ISSN : 2085-6601 EISSN : 2502-4590 HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN SEXUAL ABUSE Suryani Hardjo1*), Eryanti Novita1 1 Program Studi Magister Psikologi, Program Pascasarjana, Universitas Medan Area *) E-mail :[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan psychological well-being pada remaja korban kekerasan seksual. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Populasi penelitian adalah remaja korban kekerasan seksual di kabupaten Langkat yang diketahui berjumlah 32 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling yaitu seluruh anggota populasi dijadikan sampel penelitian. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan skala psikologi, yaitu skala psychological well-being dan skala dukungan sosial yang dikembangkan peneliti berdasarkan teori yang relevan. Analisa terhadap data penelitian yang terkumpul dilakukan dengan menggunakan teknik analisa korelasi pearson product moment.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan psychological well-being pada remaja korban kekerasan seksual. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh remaja korban kekerasan seksual maka akan semakin tinggi psychological well-being yang mereka miliki. Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial yang diterima oleh remaja korban kekerasan seksual maka akan semakin rendah psychological well-being yang mereka miliki. Kata Kunci : dukungan sosial, psychological well-being, remaja korban kekerasan seksual Abstract This study aimed to determine the relationship between social support and psychological wellbeing in adolescent victims of sexual abuse. The study was conducted using a quantitative correlational approach. The population study was adolescent victims of sexual abuse in the district known Langkat amounted to 32 people. The sampling technique used was total sampling which all members of the population study sampled. The data was collected by using the scale of psychological well-being and social support which were developed based on the theory of relevant researchs. An analysis of the research data collected was done by using pearson product moment correlation analysis. The results showed that there was a significant positive relationship between social support and psychological well-being in adolescent victims of sexual violence. The higher the social support received by adolescent victims of sexual violence, the higher psychological well-being that they had. Conversely, the lower the social support received by adolescent victims of sexual violence, the lower psychological well-being that they had. Keywords : social support, psychological well-being, adolescent victims of sexual abuse 12 ISSN : 2085-6601 EISSN : 2502-4590 Masalah kejahatan adalah problem manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial dan produk dari masyarakat yang selalu mengalami perkembangan. Bahkan dapat dikatakan bahwa usia kejahatan seumur dengan manusia karena dimana terdapat masyarakat maka disitu terdapat kejahatan. Salah satu kejahatan yang terjadi dan sangat merugikan serta meresahkan masyarakat adalah pemerkosaan. Akhir-akhir ini masyarakat sering dikejutkan oleh media dengan pemberitaan tentang pemerkosaan. Daftar kasus pemerkosaan di Indonesia semakin bertambah dan berbagai macam cara dilakukan oleh para pelaku kejahatan ini. Menurut Direktur LRC KJHAM, Fatkhurozi, pada tahun 1999 hingga 2011 ditemukan adanya 400.939 kasus kekerasan perempuan yang dicatat oleh Komnas Perempuan Indonesia. Hampir mencapai seperempat total kasus tersebut adalah kekerasan seksual yaitu sebanyak 93.960 kasus. Jenis kekerasan seksual terbanyak adalah pemerkosaan yang diketahui mencapai 4845 kasus. Sementara itu, jumlah kasus tertinggi pada setiap tahunnya menurut data yang dilansir oleh Legal Resoucer Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) Jawa Tengah adalah pemerkosaan. Pada tahun 2014, terjadi 140 kasus pemerkosaan dengan 172 korban, dan 4 orang di antaranya meninggal. Hal ini menunjukkan betapa banyaknya kasus pemerkosaan dan sexual abuse di Indonesia (Suara Merdeka, 5 Januari 2015). Sexual abuse menjadi salah satu bahasan yang cukup menantang pada berbagai permasalahan kehidupan saat ini. Permasalahan sexual abuse semakin banyak ditemui dan dialami anak-anak dan permasalahan tersebut menimbulkan efek yang dapat dirasakan pula sampai usia dewasa. Kajian klinis dengan dasar teroritis, didukung oleh kalangan praktisi yang menangani kasus sexual abuse, perlu menyajikan berbagai informasi yang mudah diakses tentang intervensi dan treatmen untuk menangani kasus-kasus tersebut.Pedoman intervensi pelecehan seksual perlu diformat secara ringkas dan konsisten sehingga mudah digunakan oleh praktisi dan profesional yang tertarik menangani kasus sexual abuse.Saat ini penelitian yang mengeksplorasi anak-anak korban kekerasan seksual tergolong cukup banyak. Hunter (Gosita, 2013) menyebutkan bahwa 80% korban sexual abuse pelakunya adalah pria dan 90% pengalaman seksual melibatkan korban yang masih anakanak.Penelitian ini mengungkapkan beberapa kompleksitas yang terlibat dalam masalah sexual abuse yang dialami anakanak, sedangkan sebagian besar pelecehan seksual yang dialami oleh korban yang berusia dewasa tidak terlalu banyak dilaporkan dibandingkan kasus anak. Selanjutnya Hunter (Gosita, 2013) menemukan adanya banyak bukti kualitatif yang berpotensi merugikan anak-anak. Hasilnya antara lain, teridentifikasi ada dampak pelecehan seksual dan tekanan psikologis pada anak-anak, sehingga memunculkan berbagai kecenderungan psikopatologi, termasuk depresi, penyalahgunaan alkohol, perilaku antisosial, resiko bunuh diri, kecemasan tentang seks, dan ketertekanan kehidupan pribadinya. Pengalaman pelecehan seksual anak pun bervariasi pula, tergantung tingkat keparahan yang dideritanya.Kompleksitas masalah pelecehan seksual memiliki keterkaitan dengan faktor sosial budaya, frekuensi atau durasi penyalahgunaan yang berdampak pada minimnya dukungan sosial keluarga serta disfungsional perilaku yang terkait dengan dinamika sistem keluarga.Keadaan ini sering membuat khalayak mengalami kesulitan pula untuk membedakan efek dari pelecehan seksual pada orang-orang yang mengalami hambatan psikososial kronis atau bahkan kemalangan semata. Bentuk-bentuk sexual abuse yang terjadi pada anak adalah sodomi, perkosaan, pencabulan, incest, kekerasan fisik dan psikis, yang jumlahnya mencapai 1.020 kasus atau setara dengan 62,7 persen. Dari data Komisi Perlindungan 13 ISSN : 2085-6601 EISSN : 2502-4590 Anak Indonesia, kekerasan terhadap anak datanya terus meningkat dari tahun ke tahun. Sepanjang tahun 2014 tercatat 2.508 kasus kekerasan terhadap anak, terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya 2010 mencapai 2. 413 kasus.Pelanggaran terhadap hak anak ini tidak semata-mata pada tingkat kuantitas/jumlah saja yang meningkat, namun terlihat pula semakin kompleks dan beragamnya modus pelanggaran hak anak itu sendiri, khususnya perebutan anak pasca perceraian. Dampak kekerasan seksual amat berpengaruh terhadap harga diri anak yang termanifestasikan dalam sikap dan perilaku mereka di masyarakat. Bagi korban yang masih anak-anak akan terbentuk citra diri yang negatif, rasa tak berdaya, perilaku pasif, sulit mempercayai orang lain dan rasa ketidakadilan secara umum. Dibutuhkan penanganan yang serius dan segera dari semua pihak agar budaya kekerasan dapat diubah, dan bagi korban dibutuhkan penanganan secara intensif agar dapat hidup dan menghadapi masa depannya secara positif dengan mencapai kesejahteraan psikologisnya (psychological well-being). Menurut Corsini (Solihin, 2006), psychologicalwell-being adalah suatu keadaan subyektif yang baik, termasuk kebahagiaan, self-esteem,dan kepuasan dalam hidup. Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri terhadap tekanan sosial, mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup, serta merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu (Ryff & Keyes, dalam Flannery, 2009). Psychological well-being berhubungan dengan kepuasan pribadi, keterikatan, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasan dan optimisme, termasuk juga mengenali kekuatan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki (Bartram & Boniwell, dalam Faturochman 2012).Psychological well- being memimpin individu untuk menjadi kreatif dan memahami apa yang sedang dilakukannya (Bartram & Boniwell, dalam Faturochman, 2012). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa psychological well-being secara umum dapat diartikan sebagai suatu bentuk kepuasan terhadap aspek-aspek hidup sehingga mendatangkan atau menimbulkan perasaan bahagia dan perasaan damai pada hidup seseorang, namun standar kepuasan pada setiap orang berbeda sehingga hal ini bersifat subjektif.Psychological well-being sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, pernikahan, kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu luang, peristiwa dalam hidup, kemampuan atau kompetensi, dukungan sosial dan kepribadian (Eddington & Shuman, dalam Faturochman, 2012). Psychological well-being mempengaruhi penyesuaian sosial anak untuk dapat hidup normal seperti anak/remaja lain yang tidak pernah mengalami pengalaman negatif. Psychological well-being adalah konsep multidimensional mengenai sejauh apa seseorang menjalankan fungsi-fungsi psikologisnya secara positif. Berdasarkan teori kesehatan mental, teori psikologi perkembangan, dan unsur-unsur gerontologi, Ryff (Moningka, 2013) mengemukakan enam dimensi dari psychological well-being, yaitu 1) Penerimaan Diri (self-acceptance), yang mengacu kepada bagaimana individu menerima diri dan pengalamannya; 2) Hubungan interpersonal (positive relation with others), yang mengacu pada bagaimana individu membina hubungan dekat dan saling percaya dengan orang lain; 3) Otonomi (autonomy), yang mengacu pada kemampuan individu untuk lepas dari pengaruh orang Iain dalam menilai dan memutuskan segala sesuatu; 4) Penguasaan Lingkungan (environmental mastery), yang mengacu pada bagaimana kemampuan individu menghadapi hal-hal di lingkungannya; 5) Tujuan Hidup (purpose in 14 ISSN : 2085-6601 EISSN : 2502-4590 life), yang mengacu pada hal-hal yang dianggap penting dan ingin dicapai individu dalam kehidupan; serta 6) Pertumbuhan Pribadi (personal growth), yang mengacu pada bagaimana individu memandang dirinya berkaitan dengan harkat manusia untuk selalu tumbuh dan berkembang. Bagi korban sexual abuse,langkah awal yang dapat ditempuh untuk membantu mereka adalah dengan mendorong sikap terbuka dan melakukan prevensi intervensi pada pihak sekolah, orang tua dan anak.Intervensi yang tepat diperlukan agar anak-anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan bahagia. Sebuah studi yang dilakukan oleh Aizer (Saeroni, 2011) terhadap anak berusia lima hingga empat belas tahun yang kurang mendapat dukungan dan perhatian secara sosial dari orang tua maupun lingkungan tempatnya tinggal, memperlihatkan kenakalan, penggunaan obat dan alkohol, dan bermasalah di sekolah. Peran dukungan sosial menjadi sangat penting ketika anak-anak berusia remaja, terutama ketika anak memasuki periode remaja awal; yang memberikan kesempatan mereka untuk tumbuh, tidak hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial, otonomi, harga diri, dan keintiman. Karena menghadapi berbagai perubahan yang terjadi secara bersamaan, mereka membutuhkan bantuan dalam menjalani masa ini (Faturochman, 2012). Lin, Woefel dan Light (1985) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan kebutuhan, seperti persetujuan, esteem, dan pertolongan yang diperoleh dari orang-orang yang mempunyai arti bagi dirinya.House (Cohen dan Syme, 1995) membagi dukungan sosial atas empat aspek, yakni dukungan emosional, dukungan penilaian, dukungan informatif, dan dukungan instrumen.Dukungan emosional merupakan bentuk dukungan sosial berupa empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan penilaian merupakan dukungan sosial berupa ungkapan hormat secara positif kepada seseorang, dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif seseorang dengan orang-orang lain. Dukungan informatif merupakan bentuk dukungan sosial berupa pemberian nasehat, saran, petunjuk-petunjuk, dan umpan balik.Terakhir, dukungan instrumental merupakan bentuk dukungan sosial yang bersifat langsung, misalnya bantuan peralatan, pekerjaan, dan keuangan. Anak/remaja yang sejahtera baik secara fisik maupun psikologis akan memiliki performa yang baik serta mampu beradaptasi dan melakukan penyesuaian sosial di lingkungannya secara baik. Menurut Maenapothi (2007), psychological well-being anak/remaja merupakan situasi dimana individu akan merasa senang dan tidak merasa seperti terpaksa, lebih efektif dan memiliki keyakinan dan kepercayaan terhadap orang lain secara baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Psychological well-being merupakan sebuah gagasan yang dianggap relatif kompleks yaitu keadaan psikologis yang memang sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan remaja tersebut dalam keluarga, orangtua, dan lingkungannya (Ryff, 2007). Psychological well-being dapat dicirikan sebagai indikator fungsi mental yang baik dan merupakan suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan agar dapat mencapai kesuksesan.Psychological well-being dibutuhkan agar individu dapat meningkatkan efektivitas dalam berbagai bidang kehidupan salah satunya adalah dalam penyesuaian sosial. Remaja yang mempunyai psychological well-being yang baik akan memiliki kemampuan dalam melakukan penyesuaian yang baik. Hasil penelitian Graham dan Jordan (2011) mengungkapkan adanya perbedaan kesejahteraan psikologis pada anak-anak korban sexual abuse dari keluarga dengan anak-anak yang memiliki perhatian dan dukungan dari orang tua, masyarakat, lembaga pemerhati sosial, serta lingkungan.Anak-anak dari keluarga yang tidak peduli cenderung mengalami gejala 15 ISSN : 2085-6601 EISSN : 2502-4590 depresif dan memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah. Mereka juga berperilaku destruktif seperti melakukan kekerasan di sekolah, putus sekolah, perilaku membolos, kebut-kebutan, merokok, penyalahgunaan narkoba, mengkonsumsi minuman keras, seks bebas, hingga menarik diri dari lingkungan. Dari uraian tersebut di atas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara dukungan sosial dengan psychological well-being pada korban sexual abuse di Kabupaten Langkat. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang datanya adalah berupa angka-angka yang akan dianalisis dengan metoda statistika tertentu untuk membuktikan hipotesis yang diajukan. Populasi penelitian adalah remaja korban sexual abuse di kabupaten Langkat yang diketahui berjumlah 32 orang berdasarkan data yang diperoleh dari P2TP2A Langkat. Sementara itu, teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu seluruh anggota populasi dijadikan sampel penelitian. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan skala psikologi.Skala psikologi merupakan pengumpulan data yang menggunakan daftar pertanyaan yang menggunakan daftar pertanyaan yang diberikan kepada subjek agar dapat mengungkap aspekaspek psikologis yang ingin diketahui. Adapun skala psikologi yang digunakan sebagai instrumen pengumpulan data adalah sebagai berikut: 1. Skala psychological well-being: disusun berdasarkan dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (Moningka, 2013) yaitu penerimaan diri (self-acceptance), hubungan yang positif dengan orang lain (positive relationship with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Setelah melalui uji coba, skala terdiri dari 18 aitem dengan koefisien korelasi rbt = 0,315 sampairbt = 0,865. 2. Skala dukungan sosial: disusun berdasarkan aspek-aspek dukungan sosial menurut House (Cohen dan Syme, 1995) yaitu emosional, penghargaan, informatif, dan instrumental. Setelah melalui uji coba, skala terdiri dari 45 aitem dengan koefisien korelasi rbt = 0,303 sampai rbt = 0,607. Aitem-aitem dalam dua skala di atas disusun dalam bentuk pernyataan favourable dan unfavourable dalam format Likert. Setiap aitem terdiri dari empat pilihan jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Penilaian yang diberikan kepada masing-masing jawaban subjek pada setiap pernyataan favourable adalah : jawaban Sangat Setuju (SS) mendapat nilai 4, jawaban Setuju (S) mendapat nilai 3, jawaban Tidak Setuju (TS) mendapat nilai 2, dan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) mendapat nilai 1. Untuk pernyataan yang bersifat unfavourable, penilaian yang diberikan adalah : jawaban Sangat Setuju (SS) mendapat nilai 1, jawaban Setuju (S) mendapat nilai 2, jawaban Tidak Setuju (TS) mendapat nilai 3, dan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) mendapat nilai 4. Penyusunan skala ini akan disusun sendiri oleh peneliti. Analisa terhadap data penelitian yang terkumpul dilakukan dengan menggunakan teknik analisa korelasi Pearson product moment, dengan tujuan utama yakni ingin melihat hubungan antara dukungan sosial dengan psychological-well being.Sebelum dilakukan analisa data dengan menggunakan teknik analisa Pearson product moment, maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi normalitas dan linieritas. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil perhitungan analisis korelasi Pearson product moment,dapat diketahui bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dan psychological well16 ISSN : 2085-6601 EISSN : 2502-4590 being (rxy = 0,679 ; p < 0,050). Temuan ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi dukungan sosial maka akan semakin tinggipsychological well-being, sebaliknya semakin rendah dukungan sosial maka akan semakin rendah psychological wellbeing. Dengan demikian maka hipotesis yang telah diajukan dalam penelitian ini dinyatakan diterima. Koefisien determinan (r2) dari hubungan di atas adalah sebesar r2 = 0,461.Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kontribusi dukungan sosial terhadap psychological wellbeingadalah sebesar sebesar 46,1% sementara sisanya (53,9%) dipengaruhi oleh variabel lain yang diteliti dalam penelitian ini. Tabel berikut merupakan rangkuman hasil perhitungan r product moment. Tabel 1. Rangkuman Hasil Analisis Korelasi Product Moment Statistik Koefisien Koef. p BE% Ket (rxy) Det (r2) X–Y 0,679 0,461 0,017 59,5 S Keterangan : X = Dukungan Sosial Y = Psychological Well Being rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dengan Y r2 = Koefisien determinan X terhadap Y p = Peluang terjadinya kesalahan BE% = Bobot sumbangan efektif X terhadap Y dalam persen S = Signifikan Kriteria yang dipakai untuk menentukan tinggi rendahnya dukungan sosial dan psychological-well being yang dimiliki para remaja korban kekerasan seksual adalah prinsip kurva normal yang dibagi 5 bidang/daerah dengan menggunakan mean hipotetik sebagai titik tengah dalam kurve normal. Selanjutnya besar satu bidang ditentukan oleh besarnya satu standar deviasi (SD). Nilai yang berada di bawah batas nilai -2SD dinyatakan sangat rendah, nilai yang berada di antara batas nilai -2SD sampai batas nilai -1SD dinyatakan rendah, nilai yang berada di antara batas nilai -1SD sampai +1SD dinyatakan normal/sedang, nilai yang berada di antara batas nilai +1SD sampai nilai +2SD dinyatakan tinggi, dan nilai yang berada di atas +2SD dinyatakan sangat tinggi. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa variabel dukungan sosial memiliki standar deviasi sebesar 121,49 dan variabel psychological well-being memiliki standar deviasi sebesar 5,804. Selanjutnya, perbandingan antara mean hipotetik dan mean empirik berdasarkan data yang terkumpul adalah sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Perhitungan Nilai Rata-rata Hipotetik dan Nilai Rata-rata Empirik VARIABEL Dukungan keluarga Psychological well-being NILAI RATARATA KETERANGAN Hipotetik Empirik Sedang 112,5 121,49 45 41,65 Sedang Berdasarkan perbandingan kedua nilai rata-rata di atas (mean hipotetik dan mean empirik), maka dapat dinyatakan bahwa subjek penelitian ini memiliki derajat dukungan sosialdan psychological wellbeing yang berada di kategori sedang. DISKUSI Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yangsignifikan antara dukungan sosial dengan psychological wellbeingpada remaja korban sexual abuse di kabupaten Langkat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tusya’ni (2014) yang mengungkapkan bahwa menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis. Penelitian ini lebih difokuskan pada kontribusi variabel dukungan sosial terhadap psychological well-being pada remaja korban sexual abuse di kabupaten Langkat. Bila korban kekerasan seksual mendapatkan dukungan sosial dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya, kemungkinan besar korban tidak merasa terkucil dan terpisah dari kelompok. Perasaan terkucil atau terpisah yang 17 ISSN : 2085-6601 EISSN : 2502-4590 dialami para korban kekerasan sekssual rentan memunculkan rasa kecewa, bingung, kesepian, ragu-ragu, khawatir, takut, putus asa, ketergantungan, kekosongan, dan kerinduan. Korban yang merasa diterima oleh lingkungan akan merasa seperti remaja lain yang tidak terlihat cacat cela oleh masyarakat sehingga ia akan memiliki psychological well-being dalam derajat yang lebih besar. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being adalah dukungan sosial (Ryff &Keyes, 1995). Dukungan sosial adalah kehadiran orang lain yang dapat membuat individu percaya bahwa dirinya dicintai, diperhatikan, dan merupakan bagian dari kelompok sosial (Taylor, 2009). Dukungan ini dapat berasal dari berbagai sumber diantaranya orang yang dicintai seperti orang tua, pasangan, anak, teman, dan kontak sosial dengan masyarakat (Rietschlin, dalam Taylor, 2009).Individu membangun dan memelihara hubungan sosial sehingga mendorong mereka untuk memilih dukungan sosial yang berbeda untuk fungsi yang berbeda, misalnya memilih orang-orang tertentu yang diandalkan untuk dukungan emosional, sementara yang lain untuk dukungan instrumental. Melihat pengaruh dari dukungan sosial terhadap psychological well-being yang ditemukan dalam penelitian ini adalah sebesar 46.1%, berarti masih terdapat 53.9% pengaruh dari faktor lain namun tidak diteliti dalam penelitian ini, yaitu perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, pernikahan, kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu luang, peristiwa dalam hidup, kemampuan atau kompetensi, dan kepribadian. KESIMPULAN Temuan penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan psychological well-being pada remaja korban sexual abuse di kabupaten Langkat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial yang diterima remaja korban sexual abuse, maka akan semakin tinggi psychological wellbeing yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial yang diterima remaja korban sexual abuse, maka akan semakin rendah pula psychological wellbeing yang dimilikinya. Penelitian ini menemukan pula bahwa kontribusi dukungan sosial terhadap psychological well-being remaja korban kekerasan seksual adalah sebesar 46,1% dan masih terdapat sebesar 53,9% peranan dari faktor lain terhadap psychological well-being tersebut. Faktor lainnya tersebut diantaranya adalah perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, pernikahan, kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu luang, peristiwa dalam hidup, kemampuan atau kompetensi, dan kepribadian. DAFTAR PUSTAKA Adiputra, R & Moningka, C. (2012).Gambaran Psychological Wellbeing pada Perempuan Dewasa Awal.Jurnal Psikologi. Vol 05.Jakarta: Universitas Bunda Mulia Anonimous. (2015). LRC KJHAM.<http://www.suaramerdeka.co m> Cohen, S. & Syme, S.L. (1995).Sosial Support.Orlando: Academic Press Inc. Colvin, Geoff; Flannery, K Brigid; Sugai, George & Monegan, James. (2009). Using Observational Data to Provide Performance Feedback to Teachers: A High School Case Study. Winter. Vol 53, No 2: 95-105. Faturochman, dkk. (2012). Psikologi untuk Kesejahteraan Masyarakat.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gosita, Arief. (2013). Masalah Korban Kejahatan.Jakarta: Akademik Pressindo. Graham, Helen, dan Jordan, W. (2011). Psychological Well-Being dalam Konteks Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 18 ISSN : 2085-6601 EISSN : 2502-4590 Lin, Nan., Woefel dan Light. (2001). Social Capital: A Theory of Social Structure and Action. NY: Cambridge University Press. Maenapothi, R. (2007). Happiness in the Workplace Indicator.Master’s Thesis. National Institute of Development Administration. Ryff & Burton. (2007). Know Thyself and Become What You Are: A Eudaimonic Approach to Psychological Wellbeing. Journal of Happiness Studies. Vol. 9 No 13: page 39. Ryff, C. D. & Keyes, C. L. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 69: 719-727. Saeroni, Willem. (2011). Kekerasan dalam Rumah Tangga: dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika. Solihin. (2006). Kesejahteraan Psikologis Pada Anak yang Mengalami Tindakan Kekerasan Dalam Keluarga.Jurnal Pendidikan Penabur. No. 03/Thn III/Desember 2006. Taylor, S.E., Peplau, L.A., Sears, D.O. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Tusya’ni, A. (2014). Hubungan Dukungan Sosial dan Kesejahteraan Psikologis pada Ibu Bekerja di Kantor Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.Semarang: Universitas Diponegoro. 19