ISSN: 1411-0229 VOLUME : 16 No. 1 Maret 2015 Isi Menjadi Tanggung Jawab Penulis Daftar Isi Tukimin, SE., M.MA Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pada Pabrik Roti Mawar Medan Mutawaqil Bilah Tumanggor. SE / Dani Habra, SE., M.MA Peranan Usaha Kecil Menengah (UKM) Terhadap Pembangunan Ekonomi Kabupaten Serdang Bedagai Iwan Setyawan, SH., MH Hukuman Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak Menurut Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Bambang Hermanto, SP, M.Si Analisis Sistem Integrasi Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta Crautz) – Ternak kambing (Capra aegagrus hircus) Terhadap Pendapatan Petani Edward Arif Hakim Hasibuan, SE, MAP Aplikasi Balanced Scorecard Dalam Kontrol Manajemen Sofyan, S.Pd Penggunaan Bimbingan Pribadi Dan Sosial Materi Etika Pergaulan Remaja Dengan Layanan Kelompok Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas XII SMA Negeri 9 Medan T.A. 2013/2014 Yohanes Dakhi, SE., MM Keterkaitan Pemberian Insentif Dengan Prestasi Kerja Karyawan Drs. Baziduhu Laia, M.Pd Peranan Multimedia Dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran Harianto, II, SS., MS Peranan Bahasa, Budaya Dalam Kehidupan Nila Afningsih / Dani Ansari Pengaruh Metode Debat Plus Terhadap Peningkatan Kemampuan Berbicara Dalam Bahasa Inggris Anny Sartika Daulay / Emma Trivitasari Jumlah Konsumsi Maksimal Mie Instan Berdasarkan Penentuan Kadar Monosodium Glutamat (MSG) Bumbu Penyedapnya Cut Latifah Zahari / Irpan Apandi Batubara Model PBM Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Komunikasi Matematika Dian Puspitasari Kandungan Senyawa Metabolit Sekunder Pada Ekstrak Getah Mangrove Excoecaria agallocha Pada Pelarut N-Hexane Megawati Faktor-Faktor Peranan Berhubungan Dengan Lamanya Penyembuhan Luka Pada Penderita Diabetes Mellitus Di RSUP Dr. Pirngadi Medan Tahun 2014 Sri Siswati Hubungan Kompetensi Pedagogik Guru Dan Efikasi Diri Dengan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa Kelas IX SMP Al-Ulum Terpadu Medan Rayuwati, M.Kom Pengembangan Sistem Otomasi Perpustakaan Berdasar Businness Process Di Perpustakaan Diah Eka Puspita, SP, M.Si Pengaruh Peretasan Kulit Biji Dan Konsentrasi KNO3 Terhadap Perkecambahan Dan Pertumbuhan Biji Sirsak (Annona muricata L.) Wan Mariatul Kifti, SE, MM Pengaruh Kompensasi Dan Loyalitas Karyawan Terhadap Pengunduran Diri (Intensi Turnover) Karyawan Pada PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran Tinur Rahmawati Harahap, M.Pd Penggunaan Media Gambar Dalam Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia Pada Tingkat Sekolah Dasar Dra. Sakila Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Bahasa Inggris Dra. Conny Jeany Francis Matullesy Penerapan Model ―Make A Match‖ Untuk Pencapaian Kompetensi IPS Terpadu Afrida Lubis Penerapan Model Pembelajaran Keterampilan Proses Untuk Meningkatkan Penguasaan Kompetensi Pendidikan Agama Islam Dewi, S.Pd Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Inggris Pancaria Sihombing, S.Pd Penerapan Model Example Non Example Dalam Upaya Meningkatkan Aktivitas Belajar IPS Terpadu Rasmin Simbolon Peningkatan Kompetensi Guru Menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together Pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR Di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan Rini Fadhillah Putri The Effect Of Advance Organizer Technique On The Students‘ Reading Comprehension Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah ISSN: 1411 – 0229 MAJALAH ILMIAH KULTURA VOL. 16 NO. 1 Maret 2015 1. 2. Pelindung : Drs. H. Kondar Siregar, MA Pembina : Drs. Ridwanto, M.Si : Drs. H. Firmansyah, M.Si : 3. Ketua Pengarah : Dr. Ahmad Laut Hasibuan, M.Pd 4. Penyunting Ketua : Drs. H. Zuberuddin Siregar, MM Sekretaris : Drs. Saiful Anwar Matondang, MA Anggota : Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA : Dr. H. Yusnar Yusuf, MS : Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum : Dr. Mara Bangun Harahap, MS : Drs. Ulian Barus, M.Pd : Dr. Abd. Rahman Dahlan, MA : Nelvitia Purba, SH, M.Hum : Ir. Zulkarnain Lubis, M.Si : Dr. M. Pandapotan Nst, MPS, Apt Disainer / Ilustrator : Drs. A. Sukri Nasution : Anwar Sadat, S.Ag, M.Hum 5. 6. Bendahara/Sirkulasi : Drs. A. Marif, M.Si : Nasruddin Nasrun : Abdul Hamid Pengantar Penyunting Assalamu’alaikum Wr.Wb. Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah SWT atas berkat-Nya penyunting dapat menghadirkan kembali Volume 16. Volume 16 No. 1 Maret 2015 Majalah Ilmiah Kultura memuat tulisan yang berkenaan dengan FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu, Peranan Usaha Kecil Menengah (UKM), Hukuman Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak, Analisis Sistem Integrasi Tanaman Ubi Kayu, Aplikasi Balanced Scorecard, Penggunaan Bimbingan Pribadi Dan Sosial, Keterkaitan Pemberian Insentif, Peranan Multimedia, Peranan Bahasa, Budaya Dalam Kehidupan, Pengaruh Metode Debat Plus, Jumlah Konsumsi Maksimal Mie Instan, Model PBM, Kandungan Senyawa Metabolit, Faktor-faktor Peranan Berhubungan Dengan Lamanya Penyembuhan Luka, Hubungan Kompetensi Pedagogik, Pengembangan Sistem Otomasi Perpustakaan, Pengaruh Peretasan Kulit Biji Dan Konsentrasi KNO3 , Pengaruh Kompensasi dan Loyalitas Karyawan, Penggunaan Media Gambar, Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle, Penerapan Model “Make A Match”, Model Pembelajaran Picture and Picture, Penerapan Model Example Non Example, Peningkatan Kompetensi Guru, The Effect of Advenced Organizer Technique on The Students’ Reading Comprehension. Pada terbitan kali ini, tulisan berasal dari beberapa orang dosen dpk dan Yayasan seperti Univ. Muslim Nusantara (UMN) Al Washliyah, Mahasiswa S3 Perencanaan Wilayah USU, Guru Bimb. Konseling SMAN 9 Medan, STIE Nias Selatan, STKIP Nias Selatan, Alumni FMIPA Prodi Farmasi UMN Al Washliyah, Program Budidaya Perairan Fak. Pertanian Univ. Asahan, Politeknik Kesehatan Medan, Staf Poltekkes Kemenkes Jurusan Keperawatan, Univ. Gajah Putih Takengon, Univ. Gunung Leuser Kutacane, AMIK Royal Kisaran, Univ. Graha Nusantara P. Sidempuan, Guru SMPN 4 Medan, Guru SMPN 15 Medan, Guru SDN 066057 Medan, Pengawas Sekolah pada Dinas Pendidikan Kota Medan dan Juga Alumni IKIP Al Washliyah Medan S1 Fisika 1993. Medan, Maret 2015 Penyunting. Penerbit: Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al Washliyah Alamat Penerbit / Redaksi: Jl. S.M. Raja / Garu II No. 93, PO. BOX 1418 Medan 20147 Telp. (061) 7867044 – 7868487 Fax. 7862747 Home Page: http://www.umnaw.ac.id/?page_id-2567 E-mail: [email protected] Terbit Pertama Kali : Juni 1999 Majalah TRIWULAN ISSN: 1411 – 0229 Vol 16 No. 1 Maret 2015 DAFTAR ISI Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pada Pabrik Roti Mawar Medan (Tukimin, SE., M.MA)............................................................................................................................. ..................................................... 4829 Peranan Usaha Kecil Menengah (UKM) Terhadap Pembangunan Ekonomi Kabupaten Serdang Bedagai (Mutawaqil Bilah Tumanggor. SE / Dani Habra, SE., M.MA).................................................................................................................. 4843 Hukuman Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak Menurut Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Iwan Setyawan, SH., MH) ............................................................................................................................. ........................................... 4847 ANALISIS SISTEM INTEGRASI TANAMAN UBI KAYU (MANIHOT ESCULENTA CRAUTZ) – TERNAK KAMBING (CAPRA AEGAGRUS HIRCUS) TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Bambang Hermanto, SP, M.Si) .................................. 4852 Aplikasi Balanced Scorecard Dalam Kontrol Manajemen (Edward Arif Hakim Hasibuan, SE, MAP) ............................................................................................................................. ................... 4860 Penggunaan Bimbingan Pribadi Dan Sosial Materi Etika Pergaulan Remaja Dengan Layanan Kelompok Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas XII SMA Negeri 9 Medan T.A. 2013/2014 (Sofyan, S.Pd) …………………………………………………………………………………………………………………………… 4869 Keterkaitan Pemberian Insentif Dengan Prestasi Kerja Karyawan (Yohanes Dakhi, SE., MM) ............................................................................................................................. ............................................ 4877 Peranan Multimedia Dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran (Drs. Baziduhu Laia, M.Pd ) ............................................................................................................................. .......................................... 4886 Peranan Bahasa, Budaya Dalam Kehidupan (Harianto, II, SS., MS) ............................................................................................................................. ................................................... 4893 Pengaruh Metode Debat Plus Terhadap Peningkatan Kemampuan Berbicara Dalam Bahasa Inggris (Nila Afningsih / Dani Ansari) ............................................................................................................................. ....................................... Jumlah Konsumsi Maksimal Mie Instan Berdasarkan Penentuan Kadar Monosodium Glutamat (MSG) Bumbu Penyedapnya (Anny Sartika Daulay / Emma Trivitasari) ................................................................................................................................................ Model PBM Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Komunikasi Matematika (Cut Latifah Zahari / Irpan Apandi Batubara) .......................................................................................................................................... 4897 4903 4908 Kandungan Senyawa Metabolit Sekunder Pada Ekstrak Getah Mangrove Excoecaria agallocha Pada Pelarut N-Hexane (Dian Puspitasari) .......................................................................................................................................................... .............................. 4915 Faktor-Faktor Peranan Berhubungan Dengan Lamanya Penyembuhan Luka Pada Penderita Diabetes Mellitus Di RSUP Dr. Pirngadi Medan Tahun 2014 (Megawati) ........................................................................................................................... ....................................................... 4919 Hubungan Kompetensi Pedagogik Guru Dan Efikasi Diri Dengan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa Kelas IX SMP Al-Ulum Terpadu Medan (Sri Siswati) ........................................................................................................................ ......................................................... 4927 Pengembangan Sistem Otomasi Perpustakaan Berdasar Businness Process Di Perpustakaan (Rayuwati, M.Kom) ...................................................................................................................................................................... 4937 Pengaruh Peretasan Kulit Biji Dan Konsentrasi KNO3 Terhadap Perkecambahan Dan Pertumbuhan Biji Sirsak (Annona muricata L.) (Diah Eka Puspita, SP, M.Si) ....................................................................................................................................... ................ 4944 Pengaruh Kompensasi Dan Loyalitas Karyawan Terhadap Pengunduran Diri (Intensi Turnover) Karyawan Pada PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran 4953 (Wan Mariatul Kifti, SE, MM) .......................................................................................................................... ........................... Penggunaan Media Gambar Dalam Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia Pada Tingkat Sekolah Dasar (Tinur Rahmawati Harahap, M.Pd) .......................................................................................................................... ................... 4960 Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Bahasa Inggris (Dra. Sakila) …………………………………………………………………………………………………………………………… 4968 Penerapan Model ―Make A Match‖ Untuk Pencapaian Kompetensi IPS Terpadu (Dra. Conny Jeany Francis Matullesy) ………………………………………………………………………………………………... 4978 Penerapan Model Pembelajaran Keterampilan Proses Untuk Meningkatkan Penguasaan Kompetensi Pendidikan Agama Islam (Afrida Lubis) ………………………………………………………………………………………………………………………….. 4987 Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Inggris (Dewi, S.Pd) ………………………………………………………………………………………………………………………………… 4994 Penerapan Model Example Non Example Dalam Upaya Meningkatkan Aktivitas Belajar IPS Terpadu (Pancaria Sihombing, S.Pd) ………………………………………………………………………………………………………………… 5002 Peningkatan Kompetensi Guru Menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together Pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR Di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan (Rasmin Simbolon) …………………………………………………………………………………………………………………………... 5009 The Effect Of Advance Organizer Technique On The Students‘ Reading Comprehension (Rini Fadhillah Putri) ……………………………………………………………………………………………………………………….. 5017 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN MANAJEMEN MUTU TERPADU PADA PABRIK ROTI MAWAR MEDAN Tukimin, SE, M.MA1 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan mutu terpadu di Pabrik Roti Mawar Bakery. Penelitian ini dilakukan di Pabrik Roti Mawar Bakery. Data primer dikumpulkan melalui wawancara, kuesioner, dan observasi yang dilakukan dengan berbagai pihak yang terkait dalam topik penelitian ini. Wawancara dilakukan kepada pimpinan Mawar Bakery dan 3 (tiga) orang quality control. Wawancara kepada pimpinan Mawar Bakery dilakukan untuk mengetahui gambaran umum tentang kondisi perusahaan dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) pada Mawar Bakery serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan wawancara kepada 3 (tiga) orang pakar mutu dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada industri kecil. Kata kunci : manajemen mutu terpadu dan roti 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Feigenbaum (1992: 5-6) sistem Manajemen Mutu Terpadu memberikan arahan dan panduan bagi pelaksanaan kegiatan peningkatan dan pengendalian mutu. Kendali mutu merupakan salah satu kekuatan perusahaan yang utama untuk mencapai peningkatan produktivitas total secara tepat. Disamping itu, dengan pengendalian mutu diharapkan manajemen perusahaan mampu menyelenggarakan usaha dagang berdasarkan kekuatan dan keyakinan atas mutu produk atau jasa mereka, dan memungkinkan manajemen perusahaan bergerak maju dalam volume pasar dan perluasan bauran dengan derajat penerimaan pelanggan yang tinggi, stabilitas keuntungan dan pertumbuhan perusahaan yang pesat. Hal tersebut juga berlaku pula dalam perusahaan roti, dimana roti sebagai bahan makanan yang akan dikonsumsi langsung oleh manusia tentunya harus memenuhi tingkat keamanan pangan (food safety) produk untuk konsumsi. Kualitas dari produk roti haruslah diperhatikan dan dijaga oleh pihak produsen agar selalu dalam keadaan baik serta aman untuk dikonsumsi. Selain itu, mutu atau kualitas produk juga berperan dalam memenangkan persaingan serta merebut hati konsumen. Mawar Bakery merupakan salah satu dari perusahaan roti dan kue yang ada di kota Medan. Perusahaan roti yang berlokasi di Jl. Setia Budi, Kelurahan Tanjung Sari ini berhasil bertahan bertahun-tahun dan telah mengalami pasang surut dalam menjalankan usahanya, selalu mempunyai kesadaran akan pentingnya menjaga mutu. Walaupun demikian, perusahaan roti ini mempunyai kendala dalam menjaga mutu rotinya yang terkadang berfluktuasi. Jika kondisi ini terus berlangsung, dikhawatirkan Mawar Bakery akan kehilangan konsumennya. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peneraman mutu terpadu di Pabrik Roti Mawar Bakery. 1 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan 4829 1.3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pabrik Roti Mawar Bakery. Data primer dikumpulkan melalui wawancara, kuesioner, dan observasi yang dilakukan dengan berbagai pihak yang terkait dalam topik penelitian ini. Wawancara dilakukan kepada pimpinan Mawar Bakery dan 3 (tiga) orang quality control. Wawancara kepada pimpinan Mawar Bakery dilakukan untuk mengetahui gambaran umum tentang kondisi perusahaan dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) pada Mawar Bakery serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan wawancara kepada 3 (tiga) orang pakar mutu dilakukan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada industri kecil. 2. Uraian Teoritis 2.1. Mutu Banyak sekali definisi kualitas yang sebenarnya definisi kualitas yang satu hampir sama dengan definisi yang lain. Definisi kualitas menurut beberapa ahli antara lain: 1. Stevenson (2005: 381) ‖quality refers to the ability of a product or service to consistently meet or exceed customer expectations‖ atau ‖kualitas berarti kemampuan produk atau jasa untuk secara berkesinambungan menyesuaikan dengan harapan konsumen‖ 2. Schroeder (2004: 169) ―mutu didefinisikan sebagai kecocokan penggunaan. Ini berarti bahwa produk atau jasa memenuhi kebutuhan pelanggan‖ 3. Render and Heizer (2001: 92) ―mutu adalah totalitas bentuk dan karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang tampak jelas maupun yang tersembunyi‖ 4. Gaspersz (2005: 5) ―kualitas diartikan sebagai sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan dan upaya perubahan ke arah perbaikan terus-menerus sehingga dikenal istilah Q-MATCH (Quality = Meets Agreed Terms and Changes). Menurut Feigenbaum (1992: 7) mutu adalah keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembikinan, dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan-harapan pelanggan. Feigenbaum (1992: 54-56) menambahkan terdapat sembilan dasar yang mempengaruhi mutu baik produk ataupun jasa, kesembilan bidang dasar tersebut, yaitu: 1. Market (pasar), keinginan dan kebutuhan konsumen pada masa sekarang ini memperoleh produk dengan mutu yang baik untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bahwasanya pasar memiliki ruang lingkup yang luas secara fungsional. 2. Money (uang), biaya-biaya mutu yang dikaitkan dengan perbaikan mutu telah mencapai ketinggian yang tak terduga, kenyataan ini menekankan bahwa biaya mutu sebagai salah satu ―titik lunak‖ tempat biaya operasi dan kerugian yang dapat diturunkan untuk mendapatkannya. 3. Management (manajemen), adanya koordinasi antar divisi memungkinkan tidak terjadinya kesalahan operasi perencanaan produk yang dihasilkan sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh konsumen. 4830 4. Men (manusia), merupakan faktor terpenting yang harus dimiliki oleh perusahaan karena merupakan sumber daya dengan spesialisasi yang khusus. 5. Motivation (motivasi), para pekerja saat ini memerlukan sesuatu yang memperkuat rasa keberhasilan dalam pekerjaan mereka dan secara pribadi mereka memberikan sesuatu atas tercapainya tujuan perusahaan. Hal ini membimbing ke arah yang tidak ada sebelumnya yaitu pendidikan mutu yang lebih ketat, maka spesifikasi bahan menjadi lebih baik. 6. Materials (bahan), dikarenakan persyaratan mutu yang lebih ketat, maka spesifikasi bahan menjadi lebih baik. 7. Machines and mechanization (mesin dan mekanisasi), mutu yang baik menjadi sebuah faktor yang kritis dalam memelihara waktu kerja mesin agar fasilitasnya dapat dimanfaatkan sepenuhnya. 8. Modern information methods (metode informasi modern), teknologi yang berkembang pada saat ini sangat cepat yang memungkinkan perusahaan dapat mengumpulkan, memanipulasi, serta mengendalikan proses selama produksi bahkan hingga mencapai pada konsumen. 9. Mounting product requirements (persyaratan proses produksi), meningkatnya kerumitan persyaratan-persyaratan prestasi yang lebih tinggi bagi produk telah menekan pentingnya keamanan dan kehandalan produk. Russel dalam Ariani (2002: 9) mengidentifikasikan tujuh peran kualitas, yaitu: (1) meningkatkan reputasi perusahaan, (2) menurunkan biaya, (3) meningkatkan pangsa pasar, (4) dampak internasional, (5) adanya pertanggungjawaban produk, (6) penampilan produk, (7) mewujudkan kualitas yang dirasa penting. 2.2. Pengendalian Mutu Pengendalian mutu adalah fungsi manajemen dimana kualitas material, proses, keahlian, dan produk dikontrol dengan tujuan mencegah rusaknya keluaran (Lockyer dkk, 1994: 93). Tujuan pengendalian mutu adalah untuk menjamin produk, alat maupun sumberdaya lainnya yang digunakan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan sehingga dapat menghasilkan produk yang memenuhi keinginan pelanggan atau pembeli atau yang disyaratkan. Tiga kondisi yang harus mendapat perlakuan tersebut adalah bahan yang masuk, selama proses, dan proses pengeluaran (Hadiwiardjo dan Wibisono, 1996: 82). 2.3. Manajemen Mutu Terpadu Menurut Nasution (2005: 22) Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses, dan lingkungannya. Sedangkan menurut Brocka dan Brocka dalam Suwatno dan Rasto (2003: 174-175) Total Quality Management dapat didefinisikan sebagai sebuah cara untuk meningkatkan kinerja secara berkelanjutan pada setiap tingkat operasi, dalam setiap fungsi organisasi, dengan menggunakan seluruh sumber daya manusia dan modal yang tersedia. Menurut Ariani (2002: 35) Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management) merupakan suatu penerapan metode kuantitatif dan sumber daya manusia untuk memperbaiki dalam penyediaan bahan baku maupun pelayanan bagi organisasi, semua proses dalam organisasi pada tingkatan tertentu dimana kebutuhan pelanggan terpenuhi sekarang dan di masa mendatang. Total Quality Management lebih merupakan sikap dan perilaku berdasarkan kepuasan atas pekerjaannya dan kerja tim atau kelompoknya. Total Quality Management menghendaki 4831 komitmen total dari manajemen sebagai pemimpin organisasi dimana komitmen ini harus disebarluaskan pada seluruh karyawan dan pada semua level atau departemen dalam organisasi. Total Quality Management bukan merupakan program atau sistem, tapi merupakan budaya yang harus dibangun, dipertahankan, dan ditingkatkan oleh seluruh anggota organisasi atau perusahaan bila organisasi atau perusahaan tersebut berorientasi pada kualitas dan menjadikan kualitas sebagai the way of life. Prawirosentono (2004: 5) secara sistematis, Manajemen Mutu Terpadu meliputi: a. Merancang produk (product designing) b. Memproduksi secara baik sesuai dengan rencana c. Mengirimkan produk ke konsumen dalam kondisi baik (to deliver) d. Pelayanan yang baik kepada konsumen (good consumer service) Menurut Hensler dan Brunell dalam Nasution (2005: 30-31) ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu: 1. Kepuasan Pelanggan Kualitas tidak hanya bermakna kesesuaian dengan spesifikasi-spesifikasi tertentu, tetapi kualitas tersebut ditentukan pelanggan. Pelanggan itu sendiri meliputi pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Kebutuhan pelanggan diusahakan untuk dipuaskan dalam segala aspek, termasuk di dalamnya harga, keamanan, dan ketepatan waktu. Kualitas yang dihasilkan suatu perusahaan sama dengan nilai yang diberikan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup para pelanggan. Semakin tinggi nilai yang diberikan, maka semakin besar pula kepuasan pelanggan. 2. Respek Terhadap Setiap Orang Setiap karyawan dipandang sebagai individu yang memiliki talenta dan kreativitas yang khas. Dengan demikian, karyawan merupakan sumberdaya organisasi yang paling bernilai. Oleh karena itu, setiap orang dalam organisasi diperlakukan dengan baik dan diberi kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam tim pengambilan keputusan. 3. Manajemen Berdasarkan Fakta Setiap keputusan selalu didasarkan pada data, bukan sekedar pada perasaan (feeling). Ada dua konsep pokok yang berkaitan dengan hal ini. Pertama, prioritas (prioritization), yakni suatu konsep bahwa perbaikan tidak dapat dilakukan pada semua aspek pada saat yang bersamaan, mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada. Oleh karena itu, dengan menggunakan data, maka manajemen dan tim dalam organisasi dapat memfokuskan usahanya pada situasi tertentu yang vital. Konsep kedua, variasi atau variabilitas kinerja manusia. Data statistik dapat memberikan gambaran mengenai variabilitas yang merupakan bagian yang wajar dari setiap sistem organisasi. Dengan demikian, manajemen dapat memprediksikan hasil dari setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan. 4. Perbaikan Berkesinambungan Setiap perusahaan perlu melakukan proses sistematis dalam melaksanakan perbaikan secara berkesinambungan agar dapat sukses. Konsep yang berlaku di sini adalah siklus PDCAA (plan-do-check-actanalyze), yang terdiri dari langkah-langkah perencanaan dan melakukan tindakan kreatif terhadap hasil yang diperoleh Sedangkan unsur-unsur Total Quality Management menurut Goetsch dan Davis dalam Nasution (2005: 2224) antara lain: 4832 1. Fokus Terhadap Pelanggan Pelanggan internal maupun eksternal merupakan driver dalam TQM. Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan besar dalam menentukan kualitas tenaga kerja, proses, dan lingkungan yang berhubungan dengan produk atau jasa. 2. Obsesi Terhadap Kualitas Pelanggan internal dan eksternal menentukan kualitas dalam organisasi yang menerapkan TQM. Pelanggan internal adalah orang yang berada dalam perusahaan dan memiliki pengaruh pada performansi (performance) pekerjaan (atau perusahaan) kita. Bagian-bagian pembelian, produksi, penjualan, pembayaran gaji, rekrutmen, dan karyawan, merupakan contoh rari pelanggan internal. Pelanggan eksternal adalah pembeli atau pemakai akhir produk itu, yang sering disebut sebagai pelanggan nyata (real customer). Pelanggan eksternal merupakan orang yang membayar untuk menggunakan produk yang dihasilkan itu (Gaspersz, 2005: 34). Dengan kualitas yang ditetapkan tersebut, organisasi harus terobsesi untuk memenuhi atau melebihi apa yang ditentukan mereka. 3. Pendekatan Ilmiah Pendekatan ilmiah sangat diperlukan dalam penerapan TQM, terutama untuk mendesain pekerjaan dan dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang didesain tersebut. Data diperlukan dan dipergunakan dalam menyusun patok duga (benchmarking), memantau prestasi, dan melaksanakan perbaikan. 4. Komitmen Jangka Panjang Komitmen jangka panjang sangat penting guna mengadakan perubahan budaya agar penerapan TQM dapat berjalan dengan sukses. 5. Kerjasama Tim Kerja sama tim, kemitraan dan hubungan dijalin dan dibina dalam organisasi yang menerapkan TQM, baik antar karyawan perusahaan maupun dengan pemasok, lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat sekitarnya. 6. Perbaikan Sistem Secara Berkesinambungan Setiap produk dan jasa dihasilkan dengan memanfaatkan proses-proses tertentu di dalam suatu sistem atau lingkungan. Sistem yang ada perlu diperbaiki secara terus-menerus agar kualitas yang dihasilkannya dapat makin meningkat. 7. Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan dan pelatihan merupakan faktor fundamental dalam organisasi yang menerapkan TQM. Setiap orang diharapkan dan didorong untuk terus belajar. Dalam hal ini berlaku prinsip bahwa belajar merupakan proses yang tidak ada akhirnya dan tidak mengenal batas usia. Dengan belajar, setiap orang dalam perusahaan dapat meningkatkan keterampilan teknis dan keahlian profesionalnya. 8. Kebebasan yang Terkendali Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam TQM. Hal ini dikarenakan unsur tersebut dapat meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab karyawan terhadap keputusan yang telah dibuat. Selain itu, unsur ini juga dapat memperkaya wawasan dan pandangan dalam suatu keputusan yang diambil, karena pihak yang terlibat lebih 4833 banyak. Meskipun demikian, kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pemberdayaan tersebut merupakan hasil dari pengendalian yang terencana dan terlaksana dengan baik. 9. Kesatuan Tim Perusahaan harus memiliki kesatuan tujuan agar TQM dapat diterapkan dengan baik. Dengan demikian, setiap usaha dapat diarahkan pada tujuan yang sama. 10. Adanya Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan merupakan hal yang penting dalam penerapan TQM. Usaha untuk melibatkan karyawan membawa dua manfaat utama. Pertama, akan meningkatkan kemungkinan dihasilkannya keputusan yang baik, rencana yang baik, atau perbaikan yang lebih efektif, karena juga mencakup pandangan dan pemikiran dari pihak-pihak yang langsung berhubungan dengan situasi kerja. Kedua, keterlibatan karyawan juga meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab atas keputusan dengan melibatkan orang-orang yang harus melaksanakannya. Pemberdayaan bukan sekedar melibatkan karyawan, tetapi juga melibatkan mereka dengan memberikan pengaruh yang sungguh-sungguh berarti. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun pekerjaan yang memungkinkan para karyawan untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan proses pekerjaannya dalam parameter yang ditetapkan dengan jelas. Menurut Oakland dalam Ariani (2002: 50) Manajemen Mutu Terpadu (TQM) akan dapat tercapai bila perusahaan atau organisasi dapat melaksanakan kegiatannya dengan berpedoman pada atribut efisiensi, yaitu: 1. Dukungan (commitment) Organisasi atau perusahaan harus mendukung pada penyediaan produk dan jasa untuk mengembangkan organisasi. Manajemen harus mendukung pada penyediaan produk dan jasa tersebut secara efisien dan menguntungkan. 2. Konsistensi (consistency) Produk dan jasa bukan merupakan jenis usaha yang semata-mata hanya dipengaruhi permintaan pelanggan dan menyesuaikan dengan karakteristik pelanggan. Produk dan jasa harus mempunyai konsistensi dalam kinerja, misalnya ketepatan waktu, kebersihan ruangan, kesabaran dan memberikan pelayanan, dan sebagainya. 3. Kemampuan (competence) Organisasi atau perusahaan memang sangat membutuhkan karyawan yang ahli sebagai organisasi dimana kualitas produk atau jasa yang ditawarkan sangat dipengaruhi keahlian karyawan. 4. Hubungan (contact) Organisasi atau perusahaan yang mengutamakan kebutuhan dan harapan pelanggan dalam membuat produk atau jasanya, harus mengadakan hubungan atau kontak langsung dengan pelanggan. Masalah menjaga hubungan yang baik dengan pelanggan perlu mendapatkan prioritas. 5. Komunikasi (communication) Spesifikasi produk atau jasa yang diinginkan pelanggan yang perlu dicapai untuk dapat mewujudkan kualitas produk atau jasa tersebut harus didukung dengan komunikasi yang baik antar pelanggan dengan pihak pemberi jasa. Hal ini disebabkan kualitas produk dan jasa yang ditawarkan juga sangat tergantung dari spesifikasi pelanggan tersebut. 4834 6. Kepercayaan (credibility) Organisasi atau perusahaan harus dapat dipercaya, dan antara pihak organisasi atau perusahaan dengan pelanggan juga harus ada rasa saling percaya. Hal ini akan memperlancar komunikasi dan menjalin hubungan baik yang akan memudahkan organisasi atau perusahaan merealisasikan keinginan atau harapan pelanggan tersebut. 7. Perasaan (compassion) Perasaan yang dimaksud di sini adalah perasaan simpati akan kebutuhan dan harapan pelanggan, selain juga perasaan dari pihak manajemen kepada karyawan organisasi yang memberikan produk atau jasa secara langsung pada pelanggan. 8. Kesopanan (courtesy) Hubungan langsung antar personil organisasi atau perusahaan dengan pelanggan tersebut menuntut adanya sikap sopan santun dari pihak organisasi atau perusahaan. Pelanggan akan lebih menyukai produsen yang memperhatikan sopan santun dalam memberikan pelayanan. 9. Kerjasama (co-operation) Kerjasama dengan pelanggan akan membantu organisasi atau perusahaan untuk dapat menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas dan sesuai dengan keinginan pelanggan. Kerja sama ini juga perlu dibina secara terus menerus antar personil organisasi atau perusahaan dengan pelanggan dan antar para personil dalam organisasi atau perusahaan tersebut. 10. Kemampuan (capability) Capability disini diartikan bahwa organisasi atau perusahaan harus mempunyai kemampuan untuk mengambil tindakan atau keputusan yang berkaitan dengan produk atau jasa. 11. Kepercayaan (confidence) Kepercayaan disini berarti rasa percaya diri dari organisasi atau perusahaan bahwa organisasi atau perusahaan tersebut mampu memberikan jasa yang terbaik bagi pelanggan. 12. Kritikan (criticism) Kritikan dalam hal ini berarti bahwa organisasi atau perusahaan tidak boleh menghindari kritikan yang bersifat membangun, apalagi kritikan itu berasal dari pelanggan. 3. Pembahasan 3.1. Manajemen Mutu Terpadu a. Fokus Pada Pelanggan Mawar Bakery selalu berusaha untuk memproduksi roti yang sesuai dengan keinginan konsumen mereka. Oleh karena itu, mereka sangat merespon positif apabila ada keluhan maupun saran dari konsumen. Contohnya pada saat roti tawar pandan yang mereka jual tidak beraroma pandan, Mawar Bakery segera melakukan konfirmasi ke perusahaan pemasok pasta pandan, tetapi karena tidak ada tanggapan positif dari pemasok, maka Mawar Bakery memutuskan untuk memasok pasta pandan dari pemasok lain. b. Obsesi Terhadap Kualitas Berbagai upaya telah dilakukan oleh Mawar Bakery untuk mencapai obsesinya dalam menciptakan produk yang berkualitas, bahkan menginginkan kualitas roti mereka setara dengan kualitas roti perusahaan lain yang 4835 kelasnya berada di atas mereka. Salah satunya dengan cara membandingkan roti mereka dengan perusahaan lain. Proses pembandingan ini dilakukan langsung oleh pimpinan Mawar Bakery. Usaha pembandingan yang dilakukan pimpinan Mawar Bakery menghasilkan perubahan pada bahan baku baik dari jumlah takarannya maupun komposisinya. Begitu juga pada saat ada masukkan penggunaan bahan tambahan untuk mengempukkan roti. Mawar Bakery langsung merespon masukkan tersebut dengan segera menggunakan bahan pengempuk yang dimaksud, walaupun bahan pengempuk tersebut hanya dijual di toko-toko bahan makanan tertentu. c. Pendekatan Ilmiah Pendekatan ilmiah yang dimaksud adalah pendokumentasian data atau tertib administrasi. Selama ini, Mawar Bakery hanya melakukan pendokumentasian dalam hal jumlah roti yang dihasilkan itu pun hanya sementara. Pendokumentasian dilakukan berupa catatan harian pesanan roti dari pedagang yang dikumpulkan oleh manajer operasional. Dokumentasi tersebut berupa lembaran kertas sehingga apabila lembaran kertas mulai menumpuk, kertas-kertas tersebut langsung dibuang atau dipergunakan untuk keperluan lain. Mawar Bakery juga belum mendokumentasikan Standard Operational Procedure (SOP) untuk karyawannya maupun standar komposisi bahan baku yang digunakan untuk memproduksi roti. d. Komitmen Jangka Panjang Komitmen jangka panjang Mawar Bakery adalah mengutamakan kualitas roti yang dihasilkan sebagai keunggulan mereka. Komitmen itu ditunjukan dengan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh perusahaan untuk memperbaiki mutunya. Usaha-usaha tersebut seperti menggunakan kemasan plastik untuk semua jenis roti yang diproduksi, melengkapi dengan mesin-mesin produksi yang memadai walaupun dilakukan secara bertahap, merespon dengan baik kritik maupun saran dari konsumen seperti mengganti staples dengan isolasi untuk merapatkan kemasan, pergantian pemasok untuk pasta makanan karena aroma roti yang dihasilkan tidak wangi, dan mengganti bahan bakar oven yang pada awalnya menggunakan minyak tanah dan solar diganti menjadi gas. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi jumlah roti yang hangus. e. Kerjasama dan Kesatuan Tim Kualitas roti yang dihasilkan Mawar Bakery tidak terlepas dari kerjasama semua pihak baik pemasok, konsumen, maupun kerjasama antar karyawan perusahaan itu sendiri. Sama halnya kerjasama yang dilakukan Mawar Bakery dengan pemasok, kerjasama Mawar Bakery dengan konsumennya telah terjalin walaupun belum optimal. Kerjasama tersebut belum optimal karena hanya bersifat sementara atau tidak rutin. Kerjasama yang dilakukan berupa pemberian kritik maupun saran dari konsumen terhadap roti yang Mawar Bakery produksi. Biasanya kritik dan saran tersebut disampaikan ke pedagang yang kemudian ditindaklanjuti oleh karyawan produksi. Saran dan kritik juga terkadang disampaikan langsung ke pemilik Mawar Bakery. f. Perbaikan Sistem Secara Berkesinambungan Mawar Bakery selalu memperbaiki sistem mutunya (pemasok, produksi, dan pelanggan) agar kualitas roti yang dihasilkan sesuai dengan harapan perusahaan walaupun hanya dengan kegiatan rutin saja. Perbaikan yang telah dilakukan oleh Mawar Bakery antara lain secara bertahap melengkapi produksinya dengan mesin-mesin yang memadai, mengganti pemasok pasta karena kualitas pastanya tidak sesuai dengan yang diharapkan, memberikan pelatihan dalam hal variasi bentuk roti kepada, penggunaan pembungkus plastik untuk semua roti yang dihasilkan yang semula hanya untuk roti tawar, mengganti staples dengan isolasi untuk merekatkan pembungkus roti, dan 4836 mengganti bahan bakar oven yang semula menggunakan minyak tanah dan solar dengan gas agar kualitas roti yang dihasilkan sesuai dengan harapan perusahaan. g. Pendidikan dan Pelatihan Sebagian besar karyawan Mawar Bakery memiliki latar belakang pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD). Latar belakang pendidikan tersebut menyebabkan Mawar Bakery kesulitan untuk merubah pola pikir karyawan dalam membuat roti. Mereka hanya berpikir proses pembuatan roti hanya proses yang diawali dengan mencampur bahan-bahan menjadi adonan, mencetaknya, dan diakhiri dengan proses pemanggangan, tanpa memikirkan apakah kualitas roti yang mereka hasilkan sesuai dengan harapan pelanggan atau tidak. h. Kebebasan yang Terkendali dan Adanya Keterlibatan Serta Pemberdayaan Karyawan Karyawan produksi Mawar Bakery tidak diberikan kebebasan untuk merubah sistem dalam proses produksi yang telah diberlakukan oleh pimpinan. Hal tersebut dikarenakan kekhawatiran dari pimpinan apabila sistem tersebut dirubah, maka akan merubah kualitas roti yang dihasilkan. Salah satu contohnya adalah dalam hal penentuan komposisi bahan baku maupun pemanggangan roti yang hanya dipegang oleh kepala juru masak dan 1 (satu) orang karyawan lain yang telah lama bekerja di perusahaan tersebut. Berbeda dengan karyawan produksi, karyawan penjualan diberikan kebebasan untuk menentukan jumlah roti yang mereka pesan. 3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pada Mawar Bakery Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli, secara umum terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada UKM yang bergerak dalam industri roti seperti Mawar Bakery. FaktorFaktor yang mempengaruhi tersebut dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu berdasarkan masalah, pelaku, dan penyebab. a. Faktor Masalah Terdapat 5 (lima) masalah dalam penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Mawar Bakery. Kelima faktor masalah tersebut adalah: 1. Sarana dan Prasarana Teknologi merupakan penjelmaan secara fisik dari pengetahuan. Oleh karena itu, di dalam lingkungan kompetitif, dimana pengetahuan menduduki peranan vital, teknologi yang dirancang dengan baik guna memperluas kemampuan manusia dapat meningkatkan daya saing organisasi (Tjiptono dan Diana, 2001: 72). Mawar Bakery mulai melengkapi sarana dan prasarana yang dimiliki secara bertahap semenjak perusahaan ini didirikan. Dimulai dengan mesin pemipih adonan roti manis yang merupakan mesin pertama yang dimiliki oleh Mawar Bakery, kemudian dilanjutkan dengan mesin pencampur adonan (mixer) ukuran kecil dan yang paling terbaru adalah mesin pemanggang roti (oven) yang berbahan bakar gas. Walaupun demikian, sarana dan prasarana yang dimiliki Mawar Bakery tergolong masih belum memadai. Salah satu contohnya adalah timbangan yang digunakan masih timbangan manual belum elektrik, padahal takaran resep sangat mempengaruhi kualitas roti yang akan dihasilkan. 2. Evaluasi dan Monitoring Evaluasi dan monitoring mendukung dalam menjaga konsistensi kualitas produk yang dihasilkan. Produk yang baik salah satunya dihasilkan dari proses evaluasi dan monitoring yang baik pula. Oleh karena itu, diperlukan 4837 koordinasi antara pimpinan dengan karyawan untuk mencegah terjadinya kesalahan operasi yang dapat menyebabkan kerusakan atas produk yang dihasilkan. Evaluasi yang dilakukan oleh Mawar Bakery masih menerapkan sistem reaktif yaitu evaluasi hanya dilakukan apabila roti yang dihasilkan mengalami kerusakan atau tidak sesuai dengan harapan konsumen. Misalnya saat konsumen memberikan kritikan karena roti tawar pandan yang dijual tidak beraroma pandan, maka Mawar Bakery mengevaluasi proses produksi yang ternyata bersumber dari pasta pandan yang digunakan. Akhirnya Mawar Bakery segera mengganti pemasok pasta pandan tersebut karena tidak adanya respon positif dari pemasok untuk memperbaiki kualitas pasta pandannya. 3. Manajemen Produksi Manajemen produksi Mawar Bakery belum teritegrasi dengan proses lain. Manajemen produksi Mawar Bakery dimulai dengan merencanakan jumlah penggunaan bahan baku yang disesuaikan dengan pesanan pedagang, pembagian tugas masing-masing personil, dan diakhiri dengan proses pembuatan roti. Mawar Bakery hanya menganggap kualitas hanya berasal dari proses produksi yang baik tanpa pengaruh dari aspek-aspek lain, seperti konsumen dan supplier. Padahal konsumen dan supplier memegang peranan penting dan merupakan bagian dari sistem yang sangat mempengaruhi kualitas roti yang mereka hasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hessel dalam Nasution (2005, 366-367), bahwa salah satu faktor yang menjadi penghambat penerapan Manajemen Mutu Terpadu adalah implementasi Manajemen Mutu Terpadu masih bersifat parsial yang berorientasi hanya pada little quality, yaitu hanya di bidang produksi saja. 4. Manajemen Pemasaran Bagi pemasaran produk barang, manajemen pemasaran akan dipecah atas 4 (empat) kebijakan pemasaran yang lazim disebut sebagai bauran pemasaran (marketing-mix) (Umar, 2005: 70). Bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan untuk tujuan pemasarannya. Mc Carthy dalam Kotler dan Keller (2007: 23) mengklasifikasikan alat-alat ini menjadi empat kelompok besar, yang disebut empat P tentang pemasaran: produk (product), harga (price), distribusi (place) dan promosi (promotion). 5. Lingkungan Usaha Persaingan antar perusahaan roti di Ciledug sangat ketat karena banyaknya perusahaan yang bermain dalam bidang yang sama. Kondisi ini menyebabkan Mawar sulit untuk mengembangkan kualitas rotinya. Apabila Mawar Bakery meningkatkan kualitas rotinya, tentu saja hal tersebut akan mempengaruhi pada kenaikan harga jual yang akan ditetapkan. Mawar Bakery tidak bisa begitu saja menaikan harga jual, hal itu terlalu bersiko karena Mawar Bakery dapat kehilangan konsumennya mengingat banyaknya pesaing lain yang membuat konsumen tidak terikat dengan 1 (satu) perusahaan roti saja. b. Faktor Pelaku Manajemen Mutu Terpadu merupakan sebuah pendekatan dalam upaya menciptakan, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas yang tentu saja dalam pelaksanaannya membutuhkan orang atau pelaku sebagai subjeknya atau yang menggerakkannya. Berjalan atau tidaknya Manajemen Mutu Terpadu ditentukan oleh kinerja dari pelaku yang menggerakannya dalam suatu organisasi seperti di Mawar Bakery. c. Faktor Penyebab 4838 Faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu terdiri dari 7 (tujuh) faktor, yaitu: 1. Modal/ Dana Implementasi Manajemen Mutu Terpadu tidaklah harus mahal. Meskipun demikian, segala sesuatunya membutuhkan biaya. Biaya yang dibutuhkan sebagian besar digunakan untuk pelatihan. Dana yang dibutuhkan ini harus selalu tersedia. Sayangnya, sulit sekali memperkirakan tingkat dan waktu pengembaliannya (Tjiptono dan Diana, 2001: 332-333). Masalah modal juga menjadi masalah yang dihadapi Mawar Bakery. Mawar Bakery membiayai keberlangsungan usahanya menggunakan dana pribadi yang berasal dari dana pensiun pemilik tanpa pernah menggunakan dana pinjaman dari pihak lain. Mawar Bakery tidak pernah melakukan pinjaman kepada pihak lain seperti Bank dikarenakan proses pengajuan kredit yang terlalu lama dan bunga kredit yang tinggi. 2. Kompensasi Mawar Bakery memberikan kompensasi berupa gaji pokok untuk karyawan produksi sebesar Rp 15.000,00-Rp 33.000,00 per hari dan tambahan uang makan Rp 12.000,00-Rp 15.000,00 per hari. Penetapan gaji tersebut didasarkan atas kemampuan yang dimiliki oleh karyawannya. Berbeda dengan karyawan produksi, karyawan penjualan tidak menerima gaji pokok, mereka hanya menerima insentif tambahan yang berupa uang sebesar Rp 6.000,00 apabila mereka berjualan. Uang tersebut dikumpulkan dan dijadikan sebagi dana talangan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh pedagang. Selain itu, sama seperti perusahaan-perusahaan lain, Mawar Bakery juga memberikan tunjangan-tunjangan lain seperti tunjangan hari raya maupun tunjangan kesehatan bagi para karyawannya. Selama ini, kompensasi yang diberikan Mawar Bakery masih menggunakan pendekatan penghargaan dalam bentuk materi (uang). Padahal kompensasi dengan pendekatan pengakuan tidak kalah pentingnya. Pengakuan terhadap kinerja karyawan dapat meningkatkan munculnya keyakinan karyawan terhadap kontribusi mereka dalam menciptakan kualitas sesuai dengan pernyataan Tjiptono dan Diana (2001: 140-141) yang menyatakan di dalam model Manajemen Mutu Terpadu, peranan penghargaan dan pengakuan prestasi tidak akan menghasilkan total quality. Akan tetapi apabila kedua hal tersebut tidak ada, maka akan mengakibatkan hilangnya keyakinan karyawan terhadap nilai riil kualitas dan kontribusi mereka untuk memperbaiki kualitas. Perusahaan yang akan menerapkan Manajemen Mutu Terpadu harus melakukan pendekatan penghargaan dan pengakuan apabila ingin sukses dalam menerapkan sistem tersebut. 3. Komitmen Hal utama yang harus ada agar penerapan Manajemen Mutu Terpadu dapat menjadi cara perusahaan menjalankan bisnis adalah komitmen utuh dari manajemen puncak. Komitmen yang dibutuhkan tidak hanya mencakup sumberdaya yang diperlukan, tetapi juga waktu yang dicurahkan. Perlunya keterlibatan langsung dari manajemen puncak bertujuan untuk memimpin dan menunjukkan bahwa Manajemen Mutu Terpadu sangat penting bagi perusahaan (Tjiptono dan Diana, 2001: 332). 4. Informasi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu tidak terlepas dari informasi yang diperoleh dari pelanggan. Informasi dari pelanggan dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu umpan balik dan masukan. Umpan balik biasanya diperoleh setelah fakta terjadi sedangkan masukkan diperoleh sebelum fakta terjadi (Tjiptono dan Diana, 2001: 118-119). 4839 Mawar Bakery mengumpulkan informasi secara tidak sengaja, yaitu informasi yang diperoleh organisasi tanpa mencari atau memintanya. Informasi ini berasal dari beberapa orang konsumen yang bersedia menyumbang saran dan juga berasal dari sesama pengusaha roti. Keterbatasan dalam mendapatkan informasi ini menjadi salah satu penyebab belum optimalnya penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Mawar Bakery. Hal ini terjadi karena Mawar Bakery belum menerapkan 2 (dua) atribut efisiensi, yaitu hubungan (contact) dan komunikasi (communication) baik kepada pelanggan atau konsumen maupun pada pemasok sehingga arus informasi menjadi terhambat. 5. Pengetahuan Pengetahuan yang memadai sangat menentukan baik tidaknya penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada suatu perusahaan karena akan mempersulit karyawan untuk menerima dan menerapkan konsep Manajemen Mutu Terpadu (Nasution, 2005: 367). Sama halnya dengan informasi, pengetahuan yang dimiliki SDM pada Mawar Bakery kurang mumpuni. Pimpinan telah berusaha untuk menambah pengetahuan para SDM yang dimilikinya, seperti dengan cara mengadakan pelatihan yang bertujuan untuk mempercantik tampilan roti. Tetapi karena sulit untuk merubah kebiasaan dari SDMnya, maka usaha yang telah dilakukan pun tiada berarti banyak. 6. Budaya Budaya organisasi adalah perwujudan sehari-hari dari nilai-nilai dan tradisi yang mendasari organisasi tersebut. Hal ini terlihat pada bagaimana karyawan berperilaku, harapan karyawan terhadap organisasi dan sebaliknya, serta apa yang dianggap wajar dalam hal bagaimana karyawan melaksanakan pekerjaannya (Tjiptono dan Diana, 2001: 75). 7. Awareness (Kesadaran) Kesadaran seluruh organ penggerak perusahaan mengenai pentingnya menciptakan dan menjaga kualitas turut mendukung pencapaian penerapan Manajemen Mutu Terpadu. Kesadaran para karyawan akan pentingnya kualitas masih sangat kurang baik karyawan produksi maupun karyawan penjualan. Hal tersebut terlihat dari kegiatan karyawan sehari-hari yang hanya terkesan untuk menggugurkan kewajiban mereka saja, yaitu untuk membuat roti maupun untuk menjualnya. Karyawan produksi kurang menjaga kebersihan diri terutama kebersihan tangan saat akan memulai bersentuhan dengan bahan baku maupun saat bersentuhan dengan adonan roti. Begitu juga karyawan penjualan juga kurang menjaga kebersihan diri terutama kebersihan tangan saat bersentuhan dengan roti yang akan mereka pasarkan. Kebersihan diri terutama kebersihan tangan merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga higienitas roti yang dihasilkan, terlebih untuk perusahaan seperti Mawar Bakery yang sebagian besar proses produksinya masih menggunakan tangan (hand made). 4. Kesimpulan dan Saran 4.1. Kesimpulan Penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Mawar Bakery yang didasarkan atas unsur-unsur Manajemen Mutu Terpadu itu sendiri, yang terdiri dari fokus pada pelanggan, obsesi terhadap kualitas, pendekatan ilmiah, komitmen jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan sistem secara berkesinambungan, pendidikan dan pelatihan, kebebasan yang terkendali, keatuan tim, serta keterlibatan dan pemberdayaan karyawan masih belum sempurna. 4840 Hal ini dikarenakan unsur-unsur Manajemen Mutu Terpadu tersebut belum dilaksanakan secara optimal oleh Mawar Bakery. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Mawar Bakery ada 14 (empat belas) faktor. Faktor-faktor tersebut terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan atau kelompok, yaitu: tingkat masalah, tingkat pelaku, dan tingkat penyebab. Tingkat masalah terdiri dari manajemen pemasaran, lingkungan usaha, manajemen produksi, evaluasi dan monitoring, serta sarana dan prasarana (teknologi). Tingkat pelaku terdiri dari pimpinan dan karyawan Mawar Bakery, dan yang terakhir adalah tingkat penyebab yang terdiri dari modal/ dana, kompensasi, komitmen, informasi, pengetahuan, budaya, dan awareness (kesadaran). 4.2. Saran Manajemen Mutu Terpadu dapat diterapkan oleh Mawar Bakery secara optimal apabila Mawar Bakery mengoptimalkan sumberdaya yang ada. Sumberdaya tersebut seperti karyawan, sarana dan prasarana, budaya organisasi. Daftar Pustaka Anoraga, P. & Djoko Sudantoko. 2002. Koperasi, Kewirausahaan, dan Usaha Kecil. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ariani, D.W. 2002. Manajemen Kualitas: Pendekatan Sisi Kualitatif. Jakarta: Ghalia Indonesia. Assauri, S. 2007. Manajemen Pemasaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Faure, L.M. & Malcolm Munro Faure. 1996. Implementing Total Quality Management, Menerapkan Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Feigenbaum, A.V. 1992. Kendali Mutu Terpadu. Jakarta: Penerbit Erlangga. Handoko, T.H. 2000. Dasar-Dasar Manajemen Produksi&Operasi. Yogyakarta: BPFEYogyakarta. Nasution, N. 2005. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Bogor: Ghalia Indonesia. Prawirosentono, S. 2004. Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu, Total Quality Management Abad 21, Studi Kasus & Analisis. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Render, B. & Jay Heizer. 2001. Prinsip-Prinsip Manajemen Operasi. Jakarta: Salemba Empat. Saaty, T.L. 1991. Teknik Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Schroeder, R.G. 2004. Manajemen Operasi, Pengambilan Keputusan dalam Fungsi Operasi, Edisi Ketiga, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Suwatno & Rasto. 2003. Manajemen Perusahaan, Suatu Pendekatan Operatif dan Sistem Informasi. Jakarta: Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi. Stevenson, W.J. 2005. Operations Management, 8th ed. New York: McGraw-Hill/Irwin. Tjiptono F. dan Anastasia Diana. 2001. Total Quality Management (TQM)-Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi. 4841 Umar, H. 2005. Studi Kelayakan Bisnis, Teknik Menganalisis Kelayakan Rencana Bisnis Secara Komprehensif Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005. Wahyudi. 2003. Memproduksi Roti. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. PERANAN USAHA KECIL MENENGAH (UKM) TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Mutawaqil Bilah Tumanggor, SE2 / M. Dani Habra, SE, MMA3 ABSTRAK Peranan Usaha Kecil Menengah (UKM) kembali menarik perhatian banyak pengamat pasca kritis ekonomi. Hal ini terlihat dari banyaknya usaha kecil menengah yang bertahan ditengah krisis ekonomi menerpa bangsa Indonesia, selanjutnya adanya krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 sesungguhnya telah memberi pelajaran bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi pemerintah utamanya dalam perencanaan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa. Secara serempak dan secara parsial faktor produksi biaya bahan baku (X1) dan biaya tenaga kerja (X2) yang digunakan oleh pengusaha industri kecil berpengaruh nyata terhadap pendapatan pengusaha. Peranan industri kecil bahan pangan di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai memiliki pengaruh terhadap peningkatan perekonomian masyarakat, keadaaan ini terlihat dari daya beli di tengah masyarakat yang semakin meningkat dengan adanya industri pengolahan bahan pangan, demikian juga halnya dengan perekrutan tenaga kerja yang mengurangi jumlah pengangguran di Kabupaten Serdang Bedagai. Kata Kunci : Peranan, Usaha Kecil Menengah (UKM), Pembangunan ekonomi 1. Pendahuluan Secara tradisional pembangunan ekonomi pada hakekatnya adalah upaya alokasi termurah dan paling efisien atas segenap sumberdaya yang langka (tenaga kerja, sumberdaya alam dan capital), serta pertumbuhan optimal atas sumberdaya-sumberdaya tersebut agar dapat menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Selain itu pembangunan ekonomi bertujuan pokok untuk mencapai kenaikan pendapatan perkapita secara cepat, mengusahakan kesempatan yang lebih banyak, mengadakan distribusi pendapatan agar mengurangi perbedaan dalam tingkat perkembangan dan kemakmuran (Todaro, 2000). Perumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh faktor produksi (modal dan tenaga kerja) terhadap pendapatan Usaha Kecil Menengah di daerah penelitian? 2. Bagaimana peranan Usaha Kecil Menengah terhadap perekonomian masyarakat di daerah penelitian? 2. Tinjauan Pustaka Menurut Suharto (2001) banyak faktor yang menentukan kinerja pembangunan ekonomi suatu negara dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, mewujudkan pemerataan dan menanggulangi kemiskinan. Namun salah satu faktor yang amat dominan adalah kebijakan yang dipilih (policy choice) dan strategi yang diterapkan yaitu kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang mewujudkan pemerataan dan penanggulangan 2 3 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan 4842 kemiskinan melalui efek menetas kebawah (trickle down effect) di satu pihak dan kebijakan penanggulangan langsung (direct attact) terhadap masalah kemiskinan. Menurut Usman (1998), penerencanaan usaha kecil dalam perekonomian nasional paling tidak bisa dilihat dari tiga hal, yakni pertamanya dalam pembentukan pendapatan nasional, peranannya dalam penyerapan tenaga kerja, serta peranannya sebagai penyangga (buffer). Menurut Susanti dkk (2000), analisis pertumbuhan ekonomi seyogyanya dihubungkan dengan perkembangan faktor-faktor produksinya. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sukirno (1999), bahwa fungsi produksi menunjukkan sifat berkaitan di antara faktor produksi dan tingkat produktivitas yang dicapai. Faktorfaktor produksi dikenal pula dengan istilah input dan jumlah produksi selalu juga disebut sebagai output. Faktorfaktor produksi tersebut meliputi sumber daya manusia atau human resources, sumber daya alam atau natural resaouces dan sumberdaya modal atau capital resources. Mengingat bahwa sumberdaya alam yang siap diolah ditentukan oleh sumber daya modal yang tersedia, maka fungsi produksi dapat dinyatakan dalam bentuk rumus sebagai berikut (Reksoprayitno, 2000). Q = f (K, L) Dimana : K = Stok Modal L = Tenaga Kerja Hipotesis Penelitian 1. Ada pengaruh faktor produksi (modal dan tenaga kerja) terhadap perekonomian masyarakat di daerah penelitian 2. Ada pengaruh peranan usaha kecil menengah terhadap perekonomian di daerah penelitian 3. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Perbangunan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Analisis data diikuti dengan melakukan uji statistik. Hal ini digunakan untuk mengetahui apakah variabelvariabel independen secara individu dan secara bersama berpengaruh terhadap variabel independen dengan menggunakan Regresi Linear Berganda dengan rumus sebagai berikut: Y = a + b1X1 + b2X2 + e Dimana : Y = Peningkatan Perekonomian a = Intersep b1 – b2 = Koefisien Regresi X1 = Modal X2 = Tenaga Kerja e = Error Term Dengan kriteria uji sebagai berikut : Apabila thitung > ttabel, maka terima H1 dan tolak H0 (Hipotesis diterima) α = 0,05% Apabila thitung < ttabel, maka terima H0 dan tolak H1 (Hipotesis ditolak) α = 0,05% 4. Hasil Dan Pembahasan 4843 Dari hasil pengujian yang dilakukan, maka dapat diperoleh koefisien regresi usaha industri kecil sebagai berikut: Y = 5760000 + 0.027X1 + 14.745X2 + e Hasil Penelitian diperoleh bahwa Fhitung (83.596) > Ftabel (2.05), sehingga secara serempak variabel biaya bahan baku (X1) dan biaya tenaga kerja (X2) berpengaruh positif terhadap pendapatan pengusaha industri kecil. Untuk koefisien R2 menunjukan 1.000 artinya variasi naik turunnya variabel Y (pendapatan) dipengaruhi oleh variabel X (biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja) sebesar 100 % dan memiliki hubungan yang sangat erat. Pengaruh Biaya Bahan Baku (X1) Terhadap Pendapatan Pengusaha Industri Kecil Bahwa variabel (X1) biaya bahan baku mempunyai pengaruh positif terhadap pendapatan pengusaha industri kecil (Y). Dimana koefisiennya menunjukan sebesar 0.027 artinya apabila variabel biaya bahan baku ditambah 1 % maka pendapatan pengusaha industri kecil akan bertambah sebesar 0.027%. Diketahui t hitung > t tabel (2.863 > 2.05) maka terima H1, artinya bahwa variabel independen biaya bahan baku (X1) berpengaruh nyata terhadap pendapatan pengusaha industri kecil pada tingkat kepercayaan 95%, dengan demikian hipotesis diterima. Pengaruh Penggunaan Biaya Tenaga Kerja (X2) Terhadap Pendapatan Pengusaha Industri Kecil Bahwa variabel (X2) biaya tenaga kerja mempunyai pengaruh positif terhadap pendapatan pengusaha industri kecil (Y). Dimana koefisiennya menunjukkan sebesar 14.745 artinya apabila variabel biaya tenaga kerja ditambah 1%, maka pendapatan pengusaha industri kecil akan bertambah sebesar 14.745 %.. Diketahui t hitung >t tabel (11.552 > 2.05) maka terima H1, artinya bahwa variabel independen biaya tenaga kerja (X2) berpengaruh nyata terhadap pendapatan pengusaha industri kecil pada tingkat kepercayaan 95%, dengan demikian hipotesis diterima. Untuk menguji hipotesis kedua (2) yaitu untuk mengetahui pengaruh peranan usaha kecil menengah terhadap perekonomian di daerah penelitian, digunakan data secara deskriptif sebagai berikut : Dalam rangka meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat salah satunya melalui sektor industri, dimana sumbangan sektor industri terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Serdang Bedagai. Sektor industri yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara riil diantaranya sub sektor industri pangan, karena sub sektor ini masih dilakukan masyarakat secara tradisional dengan indikasi bahan baku dan teknologi yang digunakan masih sederhana dan pemasarannya juga masih mengandalkan tenaga sendiri serta modal usaha juga masih dari modal sendiri. 5. Kesimpulan 1. Secara serempak dan secara parsial faktor produksi biaya bahan baku (X1) dan biaya tenaga kerja (X2) yang digunakan oleh pengusaha industri kecil berpengaruh nyata terhadap pendapatan pengusaha. 2. Peranan industri kecil bahan pangan di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai memiliki pengaruh terhadap peningkatan perekonomian masyarakat, keadaaan ini terlihat dari daya beli di tengah masyarakat yang 4844 semakin meningkat dengan adanya industri pengolahan bahan pangan, demikian juga halnya dengan perekrutan tenaga kerja yang mengurangi jumlah pengangguran di Kabupaten Serdang Bedagai. 6. Daftar Pustaka Suharto, 2001, Distribusi Pendapatan dalam Pembangunan, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 6 No. 1, 7389 Sukirno, Sadono, 1999. Makroekonomi, Edisi Keempat. PT Raja Grapinso Perseda, Jakarta. Susanti H, Ikhsan, M. dan Widyani, 2000. Indikator-Indikator Makroekonomi, Edisi kedua penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi. lembaga Todaro, P, Michael, 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, ahli bahan Haris Munandar, Edisi ketujuh, Erlangga, Jakarta. HUKUMAN BAGI PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL PADA ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK Iwan Setyawan, SH, MH4 ABSTRAK Kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan salah satu kasus yang mengalami peningkatan secara signifikan belakangan ini. Tidak saja meningkat secara kuantitatif tapi juga secara kualitatif. Dari waktu ke waktu kekerasan terhadap anak jumlahnya tak terbendung dan modus operandinyapun semakin tidak berperikemanusiaan. Kuantitas kekerasan seksual terhadap anak, akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan. Kekerasan seksual terhadap anak menurut ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan seksual sendiri bisa berarti melakukan tindak perkosaan ataupun pencabulan. Secara yuridis, kejahatan seksual pada anak merupakan sebuah kejahatan yang membawa dampak buruk bagi siapapun yang pernah mengalaminya, ancaman pidana berat bagi pelaku pemerkosaan dimaksudkan agar Negara memiliki kesempatan untuk memperbaiki sikap dan perilaku terpidana agar tidak berbahaya lagi dan hidup normal di dalam masyarakat serta memberi peringatan kepada masyarakat lain agar tidak melakukan perbuatan serupa. Salah satunya dengan menerapkan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 81 dan 82, serta Pasal 287 ayat (1), Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293 dan Pasal 294 di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjatuhkan hukuhan bagi pelaku ketahatan seksual, namun hal juga ini menjadi sorotan sejumlah masyarakat, media, dan organisasi – organisasi perlindungan anak karena ternyata pelaksanaannya/ penerapannya sampai saat ini tidak efektif untuk memberantas tindak pidana kejahatan seksual pada anak. Kata Kunci : Hukuman, Pelaku Kejahatan Seksual, Anak Pendahuluan Kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan salah satu kasus yang mengalami peningkatan secara signifikan belakangan ini. Tidak saja meningkat secara kuantitatif tapi juga secara kualitatif. Dari waktu ke waktu kekerasan terhadap anak jumlahnya tak terbendung dan modus operandinyapun semakin tidak berperikemanusiaan. Kuantitas kekerasan seksual terhadap anak, akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan. 4 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan 4845 Kekerasan seksual terhadap anak menurut ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan seksual sendiri bisa berarti melakukan tindak perkosaan ataupun pencabulan. Sumatera Utara, khususnya Medan masuk dalam kondisi darurat kejahatan seksual terhadap anak. Buktinya, sepanjang tahun 2013 saja, Kelompok Kerja (Pokja) Perlindungan Anak Sumut dan Kota Medan mencatat terdapat 12.679 kasus pelanggaran hak anak yang tersebar di 23 kabupaten/kota. Saat ini rumah, lingkungan sosial anak dan sekolah sudah tidak menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak. Pasalnya, saat ini banyak predator kejahatan terhadap anak banyak berada di lingkungan sekolah dan lingkungan rumah. Seharusnya, rumah dan lingkungan sekolah sebagai garda terdepan untuk memberikan pengayoman bagi anak, tetapi ini tidak lagi berfungsi sebagai tempat yang ramah bagi anak namun menjadi tempat bagi para monster yang siap menerkam hak-hak anak. Misalnya, orangtua kandung atau tiri, abang, paman dan kerabat terdekat keluarga. Kemudian, guru, penjaga sekolah atau petugas keamanan, pedagang, bahkan oknum penegak hukum. Penegak hukum yang ada di Sumut yang menangani perkara kejahatan seksual terhadap anak belum menunjukkan keberpihakan korban. Apalagi para penegak hukum itu masih menggunakan kacamata kuda dalam menangani perkara tersebut. Begitu juga dengan putusan hakim yang masih belum mencerminkan rasa keadilan bagi korban. A. Hukuman Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Secara yuridis, kejahatan seksual pada anak merupakan sebuah kejahatan yang membawa dampak buruk bagi siapapun yang pernah mengalaminya, ancaman pidana berat bagi pelaku pemerkosaan dimaksudkan agar Negara memiliki kesempatan untuk memperbaiki sikap dan perilaku terpidana agar tidak berbahaya lagi dan hidup normal di dalam masyarakat serta memberi peringatan kepada masyarakat lain agar tidak melakukan perbuatan serupa. Salah satunya dengan menerapkan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 287 ayat (1), dan Pasal 292 di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjatuhkan hukuhan bagi pelaku ketahatan seksual, namun hal juga ini menjadi sorotan sejumlah masyarakat, media, dan organisasiorganisasi perlindungan anak karena ternyata pelaksanaannya/ penerapannya tidak efektif untuk memberantas tindak pidana kejahatan seksual pada anak. Pemerintah mendorong percepatan revisi UU ini demi mencegah dan menegakkan hukum terhadap para pelaku kekerasan dan pelecehan seksual anak. Delik-delik kekerasan seksual itu marak diperbincangkan menyusul rangkaian kasus kekerasan seksual terhadap anak seperti di Jakarta International School dan Emon di Sukabumi. Di Sumatera Utara jika dilihat dari data yang dimiliki oleh KPAID SUMUT dari tahun 2013-2014 kasus kekerasan seksual pada anak masih banyak yaitu sebanyak 54 kasus, itu yang terdata oleh KPAID SUMUT, yang tidak melapor tentu lebih banyak lagi. 4846 Dapat kita lihat pada hukum positif yang berlaku di Indonesia telah banyak pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan seksual pada anak dan dengan jelas memberikan hukuman yang tegas seperti yang diatur dalam Pasal 287 KUHP : ayat ( 1 ) menyebut, “ Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga, bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Ayat ( 2 ) “ Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum sampai dua belas tahun jika salah satu hal tersebut pasal 291 dan pasal 294.” Pasal 287 KUHP ini juga terdapat di dalamnya semacam unsure paksaan meskipun paksaan yang bersifat psikis dan tidak dapat dikatakan atas dasar suka sama suka karena usia perempuan itu belum cukup umurnya atau belum cukup lima belas ( 15 ) tahun, kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, karena itu masuk kedalam ruang lingkup kejahatan seksual. Oleh karena itu pula dalam hal ini karena perbuatan bersetubuh tersebut dipandang salah dan dihukum penjara selama – lamanya Sembilan tahun, seharusnya penuntutan dilakukan tidak atas dasar pengaduan. Sama halnya dengan perbuatan bersetubuh yang dilakukan terhadap perempuan yang umurnya belum sampai 12 tahun. Selain dalam pasal yang telah disebutkan di atas, terdapat juga dalam pasal lain yang mengatur tentang kejahatan seksual pada anak, yakni Pasal 290 KUHP, yang menyatakan: Ayat ( 2 ) ― Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”. Ayat ( 3 ) ― Barang siapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau persetubuhan di luar pernikahan dengan orang lain”. Kemudian Pasal 292 KUHP menyebut “ Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun” . Pasal 293 ayat (1) “ Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Tindak pidana kejahatan seksual pada anak tidak hanya diatur secara tegas di dalam KUHP saja, tetapi juga dimuat dalam undang undang khusus yaitu Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82, yang menyatakan : 4847 Pasal 81 ayat ( 1 ) berbunyi : “ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannnya atau dengan orang lain, dipidana dengan pindana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)” Sementara, Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 berbunyi “ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)” . Mengacu pada hukuman pidana penjara dan denda, terutama Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 pada UndangUndang Perlindungan Anak, ancaman hukuman terhadap tindak kejahatan kekerasan seksual terhadap anak tergolong keras. Namun, pasal-pasal pengancam itu agaknya tidak membuat takut atau jera pelaku kekerasan seksual, terbukti dengan kemunculan kasus-kasus kekerasan seksual di sejumlah daerah di Tanah Air. Penutup Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua berkewajiban untuk benarbenar serius memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi anak sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing sesuai dengan Undang-Undang. Diharapkan Pemerintah segera merevisi pasal 81, 82 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, untuk mengubah hukuman 3 tahun minimal dan 15 tahun maksimal bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak menjadi minimal 10 tahun, maksimal seumur hidup ditambah dengan pemberatan hukum Kebiri melalui suntik kimia bagi pelaku kejahatan seksual dewasa, jika korbannya banyak dan masif pelaku dapat di berikan hukuman mati. Mendesak pemerintah segera melakukan langkah-langkah strategis pencegahan pelanggaran hak anak melakui penguatan organisasi dan peran serta Orang Tua, Keluarga, masyarakat dengan membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) Perlindungan Anak di setiap desa/RT dan RW dengan melibatkan Ketua RT, Kepala Desa, Karang Taruna, PKK, Posyandu, Sistem Lingkungan Masyarakat, Babinsa, dan Polisi Masyarakat. Daftar Pustaka A. BUKU Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005 . E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, asas-asas hukum pidana dan peneapannya,Storia Grafika, Jakarta, 2002. Huraerah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Jakarta, Nuansa, 2006 Kartini, Psycologi Wanita, gadis Remaja, dan Wanita Dewasa. Bandung, Alumni, 1981 4848 Marlina, Hukum Penitensier, Medan : Aditama, 2011. Muhammad Abdul Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan KUHP, Jakarta : Bulan Bintang, Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Jakarta, 1995. Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1982. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Kota besar: Raja Grafindo Persada, 2002. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 Suryono Ekotama, et. Al, Abotus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2001 Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap Korban kekerasan Seksual, Bandung, Reflika Aditama, 2001 B. Karya Ilmiah Ayu Rahayu, Kekerasan Seksual Pada Anak, Karya Ilmiah, Mahasiswi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2013 Bambang Hariyono, Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Indonesia, (Tesis, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009) Lukman Hakim Nainggolan, Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual terhadap Anak Di Bawah Umur, Jurnal Equality, Vol 13 No 1 Februari 2008 M. Anwar Fuadi, Dinamika Psikologi Kekerasan Seksual, Jurnal, Universitas Islam Negeri, diakses 19 Mei 2014 Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah pembaharuan Hukum pidana, Pascasarjana USU. Miftahu Chairina, “ Tindak Pidana Pemerkosaan terhadap Anak Di Bawah Umur Dalam Pandangan Hukum Pidana Islam “, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009. Wisnu sri hertinjung, The dinamyc of causes of child sexual abuse Based on availability of personal space and privacy, Jurnal, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiah Surakarta, di akses 19 Mei 2014 C. Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak D. Internet http://kampus.okezone.com, hukum-mati-pelaku-pelecehan-seksual-anak, diakses 2 Oktober 2014. http://www.antaranews.com/berita, cukupkah-hukum-pidana-jerat- penjahat-seksual 2 Oktober 2014 Www. Sumutpos.co, Medan Darurat Kejahatan Seksual terhadap Anak, diakses 19 Mei 2014 4849 ANALISIS SISTEM INTEGRASI TANAMAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) – TERNAK KAMBING (Capra aegagrus hircus) TERHADAP PENDAPATAN PETANI. Bambang Hermanto, SP, MSi5 ABSTRAK Analisis Sistem Integrasi Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) - Ternak Kambing (Capra aegagrus hircus) Terhadap Pendapatan Petani. Studi Kasus: Desa Pegajahan Dusun IV, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Tujuan Penelitian ini adalah : (1) Untuk menganalisis pengaruh luas lahan, tenaga kerja dan pupuk terhadap produksi tanaman ubi kayu. (2) Untuk menganalisis pengaruh biaya nutrisi, biaya tenaga kerja dan biaya pakan ternak terhadap biaya produksi pada usaha ternak kambing. (3) Untuk menganalisis besarnya pendapatan yang diperoleh dari sistem integrasi di daerah penelitian. (4) Untuk menganalisis kelayakan usahatani ubi kayu dan ternak kambing di daerah penelitian.Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode penentuan daerah penelitian yang ditetapkan secara purposive (sengaja), sampel dalam penelitian adalah petani di Desa Pegajahan Dusun IV. Teknik yang digunakan dalam penarikan sampel adalah teknik sampling jenuh (sensus). Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Analisis data pada perumusan masalah menggunakan fungsi regresi linear berganda, fungsi Cobb–Douglas rumus penerimaan, rumus keuntungan dan rumus analisis R/C Ratio kelayaan usahatani ubi kayu dan ternak kambing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, yaitu: (1) Variabel independent (X1, X2, dan X3) secara serempak berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman ubi kayu (Y1) pada tingkat kepercayaan 95% yaitu (67,457>2,98). Secara parsial variabel luas lahan (X1) berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman ubi kayu, sedangkan variabel tenaga kerja (X2) dan pupuk (X3) tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman ubi kayu (Y1). Koefisien Determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 0,886 artinya variabel independent (X1, X2, dan X3) secara serempak mampu memberi penjelasan terhadap produksi tanaman ubi kayu sebesar 88,6% sedangkan sisanya sebesar 11,4% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam estimasi. (2) Variabel independent biaya nutrisi (X1), biaya tenaga kerja (X2) dan biaya pakan ternak (X3) secara serempak berpengaruh nyata terhadap biaya produksi ternak kambing (Y 2) pada tingkat kepercayaan 95% yaitu (1430,277>2,98). Koefisien Determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 0,994 artinya variabel independent (X1,X2, dan X3) secara serempak mampu memberi penjelasan terhadap biaya produksi 5 Mahasiswa S3 Perencanaan Wilayah Universitas Sumatera Utara 4850 ternak kambing sebesar 99,4% sedangkan sisanya sebesar 0,6% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam estimasi. (3) Adapun besar pendapatan yang diperoleh di daerah penelitian sebesar Rp. 716.341.000 dengan rata-rata Rp. 23.878.033. (4) Usahatani ubi kayu dan ternak kambing layak untuk diusahakan karena nilai R/C-nya lebih besar dari satu (3,59>1). Kata Kunci: Produksi tanaman ubi kayu, Biaya produksi ternak kambing, Pendapatan, Kelayakan Usahatani dan Ternak Pendahuluan Latar Belakang Sistem pertanian dikembangkan secara sendiri-sendiri maka sisa tanaman, atau kotoran dari ternak merupakan limbah yang dapat menimbulkan masalah dan penanganannya memerlukan biaya tinggi sehingga akan meningkatkan biaya produksi usaha pertanian. Bila demikian halnya sama seperti pada pengembangan ilmu pertanian, secara produksi pun pertanian memerlukan keterpaduan atau pertanian terpadu. Oleh karena itu pertanian terpadu merupakan pilar utama kebangkitan bangsa Indonesia karena akan mampu menyediakan pangan yang aktual bagi bangsa ini secara berkelanjutan. Dalam sistem integrasi tanaman-ternak, pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan, serta limbah ternak menjadi pupuk dan sumber energi alternatif merupakan potensi yang perlu dikembangkan. Inovasi teknologi pakan ternak dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah (SITT-BL) memberikan peluang yang menggembirakan menuju green and clean agricultural development. Sistem integrasi ternak dan tanaman pangan dapat menjadi andalan dalam upaya meningkatkan produktivitas tanaman pangan, ternak, selain melestarikan kesuburan tanah dengan adanya pupuk organik. Karena itu, sistem ini berpotensi meningkatkan pendapatan petanipeternak. Pupuk kandang yang merupakan limbah ternak dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik tanah. Bahkan semua limbah ternak dan pakan dapat diproses secara in situ untuk menghasilkan biogas sebagai energi alternatif. Residu (sisa bahan yang tidak terpakai) pembuatan biogas, dalam bentuk kompos merupakan sumber pupuk organik bagi tanaman, sekaligus sebagai pembenah tanah (soil amendment). Pemanfaatan limbah pertanian hingga tidak ada lagi limbah yang terbuang akan bermakna melestarikan perputaran unsur hara dari tanah-tanamanternak kembali ke tanah secara sempurna. Kearifan lingkungan ini perlu ditumbuh kembangkan secara luas sehingga mampu menjaga kelestarian sumber daya alam (Haryanto, 2009). Masyarakat di desa ini telah lama melakukan sistem integrasi antara tanaman ubi kayu dengan ternak kambing yaitu disamping menanam tanaman ubi kayu juga memelihara ternak kambing. Ternak kambing yang dijalankan masyarakat sangat bermanfaat sebagai sumber pendapatan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan dalam masyarakat masih menganggap ternak kambing yang mereka jalankan sebagai usaha sampingan karena kehidupan masyarakat umumnya masih bertumpu pada usaha pertanian terutama tanaman ubi kayu sebagai usaha pokoknya. Berdasarkan uraian sebelumnya maka dilakukan penelitian dengan judul ―Analisis Sistem Integrasi Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) - Ternak Kambing (Capra aegagrus hircus) Terhadap Pendapatan Petani ” dengan studi kasus di Desa Pegajahan Dusun IV, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis pengaruh luas lahan, tenaga kerja dan pupuk terhadap produksi tanaman ubi kayu. 4851 2. Untuk menganalisis pengaruh nutrisi, tenaga kerja dan pakan ternak terhadap biaya produksi pada usaha ternak kambing. 3. Untuk menganalisis besar pendapatan yang diperoleh dari sistem integrasi di daerah penelitian. 4. Untuk menganalisis apakah usahatani ubi kayu dan ternak kambing layak diusahakan di daerah penelitian. Tinjauan Pustaka Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Salah satu sistem usaha tani yang dapat mendukung pembangunan pertanian di wilayah pedesaan adalah sistem integrasi tanaman ternak. Ciri utama dari pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing- masing komponen. Saling keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Kariyasa, 2005). Sistem integrasi tanaman ternak mengemban tiga fungsi pokok yaitu memperbaiki kesejahteraan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, memperkuat ketahanan pangan dan memelihara keberlanjutan lingkungan (Suryanti, 2001). Integrasi tanaman dan ternak dimasukkan untuk mendukung pertanian berkelanjutan, penggunaan sumber daya alam secara optimal dan efesiensi penggunaan lahan dalam upaya peningkatan pendapatan. Telah kita sadari bersama bahwa ternak memberikan kontribusi yang besar terhadap kesejahteraan petani, namun hingga kini peranan ternak tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh sebagian besar petani. Ternak ruminansia dapat memanfaatkan hasil ikutan dan sisa hasil pertanian untuk kebutuhan pakannya. Dilain pihak dengan penguasaan lahan antara 0,25-0,3 Ha penggunaan pupuk anorganik semakin berlebihan dalam upaya peningkatan hasil, justru memperburuk kondisi lahan. Dalam keadaan demikian pemberian pupuk kandang menjadi keharusan. Pemberian pupuk kandang selain untuk perbaikan tanah juga efesiensi penggunaan pupuk anorganik yang semakin mahal dan sulit dicari. Dengan membaiknya kondisi fisik lahan dan efesiensi dalam penggunaan pupuk diharapkan dapat meningkatkan pendapatan (Prasetyo, 2001). Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut: 1. Luas lahan, tenaga kerja dan pupuk berpengaruh terhadap produksi tanaman ubi kayu. 2. Nutrisi, tenaga kerja dan pakan ternak berpengaruh terhadap biaya produksi pada usaha ternak kambing. 3. Ada pengaruh pendapatan usahatani pada sistem integrasi tanaman ubi kayu-ternak kambing di daerah penelitian. 4. Usahatani ubi kayu dan ternak kambing layak diusahakan di daerah penelitian Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari responden kemudian diolah terlebih dahulu, kemudian diuji dengan dengan menggunakan alat statistik yang sesuai. Uji analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah: 4852 Untuk menguji hipotesis pertama (1), menggunakan Regresi Linier Berganda: Y1 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e Keterangan: Y1 = Produksi (Kg) a = Konstanta/Intercept b1b2 b3 = Koefisien regresi X1 = Luas Lahan (Ha) X2 = Tenaga Kerja (Orang) X3 = Pupuk (Kg) e = Error Term Untuk menguji hipotesis kedua (2), menggunakan rumus Cobb-Douglas : Y2 = a.X .X . X .e Kemudian fungsi Cobb-Douglas dilogaritmakan sebagai berikut: Log Y2 = Log a + b1 Log X1 + b2 Log X2 + b3 Log X3 + e Keterangan: Y2 = Biaya Produksi Ternak kambing (Rp/thn) a = Konstanta/Intercept b1b2 b3 = Koefisien regresi Log X1 = Log Biaya Nutrisi (Rp/thn) Log X2 = Log Biaya Tenaga Kerja (Rp/thn) Log X3 = Log Biaya Pakan Ternak (Rp/thn) e = Error Term Untuk menguji hipotesis ketiga (3) yaitu Pendapatan usahatani ubi kayu dan ternak kambing, digunakan analisis R/C Ratio. π = TR –TC Keterangan : π = Pendapatan Usahatani dan ternak/Keuntungan (Rp) TR = Total Revenue/Total Penerimaan (Rp) TC = Total Cost/Total Biaya (Rp) Untuk menguji hipotesis keempat (4) yaitu kelayakan usahatani ubi kayu dan ternak kambing, digunakan analisis R/C Ratio. ⁄ Hasil Dan Pembahasan Penelitian Hasil Regresi Pengaruh Luas Lahan, Tenaga Kerja, dan Pupuk Terhadap Produksi Tanaman Ubi Kayu No Variabel Koefisien t- stat t- tab Sig F F tab 4853 1 2 3 4 5 6 7 Konstanta Luas Lahan (X1) Tenaga Kerja ( X2) Pupuk (X3) R. Square Adjusted R. Square F. Statistik -108,645 928,703 722,975 0,633 0,886 0,873 67,457 -0,106 6,047 1,549 0,501 8 Variabel Dependent (Y1) Produksi Tanaman Ubi Kayu 2,056 0,000 2,98 Sumber : Data Primer diolah, 2013 Dari tabel diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa koefisien regresi : Y1 = -108,645 + 928,703 X1 + 722,975 X2 + 0,633 X3 + e Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh Fhitung > Ftabel (67,457 > 2,98) dengan demikian terima Ha tolak H0. Ini berarti secara serempak luas lahan (X1), tenaga kerja (X2) dan pupuk (X3) berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman ubi kayu pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian hipotesis diterima, hal ini terjadi karena tingkat produksi dipengaruhi oleh variabel luas lahan, tenaga kerja dan pupuk. Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 0,886 artinya variabel luas lahan, tenaga kerja dan pupuk mampu memberi penjelasan terhadap produksi tanaman ubi kayu sebesar 88,6% sedangkan 11,4% lainnya dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan kedalam model estimasi. Seperti faktor sosial petani yaitu tingkat pendidikan petani, jumlah tanggungan petani. Hasil Regresi Pengaruh Biaya Nutrisi, Biaya Tenaga Kerja, dan Biaya Pakan Ternak Terhadap Biaya Produksi Ternak Kambing No 1 2 3 4 5 6 7 Variabel Konstanta Biaya Nutrisi (X1) Biaya Tenaga Kerja (X2) Biaya Pakan Ternak (X3) R. Square Adjusted R. Square F. Statistik Koefisien 0,282 0,280 0,507 0,254 0,994 0,993 1430,277 t- stat 1,767 6,678 20,190 11,952 t- tab 8 Variabel Dependent (Y2) Biaya Produksi Ternak Kambing 2,056 Sig F 0,000 F tab 2,98 Sumber : Data Primer diolah, 2013 Dari hasil pengujian yang dilakukan, maka dapat diperoleh persamaan regresi linier berganda sebagai berikut : LogY2= Log 0,282 + 0,280 LogX1 + 0,507 LogX2 + 0,254 LogX3 + e Dari rumus diatas kemudian dikonversikan kedalam rumus Cobb-Douglass sebagai berikut : Y2 = 0,282. X10,280. X20,507. X30,254.e Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh Fhitung > Ftabel (1430,277 > 2,98) dengan demikian terima Ha tolak H0. Ini berarti secara serempak biaya nutrisi (X1), biaya tenaga kerja (X2) dan biaya pakan ternak (X3) berpengaruh nyata terhadap biaya produksi ternak kambing pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian hipotesis diterima, hal ini terjadi karena tingkat biaya produksi dipengaruhi oleh variabel nutrisi, tenaga kerja dan pakan ternak. 4854 Koefisien determinasi (R2) menunjukan nilai sebesar 0,994 artinya variabel biaya nutrisi, biaya tenaga kerja dan biaya pakan ternak mampu memberi penjelasan terhadap biaya produksi ternak kambing sebesar 99,4% sedangkan 0,6% lainnya dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan kedalam model estimasi. Seperti faktor sosial petani yaitu tingkat pendidikan petani, jumlah tanggungan petani. Total Pendapatan Usahatani Ubi Kayu dan Ternak Kambing Total pendapatan yang dimaksud adalah hasil penjumlahan pendapatan usahatani ubi kayu dengan ternak kambing. Adapun rata-rata total pendapatan usahatani ubi kayu dan ternak kambing sebesar Rp 23.878.033. Dengan demikian pendapatan yang diperoleh petani yang juga menjadi peternak setiap tahun dan setiap musim tanam sebesar Rp 23.878.033. Kelayakan Usahatani dan Ternak Kambing Untuk mengetahui layak atau tidak layaknya usahatani ubi kayu dan ternak kambing tersebut maka dapat diuji dengan mengunakan rumus Revenue Cost Ratio (R/C Ratio). ⁄ Adapun hasil analisisnya adalah sebagai berikut : ⁄ = 3,59 Dari hasil perhitungan diatas dapat diketahui besarnya R/C ratio petani/peternak sampel adalah 3,59. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa usahatani ubi kayu dan ternak kambing di daerah penelitian menguntungkan dan layak untuk diusahakan di daerah penelitian. Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C ratio lebih besar dari satu (3,59 > 1). Semakin besar R/C ratio maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh petani/peternak dalam menjalankan usahatani dan ternaknya. Hal ini dapat dicapai apabila petani/peternak mengalokasikan faktor-faktor produksi yang telah ada secara lebih efisien lagi. Kesimpulan Dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai Analisis Sistem Integrasi Tanaman Ubi Kayu-Ternak Kambing Terhadap Pendapatan Petani di Desa Pegajahan Dusun IV, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Secara serempak variabel luas lahan, tenaga kerja dan pupuk berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman ubi kayu sebesar 95%. 2. Secara parsial variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman ubi kayu. Sedangkan variabel tenaga kerja dan pupuk tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman ubi kayu. 3. Secara serempak variabel nutrisi, tenaga kerja dan pakan ternak berpengaruh nyata terhadap biaya produksi ternak kambing. 4. Secara parsial variabel biaya nutrisi, biaya tenaga kerja dan biaya pakan ternak berpengaruh nyata terhadap produksi ternak kambing. 4855 5. Ada perbedaan pendapatan pada masing-masing sampel ini terjadi karena besarnya biaya produksi yang dikeluarkan berbeda-beda. 6. Usahatani ubi kayu dan ternak kambing memiliki keuntungan yang baik sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. 2. Saran a. Kepada Petani Berdasarkan kesimpulan bahwa usaha ternak kambing memiliki keuntungan, oleh karena itu diharapkan kepada petani agar ternak yang diusahakan tidak hanya menjadi usaha sampingan tetapi bisa menjadi usaha pokok selain usahataninya. Serta sungguh-sungguh dalam mengelolanya, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. b. Kepada Peneliti Berikutnya Diharapkan kepada peneliti berikutnya agar tidak hanya meneliti integrasi tanaman semusim dengan ternak, tetapi melakukan penelitian tanaman perkebunan dengan ternak. Atau mungkin tidak hanya tanaman dengan ternak saja, bisa ditambah dengan perikanan. Daftar Pustaka Alma, B. 2000. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Alfabeta. Bandung. Anonimus, 2011. http://pocciremai.wordpress.com/2011/12/12/10-langkah-cara-beternak-kambing-yangefektif/. Damarjati, D.S., S. Widowati and Suismono. 1996. Development system of cassava glour agro industri in indonesia. In: System. Hermanto and A. Musadad (Eds). Performances of Food Crops Research. Book 4. Crifc, Bogor. pp. 1212 – 1221. Daniel, Moehar. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Deptan RI. 2006. Data Base Pemasaran Internasional Ubi Kayu Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan Dirjen Bina Pengolahan Hasil Pemasaran Hasil Pertanian. Jakarta. Departemen Pertanian. 2009. Beternak Kambing Intensif. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Haryanto, Budi. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak Dalam Sistem Integrasi Tanaman -Ternak Bebas Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. http://www.googlecendikia,com Ismail, I. G. dan Djajanegara, A. 2004. Kerangka Dasar Pengembangan SUT Tanaman Ternak (Draft). Proyek PAATP, Jakarta. Kariyasa. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani, di tiga Provinsi (Jateng, Bali dan NTB). Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 3 No. 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Linnaeus. 1758. Beternak Kambing. Wikipedia Indonesia 4856 Prasetyo dkk. 2001. Integrasi Tanaman dalam Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing Berkelanjutan dan Berkerakyatan. Disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak Bogor. PT RAPP dan Universitas Lancang Kuning, 2000. Seayun Langkah Membangun Riau: Pertanian Terpadu (Integrated Farming System). PPMR Press, Pekan Baru Rahmat Rukmana. 2002. Usaha Tani Ubi Kayu. Kanisius, Yogyakarta. Reijntjes, C., B. Haverkot dan A. W. Bayer, 1999. Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius dan ILEIA, Yogyakarta. Rosyidi, 1996 . Pengantar Teori Ekonomi, Pendekatan pada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. PT. Radja Grafindo Persada. Jakarta. Tim Karya Mandiri. 2010. Pedoman Bertanam Jagung. CV. Nuansa Mulia. Bandung. Safaruddin. 2011. Analisis Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap Peningkatan Pendapatan Petani dan Dampaknya terhadap Pengembangan Wilayah di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Saputra, R.U.H. 2006. Pertanian Indonesia.http://www.tumoutou.net. Terpadu Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa Saragih, B. dan Y.B. Krisnamurthi. 2000. Pengembangan Agribisnis Kecil. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi IPB, Bogor Soekartawi.1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. --------------. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sugiyono, Prof. Dr. 2008. Metode Penelitian Bisnis. Penerbit Alfabeta, Bandung Sumoprastowo, CDA. 1980. Beternak kambing yang berhasil. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Suratiyah, Ken. 2009. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Suryanti, Reni. 2001. Penerapan Integrasi Usaha Tanaman dan Ternak Serta Kebutuhan Penyuluhan Pertanian. Pasca Sarjana. Universitas Andalas 2011 Syamsidar. 2012. Analisis Pendapatan Pada sistem integrasi Tanaman semusim-Ternak Sapi Potong (Intrated Farming System) di Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar. Swastha dan Sukotjo. 1997. Pengantar Bisnis Modern. Erlangga, Jakarta. Widianta, Ardhiles dan Widi Prima Deva. 2008. Ubi kayu (Manihot esculenta) Sebagai Bahan Alternatif Pengganti Bensin (Bioetanol) Yang Ramah Lingkungan. Bengkulu. http://isnanimurti.wordpress.com. 4857 APLIKASI BALANCED SCORECARD DALAM KONTROL MANAJEMEN Edward Arif Hakim Hasibuan, SE, MAP6 ABSTRAK Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi balanced scorecard dalam kontrol manajemen. Metode penulisan menggunakan metode library research. Argumentasi-argumentasi pada tulisan ini didasarkan pada review literature, disamping beberapa sumebr-sumber tulisan yang banyak membahas tentang penerapan BSC untuk sektor publik. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa kesadaran dan kesepakatan Manajemen eksekutif bahwa perubahan strategi (kontrol strategi) merupakan kondisi yang dicapai dalam mengadopsi BSC, sebagai satu hal berlawanan dengan diantaranya kontrol Manajemen. Desin awal BSC juga mengusulkan bahwa strategi organisasi merupakan prioritas pertama untk dianalisis oleh kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang kunci yang didukung oleh konsultan. Analisa mereka digunakan untuk merangsang atau mendorong proses seleksi terhadap skala prioritas atau sasaran strategis oleh team Manajemen. Proses seleksi tersebut melibatkan proses pemilihan tujuan strategis dalam keterkaitan antar tujuan strategis tersebut. Keterkaitan sebab dan akibat merupakan pertimbangan “post-hoc”. Tetapi, kunci untuk mengkaitan strategi 6 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan 4858 dengan pengukuran kinerja ditemukan ketika membangun asumsi yang terkait dengan kualitas pemahaman hubungan sebab dan akibat. Kata kunci : balanced scorecard dan kontrol manajemen 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 1980, demokrasi di banyak negara barat telah berjalan dengan menempatkan reformasi manajemen sebagai satu hal yang penting. Reformasi tersebut berkaitan dengan isu-isu Manajemen yang diarahkan atau minimal mulai mempertimbangkan economic saving, peningkatan kualitas pelayanan, dan operasional pemerintahan yang effisien dan kebijakan yang lebih efektif (Polliitt & Bouckaert, 1999). Hal ini dodorong oleh effek kombinasi dari ―tujuan negara sebagai instutisi pencipta kesejahteraan, pengurangan kesenjangan ekonomi, krisis ekonomi structural, dan internasionalisasi persoalan publik‖ (König, 1996). Kondisi ini merangsang untuk munculnya tehnik-tehnik Manajemen baru seperti Manajemen Strategi dan Manajemen. Kualitas Total (total quality Management), dan merubah prinsip-prinsip akutansi publik dimana hal tersebut memungkinkan manajemen lebih mampu dan mudah mengakomodasi aktifitas biaya, benchmarking, dan uji pasar (MAB, 1997; Hood, 1995). Bahwa model strategi untuk sektor publik secara keseluruhan mulai memasukkan konsepkonsep menejemen kotemporer bisnis seperti Activity Based Costing/ Management (ABC/M) Value Chain Manahement (VCM), Resource Planning (Perencanaan Atas Sumber Daya), dan di Active Enterprise Management (AEM). 1.2. Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi balanced scorecard dalam kontrol manajemen. 1.3. Metode Penulisan Metode penulisan menggunakan metode library research. Argumentasi-argumentasi pada tulisan ini didasarkan pada review literature, disamping beberapa sumebr-sumber tulisan yang banyak membahas tentang penerapan BSC untuk sektor publik. 2. Uraian Teoritis 2.1. Tantangan Untuk Manajemen Strategik Pada Organisasi Sektor Publik dan Bisnis Kesadaran untuk berhubungan dengan strategi pada organisasi sektor publik adalah merupakan hal yang baru. Perencaaan sudah merupakan hal umum dilakukan oleh organisasi sektor publik, tetapi perencaaan bukanlah strategi. Berfikir strategi membutuhkan kesadaran dan mindset yang berbeda lebih fokus pada cause and effect yang dinamis, persaingan, dan ketidakpastian lingkungan. Strategi merupakan positioning organisasi di masa depan dengan memberikan daya ungkit melalui asset-aset yang dimiliki untuk menciptakan asset yang dapat membawa organisasi pada posisi superior terhadap pesaing melalui penciptaan nilai. Manajemen Strategi pada organisasi sektor publik bukanlah merupakan adaptasi sederhana dari teori strategi sektor bisnis. Sementara menejemen strategi pada kedua organisasi signifikan secara pararel, kedua organisasi juga memiliki perbedaan yang penting pula. Beberapa tahun terakhir, manajemen sektor publik mulai meningkat perhatiannya kepada isu-isu tentang hasil (result) dan mulainya memasukkan terminologi konsumen (constumer) dalam manajemen publik (Howard 4859 Rohm, 2001). Hal ini mendorong para manager organisasi sektor publik memikirkan kembali fungsi, peran dan tanggungjawabnya kepada publik. Sehingga target merupakan unsur yang cukup dominan untuk diperhatikan didalam desain pekerjaan di organisasi publik, yang pada akhirnya diiukuti oleh isu-isu penting lainnya seperti pengukuran hasil kerja sebagai perbandingan antara target dan hasil, produktifitas, dan keberlanjutan serta nilai (value) setiap program dan aktifitas organisasi di sektor publik. Hal ini dapat dirangkum dari satu pendapat dari Bouckaert, Geert and Balk, Walter: In discussion about productivity measurement there has been a shift from a belief in the power of quantified measures to the awareness of the dysfunctional effects, and there’s been a shift in discussion from the meaning of management to the management of meaning. The 13 diseases in measuring productivity in a management context can be divided into three groups; 1) those associated with the assumption of measurements, not with measurement itself, 2) those associated with percieved numbers a nd volumes, 3) those concerning the content, position and amount of measures. Managers in the public sektor need to direct more attention towards the extrinsic requirements, that is, the impact on the organization of the use of measurement. They must search for optimal measures that minimize dysfunctional effects and maximize functional effects, allowing managers to fokus on the extrinsic requirements of the organizational purpose. Sudah menjadi pemikiran umum bahwa organisasi sektor publik diposisikan sebagai organisasi yang berada dalam lingkungan yang fakum dari kompetisi (Corex, 1997). Se-validitas apa pun pandangan tersebut di masa lalu, saat ini pandangan tersebut tidak menyakinkan sama sekali. Secara gambaran, semua organisasi akan beroperasi dalam lingkungan kompetisi, baik kompetisi tersebut dalam konteks menentukan pilihan supplier yang berkualitas ataukah dalam konteks pelayanan kepada publik/konsumen mana jasa organisasi sektor publik tersebut harus dihantarkan. Terlebih bahwa globalasi yang mengiringi era informasi (bukan lagi era industri) telah membawa perubahan keseluruh sektor lini kehidupan manusia, dimana asumsi-asumsi pada era industri tidak berlaku lagi (Mulyadi, 2000). Begitu pula organisasi sektor publik tidak akan lengang atau fakum lagi dari aspek persaingan, hal ini memakssa struktur organisasi harus memasukkan unsur kompetisi dan inovasi (Anwar Shah, 1997; Corex, 1997; Wilopo 2002) Kedua organisasi sektor bisnis dan publik ditujukan untuk memproduksi nilai (value) untuk para stakeholder pada masing-masing lingkungan melalui pemanfaatan sumber daya dan kapabilitas. Tetapi ―tetapi secara alami mereka berbeda terhadap arti nilai itu sendiri, dan nilai sumberdaya, kapabilitas dan lingkungan, dimana hal tersebut akan memberikan implikasi dalam pembuatran dan implementasi strategi‖ (Alford 2000). Berikut akan dijabarkan beberapa implikasi hal tersebut. 2.2. Pencipta Nilai Pada sektor publik, Nilai (value) diasosiasikan dengan proses penciptaan produk dan jasa (output) yang diikuti dampak (outcome) pada sosial ekonomi masyarakat pada umumnya (Pollitt dan Bouckaert, 1999). Value dapat pula diartikan sebagai nilai sosial dan norma, yang pada umumnya tertuang didalam konstitusi atau statements/pernyataan kebijakan anggaran tahunan, yang akan memberikan manfaat panduan didalam menjalankan amanat dimana value itu sendiri inheren didalamnya. Norma sosial tidak tertulis yang banyak dipahami dan diketahui oleh umum seharusnya dipakai sebagai pertimbangan. Di negara industri, mission dan value organisasi sektor publik dinyatakan dalam kerangka kerja kebijakan jangka menengah. Sebagai contoh, negara New Zaeland sudah menjadi persyaratan resmi bahwa pernyataan kebijakan “policy statement” ditulis pada tabel Parlemen setiap 31 Maret. Value pada organisasi sektor publik di negara sedang berkembang jarang sekali 4860 dinyatakan secara umum. Hal ini dikarenakan orientasi pemerintahan masih pada sistem ―komando dan kontrol‖ ketimbang berorientasi sebagai pelayanan publik (Anwar Shah, 1997). Value merupakan titik landasan untuk pergerakan organisasi sektor publik di masyarakat, dengan peryataan value maka secara langsung akan memposisikan institusi dalam persepsi publik. Disamping bahwa value merupakan kristalisasi atas suara publik “public voice” yang diharapkan atas kinerja organisasi sektor publik. Nilai bukalah hasil sebuah momentum atau hasil dari ketentuan pemerintah. Tetapi nilai tergantung wacana perpaduan antara nilai yang berkembang di publik dan kemampuan organisasi mendayagunakan nilai yang ada dimasyarakat. Nilai dilahirkan dari komitmen moral yang dilahirkan dari satu kontrak sosial antara publik dan instansi pemerintah. Pada pendekatan ini maka Value atau Nilai‖ merupakan determinasi dari sebuah ―kewenangan‖ “authorising environment” seperti institusi yang mendapatkan kewenangan dari organisasi publik untuk menjalankan fungsi dan menjalankan hal-hal penting dalam konteks anggaran. Kewenangan lingkungan berasal dari banyak pihak jaringan stakeholder dimana sering kali terjadi konflik kepentingan (interst) antar stakeholder, diantaranya pembayar pajak yang menginginkan penurunan tarif pajak sedangkan disisi lain para warga yang disatuni negara (welfare recipients) menginginkan peningkatan subsidi kedua kelompok tersebut mencoba terus mempengaruhi melalui apa yang seharusnya dilakukan oleh UU, agar memiliki nilai bagi kepentingan kelompok, melalui proses yang demokratis. Prioritas para politikus tentunya akan dipengaruhi secara langsung oleh siklus suara pemilihnya (electoralcycle), namun demikian prioritas tersebut akan mendapat tantangan dan proses ujian oleh berbagai macam kepentingan kelompok pada proses politik dan hal tersebut memungkinkan akan mengalihkan prioritas tersebut pada area yang menguntungkan semua pihak atau kelompok tersebut (Pollitt dan Bouckaert, 1999). Karenanya para politikus cenderung untuk memaksimalkan pengaruhnya terhadap berbagai kepentingan kelompok secara simultan, melalui isu-isu yang bersifat umum dan atau tidak fokus, serta ambisius (Stewart, 1996). Hal ini merupakan tantangan ajek atau konstan bagi arah strategi dan altar (setting) atau penentuan prioritas dari organsiasi sektor publik. Meskipun terdapat perbedaan dalam konsep nilai, hal ini (nilai) diperlukan oleh organisasi sektor publik didalam mempertimbangkan kompleksitas lingkungan stakeholder. Kedua organsiasi publik dan bisnis harus mampu mendemostrasikan kemampuannya dalam menciptakan nilai terhadap lingkungan yang memberikan kewenangan (Authorizing Environmrnt) atau Badan Komisaris (Board). Untuk organisasi sektor publik berupa Public Value Growth, dan untuk Badan Komisaris berupa Shareholder Value Growth. Juga, kedua organisasi harus beroperasi dalam lingkungan dinamis yang akan menjadi batas atau membatasi kemampuan organisasi untuk melakukan aktifitasnya secara konsisten pada skala prioritas strategi dan karenanya kedua organisasi tersebut membutuhkan suatu implementasi manajemen strategi yang memiliki pedekatan dengan kadar adaptabilitas tinggi. 2.3. Alokasi Sumberdaya Sumberdaya yang dimiliki sektor publik termasuk sumberdaya tangible seperti uang (sering kali dialokasikan melalui proses anggaran institusi), dan sumberdaya intangible seperti public power diantaranya law infrocment, system perpajakan, proteksi lingkungan dan lain sebagainya. Alford (2000) melihat hal ini sebagai salah satu faktor pembeda antara sektor publik dan bisnis, dan implikasi dari penggunaan public power sebagai sumberdaya terlihat pada tingkat biaya atau tingkat tabungan potensial yang diperoleh akibat penggunaan yang sesuai atau tidak sesuai (pemborosan) sumberdaya tersebut (Moore, 1995), dan oleh karenanya hal tersebut 4861 menambah komplek Manajemen Strategi pada sektor publik. Ketepatan penggunaan public power merupakan factor penting didalam membangun efektifitas alokasi sumberdaya yang ada. Namun demikian organisasi sektor bisnis pun pada posisi monopoli atau oligopoli juga membutuhkan kehati-hatian didalam penggunakan dan kemungkingan kesalahan dalam penggunaan power/kekuatan posisi mereka yang akan berakibat pada eksistensi strategi – hal ini pernah terjadi pada kasus Micrisoft dimana ketidak percayaan publik terhadap Microsoft berakibat pada percobaan pemaksaan diberlakukannya restrukturisasi organisasi Microsoft. Sebagaimana diagram Basic Objective of PEM and Budget Management tergambarkan posisi strategi Alokasi Sumberdaya (Resources Allocation) dalam konteks public expenditure management dan buget mnagement. Alokasi sumberdaya merupakan determinasi dari tujuan kebijakan, dimana platfon politik pemerintah akan tercermin pada dinamika pergerakan sumberdaya ini. Ketepatan alokasi sumber daya akan memberikan kekuatan kepada organisasi sector publik, namun sebalikknya ketidak tepatan alokasi sumberdaya akan berakibat menjadi bumerang didalam mempertahankan eksistensi strategi. Pada wilayah inilah partai politik pemegang kekuasaan pemerintahan akan diuji ikatannya terhadap konstituennya, karena alokasi sumberdaya notabene sumberdaya adalah miliki dan atau berasal dari publik- dialokasikan sesuai dengan kepentingan publik ataukah tidak. Hal ini sebenarnya akan terbaca lebih awal oleh publik ketika partai dalam kampanye lebih mempromosikan atau menawarkan isu-isu kebijakan penting yang akan dilakukan apabila partai tersebut terpilih, karena didalamnya kampanye tersebut publik akan membaca bagaimana public power dan sumberdaya yang dimiliki publik akan digunakan untuk kepentingan publik itu sendiri. Sayangnya hal ini merupakan hal yang jarang pernah ditemukan pada sistem politik partai di negara berkembang, tidak terkecuali Indoensia. Publik memilih partai laksana membeli kucing dalam karung. Proses anggaran sendiri merupakan wilayah dimana sektor publik dan bisnis memiliki perbedaan yang sidnifikan. Ketika belum semua negara beralih dari pendekatan akutansi publik tradisional (pendekatan kotrol input anggaran) ke model baru yang didasarkan pada kontrol output seperti akutansi akrual yang didasarkan pada kerangka kerja output outcome (MAP 1997). Pendekatan sistem anggaran baru membutuhkan optimalisasi penggunaan sumberdaya untuk mencapai target output yang disetting oleh kepentingan publik (Pollitt & Bouckaert, 1999). Sistem penganggaran baru harus mampu mendukung performance management dalam hal: • Melakukan setting sasaran dan target kinerja untuk setiap program; • Memberikan manager, yang bertangungjawan atas program tersebut, kebebasan untuk proses implemtasi untuk mencapai sasaran dan target; • Mengukur dan melaporkan kinerja nyata dibanding dengan sasaran dan target; • Memberikan informasi balik tentang penentuan pencapaian kinerja untuk program masa datang, perubahan atas konten dan atau desin program, memberikan imbalan dan pinalti secara organisasi maupun secara individu; • Memberikan informasi ex post review kepada komite legeslatif dan external auditor. (OECD, 1999) Hal ini merupakan indikasi dibutuhkan suatu mekanisme kontrol strategi yang effektif pada sektor publik dalam rangka ― untuk menyakinkan apakah strategi telah diimplementasikan sebagaimana direncanankan dan hasil strategi tersebut sesuai dengan yang diharapkan‖ (Schendel & Hofer, 1979). Hal tersebut juga menandakan akan 4862 adanya kebutuhan atas Manager Publik untuk melihat aspek-aspek jangka pendek diluar fokus keuangan pada sirkulusi anggaran tahunan (Johnson & Kaplan, 1987), dimana hal tersebut merupakan aspek utama dari kewenagan lingkungan “Authorising Environment” dalam mengontrol atas penggunaan sumber daya di sektor publik (Stewart, 1996). Hal mengarahkan pada rasionalitas atas asumsi bahwa manajer publik, sebagaimana manager sektor bisnis, harus mengelola dengan baik lingkungan operasional yang retan perubahan (volatile operating environments), perlu mengadopsi pedekatan Manajemen yang lebih fleksibel ke depan dalam rangka peningkatan Strategic Control 3(Muralidharan, 1997; Goold & Quinn, 1990). 2.4. Akuntabilitas dan Kepercayaan Banyak perdebatan tentang akuntabilitas pada literature Manajemen publik berfokus pada proses peralihan akuntabilitas dari politikus – hasil pemilihan - kepada para manager publik, hal ini merupakan hasil atas reformasi managemen publik baru, dan akibat negatif dari peralihan ini membuka peluang positif maupun negarif terhadap proses politik dan konstitusi (Denhardt and Denhardt, 2000; Pollitt and Bouckaert, 1999; Pierre 1995). Sebelum mengkaitkan dengan efektifitas Manajemen Strategi, paper ini akan berkonsentrasi pada dua aspek akuntabilitas di organisasi sektor publik. Pertama, potensial dampak negatif perubahan (improvement) radikal atas kinerja disebabkan ―kemubajiran‖ akuntabilitas publik secara politik akibat dari perubahan struktur yang terpisah dari “steering from rowing” atau kebutuhan lini depan (Osborne and Agebler, 1992); kedua, pentingnya akuntabilitas internal antara semua lapisan manajemen pada organsiasi sektor publik. Keduanya hal tesebut diatas dipengaruhi oleh ketaiadaan budaya kinerja yang umumnya terdapat pada organisasi sektor publik dan ketiadaan kepercayaan antara kepemimpinan politik dan kepemimpinan eksekutif ( Pollitt and Bouckaert, 1999; Stewart 1996). 3. Pembahasan Dengan semakin nyata dan jelas tentang kesamaan isu-isu tentang kontrol strategi antara sektor publik dan bisnis, hal ini menjadikan pendekatan BSC akan efektif untuk isu-isu kontrol strategi secara review literature. Oleh karenanya dengan semakin meningkatnya kompleksitas stakeholder pada sektor publik, menjadikan adanya satu kebutuhan untuk modifikasi pendekatan sektor bisnis guna merefleksikan dan mengakomodasi peningkatan kompleksitas tersebut. 3.1. Balanced Scorecard (BSC) BSC memiliki tujuan utama sebagai sebuah pendekatan untuk mengorganisasi dan menyajikan informasi pengukuran kinerja yang merupakan kombinasi antara ukuran keuangan yang terbatas dengan ukuran nonkeuangan yang telah diseleksi dalam konteks memberikan manager informasi yang lebih relevan dan lebih effektif (pengukuran yang tidak terlalu banyak namun memiliki informasi yang luas) tentang kinerja organisasi ketimbang para manager tersebut menerima informasi melalui laporan Manajemen yang masih tradisional, terutama berkaitan dengan kunci tujuan strategic (Kaplan & Norton, 1992). Dengan mendorong manager lebih fokus pada angkaangka ukuran yang terbatas yang diturunkan melalui 4 perspektive, BSC ditujuankan untuk mendorong kejelasan dan maksimaliasi implementasi strategi. Disamping BSC awalnya bertujuan melakukan pendekatan terhadap pengukuran kinerja dimana merupakan kombinasi beberapa ukuran keuangan dan non keuangan yang akan memberikan pengkayaan pada manager terhadap informasi yang relefan tentang aktifitas-aktifitas yang dilakukannya (Kaplan & Norton, 1992), 4863 hal ini telah dikembangkan untuk mempertajam dasar-dasar Sistem Manajemen Strategi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kontrol strategi di atas. Beranjak dari 5 prinsip kontrol strategi dari Muralidharan (sebagaimana diiraukan diatas) dan ditujukan untuk 3 proses merupakan pencapaian terbaik dari definisi terakhir dari BSC. Pendekatan design BSC untuk kontrol strategi dapat diuraikan secara garis besar sebagaimana dibawah ini. a. Pernyataan Tujuan Akhir (Destination Statement) Dalam rangka pembuatan keputusan yang rasional tentang aktifitas organisasi dan target pada masingmasing aktifitas tersebut, maka institusi seharusnya membangun sebuah ide yang jelas tentang apa ingin yang dicapai organisasi (Senge 1990, Kotter 1996). Berkaitan dengan hal tersebut, BSC memiliki efektfitas maksimal dalam proses desain yang menggunakan kreatifitas didalam menjabarkan dan menjelaskan pernyataan tujuan akhir strategik organisasi, idealnya ada penjabaran secara detail, tentang kesepakatan masa depan yang ingin diinginkan oleh organisasi (Olve, 1999; Shulver 2000). Dibanyak kasus hal ini dilakukan pada perencanaan dan dokumen yang sedang berjalan – tetapi hal ini jarang ditemukan dalam praktek pada dokumen sebelum, sebagai indikasi bahwa tahapan ini merupakan hal penting dalam membangun kejelasan dan kepastian tentang arah dan tujuan organisasi. Pernyataan tujuan akhir merupakan kristalisasi dari Visi, Misi dan Value organisasi, yang akan diterjemahkan dalam keseluruhan aktifitas organisasi. b. Tujuan Strategik Sementara pernyataan tujuan akhir cukup memberikan kejelasan dan ketajaman dalam menggambaran tentang tujuan organisasi yang ingin dicapai kedepan, hal tersebut tidak cukup menjadikan organisasi lebih fokus pada persoalan-persoalan manajemen antara saat ini dan masa datang. Apa yang ingin dicapai dan harus dilakukan oleh organisasi dalam jangka menengah untuk mewujudkan tujuan akhir organisasi pada waktunya adalah kesepakatan terbuka terhadap kerangka sasaran atau prioritas. Dengan menyajikan ulang sasaran-sasaran yang terseleksi dalam “strategic linkage model”, akan terdorong dan merangsang tim perencanaan menyajikan suatu ―system berfikir‖ (Senge 1990; Senge, 1999) didalam mengidentifikasi hubungan sebab dan akibat (couse and effect) diantara sasaran-sasaran yang terseleksi, seperti apa yang perlu dilakukan untuk mencapai hasil yang diharapkan. Pendekatan ini juga membatu menyakinkan tentang mutual supportive dari sasaran pilihan dan menyajikan ulang kombinasi cara berfikir masing-masing persepsi tim perencana terhadap model bisnis. 3.2. Perspektif dan Model Keterakitan Strategi (Strategic Linkage Model) Balanced Scorecard sebagai alat yang pengukur kinerja yang telah tersistem secara strategis, dimana semua aktifitas-aktifitas instansi akan termonitoring dengan baik. Dimana hasil monitoring tersebut secara sistemtis ditempatkan sebagai input untuk perbaikan (improvement) terhadap system keseluruhan. Perbaikan yang dapat dikontribusikan oleh Balanced Scorecard adalah: • Mengangkat kepermukaan kemungkinan yang akan terjadi, • Mengidentifikasikan keperluan perubahan yang mendesak, • Membantu mengindentifikasi hal terbaik yang harus dilakukan, • Memberikan peluang untuk inovasi. Sebagai suatu system Balanced Scorecard akan memberikan hasil penilaian kinerja masing-masing perspektif untuk dipakai sebagai acuan didalam mengelola dan memperbaiki perjalanan instansi dalam mencapai 4864 suatu misi. Dalam hal ini Balanced Scorecard tidak sekedar bicara angka penilaian belaka, namun sebagai suatu system manajemen kinerja harus mampu memberikan informasi cerdas untuk pengambilan keputusan. Selama ini penilaian atau pengukuran hanya untuk mengetahui posisi kinerja suatu program - baik, sedang, buruk – mulai dari aspek input, proses sampai out put. Penilaian tersebut tidak sampai menggambarkan persoalan dibalik kinerja suatu instansi. Di dalam Balances Scorecard pengukuran tersebut dituntun untuk bergerak kaitmengkait antar perspektif sehingga peta persoalan secara strategis akan terbaca dengan baik, sebagai gambaran melalui Balanced Scorecard akan dapat dimonitoring - setiap periode yang disepakati - apakah suatu program mengarah pada pencapaian misi dan visi, ataukah program tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan misi dan visi. Balanced Scorecard memberikan alternatif untuk terjadikan keterkaitan visi dan aksi, melalui data-data kuatitaif maupun kwalitatif. Pada aspek ini Balanced Scorecard dapat menjelaskan persoalan-persoalan strategis melalui masing-masing perpektif yang dapat dipertanggungjawabkan secara metodelogis. Sekali sasaran telah disepakti maka ukuran dan diidentifikasi dan dikontruksi dengan titik perhatian pada dukungan kemampuan organisasi untuk memantau perkembangan organisasi dalam mencapai tujuan itu sendiri (Olive, 1999). Hasil kerja BSC selain sebagai alat penilian pengukuran atau assessment atas ―kesehatan‖ suatu intansi, BSC juga memberikan penjelasan terhadap persoalan sekaligus memberikan inisitif (promote) didalam pemecahan masalah. Keterkaitan pengukuran antar perspektif, secara metodelogi, mampu ditarik pada tataran dalam menterjemahkan pengukuran tersebut dalam problem mapping. Dan Ketika problem mapping dapat terbaca dengan baik, maka problem mapping tersebut dapat dipakai sebagai pijakan didalam merumuskan model strategi berikutnya. Inilah yang dikatakan bahwa BSC mendorong adanya improvement terus menerus terhadap strategi pencapaian tujuan, karena metedeloginya memungkinkan terjadinya komunikasi yang inten antar pengukuran dan proses penyusunan model berikutnya. Salah satu model strategi Instansi Pemerintah Kota melalui Konsep BSC dapat dilihat pada Gambar berikut: Gambar 1. Implementasi Balanced Scorecard Pada gambar tersebut value atau nilai yang di-delivery kepada customer atau warga kota adalah penurunan tingkat kriminalitas, meningkatnya persepsi keamanan, kuatnya hubungan antar rumah tangga kota, peningkatan kualitas pelayanan dan sebagainya, value-value ini tertuangkan didalam Perspektif Customer. Untuk mencapai value pada perpektif customer, maka model tersebut secara hipotetis membangun aktifitas penting dalam Perspektif Internal Proses melalui aktifitas peningkatan hubungan positif, membangun masyarakat atas dasar pemecahan masalah, peningkatan produktifitas dan lain sebagainya. Disamping itu perspektif Internal Proses, akan berdampak pada perspektif keuangan dengan indikator peningkatan pendanaan dari non-kota, peningkatan pajak, maksimalisasi kemanfaatan dan effisiensi biaya, dan masuk renting sebagai kota teraman secara finansial. Untuk mencapai kinerja 4865 pada perpektif Internal Proses, maka diperlukan pendorong melalui perspektif Learning & Growth yaitu peningkatan kapabilitas manajemen Kota, menutup kesenjangan ketrampilan staf, dan menciptakan iklim positif bagi karyawan. Model di atas merupakan model hipotesis yang akan dipakai sebagai pijakan didalam merumuskan ukuran untuk memonitoring perjalanan implementasi model. Dimana melalui model tersebut maka pemerintah kota dengan mudah akan memberlakukan Manajemen transparansi baik kepada warga, konstituen, karyawan dan pihak-pihak terkait. Pada titik komunikasi inilah Good Governance secara substantif dapat dilakukan, dan semua pihak dapat merasakan keberadaan dan manfaat Good Governance tersebut. Komunikasi instansi pemerintah dengan pihak luar (customer), stakeholder) dan pihak dalam (karyawan) merupakan perspektif penting untuk mencapai keselarasan antara sumberdaya dari dalam instansi dengan masyarakat penerima jasa. Hal ini untuk memastikan terjadinya feedback guna perbaikan dan peningkatan bobot strategi instansi pemerintah. 4. Penutup Kesadaran dan kesepakatan Manajemen eksekutif bahwa perubahan strategi (kontrol strategi) merupakan kondisi yang dicapai dalam mengadopsi BSC, sebagai satu hal berlawanan dengan diantaranya kontrol Manajemen. Desin awal BSC juga mengusulkan bahwa strategi organisasi merupakan prioritas pertama untk dianalisis oleh kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang kunci yang didukung oleh konsultan. Analisa mereka digunakan untuk merangsang atau mendorong proses seleksi terhadap skala prioritas atau sasaran strategis oleh team Manajemen. Proses seleksi tersebut melibatkan proses pemilihan tujuan strategis dalam keterkaitan antar tujuan strategis tersebut. Keterkaitan sebab dan akibat merupakan pertimbangan ―post-hoc‖. Tetapi, kunci untuk mengkaitan strategi dengan pengukuran kinerja ditemukan ketika membangun asumsi yang terkait dengan kualitas pemahaman hubungan sebab dan akibat. Daftar Pustaka Anthony Robert N., Vijay Govindarajan, 2003. Management Control Systems. Eleventh Edition. Boston: McGraw-Hill/Irwin. Bouckaert, Geert and Balk, Walter (Winter 1991). Public Productivity Measurement: Diseses and Cures. Public Productivity and Management Review. Vol. 15, Issue (2), p: 229-235. Cernea, Michael M., ―Social Structures for Sustained Development‖, 1986. paper presented in Combined Expert Group Meeting on Social Development and Third Training Seminar on Local Social DevelopmentPlanning Held in Nagoya, 20-29 October 1986. Delone, W.H. & McLean, E.R. 1992. Information Systems Success: The Quest for the Dependent Variable. Information Systems Research, 3(1), 60-95. Doh Joon Chie, ―People Development‖: The Missing Link in Development, (mimeograph, n.d). Enns, H.G., Huff, S.L. & Golden, B.R. 2001. How CIOs Obtain Peer Commitment to Strategic IS Proposals: Barriers and Facilitatiors, Relationships. Strategic Information Systems, 10, 3-10. Faulkner, D. 1995. Strategic Alliances: Cooperating to Compete. (McGraw-Hill Book Company Editions). 4866 Korten, David C., ―People-Contered Development: Reflections on Development Theory and Method‖, Manila: mimeograph, 1983. Niven, Paul R., 2002. Balanced Scorecard Step by Step: Maximizing Performance andMaintaining Results. New York: John Wiley & Sons, Inc. Porter, Lyman W. dan Edward E. Lawler, 1968. Managerial Attitude and Performance. Homewood: Richard D. Irwin, Inc. PENGGUNAAN BIMBINGAN PRIBADI DAN SOSIAL MATERI ETIKA PERGAULAN REMAJA DENGAN LAYANAN KELOMPOK DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XII SMA NEGERI 9 MEDAN T.A. 2013/2014 4867 Sofyan, S.Pd7 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan pembelajaran yang mengasikkan dan dapat meningkatkan hasil belajar, maka perlu adanya perubahan pembelajaran yang menarik yaitu menerapkan pembelajaran implementasi pendekatan kontekstual. Pengambilan data menggunakan metode observasi, angket, tes tertulis dan perbuatan serta dokumentasi. Penelitian dilakukan dengan tiga siklus. Setiap pelaksanaan tindakan secara berurutan berupa : pembelajaran klasikal, pembelajaran kelompok dan untuk kerja kelompok dalam bentuk tulis. Layanan kelompok dapat Peningkatan Prestasi belajar Bidang Bimbingan Belajar pada Materi Etika pergaulan remaja SMA Negeri 9 Medan sebelum penelitian rata-rata 59, Siklus II sesudah layanan kelompok nilai rata-rata 76, Siklus II 82.4. Berdasarkan kesimpulan diatas maka disarankan : Agar prestasi belajar Bidang Bimbingan Belajar pada Materi Etika pergaulan remaja pada siswa bimbingan di SMA Negeri 9 Medan meningkat disarankan memberi layanan kelompok kepada siswa. Pendahuluan Latar Belakang Masalah SMA Negeri 9 Medan sebagai salah satu lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal mempunyai peranan yang amat penting dalam usaha mendewasakan anak dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat yang berguna. Hal ini berarti sekolah turut pula bertanggungjawab tercapainya suatu tujuan, yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu agar proses belajar mengajar berjalan dan berhasil dengan baik perlu mengadakan bimbingan belajar dan motivasi agar siswa terdorong untuk melakukan kegiatan belajar dan penyesuaian diri terhadap lingkungan dimana siswa berada, guru harus memahami semua siswa dalam satu kelas yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan memahami ciri, sifat dan kemampuan masing-masing individu memudahkan guru dalam memberikan layanan kelompok belajar. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah layanan kelompok dapat Peningkatan Prestasi belajar siswa ? 2. Bagaimana layanan kelompok siswa dapat Peningkatan Prestasi belajar siswa? Tujuan Penelitian Bertolak dari rumusan masalah dalam penelitian ini maka tujuan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di atas bertujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengatasi bahwa layanan kelompok dapat Peningkatan Prestasi belajar siswa. 2. Untuk mengetahui cara memberi layanan kelompok agar dapat Peningkatan Prestasi belajar siswa. Manfaat Penelitian 1. Bagi siswa, dengan menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, siswa akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki segala kelemahan dan kesulitan belajar yang dihadapi melalui layanan kelompok. 2. Bagi guru, dengan menyadari kewajiban dan tanggung jawab dalam membantu perkembangan siswa melalui kritik diri akan selalu berusaha memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran 7 Guru Bimbingan Konseling (BK) SMAN 9 Medan 4868 3. Bagi sekolah, memberikan masukan bagi sekolah untuk meningkatkan kualitas dan hasil belajar siswa Kajian Pustaka Kerangka Teoritis a. Pengertian Bimbingan Bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada murid dengan memperhatikan murid itu sebagai individu dan makhluk sosial, serta memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu agar murid itu dapat membuat tahap seoptimal mungkin dalam proses perkembangannya dan agar ia dapat menolong dirinya, menganalisa dan menemukan masalah-masalah temuannya itu demi memajukan kebaha-giaan hidup terutama ditekankan pada kesejahteraan jiwa (mental), Balitbang, (1978 : 2). Langkah-langkah bimbingan belajar : 1. Mengenal siswa yang mendapat kesulitan belajar dengan menggunakan norma atau ukuran kriteria tertentu. 2. Mencari sebab-sebab siswa mendapat kesulitan. 3. Mencari usaha untuk membantu memecahkan kesulitan-kesulitan itu. 4. Mengadakan pencegahan supaya kesulitan yang dialami seseorang tidak menular kepada yang lain, Sutijono, S. (1991 : 49). b. Fungsi Bimbingan Belajar 1) Fungsi Koratif 2) Fungsi Penyesuaian 3) Fungsi Akselerasi 4) Fungsi Terapi Teknik Pemberian Bimbingan Ada beberapa teknik pemberian bimbingan belajar antara lain : 1) Bimbingan individual, diberikan kepada beberapa siswa yang mengalami kesulitan belajar yang berbeda-beda dengan cara memberikan bimbingan secara langsung berupa latihan atau penugasan secara individu. 2) Bimbingan Kelompok a. Bimbingan kelompok kecil Bimbingan kelompok kecil antara 2-5 siswa. b. Bimbingan kelompok besar, terdiri dari 6-10 siswa. Pada intinya belajar itu dipengaruhi 2 faktor: 1) faktor intrinsik dan 2) faktor ekstrinsik. 1) Pengaruh intrinsik 2) Pengaruh ekstrinsik Motivasi 1. Pengertian Motivasi Motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat "upaya" yang tinggi untuk tujuan-tujuan tertentu yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuh kebutuhan individu. Unsur "upaya" merupakan ukuran intensitas, bila seseorang termotivasi, akan mencoba sekuat tenaga dan pikiran untuk belajar lebih baik. 4869 Sukarni Sitiyono, (1992 : 56) mengatakan bahwa "motivasi" merupakan, suatu dorongan yang ada dalam diri siswa (individu) untuk menggerakkan suatu aktivitas tertentu dalam rangka mencapai tujuan. Macam-Macam Motivasi Motivasi ada dua macam yaitu, motivasi a) intrinsik dan b) motivasi ekstrinsik. a) Motivasi Intrinsik Motivasi intrinsik adalah motivasi dari dalam. Karena dalam diri siswa sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. b) Motivasi ekstrinsik Motivasi dari luar adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang didalamnya. Prestasi Belajar Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan diciptakan baik secara individu atau kelompok. Menurut Imam Nurhidayat Copo (1986 : 52) mengatakan yang dapat menghambat prestasi belajar adalah sebagai berikut: 1. Intelegensi yang rendah 2. Siswa SMA pada umumnya mereka kurang serius dalam mengikuti kegitan belajar mengajar. 3. Mungkin guru kurang pandai menumbuhkan waktu yang baik. 4. Siswa bisa memilih atau menggunakan waktu yang baik. 5. Para siswa belum bisa menggunakan teknik yang baik untuk belajar secara efektif dan efisien. Pengajaran Bidang Bimbingan Pribadi dan Sosial di SMA Negeri 9 Medan Pengajaran bidang Bimbingan Pribadi dan Sosial merupakan salah satu bidang bimbingan dalam Bimbingan dan Konseling (BK) yang terbagi lagi menjadi 4 model bimbingan yaitu: 1. Bimbingan pribadi, 2. bimbingan sosial, 3. bimbingan sosial, 4. bimbingan belajar, 5. bimbingan karir Sedangkan jenis-jenis layanan BK itu sendiri terdiri dari beberapa layanan, yaitu antara lain: 1. Orientasi, 2. Informasi, 3. penempatan/penyaluran, 4. Pembelajaran, 5. konseling perorangan, 6. bimbingan kelompok, 7. konseling kelompok Hipotesis Tindakan Melalui Bimbingan Pribadi dalam mengatasi stres pada siswa, perlu dilaksanakan sebuah proses bimbingan dan konseling secara mendalam dan individual, untuk menghasilkan siswa yang lebih terbuka dalam mengatasi masalah di SMA Negeri 9 Medan. Metode Penelitian Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Penelitian Tindakan (action research) berdasarkan pendekatan naturalistik-kualitatif. Pendekatan ini memandang kenyataan sebagai suatu yang berdimensi jamak utuh dan merupakan satu kesatuan. Jenis Penelitian 4870 Jenis penelitian yang digunakan di atas peneliti menggunakan jenis penelitian tindakan (action research). Layanan kelompok untuk Peningkatan Prestasi pembelajaran bidang Bimbingan Pribadi dan Sosial siswa bimbingan di SMA Negeri 9 Medan. Dengan kata lain penerapah penelitian tindakan di dalam kelas diharapkan mampu mendorong guru memiliki kesadaran diri melakukan refleksi diri atau kritik diri terhadap aktivitas pembelajaran yang diselenggarakan. Kegiatan ini dilakukan dengan mengikuti alur pokok yaitu : 1. Refleksi awal, 2. Perencanaan Tindakan, 3. Pelaksanaan Tindakan dan pengamatan, 4. Refleksi Lokasi Penelitian Lokasi adalah lokasi situasi sosial terdiri dari tempat, pelaku, dan kegiatan (Nasution S. 1992). Lokasi yang dimaksud meliputi: 1) Aspek tempat : ialah lokasi dimana proses pembelajaran berlangsung yaitu di SMA Negeri 9 Medan. 2) Aspek pelaku, ialah peneliti, sebagai guru dan siswa kelas X yang terlibat dalam interaksi pembelajaran. 3) Aspek kegiatan ialah layanan kelompok uintuk Peningkatan Prestasi pembelajaran bidang Bimbingan Sosial siswa SMA Negeri 9 Medan pada materi Kelebihan dan Kekurangan Diri. Sumber Data Sumber data yaitu berupa subyek penelitian yang dapat memberikan informasi yang dapat membantu perluasan teori (Bagdan and Biklen, 1990). Sumber data dalam penelitian ini adalah guru dan siswa SMA Negeri 9 Medan dalam layanan kelompok untuk Peningkatan Prestasi belajar siswa. Prosedur Pengumpulan Data Data penelitian dihimpun berupa : 1) dokumentasi, 2) pengamatan, 3) catatan lapangan. 1. Studi dokumentasi melihat hasil tes-tes harian tahun pelajaran dipergunakan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa ada peningkatan atau merosot dalam pembelajaran Bimbingan Pribadi. 2. Observasi yaitu pengamatan langsung pada proses pembelajaran diskusi maupun evaluasi layanan kelompok. 3. Catatan lapangan Hasil dan Siklus I dilakukan refleksi dan rekomendasi hasil temuan untuk dijadikan bahan penyempurnaan pada penerapan Siklus II. Analisa Data Analisa data dilakukan secara diskriptif kualitatif berdasarkan hasil observasi dengan layanan kelompok belajar dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Melakukan reduksi 2) Melakukan interpretasi 3) Melakukan inferensi 4) Tahap tindak lanjut Dalam kegiatan analisis data menggunakan metode pengolahan data dengan rumus : P= x 100 Keterangan : P = Prosentase F = Frekuensi dari jawaban alternatif jawaban yang berhubungan dengan masalah yang ditanyakan. N = Jumlah seluruh responden yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu. 4871 Sebagai hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Dilanjutkan dengan penginterpretasian data, dengan menggunakan tabel kuatilikasi prosentase yang mengacu pada petunjuk pelaksanaan penilaian di SMA Negeri 9 Medan sebagai berikut: 0 - 20% kurang sekali, 21 - 40% kurang, 41 - 60% cukup, 61 - 80% baik, 81 -100% sangat baik Hasil Penelitian Setelah data terkumpul, kemudian diadakan pengecekan apakah data yang terkumpul sudah lengkap sesuai dengan instrumen yang diajukan. Data tersebut terdiri dari hasil ulangan siswa selama dua siklus. Siklus I di layanan kelompok. Siklus II sudah mendapat layanan kelompok dari guru, data dokumentasi rata-rata "sebelum" layanan kelompok agar lebih jelasnya dapat dilihat pada berikut ini: Tabel 1. Rekapitulasi Pengumpulan Data No 1 2 Responden Jml. Siswa Guru Jumlah 30 1 31 Angket 30 1 31 Instrument Evaluasi 40 2 42 Observasi 1 1 2 Ket. Observasi dokumentasi buku daftar nilai rata-rata kelas Bimbingan Pribadi dan Sosial Materi Psikologi Remaja=59. "Sebelum diadakan bimbingan motivasi" Tabel 2. Hasil Belajar Siklus 1 Nilai Bidang Bimbingan Belajar Siswa SMA Negeri 9 Medan (sudah mendapat layanan kelompok) Nomor Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Kode Siswa S-01 S-02 S-03 S-04 S-05 S-06 S-07 S-08 S-09 S-10 S-11 S-12 S-13 S-14 S-15 S-16 S-17 S-18 S-19 S-20 S-21 S-22 S-23 S-24 S-25 S-26 S-27 I 55 75 70 80 70 90 70 80 90 85 80 70 80 90 80 55 75 70 65 55 75 70 80 70 90 70 80 Ulangan Harian II III % 55 75 70 80 70 90 70 80 90 85 80 70 80 90 80 55 75 70 65 55 75 70 80 70 90 70 80 4872 28 29 30 S-28 S-29 S-30 Jumlah Rata-rata 90 85 80 2500 75 90 85 80 2500 75 Data menunjukkan hasil belajar Siklus 1 sesudah mendapat layanan kelompok mencapai rata-rata 75 dalam kategori baik, berarti ada peningkatan sebelum layanan kelompok mencapai 59 berarti ada peningkatan 16. Rekomendasi Siklus I Hasil belajar Bidang Bimbingan Pribadi dan Sosial siswa beberapa siswa mencapai nilai sempurna, namun masih ada beberapa siswa yang mencapai rendah, (dibawah 60). Perlu perbaikan dan penyempurnaan siklus berikutnya. Berikut ini data hasil belajar siswa pada Siklus II dapat dilihat pada tabel 3 berikut: Tabel 3. Hasil Belajar Siklus II Nilai Bidang Bimbingan Belajar Siswa Bimbingan SMA Negeri 9 Medan (sudah mendapat layanan kelompok) Nomor Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kode Siswa I S-01 S-02 S-03 S-04 S-05 S-06 S-07 S-08 S-09 S-10 S-11 S-12 S-13 S-14 S-15 S-16 S-17 S-18 S-19 S-20 S-21 S-22 S-23 S-24 S-25 S-26 S-27 S-28 S-29 S-30 Jumlah Rata-rata Ulangan Harian II III 75 75 90 80 80 80 85 80 95 95 80 85 75 95 80 75 80 85 80 75 75 90 80 80 80 85 80 95 95 80 2295 82.4 % 75 75 90 80 80 80 85 80 95 95 80 85 75 95 80 75 80 85 80 75 75 90 80 80 80 85 80 95 95 80 2295 82.4 Data di atas menunjukkan Hasil Belajar Siklus II mencapai rata-rata 83 meningkat dibanding Siklus 1 mencapai 76, berarti ada peningkatan sebesar 7. Pembahasan Dan Refleksi 4873 Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar dari masing-masing siklus dirangkum dalam tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Hasil Belajar Siswa No 1. 2. Siklus Siklus I Siklus II Nilai Rata-rata 76 82.4 Tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pada Siklus I nilai rata-rata 76 pada Siklus II meningkat menjadi 83, nilai rata-rata Siklus II dibanding sebelum penelitian nilai rata-rata 82.4 berarti ada peningkatan dibanding Siklus I sebesar 17 cukup signifikan. Dengan memperhatikan data hasil penelitian dan hasil belajar Siklus I dan Siklus II dibanding hasil belajar sebelum penelitian mencapai nilai rata-rata 59, Siklus I, 76, Siklus II mencapai rata-rata 82.4 maka ada peningkatan dibanding sebelum penelitian sebesar 16 cukup signifikan. Maka direkomendasikan bahwa layanan kelompok belajar baik untuk diterapkan pada pembelajaran Bidang Bimbingan Pribadi dan Sosial Materi Etika pergaulan remaja SMA Negeri 9 Medan tahun ajaran 2013/2014. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan hasil belajar maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Layanan kelompok dapat Peningkatan Prestasi belajar Bidang Bimbingan Belajar pada Materi Etika pergaulan remaja siswa bimbingan SMA Negeri 9 Medan sebelum penelitian rata-rata 59, Siklus II sesudah layanan kelompok nilai rata-rata 76, Siklus II 82.4. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas maka disarankan : Agar prestasi belajar Bidang Bimbingan Belajar pada Materi Etika pergaulan remaja pada siswa bimbingan di SMA Negeri 9 Medan meningkat disarankan memberi layanan kelompok kepada siswa. Daftar Pustaka Bagdan, R. dan Biklen, 1990, Kualitatif untuk Pendidikan : Pengantar Teori dan Metode Alih Bahasa Memandir, PAV, UT, Jakarta. Djamarah, S.B. 1991, Prestasi Belajar dan Kompensi Guna, Usaha Nasional Depdikbud, 1995, Pedoman Penilaian di SMA, Dirjen Dikdasmen, Jakarta. Depdiknas, 2002, Penyesuaian GBPP dan Penilaian Pada Sistem Semester di SMA Depdiknas, Jakarta. Hopkind, D. 1985, A Teacher's Guide to Classroom Research, Philadelpia, Open University Press, Milton Keyness. Nasution, S, 1992, Metode Penelitian-Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung. NDT; PPL, UNM Malang, 1993, Petunjuk Pelaksanaan PPL Keguruan IKIP Malang, Malang. 4874 Sudirman, AM. 1988, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar Pedoman Bagi Guru dan Calon Guru, Rajawali Pers, Jakarta. Sutijono, S, 1991, Media Pembinaan Pendidikan, Fa Dian Indah Pustaka, KETERKAITAN PEMBERIAN INSENTIF DENGAN PRESTASI KERJA KARYAWAN Yohanes Dakhi, SE, MM8 ABSTRAK Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan pemberian isentif dengan prestasi kerja karyawan. Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan literatur (library research). Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa dengan melihat keberadaan tingkat biaya insentif yang dikeluarkan dan tingkat produktivitas karyawan setiap tahunnya maka diketahui bahwa ada pengaruh pemberian insentif dengan tingkat prestasi karyawan. Pada umumnya karyawan menghargai dan mendukung dengan pemberian insentif dari perusahaan untuk peningkatan prestasi kerja karyawan sehingga termotivasi untuk bekerja dengan baik. Untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan maka sebaiknya Perusahaan perlu meningkatkan perhatiannya terhadap peningkatan kesejahteraan karyawan agar karyawan merasa hidupnya terjamin bekerja, dan hal ini juga diharapkan untuk mengurangi tingkat kecurangan karyawan dalam bekerja. Kata kunci : insentif dan prestasi kerja 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Kebutuhan manusia akan makan minum merupakan kebutuhan yang tidak dapat digantikan dengan kebutuhan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan Abraham Maslow menempatkan kebutuhan ini pada urutan pertama sebagai dasar kebutuhan manusia. Kebutuhan yang cukup besar ini merupakan peluang yang sangat besar yang dapat ditangkap oleh para pelaku bisnis untuk meraup keuntungan yang sangat besar. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain akan bersaing dalam hal kualitas, baik itu kualitas peningkatan sumber daya manusia maupun kualitas produk, terutama antara perusahaan yang menghasilkan produk yang sejenis. Peningkatan sumber daya manusia merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan bersama-sama karyawan dan manajer dengan tujuan mencari nilai tambah agar perusahaan tersebut dapat menghadapi tantangan kompetitif. Selain itu, peranan tenaga kerja suatu perusahaan sangat penting karena tenaga kerja merupakan penggerak utama atas kelancaran usaha dan kinerja perusahaan karena merupakan salah satu asset (kekayaan) perusahaan yang harus dipelihara dan dijaga dengan jalan memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Untuk menjaga agar karyawan tetap berkomitmen terhadap perusahaan maka perusahaan harus tetap dapat memberikan kepuasan kerja bagi para karyawan dengan berusaha senantiasa memenuhi kebutuhan karyawan baik secara finansial maupun non finansial dan disertai berbagai macam fasilitas (yang menunjang. Pada dasarnya untuk melihat sampai sejauh mana peranan Sumber Daya Manusia dalam suatu perusahaan, maka dapat dilihat dari hasil prestasi kerja seorang karyawan yang ada dalam perusahaan tersebut. Untuk dapat 8 Dosen STIE Nias Selatan 4875 melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas tidak saja diperlukan pekerja yang handal, melainkan juga perlu suatu proses yang mendukung terwujudnya pekerja yang produktif sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Hasibuan (2000:93) prestasi kerja adalah sesuatu hasil kerja yang dicapai seseorang didalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta tepat waktu. Prestasi kerja ini merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yatu kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan menerima atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Banyak faktor yang mendorong peningkatan prestasi kerja karyawan antara lain besar kecilnya gaji, pendidikan dan latihan, disiplin, lingkungan dan iklim kerja, teknologi, manajemen, kesempatan berprestasi. Dalam hal ini termaksud dialamnya meningkatkan kinerja karyawan diperlukan perhatian terhadap faktor- faktor yang memengaruhi dan memperhatikan pula kebutuhan dari para karyawan, antara lain dengan pemberian insentif. Menurut Handoko (2002:176), menyatakan bahwa pengertian insentif adalah : ―Perangsang yang ditawarkan kepada para karyawan untuk melaksanakan kerja sesuai atau lebih tinggi dari standar-standar yang telah ditetapkan‖. Pemberian intensif tehadap karyawan merupakan upaya untuk memelihara karyawan agar dapat bekerja lebih baik dan maksimal. Insentif juga dikatakan sebagai imbalan atas prestasi, semakin tinggi prestasi karyawan maka seharusnya perusahaan juga meberikan imbalan lebih kepada karyawanya. Permasalahan yang sering timbul dalam perusahaan berkaitan dengan kinerja karyawan salah satunya adalah rendahnya kinerja karyawan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai motor penggerak perusahaan. Seperti kurangya inovasi- inovasi yang dimiliki karyawan sehingga mereka merasah jenuh akan pekerjaan dan lebih memilih berhenti bekerja atau mencari pekerjaan lain. Dapat dilihat dari fenomena-fenomena yang terjadi antara lain terlihat dari rendahnya motivasi karyawan untuk berprestasi, yang ditunjukkan oleh beberapa karyawan yang bekerja hanya kalau ada tugas dari pimpinan, mereka tidak secara mandiri atau secara kreatif menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan cepat, masih adanya karyawan yang bermalas-malasan pada waktu jam kerja, dan kurangnya kepedulian karyawan terhadap tugas-tugas yang dibebankan sehingga karyawan tidak menikmati pekerjaan yang dimilikinya. Fenomena tersebut menunjukan bahwa sikap karyawan masih harus diarahkan untuk dapat memperbaiki produktifitas kerja mereka sehingga terjadi peningkatan prestasi kerja. Secara umum karyawan bekerja karena didorong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehinga para karyawan semakin giat bekerja bilamana hasil yang dicapai dari pekerjaan memperoleh imbalan atau balas jasa yang memuaskan. Salah satu bentuk imbalan yang dapat diberikan oleh perusahaan adalah insentif. 1.2. Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan pemberian isentif dengan prestasi kerja karyawan. 1.3. Metode Penulisan Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan literatur (library research). 4876 2. Uraian Teoritis 2.1. Pengertian Insentif Metode insentif yang adil dan layak merupakan daya penggerak yang merangsang terciptanya pemeliharaan karyawan. Karena dengan pemberian insentif karyawan merasa mendapat perhatian dan pengakuan terhadap prestasi yang dicapainya, sehingga semangat kerja dan sikap loyal karyawan akan lebih baik. Pelaksanaan pemberian insentif dimaksudkan perusahaan terutama untuk meningkatkan prestasi kerja karyawandan mempertahan karyawan yang mempunyai produktivitas tinggi untuk tetap berada di dalam perusahaan. Insentif itu sendiri merupakan rangsangan yang diberikan kepada karyawan dengan tujuan untuk mendorong karyawan dalam bertindak dan berbuat sesuatu untuk tujuan perusahaan. Hal ini berarti insentif merupakan suatu bentuk motivasi bagi karyawan agar dalam diri mereka timbul semangat yang lebih besar untuk berprestasi bagi perusahaan. Metode insentif yang adil dan layak merupakan daya penggerak yang merangsang terciptanya pemeliharaan karyawan. Karena dengan pemberian insentif karyawan merasa mendapat perhatian dan pengakuan terhadap prestasi yang dicapainya, sehingga semangat kerja dan sikap loyal karyawan akan lebih baik. Menurut Handoko (2002:176), menyatakan bahwa pengertian insentif adalah : ―Perangsang yang ditawarkan kepada para karyawan untuk melaksanakan kerja sesuai atau lebih tinggi dari standar-standar yang telah ditetapkan‖. Sedangkan Pangabean (2002:93) Insentif adalah kompensasi yang mengaitkan gaji dengan produktivitas, insentif merupakan penghargaan dalam bentuk uang yang diberikan kepada mereka yang dapat bekerja melampaui standar yang telah ditentukan. Relevan dengan itu Hasibuan (2006:118) menyatakan insentif adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima oleh pegawai sebagai imbalan atas jasa yang diberikan atas suatu organisasi atau perusahaan. Berdasarkan kajian teori dapat disimpulkan bahwa insentif adalah suatu penghargaan dalam bentuk material atau non material yang diberikan oleh pihak pimpinan organisasi perusahaan kepada karyawannya dengan tujuan agar mereka bekerja dengan motivasi yang tinggi dan berprestasi dalam mencapai tujuan-tujuan perusahaan, dengan kata lain pemberian insentif adalah pemberian uang diluar gaji sebagai pengakuan perusahaan terhadap prestasi kerja dan kontribusi karyawannya. Alat motivasi yang umum diberikan oleh perusahaan untuk merangsang, memotivasi serta meningkatkan kinerja pegawai adalah insentif. 2.2. Jenis-Jenis Insentif Ada beberapa jenis insentif Menurut Sarwoto (2000:144) secara garis besar jenis insentif dapat digolongkan menjadi dua yaitu sebagai berikut : a. Insentif Material Uang dan Barang insentif ini dapat diberikan dalam berbagai macam, antara lain: 1) Bonus, tebagi atas : (1) Uang yang dibayarkan sebagai balas jasa atas hasil pekerjaan yang telah dilaksanakan. (2) Dalam perasahaan yang menggunakan system insentif lazimnya beberapa persen dari laba yang melebihi jumlah tertentu dimasukkan ke dalam sebuah dana dan kemudian jumlah tersebut dibagi-bagi antara pihak yang akan diberikan bonus. 4877 2) Komisi, Merupakan sejenis komis yang dibayarkan kepada pihak bagian penjualan yang menghasilkan penjualan yang baik. 3) Profit Sharing, Salah Satu jenis insentif yang tertua. Dalam hal pembayarannya dapat diikuti bersama-sama pula, tetapi biasanya mencakup pembayaran berupa sebagai dan hasil laba yang disetorkan ke dalam setiap peserta. 4) Jaminan sosial, Insentif yang diberikan dalam bentuk jaminan sosial lazimnya diberikan secara kolektif, tidak ada unsur kompetitif dan setiap pegawai dapat memperolehnya secara rata-rata dan otomatis. Bentuk jaminan sosial berupa : (a) Pemberian rumah dinas. (b) Pengobatan secara Cuma-Cuma. (c) Kemungkinan untuk pembayaran secara angsuran oleh pekerja atas barang-barang yang dibelinya dari Koperasi organisasi. (d) Cuti sakit. (e) Biaya pindah. b. Insentif Non Material. Insentif non material dapat diberikan dalam berbagai bentuk: 1.) Pemberian gelar (title) secara resmi, 2.) Pemberian tanda jasa, 3.) Pemberian piagam penghargaan, 4.) Pemberian kenaikan pangkat atau jabatan. Sedangkan menurut Siagian (2007:268), jenis-jenis insentif sebagai berikut: a. Piece work (Upah per output) adalah teknik yang digunakan untuk mendorong kinerja kerja pegawai berdasarkan hasil pekerjaan pegawai yang dinyatakan dalam jumlah unit produksi. b. Production bonuss (bonus produksi) adalah Insentif yang diberikan kepada pegawai yang mampu bekerja sedemikian rupa sehingga tingkat produksi yang baku terlampaui. c. Commisions (komisi) adalah bonus yang diterima karena berhasil melaksanakan tugas dan sering diterapkan oleh tenaga-tenaga penjualan. d. Executifes incentives (Insentif eksekutif) adalah insentif yang diberikan kepada pegawai khususnya manajer atau pegawai yang memiliki kedudukan tinggi dalam suatu perusahaan, misalnya untuk membayar cicilan rumah, kendaraan bermotor atau biaya pendidikan anak. e. Maturity curve (Kurva ―kematangan‖) Adalah diberikan kepada tenaga kerja, yang karena masa kerja dan golongan pangkat serta gaji tidak bisa mencapai pangkat dan penghasilan yang lebih tinggi lagi, misalnya dalam bentuk penelitian ilmiah atau dalam bentuk beban mengajar yang lebih besar dan sebagainya. f. Rencana insentif kelompok adalah kenyataan bahwa dalam banyak organisasi, kinerja bukan karena keberhasilan individual melainkan karena keberhasilan kelompok kerja yang mampu bekerja sebagai suatu tim. Adapun pendapat menurut Hasibuan (2005:184-185) jenis-jenis insentif terbagi menjadi tiga, yaitu: a. Nonmaterial insentif adalah daya perangsang yang diberikan kepada karyawan berbentuk penghargaan/pengkuhan berdasarkan prestasi kerjanya, seperti piagam, piala, atau medali. b. Sosial insentif adalah daya perangsang yang diberikan kepada karyawan berdasarkan prestasi kerjanya, berupa fasilitas dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya, seperti promosi, mengikuti pendidikan, atau naik haji. 4878 c. Material insentif adalah daya perangsang yang diberikan kepada karyawan berdasarkan prestasi kerjanya, berbentuk uang dan barang. Material insentif ini bernilai ekonomis sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan beserta keluarganya. Mengacu dari beberapa pendapat di atas, serta melihat jenis-jenis insentif yang diberikan kepada setiap karyawan, maka dapat ditarik indikator-indikator insentif dalam penelitian ini sebagai berikut : a.) Insentif material. Dapat diberikan dalam bentuk : Bonus, Komisi, Pembagian laba, Kompensasi yang ditangguhkan, dan Jaminan sosial. b.) Insentif Non material. Dapat diberikan dalam bentuk : Pemberian piagam penghargaan, Pemberian tanda jasa, kenaikan pangkat, serta hiburan. 2.3. Program Insentif yang Efektif Sebuah system insentif biasanya akan memiliki kesempatan sukses yang lebih besar jika semua karyawan didalam organisasi diberi kesempatan berpastisipasi. Jika beberapa karyawan dikucilkan, mereka akan menjadi iri dan benci kepada orang- orang yang memiliki kesempatan memperoleh bayaran insentif ekstra, dan akibatnya akan kurang mau bekerja sama secara maksimal. Program insentif yang dirancang dengan baik akan berjalan karna program tersebut didasarkan pada dua prinsip psikologis yang diterima dengan baik, yaitu : (1) Motivasi yang meningkatkan menyebabkan melejitnya kinerja. (2)Dan pengakuan merupakan faktor utama dalam motivasi. Sayangnya, banyak program insentif yang dirancang secara tidak tepat, dan program tersebut akhirnya tersendat. Seperti yang diungkapkan oleh Simamora(1997;635) bahwa program insentif yang baik harus memenuhi beberapa aturan sebagai berikut. 1. Sederhana Aturan sistem insentif haruslah ringkas, jelas, dan dapat dimegerti. 2. Spesifik Tidak cukup untuk mengatakan ―hasilkan lebih banyak‖ atau ―hentikan kecelakaan kerja‖. Para karyawan perlu mengetahui secara rinci apa yang diharapkan supaya mereka kerjakan. 3. Dapat dicapai Setiap karyawan harus memiliki kesempatan yang masuk akal untuk memperoleh sesuatu. 4. Dapat diukur Tujuan yang terukur merupakan landasan dimana rencana insentif dibangun. Program bernilai rupiah merupakan pemborosan jika spesifik tidak dapat dikaitkan dengan uang yang dikeluarkan. 2.4. Prestasi Kerja Setiap perusahaan pada dasarnya mengiginkan dan menuntut agar seluruh karyawan selalu menyelesaikan pekerjaanya dengan sebaik mungkin. Namun karyawan tidak dapat diperlakukan seenaknya seperti mengunakan faktor- faktor produksi lainnya (mesin, modal, dan bahan baku). Karyawan juga harus selalu diikutsertakan dalam 4879 setiap kengiatan serta membrikan peran aktif untuk mengunakan alat- alat yang ada. Karna tanpa peran aktif karyawan alat- alat canggih yang di memiliki tidak ada artinya bagi perusahaan untuk mencapai tujuanya. Menurut Hasibuan (2000:93) prestasi kerja adalah sesuatu hasil kerja yang dicapai seseorang didalam melaksanakan tugas- tugas yang diberikan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta tepat waktu. Prestasi kerja ini merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yatu kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan menerima atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Sedangkan menurut Saydam (1996;55) defenisi prestasi kerja adalah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dicapa seorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Prestasi kerja seseorang dipengaruhi oleh kecakapan, keterampilan, kesungguhan dan lingkungan kerja itu sendiri. Dari kedua defenisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi kerja merupakan hasil kerja yang dicapai seseorang atas tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang dipengaruhi oleh kecakapan, pengalaman, keterampilan, kesunguhan dan lingkungan kerja itu sendiri. 2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruh Prestasi Kerja Menurut Heidrahman dan Suad husnan (1990:126), faktor-faktor prestasi kerja yang perlu dinilai adalah sebagai berikut : 1. Kuantitas kerja Banyaknya hasil kerja sesuai dengan waktu kerja yang ada, yang perlu diperhatikan bukan hasil rutin tetapi seberapa cepat pekerjaan dapat diselesaikan. 2. Kualitas kerja Mutu hasil kerja yang didasarkan pada standar yang ditetapkan.biasanya diukur melalui ketepatan, ketelitian, keterampilan, kebersihan kerja. 3. Keandalan Dapat atau tidaknya karyawan diandalkan adalah kemampuan memenuhi atau mengikuti intruksi, inisiatif, hati-hati, kerajinan dan kerja sama 4. Inisiatif Kemampuan mengenali masalah dan mengambil tindakan korektif, memberikan saran-saran untuk peningkatan dan menerima tanggung jawab menyelesaikan. 5. Kerajinan Kesediaan melakukan tugas tanpa adanya paksaan dan juga yang bersifat rutin. 6. Sikap Perilaku karyawan terhadap perusahaan atau atasan atau teman kerja 7. Keberadaan karyawan di tempat kerja Keberadaan karyawan di tempat kerja untuk bekerja sesuai dengan waktu/jam kerja yang telah ditentukan. Prestasi kerja merupakan salah satu ukuran terhadap hasil kerja seseorang dalam suatu organisasi perusahaan dan menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pelaksanaan promosi.prestasi kerja seseorang dapat dilihat berdasarkan oleh kualifikasi yang dimiliki, yaitu kecakapan, keterampilan, pengalaman, dan lingkungan 4880 kerja (kemampuan adaptasi). Seluruh komponen tersebut merupakan indikator yang membantu perusahaan dalam mendapatkan tenaga kerja yang baik dan dibutuhkan sesuai dengan jabatan untuk mencapai tujuan perusahaan. Berikut ini adalah indikator prestasi kerja yang menjadi bahan penelitian penulis, yaitu: 1. Kecakapan Kecakapan adalah total dari semua keahlian yang diperlukan untuk mencapai hasil kerja yang bisa dipertanggungjawabkan. Kesulitan dalam mengukur kecakapan adalah menentukan. Namun di banyak perusahaan, jenjang pendidikan dan nilai ijazah ddpakai sebagai bahan pertimbangan untuk mengukur kemampuan dan kecakapan seseorang. 2. Keterampilan Keterampilan kerja merupakan kemahiran seseoran dalam melaksanakan pekerjaannya termasuk dalam penguasaan alat kerja. Seringkali di berbagai perusahaan, mengharapkan memiliki seorang karyawan yang mempunyai beberapa keterampilan khusus yang dimiliki sehubungan dengan tuntutan perusahaan, dimana keterampilan juga dibutuhkan dalam rangka memecahkan masalah-masalah pekerjaan. 3. Pengalaman Pengalaman merupakan lamanya seorang karyawan bekerja pada suatu bagian tertentu. Hal tersebur dapat memberikan suatu hasil kerja yang memuaskan kepada perusahaan. Seringkali pengalaman kerja seorang karyawan dipergunakan sebagai salah satu syarat untuk kenaikan jabatan. Sebab dengan pengalaman yang lebih banyak diharapkan memiliki kemampuan yang lebih tinggi serta mempunyai ide-ide yang dapat membangun kemampuan perusahaan. 4. Lingkungan Kerja Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada disekitar karyawan dan dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan oleh perusahaan. Untuk melaksanakan pekerjaan secara efektif dan efisiensi perlu diperhatikan faktor lingkungan kerja yang mendukung. Syarat yang umum misalnya kebersihan, ventilasi yang cukup, suhu udara di tempat kerja, dan sebagainya. Juga perlui diperhatikan faktor-faktor jaminan keamanan dan keselamatan kerja. Hal ini sangat perlu bagi perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang baik tercapainya prestasi kerja karyawan. 3. Pembahasan Perusahaan meyakini bahwa sistem imbalan pada umumnya dan sistem insentif pada khususnya mempengaruhi kinerja (prestasi kerja). Selain itu, banyak karyawan yang lebih menyukai bahwa bayaran mereka dikaitkan dengan prestasi kerja masing- masing. Insentif dan prestasi kerja adalah bagian dari pengelolaan yang kompleks untuk menyatakan dan mempertahankan hubungan kerja diantara perusahaan dan karyawan. Kedua hal tersebut mendemonstrasikan tidak hanya apa yang hendak dicapai oleh manajemen, namun juga keyakinan manajemen tenteng hubungan tersebut. Untuk jelasnya penulis akan uraikan alasan- alasan mengaitkan bayaran dengan prestasi kerja menurut Simamora (1997;624) yaitu : 1. Motivasi Teori harapan/ekspektasi (expectancy theory) yang dikedapkan oleh Vroom menyatakan bahwa kaitan prestasi kerja dengan pembayaran adalah esensial untuk meningkatkan prestasi kerja. 4881 2. Retensi Mengaitkan bayaran dengan prestasi kerja kemungkinan akan membantu komposisi tenaga kerja. Karyawan-karyawan yang baik akan cenderung mendapatkan bagian yang besar bagi sumber daya yang kompensasi dan dengan demikian termotivasi untuk tetap bersama organisasi. Karyawan- karyawan yang dibawa rata-rata akan menjadi kecil hati dan meninggalkan organisasi. 3. Produktivitas Pada saat prestasi kerja dikaitkan dengan imbalan- imbalan, orang- orang dengan produktivitas tinggi akan lebih termotivasi untuk bekerja. 4. Penghematan- penghematan biaya Manfaat paling krusial dari bayaran berdasarkan prestasi kerja adalah kapabilitas mengaitkan biaya- biaya konpensasi dengan hasil- hasil produktivitas. Dengan mendasarkan bayaran atas kinerja, perusahaan dapat memastikan bahwa biaya- biaya konpensasi akan bertalian dengan hasil- hasil organisasional. 5. Sasaran- sasaran organisasional Selalu merupakan tantangan untuk memastikan bahwa semua karyawan organisasional. Karyawan memahami betul tujuan- tujan organisasi, dengan mengaitkan bayaran dengan prestasi kerja yang ditetapkan secara organisasional, adalah mungkin memastikan bahwa sasaran- sasaran individu adalah sejalan dengan tujuan organisasional. Karyawan- karyawan yang upaya- upayanya tidak singkron dengan tujuan organisasi tdak akan menikmati imbalan yang setimpal. Jadi secara langsung pemberian upah dan insentif yang tepat dapat ,meningkatkan produktivitas kerja pada karyawan. Program peningkatan produktivitas ditandai dengan adanya tunjangan-tunjangan yang lain di seluruh perusahaan. Setiap pembayaran kepada perorangan harus ditentukan oleh sumbangannya bagi produktivitas, sedangkan kenaikan pembayaran harus dianugerahkan terutama berdasarkan hasil produktivitas. Penghargaan serta penggunaan motivasi yang tepat akan menimbulkan suasana kondusif atau berakibat kepada pemberian upah dan insentif dan usaha yang meningkatkan prestasi kerja melalui sarana yang beraneka ragam antara lain : 1. Pemberian tingkat upah perhari 2. Rencana pemberian premi yang sering digunakan, sarana untuk memacu pekerjaan dalam mencapai standar pelaksanaan yang diinginkan 3. Pemberian sistem merit dengan menseleksi serangkaian faktor-faktor yang mencakup tingkah laku yang diinginkan dari sekelompok kerja 4. Mengikutsertakan semua tenaga kerja pada gerakan peningkatan produktivitas 5. Pembayaran berdasarkan hasil, yang diterapkan berdasasrkan kerja atau individu, ada juga berdasarkan kerja atau berdasarkkan waktu pemberian bonus atau hasil kerja yang lain. 6. Pemberian insentif kelompok, yaitu bonus kelompok yang dibagi menurut pendapatan dasar dengan tujuan agar kelompok menyakini distribusi usaha yang adil 7. Kepuasan kerja melalui penyusunan kembali pekerjaan yang menyangkut perluasan kerja sehingga menimbulkan adanya peningkatan dalam produksi. 4882 4. Penutup Dengan melihat keberadaan tingkat biaya insentif yang dikeluarkan dan tingkat produktivitas karyawan setiap tahunnya maka diketahui bahwa ada pengaruh pemberian insentif dengan tingkat prestasi karyawan. Pada umumnya karyawan menghargai dan mendukung dengan pemberian insentif dari perusahaan untuk peningkatan prestasi kerja karyawan sehingga termotivasi untuk bekerja dengan baik. Untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan maka sebaiknya Perusahaan perlu meningkatkan perhatiannya terhadap peningkatan kesejahteraan karyawan agar karyawan merasa hidupnya terjamin bekerja, dan hal ini juga diharapkan untuk mengurangi tingkat kecurangan karyawan dalam bekerja. Daftar Pustaka Achmad, S. Ruki, 2001. Sistem Manajemen Kineja, Performance Management System, Panduan Praktis Untuk Merancang Kinerja Prima, Cetakan Pertama, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Marihot Tua Efendi Hariandja. 2002. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Grasindo. Gouzali Syadam, 1996. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta : Gunung Agung. Handoko T. Hani. 2002. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi II. Cetakan Keempat Belas. Yogyakarta: Penerbit BPFE. Hasibuan, Melayu Sultan Parlaguat. 2005. Organisasi dan Motivasi : Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta : Bumi Aksara. Hasibuan, Melayu Sultan Parlagua. 2006. Manajemen. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Heidjrahcman Ranupandojo dan Suad Husna. 2002. Manajemen Personalia, Yokyakarta: BPFE. Hasibuan, Melayu Sultan Parlagua. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. M. Manullang, 1994. Manajemen Personalia. Gadjah Mada University Press. Yokyakarta. Nawawi, Hadari. H. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Gadjah Mada University Press. Jakarta. 4883 PERANAN MULTIMEDIA DALAM MENINGKATKAN PROSES PEMBELAJARAN Drs. Baziduhu Laia, M.Pd9 ABSTRAK Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui peranan multimedia dalam meningkatkan proses pembelajaran. Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan literatur (library research). Kutipan dan pembahasan pada makalah ini didasarkan pada pendapat beberapa ahli tentang media pembelajaran. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa multimedia merupakan suatu sistem karena multimedia merupakan teknologi yang menggabungkan berbagai sumber media seperti teks, grafik, suara, animasi, video yang disampaikan dan dikontrol sistem komputer secara interaktif. Secara umum model-model CBI adalah model tutorial, drill and practice, simulasi, dan games. Model tutorial pada umumnya model ini digunakan untuk menyajikan informasi yang relatif baru bagi siswa, keterampilan tertentu, informasi atau konsep. Segala sesuatu yang diperlukan untuk mendapatkan informasi yang tersedia dalam komputer. Simulasi ini merupakan model pembelajaran yang mampu menekan biaya yang terlalu tinggi, memudahkan siswa atas suara secara real time. Model drill and practice lebih memberi penekanan pada bagaimana siswa berlatih menguasai materi dengan banyak melakukan latihan atau praktik. Model games ini merupakan pendekatan motivasional tinggi bagi siswa untuk memberikan penguatan atas kompensasi yang sudah dipelajari, konsep dan informasi. Kata kunci : multimedia dan pembelajaran 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Dalam proses komunikasi, media merupakan apa saja yang aiengantarkan atau membawa informasi ke penerima informasi. Di dalam proses belajar mengajar yang pada hakikatnya juga merupakan proses komunikasi, informasi atau pesan yang dikomunikasikan adalah isi atau bahan ajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum, 9 Dosen STKIP Nias Selatan 4884 sumber informasi adalah guru, penulis buku atau tadul, perancang dan pembuat media pembelajaran lainnya; sedangkan penerimaan informasi adalah siswa atau warga belajar. Pengertian media pembelajaran bervariasi. Ada ahli media yang wiembuat definisi yang menagcu hanya pada alat atau perangkatkeras, ada juga yang menonjolkan perangkat lunak. Dalam proses belajar mengajar, kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan bahan yang disampaikan guru dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada peserta didik dapat disederhanakan dengan bantuan media. Menurut Oemar Hamalik (2008), media pengajaran lebih banyak membantu siswa belajar daripada guru mengajar. Penggunaan alat bantu pembelajaran berpusat pada siswa, sebab berfungsi membantu siswa belajar agar lebih berhasil. Pekerjaan guru adalah mengkomunikasikan pengalaman kepada siswa. Ada dua cara mengkomunikasikan yakni melalui pendengaran atau pengelihatan, alat bantu (media) pembelajaran dapat membantu dalam kedua cara tersebut. Media dapat mewakili apa yang kurang mampu diucapkan guru melalui kata-kata atau kalimat tertentu. Dengan demikian siswa lebih mudah mencerna bahan apabila bantuan media daripada tanpa bantuan media. Guru sadar tanpa bantuan media materi pelajaran sukar dicerna dan dipahami oleh setiap siswa terutama bahan pelajaran yang rumit atau kompleks. 1.2. Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui peranan multimedia dalam meningkatkan proses pembelajaran. 1.3. Metode Penulisan Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan literatur (library research). Kutipan dan pembahasan pada makalah ini didasarkan pada pendapat beberapa ahli tentang media pembelajaran. 2. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Mutimedia Pembelajaran Media berarti perantara/pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Dengan multimedia pesan ditampilkan melalui komputer sehingga user dapat melihat, mendengar, dan saling berinteraksi dan mengontrol media tersebut. Multimedia merupakan suatu sistem karena multimedia merupakan teknologi yang menggabungkan berbagai sumber media seperti teks, grafik, suara, animasi, video yang disampaikan dan dikontrol sistem komputer secara interaktif. Multimedia pembelajaran memanfaatkan fleksibilitas komputer untuk memecahkan masalahmasalah belajar. Sebagaimana kebanyakan sistem mengajar, komputer dapat digunakan sebagai alat mengajar terutama untuk memberi penguatan belajar awal, merangsang dan memotivasi belajar, atau untuk berbagai jenis kemungkinan lainnya. Banyak manfaat yang diperoleh dari fleksibilitas komputer karena dapat memasukkan video, audio, elemen-elemen grafis, bentuk-bentuk, proses, peran dan tanggungjawab lainnya (Lee & Owens, 2004:181). Criswell (1989: 1) mendefinisikan aplikasi komputer untuk pembelajaran dengan istilah Computer Based Instruction (CBI). CBI merupakan penggunaan komputer untuk menyajikan materi pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk berpartisipasi secara aktif dan pengajar dapat merespon aktivitas pembelajar. 4885 Menurut Anderson (1994: 197) CBI adalah penggunaan komputer secara langsung dengan pembelajar untuk menyampaikan isi pelajaran, memberikan latihan-latihan dan tes untuk mengetahui kemampuan pembelajar. Istilah CBI umumnya menunjuk kepada semua software pendidikan yang diakses melalui komputer di mana siswa berinteraksi dengannya. Sistem komputer menyajikan serangkaian program pembelajaran kepada pembelajar baik berupa informasi maupun latihan soal untuk pembelajaran tertentu dan si pembelajar melakukan aktivitas belajar dengan cara berinteraksi dengan sistem komputer. Menurut Alessi & Troliip (1985: 60) program yang baik haruslah meliputi empat aktivitas yaitu: (1) informasi (materi pelajaran) harus diberikan, (2) siswa harus diarahkan, (3) siswa diberi latihan, (4) pencapaaian belajar harus dinilai. Beberapa aspek yang perlu ada dalam program CBI menurut Chanond, Gagne, Kozma, Emmer & Sanford, Lilie, et al dalam Herman Dwi Suryana (1995: 5), hendaknya umpan balik yang segera, interaksi siswa dengan siswa dan program, pendahuluan dan tujuan yang jelas, contoh dan demonstrasi, petunjuk dan tugas-tugas yang jelas. Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2002) menjelaskan ada beberapa keuntungan dalam mendayagunakan komputer dalam pembelajaran yaitu: a. membangkitkan motivasi kepada siswa dalam belajar, b. warna, musik grafis dan animasi dapat menambahkan kesan realisme, c. menghasilkan penguatan yang tinggi, d. kemampuan memori memungkinkan penampilan siswa yang telah lampau direkam dan dipakai dalam merencanakan langkah-langkah selanjutnya di kemudian hari, e. berguna sekali untuk siswa yang lamban, f. kemampuan daya rekamnya memungkinkan pengajaran individual dapat dilaksanakan, pemberian perintah secara individual dapat dipersiapkan bagi semua siswa terutama yang dikhususkan, dan kemajuan belajarpun dapat diawasi terus, g. rentang pengawasan guru diperlebar sejalan dengan banyaknya informasi yang disajikan dengan mudah yang diatur oleh guru dan membantu pengawasan lebih dekat kepada kontak langsung dengan siswa. Pada tahun-tahun belakangan ini komputer mendapat perhatian besar karena kemampuannya yang dapat digunakan dalam bidang kegiatan pembelajaran. Pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada pembelajar. 2.2. Peranan Multimedia Dalam Pembelajaran Berbagai hasil penelitian eksperimen menunjukkan bahwa belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan menggunakan alat bantu komputer dalam bentuk Computer Based Instruction (CBI) ternyata lebih efektif dibanding dengan menggunakan alat bantu lainnya. Perancangan multimedia pembelajaran memperhatikan:, (1) cara belajar audien, (2) karakteristik dan budaya personal dari populasi yang dijadikan target, (3) karakteristik dari setiap komponen multimedia yang digunakan, (4) kelebihan dan kekurangan dari setiap komponen (teks, grafis, suara, animasi, video), (5) karakteristik yang tidak bisa dipisahkan dari tiap-tiap materi yang disajikan (perlakuan yang berbeda antar mata pelajaran), (6) pentingnya interaktivitas dan partisipasi aktif pengguna, (7) kebutuhan akan tersedianya suatu virtual environment misal web-based application 4886 Mengapa multimedia? Menurut Gagne yang dikutip Dewi Salma Prawiradilaga (2008) proses belajar seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaturan kondisi belajar. Proses belajar terjadi karena sinergi memori jangka pendek dan jangka panjang diaktifkan melalui lingkungan belajar. Melalui indranya siswa dapat menyerap materi secara berbeda. Guru/dosen mengarahkan agar pemrosesan informasi untuk memori jangka panjang dapat berlangsung lancar. Untuk memperlancar penyampaian materi inilah dapat digunakan multimedia pembelajaran. Menurut Dryden (1999) yang dikutip Dewi Salma Prawiradilaga (2008) belajar terjadi dengan: (1) membaca sebanyak 30%, (2) mendengar 20%, (3) melihat 30 %, (4) melihat dan mendengar 50 %, (5) mengatakan 70 %, (6) mengatakan dan sambil mengerjakan sebanyak 90 % Melalui media pembelajaran, belajar paling tinggi sebanyak 50%. Seseorang yang belajar dan terlibat secara langsung dengan suatu kegiatan atau mengerjakan sesuatu dianggap sebagai suatu cara yang terbaik dan bertahan lama. Secara garis besar ada tiga kelompok media yaitu media cetak, media elektronik, dan benda sesungguhnya. Ketiganya mempunyai kelemahan dan kebaikan masing-masing. Media cetak mempunyai kebaikan relatif murah pengadaannya, mudah dalam penggunaannya serta mudah digunakan, dibawa dan dipindahkan sedang kekurangannya adalah kurang dirancang dengan baik, cenderung untuk membosankan juga kurang dapat memberikan suasana yang hidup bagi murid-murid, Keuntungan media elektronik adalah memberikan suasana yang hidup, penampilannya lebih menarik dan dapat digunakan untuk memperlihatkan proses tertentu yang lebih nyata. Kelemahan media ini adalah memerlukan dukungan sarana dan prasarana seperti listrik serta peralatan khusus yang tidak selamanya tersedia, dan biayanya cenderung mahal. Objek sesungguhnya mempunyai keunggulan yaitu memberikan kesempatan semaksimal mungkin pada siswa untuk mempelajari sesuatu dalam situasi nyata. Kelemahammya adalah biayanya mahal, dan kadang tidak memberikan objek yang sebenarnya. 3. Pembahasan 3.1. Model Multimedia Pembelajaran Komputer dapat digunakan sebagai alat mengajar utama untuk memberi penguatan belajar awal, merancang dan memotivasi belajar, atau untuk berbagai jenis kemungkinan lainnya. Criswell (1989: 6-7) membagi aplikasi CBI ke dalam 10 model pembelajaran yaitu: (1) Lesson or tutorial, (2) reinforced drill and practice, (3) inteligent CBI, (4) training simulation, (5) instructions games, (6) training simulatiors, (7) expert system, (8) embedded training, (9) adaptive testing, (10) computer managed instruction. Menurut Hannafin & Peck (1998-158) model CBI sebagai berikut: (1) tutorial, (2) drill and practice, (3) simulasi, (4) game, (5) hybrid (model gabungan). Dari pendapat para ahli secara umum model-model CBI adalah model tutorial, drill and practice, simulasi, dan games. a. Model Tutorial. Model ini menyajikan pembelajaran secara interaktif antara siswa dengan komputer. Materi belajar diajarkan, dijelaskan, dan diberikan penguatan melalui interaksi tersebut. Pada umumnya model ini digunakan untuk menyajikan informasi yang relatif baru bagi siswa, keterampilan tertentu, informasi atau konsep. Segala sesuatu yang diperlukan untuk mendapatkan informasi yang tersedia dalam komputer. Untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa model ini dilengkapi dengan pertanyaan pada setiap bagian materi. 4887 Ciri model tutorial ini adalah: 1) mencakup informasi orientasi pelajaran, arahan selama pelajaran, umpan balik dan remedial yang sesuai, 2) dimulai dengan kegiatan yang memusatkan perhatian siswa kepada monitor agar siap dalam belajar, 3) selalu ada informasi harapan pembelajaran atas materi baru, 4) konsep disajikan sedikit demi sedikit dan disediakan dukungan atau petunjuk lain, 5) umpan balik diberikan bagi siswa berdasarkan jawaban yang diberikan, 6) memakai strategi yang berbeda untuk memperdalam proses pemahaman siswa. b. Drill and Practice. Model ini lebih memberi penekanan pada bagaimana siswa berlatih menguasai materi dengan banyak melakukan latihan atau praktik. Model ini dirancang untuk mencapai keterampilan tertentu, umpan balik yang cepat bagi siswa atau respon yang diberikan dan biasanya disajikan beberapa bentuk koreksi atau pengulangan atas jawaban yang salah. Ciri-ciri drill and practice yaitu: 1) memberi kesempatan yang luas bagi siswa untuk melatih keterampilan yang diperolehnya, 2) tersedianya arahan yang jelas untuk memberikan jawaban yang memberikan konsekuensi pada umpan balik yang tepat dan pembelajaran korektif serta remedial, 3) model ini berasumsi bahwa informasi atau materi dasar sudah diperoleh siswa atau sudah diajarkan, 4) bertujuan untuk memperkuat atau memberi penekanan pada jawaban yang benar dan identifikasi serta pembetulan jawaban yang salah, 5) fokus terhadap satu atau dua keterampilan saja, 6) jawaban yang diberikan pendek dan cepat, 7) memiliki tingkat keluwesan yang baik karena kemampuan komputer mengelola suara, warna, animasi dan sebagainya, 8) cepat memperoleh dan menyimpan data tentang kemampuan siswa, 9) cepat memilih permasalahan atau kekurangan yang muncul dalam belajar. c. Simulasi Simulasi ini merupakan model pembelajaran yang mampu menekan biaya yang terlalu tinggi, memudahkan siswa atas suara secara real time. Sebagai contoh misalnya pendidikan pilot sangat tidak mungkin untuk berlatih menerbangkan pesawat sesungguhnya karena memiliki resiko yang tinggi dan biaya yang relatif besar. Ciri-ciri model ini yaitu: 1) ada skenario atau rancangan kejadian, pilihan jelas partisipasi siswa dan konsekuensi yang yang dicapai atas respon yang diberikan, 2) tampilan model ini haruslah high fidelity visual images (gambar berkualitas tinggi), 3) tersedia seperangkat situasi yang dapat diyakini, pilihan jawaban rasional, konsekuensi logis atas jawaban dan seperangkat situasi hasil interaksi atau respon, 4) ada arahan yang jelas yang dibutuhkan siswa, 5) ada identifikasi perubahan saat kritis dan skenario, 4888 6) tersedia sekenario versi modifikasi berdasarkan respon atau jawaban siswa dan menjadi sebuah situasi yang baru, 7) ada tiga jawaban yang diberikan siswa yaitu efektif, tidak efektif dan tidak jadi. d. Games Model permainan bertujuan khusus untuk meningkatkan motivasi siswa. Model games ini merupakan pendekatan motivasional tinggi bagi siswa untuk memberikan penguatan atas kompensasi yang sudah dipelajari, konsep dan informasi. Format permainan ini harus memberikan penekanan untuk pengembangan, penguatan dan penemuan hal baru bagi siswa dalam belajar, unsur lain yang muncul dalam penggunaan permainan ini adalah unsur kompetisi. Kompetisi dibangun baik untuk diri pribadi siswa, antarsiswa atau kelompok siswa. Ciri-ciri model permainan ini adalah: 1) ada penjelasan yang baik tentang petunjuk, tujuan permainan serta prosedur yang dilakukan siswa, 2) menarik antusiasme siswa, 3) ada hubungan sebab akibat antara respon siswa dengan konsekuensi permainan tersebut, 4) siswa dapat diberikan ringkasan yang dicapainya dalam pembelajaran tersebut, 5) memberikan hiburan bagi siswa. 3.2. Desain Multimedia Pembelajaran Desain dalam pengembangan multimedia pembelajaran merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan. Menarik tidaknya suatu produk yang dihasilkan dapat dilihat dari produk yang dibuat. Teori-teori belajar telah berusaha menjelaskan bagaimana peristiwa belajar terjadi, dan prinsip-prinsip dari teori-teori belajar digunakan untuk menghasilkan pembelajaran yang lebih baik. Misalnya teori belajar behavioral yang juga dikenal dengan Skinnerian atau psikologi stimulus-respon, yang berpandangan bahwa hasil belajar berasal dari pasangan stimulus-respon. Konsep inti dari teori ini adalah adanya reinforcement atau penguatan. Sementara itu teori belajar kognitif mengungkapkan bagaimana kita memperoleh informasi, bagaimana informasi yang diperoleh disajikan dan ditranformasikan menjadi pengetahuan, bagaimana pengetahuan tersebut disimpan, dan bagaimana pengetahuan tersebut digunakan. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang dimiliki siswa. Prinsip-prinsip dari teori belajar tersebut dapat digunakan untuk merancang media pembelajaran berbasis komputer sebagaimana dinyatakan oleh Hannafin & Peek (1988: 46-49) yaitu antara lain: a. Contiguity, prinsip ini menyatakan bahwa stimulus yang direspon siswa harus dalam waktu yang diinginkan. Stimulus dan respon harus secepatnya tanpa penundaan waktu. b. Repetition, prinsip ini menekankan bahwa pengulangan dari pola stimulus- respon memperkuat belajar dan meningkatkan daya ingat, untuk itu stimulus dan respon harus dipraktikkan. c. Feedback and reinforcement, umpan balik meungkinkan siswa mengetahui hasil, apakah benar atau salah, dalam hal ini umpan balik dapat berfungsi sebagai penguatan. d. Prompting and fading, merujuk kepada proses pemberian stimulus untuk membentuk respon yang diinginkan. 4889 e. Orientation and recall. Belajar mencakup sintesis pengetahuan awal yang harus dipanggil untuk mengaktifkan memori. Orientasi terhadap keterampilan atau informasi awal memeprbaiki kemungkinan terjadinya proses belajar. f. Intellectual skill yaitu bahwa belajar difasilitasi dengan penggunaan proses dan strategi yang telah ada. Dalam hal ini siswa menggunakan metode belajar yang telah dimiliki untuk mempelajari informasi baru dalam proses belajar. g. Individualization, belajar akan lebih efektif apabila materi disesuaikan dengan kebutuhan individu siswa. Dalam mendesain perancangan multimedia dalam meningkatkan pemahaman materi hendaknya disesuaikan dengan: a. tujuan pembelajaran, b. materi pembelajaran, c. kondisi kelas, d. jenis evaluasi, e. kemampuan guru/dosen, f. perkembangan siswa. 4. Penutup Multimedia merupakan suatu sistem karena multimedia merupakan teknologi yang menggabungkan berbagai sumber media seperti teks, grafik, suara, animasi, video yang disampaikan dan dikontrol sistem komputer secara interaktif. Secara umum model-model CBI adalah model tutorial, drill and practice, simulasi, dan games. Model tutorial pada umumnya model ini digunakan untuk menyajikan informasi yang relatif baru bagi siswa, keterampilan tertentu, informasi atau konsep. Segala sesuatu yang diperlukan untuk mendapatkan informasi yang tersedia dalam komputer. Simulasi ini merupakan model pembelajaran yang mampu menekan biaya yang terlalu tinggi, memudahkan siswa atas suara secara real time. Model drill and practice lebih memberi penekanan pada bagaimana siswa berlatih menguasai materi dengan banyak melakukan latihan atau praktik. Model games ini merupakan pendekatan motivasional tinggi bagi siswa untuk memberikan penguatan atas kompensasi yang sudah dipelajari, konsep dan informasi. Daftar Pustaka Alessi, Stephen M & Trollip, Stanley R. 1985. Computer Based Instruction: Methods and Development. New Jersey: Prentice-Hall.Inc. Anderson, Ronald, H. 1994. Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Criswell, Eleanor L. 1989. The Design of Computer Based Instruction. New Jersey: Macmilan Publishing Company. Dewi Salma Prawiradilaga, 2008. Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Predana Media Group. Hannafin, Michael J & Peck, Kyle L. 1988. The Design, Developmentand Evaluation of Instructiononal Software. New York: Macmilan Publishing Company. Herman Dwi Suryono, 1995. Pengembangan Computer –Assisted Instruction (CAI) Untuk Pelajaran Elektronika (Versi Elektronik). Jurnal Kependidikan No 2 (XXV): 95-106. 4890 Lee, W.W & Owens, DL. 2004. Multimedia-Based Instructiononal Design Training Computer-Based, Distance Broadcast Training, Performance Based Solution (2nd). San Fransisco: Peiffera Wiley Imprin. Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, 2002. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru. Oemar Hamalik. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara. R. Ibrahim dan Nana Syaodih S. 2003. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 1995. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. PERANAN BAHASA, BUDAYA DALAM KEHIDUPAN Harianto,II,SS,MS10 ABSTRAK Bahasa sebagai medium dalam kehidupan sangatlah penting,karena manusia satu dengan manusia lainya saling membutuhkan jadi oleh karena itu bahasa sangatlah menentukan dalam unsur kehidupan dan jika dipandang dalam unsur -unsur batasan bahasa sebagai alat pengantar dalam kehidupan. Pendahuluan Saat sekarang ini bahasa Inggris sangatlah penting dan di butuhkan. Oleh karena itu pentingnya untuk mempelajarinya. Sekarang ini bahasa Inggris memiliki peranan penting dalam 10 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan 4891 dunia kerja. Bagaimana tidak setiap orang yang bekerja di instansi- instansi asing sangat membutuhkan bahasa Inggris. Untuk mempermudah kita dalam berbahasa Inggris banyak cara yang dilakukan yaitu dengan kursus bahasa Inggris, dengan cara ini dapat memudahkan kita untuk belajar bahasa Inggris. Dengan adanya hal ini dapat mempermudah dalam mempelajari bahasa Inggris, apalagi dengan mengetahui makna dan terjemahanya otomatis akan terjalin hubungan komunikasi dengan baik. Memang hal inilah yang membuat orang ingin mengetahui betapa pentingnya belajar bahasa Inggris baik di sekolah maupun di tempat tempat kursus. Dengan berbahasa Inggris akan terjadi pemahaman dalam makna dan terjemahan sehingga dalam memahami makna dalam suatu bahasa di butuhkan konsep bahasa yang dapat membuat berbagai keterampilan dari sebuah sumber bahasa kedalam sebuah bahasa Inggris. Apabila terjadi penggunaaan bahasa Inggris yang terjadi adalah pemahaman konsep terjemahan, karena apabila sipengguna bahasa Inggris tidak memahami makana terjemahanya akan terjadi kesalahpahaman, oleh karena itulah dibutuhkan pengetahuan dalam memahami terhadap suatu bahasa. Bahasa Inggris terdiri dari pemindahan makna dari sumber bahasa terhadap bentuk bahasa yang kedua dengan menyusun suatu makna. Penggunaan bahasa Inggris dapat ditingkatkan dari kata terhadap kata lain, kalimat dengan kalimat yang lain. Bahasa Inggris terdiri dari susunan bahasa, situasi antar komunikasi, dan kebudayaan terhadap sumber bahasa lain, yang menganalisa dalam menentukan makna dengan menggunakan susunan bahasa yang dapat diterima oleh bahasa dan budaya lain. Kesimpulannya, bahasa Inggris adalah pemindahan makna dari sebuah sumber bahasa utama. Bahasa Inggris memiliki peranan penting dalam melakukan hubungan dalam hal pemahaman sebuah bahasa yang dilakukan oleh sipembicara sehingga akan timbulah makna yang akan disampaikan oleh pendengar. Dan hal inilah yang membuat beberapa hal yang menjadi kendala dalam penguasaan bahasa Inggris. Dalam hal ini dapat ditemukan bahwa adanya penguasaan terhadap bahasa Inggris yang merupakan bagian dari pemahaman bahasa Inggris sangatlah sulit. Padahal hal ini sering terjadi dalam pemahaman dalam bahasa Inggris, dan akan tetapi dalam pemahaman ini sangatlah penting dalam bahasa Inggris. Dan dalam hal ini yang dijadikan sebagai barometer bagaimana kemampuan para supir taxi yang sulit berkomunikasi dengan orang asing dan juga dapat dijadikan sebagai bentuk bagaiman para supir taxi dapat menguasai percakapan dalam bahasa Inggris. Dan pada dasamya dalam penguasaan bahasa Inggris selalu dilakukan dengan bagaimana pentingnya menguasai kosa kata. Padahal jika dilihat dalam penguasaan bahasa Inggris sebenamya semua orang bisa melakukan percakapan dalam bahasa Inggris. Seseorang yang ingin melakukan penguasaan dalam bahasa Inggris akan dapat memberikan motivasi dalam berbahasa Inggris terutama dalam bidang percakapan. Dengan pemindahan bahasa yang dikaitkan dengan bahasa Inggris akan tergantung dalam pemakaian bahasa itu sendiri. Karena akan mendapatkan bahasa sipenerima, dimana makna atau arti dapat diungkapkan. Dua benda yang akan dibutuhkan 4892 akan dijadikan sebuah penerjemahan dalam sebuah bahasa, dengan adanya pemahaman bahasa. Sebagian besar banyak orang mendapatkan kesulitan dalam melakukan berbahasa Inggris. Meskipun dalam hal ini orang yang belajar bahasa Inggris sangatlah sedikit dan terbatas. Dan tentu saja kita dapat melihat ke dalam bahasa Indonesia yang didasarkan atas pencapaian penelitian, sehingga ada banyak mendapatkan kesulitan dalam melakukan berbahasa Inggris. Ketertarikan dalam melakukan pemahaman yang tujuanya adalah mengetahui karena itu dalam pemakaian bahasa Inggris di butuhkan kemauan yang kuat dalam mempelajari bahasa Inggris terutama melakukan percakapan bahasa Inggris yang dapat dikaitkan dengan penggunaan bahasa Inggris secara aktif dan dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi yang sesuai dalam konteks pemakaian bahasa Inggris. Sehingga dalam penggunaaan bahasa Inggris dapat diikut sertakan didalam penggunaam bahasa Inggris secara berkesinambungan dan aktif. Jika di telusuri bahasa Inggris memiliki peranan penting dalam melakukan komunikasi secara lebih efektif. Untuk melakukan penelitian ini, yang pertama, isilah bahasa Inggris sangatlah menarik untuk dipelajari. Sebab dalam mempelajari bahasa asing makna bahasa seharusnya di pahami agar supaya dengan menggunakan terjemahan kita bisa mendapatkan makna yang sebenarnya. Yang kedua, bahasa Inggris sangatlah sulit. Sebagian besar mendapatkan kesulitan dalarn mendapatkan pilihan kata yang tepat dari sumber bahasa terhadap bahasa utama. Yang ketiga, para supir sering mendapatkan kesulitan dalam mengajarkan bahasa Inggris. Mengajar bahasa Inggris tidaklah mudah seperti mendapatkan makna bahasa asing tetapi berhubungan dengan kata-kata yang diucapakan. Oleh karenanya dalam pemakaian bahasa Inggris haruslah memiliki kemampuan dalam memilih kata yang sesuai dengan makna tersebut. Oleh karena itu dalam sebuah penelitian adanya opini ataupun pendapat dalam menganalisa sebuah makna dalam bahasa Inggris. Dalam penggunaan bahasa Inggris adanya perbedaan terhadap pemakaian bahasa yang kaitannya dengan unsur-unsur bahasa dijadikan sebuah makna yang intinya adalah melakukan komunikasi terhadap bahasa yang memiliki hubungan terhadap bahasa itu sendiri. Dalam pemindahan makna sering kita jumpai adanya kosa kata, tata bahasa, serta bahasa utama yang di lakukan dalam penggunaanya. Pada dasarnya unsur-unsur dalam kosa kata tata bahasa, memiliki tipe dalam bahasa utama. Dalam aspek yang lain kita dapatkan sumber bahasa khususnya bahasa Inggris yang ada kaitannya dengan penggunaaan bahasa Inggris yang memiliki makna tertentu terhadap bahasa lain yang dijadikan sebagai strategi dalam melakukan komunikasi bahasa Inggris yang tentu saja seorang pengguna bahasa seharusnya meneliti bahwa pentingnya istilah makna dalam sebuah bahasa. Dalam mendapatkan bahasa Inggris yang sesuai dengan kebutuhan dalam sebuah upaya dalam meningkatkan kualitas bahasa haruslah memiliki kemampuan dalam komunikasi harus dijadikan sebagai sebuah konsep terhadap peggunaan yang diyakini akan menambah pengetahuan dalam mengembangkan bahasa yang di gunakan. Sebab nilai mereka digambarkan terhadap kemampuan proses belajar. Menurut pendapat Propter (1992:2) mengatakan bahwa kemampuan sebagai kekuatan dan keterampilan khusus untuk melakukan, berfikir, membuat dan lain-lain. 4893 Menurut Hornby (1994:2) menyatakan bahwa kemampuan adalah kapasitas dari kekuatan untuk melakukan sesuatu khususnya membuat dan melaksanakan. mereka seharusnya memiliki mental kekuatan untuk melakukan tugas-tugas yang dapat dianggap sebuah teks. Kemampuan ini harus diungkapkan secara nyata dan terukur. Hal ini adalah salah satu unsur lingustik seperti susunan kata, dan bentuk susunan ataupun kosa yang dihubungkan dengan unsur makna lain dalam pemahaman makna masalah-masalah dalam sumber bahasa yang secara langsung di terjemahkan oleh penerjemah dan di jadikan sebagai bagian dari konsep yang dilakukan dalam memahami sebuah makna dalam terjemahan yang intinya adalah melakukan penerjemahan secara bahasa dalam makna susunan kosa kata yang dilakukan dalam konteks pemahaman bahasa secara kolektif dan tersusun. Dalam perubahan makna bahasa yang sangat erat kaitanya dengan unsur- unsur bahasa, karena didasari oleh perubahan makna tertentu dalam tatanan bahasa itu sendiri. Kemampuan dalam penggunaan bahasa Inggris sering dilakukan dalam memahami suatu makna arti dan bahasa yang sering dilakukan dalam teks ataupun kata yang memiliki kajian dalam bahasa itu sendiri terhadap konsep bahasa Inggris. Pada dasamya konsep terjemahan memiliki pengetahuan secara praktis yang dilakukan dalam penguasaan bahasa itu sendiri. Terjemahan akan mudah kita pahami bila seorang penerjemah memiliki kemampuan dalam berbahasa itu sendiri. Kenyataanya dalam terjemahan dapat dilakukan dalam kata demi kata ataupun kalimat dalam kalimat. Makna bahasa Inggris bisa terjadi dalam perubahan walaupun tersebut tidak memiliki perbedaan dari bahasa itu sendiri. Konsep bahasa dalam makana sering terjadi dalam pemahaman suatu konsep yang bila mana dalam bahasa tersebut dijadikan sebagai alat komunikasi dan sumber pemahaman dalam kontekstual. Pemahaman suatu konsep bahasa adalah bagian kemampuan untuk mengetahui persoalan dan permasalahan yang ada pada bahasa Inggris khususnya pada kemampuan menganalisa kata ataupun kalimat. Bahasa tidak bisa dilakaukan dalam pemahaman singkat tetapi juga membutuhkan pendalaman makna yang dilakukan secara mendasar. Bagian dalam makna yang dilakukan secara menyeluruh dapat diketahui dalam makna yang berbeda. Apapun dari hasil terjemahan dapat diketahui secara bersama bahwa bahasa memiliki hubungan dengan budaya yang sering dilakukan terhadap budaya itu sendiri. Pemahaman konteks budaya yang dilakukan dalam bahasa itu sendiri yang akan menunjukan betapa pentignnya unsur- unsur bahasa yang dilakukan dalam kegiatan terjemahan. Dalam konteks sosial budaya yang akan kita lakukan untuk melakukan konsep budaya dengan mengetahui bentuk terjemahan. Dalam konsep pemahaman yang sering berbeda dalam hubungan terjemahan yang akan dilakukan oleh bahasa itu sendiri dan terjadi perbedaan makna bahasa. Dalam makana bahasa yang dilakukan secara berbeda akan memiliki perbandingan budaya itu sendiri. Dalam budaya yang seharusnya di buat secara berbeda yang akan berperan sebagai dasar dalam menentukan makna yang berbeda Daftar Pustaka Baker ,Mona. 1997.in other words : A course Book On translatio London:Roudledge Brown,dan.2003;The da vinci code Newyork 4894 Machali,rochyana.2008. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo Newmark,peter.l995.A text book of translation Tomasouw,Pauline.l996. Cross cultural understanding. Jakarta: Penerbit Karunia Jakarta PENGARUH METODE DEBAT PLUS TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA DALAM BAHASA INGGRIS Nila Afningsih11 / Dani Ansari12 ABSTRAK 11 12 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan Dosen Luar Bisa UMN Al Washliyah Medan 4895 Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau pikiran dan perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan atau pun dengan jarak jauh. Berbicara merupakan sebuah bentuk penyampaian informasi dengan menggunakan kata-kata atau kalimat. Dalam penelitian ini, penulis mengungkapkan permasalahan yang dialami dalam keterampilan berbicara bahasa inggris khususnya pada tingkat mahasiswa. Permasalahan yang sering dialami dalam keterampilan berbicara yaitu kurang beraninya siswa mengeluarkan ide-ide dengan mengungkapkannya secara langsung.Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh penggunaan metode Debat Plus terhadap keterampilan berbicara dalam bahasa inggris dengan metode debat Plus dan untuk mengetahui pengaruh penggunaan metode pembelajaran konventional. Keyword : metode Debat Plus, Keterampilan Berbicara I. Pendahuluan Keterampilan berbicara merupakan suatu keterampilan bahasa yang perlu dikuasai dengan baik. Keterampilan ini merupakan suatu indikator terpenting bagi keberhasilan seseorang terutama dalam belajar bahasa Inggris. Dengan penguasaan keterampilan berbicara yang baik, seseorang tersebut dapat mengomunikasikan ide-ide mereka, baik di sekitarnya maupun dengan penutur asing, dan juga menjaga hubungan baikdengan orang lain. Berhubungan dengan pernyataan di atas, Ur (1996) menyatakan bahwa ―Jika seseorang menguasai suatu bahasa, secara intuitif ia mampu berbicara dalam bahasa tersebut‖. Pendapat ini jelas mengindikasikan bahwa keterampilan berbicara mengisyaratkan bahwa seseorang mengetahui suatu bahasa. Selain itu, keterampilan berbicara bisa juga digunakan sebagai suatu media untuk belajar (Izquirdo, 1993). Keterampilan ini sangat terkait dengan pelafalan, gramatika, kosakata, diskursus, keterampilan mendengarkan, dan lain lain. Pada umumnya, siswa SMA dan bahkan mahasiswa masih mengalami kesulitan untuk menyampaikan gagasan, pikiran, pertanyaan dan sebagainya dalam bahasa Inggris dengan menggunakan ragam bahasa lisan dengan baik dan benar. Hal ini juga dialami oleh sebagian besar mahasiswa disebabkan oleh rendahnya kreativitas guru dalam menentukan teknik pembelajaran keterampilan berbicara kepada mahasiswa Fenomena seperti ini merupakan permasalahan yang perlu segera ditemukan alternatif-alternatif pemecahannya. Salah satu upaya yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah tersebut adalah dengan menerapkan pembelajaran keterampilan berbicara dengan ‖metode debat plus‖. Penggunaan kata plus dimaksudkan untuk menyampaikan pesan adanya ―manipulasi/modifikasi‘ terhadap sebuah metode pembelajaran keterampilan berbicara sehingga mahasiswa diajak belajar sambil bermain dengan permainan (games) serta kuis. Game dan kuis dicantumkan dalam metode ini mulai dari teknik pembagian kelompok, kegiatan dalam debat, ataupun di tengah-tengah kegiatan atau setelah kegiatan debat. Berdasarkan pendapat di atas, maka tujuan dari tulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui gambaran keterampilan berbicara bahasa Inggris pada mahasiswa Fakultas Ekonomi Semester IV UMN Al Washliyah sebelum memberlakukan metode debat plus. 2. Untuk mengetahui gambaran peningkatan keterampilan berbicara bahasa Inggris pada mahasiswa Fakultas Ekonomi Semester III UMN Al Washliyah setelah memberlakukan metode debat plus. II. Kajian Literatur Dan Pengembangan Hipotesis Konsep Metode Debat Plus 4896 Debat merupakan kegiatan bertukar pikiran antara 2 (dua) orang atau lebih yang masing-masing berusaha mempengaruhi orang lain untuk menerima usul yang disampaikan (Simon, 2005:3). Debat dapat diartikan pula sebagai silang pendapat tentang tema tertentu antara pihak pendukung dan pihak penyangkal melalui dialog formal yang terorganisasi (Depdiknas, 2001: 2). Sementara itu,‖plus‖ merupakan penyampaian pesan melalui ―manipulasi/modifikasi‘ terhadap metode debat sehingga siswa diajak belajar sambil bermain dengan berbagai permainan (games) serta kuis. Game & kuis disertakan dalam metode debat plus10 mulai dari teknis pembagian kelompok, kegiatan dalam debat, ataupun di tengah-tengah kegiatan atau setelah kegiatan debat. Adapun untuk tema debat akan dipilihkan tema yang terkait dengan topik materi yang dipelajari pada saat itu,tema dari kejadian/fenomena aktual yang menantang namun tidak asing. Metode Debat Plus tersebut juga sangat fleksibel mengingat guru sangat mungkin untuk menambah, menyederhanakan serta mengembangkan lagi sesuai kebutuhan, kondisi serta tujuan penelitian sendiri. Melalui jurnal Guru dan jurnal siswa dapat dilihat distribusi keaktifan, keterampilan, kemampuan para siswa, serta pesan dan kesan siswa terkait dengan metode debat. Semua hal tersebut tentunya untuk menghidupkan suasana belajar siswa. Diharapkan dengan kondisi yang menyenangkan tersebut motivasi siswa akan meningkat dari awal sampai akhir pelajaran, sehingga akan memberikan efek berganda seperti bertambah mudahnya siswa dalam memahami konsep tanpa terasa seolah terdoktrinasi serta meningkatkan kemampuan menghubungkan berbagai variabel konsep dengan kondisi riel yang terjadi di lapangan. Semua itu muaranya kearah peningkatan atau perbaikan prestasi siswa. Berbicara dan Keterampilan Berbicara Berbicara merupakan sebuah bentuk penyampaian informasi dengan menggunakan kata-kata atau kalimat. Dengan kata lain, berbicara berarti menggunakan bahasa untuk bermacam-macam tergantung dari para penuturnya. Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat ataupikiran dan perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan ataupun dengan jarak jauh. Harmer (1983) menyatakan bahwa berbicara merupakan alat komunikasi yang alami antara anggota masyarakat untuk mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk tingkah laku sosial. Keterampilan berbicara merupakan suatu keterampilan yang kompleks dan berkaitan dengan berbagai keterampilan mikro (Brown, 2001) seperti (1) menghasilkan ujaran-ujaran bahasa yang bervariasi; (2) menghasilkan fonem-fonem dan varian-varian alophon lisan yang berbeda dalam bahasa Inggris; (3) menghasilkan pola-pola tekanan, kata-kata yang mendapat dan tidak mendapat tekanan, struktur ritmis dan intonasi; (4) menghasilkan bentuk-bentuk kata dan frasa yang diperpendek; (5) menggunakan sejumlah kata yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatis; (6) menghasilkan pemberbicaraan yang fasih dalam berbagai kecepatan yang berbeda; (7) mengamati bahasa lisan yang dihasilkan dan menggunakan berbagai strategi yang bervariasi, yang meliputi pemberhentian sementara, pengoreksian sendiri, pengulangan, untuk kejelasan pesan; (8) menggunakan kelas kata (kata benda, kata kerja, dll.) sistem (tenses,agreement dan plural), pengurutan kata, pola-pola, aturan-aturan dan bentuk ellipsis; (9) menghasilkan pemberbicaraan yang menggunakan elemen-elemen alami dalam frasa, stop, nafas dan kalimat yang tepat; Richard (1986: 21-28) membagi fungsi berbicara menjadi tiga sebagaiberikut: 4897 (1) Berbicara sebagai interaksi (talk as interaction) Fungsi berbicara sebagai interaksi mengacu pada kegiatan percakapan yang biasa dilakukan dan berhubungan dengan fungsi sosial. Fokus utamanya adalah kepada si penutur dan bagaimana mereka menunjukkan diri mereka kepada orang lain. Bahasa tuturannya bisa formal ataupun berupa tuturan yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Beberapa kemampuan yang ikut dilibatkan dalam kegiatan berbicara sebagai sebuah interaksi, antara lain: a) membuka dan menutup percakapan; b) memilih topik; c) membuat percakapan-percakapan kecil/ringan; d) bergurau; e) menceritakan kejadian dan pengalaman pribadi; f) dilakukan secara bergantian; g) adanya interupsi/menyela percakapan; h) bereaksi terhadap satu sama lain; i) menggunakan gaya berbicara yang sesuai. (2) Berbicara sebagai transaksi (talk as transaction) Kegiatan berbicara sebagai transaksi lebih memfokuskan kepada pesan yang ingin disampaikan dalam kegiatan berbicara.Richard (1986: 21-28). Ada dua tipe dalam kegiatan sebagai sebuah interaksi yaitu: (a) Kegiatan yang fokus utamanya memberi dan menerima informasi,dengan kata lain membuat orang lain mengerti dengan jelas dan akurat terhadap pesan yang disampaikan dari pada peserta tutur dan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain. Ketepatan bukannya menjadi fokus utama selama informasi berhasil dikomunikasikan dan dimengerti. (b) Kedua adalah kegiatan yang fokus utamanya adalah untuk memperoleh barang atau jasa, misalnya dalam percakapan seseorang yang memesan makanan di restoran III. Metode Penelitian Desain Penelitian Desain pada penelitian ini dapat disimbolkan melalui desain berikut : 1 Kelompok Eksperimen 2 Kelompok Kontrol Pre-Test O1 Pre-Test O3 Pembelajaran berbicara bahasa inggris dengan menggunakan metode debat plus Pembelajaran berbicara bahasa inggris menggunakan metode konvemsional Post-Test O2 Post-Test O4 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Untuk memastikan sesuatu secara empiris bahwa subjek penelitian layak digunakan maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Membagi sampel dalam dua kelompok. 4898 2. Memberikan perlakuan yang berbeda pada kedua sampel, kelas eksperimen diajarkan dengan metode debat plus yang menggunakan media kliping Koran, sedangkan kelas kontrol hanya menggunakan metode konvensional 3. Memberikan Tes Berbicara dengan topic yang sama IV. Hasil dan Pembahasan A. Hasil Penelitian ANALISIS DATA NILAI TEST KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA INGGRIS No. Nama Kelas 1. 2. Kelas IV A Kelas IV C No. Nama Kelas 1. 2. Kelas IV A Kelas IV C Nilai Pre-test kelas Kontrol Mean SD SEM1 61.50 7.56 1,21 Nilai Pre-test Kelas Eksperimen Mean SD SEM2 70,4 Nilai Post-test kelas Kontrol Mean SD SEM1 67,4 6.78 1,08 7.80 1,17 Nilai post-test Kelas Eksperimen Mean SD SEM2 74,73 4,68 0.70 B. Pengujian Hipotesis Untuk menolak atau menerima Hipotesis Nihil (H0) tentang ada atau tidaknya perbedaan antara Mean Data Eksperimen dengan Mean Data Kontrol secara signifikan maka kita cari harga Kritik t t0 M 2 M 1 74,73 67,4 SEM 2M 1 1,65 = 7.33 4.44 1,65 Interpretasi t0 dengan prosedur sebagai berikut : a. Hipotesis Alternatif ( Ha) Ada perbedaan Mean yang signifikan antara kelompok Eksperimen dengan kelompok Kontrol b. Hipotesis Nihil (H0) Tidak terdapat perbedaan Mean yang signifikan antara kelompok Eksperimen dengan kelompok Kontrol c. Menetapkan degrees of Freedom (db) atau derajat kebebasan (lihat Tabel pada Lampiran 11 ) df atau db = (N1 + N2) -2 db = (40+45 ) -2 = 83 Pada df sebesar 83 diperoleh harga kritik ―t‖ pada table tt - Pada taraf signifikan 5 % maka tt = 1.45 - Pada taraf signifikan 1% maka tt = 1.70 Dari hasil analisa data ternyata t0 jauh lebih besar dari pada tt yaitu 1.45 ( 4.44) 1.70 Karena itu Hipotesis Nihil (Ho) ditolak. Dengan demikian hal ini berarti kedua variable tersebut (Variabel Eksperimen dan Variabel Kontrol ) terdapat perbedaan yang signifikan. Hasil analisis data diperoleh adanya perbedaan Mean yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. M1 = Mean Data Kontrol = 67,4 4899 M2 = Mean Data Eksperimen = 74,73 M2-M1 = 74,73-67,4 SD1 = Simpangan Deviasi Kelompok Kontrol = 6.78 SD2 = Simpangan Deviasi Kelompok Experimen = 4,64 SE MI = Standar Error Mean Kelompok Kontrol = 1,08 SE M2 = Standar ErrorMean Kelompok Eksperimen = 0.70 Maka SEM2-M1 = Standar Error Mean I – Mean II Sedangkan harga kritik t0 = 4.44. Angka ini menunjukkan beda yang cukup segnifikan. = 7.33 = 1.28 Kesimpulan Dan Saran A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa : 1. Pengajaran keterampilan berbicara dengan menerapkan metode debat plus dapat memberikan hasil belajar yang cukup signifikan dibandingkan dengan yang menggunakan metode konvensional. Dari analisis data ternyata to lebih besar dari pada tt yaitu 4,44. 2. Kelompok mahasiswa yang mendapat perlakuan dengan metode debat plus mendapatkan hasil belajar lebih baik, terbukti dari tes hasil unjuk kerjanya dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang tidak mendapat perlakuan (konvemsional) 3. Berdasarkan uji hipotesis dengan menggunkan uji t, diketahui bahwa t hitung 4,44 antara 1.45-1.47. Dimana hipotesis Alternatif (Ha) diterima dan Hipotesis Nol (Ho) ditolak. Berarti metode debat plus lebih berpengaruh terhadap hasil belajar mahasiswa khususnya pada keterampilan berbicara dari pada penggunaan metode konvensional pada kelas control B. Saran 1. Para pengajar bahasa Inggris khususnya dalam pengajaran kemampuan berbicara hendaknya memilih metode debat plus karena metode ini terbukti dapat membantu mahasiswa dalam mengembangkan nalar yang sesuai dengan konteks pengalaman 2. Para pengajar hendaknya aktif dan kreatif untuk melatih pribadinya dalam kegiatan berbicara agar dapat membantu mahasiswa dalam mencari, mengembangkan dan merevisis hasil karya mahasiswanya. 3. Para pengajar hendaknya aktif melatif dan memotivasi siswa dalam berbicara agar menciptakan kegiatan kebiasaanaktif berbicara dikalangan mahasiswa. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rieka Cipta http:/bpad.sumutpray.go.id./berita/index/berita/state/detail/id/25 J. Suprapto. 2009. Statistik Jilid 1. Jakarta : Ganeca Kuncoro, Mudrajad. 2009. Mahir Berbicara. Jakarta : Erlangga. 4900 Kusumah, Wijaya dan Dedi Dwitagama, Mengenal Penelitian Tindakan Kelas,Jakarta: Indeks, 2012. Nurgiantoro, Burhan. Penialaian dalam Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: BPEE Purbayu, Muliawan,2002.Statistika Deskriptif. Jakarta : Erlangga Sanjaya,Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Prenada Media Group. Jakarta\ Sudjana, 2002. Metode Statistik. Bandung: Tarsito Sudjono, Anas. 2005. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Sugiono, 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif. R & D Bandung: Alfabet. Surakmad. Winarto, 2002, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik. Bandung :Tarsito Suyanto, Kasihani K.E (2003 : 4) CTL in Teaching Learning. Malang. 4901 JUMLAH KONSUMSI MAKSIMAL MIE INSTAN BERDASARKAN PENENTUAN KADAR MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) BUMBU PENYEDAPNYA Anny Sartika Daulay13 / Emma Trivitasari14 ABSTRAK Telah dilakukan penelitian penentuan kadar monosodium glutamat (MSG) pada bumbu penyedapnya menggunakan metode titrasi bebas air sebagai basa. Berdasarkan penelitian ini dapat ditentukan jumlah maksimal mie instan yang dapat dikonsumsi perhari dimana jumlah total MSG yang dikonsumsi dari mie instan tersebut tidak melebihi ambang batas asupan harian yaitu 0,3-1,0 g. Dengan demikian diharapkan efek samping MSG bagi konsumen mie instan dapat dikurangi. Dari hasil penelitian yang dilakukan kadar monosodium glutamat yang tertinggi terdapat pada mie instan sampel A.1 sebesar 15,9674 % dengan jumlah berat MSG per bungkus 851,4 mg. Kadar yang terendah terdapat pada mie instan sampel B.6 sebesar 8,9013% dengan jumlah berat MSG per bungkus yaitu 480,8 mg. Mie instan yang dapat dikonsumsi rata-rata 1 (satu) bungkus perhari bagi yang konsumen tidak memiliki riwayat penyakit yang diderita. Kata Kunci : mie instan, msg, monosodium glutamat 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penyedap (penguat rasa) digunakan untuk mengintensifkan rasa yang sudah ada, terutama bila rasa asli berkurang. Contoh penyedap rasa adalah monosodium glutamate (MSG), penyedap rasa yang terbuat dari asam glutamat yaitu asam amino non essensial paling berlimpah yang terbentuk secara alami (Arisman, 2009). Mie instan adalah makanan siap saji yang sangat digemari oleh semua lapisan masyarakat. Mie instan mengandung berbagai macam zat tambahan untuk memperkaya rasa dan penampilannya, misalnya seperti pewarna makanan dan juga penyedap rasa. Dalam hal ini penyedap rasa yang digunakan adalah Monosodium Glutamat yang ditambahkan pada bumbu mie instan tersebut. Monosodium Glutamat bila dikonsumsi melampaui batas maksimum dan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama tentu akan menimbulkan berbagai macam efek samping tanpa disadari (Sarah, 2011). Pada Permenkes RI No. 722/MEN.KES/PER/IX/88 menyebutkan bahwa monosodium glutamate dapat digunakan ―secukupnya‖, yaitu ditambahkan pada makanan tidak melebihi jumlah wajar yang diperlukan. Menurut sebagian penelitian, MSG dalam jumlah tertentu masih dianggap aman. Negara industri dan maju menetapkan konsumsi MSG yang masih bisa ditolerir adalah berkisar 0,3-1 gr perhari. Khairunnissa (2008) telah melakukan penelitian tentang kadar monosodium glutamate yang terkandung pada saus tomat kemasan sachet dan saus cabe kemasan botol. Pada penelitian ini dilakukan penetapan kadar MSG pada mie instan disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang gemar mengkonsumsi mie instan sebagai pelengkap makanan sehari-hari. Mie instan yang ditentukan kadarnya adalah merk tertentu dengan berbagai variasi rasa. 13 14 Dosen Kopertis Wil. I dpk FMIPA UMN Al Washliyah Medan Alumni FMIPA Prodi Farmasi UMN Al Washliyah 4902 Jumlah kadar MSG yang dapat dikonsumsi bersamaan dengan mie instan belum diketahui dengan tepat sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menentukannya. Pada penelitian ini kadar MSG ditentukan dengan metode Titrasi Bebas Air. Dari hasil penelitian ini dapat ditentukan jumlah maksimal mie instan yang dapat dikonsumsi perhari. Jumlah MSG total pada mie instan yang dapat dikonsumsi tidak melebihi ambang batas asupan harian. 1.2 Perumusan Masalah Berapakah kadar Monosodium Glutamat yang terdapat dalam bumbu mie instan pada berbagai variasi rasa dan jumlah maksimal mie instan yang dapat dikonsumsi dimana belum melebihi ambang batas? 2 Metode Penelitian 2.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan eksperimental murni di laboratorium. Penelitian untuk penentuan kadar MSG pada mie instan merk tertentu dalam penelitian ini terdiri dari : (a) Melakukan uji kualitatif terhadap adanya MSG pada sampel mie instan; (b) Menetapkan kadar MSG yang terdapat pada masing-masing variasi mie instan; (c) Analisis data untuk menentukan konsumsi maksimal mie instan yang dapat dikonsumsi individu sehat perhari. 2.2 Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu Farmasi Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah Medan, pada bulan Oktober s/d Nopember 2014. 2.3 Alat-Alat Yang Digunakan Beaker glass 500 ml, Beaker glass 250 ml, Gelas ukur 50 ml dan 10 ml, pipet tetes, corong 25 ml, batang pengaduk, neraca analitik, makro buret 50 ml, Erlenmeyer 250 ml, statif-klem, botol akuades. 2.4 Bahan-Bahan Sampel yang digunakan adalah bumbu mie sedap atau indomie dari berbagai rasa. Bahan untuk pereaksi adalah aceton:air (1:1), arang aktif, larutan ninhidin, asam klorida 1N, Monosodium Glutamat baku, Kristal kalium biftalat, asam asetat glacial, indicator Kristal violet, asam perklorat 0,1 N. 2.5 Uji kualitatif Monosodium Glutamate Pada Sampel Bumbu Mie Instan Sebelum dilakukan identifikasi dan penetapan kadar, terlebih dahulu dilakukan ekstraksi monosodium glutamate dengan cara: Sampel dihaluskan dalam lumping, ditimbang 2,5 g dimasukkan ke dalam beaker glass 250 ml, ditambahkan air 30 ml, aduk, biarkan 15 menit, lalu tambahkan 1,5 g arang aktif, aduk, tambahkan 15 ml aceton dan biarkan 30 menit sambil diaduk, kemudian saring dan bilas beaker dengan 8 ml aceton:air (1:1), saring, uapkan diatas penangas air sampai kering (Horwitz, 1975). Identifikasi dilakukan dengan cara: 1) Filtrate hasil ekstraksi 5 ml dipanaskan lalu ditambahkan 1 ml ninhidin, jika positif (+) terjadi warna ungu; 2) Filtrat dipijar dengan kawat nikel-krom terjadi warna kuning, menunjukkan adanya Na (Kodeks Makanan Indonesia, 2001). 2.6 Pembakuan Larutan Asam Perklorat 0,1 N Ditimbang dengan seksama 204,2 mg kalium biftalat (p) yang sebelumnya telah di keringkan pada suhu 0 120 C selama 2 jam, dilarutkan dalam 15 ml asam asetat glasial (p) dalam labu 250 ml, ditambahkan 3 tetes indikator Kristal violet titrasi dengan larutan asam perklorat 0,1 N sampai warna ungu berubah menjadi hijau biru (Farmakope Indonesia Edisi IV). 4903 2.7 Penetapan Kadar Baku Monosodium Glutamat Dengan Cara Titrasi Bebas Air Sebagai Basa Ditimbang dengan seksama 233,9 mg Monosodium Glutamat baku dan dimasukkan kedalam Erlenmeyer 250 ml, dilarutkan dalam 36,5 ml asam asetat glacial, ditambahkan 3 tetes indikator kristal violet, dititrasi dengan asam perklorat 0,1 N sampai warna ungu berubah menjadi hijau biru.Lakukan penetapan blanko. 2.8 Penetapan Kadar Monosodium Glutamat Pada Sampel Bumbu Mie instan Ditimbang dengan seksama masing-masing bumbu mie instan sebanyak ± 250 mg. Larutkan dalam 36,5 ml asam asetat glacial, di tambahkan 3 tetes indicator Kristal violet, dititrasi dengan asam perklorat 0,1 N sampai warna ungu berubah menjadi hijau biru. Lakukan penetapan blanko (Kodeks Makanan Indonesia, 2001). 3 Hasil Dan Pembahasan 3.1 Uji Kualitatif Monosodium Glutamat Pada Bumbu Mie Instan Filtrat hasil ekstraksi sebanyak 5 mL dipanaskan, lalu ditambahkan 1 mL ninhidrin adalah positif warna ungu. Fungsi dari ninhidrin tersebut adalah untuk membuktikan adanya asam amino bebas protein dalam sampel bumbu Mie Sedap (Sampel A) dan Indomie (Sampel B). Hasil yang diperoleh positif adanya MSG dalam sampel A dan sampel B. Hasil filtrat yang diperoleh di pijar dengan kawat Nikel-krom yaitu terbentuk nyala kuning. Nyala kuning berasal dari natrium yang terdapat pada MSG. Hasil yang diperoleh positif, sehingga kandungan MSG positif terhadap kedua sampel. 3.2 Data Pambakuan Asam Perklorat 0,1 N Larutan pentiter distandardarisasi terlebih dahulu sebelum dipergunakan untuk penentuan kadar MSG. Hal ini harus dilakukan karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembuatan larutan konsentrasi asam perklorat. Table 3.1 Data Hasil Pembakuan Asam Perklorat No. 1. 2. 3. Kalium Biftalat (mg) 409,4 408,5 409,0 Volume HClO4(mL) 23,2 23,6 23,6 Volume Blanko= 0,2 mL 3.3 Penetapan Kadar Monosodium Glutamat (MSG) Murni Secara Titrasi Bebas Air Sebagai Basa Tabel 3.2 Data Hasil Penetapan Kadar Baku Monosodium Glutamat Murni No. 1. 2. 3. Berat MSG 234,5 mg 234,7 mg 234,9 mg Volume HClO4 29 mL 29,2 mL 29,3 mL Volume Blanko= 0,2 mL 4904 ( ) Perhitungan : ( ) Kadar rata-rata yang diperoleh dari bahan baku Monosodium Glutamat adalah 99,4209 %. Menurut Kodeks Makanan Indonesia (1979), syarat Monosodium Glutamat baku tidak kurang dari 98,5 % dan tidak lebih dari 101,5 %. Dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar Monosodium Glutamat memenuhi batas persyaratan yang ditetapkan. 3.4 Penetapan Kadar Monosodium Glutamat (MSG) Pada Sampel Penetapan kadar Monosodium Glutamat pada bumbu Mie Instan dilakukan secara uji kuantitatif. Analisis kadar Monosodium Glutamat dengan Titrasi Bebas Air Sebagai Basa. Kandungan MSG yang diperoleh dari hasil penelitian pada sampel A dan B dapat dilihat masing-masing pada tabel 3. 3 dan 3.4. Tabel 3.3 Kadar Monosodium Glutamat Pada Sampel A Kode Sampel Kadar MSG (%) A.1 A.2 A.3 A.4 A.5 A.6 15,9674 10,5022 15,3163 15,8771 14,6970 Bumbu: 12,1154 Pelengkap: 0,3215 Bumbu: 14,4901 Pelengkap: 0,3214 A.7 Berat MSG dalam 1 bungkus (mg) 675,9 657,5 739,5 1322,4 646,5 Bumbu: 545,5 Pelengkap: 13,5 Bumbu: 623,4 Pelengkap: 111,4 Tabel 3.4 Kadar Monosodium Glutamat Pada Sampel B Kode Sampel Kadar MSG (%) B.1 B.2 B.3 B.4 B.5 B.6 B.7 B.8 B.9 B.10 15,9861 15,3321 12,9820 12,0066 11,7982 8,9013 10,7363 15,3404 10,9497 10,5118 Berat MSG dalam 1 bungkus (mg) 851,4 493,6 640,6 521,8 606,2 480,8 412,9 835,4 500,2 400,1 Dari hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa MSG lebih banyak terdapat pada bumbu sampel A. Berdasarkan MSG pada bumbu mie instan diatas maka konsumsi rata-rata adalah sebanyak 1 bungkus perhari bila tidak memiliki riwayat penyakit apa pun, karena ambang batas Mosodium Glutamat adalah 0,3-1 g perhari. 4 . Kesimpulan 4905 Kadar Monosodium Glutamat yang tertinggi terdapat pada bumbu mie instan dengan kode sampel A.1 dengan kadar 15,9674 % dan yang terendah terdapat pada bumbu mie instan dengan kode sampel B.6 yaitu 8,9013 %. Monosodium Glutamat pada bumbu Mie Instan diatas masih boleh dikonsumi sebanyak 1 bungkus sehari, karena ambang batas konsumsi Mosodium Glutamat adalah 0,3-1 g perhari. Daftar Pustaka Arisman, MB, 2009. Keracunan Makanan. EGC. Jakarta, Hal. 61-64. BPOM, 2003. Bahan Tambahan Pangan. Direktorat SPKP, Deputi III, Jakarta. Day, R.A, and Underwood, A, 1980. Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta, Hal.159162. Ditjen POM, 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Departemen Kesehatan RI, Jakarta, Hal.310 dan 744. Depkes RI, 2001. Kodeks Makanan Indonesia Tentang Bahan Tambahan Makanan. Depkes RI, Jakarta. Hal. 63-64. Horwitz, W. 1995. Official Methods of analysis of the Association of Official Analytical. Chemists, 12th ed. Washington, DC : Association of Official Analytical Chemists. P. Hal. 382. Ismullah, Sarah, 2011. Mie Instan, Sakit Instan. Pustaka Rama, Yogyakarta. Hal.53-60. Khopkar, S. M, 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press, Jakarta. Hal. 6-7, 40-41, 229. Rohman, A, 2007. Kimia Farmasi Analisis, Cetakan I. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 120-123, 141-142, 252-254. Winarno, F. G, 1980. Kimia Pangan Dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta. Hal.208-210. 4906 MODEL PBM DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIKA Cut Latifah Zahari15 / Irpan Apandi Batubara16 ABSTRAK Meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematika siswa dengan penerapan model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) di kelas VIII SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 2 Patumbak sangat penting dilakukan hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan siswa dalam memahami konsep dan komunikasi matematika. Tujuan penelitian ini adalah diperolehnya informasi tentang peningkatan kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematika siswa dengan menerapkan model PBM. Penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian eksperimen semu, dengan rancangan eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pretes Posttest Control Group Design.Hasil dari penelitian ini adalah secara keseluruhan adalah model PBM secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematika siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Demikian pula dengan kadar aktivitas siswa yang bernilai positif selama mengikuti pembelajaran matematika melalui model PBM. Kata Kunci : Model PBM, Pemahaman Konsep, dan Komunikasi Matematika Pendahuluan Pembelajaran matematika memiliki fungsi sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis, kreatif, dan bekerja sama yang diperlukan siswa dalam kehidupan modern. Seperti tercantum dalam salah satu tujuan pembelajaran matematika dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa melalui pembelajaran matematika siswa dapat mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. Kenyataan yang dihadapi pada saat ini adalah pembelajaran matematika beserta sistem evaluasi selama ini kurang memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengemukakan ide/gagasan karena pembelajarannya terpusat pada guru (teacher-centred) dimana guru memilki peran aktif sementara siswa menjadi pasif.Pembelajaran seperti itu merupakan pola belajar konvensional karena suasana kelas masih didominasi oleh guru dan titik berat pembelajaran ada pada keterampilan tingkat rendah. Pembelajaran matematika yang konvensional lebih menuntut 15 16 Dosen Yayasan Prodi Pendidikan Matematika, FKIP, UMN Al Washliyah Medan [email protected] Dosen Yayasan Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, UMN Al Washliyah Medan [email protected] 4907 kepada hasil dimana siswa hanya tinggal menerapkan atau menggunakan rumus atau algoritma ketimbang menuntut pada proses. Demikian pula dalam kemampuan pemahaman konsep matematika siswa, yang juga menjadi sebuah permasalahan serius yang harus segera ditangani, sehingga kemampuan siswa terhadap kompetensi dasar yang diinginkan tercapai dalam kurikulum pembelajaran matematika kemampuan pemahaman terhadap konsep-konsep dasar matematika merupakan syarat mutlak harus dipenuhi. Pentingnya kemampuan pemahaman matematik merupakan suatu kekuatan yang harus diperhatikan dan diperlakukan secara fungsional dalam proses dan tujuan pembelajaran matematika, terlebih lagi sense memperoleh pemahaman matematik pada saat pembelajaran, hal tersebut hanya bisa dilakukan melalui pembelajaran dengan pemahaman. Demikian pula dengan kemampuan komunikasi yang menuntut siswa agar dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, ketika diminta untuk memikirkan ide-ide mereka, berbicara menyampaikan idenya, mendengarkan siswa lain ketika menyampaikan ide/gagasan, berbagi ide, menyusun strategi dan solusi. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan, sudah menjadi keharusan bagi setiap guru untuk menitikberatkan pengajaran matematika pada masalah keseharian siswa agar mampu melakukan translasi dan membentuk pengetahuan awal atau konsep baru dalam struktur kognitif siswa, konsep-konsep tersebut dibahas dan sedapat mungkin melatih siswa untuk membangun sendiri konsep dari masalah yang ada. Dari masalah yang diberikan siswa terlatih untuk memanipulasi simbol-simbol, melontarkan pertanyaan dan mencari jawabannya baik mandiri atau kelompok, mengkonsilasikan apa yang ditemukan dan membandingkannya dengan temuan siswa yang lain dan berkomunikasi secara matematik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah (PBM), Model PBM selain menyajikan kepada siswa masalah yang autentik, bermakna, memberikan kemudahan untuk melakukan penyelidikan, belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, juga dapat menggunakan masalah tersebut ke dalam bentuk pengganti dari suatu situasi masalah (model matematika) atau aspek dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi. Selain itu, model PBM siswa dapat merepresentasikan masalah tersebut dalam obyek, gambar, kata-kata, atau simbol matematika.Model pembelajaran ini sesuai dengan perspektif konstruktivisme yang memiliki prinsip bahwa pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial. Model ini memiliki ciri khas sebagai berikut yaitu : a. Pengajuan Masalah atau Pertanyaan. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pembelajaran disekitar pertanyaan dan masalah sosial yang penting bagi siswa dan masyarakat.Pertanyaan atau masalah itu bersifat autentik (nyata) bagi siswa dan tidak mempunyai jawaban sederhana. Pertanyaan atau masalah itu menurut Arends (dalam Trianto, 2009) harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Autentik, yaitu masalahnya harus dikaitkan dengan pengalaman riil siswa dan bukan dengan prinsip-prinsip disiplin akademis tertentu. Misteri, yaitu masalah yang diajukan bersifat misterius atau teka-teki. Bermakna, yaitu masalah yang diberikan bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual siswa. Luas, yaitu masalah tersebut sesuai dengan waktu, ruang, dan sumber yang tersedia. 4908 Bermanfaat, yaitu masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan memungkinkan siswa merasakan kebergunaan matematika, serta membangkitkan motivasi belajar siswa. b. Berfokus pada keterkaitan antardisiplin. Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika dan ilmu-ilmu sosial. c. Penyelidikan autentik. Mereka harus menganalisis dan mendefenisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpul dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan) d. Menghasilkan produk dan memamerkannya.Diharapkan siswa mampu menghasilkan bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. e. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama atau dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah TAHAP-TAHAP TAHAP1 Orientasi siswa pada masalah TINGKAH LAKU GURU Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. TAHAP 2 Mengorganisasikan siswa untuk belajar Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah. TAHAP 3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. TAHAP 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan prosesproses yang mereka gunakan. TAHAP 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Sumber : Ibrahim dalam Trianto (2010) Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ―apakah peningkatan pemahaman konsep dan komunikasi matematika siswa dengan penerapan model PBM lebih baik pembelajaran konvensional ?‖ dan bagaimanakah kadar aktivitas siswa dalam penerapan model PBM dapat memenuhi kriteria pencapaian efektivitas pembelajaran matematika ?. Metode Peneliltian Lokasi pada penelitian ini adalah SMP Negeri 1 Patumbak dan SMP Negeri 2 Patumbak.Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena tingkat akreditasi sekolah C (cukup) dan dengan pertimbangan tingkat perkembangan kognitif siswa SMP masih pada tahap peralihan dari operasi konkrit ke operasi formal sehingga sesuai untuk diterapkannya pembelajaran berbasis masalah.Penelitian ini dilakukan dengan metode quasi experiment sebab kelas yang digunakan telah terbentuk sebelumnya.Penelitian yang diawali dengan pengembangan perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Aktivitas Siswa (LAS), Tes pemahaman konsep dan komunikasi matematika. 4909 Penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian eksperimen semu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tiga tahapan, yaitu: (1) Tahap pengembangan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, (2) Tahap uji coba perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, (3) Tahap pelaksanaan eksperimen. Setiap tahapan dirancang sedemikian sehingga diperoleh data yang valid sesuai dengan karekteristik varabel sesuai dengan tujuan penelitian Berkaitan dengan pertanyaan penelitian, aktivitas siswa dianalisis dengan analisis statistik deskriptif.Data tentang hasil belajar dianalisis dengan ststistik inferensial.Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap seperangkat data (data hasil pretes, tes kemampuan penalaran matematik, tes kemampuan komunikasi matematik, dan angket tentang sikap) yang telah dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian berlangsung. Pengolahan data dalam pengujian hipotesis antara lain dengan uji normalitas dan homogenitas, selanjutnya dilakukan uji t. Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal kemampuan pemahaman konsep pada masing-masing pembelajaran, Berarti dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman konsep yang diajarkan dengan model PBM lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Kemampuan pemahaman konsep dalam penelitian ini ditunjukkan dengan kondisi siswa yang telah mamahami bahwa keberadaan konsep tidak lagi terkait dengan benda-benda kongkrit tertentu tetapi bersifat umum.mengetahui asal muasal dari konsep yang telah dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kemampuan pemahaman konseppada siswa dengan mengikuti model PBM jauh lebih baik daripada kelas yang dikenai pembelajaran konvensional. Model PBM secara signifikan telah berhasil meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Hal ini dimungkinkan karena dalam penerapan model PBM, siswa dibantu untuk menemukan konsep berdasarkan masalah dan seluruh permasalahan dikaitkan dengan dunia nyata siswa (lingkungan sekitar). Hasil penelitian yang digambarkan diatas sesuai dengan tinjauan pustaka, bahwa model PBM itu harus bermakna artinya dalam proses pembelajaran guru harus mengaitkan informasi yang diberikan terhadap pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Guru harus melibatkan siswa secara aktif dalam menemukan konsep, prinsip, dan aturan dalam memecahkan masalah matematika, sehingga siswa lebih memahami konsep dan dapat menggunakan konsep untuk memecahkan masalah sebab merekalah yang menemukan konsep pengetahuan matematika tersebut. Hal ini tidak hanya membuat pembelajaran lebih efektif tetapi siswa memperoleh standar yang tinggi dalam pembelajaran, mampu berpikir kritis, logis, sistematis, kreatif dan bertanggung jawab (Johnson, 2007). Demikian pula dengan kemampuan komunikasi matematika siswa bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal kemampuan komunikasi matematika pada masing-masing pembelajaran, Berarti dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematika yang diajarkan dengan model PBM lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Kemampuan komunikasi matematika dalam penelitian ini ditunjukkan dengan kondisi siswa yang mampu untuk (1) merefleksikan benda-benda nyata, gambar, atau ide-ide matematika, (2) membuat model situasi atau 4910 persoalan menggunakan metode oral, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar, (3) menggunakan keahlian membaca, menulis, dan menelaah, untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide, simbol, istilah, serta informasi matematika, (4) merespon suatu pernyataan/persoalan dalam bentuk argumen yang meyakinkan. Bila dikaitkan proses yang terjadi dalam model PBM dengan teori Bruner, yang menyatakan bahwa belajar adalah proses kognitif dan melibatkan tiga proses yang berlangsung secara bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah memperoleh informasi baru, transformasi informasi, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Proses model PBM lebih mengutamakan kemandirian dan keaktifan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan, dimana siswa berusaha mengali konsep matematika, membuat rumusan atau model dari informasi yang ditemukan, menyajikan informasi tersebut kedalam tabel dan grafik, membuat dugaan penyelesaian dan menyelesaikan masalah menggunakan rumusan yang telah diperoleh serta menarik kesimpulan. Pada model PBM adanya pembagian kelompok belajar siswa dengan komposisi heterogen, yaitu terdiri dari siswa yang pandai, sedang dan kurang. Kehadiran siswa pandai dapat menjadi tutor sebaya bagirekan-rekannya untuk saling berbagi. Melalui komunikasi yang terjadi dikelompok-kelompok kecil, pemikiran matematis siswa dapat diorganisasikan dan dikonsolidasikan. Pengkomunikasian matematika yang dilakukan siswa pada setiap kali pelajaran matematika, secara bertahap tentu akan dapat meningkatkan kualitas komunikasi, dalam arti bahwa pengkomunikasian pemikiran matematika siswa tersebut makin cermat, tepat, sistematis dan efisien. Bila ditinjau dari aktivitas siswa, terdapat peningkatan kadar aktivitas aktif siswa dimana pada pertemuan pertama terdapat 5 kategori pengamatan aktivitas aktif siswa yang belum berada pada batas toleransi yang ditentukan, selanjutnya pada pertemuan berikutnya semua kategori pengamatan aktivitas aktif siswa sudah berada pada batas toleransi yang ditentukan. Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi antara guru dengan siswa atau sesama siswa, mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif setiap siswa melibatkan kemampuannya secara maksimal. Pembahasan Pada bagian ini akan diuraikan gambaran dan penafsiran terhadap data hasil penelitian. Gambaran dan penafsiran ini dilakukan terhadap kemampuan pemahaman konsep matematika, komunikasi matematika dan aktivitas aktif siswa serta kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran berbasis masalah. Hasil penelitian di atas sangat beralasan, bila diperhatikan terhadap karekteristik-karakteristik yang ada pada model pembelajaran berbasis masalah, secara teoritis model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa kelebihan dan bila kelebihan itu diterapkan dengan maksimalkan di kelas, sangat memungkinkan proses dan hasil pembelajaran akan lebih baik. Bila dikaitkan proses yang terjadi dalam model pembelajaran berbasis masalah, siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri, ketrampilan tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan kepercayaan diri siswa. Hal ini sejalan dengan teori model PBM bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak akibat dari interaksi secara aktif dengan lingkungannya melalui proses assimilasi (penyerapan setiap informasi baru ke dalampikirannya) dan proses akomodasi(kemampuan menyusun kembali struktur pikirannya karena ada informasi yang baru diterimanya). Dalam model pembelajaran berbasis masalah, jika dilihat dari hubungan antara proses assimilasi dengan model ini, siswa pertama-tama dihadapkan kepada suatu masalah yang merupakan informasi baru yang masuk dalam 4911 pikirannya, kegiatan siswa lebih di fokuskan untuk berpikir menemukan solusi pemecahan masalah tersebut, hal ini mengakibatkan aktivitas fisik dan mental mereka telibat langsung dalam proses untuk memahami konsep, menemukan informasi, prosedur matematika dalam masalah, sehingga telah memicu terjadinya konflik kognitif dalam diri siswa Demikian pula dengan peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa, dimana proses pembelajaran berbasis masalah lebih mengutamakan kemandirian dan keaktifan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan, dimana siswa berusaha mengali konsep matematika, membuat rumusan atau model dari informasi yang ditemukan, menyajikan informasi tersebut kedalam tabel dan grafik, membuat dugaan penyelesaian dan menyelesaikan masalah menggunakan rumusan yang telah diperoleh serta menarik kesimpulan. Pada model pembelajaran berbasis masalah adanya pembagian kelompok belajar siswa dengan komposisi heterogen, yaitu terdiri dari siswa yang pandai, sedang dan kurang. Kehadiran siswa pandai dapat menjadi tutor sebaya bagi rekan-rekannya untuk saling berbagi. Hal ini membantu siswa agar tidak ada rasa enggan, rendah diri, malu dan sebagainya untuk bertanya maupun minta bantuan pada teman sebaya‖. Melalui komunikasi yang terjadi dikelompok-kelompok kecil, pemikiran matematis siswa dapat diorganisasikan dan dikonsolidasikan. Pengkomunikasian matematika yang dilakukan siswa pada setiap kali pelajaran matematika, secara bertahap tentu akan dapat meningkatkan kualitas komunikasi, dalam arti bahwa pengkomunikasian pemikiran matematika siswa tersebut makin cermat, tepat, sistematis dan efisien. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan pemahaman matematika siswa. Siswa terbantu dengan baik dalam memahami konsep (ide matematika), prosedur, dan fakta. 2. Pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa. Siswa terbantu dengan baik dalam mengungkapkan ide/gagasan, menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematik melalui tulisan (written texts, drawing, and mathematical expression). 3. Kadar aktivitas siswa selama mengikuti model PBM meningkat dan efektif, sehingga kegiatan pembelajaran matematika menjadi lebih menyenangkan. Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan: 1. Pembelajaran berbasis masalah dapat dijadikan salah satu alternatif pembelajaran matematika yang efektif dalam meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematika siswa. 2. Penelitian ini mengindikasikan bahwa selain meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematika siswa, pembelajaran matematika dengan pembelajaran berbasis masalah dapat memacu antusiasme siswa dalam belajar matematika. Oleh karena itu pembelajaran seperti ini dapat dikembangkan pada materimateri matematika dan jenjang pendidikan yang berbeda. Daftar Pustaka Ansari, B. I. (2009).Komunikasi Matematika Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: Yayasan PeNA. 4912 Suherman. (2006). ―Pembelajaran Berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa SMP‖ Jurnal cakrawala februari 2007. Tahun XXVI. No 1 halaman 41 – 62. Tim PLPG.(2008). ―Metodologi Pembelajaran Matematika” Modul Pelatihan Pendidikan Guru. Medan: Jurusan Pendidikan Matematika, Unimed.(tidak dipublikasi). Trianto.2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif.Jakarta : Kencana Prenada Media Group. KANDUNGAN SENYAWA METABOLIT SEKUNDER PADA EKSTRAK GETAH MANGROVE Excoecaria agallocha PADA PELARUT N-HEXANE Dian Puspitasari17 ABSTRAK Bahan dari alam memiliki berbagai kandungan yang telah dimanfaatkan secara turun temurun oleh masyarakat umum, salah satunya dalam bidang pengobatan. Kandungan senyawa aktifnya antara lain alkaloid, flavonoid dan terpenoid. Salah satu bahan yang berasal dari alam adalah mangrove, contohnya E. agallocha. Getah mangrove E.agallocha telah dimanfaatkan secara turun temurun, baik sebagai obat tradisional maupun untuk hal yang lain seperti sebagai racun ikan maupun mengobati perut kembung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa mengenai kandungan senyawa aktif dari getah kulit batang mangrove E. agallocha pada pelarut n-hexane. Metode yang digunakan adalah experimental laboratories. Tahapan yang dilakukan antara lain ekstraksi, KLT, KKT, dan identifikasi golongan senyawa yang dimiliki oleh ekstrak getah E. agallocha (uji fitokimia). Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak ini mengandung golongan senyawa terpenoid. Kata Kunci: Getah E. agallocha, n-Hexane, Uji fitokimia Pendahuluan Pengembangan bahan alam merupakan usaha potensial untuk mendapatkan bahan kimia baru yang sulit disintesis di laboratorium (Achmad,1995). Informasi pemanfaatan mangrove jenis E. agallocha sebagai sumber bahan obat sudah dikenal yakni pemanfaatan akarnya yang digunakan sebagai obat sakit gigi, bengkak pada tangan dan kaki, daunnya memiliki potensi sebagai antibakteri maupun antijamur (Agoromoorthy et al, 2007) dan getah E. agallocha dapat dimanfaatkan obat perut kembung (Konishi et al, 2003), sebagai racun ikan (Kokpol, 1987; Rusila et al., 1999) dan sebagai obat antitumor (Konoshima et al., 2001). Informasi tulisan pemanfaatn getah mangrove masih jarang ditemukan padahal tumbuhan mangrove jenis E. agallocha mengandung banyak getah. 17 Program Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Asahan 4913 Getah merupakan salah satu bentuk metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan diantaranya mangrove jenis E. agallocha. Metabolit sekunder merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri dari organisme misalnya tumbuhan. Senyawa metabolit sekunder sangat bervariasi jumlah dan jenisnya dari setiap tumbuhtumbuhan dan senyawa ini penting untuk kelangsungan hidup serta berpotensi sebagai antikanker, antivirus, antibakteri, antioksidan maupun antijamur (Sudiro, 1998). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa mengenai kandungan senyawa aktif dari getah kulit batang mangrove E.agallocha pada pelarut n-hexane. Bahan dan Metode Sampel getah E.agallocha diambil dari vegetasi mangrove yang berada di pantai Teluk Awur-Jepara. Ekstraksi Sampel Ekstaksi dilakukan menggunakan seperatory funnel. Sampel dimasukkan kedalam separatory funnel, kemudian ditambahkan pelarut n-heksana. Separatory funnel digojog sampai pelarut bercampur dengan sampel, kemudian didiamkan sehingga sampel dan pelarut terpisah menjadi 2 lapisan dan dibiarkan selama 24 jam. Kedua lapisan dipisahkan dengan cara membuka kran seperarory funnel sehingga lapisan bawah mengalir dan ditampung. Lapisan atas dialirkan (dengan cara yang sama pada saat mengalirkan lapisan bawah) dan ditampung. Sisasisa getah yang masih bercampur dengan lapisan atas disaring menggunakan kertas saring. Ekstraksi diulangi sebanyak 2 kali dengan waktu perendaman 2 jam, sebelum akhirnya dipisahkan. Hasil ekstraksi pada digabung, kemudian dievaporasi dengan rotavapour pada suhu 380 C. Ekstrak yang diperoleh ditampung dalam vial dan ditimbang. Kromatografi Kolom Terbuka (KKT) dan Kromatografi Lapis Tipis Analisis KLT dilakukan dengan fase diam silika gel G dan fase gerak adalah campuran n-heksana dan etil asetat dengan berbagai perbandingan. Ekstrak dari pelarut n-heksana yang diperoleh difraksinasi dengan KKT menggunakan fase diam silika gel 60 dan fase gerak adalah campuran n-heksana dan etil asetat. Analisis Fitokima Analisis fitokimia dilakukan terhadap fraksi dengan pelarut n-heksana. Uji yang dilakukan antara lain uji alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, kuinon dan terpenoid. Hasil dan Pembahasan Ekstraksi getah kulit batang E. agallocha dilakukan menggunakan seperatory funnel karena sampel berbentuk cair dan dikhawatirkan rusak jika dipanaskan. Ekstraksi cair-cair secara umum digunakan dalam proses separasi atau pemurnian senyawa dari alam maupun senyawa produk dari suatu reaksi kimia (Pavia et al., 1995). Ekstrak dengan pelarut n-heksana difraksisinasi dengan kromatografi kolom terbuka (KKT). Proses analisis dilakukan dengan kramotgrafi lapis tipis (KLT) karena KLT merupakan teknik yang efektif untuk melakukan pemisahan secara cepat dan analisis kuantitatif dari sejumlah kecil material sampel (Pavia et al., 1995). Keunggulan KLT adalah menggunakan peralatan sederhana, waktu yang singkat (15-60 menit), menggunakan jumlah cuplikan yang sangat sedikit (0,1 gram) serta kebutuhan ruang minimum dan penaganannya sederhana (Sthal, 1985). Metode visualisasi pada plat KTL adalah metode yang digunakan untuk melihat senyawa tak berwarna pada lempeng. Metode yang digunakan adalah menyemprot dengan pereaksi yang menghasilkan warna dan atau 4914 berfluoresensi. Visualisasi pada plat KLT dilakukan menggunakan vanillin-asam sulfat karena diduga menyerap pada cahaya uv (Sudjadi, 1988). Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa. Hasil uji fitokimia ditunjukkan pada Tabel 1. Table 1. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Getah dengan Pelarut n-Heksana Jenis Uji Fitokimia Warna Alkaloid Putih Flavonoid Saponin Putih Kekuningan Putih Kekuningan, tidak ada buih Putih Keruh Putih Merah-cokelat Tannin Kuinon Terpenoid Warna/Perubahan yang Seharusnya Terjadi Kekuning-kuningan dan terbentuk endapan Merah atau jingga Terbentuk busa Hitam atau hijau kehitaman Merah Hijau, merah, cokelat, kuning atau biru Hasil + Ekstrak dengan pelarut n-heksana difraksinasi dengan kromatografi kolom terbuka (KKT). Proses analisis dilakukan dengan kromatografi lapis tipis (KLT) karena KLT merupakan teknik yang efektif untuk melakukan pemisahan secara cepat dan analisis kuantitatif dari sejumlah kecil material sampel (Pavia et al., 1995). Keunggulan KLT adalah menggunakan peralatan sederhana, waktu yang singkat (15-60 menit), menggunakan jumlah cuplikan yang sangat sedikit (0,1 gram) serta kebutuhan ruang minimum dan penaganannya sederhana (Sthal, 1985). Metode visualisasi pada plat KLT adalah metode yang digunakan untuk melihat senyawa tak berwarna pada lempeng. Metode yang digunakan adalah menyemprot dengan pereaksi yang menghasilkan warna dan atau berfluoresensi. Visualisasi pada plat KLT dilakukan menggunakan vanillin-asam sulfat karena diduga menyerap pada pada cahaya uv (Sudjadi, 1988). Perubahan warna yang ditunjukkan adalah adanya warna kuning dan jingga, hal ini mengindikasikan adanya ikatan OH dan C=O. proses kromatografi kolom terbuka (KKT) menggunakan fase diam berupa silika gel. Menurut Pavia et al., (1995), silika gel bersifat relative ringan terhadap sebagian besar senyawa dan secara luas digunakan untuk berbagai jenis kelompok fungsional hidrokarbon, alcohol, keton, ester, asam dan senyawa amine yang terdapat dalam tumbuhan. Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa yang terdapat ekstrak getah mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak dengan pelarut n-heksana termasuk golongan terpenoid yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah kecoklatan. Menurut Harborne (1987), reagen H2SO4 50% biasanya digunakan untuk mendeteksi adanya senyawa terpenoid yang ditunjukkan dengan warna berupa bercak hijau, coklat, kuning, merah atau biru. Ekstrak getah tidak mengandung alkaloid karena tidak terbentuk endapan kekuning-kuningan, tidak mengandung flavonoid karena tidak terbentuk warna merah atau jingga dan tidak mengandung kuinon karena tidak terbentuk warna merah. Ekstrak getah tidak mengandung saponin karena tidak terbentuk busadan tidak mengandung tannin karena tidak terbentuk warna hitam atau hijau kehitaman (Nursal dan Siregar, 2005; Indrayani et al., 2006). Kesimpulan dan Saran 4915 Kesimpulan dan penelitian ini adalah bahwa terpenoid merupakan hasil dari analisis fitokimia. Hasil analisis fitokimia belum merupkan senyawa murni ileh karena itu perlu dilakukan penulusuran lebih lanjut untuk mendapatkan senyawa aktif murni. Daftar Pustaka Agoromoorthy, G., M. Chandrasekaran, V. Venkatesalu and M.J. Hsu. 2007. Antibacterial and Antifungal Activities of Fatty Acid Methyl Esters of the Blind-your-eye Mangrove from India. Brazilian Journal of Microbiology (2007) 38:739-742. Harborne, J.W. 1987, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, ITB Press, Bandung, hlm 6-147. Indrayani, L, H, Soetjipto dan L, Sihasale, 2006. Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak Daun Pecut Kuda (Stachytarpheta jamaicensis L. Vahl) terhadap Larva Udang Artemia salina Leach. Berk. Penel. Hayati: 12 (57-61), 2006. Konishi, T., K. Yamazoe, M. Kanzato, T. Konoshima and Y. Fujiwara, 2003. Three Diterpenoids (Excoecarin V1-V3) and a Flavanone Glycoside from the Fresh Stem of Excoecaria agallocha. Chem. Pharm. Bull. 51 (10) 1142-1146 (2003) Konoshima, T., T, Konishi, M. Takasaki, K. Yamazoe and H. Tokudo. 2001 Antitumor-Promoting Activity of the Diterpene from Excoecaria agallocha. Biol. Pharm. Bull. 24 (12) 1440-1442 (2001). Kokpol, U. 1987. UNESCO Regional Seminar on the Chemistry of Mangrove Plants. Chulangkorn University, Bangkok, Thailand, 348 p. Nursal dan E.S. Siregar. 2005. Kandungan Senyawa Kimia Ekstrak Daun Lengkuas (Lactuca indica L), Toksisitas dan Pengaruh Subletalnya Terhadap Mortalitas Larva Nyamuk Aedes aegypti L(Lap. Pen. 2005). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm, 114. Pavia, D.L., G.M. Lampman, G.S. Kriz and R.G. Engel. 1995. Introductions to Organic Laboratory Techniquws: A Contemporary Approach. W.B. Saunders College Publishing. Philadelphia, hlm. 723768. Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 141-174. Sudiro, I. 1998. Produk Alam Hayati Laut dan Prospek Pemanfaatannya di Bidang Kesehatan dan Kosmetika. Dalam: Soemadihardjo. Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I. LIPI, Jakarta. Stahl, E. 1985. Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi. ITB. Bandung. Hlm. 3-9. 4916 FAKTOR-FAKTOR PERANAN BERHUBUNGAN DENGAN LAMANYA PENYEMBUHAN LUKA PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2014 Megawati18 ABSTRAK Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi diabetes mellitus sebesar 1.5-2,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi diabetes mellitus 6,1 % dan yang mengalami infeksi seperti luka/gangren sebanyak 1,8%/ penelitian yang dilakukan di Jakarta membuktikan adanya kenaikan prevalensi. Prevalensi diabetes mellitus pada daerah urban di Jakarta meningkat dari 1,7% pada tahun1982 menjadi 5,7 % pada tahun 1993. Demikian pula prevalensi diabetes mellitus di ujung pandang (daerah urban) meningkat dari 1,5 % pada tahun 1981 menjadi 2,9 % pada tahun 1998. Di Tasikmalaya didapatkan prevalensi diabetes mellitus sebesar 1,1% dan yang mengalami infeksi luka serta nekrosis sebesar 0,4%, sedang di Kecamatan Sesean suatu daerah terpencil ditanah Toraja didapatkan prevalensi diabetes mellitus hanya 0,8 % (11 penderta diantara 1310 penduduk umur>30 tahun). Di Surabaya pada penelitian epidemiologis yang dikerjakan oleh Puskesmas perkotaan pada tahun 1991 yang mencakup 13460 penduduk, didapatkan prevalensi sebesar 1,43% sedang di daerah Rurai pada suatu penelitian yang mencakup 1640 penduduk (1989) juga didapatkan prevalensi yang hampir sama yaitu 1,47 % (Aru W. Sudoyo, 2007:1853). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara umum lamanya penyembuhan luka penderita diabetes memitus. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang dirawat di ruang rawat inap dengan indikasi diabetes memitus dengan luka ganggren sedangkan 18 Dosen Politeknik Kesehatan Medan [email protected] 4917 sampel diambil dengan tehnik total sampling yaitu 20 orang. Lokasi penelitian dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan sejak tanggal 11 September 2014-11 November 2014. Adapun hasil penelitian ini adalah dari segi diet dari 20 responden dapat dilihat bahwa responden tahu bagaimana tentang diet yang baik sebanyak 70%, olahraga /latihan jasmani dari 20 responden dapat dilihat bahwa responden tahu tentang manfaat dan guna olahraga/ latihan jasmani sebanyak 70%, dan pemberian pengobatan insulin secara teratur dan sesuai dengan dosis dari 20 responden dapat dilihat bahwa responden tahu tentang pemberian pengobatan insulin sebanyak 70%, penyuluhan dan edukasi dari 20 responden dapat dilihat bahwa responden melakukan tentang penyuluhan dan edukasi sebanyak 80% dan perawatan luka gangren dari 20 responden dapat dilihat bahwa responden tahu melakukan perawatan luka gangren sebanyak 70%. Kata Kunci : Penyembuhan luka. Pendahuluan Pembangunan kesehatan Indonesia diarahkan guna mencapai pemecahan masalah kesehatan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Sejak awal pembangunan kesehatan telah diupayalam untuk memecahkan masalah kesehatan lingkungan, program imunisasi, dan penemuan obatobatan efektif untuk membantu masyarakat dalam menanggulangi penyakit dan kesakitannya (Warpadji, 2007). Beban serupa tampak lebih nyata lagi kalau dilihat angka Mc Carthy dan Zimmert (1993) yang memperkirakan jumlah pasien diabetes mellitus di dunia akan mencapai 306 juga jiwa pada tahun 2020. Lamanya penyembuhan luka pada penderita Diabetes mellitus pada umumnya tidak dapat diperkirakan, hal ini disebabkan oleh karena penyembuhan luka amat berhubungan dengan glukosa darah. Moya J. Morison menyimpulkan adanya korelasi yang bermakna antara prevalensi infeksi dan tingginya kadar glukosa darah. Menurut hasil laporan perawatan Diabetes mellitus di RSUD Dr.Pirngadi Medan lamanya penyembuhan luka/gangrene pada pasien diabetes mellitus umumnya kurang lebih 1 bulan yang diikuti dengan pengaturan intake/diet pasien keadaan luka pasien pascah penyembuhan biasanya meninggalkan suatu jaringan parut yang berkelok dan penyembuhan tidak sempurna serta tampak permukaan kulit agak kehitaman dan bukan merupakan nekrotik. Latihan jasmani dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama ½ jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continious, Rhytimical, Interval, Progressive, Endurance training). Latihan dilakukan terus-menerus tanpa berhenti. Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur tetapi kadar gula darahnya masih belumbaik, dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik (oral/suntikan). (Suzanne C. Smeltzer, 2004:1226). Perumusan Masalah Dengan memperhatikan uraian pada latar belakang, maka peneliti mencoba untuk merumuskan masalah yang akan diteliti yaitu : ―Tingginya angka kejadian gangrene pada penderita Diabetes Mellitus di Dr. Pirngadi Medan dengan lamanya penyembuhan luka‖. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan lamanya penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus. 2. Tujuan Khusus 4918 a. Mengetahui hubungan lamanya penyembuhan luka pada penderita Diabetes mellitus yang berhubungan dengan diet. b. Mengetahui lamanya penyembuhan luka pada penderita Diabetes mellitus yang berhubungan dengan olahraga dan latihan jasmani. c. Mengetahui lamanya penyembuhan luka pada penderita Diabetes mellitus yang berhubungan dengan pemberian pengobatan insulin secara teratur sesuai dengan dosis pemberian. d. Mengetahui lamanya penyembuhan luka pada penderita Diabetes mellitus yang berhubungan dengan penyembuhan dan edukasi. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, berguna untuk memberikan peningkatan pengembangan ilmu pengetahuan untuk terus mencari solusi yang lebih baik lagi dalam meminimalkan perawatan penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus. 2. Bagi institusi RSUD Dr.Pirngadi Medan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang lamanya penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus. 3. Bagi pasien yang diteliti, berguna untuk memberikan masukan dan motivasi serta pengetahuan. Metode Penelitian Jenis dan Desain Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif sederhana atau desain cross sectional yang dibahas hanya satu keadaan tertentu secara terpisah tanpa menghubungkannya dengan keadaan lain. Analisa Data Pengolahan data yang sudah terkumpul diolah dengan cara manual Analisa data dilakukan dengan cara deskriptif melalui tabel distribusi frekuensi dan perhitungan jumlah relatif (persentase). Pengukuran dan pengamatan variabel penelitian dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada responden maka peneliti membuat kategori perawatan menjadi 2 yaitu : Baik : Apabila responden sembuh kurang dari 1 bulan Kurang baik : apabila responden sembuh lebih dari 1 bulan. Hasil Penelitian Hasil Penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan lamanya penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus di Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. Penelitian dilaksanakan dari tanggal 11 September-11 Nopember 2014 dan diperoleh sebanyak 20 orang responden yang saat ini bagi menjalani perawatan. Distribusi frekuensi responden berdasarkan diet, olahraga/latihan jasmani, pemberian pengobatan insulin, penyulin dan edukasi perawatan luka gangren, lamanya penyembuhan luka di Dr.Pirngadi Medan. Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Diet di Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 No. 1 2 Diet Baik Kurang Jumlah 14 6 Persentase 70 30 4919 Total 20 100% Sumber : Hasil Penelitian di Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 Tabel diatas menunjukkan bahwa diet responden mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang (70%) dan minoritas diet kurang baik sebanyak 6 orang (20%). Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Olahraga/ Latihan Jasmani di Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 Olahraga/ Jumlah Persentase Latihan Jasmani 1 Baik 14 70 2 Kurang 6 30 Total 20 100% Sumber : Hasil Penelitian di Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 No. Tabel diatas menunjukkan bahwa olahraga /latihan jasmani responden mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang (70%) dan minoritas olahraga kurang yaitu sebanyak 6 (30%). Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian Pengobatan Insulin di Dr.Pirngadi Medan Pemberian Jumlah Persentase Pengobatan Insulin 1 Baik 14 70 2 Kurang 6 30 Total 20 100% Sumber : Hasil penelitian dri RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. No. Tabel diatas menunjukkan bahwa pemberian pengobatan insulin responden mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang (70%) dan minoritas kurang baik sebanyak 6 orang (30%). Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyuluhan dan Edukasi di Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 No. 1 2 Penyuluhan dan Edukasi Jumlah Persentase Baik 16 80 Kurang 4 20 Total 20 100% Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. Tabel diatas menunjukkan bahwa penyuluhan dan edukasi responden mayoritas baik yaitu sebanyak 16 orang (80%) dan minoritas kurang 4 orang (20%). Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perawatan Luka Gangren di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 Perawatan Luka Jumlah Persentase Gangren 1 Baik 14 70 2 Kurang 6 30 Total 20 100% Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. No. Tabel diatas menunjukkan bahwa perawatan luka gangren mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang (70%) dan minoritas kurang baik sebanyak 6 orang (30%). Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lamanya Penyembuhan Luka di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 No. Nama Pasien (Inisial Jumlah Persentase 4920 Responden) < 1 bulan 4 20 > 1 bulan 16 80 Total 20 100% Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. 1 2 Berdasarkan tabel diatas responden 20 orang diketahui bahwa responden mayoritas lama penyembuhan luka 1 bulan yaitu sebanyak 16 orang (80%) dan minoritas lama penyembuhan luka kurang 1 bulan sebanyak 4 orang 20%). Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Responden yang dirawat inap dengan lamanya penyembuhan luka berdasarkan diet di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 Lamanya penyembuhan Luka Frekuensi < 1 bulan > 1 bulan Jlh % Jlh % 1. Baik 4 20 % 10 50 % 14 2. Kurang 6 30 % 6 Total 4 20% 16 80 20 Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. No Diet Persentase 70% 30% 100% Tabel diatas menunjukkan responden melakukan diet baik mayoritas sebanyak 14 orang (70%) dan minoritas 6 orang (30%) dengan lamanya penyembuhan luka yakni < 1 bulan 4 orang (20%) dan > 1 bulan 16 orang (80%). Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Responden yang dirawat inap dengan lamanya penyembuhan luka berdasarkan Olahraga/Latihan Jasmani di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 Lamanya penyembuhan Luka < 1 bulan > 1 bulan Jlh % Jlh % 1. Baik 4 20 % 10 50 % 2. Kurang 6 30 % Total 4 20% 16 80 Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. No Olahraga Frekuensi Persentase 14 6 20 70% 30% 100% Tabel diatas menunjukkan bahwa olahraga /latihan jasmani responden mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang (70%) dan minoritas olahraga kurang yaitu sebanyak 4 orang (20 %) dengan lamanya penyembuhan luka yakni < 1 bulan 4 orang (20%) dan > 1 bulan 16 orang (80%). Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Responden yang dirawat inap dengan lamanya penyembuhan luka berdasarkan Olahraga/Latihan Jasmani di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 Lamanya penyembuhan Luka < 1 bulan > 1 bulan Jlh % Jlh % 1. Baik 4 20 % 10 50 % 2. Kurang 6 30 % Total 4 20% 16 80 Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 No Pemberian Obat Insulin Frekuensi Persentase 14 6 20 70% 30% 100% Tabel diatas menunjukkan bahwa pemberian pengobatan insulin responden mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang (70%) dan minoritas kurang baik sebanyak 6 orang (30%) dengan lamanya penyembuhan luka yakni < 1 bulan 4 orang (20%) dan > 1 bulan 16 orang (100%) 4921 Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Responden yang dirawat inap dengan lamanya penyembuhan luka berdasarkan Penyuluhan dan Edukasi di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 Lamanya penyembuhan Luka < 1 bulan > 1 bulan Jlh % Jlh % 1. Baik 4 20 % 10 50 % 2. Kurang 6 30 % Total 4 20% 16 80 Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 No Pemberian Obat Insulin Frekuensi Persentase 14 6 20 70% 30% 100% Tabel diatas menunjukkan bahwa penyuluhan dan edukasi responden mayoritas baik yaitu sebanyak 16 orang (80%) dan minoritas kurang 6 orang (30%) dengan lamanya penyembuhan luka yakni < 1 bulan 4 orang (20%) dan > 1 bulan 16 (80%). Tabel 4.11. Distribusi Frekuensi Responden yang dirawat inap dengan lamanya penyembuhan luka berdasarkan Penyuluhan dan Edukasi di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 Lamanya penyembuhan Luka < 1 bulan > 1 bulan Jlh % Jlh % 1. Baik 4 20 % 10 50 % 2. Kurang 6 30 % Total 4 20% 15 80 % Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 No Pemberian Obat Insulin Frekuensi Persentase 16 4 20 70% 30% 100% Tabel diatas menunjukkan bahwa perawatan luka gangren mayoritas baik yaitu sebanyak 16 orang (70%) dengan lamanya penyembuhan luka yakni < 1 bulan 4 orang (20%) dan > 1 bulan (80%). Pembahasan Pada penelitian ini responden diberikan kuesioner yang akan diisi oleh responden tanpa ada usaha orang lain yang akan mempengaruhi jawaban responden. Hal ini dilakukan pada seluruh responden yang telah dihunjuk dan responden bersedia secara sukarela untuk dilakukan penelitian. Penelitian ini berguna untuk mengetahui tentang faktor faktor yang berhubungan dengan lamanya penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus di RSUD. Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. Pada diabetes mellitus infeksi merupakan faktor yang penting dalam fatogenesis ganggren ateroselerotik. Ganggren didapatkan lebih sering pada pasien diabetes mellitus pria dibandingkan dengan perempuan. Dengan kontrol normal pada peradangan adalah meningkatnya vaskularisasi sedang pada aterosklerotik respon yang terjadi adalah trombosis dan nekrosis. Lamanya penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus pada umumnya tidak dapat diperkirakan hal ini disebabkan oleh karena penyembuhan luka amat berhubungan dengan glukosa darah. Rayfield dkk menyimpulkan adanya korelasi yang bermakna antara prevalensi infeksi dan tingginya kadar glukosa darah. Menurut hasil laporan perawatan diabetes mellitus di RSU Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. Lamanya penyembuhan luka / ganggren pada pasien diabetes mellitus umumnya + 1 bulan yang diikuti dengan pengaturan intake /diet pasien (laporan tahunan RSUD. Dr.Pirngadi Medan bulan September 2014 – November 2014). Keadaan luka pasien pasca penyembuhan biasanya meninggalkan suatu jaringan paru yang berkelok dan penyembuhan yang tidak sempurna dan tampak permukaan kulit agak kehitaman dan bukan merupakan nekrotik. . Bila dilihat berdasarkan tabel 4.1 terdapat bahwa responden melakukan Diet yang baik (70%) tentang diet. Hal ini dikarenakan responden merupakan pasien berulang yang berobat ke RSUD. Dr.Pirngadi 4922 Medan untuk penderita supaya memperhatikan lebih baik lagi tentang asumsi masukan makanan sesuai dengan aturan dan jumlah kebutuhan tubuh. Dilihat dari tabel 4.2 diketahui bahwa responden telah menganggap bahwa olahraga dan latihan jasmani merupakan suatu keharusan yang dilakukan bagi penderita diabetes mellitus, untuk memberikan kemudahan bagi kelancaran pembuluh darah dalam melakukan proses metabolisme dalam tubuh dan tidak terjadi penumpukan akibat darah yang mengental. Dari tabel 4.3 diatas tentang pemberian pengobatan insulin responden melakukan dengan baik (70%). Bahwa responden mempunyai pengetahuan tentang pemberian insulin. Hal ini supaya penderita lebih banyak bertanya kepada petugas kesehatan untuk pemberian obat insulin dengan cara yang tepat dan dosis yang sesuai dianjurkan oleh tim medis ataupun Dokter. Yang menjadi permasalahan dalam hal ini hanyalah responden tidak tahu mengenai cara penyuntikan obat insulin ke tubuhnya sendiri jadi harus tetap dilakukan oleh petugas kesehatan. Dari tabel 4.4. Ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman pasien telah mengalami suatu peningkatan dengan pemberian penyuluhan dan edukasi kepada pasien selama pasien dirawat di rumah sakit. Dan diharapkan kepada pasien supaya lebih banyak mendengar ataupun mengetahui tentang informasi penyakit diabetes mellitus. Dan penyuluhan dapat diperoleh dari berbagai informasi baik seperti media missa, radio, ataupun televise. Dari tabel 4.5 diatas menunjukkan bahwa responden sudah tahu tentang perawatan luka pada penderita diabetes mellitus. Hal ini dibuktikan dengan sebanyak 14 orang (70%) responden mempunyai pengetahuan tentang perawatan luka. Kepada pasien diharapkan mau bertanya bagaimana caranya perawatan luka yang steril dan untuk mempercepat proses penyembuhan dengan perawatan luka. Dari tabel 4.6 dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada 20 orang responden ditemukan bahwa ratarata lamanya penyembuhan luka pada pasien dengan diabetes mellitus yang dirawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 lebih dari 1 bulan untuk sembuh dari luka yang dialaminya. Kesimpulan Dan Saran a. Dari hasil penelitian pada diet didapatkan bahwa dari 20 orang responden ditemukan responden yang mempunyai Diet baik sebanyak 14 orang (70%), sedangkan Diet kurang baik sebanyak 6 orang (30%) berdasarkan diet. b. Dari hasil penelitian pada olahraga /latihan jasmani didapatkan bahwa responden yang mempunyai pengetahuan baik 14 orang (70%) sedangkan pengetahuan kurang sebanyak 6 orang (30%) berdasarkan olahraga dan latihan jasmani. c. Dari hasil penelitian pemberian pengobatan insulin didapatkan pasien mempunyai pengetahuan baik sebanyak 14 orang (70%) sedangkan minoritas kurang baik sebnayak 6 orang (30%) berdasarkan pemberian pengobatan insulin. 4923 d. Dari hasil penelitian pada penyuluhan dan edukasi didapatkan responden yang mempunyai pengetahuan baik sebanyak 16 orang (80%) sedangkan yang berpengetahuan kurang baik sebanyak 4 orang (20%) berdasarkan penyuluhan dan edukasi. e. Dari hasil penelitian pada perawatan luka ganggren didapatkan responden yang mempunyai pengetahuan baik sebanyak 14 orang (70%) dan minoritas kurang baik sebanyak 6 orang (30%) berdasarkan perawatan luka. f. Dalam penelitian ini responden 20 orang mayoritas lama penyembuhan lukanya > 1 bulan sebanyak 16 orang (80%) dan minoritas < 1 bulan sebanyak 4 orang (20%) berdasarkan lamanya penyembuhan luka. Saran Supaya memberikan masukan ataupun motivasi kepada pasien dengan diabetes mellitus dengan adanya luka pada penderita yang dirawat di Rumah Sakit. Diharapkan kepada responden untuk mau tau tentang diet setelah pulang dari Rumah sakit untuk mencegah terjadinya kekambuhan kembali. Diharapkan kepada responden untuk mulai mau melakukan olahraga atau latihan jasmani dengan cara jalan jalan disekitar rumah dan mengenakan alas kaki yang empuk dan tidak mengikat Diharapkan kepada penderita diabetes mellitus untuk tidak secara sembarangan memberikan suntikan insulin pada diri sendiri tetapi harus tetap di kontrol oleh petugas kesehatan agar terhindar dari kesalahan. Diharapkan kepada responden dan keluarga untuk mau secara terus mengikuti berbagai penyuluhan tentang diabetes mellitus dan tidak merasa malu untuk bertanya terhadap apa yang diketahui tentang diabetes mellitus. Diharapkan kepada responden dan keluarga agar mau belajar tentang cara perawatan luka ganggren di rumah dengan tehnik steril dan bersih. Daftar Pustaka Doengus Marilynn E, dkk, 2005. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi ketiga, EGG, Jakarta. Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007, Salemba Medika, Jakarta. Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisannya, Edisi kedua, Irmanthea, 2008.blogspot http://com Lenny, 2008, google http://www.go.id Laksman Hendra T, 2004, Kamus Kedokteran, Edisi 2000, Djambatan, Jakarta. Mansjoer Arif, dkk, 2004, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Edisi Ketiga, FKUI, Jakarta. Morison Moya S, 2004, Manajemen Luka, EGC, Jakarta. Nursalam, 2003, Jakarta. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian llmu Keperawatan, Salemba Medika, Oswari E, 2005, Bedah dan Perawatannya, FKUI, Jakarta. Price Sylvia A, dkk, 2006, Patofisiologi, Edisi keenam, EGC, Jakarta. Politeknik Kesehatan, 2006, Panduan Penyusunan Karya Tulis llmiah, 4924 Edisi 1, Tim Penyusunan Politeknik Kesehatan, Medan. Smeltzer Suzanne C, dkk, 2004, Keperawatan Medikal Bedah, volume 2, edisi delapan, EGC, Jakarta. Sudoyo Aru W, dkk, 2007, Buku Ajar llmu penyakit Dalam, Jilid III, Edisi keempat FKUI, Jakarta. HUBUNGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU DAN EFIKASI DIRI DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI BELAJAR SISWA KELAS IX SMP ISLAM AL-ULUM TERPADU MEDAN Sri Siswati19 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1). Hubungan kompetensi pedagogik guru dengan motivasi berprestasi belajar, (2). Hubungan efikasi diri dengan motivasi berprestasi belajar siswa.(3). Hubungan antara motivasi berprestasi belajar dan efikasi diri dengan motivasi berprestasi belajar siswa. 19 Staf Poltekkes Kemenkes Jurusan Keperawatan 4925 Subjek penelitian adalah 100 siswa SMP Al-Ulum terpadu Medan, pengambilan sampel dilakukan dengan proportionate random sampling, metode penelitian ini bersifat deskriftif yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang gejala hubungan dalam penelitian. Sebelum penelitian dilakukan instrument penelitian terlebih dahulu diujicobakan kepada 30 orang diluar sampel dan dilanjutkan dengan uji validitas dan reabilitas. Instrumen angket kompetensi pedagogik guru yang valid diperoleh 24 butir dari 25 butir angket yang diujicobakan dan mempunyai reliabilitas sebesar diperoleh koefisien reliabilitasnya sebesar 0,773,. Instrument angket efikasi diri yang valid diperoleh 19 butir dari 20 butir angket yang diujicobakan dan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,924. Instrument angket motivasi berprestasi yang valid diperoleh 24 butir dari 32 butir angket yang diujicobakan dan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,846. Berdasarkan pengujian hipotesis dapat disimpulkan: (1) terdapat hubungan yang positif dan berarti antara kompetensi pedagogik dengan motivasi berprestasi belajar sebesar ry1. rhitung> rtabel (0,406>0,195) dan besar thitung> ttabel (4,38>1,66), (2) terdapat hubungan yang berarti antara efikasi diri dengan motivasi berprestasi belajar sebesar ry1. rhitung> rtabel (0,304>0,195) dan besar thitung> ttabel (3,165>1,66), (3) terdapat hubungan yang berarti antara kompetensi pedagogik dan efikasi diri secara bersama-sama dengan motivasi berprestasi belajar sebesar Ry (12) = Thitung> Rtabel (0,57> 0,195) dan besar Fhitung> Ftabel (66,58> 1,66). Hasil penelitian diperoleh kopetensi pedagogik guru dan efikasi diri secara bersama-sama memberikan sumbangan sebesar 66,58% terhadap motivasi berprestasi belajar siswa, dan sisanya ditentukan oleh faktor lain. Kata kunci: Kompetensi Pedagogik, Efikasi Diri dan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa Pendahuluan Fenomena Rendahnya prestasi belajar siswa selalu menenjadi perbincangan yang hangat oleh kalangan umum terkhusus lagi bagi guru yang berkecimpung dalam proses belajar dan mengajar, dari data tingkat kelulusan untuk siswa SMP sederajat tahun ajaran 2012-2013 adalah 3.667.241 siswa, dan peserta UN yang dinyatakan lulus berjumlah 3.650.625 siswa, sedangkan yang tidak lulus berjumlah 16.616 siswa (http://litbang.kemdikbud.go.id:2013). Ini menunjukkan bahwa tingkat kelulusan UN SMP sederajat tahun 2013 ini belum memuaskan bagi para stakeholder pendidikan dengan persentase angka ketidaklulusan 0,45 persen. Walaupun persentase kelulusan tahun ajaran 2012-2013 ini turun 0,02 persen dari tahun sebelumnya akan tetapi bahasa dan kata ketidak lulusan tetap menjadi barometer gagalnya sistem penddidikan. Ditambah lagi dengan hasil buruk tingkat kelulusan siswa UN SMP sederajat provinsi Sumatera Utara bahwa: tahun 2012 untuk tingkat SMP sederajat 309 siswa tidak lulus (starberita.com:2013), sementara untuk tahun 2013 jumlah siswa yang tidak lulus sebanyak 777 orang (okezone.com:2013). Ini menunjukan bahwa menurunya tingkat kulitas pendidikan di Sumatera Utara. Banyaknya siswa yang tidak lulus ujian akhir sekolah dengan nilai di bawah rata-rata harus mengikuti ujian paket B yang disediakan oleh pemerintah alasan ujian kembali adalah syarat untuk dapat melanjutkan ke sekolah jejang berikutnya yakni SMA. Melihat hasil nilai pretasi belajar, rapor dan tingkat kelulusan siswa siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum terpadu Medan dari tahun 2010 sampai tahun 2013 mengalami pasang surut walupun dalam kategori siswa dapat lulus 99,95 % ujian akhir nasional, dan nilai rapor siswa yang diatas rata-rata 6 akan tetapi prestasi belajar siswa tidak merata, hanya sebahagian siswa yang memiliki prestasi belajar yang baik dan cemerlang, selebihnya tingkat prestasi belajar siswa rendah. Dikhawatirkan apabila pretasi belajar siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum terpadu Medan rendah maka siswa tidak dapat bersaing dengan siswa sekolah lain yang memiliki pretasi belajar yang tinggi untuk memasuki sekolah-sekolah SMA/MAN favorit dan ternama. Berdasarkan hasil observasi dan survei awal yang dilakukan peneliti pada bulan desember tahun 2013 semester ganjil kepada siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum terpadu Medan diperoleh bahwa: motivasi belajar 4926 siswa masih rendah ini ditandai dengan tidak terjadi interaksi komunikasi diskusi pada saat membahas materi pembalajaran antara siswa, dalam melakukan tugas terstruktur motivasi mereka masih rendah ini ditandai dengan adanya prilaku siswa yang saling mencopy tugas individu dan tugas kelompok prilaku pragmatis dan simpel dalam membuat tugas-tugas, selanjutnya motivasi belajar mandiri mereka rendah. Hal ini ditandai dengan jarang sekali terlihat siswa yang duduk di kelas ataupun duduk dilingkungan sekolah membaca buku kecuali di perpustkaan. Kondisi seperti ini apabila tidak mendapat perhatian guru dan pengelola yayasan sekolah dikhawatirkan memiliki dampak negatif terhadap hasil prestasi belajar siswa yang pada giliranya akan menurunkan mutu dan kualitas sekolah dan merugikan pada diri siswa itu sendiri. Indikasi rendahnya motivasi belajar mereka disebabkan oleh: rendahnya pemberian motivasi belajar dari guru yang di peroleh dari kelas, rendahnya kepercayaan siswa dalam berekspresi dan berfikir, tidak ada perbedaan atara siswa yang berprestasi dengan siswa yang tidak berprestasi, perhatian sekolah bagi siswa yang berprestasi belajar tidak menjadi skala prioritas utama, kurang lengkapnya perlengkapan dan fasiltas sarana dan prasarana yang dapat menunjang belajar. Atas dasar uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul Hubungan Kompetensi Pedagogik Guru Dan Efikasi Diri Dengan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Terpadu Medan. Metode Penelitian Tempat penelitian ini dilakukan di sekolah SMP Islam Al-Ulum Medan dengan siswa kelas IX sebagai objek penelitian. Pemilihan penelitian ini didasarkan atas pertimbangan kemudahan memperoleh data dalam melakukan penelitian, waktu penelitian direncanakan berlangsung selama 4 (empat) bulan, terhitung dari bulan Januari 2014 hingga April 2014. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasi-kan dengan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Setelah data yang diperlukan terkumpul dengan menggunakan beberapa tekhnik pengumpulan data, selanjutnya peneliti melakukan pengolahan atau analisis data. Untuk mendeskripsikan data setiap variabel, digunakan statistik deskriptif. Penggunaan statistik deskriptif bertujuan untuk mencari skor tertinggi, terendah, mean, median, modus dan standar deviasi. Kemudian disusun dalam daftar distibusi frekuensi serta dalam bentuk bagan. Hasil Penelitian Dan Pembahasan Deskripsi Data Responden Tabel 1. Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin No 1 2 Jenis Kelamin Frekuensi Laki-laki 37 Perempuan 63 Jumlah 100 Persentase (%) 37.00 63.00 100.00 % Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 100 responden sebahagian besar yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 63 orang (63.00%), selanjutnya berjenis 4927 kelamin laki-laki adalah 37 orang (37.00%). Hal ini menunjukan bahwa siswa yang menjadi sampel kelas IX SMP Islam Al-Ulum Terpadu Medan dominan perempuan. Selanjutnya akan disajikan deskripsi responden berdasarkan umur yang dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Deskripsi Responden Berdasarkan Usia No 1 2 3 Usia (tahun) ≤ 13 14 – 15 ≥ 15 Jumlah Frekuensi 13 64 23 100 Persentase (%) 13.00 64.00 23.00 100.00% Sumber: Data Diolah, 2014 Dari tabel 2 di atas bahwa 100 orang responden berdasarkan usia yang terbanyak adalah umur 14-15 tahun sebanyak 63 orang (63.00%) dan yang paling sedikit umur ≤ 13 tahun yaitu sebanyak 13 orang (13.00%) Deskripsi Data Hasil Penelitian Tabel 3. Rangkuman Hasil Skor Variabel Penelitian Statistik Mean (N.Rata-rata) Median (N.Tengah) Mode (N.Sering Muncul) S. Deviation (S.Deviasi) Range (Rentang Skor) Minimum (N.Terkecil) Maximum (N.Tertinggi) Count (Jumlah sampel) X1 66,15 67 67 8,90 44 44 88 100 X2 51,41 53 50 7,43 38 26 64 100 Y 67,43 66 63 10,07 43 45 88 100 1. Motivasi Berprestasi Belajar (Y) Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan jumlah responden 100 orang terdapat skor tertinggi 88 dan skor terendah 45 dengan rata-rata (M) = 67,43 dan standard deviasi (SD) = 10,07. Dari hasil distribusi frekuensi variabel motivasi berprestasi belajar (Y) dapat digambarkan histogram distribusi skor berdasarkan frekuensi absolut pada Gambar 1. Gambar 1. Histogram Variabel Motivasi Berprestasi Belajar (Y) 2. Kompetensi Pedagogik Guru (X1) Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil penelitian dengan jumlah responden 100 orang terdapat skor tertinggi 91dan skor terendah 44, dengan rata-rata (M) = 66,15 dan standard deviasi (SD) = 8,90. Dari hasil distribusi frekuensi variabel kompetensi pedagogik (X1) digambarkan histogram distribusi skor pada gambar 2. 4928 Gambar 2. Histogram Distribusi Skor Variabel Kompetensi Pedagogik (X1) 3. Efikasi Diri (X2) Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan jumlah responden 100 orang terdapat skor tertinggi 64 dan skor terendah 26, dengan rata-rata (M) = 51,41 dan standard deviasi (SD) = 7,43. Dari hasil distribusi frekuensi variabel efikasi diri (X2) dapat digambarkan histogram distribusi skor berdasarkan frekuensi absolut pada gambar 3. Gambar 3. Histogram Distribusi Skor Variabel Efikasi diri (X2) Uji Kecenderungan Variabel Penelitian Untuk mengidentifikasi kecenderungan pengujian kecenderungan data masing-masing variabel penelitian digunakan rata-rata skor ideal (Mi) dan standart deviasi (SDi). Dari harga-harga distribusi data dibuat dalam empat kategori Arikunto: 1993 Tabel 4. Uji Kecenderungan Variabel Penelitian Interval Mi + 1,5 SDi < Mi s/d Mi + 1,5 SDi Mi - 1,5 SDi s/d Mi < Mi – 1,5 SDi Jumlah F.Observasi Fo1 Fo2 Fo3 Fo4 N F.Relatif Fr1 Fr2 Fr3 Fr4 Kategori Tinggi Cukup Kurang Rendah Pengujian kecenderungan data masing-masing variabel penelitian digunakan rata-rata skor ideal dan standar deviasi ideal setiap variabel yang kemudian dikategorikan kepada 4 (empat) kategori yaitu tinggi, sedang, kurang dan rendah. Tabel 5. Tingkat Kecenderungan Variabel Motivasi Berprestasi Belajar (Y) Interval > 78 60 78 42 60 < 42 F. Observasi 15 62 23 0 100 F. Relatif 15% 62% 23% 0% 100% Kategori Tinggi Cukup Kurang Rendah Berdasarkan data pada diatas dapat dijabarkan untuk variabel motivasi berprestasi belajar (Y) kategori tinggi sebesar 15.00%, kategori cukup sebesar 62.00%, kategori kurang sebesar 23.00% dan kategori rendah sebsar 4929 0,00%. Dengan demikian dapat disimpulkan variabel motivasi berprestasi belajar (Y) dalam penelitian ini berada pada kategori cukup dengan persentase sebesar 62.00%. Tabel 6. Tingkat Kecenderungan Variabel Kompetensi Pedagogik (X1) Interval > 72 48 72 24 48 0 24 F. Observasi 20 77 3 0 100 F. Relatif 20% 77% 3% 0% 100% Kategori Tinggi Cukup Kurang Rendah Berdasarkan data di atas dapat dijabarkan untuk variabel kompetensi pedagogik (X1) kategori tinggi sebesar 20.00%, kategori cukup sebesar 77.00%, kategori kurang sebesar 3,00% dan kategori kurang sebesar 0,00%. Dengan demikian dapat disimpulkan variabel kompetensi pedagogik (X1) dalam penelitian ini berada pada kategori tinggi dengan persentase sebesar 77.00%. Tabel 7. Tingkat Kecenderungan Variabel Efikasi diri (X2) Interval > 62 48 62 33 48 < 33 F. Observasi 32 54 14 0 100 F. Relatif 32% 54% 14% 0% 100% Kategori Tinggi Cukup Kurang Rendah Berdasarkan data tabel diatas dapat dijabarkan bahwa variabel efikasi diri (X2) kategori tinggi sebesar 32.00%, kategori sedang cukup 54.00%, kategori kurang sebesar 14.00% dan kategori rendah sebesar 0,00%. Dengan demikian dapat disimpulkan variabel efikasi diri (X2) dalam penelitian ini berada pada kategori sedang dengan persentase sebesar 54.00%. Pengujian Persyaratan Analisis 1. Uji Linieritas dan Keberartian Regresi Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui linier atau tidaknya hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikat yang merupakan syarat untuk menggunakan teknik statistik analisis regresi sederhana dan analisis regresi ganda, maka yang di uji adalah hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikat, yaitu: kompetensi pedagogik guru dan efikasi diri dengan motivasi berprestasi belajar. Berikut ini pada tabel 8 disajikan ringkasan analisis varians yang menguji kelinearitas dan keberartian persamaan regresi motivasi berperestasi belajar (Y) atas kompetensi pedagogik guru (X1). Berdasarkan perhitungan diperoleh persamaan regresi Y atas X1, yaitu: Ŷ = 37,11 + 0,45X1. Tabel 8. Persamaan Regresi Y atas X1 Sumber Varians Total Regresi (a) Regresi (b/a) Residu (S) Tuna Cocok (TC) Galat (G) dk 100 1 1 98 10 88 JK 454680,4916 65,66 8482,85 1192,00 7290,838 RJK Fh Ft (=5%) 454680,49 1665,66 86,55 199,201 82,85 19,24 3,94 1,43 1,92 4930 Dari tabel diatas dengan mengkonsultasikan Fhitung dengan Ftabel dengan taraf 0,05 maka dk = K – 2 (db = 10) sebagai pembilang, dan (dk = 100 – 12 = 88) sebagai penyebut, diperoleh Ftabel = 1.92 maka didapat Fhitung < Ftabel (1,43 < 1,92) sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi: Ŷ = 37,11 + 0,45X1 adalah linier pada taraf signifikan 5%. Selanjutnya untuk uji keberartian persamaan regresi, dari tabel distribusi Ftabel dengan taraf 0,05 dk = 1 : 98 = 3,94. Dengan mengkonsultasikan Fhitung terhadap Ftabel dengan dk = 1: 98 diperoleh harga Fhitung > Ftabel (19,24 > 3,94) dapat disimpulkan koefisien arah regresi berarti, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koefisien arah persamaan regresi Y atas X1 mempunyai hubungan yang linier dan berarti pada taraf signifikan 5%. Berikut ini pada Tabel 9 disajikan ringkasan analisis varians yang menguji kelinearitas dan keberartian persamaan regresi motivasi berprestasi (Y) atas efikasi diri (X2). Berdasarkan perhitungan diperoleh persamaan regresi Y atas X2, yaitu: Ŷ = a + bX2, sehingga diperoleh persamaan regresi : Ŷ = 46,22+ = 0,41X2. Tabel 9. Persamaan Regresi Y atas X2 Sumber Varians Total Regresi (a) Regresi (b/a) Residu (S) Tuna Cocok (TC) Galat (G) dk 100 1 1 98 27 63 JK RJK 454680 941,61 9206,89 2140,85 7066,041 454680 941,61 93,94 79,29 99,52 Fh Ft (=5%) 10,02 3,94 0,79 1,75 Dari tabel diatas dengan mengkonsultasikan Fhitung dengan Ftabel dengan taraf 0,05 dk = 34 – 2 (db = 33) sebagai pembilang, dan (dk = N – K = 66) sebagai penyebut, diperoleh Ftabel = 1,75 maka didapat Fhitung < Ftabel (0.79 < 1,75 sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi Ŷ = 46,22 + 0,41 X2 adalah linier. Selanjutnya untuk uji keberartian persamaan regresi, Dari tabel distribusi Ftabel dengan taraf 0,05 dk = 1 : 98 = 3,94. Dengan mengkonsultasikan Fhitung terhadap Ftabel dengan dk = 1: 98 diperoleh harga Fhitung > Ftabel (10,22>3,94) dapat disimpulkan koefisien arah regresi berarti, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koefisien arah persamaan regresi Y atas X2 mempunyai hubungan yang linier dan berarti pada taraf signifikan 5%. 2. Uji Normalitas Pengujian normalitas data penelitian diuji dengan mengunakan uji liliefors. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nol yang menyatakan sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Penerimaan atau penolakan Ho berdasarkan perbandingan antara harga Ltabel dengan nilai Lo. Uji normalitas dilakukan pada hasil ketiga variabel penelitian. Secara ringkas hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 10. Tabel 10. Ringkasan Uji Normalitas No Galat Taksiran 1 2 Y atas X1 Y atas X2 Lo 0,068 0,081 Ltabel (α=0,05) 0,088 0,088 Kesimpulan Normal Normal Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa data-data variabel galat taksiran Y atas X1 dan X2, dinyatakan memiliki sebaran data yang berdistribusi normal karena Lo < Ltabel taraf signifikansi α = 0,05, sekaligus berarti bahwa data kompetensi pedagogik (X1), efikasi diri (X2) dan motivasi berprestasi belajar (Y) berdistibusi normal. 4931 Uji Linieritas dan Regresi Ganda Uji linieritas dan keberartian ganda dilakukan dengan menggunakan teknik statistik dan analisis regresi ganda. Diketahui bahwa koefisien regresi ganda adalah b1 = 0,5 dan b2 = 0,54, dan sedangkan konstanta regresi a = 0,18 sehingga persamaan Ŷ = 0,18 + 0,59X1 + 0,54 X2 Tabel 11. Rangkuman Analisis Regresi Ganda Sumber Variasi Regresi Residu Total Dk JK 2 98 100 3397,07 6751,43 10148,51 F hitung F tabel α = 0,05 24,65 2,92 Dari tabel di atas menunjukkan bahwa analisis regresi ganda yang diperoleh F hitung = 24,65 sedangkan nilai F tabel N-K = 98 dengan 0,05 = 2,92 untuk digunakan sebagai prediksi motivasi berprestasi belajar. Fhitung > Ftabel (24,65 > 2,92 artinya kompetensi pedagogik (X1) dan efikasi diri (X2) secara bersama sama dengan motivasi berprestasi belajar (Y) dengan persamaan regresinya Ŷ = 0,18 + 0,59X1 + 0,54X2. sehingga dapat disimpulkan regresi linier ganda Y atas X1, X2, adalah bersifat nyata dan berarti. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara kompetensi pedagogik terhadap dengan motivasi berprestasi pada siswa kelas IX. Hal ini berarti hipotesis yang mengatakan bahwa ada hubungan positif antara kompetensi pedagogik dengan motivasi berprstasi belajar siswa Berdasarkan hasil perhitungan dari penelitian ditemukan bahwa motivasi berprestasi belajar siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan termasuk dalam kategori cukup. Dari 100 orang responden yang diteliti, ditemukan 23 responden (23.00%) kategori kurang, dan 62 responden (62.00%) kategori cukup. Dan 15 orang responden (25.00%) ketegori tinggi. Hasil penelitian ini agak berbeda dengan hasil survey awal yang menyimpulkan masih rendahnya tingkat motivasi berprestasi siswa. Respon yang diberikan siswa wakti diskusi survey awal, merupakan penyimpulan secara keseluruhan dari siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan. Hal tersebut tentu saja berbeda dengan penelitian awal Seperti: tidak terjadi interaksi komunikasi diskusi pada saat membahas materi pembalajaran antara siswa, tugas terstruktur mereka masih rendah, prilaku pragmatis dan simpel dalam membuat tugas-tugas, motivasi belajar mandiri mereka rendah. Motivasi berprestasi berada dalam kategori sedang berarti bahwa karakteristik individu yang mempunyai motivasi berprestasi yang mengarah pada pada prilaku sikap tanggung jawab, sikap berorientasi untuk sukses, dan inovatif. McClelland; 1987. Selanjutnya Informasi di atas menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik guru masih harus terus ditingkatkan agar dapat meningkatkan motivasi berprestasi belajar siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan. Dalam hal ini, guru diharuskan untuk meningkatkan kompetensi pedagogik mengajarnya semakin baik kompetensi pedagogik guru dalam mengajar, akan menambah motivasi berprestasi belajar siswa bagi pengetahuan/ keterampilannya. Berdasarkan penghitungan penelitian, didapatkan bahwa efikasi diri berhubungan dengan motivasi berprestasi belajar siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan. tingkat kecendrungan berada pada kategori cukup dari 100 0rang respodnen yang diteliti diperoleh bahwa: 14 responden (14.00%) kategori kurang, dan 54 responden 4932 (54.00%) kategori cukup. Dan 32 orang responden (32.00%) kategori tinggi. Informasi ini menunjukkan efikasi diri siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan perlu terus tingkatkan. Bandura :1997 mendefinisikan efikasi diri merupakan keyakinan dalam diri seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk mencapai tujuan tertentu dengan berhasil serta melakukan kendali terhadap keadaan disekitarnya untuk mencapai hasil tertentu. Lebih lanjut, Bandura mengatakan bahwa efikasi diri yang kuat dan cukup akan meningkatkan prestasi dan kepribadian yang baik pula dalam berbagai hal. Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa terdapat hubungan yang positiif dan berarti antara kompetensi pedagogik dan efikasi diri siswa dengan motivasi berprestasi belajar siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan dengan koefisien korelasi Ry(12) = 0,57. Hal ini memberikan informasi bahwa motivasi berprestasi belajar dapat ditingkatkan dengan baiknya kompetensi pedagogik guru, dan tingginya efikasi diri siswa dalam mengatualisasikan dirinya dalam belajar. Kompetensi pedagogik guru yang baik jika dibarengi dengan efikasi diri siswa yang tinggi maka akan mempermudah siswa dalam menambah motivasi belajarnya. Kompetensi pedagogik guru yang baik akan mampu mengembangkan potensi pserta didik kearah yang lebih baik lagi begitu juga dengan efikasi diri dan keyakinan siswa akan semakin tinggi jika didorong oleh kemapuan kompetensi pedagogik guru dalam belajar, sehingga motivasi berprestasi siswa akan meningkat dalam belajar. Kesimpulan, Implikasi Dan Saran Kesimpulan 1. Tingkat kecenderungan variabel kompetensi pedagogik guru sekolah tergolong kategori cukup, efikasi diri siswa tergolong kategori cukup, dan motivasi berprestasi belajar tergolong kategori cukup. 2. Terdapat hubungan yang signifikan antara kompetensi pedagogik guru dengan motivasi berprestasi belajar siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan sebesar rX1Y = 0,405. Besar sumbangan relatif yang diberikan kompetensi pedagogik guru dengan motivasi berprestasi belajar adalah sebesar 63,15%, sedangkan besar sumbangan efektif yang diberikan kompetensi pedagogik dengan motivasi berprestasi belajar adalah sebesar 21,14%. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara variabel efikasi diri dengan motivasi berprestasi siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan sebesar rX2Y = 0,304. Besar sumbangan relatif yang diberikan efikasi diri dengan motivasi berprestasi belajar dalah sebesar 36,84%, sedangkan besar sumbangan efektif yang diberikan efikasi diri dengan motivasi berprestasi belajar kerja adalah sebesar 12,33%. 4. Terdapat pula hubungan yang signifikan antara kompetensi pedagogik guru, efikasi diri, secara bersama-sama dengan motivasi berprestasi belajar dengan koefisien korelasi Ry(12) = 0,57. Besar sumbangan kompetensi pedagogik guru, efikasi diri terhadap motivasi berprestasi belajar sebesar 33,47 % dan sisanya ditentukan faktor lain. Saran 1. Untuk meningkatkan kompetensi pedagogik disarankan kepada guru untuk meningkatkan pengetahaun kompetensi pedagodiknya seperti: keterampilan mengajar, keterampilan merencanakan pembelajaran, keterampilan melakukan pembelajaran, keterampilan melakukan evaluasi pembelajaran, keterampilan 4933 mengambangkan potensi peserta didik dengan menambah pengetahuan tentang pedagogik dengan mengikuti kegiatan loka karya, seminar, workshop dan pendidikan pelatihan lanjutan. Selain itu setiap guru diharapkan dapat mengikuti perkembangan pendidikan secara aktual, mengikuti musyawarah guru mata pelajaran MGMP untuk mengukur kompetensi pedagodik masing-masing guru. 2. Untuk lebih meningkatkan efikasi diri siswa kepada setiap siswa diharapkan mampu mengaktualisasikan kemampauannya dalam kegiatan apapun, aktualisasi diri adalah keinginan melakukan perbuatan tanpa disadari, dengan mengatualisasikan diri siswa secara tidak langsung mengasah kemapuan dan keyakinannya. bertanggung jawab adalah membuat niat dan mematuhinya, mengikuti norma aturan budaya sekolah, hal lain yang harus dilakukan adalah mengikuti kegitan pelatihan-pelataihan, seperti outbond, kepemimpinan, loka karya, workshop. 3. Untuk dapat meningkatkan motivasi berprestasi belajar siswa diharapkan kepada guru untuk terus memberikan motivasi secara terus menerus. Selain itu dianjurkan kepada guru untuk terus mengkawal perkembangan dan pertumbuhan peserta didik. Hal yang harus dilakukan guru di antaranya, melakukan penilaian dan evaluasi terhadap hasil belajar siswa. 4. Perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut tentang hubungan antara kompetensi pedagogik dan efikasi diri dengan motivasi berprestasi belajar siswa guna memperluas hasil penelitian kemudian hari. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi, (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta. Agus Dharma, (1993), Organisasi dan Administrasi Pendidikan Teknologi Kejuruan Jakarta, Raja Grafindo Persada Chaniago, Sam M dan Adi Tuti Tarwiyah, (2008), Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo. Hani, Handoko. (1989), Manajemen. Yogyakarta: BPFP. Yogyakarta Husaini Usman, (2011), Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan Edisi 3, Jakarta, Bumi Aksara. Manulang. M, (2006), Manajemen Personalia Edisi 6, Yogyakarta, Gajah Mada University pers, Mulyasa, E. (2008) Menjadi Guru Profesional (Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan). Bandung :Remaja Rosdakarya Moekijat, (2001), Dasar-Dasar Motivasi, Bandung, Pionir Jaya. Purwadarminta, W.J.S (1976) Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Rivai, Veithzal, Dedi Mulyadi, (2009), Kepemimpinan Dan Prilaku Organisasi, Jakarta: Raja Wali Pers Riduwan, (2010), Rumus dan Data dalam Analisis Statistika, Bandung: Alfabeta. Robbins, Stephen. P, dan A Judge Timothy (2007) Organization Behavior, New Jersey: Person Education Inc. Sagala Syaiful, (2013), Human Capita, Bandung, Alfabeta 4934 Sudarwan Danim Dkk, (2009), Manajemen Kepemimpinan Transformational Kepala sekolah, Jakarta, Rineka Cipta Sugiyono, (2010), Statistika Untuk Penelitian. Bandung, Alfabeta, Syah, Muhibbin. (2008) Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung Alfabeta Peraturan Pemerintah RI No 14 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang RI No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 4935 PENGEMBANGAN SISTEM OTOMASI PERPUSTAKAAN BERDASAR BUSINESS PROCESS DI PERPUSTAKAAN Rayuwati, M.Kom.20 ABSTRAK Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan sistem otomasi perpustakaan berdasarkan business process di perpustakaan. Penulisan makalah ini menggunakan metode library research (tinjuauan literatur). Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar antara digital library dan sistem otomasi perpustakaan adalah berhubungan dengan tujuannya. Digital library lebih berorientasi ke bagaimana kita dapat menshare koleksi-koleksi bahan pustaka yang sudah berbentuk file elektronik. Sedangkan sistem otomasi perpustakaan lebih cenderung ke bagaimana proses bisnis yang ada di perpustakaan dapat diotomasi, sehingga meringankan beban pustakawan atau pengurus perpustakaan. Perpaduan antara dua hal tersebut sangat mungkin dilakukan, dalam pengertian bahwa sistem otomasi perpustakaan disamping berorientasi ke bagaimana manajemen perpustakaan, juga menyimpan koleksi dokumen elektronik yang bisa dishare dengan menggunakan teknologi web dan internet. Kata kunci : teknik informatika, perpustakaan dan business process 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Dunia perpustakaan semakin hari semakin berkembang dan bergerak ke depan. Perkembangan dunia perpustakaan ini didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatannya yang telah merambah ke berbagai bidang. Hingga saat ini tercatat beberapa masalah di dunia perpustakaan yang dicoba didekati dengan menggunakan teknologi informasi. Dari segi data dan dokumen yang disimpan di perpustakaan, dimulai dari perpustakaan tradisional yang hanya terdiri dari kumpulan koleksi buku tanpa katalog, kemudian muncul perpustakaan semi modern yang menggunakan katalog (index). Katalog mengalami metamorfosa menjadi katalog elektronik yang lebih mudah dan cepat dalam pencarian kembali koleksi yang disimpan di perpustakaan. Koleksi perpustakaan juga mulai dialihmediakan ke bentuk elektronik yang lebih tidak memakan tempat dan mudah ditemukan kembali. Ini adalah perkembangan mutakhir dari perpustakaan, yaitu dengan munculnya perpustakaan digital (digital library) yang memiliki keunggulan dalam kecepatan pengaksesan karena berorientasi ke data digital dan media jaringan komputer (internet). Di sisi lain, dari segi manajemen (teknik pengelolaan), dengan semakin kompleksnya koleksi perpustakaan, data peminjam, transaksi dan sirkulasi koleksi perpustakaan, saat ini muncul kebutuhan akan penggunaan teknologi informasi untuk otomatisasi business process di perpustakaan. Sistem yang dikembangkan dengan pemikiran dasar bagaimana kita melakukan otomatisasi terhadap berbagai business process di perpustakaan, kemudian terkenal dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan (library automation system). 20 Dosen Universtias Gajah Putih, Takengon 4936 1.2. Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan sistem otomasi perpustakaan berdasarkan business process di perpustakaan. 1.3. Metode Penulisan Penulisan makalah ini menggunakan metode library research (tinjuauan literatur). 2. Uraian Teoritis 2.1. Penerapan Teknologi di Perpustakaan Penerapan teknologi informasi di perpustakaan dapat difungsikan dalam berbagai bentuk, antara lain : 1. Penerapan teknologi informasi digunakan sebagai Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan. Bidang pekerjaan yang dapat diintegrasikan dengan system informasi perpustakaan adalah pengadaan, inventarisasi, katalogisasi, sirkulasi bahan pustaka, pengelolaan anggota, statistic dan sebagainya. Fungsi ini sering disebut sebagai Autosimasi Perpustakaan. 2. Penerapan teknologi informasi sebagai sarana untuk menyimpan, mendapatkan dan menyebarluaskan informasi ilmu pengetahuan dalam format digital, perpustakaan ini sering disebut perpustakaan digital. Kedua fungsi penerapan diatas dapat terpisah atau terintegrasi dalam suatu sistem informasi tergantung pada kemampuan softwer yang digunakan, sumber daya manusianya dan infrastruktur peralatan teknologi informai yang mendukung keduanya. Dalam hal ini factor penggerak diterapkannya teknologi informasi dalam perpustakaan adalah : 1. Kemudahan mendapatkan produk Teknologi Informasi. 2. Harga terjangkau dalam memperoleh produk Teknologi Informasi. 3. Kemampuan dari tenologi informasi. 4. Tuntutan layanan masyarakat yang serba cepat ( ―klik‖) Hal-hal lain atau alasan yang lain dalam penerapan teknologi dalam manjemen perpustakaan adalah : 1. Mengefisiensikan dan mempermudah pekerjaan dalam perpustakaan. 2. Memberikan layanan yang lebih baik kepada pengguna perpustakaan 3. Meningkatkan citra perpustakaan 4. Pengembangan infrastruktur nasional, regional dan global Peran yang sangat penting didalam manejemen perpustakaan adalah : 1. Peran Katalog Katalog adalah keteranga singkat atau wakil dari suatu dokumen. Catalog perpustakaan elektronik adalah jantung dari sebuah system perpustakaan yang terautomasi. Cakupan dari catalog perpustakaan yang terautomasi yaitu : pengadaan koleksi, katalogisasi, inventarisasi, sirkulasi, pengelolaan penerbitan berkala, penyediaan catalog, dan pengelolaan anggota. 2. Peran CD-ROM Mempercepat akses informasi multi media baik itu berupa abstrak, indeks, bahan full text, dalam bentuk digital tanpa mengadakan hubungan ke jaringan computer.Dan media back-up/ cadangan data perpustakaan dan sarana koleksi referens bagi perpustakaan lain. 3. Peran Internet 4937 Teknologi internet yang merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari membuat pada perilaku masyarakat pencari informasi mengalami banyak perubahan. Sumber daya elektronik yang tersedia di internet menjadi sasaran utama bagi para pencari informasi. Dalm hal ini internet dapat mengakses informasi multimedia dalam resource internet, dan juga sebagai sarana telekomunikasi dan distribusi informasi serta dapat membuat homepage, penyebarluasan catalog dan informasi. 2.2. Peranan Pustakawan Dalam Keperluan Pengguna Bagi perpustakaan yang telah atau ingin mengembangkan perpustakaan elektronik, yang diperlukan adalah mengintegrasikan konsep manajemen pengetahuan dalam pemerolehan, pengorganisasian, pemeliharaan, dan pendistribusiaan pengetahuan termasuk pengetahuan informal, tidak terstruktur, dan eksternal yang menyangkut lembaga induknya. Untuk itu, berbagai perangkat pendukung yang diperlukan harus dipersiapkan termasuk organisasi dan kebijakan yang harus ditetapkan pada tingkat institusi perpustakaan itu sendiri. Dalam hal ini perangkat pendukung yang tepenting adalah seorang pustakawan yang telah siap dan memiliki pengetahuan tentang terbentuknya sebuah perpustakaan yang telah terautomasi dengan baik. Mencermati kondisi pustakawan dalam memberikan layanan perpustakaan dan informasi melalui pengamatan dan berbagai diskusi, ada dua factor sebagai alasan bahwa citra pustakawan belumlah menggembirakan antara lain factor internal dan faktor eksternal. Ditinjau dari factor internal antara lain : 1. Pustakawan masih berkutat pada pelayanan konvensional dengan menggunakan system layanan tradisional. 2. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia/pustakawan, baik dari kualitas teknis maupun kualitas fungsional, dengan rincian sebagai berikut : a. Dari segi kualitas teknis. Banyak dijumpai pustakawan yang belum memilki kemampuan teknis berkomunikasi, manajerial, penguasaan teknologi informasi dan bahasa asing. b. Dari segi kualitas fungsional Dalam hal ini meliputi dimensi kontak dengan pemakai, sikap, perilaku, hubungan internal pustakawan. 3. Terbatasnya sarana penelusuran yang tersedia dalam bentuk abstrak, isi buku, teks penuh (fullet) atau dalam bentuk review. Ditinjau dari faktor ekternal, antara lain : 1. Perpustakaan belum memiliki komitmen dalam mengembangkan pustakawan sehingga pemberdayaan perpustakaan diseluruh Indonesia mengalami kesulitan. 2. Masih rendahnya jiwa kemandirian (entrepreneurship). Dalam lingkungan organisasi perpustakaan manajemen pustakawan dilihat sebagai komunikasi ilniah dan proses penyampaian informasi harus diberi nilai tambah dengan mengorganisasikan pengetahuan yang diciptakan dan dikemas diluar perpustakaan. Perpustakaan harus dijadikan penerbit pengetahuan bagi masyarakat pengguna. Pertama, pustakawan berperan sebagai fasilitator utama dalam berbagai pengetahuan, dengan menciptakan budaya dan memelihara ifrastruktur yang duiperlukan untuk mengoperasikan manajemen pengetahuan. Kedua, pustakawan berperan dalam mengambil manfaat dari konsep manajemen pengetahuan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja peprustakaan. Manajemen pengetahuan dapat dijadikan sebagai pemicu agar pustakawan lebih inovatif dan kreatif dalam menyiasati cakupan elektronik yang harus dicakup dalam konsep perpustakaan elektronik yang telah 4938 dikembangkannya selama ini. Masih banyak muatan pengetahuan eksplisit yang belum tersedia dalam bentuk elektronik yang sesunguhnya dibutuhkan oleh para pengguna perpustakaan. Ketiga, pustakawan juga harus berupaya mengindentifikasi pengetahuan eksplisit dan mengembangkan system yang diperlukan untuk menanganinya dengan mengembangkan pengetahuan tak terstruktur. Keempat, Pustakawan harus segera mengambil prakarsa untuk mengeksplorasi potensi informasi dan pengetahuan yang terdapat dilingkungannnya masing-masing dan mengembangkan system untuk penanganannya, termasuk penyiapan sumber daya manusia, organisasi, infrastruktur teknologi informasi, dan infrastruktur hokum yang diperlukan untuk itu. Jadi pustakawan harus dapat memenuhi beberapa hal dalam memberdayakan pengetahuan antara lain : 1. Pustakawan harus dapat meningkatkan kemampuan dalam teknologi informasi yang memadai. 2. Mengembangkan komunikasi ilmiah bagi sesame pustakawan. 3. Menumbuhkan jiwa kewirausahaan dan core bisnis. 4. Pustakawan diharapkan mampu meningkatkan kompetensi manajerial dan kepemimpinan berbasis informasi. Oleh sebab itu, pustakawan harus dapat melayani keperluan pengguna seperti permintaan akan akses yang lebih cepat ke informasi yang diperlukan dari dalam maupun luar perpustakawan. Dengan begitu diharapkan agar para pustakawan mahir dalam penggunaan teknologi informasi sehingga mereka dapat membantu pengguna perpustakaan dalam menemukan informasi yang diperlukan. Beberapa hal yang perlu diketahui dan dipahami seorang pustakawan dan menjadikan perpustakaan berbentuk autimasi : 1. Faham akan maksud dan ruang lingkup dan unsure dari AP. 2. Faham dan bisa mengapresiasikan pentingnya melaksanakan analisis system yang menyeluruh sebelum merencanakan desain system. 3. Faham akan dan bisa mengapresiasi manfaat analisis system dan desain, implementasi, evaluasi dan maintenance. 4. Faham akan proses evaluasi software sejalan dengan proposal sebelum menentukan sebuah system. 5. Faham akan dan bisa mengapresiasi pentingnya pelatihan untuk staf dan keterlibatan mereka dalam seluruh proses kerja. 2.3. Pengelolaan Dokumen Elektronik Pengelolaan dokumen elektronik memerlukan teknik khusus yang memiliki perbedaan dengan pengelolaan dokumen tercetak. Proses pengelolaan dokumen elektronik melewati beberapa tahapan, yang dapat kita rangkumkan dalam proses digitalisasi, penyimpanan dan pengaksesan/temu kembali dokumen. Pengelolaan dokumen elektronik yang baik dan terstruktur adalah bekal penting dalam pembangunan sistem perpustakaan digital (digital library). 2.3.1. Proses Digitalisasi Dokumen Proses perubahan dari dokumen tercetak (printed document) menjadi dokumen elektronik sering disebut dengan proses digitalisasi dokumen. Dokumen mentah (jurnal, prosiding, buku, majalah, dsb) diproses dengan sebuah alat (scanner) untuk menghasilkan dokumen elektronik. Proses digitalisasi dokumen ini tentu tidak diperlukan lagi apabila dokumen elektronik sudah menjadi standar dalam proses dokumentasi sebuah organisasi. 4939 2.3.2. Proses Penyimpanan Pada tahap ini dilakukan proses penyimpanan dimana termasuk didalamnya adalah pemasukan data (data entry), editing, pembuatan indeks dan klasifikasi berdasarkan subjek dari dokumen. Klasifikasi bisa menggunakan UDC (Universal Decimal Classification) atau DDC (Dewey Decimal Classfication) yang banyak digunakan di perpustakaan-perpustakaan di Indonesia. Ada dua pendekatan dalam proses penyimpanan, yaitu pendekatan basis file (file base approach) dan pendekatan basis data (database approach). Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan (Tabel 1), dan kita dapat memilih pendekatan mana yang akan kita gunakan berdasarkan kebutuhan. Table 1. Perbedaan Antara File Base Approach dan Database Approach File Base Approach Data duplication Data dependence Incompatible file format Simpe Database Approach Data sharing and no dupclication Data independence Compatible file format Complex Inti dari proses ini adalah bagaimana kita dapat melakukan pencarian kembali terhadap dokumen yang telah kita simpan. Metode pengaksesan dan pencarian kembali dokumen akan mengikuti pendekatan proses penyimpanan yang kita pilih. Pendekatan database membuat proses ini lebih fleksibel dan efektif dilakukan, terutama untuk penyimpanan data sekala besar. Disisi lain, kelemahannya adalah relatif lebih rumitnya sistem dan proses yang harus kita lakukan. Dan menariknya, karena sifat pendekatan database yang memiliki kebebasan terhadap data (data independence), dengan data yang sama kita bisa membuat interface ke berbagai aplikasi lain baik yang berbasis standalone maupun web. Gambar 3 menunjukkan bagaimana data yg sama bisa diakses dari aplikasi berbasis web. 3. Pembahasan Sistem otomasi perpustakaan yang kita kembangkan harus berdasarkan kepada proses bisnis (business process) sebenarnya yang ada di perpustakaan kita. Prosentase kegagalan implementasi suatu sistem dikarenakan sistem dikembangkan bukan berdasarkan kebutuhan dan proses bisnis yang ada di organisasi yang akan menggunakan sistem tersebut. Sistem otomasi perpustakaan yang baik adalah yang terintegrasi, mulai dari sistem pengadaan bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, sistem pencarian kembali bahan pustaka, sistem sirkulasi, membership, pengaturan denda keterlambatan pengembalian, dan sistem reporting aktifitas perpustakaan dengan berbagai parameter pilihan. Lebih sempurna lagi apabila sistem otomasi perpustakaan dilengkapi dengan barcoding, dan mekanisme pengaksesan data berbasis web dan internet. Berikut adalah salah satu contoh sistem otomasi perpustakaan dengan fitur-fitur yang mengakomodasi kebutuhan perpustakaan secara lengkap, dari pengadaan, pengolahan, penelusuran, serta manajemen anggota dan sirkulasi. Diharapkan contoh sistem yang ditampilkan dapat dijadikan studi kasus dalam pengembangan sistem otomasi perpustakaan lebih lanjut. 3.1. Otentikasi Sistem 4940 Sistem akan melakukan pengecekan apakah username dan password yang dimasukkan adalah sesuai dengan yang ada di database. Kemudian juga mengatur tampilan berdasarkan previlege pemilik account, apakah dia sebagai pengguna atau admin dari sistem. 3.2. Menu Utama Menampilkan berbagai menu pengadaan, pengolahan, penelusuran, anggota dan sirkulasi, katalog peraturan, administrasi dan security. Menu ini dapat di setting untuk menampilkan menu sesuai dengan hak akses user (previlege), misal kita bisa hanya mengaktifkan menu penelusuran untuk pengguna umum dan sebagainya. 3.3. Administrasi, Security dan Pembatasan Akses Fitur ini mengakomodasi fungsi untuk menangani pembatasan dan wewenang user, mengelompokkan user, dan memberi user id serta password. Juga mengelola dan mengembangkan serta mengatur sendiri akses menu yang diinginkan. 3.4. Pengadaan Bahan Pustaka Fitur ini mengakomodasi fungsi untuk pencatatan permintaan, pemesanan dan pembayaran bahan pustaka, serta penerimaan dan laporan (reporting) proses pengadaan. 3.5. Pengolahan Bahan Pustaka Fitur ini mengakomodasi proses pemasukkan data buku/majalah ke database, penelusuran status buku yang diproses, pemasukkan cover buku/nomer barcode, pencetakan kartu katalog, label barcode, dan nomor punggung buku (call number). 3.6 Penelusuran Bahan Pustaka Penelusuran atau pencarian kembali koleksi yang telah disimpan adalah suatu hal yang penting dalam dunia perpustakaan. Fitur ini harus mengakomidasi penelusuran melalui pengarang, judul, penerbit, subyek, tahun terbit dan sebagainya. 3.7. Manajemen Anggota dan Sirkulasi Ini termasuk jantungnya sistem otomasi perpustakaan, karena sesungguhnya disinilah banyak kegiatan manual yang digantikan oleh komputer dengan jalan mengotomasinya. Didalamnya terdapat berbagai fitur diantaranya: pemasukkan dan pencarian data anggota perpustakaan, pencatatan peminjaman dan pengembalian buku (dengan teknologi barcoding), penghitungan denda keterlambatan pengembalian buku, dan pemesanan peminjaman buku. 3.8. Pelaporan (Reporting) Sistem reporting yang memudahkan pengelola perpustakaan untuk bekerja lebih cepat, dimana laporan dan rekap dapat dibuat secara otomatis, sesuai dengan parameter-parameter yang dapat kita atur. Sangat membantu dalam proses analisa aktifitas perpustakaan, misalnya kita tidak perlu lagi membuka ribuan transaksi secara manual untuk melihat transaksi peminjaman koleksi dalam satu kategori, atau mengecek aktifitas seorang pengguna perpustakaan dalam 1 tahun. 4. Kesimpulan 4941 Pada makalah ini telah diuraikan tentang pemanfaatan teknologi informasi, khususnya dalam pengelolaan data elektronik dan sistem otomasi perpustakaan. Perbedaan mendasar antara digital library dan sistem otomasi perpustakaan adalah berhubungan dengan tujuannya. Digital library lebih berorientasi ke bagaimana kita dapat menshare koleksi-koleksi bahan pustaka yang sudah berbentuk file elektronik. Sedangkan sistem otomasi perpustakaan lebih cenderung ke bagaimana proses bisnis yang ada di perpustakaan dapat diotomasi, sehingga meringankan beban pustakawan atau pengurus perpustakaan. Perpaduan antara dua hal tersebut sangat mungkin dilakukan, dalam pengertian bahwa sistem otomasi perpustakaan disamping berorientasi ke bagaimana manajemen perpustakaan, juga menyimpan koleksi dokumen elektronik yang bisa dishare dengan menggunakan teknologi web dan internet. Daftar Pustaka Sulistiyo-Basuki, 2004. Pengantar Dokumentasi, Rekayasa Sains. Bambang Hariyanto, 2003. Sistem Pengarsipan dan Metode Akses. Informatika, Bandung. Connolly, T.M., and Begg C.E., 2002. Database Systems: A practical Approach to Design, Implementation, and Management (3rd edition). Addison Wesley. G. Edward Evans, 2000. Developing Library and Information Center Collections (Fourth Edition). Libraries Unlimited. Dean Leffingwell and Don Widrig, 2000. Managing Software Requirements – A Unified Approach, Addison Wesley. Romi S. Wahono, 2003. Analyzing Requirements Engineering Problems. IECI Japan Workshop, Japan. Romi Satria Wahono, 1998. Digital Library: Chalenges and Roles Toward 21 st Century. Proceedings of Tekno‘98 Sysmposium, Nagaoka, Japan. 4942 PENGARUH PERETASAN KULIT BIJI DAN KONSENTRASI KNO3 TERHADAP PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN BIJI SIRSAK (Annona muricata L.) Diah Eka Puspita, SP, MSi21 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 terhadap perkecambahan dan pertumbuhan biji sirsak. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Petak Terpisah (RPT), dengan 2 faktor perlakuan. Perlakuan pertama adalah peretasan kulit biji sebagai main plot (induk petak) terdiri dari dua macam yaitu : P0 = Tanpa peretasan kulit dan P1 = Kulit diretas. Perlakuan kedua adalah konsentrasi KNO3 sebagai sub plot (anak petak) yang terdiri dari 4 taraf yaitu: K0 = Perendaman dalam larutan 0 % KNO3 (kontrol), K1 = Perendaman dalam larutan 0.2 % KNO3, K2 = Perendaman dalam larutan 0.4 % KNO3, K3 = Perendaman dalam larutan 0.6 % KNO3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan peretasan kulit biji dapat mempercepat umur berkecambah, meningkatkan indeks kecepatan berkecambah, tinggi plumula dan panjang akar. Konsentrasi KNO3 sebanyak 0.4 % dapat mempercepat umur berkecambah, meningkatkan indeks kecepatan berkecambah, tinggi plumula dan panjang akar kecambah. Interaksi peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 tidak berpengaruh terhadap umur berkecambah, indeks kecepatan berkecambah, tinggi plumula dan panjang akar. Kata kunci : peretasan kulit biji , konsentrasi KNO3, perkecambahan dan pertumbuhan 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sirsak (Annona muricata L.) berasal dari Amerika Tengah dan termasuk ke dalam famili Annonaceae. Sirsak termasuk tanaman tahunan yang dapat tumbuh dan berbuah sepanjang tahun, apabila air tanah mencukupi selama pertumbuhannya. Sirsak tidak hanya dimakan dalam keadaan segar, namun juga dimanfaatkan sebagai bahan industri sirup, dodol, jelly, wajik, juice, kembang gula, dan asinan sirsak, sehingga memiliki nilai tambah walaupun masih terbatas pada skala industri rumah tangga. Selain berkhasiat menurunkan kandungan kolestrol dalam darah, sehingga dapat menyembuhkan penyakit asam urat, rematik, pegal dan sakit pinggang. Oleh karena itu, permintaan terhadap buah sirsak cenderung meningkat setiap tahun (Radi, 1997). 21 Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gunung Leuser, Kutacane 4943 Buah sirsak selain merupakan sumber vitamin dan mineral dengan rasa yang menyegarkan, juga memiliki khasiat sebagai obat anti skorbut (kekurangan vitamin C), anti sembelit, batu empedu dan meningkatkan nafsu makan. Mengkonsumsi satu gelas juice atau perasan air buah sirsak yang dilakukan dua kali dalam satu hari, dapat mengobati penyakit ambeien. Ekstrak daun dan biji sirsak mengandung senyawa tannin yang berpotensi sebagai bahan baku pembuatan obat nyamuk bila diendapkan selama 24 jam (Rukmana, 2001). Buah sirsak mengandung banyak serat dan vitamin. Tiap butir sirsak mengandung komposisi ratarata 67.5 % daging buah yang dapat dimakan, 20 % kulit buah, 8.5 % biji dan 4 % hati atau empulur. Selain mengandung vitamin A, B dan C, kandungan lainnya adalah sukrosa 2.54 %, dekstrosa 5.05 %, dan levulosa 0.04 %. Kandungan gizi (nutrisi) dalam setiap 100 gram buah sirsak segar mengandung:1.0 g protein, 0.30 g lemak, 16.30 g karbohidrat, 14.00 mg kalsium, 27.00 mg fosfor, 0.60 mg zat besi, 81.70 g air, 65.00 kal kalori (Radi, 1996). Di samping itu, tanaman sirsak mempunyai potensi untuk dijadikan bahan insektisida nabati. Biji sirsak mengandung senyawa annonain dan minyak. Senyawa ini merupakan pestisida nabati yang bersifat biodegradable atau mudah terurai di alam. Daun sirsak dapat digunakan sebagai insektisida nabati pengendali serangan ulat, belalang, wereng coklat, walang sangit, dan thrips (Rukmana, 2001). Buah sirsak tidak hanya dapat diambil daging buahnya sebagai bahan dodol dan sari buahnya untuk sirup. Bijinya pun masih berguna sebagai bahan insektisida. Di Indonesia biji sirsak cukup melimpah dan selama ini merupakan limbah industri dodol dan minuman. Berdasarkan survei dari empat daerah, yaitu Singaparna (Tasikmalaya), Garut, Cianjur, dan Cimahi volume limbah biji sirsak mencapai 1,2 ton/bulan. Bila ini dapat termanfaatkan berarti ada nilai tambah dari biji sirsak tersebut (Dodi, 1998). Pada umumnya perbanyakan sirsak dilakukan secara generatif dengan biji, sedangkan perbanyakan vegetatif jarang dilakukan mengingat fungsinya secara ekonomis kurang. Hanya saja perkecambahan biji sirsak membutuhkan waktu lebih dari 4 minggu jika biji ditanam langsung setelah ekstraksi biji dari buahnya. Perkecambahan biji sirsak umumnya lambat dan tidak serempak. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan lapisan kulit biji (seed coat) dan lendir di sekeliling biji yang menghambat perkecambahannya. Dengan demikian biji tersebut membutuhkan suatu perlakuan untuk membantu perkecambahannya. Menurut George and Nissen (1987) dalam Nakasone (1999), tanaman sirsak biasanya diperbanyak dengan biji. Tetapi viabilitasnya biji dapat menurun dengan cepat (dalam waktu 6 bulan), sehingga biji-biji tersebut harus ditanam secepat mungkin setelah dikeluarkan dari buahnya. Biji sirsak berwarna coklat agak kehitaman dan memiliki kulit biji yang keras. Hal ini menghambat perkecambahan sehingga biji sirsak tergolong lambat berkecambah, hal ini diduga karena adanya masa dormansi akibat struktur kulit biji yang keras. Menurut Lakitan (1995), struktur biji yang keras menjadi 4944 penghalang masuknya air dan gas. Oleh karena itu perlu di cari teknik alternatif untuk menekan biji yang keras, supaya lebih mudah dimasuki air dan gas. Upaya pemecahan permasalahan biji sirsak yang lambat berkecambah antara lain dapat dilakukan dengan a). perlakuan secara fisik, contohnya peretasan kulit biji dengan kertas pasir pada bagian mikropil untuk memperlebar/memperbesar pori-pori kulit sehingga lebih mudah dimasuki oleh air atau gas dan cara ini harus dilakukan dengan hati – hati agar tidak merusak embrio biji (Copeland, 1976). Hasil penelitian Soedjono dan Sukandari (1990) memperlihatkan bahwa biji palem raja dan palem kuning yang diretas berkecabambah lebih cepat dibanding biji yang tanpa diretas, b). perlakuan secara kimia, yaitu perendaman dengan bahan kimia seperti KNO3 agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada proses imbibisi dan pada konsentrasi tertentu dapat melunakkan kulit biji (Sutopo, 1988). Kalium nitrat (KNO3) merupakan bahan kimia yang paling banyak digunakan untuk mendorong perkecambahan benih. Larutan KNO3 dengan konsentrasi 0.1- 1.0 % dapat meningkatkan perkecambahan benih. Kebanyakan benih yang sensitif terhadap KNO3 juga sensitif terhadap cahaya. Di samping itu KNO3 dapat ―mengcounter‖ sepenuhnya penghambatan perkecambahan biji rumput-rumputan oleh cahaya (Copeland, 1976). Jika konsentrasi KNO3 tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan daya kecambah. Artinya bila konsentrasi terlalu tinggi dapat mengakibatkan keracunan/ bersifat herbisida pada biji tersebut, dan bila konsentrasi terlalu rendah/sedikit maka biji bisa saja tidak tumbuh dan mengalami masa dormansi yang lama (Abidin, 1982). Berdasarkan latar belakang di atas, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ―Pengaruh Peretasan Kulit Biji dan Konsentrasi KNO3 terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Biji Sirsak (Annona muricata Linn.)‘‘ 1.2. Tujuan Penelitiaan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 terhadap perkecambahan dan pertumbuhan biji sirsak. 1.3. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Petak Terpisah (RPT), dengan 2 faktor perlakuan. Adapun masing masing perlakuan adalah sebagai berikut: - Perlakuan peretasan kulit biji sebagai main plot (induk petak) terdiri dari dua macam yaitu : P0 = Tanpa peretasan kulit dan P1 = Kulit diretas - Perlakuan konsentrasi KNO3 sebagai sub plot (anak petak) yang terdiri dari 4 taraf yaitu: K0 = Perendaman dalam larutan 0 % KNO3 (kontrol), K1 = Perendaman dalam larutan 0.2 % KNO3, K2 = Perendaman dalam larutan 0.4 % KNO3 dan K3 = Perendaman dalam larutan 0.6 % KNO3 Masing-masing biji direndam selama 15 menit. Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 24 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri dari 35 biji yang dikecambahkan sehingga pada setiap ulangan terdapat 280 biji sirsak dengan demikian jumlah biji yang digunakan sebanyak 840 biji. 4945 Untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati pada akhir penelitian dilakukan penyusunan Daftar Sidik Ragam (DSR). Kemudian terhadap perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan taraf 5 % dan 1 % (Bangun, 1980). Parameter yang diamati adalah umur berkecambah, indeks kecepatan berkecambah, tinggi plumula dan panjang akar. 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Tanaman Sirsak Tanaman sirsak sebenarnya berasal dari 8 sentrum tempat asal tanaman. Kedelapan sentrum asal tanaman tersebut adalah dataran Cina dan India termasuk Indomalaya (Asia Tenggara), Asia Tengah, Timur Dekat, Amerika Selatan (Peru, Equador, Bolivia, Chili, Paraguay, dan Brazil), Mediterania, Abisinia, Mexiko Selatan dan Amerika Tengah. Adapun tanaman sirsak berasal dari benua Amerika yang beriklim tropis terutama kawasan Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Tanaman sirsak mulai banyak ditanam di kawasan Asia, pada awal abad XIX, tanaman sirsak mulai dibudidayakan di Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia plasma nutfah tanaman sirsak tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Namun, penanamannya baru terbatas sebagai tanaman tegalan, yang ditanam secara campuran dengan aneka tanaman lainnya (Rukmana, 2001). Pada umumnya perbanyakan sirsak dilakukan secara generatif dengan biji, sedangkan perbanyakan vegetatif jarang dilakukan mengingat fungsinya secara ekonomis kurang. Perkecambahan biji sirsak membutuhkan waktu lebih dari 4 minggu jika ditanam langsung setelah ekstraksi biji dari buahnya. Perkecambahan biji sirsak umumnya lambat dan tidak serempak. Hal ini kemungkinan dengan lapisan kulit biji (seed coat) dan lendir di sekeliling biji yang menghambat perkecambahannya. Dengan demikian biji tersebut membutuhkan suatu perlakuan untuk membantu perkecambahannya (Radi, 1996). Secara morfologis, tanaman sirsak mempunyai tajuk berbentuk setengah lingkaran, dengan sistim percabangan yang mendatar dan rapat. Daun berbentuk bulat memanjang, berukuran besar dan lebar, dengan permukaan bagian atas berwarna hijau mengkilap (nitidus). Bunganya perigynis (dasar bunga berbentuk mangkok, letak daun-daun bunga dan benang sari lebih tinggi daripada letak putik). Adapun buahnya berukuran relatif besar dan berbentuk jantung, bundar, atau lonjong dengan permukaan yang berduri (Rukmana, 2001). 2.2. Metabolisme Perkecambahan Biji Proses awal pekecambahan adalah proses imbibisi yaitu masuknya air ke dalam benih sehingga kadar air di dalam benih itu mencapai persentase tertentu (antara 50 –60 %). Proses perkecambahan dapat terjadi jika kulit benih permeabel terhadap air dan tersedia cukup air dengan tekanan osmosis tertentu (Kuswanto,1996). Metabolisme perkecambahan benih ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan sifat bawaan dari benih seperti sifat ketahanan hidup dan sifat fisik atau sifat kimiawi benih (Sadjad, 1974). Aktifnya proses metabolisme dari respirasi pada perkecambahan tidak hanya berhubungan dengan tersedianya glukosa dalam embrio juga aktivitas enzim yang merupakan katalisator yang sangat penting setelah pengambilan air sel-sel dari embrio menjadi aktif membesar dan mulai memanjang sebelum kulit biji pecah atau 4946 persediaan makanan utamanya dimobilisir. Bahan-bahan makanan tersebut digunakan untuk pertumbuhan jaringan embrio setelah dirombak oleh enzim-enzim (Sadjad, 1974). 2.3. Faktor Penyebab Dormansi Biji Secara umum dormansi diartikan sebagai suatu masa dimana biji tidak berkecambah, meskipun ditempatkan dalam kondisi yang cocok untuk tumbuh (Dartius, 1988). Biasanya fase dormansi diikuti bersamaan dengan sebuah periode kondisi iklim yang tidak menguntungkan dari temperatur rendah, atau temperatur tinggi dan kering (Kuswanto, 1996). Perkecambahan benih dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam terdiri atas tingkat kemasakan benih, ukuran benih dan dormansi sedangkan faktor luar terdiri dari air, temperatur, oksigen, dan cahaya. Dormansi benih yaitu keadaan benih yang tidak aktif dan bersifat sementara artinya benih tidak dapat berkecambah walaupun berada dalam keadaan lingkungan yang sesuai untuk perkecambahan benih. Dormansi benih dapat berlangsung beberapa hari bahkan sampai beberapa tahun tergantung jenis tanaman dan tipe dormansi. Berdasarkan penyebabnya dormansi dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu dormansi fisik dan dormansi fisiologi (Sutopo, 1988). Jenis dormansi yang terjadi pada benih sirsak diduga merupakan dormansi fisik yakni kulitnya yang keras, sehingga sulit untuk ditembus air. Dormansi fisik menyebabkan pembatasan struktural perkecambahan seperti kulitnya yang keras menjadi penghalang masuknya air atau gas ke dalam benih sirsak. Di samping itu juga dapat terjadi dormansi fisiologis, dimana mekanisme kerja enzim perangsang pertumbuhan dapat terganggu dan juga faktor dalam seperti tidak masaknya embrio (Barasa, 1997). Impermeabilitas (kulit biji yang keras) disebabkan oleh pengendapan bermacam-macam substansi yang sifatnya kedap baik pada testa atau membran nucelar antara lain seperti: suberin, lignin, atau kutin (Copeland, 1976) Upaya pemecahan dormansi dapat dilakukan secara skarifikasi fisik dan kimia. Contoh skarifikasi fisik yaitu dengan cara peretasan kulit biji dan skarifikasi secara kimia dengan menggunakan KNO3. 2.4. Pengaruh Peretasan Kulit Biji Dipandang dari segi ekonomis terdapatnya keadaan dormansi pada benih dianggap tidak menguntungkan. Oleh karena itu diperlukan cara-cara agar dormansi dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya lama dormansinya dapat dipersingkat dengan cara perlakuan fisik yaitu dengan peretasan kulit benih. Perlakuan fisik umumnya dipergunakan untuk memecahkan dormansi benih yang disebabkan oleh impermeabilitas kulit benih baik terhadap air atau gas yang diakibatkan oleh resistensi mekanis yang terdapat pada kulit biji (Sutopo, 1988). Menurut Copeland (1976) peretasan harus dilakukan dengan hati – hati karena jika tidak akan merusak embrio biji . Hasil penelitian Soejono dan Suskandari (1990) terhadap biji palem raja dan pelem kuning menunjukkan bahwa waktu berkecambah biji yang diretas nyata lebih cepat dibanding biji yang tanpa diretas. Kulit biji yang keras menyebabkan terhambatnya pengambilan air oleh biji dimana pada proses perkecambahan hidrasi oleh air sangat penting. Peretasan kulit biji yang keras secara alami dapat terjadi dan memakan waktu yang lama melalui proses pembasahan, pengeringan, pembakaran hutan, kemasaman tanah, dan oleh serangan mikroorganisme. Akibatnya proses perkecambahan jadi lambat dan pertumbuhannya tidak serempak (Copeland, 1976). 4947 2.5. Pengaruh KNO3 terhadap Perkecambahan Biji Salah satu bahan kimia yang sering digunakan untuk memecahkan dormansi biji adalah kalium nitrat (KNO3). Kalium nitrat dapat melunakkan kulit benih sehingga memudahkan embrio benih menyerap air dan oksigen untuk keperluan perkecambahan (Harinoto, 1989 dalam Gurning, 1992). Kulit biji yang lunak akan mudah ditembus plumula dan radikula. Disamping melunakkan kulit benih KNO3 dapat digunakan untuk menggantikan fungsi cahaya dan suhu. Kalium nitrat juga mempercepat masuknya oksigen ke dalam biji (Prawitasari, 1999). Berbagai senyawa kimia termasuk kalium nitrat dapat secara lengkap atau sebagian memecahkan masa dormansi benih, hal ini tergantung pada sifat kimia dan konsentrasi senyawa kimia tersebut (Dwjiwoseputro, 1981). Perlakuan secara kimia sebelum benih ditanam dapat mengatasi perkecambahan benih yang tertunda karena dormansi. Pada konsentrasi 0,1- 0,2 % KNO3 dapat menaikkan perkecambahan benih kopi dan beberapa tamaman lainnya, akan tetapi perkecambahan akan dihambat oleh konsentrasi garam yang tinggi (Setiadi, 1979). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Umur Berkecambah Pengaruh perlakuan peretasan kulit dan konsentrasi KNO3 terhadap umur berkecambah biji sirsak disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Pengaruh Peretasan Kulit dan Konsentrasi KNO3 terhadap Umur Berkecambah Biji Sirsak (hari) Peretasan Kulit P0 P1 Rataan K0 29.35 27.47 28.41 Konsentrasi KNO3 K1 K2 K3 28.70 29.75 29.42 28.39 28.54 28.06 28.55 29.15 28.74 Rataan 29.31 28.11 Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa, tidak ada perbedaan umur berkecambah antara perlakuan biji tanpa peretasan dengan biji yang diretas. Demikian juga halnya tidak ada perbedaan umur berkecambah antara biji yang direndam dalam berbagai konsentrasi KNO3. Tidak adanya perbedaan umur berkecambah biji pada tanpa peretasan biji dengan biji yang diretas dan yang direndam dalam berbagai konsentrasi KNO3 diduga bahwa biji yang tidak diretas dan tanpa perlakuan perendaman dalam KNO3 memiliki umur yang relatif sama dengan yang diberi perlakuan peretasan dan konsentrasi KNO3. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya senyawa penghambat perkecambahan pada biji sirsak. Senyawa penghambat perkecambahan antara lain seperti senyawa fenolik yang larut dalam air atau senyawa-senyawa lainnya yakni senyawa volatil (yang mudah menguap) sehingga dapat hilang, dengan demikian penghambatan terhadap biji menurun (Sondheimer Tzou dan Culson, 1968 dalam Wilkins, 1984). Dengan demikian perkecambahan biji pada kontrol dapat mengimbangi biji –biji yang diperlakukan baik dengan peretasan maupun pemberian KNO3. 2.2. Indeks Kecepatan Berkecambah Pengaruh perlakuan peretasan kulit dan konsentrasi KNO3 terhadap indeks kecepatan berkecambah biji sirsak disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Peretasan Kulit dan Konsentrasi KNO3 terhadap Indeks Kecepatan Berkecambah Biji Sirsak 4948 Peretasan Kulit P0 P1 Rataan Konsentrasi KNO3 K0 K1 K2 K3 3.28 3.35 3.33 3.24 3.47 3.42 3.47 3.43 3.37 3.39 3.40 3.34 Rataan 3.30 3.45 Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa perlakuan peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 berpengaruh tidak nyata terhadap indeks kecepatan berkecambah biji sirsak. Indeks berkecambah biji dipengaruhi oleh banyaknya jumlah biji yang berkecambah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji sirsak yang berkecambah pada pertengahan dan akhir perkecambahan relatif sama pada perlakuan tanpa peretasan kulit dan peretasan kulit. Hal ini disebabkan karena pada lapisan pelindung biji sirsak kemungkinan mengandung senyawa-senyawa penghambat perkecambahan antara lain seperti senyawa fenolik yang larut dalam air, atau senyawa-senyawa lainnya seperti senyawa volatile sehingga dapat hilang sebagai uap. Dengan hilangnya senyawa volatile, penghambatan terhadap perkecambahan biji menurun (Sondheimer,tzou dan Culson, 1968) dalam Wilkins, 1984). 2.3. Tinggi Plumula Pengaruh perlakuan peretasan kulit dan konsentrasi KNO3 terhadap tinggi plumula kecambah biji sirsak disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh Peretasan Kulit dan Konsentrasi KNO3 terhadap Tinggi Plumula Kecambah Biji Sirsak Peretasan Kulit P0 P1 Rataan K0 14.97 14.83 14.90 Konsentrasi KNO3 Rataan K1 K2 K3 14.80 14.16 14.60 14.63 15.33 14.83 14.69 14.92 15.07 14.49 14.64 Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi plumula kecambah biji sirsak. Pada biji yang kulitnya keras dormansi dapat berlangsung selama beberapa hari, musim bahkan bertahun-tahun tergantung jenis tanaman dan tipe dormansinya. Dengan perlakuan peretasan kulit dan perendaman dalam larutan KNO3 belum dapat meningkatkan pertumbuhan plumula. Hal ini diduga bahwa biji yang tanpa dilakukan perlakuan peretasan dan tanpa perendaman dalam larutan KNO3 dapat megejar biji–biji yang diberi perlakuan peretasan dan perendaman dalam larutan KNO3. Hal ini kemungkinan disebabkan senyawa penghambat perkecambahan pada biji-biji yang tanpa perendaman dalam KNO3 tersebut hilang seiring dengan berjalanya waktu dalam hal ini pada lapisan pelindung biji sirsak mengandung senyawa penghambat perkecambahan antara lain seperti senyawa fenolik yang larut dalam air atau senyawa-senyawa lainnya yakni senyawa volatil, sehingga dapat hilang sebagai uap. Dengan demikian penghambatan terhadap perkecambahan biji menurun (Sondheimer Tzou dan Culson, 1968 dalam Wilkins, 1984). 2.4. Panjang Akar Pengaruh perlakuan peretasan kulit dan konsentrasi KNO3 terhadap panjang akar kecambah biji sirsak disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh Peretasan Kulit dan Konsentrasi KNO3 terhadap Panjang Akar Kecambah Biji Sirsak Peretasan Konsentrasi KNO3 Rataan 4949 Kulit P0 P1 Rataan K0 12.40 11.88 12.14 K1 12.91 13.41 13.16 K2 12.31 10.94 11.63 K3 11.98 11.50 11.74 12.40 11.93 Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa perlakuan peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 berpengaruh tidak nyata terhadap panjang akar kecambah biji sirsak. Hal ini disebabkan perlakuan peretasan dan perendaman dalam KNO3 belum efektif menghilangkan dormansi. Hal ini diduga biji yang tanpa dilakukan perlakuan peretasan dan tanpa perlakuan konsentrasi KNO3 (kontrol) dapat megejar biji–biji yang diberi perlakuan peretasan dan konsentrasi KNO3. Hal ini kemungkinan disebabkan senyawa penghambat perkecambahan pada biji-biji yang tanpa perlakuan (K0) tersebut hilang seiring dengan berjalanya waktu dalam hal ini pada lapisan pelindung biji sirsak kemungkinan mengandung senyawa penghambat perkecambahan antara lain seperti senyawa fenolik yang larut dalam air atau senyawa-senyawa lainnya yakni senyawa volatil sehingga dapat hilang sebagai uap dengan demikian penghambatan terhadap biji menurun. Menurut Sondheimer Tzou dan Culson (1968) dalam Wilkins (1984) bahwa perkecambahan biji pada perlakuan tanpa perendaman dalam larutan KNO3 kontrol dapat mengimbangi biji-biji yang diperlakukan baik dengan peretasan maupun pemberian KNO3. Hilangnya senyawasenyawa penghambat perkecambahan dapat disebabkan karena pencucian maupun akibat penyiraman. 3. Kesimpulan dan Saran 3.1. Kesimpulan 1. Perlakuan peretasan kulit biji dapat mempercepat umur berkecambah, meningkatkan indeks kecepatan berkecambah, tinggi plumula dan panjang akar. 2. Konsentrasi KNO3 sebanyak 0.4 % dapat mempercepat umur berkecambah, meningkatkan indeks kecepatan berkecambah, tinggi plumula dan panjang akar kecambah. 3. Interaksi peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 tidak berpengaruh terhadap umur berkecambah, indeks kecepatan berkecambah, tinggi plumula dan panjang akar. 3.2. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan bahan kimia yang lain. Daftar Pustaka Abidin, Z. 1982. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa, Jakarta. Bangun, M. K. 1980. Perancangan Percobaan Untuk Analisa Data. Bagian Biometri. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan Barasa, M. 1997. Teknologi Benih. Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Katolik St. Thomas Sumatra Utara. Medan. Copeland, L.O. 1976. Principles of Minneapolis. Seed Science and Technology. Burgest Publishing Company. Dartius, 1988. Fisiologi Tumbuhan II. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. Dodi S. I. 1999. Agrobisnis : Berburu Komoditi Ekspor. Trubus. Edisi Desember Tahun XXX. Dwijosaputra, 1981. Teknologi Benih. Rineka Cipta. Jakarta. 4950 Gardner F. P., R. B. Pearce, and R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan. U. I. Press. Jakarta. Harjadi, M. M. S. S. 1991. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia. Jakarta. Kamil, J., 1957. Teknologi Benih I. Angkasa Raya. Padang. Kuswanto, H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi Produksi dan Sertifikasi Benih. Andi Offset. Yogyakarta Lakitan, B. 1995. Fisiologi Tumbuhan dan Perkecambahan Tanaman. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Nakasone, H.Y., 1999. Tropical Fruit. CAB International. Prawitasari, T., 1997. Teknologi Benih. Fakultas Pertanian, Universitas Katolik St. Thomas Sumatera Utara. Medan. Radi, J., 1997. Sirsak. Budidaya dan Pemanfaatannya. Kanisius. Jakarta. Rukmana, R. H., 2001. Usaha Tani Sirsak. Kanisius. Jakarta. Sadjad, S., 1974. Dari Benih Kepada Benih. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta Setiadi, 1979. Dormansi Benih: Penataran Ilmu-ilmu Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soedjono, S. dan K. Sukandari, 1996. Peranan Asam Giberelin dan Peretasan Kulit Biji Terhadap Perkecambahan Biji Palem Raja dan Palem Kuning. Soetarno, 1998. Zuurzak, Si Kantung Asam. Trubus. Edisi ke-345 Tahun XXIX. Sutopo, 1988. Teknologi Benih. CV. Rajawali, Jakarta. Yusuf, D., 1990. Pengaruh Lama Perendaman dan Konsentrasi KNO3 terhadap Perkecambahan Benih Pinang. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. Wilkins, 1984. Plant Physiology. Pitman Publishing Limited. London. 4951 PENGARUH KOMPENSASI DAN LOYALITAS KARYAWAN TERHADAP PENGUNDURAN DIRI (INTENSI TURNOVER) KARYAWAN PADA PT. POS INDONESIA CABANG KISARAN Wan Mariatul Kifti, SE, MM22 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompensasi dan loyalitas karyawan terhadap penarikan diri karyawan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisa regresi dan probability sampling terhadap 80 orang karyawan PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran. Metode pengumpulan data dengan memberikan kuisioner terhadap 80 subyek penelitian dengan menggunakan instrumen yang sebelumnya di uji cobakan terlebih dahulu kepada subyek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang negatif yang menunjukkan adanya korelasi yang berlawanan antara kompensasi terhadap intensi turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori kuat (di ketahui dengan menggunakan tabel interpretasi nilar r dan r = -0,568 ) artinya semakin tinggi kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan, maka akan semakin rendah intensi turnover karyawan PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran. Terdapat pengaruh yang negatif yang menunjukkan adanya korelasi yang berlawanan antara loyalitas terhadap intensi turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori lemah (di ketahui dengan menggunakan tabel interpretasi nilar r dan r = -0,345 ) artinya, semakin tinggi loyalitas yang dimiliki karyawan, maka akan semakin rendah intensi turnover. Kategori pengaruh kedua variabel tersebut adalah lemah. Terdapat pengaruh yang negatif antara kompensasi dan loyalitas secara bersama-sama terhadap intensi turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori cukup kuat. Ini menunjukkan korelasi antara kompensasi, loyalitas dan intensi turnover yang berlawanan artinya semakin tinggi kompensasi dan loyalitas maka akan semakin rendah intensi turnover. Kata kunci : kompensasi, loyalitas dan intensi turnover 1. Pendahuluan 22 Dosen Tetap AMIK Royal, Kisaran 4952 1.1. Latar Belakang Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya adalah tenaga kerja karena memiliki potensi dan kemampuan untuk bertindak ke arah tujuan organisasi. Oleh sebab itu, sumber daya manusia harus mampu melaksanakan tugas dengan baik serta bertanggung jawab dalam mencapai tujuan organisasi. Pimpinan suatu organisasi dituntut untuk mengkoordinir dan mengendalikan sumber daya manusia yang ikut terlibat dalam kegiatan operasionalnya. Aset organisasi yang paling penting milik perusahaan adalah sumber daya manusia karena mampu mempengaruhi efisiensi dan efektivitas organisasi serta merupakan elemen penting dalam menjalankan organisasi. Oleh sebab itu perlu adanya suatu sistem yang dapat mengatur sumber daya manusia tersebut serta menentukan karyawan-karyawan mana yang diharapkan melaksanakan fungsi dan tugas-tugas tertentu yang harus dituntaskan. Sistem itu disebut dengan deskripsi pekerjaan atau job discription yang disusun secara terinci, akurat dan ringkas. Namun salah satu yang menjadi permasalahan disini adalah, bagaimana terus memotivasi karyawan untuk terus bekerja sesuai dengan deskripsi pekerjaan yang diberikan, untuk menjawab pertanyaan ini, salah satu cara yang dilakukan oleh perusahaan melalui pemberian kompensasi. Kompensasi dapat diberikan dalam berbagai macam bentuk baik itu finansial maupun non finansial. Kompensasi yang diberikan kepada karyawan yang ada di instansi yang satu berbeda dengan pegawai yang ada di instansi yang lain, begitu pula kompensasi yang diberikan kepada pegawai produksi dan kompensasi yang diberikan kepada pegawai profesional mempunyai nilai yang berbeda. Kompensasi bagi pegawai produksi biasanya diberikan berdasarkan pada beberapa program antara lain, pertama, program kerja borongan dimana perolehan dikaitkan secara langsung dengan jumlah yang dihasilkan karyawan dengan membayar orang yang bersangkutan suatu upah per potong bagi tiap unit yang dihasilkan. Kedua, program jam standar, dimana karyawan diberi imbalan berdasarkan presentasi premi yang sama dengan presentasi basil yang dicapai di atas standar. Ketiga, progam insentif kelompok, dimana perusahaan akan menyusun standar kerja bagi tiap anggota kelompok dan menggunakan suatu cara perhitungan keluaran yang dihasilkan oleh tiap anggota. Keputusan pemberian kompensasi berkenaan dengan para pegawai profesional merupakan masalah yang unik. Salah satu diantaranya adalah bahwa bagi profesional umumnya soal uang barangkali kurang penting dibandingkan bagi kelompok pegawai lain. Hal ini karena jenis pekerjaan yang dijalankan merupakan pekerjaan investigatif yang memerlukan kadar kreativitas dan pemecahan masalah yang sangat tinggi sehingga tidak mudah membandingkan dan mengukur faktor-faktor yang dapat dikompensasikan. Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat dikompensasikan di sini cenderung berfokus pada pemecahan masalah, kreativitas, ruang lingkup pekerjaan serta pengetahuan teknis dan keahlian. Perusahaan dengan manajemen yang baik seharusnya menyadari bahwa hakikat karyawan sebagai manusia yang memiliki kebutuhan yang ingin dipenuhi. Dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, sampai kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya seperti kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Hal tersebut tidak dapat dihindarkan. Mau tidak mau perusahaan harus bisa memberikan kesempatan bagi karyawannya untuk memenuhi segala kebutuhannya. 4953 Begitu pula yang terjadi dalam penilaian terhadap penarikan diri karyawan karyawan. Penilaian terhadap penarikan diri karyawan karyawan dilakukan berdasarkan kinerja dari karyawan tersebut, jumlah jam kerja, disiplin selama bekerja, dan kecepatan menyelesaikan suatu pekerjaan. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompensasi dan loyalitas karyawan terhadap penarikan diri karyawan. 1.3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisa regresi dan probability sampling terhadap 80 orang karyawan PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran. Metode pengumpulan data dengan memberikan kuisioner terhadap 80 subyek penelitian dengan menggunakan instrumen yang sebelumnya di uji cobakan terlebih dahulu kepada subyek penelitian. 2. Uraian Teoritis Fishbein dan Ajzen dalam (Ferry, 2007) mengajukan teori pembentukan tingkah laku berdasarkan hubungan timbal balik antara keyakinan (belief), sikap (attitude), dan intensi (intention) individu. Keyakinan dikategorikan sebagai aspek kognitif yang melibatkan pengetahuan, pendapat dan pandangan individu terhadap obyek. Sikap dikategorikan sebagai aspek afektif yang mengarah pada perasaan individu terhadap obyek serta evaluasi yang dilakukannya. Intensi dikategorikan sebagai aspek konatif yang menunjukan intensi individu dalam bertingkah laku (behavioral intention) dan bertindak ketika berhadapan langsung dengan obyek. Caplin dalam (Suharsono, 2010) intention adalah suatu maksud atau pamrih tujuan dengan ciri-ciri yang dapat dibedakan dari proses-proses psikologis yang mencakup referensi atau kaitannya dengan suatu objek. Morhead dan Griffin dalam (Ferry, 2007) mendefinisikan turnover sebagai penghentian secara permanen seseorang dari pekerjaannya di suatu organisasi kerja. Sedangkan menurut Glueck, Sherman dan Bohlander, dalam Triana (2003) turnover adalah pergerakan pekerja masuk dan keluar pada suatu organisasi kerja. Menurut Mobley, dkk., (Ferry, 2007) turnover sebagai salah satu bentuk penarikan diri karyawan merupakan hak individu dalam menentukan pilihannya. Mobley dalam (Daromes, 2006) sebelum terjadinya turnover, perilaku yang mendahuluinya adalah adanya niatan atau intensi turnover yang merupakan prediktor terbaik dari turnover. Jadi intensi turnover adalah adanya niatan atau keinginan individu yang secara sadar dan penuh pertimbangan untuk mencari alternatif pekerjaan dan meninggalkan perusahaan tempat ia bekerja sekarang ke perusahaan lain. Faktor-faktor penyebab intensi turnover adalah usia, lama bekerja, tingkat pendidikan, lama bekerja, kepuasan karyawan, keikatan dengan perusahaan, budaya perusahaan. Beberapa aspek-aspek dari intensi turnover yang dijelaskan oleh Mobley (Ajagbe, dkk., 2012) yaitu :1. Thingking of quiting, mempertimbangkan untuk meninggalkan organisasi 2. Intention to search, keinginan untuk mencari kerja di luar organisasi dan 3. Intention to quit, keputusan untuk meninggalkan organisasi. Dewi (2012) mendefinisikan kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa yang diberikan oleh organisasi atas pekerjaan yang dilakukan. Menurutnya sistem kompensasi harus dikelola 4954 secara serius dan tepat oleh perusahaan karena jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan pay dissatisfaction yaitu perasaan ketidakpuasan karyawan atas balas jasa yang diterimanya yang berdampak pada turnover. Kompensasi mempunyai pengaruh yang besar dalam penarikan karyawan, motivasi, produktivitas, dan tingkat perputaran karyawan (Lieke, 2008). Mondy (2008), memetakan bentuk kompensasi dalam dua kelompok besar yaitu kompensasi keuangan dan kompensasi non keuangan. Kompensasi keuangan berupa kompensasi langsung yang bersifat finansial sedangkan kompensasi non keuangan berupa kepuasan yang diperoleh seseorang dari pekerjaan itu sendiri, atau dari lingkungan psikologis, dan atau fisik dimana orang itu bekerja. Dessler (2012) membagi bentuk-bentuk kompensasi, diantaranya kompensasi Finansial yaitu bentuk kompensasi yang dibayarkan kepada karyawan dalam bentuk uang atas jasa yang mereka sumbangkan pada pekerjaannya, dan kompensasi non finansial yaitu imbalan yang diberikan kepada karyawan bukan dalam bentuk uang, tetapi lebih mengarah pada penghargaan seperti pekerjaan yang lebih menantang, jam kerja yang lebih luas, imbalan karir, jaminan sosial, atau bentuk-bentuk lain yang dapat menimbulkan kepuasan kerja. Aspek-aspek kompensasi non finansial diantaranya pekerjaan dan lingkungan pekerjaan. Hasibuan (2013), mengemukakan bahwa loyalitas atau kesetiaan merupakan salah satu unsur yang digunakan dalam penilaian karyawan yang mencakup kesetiaan terhadap pekerjaannya, jabatan dan organisasi. Kesetiaan ini dicerminkan dengan kesediaan karyawan menjaga dan membela organisasi didalam maupun diluar pekerjaan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Steers & Porter (Mardalis, 2012) berpendapat bahwa pertama, loyalitas kepada perusahaan sebagai sikap, yaitu sejauh mana seseorang karyawan mengidentifikasikan tempat kerjanya yang ditunjukkan dengan keinginan untuk bekerja dan berusaha sebaik-baiknya dan kedua, loyalitas terhadap perusahaan sebagai perilaku, yaitu proses dimana seorang karyawan mengambil keputusan pasti untuk tidak keluar dari perusahaan apabila tidak membuat kesalahan yang ekstrim. Faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas tersebut meliputi adanya fasilitas-fasilitas kerja, tunjangan kesejahteraan, suasana kerja, upah yang diterima, karakteristik pribadi individu atau karyawan, karakteristik pekerjaan, karakteristik desain perusahaan dan pengalaman yang diperoleh selama karyawan menekuni pekerjaan itu. Aspek-aspek loyalitas karyawan . Steers & Potter (Soegandhi, dkk., 2013) antara lain: 1). Dorongan yang kuat untuk tetap menjadi anggota perusahaan. Kekuatan aspek ini sangat dipengaruhi oleh keadaan individu, baik tujuan kebutuhan, maupun kecocokan individu dalam melaksanakan pekerjaan di perusahaan. Keinginan untuk berusaha semaksimal mungkin bagi perusahaan. 2). Kesamaan persepsi antara karyawan dan perusahaan yang di dukung oleh kesamaan tujuan dalam perusahaan mewujudkan keinginan yang kuat untuk berusaha maksimal. 3). Kepercayaan yang pasti dan penerimaan yang penuh atas nilai-nilai perusahaan. Kepastian kepercayaan yang diberikan karyawan tercipta kepercayaan perusahaan terhadap karyawan itu sendiri untuk melaksanakan pekerjaannya. Aspek-aspek loyalitas tersebut mempengaruhi pembentukan loyalitas karyawan, dengan memiliki loyalitas yang tinggi karyawan akan melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan sesuai dengan apa yang menjadi harapan perusahaan. 4955 3. Pembahasan Dalam penelitian ini variable intensi turnover dengan data statistik deskriptif dengan mean 70.75, median 72.00 dan Std. Deviation 5.464 termasuk dalam kategori tinggi dalam skala lima dengan persentase 51.25 % dengan jumlah frekuensi 41 dari total 80 subyek penelitian artinya kecenderungan atau niatan untuk keluar dari perusahaan atau organisasi tinggi. Ada banyak faktor yang memperngaruhi intensi turnover seseorang. Faktor-faktor tersebut cukup kompleks dan saling berkait antara satu sama lainnya antara lain : usia, lama kerja, tingkat pendidikan, keikatan terhadap organisasi, kepuasan kerja, dan budaya perusahaan. Selain faktor-faktor tersebut kompensasi juga memberikan pengaruh terhadap intensi turnover. Sistem kompensasi yang ada harus dikelola secara serius dan tepat oleh perusahaan, karena jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan pay dissatisfaction yaitu perasaan ketidakpuasan karyawan atas balas jasa yang diterimanya sehingga akan berdampak pada turnover. Sejalan dengan penelitian ini variable kompensasi dengan data statistik deskriptif dengan mean 105.12, median 107.00 dan Std. Deviation 8.516 termasuk dalam kategori tinggi dalam skala lima dengan persentase 43.75 % dengan jumlah frekuensi 35 dari total 80 subyek penelitian. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kompensasi terhadap intensi turnover karyawan di perusahaan PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dilakukan Uji Hipotesis 1 dengan nilai r = -0,682 yang artinya kompensasi dan intensi turnover mempunyai pengaruh yang negatif dengan kategori kuat. Artinya semakin tinggi kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan, maka akan semakin rendah intensi turnover karyawan PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran. loyalitas tersebut dari penelitian ini ditemukan loyalitas memberikan pengaruh terhadap intensi turnover variable loyalitas karyawan dengan data statistik deskriptif dengan mean 97.36, median 100.00 dan Std. Deviation 6.009 termasuk dalam kategori tinggi dalam skala lima dengan persentase 51.25% dengan jumlah frekuensi 41 dari total 80 subyek penelitian. Dari hasil uji hipotesis 2 yang peneliti lakukan diperoleh nilai r = -0,345 ini menunjukkan loyalitas mempunyai pengaruh yang negatif terhadap intensi turnover dengan kategori tingkat lemah. Artinya, semakin tinggi loyalitas yang dimiliki karyawan, maka akan semakin rendah intensi turnover. Selanjutnya, untuk menguji hipotesis pengaruh antara kompensasi dan loyalitas secara bersama-sama terhadap intensi turnover maka peneliti melakukan Uji Hipotesis 3 dengan menggunakan teknik analisa regresi ganda. Hasil pengujian menunjukkan nilai r = -0,463 atau 46.3% . Pada anova nilai F = 1,234 dengan p = 0.048 karena p < 0.05 artinya kompensasi dan loyalitas secara bersama-sama memberikan pengaruh negatif yang kuat, dengan demikian terdapat pengaruh yang negatif antara kompensasi dan loyalitas secara bersama-sama terhadap intensi turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori tingkat cukup kuat. Artinya semakin tinggi kompensasi dan loyalitas maka akan semakin rendah intensi turnover. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1. Kesimpulan Terdapat pengaruh yang negatif yang menunjukkan adanya korelasi yang berlawanan antara kompensasi terhadap intensi turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori kuat (di ketahui dengan menggunakan tabel interpretasi nilar r dan r = -0,568 ) artinya semakin tinggi kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan, maka akan semakin rendah intensi turnover karyawan PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran. Terdapat pengaruh yang negatif yang menunjukkan adanya korelasi yang berlawanan antara loyalitas 4956 terhadap intensi turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori lemah (di ketahui dengan menggunakan tabel interpretasi nilar r dan r = -0,345 ) artinya, semakin tinggi loyalitas yang dimiliki karyawan, maka akan semakin rendah intensi turnover. Kategori pengaruh kedua variabel tersebut adalah lemah. Terdapat pengaruh yang negatif antara kompensasi dan loyalitas secara bersama-sama terhadap intensi turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori cukup kuat (di ketahui dengan menggunakan tabel interpretasi nilar r dan r = -0,463 ). Ini menunjukkan korelasi antara kompensasi, loyalitas dan intensi turnover yang berlawanan artinya semakin tinggi kompensasi dan loyalitas maka akan semakin rendah intensi turnover. 4.2. Saran 1. Bagi pihak perusahaan Selain memperhatikan kompensasi financial, kompensasi non finansial juga merupakan faktor penting dalam bekerja. Suasana kerja seperti hubungan antara sesama karyawan, hubungan antara pimpinan dan karyawan yang baik akan menciptakan keharmonisan dan rasa kekeluargaan. Lingkungan kerja seperti kebersihan dan kerapihan, tingkat kebisingan juga mempengaruhi. Begitu pula dengan kebijakan perusahaan, jika perusahanan sangat peduli dengan karyawan maka akan berakibat mengurangi intensi turnover. 2. Kepada Karyawan Mengukur tingkat kepuasan dalam bekerja tidak hanya selalu dengan kompensasi secara finansial, tetapi dengan menciptakan lingkungan dan suasana kerja yang nyamanpun akan memberikan kepuasan dalam bekerja. suasana yang ramah, dan saling menghargai satu sama lain, menjaga kebersihan dan kerapihan lingkungan kerja pun bisa membuat nyaman dalam bekerja. Banyak hal yang bisa diganti dengan materi atau secara financial namun suasana kekeluargaan tidak dapat digantikan, dan hal ini akan menumbuhkan loyalitas karyawan dalam perusahaan. Selain itu perlu ditumbuhkan pola berfikir yang positif dari karyawan terhadap perusahaan tentang program–program yang telah dilakukan agar apa yang telah menjadi tujuan dari organisasi bisa dicapai. 3. Kepada peneliti selanjutnya Berdasarkan hasil analisis untuk kompensasi dan loyalitas terhadap intensi turnover, pengaruh kompensasi dan loyalitas memiliki nilai sebesar 46.3%, artinya 53.7% masih terdapat variabel lain yang mempengaruhi variable intensi turnover yang dapat digunakan pada penelitian selanjutnya. Daftar Pustaka Ajagbe, Long, Sulaeman, dan Nor Khalil. 2012. Journal The Approaches to Increase Employee’s Loyalty : A Review on Employees’ Turnover Models. Bangun, Wilson. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Erlangga, Jakarta. Coulter, Mary & Robbins P. Stephen. 2010. Mengelola Sumber Daya Manusia, edisi kesepuluh jilid 1. Erlangga, Jakarta. Dessler, Gary. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia . Indeks, Jakarta. Dessler, Gary. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia Human Resource Management 7e) edisi Indonesia. Prenhallindo, Jakarta. 4957 Flippo, B. Edwin. 2010. Manajemen Personalia. Erlangga, Jakarta. Frederick, Antony. 2004. The Antecedents of The Employee Loyalty-Custom Loyalty Relationship. School of Advertising, Marketing and Public Relations Fachnologyculty of Business Queensland University of Technology Hadi, Sutrisno. 2004. Analisis Butir untuk Instrumen. Andi, Yogyakarta. Handoko, Tani. 2013. Manajemen Personalia & Sumber Daya Manusia. BPFE, Yogyakarta. Hanggraeni, Dewi. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Universitas Indonesia, Jakarta. Hasibuan, P.S. Malayu. 2013. Manajemen Sumer Daya Manusia.PT. Bumi Aksara, Jakarta . Matteson T Michael, Konopaske R, Ivancevich. 2010. Perilaku dan Manajemen Organisasi, edisi ketujuh jilid 1. Salemba Empat, Jakarta. Mondy, Wayne R. 2008. SDM Manajemen Sumber Daya Manusia edisi kesepuluh. Erlangga, Jakarta . Triharsono, Agung. 2012. Talent Management Gramedia, Jakarta . Widiastuti, Hardani. 2012. Membangun Semarang. Mempertahankan Karyawan Tanpa Menaikkan Gaji. PT. Loyalitas Sumber Daya Manusia. Semarang University Press, Wursanto. 2005. Dasar–Dasar Ilmu Organisasi. Andi, Yogyakarta. PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR DALAM PROSES PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA TINGKAT SEKOLAH DASAR Tinur Rahmawati Harahap, M.Pd.23 ABSTRAK Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan meida gambar dalam proses pembelajaran bahasa Indonesai pada tingkat Sekolah Dasar. Metode penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan literatur. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa media adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar yang berfungsi memperjelas makna pesan yang disampaikan sehingga tujuan pengajaran dapat tercapai dengan lebih baik, lebih sempurna. Media pembelajaran mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Banyak media yang dapat dibawa ke dalam kelas yang dapat menggairahkan siswa untuk belajar bahasa Indonesia. Salah satu media yang dapat dipakai untuk pembelajaran adalah media gambar. Gambar-gambar dapat menjadi sarana yang merangsang kreativitas siswa. Kata kunci : media gambar dan pembelajaran bahasa Indonesia 23 Dosen Universitas Graha Nusantara, P. Sidempuan 4958 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Dalam penyelenggaraan pendidikan metode pembelajaran ada berbagai metode yang dilakukan oleh para pendidik. Diantaranya adalah metode bermain peran. Pada hakikatnya berbagai metode pembelajaran yang ada sama-sama saling mendukung dalam proses belajar anak didik. Pada umumnya dalam proses pendidikan pada anak usia dini lebih diutamakan pada metode menggambar. Berkaitan dengan penguasaan bahasa siswa tersebut ada beberapa teori perkembangan bahasa anak. Chomsky menjelaskan apa yang disebut dengan teori nativisme (1965). Paham ini menjelaskan bahwa konsep kebahasaan pada kanak-kanak sudah dibawa mereka sejak mereka dilahirkan (innate concept). Bertentangan dengan paham nativisme adalah paham Skinner yang disebut teori behaviorisme (1969). Paham ini menjelaskan bahwa bahasa bukan merupakan suatu alat atau benda yang bisa dipakai untuk berkomunikasi tetapi lebih merupakan sebuah perilaku verbal (verbal behaviour) yang hampir sama dengan perilaku-perilaku manusia yang lain. Paham yang berada di tengah-tengah antara nativisme dan behaviorisme adalah teorinya Peaget yang disebut teori kognitivisme (1954). Paham ini berpendapat bahwa perkembangan bahasa anak tidak bisa ditentukan oleh alam semata dan juga tidak bisa dibentuk oleh lingkungan saja, tetapi ditentukan oleh perkembangan kematangan kognitif atau pikiran mereka selama terusmenerus berinteraksi dengan lingkungan kebahasaan mereka (Chomsky dalam Izzak, 2006: 4-5). Dari ketiga teori tersebut, teori kognitivisme merupakan teori yang paling mendekati dan sesuai dengan kurikulum berbasis teks. Kompetensi bahasa anak ditentukan oleh alam, lingkungan, dan perkembangan kematangan kognitif atau pikiran mereka selama terus-menerus berinteraksi dengan lingkungan kebahasaan mereka. Jika dikaitkan dengan konsep teks, maka kompetensi bahasa anak ditentukan oleh 3 faktor tersebut dan diwujudkan dalam bentuk teks. Teks tersebut bisa lisan, tulis, dan bahkan multimodal, seperti gambar. Fenomena media gambar ini cukup menarik penulis. Dengan media gambar ternyata dapat memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga kegiatan pembelajaran lebih afektif dan efisien (Ardiani, 2008). Menurut Saudjana (2002) ada beberapa jenis media pembelajaran yang biasa digunakan dalam proses pengajaran, diantaranya (1) media grafis seperti gambar, foto, grafik, bagan atau diagram, poster, kartun, komik dan lain-lain, (2) media tiga dimensi yaitu dalam bentuk model seperti model padat (solid model), model penampang, model susun, model kerja, mock up, diorama, dan lain-lain, (3) media proyeksi seperti slide, film strips, film, penggunaan OHP dan lain-lain, dan (4) pengunaan lingkungan sebagai media pengajaran. Media grafis ialah media yang mengomunikasikan fakta-fakta dan gagasan-gagasan secara jelas melalui perpaduan antara pengungkapan kata-kata dan gambar. Tujuan utama penampilan berbagai gambar ini adalah untuk memvisualisasikan konsep yang ingin disampaikan kepada siswa. Masalah selanjutnya, bagaimana media gambar ini jika digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks? Apakah media gambar bisa mendukung kurikulum berbasis teks? Hal inilah yang menarik penulis untuk membahas peranan media gambar terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar berbasis teks. Pembahasan masalah ini mengacu peranan media gambar terhadap empat kompetensi dasar bahasa yaitu mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara. Mendengarkan ialah proses menangkap bunyi bahasa dengan sengaja tetapi belum memahami ide atau gagasan wacana/teks yang didengarkan. Kegiatan mendengarkan ini berbeda dengan menyimak. Menyimak ialah 4959 proses menangkap bunyi yang direncanakan dengan penuh perhatian, dipahami, diintepretasi, diapresiasi, dievaluasi, ditanggapi, dan ditindaklanjuti. Mengacu pada pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi dasar mendengarkan dalam kurikulum berbasis teks yang dimaksud ialah kompetensi menyimak. 1.2. Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan meida gambar dalam proses pembelajaran bahasa Indonesai pada tingkat Sekolah Dasar. 1.3. Metode Penulisan Metode penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan literatur. 2. Uraian Teoritis 2.1. Pembelajaran Bahasa Indonesia Pengajaran merupakan bagian dari dunia pendidikan yang mempunyai fungsi strategis. Sistem pengajaran yang baik dan tepat akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan, yaitu membentuk manusia cerdas, terampil, dan berbudi luhur (Satmoko, 1989:96). Demikian sebaliknya tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara sempurna bahkan gagal akibat dari sistem pengajaran yang tidak baik. Pengertian pembelajaran menurut Hamalik dalam bukunya Kurikulum dan Pembelajaran ( 2001: 57) adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Unsur material meliputi; buku-buku, papan tulis, kapur, fotografi, slide, film, audio, dan radio tape. Fasilitas dan perlengkapan terdiri dari ruang kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer (multimedia). Unsur prosedur meliputi; jadwal, metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian, dan sebagainya. Menurut Mulyasa (2004: 100) pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut ada dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang datang dari dalam diri individu. Faktor eksternal adalah adalah faktor yang datang dari lingkungan. Tugas guru yang utama adalah mampu mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku peserta didik. Belajar dan mengajar adalah dua jenis kegiatan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan erat dalam suatu situasi. Belajar itu biasanya diartikan khusus kepada keaktifan siswa. Sedangkan mengajar itu dikhususkan pada keaktifan guru (Siahaan, 1987: 2). Jadi proses belajar mengajar adalah proses siswa belajar yang berinteraksi dengan kegiatan guru mengajar. Kegiatan pembelajaran bukan sekadar kegiatan mentransfer pengetahuan pada siswa. Siswa bukanlah objek tetapi subjek. Peroses pembelajaran hendaknya memungkinkan terjadinya proses interaksi dan adanya pengalaman belajar kepada siswa secara optimal. Siswa tidak hanya penerima informasi tetapi juga pencari informasi untuk disampaikan kepada pihak lain. Kegiatan pembelajaran yang interaktif tersebut bermaksud mengantarkan siswa mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam buku Interaksi Belajar Mengajar yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Menengah (2003: 7) interaksi pembelajaran yang baik apabila sumber lain (media) mengontrol 4960 penyajian informasi secara lengkap. guru berperan dalam merancang, mengembangkan, dan menilai media atau menyeleksi media yang terintegrasi dengan tujuan pembelajaran, metode yang dipilih. Pembelajaran yang baik menggunakan pola multiarah. Menurut Mulyasa (2004: 101) proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruh peserta didik terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosial dalam proses pembelajaran. Selain itu peserta didik menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri peserta didik seluruhnya. Proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata menghasilkan output yang banyak dan bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat dan pembangunan. Hakikat pembelajaran pada prinsipnya tidak akan terlepas dari komponen-komponen pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan uraian hakikat pembelajaran, unsur-unsur yang terlibat dalam pembelajaran menulis adalah: 1. Guru yang berkualitas; 2. Siswa/peserta didik 3. Kurikulum 4. Perencanaan 5. Pendekatan 6. Media 7. Lingkungan 8. Sumber/ bahan ajar 9. Evaluasi untuk mengetahui hasil Keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan dengan harmonisasi unsur-unsur tersebut. Adanya kepincangan pada salah satu unsur akan menghambat tujuan yang ingin dicapai. Membelajarkan bahasa Indonesia berbeda dengan membelajarkan kompetensi nonbahasa. Perbedaannya adalah membelajarkann yang nonbahasa kecenderungannya siswa belum menguasai materi tersebut. Sebaliknya mengajarkan bahasa Indonesia menghadapi peserta didik yang sudah dapat berbahasa Indonesia. Sangat lazim terdengar ucapan ―untuk apa belajar bahasa Indonesia?‖ ucapan ini dapat menyebabkan kurang bersemangatnya peserta didik untuk belajar bahasa Indonesia. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah membantu peserta didik mengembangkan kemampuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tulis (Purwo, 1997: 13). Kemampuan berkomunikasi yang mendasar ialah kemampuan menangkap makna dan pesan, termasuk menafsirkan dan menilai, serta kemampuan untuk mengekspresikan diri dengan bahasa. Peserta didik diharapkan dapat mempertajam kepekaan perasaan dan meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar. Sasaran yang dituju bukanlah mengajarkan sesuatu supaya apa yang diajarkan itu dapat diuji secara objektif. Peserta didik tidak hanya dibekali dengan kemamuan memahami dan menggunakan kalimat melainkan memahami dan menggunakan kalimat dalam pelbagai konteks komunikasi. 4961 Hal ini sesuai dengan amanat peraturan Menteri Pendidikan Nasioanal nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi. Mata pelajaran bahasa Indonesia yang menjadi bagian dari isi peraturan tersebut mempunyai tujuan sebagai berikut: Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Lebih lanjut dalam peraturan tersebut juga mencantumkan beberapa standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia, di antaranya standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan sbb: 1. Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; 2. Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; 3. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya; 4. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan daan kesastraan di sekolah; 5. Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; 6. Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Tujuan yang hendak dicapai atau dituju dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut . 1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. 2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. 3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. 4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. 5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa . 6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Untuk mencapai kemampuan itu siswa perlu dipajankan (exposed) pada aneka bentuk teks lisan maupun tulis. Dalam pembelajaran itu peserta didik harus banyak membaca. Bacaan tersebut dapat disediakan guru maupun yang berasal dari peserta didik. Bahan yang disusun dan dikembangkan perlu mempertimbangkan minat siswa dan tingkat perkembangan usia. Kegiatan ini dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi, juga akan meningkatkan perkembangan daya nalar dan daya kreatif siswa. 2.2. Model Pembelajaran 4962 Guru dalam mengajarkan bahasa ada dua model yaitu menjelaskan sesuatu kepada peserta didik, melatihkan sesuatu kepada siswa, dan melibatkan siswa di dalam suatu kegiatan berbahasa. (Purwo, 1997: 19) Model pembelajaran ini mempunyai berbagai dampak bagi siswa. Pembelajaran dengan model yang pertama, yaitu guru menjelaskan sesuatu kepada siswa akan menyebabkan siswa lupa. Potensi untuk lupa akan terjadi karena guru tidak memberikan pengalaman belajar kepada siswa. Pembelajaran dengan model yang kedua, yaitu guru melatihkan sesuatu kepada siswa menuntut siswa tekun mengulang-ulang mengerjakan bahan ajar sampai berkali-kali. Apabila siswa setelah diberi latihan berkalikali masih saja belum bisa, guru terus saja melatihkan bahan yang sama itu. hasil yang diharapkan dapat diraih dari latihan secara bertubi-tubi ini ialah supaya siswa akhirnya dapat menguasai bahan yang disiapkanguru. Bahan yang disiapkan oleh guru secara rapi dan sistematis itu, melalui banyak kali latihan, akhirnya akan dapat diingat dan melekat di benak siswa. Namun kegiatan latihan yang bertubi-tubi seperti ini dirasa membosankan tidak hanya bagi siswa tetapi juga bagi guru. Guru yang melibatkan siswa untuk melakukan kegiatan berbahasa hanyalah berperan sebagai fasilitator pembuka jalan atau penyulut api saja bagi suatu kegiatan tertentu. Siswalah yang aktif menjalankan kegiatan ini. Model ini akan membawa dampak yang bagus pada diri siswa, yaitu siswa lebih memahami, mendalami, dan mampu menerapkan dalam berbagai situasi. Hal ini terjadi karena siswa diberi pengalaman belajar dan ruang yang sangat luas untuk mengekspresikan pembelajaran. Dalam model guru melibatkan siswa untuk melakukan kegiatan berbahasa tidak menenkankan pada hasil kegiatan tetapi lebih memntingkan proses mengalami sendiri kegiatan berbahasa tersebut. Guru tidak terpaku pada bahan yang dipersiapkan sebelumnya tetapi siap untuk menyesuaikan diri dengan minat kebutuhan siswa dan keadaan kelas. Dengan model pembelajaran yang ketiga ini dirasa pembelajaran lebih berhasil dan berarti bagi siswa dalam mengembangkan segala kemampuan dalam dirinya. Model ini lebih dikenal dengan pendekatan komunikatif. 2.3. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks dan Media Gambar Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks merupakan proses belajar mengajar yang implementasinya menggunakan pendekatan berbasis teks. Artinya siswa dalam belajar tidak hanya menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi. Namun, siswa dapat menggunakan bahasa sebagai sarana mengembangkan kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir anak ini akan makin berkembang, jika dalam pembelajarannya digunakan media gambar. Media gambar ini bisa berupa foto, grafik, bagan atau diagram, poster, kartun, komik, slide, film strips, film, penggunaan OHP, atau menggunakan lingkungan yang siswa kenal. Adanya media gambar tersebut tentu akan merangsang kemampuan berpikir siswa. Pertama, siswa tertarik dengan medianya. Selanjutnya siswa akan tertarik isi dari media yang digunakan tersebut. Rasa tertarik inilah yang akan mendorong kemampuan berpikir siswa. Berkaitan dengan media pembelajaran, diungkapkan pula bahwa gambar yang bisa digunakan adalah gambar yang ada hubungannya dengan pelajaran yang sedang digarap atau masalah yang dihadapi. Dalam hal ini guru harus dapat mengarahkan minat siswa yang sedang melihat gambar, yaitu mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pikirannya. Gambar harus dapat merangsang partisipasi peserta supaya ia suka berbicara tentang gambar yang dilihatnya (Suleiman, 1988:28). Syarat-syarat memilih gambar sebagai media pembelajaran ialah gambar yang dipilih harus (1) yang bagus, jelas, menarik, mudah dimengerti dan dapat 4963 memperlihatkan detail, (2) cukup penting dan cocok untuk hasil yang sedang dipelajari atau masalah yang sedang dihadapi oleh siswa, (3) merupakan sebuah kebenaran atau autentik, artinya menggambarkan situasi yang serupa jika dilihat dalam keadaan yang sebenarnya, (4) bersifat sederhana, artinya tidak rumit sehingga tidak mengalihkan perhatian dari hal-hal yang penting, (5) mempertimbangkan warna yang digunakan, diusahakan warna yang digunakan dapat memperjelas arti, dan (6) perhatikan ukuran perbandingan (Suleiman, 1988: 29). Berkaitan dengan media gambar dan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks, berikut ini akan dibahas empat keterampilan dasar barbahasa Indonesia meliputi mendengarkan, membaca, berbicara dan menulis dengan menggunakan media gambar. 3. Pembahasan Siswa mengenali melalui pengamatan terhadap objek, bentuk benda, wujud benda, serta perubahan benda yang berada di sekitar rumah, jalan, dan sekolah. Siswa dalam hal ini, dikenalkan suatu objek dengan diperdengarkan objek, bentuk benda, dan wujud benda yang ada di sekitarnya. Jika siswa belum bisa menangkap apa yang diperdengarkan, guru dalam hal ini bisa merangsang kemampuan berpikir siswa dengan menunjukkan sebuah gambar. Misalnya saja, gambar binatang yang ada di sekitar kita seperti ayam, bebek, kambing, atau anjing. Bisa juga, guru menunjukkan gambar hidup hewan atau binatang yang ada di lingkungan sekitar. Jika siswa kelas I sudah melihat bentuk nyata hewan atau binatang tersebut, siswa akan lebih mudah dan tertata menggambarkan binatang itu. Hal ini tentu akan berbeda hasilnya, jika siswa belum melihat gambar binatang itu. Siswa akan menggambarkan binatang tersebut sesuai urutan yang dipikirkannya. Misalnya, siswa A akan menggambarkan binatang kambing dengan menceritakan dahulu bentuk kaki kambing dan bentuk badannya. Namun, siswa B akan menggambarkan binatang kambing dimulai dari bentuk badannya, diikuti dengan ciri suara. Oleh karena guru dalam mengajar tidak menggunakan media gambar, penggambaran siswa pun menjadi tidak berstruktur. Siswa menjadi bingung, akan dimulai dari mana ia bercerita. Tidak demikian halnya jika guru menggunakan kurikulum berbasis teks dengan menggunakan media gambar. Jika sudah paham benda yang akan diceritakan, siswa akan mudah menyampaikan suatu objek secara terarah. . Inilah kelebihan dari kurikulum berbasis teks. Untuk selanjutnya, siswa diminta untuk berpikir kritis tentang gambar binatang tersebut dan menyampaikan apa yang dilihatnya lewat bahasa. Dengan menggunakan gambar ini tentu saja siswa akan lebih runtut dalam menyampaikan ide atau gagasannya. Di sinilah pendekatan berbasis teks akan berlaku. Guru dalam hal ini dituntut untuk lebih kreatif menggunakan dan memilih media gambar. Pembelajaran membaca di sekolah dasar sebenarnya masih dalam batasan siswa sekadar menyuarakan lambang-lambang tertulis dengan sebaik-baiknya dengan cepat dan tepat. Kompetensi membacanya lebih diarahkan pada membaca pemahaman, nyaring, dan indah. Belum pada kompetensi membaca yang kompleks. Dengan demikian, kompetensi membaca yang dikaitkan dengan kurikulum berbasis teks pun masih dalam batasan sederhana. Bentuk sederhana ini berdasar pertimbangan siswa sekolah dasar merupakan anak yang masih dalam tahap belajar membaca. Kondisi siswa yang masih pada tahap belajar membaca ini tentu membuat guru harus sabar dalam mengarahkan siswanya. Selain kesabaran, guru pun membutuhkan media gambar untuk memudahkan siswa dalam menangkap dan memahami apa yang dibacanya. 4964 Keterampilan berbicara ini bisa menunjang keterampilan bahasa lainnya. Keterampilan berbicara juga sering dipandang sebagai tolak ukur utama untuk menilai keberhasilan dalam pembelajaran bahasa. Dalam pembelajaran aspek berbicara dalam kurikulum berbasis teks ini pun ditekankan bahwa siswa memiliki kompetensi berbicara secara terstruktur. Agar kompetensi berbicara siswa bisa runtut dan terstruktur, guru bisa menggunakan media gambar. Guru dapat menentukan dan memilih gambar yang dapat mendukung aspek berbicara. Media pembelajaran mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran menulis. Banyak media yang dapat dibawa ke dalam kelas yang dapat menggairahkan siswa untuk menulis. Guru dapat membawa beberapa dus obat ke dalam kelas ketika akan menyuruh siswa menulis instruksi atau menjelaskan kembali isi petunjuk penggunaan obat. Gambar-gambar juga dapat menjadi sarana yang merangsang kreativitas siswa untuk menulis. Dari sebuah gambar yang sederhana siswa dapat menuliskan apa-apa yang tampak dalam gambar. Bahkan seorang siswa bisa saja menuliskan hal-hal lain selain yang terpampang di gambar. Hal itu menunjukkan bahwa siswa tersebut kreatif dalam menggali hal-hal yang terlihat maupun tidak terlihat. 3. Penutup Media adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar yang berfungsi memperjelas makna pesan yang disampaikan sehingga tujuan pengajaran dapat tercapai dengan lebih baik, lebih sempurna. Media pembelajaran mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Banyak media yang dapat dibawa ke dalam kelas yang dapat menggairahkan siswa untuk belajar bahasa Indonesia. Salah satu media yang dapat dipakai untuk pembelajaran adalah media gambar. Gambar-gambar dapat menjadi sarana yang merangsang kreativitas siswa. Daftar Pustaka IIzzak, Arif. 2006. ―Fungsi Ingatan Bahasa pada Proses Pemerolehan BI Anak-anak‖. Makalah dalam Jurnal Medan Bahasa. Rahadi, Aristo. 2003. Media Pembelajaran. Depdiknas, Jakarta. Rudini dkk.. 1994. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II: Kurikulum untuk Abad ke-21. PT Grasindo, Jakarta. Sadiman, Arief S. 1986. Media Pendidikan:Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. CV Rajawali, Jakarta. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana, Jakarta. Soedarso. 2002. Speed Reading:Sistem Membaca Cepat dan Efektif. PT Gramedia, Jakarta. Subana, M. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia: Berbagai Pendekatan, Metode Teknik, dan Media Pengajaran. Pustaka Setia, Bandung. Suleiman, Amir Hamzah. 1988. MEDIA AUDIO VISUAL untuk Pengajaran, Penerangan, dan Penyulihan. Gramedia, Jakarta. PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR BAHASA INGGRIS 4965 Dra.Sakila24 ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui peningkatan keterampilan berbahasa Inggris Siswa SMP 4 melalui Leraning Cyle. Pembelajaran Pembelajaran siklus merupakan salah satu model pembelajaran dengan pendekatan kontruktivis. model pembelajaran siklus pertama kali diperkenalkan oleh Robert Karplus dalam Science Curriculum Improvement Study / SCISPenerapan model pembelajaran Learning Cycle berhasil meningkatkan aktivitas belajar siswa terlihat dari membaiknya kualitas masing-masing criteria aktivitas tiap siklusnya. Siklus I:Menulis/membaca sebesar 43%, mengerjakan sebesar 26%, bertanya sesama teman sebesar 12%, bertanya kepada guru sebesar 11%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 8%.Siklus II: Menulis/membaca sebesar 28%, mengerjakan sebesar 42%, bertanya sesama teman sebesar 17%, bertanya kepada guru sebesar 10%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 3%. 1.1. Latar Belakang Tuntutan terhadap hasil belajar dan aktivitas dalam pembelajaran bahasa saat ini terutama pembelajaran bahasa Inggris sedikit memaksa para guru untuk tidak lagi mengutamakan pada penyerapan melalui pencapaian informasi, tetapi lebih mengutamakan pada pengembangan kemampuan dan pemrosesan informasi dalam mencapai keterampilan berbahasa tersebut. Untuk itu aktivitas peserta didik perlu ditingkatkan melalui latihan-latihan atau tugas bahasa Inggris dengan bekerja kelompok kecil dan menjelaskan ide-ide kepada orang lain. Selain itu diperlukan pula model pembelajaran dan perangkat yang mendukung terbentuknya keterampilan berbahasa Inggris. Merujuk pada kepentingan ini, peneliti sebagai guru yang telah mengajarkan bahasa Inggris selama + 15 tahun di SMP Negeri 4 Medan merasa sangat prihatin dengan hasil yang dicapai selama ini. Waktu begitu lama tapi pembelajaran lakukan belum menunjukkan peningkatan kualitas yang signifikan dari tahun ketahun. Hasil belajar bahasa Inggris belum mengembangkan kemampuan berbahasa itu sendiri. Lemahnya kemampuan berbahasa Inggris siswa ini di tunjukkan dengan kemampuan siswa berkomunikasi baik secara tertulis maupun lisan dalam bahasa Inggris. Sementara pembelajaran bahasa Inggris sendiri terjadi dengan mengutamakan penyerapan informasi sebanyak-banyaknya oleh siswa sehingga kemampuan siswa adalah terbatas pada mengungkapkan kembali apa yang diperolehnya. Pembelajaran seperti ini ternyata berdampak pada menurunnya aktivitas belajar dan minat belajar siswa. Kebanyakan siswa menganggap belajar bahasa Inggris hanyalah cukup dengan menghafalkan, padahal pembelajaran menuntut kemampuan berfikir dengan memproses informasi dan membentuk sendiri maknamakna. Dalam mengupayakan pemeblajaran berorientasi aktivitas yang mengupayakan hasil belajar berbahasa Inggris siswa berupa metode telah ditetapkan seperti kerja kelompok namun masih kurang dapat mendongkrak keterampilan berbahasa Inggris siswa. Karena ternyata mengupayakan pembelajaran berorientasi aktivitas belajar bukan hal yang mudah diperlukan lebih dari sekedar metode atau model tetapi juga perangkat pembelajaran yang mendukung, sumber belajar yang memadai dan setting kelas yang memugkinkan. Namun seharusnya pemilihan model atau metode pembelajaran tidak didasarkan pada ketersediaan perangkat dan bahan ajar melainkan pada karakter materi dan kompetensi yang ingin dicapai. 24 Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Medan 4966 Sementara materi pembelajaran bahasa Inggris sangat bervariasi sehingga dengan sendirinya membutuhkan model pembelajaran yang bervariasi pula. Model pembelajaran yang dianggap mampu meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris siswa dan berbasis pada perangkat yang mengupayakan aktivitas melatih keterampilan tersebut adalah model pembelajraan Learning Cycle. Melalui model pembelajaran Learning Cycle merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi- kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. Learning Cycle pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application). Berdasar pada uraian permasalahan dan upaya perbaikan pembelajaran diatas,maka penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Bahasa Inggris Siswa di Kelas VIII-10 SMP Negeri 4 Medan”. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahn yang diuraikan diatas, maka dapat diidentifikasi permasalahan dalam pembelajaran bahasa Inggris di SMP Negeri 4 Medan sebagai berikut : 1. Belum ada peningkatan aktivitas dan hasil belajar bahasa Inggris. 2. Aktivitas dan minat belajar siswa yang menurun karena tidak ada variasi model pembelajaran. 3. Siswa mengalami kesulitan dalam kompetensi membaca berupa menemukan main idea dalam teks. 4. Kemampuan guru yang terbatas dalam menerapkan model pembelajaran dalam kelas. 5. Pembelajaran yang selalu berorientasi pada kemampuan menghafal bukan kemampuan berfikir. 1.3. Rumusan Masalah Untuk memperjelas masalah yang akan dibahas, maka yang menjadi rumusan-rumusan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah aktivitas belajar bahasa Inggris siswa meningkat selama menerapkan model pembelajaran Learning Cycle di kelas VIII-10 SMP Negeri 4 Medan Tahun Pelajaran 2013/2014? 2. Apakah hasil belajar bahasa Inggris siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Learning Cycle di kelas VIII-10 SMP Negeri 4 Medan Tahun Pelajaran 2013/2014? 1.4. Tujuan Penelitian Setelah menetapkan rumusan masalah di atas maka, dapat ditentukan tujuan penelitian ini, antara lain: 1. Untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan aktivitas belajar bahasa Inggris siswa selama menerapkan model pembelajaran Learning Cycle di kelas VIII – 10 SMP Negeri 4 Medan Tahun Pelajaran 2013/2014 2. Untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan hasil berbahasa Inggris siswa setelah menerapkan model pembelajaran Learning Cycle di kelas VIII-10 SMP Negeri 4 Medan Tahun Pelajaran 2013/2014. 2.1 Kajian Teoritis : Pengertian Belajar Belajar, perkembangan, dan pendidikan merupakan hal yang menarik dipelajari. Ketiga gejala tersebut terkait dengan pembelajaran. Belajar dilakukan oleh siswa secara individu. Dalam memperoleh pengertian belajar yang objektif tentang disekolah, maka perlu dirumuskan secara jelas pengertian belajar. ―Belajar adalah merupakan 4967 usaha untuk memperoleh kepandaian atau ilmu pengetahuan atau perubahan tingkah laku dari belum dapat melakukan sesuatu menjadi dapat melakukan sesuatu‖(Depdikbud:1994). Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun. Dalam belajar ditemukan adanya hal berikut: (i) Kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons si pembelajaran. (ii) Respons si pebelajar, dan (iii) Konsekuensi yang besifat menguatkan respon tersbut. Pemerkuat terjadi pada stimulus yang menguatkan konsekuensi tersebut. Sebagai ilustrasi, perilaku respons yang tidak baik diberi teguran dan hukuman. (Dimyati 2009:9) Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar merupakan kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan , sikap dan niali. Timbulnya kapabilitas itu adalah dari : (i) Stimulus yang berasal dari lingkungan (ii) Proses kognitif yang dilakukan oleh pebelajar Dengan demikian belajar adalah seperangkat proses kognitif yang merubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru (Dimyati 2009:9). Sedangkan pengertian belajar didefenisikan Slameto sebagai berikut: ―Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya, ―Perubahan perilaku sebagai hasil dari proses belajar dapat dinikmati dari segi penampilan individu belajar (Slameto 1988). Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa belajar adalah proses yang dilakukan oleh individu untuk mendapatkan pengetahuan yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, stimulus yang diberikan, dan menghasilkan perubahan pada diri individu tersebut. 2.2. Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Salah satu perkembangan pemikiran yang berkembang dalam dunia pendidikan dewasa ini adalah tentang cara penilaian hasil belajar siswa. Dalam pembelajaran pada paradigma lama nilai keberhasilan siswa cenderung di tentukan oleh nilai ujian saja tanpa memperhatikan proses, maka menurut pandangan paradigm baru mementingkan penilaian proses dan penilaian hasil ujian, sehingga penilaian yang dilakukan dapat memberikan informasi seutuhnya tentang siswa. Tingkat keberhasilan siswa tersebut diukur dengan alat ukur yang sesuai dengan tujuan belajarnya atau kompetensi yang harus dicapainya . untuk itu perlu dilakukan penilaian atau pengukuran sepanjang proses pembelajaran yang diikuti siswa. Hasil belajar biasanya diacukan pada tercapainya tujuan belajar. Hasil belajar yang tampak dari kemampuan yang diperoleh siswa, menurut Gagne dapat dilihat dari lima kategori, yaitu keterampilan intelektual (intellectual skills), informasi verbal (verbal information), strategi kognitif (cognitive strategis), keterampilan motorik (motor skills), dan sikap (attitudes). Sementara itu, belum dalam taksonominya terhadap hasil belajar ( 4968 Taksonomi Bloom) mengkategorikan hasil belajar pada tiga ranah atau kawasan, yaitu ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), ranah psikomotorik (motor skill domain) (Uno,2011:210). Menurut Chaplin, pengertian hasil belajar atau hasil belajar adalah : ―Hasil belajar merupakan suatu tingkatan khusus yang diperoleh sebagai hasil dari kecakapan kepandaian, keahlian dan kemampuan di dalam karya akademik yang dinilai oleh guru atau melalui tes prestasi‖ (1992: 159). Pendapat Chaplin di atas mengandung pnegertian bahwa prestasi itu hakikatnya berupa perubahan perilaku pada individu di sekolah, perubahan itu terjadi stetelah individu yang bersangkutan mengalami proses belajar mengajar tertentu. Pengertian hasil belajar menurut pendapat Mochtar Buchari (1986:940 adalah hasil yang dicapai atau ditonjolkan oleh anak sebagai hasil belajarnya,baik berupa angka atau huruf serta tindakannya yang mencerminkan hasil belajar yang dicapai masing-masing anak dalam periode tertentu. 2.3. Pembelajaran Konstruktivisme Teori konstruktivisme dalam pendidikan terutama berkembang dari hasil pemikiran Vygotsky dalam Hasratuddin (2004) yang menyimpulkan bahwa siswa mengkonstruksikan sendiri pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil pemikiran yang berinteraksi dalam konteks pemikiran. Kontruktivisme merupakan teori penciptaan makna.Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Selanjtunya Piaget yang dikenal sebagai pencetus konstruktivis pertama menegaskan bahwa penegtahuan tersebt dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi (Dahar, 2003). Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Brooks dan Leinhard dalam Hasratuddin (2004) menyatakan bahwa esensi dari teori konstruktivisme adalah siswa harus mampu secara individual menemukan dan mentransfer informasi-informasi kompleks apabila mereka harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Belajar menurut teori ini adalah membangun penegtahuan dari kegiatan, refleksi dan interprestasi, serta pemahaman oleh seseorang sesuai dengan skema yang dimilikinya . Menurut teori ini mengajar pada dasarnya agar menata lingkunagn agar siswa dapat melakukan kegiatan belajar dan dalam hal merumuskan masalah yang diajukan oleh siswa. Dengan demikian pembelajaran adalah sebagai fasilitator. Strategi konstruktivisme ini merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Peran guru sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip-prinsip dan bukan memberikan ceramah atau mengendalikan kegiatan seluruh kelas. Menurut Motlan(1997). Mengungkapan empat prinsip konstruktivisme yaitu: 1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, 2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, 3. Murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, 4969 4. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa menjadi mulus, Teori belajar konstruktivisme sering juga disebut model mengajar ―perubahan konseptual‖. Berbeda dengan model mengajar konvensional terdahulu, model ini terdiri dari lima tahapan. Tujuan dari tahapan pengingatan ini adalah untuk menarik perhatian siswa terhadap pokok bahasan yang sedang dpelajari , membuat pemahaman secara explicit, dan sadar akan variasi pendapat. Untuk memancing pengetahuan awal mereka atau prakonsepsi yang mereka miliki, guru dapat melibatkan siswa untuk berdiskusi dan dapat mengajukan pertanyaan yang memungkinkan siswa mengungkapakn yang sudah di pahami, dialami dan ide mereka tanpa takut akan dipersalahkan oleh guru. Ada beberapa model pembelajaran yang dilandasi oleh konstruktivisme (Hasnah,2006) yaitu: 1. Model siklus belajar (Cycle Learning Model), 2. Model pembelajaran generative ( Generative Learning Model), 3. Model CLIS (Children Learning in Science), 4. Model pembelajaran Kooperatif atau CLS (Cooperative Learning Strategis), Dimana masing-masing model memiliki kekhasan sendiri, tetapi semuanya mengembangkan kemampuan kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berfikir rasional. Kekhasannya tampak pada tahapan kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Fase_fase pembelajaran pada kelompok model pembelajaran kontruktivisme dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Hasnah,2006) : Tabel 2.1 Fase-Fase Model Pembelajaran Kontruktivisme Model Cycle Learning Pembelajaran Generatif Pembelajaran Interaktif CLIS Pembelajaran Kooperatif 2.4. I II III Engage Exploration Explanation Persiapan Fokus Tantangan Persiapan Exploration Orientasi Elisitasi Orientasi Elisitasi Pertanyaan Siswa Restrukturisasi Restrukturisasi IV V Elaboration Evaluation Aplikasi "- Refleksi "- Aplikasi Aplikasi Refleksi Refleksi Model Pembelajaran Learning Cycle Pembelajaran siklus merupakan salah satu model pembelajaran dengan pendekatan kontruktivis. model pembelajaran siklus pertama kali diperkenalkan oleh Robert Karplus dalam Science Curriculum Improvement Study / SCIS (Trowbridge dan Bybee,1996). Menurut Karplus dan Treir dalam Dasna (2009) : Siklus Belajar (Learning Cycle atau LC) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Learning Cycle merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Learning Cycle pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application). Selanjutnya Dasna(2009) menyatakan bahwa : Learning Cycle 3 fase ini telah dikembangkan dan disempurnakan Evaluation menjadi 5 fase. Pada Learning Cycle 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration dan 4970 ditambahkan pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept introduction dan concept application masing-masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu Learning Cycle 5 fase sering dijuluki Learning Cycle 5E ( Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan). Learning Cycle dalam pendekatan pembelajarannya memiliki lima tahap atau fase yang dapat digambarkan dalam Menurut Wena (2009:171): 1. Tahap Pembelajaran a) Pembangkitan minat (Engagement) Tahap pembangkitan minat merupakan tahap awal dari siklus belajar. Pada tahapan ini, gurur berusaha membangkitkan dan mengembangkan minat dan keingintahuan siswa tentang topic yang akan diajarkan. Hal ini dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan tentang proses factual dalam kehidupan sehari-hari (yang berhubungan dengan topik bahasan). Dengan demikian, siswa akan memberikan respons/jawaban, kemudian jawaban siswa tersebut dapat dijadikan pijakan oleh guru untuk mengetahui pengetahuan awal siswa tentang pokok bahasan. Kemudian guru perlu melakukan identifikasi ada/tidaknya kesalahan konsep pada siswa. b) Eksplorasi ( Eksploration) Eksplorasi merupakan tahap kedua model siklus belajar. Pada tahap eksplorasi dibentuk kelompokkelompok kecil antara 2-4 siswa, kemudian diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok nkecil tanpa pembelajaran langsung dari guru. Dalam kelompok ini siswa didiorong untuk menguji hipotesis dan atau membuat hipotesis baru, mencoba alternative pemecahannya dengan teman sekelompok, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide atau pendapat yang berkembang dalam diskusi. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Pada dasarnya tujuan tahap ini adalah mengecek pengetahuan yang dimiliki siswa apakah sudah benar,masih salah,atau mungkin sebagian salah,sebagian benar. 4.1 Hasil Penelitian Berikut ini akan dijelaskan kondisi awal siswa kelas VIII-10 yang menyangkut aktivitas dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Inggris. Untuk mempertegas identifikasi tersebut dilakukan Pretes. Data hasil Pretes menunjukkan nilai terendah untuk Pretes adalah 0 dan tertinggi adalah 40 dengan KKM (Kriteria ketuntasan minimum) sebesar 70 maka tidak seorang pun mendapat nilai diatas ketuntasan atau ketuntasan klasikal adalah 0 %. Nilai rata-rata kelas adalah 14,71 yang juga tidak tuntas. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa tidak belajar di rumah sebelum memulai pembelajaran di sekolah dengan demikian berarti motivasi belajar siswa rendah. Penilaian aktivitas diperoleh dari lembar observasi aktivitas dilakukan pada saat siswa bekerja dalam kelompok diskusi. Pengamatan dilakukan oleh dua pengamat selama 20 menit kerja kelompok dalam setiap kegiatan belajar mengajar (KBM0. Hasil observasi aktivitas siswa disajikan dalam Tabel 4.1. Tabel 4.1 Skor Aktivitas Belajar Siswa Siklus I 4971 No Aktivitas Jumlah Skor Proporsi 1 Menulis dan membaca 78 19.5 43% 2 Mengerjakan LKS 46 11.5 26% 3 Bertanya pada teman 22 5.5 12% 4 Bertanya pada guru 19 4.75 11% 5 Yang tidak relevan 15 3.75 8% Data pada Tabel 4.1 dapat dituliskan kembali dalam grafik histogram seperti gambar 4.2 berikut : Data Aktivitas Belajar Siklus I 50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% Persentase Gambar 4.2 Grafik Aktivitas Belajar Siswa Siklus I Data hasil belajar siswa Setelah berakhirnya pelaksanaan Siklus I diadakan tes hasil belajar kognitif yang selanjutnya disebut sebagai Formatif I. hasil belajar kognitif yang diperoleh pada Siklus I selama dua pertemuan disajikan dalam Tabel 4.2. Tabel 4.2 Distribusi Hasil Formatif I Nilai 40 50 60 70 Jumlah Frekuensi 3 5 5 21 34 Ketuntasan """61.76% 61.76% Rata-rata 62.94 Merujuk pada Tabel 4.2. tersebut, nilai terendah Formatif I adalah 40 dan tertinggi adalah 70. Merujuk pada KKM sebesar 70 maka hanya 21 dari 34 siswa mendapat nilai ketuntasan atau ketuntasan klasikal tercapai sebesar 61,76 %. Nilai ini berada di bawah criteria ketuntasan klasikal sebesar 85% sehingga dapat dikatakan KBM Siklus I gagal member ketuntasan belajar dalam kelas. Nilai rata-rata kelas adalah 62,94 belum mencapai KKM. Dengan demikian maka peneliti berusaha melakukan tindakan perbaikan dalam melaksanakan pembelajaran Siklus II yang dirasa perlu. Data hasil formatif I ini dapat disajikan kembali dalam grafik histogram sebagai berikut. Bentuk grafik batang dapat dilihat pada Gambar 4.3 4972 Grafik Formatif Frekuensi 21 3 40 5 50 5 60 70 Gambar 4.3 Grafik Data Hasil Belajar Formatif I a. Tahap Refleksi I Berdasarkan hasil belajar keterampilan berbahasa inggris siswa dari pengamatan Siklus I menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa permasalahan/kekurangan dalam pelaksanaan tindakan yang perlu diperbaiki secara lanjut. Beberapa kelemahan pada Siklus I diantaranya: a. Adanya siswa yang pasif dan menggantungkan permasalahan yang dihadapi kepada kelompoknya dibantu dengan pemberian tanggung jawab kerja individu yang ditagih setiap akhir KBM. b. Interaksi antar siswa belum berjalan dengan baik karena siswa belum terbiasa untuk menyampaikan pendapatnya kepada sesama teman lainnya dalam menyelesaikan masalah dibantu dengan pemantauan dan bimbingan dalam diskusi Siklus II. c. Beberapa siswa belum memahami peran dan tugasnya dalam bekerja kelompok karena belum terbiasa dengan model pembelajaran yang diterapkan dibantu dengan keterangan tugas pada Siklus II. Untuk memperbaiki kondisi ini pada Siklus II akan dilakukan tindakan perbaikan diantaranya: a. Pemberian tanggung jawab kerja individu yang ditagih setiap akhir KBM untuk meningkatkan partisipasi aktif tiap siswa dalam kelompok. b. Pemantauan dan bimbingan dalam diskusi Siklus II dilakukan dengan bantuan tutor pada masingmasing kelompok yang telah ditentukan sebelumnya sehingga diskusi menjadi lebih hidup dan terarah. c. Dilakukan pemberian keterangan tugas pada Siklus II secara spesifik untuk tiap siswa dalam kelompok sehingga tanggung jawab individu dalam kelompok terbangun dan siswa terbiasa dengan belajar berdiskusi. 1. Siklus II a. Tahap Perencanaan Kekurangan-kekurangan pada Siklus I dibenahi peneliti pada pembelajaran Siklus II ini. Pada siklus II kelompok dibentuk kembali dengan mempertimbangkan komposisi siswa-siswa unggul sebagai tutor dalam kelompok untuk meningkatkan kegairahan diskusi, memberikan arahan dan memimpin kelompok. Tugas-tugas 4973 dikumpulkan dengan cara penagihan tiap individu ini untuk meningkatkan partisipsi dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas. Dalam pembahasan materi ajar, guru menggunakan aturan seperti pada pertemuan sebelumnya, tetapi pada pembelajaran kali ini guru membenahi gaya mengajarnya seperti melakukan pendekatan kepada siswa yang kurang perhatian pada saat pelajaran berlangsung. Disamping itu guru juga memberikan kata-kata pujian, semangat agar siswa menjadi lebih aktif dan menimbulkan keberanian siswa mengerjkan tugas didepan kelas. Dalam prose pembelajaran ini, guru menyajikan contoh operasi melalui media proyektor dengan harapan siswa dapat lebih mudah memahami tujuan pembelajaran sehingga tercapaikompetensi yang diharapkan. Pada tiap akhir pertemuan,guru memberikan PR untuk mengukur kemandirian siswa dalam belajar dan mengukur kemampuan siswa memahami materi. b. Pelaksanaan Tindakan Siklus II dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pertemuan ketiga hari Selasa, tanggal 17 September 2013 dengan materi fungsi sosial, ciri kebahasan, dan makna tekstual dalam teks fungsional pendek descriptive dan recount diikuti oleh 34 siswa. Pertemuan keempat Senin, tanggal 23 September 2013 dengan materi rumpang teks pendek berbentuk Descriptive dan penyusunan kata menjadi teks fungsional yang bermakna juga diikuti 34 siswa. Proses pembelajaran dilakukan sesuai RPP yang telah disusun untuk Siklus I. pada pelaksanaan pembeljaran Siklus I ini guru sebagai peneliti dibantu dua guru sejawat yang bertinfak sebagai observer yang membantu peneliti mengamati aktivitas belajar siswa. Kelompok melaksanakan kegiatan dalam LKS melengkapi kalimat dan melakukan diskusi berpanduan LKS. Jika muncul kesulitan yang tidak dapat diselesaikan secara kelompok mata diajukan pada guru. Gambar 4.4 Kegiatan Pembelajaran Siklus II c. Tahap Observasi 1. Aktivitas siswa pada Siklus II mengalami peningkatan dibandingkan Siklus I. hasil pengamatan aktivitas belajar siswa pada Siklus II disajikan pada table 4.3. Tabel 4.3 Skor Aktivitas Belajar Siswa Siklus II No 1 2 3 4 5 Aktivitas Menulis dan membaca Mengerjakan LKS Bertanya pada teman Bertanya pada guru Yang tidak relevan Jumlah Jumlah 45 66 28 17 4 160 Skor 11.25 16.5 7 4.25 1 40 Proporsi 28% 42% 17% 10% 3% 100% 4974 5.1. Simpulan Adapun kesimpulan dari upaya meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris siswa dan meningkatkan partisipasi (aktivitas) dan mengembangkan keterampilan berfikir siswa melalui model pembelajaran Learning Cycle selama kegiatan belajar mengajar pada materi pokok Descriptive dan recount di kelas VIII-10 SMP Negeri 4 Medan sebagai berikut : 1. Penerapan model pembelajaran Learning Cycle berhasil meningkatkan aktivitas belajar siswa terlihat dari membaiknya kualitas masing-masing criteria aktivitas tiap siklusnya. Siklus I: Menulis/membaca sebesar 43%, mengerjakan sebesar 26%, bertanya sesama teman sebesar 12%, bertanya kepada guru sebesar 11%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 8%. Siklus II: Menulis/membaca sebesar 28%, mengerjakan sebesar 42%, bertanya sesama teman sebesar 17%, bertanya kepada guru sebesar 10%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 3%. 2. Penerapan model pembelajaran Learning Cycle berhasil memperbaiki ketuntasan keterampilan berbahasa Inggris siswa pada materi pokok Descriptive dan recount dengan menerapkan model pembelajaran Learning Cycle pada Siklus I mencapai rata-rata 62,94 dengan ketuntasan klasikal 61,76% dan Siklus II mencapai 87,64 dengan ketuntasan klasikal 91,17%. Dengan demikian terjadi peningkatan ketuntasan klasikal hasil belajar berbahasa Inggris siswa mencapai 29,41% Daftar Pustaka Aqib, Z. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Yrama Widya.Bandung. Dina, D. (2003). Ampuh Menjadi Cerdas Tanpa Batas Beban. PT.Elex Media Komputindo. Jakarta Djamarah, S.B. (2002). Psikologi Belajar. Penerbit Rineka Cipta.Jakarta Emzir.(2008). Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Purwanto, N.(1994). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran.PT Rosdakarya. Bandung. Sardiman,A.M. (2003). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta. Slameto,(2003). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. PT.Rineka Cipta.Jakarta. Sudjana, N. (2008). Penilaian Hasil Belajar Mengajar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Yamin, M. (2008). Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa. Gaung Persada Press. Jakarta. 4975 PENERAPAN MODEL “MAKE A MATCH “ UNTUK PENCAPAIAN KOMPETENSI IPS TERPADU Dra. Conny Jeany Francis Matullesy25 ABSTRAK Melihat keunggulan model pembelajaran Make a match dalam mengupayakan pencapaian kompetensi IPS Terpadu siswa maka penelitian menggangkat judul "Penerapan Model Pembelajaran Make a match Untuk Meningkatkan Kompetensi Siswa Pada Mata pelajaran IPS Terpadu di Kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan" Kompetensi IPS Terpadu siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Make a match pada Formatif I rata-rata hasil belajar 68 dengan ketuntasan 55% dan Formatif 11 menunjukkan rata-rata 77 dengan ketuntasan klasikal 85% atau tuntas klasikal dalam dua siklus dengan peningkatan ketuntasan 30%. 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan belajar IPS Terpadu. Pembelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 15 Medan selama ini, peneliti sebagai guru belum begitu fokus menerapkan variasi model pembelajaran. Keterbatasan sarana yang ada memaksa guru hanya menerapkan model yang dianggap paling mudah dan tidak membutuhkan banyak media. Model ceramah konseptual, namun hanya sesekali demontrasi dengan alat peraga dilakukan. Sehingga hasil yang dicapai selama ini belum begitu memuaskan. Belasan tahun peneliti melaksanakan pembelajaran IPS Terpadu hasilnya selalu belum memuaskan. Belum ada tercapai kompetensi secara tuntas dalam pembelajaran tanpa program remedial. Tidak adanya variasi pembelajaran yang lebih berpihak pada siswa mengakibatkan penumpukan ketidaktercapaian kompetensi yang justru semakin melemahkan minat belajar siswa itu sendiri. Menyadari kondisi ini, peneliti sebagai guru telah berupaya menerapkan model-model pembelajaran berorientasi aktivitas belajar siswa untuk mengupayakan pencapaian kompetensi.Salah satu gagasan yang menjawab permasalahan ini adalah dengan menerapkan penelitian tindakan kelas (PTK). Melalaui PTK bukan hanya prestasi atau pencapaian kompetensi siswa saja yang diupayakan. PTK dapat dilaksanakan secara kolaboratif dalam mengatasi keterbatasan yang dimiliki peneliti. Sehingga kolaborasi dilakukan dengan guru sejawat, pembimbing penelitian, dan nara somber dari LPMP SUMUT dan UNIMED. Dari diskusi kolaborasi diperoleh suatu rumusan untuk melaksanakan peneltian dengan menerapkan model pembelajaran Make a match dalam mengupayakan pencapaian kompetensi IPS Terpadu siswa. Teori belajar dan pembelajaran merumuskan model Make a match yakni model mencari pasangan. Dalam model pembelajaran Make a match kegiatan pembelajaran terjadi apabila siswa secara individu maupun kelompok menggunakan beberapa rangkaian peristiwa atau perangkat data yang diberikan sebelumnya dan menerapkannya atau menarik kesimpulan dari data tersebut menjadi suatu keterpaduan yang sesuai atau menjadikan pasangan pernyataan yang benar. Model pembelajaran Make a match dalam mengupayakan pencapaian kompetensi IPS Terpadu siswa, maka penelitian ini menggangkat judul "Penerapan Model Pembelajaran Make a match Untuk Meningkatkan Kompetensi Siswa Pada Mata pelajaran IPS Terpadu di Kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan". 25 Guru SMP Negeri 15 Medan 4976 1.2. Identifikasi Masalah Merujuk pada latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan pembelajaran di SMP Negeri 15 Medan sebagai berikut: 1. Pembelajaran IPS Terpadu belum berfokus pada upaya menerapkan variasi model pembelajaran di dalamnya. 2. Penerapan model pembelajaran selalu disesuikan dengan ketersediaan sarana bukan pada pencapaian kompetensi dan karakteristik materi pelajaran. 3. Aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran IPS Terpadu masih terbatas. 1.3. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas maka penulis merumuskan permasalahnnya sebagi berikut: 1. Apakah kompetensi siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Make a match dalam, pembelajaran IPS Terpadu di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tabun Pelajaran 2012/2013? 2. Apakah aktivitas belajar siswa meningkat dengan menerapkan model pembelajaran Make a match selama pembelajaran IPS Terpadu di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tabun Pelajaran 2012/2013? 1.4. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui peningkatan kompetensi siswa setelah menerapkan model pembelajaran Make a match dalam pembelajaran IPS Terpadu di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013. 2. Mengetahui peningkatan aktivitas belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran Make a match selama pembelajaran IPS Terpadu di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013. 1.5. Manfaat Penelitan Adapun maksud peneliti mengadakan penelitian ini diharapkan dapat berguna. sebagai: 1. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang peranan guru IPS Terpadu dalam meningkatkan pemahaman siswa belajar pengetahuan sosial 2. Sumbangan pemikiran bagi guru IPS Terpadu dalam mengajar dan meningkatkan kompetensi IPS Terpadu siswa di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013. 2.5. Model Pembelajaran Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan, strategi atau metode pembelajaran. Saat ini telah banyak dikembangkan berbagai macam model pembelajaran, dari yang sederhana sampai model yang agak kompleks dan rumit karena memerlukan banyak alat bantu dalam penerapannya. Ada beberapa ciri-ciri model pembelajaran secara khusus diantaranya adalah : 1. Rasional teoritik yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya. 2. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar. 3. Tingkah lake mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil. 4977 4. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Sedangkan model pembelajaran menurut Kardi dan Nur ada lima model pembelajaran yang dapat digunakan dalam mengelola pembelajaran, yaitu: pembelajaran langsung; pembelajaran kooperatif; pembelajaran berdasarkan masalah; diskusi; dan learning strategi.Menurut Sardiman A. M. (2004 : 165), guru yang kompeten adalah guru yang mampu mengelola program belajarmengajar. Mengelola di sini memiliki arti yang luas yang menyangkut bagaimana seorang guru mampu menguasai keterampilan dasar mengajar, seperti membuka dan menutup pelajaran, menjelaskan, menvariasi media, bertanya, memberi penguatan, dan sebagainya, juga bagaimana guru menerapkan strategi, teori belajar dan pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif. Colin Marsh (1996:10) menyatakan bahwa guru harus memiliki kompetensi mengajar, memotivasi peserta didik, membuat model instruksional, mengelola kelas, berkomunikasi, merencanakan pembelajaran, dan mengevaluasi. Semua kompetensi tersebut mendukung keberhasilan guru dalam mengajar. Kompetensi adaptif guru terhadap setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan di bidang pendidikan, baik yang menyangkut perbaikan kualitas pembelajaran maupun segala hal yang berkaitan dengan peningkatan prestasi belajar peserta didiknya adalah faktor penentu keberhasilan siswa. 2.6. Model pembelajaran Make a match Model pembelajaran Make a match dikembangkan oleh Lorna Curron. Model pembelajaran ini dapat dilakukan dengan cara siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Model pembelajaran ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan siswa (Isjoni, 2010: 77).Teknik mencari pasangan atau Make a match merupakan model pembelajaran yang cukup menyenangkan yang digunakan untuk mengulang materi yang telah diberikan sebelumnya. Namun materi baru pun tetap bisa diajarkan dengan model pembelajaran ini dengan catatan siswa diberi tugas mempelajari topik yang akan diajarkan terlebih dahulu, sehingga ketika masuk kelas siswa telah memiliki bekal pengetahuan. Problem yang diformulasikan memiliki multi jawaban dan soal yang akan diberikan. Contoh penerapan model pembelajaran Make a match dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika pembelajaran berlangsung guru memberikan soal beserta pasangan jawabannya secara acak kepada siswa yang kemudian siswa mencari pasangan dari jawaban atau soal yang telah diberikan. Kegiatan pembelajaran harus membawa siswa dalam mencari pasangan jawaban atau soal yang telah diberikan oleh guru. Penerapan model Make a match (dalam Isjoni, 2010:77) dari beberapa temuan bahwa model Make a match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokan kartu yang ada di tangan siswa, proses pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat mencari pasangan kartu (Isjoni, 2010: 77). Langkah-langkah Model pembelajaran Make a match Langkah-langkah pembelajaran menggunakan model Make a match yaitu sebagai berikut: 1) Membuat potongan-potongan kertas sejumlah siswa yang ada dalam kelas. 2) Mengisi kertas-kertas tersebut dengan jawaban atau soal sesuai materi yang telah diberikan. 3) Mencocokkan semua kartu sehingga akan tercampur antara soal dan jawaban. 4) Membagikan soal atau jawaban kepada siswa. 5) Memberi setiap siswa satu kertas dan menjelaskan bahwa ini adalah aktivitas yang dilakukan berpasangan. 4978 Separuh siswa akan mendapatkan soal dan separohnya akan mendapat jawaban. 6) Meminta semua siswa untuk membentuk huruf U atau berhadapan. 7) Meminta siswa menemukan pasangan mereka. Jika ada yang sudah menemukan pasangan, mints mereka untuk duduk berdekatan, terangkan juga agar mereka tidak memberi tahu materi yang mereka dapatkan kepada teman yang lain. 8) Menambahkan langkah-langkah model Make a match yaitu setelah setiap siswa menerima potongan kertas, mereka diberi waktu untuk memikirkan jawaban atau soal dari kertas yang diterimanya. Setiap siswa yang dapat menemukan pasangannya dengan tepat sebelum batas waktu diberi poin atau nilai. 9) Mendiskusikan soal yang telah diterima dengan kelompok pasangan. 10) Mengakhiri proses ini dengan membuat klarifikasi dan diskusi (Tharmizi, 2010). 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap, tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana, praktek pembelajaran tersebut dilakukan (dalam Mukhlis, 2000:3). Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Sugiarti, 1997:6), yaitu berbentuk spiral dari sklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah pemcanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada Siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan. 3.2. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian tindakan kelas ditempuh dalam 2 (dua) siklus kegiatan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut: A. Siklus I: Perencanaan Tindakan meliputi: a) Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru tentang sub materi "interaksi sosial, prosses, cin-ciri dan tujuannya" untuk KBM 1 dengan sub materi "faktor pendorong interaksi sosial" untuk KBM 2. Selanjutnya diubah atau ditambah sesuai dengan model pembelajaran make a match. b) Penyusunan instrumen penelitian berupa lembar observasi aktivitas siswa dengan menerapkan model pembelajaran Make a match dan tes pemahaman siswa tentang interaksi sosial. 2) Pelaksanaan Tindakan dan Observasi (Action and Observation) Melaksanakan tindakan pembelajaran ke-1 dan ke-2 sesuai dengan RPP oleh peneliti sebagai guru di kelas VII-3. Selama proses pembelajaran dilakukan observasi oleh observer (guru sejawat) untuk mengamati aktivitas siswa. Diakhir Siklus I dilakukan pula tes hasil belajar siswa untuk mengetahui pemahaman siswa tentang interaksi sosial sebagai Formatif I. 4979 3) Refleksi (Reflective) dilakukan oleh peneliti dengan kolaborator berdasarkan hasil observasi dan evaluasi hasil pembelajaran IPS Terpadu dengan model pembelajaran make a match. Dari hasil refleksi kemudian peneliti berkolaborasi dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing Berta nara sumber dari UNIMED dan LPMP SUMUT untuk memperbaiki dan menguatkan rencana tindakan Siklus II. B. Siklus II: Perencanaan Tindakan Berdasarkan hasil refleksi terhadap proses pembelajaran pada Siklus I maka pada Siklus II disusun skenario model pembelajaran Make a match dengan revisi tindakan untuk memperbaiki proses. Peneliti berdiskusi secara kolaboratif dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing serta nara sumber dari UNIMED dan LPMP SUMUT dengan kegiatan perencanaan meliputi: a) Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru tentang sub materi "sosialisasi, tujuan dan agen-agennya" untuk KBM 3 dengan sub materi "jenis dan tahap-tahap sosialisasi" untuk KBM 4. b) Penyusunan instrumen penelitian berupa lembar observasi aktivitas siswa dengan menerapkan model pembelajaran Make a match dan tes pemahaman siswa tentang interaksi sosial. 2) Pelaksanaan Tindakan dan Observasi (Action and Observation) Melaksanakan tindakan pembelajaran ke3 dan ke-4 sesuai dengan RPP model pembelajaran Make a match dengan topik "interaksi sosial" oleh peneliti sebagai guru IPS Terpadu di kelas VII-3 Selama proses pembelajaran dilakukan observasi oleh observer (guru sejawat) untuk mengamati aktivitas siswa. Diakhir Siklus II dilakukan pula tes hasil belajar untuk mengetahui pemahaman siswa tentang interaksi sosial sebagai Formatif II. 3) Refleksi (Reflective) oleh peneliti berkolaborasi guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing serta nara sumber dari UNIMED dan LPMP SUMUT. Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran dan ketuntasan hasil belajar siswa ditelaah. 3.5. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian disusun melalui diskusi kolaborasi antara peneliti dengan guru sejawat, pembimbing, Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman guru dalam mengajar dan disusun untuk tiap siklus. Masing-masing RPP berisi kompetensi dasar, indikator pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran khusus, dan kegiatan belajar mengajar. 2. Tes formatif ini disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, digunakan untuk mengukur pemahaman siswa tentang interaksi sosial. Tes formatif ini diberikan setiap akhir siklus. Bentuk soal yang diberikan adalah tes objektif berjumlah 10 soal dengan 4 opsi. Tes formatif ini digunakan untuk mengetahui kemampuan awal (pretes) dan kemampuan akhir siswa. Setelah kegiatan belajar mengajar dilaksanakan (Siklus I), maka dilakukan tes formatif disebut formatif I dengan jumlah 5 soal. Akhir KBM pada Siklus II, dilakukan tes formatif terakhir atau disebut formatif II dengan jumlah 5 soal, dan soalnya diambil dari soal pretes sesuai dengan materi pembelajaran. 3. Lembar Observasi Aktivitas Siswa untuk mengamati aktivitas siswa selama berdiskusi kelompok. Lembar ini digunakan oleh dua pengamat. Ke dua pengamat tersebut mengamati masing-masing satu kelompok setiap 4980 satu KBM yang sudah ditentukan oleh peneliti/guru. Pengamat tidak boleh duduk bersamaan untuk menghindari data bias. Pengamat mentabulasi data/menceklis pada lembar aktivitas ini selama dua menit sekali. Sebagai contoh, bila kerja kelompok ditentukan oleh peneliti selama 20 menit maka pengisian data pada lembar aktivitas jumlah per siswa ada 10 ceklis. 10 ceklis ini posisinya pada 5 aktivitas ini sesuai dengan pengamatan. Setelah data terkumpul, maka data tersebut dianalisis sehingga setiap aktivitas dapat ditentukan persentasenya. Observasi aktivitas akan di konfirmasikan dengan data dokumentasi penelitian berupa foto penelitian. 3.6. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Data yang dianalisis ini adalah data aktivitas belajar siswa melalui pengamatan aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar, pengamatan keterampilan guru dalam pengelolaan pembelajaran, dan nilai tes hasil belajar IPS Terpadu pada materi interaksi sosial. Analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Data penguasaan kompetensi siswa Secara individual, siswa telah tuntas pemahamannya tentang interaksi sosial jika mencapai skor KKM yang telah ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran IPS Terpadu kelas VII yakni 70 dengan perhitungan sebagai berikut: Skor Siswa = x 100% Suatu kelas dinyatakan tuntas belajar jika terdapat > 85% dari jumlah siswa telah tuntas belajar mencapai KKM. Perhitungan untuk menyatakan ketuntasan belajar siswa secara klasikal : P= 2. x 100% Untuk lembar observasi aktivitas siswa, maka lembar observasi aktivitas siswa dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: ̅ % = ∑ x 100% dengan ̅ 4.2. Pembahasan Merujuk pada Gambar 4.2 tentang hasil tes, pada Formatif I nilai rata-rata kelas adalah 68 dalam kategori tidak tuntas. nilai terendah Formatif I adalah 20 dan tertinggi adalah 100 dengan kriteria ketuntasan minimal 70 maka 18 orang siswa dari 40 siswa mendapat nilai dibawah kriteria ketuntasan atau ketuntasan klasikal adalah sebesar 55%. Dengan mengacu pada ketuntasan klasikal minimum sebesar 85% maka nilai ini berada di bawah kriteria keberhasilan sehingga dapat dikatakan KBM siklus I gagal memberi ketuntasan belajar dalam kelas. Meski secara keseluruhan hasil belajar siswa mengalami peningkatan dari pra pembelajaran sampai Siklus 1. Namur hasil pembelajaran sampai diakhir siklus I masih gagal memeberikan ketuntasan belajar secara klasikal meski ketuntasan rata-rata telah tercapai. Pada siklus I hal ini terjadi karena disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah sebagai berikut. Beberapa siswa belum memahami peran dan tugasnya dalam bekerja kelompok karena belum terbiasa dengan 4981 model pembelajaran yang diterapkan sehingga aktivitas individual menulis dan membaca menjadi sangat menonjol (39%). Interaksi antar siswa belum bedalan dengan baik karena siswa belum terbiasa untuk menyampaikan pendapatnya kepada sesama teman lainnya dalam menyelesaikan masalah sehingga aktivitas bertanya sesama teman kurang menonjol (7%). Banyak siswa yang pasif dalam ker a dan diskusi dan menggantungkan permasalahan yang dihadapi kepada kelompoknya sehingga aktivitas kineda yang seharusnya dominan hanya 33%. Kondisi kelas belum begitu kondusif tampak dari menonjolnya aktivitas tidak relevan dengan KBM mengingat aktivitas ini tidak perlu ada (6%). Dari hasil refleksi Siklus I ini maka di rencanakan tindakan perbaikan yang dapat ditempuh untuk Siklus II diantaranya : Untuk mengatasi masalah peran dan tugas dalam ker a kelompok maka dalam tugas pada Siklus II diadakan pembagian keda tiap siswa dalam kelompok. Untuk mengatasi interaksi yang kurang, maka dalam Siklus II dilakukan pemilihan siswa unggul sebagai tutor dalam kelompok sehingga menumbuhkan kemandirian kelompok. Diberikan bantuan pada sub materi pokok yang lebih terarah menggunakan sket bahan ajar sebagai pengarah aktivitas siswa dilakukan pada Siklus II. Menginformasikan kembali kepada siswa dalam kelompok bahwa kegiatan memasangkan kartu meskipun melibatkan kelompok, namun tanggung jawab individu ssangat besar didalamnya dan menjadi patokan penilaian individu. Siklus II dilaksanakan dalam dua kali pertemuan sesuai perencanaan. Diakhir siklus II dilaksanakan tes hasil belajar sebagai Formatif 11. Merujuk pada Gambar 4.2 tentang hasil tes, nilai rata-rata kelas Formatif II adalah 77 yang dalam kategori tuntas. Nilai terendah untuk Formatif 11 adalah 40 dan tertinggi adalah 100 dengan kriteria ketuntasan minimal 70 maka 34 siswa dari 40 siswa telah tuntas atau ketuntasan klasikal adalah sebesar 85%. Mengacu pada kriteria ketuntasan klasikal minimum sebesar 85% maka nilai ini berada di atas kriteria keberhasilan sehingga dapat dikatakan KBM siklus II telah berhasil memberi ketuntasan kompetensi IPS Terpadu dalam kelas secara menyeluruh. Data ini didukung oleh aktivitas menunjukkan bahwa aktivitas siswa pada Siklus II lebih baik dari pada Siklus I yakni: 1. Umumnya siswa tidak membuat kegaduhan didalam kelas sehingga aktivitas tidak relevan turun. (3%). 2. Aktivitas kiner a sudah cukup baik dan dominan (38%). 3. Hanya siswa masih terlihat bingung dengan kondisi pembelajaran yang diberikan dan aktivitas individualnya menulis dan membaca masih cukup menonjol (33%). Dengan demikian hasil belajar siswa diakhir Siklus II telah mencapai ketuntasan klasikal. Dengan demikian tindakan yang diberikan pada Siklus II berhasil memberikan perbaikan hasil belajar secara klasikal pada siswa. Namun tercatat beberapa aktivitas yang buruk seperti tingginya aktivitas bertanya (17%) temyata belum mewakili aktivitas yang benar dalam pembelajaran terlihat dalam dokumentasi penelitian bahwa yang tercatat dalam aktivitas bertanya sesama teman adalah siswa yang mengobrol. Tindakan yang dilakukan peneliti menggunakan model pembelajaran Make a match dapat membantu guru dalam meningkatkan kompetensi dan memperbaiki aktivitas belajar siswa terhadap pembelajaran IPS Terpadu. 4982 Tindakan pembelajaran ini dilakukan selama dua siklus yang terdiri dari empat kali tatap muka. Pembelajaran ini telah diterapkan di kelas selama penelitian agar siswa dapat tertarik dengan pelajaran IPS Terpadu dengan harapan ketuntasan belajamya meningkat. Make a match adalah pembelajaran yang pada prinsipnya siswa dapat menyerap, mencerna, dan mengingat bahan pelajaran dengan baik dalam kegiatannya siswa dapat memasangkan seiap kartu yang dipegangnya. Make a match berupa memsangkan kartu jawaban dengan kartu soal yang menyangkut materi pelajaran. Berdasarkan hasil observasi aktivitas diskusi kelompok dan hasil formatif pada Siklus II dapat dievaluasi bahwa langkah-langkah yang telah diprogramkan dan dilaksanakan telah mampu mencapai tujuan yang diharapkan dalam penelitian. Meskipun demikian masih terdapat beberapa siswa belum tuntas hasil belajamya. Karena keterbatasan waktu dan dana dalam penelitian ini, maka penelitian hanya dijadwalkan dalam dua siklus sehingga pemberian tindakan perbaikan pembelajaran tidak dilanjutkan pada siklus berikutnya. Karena sampai pada Siklus 11 telah berhasil memperbaiki aktivitas dan meningkatkan ketuntasan kompetensi siswa. 5.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari penerapan model pembelajaran Make a match selama kegiatan belajar mengajar IPS Terpadu di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran. 2012/2013 sebagai berikut: 1. Kompetensi IPS Terpadu siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Make a match pada Formatif I rata-rata hasil belajar 68 dengan ketuntasan 55% dan Formatif 11 menunjukkan rata-rata 77 dengan ketuntasan klasikal 85% atau tuntas klasikal dalam dua siklus dengan peningkatan ketuntasan 30%. 2. Aktivitas belajar siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Make a match dengan peningkatan sebagai berikut : a. Data aktivitas siswa rata-rata menurut pengamatan pengamat pada Siklus I antara lain menulis/membaca (39%), beker a (33%), bertanya sesama teman (7%), bertanya kepada guru (15%), dan yang tidak relevan dengan KBM (6%). b. Data aktivitas siswa rata-rata menurut pengamatan pada Siklus II antara lain menulis/membaca (33%), bekerja (38%), bertanya sesama teman (17%), bertanya kepada guru (9%), dan yang tidak relevan dengan KBM (3%). Daftar Pustaka Aqib, Z. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya. Dimyati dan Mudjiono, 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Djamarah, S.B dan Aswan, Z. 2006. Startegi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Lie, A. 2008. Cooperative learning. Jakarta : PT Gramedia Majid, A. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung : Rosda. Sagala, S. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV Alfabeta. Sardiman. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT.Raja Grasindo Persada. 4983 Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta. Slavin, R.E. 2005. Cooperative Learning Teori, Riset,dan Praktik. Bandung : Nusa Media. PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KETERAMPILAN PROSES UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KOMPETENSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Afrida Lubis26 ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk melaporkan hasil PTK dalam upaya meningkatkan Kompetensi Pendidikan Agama Islam siswa SMP negeri 15 Medan. Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan, yaitu berbentuk spiral dari sklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap, siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada Siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas VIII-3 SMP Negeri 15 Medan tahun ajaran 2013/2014 yang ber umlah 30 orang siswa. Adapun yang bertindak sebagai observer dalam penelitian ini adalah guru teman sejawat. Dengan menerapkan model pembelajaran keterampilan proses hasil belajar siswa dari Siklus ke Siklus berikutnya mengalami peningkatan. Hasil belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran keterampilan proses pada Formatif I dan Formatif II menunjukkan 13 orang siswa tuntas secara individu, sedangkan ketuntasan klasikal 46,6% atau tidak tuntas kelas. Pada Siklus 11, tuntas secara individu sebanyak 27 orang siswa, sedangkan kelas adalah tuntas dengan ketuntasan klasikal sebesar 90% dengan rata-rata siklus I dan siklus II adalah 75,2 clan 88,8. 1.1. Latar Belakang Peningkatan aktivitas murid dalam pembelajaran dapat memudahkan murid memahami penguasaan kompetensi materi yang diberikan dan menghindari perasaan jenuh siswa dalam belajar. Selain itu, meningkatnya aktivitas siswa dalam proses- pembelajaran akan membuat pelajaran lebih bermakna dan berarti dalam kehidupan siswa. Dikatakan demikian, karena (1) adanya keterlibatan siswa dalam membuat dan menyusun perencanaan proses belajar mengajar, (2) adanya keterlibatan intelektual dan emosional siswa melalui dorongan dan semangat yang dimilikinya, (3) adanya ketidaksertaan siswa secara kreatif dalam mendengarkan dan memperhatikan apa yang disajikan guru. Untuk merumuskan jalan keluar dari permasalahan aktivitas belajar siswa dan penguasaan kompetensi siswa maka peneliti berupaya dengan menerapkan model-model pembelajaran dalam kelas. Namun pemahaman dan kemampuan peneliti dalam menerapkan model-model pembelajaran sangat jauh dari sempurna 26 Guru SMP Negeri 15 Medan 4984 sehingga penerapan model tersebut dikemas dalam penelitian tindakan kelas yang dibimbing oleh pembimbing penelitian dan nara sumber yang berkompeten dalam bidang pendidikan. Dengan penelitian tindakan diharapkan dapat dirumuskan akar permasalahan dan dapat dianalisis kelemahan peneliti dalam penerapan model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang direkomendasikan adalah model pembelajaran keterampilan proses. Model pembelajaran keterampilan proses memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara, nyata bertindak sebagai seorang ilmuan (Dimyati dan Mudjino, 2002:139). Sehingga pendekatan keterampilan proses menuntut adanya keterlibatan fisik dan mental-intelektual siswa dalam kelompok. Hal ini dapat digunakan untuk melatih dan mengembangkan keterampilan intelektual atau kemampuan berfikir serta keterampilan siswa. Selain itu jugs mengembangkan sikap-sikap ilmiah dan kemampuan siswa untuk menemukan dan mengembangkan imaginasiimaginasi. Dengan demikian siswa dapat memahami manfaat dan tumbuh pula, rasa solidaritas melalui pembelajaran kelompok. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar pendidikan agama islam siswa. Dalam hal ini, penulis akan menggunakan instrumen tes hasil belajar untuk memperoleh data hasil belajar dan instrumen lembar aktivtas belajar siswa untuk memperoleh data aktivitas siswa. Selanjutnya, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Penerapan Model Pembelajaran Keterampilan Proses Untuk Meningkatkan Penguasaan kompetensi Pendidikan Agama Islam -Siswa Di Kelas VIII-3 -SMP Negeri 15- Medan". 1.2. Batasan Masalah Melihat luasnya cakupan masalah yang teridentifikasi dibanding dengan waktu dan kemampuan yang dimiliki penulis, agar penelitian ini terarah dan dapat dilaksanakan maka peneliti membatasi masalah sebagai berikut. 1. Model pembelajaran yang digunakan adalah Model Pembelajaran Keterampilan Proses. 2. Materi yang diajarkan dalam penelitian ini adalah beriman kepada kitab Allah dan perilaku terpuji di kelas VIII-3 semester I T.P 2013/2014 3. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII-3 semester I SMP Negeri 15 Medan T.P 2013/2014. 4. Penelitian dibatasi pada dua Siklus dengan dua pertemuan pembelajaran tiap Siklusnya. 1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas yang menjadi rumusan masalah adalah : 1. Apakah hasil belajar siswa meningkat saat menerapkan model pembelajaran keterampilan proses pada materi Beriman kepada kitab Allah dan Perilaku Terpuji di kelas VIII-3 semester I SMP Negeri 15 Medan? 2. Apakah aktivitas belajar siswa meningkat saat menerapkan model pembelajaran keterampilan proses pada materi Beriman kepada kitab Allah dan perilaku terpuji di kelas VIII-3 semester I SMP Negeri 15 Medan? 1.4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa setelah menerapkan model pembelajaran keterampilan proses pada materi Beriman kepada, kitab Allah dan Perilaku Terpuji di kelas VIII-3 semester I SMP Negeri 15 Medan. 2. Untuk mengetahui peningkatan aktivitas belajar siswa saat menerapkan model pembelajaran keterampilan 4985 proses pada materi Beriman kepada kitab Allah dan Perilaku Terpuji di kelas VIII-3 semester I SMP Negeri 15 Medan. 2.1. Kerangka Teoritis: Hakikat Belajar Agama Islam Belajar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah proses perubahan tingkah laku (Depdikbud, 1998: 14). Hilgard dan. Brower (Hamalik, 1992: 45) mengemukakan bahwa belajar merupakan dalam perbuatan melalui aktifitas, praktek dan pengalaman. Menurut Slameto (Djamarah, 1994: 22) belajar adalah proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan Hamalik (1992: 55) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses berbuat, bereaksi, memahami berkatadanya pengalaman. Pengalaman itu sendiri pada dasarnya adalah interaksi antar individu dengan lingkungan. Dengan adanya proses interaksi antara guru dan siswa, maka akan terjadi perubahan tingkah laku sebagaimana yang diharapkan. 2.2. Pembelajaran Keterampilan Proses Pembelajaran keterampilan proses adalah suatu pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk ikut menghayati proses penemuan atau penyusunan suatu konsep sebagai suatu keterampilan proses (Syaiful Sagala, 2009). Sedangkan menurut Depdikbud dalam (Dimyati dan. Mudjono,2009) bahwa keterampilan proses adalah wawasan atau panutan pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual, social dan fisisk yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah ada dalam diri siswa. Keterampilan proses memberikan kepada siswa pengertian yang tepat tentang hakikat ilmu pengetahuan. Siswa langsung mengalami ransangan ilmu pengetahuan dalam kegiatan belajarnya dan lebih mengerti fakta dan konsep ilmu pengetahuan, karena keterampilan proses selalu menuntut adanya keterlibatan fisik, mental dan intelektual siswa. 3.1. Desain Penelitian Penelitan ini termasuk dalam. jenis Penelitian Tindakan Kelas. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yakni suatu pencermatan terhadap suatu kegiatan yang sengaja dimunculkan dan terjadi di dalam sebuah kelas (Suharsimi Arikunto, dkk : 16: 2007). Banyak sekali masalah yang ditemukan dalam proses pembelajaran di sekolah. Tentu para guru diminta untuk mencari solusi dari masalah-masalah itu. Untuk mencari solusi dari masalah itu diperlukan sebuah penelitian. Dari sinilah dimulai sebuah penelitian yang dimulai dari melihat, membaca, menulis, meneliti dan melaporkannya dalam bentuk laporan PTK. Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil Tahun Pelajaran 2013/2014 selama 4 (tiga) bulan mulai dari bulan September sampai dengan Desember 2013. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan September dan Oktober selama 4 (empat) KBM yang dibagi dalam 2 (dua) siklus dengan pokok bahasan Beriman kepada kitab Allah dan Perilaku Terpuji. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas VIII-3 SMP Negeri 15 Medan tahun ajaran 2013/2014 yang ber umlah 30 orang siswa. Adapun yang bertindak sebagai observer dalam penelitian ini adalah guru teman sejawat. Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut Tim Pelatih Proyek PGSM, PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap 4986 tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta, memperbaiki kondisi dimana, praktek pembelajaran tersebut dilakukan (dalam Mukhlis, 2000:3). Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Sugiarti, 1997:6), yaitu berbentuk spiral dari sklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap, siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada Siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan. Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada, gambar berikut. 4.1. Hasil Penelitian dan Data Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII-3 Semester Genap SW Negeri 15 Medan Tahun Pembelajaran 2013/2014 yang berjumlah 30 orang siswa. Penelitian dilakukan mulai bulan Pebruari 2013 sampai bulan Mei Tahun 2013. Penelitian ini berjalan dalam dua siklus, yang dalam setiap siklusnya berlangsung dua kali pertemuan atau pembelajaran tatap muka (setiap pertemuan 2 x 45 menit). Setiap siklus penelitian terdiri dari 4 (empat) tahap kegiatan, utama, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Data yang dikumpulkan dalam setiap siklus adalah data yang berhubungan dengan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa melalui instrumen pengumpul data yang telah ditetapkan, dalam hal ini adalah melalui format observasi dan lembar soal tes yang telah disiapkan oleh guru. Setelah melakukan Siklus I dan Siklus II dan diperoleh data-data hasil belajar dan aktivitas belajar, maka data tersebut dapat disajikan dalam Tabel. Pengambilan data dilakukan empat kali pertemuan (4 RPP) dibagi menjadi dua Siklus. Pertemuan pertama, dan pertemuan kedua disebut Siklus I, dan pertemuan ketiga dan pertemuan keempat disebut Siklus II. Sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar maka dilakukan tes hasil belajar atau disebut Pretes. Andlisis data menunjukan hasil pretes siswa rata-rata adalah 33,8, hal ini menunjukan bahwa rata-rata, siswa belum ada persiapan sebelum belajar di sekolah.Di akhir Siklus I siswa diberikan tes, tes tersebut adalah sebagian dari instrumen pada pretes yang mewakili indikator yang telah dipelajari. Tes di akhir Siklus I ini disebut sebagai Formatif I. Dari Formatif I diperoleh data yang disajikan dalam Tabel sebagai berikut: Tabel 4.1 Distribusi Hasil Formatif I Nilai Frekuensi 57,1 71,4 5 12 Tuntas Individu - Tuntas Kelas - Nilai rata-rata, 75,2 4987 85,7 Jumlah 13 30 13 13 13% 43,3% Merujuk pada Tabel 4.1 tersebut, nilai terendah Formatif I adalah 57,1 dan tertinggi adalah 85,7. Kriteria ketuntasan minimum yang ditetapkan adalah 80 dengan nilai rata-rata sebesar 75,2 maka belum mencapai KKM, dengan 17 orang mendapat nilai dibawah kriteria ketuntasan atau tidak tuntas, dengan demikian ketuntasan klasikal adalah sebesar 43,3%. Kriteria ketuntasan klasikal yang ditetapkan adalah 85% siswa memperoleh nilai sama dengan atau di atas KKM. Sehingga nilai ini jauh berada di bawah kriteria keberhasilan sehingga dapat dikatakan KBM Siklus I sama sekali tidak berhasil memberi ketuntasan belajar dalam kelas. Tabel 4.2 Skor Aktivitas Belajar Siswa Siklus I No 1 2 3 4 5 Aktivitas Menulis,membaca Mengerjakan Bertanya pada. teman Bertanya pada guru Yang tidak relevan Jumlah Jumlah 80 58 32 24 6 200 Rata-Rata 20 14.5 8 6 1.5 50 Proporsi 40.0% 29.0% 16.0% 12.0% 3.0% 100.0% Merujuk pada Tabel 4.2, pada Siklus I rata-rata aktivitas I yakni menulis dan membaca memperoleh proporsi 40%. Aktivitas mengerjakan dalam diskusi mencapai 29,0%. Aktivitas bertanya pada teman sebesar 16,0%. Aktivitas bertanya kepada guru 12,0% dan aktivitas yang tidak relevan dengan KBM sebesar 3,0%. Nilai– nilai ini memperlihatkan beberapa hal diantaranya, ketika siswa berdiskusi dalam kelompok banyak kelompok yang terlihat bingung dalam pelaksanaannya sehingga peneliti kewalahan melayani pembimbingan tiap kelompok. Sementara beberapa siswa tidak aktif dalam melaksanakan diskusi, siswa tersebut hanya berdiam diri, seolah-olah tidak mau tahu dan hanya melakukan kegiatan menulis dan membaca, meskipun ada beberapa siswa yang aktif dalam berargumen. 4.1. Refleksi Setelah siklus I selesai maka peneliti melakukan refleksi. Ketidaktuntasan dan rendahnya hasil Formatif I tersebut diakibatkan oleh beberapa hal diantaranya, ketika siswa berdiskusi dalam kelompok banyak kelompok yang terlihat bingung dalam pelaksanaannya, Ada pula yang bingung dengan langkah yang harus dilaksanakan. Sementara beberapa siswa tidak aktif dalam melaksanakan diskusi, siswa tersebut hanya berdiam diri, seolah-olah tidak mau tahu meskipun ada beberapa siswa yang aktif dalam berargumen. Kemudian ada beberapa kelompok yang masih bingung dan tampak belum bisa menarik kesimpulan diskusi. Selain itu ada juga siswa yang tidak serius dan melakukan tindakan-tindakan yang tidak relevan dengan KBM. Siswa juga tidak mau menyampaikan hasil diskusi, hal ini dikarenakan siswa kurang percaya diri dan belum terampil dalam mengemukakan pendapat dan bertanya. 4.2. Pembabasan Berdasarkan hasil pelaksanaan pada Siklus I dan II dapat dinyatakan bahwa terjadi peningkatan kualitas pembelajaran yang tampak clan perolehan hasil tes dan Ve-akt-ifan siswa-. -Nfe—rujuk pada -Tab-eT 4.5, -dapat 4988 kits Ti-hat adanya persentase kenaikan nilai siswa dari pretes dengan rata-rata 33,8 dan ketuntasan 0% menjadi ratarata 75,2 dangan ketuntasan klasikal 43,3% pada formatif I. Hal itu menunjukkan bahwa pelaksanaan Siklus I belum mencapai keberhasilan. Formatif II menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar menjadi rata-rata 88,8. Hasil Siklus II meski mendapatkan nilai rata-rata diatas KKM, secara klasikal menunjukkan adanya keberhasilan pembelajaran dengan ketuntasan klasikal mencapai 90%. secara keseluruhan hasil belajar siswa meningkat dari Pretes, Formatif I, sampai Formatif II. Namur peningkatan yang terjadi belum mampu memberikan ketuntasn belajar pada siswa baik pada pembelajaran Siklus I maupun pembelajaran Siklus H. Kondisi ini muncul karena berbagai kendala yang dihadapi saat pelaksanaan pembelajaran. Merujuk pada tabel 4.2 dan 4.4, Penilaian aktivitas diperoleh dari lembar observasi aktivitas. Pengamatan dilakukan oleh dua pengamat selama 20 menit kerja kelompok dalam setiap KBM atau 40 menit dalam satu Siklus. Dengan pengamatan. setiap 2 merit, maka nilai maksimum yang mungkin teramati untuk satu kategori aktivitas selama 40 menit adalah 20 kali. Merujuk pada Tabel 4.5, pada. Siklus I rata-rata aktivitas, 1 yakni menulis dan membaca memperoleh persentasi 40%. Aktivitas mengerjakan dalam diskusi mencapai 29%. Aktivitas, bertanya pada teman sebesar 16%. Aktivitas bertanya kepadaPeneliti 12% dan aktivitas yang tidak relevan. dengan KBM sebesar 3%. Merujuk pada Tabel 4.4 pada. Siklus II aktivitas menulis dan membaca turun menjadi 23% yang sepertinya mengindikasikan bahwa siswa lebih tertarik bekeda secara individu namun ternyata kondisi ini diimbangi dengan kenaikan aktivitas mengerjakan dalam diskusi yang meningkat menjadi 41,5%. Sementara aktivitas bertanya pada teman tatap16% dan bertanya pada Peneliti naik menjadi 18,5%. Kesimpulan awal tentang karakter siswa adalah bahwa siswa tidak mempersiapkan diri untuk belajar di rumah tentang materi yang baru akan diajarkan di sekolah, Sehingga ketika peneliti melaksanakan Siklus I, peneliti mengalami berbagai kendala antara lain ketika siswa berdiskusi dalam kelompok banyak kelompok yang terlihat bingung dalam. pelaksanaannya, ada pula yang hinging fiengan- langkah yang harus_dilaksanakan Sementara beberapa- siswa tidak aktif dalam melaksanakan diskusi, siswa tersebut hanya berdiam diri, seolah-olah tidak mau tabu meskipun ada beberapa siswa yang aktif dalam berargumen. Kemudian ada beberapa kelompok yang masih bingung dan tampak belum bisa menarik kesimpulan diskusi. Kerjasama siswa dalam kelompok masih belum optimal, masih banyak siswa yang pasif. Mereka memang terlihat seperti mengerjakan, tetapi sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari mereka yang mengerjakan, yang lainnya hanya bergantung pada temannya. Hal ini dikarenakan siswakurang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan. Kelemahan yang terjadi pada. Siklus I akan diperbaiki pada Siklus H dengan melakukan tindakan-tindakan. Adapun solusi yang diterapkan pada pelaksanaan Siklus II dari hasil refleksi diatas antara lain: Peneliti memberikan peringatan agar setiap siswa mengemukakan pendapatnya pada saat ker a kelompok. Bagi siswa yang tidak mengemukakan pendapatnya pada saat kerja kelompok, akan dikurangi nilainya. 5.1. Simpulan Kesimpulan penelitian ini didasarkan pada temuan-temuan dari data-data hasil penelitian, sistematika sajiannya dilakukan dengan memperhatikan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Adapun kesimpulan yang diperoleh antara lain : 1. Dengan menerapkan model pembelajaran keterampilan proses hasil belajar siswa dari Siklus ke Siklus 4989 berikutnya mengalami peningkatan. Hasil belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran keterampilan proses pada Formatif I dan Formatif II menunjukkan 13 orang siswa tuntas secara individu, sedangkan ketuntasan klasikal 46,6% atau tidak tuntas kelas. Pada Siklus 11, tuntas secara individu sebanyak 27 orang siswa, sedangkan kelas adalah tuntas dengan ketuntasan klasikal sebesar 90% dengan rata-rata siklus I dan siklus II adalah 75,2 clan 88,8. 2. Data aktivitas siswa dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan. Data aktivitas siswa menurut kedua pengamatan pengamat pada Siklus I antara lain menulis, membaca (40,0%), bekerja (29,0% ), bertanyasesama-teman-(16,0%), bertanya kepada. guru (12,0%), dan yang tidak relevan dengan KBM (3,0%). Dan Data aktivitas siswa menurut pengamatan pada. Siklus II antara lain: menulis/membaca (23,0%), bekerja (41,5%), bertanya sesama teman (16,0%), bertanya kepada guru (18,5%), dan yang tidak relevan dengan KBM (1,0%). Daftar Pustaka Arikunto, S., (2007), Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Aqib, Zainal. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya. Aunurrahman., (2009), Belajar dan Pembelajaran, Penerbit Alfabeta, Bandung. Joyce, Wheil, dan Calhoun, (2010), Model's of Teaching (Model–Model Pengajaran), Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Majid, A., (2009), Perencanaan Pembelajaran, Rosda, Bandung. Slameto, (2003), Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Trianto., (2009), Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progressif, Kencana Prenada Media Group,Jakarta. Usman, Moh. Uzer. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya Wena, M., (2009), Model Pembelajaran Inovatif Kontemporer, Bumi Aksara, Jakarta. 4990 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BAHASA INGGRIS Dewi,S.Pd27 ABSTRAK Penilitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan untuk mencari solusi atas rendahnya kemampuan bahasa Inggris siswa. Penggunaan metode yang kurang bervariasi ternyata tidak sesuai dengan variasi keterampilan berbahasa yang menjadi tujuan.Merujuk pada keunggulan model pembelajaran picture and picture dalam mengatasi permasalahan keterampilan berbahasa Inggris siswa maka penelitian mengangkat judul “Peningkatan Keterampilan Berbahasa Inggris Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Di Kelas VI SD Negeri 066057 Medan”. Keterampilan berbahasa Inggris siswa meningkat dengan menerapkan model pembelajaran picture and picture pada Siklus I mencapai rata-rata 62 dengan ketuntasan klasikal 68% dan Siklus II mencapai 80 dengan ketuntasan klasikal 86%.Dengan demikian terjadi peningkatan ketuntasan klasikal keterampilan berbahasa Inggris siswa mencapai 18%. 1.1. Latar Belakang Masalah Bahasa Inggris merupakan bahasa yang digunakan dalam komunikasi internasional. Penguasaan bahasa ini bahkan kepentinganya menjadi bahasa kedua setelah bahasa Indonesia . Di sekolah-sekolah bahasa inggris dipelajari mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Melihat dari kepentingannya,pembelajaran bahasa inggris seharusnya adalah upaya memberikan kepada siswa keterampilan menggunakan bahasa tersebut dalam berkomunikasi. Keterampilan yang dimaksud adalah membaca (reading), menulis (writing), menyimak (listening), dan berbicara (speaking). Meskipun telah dirumuskan tujuan dari pembelajaran bahasa inggris itu sendiri, tetapi tidak banyak guru menyadarinya dan menerapkannya dalam kelas. Hasil belajar selama ini menggambarkan bahwa kemampuan siswa dalam berbahasa inggris sangat rendah. Rata-rata siswa cukup baik dalam keterampilan membaca (reading) dan menulis (writing). Namun keterampilan menyimak (listening) dan berbicara (speaking) sangat rendah. Ini adalah dampak dari pembelajaran menghafal. Menghafal tentu ada gunanya,tetapi tidak semua materi dan 27 Guru Sekolah Dasar Negeri 066057 Medan 4991 keterampilan dapat diajarkan dengan menghafal. Untuk keterampilan berbahasa yang lebih tinggi tentu dituntut variasi metode yang lebih sesuai. Dalam pembelajaran di Sekolah Dasar(SD) penggunaan menghafal sangat tepat dilakukan di kelas rendah seperti kelas I sampai kelas III, namun tuntutan kompetensi yang lebih tinggi seperti kelas VI sampai kelas VI penggunaan metode yang tunggal tidak lagi relevan dengan materi dan kompetensi yang sangat dinamis. Sehingga perlu diterapkan metode-metode lain yang sesuai. Dalam memberikan keterampilan yang lebih beragam, sudah sepantasnya kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnya. Bahkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran koperatif ternyata sangat efektif. Namun memberikan variasi model atau metode bukanlah hal yang mudah bagi peneliti menerapkannya dalam kelas. Berbagai keterbatasan mulai dari pengenalan teoritis sampai kemampuan menerapkan dalam kelas masih menjadi kendala bagi guru. Mengatasi kesulitan ini muncul gagasan melaksanakan penelitian tindakan kelas melalui kolaborasi dengan guru sejawat dan dibimbing oleh pembimbing serta nara sumber dari LPMP SUMUT dan UNIMED. Penelitian tindakan dimaksudkan selain memperbaiki keterampilan berbahasa inggris siswa juga memperbaiki kemampuan guru melaksanakan proses pembelajaran dengan menerapkan model. Kolaborasi mengatasi keterbatasan peneliti secara teoritis maupun praktis terhadap model pembelajaran. Hasil diskusi kolaborasi, untuk mengatasi permasalahan keterampilan berbahasa inggris siswa maka diterapkan model pembelajaran picture and picture. Model pembelajaran picture and picture. Model pembelajaran ini mengandalkan gambar sebagai media dalam proses pembelajaran. Gambar-gambar ini menjadi factor utama dalam proses pembelajaran. Sehingga sebelum proses pemeblajaran guru sudah meniapkan gambar yang akan ditampilkan baik dalam bentuk kartu atau dalam bentuk carta dalam ukuran besar. Model ini dapat membantu siswa lebih jelas dalam menyimak kalimat-kalimat yang diucapkan guru melalui bantuan gambar yang dipasang. Merujuk pada keunggulan model pembelajaran picture and picture dalam mengatasi permasalahan keterampilan berbahasa Inggris siswa maka penelitian mengangkat judul “Peningkatan Keterampilan Berbahasa Inggris Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Di Kelas VI SD Negeri 066057 Medan”. 1.2 Rumusan Masalah. Setelah dibatasi, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Apakah keterampilan berbahasa Inggris siswa meningkat setelah diterapkannya model pembelajaran picture and picture di kelas VI SD Negeri 066057 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013? 2. Apakah aktivitas belajar bahasa Inggris siswa meningkat setelah diterapkannya model pembelajaran picture and picture di kelas VI SD Negeri 066057 Medan Tahun Pembelajaran 2012/2013? 1.3. Cara Pemecahan Masalah Masalah lemahnya keterampilan bahasa Inggris siswa kelas VI SD Negeri 066057 Medan akan dijawab dengan menerapkan model pembelajaran picture and picture yang diharapkan memicu aktivitas belajar siswa dan meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris siswa melalui proses pengelolaan memori dalam media gambar. 4992 Penerapan model picture and picture ini dilakukan dalam dua siklus yang berulang dengan senantiasa melakukan refleksi diakhir tiap siklus untuk memberikan tindakan-tindakan perbaikan dalam menerapkan model pembelajaran picture and picture. 1.5. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang diterapkan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui peningkatan keterampilan berbahasa Inggris siswa setelah diterapkannya model pembelajaran picture and picture di kelas VI SD Negeri 066057 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013. 2. Untuk mengetahui peningkatan aktivitas belajar bahasa Inggris siswa setelah diterapkannya model pembelajaran picture and picture di kelas VI SD Negeri 066057 Medan Tahun Pembelajaran 2012/2013. 2.1. Kajian Toeri : Keterampilan Berbahasa Inggris Keterampilan berbahasa Inggris (English Skills) meliputi 4 hal, yaitu speaking, listening, writing dan reading. Keempat keterampilan tersebut merupakan keterampilan yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya sebagai salah satu media untuk berkomunikasi. Jika ada orang yang berbicara (speaking), tentu juga ada yang mendengar (listening). Setelah itu orang berkomunikasi menggunakan bahasa tulisan (writing) dan tentu saja ada yang membaca (reading). Dalam suatu sumber, Adi Sutrisno mengungkapkan bahwa salah satu kunci sukses belajar bahasa Inggris adalah mengetahui apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Menurut pengamatannya, seorang yang belajar bahasa Inggris harus menguasai keempat keterampilan tersbut yaitu vocabulary, grammar dan sound system harus terlebih dahulu dikuasai sebab itulah yang menjadi dasar kemampuan berbicara, mendengar, menulis dan membaca tersebut. Dengan mengetahui semakin banyak kosa kata dalam bahasa Inggris maka semakin mudah sseorang mengungkapkan ide yang ada dalam pikirannya dalam bentuk lisan maupun tertulis. Begitu pun dengan grammar, semakin tinggi kemampuan seseorang dalam membentuk suatu kalimat yang sesuai dengan aturan grammar, semakin mudah pula ia dalam berkomunikasi. Keduanya tentu diikuti dengan pengucapan yang tepat sesuai dengan pronunciation-nya agar dapat dipahami oleh orang lain. Adapun strategi untuk mempelajari bahasa Inggris, Adi Sutrisno menekankan untuk menggunakan keempat keterampilan tersebut dalam kegiatan nyata seharihari. Keterampilan yang pertama adalah keterampilan berbicara (speaking). Selalu meningkatkan kemampuan berbicara dapat membantu seseorang dalam berkomunikasi dengan lebih mudah dan efektif. Berbagai sumber menyebutkan ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berbicara.dibutuhkan suatu usaha untuk terus mempraktekkannya. Keterampilan hanya dapat diasah dengan berlatih dan terus berlatih. 2.2. Model Pembelajaran Picture and picture Salah satu model yang saat ini popular dalam pembelajaran adalah model pembelajaran picture and picture ini merupakan salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang saling asah, silih asih, dan silih asuh. Model pembelajaran Picture and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan / diurutkan menjadi urutan logis. 4993 Model pembelajaran ini mengandalkan gambar sebagai media dalam proses pembelajaran. Gambargambar ini menjadi factor utama dalam proses pembelajaran. Sehingga sebelum proses pembelajaran guru sudah menyiapkan gambar yang akan ditampilkan baik dlam bentuk kartu atau dalam bentuk carta dalam ukuran besar. Atau jika di sekolah sudah menggunakan ICT dalam menggunakan Power Point atau software yang lain. Menurut Jhonson & Johnson, prinsip dara dalam model pembelajaran kooperatif picture and picture adalah sebagai berikut: 1. Setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya. 2. Setiap anggota kelompok ( siswa ) harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama. 3. Setiap anggota kelompok ( siswa ) harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya. 4. Setiap anggotta kelompok ( siswa ) akan dikenai evaluasi. 5. Setiap anggota kelompok ( siswa ) berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya. 6. Setiap anggota kelompok ( siswa ) akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Sesuai dengan namanya, tipe ini menggunakan media gambar dalam prose pembelajaran yaitu dengan cara memasang/mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis. Melalui cara seperti ini diharapkan siswa mampu berfikir dengan logis sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Langkah-langkah dalam model pembelajaran picture and picture adalah sebagai berikut: 1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai Di langkah ini guru diharapkan untuk menyampaikan apakah yang menjadi Kompetensi Dasar mata pelajaran yang bersangkutan. Dengan demikina maka siswa dapat mengatur sampai sejauh mana yang harus dikuasainya. Disamping itu guru juga harus menyampaikan indikator-indikator ketercapaian KD, sehingga sampai dimana KKM yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh peserta didik. 2. Menyampaikan materi sebagai pengantar. Penyajian materi sebagai pengantar sesuatu yang sangat penting, dari sini guru memberikan momentum permulaan pembelajaran. Kesuksesan dalam proses pembelajaran dapat dimulai dari sini. Karena guru dapat memberikan motivasi yang menarik perhatian siswa yang selama ini belum siap. Dengan motivasi dan teknik yang baik dalam pemberian materi akan menarik minat siswa untuk siswa untuk belajar lebih jauh tentang materi yang dipelajari . 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini berbentuk Penelitian Tindakan Kelas 9PTK). PTK pertama kali diperkenalkan oleh psikologi social Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946 (Aqib, 2006 ;130. Penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelas atau disekolah dengan penekanan pada penyempurnaan atau peningkatan proses pembelajaran. Menurut Lewin dalam Aqib (2006 :21) menyatakan bahwa dalam satu Siklus terdiri atas empat langkah,yaitu perencanaan (Planning), tindakan (acting), observasi (observing) dan refleksi (reflecting). Adapun desain pelaksanaan PTK yang penulis rencanakan dalam penelitian adalah dalam dua siklus PTK 4994 3.4. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian tindakan kelas ditemuh dalam 2 (dua) siklus kegiatan.Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut: A. Siklus I Kegiatan pada Siklus I meliputi: 1) Perencanaan Tindakan Pada tahap ini peneliti berdiskusi secara kolaboratif dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing serta nara sumber dari UNIMED dan LPMP SUMUT dengan kegiatan perencanaan meliputi: a) Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru tentang sub materi ―membuat paragraph pendek tentang hobby‖ untuk KBM 1 dengan sub materi ―membuat pertanyaan‖ untuk KBM 2. Selanjutnya diubah atau ditambah sesuai dengan model pembelajaran picture and picture. b) Penyusunan instrument penelitian berupa tes keterampilan berbahasa Inggris siswa dan lembar observasi kegiatan pembelajaran siswa dengan menerapkan model pembelajaran picture and picture. 2) Pelaksanaan Tindakan dan obsevasi (Action and Observation) Melaksanakan tindakan pembelajaran ke-1 dan ke-2 sesuai dengan RPP oleh peneliti sebagai guru di kelas VI.Selama proses pembelajaran dilakukan observasi oleh observer (guru sejawat) untuk mengamati aktivitas belajar siswa. Diakhiri Siklus I dilakukan pula tes hasil belajar sisa untuk mengetahui keterampilan berbahasa Inggris siswa sebagai Formatif I. 3) Refleksi (Reflective) Kegiatan refleksi dilakukan oleh peneliti dengan kolaborator berdasarkan hasil observasi dan evaluasi hasil pembelajaran bahasa Inggris dengan model pembelajaran picture and picture. Dari hasil refleksi kemudian peneliti berkolaborasi dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing serta nara sumber dari UNIMED dan LPMP SUMUT untuk memperbaiki dan menguatkan rencana tindakan Siklus II B. Siklus II Kegiatan pada Siklus II meliputi: 1) Perencanaan Tindakan Berdasarkan hasil refleksi terhadap proses pembelajaran pada Siklus I maka pada Siklus II disusun scenario model pembelajaran picture and picture dengan revisi tindakan untuk memperbaiki proses. Peneliti berdiskusi secara kolaboratif dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing serta nara sumber dari UNIMED dan LPMP SUMUT dengan kegiatan perencanaan meliputi: a) Penysunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru tentang sub materi ―melakukan dialog tentang hobby‖ untuk KBM 3 dengan sub materi‖membaca dan melengkapi cerita‖ untuk KBM 4. b) Penyusunan instrument penelitian berupa tes keterampilan berbahasa Inggris siswa dan lembar observasi kegiatan siswa terhadap proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran picture and picture. 2) Pelaksanaan Tindakan dan Observasi (Action and Observation) 4995 Melaksanakan tindakan pembelajaran picture and picture dengan topic ―hobby‖ oleh peneliti sebagai guru Bahasa Inggris di kelas VI. Selama proses pembelajaran dilakukan observasi oleh observer (guru sejawat) untuk mengamati aktivitas siswa. Diakhir Siklus II dilakukan pula tes hasil belajar untuk mengetahui keterampilan berbahasa Inggris siswa sebagai Formatif II. 3) Refleksi (Reflective) Setelah kegiatan pembelajaran Siklus II dilaksanakan, dilanjutkan dengan kegiatan refleksi oleh peneliti berkolaborasi guru mata pelajaran sejenis dan pembimbibng serta nara sumber dari UNIMED dan LPMP SUMUT. Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran dan ketuntasan hasil belajar siswa ditelaah. 3.5. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian disusun melalui diskusi kolaborasi antara peneliti dengan guru sejawat,pembimbing, dan nara sumber dari LPMP SUMUT dan UNIMED. Perangkat Siklus I disusun dalam perencanaan Siklus I. Sementara dalam Siklus II perangkat disusun dalam perencanaan Siklus II,ini dimaksudkan agar teridentifikasi kelemahan pembelajaran dan tersusun rencana yang direvisi terlebih dahulu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Yaitu merupakan perangkat pembelajaran yang diguankan sebagai pedoman guru dalam mengajar dan disusun untuk tiap siklus. Masing-masing RPP berisi kompetensi dasar, indicator pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran khusu, dan kegiatan belajar mengajar. 2. Tes formatif Tes ini disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, digunakan untuk mengukur keterampilan berbahasa Inggris siswa. Tes formatif ini diberikan setiap akhir siklus. Bentuk soal yang akan diberikan adalah tes objektif berjumlah 10 soal. Tes formatif ini digunakan untuk mengetahui kemampuan awal (pretes) dan kemampuan akhir siswa. Setelah kegiatan belajar mengajar dilaksanakan (Siklus I), maka dilakukan tes formatif disebut formatif I dengan jumlah 5 soal . akhir KBM pada Siklus II, dilakukan tes formatif terakhir atau di sebut formatif II dengan jumlah 5 soal, dan soalnya diambil dari soal pretes sesuai dengan materi pembelajaran. 4.1.Hasil Penelitian Berikut ini akan dijelaskan kondisi awal siswa kelas VI yang menyangkut aktivitas dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Inggris. Untuk mempertegas identifikasi tersebut dilakukan pretes. Data hasil Prestes menunjukkan nilai terendah untuk Pretes adalah 0 dan tertinggi adalah 30 dengan KKM (Kriteria ketuntasan minimum) sebesar 70 maka tidak seorang pun mendapat nilai diatas ketuntasan atau ketuntasan klasikal adalah 0 %. Nilai rata-rata kelas adalah 22 yang juga tidak tuntas. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa tidak belajar di rumah sebelum memulai pembelajaran di sekolah dengan demikian berarti motivasi belajar siswa rendah. 1. Siklus I A. Tahap Perencanaan Pemilihan Materi 4996 Memilih materi yang memungkinkan dapat dipelajari siswa secara mandiri. Pada Siklus ini disampaikan materi tentang Hobby. Membentuk Kelompok Merancang pembelajaran dengan membentuk kelompok belajar siswa, setiap kelompok beranggotakan 4-5 orang siswa. Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan jumlah siswa yang ada. Jumlah siswa dalam penelitian ini ada 28 siswa. Maka setiap kelompok berjumlah 4-5 orang siswa, Pembentukan kelompok pada Siklus I dengan memilih anggota kelompok secara acak (urutan tempat duduk). Hal ini memungkinkan siswa belajar bersama anggota kelompoknya tidak pilah-pilih teman. Hal ini di maksudkan agar terjadi heterogenitas dalam kelompok. Menyusun RPP Rencana pelaksanaan pembelajaran Siklus I dan I memuat kompetensi dasar mendengarkan dan berbicara mengungkapkan perasaan. Untuk standar kompetensi mendengarkan dan berbicara.RPP disusun dengan sintaks model pembelajaran picture and picture. Untuk empat KBM dalam penelitian ini disusun empat RPP. Merencanakan observer. Dalam kegiatan penelitian tindakan kelas ini, peneliti mengajak teman sejawat sebagai teman atau pengamat penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana aktivitas belajar siswa dalam kondisi kelas saat pembelajaran melalui dokumentasi dengan dipandu tutor sebayanya, pengamat bertugas mencatat hal-hal yang diterima, baik keadaan siswa maupun keadaan guru serta proses pemeblajaran yang ada. Pengamat adalah dua orang guru di SD Negeri 066057 Medan yakni Ibu Masyidah Siregar dan Ibu Normarita Hutabarat. Merancang lembar kerja siswa. Lembar kerja siswa dilaksanakan sesuai pokok bahasan yang direncanakan. Lembar kerja siswa dikerjakan secara kelompok melalui tahapan model pembelajaran picture and picture yakni digunakan sebagai petunjuk yang membantu siswa menyimak pertanyaan lisan dari guru, siswa melakukan langkah dengan benar dan teliti sehingga keterampilan listeningnya meningkat. Merancang tes keterampilan berbahasa Inggris. Tes hasil belajar berupa keterampilan berbahasa Inggris, dibuat untuk dilaksanakan dan dikerjakan secara individual. Tes dibuat dalam 10 item subjektif tes, dimana pada pretes seluruhnya diujikan pada siswa sedangkan pada Formatif I danFormatif II adalah bagian dari seluruh tes yang indikatornya dipelajari pada masing-masing siklus. Tes hasil belajar dirancang untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa dalam menyerap dan memahami materi yang disajikan. B. Pelaksanaan Tindakan Siklus I di laksanakan dalam dua kali pertemuan. Pertemuan pertama selasa 6 Nopember 2012 diikuti oleh 28 siswa. Pertemuan kedua Selasa 13 Nopember 2012 juga diikuti 28 siswa. Proses pembelajaran dilakukan sesuai RPP yang telah disusun untuk Siklus I. Pada pelaksanaan pembelajaran Siklus I ini guru sebagai peneliti dibantu dua guru sejawat yang bertindak sebagai 4997 observer yang membantu peneliti mengamati aktivitas belajar siswa. Kelompok melaksanakan kegiatan dalam LKS dan melakukan diskusi berpanduan LKS. 5.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari upaya meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dan meningkatkan partisipasi (aktivitas) dan mengembangkan keterampilan berbahasa Inggris siswa melalui model pembelajaran picture and picture selama kegiatan belajar mengajar bahasa Inggris di kelas VI SD Negeri 066057 Medan sebagai berikut : 1. Keterampilan berbahasa Inggris siswa meningkat dengan menerapkan model pembelajaran picture and picture pada Siklus I mencapai rata-rata 62 dengan ketuntasan klasikal 68% dan Siklus II mencapai 80 dengan ketuntasan klasikal 86%.Dengan demikian terjadi peningkatan ketuntasan klasikal keterampilan berbahasa Inggris siswa mencapai 18%. 2. Penerapan model pembelajaran picture and picture selama kegiatan belajar mengajar bahasa Inggris di kelas VI SD Negeri 066057 Medan berhasil memperbaiki aktivitas belajar siswa terlihat dari membaiknya kualitas masing-masing kriteria aktivitas tiap siklusnya. Siklus I: Membaca dan menulis sebesar 38%, bekerja sebesar 36%, bertanya sesama teman sebesar 8%, bertanya kepada guru sebesar 15%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 3%. Siklus II: Membaca dan menulis sebesar 34%,bekerja sebesar 40%,bertanya sebesar 40%, bertanya sesama teman sebesar 18%,bertanya kepada gurur sebesar 8%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 2% Daftar Pustaka Aqib,Z. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Yrama Widya. Bandung. Dina, D. (2003). Ampuh Menjadi Cerdas Tanpa Batas Baban. PT Elex Media Komputindo. Jakarta Djamarah,.B.(2002).Psikologi Belajar. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta Emzir. (20080. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Fathurrahman,P. (2007).Strategi Pembelajaran.Bandung: Insan Media Istarani. (2011). 58 Model Pembelajaran Inovatif (Referensi Guru Dalam Menentukan Model Pembelajaran). Medan : Media Persada. Purwanto, N. (1994). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. PT Rosdakarya. Bandung. Roestiyah,N.K. (2008).Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan . Jakarta: Kencana. Sardiman,A.M. (2003). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta. Slameto, (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. PT Rineka Cipta.Jakarta Sudjana, N. (2008). Penilaian Hasil Belajar Mengajar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 4998 Yamin, M. (2008). Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa. Gaung Persada Press. Jakarta PENERAPAN MODEL EXAMPLE NON EXAMPLE DALAM UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR IPS TERPADU Pancaria Sihombing, S.Pd28 ABSTRAK Penelitian PKT ini bertujuan untuk memperbaikan aktivitas belajar siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013 saat pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Example Non Example dan untuk peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa setelah menerapkan model pembelajaran Example Non Example pada siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013. Data aktivitas siswa menurut pengamatan pengamat pada Siklus I antara lain menulis/membaca (38%), bekerja (36%), bertanya sesama teman (8%), bertanya kepada guru (15%), dan yang tidak relevan dengan KBM (3%). Data aktivitas siswa menurut pengamatan pada Siklus II antara lain menulis/membaca (34%), bekerja (40%), bertanya sesama teman (18%), bertanya kepada guru (8%), dan yang tidak relevan dengan KBM (2%). Dengan demikian terjadi perbaikan aktivitas belajar siswa dari Siklus I ke Siklus II. 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai guru bidang studi IPS terpadu, saya melakukan pengamatan terhadap aktivitas belajar dan prestasi siswa. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman selama ini, siswa SMP Negeri 15 Medan kurang aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Siswa cenderung tidak begitu tertarik dengan pelajaran IPS Terpadu, karena selama ini pelajaran IPS Terpadu dianggap sebagai pelajaran yang hanya mementingkan hafalan semata, kurang menekankan aspek penalaran sehingga menyebabkan rendahnya minat belajar IPS Terpadu siswa di sekolah. Ujungnya aktivitas 28 Guru SMP Negeri 15 Medan 4999 belajar siswa lama-kelamaan semakin menurun kualitasnya. Aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran sangat berpengaruh terhadap tujuan belajar berupa hasil belajar atau ketuntasan belajar yang telah ditentukan kriteria ketuntasan minimalnya (KKM). Nilai rata rata ulangan harian yang dicapai siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan pada materi pokok "hubungan sumber daya dengan kebutuhan manusia" yaitu rata-rata 61 dengan jumlah siswa yang tuntas sebanyak 66% padahal KKM di sekolah adalah 70. Hal ini belum mencapai KKM yang telah ditetapkan dan belum tuntas secara klasikal minimal 85%. Dari ketiga nilai, baik aspek kognitif, nilai afektif, dan nilai psikomotorik yang ada, pada penelitian ini peneliti hanya berfokus pada nilai kognitif saja. Pembelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 15 Medan saat ini telah mengupayakan pembelajaran berpusat pada siswa. Beberapa penerapan model pembelajaran yang mengupayakan perbaikan aktivitas dan interaksi antar siswa telah diterapkan salah satunya adalah pembelajaran berkelompok. Sayangnya pemilihan dan penerapan pembelajaran seperti ini tidak selalu dilakukan dengan benar sesuai dengan teori pembelajaran yang melandasinya. Akibatnya adalah tujuan pembelajaran yang tidak tercapai dan tedadi ketidakpuasan yang berakhir pada pemikiran bahwa pembelajaran konvensional dengan ceramah sebagai metode utama adalah lebih baik. Padahal hasil yang diperoleh adalah sama buruknya. Penelitian ini menerapkan Model pembelajaran Example Non Example dalam mengupayakan perbaikan aktivitas belajar IPS Terpadu siswa. Penelitian berjudul "Perbaikan Aktivitas Belajar IPS Terpadu Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Example Non Example Di Kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan”. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasi masalah yang relevan dengan penelitian antara lain: 1. Pembelajaran IPS Terpadu selama ini lebih mementingkan hafalan dari pada penalaran sehingga aktivitas belajar siswa terbatas, dan minat belajar siswa rendah. 2. Ketuntasan hasil belajar kognitif siswa dalam pembelajaran IPS Terpadu di kelas VIII- I tidak tercapai. 3. Perilaku belajar siswa belum begitu baik sehingga masih lebih senang bermain-main dalam kegiatan pembelajaran. 1.3. Batasan Masalah Karena luasnya permasalahan pembelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 15 Medan, peneliti membatasi penelitian sesuai dengan kemampuan peneliti pada: 1. Model pembelajaran yang diterapkan selama pengambilan data penelitian adalah model pembelajaran Example Non Example. 2. Penelitian dikenakan pada siswa kelas VIII-1, semester satu (ganjil) SMP Negeri 15 Medan Tahun Pembelajaran 2012/2013. 1.4. Rumusan Masalah Untuk memperjelas masalah yang akan dibahas, maka yang menjadi rumusan-rumusan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah aktivitas siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013 membaik setelah 5000 pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Example Non Example? 2. Apakah ketuntasan hasil belajar siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Example Non Example pada siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013? 1.5. Tujuan Penelitian Setelah menetapkan rumusan masalah di atas maka, dapat ditentukan tujuan penelitian ini, antara lain: 1. Untuk mengetahui perbaikan aktivitas belajar siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013 saat pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Example Non Example. 2. Untuk mengetahui peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa setelah menerapkan model pembelajaran Example Non Example pada siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013. 1.6. Manfaat Penelitian Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ) terhadap perbaikan pembelajaran memberi manfaat yang cukup signifikan , baik bagi siswa, guru, maupun institusi sekolah. Penelitian ini bermanfaat bagi siswa untuk meningkatkan pemahaman materi pembelajaran, meningkatkan rasa percaya diri siswa dan mengaktifkan siswa dalam pembelajaran sehingga memperoleh hasil maksimal. 2.6. Model Pembelajaran Example Non Example Pembelajaran model Example Non Example berlangung secara alamiah dalam masalah serta mencari pemecahan masalah, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam model pembelajaran Example Non Example, guru mengatur strategi belajar serta memfasilitasi belajar siswa. Anak mencari makna belajar dan menggunakan pengetahuan dan ketrampilannya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan Model Example Non Example dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar efektif dan kreatif, siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya, menemukan pengetahuan dan keterampilannya sendiri melalui proses bertanya dan kerja kelompok. Peningkatan hasil belajar yang didapatkan tidak hanya sekedar hasil menghapal materi belaka, tetapi lebih pada kegiatan nyata (pemecahan kasus-kasus) yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran (diskusi kelompok dan diskusi kelas). Model Example Non Example adalah metode yang menggunakan media gambar dalam penyampaian materi pembelajaran yang bertujuan mendorong siswa untuk belajar berfikir kritis dengan jalan memecahkan permasalahanpermasalahan yang terkandung dalam contoh-contoh gambar yang disajikan. Penggunaan media gambar ini disusun dan dirancang agar anak dapat menganalisis gambar tersebut menjadi sebuah bentuk diskripsi singkat mengenai apa, yang ada didalam gambar. Penggunaan Model Pembelajaran Example Non Example ini lebih menekankan pada konteks analisis siswa. Biasa yang lebih dominan digunakan di kelas tinggi, namun dapat juga digunakan di kelas rendah dengan menenkankan aspek psikoligis dan tingkat perkernbangan, siswa kelas rendah seperti ;kemampuan berbahasa tulis dan lisan, kemampuan analisis ringan, dan kemampuan berinteraksi dengan siswa lainnya. Model Pembelajaran Example Non Example menggunakan gambar dapat melalui OHP, Proyektor, ataupun yang paling sederhana, adalah poster. Gambar yang kita gunakan haruslah jelas dan kelihatan dari jarak jauh, sehingga anak yang berada di belakang dapat juga melihat dengan jelas. Model Example Non Example juga merupakan metode yang mengajarkan pada siswa untuk belajar mengerti dan menganalisis sebuah konsep. Konsep 5001 pada umumnya dipelajari melalui dua cara. Paling banyak konsep, yang kita pelajari di luar sekolah melalui pengamatan dan juga dipelajari melalui definisi konsep itu sendiri. Example and Nonexample adalah taktik yang dapat digunakan untuk mengajarkan definisi konsep. Strategi yang diterapkan dari metode ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa secara cepat dengan menggunakan 2 hal yang terdiri dari example dan non-example dari suatu definisi konsep yang ada, dan meminta siswa untuk mengklasifikasikan keduanya sesuai dengan konsep yang ada. Example memberikan gambaran akan sesuatu yang menjadi contoh akan suatu materi yang sedang dibahas, sedangkangkan non-example memberikan gambaran akan sesuatu yang bukanlah contoh dari suatu materi yang sedang dibahas. Model Example Non Example penting dilakukan karena suatu definisi konsep adalah suatu konsep yang diketahui secara primer hanya dari segi definisinya daripada dari sifat fisiknya. Dengan memusatkan perhatian siswa terhadap example dan non-example diharapkan akan dapat mendorong siswa untuk menuju pemahaman yang lebih dalam mengenai materi yang ada. 3. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan guru dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktek pembelajaran tersebut dilakukan. PTK menurut Kemmis dan Taggart (dalam Sugiarti, 1997:6) adalah berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah pemcanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan,dan refleksi. 3.1.Prosedur Penelitian Prosedur penelitian tindakan kelas ditempuh dalam 2 (dua) Siklus kegiatan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut: A. Siklus I Kegiatan pada Siklus I meliputi: 1) Perencanaan Tindakan meliputi: a. Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru tentang sub materi "kebutuhan" untuk KBM I dengan sub materi "kelangkaan" untuk KBM 2. Selanjutnya diubah atau ditambah sesuai dengan model pembelajaran Example Non Example. b) Penyusunan instrumen penelitian berupa lembar observasi aktivitas siswa dengan menerapkan model pembelajaran Example Non Example dan tes pemahaman siswa tentang hubungan antara kelangkaan sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas. 2) Pelaksanaan Tindakan dan Observasi (Action and Observation) Melaksanakan tindakan pembelajaran ke-1 dan ke-2 sesuai dengan RPP oleh peneliti sebagai guru di kelas VIII-1 Selama proses pembelajaran dilakukan observasi oleh observer (guru sejawat) untuk mengamati aktivitas siswa. Diakhir Siklus I dilakukan pula tes hasil belajar dalam IPS Terpadu siswa pada materi hubungan antara kelangkaan sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas sebagai Formatif 1. 3) Refleksi (Reflective) dilakukan oleh peneliti dengan kolaborator berdasarkan hasil observasi dan evaluasi 5002 hasil pembelajaran IPS Terpadu dengan model pembelajaran Example Non Example. Dari hasil refleksi kemudian peneliti berkolaborasi dengan guru mata pelajaran sejenis untuk memperbaiki dan menguatkan rencana tindakan Siklus II. B. Siklus II 1) Perencanaan Tindakan disusun skenario model pembelajaran Example Non Example dengan revisi tindakan untuk memperbaiki proses. Peneliti berdiskusi secara kolaboratif dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing serta nara sumber dari UNIMED dan LPMP SUMUT dengan kegiatan perencanaan meliputi: a) Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru tentang sub materi "skala prioritas" untuk KBM 3 dengan sub materi "sumber daya" untuk KBM 4. b) Penyusunan instrumen penelitian berupa lembar observasi aktivitas siswa dengan menerapkan model pembelajaran Example Non Example dan tes hasil belajar siswa tentang hubungan antara kelangkaan sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas. 2) Pelaksanaan Tindakan dan Observasi (Action and Observation) Melaksanakan tindakan pembelajaran ke-3 dan ke-4 sesuai dengan RPP model pembelajaran Example Non Example dengan topik "hubungan antara kelangkaan sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas" oleh peneliti sebagai guru IPS Terpadu di Kelas VIII-1. Selama proses pembelajaran dilakukan observasi oleh observer (guru sejawat) untuk mengamati aktivitas siswa. Diakhir Siklus II dilakukan pula tes hasil belajar dalam IPS Terpadu siswa pada materi hubungan antara kelangkaan sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas sebagai Formatif II. 3) Refleksi (Reflective) oleh peneliti berkolaborasi dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing dalam pembelajaran dan ketuntasan hasil belajar siswa ditelaah. 3.2. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP):,yaitu merupakan perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman guru dalam mengajar dari disusun untuk tiap siklus. Masing-masing RPP berisi kompetensi dasar, indikator pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran khusus, dan kegiatan belajar mengajar. 2. Lembar Observasi Aktivitas Belajar Siswa; Lembar observasi aktivitas siswa untuk mengamati aktivitas siswa selama berdiskusi kelompok. Lembar ini digunakan oleh dua pengamat. Ke dua, pengamat tersebut mengamati masing-masing satu kelompok setiap satu KBM yang sudah ditentukan oleh peneliti/guru. Pengamat tidak boleh duduk bersamaan untuk menghindari data bisa. Pengamat mentabulasi data/menceklis pada lembar aktivitas ini selama dua menit sekali. Sebagai contoh, bila kerja kelompok ditentukan oleh peneliti selama 20 menit maka pengisian data pada lembar aktivitas jumlah per siswa ada, 10 ceklis. 10 ceklis ini posisinya pada 5 aktivitas ini sesuai dengan pengamatan. Setelah data terkumpul, maka data tersebut dianalisis sehingga setiap aktivitas dapat ditentukan persentasenya. Observasi aktivitas akan di konfirmasikan dengan data dokumentasi penelitian berupa foto penelitian. 3. Tes formatif digunakan untuk mengukur hasil belajar dalam IPS Terpadu siswa tentang hubungan antara 5003 kelangkaan sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas. Tes formatif ini diberikan setiap akhir siklus. Bentuk soal yang diberikan adalah tes subjektif ber umlah 10 soal. Tes formatif ini digunakan untuk mengetahui kemampuan awal (pretes) dan kemampuan akhir siswa. Setelah kegiatan belajar mengajar dilaksanakan (Siklus 1), maka dilakukan tes formatif disebut formatif I dengan jumlah 5 soal. Akhir KBM pada Siklus II, dilakukan tes formatif terakhir atau disebut formatif II dengan jumlah 5 soal, dan soalnya diambil dari soal pretes sesuai dengan materi pembelajaran. 3.3. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Data yang dianalisis ini adalah data aktivitas belajar siswa melalui pengamatan aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar, pengamatan keterampilan guru dalam pengelolaan pembelajaran, dan nilai tes hasil belajar dalam IPS Terpadu pada materi hubungan sumber days dengan kebutuhan manusia. Analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Lembar observasi aktivitas siswa untuk mengetahui aktivitas belajar siswa maka lembar observasi aktivitas siswa dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: ̅ % = ∑ x 100% dengan ̅ 2. Data hasil belajar dalam IPS Terpadu siswa Secara individual, siswa telah tuntas keterampilan berbahasanya jika mencapai skor KKM yang telah ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran IPS Terpadu kelas VIII yakni 70 dengan perhitungan sebagai berikut : Skor Siswa = x 100% Suatu kelas dinyatakan tuntas belajar jika terdapat > 85% dari jumlah siswa telah tuntas belajar mencapai KKM. Perhitungan untuk menyatakan ketuntasan belajar siswa secara klasikal : P= x 100% 3.4. Indikator Keberhasilan Keberhasilan dalam penelitian ini jika tujuan penelitian tercapai yakni meningkatnya aktivitas belajar IPS Terpadu siswa dan hasil belajarnya. Penelitian dikatakan mencapai keberhasilan jika paling tidak 85% dari jumlah siswa dalam kelas subjek telah tuntas hasil belajarnya ditunjukkan dengan nilai formatif yang telah mencapai KKM IPS Terpadu kelas VIII di SMP Negeri 15 Medan sebesar 70. 4.Pembahasan Merujuk pada Gambar 4.1 perbandingan aktivitas siswa antara Siklus I dengan Siklus II dijabarkan, aktivitas menulis dan membaca turun dari 38% menjadi 34%. Aktivitas mengerjakan dalam diskusi yang meningkat dari 36% menjadi 40% menunjukkan perbaikan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Sementara aktivitas bertanya pada teman naik dari 8% menjadi 18% dan bertanya pada guru turun dari 15% menjadi 8%.. Aktivitas yang tidak relevan dengan KBM pada turun dari 3% menjadi adi 2%. Merujuk pada Tabel 4.2. hasil belajar kognitif pada Siklus I diperoleh nilai rata-rata 70 dengan ketuntasan belajar yang dicapai 57%, karena kurang dari 85% siklus I dikatakan tidak tuntas. Setelah dilakukan perbaikan 5004 pembelajaran pada siklus II diperoleh rata-rata hasil belajar sebesar 81 dengan ketuntasan klasikal mencapai 87%, karma lebih besar dari 85% maka siklus II dikatakan berhasil memberikan ketuntasan belajar klasikal. Berdasarkan pengamatan aktivitas, belajar dan basil belajar kognitif Siklus I menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa permasalahan/kekurangan dalam pelaksanaan tindakan yang perlu diperbaiki secara lanjut. Untuk mengatasi berbagai kelemahan Siklus I yang teridentifikasi dalam refleksi maka akan dilakukan tindakan perbaikan diantaranya : Untuk lebih menarik perhatian siswa maka gambar yang di pasang diitayangkan menggunakan media infokus sehingga lebih interaktif. Melalui tindakan perbaikan yang dilakukan pada Siklus II pembelajaran menggunakan model Example Non Example memberikan ketuntasan belajar IPS Terpadu siswa pada Siklus II. Pembelajaran Example Non Example selain memperbaiki aktivitas belajar siswa ternyata juga telah mampu menumbuhkan sikap koperatif disamping tumbuhnya minat belajar siswa terhadap pembelajaran IPS Terpadu yang berimplikasi pada meningkatnya ketuntasan hasil belajar siswa. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Dinkmeyer (Suherman, dkk, 2003:277) bahwa Example Non Example adalah kegiatan yang kaya akan pengalaman yang justru sebenarnya merupakan kebutuhan anak itu sendiri. Dalam persiapan ini antara lain mereka berusaha mendapatkan hubungan dan pergaulan barn yang mantap dengan teman sebaya, mencari perannya sendiri, mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep yang penting, mendapatkan tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial. Dengan demikian beban yang diberikan kepada mereka akan memberikan kesempatan untuk mendapatkan perannya, bergaul dengan orang lain, dan bahkan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman. 3.1. Kesimpulan Hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran Example Non Example pada Siklus I ketuntasan sebesar 53% dengan rata-rata 67 dan belum tuntas secara klasikal dan Pada Siklus 11 sebesar 85% dengan rata-rata 81 menunjukkan tuntas secara individu dan kelas sehingga terjadi peningkatan ketuntasan klasikal sebesar 32%. Daftar Pustaka Ahmad, R.1993. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta Asbi Mahastya. Asikin, M. 2009. Cara Cepat & Cerdas Menguasai Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Bagi Guru. Semarang : Manunggal Karso. Hadi, S. 1990. Metodologi Research Jilid H. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Nana, S. 1991. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosdakarya. Sardinian, 1986. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: CV. Rajawali Pers. Selverius, S. 1993. Evaluasi hasil Belajar dan Umpan Balik. Jakarta: PT Gramedia. Uzer, U. 1992. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosdakarya. 5005 PENINGKATAN KOMPETENSI GURU MENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER PADA MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN (MGMP) IPA POLA MPR DI SMP SUB. RAYON 43 KOTA MEDAN Rasmin Simbolon29 ABSTRAK Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Sekolah (PTS). Penelitian ini dilaksanakan di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan, selama enam bulan yaitu bulan Januari s.d Juni 2013. Subyek penelitian adalah guru-guru IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan sebanyak 14 (empat belas) orang. Obyek penelitian adalah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT), dilakukan pada pembelajaran a. Pengertian Getaran, Periode, Frekuensi dan Amplitudo. b. Hubungan Periode (T) dengan Frekuensi (f). c. Gelombang melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR. 29 Pengawas Sekolah pada Dinas Pendidikan Kota Medan dan juga Alumni IKIP Al Washliyah Medan S1 Fisika 1993 5006 Nilai rata-rata kompetensi guru dalam menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) pada pembelajaran: a. Pengertian Getaran, Periode, Frekuensi dan Amplitudo. b. Hubungan Periode (T) dengan Frekuensi (f). c. Gelombang meningkat dari siklus 1 pertemuan ke 1 ke siklus 3 pertemuan ke 3 yaitu: 26,86 menjadi 84,86. Peningkatan nilai rata-rata kompetensi guru: 84,86% - 26,86% = 58,00%. Hasil analisis angket menunjukkan bahwa guru IPA SMP Negeri Gugus I Kota Medan 94,29% sangat setuju menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) karena kompetensi mereka meningkat. Kata kunci: Kompetensi guru, Model Pembelajaran Kooperatif, MGMP. A. Pendahuluan Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMP berfungsi untuk mengembangkan keterampilan, sikap dan nilai ilmiah, serta mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang melek Ilmu Pengetahuan Alam dan teknologi. Secara umum ada tiga kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar agar pembelajaran dapat secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, yaitu: (1) Kemampuan merencanakan pelaksanaan proses belajar mengajar,(2) Kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, (3) Kemampuan mengevaluasi proses pembelajaran. Sesuai dengan keadaan guru IPA pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan tersebut, maka perlu dilakukan Penelitian Tindak Sekolah (PTS) dengan judul: ―PENINGKATAN KOMPETENSI GURU MENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER PADA MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN (MGMP)IPA POLA MPR DI SMP SUB. RAYON 43 KOTA MEDAN‖. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Siswa SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan kurang melakukan kerja sama dalam kegiatan belajar. 2. Guru IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan kurang melibatkan siswa dalam kegiatan belajar secara kelompok. 3. Guru IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan belum memahami cara menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT). Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana upaya meningkatkan kompetensi guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan? Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan strategi meningkatkan kompetensi guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan. Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi Peneliti Dengan melakukan penelitian tindakan sekolah ini, maka peneliti akan dapat menemukan strategi meningkatkan kompetensi guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan. 2. Bagi Guru 5007 Dengan melakukan penelitian tindakan sekolah ini, maka guru IPA akan meningkat kompetensinya dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT). Dengan demikian guru dapat meningkatkan kualitas belajar mengajar, sehingga siswa dapat lebih dilibatkan dalam pembelajaran. 3. Bagi Kepala Sekolah Penelitian ini akan memberikan bahan masukan bagi kepala sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran oleh guru. Hipotesis tindakan pada penelitian ini adalah: Kompetensi guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dapat meningkat melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan. B. Kajian Pustaka Menurut Sanjaya (2008:131) kompetensi adalah perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Menurut Saud (2009:107) Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) adalah suatu forum atau wadah kegiatan profesional guru mata pelajaran sejenis di sanggar maupun di masing-masing sekolah yang terdiri dari dua unsur yaitu musyawarah dan guru mata pelajaran. Agar para guru IPA pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan mudah memahami cara menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) maka peneliti menjadi model untuk memberikan contoh. Kegiatan modelling yang dilakukan oleh peneliti dapat tergambar seperti pada tabel berikut ini. Tabel Kegiatan Modelling Kegiatan Modelling yang Dilakukan Oleh Peneliti Kegiatan 1: Identifikasi kemampuan awal siswa tentang konsep getaran Kegiatan 2: Penyusunan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT). Kegiatan 3: Penyusunan Silabus. Kegiatan 4: Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kegiatan 5: Penyusunan materi ajar Kegiatan yang Dilakukan Oleh Guru (Guru dianggap sebagai siswa) Mengerjakan tes awal Menerima hand out materi ajar Kegiatan 6: Penyusunan tes kemampuan siswa tentang konsep getaran. Kegiatan 7: Pelaksanaan pembelajaran model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT). Mengikuti pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) yang disajikan oleh modelling. Langkah1: Penomoran (numering) Membagi kelompok siswa menjadi empat kelompok. Setiap siswa pada masing-masing kelompok diberi nomor. Siswa mengambil tempat duduk sesuai dengan kelompoknya, dan duduk berurutan sesuai dengan nomor urut masing-masing. 5008 Menyuruh siswa memilih kelompok masing-masing. ketua Langkah2: Pengajuan pertanyaan (questioning) Mengajukan pertanyaan yang sama kepada masing-masing kelompok. Menyuruh ketua kelompok menghunjuk setiap siswa pada kelompoknya untuk mengerjakan pertanyaan. Langkah3: Berpikir bersama (head together) Menyuruh siswa berdiskusi dengan temannya sekelompok untuk menjawab pertanyaan dipimpin oleh ketua kelompok masing-masing. Menyuruh ketua kelompok untuk memastikan bahwa setiap siswa sudah mengetahui jawaban sesuai dengan nomor masing-masing. Langkah4: Pemberian jawaban (answering) Memanggil satu nomor tertentu dari suatu kelompok untuk menjawab pertanyaan. Jika jawaban siswa tersebut belum tepat maka siswa dari kelompok yang lain dengan nomor yang sama dapat mengacungkan tangannya untuk menjawab. Menghunjuk siswa tersebut menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas. Jika jawaban yang diberikan siswa tersebut juga belum tepat maka guru menghunjuk siswa dari kelompok yang lainnya dengan nomor yang sama untuk menjawabnya. Jika seluruh siswa pada nomor yang sama juga kurang tepat maka guru dapat memberikan arahan untuk pembenaran jawaban. Memberikan penghargaan bagi kelompok yang memberikan jawaban dengan benar Kegiatan 8: Memberikan tes kemampuan siswa tentang konsep getaran. Kegiatan 9: Menginterpretasikan hasil tes kemampuan siswa tentang konsep getaran. Siswa memilih masing. ketua kelompok masing- Ketua kelompok menyuruh temannya mengerjakan pertanyaan. Pertanyaan nomor 1 dikerjakan oleh siswa nomor 1, demikian seterusnya. Ketua kelompok memimpin diskusi untuk menjawab pertanyaan. Ketua kelompok memastikan bahwa setiap siswa sudah mengetahui jawaban sesuai dengan nomor masing-masing. Menjawab pertanyaan guru sesuai dengan nomor siswa yang dihunjuk. Mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan guru jika jawaban kelompok lain salah sesuai dengan nomor masing-masing. Menerima penghargaan dari guru karena mampu menjawab pertanyaan dengan benar. Mengerjakan tes kemampuan siswa tentang konsep getaran. Menerima hasil tes kemampuan siswa tentang konsep getaran. Agar para guru IPA pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medandapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) maka peneliti menyuruh guru secara bergiliran untuk melakukan Peer Teaching, peneliti menyuruh guru secara langsung kepada siswa untuk melakukan Real Teaching di ruang kelas pada sekolah tempat tugas guru tersebut. 5009 Getaran adalah gerak bolak-balik benda secara teratur melalui titik keseimbangan. Perhatikan gambar ayunan berikut : B A O Gambar Beban pada ayunan Mula-mula bandul pada kedudukan di O (kedudukan seimbang) kemudian ditarik ke kedudukan A (diberi simpangan) dan dilepas, maka bandul akan bergerak bolak-balik secara teratur melalui titik keseimbangan O dan benda dikatakan bergetar. Dalam melakukakan getaran dari A ke O ke B kemudian ke O dan kembali lagi ke A (A-O-B-O-A) benda disebut melakukan satu getaran penuh atau O-B-O-A-O. Gerak bandul dari A-O-B atau O-A-O adalah setengah getaran. Salah satu ciri getaran adalah adanya amplitudo (simpangan terbesar) misalnya: jarak O-A atau O-B. Amplitudo (A) adalah perpindahan maksimum dari titik keseimbangan Amplitudo getaran adalah jarak O-A atau O-B. Amplitudo hanyalah setengah dari jarak ayunan penuh (A-B) yang dapat dilakukan beban. Dari defenisi frekuensi dapat disimpulkan bahwa dalam satu sekon dapat dilakukan f getaran. Dengan demikian selang waktu untuk menempuh satu getaran adalah : Penilaian kompetensi guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Skor perolehan Nilai = X 100% 25 Penilaian kompetensi guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) sebagai berikut: 1. Penilaian Modelling menerapkan model pembelajaran kooperatif Together (NHT) Aspek Penilaian 1. Kemampuan guru meniru cara mempersiapkan alat/bahan/materi pembelajaran 2. Kemampuan guru meniru cara membentuk kelompok dan memberi penomoran (numbering) 3. Kemampuan guru meniru cara memotivasi siswa agar mampu mengajukan pertanyaan (questioning) 4. Kemampuan guru meniru cara memotivasi siswa agar adakemampuan berpikir bersama (headtogether) 5. Kemampuan guru meniru cara memotivasi siswa agar dapatmemberikan jawaban (answering) 2. tipe Numbered Head Rentang Skor 1–5 1–5 1–5 1–5 1- 5 Penilaian Peer Teaching maupun Real Teaching menerapkan model pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) 5010 Aspek Penilaian 1. Kemampuan guru mempersiapkan alat/bahan/materi Pembelajaran 2. Kemampuan guru membentuk kelompok dan memberi penomoran (numbering) 3. Kemampuan guru memotivasi siswa agar mampu mengajukan pertanyaan (questioning) 4. Kemampuan guru memotivasi siswa agar ada kemampuanberpikir bersama (headtogether) 5. Kemampuan guru memotivasi siswa agar dapat memberikanjawaban (answering) 3. Rentang Skor 1–5 1–5 1–5 1–5 1- 5 Penentuan nilai Modelling, Peer Teachingmaupun Real Teaching menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) Ada 4 (empat) aspek sikap, masing-masing aspek sikap skornya 5 (lima), maka skor maksimal adalah 20 (dua puluh). Sedangkan skor perolehan bergantung kepada jumlah jawaban dari kelima aspek sikap tersebut. Nilai dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Skor perolehan Nilai = X 100% 20 Penilaian sikap guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT): Aspek Sikap: 1. Menarik untuk dilakukan 2. Mudah melakukannya 3. Menyenangkan 4. Termotivasi untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada berbagai Kompetensi Dasar IPA. C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan Data hasil observasi kompetensi guru IPA menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada pertemuan 1, 2 dan 3, dari 14 (empat belas) orang guru Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan adalah seperti tabel berikut ini: Tabel Data Kompetensi Guru Menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) Melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan No 1 2 3 4 5 6 Siklus 1 (Pengertian Getaran, Periode, Frekuensi dan Amplitudo) Pertemuan 1 2 3 28 28 28 32 48 48 20 24 32 28 28 28 24 32 40 28 28 28 Siklus 2 (Hubungan Periode (T) dengan Frekuensi (f)) 1 36 48 36 36 44 40 Pertemuan 2 44 60 48 44 48 52 3 44 72 48 48 56 52 Siklus 3 (Gelombang) 1 56 76 60 56 64 60 Pertemuan 2 68 84 68 68 76 68 3 80 92 80 76 88 80 5011 7 8 9 10 11 12 13 14 Jlh Rt 20 32 32 32 20 32 28 20 376 26,86 24 40 36 40 24 48 28 24 452 32,29 32 48 44 52 32 52 28 36 528 37,71 40 48 52 56 36 56 40 40 608 43,43 44 60 60 68 44 64 44 48 728 52,00 44 68 72 80 56 76 52 52 820 58,57 56 76 72 84 60 80 60 56 916 65,43 Siklus 1 Siklus 2 68 84 84 88 68 88 68 68 1048 74,86 80 92 92 96 80 92 76 84 1188 84,86 100 50 0 Pertemuan 1 Siklus 3 Pertemuan 2 Pertemuan 3 Gambar Kompetensi Guru Menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) Melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan Data hasil angket sikap guru IPA menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dari 14 (empat belas) orang guru Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan adalah seperti tabel berikut ini: Tabel Data Sikap Guru Menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) Melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan No. 1 5 4 5 4 5 5 5 4 4 5 4 4 5 5 64 70 91,43 sentase (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Jumlah Nilai maximal Presentase (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 Aspek Sikap 2 3 5 5 4 5 5 5 4 5 5 5 4 5 5 5 4 5 4 4 5 5 4 5 4 4 5 5 5 5 63 68 70 70 90,00 97,14 4 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 69 70 98,57 Jlh 20 18 20 18 20 19 20 18 16 20 18 17 20 20 264 280 94,29 5012 Aspek Sikap: 1. Menarik untuk dilakukan 2. Mudah melakukannya 3. Menyenangkan 4. Termotivasi untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada berbagai Kompetensi Dasar IPA. A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pada Bab IV, ada beberapa simpulan dalam penelitian tindakan sekolah ini yaitu: 1. Kompetensi guru Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) meningkat setelah mengikuti Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan. 2. Nilai rata-rata kompetensi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan dalam dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT), meningkat dari pertemuan 1 yaitu Pengertian Getaran, Periode, Frekuensi dan Amplitudoke pertemuan 3 Gelombang yaitu: 26,86 menjadi 84,86. Peningkatan nilai rata-rata kompetensi guru: 84,86% - 26,86 % = 58,00%. 3. Guru pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan 94,29% sangat setuju menerapkan model pembelajarankooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medanyang dilakukan oleh peneliti, karena kompetensi mereka meningkat. B. Saran Berdasarkan simpulan penelitian ini, dapat diberikan beberapa saran: 1. Agar semua guru IPA dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dalam menyajikan materi pelajaran IPA sehingga materi pelajaran semakin mudah dimengerti oleh siswa. 2. Agar semua kepala SMP dapat memfasilitasi guru IPA menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA Pola MPR bekerja sama dengan pengawas sekolah. 5013 3. Agar semua pengawas sekolah dapat membimbing guru IPA menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan yang difasilitasi oleh kepala sekolah. Daftar Pustaka Aqib, Zainal. 2008. Standar Kualifikasi - Kompetensi - Sertifikasi Guru - Kepala Sekolah - Pengawas. Bandung: Yrama Widya. Arikunto, Suharsimi.2007. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Guza, Afnil. 2008. Himpunan Permendiknas Tentang Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. Jakart: Asa Mandiri. Ibrahim, M., Rachmadiarti, F., Nur, M., dan Ismono. 2002. Pembelajaran Kooperatif, Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Lie, A. 2004. Cooperatif Learning, Jakarta: Grasindo. Nurhadi dan Sedukm, A. G. 2004.Pembelajaran Kontekstual (Contektual Taching and Learning) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Sagala, S. 2009. Konsep dan Magna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Predana Media Group. Sukardi. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara. THE EFFECT OF ADVANCE ORGANIZER TECHNIQUE ON THE STUDENTS’ READING COMPREHENSION 5014 Rini Fadhillah Putri30 ABSTRACT This study deals with the effect of using Advance Organizer Technique in teaching reading comprehension. The population of this study is the secondary students of SMA Negeri 5 Medan. There are 60 students taken out randomly as the sample, and divided into two groups, the Experimental Group 30 students and the Control Group 30 students. The first group is taught and given the reading material using Advance Organizer Technique as Experimental Group, while the second group threatens by giving reading material without using Advance Organizer Technique as Control group. The instrument in collecting the data is 20 multiple choice test. To obtain the reliability of the test, Kuder Richardson Formula (KR-21) is used. After the data have been collected, they are analyzed by using the t-test formula. The result shows that the hypothesis of the study is accepted. It can be concluded that using Advance Organizer Technique significantly affects the students’ reading comprehension. This means that the students taught by using Advance Organizer Technique will have better understanding in reading comprehension. Key words: Advance organizer technique and Reading comprehension. A. Background And Research Problem Reading for many years has a large portion of time in teaching and learning activities in school. The goal of learning reading is to enable the students in understanding the idea and meaning of the passage. It is supported by Nunan (2003:68) that reading is a fluent process of reader combining information from a text and their own background knowledge to build meaning. In teaching reading, the main goal of reading process is comprehension. Many teachers have some difficulties to teach reading to the students. To help a student read a better understanding it is necessary to discover what particular weakness is contributing to his comprehension difficulties. Yalden (1997: 57) states that reading as the goal of English teaching in Indonesia has not been achieved yet. It shows that the student‘s weakness in reading comprehension is still unsolved. Actually, there is an effective way to solve the student‘s reading problem that is Advance Organizer Technique. The Advance Organizer Technique is one of the techniques that can be used in teaching reading comprehension. Advance Organizer Technique is a concept developed and systematically studied by David Ausubel in 1960. This technique is information that is presented prior to learning and that can be used by the student to organize and interpret new incoming information, Mayer (2003). Advance Organizer Technique (AOT) is used by teacher to provide support for new information, which might be able to improve the students‘ achievement in reading comprehension. In line with the background of the study, the problem of this study is formulated as follows; ―Does Advance Organizer Technique significantly affect the Students‘ Reading Comprehension?‖ B. Literature Review Advance Organizer Technique (AOT) The advance organizer is the teaching technique available to teachers to aid students in the processing, understanding, and remembering of newly presented materials. This technique is popularized by David Ausubel in 1960. It is designed to strengthen student‘s cognitive structures as stated by Ausubel in Joyce and Weil (1978:202). Advance Organizer technique is introductory material that is presented ahead of the learning task itself. Its purpose is to explain, integrate, interrelated with the material in the learning task with previously learned material. It is also 30 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan 5015 attempts to help the students discriminate the new material from previously learned material as stated by Ausubel in Joyce Weil (1978:209). Furthermore it is clearly states that Advance Organizer explains the conceptual basic as a kind of ―description‖ of new material. It is supported by the opinion of Suciaty and Irawan (2001) who mention that Advance Organizer Technique try to give a short description (whether visual or verbal) involves the content of new material that is presented in the learning task. According to Ausubel (1968) in Geier (1999) Advance Organizer Technique (AOT) has function in the following ways: 1. It is conceptual sketch of early learning process that will occur. 2. It is a connector between students‘ prior knowledge with the new material that will be learned. 3. It is a facilitator that is help students learning process. Mujiono and Dimiyati (1993) define that AOT is the teaching-learning pattern of grades‘ effectiveness and learning attitudes efficiency. Thus, by using it, the student can absorb, and comprehend the material given (http:www//davidausubel.org). From the explanation above, teacher has to organize the students‘ knowledge previously before presenting the new relationship material. According to Ausubel in Sudibyo (2003) defines that AOT underlines the main idea in a new situation of learning and connecting those idea with their knowledge previously. According to Joice and Weil (1978:211) there are three phases of activity in the advance organizer technique. They are: 1. Phase one is presentation of advance organizer a. Clarify aims of lesson Before teaching English reading text, the teacher begins by clarifying the aims of the lesson. The teacher can do this in a number of ways, such as; giving the topic as the title, stating a generalization, making a statement, summarizing the mains points, defining the objectives, asking the students about related topics, or using a combination of these strategies. b. Present organizer They are a number of attempts done by the teacher in presenting the material, such as: Identify defining attributes, Give examples, provide multi context, and Repeat terminology of classes. c. Prompt awareness of relevant knowledge and experience in learners background. 2. Phase two: presentation of learning task of learning material There are several tasks to be accomplished in phase two. In addition to the presentation of the new learning material, some of these tasks are general teaching skills that enhance reception learning such as: a. Make logical order of learning material explicit to students In the teaching process, the teacher has to summarize the major areas of the material given. b. Maintain attention c. Make organizer explicit There are several procedures for making organization explicit. Among them are employing the ruleexample-rule technique, using explaining links (―because‖; ―in order‖; ―if…then‖). Make the organization explicit 5016 by means of an outline or diagram, using verbal markers of importance (―Now note this‖, ―this is especially critical‖), and repetition. 3. Phase three: strengthening cognitive organization The Advantages of Advance Organizer Technique Some of advantages of Advance Organizer Technique are as follows: 1. Students can explain, integrate, and interrelated with the material in the learning task with the previously learned material. 2. Students can discriminate the new material from previously learned material. 3. In teaching reading, it is related to the daily situations, so it will be useful for students to organize the material into familiar structure. The Disadvantages of Advance Organizer Technique Although many find advance organizer to be a useful tool for teaching students new concepts when they do not have previous knowledge of a concept, there are those who feel that advance organizer has disadvantages, especially to students who have a good understanding of concepts and do come with previously knowledge. Advance organizer does not benefit these good students. Advance organizer may benefit slower learners and those that do not have a wide knowledge of topics available to them. The Role of Teacher in Advance Organizer The teacher plays an active and direct role in Advance Organizer. The teacher has several functions to perform in the Advance Organizer in addition to presenting the learning material as stated by Joice and Weil (1978:215). The teacher must decide under what concept, preposition, or issue to catalogue the new learning material and must, over the course instruction, continually reorganize knowledge in relation to more inclusive concepts. As a model of advance organizer, the teacher has to design the hierarchy of knowledge in a subject area and also makes decisions about definitions and meanings. Then, the teacher must point out discrepancies, conflict and similarities between existing knowledge and new knowledge as stated by Joyce and Weil (1978:215). In deals with Joyce and Weil, Skinner (2002) states that the teacher obviously has an important duty to give a chance that follows appreciating and strengthening to learners to make them enjoy and comprehend the material given. The Role of Students in Advance Organizer Students in Advance Organizer are the listener and performers. They listen attentively and respond it by giving answer and comment on what the teacher teach. Teacher should ask students to involve and participate in learning process to get their attention and interest with the subject matter. In learning a language students require a more concrete functional approach they need to be able to relate the language to an actual experience as stated by Clyne in Sari (2002). Reading Comprehension To understand reading comprehension one should by analyzing what comprehension involves and how it relates to the entire reading process. The word ‗comprehension‘ itself can be said as a social kind of thinking 5017 process. The reader comprehends by actively construction, the acting internally from interacting with the material that is read. Thomas N Turner (1982) in Alexander (1987:159) states that reading comprehension involves taking meaning to a text in order to obtain meaning from the text. When read a text, a reader is not merely saying the words in the text in the conventional way of sounds, but moreover able to derive meaning from the words combination in the text in a consecutive fashion of process at reasonable speed without necessary vocalizing it. Reading must be a meaning from interacting internally with the material that is read. Grabe and Stoller (2002:17) states that reading for general comprehension is, in its most obvious sense, the ability to understand information in a text and interpret it appropriately. However, comprehension ability are much more complex than this definition suggest. To offer a more accurate picture of reading comprehension, we define reading comprehension by itself, but together they provide a fairly accurate account of the process required for fluent reading. Reading comprehension is an extraordinary feat of balancing and coordinating many abilities in a very complex and rapid set of routines that makes comprehension a seemingly effortless and enjoyable activity for fluent readers. In fact, the many process described here all occur in working memory, and they happen very quickly unless they are comprehension problem. So, roughly, in the space of any two seconds of reading time, fluent readers accomplish numerous operations. William (1984:3) states that comprehension is the minds act or power understanding what has been written. From quotation above, it means that is terms of comprehension reader are expecting to understand fully. Thus, it is clear that reading and comprehension are regarded as one activity, which cannot separate each other. Reading is an activity that one does. For example a reader who understands what he has read, he can answer the question about it or he can reproduce the gist what he has read. Mc Neil (1992: 16) states that comprehension is making sense out of text from interaction perspective, reading comprehension is acquiring information from the context and combining disparate elements into a new whole. It is the process of using one‘s existing knowledge (schemata) to interpret text in order to construe meaning. Although writers structure texts for their own construction of what the text means. Comprehension includes understanding the information in the text as well as changing the knowledge one used to understand the text in the first place. Accordingly, reading comprehension is not memorization by rote, as illustrated by John bewey‘s visit to the class that had read how the earth was probably formed. In contrast with the older emphasis on teaching reading comprehension as a product by asking students to answer question about their reading, interactive approaches stress teaching reading comprehension as a process. Accordingly, students are taught techniques for processing textmaking inferences, activating concepts, relating new information to old, creating picture images, and reducing the information in a text to a main idea. A. Research Method Research Design This study is experimental design. The design applied in order to investigate the effect of Advance Organizer Technique on Students‘ Reading Comprehension. 5018 In this study, Advance Organizer Technique (AOT) is as independent variable and reading comprehension is as dependent variable. In this study, there are two groups, namely experimental group and control group. Population and Sample The population of this study is all the second year students of SMU Negeri 5 Medan in the academic year of 2008/2009, which consists of eight parallel classes. The total numbers of students are 315 students. Sampling means selecting a given number of subjects from a defined population as the representative of that population for the purpose of efficiency and practicality of the research. The writer took 60 students of the second year students. Random sampling was applied in obtaining the samples. The Instrument for Collecting Data This study used multiple choice tests as the instrument to collect the data. In this case, the same test in pretest and post-test was given to both experimental and control group, in which the students was asked to answer 20 reading comprehension questions based on four passages. There are 5 questions for each passage. The students are given 45 minutes to accomplish it. Validity and Reliability of the Test Validity of the Test There are several types of validity; they are content, construct, concurrent, and predictive validity. This study applies content validity which concerns with how well the test measure the subject matter and learning outcomes covered during the instruction period. To sustain the content validity of the test, the instrument was designed to fulfill the need to investigate students‘ reading comprehension. All question from every comprehension questions types were related to their reading text. It was done in order that the content of the test can be said valid. Reliability of the Test Reliability is one of the characteristics of a good test. Reliability refers to the consistently of the test scores over the different part of the test. To obtain the reliability of the test, the writer used Kuder Richardson method formula 21. Scoring the Test In scoring the test, this study use score ranging from 0-100 by counting the correct answer. The Procedure of the Study The procedure of this study divides into three components, they are: pre-test, treatment, and post-test. Pre-test Before starting the experiment, a pre-test was conducted to both experimental and control group. The pretest was used to find out the students‘ reading comprehension. Pre-test was conducted to find out the homogeneous competence of the samples. It also enables us to detect faulty items which have not been identified during the review process; it permits us to learn something of the statistical characteristics of individual items. Treatment 5019 After giving the pre-test, the treatment of Advance Organizer Technique is taught to the experimental group, while, in the control group the conventional method is taught in learning process. The steps of treatment can be seen below: 1. Treatment of the Experimental group No 1. Teacher‘s Activities The teacher used Advance Organizer Technique: - Teacher gave the copies of the text in the classroom contract, so the students can have their own copies. - Teacher gave prior knowledge to the students about the content of the topic in which inference would be useful. 2. Presentation of learning task or material. - Teacher presented the topic by demonstrating with an outline or diagram, modeling it, naming it and describing how and when to use it. - Teacher asked the students to use the new information and skills to involve collaboration, problem solving and inquiry the topic. Strengthening cognitive organizer. - Teacher asked the students to find out the main idea of the text. - Teacher asked the students to do the comprehension test. - Teacher reviewed the situation that students suggested when asked to tell how they had used prediction in the preparation phase. 3. Student‘s Activities The students used Advance Organizer Technique: - The students got the copies of the text in the classroom contract, so the students can have their own copies. - Students listened to the teacher about the content of the topic in which inference would be useful. - The students looked at the topic that is presented. - The students used the new information and skills to involve collaboration, problem solving and inquiry the topic. - The students found out the main idea of the text. - The students did the comprehension test. - The students listened to the teacher and answer the questions. 2. The Control Group No 1. Teacher‘s Activities The teacher used conventional technique: - Teacher gave the copies and read the text. 2. 3. - Teacher asked the students to read. - Teacher asked the students tried to find out the main idea of the text. - Teacher asked the students to do the comprehension test. 4. Student‘s Activities The students used the conventional technique: - The students got the copies and listen to the teacher who read the text. - The students read the text. - The students tried to find out the main idea of the text. - The students did the comprehension test. Post-test The pos-test was administrated after the treatment has been completed. The post-test was conducted to measure the competence of the students then find out the difference in mean scores of both experimental and control group. It also used to find out the students‘ reading comprehension after the treatment. The Technique for Analyzing Data The data obtained will be analyzed by using t-test to find out the difference of the experimental and control group is statistically significant. D. The Data Analysis And Research Findings Data Analysis Having done the research for the second year students of SMAN 5 Medan, the writer got the data of students‘ scores in pre-test and post-test from both experimental and control group. In pre-test of experimental 5020 group, it was obtained that the total score is 1695, the mean is 56.5, the highest score is 80 and the lowest score is 45. In post-test of experimental group, it was obtained that the total score is 2195, the mean is 73.17, the highest score is 95 and the lowest score is 55. While, in pre-test of control group, it was obtained that the total score is 1640, the mean is 54.67, the highest score is 80 and the lowest score is 40. In post-test of control group, it was obtained that the total score is 1905, the mean is 63.5, the highest score is 85 and the lowest score is 45. Research Findings From the result, it is found that the students taught with Advance Organizer Technique has higher achievement than those taught without Advance Organizer Technique. It is proven based on data analysis from the highest score on those groups. In experimental group, the highest score is significantly improved from pre-test to post test that is in the different of 15 (score 80 to 95). While in control group, the highest score is not significantly improved that is in the different of 5 (score 80 to 85). It also can be seen from the difference mean between pre-test and post-test in experimental group was higher than that in control group, that is 16.67 (56.5 to 73.17) is higher than 8.83 (54.67 to 63.5) Thus, it can be seen that the improvement in experimental group is higher than that in control group since 16.67 > 8.83. It can be concluded that the students taught by Advance Organizer Technique has higher achievement than students taught without Advance Organizer Technique. While, there is no significant improvement for control group that was taught without Advance Organizer Technique. E. Conclusions And Suggestion Conclusions Having analyzed the data, it was found that Advance Organizer Technique significantly affects students comprehension, since the Tobs > the ttable (p =0.05) df (58), or 4.10 > 2.00 (p =0.05) df (58). The using of Advance Organizer Technique in teaching reading comprehension in the classroom enables the students to read systematically and guide to read the text, to find information both explicitly and implicitly stated. Refer to the findings of the study, it is derived that the students who are taught reading comprehension using Advance Organizer Technique have higher achievement than the students who are taught with common technique. In other words, the Advance Organizer Technique gives significantly effect to the students‘ achievement in reading comprehension, as they become more systematic to read the text to get meaning interpretation. Suggestions In line with the conclusion, it is suggested to: 2. The English teachers use Advance Organizer Technique not only to teach reading comprehension but also to teach other subjects, such as writing. 3. The teacher can more easily to organize and plan their strategies instruction to teach English and make students can be more interesting in learning English, especially learning reading comprehension. References Ary, Donald et al. 2002. Introduction to Research in Education 6th Ed. Wardswirth: Singapore. 5021 Burns, Roe, and Ross. 1984. Teaching Reading in today’s Elementary Schools. Houghton Mifflin Company. Boston. Dechant, Emerald V. 1964. Improving the Teaching of Reading 3rd Ed. New Jersey: Prentice Hall Inc. Gay, L, R. 1992. Educational Research. Maxwell-Macmillan International: New York. Groundland, N. E. 1979. Constructing Achievement Test. Urbana, Illiniois: University of Illiniois. Harmer, Jeremy. 2001. The Practice of English Language Teaching 3rd Ed. Longman: England. Joyce, Weil & Emily C. 1978. Models of Teaching 6th Ed. Allyn and Bacon: New York. Kustaryo. S. 1988. Reading Technique for College Students. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan tenaga Kependidikan. Jakarta. Mayer, R. 2003. Learning and Instruction. New Jersey: Pearson Education, Inc. McNeil, John D. 1992. Reading Comprehension: New Direction for Classroom Practice 3rd Ed. Los Angels: HarperCollins Publishers. Nunan, David. 2003. Practical English Language Teaching. New York: McGrawHill. Nunan, David. 1993. Research Method in Language Learning. Cambridge University Press: New York 5022