tinjauan yuridis tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur

advertisement
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MELARIKAN
PEREMPUAN DI BAWAH UMUR STUDI PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI UNAAHA
(NOMOR:98/Pid.B/PN.UNH)
SKRIPSI
DiajukanUntukMemenuhi Salah SatuSyaratGuna
MemperolehGelarSarjanaHukumPadaFakultasHukum
UniversitasHalu Oleo Kendari
OLEH
PURWANSYAH HAKIM
H1 A1 11 272
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
HALAMAN PERSETUJUAN
Telah dipertahankan di hadapan Panitian Ujian Skripsi Kekhususan Hukum
Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Haluoleo guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum Strata Satu (S1) dengan sebutan S.H.
JudulPenelitian
: Tinjauan
Yuridis
Tindak
Pidana
Melarikan
Perempuan di bawah Umur Studi Putusan Pengadilan
Negeri Unaaha (Nomor:98/Pid.B/PN.UNH)
Nama
: Purwansyah Hakim
NomorStambuk
: H1 A1 11 272
Program Studi
: Ilmu Hukum / Hukum Pidana
Kendari,
Januari
2016
Menyetujui :
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Oheo K. Haris, SH, M.Sc, LL.M
Nip. 19730616 200212 1 001
Ali Rizky, SH., MH.
Nip. 19760407 200501 1 003
Mengetahui :
Dekan Fakultas Hukum,
Ketua Jurusan Ilmu Hukum,
Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH., MS.
Nip. 19600809 198511 1 001
Heryanti, SH, MH
Nip. 19750727 200501 2 001
ii
HALAMAN PENGESAHAN
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA MELARIKAN
PEREMPUAN DI BAWAH UMUR STUDI PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI UNAAHA
(NOMOR:98/Pid.B/PN.UNH)
Disusun Oleh :
PURWANSYAH HAKIM
H1 A1 11 272
Telah dipertahankan di hadapan Panitian Ujian Skripsi Kekhususan Hukum
Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Haluoleo guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum Strata Satu (S1) dengan sebutan S.H.
PANITIA UJIAN
Ketua
: Dr. Oheo K. Haris, SH, M.Sc, LL.M
(................................ )
Sekretaris
: Ali Rizky, SH., MH
(................................ )
Pembimbing I
: Dr. Oheo K. Haris, SH, M.Sc, LL.M
(................................ )
Pembimbing II
: Ali Rizky, SH., MH
(................................ )
Penguji I
: Dr. Sabrina Hidayat,SH.MH
(................................ )
Penguji II
: Lade Sirjon,SH.LLM
(................................ )
Penguji III
: Iksan Rompo,SH.MH
(................................ )
Kendari,
Januari
2016
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Haluoleo,
Prof Dr. H. Muhammad Jufri, SH.,MS.
Nip. 19600809 198511 1 001
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan rasa syukur kehadirat Allah SWT., yang telah melimpahkan taufik
dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini berhasil disusun tepat pada
waktunya walaupun dalam bentuk yang sederhana.
Dalam proses penyusunan skripsi ini yang dimulai dari persiapan sampai
selesai, penulis menemukan berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat
bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak terutama kedua
pembimbing sehingga dapat diselesaikan. Untuk itu dengan segala kerendahan
hati, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
Bapak Dr. Oheo K. Haris, SH, M.Sc, LL.M, sebagai Pembimbing I dan
Bapak Ali Rizky, S.H., M.H., sebagai Pembimbing II.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini sulit untuk dapat terwujud
tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
memberikan kontribusinya khususnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. UsmanRianse, M.S., selaku Rektor Universitas Halu Oleo;
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH, MS., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo;
3. Bapak Rizal Muchtasar, SH, LL.M., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo;
4. Bapak Herman, S.H., LL.M., selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo;
5. Bapak Jabalnur, S.H., MH., selaku Wakil Dekan III
Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo;
6. Ibu Heryanti, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo;
iv
7. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang telah banyak
member bekal ilmu;
8. Ucapan terima kasih kepada kedua orang tua saya, Bapak H. Abd. Hakim S.Pd
dan Ibu Hj. Sitti Aminah Laugi A.Ma, dan saudara saudara saya, Isnawati
Hakim S.Si, M.Si, Edi Suriawan Hakim S.Pd M.Pd. Dan Muh. Awal Hakim,
yang tiada hentinya memberikan semangat dan motivasi dalam penyelesaian
studi saya.
9. Ucapan terima kasih juga kepada bang iwan, Reza Raditya, Gau, Ario Spup,
Heri Nekad, dalam penyelesaian skiripsi ini. Dan teman-teman seperjuangan
untuk menyandang gelar Sarjana Hukum (SH).
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, harapan kepada para pembaca untuk memberikan saran yang sifatnya
memperbaiki demi kesempurnaan skripsi ini menjadi bahan bacaan yang
bermanfaat. Amin.
Kendari, Januari 2016
Purwansyah Hakim
v
ABSTRAK
Purwansyah Hakim Nomor Stambuk H1 A1 11 272, Judul Penelitian
“Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Melarikan Perempuan Di Bawah Umur (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor:98/Pid.B/2013/PN.Unh)”, dibimbing
oleh Dr. Oheo K. Haris, SH, M.Sc, LL.M. sebagai Pembimbing I dan Ali Rizky,
S.H., M.H. sebagai Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap
pelaku tindak pidana melarikan Perempuan Di bawah umur dalam Putusan
Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.Unh
Tipe Penelitian yang digunakan dalam penelitan ini adalah Penelitian
hukum Normatif, Metode Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian diperoleh
melalui penelitian kepustakaan (library research),
Berdasarkan penelitian, maka penulis berkesimpulan bahwa penerapan
hukum terkait dengan dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap
perkara dengan Putusan Nomor 98/Pid.B/2013/PN.Unh. Analisa penulis pada
dakwaan dan tuntuan Jaksa Penuntut Umum dengan menggunakan Pasal 331
KUHP “kurang tepat”, karena pasal tersebut tidak dapat dikenakan pada diri
terdakwa di mana unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 331 KUHP
tersebut tidak terpenuhi. Penulis berpendapat dalam dakwaan ini lebih tepat
dengan menerapkan Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dengan alasan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi
unsur tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ...................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ...............................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................
4
C. Tujuan Penelitian ...........................................................
5
D. Manfaat Penelitian .........................................................
6
E. Keaslian Penelitian ..............................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................
7
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ........................
7
1. Definisi Tindak Pidana ..............................................
7
2. Unsur Tindak Pidana .................................................
9
3. Syarat Pemidanaan Tindak Pidana .............................
13
B. Tinjauan Umum Tentang Anak ......................................
15
1. Definisi Anak ............................................................
15
2. Definisi Anak Menurut Hukum .................................
17
C. Perlindungan Anak ...........................................................
24
1. Pengertian Perlindungan Anak ..........................................
24
2. Hukum Perlindungan Anak ...............................................
26
3. Hak-Hak Anak Dalam Proses Persidangan .......................
29
D. Tinjauan Umum Tentang Kesusilaan .............................
31
E. Tinjauan Umum Tentang Melarikan Perempuan yang
Belum Dewasa ...............................................................
32
vii
BAB III
BAB IV
METODE PENELITIAN ....................................................
35
A. Tipe Penelitian ................................................................
35
B. Pendekatan Masalah .......................................................
35
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum.....................................
36
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ...............................
37
E. Teknik Analisis Bahan Hukum .......................................
37
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................
Penerapan
Sanksi
Terhadap
Pelaku
Tindak
Pidana
Melarikan Perempuan Di Bawah Umur Dalam Putusan
Pengadilan
BAB V
Negeri
Unaaha
Nomor
:
98/Pid.B/2013/PN.UNH ......................................................
38
PENUTUP ...........................................................................
53
A. Kesimpulan ....................................................................
53
B. Saran ..............................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia serta menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya,
yang termasuk menjamin perlindungan anak karena anak juga memiliki
hak-hak yang termasuk dalam hak asasi manusia. Agar setiap anak kelak
mampu memikul tanggung jawab sebagai generasi penerus bangsa maka
anak mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik mental maupun fisik serta sosial.Maka
perlu dilakukan upaya perlindungan anak terhadap pemenuhan anak tanpa
ada diskriminasi.
Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.Anak memiliki
peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara.Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Anak adalah amanah dan
karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang di dalamnya melekat harkat dan
1
martabat sebagai manusia seutuhnya, bahwa anak adalah tunas potensi,
dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa.1
Sebagai generasi penerus bangsa anak merupakan tunas bangsa
yang akan melanjutkan eksistensi suatu bangsa,dalam hal ini Bangsa
Indonesia. Namun pada akhir-akhir ini sering terdapat suatu tindak pidana
mengenai membawa lari anak di bawah umur. Hal ini merupakan ancaman
yang sangat besar dan berbahaya bagi anak.
Melarikan anak perempuan di bawah umur merupakan tindak
pidana yang banyak terjadi di masyarakat pada saat ini, yang lebih
memprihatinkan lagi korbannya adalah anak. Anak banyak menjadi korban
tindak pidana melarikan anak perempuan di bawah umur karena
kurangnya perhatian dari orangtua serta kondisi lingkungan anak yang
mendukung terjadinya tindak pidana perkosaan tersebut, selain itu secara
fisik dan mental anak jauh lebih lemah dari pelaku. Hal ini tentu saja
merusak masa depan mereka karena tindak pidana perkosaan memberikan
dampak yang cukup besar terhadap anak baik secara fisik maupun mental
yang mempengaruhi sikap anak terhadap orang lain.
Mengenai tindak pidana Melarikan anak perempuan di bawah
umur, tindakan tersebut adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual
oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang
menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar, jadi sangatlah
1
Sumiarni, 2000, Perlindunganterhadapanakdibidanghukum. Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya, hlm : 24
2
tidak berprikemanusian bila anak di bawah umur di jadikan korban
perkosaan. Tindak pidana Melarikan anak perempuan di bawah umur ini
bukan suatu hal yang dapat dianggap sebagai masalah kecil dan tak
penting,
Masalah ini sangat penting karena yang menjadi korbannya adalah
anak di bawah umur, dimana anak sebagai tunas bangsa dan generasi
penerus cita-cita bangsa yang harus diperhatikan, dilindungi dan dijaga
dari segala tindakan yang dapat merugikannya.
Begitu halnya dengan tindak pidana membawa lari perempuan di
bawah umur. Sejak zaman tradisional hingga zaman modern seperti
sekarang ini, kejahatan melarikan perempuan di bawah umur terus terjadi.
Yurisprudensi zaman Belanda dan kasus-kasus hukum yang belakangan
terjadi memperlihatkan tindak pidana ini gampang menjerat orang dan
relatif mudah dibuktikan.
Ada yang merumuskan tindak pidana ini sebagai “melarikan
perempuan di bawah umur”.Ada juga yang memakai frasa “melarikan
perempuan yang belum dewasa”.Apapun istilahnya,yang pasti dalam
rumusan itu ada perbuatan melarikan seorang perempuan yang usianya
belum mencapai usia dewasa. Kejahatan schaking itu diatur dalam Pasal
332 ayat (1) KUHP. Tindak pidana ini adalah delik aduan.
Badan
Pemberdayan
Perempuan
dan
Perlindungan
Anak
mengemukakan data bahwa kasus melarikan anak di bawah umur terjadi
3
sekitar 2% dari jumlah anak di Indonesia pada tahun 2007 dan angkanya
terus meningkat.2
Penanggulangan tindak pidana Melarikan anak perempuan di
bawah umur sebenarnya harus dilakukan sedini mungkin agar anak - anak
dapat menikmati masa kecilnya dengan aman, Oleh karena itu, tidak hanya
aparat penegak hukum yang berperan aktif akan tetapi keluarga dan
seluruh
lapisan
mayarakat
berperan
aktif
dalam
memperhatikan,
melindungi, dan menjaganya agar terhindar dari tindakan pidana tersebut.
Kasus yang penulis angkat dalam penelitian ini yaitu Putusan
Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.Unh yang
kronologis kasusnya sebagai berikut.
Awalnyapada hari Jumat tanggal 10 Mei 2013 dirumah Saksi
Korban, Terdakwa membawa Saksi Korban yang sebelumnya sudah
janjian melalui SMS kemudian mereka menuju Desa Wawolesea Kec.
Lasolo untuk mengambil dompet Terdakwa, setelah itu Saksi Korban
Evrianti bersama Terdakwa menuju ke Kendari dirumah keluarga
Terdakwa yang bernama Saksi Siska. Terdakwa telah melakukan
hubungan suami isteri kepada saksi korban sebanyak 3 kali dan berjanji
akan menikahi saksi korban. sore harinya saat Saksi Korban Evrianti dan
Terdakwa hendak pergi kerumah keluarganya Terdakwa yang berada di
Baruga, dalam perjalanan Saksi Korban dan Terdakwa ditahan oleh Saksi
Yuyung yang merupakan Om Saksi Korban Evrianti lalu Saksi Korban
2
Harian_online_Kompas : http//www.kompas.com
4
Evrianti dan Terdakwa dibawa kerumah keluarga Terdakwa yang bernama
Irwan Liambo.
Sebelum melakukan hubungan badan dengan Terdakwa, Saksi
Korban belum pernah melakukan hubungan badan dengan orang lain dan
saat itu usia Saksi masih 13 tahun, Antara Saksi Korban Evrianti dengan
terdakwa mempunyai hubungan pacaran yang sudah berjalan 1 (satu)
bulan. Saksi Korban Evrianti pergi dengan Terdakwa tanpa sepengetahuan
orang tua Saksi.
Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk meneliti
salah satu tindak pidana dengan judul penelitian :Tinjauan Yuridis
Terhadap Tindak Pidana Melarikan Perempuan Di bawah umur (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.Unh)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, yang menjadi
permasalahan dalam penelitian iniyaitu :Bagaimanakah penerapan sanksi
terhadap pelaku tindak pidana melarikan Perempuan Di bawah umurdalam
Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.Unh ?
C. Tujuan Penelitian
Terkait dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
dalam penelitian ini yaitu :
5
Untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana
melarikan Perempuan Di bawah umur dalam Putusan Pengadilan Negeri
Unaaha Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.Unh
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya tentang
tindak pidana melarikan anak di bawah umur dan sebagai referensi
bagi penelitian selanjutnya..
2. Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti dalam menerapkan
ilmu pengetahuan yang didapat di bangku kuliah.
3. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi masyarakat untuk
menambah wawasan terkait hukum pidana khususnya tindak pidana
pada anak.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai Tindak Pidana terhadap Perempuan Di Bawah Umur
pernah diteliti oleh Rosmila Semiring, pada Fakultas HukumPidana,Fakultas
Hukum, Universitas Sumatera Utara, Dengan Judul “Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Perempuan akibat Kejahatan Kesusilaan”, namun dalam
penelitian ini penulis terfokus pada “Tindak Pidana Melarikan Perempuan Di
Bawah Umur”.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana
1. Definisi Tindak Pidana
Saat ini setidak-tidaknya dikenal ada tujuh istilah dalam bahasa
kita sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit (Belanda). Pendapat
para ahli mengenai tindak pidana adalah:
a. Pengertian tindak pidana menurut Simons,1 adalah suatu tindakan
atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh
seseorang yang mampu bertanggung jawab.
b. MenurutPompe,2
Tindak pidana secara teoritis dapat dirumuskan sebagai: “suatu
pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang
dengan sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan hukum.
c. VanHamel,3merumuskantindak pidana itu sebagai suatu serangan
atau ancaman terhadap hak- hak orang lain.
d. Menurut E. Uthrecht,4 tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana
yang sering juga disebut delik,karena peristiwa itu suatu perbuatan
1
2
3
Erdianto Effendi, 2011, HukumPidanaIndonesia:SuatuPengantar.Jakarta: Refika Aditama,
hlm : 97
Ibid
Ibid, hlm: 98
7
handelen atau doen positif atau suatu melalaikan natalen negatif,
maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan
atau melalaikan itu).
e. Moeljatno,5 menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barang siapa
melanggar larangan tersebut.
f. Kanter dan Sianturi,6 menyatakan bahwa tindak pidana adalah
suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang
dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan
dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab).
g. Wirjono Prodjodikoro,7 menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat diartikan
apa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang
dilakukan oleh manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana
perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau diperbolehkan oleh
undang-undang yang diberi sanksi berupa sanksi pidana.
Istilah tindak pidana itu sendiri adalah pelanggaran normanorma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum
4
5
6
7
Ibid
Ibid, hlm: 98
Ibid, hlm: 99
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, hlm : 75
8
ketatanegaraan, dan hokum tata usaha pemerintahan yang oleh
pembentuk undang-undang ditanggapi sebagai hukum pidana.8
2. Unsur Tindak Pidana
Di atas telah dibicarakan berbagai rumusan tindak pidana yang
disusun oleh para ahli hukum. Unsur-unsur yang ada dalam tindak
pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya.
Unsur-unsur tindak pidana menurut beberapa ahli sebagai berikut:
Menurut Moeljatno,9 unsur tindak pidana adalah:
a. “Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)”
Perbuatan manusia boleh saja dilarang, oleh aturan hukum.
Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian
ada pada perbuatan itu, tetapi tidak dapat dipisahkan dengan orangnya.
Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti
perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian
diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada
umumnya dijatuhi pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan
itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain dari
pengertian perbuatan pidana.
8
9
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung; PT.Refika
Aditama, hlm :1
Loc.Cit, Adami Chazawi, 2002: 79
9
Menurut R. Tresna,10 bahwa:“ tindak pidana terdiri dari unsurunsur:
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia)
b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
c. Diadakan tindakan penghukuman”
Dari
unsur
yang
ketiga,
kalimat
diadakan
tindakan
penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan
yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan).
Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti
perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian dijatuhi pidana.
Menurut Jonkers,11 bahwa:“unsur-unsur tindak pidana dapat
dirinci sebagai berikut:
a. Perbuatan (yang)
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan)
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat)
d. Dipertanggungjawabkan”
Sementara itu, Schravendijk,12merinci unsur- unsur tindak
pidana sebagai berikut:
“Unsur-unsur tindak pidana adalah:
10
11
12
Ibid, hlm : 80
Ibid, hlm: 81
Ibid,
10
a. Kelakuan (orang yang)
b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum
c. Diancam dengan hukuman
d. Dilakukan oleh orang (yang dapat)
e. Dipersalahkan/kesalahan”
Menurut E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi,13 menyatakan bahwa
unsur- unsur tindak pidana meliputi:
a. Subjek
b. Kesalahan
c. Bersifat melawan hukum (dan tindakan)
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang/perundangan dan terhadap pelanggarannya diancam
dengan pidana
e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya)
Dari segi teoritis suatu tindak pidana terdiri dari unsur subjektif
dan unsur objektif.Unsur objektif berkaitan dengan suatu tindakan
yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang
dilarang oleh hukum dengan ancaman hukuman.Yang dijadikan titik
utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya.
Sedangkan unsur subjektif berkaitan dengan tindakan seseorang
yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang.Sifat unsur ini
mengutamakan adanya pelaku baik seseorang maupun beberapa orang.
Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur-unsur yang
13
Loc.Cit, Erdianto Effendi, 2011: 99
11
melekat pada diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala
yang terkandung dalam hati dan pikirannya
Lamintang,14mengemukakan unsur-unsur subjektif dari suatu
tindak pidana itu adalah :
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa)
b. Maksud atau voomemen pada suatu percobaan atau pogging
seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti
yang misalnya yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan
menurut Pasal 340 KUHP
e. Perasaan takut atau vress seperti yang terdapat dalam rumusan
tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah :
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid
b. Kualitas dari sipelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai
negeri didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415KUHP atau
keadaan sebagai penguru satau komisaris dari suatu perseroan
terbatas didalam kejahatan menurut Pasal 398KUHP
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
14
Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Adiyta Bakti,
hlm :193
12
Menurut Adami Chazawi,15 dapat diketahui adanya sebelas
unsur tindak pidana, yaitu:
a. Unsur tingkah laku;
b. Unsur melawan hukum;
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana
i. Unsur objek hukum tindak pidana;
j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.
3. Syarat Pemidanaan Tindak Pidana
a. Unsur Perbuatan
Unsur perbuatan merupakan unsur pembentuk dari tindak
pidana.Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau
serangkaian
perbuatan
yang
padanya
diletakkan
sanksi
pidana.Perbuatan atau feit tidak menunjuk pada hal kelakuan
manusia dalam arti positif semata, dan tidak termasuk kelakuan
manusia yang pasif atau negatif. Pengertian yang sebenarnya dalam
istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif
tersebut.16
15
16
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, hlm : 82
Ibid
13
Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk
mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau
gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia,
misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (Pasal 406).
Sementara itu, perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak
melakukan suatu perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya
seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya.
Kesimpulann aturan mengenai tindak pidana mestinya
sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang
dilakukan.Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai
pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan
perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut.Adanya aturan
mengenai tindak pidana bertujuan untuk dapat mengetahui
perbuatan yang dilarang dan tidak boleh dilakukan. Aturan tersebut
menentukan perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
b. Unsur Pembuat (Dader)
Unsur pembuat adalah unsur yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku tindak pidana,
dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung
didalam hatinya. Unsur pembuat merupakan salah satu syarat
14
pemidanaan bagi pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan
baik itu kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).17
Telah dikemukakan bahwa pertanggungjawaban tindak
pidana tidaklah mungkin terjadi tanpa sebelumnya seseorang
melakukan tindak pidana.Dengan demikian, pertanggungjawaban
pidana selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut.Dalam
hal ini pembuat tindak pidana tersebut tidak dapat disamakan
dengan pelaku materiil.
B. Tinjauan Umum tentang Anak
1. Definisi Anak
Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan
dari perkawinan antar seorang perempuan dengan seorang laki-laki
dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh
wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan
anak.
Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru
yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya
manusia bagi pembangunan Nasional.Anak adalah aset bangsa. Masa
depan bangsa dan negara dimasa yang akan datang berada ditangan
anak sekarang. Semakin baik keperibadian anak sekarang maka
semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula
17
Ibid
15
sebaliknya, apabila keperibadian anak tersebut buruk maka akan
bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang.18
Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak
merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan.Bagi
kehidupan anak, masa kanak-kanak seringkali dianggap tidak ada
akhirnya, sehingga mereka tidak sabar menunggu saat yang
didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat bahwa mereka bukan
lagi anak-ank tapi orang dewasa.19
Manusia
berkembang
melalui
beberapa
tahapan
yang
berlangsung secara berurutan, terus menerus dan dalam tempo
perkembangan yang tertentu, terus menerus dan dalam tempo
perkembangan yang tertentu dan bias berlaku umum.
Untuk lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat
dilihat pada uraian tersebut:
a. Masa pra-lahir : dimulai sejak terjadinya konsepsi sampai lahir
b. Masa Bayi : usia baru lahir sampai satu tahun.
c. Masa anak : Masa anak-anak awal : 1 tahun-6 tahun, Anak- anak: 6
tahun-12/13 tahun.
d. Masa remaja : 12/13 tahun-21 tahun e.Masa dewasa : 21 tahun-40
tahun.
18
19
Dellyana, 1990, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty, hlm : 50
Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak Di Indonesia, Teori, Praktik, Dan Permasalahannya.
Bandung: Mandar Maju, hlm : 4
16
e. Masa tengah baya : 40 tahun-60 tahun.
f. Masa tua : 60 tahun-meninggal .
2. Definisi Anak menurut Hukum
Dellyana,20 mengungkapkan bahwa :dalam hukum kita terdapat
pluralisme mengenai pengertian anak. Hal ini adalah sebagai akibat
tiap- tiap peraturan perundang-undangan yang mengatur secara
tersendiri mengenai peraturan anak itu sendiri.Pengertian anak dalam
kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari pandangan sistem
hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai objek
hukum.
Kedudukan
anak
dalam
artian
dimaksud
meliputi
pengelompokan ke dalam sub sistem sebagai berikut:
a. Pengertian anak menurut UUD 1945
Pengertian anak dalam UUD 1945 terdapat di dalam pasal
34 yang berbunyi“fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara”.Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek
hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan
dibina untuk mencapai kesejahteraan anak.
Dengan kata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat terhadap pengertian anak menurut
UUD 1945 ini, Irma Setyowati Soemitri menjabarkan bahwa
20
Loc.Cit, Dellyana, 1990, hlm : 50
17
ketentuan
UUD
1945,
ditegaskan
pengaturannya
dengan
dikeluarkanya Undang-UndangNomor 4 tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak, yang berarti makna anak (pengertian tentang
anak) yaitu seseorang yang harus memproleh hak- hak yang
kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah,
maupun sosial. Atau anak juga berahak atas pelayanan untuk
mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial. Anak juga
berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah ia dilahirkan .
b. Pengertian anak yang berkonflik dengan hukum menurut
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
Pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: Anak yang
Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Jadi dalam hal ini pengertian anak yang berkonflik dengan
hukum dibatasi dengan syarat sebagai berikut: pertama, anak
dibatasi dengan umur antara 12 (dua belas) sampai dengan 18
(delapan belas) tahun sedangkan syarat kedua si anak belum pernah
kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun
18
pernah kawin dan kemudian cerai.Apabila si anak sedang terikat
dalam perkawinan atau perkawinanya putus karena perceraian,
maka anak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum
genap 18 (delapan belas) tahun.
Putusan
Mahkamah Konstitusi pada 2011 memutuskan
bahwa anak yang bisa dituntut pertanggungjawaban hukum atas
tindakan pidananya adalah di atas 12 tahun. Untuk yang masih di
bawah 12 tahun akan dikembalikan ke keluarga atau negara. MK
mempertimbangkan penetapan usia minimal 12 tahun sebagai
ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak yang
telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara.
Dalam pertimbangannya, MK menilai anak yang belum
berusia
12
tahun
belum
memiliki
kesadaran
hokum
dan
tindakannya. Sehingga, anak di bawah 12 tahun belum bisa dituntut
pertanggungjawaban jika melakukan tindak pidana.
Alasan penetapan batas umur 12 tahun ke atas sudah bisa
dituntut pertanggungjawaban hukum karena anak secara relatif
sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang
stabil. MK kemudian menyatakan frasa '8 tahun' dalam Pasal 1,
Pasal 4 ayat 1, Pasal 1 ayat (3)Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat, kecuali si anak berumur 12 tahun ke atas.
19
c. Pengertian anak menurut Undang-Undang Perkawinan
UU Nomor 1 1974 (Undang-Undang Perkawinan) tidak
mengatur secara langsung tolak ukur kapan seseorang digolongkan
sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam Pasal 6 ayat (2)
yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang yang belum
mencapai umur 21 tahun mendapati izin kedua orang tua. Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang memuat batasan minimum usia untuk
dapat kawin bagi pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita
16 (enam belas) tahun.
Hilman Hadikusuma,21mengungkapkan bahwa Batas antara
belum dewasa dan sudah dewasa sebenarnya tidak perlu
dipermasalahkan. Hal ini dikarenakan pada kenyataanya walaupun
orang belum dewasa namun ia telah melakukan perbuatan
hukum,misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual
beli, berdagang dan sebagainya walaupun ia belum kawin.
Dalam Pasal 47 ayat (1) dikatakan bahwa anak yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya.Pasal 50 ayat
(1) menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18
21
Hilman
Hadikusuma,
2007,
Hukum
Perkawinan
Indonesia
Perundangan,HukumAdat,HukumAgama.Bandung:CV Mandar Maju, hlm : 43
Menurut
20
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin, tidak berada
dibawah kekuasaan orangtua, berada dibawah kekuasaan wali.
Dari pasal-pasal tersebut di atas maka dapatlah disimpulkan
bahwa anak dalam Undang-UndangNomor 1 tahun 1974 adalah
mereka yang belum dewasa dan sudah dewasa yaitu 16 (enam
belas) tahun untuk perempuan dan 19 (sembilan belas) tahun untuk
laki-laki.
d. Pengertian anak menurut hukum adat
Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang menentukan
siapa yang dikatakan anak-anak dan siapa yang dikatakan orang
dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat ukuran anak dapat
dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri tertentu
yang nyata.
R.Soepomo,22 berdasarkan hasil penelitian tentang hukum
perdata Jawa Barat menyatakan bahwa kedewasaan seseorang
dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:
1) Dapat bekerja sendiri.
2) Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bertanggung jawab.
3) Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.
e. Pengertian anak menurut hukum pidana
22
R. Soepomo, 1967. Hukum Perdata Adat Djawa Barat.Jakarta: Djambatan, hlm : 67
21
Pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan
pada pemahaman terahadap hak-hak anak yang harus dilindungi,
karena secara kodrat memiliki subtansi yang lemah dan di dalam
sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokan
dari bentuk pertanggung jawaban sebagaimana layaknya seseorang
subjek hukum yang normal.
Pengertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan
aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku
menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab
yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut berhak atas
kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik.
Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam
hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai
berikut:
1) Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana.
2) Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hakhak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata
negara dengan maksud untuk mensejahterakan anak.
3) Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses
perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana
yang dilakukan anak itu sendiri.
4) Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan.
22
5) Hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana.
Dalam Pasal 45 KUHP maka anak dinyatakan bahwa:Jika
seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan hokum
yang dikerjakannya ketika berumur belum enam belas tahun, hakim
dapat
menentukan:
memerintahkan
supaya
yang
bersalah
dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya
tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah
diserahkan kepada pemerintah tanpa pidanaapapun”
Hukum pidana memandang anak belum dewasa dari segi
pidananya jika berumur di bawah 16 tahun. Soesilo, 23dalam
pembahasannya mengatakan hakim dapat memutuskan salah satu
dari tiga kemungkinan terhadap anak yang melakukan tindak
pidana yakni:
1) Anak
dikembalikan
kepada
orangtua,
wali,
atau
pemeliharaannya
2) Anak itu tidak dijatuhi hukuman tetapi diserahkan kepada
rumah pendidikan anak-anak nakal untuk dididik sampai
berumur 18 tahun.
3) Anak itu dijatuhi hukuman seperti biasa dalam hal ini
hukuman dikurangi sepertiganya
23
Soesilo, 1995, Pokok-PokokHukumPidanaPeraturanUmumDanDelik- Delik.Bogor:Politeka,
hlm 82
23
Akan tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maka Pasal 45 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan demikian di dalam ketentuan hukum pidana telah
memberikan perlindungan terahadap anak-anak yang kehilangan
kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hokum yang
berada pada usia yang belum dewasa sehingga harus tetap
dilindungi segala kepentingan dan perlu mendapatkan hak-hak
yang khusus yang diberikan oleh negara atau pemerintah. Jadi dari
berbagi defenisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil
suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa
sebenarnya yang dimaksud dengan anak dan berbagai konsekuensi
yang diperolehnya sebagai penyandang gelar anak tersebut. 24
C. Perlindungan Anak
1. Pengertian Perlindungan Anak
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk
menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar
baik fisik, mental, dan sosial.Perlindungan anak merupakan perwujudan
adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan
anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan
24
Wadong, 2000, Pengantar Advokasi Dan Perlindungan Anak.Jakarta: Grasindo, hlm : 28
24
bermasyarakat.Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik
dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Hukum merupakan jaminan bagi kepastian perlindungan anak.
Sebagaimana Arif Gosita,25mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu
diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah
penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan
dalam pelaksanaan perlindungan anak.
Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu:
a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan
dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan.
b. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan
dalam bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan. 26
Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan,
serta
mendapat
perlindungan
dari
kekerasan
dan
diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya
yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak
yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan
25
26
Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademi Pressindo, Jakarta, hlm. 19.
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
PidanaAnak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Hal 34.
25
penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya. 27
Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu
usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.28Dasar
perlindungan anak adalah :29
a. Dasar Filosofis; Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang
kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa,
serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak;
b. Dasar Etis; pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan
etika
profesi
yang
berkaitan,
untuk
mencegah
perilaku
menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan
kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak;
c. Dasar Yuridis; pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan
pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku. Penerapan secara yuridis ini harus secara
integratif,
yaitu
penerapan
terpadu
menyangkut
peraturan
perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.
2. Hukum Perlindungan Anak
Dalam masyarakat, setiap orang mempunyai kepentingan sendiri
yang tidak hanya sama tetapi juga kadang-kadang bertentangan, untuk itu
27
28
29
Konvensi.1998, Media Advokasi dan Penegakan Hak-hak Anak.Volume II No. 2 Medan:
Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LLAI). hlm. 3.
Op. cit. ,hal. 52.
Arif Gosita, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-hak Anak, Era Hukum,
Jurnal Ilmiah Hukum No. 4/Th. V/April 1999. Fakultas Hukum Tarumanagara, Jakarta, hlm.
264-265.
26
diperlukan aturan hukum dalam menata kepentingan tersebut, yang
menyangkut kepentingan anak diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum
yang berkaitan dengan perlindungan anak, yang disebut dengan Hukum
Perlindungan Anak.
Arif Gosita,30menyatakan bahwa
hukum perlindungan anak adalah hukum (tertulis maupun tidak
tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak
dan kewajibannya. Sementara, Bismar Siregar berpendapat bahwa
“Aspek Hukum Perlindungan Anak, lebih dipusatkan kepada hakhak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat
secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban. ”31H. de
Bie merumuskan “Kinderrecht (Aspek Hukum Anak) sebagai
keseluruhan ketentuan hukum yang mengenai perlindungan,
bimbingan, dan peradilan anak dan remaja, seperti yang diatur
dalam BW, Hukum Acara Perdata, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dan Hukum Acara Pidana serta peraturan pelaksananya. ”32
Hukum Perlindungan Anak merupakan hukum yang menjamin
hak-hak dan kewajiban anak, Hukum Perlindungan Anak berupa: Hukum
Adat, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Acara Perdata, Hukum
Acara Pidana, dan peraturan lain yang menyangkut anak. Perlindungan
anak menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan, agar anak
benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan
hak asasinya.
Menurut Bismar Siregar bahwa : Masalah perlindungan hukum
bagi anak-anak merupakan salah satu isi pendekatan untuk melindungi
anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara
30
31
32
Op. cit. ,hal. 53.
Irma Setyowati Soemitro, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, hlm.
15.
Ibid, hal. 15.
27
yuridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan
budaya”33
Dengan memperhatikan berbagai dokumen dan pertemuan
internasional,
dapat
perlindungan
hukum
dilihat
bahwa
terhadap
kebutuhan
anak
dapat
terhadap
perlunya
mencakup
berbagai
bidang/aspek, antara lain:
a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak;
b. Perlindungan anak dalam proses peradilan;
c. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga,
pendidikan, dan lingkungan sosial);
d. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan
kemerdekaan;
e. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan,
perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan atau
penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan
kejahatan dan sebagainya);
f. Perlindungan anak-anak jalanan;
g. Perlindungan
anak
dari
akibat-akibat
peperangan/konflik
bersenjata;
h. Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. 34
33
34
Bismar Siregar, 1986, Hukum dan Hak-hak Anak, Rajawali, Jakarta, hlm. 22.
Barda N. Arief, 1996, Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak, Makalah, Seminar Nasional
Peradilan Anak Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 3.
28
3. Hak-Hak Anak dalam Proses Persidangan
Selama dalam proses peradilan, hak-hak anak harus dilindungi
seperti asas praduga tak bersalah, hak untuk memahami dakwaan, hak
untuk diam, hak untuk menghadirkan orangtua atau wali/orangtua asuh,
hak untuk berhadapan, dan menguji silang kesaksian atas dirinya dan hak
untuk banding.
Hak anak sebagai saksi sebelum persidangan meliputi:
a. Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak
lanjut yang tanggap/peka, tanpa mempersulit para pelapor;
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang
merugikan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja karena
kesaksiannya;
c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan
sebagai saksi.
Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi
meliputi antara lain;
a. Hak untuk dapat fasilitas untuk menghadiri sidang sebagai saksi;
b. Hak
untuk
mendapatkan
penjelasan
mengenai
tata
cara
persidangan;
c. Hak mendapatkan ijin dari sekolah untuk menjadi saksi. Sementara
hak anak setelah persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi,
fisik, sosial dari siapa saja. 35
35
Ibid, hlm.135.
29
Pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana
merupakan suatu hasil interaksi anak dengan keluarga, masyarakat,
penegak hukum yang saling mempengaruhi. Keluarga, masyarakat, dan
penegak hukum perlu meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan
dan memperhatikan hak-hak anak demi kesejahteraan anak.
Selama dalam proses peradilan, hak-hak anak harus dilindungi
seperti asas praduga tak bersalah, hak untuk memahami dakwaan, hak
untuk diam, hak untuk menghadirkan orangtua atau wali/orangtua asuh,
hak untuk berhadapan, dan menguji silang kesaksian atas dirinya dan hak
untuk banding.
Hak anak sebagai saksi sebelum persidangan meliputi:
a. Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak
lanjut yang tanggap/peka, tanpa mempersulit para pelapor;
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang
merugikan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja karena
kesaksiannya;
c. Hak
untuk
mendapatkan
fasilitas
ikut
serta
memperlancar
pemeriksaan sebagai saksi.
Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi
meliputi antara lain;
a. Hak untuk dapat fasilitas untuk menghadiri sidang sebagai
saksi;
b. Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai tata cara
persidangan;
30
c. Hak mendapatkan izin dari sekolah untuk menjadi saksi.
Sementara hak anak setelah persidangan dalam kedudukannya
sebagai saksi, fisik, sosial dari siapa saja. 36
Pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana
merupakan suatu hasil interaksi anak dengan keluarga, masyarakat,
penegak hukum yang saling mempengaruhi. Keluarga, masyarakat, dan
penegak hukum perlu meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan
dan memperhatikan hak-hak anak demi kesejahteraan anak.
D. Tinjauan Umum tentang Kesusilaan
Pengertian kesusilaan menurut kasus hukum adalah suatu tingkah
laku, perbuatan percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan
norma-norma kesopanan yang harus dilindungi oleh hukum demi
terwujudnya tata tertib dan tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.37
Pada bab XIV buku kedua dan bab VI buku ketiga KUHP membagi
dua jenis tindakan pidana yakni:38
1. Tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid). Untuk kejahatan
melanggar kesusilaan terdapat pada Pasal 281 sampai Pasal 299,
sedangkan
untuk
pelanggaran
golongan
pertama
(kesusilaan)
dirumuskan dalam Pasal 532 sampai Pasal535.
2. Tindak pidana melanggar kesopanan (zeden) yang bukan kesusilaan,
artinya tidak berhubungan dengan masalah seksual, untuk kejahatan
kesopanan ini dirumuskan dalam jenis pelanggaran terhadap kesopanan
36
Ibid, hlm.135.
Soedarso. 1992. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, hlm : 64
38
Soedarso, 1992: 64
37
31
(diluar hal yang berhubungan dengan masalah seksual) dirumuskan
dalam Pasal 236 dan Pasal 547.
Berdasarkan pada tafsir terjemahan pada kata yang termuat dalam
teks aslinya yakni zedelijkheid dan zeden.Oleh ahli hukum di Indonesia
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai kesusilaan dan
kesopanan.Kata
zeden
memiliki
arti
yang
lebih
luas
dari
kesusilaan.Kesopanan pada umumnya adalah mengenai adat kebiasaan
yang baikdalam hubungan antar berbagai anggota masyarakat.Sedangkan
kesusilaan juga merupakan adat kebiasaan yang baik namun khusus
mengenai kelamin seseorang.39
E. Tinjauan Umum tentang Melarikan Perempuan yang Belum Dewasa
Secara lengkap Pasal 332 KUHPidana ini berbunyi:
1. Bersalah melarikan perempuan diancam dengan pidana penjara:
a. Paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang
perempuan yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya
atau walinya tetapi dengan persetujuan perempuan itu, dengan
maksud untuk memastikan penguasaan terhadap perempuan itu,
baik didalam maupun diluar perkawinan.
b. Paling lama Sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang
perempuan, dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman
39
Leden, 1996, Kejahatan TerhadapKesusilaanDanMasalah Prevensinya. Jakarta: Sinar
Grafika, hlm : 25
32
kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya
terhadap perempuan itu, baik didalam maupun diluar perkawinan.
2. Penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan
3. Pengaduan dilakukan:
a. Jika perempuan ketika dibawa pergi belum dewasa, oleh dia
sendiri atau orag lain yang harus memberi izin bila dia kawin.
b. Jika perempuan ketika dibawa pergi sudah dewasa oleh dia
sendiri atau suaminya.
4. Jika yang membawa pergi lalu kawin dengan perempuan yang
dibawa pergi dan terhadap perkawinan itu berlaku aturan-aturan
burgerlijk wetboek maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum
perkawinan itu dinyatakan batal”
Yang menjadi inti dari delik yang sebagaimana diatur dalam Pasal
332 ayat (1) KUHP adalah:
1) Membawa pergi seorang perempuan yang belum dewasa.
Membawa pergi berarti memerlukan suatu tindakan aktif dari
laki-laki. Hoge Raad Desember 1888 berbunyi: membawa pergi
menghendaki suatu tindakan aktif dari laki-laki. Untuk penguasaan
atau wanita itu tidak perlu diperlukan kekuasaan secara lama.
Menjamin pemilikan perempuan itu bukanlah delik ini tetapi
kesengajaan ditujukan kepada hal ini. Jika sebelum membawa pergi
33
perempuan itu ia telah melakukan hubungan seks dengannya, dapat
dianggap mempunyai maksud untuk menjamin pemilikan perempuan
tersebut dalam arti jika ia dirintangi ia tetap akan melakukan
perbuatannya.40
Sementara itu yang dimaksud dengan perempuan belum
dewasa adalah perempuan yang belum berumur delapan belas tahun
dan belum kawin. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan Pasal 50 menyebutkan batas usia anak yang
dewasa adalah 18 tahun. Dengan adanya ketentuan di atas, maka batas
usia 21 tahun sebagaimana ditetapkan dengan S. 1931/54 sudah tidak
berlaku lagi.
2) Tanpa izin orang tua atau walinya berarti orang tua atau walinya tidak
menyetujui perbuatan tersebut.
3) Dengan kemauan perempuan itu sendiri, artinya setelah ada tindakan
aktif dari laki-laki, apakah perbuatan membujuk, tipu muslihat, atau
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
4) Dengan maksud untuk menguasai perempuan itu, baik dengan maupun
diluar perkawinan.
40
Andi Hamzah, 2009, Delik-DelikTertentu(SpecialDelict)DalamKUHP. Jakarta: Sinar
Grafika, hlm 21
34
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini, merupakan tipe penelitian normatif dengan
melakukan penafsiran hukum secara gramatikal yaitu penafsiran yang
dilakukan terhadap kata-kata atau tata kalimat yang digunakan pembuat
undang-undang dalam peraturan perundang-undangan tertentu terkait
dengan Tindak Pidana Melarikan Perempuan Di bawah umur.
B. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan
1. Pendekatan kasus (case oproach) yaitu pendekatan dengan melakukan
telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang diahadapi
dan telah menjadi putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan
hukum tetap.
2. Pendekatan Perundang-undangan (statute oproach) yaitu pendekatan
dengan melakukan telaah terhadap semua undang-undang dan regulasi
yang ada sangkut pautnya dengan isu yang sedang ditangani dan
3. Pendekatan Konseptual (Conceptual oproach) yaitu pola pikir ang
bersifat konseptual menyangkut kebijaksanaan, strategi, kerangka
filosofi, atau konsep dasar yang akan digunakan dalam menyelesaikan
Permaslaahan dimaksud.
35
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
1. Bahan Hukum Primer, yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang yaitu
a. Putusan
Pengadilan
Negeri
Unaaha
Nomor
:
98/Pid.B/2013/PN.Unh
b. Undang-Undang Dasar 1945
c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
e. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
f. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
g. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu dokumen yang merupakan informasi,
atau kajian yang berkaitan dengan penggunaan alat pendeteksi
kebohongan, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalahmajalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari
internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
36
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan
keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu
melakukan penelitian melalui sumber-sumber bacaan yang mempunyai
hubungan dengan masalah yang dihadapi, guna memperoleh data yang
diperlukan yang bertsifat teori-teori ilmiah baik berupa buku-buku bacaan,
ketentuan perundang-undangan, karya-karya ilmiah, brosur-brosur dan
harian-harian umum yang penulis lakukan dengan jalan membaca dan
mengutipnya.
E. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif,
yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang
telah diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Dan
kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif,
yaitu dengan cara berpikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat
umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penerapan
Sanksi
Terhadap
Pelaku
Tindak
Pidana
Melarikan
Perempuan Di Bawah Umur Dalam Putusan Pengadilan Negeri Unaaha
Nomor : 98/Pid.B/2013/PN.UNH
1. Posisi Kasus
Pada hari Jumat tanggal 10 Mei 2013 bertempat dirumah Saksi
Korban, Terdakwa membawa Saksi Korban yang sebelumnya
sudah janjian melalui SMS kemudian mereka menuju Desa
Wawolesea Kec.Lasolo Kab.Konawe Utara untuk mengambil
dompet Terdakwa, setelah itu Saksi Korban bersama Terdakwa
menuju ke kendari bertempat dirumah keluarga Terdakwa yang
bernama Siska. Ditempat tersebut Terdakwa telah melakukan
hubungan layaknya suami isteri dengan saksi korban sebanyak 3
kali yang sebelumnya berjanji kepada saksi korban akan menikahi
saksi korban. Kemudian sore harinya saat Saksi Korban dan
Terdakwa hendak pergi kerumah keluarganya Terdakwa yang
berada di Baruga, dalam perjalanan Saksi Korban dan Terdakwa
ditahan oleh Saksi Yuyung yang merupakan Om Saksi Korban lalu
Saksi Korban dan Terdakwa di bawa kerumah keluargaTerdakwa
yang bernama Irwan Liambo.
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang diajukan dalam
penelitian, jaksa mengajukan dakwaan Kesatu, primair.Jaksa Penuntut
Umum mendakwa terdakwa dengan ketentuan pasal 83 Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, subsidair melanggar
pasal 331 KUHP;
38
3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Dalam tuntutan hukum Jaksa Penuntut Umum yang diajukan yang
pada pokok tuntutannya sebagai berikut :
Menyatakan Terdakwa Toto Iswanto Als. Rian bersalah melakukan
tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 83 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dalam Dakwaan Kesatu Primair Jaksa Penuntut Umum; kemudian,
menuntut terdakwa dengan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Toto
Iswanto Als. Rian dengan pidana penjara selama 3 (tiga) Tahun dikurangi
selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah
Terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh
juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dilaksanakan maka diganti
dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan kurungan; dan
menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,(dua ribu rupiah);
4. Amar Putusan Hakim Pengadilan Negeri Unaaha
Dalam putusannya Hakim pengadilan negeri Unaaha Menyatakan
bahwa sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum yaitu Terdakwa Toto Iswanto
alias. Rian telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “Dengan sengaja menculik anak untuk diri sendiri, menjatuhkan
39
pidana oleh karena itu kepada Terdakwa toto iswanto als.Rian dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) Tahun dan denda Rp. 60.000.000,-(enam puluh juta
rupiah) dengan ketentuan apabila Terdakwa tidak membayar denda tersebut
maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan,
menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, menetapkan Terdakwa tetap berada
dalam tahanan, menetapkan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.5.000,-(limariburupiah);
5. Analisis Penulis
Menurut penulis dalam penerapan hukum dalam dakwaan dan
tuntutan jaksa penuntut umum terhadap kasus yang penulis angkat kurang
tepat apabila menerapkan pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dengan dakwaan perbuatan cabul atau
pasal 331 KUHP menyembunyikan orang yang belum dewasa. karena makna
dari penculikan itu sendiri adalah diluar kemauan korban, sedangkan dalam
kasus ini korban tidak merasa dipaksa oleh terdakwa untuk ikut dengannya,
dan penggunaan pasal 331 KUHP mengenai menyembunyikan orang yang
belum dewasa. penulis menganggap lebih tepatnya apabila Jaksa penuntut
umum menerapkan pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengajamelakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan
ataumembiarkandilakukan perbuatancabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat3
40
(tiga)tahundandenda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah)”
Kemudian penerapan pasal 331 KUHP tentang menyembunyikan
orang yang belum dewasa ini kurang tepat.penulis menganggap ketentuan
lebih tepatnya apabila Jaksa penuntut umum menerapkan Pasal 332 ayat (1)
KUHP yang berbunyi :
(1)
Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara;
1. paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang
wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau
walinya tetapi dengan persetujuannya. dengan maksud untuk
memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun
di luar perkawinan;
2. paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang
wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan,
dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita
itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
Karena dalam pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang unsur-unsur tindak pidana tersebut
adalah sebagai berikut:
a.
Unsur Setiap orang;
b. Unsur Dengan sengaja;
41
c.
Unsur Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain.;
Untuk membuktikan pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, terkandung unsur-unsur sebagai
berikut :
a.
Unsur Barang siapa
Yang dimaksud dengan Setiap Orang adalah subjek hukum
pendukung hak dan kewajiban yang mampu mempertanggung
jawabkan perbuatannya, yang dalam perkara ini adalah Terdakwa
Toto Iswanto Als.Rian sebagai subjek hukum. Selain daripada itu
maksud dimuatnya unsur ini adalah untuk menghindari adanya
kesalahan subjek dalam suatu perkara pidana;
Berdasarkan fakta yang muncul di persidangan terungkap
bahwa terdakwa adalah subjek hukum yang dalam keadaan dan
kemampuan jiwanya menunjukkan kondisi sehat dan tidak
terganggu jiwanya sehingga oleh hukum dianggap cakap atau
mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar), oleh karenanya
mengenai unsur ke-1 “barangsiapa” ini telah terpenuhi.
b. Dengan sengaja melakukan kekerasan, tipu muslihat, serangkaian
kebohongan atau membujuk anak
42
Dalam mempersepsi kesengajaan, dikenal dua teori kesengajaan
yaitu:
1)
Teori Kehendak (wilstheorie)
Teori ini diusung oleh Von Hippel, kesengajaan adalah kehendak
membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan akibat dari
perbuatan itu.
2)
Teori Membayangkan (voorstellingstheorie)
Teori ini diusung oleh Festchrift Gieszen (1907) mengemukakan
bahwa manusia tidak mungkin dapat mengehendaki suatu akibat,
adalah sengaja apabila suatu akibat yang ditimbukan dari suatu
tindakan dibayangkan sebagai maksud dari tindakan itu.
Teori kehendak menganggap kesengajaan ada apabila
perbuatan dan akibat suatu tindak pidana dikehendaki oleh pelaku.
Teori bayangan menganggap kesengajaan apabila si pelaku pada
waktu mulai melakukan perbuatan, ada bayangan yang terang,
bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai, dan maka dari itu ia
menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu.
Dengan demikian unsur sengaja merupakan sikap batin
pelaku tindak pidana yang berasal dari dalam diri pelaku yang
menghendaki dan menginsafi atau menyadari akan perbuatan dan
akibat-akibatnya yang timbul dari perbuatan yang secara nyata
dilakukan oleh pelaku.
43
Berdasarkan fakta yang muncul pada persidangan dapat
diketahui Bahwa benar Awalnya pada hari Jumat tanggal 10 Mei 2013
dirumah Saksi Korban, Terdakwa membawa Saksi Korban yang
sebelumnya sudah janjian melalui SMS dimana saksi korban mengajak
Terdakwa pergi sejauh mungkin kemudian Terdakwa datang menjemput
dan berboncengan kemudian mereka menuju Desa Wawolesea Kec.
Lasolo untuk mengambil dompet Terdakwa, setelah itu Saksi Korban
Evrianti bersama Terdakwa menuju ke kendari dirumah keluarga
Terdakwa yang bernama Saksi Siska.
Oleh karena itu cara-cara yang dilakukan terdakwa terhadap
korban dan dilakukan dalam keadaan penuh kesadaran, tidak dalam
keadaan mabuk atau pengaruh minuman keras sehingga Penulis
berkesimpulan bahwa Terdakwa tidak dapak memenuhi unsur “dengan
sengaja melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak”.
c.
Unsur Melakukan Tipu Muslihat, Serangkaian Kebohongan, Atau
Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan Dengannya Atau Dengan
Orang Lain.
Dalam unsur ini mencantumkan kata “Atau” yang mengandung
makna bersifat alternatif sehingga bila salah satunya telah terpenuhi
maka unsur inipun harus dinyatakan “terpenuhi”; Tipu muslihat secara
bahasa terdiri dari dua kata yakni, tipu adalah perbuatan atau perkataan
yang tidak jujur (bohong, palsu) dengan maksud untuk menyesatkan,
mengakali,
atau
mencari
untung
dan
muslihat
adalah
siasat
44
ilmu(perang), muslihatnya sangat halus. yang dimaksud membujuk
adalah melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga
orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk
perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian.
Yang dimaksud dengan anak dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. pengertian dari persetubuhan adalah peraduan antara
kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk
mendapatkan anak, jadi kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam
kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan sperma.
Berdasarkan fakta dipersidangan bahwa benar Terdakwa
membawa Saksi Korban yang sebelumnya sudah janjian melalui SMS
kemudian
mereka
menuju
Desa
Wawolesea
Kec.Lasolo
untuk
mengambil dompet Terdakwa, setelah itu Saksi Korban Evrianti
bersama Terdakwa menuju ke kendari dirumah keluarga Terdakwa yang
bernama Saksi Siska. Terdakwa telah melakukan hubungan suami isteri
kepada saksi korban sebanyak 3 kali dan berjanji akan menikahi saksi
korban.
Fakta di atas dikuatkan pula oleh hasil pemeriksaan berdasarkan
Berita Acara Visum Et Repertum No. B/310/V/2013/Rumkit tanggal 12
Mei 2013.yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Jimmy Yofhian,
menyimpulkan :
45
1.
Tampak luka robekan lama pada selaput dara (HNI) pada arah
jarum jam empat koma sembilan luka sampai dasar dan robekan
pada arah jarum jam sepuluh koma sebelas koma dua belas luka
tidak sampai dasar.
2.
Tampak luka lecet pada vagina sebelah kiri bagian atas dengan
ukuran nol koma satu kali nol koma satu sentimeter warna
kemerahan batas tegas.
3.
Tampak keputihan (flour albus) pada vagina.
4.
Test kehamilan negatif.
5.
Tidak tampak adanya tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban
lainnya;
Berdasarkan uraian fakta tersebut, Majelis Hakim menyimpulkan
bahwa untuk tercapai tujuannya menyetubuhi Saksi Korban, Terdakwa
mengiming-imingkan akan dinikahi, bertanggung jawab serta akan
dibangunkan rumah merupakan cara Terdakwa untuk menyalurkan nafsu
birahinya namun hingga sekarang Terdakwa tidak menepati janjinya dan
Terdakwa mengetahui kalau Saksi Evrianti saat itu masih duduk
dibangku sekolah SMP atau masih berusia dibawah umur.
Oleh karena seluruh unsur pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi secara hukum dan
Majelis Hakim berkeyakinan atas kesalahan Terdakwa, maka Terdakwa
harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
46
melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan
Alternatif Kesatu Primair.
Karena dakwaan Alternatif Kesatu Primair telah terbukti
maka untuk dakwaan selanjutnya tidak perlu dibuktikan lagi;
Menimbang bahwa oleh karena selama pemeriksaan perkara
berlangsung tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun
pemaaf pada diri maupun perbuatan Terdakwa sehingga sudah
sepatutnya
Terdakwa
dijatuhi
pidana
yang
setimpal
atas
perbuatannya.
Dalam kasus ini terdakwa didakwa dengan dakwaan yang
disusun secara alternatif, maka selanjutnya apabila membahas unsurunsur hukum yang melanggar Pasal 331 KUHP.
47
Adapun unsur-unsur hukum tersebut adalah sebagai berikut:
a. Barangsiapa
Karena unsur “barangsiapa” telah dipertimbangkan dalam dakwaan
kesatu
dan
telah
terbukti
maka
dianggap
bahwa
unsur
“barangsiapa” telah terbukti dan terpenuhi.
b. Dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum dewasa yang
ditarik atau menarik sendiri dari kekuasaan yang menurut undangundang ditentukan atas dirinya.
Yang dimaksud dengan sengaja adalah bahwa seseorang
melakukan perbuatan dengansengaja dan harus menghendaki akibat
perbuatan itu serta harus menginsyafi/mengerti akan akibat
perbuatannya itu.
Pada kasus ini yang dimaksud denganmenyembunyikan
adalah tidak memberi tahun keberadaan seseorang yang belum
dewasa yang patut diketahui tanpa izin atau kemauan orang tua atau
walinya tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri.Berdasarkan
kasus posisi yang telah diuraikan, perapan asal 331 KUHP kurang
tepat apabila diterapkan pada diri terdakwa Karena unsur kedua
dari pasal 331 KUHP menurut penulis tidak terpenuhinya unsur
menyembunyikan pada diri korban.
48
Belum dewasa menurut KUHPerdata adalah belum berumur
21 tahun, dan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
adalah di bawah umur 18 tahun.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi pada saat persidangan
diketahui bahwa korban pada waktu kejadian masih berumur 13
tahun dan belum pernah kawin sebelumnya.Sehingga unsur belum
dewasa sudah terbukti dan terpenuhi.Berdasarkan fakta tersebut di
atas terdakwa terbukti bermaksud akan mempunyai atau memiliki
korban baik dengan nikah maupun tidak dengan nikah, hal tersebut
karena antara terdakwa dan saksi korban ada hubungan pacaran
antara keduanya.
Berdasarkan uraian diatas penulis berpandangan bahwa
penerapan hukum pada diri terdakwa adalah keliru karena dalam
pasal yang didakwakan tidak tepat.
1. Pasal 82 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Cabul dalam hukum pidana adalah keinginan atau perbuatan
yang tidak senonoh menjurus kearah perbuatan seksual yang dilakukan
49
untuk meraih kepuasan diri diluar ikatan perkawinan. Menjurus artinya
belum sampai kepada perbuatan seksual.
Dalam putusan Nomor:98/Pid.B/2013/PN.Unh, Saksi telah
terungkap bahwa Korban bersama Terdakwa menuju ke kendari
bertempat dirumah keluarga Terdakwa yang bernama Siska. Di
tempat tersebut Terdakwa telah melakukan hubungan layaknya
suami isteri dengan saksi korban sebanyak 3 kali yang
sebelumnya berjanji kepada saksi korban akan menikahi saksi
korban.
Pasal yang semestinya
dikenakan pada
terdakwa
menurut penulis lebih tepat apabila di dakwakan dengan pasal
81 ayat (2) Undang-Undang Nomor23 Tahun2002 Tentang
Perlindungan Anak yaitu “setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat,serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”,
yang ancaman sanksi pidana penjara paling lama 15 tahun dan
paling singkat3 tahundan dendapaling banyak Rp 300.000.000, dan
paling sedikit Rp60.000.000.Dengan demikian, hal ini dapat
diketahui bahwa perbuatan terdakwa hanya melakukan tidak
pidana persetubuhan terhadap anak, bukan tindak pidana
menyembunyikan seperti yang di dakwakan oleh Jaksa penuntut
umum.
50
2.
Pasal 331 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Orang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang
belum dewasa yang ditarik atau menarik sendiri dari kekuasaan
yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya. atau dari
pengawasan orang yang berwenang untuk itu, atau dengan
sengaja menariknya dari pengusutan pejabat kehakiman atau
kepolisian diancam dengan penjara paling lama empat tahun,
atau jika anak itu berumur di bawah dua belas tahun, dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa antara
terdakwa
dan
korban
secara
bersama-sama
pergi
unsur
menyembunyikan disini tidak dapat dibuktikan karena dalam kamus
besar bahasa Indonesia menyembunyikan memiliki dua makna yaitu :
a.
Menyimpan (menutup dan sebagainya) supaya jangan (tidak)
terlihat: setelah peristiwa itu, ia selalu menyembunyikan diri;
b.
sengaja tidak memperlihatkan (memberitahukan dan sebagainya)1
Perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah berangkat dari Desa
Puusiambu Kec.Lembo Kab. Konawe Utara menuju baruga Kota kendari tempat
dimana terdakwa dan saksi ditemukan oleh Yuyung yang merupakan Om
korban, dimana alasan pergi merupakan inisiatif saksi korban yang mengajak
terdakwa untuk pergi sejauh mungkin yang kemudian Terdakwa datang
menjemput
korban.
Dari
uraian
tersebut
secara
jelas
bahwa
unsur
1
http://kamuskbbi.web.id/arti-kata-menyembunyikan-menurut-kamus-besar-bahasa-indonesiakbbi.html
51
menyembunyikan atau membawa lari perempuan dibawah umur tidak dapat di
kenakan pada diri terdakwa.
52
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, maka penulis berkesimpulan bahwa
dalam penerapan hukum terkait dengan dakwaan dan tntutan Jaksa
Penuntut
Umum
terhadap
perkara
dengan
Putusan
Nomor
98/Pid.B/2013/PN.Unh analisa penulis pada dakwaan dan tuntuan Jaksa
Penuntut Umum dengan menggunakan Pasal 331 KUHP “kurang tepat”,
karena pasal tersebut tidak dapat dikenakan pada diri terdakwa dimana
unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 331 KUHP tersebut tidak
terpenuhi.Penulis berpendapat dalam dakwaan ini lebih tepat dengan
menerapkan Pasal 82Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dengan alasan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi
unsur tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan.
B. Saran
Adapun saran pada penelitian ini adalah:
1. Jaksa Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam menyusun surat
dakwaan, demikian pula Hakim diharapkan lebih cermat dalam
memeriksa dan memberikan pertimbangannya dalam proses peradilan.
2. Hakim harus lebih aktif dalam menemukan kebenaran materil terhadap
suatu perkara dan lebih cermat dalam memberikan pertimbangan yang
53
bersifat subjektif dan sosiologisnya.dalam menjatuhkan putusan
terhadap Terdakwa.
54
Daftar Pustaka
A. Buku
Adi,R.2004.Metodologi penelitian social dan hukum.Jakarta:Granit
Chazawi,Adami,2002. Pelajaran hukum pidana ,bagian 1,Jakarta:PT.Raja
GrafindoPersada
Dellyana,S.1990.Wanita dan anak dimata hukum.Yogyakarta: Liberty.
Effendi, Erdianto. 2011. Hukum pidana Indonesia: suatu pengantar. Jakarta:
RefikaAditama
Hadikusuma,H.2007.Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundangan,
hukum adat, hukum agama. Bandung: CV Mandar Maju
Hamzah,
Andi. 2009. Delik-delik tertentu
KUHP.Jakarta:Sinar Grafika
(special
delict)
dalam
Ilyas, A.2012. Asas-asas hukum pidana. Yogyakarta: Rangkang Education
Kertanegara,S.1955.Kumpulan catatan kuliah hukum pidanaII .Disusun oleh
Mahasiswa PTIK Angkatan V
Kanter, E.Y. danS.R. Sianturi.1982. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
dan Penerapannya. Jakarta:Alumni AHM-PTHM.
Lamintang,P.A.F.1997.Dasar-dasar
PT.Citra Adiyta Bakti
Leden,
hukum
M. 1996. Kejahatan terhadap
prevensinya.Jakarta:SinarGrafika
pidana
Indonesia.Bandung:
kesusilaan
dan
masalah
Marlang, A., dkk. 2009. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung: AS Center.
Moeljatno.1987.Asas-asas hukum pidana.Jakarta:Binaaksara
Mulyadi,L. 2005.Pengadilan anak di Indonesia, teori, praktik, dan
permasalahannya. Bandung:MandarMaju
Poernomo,B.1997.Pertumbuhan hukum penyimpangan diluar kodifikasi
hukum pidana.Jakarta:BinaAksara.
Prodjodikoro,W.2003.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung;
PT.Refika Aditama,
________ ,2003. Tindak-tindak
Bandung:Refika Aditama
pidana
tertentu
di
Indonesia.
Riadi,M.2012.Definisi, fungsi, dan bentuk keluarga. Kajian Pustaka.com di
akses tanggal 03 Juni 2013
Soedarso.1992. Kamus hukum.Jakarta:Rineka Cipta
Soemitro, RH. 1982.
Indonesia.
Metodologi penelitian hukum. Jakarta: Ghalia
Soepomo.R.1967. Hukum perdata adat djawa barat. Jakarta : Djambatan
Soesilo.R.1995.Pokok-pokok hukum
delik. Bogor:Politeka
pidana peraturan umum dan delik-
________ . 1980. Kitab undang-undang hukum pidana serta komentarkomentarnya.Bogor:Politeka
Sumiarni,
E. 2000. Perlindungan terhadap
hukum.Yogyakarta:Universitas Atma Jaya
anak
di
bidang
Wadong,HM.2000.Pengantar advokasi dan Perlindungan Anak.Jakarta:
Grasindo.
Wojowasito, S. 1978. Kamus umum belanda-indonesia
wojowasito.Jakarta:Ichtiar Baru VanHoove
prof.drs.s.
B. Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang
Perkawinan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak
C. Sumber Lain
Mahkamah Konstitusi. 2011. Putusan nomor1/puu-VIII/2010. Diakses dari
www.mahkamahkonstitusi.go.id
Download