Konversi Agama (Studi Kasus tentang Faktor

advertisement
BAB IV
ANALISA KONVERSI AGAMA DI BUKITSARI
DARI PERSPEKTIF TEORI RAMBO R. LEWIS
4.1 Pendahuluan
Dari beberapa teori yang telah dipaparkan di Bab II, maka penulis memilih satu teori dari
Rambo R. Lewis sebagai “Grand Theory” sekaligus untuk alat analisa di bab ini. Teori Lewis
dipilih karena menurut hemat penulis lebih cocok untuk menggambarkan atau mendeskripsikan
proses terjadinya kasus konversi agama di Bukitsari. Adapun analisa dan pembahasannya
dipaparkan sebagai berikut:
4.2 Konversi Agama
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, kata konversi agama sebenarnya
bukanlah hal yang baru, namun sebagian orang mungkin belum memahami arti kata ini. Karena
kasus konversi dapat dan telah terjadi dimana-mana. Lewis dalam pandangannya mendefinisikan
konversi agama sebagai “perubahan sederhana dari adanya sistem keyakinan terhadap suatu
komitmen iman atau keyakinan; dari hubungan ikatan anggota keagamaan dengan sistem
keyakinan yang satu ke sistem keyakinan yang lainnya; atau dari orientasi yang satu ke orientasi
yang lain pada suatu sistem keyakinan tunggal.”1 Menurut hemat penulis dari pengertian tersebut
dapat dipahami bahwa konversi agama adalah berubahnya seseorang atau kelompok dengan
melakukan pindah agama, dari satu agama ke agama yang lain atau satu kepercayaan ke
kepercayaan yang lain.
1
Rambo R. Lewis, Understanding Religius Conversion, (London: Yale Univercity Press, 1993) 2-3.
77
Seperti yang dijelaskan di atas tentang konversi, sebenarnya hal inilah yang terjadi di
masyarakat Dusun Bukitsari, yaitu beberapa kepala keluarga di masyarakat tersebut melakukan
perubahan agama atau pindah agama atau konversi agama, dari Hindu ke Kristen Protestan.
Mereka meninggalkan agama lama dan pindah ke agama baru, dan merubah cara hidup
keagamaan lama dengan keagamaan yang baru. Sebagai contoh, mereka sudah tidak lagi
memiliki sanggah sebagai tempat beribadah mereka kepada roh nenek moyang, leluhur dan
kepada Sang Yang Widhi dalam konsep kepercayaannya yang lama. Kemudian mereka juga
tidak lagi menyembah patung-patung yang dianggap sakral dengan berbagai sesajennya. Mereka
berbalik 180 derajat benar-benar meninggalkan segala bentuk ritual keagamaan Hindu Bali,
bahkan mereka menganggap menyembah patung adalah sama dengan menyembah berhala, dan
itu dilarang dalam agama Kristen (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012).
4.3 Faktor-faktor Penyebab Masyarakat Bukitsari Melakukan Konversi Agama
Suatu analisa terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya konversi agama di Dusun
Bukitsari dari perspektif teorinya Rambo R. Lewis.2
4.3.1 Agama dan kebudayaan
Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan ketika seseorang
memeluk suatu agama tertentu. Lewis mengungkapkan, “karena agama merupakan bagian dari
unsur kebudayaan, sebagai bagian dari kehidupan seseorang atau kelomok dalam masyarakat”.
Seperti diketahui di Dusun Bukitsari telah terjadi kasus konversi agama dari Hindu ke
Kristen Protestan. Ketika dianalisa salah satu penyebabnya adalah diperkenalkannya agama
Kristen sebagai salah satu agama yang ada di Indonesia terkhusus di Bali. Mengapa demikian
2
Ibid., 7-12.
78
karena beberapa kepala keluarga (pelaku konversi) dari Dusun Bukitsari awalnya tidak
mengetahui tentang agama Kristen.
Keputusan beberapa KK melakukan konversi agama disebabkan adanya sebuah
perkenalan dan pengajaran tentang yang Ilahi (suci), dalam bahasanya Lewis “membangun
hubungan terhadap yang Ilahi, untuk mendapat makna hidup yang baru”, dalam hal ini yaitu
dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus yang dapat menyelamatkan, membebaskan manusia
dari dosa/penghukuman, dan konsep jaminan masuk surga ketika percaya kepadaNya. Tuhan
Yesus adalah pribadi yang bukan hanya sanggup menolong dan memberikan kebahagiaan setelah
kematian, namun juga sewaktu hidup di dunia (Krisna, Denpasar, 2012). Sebuah pengertian,
pemahaman, dan makna baru tersebutlah yang menyebabkan beberapa KK di Bukitsari
mengambil keputusan masuk agama Kristen. Karena dalam agama lama tidak mendapatkan
doktrin atau pemahaman iman semacam itu.
Ketika mereka masuk menjadi Kristen maka dengan sukarela mengikuti dan melakukan
ritual keagamaan misalnya dengan dibaptis. Mereka juga mulai dilibatkan dalam ibadah-ibadah
atau persekutuan-persekutuan, dan bersaksi.
Hal tersebut juga tercermin sampai sekarang bagaimana mereka memaknai agama yang
baru yaitu Kristen dengan melakukan ritual-ritual keagamaan yang juga merupakan dari
kebudayaan Barat, misalnya merayakan natal ala Barat, paskah, cara berpakaian. Paradigma
terhadap agama lama pun berubah, mereka sudah berani mengatakan bahwa orang yang
beragama Hindu itu menyembah patung disamakan dengan menyembah berhala, sedangkan
Kristen tidak (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012), dalam agama Hindu dikenal dengan budaya
denda sosial ketika tidak melakukan ritual keagamaan sedangkan di Kristen tidak ada denda
tersebut, dari hal tersebut mereka mulai berbicara tentang keunggulan-keunggulan agama yang
79
lama dengan agama Kristen. Ternyata kekristenan lebih menguntungkan dibanding agama yang
lama, baik dalam hal keselamatan maupun ekonomi.
4.3.2 Masyarakat atau lingkungan sosial
Konversi agama tidakalah terjadi dengan sendirinya tetapi ada penyebabnya. Faktor
sosial dalam hidup bermasyarakat cukup memberi pengaruh yang kuat sebagai penyebabnya.
Karena pada dasarnya perjumpaan dan interaksi yang intensif seseorang atau kelompok dengan
seseorang dan kelompok lain sudah barang tentu akan saling mempengaruhi.
Perjumpaan dan interaksi beberapa KK dari Bukitsari dengan orang Kristen di Katung
yang intensif, adanya keterkaitan/hubungan antar pekerja ataupun pekerja dengan tuan tanah,
memberi dampak pada sebuah keberanian pelaku konversi untuk melakukan pindah agama dari
Hindu ke Kristen (Krisna, Denpasar, 2012). Hal inilah yang dimaksudkan Lewis bahwa
“konversi dapat terjadi melalui proses dan adanya keterkaitan, hubungan, antara petobat (pelaku
konversi) dengan komunitas/kelompok keagamaan tertentu.”
Kekristenan dipandang oleh pelaku konversi sebagai kelompok yang baik, solid,
kekeluargaannya kuat, loyal dan peduli terhadap sesama (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012).
Oleh sebab itu mereka melakukan konversi agama. Nilai loyalitas dan solidaritas tersebutlah
yang dimaksudkan Lewis salah satu penyebab terjadinya konversi.
Lewis mengungkapkan “pelaku konversi memiliki cita-cita yang hendak dicapai,
orientasi kedepan, dan motivasi ketika mengambil keputusan pindah agama”. Demikian halnya
beberapa KK di Bukitsari memiliki motivasi dan cita-cita ketika pindah agama berupa untuk
hidup yang lebih baik.
80
4.3.3 Pribadi
Konversi yang dilakukan oleh beberapa KK di Bukitsari merupakan sebuah keputusan
pribadi, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Dalam faktor pribadi yang dimaksud Lewis
adalah terjadinya perubahan-perubahan yang bersifat psikologis. Termasuk pindah agama salah
satu penyebabnya adalah untuk pembebasan dari sebuah tekanan psikologis. Faktor pribadi
menurut Lewis merupakan penyebab terjadinya konversi, karena konversi biasanya didahului
oleh perasaan-perasaan sedih, keputusaan, konflik, dan kesulitan-kesulitan. Sehingga seseorang
akan berusaha untuk mentransformasi, dan menyadarkan dirinya dalam bentuk berkonversi.
Kondisi kehidupan masyarakat Bukitsari adalah masyarakat yang miskin, terpencil,
bahkan terisolasi, sehingga keadaan seperti ini membuat sebuah tekanan psikologi. Kesulitankesulitan hidup seperti kekurangan sandang, pangan dan papan, menciptakan kesedihan
mendalam (Krisna, Denpasar 2012). Karena hal tersebut maka mereka mencoba keluar dari
daerah untuk merantau, dengan harapan mendapat pekerjaan dan bertemu dengan komunitas
yang dapat menolong mereka dari keadaan tersebut. Perjumpaan dengan kekristenan mampu
menumbuhkan harapan-harapan, memotivasi untuk semakin sadar akan adanya peluang dan
akhirnya mentransformasi diri dengan cara pindah agama. Pindah ke agama Kristen berarti
bergabung dan menjadi bagian dari kekristenan.
Hasilnya mereka menemukan yang dicari dan terpenuhninya harapan-harapan yang
diharapkan, hal tersebut membuat mereka mulai dapat membebaskan diri dari tekanan-tekanan
batin dan kesedihan-kesedihan yang selama ini dialami. Karena dari pihak Kristen memberi
bantuan dan pertolongan melalui pemberdayaan SDM, pemberian sapi, bibit-bibit sayuran, dan
sembako. Selain hal itu juga dalam pendidikan untuk anak-anak mereka dibantu gratis untuk
masuk ke yayasan panti asurahan. Dalam bahasa Lewis mengatakan penyebab terjadinya
81
konversi agama adalah “adanya motivasi, keinginan, orientasi, dan sesuatu yang berkaitan
dengan perasaan”.
4.3.4 Sejarah
Yang dimaksudkan Lewis dalam faktor ini adalah asal mula keberadaan dan peristiwa
penyebab konversi agama. Berdasarkan penelitian, secara singkat asal mula terjadinya konversi
agama di Bukitsari adalah bermula dari perjumpaan dan interaksi inensif yang terjadi antara
orang Hindu dari Bukitsari dengan orang Kristen di Desa Katung. Selain itu juga karena
perkunjungan dan pelayanan yang intensif pula dilakukan dari Katung sampai ke Bukitsari.
Pelayanan tersebut berupa pembelajaran Alkitab, persekutuan, pemberdayaan SDM, pemberian
sapi, bibit tanaman dan sembako (Krisna, Denpasar, 2012).
Lewis mengungkapkan bahwa tempat dan waktu yang berbeda konversipun berbeda,
demikian halnya dengan motivasi atau faktor juga berbeda, dan prosesnya pun berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian beberapa KK yang melakukan konversi agama di Bukitsari,
memiliki konteks dan waktu yang sama, jadi ada suatu motivasi yang sama pula ketika
berkonversi. Motivasi tersebut misalnya tentang orientasi materi/ekonomi seperti yang
diungkapkan Arjuna dan Rama awal melakukan konversi, mereka mengatakan kalau kami masuk
menjadi Kristen akan dapat apa? (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012). Dengan demikian teori
Lewis belum dapat diujikan, tidak sinkron dalam penelitian ini.
82
4.4 Dampak Sosialnya
Suatu analisa terhadap dampak/konsekuensi sosial terjadinya konversi agama di Dusun
Bukitsari dari perspektif teorinya Rambo R. Lewis.3
Ketika seseorang atau kelompok memutuskan untuk melakukan konversi agama, tentu
telah mempertimbangkan banyak hal, seperti dampak, atau konsekuensinya. Hal inilah yang
terjadi di Bukitsari, beberapa KK yang melakukan pindah agama menerima dampak sosial
dampak dari keputusan yang mereka lakukan. Dampak tersebut berupa perlakuan tidak adil dan
diskriminasi, lunturnya harmonisasi dan solidaritas sosial, dicemburui oleh masyarakat sekitar,
dan tekanan psikologi.
Lewis mengemukakan beberapa pendekatan untuk menyelidiki konsekuensi atau dampak
dari kasus konversi agama, antara lain: Konsekuensi psikologi, Konsekuensi teologi, Peran bias
pribadi dalam penilaian, Konsekuensi sosial budaya dan historis, dan Observasi-observasi
umum.
4.4.1 Konsekuensi psikologi
Konsekuensi psikologi yang dimaksud Lewis adalah sebuah evaluasi psikologis tentang
apakah ada kemajuan, kemunduran, atau perbaikan ketika berkonversi. Simmonds (dalam Lewis)
mempertanyakan apakah konversi kepada Yesus (kekristenan) adalah hal yang sesungguhnya
atau pergantian semata-mata. Konversi ingin mengenal dan mengikut Yesus atau karena
kepatuhan terhadap pemimpin kelompok atau norma-norma kelompok agama tertentu.
Sebuah perenungan apakah benar keputusan yang sudah diambil dengan sebuah kesadaran,
apakah benar karena ingin menjadi pengikut Yesus Kristus, atau hanya kagum terhadap agama
Kristen dan pengaruh dari kelompok agama Kristen. Berdasarkan hasil penelitian didapati bahwa
3
Ibid., 142-162.
83
beberapa KK yang melakukan konversi awalnya memang karena pengaruh dari lingkungan
keagamaan Kristen di Katung, namun dalam prosesnya mereka dengan sebuah kesadaran mau
pindah ke agama Kristen atas dorongan diri pribadi dan ingin mengenal kekristenan (Yesus)
lebih dalam. Hal ini terbukti melalui antusiasnya mereka ingin belajar kekristenan lebih dalam
hingga mengundang komunitas Kristen untuk datang ke Bukitsari di daerah asal mereka setelah
mengenal kekristenan awal di Katung (Krisna, Denpasar, 2012). Terbukti juga hingga sampai
sekarang mereka tetap bertahan, setia pada keyakinan barunya, walaupun mereka mengalami
sebuah tekanan batin sebagai dampak dari konversi yang mereka lakukan. Tekanan batin tersebut
berupa diperlakukannya mereka secara tidak adil dan diskriminasi, dan dicemburui oleh
masyarakat sekitar.
4.4.2 Konsekuensi teologi
Konsekuensi teologis yang Lewis maksud adalah evaluasi konversi dalam menilai
konsekuensi. Aston menilai ada dua penilaian: Pertama, ritual dan dimensi perilaku yaitu apakah
calon pelaku konversi memenuhi syarat ritual untuk berkonversi, misalnya dibabtis. Kedua,
tentang apakah ada pencarian yang mendalam untuk Tuhan, apakah dengan tulus dan dengan
motivasi yang benar.
Beberapa KK yang melakukan konversi di Bukitsari melalui proses belajar yang panjang
tentang kekristenan pada akhirnya memberi diri dengan sukarela untuk dibaptis (Krisna,
Denpasar, 2012). Dalam hal ini para pelaku konversi telah memenuhi syarat untuk berkonversi.
Dalam pencarian mendalam untuk mengenal Tuhan Yesus (kekristenan) para pelaku konversi
melakukan usaha yang demikian, hal ini terbukti keterbukaan mereka dan undangan mereka
kepada pelayan Tuhan dari Katung untuk ke daerah mereka Bukitsari guna belajar lebih dalam
84
tentang kekristenan. Tetapi dalam hal motivasi, mereka kurang tulus karena selain ingin belajar
kekristenan mereka juga memiliki motivasi ekonomi dan politik (Arjuna dan Rama, Bukitsari,
2012).
Melalui pembelajaran tentang teologi Kristen, doktrin gereja, pengajaran iman Kristen dapat
membuat kekristenan (pelaku konversi) menjadi kelompok agama yang eksklusif. Dalam
konsekuensi teologis juga dijelaskan tentang apakah melalui keteladanan orang Kristen dan ritual
keagamaan dapat membuat orang melakukan pindah agama. Berdasarkan hasil penelitian
terhadap pelaku konversi di Bukitsari disadari atau tidak telah terjadi sikap hati yang eksklusif
dari pelaku konversi. Hal ini tercermin dengan sebuah pernyataan oleh pelaku konversi tentang
di dalam kekristenan ada keselamatan dan agama lama tidak ada, kemudian kekristenan
menyembah Allah yang hidup tetapi agama lama menyembah berhala/patung (Arjuna dan Rama,
Bukitsari, 2012). Pernyataan ini dilontarkan oleh pelaku konversi saat diadakan wawancara, ini
menandakan bahwa kekristenan dapat membuat seseorang atau pemnganutnya bersikap
eksklusif.
Berdasarkan hasil penelitian beberapa KK yang pindah agama bahwa keteladanan orang
Kristen dan ritual keagamaan dapat menyebabkan orang pindah agama. Hal inilah yang terjadi di
Bukitsari, bahwa mereka pindah agama karena keteladanan orang Kristen yang baik, loyal,
penuh kasih, mau menolong terhadap mereka dan adanya ajakan mengikuti ritual kegamaan
seperti ibadah atau persekutuan.
4.4.3 Peran bias pribadi dalam suatu penilaian.
Dalam peran bias pribadi terhadap suatu penilaian yang dimaksud Lewis adalah setiap
komunitas keagamaan memiliki posisi dan penilaian sendiri. Adanya sebuah penilaian terhadap
85
orientasi-orientasi teologi tentang pengetahuan-pengetahuan manusia yang normatif. Kemudian
dalam hal evaluasi psikologi menggambarkan resolusi mengenai kesalahan, permusuhan dan
sebagainya yang intinya konversi memiliki nilai negatif.
Berdasarkan hasil penelitian berkenaan dengan nilai negatif dari konversi salah satunya ialah
berbentuk pransangka. Prasangka ini terbukti adanya pandangan negatif dari masyarakat di
Bukitsari terhadap pelaku konversi agama dan kepada agama Kristen itu sendiri. Karena
kekristenan dianggap sebagai ancaman yang dapat merusak tatanan sosial, budaya dan agama di
komunitas masyarakat adat setempat, dan adanya kecurigaan terhadap orang-orang Kristen yang
berkunjung ke Bukitsari (Krisna, Denpasar, 2012). Prasangka ini akhirnya terwujud melalui
tindakan nyata terhadap komunitas Kristen di Bukitsari, mereka melakukan sebuah resistensi
sebagai bentuk ketidaksetujuannya karena adanya kekristenan di Bukitsari. Resistensi/penolakan
ini berbentuk sikap perlakuan tidak adil dan diskriminasi terhadap pelaku konversi di daerah
tersebut (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012).
4.4.4 Konsekuensi sosial budaya dan historis.
Lewis mengungkapkan bahwa “konversi tidak hanya memiliki konsekuensi-konsekuensi
personal bagi individu tetapi meliputi konsekuensi-konsekuensi sosial budaya bagi kelompokkelompok orang yang berkonversi”. Konversi membawa sebuah perubahan bagi pelakunya
maupun lingkungan sosial budaya masyarakat tertentu. Konversi membawa konsekuensi
kemarahan, kekerasan dan konsolidasi sistem sebuah masyarakat.
Dampak sosial budaya yang terjadi di Bukitsari berbentuk lunturnya harmonisasi dan
solidaritas masyarakat setempat dengan pelaku konversi. Ini tercermin melalui sikap masyarakat
setempat yang mulai membedakan antara orang Kristen dan orang hindu, kurangnya tegur sapa,
86
tidak dilibatkannya mereka dalam kegiatan adat, selalu dicurigai, kurangnya kepedulian
masyarakat adat terhadap pelaku konversi agama. Demikian juga lingkungn sosial yang yang
lebih kecil yaitu keluarga, ada sebuah penolakan dari anggota keluarganya terhadap para pelaku
konversi, misalnya dalam bentuk percecokan, ancaman sampai pada perusakan rumah (Arjuna,
Denpasar, 2012).
Kemudian adanya perlakuan tidak adil dan diskriminasi oleh masyarakat sekitar kepada
pelaku konversi, misalnya tidak disalurkannya bantuan dari pemerintah berupa beras, aliran air,
dan listrik. Hal yang ektrim lagi adalah tentang pembongkaran kuburan Kristen oleh masyarakat
sekitar (Gareng, Abianbase, 2012).
Selanjutnya ada kecemburuan sosial oleh masyarakat sekitar terhadap pelaku konversi.
Kecemburuan ini nampak pada peristiwa perusakan tanaman milik pelaku konversi, karena
tanaman mereka lebih baik disbanding tanaman masyarakat sekitar (Krisna, Denpasar, 2012).
4.5 Menggambarkan atau mendeskripsikan proses terjadinya kasus konversi agama di
Bukitsari, melalui tujuh (7) model tingkatan berdasarkan terorinya Rambo R. Lewis.
Konversi yang terjadi di Bukitsari tidak disebabkan oleh peristiwa tunggal atau terjadi begitu
saja tanpa ada rentetan-retetan peristiwa yang melatarbelakanginya. Melalui bagan yang
ditawarkan Lewis di bawah ini, penulis gunakan sebagai alat untuk menganalisa rentetanrentetan peristiwa penyebab konversi agama di Bukitsari. Penulis mulai melakukan analisa dari
krisis sebagai pusat terjadinya konversi, beranjak dari krisis inilah lalu orang melakukan
pencarian, pencarian membawa seseorang tiba pada sebuah tempat/konteks, dalam kontek itulah
mereka mengalami suatu pertemuan/perjumpaan, lalu masuk ke interaksi, dilanjutkan dengan
komitmen dan terakhir adalah konsekuensi sebagai bentuk resistensi masyarakat setempat. Lebih
87
jauh penulis juga melihat bahwa setelah konsekuensi akan kembali lagi ke krisis, namun krisis
yang baru. Berikut pemaparan analisanya:
KONTEKS
PERTEMUAN
PENCARIAN
KRISIS
INTERAKSI
KOMITMEN
KONSEKUENSI
1. Krisis
Lewis mengungkapkan, “krisis seringkali mendahului terjadinya konversi agama. Krisis
dapat terjadi pada kehidupan keagamaan, politik, psikologi dan kebudayaan. Pada tahap ini
ada dua dasar yang penting dicermati dalam menganalisa kasus konversi yaitu tentang isu-isu
konteks dan keaktifan atau kepasifan pelaku konversi”.
Berdasarkan hasil penelitian, pandangan Lewis benar jika dihadapakan dalam kasus
konversi di Bukitsari, sebab awal terjadinya konversi agama karena adanya faktor krisis.
Krisis yang dialamai oleh pelaku konversi di Bukitsari adalah krisis psikologi, keagamaan,
dan kebudayaan. Krisis psikologi tercermin pada suatu perasaan sedih, tertekan karena hidup
dalam kemiskinan. Kemudian dalam komunitas keagamaan mereka tidak banyak menolong
untuk mengentaskan mereka atau membantu menangani kemiskinan sehingga mulai berani
88
mempertanyakan komunitas agamanya. Kemudian krisis kebudayaan, artinya dalam kondisi
hidup kekurangan, Hindu Bali memiliki suatu tradisi/budaya harus melakukan banyak upcara
keagamaan yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal-hal tersebut menyebabkan krisis
di Bukitsari.
Isu-isu konteks disini adalah tentang keadaan Bukitsari sebagai tempat yang terpencil
bahkan terisolasi yang memiliki potensi krisis yang cukup besar. Dalam kasus konversi yang
terjadi para pelaku konversi cukup aktif dalam proses konversi. Hal ini terlihat melalui
antusiasme mereka untuk mau belajar tentang kekristenan lebih jauh lagi dengan harapan
membebaskan mereka dari krisis (Krisna, Denpasar, 2012).
2. Pencarian
Lewis mengungkapkan pencarian merupakan hal yang dilakukan oleh manusia secara
terus menerus di dalam proses kontruksi dan merekontruksi dunianya supaya menghasilkan
arti dan makna. Oleh karena itu pelaku konversi menjadi pelaku agen aktif, karena mereka
dapat mencari kepercayaan-kepercayaan, kelompok-kelompok, dan organisasi-organisasi
yang menyediakan apa yang mereka butuhkan. Pandangan Lewis diatas cocok dalam
menggambarkan kasus konversi yang terjadi di Bukitsari. Beberapa keluarga yang merantau
ke Katung adalah orang-orang yang cukup aktif dalam usaha untuk membangun
kehidupannya supaya lebih baik. Mereka berusaha mencari kelompok-kelompok masyarakat
yang dapat membantu memenuhi kebutuhannya. Dalam pencarian inilah mereka mulai
menemukan sebuah kelompok Kristen di Katung.
Pencarian yang mereka lakukan tentu memiliki motivasi, dalam bahasanya Lewis
dikatakan “motivasi memperkuat dalam mencapai kebutuhan-kebutuhannya”. Jadi dalam
89
pencarian mereka memiliki motivasi untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Motivasi mulamula saat itu adalah untuk dapat memnuhi kebutuhan ekonomi karena keluarga tertekan
hidup dalam kemiskinan. Epstein (dalam Lewis) mengemukakan “motivasi adalah dasar
manusia bertindak, untuk memenuhi kebutuhan”. Demikian halnya dengan beberapa KK
dalam melakukan konversi memeiliki motivasi sehingga berani bertindak.
3. Konteks
Lewis dalam teorinya mengatakan konteks mencakup sebuah pandangan tentang adanya
pertentangan, perjumpaan, dan beberapa faktor dialektik di antara keduanya mempermudah
maupun menghambat proses konversi. Dalam kasus konversi yang terjadi di Bukitsari, benar
bahwa terjadi perjumpaan dan dialektik antara pelaku konversi dengan komunitas kristen di
Desa Katung (Krisna, Denpasar, 2012). Namun tidak terjadi pertentangan seperti yang
dikatakan Lewis.
Gration (dalam Lewis) mengatakan setiap konversi ada di dalam konteks, sebuah konteks
memiliki berbagai macam segi, merangkum bidang politik, sosial, ekonomi, serta keagamaan
di dalam sebuah kehidupan seseorang di saat dirinya berkonversi. Berdasarkan hasil
penelitian terjadinya kasus konversi agama di Bukitsari benar disebabkan oleh faktor
ekonomi, sosial dan politik serta keagamaan (Krisna, Denpasar 2012; Arjuna dan Rama,
Bukitsari, 2012). Keagamaan disini maksudnya adalah diperkenalkannya agama kristen
terhadap pelaku konversi, adanya pembelajaran dan pelayanan, dan adanya keunggulankeunggulan agama kristen.
Konteks juga dibagi menjadi kedalam dua bagian yakni Macrocontext dan Microcontext.
Makro-konteks mengarah kepada lingkungan total, misalnya tentang politik, keagamaan,
90
organisasi-organisasi, dan ekonomi. Sedangkan Mikrokonteks menyangkut dunia yang lebih
dekat dari sebuah keluarga seseorang, para sahabat, kelompok etnik, komunitas ke-agamaan,
serta orang-orang yang berada di sekitarnya. Kekuatan-kekuatan ini antara satu dengan yang
lainnya dapat mempermudah ataupun menghambat, menghalangi konversi. Jadi baik makro
maupun mikro memberikan pengaruh terhadap terjadinya proses konversi, demikian halnya
kasus konversi agama di Bukitsari.
Lewis menunjukkan beberapa hipotesis mengenai berbagai dinamika konversi: ”jika
kebudayaan suatu daerah
berada dalam krisis maka memiliki banyak potensi orang
melakukan konversi agama, sebaliknya jika kebudayaan asli suatu daerah tertentu stabil,
ulet, serta efektif, maka sedikit orang yang akan melakukan konversi”. Hindu Bali adalah
agama yang tidak dapat dipisahkan dengan ritual keagamaan yang sarat dengan nuansa
kebudayaan, misalnya saja nyaben dan banten. Bukitsari merupakan tempat dimana
penduduknya miskin, untuk memenuhi upacara keagamaan yang sudah membudaya, seperti
Banten dan Nyaben yang membutuhkan biaya besar, dapat menyebabkan seseorang
mengalami krisis. Krisis kebudayaan inilah yang dimaksud Lewis dapat menyebabkan
konversi agama. Mereka mulai mencari agama yang tidak menyusahkan dan memberatkan
keuangan hidupnya.
4. Pertemuan/Perjumpaan
Perjumpaan yang dimaksud oleh Lewis dalam tingkatan ini adalah berjumpanya sang
pendorong (Misionaris/orang Kristen) dengan pelaku konversi agama. Perjumpaan
dipandang sebagai pusaran kekuatan dinamis lapangan di mana konversi itu terjadi. Dari
perjumpaan tersebut terdapat sebuah penolakan total dan dapat juga terjadi penerimaan yang
91
lengkap pada orang lain. Pandangan Lewis relevan dalam penggambaran hasil penelitian
yang telah dilakukan, karena konversi agama yang terjadi di Bukitsari awal mulanya dari
Desa Katung, merupakan bentuk perjumpaan antara pelaku konversi dengan kelompok
keagamaan Kristen. Dalam perjumpaan inilah terjadi suatu sikap penerimaan yang positif
oleh pelaku konversi dan sikap negatif berupa penolakan oleh lingkungan masyarakat sekitar.
Dalam perjumpaan antara sang pendorong dalam hal ini adalah komunitas kristen, Lewis
mengungkapkan bagi sang pendorong memiliki target audien yang potensial dan taktik untuk
membawa orang-orang yang berkonversi ke dalam komunitas keagamaan. Orang yang
berkonversi juga mencoba mempertinggi kepentingan-kepentingan terbaik yang merasa
dimiliki. Dengan cara-cara itu sang pendorong dan orang yang berkonversi secara potensial
secara timbal balik bertemu dengan masing-masing kebutuhannya.
Apa yang dipaparkan Lewis sinkron dengan hasil penelitian yang diperoleh, karena
kelompok agama kristen memiliki target audien dan memiliki taktik untuk mengajak pelaku
konversi untuk berkonversi saat itu. Caranya adalah dengan memperkenalkan kekristenan,
diajaknya ibadah, dikenalkannya kepada pemimpin agama, disambut baik dengan penuh
kasih, sehingga melalui proses pelayanan yang panjang akhirnya pelaku konversi
berkonversi. Demikian sebaliknya, para pelaku konversi pun memilki sebuah tujuan atau
kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya ketika mereka menjadi kristen melihat peluang
akan adanya harapan dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kebutuhan tersebut bukan hanya
spiritual tetapi juga dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi, termasuk dalam sandang,
pangan dan papan. Dari peristiwa ini terlihat ada sebuah kepentingan timbal balik
bertemunya masing-masing kebutuhan seperti yang dikatakan Lewis.
92
5. Interaksi
Lewis mengungkapkan “untuk orang-orang yang berlanjut dengan sebuah pilihan
keagamaan baru setelah awal pertemuan, mereka berinteraksi dengan mengadopsi kehebatankehebatan kelompok keagamaan”. Dalam hal ini interaksi terjadi diawali oleh sebuah
pertemuan antara kelompok agama Kristen dengan pelaku konversi. Pelaku konversi agama
di Bukitsari, memandang kekristenan memiliki keunggulan atau kehebatan dibanding agama
yang lama, misalnya tentang dalam agama Kristen ada kepastian keselamatan, ada
pembebasan dari dosa oleh Yesus, Tuhan Kristen yang dapat menolong kesulitan hidup
mereka, menyembah Tuhan bukan patung berhala (Arjuna dan Krisna, Bukitsari, 2012), tidak
mengenal denda sosial, ritual-ritual tidak membutuhkan dana besar seperti halnya dalam
agama yang lama.
Lewis berpendapat “pada tahap interaksi, orang yang berkonversi secara potensial
lainnya memilih melanjutkan kontak dan menjadi lebih terlibat, atau sang pendorong
berusaha menopang interaksi tersebut dengan tatanan untuk memperluas kemungkinan
mengajak orang tersebut untuk berkonversi”. Apa yang diungkapkan Lewis sesuai dengan
konteks pelaku konversi di Bukitsari, mereka memilih melanjutkan kontak dengan kelompok
Kristen dengan mengundang orang-orang Kristen ke daerah mereka untuk pendalaman lebih
lanjut tentang kekristenan. Demikian halnya dengan kelompok Kristen dengan antusias
datang memberikan pelayanan kepada palaku konversi baik ketika di Katung sampai
berlanjut di Bukitsari (Krisna, Denpasar, 2012). Potensi ini memungkinkan kelompok
Kristen untuk mengajak pelaku konversi untuk berkonversi.
Lebih lanjut Lewis berbicara mengenai keefektifan interaksi mungkin berasal dari sebuah
diskusi tentang sifat mendasar dari proses pewadahan, misalnya: berbagai macam hubungan,
93
ritual, pembicaraan, dan peranan. Setelah melakukan pengamatan, didapati bahwa dalam
proses interaksi ini mulai terjalin sebuah hubungan antar keduanya, mereka juga mulai
dilibatkan dalam ritual-ritual misalnya mengikuti persekutuan, ada semacam pembicaraan
yang lebih dalam tentang kekristenan, dan mulai diberi peranan untuk dikerjakan misalnya
penyiapan tempat ketika ada perkunjungan dan diajar membaca alkitab.
6. Komitmen
Lewis mengatakan komitmen merupakan bagian dari proses konversi yang perlu
dilakukan oleh pelaku konversi setelah melakukan interaksi yang intensif dengan kelompok
agama yang baru. Komitmen seseorang biasa ditunjukan dengan menjalankan ritual agama
yang baru. Komitmen tersebut dikenal dengan sebutan komitmen ritual, seperti: baptis dan
kesaksian. Berdasarkan hasil penelitian para pelaku konversi setelah memalalui beberapa
tingkatan di atas, akhirnya berani mengambil sebuah komitmen dengan melakukan konversi
agama dari Hindu ke Kristen. Tidak sebatas itu saja, mereka juga mau menyerahkan diri
untuk dibaptis dan bersedia menjadi saksi tentang iman barunya (Krisna, Denpasar, 2012).
Karena dengan kedua hal itu, memperlihatkan perubahan seseorang dan partisipasinya di
dalam perubahan tersebut, serta orang lain juga dapat melihat keputusan yang diambil oleh
pelaku konversi (menjadi saksi).
Lewis mengatakan di dalam tingkat ini terdapat lima elemen yang melingkupi: membuat
keputusan, ritual-ritual, penyerahan, manifestasi kesaksian yang terkandung di dalam
perubahan bahasa dan rekontruksi biografi, dan perumusan kembali motivasi. Dalam tahap
ini pelaku konversi di Bukitsari berani mengambil keputusan pindah agama, kemudian mau
mengikuti atau terlibat dalam ritual keagamaan. Lalu ada suatu sikap penyerahan diri sebagai
94
bentuk kepercayaan terhadap keagamaan baru, adanya kesaksian hidup berbentuk pada
perubahan gaya hidup dan membangun pandangan serta pola hidupnya yang baru. Kemudian
mencoba merumuskan kembali motivasi dalam bentuk perenungan dan pertanyaan refleksi
tentang keputusan yang telah diambil terhadap motivasi awal.
7. Konsekuensi
Ketika seseorang atau kelompok memutuskan untuk melakukan konversi agama,
tentunya telah banyak hal-hal yang dipertimbangkan, termasuk akibat, atau dampak, atau
yang dalam tingkatan bagian ini disebut sebagai konsekuensi. Hal tersebut juga yang terjadi
bagi pelaku konversi agama di Bukitsari, karena mereka menerima dampak atau konsekuensi
dari keputusan yang mereka ambil. Konsekuensi ini berupa perlakuan tidak adil dan
diskriminasi, lunturnya harmonisasi dan solidaritas, dicemburui oleh masyarakat sekitar, dan
tekanan psikologi.
Lewis mengemukakan beberapa pendekatan untuk menyelidiki konsekuensi atau dampak
dari kasus konversi agama, antara lain: Konsekuensi psikologi, Konsekuensi teologi, Peran
bias pribadi dalam penilaian, dan Konsekuensi sosial budaya dan historis.
1. Konsekuensi psikologi
Konsekuensi psikologi yang dimaksud Lewis adalah sebuah evaluasi psikologis tentang
apakah ada kemajuan, kemunduran, atau perbaikan ketika berkonversi. Simmonds (dalam
Lewis) mempertanyakan apakah konversi kepada Yesus (kekristenan) adalah hal yang
sesungguhnya atau pergantian semata-mata. Konversi ingin mengenal dan mengikut Yesus
95
atau karena kepatuhan terhadap pemimpin kelompok atau norma-norma kelompok agama
tertentu.
Sebuah perenungan apakah benar keputusan yang sudah diambil dengan sebuah
kesadaran, apakah benar karena ingin menjadi pengikut Yesus Kristus, atau hanya kagum
terhadap agama Kristen dan pengaruh dari kelompok agama Kristen. Berdasarkan hasil
penelitian didapati bahwa beberapa KK yang melakukan konversi awalnya memang karena
pengaruh dari lingkungan keagamaan Kristen di Katung, namun dalam prosesnya mereka
dengan sebuah kesadaran mau pindah ke agama Kristen atas dorongan diri pribadi dan ingin
mengenal kekristenan (Yesus) lebih dalam. Hal ini tersbukti melalui antusiasnya mereka
ingin belajar kekristenan lebih dalam hingga mengundang komunitas Kristen untuk datang
ke Bukitsari di daerah asal mereka setelah mengenal kekristenan awal di Katung (Krisna,
Denpasar, 2012). Terbukti juga hingga sampai sekarang mereka tetap bertahan, setia pada
keyakinan barunya, walaupun mereka mengalami sebuah tekanan batin sebagai dampak dari
konversi yang mereka lakukan. Tekanan batin tersebut berupa diperlakukannya mereka
secara tidak adil dan diskriminasi, dan dicemburui oleh masyarakat sekitar.
2. Konsekuensi teologi
Konsekuensi teologis yang Lewis maksud adalah evaluasi konversi dalam menilai
konsekuensi. Aston menilai ada dua penilaian: Pertama, ritual dan dimensi perilaku yaitu
apakah calon pelaku konversi memenuhi syarat ritual untuk berkonversi, misalnya dibabtis.
Kedua, tentang apakah ada pencarian yang mendalam untuk Tuhan, apakah dengan tulus
dan dengan motivasi yang benar.
Beberapa KK yang melakukan konversi di Bukitsari melalui proses belajar yang panjang
tentang kekristenan pada akhirnya memberi diri dengan sukarela untuk dibaptis (Krisna,
96
Denpasar, 2012). Dalam hal ini para pelaku konversi telah memenuhi syarat untuk
berkonversi. Dalam pencarian mendalam untuk mengenal Tuhan Yesus (kekristenan) para
pelaku konversi melakukan usaha yang demikian, hal ini terbukti keterbukaan mereka dan
undangan mereka kepada pelayan Tuhan dari Katung untuk ke daerah mereka Bukitsari
guna belajar lebih dalam tentang kekristenan. Tetapi dalam hal motivasi, mereka kurang
tulus karena selain ingin belajar kekristenan mereka juga memiliki motivasi ekonomi dan
politik (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012).
Melalui pembelajaran tentang teologi Kristen, doktrin gereja, pengajaran iman Kristen
dapat membuat kekristenan (pelaku konversi) menjadi kelompok agama yang eksklusif.
Dalam konsekuensi teologis juga dijelaskan tentang apakah melalui keteladanan orang
Kristen dan ritual keagamaan dapat membuat orang melakukan pindah agama. Berdasarkan
hasil penelitian terhadap pelaku konversi di Bukitsari disadari atau tidak telah terjadi sikap
hati yang eksklusif dari pelaku konversi. Hal ini tercermin dengan sebuah pernyataan oleh
pelaku konversi tentang di dalam kekristenan ada keselamatan dan agama lama tidak ada,
kemudian kekristenan menyembah Allah yang hidup tetapi agama lama menyembah
berhala/patung (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012). Pernyataan ini dilontarkan oleh pelaku
konversi saat diadakan wawancara, ini menandakan bahwa kekristenan dapat membuat
seseorang atau pemnganutnya bersikap eksklusif.
Berdasarkan hasil penelitian beberapa KK yang pindah agama bahwa keteladanan orang
Kristen dan ritual keagamaan dapat menyebabkan orang pindah agama. Hal inilah yang
terjadi di Bukitsari, bahwa mereka pindah agama karena keteladanan orang Kristen yang
baik, loyal, penuh kasih, mau menolong terhadap mereka dan adanya ajakan mengikuti
ritual kegamaan seperti ibadah atau persekutuan.
97
3. Peran bias pribadi dalam suatu penilaian.
Dalam peran bias pribadi terhadap suatu penilaian yang dimaksud Lewis adalah setiap
komunitas keagamaan memiliki posisi dan penilaian sendiri. Adanya sebuah penilaian
terhadap orientasi-orientasi teologi tentang pengetahuan-pengetahuan manusia yang
normatif. Kemudian dalam hal evaluasi psikologi menggambarkan resolusi mengenai
kesalahan, permusuhan dan sebagainya yang intinya konversi memiliki nilai negatif.
Berdasarkan hasil penelitian berkenaan dengan nilai negatif dari konversi salah satunya
ialah berbentuk pransangka. Prasangka ini terbukti adanya pandangan negatif dari
masyarakat di Bukitsari terhadap pelaku konversi agama dan kepada agama Kristen itu
sendiri. Karena kekristenan dianggap sebagai ancaman yang dapat merusak tatanan sosial,
budaya dan agama di komunitas masyarakat adat setempat, dan adanya kecurigaan terhadap
orang-orang Kristen yang berkunjung ke Bukitsari (Krisna, Denpasar, 2012). Prasangka ini
akhirnya terwujud melalui tindakan nyata terhadap komunitas Kristen di Bukitsari, mereka
melakukan sebuah resistensi sebagai bentuk ketidaksetujuannya karena adanya kekristenan
di Bukitsari. Resistensi/penolakan ini berbentuk sikap perlakuan tidak adil dan diskriminasi
terhadap pelaku konversi di daerah tersebut (Arjuna dan Rama, Bukitsari, 2012).
4. Konsekuensi sosial budaya dan historis.
Lewis mengungkapkan bahwa “konversi tidak hanya memiliki konsekuensi-konsekuensi
personal bagi individu tetapi meliputi konsekuensi-konsekuensi sosial budaya bagi
kelompok-kelompok orang yang berkonversi”. Konversi membawa sebuah perubahan bagi
pelakunya maupun lingkungan sosial budaya masyarakat tertentu. Konversi membawa
konsekuensi kemarahan, kekerasan dan konsolidasi sistem sebuah masyarakat.
98
Dampak sosial budaya yang terjadi di Bukitsari berbentuk lunturnya harmonisasi dan
solidaritas masyarakat setempat dengan pelaku konversi. Ini tercermin melalui sikap
masyarakat setempat yang mulai membedakan antara orang Kristen dan orang hindu,
kurangnya tegur sapa, tidak dilibatkannya mereka dalam kegiatan adat, selalu dicurigai,
kurangnya kepedulian masyarakat adat terhadap pelaku konversi agama. Demikian juga
lingkungn sosial yang yang lebih kecil yaitu keluarga, ada sebuah penolakan dari anggota
keluarganya terhadap para pelaku konversi, misalnya dalam bentuk percecokan, ancaman
sampai pada perusakan rumah (Arjuna, Denpasar, 2012).
Kemudian adanya perlakuan tidak adil dan diskriminasi oleh masyarakat sekitar kepada
pelaku konversi, misalnya tidak disalurkannya bantuan dari pemerintah berupa beras, aliran
air, dan listrik. Hal yang ektrim lagi adalah tentang pembongkaran kuburan Kristen oleh
masyarakat sekitar (Gareng, Abianbase, 2012).
Selanjutnya ada kecemburuan sosial oleh masyarakat sekitar terhadap pelaku konversi.
Kecemburuan ini nampak pada peristiwa perusakan tanaman milik pelaku konversi, karena
tanaman mereka lebih baik disbanding tanaman masyarakat sekitar (Krisna, Denpasar,
2012).
8. Krisis Baru
Setelah penulis memaparkan ke tujuh (7) rentetan peristiwa proses konversi di atas
menurut Lewis, dimulai dari krisis hingga konsekuensi, maka penulis mendapati bahwa hal
tersebut juga telah menciptakan krisis baru. Krisis baru yang dimaksud adalah sebuah krisis
dampak dari konsekuensi yang dirasakan oleh pelaku konversi. Krisis baru ini dapat
berdampak pada kembalinya pelaku konversi ke agama semua atau penulis memberi istilah
99
re-konversi, atau justru krisis ini memurnikan pelaku konversi untuk tetap konsisten terhadap
agama dan iman barunya.
Terbukti bahwa melalui krisis baru ini banyak pelaku konversi yang telah menjadi
Kristen,
melakukan
re-konversi
ke
agama
semula.
Penyebabnya
adalah
dari
dampak/konsekuensi yang dirasa memberatkan mereka ketika menjadi Kristen. Kemudian
bagi yang bertahan hingga sekarang, adalah sebagai bukti bahwa ada kuasa ilahi yang
memberikan mereka kekuatan hingga bertahan dan sanggup mengahdapi, melewati proses
dari awal hingga sampai pada tahap konsekuensi. Dari konsekuensi menuju ke krisis baru
dan tetap konsisten.
4.6 Kesimpulan
Berdasarkan analisa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud konversi agama
dalam konteks beberapa KK di Bukitsari ialah telah berubahnya sistem keyakinan lama ke sistem
keyakinan yang baru atau berpindah dari satu agama ke agama yang lain, yakni dari Hindu ke
Kristen Protestan. Konversi yang terjadi di Bukitsari bukanlah disebabkan oleh faktor atau
peristiwa tunggal melainkan terdiri dari berbagai rentetan peristiwa yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lain. Keputusan yang dilakukan oleh beberapa KK di Bukitsari untuk pindah
agama tidaklah mudah, karena mereka harus siap menerima dampak atau konsekuensinya.
Proses peristiwa konversi di Bukitsari secara sederhana dapat digambarkan serta diurutkan
sebagai berikut: konversi berasal dari sebuah krisis, dari krisis maka pelaku konversi melakukan
pencarian, dari pencarian akan membawa pelaku konversi ke suatu tempat atau konteks,
kemudian di konteks itulah mereka mengalami perjumpaan/pertemuan, lalu dari pertemuan
tersebut terjadilah interaksi, karena interaksi yang intensif terjadi maka pelaku konversi
100
melakukan sebuah komitmen, komitemen tersebut membawa sebuah konsekuensi, dari
konsekuensi tersebut kembali menyebabkan krisis baru bagi pelaku konversi agama.
101
Download