Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015 MEMBANGUN KONSEP DIRI POSITIF BAGI PENYANDANG EPILEPSI Sri Dewi Setiawati Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas BSI Bandung Jalan Sekolah Internasional No. 1-6 Antapani Bandung 40282 [email protected] Abstract - The concept of self is our way to form a character in us, that can make some difference us with others. Interaction with the concept of self is our way to build selfconfidence to be able to interact with the environment .The concept of self is our way to build self-confidence, because readiness of ourselves influence the way of communication, and so for the people with epilepsy. many people thought that epilepsy is a disease that is transmitted through the saliva of patients. And some people thought that epilepsy is somekind of insanity, or even there are people think that epipelsy is a gift. these negative stigma's made people with epilepsy eliminated. it is important for people with epilepsy, to get interact with the social environment without shame or be affraid. such as, to build a positive concept of self. this research's using case study methode in order to knowing how to build a positive concept of self. The focus of this research is to find how the process of building an inner wisdom, build realization of it self and the last is the display to the public. Keyword : concept of self, personal communications, epilepsy Abstrak - Konsep diri adalah cara kita untuk membentuk karakter dalam diri kita, yang dapat membedakan kita dengan yang lain. rinteraksi dengan bkonsep diri adalah cara kita untuk membangun kepercayaan diri untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarmnya. Konsep diri merupakan cara kita untuk membangun kepercayaan diri Kesiapan diri kita mempengaruhi jalannya komunikasi, begitu pula bagi orang dengan epilepsi (ODE). Banyak masyarakat yang menganggap bahwa epilepsi adalah penyakit yang menular melalui air liur penderita. Ada juga yang menganggap epilepsi adalah penyakit jiwa, atau bahkan ada yang menganggap epilepsi itu adalah tanda ketika manusia kan memiliki kelebihan khusus. Stigma-stigma negative ini yang membuat ODE semakin tersudutkan. Penting bagi ODE untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan tanpa rasa malu, minder atau takut, caranya adalah dengan membangun konsep diri yang positif. Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan metode studi kasus untuk mengetahui bagaimana cara untuk membangun konsep diri yang positif. Focus dalam penelitian ini adalh untuk mencari bagaimana proses membangun keatifan dalam diri penyandang, membangun realisasi dari dalam diri dan yang terkahir adalah display kepada public. Kata kunci : Konsep Diri, Komunikasi Antar Pribadi, Epilepsi ISSN: 2355-0287 71 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015 PENDAHULUAN Proses komunikasi tidak hanya sebatas proses menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan, tetapi berawal dari proses berfikir dan produksi pesan dari dalam diri komunikator. Berfikir dan memproduksi pesan dipengaruhi oleh bagaimana kondisi psikologis dalam diri komunikator. Konteks seperti ini termasuk dalam ranah komunikasi intrapribadi, dalam komunikasi intra pribadi kita membahas factor psikologis diri komunikator sehingga terjadi proses komunikasi. Kepercayaan diri, membangun persepsi merupakan hal yang penting dalam keberlangsungan proses komunikasi, termasuk di dalamnya adalah konsep diri. Konsep diri adalah upaya kita untuk memahami diri kita melalui pertanyaan yang diajukan pada diri kita sendiri , siapa diri kita?, bagaimana diri kita? Apa keahlian kita? Apa passion kita? Apa tujuan kita?. Membangun konsep diri sangat penting dalam proses komunikasi. Konsep diri adalah cara kita untuk membentuk karakter dalam diri kita, yang dapat membedakan kita dengan yang lain. rinteraksi dengan bkonsep diri adalah cara kita untuk membangun kepercayaan diri untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarmnya. Konsep diri merupakan cara kita untuk membangun kepercayaan diri Kesiapan diri kita mempengaruhi jalannya komunikasi. Seorang yang percaya diri, maka proses komunikasi yang dilakukannya akan berjalan dengan baik. Seseorang yang rendah diri akan merasa kesulitan untuk dapat melakukan komunikasi. Menurut Adi W. Gunawan (2005), konsep diri diibaratkan sebagai sebuah sistem yang menjalankan komputer mental yang mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang. Konsep diri yang telah terinstall akan masuk ke pikiran bawah sadar dan mempunyai bobot pengaruh sebesar 88% terhadap level kesadaran seseorang. ISSN: 2355-0287 Artinya, konsep diri merupakan hal yang paling mempengaruhi bagaimana keberhasilan dan kegagalan dalam diri kita. Setiap manusia yang hidup di lingkungan sosial harus memiliki konsep diri, sebagai identitas dan karakter diri kita. Manusia yang tidak memiliki karakter pasti akan terlihat sama dengan manusia lainnya, sehingga akan sulit untuk dibedakan. Sebagai manusia tentunya kita ingin terlihat lebih dibandingan dengan manusia lainnya, hal ini manusiawi. Kelibahan dalam diri setiap manusia bisa terbentuk dengan konsep diri yang baik. Tokoh-tokoh yang sukses dan berpengaruh dapat dipastikan kalau mereka memiliki konsep diri yang baik dalam dirinya. Konsep diri juga dapat berpengaruh ketika kita berinteraksi, manusia yang memiliki konsep diri yang baik maka dia akan lebih percaya diri. Konsep diri harus dimiliki oleh setiap manusia. Manusia dilahirkan secara sempurna tanpa kurang suatu apapun, dia hanya perlu mengenal dirinya untuk dapat membangun konsep diri yang positif. Kondisinya berbeda jika manusia dilahirkan atau memiliki kondisi yang berbeda dengan manusia pada umumnya. Mereka yang merasa memiliki kekurangan dalam dirinya akan merasa sulit untuk membangun konsep diri yang positif, seperti yang terjadi pada penyandang epilepsi. Kita sering menganggap para penyandang epilepsi adalah orang-orang yang terkucilkan. Kita selalu menganggap mereka aneh, berbeda dengan kita, tetapi pada kenyataan mereka sama dengan kita, hanya saja mereka memiliki gangguan yang mengakibatkan kondisi kejang dalam dirinya dan dapat menyerang sewaktuwaktu. Diluar dari itu semua mereka tidak berbeda dengan manusia pada umumnya. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa banyak para penderita epilepsi yang belum mampu membangun konsep diri yang positif dalam dirinya. Hal ini menyebabkan para penyandang semakin terkucilkan. 72 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015 Bukan tidak mungkin kalau ternyata para penyandang epilepsi memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan kita manusia umum. Membangun konsep diri positif bagi penyandang epilepsi sangat penting. Orang Dengan Epilepsi (ODE) mereka juga memiliki potensi dalam dirinya, mereka harus berinteraksi dengan lingkungannya, karena mereka tidak bisa hidup sendiri. Epilepsi adalah penyakit yang ditimbulkan karena adanya jaringan syarap otak yang tergangu sehingga menimbulkan kejang-kejang atau bangkitan pada tubuh. Epilepsi dapat timbul karena bawaan lahir, ataupun terjadi trauma atau kecelakaan yang mengakitakan tergangguranya system syaraf di otak. Berdasarkan pejelasan tersebut, sangat jelas bahwa epilepsi bukan penyakit yang disebabkan oleh virus yang dapat menular seperti ketika kita terkena flu. Kondisi ini masih belum dapat dipahami oleh masyarakat, sehingga banyak stigma negative yang timbul karena epilepsi. Kata “epilepsi” berasal dari bahasa Yunani, “epilambanein” yang berarti “serangan” dan menunjukkan bahwa “sesuatu dari luar badan seseorang menimpanya, sehingga ia jatuh”. Penelitian-penelitian selanjutnya banyak dilakukan oleh berbagai negara untuk mengungkap pemahaman lebih dalam mengenai epilepsi dan cara penanggulangannya. Epilepsi menurut etiologi dalam neurologi klinis sebenarnya bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat timbul karena penyakit. Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat timbul jika terjadi pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak sehingga menyebabkan terganggunya kerja otak. Otak secara cepat dapat mengoreksinya dan segera bekerja normal kembali sehingga gejalanya hilang. Itulah sebabnya epilepsi disebut kelainan yang khas, karena di luar serangan ISSN: 2355-0287 penyandang epilepsi adalah individu yang normal (Harsono dalam Anindita, 2010). Di dunia ini, kasus epilepsi cukup sering dijumpai. Dalam bukunya Epilepsi, Prof. Dr. dr. S.M. Lumbantobing, seorang pakar saraf negeri ini menyebutkan, prevalensi epilepsi di seluruh dunia mencapai 5-20 orang per 1000 penduduk. Sayangnya belum ada penelitian tentang berapa tepatnya prevalensi epilepsi di Indonesia. Namun diperkirakan berkisar antara 0,5-1,2%. Jadi dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, populasi penderita epilepsi mencapai 2.100.000 orang .Epilepsi dihubungkan dengan kejadian seseorang tidak sadarkan diri, terjatuh, tubuh tegang, lalu disusul dengan gerakan-gerakan kejang tanpa terkendali di seluruh tubuh.1 Epilepsi di Indonesia dikenal dengan berbagai nama seperti penyakit ayan, sawan, celeng, dan lain-lain. Ironisnya di abad ke-21 sekarang ini, masih ada masyarakat yang menganggap epilepsi bukan sebagai penyakit melainkan sebagai akibat dari kekuatan gaib, kutukan, kesurupan, bahkan sering dikaitkan dengan penyakit jiwa atau keadaan dengan inteligensi rendah. Epilepsi juga masih dirasakan sebagai aib (Mardjono dalam Anindita 2010). Banyak masyarakat yang menganggap bahwa epilepsi adalah penyakit yang menular melalui air liur penderita. Ada juga yang menganggap epilepsi adalah penyakit jiwa, atau bahkan ada yang menganggap epilepsi itu adalah tanda ketika manusia kan memiliki kelebihan khusus. Stigma-stigma negative ini yang membuat ODE semakin tersudutkan. Beberapa kasus terjadi ketika terjadi serangan kejang atau bangkitan para ODE tidak ada yang menolong, karena masyarakat ketakutan dan menghindarinya, sehingga bukan tidak mungkin ODE dapat kehilangan nyawa karena tidak ada 1 http://www.inaepsy.org/2011/05/mengenalpenyakit-kuno-epilepsi.html diakses pada tanggal 25 maret 2015 jam 13:20 73 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015 perlindungan ketika terjadi serangan. Seharusnya, lingkungan sekitarlah yang berperan jika ODE terjadi serangan, contohnya misalnya menjaga agar aliran nafas tetap berjalan lancar, menghadari dari benda-benda yang berbahaya, karena biasanya ketika ODE terjadi serangan mereka tidak sadarkan diri. Selain dari segi medis, lingkungan di sekitar ODE sangat berperam aktif dalam membangun konsep diri yang positif. Stigma-stigma dalam masyarakat membuat para ODE semakin mengucilkan diri, mereka takut kondisinya di ketahui oleh orang lain karena mereka takut terkucilkan. Tidak semua ODE menyerah dengan stigma buruk dari masyarakat, ada juga ODE yang dapat bangkit dan menunjukkan siapa dirinya. Tokoh-tokoh dunia seperti Napoleon Bonaparte, Julius Caesar, Mozart, siapa yang tak kenal mereka? Dan siapa yang menyangka kalau mereka pun adalah salah satu dari ODE. Artinya, tidak menutup kemungkinan bagi ODE untuk dapat berprestasi dan menunjukkan dirinya, asalkan dapat membangun konsep diri yang positif. Jurnal ini merupakan kelanjutan dan pengembangan dari peneletian sebelumnya yang membahas mengenai konsep diri penyangdang epilepsi yang dilakukan oleh Dasrun Hidayat dan Sri Dewi Setiawati. Penelitian tersebut menghasilkan tiga kesimpulan bagaimana konsep diri ODE. Pertama, makna keunggulan, dimana para ODE dapat memknai kondisi mereka secara positif, kedua, makna keseimbangan, dimana para ODE masih membatasi pada lingkungan tertentu tentang kondisi mereka tetapi terbuka pada lingkungan dekat, dan yang terkahir makna keterpurukan, dimana para ODE benarbenar menutup diri dari lingkungannya dan takut lingkungannya mengethaui kondisi yang sebenarnya. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa ada ODE yang memaknai kondisi mereka sebagai sebuah keunggulan, maka dalam penelitian ini akan dibahas mengenai bagaimana makna keunggulan tersebut ISSN: 2355-0287 dapat terbentuk. Penelitian ini tentunya diharapkan dapat menjadi masukan yang positif bagi para ODE untuk dapat meningkatkan konsep diri mereka dan berprestasi di lingkungan sekitarnya. METODE PENELITIAN John W. Creswell dalam buku Qualitative Inquiry And Research Design menyatakan bahwa fokus studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya, ataupun suatu potret kehidupan. Lebih lanjut Creswell mengemukakan beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu : (1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi; (2) kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh waktu dan tempat; (3) studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa dan (4) menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks atau setting untuk suatu kasus. Berdasarkan paparan di atas, dapat diungkapkan bahwa studi kasus adalah sebuah eksplorasi dari “suatu sistem yang terikat” atau “suatu kasus/beragam kasus” yang dari waktu ke waktu melalui pengumpulan data yang mendalam serta melibatkan berbagai sumber informasi yang “kaya” dalam suatu konteks. Sistem terikat ini diikat oleh waktu dan tempat sedangkan kasus dapat dikaji dari suatu program, peristiwa, aktivitas atau suatu individu. Dengan perkataan lain, studi kasus merupakan penelitian dimana peneliti menggali suatu fenomena tertentu (kasus) dalam suatu waktu dan kegiatan (program, even, proses, institusi atau kelompok sosial) serta mengumpulkan informasi secara terinci dan mendalam dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode tertentu. 74 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015 Selanjutnya Creswell mengungkapkan bahwa apabila kita akan memilih studi untuk suatu kasus seyogyanya menggunakan berbagai sumber informasi. Konteks kasus dapat “mensituasikan” kasus di dalam settingnya yang terdiri dari setting fisik maupun setting sosial, sejarah atau setting ekonomi. Sedangkan fokus di dalam suatu kasus dapat dilihat dari keunikannya, memerlukan suatu studi (studi kasus intrinsik) atau dapat pula menjadi suatu isu (isu-isu) dengan menggunakan kasus sebagai instrumen untuk menggambarkan isu tersebut (studi kasus instrumental). Ketika suatu kasus diteliti lebih dari satu kasus hendaknya mengacu pada studi kasus kolektif . Menurut Creswell, pendekatan studi kasus lebih disukai untuk penelitian kualitatif. Untuk itu Creswell menyarankan bahwa peneliti yang akan mengembangkan penelitian studi kasus hendaknya pertamatama, mempertimbangan tipe kasus yang paling tepat. Kasus tersebut dapat merupakan suatu kasus tunggal atau kolektif , banyak tempat atau di dalam tempat, berfokus pada suatu kasus atau suatu isu (intrinsik-instrumental). Kedua, dalam memilih kasus yang akan diteliti dapat dikaji dari berbagai aspek seperti beragam perspektif dalam permasalahannya, proses atau peristiwa. Ataupun dapat dipilih dari kasus biasa, kasus yang dapat diakses atau kasus yang tidak biasa. Lebih lanjut Creswell mengemukakan beberapa “tantangan” dalam perkembangan studi kasus kualitatif sebagai berikut : 1. Peneliti hendaknya dapat mengidentifikasi kasusnya dengan baik 2. Peneliti hendaknya mempertimbangkan apakah akan mempelajari sebuah kasus tunggal atau multikasus 3. Dalam memilih suatu kasus diperlukan dasar pemikiran dari peneliti untuk melakukan strategi sampling yang baik sehingga dapat pula mengumpulkan informasi tentang kasus dengan baik pula ISSN: 2355-0287 4. Memiliki banyak informasi untuk menggambarkan secara mendalam suatu kasus tertentu. Dalam merancang sebuah studi kasus, peneliti dapat mengembangkan sebuah matriks pengumpulan data dengan berbagai informasi yang dikumpulkan mengenai suatu kasus 5. Memutuskan “batasan” sebuah kasus. Batasan-batasan tersebut dapat dilihat dari aspek waktu, peristiwa, dan proses Pada penelitian ini penulis menggunakan manusia sebagai instrumen utama. Penulis melakukan wawancara mendalam, observasi partisipatif ditambah dengan studi literatur. Dari hasil wawancara mendalam, juga berdasarkan hasil observasi partisipatif dilapangan ditambah studi literatur berdasarkan buku, jurnal, serta artikel blog dari para akademisi, maka peneliti melakukan proses analisis data dengan cara mereduksi data. Proses reduksi data yang dilakukan peneliti meliputi memilih data, menyaring data, mengkode data serta menajamkan data yang kemudian membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya (Moleong, 1999:190). Setelah melakukan reduksi data maka peneliti mencoba untuk menyajikan data dengan membuat tabel, bagan atau grafik. Kemudian setelah proses penyajian data maka proses terakhir adalah penarikan kesimpulan. Analisis data merupakan bagian terpenting dalam penelitian. Data yang dikumpulkan akan bermakna dan berguna dalam menjawab permasalahan penelitian jika diolah dan dianalisis. Creswell berasumsi bahwa analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap data, mengajukan pertanyaanpertanyaan analitis dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian. Dalam penelitian apapun dan siapapun penelitinya menginginkan data yang 75 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015 mampu dipertanggungjawabkan, karena keabsahan data bersifat krusial dalam peneitian kualitatif. Untuk menentukan keabsahan data maka ada beberapa teknik yang bisa digunakan seperti realibilitas, validitas, dan generalisabilitas. Peneliti menguji keabsahan data dalam penelitian ini, maka digunakan teknik validitas dengan pendekatan triangulasi. Triangulasi bisa diartikan sebagai usaha untuk mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh penulis dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data. Menurut Patton triangulasi dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu, triangulasi data (disebut juga triangulasi sumber), triangulasi metode, triangulasi teori, dan triangulasi peneliti (Pawito, 99:2007). Dari empat jenis triangulasi di atas, penulis menggunakan pendekatan triangulasi metode dan triangulasi data. Triangulasi metode menuntut penulis untuk membandingkan temuan data dari hasil catatan lapangan selama observasi partisipatif dengan hasil transkip atau rekaman dari wawancara mendalam. Sementara triangulasi data menuntut penulis untuk menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil wawancara, hasil observasi, atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut pandang berbeda. Alasan penulis menguji keabsahan data dengan pendekatan triangulasi adalah untuk mengetahui fenomena tunggal yang sedang berlangsung dari sudut pandang yang berbeda-beda dan memungkinkan mendapatkan kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan serta mengurangi bias dan subjektivitas. Sebagaimana diketahui penulis merupakan instrumen utama dalam penelitian kualitatif, sehingga sulit terhindar dari bias dan subjektivitas. Menurut Moleong setiap penelitian memerlukan uji keabsahan data atau uji validitas dan pemeriksaan terhadap ISSN: 2355-0287 keabsahan data mutlak dilakukan sehingga penelitian tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dari segala segi. Sedangkan menurut Creswell menyatakan bahwa validitas data merupakan kekuatan lain dalam penelitian kualitatif selain reliabilitas. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil temuan peneliti di lapangan bahwa terdapat pola yang sama yang dilakukan oleh seluruh narasumber yang telah memberikan makna positif mengenali kondisi diri mereka. Fenomena ini dikaji berdasarkan teori konstruksi sosial diri positif, sehingga yang akan menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah bagaiamana mereka dapat menajadi agen yang aktif dalam lingkungan, bagaimana realisasi dapat bersumber dari dalam diri, dan yang terakhir adalah bagaimana menunjukkan diri kepada public. Menjadi Agency Aktif ODE bukan merupakan sesuatu yang harus disesali oleh para penderitanya. Menjadi sosok yang aktif membuat kita menjadi seseorang yang selalu memiliki aktivitas dan kegiatan rutin. Keaktifan disini dapat dimulai dengan mencari informasi bahwa kondisi ini bukan hanya dialami oleh kita sendiri, tetapi masih banyak diluar sana yang juga hidup sebagai ODE. Pinzon (2007) mengungkapkan dari 50 juta penyandang epilepsi diseluruh dunia, 37 juta diantaranya tergolong epilepsi primer dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO pada tahun 2001 memperkirakan rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Data lain menyebutkan bahwa pengidap epilepsi di Indonesia diperkirakan sekitar 1,1 juta 76 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015 hingga 1,3 juta penduduk dan angka ini setara dengan 2% dari jumlah pengidap epilepsi di dunia yang mencapai 50 juta orang dengan angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi daripada wanita (Margaretha dalam Anindita, 2010). Berdasarkan data statistic tersebut menunjukkan bahwa tidak sendiri menjalani maslah tersebut. Keaktifan juga dapat dilakukan dengan mencari informasi tentang epilepsi yang dapat memotivasi diri, yang dapat dilakukan mencari informasi apakah ada tokoh-tokoh dunia yang berpengaruh yang juga ODE. Hal ini sangat membantu untuk membangun kepercayaan diri. Berdasarkan teori penilaian sosial (Morrisan, 2010) yang didalamnya ada keterlibatan ego, jangkar sikap dan efek kontras menjelaskan bahwa cara ini cukup efektif untuk merubah presepsi kita. Keterlibatan ego artinya, keaktifan ODE mencari informasi menandakan rendahnya peran ego dalam dirinya. Orang dengan ego yang tinggi artinya memiliki kognitif yang rendah, dimana dia akan percaya semua pesan yang diberikan lingkungannya tanpa ada proses seleksi. Sedangkan keterliban ego yang rendah menunjukkan tingginya proses kognitif, yang berarti adanya keaktifan dari ODE untuk menyeleksi pesan, mana yang benar-benar positif bagi dirinya dan mana yang hanya stigma yang tidak dapat dibuktikan. Teori penilain sosial didalamnya juga terdapat jangkar sikap. Sebagai individu kita akan melihat atau memprediksi bagaimana sikap orang lain terhadap diri kita, dan perkiraan itulah yang akan menjadi acuan untuk kita menentukan sikap. Sebagai ODE, kita selalu memprediksi bagaimana penerimaan masyarakat terhadap diri kita. Ada baiknya jika kita selalu menanamkan hal positif, sehingga kita akan membentuk perkiraan yang positif. Sebagai ODE yang tidak pernah bisa mengontrol kapan serangan akan terjadi, ada kemungkinan serangan terjadi di hadapan umum. Salah satu narasumber pernah mengalami terjadi ISSN: 2355-0287 serangan ketika dia memberikan materi di hadapan peserta seminar. Sebagai manusia normal tentunya kita akan merasa ragu untuk berinteraksi dengan lingkungan itu kembali. Tetapi, itu adalah langkah yang salah. Sama halnya ketika seorang peragawati yang berjalan memperagakan baju di catwalk dan dia terjatuh, apakah dia akan kembali lari kebelakang panggung? Tentunya tidak, artinya kita harus dapat merubah apa yang negative justu menjadi kelebihan dalam diri kita. Serangan juga mungkin terjadi jika kita berada di tempat kerja, apa berarti kita harus keluar dan mencari pekerjaan baru lagi? Tentunya tidak juga, lalu pa yang dapat dilakukan? Dengan memberikan pemahaman informasi tentang kondisi diri kita membuat lingkungan menjadi lebih paham tentang apa yang terjadi. Sedikit kejadian kecil, tidak akan berarti kalau kita dapat menunjukan prestasi kita dilingkungan tersebut. Terakhir adalah efek kontras. Ketika ODE dapat mengurangi ego artinya dapat berperan aktif dalam mencari informasi. Kemudian membentuk jangkar sikap maka akan menghasilkan efek atau perubahan sikap yang positif dan menjadi seseorang yang aktif. Penting bagi penyandang untuk memiliki sifat terbuka, yang senang berfikir, memiliki daya imajinasi, memberikan perhatian pada peraan serta memiliki kecenderungan berfikir bebas. Sifat terbuka membuat kita terbisa untuk berfikir bebas dan selalu mencari hal-hal baru membuat para ODE menjadi terbiasa untuk terus mengembangkan kebiasaan berfikir. Kondisi ini membuat mereka terhindar dari keterpurukan dan mengasihani diri mereka sendiri. Salah satu bentuk nyata adalah dengan aktif mengekapresikan diri. Menunjukkan ekspresi dan emosi diri pada lingkungan menunjukkan eksistensi kita dalam lingkungan. Menunjukan emosi kita bisa dengan menunjukan minat kita akan suatu hal. Contoh, aktif dalam klub sosial, mengikuti pendidikan da salah satu bidang, 77 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015 dan lain sebagainya. Berbagai macam kegiatan tersebut dapat menajdi sarana untuk kita menyalurkan emosi kita. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain, artinya manusia harus dapat berinteraksi dengan orang lain. budaya di Indonesia menunjukkan bahwa setiap orang berhak menyampaikan setiap bentuk emosi dalam dirinya pada lingkungannya. Emosi tidak hanya diartikan dalam bentuk ekspresi kejiwaan, tetapi emosi juga dapat berarti tindakan atau minat yang dilakukan. Penyaluran ekspresi melalui berbagai kegiatan sosial membuat mereka menyadari kemampuan yang sebenarnya ada dalam diri mereka. Bukan tidak mungkin jika potensi diri yang tadinya tidak disadari ada dlam diri menjadi keahlian lebih yang dimiliki oleh setiap ODE. Beberapa kasus menunjukkan bahwa ODE yang aktif dalam klub sosial secara tekun menjalankan aktifitasnya membuat mereka menjadi lebih berprestasi dalam bidangnya, sehingga mereka dapat menunjukkan eksistensi mereka di lingkungannya. Hal ini snagat penting dilakukan karena untuk menunjukkan diri mereka berdasarkan prestasi yang dimilikinya. Realisasi Bersumber Dari Dalam Diri Membangun pengaruh secara personal dapat dilakukan dengan membangun pola pikir yang positif. Pertanyaannya bagaimana membangun pola pikir positif? Ada yang dimulai dengan mendekatkan diri kepada sang pencipta sesuai dengan keyakinannya. Contohnya, jika dalam ajaran seorang muslim dijelaskan bahwa Allah tidak akan memberikan ujian melebihi dari kemampuan umatnya, artinya jika kita menyebut kondisi sebagai ODE adalah sebuah cobaan maka potensi yang kita miliki sesungguhnya lebih besar dari cobaan yang kita terima. Bagaiaman cara kita mengetahuinya? Tentunya dengan ISSN: 2355-0287 mengetahui minat dan keahlian kita dibidang apa. Membangun pola piker positif berawal dari bagaimana cara berfikir yang kita gunakan. Menurut Petty dan Cacioppo dalam Morrisan (2010) menjelaskan bahwa otak kita memiliki semacam jaringan besar yang berfungsi sebagai filter atau penyaring terhadap setiap informasi yang kita anggap penting dan meloloskan infromasi yang kita anggap tidak penting. Hal ini tentunya berkaitan dengan cara berfikir kita. Menurut Morrisan (2010) terdapat dua cara berfikir yang digunakan oleh manusia. Pertama adalah berpikir melalui jalur sentral, diaman dalam proses berfikir tidak serta merta menerima segala bentuk informasi melainkan memilah terlebih dahulu. Kedua, proses berfikir melalui jalur periferal, diamna proses berfikir terjadi dengan menerima semua informasi tanpa ada proses selektif. Menurut Petty dan Cacioppo dalam Morrisan (2010) dalam memotivasi pada dasranya memiliki tiga factor yaitu: Keterlibatan pribadi terhadap suatu topic, Keberagaman argument, dan kecenderungan pribadi. Motivasi diri tidak dapat terjadi jika kita tidak tertarik terhadap informasi yang diberikan. Kebiasaan kita berfikir berpengaruh terhadap motvasi yang dihasilkan, semakin kita kritis menilai setiap infomrasi semakin kita selektif dalam menerima informasi. Orang-orang yang cendserung mempertimbangan segala hal dengan cermat dari hasil pemikiran kritis, maka semakin kita dapat membentuk pola piker yang positif dalam diri. Stigma-stigma negates yang beredar di masyarakat tentang epilepsi adalah infromasi yang tidak perlu kita terima, dan harus kita buang. Berfikir kritis dengan apa yang dialami langsung para ODE menjadi dasar untuk membentuk sikap positif dalam diri. Membangun pola pikir positif artinya membangun lingkungan yang positif. Manusia adalah makhluk sosial, dimana lingkungan memiliki peran penting dalam mempengaruhi setiap diri. Membangun 78 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015 lingkungan yang positif sangat berarti bagi para ODE. Stigma-stigma negative yang beredar di masyarakat mengenai epilepsi membuat para ODE cukup sulit untuk membangun motivasi diri, jika tidak didukung oleh lingkungan yang positif. Berdasarkan konsep komunikasi intrapribadi, setiap diri manusia dipengaruhi oleh pandang tentang diri sendiri, pandangan diri orang lain dan pandangan orang lain tentang dirinya. Kita tidak pernah mengetahui siapa kita kalau orang lain tidak menunjukan pandangan tentang diri kita. Artinya, apa yang menjadi persepsi dalam diri kita terbentuk karena factor dari lingkungan sekitar kita memaknai diri kita. Stigma-stigma negative tentang epilepsi cukup mempengaruhi sulitnya membangun motivasi diri bagi penyandang. Ditambah lagi dengan sikap dasara manusia yang selalu memberikan penilaian pada setiap dirinya, seperti dijelaskan dalam teori penilaian. Maka penitng untuk kita membangun lingkungan yang positif. Lingkungan yang positif adalah lingkungan yang selalu memberikan penilaian yang baik terhadap ODE. Caranya adalah dengan memahami kondisi yang dimilikinya, menjadi teman untuk berbagi, menunjukkan kalau kita memang orang yang ada untuk mendukung apa yang dilakukannya, mengucapkan hal-hal yang positif, dan mendengarkan hal-hal yang positif. Kita meyakini bahwa setiap kata yang kita ucapkan adalah doa yang berikan untuk diri kita. Maka ucapkanlah hal-hal positif yang dapat membangun pola piker positif dalam diri kita. Display Kepada Publik Dijelaskan sebelumnya bahwa sebagai ODE kita memerlukan bantuan dari lingkungan sekitar kita, jadi penting untuk kita menunjukkan kondisi sebenarnya dalam diri kita. Proses menunjukkan kondisi diri kita dilakukan bukan dengan cara langsung disampaikan pada orang- ISSN: 2355-0287 orang yang ada disekitar kita. Cara penyampaian dapat dilakukan dengan menunjukkan apa yang menjadi kelebihan yang kita miliki. Seperti prestasi yang kita dapatkan, kelebihan yang kita miliki. Sehingga jika mereka mengetahui apa yang menutut kita menjadi kekerungan hal tersebut bukan menjadi maslah yang berarti. Komunikasi antar pribadi menjelaskan, bahwa dalam proses komunikasi anatar pribadi setiap manusia selalu memberikan penilai atau cap pada setiap diri. Kalau seorang ODE dapat melakukan berprilaku aktif, membentuk pemikiran yang positif, maka ODE akan dinilai sebagai sosok yang baik. Ingat bahwa cap atau penilaian yang diberikan orang lain terhadap kita itu adalah cerminan diri kita. Kita tidak bisa menilai kita cantik, baik, pintar hanya karena kita menyebutkan. Tetapi penilain itu muncul dari apa yang dilihat oleh orang lain terhadap diri kita. Penting badi ODE untuk berperilaku aktif menggali potensi diri, membangun pola piker yang positif sehingga dia dapat menunjukan konsep diri yang baik pada masyarakat. KESIMPULAN Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan dalam pembahasan, untuk membentuk konsep diri yang positif bagi ODE adalah: 1. Berperan aktif dan menunjukkan jati diri kita. Menjadi seseorang yang berprestasi dan aktif menggali informasi membuat kita menjadi dapat manyring segala mentuk infromasi dan menunjukkan jati diri kita. 2. Membentuk pola piker positif. Pola pikir positif dapat membentuk motivasi dalam diri, sehingga kesadaran untuk menjadi lebih baik bukan dari ornag lain tetapi dari dalam diri, sehingga motivasi tersebut menjadi lebih konsisten. 79 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015 3. Berani menunjukkan diri. Menunjukkan diri dengan berbagai prestasi dan kelebihan yang kita miliki. gajalapenyakitmu.blogspot.com/2013/05/g ejala-epilepsi-atau-ayan-penyebabdan.html REFERENSI Creswell, John. 2012. Research Design Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Pustaka Pelajar; Jogjakarta Cianni, Mary, dan Donna Wnuck, 1997, Individual Growth and Team Enhancement: Moving Toward a New Model of Career Development, Academy of Management excecutive, Vol 11, No.1, 1997 Davis, Keith, 1962. Human Relations at Work, Mc. Graw-Hill Book Company, Ltd., Tokyo. Denzin, Lincoln, 2009. Handbook of Qualitative Research. Pustaka Pelajar: Jogjakarta. Hidayat, Dasrun. 2012. Komunikasi Antar Pribadi dan Medianya, Graha Ilmu, Jogjakarta. Morissan, M.A. 2010. Psikologi Komunikasi. Ghalia Indonesia, Bogor. Morissan, M.A. 2013. Teori Komunikasi. Kencana, Jakarta. Anindita Nadiarani, 2010. Perilaku Koping pada Penyandang Epilepsi Fak. Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Sumber lain http://www.inaepsy.org/2011/05/mengenal-penyakitkuno-epilepsi.html artiksehatan.wordpress.com/2011/01/07/epileps i/ ISSN: 2355-0287 80