Verifikasi Inovasi Teknologi Pupuk dan Bahan Organik melalui Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Sawah dan Lahan Kering VERIFIKASI INOVASI TEKNOLOGI PUPUK DAN BAHAN ORGANIK MELALUI DEMPLOT PEMUPUKAN BERIMBANG PADA LAHAN SAWAH DAN LAHAN KERING Verifying Fertilizer and Organic Matter Technology Innovation Through Balanced Fertilizer Use in Field Experiments on Wetland and Dryland Irawan, IGM Subiksa, dan E. Husen Balai Penelitian Tanah Bogor Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu Bogor ABSTRACT Indonesian Soil Research Institute (ISRI) has developed fertilizer and organic matter technology inovations to increase soil productivity in low land, as well up land agroecosystem. Prior disemination those technologies need to verify at large scale of area. ISRI has conducted research in farming scale by using demontration plot approach in collaborated with farmers in low land and upland area. The main purpose of the reseach is to verify and demonstrate balance fertilization technology and organic matter management through demonstration plot. Treatments applied consist of farmer bussiness as usual fertilization manner and two combinations of NPK inorganic fertilizers and organic fertilizer recommendation. The rate of NPK fertilizer determined based on soil test kits (PUTS and PUTK). Organic fertilizer and soil amendment developed by using M-dec decomposer and enriched with bio-fertilizer. Compost developed from organic matter composted using M-dec decomposer and enriched by Bio Nutrient, a kind of biofertilizer. Those are produced by ISRI. This paper presents demontration plot research result of balance fertilization technology and organic matter management in low land (Subang District, West Java) and upland site (Gianyar District, Bali) which has been conducted in 2009. The research results showed that (1) balance fertilization in rice field combined with bio enriched organic fertilizer increased rice yield with lower rate of inorganic fertilizers and (2) balance fertilization combined with bionutrient enriched manure and tithoganic fertilizer produced optimal maize in upland area. Key words : fertilizer, organic matter, soil test kits, PUTS, PUTK ABSTRAK Balai Penelitian Tanah (Balittanah) telah menciptakan inovasi teknologi pupuk dan bahan organik untuk meningkatkan produktivitas tanah di agroekosistem lahan sawah dan di lahan kering. Sebelum didiseminasikan, teknologi tersebut perlu diverifikasi pada skala areal yang lebih luas. Balittanah telah melakukan penelitian pada skala usaha tani dengan pendekatan demplot, bekerja sama dengan petani di lahan sawah dan lahan kering. Tujuan utama penelitian adalah untuk memverifikasi teknologi pemupukan dan bahan organik berimbang melalui demplot. Perlakuan terdiri dari teknologi yang biasa dilakukan petani, dan dua kombinasi rekomendasi pemupukan NPK anorganik dan rekomendasi pupuk organik. Takaran NPK ditentukan berdasarkan alat uji tanah PUTS dan PUTK. Pupuk organik dan amandemen tanah menggunakan bahan dekomposisi M-dec disertai dengan pupuk biologis. Pembuatan kompos dilakukan dengan menggunakan bahan organik yang didekomposisi dengan bahan dekomposisi M-dec ditambahkan hara biologis (bio-nutrient). 153 Irawan, IGM Subiksa, dan E. Husen Semua bahan tersebut dibuat oleh Balittanah. Makalah ini menyajikan hasil pengkajian demplot teknologi pemupukan berimbang dan pengelolaan bahan organik di lahan sawah (Subang Jawa Barat) dan lahan kering (Gianyar, Bali) yang dilakukan pada tahun 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pemupukan berimbang pada padi sawah dikombinasikan dengan pupuk biologis dan bahan organik mampu meningkatkan produktivitas pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk an-organik, dan (2) pemupukan berimbang dikombinasikan dengan hara biologis dan pupuk kandang dan pupuk tithoganic mampu memproduksi jagung secara optimal di lahan kering. Kata kunci : pupuk, bahan organik, alat uji tanah, PUTS, PUTK PENDAHULUAN Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam proses produksi pertanian, oleh karena itu inovasi teknologi pupuk (anorganik, organik, hayati) harus terus dikembangkan, baik dalam pengembangan formula baru, peningkatan efektivitas maupun peningkatan efisiensi penggunaannya. Selain pupuk, pengembangan inovasi pembenah tanah juga sangat dibutuhkan untuk pengembangan lahan kering yang pada umumnya mempunyai tingkat produktivitas rendah akibat terkendala oleh sifat-sifat tanah yang kurang baik. Penggunaan pupuk oleh petani di lahan sawah ataupun lahan kering selama dekade terakhir diketahui belum berimbang karena berbagai hal, misalnya karena mahalnya harga atau kelangkaan pupuk tertentu seperti KCl dan SP-36. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar petani padi sawah dan palawija hanya menggunakan pupuk urea sebagai sumber hara N karena harganya yang relatif murah dan pengaruhnya yang bisa langsung dilihat dalam pertumbuhan vegetatif tanaman. Sementara pupuk P dan K masih belum banyak digunakan sesuai dengan kebutuhan tanah dan tanamannya.. Akibat pengelolaan hara yang kurang tepat serta tidak digunakannya bahan organik sebagai salah satu input, telah terjadi penurunan kadar bahan organik tanah di lahan sawah maupun lahan kering. Hasil kajian Kasno et al. (2000) menunjukkan bahwa dari sekitar 65 persen tanah sawah di Indonesia berkadar C-organik dibawah batas kritis (< 2%), dan hanya 35 persen yang berkadar C-organik > 2 persen, dan ini juga terjadi pada lahan sawah yang bergambut. Kadar bahan organik tanah berkorelasi positif dengan produktivitas tanaman padi sawah dimana makin rendah kadar bahan organik makin rendah produktivitas lahan (Karama et al., 1990). Pengembangan pertanian lahan kering saat ini kurang optimal akibat kendala biofisik lahan, produktivitas tanah yang rendah, dan tingkat erosi tanah yang relatif tinggi. Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering secara berkelanjutan, penerapan pengelolaan hara terpadu perlu dilakukan, yang mensyaratkan penggunaan pupuk organik dan anorganik sebagai sumber hara tanaman. Secara kuantitatif kandungan hara pupuk organik relatif rendah tetapi mempunyai keunggulan dalam memperbaiki sifat kimia, biologi, dan fisika tanah, meningkatkan efisiensi pemupukan dan menyediakan unsur mikro. Kemudian 154 Verifikasi Inovasi Teknologi Pupuk dan Bahan Organik melalui Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Sawah dan Lahan Kering formulasi pembenah tanah berbahan dasar organik dan mineral telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas lahan kering yang telah terdegradasi, salah satunya adalah formula pembenah tanah Beta (Dariah et al., 2008). Balai Penelitian Tanah (Balittanah) telah menghasilkan inovasi teknologi pupuk dan pembenah tanah yang telah teruji dalam meningkatkan produktivitas tanah pada skala plot. Teknologi tersebut perlu diperkenalkan kepada petani dan penyuluh, antara lain dalam bentuk demonstrasi plot (demplot). Makalah ini menyajikan hasil demplot pemupukan berimbang pada lokasi lahan sawah dan lahan kering yang sekaligus merupakan verifikasi inovasi teknologi pupuk dan pembenah tahan pada skala usaha tani. METODE PENELITIAN Lokasi Kegiatan Pendekatan kegiatan penelitian melalui pelaksanaan demplot spesifik lokasi pada agroekosistem lahan sawah dan lahan kering. Lokasi demplot lahan sawah berada di Desa Sindanglaya, Kecamatan Tanjungsiang, Kabupaten Subang, Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6° 43’ 33,25” LS dan 107° 48’ 11,15” BT dengan ketinggian tempat 450 – 600 m dpl. Lokasi demplot lahan kering terletak di Dusun Marga Tengah, Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian berupa demplot dalam satu hamparan lahan milik seorang atau beberapa orang petani dengan luas perlakuan sekitar satu hektar. Ada tiga perlakuan yang diteliti, yakni satu perlakuan cara petani dan dua perlakuan introduksi. Perlakuan demplot pada lahan sawah dengan tanaman indikator padi adalah sebagai berikut: 1. Cara Petani 2. NPK + 5 t/ha jerami segar (dikomposkan dengan Mdec) 3. NPK + 2 t/ha kompos pupuk kandang. Perlakuan demplot pada lahan kering dengan tanaman indikator jagung adalah sebagai berikut: 1. Cara petani 2. NPK + Pukan 2 t/ha + Bionutrient 3. NPK + Thitoganik 2 t/ha Penentuan dosis pupuk pada demplot padi sawah didasarkan pada analisis tanah dengan mengacu pada Permentan No. 40/Permentan/OT.140/4/ 2007 dengan menggunakan perangkat uji tanah PUTS dan Bagan Warna Daun, sedangkan untuk demplot lahan kering digunakan perangkat uji tanah PUTK. 155 Irawan, IGM Subiksa, dan E. Husen Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan berupa sumber pupuk, pembenah tanah, dan bahan organik, seperti: kompos jerami, pupuk kandang, pembenah tanah Beta, Tithoganik, pupuk Superphos, urea, dan KCl. Kompos jerami dibuat dengan fermentasi menggunakan M-dec dengan dosis 1 kg/ton jerami segar. Pupuk kandang diambil dari limbah ternak sapi setempat yang sudah matang. Pembenah tanah Beta dan Tithoganik disiapkan di Instalasi Rumah Kaca Balai Penelitian Tanah Bogor. Pupuk anorganik berupa Superphos, urea dan KCl atau pupuk majemuk NPK dibeli dari kios saprotan setempat. Selain itu obat-obatan untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dan benih padi variaetas Mekongga dan benih jagung hibrida CP1. Teknik Budidaya Teknik budidaya pada demplot secara umum mengacu pada komponen teknologi SL-PTT padi dan jagung (Ditjen Tanaman Pangan, 2008). Kegiatan tanam dilakukan mengikuti musim tanam di lokasi masing-masing. Tanam padi dilakukan dengan sistem jajar legowo, umur bibit pindah 15 hari, jarak tanam 25 cm x 25 cm. Tanaman jagung ditanam dengan sistem tugal dengan jarak tanam 70 cm x 40 cm dengan 2 benih per lubang. Pemupukan padi sawah: (1) pupuk kandang dan kompos jerami diberikan pada saat pengolahan tanah, (2) pupuk Superphos (sumber unsur P) diberikan saat tanam, urea (100 kg/ha) dan KCl diberikan saat tanaman berumur 7-10 HST, sedangkan pemupukan urea II dan III dilakukan pada umur 28 dan 42 HST dengan dosis sesuai hasil pembacaan BWD. Pemupukan tanaman jagung: (1) pupuk Tithoganik, pembenah tanah Beta atau pukan + bionutrient diberikan saat tanam dengan cara dilarik, sedangkan pemupukan lainnya dilakukan pada umur 7-10 HST dengan cara ditugal. Pemupukan urea dan KCl berikutnya dilakukan setelah tanaman berumur 30 HST. Pemeliharaan tanaman padi dilakukan menurut prosedur baku budidaya padi yang meliputi: pengaturan air, penyiangan gulma, penyulaman dan pengendalian OPT secara terpadu. Penyiangan I dilakukan saat tanaman berumur 14 HST dan penyiangan II dilakukan pada umur 36 HST secara manual maupun gasrok. Pemeliharaan tanaman jagung meliputi kegiatan penyiangan, pembumbunan dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan I dilakukan pada saat tanaman berumur 15 HST sekaligus melakukan pembumbunan. Sedangkan penyiangan II dilakukan pada umur 30 HST setelah dilakukan pemupukan II. Pengamatan Indikator yang diamati mencakup aspek agronomi, produksi, dan ekonomi. Aspek agronomi mencakup tinggi tanaman (padi dan jagung) dan jumlah anakan tanaman padi. Aspek ekonomi mencakup biaya produksi, pendapatan, dan rasio R/C atau B/C. 156 Verifikasi Inovasi Teknologi Pupuk dan Bahan Organik melalui Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Sawah dan Lahan Kering Pengolahan Data Data yang dikumpulkan diolah menggunakan analisis statistik sederhana ttest. Analisis usaha tani dilakukan dengan menghitung input tenaga kerja dan saprodi yang digunakan serta nilai hasil panen yang diperoleh. Tingkat keuntungan yang diperoleh dianalisis dengan menghitung nilai B/C rasio dengan rumus sebagai berikut : Nilai produksi-Biaya Produksi Rasio B/C = Biaya produksi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Demplot Demplot pemupukan berimbang pada lahan sawah merupakan salah satu lokasi “laboratorium” Prima Tani di Provinsi Jawa Barat dengan agroekosistem lahan sawah intensif. Pola tanam yang biasa dilakukan oleh petani setempat adalah padi-padi-padi. Teknologi budidaya padi sawah eksisting dicirikan oleh: (1) penggunaan benih padi cukup tinggi (35 kg/ha), sumber benih berasal dari musim tanam sebelumnya (sendiri) dengan varietas yang umum adalah Ciherang, Cigeulis dan IR-64, jumlah bibit 4-6 helai per rumpun, umur bibit pindah 18 – 25 hari, dan jarak tanam 25 cm x 25 cm; (2) penggunaan urea cukup tinggi (350 – 500 kg/ha), SP-36 tinggi (175 kg/ha), dan tanpa KCl; (3) pengendalian OPT umumnya secara kuratif dengan jenis OPT yang umum berupa wereng coklat, penggerek batang, kresek, ulat dan walang sangit; dan (4) produktivitas rata-rata 5,6 t GKP/ha, dimana sekitar 70% dijual dan 30 persen untuk konsumsi sendiri. Teknologi introduksi antara lain mengoreksi teknologi eksisting, yakni: penggunaan bahan organik (pupuk kandang/kompos) 2 ton/ha, penggunaan pupuk urea berdasarkan BWD, penggunaan pupuk P dan K berdasarkan uji tanah (300 Kg/ha urea dan 100 kg/ha SP 18, dan K tidak diberikan karena statusnya sudah tinggi), varietas padi tetap Ciherang tetapi benih berlabel, penanaman 2-3 bibit per lubang, tanam dengan pola jajar Legowo 5, dan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu. Demplot pemupukan berimbang pada lahan kering di Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar memiliki karaktersitik iklim basah dengan curah hujan berkisar antara 2.200-3.000 mm/tahun. Potensi air permukaan tergolong rendah, karena letak air permukaan sangat dalam (>20 m dari permukaan tanah). Tanaman jagung umumnya dibudidayakan oleh petani pada lahan tegalan yang lokasinya terpencar di seluruh dusun di desa tersebut. Total luas areal tanaman jagung berkisar 200 – 270 ha dan sentra utama terdapat di Dusun Marga Tengah. Selain merupakan sentra produksi jagung lokasi tersebut berada di pinggir jalan sehingga aksesnya relatif mudah. Jumlah petani kooperator yang berpartisipasi pada demplot pemupukan berimbang lahan sawah ada 18 orang, terdiri atas 8 orang pada perlakuan kebiasaan petani (sebagai pembanding), 3 orang pada perlakuan pupuk NKP 157 Irawan, IGM Subiksa, dan E. Husen berdasar uji tanah (PUTS dan BWD) dan kompos jerami, dan 7 orang pada perlakuan pupuk NPK berdasar uji tanah dan kompos pukan sapi. Luas lahan sawah yang dikelola petani kooperator pada demplot tersebut berkisar 420 - 5.000 2 m per petani (Tabel 1). Tabel 1. Nama Petani Kooperator dan Luas Lahan yang Digunakan pada Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Sawah, Subang, Jawa Barat (2009) P1: Teknologi Petani (Eksisting) Nama Petani Uat Karlan Rusmad Cahmud A Cahdi Sahrum Rohmah Dahrum Total 2 Luas (m ) 2.800 420 1.120 700 980 1.400 700 1.400 9.520 P2: Dosis NPK (PUTS; BWD) + kompos jerami 5 t/ha 2 Nama Petani Luas (m ) Ade 560 H. Rusmid (I) 4.900 H. Dana 2.730 H. Rusmid (II) 1.400 9.590 P3: Dosis NPK (PUTS; BWD) + kompos pukan 2 t/ha 2 Nama Petani Luas (m ) Tarma (I) 2.800 Tata 560 Cahmud B 700 Tarmedi 700 H. Ayi 1.680 H. Raskid 1.400 Waryo 1.400 Tarma (II) 700 9.940 Jumlah petani kooperator yang berpartisipasi dalam demplot pemupukan berimbang pada lahan kering ada enam orang, terdiri atas dua orang pada perlakuan kebiasaan petani, tiga orang pada perlakuan dosis NPK berdasar uji tanah (PUTK) dan kompos pukan sapi + Bionutrient, dan dua orang pada perlakuan dosis NPK berdasar uji tanah dan kompos Tithoganik. Luas lahan kering yang dikelola oleh petani kooperator cukup luas, berkisar antara 2.000 – 7.000 2 m /petani (Tabel 2). Tabel 2. Nama Petani Kooperator dan Luas Lahan yang Digunakan untuk Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Kering, Gianyar, Bali (2009) Perlakuan P1: Teknologi kebiasaan Petani Nama Petani I Ketut Ridet I Ketut Nuja P2: Dosis NPK + Kompos pukan sapi + Bionutrient Murja I Made Wardana P3: Dosis NPK + Tithoganik I Made Budana Bu Suari Keterangan: Dosis NPK berdasarkan uji tanah (PUTK) 2 Luas lahan (m ) 5.000 5.000 5.000 5.000 7.000 2.000 Aspek Agronomi Fase Vegetatif Indikator pada fase vegetatif (Tabel 3) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk N, P, dan K berdasarkan uji tanah dan BWD baik yang dikombinasikan -1 -1 dengan kompos jerami 5 ton ha maupun kompos pupuk kandang sapi 2 ton ha 158 Verifikasi Inovasi Teknologi Pupuk dan Bahan Organik melalui Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Sawah dan Lahan Kering memberikan pertumbuhan tanaman padi yang lebih baik dibandingkan dengan kebiasaan petani. Penggunaan kompos pupuk kandang sapi menghasilkan pertumbuhan vegetatif lebih baik dibandingkan dengan kompos jerami. Peningkatan tinggi tanaman yang diperoleh dari penggunaan kompos jerami dan kompos pupuk kandang sapi hampir sama yaitu sekitar 5 persen dibandingkan dengan tinggi tanaman yang diperoleh dari kebiasaan yang dilakukan petani. Peningkatan jumlah anakan pada penggunaan kompos jerami sekitar 14 persen dan penggunaan pupuk kandang sapi sekitar 21 persen. Tabel 3. Indikator Agronomi Fase Vegetatif (Umur 4 MST) Hasil Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Sawah, Subang, Jawa Barat (MT II 2009) Perlakuan P1: Teknologi kebiasaan petani -1 P2: Dosis NPK + kompos jerami 5 t ha -1 P3: Dosis NPK + kompos pukan sapi 2 t ha Tinggi Tanaman (cm) 85 89 90 Jumlah Anakan 27 31 33 Keterangan: Dosis NPK berdasarkan uji tanah (PUTS dan BWD), MST=minggu setelah tanam Indikator fase vegetatif tanaman jagung pada demplot pemupukan berimbang pada lahan kering disajikan pada Gambar 1. Informasi tersebut menunjukkan bahwa teknologi pemupukan dengan pupuk organik Tithoganik dan kompos pukan+bionutrient menghasilkan tinggi tanaman jagung yang lebih tinggi dibandingkan teknologi kebiasaan petani. Secara lebih spesifik dapat dinyatakan bahwa pemupukan dengan dosis bahan organik yang lebih rendah (pukan sapi 2 t/ha) melalui inovasi teknologi pengolahan bahan organik menjadi pupuk organik berkualitas, mampu menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan cara petani yang menggunakan bahan organik tinggi (pukan 7,5 t/ha). Hal ini dapat dijelaskan bahwa kompos yang diperkaya dengan bionutrient mengandung hormon tumbuh yang dapat memicu pertumbuhan tanaman lebih cepat. Demikian pula halnya dengan pupuk organik Tithoganik yang cukup kaya dengan unsur hara, baik makro maupun mikro, sehingga tanaman tumbuh lebih baik dibandingkan kebiasaan petani. . Gambar 1. Tinggi Tanaman Jagung pada Demplot Pemupukan Berimbang, Gianyar, Bali 159 Irawan, IGM Subiksa, dan E. Husen Aspek Agronomi Fase Generatif Keragaan tanaman pada fase generatif (menjelang panen) dan hasil padi yang diperoleh pada demplot pemupukan berimbang pada lahan sawah disajikan dalam Tabel 4. Secara umum pertumbuhan tanaman dan produksi gabah kering panen (GKP) pada perlakuan dosis NPK + kompos jerami dan dosis NPK + kompos pukan lebih baik dibandingkan perlakuan kebiasaan petani. Jumlah anakan padi produktif meningkat 24-30 persen dan hasil GKP meningkat 12-16 persen. Hasil ini membuktikan bahwa pemupukan berimbang menyediakan kecukupan hara bagi tanaman untuk tumbuh dan berproduksi secara optimum. Penggunaan bahan organik baik dari kompos jerami atau pukan tidak saja memberikan tambahan hara makro sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia, juga dapat mengembalikan berbagai unsur hara mikro yang terangkut biomasa panen. Tabel 4. Indikator Agronomi Fase Generatif Hasil Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Sawah, Subang, Jawa Barat (MT II 2009) Perlakuan P1: Teknologi petani P2: NPK + kompos jerami 5 t ha -1 P3: NPK + kompos pukan sapi 2 t ha -1 Jumlah Anakan Produktif 23 Tinggi Tanaman (cm) 93 Hasil GKP (t/ha) 7,1 Peningkatan hasil (%) - 28 97 7,9 11,3 29 98 8,2 16,1 Salah satu hasil yang menonjol dari demplot pemupukan berimbang pada lahan sawah tersebut adalah pemberian pupuk kandang dan jerami padi yang telah dikomposkan dengan menggunakan M-Dec lebih baik dibandingkan dengan teknologi eksisting yang biasa dilakukan petani. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk menggalakkan pembuatan kompos pukan dan jerami padi yang berkualitas di tingkat petani perlu terus didukung dan petani tidak perlu tergantung pada pupuk organik komersial. Di beberapa wilayah sentra produksi padi para petani juga sudah mampu membuat dekomposer lokasl (MOL) sehingga kelangkaan dan cukup tingginya harga dekomposer komersial, seperti Mdec tidak perlu menjadi masalah. Indikator agronomi fase gerenatif tanaman jagung hasil demplot pemupukan berimbang pada lahan kering disajikan pada Tabel 5. Informasi tersebut menunjukkan bahwa inovasi pemupukan berimbang dengan memanfaatkan kompos pukan yang diperkaya dengan pupuk hayati bionutrient memberikan hasil jagung tertinggi, diikuti oleh perlakuan yang menggunakan pupuk organik Tithoganik. Makna hasil perlakuan P2 tersebut adalah dengan dosis kompos pukan dan pupuk anorganik yang lebih rendah dari cara petani memberikan tambahan hasil sebanyak 34 persen. Sementara itu pada perlakuan P3 peningkatannya mencapai 10 persendibandingkan cara petani. Keunggulan penggunaan kompos yang diperkaya dengan bionutrient disebabkan karena kompos ini mengandung bakteri pelarut fosfat dan hormon pertumbuhan. Bakteri pelarut fosfat berfungsi atau mampu mengekstrak P yang sudah terakumulasi 160 Verifikasi Inovasi Teknologi Pupuk dan Bahan Organik melalui Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Sawah dan Lahan Kering dalam tanah akibat pemupukan P dengan dosis tinggi dan terus menerus. Fosfat pada tanah yang memiliki sifat andik diikat pada tapak jerapan tanah, terutama oleh Al dan Fe, sehingga tidak mampu diserap oleh tanaman. Dengan adanya bakteri pelarut P, melalui proses enzymatik, fosfat yang terikat dapat dilepaskan sehingga tersedia bagi tanaman. Oleh karenanya kebutuhan pupuk anorganik bisa berkurang sampai 50 persen. Penghematan pemakaiaan pupuk anorganik hingga 50 persen, serta mengurangi takaran pukan sampai 2 ton/ha akan sangat membantu petani untuk meningkatkan keuntungan yang diperoleh. Pengurangan takaran pupuk kandang harus dibarengi dengan peningkatan mutu pupuk kandang melalui pengayaan dengan pupuk hayati dan hormon pertumbuhan. Tabel 5. Indikator Agronomi Fase Generatif Tanaman Jagung Hasil Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Kering, Gianyar, Bali (2009) Hasil jagung pipilan (t/ha) Perlakuan Peningkatan hasil jagung (%) P1: Teknologi cara petani 9,0 P2: Dosis NPK+ Pukan 2 t/ha + Bionutrient 12,1 34 P3: Dosis NPK + Tithoganik 2 t/ha 10,0 11 Keterangan: Dosis NPK untuk P2 dan P3 ditetapkan berdasarkan hasil uji tanah (PUTK) Analisis Usaha Tani Indikator kelayakan finansial usaha tani padi hasil demplot pemupukan berimbang pada lahan sawah disajikan pada Tabel 6. Informasi tersebut menunjukkan bahwa nilai produksi tertinggi dicapai pada perlakuan dosis NPK + kompos pukan sapi yang disertai juga dengan nilai biaya produksi tertinggi yang disebabkan oleh adanya pembelian pukan sapi karena para petani tidak memiliki ternak. Komponen biaya produksi, khususnya untuk pembelian saprodi pupuk paling tinggi pada perlakuan petani (P1) kemudian perlakuan kompos pukan (P3). Sedangkan biaya tenaga kerja paling tinggi adalah pada perlakuan kompos jerami padi (P2), yaitu tenaga kerja untuk pembuatan kompos. Tabel 6. Indikator Kelayakan Finansial Usaha Tani Padi Hasil Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Sawah, Subang, Jawa Barat (MT II 2009) Indikator Nilai produksi Biaya produksi Keuntungan Rasio B/C P1: Teknologi Petani 17.656.000 4.195.000 13.461.000 3,21 P2: Dosis NPK + Kompos Jerami Rp/ha 19.788.000 4.088.000 15.700.000 3,84 P3: NPK + Kompos pukan 20.500.000 4.413.000 16.088.000 3,65 Nilai keuntungan usaha tani padi perlakuan P3 paling tinggi (Rp 16.088.000,-/ha), kemudian diikuti perlakuan P2 dan P1. Namun berdasarkan rasio 161 Irawan, IGM Subiksa, dan E. Husen B/C ternyata perlakuan P2 paling efisien (rasio B/C rasio = 3,84). Hasil ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi pemupukan berimbang dan penggunaan kompos jerami in situ meningkatkan produksi padi dan keuntungan usaha tani bagi petani. Indikator kelayakan finansial usaha tani jagung hasil demplot pemupukan berimbang pada lahan kering disajikan pada Tabel 7. Informasi tersebut menunjukkan bahwa nilai produksi jagung tertinggi dicapai pada perlakuan P2 kemudian P3 dan P1. Sebaliknya biaya produksi paling tinggi adalah untuk perlakuan P1, lalu P3 dan P2. Dengan demikian efisiensi finansial usaha tani jagung tertinggi dicapai pada perlakuan P2 dengan rasio B/C 4,33. Hal ini dapat dinyatakan bahwa inovasi teknologi pemanfaatan bahan organik dari limbah ternak yang diperkaya pupuk hayati bio-nutrient memberikan manfaat sangat besar bagi petani. Pupuk hayati bio-nutrient yang mengandung bakteri pelarut fosfat dan hormon tumbuh tersebut mampu mengekstrak pupuk yang sudah terakumulasi sejak lama. Penggunaan kompos pukan + bionutrient mampu menghemat pemakaian pupuk anorganik sebesar 50 persen. Demikian pula inovasi teknologi pupuk organik Tithoganik dapat menjadi salah satu solusi untuk mencapai program menuju Bali Organik. Secara bertahap pemakaian pupuk anorganik dapat dikurangi sampai nantinya mencapai angka nol (zero anorganik). Sebaliknya pemakaian pupuk organik seperti pukan yang diperkaya pupuk hayati dan Tithoganik secara bertahap ditingkatkan untuk mensubstitusi pupuk anorganik. Tabel 7. Indikator Kelayakan Usaha Tani Jagung Hasil Demplot Pemupukan Berimbang, Gianyar, Bali (2009) Indikator Nilai produksi Biaya produksi Keuntungan Rasio B/C P1: Teknologi cara petani (Eksisting) 16.159.500 5.200.000 10.959.500 2.11 P2: Dosis NPK + Pukan + Bionutrient Rp/ha 21.853.125 4.100.000 17.753.125 4.33 P3: Dosis NPK+Tithoganik 17.936.100 4.400.000 13.536.100 3.08 KESIMPULAN DAN SARAN Verifikasi inovasi teknologi pupuk dan pengelolaan bahan organik melalui demplot pemupukan berimbang pada skala usaha tani padi (lahan sawah) dan usaha tani jagung (lahan kering) menguatkan hasil yang telah dicapai dalam skala plot atau petak dan secara finansial menguntungkan. Hasil kegiatan demplot pemupukan berimbang yang menonjol adalah jerami padi yang telah dikomposkan dengan menggunakan M-Dec dan pemberian pupuk kandang memberikan hasil padi lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi 162 Verifikasi Inovasi Teknologi Pupuk dan Bahan Organik melalui Demplot Pemupukan Berimbang pada Lahan Sawah dan Lahan Kering kebiasaan petani. Pengayaan kompos atau pupuk kandang dengan bionutrient yang mengandung pupuk hayati meningkatkan pertumbuhan dan produksi jagung. Pemupukan berimbang berdasarkan uji tanah dengan menggunakan perangkat PUTS (lahan sawah) dan PUTK (lahan kering) dapat merasionalkan penggunaan pupuk anorganik tanpa mengurangi produksi tanaman sehingga penggunaan pupuk lebih efektif dan efisien. Peningkatan gabah kering panen yang dihasilkan dari penggunaan pemupukan berimbang dan kompos jerami mencapai 15,5 persen dan peningkatan produksi jagung dari demplot di Gianyar yang dihasilkan dari penggunakan pemupukan berimbang yang dikombinasikan dengan bionutrient dan tithoganik masing-masing sebesar 40 persen dan 15 persen. Berbagai upaya untuk menggalakkan pembuatan kompos pukan dan jerami padi yang berkualitas di tingkat petani perlu terus didukung sehingga petani tidak perlu tergantung pada pupuk organik komersial. Kemampuan petani dalam membuat dekomposer/mikroba lokal (MOL) perlu diapresiasi dan diberi kesempatan untuk berkembang sehingga proses pembuatan kompos oleh petani tidak terkendala oleh kelangkaan dan cukup tingginya harga dekomposer komersial. DAFTAR PUSTAKA Ditjen Tanaman Pangan. 2008. Pedoman Umum Pelaksanaan Program SL-PTT. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Jakarta. Hartatik, W., D. Setyorini, L.R. Widowati dan S. Widati. 2005. Penelitian Teknologi Pengelolaan Hara pada Budidaya Pertanian Organik. Laporan Akhir 2005. Balai Penelitian Tanah Badan Litbang Pertanian. Karama, S.S., A.R. Marzuki, dan I. Manwan. 1990. Penggunaan Pupuk Organik pada Tanaman Pangan. Prosiding Lokakarya Nasional Penggunaan Pupuk V. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal:395-425. Kasno, A., Nurjaya dan D. Setyorini. 2003. Status C-organik Lahan Sawah di Indonesia. Prosiding Kongres Nasional VIII Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI). Padang 21-23 Juli 2003. Kurnia, U., A. Dariah dan S.H. Tolaohu. 2007. Penyusunan Baku Mutu dan Teknologi Rehabilitasi Lahan Terdegradasi. Laporan Akhir 2007. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Kurnia, U., A. Dariah dan S.H. Tolaohu. 2008. Penyusunan Baku Mutu dan Teknologi Rehabilitasi Lahan Terdegradasi. Laporan Akhir 2008. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Menteri Pertanian, 2006. Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. Deptan 2006. Setyorini, D., D. Suriadikarta, D. Santoso, A. Kasno, dan W. Suastika. 2006. Pengembangan Pupuk Majemuk NPK Pusri untuk Tanaman Pangan dan Hortikultura serta Pembentukan Desa Binaan Pusri. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. 163