PENDEKATAN BIOTIK DALAM PENGUATAN LERENG Firmansam Bastaman, IALI. Rully Wijayakusuma, IALI Pendahuluan Sebuah berita yang sungguh menghenyakkan, ketika telivisi menayangkan berita memilukan sebuah danau jebol menghanyutkan harta benda bahkan banyak nyawa. Kami sungguh tidak percaya kalau hal ini terjadi di suatu tempat yang berada di sekitar Ibu kota negara tercinta ini. Ibu kota negara yang di huni jutaan manusia, yang sebagian besar adalah para intelektual yang tentu sangat paham akan apa dan kenapa hal ini bisa terjadi. Dari berita di koran, berita di televisi serta wawancara para ahli, banyak dibicarakan permasalahan utama terletak pada pemeliharaan dinding beton penahan, pemanfaatan lahan di seputar danau serta “si kambing hitam” pemanasan global. Memang benar bahwa ketiga hal yang banyak di sebut-sebut adalah biangkeladinya. Tapi, tentu saja semuanya tidak berdiri sendiri, sebab akibat dan saling keterkaitan satu sama lainnya menjadi pemicu musibah ini terjadi. Selama ini telah terbentuk pemahaman di masyarakat, bahwa pemasangan turap atau dinding penahan beton adalah satu-satunya cara untuk memperkuat lereng, sehingga seolah tidak ada alternatif lainnya. Padahal masih ada pendekatan lainnya untuk menguatkan lereng, yaitu melalui pendekatan biotik. Memang benar bahwa penguatan lereng dengan beton penahan lebih terukur kekuatannya, dan dalam kondisi tertentu penguatan dengan beton menjadi pilihan yang tidak mungkin digantikan dengan lainnya, termasuk material biotik. Walaupun pendekatan ini cukup mahal, dan seringkali secara visual kurang menarik. Tulisan ini tidak juga bermaksud membandingkan mana yang lebih baik atau lebih kuat, tetapi lebih di maksudkan mencari alternatif penguat lereng yang kuat, murah serta memberikan sumbangan ekologis yang baik pada lingkungan. Lebih penting lagi memberikan kontribusi pada keselamatan dan keamanan pada masyarakat, dari ancaman longsor atau banjir seperti yang pernah terjadi sebelum ini. Mekanisme Penguatan Lereng Agak berbeda dengan erosi, longsor adalah peristiwa berpindahnya tanah dari satu tempat ke tempat lain di sekitarnya. Penyebab lonsor yang sering terjadi adalah air hujan yang meresap ke dalam lereng, sehingga menimbulkan beban tambahan, sedangkan penyebab lainnya bisa oleh gempa bumi, peristiwa vulkanis atau faktor geologis lainnya. Jebolnya situ Gintung pada prinsipnya adalah longsor, hanya penyebabnya sangat spesifik dan diduga keras adalah tekanan air danau, yang melebihi kemampuan dinding penahan serta lerengnya, untuk menahan beban yang ditimbulkan oleh akumulasi air di situ tersebut. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lonsor atau jebolnya dinding situ terjadi sebagai akibat terganggunya keseimbangan daya dukung lereng, akibat adanya gangguan terhadap daya dukungnya atau akibat adanya beban tambahan. Gangguan daya dukung dapat berupa pengambilan material (batu atau tanah) seperti terjadi di lokasi pertambangan bahan galian C. Dapat pula terjadi karena pemotongan sisi miring pada kaki lereng untuk pembangunan perumahan dan lain sebagainya. Pembuatan dinding penahan beton di maksudkan untuk meningkatkan daya dukung lereng yang ada. Permasalahannya, penambahan penguat semacam itu akan efektif apabila lerengnya dalam keadaan stabil. Adanya akumulasi air hujan yang tidak tersalurkan pada lereng, atau penambahan struktur bangunan yang berat, dapat menjadi pemicu terjadinya longsor, sekalipun telah dibuat dinding penahan atau turap. Kasus semacam ini sudah sangat sering kita lihat, dimana dinding penahan yang roboh terseret oleh longsor. Mangatasi hal tersebut di atas, bagaimana kita meningkatkan stabilitas lereng, sehingga mampu menahan beban tambahan yang timbul. Nenek moyang kita sudah lama mengajarkan dan memberi contoh, untuk tidak mengganggu tanaman yang tumbuh di lereng- lereng atau bukit terjal. Sudah kita fahami pepohonanlah, benar bahwa yang akar mampu meningkatkan daya ikat tanah, sehingga lereng menjadi stabil. Permasalahannya adalah pohon apa yang kita pilih untuk maksud tersebut di atas. Melihat dari beberapa kasus longsor, ternyata akar pohon yang ada tidak tumbuh cukup menyebar ke dalam tanah. Sehingga tidak jarang terjadi longsor pada lereng walaupun cukup banyak di tumbuhi pohon. Dari hasil pengamatan ternyata pada umumnya akar pohon hanya berada pada kedalaman sekitar 1 – 1,5 meter saja). Apalagi bila kita menanam pohon yang berasal dari perbanyakan stek, dimana cara perbanyakan ini sering dijadikan sumber pembibitan pohon untuk ditanam di perkotaan. Akar pohon cenderung menyebar disekitar permukaan tanah, pada kedalaman kurang dari 1 meter. Hal ini terjadi karena top soil yang mengandung banyak unsur hara tanaman berada pada kedalaman ini. Penyebaran akar pada kedalaman ini memang baik sebagai pengikat tanah pada permukaan lereng. Diperlukan akar tanaman yang tumbuh lebih dalam untuk memperkuat lereng dari kemungkinan longsor, yang kerap terjadi hingga kedalaman sekitar 2 meter. Untuk itu diperlukan tanaman yang memiliki perakaran yang tumbuh dalam, sehingga mampu meningkatkan daya dukung tanah terhadap kemungkinan terjadi longsor atau menahan beban yang di timbulkan oleh hujan atau air di danau. Akar Wangi ( Vetiveria zizanioides ) sebagai alternatif tanaman penguat lereng. Mungkin masih banyak alternatif tanaman yang bisa digunakan, tetapi pada kesempatan ini kami ingin menampilkan tanaman akar wangi ( Vetiveria zizanioides ,) yang cukup di kenal di Indonesia. Ternyata memiliki manfaat lain, selain sebagai sumber minyak atsiri yang sangat harum baunya. Vetiver, yang di Indonesia dikenal sebagai akar wangi (Vetiveria zizanioides) atau usar (Vetiver nigritana), adalah sejenis rumput-rumputan berukuran besar yang memiliki banyak keistimewaan. Di Indonesia rumput ajaib ini baru dimanfaatkan sebagai penghasil minyak atsiri melalui ekstraksi akar wangi, tetapi di Akar Wangi ( Vetiveria zizanioides ) mancanegara vetiver banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan ekologis dan fitoremediasi (memperbaiki lingkungan dengan menggunakan tanaman) lahan dan air seperti rehabilitasi lahan bekas pertambangan, pencegah erosi lereng, penahan aberasi pantai, stabilisasi tebing, dan sebagainya melalui teknologi yang disebut Vetiver Grass Technology (VGT) atau Vetiver System (VS), sebuah teknologi yang sudah dikembangkan selama lebih dari 200 tahun di India. Vetiver System adalah sebuah teknologi sederhana berbiaya murah yang memanfaatkan tanaman vetiver hidup untuk konservasi tanah dan air serta perlindungan lingkungan. VS sangat praktis, tidak mahal, mudah dipelihara, dan sangat efektif dalam mengontrol erosi dan sedimentasi tanah, konservasi air, serta stabilisasi dan rehabilitasi lahan. Vetiver juga mudah dikendalikan karena tidak menghasilkan bunga dan biji yang dapat cepat menyebar liar seperti alang-alang atau rerumputan lainnya. Keajaiban vetiver sebagai tanaman ekologis disebabkan oleh sistem perakarannya yang unik. Tanaman ini memiliki akar serabut yang masuk sangat jauh ke dalam tanah (saat ini rekor akar vetiver terpanjang adalah 5.2 meter yang ditemukan di Doi Tung, Thailand). Akar vetiver diketahui mampu menembus lapisan setebal 15 cm yang sangat keras. Di lereng-lereng yang keras dan berbatu, ujung-ujung akar vetiver mampu masuk menembus dan menjadi semacam jangkar yang kuat. Cara kerja akar ini seperti besi kolom yang masuk ke dalam menembus lapisan tekstur tanah, dan pada saat yang sama menahan partikel-partikel tanah dengan akar serabutnya. Kondisi ini bisa mencegah erosi yang disebabkan oleh angin dan air sehingga vetiver dijuluki sebagai „kolom hidup‟. Keajaiban vetiver lainnya adalah daya adaptasi pertumbuhannya yang sangat luas. Tanaman ini dapat tumbuh baik di lingkungan yang tidak menguntungkan termasuk pada lahan berat yang : (1) masam, mengandung mangan dan alumunium; (2) bersalinitas tinggi dan mengandung banyak natrium; (3) mengandung logam berat seperti Ar, Cd, Co, Cr, Pb, Hg, Ni, Se, dan Zn. VETIVER SI “KOLOM HIDUP” Inilah yang terjadi jika vetiver ditanam di lereng miring, 1. Vetiver menahan laju air run-off dan material erosi yang terbawa dengan tubuhnya 2. Proses itu secara detail dapat dilihat pada gambar dan keterangan berikut, Daun dan batang vetiver memperlambat aliran endapan yang terbawa run-off di titik A sehingga tertumpuk di titik B. Air terus mengalir menuruni lereng C yang lebih rendah. Akar tanaman (D) mengikat tanah di bawah tanaman hingga kedalaman 3 meter. Dengan membentuk “tiang” yang rapat dan dalam di dalam tanah, akar-akar ini mencegah terjadinya erosi dan longsor. Vetiver akan efektif jika ditanam dalam barisan membentuk pagar. 3. Ilustrasi barisan vetiver yang ditanam pada lereng akan tampak seperti gambar di bawah, Akar-akar vetiver yang masuk ke dalam tanah sedalam ± 3 meter akan berfungsi seperti kolom-kolom beton yang menahan tanah agar tidak longsor sehingga tanah menjadi stabil. Barisan itu juga menahan material erosi di belakang tubuhnya yang dapat mengurangi kecuraman dan akhirnya membentuk teras-teras yang lebih landai. Penanaman vetiver sebagai penguat lereng Penutup Pendekatan biotik dalam penguatan lereng, hanyalah salah satu cara saja dalam upaya mencegah terjadinya musibah seperti yang terjadi di Situ Gintung. Dalam kondisi tertentu, menggabungkan penguatan lereng antara pendekatan teknik konstruksi (turap, bronjong dll), dengan teknologi biotik bisa merupakan alternatif yang ideal. Membaca mas media yang menghawatirkan terjadinya musibah yang sama di beberapa danau yang tersebar di sekitar pemukiman penduduk, sudah saatnya dilakukan tindakan pencegahan jangan menunggu musibah terjadi. Mengandalkan dan menyalahkan pemerintah saja, bukanlah solusi yang terbaik. Sudah saatnya kita berperan langsung dalam mengantisipasi kemungkinan bencana yang sama terjadi. Menjaga dan memelihara dapat segera dilakukan oleh masyarakat sendiri, melalui bimbingan dan petunjuk yang lebih ahli tentu diperlukan.