Pemilikan Hak Milik Atas Tanah Bagi WNI Keturunan Tionghoa di

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asas-Asas Dalam Ilmu Hukum.
Asas Equality Before The Law: 1 asas yang menyatakan, bahwa setiap orang
mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Karena itu setiap orang harus
diperlakukan sama, memperoleh hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada pilih kasih
atau pandang bulu, satu sama lain mendapat perlakuan yang sama.
Asas Lex Superior Deerogat Lex inferiory:2 asas berlakunya undang-undang,
yang menyatakan bahwa undang-undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi. Misalnya,
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah; Peraturan
Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang; dan undang-undang
tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
B. Warganegara Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2006.
Setiap negara mempunyai wewenang untuk menentukan siapakah yang dapat
menjadi
warga
negaranya.
Kedaulatan
negara
dalam
menentukan
status
kewarganegaraan juga diimbangi dengan kebebasan dari warga untuk menentukan
hak kewarganegaraannya. Hal ini dinyatakan dalam Artikel 15 Deklarasi Universal
HAM
1
2
tahun
1948
yang
berbunyi:
“setiap
orang
berhak
atas
sesuatu
Riduan Syahrani, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 16
Ibid, hlm. 141
11
kewarganegaraannya. Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut
kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraan.” 3
Dalam Konstitusi Negara Indonesia yaitu dalam UUD 1945 Pasal 26 ayat (2)
dikatakan bahwa: “setiap warga negara dan penduduk diatur dengan undangundang.”
Di Indonesia terkait dengan pengaturan kewarganegaraan yang telah
diamanatkan oleh UUD 1945 telah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dahulu sebelum diberlakukannya Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan Republik Indonesia, di Indonesia diberlakukan Undang-undang No.
62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dijelaskan dalam
Penjelasan Umum Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 didasarkan
pertimbangan bahwa secara filosofis, yuridis, dan sosiologis UU No. 62 Tahun 1958
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan
Indonesia. secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung ketentuanketentuan yang belum sejalan dengan ketentuan falsafah Pancasila, antara lain karena
bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antar
warga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anakanak. Secara yuridis, landasan konstitusional pemberlakuan undang-undang tersebut
adalah Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar
1945. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami
perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak
warga negara. Secara sosiologis, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya
3
Sri Harini Dwiyatmi et al.., Pendidikan Kewarganegaraan, Widya Sari, Salatiga, 2010, hlm. 281-282
12
persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara dihadapan hukum serta adanya
kesetaraan dan keadilan gender.4
Pengertian warga negara menurut Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 yaitu,
dikatakan: “yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang
sebagai warga negara.”
Penjelasan dari bunyi pasal tersebut memberikan penegasan bahwa untuk
“orang-orang bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi warga
negara sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas
kehendaknya sendiri. Sedangkan pengertian dari “orang-orang bangsa lain” yang
dimaksud adalah orang-orang seperti peranakan Belanda, Tionghoa, dan Arab yang
bertempat tinggal di Indonesia, yang mengakui Indonesia sebagai tumpah darahnya
dan sikap setia kepada negara Republik Indonesia. 5
Dalam UU No. 12 Tahun 2006 tidak menyebutkan warganegara keturunan
(yang dalam hal ini WNI suku Tionghoa), jadi dapat dipahami bahwa baik warga
negara suku Tionghoa maupun pribumi asli sudah sama-sama berstatus sebagai warga
negara Indonesia (WNI) menurut undang-undang ini.
Dengan adanya ketentuan yang baru tersebut diharapkan tidak ada lagi
pembedaan penamaan penduduk Indonesia atas golongan pribumi dan keturunan
yang dapat memicu konflik antar penduduk di Indonesia. 6
Di dalam Penjelasan Umum I Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, guna
untuk menenuhi tuntutan masyarakat dan melaksanakan amanat Undang-Undang
Dasar, Undang-Undang ini memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau
universal, yaitu asas ius sanguinis, Ius soli dan campuran.
4
Ibid, hlm. 295
Ibid, hlm. 291
6
Ibid, hlm. 294
5
13
Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini, sebagai berikut:
1. Asas Ius Sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan
negara tempat kelahiran.
2. Asas Ius Soli (low of the soil) secara terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat
kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
3. Asas Kewarganegaraan Tunggal adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini.
Adapun dasar penyusunan Undang-Undang Kewarganegaan Indonesia
memiliki Asas-asas khusus diantaranya:
1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan
kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang
bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang
memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa
pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga
negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam negeri maupun di luar
negeri.
3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang
menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan
yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
4. Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak
hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat
permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
14
5. Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam
segala hak ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku,
ras, agama, golongan, jenis kelamin, dan gender.
6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas
yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus
menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya
dan hak warga negara pada khususnya.
Kewarganegaraan seseorang mengakibatkan mengakibatkan orang tersebut
memiliki pertalian hukum serta tunduk pada hukum negara yang bersangkutan.
Kewarganegaraan menghasilkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban
warganegara, maupun negara yang bersifat timbal balik. Setiap hak-hak warganegara
wajib dihormati, dilindungi, dan difasilitasi, serta dipenuhi oleh negara. 7
C. Hukum Agraria Nasional.
Dalam tatanan hukum pertanahan nasioanal, hubungan hukum antara orang,
baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, serta perbuatan hukumnya
terkait dengan tanah, telah diatur dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini disahkan dan
diundangkan pada tanggal 24 September 1960.
Menurut Boedi Harsono, pengertian hukum agraria dalam UUPA bukan
hanya satu perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang
hukum, yang masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber-sumber daya
alam tertentu yang termasuk pengertian „agraria‟ sebagai yang diuraikan dalam
UUPA. Kelompok bidang hukum tersebut meliputi:8
7
Ibid, hlm. 313
Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad, Hukum Agraria Di Indonesia “Konsep Dasar dan Implementasi”,
Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2006, Hlm. 4-5
8
15
a. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti
permukaan bumi.
b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
c. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan
galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan.
d. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam
yang terkandung di dalam air.
e. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-Unsur dalam Ruang Angkasa
(bukan ”space law”), yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam riang angkasa yang dimaksudkan dalam pasal 48 UUPA.
Hadirnya UUPA ini mencabut semua ketentuan peraturan perundangundangan keagrariaan yang berlaku sebelumnya dan menggantikan dengan satu
aturan hukum agraria yang bersifat nasional, yang sekaligus UUPA mengakhiri
politik hukum agraria kolonial yang bersifat dualistis. Dengan berlakunya UUPA ini
tidak dikenal lagi istilah hak-hak atas tanah menurut hukum barat seperti hak
eigendom, hak postal, hak erfpacht, dan lain sebagainya. Sebagai gantinya dikenal
istilah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk
bangunan, dan sebagainya. 9
Hukum agraria nasional ini didasarkan pada hukum adat yang tidak
bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, serta mengindahkan unsurunsur fundamental di bidang agraria, yaitu perubahan dari hukum agraria kolonial
menjadi hukum agrarian nasional yang mempunyai sifat unifikasi hukum (kesatuan
hukum), sederhana, dan yang menjamin hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dasar pemikiran dan landasan politik agraria nasional yang dianut di dalam
UUPA yang didasarkan pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi sebagai
berikut: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat”.
9
Richard Edy, op.cit, hlm. 1
16
Negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik, seperti telah dicantumkan
dalam pasal tersebut di atas, Negara cukup bertindak sebagai penguasa untuk
memimpin dan mengatur kekayaan nasional untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dari ketentuan dalam pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa kekuasaan yang
diberikan kepada Negara memberikan kewajiban kepada Negara untuk mengatur
pemilikan dan menentukan kegunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah
Negara dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.10
Hal yang menyangkut tujuan pokok yang ingin dicapai dengan hadirnya
UUPA sebagai hukum agraria Indonesia ini adalah:11
1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang
akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan
keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur.
2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat keseluruhan.
1. Gambaran Hukum Tanah Nasional.12
Sifat-sifat nasional Hukum Tanah.
UUPA memulai dengan menyebutkan dalam Konsiderannya cacat-cacat dan
kekurangan-kekurangan Hukum Tanah yang lama, sebagai yang telah dibicarakan
dalam Bab II. Berhubung dengan itu hukum tanah yang lama tersebut harus
diganti dengan hukum tanah yang baru (Hukum Tanah Nasional). Hukum tanah
10
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni, Bandung, 1986,
hlm. 1
11
Supriadi, op.cit, hlm. 2-3
12
Boedi Harsono, Hukum Agraria Nasional : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya; Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 162-163
17
yang baru ini harus bersifat nasional baik mengenai segi fomal maupun
materiilnya.
Sifat nasional formal: Sifat nasional formalnya Hukum Tanah Nasional
harus harus dibuat oleh pembentuk Undang-Undang Indonesia, dibuat di
Indonesia dan disusun dalam bahasa Indonesia. lagipula Hukum Tanah Nasional
berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan meliputi semua tanah yang ada di
wilayah negara. UUPA telah memenuhi syarat nasional yang formal itu.
Sifat nasional materiil: Sifat nasional materiilnya Hukum Tanah yang baru
harus nasional pula, yaitu berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem
dan isinya. Dalam hubungan ini UUPA menyatakan pula dalam Konsiderannya
(“Berpendapat” huruf a s/d d), bahwa Hukum Agraria/Tanah yang baru itu:
a. Harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah;
b. Harus sederhana;
c. Harus menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia;
d. Harus tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;
e. Harus memberi kemungkinan supaya bumi, air dan ruang angkasa dapat
mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur;
f. Harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;
g. Harus memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman
dalam segala soal agraria;
h. Harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial, sebagai asas
kerohanian Negara dan cita-cita Bangsa, seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar;
i.
Harus merupakan pelaksanaan daripada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
dan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai yang ditegaskan dalam
Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960;
j.
Harus melaksanakan pula ketentuan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar,
yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin
18
penggunaannya hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; penggunaan itu bisa
secara perseorangan maupun secara gotong royong.
2. Subyek pemegang hak-hak atas tanah.
Sesuai dengan asas kebangsaan yang tercantum di dalam Pasal 1 UUPA maka
Pasal 9 ayat 1 menentukan, bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.
Dalam UUPA pengertian warga negara Indonesia yang dimaksudkan ini
adalah warga negara Indonesia dalam arti tunggal, dalam UUPA tidak menyebutkan
adanya perbedaan antara warga negara Indonesia asli ataupun warga negara Indonesia
keturunan.
Dalam hubungannya dengan tanah maka hubungan yang sepenuhnya itu
adalah hubungan hak milik. Atas dasar ketentuan itu maka Pasal 21 ayat 1 UUPA
menetapkan, bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai tanah
dengan hak milik, bagi orang asing tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas
tanah. Bukan hanya hak milik yang tidak dapat dipunyai oleh orang-orang asing,
tetapi juga hak guna usaha dan hak guna bangunan (Pasal 30 ayat 1 dan Pasal 36 ayat
1 UUPA).
Bagi orang-orang asing hanya terbuka kemungkinan untuk menguasai tanah
dengan hak pakai atau hak sewa (Pasal 42 dan Pasal 45), yaitu hak-hak atas tanah
yang member wewenang yang terbatas dan berjangka waktu pendek. Sebenarnya
orang-orang asing tidak perlu mempunyai tanah sendiri. Untuk keperluan tempat
tinggal dan usahanya dapatlah mereka menyewa bangunan-bangunan kepunyaan
warga negara Indonesia.13
13
Eddy Ruchiyat, op.cit, hlm. 81
19
Di dalam Pasal 21 ayat 3 UUPA masih dibuka kemungkinan bagi orang asing
untuk memperoleh dan menguasai tanah hak milik selama waktu 1 tahun. Seorang
asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran
harta karena perkawinan, demikian pula seorang warga negara Indonesia yang
mempunyai
hak
milik
dan
setelah
berlakunya
UUPA
kehilangan
kewarganegaraannya diwajibkan melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu
tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraannya itu.
Selama satu tahun itu ia boleh menguasai tanahnya sebagai pemilik.
Ketentuan yang serupa juga terdapat di dalam Pasal 30 ayat 2 UUPA (HGU) dan
Pasal 36 ayat 2 UUPA (HGB).
Pada asasnya hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang (het
natuurlijkeepersoon), baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Badan
hukum tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik, kecuali badan hukum yang
ditetapkan oleh Pemerintah dan telah memenuhi syarat-syaratnya (Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 1963), sesuai den Pasal 21 ayat 1 dan 2 UUPA.
Menurut hukum agraria yang lama setiap orang boleh mempunyai tanah
dengan hak eigendom, baik ia warga negara maupun orang asing, baik ia warga
negara maupun orang asing, bahkan badan hukumpun boleh mempunyai hak
eigendom, baik badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing. 14
Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat 1 UUPA maka menurut Pasal 21 ayat 1
UUPA hanya warga negara Indonesia saja dapat mempunyai hak milik. sebagaimana
telah dijelaskan , bahwa larangan tidak diadakan perbedaan antara orang-orang
Indonesia asli dan keturunan asing. Dalam pada itu biarpun menurut Pasal 9 ayat 2
UUPA tidak diadakan perbedaan antara sesama warga negara, akan tetapi dalam hak
pemilikan tanah diadakan perbedaan antara mereka yang berkewarganegaraan
tunggal dan rangkap.
14
Ibid, hlm. 85
20
Berkewarganegaraan rangkap artinya
bahwa disamping kewarganegaraan
Indonesia dipunyai pula kewarganegaraan lain. Pasal 21 ayat 4 UUPA menentukan,
bahwa
selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai
kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Ini
berarti, bahwa ia selama itu dalam hubungannya dengan soal pemilikan tanah
dipersamakan dengan orang asing.
Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, sudah selayaknya orang-orang
yang
membiarkan
diri
disamping
kewarganegaraan
Indonesia
mempunyai
kewarganegaraan negara lain, dalam hal pemilikan tanah dibedakan dari warga
negara Indonesia lainnya. Dengan demikian maka yang boleh mempunyai tanah
dengan hak milik itu hanyalah warga negara Indonesia tunggal saja.
Biarpun pada asasnya hanya orang-orang warga negara Indonesia tunggal saja
yang dapat memiliki tanah, akan tetapi dalam hal-hal tertentu selama waktu yang
terbatas UUPA masih memungkinkan orang-orang asing dan warga negara Indonesia
yang berkewarganegaraan rangkap untuk mempunyai tanah dengan hak milik.
Diberikannya kemungkinan itu adalah atas dasar pertimbangan perikemanusiaan. 15
Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan, bahwa orang asing yang sesudah tanggal
24 September 1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan wajib melepaskan hak itu di dalam jangka
waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Ketentuan ini berlaku juga
terhadap seorang warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah
tanggal 24 September 1960 kehilangan kewarganegaraannya. Jangka waktu dihitung
sejak hilangnya kewarganegaraan Indonesia itu. 16
Berlakunya Pasal 21 ayat 3 UUPA ini, juga berlaku terhadap warganegara
Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap ataupun jika orang yang awalnya
berkewarganegaraan Indonesia tunggal, tetapi kemudian kewarganegaraannya
menjadi rangkap. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat 4 UUPA.
15
16
Ibid, hlm. 87
Ibid
21
Cara-cara yang disebutkan dalam Pasal 21 ayat 3 di atas adalah cara
memperoleh hak tanpa melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan
pada terjadinya peralihan hak yang bersangkutan. Ada pun cara-cara yang tidak
diperbolehkan karena dilarang oleh Pasal 26 ayat 2 UUPA, seperti jual beli, tukar
menukar, hibah, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing,
kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia
mempunyai kewarganegaraan asing, atau badan hukum yang tidak ditetapkan oleh
pemerintah, dalam waktu satu tahun pemilikan itu harus diakhiri.
Bahwa dalam waktu satu tahun hak miliknya itu harus dilepaskan. Kalau hak
milik itu dilepaskan maka hak tersebut menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah
Negara. Maksudnya, setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta
kembali tanah yang bersangkutan dengan hak yang dapat dipunyainya, yaitu bagi
orang asing diberikan hak pakai dan bagi orang Indonesia yang berkewarganegaraan
rangkap diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. 17
Tujuan dari pada ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA itu adalah pada satu pihak
untuk mengakhiri pemilikan tanah yang bertentangan dengan asas Pasal 9 ayat 1
UUPA dan ketentuan Pasal 21 ayat 1 dan pada lain pihak memberikan kesempatan
kepada pemilik untuk mengakhiri pemilikan itu dengan cara yang dianggap sesusai
dengan kepentingannya. Maka tidaklah keberatan jika di dalam rangka memenuhi
ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut hak miliknya dialihkan kepada pihak lain
asal pihak yang menerima peralihan itu memenuhi syarat sebagai pemilik. Sebagai
seorang pemilik ia memang berwenang untuk mengalihkan haknya itu. Kemungkinan
yang kedua serupa mengenai hak guna usaha (Pasal 30 ayat 2 UUPA) dan hak guna
bangunan (Pasal 36 ayat 2 UUPA).18
Menurut Pasal 21 ayat 3 UUPA maka hak miliknya menjadi hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain
17
18
Ibid, hlm. 88
Ibid, hlm. 88-89
22
yang membebaninya tetap berlangsung. Maksud „hapus karena hukum‟ artinya bahwa
hak milik itu hapus dengan sendirinya atas kekuatan ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA
setelah jangka waktu satu tahun tersebut habis. Dengan demikian, maka untuk
hapusnya hak milik itu tidak disyaratkan adanya suatu keputusan dari instansi
manapun, baik pengadilan maupun eksekutif. Tidak diperlukan adanya keputusan
yang bersifat kontitutif. Tetapi biarpun demikian agar ada ketegasan bagi pihak-pihak
yang berkepentingan (bekas pemilik, instansi-instansi agraria, khususnya Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah yang berkewajiban untuk mencatatnya dan pihak ketiga)
maka hapusnya hak tersebut sebaiknya ditegaskan dengan suatu surat keputusan dari
instansi agraria yang berwenang. 19
Surat keputusan itu bersifat deklaratoir, yaitu untuk menegaskan atau
menyatakan berlakunya ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut terhadap hak milik
yang bersangkutan. Instansi yang berwenang mengeluarkan surat keputusan yang
dimaksudkan itu menurut PMDN No. 1 Tahun 1967 adalah Menteri Dalam Negeri /
Direktur Jenderal Agraria.20
Adapun kemungkinan bila tanah hak milik menjadi kepunyaan bersama dari
orang WNI tunggal dan orang asing atau WNI yang berkewarganegaraan rangkap, hal
ini sebenarnya tidak diatur secara tegas, tetapi dalam buku Eddy Ruchiyat yang
berjudul Politik Pertanahan diggunakan analogi, bahwa pihak pemilik bersama yang
tidak mempunyai syarat juga berkewajiban untuk mengakhiri pemilikannya di dalam
jangka waktu satu tahun. Jika kewajiban itu tidak dipenuhi, maka bukan bagiannya
saja yang menjadi hapus tetapi hak milik itu seluruhnya dan tanahnya menjadi tanah
Negara. Hak milik itu tidak dapat hapus sebagian saja karena merupakan kepunyaan
bersama, hingga tidak dapat ditentukan bagian tanah yang mana kepunyaan pihak
yang tidak memenuhi syarat itu.
Sebaliknya jika hak pemilik bersama itu tidak dihapus, maka akan timbul
keadaan di mana seorang yang tidak memenuhi syarat dapat terus mempunyai hak
19
20
Ibid. hlm. 89
Ibid
23
milik. Adapun perlindungan hukum bagi pihak yang memenuhi syarat atas pemilikan
bersama, bahwa setelah tanah yang bersangkutan menjadi tanah Negara maka pihak
yang memenuhi syarat mempunyai proritas utama untuk memintanya kembali dengan
hak milik, dengan kewajiban untuk membayar uang pemasukan kepada Negara
sebesar bagian dari bekas pemilik bersama yang tidak memenuhi syarat itu. 21
3. Hak Atas Tanah : Hak Milik dan Hak Guna Bangunan.
Dalam bunyi UUD 1945 Pasal 28H ayat (4) yang mengatur Hak Asasi
Manusia (HAM) dikatakan bahwa: “setiap orang berhak memiliki hak milik pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.”
Hak kepemilikan pribadi tersebut juga kaitannya dengan hak milik atas tanah
yang diberikan kepada tiap warga negara Indonesia, dan hak milik yang dimiliki oleh
warga negara tersebut harus dilindungi dan tidak boleh diambil oleh negara yang
dalam hal ini pemerintah maupun pemerintah daerah secara sewenang-wenang.
Hak-hak atas tanah yang akan dibahas disini meliputi: Hak Milik dan Hak
Guna Bangunan saja. Pembahasan dari kedua hak atas tanah tersebut dikarenakan
hanya kedua hak atas tanah tersebut yang dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia
dan berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
1. Hak Milik (HM).
Pengaturan yang mengatur terkait dengan hak milik atas tanah oleh UUPA
diatur dalam Pasal 20 s/d Pasal 27 UUPA, sampai sekarang belum ada undangundang tersendiri yang mengatur mengenai hak milik, yang memang perlu dibuat
berdasarkan Pasal 50 ayat (1) UUPA.
Pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA, yakni:
21
Ibid, hlm. 90
24
(1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 UUPA
(semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial).
(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Sifat dari hak milik membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik
adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah.
pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang “mutlak, tak
terbatas dan tidak dapat diganggu gugat” sebagaimana hak eigendom menurut
pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan
sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.22 Kata-kata “terkuat dan
terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukan, bahwa di antara hakhak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang “ter” (artinya: paling)
kuat dan terpenuh. 23
Jadi, sifat khas dari hak milik ialah hak yang turun-temurun, terkuat dan
terpenuh. Bahwa hak milik merupakan hak yang kuat, berarti hak itu tidak mudah
hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu, hak
tersebut wajib didaftarkan.24
Hak milik mempunyai sifat turun-temurun, artinya dapat diwarisi oleh ahli
waris yang mempunyai tanah. Hal ini berarti Hal ini berarti hak milik tidak
ditentukan jangka waktunya seperti misalnya, hak guna bangunan dan hak guna
usaha. Hak milik tidak hanya akan berlangsung selama hidup orang yang
mempunyainya, melainkan kepemilikannya akan dilanjutkan oleh ahli warisnya
setelah ia meninggal dunia. Tanah yang menjadi objek hak milik (hubungan
22
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 60
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta,
Djambatan. 2000, hlm. 12
24
Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria Bagian Pertama, Djilid Kedua, Jakarta, Djambatan,
1971, hlm. 55
23
25
hukumnya) itu pun tetap, artinya tanah yang dipunyai dengan hak milik tidak
berganti-ganti, melainkan tetap sama. 25
“Terpenuh” maksudnya hak milik itu memberikan wewenang yang paling
luas kepada yang memenuhi hak jika dibandingkan dengan hak-hak yang lain. Hak
milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya. Artinya, seorang pemilik tanah bisa
memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang dari hak milik:
menyewakan, membagi hasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada
orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai. Hak milik tidak berinduk
kepada hak atas tanah lain, karena hak milik adalah hak yang paling penuh,
sedangkan hak-hak lainnya itu kurang penuh. 26 Jika dilihat dari peruntukannya, hak
milik tidaklah terbatas. Adapun hak guna bangunan untuk keperluan bangunan saja,
juga hak guna usaha terbatas hanya untuk keperluan usaha pertanian dan bisa untuk
bangunan.
Selama tidak ada pembatasan-pembatasan dari pihak penguasa, maka
wewenang dari seorang pemilik tidak terbatas. Seorang pemilik bebas dalam
mempergunakan tanahnya. Pembatasan itu ada yang secara umum berlaku terhadap
masyarakat, dan ada juga yang khusus, yaitu terhadap tanah yang berdampingan,
harus saling berdampingan, harus saling menghormati, tidak boleh memperkosa. 27
Setelah melihat pengertian dari hak milik yang diatur dalam UUPA, hak milik
atas tanah juga memiliki sifat dan ciri-ciri, hal tersebut juga terdapat dalam UUPA.
Sifat dan ciri-ciri hak milik adalah sebagai berikut:28
1. Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga harus
didaftarkan. (Pendaftaran yang dilakukan tersebut bertujuan untuk
menjamin kepastian hukum atas pemilikan tanah tersebut. Kepastian
hukum yang dimaksud adalah kepastian mengenai orang / badan hukum
yang menjadi pemegang hak yang disebut juga dengan kepastian
25
Ibid.
Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 61
27
Ibid.
28
Boedi Harsono, op.cit, hlm. 54
26
26
mengenai subjek hak, disamping itu juga mengenai letak batas-batasnya
serta luas bidang-bidang tanah yang juga disebut dengan kepastian
mengenai objek hak 29). Terkait pengaturan yang mengatur pendaftaran
hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UUPA, yang
menyatakan:
(1) Hak
milik,
demikian
pula
setiap
peralihan,
hapusnya
dan
pembebannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 (Pemerintah
mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
untuk menjamin kepastian hukum, yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan
pembebanan hak tersebut.
2. Dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya (Pasal 20
UUPA).
3. Dapat dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat (Pasal 20 jo. Pasal
26 UUPA).
4. Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain, artinya dapat
dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu hak guna bangunan, hak
pakai, hak sewa, hak usaha bagi hasil, dan hak menumpang. Hak milik
sebaliknya tidak dapat berinduk pada hak atas tanah lainnya.
5. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (Pasal 25
UUPA).
6. Dapat dilepaskan oleh yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 27 UUPA).
7. Dapat diwakafkan (Pasal 49 ayat (3) UUPA).
29
Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 19
27
Adapun juga bahwa batas waktunya hak milik atas tanah tidak terbatas
tergantung dari pemilik tanah tersebut.30
Meskipun hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh dibandingkan
dengan hak-hak lainnya, hak milik juga memiliki fungsi sosial seperti hak-hak
lainnya (Pasal 6 UUPA) sehingga hal ini mengandung arti bahwa hak milik atas tanah
tersebut di samping hanya memberikan manfaat bagi pemiliknya, harus diusahakan
pula agar sedapat mungkin bermanfaat bagi orang lain atau kepentingan umum bila
keadaan memang memerlukannya. Penggunaan hak milik tersebut tidak boleh
menganggu ketertiban dan kepentingan umum. 31
Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA, dikatakan yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia hanyalah: 32
a. Warga Negara Indonesia (WNI).
b. Badan-Badan Hukum yang ditunjuk Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun
1963, tertanggal 19 Juni 1963, yakni:
1. Bank-Bank Negara:
-
Bank Indonesia.
-
Bank Dagang Negara.
-
Bank Negara Indonesia 1946.
2. Koperasi Pertanian.
3. Badan-Badan Sosial.
4. Badan-Badan Keagamaan.
Hak milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang
sudah dipunyai sejak tanggal 24 September 1960 (sebelum berlakunya UUPA),
sedang sesudah tangga; tersebut diberikan hak guna bangunan atau hak pakai. 33
30
Ibid, hlm. 23
Purnadi Halim Purbacaraka, Sendi0Sendi Hukum Agraria, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 28.
32
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 6.
33
Soedharyo Soimin, Statua Hak dan Pembebasan Tanah, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
hlm. 4.
31
28
Bahwa selain dari badan-badan hukum diatas ini tidak diberikan hak milik
atas tanah, melainkan hanya diberi hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha
(HGU), dan hak pakai (HP). Pemberian hak selain hak milik tersebut dengan
pertimbangan bahwa badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik. 34 Dalam
hal ini dapat dilihat bahwa badan-badan hukum yang dapat memiliki hak milik adalah
badan-badan hukum yang erat kaitannya dengan keagamaan, sosial, dan hubungan
perekonomian.
Sedangkan untuk kepemilikan tanah dengan hak milik bagi warga negara
asing (WNA) di Indonesia tetap dilarang, hal tersebut termaktum dalam bunyi Pasal
24 ayat (4) UUPA, yang menyatakan: “selama seorang disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai
tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.”
Bunyi Pasal 21 ayat (3) UUPA menyatakan bahwa: “orang asing yang sudah
berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik, karena pewarisan tanpa
wasiat, atau percampruan harta karena perkawinan, demikian pula warga negara
Indonesia kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, didalam
jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu, hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena
hukum, dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung.”
Dari bunyi Pasal 21 ayat (3) UUPA tersebut dapat disimpulkan bahwa
dimungkinkan WNA dapat memiliki hak milik atas tanah tetapi jangka waktunya
hanya satu tahun, setelah satu tahun hak milik tersebut harus dilepaskan kepada
subyek hukum yang memenuhi syarat. Karena jika WNA tersebut tidak melepaskan
hak milik tersebut, hak tersebut akan hapus karena hukum dan tanahnya menjadi
tanah Negara dengan sendirinya.
Di Indonesia salah satu hak dari warga negara yang harus dilindungi dan
diakui oleh negara adalah hak warga negara untuk berhak memiliki hak milik atas
34
H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid I, Prestasi Pustaka, Jakarta,
2004, hlm. 34.
29
tanah, yang hak milik atas tanah tersebut merupakan hak asasi setiap warga negara
Indonesia, terkecuali yang tidak dapat diberikan hak milik atas tanah di Indonesia
adalah warga negara asing (WNA) dan badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia. bagi mereka yang ingin menggunakan dan mengelola tanah
di Indonesia oleh pemerintah hanya diberikan hak pakai atas tanah saja.
Terkaitannya dengan proses terjadinya hak milik atas tanah merupakan
rangkaian pemberian hak atas tanah yang diatur dalam UUPA, hal tersebut terdapat
didalam Pasal 22 UUPA. Proses terjadinya hak milik tersebut dapat terjadi
berdasarkan:
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, hak
milik terjadi karena:
a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
b. Ketentuan Undang-Undang.
Bahwa penjelasan dari ke 3 cara terjadinya hak milik tersebut, yaitu: 35
-
Menurut hukum adat.
Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah
(pembukaan hutan). Artinya, pembukaan tanah (hutan) tersebut
dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat hukum adat yang
dipimpin oleh ketua adat melalui sistem penggarapan, yaitu matok
sirah, matok sirah gilir gelang, dan sistem bleburan atau terjadi
karena timbulnya”lidah tanah (aanslibbing). Lidah tanah adalah tanah
yang timbul / muncul karena terbeloknya arus sungai atau tanah di
pinggir pantai, biasanya terjadi dari lumpur yang makin lama makin
35
Richard Edy, op.cit, Hlm. 5
30
tinggi dan mengeras. Dalam hukum adat, lidah tanah yang tidak begitu
luas menjadi hak bagi pemilik tanah yang terbatas. Hak milik tersebut
dapat didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten / kota setempat
untuk mendapatkan sertifikat hak miliknya.
-
Penetapan Pemerintah.
Hak milik atas tanah ini terjadi karena permohonan pemberian hak
milik atas tanah (semula berasal dari tanah Negara) oleh pemohon
dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditentukan oleh
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setlah semua terpenuhi, BPN
menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH tersebut
wajib didaftarkan oleh pemohon kepada kepala kantor pertanahan
kabupaten / kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan
diterbitkan sebagai sertifikat hak milik atas tanah.
-
Ketentuan Undang-Undang.
Terjadinya hak milik atas tanah ini didasarkan karena konversi
(perubahan) menurut UUPA. Sejak berlakunya UUPA, semua hak atas
tanah yang ada harus diubah menjadi salah satu hak atas tanah yang
diatur dalam UUPA.
Selain terjadinya hak milik atas tanah, bahwa hak milik atas tanah yang
dimiliki warga negara dapat pula hapus. Hapusnya hak milik tersebut diatur menurut
Pasal 27 UUPA. Hapusnya hak milik tersebut bila:
a. Tanahnya jatuh kepada Negara:
1. Karena pencabutan hak berdasarkan untuk kepentingan umum,
kepentingan bangsa dan Negara, serta kepentingan bersama dari rakyat
(Pasal 18 UUPA).
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.
3. Karena diterlantarkan.
4. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak
milik atas tanah (Pasal 21 ayat (3)).
31
5. Karena peralihan hak mengakibatkan tanahnya berpindah kepada
pihak lain yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas
tanah (Pasal 26 ayat (2)).
b. Tanahnya musnah; misalnya karena bencana alam.
2. Hak Guna Bangunan (HGB).
Pengaturan hak guna bangunan (HGB) dalam UUPA diatur dalam Pasal 35
s/d Pasal 40 UUPA. Pengaturan lebih lanjut mengenai hak guna bangunan ini diatur
pula dalam Pasal 19 s/d Pasal 38 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
Pasal 35 ayat (1) UUPA menyatakan pengertian dari hak guna bangunan
adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
Menurut penjelasan Pasal 35 UUPA, karena hak guna bangunan tidak
mengenai tanah pertanian, maka hak guna bangunan, selain atas diberikan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang. Hak
guna bangunan dapat diberikan atas tanah Negara maupun tanah milik orang lain.
Pasal 35 ayat (1) UUPA tersebut mengandung unsur-unsur penting dari hak guna
bangunan, yakni:36
a. Peruntukan HGB. HGB adalah hak untuk: mendirikan dan mempunyai
bangunan atas tanah. Bangunan tersebut bisa rumah sebagai tempat hunian
maupun rumah tempat usaha (rumah toko atau rumah tempat usaha/kantor),
bangunan tempat kegiatan olahraga, bangunan tempat kegiatan pariwisata
serta bangunan-bangunan lainnya. Meskipun, HGB dapat dimanfaatkan bagi
bangunan rumah tempat tinggal, namun lembaga HGB itu sesungguhnya
diciptakan untuk memperkaya lembagahukum hak atas tanah menurut hukum
adat yang lebih dimaksudkan guna memenuhi kebutuhan usaha warga negara
36
Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad,op.cit, hlm. 136-138
32
dan badan hukum Indonesia. Tegasnya, penciptaan lembaga hukum HGB
adalah lebih dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan usaha dari
warga negara, sedangkan untuk hunian lebih merupakan maksud dari hak
milik. Oleh karena itu, tidak sesuai dengan maksud awal dari Hukum Tanah
Nasional kalau suatu Pemerintah Daerah di wilayah perkotaannya membuat
kebijakan untuk memberikan HGB kepada kepentingan pembangunan rumah
(hunian) dengan agar lebih murah untuk menggantiruginya ketika suatu waktu
dibutuhkan untuk kepentingan umum. Konsisten dari hal itu pulalah, maka
diambil suatu kebijakan kemudahan untuk memberikan peningkatan HGB
menjadi HM bagi pemilik rumah yang masih berstatus HGB di lingkungan
perumahan.
b. Objek Tanah HGB. Objek tanah yang dapat diberikan HGB dapat berupa:
tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik. Pasal 21 PP No. 40
Tahun 1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna
Bangunan adalah: (a) tanah negara; (b) tanah Hak Pengelolaan; dan (c) tanah
Hak Milik.
c. Jangka Waktu HGB. Jangka waktu HGB maksimal adalah 30 tahun,
sehingga kalau dalam jangka waktu tersebut belum digunakan untuk
mempunyai atau mendirikan bangunan, maka HGB tersebut seyogianya tidak
dapat diperpanjang. Pasal 35 ayat (2) UUPA menyatakan: “Atas permintaan
pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunanbangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang
dengan waktu paling lama 20 tahun.”
Dapat diperpanjang atau dapat diperbaharui berarti bahwa perpanjangan atau
perubahan HGB dapat dilakukan jika dipenuhi berbagai persyaratan
perpanjangan atau pembaruan HGB tersebut, seperti yang ditentukan dalam
Pasal 26 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yakni:
33
a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak;
c. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
yang bersangkutan;
d. Mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan (bagi Hak
Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan).
Sedangkan dalam Pasal 25 PP No. 40 Tahun 1996, menyatakan:
(1) Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun.
(2) Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas
pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di
atas tanah yang sama.
Menurut Pasal 27 PP No. 40 Tahun 1996, permohonan perpanjangan itu
diajukan 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya HGB tersebut.
Jika telah diperoleh perpanjangan atau pembaharuan, maka harus didaftarkan
lagi pada buku tanah di Kantor Pertanahan. Mengenai tata cara mengajukan
permohonan atau pembaharuan dari HGB atau pembaharuan dari HGB ini
serta syarat-syaratnya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. 37
Selanjutnya Pasal 28 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa untuk
kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan
HGB dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang
ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak
Guna
37
Bangunan.
Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau
Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, op.cit, hlm. 27
34
pembaharuan HGB dan perincian uang pemasukannya dicantumkan dalam
keputusan pemberian Hak Guna Bangunan.
Uang pemasukan yang diperlukan untuk baik perpanjangan atau pembaharuan
ini dapat ditentukan pada saat pertama kali diajukan permohonan HGB.
Tampaknya dengan ketentuan seperti ini, dari pihak pemerintah atau kas
negara, memperlihatkan kebutuhan akan uang pemasukan ini. Tetapi di lain
pihak adanya ketegasan pembayaran uang pemasukan secara di muka untuk
permintaan perpanjangan maupun pembaharuan HGB ini menjadi juga suatu
jaminan dan merasa “lebih aman” bagi pihak peminta HGB ini. Karena dari
semulanya dia sudah harus membayar uang pemasukan ini, baik untuk hak
pertama kali dia minta maupun untuk perpanjangan maupun pembaharuan
daripada HGB bersangkutan itu. Demikian maka jumlah uang pemasukan
yang harus dibayar oleh si peminta ini adalah lebih besar. Tetapi di lain pihak
ia mendapat kepastian bahwa tidak akan ditolak perpanjangannya atau
pembaharuan yang akan dimintanya itu. Kemudian dinyatakan bahwa untuk
selanjutnya dalam acara perpanjangan atau pembaharuan HGB ini ia akan
hanya dikenakan biaya administrasi. Besarnya biaya administrasi ini
ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Satu dan
lain setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. (selanjutnya
persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan dari HGB ini
dan perincian uang pemasukan dicantumkan dalam Keputusan Pemberian
HGB).38
d. Peralihan HGB. Menurut Pasal 35 ayat (3) UUPA menyatakan: ”Hak guna
bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Bahwa
berdasarkan pada Pasal 34 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996 meyatakan bahwa
peralihan HGB itu terjadi karena: (a) jual beli, (b) tukar menukar, (c)
penyertaan dalam modal, (d) hibah, (e) pewarisan. Poin (a) sampai dengan (d)
38
Ibid, hlm. 27-28
35
disebut peralihan karena ada perbuatan hukum, sedangkan poin (e) yakni
pewarisan terjadi karena peristiwa hukum, bukan karena perbuatan hukum. 39
Pada peralihan hak atas tanah menurut ayat (2) tersebut harus didaftarkan
pada kantor pertanahan.
e. Pembebanannya. Pasal 39 UUPA menyatakan: Hak Guna Bangunan dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Selanjutnya, Pasal
33 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa: (a) HGB dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan; dan (b) Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya HGB.
f. Pembuktiannya. Pasal 38 UUPA menyatakan:
(1) Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian
juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
(2) Pendaftaran termasuk ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak
tersebut kecuali dalam waktu hal hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir.
Kaitannya dengan subyek hak guna bangunan, Pasal 26 ayat (1) UUPA
menyatakan bahwa yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah: (a) warga
negara Indonesia; dan (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
Selanjutnya, Pasal 36 ayat (2) UUPA tersebut
menyatakan: “orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan
tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam
dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang
memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika
hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka
39
Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad,op.cit, hlm. 141
36
waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak
pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah”.
Ketentuan yang sama mengenai subyek HGB ini dapat dilihat pada Pasal 19
dan Pasal 20 PP No. 40 Tahun 1996. Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan:
bahwa yang menjadi pemegang HGB adalah: (a) warga negara Indonesia; dan (b)
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia. Selanjutnya, Pasal 20 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan:
(1) Pemegang Hak Guna Bangunan yang tidak lagi memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dalam jangka waktu satu tahun
wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada pihak
lain yang memenuhi syarat.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena
hukum.
Mengenai luas HGB yang dapat dipunyai oleh subyek HGB sampai saat ini
belum ada ketentuan yang membatasinya. Oleh karena itu pembatasan pemilikan
tanah yang belum diatur oleh UU No. 56 Prp. Tahu 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian, hanya melakukan pembatasan terhadap pemilikan tanah pertanian,
sedangkan untuk tanah perumahan dan bangunan lainnyaoleh pasal 12 UU No. 56
Prp. Tahun 1960 itu akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Namun sampai
sekarang PP tersebut belum ada. Oleh karena itu, sebagai langkah pragmatisnya,
pembatasan tanah perumahan itu dilakukan melalui instrument perizinan peralihan
hak atas tanah seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun
1961. Di dalam Peraturan Menteri Agraria itu dinyatakan bahwa orang sudah
menguasai 5 (lima) bidang tanah, maka apabila ia memohon pendaftaran hak atas
37
tanah yang baru dipunyainya lagi diwajibkan untuk memperoleh izin pemindahan
hak.40
Menurut Pasal 30 PP No. 40 Tahun 1996, bahwa Pemegang Hak Guna
Bangunan memiliki kewajiban untuk:
a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya
ditetapkan dalam keputsan pemberian haknya;
b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjuan pemberiannya;
c. Memelihara kelestarian baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta
menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna bangunan
kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik
sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;
e. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala
Kantor Pertanahan.
Inti yang dinyatakan dalam Pasal 31 PP No. 40 Tahun 1996, apabila ternyata
tanah HGB bersangkutan dalam keadaan geografis atau lingkungan atau karena soalsoal lain demikian rupa letaknya hingga mengurung dan menutup pekarangan tanah
orang lain dari jalan lalu lintas umum atau jalan air, maka si pemegang HGB wajib
memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain untuk pekarangan atau
bidang tanah yang terkurung itu. Jadi ini adalah prinsip yang berlaku demi kerukunan
tetangga. Maka jalan keluar atau jalan air ini selalu harus diberikan kepada tetangga
ini. Supaya mereka inipun tidak terkurung dan tidak mempunyai akses sama sekali
kepada jalan umum. 41
Si pemegang HGB berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanahnya itu
selama waktu yang ditentukan dan ia bisa mendirikan dan mempunyai bangunan
untuk keperluan pribadi dan usahanya. Disamping itu dia juga dapat mengalihkan hak
40
41
Ibid, hlm. 140
Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, op. cit, hlm. 29
38
menguasai dan mempergunakan ini kepada pihak lain dan juga dapat dibebani dengan
hak-hak tanggungan tertentu (Pasal 32 PP No. 40 Tahun 1996).
Untuk menjamin hutang, maka HGB dapat dijadikan jaminan dengan dibebani
Hak Tanggungan (Pasal 33 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996). Pembebanan ini telah
diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Tahun 1996 No. 4 mengenai Hak
Tanggungan. Ditentukan pula seperti haknya dengan HGB, bahwa apabila telah
hapus HGB ini, maka Hak Tanggungan juga sebagai suatu hak yang aksesoir turut
menjadi hapus (Pasal 33 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996).
Mengenai peralihan hak guna bangunan, bahwa menurut Pasal 34 ayat (1) PP
No. 40 Tahun 1996 maka hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain.
Mengenai cara-cara beralihnya HGB kepada pihak lain ditentukan dalam
Pasal 34 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996. Peralihan hak guna bangunan ini terjadi
karena hal-hal sebagai berikut:
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Penyertaan dalam modal;
d. Hibah;
e. Pewarisan.
Semua cara peralihan HGB kepada pihak lain adalah lazim dan dikenal dalam
sistem hukum yang berlaku. Jika telah berlaku peralihan HGB, maka hal ini harus
didaftarkan pada kantor Pertanahan. Peralihan HGB karena jual beli (kecuali melalui
lelang), tukar menukar dan penyertaan dalam modal serta hibah harus dilakukan
dengan suatu akta yang dibuat di hadapan PPAT (Pasal 34 ayat (4) PP No. 40 Tahun
1996). Kalau dilakukan jual beli melalui lelang, maka cukup dibuktikan dengan
Berita Acara Lelang (Pasal 34 ayat (5) PP No. 40 Tahun 1996).
Mengenai peralihan HGB karena pewarisan harus diberikan dengan surat
wasiat dan keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang (Pasal 34 ayat
(6) PP No. 40 Tahun 1996). Untuk mereka yang hidup di bawah sistem BW dan
39
KUHD Barat, maka pejabat yang berwenang menurut hukum yang berlaku untuk
memberikan Surat Keterangan Waris (Certificaat Van Erfrecht) adalah Notaris.
Untuk lain-lain golongan rakyat, misalnya pribumi, maka yang berwenang adalah
Pengadilan Negeri atau mereka yang beragama Islam Pengadilan Agama
bersangkutan.42
Untuk Peralihan HGB atas tanah Hak Pengelolaan dengan persetujuan tertulis
dari pemegang Hak Pengelolaan (Pasal 34 ayat (7) PP No. 40 Tahun 1996).
Kemudian peralihan HGB atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari
pemegang Hak Milik yang bersangkutan (Pasal 34 ayat (8) PP No. 40 Tahun 1996.
Terkait dengan cara terjadinya HGB diatur dalam Pasal 37 UUPA, yang
menyatakan bahwa HGB dapat terjadi karena: (a) Penetapan Pemerintah, bagi tanah
yang dikuasai langsung oleh negara; dan (b) perjanjian yang berbentuk otentik
karena Penetapan Pemerintah antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak
yang memperoleh HGB itu, bagi tanah hak milik.
Pada bagian cara terjadinya HGB ini, perlu kiranya dijelaskan bahwa
Keputusan Pemberian HGB (termasuk HM, HGU, dan HP) bukan merupakan alat
bukti hak. Karena para pemegang Keputusan Pemberian Hak itu masih harus
mendaftarkan Keputusan Pemberian Hak tersebut. Sebelum mendaftarkannya, harus
terlebih dahulu ditunaikan berbagai kewajiban penerima hak, seperti pembayaran Bea
Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) dan uang pemasukan.43
Seperti yang disebut dalam Pasal 103 Peraturan Menteri Negara Agraria /
Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak
Atas Tanah dan Hak Pengelolaan, menyatakan: bahwa setiap penerima hak atas
tanah harus memenuhi kewajiban sebagai berikut: (a) membayar BPHTB dan uang
pemasukan kepada Negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (b) memelihara
tanda-tanda batas; (c) menggunakan tanah secara optimal; (d) mencegah kerusakankerusakan dan hilangnya kesuburan tanah; (e) menggunakan tanah sesuai kondisi
42
43
Ibid, hlm. 31
Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad,op.cit, hlm. 141
40
lingkungan hidup; (f) kewajiban yang tercantum dalam sertifikatnya. Selanjutnya
dinyatakan bahwa jika penerima hak tidak memenuhi kewajiban tersebut, Menteri
(sekarang Kepala BPN) dapat membatalkan haknya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengaturan terkait dengan terjadinya HGB, selain diatur dalam UUPA diatur
lebih lanjut dalam Pasal 22 s/d Pasal 24 PP No. 40 Tahun 1996.
Pasal 22 PP No. 40 Tahun 1996:
(1) Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
berdasarkan usuk pemegang Hak Pengelolaan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permononan dan pemberian diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 23 PP No. 40 Tahun 1996:
(1) Pemberian Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
didaftar dalam buku tanah pada Kantor Petanahan.
(2) Hak Guna Bangunan atas tanah negara atau atas tanah Hak Pengelolaan
terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan.
(3) Sebagai tanah bukti hak kepada pemegang Hak Guna Bangunan diberikan
sertifikat hak atas tanah.
Pasal 24 PP No. 40 Tahun 1996:
(1) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh
pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
(2) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
(3) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak
didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
41
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna
Bangunan atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan Keputsan
Presiden.
Selain dapat terjadinya HGB, bahwa HGB ini dapat pula hapus. Pasal 40
dalam UUPA yang mengatur mengenai cara-cara hapusnya HGB, tetapi pengaturan
berkaitan dengan hapusnya HGB tersebut diperinci lebih lanjut dalam Pasal 35 PP
No. 40 Tahun 1996:
a. Karena berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan semula baik dalam putusan
pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya.
b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau
pemegang hak milik sebelum jangka waktu berakhir karena ada alasan-alasan
tertentu, yaitu:
1. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban oleh pemegang hak, dan/atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dapam pasal 30,
31 dan pasal 32; atau
2. Tidak dipenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian
pemberian HGB antara si pemegang HGB dan pemegang Hak Milik atau
dengan perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan tanah; atau
3. Karena ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan kekuatan
hukum yang tetap.
Sudah jelas bahwa jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka
sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 1266 dan seterusnya BW,
maka pihak yang lain dapat meminta pembatalan.
Dalam suatu perjanjian timbal balik semua pihak harus melakukan prestasi
atau kewajiban yang diletakan kepadanya. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka
menurut hukum pihak yang lain dapat minta pembatalan. Kemudian dapat
juga diadakan pembatalan tentunya jika telah ternyata kesalahan-kesalahan ini
daripada pihak penerima HGB, seperti terurai dalam keputusan bersangkutan
42
dan keputusan ini harus tidak dapat dibanding atau dikasasi lagi karena harus
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.44
c. Dilepaskan secara sukarela, oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir. Jadi terjadi pelepasan oleh si pemegang hak tentu saja
akan berakhir juga sebelum jangka waktu selesai. Karena sudah tidak
dikehendaki lagi hak ini oleh si pemegang hak, maka dapatlah ia
melepaskannya secara sukarela.
d. Kemudian, karena adanya pencabutan hak milik sesuai dengan UndangUndang No. 20 Tahun 1961. Tapi untuk berlakunya undang-undang ini harus
dipenuhi berbagai persyaratan antara lain bahwa pencabutan hak ini harus
dilangsungkan berdasarkan keputusan presiden, dan juga harus disertai
dengan ganti rugi serta umumnya ganti rugi ini harus dilakukan secara
”prompt, adequate, and effective” (secara tunai, segera dan wajar serta
efektif). Artinya jika hendak ditransfer uang bersangkutan uang bersangkutan
ke luar negari, karena yang dicabut hak miliknya adalah orang asing, maka hal
ini dapat dilakukannya secara bebas. 45
e. Karena diterlantarkan. Tentu saja orang yang memperoleh hak atas sebidang
tanah harus memelihara dengan baik dan tidak pada tempatnya untuk
menelantarkannya. 46
f. Jika tanahnya musnah, maka hak atas tanah itu juga akan musnah. Hal ini
adalah sesuai dengan ketentuan dalam BW mengenai musnahnya karena
misalnya terbakar rumah yang telah disewa. Hubungan sewa menyewa akan
menjadi putus karena objek rumah bersangkutan yang disewa ini ternyata
telah dibakar habis. Karena itu maka adalah menjadi putus hubungan antara
penyewa yang menyewa itu.47
44
Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, op.cit, hlm. 32
Ibid, hlm. 32-33
46
Ibid
47
Ibid
45
43
g. Ketentuan jika orang atau pihak yang memegang HGB ini sudah tidak
memenuhi lagi persyaratan untuk menjadi subjek daripada hak ini, yaitu status
kewarganegaraannya sudah menjadi asing. Maka HGB nya juga akan menjadi
hapus (Pasal 20 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996).
Mengenai tata cara lebih lanjut tentang hapusnya HGB akan diatur dengan
Keputusan Presiden (Pasal 35 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996). Akibat daripada
hapusnya HGB ialah sepanjang HGB ini adalah atas tanah negara, bahwa tanahnya
akan menjadi tanah negara kembali (Pasal 36 ayat (1) PP No 40 Tahun 1996).
Sedangkan hapusnya HGB atas tanah Hak Pengelolaan mengakibatkan tanahnya
kembali kedalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan (Pasal 36 ayat (2) PP No.
40 Tahun 1996). Apabila HGB hapus atas tanah Hak Milik mengakibatkan tanahnya
kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Milik (Pasal 36 ayat (3) PP No. 40
Tahun 1996).
HGB atas tanah negara hapus dan tidak diperpanjang atau tidak diperbaharui,
maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan diwajibkan untuk membongkar
bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada
negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak
hapusnya Hak Guna Bangunan tersebut (Pasal 37 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996).
Apabila bangunan dan harta benda di atasnya masih diperlukan, maka kepada
bekas pemegang HGB ini diberikan ganti rugi. Bentuk dan jumlahnya ganti rugi
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Penentuan apakah bangunan dan
benda-benda di atasnya itu masih diperlukan atau tidak, dilakukan berdasarkan
kepentingan umum dengan mengingat kepentingan bekas pemegang dan juga
peruntukan daripada tanah bersangkutan itu selanjutnya (Pasal 37 ayat (2) PP No. 40
Tahun 1996).
Pembongkaran daripada bangunan dan benda di atasnya dilaksanakan atas
biaya daripada bekas pemegang HGB ini (Pasal 37 ayat (3) PP No. 40 Tahun 1996).
Apabila jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai dalam memenuhi
kewajibannya untuk membongkar bangunan dan benda yang berada di atas tanah
44
bekas HGB tersebut, maka bangunan dan benda yang ada di atas tanah bekas HGB ini
dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan ini
(Pasal 37 ayat (4) PP No. 40 Tahun 1996).
Dalam hal hapusnya HGB atas tanah Hak Pengelolaan dan atas tanah Hak
Milik pihak lain, maka bekas pemegang HGB ini wajib menyerahkan tanahnya
kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik, serta harus dipenuhi
ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan
ini atau atas dasar perjanjian pemberian HGB atas tanah Hak Milik bersangkutan
(Pasal 38 PP No. 40 Tahun 1996).
Dalam Memori Penjelasan ditegaskan lebih jauh bahwa penyelesaian
penguasaan bekas-bekas HGB atas tanah Hak Pengelolaan dan Hak Milik ini,
sesudah hapusnya HGB itu, dilaksanakan sesuai Perjanjian Penggunaan Tanah Hak
Pengelolaan atau Perjanjian Pemberian HGB antara pemegang Hak Milik dan
pemegang Hak Guna Bangunan bersangkutan. Jadi syarat-syarat dari perjanjian inilah
yang harus diikuti. 48
4. Asas-Asas Hukum Agraria Nasional
Dengan berlakunya UUPA pada tahun 1960, maka Indonesia memiliki
Hukum Agraria Nasional. Di dalam hukum agraria nasional (UUPA) terdapat
beberapa asas-asas, tetapi dalam penulisan skripsi ini hanya dituangkan asas-asas
yang berkaitan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Asas Nasionalitas.
Asas Nasionalitas adalah: 49 asas yang menghendaki bahwa hanya
bangsa Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan hukum
sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Menurut asas ini, hanya bangsa indonesia yang
48
49
Ibid, hlm. 35
Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hlm. 84
45
dapat mempunyai hak milik, hak guna bangunan, dan hak guna usaha.
Orang asing dapat memanfaatkan bumi Indonesia hanya dengan hak
pakai atau hak sewa.
Asas ini terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) dan Pasal 21
UUPA sebagai dasar juridisnya menyatakan bahwa hanya warga negara
Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan hukum sepenuhnya
dengan BARA. Dan hanya warga negara Indonesia saja yang dapat
memiliki hak milik. Hal ini penting untuk menjaga persatuan bangsa dan
negara khususnya dalam hubungan antara hukum agraria dan
HANKAM.50
2. Asas Keadilan / Persamaan.
Persamaan dalam penguasaan atas BARA yang tidak membedabedakan jenis kelamin, golongan kaya dan golongan miskin, bahkan tidak
membedakan suku bangsa.51
Asas ini diatur pada Pasal 9 ayat (2) UUPA. Pasal ini
menempatkan subyek hukum baik laki-laki maupun perempuan tidak
dibedakan dalam kesempatan untuk memperoleh kenikmatan atas BARA.
Bahkan tidak membedakan golongan, sehingga UUPA tidak menerapkan
diskriminasi karena jenis kelamin maupun golongan karena hal demikian
memang bertentangan dengan rasa keadilan bangsa Indonesia ataupun
HAM. Hal demikian perlu ditandaskan sebab perbedaan antara subyek
hukum (pria atau wanita) dalam hukum adat masih dikenal atas
pemilikan
sebidang
tanah.
pengaturan
eksplisit
demikian
tetap
dipertahankan agar supaya ketentuan ini menjadi pedoman secara ketat,
sehingga adil dan terkandung pemerataan kesempatan. Demikian pula
kesempatan yang sama semua warga negara untuk memiliki dan
50
51
Sri Harini Dwiyatmi, Hukum Agraria, Fakultas Hukum UKSW, Salatiga, 2008, hlm. 12
Sri Harini Dwiyatmi, op.cit, hlm. 84
46
menguasai secara terbuka dan menurut hukum atas tanah-tanah di seluruh
wilayah tanpa membatasi berdasarkan tidak saja jenis kelamin juga suku
dan warna kulit.52
3. Asas Hak Menguasai Negara.
Asas ini menyatakan bahwa sebagai organiasi kekuasaan
tertinggi, negara diberi wewenang untuk mengatur peruntukan tanah atau
berkewajiban untuk mengatur penggunaan tanah serta pemberian tanah.
Dalam hal ini, negara bukan sebagai pemilik tanah (BARA). 53 Konsep
negara sebagai pemilik hanya ada pada saat negara indonesia dalam
penjajahan Belanda. Sejak berlakunya UUPA yang lahir tahun 1960
prinsip yang ada sebelumnya ditegaskan dihapus. Yang ada kini prinsip
hak menguasai Negara yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 2
UUPA. Hak menguasai dari negara berasal dari Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 sebagai pasal pertama yang mengatur tentang hukum Agraria di
Indonesia yang mencakup bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara meliputi
semua BARA, baik yan sudah dihaki seseorang maupun yang belum
dihaki. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sedang dipunyai orang
dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu. Dan kekuasaan negara
atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau
pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. 54
52
Sri Harini Dwiyatmi, op.cit, hlm. 14
Sri Harini Dwiyatmi, op.cit, hlm. 83-84
54
Sri Harini Dwiyatmi, op,cit. hlm 15-16
53
47
D. Hak Asasi Manusia dan Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
1. Hak Asasi manusia (HAM).
Pasal 27 ayat (1) menyatakan: “Setiap warga negara bersama kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam bunyi pasal ini dapat dipahami bahwa
setiap warga negara sama dimata hukum (equality before the law) baik hak dan
kewajibannya sebagai warga negara, antara yang satu dengan yang lainnya tanpa
adanya diskriminasi.
UUD 1945 melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai makluk ciptaan
Tuhan yang paling sempurna. Perlindungan HAM tersebut terluang dalam UUD 1945
Pasal 28A sampai Pasal 28J. Beberapa pasal yang terkait dalam penulisan ini
diantaranya:
Pasal 28D ayat (1), menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.
Pasal
28D
ayat
(4),
“Setiap
menyatakan:
orang
berhak
atas
status
kewarganegaraan”.
Pasal 28H ayat (2), menyatakan: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”.
Pasal 28H ayat (4), menyatakan: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa
pun”.
Pasal 28I ayat (1), menyatakan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
48
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Pasal 28I ayat (2), menyatakan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Pasal 28I ayat (4), menyatakan: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah”.
Pasal 28J ayat (1), menyatakan: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Di Indonesia pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) diatur lebih
lanjut dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.
Bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Definisi Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 39
Tahun 1999 yaitu: seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Definisi hak asasi manusia menurut John Locke, adalah : hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. 55 Oleh
karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini
sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan
merupakan hal kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
55
Srijanti, A. Rahman H. I., Purwanto S. K., Pendidikan kewarganegaraan Perguruan Tinggi
Mengembangkan Etika Berwarga Negara, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm. 200
49
HAM sebagai suatu hak dilindungi oleh hukum yang berlaku (applicable
law), dimana tuntutan dari HAM tersebut ditujukan kepada negara yang diwakili oleh
pemerintah dan pejabat-pejabatnya. 56
Perbedaan HAM dengan hak lainnya adalah: 57
1. -
HAM tidak diperoleh;
-
Tidak dapat dialihkan;
-
Tidak diperkenankan untuk dirampas karena hak ini melekat pada diri
manusia;
-
HAM itu melekat pada semua diri manusia sepanjang hidupnya dan;
-
HAM merupakan hak yang tidak dapat dicabut.
2. Kewajiban utamanya jatuh pada negara bukan pada individu-individu.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM beberapa pasal yang berkaitan
dengan penulisan dalam skripsi ini, diantaranya:
Pasal 2 menyatakan “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi
hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati
melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati,
dan ditegakan demi meningkatkan martabat kemanusiaan, kesehjahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”.
Pasal 3 ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan pengakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
pengakuan yang sama di didepan hukum”.
Pasal 3 ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”.
Pasal 4 menyatakan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak
56
Louis Henkin, The Rights of Man Today, New York: Center for the study of Human Rights, Columbia
University, 1988, hlm. 1-2
57
Paul Sieghart, The International Law of Human Rights, Oxford: Clarendon Press, 1983, hlm. 17
50
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Pasal 5 ayat (1) menyatakan “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang
berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai
dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”.
Pasal-pasal tersebut sebagai pasal atas penerapan asas “equality before the
law”. Pengertian dari asas “equality before the law” adalah:58 asas yang menyatakan,
bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum, karena itu,
setiap orang harus diperlakukan sama, memperoleh hak dan kewajiban yang sama.
Tidak ada pilih kasih atau pandang bulu, satu sama lain mendapatkan perlakuan yang
sama.
Selain pasal-pasal yang menganut asas “equality before the law” tersebut,
terdapat pula HAM yang mengatur tentang hak untuk hidup yang diatur dalam:
Pasal 9 ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”.
Pasal 9 ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup tentram, aman,
damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”.
Adapun hak asasi yang mengatur hak atas kebebasan pribadi yang terkait
dengan kewarganegaraan, yang diatur dalam:
Pasal 26 ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak memiliki, memperoleh,
mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya”.
Pasal 26 ayat (2) menyatakan “Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya
dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada
kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga
negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.
58
Riduan Syahrani, op.cit, hlm. 16
51
Pasal 27 ayat (1) menyatakan “Setiap warga negara indonesia berhak untuk secara
bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik
Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Adapun pengaturan terkait tentang hak atas rasa aman, yang diatur dalam:
Pasal 29 ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya”.
Pasal 29 ayat (2) menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum
sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada”.
Selain itu terdapat pengaturan hak asasi manusia yang mengatur tentang hak
atas kesehjahteraan, yang diatur dalam:
Pasal 36 ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya,
keluarganya, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum”.
Pasal 36 ayat (2) menyatakan “Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan
sewenang-wenang dan secara melawan hukum”.
Pasal 36 ayat (3) menyatakan “Hak milik mempunyai fungsi sosial”.
Pasal 37 ayat (1) menyatakan “Pencabutan hak milik atas suatu benda demi
kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar
dan segara serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.
Pasal 37 ayat (2) menyatakan “Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum
demi kepentingan umum harus dimusnahkan atai tidak diberdayakan, baik untuk
selamanya maupun untuk sementara waktu, amka hal itu dilakukan dengan
mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecuali ditentukan lain”.
Pasal 40 menyatakan “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta
berkehidupan yang layak”.
52
Pasal yang mengatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab,
yaitu:
Pasal 71 menyatakan “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,
melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam
undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional
tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Republik Indonesia”.
Pasal 72 menyatakan “Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang
hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang
lain”.
Adapun pembatasan dan larangan untuk melindungi hak asasi manusia, yaitu
yang terdapat dalam:
Pasal 74 menyatakan “Tidak satu ketentuan dalam undang-undang ini boleh
diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak mana pun dibenarkan
mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar
yang diatur dalam undang-undang ini”.
Terkait dengan pemenuhan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi
Manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti yang tertuang dalam
Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999.
2. Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Definisi diskriminasi adalah:59 setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakua, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
59
Pasal 1 Angka 3, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
53
dalam kehidupan baik individual maupun kelolektif dalam bidang politik , ekonomi,
hukum, sosial, dan budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Diskriminasi biasanya dialami oleh kaum minoritas yang terkait dengan rasa
tau etnis yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat.
Di Indonesia terkait dengan diskriminasi ras dan etnis telah dihapuskan,
dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dalam
pertimbangan
muncul
dan
diberlakukannya
Undang-Undang
penghapusan diskriminasi ras dan etnis ini, bahwa umat manusia berkedudukan sama
di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan
hak-hak yang sama tanpa perbedaan apa pun, baik ras maupun etnis. Bahwa segala
tindakan diskriminasi juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan
Deklarasi Universal HAM. Selain itu bahwa diskriminasi merupakan hambatan bagi
hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian keserasian,
keamanan, dan kehidupan bermata pecaharian diantara warga negara yang pada
dasarnya hidup berdampingan.
Selain itu bahwa Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang
tercermin dalam sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas ini merupakan
amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala
bentuk dikriminasi ras dan etnis.
Definisi dari diskriminasi ras dan etnis adalah: 60 segala bentuk perbedaan,
pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan ras dan etnis, yang
mengakibatkan pencabutan dan pengurangan pengakuan, perolehan dan pelaksanaan
HAM dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan dibidang sipil, politik, ekonomi,
sosial dan budaya.
60
Pasal 1 Angka 1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis
54
Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas
persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, yang
diselenggarakan dengan tetap memerhatikan nilai-nilai agama, sosial, budaya, dan
hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 2 Ayat
(1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2008). sedangkan penghapusan diskriminasi ras dan
etnis bertujuan untuk mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan,
perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara
warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan (Pasal 3 UU No. 40
Tahun 2008).
Dalam Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2008, Tindakan dari diskriminasi ras dan
etnis berupa:
a. Memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan
berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau
pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik,
ekonomi, sosial dan budaya; atau
b. Menunjukan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras
dan etnis yang berupa perbuatan:
1. Membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau
disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat
atau dibaca oleh orang lain;
2. Berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di
tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
3. Mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata atau gambar
di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain;
atau
4. Melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan,
perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan
kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.
55
Untuk memberikan perlindungan dan jaminan, penghapusan diskriminasi ras
dan etnis wajib dilakukan dengan memberikan (Pasal 5 UU No. 40 Tahun 2008):
a. Perlindungan, kepastian dan kesamaan kedudukan di dalam hukum kepada
semua warga negara untuk hidup bebas dari diskriminasi ras dan etnis;
b. Jaminan tidak adanya hambatan bagi prakarsa perseorangan, kelompok
orang, atau lembaga yang membutuhkan perlindungan dan jaminan
kesamaan penggunaan hak sebagai warga negara; dan
c. Pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya pluralisme dan
penghargaan hak asasi manusia melalui penyelenggaraan pendidikan
nasional.
Dalam bunyi dari Pasal 6 jo. Pasal 7 UU No. 40 Tahun 2008, perlindungan
terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta
melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perudang-undangan.
Sedangkan untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara dari
segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis, maka pemerintah dan pemerintah
daerah wajib:
a. Wajib memberikan perlindungan yang efektif kepada setiap warga negara
yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin
terlaksananya secara efektif upaya penegakan hukum terhadap setiap tindakan
diskriminasi yang terjadi, melalui proses peradilan yang dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Menjamin setiap warga negara untuk memperoleh pertolongan, penyelesaian
dan penggantian yang adil atas segala kerugian dan penderitaan akibat
diskriminasi ras dan etnis;
c. Mendukung dan mendorong upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis,
dan menjamin aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan bertindak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
56
d. Melakukan tindakan yang efektif guna memperbarui, mengubah, mencabut,
dan
membatalkan
peraturan
perundang-undangan
yang
mengandung
diskriminasi ras dan etnis.
Dalam Pasal 8 UU No. 40 Tahun 2008, untuk segala bentuk pengawasan
terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilakukan oleh
Komnas HAM, yang meliputi:
a. Pemantauan dan penilaian atas kebijakan pemerintah dan pemerintah
daerah yang berpotensi menimbulkan diskriminasi ras dan etnis;
b. Pencarian fakta dan penilaian kepada orang perseorangan, kelompok
masyarakat atau lembaga publik atau swasta yang diduga melakukan
tindakan diskriminasi ras dan etnis;
c. Pemberian rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah atas
hasil pemantauan dan penilaian terhadap tindakan yang mengandung
diskriminasi ras dan etnis;
d. Pemantauan dan penilaian terhadap pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat dalam penyelenggaraan penghapusan diskriminasi ras dan
etnis; dan
e. Pemberian rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia untuk melakukan pengawasan kepada pemerintah yang tidak
mengindahkan hasil temuan Komnas HAM.
Ketentuan lebih lanjutnya mengenai tata cara pengawasan Komnas HAM
diatur dengan Peraturan pemerintah.
Warga negara juga memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam Pasal 9 dan
Pasal 10 UU No. 40 Tahun 2008. Bunyi ketentuan Pasal 9, menyatakan: setiap warga
negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil,
politik, ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, tanpa pembedaan ras dan etnis. Sedang bunyi ketentuuan Pasal 10,
menyatakan: setiap warga negara wajib:
a. Membantu mencegah terjadinya diskriminasi ras dan etnis; dan
57
b. Memberikan informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada pihak
yang berwenang jika mengetahui terjadinya diskriminasi ras dan etnis.
Setiap warga negara juga berperan serta dalam upaya penyelenggaraan
perlindungan dan pencegahan terhadap diskriminasi ras dan etnis, yang peran serta
tersebut dilakukan dengan cara (Pasal 11 jo. Pasal 12 UU No. 40 Tahun 2008):
a. Meningkatkan,
keutuhan,
kemandirian,
dan
pemberdayaan
anggota
masyarakat;
b. Menumbuhkan
dan
mengembangkan
kemampuan
serta
kepeloporan
masyarakat;
c. Menumbuhkan sikap tanggap anggota masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial; dan
d. Memberikan saran, pendapat dan menyampaikan informasi yang benar dan
bertanggung jawab.
Setiap orang juga berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui
pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya,
baik dapat dilakukan sendiri-sendiri atau secara bersama-sama (Pasal 13 jo. Pasal 14
UU No. 40 Tahun 2008).
58
Download