TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN DI BAWAH UMUR STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI UNAAHA (NOMOR:98/Pid.B/PN.UNH) SKRIPSI DiajukanUntukMemenuhi Salah SatuSyaratGuna MemperolehGelarSarjanaHukumPadaFakultasHukum UniversitasHalu Oleo Kendari OLEH PURWANSYAH HAKIM H1 A1 11 272 PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016 HALAMAN PERSETUJUAN Telah dipertahankan di hadapan Panitian Ujian Skripsi Kekhususan Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Haluoleo guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Strata Satu (S1) dengan sebutan S.H. JudulPenelitian : Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Melarikan Perempuan di bawah Umur Studi Putusan Pengadilan Negeri Unaaha (Nomor:98/Pid.B/PN.UNH) Nama : Purwansyah Hakim NomorStambuk : H1 A1 11 272 Program Studi : Ilmu Hukum / Hukum Pidana Kendari, Januari 2016 Menyetujui : Pembimbing I Pembimbing II Dr. Oheo K. Haris, SH, M.Sc, LL.M Nip. 19730616 200212 1 001 Ali Rizky, SH., MH. Nip. 19760407 200501 1 003 Mengetahui : Dekan Fakultas Hukum, Ketua Jurusan Ilmu Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH., MS. Nip. 19600809 198511 1 001 Heryanti, SH, MH Nip. 19750727 200501 2 001 ii HALAMAN PENGESAHAN TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN DI BAWAH UMUR STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI UNAAHA (NOMOR:98/Pid.B/PN.UNH) Disusun Oleh : PURWANSYAH HAKIM H1 A1 11 272 Telah dipertahankan di hadapan Panitian Ujian Skripsi Kekhususan Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Haluoleo guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Strata Satu (S1) dengan sebutan S.H. PANITIA UJIAN Ketua : Dr. Oheo K. Haris, SH, M.Sc, LL.M (................................ ) Sekretaris : Ali Rizky, SH., MH (................................ ) Pembimbing I : Dr. Oheo K. Haris, SH, M.Sc, LL.M (................................ ) Pembimbing II : Ali Rizky, SH., MH (................................ ) Penguji I : Dr. Sabrina Hidayat,SH.MH (................................ ) Penguji II : Lade Sirjon,SH.LLM (................................ ) Penguji III : Iksan Rompo,SH.MH (................................ ) Kendari, Januari 2016 Dekan Fakultas Hukum Universitas Haluoleo, Prof Dr. H. Muhammad Jufri, SH.,MS. Nip. 19600809 198511 1 001 iii KATA PENGANTAR Puji dan rasa syukur kehadirat Allah SWT., yang telah melimpahkan taufik dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini berhasil disusun tepat pada waktunya walaupun dalam bentuk yang sederhana. Dalam proses penyusunan skripsi ini yang dimulai dari persiapan sampai selesai, penulis menemukan berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak terutama kedua pembimbing sehingga dapat diselesaikan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Dr. Oheo K. Haris, SH, M.Sc, LL.M, sebagai Pembimbing I dan Bapak Ali Rizky, S.H., M.H., sebagai Pembimbing II. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini sulit untuk dapat terwujud tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang memberikan kontribusinya khususnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. UsmanRianse, M.S., selaku Rektor Universitas Halu Oleo; 2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH, MS., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo; 3. Bapak Rizal Muchtasar, SH, LL.M., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo; 4. Bapak Herman, S.H., LL.M., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo; 5. Bapak Jabalnur, S.H., MH., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo; 6. Ibu Heryanti, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo; iv 7. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang telah banyak member bekal ilmu; 8. Ucapan terima kasih kepada kedua orang tua saya, Bapak H. Abd. Hakim S.Pd dan Ibu Hj. Sitti Aminah Laugi A.Ma, dan saudara saudara saya, Isnawati Hakim S.Si, M.Si, Edi Suriawan Hakim S.Pd M.Pd. Dan Muh. Awal Hakim, yang tiada hentinya memberikan semangat dan motivasi dalam penyelesaian studi saya. 9. Ucapan terima kasih juga kepada bang iwan, Reza Raditya, Gau, Ario Spup, Heri Nekad, dalam penyelesaian skiripsi ini. Dan teman-teman seperjuangan untuk menyandang gelar Sarjana Hukum (SH). Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, harapan kepada para pembaca untuk memberikan saran yang sifatnya memperbaiki demi kesempurnaan skripsi ini menjadi bahan bacaan yang bermanfaat. Amin. Kendari, Januari 2016 Purwansyah Hakim v ABSTRAK Purwansyah Hakim Nomor Stambuk H1 A1 11 272, Judul Penelitian “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Melarikan Perempuan Di Bawah Umur (Studi Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor:98/Pid.B/2013/PN.Unh)”, dibimbing oleh Dr. Oheo K. Haris, SH, M.Sc, LL.M. sebagai Pembimbing I dan Ali Rizky, S.H., M.H. sebagai Pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana melarikan Perempuan Di bawah umur dalam Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.Unh Tipe Penelitian yang digunakan dalam penelitan ini adalah Penelitian hukum Normatif, Metode Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research), Berdasarkan penelitian, maka penulis berkesimpulan bahwa penerapan hukum terkait dengan dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap perkara dengan Putusan Nomor 98/Pid.B/2013/PN.Unh. Analisa penulis pada dakwaan dan tuntuan Jaksa Penuntut Umum dengan menggunakan Pasal 331 KUHP “kurang tepat”, karena pasal tersebut tidak dapat dikenakan pada diri terdakwa di mana unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 331 KUHP tersebut tidak terpenuhi. Penulis berpendapat dalam dakwaan ini lebih tepat dengan menerapkan Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan alasan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan. vi DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii KATA PENGANTAR .................................................................................... iv ABSTRAK ...................................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................... vii BAB I BAB II PENDAHULUAN ............................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1 B. Rumusan Masalah .......................................................... 4 C. Tujuan Penelitian ........................................................... 5 D. Manfaat Penelitian ......................................................... 6 E. Keaslian Penelitian .............................................................. 6 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................... 7 A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ........................ 7 1. Definisi Tindak Pidana .............................................. 7 2. Unsur Tindak Pidana ................................................. 9 3. Syarat Pemidanaan Tindak Pidana ............................. 13 B. Tinjauan Umum Tentang Anak ...................................... 15 1. Definisi Anak ............................................................ 15 2. Definisi Anak Menurut Hukum ................................. 17 C. Perlindungan Anak ........................................................... 24 1. Pengertian Perlindungan Anak .......................................... 24 2. Hukum Perlindungan Anak ............................................... 26 3. Hak-Hak Anak Dalam Proses Persidangan ....................... 29 D. Tinjauan Umum Tentang Kesusilaan ............................. 31 E. Tinjauan Umum Tentang Melarikan Perempuan yang Belum Dewasa ............................................................... 32 vii BAB III BAB IV METODE PENELITIAN .................................................... 35 A. Tipe Penelitian ................................................................ 35 B. Pendekatan Masalah ....................................................... 35 C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum..................................... 36 D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................... 37 E. Teknik Analisis Bahan Hukum ....................................... 37 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................... Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Melarikan Perempuan Di Bawah Umur Dalam Putusan Pengadilan BAB V Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.UNH ...................................................... 38 PENUTUP ........................................................................... 53 A. Kesimpulan .................................................................... 53 B. Saran .............................................................................. 53 DAFTAR PUSTAKA viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, yang termasuk menjamin perlindungan anak karena anak juga memiliki hak-hak yang termasuk dalam hak asasi manusia. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab sebagai generasi penerus bangsa maka anak mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik mental maupun fisik serta sosial.Maka perlu dilakukan upaya perlindungan anak terhadap pemenuhan anak tanpa ada diskriminasi. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.Anak memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara.Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak asasi manusia. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang di dalamnya melekat harkat dan 1 martabat sebagai manusia seutuhnya, bahwa anak adalah tunas potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa.1 Sebagai generasi penerus bangsa anak merupakan tunas bangsa yang akan melanjutkan eksistensi suatu bangsa,dalam hal ini Bangsa Indonesia. Namun pada akhir-akhir ini sering terdapat suatu tindak pidana mengenai membawa lari anak di bawah umur. Hal ini merupakan ancaman yang sangat besar dan berbahaya bagi anak. Melarikan anak perempuan di bawah umur merupakan tindak pidana yang banyak terjadi di masyarakat pada saat ini, yang lebih memprihatinkan lagi korbannya adalah anak. Anak banyak menjadi korban tindak pidana melarikan anak perempuan di bawah umur karena kurangnya perhatian dari orangtua serta kondisi lingkungan anak yang mendukung terjadinya tindak pidana perkosaan tersebut, selain itu secara fisik dan mental anak jauh lebih lemah dari pelaku. Hal ini tentu saja merusak masa depan mereka karena tindak pidana perkosaan memberikan dampak yang cukup besar terhadap anak baik secara fisik maupun mental yang mempengaruhi sikap anak terhadap orang lain. Mengenai tindak pidana Melarikan anak perempuan di bawah umur, tindakan tersebut adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar, jadi sangatlah 1 Sumiarni, 2000, Perlindunganterhadapanakdibidanghukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, hlm : 24 2 tidak berprikemanusian bila anak di bawah umur di jadikan korban perkosaan. Tindak pidana Melarikan anak perempuan di bawah umur ini bukan suatu hal yang dapat dianggap sebagai masalah kecil dan tak penting, Masalah ini sangat penting karena yang menjadi korbannya adalah anak di bawah umur, dimana anak sebagai tunas bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa yang harus diperhatikan, dilindungi dan dijaga dari segala tindakan yang dapat merugikannya. Begitu halnya dengan tindak pidana membawa lari perempuan di bawah umur. Sejak zaman tradisional hingga zaman modern seperti sekarang ini, kejahatan melarikan perempuan di bawah umur terus terjadi. Yurisprudensi zaman Belanda dan kasus-kasus hukum yang belakangan terjadi memperlihatkan tindak pidana ini gampang menjerat orang dan relatif mudah dibuktikan. Ada yang merumuskan tindak pidana ini sebagai “melarikan perempuan di bawah umur”.Ada juga yang memakai frasa “melarikan perempuan yang belum dewasa”.Apapun istilahnya,yang pasti dalam rumusan itu ada perbuatan melarikan seorang perempuan yang usianya belum mencapai usia dewasa. Kejahatan schaking itu diatur dalam Pasal 332 ayat (1) KUHP. Tindak pidana ini adalah delik aduan. Badan Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak mengemukakan data bahwa kasus melarikan anak di bawah umur terjadi 3 sekitar 2% dari jumlah anak di Indonesia pada tahun 2007 dan angkanya terus meningkat.2 Penanggulangan tindak pidana Melarikan anak perempuan di bawah umur sebenarnya harus dilakukan sedini mungkin agar anak - anak dapat menikmati masa kecilnya dengan aman, Oleh karena itu, tidak hanya aparat penegak hukum yang berperan aktif akan tetapi keluarga dan seluruh lapisan mayarakat berperan aktif dalam memperhatikan, melindungi, dan menjaganya agar terhindar dari tindakan pidana tersebut. Kasus yang penulis angkat dalam penelitian ini yaitu Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.Unh yang kronologis kasusnya sebagai berikut. Awalnyapada hari Jumat tanggal 10 Mei 2013 dirumah Saksi Korban, Terdakwa membawa Saksi Korban yang sebelumnya sudah janjian melalui SMS kemudian mereka menuju Desa Wawolesea Kec. Lasolo untuk mengambil dompet Terdakwa, setelah itu Saksi Korban Evrianti bersama Terdakwa menuju ke Kendari dirumah keluarga Terdakwa yang bernama Saksi Siska. Terdakwa telah melakukan hubungan suami isteri kepada saksi korban sebanyak 3 kali dan berjanji akan menikahi saksi korban. sore harinya saat Saksi Korban Evrianti dan Terdakwa hendak pergi kerumah keluarganya Terdakwa yang berada di Baruga, dalam perjalanan Saksi Korban dan Terdakwa ditahan oleh Saksi Yuyung yang merupakan Om Saksi Korban Evrianti lalu Saksi Korban 2 Harian_online_Kompas : http//www.kompas.com 4 Evrianti dan Terdakwa dibawa kerumah keluarga Terdakwa yang bernama Irwan Liambo. Sebelum melakukan hubungan badan dengan Terdakwa, Saksi Korban belum pernah melakukan hubungan badan dengan orang lain dan saat itu usia Saksi masih 13 tahun, Antara Saksi Korban Evrianti dengan terdakwa mempunyai hubungan pacaran yang sudah berjalan 1 (satu) bulan. Saksi Korban Evrianti pergi dengan Terdakwa tanpa sepengetahuan orang tua Saksi. Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk meneliti salah satu tindak pidana dengan judul penelitian :Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Melarikan Perempuan Di bawah umur (Studi Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.Unh) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian iniyaitu :Bagaimanakah penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana melarikan Perempuan Di bawah umurdalam Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.Unh ? C. Tujuan Penelitian Terkait dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini yaitu : 5 Untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana melarikan Perempuan Di bawah umur dalam Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.Unh D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya tentang tindak pidana melarikan anak di bawah umur dan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.. 2. Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat di bangku kuliah. 3. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi masyarakat untuk menambah wawasan terkait hukum pidana khususnya tindak pidana pada anak. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Tindak Pidana terhadap Perempuan Di Bawah Umur pernah diteliti oleh Rosmila Semiring, pada Fakultas HukumPidana,Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Dengan Judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perempuan akibat Kejahatan Kesusilaan”, namun dalam penelitian ini penulis terfokus pada “Tindak Pidana Melarikan Perempuan Di Bawah Umur”. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana 1. Definisi Tindak Pidana Saat ini setidak-tidaknya dikenal ada tujuh istilah dalam bahasa kita sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit (Belanda). Pendapat para ahli mengenai tindak pidana adalah: a. Pengertian tindak pidana menurut Simons,1 adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. b. MenurutPompe,2 Tindak pidana secara teoritis dapat dirumuskan sebagai: “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum. c. VanHamel,3merumuskantindak pidana itu sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap hak- hak orang lain. d. Menurut E. Uthrecht,4 tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga disebut delik,karena peristiwa itu suatu perbuatan 1 2 3 Erdianto Effendi, 2011, HukumPidanaIndonesia:SuatuPengantar.Jakarta: Refika Aditama, hlm : 97 Ibid Ibid, hlm: 98 7 handelen atau doen positif atau suatu melalaikan natalen negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). e. Moeljatno,5 menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barang siapa melanggar larangan tersebut. f. Kanter dan Sianturi,6 menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab). g. Wirjono Prodjodikoro,7 menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat diartikan apa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau diperbolehkan oleh undang-undang yang diberi sanksi berupa sanksi pidana. Istilah tindak pidana itu sendiri adalah pelanggaran normanorma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum 4 5 6 7 Ibid Ibid, hlm: 98 Ibid, hlm: 99 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hlm : 75 8 ketatanegaraan, dan hokum tata usaha pemerintahan yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi sebagai hukum pidana.8 2. Unsur Tindak Pidana Di atas telah dibicarakan berbagai rumusan tindak pidana yang disusun oleh para ahli hukum. Unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya. Unsur-unsur tindak pidana menurut beberapa ahli sebagai berikut: Menurut Moeljatno,9 unsur tindak pidana adalah: a. “Perbuatan; b. Yang dilarang (oleh aturan hukum); c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)” Perbuatan manusia boleh saja dilarang, oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tetapi tidak dapat dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana. 8 9 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung; PT.Refika Aditama, hlm :1 Loc.Cit, Adami Chazawi, 2002: 79 9 Menurut R. Tresna,10 bahwa:“ tindak pidana terdiri dari unsurunsur: a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia) b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan c. Diadakan tindakan penghukuman” Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian dijatuhi pidana. Menurut Jonkers,11 bahwa:“unsur-unsur tindak pidana dapat dirinci sebagai berikut: a. Perbuatan (yang) b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan) c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat) d. Dipertanggungjawabkan” Sementara itu, Schravendijk,12merinci unsur- unsur tindak pidana sebagai berikut: “Unsur-unsur tindak pidana adalah: 10 11 12 Ibid, hlm : 80 Ibid, hlm: 81 Ibid, 10 a. Kelakuan (orang yang) b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum c. Diancam dengan hukuman d. Dilakukan oleh orang (yang dapat) e. Dipersalahkan/kesalahan” Menurut E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi,13 menyatakan bahwa unsur- unsur tindak pidana meliputi: a. Subjek b. Kesalahan c. Bersifat melawan hukum (dan tindakan) d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang/perundangan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya) Dari segi teoritis suatu tindak pidana terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.Unsur objektif berkaitan dengan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang dilarang oleh hukum dengan ancaman hukuman.Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya. Sedangkan unsur subjektif berkaitan dengan tindakan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang.Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku baik seseorang maupun beberapa orang. Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur-unsur yang 13 Loc.Cit, Erdianto Effendi, 2011: 99 11 melekat pada diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala yang terkandung dalam hati dan pikirannya Lamintang,14mengemukakan unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah : a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa) b. Maksud atau voomemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP. c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain. d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP e. Perasaan takut atau vress seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah : a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid b. Kualitas dari sipelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415KUHP atau keadaan sebagai penguru satau komisaris dari suatu perseroan terbatas didalam kejahatan menurut Pasal 398KUHP c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 14 Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Adiyta Bakti, hlm :193 12 Menurut Adami Chazawi,15 dapat diketahui adanya sebelas unsur tindak pidana, yaitu: a. Unsur tingkah laku; b. Unsur melawan hukum; c. Unsur kesalahan; d. Unsur akibat konstitutif; e. Unsur keadaan yang menyertai; f. Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana; g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana i. Unsur objek hukum tindak pidana; j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana; k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana. 3. Syarat Pemidanaan Tindak Pidana a. Unsur Perbuatan Unsur perbuatan merupakan unsur pembentuk dari tindak pidana.Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana.Perbuatan atau feit tidak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif. Pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut.16 15 16 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hlm : 82 Ibid 13 Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (Pasal 406). Sementara itu, perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya. Kesimpulann aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan.Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut.Adanya aturan mengenai tindak pidana bertujuan untuk dapat mengetahui perbuatan yang dilarang dan tidak boleh dilakukan. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. b. Unsur Pembuat (Dader) Unsur pembuat adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku tindak pidana, dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Unsur pembuat merupakan salah satu syarat 14 pemidanaan bagi pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan baik itu kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).17 Telah dikemukakan bahwa pertanggungjawaban tindak pidana tidaklah mungkin terjadi tanpa sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana.Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut.Dalam hal ini pembuat tindak pidana tersebut tidak dapat disamakan dengan pelaku materiil. B. Tinjauan Umum tentang Anak 1. Definisi Anak Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antar seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan Nasional.Anak adalah aset bangsa. Masa depan bangsa dan negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang. Semakin baik keperibadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula 17 Ibid 15 sebaliknya, apabila keperibadian anak tersebut buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang.18 Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan.Bagi kehidupan anak, masa kanak-kanak seringkali dianggap tidak ada akhirnya, sehingga mereka tidak sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat bahwa mereka bukan lagi anak-ank tapi orang dewasa.19 Manusia berkembang melalui beberapa tahapan yang berlangsung secara berurutan, terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu, terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu dan bias berlaku umum. Untuk lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat dilihat pada uraian tersebut: a. Masa pra-lahir : dimulai sejak terjadinya konsepsi sampai lahir b. Masa Bayi : usia baru lahir sampai satu tahun. c. Masa anak : Masa anak-anak awal : 1 tahun-6 tahun, Anak- anak: 6 tahun-12/13 tahun. d. Masa remaja : 12/13 tahun-21 tahun e.Masa dewasa : 21 tahun-40 tahun. 18 19 Dellyana, 1990, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty, hlm : 50 Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak Di Indonesia, Teori, Praktik, Dan Permasalahannya. Bandung: Mandar Maju, hlm : 4 16 e. Masa tengah baya : 40 tahun-60 tahun. f. Masa tua : 60 tahun-meninggal . 2. Definisi Anak menurut Hukum Dellyana,20 mengungkapkan bahwa :dalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak. Hal ini adalah sebagai akibat tiap- tiap peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tersendiri mengenai peraturan anak itu sendiri.Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari pandangan sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai objek hukum. Kedudukan anak dalam artian dimaksud meliputi pengelompokan ke dalam sub sistem sebagai berikut: a. Pengertian anak menurut UUD 1945 Pengertian anak dalam UUD 1945 terdapat di dalam pasal 34 yang berbunyi“fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat terhadap pengertian anak menurut UUD 1945 ini, Irma Setyowati Soemitri menjabarkan bahwa 20 Loc.Cit, Dellyana, 1990, hlm : 50 17 ketentuan UUD 1945, ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkanya Undang-UndangNomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus memproleh hak- hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah, maupun sosial. Atau anak juga berahak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial. Anak juga berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah ia dilahirkan . b. Pengertian anak yang berkonflik dengan hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Jadi dalam hal ini pengertian anak yang berkonflik dengan hukum dibatasi dengan syarat sebagai berikut: pertama, anak dibatasi dengan umur antara 12 (dua belas) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun 18 pernah kawin dan kemudian cerai.Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinanya putus karena perceraian, maka anak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun. Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2011 memutuskan bahwa anak yang bisa dituntut pertanggungjawaban hukum atas tindakan pidananya adalah di atas 12 tahun. Untuk yang masih di bawah 12 tahun akan dikembalikan ke keluarga atau negara. MK mempertimbangkan penetapan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak yang telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara. Dalam pertimbangannya, MK menilai anak yang belum berusia 12 tahun belum memiliki kesadaran hokum dan tindakannya. Sehingga, anak di bawah 12 tahun belum bisa dituntut pertanggungjawaban jika melakukan tindak pidana. Alasan penetapan batas umur 12 tahun ke atas sudah bisa dituntut pertanggungjawaban hukum karena anak secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil. MK kemudian menyatakan frasa '8 tahun' dalam Pasal 1, Pasal 4 ayat 1, Pasal 1 ayat (3)Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali si anak berumur 12 tahun ke atas. 19 c. Pengertian anak menurut Undang-Undang Perkawinan UU Nomor 1 1974 (Undang-Undang Perkawinan) tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam Pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang yang belum mencapai umur 21 tahun mendapati izin kedua orang tua. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun. Hilman Hadikusuma,21mengungkapkan bahwa Batas antara belum dewasa dan sudah dewasa sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Hal ini dikarenakan pada kenyataanya walaupun orang belum dewasa namun ia telah melakukan perbuatan hukum,misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya walaupun ia belum kawin. Dalam Pasal 47 ayat (1) dikatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya.Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 21 Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia Perundangan,HukumAdat,HukumAgama.Bandung:CV Mandar Maju, hlm : 43 Menurut 20 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin, tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, berada dibawah kekuasaan wali. Dari pasal-pasal tersebut di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa anak dalam Undang-UndangNomor 1 tahun 1974 adalah mereka yang belum dewasa dan sudah dewasa yaitu 16 (enam belas) tahun untuk perempuan dan 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki. d. Pengertian anak menurut hukum adat Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang menentukan siapa yang dikatakan anak-anak dan siapa yang dikatakan orang dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri tertentu yang nyata. R.Soepomo,22 berdasarkan hasil penelitian tentang hukum perdata Jawa Barat menyatakan bahwa kedewasaan seseorang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut: 1) Dapat bekerja sendiri. 2) Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab. 3) Dapat mengurus harta kekayaan sendiri. e. Pengertian anak menurut hukum pidana 22 R. Soepomo, 1967. Hukum Perdata Adat Djawa Barat.Jakarta: Djambatan, hlm : 67 21 Pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada pemahaman terahadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki subtansi yang lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokan dari bentuk pertanggung jawaban sebagaimana layaknya seseorang subjek hukum yang normal. Pengertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik. Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut: 1) Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana. 2) Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hakhak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara dengan maksud untuk mensejahterakan anak. 3) Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri. 4) Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan. 22 5) Hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana. Dalam Pasal 45 KUHP maka anak dinyatakan bahwa:Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan hokum yang dikerjakannya ketika berumur belum enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidanaapapun” Hukum pidana memandang anak belum dewasa dari segi pidananya jika berumur di bawah 16 tahun. Soesilo, 23dalam pembahasannya mengatakan hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga kemungkinan terhadap anak yang melakukan tindak pidana yakni: 1) Anak dikembalikan kepada orangtua, wali, atau pemeliharaannya 2) Anak itu tidak dijatuhi hukuman tetapi diserahkan kepada rumah pendidikan anak-anak nakal untuk dididik sampai berumur 18 tahun. 3) Anak itu dijatuhi hukuman seperti biasa dalam hal ini hukuman dikurangi sepertiganya 23 Soesilo, 1995, Pokok-PokokHukumPidanaPeraturanUmumDanDelik- Delik.Bogor:Politeka, hlm 82 23 Akan tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maka Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian di dalam ketentuan hukum pidana telah memberikan perlindungan terahadap anak-anak yang kehilangan kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hokum yang berada pada usia yang belum dewasa sehingga harus tetap dilindungi segala kepentingan dan perlu mendapatkan hak-hak yang khusus yang diberikan oleh negara atau pemerintah. Jadi dari berbagi defenisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa sebenarnya yang dimaksud dengan anak dan berbagai konsekuensi yang diperolehnya sebagai penyandang gelar anak tersebut. 24 C. Perlindungan Anak 1. Pengertian Perlindungan Anak Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan 24 Wadong, 2000, Pengantar Advokasi Dan Perlindungan Anak.Jakarta: Grasindo, hlm : 28 24 bermasyarakat.Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kepastian perlindungan anak. Sebagaimana Arif Gosita,25mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak. Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu: a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan. b. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan. 26 Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan 25 26 Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademi Pressindo, Jakarta, hlm. 19. Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan PidanaAnak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Hal 34. 25 penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya. 27 Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.28Dasar perlindungan anak adalah :29 a. Dasar Filosofis; Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak; b. Dasar Etis; pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak; c. Dasar Yuridis; pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan secara yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan. 2. Hukum Perlindungan Anak Dalam masyarakat, setiap orang mempunyai kepentingan sendiri yang tidak hanya sama tetapi juga kadang-kadang bertentangan, untuk itu 27 28 29 Konvensi.1998, Media Advokasi dan Penegakan Hak-hak Anak.Volume II No. 2 Medan: Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LLAI). hlm. 3. Op. cit. ,hal. 52. Arif Gosita, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-hak Anak, Era Hukum, Jurnal Ilmiah Hukum No. 4/Th. V/April 1999. Fakultas Hukum Tarumanagara, Jakarta, hlm. 264-265. 26 diperlukan aturan hukum dalam menata kepentingan tersebut, yang menyangkut kepentingan anak diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak, yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak. Arif Gosita,30menyatakan bahwa hukum perlindungan anak adalah hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Sementara, Bismar Siregar berpendapat bahwa “Aspek Hukum Perlindungan Anak, lebih dipusatkan kepada hakhak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban. ”31H. de Bie merumuskan “Kinderrecht (Aspek Hukum Anak) sebagai keseluruhan ketentuan hukum yang mengenai perlindungan, bimbingan, dan peradilan anak dan remaja, seperti yang diatur dalam BW, Hukum Acara Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan Hukum Acara Pidana serta peraturan pelaksananya. ”32 Hukum Perlindungan Anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak dan kewajiban anak, Hukum Perlindungan Anak berupa: Hukum Adat, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, dan peraturan lain yang menyangkut anak. Perlindungan anak menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan, agar anak benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya. Menurut Bismar Siregar bahwa : Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu isi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara 30 31 32 Op. cit. ,hal. 53. Irma Setyowati Soemitro, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 15. Ibid, hal. 15. 27 yuridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya”33 Dengan memperhatikan berbagai dokumen dan pertemuan internasional, dapat perlindungan hukum dilihat bahwa terhadap kebutuhan anak dapat terhadap perlunya mencakup berbagai bidang/aspek, antara lain: a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak; b. Perlindungan anak dalam proses peradilan; c. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan, dan lingkungan sosial); d. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan; e. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan atau penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya); f. Perlindungan anak-anak jalanan; g. Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata; h. Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. 34 33 34 Bismar Siregar, 1986, Hukum dan Hak-hak Anak, Rajawali, Jakarta, hlm. 22. Barda N. Arief, 1996, Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak, Makalah, Seminar Nasional Peradilan Anak Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 3. 28 3. Hak-Hak Anak dalam Proses Persidangan Selama dalam proses peradilan, hak-hak anak harus dilindungi seperti asas praduga tak bersalah, hak untuk memahami dakwaan, hak untuk diam, hak untuk menghadirkan orangtua atau wali/orangtua asuh, hak untuk berhadapan, dan menguji silang kesaksian atas dirinya dan hak untuk banding. Hak anak sebagai saksi sebelum persidangan meliputi: a. Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang tanggap/peka, tanpa mempersulit para pelapor; b. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja karena kesaksiannya; c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan sebagai saksi. Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi meliputi antara lain; a. Hak untuk dapat fasilitas untuk menghadiri sidang sebagai saksi; b. Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan; c. Hak mendapatkan ijin dari sekolah untuk menjadi saksi. Sementara hak anak setelah persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi, fisik, sosial dari siapa saja. 35 35 Ibid, hlm.135. 29 Pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana merupakan suatu hasil interaksi anak dengan keluarga, masyarakat, penegak hukum yang saling mempengaruhi. Keluarga, masyarakat, dan penegak hukum perlu meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan dan memperhatikan hak-hak anak demi kesejahteraan anak. Selama dalam proses peradilan, hak-hak anak harus dilindungi seperti asas praduga tak bersalah, hak untuk memahami dakwaan, hak untuk diam, hak untuk menghadirkan orangtua atau wali/orangtua asuh, hak untuk berhadapan, dan menguji silang kesaksian atas dirinya dan hak untuk banding. Hak anak sebagai saksi sebelum persidangan meliputi: a. Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang tanggap/peka, tanpa mempersulit para pelapor; b. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja karena kesaksiannya; c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan sebagai saksi. Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi meliputi antara lain; a. Hak untuk dapat fasilitas untuk menghadiri sidang sebagai saksi; b. Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan; 30 c. Hak mendapatkan izin dari sekolah untuk menjadi saksi. Sementara hak anak setelah persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi, fisik, sosial dari siapa saja. 36 Pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana merupakan suatu hasil interaksi anak dengan keluarga, masyarakat, penegak hukum yang saling mempengaruhi. Keluarga, masyarakat, dan penegak hukum perlu meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan dan memperhatikan hak-hak anak demi kesejahteraan anak. D. Tinjauan Umum tentang Kesusilaan Pengertian kesusilaan menurut kasus hukum adalah suatu tingkah laku, perbuatan percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan norma-norma kesopanan yang harus dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib dan tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.37 Pada bab XIV buku kedua dan bab VI buku ketiga KUHP membagi dua jenis tindakan pidana yakni:38 1. Tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid). Untuk kejahatan melanggar kesusilaan terdapat pada Pasal 281 sampai Pasal 299, sedangkan untuk pelanggaran golongan pertama (kesusilaan) dirumuskan dalam Pasal 532 sampai Pasal535. 2. Tindak pidana melanggar kesopanan (zeden) yang bukan kesusilaan, artinya tidak berhubungan dengan masalah seksual, untuk kejahatan kesopanan ini dirumuskan dalam jenis pelanggaran terhadap kesopanan 36 Ibid, hlm.135. Soedarso. 1992. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, hlm : 64 38 Soedarso, 1992: 64 37 31 (diluar hal yang berhubungan dengan masalah seksual) dirumuskan dalam Pasal 236 dan Pasal 547. Berdasarkan pada tafsir terjemahan pada kata yang termuat dalam teks aslinya yakni zedelijkheid dan zeden.Oleh ahli hukum di Indonesia diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai kesusilaan dan kesopanan.Kata zeden memiliki arti yang lebih luas dari kesusilaan.Kesopanan pada umumnya adalah mengenai adat kebiasaan yang baikdalam hubungan antar berbagai anggota masyarakat.Sedangkan kesusilaan juga merupakan adat kebiasaan yang baik namun khusus mengenai kelamin seseorang.39 E. Tinjauan Umum tentang Melarikan Perempuan yang Belum Dewasa Secara lengkap Pasal 332 KUHPidana ini berbunyi: 1. Bersalah melarikan perempuan diancam dengan pidana penjara: a. Paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang perempuan yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuan perempuan itu, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap perempuan itu, baik didalam maupun diluar perkawinan. b. Paling lama Sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang perempuan, dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman 39 Leden, 1996, Kejahatan TerhadapKesusilaanDanMasalah Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika, hlm : 25 32 kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap perempuan itu, baik didalam maupun diluar perkawinan. 2. Penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan 3. Pengaduan dilakukan: a. Jika perempuan ketika dibawa pergi belum dewasa, oleh dia sendiri atau orag lain yang harus memberi izin bila dia kawin. b. Jika perempuan ketika dibawa pergi sudah dewasa oleh dia sendiri atau suaminya. 4. Jika yang membawa pergi lalu kawin dengan perempuan yang dibawa pergi dan terhadap perkawinan itu berlaku aturan-aturan burgerlijk wetboek maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum perkawinan itu dinyatakan batal” Yang menjadi inti dari delik yang sebagaimana diatur dalam Pasal 332 ayat (1) KUHP adalah: 1) Membawa pergi seorang perempuan yang belum dewasa. Membawa pergi berarti memerlukan suatu tindakan aktif dari laki-laki. Hoge Raad Desember 1888 berbunyi: membawa pergi menghendaki suatu tindakan aktif dari laki-laki. Untuk penguasaan atau wanita itu tidak perlu diperlukan kekuasaan secara lama. Menjamin pemilikan perempuan itu bukanlah delik ini tetapi kesengajaan ditujukan kepada hal ini. Jika sebelum membawa pergi 33 perempuan itu ia telah melakukan hubungan seks dengannya, dapat dianggap mempunyai maksud untuk menjamin pemilikan perempuan tersebut dalam arti jika ia dirintangi ia tetap akan melakukan perbuatannya.40 Sementara itu yang dimaksud dengan perempuan belum dewasa adalah perempuan yang belum berumur delapan belas tahun dan belum kawin. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 50 menyebutkan batas usia anak yang dewasa adalah 18 tahun. Dengan adanya ketentuan di atas, maka batas usia 21 tahun sebagaimana ditetapkan dengan S. 1931/54 sudah tidak berlaku lagi. 2) Tanpa izin orang tua atau walinya berarti orang tua atau walinya tidak menyetujui perbuatan tersebut. 3) Dengan kemauan perempuan itu sendiri, artinya setelah ada tindakan aktif dari laki-laki, apakah perbuatan membujuk, tipu muslihat, atau dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. 4) Dengan maksud untuk menguasai perempuan itu, baik dengan maupun diluar perkawinan. 40 Andi Hamzah, 2009, Delik-DelikTertentu(SpecialDelict)DalamKUHP. Jakarta: Sinar Grafika, hlm 21 34 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini, merupakan tipe penelitian normatif dengan melakukan penafsiran hukum secara gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap kata-kata atau tata kalimat yang digunakan pembuat undang-undang dalam peraturan perundang-undangan tertentu terkait dengan Tindak Pidana Melarikan Perempuan Di bawah umur. B. Pendekatan Masalah Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan 1. Pendekatan kasus (case oproach) yaitu pendekatan dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang diahadapi dan telah menjadi putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap. 2. Pendekatan Perundang-undangan (statute oproach) yaitu pendekatan dengan melakukan telaah terhadap semua undang-undang dan regulasi yang ada sangkut pautnya dengan isu yang sedang ditangani dan 3. Pendekatan Konseptual (Conceptual oproach) yaitu pola pikir ang bersifat konseptual menyangkut kebijaksanaan, strategi, kerangka filosofi, atau konsep dasar yang akan digunakan dalam menyelesaikan Permaslaahan dimaksud. 35 C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum 1. Bahan Hukum Primer, yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang yaitu a. Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.Unh b. Undang-Undang Dasar 1945 c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) e. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak f. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak g. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penggunaan alat pendeteksi kebohongan, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalahmajalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. 36 3. Bahan Hukum Tersier, yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain. D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu melakukan penelitian melalui sumber-sumber bacaan yang mempunyai hubungan dengan masalah yang dihadapi, guna memperoleh data yang diperlukan yang bertsifat teori-teori ilmiah baik berupa buku-buku bacaan, ketentuan perundang-undangan, karya-karya ilmiah, brosur-brosur dan harian-harian umum yang penulis lakukan dengan jalan membaca dan mengutipnya. E. Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Dan kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu dengan cara berpikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus 37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Melarikan Perempuan Di Bawah Umur Dalam Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.UNH 1. Posisi Kasus Pada hari Jumat tanggal 10 Mei 2013 bertempat dirumah Saksi Korban, Terdakwa membawa Saksi Korban yang sebelumnya sudah janjian melalui SMS kemudian mereka menuju Desa Wawolesea Kec.Lasolo Kab.Konawe Utara untuk mengambil dompet Terdakwa, setelah itu Saksi Korban bersama Terdakwa menuju ke kendari bertempat dirumah keluarga Terdakwa yang bernama Siska. Ditempat tersebut Terdakwa telah melakukan hubungan layaknya suami isteri dengan saksi korban sebanyak 3 kali yang sebelumnya berjanji kepada saksi korban akan menikahi saksi korban. Kemudian sore harinya saat Saksi Korban dan Terdakwa hendak pergi kerumah keluarganya Terdakwa yang berada di Baruga, dalam perjalanan Saksi Korban dan Terdakwa ditahan oleh Saksi Yuyung yang merupakan Om Saksi Korban lalu Saksi Korban dan Terdakwa di bawa kerumah keluargaTerdakwa yang bernama Irwan Liambo. 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang diajukan dalam penelitian, jaksa mengajukan dakwaan Kesatu, primair.Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan ketentuan pasal 83 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, subsidair melanggar pasal 331 KUHP; 38 3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dalam tuntutan hukum Jaksa Penuntut Umum yang diajukan yang pada pokok tuntutannya sebagai berikut : Menyatakan Terdakwa Toto Iswanto Als. Rian bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 83 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Dakwaan Kesatu Primair Jaksa Penuntut Umum; kemudian, menuntut terdakwa dengan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Toto Iswanto Als. Rian dengan pidana penjara selama 3 (tiga) Tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dilaksanakan maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan kurungan; dan menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,(dua ribu rupiah); 4. Amar Putusan Hakim Pengadilan Negeri Unaaha Dalam putusannya Hakim pengadilan negeri Unaaha Menyatakan bahwa sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum yaitu Terdakwa Toto Iswanto alias. Rian telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja menculik anak untuk diri sendiri, menjatuhkan 39 pidana oleh karena itu kepada Terdakwa toto iswanto als.Rian dengan pidana penjara selama 3 (tiga) Tahun dan denda Rp. 60.000.000,-(enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila Terdakwa tidak membayar denda tersebut maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan, menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan, menetapkan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,-(limariburupiah); 5. Analisis Penulis Menurut penulis dalam penerapan hukum dalam dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum terhadap kasus yang penulis angkat kurang tepat apabila menerapkan pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan dakwaan perbuatan cabul atau pasal 331 KUHP menyembunyikan orang yang belum dewasa. karena makna dari penculikan itu sendiri adalah diluar kemauan korban, sedangkan dalam kasus ini korban tidak merasa dipaksa oleh terdakwa untuk ikut dengannya, dan penggunaan pasal 331 KUHP mengenai menyembunyikan orang yang belum dewasa. penulis menganggap lebih tepatnya apabila Jaksa penuntut umum menerapkan pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi : “Setiap orang yang dengan sengajamelakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan ataumembiarkandilakukan perbuatancabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat3 40 (tiga)tahundandenda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)” Kemudian penerapan pasal 331 KUHP tentang menyembunyikan orang yang belum dewasa ini kurang tepat.penulis menganggap ketentuan lebih tepatnya apabila Jaksa penuntut umum menerapkan Pasal 332 ayat (1) KUHP yang berbunyi : (1) Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara; 1. paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya. dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan; 2. paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Karena dalam pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang unsur-unsur tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut: a. Unsur Setiap orang; b. Unsur Dengan sengaja; 41 c. Unsur Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.; Untuk membuktikan pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terkandung unsur-unsur sebagai berikut : a. Unsur Barang siapa Yang dimaksud dengan Setiap Orang adalah subjek hukum pendukung hak dan kewajiban yang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya, yang dalam perkara ini adalah Terdakwa Toto Iswanto Als.Rian sebagai subjek hukum. Selain daripada itu maksud dimuatnya unsur ini adalah untuk menghindari adanya kesalahan subjek dalam suatu perkara pidana; Berdasarkan fakta yang muncul di persidangan terungkap bahwa terdakwa adalah subjek hukum yang dalam keadaan dan kemampuan jiwanya menunjukkan kondisi sehat dan tidak terganggu jiwanya sehingga oleh hukum dianggap cakap atau mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar), oleh karenanya mengenai unsur ke-1 “barangsiapa” ini telah terpenuhi. b. Dengan sengaja melakukan kekerasan, tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak 42 Dalam mempersepsi kesengajaan, dikenal dua teori kesengajaan yaitu: 1) Teori Kehendak (wilstheorie) Teori ini diusung oleh Von Hippel, kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan akibat dari perbuatan itu. 2) Teori Membayangkan (voorstellingstheorie) Teori ini diusung oleh Festchrift Gieszen (1907) mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat mengehendaki suatu akibat, adalah sengaja apabila suatu akibat yang ditimbukan dari suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud dari tindakan itu. Teori kehendak menganggap kesengajaan ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana dikehendaki oleh pelaku. Teori bayangan menganggap kesengajaan apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan, ada bayangan yang terang, bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai, dan maka dari itu ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu. Dengan demikian unsur sengaja merupakan sikap batin pelaku tindak pidana yang berasal dari dalam diri pelaku yang menghendaki dan menginsafi atau menyadari akan perbuatan dan akibat-akibatnya yang timbul dari perbuatan yang secara nyata dilakukan oleh pelaku. 43 Berdasarkan fakta yang muncul pada persidangan dapat diketahui Bahwa benar Awalnya pada hari Jumat tanggal 10 Mei 2013 dirumah Saksi Korban, Terdakwa membawa Saksi Korban yang sebelumnya sudah janjian melalui SMS dimana saksi korban mengajak Terdakwa pergi sejauh mungkin kemudian Terdakwa datang menjemput dan berboncengan kemudian mereka menuju Desa Wawolesea Kec. Lasolo untuk mengambil dompet Terdakwa, setelah itu Saksi Korban Evrianti bersama Terdakwa menuju ke kendari dirumah keluarga Terdakwa yang bernama Saksi Siska. Oleh karena itu cara-cara yang dilakukan terdakwa terhadap korban dan dilakukan dalam keadaan penuh kesadaran, tidak dalam keadaan mabuk atau pengaruh minuman keras sehingga Penulis berkesimpulan bahwa Terdakwa tidak dapak memenuhi unsur “dengan sengaja melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak”. c. Unsur Melakukan Tipu Muslihat, Serangkaian Kebohongan, Atau Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan Dengannya Atau Dengan Orang Lain. Dalam unsur ini mencantumkan kata “Atau” yang mengandung makna bersifat alternatif sehingga bila salah satunya telah terpenuhi maka unsur inipun harus dinyatakan “terpenuhi”; Tipu muslihat secara bahasa terdiri dari dua kata yakni, tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung dan muslihat adalah siasat 44 ilmu(perang), muslihatnya sangat halus. yang dimaksud membujuk adalah melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian. Yang dimaksud dengan anak dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. pengertian dari persetubuhan adalah peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan sperma. Berdasarkan fakta dipersidangan bahwa benar Terdakwa membawa Saksi Korban yang sebelumnya sudah janjian melalui SMS kemudian mereka menuju Desa Wawolesea Kec.Lasolo untuk mengambil dompet Terdakwa, setelah itu Saksi Korban Evrianti bersama Terdakwa menuju ke kendari dirumah keluarga Terdakwa yang bernama Saksi Siska. Terdakwa telah melakukan hubungan suami isteri kepada saksi korban sebanyak 3 kali dan berjanji akan menikahi saksi korban. Fakta di atas dikuatkan pula oleh hasil pemeriksaan berdasarkan Berita Acara Visum Et Repertum No. B/310/V/2013/Rumkit tanggal 12 Mei 2013.yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Jimmy Yofhian, menyimpulkan : 45 1. Tampak luka robekan lama pada selaput dara (HNI) pada arah jarum jam empat koma sembilan luka sampai dasar dan robekan pada arah jarum jam sepuluh koma sebelas koma dua belas luka tidak sampai dasar. 2. Tampak luka lecet pada vagina sebelah kiri bagian atas dengan ukuran nol koma satu kali nol koma satu sentimeter warna kemerahan batas tegas. 3. Tampak keputihan (flour albus) pada vagina. 4. Test kehamilan negatif. 5. Tidak tampak adanya tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban lainnya; Berdasarkan uraian fakta tersebut, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa untuk tercapai tujuannya menyetubuhi Saksi Korban, Terdakwa mengiming-imingkan akan dinikahi, bertanggung jawab serta akan dibangunkan rumah merupakan cara Terdakwa untuk menyalurkan nafsu birahinya namun hingga sekarang Terdakwa tidak menepati janjinya dan Terdakwa mengetahui kalau Saksi Evrianti saat itu masih duduk dibangku sekolah SMP atau masih berusia dibawah umur. Oleh karena seluruh unsur pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi secara hukum dan Majelis Hakim berkeyakinan atas kesalahan Terdakwa, maka Terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah 46 melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan Alternatif Kesatu Primair. Karena dakwaan Alternatif Kesatu Primair telah terbukti maka untuk dakwaan selanjutnya tidak perlu dibuktikan lagi; Menimbang bahwa oleh karena selama pemeriksaan perkara berlangsung tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun pemaaf pada diri maupun perbuatan Terdakwa sehingga sudah sepatutnya Terdakwa dijatuhi pidana yang setimpal atas perbuatannya. Dalam kasus ini terdakwa didakwa dengan dakwaan yang disusun secara alternatif, maka selanjutnya apabila membahas unsurunsur hukum yang melanggar Pasal 331 KUHP. 47 Adapun unsur-unsur hukum tersebut adalah sebagai berikut: a. Barangsiapa Karena unsur “barangsiapa” telah dipertimbangkan dalam dakwaan kesatu dan telah terbukti maka dianggap bahwa unsur “barangsiapa” telah terbukti dan terpenuhi. b. Dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum dewasa yang ditarik atau menarik sendiri dari kekuasaan yang menurut undangundang ditentukan atas dirinya. Yang dimaksud dengan sengaja adalah bahwa seseorang melakukan perbuatan dengansengaja dan harus menghendaki akibat perbuatan itu serta harus menginsyafi/mengerti akan akibat perbuatannya itu. Pada kasus ini yang dimaksud denganmenyembunyikan adalah tidak memberi tahun keberadaan seseorang yang belum dewasa yang patut diketahui tanpa izin atau kemauan orang tua atau walinya tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri.Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan, perapan asal 331 KUHP kurang tepat apabila diterapkan pada diri terdakwa Karena unsur kedua dari pasal 331 KUHP menurut penulis tidak terpenuhinya unsur menyembunyikan pada diri korban. 48 Belum dewasa menurut KUHPerdata adalah belum berumur 21 tahun, dan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah di bawah umur 18 tahun. Berdasarkan keterangan saksi-saksi pada saat persidangan diketahui bahwa korban pada waktu kejadian masih berumur 13 tahun dan belum pernah kawin sebelumnya.Sehingga unsur belum dewasa sudah terbukti dan terpenuhi.Berdasarkan fakta tersebut di atas terdakwa terbukti bermaksud akan mempunyai atau memiliki korban baik dengan nikah maupun tidak dengan nikah, hal tersebut karena antara terdakwa dan saksi korban ada hubungan pacaran antara keduanya. Berdasarkan uraian diatas penulis berpandangan bahwa penerapan hukum pada diri terdakwa adalah keliru karena dalam pasal yang didakwakan tidak tepat. 1. Pasal 82 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Cabul dalam hukum pidana adalah keinginan atau perbuatan yang tidak senonoh menjurus kearah perbuatan seksual yang dilakukan 49 untuk meraih kepuasan diri diluar ikatan perkawinan. Menjurus artinya belum sampai kepada perbuatan seksual. Dalam putusan Nomor:98/Pid.B/2013/PN.Unh, Saksi telah terungkap bahwa Korban bersama Terdakwa menuju ke kendari bertempat dirumah keluarga Terdakwa yang bernama Siska. Di tempat tersebut Terdakwa telah melakukan hubungan layaknya suami isteri dengan saksi korban sebanyak 3 kali yang sebelumnya berjanji kepada saksi korban akan menikahi saksi korban. Pasal yang semestinya dikenakan pada terdakwa menurut penulis lebih tepat apabila di dakwakan dengan pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor23 Tahun2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu “setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”, yang ancaman sanksi pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat3 tahundan dendapaling banyak Rp 300.000.000, dan paling sedikit Rp60.000.000.Dengan demikian, hal ini dapat diketahui bahwa perbuatan terdakwa hanya melakukan tidak pidana persetubuhan terhadap anak, bukan tindak pidana menyembunyikan seperti yang di dakwakan oleh Jaksa penuntut umum. 50 2. Pasal 331 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Orang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum dewasa yang ditarik atau menarik sendiri dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya. atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, atau dengan sengaja menariknya dari pengusutan pejabat kehakiman atau kepolisian diancam dengan penjara paling lama empat tahun, atau jika anak itu berumur di bawah dua belas tahun, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa antara terdakwa dan korban secara bersama-sama pergi unsur menyembunyikan disini tidak dapat dibuktikan karena dalam kamus besar bahasa Indonesia menyembunyikan memiliki dua makna yaitu : a. Menyimpan (menutup dan sebagainya) supaya jangan (tidak) terlihat: setelah peristiwa itu, ia selalu menyembunyikan diri; b. sengaja tidak memperlihatkan (memberitahukan dan sebagainya)1 Perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah berangkat dari Desa Puusiambu Kec.Lembo Kab. Konawe Utara menuju baruga Kota kendari tempat dimana terdakwa dan saksi ditemukan oleh Yuyung yang merupakan Om korban, dimana alasan pergi merupakan inisiatif saksi korban yang mengajak terdakwa untuk pergi sejauh mungkin yang kemudian Terdakwa datang menjemput korban. Dari uraian tersebut secara jelas bahwa unsur 1 http://kamuskbbi.web.id/arti-kata-menyembunyikan-menurut-kamus-besar-bahasa-indonesiakbbi.html 51 menyembunyikan atau membawa lari perempuan dibawah umur tidak dapat di kenakan pada diri terdakwa. 52 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian ini, maka penulis berkesimpulan bahwa dalam penerapan hukum terkait dengan dakwaan dan tntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap perkara dengan Putusan Nomor 98/Pid.B/2013/PN.Unh analisa penulis pada dakwaan dan tuntuan Jaksa Penuntut Umum dengan menggunakan Pasal 331 KUHP “kurang tepat”, karena pasal tersebut tidak dapat dikenakan pada diri terdakwa dimana unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 331 KUHP tersebut tidak terpenuhi.Penulis berpendapat dalam dakwaan ini lebih tepat dengan menerapkan Pasal 82Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan alasan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan. B. Saran Adapun saran pada penelitian ini adalah: 1. Jaksa Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam menyusun surat dakwaan, demikian pula Hakim diharapkan lebih cermat dalam memeriksa dan memberikan pertimbangannya dalam proses peradilan. 2. Hakim harus lebih aktif dalam menemukan kebenaran materil terhadap suatu perkara dan lebih cermat dalam memberikan pertimbangan yang 53 bersifat subjektif dan sosiologisnya.dalam menjatuhkan putusan terhadap Terdakwa. 54 Daftar Pustaka A. Buku Adi,R.2004.Metodologi penelitian social dan hukum.Jakarta:Granit Chazawi,Adami,2002. Pelajaran hukum pidana ,bagian 1,Jakarta:PT.Raja GrafindoPersada Dellyana,S.1990.Wanita dan anak dimata hukum.Yogyakarta: Liberty. Effendi, Erdianto. 2011. Hukum pidana Indonesia: suatu pengantar. Jakarta: RefikaAditama Hadikusuma,H.2007.Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundangan, hukum adat, hukum agama. Bandung: CV Mandar Maju Hamzah, Andi. 2009. Delik-delik tertentu KUHP.Jakarta:Sinar Grafika (special delict) dalam Ilyas, A.2012. Asas-asas hukum pidana. Yogyakarta: Rangkang Education Kertanegara,S.1955.Kumpulan catatan kuliah hukum pidanaII .Disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V Kanter, E.Y. danS.R. Sianturi.1982. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:Alumni AHM-PTHM. Lamintang,P.A.F.1997.Dasar-dasar PT.Citra Adiyta Bakti Leden, hukum M. 1996. Kejahatan terhadap prevensinya.Jakarta:SinarGrafika pidana Indonesia.Bandung: kesusilaan dan masalah Marlang, A., dkk. 2009. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung: AS Center. Moeljatno.1987.Asas-asas hukum pidana.Jakarta:Binaaksara Mulyadi,L. 2005.Pengadilan anak di Indonesia, teori, praktik, dan permasalahannya. Bandung:MandarMaju Poernomo,B.1997.Pertumbuhan hukum penyimpangan diluar kodifikasi hukum pidana.Jakarta:BinaAksara. Prodjodikoro,W.2003.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung; PT.Refika Aditama, ________ ,2003. Tindak-tindak Bandung:Refika Aditama pidana tertentu di Indonesia. Riadi,M.2012.Definisi, fungsi, dan bentuk keluarga. Kajian Pustaka.com di akses tanggal 03 Juni 2013 Soedarso.1992. Kamus hukum.Jakarta:Rineka Cipta Soemitro, RH. 1982. Indonesia. Metodologi penelitian hukum. Jakarta: Ghalia Soepomo.R.1967. Hukum perdata adat djawa barat. Jakarta : Djambatan Soesilo.R.1995.Pokok-pokok hukum delik. Bogor:Politeka pidana peraturan umum dan delik- ________ . 1980. Kitab undang-undang hukum pidana serta komentarkomentarnya.Bogor:Politeka Sumiarni, E. 2000. Perlindungan terhadap hukum.Yogyakarta:Universitas Atma Jaya anak di bidang Wadong,HM.2000.Pengantar advokasi dan Perlindungan Anak.Jakarta: Grasindo. Wojowasito, S. 1978. Kamus umum belanda-indonesia wojowasito.Jakarta:Ichtiar Baru VanHoove prof.drs.s. B. Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak C. Sumber Lain Mahkamah Konstitusi. 2011. Putusan nomor1/puu-VIII/2010. Diakses dari www.mahkamahkonstitusi.go.id