1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejatuhan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejatuhan Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari tampuk
presiden berimbas sangat besar terhadap industri media cetak di Indonesia.
Kebijakan Reformasi yang segera menyusulnya membuat media-media tumbuh
subur. Kalau pada akhir Orde Baru keseluruhan media cetak di Indonesia tidak
sampai 300, setelah Reformasi angkanya melonjak tajam menjadi lebih dari 1.000
(Tabel 1.1).
Tabel 1.1. Jumlah Media Cetak di Indonesia, 1997-2010
Tahun
1997
Maret 1999
1999
2001
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: Lim (2011: 4).
Jumlah Media Cetak
289
289
1.381
1.881
889
983
1.008
1.036
1.076
Banyak sarjana yang telah memberikan penjelasan atas fenomena
pertumbuhan besar media cetak di Indonesia pasca-Reformasi. Nyaris
keseluruhan analisis mereka mengerucut pada kesimpulan dicabutnya UU Nomor
21 Tahun 1982 yang digantikan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Poin
penting
perubahan
regulasi
tersebut,
yang
kemudian
dianggap
melempangkan jalan bagi tumbuhnya media cetak, adalah hilangnya ketentuan
kepemilikan Surat izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) bagi penerbit media.
Ketentuan tentang SIUPP diatur dalam Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1
Tahun 1984, yang merupakan turunan dari UU Nomor 21 Tahun 1982. UU ini
1
menekankan kerja pers mestilah “bebas dan bertanggung jawab”, dan SIUPP
merupakan sarana bagi pemerintah Orde Baru untuk mengontrol kebebasan-yangtidak-bertanggung-jawab. Ketika mendapati media keluar dari ketentuan tersebut,
dengan mudah Orde Baru memainkan “kartu” SIUPP hingga mencabutnya.
SIUPP ketika itu tak ubahnya nyawa bagi media, yang tanpanya sebuah media
tidak dapat terbit. Perubahan kebijakan terkait penerbitan media yang tidak
mengharuskan kepemilikan SIUPP, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40
Tahun 1999 yang mengedepankan kebebasan pers, dengan sendirinya membuat
penerbitan media menjadi bergairah.1
Kalau banyak penelitian terhadap peningkatan pesat jumlah media cetak di
Indonesia dilakukan dalam skala luas dan menyeluruh di tingkat nasional, dengan
kesimpulan sebagaimana di atas, bagaimanakah fenomena tersebut dijelaskan
dalam konteks lokal? Pertanyaan ini penting diajukan setidaknya karena dua hal.
Pertama, selain (Maret) 1999, sebetulnya ada satu tahun krusial lagi yang penting
dilihat dari Tabel 1.1, yaitu 2006. Tahun-tahun tersebut menjadi titik terendah
total media cetak di Indonesia setelah 1997 sekaligus tahun beranjak sebelum
jumlahnya terus membesar dan mengalami kenaikan. Pertanyaannya, ada apa
dengan tahun-tahun itu atau di sekitar keduanya? Sebagaimana telah disebut,
untuk yang pertama jelas ada kejatuhan Soeharto dan Orde Baru pada Mei 1998,
yang disusul oleh kebijakan Reformasi dan dibukanya kebebasan pers pada 1999.
Banyak analisis terdahulu tampaknya hanya terpaku pada perubahan yang terjadi
pada atau di sekitar tahun tersebut.
Untuk yang kedua atau 2006, dua tahun sebelumnya, pemerintah
mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai
amanat UU ini, pada Juni 2005 untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan
Analisis seperti ini misalnya diajukan Merlyna Lim, @Crossroads: Democratization and
Corporatization of Media in Indonesia, (Arizona: Participatory Media Lab dan Ford Foundation,
2011), hlm. 21-22; Krishna Sen dan David T. Hill (eds.), Politics and the Media in Twenty-First
Century Indonesia: Decade of Democracy, (London dan New York: Routledge, 2011);
Herlambang Perdana Wiratraman, “Press Freedom, Law and Politics in Indonesia: A Socio-Legal
Study”, disertasi di Universiteit Leiden, 2014; Angela Romano, Politics and the Press in
Indonesia: Understanding an Evolving Political Culture, (London and New York: Routledge,
2003); Syamsul Rijal, “Media and Islamism in Post-New Order Indonesia: The Case of Sabili”,
Studia Islamika, 12, 3, (2005), hlm. 421-474. 1
2
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Kalau sebelum 2005 kepala
daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), setelah Juni 2005
“dipilih dalam satu pasangan [kepala daerah dan wakil kepala daerah] secara
langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.”2 Walau kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah memang dimulai pada 1999,3 sejak kebijakan
pilkada langsung diberlakukan pada 2005, lanskap politik Indonesia berubah
dengan kian pentingnya politik lokal.4 Sebagaimana 1999, perubahan kedua ini
tentu saja menjadi konteks yang tak boleh diabaikan untuk melihat peningkatan
media cetak di Indonesia pasca-Reformasi.
Kedua, pentingnya daerah setelah 2005 menemukan pendasarannya dalam
fakta bahwa penyumbang terbesar dari angka kenaikan jumlah media cetak pascaReformasi adalah media cetak lokal, sementara media nasional sebetulnya
mengalami penurunan terutama setelah 2006. Pada 2010, menurut catatan Dewan
Pers, jumlah media cetak lokal di Indonesia adalah 952, sementara keseluruhan
media cetak berjumlah 1.076.5 Artinya, hampir 90 persen media cetak di
Indonesia pasca-Reformasi adalah media cetak lokal. Kalau pada masa Orde Baru
media lokal disebut oleh David T. Hill sebagai media yang marginal (marginal
presses),6 setelah Reformasi keadaannya berbalik dan menjadi sangat dominan
dari segi jumlah.
Data media lokal di Jambi jelas sekali memperlihatkan pertumbuhan media
cetak lokal pasca-Reformasi. Pada masa Orde Baru, hanya ada satu koran harian,
yaitu Independent, yang sekarang berubah menjadi Jambi Independent. Saat ini,
lebih dari 20 koran terbit setiap hari di Jambi. Tidak semua koran itu terbit dan
beredar di ibukota dan di seluruh wilayah Provinsi Jambi, tetapi lebih dari separuh
bahkan merupakan koran yang hanya berada di lingkup kabupaten. Sebagaimana
2
Pasal 24 (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi adalah amanat UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang disahkan pada 7 Mei 1999. 4
Nankyung Choi, Local Politics in Indonesia: Pathways to Power, (London dan New
York: Routledge, 2011), hlm. 1 dan 10. 5
Petrus Suryadi Sutrisno, “Fenomena Kebangkitan Industri Pers Daerah/Media Lokal”,
Jurnal Dewan Pers, 5 (2011), hlm. 88. 6
David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, (Jakarta: Equinox, 2007), hlm. 111137. 3
3
tampak dalam Tabel 1.2, setelah keran kebebasan pers dibuka pada 1999 hingga
2004, hanya ada 4 koran lokal di Jambi. Pertumbuhan terbesar terjadi setelah
kebijakan pilkada diperkenalkan pada 2005. Pada periode 2005-2010, muncul 14
koran lokal serta setelah 2011 terdapat 5 koran lokal baru lagi.
Tabel 1.2. Jumlah koran lokal di Jambi, 1998-2014
Tahun
1998
1999
2002
2004
2006
2007
2008
2010
2011
2013
2014
Jumlah Koran Lokal
1
2
3
4
9
12
14
18
19
20
23
Selain dari periode terbitnya sebagaimana di atas, pertumbuhan koran lokal
di Jambi yang dipengaruhi oleh dinamika politik daerah juga dapat dilihat dari
kepemilikan beberapa koran oleh pengusaha sekaligus aktor politik lokal, seperti
Aksi Post, Jambi Today, dan Harian Jambi. Koran-koran ini tentu sulit untuk
menghindari konflik kepentingan dan ambisi politik pemiliknya. Sementara itu,
koran-koran yang pemiliknya “netral”, yakni koran-koran yang merupakan cabang
atau anak usaha dari kelompok media nasional seperti Jawa Pos Group dan
Kelompok Kompas Gramedia, masuk dalam pusaran politik daerah lewat iklan
dan berita berbayar yang dipasang oleh pemerintah daerah, yang menjadi rawan
digunakan untuk kepentingan politik pejabat kepala daerah.7 Ironisnya kemudian
iklan-iklan oleh pemerintah daerah seperti itu menjadi pemasukan terbesar
kebanyakan koran lokal di Jambi, yang memungkinkan mereka tumbuh dan
7
Burhanuddin & Jamaluddin, “Out of Frame: Studi Pemberitaan Pemilukada Provinsi
Jambi 2010 oleh Media Lokal di Jambi”, laporan penelitian, (2010). 4
berkembang.8 Praktik tersebut persis kesimpulan Ignatius Haryanto ketika melihat
pers lokal setelah sepuluh tahun Reformasi:
Menjadi suatu praktik umum di mana media massa di berbagai wilayah tak bisa beroperasi
sebagai perusahaan yang sehat, tidak profesional, dan menunjukkan ketergantungan yang
sangat besar pada dinamika yang terjadi dalam politik lokal (mulai dari langganan koran
oleh kantor-kantor pemerintah, iklan ucapan selamat kepada pejabat, hingga berbagai
bentuk suap lainnya).9
Perkembangan industri pers yang terlihat kental dengan nuansa kepentingan
tersebut, menarik dikaji dengan pendekatan ekonomi politik. Para teoretikus
ekonomi politik melihat bahwa ada kelompok tertentu yang mengendalikan
institusi ekonomi yang kemudian memengaruhi institusi sosial lainnya, termasuk
media dan pers. Dengan kata lain, penguasaan institusi ekonomi akan berujung
pada penguasaan nyaris seluruh aspek kehidupan, mulai hal kecil seperti cara
makan hingga hal besar seperti perangkat komunikasi dan politik. Penguasaan itu
dimaksudkan untuk melanggengkan kekuasaan ekonomi mereka.
Meskipun praktik yang kental kepentingan tersebut berlaku umum di dalam
industri pers daerah di Indonesia, menurut Haryanto, “tak mudah bagi masyarakat
untuk mengetahui” apa yang sesungguhnya terjadi di sebaliknya.10 Tentu saja para
peneliti dan sarjana yang mesti melihat fenomena tersebut lebih jauh. Sayangnya,
tidak banyak peneliti yang melakukannya. Kenyataannya ada rangkap kekosongan
akademis di sini. Pertama, kajian terhadap pers lokal sendiri bisa disebut minim.
Haryanto menyebutnya sebagai “tidak ada data”.11 Penelitian kebanyakan
dilakukan terhadap “pers nasional”,12 yang tentu saja ironis di tengah fenomena
merebaknya industri pers lokal atau pers daerah.13
Kedua, telaah ekonomi politik untuk mengudar berbagai kepentingan yang
berjalin-kelindan di balik sebuah kebijakan cukup lama absen dalam dunia
8
Wawancara dengan JR, 8 April 2015; wawancara dengan MU, 9 April 2015; wawancara
dengan YJ, 10 April 2015; wawancara dengan HN, 19 Agustus 2015; wawancara dengan RH, 29
Oktober 2015. 9
Ignatius Haryanto, “Menilik Pers Lokal 10 Tahun Setelah Reformasi”, Jurnal Dewan
Pers, 5 (2011), hlm. 19. 10
Haryanto, “Menilik Pers Lokal”, hlm. 19. 11
Haryanto, “Menilik Pers Lokal”, hlm. 21. 12
Misalnya David T. Hill & Krishna Sen, The Internet in Indonesia’s New Democracy,
(London & New York: Routledge, 2007); Lim, @Crossroads; Lim, The League of Thirteen. 13
Sutrisno, “Fenomena Kebangkitan”. 5
akademik di Indonesia. Penyebabnya, menurut Vedy R. Hadiz, kekuasaan Orde
Baru selama lebih-kurang 32 tahun melarang analisis-analisis kapitalisme dan
kelas dengan pisau bedah Marxisme, padahal analisis terakhir ini merupakan basis
dalam teori ekonomi politik. Analisis apa pun, ketika menggunakan pendekatan
tersebut, dengan segera dianggap sebagai Kiri oleh Orde Baru. Ironisnya, saat itu
kekuatan kapital sedang tumbuh di Indonesia,14 yang segera memicu para sarjana
Indonesia melakukan analisis terhadapnya. Walhasil, dengan sedikit pengecualian,
yang muncul kemudian adalah analisis-analisis yang disebut Hadiz sebagai “most
banal forms and narrow behaviorism”.15
Untuk mengisi kekosongan akademik tersebut, tentu saja penting melakukan
analisis ekonomi politik industri pers di daerah. Dalam konteks pasca-Reformasi
yang dilanjutkan dengan kebijakan otonomi daerah, apa yang disebut “kapital”
juga beralih dari pusat ke daerah.16 Para pemain industri media di tingkat nasional
kemudian melebarkan sayap ke daerah. Mereka membikin cabang dari industri
pers yang telah dimiliki di pusat atau membangun industri pers baru di tingkat
lokal. Kecenderungan ini kemudian berjumpa dengan desentralisasi yang
mengubah landskap politik Indonesia.17 Aktor politik lokal bermunculan d(eng)an
memanfaatkan serta menguasai segala sumber daya milik daerah, termasuk
sumber daya media atau pers. Hasil dari pergumulan antara kekuasaan politik dan
industri media tersebut pada gilirannya menghasilkan apa yang disebut sebagai
sistem pers (lokal).
B. Rumusan Masalah
Persoalan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah mengapa industri
koran lokal di Indonesia tumbuh pesat pasca-Orde Baru. Dengan mengambil
kasus Jambi serta untuk memudahkan tahapan analisis, persoalan tersebut
Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, (Jakarta: Equinox, 2008 [edisi perdana
terbit 1986]). 15
Vedi R. Hadiz, “Studies in the Political Economy of New Order Indonesia”, Kyoto
Review of Southeast Asia, 1 (2002). 16
Edward Aspinall, “Kemenangan Modal? Politik Kelas dan Demokratisasi Indonesia”,
Prisma, 32, 1 (2013), hlm. 27. 17
Nordholt & van Klinken, Renegotiating Boundaries. 14
6
dirumuskan ke dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: Bagaimana perkembangan
industri koran lokal di Jambi pasca-Orde Baru? Bagaimana perkembangan itu
dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah? Struktur apa yang
mendasari perkembangan tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini berupaya mendapatkan penjelasan yang memadai tentang
perkembangan industri koran lokal di Jambi pasca-Orde Baru, terutama dikaitkan
dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan pada era
baru tersebut, dinamika ekonomi-politik yang menyertainya, serta sistem pers
yang tumbuh di Jambi. Argumen yang mendasarinya adalah bahwa konteks
pasca-Orde Baru menyediakan kesempatan yang lebih luas bagi perkembangan
industri pers lokal, seiring dengan tumbuh dan masuknya kapital ke daerah serta
munculnya aktor-aktor politik lokal pasca-desentralisasi.
D. Manfaat Penelitian
Selain menyumbang pemikiran tentang praktik ekonomi politik dalam industri
pers di Jambi, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk melihat realitas
industri pers di tingkat lokal. Kalau Haryanto secara berlebihan menyebut “tidak
ada data” tentang pers lokal di Indonesia,18 secara praktis gambaran realitas
tentang industri pers yang dihasilkan penelitian ini tentu saja akan menyumbang
data yang kosong tersebut. Lebih lanjut, data tersebut juga dapat digunakan
sebagai bahan untuk membuat kebijakan terkait pers di tingkat lokal atau di
Indonesia.
E. Kerangka Teori
1. Koran dan Media Lokal
Istilah koran yang menjadi topik penelitian ini mengacu pada surat kabar tercetak
yang terbit setiap hari. Tak ada kesepakatan tentang dari mana kata “koran”
berasal. Ada yang menyebut dari bahasa Arab “qurān” yang berarti bacaan.
18
Haryanto, “Menilik Pers Lokal”, hlm. 21. 7
Dalam sejarah Indonesia, relasi dengan Timur Tengah melalui para haji memang
menginspirasi munculnya terbitan-terbitan berkala berbahasa Arab dan Pegon atau
Jawi di beberapa daerah seperti Minangkabau dan Batavia.19 Ada pula yang
mengatakan dari bahasa Belanda “krant” karena bagaimanapun pengaruh kolonial
kuat sekali mewarnai sejarah awal koran modern di Indonesia.20 Sedikit yang lain
berpendapat dari bahasa Prancis “courant” yang tampaknya merujuk sisi aktual
(current dalam bahasa Inggris) dari terbitan ini. Dalam bahasa Indonesia,
pembentukan sebuah istilah dengan mempertimbangkan hal seperti di atas
memang sering terjadi. Koran sendiri acap disinonimkan dengan “harian” karena
mengacu periode terbitnya yang setiap hari atau “surat kabar” saja sebab isinya
yang lebih dominan kabar atau berita.
Sebagai bagian dari media publikasi yang bersifat massal, koran memiliki
sifat atau karakteristik berikut: (a) publisitas atau disebarkan untuk publik luas, (b)
diterbitkan secara periodik, yakni setiap hari, (c) informasi yang dibawanya
aktual, (d) universal atau tidak mengenai satu persoalan saja, dan (e) terbit secara
kontinu. Koran juga termasuk salah satu dari media lama yang sering disebut
sebagai lima besar (the big five of mass media), yaitu surat kabar, majalah, radio,
televisi, dan film. Salah satu fungsinya adalah fungsi informatif atau membawa
kabar yang jauh menjadi dekat dan hadir di sini; jarak yang menjadi penghalang
diruntuhkan oleh kehadiran media.
Dengan
fungsi
melintas
batas
ruang
seperti
itu,
menyebut
dan
mendefinisikan koran atau media lokal di masa sekarang sebetulnya problematis.
Di dalam Understanding the Local Media, Meryl Alridge menyebut problem
tersebut terutama terkait realitas dunia saat ini yang semakin mengglobal, ditandai
dengan temuan-temuan teknologi modern yang mengatasi hambatan jarak yang
sebelumnya menjadi pemisah. Globalisasi yang memungkinkan interaksi sosial
Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below
the Winds, (London dan New York: RoutledgeCurzon, 2003), hlm. 142-151. 20
Ahmat Adam, “The Vernacular Press and the Emergence of National Consciousness in
Indonesia”, Jebat: Malaysian Journal of History, Politics and Strategic Studies, 11, (1982), hlm.
1-2; Ahmat B. Adam, The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian
Consciousness (1855-1913), (Ithaca, New York: Southeast Asia Program, Cornell University,
1995), hlm. 178. 19
8
antarwarga dunia secara real-time, yang semakin menyempurnakan gagasan
global village dari Marshall McLuhan, pada gilirannya mengubah kebudayaan
manusia untuk tidak hanya berpikir tapi juga bertindak secara global.21 Dan koran
atau media, sebagai sarana komunikasi massa, demikian Alridge, merupakan
pemain paling penting yang mendorong terjadinya globalisasi.22 Dengan sifat
dasarnya yang global, bagaimana mungkin kemudian ada yang dinamakan media
atau koran lokal?
Rupanya, menurut Alridge, di tengah gelombang globalisasi, kerinduan
pada lokalitas juga menguat.23 Di samping dipengaruhi oleh berbagai faktor
global, apa yang disebut kenyataan hari ini tidak bisa tidak dibentuk oleh lokalitas
yang dekat (immediate locality). Dalam definisi globalisasi, misalnya yang
dikemukakan Anthony Giddens, ditekankan pentingnya keterlibatan lokal (local
involvement) dalam pembentukan sebuah kejadian, di samping tentu saja interaksi
lintas jarak (interaction across distance) yang merupakan sumbangan global.24
Kerinduan akan lokalitas itu, menurut Alridge, menyebabkan preferensi
masyarakat Inggris, negara yang dia teliti, terhadap media yang mengangkat berita
lokal sangat kuat.25
Pemberitaan atau orientasi lokal, dalam pandangan Ashadi Siregar,
merupakan salah satu ukuran untuk melihat apakah sebuah media bisa disebut
media lokal atau tidak, di samping sirkulasi.26 Siregar membuat tiga “tingkatan”
media berdasarkan orientasi dan sirkulasi tersebut, yang merupakan “tingkatan”
keduanya: lokal, regional, dan nasional. Menurut Siregar, “nasional melingkupi
seluruh wilayah negara; regional mencakup sebagian wilayah nasional, bersifat
Meryl Alridge, Understanding the Local Media, (Berkshire dan New York: McGraw-Hill
dan Open University Press, 2007), hlm. 7. Tentang global village, lihat Marshall McLuhan, War
and Peace in the Global Village, (New York: Bantam, 1968). 22
Alridge, Understanding the Local Media, hlm. 5. 23
Alridge, Understanding the Local Media, hlm. 7-8. 24
Annabelle Sreberny, “The Global and the Local in International Communications”, M.G.
Durham dan Douglas M. Kellner (eds.), Media and Cultural Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell,
2006), hlm. 605. 25
Alridge, Understanding the Local Media, hlm. 15. 26
Ashadi Siregar, “Perkembangan Media Cetak Lokal”, makalah disampaikan dalam
seminar Being Local in National Context: Understanding Local Media and Its Struggle, Surabaya,
14 Oktober 2002. 21
9
antar daerah; sedang lokal mencakup satu kota atau daerah terbatas.”27 Dengan
kerangka seperti itu, terbuka kemungkinan sebuah koran misalnya berorientasi
lokal namun diedarkan secara nasional atau sebaliknya berorientasi regional tapi
sirkulasinya hanya lokal. Apa yang disebut koran atau media lokal, dalam
pandangan Siregar, sejatinya adalah yang berorientasi lokal dan wilayah
sirkulasinya juga lokal.28
Definisi Siregar tentulah terasa amat longgar jika dibandingkan definisi dari
Bob Franklin yang mensyaratkan media atau koran lokal lokal “dimiliki orang
lokal, diproduksi secara lokal, mempekerjakan jurnalis lokal, melaporkan apa
yang menjadi konsen lokal, dan dibaca oleh penduduk lokal.”29 Kalau Siregar
hanya
menekankan
orientasi
pemberitaan
dan
wilayah
edar,
Franklin
menambahkan pemilik, produksi, dan pekerja media mesti juga bersifat lokal.
Meskipun membuat definisi ketat, Franklin pesimis semua syarat lokal itu bisa
dipenuhi. Franklin sendiri menyebutkan, di masa sekarang, apa yang disebut
media lokal tinggal nama semata. Pemilik koran lokal kerap kali adalah kelompok
jaringan media yang tidak hanya memiliki media di suatu daerah tetapi juga di
daerah lain, bahkan bisa jadi kelompok industri dari negara lain. Dengan
kepemilikan yang demikian, produksi bisa berada di tempat yang jauh serta
keputusan redaksional ditentukan dari wilayah lain. Hal yang paling
mengkhawatirkan, sebagai konsekuensinya, adalah terputusnya relasi antara
masyarakat suatu wilayah dan media atau koran yang beredar di sana.30
Sama halnya dengan pendapat Franklin, relasi kedua hal itu juga sangat
penting bagi Siregar. Keduanyalah yang disebut Siregar sebagai orientasi dan
sirkulasi, yang sesungguhnya menunjukkan dua fungsi atau peran media: sebagai
institusi sosial dan institusi bisnis. Kata Siregar,
27
Siregar, “Perkembangan Media”, hlm. 1. Siregar, “Perkembangan Media”, hlm. 1-2. 29
Bob Franklin, “Local Journalism and Local Media: Contested Perceptions, Rocket
Science and Parallel Universes”, Bob Franklin (ed.), Local Journalism and Local Media: Making
the Local News, (London dan New York: Routledge, 2006), hlm. xxi. 30
Franklin, “Local Journalism”, hlm. xxi. Bandingkan dengan Granville Williams, “Profits
before Product? Ownership and Economics of the Local Press”, Bob Franklin (ed.), Local
Journalism and Local Media: Making the Local News, (London dan New York: Routledge, 2006),
hlm. 83-92. 28
10
Sebagai institusi sosial, [media] berorientasi ke luar (outward looking) untuk kepentingan
masyarakat. Sebagai institusi bisnis, media massa sama halnya dengan setiap korporasi,
yaitu menjalankan operasinya dengan orientasi ke dalam (inward looking), untuk
kepentingan sendiri.31
Dua peran tersebut dalam kenyataannya sulit seiring sejalan dan kerap
menjadi dilema dalam kerja-kerja jurnalistik, termasuk bagi koran lokal. Dalam
konteks Indonesia, perkembangan jumlah koran lokal yang luar biasa pascaReformasi,32 tidak hanya disebabkan oleh penghapusan SIUPP sebagai syarat
penerbitan media, melainkan juga buah dari dinamika lokal seiring kebijakan
desentralisasi.33 Perubahan lanskap politik Indonesia yang menjadikan kabupaten
dan kota sebagai basis otonomi pada gilirannya membutuhkan ruang publik
bersama yang berfungsi menghasilkan imajinasi komunitas dan identitas yang
dicita-citakan.34 Dalam sejarah modern, penerbitan seperti koran dianggap mampu
memenuhi tugas tersebut.35 Walhasil, meskipun merupakan institusi bisnis, koran
lokal sejatinya tidak melupakan tugasnya sebagai institusi sosial. Dua peran
tersebut seyogianya berjalan beriringan. Pertanyaannya, apakah koran-koran lokal
di Jambi telah melaksanakan kedua tugas tersebut?
2. Koran sebagai Institusi Bisnis: Bagaimana Industri Koran Berkembang?
Industri media cetak seperti koran pada umumnya bertumpu pada dua hal yang
merupakan produk-produk utama mereka yang dijual ke pasar. Pertama, jumlah
cetakan (volume) atau oplah yang sering disebut juga jangkauan edar atau
sirkulasi. Kedua, pariwara atau iklan.36
Menurut Patrick Hendrics, sirkulasi menjadi aspek paling penting karena
sifat koran yang massal (mass). Untuk melayani massa yang luas, koran yang
terutama berisi pemberitaan harus diproduksi dalam jumlah besar. Walhasil media
cetak masuk ke dalam apa yang disebut sebagai sistem produksi massal (mass
31
Siregar, “Perkembangan Media”, hlm. 2. Lim, @Crossroads; Lim, The League of Thirteen; Sutrisno, “Fenomena Kebangkitan”. 33
Siregar, “Perkembangan Media”, hlm. 3. 34
Nordholt dan van Klinken, Renegotiating Boundaries. 35
Lihat Benedict R. O’G. Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and
Spread of Nationalism, (London: Verso, 1983). 36
W.B. Reddaway, “The Economics of Newspapers”, The Economic Journal, 73 (290),
(1963), hlm. 201-202. 32
11
production system) dengan model industri yang berbasis jumlah cetak (volume
atau copy). Jumlah cetak yang semakin besar, yang berarti pembacanya semakin
banyak, menunjukkan bahwa media tersebut kian memiliki kemampuan melayani
keinginan massa yang sesungguhnya sangat beragam; sebuah media pada
dasarnya merupakan produk untuk memenuhi aneka fungsi dari beragam
pembaca.37 Pendapatan berupa uang dihasilkan dari penjualan jumlah cetakan
tersebut.
Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam penjualan cetakan.
Pertama, area penjualan atau jangkauan edar. Sebagaimana dalam definisi yang
sudah dikemukakan sebelumnya, koran yang menyebut diri sebagai koran
nasional semestinya di samping pemberitaannya mencakup nasional, area
distribusinya juga tidak terkonsentrasi di satu daerah tertentu. Demikian pula
koran yang mendaku sebagai koran lokal, tentu tidak mudah untuk dipasarkan di
luar wilayah yang menjadi fokus pemberitaannya. Kedua, periode terbit, yang
berpengaruh terhadap waktu distribusi atau sirkulasi. Karena terbit setiap hari
pada pagi hari, koran-koran punya waktu sangat terbatas dalam pemasarannya.
Lewat tengah hari biasanya koran sudah dianggap terlambat dan beritanya
menjadi basi.38 Untuk mengatasi problem sirkulasi yang waktunya sempit, korankoran dengan wilayah edar dan penjualan yang luas seperti koran nasional di masa
sekarang memberlakukan teknologi cetak jarak jauh.
Selain menjual jumlah cetakan, koran juga memasarkan ruang-ruang
(spaces) untuk pariwara atau iklan. Di dalam lembaran koran, di samping berita
yang biasanya lebih dominan, terdapat ruang iklan di mana publik bisa
mengisinya untuk memasarkan produk atau jasa mereka agar diketahui oleh
masyarakat luas, setidaknya setara dengan jumlah pembeli cetakan koran. Sama
dengan cetakannya, iklan-iklan ini juga dijual secara terbuka kepada masyarakat.
Dengan cara itu, siapa pun yang ingin menggunakan ruang koran untuk
kepentingannya, mereka bisa membayar sesuai ketentuan periklanan yang
Patrick Hendriks, Newspapers: A Lost Cause? Strategic Management of Newspaper
Firms in the United States and the Netherlands, (Dordrecht: Springer Science+Business Media,
1999), hlm. 15. 38
Reddaway, “The Economics of Newspapers”, hlm. 202. 37
12
diterapkan. Bagi koran atau media, pemasang iklan adalah mitra kerja yang
menopang ekonomi mereka.39 Kalau oplah penting karena koran terutama
berurusan dengan pemberitaan, sehingga idealnya penyiaran atas berita sedapat
mungkin meluas, iklan dipercaya menjadi penyumbang utama pendapatan media.
Dalam beberapa kasus bahkan penjualan koran atau media cetak tidak mampu
menutupi biaya pencetakan, sehingga harus disubsidi oleh iklan-iklan yang
dipasang di lembarannya.40
Pariwara di dalam sebuah koran mengandaikan koran tersebut memiliki
khalayak atau kelompok pembacanya, yang kemudian menjadi titik tolak dalam
penyajian informasi berupa berita. Ada berita-berita tertentu dari sebuah koran
yang dipilih oleh khalayak tertentu, sementara berita dari koran yang lain disukai
oleh khalayak yang berbeda. Khalayak pembaca yang berkelompok atau
tersegmentasi itulah yang dipertimbangkan oleh pemilik produk atau jasa ketika
memilih koran atau media untuk memasang iklan. Iklan produk tertentu bisa jadi
hanya cocok untuk sebuah koran, sementara produk berbeda juga menjadi lebih
dikenal jika diiklankan di koran yang lain.41
Karena pengiklan biasanya mempertimbangkan pembaca atau khalayak
koran, maka di dalam teorinya pendapatan iklan berbanding lurus dengan jumlah
pembaca atau sirkulasi media. Jumlah pembaca yang besar akan menjustifikasi
naiknya harga iklan serta jumlah iklan yang dipasang. Ketika sirkulasi rendah dan
jumlah pembaca jatuh, industri koran akan terimbas melalui dua jalan. Pertama,
pendapatan dari jalur sirkulasi berkurang, walaupun sebetulnya biaya produksi
cetak juga turun disebabkan jumlah cetakannya yang lebih sedikit. Kedua, pasar
iklan koran tersebut melemah: jumlah pemasang iklan mengecil serta harga iklan
akan tertekan lebih rendah.42
Hendriks, Newspapers, hlm. 16; Ashadi Siregar, “Periklanan sebagai Mitra Kerja
Media”, makalah disampaikan dalam Seminar Periklanan sebagai Mitra Kerja Media di Surakarta,
22 Februari 1987. 40
Lawrence Solely dan R. Krishnan, “Does Advertising Subsidize Consumer Magazine
Prices?”, Journal of Advertising, 16, 2 (1987), hlm. 4-9. 41
Siregar, “Periklanan sebagai Mitra”, hlm. 3. 42
Hendriks, Newspapers, hlm. 16. 39
13
Meskipun dalam teorinya demikian, kenyataannya terkadang terjadi
penyimpangan. Misalnya, oplah cetak tinggi namun jumlah iklan yang dipasang
sedikit, barangkali karena pembaca koran ini dianggap tidak potensial atau tidak
menjadi target bagi banyak calon pemasang iklan. Sebaliknya bisa jadi ditemukan
oplah cetak rendah tetapi halaman-halaman koran selalu penuh pariwara.
Pemasang iklan menyukai misalnya karena pembaca koran ini berasal dari
kelompok masyarakat berekonomi tinggi yang doyan belanja, sehingga berbagai
produk yang diiklankan diperkirakan bakal dibeli.
Yang jelas, untuk mendapatkan pemasukan yang tinggi, baik iklan maupun
sirkulasi idealnya sama-sama berjumlah banyak. Demi mengejar pendapatan besar
melalui keduanya, koran-koran tak jarang membuat pemberitaan yang
menyenangkan pembacanya atau memilih memuat berita yang populer supaya
dicari dan dibeli konsumen. Terkadang pula berita-berita di dalam koran yang
semestinya objektif dikomodifikasi menjadi iklan. Muncullah kemudian beritaberita berbayar atau advertorial serta jenis-jenis iklan yang lain. Kerja sama
dengan kekuatan-kekuatan politik dan penguasa kapital terkait iklan juga rentan
dilakukan koran atau media untuk memaksimalkan pendapatan.
3. Koran dan Tanggung Jawab Sosial
Selain sebagai institusi bisnis yang sebagian besar dimiliki oleh pribadi maupun
badan usaha swasta, koran atau media massa sejatinya juga merupakan sebuah
institusi sosial. Logika yang mendasarinya adalah bahwa informasi yang
berkembang di dalam masyarakat merupakan milik masyarakat tersebut. Media
seperti koran kemudian memfasilitasi untuk mempermudah penyampaian
informasi-informasi yang berkembang di dalam masyarakat.43 Dengan demikian,
masyarakat di sini bukan sekadar konsumen yang melahap berita atau menjadi
target pemasangan iklan semata, melainkan juga pemilik sah informasi. Begitu
juga media semestinya tidak hanya menjalankan peran untuk mencari keuntungan
David Croteau dan William Hoynes, Media/Society: Industries, Images, and Audiences,
5th edition, (London: Sage, 2014), hlm. 18-19. 43
14
ekonomi semata, tetapi juga menjadi institusi yang mewadahi dan menjawab
kebutuhan masyarakat.
Peran sosial tersebut semakin penting di dalam masyarakat luas yang
kompleks, yang berbeda dari sebuah negara kota (city state) sebagaimana yang
pernah ada pada masa Yunani kuno dan sering menjadi nostalgia. Saat itu, dengan
jumlah penduduk yang terbatas, masyarakat Yunani kuno secara langsung dapat
berpartisipasi di dalam komunikasi publik dengan setara (homoioi). Persoalanpersoalan sosial-kemasyarakatan didiskusikan bersama dengan bebas tanpa
banyak hambatan.44 Karena komunikasinya bersifat langsung, tentu saja tidak
membutuhkan media, melainkan kemampuan orasi yang mumpuni, yang
kemudian diwadahi oleh sistem pendidikan untuk membentuk orator ulung.
Kondisi sekarang berbeda sekali dan jauh lebih kompleks. Wilayah negara
bisa sangat luas mencakup ribuan pulau. Model demokrasi dan komunikasi
langsung seperti pada masa Yunani kuno menjadi mustahil diterapkan. Kalau di
dalam politik ada istilah demokrasi tak langsung melalui perwakilan
(representative), sebagaimana yang populer diterapkan saat ini, media seperti
koran menjadi sarana atau saluran untuk mendukung sistem tersebut. Menurut
Pippa Norris di dalam A Virtuous Circle: Political Communication in PostIndustrial Societes (2000), setidaknya ada tiga peran yang bisa dimainkan media
di dalam demokrasi, yaitu media sebagai forum kewargaan (civic forum), sebagai
pengawas pemerintah atau lembaga-lembaga publik, dan sebagai agen mobilisasi
untuk mendapatkan suatu jabatan atau posisi politis.45
Sebagai forum kewargaan, media hadir di dalam sebuah ruang publik
(public sphere) yang semestinya jernih dan tidak didominasi oleh kekuatankekuatan politik dan kapital tertentu.46 Tanpa dominasi tersebut, bukan saja
masyarakat bisa mengangkat berbagai persoalan publik dan mendiskusikannya
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a
Category of Bourgeois Society, terj. Thomas Burger dan Frederick Lawrence, (Cambridge: The
MIT Press, 1991), hlm. 3-4. 45
Dikutip dari I Gusti Ngurah Putra, “Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia”, Jurnal Ilmu
Komunikasi, 3, 2, (2004), hlm. 135. Penjelasan di bawah banyak diambil dari sumber ini. 46
Tentang gagasan ruang publik ini, lihat lebih lanjut Habermas, The Structural
Transformation. 44
15
bersama tanpa dihantui oleh ketakutan, tetapi juga media menjadi mungkin untuk
mewadahi setiap perdebatan. Dengan bantuan media, perdebatan publik yang
tentu saja terbatas jika dilakukan secara langsung, bisa melibatkan masyarakat
dari wilayah yang luas. Tentu di dalam masyarakat yang plural dari segi budaya
dan politik, media juga mesti mewadahi semua keragaman yang ada. Seharusnya
pula tak ada yang menjadi minoritas dan mayoritas atau difavoritkan di dan oleh
media, apalagi kalau kemudian itu dilakukan media karena tekanan dari pihak
tertentu atau godaan suatu kekuatan kapital.47
Dalam perannya sebagai pengawas pemerintahan dan lembaga-lembaga
publik, media ibarat anjing penjaga (watchdog) yang siap menyalak jika terjadi
praktik penyimpangan oleh para pemegang kekuasaan. Dalam istilah yang
populer, media merupakan kekuatan demokrasi keempat setelah lembaga
legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam trias politica-nya Montesquieu. Media
mendapatkan mandat untuk mengawasi ketiga lembaga tersebut agar menjalankan
tugas dan fungsinya masing-masing. Harapan itu digantungkan kepada media
karena baik lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif bisa tidak saling
mengawasi atau menjalankan fungsi check and balance, melainkan bisa juga
bekerja sama dalam sebuah permufakatan jahat yang merugikan negara dan
publik.48
Sementara sebagai agen mobilisasi, media menjadi sarana untuk
meningkatkan keterlibatan warga dalam proses-proses politik seperti pemilihan
umum. Dalam prinsip demokrasi ala Schumpeterian, partisipasi publik dalam
kontestasi jabatan politik penting karena saat itulah publik menjalankan fungsi
pengawasan yang sebenarnya. Kalau menilai pemimpin atau pejabat lama tidak
sesuai dengan harapan, publik menghukumnya dengan tidak memilih lagi dalam
pemilihan umum. Begitu juga bila punya harapan atau keinginan, publik
menitipkan gagasannya lewat kandidat yang sesuai dengan kriterianya. Selain
47
48
Putra, “Demokrasi dan Kinerja”, hlm. 135-137. Putra, “Demokrasi dan Kinerja”, hlm. 137-139. 16
menjamin proses politik berjalan baik dengan mendorong keterlibatan warga,
media juga menjadi pendamping bagi pendidikan politik.49
4. Sistem Media: Bergerak di Antara Institusi Bisnis dan Sosial
Ada beberapa cara yang digunakan para peneliti untuk melihat kenyataan dan
sistem pers di sebuah negara. Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur
Schramm di dalam buku mereka yang telah menjadi klasik, Four Theories of the
Press: The Authoritarian, Libertarian, Social Responsibility, and Soviet
Communist Concepts of What the Press Should Be and Do (1963), menganjurkan
untuk mengkaji pandangan-dunia (worldview, welltanschauung) yang dianut
warga negara itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan-dunia tersebut akan
memengaruhi dan pada gilirannya tecermin di dalam media. Mereka mengatakan,
Untuk melihat sistem sosial dalam hakikat hubungannya dengan pers, seseorang harus
mengulik nilai-nilai dasar dan asumsi menyangkut masyarakat dan negara, relasi-relasi
negara, serta pengetahuan dan kepercayaan dasariah.50
Pendapat Siebert, Peterson, dan Schramm tersebut telah banyak dikritik
terutama karena terlalu normatif dan ahistoris,51 bias Barat terutama ketika
menggambarkan pers Uni Soviet,52 serta kunonya teori tersebut sehingga tidak
relevan lagi digunakan setelah Uni Soviet runtuh pada 1980-an.53 Yang sangat
mendasar dari banyak kritik itu sesungguhnya mempersoalkan teori mereka yang
sangat deduktif: bila sistem yang dianut negara adalah A, maka sistem pers yang
ada di negara itu juga A. Model penalaran silogis yang ada dalam pendapat
Siebert dkk, oleh para pengkritiknya, dianggap mengabaikan kenyataan atau fakta
pers yang kerap berbeda dengan sistem besar negara.
49
Putra, “Demokrasi dan Kinerja”, hlm. 139. Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm, Four Theories of the Press:
The Authoritarian, Libertarian, Social Responsibility, and Soviet Communist Concepts of What the
Press Should Be and Do, (Urbana: University of Illinois Press, 1963), hlm. 1. 51
Misalnya Jay G. Blumler, Jack M. McLeod, Karl Erik Rosengren (eds.), Comparatively
Speaking: Communication and Culture Across Space and Time, (California: Sage Publications,
1992); Daniel C. Hallin dan Paolo Mancini, Comparing Media System: Three Models of Media
and Politics, (Cambridge dan New York: Cambridge University Press, 2004), hlm. 7-15. 52
Antara lain Christopher Simpson, Science of Coercion: Communication Research and
Psycological Warfare 1945-1960, (Oxford: Oxford University Press, 1994); Everett M. Rogers, A
History of Communication Study: A Biographical Approach, (New York: Free Press, 1994). 53
Robert G. Picard, The Press and the Decline of Democracy: The Democratic Socialist
Response in Public Policy, (Connecticut: Greenwood Press, 1985). 50
17
Achmad Zaini Abar, salah seorang pengkritik empat teori pers ala Siebert,
Peterson, dan Schramm, menyatakan bahwa kenyataan yang berbeda tersebut
sering terjadi terutama di negara dunia ketiga. Di dalam bukunya, Kisah Pers
Indonesia: 1966-1974, Abar menunjukkan bahwa di Indonesia, yang merupakan
negara dunia ketiga, pers jauh dari apa yang dicita-citakan oleh demokrasi
Pancasila, sistem yang digadang-gadang oleh Orde Baru. Di bawah Orde Baru,
pers Indonesia adalah pers yang terkungkung dalam hegemoni dan ketakutan
sebab sewaktu-waktu pembredelan bisa terjadi bila pemberitaannya tak
memeroleh restu rezim.54
Setidaknya ada dua kelemahan dalam kritik Abar terhadap Siebert dkk.
Pertama, persoalan sebenarnya bukanlah apa yang dibilang oleh Abar sebagai
inkonsistensi sistem dan kenyataan, melainkan bahwa demokrasi Pancasila benarbenar dijadikan sebagai sistem oleh Orde Baru juga masih bisa diperdebatkan.
Belakangan lebih banyak yang menyebut sistem pemerintahan Orde Baru adalah
otoritarianisme. Walhasil, bila pendapat terakhir ini dipegangi, sistem pers di
bawah Orde Baru sesungguhnya sesuai dengan sistem yang dianut negara.55 Di
sini inkonsistensi yang merupakan titik kritik Abar untuk Siebert dkk dengan
sendirinya tidak tepat dan malah menguatkan pendapat mereka.
Kedua, pendapat Abar bahwa inkonsistensi sistem negara-sistem pers terjadi
di negara dunia ketiga jelas sangat bias Barat. Di dalam ilmu sosial cara pandang
ini disebut orientalisme: melihat timur atau dunia ketiga sebagai jelek dan barat
sebagai maju dan berperadaban. Cara pandang yang digunakan Abar ini
mengabaikan banyak fakta inkonsistensi yang juga terjadi di negara maju. Di
Italia di masa kepemimpinan Perdana Menteri Silvio Berlusconi, misalnya, pers
dimiliki dan digunakan oleh penguasa untuk kepentingan politiknya. Fakta bahwa
sistem pers yang dianut negara-negara maju tidak sama, meskipun mereka
mengklaim diri sebagai penganut demokrasi, dengan sendirinya menunjukkan
bahwa di sana juga terjadi ketidaksamaan sistem negara dan pers. Paling tidak itu
Lihat lebih lanjut Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia, 1966-1974, (Yogyakarta:
LKiS, 1995). 55
Di dalam teori Siebert, Peterson, dan Schramm disebut pers otoritarian. 54
18
memperlihatkan bahwa sistem pers di negara maju tidaklah monolitik dan tidak
mengikut saja, untuk mengatakan sesuai dengan, sistem yang dianut negara.
Meskipun
kritiknya
mengandung
kelemahan,
usulan
Abar
terkait
pendekatan untuk melihat sistem pers di suatu negara menarik disimak lebih
lanjut. Abar menyebut pendekatan usulannya sebagai pendekatan struktural.
Pendekatan yang dipinjam dari analisis-analisis ilmu sosial, yang mulai marak
pada 1970-an, itu berupaya melihat lebih jauh dinamika hubungan pers dengan
berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik. Meskipun menjelaskan panjanglebar soal pendekatan struktural yang diusulkannya, Abar abai menunjukkan
variabel yang meyakinkan yang dia gunakan dalam melihat sistem pers
Indonesia.56 Bukunya kemudian nyaris bercerita lepas terkait sejarah pers di paruh
awal Orde Baru.
Pada titik itu, apa yang ditulis Daniel C. Hallin dan Paolo Mancini
melengkapi pendekatan yang dimaksud Abar. Sama dengan Abar, Hallin dan
Mancini juga mengkritik empat teori pers yang mereka sebut sebagai normatif.
Sebagai gantinya, mereka mengusulkan pendekatan yang lebih historis, dengan
tujuan-tujuan yang dijelaskan sebagai berikut:
Kami di sini bukan ingin untuk mengukur sistem-sistem media melawan yang ideal dan
normatif, tapi hendak menganalisis perkembangan historisnya sebagai institusi dalam
konteks sosial tertentu. Kami ingin memahami mengapa sistem-sistem itu berkembang
dalam cara yang unik; apa peran yang mereka mainkan dalam kehidupan politik, sosial, dan
ekonomi; dan pola-pola relasi mereka dengan institusi sosial lainnya. Model jurnalisme
kami merupakan model yang empiris, bukan normatif.57
Berbeda dengan Abar, Hallin dan Mancini menjelaskan variabel yang
digunakan untuk melihat sistem pers tersebut, yang seluruhnya ada empat
variabel. Pertama, industri pers, yang ditekankan pada kuat atau lemahnya
sirkulasi media. Kedua, paralelisme politik, yaitu hubungan media dengan
kekuatan-kekuatan politik yang ada di masyarakat; sistem media merefleksikan
kekuatan
politik.
Ketiga,
profesionalisme
jurnalis.
Keempat,
pemerintah terhadap pers.58
Lihat bab dua bukunya, Kisah Pers Indonesia. Hallin dan Mancini, Comparing Media System, hlm. 14. 58
Lihat Hallin dan Mancini, Comparing Media System, hlm. 21 dan seterusnya. 56
57
19
intervensi
Dibandingkan dengan teori-teori sebelumnya bahwa media mempunyai dua
orientasi, yaitu orientasi ke dalam atau bisnis dan orientasi ke luar atau sosial,
empat variabel dari Hallin dan Mancini dapat diklasifikasikan dan dimasukkan ke
dalam dua orientasi tersebut. Industri pers dan paralelisme politik, misalnya,
masuk ke orientasi pertama atau bisnis. Memang paralelisme politik sekilas tak
berhubungan dengan bisnis, tetapi di dalam industri media dengan sirkulasi
rendah, hubungan media dengan kekuatan politik dan modal cenderung tinggi.
Pengikat hubungan itu tak lain adalah aliansi untuk mendapatkan keuntungan
uang bagi media dan manfaat politik bagi partai atau pemerintah.59 Sementara itu,
variabel profesionalisme jurnalis dan intervensi pemerintah terhadap pers
digolongkan ke dalam orientasi ke luar atau sosial. Kalau media yang profesional
dalam pandangan Norris mestilah memerankan diri sebagai forum kewargaan,
pengawas pemerintah, dan agen mobilisasi, ketiga peran itu dapat dirusak atau
dilemahkan oleh intervensi yang dilakukan pemerintah. Dengan perbandingan
berbagai teori yang sudah dikemukakan di atas, dapat ditarik konsep, definisi, dan
variabel yang akan digunakan penelitian ini, sebagaimana tampak dalam Tabel
1.3. Sementara penerapannya dalam penelitian ini tampak dalam Gambar 1.1.
Tabel 1.3. Konsep, definisi, dan variabel yang digunakan dalam penelitian
Konsep
Koran lokal
Industri koran
Tanggung jawab sosial koran
Sistem media
Definisi
Surat kabar tercetak yang
terbit setiap hari dengan
sirkulasi dan orientasi
pemberitaan lokal
Aspek bisnis koran untuk
menghasilkan pendapatan
guna membiayai operasional
perusahaan dan memeroleh
keuntungan
Koran sebagai institusi sosial
dengan orientasi untuk
kepentingan masyarakat
Sistem yang mendasari
kenyataan media di sebuah
negara
59
Hallin dan Mancini, Comparing Media System, hlm. 67. 20
Variabel
- Surat kabar cetak
- Terbit harian
- Orientasi berita lokal
-Mayoritas sirkulasi lokal
- Oplah atau sirkulasi
- Iklan
- Sumber pemasukan lain
- Forum kewargaan
- “Anjing penjaga”
- Alat mobilisasi sosial
- Sirkulasi
- Paralelisme politik
- Profesionalisme jurnalis
- Intervensi pemerintah
Gambar 1.1. Sistem pers dalam perbandingan dengan teori-teori yang lain serta
penerapannya dalam penelitian industri koran lokal
Meskipun yang ditekankan Hallin dan Mancini dengan menggunakan empat
variabel yan mereka usulkan adalah perbandingan sistem pers di beberapa negara,
pendekatan yang digunakan jelas sekali memadai dipakai untuk melihat sistem
pers di sebuah wilayah. Bahkan dengan menggunakannya untuk membandingkan
sistem pers di banyak negara, pendekatan Hallin dan Mancini berarti telah dipakai
dan memadai untuk melihat pers di wilayah-wilayah yang berbeda. Alasan inilah
yang membuat penelitian ini memilih pendekatan Hallin dan Mancini. Memang
ada kritik bahwa pendekatan mereka terlalu mempertimbangkan faktor politik,
sebagaimana anak judul buku mereka, three models media and politics, namun,
sebagaimana kasus Jambi yang diteliti, kaitan keduanya sangatlah erat.
21
Tinggal persoalannya, kalau Halllin dan Mancini melihat pers dalam
konteks politik negara, apakah bisa pendekatannya dipakai untuk melihat pers di
sebuah provinsi di suatu negara? Apakah tidak cukup melihat sistem pers di
tingkat negara lalu kemudian menderivasinya ke dalam sistem pers di daerah?
Pasca-Reformasi, Indonesia menerapkan kebijakan otonomi daerah secara
berlebihan di Indonesia. Banyak hal yang sebelumnya diatur oleh dan menjadi
kewenangan pemerintah pusat, kemudian didelegasikan dan menjadi hak daerah.
Kebijakan desentralisasi ini, dalam pandangan banyak pengamat, mengubah
secara total landscape politik Indonesia.60 Aktor-aktor politik lokal bermunculan
d(eng)an memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki daerah, termasuk
sumber daya media. Meskipun urusan tentang regulasi media masih berada di
pusat, kenyataan media di pusat atau daerah bisa berbeda sama sekali. Ini alasan
pentingnya melihat pers atau media di daerah di Indonesia terutama pascaReformasi, sebagaimana dilakukan penelitian ini.
F. Metodologi Penelitian
1. Paradigma dan Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan paradigma kritis. Peter
Golding dan Graham Murdock membedakan perspektif ekonomi politik ke dalam
dua paradigma, yaitu paradigma liberal dan kritis. Kalau paradigma liberal
melihat kebebasan individu di hadapan pilihan komoditas yang ditawarkan pasar,
sehingga semakin banyak pilihan komoditas akan semakin besar kebebasan untuk
menentukan pilihan; paradigma kritis memandang ketidakberdayaan publik
disebabkan upaya sistematis dan terstruktur dari kapitalis untuk menguasai
mereka. Dengan cara pandang demikian, penelitian yang menggunakan perspektif
ekonomi politik dengan paradigma kritis dicirikan oleh tiga hal: holistik, fokus
pada dominasi kapitalis, dan berkaitan dengan persoalan moralitas berkaitan
dengan publik.61
Lihat misalnya Nordholt dan Van Klinken (eds.), Renegotiating Boundaries. Obet, “Relasi Kapitalisme dengan Organisasi Media”, www.koranpembebasan.
wordpress.com-/2013/11/13/relasi-kapitalisme-dengan-organisasi-media/, diunduh pada 12
Desember 2014. 60
61
22
Untuk sampai pada ketiga ciri tersebut, penelitian ini menggunakan metode
historis atau sejarah. Metode ini memandang realitas tidak saja dalam satu tahapan
waktu atau sinkroni tertentu, melainkan dalam suatu proses diakronis yang
panjang. Sebagaimana metode dalam ilmu sosial lainnya, sejarah berupaya
menghadirkan
cerita
(description) dan penjelasan (explanation).
Dalam
penceritaan dan memberikan penjelasan, metode historis menuturkan suatu objek
atau
ide
(ideographic)
dan
mengangkatnya
sebagai
gejala
tunggal
62
(singularizing).
Masa setelah runtuhnya Orde Baru dan lahirnya Reformasi pada 1998
dijadikan sebagai babakan awal melihat perkembangan media lokal di Jambi.
Reformasi dianggap penting karena mengubah struktur politik Indonesia secara
signifikan dari sentralisme ke otonomi daerah, yang kemudian memicu
pertumbuhan
media-media
lokal,
termasuk
di
Jambi.
Rentang
waktu
perkembangan koran lokal di Jambi yang panjang dibatasi hingga 2015.
2. Objek
Objek penelitian ini adalah media-media lokal di Jambi. Tidak semua media di
Jambi menjadi objek penelitian ini, melainkan hanya media berbentuk koran. Pada
masa Orde Baru, hanya ada satu koran di Jambi, yakni Jambi Independent, dan
setelah Reformasi terdapat 23 koran.63 Semua koran itu menjadi objek penelitian
ini. Pertanyaannya, mengapa koran? Dengan sifatnya yang tercetak, arsip koran
relatif lebih bisa diakses dibanding jenis media lainnya seperti radio dan televisi,
di samping koran dianggap sebagai wujud pelaksanaan praktik jurnalisme yang
sebenarnya.
Lalu mengapa semua koran yang ada di Jambi? Sebagaimana nanti akan
dipaparkan lebih lanjut, meskipun beberapa bisa diakses, banyak data media sulit
sekali didapatkan. Selain arsip koran lama yang tak lengkap, beberapa perusahaan
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 2-9. Ke-23 koran tersebut adalah Jambi Independent, Radar Sarko, Radar Bute, Harian
Tanjab, Radar Kerinci, Jambi Ekspres, Posmetro Jambi, Bungo Pos, Radar Tanjab, Radar
Kerinci, Jambi Ekspres, Posmetro Jambi, Bungo Pos, Radar Tanjab, Sarolangun Ekspres, Jambi
Star, Kerinci Pos, Tanjab Ekspres, Batanghari Ekspres, Timur Ekspres, Bute Ekspres, Merangin
Ekspres, Aksi Post, Tribun Jambi, Jambi Today, Jambi One, dan Jambi Raya. 62
63
23
koran juga tidak membuka diri selebar-lebarnya kepada peneliti. Selalu ada datadata tertentu yang disembunyikan. Mereka beralasan perusahaan mereka adalah
perusahaan privat, sehingga sah saja mereka tidak terbuka. Saya menyadari
sepenuhnya hal tersebut menjadi kelemahan penelitian ini. Karena itu, saya
memutuskan menjadikan seluruh koran lokal di Jambi sebagai objek, dengan
harapan bila ada data dari koran tertentu yang tidak lengkap, akan tertutupi oleh
data dari koran lain. Jelas di sini saya mengandaikan adanya pola umum dalam
sistem pers di Jambi, hal yang sebetulnya ingin dipahami oleh atau menjadi tujuan
dari penelitian ini.
3. Data
Data-data penelitian ini terutama terdiri atas dua jenis. Pertama, data-data koran
lokal sebagai institusi ekonomi atau “organisasi industri dan komersial yang
memproduksi dan mendistribusikan komoditas”.64 Untuk itu, penelitian ini
mengumpulkan data tentang jumlah cetakan atau oplah, jalur distribusi atau
sirkulasi, jumlah iklan atau pendapatan, serta mekanisme pencarian iklan.65
Kedua, data-data koran lokal sebagai aparatus ideologis yang merupakan “dimensi
ideologis produksi media massa”, yang tidak hanya menuntut pengumpulan datadata ekonomi sebagaimana yang pertama, tetapi juga data menyangkut struktur
politik yang bekerja di seputar media. Data terakhir ini “penting untuk
mendemonstrasikan bagaimana ideologi diproduksi dalam praktik yang nyata.”66
Data jenis ini berkenaan dengan struktur dan praktik politik lokal (partai dan aktor
yang menguasai politik lokal), peran yang dimainkan koran lokal dalam politik
daerah, hubungan antara keduanya, serta bagaimana politik memengaruhi koran
lokal.
64
Graham Murdock dan Peter Golding, “For a
Political Economy of Mass
Communications”, R. Miliband dan J. Saville (eds.), The Socialist Register 1973, (London: Merlin
Press, 1974), hlm. 205-206. 65
Pengumpulan data-data ekonomi media ini misalnya disarankan oleh Douglas Gomery,
“Media Economics: Terms of Analysis”, Critical Studies in Mass Communication, 6 (1989), hlm.
43-60. 66
Murdock dan Golding, “For a Political Economy”, hlm. 206. 24
Data-data tersebut dikumpulkan dalam kesempatan yang luas. Saya telah
memulainya sejak saya bekerja sebagai redaktur bahasa di Jambi Independent
pada 2008-2010. Saya melibatkan diri dalam pergaulan dengan para wartawan
serta melihat dari dekat mereka meliput dan menulis berita, tidak saja wartawan
dari institusi tempat saya bernaung tetapi juga dari media lain. Relasi yang tetap
saya jaga bahkan setelah 2010 ketika saya tak lagi bekerja di media tersebut
memudahkan saya menggali tidak saja data jenis pertama, tetapi juga dana jenis
kedua.
Lebih khusus saya mengumpulkan data untuk keperluan penulisan tesis
dalam beberapa kesempatan saya berkunjung atau pulang ke Jambi. Yang pertama
pada Januari-Februari 2014. Saat itu saya sudah mulai berancang-ancang memilih
koran lokal di Jambi sebagai topik tesis saya. Fokus pengumpulan data lebih
lanjut berlangsung pada Maret hingga Desember 2015 dan Februari hingga Juni
2016. Dalam kesempatan yang luas itu, saya mengunjungi semua kantor koran
serta kantor humas pemerintah daerah yang ada di sembilan kabupaten dan dua
kota di Provinsi Jambi. Saya mendatangi perusahaan percetakan koran serta
melihat bagaimana koran-koran dicetak, yang berguna sekali untuk memastikan
berapa oplah koran yang sebenarnya. Demi mendapatkan pemahaman tentang
bagaimana sirkulasi dan distribusi koran lokal ke daerah-daerah di Jambi, saya
ikut mobil ekspedisi pengantar koran yang berangkat tengah malam dan harus
sampai di tujuan sebelum matahari terbit. Saya juga ikut dalam mobil ekspedisi
estafet atau lanjut untuk daerah yang jauh seperti Kabupaten Kerinci dan Kota
Sungaipenuh pada pagi harinya. Di dua daerah itu, target kedatangan koran adalah
tengah hari.
Di sela pengumpulan data lapangan itu, pada Mei-Juni 2015 saya
memeroleh fellowship di Asia Research Institute (ARI), National University of
Singapore (NUS). Kesempatan berharga itu saya gunakan untuk mengumpulkan
banyak data kepustakaan, yang bermanfaat sekali bagi pemahaman saya akan
sejarah perkembangan media di Indonesia dan perubahan politik dari rezim
otoritarian Orde Baru ke Reformasi. Di ARI, saya juga mendiskusikan topik ini
25
dengan beberapa peneliti, menulis studi pendahuluan, serta mempresentasikan
temuan awal dalam sebuah konferensi.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa teknik,
utamanya wawancara, dokumentasi, pembacaan terhadap arsip, dan pengamatan
langsung di lapangan. Wawancara dilakukan terhadap insan media, mencakup
pemimpin media, wartawan, serta personel koran yang lain seperti sales iklan,
menyangkut pengalaman mereka bekerja di koran lokal, cara mereka mengelola
media, serta sistem kerja yang berlaku. Banyak insan media yang masih aktif
menjawab diplomatis bahkan tertutup ketika wawancara mulai memasuki wilayah
“dapur” perusahaan mereka. Sementara itu, mereka yang sudah tidak lagi bekerja
di media, yang cukup banyak saya wawancarai, biasanya berlaku sebaliknya.
Mereka menjadi sangat terbuka dan banyak membuka “rahasia” koran bekas
tempat mereka bekerja.
Wawancara juga dilakukan terhadap insan yang sering berhubungan dengan
koran, seperti pejabat atau pegawai pemerintah daerah, pemimpin organisasi
wartawan, dll. Wawancara dengan pemerintah daerah berguna untuk mengetahui
cara mereka berhubungan dengan koran lokal, relasi yang dibangun, jumlah
langganan mereka, serta anggaran pemerintah daerah untuk koran lokal. Dua hal
terakhir ini biasanya berlanjut dengan permintaan beberapa dokumen pendukung
seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), APBD Perubahan
(APBDP), atau laporan penggunaan anggaran untuk tahun yang sudah lewat.
Meskipun segala prosedur penelitian di daerah sudah saya penuhi, data-data
anggaran tidak selalu mudah saya dapatkan. Saya sering kali harus bolak-balik ke
Bagian Humas (yang mengelola anggaran untuk media), Badan Pendapatan
Keuangan dan Pengelolaan Aset Daerah (BPKAD) atau yang sejenisnya, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), atau ke Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Ketika prosedur resmi sering tak membuahkan hasil, pertemanan
dengan beberapa staf instansi-instansi tersebut serta “jalur tak resmi” sering
menjadi solusi dan memudahkan pencarian dokumen anggaran tersebut.
Total tak kurang 50 wawancara saya lakukan terhadap mereka. Terkadang,
ketika satu sumber telah saya wawancarai, saya harus mengulang pada waktu
26
yang lain untuk melakukan pendalaman serta menggali topik lebih lanjut. Saya
bahkan memiliki kontak elektronik pribadi nyaris semua sumber yang saya
wawancarai, yang kerap saya gunakan untuk mengonfirmasi beberapa temuan
penting terutama pada saat proses penulisan hasil penelitian.
Sementara itu, beberapa arsip dikumpulkan dari kantor koran, disortir
berdasarkan isu-isu yang relevan dengan penelitian, dan didokumentasikan untuk
keperluan penulisan. Teknik pengumpulan data ini berguna sekali untuk
mengonfirmasi beberapa temuan lapangan, wawancara, dan dokumentasi. Saya
misalnya membaca semua koran beberapa bulan bahkan setahun sebelum
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Jambi 2010 dan 2015 untuk
memastikan berapa jumlah iklan yang dipasang oleh pemerintah daerah yang
kepala daerahnya menjadi kandidat. Di dalam wawancara misalnya dikatakan
mereka tak banyak memasang iklan, begitu juga angka di dalam anggaran, tetapi
kenyataannya iklan yang dipasang di koran sangat besar. Kroscek data melalui
pembacaan arsip penting untuk memastikan keabsahan data.
Harus diakui bahwa banyak koran di Jambi buruk sekali dalam mengelola
arsip koran lama mereka. Koran-koran lama kebanyakan diikat dan ditumpuk
begitu saja di gudang. Beberapa koran yang besar, seperti Jambi Independent,
Jambi Ekspres, dan Tribun Jambi, jelas lebih unggul soal pengarsipan tersebut.
Koran-koran tersebut juga memiliki arsip daring yang bisa diakses publik,
meskipun terbatas untuk beberapa tahun terakhir. Kecuali dari mereka,
Perpustakaan Wilayah Provinsi Jambi punya arsip yang rapi untuk beberapa koran
lokal, yang lebih bisa saya andalkan. Saya juga mengunjungi dan mencoba
mencari arsip koran lokal Jambi di Museum Monumen Pers Nasional di Solo,
Jawa Tengah, namun data-data di sana tak banyak membantu penelitian saya.
Sebagaimana telah disinggung, wawancara, pembacaan arsip, dan
pengamatan lapangan dalam penelitian ini bukan sekadar metode untuk
mengumpulkan data, melainkan juga teknik yang digunakan untuk melihat
keabsahan data yang telah dikumpulkan. Terbuka kemungkinan hasil wawancara
berbeda dengan data arsip atau hasil pengamatan. Sebagai contoh, dalam
wawancara dengan awak koran, acap dikatakan bahwa koran mereka dicetak
27
dalam jumlah angka yang tinggi sekali. Kenyataan yang ada di lapangan ternyata
jumlahnya tak setinggi angka yang disebutkan dan berada jauh di bawahnya.
Untuk itu, dalam pengumpulan data juga ditekankan upaya verifikasi dan
falsifikasi data yang telah terkoleksi.
Semua data yang sudah terkumpul kemudian diolah dengan cara memilahmilah dan menyeleksinya berdasarkan sub-subtopik penelitian. Proses ini tidak
sebentar, terutama untuk data keuangan pemerintah daerah di bidang media. Ada
banyak data keuangan yang tidak selalu sama, misalnya yang bersumber dari
anggaran murni, anggaran perubahan, dan laporan penggunaan anggaran. Saya
harus mendiskusikan dengan orang yang mengetahuinya untuk memastikan
sumber mana yang mesti saya gunakan. Dari hasil seleksi tersebut, beberapa data
yang tidak relevan dengan penelitian kemudian dibuang. Data-data hasil seleksi
dan sudah terbukti valid selanjutnya diinterpretasi. Untuk menghindari kesalahan,
sekali lagi saya mengandalkan interpretasi silang antarsumber data. Dalam banyak
kasus, saya juga mengonfirmasikan interpretasi saya atas data kepada sumbersumber yang pernah saya wawancarai melalui sambungan elektronik pribadi.
Proses selanjutnya adalah penyajian data hasil penelitian. Secara umum,
penulisan deskriptif menjadi teknik penyajian yang banyak digunakan. Di
beberapa tempat, untuk memeroleh pemahaman atas asal-usul atau genealogi,
misalnya ketika membahas sejarah industri koran lokal di Jambi, saya
mengombinasikannya dengan penulisan kronologis. Di lain tempat, karena
tuntutan analisis yang digunakan, teknik argumentasi juga cukup mewarnai.
4. Analisis
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah apa yang dikenal di dalam
ilmu sosial sebagai analisis ekonomi politik. Dipilih karena melihat data yang
telah dikumpulkan tidak sekadar sebagai deskripsi kenyataan atau fakta sosial,
analisis ekonomi politik mengulik lebih lanjut berbagai kepentingan di balik datadata tersebut.
Pada awalnya, analisis ini merupakan kritik terhadap analisis ekonomi
konvensional yang menekankan keseimbangan (equilibrium). Adam Smith,
28
pencetus teori ekonomi klasik tersebut, berpendapat bahwa kepemilikan uang atau
modal akan menyebar dengan sendirinya melalui mekanisme yang murni pasar
berdasarkan prinsip pertukaran (exchange). Dengan prinsip ini, menggenggam
semua uang dan melepas seluruh barang hanya akan membuat harga jatuh,
sebaliknya mengambil semua barang dan melepas uang akan membuatnya naik.
Kedua sudut ekstrem itu tidak mungkin terjadi dan uang akan dengan sendirinya
menyebar, yang pada akhirnya membuat keseimbangan antara kepemilikan uang
dan barang. Salah satu kritik terhadap ekonomi klasik ini adalah pengabaiannya
terhadap berbagai faktor di luar ekonomi seperti struktur sosial, akses informasi,
dan lain-lain. Dengan kata lain, ekonomi tidak mempertimbangkan relasi kuasa
yang hendak mengontrol pasar dan produksi sekaligus. Sebagai kritik terhadap
ekonomi konvensional, karena itu, ekonomi politik didefinisikan sebagai “relasi
sosial, khususnya relasi kuasa, yang membentuk produksi, distribusi, dan
konsumsi sumber daya”.67 Komunikasi tentu saja tidak berbeda dari dan termasuk
sumber daya tersebut, sehingga produk komunikasi seperti koran dan
distribusinya serta pilihan konsumen atasnya juga dibentuk dan dipengaruhi oleh
relasi kuasa. Dengan tekanannya pada relasi kuasa, ekonomi politik banyak
disumbang oleh tradisi Marxis.
Menurut teoretikus ekonomi politik, ada empat karakteristik analisis
ekonomi politik, yakni historis, multidisiplin, penekanan pada moral, dan praksis.
Penjelasan singkat atas keempatnya adalah bahwa berbagai kekuatan yang
membentuk sebuah fakta sosial tidak begitu saja bisa dipahami dalam suatu
babakan waktu tertentu, karena itu perlu dilihat dalam rentang perjalanan sejarah
yang panjang. Demikian pula, suatu fakta sosial itu tidak cukup hanya dilihat dari
suatu sudut atau teori saja, melainkan perlu penggunaan banyak teori. Asumsinya
adalah sebuah fakta sosial itu kompleks dan total. Berbeda dari analisis lain yang
“normal”-nya hanya untuk kepentingan ilmu, ekonomi politik fokus pada relasi
Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, 2nd edition, (London,
California, New Delhi, dan Singapore: Sage, 2009), hlm. 24. 67
29
sosial yang timpang yang merugikan publik, yang hasilnya tidak sekadar refleksi,
tetapi praktis dan dapat digunakan atau berguna bagi publik.68
Dengan karakteristiknya yang historis dan multidisiplin, pendekatan di
dalam analisis ekonomi politik menjadi sangat luas. Banyak analis ekonomi
politik kemudian menyarankan tiga pintu masuk, yaitu komodifikasi, spasialisasi,
dan strukturasi. Pada intinya ketiganya melihat relasi kuasa yang: membentuk
perubahan nilai dan fungsi sumber daya (komodifikasi), memengaruhi dinamika
ruang di mana sumber daya berada (spasialisasi), dan mengatur praktik sosial dari
sebuah sumber daya (strukturasi).69
Analisis ekonomi politik di dalam penelitian ini tidak secara rigid
menggunakan tiga pintu masuk tersebut. Mengandalkan data historis yang sangat
luas, analisis pertama-tama dilakukan secara deskriptif dengan fokus mencari
relasi kuasa yang menyebabkan industri koran lokal berkembang di Jambi.
Deskripsi seperti itu penting karena data sejarah butuh penjelasan lebih lanjut
menyangkut konteks dan struktur (kekuasaan) yang menggerakkannya.70
Berangkat dari detail penjelasan-penjelasan historis tersebut, secara induktif
analisis berusaha menemukan pola-pola atau praktik umum yang terjadi dalam
industri koran lokal di Jambi. Di sini kemudian, pada akhirnya banyak temuan
analisis tampaknya menginformasikan praktik-praktik komodifikasi, spasialisasi,
dan strukturasi. Jadi, meskipun tidak berangkat dari tiga pintu masuk dalam
analisis ekonomi politik media sebagaimana banyak disarankan teoretikus
ekonomi politik, penelitian ini tidak juga mengabaikannya. Secara induktif
bahkan analisis yang digunakan menemukan banyak detail praktik ketiganya yang
mungkin unik dan berbeda dari komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi di
tempat lain.
Mosco, The Political Economy, hlm. 26-36. Antara lain Mosco, The Political Economy; Murdock dan Golding, “For a Political
Economy”, hlm. 205-234; Nicholas Garnham, “Contribution to a Political Economy of Mass
Communication”, Fred Inglis (ed.), Capitalism and Communication: Global Culture and the
Economics of Information, (London: Sage, 1990), hlm. 20-55. 70
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, hlm. 2-9. 68
69
30
G. Sistematika
Mempertimbangkan pendekatan dan analisis yang digunakan serta keluasan objek
dan data yang dicakup oleh penelitian ini, hasilnya ditulis ke dalam sembilan bab
yang diorganisasikan dengan sistematika berikut. Setelah Bab I Pendahuluan yang
mengantarkan penelitian ini, Bab II Koran Lokal, Desentralisasi, dan Persebaran
Kapital: Telaah Historis memberikan perspektif yang lebih luas tentang penelitian
ini. Dilihat dari sudut sejarah, maraknya koran lokal pasca-Orde Baru jelas
merupakan kelanjutan dari sejarah panjang pers Indonesia. Bab ini juga
memberikan
pengantar
tentang
desentralisasi,
keadaan-keadaan
yang
mendahuluinya, serta konsekuensinya bagi akumulasi modal di daerah. Sejarah
ringkas tentang bagaimana modal bekerja dan bergerak (mobile) juga akan
dipaparkan. Bab ini coba menyambungkan tiga konsep penting dalam penelitian
ini: koran lokal, konteks pasca-otoritarianisme Orde Baru, dan modal.
Bab III Provinsi Jambi Pasca-Reformasi: Konteks Ekonomi Politik
menyediakan diri bagi konteks yang lebih spesifik di mana penelitian ini
dilakukan. Bab ini fokus pada keadaan-keadaan di Jambi pasca-Reformasi, berupa
kebangkitan lokalitas, munculnya elite-elite lokal baru, akumulasi modal di
daerah, serta konsekuensi yang tak diharapkan berupa penyebaran korupsi di
daerah. Konteks seperti itulah yang menjadi latar belakang bagi muncul dan
berkembangnya koran lokal di Jambi, yang dibahas lebih lanjut di dalam Bab IV
Genealogi Koran Lokal di Jambi. Setelah memaparkan secara diakronis
munculnya koran-koran di Jambi pasca-Reformasi, bab ini melihat bagaimana
koran-koran itu mengembangkan diri melalui aliansi bisnis yang dibangun dan
relasinya dengan politik lokal.
Sudut pandang industri terkait pertumbuhan cepat koran lokal di Jambi
dibahas dalam Bab V Dua Menara Kembar Industri: Sirkulasi dan Iklan.
Sebagaimana judulnya, bab tersebut fokus melihat sirkulasi dan iklan sebagai
nyawa utama industri koran. Lebih jauh, kaitan iklan dengan politik lokal
dipaparkan dalam Bab VI Iklan dan Politik: Kisah Dua Pemilu Lokal. Mengambil
dua kasus Pemilihan Gubernur Jambi 2010 dan 2015, bab ini secara spesifik
melihat iklan-iklan politik jelang perhelatan keduanya. Iklan-iklan yang semakin
31
besar nilainya jelang dua pemilihan kepala daerah langsung tersebut sebetulnya
menggambarkan relasi patrimonial antara koran dan pemerintah daerah. Ketika
kepala daerah akan maju lagi dalam kontestasi, dia menggunakan banyak sekali
anggaran daerah untuk menyosialisasikan dirinya. Pada Pemilihan Gubernur
2010, lima kandidat dari empat pasangan calon adalah para bupati aktif, sementara
pada Pemilihan Gubernur 2015 tiga kandidat dari dua pasangan calon juga
merupakan para petahana atau pejawat (incumbent) dan bupati.
Anggaran daerah yang diperuntukkan bagi koran lokal dibahas dalam Bab
VII Anggaran Daerah untuk Koran Lokal: Korupsi yang Legal?. Fokusnya adalah
unit atau lembaga yang mengelola anggaran untuk koran lokal, jumlah anggaran,
serta bagaimana siasat yang dilakukan ketika anggaran yang ada tak mencukupi
“kebutuhan”. Anggaran yang disediakan tersebut, sekali lagi, memperlihatkan
relasi yang erat antara koran lokal dan pemerintah daerah. Namun, relasi itu tidak
selalu berjalan mulus, sebagaimana dibahas dalam Bab VIII Dinamika Hubungan
Koran Lokal-Politik Lokal. Beberapa kali muncul riak yang sempat mengganggu.
Hanya, setiap kali memburuk, selalu ada upaya kedua belah pihak untuk
memperbaiki
hubungan
mereka,
memperlihatkan
keduanya
yang
saling
tergantung. Koran membutuhkan pemerintah daerah, dan pemerintah memerlukan
koran.
Bab IX Penutup yang merupakan bab terakhir terutama berisi kesimpulan
dan saran-saran dari penelitian ini. Keterbatasan penelitian juga akan dipaparkan,
diakhiri dengan kemungkinan penelitian lanjutan yang bisa dilakukan.[]
32
Download