hubungan dukungan sosial dengan psychological well-being

advertisement
ISSN : 2085-6601
EISSN : 2502-4590
HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL
WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN SEXUAL ABUSE
Suryani Hardjo1*), Eryanti Novita1
1
Program Studi Magister Psikologi, Program Pascasarjana, Universitas Medan Area
*)
E-mail :[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan
psychological well-being pada remaja korban kekerasan seksual. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Populasi penelitian adalah remaja korban
kekerasan seksual di kabupaten Langkat yang diketahui berjumlah 32 orang. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling yaitu seluruh anggota populasi
dijadikan sampel penelitian. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan
skala psikologi, yaitu skala psychological well-being dan skala dukungan sosial yang
dikembangkan peneliti berdasarkan teori yang relevan. Analisa terhadap data penelitian yang
terkumpul dilakukan dengan menggunakan teknik analisa korelasi pearson product
moment.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara
dukungan sosial dengan psychological well-being pada remaja korban kekerasan seksual.
Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh remaja korban kekerasan seksual maka
akan semakin tinggi psychological well-being yang mereka miliki. Sebaliknya, semakin rendah
dukungan sosial yang diterima oleh remaja korban kekerasan seksual maka akan semakin
rendah psychological well-being yang mereka miliki.
Kata Kunci : dukungan sosial, psychological well-being, remaja korban kekerasan seksual
Abstract
This study aimed to determine the relationship between social support and psychological wellbeing in adolescent victims of sexual abuse. The study was conducted using a quantitative
correlational approach. The population study was adolescent victims of sexual abuse in the
district known Langkat amounted to 32 people. The sampling technique used was total
sampling which all members of the population study sampled. The data was collected by using
the scale of psychological well-being and social support which were developed based on the
theory of relevant researchs. An analysis of the research data collected was done by using
pearson product moment correlation analysis. The results showed that there was a significant
positive relationship between social support and psychological well-being in adolescent victims
of sexual violence. The higher the social support received by adolescent victims of sexual
violence, the higher psychological well-being that they had. Conversely, the lower the social
support received by adolescent victims of sexual violence, the lower psychological well-being
that they had.
Keywords : social support, psychological well-being, adolescent victims of sexual abuse
12
ISSN : 2085-6601
EISSN : 2502-4590
Masalah kejahatan adalah problem
manusia yang merupakan suatu kenyataan
sosial dan produk dari masyarakat yang
selalu mengalami perkembangan. Bahkan
dapat dikatakan bahwa usia kejahatan
seumur dengan manusia karena dimana
terdapat masyarakat maka disitu terdapat
kejahatan. Salah satu kejahatan yang
terjadi dan sangat merugikan serta
meresahkan
masyarakat
adalah
pemerkosaan.
Akhir-akhir ini masyarakat sering
dikejutkan oleh media dengan pemberitaan
tentang
pemerkosaan.
Daftar
kasus
pemerkosaan
di
Indonesia
semakin
bertambah dan berbagai macam cara
dilakukan oleh para pelaku kejahatan ini.
Menurut Direktur LRC KJHAM, Fatkhurozi,
pada tahun 1999 hingga 2011 ditemukan
adanya
400.939
kasus
kekerasan
perempuan yang dicatat oleh Komnas
Perempuan Indonesia. Hampir mencapai
seperempat total kasus tersebut adalah
kekerasan seksual yaitu sebanyak 93.960
kasus. Jenis kekerasan seksual terbanyak
adalah pemerkosaan yang diketahui
mencapai 4845 kasus. Sementara itu,
jumlah kasus tertinggi pada setiap tahunnya
menurut data yang dilansir oleh Legal
Resoucer Center untuk Keadilan Jender
dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM)
Jawa Tengah adalah pemerkosaan. Pada
tahun 2014, terjadi 140 kasus pemerkosaan
dengan 172 korban, dan 4 orang di
antaranya meninggal. Hal ini menunjukkan
betapa banyaknya kasus pemerkosaan dan
sexual abuse di Indonesia (Suara Merdeka,
5 Januari 2015).
Sexual abuse menjadi salah satu
bahasan yang cukup menantang pada
berbagai permasalahan kehidupan saat ini.
Permasalahan sexual abuse semakin
banyak ditemui dan dialami anak-anak dan
permasalahan tersebut menimbulkan efek
yang dapat dirasakan pula sampai usia
dewasa. Kajian klinis dengan dasar teroritis,
didukung oleh kalangan praktisi yang
menangani kasus sexual abuse, perlu
menyajikan berbagai informasi yang mudah
diakses tentang intervensi dan treatmen
untuk
menangani
kasus-kasus
tersebut.Pedoman intervensi pelecehan
seksual perlu diformat secara ringkas dan
konsisten sehingga mudah digunakan oleh
praktisi dan profesional yang tertarik
menangani kasus sexual abuse.Saat ini
penelitian yang mengeksplorasi anak-anak
korban kekerasan seksual tergolong cukup
banyak.
Hunter (Gosita, 2013) menyebutkan
bahwa 80% korban sexual abuse pelakunya
adalah pria dan 90% pengalaman seksual
melibatkan korban yang masih anakanak.Penelitian
ini
mengungkapkan
beberapa kompleksitas yang terlibat dalam
masalah sexual abuse yang dialami anakanak, sedangkan sebagian besar pelecehan
seksual yang dialami oleh korban yang
berusia dewasa tidak terlalu banyak
dilaporkan dibandingkan kasus anak.
Selanjutnya Hunter (Gosita, 2013)
menemukan adanya banyak bukti kualitatif
yang berpotensi merugikan anak-anak.
Hasilnya antara lain, teridentifikasi ada
dampak pelecehan seksual dan tekanan
psikologis pada anak-anak, sehingga
memunculkan berbagai kecenderungan
psikopatologi,
termasuk
depresi,
penyalahgunaan alkohol, perilaku antisosial,
resiko bunuh diri, kecemasan tentang seks,
dan ketertekanan kehidupan pribadinya.
Pengalaman pelecehan seksual anak pun
bervariasi
pula,
tergantung
tingkat
keparahan yang dideritanya.Kompleksitas
masalah pelecehan seksual memiliki
keterkaitan dengan faktor sosial budaya,
frekuensi atau durasi penyalahgunaan yang
berdampak pada minimnya dukungan sosial
keluarga serta disfungsional perilaku yang
terkait
dengan
dinamika
sistem
keluarga.Keadaan ini sering membuat
khalayak mengalami kesulitan pula untuk
membedakan efek dari pelecehan seksual
pada
orang-orang
yang
mengalami
hambatan psikososial kronis atau bahkan
kemalangan semata.
Bentuk-bentuk sexual abuse yang
terjadi pada anak adalah sodomi,
perkosaan, pencabulan, incest, kekerasan
fisik dan psikis, yang jumlahnya mencapai
1.020 kasus atau setara dengan 62,7
persen. Dari data Komisi Perlindungan
13
ISSN : 2085-6601
EISSN : 2502-4590
Anak Indonesia, kekerasan terhadap anak
datanya terus meningkat dari tahun ke
tahun. Sepanjang tahun 2014 tercatat 2.508
kasus kekerasan terhadap anak, terjadi
peningkatan dari tahun sebelumnya 2010
mencapai 2. 413 kasus.Pelanggaran
terhadap hak anak ini tidak semata-mata
pada tingkat kuantitas/jumlah saja yang
meningkat, namun terlihat pula semakin
kompleks
dan
beragamnya
modus
pelanggaran hak anak
itu sendiri,
khususnya
perebutan
anak
pasca
perceraian.
Dampak kekerasan seksual amat
berpengaruh terhadap harga diri anak yang
termanifestasikan dalam sikap dan perilaku
mereka di masyarakat. Bagi korban yang
masih anak-anak akan terbentuk citra diri
yang negatif, rasa tak berdaya, perilaku
pasif, sulit mempercayai orang lain dan rasa
ketidakadilan secara umum. Dibutuhkan
penanganan yang serius dan segera dari
semua pihak agar budaya kekerasan dapat
diubah, dan bagi korban dibutuhkan
penanganan secara intensif agar dapat
hidup dan menghadapi masa depannya
secara
positif
dengan
mencapai
kesejahteraan psikologisnya (psychological
well-being).
Menurut Corsini (Solihin, 2006),
psychologicalwell-being
adalah
suatu
keadaan subyektif yang baik, termasuk
kebahagiaan, self-esteem,dan kepuasan
dalam hidup. Psychological well-being
adalah tingkat kemampuan individu dalam
menerima dirinya apa adanya, membentuk
hubungan yang hangat dengan orang lain,
mandiri
terhadap
tekanan
sosial,
mengontrol lingkungan eksternal, memiliki
arti dalam hidup, serta merealisasikan
potensi dirinya secara kontinyu (Ryff &
Keyes,
dalam
Flannery,
2009).
Psychological
well-being
berhubungan
dengan kepuasan pribadi, keterikatan,
harapan, rasa syukur, stabilitas suasana
hati, pemaknaan terhadap diri sendiri, harga
diri, kegembiraan, kepuasan dan optimisme,
termasuk juga mengenali kekuatan dan
mengembangkan bakat dan minat yang
dimiliki (Bartram & Boniwell, dalam
Faturochman 2012).Psychological well-
being memimpin individu untuk menjadi
kreatif dan memahami apa yang sedang
dilakukannya (Bartram & Boniwell, dalam
Faturochman, 2012).
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa psychological well-being
secara umum dapat diartikan sebagai suatu
bentuk kepuasan terhadap aspek-aspek
hidup
sehingga
mendatangkan
atau
menimbulkan perasaan bahagia dan
perasaan damai pada hidup seseorang,
namun standar kepuasan pada setiap orang
berbeda
sehingga
hal
ini
bersifat
subjektif.Psychological well-being sendiri
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya perbedaan jenis kelamin, usia,
pendidikan,
pendapatan,
pernikahan,
kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu
luang, peristiwa dalam hidup, kemampuan
atau kompetensi, dukungan sosial dan
kepribadian (Eddington & Shuman, dalam
Faturochman, 2012).
Psychological
well-being
mempengaruhi penyesuaian sosial anak
untuk
dapat
hidup
normal
seperti
anak/remaja lain yang tidak pernah
mengalami
pengalaman
negatif.
Psychological well-being adalah konsep
multidimensional mengenai sejauh apa
seseorang
menjalankan
fungsi-fungsi
psikologisnya secara positif. Berdasarkan
teori kesehatan mental, teori psikologi
perkembangan,
dan
unsur-unsur
gerontologi,
Ryff
(Moningka,
2013)
mengemukakan
enam
dimensi
dari
psychological
well-being,
yaitu
1)
Penerimaan Diri (self-acceptance), yang
mengacu kepada bagaimana individu
menerima diri dan pengalamannya; 2)
Hubungan interpersonal (positive relation
with others), yang mengacu pada
bagaimana individu membina hubungan
dekat dan saling percaya dengan orang
lain; 3) Otonomi (autonomy), yang mengacu
pada kemampuan individu untuk lepas dari
pengaruh orang Iain dalam menilai dan
memutuskan
segala
sesuatu;
4)
Penguasaan Lingkungan (environmental
mastery), yang mengacu pada bagaimana
kemampuan individu menghadapi hal-hal di
lingkungannya; 5) Tujuan Hidup (purpose in
14
ISSN : 2085-6601
EISSN : 2502-4590
life), yang mengacu pada hal-hal yang
dianggap penting dan ingin dicapai individu
dalam kehidupan; serta 6) Pertumbuhan
Pribadi (personal growth), yang mengacu
pada bagaimana individu memandang
dirinya berkaitan dengan harkat manusia
untuk selalu tumbuh dan berkembang.
Bagi korban sexual abuse,langkah
awal yang dapat ditempuh untuk membantu
mereka adalah dengan mendorong sikap
terbuka dan melakukan prevensi intervensi
pada pihak sekolah, orang tua dan
anak.Intervensi yang tepat diperlukan agar
anak-anak tumbuh dan berkembang secara
sehat dan bahagia.
Sebuah studi yang dilakukan oleh
Aizer (Saeroni, 2011) terhadap anak
berusia lima hingga empat belas tahun yang
kurang mendapat dukungan dan perhatian
secara sosial dari orang tua maupun
lingkungan
tempatnya
tinggal,
memperlihatkan kenakalan, penggunaan
obat dan alkohol, dan bermasalah di
sekolah. Peran dukungan sosial menjadi
sangat penting ketika anak-anak berusia
remaja, terutama ketika anak memasuki
periode remaja awal; yang memberikan
kesempatan mereka untuk tumbuh, tidak
hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam
kompetensi kognitif dan sosial, otonomi,
harga diri,
dan keintiman.
Karena
menghadapi berbagai perubahan yang
terjadi
secara
bersamaan,
mereka
membutuhkan bantuan dalam menjalani
masa ini (Faturochman, 2012).
Lin, Woefel dan Light (1985)
mengemukakan bahwa dukungan sosial
merupakan kebutuhan, seperti persetujuan,
esteem, dan pertolongan yang diperoleh
dari orang-orang yang mempunyai arti bagi
dirinya.House (Cohen dan Syme, 1995)
membagi dukungan sosial atas empat
aspek,
yakni
dukungan
emosional,
dukungan penilaian, dukungan informatif,
dan
dukungan
instrumen.Dukungan
emosional merupakan bentuk dukungan
sosial berupa empati, kepedulian, dan
perhatian
terhadap
orang
yang
bersangkutan.
Dukungan
penilaian
merupakan
dukungan
sosial
berupa
ungkapan hormat secara positif kepada
seseorang, dorongan untuk maju atau
persetujuan dengan gagasan atau perasaan
individu dan perbandingan positif seseorang
dengan orang-orang lain. Dukungan
informatif merupakan bentuk dukungan
sosial berupa pemberian nasehat, saran,
petunjuk-petunjuk,
dan
umpan
balik.Terakhir,
dukungan
instrumental
merupakan bentuk dukungan sosial yang
bersifat langsung, misalnya bantuan
peralatan, pekerjaan, dan keuangan.
Anak/remaja yang sejahtera baik
secara fisik maupun psikologis akan
memiliki performa yang baik serta mampu
beradaptasi dan melakukan penyesuaian
sosial di lingkungannya secara baik.
Menurut Maenapothi (2007), psychological
well-being anak/remaja merupakan situasi
dimana individu akan merasa senang dan
tidak merasa seperti terpaksa, lebih efektif
dan memiliki keyakinan dan kepercayaan
terhadap orang lain secara baik untuk
dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Psychological well-being merupakan
sebuah gagasan yang dianggap relatif
kompleks yaitu keadaan psikologis yang
memang sangat dipengaruhi oleh kualitas
hubungan remaja tersebut dalam keluarga,
orangtua, dan lingkungannya (Ryff, 2007).
Psychological well-being dapat dicirikan
sebagai indikator fungsi mental yang baik
dan merupakan suatu dorongan untuk
menggali potensi diri individu secara
keseluruhan
agar
dapat
mencapai
kesuksesan.Psychological
well-being
dibutuhkan
agar
individu
dapat
meningkatkan efektivitas dalam berbagai
bidang kehidupan salah satunya adalah
dalam penyesuaian sosial. Remaja yang
mempunyai psychological well-being yang
baik akan memiliki kemampuan dalam
melakukan penyesuaian yang baik.
Hasil penelitian Graham dan Jordan
(2011) mengungkapkan adanya perbedaan
kesejahteraan psikologis pada anak-anak
korban sexual abuse dari keluarga dengan
anak-anak yang memiliki perhatian dan
dukungan dari orang tua, masyarakat,
lembaga
pemerhati
sosial,
serta
lingkungan.Anak-anak dari keluarga yang
tidak peduli cenderung mengalami gejala
15
ISSN : 2085-6601
EISSN : 2502-4590
depresif dan memiliki tingkat kesejahteraan
psikologis yang lebih rendah. Mereka juga
berperilaku destruktif seperti melakukan
kekerasan di sekolah, putus sekolah,
perilaku
membolos,
kebut-kebutan,
merokok,
penyalahgunaan
narkoba,
mengkonsumsi minuman keras, seks
bebas, hingga menarik diri dari lingkungan.
Dari uraian tersebut di atas, peneliti tertarik
untuk meneliti hubungan antara dukungan
sosial dengan psychological well-being
pada korban sexual abuse di Kabupaten
Langkat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif, yaitu penelitian yang datanya
adalah berupa angka-angka yang akan
dianalisis dengan metoda statistika tertentu
untuk membuktikan hipotesis yang diajukan.
Populasi penelitian adalah remaja korban
sexual abuse di kabupaten Langkat yang
diketahui berjumlah 32 orang berdasarkan
data yang diperoleh dari P2TP2A Langkat.
Sementara itu, teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini adalah total sampling
yaitu seluruh anggota populasi dijadikan
sampel penelitian.
Pengumpulan
data
penelitian
dilakukan dengan menggunakan skala
psikologi.Skala
psikologi
merupakan
pengumpulan data yang menggunakan
daftar pertanyaan yang menggunakan
daftar pertanyaan yang diberikan kepada
subjek agar dapat mengungkap aspekaspek psikologis yang ingin diketahui.
Adapun skala psikologi yang digunakan
sebagai instrumen pengumpulan data
adalah sebagai berikut:
1. Skala psychological well-being: disusun
berdasarkan dimensi psychological
well-being yang dikemukakan oleh Ryff
(Moningka, 2013) yaitu penerimaan diri
(self-acceptance),
hubungan
yang
positif dengan orang lain (positive
relationship with others), otonomi
(autonomy), penguasaan lingkungan
(environmental mastery), tujuan hidup
(purpose in life), dan pertumbuhan
pribadi (personal growth). Setelah
melalui uji coba, skala terdiri dari 18
aitem dengan koefisien korelasi rbt =
0,315 sampairbt = 0,865.
2. Skala dukungan sosial:
disusun
berdasarkan aspek-aspek dukungan
sosial menurut House (Cohen dan
Syme,
1995)
yaitu
emosional,
penghargaan,
informatif,
dan
instrumental. Setelah melalui uji coba,
skala terdiri dari 45 aitem dengan
koefisien korelasi rbt = 0,303 sampai rbt
= 0,607.
Aitem-aitem dalam dua skala di atas
disusun
dalam
bentuk
pernyataan
favourable dan unfavourable dalam format
Likert. Setiap aitem terdiri dari empat pilihan
jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju
(S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak
Setuju (STS). Penilaian yang diberikan
kepada masing-masing jawaban subjek
pada setiap pernyataan favourable adalah :
jawaban Sangat Setuju (SS) mendapat nilai
4, jawaban Setuju (S) mendapat nilai 3,
jawaban Tidak Setuju (TS) mendapat nilai
2, dan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS)
mendapat nilai 1. Untuk pernyataan yang
bersifat unfavourable, penilaian yang
diberikan adalah : jawaban Sangat Setuju
(SS) mendapat nilai 1, jawaban Setuju (S)
mendapat nilai 2, jawaban Tidak Setuju
(TS) mendapat nilai 3, dan jawaban Sangat
Tidak Setuju (STS) mendapat nilai 4.
Penyusunan skala ini akan disusun sendiri
oleh peneliti.
Analisa terhadap data penelitian yang
terkumpul dilakukan dengan menggunakan
teknik analisa korelasi Pearson product
moment, dengan tujuan utama yakni ingin
melihat hubungan antara dukungan sosial
dengan psychological-well being.Sebelum
dilakukan
analisa
data
dengan
menggunakan teknik analisa Pearson
product moment, maka terlebih dahulu
dilakukan uji asumsi normalitas dan
linieritas.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan
hasil
perhitungan
analisis
korelasi
Pearson
product
moment,dapat diketahui bahwa terdapat
hubungan positif yang signifikan antara
dukungan sosial dan psychological well16
ISSN : 2085-6601
EISSN : 2502-4590
being (rxy = 0,679 ; p < 0,050). Temuan ini
mengindikasikan bahwa semakin tinggi
dukungan sosial maka akan semakin
tinggipsychological well-being, sebaliknya
semakin rendah dukungan sosial maka
akan semakin rendah psychological wellbeing. Dengan demikian maka hipotesis
yang telah diajukan dalam penelitian ini
dinyatakan diterima.
Koefisien determinan (r2) dari
hubungan di atas adalah sebesar r2 =
0,461.Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan bahwa kontribusi dukungan
sosial
terhadap
psychological
wellbeingadalah sebesar sebesar 46,1%
sementara sisanya (53,9%) dipengaruhi
oleh variabel lain yang diteliti dalam
penelitian ini. Tabel berikut merupakan
rangkuman hasil perhitungan r product
moment.
Tabel 1. Rangkuman
Hasil
Analisis
Korelasi Product Moment
Statistik Koefisien Koef.
p BE% Ket
(rxy)
Det (r2)
X–Y
0,679
0,461 0,017 59,5 S
Keterangan :
X
= Dukungan Sosial
Y
= Psychological Well Being
rxy
= Koefisien korelasi antara variabel X
dengan Y
r2
= Koefisien determinan X terhadap Y
p
= Peluang terjadinya kesalahan
BE% = Bobot sumbangan efektif X terhadap
Y dalam persen
S
= Signifikan
Kriteria
yang
dipakai
untuk
menentukan tinggi rendahnya dukungan
sosial dan psychological-well being yang
dimiliki para remaja korban kekerasan
seksual adalah prinsip kurva normal yang
dibagi
5
bidang/daerah
dengan
menggunakan mean hipotetik sebagai titik
tengah dalam kurve normal. Selanjutnya
besar satu bidang ditentukan oleh besarnya
satu standar deviasi (SD). Nilai yang berada
di bawah batas nilai -2SD dinyatakan
sangat rendah, nilai yang berada di antara
batas nilai -2SD sampai batas nilai -1SD
dinyatakan rendah, nilai yang berada di
antara batas nilai -1SD sampai +1SD
dinyatakan normal/sedang, nilai yang
berada di antara batas nilai +1SD sampai
nilai +2SD dinyatakan tinggi, dan nilai yang
berada di atas +2SD dinyatakan sangat
tinggi. Berdasarkan hasil perhitungan
diketahui bahwa variabel dukungan sosial
memiliki standar deviasi sebesar 121,49
dan variabel psychological well-being
memiliki standar deviasi sebesar 5,804.
Selanjutnya, perbandingan antara mean
hipotetik dan mean empirik berdasarkan
data yang terkumpul adalah sebagai
berikut:
Tabel 2. Hasil Perhitungan Nilai Rata-rata
Hipotetik dan Nilai Rata-rata
Empirik
VARIABEL
Dukungan
keluarga
Psychological
well-being
NILAI RATARATA
KETERANGAN
Hipotetik Empirik
Sedang
112,5 121,49
45
41,65
Sedang
Berdasarkan perbandingan kedua
nilai rata-rata di atas (mean hipotetik dan
mean empirik), maka dapat dinyatakan
bahwa subjek penelitian ini memiliki derajat
dukungan sosialdan psychological wellbeing yang berada di kategori sedang.
DISKUSI
Hasil penelitian menunjukkan adanya
hubungan positif yangsignifikan antara
dukungan sosial dengan psychological wellbeingpada remaja korban sexual abuse di
kabupaten Langkat. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Tusya’ni (2014) yang
mengungkapkan
bahwa
menunjukkan
bahwa ada hubungan positif antara
dukungan sosial dengan kesejahteraan
psikologis.
Penelitian ini lebih difokuskan pada
kontribusi
variabel
dukungan
sosial
terhadap psychological well-being pada
remaja korban sexual abuse di kabupaten
Langkat. Bila korban kekerasan seksual
mendapatkan dukungan sosial dari keluarga
dan
orang-orang
di
sekitarnya,
kemungkinan besar korban tidak merasa
terkucil dan terpisah dari kelompok.
Perasaan terkucil atau terpisah yang
17
ISSN : 2085-6601
EISSN : 2502-4590
dialami para korban kekerasan sekssual
rentan memunculkan rasa kecewa, bingung,
kesepian, ragu-ragu, khawatir, takut, putus
asa, ketergantungan, kekosongan, dan
kerinduan. Korban yang merasa diterima
oleh lingkungan akan merasa seperti
remaja lain yang tidak terlihat cacat cela
oleh masyarakat sehingga ia akan memiliki
psychological well-being dalam derajat yang
lebih besar.
Seperti
yang
telah
diuraikan
sebelumnya, salah satu faktor yang
mempengaruhi psychological well-being
adalah dukungan sosial (Ryff &Keyes,
1995). Dukungan sosial adalah kehadiran
orang lain yang dapat membuat individu
percaya
bahwa
dirinya
dicintai,
diperhatikan, dan merupakan bagian dari
kelompok sosial (Taylor, 2009). Dukungan
ini dapat berasal dari berbagai sumber
diantaranya orang yang dicintai seperti
orang tua, pasangan, anak, teman, dan
kontak
sosial
dengan
masyarakat
(Rietschlin, dalam Taylor, 2009).Individu
membangun dan memelihara hubungan
sosial sehingga mendorong mereka untuk
memilih dukungan sosial yang berbeda
untuk fungsi yang berbeda, misalnya
memilih
orang-orang
tertentu
yang
diandalkan untuk dukungan emosional,
sementara yang lain untuk dukungan
instrumental.
Melihat
pengaruh
dari
dukungan sosial terhadap psychological
well-being yang ditemukan dalam penelitian
ini adalah sebesar 46.1%, berarti masih
terdapat 53.9% pengaruh dari faktor lain
namun tidak diteliti dalam penelitian ini,
yaitu perbedaan jenis kelamin, usia,
pendidikan,
pendapatan,
pernikahan,
kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu
luang, peristiwa dalam hidup, kemampuan
atau kompetensi, dan kepribadian.
KESIMPULAN
Temuan penelitian menunjukkan
adanya hubungan positif yang signifikan
antara
dukungan
sosial
dengan
psychological well-being pada remaja
korban sexual abuse di kabupaten Langkat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi dukungan sosial yang
diterima remaja korban sexual abuse, maka
akan semakin tinggi psychological wellbeing yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin
rendah dukungan sosial yang diterima
remaja korban sexual abuse, maka akan
semakin rendah pula psychological wellbeing yang dimilikinya.
Penelitian ini menemukan pula bahwa
kontribusi dukungan sosial terhadap
psychological well-being remaja korban
kekerasan seksual adalah sebesar 46,1%
dan
masih terdapat sebesar 53,9%
peranan
dari
faktor
lain
terhadap
psychological well-being tersebut. Faktor
lainnya
tersebut
diantaranya
adalah
perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan,
pendapatan, pernikahan, kepuasan kerja,
kesehatan, agama, waktu luang, peristiwa
dalam hidup, kemampuan atau kompetensi,
dan kepribadian.
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra,
R
&
Moningka,
C.
(2012).Gambaran Psychological Wellbeing pada Perempuan Dewasa
Awal.Jurnal Psikologi. Vol 05.Jakarta:
Universitas Bunda Mulia
Anonimous.
(2015).
LRC
KJHAM.<http://www.suaramerdeka.co
m>
Cohen, S. & Syme, S.L. (1995).Sosial
Support.Orlando: Academic Press Inc.
Colvin, Geoff; Flannery, K Brigid; Sugai,
George & Monegan, James. (2009).
Using Observational Data to Provide
Performance Feedback to Teachers:
A High School Case Study. Winter.
Vol 53, No 2: 95-105.
Faturochman, dkk. (2012). Psikologi untuk
Kesejahteraan
Masyarakat.Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar.
Gosita, Arief. (2013). Masalah Korban
Kejahatan.Jakarta:
Akademik
Pressindo.
Graham, Helen, dan Jordan, W. (2011).
Psychological
Well-Being
dalam
Konteks Sosial.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
18
ISSN : 2085-6601
EISSN : 2502-4590
Lin, Nan., Woefel dan Light. (2001). Social
Capital: A Theory of Social Structure
and Action. NY: Cambridge University
Press.
Maenapothi, R. (2007). Happiness in the
Workplace Indicator.Master’s Thesis.
National Institute of Development
Administration.
Ryff & Burton. (2007). Know Thyself and
Become What You Are: A Eudaimonic
Approach to Psychological Wellbeing. Journal of Happiness Studies.
Vol. 9 No 13: page 39.
Ryff, C. D. & Keyes, C. L. (1995). The
Structure of Psychological Well-Being
Revisited. Journal of Personality and
Social Psychology. Vol 69: 719-727.
Saeroni, Willem. (2011). Kekerasan dalam
Rumah Tangga: dalam Perspektif
Yuridis-Viktimologis. Jakarta:
Sinar
Grafika.
Solihin. (2006). Kesejahteraan Psikologis
Pada Anak yang Mengalami Tindakan
Kekerasan Dalam Keluarga.Jurnal
Pendidikan Penabur. No. 03/Thn
III/Desember 2006.
Taylor, S.E., Peplau, L.A., Sears, D.O.
(2009). Psikologi Sosial. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Tusya’ni, A. (2014). Hubungan Dukungan
Sosial dan Kesejahteraan Psikologis
pada Ibu Bekerja di Kantor Sekretariat
Daerah Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah.Semarang:
Universitas
Diponegoro.
19
Download