1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Permasalahan
Dalam kehidupannya, manusia selalu berkomunikasi, baik itu dengan sesamanya manusia, makhluk
hidup yang lain, dirinya sendiri, atau bahkan dengan alam. Menurut kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer, komunikasi berarti hubungan atau kontak, sedangkan komunikasi dua arah diartikan
sebagai komunikasi yang komunikan dan komunikatornya saling bergantian memberi informasi.1
Dengan demikian dalam sebuah komunikasi berarti ada suatu pesan – yang disebut dengan
informasi – yang harus tersampaikan dari suatu sumber kepada tujuan, dan komunikasi dapat
dikatakan telah berlangsung dengan baik apabila pesan berhasil disampaikan kepada tujuan.
Dr. Harun Hadiwijono dalam bukunya Iman Kristen mengatakan bahwa Alkitab adalah alat
penyataan Allah, Alkitab (penyataan Allah yang dibukukan) membuat manusia yang hidup pada
zaman setelah zaman Tuhan Yesus hidup, dapat bersekutu dengan Tuhan Allah. Pada akhirnya Dr.
Harun Hadiwijono mengatakan bahwa pembukuan penyataan Allah dimaksudkan agar kita, orangorang yang hidup sesudah zaman Tuhan Yesus Kristus, dapat percaya bahwa Yesus adalah Kristus,
Anak Allah, dan oleh karenanya mendapat hidup yang kekal (Yoh 20:31; 21:25).2
Berdasarkan yang telah dijabarkan di atas mengenai Alkitab sebagai alat penyataan Allah dapat
disimpulkan bahwa Alkitab adalah salah satu alat komunikasi antara manusia dengan Allah.
Sedangkan pesan yang ingin disampaikan oleh Alkitab (mengacu pada kesimpulan dari Dr. Harun
Hadiwijono) adalah bahwa Yesus itu Kristus, Anak Allah. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa komunikasi telah berjalan dengan baik apabila orang-orang yang membaca Alkitab sebagai
alat komunikasi dapat percaya bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah.
Pada kenyataannya, untuk memfungsikan sebuah alat komunikasi sesuai dengan tujuannya adalah
tidak mudah. Banyak kendala di sana-sini yang membuat pesan tidak tersampaikan dengan baik.
Berkaitan dengan Alkitab, bukanlah hal yang mudah untuk membuat orang percaya begitu saja
1
Tim penyusun, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern English Press, 1991), p. 760.
2
H. Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta : BPK-GM, cet.16., 2005), p. 54-56.
1
bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah dengan hanya berdasarkan Alkitab. Mengapa? Tentunya
seseorang (baik dia orang Kristen ataupun bukan) memerlukan bukti yang dapat menguatkan fakta
bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah.
Bagi orang-orang non-Kristen, mungkin kepercayaan mereka akan muncul apabila mereka pernah
mengalami “pengalaman bersama Allah”, ataupun melihat sikap hidup yang baik dari kehidupan
umat Kristen lain, atau juga mungkin secara tidak sengaja membaca buku-buku Kristen dan
Alkitab. Kepercayaan memang dapat muncul dengan cara seperti itu, tapi apakah kemudian
kepercayaan itu bisa benar-benar tumbuh dan berbuah? Belum tentu demikian.
Bagi penyusun, posisi mereka sama dengan umat Kristen yang sejak lahir sudah menjadi Kristen.
Kedua kelompok tadi, tentunya mengenal atau mendengar bahwa Yesus adalah Kristus, Anak
Allah, penuh kasih, mampu melakukan mukjizat-mukjizat, dan penuh kemuliaan. Kedua kelompok
ini bisa saja percaya dengan hal tersebut, namun ketika mereka diperhadapkan dengan beberapa
teks Alkitab yang memuat sikap dan perbuatan Yesus yang kontradiksi dengan apa yang mereka
ketahui selama ini, bukan tidak mungkin apabila iman ataupun kepercayaan mereka menjadi goyah.
Dalam teks Perjanjian Baru, khususnya dalam Injil Markus 11:12-14 dan Injil Matius 21:18-22
terdapat kisah Yesus mengutuk pohon ara. Dalam Markus, tertulis “sebab memang bukan musim
buah ara” pada ayat 13 akhir. Keterangan tersebut menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana bisa
seorang Yesus yang pengampun, yang mengajarkan kita untuk bersabar, bisa mengutuk sebatang
pohon ara yang tidak menghasilkan buah di waktu yang memang bukan musimnya untuk berbuah,
hanya karena Ia merasa lapar?
Kisah di atas telah dapat mewakili kisah-kisah lain yang mungkin juga membuat pembacanya
mengerutkan alis.3 Ketika kebingungan tercipta, dan tidak dibimbing untuk diberi penjelasan, maka
yang akan terjadi selanjutnya adalah pesan yang sebenarnya termuat dalam kisah-kisah tersebut
3
Perhatikan juga teks-teks berikut. Dalam Matius 12 :46-50 (yang juga dimuat dalam Markus 3 : 31-35; Lukas 18 : 1921) terdapat kisah Yesus menolak Ibu dan saudara-saudaranya, kemudian Matius 10 : 34-42 [terkhusus ayat 34-36,
(lihat juga dalam Mikha 7:6, dan Lukas 12:51-53)], dalam ayat-ayat ini Yesus mengatakan bahwa Ia datang membawa
pedang, dimana Ia akan memisahkan orang dari orangtuanya, dan mengatakan bahwa musuh seseorang adalah seisi
rumahnya. Kedua cerita tadi sangat bertentangan dengan ajaran Yesus tentang kasih, dan sekilas terlihat sangat
bertentangan dengan isi dari 10 Perintah Allah yang ke-5.
2
tidaklah sampai kepada pembaca Alkitab. Bersamaan dengan gagalnya penyampaian pesan yang
termuat dalam teks-teks kitab suci, maka gagal pula proses komunikasi yang terjalin.
Kesimpulannya, kebingungan pembaca Alkitab dapat dikatakan sebagai salah satu kendala bagi
berlangsungnya proses komunikasi melalui Alkitab. Dalam hal ini, apabila terjadi kegagalan dalam
komunikasi, agak sulit untuk menentukan dimana letak kesalahan yang menyebabkan kegagalan
tersebut. Tiga komponen yang terkait, yaitu penulis Alkitab yang menjadi perantara Allah, Alkitab,
dan pembaca Alkitab, sama sekali tidak dapat disalahkan. Satu-satunya jalan keluar dari berbagai
kemungkinan kegagalan ini adalah dengan penafsiran/ interpretasi Alkitab.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, penyusun dapat mengatakan bahwa interpretasi atas sebuah teks
dalam Alkitab merupakan hal yang sangat krusial. Para ahli akhirnya terus mengembangkan
berbagai metode yang bisa dipakai dalam menafsirkan atau menginterpretasikan teks-teks Kitab
Suci.4 Dalam buku Pedoman Penafsiran Alkitab, karya John H. Hayes, dan Carl R. Holladay,
terdapat setidaknya 9 macam metode tafsir yang dibahas lebih lanjut.5 Berbagai macam pendekatan
atau metode penafsiran yang ada sekarang ini menjadi bukti bahwa manusia membutuhkan dan
selalu berusaha untuk memahami isi dari Firman Allah yang terdapat di dalam Alkitab, secara baik
dan benar.
6
Bukti tersebut juga menuntun kita pada sebuah kenyataan bahwa manusia berusaha
4
Saya katakan Kitab Suci di sini karena tidak hanya Alkitab saja yang membutuhkan penginterpretasian. Misalnya saja,
Kitab Suci Al-Qur’an juga membutuhkan penginterpretasian dalam membacanya. John H. Hayes, dan Carl R. Holladay
dalam buku Pedoman Penafsiran Alkitab membagi sejarah penafsiran Alkitab (dengan berbagai metode menafsirnya)
secara garis besar ke dalam 3 bagian : Periode permulaan dan Abad pertengahan, periode reformasi dengan akarnya
pada dunia keilmuan Yahudi akhir periode Abad Pertengahan dan Renaisans, dan periode modern yang dicirikan oleh
upaya untuk menentukan dengan jelas metode-metode dan program-program penafsiran. John H. Hayes, dan Carl R.
Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, cet.4., 2004), p. 19.
5
Sembilan metode tersebut adalah : kritik teks, kritik historis, kritik tata bahasa, kritik sastra, kritik bentuk, kritik
tradisi, kritik redaksi, kritik struktur, dan kritik kanonik. John H.Hayes, dan Carl R.Holladay, Pedoman Penafsiran
Alkitab, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, cet.4., 2004).
6
Dalam artikel berjudul ”Antara Buah Ara dan Tafsir Wacana” yang ditulis oleh A. Gianto dalam majalah Basis
Nomor 11-12, A.Gianto menuliskan penjelasan Cicero (yang adalah seorang filsuf dan ahli bahasa) tentang mengapa
Cassius yang mengalami nasib buruk di Siria. Dituliskannya demikian: Ketika panglima balatentara Romawi itu sedang
menyiapkan pasukannya di pelabuhan Brindisi, datanglah seorang penjaja buah ara yang berteriak
“Cauneas!Cauneas!” Cassius mengira orang ini sekadar ingin menjajakan dagangannya. Memang kata-kata itu dapat
dimengerti sebagai “Buah ara dari Kauna”, kota di Turki Selatan yang memang tersohor berkat buah aranya yang
lezat. Tentu saja Cassius tida peduli akan tawaran itu. Ia meneruskan rencananya menyerbu Siria. Malang baginya, di
sana tentaranya dibuat kocar-kacir oleh laskar Persia dan ia sendiri menemui ajalnya. Dalam De Interpretatione II, 84
Cicero menulis andaikata Cassius memahami teriakan Cauneas!Cauneas!” sebagai peringatan “Cau ne eas!”, yang
artinya”Awas, jangan berangkat!”, boleh jadi ia tidak akan mengalami malapetaka. Memang bila diucapkan dengan
3
untuk terus-menerus berkomunikasi dengan Allah, tentunya dalam hal ini yang menjadi media
utama adalah Alkitab.
Berdasarkan semua penjelasan yang telah penyusun uraikan di atas, secara singkat penyusun ingin
mengatakan bahwa adanya teks-teks yang dinilai ‘ganjil’ bagi jemaat gereja dalam Kitab Suci
(seperti yang terdapat dalam Markus 11: 12-14), dapat menyebabkan terjadinya kegagalan dalam
proses komunikasi antara Allah dan manusia (yang dilakukan melalui media Alkitab). Satu-satunya
cara untuk memperlancar proses komunikasi itu hanyalah dengan jalan melakukan penafsiran yang
baik dan benar terhadap teks-teks tersebut. Oleh karenanya, menurut penyusun, para ahli penafsiran
Alkitab sangatlah perlu untuk terus-menerus mengembangkan ilmu penafsiran Alkitab, demi
terciptanya kelancaran komunikasi antara Allah dengan manusia melalui Alkitab.
Ketika penyusun masih duduk di bangku SMU, penyusun menganggap bahwa perikop atau kisah
mengenai Tuhan Yesus mengutuk pohon ara adalah kisah yang paling aneh di dalam Injil.
Berdasarkan pengalaman tersebut, dalam rangka pembahasan tentang teks-teks ‘ganjil’ yang
terdapat dalam Alkitab, maka penyusun memilih perikop ini untuk menjadi bahan kajian dalam
penyusunan skripsi ini.7 Tentunya dalam pengkajian teks ini penyusun berusaha untuk
menggunakan salah satu metode penafsiran yang paling tepat, untuk dapat ‘mengeluarkan’ pesan
yang sebenarnya dari teks tersebut.
2.
Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan dalam penyusunan skripsi ini adalah teks Alkitab yang akan penyusun tafsir
yang mengandung ‘keganjilan’ seperti yang telah penyusun jelaskan dalam latar belakang
permasalahan.
cepat, “Cau ne eas!” terdengar sebagai “Cauneas!” [A.Gianto, “Antara Buah Ara dan Tafsiran Wacana”, Basis No.
11-12 (November-Desember 2002), p. 16]
Berdasarkan tulisan tersebut, kita dapat melihat terjadinya kegagalan penyampaian informasi oleh karena kesalahan
penafsiran. Cerita di atas menunjukkan bahwa bukan hanya dalam rangka membaca Alkitab saja manusia membutuhkan
penafsiran, tetapi juga daam komunikasi sehari-hari. Penafsiran yang diperlukan dalam komunikasi pun haruslah sebuah
penafsiran yang baik dan benar, agar tidak terjadi kesalahan penerimaan informasi. Dalam penafsiran Alkitab, tentunya
penafsiran yang baik dan benar sangatlah penting, jika tidak, bukan tidak mungkin hal seperti yang dialami oleh Casius
juga dialami oleh para pembaca teks Alkitab.
7
Dalam perkembangannya kemudian, penyusun memutuskan untuk membahas juga teks-teks berikutnya yang masih
satu rangkaian peristiwa dengan teks tersebut, teks yang kemudian dibahas dalam Markus 11:12-26.
4
Markus 11 : 12-26 memuat sebuah kisah yang menjadi salah satu bagian yang sulit untuk dipahami
dalam Perjanjian Baru. Bagian yang membuat ayat-ayat ini sulit untuk dipahami adalah ayat yang
ke 12-14, ayat-ayat berikutnya mempunyai tujuan pengajaran yang lebih jelas. Markus 11:12-14
merupakan sebuah cerita yang bersambung dengan Markus 11:20-26, namun di tengah-tengahnya
diselingi oleh peristiwa Yesus menyucikan Bait Allah. Peletakan kisah penyucian Bait Allah di
tengah-tengah kisah peringatan terhadap pohon ara tentunya memiliki tujuan tersendiri (dalam hal
ini yang bebas meletakkan kisah tersebut di mana saja dengan tujuan tertentu adalah sang penulis
kitab).
Dalam Matius (Injil yang memuat kisah pengutukan ini selain Markus hanyalah Matius) kisah
pengutukan pohon ara diletakkan setelah kisah penyucian Bait Allah, sehingga kisah pengutukan
pohon ara tidak terpotong di tengah-tengah, dan pesannya menjadi jelas. 8 Kisah pengutukan pohon
ara dalam Injil Matius tidak menjadi sebuah kisah yang mengundang pertanyaan bagi pembacanya
karena penulis Injil Matius tidak menuliskan kalimat “karena bukan musim buah ara”.
Sebelum penyusun menuliskan lebih jauh mengenai pokok permasalahan yang ingin dibahas dalam
penyusunan skripsi ini, penyusun ingin membandingkan tafsiran dari tiga orang penafsir. Berikut
adalah ringkasan dari penafsiran tiga orang tokoh, yaitu William Hendriksen, Edward Schweizer,
dan Ian J. Cairns atas Markus 11:12-26.
Tokoh yang pertama adalah William Hendriksen. Hendriksen dalam bukunya New Testament
Commentary – The Gospel Of Mark, memuat 4 pokok bahasan dalam menafsir Markus 11:12-14,
dan 11:20-26. Keempat bahasan tersebut adalah demikian:
a. Tidak adanya buah ara mengundang kutukan.(11:12-14)
b. Iman menentukan hasil atau jawaban dari doa kita. (11:20-23)
c. Iman memunculkan pengharapan, hal ini dengan tegas termuat dalam janji Tuhan. (11:24)
8
Schweizer dalam bukunya The Good News According to Mark mengatakan bahwa apabila dilihat secara historis,
sangat sulit untuk menyatukan kedua kisah tersebut, yaitu antara pengutukan pohon ara dengan kemarahan Yesus di
Bait Allah. Schweizer setuju bahwa kronologis kedua peristiwa itu dalam Injil Matius lebih jelas daripada kronologis
dalam Injil Markus, namun demikian, menurutnya setiap Injil mempunyai maksud tertentu dari setiap apa yang mereka
tulis. Setiap kejadian, walaupun kisahnya sama (terutama dalam Injil Sinoptik) pasti ada perbedaan di dalamnya, karena
setiap penulis Injil mempunyai inti penekanan yang berbeda dalam setiap peristiwa.[ Edward Schweizer, The Good
News According to Mark, (London : S.P.C.K, 1971), p. 14.]
5
d. Perikop tersebut ditutup dengan ajaran tentang kasih dalam hal kemauan untuk mengampuni.
(11:25)
Sedangkan untuk Markus 11: 15-19, Hendriksen juga merangkum pembahasannya menjadi empat
bagian, yaitu :
a. Yesus menghukum degradasi yang terjadi di Bait Allah, dan dengan tegas meminta
penghormatan akan Bait Allah.
b. Yesus menegur penipuan yang dalam hal ini secara khusus berkaitan dengan pemerasan
“keagamaan”, dan Ia menuntut kejujuran.
c. Yesus tidak menyetujui sikap acuh dari orang Israel kepada mereka yang ingin beribadah
kepada Allah dalam Roh dan kebenaran. Dengan menyatakan bahwa Bait Allah harus menjadi
rumah doa bagi semua bangsa, Yesus sekaligus juga mengesahkan Misi Kristen yang
sebenarnya.
d. Dengan melakukan aksi penyucian Bait Allah, Yesus ingin memuliakan rumah Bapa-Nya.
Dalam penjelasannya, Hendriksen mengatakan bahwa daun-daun pohon ara pada kenyataannya
muncul sebagai tanda bahwa buah ara muda sudah mulai tumbuh. Oleh karena itu Hendriksen
menafsirkan bahwa pohon ara tersebut adalah simbol dari seseorang/sesuatu yang menjanjikan
banyak, tetapi tidak menghasilkan apa-apa.
Berkenaan dengan kisah penyucian Bait Allah, Hendriksen mengatakan bahwa kemarahan Yesus
adalah karena peribadatan kepada Tuhan telah dijadikan bisnis oleh orang-orang Israel, terlebih lagi
hal tersebut dibiarkan bahkan disetujui oleh Imam-Imam kepala. Bisnis yang terjadi di sini pun
bukan bisnis yang bersih, para penukar uang yang ada di Bait Allah melakukan penipuan terhadap
para peziarah yang datang dan ingin menukar uang guna membayar pajak di Bait Allah. Bahkan
kurban-kurban persembahan dijual dengan harga yang mahal. Aksi Yesus pada saat itu
menunjukkan bahwa Yesus berlaku sebagai Tuhan atas Bait Allah.
Kisah penyucian Bait Allah yang diletakkan di tengah kisah pengutukan pohon ara menurut
Hendriksen memuat maksud tertentu dari penulis Injil Markus untuk membuktikan bahwa maksud
dari aksi pengutukan pohon ara oleh Yesus ada kaitannya dengan peristiwa penyucian Bait Allah.
Dalam dua aksiNya, Yesus mau menunjukkan sebuah prediksi akan terjadinya keruntuhan Israel
6
akibat dari sikap hidup mereka yang sama sekali tidak menunjukkan buah-buah keimanan mereka.
Dalam hal ini kedua aksi Yesus tersebut dipandang sebagai tindakan prophetis.
Ketika Yesus menyampaikan nasihatnya tentang doa dengan
menggunakan perumpamaan
memerintahkan gunung untuk mencampakkan dirinya ke dalam laut, maksudnya adalah bahwa
tidak ada yang mustahil di dalam Tuhan untuk dilakukan bagi setiap orang yang benar-benar
percaya dan tidak ragu. Ketidakragu-raguan, dan kepercayaan itulah yang digambarkan sebagai
iman oleh Markus. Kemudian ayat 25 ditafsirkan Hendriksen sebagai ajaran tentang kasih, jadi
selain dengan iman, ketika berdoa manusia juga harus memiliki kasih dalam hatinya, kasih yang
mau mengampuni orang lain.9
Tokoh kedua, yaitu Edward Schweizer mengatakan bahwa kisah penyucian Bait Allah ditulis oleh
Markus setelah Yesus mengutuk pohon ara untuk menunjukkan bahwa pada saat Yesus
mengucapkan kutukanNya, Ia sedang memikirkan bangsa Israel. Menurutnya, Markus telah dengan
tepat menginterpretasikan maksud dari aksi Yesus di Bait Allah sebagai simbol yang menandakan
musnahnya Bait Allah yang lama (Bait Allah yang dipakai unuk berjualan dan bisnis lainnya).
Posisi Markus menurut Schweizer sama dengan Paulus, Markus menganggap bahwa salib sebagai
akhir dari Hukum Taurat dan awal mula dari kehidupan yang berdasarkan anugerah dan diberikan
kepada semua bangsa. Hal tersebut dikatakan karena menurut Schweizer, Hukum Taurat telah
membuat bangsa Israel merasa eksklusif (merasa menjadi bangsa yang diistimewakan oleh Tuhan) ,
padahal semua orang bisa mendekati Tuhan melalui doa. Markus juga memakai kisah pengutukan
pohon ara sebagai tanda atau simbol dari penghakiman Tuhan yang akan mengakhiri pemisahan
(antara orang Israel dengan orang yang bukan Israel) yang terjadi di Bait Allah (di Bait Allah secara
khusus, dan dalam kehidupan religi mereka sehari-hari secara umum).
Menurut Schweizer, Markus menempatkan peristiwa pengutukan pohon ara satu mata rantai dengan
kisah penyucian Bait Allah, karena Markus ingin mengkaitkan ayat 23-25 dengan rumah doa bagi
segala bangsa yang disinggung dalam perikop penyucian Bait Allah. Ayat 23-25 sendiri berfungsi
9
William Hendriksen, New Testament Commentary – The Gospel of Mark, (Michigan : Baker Book House, Grand
Rapids, 1989), p. 440-463.
7
sebagai ilustrasi yang mengekspresikan “rumah doa”, dalam hal ini Markus sejalan dengan 1
Korintus 13:2 yaitu lebih menekankan iman yang diungkapkan dengan kasih, daripada iman dengan
sebuah keajaiban yang bisa terjadi oleh karenanya.
Pada akhirnya, Schweizer menyimpulkan bahwa menurut Markus, arti kemarahan Yesus adalah
penekanan yang tegas bahwa dalam aksinya, Yesus telah menunjukkan sebuah perubahan yang
besar dan sangat penting dari Bait Allah yang tadinya hanya terbuka bagi orang Israel, menjadi Bait
Allah yang terbuka bagi setiap bangsa.10
Tokoh yang ketiga dan terakhir adalah Ian J. Cairns. Jelas bagi Cairns bahwa kisah pengutukan
pohon ara merupakan simbol dari penghapusan Bait Allah (Bait Allah yang dimaksud di sini adalah
Bait Allah yang hanya terbuka bagi orang Israel). Jadi ia menyimpulkan bahwa pohon ara yang
tidak berbuah adalah parabel dari Bait Allah dimana kedua-duanya memiliki kesamaan, yaitu samasama tidak berbuah, dan sama-sama mendapat hukuman.
Menurut Cairns, kata-kata “bukan musim buah ara” hampir tidak dijadikan bahasan yang penting
oleh Markus, ia berpendapat bahwa kata-kata tersebut lebih baik diterjemahkan sebagai “bukan
waktu yang tepat bagi buah ara untuk tumbuh”. Kemarahan Yesus karena Ia tidak menemukan buah
ara, tidak lagi difokuskan kepada pohon ara, tapi lebih kepada orang-orang yang tidak berperasaan
yang telah memanipulasi pasar di Bait Allah, dan orang-orang tersebut adalah para pemimpin Bait
Allah itu sendiri. Menurut Cairns, baik secara langsung maupun tidak langsung, para pemimpin Bait
Allah telah mempengaruhi atau bahkan menjadi penyebab dari kondisi perekomian rakyat yang
memprihatinkan. Oleh karena itu, ketika Yesus mengatakan bahwa tidak akan ada lagi seorangpun
yang akan makan buah dari pohon ara tersebut, secara simbolik Yesus menghakimi para pemimpin
Bait Allah, Ia ingin mengatakan bahwa masa kekuasaan mereka sudah berakhir.
Cairns berpendapat bahwa dalam peristiwa penyucian Bait Allah, Markus bukan ingin
menunjukkan bahwa Yesus bertujuan untuk memperbaharui Bait Allah, namun bahwa Yesus adalah
benar-benar ingin mengakhiri Bait Allah. Mengapa harus diakhiri? Karena yang salah adalah
keseluruhan sistemnya, oleh karena itu Bait Allah harus diakhiri seluruhnya, hal tersebut juga yang
10
Edward Schweizer, The Good News According to Mark, (London : S.P.C.K, 1971), p. 229-236.
8
menyebabkan kemarahan Yesus – ketika peristiwa penyucian Bait Allah – yang ditujukan tidak
hanya kepada para penjual, tetapi juga untuk para pembeli yang pada kenyataannya tidak bersalah.
Kesalahan lain yang juga dilakukan oleh pemimpin Bait Allah adalah mereka beserta dengan para
penukar uang telah mempersulit para peziarah yang non-Israel untuk beribadah kepada Allah,
padahal seharusnya Bait Allah terbuka bagi setiap orang.
Menurut Cairns, gunung dalam ayat ke-23 merupakan sindiran kepada Bait Allah. Seperti gunung
yang dicampakkan ke dalam laut, demikian juga Bait Allah “dibersihkan” oleh Yesus.
Tercampaknya gunung ke dalam laut menyatakan sebuah guncangan yang besar, begitu juga
peristiwa penyucian Bait Allah adalah sebuah peristiwa besar dan penting yang dimaksudkan Yesus
untuk memberi pelajaran kepada para muridNya untuk tidak gentar menyatakan visi-visi mereka di
kemudian hari.
Mengenai iman, Cairns beranggapan bahwa dalam iman, terdapat juga kemauan untuk menerima
konsekuensi yang tak terduga dari langkah iman kita. Ketika Yesus berkata “Jangan lagi
seorangpun makan buahmu selama-lamanya!” secara tak terduga yang terjadi adalah pohon ara itu
menjadi kering, dengan cara yang sama pula, Yesus menyatakan aksi imannya secara simbolik
dengan menyucikan Bait Allah, dan konsekuesinya adalah kehancuran Bait Allah. Menurut Cairns,
Markus yang ditulis sekitar tahun 70 ingin mengatakan kepada generasi yang membacanya bahwa
penyucian Bait Allah ini merupakan sebuah pesan yang harus digenapi sebagai bagian dari
penetapan Kerajaan Allah. Mengenai pengampunan, berkaitan dengan penggenapan Kerajaan
Allah, Cairns menafsirkan bahwa umat Tuhan yang menaruh harapannya akan Kerajaan Allah harus
memiliki hati sikap mau mengampuni dan sikap toleransi kepada siapapun, termasuk orang-orang
yang membenci mereka.11
Berdasarkan ringkasan penafsiran dari para tokoh di atas, penyusun dapat menyimpulkan bahwa
yang menjadi permasalahan dari perikop ini adalah : pengertian dari pengutukan pohon ara,
pengertian dari penyucian Bait Allah, pengertian tentang iman dan kemauan untuk mengampuni ,
serta pembahasan tentang parabel gunung yang tercampak ke lautan. Beberapa topik tersebut
menjadi permasalahan menurut penyusun karena ketika menafsirkannya, para tokoh tafsir
11
Ian J. Cairns, Mark Of a Non-Realist, (New Zealand : Fraser Books, 2004), p.177-182.
9
mempunyai pendapat yang kebanyakan berbeda-beda. Satu hal yang membuat penulis tidak puas
adalah perkataan “bukan musim buah ara” yang ada dalam kisah pengutukan pohon ara tidak
mendapatkan perhatian khusus dari ketiga penafsir.
3.
Hipotesis Terhadap Markus 11:12-26
Untuk mendapatkan hipotesa yang berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan yang telah
penyusun sebutkan di bagian sebelumnya, penyusun akan melakukan hipotesa terhadap Markus
11:12-26, dengan pokok bahasan sesuai dengan pokok-pokok permasalahan di atas.
3.1.
Arti dari Pengutukan Pohon Ara
Dari ketiga penafsir, Hendriksen mempunyai pendapat yang paling berbeda mengenai peristiwa
pengutukan pohon ara. Schweizer dan Cairns sama-sama menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut
merupakan simbol penghapusan ataupun kehancuran Bait Allah, sedangkan Hendriksen sama sekali
tidak menyebutkan tentang peristiwa di Bait Allah, Hendriksen hanya berpendapat bahwa pohon ara
yang tidak berbuah merupakan simbol dari sesuatu yang menjanjikan banyak, namun tidak
menghasilkan apa-apa. Menurut penyusun, Hendriksen sangat teliti untuk tidak dengan cepat
menyimpulkan bahwa pohon ara yang dikutuk oleh Yesus adalah lambang dari bangsa Israel yang
tidak menunjukkan buah-buah keimanan mereka. Hendriksen cenderung melihat kisah ini sebagai
satu kesatuan yang utuh terlebih dahulu, baru kemudian ia menarik kesimpulan bahwa pohon ara
yang dikutuk oleh Yesus adalah sebagai simbol dari kehidupan bangsa Israel setelah ia melakukan
telaah antarteks. Beberapa tokoh lain yang menafsir perikop ini, telah dengan cepat mengambil
keputusan bahwa pohon ara itu adalah simbol dari bangsa Israel jauh sebelum mereka mulai
menafsirkan ayat-ayat yang terkemudian.12
Tentang pokok bahasan ini, sebagai dugaan awal penyusun, penyusun lebih setuju pada pendapat
Hendriksen bahwa kisah ini merupakan simbol penghukuman terhadap pohon ara, sedangkan
12
Lihat Sherman E. Johnson, A Commentary on the Gospel According to St. Mark, dalam Barret, C.K, Black’s New
Testament Commentaries, Vol 2, (London : A&C Black, 1971), p. 188. ,Sherman mengatakan bahwa kisah pengutukan
pohon ara adalah satu-satunya kisah kutukan yang Yesus lakukan dalam Perjanjian Baru, dan apa yang Yesus perbuat
sangat bertolak belakang dengan karakter Yesus sendiri. Oleh karena itu penjelasan yang paling sederhana untuk itu
hanyalah dengan mengatakan bahwa kisah ajaib tentang pohon ara yang tidak berbuah itu adalah simbol dari penolakan
Yesus terhadap bangsa Israel, atau atas Para Imam.
10
pohon ara adalah simbol dari sesuatu – yang entah itu siapa atau apa – yang menjanjikan untuk
memberi namun pada kenyataannya tidak dapat memberikan apa-apa.
3.2.
Arti dari Aksi atau Kemarahan Yesus di Bait Allah
Pendapat Hendriksen tentang aksi Yesus masih konsisten dengan apa yang telah ia katakan tentang
pengutukan pohon ara, ia berpendapat bahwa keduanya merupakan ramalan akan keruntuhan
bangsa Israel di hari yang akan datang oleh karena sikap hidup mereka. Mengenai pokok bahasan
ini, justru Cairns dan Schweizer memiliki pendapat yang bertentangan. Menurut Schweizer
peristiwa ini ingin menegaskan tentang keharusan terjadinya sebuah perubahan yang besar dan
penting dalam Bait Allah, sedangkan menurut Cairns, aksi Yesus ini sama sekali ingin
menghapuskan Bait Allah secara keseluruhan, bukan memperbaharui.
Berkaitan dengan kemarahan Yesus di Bait Allah, hanya Cairns dan Hendriksen saja yang
mengemukakan penyebab dari kemarahan Yesus, sedangkan Schweizer tidak sama sekali.
Penyebab yang dikemukakan oleh keduanya adalah sama yaitu tentang peribadatan yang telah
dijadikan bisnis yang kotor, dan menjadi penghalang bagi bangsa lain untuk beribadah kepada
Allah. Meskipun sama, namun Cairns lebih detail dalam melakukan penafsiran, ia lebih mengupas
sisi kehidupan perekonomian bangsa Israel. Cairns juga mengkritik para pemimpin Bait Allah yang
menurut dirinya telah menjadi penyebab kemunduran kehidupan perekonomian bangsa Israel.
Menurut penyusun, dalam hal ini ketiga penafsir mempunyai kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Hendriksen memiliki kekonsistenan ketika menafsir, namun dalam penafsirannya ia kurang
mengarah atau membahas tentang arti penyucian Bait Allah bagi Bait Allah itu sendiri. Penafsiran
dari Cairns mungkin terlihat terlalu ekstrim dengan mengatakan bahwa penyucian Bait Allah bukan
berarti pembaharuan, namun penghapusan sama sekali. Namun demikian, di sisi lain, Cairns
membahas lebih dalam tentang perekonomian bangsa Israel yang tergambar dalam situasi di Bait
Allah saat itu.
Penyusun ingin memberi apresiasi lebih kepada Schweizer, karena dalam pembahasan lengkap
tentang penafsirannya Schweizer dengan cerdas mengkaitkan pembaharuan Bait Allah dengan arti
11
penyaliban Yesus.13 Schweizer juga menekankan tentang keeksklusifan bangsa Israel, yang justru
menjadi kata kunci untuk melangkah pada penafsiran berikutnya tentang rumah doa bagi semua
bangsa.
Pendapat penyusun sendiri mengenai peristiwa penyucian Bait Allah ini mungkin secara garis besar
hampir sama dengan ketiga penafsir tersebut. Peristiwa ini menurut penyusun adalah sebuah kritik
keras dari Yesus kepada para imam yang memperbolehkan terjadinya transaksi jual beli di Bait
Allah. Seperti dikatakan oleh Cairns, kesalahan utama memang terletak pada Imam-Imam kepala.
Sedangkan mengenai tujuan penyucian Bait Allah, penyusun lebih setuju dengan pendapat
Schweizer bahwa peristiwa itu bertujuan untuk merubah Bait Allah yang lama, menjadi “rumah
doa” bagi segala bangsa, yang di dalamnya tidak terjadi praktik jual-beli, kecurangan ekonomi, dan
sikap menghalang-halangi orang untuk beribadah kepada Allah.
3.3.
Arti Iman dan Kemauan untuk Mengampuni
Secara sederhana Hendriksen menggambarkan iman dengan sikap yang tidak ragu terhadap Tuhan,
dan tentang kemauan untuk mengampuni menurut Hendriksen itu adalah satu unsur lagi yang harus
ada dalam doa selain iman, yaitu kasih yang mengampuni. Schweizer justru mengatakan bahwa
kasih merupakan bagian dari iman itu sendiri. Schweizer lebih menekankan iman yang diungkapkan
dengan kasih, daripada iman yang dapat menyebabkan terjadinya sebuah keajaiban. Jauh berbeda
dari kedua penafsir tersebut, Cairns justru lebih menekankan konsekuensi dari langkah iman yang
manusia ambil, entah itu konsekuensi negatif maupun positif. Sedangkan kasih yang mengampuni
justru ia kaitkan dengan peristiwa penyucian Bait Allah. Peristiwa itu menurut Cairns merupakan
penggenapan untuk penetapan Kerajaan Allah, dan pengampunan itu sendiri menurut Cairns harus
didapati dalam diri setiap manusia yang mengharapkan Kerajaan Allah. Cairns sama sekali tidak
menyoroti keterkaitan antara iman dengan doa. Bagi Cairns, iman bukan hanya dinyatakan dalam
doa, tapi juga dalam setiap tindakan manusia.
Penyusun sendiri lebih melihat iman dalam perikop ini sebagai keyakinan awal dari segala tindakan
dan ucapan, dalam Markus 11:23-24 dikatakan bahwa ketika kita mengatakan sesuatu, maka kita
harus terlebih dahulu percaya dalam hati kita, kemudian juga ketika kita meminta sesuatu, kita
13
Lihat p. 7, alinea ketiga.
12
harus percaya bahwa kita telah menerimanya, maka kita akan diberikan. Iman di sini bisa dikatakan
sebuah jaminan dari Tuhan. Oleh karena itu, penyusun setuju dengan Cairns, bahwa iman di sini
tidak hanya berlaku dalam doa namun dalam setiap tindakan, ucapan maupun pemikiran.
Markus 11:25 mengatakan apabila kita mau berdoa kita harus mengampuni kesalahan orang lain
kepada kita, supaya Tuhan juga mengampuni kesalahan kita. Ayat tersebut di atas menurut
penyusun adalah sebuah peringatan halus dari Tuhan atau bisa dibilang semacam sindiran, karena
seringkali ketika manusia berdoa, manusia hanya meminta saja, namun tidak memandang kembali
pada dirinya sendiri apakah ia layak untuk meminta kepada Tuhan, mengingat begitu banyak
kesalahan yang dilakukan manusia terhadap Allah. Ketika Yesus mengatakan seperti tertulis dalam
ayat 25, yang penyusun tangkap adalah pesan bahwa Yesus ingin manusia ingat bahwa sebelum ia
meminta kepada Tuhan, maka ia harus meminta ampun dosa terlebih dahulu terhadap Tuhan.
Dengan demikian, isi dari doa tidak melulu permintaan manusia, tapi juga berisi pernyataan bahwa
manusia mau hidup dengan lebih baik lagi di hadapan Tuhan. Di sisi lain, ayat ini juga berisi
pengajaran bahwa manusia harus mau mengampuni siapa saja yang bersalah kepadanya. Sikap mau
mengampuni bukan supaya Tuhan mengampuni manusia, tetapi karena pengampunan dari Tuhan
telah terlebih dulu diberikan kepada manusia.
3.4.
Parabel Gunung yang Tercampak ke Dalam Laut
Hendriksen menafsirkan parabel ini sebagai gambaran iman, bahwa dalam Tuhan segala sesuatu
akan menjadi mungkin apabila manusia tidak ragu. Jadi, Hendriksen lebih melihat keterkaitan
antara parabel gunung ini dengan parabel pengutukan pohon ara. Lain halnya dengan Schweizer, ia
menafsirkan parabel ini dan dua ayat selanjutnya sebagai ekspresi dari “rumah doa”, jadi ia lebih
mengkaitkan dengan peristiwa penyucian Bait Allah. Cairns juga mengkaitkan parabel ini dengan
peristiwa penyucian Bait Allah, baginya parabel ini merupakan sindiran kepada Bait Allah.
Tercampaknya gunung ke dalam laut sama halnya dengan dibersihkannya Bait Allah. Selangkah
lebih maju dari dua penafsir lainnya, Cairns mengatakan bahwa parabel ini adalah sebuah ilustrasi
pembelajaran bagi murid-murid Yesus agar mereka tidak menjadi gentar dalam menghadapi
guncangan apa pun ketika mereka menyatakan visi-visi mereka ke depan.
Bagi penyusun, penafsiran Hendriksen mengenai topik ini kurang mendalam. Penafsiran Cairns
adalah penafsiran yang paling dapat dilihat kesinambungannya, kesamaan antara parabel
13
pencampakkan gunung ke dalam laut dengan penyucian Bait Allah yang diungkapkannya memberi
penjelasan yang lebih mendalam dari teks tersebut. Sedangkan mengenai pendapat Schweizer,
penyusun kurang dapat mengerti dengan maksud dari ‘ekspresi rumah doa’ yang ia katakan
tercermin dalam ayat 23-25.
Penyusun sendiri kurang setuju dengan digunakannya parabel ini dalam bagian nasehat tentang doa
karena menurut penyusun parabel ini mempunyai nada negatif. Sebetulnya masih bisa diterima
kalau saja parabel ini masih berada dalam kerangka pengajaran Yesus di Bait Allah, namun karena
Yesus mengemukakan parabel ini setelah Petrus berseru tentang pohon ara yang menjadi kering,
maka dapat disimpulkan bahwa Yesus ingin menyampaikan sesuatu berkaitan dengan apa yang
telah ia lakukan terhadap pohon ara yang menjadi kering itu, dan sesuatu yang berkaitan itu adalah
pengajaran tentang cara kita berdoa di dalam Tuhan. Dikarenakan kesimpulan tadi, maka menurut
penyusun ketika parabel ini digunakan di dalamnya, pengajaran Yesus tidak lagi menjadi sebuah
pengajaran yang sempurna, karena di dalamnya Ia mengajarkan sesuatu yang terkesan bertindak
semena-mena. Maksud penyusun dengan semena-mena adalah perlakuan terhadap gunung dalam
parabel dicampakkannya gunung ke dalam laut.
3.5.
Kontradiksi Antara Hal-hal yang Dilakukan Yesus dengan Ajaran Kemauan untuk
Mengampuni
Satu hal yang menjadi pertanyaan penyusun adalah letak pengajaran tentang pengampunan yang
dimasukkan bersama dengan cerita pengutukan pohon ara dan penyucian Bait Allah. Apabila Tuhan
mengajarkan manusia untuk mengampuni, secara logika itu berarti bahwa Tuhan juga mau
mengampuni. Namun dalam perikop-perikop sebelumnya, semua aksi yang Yesus lakukan adalah
sebuah bentuk dari sikap yang tidak mau mengampuni. Sehingga sebetulnya ada sebuah kontradiksi
disini.
Jika saja Yesus mau mengampuni, maka Ia tidak akan mengutuk pohon tersebut. Apabila Yesus
mau mengampuni, Yesus tidak akan menumpahkan amarahnya di Bait Allah. Dengan demikian
untuk sementara penyusun menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Yesus bertentangan
dengan ajaran-Nya sendiri tentang pengampunan.
14
3.6.
Kesimpulan
Berdasarkan lima pembahasan di atas, penyusun akan mencoba untuk membuat sebuah hipotesa
yang mencakup kesimpulan awal dari tiap pokok bahasan di atas.
Penyusun berpendapat bahwa pengutukan pohon ara merupakan simbol penghukuman atas sesuatu
(entah itu siapa atau apa) yang menjanjikan memberi banyak tetapi tidak memberikan apa-apa.
Dalam kemarahan-Nya di Bait Allah, menurut penyusun, Yesus mencoba untuk mengkritik para
imam di Bait Allah yang telah memperbolehkan orang berjual-beli di Bait Allah. Tujuan dari
kritikan tersebut adalah untuk mengubah Bait Allah yang lama menjadi Bait Allah baru yaitu rumah
doa bagi segala bangsa, yang di dalamnya tidak terjadi praktik jual-beli, kecurangan ekonomi, dan
sikap menghalang-halangi orang untuk beribadah kepada Allah.
Dalam rangkaian kisah pengutukan pohon ara dan penyucian Bait Allah, penulis Markus juga
meletakkan ajaran tentang iman dan kemauan untuk mengampuni. Berdasarkan pembahasan yang
telah penyusun lakukan sebelumnya, Iman dapat disimpulkan sebagai sebuah keyakinan awal dalam
segala tindakan dan ucapan. Dengan adanya iman, segala tindakan, ucapan, dan pikiran atau
keinginan manusia dijamin oleh Tuhan. Dengan demikian iman tidak hanya harus ada dalam doa
manusia, tetapi juga harus terlihat nyata dalam tindakan, ucapan, dan pikiran manusia.
Dalam pengajarannya tentang iman, Yesus menggunakan parabel gunung yang tercampak ke dalam
lautan. Menurut hemat penyusun, parabel ini tidak seharusnya diletakkan dalam rangkaian ajaran
tentang iman. Pencampakkan gunung ke dalam lautan bukanlah sesuatu yang baik, karena laut
bukanlah tempat seharusnya gunung berada. Dengan mengatakan bahwa iman dapat melakukan itu,
berarti secara tidak langsung Yesus mengajarkan bahwa iman dapat digunakan untuk melakukan
sesuatu hal yang semena-mena terhadap pihak lain.
Pada bagian akhir pengajarannya, Yesus mengajarkan bahwa manusia harus mengampuni keslahan
orang lain sebelum berdoa menghadap Tuhan supaya Bapa di sorga juga mengampuni kesalahan
manusia. Bagi penyusun, bagian tersebut merupakan sebuah sindiran kepada manusia agar manusia
tersadar bahwa dirinya mempunyai kesalahan dan patut untuk memohon ampun kepada Bapa di
sorga ketika manusia berdoa. Dengan demikian perintah untuk mengampuni orang lain, seharusnya
15
diartikan sebagai perintah untuk meneladani kasih Allah yang telah mengampuni dosa-dosa
manusia. Dengan demikian, di dalam doa, tidak hanya melulu berisi tentang permohonan manusia,
tetapi juga permohonan ampun atas kesalahan dan dosa manusia.
Dari semua rangkaian peristiwa dan pengajaran tersebut di atas, bagi penyusun ada hal yang tidak
selaras. Rangkaian peristiwa dan pengajaran tersebut berisi tentang teori dan praktik. Di satu sisi
secara teori Yesus mengajarkan kepada manusia untuk beriman dan mau mengampuni orang lain.
Tetapi di sisi lain dalam praktiknya, Yesus memberikan penghukuman terhadap pohon ara dan
orang-orang di Bait Allah sebagai bentuk dari keengganan-Nya mengampuni pihak-pihak terkait.
Menurut penyusun, kekontrasan tersebut pada akhirnya menggambarkan Yesus sebagai sosok yang
gagal menyampaikan ajaran-Nya sendiri melalui bentuk tindakan secara real.
4.
Metode Penulisan dan Metode Penafsiran
Dalam penulisan skripsi ini, penyusun akan melakukan pendekatan literer dengan menggunakan
metode hermeneutik semiotika.
Metode semiotika yang sedang berkembang sekarang ini adalah semiotika yang dicetuskan oleh dua
orang tokoh. Yang pertama Ferdinand de Saussure yang adalah seorang ahli bahasa, dan yang kedua
yaitu Charles Sanders Peirce yang adalah seorang ahli filsafat dan logika.14
Semiotika dilihat dari dua orang tokoh besarnya yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders
Peirce, sebenarnya merupakan produk dari studi bahasa dan penelitian, namun semiotika dapat
diterapkan dalam setiap bidang ilmu pengetahuan, dan salah satunya adalah dalam bidang
penafsiran Alkitab. Dewasa ini, semiotika sangat berkembang dalam bidang kajian budaya dan
kesusastraan.
Semiotika sebagai teori dapat didefinisikan sebagai studi sistematis mengenai produksi dan
interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, dan manfaatnya terhadap kehidupan manusia.15
14
Sumardi Suryadibrata, Metode Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), p. 98.
16
Meskipun semiotika termasuk sebuah teori untuk menginterpretasikan sebuah tanda, namun bukan
hanya para ilmuwan saja yang dapat menggunakan teori semiotika, melainkan setiap manusia.
Menurut Aart van Zoest, manusia adalah homo semioticus.16 Manusia – seperti telah dikatakan
sebelumnya – selalu melakukan komunikasi dalam kehidupannya, sedangkan komunikasi dapat
terjadi melalui perantaraan isyarat, yang salah satu bentuknya adalah tanda, dan tanda merupakan
kajian teori semiotika17, oleh karena itu, manusia merupakan homo semioticus.
Dalam penafsiran Alkitab, Groenen mengkategorikan teori semiotika ini sebagai hermeneutika
terbaru, 18 meskipun dalam Semeia No. 81 yang terbit pada tahun 1998, dikatakan bahwa semiotika
dalam ranah kajian alkitabiah telah ada selama kurang lebih 30 tahun.19
Berkenaan dengan
semiotika dalam kajian Alkitab, Jean Delorme dalam artikelnya yang berjudul Orientations of a
Literary Semiotics Questioned by the Bible menuliskan bahwa seringkali terjadi dua jenis kesalahan
dalam pembacaan Alkitab. 20 Pertama pembacaan secara ilmiah, dan yang kedua adalah pembacaan
secara ‘naif’. Pembacaan ilmiah terhadap teks Alkitab tentunya dilakukan oleh para teolog atau para
mahasiswa teologi. Sedangkan pembacaan ‘naif’ terhadap teks Alkitab dilakukan oleh pembaca
awam.
Dalam pembacaan ilmiah, seringkali pembacanya mengikutsertakan semua unsur historis, sosiologi,
filosofi, teologi, dll, yang terkait dengan tujuannya dalam pembacaan atau penafsiran teks tersebut
(disesuaikan dengan tema penafsiran para pembacanya). Hal ini menyebabkan adanya pembatasan
terhadap kemungkinan-kemungkinan penafsiran lain yang bisa saja muncul dari teks tersebut.
15
Nyoman K. Ratna S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme,
Perspektif Wacana Naratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2., 2006), p. 97.
16
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003), p. 13.
17
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003), p. 15.
18
Cletus Groenen, Linguistik Dalam Bereksegese, dalam Misi Orientasi Baru?, Orientasi Baru Pustaka Filsafat dan
Teologi No:6.,Tahun 1992, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), p.149-165.
19
Semeia No.81, Thinking in Signs: Semiotics and Biblical Studies…Thirty Years After, (ed: Daniel Patte, Atlanta:
Scholars Press, 1998).
20
Jean Delorme, Orientations of a Literary Semiotics Questioned by the Bible, dalam Semeia No.81, Thinking in Signs:
Semiotics and Biblical Studies…Thirty Years After, (ed. Daniel Patte, Atlanta: Scholars Press, 1998), p.53.
17
Dalam pembacaan ‘naif’, seringkali para pembaca tidak memahami bagian-bagian tertentu dalam
teks Alkitab. Contohnya saja dalam teks yang telah penyusun pilih, markus 11:12-26, pembaca
‘naif’ akan melihat bahwa tindakan Yesus terhadap pohon ara adalah tidak adil. Pembacaan yang
demikian ‘naif’nya tanpa pendampingan dan tanpa pembekalan pengetahuan teologi ini
menyebaban para pembaca ‘naif’ tidak dapat memahami teks secara benar.
Menurut Jean Delorme, semiotika dalam hal ini merupakan metode yang tepat dan terbuka terhadap
segala kemungkinan penafsiran dari teks yang ditafsirkan. Dengan penafsiran secara semiotika,
Jean Delorme mengatakan bahwa pembaca dibantu untuk dapat memahami teks-teks Alkitab, dan
kecurigaan (dari pembaca ‘naif’) juga keingintahuan ilmiah (dari pembaca ilmiah), diharapkan
berubah menjadi kemauan untuk lebih ‘mendengar’ teks.
Alasan tersebut di atas membuat penyusun lebih memilih menggunakan metode tafsir semiotika.
Selain itu, Daniel Patte mengatakan bahwa semiotika sebagai salah satu metode pengkajian Alkitab
dapat digabungkan dengan berbagai metode penafsiran yang lain.21 Oleh karena itu, metode
semiotika adalah teori yang terbuka terhadap semua metode penafsiran. Maka dari itu, penyusun
berharap dengan menggunakan metode kajian semiotika, penyusun dapat membuka segala
kemungkinan penafsiran terhadap teks Markus 11:12-26.
Demikianlah alasan mengapa penyusun memilih teori semiotika sebagai metode penyusun untuk
menafsirkan teks yang terambil dari Markus 11:12-26. Mengenai metode tafsir semiotika sendiri
akan penyusun bahas lebih lanjut dalam bab II.
5.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan terdahulu, maka tujuan dari penulisan
skripsi ini adalah :
a.
Memperoleh penafsiran yang jelas dari Markus 11:12-26, berdasarkan metode tafsir
semiotika.
21
Daniel Patte, Critical Biblical Studies from a Semiotics Perspective, dalam Semeia No. 81, Thinking in Signs:
Semiotics and Biblical Studies…Thirty Years After.(ed: Daniel Patte, Atlanta: Scholars Press, 1998), p. 5-7.
18
b.
Mencari relevansi perikop dengan konteks masa kini. Khususnya dengan masyarakat
Indonesia (tentunya berdasarkan hasil penafsiran penyusun).
6.
Lingkup Bahasan
6.1.
Batasan Permasalahan
Untuk memfokuskan permasalahan yang akan dibahas, penyusun melakukan pembatasan
permasalahan seperti penjelasan berikut,
Perikop yang akan penyusun bahas dalam penyusunan skripsi ini adalah Markus 11:12-26. Sesuai
dengan pokok permasalahan yang telah penyusun tuliskan pada bagian yang ke-2 maka penyusun
membatasi pembahasan ke dalam 5 pokok bahasan, yaitu :
a.
Arti dari pengutukan pohon ara.
b.
Arti dari penyucian Bait Allah.
c.
Arti dari iman dan kemauan untuk mengampuni.
d.
Parabel gunung yang tercampak ke dalam laut.
e.
Kontradiksi antara aksi Yesus dengan ajaran kemauan untuk mengampuni.
6.2.
Alasan Pemilihan Judul
Berdasarkan permasalahan pokok dan batasan permasalahan yang telah dijabarkan sebelumnya,
maka penyusun memilih judul :
“Yesus Mengutuk Pohon Ara”
(Hermeneutik Semiotika terhadap Markus 11 : 12-26)
Penjelasan Judul :
“Yesus Mengutuk Pohon Ara” (Markus 11 : 12-26)
Meskipun pada kenyataannya yang dibahas dalam Markus 11 : 12-26 ada tiga judul perikop yang
diberikan LAI, yaitu “Yesus Mengutuk Pohon Ara” , “Yesus menyucikan Bait Allah”, dan “Pohon
ara yang sudah kering Nasihat Yesus tentang doa”, namun penyusun tetap memilih “Yesus
Mengutuk Pohon Ara” sebagai judul dari skripsi ini karena kisah inilah yang menjadi fokus bahasan
penyusun.
19
Hermeneutik Semiotika
Kata Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘hermeneuin’ yang merupakan bentuk kata
kerja, kata ini berhubungan dengan nama dewa dalam mitologi Yunani yaitu ‘hermes’. Dewa
‘hermes’ ini bertugas sebagai pembawa pesan takdir, oleh karena itu, kata ‘hermeneutik’ secara
harafiah dapat diartikan ‘menyampaikan pesan atau berita’.22
Semiotika merupakan jenis metode penafsiran yang akan penyusun gunakan dalam proses
penafsiran penyusun terhadap teks Markus 11:12-26. Maka ‘Hermeneutik Semiotika’ maksudnya
adalah penafsiran terhadp teks Markus 11:12-26 dengan menggunakan metode semiotika. Mengenai
alasan penyusun untuk memilih metode semiotika telah penyusun jelaskan dalam bab I ini
bagiannya yang ke-4.
7.
Sistematika Penulisan
7.1.
Bab I Pendahuluan
Dalam pendahuluan, penyusun menjelaskan latar belakang permasalahan, pokok permasalahan,
hipotesa awal mengenai tafsiran dari Markus 11:12-26, metode penulisan, tujuan penulisan, lingkup
bahasan yang di dalamnya telah tercakup batasan permasalahan, serta alasan permasalahan judul,
dan kemudian sistematika penulisan.
7.2.
Bab II
Metode Hermeneutik Semiotika
Dalam bab ini, penyusun akan membahas pengertian dari semiotika yang disajikan secara rinci
melalui beberapa pokok bahasan berikut :
1. Pengantar ke dalam Semiotika
2. Pengenalan akan Semiotika
3. Teori Dasar Semiotika
4. Semiotika dalam kajian Kitab Suci
22
Kaelan, M.S., Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya,(Yogyakarta: Paradigma , cet. 3., 2002), p. 201.
20
7.3.
Bab III Hubungan
Intertekstual
Teks
Markus
11:12-26
dan
Hubungan
Intratekstual: Pembacaan Heuristik Terhadap Markus 11:12-26
Dalam bab ini, penyusun akan memberikan pengantar ke dalam Injil Marus secara umum.
Penjabaran Injil Markus secara umum tersebut dalam analisis semiotika masuk ke dalam analisis
hubungan intertekstual. Kemudian penyusun akan melangkah pada analisis hubungan intratekstual
bagian yang pertama yaitu pembacaan heuristik teks. Pembacaan heuristik tersebut terdiri dari
penerjemahan teks bahasa asli dan parafrase teks berdasarkan terjemahan penyusun.
7.4.
Bab IV
Hubungan Intratekstual : Pembacaan Hermeneutik Semiotika Terhadap
Markus 11:12-26 dan Kesimpulan
Dalam bab ini, penyusun akan melakukan langkah analisis hubungan intratekstual yang kedua, yaitu
pembacaan hermeneutik semiotika terhadap teks Markus 11:12-26. Pembahasan pokok dalam
pembahasan hermeneutik adalah seperti tercantum dalam batasan permasalahan. Pada bagian akhir,
penyusun akan menyimpulkan secara keseluruhan hasil dari penafsiran penyusun atas lima pokok
bahasan sebelumnya, dan membandingkan hasil analisis penyusun dengan hipotesa yang telah
penyusun buat dalam bab I.
7.5.
Bab V
Penutup
Bab V akan berisikan dua bagian, yang pertama adalah bagian relevansi, dalam bagian ini penyusun
akan mencari relevansi antara hasil penafsiran dengan konteks masyarakat di masa kini, khususnya
masyarakat Indonesia; kemudian bagian yang kedua adalah penutup.
21
Download