BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Dalam kehidupannya, manusia selalu berkomunikasi, baik itu dengan sesamanya manusia, makhluk hidup yang lain, dirinya sendiri, atau bahkan dengan alam. Menurut kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, komunikasi berarti hubungan atau kontak, sedangkan komunikasi dua arah diartikan sebagai komunikasi yang komunikan dan komunikatornya saling bergantian memberi informasi.1 Dengan demikian dalam sebuah komunikasi berarti ada suatu pesan – yang disebut dengan informasi – yang harus tersampaikan dari suatu sumber kepada tujuan, dan komunikasi dapat dikatakan telah berlangsung dengan baik apabila pesan berhasil disampaikan kepada tujuan. Dr. Harun Hadiwijono dalam bukunya Iman Kristen mengatakan bahwa Alkitab adalah alat penyataan Allah, Alkitab (penyataan Allah yang dibukukan) membuat manusia yang hidup pada zaman setelah zaman Tuhan Yesus hidup, dapat bersekutu dengan Tuhan Allah. Pada akhirnya Dr. Harun Hadiwijono mengatakan bahwa pembukuan penyataan Allah dimaksudkan agar kita, orangorang yang hidup sesudah zaman Tuhan Yesus Kristus, dapat percaya bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah, dan oleh karenanya mendapat hidup yang kekal (Yoh 20:31; 21:25).2 Berdasarkan yang telah dijabarkan di atas mengenai Alkitab sebagai alat penyataan Allah dapat disimpulkan bahwa Alkitab adalah salah satu alat komunikasi antara manusia dengan Allah. Sedangkan pesan yang ingin disampaikan oleh Alkitab (mengacu pada kesimpulan dari Dr. Harun Hadiwijono) adalah bahwa Yesus itu Kristus, Anak Allah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komunikasi telah berjalan dengan baik apabila orang-orang yang membaca Alkitab sebagai alat komunikasi dapat percaya bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah. Pada kenyataannya, untuk memfungsikan sebuah alat komunikasi sesuai dengan tujuannya adalah tidak mudah. Banyak kendala di sana-sini yang membuat pesan tidak tersampaikan dengan baik. Berkaitan dengan Alkitab, bukanlah hal yang mudah untuk membuat orang percaya begitu saja 1 Tim penyusun, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern English Press, 1991), p. 760. 2 H. Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta : BPK-GM, cet.16., 2005), p. 54-56. 1 bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah dengan hanya berdasarkan Alkitab. Mengapa? Tentunya seseorang (baik dia orang Kristen ataupun bukan) memerlukan bukti yang dapat menguatkan fakta bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah. Bagi orang-orang non-Kristen, mungkin kepercayaan mereka akan muncul apabila mereka pernah mengalami “pengalaman bersama Allah”, ataupun melihat sikap hidup yang baik dari kehidupan umat Kristen lain, atau juga mungkin secara tidak sengaja membaca buku-buku Kristen dan Alkitab. Kepercayaan memang dapat muncul dengan cara seperti itu, tapi apakah kemudian kepercayaan itu bisa benar-benar tumbuh dan berbuah? Belum tentu demikian. Bagi penyusun, posisi mereka sama dengan umat Kristen yang sejak lahir sudah menjadi Kristen. Kedua kelompok tadi, tentunya mengenal atau mendengar bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah, penuh kasih, mampu melakukan mukjizat-mukjizat, dan penuh kemuliaan. Kedua kelompok ini bisa saja percaya dengan hal tersebut, namun ketika mereka diperhadapkan dengan beberapa teks Alkitab yang memuat sikap dan perbuatan Yesus yang kontradiksi dengan apa yang mereka ketahui selama ini, bukan tidak mungkin apabila iman ataupun kepercayaan mereka menjadi goyah. Dalam teks Perjanjian Baru, khususnya dalam Injil Markus 11:12-14 dan Injil Matius 21:18-22 terdapat kisah Yesus mengutuk pohon ara. Dalam Markus, tertulis “sebab memang bukan musim buah ara” pada ayat 13 akhir. Keterangan tersebut menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana bisa seorang Yesus yang pengampun, yang mengajarkan kita untuk bersabar, bisa mengutuk sebatang pohon ara yang tidak menghasilkan buah di waktu yang memang bukan musimnya untuk berbuah, hanya karena Ia merasa lapar? Kisah di atas telah dapat mewakili kisah-kisah lain yang mungkin juga membuat pembacanya mengerutkan alis.3 Ketika kebingungan tercipta, dan tidak dibimbing untuk diberi penjelasan, maka yang akan terjadi selanjutnya adalah pesan yang sebenarnya termuat dalam kisah-kisah tersebut 3 Perhatikan juga teks-teks berikut. Dalam Matius 12 :46-50 (yang juga dimuat dalam Markus 3 : 31-35; Lukas 18 : 1921) terdapat kisah Yesus menolak Ibu dan saudara-saudaranya, kemudian Matius 10 : 34-42 [terkhusus ayat 34-36, (lihat juga dalam Mikha 7:6, dan Lukas 12:51-53)], dalam ayat-ayat ini Yesus mengatakan bahwa Ia datang membawa pedang, dimana Ia akan memisahkan orang dari orangtuanya, dan mengatakan bahwa musuh seseorang adalah seisi rumahnya. Kedua cerita tadi sangat bertentangan dengan ajaran Yesus tentang kasih, dan sekilas terlihat sangat bertentangan dengan isi dari 10 Perintah Allah yang ke-5. 2 tidaklah sampai kepada pembaca Alkitab. Bersamaan dengan gagalnya penyampaian pesan yang termuat dalam teks-teks kitab suci, maka gagal pula proses komunikasi yang terjalin. Kesimpulannya, kebingungan pembaca Alkitab dapat dikatakan sebagai salah satu kendala bagi berlangsungnya proses komunikasi melalui Alkitab. Dalam hal ini, apabila terjadi kegagalan dalam komunikasi, agak sulit untuk menentukan dimana letak kesalahan yang menyebabkan kegagalan tersebut. Tiga komponen yang terkait, yaitu penulis Alkitab yang menjadi perantara Allah, Alkitab, dan pembaca Alkitab, sama sekali tidak dapat disalahkan. Satu-satunya jalan keluar dari berbagai kemungkinan kegagalan ini adalah dengan penafsiran/ interpretasi Alkitab. Berdasarkan kesimpulan tersebut, penyusun dapat mengatakan bahwa interpretasi atas sebuah teks dalam Alkitab merupakan hal yang sangat krusial. Para ahli akhirnya terus mengembangkan berbagai metode yang bisa dipakai dalam menafsirkan atau menginterpretasikan teks-teks Kitab Suci.4 Dalam buku Pedoman Penafsiran Alkitab, karya John H. Hayes, dan Carl R. Holladay, terdapat setidaknya 9 macam metode tafsir yang dibahas lebih lanjut.5 Berbagai macam pendekatan atau metode penafsiran yang ada sekarang ini menjadi bukti bahwa manusia membutuhkan dan selalu berusaha untuk memahami isi dari Firman Allah yang terdapat di dalam Alkitab, secara baik dan benar. 6 Bukti tersebut juga menuntun kita pada sebuah kenyataan bahwa manusia berusaha 4 Saya katakan Kitab Suci di sini karena tidak hanya Alkitab saja yang membutuhkan penginterpretasian. Misalnya saja, Kitab Suci Al-Qur’an juga membutuhkan penginterpretasian dalam membacanya. John H. Hayes, dan Carl R. Holladay dalam buku Pedoman Penafsiran Alkitab membagi sejarah penafsiran Alkitab (dengan berbagai metode menafsirnya) secara garis besar ke dalam 3 bagian : Periode permulaan dan Abad pertengahan, periode reformasi dengan akarnya pada dunia keilmuan Yahudi akhir periode Abad Pertengahan dan Renaisans, dan periode modern yang dicirikan oleh upaya untuk menentukan dengan jelas metode-metode dan program-program penafsiran. John H. Hayes, dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, cet.4., 2004), p. 19. 5 Sembilan metode tersebut adalah : kritik teks, kritik historis, kritik tata bahasa, kritik sastra, kritik bentuk, kritik tradisi, kritik redaksi, kritik struktur, dan kritik kanonik. John H.Hayes, dan Carl R.Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, cet.4., 2004). 6 Dalam artikel berjudul ”Antara Buah Ara dan Tafsir Wacana” yang ditulis oleh A. Gianto dalam majalah Basis Nomor 11-12, A.Gianto menuliskan penjelasan Cicero (yang adalah seorang filsuf dan ahli bahasa) tentang mengapa Cassius yang mengalami nasib buruk di Siria. Dituliskannya demikian: Ketika panglima balatentara Romawi itu sedang menyiapkan pasukannya di pelabuhan Brindisi, datanglah seorang penjaja buah ara yang berteriak “Cauneas!Cauneas!” Cassius mengira orang ini sekadar ingin menjajakan dagangannya. Memang kata-kata itu dapat dimengerti sebagai “Buah ara dari Kauna”, kota di Turki Selatan yang memang tersohor berkat buah aranya yang lezat. Tentu saja Cassius tida peduli akan tawaran itu. Ia meneruskan rencananya menyerbu Siria. Malang baginya, di sana tentaranya dibuat kocar-kacir oleh laskar Persia dan ia sendiri menemui ajalnya. Dalam De Interpretatione II, 84 Cicero menulis andaikata Cassius memahami teriakan Cauneas!Cauneas!” sebagai peringatan “Cau ne eas!”, yang artinya”Awas, jangan berangkat!”, boleh jadi ia tidak akan mengalami malapetaka. Memang bila diucapkan dengan 3 untuk terus-menerus berkomunikasi dengan Allah, tentunya dalam hal ini yang menjadi media utama adalah Alkitab. Berdasarkan semua penjelasan yang telah penyusun uraikan di atas, secara singkat penyusun ingin mengatakan bahwa adanya teks-teks yang dinilai ‘ganjil’ bagi jemaat gereja dalam Kitab Suci (seperti yang terdapat dalam Markus 11: 12-14), dapat menyebabkan terjadinya kegagalan dalam proses komunikasi antara Allah dan manusia (yang dilakukan melalui media Alkitab). Satu-satunya cara untuk memperlancar proses komunikasi itu hanyalah dengan jalan melakukan penafsiran yang baik dan benar terhadap teks-teks tersebut. Oleh karenanya, menurut penyusun, para ahli penafsiran Alkitab sangatlah perlu untuk terus-menerus mengembangkan ilmu penafsiran Alkitab, demi terciptanya kelancaran komunikasi antara Allah dengan manusia melalui Alkitab. Ketika penyusun masih duduk di bangku SMU, penyusun menganggap bahwa perikop atau kisah mengenai Tuhan Yesus mengutuk pohon ara adalah kisah yang paling aneh di dalam Injil. Berdasarkan pengalaman tersebut, dalam rangka pembahasan tentang teks-teks ‘ganjil’ yang terdapat dalam Alkitab, maka penyusun memilih perikop ini untuk menjadi bahan kajian dalam penyusunan skripsi ini.7 Tentunya dalam pengkajian teks ini penyusun berusaha untuk menggunakan salah satu metode penafsiran yang paling tepat, untuk dapat ‘mengeluarkan’ pesan yang sebenarnya dari teks tersebut. 2. Pokok Permasalahan Pokok permasalahan dalam penyusunan skripsi ini adalah teks Alkitab yang akan penyusun tafsir yang mengandung ‘keganjilan’ seperti yang telah penyusun jelaskan dalam latar belakang permasalahan. cepat, “Cau ne eas!” terdengar sebagai “Cauneas!” [A.Gianto, “Antara Buah Ara dan Tafsiran Wacana”, Basis No. 11-12 (November-Desember 2002), p. 16] Berdasarkan tulisan tersebut, kita dapat melihat terjadinya kegagalan penyampaian informasi oleh karena kesalahan penafsiran. Cerita di atas menunjukkan bahwa bukan hanya dalam rangka membaca Alkitab saja manusia membutuhkan penafsiran, tetapi juga daam komunikasi sehari-hari. Penafsiran yang diperlukan dalam komunikasi pun haruslah sebuah penafsiran yang baik dan benar, agar tidak terjadi kesalahan penerimaan informasi. Dalam penafsiran Alkitab, tentunya penafsiran yang baik dan benar sangatlah penting, jika tidak, bukan tidak mungkin hal seperti yang dialami oleh Casius juga dialami oleh para pembaca teks Alkitab. 7 Dalam perkembangannya kemudian, penyusun memutuskan untuk membahas juga teks-teks berikutnya yang masih satu rangkaian peristiwa dengan teks tersebut, teks yang kemudian dibahas dalam Markus 11:12-26. 4 Markus 11 : 12-26 memuat sebuah kisah yang menjadi salah satu bagian yang sulit untuk dipahami dalam Perjanjian Baru. Bagian yang membuat ayat-ayat ini sulit untuk dipahami adalah ayat yang ke 12-14, ayat-ayat berikutnya mempunyai tujuan pengajaran yang lebih jelas. Markus 11:12-14 merupakan sebuah cerita yang bersambung dengan Markus 11:20-26, namun di tengah-tengahnya diselingi oleh peristiwa Yesus menyucikan Bait Allah. Peletakan kisah penyucian Bait Allah di tengah-tengah kisah peringatan terhadap pohon ara tentunya memiliki tujuan tersendiri (dalam hal ini yang bebas meletakkan kisah tersebut di mana saja dengan tujuan tertentu adalah sang penulis kitab). Dalam Matius (Injil yang memuat kisah pengutukan ini selain Markus hanyalah Matius) kisah pengutukan pohon ara diletakkan setelah kisah penyucian Bait Allah, sehingga kisah pengutukan pohon ara tidak terpotong di tengah-tengah, dan pesannya menjadi jelas. 8 Kisah pengutukan pohon ara dalam Injil Matius tidak menjadi sebuah kisah yang mengundang pertanyaan bagi pembacanya karena penulis Injil Matius tidak menuliskan kalimat “karena bukan musim buah ara”. Sebelum penyusun menuliskan lebih jauh mengenai pokok permasalahan yang ingin dibahas dalam penyusunan skripsi ini, penyusun ingin membandingkan tafsiran dari tiga orang penafsir. Berikut adalah ringkasan dari penafsiran tiga orang tokoh, yaitu William Hendriksen, Edward Schweizer, dan Ian J. Cairns atas Markus 11:12-26. Tokoh yang pertama adalah William Hendriksen. Hendriksen dalam bukunya New Testament Commentary – The Gospel Of Mark, memuat 4 pokok bahasan dalam menafsir Markus 11:12-14, dan 11:20-26. Keempat bahasan tersebut adalah demikian: a. Tidak adanya buah ara mengundang kutukan.(11:12-14) b. Iman menentukan hasil atau jawaban dari doa kita. (11:20-23) c. Iman memunculkan pengharapan, hal ini dengan tegas termuat dalam janji Tuhan. (11:24) 8 Schweizer dalam bukunya The Good News According to Mark mengatakan bahwa apabila dilihat secara historis, sangat sulit untuk menyatukan kedua kisah tersebut, yaitu antara pengutukan pohon ara dengan kemarahan Yesus di Bait Allah. Schweizer setuju bahwa kronologis kedua peristiwa itu dalam Injil Matius lebih jelas daripada kronologis dalam Injil Markus, namun demikian, menurutnya setiap Injil mempunyai maksud tertentu dari setiap apa yang mereka tulis. Setiap kejadian, walaupun kisahnya sama (terutama dalam Injil Sinoptik) pasti ada perbedaan di dalamnya, karena setiap penulis Injil mempunyai inti penekanan yang berbeda dalam setiap peristiwa.[ Edward Schweizer, The Good News According to Mark, (London : S.P.C.K, 1971), p. 14.] 5 d. Perikop tersebut ditutup dengan ajaran tentang kasih dalam hal kemauan untuk mengampuni. (11:25) Sedangkan untuk Markus 11: 15-19, Hendriksen juga merangkum pembahasannya menjadi empat bagian, yaitu : a. Yesus menghukum degradasi yang terjadi di Bait Allah, dan dengan tegas meminta penghormatan akan Bait Allah. b. Yesus menegur penipuan yang dalam hal ini secara khusus berkaitan dengan pemerasan “keagamaan”, dan Ia menuntut kejujuran. c. Yesus tidak menyetujui sikap acuh dari orang Israel kepada mereka yang ingin beribadah kepada Allah dalam Roh dan kebenaran. Dengan menyatakan bahwa Bait Allah harus menjadi rumah doa bagi semua bangsa, Yesus sekaligus juga mengesahkan Misi Kristen yang sebenarnya. d. Dengan melakukan aksi penyucian Bait Allah, Yesus ingin memuliakan rumah Bapa-Nya. Dalam penjelasannya, Hendriksen mengatakan bahwa daun-daun pohon ara pada kenyataannya muncul sebagai tanda bahwa buah ara muda sudah mulai tumbuh. Oleh karena itu Hendriksen menafsirkan bahwa pohon ara tersebut adalah simbol dari seseorang/sesuatu yang menjanjikan banyak, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Berkenaan dengan kisah penyucian Bait Allah, Hendriksen mengatakan bahwa kemarahan Yesus adalah karena peribadatan kepada Tuhan telah dijadikan bisnis oleh orang-orang Israel, terlebih lagi hal tersebut dibiarkan bahkan disetujui oleh Imam-Imam kepala. Bisnis yang terjadi di sini pun bukan bisnis yang bersih, para penukar uang yang ada di Bait Allah melakukan penipuan terhadap para peziarah yang datang dan ingin menukar uang guna membayar pajak di Bait Allah. Bahkan kurban-kurban persembahan dijual dengan harga yang mahal. Aksi Yesus pada saat itu menunjukkan bahwa Yesus berlaku sebagai Tuhan atas Bait Allah. Kisah penyucian Bait Allah yang diletakkan di tengah kisah pengutukan pohon ara menurut Hendriksen memuat maksud tertentu dari penulis Injil Markus untuk membuktikan bahwa maksud dari aksi pengutukan pohon ara oleh Yesus ada kaitannya dengan peristiwa penyucian Bait Allah. Dalam dua aksiNya, Yesus mau menunjukkan sebuah prediksi akan terjadinya keruntuhan Israel 6 akibat dari sikap hidup mereka yang sama sekali tidak menunjukkan buah-buah keimanan mereka. Dalam hal ini kedua aksi Yesus tersebut dipandang sebagai tindakan prophetis. Ketika Yesus menyampaikan nasihatnya tentang doa dengan menggunakan perumpamaan memerintahkan gunung untuk mencampakkan dirinya ke dalam laut, maksudnya adalah bahwa tidak ada yang mustahil di dalam Tuhan untuk dilakukan bagi setiap orang yang benar-benar percaya dan tidak ragu. Ketidakragu-raguan, dan kepercayaan itulah yang digambarkan sebagai iman oleh Markus. Kemudian ayat 25 ditafsirkan Hendriksen sebagai ajaran tentang kasih, jadi selain dengan iman, ketika berdoa manusia juga harus memiliki kasih dalam hatinya, kasih yang mau mengampuni orang lain.9 Tokoh kedua, yaitu Edward Schweizer mengatakan bahwa kisah penyucian Bait Allah ditulis oleh Markus setelah Yesus mengutuk pohon ara untuk menunjukkan bahwa pada saat Yesus mengucapkan kutukanNya, Ia sedang memikirkan bangsa Israel. Menurutnya, Markus telah dengan tepat menginterpretasikan maksud dari aksi Yesus di Bait Allah sebagai simbol yang menandakan musnahnya Bait Allah yang lama (Bait Allah yang dipakai unuk berjualan dan bisnis lainnya). Posisi Markus menurut Schweizer sama dengan Paulus, Markus menganggap bahwa salib sebagai akhir dari Hukum Taurat dan awal mula dari kehidupan yang berdasarkan anugerah dan diberikan kepada semua bangsa. Hal tersebut dikatakan karena menurut Schweizer, Hukum Taurat telah membuat bangsa Israel merasa eksklusif (merasa menjadi bangsa yang diistimewakan oleh Tuhan) , padahal semua orang bisa mendekati Tuhan melalui doa. Markus juga memakai kisah pengutukan pohon ara sebagai tanda atau simbol dari penghakiman Tuhan yang akan mengakhiri pemisahan (antara orang Israel dengan orang yang bukan Israel) yang terjadi di Bait Allah (di Bait Allah secara khusus, dan dalam kehidupan religi mereka sehari-hari secara umum). Menurut Schweizer, Markus menempatkan peristiwa pengutukan pohon ara satu mata rantai dengan kisah penyucian Bait Allah, karena Markus ingin mengkaitkan ayat 23-25 dengan rumah doa bagi segala bangsa yang disinggung dalam perikop penyucian Bait Allah. Ayat 23-25 sendiri berfungsi 9 William Hendriksen, New Testament Commentary – The Gospel of Mark, (Michigan : Baker Book House, Grand Rapids, 1989), p. 440-463. 7 sebagai ilustrasi yang mengekspresikan “rumah doa”, dalam hal ini Markus sejalan dengan 1 Korintus 13:2 yaitu lebih menekankan iman yang diungkapkan dengan kasih, daripada iman dengan sebuah keajaiban yang bisa terjadi oleh karenanya. Pada akhirnya, Schweizer menyimpulkan bahwa menurut Markus, arti kemarahan Yesus adalah penekanan yang tegas bahwa dalam aksinya, Yesus telah menunjukkan sebuah perubahan yang besar dan sangat penting dari Bait Allah yang tadinya hanya terbuka bagi orang Israel, menjadi Bait Allah yang terbuka bagi setiap bangsa.10 Tokoh yang ketiga dan terakhir adalah Ian J. Cairns. Jelas bagi Cairns bahwa kisah pengutukan pohon ara merupakan simbol dari penghapusan Bait Allah (Bait Allah yang dimaksud di sini adalah Bait Allah yang hanya terbuka bagi orang Israel). Jadi ia menyimpulkan bahwa pohon ara yang tidak berbuah adalah parabel dari Bait Allah dimana kedua-duanya memiliki kesamaan, yaitu samasama tidak berbuah, dan sama-sama mendapat hukuman. Menurut Cairns, kata-kata “bukan musim buah ara” hampir tidak dijadikan bahasan yang penting oleh Markus, ia berpendapat bahwa kata-kata tersebut lebih baik diterjemahkan sebagai “bukan waktu yang tepat bagi buah ara untuk tumbuh”. Kemarahan Yesus karena Ia tidak menemukan buah ara, tidak lagi difokuskan kepada pohon ara, tapi lebih kepada orang-orang yang tidak berperasaan yang telah memanipulasi pasar di Bait Allah, dan orang-orang tersebut adalah para pemimpin Bait Allah itu sendiri. Menurut Cairns, baik secara langsung maupun tidak langsung, para pemimpin Bait Allah telah mempengaruhi atau bahkan menjadi penyebab dari kondisi perekomian rakyat yang memprihatinkan. Oleh karena itu, ketika Yesus mengatakan bahwa tidak akan ada lagi seorangpun yang akan makan buah dari pohon ara tersebut, secara simbolik Yesus menghakimi para pemimpin Bait Allah, Ia ingin mengatakan bahwa masa kekuasaan mereka sudah berakhir. Cairns berpendapat bahwa dalam peristiwa penyucian Bait Allah, Markus bukan ingin menunjukkan bahwa Yesus bertujuan untuk memperbaharui Bait Allah, namun bahwa Yesus adalah benar-benar ingin mengakhiri Bait Allah. Mengapa harus diakhiri? Karena yang salah adalah keseluruhan sistemnya, oleh karena itu Bait Allah harus diakhiri seluruhnya, hal tersebut juga yang 10 Edward Schweizer, The Good News According to Mark, (London : S.P.C.K, 1971), p. 229-236. 8 menyebabkan kemarahan Yesus – ketika peristiwa penyucian Bait Allah – yang ditujukan tidak hanya kepada para penjual, tetapi juga untuk para pembeli yang pada kenyataannya tidak bersalah. Kesalahan lain yang juga dilakukan oleh pemimpin Bait Allah adalah mereka beserta dengan para penukar uang telah mempersulit para peziarah yang non-Israel untuk beribadah kepada Allah, padahal seharusnya Bait Allah terbuka bagi setiap orang. Menurut Cairns, gunung dalam ayat ke-23 merupakan sindiran kepada Bait Allah. Seperti gunung yang dicampakkan ke dalam laut, demikian juga Bait Allah “dibersihkan” oleh Yesus. Tercampaknya gunung ke dalam laut menyatakan sebuah guncangan yang besar, begitu juga peristiwa penyucian Bait Allah adalah sebuah peristiwa besar dan penting yang dimaksudkan Yesus untuk memberi pelajaran kepada para muridNya untuk tidak gentar menyatakan visi-visi mereka di kemudian hari. Mengenai iman, Cairns beranggapan bahwa dalam iman, terdapat juga kemauan untuk menerima konsekuensi yang tak terduga dari langkah iman kita. Ketika Yesus berkata “Jangan lagi seorangpun makan buahmu selama-lamanya!” secara tak terduga yang terjadi adalah pohon ara itu menjadi kering, dengan cara yang sama pula, Yesus menyatakan aksi imannya secara simbolik dengan menyucikan Bait Allah, dan konsekuesinya adalah kehancuran Bait Allah. Menurut Cairns, Markus yang ditulis sekitar tahun 70 ingin mengatakan kepada generasi yang membacanya bahwa penyucian Bait Allah ini merupakan sebuah pesan yang harus digenapi sebagai bagian dari penetapan Kerajaan Allah. Mengenai pengampunan, berkaitan dengan penggenapan Kerajaan Allah, Cairns menafsirkan bahwa umat Tuhan yang menaruh harapannya akan Kerajaan Allah harus memiliki hati sikap mau mengampuni dan sikap toleransi kepada siapapun, termasuk orang-orang yang membenci mereka.11 Berdasarkan ringkasan penafsiran dari para tokoh di atas, penyusun dapat menyimpulkan bahwa yang menjadi permasalahan dari perikop ini adalah : pengertian dari pengutukan pohon ara, pengertian dari penyucian Bait Allah, pengertian tentang iman dan kemauan untuk mengampuni , serta pembahasan tentang parabel gunung yang tercampak ke lautan. Beberapa topik tersebut menjadi permasalahan menurut penyusun karena ketika menafsirkannya, para tokoh tafsir 11 Ian J. Cairns, Mark Of a Non-Realist, (New Zealand : Fraser Books, 2004), p.177-182. 9 mempunyai pendapat yang kebanyakan berbeda-beda. Satu hal yang membuat penulis tidak puas adalah perkataan “bukan musim buah ara” yang ada dalam kisah pengutukan pohon ara tidak mendapatkan perhatian khusus dari ketiga penafsir. 3. Hipotesis Terhadap Markus 11:12-26 Untuk mendapatkan hipotesa yang berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan yang telah penyusun sebutkan di bagian sebelumnya, penyusun akan melakukan hipotesa terhadap Markus 11:12-26, dengan pokok bahasan sesuai dengan pokok-pokok permasalahan di atas. 3.1. Arti dari Pengutukan Pohon Ara Dari ketiga penafsir, Hendriksen mempunyai pendapat yang paling berbeda mengenai peristiwa pengutukan pohon ara. Schweizer dan Cairns sama-sama menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut merupakan simbol penghapusan ataupun kehancuran Bait Allah, sedangkan Hendriksen sama sekali tidak menyebutkan tentang peristiwa di Bait Allah, Hendriksen hanya berpendapat bahwa pohon ara yang tidak berbuah merupakan simbol dari sesuatu yang menjanjikan banyak, namun tidak menghasilkan apa-apa. Menurut penyusun, Hendriksen sangat teliti untuk tidak dengan cepat menyimpulkan bahwa pohon ara yang dikutuk oleh Yesus adalah lambang dari bangsa Israel yang tidak menunjukkan buah-buah keimanan mereka. Hendriksen cenderung melihat kisah ini sebagai satu kesatuan yang utuh terlebih dahulu, baru kemudian ia menarik kesimpulan bahwa pohon ara yang dikutuk oleh Yesus adalah sebagai simbol dari kehidupan bangsa Israel setelah ia melakukan telaah antarteks. Beberapa tokoh lain yang menafsir perikop ini, telah dengan cepat mengambil keputusan bahwa pohon ara itu adalah simbol dari bangsa Israel jauh sebelum mereka mulai menafsirkan ayat-ayat yang terkemudian.12 Tentang pokok bahasan ini, sebagai dugaan awal penyusun, penyusun lebih setuju pada pendapat Hendriksen bahwa kisah ini merupakan simbol penghukuman terhadap pohon ara, sedangkan 12 Lihat Sherman E. Johnson, A Commentary on the Gospel According to St. Mark, dalam Barret, C.K, Black’s New Testament Commentaries, Vol 2, (London : A&C Black, 1971), p. 188. ,Sherman mengatakan bahwa kisah pengutukan pohon ara adalah satu-satunya kisah kutukan yang Yesus lakukan dalam Perjanjian Baru, dan apa yang Yesus perbuat sangat bertolak belakang dengan karakter Yesus sendiri. Oleh karena itu penjelasan yang paling sederhana untuk itu hanyalah dengan mengatakan bahwa kisah ajaib tentang pohon ara yang tidak berbuah itu adalah simbol dari penolakan Yesus terhadap bangsa Israel, atau atas Para Imam. 10 pohon ara adalah simbol dari sesuatu – yang entah itu siapa atau apa – yang menjanjikan untuk memberi namun pada kenyataannya tidak dapat memberikan apa-apa. 3.2. Arti dari Aksi atau Kemarahan Yesus di Bait Allah Pendapat Hendriksen tentang aksi Yesus masih konsisten dengan apa yang telah ia katakan tentang pengutukan pohon ara, ia berpendapat bahwa keduanya merupakan ramalan akan keruntuhan bangsa Israel di hari yang akan datang oleh karena sikap hidup mereka. Mengenai pokok bahasan ini, justru Cairns dan Schweizer memiliki pendapat yang bertentangan. Menurut Schweizer peristiwa ini ingin menegaskan tentang keharusan terjadinya sebuah perubahan yang besar dan penting dalam Bait Allah, sedangkan menurut Cairns, aksi Yesus ini sama sekali ingin menghapuskan Bait Allah secara keseluruhan, bukan memperbaharui. Berkaitan dengan kemarahan Yesus di Bait Allah, hanya Cairns dan Hendriksen saja yang mengemukakan penyebab dari kemarahan Yesus, sedangkan Schweizer tidak sama sekali. Penyebab yang dikemukakan oleh keduanya adalah sama yaitu tentang peribadatan yang telah dijadikan bisnis yang kotor, dan menjadi penghalang bagi bangsa lain untuk beribadah kepada Allah. Meskipun sama, namun Cairns lebih detail dalam melakukan penafsiran, ia lebih mengupas sisi kehidupan perekonomian bangsa Israel. Cairns juga mengkritik para pemimpin Bait Allah yang menurut dirinya telah menjadi penyebab kemunduran kehidupan perekonomian bangsa Israel. Menurut penyusun, dalam hal ini ketiga penafsir mempunyai kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Hendriksen memiliki kekonsistenan ketika menafsir, namun dalam penafsirannya ia kurang mengarah atau membahas tentang arti penyucian Bait Allah bagi Bait Allah itu sendiri. Penafsiran dari Cairns mungkin terlihat terlalu ekstrim dengan mengatakan bahwa penyucian Bait Allah bukan berarti pembaharuan, namun penghapusan sama sekali. Namun demikian, di sisi lain, Cairns membahas lebih dalam tentang perekonomian bangsa Israel yang tergambar dalam situasi di Bait Allah saat itu. Penyusun ingin memberi apresiasi lebih kepada Schweizer, karena dalam pembahasan lengkap tentang penafsirannya Schweizer dengan cerdas mengkaitkan pembaharuan Bait Allah dengan arti 11 penyaliban Yesus.13 Schweizer juga menekankan tentang keeksklusifan bangsa Israel, yang justru menjadi kata kunci untuk melangkah pada penafsiran berikutnya tentang rumah doa bagi semua bangsa. Pendapat penyusun sendiri mengenai peristiwa penyucian Bait Allah ini mungkin secara garis besar hampir sama dengan ketiga penafsir tersebut. Peristiwa ini menurut penyusun adalah sebuah kritik keras dari Yesus kepada para imam yang memperbolehkan terjadinya transaksi jual beli di Bait Allah. Seperti dikatakan oleh Cairns, kesalahan utama memang terletak pada Imam-Imam kepala. Sedangkan mengenai tujuan penyucian Bait Allah, penyusun lebih setuju dengan pendapat Schweizer bahwa peristiwa itu bertujuan untuk merubah Bait Allah yang lama, menjadi “rumah doa” bagi segala bangsa, yang di dalamnya tidak terjadi praktik jual-beli, kecurangan ekonomi, dan sikap menghalang-halangi orang untuk beribadah kepada Allah. 3.3. Arti Iman dan Kemauan untuk Mengampuni Secara sederhana Hendriksen menggambarkan iman dengan sikap yang tidak ragu terhadap Tuhan, dan tentang kemauan untuk mengampuni menurut Hendriksen itu adalah satu unsur lagi yang harus ada dalam doa selain iman, yaitu kasih yang mengampuni. Schweizer justru mengatakan bahwa kasih merupakan bagian dari iman itu sendiri. Schweizer lebih menekankan iman yang diungkapkan dengan kasih, daripada iman yang dapat menyebabkan terjadinya sebuah keajaiban. Jauh berbeda dari kedua penafsir tersebut, Cairns justru lebih menekankan konsekuensi dari langkah iman yang manusia ambil, entah itu konsekuensi negatif maupun positif. Sedangkan kasih yang mengampuni justru ia kaitkan dengan peristiwa penyucian Bait Allah. Peristiwa itu menurut Cairns merupakan penggenapan untuk penetapan Kerajaan Allah, dan pengampunan itu sendiri menurut Cairns harus didapati dalam diri setiap manusia yang mengharapkan Kerajaan Allah. Cairns sama sekali tidak menyoroti keterkaitan antara iman dengan doa. Bagi Cairns, iman bukan hanya dinyatakan dalam doa, tapi juga dalam setiap tindakan manusia. Penyusun sendiri lebih melihat iman dalam perikop ini sebagai keyakinan awal dari segala tindakan dan ucapan, dalam Markus 11:23-24 dikatakan bahwa ketika kita mengatakan sesuatu, maka kita harus terlebih dahulu percaya dalam hati kita, kemudian juga ketika kita meminta sesuatu, kita 13 Lihat p. 7, alinea ketiga. 12 harus percaya bahwa kita telah menerimanya, maka kita akan diberikan. Iman di sini bisa dikatakan sebuah jaminan dari Tuhan. Oleh karena itu, penyusun setuju dengan Cairns, bahwa iman di sini tidak hanya berlaku dalam doa namun dalam setiap tindakan, ucapan maupun pemikiran. Markus 11:25 mengatakan apabila kita mau berdoa kita harus mengampuni kesalahan orang lain kepada kita, supaya Tuhan juga mengampuni kesalahan kita. Ayat tersebut di atas menurut penyusun adalah sebuah peringatan halus dari Tuhan atau bisa dibilang semacam sindiran, karena seringkali ketika manusia berdoa, manusia hanya meminta saja, namun tidak memandang kembali pada dirinya sendiri apakah ia layak untuk meminta kepada Tuhan, mengingat begitu banyak kesalahan yang dilakukan manusia terhadap Allah. Ketika Yesus mengatakan seperti tertulis dalam ayat 25, yang penyusun tangkap adalah pesan bahwa Yesus ingin manusia ingat bahwa sebelum ia meminta kepada Tuhan, maka ia harus meminta ampun dosa terlebih dahulu terhadap Tuhan. Dengan demikian, isi dari doa tidak melulu permintaan manusia, tapi juga berisi pernyataan bahwa manusia mau hidup dengan lebih baik lagi di hadapan Tuhan. Di sisi lain, ayat ini juga berisi pengajaran bahwa manusia harus mau mengampuni siapa saja yang bersalah kepadanya. Sikap mau mengampuni bukan supaya Tuhan mengampuni manusia, tetapi karena pengampunan dari Tuhan telah terlebih dulu diberikan kepada manusia. 3.4. Parabel Gunung yang Tercampak ke Dalam Laut Hendriksen menafsirkan parabel ini sebagai gambaran iman, bahwa dalam Tuhan segala sesuatu akan menjadi mungkin apabila manusia tidak ragu. Jadi, Hendriksen lebih melihat keterkaitan antara parabel gunung ini dengan parabel pengutukan pohon ara. Lain halnya dengan Schweizer, ia menafsirkan parabel ini dan dua ayat selanjutnya sebagai ekspresi dari “rumah doa”, jadi ia lebih mengkaitkan dengan peristiwa penyucian Bait Allah. Cairns juga mengkaitkan parabel ini dengan peristiwa penyucian Bait Allah, baginya parabel ini merupakan sindiran kepada Bait Allah. Tercampaknya gunung ke dalam laut sama halnya dengan dibersihkannya Bait Allah. Selangkah lebih maju dari dua penafsir lainnya, Cairns mengatakan bahwa parabel ini adalah sebuah ilustrasi pembelajaran bagi murid-murid Yesus agar mereka tidak menjadi gentar dalam menghadapi guncangan apa pun ketika mereka menyatakan visi-visi mereka ke depan. Bagi penyusun, penafsiran Hendriksen mengenai topik ini kurang mendalam. Penafsiran Cairns adalah penafsiran yang paling dapat dilihat kesinambungannya, kesamaan antara parabel 13 pencampakkan gunung ke dalam laut dengan penyucian Bait Allah yang diungkapkannya memberi penjelasan yang lebih mendalam dari teks tersebut. Sedangkan mengenai pendapat Schweizer, penyusun kurang dapat mengerti dengan maksud dari ‘ekspresi rumah doa’ yang ia katakan tercermin dalam ayat 23-25. Penyusun sendiri kurang setuju dengan digunakannya parabel ini dalam bagian nasehat tentang doa karena menurut penyusun parabel ini mempunyai nada negatif. Sebetulnya masih bisa diterima kalau saja parabel ini masih berada dalam kerangka pengajaran Yesus di Bait Allah, namun karena Yesus mengemukakan parabel ini setelah Petrus berseru tentang pohon ara yang menjadi kering, maka dapat disimpulkan bahwa Yesus ingin menyampaikan sesuatu berkaitan dengan apa yang telah ia lakukan terhadap pohon ara yang menjadi kering itu, dan sesuatu yang berkaitan itu adalah pengajaran tentang cara kita berdoa di dalam Tuhan. Dikarenakan kesimpulan tadi, maka menurut penyusun ketika parabel ini digunakan di dalamnya, pengajaran Yesus tidak lagi menjadi sebuah pengajaran yang sempurna, karena di dalamnya Ia mengajarkan sesuatu yang terkesan bertindak semena-mena. Maksud penyusun dengan semena-mena adalah perlakuan terhadap gunung dalam parabel dicampakkannya gunung ke dalam laut. 3.5. Kontradiksi Antara Hal-hal yang Dilakukan Yesus dengan Ajaran Kemauan untuk Mengampuni Satu hal yang menjadi pertanyaan penyusun adalah letak pengajaran tentang pengampunan yang dimasukkan bersama dengan cerita pengutukan pohon ara dan penyucian Bait Allah. Apabila Tuhan mengajarkan manusia untuk mengampuni, secara logika itu berarti bahwa Tuhan juga mau mengampuni. Namun dalam perikop-perikop sebelumnya, semua aksi yang Yesus lakukan adalah sebuah bentuk dari sikap yang tidak mau mengampuni. Sehingga sebetulnya ada sebuah kontradiksi disini. Jika saja Yesus mau mengampuni, maka Ia tidak akan mengutuk pohon tersebut. Apabila Yesus mau mengampuni, Yesus tidak akan menumpahkan amarahnya di Bait Allah. Dengan demikian untuk sementara penyusun menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Yesus bertentangan dengan ajaran-Nya sendiri tentang pengampunan. 14 3.6. Kesimpulan Berdasarkan lima pembahasan di atas, penyusun akan mencoba untuk membuat sebuah hipotesa yang mencakup kesimpulan awal dari tiap pokok bahasan di atas. Penyusun berpendapat bahwa pengutukan pohon ara merupakan simbol penghukuman atas sesuatu (entah itu siapa atau apa) yang menjanjikan memberi banyak tetapi tidak memberikan apa-apa. Dalam kemarahan-Nya di Bait Allah, menurut penyusun, Yesus mencoba untuk mengkritik para imam di Bait Allah yang telah memperbolehkan orang berjual-beli di Bait Allah. Tujuan dari kritikan tersebut adalah untuk mengubah Bait Allah yang lama menjadi Bait Allah baru yaitu rumah doa bagi segala bangsa, yang di dalamnya tidak terjadi praktik jual-beli, kecurangan ekonomi, dan sikap menghalang-halangi orang untuk beribadah kepada Allah. Dalam rangkaian kisah pengutukan pohon ara dan penyucian Bait Allah, penulis Markus juga meletakkan ajaran tentang iman dan kemauan untuk mengampuni. Berdasarkan pembahasan yang telah penyusun lakukan sebelumnya, Iman dapat disimpulkan sebagai sebuah keyakinan awal dalam segala tindakan dan ucapan. Dengan adanya iman, segala tindakan, ucapan, dan pikiran atau keinginan manusia dijamin oleh Tuhan. Dengan demikian iman tidak hanya harus ada dalam doa manusia, tetapi juga harus terlihat nyata dalam tindakan, ucapan, dan pikiran manusia. Dalam pengajarannya tentang iman, Yesus menggunakan parabel gunung yang tercampak ke dalam lautan. Menurut hemat penyusun, parabel ini tidak seharusnya diletakkan dalam rangkaian ajaran tentang iman. Pencampakkan gunung ke dalam lautan bukanlah sesuatu yang baik, karena laut bukanlah tempat seharusnya gunung berada. Dengan mengatakan bahwa iman dapat melakukan itu, berarti secara tidak langsung Yesus mengajarkan bahwa iman dapat digunakan untuk melakukan sesuatu hal yang semena-mena terhadap pihak lain. Pada bagian akhir pengajarannya, Yesus mengajarkan bahwa manusia harus mengampuni keslahan orang lain sebelum berdoa menghadap Tuhan supaya Bapa di sorga juga mengampuni kesalahan manusia. Bagi penyusun, bagian tersebut merupakan sebuah sindiran kepada manusia agar manusia tersadar bahwa dirinya mempunyai kesalahan dan patut untuk memohon ampun kepada Bapa di sorga ketika manusia berdoa. Dengan demikian perintah untuk mengampuni orang lain, seharusnya 15 diartikan sebagai perintah untuk meneladani kasih Allah yang telah mengampuni dosa-dosa manusia. Dengan demikian, di dalam doa, tidak hanya melulu berisi tentang permohonan manusia, tetapi juga permohonan ampun atas kesalahan dan dosa manusia. Dari semua rangkaian peristiwa dan pengajaran tersebut di atas, bagi penyusun ada hal yang tidak selaras. Rangkaian peristiwa dan pengajaran tersebut berisi tentang teori dan praktik. Di satu sisi secara teori Yesus mengajarkan kepada manusia untuk beriman dan mau mengampuni orang lain. Tetapi di sisi lain dalam praktiknya, Yesus memberikan penghukuman terhadap pohon ara dan orang-orang di Bait Allah sebagai bentuk dari keengganan-Nya mengampuni pihak-pihak terkait. Menurut penyusun, kekontrasan tersebut pada akhirnya menggambarkan Yesus sebagai sosok yang gagal menyampaikan ajaran-Nya sendiri melalui bentuk tindakan secara real. 4. Metode Penulisan dan Metode Penafsiran Dalam penulisan skripsi ini, penyusun akan melakukan pendekatan literer dengan menggunakan metode hermeneutik semiotika. Metode semiotika yang sedang berkembang sekarang ini adalah semiotika yang dicetuskan oleh dua orang tokoh. Yang pertama Ferdinand de Saussure yang adalah seorang ahli bahasa, dan yang kedua yaitu Charles Sanders Peirce yang adalah seorang ahli filsafat dan logika.14 Semiotika dilihat dari dua orang tokoh besarnya yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce, sebenarnya merupakan produk dari studi bahasa dan penelitian, namun semiotika dapat diterapkan dalam setiap bidang ilmu pengetahuan, dan salah satunya adalah dalam bidang penafsiran Alkitab. Dewasa ini, semiotika sangat berkembang dalam bidang kajian budaya dan kesusastraan. Semiotika sebagai teori dapat didefinisikan sebagai studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, dan manfaatnya terhadap kehidupan manusia.15 14 Sumardi Suryadibrata, Metode Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), p. 98. 16 Meskipun semiotika termasuk sebuah teori untuk menginterpretasikan sebuah tanda, namun bukan hanya para ilmuwan saja yang dapat menggunakan teori semiotika, melainkan setiap manusia. Menurut Aart van Zoest, manusia adalah homo semioticus.16 Manusia – seperti telah dikatakan sebelumnya – selalu melakukan komunikasi dalam kehidupannya, sedangkan komunikasi dapat terjadi melalui perantaraan isyarat, yang salah satu bentuknya adalah tanda, dan tanda merupakan kajian teori semiotika17, oleh karena itu, manusia merupakan homo semioticus. Dalam penafsiran Alkitab, Groenen mengkategorikan teori semiotika ini sebagai hermeneutika terbaru, 18 meskipun dalam Semeia No. 81 yang terbit pada tahun 1998, dikatakan bahwa semiotika dalam ranah kajian alkitabiah telah ada selama kurang lebih 30 tahun.19 Berkenaan dengan semiotika dalam kajian Alkitab, Jean Delorme dalam artikelnya yang berjudul Orientations of a Literary Semiotics Questioned by the Bible menuliskan bahwa seringkali terjadi dua jenis kesalahan dalam pembacaan Alkitab. 20 Pertama pembacaan secara ilmiah, dan yang kedua adalah pembacaan secara ‘naif’. Pembacaan ilmiah terhadap teks Alkitab tentunya dilakukan oleh para teolog atau para mahasiswa teologi. Sedangkan pembacaan ‘naif’ terhadap teks Alkitab dilakukan oleh pembaca awam. Dalam pembacaan ilmiah, seringkali pembacanya mengikutsertakan semua unsur historis, sosiologi, filosofi, teologi, dll, yang terkait dengan tujuannya dalam pembacaan atau penafsiran teks tersebut (disesuaikan dengan tema penafsiran para pembacanya). Hal ini menyebabkan adanya pembatasan terhadap kemungkinan-kemungkinan penafsiran lain yang bisa saja muncul dari teks tersebut. 15 Nyoman K. Ratna S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Perspektif Wacana Naratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2., 2006), p. 97. 16 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003), p. 13. 17 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003), p. 15. 18 Cletus Groenen, Linguistik Dalam Bereksegese, dalam Misi Orientasi Baru?, Orientasi Baru Pustaka Filsafat dan Teologi No:6.,Tahun 1992, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), p.149-165. 19 Semeia No.81, Thinking in Signs: Semiotics and Biblical Studies…Thirty Years After, (ed: Daniel Patte, Atlanta: Scholars Press, 1998). 20 Jean Delorme, Orientations of a Literary Semiotics Questioned by the Bible, dalam Semeia No.81, Thinking in Signs: Semiotics and Biblical Studies…Thirty Years After, (ed. Daniel Patte, Atlanta: Scholars Press, 1998), p.53. 17 Dalam pembacaan ‘naif’, seringkali para pembaca tidak memahami bagian-bagian tertentu dalam teks Alkitab. Contohnya saja dalam teks yang telah penyusun pilih, markus 11:12-26, pembaca ‘naif’ akan melihat bahwa tindakan Yesus terhadap pohon ara adalah tidak adil. Pembacaan yang demikian ‘naif’nya tanpa pendampingan dan tanpa pembekalan pengetahuan teologi ini menyebaban para pembaca ‘naif’ tidak dapat memahami teks secara benar. Menurut Jean Delorme, semiotika dalam hal ini merupakan metode yang tepat dan terbuka terhadap segala kemungkinan penafsiran dari teks yang ditafsirkan. Dengan penafsiran secara semiotika, Jean Delorme mengatakan bahwa pembaca dibantu untuk dapat memahami teks-teks Alkitab, dan kecurigaan (dari pembaca ‘naif’) juga keingintahuan ilmiah (dari pembaca ilmiah), diharapkan berubah menjadi kemauan untuk lebih ‘mendengar’ teks. Alasan tersebut di atas membuat penyusun lebih memilih menggunakan metode tafsir semiotika. Selain itu, Daniel Patte mengatakan bahwa semiotika sebagai salah satu metode pengkajian Alkitab dapat digabungkan dengan berbagai metode penafsiran yang lain.21 Oleh karena itu, metode semiotika adalah teori yang terbuka terhadap semua metode penafsiran. Maka dari itu, penyusun berharap dengan menggunakan metode kajian semiotika, penyusun dapat membuka segala kemungkinan penafsiran terhadap teks Markus 11:12-26. Demikianlah alasan mengapa penyusun memilih teori semiotika sebagai metode penyusun untuk menafsirkan teks yang terambil dari Markus 11:12-26. Mengenai metode tafsir semiotika sendiri akan penyusun bahas lebih lanjut dalam bab II. 5. Tujuan Penulisan Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan terdahulu, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : a. Memperoleh penafsiran yang jelas dari Markus 11:12-26, berdasarkan metode tafsir semiotika. 21 Daniel Patte, Critical Biblical Studies from a Semiotics Perspective, dalam Semeia No. 81, Thinking in Signs: Semiotics and Biblical Studies…Thirty Years After.(ed: Daniel Patte, Atlanta: Scholars Press, 1998), p. 5-7. 18 b. Mencari relevansi perikop dengan konteks masa kini. Khususnya dengan masyarakat Indonesia (tentunya berdasarkan hasil penafsiran penyusun). 6. Lingkup Bahasan 6.1. Batasan Permasalahan Untuk memfokuskan permasalahan yang akan dibahas, penyusun melakukan pembatasan permasalahan seperti penjelasan berikut, Perikop yang akan penyusun bahas dalam penyusunan skripsi ini adalah Markus 11:12-26. Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah penyusun tuliskan pada bagian yang ke-2 maka penyusun membatasi pembahasan ke dalam 5 pokok bahasan, yaitu : a. Arti dari pengutukan pohon ara. b. Arti dari penyucian Bait Allah. c. Arti dari iman dan kemauan untuk mengampuni. d. Parabel gunung yang tercampak ke dalam laut. e. Kontradiksi antara aksi Yesus dengan ajaran kemauan untuk mengampuni. 6.2. Alasan Pemilihan Judul Berdasarkan permasalahan pokok dan batasan permasalahan yang telah dijabarkan sebelumnya, maka penyusun memilih judul : “Yesus Mengutuk Pohon Ara” (Hermeneutik Semiotika terhadap Markus 11 : 12-26) Penjelasan Judul : “Yesus Mengutuk Pohon Ara” (Markus 11 : 12-26) Meskipun pada kenyataannya yang dibahas dalam Markus 11 : 12-26 ada tiga judul perikop yang diberikan LAI, yaitu “Yesus Mengutuk Pohon Ara” , “Yesus menyucikan Bait Allah”, dan “Pohon ara yang sudah kering Nasihat Yesus tentang doa”, namun penyusun tetap memilih “Yesus Mengutuk Pohon Ara” sebagai judul dari skripsi ini karena kisah inilah yang menjadi fokus bahasan penyusun. 19 Hermeneutik Semiotika Kata Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘hermeneuin’ yang merupakan bentuk kata kerja, kata ini berhubungan dengan nama dewa dalam mitologi Yunani yaitu ‘hermes’. Dewa ‘hermes’ ini bertugas sebagai pembawa pesan takdir, oleh karena itu, kata ‘hermeneutik’ secara harafiah dapat diartikan ‘menyampaikan pesan atau berita’.22 Semiotika merupakan jenis metode penafsiran yang akan penyusun gunakan dalam proses penafsiran penyusun terhadap teks Markus 11:12-26. Maka ‘Hermeneutik Semiotika’ maksudnya adalah penafsiran terhadp teks Markus 11:12-26 dengan menggunakan metode semiotika. Mengenai alasan penyusun untuk memilih metode semiotika telah penyusun jelaskan dalam bab I ini bagiannya yang ke-4. 7. Sistematika Penulisan 7.1. Bab I Pendahuluan Dalam pendahuluan, penyusun menjelaskan latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, hipotesa awal mengenai tafsiran dari Markus 11:12-26, metode penulisan, tujuan penulisan, lingkup bahasan yang di dalamnya telah tercakup batasan permasalahan, serta alasan permasalahan judul, dan kemudian sistematika penulisan. 7.2. Bab II Metode Hermeneutik Semiotika Dalam bab ini, penyusun akan membahas pengertian dari semiotika yang disajikan secara rinci melalui beberapa pokok bahasan berikut : 1. Pengantar ke dalam Semiotika 2. Pengenalan akan Semiotika 3. Teori Dasar Semiotika 4. Semiotika dalam kajian Kitab Suci 22 Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya,(Yogyakarta: Paradigma , cet. 3., 2002), p. 201. 20 7.3. Bab III Hubungan Intertekstual Teks Markus 11:12-26 dan Hubungan Intratekstual: Pembacaan Heuristik Terhadap Markus 11:12-26 Dalam bab ini, penyusun akan memberikan pengantar ke dalam Injil Marus secara umum. Penjabaran Injil Markus secara umum tersebut dalam analisis semiotika masuk ke dalam analisis hubungan intertekstual. Kemudian penyusun akan melangkah pada analisis hubungan intratekstual bagian yang pertama yaitu pembacaan heuristik teks. Pembacaan heuristik tersebut terdiri dari penerjemahan teks bahasa asli dan parafrase teks berdasarkan terjemahan penyusun. 7.4. Bab IV Hubungan Intratekstual : Pembacaan Hermeneutik Semiotika Terhadap Markus 11:12-26 dan Kesimpulan Dalam bab ini, penyusun akan melakukan langkah analisis hubungan intratekstual yang kedua, yaitu pembacaan hermeneutik semiotika terhadap teks Markus 11:12-26. Pembahasan pokok dalam pembahasan hermeneutik adalah seperti tercantum dalam batasan permasalahan. Pada bagian akhir, penyusun akan menyimpulkan secara keseluruhan hasil dari penafsiran penyusun atas lima pokok bahasan sebelumnya, dan membandingkan hasil analisis penyusun dengan hipotesa yang telah penyusun buat dalam bab I. 7.5. Bab V Penutup Bab V akan berisikan dua bagian, yang pertama adalah bagian relevansi, dalam bagian ini penyusun akan mencari relevansi antara hasil penafsiran dengan konteks masyarakat di masa kini, khususnya masyarakat Indonesia; kemudian bagian yang kedua adalah penutup. 21