BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Budaya Keselamatan Pasien
1. Pengertian Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesment risiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjut serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691 Bab 1
Pasal 1, 2011)
Keselamatan menurut persepsi pasien seperti yang dikemukakan oleh IOM
(1999, dalam Kohn et al., 2000, hal 18) adalah “freedom from accidental
injury”. Sedangkan Dep.Kes. R.I. mendefenisikan keselamatan pasien rumah
sakit sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman bagi pasien. (Dep.Kes. R.I, 2011).
Komite keselamatan pasien rumah sakit (KKPRS) PERSI mendefenisikan
KTD/adverse event merupakan suatu kejadian tak diharapkan yang
mengakibatkan
cidera
pasien
akibat
melaksanakan
suatu
tindakan
(commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(omission). Sedangkan kejadian nyaris cedera/KNC merupakan suatu
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil yang dapat mencederai pasien, tetapi
7
8
cidera serius tidak terjadi, yang disebabkan karena keberuntungan,
pencegahan atau peringanan. Contoh dari keberuntungan misalnya: pasien
mendapatkan obat yang salah tetapi tidak timbul reaksi obat. Contoh akibat
dari pencegahan, misal: pasien menerima obat dengan dosis letal, tetapi staf
lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan. Sedangkan
contoh peringanan, misal: pasien menerima obat dengan dosis letal, tetapi
keadaan ini segera diketahui secara dini kemudian diberikan penawarnya
(Dep.Kes. R.I., 2008).
2. Tujuan Keselamatan Pasien
Tujuan penanganan keselamatan pasien menurut joint commission
internasional
dalam standar Akreditasi Rumah Sakit (2011) adalah
ketepatan identifikasi pasien, meningkatkan komunikasi yang efektif,
meningkatkan keamanan dari obat yang perlu diwaspadai, memastikan benar
tepat-lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi, mengurangi resiko
infeksi terkait dengan pelayanan kesehatan dan mengurangi resiko pasien
jatuh.
Segala upaya dilakukan agar tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan dan
terbebas dari kesalahan sehingga tidak berdampak bagi pasien. Rekomendasi
dari institute of medicine (IOM) berupa empat rangkaian pendekatan dalam
mencapai keselamatan pasien diantaranya yaitu:
a. Meningkatkan kemampuan leadership, penelitian, protokol untuk
meningkatkan pengetahuan dasar tentang safety.
b. Identifikasi
dan
belajar
dari
kesalahan
yang
terjadi
dengan
mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan pada setiap kejadian
yang ada.
c. Meningkatkan standar kerja dan standar harapan untuk meningkatkan
keselamatan melalui pembelajaran dari kesalahan.
9
d. Mengimplementasikan sistem keselamatan pada organisasi untuk
menjamin praktik yang aman pada setiap tingkat pelayanan.
3. Model Manajemen Keselamatan
Model manajemen keselamatan adalah latar belakang asumsi organisasi
tentang cara dimana keamanan harus dikelola dan ditingkatkan. Model
manajemen keselamatan secara implisit atau eksplisit meliputi: unit analisis,
konsep dan sarana yang dibutuhkan untuk mengembangkan keselamatan,
cara dimana manajemen keselamatan terintegrasi dalam pengembangan
sistem manajemen keselamatan.
Badan Nasional Keselamatan Pasien mengidentifikasikan tujuh langkah
untuk keselamatan pasien (NPSA, 2004)
a. Membangun budaya keselamatan. Melakukan audit untuk menilai
budaya keselamatan.
b. Memimpin dan mendukung tim. Memandang pentingnya keselamatan
pasien dan menerapkannya dalam usaha nyata.
c. Mengintegrasikan aktivitas manajemen resiko. Secara teratur meninjau
arsip pasien.
d. Meningkatkan pelaporan. Berbagi insiden keselamatan pasien.
e. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien dan masyarakat. Mencari
tahu pandangan pasien, mendorong umpan balik dengan survey pasien.
f. Belajar dan berbagi pelajaran keselamatan. Mengadakan pertemuan rutin
kejadian yang signifikan.
g. Mengimplementasikan solusi untuk mencegah kerusakan. Memastikan
bahwa tindakan yang telah disetujui didokumentasikan, diimplementasikan dan review, dan disetujui siapa yang harus bertanggung jawab.
10
4. Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit
Sasaran keselamatan pasien di rumah sakit sebagai syarat untuk diterapkan
di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit.
Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety
Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh komite
keselamatan pasien rumah sakit (KKPRS PERSI), dan joint Commission
International (JCI).
Maksud dari sasaran keselamatan pasien adalah mendorong peningkatan
spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran ini menyoroti area bermasalah
dalam pelayanan kesehatan dan menguraikan tentang solusi atas konsensus
berbasis bukti dan keahlian terhadap permasalahan ini. Dengan pengakuan
bahwa desain/rancangan sistem yang baik itu instrinsik/menyatu dalam
pemberian asuhan yang aman dan bermutu tinggi, tujuan sasaran umumnya
difokuskan pada solusi secara sistem bila memungkinkan.
Ada Enam Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit:
a. Sasaran 1 : ketepatan identifikasi pasien
Kesalahan karena keliru-pasien sebenarnya terjadi di semua aspek
diagnosis dan pengobatan. Keadaan yang dapat mengarahkan kejadian
error/kesalahan dalam mengidentifikasi pasien adalah pasien yang dalam
keadaan terbius/tersedasi, mengalami disorientasi atau tidak sadar
sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur, kamar, lokasi di dalam
rumah sakit; mungkin mengalami disabilitasi sensori atau akibat situasi
lain.
b. Sasaran 2 : peningkatan komunikasi yang efektif
Komunikasi efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan yang
dipahami oleh resipien/penerima akan mengurangi kesalahan dan
menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara
11
elektronik, lisan atau tertulis. Komunikasi yang paling mudah mengalami
kesalahan adalah perintah diberikan secara lisan dan yang diberikan
melalui telepon, bila diperbolehkan peraturan perundangan. Komunikasi
lain yang mudah terjadi kesalahan adalah pelaporan kembali hasil
pemeriksaan kritis, seperti laboratorium klinis menelpon unit pelayanan
pasien untuk melaporkan hasil pemeriksaan segera/cito.
c. Sasaran 3 : peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai
Bila obat-obatan adalah bagian dari rencana pengobatan pasien, maka
penerapan manajemen yang benar penting/krusial untuk memastikan
keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai adalah obat
yang
persentasinya
tinggi
dalam
menyebabkan
terjadinya
kesalahan/error, obat yang beresiko tinggi menyebabkan dampak yang
tidak diinginkan, demikian pula obat-obat yang tampak mirip/ucapan
mirip. Daftar obat-obat yang sangat perlu diwaspadai tersedia di WHO.
Yang sering disebut dalam isu keamanan obat adalah penerimaan
elektrolit konsentrat secara tidak sengaja. Kesalahan ini bisa terjadi bila
staf tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit asuhan pasien, bila
perawat kontrak tidak diorientasi sebagaimana mestinya terhadap unit
asuhan pasien atau pada kegawatdaruratan. Cara yang paling efektif
untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan
mengembangkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai
termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien
ke farmasi.
d. Sasaran 4 : kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi
Salah-lokasi, salah-prosedur, salah-pasien operasi adalah kejadian yang
mengkhawatirkan dan biasa terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah
akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara
anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien didalam penandaan
12
lokasi dan tidak ada prosedur untuk memverifikasi lokasi operasi.
Disamping itu juga asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang
catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi
terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan
dengan resep yang tidak terbaca dan pemakaian singkatan adalah
merupakan faktor-faktor konstribusi yang sering terjadi.
e. Sasaran 5 : pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi
dalam kebanyakan tatanan pelayanan kesehatan dan peningkatan biaya
untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para professional
pelayanan kesehatan. Infeksi umumnya dijumpai dalam semua bentuk
pelayanan kesehatan termasuk infeksi salurah kemih- terkait kateter,
infeksi aliran darah dan pneumonia.
f. Sasaran 6 : pengurangan resiko pasien jatuh
Jumlah kasus jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera
pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani,
pelayanan
yang diberikan dan fasilitasnya, rumah sakit perlu
mengevaluasi resiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi risiko cidera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa meliputi
riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap obat dan konsumsi alkohol,
penelitian terhadap gaya/cara jalan dan keseimbangan, serta alat bantu
berjalan yang digunakan pasien. Program ini memonitor baik
konsekuensi yang dimaksudkan atau yang tidak sengaja terhadap
langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi jatuh. Misal
penggunaan yang tidak benar dari alat penghalang atau pembatasan
asupan cairan bisa menyebabkan cidera, sirkulasi yang terganggu atau
13
integrasi kulit yang menurun. Program tersebut harus diterapkan di
rumah sakit.
5. Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah pola dasar asumsi, nilai dan keyakinan bersama
yang dianggap sebagai cara berfikir dan bertindak yang tepat dalam
menghadapi masalah dan peluang organisasi (McShane,2003).
Budaya organisasi yang kuat membangun kesuksesan organisasi. (Gett,
2003) budaya organisasi memiliki tiga fungsi (McShane, 2003):
a. Budaya organisasi adalah bentuk yang tertanam dan terkontrol sosial
yang mempengaruhi bagaimana pegawai mengambil keputusan dan
berperilaku.
b. Budaya organisasi adalah perekat sosial yang mengikat orang-orang dan
membuat mereka merasa menjadi bagian dari organisasi. Pegawai
termotivasi untuk mendalami budaya organisasi yang dominan karena
hal tersebut memenuhi kebutuhan identitas sosial mereka.
c. Budaya organisasi membantu proses nilai keputusan. Membantu pegawai
mengerti situasi organisasi. Mereka dapat menyelesaikan tugas mereka
ketimbang menghabiskan waktu mencari tahu apa yang diharapkan dari
mereka. Pegawai dapat berkomunikasi dengan lebih efisien dan bekerja
sama dengan baik karena mempunyai model mental yang sama
(Flemming 2005)
6. Budaya Keselamatan
Budaya keselamatan adalah hasil akhir dari sikap, nilai, persepsi,
kompetensi, dan pola kebiasaan yang memberi gambaran komitmen, gaya
dan keandalan manajemen suatu organisasi. Organisasi dengan budaya
keselamatan yang positif dikarakterkan dengan komunikasi berdasarkan
14
kepercayaan, dengan bertukar persepsi akan keselamatan dan oleh efektifnya
langkah-langkah pencegah.
Untuk mencapai keselamatan pasien, dibutuhkan komunikan terbuka, kerja
tim dan dukungan lingkungan yang merupakan karakter dari budaya
kelompok. Peningkatan keselamatan pasien juga memerlukan perubahan
organisasi, inovasi dan keberanian mengambil resiko yang merupakan
elemen dari budaya berkembang. (Singer et al, 2009) sebaliknya meskipun
budaya hirarki dan budaya rasional fokus pada hasil yang membantu dalam
pemeriksaan kesalahan dan prosedur keselamatan lainnya, ada elemen yang
tidak sesuai dengan tujuan positif
keselamatan pasien. Disamping itu
budaya hirarki menghambat komunikasi dan keterbukaan untuk menunjang
perubahan. Budaya rasional yang menitikberatkan pada hasil dan pencapaian
dapat membawa organisasi untuk fokus kepada produksi dan efisiensi
sebagai penghamburan unsur keselamatan. (Singer at al 2009).
7. Model Budaya Keselamatan Pasien
Model DISC (Design for Integrated Safety Culture) menjelaskan unsurunsur dari suatu organisasi yang memiliki potensi baik untuk keselamatan
pasien. Menurut model DISC, organisasi memiliki potensi yang baik untuk
keselamatan ketika memenuhi kriteria sebagai berikut dalam kegiatan
organisasi:
1. Keselamatan adalah nilai utama dalam organisasi dalam mengambil
keputusan dan kegiatan sehari-hari
2. Keselamatan ini dipahami sebagai fenomena yang kompleks dan
sistemik.
3. Bahaya dan persyaratan tugas dipahami secara menyeluruh.
4. Organisasi sadar dalam praktik pelayanan kesehatannya.
5. Tanggung jawab akan fungsi yang aman dari seluruh sistem.
6. Kegiatan diselenggarakan secara teratur.
15
Model DISC menitikberatkan pentingnya pengetahuan dan pemahaman
tentang keselamatan, tugas utama diharapkan dan bahaya yang ada dalam
sistem. Tanpa pemahaman yang menyeluruh terhadap keselamatan dan
risiko, organisasi bisa fokus pada tantangan yang tidak relevan, membuat
keputusan beresiko atau buta terhadap ancaman baru. Model DISC juga
menyatakan
bahwa
fungsi
organisasi
tertentu
diperlukan
untuk
mengembangkan taraf keselamatan yang tinggi dalam suatu organisasi
termasuk manajemen bahaya (seperti penilaian resiko, sistem keselamatan
dan alat pelindung diri), praktik manajemen kompetensi (seperti kursus
pelatihan teknologi tertentu atau pengobatan yang digunakan, mentoring
pendatang
baru),
pro-aktif
mengembangkan
keselamatan
(seperti
melaporkan dan manganalisa insiden, penilaian organisasi berkala) dan
praktek kerja manajemen kondisi (seperti menilai kecukupan staf, dan
memastikan peralatan yang diperlukan untuk kerja). (Machii et.al, 2011)
Budaya keselamatan mempengaruhi keselamatan pasien dengan memotivasi
pegawai dalam memilih kebiasaan yang meningkatkan dibanding yang
menurunkan
keselamatan
pasien
(Nieva
and
Sorra
2003).
Langkah pertama menuju keselamatan pasien adalah membangun budaya
keselamatan pasien. Singer et al (2003). mengidentifikasi 7 (tujuh) elemen
budaya keselamatan pasien sebagai berikut:
a. Komitmen pemimpin akan keselamatan.
b. Sumber daya organisasi akan keselamatan pasien.
c. Prioritas keselamatan dibanding produksi.
d. Keefektifan dan keterbukaan komunikasi.
e. Keterbukaan terhadap masalah dan kesalahan.
f. Studi organisasi.
g. Frekuensi tindakan tidak aman
16
Dalam menciptakan budaya keselamatan pasien dan menurunkan angka
kesalahan, diperlukan pemimpin yang menanamkan budaya yang jelas,
mendukung usaha pegawai dan tidak bersifat menghukum yang disebut
dengan kepemimpinan transformasional. Budaya keselamatan pasien yang
kuat dengan sendirinya akan menurunkan angka kesalahan medis (Ruchlin et
al., 2004).
8. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
KKP-RS
(2008)
mengatakan
KNC
adalah
suatu
kejadian
akibat
melaksanakan suatu tindakan (commiccion) atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil (omission) yang dapat mencederai pasien, tetapi
cedera serius tidak terjadi karena keberuntungan (missal pasien menerima
suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat). Pencegahan (suatu
obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan
membatalkannya sebelum obat diberikan), peringanan (suatu obat dengan
overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotnya).
KNC lebih sering terjadi dibandingkan dengan kejadian tidak diharapkan,
frekuensi kejadian ini tujuh sampai seratus kali lebih sering terjadi, model
penyebab terjadinya insiden, KNC berperan sebagai awal sebelum terjadinya
KTD. Kejadian nyaris cedera menyediakan dua tipe informasi terkait dengan
keamanan pasien:
1. Kelemahan dari sistem pelayanan kesehatan (kesalahan dan kegagalan
termasuk tidak adekuatnya sistem pertahanan).
2. Kekuatan dari sistem pelayanan kesehatan (tidak ada perencanaan,
tindakan pemulihan secara informal).
Penyebab dari insiden ini meliputi kegagalan teknis (technical failure),
kegagalan manusia (human operator failure) dan kegagalan organisasi
(Organizational failure). Kegagalan pada awal kegiatan, sebagai pencetus
17
adalah kesalahan manusia, teknikal, kegagalan organisasi atau kombinasi
keduanya. Jika hal ini tidak dapat dicegah, proses berlanjut pada situasi yang
berbahaya (peningkatan resiko sementara akibat dari kegagalan awal tetapi
tidak menimbulkan akibat actual), jika pertahanan adekuat kondisi kembali
normal . jika pertahanan tidak adekuat, kegagalan dalam pertahanan seperti
prosedur pengecekan ulang (double check procedures).
9. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
Menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit atau (KKP-RS, 2008)
mendefenisikan KTD sebagai suatu kejadian yang mengakibatkan cedera
yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (Commission) atau
karena tidak bertindak (omission), dan bukan karena kondisi pasien. KTD
ada yang dapat dicegah dan ada yang tidak dapat dicegah. KTD yang dapat
dicegah berasal dari kesalahan proses asuhan pasien.
KTD sebagai dampak dari kesalahan proses asuhan sudah banyak dilaporkan
terutama di Negara maju. KTD yang tidak dapat dicegah adalah suatu
kesalahan akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah walaupun dengan
pengetahuan yang mutakhir (Cahyono, 2008). Setiap organisasi dan institusi
yang bergerak di bidang apapun, menerapkan suatu sistem pengamanan
untuk mencegah suatu insiden termasuk organisasi rumah sakit. Menurut
James Reason pendekatan sistem dapat digunakan untuk menggambarkan
bagaimana suatu insiden terjadi.
10. Sembilan Solusi Keselamatan Pasien
Laporan oleh Institute of Medicine (IOM) di tahun 1999 membawa perhatian
nasional terhadap kesalahan medis di rumah sakit yang serius (Koh,
Corrigan, dan Donaldson, 1999). Laporan Health Grades mengindikasikan
bahwa kematian sekitar 195.000 pasien yang dirawat di rumah sakit Amerika
18
pada tahun 2000, 2001, dan 2002 diakibatkan oleh kesalahan medis yang
dapat dicegah (Health Grades, 2005).
Terdapat tiga jenis kesalahan medis yang hampir 60% kecelakaan
keselamatan klien, yaitu infeksi pasca operasi, luka tempat tidur (Dekubitus),
dan kegagalan diagnosis dan terapi yang tidak tepat waktu. Kesalahan
pengobatan dapat terjadi kapan saja pada proses administrasi pengobatan,
baik selama instruksi, peresepan, pengambilan dan pemberian obat. Sebagian
besar kesalahan medis terjadi saat instruksi dan pemberian pengobatan
(Agency for Health Care Research and Quality atau AHRQ, 2006). World
Health Organization (WHO) dan The Joint Commission (TJC) bekerjasama
merumuskan Sembilan solusi keselamatan pasien untuk menyelamatkan jiwa
pasien yaitu:
a. Memperhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, soundalike, and medication names).
b. Memastikan identifikasi pasien
c. Berkomunikasi secara benar saat serah terima atau pengoperan pasien.
d. Memastikan tindakan yang benar dan letak anggota tubuh yang benar
saat dilakukan terapi.
e. Mengendalikan cairan elektroklit pekat (concentrated).
f. Memastikan kebenaran pemberian obat pada pengalihan pelayanan.
g. Menghindari salah kateter dan salah sambung selang (tube)
h. Menggunakan alat injeksi sekali pakai.
i. Meningkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nasokomial.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi budaya Keselamatan Pasien
1. Faktor Kepemimpinan
a. Definisi
Membangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang
keselamatan pasien di rumah sakit dengan langkah penerapan
19
memastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung jawab
atas keselamatan pasien. mengidentifikasi di tiap bagian rumah sakit,
orang-orang yang dapat diandalkan untuk menjadi penggerak dalam
gerakan keselamatan pasien dan memprioritaskan keselamatan pasien
dalam agenda rapat Direksi/Pimpinan maupun rapat-rapat manajemen
rumah sakit serta memasukkan keselamatan pasien dalam semua
program latihan staf rumah sakit dan memastikan pelatihan ini diikuti
dan diukur efektivitasnya.
Dalam unit tim, staf juga harus menominasikan penggerak dalam tim
sendiri untuk memimpin gerakan keselamatan pasien, menjelaskan
kepada tim relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi mereka dengan
menjalankan gerakan keselamatan pasien dan menumbuhkan sikap
ksatria yang menghargai pelaporan insiden.
b. Pendekatan Dalam Teori Kepemimpinan
Ada beberapa pendekatan mengenai teori kepemimpinan. Teori-teori
tersebut antara lain berdasarkan sifat, perilaku, situasi dan pembagian
grup.
1) Teori sifat (pendekatan karakter)
Teori sifat adalah teori kepemimpinan yang berusaha untuk
mengidentifikasi karakteristik seperti fisik, mental dan kepribadian
yang dikaitkan dengan keberhasilan kepemimpinan. Teori ini
berdasarkan pada asumsi bahwa beberapa orang mempunyai bakat
memimpin dengan tanda-tanda seperti selalu bersemangat, antusias
yang mendalam, pandangan masa depan dan kekuatan persuasive
yang luar biasa.
20
2) Teori perilaku
Teori kepribadian perilaku adalah teori yang berdasarkan bahwa
perilaku seseorang dapat menentukan keefektifan kepemimpinan
seseorang (Robbins dan judge, 2009). Melalui pendekatan ini,
efektivitas kepemimpinan tergantung pada seberapa baik seorang
pemimpin mampu menyelesaikan konflik peran, mengatasi tuntutan,
mengenali peluang dan mengatasi hambatan (Baizuri, 2009).
3) Teori kepemimpinan situasional
Teori kepemimpinan situasional adalah teori yang menyatakan
bahwa pemimpin harus memahami perilaku, sifat-sifat bawahannya
dan situasi sebelum menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu.
Pendekatan ini mensyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan
diagnostic dalam perilaku manusia (Rivai, 2003).
4) Teori Leader-Member Exchange (LMX)
Teori dalam Leader-Member Exchange adalah pemimpin membuat
sebuah hubungan khusus dengan suatu grup yang terdiri dari
beberapa pengikutnya.
c. Pendekatan Kepemimpinan Inspirasional
a. Teori kepemimpinan karismatik
Kepemimpinan
karismatik
ditandai
dengan
adanya
seorang
pemimpin yang mempunyai dampak yang mendalam dan tidak biasa
terhadap pengikutnya.
b. Kepemimpinan Transaksional
Pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau
memotivasi pengikutnya untuk mencapai tujuan dengan menjelaskan
peran dan tugas yang diharuskan.
21
c. Teori kepemimpinan transformasional
Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang memberikan
pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan
memiliki karisma. Terdapat beberapa cara pemimpin tersebut
mentransformasikan dan memotivasi para pengikut, yaitu membuat
pengikutnya lebih sadar mengenai pentingnya hasil pekerjaan dan
mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi daripada
kepentingan diri sendiri.
d. Self-Leadership
Self-Leadership adalah sebuah proses yang membuat individu dalam
organisasi dapat mengontrol perilakunya sendiri dimana peran
pemimpin adalah untuk membantu pengikutnya dalam memimpin
diri mereka sendiri.
d. Kepemimpinan Dalam Keselamatan Kerja
Beberapa tahun terakhir, banyak penulis menyoroti pentingnya
kepemimpinan dalam keselamatan kerja. Mereka menemukan bahwa
keselamatan
yang
terkait
dengan
kejadian
hamper
selalu
mempertimbangkan perilaku keselamatan kerja yang diprediksi oleh
iklim keselamatan kerja, dan iklim keselamatan kerja diprediksi secara
positif oleh kepemimpinan trransformasional.
Di Indonesia terdapat aturan sistem manajemen kesehatan dan
keselamatan kerja (SMK3) yang diatur dalam Permenker 05/Men/1996.
Dalam peraturan ini, salah satunya adalah mengatur syarat uraian jabatan
disusun dengan memperhatikan aspek K3 yang menjadi tanggung
jawabnya. Disini dicantumkan tanggung jawab pada level manajemen
atau supervisior secara umum adalah memastikan K3 dikelila dengan
baik dalam area tanggung jawab dan wewenang level manajemen, antara
22
lain adalah memastikan pekerja menggunakan alat pelindung diri sesuai
dengan persyaratan, memberikan pemahaman pada pekerja tentang
potensi bahaya yang dapat terjadi di tempat kerja, dan membuat instruksi
kerja atau prosedur tentang penggunaan alat pelindung diri, jika hal itu
diperlukan.
2. Faktor Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas
perhatian dan persepsi terhadap objek.
Pengetahuan seseorang terhadap
objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo,
2010).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang. Dari pengalaman penelitian tertulis bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan yang ingin dicari oleh penulis adalah pengetahuan perawat
tentang sasaran-sasaran keselamatan yang akan diberikan kepada setiap
pasien. (Notoatmodjo, 2010). Dari pengalaman dan penelitian, ternyata
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dibandingkan
perilaku yang tidak baik didasari oleh pengetahuan karena didasari oleh
kesadaran, rasa tertarik, dan adanya pertimbangan dan sikap positif.
Tingkatan pengetahuan terdiri atas 6 tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2003):
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk didalamnya adalah mengingat kembali (Recall)
23
terhadap suatu yang khusus dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, “Tahu” merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah gunanya untuk mengukur bahwa
orang tahu yang dipelajari seperti : menyebutkan, menguraikan,
mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menjelaskan materi
tersebut secara benar.
3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu
struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada
24
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada.
3. Faktor Sikap
Sikap adalah pernyataan evaluative. Baik yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan mengenai objek, orang atau peristiwa. Sikap mencerminkan
bagaimana seseorang merasakan sesuatu sumber sikap bisa diperoleh dari
orang tua, guru atau rekan kerja. Model sikap dapat meniru sikap orang yang
kita kagumi, hormati atau mungkin sikap orang yang kita takuti.
Pendapat yang disampaikan oleh Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles
Osgood dalam Azwar (1995) bahwa sikap adalah bentuk evaluasi reaksi
perasaan.
Menurut tingkatannya, sikap terdiri atas:
a. Menerima, menerima diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan
pengetahuan yang diberikan.
b. Merespon, memberikan jawaban bila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap
karena
dengan
suatu
usaha
untuk
menjawab
pertanyaan
atau
mengerjakan tugas. Lepas dari pekerjaan itu benar maupun salah, berarti
orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai,
mengajak
orang
lain
untuk
mengerjakan
atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi dari sikap tingkat 3.
d. Bertanggung jawab, bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling
tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dengan cara
menanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap
suatu objek.
25
Menurut Robbins (2011) ada tiga komponen struktur sikap yang penting
dan saling menunjang yaitu komponen:
a. Kognitif
Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu. Komponen
ini berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku dan apa
yang benar bagi objek sikap dan hal ini sudah terpolakan dalam
pikirannya.
b. Afektif
Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Pada umumnya
reaksi emosional sebagai komponen affektif banyak dipengaruhi oleh
kepercayaan atau apa yang dipercayai sebagai sesuatu yang benar dan
berlaku bagi objek tersebut.
c. Konatif
Adalah aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap
yang dimiliki oleh seseorang yang berkaitan dengan objek sikap yang
dihadapi. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan
perasaan banyak mempengaruhi perilaku.
4. Faktor Motivasi
Motivasi diartikan sebagai kekuatan, dorongan, kebutuhan, semangat,
tekanan atau mekanisme psikologis yang mendorong seseorang atau
sekelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu sesuai dengan apa yang
dikehendakinya. Kekuatan, dorongan, kebutuhan, tekanan dan mekanisme
psikologis yang dimaksudkan diatas merupakan akumulasi faktor-faktor
internal dan eksternal. Faktor internal bersumber dari dalam diri individu itu
sendiri, sedangkan faktor eksternal bersumber dari luar individu.
26
Menurut Anoraga (2005) motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan
semangat atau dorongan kerja. Oleh sebab itu , motivasi kerja dalam
psikologi kerja disebut pendorong semangat kerja. Kuat dan lemahnya
motivasi kerja seseorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya
prestasinya. Motivasi menurut Shortell dan Haluzny adalah perasaan atas
pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan
kekuasaan terutama dalam berperilaku.
Kebutuhan manusia tersusun secara hierarki. Bila suatu kebutuhan telah
dapat dicapai oleh individu, maka kebutuhan yang lebih tinggi segera
menjadi kebutuhan baru yang harus dicapai. Konsekuensinya untuk jangka
panjang, individu tidak dapat dimotivasi hanya oleh penghargaan dan
perasaan sukses saja, yang lebih penting adalah memberikan kepastian yang
penjelasan yang cukup dan jaminan keamanan kerja sebagai pekerja tetap.
(Teori Maslow)
Kebutuhan motivasi (motivator) dalam urutan yang lebih tinggi meliputi
kemajuan dan perkembangan, tanggung jawab, penghargaan, prestasi dan
kenyamanan pekerjaan itu sendiri. Menurut Hezberg, untuk memotivasi
seseorang pegawai/perawat sebagai langkah awal, seorang manajer pertamatama harus memenuhi atau sekurang-kurangnya memelihara kebutuhan
dasar. Setelah hal itu terpenuhi, kebutuhan motivasi menjadi prioritas.
Prestasi kerja sebagai salah satu unsur motivator dapat dipengaruhi oleh
kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Kualitas emosional yang tertata
dengan baik akan menjadikan karyawan dapat menata dirinya dan dalam
hubungan dengan orang lain, sehingga dapat melaksanakan tugas pekerjaan
dengan prestasi baik.
27
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi
merupakan suatu yang dapat menimbulkan semangat atau dorongan bekerja
individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam memuaskan
kebutuhan-kebutuhan.
a. Teori Motivasi
1. Teori Abraham Maslow
Motivasi manusia timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan, yaitu: a).
fisiologi, antara lain rasa lapar, haus dan kebutuhan jasmani lainnya ; b).
keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian
fisik dan emosional; c). social, meliputi diterima baik, rasa memiliki,
kasih sayang; d). penghargaan, meliputi factor penghormatan dari luar
seperti status, pengakuan dan perhatian; e) aktualisasi diri, dorongan
untuk menjadi seseorang sesuai ambisiusnya meliputi pencapaian potensi
dan pemenuhan kebutuhan diri.
2. Teori Herzberg
Menurut Herzberg, tinggi rendahnya motivasi dan tingkat kepuasan kerja
seseorang ditentukan oleh faktor atau kondisi tertentu. Faktor-faktor
tersebut adalah: a). motivator; yaitu faktor-faktor yang mendorong
seseorang kepada sikap positif dan lebih bermotivasi, sehingga
menambah kepuasan
kerja. b).
faktor hhegiene adalah faktor
penceggahan kemerosotan semangat kerja dan dapat menghindarkan
kekacauan yang menekan produktivitas.
3. Teori Mc. Clelland
Menurut David Mc. Clelland teori motivasi dibagi menjadi tiga macam
yaitu: a). motivasi berprestasi, yaitu dorongan untuk mencapai sukses
dalam
berkompetensi
dengan
standard
sendiri
selalu
berusaha
meningkatkan kemampuan dalam mewujudkan cita-citanya. b). affiliasi,
yaitu dorongan untuk diterima orang lain dan bersatu, pegawai yang
28
bermotif untuk affiliasinya diterima, diakui dan dihargai orang lain. c).
motif berkuasa, yaitu dorongan yang timbul dari diri seseorang untuk
menguasai atau mempengaruhi orang lain.
4. Teori Morgan
Dalam bukunya Introduction to psychology, menjelaskan beberapa teori
motivasi sebagai berikut: a). teori insentif, seseorang berperilaku tertentu
untuk mendapatkan sesuatu. Insentif biasanya hal-hal yang menarik dan
menyenangkan, dan bisa juga sesuatu yang tidak menyenangkan, maka
orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan insentif yang
tidak menyenangkan, ini dapat juga terjadi sekaligus.
b. Perangsang Motivasi
Agar seseorang mau dan bersedia melakukan seperti yang diharapkan,
kadang kala perlu disediakan perangsang.
Perangsang dibedakan atas dua macam, yaitu:
1) Perangsang positif
Perangsang positif adalah imbalan yang menyenangkan yang
disediakan untuk karyawan yang berprestasi.
2) Perangsang negatif
Perangsang negatif ialah imbalan yang tidak menyenangkan berupa
hukuman bagi karyawan yang tidak berprestasi dan ataupun yang
berbuat tidak seperti yang diharapkan.
5. Faktor Komunikasi
Mengembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien. langkah
penerapan dirumah sakit dilakukan yaitu pastikan rumah sakit memiliki
kebijakan yang secara jelas menjabarkan cara-cara komunikasi terbuka
selama proses asuhan tentang insiden dengan para pasien dan keluarganya,
29
pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang benar dan
jelas bilamana terjadi insiden dan memberikan dukungan, pelatihan dan
dorongan semangat kepada staf agar selalu terbuka kepada pasien dan
keluarganya.
Dalam penerapan komunikasi untuk unit/tim, pastikan tim menghargai dan
mendukung keterlibatan pasien dan keluarganya bila telah terjadi insiden,
prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana terjadi
insiden dan segera berikan kepada mereka informasi yang jelas dan benar
secara tepat. pastikan segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati
kepada pasien dan keluarganya.
C. Kerangka Konsep
Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Faktor-faktor yang mempengaruhi budaya
keselamatan pasien:
1.
2.
3.
4.
5.
Kepemimpinan
Pengetahuan
Sikap
Motivasi
Komunikasi
Download