D_902006011_BAB II

advertisement
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
Bab Dua
Gerakan Humanisme
dan Globalisasi
Secara etimologis, istilah humanisme terkait erat dengan
kata Latin Klasik humus yang berarti tanah atau bumi. Istilah
ini berkembang menjadi kata homo yang berarti manusia
(makhluk bumi) dan humanus yang lebih menunjukkan sifat
“membumi” dan “manusiawi.” Perspektif etimologis dan historis
dalam memahami makna kata humanisme menunjukkan,
bahwa inti persoalan adalah manusia. Artinya, bagaimana
membentuk manusia menjadi lebih manusiawi, serta siapa yang
bertanggung jawab dalam proses pembentukannya.
Frederick Edwards dalam artikelnya berjudul What is
Humanism? (1989) menjelaskan, bahwa kata humanisme
mengandung banyak makna. Upaya untuk menjelaskan
humanisme justru sering menimbulkan kerancuan, karena mak-
17
Jawa Menyiasati Globalisasi
na itu sering tidak diklarifikasi. Makna yang berbeda-beda itu
disebabkan berbeda-bedanya pula tipe humanisme.1
Salah satu cara untuk menghindari kerancuan tersebut,
telaah tentang humanisme dapat dilakukan dengan pendekatan
dari sisi historis dan pendekatan dari sisi humanisme sebagai
aliran dalam filsafat. Dari sisi historis, humanisme berarti suatu
gerakan intelektual dan kesusastraan yang kali pertama muncul
di Italia pada paruh kedua abad ke-14 Masehi. Gerakan ini
dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern,
khususnya kebudayaan Eropa. Dari sisi humanisme sebagai aliran dalam filsafat, humanisme sering diartikan sebagai paham
dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat
manusia sedemikian rupa, sehingga manusia menempati posisi
yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoretik-filsafati maupun dalam praktik hidup sehari-hari (Abidin,
2006:39).
Penulisan buku ini menggunakan pendekatan historis,
sehingga humanisme dipandang sebagai gerakan intelektual,
bukan sebagai aliran dalam filsafat. Definisi kerjanya adalah,
gerakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia, sebagai respons ter1 Beberapa tipe humanisme, menurut Edwards adalah: Humanisme
Kesusastraan (Literary Humanism): ketaatan kepada nilai-nilai kemanusiaan
atau budaya kesusastraan; (2) Humanisme Renaisans (Renaissance
Humanism): spirit yang berkembang di akhir Abad Pertengahan dengan
membangkitkan keyakinan atas kemampuan manusia untuk menentukan
nasibnya sendiri; (3) Humanisme Kultural (Cultural Humanism): tradisi
rasional dan empirik pada masa Yunani dan Romawi, yang berkembang
melalui sejarah Eropa, dan sekarang menjadi bagian dari dasar-dasar
pendekatan Barat terhadap ilmu, sejarah, politik, etika, dan hukum; (3)
Humanisme Filosofikal (Philosophical Humanism): pandangan hidup yang
terpusat pada kebutuhan dan kepentingan manusia. Termasuk di dalam
humanisme ini adalah humanisme Kristen (Christian Humanism) dan
humanisme Modern (Modern Humanism).
18
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
hadap situasi dan kondisi pada masa-masa tertentu. Gerakan
tersebut muncul karena ada kecenderungan situasi dan kondisi
yang tidak menguntungkan bagi peningkatan harkat dan martabat manusia pada masa-masa itu.
Sebagai gerakan intelektual, humanisme mengalami
proses penafsiran yang panjang, seiring dengan perkembangan
peradaban Barat. Secara garis besar, gerakan humanisme dapat
dibagi menjadi empat bagian, yaitu Periode Klasik (600 SM 300 M), Periode Pertengahan (300 M - 1500 M), Periode
Modern (1500 M – 1800 M), dan Periode Postmodern (1800 M –
sekarang). John Bagnell Bury (2004) menyebut Periode Klasik
(Masa Yunani dan Roma) sebagai masa kebebasan akal budi
(reason free), Periode Pertengahan sebagai masa terpenjarakannya akal budi (reason in prison), Periode Modern (ditandai
dengan Renaisans dan Reformasi) sebagai masa prospek pembebasan (prospect of deliverance), masa toleransi religius, dan
masa perkembangan rasionalisme.
Perkembangan gerakan humanisme dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Gerakan Humanisme Klasik
Gerakan humanisme pada periode Klasik ditandai dengan
mulai berkembangnya pemikiran tentang manusia, menggeser
pemikiran pada masa sebelumnya yang terpusat pada alam (kosmologi).2 Posisi manusia dalam kehidupan lebih diperhatikan
2 Sebelum Periode Klasik, filsafat yang berkembang adalah filsafat alam,
ditandai dengan kemunculan ahli pikir alam dengan arah dan perhatian pada
alam sekitar. Pernyataan-pernyataan berlandaskan akal dan pikiran, tidak
berdasar pada mitos. Filsuf-filsuf pada periode ini antara lain Thales,
Anaximandros, dan Pythagoras. Pada tahap ini, para filsuf mengubah orientasi
pikiran manusia dari mitos menjadi logos. Thales memulai pencarian asal-usul
utama alam semesta, diteruskan Anaximenes dan Anaximander, serta filsuf-
19
Jawa Menyiasati Globalisasi
daripada sekadar sebagai bagian kecil dari alam semesta. Perhatian itu tercermin dari pandangan-pandangan para pemikir
utama pada masa itu, yaitu Sokrates, Plato, dan Aristoteles.
Pertanyaan “apakah manusia itu?” menyisihkan masalah filsafat
dan metafisika sebelumnya.
Berikut ini garis besar pandangan para pemikir utama
tersebut:
Sokrates menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu
dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah yang
tidak dapat dipisahkan. Permenungan Sokrates dimulai dari
persoalan eksistensi kodrati manusia. Ia membuat analisis rinci
tentang sifat-sifat dan kebijaksanaan-kebijaksanaan manusia. Ia
menentukan sifat-sifat manusia dan merumuskannya ke dalam
kategori kebaikan, keadilan, kesahajaan, kejujuran, dan seterusnya (Sugiharto, 2008).
Bagi Sokrates, seperti dikutip Sugiharto, manusia hanya
dapat dijelaskan dan ditentukan berdasarkan kesadarannya,
yaitu cara berpikir dialektis. Manusia dapat memahami dirinya
dan sesamanya melalui interaksi intersubjektif dengan manusia
lain. Pandangan itu berbeda dari pandangan sebelumnya,
bahwa kebenaran secara objektif sebagai hal yang final, yang
dapat diperoleh lewat pemikiran individual, kemudian dapat
dikomunikasikan secara langsung kepada pihak lain secara
monolog. Manusia adalah makhluk yang terus-menerus
mencari dirinya, yang setiap saat harus menguji dan mengkaji
secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Pencarian itu
filsuf sebelum Sokrates. Pada tahap-tahap awal itu, filsafat Yunani hanya
berkaitan dengan dunia fisik, yaitu usaha menyelami rahasia alam dan asalusul segala sesuatu di dunia. Kesadaran reflektif manusia tertuju pada sesuatu
di luar dirinya, belum antroposentris. Pada masa itu, kosmologi berkembang
pesat. Manusia belum menjadi pusat perhatian. Meskipun ide bahwa manusia
adalah mikrokosmos sudah ada, tapi belum berkembang ke penyelidikan
tentang jiwa manusia (Sugiharto, 2008).
20
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
terjadi hanya dalam konteks sosial, sehingga manusia hanya
mungkin sampai pada tahap pengenalan diri kalau ia hidup dan
berdialog dengan orang lain. Tesis Sokrates yang terkenal
adalah “hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak
dihidupi” atau “the unexamined life is not worth living”.
Pemikiran-pemikiran Sokrates dilanjutkan oleh Plato,
yang menerangkan bahwa manusia sesungguhnya berada dalam
dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap dan
dunia ide yang bersifat tetap. Dunia pengalaman merupakan
bayang-bayang dunia ide, adapun dunia ide merupakan dunia
sesungguhnya.
Pandangan Plato dikenal sebagai “dualistik” yang menyatakan bahwa jiwa manusia adalah entitas non-material yang
terpisah dari tubuh. Jiwa ada sebelum kelahiran terjadi, sesuatu
yang tidak dapat hancur dan akan tetap hidup abadi. Plato
meyakini jiwa manusia tetap ada setelah kematian tubuh;
bersifat ilahi, rasional, abadi, tidak dapat hancur dan tidak
berubah. Pada intinya, pandangannya bertumpu pada tiga aspek
hakikat manusia, yaitu: jiwa, tubuh, dan roh (Stevenson, 2001;
Bakker, 2004).
Pandangan “dualistik” Plato tersebut tidak disetujui oleh
muridnya, Aristoteles. Menurut Aristoteles “ada” hanya terdapat pada benda konkret. Benda konkret itu merupakan benda
yang nampak dan memiliki bentuk, seperti pintu, batu, pohon,
tanah, dan sebagainya. Pengertian “ada dalam ide” seperti yang
dikemukakan Plato bukan sebagai sesuatu yang konkret ada,
melainkan hanya merupakan pengertian saja.
Pada Periode Klasik manusia mulai mencari jawaban
terhadap eksistensi dirinya. Mereka berusaha mengungkapkan
asal-usul manusia, cara-cara untuk mengenali jatidiri, dan
langkah-langkah untuk meningkatkan martabat kemanusiaan.
21
Jawa Menyiasati Globalisasi
Oleh sebab itu, Periode Klasik dikenal sebagai embrio dari
pengembangan gerakan humanisme pada masa-masa berikutnya. Pada periode inilah manusia mulai diperhatikan sebagai
faktor yang perlu dipelajari dalam kehidupan.
Gerakan Humanisme Periode Pertengahan
Gerakan humanisme Periode Pertengahan merupakan
reaksi dari perkembangan agama yang memengaruhi hampir
seluruh kegiatan manusia, termasuk pemerintahan pada saat itu.
Dominasi agama menyebabkan terpinggirkannya ilmu pengetahuan yang sebelumnya telah berkembang pada Periode
Klasik. Pada Periode Pertengahan muncul anggapan bahwa
ilmu pengetahuan mengalihkan perhatian manusia dari ketuhanan. Tindakan gereja pada saat itu sangat membelenggu
kehidupan manusia, sehingga manusia tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi diri.
Menurut paradigma yang berkembang pada Periode
Pertengahan, agama dan dunia merupakan dua wilayah terpisah
total satu dari yang lain, sehingga tidak ada peluang bagi
ekspansi satu terhadap yang lain atau pembauran antarkeduanya. Seorang manusia kalau tidak “melangit” harus “membumi,” atau kalau tidak meyakini kekuasaan alam gaib terhadap
segala urusan hidupnya, maka dia harus memutuskan hubungan
secara total dengan Tuhan dan roh-roh kudus, dan jika dia
menghargai jasmani maka dia dipandang telah memutuskan
hubungan dengan Tuhan.
Pada masa itu pengaruh Paus terhadap kekristenan sangat
luas. Gereja mengumpulkan banyak kekayaan dan pengaruh,
tetapi hal itu kemudian diguncang oleh reformasi kaum Protestan. Banyak faktor yang memengaruhi munculnya reformasi,
salah satunya adalah humanisme (Linda Smith dan William
22
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
Raeper, 1991:122; Weber, 2002). Gerakan humanisme tersebut
dipicu oleh dominasi gereja dan agama, sehingga melahirkan
pemahaman terhadap eksistensi manusia.
Meskipun muncul pemahaman terhadap eksistensi manusia, namun humanisme Periode Pertengahan berbeda dari
gerakan humanisme Periode Klasik. Humanisme Periode Klasik
memandang manusia sebagai subjek, adapun humanisme
Periode Pertengahan memosisikan manusia dalam kaitan
dengan Tuhan. Hal itu misalnya tercermin dari pemikiran St.
Agustinus, bahwa manusia tidak sekadar makhluk kodrati
melainkan juga makhluk adikodrati; imanen dan transenden.
Pandangan tersebut mewarnai gerakan humanisme
Pertengahan yang tidak meninggalkan, melainkan membawa
gagasan yang berkembang pada masa Yunani Klasik ke tataran
transenden. Manusia tidak hanya dipandang sebagai faber
mundi (pekerja atau pencipta dunianya sendiri), melainkan
lebih merupakan imago dei; the image of God (makhluk ilahi
atau citra Tuhan). Gambaran manusia ideal tidak dipandang
sekadar sebagai sosok yang selaras jiwa dan badannya, melainkan makhluk yang ilahi-insani.
Pandangan bahwa manusia ideal sebagai makhluk yang
ilahi-insani tersebut misalnya digambarkan oleh Thomas Aquinas dalam diskursus mengenai ”kodrat dan rahmat.” Menurut
dia, kehendak manusia telah jatuh, namun intelektualitasnya
tidak. Intelektualitas kemanusiaan bersifat otonom. Salah satu
akibatnya adalah berkembangnya “teologi kodrati,” yang dapat
diikuti secara bebas oleh akal budi manusia sendiri dan tidak
semuanya tergantung pada pewahyuan Allah melalui kitab suci.
Thomas Aquinas lebih menyukai daya rasio manusiawi,
meskipun ia juga yakin akan ketidakmampuan menggunakan
daya-daya itu secara benar jika tanpa dibimbing dan diterangi
oleh rahmat ilahi (Sugiharto, 2008:32; McPherson, 1971).
23
Jawa Menyiasati Globalisasi
Pandangan tersebut menyiratkan pembalikan nilai-nilai
Yunani Klasik yang memandang manusia semata-mata sebagai
makhluk kodrati, namun menandakan peningkatan kesadaran
dalam memahami esensi eksistensi manusia. Manusia sebagai
makhluk ilahi-insani menggambarkan adanya keseimbangan
relasi antara ketuhanan dan kemanusiaan. Muncul pemahaman
bahwa pemikiran terbaik tentang kultur manusia adalah
pemikiran yang selalu mengaitkannya dengan ketuhanan.
Humanisme tanpa ketuhanan adalah humanisme yang
kehilangan lebih dari separo nilai-nilai kemanusiaan (Arthur
James Balfour, 1914:248).
Relasi tersebut digambarkan oleh Desiderius Erasmus
yang menggabungkan antara humanisme dan teologi. Erasmus
menghendaki pembaruan gereja dengan cara-cara damai dan
mengkritik kaum ritualis yang mementingkan tata cara beribadah daripada pelaksanaan ibadah itu dalam tindakan. Ia
yakin, bahwa hidup yang baik berarti kesucian yang rasional
merdeka (Jassin, 1985).
Gerakan humanisme tersebut kemudian melahirkan pandangan bahwa dominasi otoritas agama dan gereja – yang
memandang bahwa segala sesuatu harus bergantung pada
kekuatan di luar diri manusia – telah mengabaikan manusia
sebagai subjek. Kaum humanis mengajak kembali ke pemikiran
Klasik yang mengangkat diri manusia sebagai subjek dan puncak kebudayaan Barat. Mereka menemukan nilai-nilai Klasik
yang harus dihidupkan kembali dalam kebudayaan Barat demi
masa depan, yaitu penghargaan atas martabat manusia dan
pengakuan atas kemampuan pikiran.
Kaum humanis mengakui kemajuan ilmu pengetahuan
pada Periode Pertengahan, namun kemajuan itu lebih bersifat
kuantitatif. Secara kualitatif, kemajuan tersebut tidak mampu
24
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
melebihi ilmu pengetahuan yang dicapai manusia pada masa
Klasik. Pada masa Klasik sudah muncul gerakan humanisme
yang membela kebebasan manusia untuk merangcang sendiri
kehidupan mereka di dunia dengan cara yang merdeka (Viscount Haldane, 1922:2).
Uraian tersebut menunjukkan, gerakan humanisme
Periode Pertengahan merupakan solusi untuk menghadapi
intimidasi para pemuka gereja. Kaum humanis bertekad mengembalikan kepada umat manusia hak kebebasan yang telah
dinistakan oleh para elite agama. Pada awal kebangkitan, kaum
humanis berjuang untuk mematahkan kekuatan orang-orang
yang mengaku sebagai perantara yang menghubungkan manusia dengan Tuhan namun di saat yang sama mempraktikkan
ketidakadilan. Kaum humanis memperjuangkan otoritas untuk
mengurus kehidupannya sendiri.
Oleh sebab itu, Richard Southern menyebutkan, gerakan
humanisme Periode Pertengahan memiliki tiga karakteristik,
yaitu: Pengertian tentang martabat makhluk hidup; pengertian
tentang martabat alam, dan pengertian bahwa tatanan alam
dapat dimengerti oleh akal manusia dengan kemanusiaan
sebagai pusatnya (Otten, 2004:2).
Secara garis besar, humanisme Periode Pertengahan
merupakan gerakan menentang dominasi gereja yang menggeser posisi manusia sebagai pusat kehidupan. Penggeseran itu
tidak dilakukan dengan cara memisahkan secara tegas antara
manusia, alam, dan Tuhan, melainkan menyelaraskan hubungan tiga hal tersebut. Dengan kata lain, humanisme Pertengahan
merupakan perpaduan antara pandangan Yunani awal yang
menitikberatkan pada pemikiran tentang alam dan pandangan
Klasik yang berfokus pada manusia sebagai subjek.
25
Jawa Menyiasati Globalisasi
Gerakan Humanisme Modern
Gerakan humanisme Modern dapat dibagi ke dalam dua
tahap, yaitu gerakan humanisme Renaisans dan gerakan humanisme Pencerahan. Masa Renaisans mengantarkan peradaban
manusia ke fase yang disebut sebagai zaman Modern di Eropa.
Sejak saat itu, kesadaran terhadap kekinian muncul di berbagai
tempat. Masa Renaisans ditandai dengan kehidupan yang
cemerlang di bidang seni, pemikiran maupun kesusastraan yang
mengeluarkan Eropa dari kegelapan intelektual Periode
Pertengahan.
Humanisme Renaisans berkembang seiring dengan revolusi budaya, yaitu suatu reaksi terhadap kekakuan pemikiran
serta tradisi Pertengahan. Gerakan itu berlangsung antara abad
ke-14 hingga abad ke-17, bermula di Italia pada akhir Periode
Pertengahan, kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Gerakan
ini mencakup kebangkitan pengetahuan berdasarkan sumbersumber klasik, perkembangan gaya perspektif dalam seni lukis,
dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Renaisans dipandang sebagai penemuan kembali masa
keemasan peradaban Yunani dan Romawi Klasik. Banyak
pembaruan dan penciptaan yang dilakukan umat manusia. Pada
awalnya, humanisme merupakan konsep monumental yang
menjadi aspek fundamental pada masa Renaisans; aspek yang
dijadikan para pemikir sebagai pegangan untuk mempelajari
kesempurnaan manusia.
Renaisans muncul karena reaksi terhadap pemikiran masa
sebelumnya ketika pengetahuan bersifat doktrinal di bawah
pengaruh gereja dan lebih didasarkan pada iman. Reaksi itu
sedemikian kuat sehingga dapat dikatakan peran pikiran
menggantikan peran iman, ilmu pengetahuan menggantikan
agama dan iman di masyarakat. Ilmu pengetahuan dan filsafat
26
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
berkembang melalui penguatan peran akal (reason) dalam segala
bidang, yang dikenal sebagai the age of reason. Akal budi
manusia dinilai sangat tinggi dan digunakan untuk membentuk
pengetahuan (Indratno, 2009).
Pada masa itu, fokus pemahaman yang berpusat pada
Tuhan (God-centeredness) bergeser menjadi pemahaman berpusat pada manusia (human-centerednes). Pergeseran tersebut
dikenal dengan istilah sekularisasi atau humanitas. Tulisantulisan filsuf terkenal seperti Plato, Aristoteles dikaji lagi untuk
melihat pola pikir penulisnya dan konteks historis waktu tulisan
itu dibuat, mencari kebenaran kemanusiaan (human truth) dan
bukan kebenaran ketuhanan (God truth). Kebenaran memiliki
lebih dari satu perspektif.
Masa Renaisans disebut sebagai masa awal gerakan humanisme, diwakili oleh Renaisans Italia selatan dan Renaisans
Jerman di utara. Humanisme Renaisans Italia bercita-cita
membebaskan individualitas dari belenggu kekuasaan agama
dan feodalisme. Pemikiran tersebut menekankan pemekaran
dan penyempurnaan kemanusiaan melalui studi kesusastraan
Yunani dan Romawi Klasik, menekankan dimensi sekular dari
pengalaman manusia, namun tidak menampilkan diri sebagai
kekuatan transformasi dan reformasi sosial. Dalam semua
gerakan humanisme Renaisans, pendidikan diarahkan untuk
menghasilkan pribadi-pribadi dengan kemanusiaan yang utuh
dan berjiwa merdeka, meskipun pada awalnya masih bercorak
elitis terbatas pada kaum bangsawan. Humanisme Renaisans
merupakan gerakan revolusioner menentang dominasi kristianitas Periode Pertengahan. Gerakan ini menentang otoritas
gereja dan pembatasan-pembatasan agama terhadap pengetahuan (Lamont, 1997; Schwartz, 1970).
Humanisme Renaisans kemudian berkembang ke humanisme Pencerahan. Gerakan itu, menurut Sugiharto (2008)
27
Jawa Menyiasati Globalisasi
muncul di Eropa sekitar abad ke-17 sampai abad ke-18,
melawan doktrin agama yang memandang bahwa manusia
menurut kodratnya adalah jahat atau pendosa. Humanisme
Pencerahan menekankan kebaikan manusia yang bersifat
kodrati (man’s natural goodness) serta mengutamakan reformasi
sosial melalui gerak dan pandangan ke depan. Kaum humanis
Pencerahan berkeyakinan bahwa jika pikiran manusia diberi
kebebasan melalui pendidikan yang bersifat natural-alamiah,
maka manusia akan mampu mengikuti dorongan-dorongan baik
yang melekat di dalam kodratnya, yaitu menjalani kehidupan
yang baik serta membangun pranata-pranata sosial yang adil.
Oleh sebab itu, manusia tidak boleh selalu menoleh ke belakang
pada yang disebut sebagai ancient classical utopias, melainkan
harus menatap ke depan pada earthly paradise alias utopia
modern ketika kemiskinan, takhayul, dan perang bisa
dihapuskan.
Pada masa Pencerahan, selain humanisme sekuler, muncul pula gerakan humanisme religius, yang berasal dari ethical
culture, unitarianisme, dan universalisme (Lamont, 1997:24;
Murchland (1967:86). Humanisme Religius mendorong manusia
mengungkap isi dunia dan tidak hanya menggantungkan segala
sesuatu pada kekuatan supranatural. Bagi seorang humanis
religius, pemaknaan tidak datang dari luar diri manusia
melainkan harus muncul dari pengalaman manusia itu sendiri,
sejarah, dan alam (Hoertdoerfer, 1998).
Humanisme Religius sesungguhnya merupakan “keyakinan dalam tindakan” (faith in action). Dalam esai The Faith of a
Humanist, Kenneth Phifer menyatakan: “Humanisme mengajarkan kepada kita bahwa tidaklah bermoral mengharapkan
Tuhan untuk berkarya atas diri kita. Kita harus bertindak untuk
menghentikan peperangan dan kejahatan serta brutalitas di
abad ini dan abad yang akan datang. Kita memiliki kekuatan
28
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
untuk melakukan sesuatu. Kita memiliki kebebasan dalam
menentukan tindakan kita sendiri” (Edwards, 1989).
Humanisme religius sering disejajarkan dengan pengertian humanisme yang baik, adapun humanisme sekular sebagai
humanisme yang buruk. Penolakan terhadap humanisme
sekular masih diperkuat fakta yang tidak dapat dimungkiri,
yaitu bahwa di Eropa humanisme yang cenderung antipendeta
kadang-kadang digunakan oleh orang-orang yang memiliki
sentimen anti-Kristen, khususnya Kristen Katolik (Abu Hatsin,
2007:209).
Gerakan humanisme Pencerahan mendorong pemahaman
bahwa akal budi identik dengan kemanusiaan, yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk hidup yang lain. Akal
budi mendasari bahasa, kebebasan, dan kreativitas; termasuk
dalam pengembangan pengetahuan, kesenian, aktualisasi moral.
Akal budi merupakan pusat kehidupan personal manusia dan
relasinya dalam suatu komunitas. Penekanan umum humanisme
Pencerahan terletak pada pikiran, kebebasan, dan kodrat
manusia yang universal (Tillich, 1957:75; Sudiarja, 2006).
Salah seorang filsuf Masa Pencerahan, David Hume,
prihatin terhadap metafisika tradisional yang sangat kabur dan
tidak pasti. Metafisika juga tercampur dogma-dogma Katolik,
jargon-jargon politis dan takhayul-takhayul. Oleh karena itu
Hume berusaha melakukan sekularisasi, dengan membersihkan
filsafat dari simbol-simbol religius dan metafisika, menyerang
pemikiran-pemikiran religius (Hardiman, 2004; Hume, 2003,
2006).
Gerakan humanisme Modern berkembang sejalan dengan
ciri-ciri modernitas, yaitu: subjektivitas, kritik, dan kemajuan
(Hardiman 2004:2).
29
Jawa Menyiasati Globalisasi
Ciri subjektivitas mengungkapkan, bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu sebagai pusat realitas
yang menjadi ukuran segala sesuatu. Modernisasi mendorong
manusia lebih menyadari dirinya sebagai individu. Setiap
manusia harus diperlakukan secara manusiawi. Kemanusiaan
secara urgen memerlukan reformasi sosial dan ekologis, namun
juga memerlukan pembaruan spiritual. Setiap manusia, tanpa
melihat perbedaan jenis kelamin, ras, warna kulit, kemampuan
fisik atau mental, bahasa, agama, pandangan politik, latar
belakang sosial atau nasional, memiliki martabat yang asasi dan
tidak dapat diganggu gugat, sesuai dengan etos Etik Global
(Jacob Burckhardt dan Ludwig Geiger, 1904; Hans Kung dan
Karl-Josef Kuschel, 1999:16-20).
Kesadaran manusia sebagai subjek, misalnya tercermin
dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) yang meragukan
segala sesuatu. Ia meletakkan dasar bagi metode ilmiah modern
dengan observasi dan percobaan. Dalam Discourse on the
Method of Reasoning Descartes berpendapat, sesuatu yang
paling pasti dan benar adalah batin manusia atau kesadaran. Ia
membagi jiwa dan badan, spiritual dan fisik, yang kemudian
dikenal sebagai “dualisme Cartesian” atau “dualisme Cartesius”
(nama Latin Descartes: Cartesius). Pandangan itu memunculkan
perasaan skeptik, bahwa segala sesuatu harus diragukan dan
perasaan rasional. Lahirlah kemudian analisis logis dan metode
ilmiah.
Ungkapan Descartes yang terkenal adalah cogito ergo sum
(aku berpikir, maka aku ada).
“Accordingly, the knowledge, I think, therefore I am, is
the first and most certain that occurs to one who
philosophizes orderly…. That all the most extravagant
suppositions of the sceptics were unable to shake it…,”
kata Descartes (Descartes, 1901:47; Mee, 2004:155).
30
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
Pernyataan Descartes tersebut dipertahankan oleh
gerakan humanisme Modern, bahwa manusia dapat mengetahui
kenyataan dengan pikirannya sendiri. Manusia diposisikan sebagai subjek sejarah, seperti ditegaskan oleh Karl Marx, bahwa
manusia menyadari eksistensinya sebagai manusia dengan
segala kreativitasnya (Robert Tucker, 1978; Fromm, 2004).
Ciri kedua, yaitu kritik, didasarkan pada pemahaman
bahwa pikiran tidak hanya menjadi sumber pengetahuan,
melainkan juga kemampuan praktis untuk membebaskan
individu dari wewenang tradisi atau menghancurkan
prasangka-prasangka menyesatkan. Kritik dipandang sebagai
keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntutan tradisi atau
otoritas (“terbangun dari tidur dogmatis”).
Subjektivitas dan kritik kemudian mendorong keyakinan
tentang kemajuan (progress). Manusia menyadari bahwa waktu
adalah rangkaian peristiwa yang mengarah pada sasaran yang
dituju oleh subjektivitas dan kritik. Manusia adalah makhluk
yang paling sempurna dalam segalanya, bukan hanya dalam
bentuknya yang indah, namun juga dalam akalnya yang cerdas
mengagumkan. Dari akal, manusia dapat berbicara, menganalisis, dan berpikir secara luas, termasuk di dalamnya adalah
kemampuan akal berpikir secara kognitif (Kant, 1989:2004).
Gerakan humanisme Modern memuncak pada abad ke-18.
Di masa itu berkembang pemikiran-pemikiran yang berpusat
pada manusia sebagai subjek, pikiran sebagai kemampuan kritis,
dan sejarah sebagai kemajuan. Gerakan tersebut mengembalikan posisi manusia sebagai subjek kehidupan (Indratno, 2009),
dengan ciri pokok, bahwa:
1. Eksistensi diri manusia bersifat stabil dan tersatukan;
31
Jawa Menyiasati Globalisasi
2. Rasio manusia seperti teraktualisasi dalam ilmu,
mampu memberikan suatu dasar pengetahuan yang
bersifat objektif, dapat diandalkan, dan universal;
3. Pengetahuan yang diperoleh dari penggunaan rasio
secara benar akan menghasilkan kebenaran;
4. Rasio memiliki kualitas transendental dan universal;
5. Penggunaan rasio secara benar akan menjamin
otonomi dan kebebasan;
6. Rasio dapat membedakan pengetahuan yang benar
dari kekuasaan;
7. Ilmu adalah paradigma semua pengetahuan sejati;
8. Bahasa merepresentasikan realitas.
Kaum humanisme modern adalah murid ilmu pengetahuan, yang mengharapkan dunia yang kuat dan baru, serta
menggunakan teknologi dan matematika dalam desain mereka.
Masih ada kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi
karena dunia dilanda penemuan baru, yaitu telepon, radio,
penerbangan komersial, penerangan listrik dan alat-alat rumah
tangga (O’Donnell, 2009:14).
Meskipun ada kerancuan tentang makna humanisme
dikaitkan dengan gerakan humanisme Modern, menurut
Hoertdoerfer (1998), ide-ide dasarnya dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1.
2.
32
Humanisme merupakan bagian dari pandangan
orang-orang yang berpikir tentang dirinya sendiri.
Tidak ada rasa takut bagi seorang humanis dalam
menghadapi tantangan dan eksplorasi;
Humanisme menitikberatkan pada makna kemanusiaan untuk memahami realitas;
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Humanisme adalah filosofi tentang rasio dan ilmu
pengetahuan;
Humanisme adalah filosofi imajinasi, mengakui bahwa intuisi, prasangka, spekulasi, inspirasi, emosi,
pernyataan di luar kesadaran, dan bahkan pengalaman religius, kalau tidak valid secara ilmu
pengetahuan, hanya menjadi sumber gagasan;
Humanisme adalah filosofi tentang kedisinian dan
kekinian, memandang nilai-nilai kemanusiaan sebagai masuk akal hanya dalam konteks kehidupan
manusia, bukan kehidupan setelah kematian;
Humanisme adalah filosofi perasaan. Etika humanis
berkaitan dengan pertemuan kebutuhan manusia
dan penyelesaian masalah kemanusiaan – baik secara
individual maupun sosial – dan mengabaikan kaitannya dengan entitas teologis;
Humanisme merupakan filosofi realistik, mengakui
adanya dilema antara moral dan kebutuhan dalam
pertimbangan-pertimbangan sebagai konsekuensi
pengambilan keputusan moral;
Humanisme berada dalam irama keilmuan, mengakui bahwa kita hidup di dunia nyata dan tumbuh
berkembang di planet ini dalam waktu yang panjang;
Humanisme seirama dengan pencerahan pikir, sepakat dengan kebebasan sipil, hak-hak asasi manusia, pemisahan institusi agama dan negara,
pengembangan partisipasi demokrasi untuk menangani masalah sosial;
Humanisme sejalan dengan perkembangan teknologi;
Humanisme merupakan pandangan tentang cinta
dan kehidupan.
33
Jawa Menyiasati Globalisasi
Ditinjau dari sisi historis, maka Periode Modern merupakan era awal humanisme yang melepaskan diri dari ketuhanan.
Pengertian itu kemudian melahirkan pemahaman, bahwa humanisme memosisikan manusia sebagai subjek dan tidak lagi
mengakui kekuatan metafisika maupun keberadaan Tuhan.
Gerakan humanisme itu mendewakan dan mensakralkan rasionalitas dan individu. Sebagai akibatnya, gerakan humanisme
justru mengakibatkan penyeragaman (uniformitas) dan ketidakmanusiaan manusia (inhumanitas).
Gerakan humanisme Modern yang menguniversalkan dan
menyeragamkan manusia, kebudayaan, dan masyarakat, memunculkan ketidakpuasan kaum humanis. Mereka menilai cara
pandang tersebut tidak melahirkan kebaikan bersama seperti
yang dicita-citakan, melainkan justru melahirkan ketidakadilan
dan penderitaan banyak orang. Modernisme dinilai gagal menyadari pengaruh ideologi, kepentingan, dorongan tak sadar,
gramatika dalam pikiran dan kehendak manusia, yang tentu saja
dapat bercorak sangat lokal.
Gerakan Humanisme Postmodern
Humanisme Postmodern lahir dari ketidakpuasan kaum
humanis sendiri terhadap kegagalan gerakan humanisme
Modern. Ketidakpuasan itu antara lain terungkap dari analisisanalisis Jurgen Habermas (2006, 2007) dari tahun 1960-an
sampai 1980-an yang memperlihatkan modernisasi hanya
menjadi proyek normatif di negara-negara sedang berkembang
dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan. Pada paroh
pertama abad ke-20, beberapa pemikir Barat sangsi terhadap
Modernisme. Martin Heidegger, Horkheimer, dan Adorno
berusaha memperlihatkan bahwa modernisasi bukan sekadar
perjalanan yang terseok-seok, melainkan juga perjalanan ke
34
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
disintegrasi total, malapetaka sejarah umat manusia (Hardiman,
2003:150; Heidegger, 1970).
Kejenuhan rasional atau akal budi pada era modernisme
merupakan latar belakang kelahiran Postmodernisme. Pada era
Postmodern terjadi pertentangan antara alam dan budaya, fakta
dan nilai, ideal dan realistis. Dalam kejenuhan rasional, paradigma antropologis menjadi alternatif yang terbaik. Filsafat
humanisme menjadi kebutuhan dan tata nilai baru. Rasionalisme, empirisme, proyek-proyek emansipasi harus diperjuangkan
secara universal. Dalam konteks ini, kebudayaan manusia
berperan lebih dominan. Nilai-nilai budaya menjadi perhatian
gerakan humanisme Postmodern.
Dilihat dari sisi gerakan intelektual, humanisme Postmodern merupakan kelanjutan atau penyempurnaan dari humanisme Modern. Pemahaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada era Modern diteruskan, tetapi dengan
melakukan kritik terhadap humanisme Modern, sehingga melahirkan pemahaman baru. Dalam beberapa aspek, gerakan
humanisme Postmodern sebagai pengingkaran terhadap nilainilai yang dipegang teguh pada era Modern.
Pengingkaran tersebut misalnya dilakukan terhadap
keabsolutan yang dipercayai pada Periode Modern, yaitu jika
sesuatu itu benar maka ia benar di mana saja, tak dipengaruhi
oleh tempat, waktu dan budaya. Para humanis Postmodern
menolak kemutlakan itu, dengan meyakini bahwa kebenaran
adalah relatif, terletak di mata si pengamat. Kebenaran diciptakan oleh subjek yang mengalami.
Wacana Postmodernisme dipelopori oleh Jean-Francois
Lyotard. Dia menjelaskan dasar-dasar teoretis serta filosofis
Postmodernisme. Ia mendefinisikan Postmodernisme sebagai
ketidakpercayaan terhadap narasi besar (metanarasi) modern35
Jawa Menyiasati Globalisasi
isme. Dua narasi besar itu berpengaruh dan dipakai untuk
melegitimasi ilmu pengetahuan pada era Modern. Ia meninggalkan usaha klasik filsafat Barat untuk menyusun
penjelasan menyeluruh dan kebenaran abadi. Manusia hanya
memiliki pemahaman parsial. Lyotard menegaskan, bahwa
proyek modernitas telah gagal membebaskan manusia dari
belenggu dogmatisme (O’Donnell, 2009:27; Davies, 1997:22;
Munir, 2008:135, Bryan S. Turner (2006:45).
Dua metanarasi tersebut adalah emansipasi subjek (lebih
bersifat politis) dan dialektika roh (lebih bersifat filosofisspekulatif). Emansipasi subjek merupakan narasi yang mengatakan bahwa pengetahuan datang bagi subjek manusia yang
berupaya menemukan kebebasan. Adapun dialektika roh merupakan narasi yang menganggap bahwa pengetahuan ada demi
pengetahuan itu sendiri (ciri khas idealisme Jerman).
Lyotard memperlihatkan bahwa dua narasi besar itu mulai
kehilangan legitimasi akibat kemajuan ilmu pengetahuan
karena kemajuan teknologi dan ekspansi kapitalisme. Itulah
sebabnya, narasi emansipasi subjek dan dialektika roh mulai
kehilangan kredibilitas. Dalam era Postmodern, ketika problem
pengetahuan dianggap makin meningkat dan kompleks, makin
jauh pula kemungkinan adanya penjelasan tunggal tentang ilmu
pengetahuan. Status ilmu pengetahuan dalam masyarakat
Modern telah berubah dan merupakan problem serius terhadap
legitimasi ilmu pengetahuan itu sendiri.
Menurut Lyotard, dalam era Postmodern ilmu pengetahuan telah mengalami pergeseran, dari cita-cita ideal ke suatu
bentuk pragmatisme. Telah terjadi delegitimasi ilmu pengetahuan ilmiah, yang berimplikasi pada ketidakpercayaan terhadap
narasi besar Modernisme. Narasi-narasi besar modern sudah
36
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
runtuh dan ia menawarkan alternatif berupa paralogi, yaitu
pengakuan dan penghargaan terhadap pluralitas.
Diskusi-diskusi Postmodernisme masuk ke dalam aspekaspek kehidupan manusia yang lebih beragam dan aktual. Para
Postmodernis menentang bukan hanya dominasi “aku” yang
seolah-olah bebas dan mampu melepaskan diri dari lingkungan
sosial budayanya, tetapi juga menafikan dominasi sistem sosial,
budaya, politik, kesenian, ekonomi, arsitektur, dan bahkan
jender yang bersifat timpang dan menyeragamkan umat manusia. Menurut pandangan humanis Postmodern, telah terjadi
dominasi atau “kolonialisasi yang halus dan diam-diam” dalam
semua aspek kehidupan manusia (Abidin, 2006:35).
“Kolonialisasi” itu dilakukan oleh sistem-sistem besar
Modernis yang bersifat tunggal (the one) terhadap sistem-sistem
kecil yang bersifat jamak (the plurals). The one identik dengan
kebudayaan Barat, adapun the plurals identik dengan kebudayaan Timur atau negara-negara sedang berkembang. Kaum
humanis Postmodernisme menentang dominasi nilai-nilai
tersebut.
Melalui proyek dekonstruksi, kaum humanis Postmodern
mencoba menunjukkan betapa rapuh dan lemah the one dan
betapa penting dan berharga the plurals. Kenyataan hidup
bersifat plural (jamak) dan pluralitas itu harus dijunjung tinggi.
The plurals harus diperhatikan, diungkapkan ke permukaan,
karena memiliki nilai yang penting dan tidak dapat diukur oleh
nilai-nilai yang dikandung dalam the one.
Humanisme Postmodern memandang tidak ada lagi batasbatas antara suku, bangsa, tingkatan sosial, ekonomi, budaya
dan batas-batas yang lain. Dunia menjadi desa global (global
village), batas-batas antarnegara menjadi kabur, bahkan dunia
menjadi tanpa batas (the borderless world), liberalisasi in37
Jawa Menyiasati Globalisasi
formasi dan transparansi komunikasi mengakibatkan manusia di
berbagai belahan bumi dapat saling berhubungan dengan
leluasa.
Munir (2008:131) menyebutkan, secara teoretis, Periode
Postmodern ditandai dengan:
1.
2.
3.
4.
38
Globalisasi: bangsa dan wilayah makin terhubung
satu dengan yang lain, sehingga mengaburkan perbedaan antarbangsa dan wilayah maju (negara maju)
dan bangsa dan wilayah terbelakang (negara
berkembang);
Lokalitas: kecenderungan global yang berdampak
pada lingkungan lokal yang memungkinkan setiap
orang memahami dinamika lokal dengan mempelajari manifestasi lokal;
Akhir dari “akhir sejarah”: Modernitas bukanlah
tahap akhir sejarah, sebagaimana diangan-angankan
oleh Marx yang mengatakan bahwa pada masa postindustrial segala kebutuhan dasar manusia akan terpenuhi dan konflik kelompok dan persaingan
ideologi akan menghilang. Sebaliknya bagi postmodern, post-industri adalah suatu tahap sejarah
yang terputus dengan garis halus perkembangan
revolusioner kapitalis sebagaimana dirancang oleh
pendukung pencerahan dan oleh pendiri teori
sosiologi dan ekonomi borjuis;
“Kematian” individu: konsep borjuis tentang subjektivitas tunggal dan tetap yang secara jelas dibedakan dari dunia luar tidak lagi masuk akal dalam
kacamata postmodernitas. Kini, diri atau subjek telah
menjadi lahan pertarungan tanpa batas antara
dirinya dan dunia luar;
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
5.
6.
7.
8.
9.
Mode informasi: cara produksi, dalam terminologi
Marxis, kini tidak lagi relevan dibandingkan dengan
yang disebut Max Poster mode informasi sebagai
cara masyarakat postmodern mengorganisasi dan
menye-barkan informasi dan hiburan;
Simulasi: dunia penuh simulasi. Pandangan ini
dikemukakan oleh Baudrillard, bahwa realitas tidak
stabil dan tidak dapat dilacak dengan konsep
saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme.
Masyarakat tersimulasi, tertipu dalam citra dan
wacana yang secara cepat dan keras menggantikan
pengalaman manusia atas realitas. Salah satu
kendaraan utama simulasi adalah iklan.
Perbedaan dan penundaan dalam bahasa: Derrida
mengatakan bahwa dalam dunia postmodern, bahasa
tidak lagi berada pada hubungan representasional
pasif atas kenyataan, sehingga kata dapat secara jelas
dan jernih menggambarkan realitas dunia. Bahasa
dalam dunia postmodern ditandai dengan pembacaan teks melalui metode dekonstruksi, yaitu
aktivitas kreatif dengan memberikan makna yang
hilang atau ambigu;
Polivokalitas: segala hal dapat dikatakan secara berbeda dalam berbagai cara yang secara inheren tidak
ada superior ataupun inferior. Karena itu ilmu
memiliki sejumlah “narasi” yang saling melengkapi,
menyaingi, dan mengontraskan. Tidak ada ilmu
yang memiliki status epistemologis yang istimewa
(teori yang satu lebih superior dari teori yang lain);
Kematian polaritas analitis, polaritas tradisional
(misalnya kelas proletar/kapitalis, perempuan/lakilaki, Dunia Ketiga/Dunia Pertama) tidak lagi me-
39
Jawa Menyiasati Globalisasi
10.
11.
12.
madai, karena beragamnya pluralitas posisi subjek
manusia;
Gerakan sosial baru: terdapat berbagai gerakan akar
rumput bagi perubahan sosial progresif, suatu
gerakan tidak lagi dibatasi oleh warna kulit atau
kebangsaan. Gerakan massa lebih variatif, misalnya
gerakan pembela lingkungan, kaum feminis, gay,
lesbian, dan sebagainya;
Kritik atas narasi besar: cerita agung sebagai satusatunya penjelasan tentang sejarah dan masyarakat
dikritik dan ditolak. Lyotard lebih menyukai cerita
kecil tentang masalah sosial yang dikatakan oleh
manusia sendiri pada level kehidupan dan
perjuangan mereka di tingkat lokal;
“Yang lain” (otherness): para teoretisi postmodern
menolak konsep “yang lain” dalam pemikiran modern, khususnya tentang perempuan dan kulit
berwarna.
Ciri pokok Humanisme Postmodern (Indratno, 2009),
antara lain meyakini bahwa:
1. Makna kemanusiaan tidak dapat diandalkan, melainkan harus selalu ditemukan dan dirumuskan
secara baru dalam setiap perjumpaan manusia dengan
rea-litas dan konteks yang baru;
2. Kemanusiaan bukanlah suatu esensi tetap atau situasi
akhir, melainkan suatu proses menjadi manusiawi
secara terus-menerus dalam interaksi manusia dengan
konteks dan tantangan yang terus berubah dan
berkembang;
40
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
3. Humanisme harus mengandung unsur dialogis, artinya merupakan undangan untuk saling menjadi
makin manusiawi;
4. Nilai-nilai universal dan kontekstual atau dimensi
normatif dan faktual dalam realitas kehidupan manusia saling berinteraksi dan tidak dapat dipisahkan;
5. Politik yang humanistik perlu menyeimbangkan dua
corak politik, yaitu politik emansipatorik yang bertujuan mengurangi atau bahkan menghapus eksploitasi, ketidaksetaraan, dan penindasan, serta politik
kehidupan yang mengedepankan aktualisasi diri serta
kepedulian moral dan eksistensial yang telah dipinggirkan oleh humanisme Modern.
Kredo Posmodern, menurut Kevil O’Donnell (2009:152),
sebagai berikut:
1.
2.
3.
Terbukalah: terbuka terhadap kehidupan, terbuka
terhadap ide, terbuka terhadap cinta;
Terbuka terhadap panggilan dan kehadiran yang
lain: Anda tidak sendirian, terkurung sel penjara
yang hidup. Anda membuka batas-batas Anda terhadap orang lain. Kita menemukan diri kita sendiri
dengan memberi sesuatu kepada yang lain. Inilah
kebebasan sejati;
Hargailah anugerah: Kehidupan yang mengalir
melalui Anda, dan yang di dalamnya Anda mengalir
adalah anugerah. Bersyukurlah untuk apa yang
diberikan kepadamu. Dunia ini bukan surga bagi
konsumen, pusat belanja yang hijau dan biru, yang
dapat kita perlakukan dan jarah semau kita.
Kehidupan lebih dari komoditas;
41
Jawa Menyiasati Globalisasi
4.
5.
6.
7.
8.
9.
42
Toleran terhadap orang lain dan pandangan mereka:
bebaslah untuk tidak setuju, tetapi berilah selalu
tempat kepada mereka. Cegahlah sistem doktriner
dan totalitarian, yang mencederai manusia. Itu tidak
berarti bahwa Anda tidak dapat berpegang pada
pandangan yang kuat, prinsip, dan ide yang dalam.
Lakukan hal ini dengan segala cara. Rasakan mereka
dengan hati, namun berikan juga tempat kepada
orang lain;
Apa yang menurut pikiran kita ada, mungkin tidak
selalu benar: jangan pernah berpikir semua tidak
mungkin. Anda tidak memiliki dan tidak dapat memiliki semua jawaban. Jangan mencoba menangkap
alam semesta dengan pikiran Anda. Selalu ada yang
lain;
Jangan takut akan hal-hal besar: Apabila ditantang
dan diterjang ”sistem besar,” keluarkan alat dekonstruksi Anda, dan lihatlah yang besar itu berantakan.
Akuilah pengaruh kultural, permainan kekuasaan.
Temukan ketergelinciran;
Cinta itu ada: Jangan ragukan itu. Kita berjalan di
atasnya. Ia membentuk jiwa. Cinta itu lebih dulu
ada daripada bahasa dan semua sistem kepercayaan;
Rasakan misteri berembus ke wajahmu: Terbukalah
pada sesuatu yang tidak diketahui. Ada hal yang
tidak dapat kita ungkapkan secara adekuat. Bebaslah
untuk menyebutnya ”Allah” kalau Anda mau. Anda
dapat percaya kalau mau. Kehidupan lebih besar
dari diri kita;
Kehidupan bukannya bebas untuk semuanya secara
acak: Sesuatu yang kita lakukan terhadap yang lain
berkaitan dengan mereka dan kita. Bunuhlah seseorang dan Anda membunuh diri Anda sendiri, di
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
10.
dalam. Kita semua saling berhubungan. Eksistensi
bersifat memasyarakat, menghargai yang lain, anugerah, melibatkan etika;
Pandanglah ke dalam jiwamu, tempat rahasiamu:
Rasakanlah chora di dalam, misteri yang dalam dan
kelam, penuh dorongan dan permainan. Kenalilah
diri Anda sendiri. Carilah terang, sambungkan!
Dari uraian tentang gerakan humanisme Modern dan
humanisme Postmodern, maka dapat disimpulkan, bahwa dua
gerakan tersebut melepaskan diri dari masalah ketuhanan
(teologi). Ateisme benar-benar menjadi agenda pada awal abad
ke-19. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan
semangat otonomi dan independensi baru yang mendorong
sebagian orang untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan.
Inilah periode ketika Ludwid Feuerbach, Karl Marx, Charles
Darwin, Friederich Nietzsche, dan Sigmund Freud menyusun
tafsiran filosofis dan ilmiah tentang realitas tanpa menyisakan
tempat untuk Tuhan. “Manusia bersifat manusiawi benar-benar
hanya sejauh dia merdeka, dan dia merdeka hanya kalau dia
menjadi ateis.” Itulah dogma sentral bagi kaum ateis (seperti
juga bagi Marxisme); mengingkari Allah untuk membela
martabat manusia (Armstrong, 2007:446; Leahy, 1985:58).
Ciri-ciri yang menonjol pada gerakan humanisme Modern
dan Postmodern adalah tidak mengakui adanya Tuhan (ateis)
atau tidak peduli apakah Tuhan itu ada atau tidak ada (nonteis),
meskipun mereka memiliki cara pandang sendiri tentang
agama. Segala sesuatu harus berdasarkan pada pengalaman dan
realita, isu ketuhanan tidak lagi banyak bermakna (Huxley,
1961:187; Murray, 1970:119). Hal itu antara lain nampak pada
perkembangan humanisme di Amerika Serikat, sejak Manifesto
43
Jawa Menyiasati Globalisasi
Humanis I tahun 1933 yang kemudian dilanjutkan Manifesto
Humanis II 1973 (lihat lampiran 8 dan 9).
Globalisasi: ”Anak Kandung” Humanisme Barat
Globalisasi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
humanisme Barat sebagai gerakan intelektual. Pemikiran kaum
humanis, mulai dari Periode Klasik – bahkan sejak zaman
Yunani kuna – sampai Postmodern memengaruhi cara pandang
manusia terhadap eksistensi kemanusiaan. Cara pandang itu
kemudian bermuara pada pemikiran kaum humanis Postmodern, yang menitikberatkan pada pluralitas dan lokalitas; dua
hal yang menjadi ciri globalisasi.
Globalisasi yang dikenal saat ini tidak lain adalah
globalisasi yang berkembang pada Periode Postmodern. Oleh
Friedman (2006), globalisasi itu disebut sebagai globalisasi 3.0.
Tahap ini menyusutkan dunia dari ukuran kecil menjadi sangat
kecil, sekaligus mendatarkan “lapangan permainan”. Motor
penggerak Globalisasi 3.0 adalah kekuatan baru yang ditemukan
untuk bekerja sama dan bersaing secara individual dalam
kancah global.
Tahap ini ditandai kemajuan pesat teknologi digital dan
serat optik, yang memungkinkan individu-individu dalam waktu singkat mengakses lebih banyak materi di seluruh dunia
dengan mudah. Individu-individu di seluruh dunia dapat
bersama-sama mengerjakan suatu materi digital dari mana pun,
sejauh apa pun jarak antara mereka.
Orang-orang di seluruh dunia, menurut Friedman, mulai
sadar bahwa mereka memiliki kekuatan lebih dari sebelumnya
untuk menjadi global sebagai seorang individu. Mereka bukan
hanya mampu secara individual bersaing, melainkan juga
44
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
bekerja sama dengan individu-individu yang lain. Pertanyaan
yang muncul pada era ini adalah: di mana posisi dan peluang
seseorang dalam persaingan global dan bagaimana secara pribadi
bekerja sama secara global pula? Faktor manusia makin penting
di dalam Globalisasi 3.0. Individu-individu makin berperan
dalam perubahan dunia. Mereka makin menyadari bahwa
perubahan dan nasib dunia berada di tangan manusia, bahwa
nasib manusia tidak akan berubah kalau bukan manusia itu
sendiri yang mengubahnya.3
Gerakan globalisasi memang sudah ada sejak sebelum
Periode Postmodern, seperti dinyatakan oleh Friedman sebagai
Globalisasi 1.0 dan Globalisasi 2.0, namun belum secara penuh
“menyatukan” manusia secara global. Baru pada era Postmodern
relasi antarmanusia benar-benar tanpa batas, yang oleh pakar
sosiologi Jepang, Kenichi Ohmae (1991) diungkapkan, bahwa
saat ini tidak ada lagi batas-batas antarnegara, karena dunia
sudah tanpa batas (the borderless world). Dunia sudah menjadi
desa global (global village).
Globalisasi menemukan bentuk yang nyaris sempurna
setelah kekuatan sosialisme-komunisme runtuh. Dua penanda
keruntuhan itu adalah ambruknya Tembok Berlin 9 November
1989 (yang menyatukan kembali Jerman Barat dan Jerman
Timur) dan pecahnya Uni Soviet dua tahun kemudian. Kalau
sebelumnya laju globalisasi terhambat oleh sosialisme-komunis3 Friedman menyebutkan, Globalisasi 1.0 berlangsung sejak tahun 1492,
ketika Columbus berlayar, membuka perdagangan antara Dunia Lama dan
Dunia Baru, sampai sekitar tahun 1800. Pelaku utama perubahan atau
kekuatan yang mendorong proses penyatuan global adalah kegigihan, kekuatan otot, kekuatan tenaga kuda, tenaga angin, dan tenaga uap yang dimiliki
suatu negara, serta seberapa besar kreativitas untuk memanfaatkannya. Globalisasi 2.0: dari sekitar tahun 1800 sampai tahun 2000. Pelaku utama
perubahan atau kekuatan pendorong penyatuan global adalah perusahaanperusahaan multinasional, kekuatan adalah terobosan di bidang perangkat
keras, berawal dari kapal uap dan kereta api sampai telepon dan komputer.
45
Jawa Menyiasati Globalisasi
me, maka sejak saat itu laju globalisasi tidak terbendung. Nilainilai kapitalisme Barat tidak lagi mendapat hambatan berarti,
sehingga sangat leluasa memasuki ruang-ruang kehidupan di
negara mana pun. Nilai-nilai Barat kemudian berinteraksi
dengan nilai-nilai budaya yang sebelumnya sudah mengakar
dan berkembang di masyarakat suatu negara.
Interaksi tersebut tidak jarang menimbulkan konfrontasi
antara budaya Barat dan budaya lokal. Bagi masyarakat yang
memiliki ketahanan budaya lokal yang kuat, maka yang terjadi
adalah proses akulturasi; budaya Barat lambat laun diterima dan
diolah ke dalam budaya lokal tanpa menyebabkan hilangnya
unsur budaya lokal. Sebaliknya bagi masyarakat yang tidak
memiliki ketahanan budaya lokal yang kuat, maka yang terjadi
adalah hilangnya unsur-unsur budaya lokal tersebut digeser
oleh unsur-unsur budaya Barat. Itulah sebabnya, globalisasi sering pula disebut sebagai penetrasi budaya Barat yang
menghilangkan budaya lokal.
Globalisasi dituduh sebagai proses untuk menghilangkan
nilai-nilai local, digambarkan seperti pedang bermata dua. Di
satu sisi sebagai pembawa perangkat teknologi dan nilai-nilai, di
sisi lain merupakan penetrasi budaya yang justru menghancurkan nilai-nilai budaya lokal. Budaya lokal itu oleh Barat
sering dianggap sebagai bukan budaya. (Goulet, 1989; Saiful Arif
2000:13).
Sebagai salah satu budaya lokal, budaya Jawa pun tidak
terhindar dari konfrontasi dengan budaya Barat yang dibawa
oleh arus global (diuraikan lebih lanjut di Bab Tiga).
Globalisasi yang melaju bak air bah yang tidak terbendung, kemudian menimbulkan reaksi di berbagai masyarakat,
seperti diungkapkan oleh John Naisbitt (1995). Beriringan
dengan proses globalisasi muncul proses primordialisasi yang
46
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
memperkuat kembali sentimen-sentimen kedaerahan, kesukuan, agama, dan golongan. Terjadi paradoks-paradoks dalam
kehidupan manusia. Termasuk di dalam global paradoks adalah
kemunculan gerakan-gerakan fundamentalisme keagamaan,
yang merupakan resistensi terhadap globalisasi.
Globalisasi diwarnai optimisme Barat untuk mengekspor
ideologi nasionalisme dan humanisme sekuler. Gerakan itu
kemudian menimbulkan sentimen anti-Barat, baik dalam
bidang ideologi maupun agama. (Jurgensmeyer, 1993; Hidayat
dan Nafis, 1995:102).
Sentimen anti-Barat itu terutama muncul di negaranegara yang mayoritas penduduknya memeluk Islam. Dengan
demikian, setelah kehancuran Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin, maka kekuatan yang menghadang Barat adalah
dunia Islam. Samuel Huntington (2003) kemudian mengungkapkan tesis benturan antarperadaban, yang menyebutkan
bahwa konflik pasca-Perang Dingin adalah konflik antara Islam
dan Barat. Tesis benturan antarperadaban menekankan bahwa
konflik masa depan adalah konflik budaya.4
4
Huntington mendasarkan tesisnya pada enam argumentasi, yaitu: (1)
Perbedaan di antara peradaban selain nyata juga sangat mendasar. Peradaban
dibedakan oleh faktor sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan – ini sangat penting
– agama; (2) Dunia menjadi makin kecil. Interaksi pun meningkat antarmanusia dari peradaban yang berbeda. Hal ini mendorong meningkatnya
kesadaran peradaban (civilization consciousness) serta kesadaran tentang
perbedaan antara peradaban-peradaban dan komunalitas di dalam peradaban;
(3) Proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di dunia makin
memisahkan manusia dari identitas lokal. Proses itu juga melemahkan negarabangsa (nation-state) sebagai sumber identitas. Di banyak negara, agama
kemudian mengisi kesenjangan itu; sering muncul dalam gerakan-gerakan
yang kemudian diberi label “fundamentalis;” (4) Peningkatan kesadaran
peradaban diperbesar oleh “peran ganda” pihak Barat. Di satu sisi Barat adalah
puncak kekuatan, tapi pada saat bersamaan muncul fenomena kebangkitan
peradaban-peradaban di pihak non-Barat. “Asianization” di Jepang,
berakhirnya warisan Nehru dan “Hinduization” India, kegagalan ide-ide Barat
mengenai sosialisme dan nasionalisme, serta “re-Islamization” di Timur
Tengah, dan perdebatan Westernisasi versus Rusianisasi di Rusia.
47
Jawa Menyiasati Globalisasi
Perkembangan globalisasi memperkuat gerakan-gerakan
ideologi transnasional. Secara teoretik, gerakan ini merupakan
gerakan politik yang mengatasnamakan agama, apa pun agama
itu, namun pada kenyataannya lebih dikonotasikan sebagai
gerakan politik dari Timur Tengah yang masuk Indonesia
mengatasnamakan Islam.
Tenhtang gerakan ideologi transnasional tersebut,
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mengeluarkan seruan
(NU Online, 8 Mei 2007, 20:00), sebagai berikut:
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
meminta ketegasan pemerintah terhadap maraknya
ideologi transnasional (antar-negara) yang masuk ke
Indonesia. Ideologi yang dibawa oleh kelompok dari
gerakan politik dunia harus di-Indonesia-kan atau
disesuaikan terlebih dahulu dengan kondisi, tradisi
dan budaya setempat.
Setiap gerakan politik, apa pun bentuknya dan
dari mana pun datangnya, harus berasaskan Pancasila.
Gerakan-gerakan politik dunia itu tidak menutup kemungkinan telah disusupi kepentingan-kepen-tingan
yang tidak sesuai dengan budaya dan tradisi di
Indonesia.
Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Mujahidin, Al-Qaeda dan sebagainya adalah gerakan
politik, bukan gerakan keagamaan. Gerakan seperti
itu muncul dari situasi politik di negara asalnya, tidak
hanya pada Islam, di agama lain pun ada.
Dewesternization dan indigenization terjadi di kalangan kaum elite di negaranegara non-Barat, sementara itu budaya, gaya dan kebiasaan Barat, terutama
Amerika, lebih populer di kalangan masyarakat awam; (5) karakteristik dan
perbedaan budaya tidak mudah berubah, sehingga lebih tidak kompromistik
dan sulit ditangani daripada masalah politik dan ekonomi; (6) regionalisme
ekonomi meningkat. Pentingnya blok-blok ekonomi regional akan meningkat
di masa mendatang. Di satu sisi keberhasilan regionalisme ekonomi akan
memperkuat kesadaran peradaban, di lain sisi regionalisme ekonomi akan
berhasil kalau dilandasi oleh peradaban umum (common civilization).
48
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
Pancasila sebagai ideologi terbuka, bisa menjadi
solusi untuk mencegah semakin menyebarnya ideologi asing tersebut. Pancasila sangat memungkin-kan
untuk menampung berbagai perbedaan agama dan
golongan.
Jika pemerintah tidak segera mengambil sikap
tegas terhadap gerakan politik internasional tersebut,
lanjut Hasyim, bukan tidak mungkin akan terjadi
‘benturan-benturan’ kepentingan dan ideologi yang
bisa berakibat konflik.
Dalam konteks pemikiran tersebut, maka gerakan ideologi
transnasional dipahami sebagai respons terhadap globalisasi
yang membawa nilai-nilai kapitalisme Barat, meskipun sesungguhnya semua ideologi bersifat transnasional, lintas negara.
Sebenarnya gerakan ideologi transnasional juga merupakan
bagian dari proses globalisasi, hanya berbeda pada nilai-nilai
yang direpresentasikan. Globalisasi merepresentasikan kapitalisme Barat, adapun gerakan ideologi transnasional
merepresentasikan Islam.
Uraian tersebut menunjukkan adanya konfrontasi globallokal dan gerakan-gerakan yang menentang globalisasi.
Mansour Fakih (2001:223) mengidentifikasi gerakan tantangan
terhadap globalisasi menjadi tiga, yaitu:
1. Tantangan gerakan kultural dan agama
2. Tantangan dari gerakan sosial baru (new social
movement) dan masyarakat sipil global (global civil
society)
3. Tantangan gerakan lingkungan.
Inti ketiga gerakan perlawanan dan resistensi tersebut
adalah menolak pembangunanisme dan globalisasi, dengan
argumentasi dasar bahwa kedua hal itu membawa nilai-nilai
kapitalisme dari negara-negara maju ke negara-negara sedang
49
Jawa Menyiasati Globalisasi
berkembang. Globalisasi yang kapitalistis dinilai menghilangkan
nilai-nilai lokal yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk
membangun masyarakat di negara-negara sedang berkembang.
(Saiful Arif, 2000; Mansour Fakih, 2001).
Contoh gerakan kultural adalah kelompok Hindu
Revivalis (Rashtriya Swayamsewak Sangh) yang mendesak
India memboikot barang buatan asing. Begitu pula, gerakan
sosial baru untuk menentang pembangunan dan globalisasi,
misalnya gerakan hijau, feminisme, dan gerakan masyarakat
akar rumput. Adapun gerakan lingkungan banyak dipengaruhi
oleh pikiran Rachel Carson dalam Silent Spring yang
membongkar kerusakan ekosistem dunia yang diakibatkan oleh
praktik ekonomi modern dalam kerangka globalisasi. Carson
mengutuk keras industri pestisida Amerika, menguraikan makin
meningkatnya kecemasan terhadap teknologi pasca-perang
dunia dan juga makin tingginya kesadaran akan pentingnya
kenyamanan-kenyamanan nonmateri dalam kehidupan.
Kesimpulan
Secara garis besar, gerakan humanisme dimulai pada
Periode Klasik, ketika mulai muncul pemikiran-pemikiran
tentang manusia, bukan lagi terpusat pada alam. Meskipun
demikian, pemikiran humanisme pada Periode Klasik masih
tersirat mengaitkan masalah kemanusiaan dengan masalah yang
bersifat metafisika, misalnya tercermin dari pemikiran Plato
yang mengakui adanya kehidupan setelah kematian.
Pemikiran tentang manusia tersebut kemudian berlanjut
pada Periode Pertengahan, ketika manusia merasa tertekan
nilai-nilai kemanusiaannya oleh dominasi agama/gereja. Ketertekanan itu mendorong munculnya kerinduan terhadap
pemikiran Periode Klasik yang sudah berpusat pada manusia,
50
Gerakan Humanisme dan Globalisasi
namun karena tekanan agama/gereja sangat kuat, maka gerakan
humanisme periode ini masih mengaitkannya dengan masalah
ketuhanan.
Perkembangan selanjutnya, pada Periode Modern gerakan
humanisme sudah melepaskan diri dari pemikiran ketuhanan.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan, bahwa gerakan humanisme
pada Periode Modern merupakan gerakan yang tidak mengakui
keberadaan Tuhan (ateis) dan gerakan yang tidak peduli ada
atau tidak adanya Tuhan (non-teis).
Gerakan humanisme Periode Modern kemudian
mengarah pada pemikiran-pemikiran tentang penyeragaman,
seolah-olah manusia dapat diperlakukan sama di seluruh dunia.
Penyeragaman dan pendewaan individu itu kemudian melahirkan gerakan humanisme Periode Postmodern. Oleh sebab itu,
gerakan humanisme Periode Postmodern ditandai pemikiran
yang menitikberatkan pada pluralitas dan pentingnya pendekatan budaya, yang ditandai dengan globalisasi dan lokalitas.
Sama dengan humanisme Modern, humanisme Postmodern juga
melepaskan diri dari entitas ketuhanan.
Jadi, meskipun banyak ilmuwan yang mengatakan, bahwa
globalisasi sudah terjadi sejak periode Pra-Modern, namun
ditinjau dari gerakan humanisme maka globalisasi yang kita
kenal sekarang ini adalah globalisasi yang muncul pada Periode
Postmodern. Globalisasi merupakan buah dari gerakan humanisme, yang puncaknya terjadi pada Periode Postmodern.
Globalisasi ini kemudian memunculkan konflik lokal-global,
termasuk konflik antara nilai-nilai budaya global dan nilai-nilai
budaya Jawa.
Gerakan humanisme selalu dilandasi oleh cara pandang
manusia terhadap eksistensi manusia dalam relasi dengan
manusia lain, alam, dan Tuhan. Dinamika relasi itu menentukan
51
Jawa Menyiasati Globalisasi
karakteristik gerakan humanisme dari masa ke masa (lihat
Lampiran 2).
Secara garis besar, gerakan humanisme Barat dapat dibagi
ke dalam dua bagian utama, yaitu: humanisme yang masih
mengaitkan masalah kemanusiaan dengan ketuhanan (Periode
Klasik dan Periode Pertengahan) dan humanisme yang melepaskan diri dari masalah ketuhanan (Periode Modern dan
Periode Postmodern).
Perkembangan gerakan humanisme Barat itu kemudian
melahirkan gerakan globalisasi pada Periode Postmodern.
Dalam perkembangan selanjutnya, globalisasi menimbulkan
konfrontasi lokal-global. Globalisasi dituduh sebagai proses
untuk menghilangkan nilai-nilai lokal. Globalisasi digambarkan
seperti pedang bermata dua; di satu sisi sebagai pembawa
perangkat teknologi dan nilai-nilai, di sisi lain merupakan
penetrasi budaya yang justru menghancurkan nilai-nilai budaya
lokal.
Konfrontasi tersebut kemudian memunculkan berbagai
gerakan merespons globalisasi. Muncullah berbagai gerakan
yang menantang atau resisten terhadap globalisasi. Sebagai salah
satu budaya lokal, budaya Jawa pun tidak terhindar dari
konfrontasi dengan budaya Barat yang dibawa oleh arus global.
Sikap manusia Jawa menghadapi globalisasi menjadi menarik
untuk dikaji.
52
Download