BAB I PENDAHULUAN

advertisement
 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai aspek seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama,
bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Keberagaman suku bangsa yang ada di
Indonesia merupakan salah satu kekayaan alam di Indonesia. Masing masing
memiliki keunikan dan kelebihan yang berbeda beda. Keragaman budaya yang
ada di Indonesia memimbulkan adanya komunikasi.
Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua
sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada
gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau
mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi
adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi. Pada satu sisi, komunikasi
merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya
masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat kepada masyarakat
lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada
sisi lain, budaya merupakan norma norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai
untuk kelompok tertentu (Deddy Mulyana, 2000:6).
Edward B. Taylor (dalam T.O.Ihromi 1980: 42) “ Kebudayaan sebagai
suatu keseluruhan yang bersifat rumit, yang mencangkup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat istiadat, serta kemampuan dan
1
kebiasaan mana pun dari manusia yang diperolehnya sebagai anggota suatu
masyarakat ”.
Komunikasi antarbudaya didalam bukunya Human Communication Deddy
Mulyana (1996: 236) adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya
( baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan perbedaan sosio ekonomi ).
Komunikasi antar budaya terjadi karena adanya pernikahan antar budaya.
Perkawinan antar budaya atau antar bangsa rentan menghadapi persoalan karena
banyaknya perbedaan. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 bahwa
pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu pernikahan
merupakan salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua
belah pihak baik dari pihak suami maupun istri
Perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan pastinya dinanti setiap orang.
Apapun itu masalahnya, hubungan dalam perkawinan harus dipertahankan,
termasuk dalam perkawinan campuran yang rentan persoalan. Perkawinan antar
budaya atau yang bisa disebut perkawinan campuran, sesungguhnya adalah
perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda kebangsaan atau
kewarganegaraan, berbeda keyakinan (agama), dan berbeda asal keturunan.
Perkawinan antar budaya sangat rentan akan konflik karena banyak sekali
konflik konflik yang akan terjadi dalam membina hubungan dalam rumah tangga
konflik dapat timbul disebabkan karena diri sendiri maupun orang lain. Seperti
halnya jika seseorang menginginkan sesuatu yang diharapkan dan semua itu tidak
2
tercapai maka akan menimbulkan konflik. Begitu pula jika seseorang itu
mengharapkan sesuatu yang diinginkannya kepada orang lain dan semua itu sama
sekali tidak didapatnya, maka juga akan menimbulkan konflik. Sebagian besar
pasangan yang menikah memiliki konflik dan perbedaan pendapat hingga taraf
tertentu. Ketika kesulitan dapat diselesaikan secara konstruktif maka pernikahan
lebih mungkin untuk bertahan, tetapi ketika permasalahan menjadi lebih buruk
dan berakibat adanya interaksi yang buruk pula, sehingga kemungkinan
pernikahan akan gagal (Baron,2005:48).
Komunikasi yang terjadi antara pasangan suami istri dapat dikategorikan
sebagai komunikasi interpersonal, karena individu-individu yang terdapat
didalamnya berkomunikasi secara langsung dengan bertatap muka. Keefektifan
dari komunikasi interpersonal adalah komunikator dapat menguasai situasi
komunikasi
yang
sedang
berlangsung.
Cara
bagaimana
komunikator
berkomunikasi dengan efektif yaitu dengan cara bertatap muka langsung (face to
face). Komunikasi tatap muka digunakan jika komunikator mengharapkan efek
perubahan tingkah laku (behaviour change) dari komunikan. Mengapa demikian,
sebab sewaktu kita berkomunikasi membutuhkan umpan balik secara langsung
(immediate feedback). Hal ini dapat dicontohkan seperti antar guru dengan murid,
atasan dengan bawahan, suami dengan istri dsb (Devito.1997:236).
Aspek umum dalam hubungan interpersonal dan variasi lintas budaya
dalam pembangunan hubungan interpersonal. Setidaknya ada empat dimensi
hubungan interpersonal tampak ada di semua budaya: asosiasi-disosiasi,
subordinasi-
superordination,
keintiman-formalitas
dan
terbuka
rahasia.
3
Bagaimana individu dalam budaya tertentu memandang hubungan interpersonal,
Namun, berbeda sebagai fungsi dari dimensi keragaman budaya yang dipilih.
asosiasi-disosiasi misalnya adalah fungsi dari kluckhohn dan strodtbeck's (1961)
sifat orientasi nilai manusia. Hofstede's (1980) individualisme-kolektivisme dan
Hall (1976) dimensi konteks rendah-tinggi tampaknya pengaruh besar pada proses
penetrasi sosial dan pengurangan ketidakpastian.
Masalah atau perbedaan yang mungkin ada dalam sebuah perkawinan
antar budaya tidak akan diselesaikan dengan mudah hanya karena kognitif orangorang menyadari alasan perbedaan dan strategis ada solusi yang ditentukan untuk
itu. budaya adalah sesuatu yang dipelajari melalui pengalaman dalam kehidupan
awal. individu telah mengembangkan lampiran emosional yang kuat dengan
budayanya. terkait dengan sistem kepercayaannya, nilai, dan kebiasaan gaya
hidupnya. Dalam proses penyesuaian pernikahan antarbudaya dia harus belajar
bagaimana mengatasi, benar dan menyesuaikan reaksi emosi untuk perubahan
yang diperlukan dan perluasan perilaku budayanya.
Komunikasi interpersonal yang terjadi pada pasangan suami-istri yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda rentan akan konfik. Menurut
Webster (1966), istilah “conflict”di dalam bahasa aslinya berarti suatu
perkelahian, peperangan, atau perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara
beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya
“ketidaksepakatan yang tajam atau oposisis atas berbagai kepentingan, ide, dan
lain-lain”. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu meluas sehingga
beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Definisi Webster
4
yang kedua konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived
divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang
berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan (Dean G. Pruitt, 2004:9-10).
Raven dan Rubin (1983) (dalam Dean G. Pruitt, 2004:21) mengatakan
bahwa konflik adalah suatu persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived
divergence of interest). Istilah Kepentingan bisa juga diartikan sebagai “nilainilai” (value) atau “kebutuhan”(needs). Kepentingan adalah perasaan orang
mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat
sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap,
tujuan dan niat (intensi)-nya.
Liliwery berpendapat bahwa konflik antar pribadi merupakan konflik yang
ditimbulkan oleh persepsi terhadap perilaku yang sama, namun bersumber dari
harapan-harapan yang berbeda-beda. Konflik antar pribadi selalu terjadi hanya
karena mereka yang terlibat dalam komunikasi menampilkan persepsi yang
berbeda (Liliwery,2001:148). Perbedaan persepsi tersebut sebenarnya sangatlah
wajar terjadi, karena setiap orang memiliki pandangan sendiri terhadap suatu
masalah.
Konflik yang timbul dalam suatu hubungan perkawinan dalam keluarga
bisa disebabkan karena beberapa hal, misalnya masalah perbedaan persepsi dan
masalah perbedaan sikap dan nilai diantara suami istri tersebut. Konflik juga bisa
disebabkan bisa timbul karena perilaku dan keingginan seseorang menghalangi
tujuan orang lain, sebagai akibat adanya perselisihan nilai, perilaku, kekuasaan
5
dan sumber daya dimana setiap pihak berusaha mencapai tujuannya, yang biasany
mengorbankan orang lain (Galvin and Brommel,1994:166 dalam Utami,2005:45). Banyak pasangan suami istri yang cenderung ingin menampilkan diri
masing-masing secara dominan satu sama lain. Tetapi mereka tidak sadar bahwa
dorongan seperti itu muncul karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukan komunikasi yang efektif satu sama lain, tanpa ada komunikasi yang
efektif akan sering muncul hambatan-hambatan dalam berkomunikasi yang
nantinya menyebabkan suatu konflik.
Konflik yang terjadi pada pasangan suami-istri dalam mrnjalani bahtera
rumah tangganya disebabkan oleh beberapa hal. Bahkan masalah yang seharusnya
tidak diributkan bisa menjadi persoalan besar yang tak kunjung selesai. Menurut
data yang diperoleh dari sumber harian kompas mengenai sumber konflik. Bahwa
konflik yang muncul pada pasangan suami istri disebabkan karena adanya factor
ekonomi, anak, kehadiran pihak lain, seks, keyakinan, mertua, ragam perbedaan,
komunikasi terbatas.
Beberapa sumber konflik diatas, salah satu sumber konflik yang sering
muncul pada pasangan suami istri yang menikah berdasarkan latar belakang
budaya yang berbeda yaitu adanya ragam perbedaan, seperti yang kita ketahui
bahwa menyatukan dua hati berarti menyatukan dua kepribadian dan selera yang
tentu juga berbeda. Misalnya suami seorang yang pendiam, sementara istri
cerewet dan meledak-ledak emosinya. Apabila kedua pribadi ini disatukan
biasanya terjadi kesalahfahaman dalam komunikasi. Masing-masing tidak ada
yang mau mengalah, sehingga terjadi keributan di dalam rumah tangga mereka.
6
Pasangan suami-istri yang berbeda latar belakang tersebut bernama Rudi
yang berasal dari etnis Jawa dan sang istri bernama Tuti Berasal dari etnis
Palembang yang tinggal di Yogyakarta. Masing masing etnis memiliki budaya
dan kebiasaan yang dapat berbeda. Sehingga pada saat menikah memiliki banyak
permasalahan ataupun konflik yang terjadi antara lain perbedaan pola pikir ,
kesalah fahaman dalam berbicara, kebudayaan. Di awal-awal pernikahan salah
satu contoh konflik ini sering kali muncul karena masalah masalah yang
sederhana terlihat pada perbedaan dalam cara makan, cara berbicara yang kadang
kadang menimbulkan pertengkaran. Menginjak usia pernikahan lebih dari 20
tahun hubungan dalam rumah tangganya menjadi sedikit rengang karena
kesibukan suaminya bekerja. Setiap hari suaminya sering pulang larut malam.
Karena ibu Tuti curiga beliau menyelidikinya ternyata beliau baru tahu bahwa
selama ini suaminya telah selingkuh (Hasil wawancara dengan informan pada
tanggal 16 Desember 2009, jam 15.00 di Jogokaryan, Yogyakarta).
Penelitian ini mengambil study kasus di dalam hubungan rumah tangga
pada pasangan suami istri yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Penelitian ini akan dilakukan sekota Yogyakarta. Dengan adanya masyarakat dari
luar pulau yang tinggal di kota Yogyakarta tidak menutup kemungkinan
munculnya pernikahan antar budaya atau pernikahan campur sehingga lokasi
penelitian ini sekota Yogyakarta pada pasangan suami istri etnis jawa dan
Palembang.
Hal ini ditunjang oleh data yang diperoleh dilapangan menurut data nikah
RI Kantor Urusan Agama sekota Yogyakarta Tahun 2009 di peroleh data bahwa
7
pernikahan antara Jawa dengan Sumatera ada 0,0525 % yang meliputi pernikahan
antara Jawa-Palembang ada 0,0275 %, pernikahan antara Jawa-Lampung ada
0,015%,
pernikahan antara Jawa-Riau ada 0,005 %, pernikahan antara Jawa-
Jambi ada 0,005 %, pernikahan antara Jawa-Bengkulu ada 0,0025 %. Sementara
itu, pernikahan antara Jawa-Kalimantam hanya ada 0,015 %, pernikahan antara
Jawa-Sulawesi ada 0,0125 %, dan pernikahan antara Jawa-NTT/NTB ada 0,005
%. Dari data tersebut maka peneliti melakukan penelitian antara Jawa-Sumatera
yang lebih diperdalam yaitu pernikahan antara Jawa-Palembang.
Penelitian ini mengambil 3 pasang informan, yaitu pasangan suami istri
etnis jawa-palembang. Dengan karakter pasangan suami istri etnis JawaPalembang yang menjadi acuan dalam pengambilan informan pada penelitian ini
yaitu dipilihnya 3 pasang informan suami istri etnis jawa-palembang, berdasarkan
watak informan etnis jawa-palembang sebab ketika seseorang terlibat dalam
komunikasi antarbudaya, maka emotional vulnerability (kerentanan emosi), maka
emotional vulnerability akan muncul. Dalam arti, identitas kultural dan identitas
individu (sifat-sifat kepribadian) akan mempengaruhi cara-cara seseorang dalam
mempersepsikan, berpikir, dan berperilaku (http://www.suaramerdeka.com/harian
/0210/30/kha2.htm, diakses 4-08-10). Dipilihnya 3 pasang informan tersebut
dikarenakan ketiga informan tersebut dianggap telah mencukupi untuk penelitian
ini..
Data-data diatas kita dapat mengetahui karakteristik informan dalam
penelitian ini sebab penelitian ini mengenai konflik interpersonal pasangan suami
istri etnis Jawa- Palembang. Sebenarnya Etnis Jawa dan Palembang memiliki
8
karakteristik budaya yang berbeda. Apabila kedua budaya disatukan maka akan
banyak sekali konflik yang terjadi disebabkan oleh masing-masing perbedaan
perbedaan budaya. Orang Jawa sering menyebut dirinya wong Jowo atau tiang
jawi. Jumlah populasinya paling banyak dibandingkan dengan suku-suku bangsa
lain, dan persebarannya di seluruh Indonesia paling luas. Etnis jawa memiliki
budaya kejawen yang sangat kental dengan tradisinya. Pada prinsipnya hubungan
kekerabatan dalam masyarakat Jawa adalah bilateral. Sesudah upacara
perkawinan orang jawa tidak terlalu mempersoalkan dimana mereka akan
menetap. Namun mereka akan bangga kalau langsung memiliki rumah sendiri.
Walaupun perinsip hubungan kekerabatan masyarakat Palembang juga bilateral
namun pola menetap sesudah kawin biasanya uksorilokal, karena pasangan yang
baru menikah biasanya mendirikan rumah tangganya dekat lingkungan keluarga
luas pihak perempuan (Hidayah, Zulyani.1996:105).
Contoh kasus pada pasangan Bapak Firman (40 th) yang berasal dari
Palembang dan Ibu Erna (37 th) berasal dari Jawa yang tinggal di Yogyakarta.
Permasalahan yang paling mendasar pada saat mereka akan menikah dikarenakan
tidak mendapat restu dari kedua belah pihak. Terutama dari pihak suami. Hal ini
disebabkan karena orang tua dari pihak suami mengginginkan anaknya menikah
dengan orang Palembang juga. Sehingga pada saat mereka meminta restu orang
tuanya untuk menikah dengan orang jawa mereka menolak dan tidak merestui.
Hal ini disebabkan tradisi atau adat Palembang yang biasanya uksorilokal yaitu
pasangan yang baru menikah biasanya mendirikan rumah tangganya dekat
lingkungan keluarga luas pihak perempuan. Inilah yang menjadi dasar ketidak
9
setujuan orang tua dari pihak bapak Firman karena orang tua mereka berfikir
kalau anaknya menikah dengan orang jawa secara otomatis mereka akan tinggal
di Jawa. Ini yang menyebabkan mereka tidak mendapat restu karena orang tua
mereka takut kehilangan anak mereka setelah menikah (wawancara dengan bapak
firman tanggal 06-05-10 ).
Etnis jawa atau orang Jawa terkenal sebagai suku bangsa yang sopan dan
halus, tetapi mereka juga terkenal sebagai suatu suku bangsa yang tertutup dan
tidak mudah berterus terang (http://ms.wikipedia.org/wiki/sukujawa, diakses
jumat tgl 15 januari 2010 jam 19.30). Disisi lain, etnis Palembang atau orang
Palembang terkenal dengan suku yang terbuka dan berterus terang dalam hal
berbicara sehingga cenderung keras dan kasar. Disamping itu orang Palembang
memiliki sifat boros dan pelit (http://elfrieda.wordpress.com/sekilas-tentangpalembang, diakses, kamis 22 0kt.2009). Perbedaan perbedaan inilah yang sering
kali memicu terjadinya konflik yang ditimbulkan oleh pasangan suami istri beda
etnis tersebut sehingga menarik untuk diteliti.
Contoh konflik lainya pasangan suami istri etnis Jawa-Palembang pada
pasangan suami istri bapak Hendy dan ibu Sulimarta konflik muncul karena ibu
Sulimarta meminta uang dari suaminya untuk membeli susu tapi bapak Hendry
tidak member uang dengan alasan tidak mempunyai uang. Tapi secara diam-diam
ibu Sulimarta mengambil dompet suaminya tanpa sepengetahuan suami. Dan
ternyata ada beberapa lembar. Karena emosi dan merasa suaminya berbohong, Ibu
Sulimarta pun dengan emosi dan marah berkata “Wo la pantes wong palembang
ki pelit yo pak? Sambil menyindir suaminya. Karena merasa tersindir bapak
10
Hendypun marah dan memberikan uang kepada istrinya sambil berkata duit,,
duiit,, terus,,!! dengan emosi lalu pergi keluar rumah (wawancara dengan bapak
Hendy dan ibu Sulimarta tanggal 15 Agustus 2010).
Konflik konflik yang sering kali terjadi pada pasangan suami istri yang
memiliki latarbelakang budaya yang berbeda disebabkan oleh perbedaan latar
belakang budaya atau perbedaan adat istiadat. Perbedaan-perbedaan inilah yang
menimbulkan persepsi negative dalam berkomunikasi sehingga komunikasi
menjadi tidak efektif. Bagaimanapun juga, kalau dikelola dengan baik konflikkonflik yang muncul tidak membuat perpecahan ataupun dampak yang besar bagi
kedua pasangan tersebut tergantung bagaimana kita mencegah konflik itu agar
tidak berkepanjangan.
Berdasarkan
uraian diatas,
maka peneliti tertarik untuk mengangkat
permasalahan tersebut dalam penelitian ini yaitu bagaimana konflik interpersonal
pada pasangan suami-istri beda etnis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan bahwa
“Bagaimana bentuk konflik Interpersonal pada pasangan Suami-Istri Etnis JawaPalembang dalam menjaga Keharmonisan Rumah Tangganya?”.
11
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan sumber konflik yang terjadi pada pasangan suami-istri
yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya yang berbeda.
2. Mendeskripsikan bentuk konflik yang terjadi pada pasangan suami-istri
yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya yang berbeda.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka manfaat penelitian yang dapat
diambil adalah :
1. Manfaat Teoritis
Peneliti diharapkan dapat menambah wawasan pemahaman dalam
bidang ilmu pengetahuan khususnya dalam Konflik Interpersonal,
yang berkaitan dengan Konflik Interpersonal pasangan suami istri
beda etnis dan bagaimana sumber konflik serta bentuk konflik yang
terjadi
pada
pasangan
suami
istri
tersebut
dalam
menjaga
keharmonisan rumah tangganya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pasangan suami istri beda etnis/budaya
Diharapkan bagi pasangan suami istri yang menikah berdasarkan latar
belakang budaya yang berbeda akan lebih mengetahui bahwa setiap
pasangan suami istri yang menikah berdasarkan latar belakang yang
12
berbeda pasti akan terjadi konflik. Konflik yang terjadi pada pasangan
suami istri pasti berbeda-beda tergantung penyebab konflik serta cara
kita dalam menghadapi suatu konflik. Sehingga harus bisa
menyesuaikan diri sebab dalam menjalani bahtera rumah tangga pasti
akan terjadi suatu konflik.
b. Bagi Peneliti
Peneliti diharapkan dapat menambah wawasan mengenai pola
komunikasi antara suami istri yang memiliki latar belakang budaya
yang berbeda dalam menjaga keharmonisan keluarganya selain itu
peneliti juga dapat mengetahui penyebab konflik serta bentuk konflik
yang terjadi pada pasangan suami istri agar konflik yang ada agar tidak
berakhir dengan perpisahan.
E. Kajian Teori
Dalam penelitian ini dibutuhkan landasan teori yang di gunakan sebagai
landasan berfikir dalam memecahkan suatu masalah yang di hadapi, sehingga
landasan teori ini akan memuat pokok pokok pikiran dalam penggambaran
masalah dan memudahkan kita untuk mencari pemecahan masalah yang dihadapi.
Adapun kerangaka teori yang digunakan antara lain :
1. Pengertian Konflik
Menurut Webster (1966), istilah “conflict”di dalam bahasa aslinya berarti
suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik
antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan
13
masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisis atas berbagai kepentingan,
ide, dan lain-lain”. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu meluas
sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Definisi
Webster yang kedua konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan
(perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihakpihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan (Dean G. Pruitt,
2004:9-10).
Menurut Johnson dalam bukunya Supratiknya yang dimaksud konflik
yaitu situasi dimana tindakan salah satu pihak bersifat menghalangi, menghambat
maupun mengganggu pihak lain. Pada umumnya bahwa masyarakat memandang
konflik sebagai keadaan yang buruk dan harus diselesaikan. Selain itu konflik
dapat diterjemahkan dari beberapa istilah, yaitu perbedaan pendapat, persaingan
maupun permusuhan. Orang sering menganggap konflik terjadi karena sebuah
persoalan, namun konflik sebenarnya terjadi kemungkinan karena komunikasi
yang kurang baik/buruk. Komunikasi yang buruk merupakan permasalahan
terbesar terjadinya konflik. Banyak sekali konflik yang terselesaikan jika
komunikasi
berjalan
dengan
lancar
dalam
suatu
hubungan
(Supraktiknya,1995:94).
Liliwery berpendapat bahwa konflik antar pribadi merupakan konflik yang
ditimbulkan oleh persepsi terhadap perilaku yang sama, namun bersumber dari
harapan-harapan yang berbeda-beda. Konflik antar pribadi selalu terjadi hanya
karena mereka yang terlibat dalam komunikasi menampilkan persepsi yang
berbeda (Liliwery,1991:148). Perbedaan persepsi tersebut sebenarnya sangatlah
14
wajar terjadi, karena setiap orang memiliki pandangan sendiri terhadap suatu
masalah.
Pasangan suami-istri yang menikah dengan latarbelakang budaya yang
berbeda akan sering terjadi konflik dalam rumah tangganya. Hal ini disebabkan
oleh adanya perbedaan-perbedaan persepsi, pola pikir, sikap dan cara pandang.
Perbedaan latarbelakang budaya itulah yang sering menimbulkan suatu konflik.
Didalam hubungan rumah tangga konflik pasti akan terjadi tergantung bagaimana
kita bisa menyikapi konflik tersebut.
2. Sumber Konflik
Setiap pasangan suami-istri dalam menjalankan kehidupan rumah
tangganya tidak bisa berjalan dengan baik, pasti akan menemui berbagai
hambatan ataupun konflik. Konflik-konflik yang terjadi pada pasangan suami istri
disebabkan oleh berbagai sumber konflik.
Menurut Alo Liliweri (2005:261) sumber konflik secara umum sebagai
berikut:
a. Konflik Nilai. Kebanyakan konflik terjadi karena perbedaan nilai. Nilai
merupakan sesuatu yang menjadi dasar, pedoman, tempat setiap manusia
menggantungkan pikiran, perasaan dan tindakan seseorang.
b. Kurangnya komunikasi. Jangan anggap sepele komunikasi antar manusia,
karena konflik bisa terjadi hanya karena dua pihak kurang berkomunikasi.
Kegagalan berkomunikasi karena dua pihak tidak menyampaikan
15
pemikiran, perasaan dan tindakan sehingga membuka jurang perbedaan
informasi diantara mereka yang dapat menyebabkan konflik.
c. Kepemimpinan yang kurang efektif / pengambilan keputusan tidak adil.
Jenis konflik ini sering terjadi dalam organisasi atau kehidupan bersama
dalam sebuah komunitas dan masyarakat.
d. Ketidakcocokan peran. Hal ini terjadi karena dua pihak mempresepsikan
sangat berbeda peran mereka masing-masing.
e. Produktivitas rendah. Konflik sering terjadi karena out put atau out come
dari dua pihak atau lebih yang bekerja sama kurang atau tidak mendapat
keuntungan.
f. Perubahan keseimbangan. Konflik terjadi karena perubahan keseimbangan
yang dialami oleh dua pihak atau lebih.
g. Konflik belum terpecahkan. Banyak konflik antara dua pihak sebelumnya
tidak dapat diselesaikan.
Beberapa
sumber
konflik
diatas,
Menurut
Roloff
(1987)
(didalam
Gudykuns2003:296) konflik tidak dapat dihindarkan dalam setiap hubungan yang
sedang berlangsung. Ada beberapa sumber konflik antara lain:
1. Konflik terjadi ketika orang salah menafsirkan perilaku masing-masing.
ketika pasangan salah menafsirkan maksud misalnya adalah salah satu
penyebab utama ketidakpuasan didalam pernikahan.
2.
Konflik dapat timbul dari persepsi tentang ketidakcocokan, seperti
memahami bahwa kepribadian atau karakteristik kelompok tidak
kompatibel.
16
3. Konflik muncul ketika orang tidak setuju terhadap perilaku diri sendiri
atau perilaku orang lain.
Hal hal lain yang menjadi hambatan dalam proses komunikasi antar
budaya. Selain itu, ada pula beberapa faktor penghambat lain seperti
etnosentrisme, prasangka dan stereotip. Secara ringakas Zatrow (1989) dalam
Liliweri (2001:169) menyebutkan bahwa setiap kelompok etnik memiliki
keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentrisme. Etnosentrisme
merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam
kelompok budayanya sebagai yang absolute dan digunakan sebagai standar untuk
mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain.
Effendy (1981)
dalam Liliweri,2001:175 mengemukakan bahwa
prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu
kegiatan komunikasi oleh karena orang orang yang mempunyai prasangka belum
apa apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikasi yang melancarkan
komunikasi. Dalam prasangka emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan
atas dasar syak wasangka tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita
terhadap fakta yang nyata bagaimanapun. Oleh karena, sekali prasangka itu sudah
mencekam, seorang tak akan dapat berfikir objektif dan segala apa yang
dilihatnya selalu akan dinilai secara negative.
Prasangka menurut Jones (1972) adalah sikap antipasti yang didasari pada
suatu cara yang menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Kesalahan itu
mungkin saja terungkap dengan nyata dan langsung ditujukan pada seorang yang
menjadi anggota suatu kelompok tertentu. Prasangka merupakan sikap yang
17
negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan
kelompok sendiri.( Liliweri ,2001:175)
Stereotip cenderung mengarah pada sikap negatif terhadap orang lain.
Menurut Gerungen (1988) (dalam Liliweri 2001:177), stereotype merupakan
suatu gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat sifat dan watak pribadi
orang golongan lain yang umumnya bercorak negatif. Selanjutnya kata Gerungen,
Stereotipe mengenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang berprasangka
sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang orang
lain yang dikenaikan prasangka itu.
contoh stereotype : masyarakat palembang yang memiliki streotip yang kasar
tegas, boros, pelit sedangkan masyarakat Jawa dikenal sebgaia masyarakat yang
luwes, lemah, dan penurut.
Dari uraian tentang prasangka dan stereotip, perbedaan utama diantara
keduanya adalah jika prasangka merupakan sikap (attitude), namun kalau
stereotip merupakan keyakinan (belief). Tapi, keduanya sama‐sama dapat
menjadi positif maupun negatif. Baik stereotip maupun prasangka akan
mempengaruhi persepsi seseorang ketika melakukan kontak antar budaya dalam
berbagai cara.
18
3. Bentuk/Tipe Konflik
Teori identitas Negosiasi (Face-Negotiation Theory) menurut Stella Ting
Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan–perbedaan budaya dalam
merespon konflik serta memudahkan kita untuk mengetahui bentuk /tipe konflik.
Bentuk/tipe konflik dalam teori ini antara lain:
a. Avoiding
(penghindaran)
–
saya
akan
menghindari
diskusi
perbedaan-perbedaan saya dengan anggota kelompok. Avoiding atau
penghindaran merupakan sikap kita tidak setuju dengan situasi
tersebut
b. Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan
anggota kelompok. Obliging kita ingin mengalah kepada orang lain.
c. Compromising (kompromi) – saya akan menggunakan memberi dan
menerima sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat. Kompromi
merupakan suatu cara menemukan suatu pendapat yang disetujui oleh
diri kita dan org lain
d. Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai
kehendak-ku. Disini dominasi merupakan sikap untuk menguasai situasi.
e. Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan anggota
kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.
Face-negotiation
teory
menyatakan
bahwa
avoiding,
obliging,
compromising, dominating, dan integrating bertukar-tukar menurut campuran
perhatian mereka untuk self-face dan other -face.
19
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif
kualitatif.
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang memaparkan situasi dan
peristiwa yang terjadi. Penelitian ini juga tidak mencari atau menjelaskan
hubungan, tidak menguji hipotesis dan membuat prediksi. Penelitian ini dapat
diuraikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang sedang diselidiki dengan
menggambarkan atau menuliskan keadaan subyek atau obyek penelitian, suatu
lembaga, masyarakat dan lain lain (Siregar, 1987 : 8).
Metode Deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah
yang akan diteliti, dengan menggambarkan keadaan obyek peneliti pada saat
sekarang, berdasarkan fakta yang tepat atau sebagaimana adanya. (Nawawi,1996)
Pada hakekatnya, penelitian deskriptif mengumpulkan data secara
keseluruhan. Karakteristik data diperoleh dari survei survei langsung, wawancara,
dan mencari wacana yang revelensi dengan obyek penelitian. Ciri lain metode
deskriptif ialah titik berat pada observasi dan suasana alamiah. Disini peneliti
hanya bertindak sebagai pengamat, yang hanya membuat kategori perilaku,
mengamati gejala dan mencatat ke dalam buku observasi. Dengan suasana
alamiah dimaksudkan bahwa peneliti terjun langsung ke lapangan ( Sugiyono,
1999 : 79 )
20
2. Teknik Pengumpulan Data
Pada teknik pengumpulan data ini, data dikumpulkan secara langsung dari
sumber primer yaitu pasangan suami istri etnis Jawa - Palembang dan peneliti
terjun langsung dan menghabiskan waktunya untuk menggumpulkan data dan
analisis data langsung
Peneliti dalam penelitian ini akan menggunakan teknik penggumpulan
data melalui wawancara mendalam ( Indepth Interview ). Wawancara/interview
adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh
pewawancara kepada responden dan jawaban jawaban respoden dicatat atau
direkam dengan alat rekam. Daftar pertanyaan untuk wawancara ini disebut
sebagai interview scedule sedangkan catatan garis besar tentang pokok pokok
yang akan ditanyakan disebut sebagai pedoman wawancara atau interview quide (
Soehartono , 2000 : 67 )
Menurut stewart dan cash ,1988 hal 3 di bukunya pengantar Deddy Mulyana
dalam Human Communication, Wawancara
diadik, rasional
adalah suatu proses komunikasi
dengan tujuan serius dan ditetapkan terlebih dahulu yang
dirancang untuk mempertukarkan perilaku dan melibatkan tanya jawab .
Dengan melakukkan tanya jawab kita secara perlahan dapat memasuki alam
pikiran orang lain, sehingga kita memperoleh gambaran tentang mereka. Jadi
wawancara dapat berfungsi deskriptif, yaitu melukiskan kehidupan orang lain
yang akan kita teliti (Nasution,1996:114)
Data utama dari peneliti ini adalah kata kata dan tindakan. Wawancara
mendalam sangatlah penting karena metode ini dilakukan untuk mengajukan
21
pertanyaan pertanyaan kepada sampel atau informan yang mengarah kepada focus
penelitian, maka sebelum dilakukan wawancara terlebih dahulu disusun garis
besar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan. Adapun informan yang
dipilih penulis untuk diwawancarai adalah pasangan suami istri yang berlatar
belakang etnis Jawa dan etnis Palembang.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan mengambil study kasus di dalam hubungan rumah
tangga pada pasangan suami istri yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda. Penelitian ini akan dilakukan di kota Yogyakarta.
4. Teknik Pengambilan Informan
Dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu
sampel yang dipilih secara cermat sehingga relevan dengan desain penelitian
purposive sampling dilakukan dengan mengambil orang orang yang terpilih betul
oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel itu (Nasution,
1996:98) jadi pengumpulan data yang telah diberikan penjelasan oleh peneliti
akan mengambil siapa yang menurut pertimbangannya sesuai dengan maksud dan
tujuan penelitian.
Dalam penelitian ini, Peneliti mencari informan dan mengambil 3 pasang
informan, yaitu pasangan suami istri etnis jawa - palembang , hal ini dimaksudkan
agar maksud dan tujuan penelitian dapat tercapai. Karakter pasangan suami istri
etnis Jawa - Palembang yang menjadi acuan dalam pengambilan informan pada
22
penelitian ini yaitu dipilihnya 3 pasang informan, dilihat berdasarkan watak
informan. Dipilihnya 3 pasang informan tersebut dikarenakan ketiga informan
tersebut dianggap telah mencukupi untuk penelitian ini.
Tabel 1. Karakter Informan Pasangan suami istri berbeda Budaya
No
Nama
pasangan
(informan )
1.
Bpk Hendri 43 th
yusan
2.
3.
Umur Karakter
Pendidikan
sifat
/
Terakhir
watak
informan
Budaya
Alamat
Keras
Sarjana
kepala, boros
Etnis
Palembang
Ibu
Sully
39 th
Marta
Keras
kepala
Etnis Jawa
Jl bumijo
lor
Yogyakarta
Bpk Rudi
46 th
Pendiam,cu
ek
Ibu Tuti
43th
Bpk Firman
40 th
Ibu Erna
37 th
Keras
kepala,
emosi
tinggi,boros
SMA
SMP
Etnis Jawa
Tidak
sekolah
Etnis
Palembang
Sabar,
S1 hukum
sedikit keras
kepala,tegas
peliit
Etnis
Palembang
Sabar, lemah
D2
lembut.
Etnis Jawa
Jalan
Jogokaryan
gg.Grinsin
g mj3/625
Yogyakarta
55143
Jatimulyo
TR 1 no
766
kecamatan
tegalrejo
5. Tekhnik Analisis Data
Penelitian ini bentuknya deskriptif kualitatif, maka metode analisis
datanya adalah analisis data kualitatif, dimana dalam analisis data kualitatif ini
tidak menjelaskan suatu korelasi ( hubungan ) antara variable . Analisis kualitatif
23
adalah analisis yang dapat menghasilkan data deskriptif yang berupa kata tertulis
atau lisan dari orang orang dan perilaku yang dapat diamati ( Sugiono, 1999 :78 ).
Penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif untuk mengolah data yang
telah diperoleh menjadi beberapa tahap, yaitu:
a. Pengumpulan data
Mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian yang
menggunakan beberapa tehnik wawancara tak struktur.
b. Reduksi data
Pada tahapan ini dilakukan pemilihan dan pemusatan pada data-data yang
relevan dengan permasalahan yang diteliti.
c. Penyajian data
Data yang sudah direduksi selanjutnya dipaparkan secara deskriptif untuk
menggambarkan fenomena keadaan sosial.
d. Kesimpulan
Menarik kesimpulan dengan permasalahan penelitian yang menjadi pokok
pemikiran terhadap apa yang diteliti.
6. Uji Validitas Data
Maksud dan tujuan validitas adalah untuk mengetahui keabsahan data.
Kevalidan data dapat diketahui dengan ada atau tidak adanya kesamaan antara
data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya yang terjadi pada objek
tertentu yang diteliti. Menguji kevalidan data itu sendiri memiliki berbagai
semacam tekhnik sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan.
24
Menurut Patton, uji validitas data dengan trianggulasi sumber berarti
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh melalui alat dan waktu yang berbeda dalam metode kualitatif (dalam
Moleong, 2002:178)
Langkah langkah yang dilakukan dalam uji validitas data dengan
trianggulasi yaitu dengan cara :
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa
yang dikatakannya secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pandapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
Dengan menggunakan uji validitas data trianggulasi sumber diharapkan
dapat menambah kevalidan data dan informasi yang peneliti dapatkan dalam
penelitian mengenai pasangan suami-istri beda etnis.
25
Download