dari redaksi Assalamu'alaikum Wr.Wb. Para pembaca yang berbahagia, pada tahun 2013, UPTB Pusdalisbang Jawa Barat sebagai unit pelaksana teknis Bappeda Provinsi Jawa Barat meluncurkan JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA BARAT sebagai publikasi baru yang diterbitkan secara periodik (2 kali dalam 1 tahun) untuk disebarluaskan kepada masyarakat luas terutama organisasi perangkat daerah sebagai masukan dalam perencanaan pembangunan di sektor masing-masing. Jurnal ini berfokus pada penerbitan artikel singkat dari para Mahasiswa, Akademisi, Peneliti dan pemerhati dalam kajian pembangunan daerah melalui hasil penelitian mereka yang diharapkan dapat diakses untuk semua pemangku kepentingan. Artikel yang dimuat dalam jurnal ini disajikan dengan singkat dalam bentuk karya ilmiah dengan menyampaikan ide segar untuk pembacanya. ISSN No. 2302 - 9005 Tujuannya untuk mempublikasiJawa Barat kan hasil penelitian atau kerangka JURNAL konseptual yang terkait dengan Analisis Kebijakan Pembangunan pembangunan dan kebijakan Provinsi Jawa Barat publik. Cakupan topik dalam JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA BARAT Edisi pertama ini terdiri dari: Urgensi Referensi Geospasial Tunggal dalam Penyelenggaraan Informasi Geospasial, Inovasi Pemerintah Daerah dalam Rangka Perlindu-ngan Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (Tenaga Kerja Sektor Informal), Pertumbuhan Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah di Indonesia, dan Analisis Spasial pada Kualitas Pendidikan di Kota Bandung berdasarkan Nilai Ujian Nasional SMP. satu data Pembangunan Desember 2013 Pusdalisbang Bappeda Provinsi Jawa Barat Akhir kata, kami sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada penulis atas kontribusinya. Kami tunggu artikel berikutnya kepada para penulis atas kontribusinya. Kami tunggu artikel berikutnya di terbitan I Tahun 2014. Semoga tulisan yang disajikan dalam jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Provinsi Jawa Barat menjadi sumbangan bagi pengetahuan dan perencanaan berbasis pengetahuan (knowledge based organization). Selamat membaca dan tetap berkontribusi untuk mewujudkan perencanaan pembangunan yang bermutu dan akuntabel di Jawa Barat. JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN Provinsi Jawa Barat Jl. Sangkuriang No.2 Bandung TERBIT BERDASARKAN SK.LIPI No. 005.251/Jl.3.2/SK.ISSN/2012.10 ISSN No. 2302 - 9005 Penanggung Jawab Prof. Dr. Deny Juanda Puradimaja, DEA Dewan Redaksi Ketua: Ir. Rudi Mahmud Zafrullah, MSP.,M.T Sekretaris: Ani Widiani, ST, MUT Mitra Bestari Prof. Dr. Sutyastie Soemitro Remi, SE, MS Nugroho J. Setiadi, Ph.D Ir. Teti Armiati Argo, M.E.S., Ph.D Penyunting Ir. H. Tresna Subarna, M.M Ir. Agus Riswandi,M.Si Mahensa Bilqys, SSi, MT Joe Monang,ST, MA Sekretariat Widhy Kurniatun, ST, M.Si Ferdian Gumiwa, S.P satu data Pembangunan Jawa Barat ISSN No. 2302 - 9005 Daftar Isi Daerah dalam Rangka Perlindungan Tenaga Kerja 2 Inovasi Pemerintah Luar Hubungan Kerja (Tenaga Kerja Sektor Informal) Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi 13 Pertumbuhan Modal antar Daerah di Indonesia 23 Pemetaan Kualitas Pendidikan di Kota Bandung melalui Analisis Spasial Berdasarkan Nilai Ujian Nasional SMP Tunggal dalam Penyelenggaraan 36 Urgensi Referensi Geospasial Informasi Geospasial 1 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Inovasi Pemerintah Daerah dalam rangka Perlindungan Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (Tenaga Kerja Sektor Informal) Beberapa Pengalaman di Provinsi Jawa Barat Ir. Marwini, MT Kepala Bagian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Biro Pengembangan Sosial Setda Provinsi Jawa Barat ABSTRAK Provinsi Jawa Barat adalah salah satu bagian dari Negara Indonesia yang berpenduduk paling padat (44,9 juta jiwa) dan mempunyai 26 daerah otonom berupa 16 Kabupaten dan 10 Kota. Sektor penghela pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di Jawa Barat adalah Industri Manufaktur, Perdagangan dan Agribisnis. Jumlah Tenaga Kerja di Jawa Barat adalah 18.173.043 jiwa, dimana sebagian tenaga kerja tersebut terserap di sector formal (bekerja dalam hubungan kerja), yaitu 6.567.738 orang dan mayoritas terserap di sektor informal (bekerja di luar hubungan kerja), yaitu 11.605.305 orang. Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja pada umumnya bekerja pada usaha-usaha informal yang selama ini dianggap sebagai katup pengamanan karena mampu menyerap tenaga kerja lebih besar yang tidak terserap pada usaha-usaha ekonomi formal. Namun ironisnya kelompok ini masih sangat minim mendapatkan perlindungan sosial dalam bentuk Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Upaya peningkatan perlindungan sosial bagi tenaga kerja luar hubungan kerja atau tenaga kerja informal menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah sejalan dengan akan segera dilaksanakannya secara kongkret Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kreatifitas Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam melakukan inovasi baik dalam bentuk penyusunan regulasi, penyediaan lembaga dan SDM pelayan publik, pengalokasian anggaran dan pemberdayaan stake holder, adalah sebagian dari strategi dan langkah kongkret dalam mewujudkan perlindungan sosial secara menyeluruh (universal coverage) bagi tenaga kerja khususnya tenaga sektor informal adalah inti dari makalah ini. Kata kunci : inovasi pemerintah daerah, Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Sektor Informal. I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 2 ABSTRACT West Java Province is a part of Indonesian country having most dense population (44.9 million) and it has 26 autonomous areas in the form of 16 regencies and 10 cities. The sector of driving the economic growth and development in West Java Province is Manufacture Industry, Trade and Agribusiness. The number of manpower in West Java is 18,173,043, where a part of the manpower has been absorbed in formal sector (worked in a working relation): 6,567,738 and the majority has been absorbed at informal sector (worked outside of the working relation): 11,605,305. The manpower doing the work outside of the working relation generally work in the informal businesses which has been so far considered as security valve because of the ability to to absorb larger manpower that has been not absorbed at the formal economic efforts. However, ironically this group is still highly minim in getting the social protection in the form of Worker Social Security. The attempt of enhancing the social protection for the manpower that worked outside of the working relationship or informal worker becomes a serious attention got the local government in line with to be immediately carried out concretely The Law Number 40 of 2004 concerning National Social Security System (SJSN and The Law Number 24 of 2011 concerning Social Security Performance Board (BPJS). The various strategies and innovations of Local Government in the region of West Java Province in attempting the realized social protection for all manpower specially the manpower of informal sector is the core of this paper. Keywords: local-governmental innovation, Worker Social Security, Informal Sector 3 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia yang mengatur hubungan wewenang dan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah wujud pengamalan amanah konstitusi yang tercantum dalam Pasal 18 A UUD 1945. Lebih jauh lagi otonomi daerah didefinisikan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keberhasilan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ditentukan oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah kinerja dari Pemerintah Daerah yang terukur melalui kemampuan daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Implikasi dari kebijakan desentralisasi adalah lahirnya berbagai kreatifitas Pemerintah Daerah Otonom melakukan inovasi baik dalam penyusunan regulasi, penyediaan lembaga dan SDM pelayan publik, pengalokasian anggaran dan pemberdayaan stake holder, adalah sebagian dari strategi dan langkah kongkret dalam mewujudkan tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dalam menyelesaikan permasalahan di daerahnya. Penyelenggaraan sistem jaminan sosial telah menjadi agenda nasional seiring dengan pelaksanaan reformasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang didasari oleh kesadaran untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan sistem jaminan sosial di era desentralisasi menjadi salah satu prioritas pemerintah daerah otonom untuk mewujudkan universal coverage bagi masyarakat di daerahnya, sebagai akibat dari kompetisi global yang telah meyakinkan pemerintah untuk mempercepat pembangunan sistem jaminan sosial yang adekuat, terpadu dan terintegrasi dengan agenda reformasi pembangunan terutama di bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Bahkan diyakini pula bahwa negara yang mempunyai sistem jaminan soasial yang adekuat mampu berperan aktif di era persaingan global dan mampu menciptakan kedamaian dan rasa aman bagi masyarakatnya. Penyelenggaraan sistem jaminan sosial bagi tenaga kerja sebagai komponen masyarakat yang produktif, adalah inti dari proses panjang perwujudan universal coverage (perlindungan menyeluruh) bagi seluruh warga negara. Penyelenggaraan jaminan Sosial Tenaga Kerja yang adekuat akan memacu produktifitas dan pertumbuhan ekonomi yang juga berimplikasi kepada terwujudnya stabilitas, kondusifitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Di Indonesia, meskipun Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diatur dengan Undangundang Nomor 40 tahun 2004 belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan kongkret, namun seiring dengan pelaksanaan kebijakan desentralisasi maka implementasi SJSN dalam tataran praktek di daerah hendaknya dapat diakselerasi dan dilaksanakan dengan memperhatikan karakteristik, kemampuan dan kemauan masing-masing daerah. Kreatifitas pemerintah daerah melakukan berbagai inovasi dalam pembuatan peraturan pendukung, pembentukan lembaga penyelenggara yang efektif, penyediaan biaya / anggaran yang layak dan startegis serta pengembangan sistem dan SDM pelayan publik yang kredibel dan akuntabel, yang mampu mendukung best practiced penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial di daerahnya adalah kunci dari terwujudnya universal coverage bagi tenaga kerja dan masyarakat secara menyeluruh. I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 4 Perumusan Masalah Masih sangat rendahnya cakupan kepesertaan Jamsostek bagi tenaga kerja luar hubungan kerja atau tenaga kerja sektor informal di Jawa Barat, perlu mendapat perhatian serius, mengingat jumlah tenaga kerja sektor informal ini mendominasi dalam mapping tenaga kerja. Perlu disusun strategi dan langkah-langkah terobosan oleh pemerintah daerah untuk mengakselesrasi pemenuhan perlindungan terhadap tenaga kerja sector informal tersebut melalui kepesertaan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) bagi tenaga kerja luar hubungan kerja (TKLHK). Metode Penelitian Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan mengumpulkan materi-materi yang berkaitan dengan pokok bahasan, dimana materi-materi tersebut dikumpulkan dari berbagai media seperti, buku-buku rujukan, artikel-artikel, dan melalui media jaringan internet. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang berlokasi paling dekat dengan ibu kota Jakarta, merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbesar (44,9 juta jiwa) dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Hal ini tentu saja berimplikasi terhadap tingginya tingkat permasalahan bidang sosial, kependudukan dan ketenagakerjaan yang dihadapi oleh pemerintah daerahnya. Jumlah penduduk yang besar tersebut tersebar di 26 kabupaten dan kota. Jumlah penduduk yang bekerja adalah 18.173.043 orang dan jumlah penganggur adalah 1.982.448 orang (9.84 %). Penduduk yang yang bekerja tersebut tersebar pada 9 lapangan kerja utama sebagaimana tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Penduduk Usia 15 Tahun ke atas yang Bekerja Menurut Lapangan Kerja Utama pada Juni 2012. Lapangan Kerja Utama 1. Pertanian, Perkebunan, Kehutan dan Perburuan 2. Pertambangan dan Penggalian Jumlah an 4.000.956 22.02 152.523 0.84 3.494.740 19.23 46.506 0.26 5. Konstruksi 1.170.065 6.44 6. Perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi 7. Transportasi, pergudangan dan komunikasi 8. Keuangan, real estate, Usaha persewaan dan Jasa perusahaan 9. Jasa Kemasyarakatan, sosial dan perseorangan 4.863.107 26.76 1.276.468 7.02 408.129 2.25 2.760.549 15.19 3. Industri 4. Listrik, Gas dan Air Sumber BPS – Juni 2012 5 Persentase I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Berdasarkan status pekerjaannya, dari 18.173.043 orang penduduk yang bekerja, sebanyak 6.054.122 orang (33.31 %) bekerja sebagai buruh atau karyawan, diikuti berusaha sendiri sebanyak 4.583.528 orang (25.22 %), dan berusaha dibantu buruh tidak tetap sebanyak 2.684.418 orang (14.77 %). Sedangkan yang terkecil komposisinya adalah berusaha dibantu buruh tetap yaitu hanya 514.154 orang (2.83 %). Kegiatan usaha formal dan informal dapat dilihat berdasarkan status pekerjaan. Dari tujuh katagori pekerjaan utama, pekerja formal hanya terdiri dari katagori berusaha dibantu buruh tetap dan katagori buruh/ karyawan, dimana dalam dua katagori tersebut diberlakukan norma hubungan kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja atau bekerja dalam hubungan kerja. Jika dilihat dari status pekerjaan berdasarkan klasifikasi formal (bekerja dalam hubungan kerja) ada sebanyak 6.567.738 orang (36, 14 %), sedangkan tenaga kerja yang bekerja pada kegiatan informal (bekerja di luar hubungan kerja) ada sebanyak 11.605.305 orang ( 63,86 % ). Kaitannya dengan tingkat perlindungan tenaga kerja melalui penyelenggara program jaminan sosial yang merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat, di Jawa Barat dilaksanakan berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal, sedangkan bagi pekerja di sektor informal masih bersifat sukarela. Cakupan perlindungan tenaga kerja formal yang telah mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat adalah 2.565.535 orang (39.06 %) dibandingkan dengan jumlah total tenaga kerja formal yang ada yaitu 6.567.738 orang. Sedangkan cakupan perlindungan bagi tenaga kerja informal yang bekerja di luar hubungan kerja adalah 59.522 orang ( 0.51 % ) dari total tenaga kerja informal yang ada. B.Perlindungan Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TKLHK) di Provinsi Jawa Barat. Masih rendahnya cakupan perlindungan tenaga kerja formal dan tenaga kerja informal di Provinsi Jawa Barat antara lain disebabkan program jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 memuat ketentuan tentang jaminan sosial tenaga kerja bagi semua pekerja. Tetapi dalam pelaksanaannya dibedakan antara tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja (tenaga kerja formal) dan tenaga kerja di luar hubungan kerja (tenaga kerja informal) yang masing- masing diaturoleh Peraturan Pemerintah. Tetapi sampai saat ini baru dapat diterbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja. Peraturan Pemerintah yang mengatur Jaminan Sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja belum dapat diterbitkan sehingga untuk mengisi kekosongan hukum diterbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Kerja dan Transmigrasi Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja. Tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja adalah tenaga kerja yang melakukan kegiatan ekonomi tanpa dibantu orang lain. Orang yang berusaha sendiri atau tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja pada umumnya melakukan usaha-usaha pada ekonomi informal. Usaha ekonomi informal selama ini dianggap telah berjasa sebagai katub pengaman karena mampu menyerap tenaga kerja yang tidak terserap oleh usaha-usaha ekonomi I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 6 formal. Usaha-usaha ekonomi informal tersebut mudah dimasuki oleh tenaga kerja karena pada umumnya tidak mensyaratkan tingkat pendidikan dan keterampilan tertentu (misalnya profesi supir, tukang ojek, nelayan, tukang becak, PKL, petani dsb). Pada umumnya tenaga kerja pada usaha-usaha ekonomi informal tersebut belum terjangkau oleh upaya - upaya pembinaan d a n p e r l i n d u n ga n t e n a ga ke r j a y a n g berkesinambungan. Sedangkan ciri-ciri usahausaha ekonomi informal ini antara lain: berskala mikro dengan ukuran kecil, menggunakan teknologi sederhana/rendah, menghasilkan barang dan/atau jasa dengan kualitas relatif rendah, tempat usaha tidak tetap, mobilitas tenaga kerja sangat tinggi, kelangsungan usaha tidak terjamin serta jam kerja tidak teratur. Tenaga Kerja di luar hubungan kerja juga mempunyai karakteristik seperti resiko kecelakaan kerja tinggi, belum di cover oleh asuransi, belum terorganisir serta produktivitas dan penghasilan tidak tetap. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, program jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Program Jaminan Sosial tenaga kerja meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua serta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja, kemampuan untuk membayar iuran terbatas karena penghasilan yang tidak teratur dan ada yang penghasilannya tergantung pada musim. Oleh sebab itu tenaga kerja yang melakukan perkerjaan di luar hubungan kerja tidak mungkin diwajibkan untuk mengikuti seluruh program Jaminan Sosial Tenaga kerja sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992. 7 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Sehubungan dengan keterbatasan kemampuan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja dalam membayar iuran, maka Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi para tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan membayar iuran dari tenaga kerja yang bersangkutan. Badan penyelenggara program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja adalah PT. Jamsostek (Persero). Sedangkan kepesertaannya adalah setiap tenaga kerja di luar hubungan kerja yang berusia maksimal 55 tahun dan kepesertaan ini harus dilakukan secara sukarela oleh setiap tenaga kerja yang bersangkutan Iuran program Jaminan Sosial Tenaga Kerja di luar hubungan kerja ditetapkan berdasarkan nilai nominal tertentu atau sekurang-kurangnya setara dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota setempat. Untuk menghitung besarnya iuran program Jamsostek sebagai berikut: 1. Jaminan Kecelakaan Kerja sebesar 1 % dari penghasilan sebulan. 2. Jaminan Kematian sebesar 2% dari pengha silan sebulan. 3. Jaminan Hari Tua sebesar 0,3% dari penghasilan sebulan. 4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sebesar 6% dari penghasilan sebulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3% dari penghasilan sebulan bagi tenaga kerja lajang. Pembayaran iuran dapat dilakukan melalui Wadah/Kelompok maupun dilakukan secara langsung oleh peserta setiap bulan atau setiap tiga bulan. Penanggung Jawab Wadah/Kelompok adalah pihak yang ditunjuk oleh peserta untuk mewakili peserta dalam hal menyelesaikan hak dan kewajiban para peserta yang meliputi pengumpulan iuran, penyetoran iuran dan pengurusan klaim. A. Inovasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam rangka Perlindungan Tenaga Kerja Informal di Provinsi Jawa Barat. Sebagai wujud pelaksanaan kebijakan desentralisasi di Provinsi Jawa Barat, telah mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk lebih memperhatikan dan memprioritaskan cakupan perlindungan menyeluruh terhadap tenaga kerja sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi daerah. Perwujudan cakupan perlindungan tenaga kerja secara menyeluruh tersebut dapat diakselerasi dengan melakukan berbagai inovasi sebagai langkah terobosan. Inovasi sektor publik yang dilakukan antara lain melalui: 1.Memacu komitmen dan kebijakan Pemerintah Daerah dalam mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Komitmen dan kebijakan untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat dilakukan melalui alokasi anggaran kesehatan (10 %), pendidikan (20 %) dan penciptaan kesempatan kerja yang besar ( 1,8 juta) yang berimplikasi kepada peningkatan kemampuan berusaha dan tingkat pendapatan masyarakat, sehingga masyarakat yang bekerja baik di kegiatan usaha formal dan informal akan mampu melakukan perlindungan dirinya melalui sistem jaminan sosial tenaga kerja yang ada. 2. Pembuatan produk hukum yang menjadi dasar Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja di Daerah. Peraturan yang mengatur tentang praktek penyelenggaraan jaminan sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja masih belum lengkap, sebagai terobosan untuk mengakselerasi implementasi penyelenggaraan jaminan sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja tersebut di beberapa Kabupaten dan Kota serta Provinsi Jawa Barat telah dibuat beberapa produk hukum yang dijadikan acuan operasionalnya. Pembuatan produk hukum dimaksud antara lain : Ÿ Diawali dengan penanda-tanganan naskah kesepahaman (MOU) antara kepala daerah (Gubernur/ Bupati/ Walikota) dengan Direktur Utama PT. Jamsostek Persero atau Kepala Kanwil IV Jawa Barat – Banten PT. Jamsostek Persero tentang pelaksanaan jaminan sosial bagi tenaga kerja luar hubungan kerja lingkup Provinsi atau Kabupaten dan Kota yang bersangkutan. Kepala Daerah yang telah melaksanakan MOU antara lain adalah : Bupati Purwakarta, Bupati Majalengka, Walikota Bandung, dan Bupati Subang. Ÿ Sebagai dasar hukum operasionalisasi program dan juga dasar pembiayaannya melalui dana APBD, maka MOU tersebut ditindak lanjuti dengan Peraturan Kepala Daerah (Gubernur/ Bupati/ Walikota) berupa Surat Edaran, Instruksi, Keputusan atau Peraturan). Ÿ Untuk kesinambungan pelaksanaan program hasil inovasi dan inisiasi pemerintah daerah tersebut haruslah mendapat dukungan dan persetujuan pihak legislatif, maka lebih lanjut dibuatlah produk hukum berupa Peraturan Daerah (Perda). Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengajukan Rancangan Perda tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Jawa Barat yang akan disahkan pada tahun 2013 ini. Rancangan Perda tersebut juga memuat pengaturan di tingkat lokal Jawa Barat tentang jaminan pemeliharan kesehatan yang menjadi salah satu bagian dari pelaksanaan jaminan sosial bagi tenaga kerja sektor informak (tenaga kerja luar hubungan kerja). 3. Mapping dinamika Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja di Daerah. Membuat data base yang akurat dan dinamis, terevaluasi dan terbarukan, sehingga dinamika kondisi target TKLHK yang menjadi sasaran cakupan perlindungan akurat dan dapat dilakukan intervensi yang tepat pula untuk mewujudkan perlindungan menyeluruh terhadap tenaga kerja luar hubungan kerja dimaksud. I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 8 Secara garis besar mapping dinamika TKLHK di Jawa Barat adalah sebagai berikut: No. 1. Kriteria Tenaga Kerja Tenaga Kerja Formal 3. 6.567.738 Skema Jaminan Sosial (Perlindungan Tenaga Kerja) Jamsostek, Asuransi Perlindungan diri, Askes, Asabri, dan Taspen · Pegawai Negeri Sipil 364.188 Askes dan Taspen · Pengusaha (berkerja dibantu buruh/karyawan tetap) 514.154 Jamsostek, Asuransi Perlindungan diri · Bekerja sebagai Buruh / Karyawan 2. Jumlah Tenaga Kerja Informal 6.054.122 11.605.305 Jamsostek Jamsostek, Askesos, Jamkesda · TK Informal Miskin (Pendapatan Rata rata < 230.445 rupiah / bulan 4.650.810 Jamkesda, Jamsostek · TK Informal Potensial (Pendapatan Ratarata > 230.445 rupiah / bulan 6.954.495 Jamsostek, · Pekerja Sosial, Perangkat Desa, Relawan dll 26.210 · · Masyarakat Miskin Penganggur 2.210.360 Askesos, Jamsostek Jamkesmas, Jamkesda 1.982.448 Lebih lanjut perlu dibuat suatu model sistem yang mampu menggambarkan dinamika mapping TKLHK tersebut, sehingga setiap saat dapat dipantau tingkat pencapaian cakupan perlindungan tenaga kerja yang ada melalui intervensi sistem jaminan sosial yang diterapkan, dan pemenuhan target sasaran akhir yaitu terwujudnya perlindungan sosial tenaga kerja dan masyarakat menyeluruh (universal coverage) dapat diprediksi dengan akurat. 9 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan 4. Pembentukan atau optimalisasi Lembaga/ Wadah/ Kelompok TKLHK Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja luar hubungan kerja dilaksanakan oleh PT. Jamsostek Persero melalui wadah organisasi TKLHK yang bersangkutan. Sebagian besar tenaga kerja luar hubungan kerja yang bekerja pada kegiatan informal belum terorganisir dalam wadah / asosiasi / serikat pekerja, mereka biasa bekerja sendiri-sendiri. Untuk meningkatkan cakupan jaminan sosial tenaga kerja luar hubungan kerja tersebut telah dilakukan pembentukan dan pembinaan wadah / organisasi TKLHK tersebut. Beberapa wadah organisasi TKLHK yang dibentuk dan dibina di lingkup Provinsi Jawa Barat antara lain adalah NO 1. 2 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15 16. 17. 18. 19. 20. 21. NAMA ORGANISASI/ WADAH JENIS USAHA MANDIRI Dpp. Serikat Pekerja Sektor Informa Indonesia (Spindo) Jawa Barat Forum Pekerja Mandiri Jawa Barat Multi Sektor Asosiasi Guru Honorer PGRI Bandung Forum Pegawai Organik Non PNS OPD Provinsi Dan Kabupaten / Kota Paguyuban Satpam Non BUJP (Badan Usaha Jasa Pengamanan) Relawan Pemadam Kebakaran Relawan Penanggulangan Bencana Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Pengurus Kwartir Daerah Dan Kwartir Cabang Pramuka Jawa Barat Asosiasi Kontributor Media Masa Wilayah Bandung Asosiasi Tukang Foto Keliling Kota Asosiasi Pekerja Dan Pengusaha Video Shooting Bandung Himpunan Pramuwisata Indonesia Paguyuban Dinas Luar Travel Bandung Asosiasi Tukang Pijit Keliling Paguyuban Tukang Sampah Ikatan Ahli Boga Jawa Barat Asosiasi Industri Kecil Menengah Agro (Aikma) Jawa Barat Pendamping P3UKM Jawa Barat Paguyuban Pedagang Bakso Keliling. Paguyuban Tukang Ojek Ukm Pangan, Tpt, Kerajinan, Logam Dan Lingkup Pertanian Guru Non Pns TKK, Pegawai Kontrak pada Pemerintah Daerah Satpam Sekolah Pemadam Kebakaran Penaggulangan Bencana PMI Pramuka Media Masa Dan Media Elektronik Fotografi Pembuatan Film Pariwisata Pariwisata Jasa Pijit Pembuangan Sampah Tata Boga IKM Pangan Pendampingan Usaha Produksi Bakso Transportasi I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 10 5. Strategi Pengalokasian Anggaran Mengacu kepada Kebijakan Umum Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2013, ada 14 (empat belas) alokasi anggaran yang harus dipenuhi dengan total anggaran sebesar 13,566 Trilyun Rupiah. Proporsi alokasi anggaran utama adalah untuk pembangunan bidang pendidikan 20 %, bidang kesehatan 10 %, pembangunan infrastruktur 10 %, pembangunan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat sebesar 10 %. Alokasi anggaran untuk bantuan keuangan kabupaten/kota, bantuan desa, hibah, bantuan sosial dan subsidi sebesar 32,50 %. Alokasi anggaran utama ditujukan untuk peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Barat melalui pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur akan berimplikasi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sedangkan alokasi anggaran untuk bantuan keuangan kabupaten/kota, bantuan desa, hibah, bantuan sosial dan subsidi sebagian dapat dimanfaatkan untuk subsidi atau insentif bagi pembayaran iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja luar hubungan kerja yang bekerja pada kegiatan informal dengan pendapatan yang tidak tetap. Alokasi anggaran untuk bantuan keuangan kabupaten/kota, bantuan desa, hibah, bantuan sosial dan subsidi yang dimanfaatkan untuk subsidi atau insentif bagi pembayaran iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja luar hubungan kerja ditujukan untuk memotivasi para TKLHK tersebut agar mempunyai kesadaran, kemauan dan mampu untuk menyisihkan sebagian pendapatannya yang digunakan untuk perlindungan dirinya dan usahanya melalui jaminan sosial tenaga kerja luar hubungan kerja, biasanya diberikan dalam satu termin selama 10 (sepuluh) bulan dan selanjutnya menjadi kewajiban dari TKLHK yang bersangkutan untuk melanjutkan pembayaran iuran dan kepesertaan jaminan sosial TKLHK tersebut. 11 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Sistem subsidi atau insentif iuran tersebut diinisiasi dan telah dilaksanakan oleh Kemenakertrans dan Kemensos dan beberapa kabupaten / kota di Jawa Barat, antara lain : Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Majalengka, Kota Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya. 6. Peningkatan peran dan kesadaran masyarakat. Kelompok masyarakat dengan kesadaran sosial tinggi terdapat di Jawa Barat. Sejak pemberlakuan kebijakan desentralisasi, dorongan dari kalangan masyarakat untuk penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh warga sangat kuat. Dinamika kelompok masyarakat ini, marak dengan tumbuhnya berbagai kelompok penekan seperti akademisi, mahasiswa, wartawan, serikat pekerja/serikat buruh, LSM dan ormas lainnya. Tumbuhnya kelompok-kelompok ini menjadikan control terhadap pemerintah kuat dan perubahan terhadap kebijakan juga lebih cepat terjadi. Melalui kelompok-kelompok ini jugalah yang mendorong deseminasi pemikiran, cara-pandang dan kesadaran masyarakat terhadap perlunya penyelenggaraan jaminan sosial secara menyeluruh kepada semua warga masyarakat, membuahkan hasil lebih cepat. Kesimpulan 1. Kebijakan desentralisasi masih membuahkan kesenjangan dan kekosongan aturan dalam pelaksanaan beberapa kebijakan pemerintah pusat di dareah. 2. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi menuntut dan mendorong Pemerintah Daerah untuk lebih kreatif dan inovatif dalam membuat berbagai terobosan yang mampu mengakselersasi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik, pelayanan publik yang berkualitas dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi, sebagai tujuan utama kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. 3. Akselerasi Pemenuhan Jaminan Sosial Tenaga Kerja secara menyeluruh bagi Tenaga Kerja Formal dan Informal adalah salah satu upaya Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam menyelenggarakan Tata Pemerintahan yang baik dan mewujudkan produktivitas dan kesejahteraan tenagakerja di daerahnya. DAFTAR PUSTAKA Albury, David. 2003. Innovation in the Public Sector. Discussion paper. The Mall. London Alkadar, Mahmud, 2008., Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja , dalam Jurnal Ketenagakerjaan Vol. 3 – Nomor 2 Edisi Juli – Desember 2008. Cheema, G Shabbir, Dennis A Rondenelli, 1983. Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Countries. Sage Publication, Beverly Hills/London/New Delhi Halvorsen, Thomas, et al. 2005. On the Differences Between Public and Private Sector Innovations. Publin Report. Oslo. Kaho, Josef Riwu. 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ILO, 2002., Social Security and Coverage for All. Restucturing the Social Security Scheme in Indonesia Issues and Options. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja. Solihin, Dadang, 2012. Desentralisai dan Otonomi Daerah di Indonesia, Materi Kuliah Program Doktor Bidang Ilmu Sosial UNPAS. Kementrian PPN/Bapenas – Jkt. Suwarno, Yogi., 2008. Inovasi di Sektor Publik. Lembaga Administrasi Negara - Sekolah Tinggi Administrasi Negara - Jakarta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), (2), (3), serta Pasal 34 ayat (1) dan (2) I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 12 PERTUMBUHAN MODAL MANUSIA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI ANTAR DAERAH DI INDONESIA Human Capital Growth and Economic Growth on Interregional in Indonesia Tete Saepudin Fakultas Ekonomi, Universitas Pasundan, Bandung Jl. Tamansari no. 6-8 Bandung, 40116 E-mail ; [email protected] Abstract The objectives of this research to knowing analyzing, influence of investment growth, human capital growth (outcome of SMTA, and PT ), and budget education expenditure growth to economic growth. The research uses descriptive and verificative, with using method PLS (pool least sequares). The using data secondary in the form of pooled-data which is a combination of time series and cross-section data of 26 provinces in Indonesia period 1994-2008. The result of this study shows that (1) the influences of capital (investment) growth have positif effect and significant on the interregional economic growth in Indonesia (2) the influences of human capital growth (outcome of SMTA, and PT ) have on positif effect and significant to economic growth, and (3) the influences of budget education expenditure growth have on positif effect and significant on the interregional economic growth in Indonesia. Keywords : Invesment growth, human capital growth, economic growth 13 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi yang terjadi tidak bisa terlepas dari peran dan kemampuan negara dalam mengelola dan mengembangkan sumber daya (resources) yang dimiliki, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kuantitas dan kualitas sumber daya, merupakan faktor yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sumber daya yang ada dapat juga dikelompokan ke dalam ; sumber daya alam (natural resources), sumber daya manusia (human resources), sumber daya modal (investment), dan juga perkembangan teknologi. Kepemilikan sumber daya alam dan sumber daya modal yang tinggi akan mendorong pertumbuhan ekonomi, walaupun belum cukup bila tidak dibarengi dengan kemampuan penduduk dalam menggali dan mengelola kedua sumber daya itu. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam jangka waktu yang panjang merupakan tujuan setiap negara. Tujuan itu dapat dicapai apabila didukung dengan kepemilikan sumber daya yang cukup. Salah satu sumber daya yang utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia, disamping sumber daya (faktor produksi) yang lainnya, yaitu modal dan kemajuan teknologi. Sumber daya manusia merupakan faktor produksi yang aktif dalam mengelola akumulasi modal, menggali sumber daya alam, membangun organisasi sosial, ekonomi, dan politik untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan. Sementara faktor produksi modal, sumber daya alam dan yang lainnya merupakan unsur faktor produksi yang pasif. Peran perkembangan teknologi dapat diterima secara luas sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, setelah Solow (1956) mencoba mengkaji faktor-faktor penyebab pertumbuhan ekonomi. Temuan Solow itu ternyata menunjukkan, bahwa penyebab pertumbuhan ekonomi, bukan semata-mata disumbangkan dari faktor tenaga kerja dan modal saja, akan tetapi ada faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi itu lebih berkembang, faktor itu adalah efektivitas dari tenaga kerja (faktor teknologi). Perkembangan teknologi yang merupakan bagian dari peciptaan ilmu pengetahuan (knowledge) telah diyakini oleh Tapscott (1997) sebagai salah satu bentuk dari ekonomi baru (The New Economy). Salah satu ciri dari ekonomi baru adalah ekonomi dengan mengandalkan ilmu pengetahuan sebagai sumber pendorong pertumbuhan ekonomi. Orang akan lebih banyak bekerja dengan menggunakan otaknya daripada menggunakan tangan. Investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diperlihatkan oleh meningkatnya pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja. Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan produktivitas kerja pada tenaga kerja. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan mempekerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih tinggi, sehingga perusahaan akan bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi, kepada pekerja tersebut. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas tenaga kerja kaum miskin dapat disebabkan oleh karena rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan. Semakin terdidik sumber daya manusia, akan semakin tinggi/banyak teknologi baru yang tercipta, dan sekaligus akan semakin tinggi pula tingkat pendapatannya. Penelitian (Acemoglu, 1998), di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pada tahun 1970 seorang sarjana (S1) menerima penghasilan rata-rata 55 persen lebih tinggi I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 14 dari lulusan SMU. Sementara itu pada tahun 1995 seorang sarjana menerima penghasilan 62 persen lebih tinggi dari SMU. Dengan demikian peranan pendidikan (baik formal maupun non formal) adalah penting untuk meningkatkan penghasilan. Penemuan teknologi baru (invention) dan pengembangan dari teknologi baru (inovation) tersebut, akan tercipta/lahir dari sumber daya manusia yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (PT), misalnya Microsoft Word sebagai perangkat lunak pengolah kata merupakan produk invention dari kepemilikan (hak paten Bill Gates). Pendidikan merupakan bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sektor pendidikan juga merupakan sektor yang memakan anggaran, sehingga membawa keraguan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan pembangunan ekonomi. Gary Besker (1964, 1975, 1993) ahli sosiolog pendidikan sempat menyangsikan peran pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi, karena teori human capital lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosiobudaya. Thurow (1974), John Meyer (1977), dan Randall Collins (1977) bahwa tingkat pendidikan tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan yang sama. Tetapi jika orang berpendidikan rendah mendapat pelatihan (yang memakan periode jauh lebih pendek dan sifatnya nonformal) akan memiliki produktivitas relatif sama dengan orang yang berpendidikan tinggi dan formal. Blau dan Ducan (1967) penelitian di Amerika Serikat, Blaug (1974) di Inggris dan Cummings (1980) Indonesia, menunjukkan bahwa pendidikan formal memberikan peranan yang relatif kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan. 15 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Sekolah dengan lulusan pendidikan menengah merupakan penyedia keterampilan penting yang paling banyak dibutuhkan bagi pembangunan ekonomi, manajer tingkat menengah pada perusahaan paling banyak produk sekolah menengah, disamping itu merupakan tulang punggung administrasi negara. A. Lewis (1962) menegaskan pentingnya pendidikan menengah sebagai “perwira dan perwira cadangan” dari suatu sistem ekonomi dan sosial. Pendidikan menengah bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut atau bekerja dalam bidang tertentu sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional (UU. N0.20 tahun2003, Sistem Pendidikan Nasional). Lulusan sekolah menengah tingkat atas (SMTA) yang melanjutkan keperguruan tinggi relatif rendah, yaitu hanya 10,84% pada tahun 2003 (BPS, survei sosial ekonomi nasional/Susenas). Data BPS Pebruari 2008 menujukkan bahwa pengangguran terbuka untuk lulusan sekolah tingkat menengah atas (SMTA), SMK sebanyak 17,26 % dan SMA sebanyak 14,31%, ini ironi sekali dengan tujuan dari pendidikan, yang semestinya terjadi (Diknas, Dirjen Pendidikan Formal dan Informal Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan, PKM, Pendoman Blockgrant 2009). Pendidikan tinggi (PT) merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian. Bagi kemajuan suatu bangsa, harapan besar diletakkan pada perguruan tinggi. Lulusan perguruan tinggi (PT) merupakan pencetak sumber daya manusia (human capital) yang memiliki kemampuan yang handal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Sumber daya manusia dari lulusan perguruan tinggi (PT) juga merupakan tenaga-tenaga ahli dalam hal penemuan-penemuan baru (invention) dan sekaligus dalam mengembangkannya (inovation). Salah-satu sumber invention dan inovation adalah melalui research and development (R&D). Jika dilihat dari persentase pendidikan di Indonesia penduduk yang berusia 15 tahun ke atas masih ber-pendidikan SD ke bawah (58,6%), dan (41,4%) berpendidikan SLTP ke atas, dan hanya (3,6%) diantarannya lulusan perguruan tinggi (Prioritas Pembangunan Nasional/Propenas Tahun 2005-2009). Masih rendahnya tingkat lulusan perguruan tinggi (PT), akan menjadi salah satu penyebab masih rendahnya penemuan-penemuan baru (invention) dan pengembangan penemuan baru (inovation). Untuk menjaga (mewadahi) hasil penemuan dan pengembangan baru tersebut pemerintah telah membuat suatu badan/ lembaga yaitu HAKI (Hak Atas Kepemilikan Intelektual), yang diberlakukan sejak tahun 2000. Romer (1986), Lukas (1988), Barro, Salai-Martin (1989) dan Robelo (1991) mencoba mengembangkan model endogeneous dengan memasukkan peran pemerintah dalam proses pertumbuhan ekonomi, dimana pemerintah memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Broons, de Groot dan Nijkamp (1999) menyatakan bahwa sektor pemerintah dapat berpengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara Dar dan Amir Khalkahli (2002) memberikan kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi pertumbuhan dalam jangka panjang melalui tiga instrumen fiskal: pajak, pengeluaran pemerintah dan keseimbangan anggaran.Ketiga komponen tersebut berpengaruh pada tingkat efisiensi penggunaan sumber daya, akumulasi faktor produksi dan perkembangan teknologi. Wagner dalam Hymman (2005), menyatakan bahwa perkembangan per-sentase pengeluaran pemerintah yang semakin besar terhadap produk domestik bruto, seiring dengan meningkatnya pendapatan perkapita, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan, hukum, kebudayaan dan lain sebagainya. Anggaran yang dikeluarkan untuk pendidikan di Indonesia masih relatif kecil jika dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya, misal Malaysia 28 % dari anggaran belanjanya. Indonesia hanya 20% dari anggaran belanja negara, itupun setelah UUD 1945 diamandemen, padahal sudah jelas-jelas tertera pada pasal 31 ayat 4 dari UUD 1945 itu. Meskipun itu masih relatif kecil jika dibandingkan dengan negara lain, tapi itu sudah mengalami perkembangan, jika dibandingkan dengan sebelum UUD 1945 diamandemen. Penggunaan Human Capital Model dalam menganalisis sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, relatif lebih baik bila dibandingkan dengan model pertumbuhan Neoklasik yang menganggap Total Faktor Produksi (TFP) sebagai residual yang sematamata hanya ditentukan oleh faktor-faktor eksogen. Dalam Human Capital Model, modal manusia merupakan unsur penting dari TFP dan merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara internal. Banyak para ahli, terutama ahli ekonomi pembangunan telah mencoba menjelaskan peranan modal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 16 Modal manusia dalam berbagai penelitian diproksi dengan pendidikan yang diukur paling tidak dengan dua cara yaitu; (1) tingkat pendidikan tertinggi yang dapat dicapai , dan (2) jumlah investasi atau pengeluaran publik untuk pendidikan. METODE Untuk menganalisis variabel-variabel penelitian sehingga dapat memberikan informasi yang memenuhi syarat ilmiah maka, studi pengaruh pertumbuhan modal, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan, lulusan pendidikan sekolah menengah tingkat atas dan perguruan tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia, dengan spesifikasi model mengacu pada fungsi produksi dari Romer (1986, 1996) dan Sala-i-Martin (1995, 2000) dalam fungsi Cobb-Douglas sebagai berikut : Y(t) = K(t)α H(t)β {(A(t)L (t)}1- α – β G(t) Dimana Y = Pertumbuhan Ekonomi , K = Modal (Capital) , H = Modal Manusia (Human Capital) A = Teknologi, L = Tenaga Kerja, G = Belanja Pemerintah (Government Expenditure), t = Waktu Penelitian, dan α, β = Parameter yang akan diuji. HASIL ESTIMASI REGRESI PANEL DATA Perbandingan nilai koefisien estimasi model pertumbuhan (investasi, lulusan SMTA, Ptdan Pengeluaran Pemerintah, untuk Pendidikan) terhadap pertumbuhan ekonomi masing-masing provinsi selengkapnya disajikan dalam tabel 1. 17 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Tabel 1 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan (Investasi, Lulusan SMTA, Lulusan PT, dan Pengeluaran Pemerintah untuk Pendidikan) antar Daerah di Indonesia Tahun 1994-2004 VARIABEL KOEFISIEN Estimasi Model 1 2,921922 (18,90860) 0,012876 (9,471893) 0,188604 (2,302689) 0,042633 (7,625794) 0,015057 (3,090959) 72,03242 KOEFISIEN Estimasi Model 2 3,102155 (33,70044) 0,015706 (67,51948) 0,082862 (2,358694) 0,048604 (8,05384) 0,016367 (3,250554) 70,74660 KOEFISIEN Estimasi Model 3 3,070106 (30,37344) 0,015778 (78,19627) 0,059225 (3,08480) 0,048734 (7,834739) 0,016407 (5,245666) 70,66709 KOEFISIEN Estimasi Model 4 R-Square 0,899518 0,897878 0,897775 0,883369 0,887087 Adj. R-Square 0,887030 0,885187 0,885071 0,868875 0,873054 Durbin-Watson stat 1,805145 1,779960 1,787944 1,599246 1,752234 C Invest Educt : Smta Sma Smk Educt : Pt Diii S1 Gexp Uji-F 2,745452 (15,51496) 0,010472 (9,584833) 0,344968 (5,139294) 0,072918 (2,022627) 0,038917 (1,123158) 60,94476 KOEFISIEN Estimasi Model 5 2,549188 (18,49364) 0,222557 (6,585679) 0,348728 (5,715902) 0,161105 (5,649169) 0,045446 (2,155356) 63,21621 Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan : Angka dalam kurung adalah t-hitung PEMBAHASAN Pertumbuhan Modal (Investasi) dan Pertumbuhan Ekonomi antar Daerah di Indonesia Pertumbuhan investasi merupakan unsur yang penting dalam proses pertumbuhan ekonomi disuatu negara/daerah. Hal ini ditunjukkan pada hasil estimasi, bahwa pertumbuhan investasi adalah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia, hubungkan antara pertumbuhan investasi dan pertumbuhan ekonomi, menunjukkan hubungan yang searah, jika pertumbuhan investasi meningkat, maka pertumbuhan ekonominya juga akan meningkat. Hal ini sejalan dengan kaidah teori pertumbuh- I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 18 an ekonomi dari Evsey Domar (1939) dan Sir Roy Harrod (1947), dimana bahwa pertumbuhan modal (investasi) sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (output), pertumbuhan modal berkolerasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan ini oleh Harrod-Domar dikemukakannya dengan,seberapa besar tambahan modal yang diperlukan agar ekonomi bisa tumbuh dengan apa yang diharapkan, atau pernyataan itu jika dirumuskan sebagai ∆k/∆y, rumusan itu sering diberi nama ICOR (Incremental Capital Output Ratio). Disamping itu juga sejalan dengan pemikiran dari teori pertumbuhan ekonomi NeoClassic, khususnya model pertumbuhan ekonomi Solow (1956) dimana pertumbuhan investasi akan meningkatkan stok modal yang selanjutnya akan berkolerasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi, karena dengan bertambahnya stok modal maka jumlah stok alat-alat modal dan teknologi juga akan meningkat pada akhirnya berimplikasi terhadap kemampuan untuk berpoduksi sehingga pendapatan nasional meningkat dari waktu ke waktu yang menghasilkan peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi (Sanusi Fattah, 2005). Sejak pemerintahan orde baru, arah pembangunan ditujukkan kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Trilogi Pembangunan). Pertumbuhan ekonomi bisa berkembang apabila kepemilikan modal cukup melimpah, baik modal manusia ataupun modal alam. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,yaitu dengan jalan membuka investasi domestik dan asing masuk sebesar-besarnya. Untuk mendorong masuknya investasi baik domestik ataupun asing, pemerintah mengeluarkan kebijakan, yaitu dikeluarkannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) No. 1Tahun 1967 dan Undang undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) No. 6 Tahun 1968, dan Undang-undang No. 25 tahun 2007, yang mengatur segala unsur tentang penanaman modal. 19 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Peningkatan investasi akan mendorong meningkatnya permintaan agregat melalui jalur koefisien multiplier yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hasil kajian pada periode tahun 1994-2008 provinsi-provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa investasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dijelaskan melalui sejumlah argumentasi, bahwa; (1) Pertumbuhan investasi searah dengan pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia, dengan share yang cukup besar. (2) Berkaitan dengan kebijakan dan strategi pembangunan yang dilakukan pemerintah orde baru yang lebih menekankan kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kelompok jenjang pendidikan sekolah menengah tingkat atas dapat di bagi ke dalam dua kolompok, yaitu kelompok sekolah menengah atas (termasuk kelompok umum) dan sekolah menengah kejuruan. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 yang dimaksud dengan pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, sedangkan pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.Hasil persamaan model modal manusia dari lulusan sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, hanya sumbangan dari lulusan sekolah menengah atas lebih besar daripada sekolah menengah kejuruan, padahal bahwa sekolah menengah itu dipersiapkan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, berbeda dengan sekolah kejuruan, yang dipersiapkan untuk masuk dunia kerja. Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau juga profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perguruan tinggi diharapkan dapat membawa pembaharuan untuk membawa kemajuan bangsa. lulusan perguruan tinggi dari tahun penelitian menunjukkan angka yang terus meningkat. Hasil estimasi menunjukkan bahwa lulusan perguruan tinggi bepengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kelompok pendidikan tinggi mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor. Dari kelompok itu lulusan yang paling banyak adalah lulusan program DIII, dan lulusan program sarjana (S1). Hasil estimasi menunjukkan bahwa lulusan program DIII, ataupun program sarjana (S1), berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Besarnya pengaruh lulusan program DIII, lebih besar dari lulusan progam sarjana (S1). Ini berbeda dengan jenjang pendidikan di sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan. Sekolah menengah kejuruan yang diprogramkan untuk siap kerja pengaruhnya lebih kecil dari sekolah menengah atas yang dipersiapkan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Di perguruan tinggi program DIII yang mempunyai keahlian dibidang madya lebih besar pengaruhnya dari program sarjana (S1), meskipun lulusan sarjana (S1) lebih besar dari lulusan DIII. Lulusan sekolah menengah atas (SMTA) pengaruhnya lebih besar jika dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan masing-masing koefisien sebesar (0,188604) dan (0,042633). Lulusan pendidikan menengah merupakan penyedia keterampilan peting yang paling banyak dibutuhkanbagi pembangunan ekonomi, manajer tingkat menengah pada perusahaan, dan merupakan tulang punggung administrasi negara, ini sejalan dengan pendapat A. Lewis (1962) bahwa pendidikan menengah sebagai ”perwira dan perwira cadangan” dari suatu sistem ekonomi dan sosial. Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Untuk Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi antar Daerah di Indonesia Pengeluaran pemerintah merupakan wujud kebijakan pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan kepada publik yang meliputi pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pengembangan sektor ekonomi Pengeluaran pemerintah memegang peranan penting dalam menggerakkan aktivitas perekonomian yang akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan merupakan bagian dari pengeluaran pembangunan, yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat melalui peningkatan mutu dan perluasan kesempatan belajar disemua jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan mulai tahun 2003, merupakan bagian dari biaya modal. Alokasi anggaran pemerintah untuk bidang pendidikan dan kesehatan merupakan bagian yang terpenting dalam kebijakan anggaran (Rosen, 1988). Kebijakan ini dikaitkan dengan peranan pemerintah sebagai penyedia barang publik. Mulai tahun 2004 pengelompokan pengeluaran pemerintah mengalami perubahan dari tahun-tahun sebelumnya (Undang-undang No. 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara). Meskipun pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, lewat peranan pemerintah sebagai penyedia barang publik (investasi pemerintah), diyakini bahwa efek belanja itu akan meningkatkan pertumbuhan I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 20 SMA, dan SMK, dan juga lulusan perguruan tinggi, S1, dan DIII) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia. ekonomi. Rostow dan Musgrave dalam Guritno Mangkusubroto (1998), mengembangkan teori yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dan tahap-tahap pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan ekonomi persentase investasi pemerintah terhadap total investasi sangat besar sebab pemerintah harus menyediakan prasarana seperti, misalnya ;pendidikan,kesehatan, prasarana tranfortasi dan sebagainya. Wagner dalam Hyman (2005), mengembangkan teori dimana perkembangan persentase pengeluaran pemerintah yang semakin besar terhadap Produk Domestik Bruto. Dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah akan meningkat,terutama pengeluaran pemerintah untuk mengatur hubungan dalam masyarakat seperti; hukum, pendi-dikan,k ebudayaan, dan sebagainya. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk pendidikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia. Hal ini dengan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan (investasi pemerintah) yang meningkat dan dibelanjakan terhadap sarana dan prasarana pembangunan pendidikan, akan menyebabkan tingkat pendapatan masyarakat akan meningkat, peningkatan pendapatan masyarakat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil estimasidan pengujian hipotesis diperoleh beberapa kesimpulan yang dijelaskan berdasarkan kepada variabel penelitian, adalah sebagai berikut : 1. Pertumbuhan investasi (modal) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia. 2. Pertumbuhan modal manusia ( lulusan SMTA, 21 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan 3. Pertumbuhan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia. 4. Provinsi Riau dan Kalimantan Timur merupakan dua provinsi yang memiliki nilai intercept yang paling besar diantara 26 provinsi yang lainnya. Kedua provinsi (Riau ataupun Kalimantan Timur) merupakan provinsi yang mem-iliki atau kaya akan sumber daya alam-nya(Factor Endowment), yaitu dari sum-ber daya minyak bumi. DAFTAR PUSTAKA Acemoglu D., 1998, “Why Do New Technologies Complement Skills? Directed Technical Change and Wage Ineqality”, The Journal Of Economics Arthur Lewis., W, 1960, “The Theory Of Economic Growth”, George Allen & Unwim Ltd, Ruskin House Museum Street London. Domar, E., 1946. “Capital Expansion, Rate of growth and Employment”, Econometrica, Vol.14, pp.13747. -----------, 1947 “Expansion and Employment”, American Economic Review, Vol.37, No.1, March, pp.34355. Guritno Mangkusubroto, 1998, “Ekonomi Publik”, Yogyakarta BPFE-UGM Harrod, R.F., 1939. “ An Essay in Dynamic Theory”, Economic Journal, Vol.49, March pp.14-33. ----------, 1948. “ Toward a Dynamic Economics”, Macmillan, London. Mankiw, N. Gregory, 2005, Macroeconomics, 5th edition, Worth Publisher Robelo, Sergio, 1991. “ Long Run Policy Analysis and Long Run Growth”, Journal of Political Economy, Vol.94 (October), pp.1002-37. Romer, D, 2006, “Advanced Macroeconomics”, 3rd edition, McGraw-Hill Irwin ----------------1986“ Increasing Returns and Long Run Growth”, Journal of Long Political Economy, Vol.94, pp.1002-37. Solow, R.M., 1956. “ A Contribution to the Theory of Economic Growth”, Quarterly Journal of Economics, Vol.70, pp.65-94. Tapscott, D.,1997, “Strategy in The New Economy”, Strategy and Leadership, November/Desember. I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 22 PEMETAAN KUALITAS PENDIDIKAN DI KOTA BANDUNG MELALUI ANALISIS SPASIAL BERDASARKAN NILAI UJIAN NASIONAL SMP Udjianna S. Pasaribu dan Rr. Kurnia Novita Sari Kelompok Keahlian Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Institut Teknologi Bandung, Indonesia E-mail : [email protected], [email protected] Abstrak Penerapan analisis spasial dalam bidang pendidikan merupakan hal baru, karena ilmu ini berkembang pesat dalam geostatistika dan pertambangan. Dengan analisis spasial, pemetaan hubungan antar sekolah di suatu daerah dapat diamati. Hubungan antar sekolah dapat dimodelkan oleh semivariogram yang menggambarkan variansi dari selisih nilai pengamatan antar pasangan lokasi yang terpisahkan oleh jarak tertentu. Kami menyimpulkan bahwa jarak antar pasangan sekolah memberikan pengaruh terhadap perolehan nilai Ujian Nasional (UN). Sekolah-sekolah yang letaknya berdekatan akan memiliki pengaruh yang lebih kuat, khususnya dalam hal ini adalah nilai UN, dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang berjauhan. Sehingga pola distribusi nilai UN secara tidak langsung dapat menggambarkan kualitas pendidikan di Bandung. Informasi ini sangat bermanfaat untuk para praktisi pendidikan untuk meningkatkan kualitas sekolahnya. Kata kunci: proses spasial, semivariogram eksperimental, model semivariogram, kriging, nilai ujian nasional. Abstract The application of spatial analysis in education is relatively new because this science is growing rapidly in geostatistics and mining. The mapping of relationships between schools in an area can be observed by spatial analysis. The relationship between schools can be modeled by semivariogram that is a diagram of variance from the difference of observation value between pairs of locations that separated by a certain distance. We conclude that the distance between pairs of schools influence the score of National Examination (UN). The schools that have close distance will have a more spatial correlation, especially in this case is the score of UN, than the schools that have far distance. So, the pattern of distribution of UN ?can indirectly describe the quality of education in Bandung. This information is very useful for practitioners in education to improve the quality of education in their school. Key words: spatial process, experimental semivariogram, semivariogram model, kriging, score of national examination. 23 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Di Indonesia, banyak fenomena atau kejadian sehari-hari yang saling terkait dan membentuk pola musiman atau kecenderungan (trend). Misalnya, kejadian gempa bumi di beberapa lokasi di Indonesia merupakan kejadian yang saling berhubungan. Kejadian ini dapat dibuat suatu model yang dapat menggambarkan pengaruh antar observasi, memperkirakan nilai di suatu lokasi atau waktu tertentu yang belum diamati, dan memprediksi nilai pengamatan di masa yang akan datang. Dalam statistika, kejadian di atas merupakan suatu proses stokastik. Proses stokastik adalah suatu proses yang dibangun oleh kumpulan barisan variabel acak dengan indeks parameter tertentu seperti waktu, lokasi, atau waktu dan lokasi. Jika indeks parameter berupa lokasi, maka proses stokastik dapat dianalisis menggunakan analisis spasial (spatial analysis). Pada awalnya, analisis spasial banyak diaplikasikan dalam pertambangan, perminyakan, dan hidrogeologi. Dalam per-tambangan, kita dapat mengamati model kan-dungan mineral seperti requosit, spalerit, dan kalkopirri di Akenobe, Barat Daya Jepang. Amstrong menuliskan bahwa analisis spasial dapat memodelkan heterogenitas internal minyak dan emas. Dengan pemodelan tersebut, kita dapat mengetahui cadangan minyak atau barang tambang pada beberapa blok pertambangan yang belum dieksplorasi. Dalam hidrogeologi, dilakukan pemetaan lokasi sumur air yang tercemar oleh zat kimia yang berasal dari air atau tanah. Hohn menerangkan tentang pemodelan spasial dan interpolasi porositas dan permeabilitas air pada 275 sumur (reservoir) di Yunani. ditunjukkan pada Gambar 1a. Dalam sosial, dapat dibuat pemodelan pola kejahatan yang terjadi di Kota Boston, Amerika Serikat seperti ditunjukkan pada Gambar 1b. Dalam kesehatan, analisis spasial dapat memodelkan besar pengaruh daerah-daerah tetangga terhadap suatu daerah berkaitan dengan pola penyebaran virus berbahaya SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) di Hongkong pada tahun 2003 yang menelan korban 300 penduduk. Pengaruh antar daerah tersebut diamati dengan mempelajari karakteristik setiap daerah, mencatat rataan penduduk yang terinfeksi SARS setiap hari, rataan kematian setiap hari, dan rataan penduduk yang dirawat setiap hari akibat SARS.Dalam pertanian, analisis ini digunakan untuk menentukan strategi interpolasi suatu lahan pertanian dengan membandingkan pemakaian model-model semivariogram dalam proses kriging. Dalam biologi, analisis spasial dapat menggambarkan distribusi populasi serangga Sciarid pada budidaya Jamur Tiram mengingat bahwa serangga memiliki karakteristik khusus dalam perkembangbiakan dan behaviour kehidupannya. a) Dalam perkembangannya, analisis spasial mulai diaplikasikan pada bidang-bidang lain yaitu: klimatologi, sosial, kesehatan, pertanian, dan biologi. Dalam klimatologi, kita dapat mengamati rata-rata curah hujan pada beberapa lokasi di wilayah Asia Barat Daya. Kontur curah hujan wilayah Asia Barat Daya yang I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 24 Gambar 1 a) Kontur curah hujan wilayah Asia barat daya. Tingkat curah hujan digambarkan dengan warna yang berbeda. Warna biru menunjukkan tingkat curah hujan rendah sampai warna merah untuk curah hujan tinggi. Sebagian besar wilayah memiliki tingkat curah hujan yang rendah sampai tingkat menengah yang berkisar 29,25 sampai 65 mm. b) Peta pola kejahatan di Boston, Amerika Serikat. Kejahatan yang banyak terjadi di Boston adalah perampokan dan pencurian seperti yang ditunjukkan oleh warna merah, sedangkan biru adalah jenis kejahatan lainnya seperti penembakkan, penyerangan, penculikan, kekerasan, dan lain-lain Perkembangan pemodelan semivariogram pada berbagai bidang tentu saja membawa manfaat yang sangat besar. Seperti contoh kasuskasus di atas, pemodelan spasial dapat digunakan untuk memprediksi nilai pada suatu titik yang tidak terobservasi. Dengan alasan tersebut, kita dapat menerapkannya pada bidang pendidikan seperti penentuan kualitas pendidikan di suatu lokasi dengan mempertimbangkan pengaruh lokasi-lokasi lain di sekitarnya. 2. Perumusan Masalah 2.1 Kota Bandung Kota Bandung adalah kota metropolitan terbesar di Jawa Barat sekaligus menjadi ibukota provinsi. Bandung Raya adalah wilayah metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabotabek. Kota Bandung juga disebut Paris van Java karena begitu terkenal karena keindahan alam dan memiliki udara yang sejuk. Kondisi ini sama dengan kota Paris di Perancis. Kota Bandung adalah kota terpadat di Jawa Barat dengan total populasi mencapai 2.536.649 pada tahun 2011. Saat ini, Bandung menjadi salah satu tujuan utama pariwisata dan pendidikan. Oleh karena itu, menjadi hal yang menarik untuk mempelajari kualitas pendidikan di kota yang padat penduduknya. 25 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Bandung dibagi menjadi 6 wilayah, mulai dari sebelah barat dan kemudian berputar searah jarum jam sebagai berikut: Bojonegara (BJ) (barat laut Bandung), Cibeunying (CB) (utara sampai tengah Bandung), Ujungberung (UB) (timur dan timur laut Ban-dung), Gedebage (GB) (tenggara dan selatan Bandung), Karees (KR) (tengah sampai selatan Bandung), dan Tegallega (TG) (barat laut dan selatan Bandung). Area Bandung yang luas tentu saja akan mempengaruhi kualitas pendidikan di berbagai daerah di Bandung. Peta Wilayah Kota Bandung disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Peta Kota Bandung yang dibagi menjadi 6 wilayah yaitu: Bojonegara (BJ), Cibeunying (CB), Ujungberung (UB), Gedebage (GB), Karees (KR), dan Tegallega (TG) 2.2 Pendidikan Pendidikan di Indonesia merupakan salah satu bidang yang diutamakan oleh pemerintah mengingat Indonesia merupakan negara ke-3 dengan populasi penduduk terbesar di dunia. Sehingga perlu adanya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu, Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas dan terdiri dari 300 suku bangsa. Dengan keragaman ini, tugas pemerintah Indonesia untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan di setiap daerah tidak mudah. Pemerintah melakukan berbagai upaya terus menerus untuk meningkatkan kualitas unsur-unsur pendidikan seperti: sarana prasarana sekolah, infrastruktur,dan pengelolaan sekolah. Fasilitas dan infrastruktur meliputi kurikulum, hubungan sekolah dengan lingkungan, lokasi dan kondisi sekolah, serta sarana transportasi seperti jalan dan angkutan umum yang melewati sekolah. Guru juga memiliki peran yang tidak kalah penting karena guru bukan hanya sebagai pengajar ilmu pengetahuan tetapi sebagai pendidik yang membantu siswa membangun mental dan psikologisnya. Sedangkan manajemen sekolah meliputi: manajemen sekolah, kepala sekolah, komunikasi antar sekolah, hubungan sekolah dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi kualitas pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya lokasi sekolah, sekolahsekolah yang berada di pusat kota memiliki kemudahan dalam berkomunikasi dengan sekolah lain karena terdapat kemudahan seperti sarana transportasi dan kelengkapan fasilitas teknologi. Sedangkan sekolah yang jauh dari jalan utama dan sulit dicapai oleh transportasi umum akan memiliki kualitas yang rendah. Begitupun sekolah yang letaknya berdekatan dengan sekolah favorit diduga memiliki kualitas yang baik karena tercipta suasana kompetisi yang positif. Perbedaan kualitas sekolah tersebut dapat mempengaruhi nilai Ujian Nasional (UN) yang setiap tahun diselenggarakan oleh pemerintah. Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat untuk mengukur kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.20 tahun 2005, UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi siswa di pendidikan dasar dan menengah. Hasil UN digunakan untuk menentukan kelulusan peserta didik dari setiap satuan pendidikan, menyeleksi siswa ke tingkat pendidikan berikutnya, dan pemetaan kualitas program pendidikan. Dengan luasnya wilayah Indonesia, nilai UN di setiap provinsi dan setiap kota akan bervariasi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dengan keragaman nilai UN yang mencerminkan kualitas pendidikan tersebut, artikel ini membahas bagaimana pola hubungan antar sekolah berdasarkan nilai Ujian Nasional melalui analisis spasial. 3. Metode Penelitian 3.1 Analisis Spasial Misalkan barisan variabel acak {Z(s), s € D} dengan s himpunan lokasi, Z(s) nilai observasi pada lokasi s, dan D himpunan acak di ruang berdimensi d. Pandang selisih dua variabel acak Z(si) dan Z(sj) dengan si dan sj yang terpisahkan sejauh h, ditulis D(h) = Z(si) – Z(sj). Dalam analisis spasial, hubungan spasial antar pasangan lokasi yang terpisahkan sejauh h dapat diukur dengan semivariogram. Semivariogram adalah diagram variansi dari D(h) untuk berbagai h atau dituliskan sebagai Y(h) = V ar [Z(Si) – Z (Si) ] = Var [D(d)] Jika realisasi Z(si) dan Z(sj) diketahui, maka semivariogram di atas dapat ditaksir oleh semivariogram eksperimental yang dirumuskan sebagai berikut: I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 26 dimana N(h) banyaknya pasangan data (si ,sj) yang terpisahkan sejauh h. Semivariogram eksperimental y(h) di atas akan dicocokkan dengan model semivariogram. Model semivariogram memiliki tiga parameter yaitu: efek nugget (C0), sill (C), dan range (a). Ada tiga model yang umumnya dipilih untuk dicocokkan pada yaitu model spherikal, eksponensial, dan Gauss. Perumusan model semivariogram disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Model-model Semivariogram Ketiga model tersebut banyak diterapkan dalam berbagai bidang. Model spherikal dapat menggambarkan korelasi spasial dari endapan logam seperti endapan besi dan bauksit di Perancis, uranium di Kanada, tembaga di Chili, nikel laterit di New Kaledonia, fosfat di Afrika, dan endapan emas di Afrika Selatan. Model eksponensial banyak diterapkan dalam hidrologi seperti kandungan air dalam akuifer di Santa Petrus dan Gunung Simon di utara Illinois. Sementara model Gauss banyak digunakan dalam geostatistik minyak bumi. 3.2 Data dan Pengolahan Data Di Bandung, terdapat 209 Sekolah Menengah Atas (SMA), 250 Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 1023 Sekolah Dasar (SD). Kita akan menggunakan data nilai UN khusus mata pelajaran Matematika dari 52 SMP negeri di kota Bandung pada tahun 2006. Penulis memilih data tingkat SMP karena pada tingkat ini anak-anak mengalami mengalami masa peralihan menjadi dewasa. Usia anak berkisar 12,5 - 14,5 tahun disebut remaja. Mereka mengalami tahap pubertas yang memiliki 27 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan beberapa karakteristik seperti: perubahan fisik, sikap, dan perilaku. Perubahan fisik terjadi dengan cepat meliputi: perubahan ukuran tubuh, proporsi tubuh, perkembangan ciri-ciri seks primer dan seks sekunder. Perkembangan fisik ini disertai dengan perkembangan sikap dan perilaku seperti: meningginya emosi, berubahnya minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, berubahnya pola perilaku, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Keunikan tugas perkembangan remaja tentu saja berhubungan dengan minat mereka terhadap pendidikan. Pada umumnya, remaja muda sering mengeluh tentang sekolah, larangan-larangan, pekerjaan rumah, kursuskursus, dan cara pengelolaan sekolah. Namun, sebagian besar remaja dapat menyesuaikan diri dengan baik di sekolah, baik dengan masalah akademik maupun sosial. Besarnya minat remaja terhadap pendidikan sangat dipengaruhi oleh minat mereka pada pekerjaan. Jika mereka mengharapkan pekerjaan yang menuntut pendidikan tinggi, maka pendidikan akan dianggap penting sehingga timbul tanggung jawab untuk memperoleh prestasi yang baik. Seiring dengan tumbuhnya kemandirian dan tanggung jawab terhadap pendidikan itulah, maka analisis terhadap nilai Ujian Nasional tingkat SMP cukup menarik untuk dipelajari. Pelajaran yang akan diamati kebergantungan nilai antara satu sekolah dengan sekolah lain adalah Matematika. Matematika dikenal sebagai pelajaran yang memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena siswa harus menyelesaikan semua soal matematika dengan waktu terbatas dalam Ujian Nasional. Selain itu, standar kelulusan untuk matematika pada Ujian Nasional tahun 2006 adalah 4,26. Penulis mengambil data nilai pada tahun 2006 karena tahun ini merupakan awal dari kenaikan penentuan nilai batas minimum kelulusan pada tahun-tahun berikutnya. Pencapaian nilai rata-rata pun mengalami peningkatan sehingga dijadikan tolak ukur kebijakan menteri pendidikan nasional dalam penentuan standar minimal kelulusan siswa SMP. Data nilai rata-rata setiap SMP dapat diperoleh dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), suatu badan independen yang mengawasi kualitas pendidikan di Indo-nesia. Data tersebut cukup lengkap meliputi: jum-lah sekolah di setiap propinsi di Indonesia, nilai ratarata mata pelajaran yang diujiankan di setiap sekolah serta tingkat kelulusan pada tahun tertentu. Dari data tersebut, penulis mengambil data nilai rata-rata dari 52 SMP negeri di kota Bandung. Lokasi 52 SMP tersebut digambarkan pada Gambar 3. Terlihat bahwa pola penyebaran SMP di Bandung terpusat di tengah kota Bandung. Sementara di tempat lain, sekolah-sekolah lebih jarang daripada di pusat kota. Penyebaran SMP pada 6 wilayah di Bandung adalah 11 sekolah di BJ, 12 sekolah di CB, 6 sekolah di UB, 5 sekolah di GB, 11 sekolah di KR, dan 7 sekolah di TG. Gambar 3 Lokasi 52 Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri di Kota Bandung. Setiap titik mereprentasikan koodinat SMP di Bandung Data nilai UN dari 52 SMP negeri di Bandung tersebut akan diolah dan dianalisis. Langkah pertama adalah menentukan statistika deskriptif untuk nilai UN Mate-matika dengan menentukan statistik yang menunjukkan ukuran pemusatan, penyebaran, kemiringan, dan kelancipan data. Selain itu dibuat boxplot untuk melihat distribusi data, plot normal untuk memastikan bahwa data berdistribusi normal, dan kontur dari nilai UN untuk melihat pola hubungan antar sekolah. Boxplot, plot normal, dan kontur data niali UN disajikan pada Gambar 4.Langkah kedua adalah menghitung semivariogram eksperimental untuk setiap pasangan lokasi SMP yang terpisahkan sejauh h. Langkah ketiga adalah mencocokkan I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 28 semivariogram eksperimental dengan beberapa model semivariogram dan melakukan validasi silang untuk menentukan model yang terbaik. Langkah selanjutnya adalah melakukan kriging yang berguna untuk menaksir nilai UN untuk lokasi-lokasi SMP yang belum terobservasi Hasil Penelitian dan Pembahasan Statistika deskriptif untuk nilai UN Matematika ditunjukkan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dan Gambar 4, kita dapat memperoleh beberapa kesimpulan: a. Nilai minimum matematika yang diperoleh adalah 5,59 dan masih berada di atas batas ketentuan kelulusan yaitu 4,26. Nilai rata-rata cukup tinggi yaitu 7,48 dan merupakan prestasi yang cukup menggembirakan. Selain itu, pencapaian nilai maksimum yaitu 9,35 menunjukkan bahwa tiga atau empat dari 40 soal matematika tidak dijawab dengan benar. b. Penyebaran nilai matematika cukup kecil dengan nilai deviasi standar yang mencapai 1,037 artinya simpangan nilai dari rataratanya yaitu antara 6,44 sampai 8,52. c. Dari boxplot, data nilai UN tidak memiliki nilai pencilan dan dari plot normal pun data dapat dianggap berdistribusi normal karena titiktitik error berada pada garis lurus. Selain itu, distribusi nilai UN mendekati simetri dengan nilai rata-rata dekat dengan nilai kuartil ke-2 yang biasa disebut median. d. Korelasi atau ketergantungan spasial antar SMP dapat dilihat dari kontur nilai UN. Kontur nilai tersebut terbentuk dengan masukan data berupa koordinat lokasi setiap SMP dalam koordinat (x,y) dan nilai rata-rata nilai UN matematika dari setiap sekolah. Perbedaan warna pada kontur penunjukkan perbedaan nilai mulai dari nilai terkecil sampai nilai terbesar. Dari kontur, terdapat pengelompokkan nilai-nilai di wilayahwilayah tertentu. d. Pengelompokkan sekolah yang tampak pada gradasi warna kontur dijelaskan pula dengan pengelompokkan SMP menjadi 4 kategori 29 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan berdasarkan kuartil yaitu: kelompok unggul, baik sekali, baik, dan sedang. Kategori unggul adalah nilai berkisar pada kuartil ke-3 sampai nilai maksimum yaitu 8,18–9,35 dan terdapat 13 SMP (25%). Kategori baik sekali berkisar pada kuartil ke-2 sampai kuartil ke-3 yaitu 7,45–8,18 dan terdapat 13 SMP (25%). Kategori baik berkisar pada kuartil ke-1 sampai kuartil ke-2 yaitu 6,67–7,45 dan terdapat 14 SMP (27%). Terakhir, kategori sedang berkisar pada nilai minimum sampai kuartil ke-1 yaitu 5,59 – 6,67 dan terdapat 12 SMP (23%). e. Hasil pengelompokkan SMP berdasarkan nilai UN matematika dibandingkan dengan pengelompokkan SMP berdasarkan kluster yang ditetapkan pemerintah terdapat pada Tabel 3. Hasilnya, ada kesesuaian perolehan nilai UN matematika dengan kluster, walaupun ada beberapa SMP yang kurang sesuai pengelompokkannya.Misalnya, SMP yang masuk dalam kategori unggul adalah sebagian besar SMP yang berada pada kluster 1 seperti SMP 5, 8, 7, 3, 1, dan 13. Hal ini sangat wajar karena SMP pada kluster 1 memiliki nilai yang sangat baik untuk rata-rata semua pelajaran. Namun ada beberapa SMP pada kluster 3 dan 4 yang masuk dalam kategori unggul seperti SMP 50 dan 49 pada kluster 3 dan SMP 42 dan 33 pada kluster 4. Hal ini merupakan hal yang cukup mengejutkan, terutama untuk SMP 42 di GD dan 33 di TG. Kedua sekolah tersebut mendapatkan prestasi yang baik dalam nilai matematika. Sementara ada SMP pada kluster 1 hanya mencapai kategori baik yaitu SMP 34 di GD dan 30 di KR. Tentu saja kondisi ini menjadi bahan evaluasi bagi sekolah yang bersangkutan agar tahun berikutnya kualitas sekolahnya dapat diperbaiki. Tabel 2 Statistika Deskriptif dari Nilai Ujian Nasional Matematika pada 52 SMP di Kota Bandung Banyak data Rata-rata Median Simpangan baku Variansi Kurtosis Skewness Statistika Deskriptif 52 Jangkauan 7,482 Nilai minimum 7,45 Kuartil ke-1 1,037 Kuartil ke-2 1,076 Kuartil ke-3 -0,964 Nilai maksimum -0,042 Standard error 3,76 5,59 6,67 7,45 8,18 9,35 0,144 Boxplot dan plot normal dari nilai matematika digambarkan pada Gambar 5 sebagai berikut: a) b) c) I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 30 Gambar 5 a) Boxplot untuk nilai matematika. Boxplot ini terdiri atas nilai minimum, nilai maksimum, kuartil ke-1 sampai kuartil ke-3. Data cukup simetri dengan rata-rata nilai hampir sama dengan nilai median serta tidak terdapat data pencilan; b) Normal p-plot dari nilai matematika. Nilai matematika berdistribusi normal karena plot errornya berada pada garis lurus; c) Kontur data nilai Ujian Nasional Matematika dari 52 SMP negeri di Kota Bandung. Langkah kedua, semivariogram eksperimental dihitung dengan menggunakan program Surfer dengan memasukkan nilai jarak maksimum lag yaitu 34 dan jumlah lag 60. Jarak maksimum lag artinya nilai semivariogram akan dihitung untuk setiap pasangan lokasi yang memiliki jarak mulai dari jarak 1 m sampai dengan 34 m dan jumlah lag h=60. Grafik semivariogram eksperimental dapat dilihat pada Gambar 6. Kemudian, model-model semivariogram yang sesuai dengan semivariogram eksperimental dapat dipilih untuk dicocokkan pada semivariogram eksperimental. Beberapa model semivariogram yang sesuai ditunjukkan pada model berikut ini: Penentuan model semivariogram yang terbaik adalah dengan validasi silang melalui metode jumlah kuadrat galat (Sum of Square Error, SSE). Model yang terbaik memiliki nilai SSE yang terkecil yaitu model eksponensial. Langkah ketiga, model eksponensial tersebut dimasukkan dalam persamaan kriging dan kemudian diperoleh kontur hasil estimasi kriging biasa (ordinary kriging). Kontur nilai matematika sebelum dan sesudah dilakukan estimasi kriging biasa ditampilkan pada Gambar 7a dan 7b. Kedua kontur tersebut memiliki kesamaan seperti penyebaran warna pada setiap daerah. Sehingga, kami menyimpulkan bahwa model eksponensial sesuai dengan model eksperimental untuk nilai matematika. Selain itu, dari kedua kontur itu dapat diperoleh informasi sebagai berikut: 1) Sekolah-sekolah dengan kategori unggul ditunjukkan oleh daerah berwarna biru sampai hijau tua dan berada di pusat dan timur kota Bandung. 2) Sekolah-sekolah dengan kategori sangat baik ditunjukkan dengan daerah berwarna hijau tua sampai hijau muda. SMP tersebut ada di sekitar sekolah berkategori unggul dan menyebar dari barat sampai timur kota Bandung. 3) Sekolah-sekolah dengan kategori baik ditandai oleh warna hijau muda sampai kuning. SMP tersebut terletak di utara dan selatan kota Bandung. 4) Sekolah-sekolah dengan kategori sedang ditunjukkan oleh warna orange sampai merah tua dan berada di utara dan barat laut kota Bandung. 31 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan V a r i o g r a m N il a i U N M a t e m a t ik a 2 .5 Variogram 2 1 .5 1 0 .5 0 0 5 10 15 20 25 30 L a g D is t a n c e Gambar 6 Semivariogram eksperimental untuk nilai Ujian Nasional Matematika. Sumbu mendatar menunjukkan lag jarak 0 sampai 34 m. Sumbu tegak menunjukkan nilai semivariogram. Sedangkan 58 titik-titik menunjukkan nilai semivariogram untuk setiap jarak h. a) b) 60 50 50 40 40 30 30 20 20 10 10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Gambar 7 a) Kontur nilai Matematika untuk 52 SMP di Bandung. Warna biru menunjukkan SMP berkategori unggul, warna hijau untuk SMP berkategori sangat baik, warna kuning untuk SMP berkategori baik, dan warna orange untuk SMP berkategori sedang; b) Kontur nilai Matematika hasil estimasi kriging biasa. Kontur ini diperoleh dengan memasukkan parameter-parameter model eksponensial pada persamaan kriging. I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 32 100 Tabel 3 Pengelompokkan SMP di Bandung berdasarkan nilai Ujian Nasional Matematika dan asal kluster KATEGORI UNGGUL (13 SMP) SANGAT BAIK (13 SMP) SMP LOKASI 5 8 17 50 7 42 3 49 44 1 13 33 11 2 14 39 12 4 31 28 46 18 26 52 25 21 CB UB UB UB CB GD KR UB CB BJ KR TG KR CB CB TG BJ KR KR KR UB GD BJ CB TG TG ASAL KLUSTER 1 1 2 3 1 4 1 3 2 1 1 4 2 1 1 3 1 2 3 1 4 2 3 4 3 4 33 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan KATEGORI BAIK (14 SMP) SEDANG (12 SMP) SMP LOKASI 34 30 45 27 51 22 16 24 15 35 6 47 10 9 20 48 38 29 37 43 40 23 41 36 32 19 GD KR UB CB GD CB CB TG BJ CB BJ BJ KR BJ KR GD TG BJ KR KR CB BJ BJ TG CB BJ ASAL KLUSTER 1 1 4 2 3 3 2 3 2 4 4 4 3 2 3 4 4 4 4 2 3 4 3 4 4 4 5. Kesimpulan Dengan analisis spasial, hubungan antar SMP di Kota Bandung yang berdasarkan nilai Ujian Nasional Matematika dapat digambarkan dengan model semivariogram eksponensial. SMP-SMP di Kota Bandung dapat dikelompokkan menjadi 4 katergori yaitu: unggul, sangat baik, baik, dan sedang. Nilai Ujian Nasional untuk SMP-SMP yang berada di pusat Kota Bandung lebih baik daripada di daerah lain. Hal ini terjadi karena ditunjang oleh kelengkapan fasilitas pendidikan dan sarana transportasi yang menjangkau tempat tersebut. SMP-SMP berkategori sedang memiliki nilai matematika yang rendah dan biasanya ditemukan pada daerah-daerah sebagai berikut: a. Jauh dari pusat kota seperti SMP 29 di utara Bandung (Gegerkalong) dan SMP 47 di barat Bandung (Sukaraja). b. Terpencil seperti SMP 35 di utara Bandung (Dago Pojok) dan SMP 39 di barat daya (Cigondewah). c. Dekat dengan pasar seperti sekolah-sekolah di KR (Kiaracondong), SMP 23 dan 32 di BJ (pasar Ciroyom dekat), dan SMP 36 di TG (dekat Caringin pasar). d. Sulit dijangkau oleh transportasi umum seperti sekolah di daerah barat GD (Rancasari). Kondisi ini tentu saja menjadi bahan evaluasi bagi kepala sekolah di setiap sekolah yang berkategori sedang di atas sehingga kualitas sekolah harus lebih ditingkatkan. 6. Daftar Pustaka Kamble, K.H., & Aggrawal, P. (2011). Geostatistical Analyst for Deciding Optimal Interpolation Strategies for Delineating Compact Zones. International Journal of Geosciences, 2, 585-596. Shi, W. (2010). Principles of Modelling Uncertainties in Spatial Data and Spatial Analysis. Taylor and Francis Group. Sari, K.N. (2009) Model Semivariogram dan Estimasi Ordinary Kriging untuk Nilai Ujian Nasional SMP di Kota Bandung dan Cimahi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20. Rostaman. (2005). Dinamika Populasi Lalat Sciarid (Diptera: Sciaridae) pada Budidaya Jamur Tiram. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Hohn, M.E. (1999). Geostatistics and Petroleum Geology. London: Kluwer Academic Publishers. Armstrong, M. (1998). Basic Linear Geostatistics. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Kintanidis, P.K. (1997). Introduction to Geostatistics: Applications to Hydrogeology. New York: Cambridge University Press. Fetter, C.W. (1994). Applied Hydrogeology. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs. Hurlock, E. (1992). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. David, M. (1977). Geostatistical Ore Reserve Estimation. New York: Amsterdam Oxford. I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 34 Visit Bandung Indonesia. Bandung maps. Diunduh April, 2013 dari http://visitbandungindonesia.wordpress.com/bandung-map-2/. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Profil Kependudukan Jawa Barat Tahun 2011. Diunduh April, 2013 dari http://www.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/75. Badan Standar Nasional Pendidikan. Data Statistik Sekolah. Diunduh April, 2009 dari http://bsnpindonesia.org/id. Spot Crime. Boston, MA Crime Map. Diunduh Oktober, 2013 dari http://spotcrime.com/ma/boston; Amstrong, M. (1998). Basic Linear Geostatistics. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 1-3. Kintanidis, P.K. (1997). Introduction to Geostatistics: Applications to Hydrogeology. New York: Cambridge University Press, 1. Hohn, M.E. (1999). Geostatistics and Petroleum Geology. London: Kluwer Academic Publishers, 57. Shi, W. (2010). Principles of Modelling Uncertainties in Spatial Data and Spatial Analysis. Taylor and Francis Group, 190-192. Kamble, K.H., & Aggrawal, P. (2011). Geostatistical Analyst for Deciding Optimal Interpolation Strategies for Delineating Compact Zones. International Journal of Geosciences, 2, 585-596. Rostaman. (2005). Dinamika Populasi Lalat Sciarid (Diptera: Sciaridae) pada Budidaya Jamur Tiram. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Spot Crime. Boston, MA Crime Map. Diunduh Oktober, 2013 dari http://spotcrime.com/ma/boston. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Profil Kependudukan Jawa Barat Tahun 2011. Diunduh April, 2013 dari http://www.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/75. Visit Bandung Indonesia. Bandung maps. Diunduh April, 2013 dari http://visitbandungindonesia.wordpress.com/bandung-map-2/. Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20. David, M., Geostatistical Ore Reserve Estimation (New York: Amsterdam Oxford, 1977), 103-106. Fetter, C.W., Applied Hydrogeology (New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs, 1994), 341-345. Hurlock, E., Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga, 1992), 188-220. Badan Standar Nasional Pendidikan. Data Statistik Sekolah. Diunduh April, 2009 dari http://bsnpi ndonesia.org/id. Sari, K.N. (2009) Model Semivariogram dan Estimasi Ordinary Kriging untuk Nilai Ujian Nasional SMP di Kota Bandung dan Cimahi. Bandung: Institut Teknologi Bandung 35 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan URGENSI REFERENSI GEOSPASIAL TUNGGAL DALAM PENYELENGGARAAN INFORMASI GEOSPASIAL Eki Riyanti Suyatno a,*, A M. Pahlevi b a,*,b, Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika, Badan Informasi Geospasial Jln. Raya Jakarta-Bogor KM. 46 Cibinong-Bogor, Telp. +062-21-8757329, Email: [email protected], [email protected] Abstrak Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan suatu daerah harus didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Data dan informasi tersebut tak lepas dari data dan informasi keruangan (spasial). Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak dan posisi suatu obyek atau kejadian yang berada di bawah, pada atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam koordinat tertentu. Informasi Geospasial (IG) adalah data ruang kebumian yang telah diolah, sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Permasalahan yang terjadi adalah adanya penyelenggaraan kegiatan pembangunan dengan menggunakan IG yang berbeda-beda atau menggunakan referensi yang beragam. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (UU-IG) mengamanatkan terbangunnya IG (peta) yang dapat dipertanggungjawabkan dan bersumber dari satu referensi. Penggunaan sistem referensi geospasial yang beragam mengakibatkan antara satu IG dengan yang lainnya tidak menempati posisi yang sama dan tidak dapat diintegrasikan satu dengan lainnya. Hal ini berdampak pada defisiensi waktu dan biaya pembangunan. Untuk menghindari permasalahan-permasalahan tersebut maka diperlukan acuan yang sama dalam pemetaan di seluruh Indonesia atau dengan kata lain diperlukan sistem referensi geospasial tunggal dalam penyelenggaraan IG. Penyelenggaraan IG dengan menggunakan referensi tunggal merupakan hal yang penting karena dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan keruangan dengan mengembalikannya pada sumber yang sama. Untuk itu diperlukan peran dan kesamaan langkah antara instansi Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam mewujudkan penyelenggaraan IG yang terintegrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Kata Kunci: Informasi Geospasial, Informasi Geospasial Dasar, Informasi Geospasial Tematik, Undang-Undang Informasi Geospasial I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 36 Abstract Planning and development of a region should be based on accurate and reliable data and information. The data and information that mean due to spatial. Geospatial is spatial aspect that shows of location, layout and position an object or event that is under, on or below the earth's surface which is expressed in a certain coordinate. Geospatial Information (GI) is geospatial data that has been processed, so that can be used as tools in planning and development. The problems are many development activities used difference coordinate reference. In the other side, low number 4 about Geospatial Information (Low of GI) mandated to establish reliable GI and based on a single reference. The use of the difference geospatial reference system caused between one another GI does not occupy the same position and cannot be integrated with one another. This is result in deficiency time and cost development. To avoid these problems, it will be required the same reference (a single geospatial reference) in mapping and implementation of GI in Indonesia. This is important to solve the spatial problems by returning them to the same reference. To achieve this goal, need the collaboration role between government institution and local government so that be an integrated planning and development. Keywords: Geospatial Information, Based Geospatial Information, Thematic Geospatial Information, Low of Geospatial Information 37 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan PENDAHULUAN Latar belakang Disadari atau tidak, dalam keseharian kita telah banyak menggunakan peta untuk membantu dan mempermudah aktivitas. Misalnya saat akan bepergian ke suatu tempat, informasi lengkap mengenai letak dan denah lokasi akan sangat membantu dalam mencapai tujuan tersebut. Selembar peta mengandung beragam informasi yang menyangkut aspek keruangan (spasial) suatu obyek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak dan posisinya. Informasi Geospasial (IG) atau dalam istilah umum lebih dikenal dengan nama “peta” tersebut adalah segala data keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu obyek atau kejadian yang berada di bawah, pada atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu yang telah diolah. IG terbagi menjadi dua yaitu Informasi Geospasial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial Tematik (IGT). IGD adalah IG yang berisi tentang objek yang dapat dilihat secara langsung atau diukur dari kenampakan fisik di muka bumi dan yang tidak berubah dalam waktu yang relatif lama. IGD sendiri dibagi menjadi dua yaitu Jaring Kontrol Geodesi (JKG) dan peta dasar. Sedangkan IGT merupakan IG yang menggambarkan satu atau lebih tema tertentu yang dibuat mengacu pada IGD. Dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur dan ekonomi dalam suatu wilayah, IG dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan serta pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (UU-IG) memberikan suatu payung hukum dan aturan yang mengikat terkait dengan penyelenggaraan IG. Amanat dari UU-IG tersebut adalah: 1. Menjamin ketersediaan dan akses IG yang dapat dipertanggungjawabkan, 2. Mewujudkan kebergunaan dan keberhasilgunaan IG melalui kerjasama, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi, 3.Mendorong penggunaan IG dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat, serta 4.Pembinaan kepada penyelenggara, pelaksana dan pengguna IG lainnya. UU-IG tersebut mengamanatkan terbangunnya IG (peta) yang dapat dipertanggungjawabkan dan bersumber dari satu referensi. Karena IG dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu, maka diperlukan suatu referensi geodesi tertentu. Dalam Sidang Kabinet Paripurna tanggal 23 Desember 2010, Presiden SBY menyatakan “harus ada satu peta yang menjadi rujukan nasional” atau yang dikenal dengan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy). Kebijakan ini sejalan dengan amanat UU-IG tersebut di atas juga dengan Undang-Undang lain yang terkait dengan perencanaan pembangunan. Undangundang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 152 menyebutkan “Perencanaan pembangunan daerah didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan”. Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 31 menyebutkan “Perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan”. Permasalahan Saat ini IG yang tersedia di berbagai inst ansi menggunakan beragam referensi geospasial. Keberagaman sistem referensi geospasial tersebut mengakibatkan antara satu IG dengan lainnya tidak menempati posisi yang sama dan tidak dapat diintegrasikan satu dengan lainnya. Contohnya adalah dilakukannya pengukuran posisi teliti dan real time menggunakan GPS oleh beberapa instansi pe- I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 38 merintah pembuatan pilar JKG untuk berbagai macam kebutuhan yang belum terintegrasi, dan dilakukannya pengukuran pasang surut laut oleh berbagai instansi. Hal ini berdampak pada defisiensi waktu dan biaya pembangunan. Contoh lain adalah sering terjadi konflik di perbatasan, adanya sengketa lahan perkebunan, pertambangan, kehutanan, dll. Hal ini disebabkan karena acuan peta yang digunakan tidak mempunyai referensi yang sama. Oleh karena itu untuk menghindari permasalahan-permasalahan tersebut maka diperlukan acuan yang sama dalam pemetaan di seluruh Indonesia atau dengan kata lain diperlukan sistem referensi geospasial tunggal dalam penyelenggaraan IG. Maksud dan Tujuan Tulisan ini bermaksud untuk memaparkan sekilas tentang sejarah penyelenggaraan IG di Indonesia; status IGD khususnya JKG saat ini; dan pentingnya penggunaan sistem referensi geospasial tunggal. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar daerah mengetahui mengenai pentingnya penggunaan sistem referensi geospasial tunggal yang digunakan dalam penyelenggaraan IG, yang nantinya akan digunakan sebagai dasar dalam perencanaan, pengambilan keputusan sampai penyajian informasi di segala aspek kehidupan khususnya untuk percepatan dan perluasan pembangunan Indonesia. METODOLOGI Penyusunan tulisan ini berdasarkan kajian literatur dari berbagai sumber khususnya di dalam penyelenggaraan IG menurut UndangUndang Informasi Geospasial. Kemudian dianalisa sesuai dengan permasalahan yang ada. 39 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan PENYELENGGARAAAN IG Sebagaimana disebutkan dalam UU-IG bahwa IG yang berjenis IGD hanya diselenggarakan oleh Pemerintah dalam hal ini Badan Informasi Geospasial (BIG). Sedangkan IG yang berjenis IGT diselengga-rakan oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai tupoksinya maupun perorangan hanya untuk kepentingan sendiri (Pasal 23 UUIG). Untuk menjamin keterpaduan informasi geospasial, penyelenggaraan IGT harus mengacu pada IGD yang dikeluarkan oleh BIG. Jenis IGT misalnya peta sumberdaya alam, peta kebencanaan, peta tata ruang, peta kehutanan, peta sebaran penduduk, peta penutup lahan dan kemiringan lereng, dll. Penyelenggaraan IG dilakukan secara bertahap dan sistematis untuk seluruh wilayah Indonesia. Penyelenggaraan IG mempunyai tahapan sebagai berikut: pengumpulan Data Geospasial (DG); pengolahan DG dan IG; penyimpanan dan pengamanan DG dan IG; penyebarluasan DG dan IG; serta penggunaan IG. Sebuah IG dikatakan tepat jika memiliki referensi geodesi yang akurat dan tunggal. Pada kondisi saat ini, masing-masing penyelenggara IG di beberapa instansi masih menggunakan berbagai macam referensi dalam membuat kebijakan. Dampak dari penggunaan berbagai macam referensi adalah tidak dapat dilakukannya penggabungan IG antar instansi dan sektoral yang dapat menyebabkan defisiensi waktu dan biaya. BIG sebagai instansi penyelenggara IG, khususnya IGD, dalam hal ini JKG, telah melakukan kegiatan pengumpulan data JKG, bahkan sejak jaman pendudukan Belanda dengan metode dan peralatan yang disesuaikan dengan masanya hingga sekarang. BIG juga telah melakukan pengolahan data JKG dan menjadikannya sebagai informasi JKG, serta melakukan penyimpanan dan pengamanan data dan informasi tersebut secara terus menerus dari tahun ke tahun. Kemudian dilakukan proses penyebarluasan dan terakhir adalah penggunaan IG. JKG adalah infrastruktur yang berfungsi untuk mendefinisikan/ merealisasikan sistem referensi koordinat yang tunggal secara nasional. JKG digunakan sebagai acuan/referensi dalam penentuan posisi (koordinat) secara nasional. sedemikian rupa hingga triangulasi Sumatera membentuk satu sistem dengan triangulasi Jawa. Pada periode tahun 1912-1918 jaring utama triangulasi Jawa diperluas ke Bali dan Lombok. Pada tahun 1911 pengukuran jaring utama triangulasi di Celebes (sekarang Sulawesi) dimulai. Sistem koordinat adalah Bessel 1841 ellipsoid, dengan lintang dan azimuth ditentukan di titik triangulasi di G. Moncong Lowe dan dalam penentuan bujur, Makasar sebagai meridian nol. STATUS JARING KONTROL GEODESI Keterbatasan teknologi saat itu, yaitu pengukuran dilakukan dengan alat optis, penyatuan sistem datum geodesi tidak dimungkinkan. Sehingga jaring utama triangulasi Jawa-Sumatera-Bali-Lombok tidak satu sistem dengan jaring utama Sulawesi dan masing-masing mempunyai ketelitian berbeda. Begitu pula jaring utama triangulasi di Kalimantan yang dilaksanakan oleh perusahaan eksplorasi minyak-bumi, tidak satu sistem. Ketelitian relatif yang dicapai dari jaring utama triangulasi tersebut sekitar 1 : 100.000. Jaring Kontrol Geodesi Nasional adalah posisi di muka bumi di wilayah Indonesia yang ditandai dengan bentuk fisik tertentu yang dijadikan sebagai kerangka acuan horisontal, vertikal dan gayaberat yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi (Rakorda IG 2013). Jaring Kontrol Geodesi (JKG) menurut UUIG terdiri dari Jaring Kontrol Horizontal Nasional (JKHN), Jaring Kontrol Vertikal Nasional (JKVN), dan Jaring Kontrol Gayaberat Nasional (JKGN). Wujud Jaring Kontrol Geodesi (JKG) direpresentasikan oleh Titik Kontrol Geodesi (TKG). TKG adalah posisi di muka bumi yang ditandai dengan bentuk fisik tertentu yang dijadikan sebagai kerangka acuan posisi untuk Informasi Geospasial (IG) baik Dasar maupun Tematik. Penyelenggaraan JKHN di Indonesia menurut Subarya (1995) sudah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, yaitu dengan pengukuran triangulasi yang dimulai pada tahun 1862, yaitu jaring utama triangulasi di P.Jawa, dan selesai pada tahun 1880. Sistem koordinat triangulasi Jawa dihitung mengacu kepada elipsoid Bessel 1841, dengan lintang dan azimuth ditentukan titik triangulasi di Genoek, dan untuk hitungan bujur, Batavia (sekarang Jakarta) sebagai meridian nol. Selanjutnya pada tahun 1883 jaring utama triangulasi Jawa diperluas ke P. Sumatera, Selanjutnya dengan pengembangan sistem satelit navigasi Doppler (Transit), sejak tahun 1974 pengadaan jaring titik kontrol juga mulai memanfaatkan sistem satelit ini. Pada realisasinya jaring kontrol geodesi yang titiktitiknya ditentukan dengan memanfaatkan satelit doppler sudah dalam satu sistem, akan tetapi belum homogin dalam hal ketelitian, disebabkan metoda pengukuran (penentuan posisi absolut, translokasi) dan metoda hitungan ('multistation mode, short arc mode') yang dipakai berbeda. Walaupun demikian koordinat titik-titik pada jaring kontrol geodesi tersebut, secara teknis cukup memenuhi untuk keperluan pemetaan rupabumi pada skala 1 : 50.000. (Subarya 1995). Dengan berkembangnya sistem satelit GNSS, sejak tahun 1989 pengadaan jaring titik kontrol horizontal di Indonesia umumnya bertumpu pada pengamatan satelit GNSS. I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 40 Pengukuran Jaring Kontrol Horisontal Nasional dilaksanakan pada tahun 1992, bersamaan dengan pengukuran untuk penelitian geodinamik dengan memanfaatkan teknologi GPS. Lokasi titik-titik/pilar pada JKHN ditempatkan di kota-kota besar dilokasi yang mudah dalam pencapaian dan memenuhi persyaratan untuk pengukuran GPS. Penyebaran titik ditempatkan merata secara geometris diseluruh wilayah Indonesia, berjumlah 60 titik/stasiun. Perkembangan JKHN di Indonesia mengenal berbagai datum dimulai dari Datum Triangulasi mengacu kepada Bessel 1841, kemudian Datum Indonesia 1974 mengacu kepada ellipsoid Geodetic Reference System 1967 (GRS67), dan saat ini Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN95) mengacu kepada ellipsoid World Geodetic System 1984 (WGS84). JKHN dengan DGN95, dimana parameternya adalah sama dengan parameter ellipsoid WGS84, pada proses hitungannya adalah selain titik-titik kontrol GNSS yang berada di wilayah Indonesia juga dilibatkan titik-titik kontrol International GNSS Service (IGS) global secara simultan dalam International Terrestrial Reference Frame (ITRF). JKVN di Indonesia telah dibangun sejak tahun 1980 yang direalisasikan di lapangan berupa pilar-pilar yang dinamakan dengan Tanda Tinggi Geodesi (TTG). TTG tersebut dibangun di sepanjang jalan utama dengan spasi jarak sekitar 4 km membentuk looping dan jaringan. Data sipat datar kemudian dikoreksi dengan data gravity dan di lakukan perataan kemudian diikatkan ke kedudukan Mean Sea Level (MSL) pada stasiunstasiun pengamatan pasang surut. Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai tinggi orthometrik TTG-TTG dengan akurasi mencapai level cm. Gambar 1. Jaring Kontrol Horizontal Nasional orde 0 (Sumber: Subarya.1995) 41 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Gambar 2. Jaring Kontrol Horizontal Nasional Orde 0 dan 1 Di Indonesia Pengukuran JKGN terestrial sejak tahun 1986 hingga 2007 menghasilkan 5780 titik JKGN absolut, orde I, II, dan III. JKG Absolut terdapat 4 titik, yaitu di Bandung, Yogyakarta, Pontianak dan Cibinong (BIG). Orde I, merupakan orde pengikatan ke absolute gravity. JKG orde 1 berjumlah 110 titik tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang sebagian besar diwujudkan dalam bentuk pilar Gaya Berat Utama (GBU). Mayoritas titik tersebut tersebar di lingkungan bandara di seluruh wilayah Indonesia. Orde II, diikatkan kepada JKG Orde I dan nilainya relatif terhadap Orde I, sebagian besar berupa pilar tanda tinggi geodesi (TTG) dan pilar pengukuran gayaberat biasa serta sebagian lainnya hanya berupa nilai gravity pada koordinat tertentu (tanpa pilar). JKG orde II tersebar di daerah Jawa, Sumatra, Sulawesi, Madura, Bali, Lombok, Timor-Timur (sekarang Timor Leste), Ambon, dan Pulau Seram. Pengukuran JKGN terestris membutuhkan waktu yang sangat lama dan biaya yang besar, serta pengukurannya terbatas pada daerah yang hanya terjangkau transportasi, selain itu pengukuran juga terbatas hanya di daratan saja sehingga pengukuran terestrial kurang efektif dan efisien untuk pemetaan geoid. Oleh karena itu, mulai tahun 2009 BIG (dahulu bernama Bakosurtanal) bekerja sama dengan Danmarks Tekniske Universitet (DTU), Denmark untuk melakukan survei airborne gravity. Pada tahun 2009 dilakukan survei untuk Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan dilakukan pada tahun 2010 dan 2011, dan Papua dilakukan pada tahun 2011. Hasil dari model geoid berupa undulasi geoid yang kemudian di fittingkan dengan koordinat komponen tinggi hasil pengukuran GNSS di JKVN (metode GNSS Heighting). I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 42 Selain JKG dalam bentuk pilar, terdapat pula JKG aktif yang merekam posisi (koordinat) secara real time, yaitu stasiun tetap GPS dan stasiun pasang surut laut. Dari data posisi yang terekam secara terus menerus dan pengukuran periodik di pilar JKG, dilakukan perhitungan sehingga menghasilkan satu set koordinat, yaitu Datum Geodesi Nasional. Gambar 3. Jaring Kontrol Vertikal Nasional 43 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan Gambar 4. Jaring Kontrol Gayaberat Nasional Gambar 5. Sebaran Stasiun Tetap GPS (Stasiun CORS) – BIG I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 44 Gambar 6. Sebaran Stasiun Pasang Surut Permanen - BIG SISTEM REFERENSI GEOSPASIAL TUNGGAL Perencanaan yang matang sehingga akan memberikan perkembangan yang terarah dan meningkatkan kualitas pemanfaatan ruang. Perencanaan pembangunan tersebut membutuhkan data dan informasi geospasial yang akurat dan terpercaya. Beberapa permasalahan di daerah terkait dengan penggunaan IG (peta) yang berbeda pada umumnya adalah permasalahan batas dan sengketa lahan. Selain itu beragamnya sistem referensi yang digunakan dalam menghasilkan Informasi Geospasial, mengakibatkan setiap instansi, Badan Usaha, Organisasi, bahkan orang per orang, mendefinisikan sistem referensinya masing-masing. Hal tersebut akan menyulitkan saat dilakukan integrasi data. Penyelenggarakan IG dalam satu referensi tunggal menjadi acuan dalam penyelenggaraan IGT di seluruh instansi maupun Pemerintah Daerah. Kebijakan menggunakan satu peta rujukan nasional ini merupakan langkah penting menuju informasi geospasial yang terintegrasi untuk pelaksanaan pembangunan. Untuk menjawab tantangan Presiden serta mewujudkan Informasi Geospasial Nasional yang Terintegrasi, BIG sebagai lembaga penyelenggara informasi geospasial memandang perlu adanya Referensi Tunggal Informasi Geospasial yang menjadi acuan bersama untuk Menata Indonesia Yang Lebih Baik. Hal ini diwujudkan dengan diluncurkannya Referensi Tunggal Informasi Geospasial pada tanggal 17 Oktober 2013 di Jakarta. 45 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan PERAN DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN IG Untuk dapat mewujudkan IG yang terintegrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, maka diperlukan kesamaan langkah antar instansi pemerintah maupun Pemerintah Daerah dalam pembangunan data dan informasi geospasial termasuk kegiatan survei dan pemetaannya. Dalam penyelenggaraan IG, kegiatan pemberian akses, pendistribusian, dan pertukaran DG dan IG yang dapat dilakukan dengan menggunakan media cetak dan elektronik, merupakan kegiatan dalam penyebarluasan DG dan IG. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah daerah Jawa Barat dapat memanfaatkan JKG yang ada di Jawa Barat. Di daerah Jawa Barat terdapat sebanyak 454 pilar JKV yang tersebar di sepanjang jalur jalan utama. Sedangkan JKH terdapat sebanyak 33 pilar di hampir semua kabupaten di Jawa Barat. Stasiun pasang surut terdapat di Pelabuhan Ratu, Pameungpeuk, Pangandaran, Pemayangsari. Disamping pemanfaatan data, peran Pemerintah daerah sangat diperlukan dalam menjaga pilar JKG maupun stasiun pasang surut agar tidak hilang karena adanya kegiatan pembangunan. Urgensi dalam mempercepat penyediaan IGD semakin terasa diperlukan khususnya peta dasar skala besar untuk mendukung program-program nasional seperti pembuatan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). “Dalam penyusunan RDTR digunakan peta skala 1:5.000” sesuai UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam hal ini peran daerah diperlukan untuk membantu mempercepat kebutuhan Peta Rupabumi (RBI) di daerah masing-masing dengan ketentuan teknis dari BIG. Hal tersebut sejalan dengan tujuan Rakorda IG tahun 2013 yaitu membangun komitmen nasional khususnya di daerah, di dalam penyelenggaraan informasi geospasial dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. KESIMPULAN 1. UU No. 4 tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial mengamanatkan terbangunnya IG yang dapat dipertanggung-jawabkan dan bersumber dari satu referensi tunggal. 2.Penyelenggaraan IG dengan menggunakan referensi tunggal merupakan hal yang penting karena dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan keruangan dengan mengembalikannya pada sumber yang sama. 3.Diperlukan peran dan kesamaan langkah antara instansi Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam mewujudkan penyelenggaraan IG yang terintegrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. I Desember 2013 Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan I 46 DAFTAR PUSTAKA Bidang Kerangka Geodesi, 2010, Laporan Akhir Densifikasi Jaring Kontrol Horizontal Nasional (JKHN) Di Sulawesi, BIG, Bogor. Bidang Kerangka Geodesi, 2011, Laporan Kegiatan Tahunan, Basisdata Kerangka Geodesi, BIG, Bogor. Hidayah, A., 2012, Jaring Kontrol Geodesi: Kondisi Kekinian dan Tantangan, BIG, Bogor. Pangastuti, D., 2012, Grand Design Geodesi dan Geodinamika. Referensi Tunggal untuk Kemajuan Pembangunan Indonesia, BIG, Bogor. Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) Informasi Geospasial 2013, Tema: Peningkatan Peran Daerah dalam Penyelenggaraaan Informasi Geospasial, Jakarta, 16-17 April 2013. Republik Indonesia, 2011, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, DPR-RI, Jakarta. Subarya. C., 1995, Datum Geodesi Nasional 1995 (Dgn95) Yang Geosentrik. Bakosurtanal, Cibinong. 47 I Desember 2013 I Jurnal Analisis Kebijakan Pembangunan