Sahabat Senandika - Yayasan Spiritia

advertisement
Yayasan Spiritia
No. 18, Mei 2004
Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Laporan Kegiatan
Akreditasi Fasilitas
Layanan Kesehatan
Oleh Babe
Saya mengikuti WHO Consultation on
Accreditation of Health Service Facility for HIV
Care (Konsultasi WHO tentang Akreditasi Fasilitas
Layanan Kesehatan untuk Perawatan HIV) di
Jenewa 10-11 Mei 2004, sebagai wakil GNP+
(Jaringan Odha Sedunia). Pertemuan ini dihadiri
oleh kurang lebih 25 wakil dari seluruh dunia
(sebagian dari kantor WHO). Pertemuan ini
dilakukan terutama untuk mendukung Langkah
Tindakan 6e pada halaman 40 buku strategi
prakarsa “3 pada 5” WHO “Treating 3 million by
2005: making it happen: the WHO strategy”.
Langkah itu berbunyi: “mengembangkan cara
untuk akreditasi tempat pemberian layanan”,
dengan indikator: “standar pemberian layanan dan
kriteria akreditasi diterbitkan dan dipakai.”
Draf dokumen disediakan oleh Joint
Commission International (JCI), organisasi yang
sejak dulu menjadi penasihat WHO untuk
akreditasi. Namun wakil JCI yang hadir mengaku
bahwa mereka belum mempunyai pengalaman
khusus tentang HIV.
Proses dipimpin oleh Jos Perriens dari WHO. Dia
membuka pertemuan dengan mengatakan bahwa
tujuan “3 pada 5” bukan saja agar orang
mendapatkan obat, tetapi diberikan perawatan yang
bermutu. Tujuan ini hanya dapat dicapai jika ada
kerja sama dengan komunitas. Dia mencatat bahwa
pendukung terkuat untuk perbaikan pada sistem
perawatan kesehatan secara umum adalah Odha.
Bila kita membiarkan mereka meninggal kita
kehilangan sumber daya yang penting itu. Tanpa
keterlibatan Odha, “3 pada 5” tidak akan berhasil:
Odha harus mengubah komunitas dan mendorong
sistem kesehatan agar berubah.
Latar Belakang “3 pada 5”
WHO yakin “3 pada 5” adalah realistis. Semuanya
yang saat ini mendapatkan pengobatan lain,
misalnya untuk TB, juga seharusnya dapat
memperoleh pengobatan untuk HIV. Yang lebih
penting adalah komitmen stakeholder. Jika kita
merasa “3 pada 5” akan gagal, kegagalannya
terjamin, tetapi hanya kita yang patut disalahkan.
Perkembangan “3 pada 5” akan diciptakan oleh
keberhasilan awal. Harga obat akan turun serupa
dengan obat TB pada generasi sebelumnya. Sebagai
kesimpulan, Jos mencatat bahwa “3 pada 5” bukan
bayangan, tetapi kemungkinan yang nyata. Dia
mengaku mungkin tidak akan dicapai pada 2005 –
mungkin baru 2006 atau 2008, tetapi pasti sebelum
2010.
Tujuan Konsultasi
Ada diskusi hangat tentang tujuan konsultasi.
Walaupun beberapa peserta (sebagian besar dari
negara yang lebih berkembang misalnya Afrika
Selatan) ingin agar segera ada daftar tilik atau
standar untuk mendukung proses akreditasi yang
sudah mulai di negaranya, yang lain menganggap
belum siap, karena konsep akreditasi belum
diterima secara umum. Ada yang takut bahwa fokus
kepada masalah ini sebagai prasyarat untuk
Daftar Isi
Laporan Kegiatan
Akreditasi Fasilitas Layanan Kesehatan
Peranan Limfosit Total Terbatas?
Pengetahuan adalah Kekuatan
1
1
2
2
Mengurangi Dosis d4T Tidak Mengganggu
Kemanjuran Anti-HIV-nya
4
Harapan Cuci Sperma untuk Odha
5
Tips
Mengakses ARV dari luar Jakarta
Konsultasi
Tanya – jawab
Positif Fund
Laporan Keuangan Positif Fund
5
5
6
6
6
6
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
penyediaan terapi antiretroviral (ART) akan
menundanya. Hal ini karena dibutuhkan sedikitnya
dua tahun untuk mengembangkan sistem akreditasi.
Akhirnya, walaupun peserta sepakat bahwa mutu
layanan tidak boleh diabaikan, ‘kita harus mulai saat
ini, kemudian memperbaiki sistem – pertama
menyelamatkan jiwa orang kemudian
menyelamatkan sistem’ dalam kata Dr. Kenji
Tamura dari WHO.
Beberapa peserta mencatat bahwa ada banyak
dokter di seluruh dunia yang menangani ART
untuk banyak pasien, dengan sedikit sumber daya
yang dianggap esensial oleh daftar tilik akreditasi.
Namun mereka mempunyai sistem rujukan dan
dukungan yang dapat menyediakan layanan tersebut
jika dibutuhkan. Tidak ada kesepakatan bagaimana
hal ini dapat dihadapi.
Ada saran agar bentuk standar dibuat secara lebih
umum, untuk mendaftarkan standar mutu dengan
catatan bahwa ada beberapa cara untuk memakai
daftar tersebut, salah satunya akreditasi. Belum ada
kesepakatan di antara peserta mengenai hal ini,
sebagiannya karena kami semua mempunyai
kebutuhan yang berbeda-beda.
Kesimpulan pribadi
Sebelum saya berangkat, saya minta informasi
dari WHO mengenai sistem akreditasi yang ada di
Indonesia untuk fasilitas layanan kesehatan. Saya
diberi kesan bahwa yang ada tidak jalan. Ternyata
setelah saya tiba di Jenewa, saya diberikan buku
WHO tentang upaya akreditas di seluruh dunia,
yang menyatakan bahwa sebenarnya sudah ada
sistem akreditasi di Indonesia sejak 1995, dengan
nama “Akreditasi RS & Sarana Kesehatan Lainnya
– KARS), dengan 97 survei yang dilakukan pada
1999 oleh 101 tenaga survei yang terlatih. Saya
masih mencoba dapat informasi lebih lanjut
mengenai program tersebut.
Namun saya menganggap bahwa fokus utama
saat ini harus kepada menyederhanakan, bukan
memperumitkan. Saya takut bahwa standar yang
akan dikeluarkan oleh WHO akan sekali lagi
menjadi alasan ‘belum siap’ menerima dan
mengobati Odha.
Sayangnya, diskusi tidak membahas bagaimana
standar baru dapat dipadukan pada sistem
akreditasi yang sudah ada. Ada beberapa masalah
dasar, misalnya kewaspadaan universal (UPC), yang
tidak tercantum pada standar yang kami bahas
karena dianggap sudah baku. Namum kita tahu
bahwa UPC jarang jalan seperti seharusnya di
fasilitas layanan kesehatan di Indonesia.
Yang baik, proses dan draf yang diajukan
2
menghormati asas keterlibatan komunitas secara
umum dan khususnya Odha. Namun seharusnya
ada lebih banyak pertimbangan mengenai
bagaimana keterlibatan ini dapat dilakukan secara
nyata; harus ada dana untuk memungkinan ini, dan
pelatihan yang sesuai harus disediakan.
Pengetahuan
adalah Kekuatan
Peranan Limfosit Total
Terbatas?
Oleh Bob Huff, Redaktur GMHC
Treatment Issues, New York, 20 Mei
2004
Pedoman WHO untuk meningkatkan terapi
antiretroviral (ART) pada negara yang terbatas
sumber daya menyarankan bahwa siapa pun dengan
gejala klinis AIDS seharusnya mulai terapi, tidak
tergantung pada jumlah CD4. Pedoman itu juga
menyarankan terapi dimulai jika jumlah CD4 turun
di bawah 200 (15 persen), tidak tergantung pada
gejala. Bila jumlah CD4 tidak dapat diukur, WHO
menyarankan mulai terapi saat limfosit total turun
di bawah 1200 bila ada gejala. Limfosit total di
bawah 1200 sendiri, tanpa gejala, tidak dianggap
kriteria untuk mulai terapi.
Walaupun ada dukungan tersebut, penggunaan
limfosit total masih ragu. Pedoman WHO mencatat
bahwa, “Walaupun kaitan limfosit total dengan
jumlah CD4 kurang baik, dalam kombinasi dengan
tahap klinis ukuran tersebut adalah tanda yang
berguna untuk prognosis dan tahan hidup.”
WHO memasukkan limfosit total di antara tes
laboratorium “dasar yang disarankan”. Akibat biaya
tinggi dan persyaratan teknis, jumlah CD4 saat ini
tidak dimasukkan pada daftar tes tersebut untuk
tempat terbatas sumber daya, walaupun ada
dorongan untuk mencari teknik yang lebih murah
untuk mengukur jumlah CD4.
Sudah ada upaya untuk meningkatkan
kemampuan limfosit total untuk meramal, misalnya
dengan menggabungkannya dengan perubahan
pada Hb, berat badan, dan lain-lain. Sejumlah upaya
sudah dilakukan untuk mensahihkan potensi
diagnostik limfosit total dengan menganalisis
catatan medis kelompok Odha yang besar di negara
Sahabat Senandika No. 18
maju untuk menentukan apakah kaitan yang baik
antara limfosit total dengan jumlah CD4 dalam
meramalkan lanjutan penyakit.
Limfosit total sebagai surogat (pengganti)
jumlah CD4
Ada penelitian yang baru saja dilaporkan dari
suatu kelompok pasien di RS Chelsea dan
Westminster di Inggris. Pasien dengan jumlah CD4
dan limfosit total yang diukur dalam tiga bulan
sebelum pengembangan infeksi oportunistik (IO)
yang mendefinisikan AIDS (IODA) atau mulai
profilaksis untuk IO dicarikan dan limfosit total/
jumlah CD4 terakhir diambil. Dari 5774 pasien
dalam kelompok, 1097 dimasukkan pada analisis.
Batas limfosit total untuk kelompok ini, yaitu titik
dengan sensitivitas tertinggi dan kesalahan
terendah, ditentukan sebagai 1500, yang dikaitkan
dengan jumlah CD4 200, yaitu titik di mana ART
seharusnya dimulai. Batas limfosit total ini agak
lebih tinggi daripada tingkat yang disarankan oleh
WHO untuk dipakai di tempat terbatas sumber
daya.
Penelitian ini melaporkan bahwa mempunyai
limfosit total antara 1000–1500 meramalkan bahwa
pasien 40 persen lebih mungkin mengembangkan
IODA dibanding mereka dengan limfosit total di
atas 1500 (sensitivitas = 68,6 persen; spesifisitas =
66,0 persen). Hasil ini dibandingkan dengan 34
persen lebih mungkin mengembangkan IODA yang
diramalkan oleh jumlah CD4 antara 150–200 vs.
Jumlah CD4 di atas 200 (sensitivitas = 73,8 persen;
spesifisitas = 75,6 persen). Lagi pula risiko
mengembangkan IODA adalah tiga kali lebih besar
untuk mereka dengan limfosit total antara 500–
1000 dibandingkan dengan mereka dengan limfosit
total di atas 1000. Para penulis menyimpulkan
bahwa daya peramal lanjutan penyakit limfosit total
hanya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
jumlah CD4 dalam kelompok ini.
Sebuah penelitian prospektif mengenai limfosit
total sebagai surogat sederhana untuk jumlah CD4
yang dilakukan di Mozambik mengambil
kesimpulan berbeda. Para peneliti di sebuah rumah
sakit pasien rawat jalan di Matola-Maputo
menganalisis 651 limfosit total dan jumlah CD4
diambil dari pasien tanpa gejala yang mengunjungi
kliniknya antara Maret 2002 dan Mei 2003. Batas
limfosit total yang disarankan oleh WHO (1200)
diuji untuk kemampuannya untuk membagi pasien
sebagai di atas atau di bawah batas CD4 200. Para
peneliti juga mengevaluasi indeks massa badan (body
mass index–BMI), sebuah ukuran yang mudah
Mei 2004
diambil yang dihitung dari berat dan tinggi badan,
sebagai surogat untuk jumlah CD4. Batas untuk
BMI adalah 18, yang dianggap awal malanutrisi.
Pada pembanding limfosit total dengan jumlah
CD4 dan BMI dengan jumlah CD4, kemampuan
penggolongan limfosit total adalah 47,0 persen
(sensitivitas = 48,9 persen; spesifisitas = 81,3
persen); untuk BMI hasilnya 65,2 persen
(sensitivitas = 48,9 persen; spesifisitas = 78,5
persen). Para penulis mencatat bahwa bila limfosit
total dipakai untuk diagnosis pada kelompok pasien
ini, terapi ditolak untuk separo dari mereka yang
sebetulnya membutuhkannya berdasarkan jumlah
CD4, dan dimulai secara tidak layak untuk 20
persen pasien yang belum mempunyai jumlah CD4
di bawah 200. Dengan memakai BMI, hasilnya
serupa. Penulis menyimpulkan “penggunaan
limfosit total sebagai surogat untuk jumlah CD4
tampaknya tidak dapat dibenarkan.”
Mengukur tanggapan kekebalan (imun) pada
terapi
Walaupun bukti untuk memakai limfosit total
sebagai indikator kapan mulai ART atau profilaksis
untuk IO masih ragu, sebuah penelitian dari AS
melaporkan bahwa limfosit total dapat berguna
untuk menunjukkan tanggapan imun setelah ART
dimulai. Catatan medis ditemukan untuk 126 pasien
dengan jumlah CD4 di bawah 250 yang sebelumnya
belum pernah memakai terapi atau tidak memakai
ART pada tiga belum sebelumnya, dan yang mulai
regimen baru yang diteruskan selama sedikitnya
enam bulan. Jumlah CD4, limfosit total dan viral
load pada awal ditentukan sebagai yang dihasilkan
pada kunjungan klinik terakhir sebelum mulai ART.
Analisis para peneliti memusatkan pada
kemampuan perubahan limfosit total untuk
meramalkan perubahan pada jumlah CD4, dan ini
membutuhkan beberapa ukuran untuk menentukan
kecenderungan. Untungnya, kemampuan
perubahan positif pada limfosit total untuk
meramalkan tanggapan CD4 yang positif pada
enam bulan adalah 98 persen (sensitivitas = 94
persen; spesifisitas = 85 persen). Hasil yang serupa
juga dilihat pada jangka yang lebih panjang. Para
penulis menyimpulkan bahwa “dokter yang melihat
kecenderungan positif pada limfosit total dapat
hampir yakin bahwa perubahan jumlah CD4 juga
positif.”
Walaupun hasil ini tampaknya mensahihkan
peranan limfosit total dalam menentukan
tanggapan imun pada ART, sayangnya, jika limfosit
total mulai turun, gambarnya tidak sama jelas.
3
Limfosit total yang turun selama dua tahun setelah
mulai ART hanya meramalkan 43–63 persen
penurunan pada jumlah CD4, dan hal ini
mengungkapkan keterbatasan limfosit total untuk
menentukan kegagalan terapi.
Salah satu masalah yang mungkin adalah
kesalahan dalam ukuran, yang disarankan oleh para
penulis dapat dihadapi dengan beberapa tes limfosit
total pada saat yang sama. Mereka juga memikirkan
bahwa tes limfosit total yang lebih sering mungkin
membantu mengurangi dampak hasil yang sangat
berbeda-beda. Seraya menantikan penelitian lebih
lanjut, para penulis memberi kesan bahwa limfosit
total dapat berguna dalam tempat terbatas sumber
daya sebagai alat pemantauan non-spesifik untuk
keberhasilan terapi yang akan memicu kebutuhan
untuk mengukur jumlah CD4 sebagai konfirmasi
bila ada penurunan pada limfosit total yang berarti.
Para penulis juga mencatat bahwa dibutuhkan
penelitian lanjut untuk mengerti bagaimana limfosit
total dapat dipakai (sendiri atau beserta dengan Hb
atau tahap penyakit berdasarkan gejala) pada
tempat terbatas sumber daya, dan bagaimana
perbedaan yang diamati dalam limfosit total dapat
disebabkan terkait dengan infeksi bersama,
perbedaan wilayah atau etnis, dan teknologi
pengukuran yang berbeda. Dengan limfosit total
saat ini disarankan dalam pedoman WHO, banyak
penelitian tersebut dinantikan pada beberapa tahun
berikut. Namun, akhirnya sebagian besar pengamat
sepakat bahwa generasi baru tes CD4 dan viral load
yang sederhana, murah, dapat dipercaya, cepat dan
yang dapat dilakukan di klinik biasa sangat
dibutuhkan.
References
Liotta G et al. Is total lymphocyte count a reliable predictor of the
CD4 lymphocyte cell count in resource-limited settings? AIDS 18 (7):
1082, 2004.
Sawleshwarkar S et al. A cohort study to review the efficacy of the
total lymphocyte count (TLC) as a predictor of AIDS-defining
opportunistic infection (ADOI) in HIV-infected patients. Tenth
Annual Conference of the British HIV Association, abstract P50, 2004
Mahajan AP et al. Changes in total lymphocyte count as a surrogate for
changes in CD4 count following initiation of HAART: Implications
for monitoring in resource-limited settings. JAIDS 36 (1): 567, 2004.
URL: http://www.aidsmap.com/news/
newsdisplay2.asp?newsId=2721
Mengurangi Dosis d4T
Tidak Mengganggu
Kemanjuran Anti-HIV-nya
Abstrak dari Europan AIDS
Conference ke-9O
Oleh Delpierre C. dkk, Hopital Purpan,
Toulouse, Perancis
Latar Belakang
D4T adalah analog nukleosida yang manjur
biasanya dihubungkan dengan toksisitas
mitokondria [lihat Lembaran Informasi 556 dari
Yayasan Spiritia]. Pengurangan dosis d4T dapat
menjadi strageti untuk mengurangi toksisitas ini.
Tujuan
Kami melakukan penelitian percobaan prospektif
untuk menentukan kemanjuran d4T dengan dosis
lebih rendah.
Metode
Pada 43 pasien yang diobati sebelumnya dengan
kombinasi yang mengandung d4T, kami
menganjurkan pengurangan dosis d4T dari 40mg
menjadi 30mg dua kali sehari untuk pasien dengan
berat badan di atas 60kg (n=39) dan dari 30mg
menjadi 20mg dua kali sehari untuk yang lain (n=4).
Kami memantau jumlah CD4 dan viral load pada
waktu mulai d4T dosis penuh, pada waktu
mengurangi dosis. Serta 6 dan 12 bulan kemudian.
Hasil
Jenis kelamin: 83 persen laki-laki. Usia rata-rata:
43 tahun. Sebelas pasien (26 persen) pada tahap
AIDS (klasifikasi CDC C). Jumlah kombinasi obat
yang sebelumnya rata-rata dua. Lamanya memakai
d4T dosis penuh rata-rata 16 bulan. Lamanya
memakai d4T dosis rendah pada waktu analisis 18
bulan.
Tiga belas pasien (30 persen) menghentikan
penggunaan d4T: sembilan dengan efek samping
yang ada sebelumnya tetapi yang tetap dialami
(tujuh lipodistrofi, dua neuropati); dua atas
permintaan pasien; satu kekgagalan virologis; dan
satu tidak diketahui.
Mulai d4T Setelah mulai Setelah
penuh dosis rendah 6 bulan 12 bulan
CD4 rata-rata 404 568 636 638
4
VL rata-rata (log) 2,91
1,3
% VL <200 kopi 39,5
79
1,3
79
1,3
75
Sahabat Senandika No. 18
Kesimpulan
Kombinasi terapi antiretroviral yang
mengandung d4T dengan dosis lebih rendah
menahan penekanan virus dan peningkata pada
jumlah CD4 selama 12 bulan. Penelitian
lanjutan dibutuhkan untuk menilaiperbaikan
pada jangka waktu panjang.
Harapan Cuci Sperma untuk
Odha
Pria HIV-positif yang melakukan tindakan “cuci
sperma” menjadi ayah untuk anak tanpa
membahayakan kesehatan pasangannya.
Melakukan hubungan seks tanpa kondom agar
menghamili pasangan dianggap berisiko terlalu tinggi
oleh banyak pria HIV-positif, karena air maninya
mengandung virus. Kurang-lebih 1.000 kasus infeksi
HIV didiagnosis di Inggris setiap tahun akibat
hubungan seks heteroseksual.
Satu-satunya teknik yang dapat ditawarkan kepada
pria tersebut adalah “cuci sperma”, dengan sperma
dipisah dari air mani, kemudian dipakai untuk
inseminasi (permanian buatan).
Sperma sendiri diperkirakan tidak membawa HIV
pada permukaannya. Namun, masih ada sedikit
keraguan tentang keamanan tindakan tersebut.
Penelitian terakhir, yang dilakukan oleh para dokter
di Rumah Sakit Chelsea and Westminster Hospital di
London, akan mengurangi keraguan para pasangan
yang mempertimbangkan tindakan tersebut.
Dari 53 pasangan suami-istri yang terlibat dalam
program rumah sakit tersebut, sepertiga berhasil
mendapatkan anak dengan tindakan tersebut. HIV
tidak ditemui dalam satu pun contoh sperma setelah
tindakan cucian ini.
Dr. Carole Gilling-Smith, pimpinan tim penelitian,
mengatakan pada BBC: “Tidak ada sesuatu yang 100
persen aman dalam hidup ini. Kami mencoba
mengurangi risiko itu.”
“Sebelum tindakan ini tersedia, pasangan hanya
punya pilihan untuk mengambil risiko dengan
hubungan seks tanpa kondom, mengambil jalan
dengan sperma sumbangan—atau memutuskan
untuk tidak mendapat keturunan.”
Dia mengatakan bahwa tindakan seharusnya
tersedia secara gratis melalui layanan kesehatan, karena
berbeda dengan pengobatan kesuburan biasa, ini
bertujuan untuk mengurangi risiko bahwa si ibu atau
anaknya yang belum lahir terinfeksi HIV, yang akan
menambah beban pada layanan kesehatan.
“Pemerintah harus mendukung ini, bukan hanya
Mei 2004
karena setiap bayi yang terlahir HIV-negatif
menghemat banyak untuk pengobatan. Empat puluh
persen pasien kami tidak dapat melakukan tindakan
ini karena tidak mampu membiayainya.”
Satu perempuan yang berhasil melahirkan bayi
dengan pasangan yang HIV-positif menceritakan
pada BBC bagaimana hal itu mengubah
kehidupannya. Dia mengatakan: “Saya takut saya akan
menjadi janda pada akhir usia 20-an tahun. Sekarang
saya mempunyai pernikahan yang bahagia dan tahan
lama, dan kegembiraan tambahan dengan mempunyai
anak. Ini membantu suami saya berjuang untuk hidup
lebih lama dan menahan kesehatannya juga.”
Cuci sperma bukan satu-satunya teknik yang
disarankan sebagai mungkin untuk pria yang HIVpositif. Beberapa ilmuwan sedang menelitikan apakah
sperma dapat dipanaskan menjadi 58 derajat—cukup
untuk membunuh HIV—tanpa merusakkan
kemampuannya untuk membuahi telur seperti
seharusnya.
BBC News 24 April 2003
URL: http://ww2.aegis.org/news/bbc/2003/BB030411.html
Tips
Mengakses ARV dari luar
Jakarta
beberapa teman-teman yang di daerah, kesulitan
untuk mendapatkan ARV karena tidak tahu dimana
dan bagaimana mendapatkan obat ARV. Berikut
adalah beberapa langkah untuk mendapatkan ARV
dari luar Jakarta:
• Telpon ke Pokdiksus AIDS FKUI/RSUPNCM (021– 316 2788), untuk mengetahui stok
dan harga obat + ongkos kirim. (sebaiknya
tanya ke dokter, nama obatnya)
• Fax resep obat ARV dari dokter setempat,
alamat dan slip bukti tansfer uang ke 021-390
5250 jangan lupa mengkonfirmasi fax
(apakah sudah diterima dan tulisannya jelas).
• Setelah semuanya ok, Pokdiksus akan
mengirimkan obat ke alamat yang dituju
melalu jasa kurir TIKI.
• Jangan lupa untuk mengecek kapan obat habis,
sebaiknya 1 minggu sebelum obat habis
sudah meng-fax resep karena terkadang stok
obat di Pokdiksus sedikit sehingga harus
berbagi dengan yang lain dan mengingat
dibutuhkan waktu untuk pengiriman barang
hingga 3 hari atau lebih khususnya untuk
Indonesia bagian timur.
5
Konsultasi
Positif Fund
Tanya – jawab
Laporan Keuangan Positive Fund
Yayasan Spiritia
Periode Mei 2004
T: Saya pernah mendengar bahwa ASI dari ibu
yang HIV positif dapat diberikan pada bayinya
asalkan direbus dulu, apakah pernyataan itu benar?
Jika benar, berapa derajat celcius-kah untuk
memanaskan ASI hingga ‘aman’ untuk dikonsumsi
bayi?
J: Pernyataan tersebut benar, panas yang
dibutuhkan adalah di 70 derajat celcius, tetapi kita
tidak perlu harus mengukur dengan menggunakan
termometer, asalkan mendidih dan dibiarkan sekitar
10 menit mendidih itu sudah membunuh virus
HIV.
Ada beberapa usulan tentang pemberian makanan
pada bayi dan ibu terinfeksi HIV:
• Jika pemberian PASI(Pengganti Air Susu Ibu)
dapat diterima, praktis, mampu dibeli,
terjangkau terus-menerus dan aman,
menghindari semua ibu terinfeksi HIV
menyusui anaknya.
• Jika tidak, menyusui eksklusif diusulkan
selama beberapa bulan pertama kehidupan si
bayi.
• Untuk mengecilkan resiko penularan HIV,
menyusui sebaiknya dihentikan secepat
mungkin, tergantung pada keadaan setempat,
keadaan si ibu sendiri dan risiko pemberian
PASI (termasuk infeksi selain HIV dan
malanutrisi)
• Bila ibu terinfeksi HIV memilih untuk tidak
menyusui sejak melahirkan atau
menghentikan menyusui nanti, ibu sebaiknya
diberi bimbingan dan dukungan khusus
sedikitnya dua tahun pertama kehidupan
anaknya agar meneruskan pemberian PASI
yang memadai. Program harus berupaya
untuk meningkatkan keadaan yang akan
meningkatkan keamanan pemberian PASI
untuk ibu yang terinfeksi HIV dan
keluarganya.
• Ibu yang terinfeksi HIV yang menyusui harus
diberi dukungan dan bimbingan khusus
sewaktu mereka menghentikan menyusui
agar menghindari dampak nutrisi dan mental
yang merugikan dan memelihara kesehatan
payudara.
Saldo awal 1 Mei 2004
6,856,375
Penerimaan di bulan Mei 2004
300,000
________+
7,156,375
Total penerimaan
Pengeluaran selama bulan Mei :
Item
Pengobatan
Transportasi
Komunikasi
Peralatan / Pemeliharaan
Modal Usaha
Total pengeluaran
Jumlah
306,650
320,000
0
54,050
0
__________+
680,700
Saldo akhir Positive Fund
per 31 Mei 2004
6,475,675
Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan oleh
Yayasan Spiritia
dengan dukungan
THE FORD
ATION
FOUNDA
FOUND
Kantor Redaksi:
Jl Radio IV/10
Kebayoran Baru
Jakarta 12130
Telp: (021) 7279 7007
Fax: (021) 726-9521
E-mail: [email protected]
Editor:
Hertin Setyowati
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk
diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus
mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon).
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum
melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi
dengan dokter.
6
Sahabat Senandika No. 18
Download