MAHAR DAN PAENRE’ DALAM ADAT BUGIS (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Bulukumba Sulawesi Selatan) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: ANDI ASYRAF NIM. 1111044100031 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (A H W A L A L – S Y A K H S I Y Y A H) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2015 M/ 1437 H MAIIAR DAN PI,ENRE'DALAM ADAT BUGIS (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Bulukumba Sulawesi Selatan) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salatr Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) 1111044100031 Dibawatr Bimbingan 19681014 PROGRAM STUDI IIUKUM KELUARGA (AH WAL AL- S YAKrr S IYYAH) EAKULTAS SYARIAH DAII IIUKUM UNIYERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF IIIDAYATULLAH JAKARTA 2015M11437 H +, Lt ->*\ Y' i LEMBAR PERNYATAAI\ Dengan ini saya menyatakan bahwa: L Slaipsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIIID Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. semua. sumber yang saya gunakan dalam penulisan canfumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ini telah saya di Universitas Islam Negeri (Uh{) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti hhwa lrolrya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di universitas Islam Negeri (ul$,Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta 12 Oktober 2015 28 Dzulhijjah 1436 H PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "MAHAR DAN PAENRE DALAM ADAT BUGIS (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Bulukumba Sulawesi Selatan)" telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga Islam (Ahwal alSyakhshiyyah). Jakarta, 1 9 Oktober 201 5 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum NIP. 1 969 1 2t6t996031001 PANITIA UJIAN SKRIPSI Dr. H. Abdul HaliF. M.A. NrP. 19670608 199403 1005 Ketua Sekertaris Arip Purkon, S.HI..M.A. NrP. Pembimbing 1 9790 427 2003 121002 Dr. H. Yavan Eopyan. S.H., M.A. NIP: 1 968 1 0141996031002 Penguji I .1 . ..) NrP. 1954030319761 1 r001 Penguji II ,r Drs. Sirril Wafa. M.A.. NrP. 1 96003 1 8 199103 I 001 ilr ) l ABSTRAK Andi Asyraf. NIM 1111044100031. Mahar dan Paenre’ Dalam Adat Bugis (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Bulukumba Sulawesi Selatan). Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. (ix halaman, 86 halaman, dan 30 halaman lampiran). Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis landasan yang digunakan oleh masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba dalam menetapkan mahar dan paenre’, memahami sudut pandang masyarakat Bugis di Bulukumba, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan perspektif mengenai dunianya, yang berkaitan dengan mahar dan paenre’, serta menjelaskan dan mensinergikan serta mengetahui korelasi pandangan Islam tehadap mahar dan paenre’ dalam pemahaman masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field research), dan merupakan jenis penelitian problem oriented etnography,penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi, adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara secara mendalam, studi dokumentasi, dan studi pusataka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahar dan paenre’ dalam masyarakat Bugis di Bulukumba ditentukan berdasarkan strata sosial pengantin perempuan, namun strata sosial disini tidak hanya disebabkan oleh karena ia keturunan bangsawan, tetapi dapat juga disebabkan karena jabatan, pekerjaan ataupun jenjang pendidikan yang telah ditempuh. Dibalik hal itu terdapat makna filosofis yang terkandung di dalamnya berupa nilai-nilai kearifan lokal yang dapat harmonis dan terintegrasi ataupun bersinergi dengan ajaran Islam. Kata Kunci Pembimbing DaftarPustaka : Mahar, Paenre’, Adat Bugis, Etnografi, Bulukumba. : Dr. Yayan Sopyan, S.H.,M.A. : 1974-2014. iv KATA PENGANTAR بسم اهلل الرّحمن الرّحيم Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam, yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, serta para sahabatnya, yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum. 2. Dr. H. Abdul Halim, M.A. Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam beserta Arip Purkon, S.HI., M.A., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Islam, yang terus mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 3. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.A., Wakil Dekan III Fakultas Syariah dan Hukum, sebagai dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. v 4. Dr. Supriyadi Ahmad, M.A., dosen penasehat akademik penulis, yang telah sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam merumuskan desain judul skripsi ini. 5. Terimakasih kepada Prof. Dr. H.A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., dan Drs. Sirril Wafa, M.A., dosen penguji dalam munaqasyah, para dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, beserta seluruh staf dan karyawan yang telah memberikan pelayanan maksimal. 6. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-data terkait penelitian ini, Drs. M. Arskal Salim GP, M.A., Ph.D. (Ketua PPM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Drs. Abdul Hafid, MAP., (Kasi Bimas Islam Kemenag Bulukumba), Andi Jumliadi Adil (Tokoh adat Bulukumba), beserta beberapa elemen masyarakat, Andi Megawati Adil, BA., Andi Sriwati, M.M., M.Pd., Andi Asmawati Kr. Ade, S.Sos., M.M., dan Andi Indah Kumalasari. 7. Paling istimewa untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Andi Abdul Rahman, S.Sos. dan ibunda Andi Asliwati Adil, yang tak pernah jenuh dan tak menyerah untuk memberikan dukungan serta tak henti-hentinya mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan, (you are my everything). Adikku tersayang Andi Hikman Rahman, saudara-saudaraku, serta seluruh Keluarga Besar Puang Kuntung di Bone dan Keluarga Besar Karaeng Ade’ di Bulukumba. 8. Sahabat terbaikku, Hendrawan, Rudi Niyarto, Ketum Irpan, Hira Hidayat, Lilis, Safira, Lian, Juni, Vemi, Nadia, Didah, Kamelia, Triana, Tiflen, vi Fadly, Saidi, Farhan, you all the best ever. Kepada seluruh teman-teman Peradilan Agama angkatan 2011, semoga ukhuwah kita tetap terjaga. 9. Kakanda dan adinda yang berkecimpung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya kepada kawan-kawan kader di Program Studi Hukum Keluarga, Reza, Ricky, Habibi, Ipeh, Ais, Haji Alim, Jamil, Fachra, Eno, Mella, Neng ema, Ajeng, Saripeh, Sidiq, Angga, Ilham, Fitroh, Ody, Riyad, Ulhaq, terimakasih atas masa-masa indah yang kita lalui di HMPS Hukum Keluarga (sudah waktunya untuk mengambil kembali apa yang sudah sepantasnya kalian dapatkan), serta seluruh kader yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Tetaplah semangat berproses. 10. Kawan-kawan Masyhar MQ (PP. Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang), H. Ismail, Azhar, Ivan, Ihfal, Rajab, Yunus, Anas, Salman. Semoga motto haamil al-qur’aan lafdhan, wa ma’nan, wa ‘amalan tetap terjaga. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan perbaikan. Oleh karena itu, saran dan kritik akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah Swt., Amin. Ciputat, 12 Oktober 2015 Ttd. Andi Asyraf Penulis vii DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................................... iii ABSTRAK .............................................................................................................. iv KATA PENGANTAR ............................................................................................ v DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1 B. Identifikasi Masalah.................................................................... 8 C. Batasan dan Rumusan Masalah................................................... 9 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................... 10 E. Kerangka Teori............................................................................ 11 F. Metode Penelitian........................................................................ 13 G. Review Studi Terdahulu.............................................................. 20 H. Sistematika Penulisan.................................................................. 21 BAB II EKSISTENSI MAHAR DALAM PERKAWINAN..................... 23 A. Pengertian Mahar......................................................................... 23 B. Dasar Hukum Mahar................................................................... 25 C. Syarat dan Jenis-Jenis Mahar...................................................... 27 D. Ketentuan Mengenai Bentuk dan Kadar Mahar......................... 30 E. Tujuan dan Hikmah Mahar: Antara Akad Muamalah dan Nihlah.......................................................................................... 34 F. Kehalalan Istimta’: Sebab Akad atau Mahar............................... 36 viii BAB III BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DI BULUKUMBA SULAWESI SELATAN................................................................. 39 A. Potret Kabupaten Bulukumba..................................................... 39 B. Sistem Kemasyarakatan Dalam Masyarakat Bugis..................... 41 C. Prosesi Perkawinan Dalam Adat Istiadat Bugis......................... 44 D. Islam dan Budaya....................................................................... 48 E. Masuknya Islam di Sulawesi Selatan.......................................... 53 F. Mahar Dalam Perspektif Budaya Bugis...................................... 55 BAB IV MAHAR DAN PAENRE’: TINJAUAN ETNOGRAFIS HUKUM ISLAM ............................................................................................. 57 A. Mahar dan Paenre’ Dalam Perspektif Masyarakat Bugis di Bulukumba.................................................................................. 57 B. Makna Mahar dan Paenre’ Dalam Sudut Padang Masyarakat Bugis di Bulukumba................................................................... 65 C. Harmonisasi Mahar dan Paenre’ Dalam Perspektif Masyarakat Bugis di Bulukumba Dengan Islam: Sebuah Analisis....................................................................................... 71 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.................................................................................. 79 B. Saran-saran.................................................................................. 80 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 82 LAMPIRAN............................................................................................................ 87 ix 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragaman. Baik itu etnik, budaya, adat maupun agama. Untuk yang terakhir, agama di Indonesia lahir dan berkembang dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnya. Selanjutnya, norma ini mulai menyerap dalam institusi masyarakat. Masyarakat muslim, diatur perilakunya oleh hukum Islam. Baik itu yang berkaitan dengan hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. Titik fungsional hukum Islam terus menerus membentuk struktur sosial masyarakat muslim dalam menjalani kehidupan sosialnya.1 Karena harus ada norma yang harus dipatuhi dalam kehidupan bersama, norma-norma melekat kuat sebagai fakta di dalam realitas.2 Penegakan syariat Islam, secara substansial tentu saja bagus untuk mewarnai dan memberi kontribusi dalam membangun masyarakat yang sadar hukum dan berkeadaban. Namun kita juga sadar bahwa Islam hadir bukannya dalam wilayah kosong, melainkan sudah ada tradisi sebelumnya di samping ada agama lain yang tumbuh dan memiliki hak yang sama di depan hukum, sehingga diperlukan metodologi yang bijak dan tepat. Lebih mendasar dari itu, Indonesia ini bukannya negara agama melainkan negara yang mendasarkan ideologi dan semangat 1 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 11 2 Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah Nurulita Yusron, (Bandung: Nusa Media, 2009), Cet. II, h. 214 2 kebangsaan, yang mayoritas warganya memang muslim. Penerapan syariat Islam mesti mengemban spirit “Islam rahmatan li al-‘aalamin”. Penataan sistem hukum yang bertabrakan dengan watak pluralisme masyarakat akan bersifat kontra produktif sekaligus melelahkan.3 Walaupun pemikiran sebagai tidak semata-mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketetapan dari kebudayaan: suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual.4 Usaha untuk mengaplikasikan Islam dalam tiap unsur kehidupan masyarakat tidak terlepas dari budaya, kebiasaaan, dan hukum adat yang masih sangat dipertahankan di sebagian daerah. Setiap suku (dalam konteks Indonesia) memiliki adat istiadat atau kebiasaan tersendiri yang berbeda-beda. Salah satu perbuatan dimana negara juga mewajibkan untuk melakukannya menurut agama dan kepercayaannya masing-masing ialah perkawinan. Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat An-Nisa’ (4): 3. Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab (33): 37. Secara arti kata nikah berarti bergabung, hubungan kelamin dan juga berarti akad. 3 Komaruddin Hidayat dalam kata pengantar pada buku Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, h. 12 4 Zainuddin Ali, Antropologi Hukum, (Palu: Yayasan Indonesia Baru, 2013), h. 12 3 Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam AlQur’an memang mengandung dua arti tersebut. Tetapi dalam Al-Qur’an terdapat pula kata nikah dengan arti akad, seperti tersebut dalam firman Allah surat anNisa’ (4): 22.5 Definisi lain tentang nikah adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntutan agama. Ada juga yang mengartikan suatu perjanjian atau aqad (ijab dan qabul) antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami isteri yang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukunrukun yang ditentukan oleh syariat Islam.6 Islam telah mengatur tata cara pelaksanaan dalam membina rumah tangga. Jika seluruh umat Islam mengikutinya, insya Allah akan tecipta keturunan yang baik, manusia yang mulia di muka bumi ini.7 Pernikahan juga memiliki unsurunsur ibadah. Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus dari hal-hal yang diharamkan.8 Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebagian dari ibadah dan berarti pula telah menyempurnakan sebagian dari agama.9 5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 35-36 6 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 3-4 7 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2005), h. 134. 8 9 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2004), h. 6516 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1974), h. 5 4 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 (tiga) dirumuskan bahwa perkwainan bertujuan untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang sakinah. Surat ArRum (30): 4 menjelaskan bahwa keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan dan ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Ia terdiri dari isteri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lembut dan berperasaan halus, putera-dan puteri yang taat patuh dan taat dan kerabat yang saling membina silaturrahim dan tolong menolong. Hal ini dapat tercapai bila masingmasang anggota keluarga tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.10 Keluarga merupakan tempat fitrah yang sesuai dengan keinginan Allah Swt. bagi kehidupan manusia sejak keberadaan khalifah (QS. Ar-Ra’d (13): 38). Kehidupan manusia secara individu berada dalam perputaran kehidupan dengan berbagai arah yang menyatu dengannya. Karena sesungguhnya fitrah kebutuhan manusia mengajak untuk menuju keluarga sehingga mencapai kerindangan dalam tabiat kehidupan. Bahwasanya tiadalah kehidupan yang dihadapi dengan kesungguhan oleh pribadi yang kecil.11 Perkawinan menurut ajaran Islam terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi diantaranya kewajiban memberikan mahar oleh suami kepada isteri (QS. AnNisa’ (4): 3). Ayat tersebut menjelaskan bahwa pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapakan atas persetujuan kedua belah pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas pada dasarnya. Berdasarkan ayat itu 10 11 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, h. 114. Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 23. 5 dapat kita pahami bahwa mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh pihak suami kepada isteri untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar merupakan bentuk award yang diberikan seorang pria sebagai ungkapan kesetiaan dan cintanya kepada sang isteri. As-Sadlan sebagaimana dikutip oleh Abu Malik Kamal mengungkapkan, bahkan mahar boleh saja berupa sesuatu yang memiliki nilai material maupun immaterial, dan inilah yang disepakati oleh dalil-dalil yang ada sesuai dengan pengertian yang benar dari pensyariatan mahar. Sebab substansinya bukanlah sebagai kompensasi yang bersifat materi saja, akan tetapi ia lebih merupakan simbolisasi keinginan dan ketulusan niat untuk hidup bersama dalam biduk rumah tangga sehingga ia boleh diwujudkan dalam bentuk uang atau materi (yang sudah berlaku umum), dan dalam bentuk sesuatu yang memiliki nilai immaterial, selama mempelai wanita ridho atau rela menerima hal tersebut.12 Mengenai pernikahan, memang banyak adat yang mengatur di setiap daerah. Baik itu yang bertentangan dengan syariat Islam maupun tidak. Tidak dapat kita pungkiri bahwa pernikahan harus mengikuti adat yang berlaku di daerah tersebut. Pernikahan memanglah salah satu adat yang berkembang mengikuti berkembangnya masyarakat, namun kepercayaan untuk berpegang teguh kepada hukum adat masih berlaku di dalam sebuah adat pernikahan tersebut. Karena hukum akan efektif apabila mempunyai basis sosial yang relatif kuat. Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat secara sukarela.13 12 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah. Penerjemah Khairul Amri Harahap dan Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 254. 13 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 340 6 Tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda dari masyarakat adat yang lain, antara suku bangsa yang satu berbeda dengan suku bangsa yang lain, antara yang beragama Islam berbeda dari yang beragama Kristen, Hindu, dan lain-lain. Begitu pula antara masyarakat desa dari masyarakat kota. Dikarenakan perbedaan tata tertib adat maka seringkali dalam menyelesaikan perkawinan antar adat menjadi berlarut-larut, bahkan kadangkadang tidak tercapai kesepakatan antar kedua pihak dan menimbulkan ketegangan. 14 Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara paling umum dilakukan oleh masyarakat adalah melalui peminangan. Dalam hal peminangan pada tiap masyarakat (hukum adat) yang ada di Indonesia cara yang digunakan dalam melakukan pelamaran atau peminangan pada hakikatnya terdapat kesamaan, namun perbedaan-perbedaannya hanyalah (kira-kira) terdapat pada alat atau sarana pendukung proses peminangan tersebut.15 Di Indonesia, terdapat sebuah suku yang bernama Suku Bugis dimana dalam adat istiadatnya, secara garis besar upacara perkawainannya dimulai dengan mappaenre’ balanca yaitu sebuah prosesi mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabatnya, pria dan wanita, tua maupun muda dengan membawa macam-macam makanan, seperangkat pakaian wanita, buah-buahan (seperti kelapa, pisang, dan lain-lin), dan maskawin. Sampai dirumah mempelai wanita, 14 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 12 15 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberti, 2007), h. 107 7 maka dilangsungkan upacara pernikahan yang dilanjutkan dengan pesta perkawinan. Pada pesta ini para tamu dari luar diundang, memberi kado atau uang sebagai sumbangan (saloreng).16 Pada masyarakat Bugis, dalam menetukan mahar mereka mempunyai patokan tersendiri, adat Bugis di daerah Sulawesi Selatan dalam proses perkawinannya meskipun sudah menggunakan syariah Islam sebagai landasan dasar serta syaratsyarat perkawinan dalam kebiasaanya, tetapi pada tahap prosesi baik menjelang maupun dalam dan setelahnya masih menggunakan adat istiadat setempat sebagai salah satu syarat pelaksanaan perkawinan. Sebagai contoh, dalam Islam kita mengenal istilah mahar yang sudah sedikit disinggung sebelumnya, dalam adat Bugis dikenal dengan istilah sunrang atau sompa’. Sompa atau sunrang itu besar kecilnya, sesuai dengan derajat sosial dari gadis yang dipinang dan dihitung dalam nilai rella (real) alah nominal Rp. 2,-. Maskawin yang diberi nilai nominal menurut jumlah rella dapat saja terdiri dari sawah, kebun, keris pusaka, perahu dan sebagainya yang semuanya mempunyai makna penting dalam perkawinan.17 Di lain sisi, dalam adat istiadat Bugis sebelum acara pernikahan (dalam bahasa Bugis mappabotting) terdapat pula beberapa syarat harus dipenuhi oleh mempelai pria yang disebut paenre’. Ia adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh pihak mempelai wanita kepada calon mempelai pria untuk mengetahui kerelaan atau kemampuan sang calon mempelai untuk menjadi bagian keluarga 16 17 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 235. Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979), h. 269 8 mereka. Uang belanja ini digunakan untuk membiayai pesta pernikahan yang digelar pihak wanita. Besaran paenre’ atau panai’ lagi-lagi sangat beragam dan sangat tergantung pada status sosial si calon mempelai wanita. Semakin tinggi status sosial calon mempelai wanita maka tentunya akan semakin tinggi.18 Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang hingga saat ini menggunakan adat istiadat Bugis tersebut adalah Kabupaten Bulukumba, yang dalam prosesi perkawinannya baik sebelum maupun di dalamnya masih mempertahankan adat istiadat tersebut. Dari sudut pandang etnografis, adat istiadat yang masih dipertahankan hingga kini tersebut tentunya mempunyai maksud dan tujuan tertentu, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang secara tersirat mempunyai makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Maka dari itu, atas pertimbangan tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “MAHAR DAN PAENRE’ DALAM ADAT BUGIS (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Bulukumba Sulawesi Selatan)” B. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam latar belakang diatas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu: 1. Bagaimana asal-muasal ditetapkannya mahar dan paenre’ dalam masyarakat Bugis ? 2. Apa yang menjadi dasar dalam menetapkan mahar dan paenre’ oleh masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba ? 18 Artikel dikutip pada 04 Mei 2014 pukul 15.29 WIB dari MksBolKm.com, disarikan dari buku Tata Cara Perkawinan Menurut Adat Bone: Lembaga Adat Saoraja Bone. 9 3. Bagaimana peran pemerintah setempat dalam menanggapi aturan adat tersebut ? 4. Adakah kontradiksi antara hukum postif yang berlaku di Indonesia dengan aturan adat tersebut ? 5. Bagaimana perspektif fiqh dalam memandang penetapan mahar dan paenre’ dalam masyarakat Bugis ? 6. Apa makna filosofis yang terkandung dalam pemahaman masyarakat Bugis di Bulukumba mengenai mahar (sunrang) dan panai’ atau paenre’ ? 7. Bagaimana korelasi Islam dengan mahar dan paenre’ dalam Adat Bugis di Kabupaten Bulukumba ? C. Batasan dan Rumusan Masalah Agar pembahasan pada penelitin ini tidak melebar, maka pembahasan mengenai mahar dan paenre’ (biaya perkawinan yang keseluruhannya ditanggung oleh pihak laki-laki), dibatasi pada mahar dan paenre’ dalam adat Bugis, adat Bugis dibatasi pada seputar pemahaman adat Bugis di Kabupaten Bulukumba (kecuali kecamatan Kajang),19 Sulawesi Selatan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Apa yang menjadi dasar dalam menetapkan mahar dan paenre’ oleh masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba ? 19 Terdapat sepuluh 10 kecamatan di Bulukumba, diantaranya: Gantarang, Ujung Bulu, Ujung Loe, Bonto Bahari, Bonto Tiro, Herlang, Kajang, Bulukumpa, Rilau Ale, Kindang. Sembilan kecamatan memiliki rumpun suku yang sama yaitu Bugis-Makassar, kecuali Kecamatan Kajang dihuni oleh suku Badui Kajang, yang memiliki adat istiadatnya tersendiri. (Badan Pusat Statistik Bulukumba, Statistik Kabupaten Bulukumba 2014. Bulukumba: BPS Bulukumba. 2014.) 10 2. Apa makna filosofis yang terkandung dalam pemahaman masyarakat Bugis di Bulukumba mengenai mahar (sunrang) dan panai’ atau paenre’ ? 3. Bagaimana korelasi Islam dengan mahar dan paenre’ dalam Adat Bugis di Kabupaten Bulukumba ? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari sebuah penelitian ialah mengungkapkan secara jelas sesuatu yang hendak dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari pemahaman tersebut, maka tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut ; 1. Untuk menganalisis landasan yang digunakan oleh masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba dalam menetapkan mahar dan paenre’. 2. Untuk memahami sudut pandang masyarakat Bugis di Bulukumba, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan perspektif mengenai dunianya, yang berkaitan dengan mahar dan paenre’. 3. Untuk menjelaskan dan mensinergikan serta mengetahui korelasi pandangan Islam tehadap mahar dan paenre’ dalam pemahaman masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba. Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, demikian pula dengan penelitian yang penulis adakan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut; 1. Sebagai sumbangsih kepustakaan bagi para mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum serta masyarakat luas pada umumnya. 2. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah kepustakaan Islam, khususnya dalam bidang studi Hukum Keluarga Islam (ahwal alsyakhshiyyah). 11 3. Secara akademis, agar dapat memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis lain untuk mengadakan penelitian yang bersifat etnografis. Sehingga dapat mengharmonisasikan dan mensinergikan kehidupan di Indonesia yang berbudaya dan memiliki adat istiadatnya masing-masing dengan Islam. E. Kerangka Teori Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah, dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan itu harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.20 Dalam akad nikah tersebut disebutkan nilai, rupa, atau jumlah mahar yang akan diberikan pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan. Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.21 Menurut Peunoh Daly mahar adalah hak isteri yang diterima dari suaminya; pihak suami memberikannya dengan suka rela tanpa mengharap imbalan sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya. Mahar bukanlah imbalan daripada budhu’ 20 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 206 21 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 696 12 (mempergauli) isteri karena kenikmatan dan kesenangan bergaul itu dirasakan oleh kedua belah pihak.22 Dasar diwajibkannya meberikan mahar terkandung dalam QS. An-Nisa’ (4): 4 dan QS. An-Nisa’ (4): 24, dan aturan mengenai tata cara pemberiannya tertuang dalam QS. Al-Baqarah (2): 237 dan QS. Al-Baqarah (2): 236, yang mengindikasikan tidak ada batasan maksimal dalam memberikan mahar, meskipun terapat khilafiyah ulama (perbedaan pendapat) dalam menentukan batasan minimal mahar. Namun dalam salah satu hadis yang diriwayatkan AlBaihaqi menyebutkan: dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw: sebaikbaiknya wanita (isteri) adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya.23 Dalam prosesi pernikahan adat istiadat Bugis-Makassar, mahar dikenal dengan istilah sunrang (Bugis) atau sompa (Makassar). Sunrang atau sompa sama halnya dengan mahar yang pada umumnya dimaksud, disebutkan dalam akad nikah, namun dalam ketentuan adat istiadat Bugis, termasuk di Bulukumba, nilai atau jumlahya harus disesuaikan berdasarkan strata sosial yang dimiliki oleh pihak mempelai perempuan yang dahulu dinilai dengan rella.24 Sebelum acara pernikahan (dalam bahasa Bugis mappabotting) terdapat pula beberapa syarat harus dipenuhi oleh mempelai pria yang disebut paenre’. Ia adalah sejumlah uang 22 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 219 23 Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III, h. 13 24 Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 269 13 yang ditetapkan oleh pihak mempelai wanita kepada calon mempelai pria, digunakan untuk membiayai pesta pernikahan yang digelar pihak wanita. Jumlahnya pun tergantung pada status sosial calon mempelai wanita. F. Metode Penelitian Dalam membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, diperlukan suatu metode untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat. Terdapat beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain ; 1. Jenis Penelitian Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field research) yang sumber datanya terutama diambil dari obyek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) secara langsung di daerah penelitian.25 Penelitian ini merupakan penelitian etnografi. Tentu saja sebagai suatu rancagan penelitian, metode etnografi dengan sendirinya menyediakan perangkat-perangkat yang memungkinkan proses penelitian berlangsung secara lebih baik. Terdapat dua kelompok dalam memandang etnografi (etnografi sebagai paradigma filosofis dan etnografi sebagai sebuah metode dalam penelitian). Namun ada yang yang menganggap etnografi sebagai keduanya, artinya di satu sisi sebagai paradigma filosofis, sedangkan di lain sisi merupakan rancangan penelitian yang hendak dilakukan.26 25 26 Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar, 2009), h. 28 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h. 59 14 Terdapat dua jenis penelitian etnografi, yaitu Tradisional Ethnography dan Problem-Oriented Ethnography. Traditional ethnography mencoba untuk memberikan gambaran lengkap dari seluruh budaya berdasarkan pengalaman dari para etnografer yang hidup di tengah-tengah masyarakat paling tidak selama satu tahun. Di masa lampau inilah tujuan utama dari etnografi, pada masa kini, banyak etnografer menggunakan pendekatan melalui masalahmasalah yang berorientasi (issue-oriented approach) ke lapangan, yang berkonsentasi pada satu aspek dari sebuah budaya.27 Dan penelitian etnografi ini termasuk kedalam jenis problem-oriented etnography. Jadi dapat dikatakan bahwa etnografi adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulang kali bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dan perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu. Etnografi didasarkan pada asumsi berikut: pengetahuan dari semua kebudayaan itu sangat tinggi nilainya.28 2. Metode Pendekatan Saat ini banyak para etnografer mengambil sebuah pendekatan yang disebut etnografi refleksif. Kategori yang luas ini mengacu pada bagian- 27 Roberts Edward Leinkeit, Introducing Cultural Anthropology, (New York: The McGrawHill Campanies, 2004), Lampiran A, h. 2. 28 James P. Spradley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 12. 15 bagian yang mencakup perspektif pribadi dan reaksi dari peneliti di lapangan ketika sedang tenggelam dalam hiruk pikuk situasi di lapangan. Data sering disajikan seolah-olah seperti sebuah dialog yang terjadi antara satu atau lebih informan dari masyarakat asli dengan etnografer tersebut, sehingga lebih menyerupai penulisan sastra daripada sebuah deskripsi ilmiah. Biasanya etnografi tidak memasukkan data pembanding atau kuantifikasi data. Etnografi merupakan cerminan dari pandangan humanistik dan posmedernis.29 Etnografer lainnya masih mencampurkan beberapa pendekatan, etnografer ini menunjukkan komitmennya pada metode ilmiah, dengan penekanan pada pengamatan yang objektif, metode komparatif, dan kuantifikasi data. Di saat yang sama para etnografer memasukkan beberapa elemen refleksif, seperti komentar mengenai perasaan mereka pada saat pengumpulan data, serta sudut pandang dan pendapat dari penduduk asli.30 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan antropologis, pendekatan antropologis lebih diarahkan pada penelusuran pola-pola yang dicita-citakan dalam masyarakat. Antropologi lebih memusatkan pada usaha-usaha untuk merekonstruksikan kebudayaan-kebudayaan didalam suatu keseluruhan atau kebulatan. Pendekatan antropologis akan menghasilkan pola-pola yang ideal dari hukum, yang didasarkan pada aspirasi-aspirasi para warga masyarakat. Bedanya 29 Roberts Edward Leinkeit, Introducing Cultural Anthropology, h. 54. 30 Roberts Edward Leinkeit, Introducing Cultural Anthropology, h. 54. 16 dengan pendekatan filosofis adalah bahwa antropologi memperoleh hasilhasilnya dari kontak langsung dengan masyarakat (melalui penelitian di lapangan).31 3. Sifat penelitian Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.32 4. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bulukumba, kabupaten yang terletak di ujung selatan dari provinsi Sulawesi Selatan. Alasan mengapa penulis memilih Bulukumba sebagai lokasi penelitian terbagi menjadi dua, yaitu alasan subyektif (subjective reason) dan alasan obyektif (objective reason). Subjective reason yang penulis gunakan, karena penulis merupakan bagian dari masyarakat Bugis yang berdomisili di Bulukumba, penelitian ini untuk menjelaskan mindset yang ada alam benak masyarakat Bugis pada umumnya, disamping itu karena jaminan akses atau pengumpulan data-data yang penulis butuhkan dapat terpenuhi dengan baik. Meskipun begitu, penulis tidak akan menafikkan objective reason dipilihnya Bulukumba sebagai lokasi penelitian. Pertama, Bulukumba merupakan titik temu (di ujung selatan) antara dua kerajaan besar di Sulawesi 31 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1981), h. 397-398 32 Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, h. 20 17 Selatan pada zaman dahulu kala, yaitu Kerajaan Gowa (meliputi Makassar, Gowa, Talakar, Jeneponto, Bantaeng), dan Kerajaan Bone (diantaranya Bone dan Sinjai), akulturasi kebudayaan Bugis-Makassar sangat kental, dibuktikan dengan kemampuan mayoritas masyarakat Bulukumba menggunakan dua bahasa daerah (yaitu Bahasa Konjo, dialek yang sama dengan Bahasa Makassar dan bahasa Bugis), sehingga budaya lokal masih dapat terjaga dengan baik, salah satu contoh dalam tradisi perkawinannya. Disamping itu, sebagaimana yang sudah diketahui bersama bahwa Bulukumba merupakan kabupaten pertama di Indonesia yang memberlakukan peraturan daerah (Perda) berbasis syariah, tertuang dalam Perda No. 3 Tahun 2002 tentang Pelarangan Penjualan Minuman Keras, Perda No. 4 Tahun 2003 tentang Berbusan Muslim dan Muslimah, dan Perda No. 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin di Kabupaten Bulukumba. Kenyataan tesebut memunculkan anggapan bahwa antara budaya dan agama (Islam) di Bulukumba dapat berjalan beriringan, harmonis, tanpa ada konfrontasi berarti. Hal demikianlah yang mendorong penulis memiliki keinginan untuk menggali lebih dalam perihal adat istiadat dan keagamaan di Bulukumba dengan asumsi “pasti ada sesuatu (alasan) yang dipegang teguh oleh masyarakat Bulukumba di balik itu semua”. 5. Kriteria dan Sumber Data a. Data primer, data yang didapat dari hasil observasi, wawancara langsung dengan masyarakat, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta ilmuwan Bugis. Termasuk keberadaan penulis yang juga 18 berasal dari masyarakat atau Suku Bugis yang berdomisili di Bulukumba, tempat dimana data-data dari penelitian ini diambil. b. Data sekunder, dalam penelitian ini data yang digunakan penulis adalah data yang dikumpulkan oleh orang lain, pada waktu penelitian dimulai data telah tersedia.33 Selain itu data yang memberikan bahan tidak langsung atau data yang didapatkan selain data primer. Data ini juga dikumpulkan melalui studi pustaka yang berkaitan diantaranya buku-buku fiqh, sejarah, dan data lain yang terkumpul yang mempunyai hubungan dengan tema ini. 6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Umumnya cara mengumpulkan data dapat menggunkan teknik: wawancara (interview), angket (questioner), pengamatan (observation), studi dokumentasi, dan Focus Group Discussion (FGD).34 Penulis menggunakan teknik sebegai berikut: a. Tehnik observasi, yaitu dengan cara mengadakan analisa, pengamatan dan pencatatan secara terperinci serta sistematis tentang mahar dan paenre’ di Kabupaten Bulukumba. Observasi dilaksanakan dalam kurun waktu satu bulan agar mendapatkan penjelasan lebih terperinci. 33 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 37 34 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 138 19 b. Tehnik inteview (wawancara), selama ini metode wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang efektif dalam pengumpulan data primer dilapangan.35 Mengggunakan pedoman secara mendalam dengan pokok permasalahan guna menghidari penyimpangan dari masalah penelitian dan kevakuman selama wawancara. c. Studi dokumentasi yaitu meliputi studi bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan hukum sekunder.36 Juga data yang diperoleh dari referensi atau literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini. d. Studi pustaka yaitu pengindentifikasian secara sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan dilakukan. Terdiri dari dua langkah yaitu kepustakaan penelitian yang meliputi laporan penelitian yang telah diterbitkan, dan kepustakaan konseptual meliputi artikel atau buku-buku yang ditulis oleh para ahli yang memberikan pendapat, pengalaman, teori-teori atau ide-ide tentang apa yang baik dan buruk, hal-hal yang diinginkan dan tidak dalam bidang masalah.37 35 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 57. 36 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Peneiltian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 82. 37 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17-18. 20 G. Review Studi Terdahulu Untuk menemukan pembahasan dan penulisan skripsi ini penulis menelaah literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis sampaikan dalam penulisan skripsi, diantaranya yaitu; No JUDUL PEMBAHASAN PERBEDAAN 1 Konsep Mahar Membahas tentang Perbedaan skripsi tersebut Menurut Empat mahar menurut dengan skripsi yang penulis Imam Mazhab imam mazhab susun oleh Eva empat dalam hal tersebut lebih menekankan Fatimah pada syarat-syarat mahar, pada kajian mahar menurut Tahun 2004. diwajibkannya empat mazhab sedangkan mahar, macam- pembahasan yang disusun macam mahar, dan oleh penulis mengenai studi hikmah pemberian etnografis pada pemahaman mahar. masyarakat adalah skripsi Bugis di Bulukumba perihal mahar dan paenre’ . 2 Konsep Mahar Membahas Perbedaan skripsi tersebut Dalam Counter mengenai konsep dengan skripsi yang penulis Legal Draft mahar dalam CLD susun ialah bahwa skripsi (CLD) Hukum KHI yang berisi yang penulis susun lebih Islam) oleh tentang syarat, menekankan Azwar Anas bentuk, dan kadar paenre’ dalam perspektif mahar dan 21 pada Tahun mahar. 2011, 3 masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba. Impelementasi Membahas tentang Perbedaan dengan skripsi Pemberian bagaimana tersebut Mahar Pada perspektif hukum bahwa skripsi ini fokus susun adalah Masyarakat Suku Islam mengenai kepada pandangan hukum Bugis Dalam mahar dalam suku Islam Perspektif Bugis di Kelurahan dalam suku Bugis yang Hukum Islam, Kalibaru, Jakarta berada di daerah Kalibaru, Studi Kasus di Utara. Jakarta Utara. sedangkan terhadap mahar Kelurahan skripsi yang akan penulis Kalibaru susun Kecamatan etnografis pada masyarakat Cilincing, Bugis Jakarta Utara tentang mahar dan paenre’ adalah di studi Bulukumba oleh Nurul Hikmah pada Tahun 2011. H. Sitematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun penulisan skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut; 22 a. Bab Kesatu, merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, review studi terdahulu, dan kerangka teori, beserta sistematika penulisan. b. Bab Kedua, membahas mengenai eksistensi mahar dalam perkawinan: meliputi pengertian mahar, dasar hukum mahar, syarat dan jenis-jenis mahar, ketentuan mengenai bentuk dan kadar mahar, tujuan dan hikmah mahar: antara akad muamalah atau nihlah serta halalnya istimta’’: sebab akad atau mahar. c. Bab Ketiga, membahas mengenai budaya masyarakat Bugis di Bulukumba Sulawesi Selatan, yaitu potret kabupaten Bulukumba, sistem kemasyarakatan dalam adat Bugis, prosesi perkawinan dalam adat Bugis, Islam dan budaya, masuknya Islam di Sulawesi Selatan, mahar dalam perspektif budaya di Indonesia. d. Bab Keempat, membahas mengenai mahar dan paenre’: tinjauan etnografis hukum Islam, meliputi mahar dan paenre’ dalam perspektif masyarakat Bugis di Bulukumba, makna mahar dan paenre’ dalam sudut pandang masyarakat Bugis di Bulukumba, serta harmonisasi mahar dan paenre’ dalam perspektif masyarakat Bugis di Bulukumba dengan Islam yang berupa sebuah analisis dari penulis. e. Bab Kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran terkait kajian yang dimaksud dari awal sampai akhir pembahasan beserta lampiranlampiran terkait. 23 BAB II EKSISTENSI MAHAR DALAM PERKAWINAN A. Pengertian Mahar Secara etimologi mahar berasal dari bahasa Arab merupakan kata benda yang berbentuk mashdar (ً )ٍٖساyang berasal dari ( فعوkata kerja) ً ٍٖسا- ٌَٖس-ٍٖس, sedangkan jika digunakan dalam sebuah kalimat seperti ( ٍٖسٓ اىَسأةdia (laki-laki) memberikan mahar kepada perempuan) atau ً جعو ىٖب ٍٖساartinya (memberinya mahar).1 Adapun ُ( اىَْٖسjamak: ٌ (ٍُٖ٘زbermakna ُ اىّصِدَاقyang berarti maskawin.2 Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai bentuk ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya, atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon isterinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dan sebagainya).3 Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.4 Mahar juga disebut sebagai harta yang wajib dalam akad nikah atas isteri dalam menerima beberapa manfaat budhu‟ 1 Ibrahim Madzkur, al-Mu’jam al-Wasiith, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilid ke-2, h. 889. 2 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1363 3 4 Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h, 84. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 696 24 (mempergauli). Mahar memiliki beberapa nama, yaitu; , اىفسٌضت, اىّْحيت,اىّصداق اىَٖس, اىعقس, األجس.5 Makna dasar shadaq yaitu memberikan derma (dengan sesuatu), nihlah artinya pemberian, fariidhah artinya memberikan.6 Namun menurut Peunoh Daly mahar adalah hak isteri yang diterima dari suaminya; pihak suami memberikannya dengan suka rela tanpa mengharap imbalan sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya. Mahar bukanlah imbalan daripada budhu‟ (mempergauli) isteri karena kenikmatan dan kesenangan bergaul itu dirasakan oleh kedua belah pihak.7 Mahar atau shadaq dalam hukum perkawinan Islam merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh seorang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. 8 Mahar adalah satu diantara hak isteri yang didasarkan atas Kitabullah, Sunnah Rasul, dan Ijma’ kaum muslimin. 9 Mahar dalam bahasa Indonesia dikenal atau disebut juga dengan maskawin. Maskawin atau mahar menurut Abd. Shomad adalah: 10 5 Ibnu Humam, Syarah Fath al-Qadiir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III, h. 316 6 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 121 7 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 219 8 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 68 9 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B. dkk., (Jakarta: Lentera, 1999), h. 364. 10 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana Grup, 2010), h. 299 25 a. Pemberian seorang suami kepada isterinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib. b. Sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam rangka akad perkawinan antara keduannya, sebagai lambang kecintaan calon suami terhadap calon isteri serta kesediaan calon isteri untuk menjadi isterinya. Adapun mahar menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 1 huruf d disebutkan; “Pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. B. Dasar Hukum Mahar Hukum pemberian mahar adalah wajib. 11 Adapun dasar hukum kewajiban mengenai mahar terdapat pada QS. An-Nisa‟ (4): 4 ; Artinya: ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”12 11 12 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam. h. 68 Menurut Abu Ja‟far bin Jarir At-Thabari makna (ِ ّحيت ّ ٖ )ٗات٘ اىّْسبء صدقبتadalah bahwa Allah Ta‟ala mengawali ayat ini dengan khitab yang ditujukan kepada orang-orang yang menikahi kaum perempuan, kemudian Allah melarang mereka berbuat zalim dan aniaya terhadap kaum perempuan, serta memberitahukan kepada mereka jalan yang dapat menyelamatkan mereka dari kezaliman terhadap perempuan. Makna firman Allah ini adalah “berikanlah mahar kepada kaum perempuan yang kalian nikahi sebagai sebuah pemberian wajib”. Perintah (memberikan mahar 26 Dalam QS. An-Nisa‟ (4): 24 juga disebutkan ; ... Artinya: “Dihalalkan bagimu (mengawini) perempuan-perempuan dengan hartamu (mahar), serta beristeri dengan dia, bukan berbuat jahat. Jika kamu telah menikmati (bersetubuh) dengan perempuan itu, hendaklah kamu memberikan kepadanya mas kawin (ujur, faridhah) yang telah kamu tetapkan.” Berangkat dari ayat-ayat ini para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu hukumnya wajib berdasarkan al-Qur‟an, sunnah dan ijma‟.13 Hadis Nabi Saw. ; فرٕب ثٌّ زجع. اذٕب اىى إيل فبّظس ٕو تجد شٍئب: فقبه, الٗاهلل ٌب زس٘ه اهلل: ٕو عْدك ٍِ شًء ؟ قبه ال ٗ اهلل ٌب: فرٕب ثٌّ زجع فقبه. اّظس ٗى٘ خبتَب ٍِ حدٌد: فقبه زس٘ه اهلل. ال ٗاهلل ٍب ٗجدث شٍئب:فقبه ٌ ٍب تّصْع ببشازك اُ ىبستٔ ى: فقبه زس٘ه اهلل.ٔزس٘ه اهلل ٗال خبتَب ٍِ حدٌد ٗىنِ ٕرا اشازي فيٖب ّّصف ٓ فجيس اىسجو حتّى اذا طبه ٍجيسٔ قبً فسا.ٌنٍْنِ عيٍٖب ٍْٔ شًء ٗاُ ىبستٔ ىٌ ٌنِ عيٍٖب ٍْٔ شًء - ٍعً س٘زة مرا ٗمرا – عدّدٕب: ٍبذا ٍعل ٍِ اىقساُ ؟ قبه: فيَّب جبء قبه, ًزس٘ه اهلل ٍ٘اىٍبً فبٍس بٔ فدع .ُ فقد ٍينتنٖب بَب ٍعل ٍِ اىقسا, اذٕب: قو.ٌ ّع: تقسؤِّٕ عِ ظٖس قيبل ؟ قبه:فقبه Artiya: “Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar ? tidak, demi Allah wahai Rasulullah, jawabnya. “Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu” pinta Rasulullah. Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia pun kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun” ujarnya. Rasulullah bersabda: “Carilah walaupun hanya berupa cincin dari besi”. Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah wahai Rasulullah, saya tidak mendapatkan dalam ayat ini) merupakan perintah Allah yang ditujukan kepada para suami kaum perempuan yang telah menggauli mereka, sekaligus telah mennetukan mahar untuk mereka. Perintah ini adalah perintah untuk memberikan mahar kepada mereka, bukan karena wanita yang dicerai sebelum digauli dan sebelum ditentukan maharnya dalam akad nikah. Mengenai makna ayat ( ُفب ...ٌطبِ ىن.) Abu Ja‟far berkata: maknanya adalah “kemudian jika ister-isterimu menyerahkan kepadamu wahai kaum lelaki, sebagian dari mahar mereka, karena kebaikan hati mereka atas hal itu, maka makanlah (ambillah) pmberian itu (sebagai makanan) yang sedap dan baik akibatnya. Lihat Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, penerjemah Akhmad Afandi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 411-415. 13 h. 252 Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut, Dar al-Fikr, 1986), Juz VII, 27 walau cincin dari besi, tapi ini sarung saya, setengahnya untuk wanita ini”. “Apa yang dapat kau perbuat dengan sarungmu ? jika kau memakainya maka wanita ini tidak mendapat sarung itu, dan jika dia memakainya berarti kamu tidak memakai sarung itu.” Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut, ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah, beliau bertanya: “Apa yang kau hafal dari Al-Qur’an ?” “Saya hafal surat ini dan sura itu” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya dalam hatimu ?” tegas Rasulullah. “Iya” jawabnya. “Bila demikian, baiklah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanta ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur’an yang engkau hafal.” Kata Rasulullah. (HR. Al-Bukhari No. 5087).14 C. Syarat dan Jenis-jenis Mahar Menurut M.A. Tihami dan Sohari Fahrani, mahar yang diberikan kepada calon isteri harus memenuhi syarat-syarat berikut: 15 1. Harta berharga, tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tapi bernilai tetap sah disebut mahar. 2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat, tidak sah mahar dengan memberikan khamr, babi atau darah, karena semua itu haram. 3. Bukan barang ghasab, artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat mengembalikannya nanti. Jika memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah, dan bukan barang yang tidak jelas keadaanya, tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak 14 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Bait alAfkar ad-Dauliyyah, 1998), Juz II, h. 251 15 M. A. Tihami dan Sohari Fahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 39-40 28 jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya. Kemudian berdasarkan jenisnya, mahar dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu; a. Mahar musamma, adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perawan yang disebutkan dalam redaksi akad.16 b. Mahar mitsil, menurut Hanafi, mahar mitsil ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang serupa dari pihak suku ayah, bukan suku ibunya. Tetapi menurut Maliki, mahar diterapkan berdasarkan kedaan wanita tersebut baik fisik maupun moralnya, sedangkan Syafi‟I menganalogikannya dengan isteri dari anggota keluarga, yaitu isteri saudara dan paman, kemudian dengan saudara perempuan, dan seterusnya. Bagi Hambali, hakim harus menentukan mahar mitsil dengan menganalogikannya pada wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi. Sementara itu Imamiyah mengatakan bahwa, mahar mitsil tidak mempunyai ketentuan dalam syara‟. Untuk itu, nilainya ditentukan oleh „urf yang paham ihwal wanita, baik dalam hal nasab maupun kedudukan, juga mengetahui keadaan yang dapat menambah atau berkurangnya mahar, dengan syarat tidak melebihi mahar yang berlaku menurut ketentuan sunnah, yaitu senilai 500 dirham.17 16 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff., h. 364 17 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 368. 29 Jenis barang yang dijadikan mahar, wujud dari sesuatu yang dapat dijadikan mahar dapat berupa;18 a. Barang berharga baik berupa barang bergerak atau tetap; b. Pekerjaan yang dilakukan oleh calon suami untuk calon isteri; c. Manfaat yang dapat nilai dengan uang. Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Disyaratkan bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya seratus lire, atau secara global semisal sepotong emas, atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa diketahui dari berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki, akad tetap sah, tetapi maharnya batal. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa, akadnya fasid (tidak sah) dan di-fasakh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila telah dicampuri, akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil.19 Syarat lain bagi mahar adalah hendaknya yang dijadikan mahar itu barang yang halal dan dinilai berharga dalam syariat Islam. Jadi, kalau mahar musamma itu berupa khamr, babi atau bangkai dan benda-benda lain yang tidak bisa dimiliki secara sah, maka Maliki mengatakan bahwa bila belu terjadi percampuran, akadnya fasid. Tetapi bila telah terjadi percampuran, maka akad dinyatakan sah 18 19 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 299 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366 30 dan si isteri berhak atas mahar mitsil. Sementara itu, Syafi‟I, Hanafi, dan Hambali dan mayoritas ulama‟ mazhab Imamiyah berpendapat bahwa, akad tetap sah dan isteri berhak atas mahar mitsil. Sebagian ulama mazhab Imamiyah member batasan bagi hak isteri atas mahar mitsil denga adanya percampuran, sedangkan sebagian yang lain, sependapat dengan empat mazhab, memutakkannya (tidak memberi batasan).20 Jika mahar tersebut berupa barang rampasan, misalnya suami memberi mahar berupa perabot tumah tangga milik ayahnya atau milik orang lain, maka Maliki berpendapat bahwa, kalau perabot itu barang yang dikenal oleh mereka berdua, sedangkan kedua-duanya dewasa, maka akadnya dinyatakan fasid dan difasakh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah dicampuri, akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil. Syafi‟I dan Hambali menyatakan bahwa akad tetap sah dan isteri berhak atas mahar mitsil.21 D. Ketentuan Mengenai Bentuk dan Kadar Mahar Mahar adalah pemberian sesuatu dari pihak pria sesuai dengan permintaan perempuan dengan batas-batas yang ma’ruf. Besarnya mahar tidak dibatasi. Islam memberikan prinsip pokok yaitu “secara ma’ruf”. Artinya dalam batas yang wajar sesuai kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan oleh isteri.22 Syariat tidak menetapkan batasan minimal, tidak pula maksimal atas mahar 20 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366, h. 366 21 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366-367 22 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 78-79 31 (yang harus diberikan kepada pihak perempuan). Sebab, manusia memiliki keberagaman dalam tingkat kekayaan dan kemiskinan. Manusia pun berbeda-beda dari segi kondisi sulit dan lapang, serta masing-masing komunitas memiliki kebiasaan dan tradisi yang berbeda-beda. Dari itu, syariat tidak memberi batasan tertentu atas mahar, agar masing-masing memberi sesuai dengan kadar kemampuannya dan sesuai dengan kondisi serta kebiasaan komunitasnya. Dari semua teks syariat yang ada mensinyalir bahwasanya tidak ada syariat terkait jenis mahar selain berupa sesuatu yang memiliki nilai tanpa memandang sedikit maupun banyak. Dengan demikian, mahar boleh hanya berupa cincin dari besi, atau berupa semangkuk korma, atau berupa jasa pengajaran kitab Allah, dan atau semacamnya, jika kedua belah pihak yang melaksanakan akad nikah saling meridhainya.23 Adapun benda atau uang pemberian itu adalah milik perempuan. Jika dikehendaki olehnya atau atas inisiatif dari perempuan itu maka bolehlah suami sekedar ikut memakan dan ikut hidup dari mahar yang ia berikan, yang telah menjadi milik isteri. 24 Mengenai ketentuan mahar, jumlahnya tergantung dari kemampuan calon suami atas persetujuan isteri, namun hendaklah tidak berlebihan.25 Jabir ra. menuturkan, Rasulullah bersabda; “Seandainya seorang pria memberi makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang wanita, 23 As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath li I‟lam al-„Arabi, 1999), h. 101-102 24 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, h. 68 25 Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Bogor: Cahaya Islam, 2006), h. 448. 32 sesungguhnya wanita itu halal baginya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)26. Para ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut karena adanya firman Allah QS. An-Nisa‟ (4): 20 yang berbunyi ; Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.”27 Tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Syafi‟I, Hambali dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy. Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar mahar sepuluh dirham. Maliki mengatakan, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi bila belum mencampuri, dia boleh memilih antara tiga dirham (dengan melanjutkan 26 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu Dawud, Penerjemah Muhammad Ghazali dkk., (Jakarta: Almahira, 2013), Cet. I, h. 434 27 Dari ayat ini dipahami bahwa tidak ada batas maksimal dari maskawin. Umar ibn alKhattab pernah mengumumkan pembatasan maskawin tidak boleh lebih dari empat puluh auqiyah perak, tetapi seorang wanita menegurnya dengan berkata, “Engkau tidak boleh membatasinya, karena Allah berfirman: Kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka qinthar (harta yang banyak)”. Umar ra. membatalkan niatnyaa sambil berkata, “seseorang wanita berucap benar dan seorang pria keliru”. Lihat dalam M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. II, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 366-367 33 perkawinan) atau fasakh akad, lalu mebayar separuh mahar musamma.28 Dalam hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar tetapi didasarkan pada kemampuan masing-masing orang keadaan dan tradisi keluarga. Dengan ketentuan bahwa jumlah mahar merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang akan melakukan akad nikah. Dalam syariat Islam hanya ditetapkan bahwa maskawin harus berbentuk dan bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Walau tidak ada batas minimal dan maksimal namun hendaknya berdasarkan pada kesanggupan dan kemampuan suami. Islam tidak menyukai mahar yang berlebihan,29 Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: ٗ خٍس اىّْسبء احسِّٖ ٗجًٕ٘ب: ٌّٗ عِ ابِ عبّبس زضً اهلل عْٔ قبه زس٘ه اهلل صيّى اهلل عئٍ ٗ سي 30 )ًازخّصِّٖ ٍٖ٘زًا (زٗآ اىبٍٖق Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw: sebaik-baiknya wanita (isteri) adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya. (HR. Al-Baihaqi). Berkaitan dengan pembayaran mahar terdapat beragam pendapat, Syafi‟I, Malik, dan Dawud berpendapat suami tidak wajib memberikan mahar seluruhnya, kecuali jika telah diawali dengan persetubuhan, dan jika masih menyendiri (belum melakukan persetubuhan), maka hanya wajib membayar setengahnya. 31 Dalam QS. Al-Baqarah (2): 237 disebutkan; 28 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B. dkk., h. 364-365 29 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 301 30 Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III, h. 13 31 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 305. 34 Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.” Jika jumlah maharnya belum ditentukan dan isteri belum pernah dicampuri, maka isteri hanya berhak mendapatkan pemberian menurut keadaan suaminya. Pemberian ini sebagai ganti rugi dari apa yang diberikan oleh mantan isterinya, hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 236;32 Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” E. Tujuan dan Hikmah Mahar: Antara Akad Muamalah dan Nihlah Sehubungan dengan aspek sosial perkawinan, maka hal itu didasarkan pada anggapan bahwa orang yang melangsungkan perkawinan berarti telah dewasa dan 32 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 305. 35 berani hidup mandiri, karena itu kedudukannya terhormat, kedudukannya dalam masyarakat dihargai sepenuhnya. Mahar merupakan lambang penghalalan hubungan suami isteri dan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita, yang kemudian menjadi isterinya. Maka dari itu, tujuan dan hikmah mahar merupakan jalan yang menjdikan isteri berhati senang dan ridho menerima kekuasaan suaminya kepada isterinya, selain itu mahar juga bertujuan;33 a. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta mencintai. b. Sebagai usaha memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya. Salah satu usaha Islam ialah memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikannya hak untuk memegang urusannya. Di zaman jahiliyah hak wanita itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dapat semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu itu, kepadanya hak mahar dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya bukan kepada ayahnya. Mahar yang telah dibayarkan suami kepada isterinya menjadi hak milik isterinya, oleh karena itu isteri berhak membelanjakan, menghibahkan dan sebagainya tanpa harus izin dari suami atau walinya.34 Perihal jenis-jenis maskawin ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki, dan bisa 33 H.E. Hassan Saleh dkk, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 299-301 34 H.E. Hassan Saleh dkk, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, h. 309 36 dijadikan sebagai alat kompensasi atau nilai tukar. Perihal sifat-sifat maskawin, para ulama sepakat sah hukumnya pernikahan berdasarkan penukaran dengan suatu barang tertentu yang dikenal sifatnya, yakni yang tertentu jenis, besar, dan nilainya. Kemudian mereka berselisih pendapat tantang barang yang tidak diketahui cirinya dan tidak ditentukan jenisnya. Contohnya seperti seseorang mengatakan, “Akan aku kawinkan kamu dengannya dengan maskawin seorang budak”, tanpa menjelaskan ciri-cirinya hingga dapat diketahui berapa harga atau nilainya.35 Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, membolehkannya. Sementara Imam Syafi‟i melarangnya. Jika terjadi pernikahan seperti itu, menurut Imam Malik, mempelai wanita berhak memperolah maskawin seperti yang disebutkan untuknya. Tetapi menurut Imam Abu Hanifah, mempelai pria dipaksa untuk mengganti nilainya. 36 Silang pendapat ini karena persoalan, apakah pernikahan seperti itu dapat disamakan dengan jual beli yang harus kikir, atau tidak sampai sejauh itu 35 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah Abdul Rasyid Shiddiq, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2013), h. 84-87 36 Kata Imam Syafi‟i dan Ahmad, maskawin harus jelas. Abu Bakar, salah seorang ulama dari mazhab Hanbali setuju pada pendapat ini. Sementara menurut al-Qadhi yang juga dari mazhab Hanbali, maskawin boleh tidak jelas asalkan tidak kurang dari yang standar atau mahar mitsil. Imam Abu Hanifah setuju pada pendapat ini. Lihat al-Mughni VI/261. Dan lihat ar-raudhah VII/268. Ad-Dardiri dalam kitabnya Syarah Aqrab al-Masalik menuturkan beberapa masalah terkait yang terkait dengan sesuatu yang mungkin ditentukan dan yang tidak mungkin. Katanya, tidak sah maskawin dengan sesuatu yang mengandung unsur gharar atau penipuan. Contohnya seperti maskawin dengan budaknya fulan atau dengan janin atau dengan buah yang belum tampak kepatutannya. Kalau buah tersebut langsung dipetik pada waktu itu juga, maka ditoleransi, meskipun akhirnya tidak sah dijual. Juga tidak boleh maskawin dengan sesuatu yang tidak jelas, seperti misalnya dengan baju atau barang apa saja yang tidak dijelaskan ciri-cirinya, atau dengan beberapa dirham yang tidak dijelaskan nominalnya, atau dengan salah seorang budak miliknya yang ia pilihkan sendiri, bukan dipilih oleh wanita yang hendak dinikahinya. Sebab mungkin yang di pilihkan ialah budak yang nilainya paling rendah atau paling tinggi. Tapi kalau memilih diantara budak itu adalah wanita yang hendak dinikahinya, hukumnya boleh. Lihat asy-Syarh ash-Shaghir II/420. Kata imam Abu Hanifah, begitu pula tidak boleh pernikahan dengan menggunakan maskawin sepotong baju atau sebuah rumah atau seekor ternak secara mutlak, karena tidak jelas. Jadi, wanita berhak mendapatkan mahar mitsil, berapapun nilai nominalnya. Atau dengan maskawin seorang budak laki-laki maupun perempuan, seekor kuda, atau seekor unta, atau seekor sapi, dan sebagainya dari jenis yang sudah jelas tetapi berbeda sifat dan nilainya. Maka sang suami boleh memilih; apakah ia akan memberikan dari yang tengah-tengah, atau ia memberikan nilainya. Dan isteri harus menerimanya. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah Abd. Rashad S., h. 86) 37 namun memberi sesuatu yang lebih tinggi dari itu, sebagai realisasi kedermawanan ?. Ulama-ulama yang menyamakannya dengan jenis jual beli yang pertama, mereka mengatakan kalau jual beli suatu barang yang tidak diketahui ciri-cirinya dilarang, maka begitu pula dengan pernikahan seperti itu. Dan ulamaulama yang menyamakannya dengan jenis yang kedua, mereka mengatakan bahwa pernikahan seperti itu boleh.37 Pangkal silang pendapat soal penentuan maskawin ini ada dua. Pertama, ketidakjelasan apakah fungsi akad nikah sebagai sarana tukar menukar berdasarkan kerelaan menerima ganti, baik sedikit atau banyak, sebagaimana yang berlaku dalam akad jual beli, atau sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya. Sebab dari satu aspek, berkat adanya maskawin seorang lelaki dapat memiliki manfaat-manfaat pada seorang wanita untuk selamanya, sehingga dengan begitu ini mirip dengan kompensasi. Dari dari aspek yang lain, adanya larangan mengadakan persetujuan untuk menafikan maskawin, sehingga dengan begitu ini mirip dengan ibadah.38 F. Kehalalan Istimta’: Sebab Akad atau Mahar Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab utama dihalalkannya wath’ (dengan akad ataukah dengan mahar), maka dari itu perlu kita tinjau kembali definisi pernikahan menurut para mujtahid, sebagai berikut; 1. Nikah berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syariat dikenal dengan 37 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 86 38 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 87 38 akad nikah. Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga. Bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki. Maksudnya, pengaruh akad ini bagi lelaki adalah memberi hak kepemilikan khusus, maka lelaki lain tidak boleh memilikinya. Sedangkan pengaruhnya terhadap perempuan adalah sekedar menghalalkan bukan memiliki hak secara khusus. Lebih gamblangnya, syariat melarang poliandri dan membolehkan poligami.39 2. Para ulama hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja. Artinya, kehalalan seorang lelaki bersenang-senang dengan perempuan yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan kesengajaan. Sebagian ulama hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah akad yang dilakukan untuk memberikan hak milik segala manfaat dari kemaluan.40 3. Adapun Muhammad Abu Zahrah berpendapat, bahwa sebagian ulama mengartikan nikah dengan sebuah 39 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, h. 29 40 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, h. 30 akad yang mengakibatkan 39 dihalalkannya istimta‟.41 Jadi halalnya wath‟ disebabkan oleh telah terjadinya akad pernikahan, namun berbeda dengan Imam Abu Hanifah (dalam salah satu pendapatnya) berpendapat bahwa mahar adalah yang menjadikan halal menikmati kemaluan wanita.42 41 Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, (Kairo: Daar al-Fikr al-„Arabi, t.th.), 42 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 81 h. 18 39 BAB III BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DI BULUKUMBA SULAWESI SELATAN A. Potret Kabupaten Bulukumba Kabupaten Bulukumba terletak di bagian selatan jazirah Sulawesi dan berjarak kurang lebih 153 kilometer dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, terletak antara 05020’ - 05040’ lintang selatan dan 119058’-120028’ bujur timur. Berbatasan dengan Kabupaten Sinjai di sebelah utara, sebelah timur dengan Teluk Bone, sebelah selatan dengan Laut Flores, dan sebelah barat dengan Kabupaten Bantaeng. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba sekitar 1.154,7 km2 atau sekitar 2,5 persen dari luas wilayah Sulawesi Selatan yang meliputi sepuluh kecamatan yang terbagi kedalam 27 kelurahan dan 109 desa. Wilayah Kabupaten Bulukumba hampir 95,4 persen pada ketinggian 0 sampai dengan 1000 meter diatas permukaan laut (dpl) dengan tingkat kemiringan tanah umumnya 0-400. Terdapat sekitar 32 aliran sungai yang dapat mengairi sawah seluas 23.365 hektar, sehingga merupakan daerah potensi pertanian. Curah hujannya rata-rata 152 mm perbulan dan rata-rata hari hujan 10 hari per bulan.1 Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya Undang–Undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang Lambang Daerah. Akhirnya setelah 1 Badan Pusat Statistik Bulukumba, Statistik Kabupaten Bulukumba 2014, (Bulukumba: BPS Bulukumba, 2014), h. 3 40 dilakukan seminar sehari pada tanggal 28 Maret 1994 dengan narasumber Prof. Dr. H. Ahmad Mattulada (ahli sejarah dan budaya), maka ditetapkanlah hari jadi Kabupaten Bulukumba, yaitu tanggal 4 Februari 1960 melalui Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1994. Secara yuridis formal Kabupaten Bulukumba resmi menjadi daerah tingkat II setelah ditetapkan Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba oleh DPRD Kabupaten Bulukumba pada tanggal 4 Februari 1960 dan selanjutnya dilakukan pelantikan bupati pertama, yaitu Andi Patarai pada tanggal 12 Februari 1960.2 Paradigma kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan memberikan nuansa moralitas dalam sistem pemerintahan yang pada tatanan tertentu menjadi etika bagi struktur kehidupan masyarakat melalui satu prinsip "Mali’ siparappe, Tallang sipahua."3 Ungkapan yang mencerminkan perpaduan dari dua dialek bahasa Bugis-Makassar Bulukumba tersebut untuk merupakan mengemban gambaran amanat sikap persatuan batin didalam masyarakat mewujudkan keselamatan bersama demi terciptanya tujuan pembangunan lahir batin, material spiritual, dunia akhirat. Nuansa moralitas ini pula yang mendasari lahirnya slogan pembangunan "Bulukumba Berlayar" yang mulai disosialisasikan pada bulan September 1994 dan disepakati penggunaannya pada tahun 1996. Konsepsi "Berlayar" sebagai moral pembangunan lahir batin mengandung filosofi yang 2 3 Artikel diakses pada 04 Mei 2014 Pukul 22.00 WIB dari http://www.bulukumbakab.go.id/ Mali berarti hanyut atau tenggelam, siparappe’ berarti saling tolong, kalimat tersebut merupakan sebuah ungkapan dalam Bahasa Bugis yang berarti “saling tolong menolong jika ada yang terkena musibah”, sedangkan dalam dialek Bahasa Makassar kalimat tersebut dikenal dengan ungkapan tallang (tenggelam atau hanyut) sipahua (saling tolong atau dibantu untuk muncul ke permukaan). 41 cukup dalam serta memiliki kaitan kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan dengan masyarakat Bulukumba. "Berlayar" merupakan sebuah akronim dari kalimat kausalitas yang berbunyi "Bersih Lingkungan, Alam Yang Ramah". Filosofi yang terkandung dalam slogan tersebut dilihat dari tiga sisi pijakan, yaitu sejarah, kebudayaan dan keagamaan. Dari sisi budaya, Bulukumba telah tampil menjadi sebuah "legenda modern" dalam kancah percaturan kebudayaan nasional, melalui industri budaya dalam bentuk perahu, baik itu perahu jenis phinisi, padewakkang, lambo, pa’jala, maupun jenis lepa-lepa yang telah berhasil mencuatkan nama Bulukumba di dunia internasional.4 B. Sistem Kemasyarakatan Dalam Masyarakat Bugis Buku La Towa yakni buku yang merupakan kumpulan sabda-sabda dan petuah-petuah atau nasehat-nasehat para raja dan orang-orang cerdik pandai pada zaman dahulu kala, sering dijadikan pedoman hidup oleh orang-orang BugisMakassar. Di dalam buku ini antara lain ditegaskan bahwa kemakmuran dan kekayaan suatu masyarakat atau sebuah negeri ditentukan oleh empat hal, yakni:5 1. Ade’ (adat atau kebiasaan dahulu) 2. Undang-undang 3. Bicara (Peradilan) 4. Wari’ (yakni pembagian tingkatan di dalam masyarakat), diantaranya: a. Anak Karaeng, artinya anak raja-raja. b. Tumaradeka, artinya orang merdeka, yaitu masyarakat pada umumnya. 4 5 Artikel diakses pada 04 Mei 2014 Pukul 22.00 WIB dari http://www.bulukumbakab.go.id/ Sagimun M.D., Sultan Hasanuddin Menentang V.O.C., (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h. 22 42 c. Ata’, artinya budak atau hamba sahaya. 5. Setelah agama Islam masuk serta berkemabang di Sulawesi Selatan ditambah dengan satu hal lagi, yakni syara’ (undang-undang Islam). H.J. Friederecy pernah menulis sebuah disertasi sebagaimana dikutip oleh Mattulada, ia menggambarkan pelapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman sebelum pemerintah kolonial Belanda menguasai langsung daerah Sulawesi Selatan. Salah satu sumber yang dipakai untuk melakukan rekonstruksinya adalah buku kesusasteraan Bugis-Makassar asli La Galigo. Menurut Friedercy dulu ada tiga lapisan pokok, ialah: Anakarung (ana’ karaeng dalam bahasa Makassar) ialah lapisan kaum kerabat raja-raja, To-maradeka adalah lapisan orang merdeka yang merupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan, dan Ata’ ialah lapisan orang budak, ialah orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat.6 Usaha untuk mencari latar belakang terjadinya pelapisan masyarakat itu, Friederecy berpedoman kepada peranan tokoh-tokoh yang disebut dalam La Galigo dan berkesimpulan bahwa masyarakat Bugis Makassar pada mulanya terdiri dari dua lapisan, dan lapisan ata’ merupakan suatu perkembangan kemudian yang terjadi dalam zaman perkembangan dari organisasi-organisasi pribumi di Sulawesi Selatan. Pada permulaan abad ke-20, lapisan ata’ mulai hilang, karena larangan dari pemerintah kolonial dan desakan dari agama.7 6 Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979), h. 269 7 Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 269 43 Sesudah perang dunia ke-2, arti dari perbedaan antara lapisan anak karung dan to maradeka dalam kehidupan masyarakat juga mulai berkurang dengan cepat. Adapun gelar-gelar ana karung seperti Karaenta, Puatta, Andi dan Daeng, walaupun memang masih dipakai, tidak lagi mempunyai arti seperti dulu dan sekarang malah sering dengan sengaja diperkecilkan artinya dalam proses perkembangan sosialisasi dan dalam demokratisasi masyarakat Indonesia. Stratifikasi sosial lama sekarang sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan; namun suatu stratifikasi sosial baru yang condong untuk berkembang atas dasar tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian, atau dasar pendidikan sekolahan, belum juga berkembang dan mencapai wujud yang mantap. Suatu hal yang nyata adalah bahwa sikap ketaatan lahir terhadap penguasa itu, masih ada sebagai akibat suatu rasa takut dan curiga-curiga terhadap tindakan kekerasan militer yang telah diderita oleh rakyat Sulawesi Selatan sejak zaman Jepang sampai sekarang. Yang perlu ditumbuhkan secepat-cepatnya adalah suatu sikap ketaatan, baik lahir maupun batin, yang bersumber dari kepercayaan kepada penguasa, yang sejauh mungkin menghindarkan tindakantindakan kekerasan dan tekanan kepada rakyat.8 C. Prosesi Perkawinan Dalam Adat Istiadat Bugis Perkawinan dalam pandangan masyarakat adat, bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan yang rukun dan damai. Dikarenakan nilai-nilai yang hidup dalam 8 Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 270 44 masyarakat adat yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut serta menyangkut terhadap kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan dalam masyarakat, maka proses pelaksanaan perkawinan harus diatur dengan tata tertib adat agar dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang akhirnya akan menjatuhkan martabat, kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan.9 Menurut Van Dijk sebagaimana dikutip oleh Tolib Setiady, perkawinan menurut hukum adat sangat bersangkutan dengan urusan keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi. Berbeda dengan perkawinan masyarakat Barat (Eropa) modern bahwa perkawinan hanya merupakan urusan mereka yang akan kawin saja.10 Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala “saling mengambil satu sama lain”. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik. Walaupun mereka berasal dari status sosial berbeda, setelah menjadi suami-istri mereka merupakan mitra. Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya untuk mempereratnya (ma’pasideppe’ mabelae atau mendekatkan yang sudah jauh). Hal ini juga sering ditemukan dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka sejak kecil.11 9 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2013), h. 225 10 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan, h. 222 11 Christian Pelras, The Bugis, Penerjemah Rahman Abu dkk.. (Jakarta: Nalar, 2006), h. 180 45 Perkawinan (mappabotting) bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang sangat sakral dan merupakan simbol status sosial yang dihargai. Diiringi aturan adat serta agama sehingga membentuk rangkaian upacara yang unik, penuh tata krama, dan sopan santun serta saling menghargai satu sama lain. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa tahap yang harus dilalui yaitu: 1. Makkapese’-kapese’ dan Mattiro Makkapese’-kapese’ maksudnya ialah tahap penjajakan, tahap dimana perwakilan dari kelurga besar pihak laki-laki mulai menjajaki (mencari tahu) perempuan mana yang akan disandingkan dengan calon mempelai laki-laki, lalu dilanjutkan dengan mattiro dimana pihak keluarga juga akan mencari tahu tentang calon pengantin perempuan yang akan dilamar, apakah ia sempurna secara fisik atau memiliki kekurangan tertentu. Setelah itu bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki diteliti secara saksama untuk mengetahui status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak. Jangan sampai tingkat pelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar.12 2. Ma’duta Setelah kunjungan resmi pertama untuk mengajukan pertanyaan secara tidak langsung dan halus, apabila keluarga perempuan menyambut baik niat kunjungan pertama dari pihak laki-laki, maka kedua pihak menentukan hari untuk mengajukan lamaran (ma’duta) secara resmi. Selama proses pelamaran 12 Ali Akbarul Falah, “Pandangan Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Mattunda Wenni Pammulang Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, (Skripsi S1 Fakultas Syariah, UIN Malang, 2009), h. 55 46 berlangsung, garis keturunan, status, kekerabatan, dan kedua calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompa dan jumlah uang antaran (dui’ menre’) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya pesta pernikanan pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya. Setelah semua persyaratan ini disepakati, ditentukan hari pertemuan guna mengukuhkan (ma’pasiarekkeng) kesepakatan tersebut.13 3. Mapettu Ada’ Mapettu ada’ ialah memutuskan dan meresmikan segala hasil pembicaraan yang diambil pada waktu pelamaran dilakukan, dalam bahasa Bugis dinamakan “mappasiarekkeng” seperti uang belanja, leko, maskawin, hari akad nikah, dan lain-lain sebagainya. Jika di Bone mapettu ada’ ini dilaksanakan dalam bentuk dialog antara juru bicara pihak pria dengan juru bicara pihak perempuan.14 Adapun yang dibicarakan dalam rangkaian acara mapettu ada’ adalah sebagai berikut; a. Tanra Esso, penentuan acara puncak atau hari pesta pernikahan sangat perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti sewaktu-waktu yang dianggap luang bagi keluarga. Jika keluarga, baik laki-laki atau perempuan itu petani, biasanya mereka memilih waktu sesudah panen.15 13 Ali Akbarul Falah, Pandangan Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Mattunda Wenni Pammulang Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, h. 56 14 Abdul Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, (Makassar: Penerbit Indobis, 2006), h. 140 15 Andi Nurnaga, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, (Makassar: CV. Telaga Zamzam, 2001), h. 18 47 b. Paenre’ atau uang panai. c. Leko (seserahan). Adapula hadiah-hadiah yang biasa disebut dengan leko. Leko ini diberikan pada waktu mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Biasanya leko ini berisikan seperti kelengkapan untuk pengantin perempuan yang terdiri dari make up, sepatu, dan lain sebagainya.16 d. Sompa atau sunrang (Mahar). Pada hari kesepakatan itu hadiah pertunangan kepada mempelai perempuan (pasio’ atau pengikat) dibawa, antara lain berupa sebuah cincin, beserta sejumlah pemberian simbol lainnya, misalnya tebu, sebagai simbol sesuatu yang manis; buah nangka (panasa) diibaratkan dekat atau kenalan yang dihormati orang tuanya, tetapi kedua orang tua dan calon pengantin sendiri tidak ikut hadir. Juru bicara pihak laki-laki kemudian membahas kembali hal-hal yang telah disepakati, kemudian dijawab oleh wakil pihak perempuan, lalu ditentukanlah hari pesta pernikahan. Setelah itu, hadiahhadiah yang dibawa diedarkan kepada wakil pihak perempuan untuk diperiksa, pertama-tama oleh kaum pria kemudian perempuan, selanjutnya dibawa ke kamar calon mempelai perempuan.17 16 17 Andi Nurnaga, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, h. 51 Ali Akbarul Falah, Pandangan Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Mattunda Wenni Pammulang Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, h. 56 48 4. Mappabotting Hari perkawinan dimulai dengan mappaenre’ balanja (appanai leko dalam bahasa Makkassar), ialah proses dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabatnya pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita dan maskawin. Sampai di rumah mempelai wanita maka dilangsungka upacara pernikahan atau aggaukeng (pagaukang dalam bahasa Makassar). Pada pesta itu para tamu yang diundang memberi kado atau uang sebagai sumbangan (soloreng). Beberapa hari sesudah pernikahan, pengantin baru mengunjungi keluarga suami dan tinggal beberapa lama disana. Dalam kunjungan itu isteri harus membawa pemberian-pemberian untuk semua anggota keluarga suami. Kemudian ada kunjungan ke keluarga isteri, juga dengan pemberianpemberian untuk mereka semua. Pengantin baru juga harus tinggal untuk beberapa lama di rumah keluarga itu. Barulah mereka dapat menempati rumah mereka sendiri nalaoanni alena (naentengammi kalenna dalam bahasa Makassar). Hal itu berarti bahwa mereka sudah membentuk rumah tangga sendiri.18 D. Islam dan Budaya Menurut Abdurrahman Wahid, hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Di dalam mengagungkan Tuhan dan di dalam mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia dengan Sang Khalik, agamaagama kerap menggunakan kebudayaan secara masif. Kita dapat melihat hal ini, umpamanya, ikon-ikon, patung-patung, lukisan-lukisan, atau prosesi-prosesi pada saat penyaliban Isa al-Masih. Bahkan, drama politik biasa- seperti terbunuhnya 18 Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 267-268 49 Sayyidina Hussein, cucu Nabi Muhammad di tangan anak buah Yazid, yaitu Muslim bin Aqil, di kota Karbala (sekitar 150 km sebelah barat daya Baghdad)kadang-kadang diangkat menjadi peristiwa agama. Tanggal 10 Muharram setiap tahun, peristiwa itu dirayakan besar-besaran, dan jutaan orang datang untuk menyaksikan untuk diperagakannya drama (prosesi) berbagai tahap kehidupan Sayyidina Hussein (termasuk ketika dia dibunuh) di berbagai bagian kota itu. Kita dapat pula melihat jenis prosesi lain seperti barongsai, yang sesungguhnya juga merupakan peristiwa agama. Ketika sang Naga (dalam kepercayaan konfusian) berusaha menguber pusaka Cuk yang bulat kecil dan kaya mutiara, maka disitu diperlambangkan sebuah pergulatan antara keangkara murkaan dengan kearifan penguasa. Sementara itu, di Bali atau Malaysia, orang Hindu selalu menggunakan salah satu unsur budaya, yakni seni, di dalam upacara keagamaannya.19 Dalam semua contoh di atas, jelas sekali bahwa aspek keindahan sengaja diperlihatkan sebagai upaya manusia untuk mengabadikan hal-hal yang dianggapnya paling menentukan di dalam kehidupanya. Dapatlah dikatakan bahwa unsur kebudayaan yang paling utama dalam kehidupan manusia adalah seni. Di sisi lain, teologia, dalam usaha menerangkan adanya Tuhan, dan bagaimana memfungsikan hubungan manusia dengann Tuhan, juga memakai unsur lain dari kebudayaan, yaitu pemikiran-pemikiran filosofis. Refleksi filosofis (mengenai agama) adalah sesuatu yang bersifat keagamaan. Disitu tampak bahwa 19 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, h. 291-292 50 kebudayaan dimanfaatkan oleh agama, dan disitu juga terjadi proses penyesuaian antara kebudayaan dan agama secara utuh.20 Al-Qur’an bukan saja mewajibkan hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga hubungan manusia dengan manusia. Bahkan yang mengabaikan apalagi meninggalkan salah satu atau keduanya diancam dalam QS. Ali Imran (3): 112; ..... Artinya: “Mereka diliputi kehinaan (hilang kekuasaan) dimanapun mereka berada selain daripada mereka yang menjaga hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia.” Hubungan manusia dengan Tuhan berbentuk tata agama, sedangkan hubungan manusia dengan manusia membentuk sosial. Sosial membentuk masyarakat, yang jadi wadah kebudayaan. Apabila dipergunakan istilah Islam, hubungan pertama itu berbentuk ibadat kedua mu’amalat. Sasaran hakiki agama ialah salam di akhirat dan salam ruhaniyah di dunia, sedangkan yang dituju oleh kebudayaan ialah salam di dunia saja. 21 Islam mengandung dua aspek, ibadat dan muamalat, atau agama dan kebudayaan. Dalam kedua aspeknya itulah Islam disebut oleh Qur’an dengan istilah diin, dalam QS. Al-Ma’idah (5): 3; .... Artinya: “Pada hari ini aku sempurnakan untuk kamu diin kamu dan Aku cukupkan nikmatku kepadamu dan aku berkati Islam menjadi diin-mu.” 20 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, h. 292 21 Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang: 1976), h. 106 51 Secara tradisional diin itu dibagi dalam empat bidang kajian: ibadat, mu’amalat, munakahat (misalnya hukum nikah, hubungan suami isteri, keluarga, jinayat (hukum sipil dan kriminil atau perdata dan pidana. Apabila pembagian ini kita tinjau dari QS. Ali Imran (3): 112, keempat bidang itu dapat dibagi dua: ibadat masuk kedalam hablun min Allah, mu’amalat, munakahat dan jinayat masuk kedalam lapangan hablun min an-naas. Pembahasan tentang isi diin membawa kita kepada kesimpulan, bahwa ia meliputi: hubungn manusia dengan Allah dalam tata ibadat atau agama, hubungan dengan manusia dengan manusia dalam tata mu’amalat atau yang membentuk masyarakat dan berisikan kebudayaan.22 Ternyata keliru menterjemahkan diin dengan agama, dengan kata lain apakah istilah yang spesifik Islam itu dapat kita terjemahkan? dari kata-kata dalam khazanah bahasa Indonesia/Malaysia tidak ada kata yang sama pengertiannya dengan diin. Karena itu, kata itu kita ambil ke dalam bahasa Indonesia untuk menyesuaikan dengan fonologi bahasa kita menjadi ad-diin. Jadi, Islam itu mengandung dua aspek, yakni segi agama dan kebudayaan. Dengan demikian ada agama Islam dan ada kebudayaan Islam. Dengan pandangan ilmiah antara keduanya memang dapat dibedakan, tapi dengan pandangan Islam sendiri tidak dapat dipisahkan. Yang kedua inheren dengan yang pertama membentuk integrasi. Demikian eratnya jalinan dan integrasinya, sehingga terkadang mendudukkan suatu perkara, apakah masuk agama atau kebudayaan.23 22 Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, h. 107-108 23 Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, h. 110 sukar 52 Prisip-prinsip kebudayaan yang digariskan oleh ad-diin itu ditujukan kepada kemanusiaan. Kemanusiaan itu merupakan hakikat manusia. Karena itu ia serbatetap. Dari itulah prinsip-perinsip tersebut ditentukan oleh ad-diin untuk tidak diubah-ubah. Kemanusiaan itu sama saja dahulu, sekarang dan yang akan datang. Tetapi perwujudan kemanusiaan yang disebut aksidensi itu tumbuh, berkembang, berbeda dan diperbarui. Tetapi sementara berlangsungnya perubahan demi peruahan itu, asasnya serba tetap. Asas inilah yang dituntun, ditunjuki, diperingatkan dan diberitakan oleh Qur’an dan Hadis.24 Kamajemukan masyarakat Indonesia, hubungan dialogis berbagai aspek kehidupan dan wilayah geografis dalam kasus hubungan keagamaan intensitasnya akan semakin tinggi. Arah dari persoalan tersebut akan berkaitan dengan pertanyaan apakah ia merupakan semata-mata sebagai rekayasa dari suatu kepentingan politik, ataukah rekayasa budaya. Menghadapi kecenderungan itu, perlu dikembangkan konseptualisasi berbagai aktifitas yang fungsional terhadap berbagai persoalan obyektif kehidupan manusia. Oleh karena itu perlu disadari oleh setiap pemeluk suatu agama bahwa pemikiran dan aktifitas keagamaan merupakan dialog budaya yang tumbuh dan berkembang searah dengan daya kritis dan kreatif manusia tanpa harus melepaskan ataupun merelatifikasikan keyakinan agamanya. Dengan demikian dialog agama akan dapat tumbuh dan berkembang secara konstruktif sebagai dialog budaya, sehingga aspek pemikiran ilmiah dan metodologi iptek dapat memainkan peranan fungsionalnya.25 24 Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, h. 113 25 Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 72-73 53 E. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Selatan Untuk mengetahui gambaran dan pengetahuan yang lebih luas, tidak ada buruknya, bahkan mungkin sangat besar faedahnya jikalau kita mengetahui beberapa hal tentang Sulawesi Selatan pada umumnya. Jikalau kita melihat peta tanah air kita, maka antara pulau Sunda Besar tampak sebuah pulau yang bentuknya hampir meneyerupai bentuk sebuah huruf “K”, yaitu pulau Sulawesi. Pulau ini mempunyai empat buah jazirah, yakni Jazirah Utara, Jazirah Timur Laut, Jazirah Tenggara, dan Jazirah Barat Daya.26 Keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah. Dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur, Khatib Tunggal, lebih populer dengan nama Datuk Ri Bandang; Sulaiman, Khatib Sulung, lebih populer dengan nama Datuk Patimang; serta Abdul Jawad, Khatib Bungsu, lebih dikenal dengan nama Datuk Ri Tiro. Ketiga ulama tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan. Namun, inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak Anak Kodah Bonang. Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI (1525).27 26 Sagimun M.D., Sultan Hasanuddin menentang V.O.C., (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h. 1 27 Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”, artikel diakses pada 29 September 2015 dari http://daerah.sindonews.com/read/881803/29/jelajah-tiga-datuk-di-sulawesi-selatan1404994262 54 Setibanya di Makassar, ketiga ulama ini tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo (Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka) dan Raja Gowa (Karaeng Matoaya Tumamenaga Ri Agamanna). Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu (La Patiware Daeng Parabu). Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaannya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan.28 Ketiganya (Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk Ri Tiro) mengislamkan Datuk Luwu yang kemudian diberi nama Islam Sultan Muhammad Mahyuddin pada bulan Februari tahun 1605, lalu Raja Tallo (Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka) diberi nama Sultan Abdullah Awwalul Islam, yang hampir bersamaan dengan raja Gowa (Karaeng Matoaya Tumamenaga Ri Agamanna) diberi nama Sultan Alauddin pada 22 September 1605. Selain itu Sultan Alauddin pula yang menggelar salat Jumat besar-besaran pada tahun 1607 dan mengumumkan secara formal bahwa agama kerajaan adalah adalah Islam dan menjadikan kerajaan Gowa sebagai pusat penyebaran Islam. Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo, kedudukan Sultan Alauddin makin kuat. Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islam di Sulawesi Selatan.29 28 Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”. 29 Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”. 55 Buku “Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan” oleh H.A. Massiara Dg. Rapi, disebutkan penyebaran Islam dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Adapun pendekatan kultural dilakukan dengan cara kerajaan mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok daerah. Sementara, pendekatan struktural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo dengan menyebarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan lainnya. Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain: barang siapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.Karena itu, dengan dalih bahwa Gowa sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam.30 F. Mahar Dalam Perspektif Budaya-Budaya di Indonesia Sebelum membahas mahar dalam budaya Bugis, di Indonesia terdapat berbagai macam bentuk mahar yang mengikuti kebiasaan di daerah dan ketentuan adatnya masing-masing, diantaranya adalah; 1. Masyarakat Batak Toba menyebut maskawin itu sebagai pangoli. Pembayaran maskawinnya biasanya terdiri dari uang dan ternak.31 30 Herni Amir, “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”. 31 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (DIY: LkiS, 2004), h. 225 56 2. Suku Komering di Sumatera Selatan menggunakan emas sebagai mahar/maskawinnya.32 3. Di maluku, mahar biasanya (selain kain) juga terdiri atas sepasang anting emas dan gading gajah yang ditaruh di dalam wadah sirih yang disebut tol'a dan kemudian ditempatkan di dalam lumbung di bumbungan rumah, terus digunakan sebagai mahar dalam perkawinan generasi selanjutnya.33 4. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) proses meminang gadis di kalangan suku Lamaholot sangat unik. Meski penduduk wilayah ini tidak memelihara gajah, gading gajah sudah menjadi mahar kawin sejak ratusan tahun lalu. Dalam masyarakat Lamaholot, ukuran atau jumlah mahar kawin (belis) atau gading gajah tergantung pada status sosial gadis atau calon mempelai perempuan yang akan dipinang.34 5. Di masyarakat Bugis, mahar yang dikenal dengan istilah sunrang (Bugis) atau sompa (Makassar). Sompa atau sunrang itu besar kecilnya sesuai dengan derajat sosial dari gadis yang dipinang. Sompa atau sunrang menggunakan nominal uang atau dapat saja terdiri dari sawah, kebun, keris pusaka, perahu, yang semuanya mempunyai makna penting dalam perkawinan.35 32 Hattama Rosid dkk., ed., Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 399 33 Shariva Alaidrus, “Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar”, artikel diakses pada 04 Oktober 2015 dari http://www.antaranews.com/berita/431398/mahar-dalam-tradisipernikahan-bangsawan-babar 34 Kornelis Kewa Ama, “Mahar Kawin yang Membebani Keluarga”, artikel diakses pada 04 Otober 2015 dari http://lipsus.kompas.com/jejakperadabanntt/read/2010/12/10/08361911 35 Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, h. 269 57 BAB IV MAHAR DAN PAENRE’ DALAM PERSPEKTIF ETNOGRAFI HUKUM ISLAM A. Mahar dan Paenre’ Dalam Adat Istiadat Bugis di Bulukumba Sompa atau mahar adalah pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah satu syarat sahnya pernikahan. Jumlah sompa sebagaimana yang diucapkan oleh mempelai laki-laki pada saat pernikahan (akad nikah), menurut ketentuan adat jumlahnya bervariasi menurut tingkatan strata sosial atau tingkatan sosialnya seseorang.1 Adapun menurut masyarakat setempat bependapat bahwa, mahar merupakan salah satu unsur yang wajib ada dalam pernikahan.2 tidak boleh tidak ada.3 Istilah lain yang digunakan dalam menyebutkan mahar adalah sunrang.4 dan diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan menurut adat isitiadat di Bulukumba.5 Pada zaman dahulu, memang sompa atau sunrang yang berlaku sejak lama di daerah Bugis dinilai dengan mata uang lama (orang Bugis menyebutnya rella). Bagi bangsawan tinggi maharnya dinyatakan dengan kati senilai 88 Real, ditambah satu orang hamba (ata’) senilai 40 Real dan satu ekor kerbau senilai 25 Real. Sompa bagi perempuan dari kalangan bangsawan tinggi disebut sompa 1 Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone, (Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2007), h. 16 2 Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat), Bulukumba 28 Juli 2015. 3 Wawancara Pribadi dengan Andi Indah Kumalasari (Masyarakat), 29 Juli 2015. 4 Wawancara Pribadi dengan Andi Sriwati (Masyarakat), Bulukumba 28 Juli 2015. 5 Wawancara Pribadi dengan Andi Asmawati Kr. Ade (Masyarakat), 29 Juli 2015. 58 bocco (sompa puncak) yang biasa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan dari kalangan bangsawan menengah kebawah hanya satu kati, bagi orang baikbaik (to deceng) setengah kati, kalangan orang biasa seperempat kati.6 Penentuan jumlah mahar berdasarkan tingkatan sosialnya dikuatkan oleh salah satu tokoh adat setempat yang menegaskan bahwa memang hukum adat yang berlaku di Bulukumba (mahar) harus berdasarkan tingkatan sosialnya. Tingkatan sosialnya bukan hanya karena alasan dari golongan bangsawan, namun juga bisa karena jabatan atau karena pendidikan yang telag ditempuh. Jenis mahar yang diberikan biasanya menggunakan tanah atau emas.7 Berikut penulis menemukan jenis mahar yang diterima oleh empat orang informan/narasumber (masyarakat Bulukumba) dalam prosesi pernikahannya diantaranya; a. Sebidang tanah perumahan berukuran 10 x 15 m2. 8 b. Sebidang tanah perumahan seluas 15 x 20 m2. 9 c. Sebidang tanah persawahan (luasnya tidak disebutkan).10 d. Sebidang tanah kebun di daerah Longi berukuran 15 x 20 m2.11 Salah salah satu tokoh agama di Bulukumba menyampaikan bahwa mahar memang merupakan suatu keharusan, meskipun terdapat beberapa perbedaan 6 Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone, h. 17 7 Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat), Bulukumba, 28 Juli 2015. 8 Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat), Bulukumba 28 Juli 2015. 9 Wawancara Pribadi dengan Andi Sriwati (Masyarakat), Bulukumba 28 Juli 2015. 10 11 Wawancara Pribadi dengan Andi Indah Kumalasari (Masyarakat), Bulukumba 29 Juli 2015. Wawancara Pribadi dengan Andi Asmawati Kr. Ade (Masyarakat), Bulukumba 29 Juli 2015. 59 pendapat ulama. Pada zaman orang tua terdahulu, (selain berupa nilai yang telah disebutkan diatas) mereka selalu mengorientasikan mahar itu berupa tanah, namun kondisi yang ada pada masa kini dimana paradigma masyarakat tentu telah bergeser, masyarakat mulai mengganti tanah dengan sesuatu yang bernilai seperti cincin ataupun benda-benda yang bernilai selain daripada tanah. Demikian fenomena yang terjadi di sepuluh kecamatan yang ada di Bulukumba. Pada prakteknya ternyata mahar itu tidak berdiri sendiri, terdapat unsur-unsur adat yang masuk kedalamnya yang terkadang membuat orang salah persepsi terhadap masyarakat di Bulukumba, seperti adanya pallao tana,12 dan pallao sapposisseng.13 Jika demikian yang terjadi para tokoh agama akan turun tangan untuk meluruskannya, bahwa memang mahar bagian dari syariat Islam namun (kadarnya) dikaitkan dengan budaya lokal selama tidak ada unsur paksaan.14 Penulis telah memaparkan bahwa mahar ditentukan berdasarkan derajat sosial pihak perempuan dan dinilai berdasarkan rella atau dapat berupa tanah pada umumnya, pada saat ini telah terjadi beberapa peralihan, meskipun bukan terhadap aturan bahwa mahar harus berdasarkan strata sosial pihak perempuan, namun mahar yang dahulu kala dinilai dengan sistem rella atau tanah, kini bisa berupa cincin, yang pada intinya dapat berupa barang bernilai. Dengan melihat 12 Pallao tana maksudnya adalah jika seorang laki-laki yang berasal dari luar daerah (kota atau kabupaten) menikahi seorang perempuan dari sebuah daerah, dia diwajibkan membayar sejumlah uang karena telah melewati batas daerah untuk menikahi perempuan dari daerah tersebut. 13 Pallao sapposisseng maksudnya adalah sejumlah biaya atau uang yang diberikan kepada sepupu satu kali (anak dari paman atau bibi) dari pengantin laki-laki sebagai bentuk kompensasi karena sepupu terdekatnya telah dinikahi. Dan ketentuan ini berlaku bagi semua pengantin lakilaki baik yang berasal dari daerah yang sama dengan pengantin perempuan maupun tidak. 14 Wawancara Pribadi dengan H. Abdul Hafid (Tokoh Agama), Bulukumba 29 Juli 2015. 60 kondisi kekinian masyarakat Bugis di Bulukumba, mahar saat ini telah menggunakan sistem stel-an, artinya meskipun besarannya tidak menentu, jika mahar berupa emas dalam satu stel, maka sudah termasuk didalamnya berupa cincin, giwang, kalung, dan jika dijumlah keseluruhan nilainya tidak ada yang berada dibawah sepuluh gram.15 Tidak bisa dipungkiri bahwa pada kenyataannya, memang terdapat beberapa hal yang berubah karena terkikis dengan perubahan zaman, tapi hal tersebut tidak terjadi secara menyeluruh karena beberapa nilai tetap terjaga. Perubahan tersebut hanya terjadi pada kebiasaan yang bersifat materi, sebagai contoh jika dahulu masyarakat Bugis masih terbiasa menggunakan kelapa untuk bertransaksi dan digunakan dalam prosesi pernikahan, kini sudah tidak digunakan lagi. Hal-hal yang yang bersifat materi saja yang berubah namun nilai-nilai yang terkandung tetap terjaga.16 Meskipun mahar bisa diberikan dengan nilai uang, atau berupa tanah, ataupun (pada masa kini) bisa menggunakan emas, yang perlu ditekankan bahwa setiap tingkatan strata sosial berbeda dalam penentuan jumlah maharnya. Jika dianggap semakin tinggi strata sosialnya, semakin tinggi pula jumlah mahar yang harus diberikan. Saat ini, khususnya pada masyarakat Bugis Bulukumba jelas bahwa jenis mahar pada masa lampau tersebut dinilai sudah tidak relevan karena keberlakuannya-pun sudah tidak diakui lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Bulukumba jelas sangat merespon perkembangan zaman. 15 Wawancara Pribadi dengan H. Abdul Hafid (Tokoh Agama), Bulukumba 29 Juli 2015. 16 Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat), Bulukumba, 28 Juli 2015. 61 Jumlah mahar yang tinggi diberikan kepada pengantin perempuan pada mulanya memang didasarkan pada strata atau derajat sosial yang dimilikinya, ternyata telah terjadi pergeseran atau perubahan dalam hal ini. Strata sosial yang dimaksud pada saat ini bukan hanya disebabkan karena darah kebangsawanannya, melainkan juga bisa karena jabatan yang dimiliki, pekerjaan yang mapan atau mumpuni, ataupun karena jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh calon mempelai perempuan. Disamping mahar, pada prosesi penentuan hari pernikahan (tanra esso), hal yang paling penting adalah besarnya uang naik diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.17 Besarnya uang belanja ditetapkan berdasarkan kelaziman atau kesepakatan terlebih dahulu antar anggota keluarga yang melaksakan pernikahan.18 Masyarakat Bugis di Bulukumba menuturkan bahwa pada intinya paenre‟ itu merupakan pemberian dari pihak keluarga mempelai lakilaki kepada keluarga pihak mempelai perempuan.19 Ada juga yang yang mengatakan bahwa paenre‟ itu merupakan uang yang dinaikkan kepada perempuan sebagai ongkos pelaksanaan pesta perkawinan.20 Ada juga yang mengartikan paenre‟ dengan uang belanja.21 17 Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone, 18 Nonci, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis, (Makassar: CV. Aksara, 2002), h. 12 h. 12 19 Wawancara Pribadi dengan A. Asmawati Kr. Ade (Masyarakat). Bulukumba, 29 Juli 2015. 20 Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015. 21 Wawancara Pribadi dengan Andi Sriwati (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015. 62 Di Bulukumba, paenre’ dikenal dengan sistem (pakkuta’nang). Dimana keluarga mempelai laki-laki bertanya kepada pihak keluarga mempelai perempuan mengenai besaran uang belanja yang diminta oleh mereka dengan tujuan agar terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Uang belanja ini merupakan kewajiban pihak mempelai laki-laki untuk menanggung biaya-biaya pelaksanaan perkawinan meliputi biaya walimah, dan sebagainya, tidak hanya itu, uang belanja itu tersebut juga bertujuan sebagai kompensasi kepada pihak keluarga mempelai perempuan dikarenakan sang mempelai perempuan akan meninggalkan mereka dan akan menjalin kehidupan yang baru dengan suaminya. Panai atau paenre‟ disini murni merupakan salah satu aturan adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis di Bulukumba. Ketentuan mengenai paenre‟ telah jauh ada sebelum Islam datang di Bulukumba.22 Besaran paenre’ ini sama halnya dengan mahar, besarannya ditentukan berdasarkan strata sosial sang mempelai perempuan, jika ia berasal dari keturunan bangsawan maka semakin tinggi pula jumlah paenre‟ yang harus dikeluarkan oleh pihak mempelai laki-laki. Sama halnya dengan mahar, besaran paenre‟ juga dapat dipengaruhi oleh jabatan, pekerjaan, dan tingkat pendidikan yang dimiliki. Jenis paenre‟ yang dipergunakan oleh masyarakat Bugis yang berada di Bulukumba dahulu kala bisa menggunakan sesuatu berupa tanah, kelapa, ataupun binatang sapi, namun seiring berjalannya waktu paenre‟ kini dapat menggunakan uang, sehingga paenre‟ pada saat ini disebut dengan dui maenre‟ atau uang paenre‟.23 22 Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat ). Bulukumba, 28 Juli 2015. 23 Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat). Bulukumba, 28 Juli 2015. 63 Berikut penulis memaparkan jumlah paenre‟ yang diterima oleh beberapa informan, keseluruhan nilai yang disebutkan telah dikonversi menajdi nilai uang pada saat ini, karena nilai uang dalam beberapa tahun silam jelas berbeda dengan saat ini, dan keseluruhan nilai berikut berdasarkan perhitungan informan, diantaranya adalah; a. Paenre‟ senilai Rp. 20.000.000.24 b. Paenre‟ senilai Rp. 30.000.000.25 c. Paenre‟ senilai Rp. 40.000.000.26 d. Paenre‟ senilai Rp. 50.000.000.27 e. Paenre‟ senilai Rp. 75.000.000.28 f. Paenre‟ seniai Rp. 500.000.000.29 Keberadaan ketentuan mengenai paenre‟ memang terjabarkan dalam adat istiadat setempat, namun paradigma (sebagian) masyarakat sudah bergerser, terdapat beberapa kelompok masyarakat yang berani menyatakan kepada pihak keluarga laki-laki (perihal jumlah paenre‟) untuk tidak usah dipaksakan, cukup sesuai dengan kemampuan, pada zaman dahulu memang hal ini merupakan suatu 24 Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015. 25 Wawancara Pribadi dengan A. Asmawati Kr. Ade (Masyarakat). Bulukumba, 29 Juli 2015. 26 Wawancara Pribadi dengan Andi Sriwati (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015. 27 Wawancara Pribadi dengan Andi Indah Kumalasari (Masyarakat). Bulukumba 29 Juli 2015. 28 Jumlah ini merupakan jumlah paenre‟ yang diterima oleh salah satu kerabat penulis (Andi Batari Ramli) saat menikah, di bulan Agustus tahun ini. 29 Jumlah ini merupakan salah satu jumlah paenre‟ yang fantastis dan menghebohkan, yang terjadi di Bulukumba berdasarkan keterangan salah satu narasumber, wawancara pribadi dengan H. Abdul Hafid (Tokoh Agama). Bulukumba, 29 Juli 2015. 64 yang baku, jika tidak mampu memenuhinya maka pihak laki-laki tidak dapat lagi melanjutkan pembicaraan (mengenai pernikahan). Namun karena sekat-sekat wawasan masyarakat sudah semakin terbuka, besaran uang paenre‟ sangat variatif, tidak boleh dipaksakan dan tergantung dengan kemampuan.30 Mengamati bahwa ketentuan mengenai besaran paenre‟, meskipun juga dilihat berdasarkan strata sosial calon mempelai perempuan, namun dalam hal ini berdasarkan beberapa keterangan informan, penulis mengamati bahwa besaran paenre‟ lebih variatif dan dapat dikompromikan, berupa sejumlah uang pada umumnya. Lain halnya dengan besaran mahar yang cenderung baku, selain berdasarkan strata sosial yang dimiliki, harus berupa benda atau barang yang jelas wujudnya (bukan berupa uang, namun sangat bernilai tinggi jika diuangkan), serta tidak dapat dikompromikan. Penulis juga menemukan bahwa ternyata paenre‟ dalam adat istiadat Bugis telah lebih dulu ada berlaku di masyarakat Bugis sebelum datangnya Islam, sehingga dapat diamati bahwa jumlah mahar yang ditentukan berdasarkan strata sosial pengantin perempuan itu dipengaruhi oleh ketentuan adat (mengenai paenre‟) yang telah lama ada dan hidup di masyarakat Bugis (khususnya di Bulukumba). Maka dari itu, antara adat istiadat dan Islam dalam hal ini sudah saling beradaptasi dan berakulturasi dan berjalan secara berdampingan. Ketentuan mengenai besaran mahar dan paenre‟ harus berdasarkan strata sosial yang dimiliki oleh pihak perempuan memang terkadang menimbulkan kesan bahwa hal tersebut akan memberatkan pihak laki-laki, berdasarkan 30 Wawancara Pribadi dengan H. Abdul Hafid (Tokoh Agama). Bulukumba, 29 Juli 2015. 65 keterangan beberapa informan (masyarakat) mereka mengatakan bahwa seharusnya hal tersebut tidak memberatkan karena sudah berani melamar dan siap segalanya, namun terkadang juga memberatkan. Sudah seyogyanya pihak laki-laki telah mengetahui sekaligus memahami dan mengerti ketentuan yang ada dalam keluarga besar pihak perempuan, beberapa kritik juga disampaikan bahwa tidak semestinya jumlah tersebut dipatok terlampau tinggi, harus disesuaikan dengan kemampuan saja (tetapi jumlah yang diberikan tetap tidak mengurangi harapan atau kebutuhan pernikahan tersebut). Karena kedepannya akan menyuusahkan kedua mempelai setelah mereka menikah, biasanya mereka terlilit hutang hanya karena untuk memenuhi nilai mahar dan paenre‟ yang terlampau tinggi.31 B. Makna Mahar dan Paenre’ dalam Masyarakat Bugis di Bulukumba Karena desain penelitian ini merupakan penelitian etnografis, maka penulis berkewajiban untuk menggali makna yang terkandung dalam penetapan jumlah mahar dan paenre‟ dalam masyarakat Bugis di Bulukumba. Banyak perspektif yang disampaikan oleh para informan, yang akan penulis paparkan sebagai berikut: Jika aturan pemberian mahar atau paenre‟ tersebut tidak ditaati maka terdapat sanksi sosial dari kalangan masyarakat pada umumnya, khususnya rumpun keluarga besar kedua pihak. Terdapat istilah (teaja nakke na sassali pammanakang), jika diartikan maksudnya adalah “saya tidak mau di permalukan oleh kemenakan”. Sanksi sosial yang terjadi misalnya tersisih dari keluarga besar dan masyarakat menggunjingkan hal itu yang kadang 31 Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015. 66 tiada hentinya.32 Sanksi yang dapat diberikan memang hanya sebatas sanksi sosial, karena berupa praktek sosial, sehingga tidak bisa dibuat semacam sanksi yang bersifat normatif.33 Tanpa pemberian mahar dan paenre‟ seorang perempuan dianggap tidak memiliki kehormatan, mahar dalam perspektif masyarakat Bugis di Bulukumba dianggap sebagai bentuk kompensasi terhadap kehormatan seorang perempuan, sedangkan paenre‟ digunakan untuk membiayai teknis prosesi pernikahan.34 Ada yang mengatakan bahwa itu sebagai apresiasi terhadap harkat dan martabat seorang perempuan yang akan dipinang.35 Juga sebagai bentuk penghormatan terhadap keluarga besar mempelai perempuan.36 Keberadan ketentuan tersebut untuk menghormati asal-usul seseorang, dan untuk menunjukkan bahwa seseorang berasal dari keturunan yang terhormat. Makna filosofis yang terkandung di dalamnya yaitu untuk saling menjaga nama baik keluarga dikarenakan status sosial yang dimilikinya. Meskipun bentuk penghormatan itu (misalnya) tidak harus dengan bentuk mahar dan paenre‟ terlampau tinggi, tetap tidak tepat juga jika diberikan dalam bentuk yang sangat minim. Dalam masyarakat Bugis pada umumnya, juga di Bulukumba dikenal adanya budaya siri‟ yang tetap dipegang teguh hingga saat ini.37 32 Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat). Bulukumba, 28 Juli 2015. 33 Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat). Bulukumba, 28 Juli 2015. 34 Wawancara Pribadi dengan Andi Megawati Adil (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015. 35 Wawancara Pribadi dengan Andi Sriwati (Masyarakat). Bulukumba, 28 Juli 2015. 36 Wawancara Pribadi dengan Andi Indah Kumalasari (Masyarakat). Bulukumba 29 Juli 2015. 37 Wawancara Pribadi dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat). Bulukumba, 28 Juli 2015. 67 Budaya siri‟ dapat diktualisasikan atau direpresentasikan dalam berbagai pola kehidupan dalam masyarakat Bugis, salah satunya dengan adanya aturan adat mengenai jumlah mahar dan paenre‟ berdasarkan strata sosial yang ada di tengahtengah masyarakat. Siri‟ itu ada yang betujuan untuk memperlihatkan status sosialnya, misalnya seseorang tidak akan mau anaknya jika dilamar oleh seorang pria apabila jumlah yang diberikan lebih sedikit dari jumlah yang ia tetapkan, karena ia akan siri‟ (malu), terutama di hadapan keluarga besarnya. Ada juga yang merepresentasikan siri‟ berbentuk penyebutkan jumlah mahar dan paenre‟ dalam nominal yang besar, tetapi pada kenyataannya yang diberikan kepada anak perempuannya tidak sesuai dengan yang disebutkan. Misalnya juga karena mempunyai status (jalur keturunan) tertentu, ia merasa tidak nyaman jika seseorang kemudian hendak menikahi anaknya dengan (mahar hanya) berupa seperangkat alat shalat. Siri‟-nya dapat terganggu jika akan menikahkan anaknya layaknya pernikahan orang biasa (dalam jumlah mahar dan paenre‟-nya).38 Dalam hal ini penulis berpandangan bahwa siri‟ bermakna gengsi atau harga diri. Salah satu contoh aktualisasi prinsip budaya siri‟ dalam kehidupan sehari-hari baik itu berbangsa, bernegara maupun beragama, misalnya: seluruh jajaran pemerintahan akan merasa malu atau ternodai harga dirinya jika ia tidak menjalankan tugasnya dengan baik, dalam artian bahwa ia tidak memenuhi kewajibannya untuk menjalankan amanah yang diembannya, atau bahkan malah melakukan perbuatan-perbuatan yang menyalahi aturan (dengan memanfaatkan jabatannya untuk melakukan penyelewengan, misalnya korupsi, kolusi, dan 38 Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim (Imuwan Bugis). Ciputat, 09 Oktober 2015. 68 nepotisme), atau seseorang akan merasa malu dan tidak memiliki harga diri jika ia melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, contoh kecil misalnya: seseorang akan dinggap tidak memiliki harga diri atau memalukan jika ia melanggar rambu-rambu lalu lintas di jalan-jalan umum.39 Dalam disertasi Millard, ia menyampaikan bahwa masyarakat Bugis identik degan sosial location atau (onronna). Maksud dari onronna disini adalah dimana seseorang mau menempatkan dirinya, jika memang ia menganggap bahwa dirinya sebagai orang biasa maka posisinya memang seperti itu. Dalam masyarakat Bugis social location atau posisi sosial menjadi sangat penting. Salah satu contoh kecenderungan masyarakat Bugis dalam mencari sosial location misalnya; orang-orang Bugis sangat rajin hendak melaksanakan ibadah haji, karena di satu sisi, jika seseorang memiliki gelar haji maka ia akan diposisikan istimewa di tengah-tengah masyarakat, biasanya ia akan diberikan tempat duduk khusus untuk kalangan para haji dalam acara-acara perkawinan atau acara lainnya. Salah satu contoh lain juga; ia akan beranggapan bahwa bukan pada tempatnya jika seseorang hendak meminang anaknya dengan jumlah mahar yang minim (sedikit), jika hendak menikah dengan jumlah (mahar) demikian, mungkin bukan dengan anak orang tersebut. Jadi perkawinan dalam masyarakat Bugis bisa dikatakan masih merupakan gawe orang tua.40 Penulis juga menemukan beberapa istilah kebudayaan Bugis yang menjelaskan makna dibalik penetapan jumlah mahar dan paenre‟ dalam 39 Wawancara Pribadi dengan H.A. Salman Maggalatung (Ilmuwan Bugis), Ciputat 19 Oktober 2015) 40 Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim (Imuwan Bugis). Ciputat, 09 Oktober 2015. 69 masyarakat Bugis. Tokoh adat dan tokoh agama yang penulis temui untuk mencari tahu makna filosofis yang terkandung dalam ketentuan adat tersebut menyatakan bahwa hal itu (jumlah mahar dan paenre‟ berdasarkan strata sosial yang dimiliki) merupakan representasi dari prinsip budaya (sipakatau, sipakale’bi, sipakainge‟) yang dipegang teguh oleh masyarakat Bugis. Makna dari (sipakatau) disini, dapat dipahami dengn saling memanusiakan manusia, maksudnya adalah seseorang harus sadar dengan posisinya, harus tahu diri, karena apabila seseorang tidak tahu diri, ia akan menjadi sombong, ketika ia sombong maka ia tidak akan memanusiakan yang lain. (sipakainge’) maksudnya ialah saling mengingatkan, maknanya mengarah kepada prinsip solidaritas, jangan sampai seseorang akan terjebak atau terperangkap dalam suatu hal yang negatif, solidaritas agar saling nasehat menasehati. (sipakale’bi) bisa bermakna memberikan apresiasi, saling memuji dan tidak merendahkan orang, atau dengan kata lain saling menghargai.41 Nilai-nilai tersebut melambangkan betapa bagusnya adat istiadat masyarakat Bugis, sebagai contoh; jika seseorang dari golongan ata‟ (golongan bukan keturunan bangsawan) datang kerumah seorang Bugis dengan penuh hormat untuk menjadi menantu maka akan diterima dengan dengan senang hati (tetapi tentu dengan prosesi adat istiadat yang berlaku). Nilai-nilai filosofis tersebutlah (sipakatau, sipakale’bi, sipakainge‟) yang kiranya tidak akan hilang dan akan diwariskan kepada anak cucu masyarakat Bugis karena cakupan dan pemahaman 41 Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim (Imuwan Bugis). Ciputat, 09 Oktober 2015. 70 mengenai nilai-nilai tersebut sangat luas.42 Seluruh nilai atau perinsip kebudayaan yang telah disebutkan tercermin dalam 3 falsafah Bugis dengan ungkapan (malilu’ sipakainge‟), (mali siparappe‟), dan (rebba sipatokkong), jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, arti dari 3 slogan atau ungkapan tersebut adalah “jika ada yang lupa maka saling mengingatkan, jika ada yang hanyut maka tahanlah (tolonglah), dan jika ada yang jatuh jadilah penopangnya”. Maksud dan tujuan dari ungkapan tersebut nampak mengarah ke hal yang sama, yang pada intinya yaitu sebuah prinsip solidaritas agar saling tolong menolong antara satu sama lain. Jika suatu saat ada yang membutuhkan uluran tangan (pertolongan), maka sudah menjadi kewajiban kita untuk membantunya, begitupun sebaliknya, jika diri kita tertimpa sebuah kesusahan atau semacam musibah maka sudah menjadi kewajiban yang lain untuk memberikan perhatiannya.43 Adat istiadat bergantung pada konsensus masyarakat, jika ada masyarakat yang masih ingin mempertahankan tradisi tersebut, karena menganggap (mahar dan paenre‟) merupakan bagian dari sosial location atau dignity yang harus ditunjukkan, bahwa itu-lah siri‟ mereka. Jika demikian alasan yang dibangun maka itu merupakan alasan yang bagus, argumen tersebut menjadi kuat untuk menekankan betapa suatu praktek kebudayaan itu didasari oleh nilai (value), value tersebut berupa martabat kemanusiaan karena Allah telah memuliakan keberadaan 42 43 Wawancara Pribadi dengan H. Abdul Hafid (Tokoh Agama). Bulukumba, 29 Juli 2015. Wawancara Pribadi dengan H.A. Salman Maggalatung (Ilmuwan Bugis), Ciputat 19 Oktober 2015. 71 manusia (QS. Al-Isra‟ (17): 70). Hal-hal demikian jelas dapat diterima sepanjang tidak ada syariat yang dilanggar.44 Namun ada juga yang menganggap bahwa praktek semacam itu sudah semestinya tidak dipertahankan lagi karena akan menimbulkan efek-efek sosial (seperti terjadi kawin lari akibat seorang pemuda harus mengeluarkan biaya-biaya yang terkadang dianggap tidak masuk akal), mereka menginginkan mempraktekkan ajaran agama. Tetapi untuk orang-orang yang memiliki pandangan tentang siri‟ juga menganggap hal demikian (mahar dan paenre‟) merupakan praktek agama juga yaitu memuliakan. Bagaimanapun, yang menentukan dipertahankan atau tidaknya tradisi tersebut tergantung pada konsensus yang ada dalam masyarakat.45 C. Harmonisasi Mahar dan Paenre’ Dalam Perspektif Masyarakat Bugis Dengan Islam: Sebuah Analisis Dimana ada masyarakat, disana ada hukum (adat). Inilah suatu kenyataan umum di seluruh dunia. Tidakkah Cicerro lebih kurang 2000 tahun yang lalu telah mengikrarkan: ubi societas, ibi ius. Hukum yang terdapat di setiap masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecilnya masyarakat itu, menjadi cerminnya. Karena tiap masyarakat, mempunyai kebudayaan sendiri, dengan corak sendiri, mempunyai cara berpikir geestresstructuur sendiri, maka hukum di dalam tiap masyarakat, sebagai salah satu penjelmaan geestresstructuur 44 Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim (Imuwan Bugis). Ciputat, 09 Oktober 2015. 45 Wawancara Pribadi dengan M. Arskal Salim (Imuwan Bugis). Ciputat, 09 Oktober 2015. 72 masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya tersendiri46 Begitupun hukum adat di Inonesia. Seperti halnya dengan semua sistem hukum di bagian lain dunia ini, maka hukum adat itu senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup, yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Tidak mungkin suatu hukum adat tertentu yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum tertentu yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan atau tidak mencukupi rasa keadilan rakyat yang bersangkutan, pendeknya: bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan.47 Disisi lain, karena adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakukan.48 Disamping itu, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serba keagamaan, oleh karenanya walaupun negara bukan negara agama, tapi tak dapat dielakaan bahwa Indonesia adalah negara keagamaan, negara yang memperhatikan agama, bukan negara sekuler yang hanya mengurus keduniawian saja. Jadi agama bagi orang Indonesia jika tidak sebagai tujuan hidupnya, maka ia merupakan sebagian dari hidupnya.49 46 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), Cet. 14, h. 41-42 47 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, h. 44-43 48 Koentjaraningrat, Kebudayaan; Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008) h. 1. 49 160 Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), h. 73 Penulis setuju dengan pendapat yang disampaikan oleh Muhammad Hudaeri dkk.50 dimana ia menyebutkan bahwa tradisi Islam merupakan segala hal yang datang dari atau dihubungkan dengan atau melahirkan jiwa Islam. Islam dapat menjadi kekuatan spiritual dan moral yang mempengaruhi, memotivasi dan mewarnai tingkah laku individu. Masalahnya, bagaimanakah cara mengetahui bahwa tradisi tertentu atau unsur tradisi berasal dari atau dihubungakan dengan atau melahirkan jiwa Islam ? dalam konteks ini ia berpendapat, mengacu pada pendapat Barth yang menandai hubungan antara tindakan dan tujuan interaksi manusia, yaitu: “....akibat dari (tindakan dan) interaksi selalu bervariasi dengan maksud partisipasi individu”. Maka dari itu penulis berpendapat sebagai berikut; berkaitan dengan ketentuan mengaenai jumlah mahar dan paenre‟ yang terbilang tinggi dalam masyarakat Bugis, memang seolah-olah memiliki kontradiksi dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: ً خير النّساء احسينّ ًجٌىًا: ً عن ابن عبّاس رضي اهلل عنو قال رسٌل اهلل صلّى اهلل عليو ً سلّم 51 )ارخصينّ ميٌرًا (رًاه البييقي Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw: sebaik-baiknya wanita (isteri) adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya.” (HR. Baihaqi). Hadis tersebut hanya bersifat anjuran dalam artian tidak ada kewajiban untuk mengikutinya, karena tidak ada satupun dalil yang membatasi jumlah maksimal 50 Muhammad Hudaeri, ed., Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 16 51 Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III, h. 13 74 dalam pemberian mahar, dan beberapa ulama berbeda pendapat dalam pentuan jumlah minimal mahar. dalam QS. An-Nisa‟ (4): 3 hanya disebutkan demikian ; Artinya: ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” Bagaimanapun dibalik aturan adat mengenai jumlah mahar dan paenre‟ diberikan berdasarkan strata sosial pihak pengantian perempuan memiliki maksud atau nilai-nilai (value) budaya tertentu, sebagaimana telah dipaparkan penulis pada sub-bab sebelumnya mengenai makna yang terkandung di dalam penetapan jumlah mahar dan paenre‟ dalam masyarakat Bugis, yaitu; adanya budaya siri‟, prinsip sipakatau, sipakale’bi, dan sipakainge‟. Budaya siri‟ meskipun memiliki aspek pemahaman yang luas, dapat juga diimplementasikan dalam penentuan jumlah mahar dan paenre‟ dalam masyarakat Bugis di Bulukumba, hal ini jika dimaknai sebagai rasa malu untuk menjaga harga diri atau martabat (derajat) kehormatan diri dan keluarga maka hal ini sesuai dengan QS. Al-Mujadalah (58): 11; Artinya: “...dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan 75 orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Relevansi budaya siri‟ dengan ayat ini maksudnya ialah bahwa Allah hanya memberikan derajat kemuliaan kepada orang-orang yang berilmu namun bertakwa dan beriman. Jika dikaitkan antara siri‟ dan darajat sebagaimana yang disebutkan Allah dalam ayat ini, maka seolah-olah Allah berkata “yang memiliki siri’ hanyalah orang-orang yang berilmu dan menggunakan akalnya.”52 Maka tidak sepatutnya pemberian mahar dan paenre‟ dalam masyarakat Bugis dengan jumlah yang tidak pantas atau sangat minim karena akan menciderai siri‟ pihak laki-laki maupun pihak perempuan. (sipakatau) disini jika diartikan saling memanusiakan manusia, maka maksudnya adalah seseorang harus sadar dengan posisinya, harus tahu diri, karena apabila seseorang tidak tahu diri, ia akan menjadi sombong, ketika ia sombong maka ia dianggap tidak memanusiakan yang lainnya. Selaras dengan QS. Al-Isra‟ (17): 37; Artinya: “dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”. Relevansinya terletak pada, jika seseorang laki-laki tidak memberikan mahar dan paenre‟ sesuai dengan derajat kemuliaan yang telah dijaga sedemikian rupa oleh seorang perempuan yang akan dipinangnya maka ia dianggap sombong karena tidak memberikan apresiasi sepantasnya terhadap perempuan tersebut, sedangkan 52 Kamri Ahmad, “Budaya Siri’ Bugis Makassar Sebagai Langkah Prevensi Delik, Suatu Kajian Delik Pembunuhan dan Pencemaran Nama Baik Orang Lain”, (Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 1997), h. 27. 76 dalam Islam tidak diperkenankan untuk berperilaku seperti itu. Nilai yang selanjutnya adalah sipakainge‟, maksudnya saling mengingatkan, maknanya mengarah kepada prinsip solidaritas, jangan sampai seseorang akan terjebak atau terperangkap dalam suatu hal yang negatif, solidaritas agar saling nasehat menasehati, tentunya hal dimuat dalam QS. Al„Ashr (103): 3; Artinya: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Kaitannya adalah bahwa makna solidaritas dalam pemberian mahar dan paenre‟ pada masyarakat Bugis merupakan berbentuk jumlah (mahar dan paenre‟) untuk saling mengingatkan serta saling menasehati agar tidak terjerumus kedalam hal yang negatif (contohnya akan digunjingkan jika tidak melaksanakan ketentuan adat), maka dari itu untuk menghindari hal-hal negatif tersebut, nominal yang diberikan harus sesuai pada tempatnya. Nilai yang terakhir yaitu sipakale’bi, memiliki korelasi juga dengan prinsip siri‟, namun dalam hal ini dapat dimaknai: memberikan apresiasi, saling memuji dan tidak merendahkan orang, atau dengan kata lain saling menghargai (respect), dalam QS. Al-Isra‟ (17): 70 ; 77 Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” Logika yang terbentuk untuk memahami relevansi sipakale’bi dengan ayat ini adalah bahwa Allah telah memuliakan keberadaan manusia dimuka bumi, tanpa terkecuali, kemuliaan disini bisa berarti martabat atau kehormatan yang dijaga sebaik mungkin, maka dari itu sudah sewajarnya apabila pengantin pria menunjukkan sikap memuliakan, sebagai perwujudan apresiasi terhadap pihak pengantin perempuan dengan memberikan mahar dan paenre‟ berdasarkan ketentuan yang telah diatur oleh adat istiadat yang ada. Tiga falsafah Bugis, yang telah dipaparkan sebelumnya (malilu sipakainge‟, mali saparappe, dan rebba sipatokkong), karena memiliki tujuan dan maksud yang sama yaitu sikap tolong menolong, tentu memiliki korelasi dengan QS. AlMaidah (5): 2; Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksaNya.” Hal ini (ketentuan mahar dan paenre‟) juga didukung oleh salah satu kaidah fiqh ( العادة محكّمةadat istiadat dapat dijadikan sumber hukum) selama memang adat-istiadat tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip utama syariah. 78 Selain itu, penulis juga berpandangan aturan tersebut melambangkan sebuah sikap pengorbanan53 yang dilakukan oleh pengantin pria kepada perempuan yang kelak akan menjadi isterinya. Aturan tersebut juga mengisyaratkan pada bagi pemuda Bugis yang hendak menikah harus sudah mapan, bukan hanya secara fisik dan psikis, tetapi juga dengan kemapanan ekonomi atau finansial. Jika belum tercapai, maka sebaiknya tidak memberanikan diri. Demi mencegah hal negatif yang kemungkinan akan terjadi (diantaranya jika menodai kehormatan atau siri‟ keluarga), hal ini didukung oleh sebuah kaidah fiqh karena semangat yang sama yaitu ( درء المفاسد مقدّم على جلب المصالحmencegah kerusakan lebih didahulukan atas mengambil kemaslahatan). Tanpa bermaksud mempersulit terjadinya pernikahan, tetapi ada nilai kearifan lokal dalam masyarakat Bugis yang akan tetap dipegang teguh oleh mereka dan harus diperhatikan oleh seorang laki-laki, dan setidaknya untuk memberikan sedikit jaminan (meskipun tidak dapat dipastikan) kepada pihak keluarga besar mempelai perempuan, bahwa ia telah sanggup dan pantas untuk hidup bersama dengan isterinya kelak. 53 Pengorbanan berasal dari kata korban, artinya memberikan secara ikhlas: dapat berupa harta benda, waktu, tenaga, pikiran, bahkan mungkin nyawa, demi cintanya atau ikatannya dengan sesuatu atau demi kesetiaan, kebenaran. Lihat Joko Tri Prasetya dkk., Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT. Rinneka Cipta, 2013), h. 163 79 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada beberapa bab sebelumnya maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, diantaranya: 1. Masyarakat Bugis di Bulukumba, Sulawesi Selatan memahami bahwa dalam hal jumlah atau besaran mahar maupun paenre’ harus berdasarkan strata sosial yang dimiliki oleh pihak keluarga mempelai perempuan. Strata sosial disini tidak hanya berarti berasal dari keturunan bangsawan (darah biru), tetapi bisa juga karena seseorang telah memiliki jabatan yang tinggi, pekerjaan yang layak, atau karena jenjang pendidikan yang telah dilalui. Telah terjadi beberapa pergeseran dimasyarakat mengenai wujud mahar dan paenre’, namun hanya pada tatanan materi saja (sebab tuntutan zaman) tidak pada tataran nilai (value) yang dikandungnya. 2. Makna filosofis yang terkandung dalam adat Bugis mengenai penetapan jumlah mahar dan paenre’ yaitu; aturan tersebut berkaitan dengan budaya siri’ masyarakat Bugis, prinsip sipakatau, sipakainge’ atau siparingerrangi, dan Sipakale’bi. Dirangkai dalam ungkapan malilu sipakainge’, mali siparappe, rebba sipatokkong. 3. Makna filosofis yang terkandung dalam aturan adat tersebut juga dikenal dalam Islam, budaya siri’ pada QS. Al-Mujadalah (58): 11, nilai sipakatau terdapat pada QS. Al-Isra’ (17): 37, sipakainge’ terdapat dalam QS. Al- 80 ‘Ashr (103): 3, dan prinsip sipakale’bi terdapat dalam Qs. Al-Isra’ (17): 70. Tiga falsafah Bugis (prinsip saling tolong menolong) dalam QS. AlMaidah (5); 2. Meskipun masih terdapat beberapa pihak yang masih mengkonfrontir antara budaya dan agama, hal ini membuktikan bahwa budaya (kearifan) lokal dapat terintegrasi dengan nilai-nilai atau semangat yang terkandung dalam Islam. B. Saran-Saran 1. Bagi masyarakat, hendaknya berupaya mempertahankan tradisi atau adat istiadat dan kebudayaan mereka dalam sebagai salah satu identitas kebangsaan yang mengandung norma kearifan lokal dan berusaha untuk lebih memahami relasi antara ajaran agama dengan tradisi-tradisi yang terdapat dalam perkawinan, agar kiranya setiap perkembangan zaman dapat direspon dengan baik tanpa harus meninggalkan nilai-nilai luhur yang telah lama adanya. 2. Nilai utama yang terkandung dalam kebudayaan Bugis hendaknya mampu menjadi one of solution dalam menyikapi dampak perkembangan teknologi dan globalisasi supaya tidak kehilangan indentitas atau jati diri. Ilmuwan dan ulama memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan mengenai nilai kearifan lokal yang terintegrasi dengan Islam, tanpa menghindari perkembangan zaman, karena justru nilai utama kebudayaan Bugis seiring dengan semangat ajaran Al-Qur’an yang mendorong masyarakat untuk menjadi garda terdepan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Hal demikian tentunya bukan hanya berlaku pada 81 masyarakat Bugis saja, tapi setiap entitas kebudayaan yang yang begitu banyak di Indonesia, dimana masing-masing dari entitas tersebut memiliki nilai-nilai kearifan budaya yang kiranya dapat diintegrasikan dengan nilai Islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan. 3. Bagi seluruh mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hendaknya agar lebih intens melakukan penelitian di bidang etnografis, untuk mencapai pemahaman mengenai Islam dan korelasinya dengan budaya lokal, sehingga dapat menemukan jawaban mengenai makna dari tradisi yang berjalan dan dipraktekkan di tengahtengah masyarakat, khususnya dalam tradisi perkawinan, serta memahami dan menganalisa maksud dan tujuan dari fenomena tersebut sebagai sebuah pengetahuan yang baru dan tinggi nilainya. 82 DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Abdul Kadir. Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Makassar: Penerbit Indobis. 2006. Ahmad, Kamri, “Budaya Siri’ Bugis Makassar Sebagai Langkah Prevensi Delik, Suatu Kajian Delik Pembunuhan dan Pencemaran Nama Baik Orang Lain.”Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. 1997. Ahmadi, Fahmi Muhammad. dan Aripin, Jaenal. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010. Al-Baihaqi, Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali. Sunan Al-Kubra. Juz III. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Al-Baihaqi, Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali. Sunan Al-Kubra. Juz III. Beirut: Dar alFikr, t.th. Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Juz II. Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyah.1998. Ali, Zainuddin. Antropologi Hukum. Palu: Yayasan Indonesia Baru. 2013. Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr, 2004. Asikin, Zainal dan Amiruddin. Pengantar Metode Peneiltian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004. As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi. Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu Dawud. Penerjemah Muhammad Ghazali dkk.. Jakarta: Almahira. 2013. Ath-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari. Penerjemah Akhmad Afandi. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. Badan Pusat Statistik Bulukumba, Statistik Kabupaten Bulukumba 2014. Bulukumba: BPS Bulukumba. 2014. Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005. 83 Falah, Ali Akbarul.“Pandangan Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Mattunda Wenni Pammulang Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan”, Skripsi S1 Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2009. Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang. 1976. Ghazali, Abdurrahman. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana. 2006. Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti. 1990. Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Agama Islam, Bogor: Cahaya Islam. 2006. Hudaeri, Muhammad. ed.. Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. 2009. Humam, Ibnu. Syarah Fath al-Qadiir. Juz III. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Penerbit Erlangga. 2009. Kelsen, Hans. Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah Nurulita Yusron. Cet. II. Bandung: Nusa Media, 2009. Koentjaraningrat, Kebudayaan; Mentalitasdan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia. 2008. Leinkeit, Roberts Edward. Introducing Cultural Anthropology. New York: The McGraw-Hill Companies. 2004. M.D., Sagimun. Sultan Hasanuddin Menentang V.O.C.. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Madzkur, Ibrahim. Al-Mu’jam Al-Wasiith, Beirut: Dar al-Fikr. t.th, Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: GrahaIlmu, 2011. Mattulada “Kebudayaan Bugis-Makassar”. Dalam Koentjaraningrat, ed. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbiat Djambatan. 1979. Mughniyyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab. Penerjemah Masykur A.B. dkk..Jakarta: Lentera. 1999. 84 Muhammad, Bushar. Asas-Asas Hukum Adat.Cet.14. Jakarta: PT Balai Pustaka. 2013. Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1974. Mulkhan, Abdul Munir. Teologi Kebudayaan: Dan Demokrasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995. Modernitas. Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif. 1997. Nonci, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis. Makassar: CV. Aksara. 2002. Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011. Nurnaga, Andi. Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis. Makassar: CV. Telaga Zamzam. 2001. Nurudin, Amiur. dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2004. Pelras, Christian. The Bugis. Penerjemah Abdul Rahman Abu dkk.. Jakarta: Penerbit Nalar. 2006. Prasetya, Joko Tri. dkk., Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rinneka Cipta. 2013. Riady Lamallongeng, Asmat. Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone. 2007. Rosid, Hattama dkk., ed., Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia.Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. 2009. Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah Abdul Rasyad Shiddiq. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2013. Sabiq, As-Sayyid. Fiqh As-Sunnah. Kairo: Dar al-Fath li I‟lam al-„Arabi, 1999. Saleh, H.E. Hassan dkk. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. 2008 Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. Shahih Fikih Sunnah. Penerjemah Khairul Amri Harahap dan Faisal Saleh. Jakarta: Pustaka Azzam. 2007. Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2013) 85 Shihab, M. Quraisy. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. II, Ciputat: Lentera Hati. 2000. Sholeh, Asrorun Ni‟am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: Penerbit eLSAS. 2008 Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Grup. 2010. Soekanto, Soerjono. dan B. Taneko, Soleman. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali. 1981. Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003. Sopyan, Yayan. Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia. 2012. Sopyan, Yayan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:t.t.p. 2009. Spradley, James P. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara WacanaYogya. 1997. Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1991. Sudiyat, Imam. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberti. 2007. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana. 2006 Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, Jakarta: UI Press. 1986. Tihami, M. A. dan Fahrani, Sohari. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers.2009. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. 2005. Vergouwen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta. 2004. Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute. 2007. dan 86 Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fiqhiyyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer. Bandung: Penerbit Angkasa. 2005. Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. 1990. Zahrah, Muhammad Abu. Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah. Kairo: Daar al-Fikr al„Arabi. t.th. Artikel dan Wawancara Alaidrus, Shariva. “Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar”, artikel diakses pada 04 Oktober 2015 dari http://www.antaranews.com/berita/ 431398/mahar-dalam-tradisi-pernikahan-bangsawan-babar Ama, Kornelis Kewa. “Mahar Kawin yang Membebani Keluarga”, artikel diakses pada 04 Otober 2015 dari http://lipsus.kompas.com/jejakperadabanntt /read/2010/12/10/08361911 Amir, Hern. “Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”, artikel diakses pada 29 September 2015 dari http://daerah.sindonews.com/read/881803/29/jelajahtiga-datuk-di-sulawesi-selatan-1404994262 http://www.bulukumbakab.go.id/diaksespadatanggal 04 Mei 2014, pukul 22.00 WIB www.MksBolKm.com. disarikan dari buku Tata Cara Perkawinan Menurut Adat Bone; Lembaga Adat Saoraja Bone. Diakses pukul 15.38 WIB, tanggal 04 Mei 2014. Wawancara Pribadi Dengan Andi Jumliadi Adil (Tokoh Adat Bulukumba) Wawancara Pribadi Dengan Drs. H. Abdul Hafidh, MAP. (Tokoh Agama Bulukumba) Wawancara Pribadi Dengan Drs. M. Arskal Salim, M.A., Ph.D (Ilmuwan Bugis) Wawancara Pribadi Dengan Prof. Dr. H.A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. (Ilmuwan Bugis) Wawancara Pribadi Dengan Elemen Masyarakat (Andi Megawati Adil, Andi Sriwati, Andi Asmawati, Andi Indah Kumalasari) 87 Wawancara Pribadi Dengan Elemen Masyarakat. 87 HASIL WAWANCARA DENGAN ELEMEN MASYARAKAT KABUPATEN BULUKUMBA Nama Usia Alamat Pekerjaan : Andi Megawati Adil, BA. : 62 Tahun : Desa Bonto Tangnga, Bulukumba : Pensiunan Guru PNS Pertanyaan: Jawaban: Mohon disampaikan waktu bapak/Ibu menikah ? Tahun 2001 Pertanyaan : Dalam prosesi pernikahan menurut adat istiadat disini terdapat tahapan yang harus dipenuhi yaitu adanya mahar dan paenre‟, mohon dijelaskan sepengetahuan bapak/ibu ? Mahar merupakan salah sat unsur yang wajib ada dalam pernikahan di Islam, paenre atau panai‟ itu yang “dinaikkan” kepada mempelai perempuan, untuk ongkos pesta. Jawaban Pertanyaan: Jawaban: Pertanyaan: Jawaban: Pertanyaan: Jawaban: Jikalau bapak/ibu berkenan, mohon disampaikan kepada kami jumlah mahar dan paenre‟ yang bapak/ibu terima/berikan ? mahar saya berupa sebidang tanah perumahan 10x15 m3 dan paenre‟ saya jika dikonversikan dengan nilai rupiah sekarang sekitar Rp. 20.000.000,-. Besaran mahar dan paenre‟ dipengaruhi oleh stratifikasi sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat, lantas jumlahnya didasarkan kepada tingkatan status sosial calon mempelain perempuan, semakin tinggi strata sosial calon mempelai perempuan semakin besar pula jumlah mahar dan paenre‟ yang diberikan, apakah bapak/ibu meneyetujui hal tersebut, komentar bapak/ibu ? Saya setuju dengan hal tersebut, karena dilingkungan keluarga kami mempunyai ketentuan tersendiri. Untuk membedakan derajat keluarga kami dengan yang lainnnya. Jalur keturunan kebangsawanan yang ada dalam keluarga kami untuk dipertahankan. Apakah jumlah mahar dan paenre‟ yang terkadang sangat besar tersebut tidak mempersulit pihak mempelai laki-laki, mohon tanggapannya ? Menurut saya tidak memberatkan, karena mempelai laki-laki sudah mengetahui sekaligus telah memahami dan mengerti 88 ketentuan yang ada dalam keluarga besar calon mempelai perempuan. Namun menurut pribadi saya, sesestinya diserahkan sesuai kemampuan pihak mempelai laki-laki tetapi nilai atau jumlah yang diberikan tidak mengurangi harapan/kebutuhan pernikahan. Sebab apa, ditakutkan menyusahkan bagi kedua mempelai, biasanya mengalami kesusahan setelah pernikahan dilangsungkan karena terlilit hutang (akibat jumlah mahar dan paenre‟ yang terlalu tinggi). Agamapun menjelaskan kepada orang tua agar tidak mempersulit pernikahan anak perempuannya, untuk mengantisipasi hal-hal negatif yang akan terjadi pada seorang perempuan apabila tidak segera dinikahkan. Pertanyaan: Jawaban: Menurut bapak/ibu, apa makna yang terkandung (yang dapat bapak/ibu pahami) dalam penentuan besaran mahar dan paenre‟ tersebut ? Pemahaman saya, ini mengenai harga diri seorang perempuan beserta keluarga besarnya, karena jika tanpa diberi mahar dan paenre‟ dianggap kehormatan seorang perepuan itu tidak ada. Jadi bisa dibilang mahar itu dalam perspektif adat disini sebagai bentuk kompenasi terhadap kehormatan seorang perempuan, sedangkan paenre’ itu digunakan untuk membiayai teknis prosesi pernikahan. 89 HASIL WAWANCARA DENGAN ELEMEN MASYARAKAT KABUPATEN BULUKUMBA Nama Usia Alamat Pekerjaan : Andi Sriwati, S.Pd., MM., M.Pd. : 44 Tahun : Kecamatan Bonto Tiro, Bulukumba : Guru (Pegawai Negeri Sipil) Pertanyaan: Jawaban: Mohon disampaikan waktu bapak/Ibu menikah ? Pada september 2001 Pertanyaan : Dalam prosesi pernikahan menurut adat istiadat disini terdapat tahapan yang harus dipenuhi yaitu adanya mahar dan paenre‟, mohon dijelaskan sepengetahuan bapak/ibu ? Mahar disini disebut dengan sunrang, uang paenre‟ atau panai‟ itu uang belanja. Jawaban Pertanyaan: Jawaban: Pertanyaan: Jawaban: Pertanyaan: Jawaban: Jikalau bapak/ibu berkenan, mohon disampaikan kepada kami jumlah mahar dan paenre‟ yang bapak/ibu terima/berikan ? Mahar saya berupa tanah perumahan seluas 15x20 m2, sedangkan panre‟ saya pada waktu itu sedang pasca krismon sebesar Rp. 8.000.000,-, bila dikonversi pada saat ini sekitar Rp. 40.000.000,-. Besaran mahar dan paenre‟ dipengaruhi oleh stratifikasi sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat, lantas jumlahnya didasarkan kepada tingkatan status sosial calon mempelain perempuan, semakin tinggi strata sosial calon mempelai perempuan semakin besar pula jumlah mahar dan paenre‟ yang diberikan, apakah bapak/ibu meneyetujui hal tersebut, komentar bapak/ibu ? Ya saya setuju, karena memang sudah ketentuan adat beitu. Jika mahar memang keberadaannya ditentukan oleh agama. Namun, tentang paenre‟ saya kira bisa dikompromikan. Namun terkadang paenre‟ itu diberikan oleh pihak laki-laki lebih dari permintaan pihak perempuan karena mampu. Apakah jumlah mahar dan paenre‟ yang terkadang sangat besar tersebut tidak mempersulit pihak mempelai laki-laki, mohon tanggapannya ? (Tidak berkomentar) 90 Pertanyaan: Jawaban: Menurut bapak/ibu, apa makna yang terkandung (yang dapat bapak/ibu pahami) dalam penentuan besaran mahar dan paenre‟ tersebut ? Ya minimal itu sebagai sebuah bentuk apresiasi terhadap harkat dan martabat seorang perempuan yang akan dipinang. 91 HASIL WAWANCARA DENGAN ELEMEN MASYARAKAT KABUPATEN BULUKUMBA Nama Usia Alamat Pekerjaan : Andi Indah Kumalasari : 35 Tahun : Jl. Cendana No. 2 Kel. Caile, Kec. Ujung Bulu, Bulukumba : Pegawai Honorer Pemerintah Kabupaten Bulukumba Pertanyaan: Jawaban: Mohon disampaikan waktu bapak/Ibu menikah ? Tahun 2002 Pertanyaan : Dalam prosesi pernikahan menurut adat istiadat disini terdapat tahapan yang harus dipenuhi yaitu adanya mahar dan paenre‟, mohon dijelaskan sepengetahuan bapak/ibu ? Mahar itu harus ada, tidak boleh tidak ada. Jika paenre‟ uang yang diberikan untuk melaksanakan pesta yang jumlahnya itu setahu saya bisa sesuai kesepakatan. Jawaban Pertanyaan: Jawaban: Pertanyaan: Jawaban: Pertanyaan: Jawaban: Jikalau bapak/ibu berkenan, mohon disampaikan kepada kami jumlah mahar dan paenre‟ yang bapak/ibu terima/berikan ? Mahar saya berupa sebidang tanah persawahan (jumlahnya tidak disebutkan). Dan waktu itu paenre‟nya berupa uang senilai Rp. 15.000.000 kira-kira kalau sekarang bisa sekitar diatas Rp. 50.000.000,Besaran mahar dan paenre‟ dipengaruhi oleh stratifikasi sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat, lantas jumlahnya didasarkan kepada tingkatan status sosial calon mempelain perempuan, semakin tinggi strata sosial calon mempelai perempuan semakin besar pula jumlah mahar dan paenre‟ yang diberikan, apakah bapak/ibu meneyetujui hal tersebut, komentar bapak/ibu ? Iya tentu setuju, karena keluarga kami memang sudah seperti itu. Apakah jumlah mahar dan paenre‟ yang terkadang sangat besar tersebut tidak mempersulit pihak mempelai laki-laki, mohon tanggapannya ? Ya memang kadang mempersulit, karena mungkin faktor kemampuan laki-laki itu tidak semua sama. 92 Pertanyaan: Jawaban: Menurut bapak/ibu, apa makna yang terkandung (yang dapat bapak/ibu pahami) dalam penentuan besaran mahar dan paenre‟ tersebut ? Menurut saya itu sebagai bentuk penghormatan terhadap derajat keluarga kami. 93 HASIL WAWANCARA DENGAN ELEMEN MASYARAKAT KABUPATEN BULUKUMBA Nama Usia Alamat Pekerjaan : Andi Asmawati Kr. Ade, S.Sos., M.M.,M.SDM. : 41 Tahun : Jl. Mutiara Laut No. 7 Kel. Ela-ela, Bulukumba : PNS Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Pertanyaan: Jawaban: Mohon disampaikan waktu bapak/Ibu menikah ? 28 Desember 1997 Pertanyaan : Dalam prosesi pernikahan menurut adat istiadat disini terdapat tahapan yang harus dipenuhi yaitu adanya mahar dan paenre‟, mohon dijelaskan sepengetahuan bapak/ibu ? Intinya mahar atau sunrang dan paenre‟ itu yang diberikan pihak laki-laki ke pihak perempuan dalam prosesi pernikahan menurut adat istiadat disini. Jawaban: Pertanyaan: Jawaban: Pertanyaan: Jawaban: Pertanyaan: Jawaban: Jikalau bapak/ibu berkenan, mohon disampaikan kepada kami jumlah mahar dan paenre‟ yang bapak/ibu terima/berikan ? Sebidang tanah kebun di daerah Longi berukuran 15x20 m2 dan paenre‟nya waktu itu sebesar Rp. 5.000.000 kalau zaman sekarang ya bisa sekitar 30-an juta mungkin. Besaran mahar dan paenre‟ dipengaruhi oleh stratifikasi sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat, lantas jumlahnya didasarkan kepada tingkatan status sosial calon mempelain perempuan, semakin tinggi strata sosial calon mempelai perempuan semakin besar pula jumlah mahar dan paenre‟ yang diberikan, apakah bapak/ibu meneyetujui hal tersebut, komentar bapak/ibu ? Setuju, karena memang pada dasarnya itu sudah merupakan ketentuan adat yang berlaku di kalangan kami. Apakah jumlah mahar dan paenre‟ yang terkadang sangat besar tersebut tidak mempersulit pihak mempelai laki-laki, mohon tanggapannya ? Tentu tidak, karena sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak, sehingga hasil musyawarah keluarga bisa diterima dan dilaksanakan bersama. 94 Pertanyaan: Jawaban: Menurut bapak/ibu, apa makna yang terkandung (yang dapat bapak/ibu pahami) dalam penentuan besaran mahar dan paenre‟ tersebut ? Setahu saya, yang jelas ini mengenai mahar atau sunrang beserta paenre’ berkaitan dengan martabat keluarga. 95 HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH ADAT KABUPATEN BULUKUMBA Nama Usia Alamat Pekerjaan : Andi Jumliadi Adil : 63 Tahun : Desa Bontotangnga, Kecamatan Bonto Tiro, Bulukumba : Anggota Lembaga Adat Kabupaten Bulukumba. Pertanyaan: Dari perspektif adat istiadat disini, bagaimana penjelasan bapak mahar dan paenre‟ itu ? Jawaban: Ya jika mahar itu sudah merupakan kewajiban suami kepada isteri dan agama sudah mengaturnya, jika paenre‟ itu memang hukum adat yang berlaku disini yang diliat berrdasarkan tingkatan sosialnya. Pertanyaan: Bagaimana mekanisme pemberian mahar/paenre’ dari suami kepada isteri di daerah ini? Jawaban: Jika mahar diserahkan ketika prosesi akad nikah, jika paenre‟ diserahkan ketika mapettu ada‟ atau ketika menerima utusan keluarga mempelai pria untuk yang kedua kalinya. Pertanyaan: Bagaimana jenis-jenis mahar/panai yang ada di masyarakat saat ini, dan apakah telah terjadi beberapa perubahan ? Jawaban: Ya jika mahar dan paenre‟ itu berdasarkan status sosialnya. Bisa karena dia anak bangsawan, atau karena pekerjaannya, atau karena jabatan dan pendidikannya. Tergantung permintaan keluarga pihak perempuan, tetapi baisanya berupa tanah atau emas untuk mahar, dan jika paenre‟ dahulu bisa berbentuk tanah, kelapa, atau sapi, tapi saat ini bisa dengan uang tunai, termasuk bisa dengan emas. Pertanyaan: Menurut pengalaman bapak, apakah pasangan menetapkan mahar/paenre’ tidak mengalami gesekan-gesekan dalam keluarga masing-masing ? Jawaban: Sebenarnya iya itu dapat terjadi, namun karena sebelumnya telah dikomunikasikan oleh kedua belah pihak, insya Allah itu tidak terjadi, intinya bagaimana saling menjaga kehormatan masing-masing keluarga. Kami mengenal budaya siri‟ dan karena prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat disini adalah sipakatau, sipakale’bi, dan sipakainge’. Sipakatau dapat dimaknai dengan memanusiakan manusia, saling menghormati sesama manusia, sipakale’bi bisa dimaknai saling melebihkan artinya saling mengangkat dan menjaga derajat, dan sipakainge’ bermakna saling mengingkatkan antara satu dengan yang lainnya. 96 Pertanyaan: Jika ternyata dalam beberapa kasus pernikahan tidak mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang telah dijalankan, apakan ada sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh hukum adat dan masyarakat kepada kedua mempelai ? Jawaban: Ya jelas tersisih dari keluarga besar, terdapat istilah “teaja’ nakke na sassali pammanakang”. Jika diartikan secara bahasa kalimat itu maknanya “saya tidak mau dipermalukan oleh kemenakan”, namun lebih luasnya bahwa dalam sebuah rumpun keluarga besar harus saling menjaga nama baik, jangan sampai mempermalukan ataupun mencoreng nama baik keluarga besar. Jika di masyarakat, sanksi sosial yang terjadi misalnya selain tersisih (namun tidak sekeras yang terjadi dalam keluarga besar) mereka menggunjingkan hal-hal tersebut yang terkadang tanpa henti-hentinya. Pertanyaan: Sebenarnya apa makna utama yang ingin ditunjukkan, atau apa yang dapat dipahami dari mahar dan paenre‟ itu harus sesuai dengan status sosialnya, misalnya jika bangsawan harus sekian, jika bukan bangsawan pun sekian, sebenarnya apa yang hendak ditunjukkan ? Jawaban: Yang jelas status sosianya, tingkatan strata sosialnya berdasarkan keturunannya itulah yang menandakan, misalnya jika turunannya begini ya harus begini, tidak boleh tidak, karena memang ada beberapa jalur keturunan harus melalui itu karena garis darah kebangsawanannya, dari “sono”nya memang sudah harus begitu. Pertanyaan: Anggaplah sekarang bukan karena status darah birunya, anggaplah karena sudah hidup mapan, sudah mempunyai pekerjaan, pendidikan yang mumpuni, ditetapakan mahar tinggi juga, sebenarnya bagaimana makna filosofis yang terkandung dalam mahar dan paenre‟ itu dari perspektif adat istiadat disini ? Jawaban: Tentunya untuk saling menghormati asal-usul kita, dan untuk menunjukkan bahwa kita ini memang dari “sana” begitu, artinya kita dari jalur keturunan yang terhormat, makna filosofisnya ya untuk saling menjaga nama baik keluarga, misalnya ya karena status sosialnya tinggi, meskipun bentuk penghormatan itu tidak mesti diberikan dalam bentuk jumlah mahar dan paenre‟ yang besar, tapi kan tidak tepat juga jika diberikan dalam bentuk kecil, kira-kira begitu. Intinya saling menjaga kehormatan keluarga. Pertanyaan: Bagaimana kiranya pandangan bapak mengenai pelembagaan adat Bugis (mengenai mahar dan panere‟) di Kabupaten Bulukumba ini ? Jawaban: Memang sudah mulai sedikit terkikis karena perubahan zaman, tapi tidak secara menyeluruh karena ada beberapa nilai yang tetap terjaga, 97 yang berubah itu kebiasaan yang bersifat materi yang dulu misalnya kita biasa menggunakan kelapa dan sebagainya, hal-hal yang bersifat materi bisa saja berubah namun nilai-nilai yang terkandung didalamnya, harus tetap dicapai, nilai-nilai yang kita inginkan harus tercapai yaitu tiga aspek tadi, sipakale’bi sipakatau sipakainge‟. Disini khususnya di Bulukumba terdapat lembaga adat yang bertujuan untuk menjaga adat istiadat dari leluhur kita agar tetap kita pertahankan dan tetap kita jaga, namun kalau misalnya ada adat-adat dari luar sepanjang sifatnya mendukung adat leluhur kita ya kita ambil kalau tidak ya kita tolak mentah-mentah, ya memang kaitannya dengan agama kita selamanya bersandar kesana, saling memperkuat, bahkan antara hukum adat dan agama saling memperkuat nampaknya. Pertanyaan: Jadi dari perspektif bapak, hubungan antara adat istiadat dan agama itu saling mendukung ? Jawaban: Iya benar saling mendukung dan saling menguatkan, kalau adat yang kita anut disini (Bugis) ya begitu. Artinya harus diseimbangkan antara hukum adat dan agama, jangan “lembek” di salah satunya, jangan terjadi ketimpangan di salah satunya. Karena sebenarnya memang yang sangat kuat memegang hukum adat ialah orang-orang tua neneknenek kita terdahulu, namun karena telah masuk nilai-nilai Islam, hukum adat bisa menjadi lebih luwes. Adapun adat-istiadat kita sebenarnya merupakan bantuk evolusi dari agama nenek moyang, mulai dari agama hindu budha termasuk agama dari zaman batu, disitulah yang banyak melebur ke dalam kebiasaan orang-orang tua. Islam datang lalu kemudian terdapat beberapa pertentangan yang dianggap dapat memperlemah kebiasaan-kebiasaan itu, karena agama hindu budha termasuk animisme berevolusi menjadi adat isitiadat, yang awalnya tidak ada agama, menjadi animisme kemudian masuk hindu dan budha, lantas pengaruh agama terdahulu tersebut tetap ada namun sudah tidak berbentuk dalam hal Tuhan. Pertanyaan: Jadi sebenarnya bisa dikatakan ketentuan mengenai mahar dan paenre‟, utamanya dalam hal paenre‟ harus berdasarkan stratifikasi sosial telah lebih dulu ada sebelum Islam datang ? Jawaban: Iya memang sudah ada, karena memang awalnya adat yang mengatur, sebelum agama (Islam) datang adat telah lebih dulu mengaturnya, Pertanyaan: Apakah tidak ada masalah ketika Islam datang terhadap kebiasaaan tentang paenre‟ ? Jawaban: Sebenarnya ada masalah sedikit dalam hal paenre‟ namun masih bisa ditolerir karena memang bukan masalah keyakinan yang terganggu hanya mengenai tradisi perkawinan dari orang-orang tua dulu. 98 Pertanyaan: Apakah suatu waktu pernah datang kepada bapak seseorang yang “paham agama” untuk mengomentari kebiasaan ini (mahar dan paenre‟) ? Jawaban: Tidak ada, yang ada bahkan hanya bertanya mengenai hal ini, lalu saya jelaskan mengenai ketentuan-ketentuan adat istiadat kita disini. Pertanyaan: Bagaimana dengan tokoh agama yang ada di bulukumba, apakah ada yang mempermasalahkan ? Jawaban: Tidak ada yang mempermasalahkan. 99 HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH AGAMA KABUPATEN BULUKUMBA Nama Usia Alamat Pekerjaan : Drs. H. Abdul Hafid, MAP : 49 Tahun : Jln. Lanto Dg. Pasewang Lr. I Blok B/16 Bulukumba : Kasi Bimas Islam Kementrian Agama Kabupaten Bulukumba Pertanyaan: Secara umum, kehidupaan keagamaan di Bulukumba menurut bapak bagaimana ? Alhamdulillah disini mayoritas umat Islam, 99% masyarakat Jawaban: Bulukumba muslim, termasuk para pendatang dari kalangan chinesse banyak yang sudah masuk Islam, campuran lain para pendatang yang bekerja disini dari Sumatera juga muslim. Pertanyaan: Menurut bapak, bagaiamana sebenarnya posisi Islam terhadap adat istiadat ? Jawaban: Saya melihat, karena kebetulan saya juga mempelajari hukum Islam yang berkaitan dengan masalah hukum adat, artinya penopang dari hukum Islam itu adalah hukum adat, jadi sudah jelas kaidah hukumnya itu mengatakan al-‘aadatu muhakkamah adat itu adalah suatu bentuk hukum yang bisa dilestarikan, yang bisa menopang kehidupan umat Islam, saya lihat tidak ada, tidak ada perbedaan, karena dalam hukum Islam itu tekait dengan masalah angka-angka terdapat batasan-batasan tetapi dalam hukum adat tergantung dari kemampuan seseorang, terkadang orang melihat apakah sesuai dengan syariat Islam atau bagaimana, tapi dalam penjabarannya disitulah yang menopang, saling menopang satu sama lain. Pertanyaan: Bagaimana bentuk mahar dan paenre‟ yang terdapat pada masyarakat Bulukumba saat ini, sepengetahuan bapak, mohon penjelasan mengenai Mahar dan Paenre‟ tersebut? Jawaban: Mahar itu kan suatu keharusan, bahkan beberapa Imam mengatakan tanpa mahar itu nikahnya tidak sah, meskipun ada beberapa beberapa imam mengatakan itu tidak, justru itulah yang dijadikan dasar (mahar itu), kondisi masyarakat kita selalu melihat. Kalau dulu memang di zaman orang tua kita mereka selalu berorientasi mahar itu kepada tanah, tetapi kondisi sekarang karena mungkin paradigma masyarakat sudah bergeser juga, terkadang mereka sudah bisa men-qiyaskan tidak usah tanah-lah yang penting ada yang bernilai ya semacam cincin, ya semacam benda-benda lain selain daripada tanah, dan kondisi sekarang itulah yang terjadi di Bulukumba, dan saya lihat dari sepuluh (10) kecamatan itu memang saling berkaitan. Dan saya juga pernah 100 bertugas di Kecamatan Herlang, begitupun di Bulukumpa, saya melihat 10 kecamatan ternyata pelaksanaannya sama. Cuma terkait dengan itu, mahar itu tidak berdiri sendiri tetapi ada embel-embel adat yang masuk disitu, inilah yang terkadang salah persepsi terhadap masyarakat kita, orang-orang yang dari luar mengatakan ini koq ada seperti ini, misalnya pallao tanah itu juga satu bentuk atau item yang dibicarakan, tetapi kita orang baru mendengarkan hal-hal seperti itu justru dia mengatakan koq ada tambahan lagi, padahal itu memang sudah adat yang masuk disitu, sama dengan pallao sapposisseng itu juga bagian dari disitu, terkadang diserahkan berdasarkan bersamaan dengan mahar, jadi terkadang kita disini ada complain dari masyarakat tentang itu ya kita luruskan, bahwa memang antara mahar dan hal-hal seperti itu mahar itu sesuai dengan tuntunan syariat Islam yang melekat di hukum Islam, tetapi menyangkut budaya lokal selama tidak ada unsur pemaksaan saya pikir sah-sah saja. (Mengenai paenre‟) makanya dalam hukum Islam itu kan kesepakatan „an taraadhin minkum (kesepakatan diantara kamu) dan jangan memaksakan seorang laki-laki tidak sesuai dengan kemampuannya, itu pentunjuk dalam Islam. Makanya itu juga yang dijabarkan dalam adat, sekarang kan paradigma sudah bergeser bahwa sudah ada kelompok masyarakat sekarang yang berani menanyakan/menyampaikan kepada pihak lakilaki bahwa jangan dipaksakan, sesuai saja dengan kemampuannya, kalau dulu kan dipatok, kalau anda tidak bisa mengajukan ini, anda tidak usah melanjutkan pembicaraan, tapi sekarang zaman sudah semakin terbuka begitupun sekat-sekat sudah semakin terbuka, paradigma masyarakatpun sudah mulai berubah, jadi tidak ada lagi, ya walaupun misalnya ada orang tertentu, tapi memang sudah sesuai kemampuannya. Kemarin ada yang menghebohkan di Bulukumba yang paenre‟nya sampai Rp. 500.000.000,- dan itupun belum terkait maharnya, itu belum dihitung dengan erang-erang-nya, belum bosara‟-nya dan sebagainya dan sebagainya. Tetapi kalau masalah paenre itu masih sangat variatif, tergantung dari kemampuan, tetapi saya lihat masyarakat kita sudah mulai terbuka wawasannya bahwa hal seperti itu tidak boleh dipaksakan, tergantung kemampuan. Dan saya pernah mengikuti satu majelis (mapettu ada‟) untuk itu, mereka mengatakan “berapa kemampuanta‟ nak itu saja, tidak usah dibicarakan disini !” ini sebuah indikasi mengarah bahwa kita ini sudah menerapkan hukum Islam dan hukum adat juga sudah menerima seperti itu. Pertanyaan: Berarti intinya bahwa ternyata untuk posisi mahar dan paenre‟ di Bulukumba sudah mulai terjadi beberapa pergeseran/perubahan dari kebiasaan-kebiasaan terdahulu mengikuti komoderenan zaman ? 101 Jawban: Iya. Jadi sekarang saya lihat mahar itu sudah berbicara stel-an. Jadi emas 1 stel, tapi kalau besarannya itu kan terkadang mereka tidak menentu, yang jelasnya berbicara emas satu stel berarti ada cincin, ada giwang, ada kalung, dan itu tidak ada yang dibawah 10 gram. Jadi memang sudah ada nilai seorang wanita, karena nilainya wanita itu kan tergantung dari mahar, walaupun nabi membatasi sesuai kemampuan. Pertanyaan: Besaran mahar dan paenre‟ dipengaruhi oleh stratifikasi sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat, lantas jumlahnya didasarkan kepada tingkatan status sosial calon mempelai perempuan, semakin tinggi strata sosial calon mempelai perempuan semakin besar pula jumlah mahar dan paenre‟ yang diberikan, komentar bapak ? Sebagian berlaku seperti itu. Makanya saya katakan tadi zaman kita Jawaban: kan sudah terbuka, dunia sudah semakin terbuka. Dulu kenapa seperti terhijab begitu, terbelenggu dengan pemahaman seperti itu karena keinginan menikah itu hanya keinginan orang tua, sekarang dipengaruhi oleh anak makanya disitu bukan menjadi nilai tawaran yang sangat tinggi dalam tanda petik bahwa harus terpenuhi, stratanya memang seperti ini dan nilainya, nilai jualnya seandainya barang nilai jualnya harus tinggi karena sudah sarjana, sudah bekerja, sudah naik haji misalnya, jelas. Dan kondisi ini juga yang membuat sebagian kecil masyarakat kita yang menahan (diri), bahkan tidak ada yang mau melamar karena dia selalu melihat (besarnya mahar dan paenre‟), tetapi disisi lain, (masyarakat) sudah terbuka bahwa hal demikian bukan lagi menjadi penghalang, artinya sudah ada paradigma yang dimiliki oleh masyarakat bahwa hal-hal seperti itu sebenarnya sudah sangat merusak hubungan persaudaraan, dan kalau masih ada yang bertahan seperti itu kita lihat pada kondisi keluarnya juga, bahkan dilingkungan kita disini masih ada (yang menerapkan) karena apa, karena latar belakang keluarga yang tidak mau bergeser kondisikondisi yang dialami oleh orang tuanya dulu (mahar dan paenre‟ tinggi), (misalnya) saya ini kan punya status Karaeng, Andi, dan sebagainya, jelas nilainya. Namun sekarang sudah tidak, mulai bergeser. Pertanyaan: Misalnya untuk masyarakat yang keluarga besarnya kiranya masih mempertahankan mengenai strata sosialnya yang tinggi harus dengan mahar dan paenre‟ yang tinggi, menurut bapak, apakah pihak mempelai laki-laki terbebani ? Jawaban: Boleh iya boleh tidak, artinya begini kalau kita kembali ke hukum Islam bahwa menikah itu kan untuk melanjutkan keturunan, tetapi ada juga mungkin orang yang memiliki pandangan bahwa saya menikah 102 ini hanya mau diakui status saya, status sosial saya, makanya diupayakan (terpenuhi), tapi masalah terbebani jelas-lah, karena ini menyangkut masalah angka-angka ya, siapa sih tidak (terbebani), kecuali kalau misalnya dia ada targetnya bahwa okelah saya naikkan sampai Rp. 100.000.000,- dengan pertimbangan karena memang rumpun keluarga sana rumpun besar, tidak mungkin dia tidak bisa siapkan pekerjaan yang lebih besar lebih menguntungkan ketimbang dengan apa yang saya naikkan, bisa saja terjadi. Tapi kalau untuk kondisi Bulukumba sudah mulai bergeser, artinya sangat sulit ditemukan orang yang mempertahankan budaya/tradisi seperti itu. Tapi bukan berarti tidak ada, masih tetap ada. Pertanyaan: Apakah bapak (sebagai salah satu bagian dari Kementrian Agama) kiranya pernah membicarakan hal-hal tersebut dengan (misalnya) tokoh adat atau lembaga adat setempat? Jawaban: Jadi pada dasarnya kita ini pelayan masyarakat, artinya kita menerima pelaporan/aspirasi dari bawah, jadi kita tidak mampu untuk turun meskipun mengetahui kondisi tersebut, tapi kita tidak punya kewenangan untuk itu, kecuali kalau diminta, oke kita jelaskan, disitulah kesempatan kita untuk mensosialisasikan syarat-syarat nikah, bahwa syarat-syarat nikah itu adalah se-kufu, artinya apa ? sepadan. Sepadan disitu perempuan mau, laki-laki mau dan tidak ada saling membebani, tapi kalau memang ada hal-hal yang “dibicarakan” dan tidak memaksakan, silahkan. Adat berlakukan disitu. Jadi kita tidak mampu untuk turun kecuali kalau memang diminta, aparat kami akan memberikan penjelasan terkait dengan masalah itu. Jadi kami akan selalu responsif terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat seperti itu, ketika memang diminta. Pertanyaan: Menurut bapak, bagaiman kiranya Islam memandang terhadap tingginya mahar dan paenre‟ seorang perempuan ? apakah Islam kiranya bisa berkompromi dengan hal tersebut atau dengan tegas bapak mengatakan bahwa Islam tidak mengajarkan demikian ? Artinya kita kan hanya menginterpretasikan bahwa mahar itu adalah Jawaban: nilai seorang perempuan, jadi mungkin disini, dimana dalam Islam tidak dijelaskan bagaimana, cuma batasannya diberikan contoh bahwa nabi menikahi si A si fulaanah dengan mahar sekian, itulah yang dijadikan dasar, tetapi dengan melihat kondisi di zaman nabi dengan kondisi di zaman kita, kita kan lebih sejahtera sekarang. Jadi saya pikir sah-sah saja kalau memang ada tawaran dari pihak perempuan karena melihat kondisi laki-laki bahwa dia memungkinkan, silahkan karena anda kan mau mengambil anak saya, mau mensejahterakan anak saya, cuma kesan yang harus ditinggalkan disitu poin-poinnya adalah jangan 103 sampai ada kesan bahwa saya menjual anak, itu yang tidak benar, tapi kaitannya dengan kesepakatan kedua belah pihak sesuai dengan kondisinya, saya pikir itu sangat-sangat benar, hukum Islam juga tidak melarang koq. Pertanyaan: Apakah ada makna filosofis yang terkandung dalam penetapan jumlah mahar dan paenre‟ tersebut, menurut bapak ? Jawaban: Jadi ada satu ungkapan leluhur kita sipakatau sipakale’bi, sipakatau sipakale’bi itu kita bisa interpretasikan bahwa tidak hanya dalam kaitannya dengan siparingerrangi, tetapi kaitannya itu seperti itu, anda menghargai saya saya juga akan lebih menghargai anda, itulah filosofi yang terjadi, contoh misalnya ketika anda “datang” dirumah walaupun anda misalnya golongan ata‟ (golongan orang yang bukan bangsawan) tetapi anda datang dengan hormat saya terima, bahwa anda akan meleburkan diri menjadi anak, saya terima, itulah saking bagusnya kita karena adatta‟ kan memilih untuk seperti itu, luar biasa memang, artinya sipakaraja sipakalebbi, sipakainge. Nah inilah yang terjadi, karena memang dalam proses pernikahan itu dilakukan dalam beberaoa jenjang, beberapa fase pembicaraan, istilah mamanu‟-manu‟ kemudian bagaimana pihak laki-laki berdialog atau bertemu langsung dengan pihak calon isterinya, disitu kan dilihat semua, jadi memang budaya tadi, sipakatau sipakalebbi sipakainge itu memang sangat bagus dan itulah yang mungkin tidak akan hilang kepada anak cucu kita nanti dan bisa dipertahankan oleh mereka, dan itulah nanti nilai filosofis yang akan diwariskan kepada mereka, sangat luar biasa memang, artinya cakupan pengetian dan pemahamannya sangat luas. Pertanyaan: Kiranya nasehat bapak kepada para pemuda yang hendak mempersuting seorang perempuan disini, makna yang dapat kita ambil dari perihal keluarga mempelai perempuan yang menetapkan mahar dan paenre‟ dalam jumlah yang tinggi, apakah memang kita dituntuk untuk harus mapan secara materi terlebih dahulu baru berani mempersunting atau bagaimana pak, mohon penjelasannya pak ? Jawaban: Di dalam hadits kan ada beberapa penjelasan, utamanya dalam hadits “wahai para pemuda, apabila kamu sudah mampu.....”, mampun disini bukan hanya dari segi materi tetapi bagaimana mengendalikan emosi, dan itu modal kita, kemudian mampu dalam hal menjadi imam bagi isteri, kalau itu saja dimiliki maka semuanya akan lancar, karena ketika akhiratmu kamu tuntut maka duniamua akan ikut, beda jika dunia yang dituntut maka akhirat itu akan tertinggal. Dan saya pikir, ketika kita beristeri itu kan sudah sebagian dari perintah agama sudah dilaksanakan, jadi ketika kita dihadapkan dengan kondisi seperti “itu” ya tentukan, dianjurkan untuk bagaimana istikharah, minta kepada 104 Allah, ya Allah tunjukkan apakah saya tetap maju atau atau bagaiamana, kan meminta solusi. Kemudian yang kedua, kondisi sekarang kan semakin tebuka, maksudnya, bukan cuma kita bertahan terhadap (kemauan) pihak mertua tetapi bisa kita komunikasikan dengan calon isteri misanya, bagaimana ini ?, yang jelas kita akan manfaatkan/fungsikan (komunikasikan) jika memang ada keinginan/hasrat kuat kita untuk mempersuting dia, manfaatkan itu (peluang kompromi). Yang selanjutnya, ketika misalnya tidak mampu (memenuhi) seperti itu, ya kita legowo saja, berarti memang Allah tidak mentakdirkan untuk bersama-sama dengan dia, jangan sampai saya paksakan justru akan lebih banyak mudharatnya. Tapi saya pikir kondisi/kasus seperti itu sangat kecil kemungkinan terjadi, karena memang kedua insan ini sudah sangat sepakat, dua-duanya sudah bisa membicarakan kepada kedua orang tuanya, kalau dulu pihak suami saja yang langsung ke orang tua, tapi sekarang justru anak perempuan yang menanyakan bagaimana ini pak ada yang mau datang melamar saya, bagaimana kita ? tentu pasti ditanya apa kemampuannya ini dan ini, pasti ditanya begitu, jadi kita sikapi saja secara bijaksana, dan saya pikir ketika kita menengadahkan kedua tangan, Allah akan tunjukkan jalan bahwa oh ternyata (dia ditakdirkan bersamamu), jika memang rezekimu biarpun berapa ditentukan (jumlahnya) pasti akan tetap diberikan jalan. 105 HASIL WAWANCARA DENGAN SALAH SATU ILMUWAN BUGIS M. ARSKAL SALIM, M.A., Ph.D Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan, mempunyai ketentuan adat yang masih sangat kuat dilaksanakan oleh masyarakat, yaitu dalam hal perkawinan (yang tentunya bukan hanya menggunakan aturan agama melainkan dipadukan dengan adatistiadat), aturan mengenai kadar mahar yang ditentukan berdasarkan strata sosial mempelai perempuan (Mattulada: 1971, keterangan ini juga dapat dipastikan setelah penulis mewawancarai tokoh adat di Bulukumba) dan adanya panai‟/paenre‟ (pemberian mempelai pria kepada pihak keluarga mempelai perempuan, biasanya berupa sejumlah uang untuk beberapa keperluan, berdasarkan ketentuan adat yang ada). 1. Pertanyaan: Mohon kiranya bapak dapat menanggapi peryataan penulis tersebut (sudut pandang bapak mengenai mahar paenre‟/panai‟dalam masyarakat Bugis ?) Jawaban : Itu adalah hukum adat, jadi karena menjadi hukum adat sementara dalam Islam ada “al-‘aadatu muhakkamah”. Jikalau menjadi standar praktek sebuah tempat dan diterima pada umumnya masyarakat disana , tidak ada yang mencoba menentangnya, tidak ada masalah. Toh kalaupun dianggap bertentangan dengan hukum Islam, mungkin keterangan hukum Islam yang menjelaskan bahwa sebenarnya menikah dengan jumlah sekian juga boleh, karena itu kan juga bukan syarat, bukan syarat pernikahan. Tapi dalam hal ini adat memberi aturan bahwa mahar atau uang panai‟ harus sekian dan sekian. Ketika itu menjadi sebuah konsensus bersama di dalam masyarakat, maka itu diterima, kalaupun konsensus ini ada yang yang tidak menerimanya dan hendak melaksanakan pernikahannya (sesuai kehendaknya) boleh-boleh saja, namun pada akhirnya dia akan mendapatkan semacam sanksi sosial dari keluarganya sendiri (misalnya dengan ungkapan) “oh koq anaknya dinikahkan dengan begitu, seperti apa saja”), itu yang kemudian sering muncul, makanya karena ini merupakan hukum adat, praktek sosial, tidak bisa dibuat semacam sanksi yang sifatnya normatif, atau dari agama itu juga sanksinya bersifat sosial. 2. Pertanyaan: Berarti jelas bahwa antara mahar dan paenre‟ disini berbeda, karena mahar ada dalam aturan agama meskipun unsur adat dapat masuk kedalamnya, sedangkan paenre‟ disini murni aturan adat. Tanggapan bapak ? Jawaban : Kita harus tahu bahwa adat itu sudah ada sebelum Islam datang ke Sulawesi, jadi ketika Islam datang dan melihat ada berbagai macam bentuk pembayaran dalam (proses) pernikahan itu, Islam tentu harus diadaptasikan masuk kedalam praktek sosial yang sudak ada ini. Nah caranya adalah melihat yang mana mahar, yang mana pembayaran nikah sebagai (aturan) adat. Kalau memang akhirnya disepakati bahwa mahar adalah apa yang dituliskan dalam buku akta nikah, dalam akta nikah ditulis sekian gram emas misalnya atau seperangkat alat shalat atau rumah atau apapun, maka itulah yang disebut dengan mahar dalam 106 pengertian agama, tapi uang panai‟nya atau pembayaran ataupun ongkos segala macamnya itu, termasuk hadiah-hadiah lainnya, itu tidak pernah dianggap mahar. Karena yang disebut dalam hal ini (mahar) ialah sesuatu yang diucapkan dalam lafadh/sighat nikah itu. 3. Pertanyaan: Dalam masyarakat Bugis-Makassar dikenal dengan adanya budaya siri‟, mohon penjelasan dari (perspektif) bapak mengenai budaya tersebut, lantas dikaitkan perkawinan dalam adat Bugis (lebih khususnya mengenai aturan mengenai kadar mahar dan paenre‟) ? Jawaban : Beberapa waktu lalu saya juga sempat meneliti mengenai hal tersebut disana, bagaimana sih sebetunya siri‟ ini dalam hal mahar. Macam-macam, ada orang yang memahaminya (siri‟) untuk menunjukkan status sosialnya, jadi dia tidak mau nanti anaknya dilamar dengan jumlah hadiah, jumlah pembayaran pernikahan itu dengan (jumlah) yang sedikit karena itu akan (menyebabkan) siri‟ (malu) dia, siri‟nya terutama di hadapan keluarga besarnya, nah itu (dapat dikatakan) siri‟. Tapi ada juga nanti yang hanya sekedar “ya sudahlah, yang penting disebut besarannya sekian”, nyatanya diberikan ke anaknya sebagai mahar hanya sekian, nah itu juga siri‟. Banyak pola atau bentuk yang digunakan untuk menerapakan makna siri‟ itu, apakah dengan cara “pokoknya jika anak saya tidak diberikan ini, ini, dan itu segala macam, saya tidak mau” (karena) siri‟. 4. Pertanyaan : Apakah salah satu impelementasi budaya siri‟ itu dengan ditetapkannya mahar dan paenre‟ berdasarkan derajat sosial seorang wanita ? Jawaban : iya bisa, (jelas) bisa. Karena mereka akan melihat, “kita kan punya status begini, kita keturunan ini, kita ini dan ini, enak saja kita anak kita dinikahi cuma dengan seperangkat alat shalat (misalnya) begitu. Jadi ada semacam siri‟nya terganggu kalau dia akan menikahkan anaknya seperti pernikahan orang biasa. 5. Pertanyaan : Menurut bapak, apa makna filosofis yang dimaksud (terkandung) dalam ketentuan mengenai kadar mahar dan paenre‟ dalam masyarakat Bugis ? Jawaban : kalau (hal demikian) sih semacam simbol atau status. Karena jika anda baca disertasinya Millard, dia mengatakan sosial location atau onronna‟(tempatnya/kelas-nya) begitu. Onronna itu menjadi: dimana dia mau menempatkan dirinya, kalau dia hanya sekedar “memang saya disini, biasa saja begini”, ya sudah itu memang sudah posisinya. Dalam masyarakat Bugis, sosial location atau posisi sosial itu menjadi penting. Kenapa orang-orang Bugis rajin mau naik haji, karena ketika dia mempunyai jabatan atau gelar haji dia akan di posisikan istimewa dari kalangan lainnya. Jadi ada kecenderungan untuk mencari sosial location. Diantaranya begitu, tega onronna. Jadi (misalnya) “tidak pantas, tiba-tiba ini siapa koq duduk di depan sini, tidak bisa, anda duduk di belakang, disini tempat duduk para haji” dalam acara-acara perkawinan atau kondangan segala macam (acara). Nah itu salah satu contoh, begitu juga dengan mahar, ya bukan tempatnya lah kalau dia hendak (meminang dengan) membayar dengan 107 jumlah segitu, mungkin bukan dengan anak kita. Jadi memang perkawinan dalam masyarakat Bugis-Makassar masih merupakan gawe orang tua, bukan gawe pasangan atau muda mudi yang menikah. 6. Pertanyaan: Dalam proses penelitian yang dilakukan, penulis dengan mewawancarai tokoh adat dan tokoh agama di Bulukumba, penulis menemukan beberapa pemahaman kebudayaan yang kemudian dikaitkan dengan penetapan jumlah mahar dan paenre‟, mohon penjelasan bapak mengenai istilah berikut ini : a. Sipakatau b. Sipakainge’ c. Sipakale’bi Jawaban : saya kira tenggang rasa, solidaritas, toleransi, tau posisi diri, sadar posisi, kira-kira begitu. Sipakatau: iya bisa diartikan saling memanusiakan manusia, artinya sadar posisi, tahu diri, karena kalau dia tidak tahu diri dia akan sombong, ketika sombong dia tidak memanusiakan yang lain. Sipakainge‟: saling mengingatkan, iya itu lebih pada soal solidaritas, jangan sampai ikut terjebak atau terperangkap dalam suatu hal (negatif), solidaritas supaya bisa saling menasehati. Sipakale’bi: memberikan apresiasi, memuji, tidak merendahkan orang lain, (saling) menghargai. 7. Pertanyaan : Menurut bapak, bagaimana Islam memandang hal-hal tersebut (berkenaan dengan penetapan mahar dan paenre‟ dalam masyarakat Bugis), lebih tegasnya bagaimana hubungan antara Islam dengan budaya ataupun adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Bugis, apakah memang Islam itu sudah berakulturasi penuh dengan adat-istiadat Bugis ataukah memang menurut bapak masih terdapat gab tertentu ? Jawaban : Soal itu memang tidak dipungkiri terjadi di semua kebudayaan (suku bangsa), bahwa ada hal-hal yang harus dikawinkan walaupun dikawin paksa, itu (memang) terjadi, praktek-praktek yang memang tidak sejalan dengan agama tapi karena sudah terlanjur lama dipratekkan, ya mau tidak mau, akhirnya diterima sebagai bagian dari masalah sosial tidak dihubungkan dengan agama, itu biasanya terjadi, misalnya: ada mappaccing, itu bukan dari agama tetapi karena itu (mappaccing) dilihat tujuannya bagus, ya sudah dianggap (baik) kita lakukan sebagai praktek sosial yang mana agama juga tidak memerintahkan tetapi juga tidak melarang. 8. Pertanyaan : Menurut bapak, apakah ini menegaskan istilah Islam nusantara ? Jawaban: Dari segi itu, iya jelas bahwa ada aspek-aspek budaya lokal yang diakomodasi oleh masyarakat Islam setempat, tanpa harus menafikan adanya ajaran Islam yang terlanggar. 108 9. Pertanyaan : Pertanyaan terakhir untuk bapak, sebagai orang yang berasal dari Bugis-Makassar sekaligus ilmuwan yang berasal dari daerah Bugis-Makassar, mengapa tradisi atau adat istiadat tersebut (khususnya mengenai penetapan jumlah mahar dan paenre‟) tetap dipertahankan hingga saat ini dan di masa-masa yang akan datang ? Jawaban : Jika dipertahankan sih, itu bukan harus saya yang mempertahankan, artinya itu terlepas atau dipersilakan kepada kesepakatan (konsensus) masyarakat disitu, kalau misalnya ada masyarakat yang ingin mempertahankan tradisi semacam itu, mungkin karena mereka menganggap ini adalah sosial location (dignity) yang harus ditunjukkan, ini-lah siri‟ kita, nah jika itu alasannya ya bagus, ada argumen yang kuat untuk menekankan betapa suatu praktek itu didasari oleh nilai (value), nilai-nya (berupa) martabat kemanusiaan, Allah saja memuliakan manusia kan “wa laqad karramnaa banii aadam”, hal-hal demikian itu bisa diterima, sepanjang tidak ada syariat yang dilanggar, tapi bagi orang yang kemudian menganggap “ya sudahlah” kita akhiri semua ini, biarkan pemuda (orang) Bugis bisa menikah dengan murah, jangan sampai nanti gara-gara ini ada efek-efek sosial, ya itu bisa juga (terjadi) seperti itu, karena mungkin melihat kepada realitas sosial yang terjadi hari ini, (misalnya) di masyarakat (ada) sebagian pemuda malah mencari cara supaya bisa menikah tanpa harus mengeluarkan biaya-biaya yang terkadang dianggap tidak masuk akal itu. Jadi tergantung tujuannya, kalau memang tujuannya untuk siri‟ (dignity) –nya itu, dia punya alasan kan (untuk tetap mempertahankan), tapi juga ada alasan pragmatis (seperti) “ah sudahlah yang seperti itu sudah bukan zamannya lagi, kita tunjukkan-lah (bahwa) kita memang ingin mempraktekkan (ajaran) agama”. Cuma yang dimaksud praktek agama kan orang yang berpandangan tentang siri‟ juga mengatakan ini merupakan praktek agama juga (yaitu) memuliakan, saya (hendak) mengatakan: dalam hal ini saya sulit (jika) ditanya (untuk) mencari posisi “kenapa” (harus dipertahankan) ?, (karena) bukan saya yang menentukan, itu adalah konsensus masyarakat, silakan terserah kepada mereka, kalau (misalnya) mereka konsensus “sudah kita hapuskan hal-hal semacam ini” ya boleh (saja) jika memang itu (telah) menjadi suatu konsensus. IE i i KEI/TENTERIAN AGAMA UNT\TERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAIN JAKARTA FAKULTAS SYARIAH DAI\.[ HUKUM Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, lndonesia Telo. (62-21 ) 747 11537 ,7401925 Fax. t;'62-21\ 7491821 Wc;b$he : wrJvwu inil<t.ac:id E-mail : syar-hu kui n@yahoo'com I Nomor Lampiran Perihal :Un,01 /F4IPP.00.9/ 4rz 12015 Jakarta, 01 April2015 : Mohon Kesediaan Mer[gg]! 1 Pembinlbing Skripsi Kepada Yang Terhormat, Dr. H. Yayan Sopyan, MA (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) DiJAKARTA Assalamu'alaikum Wr. Wb. Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasiswa Nama : AndiAsyraf NIM :1111044100031 Prodi/Konsentrasi : Peradilan Agama Judul Skripsi : Mahar dan Paenre'Dalam Adat Bugis Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut : : 1. Topik bahasan dan outline bila dianggap perlu dapat dilakukan perubahan dan penyempurnaan, 2. Tehnik penulisan agar merujuk kepada buku "Pedoman Karya llmiah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" Demikian atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih Wassalamu' alaikum W, W. Fakrrltas Syariah dan Hukum Tembusa n : Kasubag Akadenrik &kemahasiswaan Fakultars Syariah dan Hukum Sekretaris Program StudiAhwal al Syakhshiyah Arsip 1. 2, 3. KEMENTBRIAN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (TIIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA F'AI(ULTAS SYARIAH DAN HUI(UM Telp. (62-21 ) 747 11537 , 7401925 Fax. (62-21) 7491821 Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412 lndonesia Nomor Lampiran Hal : Un.01 / F4/KM.01 r Website : www.uinjkt.ac.id E-mail : [email protected] .03/ | b1L Jakarta, 12015 0l September 2015 P".-ohon an DatalWawancara Kepada Yth. Arskal Salim, M.A., Ph.D Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum Uniyersitas lslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di -Tempat Ass alamu' alaikum Wn Wb. : D-ekan Fakultas Syariah dan menerangkan bahwa Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Nomor Pokok ANDI ASYRAF r r l 1044100031 Tempat/Tanggal Lahir Makasar, 12 Oktober Semester 9 Jurusan/Konsentrasi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Komp. Lapas Rt/Rw. 0011002 Polewali Gantorang - Bulukumba - Sulawesi Selatan. 08130139709 Nama Alamat Telepon 1993 adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Jakarta yang sedang m.enyusun skripsi dengan judul: ,n UIN Syarif Hidayatullah "Muhar Dan Paenre DalumAdut Bugis (Studi Etnografis Hukum Islam Dalum Perkawinan Adat Bugis Di Kabuputen Bulukumba " Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/ Ibu dapat menerima yang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsi dimaksud. Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih. Was 1. salamu' alaikum Wr. Wb. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta; r Nomor Lampiran Hal 0l Surat Xeterargan T el ahlMelakukaka n W aw anc ar a Kepada Ytlq Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum LIIN Syarif Hid,ay ah:Jlah I akarta di Jakarta Kami sebagai narasumberlinforman dengan ini menerangkan bahwa Nama NINzI 'a :Andi Asyraf :1111044100031 Lahir Semester : Alamat : Jln. Jend. Tempat/Tgl. : :Makassar, 12 Oktober 1993 VItr @elapan) A. Yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong Bulukumba Benarbenar telah melakukan wawancwa dan pencarian data dalam rangka tugas peneliatian skripsi yang berjudul Mahar dan Paenre' I)alam Adat Bugis: Etnografi Hukum rslam Dalam Perkawinan Adat Bugis di rfubupaten Bulukumba. Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya. Bulukumba,2S Narasumber luli20l5 Nomor Lampiran Hal :01 : Surat Keter angan T elah Melakukaka n W atvanc ar a Kepada Yth, Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hiday atullah J akarta di Jakarta' Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa Nama NIM ahir Semester Tempat/Tgl.I : Andi fuyraf :1111044100031 :Makassar, 12 Oktober 1993 : VItr (Delapan) Jurusan/tr(onsentrasi : Hukum Keluarga Alamat : IslamlPeradilan-Agama a : Jln. Jend. A. Yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong gufukumba Benar-benar telah'melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka tugas peneliatian skripsi yang berjudul Mahar darn Paenre'Dalam Adat Bugis: Etnografi Hukqm Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Kabupaten Bulukumba. Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya. Bulukumba,/9 Juli 2015 Narasumber fF- Nomor Lampiran HaI :01 : Surat Keterangan Telah Melakukaka nWawancara Kepada Yttq Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif lFridayahtllah Jakarta di Jakarta Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa Nama NIM Lahir Semester Tempat/Tgl. : : Andi Asyraf : 1111044100031 :Makassar, 12 Oltober 1993 : VItr @elapan) Jurusan/I(onsentrasi : Hukum Keluarga Islam/Peradilan' Agama Alamat : Jln. Jend. A. Yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong Brrtirkumba Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka tugas peneliatian skripsi yang berjudul Mahar dan Paenre'I)alam Adat Bugis: Etnografi Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Kabupaten Bulukrrmba. Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya. Bulukumba,28 luli}A]S Narasumber &'k,9 A%L AnSi Wle aa.brxh b.A Nomor Lampiran Hal :0I :; Surat Keter angan T elah Melakukaka n W aw ancar a Kepada Yth, Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Jakarta Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa Nama : NIM :1111044100031 Lahir Semester Tempat/Tgl. Andi Asyraf :Makassar, 12 Oktober 1993 : VIII @elapan) Jurusan/Konsentrasi : Hukum Keluarga Alamat : Islam/peradilqn-Aga3 b : Jln. Jend. A. yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong gurukumba Benar-benar telah'melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka tugas peneliatian skripsi yang berjudul Mahar dan Paenre' Dalam Adat Bugis: Etnografi Hukum rslam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Kabupaten Bulukumba. Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya. Bulukumb4e!Juli 2015 Narasumber i Ainna w,vh Ah (.Sos, mM. Nomor Lampiran Hal :01 :: Surat Keteran gan T el ah Met ala*akan W ar,v ancar a Kepada Yth, Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum LnN Syarif lirday atullah J akarta di Jakarta Kami sebagainarasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa Nama NIM Lahir Semester TempaVTgl. :Andi fuyraf : llllO44l00031 :Makassar, 12 Oktober 1993 : VItr @elapan) Jurusan/I(onsentrasi : Hukum Keluarga Islam/peradilan,Agag Alamat : u ,. . : Jln. Jend. A, yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong Burukumba Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencari an datadalam rangftatugas peneliatian skripsi yang berjudul Mahar dan Paenre'Dalam Adat Bugis: Etnografi Hukum rslam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Kabupaten Bulukumba. Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya. Bulukumba,Ll Juli2Ol5 Narasumber m.Pd . Nomor Lampiran Hal :01 :; Surat Keterangan Telah MelakukakanWawancan Kepada Yth, Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syariftlidayatullah I akana di Jakarta Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa : Andi Asyraf Nama : NIM :1111044100031 Tempat/Tgl. Lahir :Makassar, 12 Oktober 1993 Semester : VItr @elapan) JurusanlKonsentrasi : Hukum Keluarga Islam/Peradilqn-Aga3 a Alamat : Jln. Jend. A. Yani Komp. Lapas No. 3 Taccorong Buldkumba Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka tugas peneliatian skripsi yang berjudul Mahar ilan Paenre' I)alam Adat Bugis: Etnografi Hukum Islem Dalam Perkawinan AdetBrigir diKabupaten Butukumba. Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagairnana mestinya. Bulukumb4lr luti zots Narasumber F.-- PROSESI AKAD NIKAH DALAM ADAT ISTIADAT BUGIS DI BULUKUMBA PROSESI MAPPABOTTING (WALIMAH PERNIKAHAN) DALAM ADAT ISTIADAT BUGIS DI BULUKUMBA