Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah - (UMN) Al

advertisement
ISSN: 1411-0229
VOLUME : 16 No. 1 Maret 2015
Isi Menjadi Tanggung Jawab Penulis
Daftar Isi
Tukimin, SE., M.MA
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pada Pabrik Roti
Mawar Medan
Mutawaqil Bilah Tumanggor. SE /
Dani Habra, SE., M.MA
Peranan Usaha Kecil Menengah (UKM) Terhadap Pembangunan Ekonomi Kabupaten Serdang
Bedagai
Iwan Setyawan, SH., MH
Hukuman Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak Menurut Undang-undang No 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
Bambang Hermanto, SP, M.Si
Analisis Sistem Integrasi Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta Crautz) – Ternak kambing
(Capra aegagrus hircus) Terhadap Pendapatan Petani
Edward Arif Hakim Hasibuan, SE, MAP
Aplikasi Balanced Scorecard Dalam Kontrol Manajemen
Sofyan, S.Pd
Penggunaan Bimbingan Pribadi Dan Sosial Materi Etika Pergaulan Remaja Dengan Layanan
Kelompok Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas XII SMA Negeri 9 Medan T.A.
2013/2014
Yohanes Dakhi, SE., MM
Keterkaitan Pemberian Insentif Dengan Prestasi Kerja Karyawan
Drs. Baziduhu Laia, M.Pd
Peranan Multimedia Dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran
Harianto, II, SS., MS
Peranan Bahasa, Budaya Dalam Kehidupan
Nila Afningsih / Dani Ansari
Pengaruh Metode Debat Plus Terhadap Peningkatan Kemampuan Berbicara Dalam Bahasa Inggris
Anny Sartika Daulay / Emma Trivitasari
Jumlah Konsumsi Maksimal Mie Instan Berdasarkan Penentuan Kadar Monosodium Glutamat
(MSG) Bumbu Penyedapnya
Cut Latifah Zahari / Irpan Apandi Batubara
Model PBM Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Komunikasi Matematika
Dian Puspitasari
Kandungan Senyawa Metabolit Sekunder Pada Ekstrak Getah Mangrove Excoecaria agallocha
Pada Pelarut N-Hexane
Megawati
Faktor-Faktor Peranan Berhubungan Dengan Lamanya Penyembuhan Luka Pada Penderita Diabetes
Mellitus Di RSUP Dr. Pirngadi Medan Tahun 2014
Sri Siswati
Hubungan Kompetensi Pedagogik Guru Dan Efikasi Diri Dengan Motivasi Berprestasi Belajar
Siswa Kelas IX SMP Al-Ulum Terpadu Medan
Rayuwati, M.Kom
Pengembangan Sistem Otomasi Perpustakaan Berdasar Businness Process Di Perpustakaan
Diah Eka Puspita, SP, M.Si
Pengaruh Peretasan Kulit Biji Dan Konsentrasi KNO3 Terhadap Perkecambahan Dan
Pertumbuhan Biji Sirsak (Annona muricata L.)
Wan Mariatul Kifti, SE, MM
Pengaruh Kompensasi Dan Loyalitas Karyawan Terhadap Pengunduran Diri (Intensi Turnover)
Karyawan Pada PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran
Tinur Rahmawati Harahap, M.Pd
Penggunaan Media Gambar Dalam Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia Pada Tingkat Sekolah
Dasar
Dra. Sakila
Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Bahasa Inggris
Dra. Conny Jeany Francis Matullesy
Penerapan Model ―Make A Match‖ Untuk Pencapaian Kompetensi IPS Terpadu
Afrida Lubis
Penerapan Model Pembelajaran Keterampilan Proses Untuk Meningkatkan Penguasaan Kompetensi
Pendidikan Agama Islam
Dewi, S.Pd
Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Bahasa Inggris
Pancaria Sihombing, S.Pd
Penerapan Model Example Non Example Dalam Upaya Meningkatkan Aktivitas Belajar IPS Terpadu
Rasmin Simbolon
Peningkatan Kompetensi Guru Menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head
Together Pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR Di SMP Sub. Rayon 43
Kota Medan
Rini Fadhillah Putri
The Effect Of Advance Organizer Technique On The Students‘ Reading Comprehension
Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah
ISSN: 1411 – 0229
MAJALAH ILMIAH
KULTURA
VOL. 16 NO. 1 Maret 2015
1.
2.
Pelindung : Drs. H. Kondar Siregar, MA
Pembina : Drs. Ridwanto, M.Si
: Drs. H. Firmansyah, M.Si
:
3.
Ketua Pengarah : Dr. Ahmad Laut Hasibuan, M.Pd
4.
Penyunting
Ketua : Drs. H. Zuberuddin Siregar, MM
Sekretaris : Drs. Saiful Anwar Matondang,
MA
Anggota : Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA
: Dr. H. Yusnar Yusuf, MS
: Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum
: Dr. Mara Bangun Harahap, MS
: Drs. Ulian Barus, M.Pd
: Dr. Abd. Rahman Dahlan, MA
: Nelvitia Purba, SH, M.Hum
: Ir. Zulkarnain Lubis, M.Si
: Dr. M. Pandapotan Nst, MPS, Apt
Disainer / Ilustrator : Drs. A. Sukri Nasution
: Anwar Sadat, S.Ag, M.Hum
5.
6.
Bendahara/Sirkulasi : Drs. A. Marif, M.Si
: Nasruddin Nasrun
: Abdul Hamid
Pengantar Penyunting
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah SWT
atas berkat-Nya penyunting dapat menghadirkan kembali
Volume 16.
Volume 16 No. 1 Maret 2015 Majalah Ilmiah
Kultura memuat tulisan yang berkenaan dengan FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu
Terpadu, Peranan Usaha Kecil Menengah (UKM),
Hukuman Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak,
Analisis Sistem Integrasi Tanaman Ubi Kayu, Aplikasi
Balanced Scorecard, Penggunaan Bimbingan Pribadi Dan
Sosial, Keterkaitan Pemberian Insentif, Peranan
Multimedia, Peranan Bahasa, Budaya Dalam Kehidupan,
Pengaruh Metode Debat Plus, Jumlah Konsumsi
Maksimal Mie Instan, Model PBM, Kandungan Senyawa
Metabolit, Faktor-faktor Peranan Berhubungan Dengan
Lamanya Penyembuhan Luka, Hubungan Kompetensi
Pedagogik, Pengembangan Sistem Otomasi Perpustakaan,
Pengaruh Peretasan Kulit Biji Dan Konsentrasi KNO3 ,
Pengaruh Kompensasi dan Loyalitas Karyawan,
Penggunaan Media Gambar, Penerapan Model
Pembelajaran Learning Cycle, Penerapan Model “Make A
Match”, Model Pembelajaran Picture and Picture,
Penerapan Model Example Non Example, Peningkatan
Kompetensi Guru, The Effect of Advenced Organizer
Technique on The Students’ Reading Comprehension.
Pada terbitan kali ini, tulisan berasal dari
beberapa orang dosen dpk dan Yayasan seperti Univ.
Muslim Nusantara (UMN) Al Washliyah, Mahasiswa S3
Perencanaan Wilayah USU, Guru Bimb. Konseling SMAN
9 Medan, STIE Nias Selatan, STKIP Nias Selatan, Alumni
FMIPA Prodi Farmasi UMN Al Washliyah, Program
Budidaya Perairan Fak. Pertanian Univ. Asahan, Politeknik
Kesehatan Medan, Staf Poltekkes Kemenkes Jurusan
Keperawatan, Univ. Gajah Putih Takengon, Univ. Gunung
Leuser Kutacane, AMIK Royal Kisaran, Univ. Graha
Nusantara P. Sidempuan, Guru SMPN 4 Medan, Guru
SMPN 15 Medan, Guru SDN 066057 Medan, Pengawas
Sekolah pada Dinas Pendidikan Kota Medan dan Juga
Alumni IKIP Al Washliyah Medan S1 Fisika 1993.
Medan, Maret 2015
Penyunting.
Penerbit:
Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al Washliyah
Alamat Penerbit / Redaksi:
Jl. S.M. Raja / Garu II No. 93, PO. BOX 1418 Medan 20147
Telp. (061) 7867044 – 7868487 Fax. 7862747
Home Page: http://www.umnaw.ac.id/?page_id-2567
E-mail: [email protected]
Terbit Pertama Kali : Juni 1999
Majalah TRIWULAN
ISSN: 1411 – 0229
Vol 16 No. 1 Maret 2015
DAFTAR ISI
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pada Pabrik Roti Mawar Medan
(Tukimin, SE., M.MA)............................................................................................................................. .....................................................
4829
Peranan Usaha Kecil Menengah (UKM) Terhadap Pembangunan Ekonomi Kabupaten Serdang Bedagai
(Mutawaqil Bilah Tumanggor. SE / Dani Habra, SE., M.MA)..................................................................................................................
4843
Hukuman Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak Menurut Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
(Iwan Setyawan, SH., MH) ............................................................................................................................. ...........................................
4847
ANALISIS SISTEM INTEGRASI TANAMAN UBI KAYU (MANIHOT ESCULENTA CRAUTZ) – TERNAK KAMBING
(CAPRA AEGAGRUS HIRCUS) TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Bambang Hermanto, SP, M.Si) ..................................
4852
Aplikasi Balanced Scorecard Dalam Kontrol Manajemen
(Edward Arif Hakim Hasibuan, SE, MAP) ............................................................................................................................. ...................
4860
Penggunaan Bimbingan Pribadi Dan Sosial Materi Etika Pergaulan Remaja Dengan Layanan Kelompok Dalam Meningkatkan
Prestasi Belajar Siswa Kelas XII SMA Negeri 9 Medan T.A. 2013/2014
(Sofyan, S.Pd) ……………………………………………………………………………………………………………………………
4869
Keterkaitan Pemberian Insentif Dengan Prestasi Kerja Karyawan
(Yohanes Dakhi, SE., MM) ............................................................................................................................. ............................................
4877
Peranan Multimedia Dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran
(Drs. Baziduhu Laia, M.Pd ) ............................................................................................................................. ..........................................
4886
Peranan Bahasa, Budaya Dalam Kehidupan
(Harianto, II, SS., MS) ............................................................................................................................. ...................................................
4893
Pengaruh Metode Debat Plus Terhadap Peningkatan Kemampuan Berbicara Dalam Bahasa Inggris
(Nila Afningsih / Dani Ansari) ............................................................................................................................. .......................................
Jumlah Konsumsi Maksimal Mie Instan Berdasarkan Penentuan Kadar Monosodium Glutamat (MSG) Bumbu Penyedapnya
(Anny Sartika Daulay / Emma Trivitasari) ................................................................................................................................................
Model PBM Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Komunikasi Matematika
(Cut Latifah Zahari / Irpan Apandi Batubara) ..........................................................................................................................................
4897
4903
4908
Kandungan Senyawa Metabolit Sekunder Pada Ekstrak Getah Mangrove Excoecaria agallocha Pada Pelarut N-Hexane
(Dian Puspitasari) .......................................................................................................................................................... ..............................
4915
Faktor-Faktor Peranan Berhubungan Dengan Lamanya Penyembuhan Luka Pada Penderita Diabetes Mellitus Di RSUP Dr. Pirngadi
Medan Tahun 2014
(Megawati) ........................................................................................................................... .......................................................
4919
Hubungan Kompetensi Pedagogik Guru Dan Efikasi Diri Dengan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa Kelas IX SMP Al-Ulum
Terpadu Medan
(Sri Siswati) ........................................................................................................................ .........................................................
4927
Pengembangan Sistem Otomasi Perpustakaan Berdasar Businness Process Di Perpustakaan
(Rayuwati, M.Kom) ......................................................................................................................................................................
4937
Pengaruh Peretasan Kulit Biji Dan Konsentrasi KNO3 Terhadap Perkecambahan Dan Pertumbuhan Biji Sirsak (Annona muricata L.)
(Diah Eka Puspita, SP, M.Si) ....................................................................................................................................... ................
4944
Pengaruh Kompensasi Dan Loyalitas Karyawan Terhadap Pengunduran Diri (Intensi Turnover) Karyawan Pada PT. Pos Indonesia Cabang
Kisaran
4953
(Wan Mariatul Kifti, SE, MM) .......................................................................................................................... ...........................
Penggunaan Media Gambar Dalam Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia Pada Tingkat Sekolah Dasar
(Tinur Rahmawati Harahap, M.Pd) .......................................................................................................................... ...................
4960
Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Bahasa Inggris
(Dra. Sakila) ……………………………………………………………………………………………………………………………
4968
Penerapan Model ―Make A Match‖ Untuk Pencapaian Kompetensi IPS Terpadu
(Dra. Conny Jeany Francis Matullesy) ………………………………………………………………………………………………...
4978
Penerapan Model Pembelajaran Keterampilan Proses Untuk Meningkatkan Penguasaan Kompetensi Pendidikan Agama Islam
(Afrida Lubis) …………………………………………………………………………………………………………………………..
4987
Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa Inggris
(Dewi, S.Pd) …………………………………………………………………………………………………………………………………
4994
Penerapan Model Example Non Example Dalam Upaya Meningkatkan Aktivitas Belajar IPS Terpadu
(Pancaria Sihombing, S.Pd) …………………………………………………………………………………………………………………
5002
Peningkatan Kompetensi Guru Menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together Pada Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR Di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan
(Rasmin Simbolon) …………………………………………………………………………………………………………………………...
5009
The Effect Of Advance Organizer Technique On The Students‘ Reading Comprehension
(Rini Fadhillah Putri) ………………………………………………………………………………………………………………………..
5017
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN MANAJEMEN MUTU TERPADU
PADA PABRIK ROTI MAWAR MEDAN
Tukimin, SE, M.MA1
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan mutu terpadu di
Pabrik Roti Mawar Bakery. Penelitian ini dilakukan di Pabrik Roti Mawar Bakery. Data primer dikumpulkan
melalui wawancara, kuesioner, dan observasi yang dilakukan dengan berbagai pihak yang terkait dalam topik
penelitian ini. Wawancara dilakukan kepada pimpinan Mawar Bakery dan 3 (tiga) orang quality control.
Wawancara kepada pimpinan Mawar Bakery dilakukan untuk mengetahui gambaran umum tentang kondisi
perusahaan dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) pada
Mawar Bakery serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan wawancara kepada 3 (tiga) orang pakar
mutu dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada
industri kecil.
Kata kunci : manajemen mutu terpadu dan roti
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Menurut Feigenbaum (1992: 5-6) sistem Manajemen Mutu Terpadu memberikan arahan dan panduan bagi
pelaksanaan kegiatan peningkatan dan pengendalian mutu. Kendali mutu merupakan salah satu kekuatan
perusahaan yang utama untuk mencapai peningkatan produktivitas total secara tepat. Disamping itu, dengan
pengendalian mutu diharapkan manajemen perusahaan mampu menyelenggarakan usaha dagang berdasarkan
kekuatan dan keyakinan atas mutu produk atau jasa mereka, dan memungkinkan manajemen perusahaan bergerak
maju dalam volume pasar dan perluasan bauran dengan derajat penerimaan pelanggan yang tinggi, stabilitas
keuntungan dan pertumbuhan perusahaan yang pesat.
Hal tersebut juga berlaku pula dalam perusahaan roti, dimana roti sebagai bahan makanan yang akan
dikonsumsi langsung oleh manusia tentunya harus memenuhi tingkat keamanan pangan (food safety) produk untuk
konsumsi. Kualitas dari produk roti haruslah diperhatikan dan dijaga oleh pihak produsen agar selalu dalam
keadaan baik serta aman untuk dikonsumsi. Selain itu, mutu atau kualitas produk juga berperan dalam
memenangkan persaingan serta merebut hati konsumen. Mawar Bakery merupakan salah satu dari perusahaan roti
dan kue yang ada di kota Medan. Perusahaan roti yang berlokasi di Jl. Setia Budi, Kelurahan Tanjung Sari ini
berhasil bertahan bertahun-tahun dan telah mengalami pasang surut dalam menjalankan usahanya, selalu
mempunyai kesadaran akan pentingnya menjaga mutu. Walaupun demikian, perusahaan roti ini mempunyai
kendala dalam menjaga mutu rotinya yang terkadang berfluktuasi. Jika kondisi ini terus berlangsung, dikhawatirkan
Mawar Bakery akan kehilangan konsumennya.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peneraman mutu terpadu di
Pabrik Roti Mawar Bakery.
1 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan
4829
1.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pabrik Roti Mawar Bakery. Data primer dikumpulkan melalui wawancara,
kuesioner, dan observasi yang dilakukan dengan berbagai pihak yang terkait dalam topik penelitian ini. Wawancara
dilakukan kepada pimpinan Mawar Bakery dan 3 (tiga) orang quality control. Wawancara kepada pimpinan Mawar
Bakery dilakukan untuk mengetahui gambaran umum tentang kondisi perusahaan dan informasi yang berkaitan
dengan pelaksanaan penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) pada Mawar Bakery serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Sedangkan wawancara kepada 3 (tiga) orang pakar mutu dilakukan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada industri kecil.
2. Uraian Teoritis
2.1. Mutu
Banyak sekali definisi kualitas yang sebenarnya definisi kualitas yang satu hampir sama dengan definisi
yang lain. Definisi kualitas menurut beberapa ahli antara lain:
1. Stevenson (2005: 381) ‖quality refers to the ability of a product or service to consistently meet or exceed
customer expectations‖ atau ‖kualitas berarti kemampuan produk atau jasa untuk secara berkesinambungan
menyesuaikan dengan harapan konsumen‖
2. Schroeder (2004: 169) ―mutu didefinisikan sebagai kecocokan penggunaan. Ini berarti bahwa produk atau jasa
memenuhi kebutuhan pelanggan‖
3. Render and Heizer (2001: 92) ―mutu adalah totalitas bentuk dan karakteristik barang atau jasa yang
menunjukkan kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang tampak jelas maupun yang
tersembunyi‖
4. Gaspersz (2005: 5) ―kualitas diartikan sebagai sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan dan upaya
perubahan ke arah perbaikan terus-menerus sehingga dikenal istilah Q-MATCH (Quality = Meets Agreed Terms
and Changes).
Menurut Feigenbaum (1992: 7) mutu adalah keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari
pemasaran, rekayasa, pembikinan, dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi
harapan-harapan pelanggan. Feigenbaum (1992: 54-56) menambahkan terdapat sembilan dasar yang
mempengaruhi mutu baik produk ataupun jasa, kesembilan bidang dasar tersebut, yaitu:
1. Market (pasar), keinginan dan kebutuhan konsumen pada masa sekarang ini memperoleh produk dengan mutu
yang baik untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bahwasanya pasar memiliki ruang lingkup yang luas secara
fungsional.
2. Money (uang), biaya-biaya mutu yang dikaitkan dengan perbaikan mutu telah mencapai ketinggian yang tak
terduga, kenyataan ini menekankan bahwa biaya mutu sebagai salah satu ―titik lunak‖ tempat biaya operasi dan
kerugian yang dapat diturunkan untuk mendapatkannya.
3. Management (manajemen), adanya koordinasi antar divisi memungkinkan tidak terjadinya kesalahan operasi
perencanaan produk yang dihasilkan sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh konsumen.
4830
4. Men (manusia), merupakan faktor terpenting yang harus dimiliki oleh perusahaan karena merupakan sumber
daya dengan spesialisasi yang khusus.
5. Motivation (motivasi), para pekerja saat ini memerlukan sesuatu yang memperkuat rasa keberhasilan dalam
pekerjaan mereka dan secara pribadi mereka memberikan sesuatu atas tercapainya tujuan perusahaan. Hal ini
membimbing ke arah yang tidak ada sebelumnya yaitu pendidikan mutu yang lebih ketat, maka spesifikasi bahan
menjadi lebih baik.
6. Materials (bahan), dikarenakan persyaratan mutu yang lebih ketat, maka spesifikasi bahan menjadi lebih baik.
7. Machines and mechanization (mesin dan mekanisasi), mutu yang baik menjadi sebuah faktor yang kritis dalam
memelihara waktu kerja mesin agar fasilitasnya dapat dimanfaatkan sepenuhnya.
8. Modern information methods (metode informasi modern), teknologi yang berkembang pada saat ini sangat cepat
yang memungkinkan perusahaan dapat mengumpulkan, memanipulasi, serta mengendalikan proses selama
produksi bahkan hingga mencapai pada konsumen.
9. Mounting product requirements (persyaratan proses produksi), meningkatnya kerumitan persyaratan-persyaratan
prestasi yang lebih tinggi bagi produk telah menekan pentingnya keamanan dan kehandalan produk.
Russel dalam Ariani (2002: 9) mengidentifikasikan tujuh peran kualitas, yaitu: (1) meningkatkan reputasi
perusahaan, (2) menurunkan biaya, (3) meningkatkan pangsa pasar, (4) dampak internasional, (5) adanya
pertanggungjawaban produk, (6) penampilan produk, (7) mewujudkan kualitas yang dirasa penting.
2.2. Pengendalian Mutu
Pengendalian mutu adalah fungsi manajemen dimana kualitas material, proses, keahlian, dan produk
dikontrol dengan tujuan mencegah rusaknya keluaran (Lockyer dkk, 1994: 93). Tujuan pengendalian mutu adalah
untuk menjamin produk, alat maupun sumberdaya lainnya yang digunakan telah memenuhi persyaratan yang
ditentukan sehingga dapat menghasilkan produk yang memenuhi keinginan pelanggan atau pembeli atau yang
disyaratkan. Tiga kondisi yang harus mendapat perlakuan tersebut adalah bahan yang masuk, selama proses, dan
proses pengeluaran (Hadiwiardjo dan Wibisono, 1996: 82).
2.3. Manajemen Mutu Terpadu
Menurut Nasution (2005: 22) Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan
usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk,
jasa, tenaga kerja, proses, dan lingkungannya. Sedangkan menurut Brocka dan Brocka dalam Suwatno dan Rasto
(2003: 174-175) Total Quality Management dapat didefinisikan sebagai sebuah cara untuk meningkatkan kinerja
secara berkelanjutan pada setiap tingkat operasi, dalam setiap fungsi organisasi, dengan menggunakan seluruh
sumber daya manusia dan modal yang tersedia.
Menurut Ariani (2002: 35) Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management) merupakan suatu
penerapan metode kuantitatif dan sumber daya manusia untuk memperbaiki dalam penyediaan bahan baku maupun
pelayanan bagi organisasi, semua proses dalam organisasi pada tingkatan tertentu dimana kebutuhan pelanggan
terpenuhi sekarang dan di masa mendatang. Total Quality Management lebih merupakan sikap dan perilaku
berdasarkan kepuasan atas pekerjaannya dan kerja tim atau kelompoknya. Total Quality Management menghendaki
4831
komitmen total dari manajemen sebagai pemimpin organisasi dimana komitmen ini harus disebarluaskan pada
seluruh karyawan dan pada semua level atau departemen dalam organisasi. Total Quality Management bukan
merupakan program atau sistem, tapi merupakan budaya yang harus dibangun, dipertahankan, dan ditingkatkan oleh
seluruh anggota organisasi atau perusahaan bila organisasi atau perusahaan tersebut berorientasi pada kualitas dan
menjadikan kualitas sebagai the way of life. Prawirosentono (2004: 5) secara sistematis, Manajemen Mutu Terpadu
meliputi:
a. Merancang produk (product designing)
b. Memproduksi secara baik sesuai dengan rencana
c. Mengirimkan produk ke konsumen dalam kondisi baik (to deliver)
d. Pelayanan yang baik kepada konsumen (good consumer service)
Menurut Hensler dan Brunell dalam Nasution (2005: 30-31) ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu:
1. Kepuasan Pelanggan
Kualitas tidak hanya bermakna kesesuaian dengan spesifikasi-spesifikasi tertentu, tetapi kualitas tersebut
ditentukan pelanggan. Pelanggan itu sendiri meliputi pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Kebutuhan
pelanggan diusahakan untuk dipuaskan dalam segala aspek, termasuk di dalamnya harga, keamanan, dan ketepatan
waktu. Kualitas yang dihasilkan suatu perusahaan sama dengan nilai yang diberikan dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup para pelanggan. Semakin tinggi nilai yang diberikan, maka semakin besar pula kepuasan pelanggan.
2. Respek Terhadap Setiap Orang
Setiap karyawan dipandang sebagai individu yang memiliki talenta dan kreativitas yang khas. Dengan
demikian, karyawan merupakan sumberdaya organisasi yang paling bernilai. Oleh karena itu, setiap orang dalam
organisasi diperlakukan dengan baik dan diberi kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam tim
pengambilan keputusan.
3. Manajemen Berdasarkan Fakta
Setiap keputusan selalu didasarkan pada data, bukan sekedar pada perasaan (feeling). Ada dua konsep
pokok yang berkaitan dengan hal ini. Pertama, prioritas (prioritization), yakni suatu konsep bahwa perbaikan tidak
dapat dilakukan pada semua aspek pada saat yang bersamaan, mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada. Oleh
karena itu, dengan menggunakan data, maka manajemen dan tim dalam organisasi dapat memfokuskan usahanya
pada situasi tertentu yang vital. Konsep kedua, variasi atau variabilitas kinerja manusia. Data statistik dapat
memberikan gambaran mengenai variabilitas yang merupakan bagian yang wajar dari setiap sistem organisasi.
Dengan demikian, manajemen dapat memprediksikan hasil dari setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.
4. Perbaikan Berkesinambungan
Setiap perusahaan perlu melakukan proses sistematis dalam melaksanakan perbaikan secara
berkesinambungan agar dapat sukses. Konsep yang berlaku di sini adalah siklus PDCAA (plan-do-check-actanalyze), yang terdiri dari langkah-langkah perencanaan dan melakukan tindakan kreatif terhadap hasil yang
diperoleh
Sedangkan unsur-unsur Total Quality Management menurut Goetsch dan Davis dalam Nasution (2005: 2224) antara lain:
4832
1. Fokus Terhadap Pelanggan
Pelanggan internal maupun eksternal merupakan driver dalam TQM. Pelanggan eksternal menentukan
kualitas produk atau jasa yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan besar dalam
menentukan kualitas tenaga kerja, proses, dan lingkungan yang berhubungan dengan produk atau jasa.
2. Obsesi Terhadap Kualitas
Pelanggan internal dan eksternal menentukan kualitas dalam organisasi yang menerapkan TQM. Pelanggan
internal adalah orang yang berada dalam perusahaan dan memiliki pengaruh pada performansi (performance)
pekerjaan (atau perusahaan) kita. Bagian-bagian pembelian, produksi, penjualan, pembayaran gaji, rekrutmen, dan
karyawan, merupakan contoh rari pelanggan internal. Pelanggan eksternal adalah pembeli atau pemakai akhir produk
itu, yang sering disebut sebagai pelanggan nyata (real customer). Pelanggan eksternal merupakan orang yang
membayar untuk menggunakan produk yang dihasilkan itu (Gaspersz, 2005: 34). Dengan kualitas yang ditetapkan
tersebut, organisasi harus terobsesi untuk memenuhi atau melebihi apa yang ditentukan mereka.
3. Pendekatan Ilmiah
Pendekatan ilmiah sangat diperlukan dalam penerapan TQM, terutama untuk mendesain pekerjaan dan
dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang didesain
tersebut. Data diperlukan dan dipergunakan dalam menyusun patok duga (benchmarking), memantau prestasi, dan
melaksanakan perbaikan.
4. Komitmen Jangka Panjang
Komitmen jangka panjang sangat penting guna mengadakan perubahan budaya agar penerapan TQM dapat
berjalan dengan sukses.
5. Kerjasama Tim
Kerja sama tim, kemitraan dan hubungan dijalin dan dibina dalam organisasi yang menerapkan TQM, baik
antar karyawan perusahaan maupun dengan pemasok, lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat sekitarnya.
6. Perbaikan Sistem Secara Berkesinambungan
Setiap produk dan jasa dihasilkan dengan memanfaatkan proses-proses tertentu di dalam suatu sistem atau
lingkungan. Sistem yang ada perlu diperbaiki secara terus-menerus agar kualitas yang dihasilkannya dapat makin
meningkat.
7. Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan pelatihan merupakan faktor fundamental dalam organisasi yang menerapkan TQM. Setiap
orang diharapkan dan didorong untuk terus belajar. Dalam hal ini berlaku prinsip bahwa belajar merupakan proses
yang tidak ada akhirnya dan tidak mengenal batas usia. Dengan belajar, setiap orang dalam perusahaan dapat
meningkatkan keterampilan teknis dan keahlian profesionalnya.
8. Kebebasan yang Terkendali
Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
merupakan unsur yang sangat penting dalam TQM. Hal ini dikarenakan unsur tersebut dapat meningkatkan rasa
memiliki dan tanggung jawab karyawan terhadap keputusan yang telah dibuat. Selain itu, unsur ini juga dapat
memperkaya wawasan dan pandangan dalam suatu keputusan yang diambil, karena pihak yang terlibat lebih
4833
banyak. Meskipun demikian, kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pemberdayaan tersebut merupakan
hasil dari pengendalian yang terencana dan terlaksana dengan baik.
9. Kesatuan Tim
Perusahaan harus memiliki kesatuan tujuan agar TQM dapat diterapkan dengan baik. Dengan demikian,
setiap usaha dapat diarahkan pada tujuan yang sama.
10. Adanya Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan
Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan merupakan hal yang penting dalam penerapan TQM. Usaha
untuk melibatkan karyawan membawa dua manfaat utama. Pertama, akan meningkatkan kemungkinan
dihasilkannya keputusan yang baik, rencana yang baik, atau perbaikan yang lebih efektif, karena juga mencakup
pandangan dan pemikiran dari pihak-pihak yang langsung berhubungan dengan situasi kerja. Kedua, keterlibatan
karyawan juga meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab atas keputusan dengan melibatkan orang-orang
yang harus melaksanakannya. Pemberdayaan bukan sekedar melibatkan karyawan, tetapi juga melibatkan mereka
dengan memberikan pengaruh yang sungguh-sungguh berarti. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
menyusun pekerjaan yang memungkinkan para karyawan untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan proses
pekerjaannya dalam parameter yang ditetapkan dengan jelas.
Menurut Oakland dalam Ariani (2002: 50) Manajemen Mutu Terpadu (TQM) akan dapat tercapai bila
perusahaan atau organisasi dapat melaksanakan kegiatannya dengan berpedoman pada atribut efisiensi, yaitu:
1. Dukungan (commitment)
Organisasi atau perusahaan harus mendukung pada penyediaan produk dan jasa untuk mengembangkan
organisasi. Manajemen harus mendukung pada penyediaan produk dan jasa tersebut secara efisien dan
menguntungkan.
2. Konsistensi (consistency)
Produk dan jasa bukan merupakan jenis usaha yang semata-mata hanya dipengaruhi permintaan pelanggan
dan menyesuaikan dengan karakteristik pelanggan. Produk dan jasa harus mempunyai konsistensi dalam kinerja,
misalnya ketepatan waktu, kebersihan ruangan, kesabaran dan memberikan pelayanan, dan sebagainya.
3. Kemampuan (competence)
Organisasi atau perusahaan memang sangat membutuhkan karyawan yang ahli sebagai organisasi dimana
kualitas produk atau jasa yang ditawarkan sangat dipengaruhi keahlian karyawan.
4. Hubungan (contact)
Organisasi atau perusahaan yang mengutamakan kebutuhan dan harapan pelanggan dalam membuat
produk atau jasanya, harus mengadakan hubungan atau kontak langsung dengan pelanggan. Masalah menjaga
hubungan yang baik dengan pelanggan perlu mendapatkan prioritas.
5. Komunikasi (communication)
Spesifikasi produk atau jasa yang diinginkan pelanggan yang perlu dicapai untuk dapat mewujudkan
kualitas produk atau jasa tersebut harus didukung dengan komunikasi yang baik antar pelanggan dengan pihak
pemberi jasa. Hal ini disebabkan kualitas produk dan jasa yang ditawarkan juga sangat tergantung dari spesifikasi
pelanggan tersebut.
4834
6. Kepercayaan (credibility)
Organisasi atau perusahaan harus dapat dipercaya, dan antara pihak organisasi atau perusahaan dengan
pelanggan juga harus ada rasa saling percaya. Hal ini akan memperlancar komunikasi dan menjalin hubungan baik
yang akan memudahkan organisasi atau perusahaan merealisasikan keinginan atau harapan pelanggan tersebut.
7. Perasaan (compassion)
Perasaan yang dimaksud di sini adalah perasaan simpati akan kebutuhan dan harapan pelanggan, selain
juga perasaan dari pihak manajemen kepada karyawan organisasi yang memberikan produk atau jasa secara
langsung pada pelanggan.
8. Kesopanan (courtesy)
Hubungan langsung antar personil organisasi atau perusahaan dengan pelanggan tersebut menuntut adanya
sikap sopan santun dari pihak organisasi atau perusahaan. Pelanggan akan lebih menyukai produsen yang
memperhatikan sopan santun dalam memberikan pelayanan.
9. Kerjasama (co-operation)
Kerjasama dengan pelanggan akan membantu organisasi atau perusahaan untuk dapat menghasilkan
produk dan jasa yang berkualitas dan sesuai dengan keinginan pelanggan. Kerja sama ini juga perlu dibina secara
terus menerus antar personil organisasi atau perusahaan dengan pelanggan dan antar para personil dalam organisasi
atau perusahaan tersebut.
10. Kemampuan (capability)
Capability disini diartikan bahwa organisasi atau perusahaan harus mempunyai kemampuan untuk
mengambil tindakan atau keputusan yang berkaitan dengan produk atau jasa.
11. Kepercayaan (confidence)
Kepercayaan disini berarti rasa percaya diri dari organisasi atau perusahaan bahwa organisasi atau
perusahaan tersebut mampu memberikan jasa yang terbaik bagi pelanggan.
12. Kritikan (criticism)
Kritikan dalam hal ini berarti bahwa organisasi atau perusahaan tidak boleh menghindari kritikan yang
bersifat membangun, apalagi kritikan itu berasal dari pelanggan.
3. Pembahasan
3.1. Manajemen Mutu Terpadu
a. Fokus Pada Pelanggan
Mawar Bakery selalu berusaha untuk memproduksi roti yang sesuai dengan keinginan konsumen mereka.
Oleh karena itu, mereka sangat merespon positif apabila ada keluhan maupun saran dari konsumen. Contohnya
pada saat roti tawar pandan yang mereka jual tidak beraroma pandan, Mawar Bakery segera melakukan konfirmasi
ke perusahaan pemasok pasta pandan, tetapi karena tidak ada tanggapan positif dari pemasok, maka Mawar Bakery
memutuskan untuk memasok pasta pandan dari pemasok lain.
b. Obsesi Terhadap Kualitas
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Mawar Bakery untuk mencapai obsesinya dalam menciptakan produk
yang berkualitas, bahkan menginginkan kualitas roti mereka setara dengan kualitas roti perusahaan lain yang
4835
kelasnya berada di atas mereka. Salah satunya dengan cara membandingkan roti mereka dengan perusahaan lain.
Proses pembandingan ini dilakukan langsung oleh pimpinan Mawar Bakery. Usaha pembandingan yang dilakukan
pimpinan Mawar Bakery menghasilkan perubahan pada bahan baku baik dari jumlah takarannya maupun
komposisinya. Begitu juga pada saat ada masukkan penggunaan bahan tambahan untuk mengempukkan roti.
Mawar Bakery langsung merespon masukkan tersebut dengan segera menggunakan bahan pengempuk yang
dimaksud, walaupun bahan pengempuk tersebut hanya dijual di toko-toko bahan makanan tertentu.
c. Pendekatan Ilmiah
Pendekatan ilmiah yang dimaksud adalah pendokumentasian data atau tertib administrasi. Selama ini,
Mawar Bakery hanya melakukan pendokumentasian dalam hal jumlah roti yang dihasilkan itu pun hanya
sementara. Pendokumentasian dilakukan berupa catatan harian pesanan roti dari pedagang yang dikumpulkan oleh
manajer operasional. Dokumentasi tersebut berupa lembaran kertas sehingga apabila lembaran kertas mulai
menumpuk, kertas-kertas tersebut langsung dibuang atau dipergunakan untuk keperluan lain. Mawar Bakery juga
belum mendokumentasikan Standard Operational Procedure (SOP) untuk karyawannya maupun standar
komposisi bahan baku yang digunakan untuk memproduksi roti.
d. Komitmen Jangka Panjang
Komitmen jangka panjang Mawar Bakery adalah mengutamakan kualitas roti yang dihasilkan sebagai
keunggulan mereka. Komitmen itu ditunjukan dengan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh perusahaan untuk
memperbaiki mutunya. Usaha-usaha tersebut seperti menggunakan kemasan plastik untuk semua jenis roti yang
diproduksi, melengkapi dengan mesin-mesin produksi yang memadai walaupun dilakukan secara bertahap,
merespon dengan baik kritik maupun saran dari konsumen seperti mengganti staples dengan isolasi untuk
merapatkan kemasan, pergantian pemasok untuk pasta makanan karena aroma roti yang dihasilkan tidak wangi, dan
mengganti bahan bakar oven yang pada awalnya menggunakan minyak tanah dan solar diganti menjadi gas. Hal
tersebut dimaksudkan untuk mengurangi jumlah roti yang hangus.
e. Kerjasama dan Kesatuan Tim
Kualitas roti yang dihasilkan Mawar Bakery tidak terlepas dari kerjasama semua pihak baik pemasok,
konsumen, maupun kerjasama antar karyawan perusahaan itu sendiri. Sama halnya kerjasama yang dilakukan
Mawar Bakery dengan pemasok, kerjasama Mawar Bakery dengan konsumennya telah terjalin walaupun belum
optimal. Kerjasama tersebut belum optimal karena hanya bersifat sementara atau tidak rutin. Kerjasama yang
dilakukan berupa pemberian kritik maupun saran dari konsumen terhadap roti yang Mawar Bakery produksi.
Biasanya kritik dan saran tersebut disampaikan ke pedagang yang kemudian ditindaklanjuti oleh karyawan
produksi. Saran dan kritik juga terkadang disampaikan langsung ke pemilik Mawar Bakery.
f. Perbaikan Sistem Secara Berkesinambungan
Mawar Bakery selalu memperbaiki sistem mutunya (pemasok, produksi, dan pelanggan) agar kualitas roti
yang dihasilkan sesuai dengan harapan perusahaan walaupun hanya dengan kegiatan rutin saja. Perbaikan yang
telah dilakukan oleh Mawar Bakery antara lain secara bertahap melengkapi produksinya dengan mesin-mesin yang
memadai, mengganti pemasok pasta karena kualitas pastanya tidak sesuai dengan yang diharapkan, memberikan
pelatihan dalam hal variasi bentuk roti kepada, penggunaan pembungkus plastik untuk semua roti yang dihasilkan
yang semula hanya untuk roti tawar, mengganti staples dengan isolasi untuk merekatkan pembungkus roti, dan
4836
mengganti bahan bakar oven yang semula menggunakan minyak tanah dan solar dengan gas agar kualitas roti yang
dihasilkan sesuai dengan harapan perusahaan.
g. Pendidikan dan Pelatihan
Sebagian besar karyawan Mawar Bakery memiliki latar belakang pendidikan setingkat Sekolah Dasar
(SD). Latar belakang pendidikan tersebut menyebabkan Mawar Bakery kesulitan untuk merubah pola pikir
karyawan dalam membuat roti. Mereka hanya berpikir proses pembuatan roti hanya proses yang diawali dengan
mencampur bahan-bahan menjadi adonan, mencetaknya, dan diakhiri dengan proses pemanggangan, tanpa
memikirkan apakah kualitas roti yang mereka hasilkan sesuai dengan harapan pelanggan atau tidak.
h. Kebebasan yang Terkendali dan Adanya Keterlibatan Serta Pemberdayaan Karyawan
Karyawan produksi Mawar Bakery tidak diberikan kebebasan untuk merubah sistem dalam proses
produksi yang telah diberlakukan oleh pimpinan. Hal tersebut dikarenakan kekhawatiran dari pimpinan apabila
sistem tersebut dirubah, maka akan merubah kualitas roti yang dihasilkan. Salah satu contohnya adalah dalam hal
penentuan komposisi bahan baku maupun pemanggangan roti yang hanya dipegang oleh kepala juru masak dan 1
(satu) orang karyawan lain yang telah lama bekerja di perusahaan tersebut. Berbeda dengan karyawan produksi,
karyawan penjualan diberikan kebebasan untuk menentukan jumlah roti yang mereka pesan.
3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pada Mawar Bakery
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli, secara umum terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada UKM yang bergerak dalam industri roti seperti Mawar Bakery. FaktorFaktor yang mempengaruhi tersebut dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu berdasarkan masalah, pelaku, dan
penyebab.
a. Faktor Masalah
Terdapat 5 (lima) masalah dalam penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Mawar Bakery. Kelima
faktor masalah tersebut adalah:
1. Sarana dan Prasarana
Teknologi merupakan penjelmaan secara fisik dari pengetahuan. Oleh karena itu, di dalam lingkungan
kompetitif, dimana pengetahuan menduduki peranan vital, teknologi yang dirancang dengan baik guna memperluas
kemampuan manusia dapat meningkatkan daya saing organisasi (Tjiptono dan Diana, 2001: 72).
Mawar Bakery mulai melengkapi sarana dan prasarana yang dimiliki secara bertahap semenjak perusahaan
ini didirikan. Dimulai dengan mesin pemipih adonan roti manis yang merupakan mesin pertama yang dimiliki oleh
Mawar Bakery, kemudian dilanjutkan dengan mesin pencampur adonan (mixer) ukuran kecil dan yang paling
terbaru adalah mesin pemanggang roti (oven) yang berbahan bakar gas. Walaupun demikian, sarana dan prasarana
yang dimiliki Mawar Bakery tergolong masih belum memadai. Salah satu contohnya adalah timbangan yang
digunakan masih timbangan manual belum elektrik, padahal takaran resep sangat mempengaruhi kualitas roti yang
akan dihasilkan.
2. Evaluasi dan Monitoring
Evaluasi dan monitoring mendukung dalam menjaga konsistensi kualitas produk yang dihasilkan. Produk
yang baik salah satunya dihasilkan dari proses evaluasi dan monitoring yang baik pula. Oleh karena itu, diperlukan
4837
koordinasi antara pimpinan dengan karyawan untuk mencegah terjadinya kesalahan operasi yang dapat
menyebabkan kerusakan atas produk yang dihasilkan. Evaluasi yang dilakukan oleh Mawar Bakery masih
menerapkan sistem reaktif yaitu evaluasi hanya dilakukan apabila roti yang dihasilkan mengalami kerusakan atau
tidak sesuai dengan harapan konsumen. Misalnya saat konsumen memberikan kritikan karena roti tawar pandan
yang dijual tidak beraroma pandan, maka Mawar Bakery mengevaluasi proses produksi yang ternyata bersumber
dari pasta pandan yang digunakan. Akhirnya Mawar Bakery segera mengganti pemasok pasta pandan tersebut
karena tidak adanya respon positif dari pemasok untuk memperbaiki kualitas pasta pandannya.
3. Manajemen Produksi
Manajemen produksi Mawar Bakery belum teritegrasi dengan proses lain. Manajemen produksi Mawar
Bakery dimulai dengan merencanakan jumlah penggunaan bahan baku yang disesuaikan dengan pesanan pedagang,
pembagian tugas masing-masing personil, dan diakhiri dengan proses pembuatan roti. Mawar Bakery hanya
menganggap kualitas hanya berasal dari proses produksi yang baik tanpa pengaruh dari aspek-aspek lain, seperti
konsumen dan supplier. Padahal konsumen dan supplier memegang peranan penting dan merupakan bagian dari
sistem yang sangat mempengaruhi kualitas roti yang mereka hasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hessel
dalam Nasution (2005, 366-367), bahwa salah satu faktor yang menjadi penghambat penerapan Manajemen Mutu
Terpadu adalah implementasi Manajemen Mutu Terpadu masih bersifat parsial yang berorientasi hanya pada little
quality, yaitu hanya di bidang produksi saja.
4. Manajemen Pemasaran
Bagi pemasaran produk barang, manajemen pemasaran akan dipecah atas 4 (empat) kebijakan pemasaran
yang lazim disebut sebagai bauran pemasaran (marketing-mix) (Umar, 2005: 70). Bauran pemasaran adalah
seperangkat alat pemasaran yang digunakan untuk tujuan pemasarannya. Mc Carthy dalam Kotler dan Keller
(2007: 23) mengklasifikasikan alat-alat ini menjadi empat kelompok besar, yang disebut empat P tentang
pemasaran: produk (product), harga (price), distribusi (place) dan promosi (promotion).
5. Lingkungan Usaha
Persaingan antar perusahaan roti di Ciledug sangat ketat karena banyaknya perusahaan yang bermain
dalam bidang yang sama. Kondisi ini menyebabkan Mawar sulit untuk mengembangkan kualitas rotinya. Apabila
Mawar Bakery meningkatkan kualitas rotinya, tentu saja hal tersebut akan mempengaruhi pada kenaikan harga jual
yang akan ditetapkan. Mawar Bakery tidak bisa begitu saja menaikan harga jual, hal itu terlalu bersiko karena
Mawar Bakery dapat kehilangan konsumennya mengingat banyaknya pesaing lain yang membuat konsumen tidak
terikat dengan 1 (satu) perusahaan roti saja.
b. Faktor Pelaku
Manajemen Mutu Terpadu merupakan sebuah pendekatan dalam upaya menciptakan, mempertahankan,
dan meningkatkan kualitas yang tentu saja dalam pelaksanaannya membutuhkan orang atau pelaku sebagai
subjeknya atau yang menggerakkannya. Berjalan atau tidaknya Manajemen Mutu Terpadu ditentukan oleh kinerja
dari pelaku yang menggerakannya dalam suatu organisasi seperti di Mawar Bakery.
c. Faktor Penyebab
4838
Faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu terdiri dari 7 (tujuh)
faktor, yaitu:
1. Modal/ Dana
Implementasi Manajemen Mutu Terpadu tidaklah harus mahal. Meskipun demikian, segala sesuatunya
membutuhkan biaya. Biaya yang dibutuhkan sebagian besar digunakan untuk pelatihan. Dana yang dibutuhkan ini
harus selalu tersedia. Sayangnya, sulit sekali memperkirakan tingkat dan waktu pengembaliannya (Tjiptono dan
Diana, 2001: 332-333). Masalah modal juga menjadi masalah yang dihadapi Mawar Bakery. Mawar Bakery
membiayai keberlangsungan usahanya menggunakan dana pribadi yang berasal dari dana pensiun pemilik tanpa
pernah menggunakan dana pinjaman dari pihak lain. Mawar Bakery tidak pernah melakukan pinjaman kepada
pihak lain seperti Bank dikarenakan proses pengajuan kredit yang terlalu lama dan bunga kredit yang tinggi.
2. Kompensasi
Mawar Bakery memberikan kompensasi berupa gaji pokok untuk karyawan produksi sebesar Rp
15.000,00-Rp 33.000,00 per hari dan tambahan uang makan Rp 12.000,00-Rp 15.000,00 per hari. Penetapan gaji
tersebut didasarkan atas kemampuan yang dimiliki oleh karyawannya. Berbeda dengan karyawan produksi,
karyawan penjualan tidak menerima gaji pokok, mereka hanya menerima insentif tambahan yang berupa uang
sebesar Rp 6.000,00 apabila mereka berjualan. Uang tersebut dikumpulkan dan dijadikan sebagi dana talangan
apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh pedagang. Selain itu, sama seperti perusahaan-perusahaan lain, Mawar
Bakery juga memberikan tunjangan-tunjangan lain seperti tunjangan hari raya maupun tunjangan kesehatan bagi
para karyawannya. Selama ini, kompensasi yang diberikan Mawar Bakery masih menggunakan pendekatan
penghargaan dalam bentuk materi (uang). Padahal kompensasi dengan pendekatan pengakuan tidak kalah
pentingnya. Pengakuan terhadap kinerja karyawan dapat meningkatkan munculnya keyakinan karyawan terhadap
kontribusi mereka dalam menciptakan kualitas sesuai dengan pernyataan Tjiptono dan Diana (2001: 140-141) yang
menyatakan di dalam model Manajemen Mutu Terpadu, peranan penghargaan dan pengakuan prestasi tidak akan
menghasilkan total quality. Akan tetapi apabila kedua hal tersebut tidak ada, maka akan mengakibatkan hilangnya
keyakinan karyawan terhadap nilai riil kualitas dan kontribusi mereka untuk memperbaiki kualitas. Perusahaan
yang akan menerapkan Manajemen Mutu Terpadu harus melakukan pendekatan penghargaan dan pengakuan
apabila ingin sukses dalam menerapkan sistem tersebut.
3. Komitmen
Hal utama yang harus ada agar penerapan Manajemen Mutu Terpadu dapat menjadi cara perusahaan
menjalankan bisnis adalah komitmen utuh dari manajemen puncak. Komitmen yang dibutuhkan tidak hanya
mencakup sumberdaya yang diperlukan, tetapi juga waktu yang dicurahkan. Perlunya keterlibatan langsung dari
manajemen puncak bertujuan untuk memimpin dan menunjukkan bahwa Manajemen Mutu Terpadu sangat penting
bagi perusahaan (Tjiptono dan Diana, 2001: 332).
4. Informasi
Penerapan Manajemen Mutu Terpadu tidak terlepas dari informasi yang diperoleh dari pelanggan.
Informasi dari pelanggan dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu umpan balik dan masukan. Umpan
balik biasanya diperoleh setelah fakta terjadi sedangkan masukkan diperoleh sebelum fakta terjadi (Tjiptono dan
Diana, 2001: 118-119).
4839
Mawar Bakery mengumpulkan informasi secara tidak sengaja, yaitu informasi yang diperoleh organisasi
tanpa mencari atau memintanya. Informasi ini berasal dari beberapa orang konsumen yang bersedia menyumbang
saran dan juga berasal dari sesama pengusaha roti. Keterbatasan dalam mendapatkan informasi ini menjadi salah
satu penyebab belum optimalnya penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Mawar Bakery. Hal ini terjadi karena
Mawar Bakery belum menerapkan 2 (dua) atribut efisiensi, yaitu hubungan (contact) dan komunikasi
(communication) baik kepada pelanggan atau konsumen maupun pada pemasok sehingga arus informasi menjadi
terhambat.
5. Pengetahuan
Pengetahuan yang memadai sangat menentukan baik tidaknya penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada
suatu perusahaan karena akan mempersulit karyawan untuk menerima dan menerapkan konsep Manajemen Mutu
Terpadu (Nasution, 2005: 367). Sama halnya dengan informasi, pengetahuan yang dimiliki SDM pada Mawar
Bakery kurang mumpuni. Pimpinan telah berusaha untuk menambah pengetahuan para SDM yang dimilikinya,
seperti dengan cara mengadakan pelatihan yang bertujuan untuk mempercantik tampilan roti. Tetapi karena sulit
untuk merubah kebiasaan dari SDMnya, maka usaha yang telah dilakukan pun tiada berarti banyak.
6. Budaya
Budaya organisasi adalah perwujudan sehari-hari dari nilai-nilai dan tradisi yang mendasari organisasi
tersebut. Hal ini terlihat pada bagaimana karyawan berperilaku, harapan karyawan terhadap organisasi dan
sebaliknya, serta apa yang dianggap wajar dalam hal bagaimana karyawan melaksanakan pekerjaannya (Tjiptono
dan Diana, 2001: 75).
7. Awareness (Kesadaran)
Kesadaran seluruh organ penggerak perusahaan mengenai pentingnya menciptakan dan menjaga kualitas
turut mendukung pencapaian penerapan Manajemen Mutu Terpadu. Kesadaran para karyawan akan pentingnya
kualitas masih sangat kurang baik karyawan produksi maupun karyawan penjualan. Hal tersebut terlihat dari
kegiatan karyawan sehari-hari yang hanya terkesan untuk menggugurkan kewajiban mereka saja, yaitu untuk
membuat roti maupun untuk menjualnya.
Karyawan produksi kurang menjaga kebersihan diri terutama kebersihan tangan saat akan memulai
bersentuhan dengan bahan baku maupun saat bersentuhan dengan adonan roti. Begitu juga karyawan penjualan
juga kurang menjaga kebersihan diri terutama kebersihan tangan saat bersentuhan dengan roti yang akan mereka
pasarkan. Kebersihan diri terutama kebersihan tangan merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga higienitas
roti yang dihasilkan, terlebih untuk perusahaan seperti Mawar Bakery yang sebagian besar proses produksinya
masih menggunakan tangan (hand made).
4. Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan
Penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Mawar Bakery yang didasarkan atas unsur-unsur Manajemen
Mutu Terpadu itu sendiri, yang terdiri dari fokus pada pelanggan, obsesi terhadap kualitas, pendekatan ilmiah,
komitmen jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan sistem secara berkesinambungan, pendidikan dan pelatihan,
kebebasan yang terkendali, keatuan tim, serta keterlibatan dan pemberdayaan karyawan masih belum sempurna.
4840
Hal ini dikarenakan unsur-unsur Manajemen Mutu Terpadu tersebut belum dilaksanakan secara optimal oleh
Mawar Bakery.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Mawar Bakery ada 14
(empat belas) faktor. Faktor-faktor tersebut terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan atau kelompok, yaitu: tingkat
masalah, tingkat pelaku, dan tingkat penyebab. Tingkat masalah terdiri dari manajemen pemasaran, lingkungan
usaha, manajemen produksi, evaluasi dan monitoring, serta sarana dan prasarana (teknologi). Tingkat pelaku terdiri
dari pimpinan dan karyawan Mawar Bakery, dan yang terakhir adalah tingkat penyebab yang terdiri dari modal/
dana, kompensasi, komitmen, informasi, pengetahuan, budaya, dan awareness (kesadaran).
4.2. Saran
Manajemen Mutu Terpadu dapat diterapkan oleh Mawar Bakery secara optimal apabila Mawar Bakery
mengoptimalkan sumberdaya yang ada. Sumberdaya tersebut seperti karyawan, sarana dan prasarana, budaya
organisasi.
Daftar Pustaka
Anoraga, P. & Djoko Sudantoko. 2002. Koperasi, Kewirausahaan, dan Usaha Kecil. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Ariani, D.W. 2002. Manajemen Kualitas: Pendekatan Sisi Kualitatif. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Assauri, S. 2007. Manajemen Pemasaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Faure, L.M. & Malcolm Munro Faure. 1996. Implementing Total Quality Management, Menerapkan
Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Feigenbaum, A.V. 1992. Kendali Mutu Terpadu. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Handoko, T.H. 2000. Dasar-Dasar Manajemen Produksi&Operasi. Yogyakarta: BPFEYogyakarta.
Nasution, N. 2005. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Bogor: Ghalia Indonesia.
Prawirosentono, S. 2004. Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu, Total Quality Management Abad
21, Studi Kasus & Analisis. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Render, B. & Jay Heizer. 2001. Prinsip-Prinsip Manajemen Operasi. Jakarta: Salemba Empat.
Saaty, T.L. 1991. Teknik Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Schroeder, R.G. 2004. Manajemen Operasi, Pengambilan Keputusan dalam Fungsi Operasi, Edisi Ketiga,
Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Suwatno & Rasto. 2003. Manajemen Perusahaan, Suatu Pendekatan Operatif dan Sistem Informasi. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi.
Stevenson, W.J. 2005. Operations Management, 8th ed. New York: McGraw-Hill/Irwin.
Tjiptono F. dan Anastasia Diana. 2001. Total Quality Management (TQM)-Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi.
4841
Umar, H. 2005. Studi Kelayakan Bisnis, Teknik Menganalisis Kelayakan Rencana Bisnis Secara Komprehensif
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Wahyudi. 2003. Memproduksi Roti. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
PERANAN USAHA KECIL MENENGAH (UKM) TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Mutawaqil Bilah Tumanggor, SE2 / M. Dani Habra, SE, MMA3
ABSTRAK
Peranan Usaha Kecil Menengah (UKM) kembali menarik perhatian banyak pengamat pasca kritis ekonomi.
Hal ini terlihat dari banyaknya usaha kecil menengah yang bertahan ditengah krisis ekonomi menerpa bangsa
Indonesia, selanjutnya adanya krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 sesungguhnya telah memberi pelajaran bagi
bangsa Indonesia, khususnya bagi pemerintah utamanya dalam perencanaan ekonomi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa. Secara serempak dan secara parsial faktor produksi biaya bahan
baku (X1) dan biaya tenaga kerja (X2) yang digunakan oleh pengusaha industri kecil berpengaruh nyata terhadap
pendapatan pengusaha. Peranan industri kecil bahan pangan di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang
Bedagai memiliki pengaruh terhadap peningkatan perekonomian masyarakat, keadaaan ini terlihat dari daya beli
di tengah masyarakat yang semakin meningkat dengan adanya industri pengolahan bahan pangan, demikian juga
halnya dengan perekrutan tenaga kerja yang mengurangi jumlah pengangguran di Kabupaten Serdang Bedagai.
Kata Kunci : Peranan, Usaha Kecil Menengah (UKM), Pembangunan ekonomi
1. Pendahuluan
Secara tradisional pembangunan ekonomi pada hakekatnya adalah upaya alokasi termurah dan paling efisien
atas segenap sumberdaya yang langka (tenaga kerja, sumberdaya alam dan capital), serta pertumbuhan optimal atas
sumberdaya-sumberdaya
tersebut agar dapat menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Selain itu
pembangunan ekonomi bertujuan pokok untuk mencapai kenaikan pendapatan perkapita secara cepat,
mengusahakan kesempatan yang lebih banyak, mengadakan distribusi pendapatan agar mengurangi perbedaan
dalam tingkat perkembangan dan kemakmuran (Todaro, 2000).
Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh faktor produksi (modal dan tenaga kerja) terhadap pendapatan Usaha Kecil Menengah di
daerah penelitian?
2. Bagaimana peranan Usaha Kecil Menengah terhadap perekonomian masyarakat di daerah penelitian?
2. Tinjauan Pustaka
Menurut Suharto (2001) banyak faktor yang menentukan kinerja pembangunan ekonomi suatu negara dalam
mencapai pertumbuhan ekonomi, mewujudkan pemerataan dan menanggulangi kemiskinan. Namun salah satu
faktor yang amat dominan adalah kebijakan yang dipilih (policy choice) dan strategi yang diterapkan yaitu
kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang mewujudkan pemerataan dan penanggulangan
2
3
Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan
Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan
4842
kemiskinan melalui efek menetas kebawah (trickle down effect) di satu pihak dan kebijakan penanggulangan
langsung (direct attact) terhadap masalah kemiskinan.
Menurut Usman (1998), penerencanaan usaha kecil dalam perekonomian nasional paling tidak bisa dilihat
dari tiga hal, yakni pertamanya dalam pembentukan pendapatan nasional, peranannya dalam penyerapan tenaga
kerja, serta peranannya sebagai penyangga (buffer).
Menurut Susanti dkk (2000), analisis pertumbuhan ekonomi seyogyanya dihubungkan dengan
perkembangan faktor-faktor produksinya. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sukirno (1999), bahwa fungsi
produksi menunjukkan sifat berkaitan di antara faktor produksi dan tingkat produktivitas yang dicapai. Faktorfaktor produksi dikenal pula dengan istilah input dan jumlah produksi selalu juga disebut sebagai output. Faktorfaktor produksi tersebut meliputi sumber daya manusia atau human resources, sumber daya alam atau natural
resaouces dan sumberdaya modal atau capital resources. Mengingat bahwa sumberdaya alam yang siap diolah
ditentukan oleh sumber daya modal yang tersedia, maka fungsi produksi dapat dinyatakan dalam bentuk rumus
sebagai berikut (Reksoprayitno, 2000).
Q = f (K, L)
Dimana : K = Stok Modal
L = Tenaga Kerja
Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh faktor produksi (modal dan tenaga kerja) terhadap perekonomian masyarakat di daerah penelitian
2. Ada pengaruh peranan usaha kecil menengah terhadap perekonomian di daerah penelitian
3. Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Perbangunan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera
Utara.
Analisis data diikuti dengan melakukan uji statistik. Hal ini digunakan untuk mengetahui apakah variabelvariabel independen secara individu dan secara bersama berpengaruh terhadap variabel independen dengan
menggunakan Regresi Linear Berganda dengan rumus sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + e
Dimana :
Y = Peningkatan Perekonomian
a = Intersep
b1 – b2 = Koefisien Regresi
X1 = Modal
X2 = Tenaga Kerja
e
= Error Term
Dengan kriteria uji sebagai berikut :
Apabila thitung > ttabel, maka terima H1 dan tolak H0 (Hipotesis diterima) α = 0,05%
Apabila thitung < ttabel, maka terima H0 dan tolak H1 (Hipotesis ditolak) α = 0,05%
4. Hasil Dan Pembahasan
4843
Dari hasil pengujian yang dilakukan, maka dapat diperoleh koefisien regresi usaha industri kecil sebagai
berikut:
Y = 5760000 + 0.027X1 + 14.745X2 + e
Hasil Penelitian diperoleh bahwa Fhitung (83.596) > Ftabel (2.05), sehingga secara serempak variabel biaya
bahan baku (X1) dan biaya tenaga kerja (X2) berpengaruh positif terhadap pendapatan pengusaha industri kecil.
Untuk koefisien R2 menunjukan 1.000 artinya variasi naik turunnya variabel Y (pendapatan) dipengaruhi oleh
variabel X (biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja) sebesar 100 % dan memiliki hubungan yang sangat erat.
Pengaruh Biaya Bahan Baku (X1) Terhadap Pendapatan Pengusaha Industri Kecil
Bahwa variabel (X1) biaya bahan baku mempunyai pengaruh positif terhadap pendapatan pengusaha industri
kecil (Y). Dimana koefisiennya menunjukan sebesar 0.027 artinya apabila variabel biaya bahan baku ditambah 1 %
maka pendapatan pengusaha industri kecil akan bertambah sebesar 0.027%.
Diketahui t hitung > t tabel (2.863 > 2.05) maka terima H1, artinya bahwa variabel independen biaya bahan baku
(X1) berpengaruh nyata terhadap pendapatan pengusaha industri kecil pada tingkat kepercayaan 95%, dengan
demikian hipotesis diterima.
Pengaruh Penggunaan Biaya Tenaga Kerja (X2) Terhadap Pendapatan Pengusaha Industri Kecil
Bahwa variabel (X2) biaya tenaga kerja mempunyai pengaruh positif terhadap pendapatan pengusaha industri
kecil (Y). Dimana koefisiennya menunjukkan sebesar 14.745 artinya apabila variabel biaya tenaga kerja ditambah
1%, maka pendapatan pengusaha industri kecil akan bertambah sebesar 14.745 %..
Diketahui t
hitung
>t
tabel
(11.552 > 2.05) maka terima H1, artinya bahwa variabel independen biaya tenaga
kerja (X2) berpengaruh nyata terhadap pendapatan pengusaha industri kecil pada tingkat kepercayaan 95%, dengan
demikian hipotesis diterima.
Untuk menguji hipotesis kedua (2) yaitu untuk mengetahui pengaruh peranan usaha kecil menengah
terhadap perekonomian di daerah penelitian, digunakan data secara deskriptif sebagai berikut :
Dalam rangka meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat salah satunya melalui sektor industri, dimana
sumbangan sektor industri terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Serdang Bedagai.
Sektor industri yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara riil diantaranya sub sektor industri pangan,
karena sub sektor ini masih dilakukan masyarakat secara tradisional dengan indikasi bahan baku dan teknologi yang
digunakan masih sederhana dan pemasarannya juga masih mengandalkan tenaga sendiri serta modal usaha juga
masih dari modal sendiri.
5. Kesimpulan
1. Secara serempak dan secara parsial faktor produksi biaya bahan baku (X1) dan biaya tenaga kerja (X2) yang
digunakan oleh pengusaha industri kecil berpengaruh nyata terhadap pendapatan pengusaha.
2. Peranan industri kecil bahan pangan di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai memiliki pengaruh
terhadap peningkatan perekonomian masyarakat, keadaaan ini terlihat dari daya beli di tengah masyarakat yang
4844
semakin meningkat dengan adanya industri pengolahan bahan pangan, demikian juga halnya dengan perekrutan
tenaga kerja yang mengurangi jumlah pengangguran di Kabupaten Serdang Bedagai.
6. Daftar Pustaka
Suharto, 2001, Distribusi Pendapatan dalam Pembangunan, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 6 No. 1, 7389
Sukirno, Sadono, 1999. Makroekonomi, Edisi Keempat. PT Raja Grapinso Perseda, Jakarta.
Susanti H, Ikhsan, M. dan Widyani, 2000. Indikator-Indikator Makroekonomi, Edisi kedua
penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi.
lembaga
Todaro, P, Michael, 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, ahli bahan Haris Munandar, Edisi
ketujuh, Erlangga, Jakarta.
HUKUMAN BAGI PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL PADA ANAK MENURUT
UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
Iwan Setyawan, SH, MH4
ABSTRAK
Kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan salah satu kasus yang mengalami peningkatan secara
signifikan belakangan ini. Tidak saja meningkat secara kuantitatif tapi juga secara kualitatif. Dari waktu ke waktu
kekerasan terhadap anak jumlahnya tak terbendung dan modus operandinyapun semakin tidak
berperikemanusiaan. Kuantitas kekerasan seksual terhadap anak, akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan.
Kekerasan seksual terhadap anak menurut ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional
merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak
nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut
dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan
menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan tidak harus melibatkan kontak
badan antara pelaku dengan anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan seksual sendiri bisa berarti melakukan tindak
perkosaan ataupun pencabulan.
Secara yuridis, kejahatan seksual pada anak merupakan sebuah kejahatan yang membawa dampak buruk
bagi siapapun yang pernah mengalaminya, ancaman pidana berat bagi pelaku pemerkosaan dimaksudkan agar
Negara memiliki kesempatan untuk memperbaiki sikap dan perilaku terpidana agar tidak berbahaya lagi dan hidup
normal di dalam masyarakat serta memberi peringatan kepada masyarakat lain agar tidak melakukan perbuatan
serupa. Salah satunya dengan menerapkan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal
81 dan 82, serta Pasal 287 ayat (1), Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293 dan Pasal 294 di Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) untuk menjatuhkan hukuhan bagi pelaku ketahatan seksual, namun hal juga ini menjadi
sorotan sejumlah masyarakat, media, dan organisasi – organisasi perlindungan anak karena ternyata
pelaksanaannya/ penerapannya sampai saat ini tidak efektif untuk memberantas tindak pidana kejahatan seksual
pada anak.
Kata Kunci
: Hukuman, Pelaku Kejahatan Seksual, Anak
Pendahuluan
Kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan salah satu kasus yang mengalami peningkatan secara
signifikan belakangan ini. Tidak saja meningkat secara kuantitatif tapi juga secara kualitatif. Dari waktu ke waktu
kekerasan terhadap anak jumlahnya tak terbendung dan modus operandinyapun semakin tidak berperikemanusiaan.
Kuantitas kekerasan seksual terhadap anak, akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan.
4
Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan
4845
Kekerasan seksual terhadap anak menurut ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional
merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak
nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan
sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan
paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku
dengan anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan seksual sendiri bisa berarti melakukan tindak perkosaan ataupun
pencabulan.
Sumatera Utara, khususnya Medan masuk dalam kondisi darurat kejahatan seksual terhadap anak.
Buktinya, sepanjang tahun 2013 saja, Kelompok Kerja (Pokja) Perlindungan Anak Sumut dan Kota Medan
mencatat terdapat 12.679 kasus pelanggaran hak anak yang tersebar di 23 kabupaten/kota.
Saat ini rumah, lingkungan sosial anak dan sekolah sudah tidak menjadi tempat yang aman dan nyaman
bagi anak. Pasalnya, saat ini banyak predator kejahatan terhadap anak banyak berada di lingkungan sekolah dan
lingkungan rumah. Seharusnya, rumah dan lingkungan sekolah sebagai garda terdepan untuk memberikan
pengayoman bagi anak, tetapi ini tidak lagi berfungsi sebagai tempat yang ramah bagi anak namun menjadi tempat
bagi para monster yang siap menerkam hak-hak anak. Misalnya, orangtua kandung atau tiri, abang, paman dan
kerabat terdekat keluarga. Kemudian, guru, penjaga sekolah atau petugas keamanan, pedagang, bahkan oknum
penegak hukum.
Penegak hukum yang ada di Sumut yang menangani perkara kejahatan seksual terhadap anak belum
menunjukkan keberpihakan korban. Apalagi para penegak hukum itu masih menggunakan kacamata kuda dalam
menangani perkara tersebut. Begitu juga dengan putusan hakim yang masih belum mencerminkan rasa keadilan
bagi korban.
A. Hukuman Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
Secara yuridis, kejahatan seksual pada anak merupakan sebuah kejahatan yang membawa dampak buruk
bagi siapapun yang pernah mengalaminya, ancaman pidana berat bagi pelaku pemerkosaan dimaksudkan agar
Negara memiliki kesempatan untuk memperbaiki sikap dan perilaku terpidana agar tidak berbahaya lagi dan hidup
normal di dalam masyarakat serta memberi peringatan kepada masyarakat lain agar tidak melakukan perbuatan
serupa. Salah satunya dengan menerapkan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal
287 ayat (1), dan Pasal 292 di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjatuhkan hukuhan bagi
pelaku ketahatan seksual, namun hal juga ini menjadi sorotan sejumlah masyarakat, media, dan organisasiorganisasi perlindungan anak karena ternyata pelaksanaannya/ penerapannya tidak efektif untuk memberantas
tindak pidana kejahatan seksual pada anak.
Pemerintah mendorong percepatan revisi UU ini demi mencegah dan menegakkan hukum terhadap para
pelaku kekerasan dan pelecehan seksual anak. Delik-delik kekerasan seksual itu marak diperbincangkan menyusul
rangkaian kasus kekerasan seksual terhadap anak seperti di Jakarta International School dan Emon di Sukabumi. Di
Sumatera Utara jika dilihat dari data yang dimiliki oleh KPAID SUMUT dari tahun 2013-2014 kasus kekerasan
seksual pada anak masih banyak yaitu sebanyak 54 kasus, itu yang terdata oleh KPAID SUMUT, yang tidak
melapor tentu lebih banyak lagi.
4846
Dapat kita lihat pada hukum positif yang berlaku di Indonesia telah banyak pasal-pasal yang mengatur
tentang kejahatan seksual pada anak dan dengan jelas memberikan hukuman yang tegas seperti yang diatur dalam
Pasal 287 KUHP : ayat ( 1 ) menyebut,
“ Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum
waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
Ayat ( 2 )
“ Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum sampai dua belas
tahun jika salah satu hal tersebut pasal 291 dan pasal 294.”
Pasal 287 KUHP ini juga terdapat di dalamnya semacam unsure paksaan meskipun paksaan yang bersifat
psikis dan tidak dapat dikatakan atas dasar suka sama suka karena usia perempuan itu belum cukup umurnya atau
belum cukup lima belas ( 15 ) tahun, kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya
untuk kawin, karena itu masuk kedalam ruang lingkup kejahatan seksual. Oleh karena itu pula dalam hal ini karena
perbuatan bersetubuh tersebut dipandang salah dan dihukum penjara selama – lamanya Sembilan tahun, seharusnya
penuntutan dilakukan tidak atas dasar pengaduan. Sama halnya dengan perbuatan bersetubuh yang dilakukan
terhadap perempuan yang umurnya belum sampai 12 tahun.
Selain dalam pasal yang telah disebutkan di atas, terdapat juga dalam pasal lain yang mengatur tentang
kejahatan seksual pada anak, yakni Pasal 290 KUHP, yang menyatakan:
Ayat ( 2 )
― Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus
diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”.
Ayat ( 3 )
― Barang siapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum
lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau persetubuhan di luar pernikahan dengan orang lain”.
Kemudian Pasal 292 KUHP menyebut
“ Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun” .
Pasal 293 ayat (1)
“ Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang
timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik
tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum
kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun”.
Tindak pidana kejahatan seksual pada anak tidak hanya diatur secara tegas di dalam KUHP saja, tetapi juga
dimuat dalam undang undang khusus yaitu Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu
diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82, yang menyatakan :
4847
Pasal 81 ayat ( 1 ) berbunyi :
“ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannnya atau dengan orang lain, dipidana dengan pindana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”
Sementara, Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 berbunyi
“ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah)” .
Mengacu pada hukuman pidana penjara dan denda, terutama Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 pada UndangUndang Perlindungan Anak, ancaman hukuman terhadap tindak kejahatan kekerasan seksual terhadap anak
tergolong keras.
Namun, pasal-pasal pengancam itu agaknya tidak membuat takut atau jera pelaku kekerasan seksual,
terbukti dengan kemunculan kasus-kasus kekerasan seksual di sejumlah daerah di Tanah Air.
Penutup
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua berkewajiban untuk benarbenar serius memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi anak sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing sesuai dengan Undang-Undang.
Diharapkan Pemerintah segera merevisi pasal 81, 82 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, untuk mengubah hukuman 3 tahun minimal dan 15 tahun maksimal bagi para pelaku kejahatan seksual
terhadap anak menjadi minimal 10 tahun, maksimal seumur hidup ditambah dengan pemberatan hukum Kebiri
melalui suntik kimia bagi pelaku kejahatan seksual dewasa, jika korbannya banyak dan masif pelaku dapat di
berikan hukuman mati.
Mendesak pemerintah segera melakukan langkah-langkah strategis pencegahan pelanggaran hak anak
melakui penguatan organisasi dan peran serta Orang Tua, Keluarga, masyarakat dengan membentuk Tim Reaksi
Cepat (TRC) Perlindungan Anak di setiap desa/RT dan RW dengan melibatkan Ketua RT, Kepala Desa, Karang
Taruna, PKK, Posyandu, Sistem Lingkungan Masyarakat, Babinsa, dan Polisi Masyarakat.
Daftar Pustaka
A. BUKU
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005 .
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, asas-asas hukum pidana dan peneapannya,Storia Grafika, Jakarta, 2002.
Huraerah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Jakarta, Nuansa, 2006
Kartini, Psycologi Wanita, gadis Remaja, dan Wanita Dewasa. Bandung, Alumni, 1981
4848
Marlina, Hukum Penitensier, Medan : Aditama, 2011.
Muhammad Abdul Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan KUHP, Jakarta : Bulan Bintang,
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Jakarta, 1995.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1982.
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Kota besar: Raja Grafindo Persada, 2002.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Suryono Ekotama, et. Al, Abotus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2001
Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap Korban kekerasan Seksual, Bandung, Reflika
Aditama, 2001
B. Karya Ilmiah
Ayu Rahayu, Kekerasan Seksual Pada Anak, Karya Ilmiah, Mahasiswi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2013
Bambang Hariyono, Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika di
Indonesia, (Tesis, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009)
Lukman Hakim Nainggolan, Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual terhadap Anak Di Bawah Umur, Jurnal
Equality, Vol 13 No 1 Februari 2008
M. Anwar Fuadi, Dinamika Psikologi Kekerasan Seksual, Jurnal, Universitas Islam Negeri, diakses 19 Mei 2014
Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah pembaharuan Hukum pidana, Pascasarjana USU.
Miftahu Chairina, “ Tindak Pidana Pemerkosaan terhadap Anak Di Bawah Umur Dalam Pandangan Hukum
Pidana Islam “, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009.
Wisnu sri hertinjung, The dinamyc of causes of child sexual abuse Based on availability of personal space
and privacy, Jurnal, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiah Surakarta, di akses 19 Mei 2014
C. Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
D. Internet
http://kampus.okezone.com, hukum-mati-pelaku-pelecehan-seksual-anak, diakses 2 Oktober 2014.
http://www.antaranews.com/berita, cukupkah-hukum-pidana-jerat- penjahat-seksual 2 Oktober 2014
Www. Sumutpos.co, Medan Darurat Kejahatan Seksual terhadap Anak, diakses 19 Mei 2014
4849
ANALISIS SISTEM INTEGRASI TANAMAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) – TERNAK
KAMBING (Capra aegagrus hircus) TERHADAP PENDAPATAN PETANI.
Bambang Hermanto, SP, MSi5
ABSTRAK
Analisis Sistem Integrasi Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) - Ternak Kambing
(Capra aegagrus hircus) Terhadap Pendapatan Petani. Studi Kasus: Desa Pegajahan Dusun IV, Kecamatan
Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Tujuan Penelitian ini adalah : (1) Untuk
menganalisis pengaruh luas lahan, tenaga kerja dan pupuk terhadap produksi tanaman ubi kayu. (2) Untuk
menganalisis pengaruh biaya nutrisi, biaya tenaga kerja dan biaya pakan ternak terhadap biaya produksi
pada usaha ternak kambing. (3) Untuk menganalisis besarnya pendapatan yang diperoleh dari sistem
integrasi di daerah penelitian. (4) Untuk menganalisis kelayakan usahatani ubi kayu dan ternak kambing di
daerah penelitian.Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode penentuan daerah penelitian yang
ditetapkan secara purposive (sengaja), sampel dalam penelitian adalah petani di Desa Pegajahan Dusun IV.
Teknik yang digunakan dalam penarikan sampel adalah teknik sampling jenuh (sensus). Data yang
dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Analisis data pada perumusan masalah menggunakan
fungsi regresi linear berganda, fungsi Cobb–Douglas rumus penerimaan, rumus keuntungan dan rumus
analisis R/C Ratio kelayaan usahatani ubi kayu dan ternak kambing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, yaitu: (1) Variabel independent (X1, X2, dan X3) secara
serempak berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman ubi kayu (Y1) pada tingkat kepercayaan 95% yaitu
(67,457>2,98). Secara parsial variabel luas lahan (X1) berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman ubi
kayu, sedangkan variabel tenaga kerja (X2) dan pupuk (X3) tidak berpengaruh nyata terhadap produksi
tanaman ubi kayu (Y1). Koefisien Determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 0,886 artinya variabel
independent (X1, X2, dan X3) secara serempak mampu memberi penjelasan terhadap produksi tanaman ubi
kayu sebesar 88,6% sedangkan sisanya sebesar 11,4% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke
dalam estimasi. (2) Variabel independent biaya nutrisi (X1), biaya tenaga kerja (X2) dan biaya pakan ternak
(X3) secara serempak berpengaruh nyata terhadap biaya produksi ternak kambing (Y 2) pada tingkat
kepercayaan 95% yaitu (1430,277>2,98). Koefisien Determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 0,994 artinya
variabel independent (X1,X2, dan X3) secara serempak mampu memberi penjelasan terhadap biaya produksi
5
Mahasiswa S3 Perencanaan Wilayah Universitas Sumatera Utara
4850
ternak kambing sebesar 99,4% sedangkan sisanya sebesar 0,6% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
dimasukkan ke dalam estimasi. (3) Adapun besar pendapatan yang diperoleh di daerah penelitian sebesar Rp.
716.341.000 dengan rata-rata Rp. 23.878.033. (4) Usahatani ubi kayu dan ternak kambing layak untuk
diusahakan karena nilai R/C-nya lebih besar dari satu (3,59>1).
Kata Kunci: Produksi tanaman ubi kayu, Biaya produksi ternak kambing, Pendapatan, Kelayakan Usahatani
dan Ternak
Pendahuluan
Latar Belakang
Sistem pertanian dikembangkan secara sendiri-sendiri maka sisa tanaman, atau kotoran dari ternak
merupakan limbah yang dapat menimbulkan masalah dan penanganannya memerlukan biaya tinggi sehingga akan
meningkatkan biaya produksi usaha pertanian. Bila demikian halnya sama seperti pada pengembangan ilmu
pertanian, secara produksi pun pertanian memerlukan keterpaduan atau pertanian terpadu. Oleh karena itu pertanian
terpadu merupakan pilar utama kebangkitan bangsa Indonesia karena akan mampu menyediakan pangan yang
aktual bagi bangsa ini secara berkelanjutan.
Dalam sistem integrasi tanaman-ternak, pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan, serta limbah ternak
menjadi pupuk dan sumber energi alternatif merupakan potensi yang perlu dikembangkan. Inovasi teknologi pakan
ternak dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah (SITT-BL) memberikan peluang yang
menggembirakan menuju green and clean agricultural development. Sistem integrasi ternak dan tanaman pangan
dapat menjadi andalan dalam upaya meningkatkan produktivitas tanaman pangan, ternak, selain melestarikan
kesuburan tanah dengan adanya pupuk organik. Karena itu, sistem ini berpotensi meningkatkan pendapatan petanipeternak. Pupuk kandang yang merupakan limbah ternak dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik tanah.
Bahkan semua limbah ternak dan pakan dapat diproses secara in situ untuk menghasilkan biogas sebagai energi
alternatif. Residu (sisa bahan yang tidak terpakai) pembuatan biogas, dalam bentuk kompos merupakan sumber
pupuk organik bagi tanaman, sekaligus sebagai pembenah tanah (soil amendment). Pemanfaatan limbah pertanian
hingga tidak ada lagi limbah yang terbuang akan bermakna melestarikan perputaran unsur hara dari tanah-tanamanternak kembali ke tanah secara sempurna. Kearifan lingkungan ini perlu ditumbuh kembangkan secara luas
sehingga mampu menjaga kelestarian sumber daya alam (Haryanto, 2009).
Masyarakat di desa ini telah lama melakukan sistem integrasi antara tanaman ubi kayu dengan ternak
kambing yaitu disamping menanam tanaman ubi kayu juga memelihara ternak kambing. Ternak kambing yang
dijalankan masyarakat sangat bermanfaat sebagai sumber pendapatan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan
dalam masyarakat masih menganggap ternak kambing yang mereka jalankan sebagai usaha sampingan karena
kehidupan masyarakat umumnya masih bertumpu pada usaha pertanian terutama tanaman ubi kayu sebagai usaha
pokoknya. Berdasarkan uraian sebelumnya maka dilakukan penelitian dengan judul ―Analisis Sistem Integrasi
Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) - Ternak Kambing (Capra aegagrus hircus) Terhadap
Pendapatan Petani ” dengan studi kasus di Desa Pegajahan Dusun IV, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang
Bedagai, Provinsi Sumatera Utara.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis pengaruh luas lahan, tenaga kerja dan pupuk terhadap produksi tanaman ubi kayu.
4851
2. Untuk menganalisis pengaruh nutrisi, tenaga kerja dan pakan ternak terhadap biaya produksi pada
usaha ternak kambing.
3. Untuk menganalisis besar pendapatan yang diperoleh dari sistem integrasi di daerah penelitian.
4. Untuk menganalisis apakah usahatani ubi kayu dan ternak kambing layak diusahakan di daerah
penelitian.
Tinjauan Pustaka
Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Salah satu sistem usaha tani yang dapat mendukung pembangunan pertanian di wilayah pedesaan adalah
sistem integrasi tanaman ternak. Ciri utama dari pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya
keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat dari pembagian
lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing- masing komponen. Saling keterkaitan berbagai
komponen sistem integrasi merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani
dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Kariyasa, 2005).
Sistem integrasi tanaman ternak mengemban tiga fungsi pokok yaitu memperbaiki kesejahteraan dan
mendorong pertumbuhan ekonomi, memperkuat ketahanan pangan dan memelihara keberlanjutan lingkungan
(Suryanti, 2001).
Integrasi tanaman dan ternak dimasukkan untuk mendukung pertanian berkelanjutan, penggunaan sumber
daya alam secara optimal dan efesiensi penggunaan lahan dalam upaya peningkatan pendapatan. Telah kita sadari
bersama bahwa ternak memberikan kontribusi yang besar terhadap kesejahteraan petani, namun hingga kini
peranan ternak tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh sebagian besar petani. Ternak ruminansia dapat
memanfaatkan hasil ikutan dan sisa hasil pertanian untuk kebutuhan pakannya. Dilain pihak dengan penguasaan
lahan antara 0,25-0,3 Ha penggunaan pupuk anorganik semakin berlebihan dalam upaya peningkatan hasil, justru
memperburuk kondisi lahan. Dalam keadaan demikian pemberian pupuk kandang menjadi keharusan. Pemberian
pupuk kandang selain untuk perbaikan tanah juga efesiensi penggunaan pupuk anorganik yang semakin mahal dan
sulit dicari. Dengan membaiknya kondisi fisik lahan dan efesiensi dalam penggunaan pupuk diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan (Prasetyo, 2001).
Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Luas lahan, tenaga kerja dan pupuk berpengaruh terhadap produksi tanaman ubi kayu.
2. Nutrisi, tenaga kerja dan pakan ternak berpengaruh terhadap biaya produksi pada usaha ternak kambing.
3. Ada pengaruh pendapatan usahatani pada sistem integrasi tanaman ubi kayu-ternak kambing di daerah
penelitian.
4. Usahatani ubi kayu dan ternak kambing layak diusahakan di daerah penelitian
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari responden kemudian diolah terlebih dahulu, kemudian diuji dengan dengan
menggunakan alat statistik yang sesuai.
Uji analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah:
4852
Untuk menguji hipotesis pertama (1), menggunakan Regresi Linier Berganda:
Y1 = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e
Keterangan:
Y1
= Produksi (Kg)
a
= Konstanta/Intercept
b1b2 b3
= Koefisien regresi
X1
= Luas Lahan (Ha)
X2
= Tenaga Kerja (Orang)
X3
= Pupuk (Kg)
e
= Error Term
Untuk menguji hipotesis kedua (2), menggunakan rumus Cobb-Douglas :
Y2 = a.X
.X
. X
.e
Kemudian fungsi Cobb-Douglas dilogaritmakan sebagai berikut:
Log Y2 = Log a + b1 Log X1 + b2 Log X2 + b3 Log X3 + e
Keterangan:
Y2
= Biaya Produksi Ternak kambing (Rp/thn)
a
= Konstanta/Intercept
b1b2 b3
= Koefisien regresi
Log X1
= Log Biaya Nutrisi (Rp/thn)
Log X2
= Log Biaya Tenaga Kerja (Rp/thn)
Log X3
= Log Biaya Pakan Ternak (Rp/thn)
e
= Error Term
Untuk menguji hipotesis ketiga (3) yaitu Pendapatan usahatani ubi kayu dan ternak kambing, digunakan
analisis R/C Ratio.
π = TR –TC
Keterangan :
π
= Pendapatan Usahatani dan ternak/Keuntungan (Rp)
TR
= Total Revenue/Total Penerimaan (Rp)
TC
= Total Cost/Total Biaya (Rp)
Untuk menguji hipotesis keempat (4) yaitu kelayakan usahatani ubi kayu dan ternak kambing, digunakan
analisis R/C Ratio.
⁄
Hasil Dan Pembahasan Penelitian
Hasil Regresi Pengaruh Luas Lahan, Tenaga Kerja, dan Pupuk Terhadap Produksi Tanaman Ubi
Kayu
No
Variabel
Koefisien
t- stat
t- tab
Sig F
F tab
4853
1
2
3
4
5
6
7
Konstanta
Luas Lahan (X1)
Tenaga Kerja ( X2)
Pupuk (X3)
R. Square
Adjusted R. Square
F. Statistik
-108,645
928,703
722,975
0,633
0,886
0,873
67,457
-0,106
6,047
1,549
0,501
8
Variabel Dependent (Y1)
Produksi Tanaman Ubi Kayu
2,056
0,000
2,98
Sumber : Data Primer diolah, 2013
Dari tabel diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa koefisien regresi :
Y1 = -108,645 + 928,703 X1 + 722,975 X2 + 0,633 X3 + e
Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh Fhitung > Ftabel (67,457 > 2,98) dengan demikian terima Ha
tolak H0. Ini berarti secara serempak luas lahan (X1), tenaga kerja (X2) dan pupuk (X3) berpengaruh nyata terhadap
produksi tanaman ubi kayu pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian hipotesis diterima, hal ini terjadi
karena tingkat produksi dipengaruhi oleh variabel luas lahan, tenaga kerja dan pupuk.
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 0,886 artinya variabel luas lahan, tenaga kerja dan
pupuk mampu memberi penjelasan terhadap produksi tanaman ubi kayu sebesar 88,6% sedangkan 11,4% lainnya
dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan kedalam model estimasi. Seperti faktor sosial petani
yaitu tingkat pendidikan petani, jumlah tanggungan petani.
Hasil Regresi Pengaruh Biaya Nutrisi, Biaya Tenaga Kerja, dan Biaya Pakan Ternak Terhadap Biaya
Produksi Ternak Kambing
No
1
2
3
4
5
6
7
Variabel
Konstanta
Biaya Nutrisi (X1)
Biaya Tenaga Kerja (X2)
Biaya Pakan Ternak (X3)
R. Square
Adjusted R. Square
F. Statistik
Koefisien
0,282
0,280
0,507
0,254
0,994
0,993
1430,277
t- stat
1,767
6,678
20,190
11,952
t- tab
8
Variabel Dependent (Y2)
Biaya Produksi Ternak Kambing
2,056
Sig F
0,000
F tab
2,98
Sumber : Data Primer diolah, 2013
Dari hasil pengujian yang dilakukan, maka dapat diperoleh persamaan regresi linier berganda sebagai
berikut :
LogY2= Log 0,282 + 0,280 LogX1 + 0,507 LogX2 + 0,254 LogX3 + e
Dari rumus diatas kemudian dikonversikan kedalam rumus Cobb-Douglass sebagai berikut :
Y2 = 0,282. X10,280. X20,507. X30,254.e
Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh Fhitung > Ftabel (1430,277 > 2,98) dengan demikian terima Ha
tolak H0. Ini berarti secara serempak biaya nutrisi (X1), biaya tenaga kerja (X2) dan biaya pakan ternak (X3)
berpengaruh nyata terhadap biaya produksi ternak kambing pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian
hipotesis diterima, hal ini terjadi karena tingkat biaya produksi dipengaruhi oleh variabel nutrisi, tenaga kerja dan
pakan ternak.
4854
Koefisien determinasi (R2) menunjukan nilai sebesar 0,994 artinya variabel biaya nutrisi, biaya tenaga kerja
dan biaya pakan ternak mampu memberi penjelasan terhadap biaya produksi ternak kambing sebesar 99,4%
sedangkan 0,6% lainnya dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan kedalam model estimasi.
Seperti faktor sosial petani yaitu tingkat pendidikan petani, jumlah tanggungan petani.
Total Pendapatan Usahatani Ubi Kayu dan Ternak Kambing
Total pendapatan yang dimaksud adalah hasil penjumlahan pendapatan usahatani ubi kayu dengan ternak
kambing. Adapun rata-rata total pendapatan usahatani ubi kayu dan ternak kambing sebesar Rp 23.878.033.
Dengan demikian pendapatan yang diperoleh petani yang juga menjadi peternak setiap tahun dan setiap musim
tanam sebesar Rp 23.878.033.
Kelayakan Usahatani dan Ternak Kambing
Untuk mengetahui layak atau tidak layaknya usahatani ubi kayu dan ternak kambing tersebut maka dapat
diuji dengan mengunakan rumus Revenue Cost Ratio (R/C Ratio).
⁄
Adapun hasil analisisnya adalah sebagai berikut :
⁄
= 3,59
Dari hasil perhitungan diatas dapat diketahui besarnya R/C ratio petani/peternak sampel adalah 3,59. Dari
hasil tersebut dapat dikatakan bahwa usahatani ubi kayu dan ternak kambing di daerah penelitian menguntungkan
dan layak untuk diusahakan di daerah penelitian. Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C ratio lebih besar dari satu (3,59
> 1). Semakin besar R/C ratio maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh petani/peternak dalam
menjalankan usahatani dan ternaknya. Hal ini dapat dicapai apabila petani/peternak mengalokasikan faktor-faktor
produksi yang telah ada secara lebih efisien lagi.
Kesimpulan Dan Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Analisis Sistem Integrasi Tanaman Ubi Kayu-Ternak Kambing
Terhadap Pendapatan Petani di Desa Pegajahan Dusun IV, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai,
Provinsi Sumatera Utara. maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Secara serempak variabel luas lahan, tenaga kerja dan pupuk berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman
ubi kayu sebesar 95%.
2.
Secara parsial variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman ubi kayu. Sedangkan variabel
tenaga kerja dan pupuk tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman ubi kayu.
3.
Secara serempak variabel nutrisi, tenaga kerja dan pakan ternak berpengaruh nyata terhadap biaya produksi
ternak kambing.
4.
Secara parsial variabel biaya nutrisi, biaya tenaga kerja dan biaya pakan ternak berpengaruh nyata terhadap
produksi ternak kambing.
4855
5.
Ada perbedaan pendapatan pada masing-masing sampel ini terjadi karena besarnya biaya produksi yang
dikeluarkan berbeda-beda.
6.
Usahatani ubi kayu dan ternak kambing memiliki keuntungan yang baik sehingga dapat meningkatkan
pendapatan petani.
2. Saran
a. Kepada Petani
Berdasarkan kesimpulan bahwa usaha ternak kambing memiliki keuntungan, oleh karena itu
diharapkan kepada petani agar ternak yang diusahakan tidak hanya menjadi usaha sampingan tetapi bisa
menjadi usaha pokok selain usahataninya. Serta sungguh-sungguh dalam mengelolanya, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan petani.
b. Kepada Peneliti Berikutnya
Diharapkan kepada peneliti berikutnya agar tidak hanya meneliti integrasi tanaman semusim dengan
ternak, tetapi melakukan penelitian tanaman perkebunan dengan ternak. Atau mungkin tidak hanya
tanaman dengan ternak saja, bisa ditambah dengan perikanan.
Daftar Pustaka
Alma, B. 2000. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Alfabeta. Bandung.
Anonimus, 2011. http://pocciremai.wordpress.com/2011/12/12/10-langkah-cara-beternak-kambing-yangefektif/.
Damarjati, D.S., S. Widowati and Suismono. 1996. Development system of cassava glour agro industri in
indonesia. In: System. Hermanto and A. Musadad (Eds). Performances of Food Crops Research. Book
4. Crifc, Bogor. pp. 1212 – 1221.
Daniel, Moehar. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Deptan RI. 2006. Data Base Pemasaran Internasional Ubi Kayu Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Tanaman Pangan Dirjen Bina Pengolahan Hasil Pemasaran Hasil Pertanian. Jakarta.
Departemen Pertanian. 2009. Beternak Kambing Intensif. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Haryanto, Budi. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak Dalam Sistem Integrasi Tanaman -Ternak Bebas
Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Bogor. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. http://www.googlecendikia,com
Ismail, I. G. dan Djajanegara, A. 2004. Kerangka Dasar Pengembangan SUT Tanaman Ternak (Draft).
Proyek PAATP, Jakarta.
Kariyasa. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan
Peningkatan Pendapatan Petani, di tiga Provinsi (Jateng, Bali dan NTB). Analisis Kebijakan Pertanian
Vol. 3 No. 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor
Linnaeus. 1758. Beternak Kambing. Wikipedia Indonesia
4856
Prasetyo dkk. 2001. Integrasi Tanaman dalam Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing Berkelanjutan
dan Berkerakyatan. Disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Puslitbangnak Bogor.
PT RAPP dan Universitas Lancang Kuning, 2000. Seayun Langkah Membangun Riau: Pertanian Terpadu
(Integrated Farming System). PPMR Press, Pekan Baru
Rahmat Rukmana. 2002. Usaha Tani Ubi Kayu. Kanisius, Yogyakarta.
Reijntjes, C., B. Haverkot dan A. W. Bayer, 1999. Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk Pertanian
Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius dan ILEIA, Yogyakarta.
Rosyidi, 1996 . Pengantar Teori Ekonomi, Pendekatan pada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. PT. Radja
Grafindo Persada. Jakarta.
Tim Karya Mandiri. 2010. Pedoman Bertanam Jagung. CV. Nuansa Mulia. Bandung.
Safaruddin. 2011. Analisis Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap Peningkatan Pendapatan Petani dan
Dampaknya terhadap Pengembangan Wilayah di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan
Kabupaten Serdang Bedagai. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Saputra,
R.U.H.
2006. Pertanian
Indonesia.http://www.tumoutou.net.
Terpadu
Sebagai
Pilar
Kebangkitan
Bangsa
Saragih, B. dan Y.B. Krisnamurthi. 2000. Pengembangan Agribisnis Kecil.
Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi IPB, Bogor
Soekartawi.1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
--------------. 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sugiyono, Prof. Dr. 2008. Metode Penelitian Bisnis. Penerbit Alfabeta, Bandung
Sumoprastowo, CDA. 1980. Beternak kambing yang berhasil. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Suratiyah, Ken. 2009. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suryanti, Reni. 2001. Penerapan Integrasi Usaha Tanaman dan Ternak Serta Kebutuhan Penyuluhan
Pertanian. Pasca Sarjana. Universitas Andalas 2011
Syamsidar. 2012. Analisis Pendapatan Pada sistem integrasi Tanaman semusim-Ternak Sapi Potong (Intrated
Farming System) di Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai. Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Swastha dan Sukotjo. 1997. Pengantar Bisnis Modern. Erlangga, Jakarta.
Widianta, Ardhiles dan Widi Prima Deva. 2008. Ubi kayu (Manihot esculenta) Sebagai Bahan Alternatif
Pengganti Bensin (Bioetanol) Yang Ramah Lingkungan. Bengkulu. http://isnanimurti.wordpress.com.
4857
APLIKASI BALANCED SCORECARD DALAM KONTROL MANAJEMEN
Edward Arif Hakim Hasibuan, SE, MAP6
ABSTRAK
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi balanced scorecard dalam kontrol
manajemen. Metode penulisan menggunakan metode library research. Argumentasi-argumentasi pada tulisan ini
didasarkan pada review literature, disamping beberapa sumebr-sumber tulisan yang banyak membahas tentang
penerapan BSC untuk sektor publik. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa kesadaran dan kesepakatan
Manajemen eksekutif bahwa perubahan strategi (kontrol strategi) merupakan kondisi yang dicapai dalam
mengadopsi BSC, sebagai satu hal berlawanan dengan diantaranya kontrol Manajemen. Desin awal BSC juga
mengusulkan bahwa strategi organisasi merupakan prioritas pertama untk dianalisis oleh kelompok kecil yang
terdiri dari orang-orang kunci yang didukung oleh konsultan. Analisa mereka digunakan untuk merangsang atau
mendorong proses seleksi terhadap skala prioritas atau sasaran strategis oleh team Manajemen. Proses seleksi
tersebut melibatkan proses pemilihan tujuan strategis dalam keterkaitan antar tujuan strategis tersebut.
Keterkaitan sebab dan akibat merupakan pertimbangan “post-hoc”. Tetapi, kunci untuk mengkaitan strategi
6
Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan
4858
dengan pengukuran kinerja ditemukan ketika membangun asumsi yang terkait dengan kualitas pemahaman
hubungan sebab dan akibat.
Kata kunci : balanced scorecard dan kontrol manajemen
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sejak tahun 1980, demokrasi di banyak negara barat telah berjalan dengan menempatkan reformasi
manajemen sebagai satu hal yang penting. Reformasi tersebut berkaitan dengan isu-isu Manajemen yang diarahkan
atau minimal mulai mempertimbangkan economic saving, peningkatan kualitas pelayanan, dan operasional
pemerintahan yang effisien dan kebijakan yang lebih efektif (Polliitt & Bouckaert, 1999). Hal ini dodorong oleh
effek kombinasi dari ―tujuan negara sebagai instutisi pencipta kesejahteraan, pengurangan kesenjangan ekonomi,
krisis ekonomi structural, dan internasionalisasi persoalan publik‖ (König, 1996). Kondisi ini merangsang untuk
munculnya tehnik-tehnik Manajemen baru seperti Manajemen Strategi dan Manajemen.
Kualitas Total (total quality Management), dan merubah prinsip-prinsip akutansi publik dimana hal
tersebut memungkinkan manajemen lebih mampu dan mudah mengakomodasi aktifitas biaya, benchmarking, dan
uji pasar (MAB, 1997; Hood, 1995). Bahwa model strategi untuk sektor publik secara keseluruhan mulai
memasukkan konsepkonsep menejemen kotemporer bisnis seperti Activity Based Costing/ Management (ABC/M)
Value Chain Manahement (VCM), Resource Planning (Perencanaan Atas Sumber Daya), dan di Active Enterprise
Management (AEM).
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi balanced scorecard dalam kontrol
manajemen.
1.3. Metode Penulisan
Metode penulisan menggunakan metode library research. Argumentasi-argumentasi pada tulisan ini
didasarkan pada review literature, disamping beberapa sumebr-sumber tulisan yang banyak membahas tentang
penerapan BSC untuk sektor publik.
2. Uraian Teoritis
2.1. Tantangan Untuk Manajemen Strategik Pada Organisasi Sektor Publik dan Bisnis
Kesadaran untuk berhubungan dengan strategi pada organisasi sektor publik adalah merupakan hal yang
baru. Perencaaan sudah merupakan hal umum dilakukan oleh organisasi sektor publik, tetapi perencaaan bukanlah
strategi. Berfikir strategi membutuhkan kesadaran dan mindset yang berbeda lebih fokus pada cause and effect yang
dinamis, persaingan, dan ketidakpastian lingkungan. Strategi merupakan positioning organisasi di masa depan
dengan memberikan daya ungkit melalui asset-aset yang dimiliki untuk menciptakan asset yang dapat membawa
organisasi pada posisi superior terhadap pesaing melalui penciptaan nilai.
Manajemen Strategi pada organisasi sektor publik bukanlah merupakan adaptasi sederhana dari teori
strategi sektor bisnis. Sementara menejemen strategi pada kedua organisasi signifikan secara pararel, kedua
organisasi juga memiliki perbedaan yang penting pula.
Beberapa tahun terakhir, manajemen sektor publik mulai meningkat perhatiannya kepada isu-isu tentang
hasil (result) dan mulainya memasukkan terminologi konsumen (constumer) dalam manajemen publik (Howard
4859
Rohm, 2001). Hal ini mendorong para manager organisasi sektor publik memikirkan kembali fungsi, peran dan
tanggungjawabnya kepada publik. Sehingga target merupakan unsur yang cukup dominan untuk diperhatikan
didalam desain pekerjaan di organisasi publik, yang pada akhirnya diiukuti oleh isu-isu penting lainnya seperti
pengukuran hasil kerja sebagai perbandingan antara target dan hasil, produktifitas, dan keberlanjutan serta nilai
(value) setiap program dan aktifitas organisasi di sektor publik. Hal ini dapat dirangkum dari satu pendapat dari
Bouckaert, Geert and Balk, Walter: In discussion about productivity measurement there has been a shift from a
belief in the power of quantified measures to the awareness of the dysfunctional effects, and there’s been a shift in
discussion from the meaning of management to the management of meaning. The 13 diseases in measuring
productivity in a management context can be divided into three groups; 1) those associated with the assumption of
measurements, not with measurement itself, 2) those associated with percieved numbers a nd volumes, 3) those
concerning the content, position and amount of measures. Managers in the public sektor need to direct more
attention towards the extrinsic requirements, that is, the impact on the organization of the use of measurement.
They must search for optimal measures that minimize dysfunctional effects and maximize functional effects,
allowing managers to fokus on the extrinsic requirements of the organizational purpose.
Sudah menjadi pemikiran umum bahwa organisasi sektor publik diposisikan sebagai organisasi yang
berada dalam lingkungan yang fakum dari kompetisi (Corex, 1997). Se-validitas apa pun pandangan tersebut di
masa lalu, saat ini pandangan tersebut tidak menyakinkan sama sekali. Secara gambaran, semua organisasi akan
beroperasi dalam lingkungan kompetisi, baik kompetisi tersebut dalam konteks menentukan pilihan supplier yang
berkualitas ataukah dalam konteks pelayanan kepada publik/konsumen mana jasa organisasi sektor publik tersebut
harus dihantarkan. Terlebih bahwa globalasi yang mengiringi era informasi (bukan lagi era industri) telah
membawa perubahan keseluruh sektor lini kehidupan manusia, dimana asumsi-asumsi pada era industri tidak
berlaku lagi (Mulyadi, 2000). Begitu pula organisasi sektor publik tidak akan lengang atau fakum lagi dari aspek
persaingan, hal ini memakssa struktur organisasi harus memasukkan unsur kompetisi dan inovasi (Anwar Shah,
1997; Corex, 1997; Wilopo 2002) Kedua organisasi sektor bisnis dan publik ditujukan untuk memproduksi nilai
(value) untuk para stakeholder pada masing-masing lingkungan melalui pemanfaatan sumber daya dan kapabilitas.
Tetapi ―tetapi secara alami mereka berbeda terhadap arti nilai itu sendiri, dan nilai sumberdaya, kapabilitas dan
lingkungan, dimana hal tersebut akan memberikan implikasi dalam pembuatran dan implementasi strategi‖ (Alford
2000). Berikut akan dijabarkan beberapa implikasi hal tersebut.
2.2. Pencipta Nilai
Pada sektor publik, Nilai (value) diasosiasikan dengan proses penciptaan produk dan jasa (output) yang
diikuti dampak (outcome) pada sosial ekonomi masyarakat pada umumnya (Pollitt dan Bouckaert, 1999).
Value dapat pula diartikan sebagai nilai sosial dan norma, yang pada umumnya tertuang didalam konstitusi
atau statements/pernyataan kebijakan anggaran tahunan, yang akan memberikan manfaat panduan didalam
menjalankan amanat dimana value itu sendiri inheren didalamnya. Norma sosial tidak tertulis yang banyak
dipahami dan diketahui oleh umum seharusnya dipakai sebagai pertimbangan. Di negara industri, mission dan value
organisasi sektor publik dinyatakan dalam kerangka kerja kebijakan jangka menengah. Sebagai contoh, negara New
Zaeland sudah menjadi persyaratan resmi bahwa pernyataan kebijakan “policy statement” ditulis pada tabel
Parlemen setiap 31 Maret. Value pada organisasi sektor publik di negara sedang berkembang jarang sekali
4860
dinyatakan secara umum. Hal ini dikarenakan orientasi pemerintahan masih pada sistem ―komando dan kontrol‖
ketimbang berorientasi sebagai pelayanan publik (Anwar Shah, 1997). Value merupakan titik landasan untuk
pergerakan organisasi sektor publik di masyarakat, dengan peryataan value maka secara langsung akan
memposisikan institusi dalam persepsi publik. Disamping bahwa value merupakan kristalisasi atas suara publik
“public voice” yang diharapkan atas kinerja organisasi sektor publik. Nilai bukalah hasil sebuah momentum atau
hasil dari ketentuan pemerintah. Tetapi nilai tergantung wacana perpaduan antara nilai yang berkembang di publik
dan kemampuan organisasi mendayagunakan nilai yang ada dimasyarakat.
Nilai dilahirkan dari komitmen moral yang dilahirkan dari satu kontrak sosial antara publik dan instansi
pemerintah. Pada pendekatan ini maka Value atau Nilai‖ merupakan determinasi dari sebuah ―kewenangan‖
“authorising environment” seperti institusi yang mendapatkan kewenangan dari organisasi publik untuk
menjalankan fungsi dan menjalankan hal-hal penting dalam konteks anggaran. Kewenangan lingkungan berasal
dari banyak pihak jaringan stakeholder dimana sering kali terjadi konflik kepentingan (interst) antar stakeholder,
diantaranya pembayar pajak yang menginginkan penurunan tarif pajak sedangkan disisi lain para warga yang
disatuni negara (welfare recipients) menginginkan peningkatan subsidi kedua kelompok tersebut mencoba terus
mempengaruhi melalui apa yang seharusnya dilakukan oleh UU, agar memiliki nilai bagi kepentingan kelompok,
melalui proses yang demokratis. Prioritas para politikus tentunya akan dipengaruhi secara langsung oleh siklus
suara pemilihnya (electoralcycle), namun demikian prioritas tersebut akan mendapat tantangan dan proses ujian
oleh berbagai macam kepentingan kelompok pada proses politik dan hal tersebut memungkinkan akan mengalihkan
prioritas tersebut pada area yang menguntungkan semua pihak atau kelompok tersebut (Pollitt dan Bouckaert,
1999). Karenanya para politikus cenderung untuk memaksimalkan pengaruhnya terhadap berbagai kepentingan
kelompok secara simultan, melalui isu-isu yang bersifat umum dan atau tidak fokus, serta ambisius (Stewart, 1996).
Hal ini merupakan tantangan ajek atau konstan bagi arah strategi dan altar (setting) atau penentuan prioritas dari
organsiasi sektor publik.
Meskipun terdapat perbedaan dalam konsep nilai, hal ini (nilai) diperlukan oleh organisasi sektor publik
didalam mempertimbangkan kompleksitas lingkungan stakeholder. Kedua organsiasi publik dan bisnis harus
mampu mendemostrasikan kemampuannya dalam menciptakan nilai terhadap lingkungan yang memberikan
kewenangan (Authorizing Environmrnt) atau Badan Komisaris (Board). Untuk organisasi sektor publik berupa
Public Value Growth, dan untuk Badan Komisaris berupa Shareholder Value Growth. Juga, kedua organisasi harus
beroperasi dalam lingkungan dinamis yang akan menjadi batas atau membatasi kemampuan organisasi untuk
melakukan aktifitasnya secara konsisten pada skala prioritas strategi dan karenanya kedua organisasi tersebut
membutuhkan suatu implementasi manajemen strategi yang memiliki pedekatan dengan kadar adaptabilitas tinggi.
2.3. Alokasi Sumberdaya
Sumberdaya yang dimiliki sektor publik termasuk sumberdaya tangible seperti uang (sering kali
dialokasikan melalui proses anggaran institusi), dan sumberdaya intangible seperti public power diantaranya law
infrocment, system perpajakan, proteksi lingkungan dan lain sebagainya. Alford (2000) melihat hal ini sebagai salah
satu faktor pembeda antara sektor publik dan bisnis, dan implikasi dari penggunaan public power sebagai
sumberdaya terlihat pada tingkat biaya atau tingkat tabungan potensial yang diperoleh akibat penggunaan yang
sesuai atau tidak sesuai (pemborosan) sumberdaya tersebut (Moore, 1995), dan oleh karenanya hal tersebut
4861
menambah komplek Manajemen Strategi pada sektor publik. Ketepatan penggunaan public power merupakan
factor penting didalam membangun efektifitas alokasi sumberdaya yang ada.
Namun demikian organisasi sektor bisnis pun pada posisi monopoli atau oligopoli juga membutuhkan
kehati-hatian didalam penggunakan dan kemungkingan kesalahan dalam penggunaan power/kekuatan posisi
mereka yang akan berakibat pada eksistensi strategi – hal ini pernah terjadi pada kasus Micrisoft dimana ketidak
percayaan publik terhadap Microsoft berakibat pada percobaan pemaksaan diberlakukannya restrukturisasi
organisasi Microsoft.
Sebagaimana diagram Basic Objective of PEM and Budget Management tergambarkan posisi strategi
Alokasi Sumberdaya (Resources Allocation) dalam konteks public expenditure management dan buget mnagement.
Alokasi sumberdaya merupakan determinasi dari tujuan kebijakan, dimana platfon politik pemerintah akan
tercermin pada dinamika pergerakan sumberdaya ini. Ketepatan alokasi sumber daya akan memberikan kekuatan
kepada organisasi sector publik, namun sebalikknya ketidak tepatan alokasi sumberdaya akan berakibat menjadi
bumerang didalam mempertahankan eksistensi strategi. Pada wilayah inilah partai politik pemegang kekuasaan
pemerintahan akan diuji ikatannya terhadap konstituennya, karena alokasi sumberdaya notabene sumberdaya
adalah miliki dan atau berasal dari publik- dialokasikan sesuai dengan kepentingan publik ataukah tidak. Hal ini
sebenarnya akan terbaca lebih awal oleh publik ketika partai dalam kampanye lebih mempromosikan atau
menawarkan isu-isu kebijakan penting yang akan dilakukan apabila partai tersebut terpilih, karena didalamnya
kampanye tersebut publik akan membaca bagaimana public power dan sumberdaya yang dimiliki publik akan
digunakan untuk kepentingan publik itu sendiri. Sayangnya hal ini merupakan hal yang jarang pernah ditemukan
pada sistem politik partai di negara berkembang, tidak terkecuali Indoensia. Publik memilih partai laksana membeli
kucing dalam karung.
Proses anggaran sendiri merupakan wilayah dimana sektor publik dan bisnis memiliki perbedaan yang
sidnifikan. Ketika belum semua negara beralih dari pendekatan akutansi publik tradisional (pendekatan kotrol input
anggaran) ke model baru yang didasarkan pada kontrol output seperti akutansi akrual yang didasarkan pada
kerangka kerja output outcome (MAP 1997).
Pendekatan sistem anggaran baru membutuhkan optimalisasi penggunaan sumberdaya untuk mencapai
target output yang disetting oleh kepentingan publik (Pollitt & Bouckaert, 1999). Sistem penganggaran baru harus
mampu mendukung performance management dalam hal:
•
Melakukan setting sasaran dan target kinerja untuk setiap program;
•
Memberikan manager, yang bertangungjawan atas program tersebut, kebebasan untuk proses implemtasi untuk
mencapai sasaran dan target;
•
Mengukur dan melaporkan kinerja nyata dibanding dengan sasaran dan target;
•
Memberikan informasi balik tentang penentuan pencapaian kinerja untuk program masa datang, perubahan atas
konten dan atau desin program, memberikan imbalan dan pinalti secara organisasi maupun secara individu;
•
Memberikan informasi ex post review kepada komite legeslatif dan external auditor. (OECD, 1999)
Hal ini merupakan indikasi dibutuhkan suatu mekanisme kontrol strategi yang effektif pada sektor publik
dalam rangka ― untuk menyakinkan apakah strategi telah diimplementasikan sebagaimana direncanankan dan hasil
strategi tersebut sesuai dengan yang diharapkan‖ (Schendel & Hofer, 1979). Hal tersebut juga menandakan akan
4862
adanya kebutuhan atas Manager Publik untuk melihat aspek-aspek jangka pendek diluar fokus keuangan pada
sirkulusi anggaran tahunan (Johnson & Kaplan, 1987), dimana hal tersebut merupakan aspek utama dari kewenagan
lingkungan “Authorising Environment” dalam mengontrol atas penggunaan sumber daya di sektor publik (Stewart,
1996). Hal mengarahkan pada rasionalitas atas asumsi bahwa manajer publik, sebagaimana manager sektor bisnis,
harus mengelola dengan baik lingkungan operasional yang retan perubahan (volatile operating environments), perlu
mengadopsi pedekatan Manajemen yang lebih fleksibel ke depan dalam rangka peningkatan Strategic Control
3(Muralidharan, 1997; Goold & Quinn, 1990).
2.4. Akuntabilitas dan Kepercayaan
Banyak perdebatan tentang akuntabilitas pada literature Manajemen publik berfokus pada proses peralihan
akuntabilitas dari politikus – hasil pemilihan - kepada para manager publik, hal ini merupakan hasil atas reformasi
managemen publik baru, dan akibat negatif dari peralihan ini membuka peluang positif maupun negarif terhadap
proses politik dan konstitusi (Denhardt and Denhardt, 2000; Pollitt and Bouckaert, 1999; Pierre 1995). Sebelum
mengkaitkan dengan efektifitas Manajemen Strategi, paper ini akan berkonsentrasi pada dua aspek akuntabilitas di
organisasi sektor publik. Pertama, potensial dampak negatif perubahan (improvement) radikal atas kinerja
disebabkan ―kemubajiran‖ akuntabilitas publik secara politik akibat dari perubahan struktur yang terpisah dari
“steering from rowing” atau kebutuhan lini depan (Osborne and Agebler, 1992); kedua, pentingnya akuntabilitas
internal antara semua lapisan manajemen pada organsiasi sektor publik. Keduanya hal tesebut diatas dipengaruhi
oleh ketaiadaan budaya kinerja yang umumnya terdapat pada organisasi sektor publik dan ketiadaan kepercayaan
antara kepemimpinan politik dan kepemimpinan eksekutif ( Pollitt and Bouckaert, 1999; Stewart 1996).
3. Pembahasan
Dengan semakin nyata dan jelas tentang kesamaan isu-isu tentang kontrol strategi antara sektor publik dan
bisnis, hal ini menjadikan pendekatan BSC akan efektif untuk isu-isu kontrol strategi secara review literature. Oleh
karenanya dengan semakin meningkatnya kompleksitas stakeholder pada sektor publik, menjadikan adanya satu
kebutuhan untuk modifikasi pendekatan sektor bisnis guna merefleksikan dan mengakomodasi peningkatan
kompleksitas tersebut.
3.1. Balanced Scorecard (BSC)
BSC memiliki tujuan utama sebagai sebuah pendekatan untuk mengorganisasi dan menyajikan informasi
pengukuran kinerja yang merupakan kombinasi antara ukuran keuangan yang terbatas dengan ukuran nonkeuangan yang telah diseleksi dalam konteks memberikan manager informasi yang lebih relevan dan lebih effektif
(pengukuran yang tidak terlalu banyak namun memiliki informasi yang luas) tentang kinerja organisasi ketimbang
para manager tersebut menerima informasi melalui laporan Manajemen yang masih tradisional, terutama berkaitan
dengan kunci tujuan strategic (Kaplan & Norton, 1992). Dengan mendorong manager lebih fokus pada angkaangka ukuran yang terbatas yang diturunkan melalui 4 perspektive, BSC ditujuankan untuk mendorong kejelasan
dan maksimaliasi implementasi strategi.
Disamping BSC awalnya bertujuan melakukan pendekatan terhadap pengukuran kinerja dimana
merupakan kombinasi beberapa ukuran keuangan dan non keuangan yang akan memberikan pengkayaan pada
manager terhadap informasi yang relefan tentang aktifitas-aktifitas yang dilakukannya (Kaplan & Norton, 1992),
4863
hal ini telah dikembangkan untuk mempertajam dasar-dasar Sistem Manajemen Strategi yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip kontrol strategi di atas.
Beranjak dari 5 prinsip kontrol strategi dari Muralidharan (sebagaimana diiraukan diatas) dan ditujukan
untuk 3 proses merupakan pencapaian terbaik dari definisi terakhir dari BSC. Pendekatan design BSC untuk kontrol
strategi dapat diuraikan secara garis besar sebagaimana dibawah ini.
a. Pernyataan Tujuan Akhir (Destination Statement)
Dalam rangka pembuatan keputusan yang rasional tentang aktifitas organisasi dan target pada masingmasing aktifitas tersebut, maka institusi seharusnya membangun sebuah ide yang jelas tentang apa ingin yang
dicapai organisasi (Senge 1990, Kotter 1996). Berkaitan dengan hal tersebut, BSC memiliki efektfitas maksimal
dalam proses desain yang menggunakan kreatifitas didalam menjabarkan dan menjelaskan pernyataan tujuan akhir
strategik organisasi, idealnya ada penjabaran secara detail, tentang kesepakatan masa depan yang ingin diinginkan
oleh organisasi (Olve, 1999; Shulver 2000). Dibanyak kasus hal ini dilakukan pada perencanaan dan dokumen yang
sedang berjalan – tetapi hal ini jarang ditemukan dalam praktek pada dokumen sebelum, sebagai indikasi bahwa
tahapan ini merupakan hal penting dalam membangun kejelasan dan kepastian tentang arah dan tujuan organisasi.
Pernyataan tujuan akhir merupakan kristalisasi dari Visi, Misi dan Value organisasi, yang akan diterjemahkan
dalam keseluruhan aktifitas organisasi.
b. Tujuan Strategik
Sementara pernyataan tujuan akhir cukup memberikan kejelasan dan ketajaman dalam menggambaran
tentang tujuan organisasi yang ingin dicapai kedepan, hal tersebut tidak cukup menjadikan organisasi lebih fokus
pada persoalan-persoalan manajemen antara saat ini dan masa datang. Apa yang ingin dicapai dan harus dilakukan
oleh organisasi dalam jangka menengah untuk mewujudkan tujuan akhir organisasi pada waktunya adalah
kesepakatan terbuka terhadap kerangka sasaran atau prioritas. Dengan menyajikan ulang sasaran-sasaran yang
terseleksi dalam “strategic linkage model”, akan terdorong dan merangsang tim perencanaan menyajikan suatu
―system berfikir‖ (Senge 1990; Senge, 1999) didalam mengidentifikasi hubungan sebab dan akibat (couse and
effect) diantara sasaran-sasaran yang terseleksi, seperti apa yang perlu dilakukan untuk mencapai hasil yang
diharapkan. Pendekatan ini juga membatu menyakinkan tentang mutual supportive dari sasaran pilihan dan
menyajikan ulang kombinasi cara berfikir masing-masing persepsi tim perencana terhadap model bisnis.
3.2. Perspektif dan Model Keterakitan Strategi (Strategic Linkage Model)
Balanced Scorecard sebagai alat yang pengukur kinerja yang telah tersistem secara strategis, dimana semua
aktifitas-aktifitas instansi akan termonitoring dengan baik. Dimana hasil monitoring tersebut secara sistemtis
ditempatkan sebagai input untuk perbaikan (improvement) terhadap system keseluruhan. Perbaikan yang dapat
dikontribusikan oleh Balanced Scorecard adalah:
• Mengangkat kepermukaan kemungkinan yang akan terjadi,
• Mengidentifikasikan keperluan perubahan yang mendesak,
• Membantu mengindentifikasi hal terbaik yang harus dilakukan,
• Memberikan peluang untuk inovasi.
Sebagai suatu system Balanced Scorecard akan memberikan hasil penilaian kinerja masing-masing
perspektif untuk dipakai sebagai acuan didalam mengelola dan memperbaiki perjalanan instansi dalam mencapai
4864
suatu misi. Dalam hal ini Balanced Scorecard tidak sekedar bicara angka penilaian belaka, namun sebagai suatu
system manajemen kinerja harus mampu memberikan informasi cerdas untuk pengambilan keputusan.
Selama ini penilaian atau pengukuran hanya untuk mengetahui posisi kinerja suatu program - baik, sedang,
buruk – mulai dari aspek input, proses sampai out put. Penilaian tersebut tidak sampai menggambarkan persoalan
dibalik kinerja suatu instansi. Di dalam Balances Scorecard pengukuran tersebut dituntun untuk bergerak kaitmengkait antar perspektif sehingga peta persoalan secara strategis akan terbaca dengan baik, sebagai gambaran
melalui Balanced Scorecard akan dapat dimonitoring - setiap periode yang disepakati - apakah suatu program
mengarah pada pencapaian misi dan visi, ataukah program tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan misi dan visi.
Balanced Scorecard memberikan alternatif untuk terjadikan keterkaitan visi dan aksi, melalui data-data
kuatitaif maupun kwalitatif. Pada aspek ini Balanced Scorecard dapat menjelaskan persoalan-persoalan strategis
melalui masing-masing perpektif yang dapat dipertanggungjawabkan secara metodelogis. Sekali sasaran telah
disepakti maka ukuran dan diidentifikasi dan dikontruksi dengan titik perhatian pada dukungan kemampuan
organisasi untuk memantau perkembangan organisasi dalam mencapai tujuan itu sendiri (Olive, 1999).
Hasil kerja BSC selain sebagai alat penilian pengukuran atau assessment atas ―kesehatan‖ suatu intansi,
BSC juga memberikan penjelasan terhadap persoalan sekaligus memberikan inisitif (promote) didalam pemecahan
masalah. Keterkaitan pengukuran antar perspektif, secara metodelogi, mampu ditarik pada tataran dalam
menterjemahkan pengukuran tersebut dalam problem mapping. Dan Ketika problem mapping dapat terbaca dengan
baik, maka problem mapping tersebut dapat dipakai sebagai pijakan didalam merumuskan model strategi
berikutnya. Inilah yang dikatakan bahwa BSC mendorong adanya improvement terus menerus terhadap strategi
pencapaian tujuan, karena metedeloginya memungkinkan terjadinya komunikasi yang inten antar pengukuran dan
proses penyusunan model berikutnya.
Salah satu model strategi Instansi Pemerintah Kota melalui Konsep BSC dapat dilihat pada Gambar
berikut:
Gambar 1. Implementasi Balanced Scorecard
Pada gambar tersebut value atau nilai yang di-delivery kepada customer atau warga kota adalah penurunan
tingkat kriminalitas, meningkatnya persepsi keamanan, kuatnya hubungan antar rumah tangga kota, peningkatan
kualitas pelayanan dan sebagainya, value-value ini tertuangkan didalam Perspektif Customer. Untuk mencapai
value pada perpektif customer, maka model tersebut secara hipotetis membangun aktifitas penting dalam Perspektif
Internal Proses melalui aktifitas peningkatan hubungan positif, membangun masyarakat atas dasar pemecahan
masalah, peningkatan produktifitas dan lain sebagainya. Disamping itu perspektif Internal Proses, akan berdampak
pada perspektif keuangan dengan indikator peningkatan pendanaan dari non-kota, peningkatan pajak, maksimalisasi
kemanfaatan dan effisiensi biaya, dan masuk renting sebagai kota teraman secara finansial. Untuk mencapai kinerja
4865
pada perpektif Internal Proses, maka diperlukan pendorong melalui perspektif Learning & Growth yaitu
peningkatan kapabilitas manajemen Kota, menutup kesenjangan ketrampilan staf, dan menciptakan iklim positif
bagi karyawan.
Model di atas merupakan model hipotesis yang akan dipakai sebagai pijakan didalam merumuskan ukuran
untuk memonitoring perjalanan implementasi model. Dimana melalui model tersebut maka pemerintah kota dengan
mudah akan memberlakukan Manajemen transparansi baik kepada warga, konstituen, karyawan dan pihak-pihak
terkait. Pada titik komunikasi inilah Good Governance secara substantif dapat dilakukan, dan semua pihak dapat
merasakan keberadaan dan manfaat Good Governance tersebut.
Komunikasi instansi pemerintah dengan pihak luar (customer), stakeholder) dan pihak dalam (karyawan)
merupakan perspektif penting untuk mencapai keselarasan antara sumberdaya dari dalam instansi dengan
masyarakat penerima jasa. Hal ini untuk memastikan terjadinya feedback guna perbaikan dan peningkatan bobot
strategi instansi pemerintah.
4. Penutup
Kesadaran dan kesepakatan Manajemen eksekutif bahwa perubahan strategi (kontrol strategi) merupakan
kondisi yang dicapai dalam mengadopsi BSC, sebagai satu hal berlawanan dengan diantaranya kontrol Manajemen.
Desin awal BSC juga mengusulkan bahwa strategi organisasi merupakan prioritas pertama untk dianalisis oleh
kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang kunci yang didukung oleh konsultan. Analisa mereka digunakan
untuk merangsang atau mendorong proses seleksi terhadap skala prioritas atau sasaran strategis oleh team
Manajemen. Proses seleksi tersebut melibatkan proses pemilihan tujuan strategis dalam keterkaitan antar tujuan
strategis tersebut. Keterkaitan sebab dan akibat merupakan pertimbangan ―post-hoc‖. Tetapi, kunci untuk
mengkaitan strategi dengan pengukuran kinerja ditemukan ketika membangun asumsi yang terkait dengan kualitas
pemahaman hubungan sebab dan akibat.
Daftar Pustaka
Anthony Robert N., Vijay Govindarajan, 2003. Management Control Systems. Eleventh Edition. Boston:
McGraw-Hill/Irwin.
Bouckaert, Geert and Balk, Walter (Winter 1991). Public Productivity Measurement: Diseses and Cures.
Public Productivity and Management Review. Vol. 15, Issue (2), p: 229-235.
Cernea, Michael M., ―Social Structures for Sustained Development‖, 1986. paper presented in Combined
Expert Group Meeting on Social Development and Third Training Seminar on Local Social
DevelopmentPlanning Held in Nagoya, 20-29 October 1986.
Delone, W.H. & McLean, E.R. 1992. Information Systems Success: The Quest for the Dependent Variable.
Information Systems Research, 3(1), 60-95.
Doh Joon Chie, ―People Development‖: The Missing Link in Development, (mimeograph, n.d).
Enns, H.G., Huff, S.L. & Golden, B.R. 2001. How CIOs Obtain Peer Commitment to Strategic IS Proposals:
Barriers and Facilitatiors, Relationships. Strategic Information Systems, 10, 3-10.
Faulkner, D. 1995. Strategic Alliances: Cooperating to Compete. (McGraw-Hill Book Company Editions).
4866
Korten, David C., ―People-Contered Development: Reflections on Development Theory and Method‖, Manila:
mimeograph, 1983.
Niven, Paul R., 2002. Balanced Scorecard Step by Step: Maximizing Performance andMaintaining Results.
New York: John Wiley & Sons, Inc.
Porter, Lyman W. dan Edward E. Lawler, 1968. Managerial Attitude and Performance. Homewood: Richard
D. Irwin, Inc.
PENGGUNAAN BIMBINGAN PRIBADI DAN SOSIAL MATERI ETIKA PERGAULAN REMAJA
DENGAN LAYANAN KELOMPOK DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA
KELAS XII SMA NEGERI 9 MEDAN T.A. 2013/2014
4867
Sofyan, S.Pd7
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan pembelajaran yang mengasikkan dan dapat meningkatkan
hasil belajar, maka perlu adanya perubahan pembelajaran yang menarik yaitu menerapkan pembelajaran
implementasi pendekatan kontekstual.
Pengambilan data menggunakan metode observasi, angket, tes tertulis dan perbuatan serta dokumentasi.
Penelitian dilakukan dengan tiga siklus. Setiap pelaksanaan tindakan secara berurutan berupa : pembelajaran
klasikal, pembelajaran kelompok dan untuk kerja kelompok dalam bentuk tulis.
Layanan kelompok dapat Peningkatan Prestasi belajar Bidang Bimbingan Belajar pada Materi Etika
pergaulan remaja SMA Negeri 9 Medan sebelum penelitian rata-rata 59, Siklus II sesudah layanan kelompok nilai
rata-rata 76, Siklus II 82.4. Berdasarkan kesimpulan diatas maka disarankan : Agar prestasi belajar Bidang
Bimbingan Belajar pada Materi Etika pergaulan remaja pada siswa bimbingan di SMA Negeri 9 Medan meningkat
disarankan memberi layanan kelompok kepada siswa.
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
SMA Negeri 9 Medan sebagai salah satu lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal mempunyai
peranan yang amat penting dalam usaha mendewasakan anak dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat yang
berguna. Hal ini berarti sekolah turut pula bertanggungjawab tercapainya suatu tujuan, yang telah ditetapkan.
Oleh sebab itu agar proses belajar mengajar berjalan dan berhasil dengan baik perlu mengadakan
bimbingan belajar dan motivasi agar siswa terdorong untuk melakukan kegiatan belajar dan penyesuaian diri
terhadap lingkungan dimana siswa berada, guru harus memahami semua siswa dalam satu kelas yang menjadi
tanggungjawabnya. Dengan memahami ciri, sifat dan kemampuan masing-masing individu memudahkan guru
dalam memberikan layanan kelompok belajar.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini
adalah sebagai berikut:
1.
Apakah layanan kelompok dapat Peningkatan Prestasi belajar siswa ?
2.
Bagaimana layanan kelompok siswa dapat Peningkatan Prestasi belajar siswa?
Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah dalam penelitian ini maka tujuan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di atas
bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengatasi bahwa layanan kelompok dapat Peningkatan Prestasi belajar siswa.
2. Untuk mengetahui cara memberi layanan kelompok agar dapat Peningkatan Prestasi belajar siswa.
Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa, dengan menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, siswa akan berusaha semaksimal
mungkin untuk memperbaiki segala kelemahan dan kesulitan belajar yang dihadapi melalui layanan kelompok.
2. Bagi guru, dengan menyadari kewajiban dan tanggung jawab dalam membantu perkembangan siswa melalui
kritik diri akan selalu berusaha memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran
7
Guru Bimbingan Konseling (BK) SMAN 9 Medan
4868
3. Bagi sekolah, memberikan masukan bagi sekolah untuk meningkatkan kualitas dan hasil belajar siswa
Kajian Pustaka
Kerangka Teoritis
a. Pengertian Bimbingan
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada murid dengan memperhatikan murid itu sebagai
individu dan makhluk sosial, serta memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu agar murid itu dapat
membuat tahap seoptimal mungkin dalam proses perkembangannya dan agar ia dapat menolong dirinya,
menganalisa dan menemukan masalah-masalah temuannya itu demi memajukan kebaha-giaan hidup terutama
ditekankan pada kesejahteraan jiwa (mental), Balitbang, (1978 : 2).
Langkah-langkah bimbingan belajar :
1. Mengenal siswa yang mendapat kesulitan belajar dengan menggunakan norma atau ukuran kriteria tertentu.
2. Mencari sebab-sebab siswa mendapat kesulitan.
3. Mencari usaha untuk membantu memecahkan kesulitan-kesulitan itu.
4. Mengadakan pencegahan supaya kesulitan yang dialami seseorang tidak menular kepada yang lain, Sutijono, S.
(1991 : 49).
b. Fungsi Bimbingan Belajar
1) Fungsi Koratif
2) Fungsi Penyesuaian
3) Fungsi Akselerasi
4) Fungsi Terapi
Teknik Pemberian Bimbingan
Ada beberapa teknik pemberian bimbingan belajar antara lain :
1) Bimbingan individual, diberikan kepada beberapa siswa yang mengalami kesulitan belajar yang berbeda-beda
dengan cara memberikan bimbingan secara langsung berupa latihan atau penugasan secara individu.
2) Bimbingan Kelompok
a.
Bimbingan kelompok kecil
Bimbingan kelompok kecil antara 2-5 siswa.
b.
Bimbingan kelompok besar, terdiri dari 6-10 siswa.
Pada intinya belajar itu dipengaruhi 2 faktor: 1) faktor intrinsik dan 2) faktor ekstrinsik.
1) Pengaruh intrinsik
2) Pengaruh ekstrinsik
Motivasi
1. Pengertian Motivasi
Motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat "upaya" yang tinggi untuk tujuan-tujuan tertentu
yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuh kebutuhan individu. Unsur "upaya" merupakan
ukuran intensitas, bila seseorang termotivasi, akan mencoba sekuat tenaga dan pikiran untuk belajar lebih baik.
4869
Sukarni Sitiyono, (1992 : 56) mengatakan bahwa "motivasi" merupakan, suatu dorongan yang ada dalam diri siswa
(individu) untuk menggerakkan suatu aktivitas tertentu dalam rangka mencapai tujuan.
Macam-Macam Motivasi
Motivasi ada dua macam yaitu, motivasi a) intrinsik dan b) motivasi ekstrinsik.
a) Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motivasi dari dalam. Karena dalam diri siswa sudah ada dorongan untuk melakukan
sesuatu.
b) Motivasi ekstrinsik
Motivasi dari luar adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar dapat
juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang didalamnya.
Prestasi Belajar
Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan diciptakan baik secara individu atau
kelompok.
Menurut Imam Nurhidayat Copo (1986 : 52) mengatakan yang dapat menghambat prestasi belajar adalah
sebagai berikut:
1. Intelegensi yang rendah
2. Siswa SMA pada umumnya mereka kurang serius dalam mengikuti kegitan belajar mengajar.
3. Mungkin guru kurang pandai menumbuhkan waktu yang baik.
4. Siswa bisa memilih atau menggunakan waktu yang baik.
5. Para siswa belum bisa menggunakan teknik yang baik untuk belajar secara efektif dan efisien.
Pengajaran Bidang Bimbingan Pribadi dan Sosial di SMA Negeri 9 Medan
Pengajaran bidang Bimbingan Pribadi dan Sosial merupakan salah satu bidang bimbingan dalam
Bimbingan dan Konseling (BK) yang terbagi lagi menjadi 4 model bimbingan yaitu:
1. Bimbingan pribadi, 2. bimbingan sosial, 3. bimbingan sosial, 4. bimbingan belajar, 5. bimbingan karir
Sedangkan jenis-jenis layanan BK itu sendiri terdiri dari beberapa layanan, yaitu antara lain:
1. Orientasi, 2. Informasi, 3. penempatan/penyaluran, 4. Pembelajaran, 5. konseling perorangan, 6. bimbingan
kelompok, 7. konseling kelompok
Hipotesis Tindakan
Melalui Bimbingan Pribadi dalam mengatasi stres pada siswa, perlu dilaksanakan sebuah proses bimbingan
dan konseling secara mendalam dan individual, untuk menghasilkan siswa yang lebih terbuka dalam mengatasi
masalah di SMA Negeri 9 Medan.
Metode Penelitian
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Penelitian Tindakan (action research) berdasarkan pendekatan
naturalistik-kualitatif. Pendekatan ini memandang kenyataan sebagai suatu yang berdimensi jamak utuh dan
merupakan satu kesatuan.
Jenis Penelitian
4870
Jenis penelitian yang digunakan di atas peneliti menggunakan jenis penelitian tindakan (action research).
Layanan kelompok untuk Peningkatan Prestasi pembelajaran bidang Bimbingan Pribadi dan Sosial siswa
bimbingan di SMA Negeri 9 Medan. Dengan kata lain penerapah penelitian tindakan di dalam kelas diharapkan
mampu mendorong guru memiliki kesadaran diri melakukan refleksi diri atau kritik diri terhadap aktivitas
pembelajaran yang diselenggarakan. Kegiatan ini dilakukan dengan mengikuti alur pokok yaitu :
1. Refleksi awal, 2. Perencanaan Tindakan, 3. Pelaksanaan Tindakan dan pengamatan, 4. Refleksi
Lokasi Penelitian
Lokasi adalah lokasi situasi sosial terdiri dari tempat, pelaku, dan kegiatan (Nasution S. 1992). Lokasi yang
dimaksud meliputi:
1) Aspek tempat : ialah lokasi dimana proses pembelajaran berlangsung yaitu di SMA Negeri 9 Medan.
2) Aspek pelaku, ialah peneliti, sebagai guru dan siswa kelas X yang terlibat dalam interaksi pembelajaran.
3) Aspek kegiatan ialah layanan kelompok uintuk Peningkatan Prestasi pembelajaran bidang Bimbingan Sosial
siswa SMA Negeri 9 Medan pada materi Kelebihan dan Kekurangan Diri.
Sumber Data
Sumber data yaitu berupa subyek penelitian yang dapat memberikan informasi yang dapat membantu
perluasan teori (Bagdan and Biklen, 1990). Sumber data dalam penelitian ini adalah guru dan siswa SMA Negeri 9
Medan dalam layanan kelompok untuk Peningkatan Prestasi belajar siswa.
Prosedur Pengumpulan Data
Data penelitian dihimpun berupa : 1) dokumentasi, 2) pengamatan, 3) catatan lapangan.
1. Studi dokumentasi melihat hasil tes-tes harian tahun pelajaran dipergunakan untuk mengetahui perbedaan hasil
belajar siswa ada peningkatan atau merosot dalam pembelajaran Bimbingan Pribadi.
2. Observasi yaitu pengamatan langsung pada proses pembelajaran diskusi maupun evaluasi layanan kelompok.
3. Catatan lapangan
Hasil dan Siklus I dilakukan refleksi dan rekomendasi hasil temuan untuk dijadikan bahan penyempurnaan
pada penerapan Siklus II.
Analisa Data
Analisa data dilakukan secara diskriptif kualitatif berdasarkan hasil observasi dengan layanan kelompok
belajar dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Melakukan reduksi
2) Melakukan interpretasi
3) Melakukan inferensi
4) Tahap tindak lanjut
Dalam kegiatan analisis data menggunakan metode pengolahan data dengan rumus :
P=
x 100
Keterangan :
P = Prosentase
F = Frekuensi dari jawaban alternatif jawaban yang berhubungan dengan masalah yang ditanyakan.
N = Jumlah seluruh responden yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu.
4871
Sebagai hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Dilanjutkan dengan penginterpretasian data, dengan
menggunakan tabel kuatilikasi prosentase yang mengacu pada petunjuk pelaksanaan penilaian di SMA Negeri 9
Medan sebagai berikut:
0 - 20% kurang sekali, 21 - 40% kurang, 41 - 60% cukup, 61 - 80% baik, 81 -100% sangat baik
Hasil Penelitian
Setelah data terkumpul, kemudian diadakan pengecekan apakah data yang terkumpul sudah lengkap sesuai
dengan instrumen yang diajukan. Data tersebut terdiri dari hasil ulangan siswa selama dua siklus. Siklus I di
layanan kelompok.
Siklus II sudah mendapat layanan kelompok dari guru, data dokumentasi rata-rata "sebelum" layanan
kelompok agar lebih jelasnya dapat dilihat pada berikut ini:
Tabel 1. Rekapitulasi Pengumpulan Data
No
1
2
Responden
Jml.
Siswa
Guru
Jumlah
30
1
31
Angket
30
1
31
Instrument
Evaluasi
40
2
42
Observasi
1
1
2
Ket.
Observasi dokumentasi buku daftar nilai rata-rata kelas Bimbingan Pribadi dan Sosial Materi Psikologi
Remaja=59. "Sebelum diadakan bimbingan motivasi"
Tabel 2. Hasil Belajar Siklus 1 Nilai Bidang Bimbingan Belajar Siswa SMA Negeri 9 Medan (sudah
mendapat layanan kelompok)
Nomor
Urut
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Kode Siswa
S-01
S-02
S-03
S-04
S-05
S-06
S-07
S-08
S-09
S-10
S-11
S-12
S-13
S-14
S-15
S-16
S-17
S-18
S-19
S-20
S-21
S-22
S-23
S-24
S-25
S-26
S-27
I
55
75
70
80
70
90
70
80
90
85
80
70
80
90
80
55
75
70
65
55
75
70
80
70
90
70
80
Ulangan Harian
II
III
%
55
75
70
80
70
90
70
80
90
85
80
70
80
90
80
55
75
70
65
55
75
70
80
70
90
70
80
4872
28
29
30
S-28
S-29
S-30
Jumlah
Rata-rata
90
85
80
2500
75
90
85
80
2500
75
Data menunjukkan hasil belajar Siklus 1 sesudah mendapat layanan kelompok mencapai rata-rata 75 dalam
kategori baik, berarti ada peningkatan sebelum layanan kelompok mencapai 59 berarti ada peningkatan 16.
Rekomendasi Siklus I
Hasil belajar Bidang Bimbingan Pribadi dan Sosial siswa beberapa siswa mencapai nilai sempurna, namun
masih ada beberapa siswa yang mencapai rendah, (dibawah 60). Perlu perbaikan dan penyempurnaan siklus
berikutnya. Berikut ini data hasil belajar siswa pada Siklus II dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel 3. Hasil Belajar Siklus II Nilai Bidang Bimbingan Belajar Siswa Bimbingan SMA Negeri 9 Medan
(sudah mendapat layanan kelompok)
Nomor
Urut
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Kode Siswa
I
S-01
S-02
S-03
S-04
S-05
S-06
S-07
S-08
S-09
S-10
S-11
S-12
S-13
S-14
S-15
S-16
S-17
S-18
S-19
S-20
S-21
S-22
S-23
S-24
S-25
S-26
S-27
S-28
S-29
S-30
Jumlah
Rata-rata
Ulangan Harian
II
III
75
75
90
80
80
80
85
80
95
95
80
85
75
95
80
75
80
85
80
75
75
90
80
80
80
85
80
95
95
80
2295
82.4
%
75
75
90
80
80
80
85
80
95
95
80
85
75
95
80
75
80
85
80
75
75
90
80
80
80
85
80
95
95
80
2295
82.4
Data di atas menunjukkan Hasil Belajar Siklus II mencapai rata-rata 83 meningkat dibanding Siklus 1
mencapai 76, berarti ada peningkatan sebesar 7.
Pembahasan Dan Refleksi
4873
Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar dari masing-masing siklus dirangkum dalam tabel 4 berikut
ini.
Tabel 4. Hasil Belajar Siswa
No
1.
2.
Siklus
Siklus I
Siklus II
Nilai Rata-rata
76
82.4
Tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pada Siklus I nilai rata-rata 76 pada Siklus II meningkat menjadi
83, nilai rata-rata Siklus II dibanding sebelum penelitian nilai rata-rata 82.4 berarti ada peningkatan dibanding
Siklus I sebesar 17 cukup signifikan.
Dengan memperhatikan data hasil penelitian dan hasil belajar Siklus I dan Siklus II dibanding hasil belajar
sebelum penelitian mencapai nilai rata-rata 59, Siklus I, 76, Siklus II mencapai rata-rata 82.4 maka ada peningkatan
dibanding sebelum penelitian sebesar 16 cukup signifikan. Maka direkomendasikan bahwa layanan kelompok
belajar baik untuk diterapkan pada pembelajaran Bidang Bimbingan Pribadi dan Sosial Materi Etika pergaulan
remaja SMA Negeri 9 Medan tahun ajaran 2013/2014.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
hasil belajar maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Layanan
kelompok dapat Peningkatan Prestasi belajar Bidang Bimbingan Belajar pada Materi Etika pergaulan remaja
siswa bimbingan SMA Negeri 9 Medan sebelum penelitian rata-rata 59, Siklus II sesudah layanan kelompok nilai
rata-rata 76, Siklus II 82.4.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka disarankan : Agar prestasi belajar Bidang Bimbingan Belajar pada
Materi Etika pergaulan remaja pada siswa bimbingan di SMA Negeri 9 Medan meningkat disarankan memberi
layanan kelompok kepada siswa.
Daftar Pustaka
Bagdan, R. dan Biklen, 1990, Kualitatif untuk Pendidikan : Pengantar Teori dan Metode Alih Bahasa
Memandir, PAV, UT, Jakarta.
Djamarah, S.B. 1991, Prestasi Belajar dan Kompensi Guna, Usaha Nasional
Depdikbud, 1995, Pedoman Penilaian di SMA, Dirjen Dikdasmen, Jakarta.
Depdiknas, 2002, Penyesuaian GBPP dan Penilaian Pada Sistem Semester di SMA Depdiknas, Jakarta.
Hopkind, D. 1985, A Teacher's Guide to Classroom Research, Philadelpia, Open University Press, Milton
Keyness.
Nasution, S, 1992, Metode Penelitian-Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung. NDT; PPL, UNM Malang,
1993, Petunjuk Pelaksanaan PPL Keguruan IKIP Malang, Malang.
4874
Sudirman, AM. 1988, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar Pedoman Bagi Guru dan Calon Guru,
Rajawali Pers, Jakarta.
Sutijono, S, 1991, Media Pembinaan Pendidikan, Fa Dian Indah Pustaka,
KETERKAITAN PEMBERIAN INSENTIF DENGAN PRESTASI KERJA KARYAWAN
Yohanes Dakhi, SE, MM8
ABSTRAK
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan pemberian isentif dengan prestasi
kerja karyawan. Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan literatur (library research). Dari
pembahasan dapat disimpulkan bahwa dengan melihat keberadaan tingkat biaya insentif yang dikeluarkan
dan tingkat produktivitas karyawan setiap tahunnya maka diketahui bahwa ada pengaruh pemberian insentif
dengan tingkat prestasi karyawan. Pada umumnya karyawan menghargai dan mendukung dengan pemberian
insentif dari perusahaan untuk peningkatan prestasi kerja karyawan sehingga termotivasi untuk bekerja
dengan baik. Untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan maka sebaiknya Perusahaan perlu meningkatkan
perhatiannya terhadap peningkatan kesejahteraan karyawan agar karyawan merasa hidupnya terjamin
bekerja, dan hal ini juga diharapkan untuk mengurangi tingkat kecurangan karyawan dalam bekerja.
Kata kunci : insentif dan prestasi kerja
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan manusia akan makan minum merupakan kebutuhan yang tidak dapat digantikan dengan
kebutuhan
lainnya. Hal inilah yang menyebabkan Abraham Maslow menempatkan kebutuhan ini pada urutan
pertama sebagai dasar kebutuhan manusia. Kebutuhan yang cukup besar ini merupakan peluang yang sangat besar
yang dapat ditangkap oleh para pelaku bisnis untuk meraup keuntungan yang sangat besar.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka antara perusahaan yang satu dengan
perusahaan yang lain akan bersaing dalam hal kualitas, baik itu kualitas peningkatan sumber daya manusia maupun
kualitas produk, terutama antara perusahaan yang menghasilkan produk yang sejenis. Peningkatan sumber daya
manusia merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan bersama-sama karyawan dan manajer dengan tujuan mencari
nilai tambah agar perusahaan tersebut dapat menghadapi tantangan kompetitif.
Selain itu, peranan tenaga kerja suatu perusahaan sangat penting karena tenaga kerja merupakan penggerak
utama atas kelancaran usaha dan kinerja perusahaan karena merupakan salah satu asset (kekayaan) perusahaan yang
harus dipelihara dan dijaga dengan jalan memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Untuk menjaga agar karyawan tetap berkomitmen terhadap perusahaan maka perusahaan harus tetap dapat
memberikan kepuasan kerja bagi para karyawan dengan berusaha senantiasa memenuhi kebutuhan karyawan baik
secara finansial maupun non finansial dan disertai berbagai macam fasilitas (yang menunjang.
Pada dasarnya untuk melihat sampai sejauh mana peranan Sumber Daya Manusia dalam suatu perusahaan,
maka dapat dilihat dari hasil prestasi kerja seorang karyawan yang ada dalam perusahaan tersebut. Untuk dapat
8
Dosen STIE Nias Selatan
4875
melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas tidak saja diperlukan pekerja yang handal, melainkan juga perlu
suatu proses yang mendukung terwujudnya pekerja yang produktif sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Hasibuan (2000:93) prestasi kerja adalah sesuatu hasil kerja yang dicapai seseorang didalam
melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan
serta tepat waktu. Prestasi kerja ini merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yatu kemampuan dan minat
seorang pekerja, kemampuan dan menerima atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang
pekerja.
Banyak faktor yang mendorong peningkatan prestasi kerja karyawan antara lain besar kecilnya gaji,
pendidikan dan latihan, disiplin, lingkungan dan iklim kerja, teknologi, manajemen, kesempatan berprestasi. Dalam
hal ini termaksud dialamnya meningkatkan kinerja karyawan diperlukan perhatian terhadap faktor- faktor yang
memengaruhi dan memperhatikan pula kebutuhan dari para karyawan, antara lain dengan pemberian insentif.
Menurut Handoko (2002:176), menyatakan bahwa pengertian insentif adalah : ―Perangsang yang
ditawarkan kepada para karyawan untuk melaksanakan kerja sesuai atau lebih tinggi dari standar-standar yang telah
ditetapkan‖. Pemberian intensif tehadap karyawan merupakan upaya untuk memelihara karyawan agar dapat
bekerja lebih baik dan maksimal. Insentif juga dikatakan sebagai imbalan atas prestasi, semakin tinggi prestasi
karyawan maka seharusnya perusahaan juga meberikan imbalan lebih kepada karyawanya.
Permasalahan yang sering timbul dalam perusahaan berkaitan dengan kinerja karyawan salah satunya
adalah rendahnya kinerja karyawan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai motor penggerak perusahaan.
Seperti kurangya inovasi- inovasi yang dimiliki karyawan sehingga mereka merasah jenuh akan pekerjaan dan lebih
memilih berhenti bekerja atau mencari pekerjaan lain.
Dapat dilihat dari fenomena-fenomena yang terjadi antara lain terlihat dari rendahnya motivasi karyawan
untuk berprestasi, yang ditunjukkan oleh beberapa karyawan yang bekerja hanya kalau ada tugas dari pimpinan,
mereka tidak secara mandiri atau secara kreatif menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan cepat, masih adanya
karyawan yang bermalas-malasan pada waktu jam kerja, dan kurangnya kepedulian karyawan terhadap tugas-tugas
yang dibebankan sehingga karyawan tidak menikmati pekerjaan yang dimilikinya. Fenomena tersebut menunjukan
bahwa sikap karyawan masih harus diarahkan untuk dapat memperbaiki produktifitas kerja mereka sehingga terjadi
peningkatan prestasi kerja.
Secara umum karyawan bekerja karena didorong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehinga para
karyawan semakin giat bekerja bilamana hasil yang dicapai dari pekerjaan memperoleh imbalan atau balas jasa
yang memuaskan. Salah satu bentuk imbalan yang dapat diberikan oleh perusahaan adalah insentif.
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan pemberian isentif dengan prestasi kerja
karyawan.
1.3. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan literatur (library research).
4876
2. Uraian Teoritis
2.1. Pengertian Insentif
Metode insentif
yang adil dan layak merupakan daya penggerak yang merangsang terciptanya
pemeliharaan karyawan. Karena dengan pemberian insentif karyawan merasa mendapat perhatian dan pengakuan
terhadap prestasi yang dicapainya, sehingga semangat kerja dan sikap loyal karyawan akan lebih baik.
Pelaksanaan pemberian insentif dimaksudkan perusahaan terutama untuk meningkatkan prestasi kerja
karyawandan mempertahan karyawan yang
mempunyai produktivitas tinggi untuk tetap berada di dalam
perusahaan. Insentif itu sendiri merupakan rangsangan yang diberikan kepada karyawan dengan tujuan untuk
mendorong karyawan dalam bertindak dan berbuat sesuatu untuk tujuan perusahaan. Hal ini berarti insentif
merupakan suatu bentuk motivasi bagi karyawan agar dalam diri mereka timbul semangat yang lebih besar untuk
berprestasi bagi perusahaan.
Metode insentif yang adil dan layak merupakan daya penggerak yang merangsang terciptanya
pemeliharaan karyawan. Karena dengan pemberian insentif karyawan merasa mendapat perhatian dan pengakuan
terhadap prestasi yang dicapainya, sehingga semangat kerja dan sikap loyal karyawan akan lebih baik.
Menurut Handoko (2002:176), menyatakan bahwa pengertian insentif adalah : ―Perangsang yang
ditawarkan kepada para karyawan untuk melaksanakan kerja sesuai atau lebih tinggi dari standar-standar yang telah
ditetapkan‖.
Sedangkan Pangabean (2002:93) Insentif adalah kompensasi yang mengaitkan gaji dengan produktivitas,
insentif merupakan penghargaan dalam bentuk uang yang diberikan kepada mereka yang dapat bekerja melampaui
standar yang telah ditentukan.
Relevan dengan itu Hasibuan (2006:118) menyatakan insentif adalah semua pendapatan yang berbentuk
uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima oleh pegawai sebagai imbalan atas jasa yang diberikan
atas suatu organisasi atau perusahaan.
Berdasarkan kajian teori dapat disimpulkan bahwa insentif adalah suatu penghargaan dalam bentuk
material atau non material yang diberikan oleh pihak pimpinan organisasi perusahaan kepada karyawannya dengan
tujuan agar mereka bekerja dengan motivasi yang tinggi dan berprestasi dalam mencapai tujuan-tujuan perusahaan,
dengan kata lain pemberian insentif adalah pemberian uang diluar gaji sebagai pengakuan perusahaan terhadap
prestasi kerja dan kontribusi karyawannya. Alat motivasi yang umum diberikan oleh perusahaan untuk merangsang,
memotivasi serta meningkatkan kinerja pegawai adalah insentif.
2.2. Jenis-Jenis Insentif
Ada beberapa jenis insentif Menurut Sarwoto (2000:144) secara garis besar jenis insentif dapat
digolongkan menjadi dua yaitu sebagai berikut :
a. Insentif Material
Uang dan Barang insentif ini dapat diberikan dalam berbagai macam, antara lain:
1) Bonus, tebagi atas : (1) Uang yang dibayarkan sebagai balas jasa atas hasil pekerjaan yang telah dilaksanakan. (2)
Dalam perasahaan yang menggunakan system insentif lazimnya beberapa persen dari laba yang melebihi jumlah
tertentu dimasukkan ke dalam sebuah dana dan kemudian jumlah tersebut dibagi-bagi antara pihak yang akan
diberikan bonus.
4877
2) Komisi, Merupakan sejenis komis yang dibayarkan kepada pihak bagian penjualan yang menghasilkan penjualan
yang baik.
3) Profit Sharing, Salah Satu jenis insentif yang tertua. Dalam hal pembayarannya dapat diikuti bersama-sama pula,
tetapi biasanya mencakup pembayaran berupa sebagai dan hasil laba yang disetorkan ke dalam setiap peserta.
4) Jaminan sosial, Insentif yang diberikan dalam bentuk jaminan sosial lazimnya diberikan secara kolektif, tidak
ada unsur kompetitif dan setiap pegawai dapat memperolehnya secara rata-rata dan otomatis. Bentuk jaminan
sosial berupa : (a) Pemberian rumah dinas. (b) Pengobatan secara Cuma-Cuma. (c) Kemungkinan untuk
pembayaran secara angsuran oleh pekerja atas barang-barang yang dibelinya dari Koperasi organisasi. (d) Cuti
sakit. (e) Biaya pindah.
b. Insentif Non Material.
Insentif non material dapat diberikan dalam berbagai bentuk:
1.) Pemberian gelar (title) secara resmi,
2.) Pemberian tanda jasa,
3.) Pemberian piagam penghargaan,
4.) Pemberian kenaikan pangkat atau jabatan.
Sedangkan menurut Siagian (2007:268), jenis-jenis insentif sebagai berikut:
a. Piece work (Upah per output) adalah teknik yang digunakan untuk mendorong kinerja kerja pegawai
berdasarkan hasil pekerjaan pegawai yang dinyatakan dalam jumlah unit produksi.
b. Production bonuss (bonus produksi) adalah Insentif yang diberikan kepada pegawai yang mampu bekerja
sedemikian rupa sehingga tingkat produksi yang baku terlampaui.
c. Commisions (komisi) adalah bonus yang diterima karena berhasil melaksanakan tugas dan sering diterapkan
oleh tenaga-tenaga penjualan.
d. Executifes incentives (Insentif eksekutif) adalah insentif yang diberikan kepada pegawai khususnya manajer atau
pegawai yang memiliki kedudukan tinggi dalam suatu perusahaan, misalnya untuk membayar cicilan rumah,
kendaraan bermotor atau biaya pendidikan anak.
e. Maturity curve (Kurva ―kematangan‖) Adalah diberikan kepada tenaga kerja, yang karena masa kerja dan
golongan pangkat serta gaji tidak bisa mencapai pangkat dan penghasilan yang lebih tinggi lagi, misalnya dalam
bentuk penelitian ilmiah atau dalam bentuk beban mengajar yang lebih besar dan sebagainya.
f. Rencana insentif kelompok adalah kenyataan bahwa dalam banyak organisasi, kinerja bukan karena
keberhasilan individual melainkan karena keberhasilan kelompok kerja yang mampu bekerja sebagai suatu tim.
Adapun pendapat menurut Hasibuan (2005:184-185) jenis-jenis insentif terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Nonmaterial
insentif
adalah
daya
perangsang
yang
diberikan
kepada
karyawan
berbentuk
penghargaan/pengkuhan berdasarkan prestasi kerjanya, seperti piagam, piala, atau medali.
b. Sosial insentif adalah daya perangsang yang diberikan kepada karyawan berdasarkan prestasi kerjanya, berupa
fasilitas dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya, seperti promosi, mengikuti pendidikan, atau
naik haji.
4878
c. Material insentif adalah daya perangsang yang diberikan kepada karyawan berdasarkan prestasi kerjanya,
berbentuk uang dan barang. Material insentif ini bernilai ekonomis sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
karyawan beserta keluarganya.
Mengacu dari beberapa pendapat di atas, serta melihat jenis-jenis insentif yang diberikan kepada setiap
karyawan, maka dapat ditarik indikator-indikator insentif dalam penelitian ini sebagai berikut :
a.) Insentif material.
Dapat diberikan dalam bentuk : Bonus, Komisi, Pembagian laba, Kompensasi yang ditangguhkan, dan
Jaminan sosial.
b.) Insentif Non material.
Dapat diberikan dalam bentuk : Pemberian piagam penghargaan, Pemberian tanda jasa, kenaikan pangkat,
serta hiburan.
2.3. Program Insentif yang Efektif
Sebuah system insentif biasanya akan memiliki kesempatan sukses yang lebih besar jika semua karyawan
didalam organisasi diberi kesempatan berpastisipasi. Jika beberapa karyawan dikucilkan, mereka akan menjadi iri
dan benci kepada orang- orang yang memiliki kesempatan memperoleh bayaran insentif ekstra, dan akibatnya akan
kurang mau bekerja sama secara maksimal.
Program insentif yang dirancang dengan baik akan berjalan karna program tersebut didasarkan pada dua
prinsip psikologis yang diterima dengan baik, yaitu : (1) Motivasi yang meningkatkan menyebabkan melejitnya
kinerja. (2)Dan pengakuan merupakan faktor utama dalam motivasi.
Sayangnya, banyak program insentif yang dirancang secara tidak tepat, dan program tersebut akhirnya
tersendat. Seperti yang diungkapkan oleh Simamora(1997;635) bahwa program insentif yang baik harus memenuhi
beberapa aturan sebagai berikut.
1. Sederhana
Aturan sistem insentif haruslah ringkas, jelas, dan dapat dimegerti.
2. Spesifik
Tidak cukup untuk mengatakan ―hasilkan lebih banyak‖ atau ―hentikan kecelakaan kerja‖. Para karyawan
perlu mengetahui secara rinci apa yang diharapkan supaya mereka kerjakan.
3. Dapat dicapai
Setiap karyawan harus memiliki kesempatan yang masuk akal untuk memperoleh sesuatu.
4. Dapat diukur
Tujuan yang terukur merupakan landasan dimana rencana insentif dibangun. Program bernilai rupiah
merupakan pemborosan jika spesifik tidak dapat dikaitkan dengan uang yang dikeluarkan.
2.4. Prestasi Kerja
Setiap perusahaan pada dasarnya mengiginkan dan menuntut agar seluruh karyawan selalu menyelesaikan
pekerjaanya dengan sebaik mungkin. Namun karyawan tidak dapat diperlakukan seenaknya seperti mengunakan
faktor- faktor produksi lainnya (mesin, modal, dan bahan baku). Karyawan juga harus selalu diikutsertakan dalam
4879
setiap kengiatan serta membrikan peran aktif untuk mengunakan alat- alat yang ada. Karna tanpa peran aktif
karyawan alat- alat canggih yang di memiliki tidak ada artinya bagi perusahaan untuk mencapai tujuanya.
Menurut Hasibuan (2000:93) prestasi kerja adalah sesuatu hasil kerja yang dicapai seseorang didalam
melaksanakan tugas- tugas yang diberikan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan
serta tepat waktu. Prestasi kerja ini merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yatu kemampuan dan minat
seorang pekerja, kemampuan dan menerima atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang
pekerja.
Sedangkan menurut Saydam (1996;55) defenisi prestasi kerja adalah hasil pelaksanaan pekerjaan yang
dicapa seorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Prestasi kerja seseorang
dipengaruhi oleh kecakapan, keterampilan, kesungguhan dan lingkungan kerja itu sendiri.
Dari kedua defenisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi kerja merupakan hasil kerja yang
dicapai seseorang atas tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang dipengaruhi oleh kecakapan, pengalaman,
keterampilan, kesunguhan dan lingkungan kerja itu sendiri.
2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruh Prestasi Kerja
Menurut Heidrahman dan Suad husnan (1990:126), faktor-faktor prestasi kerja yang perlu dinilai adalah
sebagai berikut :
1. Kuantitas kerja
Banyaknya hasil kerja sesuai dengan waktu kerja yang ada, yang perlu diperhatikan bukan hasil rutin tetapi
seberapa cepat pekerjaan dapat diselesaikan.
2. Kualitas kerja
Mutu hasil kerja yang didasarkan pada standar yang ditetapkan.biasanya diukur melalui ketepatan,
ketelitian, keterampilan, kebersihan kerja.
3. Keandalan
Dapat atau tidaknya karyawan diandalkan adalah kemampuan memenuhi atau mengikuti intruksi, inisiatif,
hati-hati, kerajinan dan kerja sama
4. Inisiatif
Kemampuan mengenali masalah dan mengambil tindakan korektif, memberikan saran-saran untuk
peningkatan dan menerima tanggung jawab menyelesaikan.
5. Kerajinan
Kesediaan melakukan tugas tanpa adanya paksaan dan juga yang bersifat rutin.
6. Sikap
Perilaku karyawan terhadap perusahaan atau atasan atau teman kerja
7. Keberadaan karyawan di tempat kerja
Keberadaan karyawan di tempat kerja untuk bekerja sesuai dengan waktu/jam kerja yang telah ditentukan.
Prestasi kerja merupakan salah satu ukuran terhadap hasil kerja seseorang dalam suatu organisasi
perusahaan dan menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pelaksanaan promosi.prestasi kerja seseorang dapat
dilihat berdasarkan oleh kualifikasi yang dimiliki, yaitu kecakapan, keterampilan, pengalaman, dan lingkungan
4880
kerja (kemampuan adaptasi). Seluruh komponen tersebut merupakan indikator yang membantu perusahaan dalam
mendapatkan tenaga kerja yang baik dan dibutuhkan sesuai dengan jabatan untuk mencapai tujuan perusahaan.
Berikut ini adalah indikator prestasi kerja yang menjadi bahan penelitian penulis, yaitu:
1. Kecakapan
Kecakapan adalah total dari semua keahlian yang diperlukan untuk mencapai hasil kerja yang bisa
dipertanggungjawabkan. Kesulitan dalam mengukur kecakapan adalah menentukan. Namun di banyak perusahaan,
jenjang pendidikan dan nilai ijazah ddpakai sebagai bahan pertimbangan untuk mengukur kemampuan dan
kecakapan seseorang.
2. Keterampilan
Keterampilan kerja merupakan kemahiran seseoran dalam melaksanakan pekerjaannya termasuk dalam
penguasaan alat kerja. Seringkali di berbagai perusahaan, mengharapkan memiliki seorang karyawan yang
mempunyai beberapa keterampilan khusus yang dimiliki sehubungan dengan tuntutan perusahaan, dimana
keterampilan juga dibutuhkan dalam rangka memecahkan masalah-masalah pekerjaan.
3. Pengalaman
Pengalaman merupakan lamanya seorang karyawan bekerja pada suatu bagian tertentu. Hal tersebur dapat
memberikan suatu hasil kerja yang memuaskan kepada perusahaan. Seringkali pengalaman kerja seorang karyawan
dipergunakan sebagai salah satu syarat untuk kenaikan jabatan. Sebab dengan pengalaman yang lebih banyak
diharapkan memiliki kemampuan yang lebih tinggi serta mempunyai ide-ide yang dapat membangun kemampuan
perusahaan.
4. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada disekitar karyawan dan dapat mempengaruhi dirinya
dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan oleh perusahaan. Untuk melaksanakan pekerjaan secara efektif
dan efisiensi perlu diperhatikan faktor lingkungan kerja yang mendukung. Syarat yang umum misalnya kebersihan,
ventilasi yang cukup, suhu udara di tempat kerja, dan sebagainya. Juga perlui diperhatikan faktor-faktor jaminan
keamanan dan keselamatan kerja. Hal ini sangat perlu bagi perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang
baik tercapainya prestasi kerja karyawan.
3. Pembahasan
Perusahaan meyakini bahwa sistem imbalan pada umumnya dan sistem insentif pada khususnya
mempengaruhi kinerja (prestasi kerja). Selain itu, banyak karyawan yang lebih menyukai bahwa bayaran mereka
dikaitkan dengan prestasi kerja masing- masing.
Insentif dan prestasi kerja adalah bagian dari pengelolaan yang kompleks untuk menyatakan dan
mempertahankan hubungan kerja diantara perusahaan dan karyawan. Kedua hal tersebut mendemonstrasikan tidak
hanya apa yang hendak dicapai oleh manajemen, namun juga keyakinan manajemen tenteng hubungan tersebut.
Untuk jelasnya penulis akan uraikan alasan- alasan mengaitkan bayaran dengan prestasi kerja menurut
Simamora (1997;624) yaitu :
1. Motivasi
Teori harapan/ekspektasi (expectancy theory) yang dikedapkan oleh Vroom menyatakan bahwa kaitan
prestasi kerja dengan pembayaran adalah esensial untuk meningkatkan prestasi kerja.
4881
2. Retensi
Mengaitkan bayaran dengan prestasi kerja kemungkinan akan membantu komposisi tenaga kerja.
Karyawan-karyawan yang baik akan cenderung mendapatkan bagian yang besar bagi sumber daya yang
kompensasi dan dengan demikian termotivasi untuk tetap bersama organisasi. Karyawan- karyawan yang dibawa
rata-rata akan menjadi kecil hati dan meninggalkan organisasi.
3. Produktivitas
Pada saat prestasi kerja dikaitkan dengan imbalan- imbalan, orang- orang dengan produktivitas tinggi akan
lebih termotivasi untuk bekerja.
4. Penghematan- penghematan biaya
Manfaat paling krusial dari bayaran berdasarkan prestasi kerja adalah kapabilitas mengaitkan biaya- biaya
konpensasi dengan hasil- hasil produktivitas. Dengan mendasarkan bayaran atas kinerja, perusahaan dapat
memastikan bahwa biaya- biaya konpensasi akan bertalian dengan hasil- hasil organisasional.
5. Sasaran- sasaran organisasional
Selalu merupakan tantangan untuk memastikan bahwa semua karyawan organisasional. Karyawan
memahami betul tujuan- tujan organisasi, dengan mengaitkan bayaran dengan prestasi kerja yang ditetapkan secara
organisasional, adalah mungkin memastikan bahwa sasaran- sasaran individu adalah sejalan dengan tujuan
organisasional. Karyawan- karyawan yang upaya- upayanya tidak singkron dengan tujuan organisasi tdak akan
menikmati imbalan yang setimpal.
Jadi secara langsung pemberian upah dan insentif yang tepat dapat ,meningkatkan produktivitas kerja
pada karyawan. Program peningkatan produktivitas ditandai dengan adanya tunjangan-tunjangan yang lain di
seluruh perusahaan. Setiap pembayaran kepada perorangan harus ditentukan oleh sumbangannya bagi
produktivitas, sedangkan kenaikan pembayaran harus dianugerahkan terutama berdasarkan hasil produktivitas.
Penghargaan serta penggunaan motivasi yang tepat akan menimbulkan suasana kondusif atau berakibat
kepada pemberian upah dan insentif dan usaha yang meningkatkan prestasi kerja melalui sarana yang beraneka
ragam antara lain :
1. Pemberian tingkat upah perhari
2. Rencana pemberian premi yang sering digunakan, sarana untuk memacu pekerjaan dalam mencapai standar
pelaksanaan yang diinginkan
3. Pemberian sistem merit dengan menseleksi serangkaian faktor-faktor yang mencakup tingkah laku yang
diinginkan dari sekelompok kerja
4. Mengikutsertakan semua tenaga kerja pada gerakan peningkatan produktivitas
5. Pembayaran berdasarkan hasil, yang diterapkan berdasasrkan kerja atau individu, ada juga berdasarkan kerja
atau berdasarkkan waktu pemberian bonus atau hasil kerja yang lain.
6. Pemberian insentif kelompok, yaitu bonus kelompok yang dibagi menurut pendapatan dasar dengan tujuan
agar kelompok menyakini distribusi usaha yang adil
7. Kepuasan kerja melalui penyusunan kembali pekerjaan yang menyangkut perluasan kerja sehingga
menimbulkan adanya peningkatan dalam produksi.
4882
4. Penutup
Dengan melihat keberadaan tingkat biaya insentif yang dikeluarkan dan tingkat produktivitas karyawan
setiap tahunnya maka diketahui bahwa ada pengaruh pemberian insentif dengan tingkat prestasi karyawan. Pada
umumnya karyawan menghargai dan mendukung dengan pemberian insentif dari perusahaan untuk peningkatan
prestasi kerja karyawan sehingga termotivasi untuk bekerja dengan baik.
Untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan maka sebaiknya Perusahaan perlu meningkatkan
perhatiannya terhadap peningkatan kesejahteraan karyawan agar karyawan merasa hidupnya terjamin bekerja, dan
hal ini juga diharapkan untuk mengurangi tingkat kecurangan karyawan dalam bekerja.
Daftar Pustaka
Achmad, S. Ruki, 2001. Sistem Manajemen Kineja, Performance Management System, Panduan Praktis
Untuk Merancang Kinerja Prima, Cetakan Pertama, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Marihot Tua Efendi Hariandja. 2002. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Grasindo.
Gouzali Syadam, 1996. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta : Gunung Agung.
Handoko T. Hani. 2002. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi II. Cetakan Keempat Belas.
Yogyakarta: Penerbit BPFE.
Hasibuan, Melayu Sultan Parlaguat. 2005. Organisasi dan Motivasi : Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta
: Bumi Aksara.
Hasibuan, Melayu Sultan Parlagua. 2006. Manajemen. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.
Heidjrahcman Ranupandojo dan Suad Husna. 2002. Manajemen Personalia, Yokyakarta: BPFE.
Hasibuan, Melayu Sultan Parlagua. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi
Aksara.
M. Manullang, 1994. Manajemen Personalia. Gadjah Mada University Press. Yokyakarta.
Nawawi, Hadari. H. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Gadjah Mada University Press. Jakarta.
4883
PERANAN MULTIMEDIA DALAM MENINGKATKAN PROSES PEMBELAJARAN
Drs. Baziduhu Laia, M.Pd9
ABSTRAK
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui peranan multimedia dalam meningkatkan proses
pembelajaran. Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan literatur (library research). Kutipan dan
pembahasan pada makalah ini didasarkan pada pendapat beberapa ahli tentang media pembelajaran. Dari
pembahasan dapat disimpulkan bahwa multimedia merupakan suatu sistem karena multimedia merupakan
teknologi yang menggabungkan berbagai sumber media seperti teks, grafik, suara, animasi, video yang
disampaikan dan dikontrol sistem komputer secara interaktif. Secara umum model-model CBI adalah model
tutorial, drill and practice, simulasi, dan games. Model tutorial pada umumnya model ini digunakan untuk
menyajikan informasi yang relatif baru bagi siswa, keterampilan tertentu, informasi atau konsep. Segala
sesuatu yang diperlukan untuk mendapatkan informasi yang tersedia dalam komputer. Simulasi ini merupakan
model pembelajaran yang mampu menekan biaya yang terlalu tinggi, memudahkan siswa atas suara secara
real time. Model drill and practice lebih memberi penekanan pada bagaimana siswa berlatih menguasai
materi dengan banyak melakukan latihan atau praktik. Model games ini merupakan pendekatan motivasional
tinggi bagi siswa untuk memberikan penguatan atas kompensasi yang sudah dipelajari, konsep dan informasi.
Kata kunci : multimedia dan pembelajaran
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dalam proses komunikasi, media merupakan apa saja yang aiengantarkan atau membawa informasi ke
penerima informasi. Di dalam proses belajar mengajar yang pada hakikatnya juga merupakan proses komunikasi,
informasi atau pesan yang dikomunikasikan adalah isi atau bahan ajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum,
9
Dosen STKIP Nias Selatan
4884
sumber informasi adalah guru, penulis buku atau tadul, perancang dan pembuat media pembelajaran lainnya;
sedangkan penerimaan informasi adalah siswa atau warga belajar. Pengertian media pembelajaran bervariasi. Ada
ahli media yang wiembuat definisi yang menagcu hanya pada alat atau perangkatkeras, ada juga yang menonjolkan
perangkat lunak.
Dalam proses belajar mengajar, kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting karena dalam
kegiatan tersebut ketidakjelasan bahan yang disampaikan guru dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai
perantara. Kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada peserta didik dapat disederhanakan dengan bantuan
media. Menurut Oemar Hamalik (2008), media pengajaran lebih banyak membantu siswa belajar daripada guru
mengajar. Penggunaan alat bantu pembelajaran berpusat pada siswa, sebab berfungsi membantu siswa belajar agar
lebih berhasil. Pekerjaan guru adalah mengkomunikasikan pengalaman kepada siswa. Ada dua cara
mengkomunikasikan yakni melalui pendengaran atau pengelihatan, alat bantu (media) pembelajaran dapat
membantu dalam kedua cara tersebut.
Media dapat mewakili apa yang kurang mampu diucapkan guru melalui kata-kata atau kalimat tertentu.
Dengan demikian siswa lebih mudah mencerna bahan apabila bantuan media daripada tanpa bantuan media. Guru
sadar tanpa bantuan media materi pelajaran sukar dicerna dan dipahami oleh setiap siswa terutama bahan pelajaran
yang rumit atau kompleks.
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui peranan multimedia dalam meningkatkan proses
pembelajaran.
1.3. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan literatur (library research).
Kutipan dan
pembahasan pada makalah ini didasarkan pada pendapat beberapa ahli tentang media pembelajaran.
2. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Mutimedia Pembelajaran
Media berarti perantara/pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Dengan multimedia pesan
ditampilkan melalui komputer sehingga user dapat melihat, mendengar, dan saling berinteraksi dan mengontrol
media tersebut. Multimedia merupakan suatu sistem karena multimedia merupakan teknologi yang menggabungkan
berbagai sumber media seperti teks, grafik, suara, animasi, video yang disampaikan dan dikontrol sistem komputer
secara interaktif. Multimedia pembelajaran memanfaatkan fleksibilitas komputer untuk memecahkan masalahmasalah belajar. Sebagaimana kebanyakan sistem mengajar, komputer dapat digunakan sebagai alat mengajar
terutama untuk memberi penguatan belajar awal, merangsang dan memotivasi belajar, atau untuk berbagai jenis
kemungkinan lainnya. Banyak manfaat yang diperoleh dari fleksibilitas komputer karena dapat memasukkan video,
audio, elemen-elemen grafis, bentuk-bentuk, proses, peran dan tanggungjawab lainnya (Lee & Owens, 2004:181).
Criswell (1989: 1) mendefinisikan aplikasi komputer untuk pembelajaran dengan istilah Computer Based
Instruction (CBI). CBI merupakan penggunaan komputer untuk menyajikan materi pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada pembelajar untuk berpartisipasi secara aktif dan pengajar dapat merespon aktivitas pembelajar.
4885
Menurut Anderson (1994: 197) CBI adalah penggunaan komputer secara langsung dengan pembelajar untuk
menyampaikan isi pelajaran, memberikan latihan-latihan dan tes untuk mengetahui kemampuan pembelajar.
Istilah CBI umumnya menunjuk kepada semua software pendidikan yang diakses melalui komputer di
mana siswa berinteraksi dengannya. Sistem komputer menyajikan serangkaian program pembelajaran kepada
pembelajar baik berupa informasi maupun latihan soal untuk pembelajaran tertentu dan si pembelajar melakukan
aktivitas belajar dengan cara berinteraksi dengan sistem komputer.
Menurut Alessi & Troliip (1985: 60) program yang baik haruslah meliputi empat aktivitas yaitu: (1)
informasi (materi pelajaran) harus diberikan, (2) siswa harus diarahkan, (3) siswa diberi latihan, (4) pencapaaian
belajar harus dinilai. Beberapa aspek yang perlu ada dalam program CBI menurut Chanond, Gagne, Kozma,
Emmer & Sanford, Lilie, et al dalam Herman Dwi Suryana (1995: 5), hendaknya umpan balik yang segera,
interaksi siswa dengan siswa dan program, pendahuluan dan tujuan yang jelas, contoh dan demonstrasi, petunjuk
dan tugas-tugas yang jelas.
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2002) menjelaskan ada beberapa keuntungan dalam mendayagunakan
komputer dalam pembelajaran yaitu:
a. membangkitkan motivasi kepada siswa dalam belajar,
b. warna, musik grafis dan animasi dapat menambahkan kesan realisme,
c. menghasilkan penguatan yang tinggi,
d. kemampuan memori memungkinkan penampilan siswa yang telah lampau direkam dan dipakai dalam
merencanakan langkah-langkah selanjutnya di kemudian hari,
e. berguna sekali untuk siswa yang lamban,
f. kemampuan daya rekamnya memungkinkan pengajaran individual dapat dilaksanakan, pemberian perintah
secara individual dapat dipersiapkan bagi semua siswa terutama yang dikhususkan, dan kemajuan belajarpun
dapat diawasi terus,
g. rentang pengawasan guru diperlebar sejalan dengan banyaknya informasi yang disajikan dengan mudah yang
diatur oleh guru dan membantu pengawasan lebih dekat kepada kontak langsung dengan siswa.
Pada tahun-tahun belakangan ini komputer mendapat perhatian besar karena kemampuannya yang dapat
digunakan dalam bidang kegiatan pembelajaran. Pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang dirancang
untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada pembelajar.
2.2. Peranan Multimedia Dalam Pembelajaran
Berbagai hasil penelitian eksperimen menunjukkan bahwa belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan
menggunakan alat bantu komputer dalam bentuk Computer Based Instruction (CBI) ternyata lebih efektif
dibanding dengan menggunakan alat bantu lainnya.
Perancangan multimedia pembelajaran memperhatikan:, (1) cara belajar audien, (2) karakteristik dan
budaya personal dari populasi yang dijadikan target, (3) karakteristik dari setiap komponen multimedia yang
digunakan, (4) kelebihan dan kekurangan dari setiap komponen (teks, grafis, suara, animasi, video), (5)
karakteristik yang tidak bisa dipisahkan dari tiap-tiap materi yang disajikan (perlakuan yang berbeda antar mata
pelajaran), (6) pentingnya interaktivitas dan partisipasi aktif pengguna, (7) kebutuhan akan tersedianya suatu virtual
environment misal web-based application
4886
Mengapa multimedia?
Menurut Gagne yang dikutip Dewi Salma Prawiradilaga (2008) proses belajar seseorang dapat dipengaruhi
oleh faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaturan kondisi belajar. Proses belajar terjadi karena sinergi
memori jangka pendek dan jangka panjang diaktifkan melalui lingkungan belajar. Melalui indranya siswa dapat
menyerap materi secara berbeda. Guru/dosen mengarahkan agar pemrosesan informasi untuk memori jangka
panjang dapat berlangsung lancar. Untuk memperlancar penyampaian materi inilah dapat digunakan multimedia
pembelajaran.
Menurut Dryden (1999) yang dikutip Dewi Salma Prawiradilaga (2008) belajar terjadi dengan: (1)
membaca sebanyak 30%, (2) mendengar 20%, (3) melihat 30 %, (4) melihat dan mendengar 50 %, (5) mengatakan
70 %, (6) mengatakan dan sambil mengerjakan sebanyak 90 % Melalui media pembelajaran, belajar paling tinggi
sebanyak 50%. Seseorang yang belajar dan terlibat secara langsung dengan suatu kegiatan atau mengerjakan
sesuatu dianggap sebagai suatu cara yang terbaik dan bertahan lama.
Secara garis besar ada tiga kelompok media yaitu media cetak, media elektronik, dan benda sesungguhnya.
Ketiganya mempunyai kelemahan dan kebaikan masing-masing. Media cetak mempunyai kebaikan relatif murah
pengadaannya, mudah dalam penggunaannya serta mudah digunakan, dibawa dan dipindahkan sedang
kekurangannya adalah kurang dirancang dengan baik, cenderung untuk membosankan juga kurang dapat
memberikan suasana yang hidup bagi murid-murid, Keuntungan media elektronik adalah memberikan suasana
yang hidup, penampilannya lebih menarik dan dapat digunakan untuk memperlihatkan proses tertentu yang lebih
nyata. Kelemahan media ini adalah memerlukan dukungan sarana dan prasarana seperti listrik serta peralatan
khusus yang tidak selamanya tersedia, dan biayanya cenderung mahal. Objek sesungguhnya mempunyai
keunggulan yaitu memberikan kesempatan semaksimal mungkin pada siswa untuk mempelajari sesuatu dalam
situasi nyata. Kelemahammya adalah biayanya mahal, dan kadang tidak memberikan objek yang sebenarnya.
3. Pembahasan
3.1. Model Multimedia Pembelajaran
Komputer dapat digunakan sebagai alat mengajar utama untuk memberi penguatan belajar awal,
merancang dan memotivasi belajar, atau untuk berbagai jenis kemungkinan lainnya. Criswell (1989: 6-7) membagi
aplikasi CBI ke dalam 10 model pembelajaran yaitu: (1) Lesson or tutorial, (2) reinforced drill and practice, (3)
inteligent CBI, (4) training simulation, (5) instructions games, (6) training simulatiors, (7) expert system, (8)
embedded training, (9) adaptive testing, (10) computer managed instruction. Menurut Hannafin & Peck (1998-158)
model CBI sebagai berikut: (1) tutorial, (2) drill and practice, (3) simulasi, (4) game, (5) hybrid (model gabungan).
Dari pendapat para ahli secara umum model-model CBI adalah model tutorial, drill and practice, simulasi,
dan games.
a. Model Tutorial.
Model ini menyajikan pembelajaran secara interaktif antara siswa dengan komputer. Materi belajar
diajarkan, dijelaskan, dan diberikan penguatan melalui interaksi tersebut. Pada umumnya model ini digunakan
untuk menyajikan informasi yang relatif baru bagi siswa, keterampilan tertentu, informasi atau konsep. Segala
sesuatu yang diperlukan untuk mendapatkan informasi yang tersedia dalam komputer. Untuk mengetahui tingkat
pemahaman siswa model ini dilengkapi dengan pertanyaan pada setiap bagian materi.
4887
Ciri model tutorial ini adalah:
1) mencakup informasi orientasi pelajaran, arahan selama pelajaran, umpan balik dan remedial yang sesuai,
2) dimulai dengan kegiatan yang memusatkan perhatian siswa kepada monitor agar siap dalam belajar,
3) selalu ada informasi harapan pembelajaran atas materi baru,
4) konsep disajikan sedikit demi sedikit dan disediakan dukungan atau petunjuk lain,
5) umpan balik diberikan bagi siswa berdasarkan jawaban yang diberikan,
6) memakai strategi yang berbeda untuk memperdalam proses pemahaman siswa.
b. Drill and Practice.
Model ini lebih memberi penekanan pada bagaimana siswa berlatih menguasai materi dengan banyak
melakukan latihan atau praktik. Model ini dirancang untuk mencapai keterampilan tertentu, umpan balik yang cepat
bagi siswa atau respon yang diberikan dan biasanya disajikan beberapa bentuk koreksi atau pengulangan atas
jawaban yang salah.
Ciri-ciri drill and practice yaitu:
1) memberi kesempatan yang luas bagi siswa untuk melatih keterampilan yang diperolehnya,
2) tersedianya arahan yang jelas untuk memberikan jawaban yang memberikan konsekuensi pada umpan balik yang
tepat dan pembelajaran korektif serta remedial,
3) model ini berasumsi bahwa informasi atau materi dasar sudah diperoleh siswa atau sudah diajarkan,
4) bertujuan untuk memperkuat atau memberi penekanan pada jawaban yang benar dan identifikasi serta
pembetulan jawaban yang salah,
5) fokus terhadap satu atau dua keterampilan saja,
6) jawaban yang diberikan pendek dan cepat,
7) memiliki tingkat keluwesan yang baik karena kemampuan komputer mengelola suara, warna, animasi dan
sebagainya,
8) cepat memperoleh dan menyimpan data tentang kemampuan siswa,
9) cepat memilih permasalahan atau kekurangan yang muncul dalam belajar.
c. Simulasi
Simulasi ini merupakan model pembelajaran yang mampu menekan biaya yang terlalu tinggi,
memudahkan siswa atas suara secara real time. Sebagai contoh misalnya pendidikan pilot sangat tidak mungkin
untuk berlatih menerbangkan pesawat sesungguhnya karena memiliki resiko yang tinggi dan biaya yang relatif
besar. Ciri-ciri model ini yaitu:
1) ada skenario atau rancangan kejadian, pilihan jelas partisipasi siswa dan konsekuensi yang yang dicapai atas
respon yang diberikan,
2) tampilan model ini haruslah high fidelity visual images (gambar berkualitas tinggi),
3) tersedia seperangkat situasi yang dapat diyakini, pilihan jawaban rasional, konsekuensi logis atas jawaban dan
seperangkat situasi hasil interaksi atau respon,
4) ada arahan yang jelas yang dibutuhkan siswa,
5) ada identifikasi perubahan saat kritis dan skenario,
4888
6) tersedia sekenario versi modifikasi berdasarkan respon atau jawaban siswa dan menjadi sebuah situasi yang
baru,
7) ada tiga jawaban yang diberikan siswa yaitu efektif, tidak efektif dan tidak jadi.
d. Games
Model permainan bertujuan khusus untuk meningkatkan motivasi siswa. Model games ini merupakan
pendekatan motivasional tinggi bagi siswa untuk memberikan penguatan atas kompensasi yang sudah dipelajari,
konsep dan informasi. Format permainan ini harus memberikan penekanan untuk pengembangan, penguatan dan
penemuan hal baru bagi siswa dalam belajar, unsur lain yang muncul dalam penggunaan permainan ini adalah
unsur kompetisi. Kompetisi dibangun baik untuk diri pribadi siswa, antarsiswa atau kelompok siswa. Ciri-ciri
model permainan ini adalah:
1) ada penjelasan yang baik tentang petunjuk, tujuan permainan serta prosedur yang dilakukan siswa,
2) menarik antusiasme siswa,
3) ada hubungan sebab akibat antara respon siswa dengan konsekuensi permainan tersebut,
4) siswa dapat diberikan ringkasan yang dicapainya dalam pembelajaran tersebut,
5) memberikan hiburan bagi siswa.
3.2. Desain Multimedia Pembelajaran
Desain dalam pengembangan multimedia pembelajaran merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
dilakukan. Menarik tidaknya suatu produk yang dihasilkan dapat dilihat dari produk yang dibuat. Teori-teori belajar
telah berusaha menjelaskan bagaimana peristiwa belajar terjadi, dan prinsip-prinsip dari teori-teori belajar
digunakan untuk menghasilkan pembelajaran yang lebih baik. Misalnya teori belajar behavioral yang juga dikenal
dengan Skinnerian atau psikologi stimulus-respon, yang berpandangan bahwa hasil belajar berasal dari pasangan
stimulus-respon. Konsep inti dari teori ini adalah adanya reinforcement atau penguatan. Sementara itu teori belajar
kognitif mengungkapkan bagaimana kita memperoleh informasi, bagaimana informasi yang diperoleh disajikan dan
ditranformasikan menjadi pengetahuan, bagaimana pengetahuan tersebut disimpan, dan bagaimana pengetahuan
tersebut digunakan. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi
pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang dimiliki siswa.
Prinsip-prinsip dari teori belajar tersebut dapat digunakan untuk merancang media pembelajaran berbasis
komputer sebagaimana dinyatakan oleh Hannafin & Peek (1988: 46-49) yaitu antara lain:
a. Contiguity, prinsip ini menyatakan bahwa stimulus yang direspon siswa harus dalam waktu yang diinginkan.
Stimulus dan respon harus secepatnya tanpa penundaan waktu.
b. Repetition, prinsip ini menekankan bahwa pengulangan dari pola stimulus- respon memperkuat belajar dan
meningkatkan daya ingat, untuk itu stimulus dan respon harus dipraktikkan.
c. Feedback and reinforcement, umpan balik meungkinkan siswa mengetahui hasil, apakah benar atau salah, dalam
hal ini umpan balik dapat berfungsi sebagai penguatan.
d. Prompting and fading, merujuk kepada proses pemberian stimulus untuk membentuk respon yang diinginkan.
4889
e. Orientation and recall. Belajar mencakup sintesis pengetahuan awal yang harus dipanggil untuk mengaktifkan
memori. Orientasi terhadap keterampilan atau informasi awal memeprbaiki kemungkinan terjadinya proses
belajar.
f. Intellectual skill yaitu bahwa belajar difasilitasi dengan penggunaan proses dan strategi yang telah ada. Dalam
hal ini siswa menggunakan metode belajar yang telah dimiliki untuk mempelajari informasi baru dalam proses
belajar.
g. Individualization, belajar akan lebih efektif apabila materi disesuaikan dengan kebutuhan individu siswa.
Dalam mendesain perancangan multimedia dalam meningkatkan pemahaman materi hendaknya
disesuaikan dengan:
a. tujuan pembelajaran,
b. materi pembelajaran,
c. kondisi kelas,
d. jenis evaluasi,
e. kemampuan guru/dosen,
f. perkembangan siswa.
4. Penutup
Multimedia merupakan suatu sistem karena multimedia merupakan teknologi yang menggabungkan
berbagai sumber media seperti teks, grafik, suara, animasi, video yang disampaikan dan dikontrol sistem komputer
secara interaktif. Secara umum model-model CBI adalah model tutorial, drill and practice, simulasi, dan games.
Model tutorial pada umumnya model ini digunakan untuk menyajikan informasi yang relatif baru bagi siswa,
keterampilan tertentu, informasi atau konsep. Segala sesuatu yang diperlukan untuk mendapatkan informasi yang
tersedia dalam komputer. Simulasi ini merupakan model pembelajaran yang mampu menekan biaya yang terlalu
tinggi, memudahkan siswa atas suara secara real time. Model drill and practice lebih memberi penekanan pada
bagaimana siswa berlatih menguasai materi dengan banyak melakukan latihan atau praktik. Model games ini
merupakan pendekatan motivasional tinggi bagi siswa untuk memberikan penguatan atas kompensasi yang sudah
dipelajari, konsep dan informasi.
Daftar Pustaka
Alessi, Stephen M & Trollip, Stanley R. 1985. Computer Based Instruction: Methods and Development. New
Jersey: Prentice-Hall.Inc.
Anderson, Ronald, H. 1994. Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja
Grafindo.
Criswell, Eleanor L. 1989. The Design of Computer Based Instruction. New Jersey: Macmilan Publishing
Company.
Dewi Salma Prawiradilaga, 2008. Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Predana Media Group.
Hannafin, Michael J & Peck, Kyle L. 1988. The Design, Developmentand Evaluation of Instructiononal
Software. New York: Macmilan Publishing Company.
Herman Dwi Suryono, 1995. Pengembangan Computer –Assisted Instruction (CAI) Untuk Pelajaran
Elektronika (Versi Elektronik). Jurnal Kependidikan No 2 (XXV): 95-106.
4890
Lee, W.W & Owens, DL. 2004. Multimedia-Based Instructiononal Design Training Computer-Based,
Distance Broadcast Training, Performance Based Solution (2nd). San Fransisco: Peiffera Wiley Imprin.
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, 2002. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.
Oemar Hamalik. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.
R. Ibrahim dan Nana Syaodih S. 2003. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 1995. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
PERANAN BAHASA, BUDAYA DALAM KEHIDUPAN
Harianto,II,SS,MS10
ABSTRAK
Bahasa sebagai medium dalam kehidupan sangatlah penting,karena manusia satu dengan manusia lainya saling
membutuhkan jadi oleh karena itu bahasa sangatlah menentukan dalam unsur kehidupan dan jika dipandang
dalam unsur -unsur batasan bahasa sebagai alat pengantar dalam kehidupan.
Pendahuluan
Saat sekarang ini bahasa Inggris sangatlah penting dan di butuhkan. Oleh karena itu
pentingnya untuk mempelajarinya. Sekarang ini bahasa Inggris memiliki peranan penting dalam
10
Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan
4891
dunia kerja. Bagaimana tidak setiap orang yang bekerja di instansi- instansi asing sangat
membutuhkan bahasa Inggris. Untuk mempermudah kita dalam berbahasa Inggris banyak cara yang
dilakukan yaitu dengan kursus bahasa Inggris, dengan cara ini dapat memudahkan kita untuk belajar
bahasa Inggris. Dengan adanya hal ini dapat mempermudah dalam mempelajari bahasa Inggris,
apalagi dengan mengetahui makna dan terjemahanya otomatis akan terjalin hubungan komunikasi
dengan baik. Memang hal inilah yang membuat orang ingin mengetahui betapa pentingnya belajar
bahasa Inggris baik di sekolah maupun di tempat tempat kursus. Dengan berbahasa Inggris akan
terjadi pemahaman dalam makna dan terjemahan sehingga dalam memahami makna dalam suatu
bahasa di butuhkan konsep bahasa yang dapat membuat berbagai keterampilan dari sebuah sumber
bahasa kedalam sebuah bahasa Inggris. Apabila terjadi penggunaaan bahasa Inggris yang terjadi
adalah pemahaman konsep terjemahan, karena apabila sipengguna bahasa Inggris tidak memahami
makana terjemahanya akan terjadi kesalahpahaman, oleh karena itulah dibutuhkan pengetahuan
dalam memahami terhadap suatu bahasa. Bahasa Inggris terdiri dari pemindahan makna dari sumber
bahasa terhadap bentuk bahasa yang kedua dengan menyusun suatu makna. Penggunaan bahasa
Inggris dapat ditingkatkan dari kata terhadap kata lain, kalimat dengan kalimat yang lain. Bahasa
Inggris terdiri dari susunan bahasa, situasi antar komunikasi, dan kebudayaan terhadap sumber
bahasa lain, yang menganalisa dalam menentukan makna dengan menggunakan susunan bahasa yang
dapat diterima oleh bahasa dan budaya lain. Kesimpulannya, bahasa Inggris adalah pemindahan
makna dari sebuah sumber bahasa utama.
Bahasa Inggris memiliki peranan penting dalam melakukan hubungan dalam hal pemahaman
sebuah bahasa yang dilakukan oleh sipembicara sehingga akan timbulah makna yang akan
disampaikan oleh pendengar. Dan hal inilah yang membuat beberapa hal yang menjadi kendala
dalam penguasaan bahasa Inggris. Dalam hal ini dapat ditemukan bahwa adanya penguasaan
terhadap bahasa Inggris yang merupakan bagian dari pemahaman bahasa Inggris sangatlah sulit.
Padahal hal ini sering terjadi dalam pemahaman dalam bahasa Inggris, dan akan tetapi dalam
pemahaman ini sangatlah penting dalam bahasa Inggris. Dan dalam hal ini yang dijadikan sebagai
barometer bagaimana kemampuan para supir taxi yang sulit berkomunikasi dengan orang asing dan
juga dapat dijadikan sebagai bentuk bagaiman para supir taxi dapat menguasai percakapan dalam
bahasa Inggris. Dan pada dasamya dalam penguasaan bahasa Inggris selalu dilakukan dengan
bagaimana pentingnya menguasai kosa kata. Padahal jika dilihat dalam penguasaan bahasa Inggris
sebenamya semua orang bisa melakukan percakapan dalam bahasa Inggris. Seseorang yang ingin
melakukan penguasaan dalam bahasa Inggris akan dapat memberikan motivasi dalam berbahasa
Inggris terutama dalam bidang percakapan. Dengan pemindahan bahasa yang dikaitkan dengan
bahasa Inggris akan tergantung dalam pemakaian bahasa itu sendiri. Karena akan mendapatkan
bahasa sipenerima, dimana makna atau arti dapat diungkapkan. Dua benda yang akan dibutuhkan
4892
akan dijadikan sebuah penerjemahan dalam sebuah bahasa, dengan adanya pemahaman bahasa.
Sebagian besar banyak orang mendapatkan kesulitan dalam melakukan berbahasa Inggris. Meskipun
dalam hal ini orang yang belajar bahasa Inggris sangatlah sedikit dan terbatas. Dan tentu saja kita
dapat melihat ke dalam bahasa Indonesia yang didasarkan atas pencapaian penelitian, sehingga ada
banyak mendapatkan kesulitan dalam melakukan berbahasa Inggris.
Ketertarikan dalam melakukan pemahaman yang tujuanya adalah mengetahui karena itu dalam
pemakaian bahasa Inggris di butuhkan kemauan yang kuat dalam mempelajari bahasa Inggris terutama
melakukan percakapan bahasa Inggris yang dapat dikaitkan dengan penggunaan bahasa Inggris secara aktif
dan dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi yang sesuai dalam konteks pemakaian bahasa Inggris. Sehingga
dalam penggunaaan bahasa Inggris dapat diikut sertakan didalam penggunaam bahasa Inggris secara
berkesinambungan dan aktif. Jika di telusuri bahasa Inggris memiliki peranan penting dalam melakukan
komunikasi secara lebih efektif. Untuk melakukan penelitian ini, yang pertama, isilah bahasa Inggris sangatlah
menarik untuk dipelajari. Sebab dalam mempelajari bahasa asing makna bahasa seharusnya di pahami agar
supaya dengan menggunakan terjemahan kita bisa mendapatkan makna yang sebenarnya. Yang kedua, bahasa
Inggris sangatlah sulit. Sebagian besar mendapatkan kesulitan dalarn mendapatkan pilihan kata yang tepat dari
sumber bahasa terhadap bahasa utama. Yang ketiga, para supir sering mendapatkan kesulitan dalam
mengajarkan bahasa Inggris. Mengajar bahasa Inggris tidaklah mudah seperti mendapatkan makna bahasa
asing tetapi berhubungan dengan kata-kata yang diucapakan. Oleh karenanya dalam pemakaian bahasa Inggris
haruslah memiliki kemampuan dalam memilih kata yang sesuai dengan makna tersebut. Oleh karena itu dalam
sebuah penelitian adanya opini ataupun pendapat dalam menganalisa sebuah makna dalam bahasa Inggris.
Dalam penggunaan bahasa Inggris adanya perbedaan terhadap pemakaian bahasa yang kaitannya dengan
unsur-unsur bahasa dijadikan sebuah makna yang intinya adalah melakukan komunikasi terhadap bahasa yang
memiliki hubungan terhadap bahasa itu sendiri. Dalam pemindahan makna sering kita jumpai adanya kosa
kata, tata bahasa, serta bahasa utama yang di lakukan dalam penggunaanya. Pada dasarnya unsur-unsur dalam
kosa kata tata bahasa, memiliki tipe dalam bahasa utama.
Dalam aspek yang lain kita dapatkan sumber bahasa khususnya bahasa Inggris yang ada
kaitannya dengan penggunaaan bahasa Inggris yang memiliki makna tertentu terhadap bahasa lain
yang dijadikan sebagai strategi dalam melakukan komunikasi bahasa Inggris yang tentu saja seorang
pengguna bahasa seharusnya meneliti bahwa pentingnya istilah makna dalam sebuah bahasa. Dalam
mendapatkan bahasa Inggris yang sesuai dengan kebutuhan dalam sebuah upaya dalam
meningkatkan kualitas bahasa haruslah memiliki kemampuan dalam komunikasi harus dijadikan
sebagai sebuah konsep terhadap peggunaan yang diyakini akan menambah pengetahuan dalam
mengembangkan bahasa yang di gunakan.
Sebab nilai mereka digambarkan terhadap kemampuan proses belajar. Menurut pendapat Propter
(1992:2) mengatakan bahwa kemampuan sebagai kekuatan dan keterampilan khusus untuk melakukan,
berfikir, membuat dan lain-lain.
4893
Menurut Hornby (1994:2) menyatakan bahwa kemampuan adalah kapasitas dari kekuatan untuk
melakukan sesuatu khususnya membuat dan melaksanakan. mereka seharusnya memiliki mental kekuatan
untuk melakukan tugas-tugas yang dapat dianggap sebuah teks. Kemampuan ini harus diungkapkan secara
nyata dan terukur.
Hal ini adalah salah satu unsur lingustik seperti susunan kata, dan bentuk susunan ataupun kosa yang
dihubungkan dengan unsur makna lain dalam pemahaman makna masalah-masalah dalam sumber bahasa yang
secara langsung di terjemahkan oleh penerjemah dan di jadikan sebagai bagian dari konsep yang dilakukan
dalam memahami sebuah makna dalam terjemahan yang intinya adalah melakukan penerjemahan secara
bahasa dalam makna susunan kosa kata yang dilakukan dalam konteks pemahaman bahasa secara kolektif dan
tersusun.
Dalam perubahan makna bahasa yang sangat erat kaitanya dengan unsur- unsur bahasa, karena
didasari oleh perubahan makna tertentu dalam tatanan bahasa itu sendiri. Kemampuan dalam penggunaan
bahasa Inggris sering dilakukan dalam memahami suatu makna arti dan bahasa yang sering dilakukan dalam
teks ataupun kata yang memiliki kajian dalam bahasa itu sendiri terhadap konsep bahasa Inggris. Pada
dasamya konsep terjemahan memiliki pengetahuan secara praktis yang dilakukan dalam penguasaan bahasa itu
sendiri. Terjemahan akan mudah kita pahami bila seorang penerjemah memiliki kemampuan dalam berbahasa
itu sendiri. Kenyataanya dalam terjemahan dapat dilakukan dalam kata demi kata ataupun kalimat dalam
kalimat. Makna bahasa Inggris bisa terjadi dalam perubahan walaupun tersebut tidak memiliki perbedaan dari
bahasa itu sendiri. Konsep bahasa dalam makana sering terjadi dalam pemahaman suatu konsep yang bila
mana dalam bahasa tersebut dijadikan sebagai alat komunikasi dan sumber pemahaman dalam kontekstual.
Pemahaman suatu konsep bahasa adalah bagian kemampuan untuk mengetahui persoalan dan permasalahan
yang ada pada bahasa Inggris khususnya pada kemampuan menganalisa kata ataupun kalimat. Bahasa tidak
bisa dilakaukan dalam pemahaman singkat tetapi juga membutuhkan pendalaman makna yang dilakukan
secara mendasar. Bagian dalam makna yang dilakukan secara menyeluruh dapat diketahui dalam makna yang
berbeda. Apapun dari hasil terjemahan dapat diketahui secara bersama bahwa bahasa memiliki hubungan
dengan budaya yang sering dilakukan terhadap budaya itu sendiri. Pemahaman konteks budaya yang
dilakukan dalam bahasa itu sendiri yang akan menunjukan betapa pentignnya unsur- unsur bahasa yang
dilakukan dalam kegiatan terjemahan. Dalam konteks sosial budaya yang akan kita lakukan untuk melakukan
konsep budaya dengan mengetahui bentuk terjemahan. Dalam konsep pemahaman yang sering berbeda dalam
hubungan terjemahan yang akan dilakukan oleh bahasa itu sendiri dan terjadi perbedaan makna bahasa. Dalam
makana bahasa yang dilakukan secara berbeda akan memiliki perbandingan budaya itu sendiri. Dalam budaya
yang seharusnya di buat secara berbeda yang akan berperan sebagai dasar dalam menentukan makna yang
berbeda
Daftar Pustaka
Baker ,Mona. 1997.in other words : A course Book On translatio London:Roudledge
Brown,dan.2003;The da vinci code Newyork
4894
Machali,rochyana.2008. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo
Newmark,peter.l995.A text book of translation
Tomasouw,Pauline.l996. Cross cultural understanding. Jakarta: Penerbit Karunia Jakarta
PENGARUH METODE DEBAT PLUS TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA
DALAM BAHASA INGGRIS
Nila Afningsih11 / Dani Ansari12
ABSTRAK
11
12
Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan
Dosen Luar Bisa UMN Al Washliyah Medan
4895
Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau pikiran dan perasaan
kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan atau pun dengan jarak jauh.
Berbicara merupakan sebuah bentuk penyampaian informasi dengan menggunakan kata-kata atau
kalimat. Dalam penelitian ini, penulis mengungkapkan permasalahan yang dialami dalam
keterampilan berbicara bahasa inggris khususnya pada tingkat mahasiswa. Permasalahan yang sering
dialami dalam keterampilan berbicara yaitu kurang beraninya siswa mengeluarkan ide-ide dengan
mengungkapkannya secara langsung.Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh
penggunaan metode Debat Plus terhadap keterampilan berbicara dalam bahasa inggris dengan
metode debat Plus dan untuk mengetahui pengaruh penggunaan metode pembelajaran konventional.
Keyword : metode Debat Plus, Keterampilan Berbicara
I. Pendahuluan
Keterampilan berbicara merupakan suatu keterampilan bahasa yang perlu dikuasai dengan baik.
Keterampilan ini merupakan suatu indikator terpenting bagi keberhasilan seseorang terutama dalam belajar
bahasa Inggris. Dengan penguasaan keterampilan berbicara yang baik, seseorang
tersebut dapat
mengomunikasikan ide-ide mereka, baik di sekitarnya maupun dengan penutur asing, dan juga menjaga
hubungan baikdengan orang lain. Berhubungan dengan pernyataan di atas, Ur (1996) menyatakan bahwa ―Jika
seseorang menguasai suatu bahasa, secara intuitif ia mampu berbicara dalam bahasa tersebut‖. Pendapat ini
jelas mengindikasikan bahwa keterampilan berbicara mengisyaratkan bahwa seseorang mengetahui suatu
bahasa. Selain itu, keterampilan berbicara bisa juga digunakan sebagai suatu media untuk belajar (Izquirdo,
1993). Keterampilan ini sangat terkait dengan pelafalan, gramatika, kosakata, diskursus, keterampilan
mendengarkan, dan lain lain.
Pada umumnya, siswa SMA dan bahkan mahasiswa masih mengalami kesulitan untuk menyampaikan
gagasan, pikiran, pertanyaan dan sebagainya dalam bahasa Inggris dengan menggunakan ragam bahasa lisan
dengan baik dan benar. Hal ini juga dialami oleh sebagian besar mahasiswa disebabkan oleh rendahnya
kreativitas guru dalam menentukan teknik pembelajaran keterampilan berbicara kepada mahasiswa Fenomena
seperti ini merupakan permasalahan yang perlu segera ditemukan alternatif-alternatif pemecahannya. Salah
satu upaya yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah tersebut adalah dengan menerapkan
pembelajaran keterampilan berbicara dengan ‖metode debat plus‖. Penggunaan kata plus dimaksudkan untuk
menyampaikan pesan adanya ―manipulasi/modifikasi‘ terhadap sebuah metode pembelajaran keterampilan
berbicara sehingga mahasiswa diajak belajar sambil bermain dengan permainan (games) serta kuis. Game dan
kuis dicantumkan dalam metode ini mulai dari teknik pembagian kelompok, kegiatan dalam debat, ataupun di
tengah-tengah kegiatan atau setelah kegiatan debat.
Berdasarkan pendapat di atas, maka tujuan dari tulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran keterampilan berbicara bahasa Inggris pada mahasiswa Fakultas Ekonomi
Semester IV UMN Al Washliyah sebelum memberlakukan metode debat plus.
2. Untuk mengetahui gambaran peningkatan keterampilan berbicara bahasa Inggris pada mahasiswa Fakultas
Ekonomi Semester III UMN Al Washliyah setelah memberlakukan metode debat plus.
II. Kajian Literatur Dan Pengembangan Hipotesis
Konsep Metode Debat Plus
4896
Debat merupakan kegiatan bertukar pikiran antara 2 (dua) orang atau lebih yang masing-masing
berusaha mempengaruhi orang lain untuk menerima usul yang disampaikan (Simon, 2005:3). Debat dapat
diartikan pula sebagai silang pendapat tentang tema tertentu antara pihak pendukung dan pihak penyangkal
melalui dialog formal yang terorganisasi (Depdiknas, 2001: 2). Sementara itu,‖plus‖ merupakan penyampaian
pesan melalui ―manipulasi/modifikasi‘ terhadap metode debat sehingga siswa diajak belajar sambil bermain
dengan berbagai permainan (games) serta kuis. Game & kuis disertakan dalam metode debat plus10 mulai dari
teknis pembagian kelompok, kegiatan dalam debat, ataupun di tengah-tengah kegiatan atau setelah kegiatan
debat. Adapun untuk tema debat akan dipilihkan tema yang terkait dengan topik materi yang dipelajari pada
saat itu,tema dari kejadian/fenomena aktual yang menantang namun tidak asing.
Metode Debat Plus tersebut juga sangat fleksibel mengingat guru sangat mungkin untuk menambah,
menyederhanakan serta mengembangkan lagi sesuai kebutuhan, kondisi serta tujuan penelitian sendiri. Melalui
jurnal Guru dan jurnal siswa dapat dilihat distribusi keaktifan, keterampilan, kemampuan para siswa, serta
pesan dan kesan siswa terkait dengan metode debat. Semua hal tersebut tentunya untuk menghidupkan suasana
belajar siswa. Diharapkan dengan kondisi yang menyenangkan tersebut motivasi siswa akan meningkat dari
awal sampai akhir pelajaran, sehingga akan memberikan efek berganda seperti bertambah mudahnya siswa
dalam memahami konsep tanpa terasa seolah terdoktrinasi serta meningkatkan kemampuan menghubungkan
berbagai variabel konsep dengan kondisi riel yang terjadi di lapangan. Semua itu muaranya kearah
peningkatan atau perbaikan prestasi siswa.
Berbicara dan Keterampilan Berbicara
Berbicara merupakan sebuah bentuk penyampaian informasi dengan menggunakan kata-kata atau
kalimat. Dengan kata lain, berbicara berarti menggunakan bahasa untuk bermacam-macam tergantung dari
para penuturnya. Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat ataupikiran dan
perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan ataupun dengan jarak jauh.
Harmer (1983) menyatakan bahwa berbicara merupakan alat komunikasi yang alami antara anggota
masyarakat untuk mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk tingkah laku sosial.
Keterampilan berbicara merupakan suatu keterampilan yang kompleks dan berkaitan dengan berbagai
keterampilan mikro (Brown, 2001) seperti (1) menghasilkan ujaran-ujaran bahasa yang bervariasi; (2)
menghasilkan fonem-fonem dan varian-varian alophon lisan yang berbeda dalam bahasa Inggris;
(3)
menghasilkan pola-pola tekanan, kata-kata yang mendapat dan tidak mendapat tekanan, struktur ritmis dan
intonasi; (4) menghasilkan bentuk-bentuk kata dan frasa yang diperpendek; (5) menggunakan sejumlah kata
yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatis; (6) menghasilkan pemberbicaraan yang fasih dalam
berbagai kecepatan yang berbeda; (7) mengamati bahasa lisan yang dihasilkan dan menggunakan berbagai
strategi yang bervariasi, yang meliputi pemberhentian sementara, pengoreksian sendiri, pengulangan, untuk
kejelasan pesan; (8) menggunakan kelas kata (kata benda, kata kerja, dll.) sistem (tenses,agreement dan
plural), pengurutan kata, pola-pola, aturan-aturan dan bentuk ellipsis; (9) menghasilkan pemberbicaraan yang
menggunakan elemen-elemen alami dalam frasa, stop, nafas dan kalimat yang tepat;
Richard (1986: 21-28) membagi fungsi berbicara menjadi tiga sebagaiberikut:
4897
(1) Berbicara sebagai interaksi (talk as interaction)
Fungsi berbicara sebagai interaksi mengacu pada kegiatan percakapan yang biasa dilakukan dan
berhubungan dengan fungsi sosial. Fokus utamanya adalah kepada si penutur dan bagaimana mereka
menunjukkan diri mereka kepada orang lain. Bahasa tuturannya bisa formal ataupun berupa tuturan yang
sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Beberapa kemampuan yang ikut dilibatkan dalam kegiatan
berbicara sebagai sebuah interaksi, antara lain:
a) membuka dan menutup percakapan;
b) memilih topik;
c) membuat percakapan-percakapan kecil/ringan;
d) bergurau;
e) menceritakan kejadian dan pengalaman pribadi;
f) dilakukan secara bergantian;
g) adanya interupsi/menyela percakapan;
h) bereaksi terhadap satu sama lain;
i) menggunakan gaya berbicara yang sesuai.
(2) Berbicara sebagai transaksi (talk as transaction)
Kegiatan berbicara sebagai transaksi lebih memfokuskan kepada pesan yang ingin disampaikan dalam
kegiatan berbicara.Richard (1986: 21-28). Ada dua tipe dalam kegiatan sebagai sebuah interaksi yaitu:
(a) Kegiatan yang fokus utamanya memberi dan menerima informasi,dengan kata lain membuat orang lain
mengerti dengan jelas dan akurat terhadap pesan yang disampaikan dari pada peserta tutur dan bagaimana
mereka berinteraksi dengan orang lain. Ketepatan bukannya menjadi fokus utama selama informasi
berhasil dikomunikasikan dan dimengerti.
(b) Kedua adalah kegiatan yang fokus utamanya adalah untuk memperoleh barang atau jasa, misalnya dalam
percakapan seseorang yang memesan makanan di restoran
III. Metode Penelitian
Desain Penelitian
Desain pada penelitian ini dapat disimbolkan melalui desain berikut :
1
Kelompok Eksperimen
2
Kelompok Kontrol
Pre-Test
O1
Pre-Test
O3
Pembelajaran berbicara bahasa inggris dengan
menggunakan metode debat plus
Pembelajaran berbicara bahasa inggris menggunakan
metode konvemsional
Post-Test O2
Post-Test O4
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang
diperlukan. Untuk memastikan sesuatu secara empiris bahwa subjek penelitian layak digunakan maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Membagi sampel dalam dua kelompok.
4898
2. Memberikan perlakuan yang berbeda pada kedua sampel, kelas eksperimen diajarkan dengan metode
debat plus yang menggunakan media kliping Koran, sedangkan kelas kontrol hanya menggunakan
metode konvensional
3. Memberikan Tes Berbicara dengan topic yang sama
IV. Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
ANALISIS DATA NILAI TEST
KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA INGGRIS
No.
Nama Kelas
1.
2.
Kelas IV A
Kelas IV C
No.
Nama Kelas
1.
2.
Kelas IV A
Kelas IV C
Nilai Pre-test kelas Kontrol
Mean
SD
SEM1
61.50
7.56
1,21
Nilai Pre-test Kelas Eksperimen
Mean
SD
SEM2
70,4
Nilai Post-test kelas Kontrol
Mean
SD
SEM1
67,4
6.78
1,08
7.80
1,17
Nilai post-test Kelas Eksperimen
Mean
SD
SEM2
74,73
4,68
0.70
B. Pengujian Hipotesis
Untuk menolak atau menerima Hipotesis Nihil (H0) tentang ada atau tidaknya perbedaan antara Mean
Data Eksperimen dengan Mean Data Kontrol secara signifikan maka kita cari harga Kritik t
t0 
M 2  M 1 74,73  67,4

SEM 2M 1
1,65
= 7.33  4.44
1,65
Interpretasi t0 dengan prosedur sebagai berikut :
a. Hipotesis Alternatif ( Ha)
Ada perbedaan Mean yang signifikan antara kelompok Eksperimen dengan kelompok Kontrol
b. Hipotesis Nihil (H0)
Tidak terdapat perbedaan Mean yang signifikan antara kelompok Eksperimen dengan kelompok Kontrol
c. Menetapkan degrees of Freedom (db) atau derajat kebebasan (lihat Tabel pada Lampiran 11 )
df atau db = (N1 + N2) -2
db = (40+45 ) -2
= 83
Pada df sebesar 83 diperoleh harga kritik ―t‖ pada table tt
-
Pada taraf signifikan 5 % maka tt = 1.45
-
Pada taraf signifikan 1% maka tt = 1.70
Dari hasil analisa data ternyata t0 jauh lebih besar dari pada tt yaitu 1.45 ( 4.44) 1.70
Karena itu Hipotesis Nihil (Ho) ditolak. Dengan demikian hal ini berarti kedua variable tersebut (Variabel
Eksperimen dan Variabel Kontrol ) terdapat perbedaan yang signifikan.
Hasil analisis data diperoleh adanya perbedaan Mean yang signifikan antara kelompok eksperimen
dengan kelompok kontrol.
M1
= Mean
Data Kontrol
= 67,4
4899
M2
= Mean Data Eksperimen
= 74,73
M2-M1
= 74,73-67,4
SD1
= Simpangan Deviasi Kelompok Kontrol
= 6.78
SD2
= Simpangan Deviasi Kelompok Experimen
= 4,64
SE MI
= Standar Error Mean Kelompok Kontrol
= 1,08
SE M2
= Standar ErrorMean Kelompok Eksperimen = 0.70
Maka SEM2-M1
= Standar Error Mean I – Mean II
Sedangkan harga kritik t0
= 4.44. Angka ini menunjukkan beda yang cukup segnifikan.
= 7.33
= 1.28
Kesimpulan Dan Saran
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengajaran keterampilan berbicara dengan menerapkan metode debat plus dapat memberikan hasil
belajar yang cukup signifikan dibandingkan dengan yang menggunakan metode konvensional. Dari
analisis data ternyata to lebih besar dari pada tt yaitu 4,44.
2. Kelompok mahasiswa yang mendapat perlakuan dengan metode debat plus mendapatkan hasil belajar
lebih baik, terbukti dari tes hasil unjuk kerjanya dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang
tidak mendapat perlakuan (konvemsional)
3. Berdasarkan uji hipotesis dengan menggunkan uji t, diketahui bahwa t hitung 4,44 antara 1.45-1.47.
Dimana hipotesis Alternatif (Ha) diterima dan Hipotesis Nol (Ho) ditolak. Berarti metode debat plus
lebih berpengaruh terhadap hasil belajar mahasiswa khususnya pada keterampilan berbicara dari pada
penggunaan metode konvensional pada kelas control
B. Saran
1. Para pengajar bahasa Inggris khususnya dalam pengajaran kemampuan berbicara hendaknya memilih
metode debat plus karena metode ini terbukti dapat membantu mahasiswa dalam mengembangkan nalar
yang sesuai dengan konteks pengalaman
2. Para pengajar hendaknya aktif dan kreatif untuk melatih pribadinya dalam kegiatan berbicara agar dapat
membantu mahasiswa dalam mencari, mengembangkan dan merevisis hasil karya mahasiswanya.
3. Para pengajar hendaknya aktif melatif dan memotivasi siswa dalam berbicara agar menciptakan kegiatan
kebiasaanaktif berbicara dikalangan mahasiswa.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rieka Cipta
http:/bpad.sumutpray.go.id./berita/index/berita/state/detail/id/25
J. Suprapto. 2009. Statistik Jilid 1. Jakarta : Ganeca
Kuncoro, Mudrajad. 2009. Mahir Berbicara. Jakarta : Erlangga.
4900
Kusumah, Wijaya dan Dedi Dwitagama, Mengenal Penelitian Tindakan Kelas,Jakarta: Indeks, 2012.
Nurgiantoro, Burhan. Penialaian dalam Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: BPEE
Purbayu, Muliawan,2002.Statistika Deskriptif. Jakarta : Erlangga
Sanjaya,Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Prenada Media Group.
Jakarta\
Sudjana, 2002. Metode Statistik. Bandung: Tarsito
Sudjono, Anas. 2005. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Sugiono, 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif. R & D Bandung:
Alfabet.
Surakmad. Winarto, 2002, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik. Bandung :Tarsito
Suyanto, Kasihani K.E (2003 : 4) CTL in Teaching Learning. Malang.
4901
JUMLAH KONSUMSI MAKSIMAL MIE INSTAN BERDASARKAN PENENTUAN KADAR
MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) BUMBU PENYEDAPNYA
Anny Sartika Daulay13 / Emma Trivitasari14
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian penentuan kadar monosodium glutamat (MSG) pada bumbu penyedapnya
menggunakan metode titrasi bebas air sebagai basa. Berdasarkan penelitian ini dapat ditentukan
jumlah maksimal mie instan yang dapat dikonsumsi perhari dimana jumlah total MSG yang dikonsumsi
dari mie instan tersebut tidak melebihi ambang batas asupan harian yaitu 0,3-1,0 g. Dengan demikian
diharapkan efek samping MSG bagi konsumen mie instan dapat dikurangi. Dari hasil penelitian yang
dilakukan kadar monosodium glutamat yang tertinggi terdapat pada mie instan sampel A.1 sebesar
15,9674 % dengan jumlah berat MSG per bungkus 851,4 mg. Kadar yang terendah terdapat pada mie
instan sampel B.6 sebesar 8,9013% dengan jumlah berat MSG per bungkus yaitu 480,8 mg. Mie instan
yang dapat dikonsumsi rata-rata 1 (satu) bungkus perhari bagi yang konsumen tidak memiliki riwayat
penyakit yang diderita.
Kata Kunci : mie instan, msg, monosodium glutamat
1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Penyedap (penguat rasa) digunakan untuk mengintensifkan rasa yang sudah ada, terutama bila rasa asli
berkurang. Contoh penyedap rasa adalah monosodium glutamate (MSG), penyedap rasa yang terbuat dari asam
glutamat yaitu asam amino non essensial paling berlimpah yang terbentuk secara alami (Arisman, 2009).
Mie instan adalah makanan siap saji yang sangat digemari oleh semua lapisan masyarakat. Mie instan
mengandung berbagai macam zat tambahan untuk memperkaya rasa dan penampilannya, misalnya seperti pewarna
makanan dan juga penyedap rasa. Dalam hal ini penyedap rasa yang digunakan adalah Monosodium Glutamat yang
ditambahkan pada bumbu mie instan tersebut. Monosodium Glutamat bila dikonsumsi melampaui batas maksimum
dan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama tentu akan menimbulkan berbagai macam efek samping tanpa
disadari (Sarah, 2011).
Pada Permenkes RI No. 722/MEN.KES/PER/IX/88 menyebutkan bahwa monosodium glutamate dapat
digunakan ―secukupnya‖, yaitu ditambahkan pada makanan tidak melebihi jumlah wajar yang diperlukan. Menurut
sebagian penelitian, MSG dalam jumlah tertentu masih dianggap aman. Negara industri dan maju menetapkan
konsumsi MSG yang masih bisa ditolerir adalah berkisar 0,3-1 gr perhari.
Khairunnissa (2008) telah melakukan penelitian tentang kadar monosodium glutamate yang terkandung
pada saus tomat kemasan sachet dan saus cabe kemasan botol. Pada penelitian ini dilakukan penetapan kadar MSG
pada mie instan disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang gemar mengkonsumsi mie instan sebagai pelengkap
makanan sehari-hari. Mie instan yang ditentukan kadarnya adalah merk tertentu dengan berbagai variasi rasa.
13
14
Dosen Kopertis Wil. I dpk FMIPA UMN Al Washliyah Medan
Alumni FMIPA Prodi Farmasi UMN Al Washliyah
4902
Jumlah kadar MSG yang dapat dikonsumsi bersamaan dengan mie instan belum diketahui dengan tepat
sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menentukannya. Pada penelitian ini kadar MSG ditentukan dengan
metode Titrasi Bebas Air.
Dari hasil penelitian ini dapat ditentukan jumlah maksimal mie instan yang dapat dikonsumsi perhari.
Jumlah MSG total pada mie instan yang dapat dikonsumsi tidak melebihi ambang batas asupan harian.
1.2 Perumusan Masalah
Berapakah kadar Monosodium Glutamat yang terdapat dalam bumbu mie instan pada berbagai variasi rasa
dan jumlah maksimal mie instan yang dapat dikonsumsi dimana belum melebihi ambang batas?
2 Metode Penelitian
2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan eksperimental murni di laboratorium. Penelitian untuk penentuan kadar MSG
pada mie instan merk tertentu dalam penelitian ini terdiri dari : (a) Melakukan uji kualitatif terhadap adanya MSG
pada sampel mie instan; (b) Menetapkan kadar MSG yang terdapat pada masing-masing variasi mie instan; (c)
Analisis data untuk menentukan konsumsi maksimal mie instan yang dapat dikonsumsi individu sehat perhari.
2.2 Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu Farmasi Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah
Medan, pada bulan Oktober s/d Nopember 2014.
2.3 Alat-Alat Yang Digunakan
Beaker glass 500 ml, Beaker glass 250 ml, Gelas ukur 50 ml dan 10 ml, pipet tetes, corong 25 ml, batang
pengaduk, neraca analitik, makro buret 50 ml, Erlenmeyer 250 ml, statif-klem, botol akuades.
2.4 Bahan-Bahan
Sampel yang digunakan adalah bumbu mie sedap atau indomie dari berbagai rasa. Bahan untuk pereaksi
adalah aceton:air (1:1), arang aktif, larutan ninhidin, asam klorida 1N, Monosodium Glutamat baku, Kristal kalium
biftalat, asam asetat glacial, indicator Kristal violet, asam perklorat 0,1 N.
2.5 Uji kualitatif Monosodium Glutamate Pada Sampel Bumbu Mie Instan
Sebelum dilakukan identifikasi dan penetapan kadar, terlebih dahulu dilakukan ekstraksi monosodium
glutamate dengan cara: Sampel dihaluskan dalam lumping, ditimbang 2,5 g dimasukkan ke dalam beaker glass 250
ml, ditambahkan air 30 ml, aduk, biarkan 15 menit, lalu tambahkan 1,5 g arang aktif, aduk, tambahkan 15 ml aceton
dan biarkan 30 menit sambil diaduk, kemudian saring dan bilas beaker dengan 8 ml aceton:air (1:1), saring, uapkan
diatas penangas air sampai kering (Horwitz, 1975). Identifikasi dilakukan dengan cara: 1) Filtrate hasil ekstraksi 5
ml dipanaskan lalu ditambahkan 1 ml ninhidin, jika positif (+) terjadi warna ungu; 2) Filtrat dipijar dengan kawat
nikel-krom terjadi warna kuning, menunjukkan adanya Na (Kodeks Makanan Indonesia, 2001).
2.6 Pembakuan Larutan Asam Perklorat 0,1 N
Ditimbang dengan seksama 204,2 mg kalium biftalat (p) yang sebelumnya telah di keringkan pada suhu
0
120 C selama 2 jam, dilarutkan dalam 15 ml asam asetat glasial (p) dalam labu 250 ml, ditambahkan 3 tetes
indikator Kristal violet titrasi dengan larutan asam perklorat 0,1 N sampai warna ungu berubah menjadi hijau biru
(Farmakope Indonesia Edisi IV).
4903
2.7 Penetapan Kadar Baku Monosodium Glutamat Dengan Cara Titrasi Bebas Air Sebagai Basa
Ditimbang dengan seksama 233,9 mg Monosodium Glutamat baku dan dimasukkan kedalam Erlenmeyer
250 ml, dilarutkan dalam 36,5 ml asam asetat glacial, ditambahkan 3 tetes indikator kristal violet, dititrasi dengan
asam perklorat 0,1 N sampai warna ungu berubah menjadi hijau biru.Lakukan penetapan blanko.
2.8 Penetapan Kadar Monosodium Glutamat Pada Sampel Bumbu Mie instan
Ditimbang dengan seksama masing-masing bumbu mie instan sebanyak ± 250 mg. Larutkan dalam 36,5
ml asam asetat glacial, di tambahkan 3 tetes indicator Kristal violet, dititrasi dengan asam perklorat 0,1 N sampai
warna ungu berubah menjadi hijau biru. Lakukan penetapan blanko (Kodeks Makanan Indonesia, 2001).
3 Hasil Dan Pembahasan
3.1 Uji Kualitatif Monosodium Glutamat Pada Bumbu Mie Instan
Filtrat hasil ekstraksi sebanyak 5 mL dipanaskan, lalu ditambahkan 1 mL ninhidrin adalah positif warna
ungu. Fungsi dari ninhidrin tersebut adalah untuk membuktikan adanya asam amino bebas protein dalam sampel
bumbu Mie Sedap (Sampel A) dan Indomie (Sampel B). Hasil yang diperoleh positif adanya MSG dalam sampel A
dan sampel B.
Hasil filtrat yang diperoleh di pijar dengan kawat Nikel-krom yaitu terbentuk nyala kuning. Nyala kuning
berasal dari natrium yang terdapat pada MSG. Hasil yang diperoleh positif, sehingga kandungan MSG positif
terhadap kedua sampel.
3.2 Data Pambakuan Asam Perklorat 0,1 N
Larutan pentiter distandardarisasi terlebih dahulu sebelum dipergunakan untuk penentuan kadar MSG. Hal
ini harus dilakukan karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembuatan larutan konsentrasi asam
perklorat.
Table 3.1 Data Hasil Pembakuan Asam Perklorat
No.
1.
2.
3.
Kalium Biftalat (mg)
409,4
408,5
409,0
Volume HClO4(mL)
23,2
23,6
23,6
Volume Blanko= 0,2 mL
3.3 Penetapan Kadar Monosodium Glutamat (MSG) Murni Secara Titrasi Bebas Air Sebagai Basa
Tabel 3.2 Data Hasil Penetapan Kadar Baku Monosodium Glutamat Murni
No.
1.
2.
3.
Berat MSG
234,5 mg
234,7 mg
234,9 mg
Volume HClO4
29 mL
29,2 mL
29,3 mL
Volume Blanko= 0,2 mL
4904
(
)
Perhitungan :
(
)
Kadar rata-rata yang diperoleh dari bahan baku Monosodium Glutamat adalah 99,4209 %. Menurut
Kodeks Makanan Indonesia (1979), syarat Monosodium Glutamat baku tidak kurang dari 98,5 % dan tidak
lebih dari 101,5 %. Dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar Monosodium Glutamat
memenuhi batas persyaratan yang ditetapkan.
3.4 Penetapan Kadar Monosodium Glutamat (MSG) Pada Sampel
Penetapan kadar Monosodium Glutamat pada bumbu Mie Instan dilakukan secara uji kuantitatif.
Analisis kadar Monosodium Glutamat dengan Titrasi Bebas Air Sebagai Basa.
Kandungan
MSG
yang
diperoleh dari hasil penelitian pada sampel A dan B dapat dilihat masing-masing pada tabel 3. 3 dan 3.4.
Tabel 3.3 Kadar Monosodium Glutamat Pada Sampel A
Kode Sampel
Kadar MSG (%)
A.1
A.2
A.3
A.4
A.5
A.6
15,9674
10,5022
15,3163
15,8771
14,6970
Bumbu: 12,1154
Pelengkap: 0,3215
Bumbu: 14,4901
Pelengkap: 0,3214
A.7
Berat MSG dalam 1 bungkus
(mg)
675,9
657,5
739,5
1322,4
646,5
Bumbu: 545,5
Pelengkap: 13,5
Bumbu: 623,4
Pelengkap: 111,4
Tabel 3.4 Kadar Monosodium Glutamat Pada Sampel B
Kode Sampel
Kadar MSG (%)
B.1
B.2
B.3
B.4
B.5
B.6
B.7
B.8
B.9
B.10
15,9861
15,3321
12,9820
12,0066
11,7982
8,9013
10,7363
15,3404
10,9497
10,5118
Berat MSG dalam 1
bungkus (mg)
851,4
493,6
640,6
521,8
606,2
480,8
412,9
835,4
500,2
400,1
Dari hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa MSG lebih banyak terdapat pada bumbu sampel
A. Berdasarkan MSG pada bumbu mie instan diatas maka konsumsi rata-rata adalah sebanyak 1
bungkus perhari bila tidak memiliki riwayat penyakit apa pun, karena ambang batas Mosodium
Glutamat adalah 0,3-1 g perhari.
4 . Kesimpulan
4905
Kadar Monosodium Glutamat yang tertinggi terdapat pada bumbu mie instan dengan kode sampel A.1
dengan kadar 15,9674 % dan yang terendah terdapat pada bumbu mie instan dengan kode sampel B.6 yaitu
8,9013 %. Monosodium Glutamat pada bumbu Mie Instan diatas masih boleh dikonsumi sebanyak 1 bungkus
sehari, karena ambang batas konsumsi Mosodium Glutamat adalah 0,3-1 g perhari.
Daftar Pustaka
Arisman, MB, 2009. Keracunan Makanan. EGC. Jakarta, Hal. 61-64.
BPOM, 2003. Bahan Tambahan Pangan. Direktorat SPKP, Deputi III, Jakarta.
Day, R.A, and Underwood, A, 1980. Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta, Hal.159162.
Ditjen POM, 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Departemen Kesehatan RI, Jakarta, Hal.310 dan 744.
Depkes RI, 2001. Kodeks Makanan Indonesia Tentang Bahan Tambahan Makanan. Depkes RI, Jakarta. Hal.
63-64.
Horwitz, W. 1995. Official Methods of analysis of the Association of Official Analytical. Chemists, 12th ed.
Washington, DC : Association of Official Analytical Chemists. P. Hal. 382.
Ismullah, Sarah, 2011. Mie Instan, Sakit Instan. Pustaka Rama, Yogyakarta. Hal.53-60.
Khopkar, S. M, 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press, Jakarta. Hal. 6-7, 40-41, 229.
Rohman, A, 2007. Kimia Farmasi Analisis, Cetakan I. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 120-123,
141-142, 252-254.
Winarno, F. G, 1980. Kimia Pangan Dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta. Hal.208-210.
4906
MODEL PBM DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN
KOMUNIKASI MATEMATIKA
Cut Latifah Zahari15 / Irpan Apandi Batubara16
ABSTRAK
Meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematika siswa dengan penerapan model
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) di kelas VIII SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 2 Patumbak sangat
penting dilakukan hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan siswa dalam memahami konsep dan
komunikasi matematika. Tujuan penelitian ini adalah diperolehnya informasi tentang peningkatan
kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematika siswa dengan menerapkan model PBM.
Penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian eksperimen semu, dengan rancangan eksperimen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Pretes Posttest Control Group Design.Hasil dari penelitian ini adalah
secara keseluruhan adalah model PBM secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman
konsep dan komunikasi matematika siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Demikian pula
dengan kadar aktivitas siswa yang bernilai positif selama mengikuti pembelajaran matematika melalui model
PBM.
Kata Kunci : Model PBM, Pemahaman Konsep, dan Komunikasi Matematika
Pendahuluan
Pembelajaran matematika memiliki fungsi sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kritis, logis, kreatif, dan bekerja sama yang diperlukan siswa dalam kehidupan modern. Seperti tercantum dalam
salah satu tujuan pembelajaran matematika dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa melalui
pembelajaran matematika siswa dapat mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan
penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan,
serta mencoba-coba.
Kenyataan yang dihadapi pada saat ini adalah pembelajaran matematika beserta sistem evaluasi selama ini
kurang memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengemukakan ide/gagasan karena pembelajarannya terpusat
pada guru (teacher-centred) dimana guru memilki peran aktif sementara siswa menjadi pasif.Pembelajaran seperti
itu merupakan pola belajar konvensional karena suasana kelas masih didominasi oleh guru dan titik berat
pembelajaran ada pada keterampilan tingkat rendah. Pembelajaran matematika yang konvensional lebih menuntut
15
16
Dosen Yayasan Prodi Pendidikan Matematika, FKIP, UMN Al Washliyah Medan [email protected]
Dosen Yayasan Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, UMN Al Washliyah Medan [email protected]
4907
kepada hasil dimana siswa hanya tinggal menerapkan atau menggunakan rumus atau algoritma ketimbang
menuntut pada proses. Demikian pula dalam kemampuan pemahaman konsep matematika siswa, yang juga
menjadi sebuah permasalahan serius yang harus segera ditangani, sehingga kemampuan siswa terhadap kompetensi
dasar yang diinginkan tercapai dalam kurikulum pembelajaran matematika kemampuan pemahaman terhadap
konsep-konsep dasar matematika merupakan syarat mutlak harus dipenuhi.
Pentingnya kemampuan pemahaman matematik merupakan suatu kekuatan yang harus diperhatikan dan
diperlakukan secara fungsional dalam proses dan tujuan pembelajaran matematika, terlebih lagi sense memperoleh
pemahaman matematik pada saat pembelajaran, hal tersebut hanya bisa dilakukan melalui pembelajaran dengan
pemahaman. Demikian pula dengan kemampuan komunikasi yang menuntut siswa agar dilibatkan secara aktif
dalam mengerjakan matematika, ketika diminta untuk memikirkan ide-ide mereka, berbicara menyampaikan
idenya, mendengarkan siswa lain ketika menyampaikan ide/gagasan, berbagi ide, menyusun strategi dan solusi.
Berdasarkan permasalahan yang ditemukan, sudah menjadi keharusan bagi setiap guru untuk
menitikberatkan pengajaran matematika pada masalah keseharian siswa agar mampu melakukan translasi dan
membentuk pengetahuan awal atau konsep baru dalam struktur kognitif siswa, konsep-konsep tersebut dibahas dan
sedapat mungkin melatih siswa untuk membangun sendiri konsep dari masalah yang ada. Dari masalah yang
diberikan siswa terlatih untuk memanipulasi simbol-simbol, melontarkan pertanyaan dan mencari jawabannya baik
mandiri atau kelompok, mengkonsilasikan apa yang ditemukan dan membandingkannya dengan temuan siswa yang
lain dan berkomunikasi secara matematik.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut adalah dengan
menerapkan model pembelajaran berbasis masalah (PBM), Model PBM selain menyajikan kepada siswa masalah
yang autentik, bermakna, memberikan kemudahan untuk melakukan penyelidikan, belajar tentang cara berpikir
kritis dan keterampilan pemecahan masalah, juga dapat menggunakan masalah tersebut ke dalam bentuk pengganti
dari suatu situasi masalah (model matematika) atau aspek dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk
menemukan solusi. Selain itu, model PBM siswa dapat merepresentasikan masalah tersebut dalam obyek, gambar,
kata-kata, atau simbol matematika.Model pembelajaran ini sesuai dengan perspektif konstruktivisme yang memiliki
prinsip bahwa pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial. Model ini memiliki
ciri khas sebagai berikut yaitu :
a. Pengajuan Masalah atau Pertanyaan.
Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pembelajaran disekitar pertanyaan dan masalah sosial
yang penting bagi siswa dan masyarakat.Pertanyaan atau masalah itu bersifat autentik (nyata) bagi siswa dan tidak
mempunyai jawaban sederhana. Pertanyaan atau masalah itu menurut Arends (dalam Trianto, 2009) harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
 Autentik, yaitu masalahnya harus dikaitkan dengan pengalaman riil siswa dan bukan dengan prinsip-prinsip
disiplin akademis tertentu.
 Misteri, yaitu masalah yang diajukan bersifat misterius atau teka-teki.
 Bermakna, yaitu masalah yang diberikan bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektual siswa.
 Luas, yaitu masalah tersebut sesuai dengan waktu, ruang, dan sumber yang tersedia.
4908
 Bermanfaat, yaitu masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan memungkinkan siswa merasakan
kebergunaan matematika, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
b. Berfokus pada keterkaitan antardisiplin. Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada
mata pelajaran tertentu (IPA, matematika dan ilmu-ilmu sosial.
c. Penyelidikan autentik. Mereka harus menganalisis dan mendefenisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan
membuat ramalan, mengumpul dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan)
d. Menghasilkan produk dan memamerkannya.Diharapkan siswa mampu menghasilkan bentuk karya nyata atau
artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.
e. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama atau dengan yang
lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil.
Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
TAHAP-TAHAP
TAHAP1
Orientasi siswa pada masalah
TINGKAH LAKU GURU
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau
demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah,
memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan
masalah yang dipilih.
TAHAP 2
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Guru membantu siswa untuk
mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah.
TAHAP 3
Membimbing penyelidikan individual
maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
TAHAP 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil
karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video,
dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas
dengan temannya
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau
evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan prosesproses yang mereka gunakan.
TAHAP 5
Menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah
Sumber : Ibrahim dalam Trianto (2010)
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ―apakah peningkatan pemahaman konsep
dan komunikasi
matematika siswa dengan penerapan model PBM lebih baik pembelajaran konvensional ?‖ dan bagaimanakah
kadar aktivitas siswa dalam penerapan model PBM dapat memenuhi kriteria pencapaian efektivitas pembelajaran
matematika ?.
Metode Peneliltian
Lokasi pada penelitian ini adalah SMP Negeri 1 Patumbak dan SMP Negeri 2 Patumbak.Adapun alasan
pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena tingkat akreditasi sekolah C (cukup) dan dengan pertimbangan tingkat
perkembangan kognitif siswa SMP masih pada tahap peralihan dari operasi konkrit ke operasi formal sehingga
sesuai untuk diterapkannya pembelajaran berbasis masalah.Penelitian ini dilakukan dengan metode quasi
experiment sebab kelas yang digunakan telah terbentuk sebelumnya.Penelitian yang diawali dengan pengembangan
perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Aktivitas Siswa (LAS), Tes
pemahaman konsep dan komunikasi matematika.
4909
Penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian eksperimen semu. Rancangan yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi tiga tahapan, yaitu: (1) Tahap pengembangan perangkat pembelajaran dan instrumen
penelitian, (2) Tahap uji coba perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, (3) Tahap pelaksanaan eksperimen.
Setiap tahapan dirancang sedemikian sehingga diperoleh data yang valid sesuai dengan karekteristik varabel sesuai
dengan tujuan penelitian
Berkaitan dengan pertanyaan penelitian, aktivitas siswa dianalisis dengan analisis statistik deskriptif.Data
tentang hasil belajar dianalisis dengan ststistik inferensial.Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap seperangkat
data (data hasil pretes, tes kemampuan penalaran matematik, tes kemampuan komunikasi matematik, dan angket
tentang sikap) yang telah dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian berlangsung. Pengolahan data dalam
pengujian hipotesis antara lain dengan uji normalitas dan homogenitas, selanjutnya dilakukan uji t.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal kemampuan
pemahaman konsep pada masing-masing pembelajaran, Berarti dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman
konsep yang diajarkan dengan model PBM lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Kemampuan pemahaman konsep dalam penelitian ini ditunjukkan dengan kondisi siswa yang telah
mamahami bahwa keberadaan konsep tidak lagi terkait dengan benda-benda kongkrit tertentu tetapi bersifat
umum.mengetahui asal muasal dari konsep yang telah dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata
kemampuan pemahaman konseppada siswa dengan mengikuti model PBM jauh lebih baik daripada kelas yang
dikenai pembelajaran konvensional.
Model PBM secara signifikan telah berhasil meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematika
siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Hal ini dimungkinkan karena dalam penerapan model
PBM, siswa dibantu untuk menemukan konsep berdasarkan masalah dan seluruh permasalahan dikaitkan dengan
dunia nyata siswa (lingkungan sekitar). Hasil penelitian yang digambarkan diatas sesuai dengan tinjauan pustaka,
bahwa model PBM itu harus bermakna artinya dalam proses pembelajaran guru harus mengaitkan informasi yang
diberikan terhadap pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Guru harus melibatkan siswa secara aktif dalam
menemukan konsep, prinsip, dan aturan dalam memecahkan masalah matematika, sehingga siswa lebih memahami
konsep dan dapat menggunakan konsep untuk memecahkan masalah sebab merekalah yang menemukan konsep
pengetahuan matematika tersebut. Hal ini tidak hanya membuat pembelajaran lebih efektif tetapi siswa memperoleh
standar yang tinggi dalam pembelajaran, mampu berpikir kritis, logis, sistematis, kreatif dan bertanggung jawab
(Johnson, 2007).
Demikian pula dengan kemampuan komunikasi matematika siswa bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan dalam hal kemampuan komunikasi matematika pada masing-masing pembelajaran, Berarti dapat
disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematika yang diajarkan dengan model PBM lebih baik
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Kemampuan komunikasi matematika dalam penelitian ini ditunjukkan dengan kondisi siswa yang mampu
untuk (1) merefleksikan benda-benda nyata, gambar, atau ide-ide matematika, (2) membuat model situasi atau
4910
persoalan menggunakan metode oral, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar, (3) menggunakan keahlian membaca,
menulis, dan menelaah, untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide, simbol, istilah, serta informasi
matematika, (4) merespon suatu pernyataan/persoalan dalam bentuk argumen yang meyakinkan.
Bila dikaitkan proses yang terjadi dalam model PBM dengan teori Bruner, yang menyatakan bahwa
belajar adalah proses kognitif dan melibatkan tiga proses yang berlangsung secara bersamaan. Ketiga proses
tersebut
adalah memperoleh informasi baru, transformasi informasi, dan menguji relevansi dan ketepatan
pengetahuan. Proses model PBM lebih mengutamakan kemandirian dan keaktifan siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan, dimana siswa berusaha mengali konsep matematika, membuat rumusan atau model dari informasi
yang ditemukan, menyajikan informasi tersebut kedalam tabel dan grafik, membuat dugaan penyelesaian dan
menyelesaikan masalah menggunakan rumusan yang telah diperoleh serta menarik kesimpulan. Pada model PBM
adanya pembagian kelompok belajar siswa dengan komposisi heterogen, yaitu terdiri dari siswa yang pandai,
sedang dan kurang. Kehadiran siswa pandai dapat menjadi tutor sebaya bagirekan-rekannya untuk saling berbagi.
Melalui komunikasi yang terjadi dikelompok-kelompok kecil, pemikiran matematis siswa dapat diorganisasikan
dan dikonsolidasikan. Pengkomunikasian matematika yang dilakukan siswa pada setiap kali pelajaran matematika,
secara bertahap tentu akan dapat meningkatkan kualitas komunikasi, dalam arti bahwa pengkomunikasian
pemikiran matematika siswa tersebut makin cermat, tepat, sistematis dan efisien.
Bila ditinjau dari aktivitas siswa, terdapat peningkatan kadar aktivitas aktif siswa dimana pada pertemuan
pertama terdapat 5 kategori pengamatan aktivitas aktif siswa yang belum berada pada batas toleransi yang
ditentukan, selanjutnya pada pertemuan berikutnya semua kategori pengamatan aktivitas aktif siswa sudah berada
pada batas toleransi yang ditentukan. Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi
antara guru dengan siswa atau sesama siswa, mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif setiap siswa
melibatkan kemampuannya secara maksimal.
Pembahasan
Pada bagian ini akan diuraikan gambaran dan penafsiran terhadap data hasil penelitian. Gambaran dan
penafsiran ini dilakukan terhadap kemampuan pemahaman konsep matematika, komunikasi matematika dan
aktivitas aktif siswa serta kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran berbasis masalah. Hasil penelitian di
atas sangat beralasan, bila diperhatikan terhadap karekteristik-karakteristik yang ada pada model pembelajaran
berbasis masalah, secara teoritis model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa kelebihan dan bila
kelebihan itu diterapkan dengan maksimalkan di kelas, sangat memungkinkan proses dan hasil pembelajaran akan
lebih baik.
Bila dikaitkan proses yang terjadi dalam model pembelajaran berbasis masalah, siswa mengerjakan
permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri,
ketrampilan tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan kepercayaan diri siswa. Hal ini sejalan dengan
teori model PBM bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak akibat dari interaksi secara aktif dengan
lingkungannya melalui proses assimilasi (penyerapan setiap informasi baru ke dalampikirannya) dan proses
akomodasi(kemampuan menyusun kembali struktur pikirannya karena ada informasi yang baru diterimanya).
Dalam model pembelajaran berbasis masalah, jika dilihat dari hubungan antara proses assimilasi dengan model ini,
siswa pertama-tama dihadapkan kepada suatu masalah yang merupakan informasi baru yang masuk dalam
4911
pikirannya, kegiatan siswa lebih di fokuskan untuk berpikir menemukan solusi pemecahan masalah tersebut, hal ini
mengakibatkan aktivitas fisik dan mental mereka telibat langsung dalam proses untuk memahami konsep,
menemukan informasi, prosedur matematika dalam masalah, sehingga telah memicu terjadinya konflik kognitif
dalam diri siswa
Demikian pula dengan peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa, dimana proses pembelajaran
berbasis masalah lebih mengutamakan kemandirian dan keaktifan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan,
dimana siswa berusaha mengali konsep matematika, membuat rumusan atau model dari informasi yang ditemukan,
menyajikan informasi tersebut kedalam tabel dan grafik, membuat dugaan penyelesaian dan menyelesaikan
masalah menggunakan rumusan yang telah diperoleh serta menarik kesimpulan. Pada model pembelajaran
berbasis masalah adanya pembagian kelompok belajar siswa dengan komposisi heterogen, yaitu terdiri dari siswa
yang pandai, sedang dan kurang. Kehadiran siswa pandai dapat menjadi tutor sebaya bagi rekan-rekannya untuk
saling berbagi. Hal ini membantu siswa agar tidak ada rasa enggan, rendah diri, malu dan sebagainya untuk
bertanya maupun minta bantuan pada teman sebaya‖. Melalui komunikasi yang terjadi dikelompok-kelompok
kecil, pemikiran matematis siswa dapat diorganisasikan dan dikonsolidasikan. Pengkomunikasian matematika yang
dilakukan siswa pada setiap kali pelajaran matematika, secara bertahap tentu akan dapat meningkatkan kualitas
komunikasi, dalam arti bahwa pengkomunikasian pemikiran matematika siswa tersebut makin cermat, tepat,
sistematis dan efisien.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan pemahaman matematika
siswa. Siswa terbantu dengan baik dalam memahami konsep (ide matematika), prosedur, dan fakta.
2. Pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan komunikasi matematika
siswa. Siswa terbantu dengan baik dalam mengungkapkan ide/gagasan, menginterpretasikan dan mengevaluasi
ide-ide matematik melalui tulisan (written texts, drawing, and mathematical expression).
3. Kadar aktivitas siswa selama mengikuti model PBM meningkat dan efektif, sehingga kegiatan pembelajaran
matematika menjadi lebih menyenangkan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan:
1. Pembelajaran berbasis masalah dapat dijadikan salah satu alternatif pembelajaran matematika yang efektif
dalam meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematika siswa.
2. Penelitian ini mengindikasikan bahwa selain meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi
matematika siswa, pembelajaran matematika dengan pembelajaran berbasis masalah dapat memacu antusiasme
siswa dalam belajar matematika. Oleh karena itu pembelajaran seperti ini dapat dikembangkan pada materimateri matematika dan jenjang pendidikan yang berbeda.
Daftar Pustaka
Ansari, B. I. (2009).Komunikasi Matematika Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: Yayasan PeNA.
4912
Suherman. (2006). ―Pembelajaran Berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis
siswa SMP‖ Jurnal cakrawala februari 2007. Tahun XXVI. No 1 halaman 41 – 62.
Tim PLPG.(2008). ―Metodologi Pembelajaran Matematika” Modul Pelatihan Pendidikan Guru. Medan:
Jurusan Pendidikan Matematika, Unimed.(tidak dipublikasi).
Trianto.2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif.Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
KANDUNGAN SENYAWA METABOLIT SEKUNDER PADA EKSTRAK GETAH MANGROVE
Excoecaria agallocha PADA PELARUT N-HEXANE
Dian Puspitasari17
ABSTRAK
Bahan dari alam memiliki berbagai kandungan yang telah dimanfaatkan secara turun temurun oleh masyarakat
umum, salah satunya dalam bidang pengobatan. Kandungan senyawa aktifnya antara lain alkaloid, flavonoid dan
terpenoid. Salah satu bahan yang berasal dari alam adalah mangrove, contohnya E. agallocha. Getah mangrove
E.agallocha telah dimanfaatkan secara turun temurun, baik sebagai obat tradisional maupun untuk hal yang lain
seperti sebagai racun ikan maupun mengobati perut kembung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
mengenai kandungan senyawa aktif dari getah kulit batang mangrove E. agallocha pada pelarut n-hexane. Metode
yang digunakan adalah experimental laboratories. Tahapan yang dilakukan antara lain ekstraksi, KLT, KKT, dan
identifikasi golongan senyawa yang dimiliki oleh ekstrak getah E. agallocha (uji fitokimia). Hasil uji fitokimia
menunjukkan bahwa ekstrak ini mengandung golongan senyawa terpenoid.
Kata Kunci: Getah E. agallocha, n-Hexane, Uji fitokimia
Pendahuluan
Pengembangan bahan alam merupakan usaha potensial untuk mendapatkan bahan kimia baru yang sulit
disintesis di laboratorium (Achmad,1995). Informasi pemanfaatan mangrove jenis E. agallocha sebagai sumber
bahan obat sudah dikenal yakni pemanfaatan akarnya yang digunakan sebagai obat sakit gigi, bengkak pada tangan
dan kaki, daunnya memiliki potensi sebagai antibakteri maupun antijamur (Agoromoorthy et al, 2007) dan getah E.
agallocha dapat dimanfaatkan obat perut kembung (Konishi et al, 2003), sebagai racun ikan (Kokpol, 1987; Rusila
et al., 1999) dan sebagai obat antitumor (Konoshima et al., 2001). Informasi tulisan pemanfaatn getah mangrove
masih jarang ditemukan padahal tumbuhan mangrove jenis E. agallocha mengandung banyak getah.
17
Program Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Asahan
4913
Getah merupakan salah satu bentuk metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan diantaranya
mangrove jenis E. agallocha. Metabolit sekunder merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri dari organisme
misalnya tumbuhan. Senyawa metabolit sekunder sangat bervariasi jumlah dan jenisnya dari setiap tumbuhtumbuhan dan senyawa ini penting untuk kelangsungan hidup serta berpotensi sebagai antikanker, antivirus,
antibakteri, antioksidan maupun antijamur (Sudiro, 1998). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa mengenai
kandungan senyawa aktif dari getah kulit batang mangrove E.agallocha pada pelarut n-hexane.
Bahan dan Metode
Sampel getah E.agallocha diambil dari vegetasi mangrove yang berada di pantai Teluk Awur-Jepara.
Ekstraksi Sampel
Ekstaksi dilakukan menggunakan seperatory funnel. Sampel dimasukkan kedalam separatory funnel,
kemudian ditambahkan pelarut n-heksana. Separatory funnel digojog sampai pelarut bercampur dengan sampel,
kemudian didiamkan sehingga sampel dan pelarut terpisah menjadi 2 lapisan dan dibiarkan selama 24 jam. Kedua
lapisan dipisahkan dengan cara membuka kran seperarory funnel sehingga lapisan bawah mengalir dan ditampung.
Lapisan atas dialirkan (dengan cara yang sama pada saat mengalirkan lapisan bawah) dan ditampung. Sisasisa getah yang masih bercampur dengan lapisan atas disaring menggunakan kertas saring. Ekstraksi diulangi
sebanyak 2 kali dengan waktu perendaman 2 jam, sebelum akhirnya dipisahkan. Hasil ekstraksi pada digabung,
kemudian dievaporasi dengan rotavapour pada suhu 380 C. Ekstrak yang diperoleh ditampung dalam vial dan
ditimbang.
Kromatografi Kolom Terbuka (KKT) dan Kromatografi Lapis Tipis
Analisis KLT dilakukan dengan fase diam silika gel G dan fase gerak adalah campuran n-heksana dan etil
asetat dengan berbagai perbandingan. Ekstrak dari pelarut n-heksana yang diperoleh difraksinasi dengan KKT
menggunakan fase diam silika gel 60 dan fase gerak adalah campuran n-heksana dan etil asetat.
Analisis Fitokima
Analisis fitokimia dilakukan terhadap fraksi dengan pelarut n-heksana. Uji yang dilakukan antara lain uji
alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, kuinon dan terpenoid.
Hasil dan Pembahasan
Ekstraksi getah kulit batang E. agallocha dilakukan menggunakan seperatory funnel
karena sampel
berbentuk cair dan dikhawatirkan rusak jika dipanaskan. Ekstraksi cair-cair secara umum digunakan dalam proses
separasi atau pemurnian senyawa dari alam maupun senyawa produk dari suatu reaksi kimia (Pavia et al., 1995).
Ekstrak dengan pelarut n-heksana difraksisinasi dengan kromatografi kolom terbuka (KKT). Proses analisis
dilakukan dengan kramotgrafi lapis tipis (KLT) karena KLT merupakan teknik yang efektif untuk melakukan
pemisahan secara cepat dan analisis kuantitatif dari sejumlah kecil material sampel (Pavia et al., 1995). Keunggulan
KLT adalah menggunakan peralatan sederhana, waktu yang singkat (15-60 menit), menggunakan jumlah cuplikan
yang sangat sedikit (0,1 gram) serta kebutuhan ruang minimum dan penaganannya sederhana (Sthal, 1985).
Metode visualisasi pada plat KTL adalah metode yang digunakan untuk melihat senyawa tak berwarna pada
lempeng. Metode yang digunakan adalah menyemprot dengan pereaksi yang menghasilkan warna dan atau
4914
berfluoresensi. Visualisasi pada plat KLT dilakukan menggunakan vanillin-asam sulfat karena diduga menyerap
pada cahaya uv (Sudjadi, 1988).
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa. Hasil uji fitokimia ditunjukkan pada Tabel 1.
Table 1. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Getah dengan Pelarut n-Heksana
Jenis Uji Fitokimia
Warna
Alkaloid
Putih
Flavonoid
Saponin
Putih Kekuningan
Putih Kekuningan, tidak ada
buih
Putih Keruh
Putih
Merah-cokelat
Tannin
Kuinon
Terpenoid
Warna/Perubahan yang
Seharusnya Terjadi
Kekuning-kuningan dan terbentuk
endapan
Merah atau jingga
Terbentuk busa
Hitam atau hijau kehitaman
Merah
Hijau, merah, cokelat, kuning atau
biru
Hasil
+
Ekstrak dengan pelarut n-heksana difraksinasi dengan kromatografi kolom terbuka (KKT). Proses analisis
dilakukan dengan kromatografi lapis tipis (KLT) karena KLT merupakan teknik yang efektif untuk melakukan
pemisahan secara cepat dan analisis kuantitatif dari sejumlah kecil material sampel (Pavia et al., 1995). Keunggulan
KLT adalah menggunakan peralatan sederhana, waktu yang singkat (15-60 menit), menggunakan jumlah cuplikan
yang sangat sedikit (0,1 gram) serta kebutuhan ruang minimum dan penaganannya sederhana (Sthal, 1985).
Metode visualisasi pada plat KLT adalah metode yang digunakan untuk melihat senyawa tak berwarna
pada lempeng. Metode yang digunakan adalah menyemprot dengan pereaksi yang menghasilkan warna dan atau
berfluoresensi. Visualisasi pada plat KLT dilakukan menggunakan vanillin-asam sulfat karena diduga menyerap
pada pada cahaya uv (Sudjadi, 1988). Perubahan warna yang ditunjukkan adalah adanya warna kuning dan jingga,
hal ini mengindikasikan adanya ikatan OH dan C=O. proses kromatografi kolom terbuka (KKT) menggunakan fase
diam berupa silika gel. Menurut Pavia et al., (1995), silika gel bersifat relative ringan terhadap sebagian besar
senyawa dan secara luas digunakan untuk berbagai jenis kelompok fungsional hidrokarbon, alcohol, keton, ester,
asam dan senyawa amine yang terdapat dalam tumbuhan.
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa yang terdapat ekstrak getah mangrove. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ekstrak dengan pelarut n-heksana termasuk golongan terpenoid yang ditunjukkan
dengan terbentuknya warna merah kecoklatan. Menurut Harborne (1987), reagen H2SO4 50% biasanya digunakan
untuk mendeteksi adanya senyawa terpenoid yang ditunjukkan dengan warna berupa bercak hijau, coklat, kuning,
merah atau biru.
Ekstrak getah tidak mengandung alkaloid karena tidak terbentuk endapan kekuning-kuningan, tidak
mengandung flavonoid karena tidak terbentuk warna merah atau jingga dan tidak mengandung kuinon karena tidak
terbentuk warna merah. Ekstrak getah tidak mengandung saponin karena tidak terbentuk busadan tidak
mengandung tannin karena tidak terbentuk warna hitam atau hijau kehitaman (Nursal dan Siregar, 2005; Indrayani
et al., 2006).
Kesimpulan dan Saran
4915
Kesimpulan dan penelitian ini adalah bahwa terpenoid merupakan hasil dari analisis fitokimia. Hasil
analisis fitokimia belum merupkan senyawa murni ileh karena itu perlu dilakukan penulusuran lebih lanjut untuk
mendapatkan senyawa aktif murni.
Daftar Pustaka
Agoromoorthy, G., M. Chandrasekaran, V. Venkatesalu and M.J. Hsu. 2007. Antibacterial and Antifungal
Activities of Fatty Acid Methyl Esters of the Blind-your-eye Mangrove from India. Brazilian Journal of
Microbiology (2007) 38:739-742.
Harborne, J.W. 1987, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, ITB Press,
Bandung, hlm 6-147.
Indrayani, L, H, Soetjipto dan L, Sihasale, 2006. Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak Daun Pecut
Kuda (Stachytarpheta jamaicensis L. Vahl) terhadap Larva Udang Artemia salina Leach. Berk. Penel.
Hayati: 12 (57-61), 2006.
Konishi, T., K. Yamazoe, M. Kanzato, T. Konoshima and Y. Fujiwara, 2003. Three Diterpenoids (Excoecarin
V1-V3) and a Flavanone Glycoside from the Fresh Stem of Excoecaria agallocha. Chem. Pharm. Bull.
51 (10) 1142-1146 (2003)
Konoshima, T., T, Konishi, M. Takasaki, K. Yamazoe and H. Tokudo. 2001 Antitumor-Promoting Activity of
the Diterpene from Excoecaria agallocha. Biol. Pharm. Bull. 24 (12) 1440-1442 (2001).
Kokpol, U. 1987. UNESCO Regional Seminar on the Chemistry of Mangrove Plants. Chulangkorn University,
Bangkok, Thailand, 348 p.
Nursal dan E.S. Siregar. 2005. Kandungan Senyawa Kimia Ekstrak Daun Lengkuas (Lactuca indica L),
Toksisitas dan Pengaruh Subletalnya Terhadap Mortalitas Larva Nyamuk Aedes aegypti L(Lap. Pen.
2005). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm, 114.
Pavia, D.L., G.M. Lampman, G.S. Kriz and R.G. Engel. 1995. Introductions to Organic Laboratory
Techniquws: A Contemporary Approach. W.B. Saunders College Publishing. Philadelphia, hlm. 723768.
Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 141-174.
Sudiro, I. 1998. Produk Alam Hayati Laut dan Prospek Pemanfaatannya di Bidang Kesehatan dan Kosmetika.
Dalam: Soemadihardjo. Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I. LIPI, Jakarta.
Stahl, E. 1985. Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi. ITB. Bandung. Hlm. 3-9.
4916
FAKTOR-FAKTOR PERANAN BERHUBUNGAN DENGAN LAMANYA PENYEMBUHAN LUKA
PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2014
Megawati18
ABSTRAK
Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi diabetes mellitus sebesar
1.5-2,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado
didapatkan prevalensi diabetes mellitus 6,1 % dan yang mengalami infeksi seperti luka/gangren sebanyak
1,8%/ penelitian yang dilakukan di Jakarta membuktikan adanya kenaikan prevalensi. Prevalensi diabetes
mellitus pada daerah urban di Jakarta meningkat dari 1,7% pada tahun1982 menjadi 5,7 % pada tahun 1993.
Demikian pula prevalensi diabetes mellitus di ujung pandang (daerah urban) meningkat dari 1,5 % pada
tahun 1981 menjadi 2,9 % pada tahun 1998. Di Tasikmalaya didapatkan prevalensi diabetes mellitus sebesar
1,1% dan yang mengalami infeksi luka serta nekrosis sebesar 0,4%, sedang di Kecamatan Sesean suatu
daerah terpencil ditanah Toraja didapatkan prevalensi diabetes mellitus hanya 0,8 % (11 penderta diantara
1310 penduduk umur>30 tahun). Di Surabaya pada penelitian epidemiologis yang dikerjakan oleh Puskesmas
perkotaan pada tahun 1991 yang mencakup 13460 penduduk, didapatkan prevalensi sebesar 1,43% sedang di
daerah Rurai pada suatu penelitian yang mencakup 1640 penduduk (1989) juga didapatkan prevalensi yang
hampir sama yaitu 1,47 % (Aru W. Sudoyo, 2007:1853).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara umum lamanya penyembuhan luka penderita
diabetes memitus. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh
pasien yang dirawat di ruang rawat inap dengan indikasi diabetes memitus dengan luka ganggren sedangkan
18
Dosen Politeknik Kesehatan Medan [email protected]
4917
sampel diambil dengan tehnik total sampling yaitu 20 orang. Lokasi penelitian dilakukan di RSUD Dr.
Pirngadi Medan sejak tanggal 11 September 2014-11 November 2014. Adapun hasil penelitian ini adalah dari
segi diet dari 20 responden dapat dilihat bahwa responden tahu bagaimana tentang diet yang baik sebanyak
70%, olahraga /latihan jasmani dari 20 responden dapat dilihat bahwa responden tahu tentang manfaat dan
guna olahraga/ latihan jasmani sebanyak 70%, dan pemberian pengobatan insulin secara teratur dan sesuai
dengan dosis dari 20 responden dapat dilihat bahwa responden tahu tentang pemberian pengobatan insulin
sebanyak 70%, penyuluhan dan edukasi dari 20 responden dapat dilihat bahwa responden melakukan tentang
penyuluhan dan edukasi sebanyak 80% dan perawatan luka gangren dari 20 responden dapat dilihat bahwa
responden tahu melakukan perawatan luka gangren sebanyak 70%.
Kata Kunci : Penyembuhan luka.
Pendahuluan
Pembangunan kesehatan Indonesia diarahkan guna mencapai pemecahan masalah kesehatan untuk hidup
sehat bagi setiap penduduk agar mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Sejak awal pembangunan kesehatan
telah diupayalam untuk memecahkan masalah kesehatan lingkungan, program imunisasi, dan penemuan obatobatan efektif untuk membantu masyarakat dalam menanggulangi penyakit dan kesakitannya (Warpadji, 2007).
Beban serupa tampak lebih nyata lagi kalau dilihat angka Mc Carthy dan Zimmert (1993) yang
memperkirakan jumlah pasien diabetes mellitus di dunia akan mencapai 306 juga jiwa pada tahun 2020.
Lamanya penyembuhan luka pada penderita Diabetes mellitus pada umumnya tidak dapat diperkirakan, hal
ini disebabkan oleh karena penyembuhan luka amat berhubungan dengan glukosa darah. Moya J. Morison
menyimpulkan adanya korelasi yang bermakna antara prevalensi infeksi dan tingginya kadar glukosa darah.
Menurut hasil laporan perawatan Diabetes mellitus di RSUD Dr.Pirngadi Medan lamanya penyembuhan
luka/gangrene pada pasien diabetes mellitus umumnya kurang lebih 1 bulan yang diikuti dengan pengaturan
intake/diet pasien keadaan luka pasien pascah penyembuhan biasanya meninggalkan suatu jaringan parut yang
berkelok dan penyembuhan tidak sempurna serta tampak permukaan kulit agak kehitaman dan bukan merupakan
nekrotik. Latihan jasmani dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama ½ jam yang sifatnya sesuai
CRIPE (Continious, Rhytimical, Interval, Progressive, Endurance training). Latihan dilakukan terus-menerus tanpa
berhenti.
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur tetapi kadar gula
darahnya masih belumbaik, dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik (oral/suntikan). (Suzanne C.
Smeltzer, 2004:1226).
Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan uraian pada latar belakang, maka peneliti mencoba untuk merumuskan masalah
yang akan diteliti yaitu :
―Tingginya angka kejadian gangrene pada penderita Diabetes Mellitus di Dr. Pirngadi Medan dengan lamanya
penyembuhan luka‖.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan lamanya penyembuhan luka pada penderita diabetes
mellitus.
2. Tujuan Khusus
4918
a. Mengetahui hubungan lamanya penyembuhan luka pada penderita Diabetes mellitus yang berhubungan
dengan diet.
b. Mengetahui lamanya penyembuhan luka pada penderita Diabetes mellitus yang berhubungan dengan
olahraga dan latihan jasmani.
c. Mengetahui lamanya penyembuhan luka pada penderita Diabetes mellitus yang berhubungan dengan
pemberian pengobatan insulin secara teratur sesuai dengan dosis pemberian.
d. Mengetahui lamanya penyembuhan luka pada penderita Diabetes mellitus yang berhubungan dengan
penyembuhan dan edukasi.
Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, berguna untuk memberikan peningkatan pengembangan ilmu pengetahuan untuk terus
mencari solusi yang lebih baik lagi dalam meminimalkan perawatan penyembuhan luka pada
penderita diabetes mellitus.
2. Bagi institusi RSUD Dr.Pirngadi Medan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang lamanya
penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus.
3. Bagi pasien yang diteliti, berguna untuk memberikan masukan dan motivasi serta pengetahuan.
Metode Penelitian
Jenis dan Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif sederhana atau desain cross sectional yang
dibahas hanya satu keadaan tertentu secara terpisah tanpa menghubungkannya dengan keadaan lain.
Analisa Data
Pengolahan data yang sudah terkumpul diolah dengan cara manual
Analisa data dilakukan dengan cara deskriptif melalui tabel distribusi frekuensi dan perhitungan jumlah
relatif (persentase).
Pengukuran dan pengamatan variabel penelitian dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada
responden maka peneliti membuat kategori perawatan menjadi 2 yaitu :
Baik
: Apabila responden sembuh kurang dari 1 bulan
Kurang baik
: apabila responden sembuh lebih dari 1 bulan.
Hasil Penelitian
Hasil Penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan lamanya penyembuhan luka pada
penderita diabetes mellitus di Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014.
Penelitian dilaksanakan dari tanggal 11 September-11 Nopember 2014 dan diperoleh sebanyak 20 orang responden
yang saat ini bagi menjalani perawatan.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan diet, olahraga/latihan jasmani, pemberian pengobatan insulin,
penyulin dan edukasi perawatan luka gangren, lamanya penyembuhan luka di Dr.Pirngadi Medan.
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Diet di Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
No.
1
2
Diet
Baik
Kurang
Jumlah
14
6
Persentase
70
30
4919
Total
20
100%
Sumber : Hasil Penelitian di Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
Tabel diatas menunjukkan bahwa diet responden mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang (70%) dan minoritas diet
kurang baik sebanyak 6 orang (20%).
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Olahraga/ Latihan Jasmani di Dr.Pirngadi Medan
Tahun 2014
Olahraga/
Jumlah
Persentase
Latihan Jasmani
1
Baik
14
70
2
Kurang
6
30
Total
20
100%
Sumber : Hasil Penelitian di Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
No.
Tabel diatas menunjukkan bahwa olahraga /latihan jasmani responden mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang
(70%) dan minoritas olahraga kurang yaitu sebanyak 6 (30%).
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian Pengobatan Insulin di Dr.Pirngadi Medan
Pemberian
Jumlah
Persentase
Pengobatan Insulin
1
Baik
14
70
2
Kurang
6
30
Total
20
100%
Sumber : Hasil penelitian dri RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014.
No.
Tabel diatas menunjukkan bahwa pemberian pengobatan insulin responden mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang
(70%) dan minoritas kurang baik sebanyak 6 orang (30%).
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyuluhan dan Edukasi di Dr.Pirngadi Medan Tahun
2014
No.
1
2
Penyuluhan dan Edukasi
Jumlah
Persentase
Baik
16
80
Kurang
4
20
Total
20
100%
Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014.
Tabel diatas menunjukkan bahwa penyuluhan dan edukasi responden mayoritas baik yaitu sebanyak 16 orang
(80%) dan minoritas kurang 4 orang (20%).
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perawatan Luka Gangren di RSUD Dr.Pirngadi Medan
Tahun 2014
Perawatan Luka
Jumlah
Persentase
Gangren
1
Baik
14
70
2
Kurang
6
30
Total
20
100%
Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014.
No.
Tabel diatas menunjukkan bahwa perawatan luka gangren mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang (70%) dan
minoritas kurang baik sebanyak 6 orang (30%).
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lamanya Penyembuhan Luka di RSUD Dr.Pirngadi
Medan Tahun 2014
No.
Nama Pasien (Inisial
Jumlah
Persentase
4920
Responden)
< 1 bulan
4
20
> 1 bulan
16
80
Total
20
100%
Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014.
1
2
Berdasarkan tabel diatas responden 20 orang diketahui bahwa responden mayoritas lama penyembuhan
luka 1 bulan yaitu sebanyak 16 orang (80%) dan minoritas lama penyembuhan luka kurang 1 bulan sebanyak 4
orang 20%).
Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Responden yang dirawat inap dengan lamanya penyembuhan luka berdasarkan diet
di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
Lamanya penyembuhan Luka
Frekuensi
< 1 bulan
> 1 bulan
Jlh
%
Jlh
%
1.
Baik
4
20 %
10
50 %
14
2.
Kurang
6
30 %
6
Total
4
20%
16
80
20
Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014.
No
Diet
Persentase
70%
30%
100%
Tabel diatas menunjukkan responden melakukan diet baik mayoritas sebanyak 14 orang (70%) dan minoritas 6
orang (30%) dengan lamanya penyembuhan luka yakni < 1 bulan 4 orang (20%) dan > 1 bulan 16 orang (80%).
Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Responden yang dirawat inap dengan lamanya penyembuhan luka berdasarkan
Olahraga/Latihan Jasmani di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
Lamanya penyembuhan
Luka
< 1 bulan
> 1 bulan
Jlh
%
Jlh
%
1.
Baik
4
20 %
10
50 %
2.
Kurang
6
30 %
Total
4
20%
16
80
Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014.
No
Olahraga
Frekuensi
Persentase
14
6
20
70%
30%
100%
Tabel diatas menunjukkan bahwa olahraga /latihan jasmani responden mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang
(70%) dan minoritas olahraga kurang yaitu sebanyak 4 orang (20 %) dengan lamanya penyembuhan luka yakni < 1
bulan 4 orang (20%) dan > 1 bulan 16 orang (80%).
Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Responden yang dirawat inap dengan lamanya penyembuhan luka berdasarkan
Olahraga/Latihan Jasmani di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
Lamanya penyembuhan Luka
< 1 bulan
> 1 bulan
Jlh
%
Jlh
%
1.
Baik
4
20 %
10
50 %
2.
Kurang
6
30 %
Total
4
20%
16
80
Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
No
Pemberian Obat Insulin
Frekuensi
Persentase
14
6
20
70%
30%
100%
Tabel diatas menunjukkan bahwa pemberian pengobatan insulin responden mayoritas baik yaitu sebanyak 14 orang
(70%) dan minoritas kurang baik sebanyak 6 orang (30%) dengan lamanya penyembuhan luka yakni < 1 bulan 4
orang (20%) dan > 1 bulan 16 orang (100%)
4921
Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Responden yang dirawat inap dengan lamanya penyembuhan luka berdasarkan
Penyuluhan dan Edukasi di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
Lamanya penyembuhan Luka
< 1 bulan
> 1 bulan
Jlh
%
Jlh
%
1.
Baik
4
20 %
10
50 %
2.
Kurang
6
30 %
Total
4
20%
16
80
Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
No
Pemberian Obat Insulin
Frekuensi
Persentase
14
6
20
70%
30%
100%
Tabel diatas menunjukkan bahwa penyuluhan dan edukasi responden mayoritas baik yaitu sebanyak 16 orang
(80%) dan minoritas kurang 6 orang (30%) dengan lamanya penyembuhan luka yakni < 1 bulan 4 orang (20%) dan
> 1 bulan 16 (80%).
Tabel 4.11. Distribusi Frekuensi Responden yang dirawat inap dengan lamanya penyembuhan luka berdasarkan
Penyuluhan dan Edukasi di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
Lamanya penyembuhan Luka
< 1 bulan
> 1 bulan
Jlh
%
Jlh
%
1.
Baik
4
20 %
10
50 %
2.
Kurang
6
30 %
Total
4
20%
15
80 %
Sumber : Hasil Penelitian RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014
No
Pemberian Obat Insulin
Frekuensi
Persentase
16
4
20
70%
30%
100%
Tabel diatas menunjukkan bahwa perawatan luka gangren mayoritas baik yaitu sebanyak 16 orang (70%) dengan
lamanya penyembuhan luka yakni < 1 bulan 4 orang (20%) dan > 1 bulan (80%).
Pembahasan
Pada penelitian ini responden diberikan kuesioner yang akan diisi oleh responden tanpa ada usaha orang
lain yang akan mempengaruhi jawaban responden. Hal ini dilakukan pada seluruh responden yang telah dihunjuk
dan responden bersedia secara sukarela untuk dilakukan penelitian. Penelitian ini berguna untuk mengetahui
tentang faktor faktor yang berhubungan dengan lamanya penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus di
RSUD. Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014.
Pada diabetes mellitus infeksi merupakan faktor yang penting dalam fatogenesis ganggren ateroselerotik.
Ganggren didapatkan lebih sering pada pasien diabetes mellitus pria dibandingkan dengan perempuan. Dengan
kontrol normal pada peradangan adalah meningkatnya vaskularisasi sedang pada aterosklerotik respon yang terjadi
adalah trombosis dan nekrosis. Lamanya penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus pada umumnya tidak
dapat diperkirakan hal ini disebabkan oleh karena penyembuhan luka amat berhubungan dengan glukosa darah.
Rayfield dkk menyimpulkan adanya korelasi yang bermakna antara prevalensi infeksi dan tingginya kadar glukosa
darah. Menurut hasil laporan perawatan diabetes mellitus di RSU Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. Lamanya
penyembuhan luka / ganggren pada pasien diabetes mellitus umumnya + 1 bulan yang diikuti dengan pengaturan
intake /diet pasien (laporan tahunan RSUD. Dr.Pirngadi Medan bulan September 2014 – November 2014).
Keadaan luka pasien pasca penyembuhan biasanya meninggalkan suatu jaringan paru yang berkelok dan
penyembuhan yang tidak sempurna dan tampak permukaan kulit agak kehitaman dan bukan merupakan nekrotik. .
Bila
dilihat berdasarkan
tabel 4.1 terdapat
bahwa
responden melakukan Diet yang baik (70%)
tentang diet. Hal ini dikarenakan responden merupakan pasien berulang yang berobat ke RSUD. Dr.Pirngadi
4922
Medan untuk penderita supaya memperhatikan lebih baik lagi tentang asumsi masukan makanan sesuai dengan
aturan dan jumlah kebutuhan tubuh.
Dilihat dari tabel 4.2 diketahui bahwa responden telah menganggap bahwa olahraga dan latihan jasmani
merupakan suatu keharusan yang dilakukan bagi penderita diabetes mellitus, untuk memberikan kemudahan bagi
kelancaran pembuluh darah dalam melakukan proses metabolisme dalam tubuh dan tidak terjadi penumpukan
akibat darah yang mengental.
Dari tabel 4.3 diatas tentang pemberian pengobatan insulin responden melakukan dengan baik
(70%). Bahwa responden mempunyai pengetahuan tentang pemberian insulin. Hal ini supaya penderita lebih
banyak bertanya kepada petugas kesehatan untuk pemberian obat insulin dengan cara yang tepat dan dosis yang
sesuai dianjurkan oleh tim medis ataupun Dokter. Yang menjadi permasalahan dalam hal ini hanyalah responden
tidak tahu mengenai cara penyuntikan obat insulin ke tubuhnya sendiri jadi harus tetap dilakukan oleh petugas
kesehatan.
Dari tabel 4.4. Ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman pasien telah mengalami suatu peningkatan
dengan pemberian penyuluhan dan edukasi kepada pasien selama pasien dirawat di rumah sakit. Dan diharapkan
kepada pasien supaya lebih banyak mendengar ataupun mengetahui tentang informasi penyakit diabetes mellitus.
Dan penyuluhan dapat diperoleh dari berbagai informasi baik seperti media missa, radio, ataupun televise.
Dari tabel 4.5 diatas menunjukkan bahwa responden sudah tahu tentang perawatan luka pada penderita
diabetes mellitus. Hal ini dibuktikan dengan sebanyak 14 orang (70%) responden mempunyai pengetahuan tentang
perawatan luka. Kepada pasien diharapkan mau bertanya bagaimana caranya perawatan luka yang steril dan untuk
mempercepat proses penyembuhan dengan perawatan luka.
Dari tabel 4.6 dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada 20 orang responden ditemukan bahwa ratarata lamanya penyembuhan luka pada pasien dengan diabetes mellitus yang dirawat inap di RSUD Dr.Pirngadi
Medan Tahun 2014 lebih dari 1 bulan untuk sembuh dari luka yang dialaminya.
Kesimpulan Dan Saran
a. Dari hasil penelitian pada diet didapatkan bahwa dari 20 orang responden ditemukan responden yang
mempunyai
Diet baik sebanyak 14 orang (70%), sedangkan Diet kurang baik sebanyak 6 orang (30%)
berdasarkan diet.
b. Dari hasil penelitian pada olahraga /latihan jasmani didapatkan bahwa responden
yang
mempunyai
pengetahuan baik 14 orang (70%) sedangkan pengetahuan kurang sebanyak 6 orang (30%) berdasarkan
olahraga dan latihan jasmani.
c. Dari hasil penelitian pemberian pengobatan insulin didapatkan pasien mempunyai pengetahuan baik sebanyak 14
orang (70%) sedangkan minoritas kurang baik sebnayak 6 orang (30%) berdasarkan pemberian pengobatan
insulin.
4923
d. Dari hasil penelitian pada penyuluhan dan edukasi didapatkan responden yang mempunyai pengetahuan
baik sebanyak 16 orang (80%) sedangkan yang berpengetahuan kurang baik sebanyak 4 orang (20%)
berdasarkan penyuluhan dan edukasi.
e. Dari hasil penelitian pada perawatan luka ganggren didapatkan responden yang mempunyai pengetahuan
baik sebanyak 14 orang (70%) dan minoritas kurang baik sebanyak 6 orang (30%) berdasarkan perawatan
luka.
f. Dalam penelitian ini responden 20 orang mayoritas lama penyembuhan lukanya > 1 bulan sebanyak 16
orang (80%) dan minoritas < 1 bulan sebanyak 4 orang (20%) berdasarkan lamanya penyembuhan luka.
Saran
Supaya memberikan masukan ataupun motivasi kepada pasien dengan diabetes mellitus dengan adanya
luka pada penderita yang dirawat di Rumah Sakit.
Diharapkan kepada responden untuk mau tau tentang diet setelah pulang dari Rumah sakit untuk mencegah
terjadinya kekambuhan kembali.
Diharapkan kepada responden untuk mulai mau melakukan olahraga atau latihan jasmani dengan cara jalan jalan disekitar rumah dan mengenakan alas kaki yang empuk dan tidak mengikat
Diharapkan kepada penderita diabetes mellitus untuk tidak secara sembarangan memberikan suntikan insulin
pada diri sendiri tetapi harus tetap di kontrol oleh petugas kesehatan agar terhindar dari kesalahan.
Diharapkan kepada responden dan keluarga untuk mau secara terus mengikuti berbagai penyuluhan tentang
diabetes mellitus dan tidak merasa malu untuk bertanya terhadap apa yang diketahui tentang diabetes mellitus.
Diharapkan kepada responden dan keluarga agar mau belajar tentang cara perawatan luka ganggren di rumah
dengan tehnik steril dan bersih.
Daftar Pustaka
Doengus Marilynn E, dkk, 2005. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi ketiga, EGG, Jakarta.
Hidayat, A. Aziz Alimul, 2007,
Salemba Medika, Jakarta.
Riset
Keperawatan
dan
Tehnik Penulisannya, Edisi kedua,
Irmanthea, 2008.blogspot http://com Lenny, 2008, google http://www.go.id
Laksman Hendra T, 2004, Kamus Kedokteran, Edisi 2000, Djambatan, Jakarta.
Mansjoer Arif, dkk, 2004, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Edisi Ketiga, FKUI, Jakarta.
Morison Moya S, 2004, Manajemen Luka, EGC, Jakarta.
Nursalam, 2003,
Jakarta.
Konsep
&
Penerapan Metodologi Penelitian
llmu Keperawatan, Salemba Medika,
Oswari E, 2005, Bedah dan Perawatannya, FKUI, Jakarta.
Price Sylvia A, dkk, 2006, Patofisiologi, Edisi keenam, EGC, Jakarta.
Politeknik Kesehatan, 2006, Panduan Penyusunan Karya Tulis llmiah,
4924
Edisi 1, Tim Penyusunan Politeknik Kesehatan, Medan.
Smeltzer Suzanne C, dkk, 2004, Keperawatan Medikal Bedah, volume 2, edisi delapan, EGC, Jakarta.
Sudoyo Aru W, dkk, 2007, Buku Ajar llmu penyakit Dalam, Jilid III, Edisi keempat FKUI, Jakarta.
HUBUNGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU DAN EFIKASI DIRI DENGAN MOTIVASI
BERPRESTASI BELAJAR SISWA KELAS IX SMP ISLAM AL-ULUM TERPADU MEDAN
Sri Siswati19
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1). Hubungan kompetensi pedagogik guru dengan
motivasi berprestasi belajar, (2). Hubungan efikasi diri dengan motivasi berprestasi belajar siswa.(3).
Hubungan antara motivasi berprestasi belajar dan efikasi diri dengan motivasi berprestasi belajar siswa.
19
Staf Poltekkes Kemenkes Jurusan Keperawatan
4925
Subjek penelitian adalah 100 siswa SMP Al-Ulum terpadu Medan, pengambilan sampel dilakukan dengan
proportionate random sampling, metode penelitian ini bersifat deskriftif yang bertujuan untuk memperoleh
informasi tentang gejala hubungan dalam penelitian. Sebelum penelitian dilakukan instrument penelitian
terlebih dahulu diujicobakan kepada 30 orang diluar sampel dan dilanjutkan dengan uji validitas dan
reabilitas. Instrumen angket kompetensi pedagogik guru yang valid diperoleh 24 butir dari 25 butir angket
yang diujicobakan dan mempunyai reliabilitas sebesar diperoleh koefisien reliabilitasnya sebesar 0,773,.
Instrument angket efikasi diri yang valid diperoleh 19 butir dari 20 butir angket yang diujicobakan dan
koefisien reliabilitasnya sebesar 0,924. Instrument angket motivasi berprestasi yang valid diperoleh 24 butir
dari 32 butir angket yang diujicobakan dan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,846. Berdasarkan pengujian
hipotesis dapat disimpulkan: (1) terdapat hubungan yang positif dan berarti antara kompetensi pedagogik
dengan motivasi berprestasi belajar sebesar ry1. rhitung> rtabel (0,406>0,195) dan besar thitung> ttabel (4,38>1,66),
(2) terdapat hubungan yang berarti antara efikasi diri dengan motivasi berprestasi belajar sebesar ry1. rhitung>
rtabel (0,304>0,195) dan besar thitung> ttabel (3,165>1,66), (3) terdapat hubungan yang berarti antara
kompetensi pedagogik dan efikasi diri secara bersama-sama dengan motivasi berprestasi belajar sebesar Ry
(12) = Thitung> Rtabel (0,57> 0,195) dan besar Fhitung> Ftabel (66,58> 1,66). Hasil penelitian diperoleh kopetensi
pedagogik guru dan efikasi diri secara bersama-sama memberikan sumbangan sebesar 66,58% terhadap
motivasi berprestasi belajar siswa, dan sisanya ditentukan oleh faktor lain.
Kata kunci: Kompetensi Pedagogik, Efikasi Diri dan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa
Pendahuluan
Fenomena Rendahnya prestasi belajar siswa selalu menenjadi perbincangan yang hangat oleh kalangan
umum terkhusus lagi bagi guru yang berkecimpung dalam proses belajar dan mengajar, dari data tingkat kelulusan
untuk siswa SMP sederajat tahun ajaran 2012-2013 adalah 3.667.241 siswa, dan peserta UN yang dinyatakan lulus
berjumlah
3.650.625
siswa,
sedangkan
yang
tidak
lulus
berjumlah
16.616
siswa
(http://litbang.kemdikbud.go.id:2013). Ini menunjukkan bahwa tingkat kelulusan UN SMP sederajat tahun 2013 ini
belum memuaskan bagi para stakeholder pendidikan dengan persentase angka ketidaklulusan 0,45 persen.
Walaupun persentase kelulusan tahun ajaran 2012-2013 ini turun 0,02 persen dari tahun sebelumnya akan tetapi
bahasa dan kata ketidak lulusan tetap menjadi barometer gagalnya sistem penddidikan.
Ditambah lagi dengan hasil buruk tingkat kelulusan siswa UN SMP sederajat provinsi Sumatera Utara
bahwa: tahun 2012 untuk tingkat SMP sederajat 309 siswa tidak lulus (starberita.com:2013), sementara untuk
tahun 2013 jumlah siswa yang tidak lulus sebanyak 777 orang (okezone.com:2013). Ini menunjukan bahwa
menurunya tingkat kulitas pendidikan di Sumatera Utara.
Banyaknya siswa yang tidak lulus ujian akhir sekolah dengan nilai di bawah rata-rata harus mengikuti ujian
paket B yang disediakan oleh pemerintah alasan ujian kembali adalah syarat untuk dapat melanjutkan ke sekolah
jejang berikutnya yakni SMA.
Melihat hasil nilai pretasi belajar, rapor dan tingkat kelulusan siswa siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum
terpadu Medan dari tahun 2010 sampai tahun 2013 mengalami pasang surut walupun dalam kategori siswa dapat
lulus 99,95 % ujian akhir nasional, dan nilai rapor siswa yang diatas rata-rata 6 akan tetapi prestasi belajar siswa
tidak merata, hanya sebahagian siswa yang memiliki prestasi belajar yang baik dan cemerlang, selebihnya tingkat
prestasi belajar siswa rendah. Dikhawatirkan apabila pretasi belajar siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum terpadu
Medan rendah maka siswa tidak dapat bersaing dengan siswa sekolah lain yang memiliki pretasi belajar yang tinggi
untuk memasuki sekolah-sekolah SMA/MAN favorit dan ternama.
Berdasarkan hasil observasi dan survei awal yang dilakukan peneliti pada bulan desember tahun 2013
semester ganjil kepada siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum terpadu Medan diperoleh bahwa: motivasi belajar
4926
siswa masih rendah ini ditandai dengan tidak terjadi interaksi komunikasi diskusi pada saat membahas materi
pembalajaran antara siswa, dalam melakukan tugas terstruktur motivasi mereka masih rendah ini ditandai dengan
adanya prilaku siswa yang saling mencopy tugas individu dan tugas kelompok prilaku pragmatis dan simpel dalam
membuat tugas-tugas, selanjutnya motivasi belajar mandiri mereka rendah. Hal ini ditandai dengan jarang sekali
terlihat siswa yang duduk di kelas ataupun duduk dilingkungan sekolah membaca buku kecuali di perpustkaan.
Kondisi seperti ini apabila tidak mendapat perhatian guru dan pengelola yayasan sekolah dikhawatirkan memiliki
dampak negatif terhadap hasil prestasi belajar siswa yang pada giliranya akan menurunkan mutu dan kualitas
sekolah dan merugikan pada diri siswa itu sendiri.
Indikasi rendahnya motivasi belajar mereka disebabkan oleh: rendahnya pemberian motivasi belajar dari
guru yang di peroleh dari kelas, rendahnya kepercayaan siswa dalam berekspresi dan berfikir, tidak ada perbedaan
atara siswa yang berprestasi dengan siswa yang tidak berprestasi, perhatian sekolah bagi siswa yang berprestasi
belajar tidak menjadi skala prioritas utama, kurang lengkapnya perlengkapan dan fasiltas sarana dan prasarana yang
dapat menunjang belajar.
Atas dasar uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul
Hubungan Kompetensi Pedagogik Guru Dan Efikasi Diri Dengan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa kelas IX
SMP Islam Al-Ulum Terpadu Medan.
Metode Penelitian
Tempat penelitian ini dilakukan di sekolah SMP Islam Al-Ulum Medan dengan siswa kelas IX sebagai objek
penelitian. Pemilihan penelitian ini didasarkan atas pertimbangan kemudahan memperoleh data dalam melakukan
penelitian, waktu penelitian direncanakan berlangsung selama 4 (empat) bulan, terhitung dari bulan Januari 2014
hingga April 2014.
Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasi-kan dengan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan
satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Setelah
data yang diperlukan terkumpul dengan menggunakan beberapa tekhnik pengumpulan data, selanjutnya peneliti
melakukan pengolahan atau analisis data.
Untuk mendeskripsikan data setiap variabel, digunakan statistik deskriptif. Penggunaan statistik deskriptif
bertujuan untuk mencari skor tertinggi, terendah, mean, median, modus dan standar deviasi. Kemudian disusun
dalam daftar distibusi frekuensi serta dalam bentuk bagan.
Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Deskripsi Data Responden
Tabel 1. Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No
1
2
Jenis Kelamin Frekuensi
Laki-laki
37
Perempuan
63
Jumlah
100
Persentase (%)
37.00
63.00
100.00 %
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 100 responden sebahagian besar yang menjadi sampel dalam
penelitian ini adalah responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 63 orang (63.00%), selanjutnya berjenis
4927
kelamin laki-laki adalah 37 orang (37.00%). Hal ini menunjukan bahwa siswa yang menjadi sampel kelas IX SMP
Islam Al-Ulum Terpadu Medan dominan perempuan. Selanjutnya akan disajikan deskripsi responden berdasarkan
umur yang dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Deskripsi Responden Berdasarkan Usia
No
1
2
3
Usia (tahun)
≤ 13
14 – 15
≥ 15
Jumlah
Frekuensi
13
64
23
100
Persentase (%)
13.00
64.00
23.00
100.00%
Sumber: Data Diolah, 2014
Dari tabel 2 di atas bahwa 100 orang responden berdasarkan usia yang terbanyak adalah umur 14-15 tahun
sebanyak 63 orang (63.00%) dan yang paling sedikit umur ≤ 13 tahun yaitu sebanyak 13 orang (13.00%)
Deskripsi Data Hasil Penelitian
Tabel 3. Rangkuman Hasil Skor Variabel Penelitian
Statistik
Mean (N.Rata-rata)
Median (N.Tengah)
Mode (N.Sering Muncul)
S. Deviation (S.Deviasi)
Range (Rentang Skor)
Minimum (N.Terkecil)
Maximum (N.Tertinggi)
Count (Jumlah sampel)
X1
66,15
67
67
8,90
44
44
88
100
X2
51,41
53
50
7,43
38
26
64
100
Y
67,43
66
63
10,07
43
45
88
100
1. Motivasi Berprestasi Belajar (Y)
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan jumlah responden 100 orang terdapat skor
tertinggi 88 dan skor terendah 45 dengan rata-rata (M) = 67,43 dan standard deviasi (SD) = 10,07.
Dari hasil distribusi frekuensi variabel motivasi berprestasi belajar (Y) dapat digambarkan histogram
distribusi skor berdasarkan frekuensi absolut pada Gambar 1.
Gambar 1. Histogram Variabel Motivasi Berprestasi Belajar (Y)
2. Kompetensi Pedagogik Guru (X1)
Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil penelitian dengan jumlah responden 100 orang terdapat skor
tertinggi 91dan skor terendah 44, dengan rata-rata (M) = 66,15 dan standard deviasi (SD) = 8,90.
Dari hasil distribusi frekuensi variabel kompetensi pedagogik (X1) digambarkan histogram distribusi skor
pada gambar 2.
4928
Gambar 2. Histogram Distribusi Skor Variabel Kompetensi Pedagogik (X1)
3. Efikasi Diri (X2)
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan jumlah responden 100 orang terdapat skor
tertinggi 64 dan skor terendah 26, dengan rata-rata (M) = 51,41 dan standard deviasi (SD) = 7,43.
Dari hasil distribusi frekuensi variabel efikasi diri (X2) dapat digambarkan histogram distribusi skor
berdasarkan frekuensi absolut pada gambar 3.
Gambar 3. Histogram Distribusi Skor Variabel Efikasi diri (X2)
Uji Kecenderungan Variabel Penelitian
Untuk mengidentifikasi kecenderungan pengujian kecenderungan data masing-masing variabel penelitian
digunakan rata-rata skor ideal (Mi) dan standart deviasi (SDi). Dari harga-harga distribusi data dibuat dalam empat
kategori Arikunto: 1993
Tabel 4. Uji Kecenderungan Variabel Penelitian
Interval
Mi + 1,5 SDi <
Mi s/d Mi + 1,5 SDi
Mi - 1,5 SDi s/d Mi
< Mi – 1,5 SDi
Jumlah
F.Observasi
Fo1
Fo2
Fo3
Fo4
N
F.Relatif
Fr1
Fr2
Fr3
Fr4
Kategori
Tinggi
Cukup
Kurang
Rendah
Pengujian kecenderungan data masing-masing variabel penelitian digunakan rata-rata skor ideal dan standar
deviasi ideal setiap variabel yang kemudian dikategorikan kepada 4 (empat) kategori yaitu tinggi, sedang, kurang
dan rendah.
Tabel 5. Tingkat Kecenderungan Variabel Motivasi Berprestasi Belajar (Y)
Interval
>
78
60
78
42
60
<
42
F. Observasi
15
62
23
0
100
F. Relatif
15%
62%
23%
0%
100%
Kategori
Tinggi
Cukup
Kurang
Rendah
Berdasarkan data pada diatas dapat dijabarkan untuk variabel motivasi berprestasi belajar (Y) kategori tinggi
sebesar 15.00%, kategori cukup sebesar 62.00%, kategori kurang sebesar 23.00% dan kategori rendah sebsar
4929
0,00%. Dengan demikian dapat disimpulkan variabel motivasi berprestasi belajar (Y) dalam penelitian ini berada
pada kategori cukup dengan persentase sebesar 62.00%.
Tabel 6. Tingkat Kecenderungan Variabel Kompetensi Pedagogik (X1)
Interval
>
72
48
72
24
48
0
24
F. Observasi
20
77
3
0
100
F. Relatif
20%
77%
3%
0%
100%
Kategori
Tinggi
Cukup
Kurang
Rendah
Berdasarkan data di atas dapat dijabarkan untuk variabel kompetensi pedagogik (X1) kategori tinggi
sebesar 20.00%, kategori cukup sebesar 77.00%, kategori kurang sebesar 3,00% dan kategori kurang sebesar
0,00%. Dengan demikian dapat disimpulkan variabel kompetensi pedagogik (X1) dalam penelitian ini berada pada
kategori tinggi dengan persentase sebesar 77.00%.
Tabel 7. Tingkat Kecenderungan Variabel Efikasi diri (X2)
Interval
> 62
48 62
33 48
< 33
F. Observasi
32
54
14
0
100
F. Relatif
32%
54%
14%
0%
100%
Kategori
Tinggi
Cukup
Kurang
Rendah
Berdasarkan data tabel diatas dapat dijabarkan bahwa variabel efikasi diri (X2) kategori tinggi sebesar
32.00%, kategori sedang cukup 54.00%, kategori kurang sebesar 14.00% dan kategori rendah sebesar 0,00%.
Dengan demikian dapat disimpulkan variabel efikasi diri (X2) dalam penelitian ini berada pada kategori sedang
dengan persentase sebesar 54.00%.
Pengujian Persyaratan Analisis
1. Uji Linieritas dan Keberartian Regresi
Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui linier atau tidaknya hubungan antara variabel bebas terhadap
variabel terikat yang merupakan syarat untuk menggunakan teknik statistik analisis regresi sederhana dan analisis
regresi ganda, maka yang di uji adalah hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikat, yaitu: kompetensi
pedagogik guru dan efikasi diri dengan motivasi berprestasi belajar.
Berikut ini pada tabel 8 disajikan ringkasan analisis varians yang menguji kelinearitas dan keberartian
persamaan regresi motivasi berperestasi belajar (Y) atas kompetensi pedagogik guru (X1). Berdasarkan perhitungan
diperoleh persamaan regresi Y atas X1, yaitu:
Ŷ = 37,11 + 0,45X1.
Tabel 8. Persamaan Regresi Y atas X1
Sumber Varians
Total
Regresi (a)
Regresi (b/a)
Residu (S)
Tuna Cocok (TC)
Galat (G)
dk
100
1
1
98
10
88
JK
454680,4916
65,66
8482,85
1192,00
7290,838
RJK
Fh
Ft (=5%)
454680,49
1665,66
86,55
199,201
82,85
19,24
3,94
1,43
1,92
4930
Dari tabel diatas dengan mengkonsultasikan Fhitung dengan Ftabel dengan taraf 0,05 maka dk = K – 2 (db =
10) sebagai pembilang, dan (dk = 100 – 12 = 88) sebagai penyebut, diperoleh Ftabel = 1.92 maka didapat Fhitung <
Ftabel (1,43 < 1,92) sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi: Ŷ = 37,11 + 0,45X1 adalah linier pada
taraf signifikan 5%.
Selanjutnya untuk uji keberartian persamaan regresi, dari tabel distribusi Ftabel dengan taraf 0,05 dk = 1 : 98
= 3,94. Dengan mengkonsultasikan Fhitung terhadap Ftabel dengan dk = 1: 98 diperoleh harga Fhitung > Ftabel (19,24 >
3,94) dapat disimpulkan koefisien arah regresi berarti, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koefisien arah
persamaan regresi Y atas X1 mempunyai hubungan yang linier dan berarti pada taraf signifikan 5%.
Berikut ini pada Tabel 9 disajikan ringkasan analisis varians yang menguji kelinearitas dan keberartian
persamaan regresi motivasi berprestasi (Y) atas efikasi diri (X2). Berdasarkan perhitungan diperoleh persamaan
regresi Y atas X2, yaitu: Ŷ = a + bX2, sehingga diperoleh persamaan regresi :
Ŷ = 46,22+ = 0,41X2.
Tabel 9. Persamaan Regresi Y atas X2
Sumber Varians
Total
Regresi (a)
Regresi (b/a)
Residu (S)
Tuna Cocok (TC)
Galat (G)
dk
100
1
1
98
27
63
JK
RJK
454680
941,61
9206,89
2140,85
7066,041
454680
941,61
93,94
79,29
99,52
Fh
Ft (=5%)
10,02
3,94
0,79
1,75
Dari tabel diatas dengan mengkonsultasikan Fhitung dengan Ftabel dengan taraf 0,05 dk = 34 – 2 (db = 33)
sebagai pembilang, dan (dk = N – K = 66) sebagai penyebut, diperoleh Ftabel = 1,75 maka didapat Fhitung < Ftabel (0.79
< 1,75 sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi Ŷ = 46,22 + 0,41 X2 adalah linier.
Selanjutnya untuk uji keberartian persamaan regresi, Dari tabel distribusi Ftabel dengan taraf 0,05 dk = 1 : 98 =
3,94. Dengan mengkonsultasikan Fhitung terhadap Ftabel dengan dk = 1: 98 diperoleh harga Fhitung > Ftabel (10,22>3,94)
dapat disimpulkan koefisien arah regresi berarti, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koefisien arah
persamaan regresi Y atas X2 mempunyai hubungan yang linier dan berarti pada taraf signifikan 5%.
2. Uji Normalitas
Pengujian normalitas data penelitian diuji dengan mengunakan uji liliefors. Dalam hal ini yang diuji adalah
hipotesis nol yang menyatakan sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Penerimaan atau penolakan
Ho berdasarkan perbandingan antara harga Ltabel dengan nilai Lo. Uji normalitas dilakukan pada hasil ketiga variabel
penelitian. Secara ringkas hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10. Ringkasan Uji Normalitas
No Galat Taksiran
1
2
Y atas X1
Y atas X2
Lo
0,068
0,081
Ltabel
(α=0,05)
0,088
0,088
Kesimpulan
Normal
Normal
Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa data-data variabel galat taksiran Y atas X1 dan X2, dinyatakan
memiliki sebaran data yang berdistribusi normal karena Lo < Ltabel taraf signifikansi α = 0,05, sekaligus berarti
bahwa data kompetensi pedagogik (X1), efikasi diri (X2) dan motivasi berprestasi belajar (Y) berdistibusi normal.
4931
Uji Linieritas dan Regresi Ganda
Uji linieritas dan keberartian ganda dilakukan dengan menggunakan teknik statistik dan analisis regresi
ganda. Diketahui bahwa koefisien regresi ganda adalah b1 = 0,5 dan b2 = 0,54, dan sedangkan konstanta regresi a =
0,18 sehingga persamaan
Ŷ = 0,18 + 0,59X1 + 0,54 X2
Tabel 11. Rangkuman Analisis Regresi Ganda
Sumber
Variasi
Regresi
Residu
Total
Dk
JK
2
98
100
3397,07
6751,43
10148,51
F
hitung
F tabel
α = 0,05
24,65
2,92
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa analisis regresi ganda yang diperoleh F hitung = 24,65 sedangkan
nilai F tabel N-K = 98 dengan  0,05 = 2,92 untuk digunakan sebagai prediksi motivasi berprestasi belajar. Fhitung >
Ftabel (24,65 > 2,92 artinya kompetensi pedagogik (X1) dan efikasi diri (X2) secara bersama sama dengan motivasi
berprestasi belajar (Y) dengan persamaan regresinya Ŷ = 0,18 + 0,59X1 + 0,54X2. sehingga dapat disimpulkan
regresi linier ganda Y atas X1, X2, adalah bersifat nyata dan berarti.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara kompetensi pedagogik
terhadap dengan motivasi berprestasi pada siswa kelas IX. Hal ini berarti hipotesis yang mengatakan bahwa ada
hubungan positif antara kompetensi pedagogik dengan motivasi berprstasi belajar siswa
Berdasarkan hasil perhitungan dari penelitian ditemukan bahwa motivasi berprestasi belajar siswa kelas IX
SMP Islam Al-Ulum Medan termasuk dalam kategori cukup. Dari 100 orang responden yang diteliti, ditemukan 23
responden (23.00%) kategori kurang, dan 62 responden (62.00%) kategori cukup. Dan 15 orang responden
(25.00%) ketegori tinggi. Hasil penelitian ini agak berbeda dengan hasil survey awal yang menyimpulkan masih
rendahnya tingkat motivasi berprestasi siswa. Respon yang diberikan siswa wakti diskusi survey awal, merupakan
penyimpulan secara keseluruhan dari siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan. Hal tersebut tentu saja berbeda
dengan penelitian awal Seperti: tidak terjadi interaksi komunikasi diskusi pada saat membahas materi pembalajaran
antara siswa, tugas terstruktur mereka masih rendah, prilaku pragmatis dan simpel dalam membuat tugas-tugas,
motivasi belajar mandiri mereka rendah.
Motivasi berprestasi berada dalam kategori sedang berarti bahwa karakteristik individu yang mempunyai
motivasi berprestasi yang mengarah pada pada prilaku sikap tanggung jawab, sikap berorientasi untuk sukses, dan
inovatif. McClelland; 1987. Selanjutnya Informasi di atas menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik guru masih
harus terus ditingkatkan agar dapat meningkatkan motivasi berprestasi belajar siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum
Medan. Dalam hal ini, guru diharuskan untuk meningkatkan kompetensi pedagogik mengajarnya semakin baik
kompetensi pedagogik guru dalam mengajar, akan menambah motivasi berprestasi belajar siswa bagi pengetahuan/
keterampilannya.
Berdasarkan penghitungan penelitian, didapatkan bahwa efikasi diri berhubungan dengan motivasi
berprestasi belajar siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan. tingkat kecendrungan berada pada kategori cukup
dari 100 0rang respodnen yang diteliti diperoleh bahwa: 14 responden (14.00%) kategori kurang, dan 54 responden
4932
(54.00%) kategori cukup. Dan 32 orang responden (32.00%) kategori tinggi. Informasi ini menunjukkan efikasi diri
siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan perlu terus tingkatkan. Bandura :1997 mendefinisikan efikasi diri
merupakan keyakinan dalam diri seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk mencapai tujuan tertentu dengan
berhasil serta melakukan kendali terhadap keadaan disekitarnya untuk mencapai hasil tertentu. Lebih lanjut,
Bandura mengatakan bahwa efikasi diri yang kuat dan cukup akan meningkatkan prestasi dan kepribadian yang
baik pula dalam berbagai hal.
Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa terdapat hubungan yang positiif dan berarti antara kompetensi
pedagogik dan efikasi diri siswa dengan motivasi berprestasi belajar siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan
dengan koefisien korelasi Ry(12) = 0,57. Hal ini memberikan informasi bahwa motivasi berprestasi belajar dapat
ditingkatkan dengan baiknya kompetensi pedagogik guru, dan tingginya efikasi diri siswa dalam mengatualisasikan
dirinya dalam belajar.
Kompetensi pedagogik guru yang baik jika dibarengi dengan efikasi diri siswa yang tinggi maka akan
mempermudah siswa dalam menambah motivasi belajarnya. Kompetensi pedagogik guru yang baik akan mampu
mengembangkan potensi pserta didik kearah yang lebih baik lagi begitu juga dengan efikasi diri dan keyakinan
siswa akan semakin tinggi jika didorong oleh kemapuan kompetensi pedagogik guru dalam belajar, sehingga
motivasi berprestasi siswa akan meningkat dalam belajar.
Kesimpulan, Implikasi Dan Saran
Kesimpulan
1. Tingkat kecenderungan variabel kompetensi pedagogik guru sekolah tergolong kategori cukup, efikasi diri
siswa tergolong kategori cukup, dan motivasi berprestasi belajar tergolong kategori cukup.
2. Terdapat hubungan yang signifikan antara kompetensi pedagogik guru dengan motivasi berprestasi belajar
siswa kelas IX SMP Islam Al-Ulum Medan sebesar rX1Y = 0,405. Besar sumbangan relatif yang diberikan
kompetensi pedagogik guru dengan motivasi berprestasi belajar adalah sebesar 63,15%, sedangkan besar
sumbangan efektif yang diberikan kompetensi pedagogik dengan motivasi berprestasi belajar adalah sebesar
21,14%.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara variabel efikasi diri dengan motivasi berprestasi siswa kelas IX SMP
Islam Al-Ulum Medan sebesar rX2Y = 0,304. Besar sumbangan relatif yang diberikan efikasi diri dengan
motivasi berprestasi belajar dalah sebesar 36,84%, sedangkan besar sumbangan efektif yang diberikan efikasi
diri dengan motivasi berprestasi belajar kerja adalah sebesar 12,33%.
4. Terdapat pula hubungan yang signifikan antara kompetensi pedagogik guru, efikasi diri, secara bersama-sama
dengan motivasi berprestasi belajar dengan koefisien korelasi Ry(12) = 0,57. Besar sumbangan kompetensi
pedagogik guru, efikasi diri terhadap motivasi berprestasi belajar sebesar 33,47 % dan sisanya ditentukan faktor
lain.
Saran
1. Untuk meningkatkan kompetensi pedagogik disarankan kepada guru untuk meningkatkan pengetahaun
kompetensi pedagodiknya seperti: keterampilan mengajar, keterampilan merencanakan pembelajaran,
keterampilan melakukan pembelajaran, keterampilan melakukan evaluasi pembelajaran, keterampilan
4933
mengambangkan potensi peserta didik dengan menambah pengetahuan tentang pedagogik dengan mengikuti
kegiatan loka karya, seminar, workshop dan pendidikan pelatihan lanjutan. Selain itu setiap guru diharapkan
dapat mengikuti perkembangan pendidikan secara aktual, mengikuti musyawarah guru mata pelajaran MGMP
untuk mengukur kompetensi pedagodik masing-masing guru.
2. Untuk lebih meningkatkan efikasi diri siswa kepada setiap siswa diharapkan mampu mengaktualisasikan
kemampauannya dalam kegiatan apapun, aktualisasi diri adalah keinginan melakukan perbuatan tanpa disadari,
dengan mengatualisasikan diri siswa secara tidak langsung mengasah kemapuan dan keyakinannya.
bertanggung jawab adalah membuat niat dan mematuhinya, mengikuti norma aturan budaya sekolah, hal lain
yang harus dilakukan adalah mengikuti kegitan pelatihan-pelataihan, seperti outbond, kepemimpinan, loka
karya, workshop.
3. Untuk dapat meningkatkan motivasi berprestasi belajar siswa diharapkan kepada guru untuk terus memberikan
motivasi secara terus menerus. Selain itu dianjurkan kepada guru untuk terus mengkawal perkembangan dan
pertumbuhan peserta didik. Hal yang harus dilakukan guru di antaranya, melakukan penilaian dan evaluasi
terhadap hasil belajar siswa.
4. Perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut tentang hubungan antara kompetensi pedagogik dan efikasi diri
dengan motivasi berprestasi belajar siswa guna memperluas hasil penelitian kemudian hari.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi, (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta.
Agus Dharma, (1993), Organisasi dan Administrasi Pendidikan Teknologi Kejuruan Jakarta, Raja Grafindo
Persada
Chaniago, Sam M dan Adi Tuti Tarwiyah, (2008), Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja
Grafindo.
Hani, Handoko. (1989), Manajemen. Yogyakarta: BPFP. Yogyakarta
Husaini Usman, (2011), Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan Edisi 3, Jakarta, Bumi Aksara.
Manulang. M, (2006), Manajemen Personalia Edisi 6, Yogyakarta, Gajah Mada University pers,
Mulyasa, E. (2008) Menjadi Guru Profesional (Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan).
Bandung :Remaja Rosdakarya
Moekijat, (2001), Dasar-Dasar Motivasi, Bandung, Pionir Jaya.
Purwadarminta, W.J.S (1976) Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Rivai, Veithzal, Dedi Mulyadi, (2009), Kepemimpinan Dan Prilaku Organisasi, Jakarta: Raja Wali Pers
Riduwan, (2010), Rumus dan Data dalam Analisis Statistika, Bandung: Alfabeta.
Robbins, Stephen. P, dan A Judge Timothy (2007) Organization Behavior, New Jersey: Person Education Inc.
Sagala Syaiful, (2013), Human Capita, Bandung, Alfabeta
4934
Sudarwan Danim Dkk, (2009), Manajemen Kepemimpinan Transformational Kepala sekolah, Jakarta, Rineka
Cipta
Sugiyono, (2010), Statistika Untuk Penelitian. Bandung, Alfabeta,
Syah, Muhibbin. (2008) Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung Alfabeta
Peraturan Pemerintah RI No 14 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional
Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang RI No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
4935
PENGEMBANGAN SISTEM OTOMASI PERPUSTAKAAN BERDASAR BUSINESS PROCESS
DI PERPUSTAKAAN
Rayuwati, M.Kom.20
ABSTRAK
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan sistem otomasi perpustakaan
berdasarkan business process di perpustakaan. Penulisan makalah ini menggunakan metode library research
(tinjuauan literatur). Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar antara digital library dan
sistem otomasi perpustakaan adalah berhubungan dengan tujuannya. Digital library lebih berorientasi ke
bagaimana kita dapat menshare koleksi-koleksi bahan pustaka yang sudah berbentuk file elektronik. Sedangkan
sistem otomasi perpustakaan lebih cenderung ke bagaimana proses bisnis yang ada di perpustakaan dapat
diotomasi, sehingga meringankan beban pustakawan atau pengurus perpustakaan. Perpaduan antara dua hal
tersebut sangat mungkin dilakukan, dalam pengertian bahwa sistem otomasi perpustakaan disamping berorientasi
ke bagaimana manajemen perpustakaan, juga menyimpan koleksi dokumen elektronik yang bisa dishare dengan
menggunakan teknologi web dan internet.
Kata kunci : teknik informatika, perpustakaan dan business process
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dunia perpustakaan semakin hari semakin berkembang dan bergerak ke depan. Perkembangan dunia
perpustakaan ini didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatannya yang telah merambah ke
berbagai bidang. Hingga saat ini tercatat beberapa masalah di dunia perpustakaan yang dicoba didekati dengan
menggunakan teknologi informasi.
Dari segi data dan dokumen yang disimpan di perpustakaan, dimulai dari perpustakaan tradisional yang
hanya terdiri dari kumpulan koleksi buku tanpa katalog, kemudian muncul perpustakaan semi modern yang
menggunakan katalog (index). Katalog mengalami metamorfosa menjadi katalog elektronik yang lebih mudah dan
cepat dalam pencarian kembali koleksi yang disimpan di perpustakaan. Koleksi perpustakaan juga mulai
dialihmediakan ke bentuk elektronik yang lebih tidak memakan tempat dan mudah ditemukan kembali. Ini adalah
perkembangan mutakhir dari perpustakaan, yaitu dengan munculnya perpustakaan digital (digital library) yang
memiliki keunggulan dalam kecepatan pengaksesan karena berorientasi ke data digital dan media jaringan
komputer (internet).
Di sisi lain, dari segi manajemen (teknik pengelolaan), dengan semakin kompleksnya koleksi perpustakaan,
data peminjam, transaksi dan sirkulasi koleksi perpustakaan, saat ini muncul kebutuhan akan penggunaan teknologi
informasi untuk otomatisasi business process di perpustakaan. Sistem yang dikembangkan dengan pemikiran dasar
bagaimana kita melakukan otomatisasi terhadap berbagai business process di perpustakaan, kemudian terkenal
dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan (library automation system).
20
Dosen Universtias Gajah Putih, Takengon
4936
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan sistem otomasi perpustakaan
berdasarkan business process di perpustakaan.
1.3. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode library research (tinjuauan literatur).
2. Uraian Teoritis
2.1. Penerapan Teknologi di Perpustakaan
Penerapan teknologi informasi di perpustakaan dapat difungsikan dalam berbagai bentuk, antara lain :
1. Penerapan teknologi informasi digunakan sebagai Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan. Bidang
pekerjaan yang dapat diintegrasikan dengan system informasi perpustakaan adalah pengadaan, inventarisasi,
katalogisasi, sirkulasi bahan pustaka, pengelolaan anggota, statistic dan sebagainya. Fungsi ini sering disebut
sebagai Autosimasi Perpustakaan.
2. Penerapan teknologi informasi sebagai sarana untuk menyimpan, mendapatkan dan menyebarluaskan informasi
ilmu pengetahuan dalam format digital, perpustakaan ini sering disebut perpustakaan digital.
Kedua fungsi penerapan diatas dapat terpisah atau terintegrasi dalam suatu sistem informasi tergantung
pada kemampuan softwer yang digunakan, sumber daya manusianya dan infrastruktur peralatan teknologi informai
yang mendukung keduanya. Dalam hal ini factor penggerak diterapkannya teknologi informasi dalam perpustakaan
adalah :
1. Kemudahan mendapatkan produk Teknologi Informasi.
2. Harga terjangkau dalam memperoleh produk Teknologi Informasi.
3. Kemampuan dari tenologi informasi.
4. Tuntutan layanan masyarakat yang serba cepat ( ―klik‖)
Hal-hal lain atau alasan yang lain dalam penerapan teknologi dalam manjemen perpustakaan adalah :
1. Mengefisiensikan dan mempermudah pekerjaan dalam perpustakaan.
2. Memberikan layanan yang lebih baik kepada pengguna perpustakaan
3. Meningkatkan citra perpustakaan
4. Pengembangan infrastruktur nasional, regional dan global
Peran yang sangat penting didalam manejemen perpustakaan adalah :
1. Peran Katalog
Katalog adalah keteranga singkat atau wakil dari suatu dokumen. Catalog perpustakaan elektronik adalah
jantung dari sebuah system perpustakaan yang terautomasi. Cakupan dari catalog perpustakaan yang terautomasi
yaitu : pengadaan koleksi, katalogisasi, inventarisasi, sirkulasi, pengelolaan penerbitan berkala, penyediaan catalog,
dan pengelolaan anggota.
2. Peran CD-ROM
Mempercepat akses informasi multi media baik itu berupa abstrak, indeks, bahan full text, dalam bentuk
digital tanpa mengadakan hubungan ke jaringan computer.Dan media back-up/ cadangan data perpustakaan dan
sarana koleksi referens bagi perpustakaan lain.
3. Peran Internet
4937
Teknologi internet yang merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari membuat pada perilaku
masyarakat pencari informasi mengalami banyak perubahan. Sumber daya elektronik yang tersedia di internet
menjadi sasaran utama bagi para pencari informasi. Dalm hal ini internet dapat mengakses informasi multimedia
dalam resource internet, dan juga sebagai sarana telekomunikasi dan distribusi informasi serta dapat membuat
homepage, penyebarluasan catalog dan informasi.
2.2. Peranan Pustakawan Dalam Keperluan Pengguna
Bagi perpustakaan yang telah atau ingin mengembangkan perpustakaan elektronik, yang diperlukan adalah
mengintegrasikan konsep manajemen pengetahuan dalam pemerolehan, pengorganisasian, pemeliharaan, dan
pendistribusiaan pengetahuan termasuk pengetahuan informal, tidak terstruktur, dan eksternal yang menyangkut
lembaga induknya. Untuk itu, berbagai perangkat pendukung yang diperlukan harus dipersiapkan termasuk
organisasi dan kebijakan yang harus ditetapkan pada tingkat institusi perpustakaan itu sendiri. Dalam hal ini
perangkat pendukung yang tepenting adalah seorang pustakawan yang telah siap dan memiliki pengetahuan tentang
terbentuknya sebuah perpustakaan yang telah terautomasi dengan baik.
Mencermati kondisi pustakawan dalam memberikan layanan perpustakaan dan informasi melalui
pengamatan dan berbagai diskusi, ada dua factor sebagai alasan bahwa citra pustakawan belumlah
menggembirakan antara lain factor internal dan faktor eksternal. Ditinjau dari factor internal antara lain :
1. Pustakawan masih berkutat pada pelayanan konvensional dengan menggunakan system layanan tradisional.
2. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia/pustakawan, baik dari kualitas teknis maupun kualitas
fungsional, dengan rincian sebagai berikut :
a. Dari segi kualitas teknis.
Banyak dijumpai pustakawan yang belum memilki kemampuan teknis berkomunikasi, manajerial,
penguasaan teknologi informasi dan bahasa asing.
b. Dari segi kualitas fungsional
Dalam hal ini meliputi dimensi kontak dengan pemakai, sikap, perilaku, hubungan internal pustakawan.
3. Terbatasnya sarana penelusuran yang tersedia dalam bentuk abstrak, isi buku, teks penuh (fullet) atau dalam
bentuk review.
Ditinjau dari faktor ekternal, antara lain :
1. Perpustakaan belum memiliki komitmen dalam mengembangkan pustakawan sehingga pemberdayaan
perpustakaan diseluruh Indonesia mengalami kesulitan.
2. Masih rendahnya jiwa kemandirian (entrepreneurship).
Dalam lingkungan organisasi perpustakaan manajemen pustakawan dilihat sebagai komunikasi ilniah dan
proses penyampaian informasi harus diberi nilai tambah dengan mengorganisasikan pengetahuan yang diciptakan
dan dikemas diluar perpustakaan. Perpustakaan harus dijadikan penerbit pengetahuan bagi masyarakat pengguna.
Pertama, pustakawan berperan sebagai fasilitator utama dalam berbagai pengetahuan, dengan menciptakan budaya
dan memelihara ifrastruktur yang duiperlukan untuk mengoperasikan manajemen pengetahuan. Kedua, pustakawan
berperan dalam mengambil manfaat dari konsep manajemen pengetahuan dengan tujuan untuk meningkatkan
kinerja peprustakaan. Manajemen pengetahuan dapat dijadikan sebagai pemicu agar pustakawan lebih inovatif dan
kreatif dalam menyiasati cakupan elektronik yang harus dicakup dalam konsep perpustakaan elektronik yang telah
4938
dikembangkannya selama ini. Masih banyak muatan pengetahuan eksplisit yang belum tersedia dalam bentuk
elektronik yang sesunguhnya dibutuhkan oleh para pengguna perpustakaan. Ketiga, pustakawan juga harus
berupaya mengindentifikasi pengetahuan eksplisit dan mengembangkan system yang diperlukan untuk
menanganinya dengan mengembangkan pengetahuan tak terstruktur. Keempat, Pustakawan harus segera
mengambil prakarsa untuk mengeksplorasi potensi informasi dan pengetahuan yang terdapat dilingkungannnya
masing-masing dan mengembangkan system untuk penanganannya, termasuk penyiapan sumber daya manusia,
organisasi, infrastruktur teknologi informasi, dan infrastruktur hokum yang diperlukan untuk itu.
Jadi pustakawan harus dapat memenuhi beberapa hal dalam memberdayakan pengetahuan antara lain :
1. Pustakawan harus dapat meningkatkan kemampuan dalam teknologi informasi yang memadai.
2. Mengembangkan komunikasi ilmiah bagi sesame pustakawan.
3. Menumbuhkan jiwa kewirausahaan dan core bisnis.
4. Pustakawan diharapkan mampu meningkatkan kompetensi manajerial dan kepemimpinan berbasis informasi.
Oleh sebab itu, pustakawan harus dapat melayani keperluan pengguna seperti permintaan akan akses yang
lebih cepat ke informasi yang diperlukan dari dalam maupun luar perpustakawan. Dengan begitu diharapkan agar
para pustakawan mahir dalam penggunaan teknologi informasi sehingga mereka dapat membantu pengguna
perpustakaan dalam menemukan informasi yang diperlukan.
Beberapa hal yang perlu diketahui dan dipahami seorang pustakawan dan menjadikan perpustakaan
berbentuk autimasi :
1. Faham akan maksud dan ruang lingkup dan unsure dari AP.
2. Faham dan bisa mengapresiasikan pentingnya melaksanakan analisis system yang menyeluruh sebelum
merencanakan desain system.
3. Faham akan dan bisa mengapresiasi manfaat analisis system dan desain, implementasi, evaluasi dan
maintenance.
4. Faham akan proses evaluasi software sejalan dengan proposal sebelum menentukan sebuah system.
5. Faham akan dan bisa mengapresiasi pentingnya pelatihan untuk staf dan keterlibatan mereka dalam seluruh
proses kerja.
2.3. Pengelolaan Dokumen Elektronik
Pengelolaan dokumen elektronik memerlukan teknik khusus yang memiliki perbedaan dengan pengelolaan
dokumen tercetak. Proses pengelolaan dokumen elektronik melewati beberapa tahapan, yang dapat kita
rangkumkan dalam proses digitalisasi, penyimpanan dan pengaksesan/temu kembali dokumen. Pengelolaan
dokumen elektronik yang baik dan terstruktur adalah bekal penting dalam pembangunan sistem perpustakaan
digital (digital library).
2.3.1. Proses Digitalisasi Dokumen
Proses perubahan dari dokumen tercetak (printed document) menjadi dokumen elektronik sering disebut
dengan proses digitalisasi dokumen. Dokumen mentah (jurnal, prosiding, buku, majalah, dsb) diproses dengan
sebuah alat (scanner) untuk menghasilkan dokumen elektronik. Proses digitalisasi dokumen ini tentu tidak
diperlukan lagi apabila dokumen elektronik sudah menjadi standar dalam proses dokumentasi sebuah organisasi.
4939
2.3.2. Proses Penyimpanan
Pada tahap ini dilakukan proses penyimpanan dimana termasuk didalamnya adalah pemasukan data (data
entry), editing, pembuatan indeks dan klasifikasi berdasarkan subjek dari dokumen. Klasifikasi bisa menggunakan
UDC (Universal Decimal Classification) atau DDC (Dewey Decimal Classfication) yang banyak digunakan di
perpustakaan-perpustakaan di Indonesia.
Ada dua pendekatan dalam proses penyimpanan, yaitu pendekatan basis file (file base approach) dan
pendekatan basis data (database approach). Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan (Tabel
1), dan kita dapat memilih pendekatan mana yang akan kita gunakan berdasarkan kebutuhan.
Table 1.
Perbedaan Antara File Base Approach dan Database Approach
File Base Approach
Data duplication
Data dependence
Incompatible file format
Simpe
Database Approach
Data sharing and no dupclication
Data independence
Compatible file format
Complex
Inti dari proses ini adalah bagaimana kita dapat melakukan pencarian kembali terhadap dokumen yang
telah kita simpan. Metode pengaksesan dan pencarian kembali dokumen akan mengikuti pendekatan proses
penyimpanan yang kita pilih. Pendekatan database membuat proses ini lebih fleksibel dan efektif dilakukan,
terutama untuk penyimpanan data sekala besar. Disisi lain, kelemahannya adalah relatif lebih rumitnya sistem dan
proses yang harus kita lakukan.
Dan menariknya, karena sifat pendekatan database yang memiliki kebebasan terhadap data (data
independence), dengan data yang sama kita bisa membuat interface ke berbagai aplikasi lain baik yang berbasis
standalone maupun web. Gambar 3 menunjukkan bagaimana data yg sama bisa diakses dari aplikasi berbasis web.
3. Pembahasan
Sistem otomasi perpustakaan yang kita kembangkan harus berdasarkan kepada proses bisnis (business
process) sebenarnya yang ada di perpustakaan kita. Prosentase kegagalan implementasi suatu sistem dikarenakan
sistem dikembangkan bukan berdasarkan kebutuhan
dan proses bisnis yang ada di organisasi yang akan
menggunakan sistem tersebut.
Sistem otomasi perpustakaan yang baik adalah yang terintegrasi, mulai dari sistem pengadaan bahan
pustaka, pengolahan bahan pustaka, sistem pencarian kembali bahan pustaka, sistem sirkulasi, membership,
pengaturan denda keterlambatan pengembalian, dan sistem reporting aktifitas perpustakaan dengan berbagai
parameter pilihan. Lebih sempurna lagi apabila sistem otomasi perpustakaan dilengkapi dengan barcoding, dan
mekanisme pengaksesan data berbasis web dan internet.
Berikut adalah salah satu contoh sistem otomasi perpustakaan dengan fitur-fitur yang mengakomodasi
kebutuhan perpustakaan secara lengkap, dari pengadaan, pengolahan, penelusuran, serta manajemen anggota dan
sirkulasi. Diharapkan contoh sistem yang ditampilkan dapat dijadikan studi kasus dalam pengembangan sistem
otomasi perpustakaan lebih lanjut.
3.1. Otentikasi Sistem
4940
Sistem akan melakukan pengecekan apakah username dan password yang dimasukkan adalah sesuai
dengan yang ada di database. Kemudian juga mengatur tampilan berdasarkan previlege pemilik account, apakah dia
sebagai pengguna atau admin dari sistem.
3.2. Menu Utama
Menampilkan berbagai menu pengadaan, pengolahan, penelusuran, anggota dan sirkulasi, katalog
peraturan, administrasi dan security. Menu ini dapat di setting untuk menampilkan menu sesuai dengan hak akses
user (previlege), misal kita bisa hanya mengaktifkan menu penelusuran untuk pengguna umum dan sebagainya.
3.3. Administrasi, Security dan Pembatasan Akses
Fitur ini mengakomodasi fungsi untuk menangani pembatasan dan wewenang user, mengelompokkan user,
dan memberi user id serta password. Juga mengelola dan mengembangkan serta mengatur sendiri akses menu yang
diinginkan.
3.4. Pengadaan Bahan Pustaka
Fitur ini mengakomodasi fungsi untuk pencatatan permintaan, pemesanan dan pembayaran bahan pustaka,
serta penerimaan dan laporan (reporting) proses pengadaan.
3.5. Pengolahan Bahan Pustaka
Fitur ini mengakomodasi proses pemasukkan data buku/majalah ke database, penelusuran status buku yang
diproses, pemasukkan cover buku/nomer barcode, pencetakan kartu katalog, label barcode, dan nomor punggung
buku (call number).
3.6 Penelusuran Bahan Pustaka
Penelusuran atau pencarian kembali koleksi yang telah disimpan adalah suatu hal yang penting dalam
dunia perpustakaan. Fitur ini harus mengakomidasi penelusuran melalui pengarang, judul, penerbit, subyek, tahun
terbit dan sebagainya.
3.7. Manajemen Anggota dan Sirkulasi
Ini termasuk jantungnya sistem otomasi perpustakaan, karena sesungguhnya disinilah banyak kegiatan
manual yang digantikan oleh komputer dengan jalan mengotomasinya. Didalamnya terdapat berbagai fitur
diantaranya: pemasukkan dan pencarian data anggota perpustakaan, pencatatan peminjaman dan pengembalian
buku (dengan teknologi barcoding), penghitungan denda keterlambatan pengembalian buku, dan pemesanan
peminjaman buku.
3.8. Pelaporan (Reporting)
Sistem reporting yang memudahkan pengelola perpustakaan untuk bekerja lebih cepat, dimana laporan dan
rekap dapat dibuat secara otomatis, sesuai dengan parameter-parameter yang dapat kita atur. Sangat membantu
dalam proses analisa aktifitas perpustakaan, misalnya kita tidak perlu lagi membuka ribuan transaksi secara manual
untuk melihat transaksi peminjaman koleksi dalam satu kategori, atau mengecek aktifitas seorang pengguna
perpustakaan dalam 1 tahun.
4. Kesimpulan
4941
Pada makalah ini telah diuraikan tentang pemanfaatan teknologi informasi, khususnya dalam pengelolaan
data elektronik dan sistem otomasi perpustakaan. Perbedaan mendasar antara digital library dan sistem otomasi
perpustakaan adalah berhubungan dengan tujuannya. Digital library lebih berorientasi ke bagaimana kita dapat
menshare koleksi-koleksi bahan pustaka yang sudah berbentuk file elektronik. Sedangkan sistem otomasi
perpustakaan lebih cenderung ke bagaimana proses bisnis yang ada di perpustakaan dapat diotomasi, sehingga
meringankan beban pustakawan atau pengurus perpustakaan. Perpaduan antara dua hal tersebut sangat mungkin
dilakukan, dalam pengertian bahwa sistem otomasi perpustakaan disamping berorientasi ke bagaimana manajemen
perpustakaan, juga menyimpan koleksi dokumen elektronik yang bisa dishare dengan menggunakan teknologi web
dan internet.
Daftar Pustaka
Sulistiyo-Basuki, 2004. Pengantar Dokumentasi, Rekayasa Sains.
Bambang Hariyanto, 2003. Sistem Pengarsipan dan Metode Akses. Informatika, Bandung.
Connolly, T.M., and Begg C.E., 2002. Database Systems: A practical Approach to Design, Implementation,
and Management (3rd edition). Addison Wesley.
G. Edward Evans, 2000. Developing Library and Information Center Collections (Fourth Edition). Libraries
Unlimited.
Dean Leffingwell and Don Widrig, 2000. Managing Software Requirements – A Unified Approach, Addison
Wesley.
Romi S. Wahono, 2003. Analyzing Requirements Engineering Problems. IECI Japan Workshop, Japan.
Romi Satria Wahono, 1998. Digital Library: Chalenges and Roles Toward 21 st Century. Proceedings of
Tekno‘98 Sysmposium, Nagaoka, Japan.
4942
PENGARUH PERETASAN KULIT BIJI DAN KONSENTRASI KNO3 TERHADAP
PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN BIJI SIRSAK (Annona muricata L.)
Diah Eka Puspita, SP, MSi21
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 terhadap
perkecambahan dan pertumbuhan biji sirsak. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan
Petak Terpisah (RPT), dengan 2 faktor perlakuan. Perlakuan pertama adalah peretasan kulit biji sebagai main
plot (induk petak) terdiri dari dua macam yaitu : P0 = Tanpa peretasan kulit dan P1 = Kulit diretas. Perlakuan
kedua adalah konsentrasi KNO3 sebagai sub plot (anak petak) yang terdiri dari 4 taraf yaitu: K0 = Perendaman
dalam larutan 0 % KNO3 (kontrol), K1 = Perendaman dalam larutan 0.2 % KNO3, K2 = Perendaman dalam
larutan 0.4 % KNO3, K3 = Perendaman dalam larutan 0.6 % KNO3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan peretasan kulit biji dapat mempercepat umur berkecambah, meningkatkan indeks kecepatan
berkecambah, tinggi plumula dan panjang akar. Konsentrasi KNO3 sebanyak 0.4 % dapat mempercepat umur
berkecambah, meningkatkan indeks kecepatan berkecambah, tinggi plumula dan panjang akar kecambah.
Interaksi peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 tidak berpengaruh terhadap umur berkecambah, indeks
kecepatan berkecambah, tinggi plumula dan panjang akar.
Kata kunci : peretasan kulit biji , konsentrasi KNO3, perkecambahan dan pertumbuhan
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sirsak (Annona muricata L.) berasal dari Amerika Tengah dan termasuk ke dalam famili
Annonaceae. Sirsak termasuk tanaman tahunan yang dapat tumbuh dan berbuah sepanjang tahun,
apabila air tanah mencukupi selama pertumbuhannya.
Sirsak tidak hanya dimakan dalam keadaan segar, namun juga dimanfaatkan sebagai bahan
industri sirup, dodol, jelly, wajik, juice, kembang gula, dan asinan sirsak, sehingga memiliki nilai
tambah walaupun masih terbatas pada skala industri rumah tangga. Selain berkhasiat menurunkan
kandungan kolestrol dalam darah, sehingga dapat menyembuhkan penyakit asam urat, rematik, pegal dan
sakit pinggang. Oleh karena itu, permintaan terhadap buah sirsak cenderung meningkat setiap tahun
(Radi, 1997).
21
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gunung Leuser, Kutacane
4943
Buah sirsak selain merupakan sumber vitamin dan mineral dengan rasa yang menyegarkan, juga
memiliki khasiat sebagai obat anti skorbut (kekurangan vitamin C), anti sembelit, batu empedu dan
meningkatkan nafsu makan. Mengkonsumsi satu gelas juice atau perasan air buah sirsak yang dilakukan
dua kali dalam satu hari, dapat mengobati penyakit ambeien. Ekstrak daun dan biji sirsak mengandung
senyawa tannin yang berpotensi sebagai bahan baku pembuatan obat nyamuk bila diendapkan selama 24
jam (Rukmana, 2001).
Buah sirsak mengandung banyak serat dan vitamin. Tiap butir sirsak mengandung komposisi ratarata 67.5 % daging buah yang dapat dimakan, 20 % kulit buah, 8.5 % biji dan 4 % hati atau empulur.
Selain mengandung vitamin A, B dan C, kandungan lainnya adalah sukrosa 2.54 %, dekstrosa 5.05 %,
dan levulosa 0.04 %. Kandungan gizi (nutrisi) dalam setiap 100 gram buah sirsak segar mengandung:1.0
g protein, 0.30 g lemak, 16.30 g karbohidrat, 14.00 mg kalsium, 27.00 mg fosfor, 0.60 mg zat besi, 81.70
g air, 65.00 kal kalori (Radi, 1996).
Di samping itu, tanaman sirsak mempunyai potensi untuk dijadikan bahan insektisida nabati. Biji
sirsak mengandung senyawa annonain dan minyak. Senyawa ini merupakan pestisida nabati yang bersifat
biodegradable atau mudah terurai di alam. Daun sirsak dapat digunakan sebagai insektisida nabati
pengendali serangan ulat, belalang, wereng coklat, walang sangit, dan thrips (Rukmana, 2001).
Buah sirsak tidak hanya dapat diambil daging buahnya sebagai bahan dodol dan sari buahnya
untuk sirup. Bijinya pun masih berguna sebagai bahan insektisida. Di Indonesia biji sirsak cukup
melimpah dan selama ini merupakan limbah industri dodol dan minuman. Berdasarkan survei dari
empat daerah, yaitu Singaparna (Tasikmalaya), Garut, Cianjur, dan Cimahi volume limbah biji sirsak
mencapai 1,2 ton/bulan. Bila ini dapat termanfaatkan berarti ada nilai tambah dari biji sirsak tersebut
(Dodi, 1998).
Pada umumnya perbanyakan sirsak dilakukan secara generatif dengan biji, sedangkan perbanyakan
vegetatif jarang dilakukan mengingat fungsinya secara ekonomis kurang. Hanya saja perkecambahan biji sirsak
membutuhkan waktu lebih dari 4 minggu jika biji ditanam langsung setelah ekstraksi biji dari buahnya.
Perkecambahan biji sirsak umumnya lambat dan tidak serempak. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan lapisan
kulit biji (seed coat) dan lendir di sekeliling biji yang menghambat perkecambahannya. Dengan demikian biji
tersebut membutuhkan suatu perlakuan untuk membantu perkecambahannya.
Menurut
George and Nissen (1987) dalam Nakasone (1999), tanaman
sirsak biasanya
diperbanyak dengan biji. Tetapi viabilitasnya biji dapat menurun dengan cepat (dalam waktu 6 bulan),
sehingga biji-biji tersebut harus ditanam secepat mungkin setelah dikeluarkan dari buahnya. Biji
sirsak berwarna coklat agak kehitaman dan memiliki kulit biji yang keras.
Hal ini menghambat
perkecambahan sehingga biji sirsak tergolong lambat berkecambah, hal ini diduga karena adanya masa
dormansi akibat struktur kulit biji yang keras. Menurut Lakitan (1995), struktur biji yang keras menjadi
4944
penghalang masuknya air dan gas. Oleh karena itu perlu di cari teknik alternatif untuk menekan biji
yang keras, supaya lebih mudah dimasuki air dan gas.
Upaya pemecahan permasalahan biji sirsak yang lambat berkecambah antara lain dapat dilakukan
dengan a). perlakuan secara fisik, contohnya peretasan kulit biji dengan kertas pasir pada bagian
mikropil untuk memperlebar/memperbesar pori-pori kulit sehingga lebih mudah dimasuki oleh air atau
gas dan cara ini harus dilakukan dengan hati – hati agar tidak merusak embrio biji (Copeland, 1976).
Hasil penelitian Soedjono dan Sukandari (1990) memperlihatkan bahwa biji palem raja dan palem kuning
yang diretas berkecabambah lebih cepat dibanding biji yang tanpa diretas,
b). perlakuan secara kimia,
yaitu perendaman dengan bahan kimia seperti KNO3 agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada
proses imbibisi dan pada konsentrasi tertentu dapat melunakkan kulit biji (Sutopo, 1988).
Kalium nitrat (KNO3) merupakan bahan kimia yang paling banyak digunakan untuk mendorong
perkecambahan benih. Larutan KNO3 dengan konsentrasi 0.1- 1.0 % dapat meningkatkan perkecambahan benih.
Kebanyakan benih yang sensitif terhadap KNO3 juga sensitif terhadap cahaya. Di samping itu KNO3 dapat
―mengcounter‖ sepenuhnya penghambatan perkecambahan biji rumput-rumputan oleh cahaya (Copeland, 1976).
Jika konsentrasi KNO3 tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan daya kecambah. Artinya bila konsentrasi
terlalu tinggi dapat mengakibatkan keracunan/ bersifat herbisida pada biji tersebut, dan bila konsentrasi terlalu
rendah/sedikit maka biji bisa saja tidak tumbuh dan mengalami masa dormansi yang lama (Abidin, 1982).
Berdasarkan latar belakang di atas, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ―Pengaruh
Peretasan Kulit Biji dan Konsentrasi KNO3 terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Biji Sirsak (Annona
muricata Linn.)‘‘
1.2. Tujuan Penelitiaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 terhadap
perkecambahan dan pertumbuhan biji sirsak.
1.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Petak Terpisah (RPT), dengan 2 faktor
perlakuan. Adapun masing masing perlakuan adalah sebagai berikut:
-
Perlakuan peretasan kulit biji sebagai main plot (induk petak) terdiri dari dua macam yaitu : P0 = Tanpa
peretasan kulit dan P1 = Kulit diretas
-
Perlakuan konsentrasi KNO3 sebagai sub plot (anak petak) yang terdiri dari 4 taraf yaitu: K0 = Perendaman
dalam larutan 0 % KNO3 (kontrol), K1 = Perendaman dalam larutan 0.2 % KNO3, K2 = Perendaman dalam
larutan 0.4 % KNO3 dan K3 = Perendaman dalam larutan 0.6 % KNO3
Masing-masing biji direndam selama 15 menit. Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 24 unit
percobaan. Setiap unit percobaan terdiri dari 35 biji yang dikecambahkan sehingga pada setiap ulangan terdapat
280 biji sirsak dengan demikian jumlah biji yang digunakan sebanyak 840 biji.
4945
Untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati pada akhir penelitian dilakukan
penyusunan Daftar Sidik Ragam (DSR). Kemudian terhadap perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan Uji
Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan taraf 5 % dan 1 % (Bangun, 1980).
Parameter yang diamati adalah umur berkecambah, indeks kecepatan berkecambah, tinggi plumula dan
panjang akar.
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Tanaman Sirsak
Tanaman sirsak sebenarnya berasal dari 8 sentrum tempat asal tanaman. Kedelapan sentrum asal tanaman
tersebut adalah dataran Cina dan India termasuk Indomalaya (Asia Tenggara), Asia Tengah, Timur Dekat, Amerika
Selatan (Peru, Equador, Bolivia, Chili, Paraguay, dan Brazil), Mediterania, Abisinia, Mexiko Selatan dan Amerika
Tengah. Adapun tanaman sirsak berasal dari benua Amerika yang beriklim tropis terutama kawasan Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. Tanaman sirsak mulai banyak ditanam di kawasan Asia, pada awal abad XIX,
tanaman sirsak mulai dibudidayakan di Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia plasma nutfah tanaman sirsak
tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Namun, penanamannya baru terbatas sebagai tanaman tegalan, yang
ditanam secara campuran dengan aneka tanaman lainnya (Rukmana, 2001).
Pada umumnya perbanyakan sirsak dilakukan secara generatif dengan biji, sedangkan perbanyakan
vegetatif jarang dilakukan mengingat fungsinya secara ekonomis kurang. Perkecambahan biji sirsak membutuhkan
waktu lebih dari 4 minggu jika ditanam langsung setelah ekstraksi biji dari buahnya. Perkecambahan biji sirsak
umumnya lambat dan tidak serempak. Hal ini kemungkinan dengan lapisan kulit biji (seed coat) dan lendir di
sekeliling biji yang menghambat perkecambahannya. Dengan demikian biji tersebut membutuhkan suatu perlakuan
untuk membantu perkecambahannya (Radi, 1996).
Secara morfologis, tanaman sirsak mempunyai tajuk berbentuk setengah lingkaran, dengan sistim
percabangan yang mendatar dan rapat. Daun berbentuk bulat memanjang, berukuran besar dan lebar, dengan
permukaan bagian atas berwarna hijau mengkilap (nitidus). Bunganya perigynis (dasar bunga berbentuk mangkok,
letak daun-daun bunga dan benang sari lebih tinggi daripada letak putik). Adapun buahnya berukuran relatif besar
dan berbentuk jantung, bundar, atau lonjong dengan permukaan yang berduri (Rukmana, 2001).
2.2. Metabolisme Perkecambahan Biji
Proses awal pekecambahan adalah proses imbibisi yaitu masuknya air ke dalam benih sehingga kadar air di
dalam benih itu mencapai persentase tertentu (antara 50 –60 %). Proses perkecambahan dapat terjadi jika kulit
benih permeabel terhadap air dan tersedia cukup air dengan tekanan osmosis tertentu (Kuswanto,1996).
Metabolisme perkecambahan benih ditentukan oleh faktor genetik
dan faktor lingkungan. Faktor
genetik merupakan sifat bawaan dari benih seperti sifat ketahanan hidup dan sifat fisik atau sifat kimiawi benih
(Sadjad, 1974).
Aktifnya proses metabolisme dari respirasi pada perkecambahan tidak hanya berhubungan dengan
tersedianya glukosa dalam embrio juga aktivitas enzim yang merupakan katalisator yang sangat penting setelah
pengambilan air sel-sel dari embrio menjadi aktif membesar dan mulai memanjang sebelum kulit biji pecah atau
4946
persediaan makanan utamanya dimobilisir. Bahan-bahan makanan tersebut digunakan untuk pertumbuhan
jaringan embrio setelah dirombak oleh enzim-enzim (Sadjad, 1974).
2.3. Faktor Penyebab Dormansi Biji
Secara umum dormansi diartikan sebagai suatu masa dimana biji tidak berkecambah, meskipun
ditempatkan dalam kondisi yang cocok untuk tumbuh (Dartius, 1988). Biasanya fase dormansi diikuti bersamaan
dengan sebuah periode kondisi iklim yang tidak menguntungkan dari temperatur rendah, atau temperatur tinggi dan
kering (Kuswanto, 1996).
Perkecambahan benih dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam terdiri atas tingkat
kemasakan benih, ukuran benih dan dormansi sedangkan faktor luar terdiri dari air, temperatur, oksigen, dan
cahaya. Dormansi benih yaitu keadaan benih yang tidak aktif dan bersifat sementara artinya benih tidak dapat
berkecambah walaupun berada dalam keadaan lingkungan yang sesuai untuk perkecambahan benih. Dormansi
benih dapat berlangsung beberapa hari bahkan sampai beberapa tahun tergantung jenis tanaman dan tipe dormansi.
Berdasarkan penyebabnya dormansi dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu dormansi fisik dan dormansi fisiologi
(Sutopo, 1988).
Jenis dormansi yang terjadi pada benih sirsak diduga merupakan dormansi fisik yakni kulitnya yang keras,
sehingga sulit untuk ditembus air. Dormansi fisik menyebabkan pembatasan struktural perkecambahan seperti
kulitnya yang keras menjadi penghalang masuknya air atau gas ke dalam benih sirsak. Di samping itu juga dapat
terjadi dormansi fisiologis, dimana mekanisme kerja enzim perangsang pertumbuhan dapat terganggu dan juga
faktor dalam seperti tidak masaknya embrio (Barasa, 1997).
Impermeabilitas (kulit biji yang keras) disebabkan oleh pengendapan bermacam-macam substansi yang
sifatnya kedap baik pada testa atau membran nucelar antara lain seperti: suberin, lignin, atau kutin (Copeland, 1976)
Upaya pemecahan dormansi dapat dilakukan secara skarifikasi fisik dan kimia. Contoh skarifikasi fisik yaitu
dengan cara peretasan kulit biji dan skarifikasi secara kimia dengan menggunakan KNO3.
2.4. Pengaruh Peretasan Kulit Biji
Dipandang dari segi ekonomis terdapatnya keadaan dormansi pada benih dianggap tidak menguntungkan.
Oleh karena itu diperlukan cara-cara agar dormansi dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya lama dormansinya
dapat dipersingkat dengan cara perlakuan fisik yaitu dengan peretasan kulit benih. Perlakuan fisik umumnya
dipergunakan untuk memecahkan dormansi benih yang disebabkan oleh impermeabilitas kulit benih baik terhadap
air atau gas yang diakibatkan oleh resistensi mekanis yang terdapat pada kulit biji (Sutopo, 1988). Menurut
Copeland (1976) peretasan harus dilakukan dengan hati – hati karena jika tidak akan merusak embrio biji .
Hasil penelitian Soejono dan Suskandari (1990) terhadap biji palem raja dan pelem kuning menunjukkan
bahwa waktu berkecambah biji yang diretas nyata lebih cepat dibanding biji yang tanpa diretas. Kulit biji yang
keras menyebabkan terhambatnya pengambilan air oleh biji dimana pada proses perkecambahan hidrasi oleh air
sangat penting. Peretasan kulit biji yang keras secara alami dapat terjadi dan memakan waktu yang lama melalui
proses pembasahan, pengeringan, pembakaran hutan, kemasaman tanah, dan oleh serangan mikroorganisme.
Akibatnya proses perkecambahan jadi lambat dan pertumbuhannya tidak serempak (Copeland, 1976).
4947
2.5. Pengaruh KNO3 terhadap Perkecambahan Biji
Salah satu bahan kimia yang sering digunakan untuk memecahkan dormansi biji adalah kalium nitrat
(KNO3). Kalium nitrat dapat melunakkan kulit benih sehingga memudahkan embrio benih menyerap air dan
oksigen untuk keperluan perkecambahan (Harinoto, 1989 dalam Gurning, 1992). Kulit biji yang lunak akan mudah
ditembus plumula dan radikula. Disamping melunakkan kulit benih KNO3 dapat digunakan untuk menggantikan
fungsi cahaya dan suhu. Kalium nitrat juga mempercepat masuknya oksigen ke dalam biji (Prawitasari, 1999).
Berbagai senyawa kimia termasuk kalium nitrat dapat secara lengkap atau sebagian memecahkan masa dormansi
benih, hal ini tergantung pada sifat kimia dan konsentrasi senyawa kimia tersebut (Dwjiwoseputro, 1981).
Perlakuan secara kimia sebelum benih ditanam dapat mengatasi perkecambahan benih yang tertunda karena
dormansi. Pada konsentrasi 0,1- 0,2 % KNO3 dapat menaikkan perkecambahan benih kopi dan beberapa tamaman
lainnya, akan tetapi perkecambahan akan dihambat oleh konsentrasi garam yang tinggi (Setiadi, 1979).
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Umur Berkecambah
Pengaruh perlakuan peretasan kulit dan konsentrasi KNO3 terhadap umur berkecambah biji sirsak disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 1. Pengaruh Peretasan Kulit dan Konsentrasi KNO3 terhadap Umur Berkecambah Biji Sirsak (hari)
Peretasan
Kulit
P0
P1
Rataan
K0
29.35
27.47
28.41
Konsentrasi KNO3
K1
K2
K3
28.70 29.75 29.42
28.39 28.54 28.06
28.55 29.15 28.74
Rataan
29.31
28.11
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa, tidak ada perbedaan umur berkecambah antara perlakuan biji tanpa
peretasan dengan biji yang diretas. Demikian juga halnya tidak ada perbedaan umur berkecambah antara biji yang
direndam dalam berbagai konsentrasi KNO3.
Tidak adanya perbedaan umur berkecambah biji pada tanpa peretasan biji dengan biji yang diretas dan
yang direndam dalam berbagai konsentrasi KNO3 diduga bahwa biji yang tidak diretas dan tanpa perlakuan
perendaman dalam KNO3 memiliki umur yang relatif sama dengan yang diberi
perlakuan peretasan dan
konsentrasi KNO3. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya senyawa penghambat perkecambahan pada biji
sirsak.
Senyawa penghambat perkecambahan antara lain seperti senyawa fenolik yang larut dalam air atau
senyawa-senyawa lainnya yakni senyawa volatil (yang mudah menguap) sehingga dapat hilang, dengan demikian
penghambatan terhadap biji menurun (Sondheimer Tzou dan Culson, 1968 dalam Wilkins, 1984). Dengan
demikian perkecambahan biji pada kontrol dapat mengimbangi biji –biji yang diperlakukan baik dengan peretasan
maupun pemberian KNO3.
2.2. Indeks Kecepatan Berkecambah
Pengaruh perlakuan peretasan kulit dan konsentrasi KNO3 terhadap indeks kecepatan berkecambah biji sirsak
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Peretasan Kulit dan Konsentrasi KNO3 terhadap Indeks Kecepatan Berkecambah Biji Sirsak
4948
Peretasan
Kulit
P0
P1
Rataan
Konsentrasi KNO3
K0
K1
K2
K3
3.28 3.35 3.33 3.24
3.47 3.42 3.47 3.43
3.37 3.39 3.40 3.34
Rataan
3.30
3.45
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa perlakuan peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 berpengaruh tidak
nyata terhadap indeks kecepatan berkecambah biji sirsak. Indeks berkecambah biji dipengaruhi oleh banyaknya
jumlah biji yang berkecambah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji sirsak yang berkecambah pada
pertengahan dan akhir perkecambahan relatif sama pada perlakuan tanpa peretasan kulit dan peretasan kulit. Hal ini
disebabkan karena pada lapisan pelindung biji sirsak kemungkinan mengandung senyawa-senyawa penghambat
perkecambahan antara lain seperti senyawa fenolik yang larut dalam air, atau senyawa-senyawa lainnya seperti
senyawa volatile sehingga dapat hilang sebagai uap. Dengan hilangnya senyawa volatile, penghambatan terhadap
perkecambahan biji menurun (Sondheimer,tzou dan Culson, 1968) dalam Wilkins, 1984).
2.3. Tinggi Plumula
Pengaruh perlakuan peretasan kulit dan konsentrasi KNO3 terhadap tinggi plumula kecambah biji sirsak disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Peretasan Kulit dan Konsentrasi KNO3 terhadap Tinggi Plumula Kecambah Biji Sirsak
Peretasan
Kulit
P0
P1
Rataan
K0
14.97
14.83
14.90
Konsentrasi KNO3
Rataan
K1
K2
K3
14.80 14.16 14.60 14.63
15.33 14.83 14.69 14.92
15.07 14.49 14.64
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 berpengaruh tidak
nyata terhadap tinggi plumula kecambah biji sirsak.
Pada biji yang kulitnya keras dormansi dapat berlangsung
selama beberapa hari, musim bahkan bertahun-tahun tergantung jenis tanaman dan tipe dormansinya. Dengan
perlakuan peretasan kulit dan perendaman dalam larutan KNO3 belum dapat meningkatkan pertumbuhan plumula.
Hal ini diduga bahwa biji yang tanpa dilakukan perlakuan peretasan dan tanpa perendaman dalam larutan KNO3
dapat megejar biji–biji yang diberi perlakuan peretasan dan perendaman dalam larutan KNO3. Hal ini
kemungkinan disebabkan senyawa penghambat perkecambahan pada biji-biji yang tanpa perendaman dalam
KNO3 tersebut hilang seiring dengan berjalanya waktu dalam hal ini pada lapisan pelindung biji sirsak
mengandung senyawa penghambat perkecambahan antara lain seperti senyawa fenolik yang larut dalam air atau
senyawa-senyawa lainnya yakni senyawa volatil, sehingga dapat hilang sebagai uap. Dengan demikian
penghambatan terhadap perkecambahan biji menurun (Sondheimer Tzou dan Culson, 1968 dalam Wilkins,
1984).
2.4. Panjang Akar
Pengaruh perlakuan peretasan kulit dan konsentrasi KNO3 terhadap panjang akar kecambah biji sirsak disajikan pada
Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh Peretasan Kulit dan Konsentrasi KNO3 terhadap Panjang Akar Kecambah Biji Sirsak
Peretasan
Konsentrasi KNO3
Rataan
4949
Kulit
P0
P1
Rataan
K0
12.40
11.88
12.14
K1
12.91
13.41
13.16
K2
12.31
10.94
11.63
K3
11.98
11.50
11.74
12.40
11.93
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa perlakuan peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 berpengaruh tidak
nyata terhadap panjang akar kecambah biji sirsak. Hal ini disebabkan perlakuan peretasan dan perendaman dalam
KNO3 belum efektif menghilangkan dormansi. Hal ini diduga biji yang tanpa dilakukan perlakuan peretasan dan
tanpa perlakuan konsentrasi KNO3 (kontrol) dapat megejar biji–biji yang diberi perlakuan peretasan dan
konsentrasi KNO3. Hal ini kemungkinan disebabkan senyawa penghambat perkecambahan pada biji-biji yang
tanpa perlakuan (K0) tersebut hilang seiring dengan berjalanya waktu dalam hal ini pada lapisan pelindung biji
sirsak kemungkinan mengandung senyawa penghambat perkecambahan antara lain seperti senyawa fenolik yang
larut dalam air atau senyawa-senyawa lainnya yakni senyawa volatil sehingga dapat hilang sebagai uap dengan
demikian penghambatan terhadap biji menurun. Menurut Sondheimer Tzou dan Culson (1968) dalam Wilkins
(1984) bahwa perkecambahan biji pada perlakuan tanpa perendaman dalam larutan KNO3 kontrol dapat
mengimbangi biji-biji yang diperlakukan baik dengan peretasan maupun pemberian KNO3. Hilangnya senyawasenyawa penghambat perkecambahan dapat disebabkan karena pencucian maupun akibat penyiraman.
3. Kesimpulan dan Saran
3.1. Kesimpulan
1.
Perlakuan peretasan kulit biji dapat mempercepat umur berkecambah, meningkatkan indeks kecepatan berkecambah,
tinggi plumula dan panjang akar.
2.
Konsentrasi KNO3 sebanyak 0.4 % dapat mempercepat umur berkecambah, meningkatkan indeks kecepatan berkecambah,
tinggi plumula dan panjang akar kecambah.
3.
Interaksi peretasan kulit biji dan konsentrasi KNO3 tidak berpengaruh terhadap umur berkecambah, indeks kecepatan
berkecambah, tinggi plumula dan panjang akar.
3.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan bahan kimia yang lain.
Daftar Pustaka
Abidin, Z. 1982. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa, Jakarta.
Bangun, M. K. 1980. Perancangan Percobaan Untuk Analisa Data. Bagian Biometri. Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara. Medan
Barasa, M. 1997. Teknologi Benih. Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Katolik St. Thomas
Sumatra Utara. Medan.
Copeland, L.O. 1976. Principles of
Minneapolis.
Seed Science and Technology. Burgest Publishing Company.
Dartius, 1988. Fisiologi Tumbuhan II. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Dodi S. I. 1999. Agrobisnis : Berburu Komoditi Ekspor. Trubus. Edisi Desember Tahun XXX.
Dwijosaputra, 1981. Teknologi Benih. Rineka Cipta. Jakarta.
4950
Gardner F. P., R. B. Pearce, and R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan. U. I. Press.
Jakarta.
Harjadi, M. M. S. S. 1991. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia. Jakarta.
Kamil, J., 1957. Teknologi Benih I. Angkasa Raya. Padang.
Kuswanto, H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi Produksi dan Sertifikasi Benih. Andi Offset. Yogyakarta
Lakitan, B. 1995. Fisiologi Tumbuhan dan Perkecambahan Tanaman. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Nakasone, H.Y., 1999. Tropical Fruit. CAB International.
Prawitasari, T., 1997. Teknologi Benih. Fakultas Pertanian, Universitas Katolik St. Thomas Sumatera Utara.
Medan.
Radi, J., 1997. Sirsak. Budidaya dan Pemanfaatannya. Kanisius. Jakarta.
Rukmana, R. H., 2001. Usaha Tani Sirsak. Kanisius. Jakarta.
Sadjad, S., 1974. Dari Benih Kepada Benih. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta
Setiadi, 1979. Dormansi Benih: Penataran Ilmu-ilmu Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soedjono, S. dan K. Sukandari, 1996. Peranan Asam Giberelin dan Peretasan Kulit Biji Terhadap
Perkecambahan Biji Palem Raja dan Palem Kuning.
Soetarno, 1998. Zuurzak, Si Kantung Asam. Trubus. Edisi ke-345 Tahun XXIX.
Sutopo, 1988. Teknologi Benih. CV. Rajawali, Jakarta.
Yusuf, D., 1990. Pengaruh Lama Perendaman dan Konsentrasi KNO3 terhadap Perkecambahan Benih Pinang.
Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Wilkins, 1984. Plant Physiology. Pitman Publishing Limited. London.
4951
PENGARUH KOMPENSASI DAN LOYALITAS KARYAWAN TERHADAP PENGUNDURAN
DIRI (INTENSI TURNOVER) KARYAWAN PADA PT. POS INDONESIA CABANG KISARAN
Wan Mariatul Kifti, SE, MM22
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompensasi dan loyalitas karyawan terhadap
penarikan diri karyawan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisa regresi dan probability
sampling terhadap 80 orang karyawan PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran. Metode pengumpulan data dengan
memberikan kuisioner terhadap 80 subyek penelitian dengan menggunakan instrumen yang sebelumnya di uji
cobakan terlebih dahulu kepada subyek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang
negatif yang menunjukkan adanya korelasi yang berlawanan antara kompensasi terhadap intensi turnover
karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori kuat (di ketahui dengan menggunakan tabel
interpretasi nilar r dan r = -0,568 ) artinya semakin tinggi kompensasi yang diberikan perusahaan kepada
karyawan, maka akan semakin rendah intensi turnover karyawan PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran. Terdapat
pengaruh yang negatif yang menunjukkan adanya korelasi yang berlawanan antara loyalitas terhadap intensi
turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori lemah (di ketahui dengan
menggunakan tabel interpretasi nilar r dan r = -0,345 ) artinya, semakin tinggi loyalitas yang dimiliki karyawan,
maka akan semakin rendah intensi turnover. Kategori pengaruh kedua variabel tersebut adalah lemah. Terdapat
pengaruh yang negatif antara kompensasi dan loyalitas secara bersama-sama terhadap intensi turnover karyawan
di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori cukup kuat. Ini menunjukkan korelasi antara kompensasi,
loyalitas dan intensi turnover yang berlawanan artinya semakin tinggi kompensasi dan loyalitas maka akan
semakin rendah intensi turnover.
Kata kunci : kompensasi, loyalitas dan intensi turnover
1. Pendahuluan
22
Dosen Tetap AMIK Royal, Kisaran
4952
1.1. Latar Belakang
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya adalah tenaga
kerja karena memiliki potensi dan kemampuan untuk bertindak ke arah tujuan organisasi. Oleh sebab itu, sumber
daya manusia harus mampu melaksanakan tugas dengan baik serta bertanggung jawab dalam mencapai tujuan
organisasi. Pimpinan suatu organisasi dituntut untuk mengkoordinir dan mengendalikan sumber daya manusia yang
ikut terlibat dalam kegiatan operasionalnya.
Aset organisasi yang paling penting milik perusahaan adalah sumber daya manusia karena mampu
mempengaruhi efisiensi dan efektivitas organisasi serta merupakan elemen penting dalam menjalankan organisasi.
Oleh sebab itu perlu adanya suatu sistem yang dapat mengatur sumber daya manusia tersebut serta menentukan
karyawan-karyawan mana yang diharapkan melaksanakan fungsi dan tugas-tugas tertentu yang harus dituntaskan.
Sistem itu disebut dengan deskripsi pekerjaan atau job discription yang disusun secara terinci, akurat dan ringkas.
Namun salah satu yang menjadi permasalahan disini adalah, bagaimana terus memotivasi karyawan untuk
terus bekerja sesuai dengan deskripsi pekerjaan yang diberikan, untuk menjawab pertanyaan ini, salah satu cara
yang dilakukan oleh perusahaan melalui pemberian kompensasi.
Kompensasi dapat diberikan dalam berbagai macam bentuk baik itu finansial maupun non finansial.
Kompensasi yang diberikan kepada karyawan yang ada di instansi yang satu berbeda dengan pegawai yang ada di
instansi yang lain, begitu pula kompensasi yang diberikan kepada pegawai produksi dan kompensasi yang diberikan
kepada pegawai profesional mempunyai nilai yang berbeda. Kompensasi bagi pegawai produksi biasanya diberikan
berdasarkan pada beberapa program antara lain, pertama, program kerja borongan dimana perolehan dikaitkan
secara langsung dengan jumlah yang dihasilkan karyawan dengan membayar orang yang bersangkutan suatu upah
per potong bagi tiap unit yang dihasilkan. Kedua, program jam standar, dimana karyawan diberi imbalan
berdasarkan presentasi premi yang sama dengan presentasi basil yang dicapai di atas standar. Ketiga, progam
insentif kelompok, dimana perusahaan akan menyusun standar kerja bagi tiap anggota kelompok dan menggunakan
suatu cara perhitungan keluaran yang dihasilkan oleh tiap anggota.
Keputusan pemberian kompensasi berkenaan dengan para pegawai profesional merupakan masalah yang
unik. Salah satu diantaranya adalah bahwa bagi profesional umumnya soal uang barangkali kurang penting
dibandingkan bagi kelompok pegawai lain. Hal ini karena jenis pekerjaan yang dijalankan merupakan pekerjaan
investigatif yang memerlukan kadar kreativitas dan pemecahan masalah yang sangat tinggi sehingga tidak mudah
membandingkan dan mengukur faktor-faktor yang dapat dikompensasikan. Oleh karena itu faktor-faktor yang
dapat dikompensasikan di sini cenderung berfokus pada pemecahan masalah, kreativitas, ruang lingkup pekerjaan
serta pengetahuan teknis dan keahlian.
Perusahaan dengan manajemen yang baik seharusnya menyadari bahwa hakikat karyawan sebagai manusia
yang memiliki kebutuhan yang ingin dipenuhi. Dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar,
sampai kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya seperti kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri. Hal tersebut tidak dapat dihindarkan. Mau tidak mau perusahaan harus bisa memberikan
kesempatan bagi karyawannya untuk memenuhi segala kebutuhannya.
4953
Begitu pula yang terjadi dalam penilaian terhadap penarikan diri karyawan karyawan. Penilaian terhadap
penarikan diri karyawan karyawan dilakukan berdasarkan kinerja dari karyawan tersebut, jumlah jam kerja, disiplin
selama bekerja, dan kecepatan menyelesaikan suatu pekerjaan.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompensasi dan loyalitas karyawan terhadap
penarikan diri karyawan.
1.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisa regresi dan probability sampling terhadap 80
orang karyawan PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran. Metode pengumpulan data dengan memberikan kuisioner
terhadap 80 subyek penelitian dengan menggunakan instrumen yang sebelumnya di uji cobakan terlebih dahulu
kepada subyek penelitian.
2. Uraian Teoritis
Fishbein dan Ajzen dalam (Ferry, 2007) mengajukan teori pembentukan tingkah laku berdasarkan
hubungan timbal balik antara keyakinan (belief), sikap (attitude), dan intensi (intention) individu. Keyakinan
dikategorikan sebagai aspek kognitif yang melibatkan pengetahuan, pendapat dan pandangan individu terhadap
obyek. Sikap dikategorikan sebagai aspek afektif yang mengarah pada perasaan individu terhadap obyek serta
evaluasi yang dilakukannya. Intensi dikategorikan sebagai aspek konatif yang menunjukan intensi individu dalam
bertingkah laku (behavioral intention) dan bertindak ketika berhadapan langsung dengan obyek.
Caplin dalam (Suharsono, 2010) intention adalah suatu maksud atau pamrih tujuan dengan ciri-ciri yang
dapat dibedakan dari proses-proses psikologis yang mencakup referensi atau kaitannya dengan suatu objek.
Morhead dan Griffin dalam (Ferry, 2007) mendefinisikan turnover sebagai penghentian secara permanen
seseorang dari pekerjaannya di suatu organisasi kerja. Sedangkan menurut
Glueck, Sherman dan Bohlander,
dalam Triana (2003) turnover adalah pergerakan pekerja masuk dan keluar pada suatu organisasi kerja.
Menurut Mobley, dkk., (Ferry, 2007) turnover sebagai salah satu bentuk penarikan diri karyawan
merupakan hak individu dalam menentukan pilihannya. Mobley dalam (Daromes, 2006) sebelum terjadinya
turnover, perilaku yang mendahuluinya adalah adanya niatan atau intensi turnover yang merupakan prediktor
terbaik dari turnover.
Jadi intensi turnover adalah adanya niatan atau keinginan
individu yang secara sadar dan penuh
pertimbangan untuk mencari alternatif pekerjaan dan meninggalkan perusahaan tempat ia bekerja sekarang ke
perusahaan lain.
Faktor-faktor penyebab intensi turnover adalah usia, lama bekerja, tingkat pendidikan, lama bekerja,
kepuasan karyawan, keikatan dengan perusahaan, budaya perusahaan. Beberapa aspek-aspek dari intensi turnover
yang dijelaskan oleh Mobley (Ajagbe, dkk., 2012) yaitu :1. Thingking of quiting, mempertimbangkan untuk
meninggalkan organisasi 2. Intention to search, keinginan untuk mencari kerja di luar organisasi dan 3. Intention to
quit, keputusan untuk meninggalkan organisasi.
Dewi (2012) mendefinisikan kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas
jasa yang diberikan oleh organisasi atas pekerjaan yang dilakukan. Menurutnya sistem kompensasi harus dikelola
4954
secara serius dan tepat oleh perusahaan karena jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan pay
dissatisfaction yaitu perasaan ketidakpuasan karyawan atas balas jasa yang diterimanya yang berdampak pada
turnover.
Kompensasi mempunyai pengaruh yang besar dalam penarikan karyawan, motivasi, produktivitas, dan
tingkat perputaran karyawan (Lieke, 2008).
Mondy (2008), memetakan bentuk kompensasi dalam dua kelompok besar yaitu kompensasi keuangan dan
kompensasi non keuangan. Kompensasi keuangan berupa kompensasi langsung yang bersifat finansial sedangkan
kompensasi non keuangan
berupa kepuasan yang diperoleh seseorang dari pekerjaan itu sendiri, atau dari
lingkungan psikologis, dan atau fisik dimana orang itu bekerja.
Dessler (2012) membagi bentuk-bentuk kompensasi, diantaranya kompensasi Finansial yaitu bentuk
kompensasi yang dibayarkan kepada karyawan dalam bentuk uang atas jasa yang mereka sumbangkan pada
pekerjaannya, dan kompensasi non finansial yaitu imbalan yang diberikan kepada karyawan bukan dalam bentuk
uang, tetapi lebih mengarah pada penghargaan seperti pekerjaan yang lebih menantang, jam kerja yang lebih luas,
imbalan karir, jaminan sosial, atau bentuk-bentuk lain yang dapat menimbulkan kepuasan kerja. Aspek-aspek
kompensasi non finansial diantaranya pekerjaan dan lingkungan pekerjaan.
Hasibuan (2013), mengemukakan bahwa loyalitas atau kesetiaan merupakan salah satu unsur yang
digunakan dalam penilaian karyawan yang mencakup kesetiaan terhadap pekerjaannya, jabatan dan organisasi.
Kesetiaan ini dicerminkan dengan kesediaan karyawan menjaga dan membela organisasi didalam maupun diluar
pekerjaan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Steers & Porter (Mardalis, 2012) berpendapat bahwa pertama, loyalitas kepada perusahaan sebagai sikap,
yaitu sejauh mana seseorang karyawan mengidentifikasikan tempat kerjanya yang ditunjukkan dengan keinginan
untuk bekerja dan berusaha sebaik-baiknya dan kedua, loyalitas terhadap perusahaan sebagai perilaku, yaitu proses
dimana seorang karyawan mengambil keputusan pasti untuk tidak keluar dari perusahaan apabila tidak membuat
kesalahan yang ekstrim.
Faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas tersebut meliputi adanya fasilitas-fasilitas kerja, tunjangan
kesejahteraan, suasana kerja, upah yang diterima, karakteristik pribadi individu atau karyawan, karakteristik
pekerjaan, karakteristik desain perusahaan dan pengalaman yang diperoleh selama karyawan menekuni pekerjaan
itu. Aspek-aspek loyalitas karyawan .
Steers & Potter (Soegandhi, dkk., 2013) antara lain: 1). Dorongan yang kuat untuk tetap menjadi anggota
perusahaan.
Kekuatan aspek ini sangat dipengaruhi oleh keadaan individu, baik tujuan kebutuhan, maupun
kecocokan individu
dalam melaksanakan pekerjaan di perusahaan. Keinginan untuk berusaha semaksimal
mungkin bagi perusahaan. 2). Kesamaan persepsi antara karyawan dan perusahaan yang di dukung oleh kesamaan
tujuan dalam perusahaan mewujudkan keinginan yang kuat untuk berusaha maksimal. 3). Kepercayaan yang pasti
dan penerimaan yang penuh atas nilai-nilai perusahaan. Kepastian kepercayaan yang diberikan karyawan tercipta
kepercayaan perusahaan terhadap karyawan itu sendiri
untuk melaksanakan pekerjaannya.
Aspek-aspek loyalitas tersebut mempengaruhi pembentukan loyalitas karyawan, dengan memiliki loyalitas
yang tinggi karyawan akan melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan sesuai dengan apa yang
menjadi harapan perusahaan.
4955
3. Pembahasan
Dalam penelitian ini variable intensi turnover dengan data statistik deskriptif dengan mean 70.75, median
72.00 dan Std. Deviation 5.464 termasuk dalam kategori tinggi dalam skala lima dengan persentase 51.25 %
dengan jumlah frekuensi 41 dari total 80 subyek penelitian artinya kecenderungan atau niatan untuk keluar dari
perusahaan atau organisasi tinggi.
Ada banyak faktor yang memperngaruhi intensi turnover seseorang. Faktor-faktor tersebut cukup
kompleks dan saling berkait antara satu sama lainnya antara lain : usia, lama kerja, tingkat pendidikan, keikatan
terhadap organisasi, kepuasan kerja, dan budaya perusahaan. Selain faktor-faktor tersebut kompensasi juga
memberikan pengaruh terhadap intensi turnover. Sistem kompensasi yang ada harus dikelola secara serius dan tepat
oleh perusahaan, karena jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan pay dissatisfaction yaitu perasaan
ketidakpuasan karyawan atas balas jasa yang diterimanya sehingga akan berdampak pada turnover. Sejalan dengan
penelitian ini variable kompensasi dengan data statistik deskriptif dengan mean 105.12, median 107.00 dan Std.
Deviation 8.516 termasuk dalam kategori tinggi dalam skala lima dengan persentase 43.75 % dengan jumlah
frekuensi 35 dari total 80 subyek penelitian. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kompensasi terhadap
intensi turnover karyawan di perusahaan PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dilakukan Uji Hipotesis 1 dengan
nilai r = -0,682 yang artinya kompensasi dan intensi turnover mempunyai pengaruh yang negatif dengan kategori
kuat. Artinya semakin tinggi kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan, maka akan semakin
rendah intensi turnover karyawan PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran.
loyalitas tersebut dari penelitian ini ditemukan loyalitas memberikan pengaruh terhadap intensi turnover
variable loyalitas karyawan dengan data statistik deskriptif dengan mean 97.36, median 100.00 dan Std. Deviation
6.009 termasuk dalam kategori tinggi dalam skala lima dengan persentase 51.25% dengan jumlah frekuensi 41 dari
total 80 subyek penelitian. Dari hasil uji hipotesis 2 yang peneliti lakukan diperoleh nilai r = -0,345 ini
menunjukkan loyalitas mempunyai pengaruh yang negatif terhadap intensi turnover dengan kategori tingkat lemah.
Artinya, semakin tinggi loyalitas yang dimiliki karyawan, maka akan semakin rendah intensi turnover.
Selanjutnya, untuk menguji hipotesis pengaruh antara kompensasi dan loyalitas secara bersama-sama
terhadap intensi turnover maka peneliti melakukan Uji Hipotesis 3 dengan menggunakan teknik analisa regresi
ganda. Hasil pengujian menunjukkan nilai r = -0,463 atau 46.3% . Pada anova nilai F = 1,234 dengan p = 0.048
karena p < 0.05 artinya kompensasi dan loyalitas secara bersama-sama memberikan pengaruh negatif yang kuat,
dengan demikian terdapat pengaruh yang negatif antara kompensasi dan loyalitas secara bersama-sama terhadap
intensi turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori tingkat cukup kuat. Artinya
semakin tinggi kompensasi dan loyalitas maka akan semakin rendah intensi turnover.
4. Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan
Terdapat pengaruh yang negatif yang menunjukkan adanya korelasi yang berlawanan antara kompensasi
terhadap intensi turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori kuat (di ketahui dengan
menggunakan tabel interpretasi nilar r dan r = -0,568 ) artinya semakin tinggi kompensasi yang diberikan
perusahaan kepada karyawan, maka akan semakin rendah intensi turnover karyawan PT. Pos Indonesia Cabang
Kisaran. Terdapat pengaruh yang negatif yang menunjukkan adanya korelasi yang berlawanan antara loyalitas
4956
terhadap intensi turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori lemah (di ketahui
dengan menggunakan tabel interpretasi nilar r dan r = -0,345 ) artinya, semakin tinggi loyalitas yang dimiliki
karyawan, maka akan semakin rendah intensi turnover. Kategori pengaruh kedua variabel tersebut adalah lemah.
Terdapat pengaruh yang negatif antara kompensasi dan loyalitas secara bersama-sama terhadap intensi
turnover karyawan di PT. Pos Indonesia Cabang Kisaran dengan kategori cukup kuat
(di ketahui dengan
menggunakan tabel interpretasi nilar r dan r = -0,463 ). Ini menunjukkan korelasi antara kompensasi, loyalitas dan
intensi turnover yang berlawanan artinya semakin tinggi kompensasi dan loyalitas maka akan semakin rendah
intensi turnover.
4.2. Saran
1. Bagi pihak perusahaan
Selain memperhatikan kompensasi financial, kompensasi non finansial juga merupakan faktor penting dalam
bekerja. Suasana kerja seperti hubungan antara sesama karyawan, hubungan antara pimpinan dan karyawan
yang baik akan menciptakan keharmonisan dan rasa kekeluargaan. Lingkungan kerja seperti kebersihan dan
kerapihan, tingkat kebisingan juga mempengaruhi. Begitu pula dengan kebijakan perusahaan, jika perusahanan
sangat peduli dengan karyawan maka akan berakibat mengurangi intensi turnover.
2. Kepada Karyawan
Mengukur tingkat kepuasan dalam bekerja tidak hanya selalu dengan kompensasi secara finansial, tetapi dengan
menciptakan lingkungan dan suasana kerja yang nyamanpun akan memberikan kepuasan dalam bekerja.
suasana yang ramah, dan saling menghargai satu sama lain, menjaga kebersihan dan kerapihan lingkungan kerja
pun bisa membuat nyaman dalam bekerja. Banyak hal yang bisa diganti dengan materi atau secara financial
namun suasana kekeluargaan tidak dapat digantikan, dan hal ini akan menumbuhkan loyalitas karyawan dalam
perusahaan. Selain itu perlu ditumbuhkan pola berfikir yang positif dari karyawan terhadap perusahaan tentang
program–program yang telah dilakukan agar apa yang telah menjadi tujuan dari organisasi bisa dicapai.
3. Kepada peneliti selanjutnya
Berdasarkan hasil analisis untuk kompensasi dan loyalitas terhadap intensi turnover, pengaruh kompensasi dan
loyalitas memiliki nilai sebesar 46.3%, artinya 53.7% masih terdapat variabel lain yang mempengaruhi variable
intensi turnover yang dapat digunakan pada penelitian selanjutnya.
Daftar Pustaka
Ajagbe, Long, Sulaeman, dan Nor Khalil. 2012. Journal The Approaches to Increase Employee’s Loyalty
: A Review on Employees’ Turnover Models.
Bangun, Wilson. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Erlangga, Jakarta.
Coulter, Mary & Robbins P. Stephen. 2010. Mengelola Sumber Daya Manusia, edisi kesepuluh jilid 1.
Erlangga, Jakarta.
Dessler, Gary. 2011. Manajemen
Sumber Daya Manusia . Indeks, Jakarta.
Dessler, Gary. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia Human Resource Management 7e) edisi Indonesia.
Prenhallindo, Jakarta.
4957
Flippo, B. Edwin. 2010. Manajemen Personalia. Erlangga, Jakarta.
Frederick, Antony. 2004. The Antecedents of The Employee Loyalty-Custom Loyalty Relationship. School of
Advertising, Marketing and Public Relations Fachnologyculty of Business Queensland University
of Technology
Hadi, Sutrisno. 2004. Analisis Butir untuk Instrumen. Andi, Yogyakarta.
Handoko, Tani. 2013. Manajemen Personalia & Sumber Daya Manusia. BPFE, Yogyakarta.
Hanggraeni, Dewi. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Universitas Indonesia, Jakarta.
Hasibuan, P.S. Malayu. 2013. Manajemen Sumer Daya
Manusia.PT. Bumi Aksara, Jakarta .
Matteson T Michael, Konopaske R, Ivancevich. 2010. Perilaku dan Manajemen Organisasi, edisi ketujuh
jilid 1. Salemba Empat, Jakarta.
Mondy, Wayne R. 2008. SDM Manajemen Sumber Daya Manusia edisi kesepuluh. Erlangga, Jakarta .
Triharsono, Agung. 2012. Talent Management
Gramedia, Jakarta .
Widiastuti, Hardani. 2012. Membangun
Semarang.
Mempertahankan Karyawan Tanpa Menaikkan Gaji. PT.
Loyalitas
Sumber Daya Manusia. Semarang University Press,
Wursanto. 2005. Dasar–Dasar Ilmu Organisasi. Andi, Yogyakarta.
PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR DALAM PROSES PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
PADA TINGKAT SEKOLAH DASAR
Tinur Rahmawati Harahap, M.Pd.23
ABSTRAK
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan meida gambar dalam proses
pembelajaran bahasa Indonesai pada tingkat Sekolah Dasar. Metode penulisan makalah ini menggunakan metode
tinjauan literatur. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa media adalah alat yang dapat membantu proses
belajar mengajar yang berfungsi memperjelas makna pesan yang disampaikan sehingga tujuan pengajaran dapat
tercapai dengan lebih baik, lebih sempurna. Media pembelajaran mempunyai peranan yang penting dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Banyak media yang dapat dibawa ke dalam kelas yang dapat
menggairahkan siswa untuk belajar bahasa Indonesia. Salah satu media yang dapat dipakai untuk pembelajaran
adalah media gambar. Gambar-gambar dapat menjadi sarana yang merangsang kreativitas siswa.
Kata kunci : media gambar dan pembelajaran bahasa Indonesia
23
Dosen Universitas Graha Nusantara, P. Sidempuan
4958
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dalam penyelenggaraan pendidikan metode pembelajaran ada berbagai metode yang dilakukan oleh para
pendidik. Diantaranya adalah metode bermain peran. Pada hakikatnya berbagai metode pembelajaran yang ada
sama-sama saling mendukung dalam proses belajar anak didik. Pada umumnya dalam proses pendidikan pada anak
usia dini lebih diutamakan pada metode menggambar.
Berkaitan dengan penguasaan bahasa siswa tersebut ada beberapa teori perkembangan bahasa anak.
Chomsky menjelaskan apa yang disebut dengan teori nativisme (1965). Paham ini menjelaskan bahwa konsep
kebahasaan pada kanak-kanak sudah dibawa mereka sejak mereka dilahirkan (innate concept). Bertentangan
dengan paham nativisme adalah paham Skinner yang disebut teori behaviorisme (1969).
Paham ini menjelaskan bahwa bahasa bukan merupakan suatu alat atau benda yang bisa dipakai untuk
berkomunikasi tetapi lebih merupakan sebuah perilaku verbal (verbal behaviour) yang hampir sama dengan
perilaku-perilaku manusia yang lain. Paham yang berada di tengah-tengah antara nativisme dan behaviorisme
adalah teorinya Peaget yang disebut teori kognitivisme (1954). Paham ini berpendapat bahwa perkembangan
bahasa anak tidak bisa ditentukan oleh alam semata dan juga tidak bisa dibentuk oleh lingkungan saja, tetapi
ditentukan oleh perkembangan kematangan kognitif atau pikiran mereka selama terusmenerus berinteraksi dengan
lingkungan kebahasaan mereka (Chomsky dalam Izzak, 2006: 4-5).
Dari ketiga teori tersebut, teori kognitivisme merupakan teori yang paling mendekati
dan sesuai dengan kurikulum berbasis teks. Kompetensi bahasa anak ditentukan oleh alam, lingkungan, dan
perkembangan kematangan kognitif atau pikiran mereka selama terus-menerus berinteraksi dengan lingkungan
kebahasaan mereka. Jika dikaitkan dengan konsep teks, maka kompetensi bahasa anak ditentukan oleh 3 faktor
tersebut dan diwujudkan dalam bentuk teks. Teks tersebut bisa lisan, tulis, dan bahkan multimodal, seperti gambar.
Fenomena media gambar ini cukup menarik penulis. Dengan media gambar ternyata dapat memperlancar
interaksi antara guru dengan siswa sehingga kegiatan pembelajaran lebih afektif dan efisien (Ardiani, 2008).
Menurut Saudjana (2002) ada beberapa jenis media pembelajaran yang biasa digunakan dalam proses pengajaran,
diantaranya (1) media grafis seperti gambar, foto, grafik, bagan atau diagram, poster, kartun, komik dan lain-lain,
(2) media tiga dimensi yaitu dalam bentuk model seperti model padat (solid model), model penampang, model
susun, model kerja, mock up, diorama, dan lain-lain, (3) media proyeksi seperti slide, film strips, film, penggunaan
OHP dan lain-lain, dan (4) pengunaan lingkungan sebagai media pengajaran. Media grafis ialah media yang
mengomunikasikan fakta-fakta dan gagasan-gagasan secara jelas melalui perpaduan antara pengungkapan kata-kata
dan gambar. Tujuan utama penampilan berbagai gambar ini adalah untuk memvisualisasikan konsep yang ingin
disampaikan kepada siswa. Masalah selanjutnya, bagaimana media gambar ini jika digunakan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia berbasis teks? Apakah media gambar bisa mendukung kurikulum berbasis teks? Hal inilah yang
menarik penulis untuk membahas peranan media gambar terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar
berbasis teks. Pembahasan masalah ini mengacu peranan media gambar terhadap empat kompetensi dasar bahasa
yaitu mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara.
Mendengarkan ialah proses menangkap bunyi bahasa dengan sengaja tetapi belum memahami ide atau
gagasan wacana/teks yang didengarkan. Kegiatan mendengarkan ini berbeda dengan menyimak. Menyimak ialah
4959
proses menangkap bunyi yang direncanakan dengan penuh perhatian, dipahami, diintepretasi, diapresiasi,
dievaluasi, ditanggapi, dan ditindaklanjuti. Mengacu pada pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi
dasar mendengarkan dalam kurikulum berbasis teks yang dimaksud ialah kompetensi menyimak.
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan meida gambar dalam proses
pembelajaran bahasa Indonesai pada tingkat Sekolah Dasar.
1.3. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan literatur.
2. Uraian Teoritis
2.1. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pengajaran merupakan bagian dari dunia pendidikan yang mempunyai fungsi strategis. Sistem pengajaran
yang baik dan tepat akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan, yaitu membentuk manusia cerdas, terampil, dan
berbudi luhur (Satmoko, 1989:96). Demikian sebaliknya tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara sempurna
bahkan gagal akibat dari sistem pengajaran yang tidak baik.
Pengertian pembelajaran menurut Hamalik dalam bukunya Kurikulum dan Pembelajaran ( 2001: 57)
adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan
prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Unsur material meliputi; buku-buku,
papan tulis, kapur, fotografi, slide, film, audio, dan radio tape. Fasilitas dan perlengkapan terdiri dari ruang kelas,
perlengkapan audio visual, juga komputer (multimedia). Unsur prosedur meliputi; jadwal, metode penyampaian
informasi, praktik, belajar, ujian, dan sebagainya.
Menurut Mulyasa (2004: 100) pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik
dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut
banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut ada dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor
internal adalah faktor yang datang dari dalam diri individu. Faktor eksternal adalah adalah faktor yang datang dari
lingkungan. Tugas guru yang utama adalah mampu mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya
perubahan perilaku peserta didik.
Belajar dan mengajar adalah dua jenis kegiatan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan erat
dalam suatu situasi. Belajar itu biasanya diartikan khusus kepada keaktifan siswa. Sedangkan mengajar itu
dikhususkan pada keaktifan guru (Siahaan, 1987: 2). Jadi proses belajar mengajar adalah proses siswa belajar yang
berinteraksi dengan kegiatan guru mengajar.
Kegiatan pembelajaran bukan sekadar kegiatan mentransfer pengetahuan pada siswa. Siswa bukanlah
objek tetapi subjek. Peroses pembelajaran hendaknya memungkinkan terjadinya proses interaksi dan adanya
pengalaman belajar kepada siswa secara optimal. Siswa tidak hanya penerima informasi tetapi juga pencari
informasi untuk disampaikan kepada pihak lain.
Kegiatan pembelajaran yang interaktif tersebut bermaksud mengantarkan siswa mencapai tujuan yang telah
direncanakan sebelumnya. Dalam buku Interaksi Belajar Mengajar yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral
Pendidikan Dasar Menengah (2003: 7) interaksi pembelajaran yang baik apabila sumber lain (media) mengontrol
4960
penyajian informasi secara lengkap. guru berperan dalam merancang, mengembangkan, dan menilai media atau
menyeleksi media yang terintegrasi dengan tujuan pembelajaran, metode yang dipilih. Pembelajaran yang baik
menggunakan pola multiarah.
Menurut Mulyasa (2004: 101) proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruh
peserta didik terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosial dalam proses pembelajaran. Selain itu peserta
didik menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri.
Sedangkan dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif
pada diri peserta didik seluruhnya. Proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata
menghasilkan output yang banyak dan bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat
dan pembangunan.
Hakikat pembelajaran pada prinsipnya tidak akan terlepas dari komponen-komponen pembelajaran itu
sendiri. Berdasarkan uraian hakikat pembelajaran, unsur-unsur yang terlibat dalam pembelajaran menulis adalah:
1. Guru yang berkualitas;
2. Siswa/peserta didik
3. Kurikulum
4. Perencanaan
5. Pendekatan
6. Media
7. Lingkungan
8. Sumber/ bahan ajar
9. Evaluasi untuk mengetahui hasil
Keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan dengan harmonisasi unsur-unsur tersebut. Adanya
kepincangan pada salah satu unsur akan menghambat tujuan yang ingin dicapai.
Membelajarkan bahasa Indonesia berbeda dengan membelajarkan kompetensi nonbahasa. Perbedaannya
adalah membelajarkann yang nonbahasa kecenderungannya siswa belum menguasai materi tersebut. Sebaliknya
mengajarkan bahasa Indonesia menghadapi peserta didik yang sudah dapat berbahasa Indonesia. Sangat lazim
terdengar ucapan ―untuk apa belajar bahasa Indonesia?‖ ucapan ini dapat menyebabkan kurang bersemangatnya
peserta didik untuk belajar bahasa Indonesia.
Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah membantu peserta didik mengembangkan kemampuan
berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tulis (Purwo, 1997: 13). Kemampuan berkomunikasi yang
mendasar ialah kemampuan menangkap makna dan pesan, termasuk menafsirkan dan menilai, serta kemampuan
untuk mengekspresikan diri dengan bahasa.
Peserta didik diharapkan dapat mempertajam kepekaan perasaan dan meningkatkan kemampuan berpikir
dan bernalar. Sasaran yang dituju bukanlah mengajarkan sesuatu supaya apa yang diajarkan itu dapat diuji secara
objektif. Peserta didik tidak hanya dibekali dengan kemamuan memahami dan menggunakan kalimat melainkan
memahami dan menggunakan kalimat dalam pelbagai konteks komunikasi.
4961
Hal ini sesuai dengan amanat peraturan Menteri Pendidikan Nasioanal nomor 22 tahun 2006 tentang
standar isi. Mata pelajaran bahasa Indonesia yang menjadi bagian dari isi peraturan tersebut mempunyai tujuan
sebagai berikut:
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan
apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia
merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan,
keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan
dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Lebih lanjut dalam peraturan tersebut juga mencantumkan beberapa standar kompetensi mata pelajaran
Bahasa Indonesia, di antaranya standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan sbb:
1. Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta
dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri;
2. Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan
berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;
3. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi
lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya;
4. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan daan kesastraan di
sekolah;
5. Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta
didik dan sumber belajar yang tersedia;
6. Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan
kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Tujuan yang hendak dicapai atau dituju dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut .
1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis.
2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara.
3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.
4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan
sosial.
5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa .
6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Untuk mencapai kemampuan itu siswa perlu dipajankan (exposed) pada aneka bentuk teks lisan maupun
tulis. Dalam pembelajaran itu peserta didik harus banyak membaca. Bacaan tersebut dapat disediakan guru maupun
yang berasal dari peserta didik. Bahan yang disusun dan dikembangkan perlu mempertimbangkan minat siswa dan
tingkat perkembangan usia. Kegiatan ini dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi, juga akan meningkatkan
perkembangan daya nalar dan daya kreatif siswa.
2.2. Model Pembelajaran
4962
Guru dalam mengajarkan bahasa ada dua model yaitu menjelaskan sesuatu kepada peserta didik,
melatihkan sesuatu kepada siswa, dan melibatkan siswa di dalam suatu kegiatan berbahasa. (Purwo, 1997: 19)
Model pembelajaran ini mempunyai berbagai dampak bagi siswa. Pembelajaran dengan model yang pertama, yaitu
guru menjelaskan sesuatu kepada siswa akan menyebabkan siswa lupa. Potensi untuk lupa akan terjadi karena guru
tidak memberikan pengalaman belajar kepada siswa.
Pembelajaran dengan model yang kedua, yaitu guru melatihkan sesuatu kepada siswa menuntut siswa
tekun mengulang-ulang mengerjakan bahan ajar sampai berkali-kali. Apabila siswa setelah diberi latihan berkalikali masih saja belum bisa, guru terus saja melatihkan bahan yang sama itu. hasil yang diharapkan dapat diraih dari
latihan secara bertubi-tubi ini ialah supaya siswa akhirnya dapat menguasai bahan yang disiapkanguru. Bahan yang
disiapkan oleh guru secara rapi dan sistematis itu, melalui banyak kali latihan, akhirnya akan dapat diingat dan
melekat di benak siswa. Namun kegiatan latihan yang bertubi-tubi seperti ini dirasa membosankan tidak hanya bagi
siswa tetapi juga bagi guru.
Guru yang melibatkan siswa untuk melakukan kegiatan berbahasa hanyalah berperan sebagai fasilitator
pembuka jalan atau penyulut api saja bagi suatu kegiatan tertentu. Siswalah yang aktif menjalankan kegiatan ini.
Model ini akan membawa dampak yang bagus pada diri siswa, yaitu siswa lebih memahami, mendalami, dan
mampu menerapkan dalam berbagai situasi. Hal ini terjadi karena siswa diberi pengalaman belajar dan ruang yang
sangat luas untuk mengekspresikan pembelajaran.
Dalam model guru melibatkan siswa untuk melakukan kegiatan berbahasa tidak menenkankan pada hasil
kegiatan tetapi lebih memntingkan proses mengalami sendiri kegiatan berbahasa tersebut. Guru tidak terpaku pada
bahan yang dipersiapkan sebelumnya tetapi siap untuk menyesuaikan diri dengan minat kebutuhan siswa dan
keadaan kelas. Dengan model pembelajaran yang ketiga ini dirasa pembelajaran lebih berhasil dan berarti bagi
siswa dalam mengembangkan segala kemampuan dalam dirinya. Model ini lebih dikenal dengan pendekatan
komunikatif.
2.3. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks dan Media Gambar
Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks merupakan proses belajar mengajar yang implementasinya
menggunakan pendekatan berbasis teks. Artinya siswa dalam belajar tidak hanya menggunakan bahasa sebagai
sarana komunikasi. Namun, siswa dapat menggunakan bahasa sebagai sarana mengembangkan kemampuan
berpikir. Kemampuan berpikir anak ini akan makin berkembang, jika dalam pembelajarannya digunakan media
gambar. Media gambar ini bisa berupa foto, grafik, bagan atau diagram, poster, kartun, komik, slide, film strips,
film, penggunaan OHP, atau menggunakan lingkungan yang siswa kenal. Adanya media gambar tersebut tentu akan
merangsang kemampuan berpikir siswa. Pertama, siswa tertarik dengan medianya. Selanjutnya siswa akan tertarik
isi dari media yang digunakan tersebut. Rasa tertarik inilah yang akan mendorong kemampuan berpikir siswa.
Berkaitan dengan media pembelajaran, diungkapkan pula bahwa gambar yang bisa digunakan adalah
gambar yang ada hubungannya dengan pelajaran yang sedang digarap atau masalah yang dihadapi. Dalam hal ini
guru harus dapat mengarahkan minat siswa yang sedang melihat gambar, yaitu mendapatkan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pikirannya. Gambar harus dapat merangsang partisipasi peserta supaya ia
suka berbicara tentang gambar yang dilihatnya (Suleiman, 1988:28). Syarat-syarat memilih gambar sebagai media
pembelajaran ialah gambar yang dipilih harus (1) yang bagus, jelas, menarik, mudah dimengerti dan dapat
4963
memperlihatkan detail, (2) cukup penting dan cocok untuk hasil yang sedang dipelajari atau masalah yang sedang
dihadapi oleh siswa, (3) merupakan sebuah kebenaran atau autentik, artinya menggambarkan situasi yang serupa
jika dilihat dalam keadaan yang sebenarnya, (4) bersifat sederhana, artinya tidak rumit sehingga tidak mengalihkan
perhatian dari hal-hal yang penting, (5) mempertimbangkan warna yang digunakan, diusahakan warna yang
digunakan dapat memperjelas arti, dan (6) perhatikan ukuran perbandingan (Suleiman, 1988: 29).
Berkaitan dengan media gambar dan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks, berikut ini akan dibahas
empat keterampilan dasar barbahasa Indonesia meliputi mendengarkan, membaca, berbicara dan menulis dengan
menggunakan media gambar.
3. Pembahasan
Siswa mengenali melalui pengamatan terhadap objek, bentuk benda, wujud benda, serta perubahan benda
yang berada di sekitar rumah, jalan, dan sekolah. Siswa dalam hal ini, dikenalkan suatu objek dengan
diperdengarkan objek, bentuk benda, dan wujud benda yang ada di sekitarnya. Jika siswa belum bisa menangkap
apa yang diperdengarkan, guru dalam hal ini bisa merangsang kemampuan berpikir siswa dengan menunjukkan
sebuah gambar. Misalnya saja, gambar binatang yang ada di sekitar kita seperti ayam, bebek, kambing, atau anjing.
Bisa juga, guru menunjukkan gambar hidup hewan atau binatang yang ada di lingkungan sekitar.
Jika siswa kelas I sudah melihat bentuk nyata hewan atau binatang tersebut, siswa akan lebih mudah dan
tertata menggambarkan binatang itu. Hal ini tentu akan berbeda hasilnya, jika siswa belum melihat gambar binatang
itu. Siswa akan menggambarkan binatang tersebut sesuai urutan yang dipikirkannya. Misalnya, siswa A akan
menggambarkan binatang kambing dengan menceritakan dahulu bentuk kaki kambing dan bentuk badannya.
Namun, siswa B akan menggambarkan binatang kambing dimulai dari bentuk badannya, diikuti dengan ciri suara.
Oleh karena guru dalam mengajar tidak menggunakan media gambar, penggambaran siswa pun menjadi tidak
berstruktur. Siswa menjadi bingung, akan dimulai dari mana ia bercerita. Tidak demikian halnya jika guru
menggunakan kurikulum berbasis teks dengan menggunakan media gambar. Jika sudah paham benda yang akan
diceritakan, siswa akan mudah menyampaikan suatu objek secara terarah. . Inilah kelebihan dari kurikulum berbasis
teks.
Untuk selanjutnya, siswa diminta untuk berpikir kritis tentang gambar binatang tersebut dan
menyampaikan apa yang dilihatnya lewat bahasa. Dengan menggunakan gambar ini tentu saja siswa akan lebih
runtut dalam menyampaikan ide atau gagasannya. Di sinilah pendekatan berbasis teks akan berlaku. Guru dalam hal
ini dituntut untuk lebih kreatif menggunakan dan memilih media gambar.
Pembelajaran membaca di sekolah dasar sebenarnya masih dalam batasan siswa sekadar menyuarakan
lambang-lambang tertulis dengan sebaik-baiknya dengan cepat dan
tepat. Kompetensi membacanya lebih
diarahkan pada membaca pemahaman, nyaring, dan indah. Belum pada kompetensi membaca yang kompleks.
Dengan demikian, kompetensi membaca yang dikaitkan dengan kurikulum berbasis teks pun masih dalam batasan
sederhana. Bentuk sederhana ini berdasar pertimbangan siswa sekolah dasar merupakan anak yang masih dalam
tahap belajar membaca. Kondisi siswa yang masih pada tahap belajar membaca ini tentu membuat guru harus sabar
dalam mengarahkan siswanya. Selain kesabaran, guru pun membutuhkan media gambar untuk memudahkan siswa
dalam menangkap dan memahami apa yang dibacanya.
4964
Keterampilan berbicara ini bisa menunjang keterampilan bahasa lainnya. Keterampilan berbicara juga
sering dipandang sebagai tolak ukur utama untuk menilai keberhasilan dalam pembelajaran bahasa. Dalam
pembelajaran aspek berbicara dalam kurikulum berbasis teks ini pun ditekankan bahwa siswa memiliki kompetensi
berbicara secara terstruktur. Agar kompetensi berbicara siswa bisa runtut dan terstruktur, guru bisa menggunakan
media gambar. Guru dapat menentukan dan memilih gambar yang dapat mendukung aspek berbicara.
Media pembelajaran mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran menulis. Banyak media yang
dapat dibawa ke dalam kelas yang dapat menggairahkan siswa untuk menulis. Guru dapat membawa beberapa dus
obat ke dalam kelas ketika akan menyuruh siswa menulis instruksi atau menjelaskan kembali isi petunjuk
penggunaan obat. Gambar-gambar juga dapat menjadi sarana yang merangsang kreativitas siswa untuk menulis.
Dari sebuah gambar yang sederhana siswa dapat menuliskan apa-apa yang tampak dalam gambar. Bahkan seorang
siswa bisa saja menuliskan hal-hal lain selain yang terpampang di gambar. Hal itu menunjukkan bahwa siswa
tersebut kreatif dalam menggali hal-hal yang terlihat maupun tidak terlihat.
3. Penutup
Media adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar yang berfungsi memperjelas makna pesan
yang disampaikan sehingga tujuan pengajaran dapat tercapai dengan lebih baik, lebih sempurna. Media
pembelajaran mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Banyak
media yang dapat dibawa ke dalam kelas yang dapat menggairahkan siswa untuk belajar bahasa Indonesia. Salah
satu media yang dapat dipakai untuk pembelajaran adalah media gambar. Gambar-gambar dapat menjadi sarana
yang merangsang kreativitas siswa.
Daftar Pustaka
IIzzak, Arif. 2006. ―Fungsi Ingatan Bahasa pada Proses Pemerolehan BI Anak-anak‖. Makalah dalam Jurnal
Medan Bahasa.
Rahadi, Aristo. 2003. Media Pembelajaran. Depdiknas, Jakarta.
Rudini dkk.. 1994. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II: Kurikulum untuk Abad ke-21. PT Grasindo,
Jakarta.
Sadiman, Arief S. 1986. Media Pendidikan:Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. CV Rajawali,
Jakarta.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana, Jakarta.
Soedarso. 2002. Speed Reading:Sistem Membaca Cepat dan Efektif. PT Gramedia, Jakarta.
Subana, M. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia: Berbagai Pendekatan, Metode Teknik, dan Media
Pengajaran. Pustaka Setia, Bandung.
Suleiman, Amir Hamzah. 1988. MEDIA AUDIO VISUAL untuk Pengajaran, Penerangan, dan Penyulihan.
Gramedia, Jakarta.
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE UNTUK MENINGKATKAN
AKTIVITAS BELAJAR BAHASA INGGRIS
4965
Dra.Sakila24
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui peningkatan keterampilan berbahasa Inggris Siswa SMP 4
melalui Leraning Cyle. Pembelajaran Pembelajaran siklus merupakan salah satu model pembelajaran dengan
pendekatan kontruktivis. model pembelajaran siklus pertama kali diperkenalkan oleh Robert Karplus dalam
Science Curriculum Improvement Study / SCISPenerapan model pembelajaran Learning Cycle berhasil
meningkatkan aktivitas belajar siswa terlihat dari membaiknya kualitas masing-masing criteria aktivitas tiap
siklusnya. Siklus I:Menulis/membaca sebesar 43%, mengerjakan sebesar 26%, bertanya sesama teman
sebesar 12%, bertanya kepada guru sebesar 11%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 8%.Siklus II:
Menulis/membaca sebesar 28%, mengerjakan sebesar 42%, bertanya sesama teman sebesar 17%, bertanya
kepada guru sebesar 10%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 3%.
1.1. Latar Belakang
Tuntutan terhadap hasil belajar dan aktivitas dalam pembelajaran bahasa saat ini terutama pembelajaran
bahasa Inggris sedikit memaksa para guru untuk tidak lagi mengutamakan pada penyerapan melalui pencapaian
informasi, tetapi lebih mengutamakan pada pengembangan kemampuan dan pemrosesan informasi dalam mencapai
keterampilan berbahasa tersebut. Untuk itu aktivitas peserta didik perlu ditingkatkan melalui latihan-latihan atau
tugas bahasa Inggris dengan bekerja kelompok kecil dan menjelaskan ide-ide kepada orang lain. Selain itu
diperlukan pula model pembelajaran dan perangkat yang mendukung terbentuknya keterampilan berbahasa Inggris.
Merujuk pada kepentingan ini, peneliti sebagai guru yang telah mengajarkan bahasa Inggris selama + 15
tahun di SMP Negeri 4 Medan merasa sangat prihatin dengan hasil yang dicapai selama ini. Waktu begitu lama tapi
pembelajaran lakukan belum menunjukkan peningkatan kualitas yang signifikan dari tahun ketahun. Hasil belajar
bahasa Inggris belum mengembangkan kemampuan berbahasa itu sendiri. Lemahnya kemampuan berbahasa
Inggris siswa ini di tunjukkan dengan kemampuan siswa berkomunikasi baik secara tertulis maupun lisan dalam
bahasa Inggris.
Sementara pembelajaran bahasa Inggris sendiri terjadi dengan mengutamakan penyerapan informasi
sebanyak-banyaknya oleh siswa sehingga kemampuan siswa adalah terbatas pada mengungkapkan kembali apa
yang diperolehnya. Pembelajaran seperti ini ternyata berdampak pada menurunnya aktivitas belajar dan minat
belajar siswa. Kebanyakan siswa menganggap belajar bahasa Inggris hanyalah cukup dengan menghafalkan,
padahal pembelajaran menuntut kemampuan berfikir dengan memproses informasi dan membentuk sendiri maknamakna.
Dalam mengupayakan pemeblajaran berorientasi aktivitas yang mengupayakan hasil belajar berbahasa
Inggris siswa berupa metode telah ditetapkan seperti kerja kelompok namun masih kurang dapat mendongkrak
keterampilan berbahasa Inggris siswa. Karena ternyata mengupayakan pembelajaran berorientasi aktivitas belajar
bukan hal yang mudah diperlukan lebih dari sekedar metode atau model tetapi juga perangkat pembelajaran yang
mendukung, sumber belajar yang memadai dan setting kelas yang memugkinkan. Namun seharusnya pemilihan
model atau metode pembelajaran tidak didasarkan pada ketersediaan perangkat dan bahan ajar melainkan pada
karakter materi dan kompetensi yang ingin dicapai.
24
Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Medan
4966
Sementara materi pembelajaran bahasa Inggris sangat bervariasi sehingga dengan sendirinya
membutuhkan model pembelajaran yang bervariasi pula. Model pembelajaran yang dianggap mampu
meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris siswa dan berbasis pada perangkat yang mengupayakan aktivitas
melatih keterampilan tersebut adalah model pembelajraan Learning Cycle. Melalui model pembelajaran Learning
Cycle merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat
menguasai kompetensi- kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif.
Learning Cycle pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept
introduction), dan aplikasi konsep (concept application).
Berdasar pada uraian permasalahan dan upaya perbaikan pembelajaran diatas,maka penelitian dengan
judul “Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Bahasa
Inggris Siswa di Kelas VIII-10 SMP Negeri 4 Medan”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahn yang diuraikan diatas, maka dapat diidentifikasi permasalahan
dalam pembelajaran bahasa Inggris di SMP Negeri 4 Medan sebagai berikut :
1. Belum ada peningkatan aktivitas dan hasil belajar bahasa Inggris.
2. Aktivitas dan minat belajar siswa yang menurun karena tidak ada variasi model pembelajaran.
3. Siswa mengalami kesulitan dalam kompetensi membaca berupa menemukan main idea dalam teks.
4. Kemampuan guru yang terbatas dalam menerapkan model pembelajaran dalam kelas.
5. Pembelajaran yang selalu berorientasi pada kemampuan menghafal bukan kemampuan berfikir.
1.3. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas masalah yang akan dibahas, maka yang menjadi rumusan-rumusan dalam penelitian
ini adalah:
1. Apakah aktivitas belajar bahasa Inggris siswa meningkat selama menerapkan model pembelajaran Learning
Cycle di kelas VIII-10 SMP Negeri 4 Medan Tahun Pelajaran 2013/2014?
2. Apakah hasil belajar bahasa Inggris siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Learning Cycle
di kelas VIII-10 SMP Negeri 4 Medan Tahun Pelajaran 2013/2014?
1.4. Tujuan Penelitian
Setelah menetapkan rumusan masalah di atas maka, dapat ditentukan tujuan penelitian ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan aktivitas belajar bahasa Inggris siswa selama menerapkan
model pembelajaran Learning Cycle di kelas VIII – 10 SMP Negeri 4 Medan Tahun Pelajaran 2013/2014
2. Untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan hasil berbahasa Inggris siswa setelah menerapkan model
pembelajaran Learning Cycle di kelas VIII-10 SMP Negeri 4 Medan Tahun Pelajaran 2013/2014.
2.1 Kajian Teoritis : Pengertian Belajar
Belajar, perkembangan, dan pendidikan merupakan hal yang menarik dipelajari. Ketiga gejala tersebut
terkait dengan pembelajaran. Belajar dilakukan oleh siswa secara individu. Dalam memperoleh pengertian belajar
yang objektif tentang disekolah, maka perlu dirumuskan secara jelas pengertian belajar. ―Belajar adalah merupakan
4967
usaha untuk memperoleh kepandaian atau ilmu pengetahuan atau perubahan tingkah laku dari belum dapat
melakukan sesuatu menjadi dapat melakukan sesuatu‖(Depdikbud:1994).
Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnnya
menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun. Dalam belajar ditemukan adanya hal
berikut:
(i)
Kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons si pembelajaran.
(ii) Respons si pebelajar, dan
(iii) Konsekuensi yang besifat menguatkan respon tersbut. Pemerkuat terjadi pada stimulus yang menguatkan
konsekuensi tersebut. Sebagai ilustrasi, perilaku respons yang tidak baik diberi teguran dan hukuman.
(Dimyati 2009:9)
Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar merupakan kapabilitas. Setelah
belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan , sikap dan niali. Timbulnya kapabilitas itu adalah dari :
(i)
Stimulus yang berasal dari lingkungan
(ii) Proses kognitif yang dilakukan oleh pebelajar
Dengan demikian belajar adalah seperangkat proses kognitif yang merubah sifat stimulasi lingkungan,
melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru (Dimyati 2009:9).
Sedangkan pengertian belajar didefenisikan Slameto sebagai berikut: ―Belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang secara keseluruhan sebagai
hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya, ―Perubahan perilaku sebagai hasil
dari proses belajar dapat dinikmati dari segi penampilan individu belajar (Slameto 1988).
Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa belajar adalah proses yang dilakukan oleh individu
untuk mendapatkan pengetahuan yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, stimulus yang diberikan, dan
menghasilkan perubahan pada diri individu tersebut.
2.2.
Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya. Salah satu perkembangan pemikiran yang berkembang dalam dunia pendidikan dewasa ini adalah
tentang cara penilaian hasil belajar siswa. Dalam pembelajaran pada paradigma lama nilai keberhasilan siswa
cenderung di tentukan oleh nilai ujian saja tanpa memperhatikan proses, maka menurut pandangan paradigm baru
mementingkan penilaian proses dan penilaian hasil ujian, sehingga penilaian yang dilakukan dapat memberikan
informasi seutuhnya tentang siswa. Tingkat keberhasilan siswa tersebut diukur dengan alat ukur yang sesuai dengan
tujuan belajarnya atau kompetensi yang harus dicapainya . untuk itu perlu dilakukan penilaian atau pengukuran
sepanjang proses pembelajaran yang diikuti siswa.
Hasil belajar biasanya diacukan pada tercapainya tujuan belajar. Hasil belajar yang tampak dari
kemampuan yang diperoleh siswa, menurut Gagne dapat dilihat dari lima kategori, yaitu keterampilan intelektual
(intellectual skills), informasi verbal (verbal information), strategi kognitif (cognitive strategis), keterampilan
motorik (motor skills), dan sikap (attitudes). Sementara itu, belum dalam taksonominya terhadap hasil belajar (
4968
Taksonomi Bloom) mengkategorikan hasil belajar pada tiga ranah atau kawasan, yaitu ranah kognitif (cognitive
domain), ranah afektif (affective domain), ranah psikomotorik (motor skill domain) (Uno,2011:210).
Menurut Chaplin, pengertian hasil belajar atau hasil belajar adalah : ―Hasil belajar merupakan suatu
tingkatan khusus yang diperoleh sebagai hasil dari kecakapan kepandaian, keahlian dan kemampuan di dalam karya
akademik yang dinilai oleh guru atau melalui tes prestasi‖ (1992: 159). Pendapat Chaplin di atas mengandung
pnegertian bahwa prestasi itu hakikatnya berupa perubahan perilaku pada individu di sekolah, perubahan itu terjadi
stetelah individu yang bersangkutan mengalami proses belajar mengajar tertentu.
Pengertian hasil belajar menurut pendapat Mochtar Buchari (1986:940 adalah hasil yang dicapai atau
ditonjolkan oleh anak sebagai hasil belajarnya,baik berupa angka atau huruf serta tindakannya yang mencerminkan
hasil belajar yang dicapai masing-masing anak dalam periode tertentu.
2.3. Pembelajaran Konstruktivisme
Teori konstruktivisme dalam pendidikan terutama berkembang dari hasil pemikiran Vygotsky dalam
Hasratuddin (2004) yang menyimpulkan bahwa siswa mengkonstruksikan sendiri pengetahuan atau menciptakan
makna sebagai hasil pemikiran yang berinteraksi dalam konteks pemikiran. Kontruktivisme merupakan teori
penciptaan makna.Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Selanjtunya Piaget yang
dikenal sebagai pencetus konstruktivis pertama menegaskan bahwa penegtahuan tersebt dibangun dalam pikiran
anak melalui asimilasi dan akomodasi (Dahar, 2003). Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran.
Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga
informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga
cocok dengan rangsangan itu.
Brooks dan Leinhard dalam Hasratuddin (2004) menyatakan bahwa esensi dari teori konstruktivisme
adalah siswa harus mampu secara individual menemukan dan mentransfer informasi-informasi kompleks apabila
mereka harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Belajar menurut teori ini adalah membangun penegtahuan
dari kegiatan, refleksi dan interprestasi, serta pemahaman oleh seseorang sesuai dengan skema yang dimilikinya .
Menurut teori ini mengajar pada dasarnya agar menata lingkunagn agar siswa dapat melakukan kegiatan
belajar dan dalam hal merumuskan masalah yang diajukan oleh siswa. Dengan demikian pembelajaran adalah
sebagai fasilitator.
Strategi konstruktivisme ini merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Peran guru sebagai
fasilitator yang membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip-prinsip dan bukan memberikan ceramah
atau mengendalikan kegiatan seluruh kelas.
Menurut Motlan(1997). Mengungkapan empat prinsip konstruktivisme yaitu:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri,
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid kecuali dengan keaktifan siswa sendiri
untuk menalar,
3. Murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep
yang lebih rinci,
4969
4. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa menjadi
mulus,
Teori belajar konstruktivisme sering juga disebut model mengajar ―perubahan konseptual‖. Berbeda
dengan model mengajar konvensional terdahulu, model ini terdiri dari lima tahapan. Tujuan dari tahapan
pengingatan ini adalah untuk menarik perhatian siswa terhadap pokok bahasan yang sedang dpelajari , membuat
pemahaman secara explicit, dan sadar akan variasi pendapat. Untuk memancing pengetahuan awal mereka atau
prakonsepsi yang mereka miliki, guru dapat melibatkan siswa untuk berdiskusi dan dapat mengajukan pertanyaan
yang memungkinkan siswa mengungkapakn yang sudah di pahami, dialami dan ide mereka tanpa takut akan
dipersalahkan oleh guru.
Ada beberapa model pembelajaran yang dilandasi oleh konstruktivisme (Hasnah,2006) yaitu:
1. Model siklus belajar (Cycle Learning Model),
2. Model pembelajaran generative ( Generative Learning Model),
3. Model CLIS (Children Learning in Science),
4. Model pembelajaran Kooperatif atau CLS (Cooperative Learning Strategis),
Dimana masing-masing model memiliki kekhasan sendiri, tetapi semuanya mengembangkan kemampuan
kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berfikir rasional. Kekhasannya tampak pada tahapan
kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Fase_fase pembelajaran pada kelompok model pembelajaran
kontruktivisme dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Hasnah,2006) :
Tabel 2.1 Fase-Fase Model Pembelajaran Kontruktivisme
Model
Cycle
Learning
Pembelajaran
Generatif
Pembelajaran
Interaktif
CLIS
Pembelajaran
Kooperatif
2.4.
I
II
III
Engage
Exploration
Explanation
Persiapan
Fokus
Tantangan
Persiapan Exploration
Orientasi
Elisitasi
Orientasi
Elisitasi
Pertanyaan
Siswa
Restrukturisasi
Restrukturisasi
IV
V
Elaboration Evaluation
Aplikasi
"-
Refleksi
"-
Aplikasi
Aplikasi
Refleksi
Refleksi
Model Pembelajaran Learning Cycle
Pembelajaran siklus merupakan salah satu model pembelajaran dengan pendekatan kontruktivis. model
pembelajaran siklus pertama kali diperkenalkan oleh Robert Karplus dalam Science Curriculum Improvement Study
/ SCIS (Trowbridge dan Bybee,1996). Menurut Karplus dan Treir dalam Dasna (2009) :
Siklus Belajar (Learning Cycle atau LC) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa
(student centered). Learning Cycle merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi
sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam
pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Learning Cycle pada mulanya terdiri dari fase-fase
eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept
application).
Selanjutnya Dasna(2009) menyatakan bahwa : Learning Cycle 3 fase ini telah dikembangkan dan disempurnakan
Evaluation menjadi 5 fase. Pada Learning Cycle 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration dan
4970
ditambahkan pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept introduction dan
concept application masing-masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu Learning Cycle 5
fase sering dijuluki Learning Cycle 5E ( Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan). Learning
Cycle dalam pendekatan pembelajarannya memiliki lima tahap atau fase yang dapat digambarkan dalam
Menurut Wena (2009:171):
1.
Tahap Pembelajaran
a) Pembangkitan minat (Engagement)
Tahap pembangkitan minat merupakan tahap awal dari siklus belajar. Pada tahapan ini, gurur berusaha
membangkitkan dan mengembangkan minat dan keingintahuan siswa tentang topic yang akan diajarkan. Hal ini
dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan tentang proses factual dalam kehidupan sehari-hari (yang
berhubungan dengan topik bahasan). Dengan demikian, siswa akan memberikan respons/jawaban, kemudian
jawaban siswa tersebut dapat dijadikan pijakan oleh guru untuk mengetahui pengetahuan awal siswa tentang pokok
bahasan. Kemudian guru perlu melakukan identifikasi ada/tidaknya kesalahan konsep pada siswa.
b) Eksplorasi ( Eksploration)
Eksplorasi merupakan tahap kedua model siklus belajar. Pada tahap eksplorasi dibentuk kelompokkelompok kecil antara 2-4 siswa, kemudian diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok nkecil tanpa
pembelajaran langsung dari guru. Dalam kelompok ini siswa didiorong untuk menguji hipotesis dan atau membuat
hipotesis baru, mencoba alternative pemecahannya dengan teman sekelompok, melakukan dan mencatat
pengamatan serta ide-ide atau pendapat yang berkembang dalam diskusi. Pada tahap ini guru berperan sebagai
fasilitator dan motivator. Pada dasarnya tujuan tahap ini adalah mengecek pengetahuan yang dimiliki siswa apakah
sudah benar,masih salah,atau mungkin sebagian salah,sebagian benar.
4.1 Hasil Penelitian
Berikut ini akan dijelaskan kondisi awal siswa kelas VIII-10 yang menyangkut aktivitas dan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Inggris. Untuk mempertegas identifikasi tersebut dilakukan Pretes. Data
hasil Pretes menunjukkan nilai terendah untuk Pretes adalah 0 dan tertinggi adalah 40 dengan KKM (Kriteria
ketuntasan minimum) sebesar 70 maka tidak seorang pun mendapat nilai diatas ketuntasan atau ketuntasan klasikal
adalah 0 %. Nilai rata-rata kelas adalah 14,71 yang juga tidak tuntas. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
siswa tidak belajar di rumah sebelum memulai pembelajaran di sekolah dengan demikian berarti motivasi belajar
siswa rendah.
Penilaian aktivitas diperoleh dari lembar observasi aktivitas dilakukan pada saat siswa bekerja dalam
kelompok diskusi. Pengamatan dilakukan oleh dua pengamat selama 20 menit kerja kelompok dalam setiap
kegiatan belajar mengajar (KBM0. Hasil observasi aktivitas siswa disajikan dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Skor Aktivitas Belajar Siswa Siklus I
4971
No
Aktivitas
Jumlah
Skor
Proporsi
1
Menulis dan membaca
78
19.5
43%
2
Mengerjakan LKS
46
11.5
26%
3
Bertanya pada teman
22
5.5
12%
4
Bertanya pada guru
19
4.75
11%
5
Yang tidak relevan
15
3.75
8%
Data pada Tabel 4.1 dapat dituliskan kembali dalam grafik histogram seperti gambar 4.2 berikut
:
Data Aktivitas Belajar Siklus I
50%
45%
40%
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
Persentase
Gambar 4.2 Grafik Aktivitas Belajar Siswa Siklus I
 Data hasil belajar siswa
Setelah berakhirnya pelaksanaan Siklus I diadakan tes hasil belajar kognitif yang selanjutnya disebut sebagai
Formatif I. hasil belajar kognitif yang diperoleh pada Siklus I selama dua pertemuan disajikan dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi Hasil Formatif I
Nilai
40
50
60
70
Jumlah
Frekuensi
3
5
5
21
34
Ketuntasan
"""61.76%
61.76%
Rata-rata
62.94
Merujuk pada Tabel 4.2. tersebut, nilai terendah Formatif I adalah 40 dan tertinggi adalah 70. Merujuk pada
KKM sebesar 70 maka hanya 21 dari 34 siswa mendapat nilai ketuntasan atau ketuntasan klasikal tercapai sebesar
61,76 %. Nilai ini berada di bawah criteria ketuntasan klasikal sebesar 85% sehingga dapat dikatakan KBM Siklus I
gagal member ketuntasan belajar dalam kelas. Nilai rata-rata kelas adalah 62,94 belum mencapai KKM. Dengan
demikian maka peneliti berusaha melakukan tindakan perbaikan dalam melaksanakan pembelajaran Siklus II yang
dirasa perlu. Data hasil formatif I ini dapat disajikan kembali dalam grafik histogram sebagai berikut. Bentuk grafik
batang dapat dilihat pada Gambar 4.3
4972
Grafik Formatif
Frekuensi
21
3
40
5
50
5
60
70
Gambar 4.3 Grafik Data Hasil Belajar Formatif I
a. Tahap Refleksi I
Berdasarkan hasil belajar keterampilan berbahasa inggris siswa dari pengamatan Siklus I menunjukkan
bahwa masih terdapat beberapa permasalahan/kekurangan dalam pelaksanaan tindakan yang perlu diperbaiki secara
lanjut. Beberapa kelemahan pada Siklus I diantaranya:
a. Adanya siswa yang pasif dan menggantungkan permasalahan yang dihadapi kepada kelompoknya
dibantu dengan pemberian tanggung jawab kerja individu yang ditagih setiap akhir KBM.
b. Interaksi antar siswa belum berjalan dengan baik karena siswa belum terbiasa untuk menyampaikan
pendapatnya kepada sesama teman lainnya dalam menyelesaikan masalah dibantu dengan pemantauan
dan bimbingan dalam diskusi Siklus II.
c. Beberapa siswa belum memahami peran dan tugasnya dalam bekerja kelompok karena belum terbiasa
dengan model pembelajaran yang diterapkan dibantu dengan keterangan tugas pada Siklus II.
Untuk memperbaiki kondisi ini pada Siklus II akan dilakukan tindakan perbaikan diantaranya:
a.
Pemberian tanggung jawab kerja individu yang ditagih setiap akhir KBM untuk meningkatkan
partisipasi aktif tiap siswa dalam kelompok.
b.
Pemantauan dan bimbingan dalam diskusi Siklus II dilakukan dengan bantuan tutor pada masingmasing kelompok yang telah ditentukan sebelumnya sehingga diskusi menjadi lebih hidup dan terarah.
c.
Dilakukan pemberian keterangan tugas pada Siklus II secara spesifik untuk tiap siswa dalam kelompok
sehingga tanggung jawab individu dalam kelompok terbangun dan siswa terbiasa dengan belajar
berdiskusi.
1. Siklus II
a. Tahap Perencanaan
Kekurangan-kekurangan pada Siklus I dibenahi peneliti pada pembelajaran Siklus II ini. Pada siklus II
kelompok dibentuk kembali dengan mempertimbangkan komposisi siswa-siswa unggul sebagai tutor dalam
kelompok untuk meningkatkan kegairahan diskusi, memberikan arahan dan memimpin kelompok. Tugas-tugas
4973
dikumpulkan dengan cara penagihan tiap individu ini untuk meningkatkan partisipsi dan kemampuan siswa dalam
menyelesaikan tugas.
Dalam pembahasan materi ajar, guru menggunakan aturan seperti pada pertemuan sebelumnya, tetapi pada
pembelajaran kali ini guru membenahi gaya mengajarnya seperti melakukan pendekatan kepada siswa yang kurang
perhatian pada saat pelajaran berlangsung. Disamping itu guru juga memberikan kata-kata pujian, semangat agar
siswa menjadi lebih aktif dan menimbulkan keberanian siswa mengerjkan tugas didepan kelas.
Dalam prose pembelajaran ini, guru menyajikan contoh operasi melalui media proyektor dengan harapan
siswa dapat lebih mudah memahami tujuan pembelajaran sehingga tercapaikompetensi yang diharapkan. Pada tiap
akhir pertemuan,guru memberikan PR untuk mengukur kemandirian siswa dalam belajar dan mengukur
kemampuan siswa memahami materi.
b. Pelaksanaan Tindakan
Siklus II dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pertemuan ketiga hari Selasa, tanggal 17 September 2013
dengan materi fungsi sosial, ciri kebahasan, dan makna tekstual dalam teks fungsional pendek descriptive dan
recount diikuti oleh 34 siswa. Pertemuan keempat Senin, tanggal 23 September 2013 dengan materi rumpang teks
pendek berbentuk Descriptive dan penyusunan kata menjadi teks fungsional yang bermakna juga diikuti 34 siswa.
Proses pembelajaran dilakukan sesuai RPP yang telah disusun untuk Siklus I. pada pelaksanaan pembeljaran Siklus
I ini guru sebagai peneliti dibantu dua guru sejawat yang bertinfak sebagai observer yang membantu peneliti
mengamati aktivitas belajar siswa. Kelompok melaksanakan kegiatan dalam LKS melengkapi kalimat dan
melakukan diskusi berpanduan LKS. Jika muncul kesulitan yang tidak dapat diselesaikan secara kelompok mata
diajukan pada guru.
Gambar 4.4 Kegiatan Pembelajaran Siklus II
c. Tahap Observasi
1.
Aktivitas siswa pada Siklus II mengalami peningkatan dibandingkan Siklus I. hasil pengamatan aktivitas
belajar siswa pada Siklus II disajikan pada table 4.3.
Tabel 4.3 Skor Aktivitas Belajar Siswa Siklus II
No
1
2
3
4
5
Aktivitas
Menulis dan membaca
Mengerjakan LKS
Bertanya pada teman
Bertanya pada guru
Yang tidak relevan
Jumlah
Jumlah
45
66
28
17
4
160
Skor
11.25
16.5
7
4.25
1
40
Proporsi
28%
42%
17%
10%
3%
100%
4974
5.1.
Simpulan
Adapun kesimpulan dari upaya meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris siswa dan meningkatkan
partisipasi (aktivitas) dan mengembangkan keterampilan berfikir siswa melalui model pembelajaran Learning Cycle
selama kegiatan belajar mengajar pada materi pokok Descriptive dan recount di kelas VIII-10 SMP Negeri 4
Medan sebagai berikut :
1.
Penerapan model pembelajaran Learning Cycle berhasil meningkatkan aktivitas belajar siswa terlihat dari
membaiknya kualitas masing-masing criteria aktivitas tiap siklusnya.
Siklus I:
Menulis/membaca sebesar 43%, mengerjakan sebesar 26%, bertanya sesama teman sebesar 12%, bertanya
kepada guru sebesar 11%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 8%.
Siklus II:
Menulis/membaca sebesar 28%, mengerjakan sebesar 42%, bertanya sesama teman sebesar 17%, bertanya
kepada guru sebesar 10%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 3%.
2.
Penerapan model pembelajaran Learning Cycle berhasil memperbaiki ketuntasan keterampilan berbahasa
Inggris siswa pada materi pokok Descriptive dan recount dengan menerapkan model pembelajaran
Learning Cycle pada Siklus I mencapai rata-rata 62,94 dengan ketuntasan klasikal 61,76% dan Siklus II
mencapai 87,64 dengan ketuntasan klasikal 91,17%. Dengan demikian terjadi peningkatan ketuntasan
klasikal hasil belajar berbahasa Inggris siswa mencapai 29,41%
Daftar Pustaka
Aqib, Z. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Yrama Widya.Bandung.
Dina, D. (2003). Ampuh Menjadi Cerdas Tanpa Batas Beban. PT.Elex Media Komputindo. Jakarta
Djamarah, S.B. (2002). Psikologi Belajar. Penerbit Rineka Cipta.Jakarta
Emzir.(2008). Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Purwanto, N.(1994). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran.PT Rosdakarya. Bandung.
Sardiman,A.M. (2003). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Slameto,(2003). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. PT.Rineka Cipta.Jakarta.
Sudjana, N. (2008). Penilaian Hasil Belajar Mengajar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Yamin, M. (2008). Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa. Gaung Persada Press. Jakarta.
4975
PENERAPAN MODEL “MAKE A MATCH “ UNTUK PENCAPAIAN KOMPETENSI
IPS TERPADU
Dra. Conny Jeany Francis Matullesy25
ABSTRAK
Melihat keunggulan model pembelajaran Make a match dalam mengupayakan pencapaian kompetensi IPS
Terpadu siswa maka penelitian menggangkat judul "Penerapan Model Pembelajaran Make a match Untuk
Meningkatkan Kompetensi Siswa Pada Mata pelajaran IPS Terpadu di Kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan"
Kompetensi IPS Terpadu siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Make a match pada Formatif I
rata-rata hasil belajar 68 dengan ketuntasan 55% dan Formatif 11 menunjukkan rata-rata 77 dengan ketuntasan
klasikal 85% atau tuntas klasikal dalam dua siklus dengan peningkatan ketuntasan 30%.
1.1. Latar Belakang Masalah
Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan belajar IPS Terpadu. Pembelajaran
IPS Terpadu di SMP Negeri 15 Medan selama ini, peneliti sebagai guru belum begitu fokus menerapkan variasi
model pembelajaran. Keterbatasan sarana yang ada memaksa guru hanya menerapkan model yang dianggap paling
mudah dan tidak membutuhkan banyak media. Model ceramah konseptual, namun hanya sesekali demontrasi
dengan alat peraga dilakukan. Sehingga hasil yang dicapai selama ini belum begitu memuaskan. Belasan tahun
peneliti melaksanakan pembelajaran IPS Terpadu hasilnya selalu belum memuaskan. Belum ada tercapai
kompetensi secara tuntas dalam pembelajaran tanpa program remedial. Tidak adanya variasi pembelajaran yang
lebih berpihak pada siswa mengakibatkan penumpukan ketidaktercapaian kompetensi yang justru semakin
melemahkan minat belajar siswa itu sendiri.
Menyadari kondisi ini, peneliti sebagai guru telah berupaya menerapkan model-model pembelajaran
berorientasi aktivitas belajar siswa untuk mengupayakan pencapaian kompetensi.Salah satu gagasan yang
menjawab permasalahan ini adalah dengan menerapkan penelitian tindakan kelas (PTK). Melalaui PTK bukan
hanya prestasi atau pencapaian kompetensi siswa saja yang diupayakan. PTK dapat dilaksanakan secara kolaboratif
dalam mengatasi keterbatasan yang dimiliki peneliti. Sehingga kolaborasi dilakukan dengan guru sejawat,
pembimbing penelitian, dan nara somber dari LPMP SUMUT dan UNIMED. Dari diskusi kolaborasi diperoleh
suatu rumusan untuk melaksanakan peneltian dengan menerapkan model pembelajaran Make a match dalam
mengupayakan pencapaian kompetensi IPS Terpadu siswa.
Teori belajar dan pembelajaran merumuskan model Make a match yakni model mencari pasangan. Dalam
model pembelajaran Make a match kegiatan pembelajaran terjadi apabila siswa secara individu maupun kelompok
menggunakan beberapa rangkaian peristiwa atau perangkat data yang diberikan sebelumnya dan menerapkannya
atau menarik kesimpulan dari data tersebut menjadi suatu keterpaduan yang sesuai atau menjadikan pasangan
pernyataan yang benar.
Model pembelajaran Make a match dalam mengupayakan pencapaian kompetensi IPS Terpadu siswa,
maka penelitian ini menggangkat judul "Penerapan Model Pembelajaran Make a match Untuk Meningkatkan
Kompetensi Siswa Pada Mata pelajaran IPS Terpadu di Kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan".
25
Guru SMP Negeri 15 Medan
4976
1.2.
Identifikasi Masalah
Merujuk pada latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan
pembelajaran di SMP Negeri 15 Medan sebagai berikut:
1. Pembelajaran IPS Terpadu belum berfokus pada upaya menerapkan variasi model pembelajaran di dalamnya.
2. Penerapan model pembelajaran selalu disesuikan dengan ketersediaan sarana bukan pada pencapaian
kompetensi dan karakteristik materi pelajaran.
3. Aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran IPS Terpadu masih terbatas.
1.3. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas maka penulis merumuskan permasalahnnya sebagi berikut:
1. Apakah kompetensi siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Make a match dalam,
pembelajaran IPS Terpadu di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tabun Pelajaran 2012/2013?
2. Apakah aktivitas belajar siswa meningkat dengan menerapkan model pembelajaran Make a match selama
pembelajaran IPS Terpadu di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tabun Pelajaran 2012/2013?
1.4. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui peningkatan kompetensi siswa setelah menerapkan model pembelajaran Make a match dalam
pembelajaran IPS Terpadu di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013.
2.
Mengetahui peningkatan aktivitas belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran Make a match
selama pembelajaran IPS Terpadu di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013.
1.5. Manfaat Penelitan
Adapun maksud peneliti mengadakan penelitian ini diharapkan dapat berguna. sebagai:
1. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang peranan guru IPS Terpadu dalam meningkatkan
pemahaman siswa belajar pengetahuan sosial
2. Sumbangan pemikiran bagi guru IPS Terpadu dalam mengajar dan meningkatkan kompetensi IPS Terpadu
siswa di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013.
2.5. Model Pembelajaran
Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar. Dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan
pembelajaran. Model pembelajaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan, strategi atau metode pembelajaran.
Saat ini telah banyak dikembangkan berbagai macam model pembelajaran, dari yang sederhana sampai model yang
agak kompleks dan rumit karena memerlukan banyak alat bantu dalam penerapannya.
Ada beberapa ciri-ciri model pembelajaran secara khusus diantaranya adalah :
1.
Rasional teoritik yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya.
2.
Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar.
3.
Tingkah lake mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil.
4977
4.
Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Sedangkan model pembelajaran menurut Kardi dan Nur ada lima model pembelajaran yang dapat
digunakan dalam mengelola pembelajaran, yaitu: pembelajaran langsung; pembelajaran kooperatif; pembelajaran
berdasarkan masalah; diskusi; dan learning strategi.Menurut Sardiman A. M. (2004 : 165), guru yang kompeten
adalah guru yang mampu mengelola program belajarmengajar. Mengelola di sini memiliki arti yang luas yang
menyangkut bagaimana seorang guru mampu menguasai keterampilan dasar mengajar, seperti membuka dan
menutup pelajaran, menjelaskan, menvariasi media, bertanya, memberi penguatan, dan sebagainya, juga bagaimana
guru menerapkan strategi, teori belajar dan pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
Colin Marsh (1996:10) menyatakan bahwa guru harus memiliki kompetensi mengajar, memotivasi peserta
didik, membuat model instruksional, mengelola kelas, berkomunikasi, merencanakan pembelajaran, dan
mengevaluasi. Semua kompetensi tersebut mendukung keberhasilan guru dalam mengajar. Kompetensi adaptif
guru terhadap setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan di bidang pendidikan, baik yang menyangkut
perbaikan kualitas pembelajaran maupun segala hal yang berkaitan dengan peningkatan prestasi belajar peserta
didiknya adalah faktor penentu keberhasilan siswa.
2.6. Model pembelajaran Make a match
Model pembelajaran Make a match dikembangkan oleh Lorna Curron. Model pembelajaran ini dapat
dilakukan dengan cara siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana
yang menyenangkan. Model pembelajaran ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua
tingkatan siswa (Isjoni, 2010: 77).Teknik mencari pasangan atau Make a match merupakan model pembelajaran
yang cukup menyenangkan yang digunakan untuk mengulang materi yang telah diberikan sebelumnya. Namun
materi baru pun tetap bisa diajarkan dengan model pembelajaran ini dengan catatan siswa diberi tugas mempelajari
topik yang akan diajarkan terlebih dahulu, sehingga ketika masuk kelas siswa telah memiliki bekal pengetahuan.
Problem yang diformulasikan memiliki multi jawaban dan soal yang akan diberikan. Contoh penerapan model
pembelajaran Make a match dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika pembelajaran berlangsung guru
memberikan soal beserta pasangan jawabannya secara acak kepada siswa yang kemudian siswa mencari pasangan
dari jawaban atau soal yang telah diberikan. Kegiatan pembelajaran harus membawa siswa dalam mencari
pasangan jawaban atau soal yang telah diberikan oleh guru.
Penerapan model Make a match (dalam Isjoni, 2010:77) dari beberapa temuan bahwa model Make a match
dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokan kartu yang ada di tangan siswa,
proses pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran,
dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat mencari pasangan kartu (Isjoni, 2010: 77).
Langkah-langkah Model pembelajaran Make a match
Langkah-langkah pembelajaran menggunakan model Make a match yaitu sebagai berikut:
1) Membuat potongan-potongan kertas sejumlah siswa yang ada dalam kelas.
2) Mengisi kertas-kertas tersebut dengan jawaban atau soal sesuai materi yang telah diberikan.
3) Mencocokkan semua kartu sehingga akan tercampur antara soal dan jawaban.
4) Membagikan soal atau jawaban kepada siswa.
5) Memberi setiap siswa satu kertas dan menjelaskan bahwa ini adalah aktivitas yang dilakukan berpasangan.
4978
Separuh siswa akan mendapatkan soal dan separohnya akan mendapat jawaban.
6) Meminta semua siswa untuk membentuk huruf U atau berhadapan.
7) Meminta siswa menemukan pasangan mereka. Jika ada yang sudah menemukan pasangan, mints mereka untuk
duduk berdekatan, terangkan juga agar mereka tidak memberi tahu materi yang mereka dapatkan kepada teman
yang lain.
8) Menambahkan langkah-langkah model Make a match yaitu setelah setiap siswa menerima potongan kertas,
mereka diberi waktu untuk memikirkan jawaban atau soal dari kertas yang diterimanya. Setiap siswa yang
dapat menemukan pasangannya dengan tepat sebelum batas waktu diberi poin atau nilai.
9) Mendiskusikan soal yang telah diterima dengan kelompok pasangan.
10) Mengakhiri proses ini dengan membuat klarifikasi dan diskusi
(Tharmizi, 2010).
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah suatu bentuk kajian yang
bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan
mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap, tindakan-tindakan yang dilakukan itu,
serta memperbaiki kondisi dimana, praktek pembelajaran tersebut dilakukan (dalam Mukhlis, 2000:3).
Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka penelitian ini menggunakan
model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Sugiarti, 1997:6), yaitu berbentuk spiral dari sklus yang
satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation
(pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah pemcanaan yang sudah direvisi,
tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada Siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa
identifikasi permasalahan.
3.2. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian tindakan kelas ditempuh dalam 2 (dua) siklus kegiatan. Tahapan-tahapan tersebut
adalah sebagai berikut:
A. Siklus I: Perencanaan Tindakan meliputi:
a)
Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru
tentang sub materi "interaksi sosial, prosses, cin-ciri dan tujuannya" untuk KBM 1 dengan sub materi
"faktor pendorong interaksi sosial" untuk KBM 2. Selanjutnya diubah atau ditambah sesuai dengan
model pembelajaran make a match.
b) Penyusunan instrumen penelitian berupa lembar observasi aktivitas siswa dengan menerapkan model
pembelajaran Make a match dan tes pemahaman siswa tentang interaksi sosial.
2) Pelaksanaan Tindakan dan Observasi (Action and Observation) Melaksanakan tindakan pembelajaran ke-1
dan ke-2 sesuai dengan RPP oleh peneliti sebagai guru di kelas VII-3. Selama proses pembelajaran
dilakukan observasi oleh observer (guru sejawat) untuk mengamati aktivitas siswa. Diakhir Siklus I
dilakukan pula tes hasil belajar siswa untuk mengetahui pemahaman siswa tentang interaksi sosial sebagai
Formatif I.
4979
3) Refleksi (Reflective) dilakukan oleh peneliti dengan kolaborator berdasarkan hasil observasi dan evaluasi
hasil pembelajaran IPS Terpadu dengan model pembelajaran make a match. Dari hasil refleksi kemudian
peneliti berkolaborasi dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing Berta nara sumber dari
UNIMED dan LPMP SUMUT untuk memperbaiki dan menguatkan rencana tindakan Siklus II.
B. Siklus II: Perencanaan Tindakan
Berdasarkan hasil refleksi terhadap proses pembelajaran pada Siklus I maka pada Siklus II disusun skenario
model pembelajaran Make a match dengan revisi tindakan untuk memperbaiki proses. Peneliti berdiskusi
secara kolaboratif dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing serta nara sumber dari UNIMED
dan LPMP SUMUT dengan kegiatan perencanaan meliputi:
a) Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru
tentang sub materi "sosialisasi, tujuan dan agen-agennya" untuk KBM 3 dengan sub materi "jenis dan
tahap-tahap sosialisasi" untuk KBM 4.
b) Penyusunan instrumen penelitian berupa lembar observasi aktivitas siswa dengan menerapkan model
pembelajaran Make a match dan tes pemahaman siswa tentang interaksi sosial.
2) Pelaksanaan Tindakan dan Observasi (Action and Observation) Melaksanakan tindakan pembelajaran ke3 dan ke-4 sesuai dengan RPP model pembelajaran Make a match dengan topik "interaksi sosial" oleh
peneliti sebagai guru IPS Terpadu di kelas VII-3 Selama proses pembelajaran dilakukan observasi oleh
observer (guru sejawat) untuk mengamati aktivitas siswa. Diakhir Siklus II dilakukan pula tes hasil
belajar untuk mengetahui pemahaman siswa tentang interaksi sosial sebagai Formatif II.
3) Refleksi (Reflective) oleh peneliti berkolaborasi guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing serta nara
sumber dari UNIMED dan LPMP SUMUT. Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa dalam
pembelajaran dan ketuntasan hasil belajar siswa ditelaah.
3.5. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian disusun melalui diskusi kolaborasi antara peneliti dengan guru sejawat, pembimbing,
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai
pedoman guru dalam mengajar dan disusun untuk tiap siklus. Masing-masing RPP berisi kompetensi dasar,
indikator pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran khusus, dan kegiatan belajar mengajar.
2.
Tes formatif ini disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, digunakan untuk mengukur
pemahaman siswa tentang interaksi sosial. Tes formatif ini diberikan setiap akhir siklus. Bentuk soal yang
diberikan adalah tes objektif berjumlah 10 soal dengan 4 opsi. Tes formatif ini digunakan untuk mengetahui
kemampuan awal (pretes) dan kemampuan akhir siswa. Setelah kegiatan belajar mengajar dilaksanakan
(Siklus I), maka dilakukan tes formatif disebut formatif I dengan jumlah 5 soal. Akhir KBM pada Siklus II,
dilakukan tes formatif terakhir atau disebut formatif II dengan jumlah 5 soal, dan soalnya diambil dari soal
pretes sesuai dengan materi pembelajaran.
3.
Lembar Observasi Aktivitas Siswa untuk mengamati aktivitas siswa selama berdiskusi kelompok. Lembar ini
digunakan oleh dua pengamat. Ke dua pengamat tersebut mengamati masing-masing satu kelompok setiap
4980
satu KBM yang sudah ditentukan oleh peneliti/guru. Pengamat tidak boleh duduk bersamaan untuk
menghindari data bias. Pengamat mentabulasi data/menceklis pada lembar aktivitas ini selama dua menit
sekali. Sebagai contoh, bila kerja kelompok ditentukan oleh peneliti selama 20 menit maka pengisian data
pada lembar aktivitas jumlah per siswa ada 10 ceklis. 10 ceklis ini posisinya pada 5 aktivitas ini sesuai dengan
pengamatan. Setelah data terkumpul, maka data tersebut dianalisis sehingga setiap aktivitas dapat ditentukan
persentasenya. Observasi aktivitas akan di konfirmasikan dengan data dokumentasi penelitian berupa foto
penelitian.
3.6. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Data yang dianalisis
ini adalah data aktivitas belajar siswa melalui pengamatan aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar,
pengamatan keterampilan guru dalam pengelolaan pembelajaran, dan nilai tes hasil belajar IPS Terpadu pada materi
interaksi sosial. Analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1.
Data penguasaan kompetensi siswa
Secara individual, siswa telah tuntas pemahamannya tentang interaksi sosial jika mencapai skor KKM yang
telah ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran IPS Terpadu kelas VII yakni 70 dengan perhitungan sebagai
berikut:
Skor Siswa =
x 100%
Suatu kelas dinyatakan tuntas belajar jika terdapat > 85% dari jumlah siswa telah tuntas belajar mencapai
KKM. Perhitungan untuk menyatakan ketuntasan belajar siswa secara klasikal :
P=
2.
x 100%
Untuk lembar observasi aktivitas siswa, maka lembar observasi aktivitas siswa dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut:
̅
% = ∑ x 100% dengan
̅
4.2. Pembahasan
Merujuk pada Gambar 4.2 tentang hasil tes, pada Formatif I nilai rata-rata kelas adalah 68 dalam kategori
tidak tuntas. nilai terendah Formatif I adalah 20 dan tertinggi adalah 100 dengan kriteria ketuntasan minimal 70
maka 18 orang siswa dari 40 siswa mendapat nilai dibawah kriteria ketuntasan atau ketuntasan klasikal adalah
sebesar 55%. Dengan mengacu pada ketuntasan klasikal minimum sebesar 85% maka nilai ini berada di bawah
kriteria keberhasilan sehingga dapat dikatakan KBM siklus I gagal memberi ketuntasan belajar dalam kelas.
Meski secara keseluruhan hasil belajar siswa mengalami peningkatan dari pra pembelajaran sampai Siklus
1. Namur hasil pembelajaran sampai diakhir siklus I masih gagal memeberikan ketuntasan belajar secara klasikal
meski ketuntasan rata-rata telah tercapai. Pada siklus I hal ini terjadi karena disebabkan beberapa faktor diantaranya
adalah sebagai berikut.
Beberapa siswa belum memahami peran dan tugasnya dalam bekerja kelompok karena belum terbiasa dengan
4981
model pembelajaran yang diterapkan sehingga aktivitas individual menulis dan membaca menjadi sangat menonjol
(39%). Interaksi antar siswa belum bedalan dengan baik karena siswa belum terbiasa untuk menyampaikan
pendapatnya kepada sesama teman lainnya dalam menyelesaikan masalah sehingga aktivitas bertanya sesama
teman kurang menonjol (7%). Banyak siswa yang pasif dalam ker a dan diskusi dan menggantungkan
permasalahan yang dihadapi kepada kelompoknya sehingga aktivitas kineda yang seharusnya dominan hanya 33%.
Kondisi kelas belum begitu kondusif tampak dari menonjolnya aktivitas tidak relevan dengan KBM mengingat
aktivitas ini tidak perlu ada (6%).
Dari hasil refleksi Siklus I ini maka di rencanakan tindakan perbaikan yang dapat ditempuh untuk Siklus II
diantaranya :
Untuk mengatasi masalah peran dan tugas dalam ker a kelompok maka dalam tugas pada Siklus II diadakan
pembagian keda tiap siswa dalam kelompok.
Untuk mengatasi interaksi yang kurang, maka dalam Siklus II dilakukan pemilihan siswa unggul sebagai tutor
dalam kelompok sehingga menumbuhkan kemandirian kelompok.
Diberikan bantuan pada sub materi pokok yang lebih terarah menggunakan
sket bahan ajar sebagai pengarah aktivitas siswa dilakukan pada Siklus II.
Menginformasikan kembali kepada siswa dalam kelompok bahwa kegiatan memasangkan kartu meskipun
melibatkan kelompok, namun tanggung jawab individu ssangat besar didalamnya dan menjadi patokan penilaian
individu.
Siklus II dilaksanakan dalam dua kali pertemuan sesuai perencanaan. Diakhir siklus II dilaksanakan tes
hasil belajar sebagai Formatif 11. Merujuk pada Gambar 4.2 tentang hasil tes, nilai rata-rata kelas Formatif II adalah
77 yang dalam kategori tuntas. Nilai terendah untuk Formatif 11 adalah 40 dan tertinggi adalah 100 dengan kriteria
ketuntasan minimal 70 maka 34 siswa dari 40 siswa telah tuntas atau ketuntasan klasikal adalah sebesar 85%.
Mengacu pada kriteria ketuntasan klasikal minimum sebesar 85% maka nilai ini berada di atas kriteria keberhasilan
sehingga dapat dikatakan KBM siklus II telah berhasil memberi ketuntasan kompetensi IPS Terpadu dalam kelas
secara menyeluruh.
Data ini didukung oleh aktivitas menunjukkan bahwa aktivitas siswa pada Siklus II lebih baik dari pada
Siklus I yakni:
1. Umumnya siswa tidak membuat kegaduhan didalam kelas sehingga aktivitas tidak relevan turun. (3%).
2. Aktivitas kiner a sudah cukup baik dan dominan (38%).
3. Hanya siswa masih terlihat bingung dengan kondisi pembelajaran yang diberikan dan aktivitas individualnya
menulis dan membaca masih cukup menonjol (33%).
Dengan demikian hasil belajar siswa diakhir Siklus II telah mencapai ketuntasan klasikal. Dengan
demikian tindakan yang diberikan pada Siklus II berhasil memberikan perbaikan hasil belajar secara klasikal pada
siswa. Namun tercatat beberapa aktivitas yang buruk seperti tingginya aktivitas bertanya (17%) temyata belum
mewakili aktivitas yang benar dalam pembelajaran terlihat dalam dokumentasi penelitian bahwa yang tercatat
dalam aktivitas bertanya sesama teman adalah siswa yang mengobrol.
Tindakan yang dilakukan peneliti menggunakan model pembelajaran Make a match dapat membantu guru
dalam meningkatkan kompetensi dan memperbaiki aktivitas belajar siswa terhadap pembelajaran IPS Terpadu.
4982
Tindakan pembelajaran ini dilakukan selama dua siklus yang terdiri dari empat kali tatap muka. Pembelajaran ini
telah diterapkan di kelas selama penelitian agar siswa dapat tertarik dengan pelajaran IPS Terpadu dengan harapan
ketuntasan belajamya meningkat. Make a match adalah pembelajaran yang pada prinsipnya siswa dapat menyerap,
mencerna, dan mengingat bahan pelajaran dengan baik dalam kegiatannya siswa dapat memasangkan seiap kartu
yang dipegangnya. Make a match berupa memsangkan kartu jawaban dengan kartu soal yang menyangkut materi
pelajaran.
Berdasarkan hasil observasi aktivitas diskusi kelompok dan hasil formatif pada Siklus II dapat dievaluasi
bahwa langkah-langkah yang telah diprogramkan dan dilaksanakan telah mampu mencapai tujuan yang diharapkan
dalam penelitian. Meskipun demikian masih terdapat beberapa siswa belum tuntas hasil belajamya. Karena
keterbatasan waktu dan dana dalam penelitian ini, maka penelitian hanya dijadwalkan dalam dua siklus sehingga
pemberian tindakan perbaikan pembelajaran tidak dilanjutkan pada siklus berikutnya. Karena sampai pada Siklus
11 telah berhasil memperbaiki aktivitas dan meningkatkan ketuntasan kompetensi siswa.
5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penerapan model pembelajaran Make a match selama kegiatan belajar mengajar
IPS Terpadu di kelas VII-3 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran. 2012/2013 sebagai berikut:
1. Kompetensi IPS Terpadu siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Make a match pada
Formatif I rata-rata hasil belajar 68 dengan ketuntasan 55% dan Formatif 11 menunjukkan rata-rata 77 dengan
ketuntasan klasikal 85% atau tuntas klasikal dalam dua siklus dengan peningkatan ketuntasan 30%.
2. Aktivitas belajar siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Make a match dengan peningkatan
sebagai berikut :
a.
Data aktivitas siswa rata-rata menurut pengamatan pengamat pada Siklus I antara lain menulis/membaca
(39%), beker a (33%), bertanya sesama teman (7%), bertanya kepada guru (15%), dan yang tidak relevan
dengan KBM (6%).
b.
Data aktivitas siswa rata-rata menurut pengamatan pada Siklus II antara lain menulis/membaca (33%),
bekerja (38%), bertanya sesama teman (17%), bertanya kepada guru (9%), dan yang tidak relevan dengan
KBM (3%).
Daftar Pustaka
Aqib, Z. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya.
Dimyati dan Mudjiono, 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Djamarah, S.B dan Aswan, Z. 2006. Startegi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Lie, A. 2008. Cooperative learning. Jakarta : PT Gramedia
Majid, A. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung : Rosda.
Sagala, S. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV Alfabeta.
Sardiman. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT.Raja Grasindo Persada.
4983
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta.
Slavin, R.E. 2005. Cooperative Learning Teori, Riset,dan Praktik. Bandung : Nusa Media.
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KETERAMPILAN PROSES UNTUK MENINGKATKAN
PENGUASAAN KOMPETENSI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Afrida Lubis26
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk melaporkan hasil PTK dalam upaya meningkatkan Kompetensi Pendidikan Agama
Islam siswa SMP negeri 15 Medan. Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka
penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan, yaitu berbentuk spiral dari sklus yang satu ke siklus yang
berikutnya. Setiap, siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection
(refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan
refleksi. Sebelum masuk pada Siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan.
Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas VIII-3 SMP Negeri 15 Medan tahun ajaran 2013/2014 yang
ber umlah 30 orang siswa. Adapun yang bertindak sebagai observer dalam penelitian ini adalah guru teman
sejawat. Dengan menerapkan model pembelajaran keterampilan proses hasil belajar siswa dari Siklus ke Siklus
berikutnya mengalami peningkatan. Hasil belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran keterampilan
proses pada Formatif I dan Formatif II menunjukkan 13 orang siswa tuntas secara individu, sedangkan ketuntasan
klasikal 46,6% atau tidak tuntas kelas. Pada Siklus 11, tuntas secara individu sebanyak 27 orang siswa, sedangkan
kelas adalah tuntas dengan ketuntasan klasikal sebesar 90% dengan rata-rata siklus I dan siklus II adalah 75,2
clan 88,8.
1.1. Latar Belakang
Peningkatan aktivitas murid dalam pembelajaran dapat memudahkan murid memahami penguasaan
kompetensi materi yang diberikan dan menghindari perasaan jenuh siswa dalam belajar. Selain itu, meningkatnya
aktivitas siswa dalam proses- pembelajaran akan membuat pelajaran lebih bermakna dan berarti dalam kehidupan
siswa. Dikatakan demikian, karena (1) adanya keterlibatan siswa dalam membuat dan menyusun perencanaan
proses belajar mengajar, (2) adanya keterlibatan intelektual dan emosional siswa melalui dorongan dan semangat
yang dimilikinya, (3) adanya ketidaksertaan siswa secara kreatif dalam mendengarkan dan memperhatikan apa
yang disajikan guru. Untuk merumuskan jalan keluar dari permasalahan aktivitas belajar siswa dan penguasaan
kompetensi siswa maka peneliti berupaya dengan menerapkan model-model pembelajaran dalam kelas. Namun
pemahaman dan kemampuan peneliti dalam menerapkan model-model pembelajaran sangat jauh dari sempurna
26
Guru SMP Negeri 15 Medan
4984
sehingga penerapan model tersebut dikemas dalam penelitian tindakan kelas yang dibimbing oleh pembimbing
penelitian dan nara sumber yang berkompeten dalam bidang pendidikan. Dengan penelitian tindakan diharapkan
dapat dirumuskan akar permasalahan dan dapat dianalisis kelemahan peneliti dalam penerapan model
pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran yang direkomendasikan adalah model pembelajaran keterampilan proses.
Model pembelajaran keterampilan proses memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara, nyata bertindak
sebagai seorang ilmuan (Dimyati dan Mudjino, 2002:139). Sehingga pendekatan keterampilan proses menuntut
adanya keterlibatan fisik dan mental-intelektual siswa dalam kelompok. Hal ini dapat digunakan untuk melatih dan
mengembangkan keterampilan intelektual atau kemampuan berfikir serta keterampilan siswa. Selain itu jugs
mengembangkan sikap-sikap ilmiah dan kemampuan siswa untuk menemukan dan mengembangkan imaginasiimaginasi. Dengan demikian siswa dapat memahami manfaat dan tumbuh pula, rasa solidaritas melalui
pembelajaran kelompok. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar pendidikan agama islam siswa.
Dalam hal ini, penulis akan menggunakan instrumen tes hasil belajar untuk memperoleh data hasil belajar dan
instrumen lembar aktivtas belajar siswa untuk memperoleh data aktivitas siswa. Selanjutnya, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul "Penerapan Model Pembelajaran Keterampilan Proses Untuk Meningkatkan
Penguasaan kompetensi Pendidikan Agama Islam -Siswa Di Kelas VIII-3 -SMP Negeri 15- Medan".
1.2. Batasan Masalah
Melihat luasnya cakupan masalah yang teridentifikasi dibanding dengan waktu dan kemampuan yang
dimiliki penulis, agar penelitian ini terarah dan dapat dilaksanakan maka peneliti membatasi masalah sebagai
berikut.
1.
Model pembelajaran yang digunakan adalah Model Pembelajaran Keterampilan Proses.
2.
Materi yang diajarkan dalam penelitian ini adalah beriman kepada kitab Allah dan perilaku terpuji di kelas
VIII-3 semester I T.P 2013/2014
3.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII-3 semester I SMP Negeri 15 Medan T.P 2013/2014.
4.
Penelitian dibatasi pada dua Siklus dengan dua pertemuan pembelajaran tiap Siklusnya.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas yang menjadi rumusan masalah adalah :
1.
Apakah hasil belajar siswa meningkat saat menerapkan model pembelajaran keterampilan proses pada materi
Beriman kepada kitab Allah dan Perilaku Terpuji di kelas VIII-3 semester I SMP Negeri 15 Medan?
2.
Apakah aktivitas belajar siswa meningkat saat menerapkan model pembelajaran keterampilan proses pada
materi Beriman kepada kitab Allah dan perilaku terpuji di kelas VIII-3 semester I SMP Negeri 15 Medan?
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa setelah menerapkan model pembelajaran keterampilan
proses pada materi Beriman kepada, kitab Allah dan Perilaku Terpuji di kelas VIII-3 semester I SMP Negeri 15
Medan.
2. Untuk mengetahui peningkatan aktivitas belajar siswa saat menerapkan model pembelajaran keterampilan
4985
proses pada materi Beriman kepada kitab Allah dan Perilaku Terpuji di kelas VIII-3 semester I SMP Negeri 15
Medan.
2.1. Kerangka Teoritis: Hakikat Belajar Agama Islam
Belajar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah proses perubahan tingkah laku (Depdikbud, 1998: 14).
Hilgard dan. Brower (Hamalik, 1992: 45) mengemukakan bahwa belajar merupakan dalam perbuatan melalui
aktifitas, praktek dan pengalaman. Menurut Slameto (Djamarah, 1994: 22) belajar adalah proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan Hamalik (1992: 55)
mendefinisikan belajar sebagai suatu proses berbuat, bereaksi, memahami berkatadanya pengalaman. Pengalaman
itu sendiri pada dasarnya adalah interaksi antar individu dengan lingkungan. Dengan adanya proses interaksi antara
guru dan siswa, maka akan terjadi perubahan tingkah laku sebagaimana yang diharapkan.
2.2. Pembelajaran Keterampilan Proses
Pembelajaran keterampilan proses adalah suatu pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk ikut menghayati proses penemuan atau penyusunan suatu konsep sebagai suatu keterampilan proses (Syaiful
Sagala, 2009). Sedangkan menurut Depdikbud dalam (Dimyati dan. Mudjono,2009) bahwa keterampilan proses
adalah wawasan atau panutan pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual, social dan fisisk yang
bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah ada dalam diri siswa.
Keterampilan proses memberikan kepada siswa pengertian yang tepat tentang hakikat ilmu pengetahuan.
Siswa langsung mengalami ransangan ilmu pengetahuan dalam kegiatan belajarnya dan lebih mengerti fakta dan
konsep ilmu pengetahuan, karena keterampilan proses selalu menuntut adanya keterlibatan fisik, mental dan
intelektual siswa.
3.1. Desain Penelitian
Penelitan ini termasuk dalam. jenis Penelitian Tindakan Kelas. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yakni
suatu pencermatan terhadap suatu kegiatan yang sengaja dimunculkan dan terjadi di dalam sebuah kelas (Suharsimi
Arikunto, dkk : 16: 2007). Banyak sekali masalah yang ditemukan dalam proses pembelajaran di sekolah. Tentu
para guru diminta untuk mencari solusi dari masalah-masalah itu. Untuk mencari solusi dari masalah itu diperlukan
sebuah penelitian. Dari sinilah dimulai sebuah penelitian yang dimulai dari melihat, membaca, menulis, meneliti
dan melaporkannya dalam bentuk laporan PTK. Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil Tahun Pelajaran
2013/2014 selama 4 (tiga) bulan mulai dari bulan September sampai dengan Desember 2013. Pengambilan data
dilaksanakan pada bulan September dan Oktober selama 4 (empat) KBM yang dibagi dalam 2 (dua) siklus dengan
pokok bahasan Beriman kepada kitab Allah dan Perilaku Terpuji. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah siswa
kelas VIII-3 SMP Negeri 15 Medan tahun ajaran 2013/2014 yang ber umlah 30 orang siswa. Adapun yang
bertindak sebagai observer dalam penelitian ini adalah guru teman sejawat.
Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut Tim Pelatih Proyek PGSM, PTK
adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan
kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap
4986
tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta, memperbaiki kondisi dimana, praktek pembelajaran tersebut dilakukan
(dalam Mukhlis, 2000:3).
Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka penelitian ini menggunakan
model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Sugiarti, 1997:6), yaitu berbentuk spiral dari sklus yang
satu ke siklus yang berikutnya. Setiap, siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation
(pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi,
tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada Siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa
identifikasi permasalahan. Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada, gambar
berikut.
4.1. Hasil Penelitian dan Data
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII-3 Semester Genap SW Negeri 15 Medan Tahun
Pembelajaran 2013/2014 yang berjumlah 30 orang siswa. Penelitian dilakukan mulai bulan Pebruari 2013 sampai
bulan Mei Tahun 2013. Penelitian ini berjalan dalam dua siklus, yang dalam setiap siklusnya berlangsung dua kali
pertemuan atau pembelajaran tatap muka (setiap pertemuan 2 x 45 menit). Setiap siklus penelitian terdiri dari 4
(empat) tahap kegiatan, utama, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Data yang dikumpulkan
dalam setiap siklus adalah data yang berhubungan dengan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa melalui
instrumen pengumpul data yang telah ditetapkan, dalam hal ini adalah melalui format observasi dan lembar soal tes
yang telah disiapkan oleh guru.
Setelah melakukan Siklus I dan Siklus II dan diperoleh data-data hasil belajar dan aktivitas belajar,
maka data tersebut dapat disajikan dalam Tabel. Pengambilan data dilakukan empat kali pertemuan (4 RPP)
dibagi menjadi dua Siklus. Pertemuan pertama, dan pertemuan kedua disebut Siklus I, dan pertemuan ketiga
dan pertemuan keempat disebut Siklus II. Sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar maka dilakukan tes
hasil belajar atau disebut Pretes. Andlisis data menunjukan hasil pretes siswa rata-rata adalah 33,8, hal ini
menunjukan bahwa rata-rata, siswa belum ada persiapan sebelum belajar di sekolah.Di akhir Siklus I siswa
diberikan tes, tes tersebut adalah sebagian dari instrumen pada pretes yang mewakili indikator yang telah
dipelajari. Tes di akhir Siklus I ini disebut sebagai Formatif I. Dari Formatif I diperoleh data yang disajikan
dalam Tabel sebagai berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Hasil Formatif I
Nilai
Frekuensi
57,1
71,4
5
12
Tuntas
Individu
-
Tuntas
Kelas
-
Nilai
rata-rata,
75,2
4987
85,7
Jumlah
13
30
13
13
13%
43,3%
Merujuk pada Tabel 4.1 tersebut, nilai terendah Formatif I adalah 57,1 dan tertinggi adalah 85,7. Kriteria
ketuntasan minimum yang ditetapkan adalah 80 dengan nilai rata-rata sebesar 75,2 maka belum mencapai KKM,
dengan 17 orang mendapat nilai dibawah kriteria ketuntasan atau tidak tuntas, dengan demikian ketuntasan klasikal
adalah sebesar 43,3%. Kriteria ketuntasan klasikal yang ditetapkan adalah 85% siswa memperoleh nilai sama
dengan atau di atas KKM. Sehingga nilai ini jauh berada di bawah kriteria keberhasilan sehingga dapat dikatakan
KBM Siklus I sama sekali tidak berhasil memberi ketuntasan belajar dalam kelas.
Tabel 4.2 Skor Aktivitas Belajar Siswa Siklus I
No
1
2
3
4
5
Aktivitas
Menulis,membaca
Mengerjakan
Bertanya pada. teman
Bertanya pada guru
Yang tidak relevan
Jumlah
Jumlah
80
58
32
24
6
200
Rata-Rata
20
14.5
8
6
1.5
50
Proporsi
40.0%
29.0%
16.0%
12.0%
3.0%
100.0%
Merujuk pada Tabel 4.2, pada Siklus I rata-rata aktivitas I yakni menulis dan membaca memperoleh
proporsi 40%. Aktivitas mengerjakan dalam diskusi mencapai 29,0%. Aktivitas bertanya pada teman sebesar
16,0%. Aktivitas bertanya kepada guru 12,0% dan aktivitas yang tidak relevan dengan KBM sebesar 3,0%. Nilai–
nilai ini memperlihatkan beberapa hal diantaranya, ketika siswa berdiskusi dalam kelompok banyak kelompok yang
terlihat bingung dalam pelaksanaannya sehingga peneliti kewalahan melayani pembimbingan tiap kelompok.
Sementara beberapa siswa tidak aktif dalam melaksanakan diskusi, siswa tersebut hanya berdiam diri, seolah-olah
tidak mau tahu dan hanya melakukan kegiatan menulis dan membaca, meskipun ada beberapa siswa yang aktif
dalam berargumen.
4.1. Refleksi
Setelah siklus I selesai maka peneliti melakukan refleksi. Ketidaktuntasan dan rendahnya hasil Formatif I
tersebut diakibatkan oleh beberapa hal diantaranya, ketika siswa berdiskusi dalam kelompok banyak kelompok
yang terlihat bingung dalam pelaksanaannya, Ada pula yang bingung dengan langkah yang harus dilaksanakan.
Sementara beberapa siswa tidak aktif dalam melaksanakan diskusi, siswa tersebut hanya berdiam diri, seolah-olah
tidak mau tahu meskipun ada beberapa siswa yang aktif dalam berargumen. Kemudian ada beberapa kelompok
yang masih bingung dan tampak belum bisa menarik kesimpulan diskusi. Selain itu ada juga siswa yang tidak serius
dan melakukan tindakan-tindakan yang tidak relevan dengan KBM. Siswa juga tidak mau menyampaikan hasil
diskusi, hal ini dikarenakan siswa kurang percaya diri dan belum terampil dalam mengemukakan pendapat dan
bertanya.
4.2. Pembabasan
Berdasarkan hasil pelaksanaan pada Siklus I dan II dapat dinyatakan bahwa terjadi peningkatan kualitas
pembelajaran yang tampak clan perolehan hasil tes dan Ve-akt-ifan siswa-. -Nfe—rujuk pada -Tab-eT 4.5, -dapat
4988
kits Ti-hat adanya persentase kenaikan nilai siswa dari pretes dengan rata-rata 33,8 dan ketuntasan 0% menjadi ratarata 75,2 dangan ketuntasan klasikal 43,3% pada formatif I. Hal itu menunjukkan bahwa pelaksanaan Siklus I
belum mencapai keberhasilan. Formatif II menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar menjadi rata-rata 88,8.
Hasil Siklus II meski mendapatkan nilai rata-rata diatas KKM, secara klasikal menunjukkan adanya keberhasilan
pembelajaran dengan ketuntasan klasikal mencapai 90%.
secara keseluruhan hasil belajar siswa meningkat dari Pretes, Formatif I, sampai Formatif II. Namur
peningkatan yang terjadi belum mampu memberikan ketuntasn belajar pada siswa baik pada pembelajaran Siklus I
maupun pembelajaran Siklus H. Kondisi ini muncul karena berbagai kendala yang dihadapi saat pelaksanaan
pembelajaran.
Merujuk pada tabel 4.2 dan 4.4, Penilaian aktivitas diperoleh dari lembar observasi aktivitas. Pengamatan
dilakukan oleh dua pengamat selama 20 menit kerja kelompok dalam setiap KBM atau 40 menit dalam satu Siklus.
Dengan pengamatan. setiap 2 merit, maka nilai maksimum yang mungkin teramati untuk satu kategori aktivitas
selama 40 menit adalah 20 kali. Merujuk pada Tabel 4.5, pada. Siklus I rata-rata aktivitas, 1 yakni menulis dan
membaca memperoleh persentasi 40%. Aktivitas mengerjakan dalam diskusi mencapai 29%. Aktivitas, bertanya
pada teman sebesar 16%. Aktivitas bertanya kepadaPeneliti 12% dan aktivitas yang tidak relevan. dengan KBM
sebesar 3%. Merujuk pada Tabel 4.4 pada. Siklus II aktivitas menulis dan membaca turun menjadi 23% yang
sepertinya mengindikasikan bahwa siswa lebih tertarik bekeda secara individu namun ternyata kondisi ini
diimbangi dengan kenaikan aktivitas mengerjakan dalam diskusi yang meningkat menjadi 41,5%. Sementara
aktivitas bertanya pada teman tatap16% dan bertanya pada Peneliti naik menjadi 18,5%.
Kesimpulan awal tentang karakter siswa adalah bahwa siswa tidak mempersiapkan diri untuk belajar di
rumah tentang materi yang baru akan diajarkan di sekolah, Sehingga ketika peneliti melaksanakan Siklus I, peneliti
mengalami berbagai kendala antara lain ketika siswa berdiskusi dalam kelompok banyak kelompok yang terlihat
bingung dalam. pelaksanaannya, ada pula yang hinging fiengan- langkah yang harus_dilaksanakan Sementara
beberapa- siswa tidak aktif dalam melaksanakan diskusi, siswa tersebut hanya berdiam diri, seolah-olah tidak mau
tabu meskipun ada beberapa siswa yang aktif dalam berargumen. Kemudian ada beberapa kelompok yang masih
bingung dan tampak belum bisa menarik kesimpulan diskusi. Kerjasama siswa dalam kelompok masih belum
optimal, masih banyak siswa yang pasif. Mereka memang terlihat seperti mengerjakan, tetapi sebenarnya hanya
sebagian kecil saja dari mereka yang mengerjakan, yang lainnya hanya bergantung pada temannya. Hal ini
dikarenakan siswakurang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan. Kelemahan yang terjadi
pada. Siklus I akan diperbaiki pada Siklus H dengan melakukan tindakan-tindakan. Adapun solusi yang diterapkan
pada pelaksanaan Siklus II dari hasil refleksi diatas antara lain: Peneliti memberikan peringatan agar setiap siswa
mengemukakan pendapatnya pada saat ker a kelompok. Bagi siswa yang tidak mengemukakan pendapatnya pada
saat kerja kelompok, akan dikurangi nilainya.
5.1. Simpulan
Kesimpulan penelitian ini didasarkan pada temuan-temuan dari data-data hasil penelitian, sistematika
sajiannya dilakukan dengan memperhatikan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Adapun kesimpulan yang
diperoleh antara lain :
1. Dengan menerapkan model pembelajaran keterampilan proses hasil belajar siswa dari Siklus ke Siklus
4989
berikutnya mengalami peningkatan. Hasil belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran
keterampilan proses pada Formatif I dan Formatif II menunjukkan 13 orang siswa tuntas secara individu,
sedangkan ketuntasan klasikal 46,6% atau tidak tuntas kelas. Pada Siklus 11, tuntas secara individu
sebanyak 27 orang siswa, sedangkan kelas adalah tuntas dengan ketuntasan klasikal sebesar 90% dengan
rata-rata siklus I dan siklus II adalah 75,2 clan 88,8.
2. Data aktivitas siswa dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan. Data aktivitas siswa menurut kedua
pengamatan pengamat pada Siklus I antara lain menulis, membaca (40,0%), bekerja (29,0% ), bertanyasesama-teman-(16,0%), bertanya kepada. guru (12,0%), dan yang tidak relevan dengan KBM (3,0%). Dan
Data aktivitas siswa menurut pengamatan pada. Siklus II antara lain: menulis/membaca (23,0%), bekerja
(41,5%), bertanya sesama teman (16,0%), bertanya kepada guru (18,5%), dan yang tidak relevan dengan
KBM (1,0%).
Daftar Pustaka
Arikunto, S., (2007), Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Aqib, Zainal. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya. Aunurrahman., (2009), Belajar dan
Pembelajaran, Penerbit Alfabeta, Bandung.
Joyce, Wheil, dan Calhoun, (2010), Model's of Teaching (Model–Model Pengajaran), Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Majid, A., (2009), Perencanaan Pembelajaran, Rosda, Bandung.
Slameto, (2003), Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Trianto., (2009), Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progressif, Kencana Prenada Media Group,Jakarta.
Usman, Moh. Uzer. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya
Wena, M., (2009), Model Pembelajaran Inovatif Kontemporer, Bumi Aksara, Jakarta.
4990
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE UNTUK MENINGKATKAN
HASIL BELAJAR BAHASA INGGRIS
Dewi,S.Pd27
ABSTRAK
Penilitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan untuk mencari solusi atas rendahnya kemampuan bahasa
Inggris siswa. Penggunaan metode yang kurang bervariasi ternyata tidak sesuai dengan variasi keterampilan
berbahasa yang menjadi tujuan.Merujuk pada keunggulan model pembelajaran picture and picture dalam
mengatasi permasalahan keterampilan berbahasa Inggris siswa maka penelitian mengangkat judul “Peningkatan
Keterampilan Berbahasa Inggris Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Di Kelas VI
SD Negeri 066057 Medan”. Keterampilan berbahasa Inggris siswa meningkat dengan menerapkan model
pembelajaran picture and picture pada Siklus I mencapai rata-rata 62 dengan ketuntasan klasikal 68% dan Siklus
II mencapai 80 dengan ketuntasan klasikal 86%.Dengan demikian terjadi peningkatan ketuntasan klasikal
keterampilan berbahasa Inggris siswa mencapai 18%.
1.1. Latar Belakang Masalah
Bahasa Inggris merupakan bahasa yang digunakan dalam komunikasi internasional. Penguasaan bahasa ini
bahkan kepentinganya menjadi bahasa kedua setelah bahasa Indonesia . Di sekolah-sekolah bahasa inggris
dipelajari mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Melihat dari kepentingannya,pembelajaran bahasa
inggris seharusnya adalah upaya memberikan kepada siswa keterampilan menggunakan bahasa tersebut dalam
berkomunikasi. Keterampilan yang dimaksud adalah membaca (reading), menulis (writing), menyimak (listening),
dan berbicara (speaking).
Meskipun telah dirumuskan tujuan dari pembelajaran bahasa inggris itu sendiri, tetapi tidak banyak guru
menyadarinya dan menerapkannya dalam kelas.
Hasil belajar selama ini menggambarkan bahwa kemampuan
siswa dalam berbahasa inggris sangat rendah. Rata-rata siswa cukup baik dalam keterampilan membaca (reading)
dan menulis (writing). Namun keterampilan menyimak (listening) dan berbicara (speaking) sangat rendah. Ini
adalah dampak dari pembelajaran menghafal. Menghafal tentu ada gunanya,tetapi tidak semua materi dan
27
Guru Sekolah Dasar Negeri 066057 Medan
4991
keterampilan dapat diajarkan dengan menghafal. Untuk keterampilan berbahasa yang lebih tinggi tentu dituntut
variasi metode yang lebih sesuai.
Dalam pembelajaran di Sekolah Dasar(SD) penggunaan menghafal sangat tepat dilakukan di kelas rendah
seperti kelas I sampai kelas III, namun tuntutan kompetensi yang lebih tinggi seperti kelas VI sampai kelas VI
penggunaan metode yang tunggal tidak lagi relevan dengan materi dan kompetensi yang sangat dinamis. Sehingga
perlu diterapkan metode-metode lain yang sesuai. Dalam memberikan keterampilan yang lebih beragam, sudah
sepantasnya kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong
yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses
belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa yang
lainnya. Bahkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran koperatif ternyata sangat efektif.
Namun memberikan variasi model atau metode bukanlah hal yang mudah bagi peneliti menerapkannya
dalam kelas. Berbagai keterbatasan mulai dari pengenalan teoritis sampai kemampuan menerapkan dalam kelas
masih menjadi kendala bagi guru. Mengatasi kesulitan ini muncul gagasan melaksanakan penelitian tindakan kelas
melalui kolaborasi dengan guru sejawat dan dibimbing oleh pembimbing serta nara sumber dari LPMP SUMUT
dan UNIMED. Penelitian tindakan dimaksudkan selain memperbaiki keterampilan berbahasa inggris siswa juga
memperbaiki kemampuan guru melaksanakan proses pembelajaran dengan menerapkan model. Kolaborasi
mengatasi keterbatasan peneliti secara teoritis maupun praktis terhadap model pembelajaran.
Hasil diskusi kolaborasi, untuk mengatasi permasalahan keterampilan berbahasa inggris siswa maka
diterapkan model pembelajaran picture and picture. Model pembelajaran picture and picture. Model pembelajaran
ini mengandalkan gambar sebagai media dalam proses pembelajaran. Gambar-gambar ini menjadi factor utama
dalam proses pembelajaran. Sehingga sebelum proses pemeblajaran guru sudah meniapkan gambar yang akan
ditampilkan baik dalam bentuk kartu atau dalam bentuk carta dalam ukuran besar. Model ini dapat membantu siswa
lebih jelas dalam menyimak kalimat-kalimat yang diucapkan guru melalui bantuan gambar yang dipasang.
Merujuk pada keunggulan model pembelajaran picture and picture dalam mengatasi permasalahan
keterampilan berbahasa Inggris siswa maka penelitian mengangkat judul “Peningkatan Keterampilan Berbahasa
Inggris Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Picture And Picture Di Kelas VI SD Negeri 066057
Medan”.
1.2 Rumusan Masalah.
Setelah dibatasi, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Apakah keterampilan berbahasa Inggris siswa meningkat setelah diterapkannya model pembelajaran
picture and picture di kelas VI SD Negeri 066057 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013?
2. Apakah aktivitas belajar bahasa Inggris siswa meningkat setelah diterapkannya model pembelajaran picture
and picture di kelas VI SD Negeri 066057 Medan Tahun Pembelajaran 2012/2013?
1.3.
Cara Pemecahan Masalah
Masalah lemahnya keterampilan bahasa Inggris siswa kelas VI SD Negeri 066057 Medan akan dijawab
dengan menerapkan model pembelajaran picture and picture yang diharapkan memicu aktivitas belajar siswa dan
meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris siswa melalui proses pengelolaan memori dalam media gambar.
4992
Penerapan model picture and picture ini dilakukan dalam dua siklus yang berulang dengan senantiasa melakukan
refleksi diakhir tiap siklus untuk memberikan tindakan-tindakan perbaikan dalam menerapkan model pembelajaran
picture and picture.
1.5.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang diterapkan, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui peningkatan keterampilan berbahasa Inggris siswa setelah diterapkannya model
pembelajaran picture and picture di kelas VI SD Negeri 066057 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013.
2. Untuk mengetahui peningkatan aktivitas belajar bahasa Inggris siswa setelah diterapkannya model
pembelajaran picture and picture di kelas VI SD Negeri 066057 Medan Tahun Pembelajaran
2012/2013.
2.1. Kajian Toeri : Keterampilan Berbahasa Inggris
Keterampilan berbahasa Inggris (English Skills) meliputi 4 hal, yaitu speaking, listening, writing dan
reading. Keempat keterampilan tersebut merupakan keterampilan yang saling berkaitan antara satu dengan yang
lainnya sebagai salah satu media untuk berkomunikasi. Jika ada orang yang berbicara (speaking), tentu juga ada
yang mendengar (listening). Setelah itu orang berkomunikasi menggunakan bahasa tulisan (writing) dan tentu saja
ada yang membaca (reading).
Dalam suatu sumber, Adi Sutrisno mengungkapkan bahwa salah satu kunci sukses belajar bahasa Inggris
adalah mengetahui apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Menurut pengamatannya, seorang
yang belajar bahasa Inggris harus menguasai keempat keterampilan tersbut yaitu vocabulary, grammar dan sound
system harus terlebih dahulu dikuasai sebab itulah yang menjadi dasar kemampuan berbicara, mendengar, menulis
dan membaca tersebut. Dengan mengetahui semakin banyak kosa kata dalam bahasa Inggris maka semakin mudah
sseorang mengungkapkan ide yang ada dalam pikirannya dalam bentuk lisan maupun tertulis. Begitu pun dengan
grammar, semakin tinggi kemampuan seseorang dalam membentuk suatu kalimat yang sesuai dengan aturan
grammar, semakin mudah pula ia dalam berkomunikasi. Keduanya tentu diikuti dengan pengucapan yang tepat
sesuai dengan pronunciation-nya agar dapat dipahami oleh orang lain. Adapun strategi untuk mempelajari bahasa
Inggris, Adi Sutrisno menekankan untuk menggunakan keempat keterampilan tersebut dalam kegiatan nyata seharihari.
Keterampilan yang pertama adalah keterampilan berbicara (speaking). Selalu meningkatkan kemampuan
berbicara dapat membantu seseorang dalam berkomunikasi dengan lebih mudah dan efektif. Berbagai sumber
menyebutkan ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berbicara.dibutuhkan suatu
usaha untuk terus mempraktekkannya. Keterampilan hanya dapat diasah dengan berlatih dan terus berlatih.
2.2.
Model Pembelajaran Picture and picture
Salah satu model yang saat ini popular dalam pembelajaran adalah model pembelajaran picture and picture
ini merupakan salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu
model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang saling asah, silih asih, dan silih asuh.
Model pembelajaran Picture and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan
/ diurutkan menjadi urutan logis.
4993
Model pembelajaran ini mengandalkan gambar sebagai media dalam proses pembelajaran. Gambargambar ini menjadi factor utama dalam proses pembelajaran. Sehingga sebelum proses pembelajaran guru sudah
menyiapkan gambar yang akan ditampilkan baik dlam bentuk kartu atau dalam bentuk carta dalam ukuran besar.
Atau jika di sekolah sudah menggunakan ICT dalam menggunakan Power Point atau software yang lain.
Menurut Jhonson & Johnson, prinsip dara dalam model pembelajaran kooperatif picture and picture adalah
sebagai berikut:
1. Setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya.
2. Setiap anggota kelompok ( siswa ) harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok mempunyai tujuan yang
sama.
3. Setiap anggota kelompok ( siswa ) harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota
kelompoknya.
4. Setiap anggotta kelompok ( siswa ) akan dikenai evaluasi.
5. Setiap anggota kelompok ( siswa ) berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar
bersama selama proses belajarnya.
6. Setiap anggota kelompok ( siswa ) akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang
ditangani dalam kelompok kooperatif. Sesuai dengan namanya, tipe ini menggunakan media gambar dalam
prose pembelajaran yaitu dengan cara memasang/mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
Melalui cara seperti ini diharapkan siswa mampu berfikir dengan logis sehingga pembelajaran menjadi
bermakna.
Langkah-langkah dalam model pembelajaran picture and picture adalah sebagai berikut:
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
Di langkah ini guru diharapkan untuk menyampaikan apakah yang menjadi Kompetensi Dasar mata
pelajaran yang bersangkutan. Dengan demikina maka siswa dapat mengatur sampai sejauh mana yang
harus dikuasainya. Disamping itu guru juga harus menyampaikan indikator-indikator ketercapaian KD,
sehingga sampai dimana KKM yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh peserta didik.
2. Menyampaikan materi sebagai pengantar.
Penyajian materi sebagai pengantar sesuatu yang sangat penting, dari sini guru memberikan momentum
permulaan pembelajaran. Kesuksesan dalam proses pembelajaran dapat dimulai dari sini. Karena guru
dapat memberikan motivasi yang menarik perhatian siswa yang selama ini belum siap. Dengan motivasi
dan teknik yang baik dalam pemberian materi akan menarik minat siswa untuk siswa untuk belajar lebih
jauh tentang materi yang dipelajari .
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini berbentuk Penelitian Tindakan Kelas 9PTK). PTK pertama kali diperkenalkan oleh psikologi
social Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946 (Aqib, 2006 ;130. Penelitian tindakan kelas adalah
penelitian yang dilakukan oleh guru di kelas atau disekolah dengan penekanan pada penyempurnaan atau
peningkatan proses pembelajaran. Menurut Lewin dalam Aqib (2006 :21) menyatakan bahwa dalam satu Siklus
terdiri atas empat langkah,yaitu perencanaan (Planning), tindakan (acting), observasi (observing) dan refleksi
(reflecting). Adapun desain pelaksanaan PTK yang penulis rencanakan dalam penelitian adalah dalam dua siklus PTK
4994
3.4. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian tindakan kelas ditemuh dalam 2 (dua) siklus kegiatan.Tahapan-tahapan tersebut adalah
sebagai berikut:
A. Siklus I
Kegiatan pada Siklus I meliputi:
1) Perencanaan Tindakan
Pada tahap ini peneliti berdiskusi secara kolaboratif dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing
serta nara sumber dari UNIMED dan LPMP SUMUT dengan kegiatan perencanaan meliputi:
a) Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru
tentang sub materi ―membuat paragraph pendek tentang hobby‖ untuk KBM 1 dengan sub materi
―membuat pertanyaan‖ untuk KBM 2. Selanjutnya diubah atau ditambah sesuai dengan model
pembelajaran picture and picture.
b) Penyusunan instrument penelitian berupa tes keterampilan berbahasa Inggris siswa dan lembar
observasi kegiatan pembelajaran siswa dengan menerapkan model pembelajaran picture and picture.
2)
Pelaksanaan Tindakan dan obsevasi (Action and Observation)
Melaksanakan tindakan pembelajaran ke-1 dan ke-2 sesuai dengan RPP oleh peneliti sebagai guru di
kelas VI.Selama proses pembelajaran dilakukan observasi oleh observer (guru sejawat) untuk mengamati
aktivitas belajar siswa. Diakhiri Siklus I dilakukan pula tes hasil belajar sisa untuk mengetahui
keterampilan berbahasa Inggris siswa sebagai Formatif I.
3)
Refleksi (Reflective)
Kegiatan refleksi dilakukan oleh peneliti dengan kolaborator berdasarkan hasil observasi dan evaluasi
hasil pembelajaran bahasa Inggris dengan model pembelajaran picture and picture. Dari hasil refleksi
kemudian peneliti berkolaborasi dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing serta nara sumber
dari UNIMED dan LPMP SUMUT untuk memperbaiki dan menguatkan rencana tindakan Siklus II
B. Siklus II
Kegiatan pada Siklus II meliputi:
1) Perencanaan Tindakan
Berdasarkan hasil refleksi terhadap proses pembelajaran pada Siklus I maka pada Siklus II disusun scenario
model pembelajaran picture and picture dengan revisi tindakan untuk memperbaiki proses. Peneliti
berdiskusi secara kolaboratif dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing serta nara sumber dari
UNIMED dan LPMP SUMUT dengan kegiatan perencanaan meliputi:
a)
Penysunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru
tentang sub materi ―melakukan dialog tentang hobby‖ untuk KBM 3 dengan sub materi‖membaca
dan melengkapi cerita‖ untuk KBM 4.
b)
Penyusunan instrument penelitian berupa tes keterampilan berbahasa Inggris siswa dan lembar
observasi kegiatan siswa terhadap proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran
picture and picture.
2) Pelaksanaan Tindakan dan Observasi (Action and Observation)
4995
Melaksanakan tindakan pembelajaran picture and picture dengan topic ―hobby‖ oleh peneliti sebagai guru
Bahasa Inggris di kelas VI. Selama proses pembelajaran dilakukan observasi oleh observer (guru sejawat)
untuk mengamati aktivitas siswa. Diakhir Siklus II dilakukan pula tes hasil belajar untuk mengetahui
keterampilan berbahasa Inggris siswa sebagai Formatif II.
3) Refleksi (Reflective)
Setelah kegiatan pembelajaran Siklus II dilaksanakan, dilanjutkan dengan kegiatan refleksi oleh peneliti
berkolaborasi guru mata pelajaran sejenis dan pembimbibng serta nara sumber dari UNIMED dan LPMP
SUMUT. Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran dan ketuntasan hasil belajar
siswa ditelaah.
3.5.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian disusun melalui diskusi kolaborasi antara peneliti dengan guru sejawat,pembimbing,
dan nara sumber dari LPMP SUMUT dan UNIMED. Perangkat Siklus I disusun dalam perencanaan Siklus I.
Sementara dalam Siklus II perangkat disusun dalam perencanaan Siklus II,ini dimaksudkan agar teridentifikasi
kelemahan pembelajaran dan tersusun rencana yang direvisi terlebih dahulu. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari:
1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Yaitu merupakan perangkat pembelajaran yang diguankan sebagai pedoman guru dalam mengajar dan disusun
untuk tiap siklus. Masing-masing RPP berisi kompetensi dasar, indicator pencapaian hasil belajar, tujuan
pembelajaran khusu, dan kegiatan belajar mengajar.
2. Tes formatif
Tes ini disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, digunakan untuk mengukur keterampilan
berbahasa Inggris siswa. Tes formatif ini diberikan setiap akhir siklus. Bentuk soal yang akan diberikan adalah
tes objektif berjumlah 10 soal. Tes formatif ini digunakan untuk mengetahui kemampuan awal (pretes) dan
kemampuan akhir siswa. Setelah kegiatan belajar mengajar dilaksanakan (Siklus I), maka dilakukan tes
formatif disebut formatif I dengan jumlah 5 soal . akhir KBM pada Siklus II, dilakukan tes formatif terakhir
atau di sebut formatif II dengan jumlah
5 soal, dan soalnya diambil dari soal pretes sesuai dengan materi
pembelajaran.
4.1.Hasil Penelitian
Berikut ini akan dijelaskan kondisi awal siswa kelas VI yang menyangkut aktivitas dan hasil belajar siswa
pada mata pelajaran bahasa Inggris. Untuk mempertegas identifikasi tersebut dilakukan pretes. Data hasil Prestes
menunjukkan nilai terendah untuk Pretes adalah 0 dan tertinggi adalah 30 dengan KKM (Kriteria ketuntasan
minimum) sebesar 70 maka tidak seorang pun mendapat nilai diatas ketuntasan atau ketuntasan klasikal adalah 0 %.
Nilai rata-rata kelas adalah 22 yang juga tidak tuntas. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa tidak
belajar di rumah sebelum memulai pembelajaran di sekolah dengan demikian berarti motivasi belajar siswa rendah.
1. Siklus I
A. Tahap Perencanaan

Pemilihan Materi
4996
Memilih materi yang memungkinkan dapat dipelajari siswa secara mandiri. Pada Siklus ini
disampaikan materi tentang Hobby.

Membentuk Kelompok
Merancang pembelajaran dengan membentuk kelompok belajar siswa, setiap kelompok
beranggotakan 4-5 orang siswa. Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan jumlah siswa
yang ada. Jumlah siswa dalam penelitian ini ada 28 siswa. Maka setiap kelompok berjumlah 4-5
orang siswa, Pembentukan kelompok pada Siklus I dengan memilih anggota kelompok secara acak
(urutan tempat duduk). Hal ini memungkinkan siswa belajar bersama anggota kelompoknya tidak
pilah-pilih teman. Hal ini di maksudkan agar terjadi heterogenitas dalam kelompok.

Menyusun RPP
Rencana pelaksanaan pembelajaran Siklus I dan I memuat kompetensi dasar mendengarkan dan
berbicara mengungkapkan perasaan. Untuk standar kompetensi mendengarkan dan berbicara.RPP
disusun dengan sintaks model pembelajaran picture and picture. Untuk empat KBM dalam penelitian
ini disusun empat RPP.

Merencanakan observer.
Dalam kegiatan penelitian tindakan kelas ini, peneliti mengajak teman sejawat sebagai teman atau
pengamat penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana aktivitas belajar siswa
dalam kondisi kelas saat pembelajaran melalui dokumentasi dengan dipandu tutor sebayanya,
pengamat bertugas mencatat hal-hal yang diterima, baik keadaan siswa maupun keadaan guru serta
proses pemeblajaran yang ada. Pengamat adalah dua orang guru di SD Negeri 066057 Medan yakni
Ibu Masyidah Siregar dan Ibu Normarita Hutabarat.

Merancang lembar kerja siswa.
Lembar kerja siswa dilaksanakan sesuai pokok bahasan yang direncanakan. Lembar kerja siswa
dikerjakan secara kelompok melalui tahapan model pembelajaran picture and picture yakni
digunakan sebagai petunjuk yang membantu siswa menyimak pertanyaan lisan dari guru, siswa
melakukan langkah dengan benar dan teliti sehingga keterampilan listeningnya meningkat.

Merancang tes keterampilan berbahasa Inggris.
Tes hasil belajar berupa keterampilan berbahasa Inggris, dibuat untuk dilaksanakan dan dikerjakan
secara individual. Tes dibuat dalam 10 item subjektif tes, dimana pada pretes seluruhnya diujikan
pada siswa sedangkan pada Formatif I danFormatif II adalah bagian dari seluruh tes yang
indikatornya dipelajari pada masing-masing siklus. Tes hasil belajar dirancang untuk mengetahui
sejauh mana kemampuan siswa dalam menyerap dan memahami materi yang disajikan.
B. Pelaksanaan Tindakan
Siklus I di laksanakan dalam dua kali pertemuan. Pertemuan pertama selasa 6 Nopember 2012
diikuti oleh 28 siswa. Pertemuan kedua Selasa 13 Nopember 2012 juga diikuti 28 siswa. Proses
pembelajaran dilakukan sesuai RPP yang telah disusun untuk Siklus I. Pada pelaksanaan
pembelajaran Siklus I ini guru sebagai peneliti dibantu dua guru sejawat yang bertindak sebagai
4997
observer yang membantu peneliti mengamati aktivitas belajar siswa. Kelompok melaksanakan
kegiatan dalam LKS dan melakukan diskusi berpanduan LKS.
5.1.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari upaya meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dan meningkatkan
partisipasi (aktivitas) dan mengembangkan keterampilan berbahasa Inggris siswa melalui model pembelajaran
picture and picture selama kegiatan belajar mengajar bahasa Inggris di kelas VI SD Negeri 066057 Medan sebagai
berikut :
1. Keterampilan berbahasa Inggris siswa meningkat dengan menerapkan model pembelajaran picture and picture
pada Siklus I mencapai rata-rata 62 dengan ketuntasan klasikal 68% dan Siklus II mencapai 80 dengan
ketuntasan klasikal 86%.Dengan demikian terjadi peningkatan ketuntasan klasikal keterampilan berbahasa
Inggris siswa mencapai 18%.
2. Penerapan model pembelajaran picture and picture selama kegiatan belajar mengajar bahasa Inggris di kelas VI
SD Negeri 066057 Medan berhasil memperbaiki aktivitas belajar siswa terlihat dari membaiknya kualitas
masing-masing kriteria aktivitas tiap siklusnya.
Siklus I:
Membaca dan menulis sebesar 38%, bekerja sebesar 36%, bertanya sesama teman sebesar 8%, bertanya kepada
guru sebesar 15%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 3%.
Siklus II:
Membaca dan menulis sebesar 34%,bekerja sebesar 40%,bertanya sebesar 40%, bertanya sesama teman
sebesar 18%,bertanya kepada gurur sebesar 8%, dan yang tidak relevan dengan KBM sebesar 2%
Daftar Pustaka
Aqib,Z. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Yrama Widya. Bandung.
Dina, D. (2003). Ampuh Menjadi Cerdas Tanpa Batas Baban. PT Elex Media Komputindo. Jakarta
Djamarah,.B.(2002).Psikologi Belajar. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Emzir. (20080. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Fathurrahman,P. (2007).Strategi Pembelajaran.Bandung: Insan Media
Istarani. (2011). 58 Model Pembelajaran Inovatif (Referensi Guru Dalam Menentukan Model Pembelajaran).
Medan : Media Persada.
Purwanto, N. (1994). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. PT Rosdakarya. Bandung.
Roestiyah,N.K. (2008).Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta
Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan . Jakarta: Kencana.
Sardiman,A.M. (2003). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Slameto, (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. PT Rineka Cipta.Jakarta
Sudjana, N. (2008). Penilaian Hasil Belajar Mengajar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
4998
Yamin, M. (2008). Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa. Gaung Persada Press. Jakarta
PENERAPAN MODEL EXAMPLE NON EXAMPLE DALAM UPAYA MENINGKATKAN
AKTIVITAS BELAJAR IPS TERPADU
Pancaria Sihombing, S.Pd28
ABSTRAK
Penelitian PKT ini bertujuan untuk memperbaikan aktivitas belajar siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan
Tahun Pelajaran 2012/2013 saat pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Example Non Example
dan untuk peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa setelah menerapkan model pembelajaran Example Non
Example pada siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013. Data aktivitas siswa
menurut pengamatan pengamat pada Siklus I antara lain menulis/membaca (38%), bekerja (36%), bertanya
sesama teman (8%), bertanya kepada guru (15%), dan yang tidak relevan dengan KBM (3%).
Data aktivitas siswa menurut pengamatan pada Siklus II antara lain menulis/membaca (34%), bekerja (40%),
bertanya sesama teman (18%), bertanya kepada guru (8%), dan yang tidak relevan dengan KBM (2%). Dengan
demikian terjadi perbaikan aktivitas belajar siswa dari Siklus I ke Siklus II.
1.1.
Latar Belakang Masalah
Sebagai guru bidang studi IPS terpadu, saya melakukan pengamatan terhadap aktivitas belajar dan prestasi
siswa. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman selama ini, siswa SMP Negeri 15 Medan kurang aktif dalam
kegiatan belajar-mengajar. Siswa cenderung tidak begitu tertarik dengan pelajaran IPS Terpadu, karena selama ini
pelajaran IPS Terpadu dianggap sebagai pelajaran yang hanya mementingkan hafalan semata, kurang menekankan
aspek penalaran sehingga menyebabkan rendahnya minat belajar IPS Terpadu siswa di sekolah. Ujungnya aktivitas
28
Guru SMP Negeri 15 Medan
4999
belajar siswa lama-kelamaan semakin menurun kualitasnya.
Aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran sangat berpengaruh terhadap tujuan belajar berupa hasil belajar
atau ketuntasan belajar yang telah ditentukan kriteria ketuntasan minimalnya (KKM). Nilai rata rata ulangan harian
yang dicapai siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan pada materi pokok "hubungan sumber daya dengan
kebutuhan manusia" yaitu rata-rata 61 dengan jumlah siswa yang tuntas sebanyak 66% padahal KKM di sekolah
adalah 70. Hal ini belum mencapai KKM yang telah ditetapkan dan belum tuntas secara klasikal minimal 85%. Dari
ketiga nilai, baik aspek kognitif, nilai afektif, dan nilai psikomotorik yang ada, pada penelitian ini peneliti hanya
berfokus pada nilai kognitif saja.
Pembelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 15 Medan saat ini telah mengupayakan pembelajaran berpusat
pada siswa. Beberapa penerapan model pembelajaran yang mengupayakan perbaikan aktivitas dan interaksi antar
siswa telah diterapkan salah satunya adalah pembelajaran berkelompok. Sayangnya pemilihan dan penerapan
pembelajaran seperti ini tidak selalu dilakukan dengan benar sesuai dengan teori pembelajaran yang melandasinya.
Akibatnya adalah tujuan pembelajaran yang tidak tercapai dan tedadi ketidakpuasan yang berakhir pada pemikiran
bahwa pembelajaran konvensional dengan ceramah sebagai metode utama adalah lebih baik. Padahal hasil yang
diperoleh adalah sama buruknya.
Penelitian ini menerapkan Model pembelajaran Example Non Example dalam mengupayakan perbaikan
aktivitas belajar IPS Terpadu siswa. Penelitian berjudul "Perbaikan Aktivitas Belajar IPS Terpadu Siswa Melalui
Penerapan Model Pembelajaran Example Non Example Di Kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasi masalah yang
relevan dengan penelitian antara lain:
1.
Pembelajaran IPS Terpadu selama ini lebih mementingkan hafalan dari pada penalaran sehingga aktivitas
belajar siswa terbatas, dan minat belajar siswa rendah.
2.
Ketuntasan hasil belajar kognitif siswa dalam pembelajaran IPS Terpadu di kelas VIII- I tidak tercapai.
3.
Perilaku belajar siswa belum begitu baik sehingga masih lebih senang bermain-main dalam kegiatan
pembelajaran.
1.3. Batasan Masalah
Karena luasnya permasalahan pembelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 15 Medan, peneliti membatasi
penelitian sesuai dengan kemampuan peneliti pada:
1. Model pembelajaran yang diterapkan selama pengambilan data penelitian adalah model pembelajaran Example
Non Example.
2.
Penelitian dikenakan pada siswa kelas VIII-1, semester satu (ganjil) SMP Negeri 15 Medan Tahun
Pembelajaran 2012/2013.
1.4. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas masalah yang akan dibahas, maka yang menjadi rumusan-rumusan dalam penelitian
ini adalah:
1.
Apakah aktivitas siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013 membaik setelah
5000
pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Example Non Example?
2.
Apakah ketuntasan hasil belajar siswa meningkat setelah menerapkan model pembelajaran Example Non
Example pada siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013?
1.5. Tujuan Penelitian
Setelah menetapkan rumusan masalah di atas maka, dapat ditentukan tujuan penelitian ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui perbaikan aktivitas belajar siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran
2012/2013 saat pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Example Non Example.
2. Untuk mengetahui peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa setelah menerapkan model pembelajaran
Example Non Example pada siswa kelas VIII-1 SMP Negeri 15 Medan Tahun Pelajaran 2012/2013.
1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ) terhadap perbaikan pembelajaran memberi manfaat yang cukup
signifikan , baik bagi siswa, guru, maupun institusi sekolah. Penelitian ini bermanfaat bagi siswa untuk
meningkatkan pemahaman materi pembelajaran, meningkatkan rasa percaya diri siswa dan mengaktifkan siswa
dalam pembelajaran sehingga memperoleh hasil maksimal.
2.6. Model Pembelajaran Example Non Example
Pembelajaran model Example Non Example berlangung secara alamiah dalam masalah serta mencari
pemecahan masalah, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam model pembelajaran Example Non
Example, guru mengatur strategi belajar serta memfasilitasi belajar siswa. Anak mencari makna belajar dan
menggunakan pengetahuan dan ketrampilannya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan Model
Example Non Example dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar efektif dan kreatif, siswa dapat
membangun sendiri pengetahuannya, menemukan pengetahuan dan keterampilannya sendiri melalui proses
bertanya dan kerja kelompok. Peningkatan hasil belajar yang didapatkan tidak hanya sekedar hasil menghapal
materi belaka, tetapi lebih pada kegiatan nyata (pemecahan kasus-kasus) yang dikerjakan siswa pada saat
melakukan proses pembelajaran (diskusi kelompok dan diskusi kelas).
Model Example Non Example adalah metode yang menggunakan media gambar dalam penyampaian
materi pembelajaran yang bertujuan mendorong siswa untuk belajar berfikir kritis dengan jalan memecahkan
permasalahanpermasalahan yang terkandung dalam contoh-contoh gambar yang disajikan.
Penggunaan media gambar ini disusun dan dirancang agar anak dapat menganalisis gambar tersebut
menjadi sebuah bentuk diskripsi singkat mengenai apa, yang ada didalam gambar. Penggunaan Model
Pembelajaran Example Non Example ini lebih menekankan pada konteks analisis siswa. Biasa yang lebih dominan
digunakan di kelas tinggi, namun dapat juga digunakan di kelas rendah dengan menenkankan aspek psikoligis dan
tingkat perkernbangan, siswa kelas rendah seperti ;kemampuan berbahasa tulis dan lisan, kemampuan analisis
ringan, dan kemampuan berinteraksi dengan siswa lainnya.
Model Pembelajaran Example Non Example menggunakan gambar dapat melalui OHP, Proyektor, ataupun
yang paling sederhana, adalah poster. Gambar yang kita gunakan haruslah jelas dan kelihatan dari jarak jauh,
sehingga anak yang berada di belakang dapat juga melihat dengan jelas. Model Example Non Example juga
merupakan metode yang mengajarkan pada siswa untuk belajar mengerti dan menganalisis sebuah konsep. Konsep
5001
pada umumnya dipelajari melalui dua cara. Paling banyak konsep, yang kita pelajari di luar sekolah melalui
pengamatan dan juga dipelajari melalui definisi konsep itu sendiri. Example and Nonexample adalah taktik yang
dapat digunakan untuk mengajarkan definisi konsep.
Strategi yang diterapkan dari metode ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa secara cepat dengan
menggunakan 2 hal yang terdiri dari example dan non-example dari suatu definisi konsep yang ada, dan meminta
siswa untuk mengklasifikasikan keduanya sesuai dengan konsep yang ada. Example memberikan gambaran akan
sesuatu yang menjadi contoh akan suatu materi yang sedang dibahas, sedangkangkan non-example memberikan
gambaran akan sesuatu yang bukanlah contoh dari suatu materi yang sedang dibahas. Model Example Non Example
penting dilakukan karena suatu definisi konsep adalah suatu konsep yang diketahui secara primer hanya dari segi
definisinya daripada dari sifat fisiknya. Dengan memusatkan perhatian siswa terhadap example dan non-example
diharapkan akan dapat mendorong siswa untuk menuju pemahaman yang lebih dalam mengenai materi yang ada.
3.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah suatu bentuk kajian yang
bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan guru
dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta
memperbaiki kondisi dimana praktek pembelajaran tersebut dilakukan. PTK menurut Kemmis dan Taggart (dalam
Sugiarti, 1997:6) adalah berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi
planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus
berikutnya adalah pemcanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan,dan refleksi.
3.1.Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian tindakan kelas ditempuh dalam 2 (dua) Siklus kegiatan. Tahapan-tahapan tersebut
adalah sebagai berikut:
A. Siklus I
Kegiatan pada Siklus I meliputi:
1) Perencanaan Tindakan meliputi:
a.
Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru
tentang sub materi "kebutuhan" untuk KBM I dengan sub materi "kelangkaan" untuk KBM 2.
Selanjutnya diubah atau ditambah sesuai dengan model pembelajaran Example Non Example.
b) Penyusunan instrumen penelitian berupa lembar observasi aktivitas siswa dengan menerapkan model
pembelajaran Example Non Example dan tes pemahaman siswa tentang hubungan antara kelangkaan
sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas.
2) Pelaksanaan Tindakan dan Observasi (Action and Observation) Melaksanakan tindakan pembelajaran ke-1
dan ke-2 sesuai dengan RPP oleh peneliti sebagai guru di kelas VIII-1 Selama proses pembelajaran
dilakukan observasi oleh observer (guru sejawat) untuk mengamati aktivitas siswa. Diakhir Siklus I
dilakukan pula tes hasil belajar dalam IPS Terpadu siswa pada materi hubungan antara kelangkaan sumber
daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas sebagai Formatif 1.
3) Refleksi (Reflective) dilakukan oleh peneliti dengan kolaborator berdasarkan hasil observasi dan evaluasi
5002
hasil pembelajaran IPS Terpadu dengan model pembelajaran Example Non Example. Dari hasil refleksi
kemudian peneliti berkolaborasi dengan guru mata pelajaran sejenis untuk memperbaiki dan menguatkan
rencana tindakan Siklus II.
B. Siklus II
1) Perencanaan Tindakan disusun skenario model pembelajaran Example Non Example dengan revisi
tindakan untuk memperbaiki proses. Peneliti berdiskusi secara kolaboratif dengan guru mata pelajaran
sejenis dan pembimbing serta nara sumber dari UNIMED dan LPMP SUMUT dengan kegiatan
perencanaan meliputi:
a)
Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kegiatan siswa yang telah dibuat oleh guru
tentang sub materi "skala prioritas" untuk KBM 3 dengan sub materi "sumber daya" untuk KBM 4.
b)
Penyusunan instrumen penelitian berupa lembar observasi aktivitas siswa dengan menerapkan model
pembelajaran Example Non Example dan tes hasil belajar siswa tentang hubungan antara kelangkaan
sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas.
2) Pelaksanaan Tindakan dan Observasi (Action and Observation) Melaksanakan tindakan pembelajaran ke-3
dan ke-4 sesuai dengan RPP model pembelajaran Example Non Example dengan topik "hubungan antara
kelangkaan sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas" oleh peneliti sebagai guru IPS Terpadu
di Kelas VIII-1. Selama proses pembelajaran dilakukan observasi oleh observer (guru sejawat) untuk
mengamati aktivitas siswa. Diakhir Siklus II dilakukan pula tes hasil belajar dalam IPS Terpadu siswa pada
materi hubungan antara kelangkaan sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas sebagai
Formatif II.
3) Refleksi (Reflective) oleh peneliti berkolaborasi dengan guru mata pelajaran sejenis dan pembimbing
dalam pembelajaran dan ketuntasan hasil belajar siswa ditelaah.
3.2. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP):,yaitu merupakan perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai
pedoman guru dalam mengajar dari disusun untuk tiap siklus. Masing-masing RPP berisi kompetensi dasar,
indikator pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran khusus, dan kegiatan belajar mengajar.
2. Lembar Observasi Aktivitas Belajar Siswa; Lembar observasi aktivitas siswa untuk mengamati aktivitas siswa
selama berdiskusi kelompok. Lembar ini digunakan oleh dua pengamat. Ke dua, pengamat tersebut mengamati
masing-masing satu kelompok setiap satu KBM yang sudah ditentukan oleh peneliti/guru. Pengamat tidak boleh
duduk bersamaan untuk menghindari data bisa. Pengamat mentabulasi data/menceklis pada lembar aktivitas ini
selama dua menit sekali. Sebagai contoh, bila kerja kelompok ditentukan oleh peneliti selama 20 menit maka
pengisian data pada lembar aktivitas jumlah per siswa ada, 10 ceklis. 10 ceklis ini posisinya pada 5 aktivitas ini
sesuai dengan pengamatan. Setelah data terkumpul, maka data tersebut dianalisis sehingga setiap aktivitas dapat
ditentukan persentasenya. Observasi aktivitas akan di konfirmasikan dengan data dokumentasi penelitian berupa
foto penelitian.
3. Tes formatif digunakan untuk mengukur hasil belajar dalam IPS Terpadu siswa tentang hubungan antara
5003
kelangkaan sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas. Tes formatif ini diberikan setiap akhir
siklus. Bentuk soal yang diberikan adalah tes subjektif ber umlah 10 soal. Tes formatif ini digunakan untuk
mengetahui kemampuan awal (pretes) dan kemampuan akhir siswa. Setelah kegiatan belajar mengajar
dilaksanakan (Siklus 1), maka dilakukan tes formatif disebut formatif I dengan jumlah 5 soal. Akhir KBM
pada Siklus II, dilakukan tes formatif terakhir atau disebut formatif II dengan jumlah 5 soal, dan soalnya
diambil dari soal pretes sesuai dengan materi pembelajaran.
3.3. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Data yang dianalisis
ini adalah data aktivitas belajar siswa melalui pengamatan aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar,
pengamatan keterampilan guru dalam pengelolaan pembelajaran, dan nilai tes hasil belajar dalam IPS Terpadu pada
materi hubungan sumber days dengan kebutuhan manusia. Analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.
Lembar observasi aktivitas siswa untuk mengetahui aktivitas belajar siswa maka lembar observasi aktivitas
siswa dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
̅
% = ∑ x 100% dengan
̅
2.
Data hasil belajar dalam IPS Terpadu siswa
Secara individual, siswa telah tuntas keterampilan berbahasanya jika mencapai skor KKM yang telah
ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran IPS Terpadu kelas VIII yakni 70 dengan perhitungan sebagai berikut :
Skor Siswa =
x 100%
Suatu kelas dinyatakan tuntas belajar jika terdapat > 85% dari jumlah siswa telah tuntas belajar
mencapai KKM. Perhitungan untuk menyatakan ketuntasan belajar siswa secara klasikal :
P=
x 100%
3.4. Indikator Keberhasilan
Keberhasilan dalam penelitian ini jika tujuan penelitian tercapai yakni meningkatnya aktivitas belajar IPS
Terpadu siswa dan hasil belajarnya. Penelitian dikatakan mencapai keberhasilan jika paling tidak 85% dari jumlah
siswa dalam kelas subjek telah tuntas hasil belajarnya ditunjukkan dengan nilai formatif yang telah mencapai KKM
IPS Terpadu kelas VIII di SMP Negeri 15 Medan sebesar 70.
4.Pembahasan
Merujuk pada Gambar 4.1 perbandingan aktivitas siswa antara Siklus I dengan Siklus II dijabarkan,
aktivitas menulis dan membaca turun dari 38% menjadi 34%. Aktivitas mengerjakan dalam diskusi yang meningkat
dari 36% menjadi 40% menunjukkan perbaikan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Sementara aktivitas
bertanya pada teman naik dari 8% menjadi 18% dan bertanya pada guru turun dari 15% menjadi 8%.. Aktivitas
yang tidak relevan dengan KBM pada turun dari 3% menjadi adi 2%.
Merujuk pada Tabel 4.2. hasil belajar kognitif pada Siklus I diperoleh nilai rata-rata 70 dengan ketuntasan
belajar yang dicapai 57%, karena kurang dari 85% siklus I dikatakan tidak tuntas. Setelah dilakukan perbaikan
5004
pembelajaran pada siklus II diperoleh rata-rata hasil belajar sebesar 81 dengan ketuntasan klasikal mencapai 87%,
karma lebih besar dari 85% maka siklus II dikatakan berhasil memberikan ketuntasan belajar klasikal.
Berdasarkan pengamatan aktivitas, belajar dan basil belajar kognitif Siklus I menunjukkan bahwa masih
terdapat beberapa permasalahan/kekurangan dalam pelaksanaan tindakan yang perlu diperbaiki secara lanjut. Untuk
mengatasi berbagai kelemahan Siklus I yang teridentifikasi dalam refleksi maka akan dilakukan tindakan perbaikan
diantaranya : Untuk lebih menarik perhatian siswa maka gambar yang di pasang diitayangkan menggunakan media
infokus sehingga lebih interaktif.
Melalui tindakan perbaikan yang dilakukan pada Siklus II pembelajaran menggunakan model Example
Non Example memberikan ketuntasan belajar IPS Terpadu siswa pada Siklus II. Pembelajaran Example Non
Example selain memperbaiki aktivitas belajar siswa ternyata juga telah mampu menumbuhkan sikap koperatif
disamping tumbuhnya minat belajar siswa terhadap pembelajaran IPS Terpadu yang berimplikasi pada
meningkatnya ketuntasan hasil belajar siswa.
Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Dinkmeyer (Suherman, dkk, 2003:277) bahwa Example Non
Example adalah kegiatan yang kaya akan pengalaman yang justru sebenarnya merupakan kebutuhan anak itu
sendiri. Dalam persiapan ini antara lain mereka berusaha mendapatkan hubungan dan pergaulan barn yang mantap
dengan teman sebaya, mencari perannya sendiri, mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep yang
penting, mendapatkan tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial. Dengan demikian beban yang diberikan
kepada mereka akan memberikan kesempatan untuk mendapatkan perannya, bergaul dengan orang lain, dan
bahkan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman.
3.1. Kesimpulan
Hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran Example Non Example pada Siklus I ketuntasan
sebesar 53% dengan rata-rata 67 dan belum tuntas secara klasikal dan Pada Siklus 11 sebesar 85% dengan rata-rata
81 menunjukkan tuntas secara individu dan kelas sehingga terjadi peningkatan ketuntasan klasikal sebesar 32%.
Daftar Pustaka
Ahmad, R.1993. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta Asbi Mahastya.
Asikin, M. 2009. Cara Cepat & Cerdas Menguasai Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Bagi Guru. Semarang :
Manunggal Karso.
Hadi, S. 1990. Metodologi Research Jilid H. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM.
Nana, S. 1991. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosdakarya.
Sardinian, 1986. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: CV. Rajawali Pers.
Selverius, S. 1993. Evaluasi hasil Belajar dan Umpan Balik. Jakarta: PT Gramedia.
Uzer, U. 1992. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosdakarya.
5005
PENINGKATAN KOMPETENSI GURU MENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER PADA MUSYAWARAH GURU
MATA PELAJARAN (MGMP) IPA POLA MPR DI SMP
SUB. RAYON 43 KOTA MEDAN
Rasmin Simbolon29
ABSTRAK
Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Sekolah (PTS). Penelitian ini dilaksanakan di SMP Sub. Rayon 43
Kota Medan, selama enam bulan yaitu bulan Januari s.d Juni 2013. Subyek penelitian adalah guru-guru IPA SMP
Sub. Rayon 43 Kota Medan sebanyak 14 (empat belas) orang. Obyek penelitian adalah Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT), dilakukan pada pembelajaran a. Pengertian Getaran, Periode,
Frekuensi dan Amplitudo. b. Hubungan Periode (T) dengan Frekuensi (f). c. Gelombang melalui Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR.
29
Pengawas Sekolah pada Dinas Pendidikan Kota Medan dan juga Alumni IKIP Al Washliyah Medan S1 Fisika 1993
5006
Nilai rata-rata kompetensi guru dalam menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head
Together (NHT) pada pembelajaran: a. Pengertian Getaran, Periode, Frekuensi dan Amplitudo. b. Hubungan
Periode (T) dengan Frekuensi (f). c. Gelombang meningkat dari siklus 1 pertemuan ke 1 ke siklus 3 pertemuan ke 3
yaitu: 26,86 menjadi 84,86. Peningkatan nilai rata-rata kompetensi guru: 84,86% - 26,86% = 58,00%. Hasil
analisis angket menunjukkan bahwa guru IPA SMP Negeri Gugus I Kota Medan 94,29% sangat setuju
menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) karena kompetensi mereka
meningkat.
Kata kunci: Kompetensi guru, Model Pembelajaran Kooperatif, MGMP.
A. Pendahuluan
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMP berfungsi untuk mengembangkan keterampilan,
sikap dan nilai ilmiah, serta mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang melek Ilmu Pengetahuan Alam dan
teknologi.
Secara umum ada tiga kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar agar pembelajaran dapat secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, yaitu: (1) Kemampuan merencanakan pelaksanaan proses belajar mengajar,(2)
Kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, (3) Kemampuan mengevaluasi proses pembelajaran.
Sesuai dengan keadaan guru IPA pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub. Rayon
43 Kota Medan tersebut, maka perlu dilakukan Penelitian Tindak Sekolah (PTS) dengan judul: ―PENINGKATAN
KOMPETENSI GURU MENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED
HEAD TOGETHER PADA MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN (MGMP)IPA POLA MPR DI SMP
SUB. RAYON 43 KOTA MEDAN‖.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Siswa SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan kurang melakukan kerja sama dalam kegiatan belajar.
2. Guru IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan kurang melibatkan siswa dalam kegiatan belajar secara kelompok.
3. Guru IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan belum memahami cara menerapkan model pembelajaran kooperatif
tipe Numbered Head Together (NHT).
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana upaya meningkatkan kompetensi guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Head Together (NHT) pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43
Kota Medan?
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan strategi meningkatkan kompetensi guru menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan.
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi Peneliti
Dengan melakukan penelitian tindakan sekolah ini, maka peneliti akan dapat menemukan strategi
meningkatkan kompetensi guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)
pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan.
2. Bagi Guru
5007
Dengan melakukan penelitian tindakan sekolah ini, maka guru IPA akan meningkat kompetensinya dalam
menerapkan model pembelajaran kooperatif
tipe Numbered Head Together (NHT). Dengan demikian guru dapat
meningkatkan kualitas belajar mengajar, sehingga siswa dapat lebih dilibatkan dalam pembelajaran.
3. Bagi Kepala Sekolah
Penelitian ini akan memberikan bahan masukan bagi kepala sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran
oleh guru.
Hipotesis tindakan pada penelitian ini adalah: Kompetensi guru menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dapat meningkat melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA
Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan.
B. Kajian Pustaka
Menurut Sanjaya (2008:131) kompetensi adalah perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap
yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Menurut Saud (2009:107) Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) adalah suatu forum atau wadah
kegiatan profesional guru mata pelajaran sejenis di sanggar maupun di masing-masing sekolah yang terdiri dari dua
unsur yaitu musyawarah dan guru mata pelajaran.
Agar para guru IPA pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA di SMP Sub. Rayon 43 Kota
Medan mudah memahami cara menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)
maka peneliti menjadi model untuk memberikan contoh. Kegiatan modelling yang dilakukan oleh peneliti dapat
tergambar seperti pada tabel berikut ini.
Tabel Kegiatan Modelling
Kegiatan Modelling yang Dilakukan Oleh
Peneliti
Kegiatan 1:
Identifikasi kemampuan awal siswa tentang
konsep getaran
Kegiatan 2:
Penyusunan model pembelajaran kooperatif
tipe Numbered Head Together (NHT).
Kegiatan 3:
Penyusunan Silabus.
Kegiatan 4:
Penyusunan
Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP).
Kegiatan 5:
Penyusunan materi ajar
Kegiatan yang Dilakukan Oleh Guru (Guru
dianggap sebagai siswa)
Mengerjakan tes awal
Menerima hand out materi ajar
Kegiatan 6:
Penyusunan tes kemampuan siswa tentang
konsep getaran.
Kegiatan 7:
Pelaksanaan
pembelajaran
model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Head Together (NHT).
Mengikuti pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Head Together (NHT) yang disajikan oleh
modelling.
Langkah1: Penomoran (numering)
 Membagi kelompok siswa menjadi
empat kelompok. Setiap siswa pada
masing-masing kelompok diberi nomor.
 Siswa mengambil tempat duduk sesuai dengan
kelompoknya, dan duduk berurutan sesuai
dengan nomor urut masing-masing.
5008
 Menyuruh siswa
memilih
kelompok masing-masing.
ketua
Langkah2: Pengajuan pertanyaan
(questioning)
 Mengajukan pertanyaan yang sama
kepada masing-masing kelompok.
 Menyuruh ketua kelompok menghunjuk
setiap siswa pada kelompoknya untuk
mengerjakan pertanyaan.
Langkah3: Berpikir bersama
(head together)
 Menyuruh siswa berdiskusi dengan
temannya sekelompok untuk menjawab
pertanyaan dipimpin oleh ketua
kelompok masing-masing.
 Menyuruh ketua kelompok untuk
memastikan bahwa setiap siswa sudah
mengetahui jawaban sesuai dengan
nomor masing-masing.
Langkah4: Pemberian jawaban
(answering)
 Memanggil satu nomor tertentu dari
suatu kelompok untuk menjawab
pertanyaan. Jika jawaban siswa tersebut
belum tepat maka siswa dari kelompok
yang lain dengan nomor yang sama
dapat mengacungkan tangannya untuk
menjawab.
 Menghunjuk siswa tersebut menjawab
pertanyaan untuk seluruh kelas. Jika
jawaban yang diberikan siswa tersebut
juga
belum
tepat
maka
guru
menghunjuk siswa dari kelompok yang
lainnya dengan nomor yang sama untuk
menjawabnya. Jika seluruh siswa pada
nomor yang sama juga kurang tepat
maka guru dapat memberikan arahan
untuk pembenaran jawaban.
 Memberikan
penghargaan bagi
kelompok yang memberikan jawaban
dengan benar
Kegiatan 8:
 Memberikan tes kemampuan siswa
tentang konsep getaran.
Kegiatan 9:
 Menginterpretasikan hasil tes kemampuan
siswa tentang konsep getaran.
 Siswa memilih
masing.
ketua
kelompok
masing-
 Ketua
kelompok
menyuruh
temannya
mengerjakan pertanyaan. Pertanyaan nomor 1
dikerjakan oleh siswa nomor 1, demikian
seterusnya.
 Ketua kelompok memimpin diskusi untuk
menjawab pertanyaan.
 Ketua kelompok memastikan bahwa setiap
siswa sudah mengetahui jawaban sesuai dengan
nomor masing-masing.
 Menjawab pertanyaan guru sesuai dengan
nomor siswa yang dihunjuk.
 Mengacungkan tangan untuk menjawab
pertanyaan guru jika jawaban kelompok lain
salah sesuai dengan nomor masing-masing.
 Menerima penghargaan dari guru karena
mampu menjawab pertanyaan dengan benar.
 Mengerjakan tes kemampuan siswa tentang
konsep getaran.

Menerima hasil tes kemampuan siswa tentang
konsep getaran.
Agar para guru IPA pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA di SMP Sub. Rayon 43
Kota Medandapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) maka
peneliti menyuruh guru secara bergiliran untuk melakukan Peer Teaching, peneliti menyuruh guru secara
langsung kepada siswa untuk melakukan Real Teaching di ruang kelas pada sekolah tempat tugas guru
tersebut.
5009
Getaran adalah gerak bolak-balik benda secara teratur melalui titik keseimbangan. Perhatikan gambar
ayunan berikut :
B
A
O
Gambar Beban pada ayunan
Mula-mula bandul pada kedudukan di O (kedudukan seimbang) kemudian ditarik ke kedudukan A
(diberi simpangan) dan dilepas, maka bandul akan bergerak bolak-balik secara teratur melalui titik
keseimbangan O dan benda dikatakan bergetar. Dalam melakukakan getaran dari A ke O ke B kemudian ke O
dan kembali lagi ke A (A-O-B-O-A) benda disebut melakukan satu getaran penuh atau O-B-O-A-O. Gerak
bandul dari A-O-B atau O-A-O adalah setengah getaran. Salah satu ciri getaran adalah adanya amplitudo
(simpangan terbesar) misalnya: jarak O-A atau O-B.
Amplitudo (A) adalah perpindahan maksimum dari titik keseimbangan Amplitudo getaran adalah
jarak O-A atau O-B. Amplitudo hanyalah setengah dari jarak ayunan penuh (A-B) yang dapat dilakukan
beban.
Dari defenisi frekuensi dapat disimpulkan bahwa dalam satu sekon dapat dilakukan f getaran. Dengan
demikian selang waktu untuk menempuh satu getaran adalah :
Penilaian kompetensi guru menerapkan model pembelajaran kooperatif
tipe Numbered Head
Together (NHT) dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Skor perolehan
Nilai =
X 100%
25
Penilaian kompetensi guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)
sebagai berikut:
1.
Penilaian Modelling menerapkan model pembelajaran kooperatif
Together (NHT)
Aspek Penilaian
1. Kemampuan guru meniru cara mempersiapkan
alat/bahan/materi pembelajaran
2. Kemampuan guru meniru cara membentuk
kelompok dan memberi penomoran (numbering)
3. Kemampuan guru meniru cara memotivasi siswa agar
mampu mengajukan pertanyaan (questioning)
4. Kemampuan guru meniru cara memotivasi siswa agar
adakemampuan berpikir bersama (headtogether)
5. Kemampuan guru meniru cara memotivasi siswa agar
dapatmemberikan jawaban (answering)
2.
tipe Numbered Head
Rentang Skor
1–5
1–5
1–5
1–5
1- 5
Penilaian Peer Teaching maupun Real Teaching menerapkan model pembelajaran Kooperatif
Tipe Numbered Head Together (NHT)
5010
Aspek Penilaian
1. Kemampuan guru mempersiapkan alat/bahan/materi
Pembelajaran
2. Kemampuan guru membentuk kelompok dan memberi
penomoran (numbering)
3. Kemampuan guru memotivasi siswa agar mampu
mengajukan pertanyaan (questioning)
4. Kemampuan guru memotivasi siswa agar ada
kemampuanberpikir bersama (headtogether)
5. Kemampuan guru memotivasi siswa agar dapat
memberikanjawaban (answering)
3.
Rentang Skor
1–5
1–5
1–5
1–5
1- 5
Penentuan nilai Modelling, Peer Teachingmaupun Real Teaching menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)
Ada 4 (empat) aspek sikap, masing-masing aspek sikap skornya 5 (lima), maka skor maksimal adalah
20 (dua puluh). Sedangkan skor perolehan bergantung kepada jumlah jawaban dari kelima aspek sikap
tersebut. Nilai dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Skor perolehan
Nilai
=
X 100%
20
Penilaian sikap guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT):
Aspek Sikap:
1. Menarik untuk dilakukan
2. Mudah melakukannya
3. Menyenangkan
4. Termotivasi untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada
berbagai Kompetensi Dasar IPA.
C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Data hasil observasi kompetensi guru IPA menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Head Together (NHT) pada pertemuan 1, 2 dan 3, dari 14 (empat belas) orang guru Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan adalah seperti tabel berikut ini:
Tabel Data Kompetensi Guru Menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head
Together (NHT) Melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR SMP Sub. Rayon
43 Kota Medan
No
1
2
3
4
5
6
Siklus 1
(Pengertian Getaran,
Periode, Frekuensi dan
Amplitudo)
Pertemuan
1
2
3
28
28
28
32
48
48
20
24
32
28
28
28
24
32
40
28
28
28
Siklus 2
(Hubungan Periode (T)
dengan Frekuensi (f))
1
36
48
36
36
44
40
Pertemuan
2
44
60
48
44
48
52
3
44
72
48
48
56
52
Siklus 3
(Gelombang)
1
56
76
60
56
64
60
Pertemuan
2
68
84
68
68
76
68
3
80
92
80
76
88
80
5011
7
8
9
10
11
12
13
14
Jlh
Rt
20
32
32
32
20
32
28
20
376
26,86
24
40
36
40
24
48
28
24
452
32,29
32
48
44
52
32
52
28
36
528
37,71
40
48
52
56
36
56
40
40
608
43,43
44
60
60
68
44
64
44
48
728
52,00
44
68
72
80
56
76
52
52
820
58,57
56
76
72
84
60
80
60
56
916
65,43
Siklus 1
Siklus 2
68
84
84
88
68
88
68
68
1048
74,86
80
92
92
96
80
92
76
84
1188
84,86
100
50
0
Pertemuan 1
Siklus 3
Pertemuan 2
Pertemuan 3
Gambar Kompetensi Guru Menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif
tipe Numbered Head
Together (NHT) Melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR SMP Sub. Rayon
43 Kota Medan
Data hasil angket sikap guru IPA menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head
Together (NHT) dari 14 (empat belas) orang guru Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub.
Rayon 43 Kota Medan adalah seperti tabel berikut ini:
Tabel Data Sikap Guru Menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together
(NHT) Melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA Pola MPR SMP Sub. Rayon 43 Kota
Medan
No.
1
5
4
5
4
5
5
5
4
4
5
4
4
5
5
64
70
91,43
sentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Jumlah
Nilai maximal
Presentase (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
Aspek Sikap
2
3
5
5
4
5
5
5
4
5
5
5
4
5
5
5
4
5
4
4
5
5
4
5
4
4
5
5
5
5
63
68
70
70
90,00 97,14
4
5
5
5
5
5
5
5
5
4
5
5
5
5
5
69
70
98,57
Jlh
20
18
20
18
20
19
20
18
16
20
18
17
20
20
264
280
94,29
5012
Aspek Sikap:
1. Menarik untuk dilakukan
2. Mudah melakukannya
3. Menyenangkan
4. Termotivasi untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada
berbagai Kompetensi Dasar IPA.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada Bab IV, ada beberapa simpulan dalam penelitian tindakan sekolah
ini yaitu:
1.
Kompetensi guru Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) meningkat setelah
mengikuti Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan.
2. Nilai rata-rata kompetensi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota
Medan dalam dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT),
meningkat dari pertemuan 1 yaitu Pengertian Getaran, Periode, Frekuensi dan Amplitudoke pertemuan 3
Gelombang yaitu: 26,86 menjadi 84,86. Peningkatan nilai rata-rata kompetensi guru: 84,86% - 26,86 %
= 58,00%.
3. Guru pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP Sub. Rayon 43 Kota Medan 94,29%
sangat setuju menerapkan model pembelajarankooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) melalui
Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA Pola MPR di SMP Sub. Rayon 43 Kota Medanyang dilakukan
oleh peneliti, karena kompetensi mereka meningkat.
B. Saran
Berdasarkan simpulan penelitian ini, dapat diberikan beberapa saran:
1. Agar semua guru IPA dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together
(NHT) dalam menyajikan materi pelajaran IPA sehingga materi pelajaran semakin mudah dimengerti oleh
siswa.
2. Agar semua kepala SMP dapat memfasilitasi guru IPA menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Head Together (NHT) melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA Pola MPR bekerja sama
dengan pengawas sekolah.
5013
3. Agar semua pengawas sekolah dapat membimbing guru IPA menerapkan model pembelajaran kooperatif
tipe Numbered Head Together (NHT) melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran IPA Pola MPR di SMP
Sub. Rayon 43 Kota Medan yang difasilitasi oleh kepala sekolah.
Daftar Pustaka
Aqib, Zainal. 2008. Standar Kualifikasi - Kompetensi - Sertifikasi Guru - Kepala Sekolah - Pengawas.
Bandung: Yrama Widya.
Arikunto, Suharsimi.2007. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Guza, Afnil. 2008. Himpunan Permendiknas Tentang Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. Jakart:
Asa Mandiri.
Ibrahim, M., Rachmadiarti, F., Nur, M., dan Ismono. 2002. Pembelajaran Kooperatif, Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.
Lie, A. 2004. Cooperatif Learning, Jakarta: Grasindo.
Nurhadi dan Sedukm, A. G. 2004.Pembelajaran Kontekstual (Contektual Taching and Learning) dan
Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sagala, S. 2009. Konsep dan Magna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Predana Media Group.
Sukardi. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.
THE EFFECT OF ADVANCE ORGANIZER TECHNIQUE ON THE STUDENTS’ READING
COMPREHENSION
5014
Rini Fadhillah Putri30
ABSTRACT
This study deals with the effect of using Advance Organizer Technique in teaching reading comprehension. The
population of this study is the secondary students of SMA Negeri 5 Medan. There are 60 students taken out
randomly as the sample, and divided into two groups, the Experimental Group 30 students and the Control Group
30 students. The first group is taught and given the reading material using Advance Organizer Technique as
Experimental Group, while the second group threatens by giving reading material without using Advance
Organizer Technique as Control group. The instrument in collecting the data is 20 multiple choice test. To obtain
the reliability of the test, Kuder Richardson Formula (KR-21) is used. After the data have been collected, they are
analyzed by using the t-test formula. The result shows that the hypothesis of the study is accepted. It can be
concluded that using Advance Organizer Technique significantly affects the students’ reading comprehension. This
means that the students taught by using Advance Organizer Technique will have better understanding in reading
comprehension.
Key words: Advance organizer technique and Reading comprehension.
A. Background And Research Problem
Reading for many years has a large portion of time in teaching and learning activities in school. The goal of
learning reading is to enable the students in understanding the idea and meaning of the passage. It is supported by
Nunan (2003:68) that reading is a fluent process of reader combining information from a text and their own
background knowledge to build meaning.
In teaching reading, the main goal of reading process is comprehension. Many teachers have some
difficulties to teach reading to the students. To help a student read a better understanding it is necessary to discover
what particular weakness is contributing to his comprehension difficulties.
Yalden (1997: 57) states that reading as the goal of English teaching in Indonesia has not been achieved
yet. It shows that the student‘s weakness in reading comprehension is still unsolved. Actually, there is an effective
way to solve the student‘s reading problem that is Advance Organizer Technique.
The Advance Organizer Technique is one of the techniques that can be used in teaching reading
comprehension. Advance Organizer Technique is a concept developed and systematically studied by David
Ausubel in 1960. This technique is information that is presented prior to learning and that can be used by the
student to organize and interpret new incoming information, Mayer (2003). Advance Organizer Technique (AOT)
is used by teacher to provide support for new information, which might be able to improve the students‘
achievement in reading comprehension.
In line with the background of the study, the problem of this study is formulated as follows;
―Does Advance Organizer Technique significantly affect the Students‘ Reading Comprehension?‖
B. Literature Review
Advance Organizer Technique (AOT)
The advance organizer is the teaching technique available to teachers to aid students in the processing,
understanding, and remembering of newly presented materials. This technique is popularized by David Ausubel in
1960. It is designed to strengthen student‘s cognitive structures as stated by Ausubel in Joyce and Weil (1978:202).
Advance Organizer technique is introductory material that is presented ahead of the learning task itself. Its purpose
is to explain, integrate, interrelated with the material in the learning task with previously learned material. It is also
30
Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan
5015
attempts to help the students discriminate the new material from previously learned material as stated by Ausubel in
Joyce Weil (1978:209).
Furthermore it is clearly states that Advance Organizer explains the conceptual basic as a kind of
―description‖ of new material. It is supported by the opinion of Suciaty and Irawan (2001) who mention that
Advance Organizer Technique try to give a short description (whether visual or verbal) involves the content of new
material that is presented in the learning task. According to Ausubel (1968) in Geier (1999) Advance Organizer
Technique (AOT) has function in the following ways:
1. It is conceptual sketch of early learning process that will occur.
2. It is a connector between students‘ prior knowledge with the new material that will be learned.
3. It is a facilitator that is help students learning process.
Mujiono and Dimiyati (1993) define that AOT is the teaching-learning pattern of grades‘ effectiveness and
learning attitudes efficiency. Thus, by using it, the student can absorb, and comprehend the material given
(http:www//davidausubel.org).
From the explanation above, teacher has to organize the students‘ knowledge previously before presenting
the new relationship material. According to Ausubel in Sudibyo (2003) defines that AOT underlines the main idea
in a new situation of learning and connecting those idea with their knowledge previously.
According to Joice and Weil (1978:211) there are three phases of activity in the advance organizer
technique. They are:
1. Phase one is presentation of advance organizer
a. Clarify aims of lesson
Before teaching English reading text, the teacher begins by clarifying the aims of the lesson. The teacher
can do this in a number of ways, such as; giving the topic as the title, stating a generalization, making a statement,
summarizing the mains points,
defining the objectives, asking the students about related topics, or using a
combination of these strategies.
b. Present organizer
They are a number of attempts done by the teacher in presenting the material, such as:
Identify defining attributes, Give examples, provide multi context, and Repeat terminology of classes.
c. Prompt awareness of relevant knowledge and experience in learners background.
2. Phase two: presentation of learning task of learning material
There are several tasks to be accomplished in phase two. In addition to the presentation of the new learning
material, some of these tasks are general teaching skills that enhance reception learning such as:
a. Make logical order of learning material explicit to students
In the teaching process, the teacher has to summarize the major areas of the material given.
b. Maintain attention
c. Make organizer explicit
There are several procedures for making organization explicit. Among them are employing the ruleexample-rule technique, using explaining links (―because‖; ―in order‖; ―if…then‖). Make the organization explicit
5016
by means of an outline or diagram, using verbal markers of importance (―Now note this‖, ―this is especially
critical‖), and repetition.
3. Phase three: strengthening cognitive organization
The Advantages of Advance Organizer Technique
Some of advantages of Advance Organizer Technique are as follows:
1. Students can explain, integrate, and interrelated with the material in the learning task with the previously
learned material.
2. Students can discriminate the new material from previously learned material.
3. In teaching reading, it is related to the daily situations, so it will be useful for students to organize the material
into familiar structure.
The Disadvantages of Advance Organizer Technique
Although many find advance organizer to be a useful tool for teaching students new concepts when they do
not have previous knowledge of a concept, there are those who feel that advance organizer has disadvantages,
especially to students who have a good understanding of concepts and do come with previously knowledge.
Advance organizer does not benefit these good students. Advance organizer may benefit slower learners and those
that do not have a wide knowledge of topics available to them.
The Role of Teacher in Advance Organizer
The teacher plays an active and direct role in Advance Organizer. The teacher has several functions to
perform in the Advance Organizer in addition to presenting the learning material as stated by Joice and Weil
(1978:215). The teacher must decide under what concept, preposition, or issue to catalogue the new learning
material and must, over the course instruction, continually reorganize knowledge in relation to more inclusive
concepts.
As a model of advance organizer, the teacher has to design the hierarchy of knowledge in a subject area
and also makes decisions about definitions and meanings. Then, the teacher must point out discrepancies, conflict
and similarities between existing knowledge and new knowledge as stated by Joyce and Weil (1978:215). In deals
with Joyce and Weil, Skinner (2002) states that the teacher obviously has an important duty to give a chance that
follows appreciating and strengthening to learners to make them enjoy and comprehend the material given.
The Role of Students in Advance Organizer
Students in Advance Organizer are the listener and performers. They listen attentively and respond it by
giving answer and comment on what the teacher teach. Teacher should ask students to involve and participate in
learning process to get their attention and interest with the subject matter.
In learning a language students require a more concrete functional approach they need to be able to relate
the language to an actual experience as stated by Clyne in Sari (2002).
Reading Comprehension
To understand reading comprehension one should by analyzing what comprehension involves and how it
relates to the entire reading process. The word ‗comprehension‘ itself can be said as a social kind of thinking
5017
process. The reader comprehends by actively construction, the acting internally from interacting with the material
that is read.
Thomas N Turner (1982) in Alexander (1987:159) states that reading comprehension involves taking
meaning to a text in order to obtain meaning from the text. When read a text, a reader is not merely saying the
words in the text in the conventional way of sounds, but moreover able to derive meaning from the words
combination in the text in a consecutive fashion of process at reasonable speed without necessary vocalizing it.
Reading must be a meaning from interacting internally with the material that is read.
Grabe and Stoller (2002:17) states that reading for general comprehension is, in its most obvious sense, the
ability to understand information in a text and interpret it appropriately. However, comprehension ability are much
more complex than this definition suggest. To offer a more accurate picture of reading comprehension, we define
reading comprehension by itself, but together they provide a fairly accurate account of the process required for
fluent reading.
Reading comprehension is an extraordinary feat of balancing and coordinating many abilities in a very
complex and rapid set of routines that makes comprehension a seemingly effortless and enjoyable activity for fluent
readers. In fact, the many process described here all occur in working memory, and they happen very quickly unless
they are comprehension problem. So, roughly, in the space of any two seconds of reading time, fluent readers
accomplish numerous operations.
William (1984:3) states that comprehension is the minds act or power understanding what has been written.
From quotation above, it means that is terms of comprehension reader are expecting to understand fully. Thus, it is
clear that reading and comprehension are regarded as one activity, which cannot separate each other. Reading is an
activity that one does. For example a reader who understands what he has read, he can answer the question about it
or he can reproduce the gist what he has read.
Mc Neil (1992: 16) states that comprehension is making sense out of text from interaction perspective,
reading comprehension is acquiring information from the context and combining disparate elements into a new
whole. It is the process of using one‘s existing knowledge (schemata) to interpret text in order to construe meaning.
Although writers structure texts for their own construction of what the text means. Comprehension includes
understanding the information in the text as well as changing the knowledge one used to understand the text in the
first place.
Accordingly, reading comprehension is not memorization by rote, as illustrated by John bewey‘s visit to
the class that had read how the earth was probably formed. In contrast with the older emphasis on teaching reading
comprehension as a product by asking students to answer question about their reading, interactive approaches stress
teaching reading comprehension as a process. Accordingly, students are taught techniques for processing textmaking inferences, activating concepts, relating new information to old, creating picture images, and reducing the
information in a text to a main idea.
A. Research Method
Research Design
This study is experimental design. The design applied in order to investigate the effect of Advance
Organizer Technique on Students‘ Reading Comprehension.
5018
In this study, Advance Organizer Technique (AOT) is as independent variable and reading comprehension
is as dependent variable. In this study, there are two groups, namely experimental group and control group.
Population and Sample
The population of this study is all the second year students of SMU Negeri 5 Medan in the academic year
of 2008/2009, which consists of eight parallel classes. The total numbers of students are 315 students.
Sampling means selecting a given number of subjects from a defined population as the representative
of that population for the purpose of efficiency and practicality of the research. The writer took 60 students of
the second year students. Random sampling was applied in obtaining the samples.
The Instrument for Collecting Data
This study used multiple choice tests as the instrument to collect the data. In this case, the same test in pretest and post-test was given to both experimental and control group, in which the students was asked to answer 20
reading comprehension questions based on four passages. There are 5 questions for each passage. The students are
given 45 minutes to accomplish it.
Validity and Reliability of the Test
Validity of the Test
There are several types of validity; they are content, construct, concurrent, and predictive validity. This
study applies content validity which concerns with how well the test measure the subject matter and learning
outcomes covered during the instruction period.
To sustain the content validity of the test, the instrument was designed to fulfill the need to investigate
students‘ reading comprehension. All question from every comprehension questions types were related to their
reading text. It was done in order that the content of the test can be said valid.
Reliability of the Test
Reliability is one of the characteristics of a good test. Reliability refers to the consistently of the test scores
over the different part of the test. To obtain the reliability of the test, the writer used Kuder Richardson method
formula 21.
Scoring the Test
In scoring the test, this study use score ranging from 0-100 by counting the correct answer.
The Procedure of the Study
The procedure of this study divides into three components, they are: pre-test, treatment, and post-test.
Pre-test
Before starting the experiment, a pre-test was conducted to both experimental and control group. The pretest was used to find out the students‘ reading comprehension. Pre-test was conducted to find out the homogeneous
competence of the samples. It also enables us to detect faulty items which have not been identified during the
review process; it permits us to learn something of the statistical characteristics of individual items.
Treatment
5019
After giving the pre-test, the treatment of Advance Organizer Technique is taught to the experimental
group, while, in the control group the conventional method is taught in learning process.
The steps of treatment can be seen below:
1. Treatment of the Experimental group
No
1.
Teacher‘s Activities
The teacher used Advance Organizer
Technique:
- Teacher gave the copies of the text in the
classroom contract, so the students can have
their own copies.
- Teacher gave prior knowledge to the
students about the content of the topic in
which inference would be useful.
2.
Presentation of learning task or material.
- Teacher presented the topic by
demonstrating with an outline or diagram,
modeling it, naming it and describing how
and when to use it.
- Teacher asked the students to use the new
information
and
skills
to
involve
collaboration, problem solving and inquiry
the topic.
Strengthening cognitive organizer.
- Teacher asked the students to find out the
main idea of the text.
- Teacher asked the students to do the
comprehension test.
- Teacher reviewed the situation that students
suggested when asked to tell how they had
used prediction in the preparation phase.
3.
Student‘s Activities
The students used Advance Organizer
Technique:
- The students got the copies of the text in
the classroom contract, so the students
can have their own copies.
- Students listened to the teacher about
the content of the topic in which inference
would be useful.
- The students looked at the topic that is
presented.
- The students used the new information
and skills to involve collaboration,
problem solving and inquiry the topic.
- The students found out the main idea of
the text.
- The students did the comprehension test.
- The students listened to the teacher and
answer the questions.
2. The Control Group
No
1.
Teacher‘s Activities
The teacher used conventional technique:
- Teacher gave the copies and read the text.
2.
3.
- Teacher asked the students to read.
- Teacher asked the students tried to find
out the main idea of the text.
- Teacher asked the students to do the
comprehension test.
4.
Student‘s Activities
The students
used the conventional
technique:
- The students got the copies and listen to
the teacher who read the text.
- The students read the text.
- The students tried to find out the main
idea of the text.
- The students did the comprehension test.
Post-test
The pos-test was administrated after the treatment has been completed. The post-test was conducted to
measure the competence of the students then find out the difference in mean scores of both experimental and
control group. It also used to find out the students‘ reading comprehension after the treatment.
The Technique for Analyzing Data
The data obtained will be analyzed by using t-test to find out the difference of the experimental and control
group is statistically significant.
D. The Data Analysis And Research Findings
Data Analysis
Having done the research for the second year students of SMAN 5 Medan, the writer got the data of
students‘ scores in pre-test and post-test from both experimental and control group. In pre-test of experimental
5020
group, it was obtained that the total score is 1695, the mean is 56.5, the highest score is 80 and the lowest score is
45. In post-test of experimental group, it was obtained that the total score is 2195, the mean is 73.17, the highest
score is 95 and the lowest score is 55.
While, in pre-test of control group, it was obtained that the total score is 1640, the mean is 54.67, the highest score
is 80 and the lowest score is 40. In post-test of control group, it was obtained that the total score is 1905, the mean is
63.5, the highest score is 85 and the lowest score is 45.
Research Findings
From the result, it is found that the students taught with Advance Organizer Technique has higher
achievement than those taught without Advance Organizer Technique. It is proven based on data analysis from the
highest score on those groups. In experimental group, the highest score is significantly improved from pre-test to
post test that is in the different of 15 (score 80 to 95). While in control group, the highest score is not significantly
improved that is in the different of 5 (score 80 to 85).
It also can be seen from the difference mean between pre-test and post-test in experimental group was
higher than that in control group, that is 16.67 (56.5 to 73.17) is higher than 8.83 (54.67 to 63.5)
Thus, it can be seen that the improvement in experimental group is higher than that in control group since
16.67 > 8.83. It can be concluded that the students taught by Advance Organizer Technique has higher achievement
than students taught without Advance Organizer Technique. While, there is no significant improvement for control
group that was taught without Advance Organizer Technique.
E. Conclusions And Suggestion
Conclusions
Having analyzed the data, it was found that Advance Organizer Technique significantly affects students
comprehension, since the Tobs > the ttable (p =0.05) df (58), or 4.10 > 2.00 (p =0.05) df (58). The using of Advance
Organizer Technique in teaching reading comprehension in the classroom enables the students to read
systematically and guide to read the text, to find information both explicitly and implicitly stated.
Refer to the findings of the study, it is derived that the students who are taught reading comprehension
using Advance Organizer Technique have higher achievement than the students who are taught with common
technique. In other words, the Advance Organizer Technique gives significantly effect to the students‘ achievement
in reading comprehension, as they become more systematic to read the text to get meaning interpretation.
Suggestions
In line with the conclusion, it is suggested to:
2. The English teachers use Advance Organizer Technique not only to teach reading comprehension but also to
teach other subjects, such as
writing.
3. The teacher can more easily to organize and plan their strategies instruction to teach English and make students
can be more interesting in learning English, especially learning reading comprehension.
References
Ary, Donald et al. 2002. Introduction to Research in Education 6th Ed. Wardswirth: Singapore.
5021
Burns, Roe, and Ross. 1984. Teaching Reading in today’s Elementary Schools. Houghton Mifflin Company.
Boston.
Dechant, Emerald V. 1964. Improving the Teaching of Reading 3rd Ed. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Gay, L, R. 1992. Educational Research. Maxwell-Macmillan International: New York.
Groundland, N. E. 1979. Constructing Achievement Test. Urbana, Illiniois: University of Illiniois.
Harmer, Jeremy. 2001. The Practice of English Language Teaching 3rd Ed. Longman: England.
Joyce, Weil & Emily C. 1978. Models of Teaching 6th Ed. Allyn and Bacon: New York.
Kustaryo. S. 1988. Reading Technique for College Students. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan tenaga Kependidikan. Jakarta.
Mayer, R. 2003. Learning and Instruction. New Jersey: Pearson Education, Inc.
McNeil, John D. 1992. Reading Comprehension: New Direction for Classroom Practice 3rd Ed. Los Angels:
HarperCollins Publishers.
Nunan, David. 2003. Practical English Language Teaching. New York: McGrawHill.
Nunan, David. 1993. Research
Method in Language Learning. Cambridge University Press: New York
5022
Download