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
ٗ ‫ خٍس اىّْسبء احسِّٖ ٗجًٕ٘ب‬: ٌّ‫ٗ عِ ابِ عبّبس زضً اهلل عْٔ قبه زس٘ه اهلل صيّى اهلل عئٍ ٗ سي‬
30
)ً‫ازخّصِّٖ ٍٖ٘زًا (زٗآ اىبٍٖق‬
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw: sebaik-baiknya
wanita (isteri) adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya.
(HR. Al-Baihaqi).
Berkaitan dengan pembayaran mahar terdapat beragam pendapat, Syafi‟I,
Malik, dan Dawud berpendapat suami tidak wajib memberikan mahar seluruhnya,
kecuali jika telah diawali dengan persetubuhan, dan jika masih menyendiri (belum
melakukan persetubuhan), maka hanya wajib membayar setengahnya. 31 Dalam
QS. Al-Baqarah (2): 237 disebutkan;





28
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B. dkk., h.
364-365
29
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 301
30
Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz
III, h. 13
31
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 305.
34
   
     
   
    
    
    
    
Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan
oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih
dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu
kerjakan.”
Jika jumlah maharnya belum ditentukan dan isteri belum pernah dicampuri,
maka isteri hanya berhak mendapatkan pemberian menurut keadaan suaminya.
Pemberian ini sebagai ganti rugi dari apa yang diberikan oleh mantan isterinya,
hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 236;32
   

    










   
   
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan
suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.”
E. Tujuan dan Hikmah Mahar: Antara Akad Muamalah dan Nihlah
Sehubungan dengan aspek sosial perkawinan, maka hal itu didasarkan pada
anggapan bahwa orang yang melangsungkan perkawinan berarti telah dewasa dan
32
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 305.
35
berani hidup mandiri, karena itu kedudukannya terhormat, kedudukannya dalam
masyarakat dihargai sepenuhnya. Mahar merupakan lambang penghalalan
hubungan suami isteri dan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap
mempelai wanita, yang kemudian menjadi isterinya. Maka dari itu, tujuan dan
hikmah mahar merupakan jalan yang menjdikan isteri berhati senang dan ridho
menerima kekuasaan suaminya kepada isterinya, selain itu mahar juga
bertujuan;33
a. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan
cinta mencintai.
b. Sebagai usaha memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu
memberikan hak untuk memegang urusannya.
Salah satu usaha Islam ialah memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita,
yaitu memberikannya hak untuk memegang urusannya. Di zaman jahiliyah hak
wanita itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dapat semena-mena
dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus
hartanya dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu itu,
kepadanya hak mahar dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar
kepadanya bukan kepada ayahnya. Mahar yang telah dibayarkan suami kepada
isterinya menjadi hak milik isterinya, oleh karena itu isteri berhak membelanjakan,
menghibahkan dan sebagainya tanpa harus izin dari suami atau walinya.34
Perihal jenis-jenis maskawin ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki, dan bisa
33
H.E. Hassan Saleh dkk, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2008), h. 299-301
34
H.E. Hassan Saleh dkk, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, h. 309
36
dijadikan sebagai alat kompensasi atau nilai tukar. Perihal sifat-sifat maskawin,
para ulama sepakat sah hukumnya pernikahan berdasarkan penukaran dengan
suatu barang tertentu yang dikenal sifatnya, yakni yang tertentu jenis, besar, dan
nilainya. Kemudian mereka berselisih pendapat tantang barang yang tidak
diketahui cirinya dan tidak ditentukan jenisnya. Contohnya seperti seseorang
mengatakan, “Akan aku kawinkan kamu dengannya dengan maskawin seorang
budak”, tanpa menjelaskan ciri-cirinya hingga dapat diketahui berapa harga atau
nilainya.35
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, membolehkannya. Sementara Imam
Syafi‟i melarangnya. Jika terjadi pernikahan seperti itu, menurut Imam Malik,
mempelai wanita berhak memperolah maskawin seperti yang disebutkan untuknya.
Tetapi menurut Imam Abu Hanifah, mempelai pria dipaksa untuk mengganti
nilainya. 36 Silang pendapat ini karena persoalan, apakah pernikahan seperti itu
dapat disamakan dengan jual beli yang harus kikir, atau tidak sampai sejauh itu
35
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah Abdul Rasyid
Shiddiq, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2013), h. 84-87
36
Kata Imam Syafi‟i dan Ahmad, maskawin harus jelas. Abu Bakar, salah seorang ulama dari mazhab
Hanbali setuju pada pendapat ini. Sementara menurut al-Qadhi yang juga dari mazhab Hanbali, maskawin
boleh tidak jelas asalkan tidak kurang dari yang standar atau mahar mitsil. Imam Abu Hanifah setuju pada
pendapat ini. Lihat al-Mughni VI/261. Dan lihat ar-raudhah VII/268. Ad-Dardiri dalam kitabnya Syarah
Aqrab al-Masalik menuturkan beberapa masalah terkait yang terkait dengan sesuatu yang mungkin ditentukan
dan yang tidak mungkin. Katanya, tidak sah maskawin dengan sesuatu yang mengandung unsur gharar atau
penipuan. Contohnya seperti maskawin dengan budaknya fulan atau dengan janin atau dengan buah yang
belum tampak kepatutannya. Kalau buah tersebut langsung dipetik pada waktu itu juga, maka ditoleransi,
meskipun akhirnya tidak sah dijual. Juga tidak boleh maskawin dengan sesuatu yang tidak jelas, seperti
misalnya dengan baju atau barang apa saja yang tidak dijelaskan ciri-cirinya, atau dengan beberapa dirham
yang tidak dijelaskan nominalnya, atau dengan salah seorang budak miliknya yang ia pilihkan sendiri, bukan
dipilih oleh wanita yang hendak dinikahinya. Sebab mungkin yang di pilihkan ialah budak yang nilainya
paling rendah atau paling tinggi. Tapi kalau memilih diantara budak itu adalah wanita yang hendak
dinikahinya, hukumnya boleh. Lihat asy-Syarh ash-Shaghir II/420. Kata imam Abu Hanifah, begitu pula tidak
boleh pernikahan dengan menggunakan maskawin sepotong baju atau sebuah rumah atau seekor ternak secara
mutlak, karena tidak jelas. Jadi, wanita berhak mendapatkan mahar mitsil, berapapun nilai nominalnya. Atau
dengan maskawin seorang budak laki-laki maupun perempuan, seekor kuda, atau seekor unta, atau seekor
sapi, dan sebagainya dari jenis yang sudah jelas tetapi berbeda sifat dan nilainya. Maka sang suami boleh
memilih; apakah ia akan memberikan dari yang tengah-tengah, atau ia memberikan nilainya. Dan isteri harus
menerimanya. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah Abd. Rashad S., h. 86)
37
namun memberi sesuatu yang lebih tinggi dari itu, sebagai realisasi
kedermawanan ?. Ulama-ulama yang menyamakannya dengan jenis jual beli yang
pertama, mereka mengatakan kalau jual beli suatu barang yang tidak diketahui
ciri-cirinya dilarang, maka begitu pula dengan pernikahan seperti itu. Dan ulamaulama yang menyamakannya dengan jenis yang kedua, mereka mengatakan
bahwa pernikahan seperti itu boleh.37
Pangkal silang pendapat soal penentuan maskawin ini ada dua. Pertama,
ketidakjelasan apakah fungsi akad nikah sebagai sarana tukar menukar
berdasarkan kerelaan menerima ganti, baik sedikit atau banyak, sebagaimana yang
berlaku dalam akad jual beli, atau sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya.
Sebab dari satu aspek, berkat adanya maskawin seorang lelaki dapat memiliki
manfaat-manfaat pada seorang wanita untuk selamanya, sehingga dengan begitu
ini mirip dengan kompensasi. Dari dari aspek yang lain, adanya larangan
mengadakan persetujuan untuk menafikan maskawin, sehingga dengan begitu ini
mirip dengan ibadah.38
F. Kehalalan Istimta’: Sebab Akad atau Mahar
Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab utama dihalalkannya wath’ (dengan
akad ataukah dengan mahar), maka dari itu perlu kita tinjau kembali definisi
pernikahan menurut para mujtahid, sebagai berikut;
1. Nikah berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah
hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syariat dikenal dengan
37
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 86
38
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 87
38
akad nikah. Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang
mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan
berhubungan intim, menyentuh, dan sebagainya, jika perempuan tersebut
bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga. Bisa juga
diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh
syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki
untuk bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang
perempuan bersenang-senang dengan lelaki. Maksudnya, pengaruh akad
ini bagi lelaki adalah memberi hak kepemilikan khusus, maka lelaki lain
tidak boleh memilikinya. Sedangkan pengaruhnya terhadap perempuan
adalah sekedar menghalalkan bukan memiliki hak secara khusus. Lebih
gamblangnya, syariat melarang poliandri dan membolehkan poligami.39
2. Para ulama hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad
yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja.
Artinya, kehalalan seorang lelaki bersenang-senang dengan perempuan
yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan kesengajaan.
Sebagian ulama hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah akad yang
dilakukan untuk memberikan hak milik segala manfaat dari kemaluan.40
3. Adapun Muhammad Abu Zahrah berpendapat, bahwa sebagian ulama
mengartikan
nikah
dengan
sebuah
39
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, h. 29
40
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, h. 30
akad
yang
mengakibatkan
39
dihalalkannya istimta‟.41
Jadi halalnya wath‟ disebabkan oleh telah terjadinya akad pernikahan, namun
berbeda dengan Imam Abu Hanifah (dalam salah satu pendapatnya) berpendapat
bahwa mahar adalah yang menjadikan halal menikmati kemaluan wanita.42
41
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, (Kairo: Daar al-Fikr al-„Arabi, t.th.),
42
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 81
h. 18
39
BAB III
BUDAYA MASYARAKAT BUGIS
DI BULUKUMBA SULAWESI SELATAN
A. Potret Kabupaten Bulukumba
Kabupaten Bulukumba terletak di bagian selatan jazirah Sulawesi dan
berjarak kurang lebih 153 kilometer dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan,
terletak antara 05020’ - 05040’ lintang selatan dan 119058’-120028’ bujur timur.
Berbatasan dengan Kabupaten Sinjai di sebelah utara, sebelah timur dengan Teluk
Bone, sebelah selatan dengan Laut Flores, dan sebelah barat dengan Kabupaten
Bantaeng. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba sekitar 1.154,7 km2 atau sekitar
2,5 persen dari luas wilayah Sulawesi Selatan yang meliputi sepuluh kecamatan
yang terbagi kedalam 27 kelurahan dan 109 desa. Wilayah Kabupaten Bulukumba
hampir 95,4 persen pada ketinggian 0 sampai dengan 1000 meter diatas
permukaan laut (dpl) dengan tingkat kemiringan tanah umumnya 0-400. Terdapat
sekitar 32 aliran sungai yang dapat mengairi
sawah seluas 23.365 hektar,
sehingga merupakan daerah potensi pertanian. Curah hujannya rata-rata 152 mm
perbulan dan rata-rata hari hujan 10 hari per bulan.1
Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya
Undang–Undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah
Tingkat II di Sulawesi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang Lambang Daerah. Akhirnya setelah
1
Badan Pusat Statistik Bulukumba, Statistik Kabupaten Bulukumba 2014, (Bulukumba: BPS
Bulukumba, 2014), h. 3
40
dilakukan seminar sehari pada tanggal 28 Maret 1994 dengan narasumber Prof.
Dr. H. Ahmad Mattulada (ahli sejarah dan budaya), maka ditetapkanlah hari jadi
Kabupaten Bulukumba, yaitu tanggal 4 Februari 1960 melalui Peraturan Daerah
Nomor 13 Tahun 1994. Secara yuridis formal Kabupaten Bulukumba resmi
menjadi daerah tingkat II setelah ditetapkan Lambang Daerah Kabupaten
Bulukumba oleh DPRD Kabupaten Bulukumba pada tanggal 4 Februari 1960 dan
selanjutnya dilakukan pelantikan bupati pertama, yaitu Andi Patarai pada tanggal
12 Februari 1960.2
Paradigma kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan memberikan nuansa
moralitas dalam sistem pemerintahan yang pada tatanan tertentu menjadi etika
bagi struktur kehidupan masyarakat melalui satu prinsip "Mali’ siparappe, Tallang
sipahua."3 Ungkapan yang mencerminkan perpaduan dari dua dialek bahasa
Bugis-Makassar
Bulukumba
tersebut
untuk
merupakan
mengemban
gambaran
amanat
sikap
persatuan
batin
didalam
masyarakat
mewujudkan
keselamatan bersama demi terciptanya tujuan pembangunan lahir batin, material
spiritual, dunia akhirat. Nuansa moralitas ini pula yang mendasari lahirnya slogan
pembangunan "Bulukumba Berlayar" yang mulai disosialisasikan pada bulan
September 1994 dan disepakati penggunaannya pada tahun 1996. Konsepsi
"Berlayar" sebagai moral pembangunan lahir batin mengandung filosofi yang
2
3
Artikel diakses pada 04 Mei 2014 Pukul 22.00 WIB dari http://www.bulukumbakab.go.id/
Mali berarti hanyut atau tenggelam, siparappe’ berarti saling tolong, kalimat tersebut
merupakan sebuah ungkapan dalam Bahasa Bugis yang berarti “saling tolong menolong jika ada
yang terkena musibah”, sedangkan dalam dialek Bahasa Makassar kalimat tersebut dikenal dengan
ungkapan tallang (tenggelam atau hanyut) sipahua (saling tolong atau dibantu untuk muncul ke
permukaan).
41
cukup dalam serta memiliki kaitan kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan
dengan masyarakat Bulukumba. "Berlayar" merupakan sebuah akronim dari
kalimat kausalitas yang berbunyi "Bersih Lingkungan, Alam Yang Ramah".
Filosofi yang terkandung dalam slogan tersebut dilihat dari tiga sisi pijakan, yaitu
sejarah, kebudayaan dan keagamaan. Dari sisi budaya, Bulukumba telah tampil
menjadi sebuah "legenda modern" dalam kancah percaturan kebudayaan nasional,
melalui industri budaya dalam bentuk perahu, baik itu perahu jenis phinisi,
padewakkang, lambo, pa’jala, maupun jenis lepa-lepa yang telah berhasil
mencuatkan nama Bulukumba di dunia internasional.4
B. Sistem Kemasyarakatan Dalam Masyarakat Bugis
Buku La Towa yakni buku yang merupakan kumpulan sabda-sabda dan
petuah-petuah atau nasehat-nasehat para raja dan orang-orang cerdik pandai pada
zaman dahulu kala, sering dijadikan pedoman hidup oleh orang-orang BugisMakassar. Di dalam buku ini antara lain ditegaskan bahwa kemakmuran dan
kekayaan suatu masyarakat atau sebuah negeri ditentukan oleh empat hal, yakni:5
1. Ade’ (adat atau kebiasaan dahulu)
2. Undang-undang
3. Bicara (Peradilan)
4. Wari’ (yakni pembagian tingkatan di dalam masyarakat), diantaranya:
a. Anak Karaeng, artinya anak raja-raja.
b. Tumaradeka, artinya orang merdeka, yaitu masyarakat pada umumnya.
4
5
Artikel diakses pada 04 Mei 2014 Pukul 22.00 WIB dari http://www.bulukumbakab.go.id/
Sagimun M.D., Sultan Hasanuddin Menentang V.O.C., (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1985), h. 22
42
c. Ata’, artinya budak atau hamba sahaya.
5. Setelah agama Islam masuk serta berkemabang di Sulawesi Selatan
ditambah dengan satu hal lagi, yakni syara’ (undang-undang Islam).
H.J. Friederecy pernah menulis sebuah disertasi sebagaimana dikutip oleh
Mattulada, ia menggambarkan pelapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman
sebelum pemerintah kolonial Belanda menguasai langsung daerah Sulawesi
Selatan. Salah satu sumber yang dipakai untuk melakukan rekonstruksinya adalah
buku kesusasteraan Bugis-Makassar asli La Galigo. Menurut Friedercy dulu ada
tiga lapisan pokok, ialah: Anakarung (ana’ karaeng dalam bahasa Makassar) ialah
lapisan kaum kerabat raja-raja, To-maradeka adalah lapisan orang merdeka yang
merupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan, dan Ata’ ialah lapisan
orang budak, ialah orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak
dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat.6
Usaha untuk mencari latar belakang terjadinya pelapisan masyarakat itu,
Friederecy berpedoman kepada peranan tokoh-tokoh yang disebut dalam La
Galigo dan berkesimpulan bahwa masyarakat Bugis Makassar pada mulanya
terdiri dari dua lapisan, dan lapisan ata’ merupakan suatu perkembangan
kemudian yang terjadi dalam zaman perkembangan dari organisasi-organisasi
pribumi di Sulawesi Selatan. Pada permulaan abad ke-20, lapisan ata’ mulai
hilang, karena larangan dari pemerintah kolonial dan desakan dari agama.7
6
Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979), h. 269
7
Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, h. 269
43
Sesudah perang dunia ke-2, arti dari perbedaan antara lapisan anak karung
dan to maradeka dalam kehidupan masyarakat juga mulai berkurang dengan
cepat. Adapun gelar-gelar ana karung seperti Karaenta, Puatta, Andi dan Daeng,
walaupun memang masih dipakai, tidak lagi mempunyai arti seperti dulu dan
sekarang malah sering dengan sengaja diperkecilkan artinya dalam proses
perkembangan sosialisasi dan dalam demokratisasi masyarakat Indonesia.
Stratifikasi sosial lama sekarang sering dianggap sebagai hambatan untuk
kemajuan; namun suatu stratifikasi sosial baru yang condong untuk berkembang
atas dasar tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian, atau
dasar pendidikan sekolahan, belum juga berkembang dan mencapai wujud yang
mantap. Suatu hal yang nyata adalah bahwa sikap ketaatan lahir terhadap
penguasa itu, masih ada sebagai akibat suatu rasa takut dan curiga-curiga terhadap
tindakan kekerasan militer yang telah diderita oleh rakyat Sulawesi Selatan sejak
zaman Jepang
sampai sekarang. Yang perlu
ditumbuhkan secepat-cepatnya
adalah suatu sikap ketaatan, baik lahir maupun batin, yang bersumber dari
kepercayaan kepada penguasa, yang sejauh mungkin menghindarkan tindakantindakan kekerasan dan tekanan kepada rakyat.8
C. Prosesi Perkawinan Dalam Adat Istiadat Bugis
Perkawinan dalam pandangan masyarakat adat, bahwa perkawinan itu
bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga serta
kekerabatan yang rukun dan damai. Dikarenakan nilai-nilai yang hidup dalam
8
Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, h. 270
44
masyarakat adat yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut serta menyangkut
terhadap kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan dalam masyarakat,
maka proses pelaksanaan perkawinan harus diatur dengan tata tertib adat agar
dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang
akhirnya akan menjatuhkan martabat, kehormatan keluarga dan kerabat yang
bersangkutan.9 Menurut Van Dijk sebagaimana dikutip oleh Tolib Setiady,
perkawinan menurut hukum adat sangat bersangkutan dengan urusan keluarga,
masyarakat, martabat dan pribadi. Berbeda dengan perkawinan masyarakat Barat
(Eropa) modern bahwa perkawinan hanya merupakan urusan mereka yang akan
kawin saja.10
Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala “saling mengambil satu
sama lain”. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik. Walaupun mereka berasal
dari status sosial berbeda, setelah menjadi suami-istri mereka merupakan mitra.
Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata, akan
tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah
memiliki hubungan sebelumnya untuk mempereratnya (ma’pasideppe’ mabelae
atau mendekatkan yang sudah jauh). Hal ini juga sering ditemukan dua sahabat
atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan
anak mereka sejak kecil.11
9
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung:
Penerbit Alfabeta, 2013), h. 225
10
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan, h. 222
11
Christian Pelras, The Bugis, Penerjemah Rahman Abu dkk.. (Jakarta: Nalar, 2006), h. 180
45
Perkawinan (mappabotting) bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu
yang sangat sakral dan merupakan simbol status sosial yang dihargai. Diiringi
aturan adat serta agama sehingga membentuk rangkaian upacara yang unik, penuh
tata krama, dan sopan santun serta saling menghargai satu sama lain. Dalam
pelaksanaannya terdapat beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:
1. Makkapese’-kapese’ dan Mattiro
Makkapese’-kapese’ maksudnya ialah tahap penjajakan, tahap dimana
perwakilan dari kelurga besar pihak laki-laki mulai menjajaki (mencari tahu)
perempuan mana yang akan disandingkan dengan calon mempelai laki-laki,
lalu dilanjutkan dengan mattiro dimana pihak keluarga juga akan mencari
tahu tentang calon pengantin perempuan yang akan dilamar, apakah ia
sempurna secara fisik atau memiliki kekurangan tertentu.
Setelah itu bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki
diteliti secara saksama untuk mengetahui status kebangsawanan mereka
sesuai atau tidak. Jangan sampai tingkat pelamar lebih rendah dari tingkat
perempuan yang akan dilamar.12
2. Ma’duta
Setelah kunjungan resmi pertama untuk mengajukan pertanyaan secara
tidak langsung dan halus, apabila keluarga perempuan menyambut baik niat
kunjungan pertama dari pihak laki-laki, maka kedua pihak menentukan hari
untuk mengajukan lamaran (ma’duta) secara resmi. Selama proses pelamaran
12
Ali Akbarul Falah, “Pandangan Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Mattunda Wenni
Pammulang Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba
Sulawesi Selatan, (Skripsi S1 Fakultas Syariah, UIN Malang, 2009), h. 55
46
berlangsung, garis keturunan, status, kekerabatan, dan kedua calon mempelai
diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompa dan jumlah uang antaran (dui’
menre’) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya pesta
pernikanan pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai
perempuan dan keluarganya. Setelah semua persyaratan ini disepakati,
ditentukan
hari
pertemuan
guna
mengukuhkan
(ma’pasiarekkeng)
kesepakatan tersebut.13
3. Mapettu Ada’
Mapettu ada’ ialah memutuskan dan meresmikan segala hasil pembicaraan
yang diambil pada waktu pelamaran dilakukan, dalam bahasa Bugis
dinamakan “mappasiarekkeng” seperti uang belanja, leko, maskawin, hari
akad nikah, dan lain-lain sebagainya. Jika di Bone mapettu ada’ ini
dilaksanakan dalam bentuk dialog antara juru bicara pihak pria dengan juru
bicara pihak perempuan.14 Adapun yang dibicarakan dalam rangkaian acara
mapettu ada’ adalah sebagai berikut;
a. Tanra Esso, penentuan acara puncak atau hari pesta pernikahan sangat
perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti sewaktu-waktu yang
dianggap luang bagi keluarga. Jika keluarga, baik laki-laki atau
perempuan itu petani, biasanya mereka memilih waktu sesudah panen.15
13
Ali Akbarul Falah, Pandangan Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Mattunda Wenni
Pammulang Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba
Sulawesi Selatan, h. 56
14
Abdul Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat,
(Makassar: Penerbit Indobis, 2006), h. 140
15
Andi Nurnaga, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, (Makassar: CV. Telaga
Zamzam, 2001), h. 18
47
b. Paenre’ atau uang panai.
c. Leko (seserahan). Adapula hadiah-hadiah yang biasa disebut dengan
leko. Leko ini diberikan pada waktu mengantar pengantin laki-laki ke
rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Biasanya
leko ini berisikan seperti kelengkapan untuk pengantin perempuan yang
terdiri dari make up, sepatu, dan lain sebagainya.16
d. Sompa atau sunrang (Mahar).
Pada hari kesepakatan itu hadiah pertunangan kepada mempelai
perempuan (pasio’ atau pengikat) dibawa, antara lain berupa sebuah cincin,
beserta sejumlah pemberian simbol lainnya, misalnya tebu, sebagai simbol
sesuatu yang manis; buah nangka (panasa) diibaratkan dekat atau kenalan
yang dihormati orang tuanya, tetapi kedua orang tua dan calon pengantin
sendiri tidak ikut hadir. Juru bicara pihak laki-laki kemudian membahas
kembali hal-hal yang telah disepakati, kemudian dijawab oleh wakil pihak
perempuan, lalu ditentukanlah hari pesta pernikahan. Setelah itu, hadiahhadiah yang dibawa diedarkan kepada wakil pihak perempuan untuk
diperiksa, pertama-tama oleh kaum pria kemudian perempuan, selanjutnya
dibawa ke kamar calon mempelai perempuan.17
16
17
Andi Nurnaga, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, h. 51
Ali Akbarul Falah, Pandangan Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Mattunda Wenni
Pammulang Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba
Sulawesi Selatan, h. 56
48
4. Mappabotting
Hari perkawinan dimulai dengan mappaenre’ balanja (appanai leko dalam
bahasa Makkassar), ialah proses dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari
kaum kerabatnya pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam
makanan, pakaian wanita dan maskawin. Sampai di rumah mempelai wanita maka
dilangsungka upacara pernikahan atau aggaukeng (pagaukang dalam bahasa
Makassar). Pada pesta itu para tamu yang diundang memberi kado atau uang
sebagai sumbangan (soloreng). Beberapa hari sesudah pernikahan, pengantin baru
mengunjungi keluarga suami dan tinggal beberapa lama disana. Dalam kunjungan
itu isteri harus membawa pemberian-pemberian untuk semua anggota keluarga
suami. Kemudian ada kunjungan ke keluarga isteri, juga dengan pemberianpemberian untuk mereka semua. Pengantin baru juga harus tinggal untuk beberapa
lama di rumah keluarga itu. Barulah mereka dapat menempati rumah mereka
sendiri nalaoanni alena (naentengammi kalenna dalam bahasa Makassar). Hal itu
berarti bahwa mereka sudah membentuk rumah tangga sendiri.18
D. Islam dan Budaya
Menurut Abdurrahman Wahid, hubungan antara agama dengan kebudayaan
merupakan sesuatu yang ambivalen. Di dalam mengagungkan Tuhan dan di dalam
mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia dengan Sang Khalik, agamaagama kerap menggunakan kebudayaan secara masif. Kita dapat melihat hal ini,
umpamanya, ikon-ikon, patung-patung, lukisan-lukisan, atau prosesi-prosesi pada
saat penyaliban Isa al-Masih. Bahkan, drama politik biasa- seperti terbunuhnya
18
Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, h. 267-268
49
Sayyidina Hussein, cucu Nabi Muhammad di tangan anak buah Yazid, yaitu
Muslim bin Aqil, di kota Karbala (sekitar 150 km sebelah barat daya Baghdad)kadang-kadang diangkat menjadi peristiwa agama. Tanggal 10 Muharram setiap
tahun, peristiwa itu dirayakan besar-besaran, dan jutaan orang datang untuk
menyaksikan untuk diperagakannya drama (prosesi) berbagai tahap kehidupan
Sayyidina Hussein (termasuk ketika dia dibunuh) di berbagai bagian kota itu. Kita
dapat pula melihat jenis prosesi lain seperti barongsai, yang sesungguhnya juga
merupakan peristiwa agama. Ketika sang Naga (dalam kepercayaan konfusian)
berusaha menguber pusaka Cuk yang bulat kecil dan kaya mutiara, maka disitu
diperlambangkan sebuah pergulatan antara keangkara murkaan dengan kearifan
penguasa. Sementara itu, di Bali atau Malaysia, orang Hindu selalu menggunakan
salah satu unsur budaya, yakni seni, di dalam upacara keagamaannya.19
Dalam semua contoh di atas, jelas sekali bahwa aspek keindahan sengaja
diperlihatkan sebagai upaya manusia untuk mengabadikan hal-hal yang
dianggapnya paling menentukan di dalam kehidupanya. Dapatlah dikatakan
bahwa unsur kebudayaan yang paling utama dalam kehidupan manusia adalah
seni. Di sisi lain, teologia, dalam usaha menerangkan adanya Tuhan, dan
bagaimana memfungsikan hubungan manusia dengann Tuhan, juga memakai
unsur lain dari kebudayaan, yaitu pemikiran-pemikiran filosofis. Refleksi filosofis
(mengenai agama) adalah sesuatu yang bersifat keagamaan. Disitu tampak bahwa
19
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, h. 291-292
50
kebudayaan dimanfaatkan oleh agama, dan disitu juga terjadi proses penyesuaian
antara kebudayaan dan agama secara utuh.20
Al-Qur’an bukan saja mewajibkan hubungan manusia dengan Tuhan, tapi
juga hubungan manusia dengan manusia. Bahkan yang mengabaikan apalagi
meninggalkan salah satu atau keduanya diancam dalam QS. Ali Imran (3): 112;
   
     
 .....   
Artinya: “Mereka diliputi kehinaan (hilang kekuasaan) dimanapun mereka
berada selain daripada mereka yang menjaga hubungan dengan Allah
dan hubungan dengan manusia.”
Hubungan manusia dengan Tuhan berbentuk tata agama, sedangkan hubungan
manusia dengan manusia membentuk sosial. Sosial membentuk masyarakat, yang
jadi wadah kebudayaan. Apabila dipergunakan istilah Islam, hubungan pertama
itu berbentuk ibadat kedua mu’amalat. Sasaran hakiki agama ialah salam di
akhirat dan salam ruhaniyah di dunia, sedangkan yang dituju oleh kebudayaan
ialah salam di dunia saja. 21
Islam mengandung dua aspek, ibadat dan muamalat, atau agama dan
kebudayaan. Dalam kedua aspeknya itulah Islam disebut oleh Qur’an dengan
istilah diin, dalam QS. Al-Ma’idah (5): 3;
   



....    

Artinya: “Pada hari ini aku sempurnakan untuk kamu diin kamu dan Aku
cukupkan nikmatku kepadamu dan aku berkati Islam menjadi diin-mu.”
20
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, h. 292
21
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang: 1976), h. 106
51
Secara tradisional diin itu dibagi dalam empat bidang kajian: ibadat, mu’amalat,
munakahat (misalnya hukum nikah, hubungan suami isteri, keluarga, jinayat
(hukum sipil dan kriminil atau perdata dan pidana. Apabila pembagian ini kita
tinjau dari QS. Ali Imran (3): 112, keempat bidang itu dapat dibagi dua: ibadat
masuk kedalam hablun min Allah, mu’amalat, munakahat dan jinayat masuk
kedalam lapangan hablun min an-naas. Pembahasan tentang isi diin membawa
kita kepada kesimpulan, bahwa ia meliputi: hubungn manusia dengan Allah dalam
tata ibadat atau agama, hubungan dengan manusia dengan manusia dalam tata
mu’amalat atau yang membentuk masyarakat dan berisikan kebudayaan.22
Ternyata keliru menterjemahkan diin dengan agama, dengan kata lain apakah
istilah yang spesifik Islam itu dapat kita terjemahkan? dari kata-kata dalam
khazanah bahasa Indonesia/Malaysia tidak ada kata yang sama pengertiannya
dengan diin. Karena itu, kata itu kita ambil ke dalam bahasa Indonesia untuk
menyesuaikan dengan fonologi bahasa kita menjadi ad-diin. Jadi, Islam itu
mengandung dua aspek, yakni segi agama dan kebudayaan. Dengan demikian ada
agama Islam dan ada kebudayaan Islam. Dengan pandangan ilmiah antara
keduanya memang dapat dibedakan, tapi dengan pandangan Islam sendiri tidak
dapat dipisahkan. Yang kedua inheren dengan yang pertama membentuk integrasi.
Demikian
eratnya
jalinan
dan
integrasinya,
sehingga
terkadang
mendudukkan suatu perkara, apakah masuk agama atau kebudayaan.23
22
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, h. 107-108
23
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, h. 110
sukar
52
Prisip-prinsip kebudayaan yang digariskan oleh ad-diin itu ditujukan kepada
kemanusiaan. Kemanusiaan itu merupakan hakikat manusia. Karena itu ia serbatetap. Dari itulah prinsip-perinsip tersebut ditentukan oleh ad-diin untuk tidak
diubah-ubah. Kemanusiaan itu sama saja dahulu, sekarang dan yang akan datang.
Tetapi perwujudan kemanusiaan yang disebut aksidensi itu tumbuh, berkembang,
berbeda dan diperbarui. Tetapi sementara berlangsungnya perubahan demi
peruahan itu, asasnya serba tetap. Asas inilah yang dituntun, ditunjuki,
diperingatkan dan diberitakan oleh Qur’an dan Hadis.24
Kamajemukan masyarakat Indonesia, hubungan dialogis berbagai aspek
kehidupan dan wilayah geografis dalam kasus hubungan keagamaan intensitasnya
akan semakin tinggi. Arah dari persoalan tersebut akan berkaitan dengan
pertanyaan apakah ia merupakan semata-mata sebagai rekayasa dari suatu
kepentingan politik, ataukah rekayasa budaya. Menghadapi kecenderungan itu,
perlu dikembangkan konseptualisasi berbagai aktifitas yang fungsional terhadap
berbagai persoalan obyektif kehidupan manusia. Oleh karena itu perlu disadari
oleh setiap pemeluk suatu agama bahwa pemikiran dan aktifitas keagamaan
merupakan dialog budaya yang tumbuh dan berkembang searah dengan daya
kritis dan kreatif manusia tanpa harus melepaskan ataupun merelatifikasikan
keyakinan agamanya. Dengan demikian dialog agama akan dapat tumbuh dan
berkembang secara konstruktif sebagai dialog budaya, sehingga aspek pemikiran
ilmiah dan metodologi iptek dapat memainkan peranan fungsionalnya.25
24
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, h. 113
25
Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 72-73
53
E. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Selatan
Untuk mengetahui gambaran dan pengetahuan yang lebih luas, tidak ada
buruknya, bahkan mungkin sangat besar faedahnya jikalau kita mengetahui
beberapa hal tentang Sulawesi Selatan pada umumnya. Jikalau kita melihat peta
tanah air kita, maka antara pulau Sunda Besar tampak sebuah pulau yang
bentuknya hampir meneyerupai bentuk sebuah huruf “K”, yaitu pulau Sulawesi.
Pulau ini mempunyai empat buah jazirah, yakni Jazirah Utara, Jazirah Timur Laut,
Jazirah Tenggara, dan Jazirah Barat Daya.26
Keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII
dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau.
Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad
XVII dari Koto Tangah. Dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk
Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur, Khatib Tunggal, lebih populer dengan
nama Datuk Ri Bandang; Sulaiman, Khatib Sulung, lebih populer dengan nama
Datuk Patimang; serta Abdul Jawad, Khatib Bungsu, lebih dikenal dengan nama
Datuk Ri Tiro. Ketiga ulama tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan
Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi
Selatan. Namun, inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah
ada sejak Anak Kodah Bonang. Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau
sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI (1525).27
26
Sagimun M.D., Sultan Hasanuddin menentang V.O.C., (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1985), h. 1
27
Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”, artikel diakses pada 29 September
2015 dari http://daerah.sindonews.com/read/881803/29/jelajah-tiga-datuk-di-sulawesi-selatan1404994262
54
Setibanya di Makassar, ketiga ulama ini tidak langsung melaksanakan
misinya, tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka memperoleh
keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja
yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu, sedangkan yang paling
kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo (Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng
Katangka) dan Raja Gowa (Karaeng Matoaya Tumamenaga Ri Agamanna).
Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk
Luwu (La Patiware Daeng Parabu). Datuk Luwu adalah raja yang paling
dihormati, karena kerajaannya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek
moyang raja-raja Sulawesi Selatan.28
Ketiganya (Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk Ri Tiro)
mengislamkan Datuk Luwu yang kemudian diberi nama Islam Sultan Muhammad
Mahyuddin pada bulan Februari tahun 1605, lalu Raja Tallo (Imalingkaan Daeng
Mayonri Karaeng Katangka) diberi nama Sultan Abdullah Awwalul Islam, yang
hampir bersamaan dengan raja Gowa (Karaeng Matoaya Tumamenaga Ri
Agamanna) diberi nama Sultan Alauddin pada 22 September 1605. Selain itu
Sultan Alauddin pula yang menggelar salat Jumat besar-besaran pada tahun 1607
dan mengumumkan secara formal bahwa agama kerajaan adalah adalah Islam dan
menjadikan kerajaan Gowa sebagai pusat penyebaran Islam. Sejak agama Islam
menjadi agama resmi di Gowa-Tallo, kedudukan Sultan Alauddin makin kuat.
Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islam di Sulawesi Selatan.29
28
Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”.
29
Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”.
55
Buku “Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan” oleh H.A.
Massiara Dg. Rapi, disebutkan penyebaran Islam dilakukan baik melalui
pendekatan struktural maupun kultural. Adapun pendekatan kultural dilakukan
dengan cara kerajaan mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok daerah.
Sementara, pendekatan struktural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo dengan
menyebarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkannya
ke kerajaan-kerajaan lainnya. Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan
Alauddin dan pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian
persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau
bersahabat yang berbunyi antara lain: barang siapa di antara kita (Gowa dan
sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah
satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak
lainnya.Karena itu, dengan dalih bahwa Gowa sudah melihat jalan kebajikan,
yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan
taklukannya agar turut memeluk agama Islam.30
F. Mahar Dalam Perspektif Budaya-Budaya di Indonesia
Sebelum membahas mahar dalam budaya Bugis, di Indonesia terdapat
berbagai macam bentuk mahar yang mengikuti kebiasaan di daerah dan ketentuan
adatnya masing-masing, diantaranya adalah;
1. Masyarakat Batak Toba menyebut maskawin itu sebagai pangoli.
Pembayaran maskawinnya biasanya terdiri dari uang dan ternak.31
30
Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”.
31
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (DIY: LkiS, 2004), h. 225
56
2. Suku Komering di Sumatera Selatan menggunakan emas sebagai
mahar/maskawinnya.32
3. Di maluku, mahar biasanya (selain kain) juga terdiri atas sepasang anting
emas dan gading gajah yang ditaruh di dalam wadah sirih yang disebut
tol'a dan kemudian ditempatkan di dalam lumbung di bumbungan rumah,
terus digunakan sebagai mahar dalam perkawinan generasi selanjutnya.33
4. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) proses meminang gadis di kalangan suku
Lamaholot sangat unik. Meski penduduk wilayah ini tidak memelihara
gajah, gading gajah sudah menjadi mahar kawin sejak ratusan tahun lalu.
Dalam masyarakat Lamaholot, ukuran atau jumlah mahar kawin (belis)
atau gading gajah tergantung pada status sosial gadis atau calon mempelai
perempuan yang akan dipinang.34
5. Di masyarakat Bugis, mahar yang dikenal dengan istilah sunrang (Bugis)
atau sompa (Makassar). Sompa atau sunrang itu besar kecilnya sesuai
dengan derajat sosial dari gadis yang dipinang. Sompa atau sunrang
menggunakan nominal uang atau dapat saja terdiri dari sawah, kebun,
keris pusaka, perahu, yang semuanya mempunyai makna penting dalam
perkawinan.35
32
Hattama Rosid dkk., ed., Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, (Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 399
33
Shariva Alaidrus, “Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar”, artikel diakses
pada 04 Oktober 2015 dari http://www.antaranews.com/berita/431398/mahar-dalam-tradisipernikahan-bangsawan-babar
34
Kornelis Kewa Ama, “Mahar Kawin yang Membebani Keluarga”, artikel diakses pada 04
Otober 2015 dari http://lipsus.kompas.com/jejakperadabanntt/read/2010/12/10/08361911
35
Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, h. 269
57
BAB IV
MAHAR DAN PAENRE’ DALAM PERSPEKTIF
ETNOGRAFI HUKUM ISLAM
A. Mahar dan Paenre’ Dalam Adat Istiadat Bugis di Bulukumba
Sompa atau mahar adalah pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang
dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah satu syarat sahnya pernikahan.
Jumlah sompa sebagaimana yang diucapkan oleh mempelai laki-laki pada saat
pernikahan (akad nikah), menurut ketentuan adat jumlahnya bervariasi menurut
tingkatan strata sosial atau tingkatan sosialnya seseorang.1 Adapun menurut
masyarakat setempat bependapat bahwa, mahar merupakan salah satu unsur yang
wajib ada dalam pernikahan.2 tidak boleh tidak ada.3 Istilah lain yang digunakan
dalam menyebutkan mahar adalah sunrang.4 dan diberikan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan menurut adat isitiadat di Bulukumba.5
Pada zaman dahulu, memang sompa atau sunrang yang berlaku sejak lama di
daerah Bugis dinilai dengan mata uang lama (orang Bugis menyebutnya rella).
Bagi bangsawan tinggi maharnya dinyatakan dengan kati senilai 88 Real,
ditambah satu orang hamba (ata’) senilai 40 Real dan satu ekor kerbau senilai 25
Real. Sompa bagi perempuan dari kalangan bangsawan tinggi disebut sompa
1
Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,
(Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2007), h. 16
2
Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat), Bulukumba 28 Juli 2015.
3
Wawancara Pribadi dengan Andi Indah Kumalasari (Masyarakat), 29 Juli 2015.
4
Wawancara Pribadi dengan Andi Sriwati (Masyarakat), Bulukumba 28 Juli 2015.
5
Wawancara Pribadi dengan Andi Asmawati Kr. Ade (Masyarakat), 29 Juli 2015.
58
bocco (sompa puncak) yang biasa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan
dari kalangan bangsawan menengah kebawah hanya satu kati, bagi orang baikbaik (to deceng) setengah kati, kalangan orang biasa seperempat kati.6
Penentuan jumlah mahar berdasarkan tingkatan sosialnya dikuatkan oleh
salah satu tokoh adat setempat yang menegaskan bahwa memang hukum adat
yang berlaku di Bulukumba (mahar) harus berdasarkan tingkatan sosialnya.
Tingkatan sosialnya bukan hanya karena alasan dari golongan bangsawan, namun
juga bisa karena jabatan atau karena pendidikan yang telag ditempuh. Jenis mahar
yang diberikan biasanya menggunakan tanah atau emas.7 Berikut penulis
menemukan jenis mahar yang diterima oleh empat orang informan/narasumber
(masyarakat Bulukumba) dalam prosesi pernikahannya diantaranya;
a.
Sebidang tanah perumahan berukuran 10 x 15 m2. 8
b.
Sebidang tanah perumahan seluas 15 x 20 m2. 9
c.
Sebidang tanah persawahan (luasnya tidak disebutkan).10
d.
Sebidang tanah kebun di daerah Longi berukuran 15 x 20 m2.11
Salah salah satu tokoh agama di Bulukumba menyampaikan bahwa mahar
memang merupakan suatu keharusan, meskipun terdapat beberapa perbedaan
6
Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,
h. 17
7
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat), Bulukumba, 28 Juli 2015.
8
Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat), Bulukumba 28 Juli 2015.
9
Wawancara Pribadi dengan Andi Sriwati (Masyarakat), Bulukumba 28 Juli 2015.
10
11
Wawancara Pribadi dengan Andi Indah Kumalasari (Masyarakat), Bulukumba 29 Juli 2015.
Wawancara Pribadi dengan Andi Asmawati Kr. Ade (Masyarakat), Bulukumba 29 Juli 2015.
59
pendapat ulama. Pada zaman orang tua terdahulu, (selain berupa nilai yang telah
disebutkan diatas) mereka selalu mengorientasikan mahar itu berupa tanah, namun
kondisi yang ada pada masa kini dimana paradigma masyarakat tentu telah
bergeser, masyarakat mulai mengganti tanah dengan sesuatu yang bernilai seperti
cincin ataupun benda-benda yang bernilai selain daripada tanah. Demikian
fenomena yang terjadi di sepuluh kecamatan yang ada di Bulukumba. Pada
prakteknya ternyata mahar itu tidak berdiri sendiri, terdapat unsur-unsur adat yang
masuk kedalamnya yang terkadang membuat orang salah persepsi terhadap
masyarakat
di
Bulukumba,
seperti
adanya
pallao
tana,12
dan
pallao
sapposisseng.13 Jika demikian yang terjadi para tokoh agama akan turun tangan
untuk meluruskannya, bahwa memang mahar bagian dari syariat Islam namun
(kadarnya) dikaitkan dengan budaya lokal selama tidak ada unsur paksaan.14
Penulis telah memaparkan bahwa mahar ditentukan berdasarkan derajat sosial
pihak perempuan dan dinilai berdasarkan rella atau dapat berupa tanah pada
umumnya,
pada saat ini telah terjadi beberapa peralihan, meskipun bukan
terhadap aturan bahwa mahar harus berdasarkan strata sosial pihak perempuan,
namun mahar yang dahulu kala dinilai dengan sistem rella atau tanah, kini bisa
berupa cincin, yang pada intinya dapat berupa barang bernilai. Dengan melihat
12
Pallao tana maksudnya adalah jika seorang laki-laki yang berasal dari luar daerah (kota
atau kabupaten) menikahi seorang perempuan dari sebuah daerah, dia diwajibkan membayar
sejumlah uang karena telah melewati batas daerah untuk menikahi perempuan dari daerah tersebut.
13
Pallao sapposisseng maksudnya adalah sejumlah biaya atau uang yang diberikan kepada
sepupu satu kali (anak dari paman atau bibi) dari pengantin laki-laki sebagai bentuk kompensasi
karena sepupu terdekatnya telah dinikahi. Dan ketentuan ini berlaku bagi semua pengantin lakilaki baik yang berasal dari daerah yang sama dengan pengantin perempuan maupun tidak.
14
Wawancara Pribadi dengan H. Abdul Hafid (Tokoh Agama), Bulukumba 29 Juli 2015.
60
kondisi kekinian masyarakat Bugis di Bulukumba, mahar saat ini telah
menggunakan sistem stel-an, artinya meskipun besarannya tidak menentu, jika
mahar berupa emas dalam satu stel, maka sudah termasuk didalamnya berupa
cincin, giwang, kalung, dan jika dijumlah keseluruhan nilainya tidak ada yang
berada dibawah sepuluh gram.15
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada kenyataannya, memang terdapat beberapa
hal yang berubah karena terkikis dengan perubahan zaman, tapi hal tersebut tidak
terjadi secara menyeluruh karena beberapa nilai tetap terjaga. Perubahan tersebut
hanya terjadi pada kebiasaan yang bersifat materi, sebagai contoh jika dahulu
masyarakat Bugis masih terbiasa menggunakan kelapa untuk bertransaksi dan
digunakan dalam prosesi pernikahan, kini sudah tidak digunakan lagi. Hal-hal
yang yang bersifat materi saja yang berubah namun nilai-nilai yang terkandung
tetap terjaga.16
Meskipun mahar bisa diberikan dengan nilai uang, atau berupa tanah, ataupun
(pada masa kini) bisa menggunakan emas, yang perlu ditekankan bahwa setiap
tingkatan strata sosial berbeda dalam penentuan jumlah maharnya. Jika dianggap
semakin tinggi strata sosialnya, semakin tinggi pula jumlah mahar yang harus
diberikan. Saat ini, khususnya pada masyarakat Bugis Bulukumba jelas bahwa
jenis mahar pada masa lampau tersebut dinilai sudah tidak relevan karena
keberlakuannya-pun sudah tidak diakui lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa
masyarakat Bulukumba jelas sangat merespon perkembangan zaman.
15
Wawancara Pribadi dengan H. Abdul Hafid (Tokoh Agama), Bulukumba 29 Juli 2015.
16
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat), Bulukumba, 28 Juli 2015.
61
Jumlah mahar yang tinggi diberikan kepada pengantin perempuan pada
mulanya memang didasarkan pada strata atau derajat sosial yang dimilikinya,
ternyata telah terjadi pergeseran atau perubahan dalam hal ini. Strata sosial yang
dimaksud pada saat ini bukan hanya disebabkan karena darah kebangsawanannya,
melainkan juga bisa karena jabatan yang dimiliki, pekerjaan yang mapan atau
mumpuni, ataupun karena jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh calon
mempelai perempuan.
Disamping mahar, pada prosesi penentuan hari pernikahan (tanra esso), hal
yang paling penting adalah besarnya uang naik diberikan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan.17 Besarnya uang belanja ditetapkan berdasarkan
kelaziman atau kesepakatan terlebih dahulu antar anggota keluarga yang
melaksakan pernikahan.18 Masyarakat Bugis di Bulukumba menuturkan bahwa
pada intinya paenre‟ itu merupakan pemberian dari pihak keluarga mempelai lakilaki kepada keluarga pihak mempelai perempuan.19 Ada juga yang yang
mengatakan bahwa paenre‟ itu merupakan uang yang dinaikkan kepada
perempuan sebagai ongkos pelaksanaan pesta perkawinan.20 Ada juga yang
mengartikan paenre‟ dengan uang belanja.21
17
Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,
18
Nonci, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis, (Makassar: CV. Aksara, 2002), h. 12
h. 12
19
Wawancara Pribadi dengan A. Asmawati Kr. Ade (Masyarakat). Bulukumba, 29 Juli 2015.
20
Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015.
21
Wawancara Pribadi dengan Andi Sriwati (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015.
62
Di Bulukumba, paenre’ dikenal dengan sistem
(pakkuta’nang).
Dimana keluarga mempelai laki-laki bertanya kepada pihak keluarga mempelai
perempuan mengenai besaran uang belanja yang diminta oleh mereka dengan
tujuan agar terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Uang belanja ini
merupakan kewajiban pihak mempelai laki-laki untuk menanggung biaya-biaya
pelaksanaan perkawinan meliputi biaya walimah, dan sebagainya, tidak hanya itu,
uang belanja itu tersebut juga bertujuan sebagai kompensasi kepada pihak
keluarga mempelai perempuan dikarenakan sang mempelai perempuan akan
meninggalkan mereka dan akan menjalin kehidupan yang baru dengan suaminya.
Panai atau paenre‟ disini murni merupakan salah satu aturan adat yang berlaku
dalam masyarakat Bugis di Bulukumba. Ketentuan mengenai paenre‟ telah jauh
ada sebelum Islam datang di Bulukumba.22
Besaran paenre’ ini sama halnya dengan mahar, besarannya ditentukan
berdasarkan strata sosial sang mempelai perempuan, jika ia berasal dari keturunan
bangsawan maka semakin tinggi pula jumlah paenre‟ yang harus dikeluarkan oleh
pihak mempelai laki-laki. Sama halnya dengan mahar, besaran paenre‟ juga dapat
dipengaruhi oleh jabatan, pekerjaan, dan tingkat pendidikan yang dimiliki. Jenis
paenre‟ yang dipergunakan oleh masyarakat Bugis yang berada di Bulukumba
dahulu kala bisa menggunakan sesuatu berupa tanah, kelapa, ataupun binatang
sapi, namun seiring berjalannya waktu paenre‟ kini dapat menggunakan uang,
sehingga paenre‟ pada saat ini disebut dengan dui maenre‟ atau uang paenre‟.23
22
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat ). Bulukumba, 28 Juli 2015.
23
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat). Bulukumba, 28 Juli 2015.
63
Berikut penulis memaparkan jumlah paenre‟ yang diterima oleh beberapa
informan, keseluruhan nilai yang disebutkan telah dikonversi menajdi nilai uang
pada saat ini, karena nilai uang dalam beberapa tahun silam jelas berbeda dengan
saat ini, dan keseluruhan nilai berikut berdasarkan perhitungan informan,
diantaranya adalah;
a. Paenre‟ senilai Rp. 20.000.000.24
b. Paenre‟ senilai Rp. 30.000.000.25
c. Paenre‟ senilai Rp. 40.000.000.26
d. Paenre‟ senilai Rp. 50.000.000.27
e. Paenre‟ senilai Rp. 75.000.000.28
f. Paenre‟ seniai Rp. 500.000.000.29
Keberadaan ketentuan mengenai paenre‟ memang terjabarkan dalam adat
istiadat setempat, namun paradigma (sebagian) masyarakat sudah bergerser,
terdapat beberapa kelompok masyarakat yang berani menyatakan kepada pihak
keluarga laki-laki (perihal jumlah paenre‟) untuk tidak usah dipaksakan, cukup
sesuai dengan kemampuan, pada zaman dahulu memang hal ini merupakan suatu
24
Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015.
25
Wawancara Pribadi dengan A. Asmawati Kr. Ade (Masyarakat). Bulukumba, 29 Juli 2015.
26
Wawancara Pribadi dengan Andi Sriwati (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015.
27
Wawancara Pribadi dengan Andi Indah Kumalasari (Masyarakat). Bulukumba 29 Juli 2015.
28
Jumlah ini merupakan jumlah paenre‟ yang diterima oleh salah satu kerabat penulis (Andi
Batari Ramli) saat menikah, di bulan Agustus tahun ini.
29
Jumlah ini merupakan salah satu jumlah paenre‟ yang fantastis dan menghebohkan, yang
terjadi di Bulukumba berdasarkan keterangan salah satu narasumber, wawancara pribadi dengan
H. Abdul Hafid (Tokoh Agama). Bulukumba, 29 Juli 2015.
64
yang baku, jika tidak mampu memenuhinya maka pihak laki-laki tidak dapat lagi
melanjutkan pembicaraan (mengenai pernikahan). Namun karena sekat-sekat
wawasan masyarakat sudah semakin terbuka, besaran uang paenre‟ sangat variatif,
tidak boleh dipaksakan dan tergantung dengan kemampuan.30
Mengamati bahwa ketentuan mengenai besaran paenre‟, meskipun juga
dilihat berdasarkan strata sosial calon mempelai perempuan, namun dalam hal ini
berdasarkan beberapa keterangan informan, penulis mengamati bahwa besaran
paenre‟ lebih variatif dan dapat dikompromikan, berupa sejumlah uang pada
umumnya. Lain halnya dengan besaran mahar yang cenderung baku, selain
berdasarkan strata sosial yang dimiliki, harus berupa benda atau barang yang jelas
wujudnya (bukan berupa uang, namun sangat bernilai tinggi jika diuangkan), serta
tidak dapat dikompromikan.
Penulis juga menemukan bahwa ternyata paenre‟ dalam adat istiadat Bugis
telah lebih dulu ada berlaku di masyarakat Bugis sebelum datangnya Islam,
sehingga dapat diamati bahwa jumlah mahar yang ditentukan berdasarkan strata
sosial pengantin perempuan itu dipengaruhi oleh ketentuan adat (mengenai
paenre‟) yang telah lama ada dan hidup di masyarakat Bugis (khususnya di
Bulukumba). Maka dari itu, antara adat istiadat dan Islam dalam hal ini sudah
saling beradaptasi dan berakulturasi dan berjalan secara berdampingan.
Ketentuan mengenai besaran mahar dan paenre‟ harus berdasarkan strata
sosial yang dimiliki oleh pihak perempuan memang terkadang menimbulkan
kesan bahwa hal tersebut akan memberatkan pihak laki-laki, berdasarkan
30
Wawancara Pribadi dengan H. Abdul Hafid (Tokoh Agama). Bulukumba, 29 Juli 2015.
65
keterangan beberapa informan (masyarakat) mereka mengatakan bahwa
seharusnya hal tersebut tidak memberatkan karena sudah berani melamar dan siap
segalanya, namun terkadang juga memberatkan. Sudah seyogyanya pihak laki-laki
telah mengetahui sekaligus memahami dan mengerti ketentuan yang ada dalam
keluarga besar pihak perempuan, beberapa kritik juga disampaikan bahwa tidak
semestinya jumlah tersebut dipatok terlampau tinggi, harus disesuaikan dengan
kemampuan saja (tetapi jumlah yang diberikan tetap tidak mengurangi harapan
atau kebutuhan pernikahan tersebut). Karena kedepannya akan menyuusahkan
kedua mempelai setelah mereka menikah, biasanya mereka terlilit hutang hanya
karena untuk memenuhi nilai mahar dan paenre‟ yang terlampau tinggi.31
B. Makna Mahar dan Paenre’ dalam Masyarakat Bugis di Bulukumba
Karena desain penelitian ini merupakan penelitian etnografis, maka penulis
berkewajiban untuk menggali makna yang terkandung dalam penetapan jumlah
mahar dan paenre‟ dalam masyarakat Bugis di Bulukumba. Banyak perspektif
yang disampaikan oleh para informan, yang akan penulis paparkan sebagai
berikut:
Jika aturan pemberian mahar atau paenre‟ tersebut tidak ditaati maka terdapat
sanksi sosial dari kalangan masyarakat pada umumnya, khususnya rumpun
keluarga besar kedua pihak. Terdapat istilah
(teaja nakke na sassali pammanakang), jika diartikan maksudnya adalah “saya
tidak mau di permalukan oleh kemenakan”. Sanksi sosial yang terjadi misalnya
tersisih dari keluarga besar dan masyarakat menggunjingkan hal itu yang kadang
31
Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015.
66
tiada hentinya.32 Sanksi yang dapat diberikan memang hanya sebatas sanksi
sosial, karena berupa praktek sosial, sehingga tidak bisa dibuat semacam sanksi
yang bersifat normatif.33 Tanpa pemberian mahar dan paenre‟ seorang perempuan
dianggap tidak memiliki kehormatan, mahar dalam perspektif masyarakat Bugis
di Bulukumba dianggap sebagai bentuk kompensasi terhadap kehormatan seorang
perempuan, sedangkan paenre‟ digunakan untuk membiayai teknis prosesi
pernikahan.34 Ada yang mengatakan bahwa itu sebagai apresiasi terhadap harkat
dan martabat seorang perempuan yang akan dipinang.35 Juga sebagai bentuk
penghormatan terhadap keluarga besar mempelai perempuan.36
Keberadan ketentuan tersebut untuk menghormati asal-usul seseorang, dan
untuk menunjukkan bahwa seseorang berasal dari keturunan yang terhormat.
Makna filosofis yang terkandung di dalamnya yaitu untuk saling menjaga nama
baik keluarga dikarenakan status sosial yang dimilikinya. Meskipun bentuk
penghormatan itu (misalnya) tidak harus dengan bentuk mahar dan paenre‟
terlampau tinggi, tetap tidak tepat juga jika diberikan dalam bentuk yang sangat
minim. Dalam masyarakat Bugis pada umumnya, juga di Bulukumba dikenal
adanya budaya
siri‟ yang tetap dipegang teguh hingga saat ini.37
32
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat). Bulukumba, 28 Juli 2015.
33
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat). Bulukumba, 28 Juli 2015.
34
Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015.
35
Wawancara Pribadi dengan Andi Sriwati (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015.
36
Wawancara Pribadi dengan Andi Indah Kumalasari (Masyarakat). Bulukumba 29 Juli 2015.
37
Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat). Bulukumba, 28 Juli 2015.
67
Budaya siri‟ dapat diktualisasikan atau direpresentasikan dalam berbagai pola
kehidupan dalam masyarakat Bugis, salah satunya dengan adanya aturan adat
mengenai jumlah mahar dan paenre‟ berdasarkan strata sosial yang ada di tengahtengah masyarakat. Siri‟ itu ada yang betujuan untuk memperlihatkan status
sosialnya, misalnya seseorang tidak akan mau anaknya jika dilamar oleh seorang
pria apabila jumlah yang diberikan lebih sedikit dari jumlah yang ia tetapkan,
karena ia akan siri‟ (malu), terutama di hadapan keluarga besarnya. Ada juga yang
merepresentasikan siri‟ berbentuk penyebutkan jumlah mahar dan paenre‟ dalam
nominal yang besar, tetapi pada kenyataannya yang diberikan kepada anak
perempuannya tidak sesuai dengan yang disebutkan. Misalnya juga karena
mempunyai status (jalur keturunan) tertentu, ia merasa tidak nyaman jika
seseorang kemudian hendak menikahi anaknya dengan (mahar hanya) berupa
seperangkat alat shalat. Siri‟-nya dapat terganggu jika akan menikahkan anaknya
layaknya pernikahan orang biasa (dalam jumlah mahar dan paenre‟-nya).38 Dalam
hal ini penulis berpandangan bahwa siri‟ bermakna gengsi atau harga diri.
Salah satu contoh aktualisasi prinsip budaya siri‟ dalam kehidupan sehari-hari
baik itu berbangsa, bernegara maupun beragama, misalnya: seluruh jajaran
pemerintahan akan merasa malu atau ternodai harga dirinya jika ia tidak
menjalankan tugasnya dengan baik, dalam artian bahwa ia tidak memenuhi
kewajibannya untuk menjalankan amanah yang diembannya, atau bahkan malah
melakukan perbuatan-perbuatan yang menyalahi aturan (dengan memanfaatkan
jabatannya untuk melakukan penyelewengan, misalnya korupsi, kolusi, dan
38
Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim (Imuwan Bugis). Ciputat, 09 Oktober 2015.
68
nepotisme), atau seseorang akan merasa malu dan tidak memiliki harga diri jika ia
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, contoh kecil misalnya:
seseorang akan dinggap tidak memiliki harga diri atau memalukan jika ia
melanggar rambu-rambu lalu lintas di jalan-jalan umum.39
Dalam disertasi Millard, ia menyampaikan bahwa masyarakat Bugis identik
degan sosial location atau
(onronna). Maksud dari onronna
disini adalah dimana seseorang mau menempatkan dirinya, jika memang ia
menganggap bahwa dirinya sebagai orang biasa maka posisinya memang seperti
itu. Dalam masyarakat Bugis social location atau posisi sosial menjadi sangat
penting. Salah satu contoh kecenderungan masyarakat Bugis dalam mencari sosial
location misalnya; orang-orang Bugis sangat rajin hendak melaksanakan ibadah
haji, karena di satu sisi, jika seseorang memiliki gelar haji maka ia akan
diposisikan istimewa di tengah-tengah masyarakat, biasanya ia akan diberikan
tempat duduk khusus untuk kalangan para haji dalam acara-acara perkawinan atau
acara lainnya. Salah satu contoh lain juga; ia akan beranggapan bahwa bukan pada
tempatnya jika seseorang hendak meminang anaknya dengan jumlah mahar yang
minim (sedikit), jika hendak menikah dengan jumlah (mahar) demikian, mungkin
bukan dengan anak orang tersebut. Jadi perkawinan dalam masyarakat Bugis bisa
dikatakan masih merupakan gawe orang tua.40
Penulis juga menemukan beberapa istilah kebudayaan Bugis yang
menjelaskan makna dibalik penetapan jumlah mahar dan paenre‟ dalam
39
Wawancara Pribadi dengan H.A. Salman Maggalatung (Ilmuwan Bugis), Ciputat 19
Oktober 2015)
40
Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim (Imuwan Bugis). Ciputat, 09 Oktober 2015.
69
masyarakat Bugis. Tokoh adat dan tokoh agama yang penulis temui untuk mencari
tahu makna filosofis yang terkandung dalam ketentuan adat tersebut menyatakan
bahwa hal itu (jumlah mahar dan paenre‟ berdasarkan strata sosial yang dimiliki)
merupakan representasi dari prinsip budaya
(sipakatau, sipakale’bi, sipakainge‟) yang dipegang teguh oleh masyarakat Bugis.
Makna dari
(sipakatau) disini, dapat dipahami dengn
saling memanusiakan manusia, maksudnya adalah seseorang harus sadar dengan
posisinya, harus tahu diri, karena apabila seseorang tidak tahu diri, ia akan
menjadi sombong, ketika ia sombong maka ia tidak akan memanusiakan yang
lain.
(sipakainge’) maksudnya ialah saling mengingatkan,
maknanya mengarah kepada prinsip solidaritas, jangan sampai seseorang akan
terjebak atau terperangkap dalam suatu hal yang negatif, solidaritas agar saling
nasehat menasehati.
(sipakale’bi) bisa bermakna memberikan
apresiasi, saling memuji dan tidak merendahkan orang, atau dengan kata lain
saling menghargai.41
Nilai-nilai tersebut melambangkan betapa bagusnya adat istiadat masyarakat
Bugis, sebagai contoh; jika seseorang dari golongan ata‟ (golongan bukan
keturunan bangsawan) datang kerumah seorang Bugis dengan penuh hormat untuk
menjadi menantu maka akan diterima dengan dengan senang hati (tetapi tentu
dengan prosesi adat istiadat yang berlaku). Nilai-nilai filosofis tersebutlah
(sipakatau, sipakale’bi, sipakainge‟) yang kiranya tidak akan hilang dan akan
diwariskan kepada anak cucu masyarakat Bugis karena cakupan dan pemahaman
41
Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim (Imuwan Bugis). Ciputat, 09 Oktober 2015.
70
mengenai nilai-nilai tersebut sangat luas.42
Seluruh nilai atau perinsip kebudayaan yang telah disebutkan tercermin
dalam 3 falsafah Bugis dengan ungkapan
(malilu’ sipakainge‟),
(mali siparappe‟), dan
(rebba sipatokkong), jika diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia, arti dari 3 slogan atau ungkapan tersebut adalah “jika ada yang
lupa maka saling mengingatkan, jika ada yang hanyut maka tahanlah (tolonglah),
dan jika ada yang jatuh jadilah penopangnya”. Maksud dan tujuan dari ungkapan
tersebut nampak mengarah ke hal yang sama, yang pada intinya yaitu sebuah
prinsip solidaritas agar saling tolong menolong antara satu sama lain. Jika suatu
saat ada yang membutuhkan uluran tangan (pertolongan), maka sudah menjadi
kewajiban kita untuk membantunya, begitupun sebaliknya, jika diri kita tertimpa
sebuah kesusahan atau semacam musibah maka sudah menjadi kewajiban yang
lain untuk memberikan perhatiannya.43
Adat istiadat bergantung pada konsensus masyarakat, jika ada masyarakat
yang masih ingin mempertahankan tradisi tersebut, karena menganggap (mahar
dan paenre‟) merupakan bagian dari sosial location atau dignity yang harus
ditunjukkan, bahwa itu-lah siri‟ mereka. Jika demikian alasan yang dibangun
maka itu merupakan alasan yang bagus, argumen tersebut menjadi kuat untuk
menekankan betapa suatu praktek kebudayaan itu didasari oleh nilai (value), value
tersebut berupa martabat kemanusiaan karena Allah telah memuliakan keberadaan
42
43
Wawancara Pribadi dengan H. Abdul Hafid (Tokoh Agama). Bulukumba, 29 Juli 2015.
Wawancara Pribadi dengan H.A. Salman Maggalatung (Ilmuwan Bugis), Ciputat 19
Oktober 2015.
71
manusia (QS. Al-Isra‟ (17): 70). Hal-hal demikian jelas dapat diterima sepanjang
tidak ada syariat yang dilanggar.44
Namun ada juga yang menganggap bahwa praktek semacam itu sudah
semestinya tidak dipertahankan lagi karena akan menimbulkan efek-efek sosial
(seperti terjadi kawin lari akibat seorang pemuda harus mengeluarkan biaya-biaya
yang terkadang dianggap tidak masuk akal), mereka menginginkan
mempraktekkan ajaran agama. Tetapi
untuk
orang-orang yang memiliki pandangan
tentang siri‟ juga menganggap hal demikian (mahar dan paenre‟) merupakan
praktek agama juga yaitu memuliakan. Bagaimanapun, yang menentukan
dipertahankan atau tidaknya tradisi tersebut tergantung pada konsensus yang ada
dalam masyarakat.45
C. Harmonisasi Mahar dan Paenre’ Dalam Perspektif Masyarakat Bugis
Dengan Islam: Sebuah Analisis
Dimana ada masyarakat, disana ada hukum (adat). Inilah suatu kenyataan
umum di seluruh dunia. Tidakkah Cicerro lebih kurang 2000 tahun yang lalu
telah mengikrarkan: ubi societas, ibi ius.
Hukum yang terdapat di setiap
masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecilnya masyarakat itu, menjadi
cerminnya. Karena tiap masyarakat, mempunyai kebudayaan sendiri, dengan
corak sendiri, mempunyai cara berpikir geestresstructuur sendiri, maka hukum di
dalam tiap masyarakat, sebagai salah satu penjelmaan geestresstructuur
44
Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim (Imuwan Bugis). Ciputat, 09 Oktober 2015.
45
Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim (Imuwan Bugis). Ciputat, 09 Oktober 2015.
72
masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya tersendiri46
Begitupun hukum adat di Inonesia. Seperti halnya dengan semua sistem
hukum di bagian lain dunia ini, maka hukum adat itu senantiasa tumbuh dari
sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang
keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu
berlaku. Tidak mungkin suatu hukum adat tertentu yang asing bagi masyarakat itu
dipaksakan atau dibuat, apabila hukum tertentu yang asing itu bertentangan
dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan atau tidak
mencukupi rasa keadilan rakyat yang bersangkutan, pendeknya: bertentangan
dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan.47 Disisi lain, karena adat
merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakukan.48
Disamping itu, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serba
keagamaan, oleh karenanya walaupun negara bukan negara agama, tapi tak dapat
dielakaan
bahwa
Indonesia
adalah
negara
keagamaan,
negara
yang
memperhatikan agama, bukan negara sekuler yang hanya mengurus keduniawian
saja. Jadi agama bagi orang Indonesia jika tidak sebagai tujuan hidupnya, maka ia
merupakan sebagian dari hidupnya.49
46
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), Cet. 14, h.
41-42
47
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, h. 44-43
48
Koentjaraningrat, Kebudayaan; Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia,
2008) h. 1.
49
160
Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), h.
73
Penulis setuju dengan pendapat yang disampaikan oleh Muhammad Hudaeri
dkk.50 dimana ia menyebutkan bahwa tradisi Islam merupakan segala hal yang
datang dari atau dihubungkan dengan atau melahirkan jiwa Islam. Islam dapat
menjadi kekuatan spiritual dan moral yang mempengaruhi, memotivasi dan
mewarnai tingkah laku individu. Masalahnya, bagaimanakah cara mengetahui
bahwa tradisi tertentu atau unsur tradisi berasal dari atau dihubungakan dengan
atau melahirkan jiwa Islam ? dalam konteks ini ia berpendapat, mengacu pada
pendapat Barth yang menandai hubungan antara tindakan dan tujuan interaksi
manusia, yaitu: “....akibat dari (tindakan dan) interaksi selalu bervariasi dengan
maksud partisipasi individu”.
Maka dari itu penulis berpendapat sebagai berikut; berkaitan dengan
ketentuan mengaenai jumlah mahar dan paenre‟ yang terbilang tinggi dalam
masyarakat Bugis, memang seolah-olah memiliki kontradiksi dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
ً ‫ خير النّساء احسينّ ًجٌىًا‬: ‫ً عن ابن عبّاس رضي اهلل عنو قال رسٌل اهلل صلّى اهلل عليو ً سلّم‬
51
)‫ارخصينّ ميٌرًا (رًاه البييقي‬
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw: sebaik-baiknya
wanita (isteri) adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya.”
(HR. Baihaqi).
Hadis tersebut hanya bersifat anjuran dalam artian tidak ada kewajiban untuk
mengikutinya, karena tidak ada satupun dalil yang membatasi jumlah maksimal
50
Muhammad Hudaeri, ed., Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, (Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 16
51
Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz
III, h. 13
74
dalam pemberian mahar, dan beberapa ulama berbeda pendapat dalam pentuan
jumlah minimal mahar. dalam QS. An-Nisa‟ (4): 3 hanya disebutkan demikian ;


    





   
Artinya: ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.”
Bagaimanapun dibalik aturan adat mengenai jumlah mahar dan paenre‟
diberikan berdasarkan strata sosial pihak pengantian perempuan memiliki maksud
atau nilai-nilai (value) budaya tertentu, sebagaimana telah dipaparkan penulis
pada sub-bab sebelumnya mengenai makna yang terkandung di dalam penetapan
jumlah mahar dan paenre‟ dalam masyarakat Bugis, yaitu; adanya budaya siri‟,
prinsip sipakatau, sipakale’bi, dan sipakainge‟.
Budaya siri‟ meskipun memiliki aspek pemahaman yang luas, dapat juga
diimplementasikan dalam penentuan jumlah mahar dan paenre‟ dalam masyarakat
Bugis di Bulukumba, hal ini jika dimaknai sebagai rasa malu untuk menjaga harga
diri atau martabat (derajat) kehormatan diri dan keluarga maka hal ini sesuai
dengan QS. Al-Mujadalah (58): 11;
   
   



    
  
Artinya: “...dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
75
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Relevansi budaya siri‟ dengan ayat ini maksudnya ialah bahwa Allah hanya
memberikan
derajat kemuliaan kepada orang-orang yang berilmu namun
bertakwa dan beriman. Jika dikaitkan antara siri‟ dan darajat sebagaimana yang
disebutkan Allah dalam ayat ini, maka seolah-olah Allah berkata “yang memiliki
siri’ hanyalah orang-orang yang berilmu dan menggunakan akalnya.”52 Maka
tidak sepatutnya pemberian mahar dan paenre‟ dalam masyarakat Bugis dengan
jumlah yang tidak pantas atau sangat minim karena akan menciderai siri‟ pihak
laki-laki maupun pihak perempuan.
(sipakatau) disini jika diartikan saling memanusiakan manusia,
maka maksudnya adalah seseorang harus sadar dengan posisinya, harus tahu diri,
karena apabila seseorang tidak tahu diri, ia akan menjadi sombong, ketika ia
sombong maka ia dianggap tidak memanusiakan yang lainnya. Selaras dengan
QS. Al-Isra‟ (17): 37;
     
    
   
Artinya: “dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong,
karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan
sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”.
Relevansinya terletak pada, jika seseorang laki-laki tidak memberikan mahar dan
paenre‟ sesuai dengan derajat kemuliaan yang telah dijaga sedemikian rupa oleh
seorang perempuan yang akan dipinangnya maka ia dianggap sombong karena
tidak memberikan apresiasi sepantasnya terhadap perempuan tersebut, sedangkan
52
Kamri Ahmad, “Budaya Siri’ Bugis Makassar Sebagai Langkah Prevensi Delik, Suatu
Kajian Delik Pembunuhan dan Pencemaran Nama Baik Orang Lain”, (Tesis Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 1997), h. 27.
76
dalam Islam tidak diperkenankan untuk berperilaku seperti itu.
Nilai yang selanjutnya adalah
sipakainge‟, maksudnya
saling mengingatkan, maknanya mengarah kepada prinsip solidaritas, jangan
sampai seseorang akan terjebak atau terperangkap dalam suatu hal yang negatif,
solidaritas agar saling nasehat menasehati, tentunya hal dimuat dalam QS. Al„Ashr (103): 3;
   




 
Artinya: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Kaitannya adalah bahwa makna solidaritas dalam pemberian mahar dan paenre‟
pada masyarakat Bugis merupakan berbentuk jumlah (mahar dan paenre‟) untuk
saling mengingatkan serta saling menasehati agar tidak terjerumus kedalam hal
yang negatif (contohnya akan digunjingkan jika tidak melaksanakan ketentuan
adat), maka dari itu untuk menghindari hal-hal negatif tersebut, nominal yang
diberikan harus sesuai pada tempatnya.
Nilai yang terakhir yaitu
sipakale’bi, memiliki korelasi
juga dengan prinsip siri‟, namun dalam hal ini dapat dimaknai: memberikan
apresiasi, saling memuji dan tidak merendahkan orang, atau dengan kata lain
saling menghargai (respect), dalam QS. Al-Isra‟ (17): 70 ;










77
  
    
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan,Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Logika yang terbentuk untuk memahami relevansi sipakale’bi dengan ayat ini
adalah bahwa Allah telah memuliakan keberadaan manusia dimuka bumi, tanpa
terkecuali, kemuliaan disini bisa berarti martabat atau kehormatan yang dijaga
sebaik mungkin, maka dari itu sudah sewajarnya apabila pengantin pria
menunjukkan sikap memuliakan, sebagai perwujudan apresiasi terhadap pihak
pengantin perempuan dengan memberikan mahar dan paenre‟ berdasarkan
ketentuan yang telah diatur oleh adat istiadat yang ada.
Tiga falsafah Bugis, yang telah dipaparkan sebelumnya (malilu sipakainge‟,
mali saparappe, dan rebba sipatokkong), karena memiliki tujuan dan maksud
yang sama yaitu sikap tolong menolong, tentu memiliki korelasi dengan QS. AlMaidah (5): 2;



    
   
     

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksaNya.”
Hal ini (ketentuan mahar dan paenre‟) juga didukung oleh salah satu kaidah
fiqh ‫( العادة محكّمة‬adat istiadat dapat dijadikan sumber hukum) selama memang
adat-istiadat tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip utama syariah.
78
Selain itu, penulis juga berpandangan aturan tersebut melambangkan sebuah sikap
pengorbanan53 yang dilakukan oleh pengantin pria kepada perempuan yang kelak
akan menjadi isterinya. Aturan tersebut juga mengisyaratkan pada bagi pemuda
Bugis yang hendak menikah harus sudah mapan, bukan hanya secara fisik dan
psikis, tetapi juga dengan kemapanan ekonomi atau finansial.
Jika belum tercapai, maka sebaiknya tidak memberanikan diri. Demi
mencegah hal negatif yang kemungkinan akan terjadi (diantaranya jika menodai
kehormatan atau siri‟ keluarga), hal ini didukung oleh sebuah kaidah fiqh karena
semangat yang sama yaitu ‫( درء المفاسد مقدّم على جلب المصالح‬mencegah kerusakan
lebih didahulukan atas mengambil kemaslahatan). Tanpa bermaksud mempersulit
terjadinya pernikahan, tetapi ada nilai kearifan lokal dalam masyarakat Bugis
yang akan tetap dipegang teguh oleh mereka dan harus diperhatikan oleh seorang
laki-laki, dan setidaknya untuk memberikan sedikit jaminan (meskipun tidak
dapat dipastikan) kepada pihak keluarga besar mempelai perempuan, bahwa ia
telah sanggup dan pantas untuk hidup bersama dengan isterinya kelak.
53
Pengorbanan berasal dari kata korban, artinya memberikan secara ikhlas: dapat berupa
harta benda, waktu, tenaga, pikiran, bahkan mungkin nyawa, demi cintanya atau ikatannya dengan
sesuatu atau demi kesetiaan, kebenaran. Lihat Joko Tri Prasetya dkk., Ilmu Budaya Dasar,
(Jakarta: PT. Rinneka Cipta, 2013), h. 163
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada beberapa bab sebelumnya maka
penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, diantaranya:
1. Masyarakat Bugis di Bulukumba, Sulawesi Selatan memahami bahwa
dalam hal jumlah atau besaran mahar maupun paenre’ harus berdasarkan
strata sosial yang dimiliki oleh pihak keluarga mempelai perempuan.
Strata sosial disini tidak hanya berarti berasal dari keturunan bangsawan
(darah biru), tetapi bisa juga karena seseorang telah memiliki jabatan yang
tinggi, pekerjaan yang layak, atau karena jenjang pendidikan yang telah
dilalui. Telah terjadi beberapa pergeseran dimasyarakat mengenai wujud
mahar dan paenre’, namun hanya pada tatanan materi saja (sebab tuntutan
zaman) tidak pada tataran nilai (value) yang dikandungnya.
2. Makna filosofis yang terkandung dalam adat Bugis mengenai penetapan
jumlah mahar dan paenre’ yaitu; aturan tersebut berkaitan dengan budaya
siri’
masyarakat
Bugis,
prinsip
sipakatau,
sipakainge’
atau
siparingerrangi, dan Sipakale’bi. Dirangkai dalam ungkapan malilu
sipakainge’, mali siparappe, rebba sipatokkong.
3. Makna filosofis yang terkandung dalam aturan adat tersebut juga dikenal
dalam Islam, budaya siri’ pada QS. Al-Mujadalah (58): 11, nilai sipakatau
terdapat pada QS. Al-Isra’ (17): 37, sipakainge’ terdapat dalam QS. Al-
80
‘Ashr (103): 3, dan prinsip sipakale’bi terdapat dalam Qs. Al-Isra’ (17):
70. Tiga falsafah Bugis (prinsip saling tolong menolong) dalam QS. AlMaidah (5); 2. Meskipun masih terdapat beberapa pihak yang masih
mengkonfrontir antara budaya dan agama, hal ini membuktikan bahwa
budaya (kearifan) lokal dapat terintegrasi dengan nilai-nilai atau semangat
yang terkandung dalam Islam.
B. Saran-Saran
1. Bagi masyarakat, hendaknya berupaya mempertahankan tradisi atau adat
istiadat dan kebudayaan mereka dalam sebagai salah satu identitas
kebangsaan yang mengandung norma kearifan lokal dan berusaha untuk
lebih memahami relasi antara ajaran agama dengan tradisi-tradisi yang
terdapat dalam perkawinan, agar kiranya setiap perkembangan zaman
dapat direspon dengan baik tanpa harus meninggalkan nilai-nilai luhur
yang telah lama adanya.
2. Nilai utama yang terkandung dalam kebudayaan Bugis hendaknya mampu
menjadi one of solution dalam menyikapi dampak perkembangan
teknologi dan globalisasi supaya tidak kehilangan indentitas atau jati diri.
Ilmuwan dan ulama memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan
mengenai nilai kearifan lokal yang terintegrasi dengan Islam, tanpa
menghindari perkembangan zaman, karena justru nilai utama kebudayaan
Bugis seiring dengan semangat ajaran Al-Qur’an yang mendorong
masyarakat untuk menjadi garda terdepan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Hal demikian tentunya bukan hanya berlaku pada
81
masyarakat Bugis saja, tapi setiap entitas kebudayaan yang yang begitu
banyak di Indonesia, dimana masing-masing dari entitas tersebut memiliki
nilai-nilai kearifan budaya yang kiranya dapat diintegrasikan dengan nilai
Islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan.
3. Bagi seluruh mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, hendaknya agar lebih intens melakukan penelitian di
bidang etnografis, untuk mencapai pemahaman mengenai Islam dan
korelasinya dengan budaya lokal, sehingga dapat menemukan jawaban
mengenai makna dari tradisi yang berjalan dan dipraktekkan di tengahtengah masyarakat, khususnya dalam tradisi perkawinan, serta memahami
dan menganalisa maksud dan tujuan dari fenomena tersebut sebagai
sebuah pengetahuan yang baru dan tinggi nilainya.
82
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Abdul Kadir. Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Barat. Makassar: Penerbit Indobis. 2006.
Ahmad, Kamri, “Budaya Siri’ Bugis Makassar Sebagai Langkah Prevensi Delik,
Suatu Kajian Delik Pembunuhan dan Pencemaran Nama Baik Orang
Lain.”Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
1997.
Ahmadi, Fahmi Muhammad. dan Aripin, Jaenal. Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010.
Al-Baihaqi, Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali. Sunan Al-Kubra. Juz III. Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.
Al-Baihaqi, Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali. Sunan Al-Kubra. Juz III. Beirut: Dar alFikr, t.th.
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Juz II.
Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyah.1998.
Ali, Zainuddin. Antropologi Hukum. Palu: Yayasan Indonesia Baru. 2013.
Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr,
2004.
Asikin, Zainal dan Amiruddin. Pengantar Metode Peneiltian Hukum. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2004.
As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi. Ensiklopedia Hadits 5;
Sunan Abu Dawud. Penerjemah Muhammad Ghazali dkk.. Jakarta:
Almahira. 2013.
Ath-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari. Penerjemah
Akhmad Afandi. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.
Badan Pusat Statistik Bulukumba, Statistik Kabupaten Bulukumba 2014.
Bulukumba: BPS Bulukumba. 2014.
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam
Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 2005.
83
Falah, Ali Akbarul.“Pandangan Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Mattunda
Wenni Pammulang Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Kecamatan
Gantarang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan”, Skripsi S1 Fakultas
Syariah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2009.
Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi. Jakarta:
Penerbit Bulan Bintang. 1976.
Ghazali, Abdurrahman. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana. 2006.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti.
1990.
Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Agama Islam, Bogor: Cahaya Islam. 2006.
Hudaeri, Muhammad. ed.. Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia. Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. 2009.
Humam, Ibnu. Syarah Fath al-Qadiir. Juz III. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Yogyakarta: Penerbit Erlangga. 2009.
Kelsen, Hans. Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah Nurulita Yusron. Cet.
II. Bandung: Nusa Media, 2009.
Koentjaraningrat, Kebudayaan; Mentalitasdan Pembangunan. Jakarta: PT.
Gramedia. 2008.
Leinkeit, Roberts Edward. Introducing Cultural Anthropology. New York: The
McGraw-Hill Companies. 2004.
M.D., Sagimun. Sultan Hasanuddin Menentang V.O.C.. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1985.
Madzkur, Ibrahim. Al-Mu’jam Al-Wasiith, Beirut: Dar al-Fikr. t.th,
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Yogyakarta:
GrahaIlmu, 2011.
Mattulada “Kebudayaan Bugis-Makassar”. Dalam Koentjaraningrat, ed. Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbiat Djambatan. 1979.
Mughniyyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab. Penerjemah Masykur A.B.
dkk..Jakarta: Lentera. 1999.
84
Muhammad, Bushar. Asas-Asas Hukum Adat.Cet.14. Jakarta: PT Balai Pustaka.
2013.
Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: PT.
Bulan Bintang. 1974.
Mulkhan, Abdul Munir. Teologi Kebudayaan: Dan Demokrasi
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995.
Modernitas.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progresif. 1997.
Nonci, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis. Makassar: CV. Aksara. 2002.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya
Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Nurnaga, Andi. Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis. Makassar: CV.
Telaga Zamzam. 2001.
Nurudin, Amiur. dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana. 2004.
Pelras, Christian. The Bugis. Penerjemah Abdul Rahman Abu dkk.. Jakarta:
Penerbit Nalar. 2006.
Prasetya, Joko Tri. dkk., Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rinneka Cipta. 2013.
Riady Lamallongeng, Asmat. Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat
Bugis Bone. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Bone. 2007.
Rosid, Hattama dkk., ed., Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia.Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. 2009.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah Abdul
Rasyad Shiddiq. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2013.
Sabiq, As-Sayyid. Fiqh As-Sunnah. Kairo: Dar al-Fath li I‟lam al-„Arabi, 1999.
Saleh, H.E. Hassan dkk. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta:
Rajawali Pers. 2008
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. Shahih Fikih Sunnah. Penerjemah
Khairul Amri Harahap dan Faisal Saleh. Jakarta: Pustaka Azzam. 2007.
Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan,
(Bandung: Penerbit Alfabeta, 2013)
85
Shihab, M. Quraisy. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Vol. II, Ciputat: Lentera Hati. 2000.
Sholeh, Asrorun Ni‟am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga.
Jakarta: Penerbit eLSAS. 2008
Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Kencana Grup. 2010.
Soekanto, Soerjono. dan B. Taneko, Soleman. Hukum Adat Indonesia. Jakarta:
CV. Rajawali. 1981.
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2003.
Sopyan, Yayan. Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia. 2012.
Sopyan, Yayan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:t.t.p. 2009.
Spradley, James P. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara WacanaYogya. 1997.
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1991.
Sudiyat, Imam. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberti. 2007.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2007.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana. 2006
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam,
Jakarta: UI Press. 1986.
Tihami, M. A. dan Fahrani, Sohari. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers.2009.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka. 2005.
Vergouwen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta. 2004.
Wahid,
Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia
Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute. 2007.
dan
86
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika.
2008.
Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fiqhiyyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer.
Bandung: Penerbit Angkasa. 2005.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. 1990.
Zahrah, Muhammad Abu. Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah. Kairo: Daar al-Fikr al„Arabi. t.th.
Artikel dan Wawancara
Alaidrus, Shariva. “Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar”, artikel
diakses pada 04 Oktober 2015 dari http://www.antaranews.com/berita/
431398/mahar-dalam-tradisi-pernikahan-bangsawan-babar
Ama, Kornelis Kewa. “Mahar Kawin yang Membebani Keluarga”, artikel diakses
pada 04 Otober 2015 dari http://lipsus.kompas.com/jejakperadabanntt
/read/2010/12/10/08361911
Amir, Hern. “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”, artikel diakses pada 29
September 2015 dari http://daerah.sindonews.com/read/881803/29/jelajahtiga-datuk-di-sulawesi-selatan-1404994262
http://www.bulukumbakab.go.id/diaksespadatanggal 04 Mei 2014, pukul 22.00
WIB
www.MksBolKm.com. disarikan dari buku Tata Cara Perkawinan Menurut Adat
Bone; Lembaga Adat Saoraja Bone. Diakses pukul 15.38 WIB, tanggal 04
Mei 2014.
Wawancara Pribadi Dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat Bulukumba)
Wawancara Pribadi Dengan Drs. H. Abdul Hafidh, MAP. (Tokoh Agama
Bulukumba)
Wawancara Pribadi Dengan Drs. M. Arskal Salim, M.A., Ph.D (Ilmuwan Bugis)
Wawancara Pribadi Dengan Prof. Dr. H.A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
(Ilmuwan Bugis)
Wawancara Pribadi Dengan Elemen Masyarakat (Andi Megawati Adil, Andi
Sriwati, Andi Asmawati, Andi Indah Kumalasari)
87
Wawancara Pribadi Dengan Elemen Masyarakat.
87
HASIL WAWANCARA DENGAN ELEMEN MASYARAKAT
KABUPATEN BULUKUMBA
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
: Andi Megawati Adil, BA.
: 62 Tahun
: Desa Bonto Tangnga, Bulukumba
: Pensiunan Guru PNS
Pertanyaan:
Jawaban:
Mohon disampaikan waktu bapak/Ibu menikah ?
Tahun 2001
Pertanyaan :
Dalam prosesi pernikahan menurut adat istiadat disini terdapat
tahapan yang harus dipenuhi yaitu adanya mahar dan paenre‟,
mohon dijelaskan sepengetahuan bapak/ibu ?
Mahar merupakan salah sat unsur yang wajib ada dalam
pernikahan di Islam, paenre atau panai‟ itu yang “dinaikkan”
kepada mempelai perempuan, untuk ongkos pesta.
Jawaban
Pertanyaan:
Jawaban:
Pertanyaan:
Jawaban:
Pertanyaan:
Jawaban:
Jikalau bapak/ibu berkenan, mohon disampaikan kepada kami
jumlah mahar dan paenre‟ yang bapak/ibu terima/berikan ?
mahar saya berupa sebidang tanah perumahan 10x15 m3 dan
paenre‟ saya jika dikonversikan dengan nilai rupiah sekarang
sekitar Rp. 20.000.000,-.
Besaran mahar dan paenre‟ dipengaruhi oleh stratifikasi sosial
yang ada di tengah-tengah masyarakat, lantas jumlahnya
didasarkan kepada tingkatan status sosial calon mempelain
perempuan, semakin tinggi strata sosial calon mempelai
perempuan semakin besar pula jumlah mahar dan paenre‟ yang
diberikan, apakah bapak/ibu meneyetujui hal tersebut,
komentar bapak/ibu ?
Saya setuju dengan hal tersebut, karena dilingkungan keluarga
kami mempunyai ketentuan tersendiri. Untuk membedakan
derajat keluarga kami dengan yang lainnnya. Jalur keturunan
kebangsawanan yang ada dalam keluarga kami untuk
dipertahankan.
Apakah jumlah mahar dan paenre‟ yang terkadang sangat besar
tersebut tidak mempersulit pihak mempelai laki-laki, mohon
tanggapannya ?
Menurut saya tidak memberatkan, karena mempelai laki-laki
sudah mengetahui sekaligus telah memahami dan mengerti
88
ketentuan yang ada dalam keluarga besar calon mempelai
perempuan. Namun menurut pribadi saya, sesestinya
diserahkan sesuai kemampuan pihak mempelai laki-laki tetapi
nilai atau jumlah yang diberikan tidak mengurangi
harapan/kebutuhan pernikahan. Sebab apa, ditakutkan
menyusahkan bagi kedua mempelai, biasanya mengalami
kesusahan setelah pernikahan dilangsungkan karena terlilit
hutang (akibat jumlah mahar dan paenre‟ yang terlalu tinggi).
Agamapun menjelaskan kepada orang tua agar tidak
mempersulit pernikahan anak perempuannya, untuk
mengantisipasi hal-hal negatif yang akan terjadi pada seorang
perempuan apabila tidak segera dinikahkan.
Pertanyaan:
Jawaban:
Menurut bapak/ibu, apa makna yang terkandung (yang dapat
bapak/ibu pahami) dalam penentuan besaran mahar dan
paenre‟ tersebut ?
Pemahaman saya, ini mengenai harga diri seorang perempuan
beserta keluarga besarnya, karena jika tanpa diberi mahar dan
paenre‟ dianggap kehormatan seorang perepuan itu tidak ada.
Jadi bisa dibilang mahar itu dalam perspektif adat disini
sebagai bentuk kompenasi terhadap kehormatan seorang
perempuan, sedangkan paenre’ itu digunakan untuk membiayai
teknis prosesi pernikahan.
89
HASIL WAWANCARA DENGAN ELEMEN MASYARAKAT
KABUPATEN BULUKUMBA
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
: Andi Sriwati, S.Pd., MM., M.Pd.
: 44 Tahun
: Kecamatan Bonto Tiro, Bulukumba
: Guru (Pegawai Negeri Sipil)
Pertanyaan:
Jawaban:
Mohon disampaikan waktu bapak/Ibu menikah ?
Pada september 2001
Pertanyaan :
Dalam prosesi pernikahan menurut adat istiadat disini terdapat
tahapan yang harus dipenuhi yaitu adanya mahar dan paenre‟,
mohon dijelaskan sepengetahuan bapak/ibu ?
Mahar disini disebut dengan sunrang, uang paenre‟ atau panai‟
itu uang belanja.
Jawaban
Pertanyaan:
Jawaban:
Pertanyaan:
Jawaban:
Pertanyaan:
Jawaban:
Jikalau bapak/ibu berkenan, mohon disampaikan kepada kami
jumlah mahar dan paenre‟ yang bapak/ibu terima/berikan ?
Mahar saya berupa tanah perumahan seluas 15x20 m2,
sedangkan panre‟ saya pada waktu itu sedang pasca krismon
sebesar Rp. 8.000.000,-, bila dikonversi pada saat ini sekitar
Rp. 40.000.000,-.
Besaran mahar dan paenre‟ dipengaruhi oleh stratifikasi sosial
yang ada di tengah-tengah masyarakat, lantas jumlahnya
didasarkan kepada tingkatan status sosial calon mempelain
perempuan, semakin tinggi strata sosial calon mempelai
perempuan semakin besar pula jumlah mahar dan paenre‟ yang
diberikan, apakah bapak/ibu meneyetujui hal tersebut,
komentar bapak/ibu ?
Ya saya setuju, karena memang sudah ketentuan adat beitu.
Jika mahar memang keberadaannya ditentukan oleh agama.
Namun, tentang paenre‟ saya kira bisa dikompromikan. Namun
terkadang paenre‟ itu diberikan oleh pihak laki-laki lebih dari
permintaan pihak perempuan karena mampu.
Apakah jumlah mahar dan paenre‟ yang terkadang sangat besar
tersebut tidak mempersulit pihak mempelai laki-laki, mohon
tanggapannya ?
(Tidak berkomentar)
90
Pertanyaan:
Jawaban:
Menurut bapak/ibu, apa makna yang terkandung (yang dapat
bapak/ibu pahami) dalam penentuan besaran mahar dan
paenre‟ tersebut ?
Ya minimal itu sebagai sebuah bentuk apresiasi terhadap harkat
dan martabat seorang perempuan yang akan dipinang.
91
HASIL WAWANCARA DENGAN ELEMEN MASYARAKAT
KABUPATEN BULUKUMBA
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
: Andi Indah Kumalasari
: 35 Tahun
: Jl. Cendana No. 2 Kel. Caile, Kec. Ujung Bulu, Bulukumba
: Pegawai Honorer Pemerintah Kabupaten Bulukumba
Pertanyaan:
Jawaban:
Mohon disampaikan waktu bapak/Ibu menikah ?
Tahun 2002
Pertanyaan :
Dalam prosesi pernikahan menurut adat istiadat disini terdapat
tahapan yang harus dipenuhi yaitu adanya mahar dan paenre‟,
mohon dijelaskan sepengetahuan bapak/ibu ?
Mahar itu harus ada, tidak boleh tidak ada. Jika paenre‟ uang
yang diberikan untuk melaksanakan pesta yang jumlahnya itu
setahu saya bisa sesuai kesepakatan.
Jawaban
Pertanyaan:
Jawaban:
Pertanyaan:
Jawaban:
Pertanyaan:
Jawaban:
Jikalau bapak/ibu berkenan, mohon disampaikan kepada kami
jumlah mahar dan paenre‟ yang bapak/ibu terima/berikan ?
Mahar saya berupa sebidang tanah persawahan (jumlahnya
tidak disebutkan). Dan waktu itu paenre‟nya berupa uang
senilai Rp. 15.000.000 kira-kira kalau sekarang bisa sekitar
diatas Rp. 50.000.000,Besaran mahar dan paenre‟ dipengaruhi oleh stratifikasi sosial
yang ada di tengah-tengah masyarakat, lantas jumlahnya
didasarkan kepada tingkatan status sosial calon mempelain
perempuan, semakin tinggi strata sosial calon mempelai
perempuan semakin besar pula jumlah mahar dan paenre‟ yang
diberikan, apakah bapak/ibu meneyetujui hal tersebut,
komentar bapak/ibu ?
Iya tentu setuju, karena keluarga kami memang sudah seperti
itu.
Apakah jumlah mahar dan paenre‟ yang terkadang sangat besar
tersebut tidak mempersulit pihak mempelai laki-laki, mohon
tanggapannya ?
Ya memang kadang mempersulit, karena mungkin faktor
kemampuan laki-laki itu tidak semua sama.
92
Pertanyaan:
Jawaban:
Menurut bapak/ibu, apa makna yang terkandung (yang dapat
bapak/ibu pahami) dalam penentuan besaran mahar dan
paenre‟ tersebut ?
Menurut saya itu sebagai bentuk penghormatan terhadap
derajat keluarga kami.
93
HASIL WAWANCARA DENGAN ELEMEN MASYARAKAT
KABUPATEN BULUKUMBA
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
: Andi Asmawati Kr. Ade, S.Sos., M.M.,M.SDM.
: 41 Tahun
: Jl. Mutiara Laut No. 7 Kel. Ela-ela, Bulukumba
: PNS Pemerintah Kabupaten Bulukumba.
Pertanyaan:
Jawaban:
Mohon disampaikan waktu bapak/Ibu menikah ?
28 Desember 1997
Pertanyaan :
Dalam prosesi pernikahan menurut adat istiadat disini terdapat
tahapan yang harus dipenuhi yaitu adanya mahar dan paenre‟,
mohon dijelaskan sepengetahuan bapak/ibu ?
Intinya mahar atau sunrang dan paenre‟ itu yang diberikan
pihak laki-laki ke pihak perempuan dalam prosesi pernikahan
menurut adat istiadat disini.
Jawaban:
Pertanyaan:
Jawaban:
Pertanyaan:
Jawaban:
Pertanyaan:
Jawaban:
Jikalau bapak/ibu berkenan, mohon disampaikan kepada kami
jumlah mahar dan paenre‟ yang bapak/ibu terima/berikan ?
Sebidang tanah kebun di daerah Longi berukuran 15x20 m2
dan paenre‟nya waktu itu sebesar Rp. 5.000.000 kalau zaman
sekarang ya bisa sekitar 30-an juta mungkin.
Besaran mahar dan paenre‟ dipengaruhi oleh stratifikasi sosial
yang ada di tengah-tengah masyarakat, lantas jumlahnya
didasarkan kepada tingkatan status sosial calon mempelain
perempuan, semakin tinggi strata sosial calon mempelai
perempuan semakin besar pula jumlah mahar dan paenre‟ yang
diberikan, apakah bapak/ibu meneyetujui hal tersebut,
komentar bapak/ibu ?
Setuju, karena memang pada dasarnya itu sudah merupakan
ketentuan adat yang berlaku di kalangan kami.
Apakah jumlah mahar dan paenre‟ yang terkadang sangat besar
tersebut tidak mempersulit pihak mempelai laki-laki, mohon
tanggapannya ?
Tentu tidak, karena sudah ada kesepakatan antara kedua belah
pihak, sehingga hasil musyawarah keluarga bisa diterima dan
dilaksanakan bersama.
94
Pertanyaan:
Jawaban:
Menurut bapak/ibu, apa makna yang terkandung (yang dapat
bapak/ibu pahami) dalam penentuan besaran mahar dan
paenre‟ tersebut ?
Setahu saya, yang jelas ini mengenai mahar atau sunrang
beserta paenre’ berkaitan dengan martabat keluarga.
95
HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH ADAT
KABUPATEN BULUKUMBA
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
: Andi Jumliadi Adil
: 63 Tahun
: Desa Bontotangnga, Kecamatan Bonto Tiro, Bulukumba
: Anggota Lembaga Adat Kabupaten Bulukumba.
Pertanyaan: Dari perspektif adat istiadat disini, bagaimana penjelasan bapak mahar
dan paenre‟ itu ?
Jawaban:
Ya jika mahar itu sudah merupakan kewajiban suami kepada isteri dan
agama sudah mengaturnya, jika paenre‟ itu memang hukum adat yang
berlaku disini yang diliat berrdasarkan tingkatan sosialnya.
Pertanyaan: Bagaimana mekanisme pemberian mahar/paenre’ dari suami kepada
isteri di daerah ini?
Jawaban:
Jika mahar diserahkan ketika prosesi akad nikah, jika paenre‟
diserahkan ketika mapettu ada‟ atau ketika menerima utusan keluarga
mempelai pria untuk yang kedua kalinya.
Pertanyaan: Bagaimana jenis-jenis mahar/panai yang ada di masyarakat saat ini,
dan apakah telah terjadi beberapa perubahan ?
Jawaban:
Ya jika mahar dan paenre‟ itu berdasarkan status sosialnya. Bisa
karena dia anak bangsawan, atau karena pekerjaannya, atau karena
jabatan dan pendidikannya. Tergantung permintaan keluarga pihak
perempuan, tetapi baisanya berupa tanah atau emas untuk mahar, dan
jika paenre‟ dahulu bisa berbentuk tanah, kelapa, atau sapi, tapi saat
ini bisa dengan uang tunai, termasuk bisa dengan emas.
Pertanyaan: Menurut pengalaman bapak, apakah pasangan menetapkan
mahar/paenre’ tidak mengalami gesekan-gesekan dalam keluarga
masing-masing ?
Jawaban:
Sebenarnya iya itu dapat terjadi, namun karena sebelumnya telah
dikomunikasikan oleh kedua belah pihak, insya Allah itu tidak terjadi,
intinya bagaimana saling menjaga kehormatan masing-masing
keluarga. Kami mengenal budaya siri‟ dan karena prinsip yang
dipegang teguh oleh masyarakat disini adalah sipakatau, sipakale’bi,
dan sipakainge’. Sipakatau dapat dimaknai dengan memanusiakan
manusia, saling menghormati sesama manusia, sipakale’bi bisa
dimaknai saling melebihkan artinya saling mengangkat dan menjaga
derajat, dan sipakainge’ bermakna saling mengingkatkan antara satu
dengan yang lainnya.
96
Pertanyaan: Jika ternyata dalam beberapa kasus pernikahan tidak mengikuti
kebiasaan-kebiasaan yang telah dijalankan, apakan ada sanksi-sanksi
yang dijatuhkan oleh hukum adat dan masyarakat kepada kedua
mempelai ?
Jawaban:
Ya jelas tersisih dari keluarga besar, terdapat istilah “teaja’ nakke na
sassali pammanakang”. Jika diartikan secara bahasa kalimat itu
maknanya “saya tidak mau dipermalukan oleh kemenakan”, namun
lebih luasnya bahwa dalam sebuah rumpun keluarga besar harus saling
menjaga nama baik, jangan sampai mempermalukan ataupun
mencoreng nama baik keluarga besar. Jika di masyarakat, sanksi sosial
yang terjadi misalnya selain tersisih (namun tidak sekeras yang terjadi
dalam keluarga besar) mereka menggunjingkan hal-hal tersebut yang
terkadang tanpa henti-hentinya.
Pertanyaan: Sebenarnya apa makna utama yang ingin ditunjukkan, atau apa yang
dapat dipahami dari mahar dan paenre‟ itu harus sesuai dengan status
sosialnya, misalnya jika bangsawan harus sekian, jika bukan
bangsawan pun sekian, sebenarnya apa yang hendak ditunjukkan ?
Jawaban:
Yang jelas status sosianya, tingkatan strata sosialnya berdasarkan
keturunannya itulah yang menandakan, misalnya jika turunannya
begini ya harus begini, tidak boleh tidak, karena memang ada beberapa
jalur keturunan harus melalui itu karena garis darah
kebangsawanannya, dari “sono”nya memang sudah harus begitu.
Pertanyaan: Anggaplah sekarang bukan karena status darah birunya, anggaplah
karena sudah hidup mapan, sudah mempunyai pekerjaan, pendidikan
yang mumpuni, ditetapakan mahar tinggi juga, sebenarnya bagaimana
makna filosofis yang terkandung dalam mahar dan paenre‟ itu dari
perspektif adat istiadat disini ?
Jawaban:
Tentunya untuk saling menghormati asal-usul kita, dan untuk
menunjukkan bahwa kita ini memang dari “sana” begitu, artinya kita
dari jalur keturunan yang terhormat, makna filosofisnya ya untuk
saling menjaga nama baik keluarga, misalnya ya karena status
sosialnya tinggi, meskipun bentuk penghormatan itu tidak mesti
diberikan dalam bentuk jumlah mahar dan paenre‟ yang besar, tapi kan
tidak tepat juga jika diberikan dalam bentuk kecil, kira-kira begitu.
Intinya saling menjaga kehormatan keluarga.
Pertanyaan: Bagaimana kiranya pandangan bapak mengenai pelembagaan adat
Bugis (mengenai mahar dan panere‟) di Kabupaten Bulukumba ini ?
Jawaban:
Memang sudah mulai sedikit terkikis karena perubahan zaman, tapi
tidak secara menyeluruh karena ada beberapa nilai yang tetap terjaga,
97
yang berubah itu kebiasaan yang bersifat materi yang dulu misalnya
kita biasa menggunakan kelapa dan sebagainya, hal-hal yang bersifat
materi bisa saja berubah namun nilai-nilai yang terkandung
didalamnya, harus tetap dicapai, nilai-nilai yang kita inginkan harus
tercapai yaitu tiga aspek tadi, sipakale’bi sipakatau sipakainge‟. Disini
khususnya di Bulukumba terdapat lembaga adat yang bertujuan untuk
menjaga adat istiadat dari leluhur kita agar tetap kita pertahankan dan
tetap kita jaga, namun kalau misalnya ada adat-adat dari luar
sepanjang sifatnya mendukung adat leluhur kita ya kita ambil kalau
tidak ya kita tolak mentah-mentah, ya memang kaitannya dengan
agama kita selamanya bersandar kesana, saling memperkuat, bahkan
antara hukum adat dan agama saling memperkuat nampaknya.
Pertanyaan: Jadi dari perspektif bapak, hubungan antara adat istiadat dan agama itu
saling mendukung ?
Jawaban:
Iya benar saling mendukung dan saling menguatkan, kalau adat yang
kita anut disini (Bugis) ya begitu. Artinya harus diseimbangkan antara
hukum adat dan agama, jangan “lembek” di salah satunya, jangan
terjadi ketimpangan di salah satunya. Karena sebenarnya memang
yang sangat kuat memegang hukum adat ialah orang-orang tua neneknenek kita terdahulu, namun karena telah masuk nilai-nilai Islam,
hukum adat bisa menjadi lebih luwes. Adapun adat-istiadat kita
sebenarnya merupakan bantuk evolusi dari agama nenek moyang,
mulai dari agama hindu budha termasuk agama dari zaman batu,
disitulah yang banyak melebur ke dalam kebiasaan orang-orang tua.
Islam datang lalu kemudian terdapat beberapa pertentangan yang
dianggap dapat memperlemah kebiasaan-kebiasaan itu, karena agama
hindu budha termasuk animisme berevolusi menjadi adat isitiadat,
yang awalnya tidak ada agama, menjadi animisme kemudian masuk
hindu dan budha, lantas pengaruh agama terdahulu tersebut tetap ada
namun sudah tidak berbentuk dalam hal Tuhan.
Pertanyaan: Jadi sebenarnya bisa dikatakan ketentuan mengenai mahar dan
paenre‟, utamanya dalam hal paenre‟ harus berdasarkan stratifikasi
sosial telah lebih dulu ada sebelum Islam datang ?
Jawaban:
Iya memang sudah ada, karena memang awalnya adat yang mengatur,
sebelum agama (Islam) datang adat telah lebih dulu mengaturnya,
Pertanyaan: Apakah tidak ada masalah ketika Islam datang terhadap kebiasaaan
tentang paenre‟ ?
Jawaban:
Sebenarnya ada masalah sedikit dalam hal paenre‟ namun masih bisa
ditolerir karena memang bukan masalah keyakinan yang terganggu
hanya mengenai tradisi perkawinan dari orang-orang tua dulu.
98
Pertanyaan: Apakah suatu waktu pernah datang kepada bapak seseorang yang
“paham agama” untuk mengomentari kebiasaan ini (mahar dan
paenre‟) ?
Jawaban:
Tidak ada, yang ada bahkan hanya bertanya mengenai hal ini, lalu saya
jelaskan mengenai ketentuan-ketentuan adat istiadat kita disini.
Pertanyaan: Bagaimana dengan tokoh agama yang ada di bulukumba, apakah ada
yang mempermasalahkan ?
Jawaban:
Tidak ada yang mempermasalahkan.
99
HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH AGAMA
KABUPATEN BULUKUMBA
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
: Drs. H. Abdul Hafid, MAP
: 49 Tahun
: Jln. Lanto Dg. Pasewang Lr. I Blok B/16 Bulukumba
: Kasi Bimas Islam Kementrian Agama Kabupaten Bulukumba
Pertanyaan: Secara umum, kehidupaan keagamaan di Bulukumba menurut bapak
bagaimana ?
Alhamdulillah disini mayoritas umat Islam, 99% masyarakat
Jawaban:
Bulukumba muslim, termasuk para pendatang dari kalangan chinesse
banyak yang sudah masuk Islam, campuran lain para pendatang yang
bekerja disini dari Sumatera juga muslim.
Pertanyaan: Menurut bapak, bagaiamana sebenarnya posisi Islam terhadap adat
istiadat ?
Jawaban:
Saya melihat, karena kebetulan saya juga mempelajari hukum Islam
yang berkaitan dengan masalah hukum adat, artinya penopang dari
hukum Islam itu adalah hukum adat, jadi sudah jelas kaidah hukumnya
itu mengatakan al-‘aadatu muhakkamah adat itu adalah suatu bentuk
hukum yang bisa dilestarikan, yang bisa menopang kehidupan umat
Islam, saya lihat tidak ada, tidak ada perbedaan, karena dalam hukum
Islam itu tekait dengan masalah angka-angka terdapat batasan-batasan
tetapi dalam hukum adat tergantung dari kemampuan seseorang,
terkadang orang melihat apakah sesuai dengan syariat Islam atau
bagaimana, tapi dalam penjabarannya disitulah yang menopang, saling
menopang satu sama lain.
Pertanyaan: Bagaimana bentuk mahar dan paenre‟ yang terdapat pada masyarakat
Bulukumba saat ini, sepengetahuan bapak, mohon penjelasan
mengenai Mahar dan Paenre‟ tersebut?
Jawaban:
Mahar itu kan suatu keharusan, bahkan beberapa Imam mengatakan
tanpa mahar itu nikahnya tidak sah, meskipun ada beberapa beberapa
imam mengatakan itu tidak, justru itulah yang dijadikan dasar (mahar
itu), kondisi masyarakat kita selalu melihat. Kalau dulu memang di
zaman orang tua kita mereka selalu berorientasi mahar itu kepada
tanah, tetapi kondisi sekarang karena mungkin paradigma masyarakat
sudah bergeser juga, terkadang mereka sudah bisa men-qiyaskan tidak
usah tanah-lah yang penting ada yang bernilai ya semacam cincin, ya
semacam benda-benda lain selain daripada tanah, dan kondisi sekarang
itulah yang terjadi di Bulukumba, dan saya lihat dari sepuluh (10)
kecamatan itu memang saling berkaitan. Dan saya juga pernah
100
bertugas di Kecamatan Herlang, begitupun di Bulukumpa, saya
melihat 10 kecamatan ternyata pelaksanaannya sama. Cuma terkait
dengan itu, mahar itu tidak berdiri sendiri tetapi ada embel-embel adat
yang masuk disitu, inilah yang terkadang salah persepsi terhadap
masyarakat kita, orang-orang yang dari luar mengatakan ini koq ada
seperti ini, misalnya pallao tanah itu juga satu bentuk atau item yang
dibicarakan, tetapi kita orang baru mendengarkan hal-hal seperti itu
justru dia mengatakan koq ada tambahan lagi, padahal itu memang
sudah adat yang masuk disitu, sama dengan pallao sapposisseng itu
juga bagian dari disitu, terkadang diserahkan berdasarkan bersamaan
dengan mahar, jadi terkadang kita disini ada complain dari masyarakat
tentang itu ya kita luruskan, bahwa memang antara mahar dan hal-hal
seperti itu mahar itu sesuai dengan tuntunan syariat Islam yang
melekat di hukum Islam, tetapi menyangkut budaya lokal selama tidak
ada unsur pemaksaan saya pikir sah-sah saja. (Mengenai paenre‟)
makanya dalam hukum Islam itu kan kesepakatan „an taraadhin
minkum (kesepakatan diantara kamu) dan jangan memaksakan seorang
laki-laki tidak sesuai dengan kemampuannya, itu pentunjuk dalam
Islam. Makanya itu juga yang dijabarkan dalam adat, sekarang kan
paradigma sudah bergeser bahwa sudah ada kelompok masyarakat
sekarang yang berani menanyakan/menyampaikan kepada pihak lakilaki bahwa jangan dipaksakan, sesuai saja dengan kemampuannya,
kalau dulu kan dipatok, kalau anda tidak bisa mengajukan ini, anda
tidak usah melanjutkan pembicaraan, tapi sekarang zaman sudah
semakin terbuka begitupun sekat-sekat sudah semakin terbuka,
paradigma masyarakatpun sudah mulai berubah, jadi tidak ada lagi, ya
walaupun misalnya ada orang tertentu, tapi memang sudah sesuai
kemampuannya. Kemarin ada yang menghebohkan di Bulukumba
yang paenre‟nya sampai Rp. 500.000.000,- dan itupun belum terkait
maharnya, itu belum dihitung dengan erang-erang-nya, belum
bosara‟-nya dan sebagainya dan sebagainya. Tetapi kalau masalah
paenre itu masih sangat variatif, tergantung dari kemampuan, tetapi
saya lihat masyarakat kita sudah mulai terbuka wawasannya bahwa hal
seperti itu tidak boleh dipaksakan, tergantung kemampuan. Dan saya
pernah mengikuti satu majelis (mapettu ada‟) untuk itu, mereka
mengatakan “berapa kemampuanta‟ nak itu saja, tidak usah
dibicarakan disini !” ini sebuah indikasi mengarah bahwa kita ini
sudah menerapkan hukum Islam dan hukum adat juga sudah menerima
seperti itu.
Pertanyaan: Berarti intinya bahwa ternyata untuk posisi mahar dan paenre‟ di
Bulukumba sudah mulai terjadi beberapa pergeseran/perubahan dari
kebiasaan-kebiasaan terdahulu mengikuti komoderenan zaman ?
101
Jawban:
Iya. Jadi sekarang saya lihat mahar itu sudah berbicara stel-an. Jadi
emas 1 stel, tapi kalau besarannya itu kan terkadang mereka tidak
menentu, yang jelasnya berbicara emas satu stel berarti ada cincin, ada
giwang, ada kalung, dan itu tidak ada yang dibawah 10 gram. Jadi
memang sudah ada nilai seorang wanita, karena nilainya wanita itu
kan tergantung dari mahar, walaupun nabi membatasi sesuai
kemampuan.
Pertanyaan: Besaran mahar dan paenre‟ dipengaruhi oleh stratifikasi sosial yang
ada di tengah-tengah masyarakat, lantas jumlahnya didasarkan kepada
tingkatan status sosial calon mempelai perempuan, semakin tinggi
strata sosial calon mempelai perempuan semakin besar pula jumlah
mahar dan paenre‟ yang diberikan, komentar bapak ?
Sebagian berlaku seperti itu. Makanya saya katakan tadi zaman kita
Jawaban:
kan sudah terbuka, dunia sudah semakin terbuka. Dulu kenapa seperti
terhijab begitu, terbelenggu dengan pemahaman seperti itu karena
keinginan menikah itu hanya keinginan orang tua, sekarang
dipengaruhi oleh anak makanya disitu bukan menjadi nilai tawaran
yang sangat tinggi dalam tanda petik bahwa harus terpenuhi, stratanya
memang seperti ini dan nilainya, nilai jualnya seandainya barang nilai
jualnya harus tinggi karena sudah sarjana, sudah bekerja, sudah naik
haji misalnya, jelas. Dan kondisi ini juga yang membuat sebagian kecil
masyarakat kita yang menahan (diri), bahkan tidak ada yang mau
melamar karena dia selalu melihat (besarnya mahar dan paenre‟),
tetapi disisi lain, (masyarakat) sudah terbuka bahwa hal demikian
bukan lagi menjadi penghalang, artinya sudah ada paradigma yang
dimiliki oleh masyarakat bahwa hal-hal seperti itu sebenarnya sudah
sangat merusak hubungan persaudaraan, dan kalau masih ada yang
bertahan seperti itu kita lihat pada kondisi keluarnya juga, bahkan
dilingkungan kita disini masih ada (yang menerapkan) karena apa,
karena latar belakang keluarga yang tidak mau bergeser kondisikondisi yang dialami oleh orang tuanya dulu (mahar dan paenre‟
tinggi), (misalnya) saya ini kan punya status Karaeng, Andi, dan
sebagainya, jelas nilainya. Namun sekarang sudah tidak, mulai
bergeser.
Pertanyaan: Misalnya untuk masyarakat yang keluarga besarnya kiranya masih
mempertahankan mengenai strata sosialnya yang tinggi harus dengan
mahar dan paenre‟ yang tinggi, menurut bapak, apakah pihak
mempelai laki-laki terbebani ?
Jawaban:
Boleh iya boleh tidak, artinya begini kalau kita kembali ke hukum
Islam bahwa menikah itu kan untuk melanjutkan keturunan, tetapi ada
juga mungkin orang yang memiliki pandangan bahwa saya menikah
102
ini hanya mau diakui status saya, status sosial saya, makanya
diupayakan (terpenuhi), tapi masalah terbebani jelas-lah, karena ini
menyangkut masalah angka-angka ya, siapa sih tidak (terbebani),
kecuali kalau misalnya dia ada targetnya bahwa okelah saya naikkan
sampai Rp. 100.000.000,- dengan pertimbangan karena memang
rumpun keluarga sana rumpun besar, tidak mungkin dia tidak bisa
siapkan pekerjaan yang lebih besar lebih menguntungkan ketimbang
dengan apa yang saya naikkan, bisa saja terjadi. Tapi kalau untuk
kondisi Bulukumba sudah mulai bergeser, artinya sangat sulit
ditemukan orang yang mempertahankan budaya/tradisi seperti itu. Tapi
bukan berarti tidak ada, masih tetap ada.
Pertanyaan: Apakah bapak (sebagai salah satu bagian dari Kementrian Agama)
kiranya pernah membicarakan hal-hal tersebut dengan (misalnya)
tokoh adat atau lembaga adat setempat?
Jawaban:
Jadi pada dasarnya kita ini pelayan masyarakat, artinya kita menerima
pelaporan/aspirasi dari bawah, jadi kita tidak mampu untuk turun
meskipun mengetahui kondisi tersebut, tapi kita tidak punya
kewenangan untuk itu, kecuali kalau diminta, oke kita jelaskan,
disitulah kesempatan kita untuk mensosialisasikan syarat-syarat nikah,
bahwa syarat-syarat nikah itu adalah se-kufu, artinya apa ? sepadan.
Sepadan disitu perempuan mau, laki-laki mau dan tidak ada saling
membebani, tapi kalau memang ada hal-hal yang “dibicarakan” dan
tidak memaksakan, silahkan. Adat berlakukan disitu. Jadi kita tidak
mampu untuk turun kecuali kalau memang diminta, aparat kami akan
memberikan penjelasan terkait dengan masalah itu. Jadi kami akan
selalu responsif terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat seperti itu,
ketika memang diminta.
Pertanyaan: Menurut bapak, bagaiman kiranya Islam memandang terhadap
tingginya mahar dan paenre‟ seorang perempuan ? apakah Islam
kiranya bisa berkompromi dengan hal tersebut atau dengan tegas
bapak mengatakan bahwa Islam tidak mengajarkan demikian ?
Artinya kita kan hanya menginterpretasikan bahwa mahar itu adalah
Jawaban:
nilai seorang perempuan, jadi mungkin disini, dimana dalam Islam
tidak dijelaskan bagaimana, cuma batasannya diberikan contoh bahwa
nabi menikahi si A si fulaanah dengan mahar sekian, itulah yang
dijadikan dasar, tetapi dengan melihat kondisi di zaman nabi dengan
kondisi di zaman kita, kita kan lebih sejahtera sekarang. Jadi saya pikir
sah-sah saja kalau memang ada tawaran dari pihak perempuan karena
melihat kondisi laki-laki bahwa dia memungkinkan, silahkan karena
anda kan mau mengambil anak saya, mau mensejahterakan anak saya,
cuma kesan yang harus ditinggalkan disitu poin-poinnya adalah jangan
103
sampai ada kesan bahwa saya menjual anak, itu yang tidak benar, tapi
kaitannya dengan kesepakatan kedua belah pihak sesuai dengan
kondisinya, saya pikir itu sangat-sangat benar, hukum Islam juga tidak
melarang koq.
Pertanyaan: Apakah ada makna filosofis yang terkandung dalam penetapan jumlah
mahar dan paenre‟ tersebut, menurut bapak ?
Jawaban:
Jadi ada satu ungkapan leluhur kita sipakatau sipakale’bi, sipakatau
sipakale’bi itu kita bisa interpretasikan bahwa tidak hanya dalam
kaitannya dengan siparingerrangi, tetapi kaitannya itu seperti itu, anda
menghargai saya saya juga akan lebih menghargai anda, itulah filosofi
yang terjadi, contoh misalnya ketika anda “datang” dirumah walaupun
anda misalnya golongan ata‟ (golongan orang yang bukan bangsawan)
tetapi anda datang dengan hormat saya terima, bahwa anda akan
meleburkan diri menjadi anak, saya terima, itulah saking bagusnya
kita karena adatta‟ kan memilih untuk seperti itu, luar biasa memang,
artinya sipakaraja sipakalebbi, sipakainge. Nah inilah yang terjadi,
karena memang dalam proses pernikahan itu dilakukan dalam
beberaoa jenjang, beberapa fase pembicaraan, istilah mamanu‟-manu‟
kemudian bagaimana pihak laki-laki berdialog atau bertemu langsung
dengan pihak calon isterinya, disitu kan dilihat semua, jadi memang
budaya tadi, sipakatau sipakalebbi sipakainge itu memang sangat
bagus dan itulah yang mungkin tidak akan hilang kepada anak cucu
kita nanti dan bisa dipertahankan oleh mereka, dan itulah nanti nilai
filosofis yang akan diwariskan kepada mereka, sangat luar biasa
memang, artinya cakupan pengetian dan pemahamannya sangat luas.
Pertanyaan: Kiranya nasehat bapak kepada para pemuda yang hendak
mempersuting seorang perempuan disini, makna yang dapat kita ambil
dari perihal keluarga mempelai perempuan yang menetapkan mahar
dan paenre‟ dalam jumlah yang tinggi, apakah memang kita dituntuk
untuk harus mapan secara materi terlebih dahulu baru berani
mempersunting atau bagaimana pak, mohon penjelasannya pak ?
Jawaban:
Di dalam hadits kan ada beberapa penjelasan, utamanya dalam hadits
“wahai para pemuda, apabila kamu sudah mampu.....”, mampun disini
bukan hanya dari segi materi tetapi bagaimana mengendalikan emosi,
dan itu modal kita, kemudian mampu dalam hal menjadi imam bagi
isteri, kalau itu saja dimiliki maka semuanya akan lancar, karena
ketika akhiratmu kamu tuntut maka duniamua akan ikut, beda jika
dunia yang dituntut maka akhirat itu akan tertinggal. Dan saya pikir,
ketika kita beristeri itu kan sudah sebagian dari perintah agama sudah
dilaksanakan, jadi ketika kita dihadapkan dengan kondisi seperti “itu”
ya tentukan, dianjurkan untuk bagaimana istikharah, minta kepada
104
Allah, ya Allah tunjukkan apakah saya tetap maju atau atau
bagaiamana, kan meminta solusi. Kemudian yang kedua, kondisi
sekarang kan semakin tebuka, maksudnya, bukan cuma kita bertahan
terhadap (kemauan) pihak mertua tetapi bisa kita komunikasikan
dengan calon isteri misanya, bagaimana ini ?, yang jelas kita akan
manfaatkan/fungsikan
(komunikasikan)
jika
memang
ada
keinginan/hasrat kuat kita untuk mempersuting dia, manfaatkan itu
(peluang kompromi). Yang selanjutnya, ketika misalnya tidak mampu
(memenuhi) seperti itu, ya kita legowo saja, berarti memang Allah
tidak mentakdirkan untuk bersama-sama dengan dia, jangan sampai
saya paksakan justru akan lebih banyak mudharatnya. Tapi saya pikir
kondisi/kasus seperti itu sangat kecil kemungkinan terjadi, karena
memang kedua insan ini sudah sangat sepakat, dua-duanya sudah bisa
membicarakan kepada kedua orang tuanya, kalau dulu pihak suami
saja yang langsung ke orang tua, tapi sekarang justru anak perempuan
yang menanyakan bagaimana ini pak ada yang mau datang melamar
saya, bagaimana kita ? tentu pasti ditanya apa kemampuannya ini dan
ini, pasti ditanya begitu, jadi kita sikapi saja secara bijaksana, dan saya
pikir ketika kita menengadahkan kedua tangan, Allah akan tunjukkan
jalan bahwa oh ternyata (dia ditakdirkan bersamamu), jika memang
rezekimu biarpun berapa ditentukan (jumlahnya) pasti akan tetap
diberikan jalan.
105
HASIL WAWANCARA DENGAN SALAH SATU ILMUWAN BUGIS
M. ARSKAL SALIM, M.A., Ph.D
Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan, mempunyai ketentuan adat yang masih
sangat kuat dilaksanakan oleh masyarakat, yaitu dalam hal perkawinan (yang
tentunya bukan hanya menggunakan aturan agama melainkan dipadukan dengan adatistiadat), aturan mengenai kadar mahar yang ditentukan berdasarkan strata sosial
mempelai perempuan (Mattulada: 1971, keterangan ini juga dapat dipastikan setelah
penulis mewawancarai tokoh adat di Bulukumba) dan adanya panai‟/paenre‟
(pemberian mempelai pria kepada pihak keluarga mempelai perempuan, biasanya
berupa sejumlah uang untuk beberapa keperluan, berdasarkan ketentuan adat yang
ada).
1. Pertanyaan: Mohon kiranya bapak dapat menanggapi peryataan penulis tersebut
(sudut pandang bapak mengenai mahar paenre‟/panai‟dalam masyarakat Bugis ?)
Jawaban : Itu adalah hukum adat, jadi karena menjadi hukum adat sementara
dalam Islam ada “al-‘aadatu muhakkamah”. Jikalau menjadi standar praktek
sebuah tempat dan diterima pada umumnya masyarakat disana , tidak ada yang
mencoba menentangnya, tidak ada masalah. Toh kalaupun dianggap bertentangan
dengan hukum Islam, mungkin keterangan hukum Islam yang menjelaskan bahwa
sebenarnya menikah dengan jumlah sekian juga boleh, karena itu kan juga bukan
syarat, bukan syarat pernikahan. Tapi dalam hal ini adat memberi aturan bahwa
mahar atau uang panai‟ harus sekian dan sekian. Ketika itu menjadi sebuah
konsensus bersama di dalam masyarakat, maka itu diterima, kalaupun konsensus
ini ada yang yang tidak menerimanya dan hendak melaksanakan pernikahannya
(sesuai kehendaknya) boleh-boleh saja, namun pada akhirnya dia akan
mendapatkan semacam sanksi sosial dari keluarganya sendiri (misalnya dengan
ungkapan) “oh koq anaknya dinikahkan dengan begitu, seperti apa saja”), itu
yang kemudian sering muncul, makanya karena ini merupakan hukum adat,
praktek sosial, tidak bisa dibuat semacam sanksi yang sifatnya normatif, atau dari
agama itu juga sanksinya bersifat sosial.
2. Pertanyaan: Berarti jelas bahwa antara mahar dan paenre‟ disini berbeda, karena
mahar ada dalam aturan agama meskipun unsur adat dapat masuk kedalamnya,
sedangkan paenre‟ disini murni aturan adat. Tanggapan bapak ?
Jawaban : Kita harus tahu bahwa adat itu sudah ada sebelum Islam datang ke
Sulawesi, jadi ketika Islam datang dan melihat ada berbagai macam bentuk
pembayaran dalam (proses) pernikahan itu, Islam tentu harus diadaptasikan
masuk kedalam praktek sosial yang sudak ada ini. Nah caranya adalah melihat
yang mana mahar, yang mana pembayaran nikah sebagai (aturan) adat. Kalau
memang akhirnya disepakati bahwa mahar adalah apa yang dituliskan dalam buku
akta nikah, dalam akta nikah ditulis sekian gram emas misalnya atau seperangkat
alat shalat atau rumah atau apapun, maka itulah yang disebut dengan mahar dalam
106
pengertian agama, tapi uang panai‟nya atau pembayaran ataupun ongkos segala
macamnya itu, termasuk hadiah-hadiah lainnya, itu tidak pernah dianggap mahar.
Karena yang disebut dalam hal ini (mahar) ialah sesuatu yang diucapkan dalam
lafadh/sighat nikah itu.
3. Pertanyaan: Dalam masyarakat Bugis-Makassar dikenal dengan adanya budaya
siri‟, mohon penjelasan dari (perspektif) bapak mengenai budaya tersebut, lantas
dikaitkan perkawinan dalam adat Bugis (lebih khususnya mengenai aturan
mengenai kadar mahar dan paenre‟) ?
Jawaban : Beberapa waktu lalu saya juga sempat meneliti mengenai hal tersebut
disana, bagaimana sih sebetunya siri‟ ini dalam hal mahar. Macam-macam, ada
orang yang memahaminya (siri‟) untuk menunjukkan status sosialnya, jadi dia
tidak mau nanti anaknya dilamar dengan jumlah hadiah, jumlah pembayaran
pernikahan itu dengan (jumlah) yang sedikit karena itu akan (menyebabkan) siri‟
(malu) dia, siri‟nya terutama di hadapan keluarga besarnya, nah itu (dapat
dikatakan) siri‟. Tapi ada juga nanti yang hanya sekedar “ya sudahlah, yang
penting disebut besarannya sekian”, nyatanya diberikan ke anaknya sebagai mahar
hanya sekian, nah itu juga siri‟. Banyak pola atau bentuk yang digunakan untuk
menerapakan makna siri‟ itu, apakah dengan cara “pokoknya jika anak saya tidak
diberikan ini, ini, dan itu segala macam, saya tidak mau” (karena) siri‟.
4. Pertanyaan : Apakah salah satu impelementasi budaya siri‟ itu dengan
ditetapkannya mahar dan paenre‟ berdasarkan derajat sosial seorang wanita ?
Jawaban : iya bisa, (jelas) bisa. Karena mereka akan melihat, “kita kan punya
status begini, kita keturunan ini, kita ini dan ini, enak saja kita anak kita dinikahi
cuma dengan seperangkat alat shalat (misalnya) begitu. Jadi ada semacam siri‟nya
terganggu kalau dia akan menikahkan anaknya seperti pernikahan orang biasa.
5. Pertanyaan : Menurut bapak, apa makna filosofis yang dimaksud (terkandung)
dalam ketentuan mengenai kadar mahar dan paenre‟ dalam masyarakat Bugis ?
Jawaban : kalau (hal demikian) sih semacam simbol atau status. Karena jika anda
baca disertasinya Millard, dia mengatakan sosial location atau
onronna‟(tempatnya/kelas-nya) begitu. Onronna itu menjadi: dimana dia mau
menempatkan dirinya, kalau dia hanya sekedar “memang saya disini, biasa saja
begini”, ya sudah itu memang sudah posisinya. Dalam masyarakat Bugis, sosial
location atau posisi sosial itu menjadi penting. Kenapa orang-orang Bugis rajin
mau naik haji, karena ketika dia mempunyai jabatan atau gelar haji dia akan di
posisikan istimewa dari kalangan lainnya. Jadi ada kecenderungan untuk mencari
sosial location. Diantaranya begitu, tega onronna. Jadi (misalnya) “tidak pantas,
tiba-tiba ini siapa koq duduk di depan sini, tidak bisa, anda duduk di belakang,
disini tempat duduk para haji” dalam acara-acara perkawinan atau kondangan
segala macam (acara). Nah itu salah satu contoh, begitu juga dengan mahar, ya
bukan tempatnya lah kalau dia hendak (meminang dengan) membayar dengan
107
jumlah segitu, mungkin bukan dengan anak kita. Jadi memang perkawinan dalam
masyarakat Bugis-Makassar masih merupakan gawe orang tua, bukan gawe
pasangan atau muda mudi yang menikah.
6. Pertanyaan: Dalam proses penelitian yang dilakukan, penulis dengan
mewawancarai tokoh adat dan tokoh agama di Bulukumba, penulis menemukan
beberapa pemahaman kebudayaan yang kemudian dikaitkan dengan penetapan
jumlah mahar dan paenre‟, mohon penjelasan bapak mengenai istilah berikut ini :
a. Sipakatau
b. Sipakainge’
c. Sipakale’bi
Jawaban : saya kira tenggang rasa, solidaritas, toleransi, tau posisi diri, sadar
posisi, kira-kira begitu. Sipakatau: iya bisa diartikan saling memanusiakan
manusia, artinya sadar posisi, tahu diri, karena kalau dia tidak tahu diri dia akan
sombong, ketika sombong dia tidak memanusiakan yang lain. Sipakainge‟: saling
mengingatkan, iya itu lebih pada soal solidaritas, jangan sampai ikut terjebak atau
terperangkap dalam suatu hal (negatif), solidaritas supaya bisa saling menasehati.
Sipakale’bi: memberikan apresiasi, memuji, tidak merendahkan orang lain,
(saling) menghargai.
7. Pertanyaan : Menurut bapak, bagaimana Islam memandang hal-hal tersebut
(berkenaan dengan penetapan mahar dan paenre‟ dalam masyarakat Bugis), lebih
tegasnya bagaimana hubungan antara Islam dengan budaya ataupun adat istiadat
yang hidup dalam masyarakat Bugis, apakah memang Islam itu sudah
berakulturasi penuh dengan adat-istiadat Bugis ataukah memang menurut bapak
masih terdapat gab tertentu ?
Jawaban : Soal itu memang tidak dipungkiri terjadi di semua kebudayaan (suku
bangsa), bahwa ada hal-hal yang harus dikawinkan walaupun dikawin paksa, itu
(memang) terjadi, praktek-praktek yang memang tidak sejalan dengan agama tapi
karena sudah terlanjur lama dipratekkan, ya mau tidak mau, akhirnya diterima
sebagai bagian dari masalah sosial tidak dihubungkan dengan agama, itu biasanya
terjadi, misalnya: ada mappaccing, itu bukan dari agama tetapi karena itu
(mappaccing) dilihat tujuannya bagus, ya sudah dianggap (baik) kita lakukan
sebagai praktek sosial yang mana agama juga tidak memerintahkan tetapi juga
tidak melarang.
8. Pertanyaan : Menurut bapak, apakah ini menegaskan istilah Islam nusantara ?
Jawaban: Dari segi itu, iya jelas bahwa ada aspek-aspek budaya lokal yang
diakomodasi oleh masyarakat Islam setempat, tanpa harus menafikan adanya
ajaran Islam yang terlanggar.
108
9. Pertanyaan : Pertanyaan terakhir untuk bapak, sebagai orang yang berasal dari
Bugis-Makassar sekaligus ilmuwan yang berasal dari daerah Bugis-Makassar,
mengapa tradisi atau adat istiadat tersebut (khususnya mengenai penetapan jumlah
mahar dan paenre‟) tetap dipertahankan hingga saat ini dan di masa-masa yang
akan datang ?
Jawaban : Jika dipertahankan sih, itu bukan harus saya yang mempertahankan,
artinya itu terlepas atau dipersilakan kepada kesepakatan (konsensus) masyarakat
disitu, kalau misalnya ada masyarakat yang ingin mempertahankan tradisi
semacam itu, mungkin karena mereka menganggap ini adalah sosial location
(dignity) yang harus ditunjukkan, ini-lah siri‟ kita, nah jika itu alasannya ya bagus,
ada argumen yang kuat untuk menekankan betapa suatu praktek itu didasari oleh
nilai (value), nilai-nya (berupa) martabat kemanusiaan, Allah saja memuliakan
manusia kan “wa laqad karramnaa banii aadam”, hal-hal demikian itu bisa
diterima, sepanjang tidak ada syariat yang dilanggar, tapi bagi orang yang
kemudian menganggap “ya sudahlah” kita akhiri semua ini, biarkan pemuda
(orang) Bugis bisa menikah dengan murah, jangan sampai nanti gara-gara ini ada
efek-efek sosial, ya itu bisa juga (terjadi) seperti itu, karena mungkin melihat
kepada realitas sosial yang terjadi hari ini, (misalnya) di masyarakat (ada) sebagian
pemuda malah mencari cara supaya bisa menikah tanpa harus mengeluarkan
biaya-biaya yang terkadang dianggap tidak masuk akal itu. Jadi tergantung
tujuannya, kalau memang tujuannya untuk siri‟ (dignity) –nya itu, dia punya
alasan kan (untuk tetap mempertahankan), tapi juga ada alasan pragmatis (seperti)
“ah sudahlah yang seperti itu sudah bukan zamannya lagi, kita tunjukkan-lah
(bahwa) kita memang ingin mempraktekkan (ajaran) agama”. Cuma yang
dimaksud praktek agama kan orang yang berpandangan tentang siri‟ juga
mengatakan ini merupakan praktek agama juga (yaitu) memuliakan, saya (hendak)
mengatakan: dalam hal ini saya sulit (jika) ditanya (untuk) mencari posisi
“kenapa” (harus dipertahankan) ?, (karena) bukan saya yang menentukan, itu
adalah konsensus masyarakat, silakan terserah kepada mereka, kalau (misalnya)
mereka konsensus “sudah kita hapuskan hal-hal semacam ini” ya boleh (saja) jika
memang itu (telah) menjadi suatu konsensus.
IE
i
i
KEI/TENTERIAN AGAMA
UNT\TERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAIN JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAI\.[ HUKUM
Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, lndonesia
Telo. (62-21 ) 747 11537 ,7401925 Fax. t;'62-21\ 7491821
Wc;b$he : wrJvwu inil<t.ac:id E-mail : syar-hu kui n@yahoo'com
I
Nomor
Lampiran
Perihal
:Un,01 /F4IPP.00.9/
4rz 12015
Jakarta, 01 April2015
: Mohon Kesediaan Mer[gg]!
1
Pembinlbing Skripsi
Kepada Yang Terhormat,
Dr. H. Yayan Sopyan, MA
(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
DiJAKARTA
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasiswa
Nama
: AndiAsyraf
NIM
:1111044100031
Prodi/Konsentrasi : Peradilan Agama
Judul Skripsi
: Mahar dan Paenre'Dalam Adat Bugis
Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut
:
:
1. Topik bahasan dan outline bila dianggap perlu dapat dilakukan perubahan dan
penyempurnaan,
2. Tehnik penulisan agar merujuk kepada buku "Pedoman Karya llmiah di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta"
Demikian atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih
Wassalamu' alaikum W, W.
Fakrrltas Syariah dan Hukum
Tembusa n :
Kasubag Akadenrik &kemahasiswaan Fakultars Syariah dan Hukum
Sekretaris Program StudiAhwal al Syakhshiyah
Arsip
1.
2,
3.
KEMENTBRIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (TIIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
F'AI(ULTAS SYARIAH DAN HUI(UM
Telp. (62-21 ) 747 11537 , 7401925 Fax. (62-21) 7491821
Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412 lndonesia
Nomor
Lampiran
Hal
: Un.01 / F4/KM.01
r
Website : www.uinjkt.ac.id E-mail : [email protected]
.03/
|
b1L
Jakarta,
12015
0l
September 2015
P".-ohon an DatalWawancara
Kepada
Yth. Arskal Salim, M.A., Ph.D
Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum
Uniyersitas lslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
di
-Tempat
Ass alamu' alaikum Wn Wb.
:
D-ekan Fakultas Syariah dan
menerangkan bahwa
Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
:
Nomor Pokok
ANDI ASYRAF
r r l 1044100031
Tempat/Tanggal Lahir
Makasar, 12 Oktober
Semester
9
Jurusan/Konsentrasi
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah)
Komp. Lapas Rt/Rw. 0011002 Polewali
Gantorang - Bulukumba - Sulawesi Selatan.
08130139709
Nama
Alamat
Telepon
1993
adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
Jakarta yang sedang m.enyusun skripsi dengan judul:
,n
UIN Syarif Hidayatullah
"Muhar Dan Paenre DalumAdut Bugis (Studi Etnografis Hukum Islam Dalum
Perkawinan Adat Bugis Di Kabuputen Bulukumba "
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/ Ibu
dapat
menerima yang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan
skripsi dimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.
Was
1.
salamu' alaikum Wr. Wb.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta;
r
Nomor
Lampiran
Hal
0l
Surat Xeterargan T el ahlMelakukaka n W aw anc ar a
Kepada Ytlq
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
LIIN Syarif Hid,ay ah:Jlah I akarta
di
Jakarta
Kami sebagai narasumberlinforman dengan ini menerangkan bahwa
Nama
NINzI
'a
:Andi Asyraf
:1111044100031
Lahir
Semester
:
Alamat
: Jln. Jend.
Tempat/Tgl.
:
:Makassar, 12 Oktober 1993
VItr @elapan)
A. Yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong Bulukumba
Benarbenar telah melakukan wawancwa dan pencarian data dalam rangka tugas
peneliatian skripsi yang berjudul Mahar dan Paenre' I)alam Adat Bugis: Etnografi
Hukum rslam Dalam Perkawinan Adat Bugis di rfubupaten Bulukumba.
Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya.
Bulukumba,2S
Narasumber
luli20l5
Nomor
Lampiran
Hal
:01
:
Surat Keter angan T elah Melakukaka n W atvanc ar a
Kepada Yth,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hiday atullah J akarta
di
Jakarta'
Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa
Nama
NIM
ahir
Semester
Tempat/Tgl.I
:
Andi fuyraf
:1111044100031
:Makassar, 12 Oktober 1993
:
VItr (Delapan)
Jurusan/tr(onsentrasi : Hukum Keluarga
Alamat
:
IslamlPeradilan-Agama
a
: Jln. Jend.
A. Yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong gufukumba
Benar-benar telah'melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka tugas
peneliatian skripsi yang berjudul Mahar darn Paenre'Dalam Adat Bugis: Etnografi
Hukqm Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Kabupaten Bulukumba.
Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya.
Bulukumba,/9 Juli 2015
Narasumber
fF-
Nomor
Lampiran
HaI
:01
:
Surat Keterangan Telah Melakukaka nWawancara
Kepada Yttq
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif lFridayahtllah Jakarta
di
Jakarta
Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa
Nama
NIM
Lahir
Semester
Tempat/Tgl.
:
:
Andi Asyraf
: 1111044100031
:Makassar, 12 Oltober 1993
:
VItr @elapan)
Jurusan/I(onsentrasi : Hukum Keluarga Islam/Peradilan' Agama
Alamat
: Jln. Jend.
A. Yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong Brrtirkumba
Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka tugas
peneliatian skripsi yang berjudul Mahar dan Paenre'I)alam Adat Bugis: Etnografi
Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Kabupaten Bulukrrmba.
Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya.
Bulukumba,28
luli}A]S
Narasumber
&'k,9
A%L
AnSi
Wle
aa.brxh
b.A
Nomor
Lampiran
Hal
:0I
:; Surat Keter angan T elah Melakukaka n W aw ancar a
Kepada Yth,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
di
Jakarta
Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa
Nama
:
NIM
:1111044100031
Lahir
Semester
Tempat/Tgl.
Andi Asyraf
:Makassar, 12 Oktober 1993
:
VIII @elapan)
Jurusan/Konsentrasi : Hukum Keluarga
Alamat
:
Islam/peradilqn-Aga3
b
: Jln. Jend.
A. yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong gurukumba
Benar-benar telah'melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka tugas
peneliatian skripsi yang berjudul Mahar dan Paenre' Dalam Adat Bugis: Etnografi
Hukum rslam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Kabupaten Bulukumba.
Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya.
Bulukumb4e!Juli 2015
Narasumber
i
Ainna w,vh Ah
(.Sos, mM.
Nomor
Lampiran
Hal
:01
:: Surat Keteran gan T el ah Met ala*akan W ar,v ancar a
Kepada Yth,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
LnN Syarif lirday atullah J akarta
di
Jakarta
Kami sebagainarasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa
Nama
NIM
Lahir
Semester
TempaVTgl.
:Andi fuyraf
: llllO44l00031
:Makassar, 12 Oktober 1993
:
VItr @elapan)
Jurusan/I(onsentrasi : Hukum Keluarga Islam/peradilan,Agag
Alamat
:
u
,.
.
: Jln. Jend. A, yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong Burukumba
Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencari an datadalam rangftatugas
peneliatian skripsi yang berjudul Mahar dan Paenre'Dalam Adat Bugis: Etnografi
Hukum rslam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Kabupaten Bulukumba.
Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya.
Bulukumba,Ll Juli2Ol5
Narasumber
m.Pd
.
Nomor
Lampiran
Hal
:01
:; Surat Keterangan Telah MelakukakanWawancan
Kepada Yth,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syariftlidayatullah I akana
di
Jakarta
Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa
:
Andi Asyraf
Nama
:
NIM
:1111044100031
Tempat/Tgl. Lahir
:Makassar, 12 Oktober 1993
Semester
:
VItr @elapan)
JurusanlKonsentrasi
:
Hukum Keluarga Islam/Peradilqn-Aga3 a
Alamat
: Jln. Jend.
A. Yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong Buldkumba
Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka tugas
peneliatian skripsi yang berjudul Mahar ilan Paenre' I)alam Adat Bugis: Etnografi
Hukum Islem Dalam Perkawinan AdetBrigir diKabupaten Butukumba.
Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagairnana mestinya.
Bulukumb4lr luti zots
Narasumber
F.--
PROSESI AKAD NIKAH DALAM ADAT ISTIADAT BUGIS DI BULUKUMBA
PROSESI MAPPABOTTING (WALIMAH PERNIKAHAN)
DALAM ADAT ISTIADAT BUGIS DI BULUKUMBA
Download