Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/1996 REPUBLIK INDONESIA Departemen Keuangan RI 1 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 BAB I UMUM Pendahuluan Bagi bangsa Indonesia tahun anggaran 1995/96 mempunyai arti yang sangat strategis, karena dalam tahun tersebut Indonesia telah berusia genap 50 tahun menikmati kemerdekaan, setelah lebih dari tiga setengah abad dalam penjajahan. Usia setengah abad bagi suatu bangsa tidaklah dapat dikatakan muda, akan tetapi lebih menunjukkan kematangan dan kedewasaan. Dalam memasuki babak sejarah yang sangat menentukan ini, kiranya perlu dikaji kembali pengalaman bangsa Indonesia sejak proklamasi. Dari pengalaman tersebut selanjutnya dapat ditimba pelajaran yang tidak temilai harganya dibandingkan dengan pengalaman bangsa-bangsa lain untuk memperluas wawasan nasional dalam menghadapi masa depan yang penuh perubahan, ancaman, tantangan dan hambatan, namun sekaligus terbuka adanya peluang. Hal-hal yang positif dari pengalaman masa lampau perlu dijadikan kekuatan di dalam melanjutkan perjalanan pembangunan, sedangkan hal-hal yang negatif perlu dihindari agar kesalahan yang sama tidak akan terulang kembali. Di dalam kaitan ini, kiranya perlu terus dimantapkan jiwa kebangsaan, semangat persatuan, dan rasa kebersamaan sebagai unsur-unsur utama untuk menjadikan bangsa yang kuat, dewasa, matang, dan mandiri. Segala daya upaya serta pengorbanan yang dilakukan oleh para pejuang bangsa dalam merebut kemerdekaan telah memberikan ilham dan semangat bagi rakyat Indonesia dalam mengisi kemerdekaan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur. Perkembangan ekonomi dalam negeri hingga saat ini Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan tahun 1965, sebagai akibat dari rentetan pergolakan yang terus menerus, bangsa Indonesia praktis belum dapat menangani masalah ekonominya dengan baik, sehingga periode tersebut ditandai dengan kemerosotan ekonomi yang sangat memprihatinkan. Baru mulai tahun 1969, dengan dilandasi kestabilan nasional yang lebih baik, bangsa Indonesia dapat melaksanakan pembangunan bertahap secara berkesinambungan, terarah, dan terpadu melalui pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama (PJP I). Melalui PJP Departemen Keuangan RI 2 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 I telah berhasil diatasi berbagai masalah mendasar yang menghauang bangsa Indonesia dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dan memberikan landasan yang kuat bagi pembangunan berikutnya. Keberhasilan itu terutama didukung oleh kebijaksanaan anggaran berimbang dan dinamis, dipertahankannya sistem devisa bebas, serta kebijaksanaan makro ekonomi yang berhati-hati, yang telah memungkinkan lndonesia mencapai stabilitas ekonomi yang makin mantap yang disertai pula dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang lebih baik. Dalam PJP I laju inflasi telah dapat dikendalikan, yaitu dari sekitar 650 persen dalam tahun 1966 menjadi rata-rata 17 persen per tahun dalam tahun 1970-an, yang selanjutnya menurun menjadi rata-rata 9 persen per tahun dalam tahun 1980-an. Demikian pula dalam tahun 1990 sampai dengan tahun 1993 laju inflasi tetap dapat dikendalikan pada satu angka. Sementara itu pertumbuhan ekonomi Indonesia selama PJP I mencapai rata-rata 6,8 persen per tahun, sehingga pendapatan per kapita pada akhir PJP I mencapai sekitar US$ 770 dari sekitar US$ 70 dalam tahun 1969. Dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tersebut, jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin yang dalam tahun 1970 berjumlah 70 juta orang atau 60 persen dari jumlah penduduk, dalam tahun 1993 telah menurun menjadi 25,9 juta orang atau sekitar 13,7 persen dari jumlah penduduk. Demikian pula pembangunan telah menyebar di seluruh tanah air dengan partisipasi rakyat yang semakin aktif. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang cutup tinggi serta stabilitas dan pemerataan yang lebih baik, kebijaksanaan ekonomi yang ditempuh selama PJP I telah membawa perubahan yang mendasar dalam struktur perekonomian nasional ke arah yang lebih kukuh dan seimbang, baik struktur investasi, struktur penerimaan negara maupun struktur penerimaan ekspor, yang kesemuanya memberikan landasan yang kuat bagi pembangunan di masa mendatang. Dalam hal investasi, peranan sektor swasta sebagai sumber utama investasi telah semakin berkembang. Sejalan dengan itu peranan sektor industri dalam produksi nasional sejak tahun 1991 telah melampaui sektor pertanian. Di bidang penerirnaan negara, ketergantungan penerimaan dalam negeri dari sektor migas telah semakin jauh berkurang, khususnya digantikan oleh penerimaan dari sektor perpajakan. Demikian pula struktur perolehan devisa telah berubah, dimana lebih dari 70 persen berasal dari ekspor bukan migas. Kebutuhan dana pembangunan yang semakin besar di satu pihak dan di pihak lain dihadapkan dengan ketidakpastian dari penerimaan minyak, menjadikan peranan sumber-sumber nonmigas dalam menunjang penerimaan negara maupun Departemen Keuangan RI 3 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pertumbuhan ekonomi nasional menjadi semakin penting. Keberhasilan Indonesia dalam merubah struktur ekonominya dan mengurangi ketergantungan dari penerimaan minyak bukanlah suatu perjuangan yang mudah, tetapi merupakan hasil dari kerja teras yang terus menerus yang disertai dengan kebijaksanaan ekonomi yang tepat dan konsisten selama bertahun-tahun. Demikian pula usaha mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam waktu yang lama memerlukan investasi yang cukup besar yang harus diupayakan pemenuhannya melalui pengerahan seluruh potensi sumber daya dan dana, baik dari sumber dalam negeri maupun dari sumber luar negeri. Usaha mobilisasi dana tersebut harus berjalan seiring dengan upaya mempertahankan stabilitas ekonomi, sehingga diperlukan strategi kebijaksanaan yang tepat di berbagai bidang. Dalam rangka stabilisasi ekonomi dan peningkatan tabungan masyarakat, deregulasi di bidang moneter telah berhasil meletakkan landasan sistem keuangan modern untuk mendukung pembangunan ekonomi Indonesia, sejak paket deregulasi bulan Juni 1983 dimana diberikan kebebasan kepada bank untuk menentukan tingkat suku bunga deposito dan pinjaman, paket deregulasi bulan Oktober 1988 yang memberikan kemudahan pendirian bank dan kantor-kantor cabangnya, dan paket deregulasi Januari 1990 untuk menyempumakan sistem perkreditan. Selanjutnya dalam paket kebijaksanaan Februari 1991, ditetapkan pedoman pembinaan dan pengawasan perbankan agar mampu bekerja berdasarkan manajemen perbankan yang sehat dan berhati-hati, yang kemudian disusul dengan perubahan landasan hukum operasional perbankan, yakni dengan dikeluarkannya Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992. Melalui paketpaket deregulasi tersebut, Pemerintah mendorong bank dan lembaga keuangan lainnya agar lebih mandiri dan mampu mengerahkan dana masyarakat serta menyalurkannya ke sektor produktif dan secara bertahap mengurangi ketergantungan pada kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Paket-paket deregulasi tersebut telah mengakibatkan perubahan struktur moneter secara mendasar. Jumlah bank umum meningkat dari 111 bank dalam tahun 1988 menjadi 239 bank dalam bulan September 1994 dan dalam periode yang sama jumlah kantor bank meningkat dari sebanyak 1.728 buah menjadi sebanyak 6.022 buah. Perkembangan jumlah bank dan kantor bank tersebut juga diikuti dengan perubahan struktur kelembagaan perbankan yang lebih sehat, terutama karena peningkatan jumlah bank swasta yang sangat pesat. Dalam periode tersebut jumlah bank umum swasta meningkat lebih dari dua kali lipat, dan jumlah kantornya meningkat Departemen Keuangan RI 4 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 hampir enam kali lipat. Bank perkreditan rakyat (BPR) jumlahnya meningkat dari 5.770 buah dalam tahun 1988 menjadi 7.193 buah dalam bulan September 1994. Hal tersebut menyebabkan pergeseran dalam peranan perbankan nasional, dimana peranan bank-bank pemerintah, baik dalam memobilisasi dana maupun dalam penyaluran kredit, semakin menurun dan sebaliknya peranan bank swasta semakin besar. Kalau dalam tahun 1988 peranan bank pemerintah dalam memobilisasi dana masyarakat melalui deposito berjangka, giro dan tabungan masih sangat dominan, yaitu mencapai 60 persen dan dalam penyaluran kredit mencapai 65 persen, maka dalam tahun 1994 masing-masing hanya sebesar 39 persen dan 44 persen. Sementara itu paket kebijaksanaan Desember 1988 di bidang lembaga pembiayaan, usaha perasuransian, dana pensiun, dan lain-lain, yang kemudian diikuti dengan disahkannya Undangundang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun telah pula dapat meningkatkan pengerahan dana masyarakat dengan cukup pesat. Hal ini tercermin dari kegiatan usaha asuransi yang cukup menggembirakan, yang dapat dilihat dari bertambahnya jumlah premi bruto dari sebesar Rp 1,4 triliun dalam tahun 1987 menjadi sebesar Rp 4,6 triliun dalam tahun 1993. Demikian juga jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi sampai dengan bulan Agustus 1994 mencapai 151 buah, dari 102 buah dalam tahun 1987. Selanjutnya berbagai jenis yayasan dana pensiun yang semula belum tertata dengan baik telah mendapatkan aturan main yang lebih jelas, sehingga lebih menjamin kesejahteraan para karyawan di masa mendatang. Jumlah perusahaan yang telah mengajukan permohonan dan penyesuaian menjadi Dana Pensiun mencapai 521, terdiri dari 508 perusahaan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan 13 perusahaan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Dari jumlah tersebut sampai dengan bulan Desember 1994 yang telah disahkan menjadi Dana Pensiun sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun adalah 100 perusahaan, terdiri dari 90 perusahaan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan 10 perusahaan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Sedangkan jumlah kekayaan Dana Pensiun sampai dengan akhir tahun 1992 mencapai Rp 7,5 triliun, diantaranya sekitar Rp 5,4 triliun atau 71 persen telah diinvestasikan. Perkembangan lembaga pembiayaan juga tidak kalah pesatnya, yang jumlahnya meningkat dari sebanyak 83 buah dalam tahun 1988 menjadi sebanyak 178 buah dalam tahun 1993. Sedangkan keseluruhan investasi lembaga pembiayaan mencapai sekitar Rp 10,0 triliun dalam tahun 1993, yang berarti meningkat sekitar empat kali lipat dibandingkan dengan nilainya dalam tahun 1988. Dalam pada itu pasar modal yang telah dirintis sejak tahun 1952 namun sampai dengan Departemen Keuangan RI 5 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tahun 1976 tidak menunjukkan kegiatan yang berarti, mulai diaktitkan kembali pada tahun 1977. Untuk lebih menunjang perkembangan pasar modal, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa paket deregulasi sejak tahun 1987 yang disusul dengan perubahan fungsi Bapepam dari pelaksana menjadi pengawas pasar modal dalam tahun 1990. Kegiatan pasar modal mengalami peningkatan pesat setelah diizinkan berdirinya bursa paralel dan lembaga penunjang pasar modal serta dikenakannya pajak atas bunga deposito. Keberhasilan ini ditunjukkan oleh meningkatnya perusahaan yang go public, yakni sampai dengan bulan November 1994 telah mencapai 272 perusahaan, dengan jumlah dana yang terhimpun sebesar Rp 32,2 triliun. Kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan, investasi, dan keuangan yang disertai dengan kebijaksanaan makro yang berhati-hati telah dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi Indonesia di pasar internasional, meningkatkan peranan sektor swasta, menciptakan struktur ekonomi yang makin tangguh serta meningkatkan tarat hidup masyarakat. Kebijaksanaan makro yang berhati-hati dan konsisten dilakukan melalui anggaran berimbang dan dinamis, pengendalian moneter yang konsisten, pemantapan kurs rupiah yang realistis, serta pengelolaan hutang luar negeri secara baik. Semuanya ini, yang disertai dengan reformasi menuju ekonomi pasar telah dapat mengendalikan neraca pembayaran dalam batasbatas yang wajar. Berbagai kebijaksanaan di atas telah meningkatkan investasi dalam jumlah yang cukup besar dalam tahun 1989 dan 1990. Akan tetapi peningkatan dalam investasi tersebut telah meningkatkan permintaan dalam negeri, yang selanjutnya menimbulkan tekanan inflasi yang cukup tinggi. Selain itu peningkatan investasi yang terutama digunakan di sektor industri barang ekspor nonmigas telah mengakibatkan meningkatnya impor, yang pada gilirannya meningkatkan defisit transaksi berjalan menjadi sebesar US$ 4.352 juta dalam tahun 1991/92. Untuk mengendalikan tingkat inflasi dan defisit transaksi berjalan tersebut, Pemerintah telah melakukan pengendalian moneter yang lebih ketat dan pengawasan pinjaman komersial luarnegeri melalui pembentukan tim PKLN sekaligus dengan penundaan beberapa proyek BUMN yang membutuhkan bantuan luar negeri yang besar. Berbagai tindakan ini telah membawa perbaikan dalam defisit transaksi berjalan dalam tahun 1992/93 menjadi sebesar US$ 2.561 juta, akan tetapi bersamaan dengan itu juga telah meningkatkan tingkat bunga simpanan dan pinjaman di sektor perbankan, yang selanjutnya menimbulkan kesulitan pada sejumlah nasabah bank. Departemen Keuangan RI 6 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Dengan mulai terkendalinya tingkat inflasi, dalam tahun 1991 pemerintah berusaha melonggarkan kebijaksanaan moneter untuk merangsang perekonomian dalam negeri dan meningkatkan ekspor nonmigas dengan menurunkan tingkat bunga dan mendorong ekspansi kredit ke tingkat yang wajar. Walaupun demikian, peningkatan ekspor nonmigas dalam tahun 1993/94 masih belum seperti diharapkan, yang terutama disebabkan persaingan yang semakin kehal, dan meningkatnya permintaan konsumen terhadap barang ekspor di dalam negeri. Sebaliknya nilai impor dan jasa-jasa tetap meningkat sehingga defisit transaksi berjalan dalam tahun 1993/94 masih cukup besar, yaitu sebesar US$ 2.940 juta. Keadaan seperti ini masih terus berlangsung dalam tahun 1994/95. Sedikit membaiknya harga minyak di pasar internasional telah menyebabkan ekspor migas meningkat bila dibandingkan dengan tahun 1993/94, dimana nilainya diperkirakan sebesar US$ 9.653 juta, atau suatu peningkatan sebesar 3,4 persen bila dibandingkan dengan nilainya sebesar US$ 9.334 juta dalam tahun 1993/94. Keadaan yang sedikit menggembirakan tersebut diikuti pula oleh peningkatan ekspor nonmigas, dimana nilainya meningkat menjadi US$ 31.110 juta, yang berarti 14,5 persen lebih tinggi dari nilainya dalam tahun 1993/94. Dengan demikian nilai total ekspor menjadi sebesar US$ 40.763 juta, atau meningkat sebesar 11,7 persen bila dibandingkan dengan nilainya dalam tahun 1993/94. Akan tetapi kenaikan nilai ekspor dalam tahun 1994/95 tersebut juga diikuti oleh peningkatan impor, terutama impor bahan baku dan barang modal, sehingga defisit pada transaksi berjalan mengalami peningkatan. Walaupun demikian, usaha-usaha untuk meningkatkan arus modal ke dalam negeri telah memungkinkan pemupukan cadangan devisa yang semakin besar, sehingga jumlah cadangan devisa Indonesia pada akhir tahun anggaran 1994/95 cukup untuk membiayai sekitar 5 bulan impor nonmigas. Perkembangan ekonomi luar negeri hingga saat ini Di tengah-tengah situasi semakin menguatnya dukungan terhadap perdagangan bebas, perekonomian dunia dalam tahun 1994 ditandai pula oleh pulih dan bangkitnya perekonomian negara- negara industri. Hal ini tampak dari tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang diperkirakan sebesar 3,7 persen, Inggris sebesar 3,3 persen dan Kanada sebesar 4,1 persen. Sementara itu Jepang, Jerman, Perancis, dan Ihalia juga mengalami pemulihan ekonomi walaupun dengan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah, yaitu masing-masing diperkirakan Departemen Keuangan RI 7 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebesar 0,9 persen, 2,3 persen, 1,9 persen dan 1,5 persen. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat terutama danorong oleh keberhasilan negara tersebut di dalam mengurangi defisit anggaran belanjanya, yang selanjutnya berdampak pada penurunan tingkat bunga dalam tahun 1993. Akan tetapi dalam tahun 1994 defisit dalam neraca pembayaran yang cukup besar telah mengakibatkan turunnya nilai Dolar Amerika Serikat yang selanjutnya memaksa pemerintah Amerika Serikat untuk mengambil kebijaksanaan peningkatan suku bunga. Di Kanada, rendahnya inflasi, tingkat bunga, dan meningkatnya ekspor merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonominya, sedangkan di Inggris faktor utama pendorong pemulihan ekonominya adalah meningkatnya permintaan konsumsi masyarakat. Sementara itu rendahnya pertumbuhan ekonomi Jepang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh apresiasi Yen terhadap Dolar Amerika Serikat, walaupun di pihak lain kebijaksanaan fiskal yang disertai dengan penurunan tingkat bunga telah meningkatkan permintaan dalam negeri yang selanjutnya mendorong pulihnya ekonomi Jepang. Dengan berbagai perkembangan tersebut di atas, maka laju pertumbuhan ekonomi negara industri secara keseluruhan telah meningkat dari 1,3 persen dalam tahun 1993 dan diperkirakan menjadi 2,7 persen dalam tahun 1994. Pemulihan ekonomi di negara-negara industri tersebut diperkirakan masih akan terus berlangsung dalam tahun 1995, sehingga memberikan pengaruh positif bagi perkembangan perekonomian dunia. Hal ini berarti bahwa kelesuan ekonomi dunia yang mulai terasa sejak awal tahun 1990-an secara berangsur-angsur telah mulai berakhir. Pulihnya ekonomi negara-negara industri telah mempengaruhi perdagangan internasional, sehingga volumenya meningkat dari 4,0 persen dalam tahun 1993 dan diperkirakan menjadi 7,2 persen dalam tahun 1994 yang selanjutnya diperkirakan agak menurun menjadi 5,9 persen dalam tahun 1995. Sebaliknya, membaiknya ekonomi negara-negara industri nampaknya kurang membawa perubahan yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, dimana secara keseluruhan pertumbuhannya dalam tahun 1994 diperkirakan hanya sebesar 5,6 persen, yang berarti menurun bila dibandingkan dengan pertumbuhannya dalam tahun 1993 sebesar 6,1 persen. Keadaan ini diperkirakan masih akan berlanjut dalam tahun 1995, dimana pertumbuhan ekonomi negaranegara berkembang diperkirakan hanya sebesar 5,6 persen. Penurunan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang ini terutama disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah, sebagai dampak melemahnya harga minyak di pasar internasional. Demikian pula negara-negara berkembang di Asia yang dalam tahun 1994 diperkirakan mencapai pertumbuhan sebesar 8,0 persen, menurun Departemen Keuangan RI 8 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 menjadi sebesar 7,3 persen dalam tahun 1995. Sementara itu pertumbuhan ekonomi negaranegara anggota ASEAN dalam tahun 1994 walaupun diperkirakan masih tergolong cukup tinggi tetapi tidak banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan tahun 1993, kecuali Philipina yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sebesar 1,7 persen dalam tahun 1993 diperkirakan menjadi 4,5 persen dalam tahun 1994. Demikian pula negara-negara berkembang di Afrika mengalami peningkatan pertumbuhan yang cukup berarti, yaitu dari sebesar 1,0 persen dalam tahun 1993 diperkirakan menjadi sekitar 3,3 persen dalam tahun 1994, bahkan dalam tahun 1995 diperkirakan menjadi 4,5 persen. Negara-negara yang mengalami transisi ekonomi dari sosialis ke ekonomi pasar di Eropa Timur dan Eropa Tengah mencapai perbaikan ekonomi karena berhasil mempertahankan reformasi dan kestabilan ekonomi mikro, walaupun pertumbuhan ekonominya dalam tahun 1994 diperkirakan masih negatif 8,3 persen. Demikian pula negara-negara bekas Uni Soviet, karena mengalami defisit anggaran belanja dan tingkat inflasi yang tinggi, serta masih menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan reformasi ekonomi, maka terjadi kemerosotan dalam pertumbuhan ekonominya dalam tahun 1994, yaitu diperkirakan sebesar negatif 12 persen. Sementara itu beberapa negara berkembang masih bergelut dengan masalah kerniskinan dan kelaparan, dan gagal mencapai pertumbuhan yang direncanakan. Kegagakan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari anggaran belanja defisit, inflasi yang tinggi, distorsi alokasi sumber produksi, kelangkaan dana, campur tangan pemerintah yang berlebihan dalam ekonomi, proteksi, pertumbuhan penduduk yang tinggi, serta kegagakan dalam melakukan reformasi ekonomi negaranya. Tantangan dalam tahun-tahun mendatang Berpijak pada keadaan ekonomi dalam dan luar negeri dalam tahun 1994, dan menjelang diakhirinya tahun anggaran 1994/95, maka perlu dikaji dengan seksama perkembangan perekonomian dalam dan luar negeri yang mungkin terjadi, serta tantangan dan hambatan yang akan dihadapi dalam tahun anggaran 1995/96. Pengkajian tersebut sangat penting terutama di dalam menetapkan langkah-langkah kebijaksanaan pembangunan pada umumnya dan kebijaksanaan APBN pada khususnya dalam tahun 1995/96. Evaluasi keadaan perekonomian dalam dan luar negeri tersebut mencakup (1) awal daripada proses globalisasi, (2) pemenuhan kebutuhan dana investasi bagi pembangunan, dan (3) masalah-masalah pokok dalam negeri yang Departemen Keuangan RI 9 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 harus segera ditangani, seperti masalah pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan, peningkatan kemandirian, penyediaan infrastruktur yang memadai, serta pemeliharaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Awal dari proses globalisasi Sebagai suatu negara dengan perekonomian terbuka, keterkaitan ekonomi Indonesia dengan pasar global semakin dirasakan ke segenap kehidupan ekonomi dalam negeri. Disepakatinya putaran Uruguay GATT pada tanggal 15 Desember 1993 dan ditandatanganinya prinsip dan ketentuan GATT di Marrakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994, telah menjadikan faktor daya saing hasil produksi dalam negeri semakin menentukan untuk dapat merebut pasar internasional. Suatu negara yang mampu berkompetisi dalam skala global mempunyai potensi untuk meraih keuntungan yang maksimal, dan sebaliknya negara yang mengalami ekonomi biaya tinggi bukan saja tidak mampu memasuki pasar internasional tetapi juga tidak akan berdaya menahan masuknya barang-barang impor ke pasar dalam negerinya. Bagi Indonesia, kesepakatan dalam GATT memberikan peluang sekaligus tantangan, karena terbuka kesempatan yang lebih luas bagi produkproduk Indonesia memasuki pasar internasional akan tetapi di pihak lain Indonesia dihadapkan pada persaingan yang semakin tajam. Walaupun dalam mengantisipasi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia Indonesia telah mulai mempersiapkan diri, akan tetapi sebagai negara berkembang bukanlah suatu hal yang mudah untuk dapat bersaing dengan negara-negara industri maju yang telah lama menguasai pasar dunia. Untuk itu diperlukan pengerahan segala daya dan potensi ekonomi nasional agar barang-barang produksi Indonesia dapat dihasilkan dengan semakin efisien. Kemajuan teknologi yang sangat pesat perlu dimasukkan sebagai salah satu variabel pokok dalam kebijaksanaan pembangunan, oleh karena daya saing suatu negara tidak dapat berlandaskan hanya pada keunggulan komparatif dengan mengandalkan sumber daya alam dan tenaga kerja yang berlimpah. Oleh karena itu Indonesia harus lebih memantapkan struktur industri yang telah tercipta selama ini agar tetap dapat memanfaatkan keunggulan komparatif yang dimilikinya di samping terus lebih memperdalam dan memperkukuh pijalannya, dengan menerapkan teknologi maju yang berorientasi kepada pasar internasional. Strategi untuk meningkatkan daya saing Departemen Keuangan RI 10 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 komoditi Indonesia di pasar internasional yang dilakukan dalam PJP I melalui serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi telah menunjukkan hasil nyata berupa meningkatnya ekspor nonmigas dengan cukup menggembirakan, sehingga peranan ekspor nonmigas terhadap ekspor total dalam tahun 1994/95 meningkat menjadi sekitar 76,3 persen dari sebesar 29,7 persen dalam tahun 1984/85. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi merupakan langkah yang tepat di dalam menjawab tantangan dari perubahan ekonomi dunia. Namun demikian tidaklah berarti Indonesia dapat puas dan terlena dengan hasil-hasil yang telah dicapai. Ketidakpastian ekonomi dunia masih terus menghauang dan menuntut kewaspadaan yang tinggi. Perkembangan dalam perekonomian dunia yang kurang menguntungkan pada awal tahun 1990-an, seperti melemahnya harga komoditi primer, gejolak nilai tukar mata uang kuat dunia, serta meningkatnya perdagangan intra-kawasan melalui terbentuknya blok-blok perdagangan dan menguatnya gerakan regionalisme, seperti pembentukan masyarakat Eropa (European Community) menuju pasar tunggal dan kawasan perdagangan bebas Amerika Utara (North America Free Trade Area/NAFTA), merupakan salah satu wujud dari ketidakpastian perdagangan dunia dan hal ini tetap akan mewamai perkembangan ekonomi dunia di masa depan. Jika tidak diwaspadai blok-blok perdagangan maupun blok-blok ekonomi tersebut dapat menimbulkan hambatan terhadap prinsip perdagangan dunia yang bersifat multilateral dan nondiskriminasi. Kesepakatan dalam perjanjian umum perdagangan dan tarif (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) dan pembentukan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organisation/WTO) memberikan harapan dapat terwujudnya kepastian dalam perdagangan dunia. Menghadapi keadaan ini, pilihan bagi Indonesia tiada lain adalah terus memperkuat daya tahan perekonomian nasional agar dapat mengatasi ketidakpastian dan keadaan yang kurang menguntungkan tersebut, sehingga momentum pembangunan dapat tetap terpelihara dan sasaran pembangunan dapat dicapai. Dalam hal ini, Indonesia dituntut untuk dapat memanfaatkan secara optimal forum-forum internasional seperti ASEAN, AFTA, Gerakan Non Blok maupun forum kerja sama ekonomi Asia Pasifik (Asia-Pasific Economic Cooperation/APEC). Penunjukan Indonesia menjadi ketua Gerakan Non Blok untuk periode 1992-1995 dan memimpin pertemuan informal tingkat tinggi APEC dalam bulan November 1994 di Bogor, memberikan indikasi adanya kepercayaan dan pengakuan dunia internasional akan peranan Indonesia dalam kerja sama Departemen Keuangan RI 11 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 internasional yang semakin tiriggi. Khusus mengenai APEC, yang mewakili 40 persen perdagangan dunia, 2 miliar penduduk dunia dan mencakup 52 persen produk domestik bruto (PDB) dunia, mempunyai kekuatan besar dalam mewujudkan kerja sama ekonomi Asia-Pasifik. Dalam pertemuan informal para pemimpin ekonomi negara APEC di Bogor pada tanggal 15 November 1994 telah disepakati liberalisasi perdagangan dan investasi bagi negara-negara maju paling lambat tahun 2010 dan bagi negara-negara berkembang paling lambat tahun 2020. Langkah-langkah ke arah liberalisasi perdagangan dan investasi tersebut dilakukan segera setelah kesepakatan dikeluarkan. Negara-negara anggota APEC sepakat akan memperluas dan mempercepat program liberalisasi perdagangan dan investasi, sehingga arus barang, jasa dan modal akan lebih leluasa bergerak di antara mereka. Dalam hubungan ini, negara-negara anggota APEC menentang keras pembentukan blok-blok perdagangan yang berorientasi ke dalam karena bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas. APEC menyetujui sepenuhnya komitmen terhadap pelaksanaan Putaran Uruguay tanpa penundaan, dan mengharapkan seluruh peserta Putaran Uruguay dapat melaksanakan hal yang sama. Dengan demikian kehadiran APEC sebagai sumber kekuatan ekonomi di kawasan Asia- Pasifik dan sebagai pendukung prinsip GATT diharapkan mampu menangkal hambatan-hambatan yang diakibatkan oleh blok-blok perdagangan, dan sebaliknya memperkuat sistem perdagangan multilateral. Perdagangan internasional dan investasi yang makin terbuka, transparan, dan mempunyai aturan yang efektif akan mendorong peningkatan mobilitas arus barang, jasa dan investasi antar negara. Kebutuhan dana investasi yang meningkat Di samping globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia, tantangan mendasar lainnya yang dihadapi oleh Indonesia dalam upaya memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional adalah pemenuhan kebutuhan investasi yang makin meningkat, baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Dalam Repelita VI, untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 6,2 persen per tahun diperlukan dana investasi yang tidak sedikit, yaitu secara keseluruhan diperkirakan mencapai Rp 660,1 triliun, atau sebesar 30,7 persen dari produksi nasional (PDB) selama periode tersebut yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 2.150 triliun. Jumlah tersebut berarti meningkat sekitar 78 persen dari rencana investasi dalam Repelita V, akan rata-rata sebesar 12,5 persen per tahun selama periode Repelita VI. Peningkatan Departemen Keuangan RI 12 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pembiayaan investasi tersebut diperlukan bukan saja sebagai sumber penggerak utama pertumbuhan ekonomi, akan tetapi juga sangat penting sebagai faktor pendorong dinamis bagi terselenggaranya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju pada tercapainya kemakmuran yang berkeadilan sosial. Tanpa peningkatan investasi yang cukup memadai, maka pertumbuhan kapasitas produksi dalam negeri akan menjadi terhambat, sehingga sasaran laju pertumbuhan ekonomi, peningkatan ekspor nonmigas dan penciptaan lapangan kerja dalam Repelita VI akan sulit dicapai. Upaya pemenuhan rencana kebutuhan investasi tersebut bukanlah tanpa masalah, oleh karena terdapat berbagai faktor internal dan eksternal yang perlu dipertimbangkan secara seksama, diantaranya penyediaan prasarana dan sarana ekonomi serta kemampuan mobilisasi sumber-sumber dana. Pembiayaan bagi rencana investasi nasional tersebut harus diupayakan dari berbagai sumber, baik sumber dana dalam negeri maupun sumber dana luar negeri. Sumber dana dalam negeri masih mempunyai peluang untuk dikembangkan oleh karena diperkirakan masih terdapat dana masyarakat yang belum digali secara optimal, sedangkan sumber dana luar negeri makin terbatas dan persaingan untuk mendapatkannya makin ketat. Sesuai dengan amanat GBHN 1993, pembiayaan pembangunan terutama diupayakan dari sumber kemampuan sendiri, sedangkan sumber dana luar negeri yang masih diperlukan merupakan pelengkap bagi sumber dana dalam negeri. Dalam Repelita VI, dari keseluruhan rencana investasi yang diperlukan bagi pembiayaan pembangunan, sebesar Rp 623,5 triliun atau sekitar 94,5 persen akan diupayakan pemenuhannya dari sumber dana dalam negeri, sedangkan sisanya sebesar Rp 36,6 triliun akan sekitar 5,5 persen akan diusahakan pembiayaannya dari sumber dana luar negeri neto. Selanjutnya karena pembangunan nasional pada dasamya diselenggarakan oleh masyarakat bersama Pemerintah, maka pemenuhan terhadap rencana kebutuhan investasi dari sumber pembiayaan pembangunan dalam negeri akan diupayakan dengan meningkatkan peranan tabungan nasional, baik tabungan pemerintah maupun tabungan masyarakat. Pengerahan investasi sektor masyarakat Pembangunan harus berakar pada kemandirian nasional dan kemampuan masyarakat, oleh karena itu peranan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan perlu terus ditumbuhkembangkan atas dasar pernahaman bahwa pembangunan adalah hak, kewajiban, dan Departemen Keuangan RI 13 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tanggung jawab seluruh rakyat. Sebagai kekuatan ekonomi nasional, dunia usaha swasta diharapkan makin mampu mengembangkan keterlibatan dan partisipasinya secara aktif dan kreatif di dalam kegiatan-kegiatan investasi produktif yang berwawasan jangka panjang di berbagai sektor. Sumber utarna pembiayaan investasi sektor masyarakat berasal dari tabungan swasta, baik perusahaan, perorangan maupun rumah tangga, tabungan perusahaan negara, dan tabungan pemerintah daerah. Dalam Repelita VI, dana investasi masyarakat dari sumber dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 454,1 triliun atau sekitar 69 persen dari keseluruhan rencana investasi dalam Repelita VI. Dalam upaya pemenuhan rencana pembiayaan investasi masyarakat tersebut, masih terdapat sejumlah permasalahan di dalam negeri, baik yang bersifat siklikal maupun struktural, yang perlu memperoleh pemecahan yang sungguh-sungguh, diantaranya masih relatif tingginya suku bunga di dalam negeri, serta perlu ditingkatkannya manajemen perbankan ke arah manajemen yang berhati-hati, khususnya karena masih dihadapinya permasalahan kredit macet, serta masih diperlukannya proses konsolidasi untuk memenuhi persyaratan kesehatan dan prinsip kehati-hatian yang ditetapkan sejak diberlakukan Paket Kebijaksanaan Februari 1991 dan kemudian disempurnakan dengan Paket Kebijaksanaan Mei 1993. Dalam hubungan ini kebijaksanaan untuk meningkatkan tabungan masyarakat melalui kebijaksanaan moneter yang didukung dengan kebijaksanaan makro ekonomi lainnya, serta pengembangan lembaga keuangan dan perbankan yang efisien, akan terus ditingkatkan. Akan tetapi, sejalan dengan keterbukaan ekonomi yang telah meningkatkan keterkaitan antara perekonomian dalam negeri dengan perkembangan perekonomian internasional, maka upaya untuk menciptakan iklim yang mendukung peningkatan tabungan masyarakat, seperti pengendalian tingkat inflasi, kebijaksanaan suku bunga, dan kurs valuta asing, akan semakin tidak mudah diwujudkan. Lebih-lebih dengan adanya kesepakatan GATS, dimana arus jasa antarnegara semakin bebas, seperti jasa bank, usaha perasuransian, dan berbagai bentuk lembaga pembiayaan, maka menjadi tantangan tersendiri bagi sistem keuangan nasional untuk dapat mengerahkan tabungan masyarakat. Di pihak lain, kehadiran modal asing dalam industri jasa tersebut di Indonesia diharapkan dapat mendorong peningkatan efisiensi dan profesionalisme lembaga-lembaga keuangan melalui persaingan yang makin ketat dan alih teknologi, sehingga dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dalam negeri yang lebih sehat. Departemen Keuangan RI 14 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Pengerahan pembiayaan investasi sektor pemerintah Di sektor pemerintah, sumber pembiayaan investasi yang berasal dari dalam negeri terutama dipenuhi melalui tabungan pemerintah. Peningkatan tabungan pemerintah diusahakan melalui kenaikan penerimaan dalam negeri di luar migas, terutama dari sektor perpajakan, serta pengendalian dan penghematan pengeluaran rutin. Dalam Repelita VI penerimaan dalam negeri akan diupayakan untuk dapat ditingkatkan rata-rata sebesar 13 persen per tahun sehingga jumlahnya mencapai Rp 382 triliun. Sementara itu pengeluaran rutin di luar pembayaran pokok pinjaman luar negeri pemerintah dalam periode yang sama diperkirakan sebesar Rp 212,6 triliun, sehingga tabungan pemerintah bruto dalam Repelita VI diperkirakan mencapai Rp 169,4 triliun. Sekalipun demikian, upaya peningkatan tabungan pemerintah juga tidak dapat dilepaskan dari adanya berbagai kendala, baik yang berkaitan dengan usaha peningkatan penerimaan dalam negeri maupun dalam pengendalian pengeluaran rutin. Kendala yang dihadapi dalam upaya peningkatan penerimaan dalam negeri, khususnya penerimaan perpajakan, diantaranya bermuara dari belum tergalinya secara optimal seluruh objek dan subjek pajak, belum meratanya tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, serta kurang tersedianya basis data yang akurat untuk menunjang tertib administrasi perpajakan. Demikian pula efisiensi dan kinerja BUMN pada umumnya masih perlu ditingkatkan, sehingga upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) masih memerlukan waktu. Sedangkan upaya pengendalian pengeluaran rutin tidak mudah untuk dilakukan karena dihadapkan kepada masalah tingginya beban pembayaran utang luar negeri, perlunya penyesuaian kesejahteraan pegawai negeri ke tingkat yang lebih memadai, serta makin meningkatnya kebutuhan biaya operasi dan pemeliharaan bagi barang-barang milik negara dan proyek-proyek yang telah selesai pembangunannya. Ekspor nonmigas, pinjaman luar negeri dan investasi asing Rencana pembiayaan investasi nasional selain memerlukan sumber dana domestik (rupiah) juga membutuhkan dana devisa, yang pemenuhannya diusahakan, baik melalui ekspor, terutama ekspor nonmigas, pengembangan sektor jasa nasional dan kepariwisataan, maupun pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing. Melalui penciptaan iklim berusaha yang sehat dan efisien serta pemanfaatan peluang-peluang di pasar dunia, ekspor nonmigas telah mengalami peningkatan yang Departemen Keuangan RI cukup pesat sehingga mendorong keberhasilan Indonesia dalam 15 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 mempertahankan pertumbuhan ekonominya dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian, melemahnya perkembangan ekspor nonmigas dalam dua tahun terakhir perlu lebih diwaspadai, oleh karena untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata dalam Repelita VI sebesar 6,2 persen per tahun diperlukan peningkatan ekspor nonmigas rata-rata sekitar 16,8 persen per tahun. Dengan kecenderungan di atas, dan mengingat jumlah tabungan nasional masih lebih rendah dari kebutuhan dana investasi yang direncanakan, maka perlu terus diusahakan pemenuhan kesenjangan dana investasi dengan bantuan luar negeri. Dengan demikian menjadi tantangan pembangunan untuk mengupayakan pinjaman luar negeri sesuai kebutuhan, dengan tetap menjaga kemampuan untuk mengembalikannya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaannya untuk mendukung program pembangunan. Namun demikian, di masa mendatang pengusahaan pinjaman luar negeri, terutama yang bersyarat lunak, diperkirakan akan semakin sukar diperoleh, mengingat kemajuan yang telah dicapai bangsa Indonesia dalam pembangunan dan banyaknya negara yang juga membutuhkan pinjaman luar negeri. Selain daripada bantuan luar negeri perlu terus diupayakan peningkatan penanaman modal asing (PMA), oleh karena investasi langsung luar negeri adalah merupakan sumber pembiayaan luar negeri yang umumnya tidak menimbulkan beban utang. Tantangan untuk mendorong investasi langsung (penanaman modal asing) tersebut terasa semakin bertambah berat oleh karena meningkatnya kebutuhan dana di pasar internasional telah menyebabkan persaingan dalam memperolehnya juga menjadi semakin tajam, terutama karena adanya kecenderungan mengalirnya arus dana ke negara-negara Eropa Timur sejak negara-negara tersebut merubah sistem ekonominya dari sistem sosialiskomunis ke sistem ekonomi pasar. Hal yang sama juga terjadi di Asia, dimana beberapa negara yang baru membuka ekonominya, seperti Cina dan Vietnam memberikan berbagai kemudahan bagi masuknya investasi asing ke negaranya. Kondisi seperti ini tidak dapat diabaikan oleh Indonesia, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan daya tarik Indonesia bagi penanarnan modal asing, baik melalui penyediaan infrastruktur yang lebih memadai maupun melalui penyederhanaan perizinannya. Dalam hubungan ini, dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 merupakan jawaban terhadap tantangan peningkatan daya tarik investasi di Indonesia. Peraturan pemerintah ini memberi peluang kepada investor asing untuk memiliki saham perusahaan sampai dengan 100 persen, di samping memberi kebebasan kepada warga negara asing untuk menjual saham perusahaannya melalui pasar modal. Demikian pula beberapa sektor yang tadinya tertutup Departemen Keuangan RI 16 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 untuk investasi asing, seperti pelabuhan, tenaga listrik, dan telekomunikasi, sekarang terbuka untuk investasi asing dengan sistem patungan. Dalam hubungan ini, penyempurnaan undangundang perpajakan yang akan diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1995, dimana antara lain dilakukan penurunan tarif pajak penghasilan, diharapkan mampu lebih mendorong investasi asing di Indonesia. Berbagai perkembangan tersebut menunjukkan perbaikan yang pesat dalam iklim investasi di Indonesia, terutama dalam satu dekade terakhir. Deregulasi di berbagai bidang, khususnya di bidang investasi, perbankan, dan perdagangan, yang didukung dengan stabilitas ekonomi yang mantap serta penyediaan prasarana yang memadai seperti jalan, listrik dan telekomunikasi merupakan faktor utama yang mendorong pesatnya peningkatan investasi. Tantangan penyediaan infrastruktur Ketersediaan prasarana dan sarana ekonomi yang tidak seimbang dengan peningkatan produksi barang dan jasa merupakan kendala dan menimbulkan inefisiensi ekonomi secara nasional. Oleh karena itu untuk mendukung kegiatan ekonomi yang diperkirakan akan meningkat dengan pesat selama Repelita VI dan PJP II, prasarana dan sarana ekonomi, seperti jalan, jembatan, pengairan, pelabuhan laut dan udara, sarana pengangkutan, tenaga listrik, dan telekomunikasi, perlu semakin dipercepat penyediaannya. Di masa awal PJP I, pada saat kemampuan keuangan negara cukup besar seiring dengan meningkatnya penerimaan dari sektor migas, penyediaan berbagai prasarana ekonomi tersebut pada umumnya dilakukan oleh Pemerintah. Akan tetapi dengan semakin terbatasnya kemampuan keuangan negara, maka masyarakat dan dunia usaha perlu lebih danorong untuk turut berpartisipasi dalam penyediaan prasarana dan sarana ekonomi tersebut. Berkenaan dengan itu, perlu diciptakan suasana dan iklim investasi yang sehat serta dikembangkan pola usaha dan pola kerja sama di bidang pengembangan prasarana dan sarana ekonomi yang dinamis. Pola tersebut diupayakan menarik minat dan memungkinkan dunia usaha untuk dapat memperoleh keuntungan yang wajar dari kegiatan investasi di bidang prasarana dan sarana ekonomi, sekaligus menjamin bahwa kepentingan masyarakat umum tetap dapat terlindungi. Sumber pertumbuhan ekonomi lainnya di luar investasi Departemen Keuangan RI 17 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Selain berasal dari peningkatan investasi, sumber utama pertumbuhan juga berasal dari peningkatan produktivitas seluruh perekonomian. Di tengah kesulitan pengerahan sumber-sumber dana investasi, maka produktivitas masyarakat dan efisiensi perekonomian perlu terus diupayakan peningkatannya guna mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan. Selama Repelita VI, sekitar 22 persen dari pertumbuhan ekonomi diharapkan berasal dari peningkatan produktivitas masyarakat. Sejalan dengan itu, produktivitas tenaga kerja, yang diukur dengan nisbah nilai tambah per pekerja, diharapkan akan meningkat rata-rata sebesar 3,3 persen per tahun. Sehubungan dengan hal itu, perlu dipahami bahwa usaha peningkatan produktivitas nasional pada dasarnya berkaitan dengan tiga hat pokok. Yang pertama adalah bahwa proyek-proyek pembangunan, baik di sektor negara maupun di sektor swasta, perlu dipilih secara tepat sehingga seluruh dana yang terkumpul dapat dialokasikan kepada proyek-proyek yang paling produktif, menunjang ekspor nonmigas, serta memperluas lapangan kerja. Kedua, produktivitas nasional berkaitan secara langsung dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga program nasional di bidang pendidikan dan latihan harus mendapatkan perhatian yang cukup besar. Ketiga, pemakaian teknologi tepat guna harus diterapkan di semua tingkat produksi, agar tidak saja diperoleh produktivitas yang optimal tetapi juga memberikan landasan bagi penerapan teknologi tinggi di masa mendatang. Berbagai permasalahan yang perlu dipecahkan dalam pembangunan Selama PJP I pembangunan telah berhasil mencapai tujuannya, yaitu selain dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus juga mampu meletakkan landasan yang kuat bagi tetap pembangunan selanjutnya. Namun, perlu disadari pula bahwa keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dalam PJP I masih terdapat berbagai masalah yang sifatnya mendasar yang belum dapat diatasi sampai dengan akhir PJP I, sehingga perlu segera diselesaikan dalam masa pembangunan berikutnya. Selain itu keberhasilan pembangunan juga membawa masalah dan tantangan baru yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Masih adanya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial, tetap menuntut ushaa yang sungguh-sungguh untuk mengatasinya agar tidak berlanjut dan berkembang ke arah keangkuhan dan kecemburuan sosial yang dapat menghambat pembangunan. Sementara itu jumlah penduduk miskin yang telah berkurang secara dramatis, Departemen Keuangan RI 18 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 yaitu mencapai sekitar lebih dari 44 juta orang selama PJP I, memang merupakan prestasi yang sangat membesarkan hati. Namun demikian, disadari bahwa jumlah penduduk yang berada di bawah kemiskinan yang mencapai sekitar 13,7 persen dari seluruh penduduk Indonesia secara absolut masih cukup besar. Pengalaman menunjukkan bahwa usaha untuk mengurangi kemiskinan dari sekitar 60 persen menjadi sekitar 13,7 persen memerIukan waktu tidak kurang dari dua dasawarsa, yaitu dari tahun 1970 hingga akhir PJP I. Oleh katena itu, seperti diamanatkan dalam GBHN 1993, masalah kemiskinan tersebut harus segera diatasi dan ditangani secara sungguh-sungguh dalam PJP II. Kebijaksanaan pembangunan sektoral dan regional akan dilanjutkan dan ditingkatkan dengan melaksanakan program khusus untuk menanggulangi kemiskinan, sehingga diharapkan dalam dua Repelita mendatang masalah kemiskinan tersebut dapat diatasi. Selanjutnya pertambuhan jumlah penduduk dan persebaran penduduk yang masih belum merata telah menimbulkan masalah pengembangan sumber daya manusia, khususnya masalah peningkatan kualitas, penyediaan lapangan kerja, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Oleh karena itu, mutu pendidikan akan terus ditingkatkan, sedangkan peningkatan mutu, pemerataan pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi masyarakat akan mendapatkan perhatian lebih besar lagi. Upaya pemerataan pembangunan antardaerah juga perlu menjadi perhatian, terutama karena masih adanya perbedaan yang cukup menonjol antara satu daerah dengan daerah lainnya, yang tercermin dalam berbagai indikator ekonomi dan sosial. Pembangunan daerah dalam PJP II akan makin ditingkatkan untuk dapat lebih menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah, antar dan antara kota dan desa, antarsektor, serta membuka dan mempercepat pembangunan kawasan timur Indonesia, daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya, dengan senantiasa menyesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah yang bersangkutan. Dalam hubungan ini, perhatian khusus yang lebih besar akan diberikan kepada daerah terbelakang, daerah yang padat, daerah yang sangat kurang penduduknya, daerah transmigrasi, daerah terpencil, dan daerah perbatasan, serta daerah yang merniliki kekhususan, seperti daerah tertentu di kawasan timur Indonesia. Sementara itu pemanfaatan dari pengolahan sumber daya lahan, air, dan hutan, serta pola tata ruang masih belum sepenuhnya dilaksanakan secara menyeluruh dari terpadu, sehingga akan Departemen Keuangan RI 19 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 terus diperhatikan bersamaan dengan pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk mengatasi dan memecahkan berbagai perrnasalahan tersebut, berbagai langkah kebijaksanaan dan program pembangunan dalam Repelita VI akan lebih diarahkan pada pendayagunaan dan pengembangan secara maksimal seluruh potensi pembangunan yang ada, serta pemanfaatan setiap peluang yang terbuka, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, dengan tetap memperhatikan kendala yang harus dihadapi. Kebijaksanaan ekonomi makro 1995/96 Dengan semakin beratnya tantangan yang akan dihadapi di dalam Repelita VI, maka kebijaksanaan dan strategi pembangunan ekonomi Indonesia dalam tahun 1995/96 perlu senantiasa diusahakan agar merupakan suatu jalinan kebijaksanaan yang saling melengkapi, konsisten, dan mendasar untuk menciptakan iklim yang mampu menggerakkan segenap potensi nasional dalam usaha memobilisasi semua sumber ekonomi untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri dan menggalakkan ekspor nonmigas, sehingga dapat dicapai keseimbangan ekonomi, baik internal maupun eksternal. Untuk mengatasi berbagai perrnasalahan seperti yang diutarakan, kebijaksanaan ekonomi makro dan kebijaksanaan sektoral perlu lebih dipadukan. Kebijaksanaan ekonomi makro secara umum diarahkan untuk mengendalikan sisi perrnintaan melalui perangkat fiskal dan moneter agar tumbuh dan berkembang secara dinamis dalam batas-batas daya pikul sektor produksi dan neraca pembayaran. Dalam kaitan ini, penekanan diberikan kepada upaya untuk mendorong ekspor nonmigas, mobilisasi dana masyarakat, serta meningkatkan kegairahan melakukan investasi untuk menjamin proses pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkeseimbangan. Di bidang perdagangan luar negeri, kebijaksanaan tarif yang tepat akan disempurnakan untuk meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di pasar dunia dan menjaga kemantapan neraca pembayaran. Di samping itu di bidang moneter, kebijaksanaan devisa akan lebih diarahkan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah yang realistis dan lebih stabil guna menjaga daya saing, sekaligus mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap nilai rupiah, sehingga tetap dapat mendorong ekspor nonmigas. Kebijaksanaan tersebut akan dilakukan dengan menyesuaikan nilai tukar rupiah dengan memperhatikan laju inflasi di dalam negeri, perkembangan nilai tukar antarvaluta asing, perkembangan suku bunga di dalam dan di luar Departemen Keuangan RI 20 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 negeri, serta kecenderungan arus modal dari dan ke Indonesia. Selanjutnya untuk tetap menjaga kestabilan moneter, perlu ditempuh langkah-langkah yang ditujukan untuk menjaga likuiditas perekonomian, memantapkan suku bunga pada tingkat yang cukup rendah dan memperlancar penyaluran kredit perbankan kepada dunia usaha. Di sektor perbankan, kebijaksanaan akan diarahkan untuk mempercepat proses konsolidasi perbankan, mengurangi hambatan yang dihadapi bank-bank dalam kegiatan usahanya, terutama dalam pemberian kredit, serta lebih memantapkan pembinaan dan pengawasan perbankan dalam rangka mengembangkan sistem perbankan yang sehat. Kebijaksanaan fiskal akan terus diarahkan pada pemantapan peranannya sebagai unsur stabilisator tetapi sekaligus dinamisator kegiatan ekonomi melalui prinsip anggaran berimbang yang dinamis. Selain karena prinsip anggaran yang berimbang mampu menjadi alat pengendali keadaan moneter di dalam negeri, juga mempunyai dampak multiplikasi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi, di samping tetap merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang penting. Di samping itu kebijaksanaan keuangan negara juga diarahkan untuk semakin memperbaiki struktur sumber pembiayaan negara dan menunjang upaya peningkatan kemandirian pembiayaan pembangunan melalui pengembangan sumber penerimaan dalam negeri, baik migas maupun nonmigas. Sumber-sumber migas Walaupun peranannya dalam penerimaan negara terus menurun dan prospeknya tidak begitu cerah, penerimaan migas tetap merupakan sumber penerimaan yang penting bagi Pemerintah. Hal ini terutama karena sumber dana migas memiliki sifat strategis, baik sebagai sumber devisa maupun sebagai sumber penerimaan negara bagi anggaran belanja negara. Oleh karena itu, penerimaan migas juga perlu terus diupayakan peningkatannya dengan memanfaatkan peluang yang tersedia, antara lain melalui peningkatan eksplorasi lahan baru, peningkatan efisiensi produksi dan pengolahannya, serta penghematan konsumsi BBM dalam negeri. Sejalan dengan itu, perlu terus diupayakan peningkatan kerja sama dengan negara-negara anggota OPEC dan non-OPEC agar harga minyak dapat dipertahankan pada tingkat yang stabil dan wajar sehingga saling menguntungkan, baik bagi produsen maupun konsumen. Usaha untuk meningkatkan penerimaan migas jauh lebih sulit dibandingkan dengan upaya peningkatan Departemen Keuangan RI 21 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sumber-sumber penerimaan negara di luar migas, oleh karena adanya berbagai faktor eksternal, terutama yang berkaitan dengan perkembangan harga dan pasar minyak mentah internasional yang berada di luar jangkauan pengendalian pemerintah. Pengalaman membuktikan bahwa sekalipun sejak tahun 1990 OPEC telah menetapkan harga referensi sebesar US$ 21 per barel, akan tetapi di dalam kenyataannya harga minyak mentah di pasar dunia lebih rendah dari harga referensi tersebut, kecuali pada saar terjadinya perang Teluk pada akhir tahun 1990. Oleh karena itu, walaupun organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dalam siuangnya di Denpasar, Indonesia dalam bulan November 1994 telah berhasil menyatukan persepsi dan mencapai kesepakatan untuk memperpanjang kuota produksi sebesar 24,52 juta barrel per hari sampai akhir tahun 1995, yang diharapkan dapat mendorong peningkatan harga minyak di pasar dunia, namun penentuan harga patokan minyak mentah pada RAPBN 1995/96 harus tetap dilakukan secara berhati-hati dan realistis. Hal ini danasari oleh pertimbangan bahwa penetapan harga yang terlalu optimis dan ketergantungan yang terlalu berlebihan pada sektor migas di masa lampau telah menimbulkan pelbagai kesulitan pada perekonomian nasional. Penurunan harga minyak secara drastis dalam tahun 1986 telah menyebabkan APBN 1986/87 untuk pertama kalinya dalam sejarah pembangunan Orde Baru mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, sementara defisit transaksi berjalan mengalami peningkatan yang cukup tajam sehingga mengganggu keseimbangan neraca pembayaran dan cadangan devisa nasional. Peristiwa tersebut memberikan hikmah yang sangat berharga bagi pengelolaan ekonomi Indonesia di masa-masa selanjutnya, dengan memperkuat upaya dan tekad untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri terutama dari sektor pajak dan menggali sumber-sumber penerimaan devisa di luar migas, baik melalui pengembangan ekspor nonmigas maupun pengembangan sektor pariwisata. Penyempurnaan undang-undang perpajakan Di bidang perpajakan, guna meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan dalam jangka menengah dan panjang, serta memperkuat ketahanan dan kemandirian ekonomi Indonesia dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia yang semakin pesat pada era globalisasi, maka dalam tahun 1994 telah dilakukan penyempurnaan atas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan penyempurnaan undang-undang perpajakan tersebut landasan hukum di bidang perpajakan menjadi semakin kukuh dan cukup luwes, sehingga Departemen Keuangan RI 22 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 diharapkan lebih mampu mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan perekonomian global di masa-masa yang akan datang. Penyempurnaan terhadap ketentuan perpajakan tersebut meliputi Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Untuk meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia, khususnya dalam menarik investasi dan meningkatkan kegiatan ekonomi dalam negeri, dalam undang-undang perpajakan baru tersebut, tarif pajak penghasilan yang selama ini berlaku 3 (tiga) lapisan tarif, yaitu 15 persen untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 10 juta, 25 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 10 juta sampai dengan Rp 50 juta, dan 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 50 juta dirubah menjadi 10 persen untuk lapisan penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 25 juta, 15 persen untuk lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta, dan 30 persen untuk lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp 50 juta. Sedangkan untuk lebih meningkatkan rasa keadilan dalam pengenaan pajak, mengendalikan pola konsumsi yang tidak wajar, serta mendorong pola hidup sederhana, maka dalam Undang-undang Perubahan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tarif maksimal PPnBM telah dinaikkan dari sebesar 35 persen menjadi sebesar 50 persen, dengan tarif minimal tetap sebesar 10 persen. Sementara itu guna meringankan beban pajak dari wajib pajak perseorangan yang berpenghasilan tidak tetap dan golongan masyarakat yang kurang mampu, maka dalam Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun 1994 diperkenalkan nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOP- TKP) yang ditetapkan sebesar Rp 8 juta. Undang-undang Perpajakan yang telah disempurnakan tersebut tetap memegang teguh salah satu asas yang sangat hakiki, yaitu bahwa ketentuan perpajakan berlaku sama bagi setiap wajib pajak. Demikian pula prinsip self assessment yang sejak diberlakukan dalam tahun 1984 telah terbukti mampu meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, dalam undang-undang Departemen Keuangan RI 23 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 perpajakan yang baru tetap dipertahankan. Selain dari pada itu, dalam rangka memperluas objek pajak, maka berbagai bentuk aktivitas usaha yang selama ini aspek perpajakannya belum diatur atau belum cukup diatur dalam undang-undang yang berlaku sekarang, telah diatur dalam undang-undang yang baru. Dalam undang-undang perpajakan yang baru tersebut, cakupan objek pajak lebih diperluas sehingga menjangkau pula pemungutan pajak atas premi asuransi yang dibayarkan ke luar negeri, penghasilan dari penjualan harta di Indonesia dari wajib pajak luar negeri, perolehan hadiah dan penghargaan, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, seperti pemanfaatan merek yang dimiliki oleh pengusaha luar negeri oleh pengusaha dalam negeri, serta kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain. Dengan berbagai upaya penyempurnaan tersebut diharapkan peranan penerimaan negara dari sektor pajak sebagaimana diamanatkan dalam GBHN 1993 dapat lebih ditingkatan di masa-masa yang akan datang, tanpa harus mengurangi rasa keadilan masyarakat, bahkan dapat lebih menerapkan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, serta kesederhanaan. Disadari bahwa penurunan tarif pajak penghasilan tersebut dalam jangka waktu satu sampai dengan dua tahun sejak diberlakukannya undang-undang baru mungkin akan menyebabkan peningkatan penerimaan pajak penghasilan tidak setinggi peningkatannya dalam lima tahun terakhir. Namun demikian, dalam jangka menengah dan panjang penerimaan negara dari sektor pajak diperkirakan dapat ditingkatkan lebih besar sehingga keseluruhan rata-rata peningkatan penerimaan pajak sebagaimana yang direncanakan dalam Repelita VI diperkirakan masih akan tercapai. Hal ini dilakukan antara lain melalui peningkatan penerapan sanksi hukum secara tegas, yang dalam undang-undang baru telah diberikan landasan hukum yang lebih kukuh, perluasan objek pajak yang bersifat withholding, ekstensifikasi subjek pajak, serta perluasan objek pajak dari pajak pertambahan nilai. Selain daripada itu penurunan tarif pajak penghasilan tetap akan disertai ekstensifikasi wajib pajak dan intensifikasi pemungutan pajak serta peningkatan pelayanan oleh aparatur perpajakan. Danasarkan kepada perkembangan ekonomi baik di dalam negeri maupun luar negeri serta tantangan-tantangan yang diperkirakan akan dihadapi dalam tahun-tahun mendatang, penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 1995/96 dilakukan secara realistis, cermat dan akurat dengan penuh hati-hati dan kewaspadaan, Departemen Keuangan RI 24 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tanpa harus meninggalkan rasa optimisme. Dengan memperhatikan kemampuan pengerahan sumber-sumber penerimaan negara dan kebutuhan riil pembiayaan operasional dan investasi pemerintah dalam tahun kedua Repelita VI, maka sesuai dengan prinsip anggaran berimbang yang dinamis, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 1995/96 direncanakan berimbang pada tingkat Rp 78.024,2 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 8.275,1 miliar atau 11,9 persen dari APBN 1994/95. Di sisi anggaran pendapatan negara, penerimaan dalam negeri diperkirakan sebesar Rp 66.265,2 miliar atau sekitar 11 persen lebih tinggi dari sasaran penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN 1994/95. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 52.989,6 miliar atau sekitar 80 persen merupakan penerimaan di luar migas, sedangkan sisanya sebesar Rp 13.275,6 miliar atau sekitar 20 persen berasal dari penerimaan migas. Penerimaan dalam negeri di luar migas dalam RAPBN 1995/96 tersebut berarti meningkat sebesar Rp 6.103,7 miliar atau 13 persen bila dibandingkan dengan sasaran penerimaan nonmigas yang direncanakan dalam APBN tahun 1994/95. Sementara itu penerimaan dari sektor migas diperkirakan mengalami peningkatan sebesar Rp 424,4 miliar atau 3,3 persen dari sasaran penerimaan migas dalam APBN 1994/95. Di sisi anggaran belanja negara, dalam RAPBN 1995/96 pengeluaran rutin direncanakan meningkat sebesar 11,5 persen bila dibandingkan dengan rencananya dalam APBN 1994/95, sehingga mencapai Rp 47.240,7 miliar. Pengeluaran rutin tersebut akan dipusatkan untuk memperlancar roda pemerintahan dan meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Peningkatan pengeluaran rutin tersebut antara lain disebabkan oleh adanya kebijaksanaan kenaikan gaji pegawai negeri sipil, anggota ABRI, dan pensiunan, baik di pusat maupun di daerah sebesar 10 persen. Selain daripada itu pengeluaran rutin juga masih dipengaruhi oleh kenaikan dalam pembayaran hutang luar negeri, yang dalam RAPBN 1995/96 diperkirakan mencapai sebesar Rp 17.896,1 miliar. Kenaikan dalam pembayaran hutang luar negeri tersebut antara lain disebabkan oleh menguatnya nilai tukar beberapa mata uang negaranegara industri maju khususnya Yen terhadap Dolar Amerika Serikat dan rupiah. Sekalipun secara absolut pembayaran hutang luar negeri mengalami peningkatan sebesar Rp 243,8 miliar bila dibandingkan dengan perkiraannya dalam APBN 1994/95, namun peranannya terhadap pengeluaran rutin menunjukkan penurunan dari sekitar 42 persen dalam APBN 1994/95 menjadi sekitar 38 persen dalam RAPBN 1995/96. Penurunan peranan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dalam pengeluaran rutin RAPBN 1995/96 tersebut berkaitan erat dengan Departemen Keuangan RI 25 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 percepatan pembayaran (prepayment) terhadap sebagian pinjaman luar negeri pemerintah yang memiliki tingkat suku bunga tinggi dalam tahun 1994/95, sebagai upaya untuk memperingan kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri di masa mendatang agar tetap dalam batas kemampuan perekonomian nasional, tidak menimbulkan beban yang lebih berat terhadap APBN, dan sekaligus mampu memelihara kondisi neraca pembayaran yang sehat. Dalam tahun anggaran 1995/96 dan tahun-tahun mendatang, prinsip efisiensi dan efektivitas yang senantiasa mendasari setiap penerimaan dan pengeluaran negara akan lebih ditingkatkan intensitas pelaksanaannya, guna menghasilkan tabungan pemerintah yang memadai. Dengan perkembangan penerimaan dalam negeri yang melampaui pengeluaran rutin sebagaimana diuraikan di atas, maka jumlah tabungan pemerintah yang dapat dihimpun dalam RAPBN 1995/96 diperkirakan mencapai sebesar Rp 19.024,5 miliar, atau mendekati sasarannya dalam tahun kedua Repelita VI sebesar Rp 19.070,8 miliar. Jumlah tersebut berarti sekitar 9,4 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan jumlah tabungan pemerintah yang direncanakan dalam APBN 1994/95 sebesar Rp 17.386,3 miliar. Bersama-sama dengan penerimaan pembangunan yang berjumlah sebesar Rp 11.759,0 miliar, berarti dana yang tersedia untuk anggaran belanja pembangunan dalam RAPBN 1995/96 direncanakan mencapai sebesar Rp 30.783,5 miliar. Ini berarti bahwa dalam RAPBN 1995/96, anggaran belanja pembangunan diperkirakan mengalami peningkatan sebesar Rp 3.385,2 miliar atau 12,4 persen bila dibandingkan dengan anggaran pembangunan dalam APBN 1994/95 sebesar Rp 27.398,3 miliar. Jumlah tersebut akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di berbagai sektor dan subsektor untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan sesuai dengan skala prioritas seperti yang direncanakan dalam tahun kedua Repelita VI, dan sekaligus mengatasi berbagai permasalahan yang belum terpecahkan dalam PJP I. Prioritas pembangunan sesuai dengan arahan GBHN 1993 Mengacu kepada arah kebijaksanaan yang ditetapkan dalam GBHN 1993 dan Repelita VI, maka prioritas pembangunan dalam tahun anggaran 1995/96 diletakkan pada pembangunan sektorsektor di bidang ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam hubungan ini, Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya Departemen Keuangan RI 26 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 masyarakat makmur yang berkeadilan sosial, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis tetap menjadi pedoman dasar dan acuan utama yang harus dipertimbangkan dalam setiap proses pengambilan keputusan politik, pengelolaan kebijaksanaan ekonomi, dan pemecahan masalah-masalah mendasar di seluruh bidang pembangunan. Dalam memasuki tahapan yang sangat penting dalam sejarah perjalanan bangsa, dimensi pemerataan memperoleh aksentuasi di dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, dengan mempertegas implementasi peningkatan kemakmuran dalam nuansa pemerataan yang berkeadilan sosial, sehingga dapat dihindarkan pemerataan yang hanya berbagi kemiskinan. Sedangkan pertumbuhan ekonomi diperlukan sebagai penggerak dan pemacu pembangunan di bidang-bidang lain, dan sekaligus sebagai kekuatan utama pembangunan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, dengan lebih memberi peran kepada rakyat untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan, dan didukung oleh stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Sementara itu stabilitas nasional yang memberi ruang gerak bagi dinamika, dan dinamika yang menggerakkan stabilitas nasional tetap diperlukan sebagai prasyarat dalam menunjang kelancaran pembangunan, sehingga memungkinkan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi bagi terselenggaranya pemerataan kemakmuran yang berkeadilan sosial. Dengan kerangka acuan di atas, maka pembangunan nasional tidak hanya ditujukan untuk mencapai tujuan ekonomi semata, tetapi juga diarahkan pada pembangunan bidang-bidang lainnya, yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan pembangunan bidang ekonomi. Pembangunan yang hanya mengutamakan pembangunan ekonomi hanya akan menimbulkan ketidakseimbangan, baik di dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keterkaitannya dengan sumber alam serta lingkungan hidup. Oleh karena itu, pemanfaatan modal, pendayagunaan sumber daya alam, dan pengembangan sumber daya manusia dalam pembangunan Indonesia untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur, akan diupayakan seimbang dan dilaksanakan secara terencana, rasional, efisien, optimal dan bertanggung jawab, dengan senantiasa menyesuaikannya terhadap kemampuan daya dukungnya serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Dalam hubungan ini, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu langkah strategis di dalam penanggulangan kemiskinan, akan lebih ditingkatkan di masa-masa Departemen Keuangan RI 27 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 mendatang seirama dengan upaya pelestarian lingkungan hidup, oleh karena pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa faktor sumber daya manusia sangat menentukan bagi keberhasilan pembangunannya. Kualitas sumber daya manusia Peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi tuntutan yang sangat mendesak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, oleh karena perkembangan ekonomi, industrialisasi, arus informasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan (iptek) yang pesat makin menuntut sumber daya manusia yang makin tinggi kualitasnya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan seiring dengan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dunia, maka sebagai rangkaian usaha pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia akan semakin dikembangkan dan ditingkatkan antara lain melalui peningkatan kualitas hidup, baik kualitas fisik dan spiritual manusia maupun kualitas kehidupannya, peningkatan produktivitas dan upaya pemerataan penyebarannya sesuai dengan kebutuhan, serta peningkatan kemampuan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berwawasan lingkungan. Kebijaksanaan peningkatan kualitas hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari usaha untuk menekan tingkat kematian bayi, meningkatkan usia rata-rata penduduk Indonesia, meningkatkan kesehatan dan pendidikan masyarakat, serta memperluas kesempatan kerja dan penyebaran penduduk. Di bidang pendidikan, dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia, dalam tahun anggaran 1995/96 akan diupayakan perluasan pemerataan kesempatan pendidikan, dan peningkatan mutu pendidikan di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Perluasan jangkauan akses pelayanan pendidikan akan diusahakan melalui penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, serta penyediaan berbagai prasarana dan sarana pendidikan untuk meningkatkan daya tampung lembaga-lembaga pendidikan di berbagai tingkatan. Sedangkan peningkatan mutu pendidikan diupayakan antara lain dengan menyempurnakan kurikulum pendidikan, meningkatkan mutu guru, dosen dan tenaga kependidikan lainnya, meningkatkan budaya minat baca sebagian besar masyarakat, serta mengembangkan sistem pendidikan dan pelatihan yang tepat agar mampu memenuhi tuntutan pembangunan dan pasar tenaga kerja. Departemen Keuangan RI 28 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Di bidang kesehatan, upaya peningkatan mutu dan derajat kesehatan masyarakat akan lebih diarahkan pada perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan agar menjangkau seluruh penduduk, terutama penduduk di daerah terpenci1, desa tertinggal, dan penduduk yang tidak mampu. Peningkatan kualitas dan pemerataan jangkauan pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain dilakukan melalui pembangunan Puskesmas, penyuluhan kesehatan, pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit, serta peningkatan kelas terhadap semua rumah sakit. Demikian pula dalam rangka menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan secaralebih merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, akan diupayakan peningkatan produksi dan pendistribusian obat generik berlogo secara lebih luas, pendayagunaan obat dan cara pengobatan tradional, serta pembentukan sentra pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional. Seiring dengan itu, dalam rangka menciptakan keseimbangan antara kualitas penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, pertumbuhan penduduk akan lebih dikendalikan antara lain melalui upaya pendewasaan usia kawin, pembudayaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS), peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), pengadaan alat-alat kontrasepsi, serta usaha peningkatan pendapatan keluarga akseptor (UPPKA). Selanjutnya untuk mendukung kesehatan dan proses pembentukan manusia dengan kecerdasan yang diharapkan, akan diupayakan peningkatan kualitas pangan dan keadaan gizi sebagian besar masyarakat antara lain melalui gerakan sadar pangan dan gizi (GSPG), usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) dengan pemberian makanan tambahan (PMT), serta penanggulangan kurang energi protein (KEP) dan kelainan gizi. Demikian pula pelayanan penyediaan dan akses air bersih, khususnya bagi kehidupan masyarakat di lingkungan kumuh akan lebih diperluas, sehingga dapat menunjang terciptanya budaya dan perilaku hidup bersih dan sehat. Di bidang agama, akan diupayakan pembangunan dan pembinaan berbagai aspek yang menyentuh sendi-sendi kehidupan keagamaan, antara lain melalui upaya pengembangan sarana kehidupan beragama, peningkatan penerangan, bimbingan dan kerukunan hidup beragama, serta pembinaan pendidikan agama di semua jenjang pendidikan. Sementara itu peningkatan produktivitas tenaga kerja dan upaya pemerataan penyebarannya sesuai dengan kebutuhan akan diupayakan antara lain melalui pelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja, penyebaran dan pendayagunaan tenaga kerja, pembinaan dan pengembangan produktivitas dan kesempatan kerja, serta pembinaan hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja. Sejalan dengan itu, juga akan diupayakan peningkatan kemampuan Departemen Keuangan RI 29 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berwawasan lingkungan guna mendukung upaya percepatan proses transformasi teknologi, pengembangan rancang bangun dan rekayasa, pengembangan sistem kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta pengembangan wahana yang memadai bagi penerapan iptek. Peningkatan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan. Sejalan dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, usaha-usaha untuk menanggulangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan, baik antargolongan ekonomi, antarkelompok pendapatan masyarakat, antarsektor, maupun antardaerah akan semakin diintensifkan dengan lebih memadukan berbagai kebijaksanaan makro ekonomi dan kebijaksanaan sektoral dengan kebijaksanaan regional. Menyadari perlunya perbaikan akses terhadap sumber daya, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar, dan akses terhadap sumber pembiayaan dalam upaya peningkatan kemampuan penduduk miskin, maka dalam tahun anggaran 1995/96 program bantuan pembangunan desa tertinggal dalam bentuk Inpres desa tertinggal (IDT) akan semakin ditingkatkan intensitas pelaksanaannya dengan lebih menyempurnakan kriteria penilaian, dan mengarahkan alokasi pemanfaatannya bagi usaha-usaha produktif yang dikembangkan di kakangan dan oleh penduduk miskin sendiri, atas dasar semangat keswadayaan, kooperatif dan kemandirian, sehingga secara bersama-sama mereka mampu melepaskan diri dari kemiskinan, khususnya di desa-desa tertinggal. Melalui program IDT, penduduk desa tertinggal diharapkan dapat secara kreatif menciptakan kegiatan perekonomian di pedesaan, yang pada gilirannya akan meningkatkan aktivitas ekonomi pedesaan dan kesejahteraan penduduk. Peningkatan kemampuan usaha kecil, menengah dan koperasi juga di dorong melalui pemberian kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam pelaksanaan proyekproyek pembangunan pemerintah, dan pengutamaan penggunaan produksi dalam negeri dalam setiap pengadaan barang dan jasa kebutuhan departemen/lembaga negara. Sedangkan upaya peningkatan pemerataan pendapatan akan dilakukan antara lain melalui penciptaan dan perluasan lapangan kerja, serta kebijaksanaan penetapan upah minimum regional, sektoral dan subsektor yang diupayakan agar berada di atas kebutuhan fisik minimum. Pemerataan pembangunan antarsektor diupayakan dengan menyeimbangkan secara bertahap peranan dan sumbangan ketiga Departemen Keuangan RI 30 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sektor ekonomi, yaitu pertanian, industri, dan jasa dalam rangka penciptaan nilai tambah dan produktivitas ekonomi nasional yang tinggi, yang pada akhirnya dapat mengurangi ketimpangan pendapatan. Sedangkan upaya pemerataan pembangunan antardaerah diwujudkan dengan mendorong investasi dan penyebaran sumber daya manusia terutama ke wilayah yang belum berkembang, khususnya di kawasan timur Indonesia dan daerah-daerah terpencil lainnya. Hal ini diupayakan melalui alokasi anggaran sektoral bagi penyediaan prasarana fisik, peningkatan keterampilan, pelatihan dan pengembangan kewiraswastaan, promosi investasi, serta pemberian berbagai kemudahan lainnya. Sejalan dengan itu, kebijaksanaan pemberian desentralisasi dan otonomi daerah akan makin diperluas dengan antara lain meningkatkan alokasi program bantuan pembangunan daerah, baik Inpres Dati I maupun Inpres Dati II dengan lebih memberikan keleluasaan kepada daerah dalam perencanaan pemanfaatannya sesuai dengan prioritas dan potensi ekonomis masing-masing daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung upaya peningkatan keserasian laju pertumbuhan antardaerah, peningkatan keterpaduan pembangunan sektoral dan pembangunan daerah, serta pemantapan penataan tata ruang dalam pembangunan daerah. Pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan Selanjutnya untuk mencegah terjadinya kerusakan sumber daya alam dan menurunnya kualitas lingkungan hidup sebagai akibat dari meningkatnya intensitas kegiatan pembangunan, maka dalam rangka pembangunan nasional yang berkelanjutan, akan dilaksanakan pembinaan daerah pantai, pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup, penyelamatan hutan, tanah dan air, rehabilitasi lahan kritis, pengendalian pencemaran lingkungan hidup, serta inventarisasi dan evaluasi sumber daya darat. Berbagai program pelestarian lingkungan hidup tersebut akan diupayakan berjalan seiring dengan rencana penyusunan strategi dan pengelolaan teknis penataan ruang, serta pengembangan sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan efisien guna mengantisipasi aspek-aspek yang makin kompleks dan kegiatan pembangunan yang makin intensif. Pembenahan dan pembaruan hukum nasional Dengan makin meningkatnya perkembangan dan dinamika masyarakat sebagai akibat dari Departemen Keuangan RI 31 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pembangunan, serta kemajuan ekonomi dan iptek, menimbulkan tuntutan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan jasa hukum, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh sebab itu, guna mengharmoniskan hukum nasional dengan aspek-aspek hukum transnasional tanpa harus meninggalkan ciri-ciri falsafah hukum nasional yang mementingkan sifat kekeluargaan dan keseimbangan yang bersumber pada idedogi Pancasila, maka dalam rangka rencana legislasi nasional, akan diajukan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) di berbagai bidang sesuai dengan urutan prioritas kebutuhan pembangunan. Beberapa diantaranya adalah RUU tentang Pasar Modal untuk menjamin dipenuhinya persyaratan disclosure dan sekaligus memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, RUU Pabean dan Cukai untuk memperkukuh landasan hukum di bidang keuangan dari perdagangan luar negeri, serta RUU tentang Perairan Nasional dan Landas Kontinen dalam rangka memberikan perlindungan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan potensi kelautan, serta penegakan kedaulatan hukum wilayah perairan Indonesia. Di samping itu juga direncanakan pengajuan RUU tentang Perubahan UU Hak Cipta, Paten dan Merek, serta RUU tentang Desain Produk Industri, Rangkaian Elektronik Terpadu (Integrated Circuits), Rahasia Dagang dan Arbitrase sebagai tindak lanjut daripada pengesahan hasil-hasil perundingan Putaran Uruguay. Dalam rangka mewujudkan amanat vasal 33 DUD 1945, dewasa ini juga sedang dipersiapkan penyusunan RUU Perlindungan Usaha Kecil dan Koperasi, RUU Perlindungan Konsumen, serta RUU yang mengatur tentang penghindaran persaingan usaha yang tidak sehat (unfair competition). Pengesahan berbagai Rancangan U nuang -undang tersebut diharapkan mampu memperkukuh landasan pengaturan dan memberikan transparansi bagi berbagai bidang kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Penutup Pada akhirnya keberhasilan pembangunan nasional yang makin meluas dan kompleks akan sangat tergantung pada kemampuan perencanaan. pelaksanaan. pengendalian dan pengawasan dalam manajemen pembangunan nasional yang terpadu serta berpijak pada potensi, kekuatan efektif dan kemampuan dalam negeri dengan dilandasi tanggungjawab, semangat pengabdian dan semangat pembangunan serta kemampuan profesional yang tinggi. Oleh karena itu, peran aktif masyarakat serta disiplin para penyelenggara negara dan seluruh rakyat Indonesia perlu lebih ditingkatkan, sedangkan peranan lembaga yang melaksanakan fungsi pemeriksaan, Departemen Keuangan RI 32 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pengawasan dan pengendalian perlu makin dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan berbagai upaya dan ikhtiar pembangunan, maka cita-cita masyarakat adil dan makrnur sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 niscaya akan dapat terwujud. Departemen Keuangan RI 33 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 BAB II ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 2.1. Pendahuluan Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di dalam dimensi kehidupan bangsa dan negara Indonesia senantiasa diarahkan untuk memperkuat sendi-sendi dasar demokrasi dan sistem konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Bertolak dari ketentuan Pasal 23 Undang Undang Dasar 1945, APBN disusun sebagai rencana operasional tahunan dari Repelita, yang merupakan penjabaran dari Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sebagai ujung tombak kebijaksanaan pembangunan sektor pemerintah, penyusunan APBN tidak dapat lain daripada mengacu kepada arah kebijaksanaan pembangunan yang telah ditetapkan dalam GBHN, guna mewujudkan secara bertahap amanat yang terkandung di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di dalam hubungan ini, APBN diletakkan sebagai perangkat utama kebijaksanaan fiskal, yang bersama-sama dengan kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan perdagangan luar negeri senantiasa menjadi pilar-pilar kebijaksanaan ekonomi makro yang saling mendukung dalam menopang pengelolaan ekonomi nasional. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, sebagai satu rangkaian tak terpisahkan dari Trilogi Pembangunan, tetap menjadi landasan kebijaksanaan pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, pengerahan sumber-sumber penerimaan negara dan alokasi pemanfaatannya kepada seluruh sektor pembangunan tetap diarahkan kepada tercapainya ketiga sasaran Trilogi Pembangunan tersebut. Dalam rangka mencapai keseimbangan antar sasaran tersebut, penyusunan dan pelaksanaan APBN senantiasa danasarkan pada prinsip anggaran berimbang yang dinamis, dengan senantiasa menjaga keserasian antara pengeluaran negara dengan penerimaan negara dalam jumlah yang dapat memantapkan stabilitas ekonomi dan sekaligus menjamin terus berlangsungnya pembangunan nasional. Pengalaman membuktikan bahwa penerapan prinsip anggaran berimbang yang dinamis selama ini di samping mampu menjadi alat pengendali keadaan moneter di dalam negeri, juga mempunyai dampak multiplikasi yang besar terhadap Departemen Keuangan RI 34 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pertumbuhan ekonomi. Perencanaan dan pelaksanaan APBN di samping danasarkan pada prinsip anggaran belanja berimbang yang dinamis, juga diarahkan untuk mewujudkan prinsip kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Hal ini berarti bahwa kemampuan sumber pembiayaan yang berasal dari dalam negeri harus makin diperbesar melalui peningkatan penerimaan negara, baik dari sektor minyak bumi dan gas alam (migas) maupun sektor di luar migas. Sungguhpun penerimaan dalam negeri terus menunjukkan peningkatan, yaitu dari sekitar 9 persen produk domestik bruto (PDB) pada awal Repelita I menjadi sekitar 20 persen dari PDB dalam tahun kedua Repelita IV, namun perkembangan tersebut lebih banyak ditopang oleh penerimaan migas. Menyadari bahwa ketergantungan pada penerimaan migas dapat menimbulkan berbagai kerawanan terhadap perekonomian nasional terutama pada sektor APBN, maka usaha penggalian dan pengembangan lainnya di luar pajak lebih ditingkatkan dengan tetap memperhatikan peningkatan kemampuan pembiayaan pembangunan oleh masyarakat dan dunia usaha. Langkah-langkah untuk menegakkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan tersebut, khususnya melalui usaha peningkatan penerimaan dalam negeri diluar migas, telah meletakkan dasar pijak dan landasan hukumnya sejak tahun pertama Repelita IV ketika pemerintah melakukan pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan berbagai usaha yang sungguh-sungguh di dalam menggali sumber-sumber penerimaan di luar migas, terutama dari sektor perpajakan, maka peranan dari sektor perpajakan secara berangsur-angsur dapat menggantikan dominasi penerimaan dari sektor migas dalam penerimaan negara. Demikian pula rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB di luar migas yang dalam tahun pertama lama Repelita VI baru sebesar 6,4 persen. Peningkatan penerimaan perpajakan tersebut selain memperkukuh struktur penerimaan negara juga membuktikan bahwa swadaya dan kemandirian dalam melaksanakan pembangunan yang bersumber dari penggalian dana-dana dalam negeri telah menunjukkan hasil yang mantap dan nyata. Apabila dalam tahun pertama Repelita I sumber -sumber penerimaan dalam negeri baru menopang sekitar 23 persen dari keseluruhan anggaran pembangunan, maka dalam tahun pertama Repelita VI sebagian besar, yaitu sekitar 63,5 persen, dari seluruh kebutuhan dana pembangunan dapat dipenuhi dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri. Sekalipun demikian, dibandingkan dengan luasnya kegiatan pembangunan, sumber penerimaan dalam negeri belum sepenuhnya mampu memenuhi seluruh kebutuhan pembiayaan investasi sektor pemerintah. Oleh karena itu, penerimaan pembangunan yang bersumber dari luar negeri Departemen Keuangan RI 35 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 masih diperlukan sebagai pelengkap, dengan tetap menghindarkan keterikatan dan campur tangan asing, dan senantiasa mengupayakan agar peranannya secara bertahap relatif semakin menurun. Selain daripada sebagai unsure stabilisator perkembangan ekonomi dalam negeri, peranan APBN yang tidak kurang penting adalah sebagai sumber utama pembiayaan investasi di sektor pemerintah. Selama periode pembangunan jangka panjang pertama (PJP I), terutama sejak awal Repelita I hingga Repelita III, peranan investasi pemerintah dalam pembentukan investasi nasional menunjukkan kecendrungan yang semakin meningkat. Apabila pada awal-awal periode Repelita I, peranan investasi pemerintah baru sekitar 37 persen dari total investasi nasional, maka sejalan dengan meningkatnya penerimaan negara dari sektor migas, peranan investasi pemerintah dalam Repelita III meningkat menjadi lebih dari 50 persen dari total investasi nasional setiap tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, walau peranannya sebagai sumber utama dana investasi nasional relatif semakin menurun dan digantikan oleh dana investasi swasta, akan tetapi melalui alokasi dana anggaran belanja negara, APBN diperkirakan masih akan tetap penting sebagai pendorong berkembangnya kegiatan perekonomian nasional. Hali ni terutama karena anggaran belanja pemerintah pada dasarnya merupakan salah satu sumber permintaan yang sangat potensial terhadap produksi barang dan jasa masyarakat, termasuk dunia usaha. Apabila pada awal PJP I jumlah pengeluaran negara yang dibelanjakan di dalam negeri baru mencakup sekitar 10 persen dari PDB, maka seiring dengan peningkatan volume APBN, dalam Repelita III mencapai sekitar 20 persen dari PDB. Pengeluaran pemerintah yang semakin besar, melalui proses multiplikasi, telah mampu memberikan pengaruh positif terhadap jumlah output yang dihasilkan oleh perekonomian. Keberhasilan pengelolaan anggaran berimbang yang dinamis, selain ditentukan oleh keberhasilan dalam penggalian dan pengerahan secara optimal berbagai potensi penerimaan negara, juga harus didukung dengan alokasi anggaran belanja negara yang makin efisien, terarah dan terkendali. Oleh karena itu, perencanaan dan pengelolaan APBN senantiasa danasarkan kepada prinsip efisiensi, efektivitas dan optimalisasi pemanfaatan dana negara, dengan antara lain mempertajam prioritas alokasi pemanfaatannya, baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat, maupun guna menunjang kegiatan-kegiatan yang tidak dilaksanakan oleh masyarakat dan dunia usaha. Pengeluaran rutin dikendalikan dalam batas-batas yang tidak mengganggu kelancaran penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan kegiatan pembangunan, antara lain melalui penghapusan berbagai macam subsidi untuk mendorong Departemen Keuangan RI 36 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tercapainya alokasi sumber-sumber ekonomi yang sehat, tanpa harus mengorbankan kesejahteraan dari sebagian besar masyarakat. Sementara itu anggaran belanja pembangunan diarahkan alokasi pemanfaatannya untuk menciptakan dan memperkuat unsur-unsur dasar yang mendukung pembangunan, seperti pembangunan prasarana dan sarana ekonomi, perluasan jaringan pelayanan dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pengembangan sumber daya manusia. Pembangunan proyek-proyek tersebut selain merupakan unsur yang positif untuk mendukung kegiatan ekonomi dalam negeri, juga sekaligus akan mengatasi kendala-kendala prasarana yang dapat menghambat kegiatan produksi dan penanaman modal oleh dunia usaha. Belajar dari pengalaman keberhasilan masa lampau dalam pengelolaan APBN, serta melihat semakin beratnya tugas dan tantangan yang dihadapi dalam era globalisasi di masa mendatang, maka prinsip anggaran berimbang yang dinamis, kemandirian dalam pembiayaan pembangunan, dan efisiensi alokasi pengeluaran negara akan senantiasa menjadi acuan yang melandasi kebijaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara. Perkembangan APBN sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI . Tabel II.1 -1 Penerimaan dalam negeri Pengeluaran rutin Tabungan pemerintah Penerimaan pembangunan a. bantuan program b. bantuan proyek Dana pembangunan Pengeluaran pembangunan a. rupiah b. bantuan proyek Repelita 1974/75 Realisasi Repelita 1975/76 Realisasi Repelita 1976/77 Realisasi Repelita -2 1.363,40 961,6 401,8 213,9 (-) (-) 615,7 615,7 (-) (-) -3 1.753,70 1.016,10 737,6 232 -36,1 -195,9 969.6 961,8 (765.9) -195,9 -4 2.073,70 1.293,90 779,8 191,8 (-) (-) 971,6 971,6 (-) (-) -5 2.241,90 1.332,60 909,3 491,6 -20,2 -471,4 1.400,90 1.397,70 (926.3) -471,4 -6 2.277,40 1.427,90 849,5 208 (-) (-) 1.057,50 1.057,50 (-) (-) -7 2.906,00 1.629,80 1.276,20 783,8 -10,2 -773,6 2.060,00 2.054,50 -1.280,90 -773,6 2.607,70 1.629,90 977,8 218,4 (-) (-) 1.196,20 1.196,20 (-) (-) 1989/90 Repelita Realisasi -2 -3 -1 Penerimaan dalam negeri Pengeluaran rutin Tabungan pemerintah Penerimaan pembangunan a. bantuan program b. bantuan proyek Dana pembangunan Pengeluaran pembangunan a. rupiah b. bantuan proyek 25.249,80 23.445,00 1.804,80 11.325,10 (-) (-) 13.129,90 13.129,90 (-) (-) 28.739,80 24.331,10 4.408,70 9.429,30 -1.007,20 -8.422,10 13.838,00 13.834,30 -5.412,20 -8.422,10 Departemen Keuangan RI 1990/91 Repelita Realisasi -4 -5 29.432,50 24,829,6 4.602,90 11.566,00 (-) (-) 16.168,90 16.168,90 (-) (-) 39.546,40 29.997,70 9.548,70 9.904,60 -1.396,80 -8.507,80 19.453,30 19.452,00 -10.944,20 -8.507,80 1991/92 Repelita Realisasi -6 -7 34.856,50 26.591,60 8.264,90 12.644,80 (-) (-) 20.909,70 20.909,70 (-) (-) 41.584,80 30.227,60 11.357,20 10.409,10 -1.563,40 -8.845,70 21.766,30 21.764,20 -12.918,50 -8.845,70 -8 1977/78 Realisasi Repelita -9 3.535,40 2.148,90 1.386,50 773,4 -35,8 -737,6 2.159,90 2.156,80 -1.419,20 -737,6 (10) 3.088,70 1.905,10 1.183,60 224,6 (-) (-) 1.408,20 1.408,20 (-) (-) 1992/93 Repelita Realisasi -8 -9 41.466,40 27.974,40 13.492,00 12.195,00 (-) (-) 25.687,00 25.687,00 (-) (-) 47.452,50 34.031,20 13.421,30 10.715,70 (51l,7) -10.204,00 24.137,00 24.134,80 -13.930,80 -10.204,00 1978/79 Realisasi (11) 4.266,10 2.743,70 1.522,40 1.035,50 -48,2 -987,3 2.557,90 2.555,60 -1.568,30 -987,3 1993/94 Repelita Realisasi -10 -11 48.909,40 29.959,80 18.949,60 12.687,00 (-) (-) 31.636,60 31.636,60 (-) (-) 52.279,80 38.799,30 13.480,50 10.371,90 -440,8 -9.931,10 23.852,40 25.661,10 -15.730,00 -9.931,10 JUMLAH Repelita Realisasi -11 11.410,90 7.218,40 4.192,50 1.056,70 (-) (-) 5.249,20 15.249,20 (-) (-) -12 14.703,10 8.871,10 5.832,00 3.316,30 -150,5 -3.165,80 9.148,30 9.126,40 -5.960,60 -3.165,80 JUMLAH Repelita Realisasi -12 -13 179.914,60 132.800,40 47.114,20 60.417,90 (-) (-) 107.532,10 107.532,10 (-) (-) 209.603,30 157.386,90 52.216,40 50.830,60 -4.919,90 -45.910,70 103.047,00 104.846,40 -58.935,70 -45.910,70 37 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Penerimaan dalam negeri Pengeluaran rutin Tabungan pemerintah Penerimaan pembangunan a. bantuan program b. bantuan proyek Dana pembangunan Pengeluaran pembangunan a. rupiah b. bantuan pmyek 1994/95 Repelita 59.737,10 42.350,80 17.386,30 10.012,00 (-) -10.012,00 27.398,30 27.398,30 (-) (-) APBN 59.737,10 42.350,80 17.386,30 10.012,00 (-) (10.012,0 27.398,30 27.398,30 -17.386,30 -10.012,00 2.2. Perkembangan pelaksanaan APBN sampai dengan tahun anggaran 1994/95 2.2.1. Kebijaksanaan pokok dibidang APBN Kebijaksanaan keuangan negara yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya danasarkan pada prinsip anggaran berimbang yang dinamis. Berimbang dalam arti jumlah keseluruhan pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan, selalu sama dengan jumlah keseluruhan penerimaan negara. Dinamis berarti bahwa dalam hal penerimaan lebih rendah dari yang direncanakan semula, Pemerintah akan menyesuaikan pengeluaran agar tetap terjaga keseimbangannya, demikian pula dalam hal penerimaan dapat melampaui rencana semula, Pemerintah dapat meningkatkan pengeluaran agar keseimbangan tetap dapat dipertahankan. Dengan prinsip anggaran berimbang yang dinamis, diupayakan agar tabungan pemerintah semakin besar sehingga peranannya semakin berarti dalam membiayai proyek-proyek pembangunan. Peningkatan tabungan pemerintah tersebut diupayakan dengan meningkatkan penerimaan dalam negeri disertai dengan peningkatan efisiensi pengeluaran rutin tanpa mengabaikan peningkatan multi pelayanan aparat pemerintah kepada masyarakat. Di bidang penerimaan, khususnya penerimaan dalam negeri, kebijaksanaan yang ditempuh adalah mengupayakan peningkatan penerimaan dalam negeri di luar migas, mengingat penerimaan migas sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi di luar negeri dan perkembangan politik internasional dengan gejolak yang tidak menentu. Sementara itu kebijaksanaan di bidang pengeluaran rutin tetap dilandasi prinsip peningkatan multi dan daya guna pelayanan aparatur pemerintah. Selain itu, kebijaksanaan pengeluaran rutin juga dimaksudkan untuk dapat memberikan dukungan yang memadai bagi kesejahteraan aparatur, Departemen Keuangan RI 38 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 serta cukup tersedianya biaya operasi dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. Dalam rangka mencapai efisiensi perekonomian, maka pengendalian pengeluaran rutin diupayakan melalui penyempurnaan pola pengeluaran rutin yang terarah dan dapat mencapai sasaran. Selain itu pemberian subsidi secara bertahap dikurangi terutama bagi subsidi yang tidak diprioritaskan, agar tidak menimbulkan inefisiensi dalam alokasi sumbersumber ekonomi. Sementara itu di bidang pengeluaran pembangunan kebijaksanaan yang ditempuh diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan dan dibiayai sendiri oleh masyarakat dan dunia usaha. Kegiatan-kegiatan dimaksud meliputi penyediaan sarana dan prasarana dasar yang memiliki peran strategis dalam proses pembangunan, pengembangan sumber daya manusia, dan penanggulangan kemiskinan serta pemerataan pembangunan. Di samping itu pengeluaran pembangunan juga dimaksudkan untuk mendukung kegiatan pembangunan di sektor-sektor yang paling produktif, mendorong pemerataan, serta dapat menciptakan lapangan kerja di sektor industri, pertanian, dan berbagai sektor jasa sebagaimana ditetapkan dalam Repelita VI. Dengan prinsip-prinsip kebijaksanaan pokok tersebut, pelaksanaan APBN 1994/95 yang merupakan pelaksanaan operasional tahunan pertama Repelita VI tetap diselaraskan dengan prioritas sasaran yang akan dicapai dalam kurun waktu lima tahun yang berlandaskan kepada Trilogi Pembangunan. Seiring dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan, serta dalam rangka mencapai sasaran-sasaran yang ditetapkan dalam Repelita VI, diperlukan dana pembangunan yang jumlahnya kian membesar. Sejalan dengan amanat GBHN, dana pembangunan diupayakan dihimpun terutama dari sumber dalam negeri, baik berupa tabungan pemerintah maupun tabungan masyarakat, sementara bantuan luar negeri dimanfaatkan sebagai pelengkap bagi pembiayaan pembangunan. Tabungan pemerintah, yang merupakan selisih positif antara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, senantiasa diusahakan agar dapat terus meningkat. Semakin tinggi tabungan pemerintah yang disertai dengan semakin besarnya tabungan masyarakat mencerminkan semakin meningkatnya kemandirian dalam membiayai pembangunan. Dalam hubungan ini upaya peningkatan tabungan pemerintah ditempuh melalui peningkatan penerimaan dalam negeri yang diikuti arch pengendalian pengeluaran rutin pada tingkat yang wajar. Departemen Keuangan RI 39 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Langkah-langkah peningkatan penerimaan dalam negeri, khususnya penerimaan perpajakan, diawali sejak tahun anggaran 1983/84, yaitu dengan diundangkannya serangkaian undang-undang pajak baru. Pembaharuan perpajakan tersebut dilakukan, baik terhadap peraturan perundangundangan, sistem dan prosedur, peraturan pelaksanaan, pelayanan kepada masyarakat, serta organisasi aparat perpajakan. Di dalam upaya peningkatan penerimaan perpajakan, pelaksanaan undang-undang perpajakan yang baru tersebut senantiasa diupayakan berdasarkan asas keadilan, asas pemerataan, serta asas manfaat dan kepastian hukum, dengan meningkatkan peranan pajak langsung agar mampu berfungsi sebagai alat penunjang pembangunan, serta meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan rakyat. Di samping itu pengembangan perpajakan juga diarahkan pada upaya memperkuat struktur dunia usaha dengan mendukung berkembangnya kelompok pengusaha kecil, menengah, dan koperasi, mendorong pengembangan sumber daya manusia, serta mengembangkan kegiatan ekonomi secara makin merata. Upaya-upaya peningkatan penerimaan di luar migas selama satu dasawarsa pelaksanaan undang-undang perpajakan yang baru telah memberikan hasil yang menggembirakan, antara lain tercermin dari semakin meningkatnya peran penerimaan perpajakan terhadap total penerimaan dalam negeri. Apabila dalam tahun anggaran 1983/84 peran penerimaan perpajakan baru mencapai 30,4 persen, maka dalam tahun terakhir Repelita V penerimaan perpajakan telah meningkat peranannya menjadi 66,6 persen dari seluruh penerimaan dalam negeri. Selanjutnya dalam tahun anggaran 1994/95 yang merupakan tahun pertama Repelita VI, peranan penerimaan perpajakan direncanakan meningkat lagi menjadi 67,1 persen dari total penerimaan dalam negeri. Meningkatnya peran penerimaan perpajakan terhadap penerimaan dalam negeri tersebut berarti pula semakin besarnya peran penerimaan perpajakan dalam pembentukan tabungan pemerintah. Seiring dengan itu, dalam menghadapi perkembangan ekonomi yang semakin pesat dan untuk mengantisipasi era globalisasi serta mempertimbangkan perubahan-perubahan ketentuan perpajakan di negara-negara lain, dirasa perlu adanya penyempurnaan atas ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku agar lebih mencerminkan keadilan, memberikan kepastian hukum, baik bagi wajib pajak maupun aparatur pajak, dan lebih meningkatkan efisiensi. Berkaitan dengan hal ini, dalam pelaksanaan tahun anggaran 1994/95 telah disahkan empat rancangan undang-undang (RUU) di bidang perpajakan menjadi Undang-undang (UU), yaitu UU tentang Perubahan Atas Departemen Keuangan RI 40 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, UU tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, UU tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dan UU tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan. Keempat undang-undang baru tersebut berlaku mulai tanggal l Januari 1995. Penyempurnaan di bidang pajak penghasi1an (PPh) antara lain berupa penurunan tarif PPh dan perubahan lapis an penghasilan kena pajak sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Dalam undangundang yang baru tersebut tarif PPh diubah menjadi 10 persen atas penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 25 juta, 15 persen atas penghasilan kena pajak di atas Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta, dan 30 persen atas penghasilan kena pajak di atas Rp 50 juta. Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menunjang perekonomian dalam negeri, khususnya untuk mendorong investasi. Di samping itu undang-undang tersebut juga mengatur pengenaan PPh atas tambahan kekayaan neto, pengenaan PPh yang bersifat final atas keuntungan pengalihan tanah dan saham, serta perluasan pengenaan pajak melalui cara "withholding". Sementara itu di bidang pajak pertambahan nilai (PPN), upaya intensifikasi pemungutan pajak dan ekstensifikasi jumlah wajib pajak terus ditingkatkan, di samping peningkatan kegiatan verifikasi lapangan. Sementara perluasan objek pajak PPN ditempuh dengan memperluas cakupan pengenaan PPN atas jasa-jasa, yang meliputi jasa penebangan hutan, jasa pengamanan, jasa pemindahan barang, jasa pengurusan dan konsultasi pesta, jasa pelabuhan sungai, jasa ekspedisi muatan sungai, dan jasa pembawa acara, sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 05 Tahun 1994, yang mulai berlaku sejak tanggal 26 Januari 1994. Kebijaksanaan penyesuaian yang ditempuh Pemerintah melalui undang-undang yang baru antara lain adalah dilakukan perubahan tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan perluasan objek pajak PPN. Tarif PPnBM yang berlaku sebelumnya sebesar 10 persen, 20 persen, 25 persen, dan 35 persen berdasarkan tingkat kemewahannya, dalam Undang-undang yang baru tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, diubah menjadi serendah-rendahnya Departemen Keuangan RI 41 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 10 persen dan setinggi-tingginya 50 persen. Dalam hal pajak bumi dan bangunan (PBB), upaya yang ditempuh dalam rangka meningkatkan penerimaan antara lain meliputi penyesuaian nilai jual objek pajak (NJOP), pengembangan sistem tempat pembayaran (Sistep), perluasan objek PBB, dan sistem informasi manajemen objek pajak (Sismiop), serta terus dilanjutkannya pemutakhiran data. Dalam pada itu upaya yang ditempuh dalam meningkatkan penerimaan pajak lainnya dilaksanakan melalui peningkatan pengawasan pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai melalui kerja sama dengan instansi terkait, seperti Perum Pos dan Giro, Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), dan Polri. Di samping itu juga terus ditingkatkan upaya pencegahan beredarnya meterai palsu, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam pelaksanaan lelang. Sementara itu arab kebijaksanaan di bidang bea masuk di samping untuk menghimpun penerimaan negara juga ditujukan untuk melindungi dan mendorong industri dalam negeri. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan perdagangan dunia pasca GATT Putaran Uruguay, maka secara bertahap dilakukan penyesuaian tarif dengan tetap memperhatikan kepentingan pengembangan industri dan pertanian dalam negeri. Selanjutnya untuk menunjang kebijaksanaan pemerintah di bidang perdagangan internasional, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan daya saing hasil produksi dalam negeri, telah dikeluarkan berbagai paket deregulasi di bidang investasi, perdagangan dan keuangan, seperti paket deregulasi sektor riil dalam bulan Juni 1993 (Pakjun). Bersamaan dengan itu terus dilakukan usaha-usaha pemberantasan penyelundupan, yang antara lain dilakukan melalui pendidikan intelijen, meningkatkan kerjasama dengan luar negeri, serta berbagai pendidikan bagi aparat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kebijaksanaan dalam bidang cukai, khususnya dalam hal cukai tembakau, diselaraskan dengan program pembangunan industri dalam rangka memperluas lapangan kerja dan berusaha serta melindungi pabrikan berskala kecil. Sedangkan dalam hal cukai lainnya kebijaksanaan yang ditempuh dilakukan dalamrarigka pemerataan pemberlakuan peraturan perundang-undangan untuk seluruh wilayah negara RI, serta mengendalikan konsumsi beberapa jenis barang tertentu. Kebijaksanaan di bidang pajak ekspor dimaksudkan untuk mendorong ekspor barang jadi dan memperluas lapangan kerja, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Rangkaian kebijaksanaan yang telah ditempuh di bidang pajak ekspor Departemen Keuangan RI 42 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 mencakup pengembangan komoditi ekspor barang jadi yang kompetitif, penetapan kembali tarif pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan, serta penyempurnaan tata cara penyetoran. Selain itu dalam rangka mencegah kenaikan harga minyak goreng dalam negeri, melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439 Tahun 1994 telah dikenakan pajak ekspor atas ekspor crude palm oil (CPO) dan refined bleached deodorized palm oil (RBD-PO) yang berlaku efektif sejak tanggal 1 September 1994. Berdasarkan surat keputusan tersebut, tarif pajak ekspornya danasarkan kepada harga FOB dengan tarif efektif antara 40 persen sampai dengan sekitar 75 persen. Selain penerimaan dari sektor perpajakan, sumber penerimaan negara di luar migas yang mempunyai peranan semakin penting dalam menopang pembiayaan pembangunan adalah penerimaan negara bukan pajak. Penerimaan negara bukan pajak antara lain terdiri dari penerimaan negara yang bersumber dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen dan penerimaan yang berupa bagian pemerintah atas laba badan usaha milik negara (BUMN), termasuk bank-bank pemerintah. Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, salah satu sumbangan yang cukup besar dalam keseluruhan penerimaan negara bukan pajak berasal dari bagian pemerintah atas laba BUMN. Oleh sebab itu berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan laba BUMN, antara lain melalui efisiensi kegiatan operasional dan penyempurnaan manajemen BUMN. Di samping itu juga dilakukan penyempurnaan administrasi pengelolaan penerimaan bukan pajak sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 215 Tahun 1993 tentang Intensifikasi Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga penerimaan yang bersumber dari departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, khususnya penerimaan fungsional departemen/ lembaga pemerintah nondepartemen, dapat terus ditingkatkan. Dalam pada itu pengalokasian anggaran belanja rutin diupayakan semakin efektif dan efisien, dengan tetap memperhatikan kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, serta diupayakan tetap memberikan dukungan pembiayaan yang memadai bagi pemeliharaan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Di samping itu pengeluaran rutin juga dialokasikan sebagai bantuan kepada daerah, serta pemenuhan kewajiban pemerintah kepada luar negeri dalam bentuk pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri sesuai dengan jumlah dan jadual pembayarannya. Salah satu pengeluaran rutin yang mengalami peningkatan cukup besar adalah Departemen Keuangan RI 43 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pembiayaan aparatur pemerintah. Hal ini sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah aparatur pemerintah, serta kebijaksanaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas aparatur pemerintah. Sesuai dengan prinsip pengelolaan anggaran belanja rutin, pengendalian dalam pembiayaan aparatur pemerintah senantiasa dilaksanakan dengan selalu menjaga keserasian antara laju pertambahan pegawai negeri dengan kebutuhan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat. Di dalam pengeluaran rutin dicakup juga pengeluaran berupa subsidi kepada daerah otonom, untuk membantu pemerintah daerah dalam membiayai belanja pegawai dan berbagai kegiatan operasional pemerintahan, serta pelaksanaan program-program pemerintah yang dilaksanakan di daerah. Selanjutnya kebijaksanaan anggaran belanja pembangunan, yang meliputi pembiayaan rupiah dan bantuan proyek, diarahkan untuk menunjang pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang makin adil dan meluas, meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta menjaga stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan anggaran belanja negara, melalui Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 telah dilakukan penyempurnaan dan penetapan kembali berbagai ketentuan tentang pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984. Perubahan dan penyempurnaan tersebut antara lain menyangkut ketentuan mengenai usulan proyek, peranserta golongan ekonomi lemah dan penggunaan hasil produksi dalam negeri, penyederhanaan revisi daftar isian proyek (DIP), serta pengendalian pelaksanaan dan prosedur pengadaan barang danjasa pemerintah. Dalam pada itu anggaran belanja pembangunan dialokasikan ke berbagai sektor dan subsektor sesuai dengan urutan prioritas dan kebijaksanaan pembangunan sebagaimana ditetapkan di dalam GBHN dan Repelita. Titik berat pembangunan jangka panjang kedua diletakkan pada pembangunan di bidang ekonomi, dengan sasaran utama untuk mencapai keseimbangan dalam struktur ekonomi dimana terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh. Pelaksanaan strategi dasar dan kebijaksanaan pembangunan tersebut dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan pembangunan. Salah satu program pemerataan hasil-hasil pembangunan adalah dalam bentuk program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Sebagai pelaksanaan program tersebut telah disalurkan bantuan dana sebesar Rp 20 juta untuk setiap desa tertinggal, yang diharapkan dapat merangsang kegiatan ekonomi yang pada akhirnya dapat melepaskan penduduk desa tertinggal dari belenggu Departemen Keuangan RI 44 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kemiskinan. Meningkatnya kegiatan pembangunan mengakibatkan pula semakin meningkatnya dana pembangunan yang diperlukan. Dari pengalaman masa lalu terlihat bahwa tabungan pemerintah yang berhasil dibentuk belum sepenuhnya mencukupi untuk membiayai seluruh proyek-proyek pembangunan. Oleh sebab itu, walaupun hanya sebagai pelengkap, dana yang bersumber dari luar negeri masih tetap diperlukan, dengan tetap memegang prinsip bahwa bantuan tersebut dapat diterima sepanjang tidak mempunyai ikatan politik, dan sesuai dengan kemampuan untuk membayar kembali. Bantuan luar negeri tersebut senantiasa diarahkan kepada pembiayaan proyek-proyek yang produktif, membantu penyediaan lapangan kerja, serta mendorong peningkatan ekspor nonmigas. 2.2.2. Penerimaan dalam negeri Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas), penerimaan perpajakan, dan penerimaan negara bukan pajak. Sejak reformasi perpajakan tahun 1984, telah terjadi perubahan struktur penerimaan dalam negeri yang menuju ke arah sumber penerimaan yang mandiri dan kukuh, serta tidak mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan perekonomian internasional. Dalam rangka mendukung kemandirian pembiayaan pembangunan tersebut, berbagai langkah telah diambil untuk lebih menyempurnakan pengelolaan penerimaan dalam negeri. Melihat pada kenyataan dimana perkembangan penerimaan migas kurang menggembirakan, penerimaan perpajakan dalam struktur penerimaan dalam negeri sejak tahun anggaran 1986/87 terus diupayakan untuk lebih berperan. Di bidang perpajakan, telah dilakukan intensifikasi pemungutan dan ekstensifikasi jumlah wajib pajak. Intensifikasi pemungutan pajak dilakukan melalui pengelolaan potensi pajak yang telah dapat dibina dengan tertib dan berkesinambungan, serta upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui verifikasi lapangan dan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang belum melakukan kewajibannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sementara itu ekstensifikasi jumlah wajib pajak dilakukan dengan upaya meningkatkan jumlah wajib pajak dari sektor-sektor tertentu yang belum dapat dijangkau. Sementara itu penerimaan negara bukan pajak, yang terdiri dari bagian pemerintah atas laba BUMN dan berbagai jenis penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, Departemen Keuangan RI 45 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 terus diupayakan untuk memberikan sumbangan yang lebih berarti bagi penerimaan dalam negeri. Hal ini diupayakan melalui peningkatan efisiensi dan penyempurnaan manajemen BUMN dan pengelolaan usahanya, serta penyempurnaan administrasi dan tata cara penyetoran berbagai jenis penerimaan negara bukan pajak, termasuk peningkatan pengawasan dalam pelaksanaannya. Melalui berbagai upaya peningkatan penerimaan, baik penerimaan migas maupun penerimaan nonmigas, maka laju pertumbuhan penerimaan dalam negeri dalam satu dasawarsa terakhir rata-rata mencapai 14,1 persen per tahun. 2.2.2.1. Penerimaan minyak bumi dan gas alam Selama PJP I pengembangan di sektor pertambangan terutama minyak bumi dan gas alam (migas), telah memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pembangunan nasional. Melalui langkah terpadu yang meliputi kegiatan eksplorasi, produksi, pengolahan, transportasi, pemasaran dan kegiatan pendukung lainnya, potensi minyak bumi dan gas alam telah dimanfaatkan, baik sebagai sumber penerimaan dan devisa negara, maupun sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di samping itu kegiatan di sektor migas secara tidak langsung juga mempunyai peranan dalam meningkatkan usaha swasta, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pengetahuan dan mempercepat alih teknologi, serta mendorong pembangunan regional secara keseluruhan. Hasil industri perminyakan dan gas alam di Indonesia yang telah tumbuh dan berkembang selama lebih dari 100 tahun, yaitu sejak pertama kali minyak bumi dihasilkan di Indonesia dalam tahun 1885, telah menjadikan negara Indonesia sebagai salah satu penghasil minyak bumi di dunia. Pada awal Repelita I, produksi minyak bumi termasuk kondensat mencapai sebesar 284,3 juta barel, dimana sekitar 85 persen dari produksinya diekspor, dan sisanya diolah di dalam negeri. Produksi minyak bumi Indonesia mencapai puncaknya dalam tahun keempat Repelita II yang mencapai sebesar 616,5 juta barel, atau sekitar 1.689 ribu barel per hari. Sementara itu pada akhir Repelita V produksinya diperkirakan mencapai sekitar 560 juta barel, dimana sekitar 50 persen dari produksinya diekspor, dan sisanya dimanfaatkan di dalam negeri. Walaupun volume produksi minyak Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat, namun semakin meningkatnya kebutuhan minyak di dalam negeri telah menyebabkan persentase bagian minyak yang diekspor cenderung menurun. Produksi minyak selain ditentukan oleh kemampuan Departemen Keuangan RI 46 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 eksplorasi dan eksploitasi di dalam negeri serta pemasarannya, juga ditentukan oleh kuota produksi OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries). Dari seluruh volume ekspor minyak bumi Indonesia pada akhir PJP I, sekitar 50 persen diekspor ke Jepang, sekitar 8 persen ke Amerika Serikat, dan sisanya ke negara-negara lain, termasuk negara-negara anggota ASEAN. Pada awal PJP I, pemanfaatan gas alam, baik untuk kebutuhan energi di dalam negeri maupun untuk ekspor dalam bentuk LNG (liquefied natural gas) dan LPG (liquefied petroleum gas), belum dilakukan secara maksimal. Dalam rangka diversifikasi penerimaan dari sektor migas, sejak tahun 1977 Pemerintah telah mulai mengupayakan peningkatan pemanfaatan gas alam, yaitu dengan dimulainya produksi LNG di kilang gas Bontang dalam tahun 1977 dan kilang gas Arun dalam tahun 1978. Produksi LNG yang dalam tahun 1984/85 mencapai sekitar 782,8 juta mmbtu, telah meningkat menjadi sekitar 1.301 juta mmbtu dalam tahun 1993/94. Produksi LPG dalam periode yang sama juga menunjukkan kenaikan, yaitu dari sekitar 904 ribu ton menjadi sekitar 2. 805 ribu ton. Produksi LNG dan LPG tersebut terutama diekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Usaha Pemerintah untuk menjadikan gas alam sebagai sumber penerimaan negara tidak terbatas pada upaya rnendorong ekspor atau mencari lauang gas baru, tetapi juga melalui upaya mendorong penggunaan gas di dalam negeri yang selama ini dimanfaatkan oleh beberapa jenis industri, seperti pabrik semen, pabrik baja, pabrik pupuk, pabrik kertas, pembangkit listrik, dan lain-lain. Selain itu, untuk mendukung kebijaksanaan konservasi dan diversifikasi energi, Pemerintah terus mendorong penggunaan gas alam untuk sumber energi primer sebagai alternatif penggunaan minyak. Salah satu hasil pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang berasal dari minyak bumi dan gas alam selama 25 tahun pembangunan pertama dapat dilihat dari sumbangannya dalam penerimaan negara. Penerimaan migas pada awal PJP I masih sebesar Rp 65,8 miliar, dan pada akhir PJP I telah mencapai sebesar Rp 12.507,7 miliar, yang berarti dalam periode tersebut mengalami peningkatan hampir 200 kali lipat. Sebagai salah satu sumber penerimaan negara selama PJP I, penerimaan migas telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi pembangunan nasional. Selama pembangunan 25 tahun pertama, peranan penerimaan migas dalam penerimaan dalam negeri dan dalam penerimaan negara secara keseluruhan masingmasing mencapai sekitar 44 persen dan sekitar 35 persen. Dalam Repelita I, penerimaan migas mengalami kenaikan rata-rata sebesar 55,2 persen Departemen Keuangan RI 47 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 per tahun, dan telah menyumbang sekitar 28 persen dari keseluruhan penerimaan negara sebesar Rp 3.280,1 miliar. Situasi perminyakan dunia pada awal tahun 1970-an menunjukkan bahwa produksi OPEC mempunyai peranan yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi minyak dunia. Timbulnya perang di Timur Tengah dalam bulan Oktober 1973 telah menimbulkan krisis energi, sehingga mendorong terjadinya peningkatan harga minyak di pasar dunia. Pada saat itu, harga minyak Migas dalam bulan April 1974 mencapai sebesar US$ 11,7 per barel, sehingga penerimaan migas dalam tahun 1974/75 mencapai sebesar Rp 957,2 miliar, yaitu menjadi 2,5 kali lipat dari penerimaan migas dalam tahun sebelumnya sebesar Rp 382,2 miliar. Setelah gejolak di pasar minyak tersebut berlalu, pertumbuhan ekonomi dunia cenderung menurun, bahkan dalam tahun 1975 negara-negara yang tergabung dalam organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan (OECD) mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Walaupun perekonomian dunia mengalami kelesuan, relatif tingginya tingkat harga minyak telah mendorong meningkatnya pencarian dan penemuan sumber minyak baru, termasuk oleh negaranegara non-OPEC yang melihat semakin menariknya prospek pertambangan minyak. Pesatnya peningkatan penerimaan migas dalam Repelita II telah ikut membantu dalam meningkatkan dana pembangunan, dan hal tersebut terus berlangsung sampai dengan Repelita III. Peranan penerimaan migas yang semakin besar mencapai puncaknya dalam tahun 1981/82, dimana sumbangannya terhadap penerimaan dalam negeri dan terhadap keseluruhan penerimaan negara mencapai sekitar 70 persen dan sekitar 62 persen. Keadaan tersebut disebabkan oleh tingginya harga minyak pada waktu itu yang mencapai US$ 35 per barel. Memasuki pertengahan periode tahun 1980-an, perkembangan perekonomian dunia mulai membaik, meskipun perbaikan perekonomian tersebut ternyata tidak cukup membantu mengatasi turunnya harga minyak. Meningkatnya permintaan minyak dunia dalam periode tersebut temyata tidak dapat menyerap persediaan di pasar dunia yang suplainya semakin bertambah, terutama dari negara-negara nonOPEC. Usaha OPEC untuk terus menekan kelebihan suplai di pasar dengan mengurangi tingkat produksinya dari sekitar 22,6 juta barel per hari dalam tahun 1981 menjadi sekitar 18,5 juta barel per hari dalam tahun 1986 ternyata tidak diimbangi oleh negara-negara non-OPEC yang terus meningkatkan produksinya dari sekitar 33,1 juta barel per hari dalam tahun 1981 menjadi sekitar 37,1 juta barel per hari dalam tahun 1986. Adanya penyesuaian pasar menghadapi kondisi tersebut telah menyebabkan jatuhnya harga minyak ke tingkat yang paling rendah sejak tahun 1974, sehingga mencapai di bawah US$ 10 per barel dalam bulan Agustus 1986. Hal ini Departemen Keuangan RI 48 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 mengakibatkan penerimaan migas dalam tahun 1986/87 mengalami penurunan menjadi sebesar Rp 6.337,6 miliar, dari tahun sebelumnya yang mencapai sebesar Rp 11.144,4 miliar. Dalam perkembangannya, perubahan harga minyak di pasar dunia tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, seperti keseimbangan permintaan dengan penawaran minyak mentah di pasar dunia, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor nonekonomi, antara lain gejolak politik di negaranegara produsen minyak dan spekulasi pasar. Hal ini dapat dilihat dari dampak krisis teluk pada akhir tahun 1990, yang selain menyebabkan berkurangnya pasokan minyak dari Irak dan Kuwait, juga menimbulkan dampak psikologis terhadap konsumen minyak dalam menghadapi kemungkinan sulitnya memperoleh minyak mentah dan produk minyak lainnya di tahun-tahun berikutnya. Pengaruh keadaan tersebut menyebabkan harga minyak yang telah relatif stabil dalam beberapa tahun sebelumnya kembali melonjak tajam, sehingga dalam bulan Oktober 1990 harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) berada pada tingkat US$ 34,88 per barel. Dalam tahun 1990/91 penerimaan migas dalam APBN mencapai titik tertinggi selama PJP I, yaitu mencapai sebesar Rp 17.711,9 miliar, yang berasal dari penerimaan minyak bumi sebesar Rp 14.577,5 miliar dan penerimaan gas alam sebesar Rp 3.134,4 miliar. Di penghujung Repelita V, relatif tingginya suplai minyak, lemahnya permintaan, besarnya cadangan minyak negara-negara industri, dan spekulasi pasar telah menyebabkan harga minyak kembali menurun, sehingga realisasi harga minyak dalam tahun 1993/94 hanya sekitar US$ 16,5 per barel, lebih rendah dari sasarannya dalam APBN 1993/94 sebesar US$ 18 per barel. Keadaan tersebut menyebabkan realisasi penerimaan migas dalam tahun 1993/94 hanya mencapai sebesar Rp 12.507,7 miliar, yang berarti 17,3 persen lebih rendah dari rencananya dalam APBN. Perkembangan harga minyak mentah Indonesia sejak Repelita I dapat dilihat pada Tabel II.2. Dalam rangka mempertahankan tingkat produksi minyak Indonesia dan meningkatkan jumlah cadangannya, serta menarik investor asing untuk menanarnkan modalnya di sektor migas, selama PJP I Pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijaksanaan dalam bentuk paket insentif di bidang migas, yaitu dalam tahun 1988, 1989, 1992, dan 1994. Paket-paket insentif tersebut memberikan kemudahan dan perangsang, antara lain dalam bentuk perlakuan khusus di bidang perpajakan, penyempurnaan pola bagi hasil, penyesuaian harga prorata, dari kemudahan dalam pengadaan barang keperluan eksplorasi. Melalui paket insentif tahun 1994, pola bagi hasil Departemen Keuangan RI 49 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 antara Pemerintah dengan KPS (kontrak production sharing) kembali diperbaharui. Dalam paket insentif tersebut, pembagian hasil minyak bumi antara Pemerintah dengan kontraktor ditetapkan sebesar 65 persen berbanding 35 persen, dan untuk gas alam sebesar 60 persen berbanding 40 persen, baik untuk lahan frontier maupun di daerah kedalaman laut lebih dari 1.500 meter. Kebijaksanaan di sektor migas tersebut. selain ditujukan untuk pengembangan eksplorasi dan eksploitasi di kawasan timur Indonesia, juga dimaksudkan untuk merangsang kegiatan di kawasan barat Indonesia, khususnya di daerah yang masih sulit dan belum pernah ditemukan sumber migas. Di samping itu untuk menuju kemandirian dalam mengelola sumber migas secara maksimal, Pemerintah menerapkan strategi dasar yang meliputi peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga ahli dan peneliti yang profesional, serta pemberian kesempatan dan kepercayaan yang lebih besar kepada swasta nasional untuk mengelola pertambangan migas. Selain itu, Pemerintah juga memantapkan kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi pencarian dari pengelolaan migas, serta peningkatan upaya penggantian peranan migas sebagai bahan baku industri dan sumber energi. Namun demikian, dalam rangka menghadapi ketidakstabilan harga minyak, sifat migas sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, cadangannya yang semakin berkurang, dan kebutuhan energi di dalam negeri yang terus meningkat, maka secara bertahap sumber penerimaan di luar migas yang terutama ditopang dari penerimaan perpajakan semakin diupayakan menjadi andalan utama penerimaan negara menggantikan penerimaan migas. Dengan demikian di waktu mendatang penerimaan negara diharapkan lebih terjamin dan tidak terlalu terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal, karena dananya berasal dari sumber-sumber penerimaan yang lebih stabil dan terus berkembang. Departemen Keuangan RI 50 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel 11.2 1) HARGA EKSPOR MINYAK MENTAH INDONESIA, 1969 - 1994 (dalam US$ per barel) Harga Harga Tahun Tahun 1969 1970 1971 April April April 1,67 1,67 2,21 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 April April April April April April April April April April April 2,96 3,73 11,7 12,6 12,8 13,55 13,55 15,65 29,5 35 35 1983 1984 1985 1986 1991 1992 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 25,1 21,45 17,41 17,05 17,67 17,96 18,21 18,64 19,1 20,04 20,67 20,06 18,1 17,64 17,13 17,23 17,96 19,29 20,59 20,18 19,62 19,7 19,44 April 29,53 April 29,53 April 28,53 Januari 25,13 Februari 21 Maret 14,45 April 10,66 Mei 10,38 Juni 12,11 18,71 Juli 10,25 1993 Januari 17,88 Agustus 9,83 Februari 17,46 September 12,2 Maret 18,36 Oktober 12,27 April 18,8 November 12,31 Mei 18,61 Desember 13,07 Juni 18,26 1987 Januari 15,39 Juli 17,19 April 17,57 Agustus 17,23 Agustus 18,76 September 16,64 Desember 16,93 Oktober 16,75 15,69 1988 Januari 17,22 November Maret 15,45 Desember 14,14 April 17,56 Oktober 13,2 1994 Januari 14,7 Desember 12,5 Februari 14,91 1989 Januari 15 Maret 14,18 April 17,93 April 14,75 Mei 18,36 Mei 15,52 September 16,7 Juni 16,39 Desember 17,8 Juli 17,48 1990 Januari 18,96 Agustus 17,61 April 17,23 September 16,31 Juli 14,47 Oktober 16,18 Oktober 34,88 November 16,27 Desember 28,64 Desember 16,05 2) 1) Sebelum April 1989adalah harga minyak jenis Minas (SLC), dan sejak April 1989 adalah harga rata-rata minyak Indonesia (ICP). 2) Angka sementara. Departemen Keuangan RI 51 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 2.2.2.2. Penerimaan perpajakan Sebagaimana diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara, dana yang diperlukan untuk pembiayaan pembangunan terutama digali dari sumber dalam negeri, sementara sumber dana luar negeri masih diperlukan sebagai pelengkap. Berbagai upaya peningkatan penerimaan dalam negeri yang diawali dengan diberlakukannya undang-undang perpajakan yang baru dalam tahun 1984, telah membuahkan hasil yang menggembirakan, yang antara lain tercermin dari struktur penerimaan dalam negeri. Sejak tahun anggaran 1986/87 komposisi penerimaan telah bergeser dari sektor migas yang sebelumnya menjadi sumber utama penerimaan dalam negeri ke sektor penerimaan di luar migas, utamanya dari penerimaan perpajakan. Sejak tahun terakhir Repelita III, harga minyak mentah di pasaran dunia menurun, yang membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi penerimaan dalam negeri ketika memasuki Repelita IV. Di satu sisi, penerimaan dalam negeri yang berupa penerimaan migas mengalami penurunan, di sisi lain perolehan sumber dana dari luar negeri dirasakan semakin sulit. Untuk itu Pemerintah segera mengambil langkah-langkah antisipasi dalam rangka melepaskan diri dari ketergantungan pada penerimaan migas. Kebijaksanaan yang ditempuh antara lain berupa pembaharuan sistem perpajakan yang ditandai dengan diundangkannya serangkaian perundangundangan di bidang perpajakan, yang salah satunya adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Perubahan mendasar yang terdapat pada undang-undang pajak yang baru antara lain adalah beralihnya sistem pemungutan pajak dari "official assessment" ke "self assessment". Dalam sistem self assessment, Pemerintah memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan, serta membayar sendiri jumlah pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sedangkan tugas aparatur perpajakan adalah melaksanakan tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dari penerapan sanksi. Dengan demikian keberhasilan pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah saja, tetapi juga masyarakat dan dunia usaha. Dengan perubahan sistem perpajakan yang mendasar tersebut, pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan perlu didukung pula oleh sarana dan prasarana yang memadai, iklim lingkungan yang menunjang, kualitas aparat yang semakin baik, Departemen Keuangan RI 52 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 serta yang tidak kalah penting adalah semakin meningkatnya kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Mengingat kondisi dan dukungan yang diperlukan belum sepenuhnya dapat diciptakan, maka penerapan Undang-undang Pajak Penghasilan dalam Repelita IV masih menghadapi banyak permasalahan. Walaupun demikian, penerimaan PPh selama Repelita IV mampu tumbuh dengan rata-rata sekitar 17 persen per tahun. Dalam Repelita V, kebijaksanaan di bidang pajak penghasilan merupakan pemantapan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditempuh dalam tahun-tahun sebelumnya, sekaligus merupakan periode penyempurnaan di bidang administrasi, organisasi, dan peraturan pelaksanaan pemungutan PPh. Di bidang administrasi dilakukan pembakuan dan penyederhanaan administrasi perpajakan, yang antara lain mencakup prosedur kerja, bentuk formulir yang digunakan, dan terus dikembangkannya penggunaan sarana kerja seperti komputer agar dapat menunjang kelancaran pelaksanaan tugas-tugas dalam bidang perpajakan. Di bidang organisasi antara lain dilakukan penyempurnaan unit-unit dalam struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) serta penyusunan analisis jabatan, seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 662 Tahun 1990 tentang Penetapan Uraian Jabatan Struktural Dan Pelaksana Dalam Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, dan Nomor 663 Tahun 1990 tentang Penetapan Uraian Jabatan Struktural Dan Pelaksana Dalam Lingkungan Kantor-kantor Vertikal Direktorat Jenderal Pajak Di Daerah. Sementara itu peningkatan mutu pelayanan antara lain dilakukan dengan meningkatkan keterampilan aparat perpajakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik di dalam maupun di luar negeri. Pendidikan tersebut meliputi pendidikan yang bersifat jangka pendek dalam bentuk pelatihan, maupun yang bersifat jangka panjang dalam bentuk program gelar. Dari hasil pendidikan itu telah dihasilkan sejumlah tenaga terampil dalam berbagai bidang perpajakan, seperti administrasi perpajakan, penyidikan pajak, pemeriksa pajak, dan keuangan negara. Dalam pada itu untuk memperluas cakupan objek pajak penghasilan serta dalam rangka memberikan perlakuan yang sama terhadap objek pajak penghasilan, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1989 tentang Pajak Perighasilan Atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Deposito, Dan Tabungan, maka bunga deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan yang diperoleh oleh Gerakan Pramuka Indonesia dan Pakang Merah Indonesia (PMI), serta tabungan dalam rangka pemilikan rumah sederhana untuk dihuni sendiri yang melebihi batas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, termasuk objek pajak yang dikenakan pajak penghasilan sebesar 15 persen dan bersifat final. Namun dalam Departemen Keuangan RI 53 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 perkembangannya, pengenaan pajak atas bunga deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan yang diterima oleh Pramuka dan PMI, serta tabungan dalam rangka pemilikan rumah sederhana untuk dihuni sendiri tersebut, dipanuang kurang menunjang lapisan masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk itu sejak tanggal 13 Oktober 1990, bunga atas deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan yang diperoleh Pramuka, PMI, dan bunga atas tabungan dalam rangka pemilikan rumah sederhana untuk dihuni sendiri, dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1989 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Deposito, Dan Tabungan. Selain itu dalam upaya perluasan jumlah wajib pajak juga ditempuh kerja sama dengan instansi-instansi terkait, antara lain dengan Bank Indonesia, yaitu berupa persyaratan memiliki Nomor pokok wajib pajak (NPWP) bagi pemegang rekening giro di atas Rp 10 juta, demikian pula bagi pemohon kredit dalam jumlah yang sama. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan yang telah berjalan sejak Repelita I telah menghasilkan kemajuan-kemajuan di berbagai bidang, termasuk peningkatan dan penganekaragaman aktivitas ataupun transaksi perekonomian di dalam negeri. Cepatnya perkembangan perekonomian disertai dengan derasnya arus infonnasi dan komunikasi, menuntut kerja cepat dan cermat dari seluruh aparatur pajak/fiskus di dalam memantau segala kegiatan wajib pajak atas transaksi/kegiatan usaha yang telah dilakukan. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan perekonomian dalam negeri tersebut, telah dilakukan penyempurnaan atas undang-undang dan peraturan perpajakan yang berlaku agar dapat menampung perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan dunia usaha pada khususnya. Penyempurnaan perundang-undangan tersebut dilakukan melalui perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, yang antara lain mengatur mengenai perlakuan PPh terhadap dividen atau bagian keuntungan yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas dalam negeri, koperasi, atau badanbadan usaha milik negara atau daerah dari penyertaan modal pada badan usaha lainnya yang danirikan di Indonesia, dan terhadap perusahaan reksa dana dan perusahaan modal ventura. Dalam pada itu juga telah ditegaskan kembali perlakuan PPh atas pemindahan harta atau akuisisi dalam bentuk penjualan, pengalihan/tukar menukar, hibah, warisan, dan penyertaan dalam bentuk barta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Penegasan ini Departemen Keuangan RI 54 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dimaksudkan untuk mengamankan penerimaan negara serta memberikan kepastian hukum dalam perlakuan perpajakan atas pemindahtanganan harta, baik yang dilakukan antarperorangan, antara perorangan dengan badan usaha, maupun antar badan usaha. Di samping itu peningkatan penerimaan PPh juga disebabkan oleh meningkatnya pendapatan masyarakat, sejalan dengan kondisi perekonomian nasional yang semakin membaik. Salah satu indikasi membaiknya perekonomian masyarakat adalah semakin bergairahnya kegiatan di pasar modal. Dalam rangka mengimbangi kegiatan di pasar modal tersebut, serta dalam rangka mengamankan penerimaan PPh, semua dividen saham (stock dividend) dan klaim saham (stock right) diperlakukan sebagai objek pajak, kecuali yang diterima oleh badan usaha tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Demikian pula telah dikenakan PPh atas keuntungan yang diperoleh dari perdagangan saham (capital gain), yang mulai diberlakukan sejak tahun anggaran 1993/94. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 pada prinsipnya memberikan kemungkinan untuk mendorong kegiatan dunia usaha, dengan penciptaan iklim perpajakan yang menjamin keadilan, pemerataan, dan kepastian hukum. Prinsip keadilan dan pemerataan dapat dilihat pada beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak (WP). WP yang berpenghasilan tinggi harus membayar pajak yang besar sesuai dengan penghasilannya, demikian pula dengan WP yang berpendapatan rendah akan membayar pajak yang rendah pula. Di samping itu prinsip keadilan dan pemerataan juga terlihat dari semakin ringannya beban pajak penghasilan bagi golongan yang berpendapatan rendah. Upaya meringankan beban pajak pendapatan bagi golongan yang berpendapatan rendah ditempuh melalui dinaikkannya penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Sejak 1 April 1984, PTKP telah mengalami perubahan, terakhir melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 928 Tahun 1993, PTKP dinaikkan lagi menjadi sebesar Rp 5.184.000 bagi wajib pajak yang kawin dengan 3 orang anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1994. Sementara itu dalam rangka merangsang pengusaha untuk melakukan investasi di kawasan timur Indonesia, telah diberikan fasilitas perpajakan, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 747 Tahun 1990 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Investasi Di Wilayah Tertentu. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa sejak tahun 1990 dapat dilakukan kompensasi kerugian selama delapan tahun bagi perusahaan yang melakukan investasi baru atau perluasan usaha di kawasan timur Indonesia pada bidang pertanian, Departemen Keuangan RI 55 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 perkebunan, peternakan, perikanan, pertambangan, kehutanan, perindustrian, real estate/industrial estate, perhotelan/kepariwisataan, prasarana dan sarana ekonomi, serta jasa angkutan darat, laut dan udara. Selanjutnya untuk merangsang dan meningkatkan penanaman modal yang berasal dari luar negeri, utamanya pada sektor-sektor yang membuka banyak kesempatan kerja, diberikan kemudahan dalam penyelenggaraan pembukuan, dengan tetap berpegang pada ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pemberian kemudahan tersebut ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1171 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata uang Asing Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing, Kontrak Karya, dan Kontrak Bagi Hasil. Seiring dengan upaya-upaya ekstensifikasi pajak yang dilakukan melalui perluasan objek pajak penghasilan, upaya intensifikasi pemungutan pajak terus dilakukan melalui penelitian surat pemberitahuan tahunan (SPT) dan pemeriksaan, dan dalam hal-hal tertentu dilakukan pemeriksaan lengkap atas buku-buku wajib pajak oleh unit pemeriksa dan penyidik pajak. Di samping itu untuk mendukung peningkatan penerimaan PPh dan meningkatkan kesadaran wajib pajak, baik perseorangan maupun badan, diberikan bimbingan, penyuluhan dan penghargaan kepada wajib pajak potensial yang telah melaksanakan kewajiban pajaknya dengan baik. Sementara itu untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, upaya-upaya yang dilakukan dititikberatkan pada pembinaan wajib pajak agar dapat melaksanakan kewajibannya berdasarkan sistem self assessment, pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban wajib pajak, serta penerapan sanksi, baik administratif maupun pidana, terhadap wajib pajak yang lalai atau dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban pajaknya. Di samping itu terus dilakukan tindakan penagihan terhadap tunggakan pajak dengan menggunakan segala ketentuan hukum yang ada untuk dapat menyelesaikan tunggakan tersebut. Untuk mendukung peningkatan kepatuhan tersebut, pelayanan kepada wajib pajak terus ditingkatkan, sehingga wajib pajak dapat melaksanakan kewajibannya dengan mudah dan lancar dalam waktu sesingkat mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk lebih mempercepat pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1121 Tahun 1991 tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Kelebihan Pembayaran Pajak Melalui Bank, yang mengatur tata cara pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak melalui bank sebagai tempat dimana surat Departemen Keuangan RI 56 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 perintah membayar kembali pajak (SPMKP) dapat diuangkan. Berbagai kebijaksanaan yang telah ditempuh dalam Repelita V tersebut di atas menyebabkan perkembangan penerimaan pajak penghasilan mengalami peningkatan yang cukup mengesankan. Kalau dalam tahun pertama Repelita V realisasi penerimaan pajak penghasilan mencapai sebesar Rp 5.487,7 miliar, maka dalam tahun terakhir Repelita V realisasi tersebut telah meningkat menjadi sebesar Rp 15.273,1 miliar, yang berarti penerimaan PPh rata-rata tumbuh sebesar 29,2 persen per tahun. Dengan memperhatikan perkembangan penerimaan PPh dari Repelita ke Repelita, maka selama PJP I penerimaan PPh mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 27,7 persen per tahun. Selanjutnya dalam tahun anggaran 1994/95 yang merupakan tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, Pemerintah melanjutkan upaya-upaya ekstensifikasi jumlah wajib pajak dan intensifikasi pemungutannya. Upaya ekstensifikasi, yang sekaligus merupakan upaya untuk meningkatkan penerimaan PPh, antara lain ditempuh melalui pengenaan PPh tahun berjalan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994. Selain untuk meningkatkan penerimaan negara, kebijaksanaan tersebut juga bertujuan untuk mengurangi tindakan spekulasi atas tanah. Di samping itu dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak penghasilan dan kepatuhan para wajib pajak stasiun pompa bensin umum (SPBU)/agen/dealer yang ditunjuk Pertamina untuk menyalurkan produknya, telah dilakukan pengaturan baru, dimana ditentukan bahwa PPh Pasal 25 yang terhutang atas penghasilan dari penyaluran produk Pertamina jenis premium, solar, pelumas, gas LPG, dan minyak tanah, dikenakan pada saat penebusan kepada Pertamina dan bersifat final, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1994. Selanjutnya te1ah diambil kebijaksanaan sehubungan dengan Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1992 tentang Sektorsektor Usaha Perusahaan Pasangan Usaha Dari Perusahaan Modal Ventura. Dalam undangundang dan peraturan pemerintah tersebut ditentukan bahwa penghasilan perusahaan modal ventura berupa bagian keuntungan yang diperoleh dari perusahaan pasangan usaha yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek pada sektor-sektor usaha tertentu, serta keuntungan dari pengalihan atau penjualan penyertaannya, tidak termasuk objek PPh. Dalam kaitan ini, Departemen Keuangan RI 57 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Pemerintah memanuang bahwa perusahaan modal ventura perlu diberi fasilitas dengan maksud agar mereka terdorong untuk melakukan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha di sektor-sektor usaha tertentu yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan. Untuk itu, agar lebih memberikan kepastian hukum, melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 227 Tahun 1994, diatur lebih lanjut mengenai kriteria sektor-sektor usaha perusahaan pasangan usaha dimaksud. Adapun intensifikasi pemungutan pajak dilakukan melalui peningkatan kepatuhan wajib pajak dengan melakukan penelitian formal dan material, yaitu verifikasi administrasi dan veriftkasi lapangan, dengan sasaran antara lain surat pemberitahuan tahunan (SPT) yang menyatakan lebih bayar, pengisian SPT yang tidak lengkap, wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT, serta wajib pajak yang tidak atau tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban pembayaran PPh. Berdasarkan upaya dan kebijaksanaan yang ditempuh, realisasi penerimaan pajak penghasilan dalam paruh pertama tahun anggaran 1994/95 mencapai sebesar Rp 7.119,9 miliar atau sekitar 38 persen dari yang dianggarkan dalam APBN 1994/95. Sebagai pajak tidak langsung, kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) mengalami kemajuan yang sangat pesat sejak diberlakukannya secara efektif Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pada tahun 1985. Selama periode Repelita I sampai dengan Repelita III, sewaktu PPN masih dipungut sebagai pajak penjualan dan pajak penjualan impor, pertumbuhan penerimaan PPN mencapai sebesar 26,5 persen per tahun, yakni dari sebesar Rp 31,0 miliar pada tahun pertama Repelita I, menjadi sebesar Rp 830,6 miliar pada akhir Repelita III. Sedangkan dalam periode sepuluh tahun sejak diberlakukannya Undang-undang PPN 1983, yaitu dalam periode Repelita IV dan Repelita V, pertumbuhan penerimaan PPN mencapai 34,1 persen per tahun, yakni dari sebesar Rp 878,0 miliar pada awal Repelita IV menjadi sebesar Rp 12.282,3 miliar pada akhir Repelita V. Bahkan dalam tahun pertama pelaksanaan undang-undang pajak pertambahan nilai telah terjadi lonjalan penerimaan PPN yang sangat besar. Dalam tahun anggaran 1984/85, yang merupakan tahun terakhir pemberlakuan pajak penjualan dan pajak penjualan impor, penerimaan PPN baru mencapai Rp 878,0 miliar, yang melonjak hampir tiga kali lipat menjadi Rp 2.326,7 miliar dalam tahun anggaran 1985/86. Lonjalan penerimaan yang sangat besar ini merupakan indikasi nyata dari kemampuan diberlakukannya undang-undang PPN untuk menjaring wajib pajak dan objek pajak yang semakin luas, walaupun hanya menggunakan Departemen Keuangan RI 58 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tarif tunggal sebesar 10 persen. Kinerja pertumbuhan penerimaan PPN dari Repelita ke Repelita tidak terlepas dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang telah diambil selama periode tersebut. Selama pelaksanaan Repelita I sampai dengan Repelita III, kebijaksanaan PPN merupakan pelaksanaan Undang-undang Pajak Penjualan dan Pajak Penjualan Impor 1951. Undang-undang Pajak Penjualan 1951 tersebut sangat rumit dalam pelaksanaannya karena mempunyai tarif yang bervariasi sebanyak 8 lapis tarif. Jumlah tarif tersebut diperbanyak lagi dengan diberikannya berbagai pembebasan atas produk-produk tertentu. Kerumitan ini yang merupakan salah satu faktor penyebab pertumbuhan penerimaan PPN dalam kurun waktu Repelita I sampai dengan Repelita III kurang menggembirakan. Memasuki Repelita IV, melalui serangkaian pembaharuan perpajakan, Pemerintah mengupayakan mengganti undang-undang pajak penjualan dengan undang-undang PPN yang mampu untuk menciptakan peraturan perundang-undangan yang lebih luas objek pajaknya, lebih sederhana pelaksanaannya, dan lebih tegas dalam kepastian hukumnya, di samping memperhatikan juga kegiatan ekonomi nasional, khususnya pengembangan dunia usaha. Untuk itu Pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang berlaku efektif sejak tanggal 1 April 1985. Undang-undang PPN memberlakukan tarif yang sederhana, yaitu hanya dua tarif, 0 persen untuk barang yang di ekspor dan 10 persen bagi barang dan jasa yang dikonsumsi di dalam negeri, sedangkan untuk barang mewah dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar 10 persen dan 20 persen tergantung tingkat kemewahannya. Tarif yang sederhana ini sangat membantu pelaksanaan pemungutan PPN karena mudah dipahami, baik oleh aparat perpajakan maupun wajib pajak. Dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri, undang-undang PPN mengintegrasikan bea masuk yang dikenakan atas barang-barang impor dengan PPN yang dikcnakan atas barang-barang perdagangan dalam negeri. Sedangkan bagi PPN yang dikenakan atas bahan baku yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor, secara periodik dapat diajukan pengembaliannya. Kebijaksanaan ini bersama-sama dengan kebijaksanaan lainnya, terutama kebijaksanaan PPN sebesar 0 persen atas barang-barang ekspor, telah mampu ikut mendorong ekspor, khususnya ekspor komoditi nonmigas, baik dalam hal kualitas, volume, Departemen Keuangan RI 59 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 maupun pengembangan diversifikasinya. Sementara itu untuk mendorong kepatuhan wajib pajak dengan jalan memberi rasa aman bagi para wajib pajak, terutama bagi mereka yang merasa telah membayar pajak lebih dari seharusnya, maka dalam undang-undang PPN diatur dengan jelas ketentuan pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak. Sedangkan sebagai upaya untuk menghilangkan pengaruh pajak berganda yang terdapat pada undang-undang pajak penjualan, dalam Undang-undang PPN 1984 ditentukan adanya sistem kredit. Sistem kredit ini menetapkan bahwa beban pajak yang telah ada pada bahan baku yang dipakai perusahaan dapat diperhitungkan/dikurangkan dari PPN yang terhutang atas hasil produksi perusahaan itu. Di samping itu dapat dihilangkan pula kemungkinan adanya usaha-usaha untuk melakukan penggabungan vertikal antara dua perusahaan atau lebih, yang semata-mata untuk menghindari pajak dengan mengorbankan efisiensi. Di samping itu dalam Undang-undang PPN 1984 juga dieiptakan iklim usaha yang lebih menarik bagi golongan ekonomi lemah. Hal ini sehubungan dengan adanya harapan yang jelas mengenai jenis perusahaan yang dapat digolongkan sebagai perusahaan kecil, sehingga meneiptakan kepastian bagi upaya penyeragaman beban pajaknya. Dilihat dari potensi penerimaan PPN, selama Repelita IV potensi PPN masih cukup besar. Dalam hal pengenaan PPN barang misalnya, PPN dipungut masih terbatas pada pabrikan/produsen yang terdaftar, sedangkan PPN jasa baru mencakup beberapa jenis jasa. Dengan potensi PPN yang masih cukup besar tersebut, maka penerimaan PPN yang dapat dipungut meneapai jumlah yang besar pula. Selama Repelita IV penerimaan PPN telah meningkat dari Rp 878,0 miliar dalam tahun pertama Repelita IV menjadi Rp 4.505,3 miliar dalam tahun terakhir Repelita IV, akan tumbuh sebesar 50,5 persen per tahun. Memasuki Repelita V, dalam rangka turut berperan aktif mendukung pembiayaan pembangunan melalui peningkatan sumber dana dari dalam negeri, kebijaksanaan yang diambil Pemerintah di bidang PPN adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dalam mengamankan rencana penerimaan dalam Repelita V. Dalam kaitan ini, telah dilakukan ekstensifikasi objek PPN melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 tentang Pengenaan PPN Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Besar Dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Di Samping Jasa Yang Dilakukan Oleh Pemborong, yang berlaku efektif sejak tanggal 1 April 1989. Dalam peraturan tersebut, cakupan pengenaan PPN yang semula hanya Departemen Keuangan RI 60 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sampai pada tingkat penyerahan barang kena pajak yang dilakukan oleh penyalur utama/agen utama, telah diperluas mehputi penyerahan barang kena pajak yang dilakukan oleh pedagang besar. Di samping itu penyerahan jasa dikenakan PPN, kecuali 13 macam jasa tertentu, meliputi jasa pelayanan dan perawatan kesehatan, jasa pelayanan social, jasa pelayanan pas dan giro, jasa perbankan asuransi, lembaga keuangan bukan bank dan financial leasing, jasa di bidang keagamaan, jasa di bidang pendidikan, jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, jasa penyiaran radio dan televisi, jasa angkutan laut dan darat, jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja dan penyediaan tenaga kerja, jasa perhotelan dan rumah penginapan, serta jasa telepon umum coin box telegram dan jasa penyewaan transponder luar negeri. Sementara itu dengan semakin meningkatnya kegiatan perekonomian di dalam negeri sejak tanggal 15 Januari 1989 terhadap jasa telekomunikasi dan penerbangan dalam negeri telah dikenakan PPN. Sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional yang semakin membaik, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1988 mengadakan perubahan tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk jenis barang mewah tertentu. Dalam peraturan tersebut tarif PPnBM dirubah menjadi sebesar 10 persen, 20 persen, dan 30 persen, yang tergantung kepada tingkat kemewahannya. Selanjutnya sebagai salah satu upaya untuk mengurangi pola konsumsi yang berlebihan atas barang mewah bagi golongan masyarakat tertentu, dan meningkatkan peranserta masyarakat yang lebih mampu untuk ikut serta dalam memikul pembiayaan negara dan pembangunan nasional, tarif PPnBM selanjutnya diubah lagi menjadi sebesar 10 persen, 20 persen, dan 35 persen. Sebagai pelaksanaan dari peraturan pemerintah tersebut telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1183 Tahun 1991 tentang Macam Dan Jenis Barang Kena Pajak Yang Dikenakan PPnBM Selain Kendaraan Bermotor, serta Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1184 Tahun 1991 tentang Macam Dan Jenis Serta Batasan Harga Jual Kendaraan Bermotor, yang berlaku sejak tanggal 1 Desember 1991. Struktur tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang adil serta mendukung pola hidup sederhana. Dalam pada itu guna lebih memperlancar dan mengefektifkan badan-badan tertentu dan bendaharawan sebagai pemungut/penyetor PPN/PPnBM untuk penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak. Selanjutnya mengingat usaha pencarian sumber minyak bumi dan pertambangan lainnya merupakan kegiatan yang mengandung resiko yang cukup tinggi, maka untuk lebih meningkatkan kegiatan eksplorasi serta merangsang para investor di bidang perminyakan di Departemen Keuangan RI 61 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dalam negeri, telah dikeluarkan raker kebijaksanaan di bidang pertambangan minyak, yang antara lain memberi kemudahan berupa penundaan dan penangguhan PPN atas penyerahan jasa pencari sumber-sumber dan pemboran minyak bumi, gas bumi dan panas bumi kepada para kontraktor yang belum berproduksi, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 572 Tahun 1989 yang berlaku sejak tanggal 1 April 1989. Selanjutnya dalam rangka lebih menunjang iklim penanaman modal di Indonesia dan membantu likuiditas perusahaan, maka untuk perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN diberikan kemudahan berupa penangguhan pembayaran PPN dan bea masuk atas impor dan pembelian barang modal tertentu. Kebijaksanaan lain dalam Repelita V yang ditujukan dalam rangka meningkatkan penerimaan PPN adalah melalui perluasan cakupan PPN, yang diarahkan pada peningkatan efisiensi aparat perpajakan dan kerja sama dengan instansi lain. Dalam hal ini setiap kantor pelayanan pajak (KPP) memberikan penyuluhan kepada para bendaharawan dan/atau yang bersangkutan agar melakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di samping itu KPP juga lebih aktif dalam memberikan penyuluhan dan sekaligus melakukan pendataan para pedagang besar di wilayahnya untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP), serta melaksanakan penerapan hukum. Sementara itu peningkatan pengawasan administrasi dan penegakan hukum yang lebih efektif, khususnya terhadap pengusaha kena pajak besar, telah mengurangi kemungkinan wajib pajak untuk melakukan penyelundupan pajak serta menghindar dari pengenaan pajak. Selain itu upaya aparat perpajakan dalam melakukan penyuluhan kepada para pedagang besar dan para bendaharawan, telah mendorong peningkatan penerimaan PPN. Hal ini berkaitan dengan masih adanya pedagang besar, khususnya yang berlokasi di tempat-tempat yang dikenal sebagai pusat grosir/pedagang besar, yang belum dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Demikian juga penelitian formal dan material serta pemeriksaan terhadap wajib pajak semakin ditingkatkan, dan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak akan kewajiban pajaknya. Selanjutnya berbagai kebijaksanaan lain yang juga dimaksudkan untuk mendorong peningkatan PPN adalah upaya ekstensifikasi, yang dilakukan melalui pengenaan PPN atas penyerahan barang kena pajak, yang diberlakukan sejak tanggal 1 April 1992 bagi pedagang eceran besar (PEB) dengan omset paling sedikit Rp 1 miliar dalam setahun, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 1991 tentang Pengenaan Pajak Pertarnbahan Nilai Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Eceran Departemen Keuangan RI 62 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Besar. Dengan dikeluarkannya kebijaksanaan tersebut, berarti ruang lingkup pengenaan PPN telah meliputi seluruh mata rantai produksi, mulai dari tingkat pabrikan, grosir, sampai dengan pengecer, walaupun masih terbatas pada pedagang eceran besar. Sementara itu sejalan dengan perkembangan perekonomian pada umumnyadan dunia usaha khususnya, telah dilakukan penyesuaian atas batasan dan ukuran pengusaha kecil. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1288 Tahun 1991 ditetapkan bahwa pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 adalah orang atau badan yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan penyerahan barang kena pajak dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 120 juta dan jasa kena pajak dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 60 juta. Sedangkan dalam hal pengusaha kena pajak melakukan penyerahan barang kena pajak danjasa kena pajak sekaligus, batasan peredaran bruto yang tergolong sebagai pengusaha kecil ditentukan oleh jumlah peredaran yang paling besar. Dalam hal peredaran barang kena pajak lebih besar, maka batas peredaran brutonya adalah Rp 120 juta setahun, sedangkan jika peredaran jasa kena pajak yang lebih besar, maka batas peredaran brutonya adalah Rp 60 juta setahun. Dalam hal penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan oleh pengusaha kecil, maka terhadap penyerahan tersebut tidak terhutang PPN. Walaupun demikian, dalam hal pengusaha kecil melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak berdasarkan suatu kontrak kepada pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988, maka atas penyerahan tersebut terhutang PPN. Tidak dikenakannya PPN terhadap penyerahan barang dan/atau jasa kena pajak yang dilakukan pengusaha kecil tersebut diharapkan dapat mendorong pengembangan pengusaha kecil. Dalam rangka mendorong ekspor nonmigas, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 485 Tahun 1986 tentang Penangguhan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Dan Bahan Asal Impor, yang telah disempurnakan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554 Tahun 1992 tentang Penangguhan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Barang Dan Bahan Asal Impor Yang Dipergunakan Dalam Pembuatan Komoditi Ekspor. Dengan disempurnakannya kebijaksanaan tersebut, produsen eksportir mendapat keleluasaan lebih besar untuk berproduksi. Selanjutnya untuk mendorongi pertumbuhan dan pengembangan usaha jasa angkutan udara dalam negeri, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 818 Tahun 1992 tentang Departemen Keuangan RI 63 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Usaha Jasa Angkutan Dalam Negeri. Dengan kebijaksanaan ini, pengusaha jasa angkutan udara dalam negeri sebagai pengusaha kena pajak dapat mengkreditkan pajak masukan secara umum, sebagaimana dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Berbagai kebijaksanaan di bidang PPN tersebut mempunyai peranan yang sangat besar bagi peningkatan penerimaan PPN dalam mendukung kemandirian pembiayaan pembangunan, khususnya selama Repelita V. Kalau dalam tahun pertama pelaksanaan Undang-undang PPN 1983, yang sekaligus merupakan tahun pertama Repelita IV, penerimaan PPN baru mencapai Rp 878,0 miliar, dalam tahun terakhir Repelita V telah mencapai sebesar Rp 12.282,3 miliar, atau rata-rata meningkat sebesar 34,1 persen per tahun. Sesuai dengan amanat GBHN 1993, maka dalam memasuki Repelita VI sektor perpajakan diharapkan akan dapat menjadi tulang punggung pembiayaan pembangunan nasional. Khusus dalam hal PPN, pengenaan PPN telah mencakup seluruh mata rantai perdagangan, baik perdagangan besar maupun eceran besar, dan telah dikenakannya tarif maksimal daripada pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Namun demikian, upaya-upaya peningkatan penerimaan PPN tetap dilakukan, antara lain melalui ekstensifikasi wajib pajak, dengan memperbanyak pengusaha kena pajak, dan intensifikasi pemungutan pajak terutama dari sumber-sumber potensial yang belum optimal tergali. Kebijaksanaan PPN senantiasa diupayakan untuk dapat memperkecil dampak regresif dalam pembebanannya, baik melalui penetapan klasifikasi barangbarang mewah yang terkena pajak penjualan barang mewah maupun mekanisme pembebasan atau pengecualian terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok masyarakat. Sementara itu peningkatan kegiatan penyuluhan dan pengenaan sanksi hukum yang lebih efektif terhadap pedagang besar dan pedagang eceran besar juga mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Sementara itu dalam rangka meningkatkan efisiensi dan pemanfaatan potensi industri kendaraan bermotor dalam negeri, sejak tanggal 10 Juni 1993 telah diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1993 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun Tahun 1984 Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1991. Melalui kebijaksanaan tersebut telah dilakukan reklasifikasi terhadap tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang sebelumnya terdiri dari tiga lapis tarif, yaitu 10 persen, 20 persen, dan 35 persen, menjadi empat lapis tariff yaitu 10 persen, Departemen Keuangan RI 64 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 20 persen, 25 persen, dan 35 persen. Kebijaksanaan di bidang perpajakan ditetapkan secara serasi dengan kebijaksanaan ekonomi lainnya, oleh karena kebijaksanaan perpajakan selalu berkaitan dengan kebijaksanan lainnya. Dalam hubungan ini, kebijaksanaan di bidang perpajakan yang menyangkut kemudahan dan perlakuan perpajakan atas kegiatan ekonomi dan dunia usaha di daerah tertentu adalah sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas Dan Kemudahan Pabean, Perpajakan, Dan Tata Niaga Impor bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), dan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993 tetntang Perlakuan PPN Dan PPnBM Atas Penyerahan Barang Kena Kena Pajak (BKP) Ke, Dari Dan Antar Kawasan Berikat Dan EPTE. Dalam Keputusan Presiden tersebut ditegaskan bahwa atas penyerahan BKP dari daerah paben Indonesia lainnya ke dalam kawasan berikat dan EPTE, penyerahan BKP antar PKP di dalam kawasan berikat, serta penyerahan BKP oleh PKP EPTE kepada PKP di kawasan berikat atau sebaliknya untuk diolah lebih lanjut, PPN dan PPnBM yang terhutang tidak dipungut. Kebijaksanan tersebut mencerminkan kesungguhan Pemerintah untuk terus memperbaiki dan memantapkan iklim usaha, yang pada gilirannya memberikan penerimaan pajak yang lebih besar bagi pembiayaan pembangunan di sektor negara. Dengan memperhatikan berbagai kondisi perkembangan perekonomian dan kinerja penerimaan PPN selama Repelita V, dalam APBN 1994/95, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan PPN diperkirakan mencapai sebesar Rp 13.238,6 miliar, yang berarti Rp 956,3 miliar atau 7,8 persen lebih tinggi dari penerimaan PPN tahun anggaran 1993/94 sebesar Rp 12.282,3 miliar. Peningkatan penerimaan PPN tersebut diharapkan dapat dicapai melalui upaya penerapan peraturan perundangan yang lebih efektif terhadap pedagang besar/pedagang eceran besar, dan komputerisasi yang lebih lengkap daripada data yang berkaitan dengan PPN, serta intensifikasi yang dititikberatkan pada peningkatan kepatuhan wajib pajak dengan melakukan penelitian formal dan material, dan verifikasi lapangan dan pemeriksaan. Dalam pada itu peningkatan penerimaan PPN juga dilakukan melalui ekstensifikasi jumlah wajib pajak, khususnya bagi sektor usaha tertentu yang belum terjangkau. Dalam rangka ekstensifikasi tersebut, dalam tahun anggaran 1994/95 telah dilakukan perluasan jasa yang dikenakan PPN. Sebagaimana diketahui pengenaan PPN atas j asa dilakukan agar terdapat kesamaan pengenaan pajak, baik terhadap konsumsi barang maupun konsumsi jasa di dalam Departemen Keuangan RI 65 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 negeri. Dengan memperluas cakupan pengenaan jasa diharapkan tidak ada lagi perbedaan dalam perlakuan perpajakan terhadap jasa-jasa yang terkena pajak, sehingga dirasakan lebih adil. Perluasan tersebut meliputi 7 (tujuh) kelompok jasa yang dikenakan PPN, yang berlaku sejak tanggal 26 Januari 1994, yaitu meliputi: (1) Jasa penebangan hutan, meliputi jasa pemotongan, jasa penyerahan, jasa pengulitan dan jasa sejenisnya; (2) Jasa pengamanan, meliputi jasa pengamanan pabrik, jasa pengamanan kantor, jasa pengamanan pengiriman barang, jasa pengamanan orang, dan jasa sejenis lainnya; (3) Jasa pemindahan barang, yaitu jasa pemindahan barang dari satu tempat ke tempat lain termasuk jasa penderekan mobil, jasa pindah rumah, dan jasa sejenis lainnya; (4) Jasa pengurusan dan konsultasi pesta, termasuk jasa pengurusan dan konsultasi pesta perkawinan dengan segala rata cara dan tata upacara adat, jasa pengurusan dan konsultasi pesta ulang tahun, jasa pengurusan dan konsultasi pesta upacara tradisional, dan jasa sejenis lainnya; (5) Jasa pelabuhan sungai; (6) Jasa ekspedisi muatan sungai; (7) Jasa pembawa acara (master of ceremonies), yaitu jasa pembawa acara hiburan, jasa pembawa acara perlombaan/pertandingan, dan jasa sejenis lainnya, kecuali untuk program penyiaran radio dan televisi. Sementara itu dalam rangka meningkatkan program pembangunan di bidang kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam upaya lebih meningkatkan kesehatan dan produktivitas kerja masyarakat melalui pemanfaatan garam beryodium, dengan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1994 telah diambil kebijaksanaan berupa pemberian fasilitas PPN yang ditanggung Pemerintah atas impor atau penyerahan garam beryodium. Selanjutnya juga telah disempurnakan ketentuan-ketentuan di bidang PPN, khususnya yang berkaitan dengan pengkreditan pajak masukan, dalam rangka memberikan kepastian dalam pelaksanaan penghitungan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Pajak bumi dan bangunan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986, berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, menggantikan pajak Departemen Keuangan RI 66 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kekayaan (PKk) dan iuran pembangunan daerah (Ipeda). Dalam Repelita I, peran penerimaan PKk dan Ipeda masih belurn berarti. Sebagai gambaran, dalam tiga tahun pertama Repelita I realisasi penerimaan kedua jenis pajak tersebut setiap tahunnya tidak lebih dari Rp 0,2 miliar. Selanjutnya dalam tahun keempat dan kelima Repelita I berturut-turut mencapai Rp 15,4 miliar dan Rp 20,0 miliar. Sementara itu pelaksanaan program-program pembangunan di berbagai bidang dalam Repelita II telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, yang menyebabkan potensi sumber-sumber penerimaan dalam negeri pada umumnya meningkat, sehingga penerimaan PKk dan Ipeda dalam Repelita II mengalami peningkatan secara mengesankan. Kalau dalam tahun pertama Repelita II realisasi kedua jenis pajak tersebut baru sebesar Rp 28,5 miliar, maka dalam tahun terakhir Repelita II telah mencapai Rp 68,0 miliar, atau rata-rata tumbuh sekitar 24 persen per tahun . Selanjutnya dalam tahun anggaran 1979/80 yang merupakan tahun pertama Repelita III realisasi penerimaan PKk dan Ipeda adalah sebesar Rp 74,6 miliar, yang terus meningkat dengan tajam, sehingga dalam tahun terakhir Repelita III realisasi penerimaan PKk dan Ipeda dapat mencapai Rp 144,9 miliar. Dengan demikian selama Repelita III realisasi penerimaan PKk dan Ipeda rata-rata tumbuh sebesar 18,1 persen per tahun. Dilihat dari perkembangannya sejak awal Repelita I sampai dengan tahun terakhir Repelita III, maka realisasi penerimaan PKk dan Ipeda rata-rata tumbuh sebesar 68,2 persen per tahun. Sebagai kelanjutan daripada reformasi perpajakan, sejak tanggal 1 Januari 1986 diberlakukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, yang menggantikan pajak kekayaan dan Ipeda. Struktur PBB tersebut cukup sederhana, yaitu hanya mengenal tarif tunggal sebesar 0,5 persen dari nilai jual kena pajak (NJKP). Sedangkan NJKPnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1985 ditetapkan sebesar 20 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP), dan menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, NJKP tersebut dapat ditingkatkan dari 20 persen sampai 100 persen dari NJOP. Sementara itu Pemerintah secara periodik melakukan peninjauan kembali besarnya NJOP, yang disesuaikan dengan perkembangan harga pada khususnya dan perekonomian pada umumnya. Seperti diketahui bahwa 90 persen dari penerimaan PBB diberikan kepada daerah, sedangkan sisanya 10 persen untuk pemerintah pusat. Dalam rangka lebih mengintensifkan Departemen Keuangan RI 67 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pemungutan PBB di daerah, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1009 Tahun 1985 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986, sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, ditetapkan bahwa terhadap bagian penerimaan daerah yang sebesar 90 persen dari penerimaan keseluruhan, lebih dahulu dikurangi 10 persen sebagai biaya pemungutannya. Kemudian sisanya dibagikan kepada pemerintah Dati I sebesar 16,2 persen dan pemerintah Dati II sebesar 64,8 persen. Dari upaya-upaya tersebut, dalam tahun anggaran 1984/85, yang merupakan tahun pertama Repelita IV, realisasi penerimaan PBB mencapai Rp 180,6 miliar. Selama pelaksanaan Repelita IV, penerimaan PBB terus mengalami peningkatan dan dalam tahun terakhir Repelita IV penerimaan tersebut mencapai sebesar Rp 424,2 miliar. Dengan demikian selama Repelita IV realisasi penerimaan PBB rata-rata mengalami pertumbuhan sebesar 23,8 persen per tahun. Memasuki Repelita V, yang diwarnai oleh pesatnya perkembangan ekonomi sebagai hasil pembangunan dan globalisasi di berbagai bidang, Pemerintah terus melakukan upaya penyempurnaan, baik yang menyangkut perundang-undangan, aturan pelaksanaan, mutu pelayanan, maupun upaya-upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak. Dalam kaitan ini, kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB meliputi upaya ekstensifikasi jumlah wajib pajak dan intensifikasi pemungutannya, yang disertai dengan pelayanan yang lebih baik kepada wajib pajak PBB. Sejak tahun 1989 telah dilakukan suatu pilot proyek yang dikenal sebagai sistem "payment point", atau sistem tempat pembayaran (Sistep), dan telah diujicobakan di Tangerang. Sistem ini memungkinkan wajib pajak PBB untuk membayar pajaknya di tempat-tempat pembayaran yang dekat dengan lokasi tempat tinggal wajib pajak. Hasil uji coba tersebut sangat menggembirakan, sehingga dalam tahun anggaran 1989/90 Sistep telah diterapkan di 12 Dati II. Selanjutnya Sistep terus dikembangkan, sehingga dalam tahun 1992 Sistep telah dilaksanakan di 181 Dati II. Pelaksanaan Sistep yang didukung oleh sistem komputerisasi data piutang dan pembayaran PBB, menyebabkan proses pengolahan data dan penyempurnaan administrasi PBB dapat dipercepat. Upaya peningkatan multi pelayanan, di samping penerapan Sistep, juga dilakukan melalui pembentukan kantor-kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan (KP-PBB) serta pembentukan tim intensifikasi PBB, baik di tingkat pusat maupun daerah. Tim intensifikasi PBB di pusat antara Departemen Keuangan RI 68 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 lain bertugas mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan PBB di daerah, menampung permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan PBB di daerah, serta memberikan bimbingan, pembinaan, dan pemantapan pelaksanaan PBB di daerah. Sedangkan tim intensifikasi PBB di daerah menitikberatkan tugasnya pada pelaksanaan operasional PBB di masing-masing daerah yang bersangkutan. Sementara itu dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB dari sektor perhutanan, melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1989 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1985 tentang Pembayaran PBB Atas Areal Blok Tebangan, telah ditetapkan bahwa pembayaran pajak bumi dan bangunan atas areal blok tebangan adalah sebesar 20 persen dari iuran hasil hutan (IHH). Di samping PBB di sektor perhutanan, di sektor pertambangan juga terus dilakukan upaya peningkatannya. Untuk itu sejak tahun 1990 telah diberlakukan suatu formula pembagian penerimaan pajak bumi dan bangunan sektor pertambangan minyak bumi dan gas alam Dati II. Dalam formula tersebut, 50 persen dari penerimaan PBB diperuntukkan bagi Dati II tempat sumber minyak bumi dan gas alam berada, 30 persen untuk Dati II yang berbatasan langsung dengan Dati II tempat sumber minyak bumi dan gas alam berada, dan sisanya 20 persen diperuntukkan bagi Dati II sekitarnya. Sedangkan untuk lebih mendorong investasi di kawasan timur Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan pengurangan pajak bumi dan bangunan, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 748 Tahun 1990 tentang Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan Bagi Investasi Di Wilayah Tertentu. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa terhadap investasi baru di kawasan timur Indonesia dan perluasan usaha minimal sebesar 30 persen, diberikan pengurangan sebesar 50 persen dari pajak bumi dan bangunan yang terhutang selama 8 tahun sejak izin peruntukan tanah diberikan. Dalam rangka meningkatkan penerimaan PBB, ditempuh berbagai upaya yang menyangkut prosedur pembayaran pajak, seperti Sistep dan penggunaan jasa pas dan giro, serta peningkatan sarana dan prasarana pemungutan pajak. Di bidang sarana dan prasarana pemungutan pajak ditempuh kebijaksanaan pengembangan sistem pengolahan data objek PBB dari administrasi manual ke dalam pengolahan komputer di setiap KP-PBB. Sementara itu pemutakhiran data dilakukan melalui kerja sama dengan instansi terkait, antara lain Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan para pejabat pembuat akte tanah (PPAT). Departemen Keuangan RI 69 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Selanjutnya dalam rangka mengurangi beban pajak bumi dan bangunan bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah, telah dilakukan penyesuaian terhadap batas nilai jual bangunan tidak kena pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1291 Tahun 1991 tentang Besarnya Faktor Penyesuaian Batas Nilai Jual Bangunan Tidak Kena Pajak Untuk Penetapan Pajak Bumi Dan Bangunan, yang berlaku sejak tangga1 1 Januari 1992. Dalam keputusan tersebut ditetapkan batas nilai jual bangunan tidak kena pajak adalah sebesar Rp 7 juta untuk setiap satuan bangunan, dengan ketentuan bahwa dalam hal bangunan semata-mata digunakan untuk rumah hunian, maka satuan bangunan adalah unit hunian, sedangkan dalam hal bangunan digunakan selain untuk rumah hunian, satuan bangunan adalah satu kesatuan bangunan. Berbagai upaya dan kebijaksanaan yang te1ah ditempuh dalam Repelita V tersebut temyata membuahkan hasi1 yang cukup menggembirakan, tercermin dari rea1isasi penerimaan PBB yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dalam tahun pertama Repelita V, realisasi penerimaan PBB mencapai sebesar Rp 590,4 miliar, yang kemudian meningkat dengan sangat tajam dalam tahun-tahun berikutnya, terutama dalam tahun terakhir Repe1ita V menjadi sebesar Rp 1.534,3 miliar. Sehingga selama Repelita V realisasi penerimaan PBB mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 27,0 persen per tahun. Me1ihat perkembangan penerimaan PBB dari Repelita ke Repelita, dengan berbagai upaya dan kebijaksanaan yang ditempuh Pemerintah, maka secara keseluruhan dalam PJP I penerimaan PBB meningkat rata-rata sebesar 49,4 persen per tahun. Perkembangan penerimaan PBB yang selalu meningkat dari tahun ke tahun tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain berupa penyesuaian secara periodik nilai jual objek pajak (NJOP), pengembangan sistem tempat pembayaran (Sistep), serta penerapan sistem informasi manajemen objek pajak (Sismiop) di beberapa daerah. Dalam tahun anggaran 1994/95 sebagai tahun pertama Repe1ita VI, PBB yang merupakan salah sarti komponen penerimaan dalam negeri, secara bertahap peranannya semakin dimantapkan, mengingat PBB mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Selaras dengan perkembangan perekonomian, penyesuaian NJOP telah beberapa kali dilakukan, terakhir melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 174 Tahun 1993 tentang Departemen Keuangan RI 70 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Penentuan Klasifikasi Dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan. Dalam keputusan tersebut ditetapkan 50 kelas bumi dengan penggolongan nilai jual tertinggi sebesar Rp 3,1 juta dan terendah sebesar Rp 140 per meter persegi. Sedangkan untuk nilai transaksi objek pajak yang nyata-nyata di atas Rp 3,1 juta per meter persegi, digunakan nilai transaksinya. Di samping itu unsur keadilan dalam penerapan PBB juga tercermin dari adanya pemberian fasilitas pengurangan bagi wajib pajak yang kurang mampu, dan pengajuan keberatan bagi wajib pajak yang merasa membuat kesalahan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)-nya. Besarnya pengurangan dapat ditetapkan paling tinggi 75 persen, sedangkan untuk keberatan tidak tertutup kemungkinan bisa sampai 100 persen. Sementara itu terhadap rumah sakitrumah sakit swasta yang dalam perkembangannya dinilai telah mengarah kepada upaya memperoleh keuntungan di samping fungsinya sebagai lembaga sosial, kini telah dikenakan PBB, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 796 Tahun 1993 tentang Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan Atas Rumah Sakit Swasta. Di samping itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1994 tentang Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual Kena Pajak Pada Pajak Bumi Dan Bangunan, telah ditetapkan kembali besarya tarif nilai jual kena pajak (NJKP) atas objek pajak perumahan. Dalam peraturan pemerintah tersebut diatur bahwa atas objek pajak perumahan yang wajib pajaknya perseorangan dengan nilai jual objek pajak (NJOP)-nya sebesar Rp 1 miliar ke atas, tarif NJKPnya ditetapkan sebesar 40 persen dari NJOP. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi wajib pajak pegawai negeri sipil, ABRI, pensiunan termasuk janda/dudanya yang menguasai atau memanfaatkan objek pajak perumahan yang NJOP-nya senilai Rp 1 miliar ke atas, dimana tarif NJKP-nya tetap sebesar 20 persen dari NJOP sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1985. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan pemerataan dan menunjang otonomi Dati II serta peningkatan pelayanan masyarakat daerah, maka penerimaan PBB yang merupakan bagian pemerintah pusat, yang besarya 10 persen, diserahkan kembali secara merata kepada seluruh Dati II, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 1994 tentang Penggunaan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Bagian Pemerintah Pusat. Kebijaksanaan tersebut dimaksudkan untuk lebih membantu keuangan pemerintah Dati II agar peranannya semakin besar di dalam mendorong investasi dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, kebijaksanaan di bidang PBB juga memperhatikan upayaDepartemen Keuangan RI 71 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 upaya penciptaan iklim usaha yang lebih menarik bagi investor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, untuk menanarnkan modalnya. Untuk itu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 196 Tahun 1994, mesin-mesin yang diperlukan dalam rangka investasi tidak termasuk objek yang dikenakan PBB. Dalam pada itu penerimaan pajak lainnya yang meliputi bea meterai dan bea lelang sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah kegiatan perekonomian, penyempurnaan pelaksanaan lelang, dan upaya preventif dan represif terhadap peredaran meterai palsu. Dengan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian dan semakin efektifnya pelaksanaan Undangundang Nomor 13 Tahun 1985 yang mengatur bea meterai, serta semakin tertibnya pengelolaan kegiatan lelang, penerimaan pajak lainnya dari Repelita ke Repelita menunjukkan peningkatan dalam jumlah yang cukup berarti. Bila dalam tahun pertama Repelita I penerimaan pajak lainnya baru sebesar Rp 3,5 miliar rupiah, maka pada akhir Repelita V telah mencapai sebesar Rp 285,3 miliar, yang berarti selama PJP I pajak lainnya telah tumbuh rata-rata sebesar 20,1 persen per tahun. Kinerja pajak lainnya yang cukup menggembirakan ini akan terus dipertahankan dalam Repelita VI. Dalam tahun anggaran 1994/95 yang merupakan tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, pajak lainnya direncanakan sebesar Rp 281,7 miliar. Bila dibandingkan dengan penerimaan pajak lainnya dalam tahun pertama Repelita V, yaitu tahun anggaran 1989/90, sebesar Rp 275,5 miliar, berarti terdapat peningkatan sebesar Rp 6,2 miliar atau 2,3 persen. Peningkatan ini diharapkan dapat dicapai melalui peningkatan pengawasan dan kepatuhan masyarakat dalam menggunakan meterai yang dilakukan melalui kerja sama yang terpadu antarinstansi terkait. Sementara itu penertiban dan penyempurnaan pelaksanaan lelang akan terus diupayakan sehingga bea lelang dapat dipungut secara lebih efektif, di samping tetap dipertahankannya kesederhanaan tarif bea meterai dengan dua lapis tarif, yaitu Rp 1.000 dan Rp 500. Di samping berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, bea masuk juga berfungsi sebagai alat kebijaksanaan ekonomi, khususnya di bidang perdagangan luar negeri. Sebagai sumber penerimaan negara, selama PJP I penerimaan bea masuk mengalami pertumbuhan ratarata sebesar 17,7 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp 57,7 miliar dalam tahun anggaran 1969/70 yang merupakan tahun pertama Repelita I, menjadi sebesar Rp 2.888,1 miliar dalam Departemen Keuangan RI 72 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tahun anggaran 1993/94 yang merupakan tahun terakhir Repelita V. Dalam Repelita I, penerimaan bea masuk, yang sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan pembangunan ekonomi khususnya kebijaksanaan tarif, mengalami peningkatan rata-rata sebesar 22,1 persen per tahun. Dalam periode tersebut, pola impor mengalami pergeseran ke arah impor bahan baku dan barang modal yang sangat diperlukan untuk mendorong perkembangan industri dalam negeri. Periode berikutnya, selama Repelita II, penerimaan bea masuk terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan rata-rata sebesar 16,4 persen per tahun. Di samping ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara, kebijaksanaan bea masuk juga dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan usaha dan industri dalam negeri, menciptakan kesempatan kerja, serta mengendalikan penggunaan devisa. Sementara itu dalam rangka memperlancar arus perdagangan internasional telah diterapkan klasifikasi barang-barang impor atas dasar Brussels Tariff Nomendature (BTN), yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1973, yang dimaksudkan untuk lebih mengintensitkan pengenaan pajaknya. Dalam Repelita III kebijaksanaan bea masuk lebih dimantapkan melalui penyesuaian dan penurunan tarif bea masuk terhadap impor bahan baku atau bahan baku penolong dan barang modal. Sedangkan tarif yang tinggi dikenakan hanya terhadap barang-barang tertentu dan bersifat sementara, serta terhadap impor barang-barang konsumsi yang tergolong mewah. Selain itu, Pemerintah juga memberikan keringanan berupa pembebasan sebagian bea masuk dan pajak penjualan impor atas pemasukan bahan baku, subkomponen setengah jadi dan subkomponen jadi untuk pembuatan komponen kendaraan bermotor di dalam negeri. Selanjutnya kepada industri pariwisata telah diberikan fasilitas bea masuk dan pajak penjualan impor dalam rangka mendorong penerimaan devisa dari sektor pariwisata. Sehubungan dengan semakin pesatnya perkembangan di bidang ekspor dan impor, maka Pemerintah telah mengganti sistem tarif dari sistem Brussels Tariff Nomendature (BTN) dengan sistem Customs Cooperation Council Nomendature (CCCN), yaitu suatu sistem pentarifan barang, baik ekspor maupun impor, secara lebih terperinci, sehingga lebih menjamin ketepatan dan kemudahan dalam pelaksanaannya, seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 253 Tahun 1985. Dalam perkembangannya, penerimaan bea masuk dapat dibagi dalam dua periode, yaitu era sebelum deregulasi, yaitu periode sampai dengan tahun anggaran 1985/86, dan era pasca Departemen Keuangan RI 73 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 deregulasi. Sebelum era deregulasi, penerimaan bea masuk yang dalam tahun pertama Repelita I baru mencapai sebesar Rp 57,7 miliar telah mengalami pertumbuhan rata-rata 15,8 persen pertahun sehingga mencapai sebesar Rp 607,3 miliar dalam tahun anggaran 1985/86. Sedangkan dalam era pasca deregulasi, rata-rata pertumbuhan penerimaan bea masuk per tahun dapat mencapai sebesar 17,0 persen, yaitu dari sebesar Rp 960,1 miliar dalam tahun anggaran 1986/87 menjadi sebesar Rp 2.888,1 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Perkembangan tersebut berhubungan erat dengan pelaksanaan berbagai paket deregulasi untuk mendorong ekspor nonmigas selama ini. Dalam Repelita IV, dengan adanya kebijaksanaan deregulasi penerimaan bea masuk meningkat rata-rata sebesar 22,5 persen per tahun. Peningkatan yang cukup besar tersebut terutama dikarenakan meningkatnya volume impor yang sejalan dengan meningkatnya ekspor hasil industri. Sesuai dengan tekad Pemerintah untuk mendorong ekspor nonmigas melalui deregulasi perdagangan internasional, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1988, sejak tanggal 1 Januari 1989 tarif bea masuk telah menggunakan sistem klasifikasi barang berdasarkan Harmonized System (HS), sebagai pengganti sistem klasifikasi barang berdasarkan Customs Cooperation Council Nomendature (CCCN), serta dilaksanakannya penyederhanaan penyelesaian dokumen impor, yang dikenal dengan "custom fast release system" (CFRS). Selanjutnya dalam tahun anggaran 1989/90 yang merupakan tahun pertama Repelita V, penerimaan bea masuk mencapai sebesar Rp 1.587,0 miliar, sedangkan dalam tahun anggaran 1993/94 telah mencapai sebesar Rp 2.888,1 miliar, atau tumbuh rata-rata sebesar 16,1 persen per tahun. Khusus dalam tahun anggaran 1990/91, penerimaan bea masuk yang mencapai sebesar Rp 2.485,7 miliar mengalami peningkatan yang cukup besar dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp 1.587,0 miliar, atau mengalami peningkatan sebesar 56,6 persen. Peningkatan penerimaan tersebut selain berkenaan dengan telah diberlakukannya sistem klasifikasi barang berdasarkan Harmonized System (HS), juga disebabkan adanya raker kebijaksanaan 28 Mei 1990 yang merupakan kelanjutan dari rangkaian kebijaksanaan deregulasi di bidang tarif bea masuk, yang memperluas cakupan penggantian perlindungan nontarif renjadi perlindungan tarif. Pola pengaturan tarif selain untuk mengatur arus barang impor yang terkena bea masuk juga dimaksudkan untuk mencegah inefisiensi dan ekonomi biaya tinggi, tanpa mengabaikan perlunya memberikan perlindungan yang lebih adil bagi industri dalam negeri. Kebijaksanaan tersebut Departemen Keuangan RI 74 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 mencerminkan upaya pemerintah untuk mendorong dan meningkatkan daya saing, serta mengembangkan industri di dalam negeri yang berorientasi kepada industri barang-barang ekspor yang memberi nilai tambah lebih tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja. Langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi tersebut telah mendorong pengembangan sistem tarif yang rasional, dan sekaligus mengurangi hambatan-hambatan arus impor yang bersifat nontarif. Dalam tahun anggaran 1991/92, penerimaan bea masuk yang sebesar Rp 2.133,1 miliar berarti menurun sebesar 14,2 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai sebesar Rp 2.485,7 miliar. Hal tersebut terjadi karena adanya berbagai raker kebijaksanaan deregulasi yang dikeluarkan Pemerintah, seperti deregulasi di sektor riil pada tanggal 28 Mei 1991 dan raker kebijaksanaan di bidang investasi, perdagangan, dan keuangan yang dikeluarkan dalam bulan Juni 1991 (Pakjun), yang mengarah kepada tarif bea masuk yang lebih rendah. Selanjutnya telah diadakan penyempurnaan tata laksana pabean di bidang impor sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 737 Tahun 1991 tentang Tata Laksana Pabean Di Bidang Impor, yang memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk dapat memeriksa barang impor yang dilindungi laporan pemeriksaan surveyor (LPS), dimana pemeriksaan surveyor belum sepenuhnya merupakan pemeriksaan yang bersifat final. Dalam kaitan tersebut, terhadap impor barang dengan nilai di atas US$ 5.000, wajib dilakukan pemeriksaan prapengapakan di pelabuhan muat oleh surveyor yang ditunjuk Pemerintah. Sementara itu dalam bulan Juli 1992 telah ditempuh kebijaksanaan deregulasi di sektor riil yang mencakup kemudahan bagi sektor swasta untuk mengimpor baja dan mesin bekas bagi industrinya, penyederhanaan prosedur izin penanaman modal dan penggunaan tenaga kerja asing, pengurangan jumlah usaha dalam daftar negatif investasi (DNI), serta pemberian hak guna usaha (HGU) kepada PMA patungan, yang ditujukan untuk mendorong terciptanya kesempatan kerja baru dan dapat menghasilkan produksi komoditi ekspor dengan daya saing yang makin tinggi. Dalam rangka merangsang ekspor nonmigas, secara bertahap telah diluncurkan paket deregulasi dalam bulan Juni 1993, antara lain berupa penurunan tarif yang meliputi 221 pas tarif bea masuk dan 76 pas tarif bea masuk tambahan, serta penghapusan tata niaga impor terhadap 140 pas tarif. Selanjutnya Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi dalam bulan Oktober 1993 yang mencakup penurunan bea masuk sebesar 5 sampai dengan 15 persen terhadap 198 pas tarif, dan dihapuskannya 92 pas tarif bea masuk tambahan, serta 27 pas tarif diturunkan bea masuknya. Departemen Keuangan RI 75 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Dalam rangka meningkatkan pengawasan dan pencegahan serta pemberantasan penyelundupan, telah dibentuk dua pangkalan sarana perhubungan bea dan cukai, masing-masing di Tanjung Priok dan Pantoloan. Dalam bulan Juni 1994, Pemerintah kembali meluncurkan kebijaksanaan deregulasi di bidang bea masuk, bea masuk tambahan, penghapusan tata niaga impor, penyempurnaan peraturan yang menyangkut Kawasan Berikat dan Entrepot Produksi Tujuan Ekspor, pengkreditan pajak masukan, dan kemudahan bagi perluasan penanaman modal. Deregulasi ini merupakan kelanjutan dari serangkaian deregulasi yang telah dijalankan, sejalan dengan perkembangan perdagangan internasional sehubungan dengan kesepakatan yang dicapai dalam GATT - Putaran Uruguay. Deregulasi kali ini tidak hanya dimaksudkan untuk lebih meningkatkan investasi, efisiensi dan produktivitas guna mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan dan perluasan ekspor nonmigas, serta peningkatan aktivitas dan perluasan kesempatan usaha dan kerja, tetapi juga untuk meningkatkan kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Dengan berbagai kebijaksanaan yang telah dilaksanakan, penerimaan bea masuk dalam APBN 1994/95 diperkirakan mencapai sebesar Rp 3.443,3 miliar, atau meningkat sekitar 19,2 persen dari realisasi tahun sebelumnya. Kebijaksanaan yang ditempuh berkenaan dengan penerimaan cukai adalah mengendalikan konsumsi beberapa jenis barang tertentu melalui pengenaan cukai, dan sekaligus diarahkan untuk memberikan sumbangan yang makin besar terhadap penerimaan negara. Dalam perkembangannya, penerimaan cukai yang dikenakan atas empat jenis komoditi hasil industri, yaitu produk tembakau, gula, bir, dan alkohol sulingan, secara keseluruhan dalam PJP I tumbuh rata-rata sebesar 20,0 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1969/70, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan Repelita I, penerimaan cukai baru mencapai sebesar Rp 32,1 miliar, sedangkan dalam tahun terakhir Repelita V telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.559,5 miliar. Sebagian besar penerimaan cukai tersebut diperoleh dari cukai hasil tembakau, yang rata-rata mampu memberikan sumbangan sekitar 93 persen dari keseluruhan penerimaan cukai. Penerimaan cukai hasil tembakau, yang diperoleh dari cukai rokok jenis sigaret, baik yang dibuat dengan mesin (SKM) maupun yang dibuat dengan tangan (SKT), dalam Repelita V tersebut memberikan sumbangan rata-rata sekitar 89 persen dari jumlah keseluruhan penerimaan cukai tembakau setiap tahunnya, sedangkan cukai yang berasal dari sigaret putih mesin (SPM) dan cukai tembakau lainnya memberikan sumbangan rata-rata sekitar 11 persen setiap tahunnya. Departemen Keuangan RI 76 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Produksi hasil tembakau secara keseluruhan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 3,4 persen setiap tahunnya. Dari produksi sigaret kretek, jenis sigaret kretek mesin (SKM) memegang peranan yang semakin besar dalam keseluruhan produksi dibandingkan dengan jenis sigaret lainnya. Jumlah produksi hasil tembakau tersebut dikelompokkan berdasarkan produksi total dalam satu tahun takwim yang dihasilkan oleh pabrikan, baik pabrikan yang berskala besar, menengah besar, menengah, kecil, maupun industri rumah tangga (K-1000). Dalam periode Repelita V, peranan produksi jenis SKM dalam produksi sigaret kretek mencapai sebesar 57,3 persen, dengan peningkatan produksi rata-rata sebesar 2,8 persen per tahun. Sedangkan peranan produksi jenis sigaret kretek tangan (SKT) mencapai sebesar 27,0 persen dengan peningkatan produksi rata-rata sebesar 5,1 persen per tahun. Selanjutnya peranan produksi jenis SPM hanya sebesar 11,3 persen, dengan peningkatan produksi rata-rata sebesar 6,4 persen setiap tahun. Kebijaksanaan di bidang cukai hasil tembakau juga telah meningkatkan status beberapa pengusaha hasil tembakau yang tergolong sebagai K-1000, yaitu pabrikan dengan jumlah produksi per harinya untuk cerutu mencapai 40.000 batang, jenis sigaret mencapai 50.000 batang, jenis rokok daun mencapai 50.000 batang, dan untuk jenis tembakau iris 10.000 bungkus, meningkat statusnya menjadi pabrikan non K-1000. Demikian juga telah dilakukan penyesuaian harga eceran beberapa produksi rokok yang harga jualnya di pasaran lebih tinggi dari harga pitanya, sehingga pada gilirannya turut mendorong peningkatan penerimaan cukai hasil tembakau. Dalam rangka membina dan memberikan perlindungan kepada pabrikan kecil/K-1000 dalam persaingannya dengan pabrikan berskala besar, untuk mendorong perkembangan dan peningkatan produksi perusahaan hasil tembakau, serta untuk menciptakan iklim berusaha yang sehat, kebijaksanaan berupa pembebasan sebagian cukai hasil tembakau buatan dalam negeri masih tetap diberikan sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 54 Tahun 1994, dimana klasiftkasi tarif maupun produksi daripada jenis-jenis cukai hasil tembakau yang berlaku dalam tahun anggaran 1994/95 masih sama dengan tahun anggaran sebelumnya. Guna menjamin pita cukai hasil temabaku, dimana desain pita cukai selama ini berlaku tidak lagi terjamin keamanannya, maka dipandang perlu untuk menggantikan desain pita cukai yang baru, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 1994. Sementara itu penerimaan aneka cukai, yang terdiri dari cukai gula, cukai bir, dan cukai alkohol Departemen Keuangan RI 77 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sulingan, dipengaruhi oleh perkembangan dan peningkatan produksi serta penyesuaian harga dasar atas produk-produknya. Untuk jenis cukai gula, upaya peningkatan penerimaan cukainya tetap diselaraskan dengan penetapan harga dasar gula dan usaha untuk tetap menjaga kestabilan harga pada tingkat yang wajar. Sedangkan tarif yang berlaku untuk memungut cukainya masih tetap 4 persen. Berdasarkan pertimbangan bahwa produk bir banyak dikonsumsi oleh golongan masyarakat menengah ke atas dan berhubungan erat dengan perkembangan kegiatan di sektor pariwisata, yang dalam perkembangannya telah menyebabkan kenaikan harga jual bir di peredaran bebas sehingga terdapat selisih yang cukup besar antara harga dasar dan harga jualnya, maka telah dilakukan penetapan harga dasar baru dari sebesar Rp 1.000 menjadi sebesar Rp 1.300 per liter, sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544 Tahun 1994, sedangkan tarif cukainya masih tetap sebesar 50 persen terhadap harga dasarnya. Dalam pada itu terhadap alkohol sulingan yang banyak dipergunakan sebagai bahan pembantu atau bahan baku bagi pembuatan obat-obatan dan produk minuman keras untuk kebutuhan dalam negeri, tarif cukainya masih tetap 70 persen dari harga dasarnya yang sebesar Rp 800 per liter. Dalam rangka pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang sama dan merata di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan dalam rangka memperluas sumber penerimaan negara, maka melalui Keputusan Presiden Nomor III Tahun 1993, sejak tanggal 13 November 1993 Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan Stbl. 1989 Nomor 90 Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965, beserta seluruh peraturan pelaksanaannya, telah diperluas wilayah berlakunya hingga meliputi daerah di luar pulau Jawa dan Madura. Peraturan yang mengatur teknis pelaksanaan dari Keppres tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 950 Tahun 1993. Perkembangan penerimaan cukai hasil tembakau maupun aneka cukai dapat diarnati dalam Tabel 11.3. Departemen Keuangan RI 78 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel 11.3 PENERIMAAN CUKAI, 1969/70 - 1994/95 (dalam miliar rupiah) Cukai Cukai tembakau lainnya Tahun Jumlah REPELITA I 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI *) 1994/95 *) APBN 28,1 33,6 35,1 40,6 53,5 4 4,5 5,3 6,7 8,2 32,1 38,1 40,4 47,3 61,7 65,7 83 112,9 159,9 227,7 293,8 390,1 491,7 565,4 697,7 8,7 14,3 17,8 22 25,2 32,6 47,8 52,5 54,7 75,5 74,4 97,3 130,7 181,9 252,9 326,4 437,9 544,2 620,1 773,2 785,9 886,9 993 1.035,20 1.302,30 86,7 56,8 62,8 70,5 87,6 872,6 943,7 1.055,80 1.105,70 1.389,90 1.391,60 1.781,50 2.102,80 2.238,00 2.399,40 85,2 135,8 120 142,8 160,1 1.476,80 1.917,30 2.222,80 2.380,80 2.559,50 2.463,70 159,1 2.622,80 Penerimaan pajak ekspor yang pada awal Repelita I baru mencapai Rp 7,4 miliar, terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun anggaran 1974/75, kemudian mengalami penurunan dalam tahun anggaran 1975/76, dan selanjutnya meningkat kembali mencapai puncaknya dalam tahun anggaran 1979/80 yang juga merupakan tahun pertama Repelita III, yang mencapai Rp 389,1 miliar. Secara keseluruhan dalam kurun waktu Repelita I sampai dengan Repelita III penerimaan pajak ekspor mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 20,8 persen per tahun. Hal tersebut terjadi, selain disebabkan karena adanya kenaikan nilai ekspor dari beberapa komoditi tertentu seperti kayu, kopi dan timah, serta adanya penyesuaian nilai tukar rupiah, juga Departemen Keuangan RI 79 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 karena adanya penyesuaian kembali besarnya tarif pajak ekspor. Penerimaan pajak ekspor dan pajak ekspor tarnbahan sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari kegiatan ekspor tidak terlepas dari perkembangan ekspor nonmigas serta kebijaksanaan pemerintah di bidang ekspor. Oleh karena itu kebijaksanaan pajak ekspor dan pajak ekspor tarnbahan tidak hanya dilaksanakan untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memperhatikan segi peningkatan ekspor dan perluasan kesempatan kerja di sektor produksi barang ekspor. Dalam tahun anggaran 1982/83, yang merupakan tahun keempat Repelita III, penerimaan pajak ekspor mengalami penurunan dibandingkan dengan penerimaan pajak ekspor tahun sebelumnya. Hal itu di samping berkaitan dengan lesunya perekonomian dunia yang mengakibatkan merosotnya harga beberapa komoditi ekspor terpenting di pasaran dunia, juga dikarenakan adanya kebijaksanaan pembatasan ekspor kayu gelondongan dalam rangka penyediaan bahan baku untuk industri pengolahan kayu di dalam negeri. Demikian juga dalam rangka mendorong ekspor serta mempertahankan pasaran minyak kelapa sawit dan hasil-hasilnya di luar negeri, Pemerintah telah menurunkan tarif pajak ekspor minyak kelapa sawit dan hasilhasilnya menjadi 0 persen. Lesunya perekonomian dunia dan berbagai hambatan yang dilakukan oleh negara maju terhadap barang-barang ekspor negara berkembang termasuk Indonesia, menyebabkan perkembangan harga maupun jumlah barang-barang ekspor nonmigas menjadi terpengaruh. Karena itu, sejak awal Repelita IV penerimaan pajak ekspor terus mengalami penurunan, dan baru dalam tahun anggaran 1987/88 penerimaan pajak ekspor kembali meningkat menjadi sebesar Rp 183,5 miliar, atau mengalami peningkatan sebesar 132,9 persen dari tahun sebelumnya. Meningkatnya penerimaan pajak ekspor tersebut di samping disebabkan semakin membaiknya perekonomian dunia juga disebabkan adanya kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka mendorong ekspor barang jadi dengan mengenakan atau menaikkan tarif pajak ekspor terhadap beberapa komoditi ekspor, seperti rotan mentah dan kayu gergajian. Dalam tahun pertama Repelita V penerimaan pajak ekspor masih cutup tinggi, yaitu sebesar Rp 171,5 miliar. Namun perkembangan dalam tahun-tahun berikutnya penerimaan pajak ekspor terus menurun dan mencapai titik terendah hanya sebesar Rp 8,5 miliar dalam tahun anggaran 1992/93. Penurunan penerimaan pajak ekspor tersebut terutama disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pengenaan tarif pajak ekspor terhadap kayu gergajian dan kayu olahan (KGKO), Departemen Keuangan RI 80 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1134 Tahun 1989. Kebijaksanaan tersebut adalah sebagai upaya agar pemanfaatan sumber daya hutan tropis dapat lebih efisien dan sejalan dengan usaha untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan, di samping untuk mendorong ekspor barang jadi yang bahan bakunya dari KGKO dan memperluas kesempatan kerja. Dengan demikian, selain ditentukan oleh volume dan jenis barang ekspor, tariff pajak ekspor, serta nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, penerimaan pajak ekspor sangat ditentukan oleh program pengembangan industri yang bertujuan ekspor. Dengan adanya penetapan besarnya tarif dan tata cara pembayaran serta penyetoran pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan serta peningkatan koordinasi dengan instansi terkait maka penerimaan pajak ekspor diharapkan dapat kembali mengalami peningkatan. Dalam rangka mencegah kenaikan harga jual minyak goreng di dalam negeri, melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439 Tahun 1994 telah dikenakan pajak ekspor atas eksporcrude palm oil (CPO), refined bleached deodorized palm oil (RBD PO), dan refined bleached deodorized olein (RBD Olein) yang berlaku efektif sejak tanggal 1 September 1994. Sehubungan dengan kebijaksanaan tersebut, penerimaan pajak ekspor dalam tahun yang sedang berjalan, yaitu tahun anggaran 1994/95, diharapkan dapat menunjukkan peningkatan yang cutup berarti. Adapun perkembangan penerimaan perpajakan secara rinci dapat dilihat dalam Tabel II.4. 2.2.2.3. Penerimaan negara bukan pajak Dengan makin tidak menentunya penerimaan migas, yang sangat tergantung pada berbagai faktor eksternal, seperti harga minyak mentah di pasar internasional, Pemerintah berusaha untuk makin mendorong penerimaan di luar migas. Sejalan dengan upaya tersebut, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga telah berhasil memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan dalam negeri. Penerimaan negara bukan pajak terdiri dari penerimaan negara yang bersumber dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, dan penerimaan khusus sehubungan dengan keikutsertaan Pemerintah dalam berbagai aktivitas dunia usaha. Penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen dapat bersifat umum dan fungsional. Penerimaan yang bersifat umum terdapat pada semua departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, sedangkan penerimaan yang bersifat fungsional adalah imbalan yang diperoleh Departemen Keuangan RI 81 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dalam menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat dan/atau instansi pemerintah lainnya, serta penerimaan lain yang bersifat insidentil. Penerimaan negara bukan pajak tersebut, baik yang bersifat umum maupun fungsional, terdiri dari penerimaan rutin di luar negeri, penerimaan pendidikan, penerimaan penjualan, penerimaan sewa dan jasa, penerimaan kejaksaan dan peradilan, penerimaan kembali pinjaman dan lain-lain. Sementara itu penerimaan khusus yang berkaitan dengan keikutsertaan Pemerintah dalam berbagai aktivitas dunia usaha adalah berupa dividen/dana pembangunan semesta/bagian laba pemerintah dan penerimaan bukan pajak lainnya. Pajak 1) Penghasilan Tahun REPELITA I 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 5) Tabel II.4 PENERIMAAN PERPAJAKAN, 1969/70 -1994/95 (dalam miliar rupiah) Pajak Bea Pajak Pertambahan Masuk Ekspor Nilai 2) Cukai Pajak Bumi 3) Bangunan Pajak 4) Lainnya Jumlah 43 51,3 68 87,9 140,3 31 40,8 46,4 62,3 105,3 57,7 71 69,4 73,2 128,2 32,1 38,1 40,4 47,3 61,7 7,4 25,7 28,1 32,7 68,6 0,1 0,1 0,2 15,4 20 3,5 4,6 7,3 6,7 11,6 174,8 231,6 259,8 325,5 535,7 225,8 305,9 381,9 503,8 617,2 153,8 191,7 264,5 318 346,6 160,6 174 257,4 286,9 295,3 74,4 97,3 130,7 181,9 252,9 70,3 61,6 61,7 81,2 166,2 28,5 35,9 44,3 55,6 68 16,5 17,1 11,7 15,7 19,8 729,9 883,5 1.152,20 1.443,10 1.766,00 792,5 1.112,20 1.367,10 1.706,50 1.932,30 329,4 460,7 533,9 707,6 830,6 316,7 448 536,2 521,9 557 326,4 437,9 544,2 620,1 773,2 389,1 305 128,5 82,5 104 74,6 91,9 100,3 112,5 144,9 21,2 36 38,2 61,2 51,5 2.249,90 2.891,70 3.248,40 3.812,30 4.393,50 2.121,00 2.313,00 2.270,50 2.663,40 3.949,40 878 2.326,70 2.900,10 3.390,40 4.505,30 530,1 607,3 960,1 938,4 1.192,00 872,6 943,7 1.055,80 1.105,70 1.389,90 91 50,5 78,8 183,5 155,6 180,6 224,5 190 275,1 424,2 115 151,2 190,4 222,9 292,1 4.788,30 6.616,90 7.645,70 8.779,40 11.908,50 5.487,70 6.755,30 9.580,40 11.912,60 15.273,10 5.836,70 7.462,70 8.926,10 10.714,40 12.282,30 1.587,00 2.485,70 2.133,10 2.652,20 2.888,10 1.476,80 1.917,30 2.222,80 2.380,80 2.559,50 171,5 44,2 18,8 8,5 13,5 590,4 811 874,6 1.100,60 1.534,30 275,5 243,5 302,6 359,9 285,3 15.425,60 19.719,70 24.058,40 29.129,00 34.836,10 18.842,90 13.238,60 3.443,30 2.622,80 16,4 1.628,70 281,7 40.074,40 1) Sampai dengan tahun 1983/84, terdiri dari pajak pendapatan, pajak perseroan, MPO dan PBDR. 2) Sampai dengan tahun 1984/85, terdiri dari pajak penjualan dan pajak penjualan impor. 3) Sampai dengan tahun 1984/85, terdiri dari Ipeda dan pajak kekayaan. 4) Terdiri dari penerimaan bea meterai, bea lelang. 5) APBN Departemen Keuangan RI 82 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Agar dapat memberikan kontribusi yang lebih besar pada penerimaan dalam negeri, telah dilaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak yang bersumber dari departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, antara lain berupa penyempurnaan administrasi pengelolaan, yang meliputi tara cara penyetoran, dan intensifikasi pemungutan, serta pengawasan dalam pelaksanaan berbagai penerimaan yang diterima oleh departemen/lembaga pemerintah nondepartemen tersebut. Di samping itu sejalan dengan perkembangan perekonomian juga dilakukan penyempurnaan tarif pungutan, dan peningkatan koordinasi dengan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen terkait. Selain upaya untuk meningkatkan penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan penerimaan dari BUMN, antara lain melalui pembinaan, pengawasan dan pengelolaan terhadap BUMN. Upaya yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas BUMN ini dilakukan melalui langkahlangkah restrukturisasi BUMN, antara lain berupa pemantapan status hukum, kerjasama operasi/kontrak manajemen, konsolidasi/penggabungan dan pemantapan struktur permodalan melalui penjualan saham kepada pihak ketiga/masyarakat, baik secara langsung maupun melalui pasar modal. Sementara itu penilaian efisiensi dan produktivitas perusahaan senantiasa dilakukan secara berkala melalui penilaian kinerja BUMN, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 826 tanggal 24 Juli 1992, yang merupakan penyempurnaan dari Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740 tanggal 28 Juni 1989 tentang Peningkatan Efisiensi Dan Produktivitas BUMN. Dalam upaya penyederhanaan proses pengambilan keputusan, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 741 tanggal 28 Juni 1989 tentang Rencana Jangka Panjang, Rencana Kerja Dan Anggaran Perusahaan Serta Pelimpahan Kewenangan Pengambilan Keputusan, dijelaskan bahwa wewenang pengambilan keputusan terhadap hal-hal tertentu dilimpahkan kepada rapat umum pemegang saham (RUPS)/rapat tahunan dan Dewan Kornisaris/ Dewan Pengawas. Dengan berbagai upaya tersebut di atas, kontribusi BUMN dalam keseluruhan penerimaan negara bukan pajak berupa dividen/dana pembangunan semesta/bagian laba pemerintah dan penerimaan bukan pajak lainnya dari laba BUMN dapat meningkat. Sementara itu dengan meningkatnya efisiensi dan produktivitas, diharapkan BUMN dapat membina para pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi. Pembinaan ini antara lain dilakukan melalui pemberian bantuan berupa peningkatan kemampuan manajemen, keterarnpilan produksi, modal kerja, pemasaran danjarninan kredit perbankan, Departemen Keuangan RI 83 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dengan menyisihkan 1-5 persen dari laba BUMN setelah dikurangi pajak. Pemberian bantuan ini diharapkan dapat meningkatkan peranserta para pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi dalam kegiatan perekonomian nasional, dan juga diharapkan dapat memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Melalui berbagai upaya tersebut, perkembangan penerimaan negara bukan pajak selama Repelita V telah menunjukkan perkembangan yang cukup baik, yaitu meningkat rata-rata 17,2 persen per tahun. Penerimaan bukan pajak yang pada awal Repelita V (1989/90) adalah sebesar Rp 2.062,1 miliar, pada akhir Repelita V (1993/94) telah menjadi hampir 2 kali lipat, sehingga mencapai sebesar Rp 3.895,3 miliar. Sementara itu pada awal Repelita VI (1994/95) penerimaan negara bukan pajak direncanakan sebesar Rp 4.292,5 miliar akan 10,2 persen lebih tinggi daripada realisasinya dalam tahun terakhir Repelita V. Penerimaan ini direncanakan terdiri dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen sebesar Rp 2.742,5 miliar dan sisanya sebesar Rp 1.550,0 miliar merupakan penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN. Penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen pada awal Repelita V baru mencapai Rp 1.331,1 miliar, sedangkan pada akhir Repelita V menjadi lebih dari 1,5 kali lipat, sehingga mencapai sebesar Rp 2.378,7 miliar. Dengan demikian, dalam Repelita V penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen telah meningkat rata-rata sebesar 15,6 persen per tahun. Sedangkan penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN dalam periode yang sama telah menjadi lebih dari 2 kali lipat, yaitu dari sebesar Rp 731,0 miliar pada awal Repelita V (1989/90) menjadi sebesar Rp 1.516,6 miliar dalam tahun terakhir Repelita V (1993/94), akan meningkat rata-rata sebesar 20,0 persen per tahun. 2.2.2.4. Laba bersih minyak (LBM) Selama ini perkembangan harga minyak mentah di pasar internasional dapat dikatakan tidak menentu, dan akhir-akhir ini cenderung menurun. Gejolak harga minyak mentah ini terutama dipengaruhi oleh dua hal pokok, yaitu permintaan dan penawaran minyak di pasar internasional. Permintaan minyak dunia antara lain dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dunia, terutama negara-negara maju, dan adanya perubahan musim. Sementara itu penawaran minyak dunia antara lain dipengarnhi oleh tingkat produksi OPEC dan non-OPEC, serta faktorfaktor nonekonomi, seperti perang, pemogokan buruh minyak, perbaikan fasilitas kilang minyak, Departemen Keuangan RI 84 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 serta spekulasi pasar. Bagi Indonesia, menurunnya harga minyak, di satu sisi akan menurunkan penerimaan migas, namun di sisi lain menyebabkan diterimanya laba bersih minyak (LBM), karena lebih rendahnya biaya pokok pengadaan BBM di dalam negeri dibandingkan dengan hasil penjualannya. Dalam APBN 1994/95, dengan perkiraan harga minyak mentah sebesar US$ 16,00 per barel dan tingkat produksi sebesar 1.530 ribu barel per hari, laba bersih minyak (LBM) yang diperkirakan akan diterima adalah sebesar Rp 2.519,0 miliar atau menjadi hampir 2,5 kali lipat dari realisasinya dalam tahun anggaran sebelumnya. Dalam Tabel II.5 dan Grafik II.1 dapat diikuti perkembangan penerimaan dalam negeri, yang meliputi penerimaan migas, penerimaan pajak, dan penerimaan bukan pajak selama 26 tahun, sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI. 2.2.3. Penerimaan pembangunan Pembangunan yang dilaksanakan selama ini secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut adalah dalam rangka mewujudkan kehidupan suatu masyarakat adil makmur yang merata material dan spiritual. Guna melaksanakan pembangunan tersebut, dibutuhkan dana yang cukup besar yang dipenuhi baik dari sumber dalam negeri maupun sumber luar negeri. Sumber dana dalam negeri antara lain dapat diperoleh dengan menghimpun dana masyarakat dan tabungan pemerintah. Sedangkan sumber dana luar negeri diperoleh dari bantuan luar negeri, baik berupa hibah maupun pinjaman. Bantuan luar negeri yang diterima selama ini berkaitan erat dengan adanya keterbatasan dana dalam negeri yang dapat dihimpun untuk membiayai pembangunan yang telah direncanakan. Pada hakekatnya bantuan luar negeri mempunyai peranan sebagai alternatif sumber pembiayaan, sebagai sumber pembiayaan tambahan, dan sebagai arus modal masuk yang sangat diperlukan untuk mencapai tingkat pembangunan yang cukup tinggi. Dalam memanfaatkan bantuan luar negeri tersebut, Pemerintah senantiasa berhati-hati dan penggunaannya hanya untuk membiayai proyek-proyek yang produktif dan bermanfaat. Dengan demikian, bantuan luar negeri diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal dan tidak menimbulkan kesulitan dalam pembayarannya kembali. Hal ini sesuai dengan kebijaksanaan yang telah digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), yaitu bantuan luar negeri hanya berfungsi sebagai pelengkap dana pembangunan, yang Departemen Keuangan RI 85 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 diperoleh dengan syarat lunak, tanpa ikatan politik, tidak memberatkan keuangan negara, dan digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan yang produktif sesuai prioritas dan memberikan manfaat sebesar-besarya bagi kesejahteraan rakyat, serta peranannya secara bertahap harus dikurangi. Tahun Tabel II.5 PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1969/70 - 1994/95 (dalam miliar rupiah) Penerimaan Penerimaan Penerimaan Penerimaan minyak bumi perpajakan bukan dalam negeri 1) pajak dan gas alam REPELITA I 1969/70 65,8 174,8 3,1 1970/71 99 231,6 11,5 1971/72 140,7 259,8 27,5 1972/73 230,5 325,5 34,6 1973/74 382,2 535,7 49,8 REPELITA II 1974/75 957,2 729,9 66,6 1975/76 1.248,00 883,5 110,4 1976/77 1.635,30 1.152,20 118,5 1977/78 1.948,70 1.443,10 143,6 1978/79 2.308,70 1.766,00 191,4 REPELITA III 1979/80 4.259,60 2.249,90 187,3 1980/81 7.019,60 2.891,70 315,7 1981/82 8.627,80 3.248,40 336,4 1982/83 8.170,40 3.812,30 435,6 1983/84 9.520,20 4.393,50 519 REPELITA IV 1984/85 10.429,90 4.788,30 687,3 1985/86 11.144,40 6.616,90 1.491,50 2) 1986/87 6.337,60 7.645,70 2.157,3 1987/88 10.047,20 8.779,40 1.916.7 1988/89 9.527,00 11.908,50 1.568,80 REPELITA V 1989/90 11 .252,1 15.425,60 2.062,10 1990/91 17.711,90 19.719,70 2.114,80 1991/92 15.039,10 24.058,40 2.487,30 1992/93 15.330,40 29.129,00 2.993,10 1993/94 12.507,70 34.836,10 4.936,0 2) REPELITA VI 1994/95 3) 12.851,20 40.074,40 6.811,5 2) 1) Sampai dengan 1976/77 termasuk penerimaan minyak lainnya 2) Termasuk LBM 3) APBN 16.140,60 20.803,30 Dalam kurun waktu pembangunan 25 tahun pertama (PJP I), peranan bantuan luar negeri sebagai pelengkap pembiayaan pembangunan dalam keseluruhan dana pembangunan diupayakan Departemen Keuangan RI 86 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 semakin lama semakin mengecil. Menjelang awal Repelita I, kondisi perekonomian Indonesia menghadapi masa-masa sulit, dengan tingkat inflasi tinggi, defisit anggaran yang tidak terkendali, dan cadangan devisa rendah. Untuk mengatasi kondisi tersebut, dalam Repelita I Pemerintah mengkonsentrasikan pembangunan pada rehabilitasi dan stabilisasi perekonomian. Pada saat itu sebagian besar bantuan luar negeri yang diterima berupa bantuan program, yang antara lain digunakan untuk mengimpor bahan pangan dan barang modal yang dibutuhkan dalam rangka stabilisasi harga dalam negeri. Dalam Repelita I tersebut, peranan bantuan program mencapai 59,3 persen dari keseluruhan bantuan luar negeri yang berjumlah sebesar Rp 708,0 miliar. Namun demikian, dalam perkembangannya kenaikan bantuan proyek lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan bantuan program, yaitu rata-rata meningkat sebesar 45,7 persen per tahun dibandingkan bantuan program yang hanya meningkat rata-rata sebesar 8,1 persen per tahun. Hal ini disebabkan secara bertahap Pemerintah mulai menerima bantuan proyek dengan persyaratan lunak, yang digunakan untuk perbaikan dan peinbangunan berbagai prasarana dan sarana yang menunjang produksi dan investasi. Sejalan dengan mulai membaiknya kondisi perekonomian Indonesia dalam Repelita II, peranan bantuan program dalam keseluruhan bantuan luar negeri juga semakin menurun. Peranan bantuan program menurun menjadi hanya sebesar 4,5 persen dari keseluruhan bantuan luar negeri, sedangkan bantuan proyek meningkat menjadi 95,5 persen dengan nilai sebesar Rp 3.165,8 miliar. Hal ini disebabkan karena dengan semakin majunya perekonomian semakin banyak pula dana yang dibutuhkan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian besar bantuan luar negeri yang diterima adalah berupa bantuan proyek yang berjangka waktu relatif panjang, bantuan dalam bentuk fasilitas kredit ekspor, dan bantuan komersial untuk berbagai keperluan. Peranan bantuan luar negeri dalam keseluruhan dana pembangunan menurun dari 55,5 persen dalam Repelita I menjadi 36,3 persen dalam Repelita II. Perkembangan perekonomian yang meningkat dalam Repelita II terus berlanjut sampai dengan Repelita III, terutama pada saat meningkatnya harga minyak mentah di pasar internasional. Kenaikan harga minyak mengakibatkan meningkatnya penerimaan dalam negeri dan tabungan pemerintah. Sejalan dengan itu, ketergantungan pembiayaan pembangunan pada sumber dana luar negeri pun menurun, sehingga peranan bantuan luar negeri dalam keseluruhan dana pembangunan menjadi hanya sebesar 30,5 persen. Namun secara absolut jumlah Departemen Keuangan RI 87 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 keseluruhan bantuan luar negeri meningkat dari Rp 3.316,3 miliar dalam Repelita II menjadi sebesar Rp 10.406,3 miliar dalam Repelita III. Pada tahun terakhir Repelita III harga minyak di pasar dunia mulai menurun dan terus berlanjut sampai dengan Repelita IV. Mengingat peranan penerimaan migas dalam keseluruhan penerimaan dalam Negeri dalam periode tersebut masih dominan, penurunan harga minyak yang cukup tajam tersebut telah mengakibatkan menurunnya kondisi perekonomian Indonesia, terganggunya neraca pembayaran dan menurunnya cadangan devisa. Penerimaan di luar migas, khususnya pajak pada saat itu belum berkembang, sehingga sumber dana pengganti yang dapat segera diperoleh adalah bantuan luar negeri. Oleh karena itu peranan bantuan luar negeri dalam keseluruhan dana pembangunan dalam Repelita IV meningkat kembali menjadi 56,9 persen dengan nilai sebesar Rp 28.951,5 miliar, dengan peningkatan tertinggi tetjadi dalam tahun terakhir Repelita IV, dimana peranannya dalam keseluruhan dana pembangunan mencapai sebesar 81,5 persen. Di lain pihak meningkatnya peranan bantuan luar negeri tersebut diikuti dengan meningkatnya bantuan program, terutama bantuan program yang berbentuk dana yang mudah atau dapat cepat dicairkan, yang diperlukan untuk memperbaiki neraca pembayaran. Oleh karena itu peranan bantuan program dalam keseluruhan bantuan luar negeri yang dalam Repelita III hanya sebesar 2,0 persen, dalam Repelita IV meningkat menjadi sebesar 16,8 persen. Untuk mengatasi kesulitan yang terjadi, Pemerintah melakukan serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang saling terkait, yang dimulai sejak akhir Repelita III sampai sekarang. Kebijaksanaan ini mulai menunjukkan hasilnya dalam Repelita V, yaitu dengan meningkatnya kembali kegiatan perekonomian dan penerimaan dalam negeri di luar migas. Hal ini mengakibatkan penerimaan dalam negeri meningkat dengan tajam dan peranan penerimaan migas mulai menurun. Sejalan dengan itu, peranan bantuan luar negeri dalam keseluruhan dana pembangunan juga menurun kembali menjadi sebesar 49,3 persen, sedangkan peranan bantuan program dalam keseluruhan bantuan luar negeri menurun menjadi sebesar 9,7 persen. Pada saat ini bangsa Indonesia telah memasuki masa pembangunan 25 tahun kedua (PJP II) dengan berbagai permasalahan, seperti melemahnya nilai tukar Dolar Amerika Serikat terhadap mata uang kuat dunia lainnya, semakin terbatasnya dana bantuan luar negeri, dan semakin berkurangnya pinjaman-pinjaman bersyarat lunak. Untuk mengatasi kondisi tersebut, Departemen Keuangan RI 88 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kemandirian pembiayaan pembangunan, khususnya melalui peningkatan penerimaan perpajakan. Dalam APBN 1994/95 bantuan luar negeri hanya terdiri dari bantuan proyek, dan peranan bantuan luar negeri dalam keseluruhan dana pembangunan diharapkan menurun menjadi sebesar 36,5 persen dengan nilai sebesar Rp 10.012,0 miliar. Rincian perkembangan penerimaan pembangunan, yang terdiri dari bantuan program dan bantuan proyek, dapat dilihat pada Tabel II.6. Tabel II.6 PENERIMAAN PEMBANGUNAN, 1969/70 - 1994/95 (dalam miliar rupiah) Bantuan Bantuan Tahun program 1) proyek Jumlah REPELITA I 1969/70 65,7 25,3 91 1970/71 78,2 41,6 119,8 1971/72 90,5 45 135,5 1972/73 95,5 62,3 157,8 1973/74 89,8 114,1 203,9 REPELITA II 1974/75 36,1 195,9 232 1975/76 20,2 471,4 491,6 1976/77 10,2 773,6 783,8 1977/78 35,8 737,6 773,4 1978/79 48,2 987,3 1.035,50 REPELITA III 1979/80 64,8 1.316,30 1.381,10 1980/81 64,1 1.429,70 1.493,80 1981/82 45,1 1.663,90 1.709,00 1982/83 15,1 1.924,90 1.940,00 1983/84 14,9 3.867,50 3.882,40 REPELITA IV 1984/85 69,3 3.408,70 3.478,00 1985/86 69,2 3.503,40 3.572,60 1986/87 1.957,50 3.794,70 5.752,20 1987/88 727,8 5.430,20 6.158,00 1988/89 2.040,70 7.950,00 9.990,70 REPELITA V 1989/90 1.007,20 8.422,10 9.429,30 1990/91 1.396,80 8.507,80 9.904,60 1991/92 1.563,40 8.845,70 10.409,10 1992/93 511,7 10.204,00 10.715,70 1993/94 440,8 9.931,10 10.371,90 REPELITA VI 10.012,00 10.012,00 1994/95 2) 1) Sejak 1986/87, bantuan program termasuk bantuan luar negeri dalam bentuk rupiah 2) APBN Departemen Keuangan RI 89 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 2.2.4. Pengeluaran rutin Sebagai bagian dari piranti kebijaksanaan fiskal, pengeluaran rutin mempunyai peranan dan fungsi yang cukup penting di dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam GBHN dan Repelita. Sekalipun pengeluaran tersebut tidak secara langsung berkaitan dengan kegiatan pembentukan modal untuk tujuan peningkatan produksi, namun strategi dan arah kebijaksanaan pengeluaran rutin berpengaruh luas di dalam menunjang tercapainya sasaran pembangunan melalui peranannya mendukung kelancaran kegiatan operasional pemerintahan, terpeliharanya berbagai kekayaan negara dan hasil-hasil pembangunan, peningkatan jangkauan dan motu pelayanan kepada masyarakat, serta pembentukan tabungan pemerintah yang semakin meningkat sebagai sumber utama dana pembangunan. Selain dari itu, pengeluaran rutin juga memegang peranan yang sangat penting, baik dalam rangka mendukung program pemerataan melalui bantuan kepada daerah, maupun dalam memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlah sesuai dengan persetujuan yang telah disepakati. Selama pelaksanaan PJP I sampai dengan tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, jumlah dan peranan pengeluaran rutin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara senantiasa mengalami peningkatan sejalan dengan perkembangan organisasi, tugas dan fungsi pemerintah dalam rangka melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang semakin meningkat dan meluas. Peningkatan tersebut erat kaitannya dengan semakin besarnya kebutuhan pembiayaan yang diperlukan bagi pendayagunaan aparatur pemerintah pusat dan daerah, pembiayaan operasional dan pemeliharaan, meningkatnya pembiayaan untuk pembayaran bunga dan deilan hutang luar negeri, serta pembiayaan untuk mendukung dan menunjang berbagai program pemerintah lainnya. Sekalipun demikian, pelaksanaan pengeluaran rutin terus diupayakan secara lebih terarah dan terkendali agar pengalokasiannya pada setiap jenis pengeluaran dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif sehingga dana yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan yang optimal dari dana ini sangat penting mengingat keterbatasan kemampuan keuangan negara, sedangkan kebutuhan pembiayaan nyata yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan terus meningkat. Dengan demikian, dana dalam negeri yang telah berhasil dihimpun harus dapat dimanfaatkan secara maksimal, bukan saja bagi kelangsungan dan kelanearan jalannya roda pemerintahan, tetapi lebih dari itu dapat menjadi inti penggerak roda pembangunan nasional. Departemen Keuangan RI 90 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Dalam beberapa tahun terakhir, langkah-langkah pengendalian dan penghematan pengeluaran rutin yang dilaksanakan selama ini tetap dipertahankan dan semakin ditingkatkan pelaksanaannya tanpa mengganggu kelancaran jalannya administrasi dan roda pemerintahan. Langkah-langkah tersebut dilakukan melalui berbagai upaya penyempurnaan pengelolaan pengeluaran rutin, yang antara lain meliputi peningkatan dayagunadan hasil guna aparatur pemerintah, pengendalian dan pemanfaatan secara maksimal pengeluaran belanja operasional dan pemeliharaan, serta pengurangan secara bertahap berbagai maeam subsidi yang dipandang dari segi prioritas pembangunan tidak terlalu mendesak. Peningkatan dayaguna dan hasilguna aparatur pemerintah berkaitan erat dengan kebijaksanaan pemerintah yang memberikan prioritas yang lebih besar terhadap alokasi anggaran bagi program pendayagunaan aparatur pemerintah, program pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta program pelayanan dasar kepada masyarakat. Pemberian prioritas tersebut didasarkan pada kenyataan, bahwa program-program tersebut merupakan faktor utama penunjang keberhasilan kegiatan pembangunan. Peningkatan dayaguna dan hasilguna aparatur pemerintah senantiasa mendapat perhatian yang cukup besar dari Pemerintah, oleh karena peningkatan mutu pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan keberhasilan pelaksanaan tugastugas umum pemerintahan dan pembangunan yang semakin berat di masa-masa mendatang adalah sangat tergantung pada kualitas aparatur pelaksananya. Dengan demikian diharapkan, bahwa peningkatan kualitas aparatur pemerintah akan mampu memberikan peranan dan makna yang lebih besar terhadap upaya peningkatan kegiatan ekonomi nasional dan pelaksanaan berbagai program pembangunan. Selain dialokasikan untuk pembiayaan aparatur pemerintah, pengeluaran rutin juga dialokasikan untuk pembiayaan operasional dan pemeliharaan. Pembiayaan ini meliputi belanja barang dalam negeri, belanja barang luar negeri, belanja nonpegawai daerah, serta lain-lain pengeluaran rutin di luar subsidi bahan bakar minyak (BBM). Disadari bahwa dana yang disediakan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kegiatan operasional dan pemeliharaan sangat terbatas, terutama apabila dikaitkan dengan kebutuhan pembiayaan operasional dan pemeliharaan yang sangat besar pada berbagai instansi dan lembaga pemerintah. Namun demikian, Pemerintah senantiasa berupaya agar keterbatasan dana tersebut tidaklah menjadi hambatan bagi kelancaran kegiatan operasional pemerintahan, dan diupayakan agar dana tersebut dapat dialokasikan secara lebih efisien dan efektif melalui pengendalian dan Departemen Keuangan RI 91 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pengkoordinasian secara berkesinambungan, baik dalam pengadaan barang dan jasa maupun dalam pemeliharaan kekayaan negara dan hasil-hasil pembangunan. Dalam hal pengadaan barang dan jasa, diupayakan sedapat mungkin memanfaatkan produksi dalam negeri dan memberikan peran yang lebih besar kepada pengusaha setempat dan pengusaha golongan ekonomi lemah dalam pengadaannya. Dengan demikian, diharapkan hal tersebut bukan saja mampu mendukung kelancaran jalannya roda pemerintahan dan berkembangnya kegiatan ekonomi dan dunia usaha dalam negeri, tetapi juga dapat menciptakan pemerataan usaha yang lebih sehat, peningkatan lapangan kerja dan kesempatan kerja, serta mendukung pengusaha golongan ekonomi lemah agar lebih berperan dalam pembangunan. Jenis pengeluaran lain yang merupakan bagian yang cukup besar dalam pengeluaran rutin adalah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Jenis pengeluaran ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, sehingga kebutuhan dana yang diperlukan untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tersebut berfluktuasi sejafan dengan perubahan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya. Pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dipengaruhi dua factor utama, yaitu besarnya hutang luar negeri yang telah jatuh tempo dan perkembangan nilai tukar, baik antar valuta asing maupun antara valuta asing dengan rupiah, yang perkembangannya sangat tergantung pada keadaan perekonomian internasional. Dalam hal pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, sejak awal pelaksanaan Repelita I, Pemerintah senantiasa berupaya untuk terus memenuhi setiap kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri yang telah jatuh tempo. Dengan adanya kebijaksanaan tersebut, walaupun dalam tahun-tahun tertentu dirasakan cukup memberatkan bagi anggaran pendapatan dan belanja negara dan neraca pembayaran, namun dalam jangka panjang kebijaksanaan tersebut dirasakan memberikan manfaat yang lebih besar, terutama dalam menjaga kepercayaan dari negaranegara dan lembaga-lembaga keuangan internasional pemberi pinjarnan. Kebijaksanaan tersebut pada gilirannya bukan saja mempertebal keyakinan negara-negara tersebut terhadap kemampuan perekonomian nasional dalam menanggung beban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri yang telah digunakan dalam membiayai pembangunan, namun lebih dari itu sekaligus lebih mendorong terwujudnya hubungan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan di masa-masa mendatang. Selain pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, jenis pengeluaran rutin yang Departemen Keuangan RI 92 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dipengaruhi oleh faktor eksternal adalah subsidi BBM. Besarya subsidi BBM berfluktuasi sesuai dengan perkembangan harga minyak mentah di pasar dunia dan nilai tukar antar valuta asing dan antara valuta asing dengan rupiah. Selain itu juga tergantung kepada tingkat konsumsi bahan bakar minyak di dalam negeri dan kebijaksanaan pemerintah dalam menyesuaian harga BBM dalam negeri. Berbagai strategi dan arah kebijaksanaan di atas secara keseluruhan telah mendorong peningkatan pengeluaran rutin setiap tahunnya. Selama Repelita I, Repelita II, Repelita III, Repelita IV, dan Repelita V, pengeluaran rutin mengalami peningkatan rata-rata per tahun masing-masing sebesar 34,7 persen, 28,2 persen, 20,0 persen, 21,8 persen, dan 12,4 persen. Sedangkan dalam tahun pertama Repelita VI, pengeluaran rutin secara keseluruhan direncanakan mencapai Rp 42.350,8 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 3.551,5 miliar atau 9,2 persen bila dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita V. Dengan demikian sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI, pengeluaran rutin secara keseluruhan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 23,5 persen per tahun. Perkembangan pengeluaran rutin secara rinci sejak tahun anggaran 1969/70 sampai dengan tahun anggaran 1994/95 dapat diikuti dalam Tabel II.7 Departemen Keuangan RI 93 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel II.7 Tahun REPELITA I 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 *) *) APBN PENGELUARAN RUTIN, 1969/70 - 1994/95 (dalam miliar rupiah) Belanja Belanja Subsidi Bunga dan pegawai barang daerah cicilan otonom hutang Lainlain Jumlah 103,8 131,4 163,4 200,4 268,9 50,3 62,6 67,1 95,4 110,1 44,1 56,2 66,8 83,9 108,6 14,4 25,6 46,6 53,4 70,7 3,9 12,4 5,2 5 155 216,5 288,2 349,1 438,1 713,3 420,1 593,9 636,6 893,2 1.001,60 175,2 304,9 339,8 376,8 419,5 201,9 284,5 313 478,4 522,3 73,7 78,5 189,5 228,3 534,5 145,2 70,8 150,9 172,2 265,8 1.016,10 1.332,60 1.629,80 2.148,90 2.743,70 1.419,90 2.023,30 2.277,10 2.418,10 2.757,00 569 670,6 922,7 1.041,20 1.057,10 669,9 976,1 1.209,10 1.315,40 1.547,00 684,1 784,8 931,1 1.224,50 2.102,60 718,9 1.345,20 1.637,60 997,1 948,1 4.061,80 5.800,00 6.977,60 6.996,30 8.411,80 3.046,80 4.018,30 4.310,60 4.616,90 4.998,20 1.182,80 1.367,10 1.366,50 1.329,30 1.491,60 1.883,30 2.489,00 2.649,70 2.815,60 3.037,70 2.776,50 3.323,10 5.058,10 8.204,60 10.940,20 539,6 754 174,4 515,1 271,3 9.429,00 11.951,50 13.559,30 17.481,50 20.739,00 6.201,50 7.053,50 8.102,50 9.465,70 11.213,70 1.701,60 1.830,3' 2.372,70 2.870,10 3.042,40 3.566,40 4.236,60 4.834,20 5.283,20 6.796,10 11.938,70 13.394,60 13.433,80 15.217,10 17.287,80 922,9 3.482,70 1.484,40 1.195,J 459,3 24.331,10 29.997,70 30.227,60 34.031,20 38.799,30 13.010,50 3.750,50 7.094,90 17.969,70 525,2 42.350,80 2.2.4.1. Pembiayaan aparatur pemerintah Semakin pesat dan beragamnya kegiatan pembangunan membawa konsekuensi akan kebutuhan aparatur yang berkualitas dan mampu mengimbangi perkembangan dan meluasnya cakupan penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat. Berkaitan dengan itu, pembiayaan aparatur pemerintah, yang merupakan salah satu unsur penunjang dalam usaha peningkatan dan penyempurnaan pendayagunaan Departemen Keuangan RI 94 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 aparatur pemerintah, senantiasa diarahkan untuk memberi dukungan pembiayaan yang memadai terhadap upaya peningkatan kualitas dan kemampuan profesionalisme serta penyempurnaan seluruh unsur aparatur pemerintahan. Dengan demikian diharapkan dapat terwujud administrasi pemerintahan yang tertib, bersih, dan berwibawa, dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Peningkatan kualitas dan kemampuan profesionalisme aparatur pemerintah diperlukan bukan hanya untuk menciptakan aparatur yang mampu melayani, mengayomi, dan peka terhadap berbagai panuangan dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu juga mampu menumbuhkan prakarsa dan reran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan, serta mampu memanfaatkan potensi dan peluang dari perkembangan ekonomi nasional dan internasional bagi kepentingan pembangunan nasional. Berbagai upaya peningkatan dan penyempurnaan pendayagunaan aparatur pemerintah menyangkut bidang yang sangat luas, yang meliputi bidang kelembagaan, bidang ketatalaksanaan, dan bidang kepegawaian. Peningkatan dan penyempurnaan di bidang kelembagaan antara lain dilakukan melalui upaya penataan kembali susunan dan hubungan organisasi dan tata kerja, serta koordinasi pada organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Sedangkan peningkatan dan penyempurnaan di bidang ketatalaksanaan antara lain dilakukan melalui langkah-langkah penyempurnaan peraturan, ketentuan, dan prosedur administrasi pemerintahan. Sementara itu upaya peningkatan dan penyempurnaan di bidang kepegawaian antara lain dilakukan melalui penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai, pembinaan karier pegawai, perbaikan penghasilan pegawai dan pensiun, serta pengembangan sistem informasi pegawai. Penyempurnaan formasi dan pengadaan pegawai diarahkan tidak hanya kepada kemampuan keuangan negara, tetapi lebih ditekankan pada upaya efisiensi, yaitu didasarkan pada kebutuhan nyata satuan kerja berdasarkan analisis jabatan. Sedangkan pembinaan karier diarahkan untuk mencapai produktivitas aparatur yang optimal, yang antara lain dilakukan melalui penempatan pegawai pada tugas dan jabatan yang tepat, penyempurnaan pelayanan kenaikan pangkat, pengembangan jabatan fungsional, penyempurnaan sistem pendidikan dan pelatihan, serta penerapan disiplin pegawai. Melalui penyempurnaan pelayanan kenaikan pangkat selain dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang semakin baik dalam bidang kepegawaian, juga dimaksudkan untuk memberikan penghargaan kepada pegawai sesuai dengan prestasi dan pengabdian pegawai, sehingga pada gilirannya dapat menjadi pendorong bagi aparatur Departemen Keuangan RI 95 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pemerintah untuk terus berusaha meningkatkan kualitas dan kemampuannya dalam memberikan dharma baktinya bagi negara dan masyarakat. Sementara itu melalui pengembangan jabatan fungsional diharapkan dapat ditingkatkan profesionalisme pegawai, sehingga memungkinkan pegawai mengembangkan potensinya sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki serta tidak terhambat oleh terbatasnya jabatan struktural yang tersedia. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, diharapkan mutu profesionalisme pegawai negeri sipil dapat dipacu melalui pembinaan karier yang berorientasi pada prestasi kerja. Di masa-masa mendatang, jabatan fungsional akan terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Selain melalui penyempurnaan dalam pengurusan kenaikan pangkat dan pengembangan tunjangan fungsional, pembinaan karier juga dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, baik melalui pendidikan dan pelatihan bidang administrasi maupun Diktat penyesuaian tugas dan teknis fungsional. Melalui pendidikan dan pelatihan, kepada pegawai negeri diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan penjenjangan sebagai prasyarat untuk menduduki jabatan tertentu. Di samping itu diberikan Diklat teknis jangka pendek untuk meningkatkan keterampilan dalam jenis pekerjaan tertentu, penataan untuk meningkatkan disiplin dan pemahaman mengenai kebijaksanaan pemerintah, serta pendidikan yang lebih tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan berbagai kebijaksanaan tersebut, sebagian besar dari pembiayaan aparatur pemerintah dialokasikan untuk peningkatan dan penyempurnaan pendayagunaan aparatur pemerintah di bidang kepegawaian, termasuk perbaikan kesejahteraan pegawai. Kebijaksanaan yang ditempuh Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai tidak hanya menyangkut aspek finansial, tetapi juga aspek nonfinansial. Kebijaksanaan yang bersifat finansial dikembangkan di dalam kerangka kebijaksanaan keuangan negara secara keseluruhan dengan mempertimbangkan sumber-sumber penerimaan negara dan sasaran-sasaran pembangunan yang akan dicapai. Oleh schab itu, kebijaksanaan finansial selalu diimbangi oleh kebijaksanaan nonfinansial, seperti pemberian kenaikan pangkat otomatis pada pegawai tertentu, peningkatan pelayanan pemberian pensiun otomatis, peningkatan penyelenggaraan pembayaran gaji melalui bank atau kantor pos terdekat, serta bantuan uang muka perumahan melalui tabungan perumahan. Departemen Keuangan RI 96 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Sebagai aparat pelaksana program-program pemerintah, aparatur pemerintah memiliki hak untuk memperoleh penghasilan yang layak, yang merupakan batas jasa atau penghargaan atas hasil kerja, pengorbanan dan pengabdian dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan. Selama PJP I telah beberapa kali diambil kebijaksanaan untuk menaikkan gaji pegawai negeri sipil, anggota ABRI dan pensiunan. Kebijaksanaan tersebut diambil dalam rangka perbaikan penghasilan aparatur pemerintah yang dilakukan melalui penyempurnaan sistem penggajian, perbaikan struktur gaji pokok, pemberian gaji bulan ke tiga belas, pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP), penyesuaian tunjangan struktural dan tunjangan isteri/suami, maupun perluasan pemberian tunjangan fungsional. Dengan demikian, melalui kebijaksanaan peningkatan penghasilan tersebut diharapkan pendapatan yang diterima pegawai akan mampu mengimbangi perkembangan tugas-tugas yang dihadapinya. Perbaikan struktur gaji pokok pegawai telah dilakukan beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1993, yang berlaku sejak 1 Januari 1993. Kenaikan gaji pokok memberi arti yang luas bagi penghasilan yang diterima pegawai negeri, mengingat besarnya tunjangan dan uang pensiun dihitung berdasarkan prosentase tertentu dari gaji pokok. Selain dari itu, kebijaksanaan menaikkan gaji pokok dimaksudkan pula untuk memperkecil perbedaan penghasilan antara pegawai yang berpangkat terendah dari tertinggi. Apabila berdasarkan PGPS-1968 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1977 perbandingan antara gaji pokok terendah dan tertinggi masing-masing adalah 1 berbanding 25 dari 1 berbanding 10, maka berdasarkan PP Nomor 15 tahun 1985 dan PP Nomor 15 Tahun 1993 perbandingannya masing-masing menjadi 1 berbanding 8 dan 1 berbanding 7. Selain dari itu, dalam Keppres Nomor 16 tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN, yang merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya, antara lain terdapat perubahan yang berkaitan dengan jumlah anak yang dapat memperoleh tunjangan penghasilan dan beras. Apabila dalam peraturan terdahulu, yaitu Keppres Nomor 29 Tahun 1984, jumlah anak yang memperoleh tunjangan penghasilan dan beras untuk anak adalah sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang anak, maka pada Keppres Nomor 16 Tahun 1994 dibatasi menjadi sebanyak-banyaknya 2 (dua) orang anak. Maksud utama dari diberlakukannya ketentuan tersebut sebenarnya tidak terkait langsung dengan aspek anggaran, tetapi lebih ditujukan dalam rangka mendukung program pemerintah di bidang kependudukan dan program peningkatan kesejahteraan keluarga. Departemen Keuangan RI 97 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Sejalan dengan berbagai kebijaksanaan dalam meningkatkan kesejahteraan pegawai, realisasi anggaran untuk gaji dari pensiun, yang merupakan bagian terbesar dari belanja pegawai pusat, mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya. Apabila dalam tahun 1969/70, realisasi pembayaran gaji dari pensiun baru mencapai Rp 56,4 miliar, maka dalam APBN 1994/95 pembayaran gaji dan pensiun dianggarkan sebesar Rp 10.456,2 miliar, yang berarti mengalami peningkatan rata-rata sekitar 23,2 persen setiap tahunnya. Dengan peningkatan tersebut, proporsi pembayaran gaji dari pensiun terhadap total belanja pegawai pusat juga mengalami peningkatan dari sebesar 54,3 persen dalam tahun 1969/70 menjadi sebesar 80,4 persen dalam tahun 1994/95. Selanjutnya perkembangan belanja pegawai juga dipengaruhi oleh peningkatan pembiayaan untuk tunjangan beras, uang makan/lauk-pauk, lain-lain belanja pegawai dalam negeri, dari belanja pegawai luar negeri. Peningkatan tunjangan beras terutama terjadi karena adanya penyesuaian harga pembelian beras kepada Bulog selaras dengan tingkat perkembangan harga pasar, sedangkan peningkatan uang makan/lauk-pauk selain disebabkan oleh adanya penyesuaian satuan biaya makan/lauk-pauk, juga disebabkan oleh adanya tambahan biaya uang makan bagi anggota ABRI, pelaut, petugas penjaga lampu suar, pasien rumah sakit pemerintah, anak asuh dan orang jompo pada panti-panti asuhan negara, serta orang tahanan dan narapidana. Penyesuaian satuan biaya makan/lauk-pauk terakhir kalinya diberikan melalui peningkatan satuan biaya makan/lauk-pauk untuk anggota ABRI dari Rp 1.800 menjadi Rp 3.000 per orang per hari yang berlaku sejak 1 April 1994. Sementara itu peningkatan biaya lain-lain belanja pegawai dalam negeri antara lain disebabkan oleh peningkatan honorarium dan uang lembur bagi pegawai yang karena beban tugasnya harus bekerja melebihi jam kerja yang telah ditetapkan. Sedangkan peningkatan belanja pegawai luar negeri dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah pegawai pada kantor perwakilan di luar negeri, besarnya gaji pokok dan berbagai tunjangan yang didasarkan pada angka dasar tunjangan luar negeri (ADTLN) dan angka pokok tunjangan luar negeri (APTLN), serta perubahan nilai tukar matauang dari negara bersangkutan terhadap rupiah. Perkembangan belanja pegawai sejak tahun anggaran 1969/70 sampai dengan tahun anggaran 1994/95 dapat diikuti dalam Tabel II.8. Pembiayaan aparatur pemerintah mencakup pula belanja pegawai daerah, yang Departemen Keuangan RI 98 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 merupakan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk turut mewujudkan aparatur pemerintah daerah yang berdaya guna, berhasil guna, bersih dan berwibawa, serta mampu mewujudkan keserasian dalam pelaksanaan kewajiban dan tugas umum pemerintahan dan pembangunan daerah. Belanja pegawai daerah merupakan subsidi dari pusat yang selain digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah, juga untuk menampung pengeluaran bagi aparatur pemerintah pusat yang ditempatkan di daerah, seperti guru SD Inpres, serta tenaga medis dan paramedis di pusat-pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Dengan demikian, belanja pegawai otonom juga diarahkan untuk menunjang terselenggaranya pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan yang memadai. Tabel II.8 Tahun REPELITA I 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 *) *) APBN BELANJA PEGAWAI, 1969/70 -1994/95 (dalam miliar rupiah) Tunjangan Gaji dan Uang Lain-lain beras pensiun makan belanja peg. d.n. Belanja pegawai l.n. Jumlah 28,8 33,5 31,9 31,3 50,6 56,4 70,6 99,7 131,6 173,9 10,7 11,7 12,1 14,6 16,8 3,8 10,8 14,5 17,3 20,2 4,1 4,8 5,2 5,6 7,4 103,8 131,4 163,4 200,4 268,9 59,5 111,9 114,9 126,2 132,8 301,7 400 424.8 672,9 760,3 24,4 43,5 45,7 47,8 51,2 24,7 25,8 36,9 31,5 33,6 9,8 12,7 14,3 14,8 23,7 420,1 593,9 636,6 893,2 1.001,60 179,9 252 253,3 289,9 346,1 1.053,90 1.482,90 1.660,40 1.749,00 1.996,00 109,9 193,2 240,5 254,9 261,3 47,1 61,2 79,5 78,6 87,6 29,1 34 43,4 45,7 66 1.419,90 2.023,30 2.277,10 2.418,10 2.757,00 407 402 406,1 450,6 518,3 2.206,60 3.072,60 3.330,00 3.561,00 3.832,70 271,4 300,4 288,3 299,1 326,9 89,7 161,1 176,6 176,3 185,1 72,1 82,2 109,6 129,9 135,2 3.046,80 4.018,30 4.310,60 4.616,90 4.998,20 588,4 639,8 922,4 887,9 905,2 4.826,00 5.570,50 6.299,30 7.532,80 9.166,50 373,1 381,7 393,2 473,4 497,8 242,6 263,6 278,5 313,1 342,2 171,4 197,9 209,1 258,5 302 6.201,50 7.053,50 8.102,50 9.465,70 11.213,70 1.039,30 10.456,20 783 391,5 340,5 13.010,50 Departemen Keuangan RI 99 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Sesuai dengan perkembangan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan upaya perbaikan kesejahteraan aparatur pemerintah, realisasi belanja pegawai daerah juga senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Selama dua Repelita terakhir, peningkatan yang cukup berarti terjadi dalam Repelita V. Apabila pada awal pelaksanaan Repelita IV, realisasi belanja pegawai daerah baru mencapai Rp 1.680,1 miliar, maka dalam tahun 1988/89 telah meningkat menjadi Rp 2.778,6 miliar atau mengalami peningkatan rata-rata sebesar 13,4 persen per tahun. Sedangkan dalam pelaksanaan Repelita V, realisasi belanja pegawai daerah telah meningkat dari Rp 3.338,1 miliar dalam tahun 1989/90 menjadi Rp 6.418,5 miliar dalam tahun 1993/94, yang berarti telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 17,8 persen setiap tahunnya. Lebih tingginya peningkatan rata-rata selama Repelita V antara lain disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) dalam tahun 1989/90 dan tahun 1991/92, dan kenaikan gaji pokok pegawai dalam tahun 1993/94, yang secara langsung berpengaruh pula pada besarnya pengeluaran untuk belanja pegawai daerah. Sementara itu pada awal PJP II (1994/95), disediakan anggaran sebesar Rp 6.665,3 miliar untuk belanja pegawai daerah, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 3,8 persen apabila dibandingkan pada tahun 1993/94. Dengan berbagai keadaan tersebut, maka secara keseluruhan jumlah pembiayaan bagi aparatur pemerintah juga terus mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan belanja pegawai pusat dan belanja pegawai daerah. Gambaran lebih rinci dari perkembangan pembiayaan aparatur pemerintah dapat diikuti dalam Tabel II.9. Tabel II.9 PEMBIAYAAN APARATUR PEMERINTAH, 1984/85 - 1994/95 (dalam miliar rupiah) Belanja Belanja Pengeluaran pegawai pegawai rutin pusat daerah % Jumlah REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 *) *) 3.046,80 4.018,30 4.310,60 4.616,90 4.998,20 1.680,10 2.247,60 2.410,20 2.592,30 2.778,60 4.726,90 6.265,90 6.720,80 7.209,20 7.776,80 9.429,00 11.951,50 13.559,30 17.481,50 20.739,00 50,1 52,4 49,6 41,2 37,5 6.201,50 7.053,50 8.102,50 9.465,70 11.213,70 3.338,10 3.961,40 4.519,80 4.906,30 6.418,50 9.539,60 11.041,90 12.622,30 14.372,00 17.632,20 24.331,10 29.997,70 30.227,60 34.031,20 38.799,30 39,2 36,7 41,8 42,2 45,4 13.010,50 6.665,30 19.675,80 42.350,80 46,5 APBN Departemen Keuangan RI 100 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 2.2.4.2. Pembiayaan operasional dan pemeliharaan Pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berdimensi jangka panjang tidak hanya membutuhkan dana investasi yang semakin meningkat bagi pembangunan di berbagai sektor saja, tetapi juga membutuhkan dana yang semakin meningkat pula bagi pembiayaan operasional dan pemeliharaannya, sehingga berbagai aset negara dan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung kelancaraan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, serta untuk peningkatan jumlah dan mutu pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Peningkatan pembiayaan operasional dan pemeliharaan tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan pembiayaan operasional sehubungan dengan adanya perubahan struktur organisasi pada beberapa instansi pemerintah dan dibukanya beberapa kantor cabang instansi pemerintah di daerah dan kantor-kantor perwakilan pemerintah di luar negeri, sehingga memerlukan tambahan prasarana dan sarana kerja yang dibutuhkan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kebutuhan dana bagi pembiayaan operasionalnya. Selain daripada itu peningkatan pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga disebabkan oleh semakin meningkatnya pembiayaan untuk pemeliharaan prasarana dan sarana kerja serta proyek-proyek yang telahselesai dibangun. Pembiayaan untuk pemeliharaan aset-aset negara tersebut tidak kalah pentingnya dengan investasi baru dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, mengingat bahwa antara pengadaan dan pemeliharaan kekayaan negara merupakan sarli kesatuan yang terpadu, yang tidak dapat dipisahkan atau ditunda. Dengan pemeliharaan yang baik, selain dapat dicegah kerusakan dini dari prasarana dan sarana kerja, juga diharapkan dapat meningkatkan dayaguna, hasilguna dan manfaat yang optimal, serta memperpanjang umur ekonomis dari investasi yang telah ditanamkan, yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan efisiensi dan produktivitas sehingga mampu menunjang kelangsungan pembangunan nasional. Sekalipun pembiayaan operasional dan pemeliharaan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun pengalokasian dana tersebut senantiasa diupayakan tetap mengarah kepada tercapainya dayaguna dan hasilguna yang optimal, sehingga keterbatasan kemampuan keuangan negara dalam menyediakan dana tersebut tidak menjadi kendala dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Dalam pengeluaran Departemen Keuangan RI 101 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 rutin, pembiayaan operasional dan pemeliharaan dialokasikan untuk belanja barang, baik belanja barang dalam negeri maupun belanja barang luar negeri, belanja nonpegawai daerah, dan lainlain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM. Sejak awal pelaksanaan Repelita I (1969/1970) sampai dengan tahun pertama Repelita VI (1994/1995), perkembangan belanja barang cenderung mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan pembangunan yang memerlukan lebih banyak pembiayaan bagi kegiatan operasional juga terus mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan belanja pegawai pusat dan belanja pegawai daerah. Gambaran lebih rinci dari perkembangan pembiayaan aparatur pemerintah dapat diikuti dalam Tabel II.9. 2.2.4.2. Pembiayaan operasional dan pemeliharaan Pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berdimensi jangka panjang tidak hanya membutuhkan dana investasi yang semakin meningkat bagi pembangunan di berbagai sektor saja, tetapi juga membutuhkan dana yang semakin meningkat pula bagi pembiayaan operasional dan pemeliharaannya, sehingga berbagai aset negara dan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung kelancaraan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, serta untuk peningkatan jumlah dan mutu pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Peningkatan pembiayaan operasional dan pemeliharaan tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan pembiayaan operasional sehubungan dengan adanya perubahan struktur organisasi pada beberapa instansi pemerintah dan dibukanya beberapa kantor cabang instansi pemerintah di daerah dan kantor-kantor perwakilan pemerintah di luar negeri, sehingga memerlukan tambahan prasarana dan sarana kerja yang dibutuhkan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kebutuhan dana bagi pembiayaan operasionalnya. Selain daripada itu peningkatan pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga disebabkan oleh semakin meningkatnya pembiayaan untuk pemeliharaan prasarana dan sarana kerja serta proyek-proyek yang telah selesai dibangun. Pembiayaan untuk pemeliharaan aset-aset negara tersebut tidak kalah pentingnya dengan investasi baru dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, mengingat bahwa antara pengadaan dan pemeliharaan kekayaan negara merupakan satu kesatuan yang terpadu, yang tidak Departemen Keuangan RI 102 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dapat dipisahkan atau ditunda. Dengan pemeliharaan yang baik, selain dapat dicegah kerusakan dini dari prasarana dan sarana kerja, juga diharapkan dapat meningkatkan dayaguna, hasilguna dan manfaat yang optimal, serta memperpanjang umur ekonomis dari investasi yang telah ditanamkan, yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan efisiensi dan produktivitas sehingga mampu menunjang kelangsungan pembangunan nasional. Sekalipun pembiayaan operasional dan pemeliharaan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun pengalokasian dana tersebut senantiasa diupayakan tetap mengarah kepada tercapainya dayaguna dan hasilguna yang optimal, sehingga keterbatasan kemampuan keuangan negara dalam menyediakan dana tersebut tidak menjadi kendala dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Dalam pengeluaran rutin, pembiayaan operasional dan pemeliharaan dialokasikan untuk belanja barang, baik belanja barang dalam negeri maupun belanja barang luar negeri, belanja nonpegawai daerah, dan lainlain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM. Tabel II.10 PEMBIAYAAN OPERASIONAL DAN PEMELIHARAAN, 1984/85 - 1994/95 (dalam miliar rupiah) Belanja Belanja Pengeluaran barang ai rutin SDO lainnya Tahun Jumlah REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 2) 1) 2) 1.182,80 1.367,10 1.366,50 1.329,30 1.491,60 203,2 241,4 239,5 223,3 259,1 32,9 379,8 174,4 113,3 138,2 1.418,90 1.988,30 1.780,40 1.665,70 1.888,90 1.701,60 1.830,30 2.372,70 2.870,10 3.042,40 228,3 275,2 314,4 376,9 377,6 217 181,7 454,7 503,3 459,3 2.146,90 2.287,20 3.141,80 3.750,30 3.879,30 3.750,50 429,6 525,2 4.705,30 Tidak termasuk subsidi BBM APBN Sejak awal pelaksanaan Repelita I (1969/1970) sampai dengan tahun pertama Repelita VI (1994/1995), perkembangan belanja barang cenderung mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan pembangunan yang memerlukan lebih banyak pembiayaan bagi kegiatan Departemen Keuangan RI 103 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 operasional dan pemeliharaan. Apabila dalam tahun 1969/70 realisasi belanja barang baru mencapai sebesar Rp 50,3 miliar, maka dalam APBN 1994/95 dianggarkan sebesar Rp 3.750,5 miliar, yang berarti selama kurun waktu tersebut belanja barang mengalami peningkatan rata-rata sebesar 18,8 persen setiap tahunnya. Sebagian besar dari peningkatan belanja barang tersebut diperuntukkan bagi belanja barang dalam negeri, yang mengalami peningkatan untuk mendukung ketersediaan sarana dan prasarana kerja, baik perangkat keras maupun perangkat lunak serta pengadaan peralatan kantor guna memenuhi kebutuhan administrasi yang semakin meningkat di berbagai instansi. Selain untuk belanja barang dalam negeri, peningkatan belanja barang juga diperuntukkan bagi belanja barang luar negeri yang mengalami peningkatan sehubungan dengan penambahan berbagai kantor perwakilan pemerintah di luar negeri, dan perkembangan nilai tukar matauang dunia. Selain disebabkan oleh peningkatan belanja barang, baik belanja barang dalam negeri maupun belanja barang luar negeri, peningkatan pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga disebabkan oleh peningkatan anggaran untuk belanja nonpegawai daerah otonom. Peningkatan anggaran tersebut berkaitan erat dengan semakin meningkatnya kebutuhan anggaran untuk membantu pemerintah daerah, baik dalam membiayai kegiatan operasionalnya maupun bagi pelayanan yang semakin meningkat kepada masyarakat umum, pengembangan perekonomian daerah, serta penyediaan dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah. Pengalokasian dana tersebut antara lain dipergunakan untuk subsidi belanja penyelenggaraan urusan dekonsentrasi dan pembantuan, untuk ganjaran daerah tingkat I/daerah tingkat II/kotamadya/kota administratif, biaya dekonsentrasi kecamatan, tunjangan kurang penghasilan aparat pemerintah desa, subsidi belanja pengembangan institusi, serta lain-lain belanja nonpegawai daerah. Di samping itu peningkatan subsidi belanja nonpegawai daerah otonom juga diperlukan untuk menampung subsidi belanja penyelenggaraan urusan desentralisasi, terutama bagi subsidi/bantuan penyelenggaraan sekolah dasar negeri, bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah, serta bantuan biaya pemetaan bahan galian untuk menunjang usaha pertambangan daerah. Subsidi/bantuan penyelenggaraan sekolah dasar negeri merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan penghapusan sumbangan pembinaan pendidikan sekolah dasar (SPP-SD). Sedangkan subsidi atau bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD) digunakan untuk membantu pemerintah daerah dalam Departemen Keuangan RI 104 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 meningkatkan pelayanan di bidang kesehatan kepada masyarakat dan meningkatkan peranan RSUD sebagai tempat memperoleh pelayanan kesehatan dengan penampilan dan lingkungan yang bersih, sehat, tertib, dan terpelihara. Selanjutnya selain menampung belanja barang dan belanja nonpegawai daerah, anggaran pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga menampung pengeluaran untuk lain-lain pengeluaran rutin, di luar subsidi BBM. Anggaran tersebut penggunaannya diarahkan untuk menunjang roda pemerintahan dan beberapa kegiatan lainnya, yaitu antara lain untuk biaya jasa pos dan giro serta pengeluaran bebas porto, biaya penyelenggaraan Pemilu, serta bantuan lainlain, seperti bantuan rutin kepada KONI Pusat dan bantuan penanggulangan bencana alam. Gambaran lebih rinci mengenai pembiayaan operasional dan pemeliharaan dapat diikuti dalam Tabel II.10. 2.2.4.3. Pembayaran bunga dan cicilan hutang 2.2.4.3.1. Pembayaran hutang dalam negeri Pembayaran hutang dalam negeri pada dasamya merupakan kewajiban pemerintah yang timbul dari adanya hubungan kerja atau keterkaitan antara pemerintah dengan pihak-pihak lain di dalam negeri, yang dalam beberapa hal mengakibatkan timbulnya hutang pemerintah. Sejakawal Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI, perkembangan pembayaran hutang dalam negeri cenderung mengalami peningkatan, sejalan dengan peningkatan kegiatan operasional pemerintahan dan pembangunan. Apabila dalam tahun 1969/70 realisasi pembayaran hutang dalam negeri baru mencapai sebesar Rp 1,7 miliar, maka dalam APBN 1994/95 telah meningkat menjadi sebesar Rp 317,4 miliar, yang berarti selama kurun waktu tersebut pembayaran hutang dalam negeri mengalami peningkatan rata-rata sebesar 23,3 persen per tahun. Meskipun sejak awal PJP I sampai dengan tahun pertama PJP II, pembayaran hutang dalam negeri mempunyai kecenderungan meningkat setiap tahunnya, namun peranan jenis pengeluaran ini terhadap pengeluaran rutin relatif sangat kecil, yaitu rata-rata sekitar 0,6 persen. 2.2.4.3.2. Pembayaran hutang luar negeri Selain menampung kewajiban pembayaran kembali atas hutang pemerintah kepada pihak Departemen Keuangan RI 105 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 ketiga di dalam negeri, pembayaran bunga dan cicilan hutang juga menampung kewajiban pembayaran kembali bunga dan cicilan hutang pemerintah kepada pihak lain di luar negeri, yakni negara-negara atau lembaga-lembaga keuangan internasional yang telah memberikan bantuan/pinjaman dana bagi pembiayaan pembangunan. Kewajiban tersebut timbul sebagai akibat dari pemanfaatan hutang luar negeri untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di masa lalu, yang harus dibayar berhubung dengan berakhirnya masa tenggang waktu, dan telah jatuh temponya masa pembayaran. Pemanfaatan bantuan/pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan merupakan salah satu alternatif pembiayaan yang potensial bagi setiap negara. Indonesia yang telah melaksanakan pembangunan nasionalnya secara terarah dan bertahap sejak awal Repelita I, juga telah memanfaatkan bantuan luar negeri sebagai pelengkap bagi dana pembangunan yang bersumber dari dalam negeri, yang pemanfaatannya diutamakan untuk pembangunan proyekproyek vital dan menyentuh kepentingan masyarakat luas, seperti prasarana dan sarana ekonomi. Hasil dari pemanfaatan bantuan/pinjaman luar negeri yang diterima selama ini tidak saja menciptakan landasan yang lebih kuat dan memberikan manfaat yang luas bagi kesejahteraan masyarakat, tetapi juga mampu memperkukuh struktur dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tingkat yang cukup tinggi. Menyadari besarnya manfaat hutang luar negeri bagi pencapaian berbagai sasaran pembangunan, Pemerintah terus mengupayakan agar negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan internasional pemberi pinjaman tetap memiliki kepercayaan yang besar kepada Indonesia. Upayaupaya tersebut dilaksanakan melalui pemanfaatan hutang luar negeri secara baik, terutama untuk menunjang kegiatan ekonomi dan pembangunan proyek-proyek yang berprioritas tinggi, produktif, dan berorientasi ekspor. Pemanfaatan hutang luar negeri yang dilakukan secara bijaksana tersebut, selain dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas dan martabat Indonesia di mata dunia internasional, juga dimaksudkan agar beban pembayaran kembali bunga dan cicilan hutang luar negeri di masamasa mendatang tetap dalam batas kemampuan ekonomi dan tidak menimbulkan tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia. Selain daripada itu upaya mempertahankan kepercayaan pemberi pinjaman juga dilakukan dengan cara memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlah, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Kebijaksanaan tersebut ditempuh mengingat penundaan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri akan menimbulkan berbagai Departemen Keuangan RI 106 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 masalah, antara lain menurunnya kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia yang selanjutnya akan mempersulit untuk mendapatkan pinjaman dan pemasukan modal lainnya. Untuk itu, Pemerintah senantiasa memegang teguh landasan kebijaksanaan pengelolaan hutang luar negeri secara berhati-hati dan konsekuen, agar kredibilitas Indonesia dalam mengelola hutang luar negerinya dapat dipertahankan, yang pada gilirannya akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi pembangunan nasional di masa-masa mendatang. Kebijaksanaan dalam pengelolaan dan pembayaran kembali hutang luar negeri serta arah perkembangan nilai tukar antar matauang yang terjadi sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah meningkatkan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri setiap tahunnya. Dalam periode tersebut, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 33,6 persen per tahun. Peningkatan tersebut mencerminkan semakin besarnya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, baik dalam jumlah maupun peranannya terhadap pengeluaran rutin secara keseluruhan. Besarya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tersebut selain dipengruhi oleh besarnya cicilan pokok dan jumlah bunga atas pinjaman yang telah jatuh tempo pembayarannya, juga dipengamhi oleh perkembangan nilai tukar, baik antar valuta asing, maupun antara valuta asing dengan rupiah. Dalam Repelita I, Repelita II, dan Repelita III, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri masih merupakan bagian kecil dari keseluruhan pengeluaran rutin, yaitu masing-masing baru mencapai 9,3 persen, 11,8 persen, dan 17,3 persen. Memasuki tahun pertama Repelita IV, beban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tersebut mengalami peningkatan yang cukup pesat, sehingga selama Repelita IV dan Repelita V peranannya terhadap keseluruhan pengeluaran rutin masing-masing telah mencapai 41,2 persen dan 44,6 persen. Peningkatan yang cukup pesat tersebut selain disebabkan oleh membesarnya jumlah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri yang telah jatuh tempo, juga disebabkan penyesuaian nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat dalam tahun 1983 dan 1986 masing-masing sekitar 38 persen dan 45 persen. Selain daripada itu meningkatnya pembayaran hutang luar negeri tersebut juga erat kaitannya dengan depresiasi Dolar Amerika Serikat terhadap matauang kuat dunia, khususnya Yen dan Deutsche Mark. Berbagai perkembangan tersebut telah meningkatkan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dari sebesar Rp 2.072,8 miliar dalam tahun terakhir Repelita III menjadi sebesar Rp 10.862,6 miliar dalam tahun terakhir Repelita IV, dan peranannya dalam keseluruhan pengeluaran rutin meningkat dari sebesar 24,6 persen dalam tahun Departemen Keuangan RI 107 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 anggaran 1983/84 menjadi sebesar 52,4 persen dalam tahun anggaran 1988/89. Sementara itu selama Repelita V realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri juga mengalami peningkatan dari Rp 11.789,9 miliar dalam tahun 1989/90 menjadi sebesar Rp 17.167,1 miliar dalam tahun 1993/94. Dengan demikian selama periode tersebut pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri telah mengalami peningkatan rata-rata sekitar 10 persen setiap tahunnya. Sebagaimana dalam Repelita IV, peningkatan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri selama Repelita V tersebut, di samping disebabkan oleh semakin banyaknya hutang luar negeri yang telah jatuh tempo, juga diakibatkan oleh apresiasi Yen terhadap Dolar Amerika Serikat dan Dolar Amerika Serikat terhadap rupiah, sehingga jumlah rupiah yang harus disediakan untuk pembayaran hutang tersebut juga semakin meningkat. Sekalipun demikian, dalam rentang waktu Repelita V, peranan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri terhadap realisasi pengeluaran rutin mengalami penurunan dari sebesar 48,5 persen dalam tahun anggaran 1989/90 menjadi sebesar 44,2 persen dalam tahun anggaran 1993/94. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh lebih cepatnya peningkatan pengeluaran rutin keseluruhan dibandingkan dengan peningkatan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Sementara itu dalam APBN 1994/95, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri mencapai sebesar Rp 17.652,3 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 2,8 persen bila dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun mengalami peningkatan dalam jumlah, namun peranannya terhadap pengeluaran rutin secara keseluruhan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi sebesar 41,7 persen. Perkembangan realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri serta peranannya terhadap pengeluaran rutin dan anggaran belanja negara secara keseluruhan dapat diikuti dalam Tabel II.11. Departemen Keuangan RI 108 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel II.11 PERANAN PEMBAYARAN BUNGA DAN CICILAN HUTANG LUAR NEGERI TERHADAP PENGELUARAN RUTIN DAN ANGGARAN BELANJA NEGARA 1969/70 - 1994/95 (dalam miliar rupiah) Bunga dan Pengeluaran Anggaran hutang rutin belanja luar negeri negara Tahun % % -1 -2 -3 -5 -6 -4 REPELITA I 1969/70 12,7 216,5 334,7 3,8 5,9 1970/71 23,6 288,2 457,9 5,2 8,2 1971/72 41 349,1 545 7,5 11,7 1972/73 46 438,1 736,3 6,2 10,5 1973/74 62,5 713,3 1.164,20 5,4 8,8 REPELITA II 1974/75 67,3 1.016,10 1.977,90 3,4 6,6 1975/76 71,7 1.332,60 2.730,30 2,6 5,4 1976/77 165,1 1.629,80 3.684,30 4,5 10,1 1977/78 221 2.148,90 4.305,70 5,1 10,3 1978/79 525,7 2.743,70 5.299,30 9,9 19,2 REPELITA III 1979/80 647,6 4.061,80 8.076,00 8 15,9 1980/81 754 5.800,00 11.716,10 6,4 13 1981/82 915,3 6.977,60 13.917,70 6,6 13,1 1982/83 1.204,70 6.996,30 8,4 17,2 14.355,90 24,6 18.311,00 1983/84 2.072,80 8.411,80 11,3 REPELITA IV 29 19.380,90 1984/85 2.737,20 9.429,00 14,1 27,6 22.824,60 1985/86 3.303,10 11.951,50 14,5 37,3 21.891,30 1986/87 5.058,10 13.559,30 23,1 46,7 26.958,90 1987/88 8.165,50 17.481,50 30,3 52,4 32.989,70 1988/89 10.862,60 20.739,00 32,9 REPELITA V 48,5 38.165,40 1989/90 11.789,90 24.331,10 30,9 43,8 49.449,70 1990/91 13.145,10 29.997,70 26,2 1991/92 13.182,50 30.227,60 25,4 43,6 51.991,80 1992/93 14.942,00 34.031,20 25,7 43,9 58.166,00 1993/94 17.167,10 38.799,30 26,6 44,2 64.460,40 REPELITA VI 17.652,30 42.350,80 25,3 1994/95 *) 41,7 69.749,10 *) APBN 2.2.4.4. Subsidi Pada dasarnya pemberian subsidi ditujukan untuk memantapkan stabilitas perekonomian, khususnya stabilitas harga. Salah satu program pemerintah di dalam menjaga stabilitas ekonomi adalah dengan memberikan subsidi terhadap beberapa komoditi strategis, terutama bahan-bahan Departemen Keuangan RI 109 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kebutuhan pokok masyarakat, yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan laju inflasi. Pemberian subsidi tersebut diharapkan dapat menjamin tersedianya bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat dalam jumlah yang mencukupi dan harga yang stabil dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Namun demikian, mengingat setiap pemberian subsidi berarti pula berkurangnya dana bagi peningkatan kegiatan pembangunan, maka subsidi tersebut harus diberikan dalam batas-batas kewajaran dan hanya untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak serta disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Selama PJP I, Pemerintah pernah memberikan subsidi pangan, antara lain subsidi teras dan subsidi impor gandum. Sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, persediaan beras nasional perlu dijaga agar tersedia dalam jumlah yang cukup dan diusahakan agar harganya dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena produksi beras nasional belum mencukupi, maka untuk memenuhi kebutuhan teras dalam negeri masih diperlukan impor. Subsidi beras tersebut diberikan untuk menjaga harga beras tetap stabil dan pada tingkat yang dapat terjangkau oleh seluruh rakyat, terutama golongan ekonomi lemah. Selain subsidi beras, subsidi pangan diberikan melalui subsidi impor gandum, yang dimaksudkan untuk menjaga harga gandum yang sesuai dengan daya beli masyarakat dan dimaksudkan untuk mendukung upaya penganekaragaman bahan makanan serta mengurangi ketergantungan pada konsumsi beras. Selain itu, pemberian subsidi impor gandum juga ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri makanan dalam negeri, yang sebagian besar bahan bakunya adalah gandum. Subsidi beras dan gandum tersebut pertama kali diberikan dalam tahun 1973/74 dan mencapai tingkat tertinggi dalam tahun 1980/81, yaitu sebesar Rp 281,7 miliar. Tingginya subsidi pangan dalam tahun 1980/81 tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga beras di luar negeri dan lebih tingginya impor beras yang diperlukan karena terbatasnya produksi di dalam negeri. Dengan tercapainya swasembada beras dan semakin meningkatnya daya beli masyarakat, maka sejak tahun terakhir Repelita III (1983/84), alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi pangan tidak disediakan lagi. Di samping pemberian subsidi pangan, selama PJP I telah pula diberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi BBM diberikan karena BBM merupakan sumber energi yang cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga BBM mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM merupakan Departemen Keuangan RI 110 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 selisih antara hasil penjualan BBM dalam negeri dengan seluruh biaya pengadaan BBM yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat ditentukan oleh hasil penjualan BBM dalam negeri, yang besarnya tergantung kepada harga penjualan dan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri. Selain daripada itu subsidi BBM juga ditentukan oleh biaya pengadaan BBM, yang besarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian minyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pengadaan BBM, maka subsidi BBM yang diberikan seringkali berbeda dengan perhitungan semula karena pengaruh gejolak harga minyak mentah di pasar internasional yang sulit diduga arahnya. Subsidi BBM diberikan sejak tahun 1977/78, namun kebutuhan subsidi BBM yang cukup besar mulai dirasakan sejak awal Repelita III, sehubungan dengan harga minyak mentah yang terus meningkat dengan cukup cepat. Sementara itu dalam Repelita IV, subsidi BBM cenderung mengalami penurunan, sebagai akibat dari penurunan harga minyak mentah dunia dan kenaikan harga penjualan BBM dalam negeri. Bahkan dalam tahun 1986/87, dimana harga minyak mentah jauh lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam APBN, diperoleh laba bersih minyak (LBM) sebesar Rp 1.010,0 miliar. Subsidi BBM terbesar diperoleh dalam tahun 1990/91 yang mencapai Rp 3.301,0 miliar. Besarnya subsidi BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri yang cukup tinggi. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, penghematan pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan energi dan mendukung kebijaksanaan diversifikasi energi, maka secara berkala telah diupayakan pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga jual BBM dalam negeri pada tingkat yang wajar. Penyesuaian harga jual BBM selama Repelita V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam tahun 1990, 1991, dari 1993. Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya kecenderungan penurunan harga minyak mentah dalam beberapa tahun terakhir Repelita V, maka realisasi subsidi BBM dalam tahun 1991/92 dari 1992/93 cenderung mengalami penurunan pula, bahkan dalam tahun 1993/94 diperoleh LBM sebesar Rp 2.519,0 miliar. Sementara itu dalam APBN 1994/95 alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi BBM tidak disediakan. Perkembangan subsidi pangan dari subsidi BBM sejak tahun anggaran 1969/70 sampai dengan tahun anggaran 1994/95 dapat dilihat pada Tabel II.12. Departemen Keuangan RI 111 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel II.12 SUBSIDI PANGAN DAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK, 1969/70 - 1994/95 (dalam miliar rupiah) Subsidi Subsidi Pangan bahan bakar minyak Tahun REPELITA I 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 *) *) 153,4 - 141 50 39,1 43,5 65,1 197 124,9 281,7 223,5 1,1 - 534,9 1.021,70 1.316,40 961,5 928,1 - 506,7 374,2 401,8 133,1 - 705,9 3.301,00 1.029,70 691,8 - - - APBN 2.2.5. Tabungan pemerintah Selama 25 tahun pertama, pembangunan nasional telah berhasil meletakkan landasan yang kukuh bagi kelanjutan pelaksanaan pembangunan tahap berikutnya. Keberhasilan pembangunan tersebut tidaklah terlepas dari dana pembangunan yang dapat dihimpun melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam jumlah yang cukup besar selama Departemen Keuangan RI 112 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pelaksanaan pembangunan jangka panjang pertama. Hasil-hasil yang telah dicapai ini merupakan modal dasar dalam memasuki era tinggal landas dalam Repelita VI, yang juga merupakan kerangka landasan bagi pembangunan jangka panjang kedua. Dana pembangunan yang dapat dihimpun tersebut, dalam setiap tahunnya selalu berpedoman pada GBHN, yaitu diutamakan bersumber dari dalam negeri, dengan sumber dari luar negeri hanya sebagai pelengkap dan digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan yang produktif sesuai prioritas dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagai salah satu sumber dana dari dalam negeri, besarnya tabungan pemerintah yang dapat dihimpun, yang merupakan selisih antara penerimaan dalam negeri dari pengeluaran rutin, sangat berkaitan erat dengan upaya untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri dari efisiensi pengeluaran rutin. Peningkatan tabungan pemerintah setiap tahunnya menunjukkan peningkatan kemampuan sektor pemerintah dalam meningkatkan pembiayaan pembangunan melalui pengerahan dana yang bersumber dari dalam negeri, dan dalam upaya peningkatan efisiensi dari efektivitas pengeluaran rutin. Peningkatan tabungan pemerintah hanya dapat terjadi apabila tingkat kenaikan penerimaan dalam negeri lebih besar dari tingkat kenaikan pengeluaran rutin. Selama PJP I, selisih yang paling tinggi antara rata-rata kenaikan penerimaan dalam negeri dengan rata-rata kenaikan pengeluaran rutin terjadi dalam Repelita I, yaitu sebesar 6,5 persen. Sedangkan dalam Repelita II dari Repelita III selisih angka tersebut menurun, masing-masing menjadi sebesar negatif 3,3 persen dari 1,2 persen. Penurunan tersebut disebabkan tingkat perkembangan penerimaan dalam negeri yang lebih rendat dibandingkan dengan tingkat perkembangan pengeluaran rutin. Menurunnya harga minyak mentah di pasar internasional yang mulai terjadi sejak akhir Repelita III dari terus memburuk hingga mencapai tingkat terendahnya dalam tahun 1986, telah menyebabkan penerimaan dalam negeri yang pada saat itu masih bertumpu pada penerimaan migas menurun dengan tajam. Dengan keadaan ini, selisih antara rata-rata kenaikan penerimaan dalam negeri dengan rata-rata kenaikan pengeluaran rutin dalam Repelita IV menjadi sebesar negatif 12,1 persen, dimana selisih negatif terbesar terjadi dalam tahun 1986/87 yaitu sebesar negatif 29,7 persen. Dengan semakin stabilnya penerimaan dalam negeri yang didukung oleh penerimaan pajak dalam Repelita V, selisih rata-rata kenaikan penerimaan dalam negeri dan ratarata kenaikan pengeluaran rutin kembali meningkat menjadi sebesar 3,7 persen. Secara keseluruhan selisih antara rata-rata kenaikan penerimaan dalam negeri dengan rata-rata kenaikan penge1uaran rutin selama pembangunan jangka panjang pertama adalah sebesar 1,0 persen. Departemen Keuangan RI 113 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Kenaikan tabungan pemerintah yang cepat pada awal pembangunan jangka panjang pertama berkaitan erat dengan peningkatan penerimaan dalam negeri yang didukung oleh peningkatan harga minyak mentah. Sedangkan makin rendahnya peningkatan tabungan pemerintah dalam Repelita III dan Repelita IV terutama disebabkan oleh merosotnya harga minyak mentah dan belum dapat diandalkannya penerirnaan sektor nonmigas, terutama yang berasal dari sektor perpajakan. Tabungan pemerintah dalam Repelita I mengalami kenaikan ratarata sebesar 74,9 persen per tahun, sedangkan dalam RepeIita II, Repelita III, dan Repe1ita IV peningkatan tabungan pemerintah rnenurun menjadi masing-masing sebesar 19,9 persen, 22,9 persen, dan negatif 23,1 persen per tahun. Menghadapi situasi demikian, untuk memperkuat struktur perekonomian nasional, sejak tahun 1983 Pemerintah mengambil berbagai langkah kebijalan ekonomi. Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan penerimaan dalam negeri, dalam tahun 1983 Pemerintah melakukan reformasi di bidang perpajakan. Di masa mendatang, berbagai kebijaksanaan tersebut diharapkan akan meningkatkan penerimaan nonmigas, terutama yang berasal dari sektor perpajakan. Harapan tersebut tidak sia-sia, bahkan dalam Repelita V berbagai upaya tersebut telah membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Peningkatan tabungan pemerintah yang dalam Repelita IV sempat berkembang negatif, dalam Repelita V telah membaik kembali menjadi sebesar 32,2 persen. Dalam perkernbangannya, tabungan pemerintah yang berhasil dihimpun dalam Repelita I, Repelita II, dan Repelita III, masing-masing mencapai sebesarRp 566,9 miliar, Rp 5.832,0 miliar, dan Rp 23.739,9 miliar. Sedangkan dalam Repelita IV, tabungan pemerintah yang berhasil dihimpun mengalami sedikit penurunan, yaitu hanya mencapai Rp 21.946,2 miliar atau sekitar 92 persen dari realisasinya dalam Repelita sebelumnya. Namun demikian, dalam Repelita V tabungan pemerintah telah rnenjadi lebih 2 kali lipat dari realisasinya dalam Repelita sebelumnya, yaitu mencapai sebesar Rp 52.216,4 miliar. Peningkatan yang cukup pesat ini merupakan hasil dari pelaksanaan kebijaksanaan, penyempurnaan dan pemantapan kelembagaan, serta langkah-langkah kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi selama pembangunan jangka panjang pertama. Khusus dalam Repelita V, berbagai penyempurnaan kebijaksanaan dalam upaya untuk mendorong peningkatan kemandirian pembiayaan pembangunan telah menunjukkan hasilnya. Dalam mendukung peningkatan penerimaan dalam negeri, peranan penerimaan di luar migas telah dapat menggantikan peranan penerimaan migas. Keberhasilan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya kemampuan sektor perpajakan dalam memobilisir berbagai potensi objek dan Departemen Keuangan RI 114 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 subjek pajak, di samping relatif stabilnya harga minyak mentah di pasar internasional. Selain itu, peningkatan efisiensi dalam alokasi penge1uaran rutin juga telah mendorong tingkat kenaikan penerimaan dalam negeri lebih besar dari tingkat kenaikan pengeluaran rutin. Keberhasilan ini menyebabkan tabungan pemerintah dalam tahun pertama Repelita V telah menjadi hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan realisasi dalam tahun sebelumnya, yaitu mencapai sebesar Rp 4.408,7 miliar atau meningkat sebesar 94,6 persen. Dalam tahun 1990/91, yang merupakan tahun kedua Repelita V, tabungan pemerintah bahkan telah menjadi lebih dari 2 kali lipat dibandingkan dengan realisasinya pada awal Repelita V, yaitu menjadi sebesar Rp 9.548,7 miliar atau meningkat sebesar 116,6 persen. Meningkatnya tabungan pemerintah dalam tahun 1990/91 bahkan telah memungkinkan dihimpunnya cadangan anggaran pembangunan (CAP) sebesar Rp 2.000,0 miliar. Peningkatan tabungan pemerintah ini terus berlanjut, dan dalam tahun ketiga Repelita V tabungan pemerintah meningkat sebesar 18,9 persen menjadi sebesar Rp 11.357,2 miliar, sehingga berhasil pula dihimpun CAP sebesar Rp 1.500,0 miliar. Dengan keberhasilan menghimpun CAP dalam tahun 1990/91 dan 1991/92 menjadi berjumlah sebesar Rp 3.500,0 miliar, berarti Pemerintah memiliki cadangan anggaran pembangunan guna berjaga-jaga, dan dipergunakan apabila diperlukan tambahan anggaran akibat tidak tercapainya rencana penerimaan migas, dan/atau tidak dapat direalisasikannya rencana penerimaan negara yang bersumber dari bantuan luar negeri. Selanjutnyadalam tahun keempat Repelita V tabungan pemerintah yang berhasil dihimpun meningkat sebesar 18,2 persen menjadi sebesar Rp 13.421,3 miliar. Sedangkan dalam tahun terakhir Repelita V tabungan pemerintah meningkat menjadi sebesar Rp 13.480,5 miliar, atau meningkat hanya sebesar 0,4 persen dibandingkan dengan realisasi dalam tahun sebelumnya. Rendahnya peningkatan tabungan pemerintah tersebut disebabkan oleh tidak tercapainya rencana penerimaan migas. Dalam kaitan ini, penggunaan sebagian CAP yang berhasil dihimpun dalam tahun 1990/91 dan 1991/92 telah memungkinkan program pembagunan dalam tahun tersebut tetap berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Sejalan dengan meningkatnya tabungan pemerintah, kemampuan keuangan negara dalam membiayai pembangunan juga cendernng meningkat pula. Hal ini tercermin dari peningkatan peranan tabungan pemerintah dalam dana pembangunan, dan komposisi pembiayaan pembangunan yang lebih bertumpu pada pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri. Peranan Departemen Keuangan RI 115 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tabungan pemerintah dalam dana pembangunan dalam Repelita I, Repelita II, dan Repelita III, masing-masing adalah sebesar 44,5 persen, 63,7 persen, dan 69,5 persen. Sedangkan dalam Repelita IV peranan tabungan pemerintah dalam dana pembangunan sedikit mengalami penurunan menjadi sebesar 43,1 persen. Hal ini disebabkan oleh turunnya laju kenaikan penerimaan dalam negeri, khususnya dari sektor migas sebagai akibat turunnya harga minyak mentah yang cukup tajam. Sementara itu dengan membaiknya harga migas dan makin mantapnya penerimaan dalam negeri dari sektor pajak dan penerimaan nonmigas lainnya, peranan tabungan pemerintah dalam dana pembangunan selama pelaksanaan Repelita V telah meningkat kembali menjadi sebesar 50,7 persen, sehingga dana pembangunan yang berhasil dihimpun dalam Repelita V mencapai sebesar Rp 103.047,0 miliar, atau meningkat sebesar 102,5 persen dari realisasi Repelita sebelumnya. Tabungan pemerintah sebesar Rp 52.216,4 miliar yang berhasil dihimpun dalam Repelita V berasal dari selisih antara penerimaan dalam negeri sebesar Rp 209.603,3 miliar dan pengeluaran rutin sebesar Rp 157.386,9 miliar, dimana bila dibandingkan dengan Repelita sebelumnya tabungan pemerintah tersebut mengalami peningkatan sebesar 137,9 persen, atau mencapai lebih dua kali lipat dari realisasi Repelita sebelumnya. Sementara itu dalam tahun 1994/95, yang merupakan tahun pertama Repelita VI, tabungan pemerintah yang dapat dihimpun direncanakan mencapai sebesar Rp 17.386,3 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 29,0 persen bila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun sebelumnya. Dalam Tabel 11.13 dapat diikuti perkembangan tabungan pemerintah sejak Repelita I sampai dengan Repelita V dan tahun pertama Repelita VI (APBN 1994/95). 2.2.6. Pengeluaran pembangunan Anggaran belanja pembangunan, di dalam kerangka manajemen pembangunan nasional, mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai sasaran-sasaran pokok pembangunan sebagaimana yang direncanakan di dalam setiap tahapan pembangunan lima tahun (Repelita). Hal ini terutama karena melalui anggaran belanja pembangunan, berbagai program pembangunan dan sasaran-sasaran indikatif yang tercantum di dalam Repelita dijabarkan secara operasional di dalam bentuk proyek-proyek pembangunan dan rencana pembiayaan yang lebih konkrit dan realistis sesuai dengan kemampuan pengerahan sumber-sumber keuangan negara. Sebagai piranti, Departemen Keuangan RI 116 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 utama kebijaksanaan fiskal, anggaran belanja pembangunan di dalam APBN mempunyai pengaruh yang cukup kuat di dalam menentukan, baik arah dan pola alokasi sumber daya ekonomi antar bidang, antar sektor, dan antar kegiatan dalam masyarakat, maupun distribusi hasil pembangunan. Demikian pula dari segi jumlah maupun dari strategi alokasinya, pengeluaran pembangunan mempunyai pengaruh terhadap arah perkembangan ekonomi di berbagai bidang, baik produksi dan kesempatan kerja, maupun distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan, serta kestabilan nasional. Sejalan dengan bertambah besarnya kemampuan keuangan negara dan semakin meluasnya program pembangunan yang dilaksanakan dalam sektor pemerintah, jumlah anggaran pembangunan senantiasa menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Apabila dalam Repelita I realisasi anggaran pembangunan baru mencapai sebesar Rp 1.232,9 miliar, maka dalam Repelita V jumlah anggaran pembangunan telah mencapai sebesar Rp 101.346,4 miliar. Ini berarti bahwa dalam kurun waktu dua puluh lima tahun pembangunan jangka panjang tahap pertama, yaitu dari periode Repelita I sampai dengan Repelita V, realisasi anggaran pembangunan telah meningkat lebih dari 82 kali lipat. Dengan perkembangan tersebut, maka secara keseluruhan realisasi anggaran pembangunan selama PJP I mencapai sebesar Rp 196.720,0 miliar, atau mengalami kenaikan rata-rata 25,1 persen pertahun. Sementara itu dalam tahun pertama PJP II, anggaran belanja pembangunan diperkirakan mencapai sebesar Rp 27.398,3 millar, yang berarti naik sebesar Rp 1.737,2 miliar atau sekitar 7 persen apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun terakhir PJP I (1993/94). Departemen Keuangan RI 117 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel II.13 TABUNGAN PEMERINTAH, 1969/70 -1994/95 (dalam miliar rupiah) Kenaikan (+) / Penurunan (-) Jumlah Tahun -1 -2 -3 REPELITA I 1969/70 27,2 1970/71 53,9 26,7 1971/72 78,9 25 1972/73 152,5 73,6 1973/74 254,4 101,9 REPELITA II 1974/75 737,6 483,2 1975/76 909,3 171,7 1976/77 1.276,20 366,9 1977/78 1.386,50 110,3 1978/79 1.522,40 135,9 REPELITA III 1.112,60 1979/80 2.635,10 1.792,00 1980/81 4.427,00 1981/82 5.235,00 808 1982/83 5.422,00 187 1983/84 6.020,90 598,9 REPELITA IV 1984/85 6.476,50 455,6 1985/86 7.301,30 824,8 -4.720,00 1986/87 2.581,30 1987/88 3.321,80 740,5 1988/89 2.265,30 -1.056,50 REPELITA V 2.143,40 1989/90 4.408,70 5.140,00 1990/91 9.548,70 1.808,50 1991/92 11.357,20 2.064,10 1992/93 13.421,30 1993/94 13.480,50 59,2 REPELITA VI 17.386,30 1994/95 *) 3.905,80 *) APBN Dengan terbatasnya dana pembangunan bila dibandingkan dengan kebutuhan investasi, maka anggaran pembangunan diarahkan pemanfaatannya bagi proyek-proyek yang produktif, dalam arti menghasilkan nilai produksi yang lebih besar daripada nilai investasinya. Dalam pelaksanaan fungsi alokasi tersebut, penentuan skala prioritas senantiasa didasarkan kepada strategi pembangunan seperti yang tertuang dalam GBHN dan Repelita, dimana prioritas pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi dengan Departemen Keuangan RI 118 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya. Dengan kerangka acuan tersebut, prioritas pengeluaran pembangunan diberikan kepada penyediaan prasaraha dasar, yang berguna untuk mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti pembangunan prasarana perhubungan, pengairan, kelistrikan, telekomunikasi, serta pendidikan. Dengan tersedianya prasarana dasar tersebut diharapkan kegiatan perekonomian masyarakat, seperti perdagangan, penanaman modal, dan kegiatan ekonomi lainnya dapat lebih didorong, sehingga mampu pula menunjang penciptaan kesempatan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu dalam usaha mendayagunakan sumber-sumber ekonomi yang tersedia seoptimal mungkin dan untuk mendorong peningkatan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), berbagai ketentuan tentang pelaksanaan anggaran dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1984 telah disesuaikan dan disempurnakan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara. Berdasarkan kepada ketentuan baru tersebut, pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip (a) hemat, tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang dipersyaratkan, (b) terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan, serta fungsi setiap departemen/lembaga, serta (c) semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan/potensi nasional. Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan fungsi distribusi, alokasi anggaran pembangunan diarahkan antara lain kepada berbagai program bantuan pembangunan daerah yang tercakup dalam program Inpres serta pembangunan daerah yang dibiayai dengan dana PBB. Di samping secara langsung menjangkau golongan masyarakat berpendapatan rendah, proyek-pfoyek pembangunan yang tercakup dalam program Inpres tersebut sejauh mungkin diusahakan agar sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, dan dalam pelaksanaannya sejauh mungkin melibatkan pengusaha dan masyarakat daerah. Melalui anggaran belanja pembangunan juga selalu diusahakan terpeliharanya kestabilan ekonomi, antara lain dengan membentuk cadangan anggaran pembangunan (CAP), dalam hal terdapat kelebihan penerimaan negara dari yang diperkirakan dalam jumlah yang cukup besar, dan memanfaatkan dana cadangan tersebut dalam hal realisasi penerimaan negara tidak mencapai Departemen Keuangan RI 119 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sasaran yang diperkirakan dalam APBN-nya. Selama PJP I, dana CAP yang berhasil dihimpun berjumlah Rp 3,5 triliun, yang berasal dari dana CAP tahun anggaran 1990/91 sebesar Rp 2,0 triliun dan dana CAP tahun anggaran 1991/92 sebesar Rp 1,5 triliun. Dana CAP tersebut sebagian telah digunakan untuk menutup defisit anggaran 1991/92 sebesar Rp 1,5 triliun. Dana CAP tersebut sebagiantelah digunakan untuk menutup defisit anggaran yang timbul dalam pclaksanaan APBN 1993/94 sebesar Rp 1,8 triliun, sehingga posisi dana CAP pada awal tahun Repelita VI menunjukkan jumlah sebesar Rp 1,7 triliun. Keseluruhan alokasi anggaran pembangunan tersebut secara lebih rinci dapat dilihat pada alokasi anggaran pembangunan berdasarkan sektor dan subsektor, berdasarkan jenis pembiayaan, serta pengeluaran pembangunan atas dasar sumber pembiayaan. 2.2.6.1. Pengeluaran pembangunan berdasarkan sektor dan subsektor Sebagai rencana operasional tahunan Repelita di sektor pemerintah, anggaran belanja pembangunan dalam APBN secara sektoral dialokasikan ke berbagai sektor dan subsektor sesuai dengan urutan prioritas kebijaksanaan pembangunan sebagaimana yang ditetapkan di dalam GBHN dan Repelita. Dalam Repelita I, sesuai dengan arah kebijaksanaan pembangunan yang menitikberatkan pada upaya pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta penyediaan sarana dan prasarana dasar guna menunjang pertumbuhan ekonomi, dengan penekanan pada program rehabilitasi produksi dan program stabilisasi ekonomi, prioritas alokasi anggaran pembangunan terutama diarahkan pada upaya peningkatan produksi hasil-hasil pertanian, khususnya beras, melalui pembukaan dan perluasan areal persawahan, pembangunan jaringan irigasi dan bendungan, serta penyediaan dan pembangunan sarana dan prasarana dasar yang dibutuhkan masyarakat secara luas. Dalam Repelita kedua, dalam rangka memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, mendorong pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana dasar, serta memperluas penyediaan fasilitas pelayanan umum bagi masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan, prioritas alokasi anggaran pembangunan dalam periode tersebut diberikan pada sektor pertanian, sektor perhubungan dan pariwisata, sektor pembangunan daerah, desa dan kota, sektor pertambangan dan energi, sektor pengembangan dunia usaha, serta sektor pendidikan dan kebudayaan. Departemen Keuangan RI 120 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Selanjutnya guna mewujudkan tercapainya swasembada pangan, dalam Repelita III anggaran belanja pembangunan tetap diprioritaskan pada sektor pertanian dan sektor industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Di samping itu dalam upaya pemerataan hasilhasil pembangunan, perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, prioritas alokasi belanja pembangunan juga diarahkan untuk mendukung berbagai program-program pemerataan sebagai penjabarandan wujud nyata dari program 8 jalur pemerataan. Dengan berbekal keberhasilan dalam pencapaian swasembada pangan di sektor pertanian pada akhir Repelita III, maka sebagai kelanjutan dan peningkatan dari Repelita-repelita sebelumnya, anggaran belanja pembangunan dalam Repelita IV tetap diletakkan pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan di samping untuk meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun industri ringan, yang terus dikembangkan dalam Repelita-repelita selanjutnya. Kemudian, sebagai tahap terakhir dari pelaksanaan PJP I, dalam rangka mewujudkan terciptanya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian, dalam Repelita V alokasi anggaran belanja pembangunan diprioritaskan pada pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya, di samping pembangunan sektor industri, khususnya industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, serta industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri. Berdasarkan kebijaksanaan pembangunan nasional sebagaimana diuraikan di atas, selama PJP I bagian terbesar alokasi anggaran belanja pembangunan diarahkan kepada lima sektor prioritas, yaitu sektor perhubungan dan pariwisata, sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi, sektor pembangunan daerah, desa dan kota, serta sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan, pengembangan dan penyediaan prasarana dan sarana perhubungan dan komunikasi senantiasa ditingkatkan dan diperluas agar mampu memperlancar mobilitas barang, jasa, manusia, dan informasi yang mampu menjangkau ke seluruh wilayah tanah air. Untuk menunjang tercapainya sasaran tersebut, alokasi pengeluaran pembangunan di sektor perhubungan dan pariwisata dari Departemen Keuangan RI 121 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tahun ke tahun diupayakan untuk terus ditingkatkan. Apabila dalam Repelita I jumlah pengeluaran pembangunan bagi sektor perhubungan dan pariwisata baru mencapai sebesar Rp 261,6 miliar, maka dalam Repelita V jumlah tersebut telah mencapai sebesar Rp 20.388,4 miliar, atau mengalami kenaikan lebih dari 77 kali lipat. Dengan demikian secara keseluruhan dalam PJP I jumlah pengeluaran pembangunan di sektor perhubungan dan pariwisata mencapai sebesar Rp 34.390,9 miliar. Dalam rangka mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan mempercepat pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, alokasi anggaran pembangunan sektor perhubungan dan pariwisata diarahkan penggunaannya terutama untuk peningkatan kemampuan dan kapasitas prasarana dan sarana perhubungan, baik prasarana jalan, maupun prasarana dan sarana perhubungan darat, laut, dan udara, serta pengembangan sarana pos dan telekomunikasi secara terpadu, sehingga mampu mengimbangi laju pertumbuhan permintaan terhadap jasa transportasi dan telekomunikasi yang semakin meningkat. Di samping itu anggaran tersebut juga diarahkan pemanfaatannya untuk membiayai program-program pembangunan dan pengembangan kepariwisataan. Di bidang prasarana jalan, anggaran pembangunan dalam Repelita I dan II selain digunakan untuk penyediaan dan pembangunan sarana dan prasaranajalan dan jembatan baru, juga diarahkan untuk menunjang upaya pemantapan dan rehabilitasi prasarana dan sarana perhubungan yang ada agar dapat berfungsi kembali, baik sebagai pendorong kegiatan pembangunan maupun dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan berbekal keberhasilan yang telah dicapai, maka dalam Repelita-repelita selanjutnya, pembangunan di bidang prasarana jalan lebih dipusatkan pada peningkatan mutu dan kelas jalan sei1a pemantapan kondisi jalan. Dengan dukungan alokasi dana yang cukup memadai, sampai dengan akhir Repelita V telah berhasil dibangun jalan sepanjang 244,2 ribu kilometer, terdiri dari jalan nasional sepanjang 17,8 ribu kilometer, jalan propinsi sepanjang 32,3 ribu kilometer, jalan kabupaten sepanjang 168,6 ribu kilometer, dan jalan perkotaan sepanjang 25,5 ribu kilometer. Di samping itu dalam periode yang sama telah berhasil pula dibangun jaringan jalan arteri dan kolektor sepanjang 50,1 ribu kilometer, diantaranya sepanjang 46,8 ribu kilometer, atau sekitar 93,4 persen, berada dalam kondisi mantap. Sementara itu di subsektor transportasi darat, anggaran pembangunan diarahkan penggunaannya terutama bagi pembinaan dan pengembangan jasa angkutan jalan raya, peningkatan pelayanan dan pengelolaan angkutan kereta api, angkutan penyeberangan, serta angkutan sungai dan danau. Departemen Keuangan RI 122 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Sebagai salah satu sasaran utama dalam pembangunan sektor perhubungan, pengembangan perhubungan laut juga semakin ditingkatkan guna menunjang distribusi barang dan jasa, serta mobilisasi manusia, baik antar pulau maupun antar negara. Sejak awal Repelita I, anggaran pembangunan di subsektor tersebut diprioritaskan terutama untuk menunjang peningkatan fasilitas pelabuhan melalui upaya rehabilitasi, penggantian, perluasan dari pembangunan berbagai fasilitas pelabuhan, seperti pelabuhan, guuang, lapangan penumpukan, serta peralatan bongkar muat pelabuhan. Melalui berbagai program peningkatan dan pembangunan di subsektor perhubungan laut yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan tersebut, transportasi laut semakin lancar berkat tersedianya prasarana dari sarana yang makin meningkat dan meluas jaringannya. Sampai dengan tahun anggaran 1993/94 telah berhasil dibangun dermaga sepanjang 47.992 meter, gudang seluas 260.301 meter persegi, lapangan penumpukan seluas 712.572 meter persegi, serta lapangan peti kemas seluas 723.400 meter persegi. Di subsektor perhubungan udara, anggaran pembangunan dimanfaatkan antara lain untuk menambah sarana angkutan, membangun landasan pendaratan baru, serta meningkatkan pelayanan angkutan perlutis ke daerah-daerah terpencil yang tersebar di seluruh wilayah nusantara. Apabila dalam Repelita I jaringan penerbangan masih terbatas pada 38 pelabuhan udara, maka dalam Repelita V jumlah bandar udara telah meningkat menjadi 146 buah, 88 buah diantaranya melayani daerah-daerah terpencil. Dalam periode yang sama, jaringan pelayanan penerbangan telah mencakup 240 rule yang menjangkau seluruh propinsi dan beberapa kawasan dunia diantaranya sebanyak 19 bandar udara yang berfungsi sebagai pintu masuk bagi penerbangan internasional. Selanjutnya untuk memperlancar penyampaian informasi, baik antar daerah, antar kota, maupun antar negara, anggaran pembangunan di subsektor pos dari telekomunikasi dipergunakan untuk peningkatan dan perluasan jaringan pos dan telekomunikasi, baik dalam jumlah maupun mutu pelayanan yang diberikan. Melalui berbagai program pengembangan jasa pos dan giro yang didukung dengan alokasi anggaran yang memadai, hingga akhir Repelita V jaringan jasa pos dan giro telah menjangkau ke seluruh wilayah tanah air. Sampai dengan tahun anggaran 1993/94, pelayanan pas dan giro telah dapat menjangkau 3.774 ibukota kecamatan dari 970 daerah lokasi transmigrasi. Sedangkan di bidang telekomunikasi, dalam periode tersebut telah dibangun jaringan sentral telepon otomat sebanyak 3.012,9 ribu satuan sambungan yang tersebar di seluruh Departemen Keuangan RI 123 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tanah air, penambahan telepon-telepon umum, dari pendirian warung-warung telekomunikasi. Pembangunan dari pengembangan sarana dan prasarana perhubungan tersebut selain telah memperluas kesempatan kerja karena kegiatannya yang bersifat padat karya, juga telah memperlancar mobilitas arus barang dari jasa antar daerah, sehingga mempermudah distribusi kebutuhan hidup masyarakat. Demikian pula dengan semakin tersebarnya sarana dari luasnya jangkauan komunikasi, kebutuhan informasi bagi masyarakat makin terpenuhi, sehingga menunjang berkembangnya perekonomian dan membuka kesempatan kerja lebih luas. Sementara itu dalam rangka pembangunan dan pengembangan sumber dan potensi kepariwisataan nasional sebagai salah satu sumber penerimaan devisa negara, anggaran pembangunan di subsektor pariwisata digunakan antara lain untuk membiayai program pembinaan lingkungan wisata dan promosi wisata, baik di dalam negeri maupun di beberapa negara lainnya. Dengan dilaksanakannya berbagai program kepariwisataan tersebut, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang cukup menggembirakan. ApabiIa pada awal Repelita I jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia baru sekitar 86 ribu orang, maka dalam tahun anggaran 1993/94 jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia telah mencapai 3,4 juta orang, yang berarti melampaui sasaran Repelita V sebesar 2,5 juta orang. Sedangkan penerimaan devisa yang diperoleh dari kegiatan pariwisata dalam tahun anggaran 1993/94 mencapai hampir US$ 4 miliar. Pembangunan di sektor pertanian dan pengairan sebagai salah satu sektor andalan, baik sebagai penggerak utama perekonomian maupun sebagai sumber kehidupan terbesar dari penduduk Indonesia, juga senantiasa ditingkatkan, baik dalam penanganannya maupun alokasi anggaran yang diberikan. Apabila dalam Repelita I jumlah anggaran pembangunan sektor pertanian dan pengairan baru mencapai sebesar Rp 267,8 miliar, maka dalam Repelita V jumlah anggaran pembangunan tersebut telah mencapai sebesar Rp 13.287,5 miliar, yang berarti mengalami kenaikan sekitar 49kali lipat. Dengan perkembangan tersebut, selama PJP I jumlah pengeluaran pembangunan di sektor pertanian dan pengairan secara keseluruhan mencapai sebesar Rp 26.813,4 miliar. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, khususnya pangan, memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan pendapatan masyarakat, anggaran pembangunan sektor pertanian dan pengairan diarahkan pemanfaatannya bagi upaya peningkatan hasil-hasil produksi pertanian, melalui upaya intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan Departemen Keuangan RI 124 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 rehabilitasi pertanian. Di samping itu kebijaksanaan tersebut didukung pula dengan rehabilitasi dan pembangunan sarana dan prasarana irigasi, pemanfaatan teknologi dan penyuluhan, penyediaan sarana kredit yang tepat waktu dan mudah terjangkau oleh petani, serta rekayasa sosial melalui pembentukan kelompok tani dalam program intensifikasi khusus (Insus), operasi khusus (Opsus), dan Supra Insus. Dalam kaitannya dengan program intensifikasi pertanian, pada akhir Repelita I telah berhasil dibuka areal sawah baru seluas 7.376 ribu hektar, dan areal bimbingan massal (Bimas) baru seluas 2.472 ribu hektar. Dalam periode yang sama, sarana dan prasarana irigasi yang mempakan unsur vital dalam usaha peningkatan produksi pangan juga ditingkatkan, antara lain melalui perbaikan jaringan irigasi seluas lebih dari 936.000 hektar, pengamanan banjir seluas lebih dari 289.000 hektar, dan pembangunan irigasi baru seluas 191.200 hektar. Dengan dilaksanakannya berbagai program tersebut dan didukung pula dengan penerapan program Panca Usaha Lengkap, maka produksi teras telah meningkat dari 11,67 juta dalam tahun 1968 menjadi 14,61 juta ton pada tahun 1973, atau mengalami kenaikan sebesar 10,8 persen. Sedangkan perkembangan produksi teras dalam periode tersebut meneapai rata-rata sebesar 4,8 persen per tahun. Selanjutnya dalam upaya mencapai swasembada pangan, khususnya teras, anggaran pembangunan sektor pertanian dan pengairan selain digunakan untuk membiayai program intensifikasi khusus dan operasi khusus, serta penyediaan berbagai sarana dan prasarana pertanian yang menunjang, seperti bibit, pupuk, dan pestisida, serta pemeliharaan dan pembangunan jaringan irigasi, juga dimanfaatkan untuk perluasan areal dengan pembukaan lahan pertanian baru, baik di lahan beririgasi dan lahan kering, maupun lahan rawa dan lahan pasang surut. Melalui pelaksanaan berbagai program tersebut, produksi teras telah mengalami kenaikan yang cukup pesat. Dalam Repelita III produksi beras mengalami peningkatan sebesar 6,5 persen setiap tahunnya, sedangkan hasil rata-rata per hektar dalam periode tersebut meneapai 2,62 ton beras atau 3,85 ton padi giling. Dengan peningkatan produksi beras tersebut, maka cita-cita yang sejak awal kemerdekaan selalu didambakan, yaitu untuk meneapai swasembada pangan, khususnya beras telah dapat tercapai, dan hingga akhir PJP I prestasi tersebut masih dapat dipertahankan. Di samping itu melalui berbagai program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, serta diversifikasi hasil-hasil pertanian secara konsisten dan terpadu, beberapa hasil produksi pertanian, baik produksi tanaman pangan, produksi perkebunan, produksi petemakan maupun Departemen Keuangan RI 125 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 produksi perikanan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, telah semakin mencukupi. Pada akhir Repelita V produksi beras per jiwa telah meneapai 216,6 kilogram, produksi dasing per jiwa mencapai sekitar 7 kilogram, produksi telor meneapai 3,1 kilogram per jiwa, serta produksi ikan mencapai 19,8 kilogram per jiwa. Dalam pada itu jaringan irigasi sebagai prasarana yang sangat penting danalam mendukung upaya peningkatan produksi pangan, khususnya beras, dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dengan pesat, yaitu meneapai 1,7 juta hektar pada akhir Repelita V atau 26 kali bila dibandingkan dengan prasarana irigasi yang ada pada awal pelaksanaan Repelita I. Dalam rangka mendayagunakan dan mengoptimalkan sumber daya mineral, baik untuk keperluan bahan baku industri, maupun konsumsi rumah tangga, sektor pertambangan dan energi jugadiberikan prioritas pembiayaan yangcukup besar. Dalam PJPI, jumlah anggaran pembangunan sektor pertambangan dan energi diperkirakan meneapai sebesar Rp 26.064,1 miliar. Anggaran tersebut dimanfaatkan untuk menunjang upaya peningkatan produksi pertambangan, penganekaragaman hasil produksi pertambangan dan energi, serta pemetaan geologi bagi penyelidikan sumber daya mineral dan sumber daya energi. Dengan dukungan alokasi anggaran pembangunan yang memadai, produksi berbagai hasil pertambangan, baik dari segi jenis maupun jumlahnya telah meningkat, sehingga kemampuan dalam menyediakan bahan baku bagi industri dalam negeri dan ekspor juga semakin meningkat. Di samping itu dengan dikembangkannya sumber energi alternatif seperti batu bara, gas bumi, dan gas alam cair, ketergantungan terhadap sumber daya minyak juga semakin berkurang. Demikian pula jaringan prasarana listrik telah meningkat dan meluas serta merata ke seluruh tanah air. Hingga akhir Repelita V produksi listrik telah mencapai 46,8 juta megawatt hour, dengan daya tersambung sebesar 21,2 juta kilovolt ampere. Sementara itu jumlah desa yang telah mendapat aliran listrik meneapai 30,4 ribu desa, atau sekitar 49 persen dari jumlah seluruh desa yang ada. Sejalan dengan itu, pembangunan daerah, desa dan kota juga semakin ditingkatkan, baik dalam alokasi pembiayaannya maupun strategi penanganannya. Dalam Repelita terakhir dari tahap pembangunan duapuluh lima tahun yang pertama jumlah anggaran pembangunan sektor pembangunan daerah, desa, dan kota meneapai sebesar Rp 12.337,8 miliar atau mengalami peningkatan sekitar 58 kali lipat bila dibandingkan dengan realisasinya sebesar Rp 210,0 miliar dalam periode Repelita I. Sedangkan selama pelaksanaan PJP I, jumlah anggaran pembangunan sektor pembangunan daerah, desa, dan kota secara keseluruhan mencapai sebesar Rp 21.113,6 Departemen Keuangan RI 126 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 miliar. Dalam rangka mewujudkan asas pemerataan pembangunan antar wilayah, memperluas otonomi daerah, dan mendorong peningkatan kemampuan keuangan daerah, bagian terbesar daripada anggaran pembangunan sektor tersebut dialokasikan dalam bentuk berbagai program bantuan pembangunan daerah, baik dalam bentuk berbagai proyek Inpres maupun dalam bentuk dana bagi hasil penerimaan PBB. Program bantuan bagi pembangunan daerah yang dilaksanakan melalui Instruksi Presiden (Inpres) tersebut, dalam Repelita I baru terdiri dari program bantuan pembangunan desa, program bantuan pembangunan daerah tingkat II, program bantuan pembangunan daerah tingkat I, serta program bantuan pembangunan daerah Irian Jaya. Selanjutnya dalam Repelita II program bantuan pembangunan bagi daerah tersebut telah semakin berkembang dengan ditambahkan pula program pengembangan wilayah yang ditujukan bagi daerah-daerah tertinggal atau miskin, dan program khusus bagi propinsi Irian Jaya dan Timor Timur. Kemudian, sejalan dengan semakin luas dan beragamnya ruang lingkup dan cakupan kegiatan pembangunan, maka bantuan pembangunan kepada daerah juga semakin meningkat, baik jenis maupun jumlah alokasi anggaran yang diberikan. Berbagai program tersebut di samping dimaksudkan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi antar daerah yang lebih merata, juga diarahkan untuk mendorong prakarsa dan partisipasi masyarakat di daerah, memperluas kesempatan kerja, serta mengentaskan kemiskinan di pedesaan, daerah terpencil di pedalaman, dan daerah terbelakang/terisolir. Bantuan tersebut ditujukan terutama bagi daerah-daerah yang belum terjangkau oleh pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dan dipergunakan antara lain untuk membiayai berbagai proyek daerah, baik ekonomi maupun sosial-budaya yang dianggap penting oleh daerah. Dengan semakin bertambah baiknya infrastruktur dan fasilitas komunikasi serta angkutan antar daerah, maka daerah yang terisolasi semakin berkurang dan lalu-lintas barang dan orang semakin lancar. Selanjutnya dalam rangka mempercepat penanggulangan dan pengentasan kemiskinan, melalui anggaran pembangunan sektor pembangunan daerah, desa dan kota sejak awal Repelita V telah dilaksanakan program pengembangan kawasan terpadu (PKT), program pembangunan prasarana kota terpadu (P3KT), serta program perbaikan kampung. Dengan dilaksanakannya berbagai program tersebut, maka kesejahteraan masyarakat pedesaan telah mengalami Departemen Keuangan RI 127 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 peningkatan, yang tercermin antara lain dari semakin menurunnya jumlah penduduk dan desa miskin, sejalan dengan semakin baiknya tingkat pendapatan dan pemerataan pendapatan masyarakat. Dalam pada itu kemampuan daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan juga semakin meningkat, sehingga semakin mendorong gairah dan partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan kegiatan pembangunan di daerah masing-masing. Dalam rangka meningkatkan kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi akhlak dan budi pekerti, serta memperkuat kepribadian bangsa, maka pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia senantiasa ditingkatkan kuantitas dan kualitas penanganannya. Apabila dalam Repelita I jumlah pengeluaran pembangunan sektor tersebut baru mencapai sebesar Rp 83,8 miliar, maka dalam Repelita V jumlah tersebut telah mencapai sebesar Rp 12.385,7 miliar, atau mengalami peningkatan sekitar 147 kali lipat. Sementara itu selama PJP I jumlah anggaran pembangunan sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara keseluruhan mencapai sebesar Rp 23.239,8 miliar. Anggaran tersebut diprioritaskan untuk membiayai pembinaan pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, pembinaan masyarakat dan kedinasan, serta pembinaan generasi muda dan olah raga. Di samping itu anggaran tersebut juga dialokasikan untuk membiayai penelitian dan pengembangan kepurbakalaan, kesejarahan dan permuseuman, pengembangan seni budaya, serta pembinaan bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di subsektor pendidikan umum dan generasi muda, dalam rangka perluasan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenjang/tingkat pendidikan, serta pemeliharaan fasilitas pendidikan, anggaran pembangunan dipergunakan antara lain untuk penyediaan sarana dan prasarana belajar mengajar, seperti pembangunan gedung baru, ruang kelas, dan rehabilitasi gedung, baik di tingkat SD dan madrasah ibtidaiyah, maupun di tingkat SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi. Di samping itu anggaran pembangunan tersebut selain dimanfaatkan untuk pengadaan buku-buku pelajaran pokok dan buku dasar perpustakaan, alat-alat laboratorium, olah raga, dan alat kesenian, juga dipergunakan untuk penataran tenaga pengajar dan pengiriman dosen ke luar negeri. Selanjutnya untuk memantapkan landasan perundang-undangan di bidang pendidikan, dalam tahun pertama Repelita V telah ditetapkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang antara lain mewajibkan pendidikan dasar 9 tahun, mencakup SD 6 tahun dan SLTP 3 tahun. Untuk mempersiapkan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun tersebut, melalui anggaran pembangunan telah Departemen Keuangan RI 128 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 diusahakan pengembangan kurikulum serta penelitian mengenai kemampuan berbagai daerah dalam mendukung pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. Sejalan dengan hal tersebut, dikembangkan pula model penuntasan anak usia pendidikan dasar dalam rangka program wajib belajar dan pemetaan sekolah tingkat lanjutan pertama. Sementara itu di subsektor pendidikan kedinasan, anggaran pembangunan antara lain dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan aparatur pemerintah sesuai dengan prioritas bidang-bidang pembangunan. Sedangkan di subsektor kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, anggaran pembangunan dipergunakan untuk menunjang inventarisasi dan pembinaan nilai-nilai budaya, dengan pemberian bimbingan teknis perekaman dan analisis naskah, pembakuan kebahasaan, penyusunan naskah dan nilai sastra nusantara, serta pengembangan minat kebahasaan melalui TVRI dan RRI. Melalui berbagai program pembinaan pendidikan yang telah dilaksanakan sejak Repelita I, termasuk pelaksanaan wajib belajar enam tahun dalam Repelita IV dan program wajib belajar sembilan tahun dalam Repelita V, maka kesempatan untuk memperoleh pendidikan semakin luas, sehingga kualitas rakyat Indonesia, baik taraf kecerdasan maupun tingkat pendidikannya juga semakin tinggi. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh semakin meningkatnya angka partisipasi kasar di berbagai jenjang pendidikan, meningkatnya mutu tenaga pengajar, serta menurunnya jumlah penduduk berusia di atas 10 tahun yang buta aksara, yakni dari 39,1 persen pada awal PJP I menjadi 15,8 persen dalam tahun 1990. Di tingkat pendidikan dasar, angka partisipasi murni (APM), yaitu rasio jumlah murid SD termasuk madrasah ibtidaiyah (SD-MI) usia 7-12 tahun dengan jumlah penduduk kelompok usia tersebut, dalam tahun anggaran 1993/94 telah mencapai 93,5 persen. Dalam periode yang sama, angka partisipasi kasar (APK), yaitu rasio murid SD-MI terhadap penduduk kelompok usia 7-12 tahun mencapai 110,4 persen. Sejalan dengan itu, angka partisipasi kasar SLTP termasuk madrasah tsanawiyah (MTs) telah mencapai sebesar 52,7 persen, dan angka partisipasi kasar tingkat SLTA termasuk madrasah aliyah (MAN) telah mencapai 33,6 persen. Sedangkan angka partisipasi kasar di tingkat pendidikan tinggi termasuk pendidikan tinggi agama mencapai 10,8 persen pada akhir Repelita V. Memasuki Repelita VI sebagai awal periode pembangunan jangka panjang kedua (PJP II), prioritas pembangunan diletakkan pada pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya, seiring Departemen Keuangan RI 129 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dengan peningkatan sumberdaya manusia. Sesuai dengan arah dan strategi dasar kebijaksanaan pembangunan yang ditetapkan dalam GBHN 1993 dan Repelita VI, kebijaksanaan anggaran belanja pembangunan dalam tahun pertama Repelita VI (1994/95) diarahkan terutama untuk menunjang pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang makin adil dan meluas, meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta menjaga stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, sejalan dengan upaya peningkatan kualitas manusiadan kualitas kehidupan masyarakat. Sedangkan alokasi anggaran sektoral dalam tahun pertama Repelita VI telah diperluas menjadi 20 sektor, dibandingkan dengan 18 sektor dalam Repelita sebelumnya. Sejalan dengan prioritas dalam tahun anggaran 1994/95, penyediaan anggaran belanja pembangunan yang cukup besar diberikan kepada sektor pembangunan daerah dan transmigrasi, sektor transportasi, meteorologi dan geofisika, sektor pertambangan dan energi, sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga, serta sektor pengairan. Di sektor pembangunan daerah dan transmigrasi, dalam rangka mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, membuka daerah terisolasi dan mempercepat pembangunan kawasan timur Indonesia, serta menyelaraskan pembangunan sektoral dan regional, anggaran pembangunan dimanfaatkan untuk menunjang program bantuan pembangunan desa, program bantuan pembangunan daerah tingkat II, program bantuan pembangunan daerah tingkat I, dan program pengembangan kawasan khusus. Di samping itu guna mempercepat upaya pengentasan kemiskinan terutama di daerah perdesaan, melalui anggaran pembangunan yang sama juga dilaksanakan program pembangunan desa tertinggal yang menjangkau 18.321 desa tertinggal dengan alokasi bantuan sebesar Rp 20 juta per desa. Sementara itu di subsektor transmigrasi dan pemukiman perambah hutan, melalui program pemukiman dan lingkungan transmigrasi serta program pengerahan dan pembinaan transmigran antara lain diupayakan persiapan pemukiman bagi sekitar 50 ribu kepala keluarga (KK) dari Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, termasuk pemukiman bagi perambah hutan sebanyak 35 persen dari jumlah keseluruhan, serta direncanakan penyiapan sekitar 46.200 hektar lahan pemukiman transmigran dan 52 ribu unit rumah transmigran lengkap dengan fasilitas umum yang menunjang. Di sektor transportasi, meteorologi dan geofisika, anggaran pembangunan diarahkan terutama untuk menunjang berbagai program di subsektor prasarana jalan, subsektor transportasi darat, subsektor transportasi laut, subsektor transportasi udara, serta subsektor meteorologi, Departemen Keuangan RI 130 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 geofisika, pencarian dan penyelamatan (SAR). Di subsektor prasarana jalan, sebagian besar anggaran belanja pembangunan dimanfaatkan antara lain untuk pemeliharaan rutin jalan dan jalan paras desa, masing-masing sepanjimg 23.200 kilometer dan 8.510 kilometer, pemeliharaan berkala jalan, jembatan, dan jembatan poros desa, masing-masing sepanjang 4.800 kilometer, 5.100 meter, dan 18.900 meter, pembangunan jalan arteri sepanjang 411 kilometer, jalan kolektor sepanjang 1.040 kilometer, jalan lokal sepanjang 360 kilometer, jalan paras desa sepanjang 652 kilometer, jembatan sepanjang 1.100 meter, dan jembatan poros desa sepanjang 2.000 meter. Dalam pada itu anggaran pembangunan di subsektor transportasi darat selain dimanfaatkan untuk peningkatan dan rehabilitasi jalur kereta api sepanjang 63 kilometer, pembangunan jalur kereta api ganda parsial sepanjang 38 kilometer, juga dipergunakan untuk pengembangan fasilitas lalulintas jalan dan peningkatan angkutan sungai, danau dan penyeberangan. Di subsektor transportasi laut, anggaran pembangunan diarahkan untuk menunjang pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan, antara lain berupa pembangunan dermaga baru sepanjang 1.632 meter, guuang seluas 5.600 meter persegi, lapangan penumpukan seluas 22.525 meter persegi, terminal penumpang seluas 5.350 meter persegi, pembangunan menara suar sebanyak 2 unit, dan rambu suar sebanyak 95 unit. Sedangkan melalui berbagai program di subsektor transportasi udara, dalam periode yang sama diupayakan penambahan peralatan pendukung keselamatan penerbangan dan penyediaan prasarana kalibrasi peralatan telekomunikasi dan navigasi udara, serta penyediaan jasa angkutan udara perintis yang melayani 42 rute penerbangan. Selanjutnya anggaran pembangunan di subsektor\meteorologi dan geofisika, pencarian, dan penyelamatan (SAR) antara lain dimanfaatkan untuk pembangunan stasiun klimatologi di beberapa daerah, serta pengadaan peralatan meteorologi penerbangan di beberapa bandar udara. Di sektor pertarnbangan dan energi, dalam rangka pemanfaatan kekayaan tambang bagi kesejahteraan masyarakat, dalam tahun anggaran 1994/95 diupayakan pemetaan dan penyelidikan geologi dan sumber daya mineral, pengembangan pusat-pusat informasi mineral, pengembangan teknologi pengolahan bahan galian, pengembangan mineral industri, serta pengembangan dan pemanfaatan baru bara untuk bahan bakar industri dan rumah tangga. Selanjutnya dalam upaya peningkatan dan penyediaan bahan baku energi, baik bagi industri dalam negeri dan ekspor maupun untuk keperluan masyarakat, melalui berbagai program di subsektor energi, pada awal Repelita VI diupayakan pembangunan jaringan transmisi sepanjang 1.468 kilometer sirkuit Departemen Keuangan RI 131 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 (kms), pembangunan gardu induk dengan kapasitas 2.520 megavolt ampere (MVA), serta perluasan jaringan distribusi tegangan menengah dan tegangan rendah, masing-masing sepanjang 3.346,5 kms dan sepanjang 6.159 kms untuk daerah perkotaan. Di samping itu dalam rangka program listrik perdesaan telah dilakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan kapasitas 9,52 megawatt (MW), serta penyambungan aliran listrik bagi sebanyak 3.419 desa. Selanjutnya di sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga, dalam rangka mempercepat pembangunan dan peningkatan kualitas manusia Indonesia, anggaran pembangunan dimanfaatkan antara lain untuk menunjang upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dasar melalui pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, perluasan daya tampung pendidikan dan peningkatan pendidikan kejuruan, serta peningkatan kualitas pendidikan semua jenis. jalur dan jenjang pendidikan. Sehubungan dengan itu untuk meningkatkan daya tampung dan memperluas pemerataan kesempatan belajar tingkat sekotab dasar (SD), dalam tahun anggaran 1994/95 diupayakan pembangunan 700 gcdung SD di daerah pemukiman baru dan daerah transmigrasi, rehabilitasi sejumlah ruang kelas SD, dan penambahan 2.650 ruang kelas SD beserta perlengkapannya. Sedangkan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dasar, dalam periode yang sama diupayakan pencetakan dan pendistribusian sekitar 36 juta eksemplar buku pelajaran dan buku bacaan, pengadaan 20 ribu alat peraga pendidikan, serta peningkatan kualitas kemampuan tenaga edukasi bagi sekitar 140 ribu guru melalui penyetaraan guru setara D- 2, serta penataran bagi kepala sekolah, penilik, dan pembina SD. Sementara itu untuk mendukung pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun, khususnya dalam memperluas daya tampung sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), dalam periode yang sama diupayakan pembangunan sejumlah gedung SL TP baru, penambahan 5.400 ruang kelas, rehabilitasi sejumlah ruang kelas, dan penggantian perabot pendidikan. Di samping itu khusus bagi daerah-daerah tertentu yang tidak memungkinkan pelaksanaan sekolah biasa, diupayakan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh melalui SLTP Terbuka dan SLTP Kecil. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kemampuan dasar serta memperluas kesempatan belajar dan berusaha bagi anggota masyarakat, anggaran pembangunan di subsektor pendidikan luar sekolah dan kedinasan antara lain dimanfaatkan untuk menunjang upaya pemberantasan tiga buta, yaitu buta aksara dan angka, buta bahasa Indonesia, dan buta pengetahuan dasar, yang dilaksanakan antara lain melalui pengembangan kelompok Departemen Keuangan RI 132 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 belajar (Kejar) Paket A tidak setara SD, Kejar Paket A setara SD dalam rangka wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, Kejar Paket B setara SLTP, serta penyelenggaraan pendidikan berkelanjutan melalui kejar usaha, pemagangan, serta pembinaan lembaga kursus. Sementara itu melalui berbagai program di subsektor kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam tahun anggaran 1994/95 antara lain diupayakan penyusunan kamus besar bahasa Indonesia Edisi I, penyusunan buku sastra Indonesia dan daerah, pengiriman misi kesenian ke luar negeri, serta konservasi candi Borobudur. Selanjutnya di subsektor pemuda dan olah raga, anggaran pembangunan dimanfaatkan terutama untuk pengembangan kepemimpinan dan aktivitas generasi muda, peningkatan rintisan sarjana penggerak pembangunan di perdesaan di seluruh Indonesia, serta pembinaan keolahragaan, kesegaran jasmani, dan rekreasi di seluruh Indonesia. Di sektor pengairan, guna melanjutkan upaya pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, melalu berbagai program di subsektor pengembangan sumber daya air, dalam tahun anggaran 1994/95 diupayakan pembangunan prasarana pengairan, antara lain berupa pembangunan 10 buah waduk (Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat, pembangunan sejumlah waduk muara dan bendungan karet di Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Barat, serta pembangunan 30 embung besar dan kecil di Nusa Tenggara Barat (NTB) Nusa Tenggara Timur (NTT), Timor Timur dan Maluku. Selain daripada itu juga diupayakan pengadaan operasi dan pemeliharaan bagi 33 sungai, 34 waduk dan sekitar 12.500 bendungan, yang terdapat di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Nusa Tenggara Barat. Sementara itu untuk memelihara tetap berfungsinya sumber air dan jaringan irigasi agar dapat memenuhi berbagai penggunaan, terutama bagi pertanian dalam usaha mempertahankan swasembada pangan, melalui anggaran pembangunan di subsektor irigasi, dalam tahun anggaran 1994/95 diupayakan pembangunan jaringan irigasi seluas 100 ribu hektar, rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi seluas 140 ribu hektar, yang tersebar di pulau Jawa dan daerah sentra produksi beras di Sumatera Utara, Aeeh, Lampung, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan, serta penyiapan lahan usaha tani bagi kegiatan sawah dan nonsawah seluas 30 ribu hektar. Di samping itu dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekspor hasil tambak, dalam periode yang sama diusahakan pula peningkatan reklamasi daerah rawa seluas 134 ribu hektar, pembuatan saluran multiguna sepanjang 20 kilometer, yang tersebar di Departemen Keuangan RI 133 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya, serta pembangunan dan peningkatan tambak seluas 6 ribu hektar, yang tersebar di Aceh, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan. Di samping kelima sektor prioritas tersebut, dalam tahun anggaran 1994/95 berbagai sektor lainnya juga memperoleh perhatian yang cukup memadai. Di sektor pertanian dan kehutanan, dalam rangka mengoptimalkan sarana dan prasarana pertanian yang telah dibangun serta melengkapi sarana dan prasarana pertanian yang diperlukan, dalam tahun anggaran 1994/95 diupayakan pengembangan sumber daya lahan tadah hujan/pasang surut seluas 13.000 hektar, usaha konservasi terhadap sekitar 12.000 hektar lahan kering dan sekitar 3.500 hektar padang penggembalaan, serta pengembangan pelabuhan perikanan. Sementara itu anggaran pembangunan untuk subsektor kehutanan telah dialokasikan bagi program pembinaan kehutanan serta program pengembangan usaha perhutanan rakyat. Di sektor industri, guna menunjang upaya penataan dan pemantapan industri nasional yang mengarah pada penguatan, pendalaman, peningkatan, perluasan, dan penyebaran industri ke seluruh wilayah Indonesia, alokasi anggaran pembangunan dalam tahun anggaran 1994/95 diarahkan penggunaannya bagi program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah, program peningkatan kemampuan teknologi industri, serta program penataan struktur industri. Melalui program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah, dalam tahun anggaran 1994/95 diupayakan peningkatan pelatihan teknologi dan manajemen, serta perluasan penerapan standar industri, termasuk pemasyarakatan dan penerapan ISO-9000. Sedangkan melalui program peningkatan kemampuan teknologi industri, antara lain diupayakan pengembangan teknologi produk dan teknologi manufaktur, pengembangan rancang bangun dan perekayasaan industri, serta pengembangan teknologi akrab lingkungan, alih teknologi, dan diseminasi teknologi. Di samping itu dalam rangka program penataan struktur industri diupayakan perluasan dan penguatan basis produksi, antara lain melalui pengembangan agroindustri, pengembangan industri pengolahan hasil tambang dan penganekaragaman produk industri yang berorientasi ekspor, pengembangan sumber daya manusia industri, penataan organisasi industri, serta penataan struktur penyebaran industri. Perkembangan realisasi pengeluaran pembangunan atas dasar sektor dari Repelita I hingga Repelita VI secara terinci dapat diikuti dalam Tabel II.14 dan Tabel II.15. Departemen Keuangan RI 134 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Sektor -1 Tabel II.14 PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SEKTOR, 1) REPELITA I - REPELITA V (dalam miliar rupiah) Repelita II Repelita III Repelita I -2 Repelita IV Repelita V 267,8 85,7 108 261,6 2,5 210 3,7 -3 1.745,30 686,1 967,5 1.631,80 37,5 198,9 1.024,50 26 -4 4.235,20 2.320,10 5.175,00 4.457,00 521,9 1.797,50 2.894,10 195,9 -5 7.277,60 2.692,10 7.276,00 7.652,10 1.194,20 1.844,60 4.647,20 211,3 -6 13.287,50 2.417,00 12.537,60 20.388,40 2.250,40 3.313,30 12.337,80 265,3 83,8 758,1 3.397,10 6.615,10 12.385,70 27,3 23,7 27,3 60,2 9) 71,3 - 262 195,3 35,9 333,7 87,9 133,1 212,8 790 - 1.184,00 845,9 259,8 2.377,10 178,5 671,6 1.019,20 1.758,50 840,8 1.608,20 1.808,30 241,2 2.915,40 204,6 1.544,90 901,2 1.180,70 1.070,40 4.186,50 3.887,10 267,3 5.090,20 433 2.425,20 1.343,20 2.142,90 2.388,00 9.126,40 34.129,20 1.232,90 Pembagian sektor dalam Repelita I : 13 sektor, Repelita II : 17 sektor, sejak Repelita III sampai dengan Repelita V: 18 sektor. Nama sektor dalam Repelita I tidak seluruhnya sama dengan Repelita berikutnya. 1) Termasuk bantuan proyek; 2) Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Industri dan Pembangunan; 3) Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Tenaga Listrik; 4) Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Pembangunan Regional dan Daerah; 5) Dalam Repelita I nama sektor adalah Agama dan KepercayaanTerhadap Tuhan Yang Maha Esa; 6) Dalam Repelita I nama sektor adalah Pendidikan dan Kebudayaan; 7) Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Kesejahteraan Sosial; 8) Dalam Repelita I nama sektor adalah Penyertaan Modal Pemerintah; 9) Merupakan jumlah realisasi sektor-sektor 5,12, 14, 15 dan 16; 10) Tidak termasuk Cadangan Anggaran Pembangunan sebesar Rp 3.500,0 miliar. 50.885,10 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Pertanian dan Pengairan Industri 2) Pertambangan dan Energi 3) Perhubungan dan Pariwisata Perdagangan dan Koperasi Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pembangunan Daerah, Desa don Kota 4) 5) Agama Pendidikan, Generasi Muda, Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 6) Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan Wanita, Kependudukan dan Keluarga Berencana Perumahan Rakyat dan Pemukiman 7) Hukum Pertahanan dan Keamanan Nasional Penerangan, POTS, dan Komunikasi Sosial IImu Pengetahuan, Teknologi dan Penelitian Aparatur Pemerintah 8) Pengembangan Dunia Usaha Sumber Alam dan Lingkungan Hidup Jumlah Departemen Keuangan RI 101.346,4 135 10) Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Tabel II.15 PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SEKTOR, REPELITA VI (dalam miliar rupiah) Repelita VI Sektor APBN -3 -1 -2 450,5 Industri 3.032,50 989,6 Pertanian dan Kehutanan 6.404,00 1.687,00 Pengairan 10.473,40 146,5 Tenaga Kerja 1.073,20 Perdagangan, Pengembangan Usaha Nasional, Keuangan 736,3 dan Koperasi 5.036,10 5.225,50 Transportasi, Meteorologi, dan Geofisika 33.054,20 3.581,90 Pertambangan dan Energi 21.779,50 721,9 Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi 4.778,60 5.504,30 Pembangunan Daerah dan Transmigrasi 34.227,50 452,3 Lingkungan Hidup dan Tata Ruang 3.254,70 Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 3.061,30 Pemuda dan Olah Raga 20.382,00 290,2 Kependudukan dan Keluarga Sejahtera 1.743,10 Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, Peranan Wanita, Anak 1.031,00 dan Remaja 6.892,40 887,9 Perumahan dan Permukiman 5.740,60 121,9 Agama 1.055,50 529,8 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 3.627,00 111,4 Hukum 814,4 557 Aparatur Negara dan Pengawasan 3.613,30 Politik, Hubungan Luar Negeri, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa 1.036,30 15,2 1.154,60 Pertahanan dan Keamanan 7.914,60 Jumlah 175.932,90 27.398,30 % -4 14,9 15,5 16,1 13,7 14,6 15,8 16,4 15,1 16,1 13,9 15 16,6 15 15,5 11,5 14,6 13,7 15,4 15,2 14,6 15,6 2.2.6.2. Pengeluaran pembangunan berdasarkan jenis pembiayaannya Selama pelaksanaan pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) hingga tahun pertama Repelita VI, pengeluaran pembangunan, baik pembiayaan rupiah maupun bantuan proyek, secara umum menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam Repelita I, dengan masih terbatasnya sumber-sumber penerimaan negara, jumlah pembiayaan rupiah baru mencapai sebesar Rp 944,6 miliar, atau sekitar 77 persen dari jumlah seluruh anggaran pembangunan. Selanjutnya seiring dengan meningkatnya tabungan pemerintah, dalam Repelita II dan Repelita III jumlah pembiayaan rupiah dapat ditingkatkan, masing-masing menjadi sebesar Rp 5.960,6 miliar dan sebesar Rp 23.926,8 miliar. Dalam Repelita IV, meskipun keadaan perekonomian nasional mengalami tantangan yang cukup berat, sebagai akibat menurunnya harga minyak mentah di pasaran internasional, namun jumlah pembiayaan rupiah tetap dapat ditingkatkan, Departemen Keuangan RI 136 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sehingga menjadi sebesar Rp 26.798,1 miliar, atau naik sekitar 12 persen dari realisasi pembiayaan rupiah dalam Repelita III. Peningkatan tersebut, yang sejalan dengan meningkatnya penerimaan negara, masih terus berlanjut dalam Repelita V, sehingga jumlah pembiayaan rupiah dalam periode tersebut mencapai sebesar Rp 55.435,7 miliar, atau naik sekitar 107 persen jika dibandingkan dengan realisasinya dalam Repelita IV. Dengan berbagai perkembangan tersebut, selama PJP I jumlah keseluruhan pembiayaan rupiah mencapai sebesar Rp 113.065,8 miliar, atau naik rata-rata sekitar 24 persen per tahun. Memasuki tahun pertama Repelita VI, pembiayaan rupiah dianggarkan sebesar Rp 17.386,3 miliar, atau naik sebesar Rp 1.656,3 miliar (10,5 persen) dari realisasinya sebesar Rp 15.730,0 miliar dalam tahun terakhir Repelita V (1993/94). Pembiayaan rupiah tersebut, di samping dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek sektoral melalui DIP-DIP departemen/lembaga negara,juga digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan daerah serta proyek-proyek pembangunan lainnya. Perkembangan pembiayaan rupiah berdasarkan jenis pembiayaannya selama periode PJP I dan tahun pertama Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.16. 2.2.6.2.1. Pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara Pembiayaan bagi proyek-proyek pembangunan sektoral ditampung melalui pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara, dan diarahkan agar sejauh mungkin dapat mendukung pelaksanaan program-program pembangunan di berbagai sektor dan subsektor sesuai dengan skala prioritas pembangunan dalam setiap tahapan pembangunan lima tahunan. Pelaksanaan daripada berbagai program pembangunan sektoral tersebut dilakukan oleh masingmasing departemen/lembaga negara sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya, sedangkan alokasi anggarannya disediakan melalui DIP departemen/lembaga negara yang bersangkutan. Sesuai dengan arab kebijaksanaan pembangunan yang digariskan dalam GBHN dan Repelita, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode PJP I diarahkan terutama untuk membiayai program-program pembangunan di bidang ekonomi, dengan senantiasa mengusahakan terdapatnya keseimbangan dan keserasian antara upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dari stabilitas nasional yang schar dan dinamis. Departemen Keuangan RI 137 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel II.16 1) PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN JENIS PEMBIAYAAN 2) 1969/70 - 1994/95 ( dalam miliar rupiah) Departemen/ Daerah/ 3) 4) Inpres Lembaga Jumlah Tahun Lainnya REPELITA I 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 7) 79,8 83 102,6 150 167,3 5,5 32,7 37,3 57,8 85,7 7,6 12,4 11 28,1 83,8 92,9 128,1 150,9 235,9 336,8 221,6 384,9 590,9 744,5 851 158,3 234,2 285 366,2 431,1 386 307,2 405 308,5 286,2 765,9 926,3 1.280,90 1.419,20 1.568,30 1.480,30 2.533,20 2.724,60 3.260,90 3.219,50 548,9 807,6 1.134,00 1.090,40 1.447,50 668,7 1.145,60 1.417,60 1.083,40 1.364,60 2.697,90 4.486,40 5.276,20 5.434,70 6.031,60 3.474,40 4.466,50 2.003,50 1.384,60 1.861,30 1.526,20 1.502,60 1.466,50 1.334,30 1.485,70 1.542,60 1.400,60 1.067,30 1.328,30 953,7 6.543,20 7.369,70 4.537,30 4.047,20 4.300,70 2.508,80 4.853,70 5.971,40 7.858,00 8.560,40 1.720,10 2.997,70 3.953,30 5.040,30 5.975,60 1.183,30 1.092,80 1.493,80 1.032,50 1.194,00 5.412,20 8.944,2 5) 11.418,5 6) 13.930,80 15.730,00 9.945,60 6.822,40 618,3 17.386,30 1) Di luar bantuan proyek; Untuk tahun anggaran 1969/70 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan; 3) Termasuk Hankam; 4) Terdiri dari PMP, LPP dan Subsidi Pupuk; 5) Tidak termasuk Cadangan Anggaran Pembangunan sebesar Rp 2.000,0 miliar; 6) Tidak termasuk Cadangan Anggaran Pembangunan sebesar Rp 1.500,0 miliar; 7) APBN. 2) Departemen Keuangan RI 138 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Seirama dengan makin meningkatnya jangkauan dari cakupan kegiatan pembangunan, jumlah pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara selama pelaksanaan PJP I senantiasa menunjukkan peningkatan, sejalan dengan bertambahnya volume anggaran belanja pembangunan rupiah. Dalam Repelita I, jumlah keseluruhan pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara baru mencapai sebesar Rp 582,7 miliar, atau sekitar 62 persen dari seluruh pembiayaan pembangunan rupiah. Guna mendukung program stabilisasi ekonomi dan rehabilitasi produksi, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut diprioritaskan bagi pembiayaan program-program pembangunan di bidang ekonomi, dengan titik berat pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian. Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat di bidang pangan, khususnya beras, dalam periode tersebut diupayakan melalui pembangunan prasarana dari sarana pertanian, seperti pembukaan areal persawahan, pembangunan jaringan irigasi dan bendungan, serta prasarana yang menunjang usaha peningkatan produksi pangan Sedangkan guna memperlancar distribusi barang dari jasa, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut diarahkan untuk pembangunan prasarana dan sarana perhubungan dan telekomunikasi, seperti pembangunan jalan raya, rehabilitasi, penggantian dan perluasan transportasi darat, serta pembangunan berbagai fasilitas pelabuhan. Selain itu guna memenuhi kebutuhan energi, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut juga diarahkan untuk pembangunan saranadan prasarana kelistrikan, seperti pembangkit tenaga listrik, berikut jaringan transmisi dari distribusinya. Dalam Repelita II, pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara mencapai jumlah sebesar Rp 2.792,9 miliar, atau naik sekitar 379 persen jika dibandingkan dengan realisasinya dalam Repelita I. Dalam rangka mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut diarahkan terutama untuk menunjang program peningkatan produksi pertanian, program perluasan kesempatan kerja, dan program pembangunan daerah. Sedangkan untuk mendukung upaya penyediaan fasilitas pelayanan dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, anggaran belanja pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut juga diarahkan untuk membiayai program perluasan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Departemen Keuangan RI 139 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Dalam Repelita III, jumlah pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara mencapai sebesar Rp 13.218,5 miliar, atau naik sekitar 373 persen jika dibandingkan dengan realisasinya dalam Repelita II. Guna mendukung program pemerataan pembangunan, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut diarahkan terutama untuk pembiayaan pembangunan daerah, desa dari kota, berupa pembangunan sarana dari prasarana sosial ekonomi desa, program pembangunan Dati II, serta program pembangunan Dati I. Sementara itu dalam rangka penyediaan energi nasional dari pemanfaatan kekayaan tambang bagi kesejahteraan masyarakat, alokasi anggaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut juga dimanfaatkan untuk membiayai berbagai proyek di sektor pertambangan dan energi, seperti pembangunan dan perluasan sarana pusat pembangkit listrik dan pembangunan listrik perdesaan. Sedangkan untuk mewujudkan swasembada pangan, khususnya beras, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut juga diprioritaskan untuk membiayai pembangunan berbagai proyek di sektor pertanian, seperti pembiayaan program intensifikasi khusus dan operasi khusus, pengadaan bibit, serta pembangunan jaringan irigasi. Selanjutnya guna lebih memperlancar arus barang, penumpang dan jasa, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut juga dialokasikan untuk membiayai pembangunan prasarana dan sarana perhubungan, seperti peningkatan dan pembangunan jalan dan jembatan serta peningkatan jaringan pelayanan penerbangan. Demikian pula dalam rangka pengembangan sumber daya manusia, prioritas anggaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut juga diarahkan untuk membiayai berbagai proyek di sektor pendidikan, seperti peningkatan sarana pendidikan, pembangunan gedung sekolah di berbagai jenjang pendidikan, serta pengadaan buku bacaan dan alat-alat laboratorium. Dalam Repelita IV, jumlah pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara mencapai sebesar Rp 13.190,3 miliar, atau sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasinya dalam Repelita III. Guna mempertahankan swasembada pangan yang dicapai sejak akhir Repelita III, prioritas pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara diarahkan penggunaannya untuk membiayai program penganekaragaman produksi pertanian, serta perbaikan dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang telah dibangun di bidang pengairan. Sedangkan untuk mendukung program pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara antara lain digunakan untuk Departemen Keuangan RI 140 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 membiayai program pembangunan desa, program pembangunan daerah tingkat II, dan program pembangunan daerah tingkat I. Dalam rangka meningkatkan produksi, menganekaragamkan hasil tambang, serta memenuhi sumber energi, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut diarahkan antara lain untuk membiayai program pengembangan pertambangan serta program diversifikasi sumber-sumber energi. Sementara itu dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara antara lain dimanfaatkan untuk menunjang upaya perluasan dan pemerataan kesempatan belajar bagi anak usia sekolah dasar, guna mendukung pelaksanaan program wajib belajar enam tahun, serta pembangunan prasarana dan sarana pendidikan di semua jenis danj enjang pendidikan. Demikian pula guna memperlancar arus barang, angkutan, dan jasajasa, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara diarahkan antara lain untuk perbaikan dan pemeliharaan prasarana dan sarana jalan yang kondisi kerusakannya cukup parah, peningkatan dan rehabilitasi jalur rel kereta api, serta pembangunan prasarana dan sarana pelabuhan. Dalam Repelita V, jumlah keseluruhan pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara mencapai sebesar Rp 29.752,3 miliar, atau sekitar 126 persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasinya dalam Repelita IV. Dalam periode tersebut prioritas alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara diarahkan untuk penyediaan dana operasi dan pemeliharaan bagi sarana dan prasarana yang ada di berbagai sektor pembangunan, pembangunan sarana dan prasarana dasar yang memang tidak dapat disediakan sendiri oleh masyarakat, dan pengembangan sumber daya manusia melalui perbaikan gizi dan kesehatan, serta pendidikan dan pelatihan. Memasuki tahun pertama Repelita VI, sejalan dengan semakin meningkatnya pembangunan dan pelayanan yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah, pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dianggarkan sebesar Rp 9.945,6 miliar, yang berarti naik sebesar Rp 1.385,2 miliar atau sekitar 16 persen dari realisasinya sebesar Rp 8.560,4 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Dalam periode tersebut, prioritas pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memaksimalkan dan mempertahankan selama mungkin manfaat dan nilai ekonomis daripada prasarana dan sarana dasar yang sedang dan telah dibangun di berbagai sektor pembangunan, menunjang pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan Departemen Keuangan RI 141 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pengembangan sumber daya manusia antara lain melalui program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, serta mempertahankan mutu lingkungan hidup terhadap dampak negatif aktivitas pembangunan. 2.2.6.2.2. Pengeluaran pembangunan daerah Pembiayaan pembangunan bagi daerah pada dasarnya terdiri dari dua unsur utama, yaitu program bantuan pembangunan daerah dan pengeluaran pembangunan daerah yang memperoleh sumber pembiayaan dari dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan. Program bantuan pembangunan daerah, atau yang lebih dikenal dengan program Inpres bantuan pembangunan daerah, selain dimaksudkan untuk mendorong pemerintah daerah agar lebih mampu melaksanakan pembangunan daerah dalam bidang-bidang yang menjadi urusan rumah tangganya sendiri, juga bertujuan untuk mewujudkan program pemerataan pembangunan antar wilayah, memperluas otonomi daerah, serta mendorong peningkatan kemampuan keuangan daerah. Guna mendorong prakarsa dan partisipasi masyarakat di daerah secara lebih nyata dan bertanggung jawab dalam pembangunan, serta mengentaskan kemiskinan yang masih banyak terdapat di daerah perdesaan, daerah terpencil di pedalaman, serta daerah terbelakang dan terisolir, jumlah anggaran, cakupan, dan jangkauan kegiatan daripada program-program bantuan pembangunan daerah selama pelaksanaan PJP I, ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Dalam Repelita I, jumlah bantuan pembangunan daerah baru mencapai sebesar Rp 219 miliar, atau sekitar 23 persen dari keseluruhan anggaran pembangunan rupiah yang tersedia dalam periode tersebut. Dana tersebut dialokasikan untuk program Inpres desa, program Inpres Dati II, program Inpres Dati I, serta program Inpres SD. Sejak Repelita II, cakupan program bantuan pembangunan daerah diperluas dengan pemberian bantuan khusus berupa program Inpres sarana kesehatan, Inpres pasar, Inpres penghijauan dan reboisasi, serta Inpres penunjang jalan. Dengan penambahan program-program bantuan pembangunan daerah tersebut, maka dalam Repelita II dan III jumlah pengeluaran pembangunan bagi daerah mengalami peningkatan masing-masing menjadi sebesar Rp 1.474,8 miliar dan sebesar Rp 5.028,4 miliar. Selanjutnya dalam Repelita IV seiring dengan upaya untuk makin mempercepat pemerataan laju pembangunan antar daerah, jumlah bantuan pembangunan daerah ditingkatkan lagi menjadi Departemen Keuangan RI 142 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebesar Rp 7.315,3 miliar, atau sekitar 46 persen lebih tinggi dari realisasinya dalam periode Repelita III. Kemudian, sejalan dengan makin besarya kemampuan pembiayaan pembangunan, dalam Repelita V, alokasi pengeluaran pembangunan bagi program bantuan pembangunan daerah bahkan menunjukkan peningkatan yang cukup berarti, sehingga jumlah keseluruhannya mencapai sebesar Rp 19.687,0 miliar, atau naik sekitar 169 persen dari jumlah realisasinya dalam Repelita IV. Dengan berbagai perkembangan tersebut, selama pelaksanaan PJP I jumlah keseluruhan bantuan pembangunan daerah mencapai sebesar Rp 33.724,5 miliar, atau naik rata-rata sekitar 34 persen per tahun. Jumlah bantuan pembangunan daerah tersebut mencakup program bantuan pembangunan desa (Inpres desa), program bantuan pembangunan daerah tingkat II (Inpres Dati II), program bantuan pembangunan daerah tingkat I (Inpres Dati I), program bantuan pembangunan sekolah dasar (Inpres SD), program bantuan pembangunan kesehatan (Inpres kesehatan), program bantuan pembangunan dan pemugaran pasar(Inpres pasar), program bantuan pembangunan penghijauan dan reboisasi (Inpres penghijauan dari reboisasi), serta program bantuan pembangunan peningkatan jalan (Inpres jalan). Memasuki tahun pertama Repelita VI, jenis program bantuan pembangunan daerah ditambah lagi dengan program baru, yaitu program Inpres desa tertinggal (IDT) sebagai program bantuan umum. Namun demikian, guna meningkatkan otonomi daerah secara lebih nyata, maka sejak tahun anggaran 1994195 alokasi program bantuan pembangunan daerah telah disempurnakan dan disederhanakan dengan mengintegrasikan sebagian dana program bantuan khusus, yaitu program Inpres penghijauan dan reboisasi, Inpres pasar, serta Inpres penunjang jalan, ke dalam program Inpres Dati II dan Dati I sebagai program bantuan umum. Dengan adanya penambahan program baru dan penyempurnaan sistem alokasi program bantuan pembangunan daerah tersebut, maka dalam APBN 1994/95 anggaran yang disediakan bagi program Inpres daerah diperkirakan mencapai sebesar Rp 6.822,4 miliar, yang berarti naik sebesar Rp 846,8 miliar atau sekitar 14 persen dari realisasinya sebesar Rp 5.975,6 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Program bantuan pembangunan desa, atau yang lebih dikenal dengan program Inpres desa, dikembangkan sejak awal Repelita I dengan maksud untuk mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong-royong, menumbuhkan kreativitas dan otoaktivitas masyarakat desa, serta meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan. Dana bantuan tersebut di samping dipergunakan untuk menunjang pembiayaan bagi berbagai proyek prasarana Departemen Keuangan RI 143 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 ekonomi dan sosial di daerah perdesaan, juga dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK). Agar pengembangan prasarana dan sarana dasar tersebut langsung menyentuh kepentingan golongan masyarakat yang berpendapatan rendah, serta dapat menunjang prasarana produksi pertanian di daerah perdesaan, maka alokasi dana bantuan pembangunan desa dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan jalan dan jembatan desa, transportasi perintis, dan pengairan desa. Sementara itu untuk meningkatkan peran aktif dan partisipasi wanita dalam mendorong dan menggerakkan pembangunan desanya, sejak tahun anggaran 1985/86 dalam program bantuan pembangunan desa tersebut juga dimasukkan bantuan pembiayaan untuk program pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK). Di samping itu dalam rangka mendukung peningkatan prakarsa dan swadaya masyarakat, melalui program bantuan pembangunan desa juga dilaksanakan proyek peningkatan peranan dan fungsi LKMD, proyek pelatihan kader pembangunan desa, dan proyek pelatihan usaha ekonomi desa. Selanjutnya guna menyediakan perumahan yang memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan, melalui dana bantuan pembangunan desa diupayakan pemugaran perumahan dan lingkungan desa, terutama bagi penduduk yang kurang mampu. Dalam perkembangannya, pelaksanaan program bantuan pembangunan desa tersebut terus mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan daya dukung keuangan negara. Apabila dalam periode Rcpelita I anggaran bagi program bantuan pembangunan desa baru mencapai sebesar Rp 24,9 miliar, maka dalam periode Repelita V jumlah dana bantuan pembangunan desa telah mencapai sebesar Rp 1.258,7 miliar, atau mengalami peningkatan lebih dari 50 kali lipat dari realisasinya dalam Repelita I. Peningkatan tersebut di samping disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah desa yang mcmperoleh bantuan, juga karena ditingkatkannya jumlah bantuan bagi setiap desa. Dalam APBN 1994/95, jumlah bantuan pembangunan desa mencapai sebesar Rp 423,3 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sekitar 9 persen dari realisasinya sebesar Rp 389,7 miliar dalam tahun terakhir Repelita V (1993/94). Peningkatan tersebut selain disebabkan oleh adanya pemekaran desa dan penambahan jumlah desa transmigrasi, juga karena adanya peningkatan bantuan bagi setiap desa. Dalam tahun tersebut jumlah desa yang mendapatkan bantuan pembangunan desa adalah sebanyak 63.920 desa, sedangkan besarnya bantuan bagi setiap desa adalah sebesar Rp 6 juta, yang terdiri dari sebesar Rp 5 juta untuk pembangunan desa dan sebesar Rp 1 juta untuk menunjang kegiatan PKK. Jumlah bantuan bagi setiap desa tersebut menunjukkan peningkatan sebesar Rp 500 ribu atau sekitar 9 persen dari Departemen Keuangan RI 144 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 jumlah bantuan bagi tiap desa dalam tahun anggaran sebelumnya. Perkembangan bantuan pembangunan desa sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.17. Departemen Keuangan RI 145 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tahun REPELITA I 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 9) Tabel II.17 INPRES PEMBANGUNAN DESA, 1) 1969/70 - 1994/95 Bantuan tiap Desa Jumlah bantuan (ribu rupiah) (miliar rupiah) Jumlah Desa 44.478 44.622 44.630 45.575 45.587 100 100 100 100 100 2,6 5,6 5,3 5,7 5,7 45.303 45.303 58.675 59.071 60.645 200 300 300 350 350 11,4 15,9 19,8 23,2 24 61.158 63.058 64.650 65.127 66.437 450 750 1.000 1.250 1.250 31 50,7 70,5 88,4 91,6 67.448 66.173 66.391 66.594 66.744 1.250 1.350 2) 1.350 2) 1.350 2) 1.500 3) 92,8 98,6 86,4 102,2 112 66.979 66.979 67.033 68.762 63.721 1.500 3) 2.500 4) 3.500 5) 4.500 6) 5.500 7) 112 180,6 249,9 326,5 389,7 63.920 6.000 8) 423,3 1) Untuk tahun anggaran 1969/70 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan; 2) Rp 250.000 untuk PKK, Rp 1.100.000 untuk desa; 3) Rp 300.000 untuk PKK, Rp 1.200.000 untuk desa; 4) Rp 500.000 untuk PKK. Rp 2.000.000 untuk desa; 5) Rp 700.000 untuk PKK, Rp 2.800.000 untuk desa; 6) Rp 900.000 untuk PKK, Rp 3.600.000 untuk desa; 7) Rp 1.000.000 untuk PKK, Rp 4.500.000 untuk desa; 8) Rp 1.000.000 untuk PKK, Rp 5.000.000 untuk desa; 9) APBN. Departemen Keuangan RI 146 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Di samping program bantuan pembangunan desa, Pemerintah juga memberikan bantuan pembangunan kepada kabupaten/kotamadya, yang dikenal dengan Inpres Dati II. Bantuan tersebut telah dilaksanakan sejak tahun anggaran 1970/71, dan dimaksudkan untuk memperluas jangkauan penyediaan berbagai prasarana, baik sosial maupun ekonomi, untuk mendukung kegiatan dan kebutuhan masyarakat pada tingkat kabupaten/kotamadya. Di samping itu bantuan pembangunan Dati II juga dimanfaatkan untuk menunjang pembiayaan bagi program penataan ruang di kawasan tertentu yang dianggap mendesak dan strategis, serta pembiayaan proyekproyek yang memanfaatkan potensi alam dan tenaga kerja yang ada di masing-masing daerah tingkat II. Besarnya bantuan pembangunan Dati II yang diterima oleh masing-masing kabupaten/kotamadya didasarkan pada jumlah penduduk, dengan ketentuan bahwa bagi daerah yang penduduknya kurang dari suatu jumlah tertentu diberikan bantuan minimum dalam jumlah yang ditetapkan. Di samping bantuan yang diterima atas dasar jumlah penduduk sebagai jumlah bantuan minimum, daerah tingkat II juga memperoleh sejumlah dana sebagai perangsang dalam pengumpulan hasil pajak bumi dan bangunan (PBB). Pemberian insentif tersebut dimaksudkan terutama untuk merangsang peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat di daerah dan mendorong pemerintah daerah dalam meningkatkan upaya penggalian sumber-sumber pendapatan daerahnya. Selama periode PJP I besarnyajumlah bantuan yang dialokasikan bagi program bantuan pembangunan Dati II telah mengalami peningkatan yang cukup pesat. Apabila dalam periode Repelita I, realisasi bantuan pembangunan Dati II hanya mencapai sebesar Rp 46,4 miliar, maka dalam periode Repelita V jumlah bantuan tersebut telah mencapai sebesar Rp 3.095,6 miliar, atau meningkat sekitar 66 kali lipat dari realisasinya dalam Repelita I. Ini berarti bahwa selama PJP I jumlah keseluruhan bantuan pembangunan Dati II mencapai sebesar Rp 5.304,7 miliar, atau naik rata-rata 25,4 persen pertahun. Selanjutnya dalam tahun pertama Repelita VI, bantuan pembangunan Dati II dianggarkan sebesar Rp 2.417,8 miliar, atau lebih tinggi sekitar 136 persen dari realisasinya sebesar Rp 1.025,4 miliar dalam tahun terakhir Repelita V. Peningkatan jumlah pembangunan Dari II yang cukup tinggi tersebut terutama disebabkan oleh adanya pengintegrasian bantuan pembangunan dan pemugaran perumahan perdesaan, bantuan pemugaran pasar kecamatan, Inpres penghijauan, bantuan rehabilitasi sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI), dan Inpres peningkatan jalan Dati II, ke dalam Inpres Dati II. Perkembangan bantuan pembangunan Dati II sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.18. Departemen Keuangan RI 147 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tahun REPELITA I 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 3) Tabel II.18 INPRES PEMBANGUNAN DATI II, 1) 1969/70 - 1994/95 Bantuan minimum tiap Dati II Bantuan tiap (juta rupiah) jiwa (rupiah) Jumlah penduduk (juta) Jumlah bantuan (miliar rupiah) - 50 75 100 150 112,3 114,8 117,5 120,1 5,6 8,8 12,8 19,2 16 20 30 40 50 300 400 400 450 450 126,1 129,1 132,1 135,2 136,6 42,5 59,1 62,4 69,1 70,9 65 100 150 160 160 550 750 1.000 1.150 1.150 139,4 142,3 147,5 150,9 154,4 87,1 119,4 162,7 193,9 194,1 160 170 170 170 170 1.150 1.250 1.250 1.250 1.450 158,1 161,6 165,3 168,8 172,2 194,6 188,6 188,1 263 267,2 200 500 630 750 1.000 1.450 2.000 3.000 4.000 5.000 175,6 179,1 182,6 183 189,1 270 391,8 583,3 825,1 1.025,40 1.000 5.000 192,2 2.417,8 2) 1) Untuk tahun anggaran 1969/70 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan; 2) Termasuk bantuan pembangunan/pemugaran perumahan perdesaan sebesar Rp 18.6 miliar, bantuan pemugaran pasar kecamatan sebesar Rp 5.0 miliar, bantuan rehabilitasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah sebesar Rp 250,0 miliar, Inpres penghijauan sebesar Rp 82,5 miliar, dan Inpres peningkatan jalan Dati II sebesar Rp 967,6 miliar; 3) A P B N. Departemen Keuangan RI 148 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel II.19 INPRES PEMBANGUNAN DATI I, 1) 1969/70 - 1994/95 Tahun REPELITA I 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 6) Bantuan minimum tiap Dati I (juta rupiah) Bantuan maksimum tiap Dati I (juta rupiah) Jumlah bantuan (miliar rupiah) - - - 2) 20,7 3) 20,8 3) 20,8 3) 20,8 3) 500 750 1.000 1.500 2.000 5.600 6.400 7.100 7.800 8.200 47,4 54 61,5 75,4 86,8 2.500 5.000 7.500 9.000 9.000 8.800 9.900 10.000 11.000 11.000 100,8 166,7 215 253 253 9.000 10.000 10.000 10.000 12.000 11.000 12.000 12.000 12.000 12.000 253 287,3 293,1 290,4 334,3 12.000 14.000 18.000 22.500 25.000 12.000 14.000 18.000 22.500 25.000 324 486,0 4) 573,9 4) 701,2 4) 782,8 4) 25.000 25.000 1.218,7 5) 1) Untuk tahun anggaran 1969/70 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan; 2) Diterima langsung oleh Dati I berupa alokasi devisa otomatis (ADO); 3) Sumbangan Pemerintah sebagai pengganti ADO; 4) Termasuk bantuan tambahan sebesar Rp 108,0 miliar dibagi per Dati I secara proporsional menurut luas wilayah daerah daratan masing-masing; 5) Termasuk Keuangan Inpres reboisasi Departemen RI Rp 21.8 miliar dan Inpres peningkatan Dati I sebesar Rp 405.6 miliar; 6) A P B N. 149 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Selanjutnya dalam upaya meningkatkan keselarasan antara pembangunan sektoral dan regional, meningkatkan keserasian pertumbuhan antar daerah, serta meningkatkan partisipasi daerah dalam pembangunan nasional, melalui anggaran pcmbangunan sejak tahun anggaran 1969/70 telah disediakan bantuan pembangunan Dati I (Inpres Dati I). Pada dasarnya bantuan tersebut merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari kebijaksanaan alokasi devisa otomatis atau sumbangan pemerintah pengganti alokasi devisa otomatis (SPP-ADO) yang alokasinya didasarkan atas nilai ekspor tiap propinsi. Penyempurnaan tersebut dilaksanakan terutama karena sistem SPP-ADO dirasakan telah mengakibatkan meningkatnya perbedaan penerimaan antara propinsi pengekspor dan propinsi bukan pengekspor. Sejak awal Repelita II, sistem SPP-ADO tersebut dihapuskan dan diganti dengan bantuan pembangunan Dati I, yang pengalokasiannya untuk setiap propinsi tidak lagi didasarkan pada nilai ekspor. Bantuan pembangunan Dati I tersebut dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan daerah di setiap propinsi, antara lain berupa proyek-proyek pemeliharaan jalan dan jembatan, perbaikan irigasi, serta eksploitasi dan pemeliharaan pengairan. Sampai dengan tahun anggaran 1989/90, bantuan pembangunan daerah tingkat I dapat dikelompokkan atas dua bagian, yaitu pertama, bagian yang ditetapkan digunakan untuk membiayai kegiatan pemeliharaan jalan dan jembatan propinsi, perbaikan dan peningkatan irigasi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jaringan pengairan. Kedua, bagian yang diarahkan, yaitu dana yang dipergunakan untuk membiayai kegiatan lainnya sesuai dengan prioritas pembangunan masing-masing daerah tingkat I, sebagaimana yang tertuang dalam rencana pembangunan lima tahun daerah (Repelitada) masing-masing propinsi. Dari Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI, program bantuan pembangunan daerah tingkat I senantiasa menunjukkan peningkatan, baik dilihat dari nilai nominalnya maupun persentasenya. Apabila dalam periode Repelita I dan Repelita II, realisasi bantuan pembangunan Dati I masing-masing baru mencapai sebesar Rp 83,1 miliar dan sebesar Rp 325,1 miliar, maka dalam Repelita selanjutnya reaIisasi bantuan pembangunan Dati I mengalami peningkatan masing m asing menjadi sebesar Rp 988,5 miliar dalam Repelita III, sebesar Rp 1.458,1 miliar dalam Repelita IV, dan sebesar Rp 2.867,9 miliar dalam Repelita V. Ini berarti bahwa selama PJP I jumlah bantuan pembangunan Dati I mencapai sebesar Rp 5.722,7 miliar atau naik rata-rata 17,1 persen per tahun. Sedangkan dalam tahun pertama Repelita VI, jumlah bantuan pembangunan Dati I dianggarkan sebesar Rp 1.218,7 miliar, yang berarti Rp 435,9 miliar atau sekitar 56 persen lebih tinggi dari realisasinya sebesar Rp 782,8 miliar dalam tahun anggaran Departemen Keuangan RI 150 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 1993/94. Kenaikan realisasi dana Inpres Dati I yang cukup tinggi tersebut terutama disebabkan oleh adanya pengintegrasian program bantuan reboisasi dan program bantuan peningkatan jalan Dati I ke dalam Inpres Dati I. Perkembangan bantuan pembangunan Dati I sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.19. Program bantuan pembangunan sekolah dasar (Inpres SD) diberikan sejak tahun anggaran 1973/74, dengan maksud untuk memperluas dan menunjang pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan mutu sumber daya manusia sebagai modal dasar untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Dalam hubungan ini, perhatian khusus diberikan kepada daerah perdesaan, daerah perkotaan yang berpenghasilan rendah, dan daerah permukiman baru, seperti daerah transmigrasi. Program bantuan pembangunan SD (lnpres SD) tersebut antara lain dipergunakan untuk pembangunan gedung, penambahan ruang kelas, rehabilitasi gedung, pengadaan peralatan penunjang pendidikan, buku perpustakaan, rumah dinas guru dan kepala sekolah, serta pengadaan dan penempatan guru. Dalam tahun anggaran 1973/74, jumlah pengeluaran pembangunan bagi program Inpres SD baru mencapai sebesar Rp 17,2 miliar, yang dipergunakan bagi pembangunan sebanyak 6.000 unit gedung baru SD, dan pengadaan sebanyak 6,6 juta unit buku bacaan. Dalam Repelita II, alokasi pengeluaran pembangunan bagi bantuan pembangunan SD semakin ditingkatkan, sehingga realisasinya mencapai sebesar Rp 323,7 miliar. Melalui program bantuan pembangunan SD dalam periode tersebut, telah berhasil dilakukan pembangunan sekitar 56.000 gedung-gedung SD baru, penambahan sekitar 15.000 ruang kelas, rehabilitasi sekitar 56.000 gedung SD, serta pengadaan sekitar 39 juta unit buku bacaan. Berbagai upaya tersebut telah berhasil memperluas daya tampung SD yang mampu menjangkau sekitar 85 persen dari seluruh anak usia sekolah dasar (umur 7-12 tahun). Dalam Repelita III, jumlah pengeluaran pembangunan bagi bantuan pembangunan SD mencapai sebesar Rp 1.596,8 miliar, atau naik sekitar 393 persen dari realisasinya dalam Repelita II. Dalam periode tersebut, telah berhasil dilaksanakan pembangunan sekitar 74.740 gedung sekolah dasar, penambahan sekitar 110.700 ruang kelas, rehabilitasi sekitar 106.000 gedung SD, pembangunan sekitar 92.000 rumah kepala sekolah dan guru SD, serta pengadaan sekitar 104 juta unit buku bacaan dan sekitar 146.000 paket peralatan olah raga. Dalam Repelita IV, jumlah pengeluaran pembangunan bagi bantuan pembangunan SD mencapai sebesar Rp 1.917,8 miliar, atau naik sekitar 20 persen dari realisasinya dalam Repelita III. Dalam rangka perluasan dan pemerataan kesempatan belajar bagi seluruh anak-anak usia sekolah dasar Departemen Keuangan RI 151 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 guna mendukung pelaksanaan program wajib belajar enam tahun, melalui program bantuan pembangunan SD dalam periode tersebut telah dilakukan pembangunan sekitar 9.874 gedung sekolah dasar, penambahan sekitar 35.048 ruang kelas, rehabilitasi sekitar 94.448 gedung SD, pembangunan kembali sekitar 1.590 gedung SD yang telah rusak berat, pembangunan sekitar 132.490 rumah kepala sekolah dan guru SD, pengadaan sekitar 131 juta unit buku bacaan termasuk sekitar 15 juta buku paket A untuk pemberantasan buta huruf, serta pengadaan sekitar 1.000 paket peralatan olah raga. Selanjutnya dalam Repelita V, anggaran belanja pembangunan bagi bantuan pembangunan SD mencapai sebesar Rp 2.347,2 miIiar, atau mengalami peningkatan sekitar 22 persen dari realisasinya dalam Repelita IV. Melalui program bantuan pembangunan SD dalam periode tersebut, telah berhasil dilakukan pembangunan sekitar 2.686 gedung sekolah dasar, penambahan sekitar 5.450 ruang kelas, rehabilitasi sekitar 117.775 gedung SD, pembangunan kembali sekitar 4.555 gedung SD yang telah rusak berat, pembangunan sekitar 9.717 rumah kepala sekolah dan guru SD, pengadaan sekitar 89 juta unit buku bacaan termasuk sekitar 4 juta buku paket A untuk pendidikan masyarakat dan sekitar 1 juta eksemplar buku modul untuk SD kecil, serta pengadaan sekitar 1.000 paket peralatan olah raga. Dengan dukungan bantuan pembangunan sekolah dasar yang dilakukan secara terus menerus, dan melalui pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar tingkat SD, dalam tahun terakhir Repelita V, hampir semua (99,6 persen) anak usia 7-12 tahun telah berkesempatan mengikuti pendidikan di tingkat SD. Dengan keberhasilan tersebut, maka secara potensial tersedia sumber daya manusia yang berkemampuan dan berketerampilan dasar sebagai bekal untuk mengikuti pendidikan selanjutnya atau berusaha dalam masyarakat. Memasuki tahun pertama Repelita VI, sebagian dari dana Inpres SD, yaitu yang berupa dana rehabilitasi SD dan madrasah ibtidaiyah, telah dialihkan ke dalam Inpres Dati II, sehingga anggaran pembangunan yang disediakan bagi program Inpres SD menjadi sebesar Rp 497,9 miliar, atau sekitar 29 persen lebih rendah dari realisasinya sebesar Rp 698,7 miliar dalam tahun terakhir Repelita V. Anggaran pembangunan tersebut antara lain digunakan untuk pembangunan sekitar 700 gedung sekolah dasar, penambahan sekitar 2.650 ruang kelas, pembangunan sekitar 1.050 rumah kepala sekolah dan guru SD, serta pengadaan sekitar 36 juta unit buku bacaan. Perkembangan bantuan pembangunan sekolah dasar sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.20. Departemen Keuangan RI 152 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tahun REPELITA I 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 7) Pembangunan 2) gedung (unit) Tabel II.20 INPRES SEKOLAH DASAR, 1) 1973/74 - 1994/95 Rehabilitasi Pembangunan Rumah kepala gedung kembali guru (unit) (unit) (unit) Penambahan Ruang kelas (ruang) Buku 3) bacaan (juta) Peralatan olah raga (paket) Jumlah bantuan (miliar Rp) 6.000 - - - - 6,6 - 17,2 6.000 10.000 10.000 15.000 15.000 15.000 10.000 16.000 15.000 15.000 - - 6,9 7,3 8,6 7,3 8,5 - 19,7 49,9 57,3 85 111,8 10.000 14.000 15.000 22.600 13.140 15.000 20.000 25.000 35.000 15.700 15.000 20.000 25.000 25.000 21.000 - 5.000 7.500 9.500 20.000 50.000 12,5 14 15 30 32 50.000 96.000 155,8 249,8 374,5 267,4 549,3 2.200 3.200 3.243 831 400 12.500 12.500 7.748 1.300 1.000 28.500 31.000 24.615 10.333 940 250 400 60.000 60.000 9.890 2.400 200 32,6 32,6 32,6 22,9 4) 10 96.000 157.799 157.500 - 572 526,1 495,9 193,3 130,5 170 400 692 725 699 250 1.000 1.200 1.400 1.600 6.000 20.000 32.028 36.000 23.747 45 1.228 724 1.050 1.508 270 1.000 2.888 4.000 1.559 8,5 5) 12 12 20,6 36 1.000 - 100 373,5 520,5 654,5 698,7 700 2.650 - 6) - 1.050 36 - 497,9 1) Untuk tahun anggaran 1973/74 s.d 1993/94 adalah angka sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan; 2) Di daerah terpencil, termasuk pembangunan 10 buah mess murid; 3) Termasuk buku bacaan Paket A; 4) Termasuk 14,9 juta buku paket A (20 jilid) untuk pemberantasan buta huruf; 5) Termasuk 4,0 juta paket A untuk pendidikan masyarakat dan 0,5 juta eksemplar buku modul untuk SD kecil; 6) Sejak tahun anggaran 1994/95 dialihkan kepada Inpres Dati II sebesar Rp 250,0 miliar; 7) APBN. Selanjutnya dalam rangka pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat, sejak tahun anggaran 1974/75 (awal Repelita II) kepada daerah diberikan bantuan pembangunan sarana kesehatan. Program Inpres sarana kesehatan tersebut dimaksudkan untuk memperluas cakupan dan meningkatkan multi pelayanan kesehatan, serta menyediakan sarana kesehatan secara lebih merata dan sedekat mungkin kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah di daerah kumuh perkotaan, daerah perdesaan, daerah terpencil atau terisolir, daerah transmigrasi, serta daerah permukiman baru. Dalam rangka memperluas pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan kesehatan, jumlah bantuan pembangunan sarana kesehatan senantiasa ditingkatkan setiap tahunnya. Apabila dalam periode Repelita II realisasi bantuan pembangunan sarana kesehatan baru mencapai sebesar Rp 94,5 miliar, maka dalam periode Repelita V realisasi bantuan tersebut telah mencapai sebesar Rp Departemen Keuangan RI 153 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 1.281,1 miliar, yang berarti mengalami peningkatan lebih dari 13 kali lipat. Dengan adanya peningkatan yang relatif cukup pesat tersebut, jumlah anggaran yang dialokasikan bagi program bantuan pembangunan sarana kesehatan selama PJP I mencapai jumlah sebesar Rp 2.157,9 miliar. Melalui program bantuan pembangunan sarana kesehatan tersebut, selama PJP I telah berhasil dilaksanakan pembangunan 3.747 Puskesmas dan rehabilitasi 53.039 Puskesmas, pembangunan 18.342 Puskesmas pembantu, 6.699 Puskesmas keliling, serta 10.628 rumah dokter dan paramedis, terutama yang berada di kabupaten/kotamadya. Selain daripada itu melalui program bantuan tersebut juga diupayakan penyediaan obat-obatan dan bantuan vaksin, penyediaan air bersih, serta penyehatan lingkungan permukiman. Selanjutnya dalam tahun pertama Repelita VI, program bantuan pembangunan sarana kesehatan dianggarkan sebesar Rp 393,3 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 16,7 miliar atau sekitar 4 persen bila dibandingkan dengan realisasinya sebesar Rp 376,6 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Peningkatan tersebut disebabkan terutama oleh semakin bertambahnya bantuan yang diperlukan untuk memenuhi keperluan tenaga medis melalui penyediaan biaya penempatan dan pengangkatan dokter umum, dokter gigi, tenaga paramedis dan tenaga kesehatan nonmedis/pekarya kesehatan, serta pembangunan rumah dokter dan paramedis. Perkembangan bantuan pembangunan sarana kesehatan sejak akhir Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.21. Program bantuan pembangunan dan pemugaran pasar (Inpres pasar) dilaksanakan sejak tahun anggaran 1976/77 dalam rangka pembinaan dan peningkatan kemampuan berusaha pedagang kecil dan pengusaha golongan ekonomi lemah. Bantuan tersebut diberikan dalam bentuk subsidi bunga atas kredit yang diberikan oleh perbankan bagi pembangunan dan pemugaran pasar di masing-masing daerah tingkat II. Dalam Repelita II, jumlah pengeluaran pembangunan bagi bantuan pembangunan dan pemugaran pasar mencapai sebesar Rp 2,42 miliar, yang terutama digunakan untuk pembayaran biaya administrasi dan bunga kredit pemugaran dan pembangunan pasar. Dalam Repelita III, alokasi anggaran pembangunan bagi program Inpres pasar mengalami peningkatan yang cukup berarti, sehingga jumlahnya mencapai sebesar Rp 36 miliar, yang berarti melebihi realisasinya dalam Repelita sebelumnya. Selanjutnya dalam Repelita IV, jumlah bantuan pembangunan dan pemugaran pasar mencapai sebesar Rp 47,4 miliar, atau naik sekitar 32 persen dari jumlah realisasinya dalam Repelita III. Di samping digunakan untuk pembayaran bunga, anggaran pembangunan bagi program Inpres pasar dalam Departemen Keuangan RI 154 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 periode tersebutjuga dimanfaatkan untuk pembayaran di muka atas angsuran pokok kredit pembangunan pasar. Dalam Repelita V, realisasi bantuan pembangunan dan pemugaran pasar mengalami penurunan yang cukup berarti, sehingga jumlahnya hanya mencapai sebesar Rp 13,7 miliar, atau turun sekitar 71 persen dari realisasinya dalam Repelita IV. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan otonomi daerah secara lebih nyata, dalam tahun pertama Repelita VI program Inpres pasar tersebut telah diintegrasikan ke dalam program bantuan pembangunan daerah Dati II. Perkembangan bantuan pembangunan dan pemugaran pasar sejak Repelita II sampai dengan Repelita V dapat diikuti dalam Tabel II.22. Tabel II.21 INPRES KESEHATAN, 1973/74 – 1994/95 1) Puskesmas Puskesmas Puskesmas Doktor/ Rehabilitasi (unit) pembantu keliling paramedis Puskesmas 2) (unit) (unit) (unit) (unit) Obat per jiwa (Rp) Tahun REPELITA I 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 6) 1994/95 Air bersih pedesaan (unit) Jumlah bantuan (miliar Rp) 1 3) - - - - - - - 50 65 65 70 500 500 350 24 300 - 363 241 750 600 338 1.500 823 750 213 10.500 15.500 15.000 20.061 27.900 5,3 15,2 20,8 26,3 26,9 90 150 200 250 250 200 200 200 200 200 750 1.000 2.000 2.000 1.250 125 250 500 500 500 250 250 500 660 660 2.300 2.900 2.500 25.900 28.400 75.700 83.825 94.350 30 50,4 78,8 .80,3 87,3 250 275 325 400 450 100 100 100 3 5 1.500 1.500 1.000 80 80 500 500 200 - 700 500 450 20 150 2.500 2.600 1.600 455 1.200 85.000 90.000 59.325 5.092 8.500 64,6 110,6 107,7 4) 74,0 98,6 450 475 530 600 625 100 200 175 165 125 1.000 1.800 1.500 1.532 1.350 500 600 600 600 720 500 1.000 1.000 1.100 1.200 1.800 3.000 8.493 9.856 10.549 80.000 6.238 8.772 10.200 16.750 122,2 193,4 268,9 320.0 376,6 5) 725 30 500 358 690 3.515 - 393,3 1) Untuk tahun anggaran 1973/74 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan; 2) Termasuk Puskesmas pembantu, Puskesmas perawatan, dan Puskesmas keliling; 3) Rp 2 juta per Puskesmas; 4) Termasuk untuk pelatihan 7.500 orang medis dan paramedis, serta penempatan 8.300 orang medis dan paramedis; 5) Termasuk untuk pendidikan 12.900 orang bidan dan tenaga kesehatan, serta penempatan 17.400 orang bidan dan tenaga kesehatan desa; 6) A P B N. Di samping program bantuan pembangunan dan pemugaran pasar, dalam rangka menjaga kelestarian alam agar dapat memberi manfaat bagi kehidupan manusia, sejak tahun anggaran Departemen Keuangan RI 155 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 1976/77 kepada daerah juga disediakan bantuan pembangunan penghijauan dan reboisasi (Inpres penghijauan dan reboisasi). Pemberian bantuan ini selain dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pelaksanaan kegiatan penghijauan dan reboisasi di daerah-daerah, juga diarahkan ootuk meningkatkan usaha pelestarian sumber-sumber alam, hutan, tanah dan air, terutama di daerahdaerah yang ditinjau dari segi tata air dapat membahayakan kelangsungan pembangunan dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS). Dalam perkembangannya, program bantuan pembangunan penghijauan dan reboisasi tersebut disempurnakan sistem pelaksanaannya, masingmasing untuk program bantuan pembangunan reboisasi dialokasikan kepada Dati I, sedangkan bantuan pembangunan penghijauan dialokasikan kepada Dati II. Melalui program bantuan penghijauan dan reboisasi tersebut diharapkan lahan kritis yang ada dapat dipulihkan kembali, dan di samping itu erosi dan banjir dapat dikendalikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sejak pertama kali dilaksanakannya Inpres ini dalam tahun anggaran 1976/77 hingga akhir Repelita V, jumlahnya senantiasa menunjukkan peningkatan, sejalan dengan kemampuan keuangan negara. Dalam Repelita II, jumlah pengeluaran pembangunan bagi program Inpres penghijauan dan reboisasi mencapai sebesar Rp 76,5 miliar, yang digunakan untuk kegiatan reboisasi di areal seluas 529.484 hektar dan penghijauan di areal seluas 437.194 hektar. Sedangkan dalam Repelita III, jumlah bantuan penghijauan dan reboisasi mencapai sebesar Rp 268,8 miliar, atau naik sekitar 251 persen dari realisasinya dalam Repelita sebelumnya. Melalui dukungan bantuan pembangunan penghijauan danreboisasi dalam periode tersebut telah berhasil dilaksanakan kegiatan reboisasi di areal seluas 529.484 hektar dan penghijauan di areal seluas 168.729.hektar. Selanjutnya dalam Repelita IV, sejalan dengan agak terbatasnya kemampuan keuangan negara, jumlah pengeluaran pembangunan bagi program Inpres penghijauan dan reboisasi hanya mencapai sebesar Rp 167 miliar, yang berarti mengalami penurunan sebesar Rp 101,8 miliar atau sekitar 38 persen dari realisasinya dalam Repelita III. Dengan dukungan anggaran bantuan pembangunan reboisasi dan penghijauan dalam periode Repelita IV tersebut telah berhasil dilaksanakan kegiatan reboisasi di areal seluas 249.226 hektar dan penghijauan di areal seluas 916.194 hektar. Sementara itu sejalan dengan semakin besarnya perhatian terhadap kelestarian lingkungan bagi pembangunan yang berkelanjutan, dalam Repelita V, jumlah pengeluaran pembangunan bagi program Inpres penghijauan dan reboisasi mencapai sebesar Rp 322,4 miliar, atau naik sekitar 93 persen dari realisasinya dalam Repelita IV. Dengan dukungan anggaran bantuan pembangunan reboisasi dan penghijauan tersebut, dalam Repelita V telah Departemen Keuangan RI 156 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 berhasil dilaksanakan kegiatan reboisasi di areal seluas 228.150 hektar dan penghijauan di areal seluas 1.835.000 hektar. Memasuki tahun pertama Repelita VI, dalam rangka meningkatkan otonomi daerah secara nyata, maka program Inpres penghijauan telah diintegrasikan ke dalam program bantuan pembangunan Dati II, sedangkan program Inpres reboisasi diintegrasikan ke dalam program bantuan pembangunan Dati I. Perkembangan bantuan pembangunan penghijauan dan reboisasi sejak Repelita II sampai dengan Repelita V dapat diikuti dalam Tabel II.22. Tabel II.22 INPRES PEMBANGUNAN DAN PEMUGARAN PASAR, INPRES PENGHIJAUAN DAN REBOISASI, DAN BANTUAN PEMBANGUNAN TIMOR TIMUR Tahun REPELITA II 1976/77 1977/78 1978/89 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA VI 1994/95 1976/77 - 1994/95 1) (dalam miliar rupiah) Pembangunan dan Penghijauan dan pemugaran pasar reboisasi Bantuan pembangunan Timor 0,02 1,2 1,2 16 24,5 36 -3,5 4,5 12,4 2,5 6 4,5 10,6 40,8 48,6 70,4 49,6 59,4 6,6 6,4 6,8 5,7 5,2 25,5 4,4 11,5 3 3 61,2 42,5 30,6 16,2 16,5 4,2 6,9 7,3 5,2 - 3 3 2 1,5 4,2 16,2 33,1 74,6 95 103,5 - -- 3) - 2) - Untuk tahun anggaran 1976/77 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan; 2) Dalam APBN 1994/95 bantuan pemugaran pasar kecamatan sebesar Rp 5,0 miliar ditampung dalam Inpres Pembanguan Dati II; 3) Dalam APBN 1994/95 untuk Inpres Penghijauan sebesar Rp 82,5 miliar ditampung dalam Inpres Pembangunan Dati II, dan untuk Inpres Reboisasi sebesar Rp 21,8 miliar ditampung dalam Inpres Pembangunan Dati I. - 1) Departemen Keuangan RI 157 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Program bantuan penunjang jalan kabupaten diberikan sejak tahun anggaran 1979/80, dengan maksud untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan menggairahkan kegiatan ekonomi daerah, memperluas lapangan kerja di daerah, memperlancar arus pengangkutan dan distribusi barang dan jasa, menunjang proyek-proyek di daerah, serta membuka isolasi suatu daerah terhadap daerah yang lain. Bantuan pembangunan penunjang jalan kabupaten tersebut sejak tahun pertama Repelita V diperluas dengan penyediaan bantuan peningkatan jalan Dati I, sehingga dikenal dengan nama bantuan peningkatan jalan Dati II dan Dati I (Inpres peningkatan jalan Dati II dan Dati I). Program bantuan peningkatan jalan Dati II dilaksanakan dengan maksud untuk memperbaiki kondisi dan kemampuan teknis jalan dan jembatan kabupaten dan kotamadya yang disesuaikan dengan pertumbuhan lalu-lintas. Sedangkan program bantuan peningkatan jalan Dati I dimaksudkan untuk menunjang dan memperlancar kegiatan sosial dan ekonomi daerah yang semakin meningkat, meningkatkan kondisi jalan propinsi, termasuk perbaikan dan penggantian jembatan, serta mendukung pembangunan jalan baru atau penunjangan jalan yang ada di daerah potensial di masing-masing propinsi. Melalui penyediaan prasarana jalan dan jembatan yang memperoleh pembiayaan dari dana bantuan tersebut, diharapkan kegiatan ekonomi masyarakat dapat lebih didorong perkembangannya, sehingga pada gilirannya pendapatan masyarakat pedesaan dapat ditingkatkan. Jumlah anggaran yang diberikan didasarkan atas jenis dan volume rencana fisik yang akan dilaksanakan, serta biaya satuan yang ditetapkan untuk suatu kegiatan. Dalam Repelita III, jumlah bantuan pembangunan jalan dan jembatan baru mencapai sebesar Rp 200,7 miliar, yang digunakan untuk membiayai pembangunan jalan dan jembatan masing-masing sepanjang 33.021 kilometer dan sepanjang 62.383 meter. Kemudian dalam Repelita IV ,jumlah pengeluaran pembangunan bagi program Inpres penunjang jalan dan jembatan mencapai sebesar Rp 590,4 miliar, atau naik sekitar 194 persen dari realisasinya dalam Repelita III. Melalui bantuan pembangunan penunjang jalan kabupaten tersebut, dalam periode Repelita IV telah berhasil dilakukan pembangunan jalan sepanjang 39.602 kilometer dan jembatan sepanjang 39.008 meter. Dalam Repelita V, jumlah pengeluaran pembangunan bagi program Inpres peningkatan jalan Dati II dan Dati I mencapai sebesar Rp 4.522,5 miliar, atau naik sekitar 666 persen dari realisasinya dalam Repelita IV. Peningkatan realisasi anggaran Inpres peningkatan jalan yang cukup besar tersebut terutama karena bantuan peningkatan jalan dan jembatan yang semula hanya diberikan kepada Dati II, sejak tahun anggaran 1989/90 (awal Repelita V) juga diberikan kepada Dati I untuk memperbaiki jalan propinsi yang kondisi Departemen Keuangan RI 158 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kerusakannya cukup parah. Melalui bantuan peningkatan jalan Dati II dan Dati I, dalam periode tersebut telah berhasil dilakukan peningkatan jalan di kabupaten/kotamadya dan propinsi sepanjang 67.554 kilometer. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan otonomi daerah secara nyata, maka dalam tahun pertama Repelita VI, program Inpres peningkatan jalan Dati I tersebut telah diintegrasikan ke dalam program bantuan pembangunan daerah Dati I (Inpres Dati I), sedangkan program Inpres peningkatan jalan Dati II diintegrasikan ke dalam program bantuan pembangunan Dati II (Inpres Dati II). Perkembangan bantuan peningkatan jalan dan jembatan sejak Repelita III sampai dengan Repelita V dapat diikuti dalam Tabel II.23. Tabel II.23 INPRES PENINGKATAN JALAN, 1) 1979/80 - 1994/95 Tahun -1 REPELITA III 1979/80 2) Jalan ( km ) Jembatan (m) Jumlah ( miliar Rp ) -2 -3 -4 2.088 3.692 13 1980/81 4.360 4.246 25,9 1981/82 11.466 15.385 54,8 1982/83 7.607 19.660 42,4 1983/84 REPELITA IV 7.500 19.400 64,6 1984/85 7.500 19.050 101,2 1985/86 6.085 2.521 70,1 1986/87 3.905 5.717 74,9 1987/88 5.871 7.320 164,2 16.241 4.400 180 1989/90 6.350 - 294,5 1990/91 12.841 - 679,4 1991/92 17.337 - 971,7 1992/93 15.028 - 1.225,00 1993/94 REPELITA VI 1994/95 3) 15.998 - 1.351,90 - - - 1988/89 REPELITA V 1) Sejak REPELITA V Inpres Penunjang Jalan dan Jembatan disebut sebagai Inpres Peningkatan Jalan; 2) Untuk tahun anggaran 1979/80 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan; 3) Untuk APBN 1994/95 Inpres Peningkalan Jalan Dati II sebesar Rp 967,6 miliar ditampung dalam Inpres Pembangunan Dati II dan Inpres Peningkatan Jalan Dati I Departemen Keuangan RI 159 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Melalui berbagai program pembangunan, baik sektoral maupun regional yang telah dilaksanakan selama periode PJP I, jumlah penduduk miskin telah dapat diturunkan secara dramatik, yaitu dari 70 juta orang dalam tahun 1970 menjadi 25,9 juta orang dalam tahun 1993. Penurunan angka kemiskinan yang sangat dramatik selama periode tersebut, merupakan prestasi yang patut disyukuri. Namun demikian, jumlah penduduk miskin yang masih tersisa dalam tahun 1993 tersebut merupakan tantangan yang cukup besar. Oleh karena itu, dalam Repelita VI dan Repelita-repelita selanjutnya, upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan masih tetap menjadi salah satu prioritas utama dalam program pembangunan nasional, yang dilaksanakan melalui kebijaksanaan di seluruh bidang pembangunan termasuk kebijaksanaan sektoral dan kebijaksanaan regional, secara serasi dan terpadu. Sehubungan dengan hal itu, mulai tahun pertama Repelita VI melalui APBN telah disediakan alokasi bantuan pembangunan bagi desa tertinggal (Inpres desa tertinggal/IDT). Program IDT tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari gerakan nasional dan strategi penanggulangan kemiskinan yang menyeluruh dan terpadu untuk mempercepat perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat/desa tertinggal menuju kondisi ketangguhan, ketahanan, dan kemandirian. Dalam APBN 1994/95, anggaran pembangunan yang disediakan bagi program Inpres desa tertinggal mencapai sebesar Rp 389,3 miliar, yang diberikan kepada 18.321 desa tertinggal, dengan jumlah bantuan untuk masingmasing desa sebesar Rp 20 juta. Dana tersebut diberikan sebagai modal usaha bagi penduduk miskin yang penggunaannya ditentukan oleh penduduk miskin itu sendiri. Di samping itu di dalam program IDT tersebut juga termasuk dana untuk pembinaan, pemantauan dan pendampingan, baik di desa, kecamatan maupun propinsi, serta pemantauan tim pusat. Dengan diterapkannya kebijaksanaan tersebut diharapkan sasaran penurunan jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 12 juta orang, atau 6 persen dari seluruh penduduk Indonesia, pada akhir Repelita VI dapat dicapai. Di samping bantuan pembangunan daerah dalam berbagai bentuk program Inpres, terdapat anggaran pembangunan bagi daerah yang sifatnya bukan bantuan (subsidi), yaitu pembiayaan pembangunan daerah yang sumber dananya berasal dari bagi hasil pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB). Pembiayaan ini pada dasarnya merupakan sumber dana potensial bagi pembiayaan pembangunan daerah, oleh karena adanya karakteristik dasar yang melekat pada bentuk pembiayaan tersebut, yaitu sumber dananya yang berasal dari daerah itu sendiri. Hal ini berarti pemerintah daerah lebih dipacu untuk menggali sumber pendapatan daerah sendiri agar Departemen Keuangan RI 160 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dapat lebih mampu menunjang proyek-proyek potensial di daerah. Dalam rangka desentralisasi dan pemberian otonomi daerah yang lebih luas, maka perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan pembiayaan pembangunan tersebut seluruhnya diserahkan kepada daerah, dan digunakan untuk membiayai pengadaan berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh daerah. Jumlah pembiayaan pembangunan daerah yang berasal dari dana bagi hasil pemungutan PBB tersebut sangat tergantung kepada kemampuan masing-masing daerah di dalam menggali potensi penerimaan PBB di daerahnya. Ini berarti bahwa semakin besar kemampuan daerah di dalam menggali penerimaan PBB, maka semakin besar pula dana yang diperoleh bagi pembiayaan pembangunan daerah yang bersangkutan. Selama PJP I, jumlah anggaran pembiayaan pembangunan daerah yang memakai dana bagi hasil pemungutan PBB senantiasa menunjukkan peningkatan, baik dilihat secara absolut maupun secara relatif. Apabila dalam periode Repelita I dan Repelita II realisasi pembiayaan pembangunan yang dibiayai dari dana iuran pembangunan daerah (Ipeda) masing-masing baru mencapai sebesar Rp 34,7 miliar dan sebesar Rp 220,4 miliar, maka dalam periode Repelita III jumlah pembiayaan pembangunan daerah yang sumber dananya berasal dari dana Ipeda mencapai sebesar Rp 490,7 miliar, atau meningkat sekitar 123 persen dari realisasinya dalam Repelita II. Dalam periode Repelita IV dan periode Repelita V, jumlah pembiayaan pembangunan daerah yang sumber dananya berasal dari dana bagi hasil penerimaan PBB masingmasing mencapai sebesar Rp 1.062,1 miliar dan Rp 3.977,8 miliar, atau mengalami peningkatan masing-masing sekitar 116 persen dan 275 persen dari Repelita sebelumnya. Peningkatan tersebut terutama disebabkan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan meningkatnya objek pajak. Sementara itu dalam APBN 1994/95 pembiayaan pembangunan daerah yang berasal dari dana bagi hasil penerimaan PBB dianggarkan sebesar Rp 1.482,1 miliar, yang berarti sebesar Rp 239,3 miliar atau sekitar 19 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun anggaran 1993/94. Perkembangan bantuan pembangunan daerah dengan dana Ipeda/pajak bumi dan bangunan (PBB) sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.24. Departemen Keuangan RI 161 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel II.24 BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH IPEDA/PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, 1972/73 - 1994/95 1) Jumlah Bantuan Persentase (miliar rupiah) kenaikan Tahun REPELITA I 1972/73 1973/74 REPELITA II 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 REPELITA III 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 REPELITA IV 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 REPELITA V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 REPELITA V 1994/95 2) 15,2 19,5 28,3 28 34,6 42,2 52,5 63,1 43,6 23,6 22 24,4 20,2 71,4 87,2 94,5 105,2 132,4 13,2 22,1 8,4 11,3 25,9 157,2 167,5 171 222,8 343,6 18,7 6,6 2,1 30,3 54,2 478,2 656,9 708,4 891,5 1.242,80 39,2 37,4 7,8 25,8 39,4 1.482,10 19,3 1) Untuk tahun anggaran 1972/73 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan; 2) APBN. 2.2.6.2.3. Pengeluaran pembangunan lainnya Anggaran belanja pembangunan rupiah mencakup pula pembiayaan pembangunan lainnya, yang jumlahnya sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI sangat ditentukan oleh kemampuan keuangan negara dan kebutuhan pembangunan yang mendesak. Dalam Repelita I, jumlah keseluruhan pembiayaan pembangunan lainnya mencapai sebesar Rp 142,9 miliar, yang kemudian seiring dengan meningkatnya kemampuan keuangan negara dan banyaknya program pembiayaan pembangunan yang mendesak dan perlu memperoleh penanganan dalam masa itu, mengakibatkan alokasi anggaran pembangunan bagi pembiayaan berbagai program pembangunan lainnya menunjukkan peningkatan, yaitu masing-masing menjadi sebesar Rp 1.692,9 miliar dalam Repelita II, sebesar Rp 5.679,9 miliar dalam Repelita III, dan sebesar Rp 6.292,5 miliar dalam Repelita IV. Selanjutnya dalam Repelita V, seiring Departemen Keuangan RI 162 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dengan terbatasnya dana pembangunan, maka guna meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran negara, jumlah pengeluaran pembangunan lainnya hanya mencapai sebesar Rp 5.996,4 miliar, yang berarti sebesar Rp 296,1 miliar atau sekitar 5 persen lebih rendah dari jumlahnya dalam Repelita IV. Dalam APBN 1994/95, pembiayaan pembangunan lainnya dianggarkan sebesar Rp 618,3 miliar, yang berarti Rp 575,7 miliar atau sekitar 48 persen lebih rendah dari realisasinya sebesar Rp 1.194 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Alokasi anggaran pembangunan lainnya tersebut disediakan untuk subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah (PMP), dan pembiayaan lain-lain pembangunan (LLP). Kebijaksanaan pemberian subsidi pupuk terutama dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan harga pupuk dan pestisida agar tetap dalam jangkauan daya beli petani, sehingga dapat menunjang atau merangsang petani untuk meningkatkan produksi pertaniannya, khususnya beras. Besarnya subsidi pupuk tersebut dipengaruhi oleh jenis dan kuantitas pupuk yang dibutuhkan, harga eceran yang berlaku di pasaran, harga pembelian pemerintah, dan biaya distribusinya. Seiring dengan upaya untuk mewujudkan swasembada pangan, khususnya beras, sejak Repelita I hingga Repelita IV jumlah keseluruhan subsidi pupuk senantiasa mengalami peningkatan. Dalam Repelita I, guna menunjang upaya peningkatan produksi pangan, khususnya beras, serta menjaga kestabilan harga pangan, jumlah anggaran pembangunan yang harus disediakan bagi subsidi pupuk mencapai sebesar Rp 43,6 miliar. Selanjutnya sejalan dengan makin meningkatnya harga pupuk impor di pasaran internasional, serta didorong oleh makin meningkatnya jumlah pupuk yang harus diimpor/ untuk memenuhi penyediaan pupuk dalam musim-musim berikutnya, maka dalam Repelita II jumlah realisasi subsidi pupuk mencapai sebesar Rp 583,4 miliar, atau mengalami peningkatan sekitar 13 kali lipat dari realisasinya dalam Repelita I. Dalam periode Repelita III dan Repelita IV, jumlah subsidi pupuk tersebut mengalami peningkatan lagi, sehingga masing-masing menjadi sebesar Rp 1.524,3 miliar dan sebesar Rp 2.632,4 miliar. Dalam Repelita V, dalam rangka meningkatkan efisiensi beban anggaran negara, dan sejalan dengan penerapan kebijaksanaan kenaikan harga dasar gabah, harga pupuk, dan harga pestisida, jumlah realisasi subsidi pupuk menjadi sebesar Rp 1.284,1 miliar, atau mengalami penurunan sekitar 51 persen dari jumlahnya dalam Repelita IV. Selain daripada itu penerapan kebijaksanaan kenaikan harga pupuk bersamaan dengan kenaikan harga dasar gabah dan harga pestisida tersebut mengakibatkan sejak akhir PJP I pemberian subsidi pupuk bagi jenis pupuk KCL, KS, ZK, dan KNO3 telah dapat dihapuskan. Kebijaksanaan kenaikan harga pupuk tersebut dilandasi oleh Departemen Keuangan RI 163 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pertimbangan bahwa penghasilan petani sebagai akibat dari kebijaksanaan kenaikan harga gabah semakin membaik, dana negara semakin terbatas sehingga bebannya perlu diturunkan, serta efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk oleh petani perlu ditingkatkan. Selanjutnya dalam rangka mengurangi secara bertahap besarnya subsidi pupuk, dalam bulan Oktober 1994 kembali ditempuh kebijaksanaan kenaikan harga pupuk bersamaan dengan kebijaksanaan kenaikan harga dasar gabah yang mulai diberlakukan dalam bulan Januari 1995. Kebijaksanaan kenaikan harga pupuk tersebut mencakup kenaikan harga pupuk jenis ZA sebesar 13,5 persen, yaitu dari Rp 260 per kilogram menjadi Rp 295 per kilogram, dan pupuk jenis TSP sebesar 41,2 persen, yaitu dari Rp 340 per kilogram menjadi Rp 480 per kilogram. Dengan kebijaksanaan kenaikan harga pupuk tersebut, maka pemberian subsidi pupuk bagi pupuk jenis ZA dan TSP sejak tahun anggaran 1994/95 telah dihapuskan. Sementara itu untuk jenis pupuk urea masih tetap diberikan subsidi, sehingga harganya tidak mengalami perubahan, yaitu tetap seharga Rp 260 per kilogram. Namun demikian, sampai saat ini penyediaan anggaran subsidi pupuk masih dipandang perlu, sehingga walaupun dalam jumlah yang terbatas, dalam APBN 1994/95 alokasi pembiayaan bagi subsidi pupuk dianggarkan mencapai sebesar Rp 175 miliar, yang berarti tidak mengalami perubahan dari tahun anggaran sebelumnya. Selain daripada subsidi pupuk, dalam pembiayaan pembangunan lainnya termasuk pula pembiayaan bagi program penyertaan modal pemerintah (PMP), yang diberikan secara selektif kepada berbagai institusi dan badan usaha milik negara (BUMN), terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak, berprioritas tinggi dan bersifat strategis dalam pembangunan, untuk menunjang pengembangan dunia usaha nasional agar dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Penyertaan modal oleh pemerintah dalam berbagai badan usaha milik negara tersebut dilakukan sejak Repelita I. Dalam Repelita I, jumlah anggaran pembangunan program PMP mencapai sebesar Rp 78,9 miliar, yang dialokasikan antara lain untuk menunjang pelaksanaan proyek-proyek yang dilakukan oleh Pemerintah di berbagai sektor prioritas. Kemudian, sejalan dengan upaya untuk mempercepat laju pembangunan ekonomi, maka dalam Repelita II alokasi anggaran pembangunan bagi program PMP tersebut ditingkatkan menjadi sebesar Rp 713,1 miliar. Dana PMP tersebut dialokasikan antara lain untuk pemberian bantuan permodalan kepada beberapa badan usaha milik negara, pembiayaan cadangan nasional dalam pengadaan bahanbahan kebutuhan pokok, serta penambahan fasilitas penyimpanannya. Dalam Repelita III, untuk mempercepat pengembangan dunia usaha, khususnya usaha negara, dengan meningkatkan Departemen Keuangan RI 164 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 permodalan badan usaha milik negara dan proyek strategis lainnya, alokasi anggaran pembangunan bagi program PMP mencapai sebesar Rp 2.138,5 miliar, atau naik sekitar 200 persen dari realisasinya dalam Repelita II. Peningkatan dana PMP yang cukup besar tersebut antara lain dialokasikan bagi pembiayaan pembangunan kilang minyak Cilacap, Balikpapan dan Dumai, pabrik pupuk Asean, PT Inalum, dan Perum Perumnas. Selanjutnya untuk mendorong pengelolaan BUMN secara lebih profesional, efisien, dan mandiri dalam pembiayaan investasinya, alokasi anggaran bagi PMP hanya diberikan sebagai sumber dana terakhir, baik sebagai tambahan modal kerja ataupun sebagai pembiayaan investasinya. Ini berarti bahwa setiap BUMN yang akan mengajukan permintaan dana PMP diharuskan untuk mengusahakan terlebih dahulu kebutuhan pembiayaannya dari dana yang terkumpul dari usaha perusahaannya sendiri, kredit sektor perbankan, atau pinjaman luar negeri yang diteruskan oleh pemerintah melalui lembaga perbankan (two-step-loan). Oleh karena itu, mengingat kemampuan keuangan negara yang makin terbatas, maka dalam rangka meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran negara yang makin terbatas, jumlah alokasi anggaran pembangunan bagi program PMP dalam Repelita IV hanya mencapai sebesar Rp 1.016,7 miliar, atau mengalami penurunan sekitar 53 persen dari jumlahnya dalam Repelita III. Jumlah anggaran pembangunan bagi program PMP dalam periode tersebut dialokasikan antara lain untuk proyek otorita pengembangan industri pulau Batam, BTN/KPR Perumnas, PT PAL Indonesia, serta PT INKA. Dalam Repelita V, sejalan dengan dukungan keuangan negara, jumlah anggaran pembangunan bagi program PMP mencapai sebesar Rp 1.210 miliar, atau mengalami peningkatan sekitar 19 persen jika dibandingkan dengan jumlahnya dalam Repelita IV. Anggaran pembangunan bagi program PMP dalam periode tersebut antara lain dialokasikan bagi pembinaan dan pengembangan perbankan, serta pembinaan dan pengembangan industri strategis. Demikian pula dalam tahun pertama Repelita VI, dana pembiayaan bagi program PMP dianggarkan sebesar Rp 50 miliar, atau sekitar 60 persen lebih rendah dari realisasinya sebesar Rp 126,1 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Anggaran yang disediakan bagi program PMP tetsebut digunakan untuk pembiayaan penyediaan perumahan rakyat (KPR-BTN), pembinaan dan pengembangan industri strategis, serta untuk iuran pemerintah kepada organisasi internasional. Di samping untuk subsidi pupuk dan PMP, pengeluaran pembangunan lainnya juga mencakup pembiayaan lain-lainnya, yaitu untuk menampung berbagai program pemerintah yang tidak tercakup dalam pembiayaan departemen dan pembiayaan daerah. Program pembiayaan lainDepartemen Keuangan RI 165 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 lain pembangunan (LLP) tersebut sejak Repelita I penyediaan dananya disesuaikan dengan kebutuhan yang paling mendesak dan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara. Dalam Repelita I, jumlah keseluruhan pengeluaran pembangunan bagi program LLP mencapai sebesar Rp 20,4 miliar, yang ditujukan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan, antara lain proyek sensus penduduk, proyek keluarga berencana, serta proyek peningkatan data-data statistik. Kemudian, sejalan dengan upaya untuk mendorong laju pertumbuhan dan pelaksanaan berbagai program pemerintah, dalam Repelita II jumlah realisasi pengeluaran pembangunan bagi program LLP mencapai sebesar Rp 396,4 miliar, atau naik sekitar 19 kali lipat dari realisasinya dalam Repelita I. Anggaran pembangunan bagi program LLP dalam periode tersebut digunakan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan, antara lain proyek peningkatan tenaga listrik, proyek keluarga berencana, proyek perumahan rakyat, proyek sensus industri dan pertanian, serta proyek lembaga jaminan kredit dan koperasi. Sedangkan dalam Repelita III, jumlah realisasi pengeluaran pembangunan bagi program LLP mencapai sebesar Rp 2.017,1 miliar, atau naik sekitar 409 persen dari realisasinya dalam Repelita II. Anggaran pembangunan bagi program LLP dalam periode tersebut antara lain disediakan antara lain untuk mendukung pembiayaan proyek keluarga berencana, proyek pengembangan statistik, dan proyek penyediaan air bersih. Selanjutnya dalam periode Repelita IV, jumlah realisasi pengeluaran pembangunan bagi program LLP mencapai sebesar Rp 2.643,4 miliar, atau naik sekitar 31 persen dari realisasinya dalam Repelita III. Anggaran pembangunan bagi program LLP dalam periode tersebut dimanfaatkan antara lain untuk membiayai berbagai proyek, antara lain proyek keluarga berencana, proyek pengembangan statistik dan sensus, proyek perumahan rakyat, serta proyek air minum. Dalam Repelita V, jumlah realisasi pengeluaran pembangunan bagi program LLP tersebut mencapai sebesar Rp 3.502,3 miliar, yang berarti Rp 858,9 miliar atau sekitar 32 persen lebih tinggi dari jumlahnya dalam Repelita IV. Anggaran pembangunan bagi program LLP dalam periode tersebut dialokasikan antara lain untuk membiayai proyek air rninum, proyek pengembangan statistik dan sensus, proyek pengadaan prasarana bis kota, serta proyek keluarga berencana. Memasuki tahun pertama Repelita VI, pengeluaran pembangunan bagi program LLP dianggarkan sebesar Rp 393,3 miliar, yang berarti Rp 409,4 miliar atau sekitar 51 persen lebih rendah dari realisasinya sebesar Rp 802,7 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Anggaran pembangunan bagi program LLP dalam tahun anggaran tersebut disediakan untuk membiayai berbagai proyek, antara lain proyek penyediaan subsidi benih, proyek pengadaan air bersih perkotaan, serta proyek Departemen Keuangan RI 166 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 penyehatan lingkungan permukiman. Perkembangan pengeluaran pembangunan laiIinya sejak tahun anggaran 1969/70 sampai dengan tahun anggaran 1994/95 dapat diikuti dalam Tabel II.25 Departemen Keuangan RI 167 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel II.25 PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN LAINNYA 1) 1969/70 -1994/95 (dalam miliar rupiah) Tahun Subsidi pupuk Penyertaan modal Pemerintah Lain-lain pembangunan REPELITA I 1969/70 - 7,6 - 1970/71 9,6 1 1,8 1971/72 1 7 3 1972/73 - 22,5 5,6 33 40,8 10 1974/75 227,2 91,1 67,7 1975/76 134,5 108,7 64 1973/74 REPELITA II 1976/77 107,3 217,9 79,8 1977/78 31,8 166,9 109,8 1978/79 REPELITA III 82,6 128,5 75,1 1979/80 125 252,8 290,9 1980/81 283,6 476,5 385,5 1981/82 371,4 480,9 565,3 1982/83 420,1 336,6 326,7 1983/84 REPELITA IV 324,2 591,7 448,7 1984/85 731,6 336,1 474,9 1985/86 477,1 412,3 511,2 1986/87 467,3 85,9 514,1 1987/88 756,4 57,4 514,5 200 125 628,7 1989/90 277,8 140,8 764,7 1990/91 264,7 322,8 505,3 1991/92 301,4 470,3 722,1 1992/93 175 150 707,5 265,2 126,1 802,7 1988/89 REPELITA V 1993/94 REPELITA VI 1994/95 2) 393,3 50 1) Untuk tahun anggaran 1969/70 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan; 2) APBN. Departemen Keuangan RI 175 168 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 2.2.6.2.4. Pembiayaan pembangunan bantuan proyek Anggaran pembangunan dalam bentuk bantuan proyek hanya dimanfaatkan sebagai sumber pelengkap bagi pembiayaan pembangunan rupiah dan disediakan untuk membiayai proyekproyek produktif, yang memberikan dampak sebesar-besarnya bagi upaya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat di berbagai sektor dan subsektor. Sesuai dengan prioritas pembangunan, anggaran pembangunan bantuan proyek digunakan terutama untuk penyediaan prasarana dan sarana ekonomi, pengembangan dan penerapan teknologi, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sangat diperlukan bagi pembangunan. Realisasi pengeluaran pembangunan dalam bentuk bantuan proyek menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan jumlah penarikan pinjaman luar negeri serta nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Apabila dalam Repelita I jumlah keseluruhan nilai bantuan proyek mencapai sebesar Rp 288,3 miliar, maka seiring dengan meningkatnya cakupan sektor pembangunan, dalam Repelita II nilai pengeluaran pembangunan dalam bentuk bantuan proyek meningkat menjadi sebesar Rp 3.165,8 miliar, atau naik sekitar 11 kali lipat dari realisasinya dalam Repelita I. Selanjutnya dalam Repelita III, jumlah realisasi pengeluaran pembangunan dalam bentuk bantuan Tabel 11.30 (lanjutan) Nomor Kode -1 15 15.1 15.2 16 16.2 16.3 16.5 16.6 17 17.1 17.2 18 18.1 18.2 19 19.1 19.2 19.3 20 20.2 20.3 Sektor/Subsektor -2 SEKTOR AGAMA Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI Subsektor IImu Pengetahuan Terapan dan Dasar Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana Iimu Pengetahuan dan Teknologi Subsektor Kedirgantaraan Subsektor Sistem Informasi dan Statistik SEKTOR HUKUM Subsektor Pembinaan Hukum Nasional Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN Subsektor Aparatur Negara Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA Subsektor Politik Subsektor Hubungan Luar Negeri Subsektor Penerangan, Komunikasi dan Media Massa SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN Subsektor ABRI Subsektor Pendukung Jumlah Keseluruhan Departemen Keuangan RI APBN RAPBN ∆ % thd. 1994/95 1995/96 APBN -3 -4 -5 720,7 834,2 15,7 105,7 117,4 11,1 615 716,8 16,6 201 241,3 20 133,6 160 19,8 18,4 22,1 20,1 0,9 1,1 22,2 48,1 58,1 20,8 428 502,1 17,3 380 437,9 15,2 48 64,2 33,8 2.213,00 2.582,80 16,7 2,064,9 2.404,70 16,5 148,1 178,1 20,3 797,3 46,8 551 199,5 3.853,50 3.853,40 0,1 42.350,80 1.005,60 57,9 709,9 237,8 4.586,90 4.586,70 0,2 47.240,70 26,1 23,7 28,8 19,2 19 19 100 11,5 169 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pembangunan dalam tahun kedua Repelita VI diperkirakan akan meningkat. Dalam upaya menumbuhkan sikap kemandirian masyarakat Indonesia, sebagaimana yang telah digariskan dalam GBHN 1993, tersedianya dana pembangunan yang cukup memadai guna menampung seluruh kegiatan pembangunan tersebut perlu ditunjang dengan meningkatnya peranserta masyarakat. Sejalan dengan itu, penyediaan dana pembangunan senantiasa diupayakan agar lebih bertumpu pada sumber yang berasal dari dalam negeri. Melalui peningkatan penerimaan dalam negeri, terutama yang bersumber dari penerimaan di luar migas yang diiringi dengan upaya pengendalian pemanfaatan dana pada jumlah yang tersedia, tabungan pemerintah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan senantiasa diupayakan meningkat. Mengingat pertumbuhan penerimaan pajak lebih stabil dan dapat diandalkan, serta tidak mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, upaya peningkatan penerimaan di luar migas terutama diupayakan melalui peningkatan penerimaan pajak. Sementara itu pengendalian penggunaan dana untuk keperluan rutin diupayakan dengan tidak mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas-tugas rutin pemerintahan dan pemeliharaan terhadap hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Berdasarkan upaya-upaya yang akan dilakukan tersebut, dalam RAPBN 1995/96 penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai sebesar Rp 66.265,2 miliar, sedangkan pengeluaran rutin diperkirakan mencapai sebesar Rp 47.240,7 miliar, akan masing-masing menunjukkan peningkatan sebesar 10,9 persen dan 11,5 persen dari perkiraannya dalam APBN tahun sebelumnya. Dengan demikian, tabungan pemerintah yang dapat dihimpun dalam RAPBN 1995/96 diperkirakan mencapai sebesar Rp 19.024,5 miliar, akan 9,4 persen lebih tinggi dari perkiraan tabungan pemerintah dalam APBN 1994/95. Dengan rencana tabungan pemerintah tersebut, berarti dari kebutuhan dana pembangunan dalam tahun anggaran 1995/96 sebesar Rp 30.783,5 miliar, sebesar 61,8 persen dari kebutuhan dana pembangunan tersebut akan dapat dipenuhi dari sumber dana dalam negeri, sedangkan sisanya sebesar 38,2 persen masih akan dibiayai dengan sumber dana yang diperoleh dari luar negeri. 2.3.6. Pengeluaran Pembangunan Sebagai rencana pembiayaan investasi sektor pemerintah tahun kedua Repelita VI, anggaran belanja pembangunan tahun anggaran 1995/96 disusun berdasarkan kerangka acuan dan Departemen Keuangan RI 170 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 skala prioritas yang ditetapkan dalam Repelita VI, dengan mempertimbangkan kemampuan penyediaan dana pembangunan, baik yang berasal dari sumber-sumber dalam negeri, yaitu tabungan pemerintah, maupun yang berasal dari sumber-sumber luar negeri berupa penerimaan pembangunan. Penyusunan rencana anggaran belanja pembangunan tersebut sejauh mungkin diupayakan untuk mengakomodasikan aspirasi rakyat sebagaimana tercermin dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, dan diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan tahun kedua rencana pembangunan lima tahun keenam (Repelita VI). Sejalan dengan amanat GBHN dan Repelita VI yang menempatkan manusia sebagai titik pusat dari segenap upaya pembangunan, maka dalam RAPBN 1995/96 kebijaksanaan anggaran belanja pembangunan akan lebih diarahkan untuk menunjang upaya pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan, mendorong berkembangnya potensi masyarakat dan dunia usaha agar dapat meningkatkan peranannya dalam kegiatan pembangunan, serta mendukung upaya pelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sasaran-sasaran pokok kebijaksanaan pengeluaran pembangunan tersebut akan diupayakan pencapaiannya dengan tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluroh rakyat Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang schar dan dinamis. Pemerataan pembangunan, sebagai wujud pelaksanaan demokrasi ekonomi, memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga masyarakat di seluruh tanah air untuk menyumbangkan karyanya dengan sekaligus memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, serta mengembangkan kegiatan di semua aspek kehidupan. Upaya untuk meningkatkan pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan juga bertujuan menunjang upaya mewujudkan perekonomian nasional yang mandiri dan andal, serta mampu mengatasi ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial, pengan pembangunan yang makin merata, maka kesenjangan antar daerah, antar sektor, dan antar golongan ekonomi akan makin mengecil, sehingga semua anggota masyarakat diharapkan akan dapat makin berperanserta dalam pembangunan. Keberhasilan dalam pemerataan pembangunan merupakan modal utama dalam upaya bangsa meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan petekonomian rakyat, memperkukuh kesetiakawanan sosial, serta menanggulangi kemiskinan. Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi Departemen Keuangan RI 171 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 diperlukan untuk menggerakkan dan memacu pembangunan di berbagai bidang pembangunan, dan sekaligus sebagai kekuatan utama untuk dapaf memberi kesempatan yang lebih besar kepada rakyat untuk berperanserta secara aktif dalam pembangunan dengan tetap dijiwai oleh semangat kekeluargaan. Sedangkan stabilitas nasional yang schat dan dinamis diperlukan sebagai prasyarat bagi kelancaran pelaksanaan pembangunan, yang akan membuka kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi terselenggaranya pemerataan yang berkeadilan sosial. Dalam rangka menunjang upaya pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, melalui anggaran belanja pembangunan akan diupayakan antara lain peningkatan mutu dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, penyediaan sarana peribadatan dan pembinaan keagamaan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, peningkatan derajat dan perluasan jangkauan pelayanan kesehatan masyarakat, peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, serta perluasan pemerataan memperoleh pelayanan sosial, terutama bagi golongan masyarakat yang berkemampuan ekonomi lemah. Sementara itu guna mendorong berkembangnya potensi masyarakat dan dunia usaha, maka dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan peranserta masyarakat dalam kegiatan pembangunan, melalui anggaran belanja pembangunan akan diupayakan peningkatan kemampuan usaha kecil, menengah, dan koperasi, dengan antara lain memberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan pemerintah. Sejalan dengan itu, diupayakan pula untuk lebih mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri dalam setiap pengadaan barang dan jasa kebutuhan departemen/lembaga negara. Selanjutnya guna mempercepat upaya pengentasan kemiskinan, mempersempit kesenjangan pendapatan antar golongan masyarakat, serta menumbuhkan kemampuan perekonomian rakyat, program bantuan pembangunan desa tertinggal (IDT) sebagai bagian integral dari gerakan nasional penanggulangan kemiskinan akan terus dilanjutkan, lebih disempurnakan, dan semakin ditingkatkan keterpaduan dan intensitas pelaksanaannya. Melalui kebijaksanaan pemberian modal kerja untuk membangun dan mengembangkan kemampuannya, penduduk miskin yang tersebar di desa-desa tertinggal diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya secara mandiri. Demikian pula pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional akan diupayakan semakin dipacu dan ditingkatkan secara lebih merata, dengan memberikan perhatian khusus pada kawasan timur Indonesia, daerah transmigrasi, daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya, yang disesuaikan dengan Departemen Keuangan RI 172 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 prioritas dan potensi daerah yang bersangkutan, dengan senantiasa memperhatikan pertimbangan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sedangkan dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, melalui anggaran pembangunan akan diupayakan antara lain penyuluhan dan penerangan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap arti pentingnya peranan lingkungan hidup bagi kelangsungan kehidupan, pendayagunaan dan pengelolaan lingkungan hidup secara optimal dan lestari, serta pengembangan pola tata ruang yang sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan. Selanjutnya dalam rangka menunjang peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, melalui anggaran pembangunan akan diupayakan penyediaan infrastruktur yang makin luas dan efisien, yang disertai dengan peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), termasuk peningkatan kemampuan inovasi, rancang bangun, dan rekayasa. Untuk menunjang tercapainya sasaran-sasaran program pembangunan sektor pemerintah tahun kedua Repelita VI tersebut di atas, dan sekaligus memelihara serta mempertahankan kesinambungan momentum pembangunan yang telah dicapai selama ini, maka dalam RAPBN 1995/96 anggaran belanja pembangunan direncanakan sebesar Rp 30.783,5 miliar, yang berarti sebesar Rp 3.385,2 miliar atau 12,4 persen lebih tinggi apabila dibandingkan dengan anggaran belanja pembangunan dalam APBN 1994/95. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembiayaan investasi sektor pemerintah, anggaran belanja pembangunan tersebut akan diupayakan alokasi pemanfaatannya secara optimal untuk menunjang/kegiatan-kegiatan yang memang tidak dibiayai oleh masyarakat dan dunia usaha. Sedangkan prioritas alokasinya akan semakin dipertajam dan diarahkan terutama untuk penyelesaian proyek-proyek yang sedang berjalan, penyediaan dana rupiah pendamping bagi proyek-proyek yang berbantuan luar negeri, serta penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan bagi proyek-proyek yang telah diselesaikan pembangunannya. Sementara itu pembiayaan bagi proyek-proyek pembangunan baru, diprioritaskan pada proyek-proyek produktif yang berdampak luas bagi usaha peningkatan kesejahteraan dan kecerdasan rakyat, peningkatan kegiatan-kegiatan ekonomi yang berorientasi pada pemerataan, penciptaan lapangan kerja dan perluasan kesempatan berusaha, serta kegiatankegiatan yang dapat membantu upaya pelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup. Keseluruhan rencana alokasi pengeluaran pembangunan, baik menurut sektor dan subsektor, maupun berdasarkan jenis pembiayaan, secara lebih terinci dapat diikuti dalam uraian berikut. Departemen Keuangan RI 173 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 2.3.6.1. Pengeluaran pembangunan berdasarkan sektor dan subsektor Mengacu kepada arah kebijaksanaan keuangan negara yang ditetapkan dalam Repelita VI, rencana alokasi anggaran belanja pembangunan dalam RAPBN 1995/96 diarahkan terutama untuk menunjang pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi, dengan memberikan aksentuasi kepada pembangunan daerah dalam rangka pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan, serta pembangunan prasarana dan sarana dasar untuk mendukung pembangunan ekonomi. Pemberian prioritas alokasi anggaran pada pembangunan daerah selain dimaksudkan untuk memperluas peningkatan otonomi daerah yang semakin nyata, dinamis dan bertanggung jawab, sekaligus juga piarahkan untuk mempersempit kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah, antara perkotaan dan perdesaan, serta antar kawasan, terutama antara kawasan timur Indonesia (KTI) dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, dan mempercepat pengentasan kemiskinan, khususnya di desa-desa tertinggal, daerah terpencil, serta daerah perbatasan. Sedangkan pengutamaan alokasi anggaran pembangunan pada pengembangan prasarana dan sarana ekonomi, seperti perhubungan dan transportasi, pos dan, telekomunikasi, penyediaan energi, serta pengairan, yang mendukung pembangunan sektor-sektor prioritas di bidang ekonomi, selain akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga mendukung upaya pemerataan pembangunan. Selanjutnya sesuai dengan arahan GBHN 1993 dan Repelita VI, di samping pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian, prioritas pembangunan juga diletakkan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sehubungan dengan itu, dalam rangka peningkatan kualitas, harkat dan martabat manusia, dalam RAPBN 1995/96 prioritas alokasi anggaran pembangunan juga diarahkan untuk menunjang upaya pengembangan sumber daya manusia, dengan memberi penekanan pada sektor tenaga kerja, sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepereayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga, sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja, sektor ilmu pengetahuan dan teknologi, Berta sektor agama. Dalam kaitannya dengan peningkatan pemerataan pembangunan, upaya pengembangan sumber daya manusia tersebut diletakkan dalam kerangka penyediaan fasilitas pelayanan dasar kepada masyarakat, dengan memberikan perhatian yang lebih besar kepada segi-segi yang langsung menyentuh kehidupan rakyat banyak, seperti pengembangan keahlian, keterampilan, kemampuan dan produktivitas masyarakat yang kurang beruntung. Sedangkan dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan Departemen Keuangan RI 174 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 berwawasan lingkungan, alokasi anggaran pembangunan juga diarahkan untuk menunjang terpeliharanya kelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup, sehingga memberi manfaat, baik bagi generasi masa kini maupun generasi masa depan, dalam membangun perekonomian yang makin mandiri dan andal. Dalam RAPBN 1995/96 alokasi anggaran pembangunan sektor pembangunan daerah dan transmigrasi direncanakan sebesar Rp 6.139,2 miliar, yang berarti sebesar Rp 634,9 miliar atau 11,5 persen lebih tinggi dan anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Dalam rangka lebih mengembangkan dan memacu pembangunan daerah, memperluas peranserta. masyarakat dalam pengembangan dem pemanfaatan potensi daerah, meningkatkan pemerataan hasil-hasil pembangunan, serta memperluas penyebaran penduduk dan tenaga kerja ke berbagai wilayah tanah air, anggaran pembangunan sektor tersebut direncanakan alokasinya untuk subsektor pembangunan daerah sebesar Rp 5.113,5 miliar serta subsektor transmigrasi dan pemukiman perambah hutan sebesar Rp 1.025,7 miliar. Di subsektor pembangunan daerah, guna menunjang upaya peningkatan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, meningkatkan keserasian laju pertumbuhan antar daerah, meningkatkan keterpaduan pembangunan sektoral dan pembangunan daerah, meningkatkan pelayanan masyarakat, serta memantapkan penataan ruang dalam pembangunan daerah, anggaran pembangunan akan dialokasikan untuk program pembangunan desa sebesar Rp 466,5 miliar, program pembangunan daerah tingkat II sebesar Rp 2.614,3 miliar, program pembangunan daerah tingkat I sebesar Rp 1.126,2 miliar, program pembangunan desa tertinggal sebesar Rp 817,2 miliar, serta program pengembangan kawasan khusus sebesar Rp 89,3 miliar. Melalui program pembangunan desa, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pemberian bantuan bagi pengembangan potensi masyarakat desa sebesar Rp 386,2 miliar, serta berbagai bantuan penunjang, yang meliputi bantuan pengembangan usaha ekonomi desa sebesar Rp 12.669 juta, bantuan pemantauan unit daerah kerja pembangunan (UDKP) sebesar Rp 6.175 juta, dan bantuan peningkatan peranserta masyarakat sebesar Rp 9.655 juta. Bantuan pembangunan desa tersebut akan dialokasikan kepada 64.367 desa, dengan jumlah bantuan setiap desa sebesar Rp 6,0 juta. Dalam rangka memperluas jangkauan pelayanan dasar dan mengembangkan kegiatan perekonomian desa, bantuan pembangunan desa akan diarahkan pemanfaatannya untuk meningkatkan penyediaan prasarana dan sarana sosial ekonomi desa, Departemen Keuangan RI 175 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 seperti prasarana perhubungan, prasarana dan sarana kesehatan, air bersih, dan sanitasi permukiman. Selain daripada itu guna mengembangkan kemampuan sosial ekonomi masyarakat desa, bantuan yang sama juga diarahkan untuk menunjang upaya peningkatan kegiatan usaha, keterampilan dan kemampuan masyarakat desa, baik melalui pelatihan dan pembimbingan maupun melalui penyuluhan kepada masyarakat, untuk mendorong proses modernisasi kehidupan masyarakat di pedesaan. Sementara itu guna mempercepat proses transformasi ekonomi di daerah perdesaan, dalam bantuan yang sama akan diupayakan penyiapan masyarakat dalam penguasaan dan penerapan teknologi melalui proyek pemasyarakatan dan pemanfaatan teknologi tepat guna di perdesaan. Selanjutnya guna mengembangkan kesadaran masyarakat untuk senantiasa menjaga kelestarian lingkungan hidup, dalam program yang sama direncanakan antara lain proyek pembinaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan permukiman. Dalam rangka meningkatkan kemampuan aparatur pemerintahan desa, melalui program serupa akan diupayakan pelatihan manajemen pembangunan, sedangkan untuk memperkuat kelembagaan masyarakat desa akan diupayakan pemantapan fungsi dan peran lembaga masyarakat desa, seperti lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD), kader pembangunan desa (KPD), kader konservasi, dan kelompok pelestarian sumber daya alam (KPSA). Demikian pula bagi pengembangan perekonomian di daerah tingkat II, dalam program yang sama direncanakan alokasi bantuan pembangunan dan pemugaran pasar kecamatan sebesar Rp 6,0 miliar bagi penyediaan pasar dan fasilitas perdagangan di kota-kota kecamatan terpilih di luar pulau Jawa dan Bali. Selanjutnya untuk menunjang peningkatan prasarana dan sarana perhubungan multimoda di daerah tingkat II, juga disediakan bantuan pembangunan peningkatan jalan Dati II yang seluruhnya berjumlah sebesar Rp 997,6 miliar, antara lain untuk perluasan dan peningkatan jaringan jalan serta rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan jalan di daerah tingkat II. Sementara itu anggaran pembangunan bagi daerah tingkat I direncanakan alokasinya antara lain untuk pemberian bantuan pembangunan daerah tingkat I (Inpres Dati I) sebesar Rp 790,2 miliar, bantuan peningkatan jalan propinsi sebesar Rp 430,6 miliar, bantuan reboisasi sebesar Rp 22,8 miliar, bantuan biaya operasi dan pemeliharaan pengairan/irigasi sebesar Rp 29,7 miliar, dan bantuan perencanaan, pemantauan dan pengawasan sebesar Rp 3,8 miliar sehingga seluruhnya berjumlah Rp 1.277,1 miliar. Di samping itu terdapat alokasi bagian PBB untuk Dati I sebesar Rp 311,5 miliar. Dalam bentuk Inpres Dati I, masing-masing propinsi akan memperoleh bantuan dasar Departemen Keuangan RI 176 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebesar Rp 25,0 miliar serta bantuan atas dasar luas wilayah daratan sebesar Rp 60,0 ribu per kilometer persegi. Untuk mendayagunakan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah, dengan bantuan pembangunan Dati I direncanakan antara lain penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keterarnpilan bagi aparatur pemerintah daerah tingkat I untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan, pendayagunaan fungsi kelembagaan pemerintah daerah tingkat I, pengembangan sistem perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian manajemen pemerintah daerah tingkat I, serta pengembangan sistem informasi bagi pengelolaan pembangunan. Di samping itu dalam program serupa, anggaran pembangunan juga direncanakan untuk peningkatan jaringan telekomunikasi, peningkatan jaringan irigasi yang terpadu dengan pencetakan sawah, serta peningkatan dan perluasan penyediaan air bersih, baik untuk masyarakat maupun bagi kebutuhan industri. Sedangkan untuk memelihara, merawat dan memperbaiki kerusakan prasarana dan sarana yang ada serta menjaga agar kondisi prasarana dan sarana yang sudah mantap tetap dapat dipertahankan, dalam program yang sama juga direncanakan peningkatan kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang telah dibangun dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah tingkat I. Sementara itu untuk menjamin kelangsungan pembangunan yang serasi dan berkelanjutan, melalui bantuan reboisasi akan diupayakan antara lain peningkatan kegiatan reboisasi hutan lindung, suaka alam, dan kawasan lindung lainnya, peningkatan kemampuan penyuluh kehutanan lapangan, serta peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan multi lingkungan hidup. Demikian pula untuk menunjang upaya pemanfaatan ruang dalam mengisi pembangunan di daerah secara optimal dan berkelanjutan, dengan bantuan serupa juga direncanakan pengembangan rencana tata ruang daerah, diantaranya meliputi peningkatan kerja sama antar daerah tingkat I dan antar daerah tingkat II, penuntasan kelengkapan peralatan tata ruang, serta pemantapan penggunaan perangkat tata ruang tersebut dalam pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam bagi pembangunan daerah. Selanjutnya untuk mendukung pembangunan dan pengembangan investasi, dalam program pembangunan daerah tingkat I tersebut juga direncanakan antara lain peningkatan prasarana dan sarana perhubungan multimoda, khususnya yang bersifat perintis, terutama ke daerah terisolasi dan daerah terpencil. Oleh karena itu, melalui bantuan pembangunan peningkatan jalan dan jembatan propinsi direncanakan pembangunan jalan dan jembatan, peningkatan jalan dan penggantian jembatan, serta rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan di daerah tingkat I. Departemen Keuangan RI 177 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Dalam rangka mempercepat upaya pengentasan dan penanggulangan kemiskinan di desadesa tertinggal serta meningkatkan taraf hidup penduduk prasejahtera, melalui program pembangunan desa tertinggal akan dialokasikan bantuan langsung bagi sebanyak 22.097 desa tertinggal dalam bentuk bantuan lnpres desa tertinggal (IDT) dengan jumlah bantuan sebesar Rp 20 juta bagi setiap desa tertinggal. Bantuan tersebut akan disalurkan kepada kelompok swadaya masyarakat (KSM) dan diberikan dalam bentuk modal kerja, yang selain digunakan untuk peningkatan kemampuan permodalan dari pengembangan usaha, sekaligus juga diarahkan untuk pemantapan kelembagaan usaha bersama dan peningkatan sumber daya manusia di desa tertinggal. Berkaitan dengan itu, untuk merangsang kegiatan berusaha yang cepat memberikan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat miskin, akan diupayakan pelayanan sosial dasar yang dapat langsung meningkatkan kesejahteraan, keterampilan dan penguasaan teknologi tepat guna, pengembangan kelompok usaha bersama untuk meningkatkan produktivitas dan kelangsungannya dalam berusaha, serta pembinaan yang intensif dan berkelanjutan untuk memantapkan usaha ekonominya. Sementara itu untuk membantu efektivitas pencapaian program IDT, melalui program yang sama disediakan pula bantuan operasional pemantauan, pembinaan dan pendampingan bagi aparat propinsi, kabupaten atau kotamadya, kecamatan, serta tingkat desa atau kelurahan. Dalam program yang sama akan diupayakan pengembangan beberapa model, diantaranya model pembangunan desa tertinggal dalam pembangunan desa terpadu, model pembangunan desa tertinggal melalui pendekatan pelayanan sosial dasar, model pembangunan desa tertinggal berdasarkan tipologi desa, serta model pembangunan desa tertinggal dalam konteks wilayah. Dalam program pengembangan kawasan khusus, anggaran pembangunan direncanakan pemanfaatannya untuk menunjang pembangunan kawasan-kawasan tertentu yang sangat penting secara geografis, seperti kawasan pertumbuhan yang menyangkut kerja sama dengan negara tetangga, kawasan yang mendukung kepentingan pertahanan keamanan nasional, serta kawasarkawasan andalan yang bersifat regional, diantaranya kawasan yang cepat berkembang dan kawasan yang dapat memacu perekonomian daerah. Melalui program tersebut, dalam tahun anggaran 1995/96 akan diupayakan peningkatan pelayanan prasarana dan sarana penunjang, seperti penyediaan air bersih, penanganan persampahan, pengolahan air limbah, serta pembangunan jaringan jalan, sarana permukiman dan perumahan lainnya pada beberapa kawasan yang mempunyai pertumbuhan ekonomi yang cepat, diantaranya kawasan Tanjung UbanDepartemen Keuangan RI 178 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tanjung Pinang, kawasan Mesuji-Tulang Bawang, kawasan Cileungsi-Cariu-Cianjur, kawasan Surabaya-Bangkalan, kawasan MataramLombok Tengah, serta kawasan Merauke-Tanah Merah. Pengembangan berbagai kawasan khusus tersebut diserasikan dengan kondisi, potensi dan aspirasi daerah di sekitar kawasan tersebut. Selain daripada itu dalam program yang sama juga direncanakan untuk melanjutkan pengembangan fasilitas pelabuhan laut dan alur pelayaran, pengembangan fasilitas pelabuhan udara dan keselamatan penerbangan, serta pembangunan sarana dan prasarana sosial untuk mendukung pengembangan pulau Batam, pulau Rempang dan pulau Galang sebagai kawasan berikat atau pusat kegiatan jasa perdagangan dari industri. Sementara itu anggaran pembangunan di subsektor transmigrasi dari pemukiman perambah hutan direncanakan bagi pembiayaan program permukiman dan lingkungan transmigrasi sebesar Rp 624,2 miliar serta program pengerahan dan pembinaan transmigrasi sebesar Rp 401,5 miliar. Dalam program permukiman dan lingkungan transmigrasi, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang pengendalian operasional penyelenggaraan transmigrasi, dukungan teknis penyiapan lahan dan bangunan permukiman transmigrasi, penyediaan areal permukiman transmigrasi, serta penyiapan permukiman dan lingkungan transmigrasi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dari Irian Jaya. Dalam program yang sama, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pembangunan sekitar 168 unit permukiman transmigrasi (OPT) yang dapat menampung sekitar 50.000 kepala keluarga (KK), peningkatan prasarana jalan di wilayah transmigrasi, penyiapan lahan dengan penggaruan, pemberian pupuk dan tanaman penutup pada lahan usaha transmigrasi, serta penyelesaian pengukuran batas kapling sebanyak 211.000 bidang dan pembuatan sertifikat tanah sejumlah 182.000 buah. Selanjutnya dalam program pengerahan dan pembinaan transmigrasi, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang pembiayaan bagi proyek pengelolaan unit permukiman transmigrasi, proyek pengerahan dan pemindahan transmigrasi, proyek pelatihan transmigrasi, proyek pemindahan transmgrasi dari Jawa dari Bali, serta proyek penempatan dan pembinaan transmigrasi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya. Melalui berbagai proyek tersebut, dalam tahun anggaran 1995/96 akan diupayakan antara lain kegiatan penerangan, penyuluhan, pendaftaran dan seleksi calon transmigran, pemindahan penduduk sekitar 50.000 KK, serta pembinaan sosial budaya dan ekonomi terhadap sekitar 235.000 KK transmigran di beberapa propinsi tersebut di atas. Di samping pembangunan daerah, dalam rangka meningkatkan laju pertumbuhan Departemen Keuangan RI 179 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 ekonomi yang diperlukan untuk mendukung upaya pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan, maka sesuai dengan amanat GBHN 1993 dari Repelita VI, sektor jasa, termasuk pelayanan infrastruktur dari jasa keuangan, terus dikembangkan menuju terciptanya jaringan informasi, perhubungan, perdagangan, dan pelayanan yang andal, efisien, dari mampu mendukung industrialisasi serta pemerataan pembangunan dari hasil-hasilnya. Sehubungan dengan itu, untuk pengembangan sistem transportasi nasional yang andal dan berkemampuan tinggi di dalam mendukung gerak dinamika pembangunan, mobilitas manusia, barang, dan jasa, pola distribusi nasional, serta pengembangan wilayah dari peningkatan hubungan internasional, dalam RAPBN 1995/96 sektor transportasi, meteorologi, dari geofisika diberikan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 5.897,9 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 672,4 miliar atau 12,9 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk subsektor prasarana jalan sebesar Rp 3.917,2 miliar, subsektor transportasi darat sebesar Rp 643,1 miliar, subsektor transportasi laut sebesar Rp 554,4 miliar, subsektor transportasi udara sebesar Rp 749,1 miliar, serta subsektor meteorologi, geofisika, pencarian dan penyelamatan (SAR) sebesar Rp 34,1 miliar. Di subsektor prasarana jalan, dalam rangka memantapkan kondisi jalan dan memperluas jaringan jalan yang menghubungkan daerah pusat produksi dengan daerah pemasaran, daerah perkotaan, dan daerah perdesaan yang mampu menjangkau daerah tertinggal, alokasi anggaran pembangunan direncanakan bagi program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan sebesar Rp 365,7 miliar, program peningkatan jalan dan penggantian jembatan sebesar Rp 2.780,8 miliar, serta program pembangunan jalan dan jembatan sebesar Rp 770,7 miliar. Program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan terutama diarahkan untuk memelihara, merawat, dan memperbaiki kerusakan pada seluruh ruas jalan yang ada, serta menjaga agar kondisi jalan yang sudah mantap tetap dapat dipertahankan. Dalam program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan tersebut, dalam tahun anggaran 1995/96 direncanakan pemeliharaan jalan sepanjang 36.600 kilometer, yang meliputi 11.140 kilometer jalan arteri, 18.260 kilometer jalan kolektor, dan 7.200 kilometer jalan poros desa. Sedangkan untuk menunjang daya guna dan efektivitas pemanfaatan jaringan jalan, dalam program serupa juga direncanakan pemeliharaan jembatan sepanjang 12.390 meter, masingmasing pada jalan arteri sepanjang 3.620 meter, jalan kolektor sepanjang 8.770 meter. Sementara itu untuk menumbuhkembangkan jaringan dan kualitas jalan agar tetap mampu mempertahankan Departemen Keuangan RI 180 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tingkat pelayanannya sesuai dengan tuntutan transportasi yang terus berkembang, melalui program peningkatan jalan dan penggantian jembatan direncanakan peningkatan jalan sepanjang 18.738 kilometer, yang meliputi 1.430 kilometer jalan arteri, 3.808 kilometer jalan kolektor, 12.300 kilometer jalan lokal, dan 1.200 kilometer jalan poros desa. Selain daripada itu dalam program yang sama juga direncanakan untuk penggantian jembatan sepanjang 14.448 meter, yang mencakup 2.200 meter jembatan arteri, 4.694 meter jembatan kolektor, 6.964 meter jembatan lokal, dan 590 meter jembatan poros desa. Selanjutnya untuk membuka isolasi serta menambah panjang jalan sesuai dengan perkembangan kawasan dan menghubungkan antar wilayah, dalam program pembangunan jalan dan jembatan direncanakan antara lain pembangunan jalan sepanjang 1.860 kilometer, yang meliputi 360 kilometer jalan arteri, 785 kilometer jalan kolektor, dan 715 kilometer jalan poros desa. Di samping itu dalam program yang sama, anggaran pembangunan juga direncanakan untuk pembangunan jembatan sepanjang 1.210 meter, yang terdiri dari 460 meter jembatan arteri, dan 750 meter jembatan kolektor. Demikian pula guna mengurangi kepadatan arus lalu-lintas, melalui program serupa direncanakan pembebasan tanah jalan tol seluas 400 hektar. Pada subsektor transportasi darat, untuk menciptakan kelancaran, ketertiban, keamanan dan keselamatan, serta kenyamanan transportasi darat, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya bagi pembiayaan program pengembangan fasilitas lalu-lintas jalan sebesar Rp 43,9 miliar, program pengembangan perkeretaapian sebesar Rp 459,9 miliar, serta program peningkatan angkutan sungai, danau dan penyeberangan sebesar Rp 139,3 miliar. Dalam rangka menciptakan kelancaran, ketertiban, keamanan dan keselamatan, serta kenyamanan transportasi jalan raya, melalui program pengembangan fasilitas lalu-lintas jalan direncanakan antara lain pengadaan dan pemasangan fasilitas angkutan jalan raya, diantaranya berupa 14.213 rambu jalan, 6 unit peralatan pengujian kendaraan bermotor, daft 37 unit lampu pengatur lalu-lintas. Sedangkan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan dalam kota yang aman, tertib dan murah, dan berpolusi rendah, melalui program yang sama direncanakan pengadaan 40 bus kota yang berbahan bakar gas. Sementara itu dalam rangka meningkatkan kemampuan pelayanan jasa transportasi manusia dan barang secara massal daft efisien serta mengurangi kerusakan badan jalan, dalam program pengembangan perkeretaapian direncanakan antara lain peningkatan daft rehabilitasi jalan kereta api sepanjang 155 kilometer, pembangunan baru jalan kereta api sepanjang 20 kilometer, pembangunan jembatan kereta api sebanyak 2 buah dan rehabilitasi Departemen Keuangan RI 181 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebanyak 2 buah. Sedangkan untuk menjadikan kereta api sebagai angkutan umum yang murah, tertib, dan aman, baik sebagai angkutan antar kota maupun sebagai angkutan dalam kota bagi penumpang dan barang, dalam program yang sama direncanakan antara lain penambahan 27 buah sarana lokomotif, 10 buah kereta penumpang kelas III dan 12 buah kereta rel listrik, serta diupayakan rehabilitasi 32 buah lokomotif diesel, 4 buah kereta rel listrik, dan 64 buah kereta rel diesel. Selanjutnya guna menciptakan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan yang dapat diandalkan untuk melayani transportasi antar daerah, dalam program peningkatan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, dalam tahun anggaran 1995/96 direncanakan antara lain penambahan sarana dan pengoperasian kapal perintis, serta truk air di daerah terpencil dan terisolir, daerah pedalaman, dan kawasan perbatasan, khususnya di kawasan timur Indonesia (KTI). Sedangkan untuk meningkatkan keselamatan pelayaran, dalam program yang sama direncanakan antara lain pemasangan sebanyak 601 buah rambu sungai dan laut yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya, serta pemetaan sungai dan danau bagi pengembangan pelayaran. Demikian pula untuk meningkatkan kemampuan dermaga penyeberangan, sungai, dan danau, dalam program serupa juga direncanakan pembangunan dan rehabilitasi dermaga penyeberangan serta dermaga sungai dan danau. Di subsektor transportasi laut, dalam rangka menunjang upaya peningkatan pembangunan pelayaran nasional dan peningkatan pelayanan jasa transportasi laut yang layak, aman, dan mampu menunjang distribusi barang dan penumpang antar pulau yang terintegrasi dengan moda transportasi lainnya, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya bagi program pengembangan fasilitas pelabuhan laut sebesar Rp 257,5 miliar, program keselamatan pelayaran sebesar Rp 136,2 miliar, serta program pembinaan dan pengembangan armada pelayaran sebesar Rp 160,7 miliar. Untuk mendukung kelancaran ekspor nonmigas dan pertumbuhan perdagangan, melalui program pengembangan fasilitas pelabuhan laut dalam tahun anggaran 1995/96 direncanakan pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan, diantaranya pembangunan dermaga baru sepanjang 2.690 meter, pembangunan guuang seluas 1.850 meter persegi, pembangunan lapangan penumpukan seluas 56.842 meter persegi, dan pembangunan terminal penumpang seluas 2.600 meter persegi. Sedangkan untuk meningkatkan kelancaran arus lalu-lintas kapal, menghindari kecelakaan lalu-lintas kapal keluar dan masuk pelabuhan, serta mengurangi tingkat pencemaran laut, dalam program keselamatan pelayaran direncanakan antara lain pembangunan 3 unit menara suar, pengadaan dan pemasangan 75 unit rambu suar, peningkatan fasilitas Departemen Keuangan RI 182 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kesyahbandaran, serta pemeliharaan kedalaman alur pelayaran utama dengan sasaran volume keruk sekitar 12 juta meter kubik, diantaranya di Belawan, Banjarmasin, dan Samarinda. Sementara itu untuk menunjang upaya penyediaan jasa angkutan laut antar pulau,jasa pelayaran niaga nusantara, serta jasa angkutan antar benua, dalam program pembinaan dan pengembangan armada pelayaran direncanakan antara lain pembangunan dan pengembangan armada nasional, baik armada pelayaran nusantara, armada pelayaran rakyat dan perintis, maupun armada pelayaran samudera. Sementara itu di subsektor transportasi udara, dalam rangka memenuhi kebutuhan jasa transportasi udara dalam negeri yang mampu beroperasi secara optimal dan menjangkau seluruh wilayah nasional serta memenuhi kebutuhan jasa penerbangan internasional yang makin kompetitif, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya bagi program pengembangan fasilitas bandar udara sebesar Rp 254,1 miliar, program keselamatan penerbangan sebesar Rp 61,0 miliar, serta program pembinaan dan pengembangan armada udara sebesar Rp 434,0 miliar. Dalam program pengembangan fasilitas bandar udara (Bandara) direncanakan antara lain pembangunan dan perluasan terminal baru seluas 9.758 meter persegi, diantaranya Bandara Adi Sumarmo di Solo, Abdurahman Saleh di Malang, Syamsudin Noor di Banjarmasin, Mendiptana di Irian Jaya, dan Pattimura di Ambon. Selain daripada itu untuk meningkatkan kemampuan Bandara dalam melayani pesawat sejenis CN-235, melalui program yang sama diupayakan peningkatan kapasitas Bandara berupa pembangunan landasan dan perluasan apron seluas 218.936 meter persegi, antara lain di Bandara Achmad Yani Semarang, Simpang Tiga Pekanbaru, Sarong daratan dan Tanah Merah Irian Jaya. Sedangkan dalam rangka memenuhi persyaratan penerbangan internasional serta meningkatkan kelancaran dan keselamatan lalu-lintas udara di seluruh wilayah Indonesia, dalam program keselamatan penerbangan direncanakan antara lain pemasangan dan rehabilitasi peralatan telekomunikasi, navigasi udara, dan listrik, diantaranya di Bandara Husain Sastranegara Bandung, El Tari-Kupang, Soekarno Hatta-Jakarta, Sarong, Sentani-Jayapura, dan di beberapa bandar udara yang melayani penerbangan perintis. Sementara itu untuk meningkatkan pelayanan, keselamatan dan keamanan, serta efisiensi pengoperasian armada udara, dalam program pembinaan dan pengembangan armada udara dalam tahun anggaran 1995/96 direncanakan antara lain pengembangan dan pengoperasian armada udara perintis, diantaranya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Selanjutnya dalam rangka menunjang upaya penyediaan jasa informasi secara cepat dan Departemen Keuangan RI 183 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tepat oleh masyarakat, mendukung kelancaran dan keselamatan penyelenggaraan jasa transportasi laut dan udara, serta menunjang upaya penanggulangan bencana alam, anggaran pembangunan subsektor meteorologi dan geofisika direncanakan alokasinya bagi program pembangunan meteorologi dan geofisika sebesar Rp 33,0 miliar serta program pembangunan pencarian dan penyelamatan sebesar Rp 1,1 miliar. Dalam program pembangunan meteorologi dan geofisika direncanakan antara lain pengembangan peralatan telekomunikasi sebanyak 85 unit, pembangunan dan rehabilitasi gedung operasional untuk pengamatan cuaca, serta pengadaan dan pemasangan 584 unit peralatan pengamatan dan pelayanan jasa meteorologi, klimatologi, dan geofisika di 26 propinsi. Demikian pula dalam program yang sama, anggaran pembangunan juga direncanakan untuk pembangunan pusat prakiraan nasional dan wilayah, serta pusat kalibrasi nasional dan wilayah. Sementara itu untuk lebih meningkatkan kecepatan pencarian dan pertolongan sebagai akibat terjadinya musibah, dalam program pembangunan pencarian dan penyelamatan direncanakan antara lain pengadaan beberapa paket peralatan SAR dan peralatan komunikasi SAR. Dalam RAPBN 1995/96, untuk sektor pertambangan dan energi disediakan anggaran pembangunan sebesar Rp 3.894,8 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 312,9 miliar atau 8,7 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Jumlah tersebut diperlukan untuk menunjang upaya pemenuhan kebutuhan energi serta bahan baku bagi industri dalam negeri dan keperluan masyarakat, peningkatan ekspor, peningkatan penerimaan negara dan pendapatan daerah, serta perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk subsektor pertambangan sebesar Rp 94,8 miliar dan subsektor energi sebesar Rp 3.800,0 miliar. Di subsektor pertambangan, dalam rangka meningkatkan produksi, meningkatkan pengelolaan sumber daya alam mineral secara hemat dan optimal, dan menganekaragamkan hasil tambang, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya bagi program pengembangan geologi dan sumber daya mineral sebesar Rp 12,7 miliar, program pembangunan pertambangan sebesar Rp 80,7 miliar, dan program pengembangan usaha pertambangan rakyat terpadu sebesar Rp 1,4 miliar. Dalam program pengembangan geologi dan sumber daya mineral direncanakan antara lain pemetaan geologi dan geofisika bersistem dengan skala 1 : 100.000 di pulau Jawa, dan skala 1 : 250.000 di luar pulau Jawa, inventarisasi dan eksplorasi sumber daya mineral bahan galian industri dan mineral logam, serta inventarisasi sumber daya energi batubara dan gambut. Untuk Departemen Keuangan RI 184 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 menyediakan informasi dasar mengenai potensi geologi dan energi dasar laut, dalam program yang sama direncanakan antara lain pemetaan geologi dasar laut, kompilasi dan digitasi peta geologi bawah laut, serta penyelidikan geologi wilayah pantai. Di samping itu direncanakan penyediaan data informasi geologi tata lingkungan dan mitigasi untuk beberapa kota dan wilayah, penyelidikan potensi air tanah untuk daerah rawan air, penyelidikan dan pengamatan gunung berapi, serta pemeriksaan kegempaan dan tanah longsor. Sementara itu untuk menunjang upaya peningkatan produksi dan penganekaragaman hasil tambang, dalam program pembangunan pertambangan direncanakan antara lain peningkatan pembinaan pengusahaan pertambangan, penyediaan informasi mineral, pengembangan pertambangan batubara dan gambut, serta pembinaan keselamatan kerja dan pengamanan teknis pertambangan. Selanjutnya guna meningkatkan peranserta masyarakat dalam pembangunan pertambangan secara lebih luas dan produktif, anggaran pembangunan dalam program pengembangan usaha pertambangan rakyat terpadu direncanakan untuk membina dan mengembangkan usaha pertambangan skala kecil dan usaha pertambangan rakyat, baik melalui koperasi unit desa (KUD) pertambangan maupun pola kemitraan dengan pihak swasta dan BUMN. Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi masyarakat, dan sekaligus mendorong pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, baik di daerah perkotaan maupun di perdesaan, anggaran pembangunan subsektor energi direncanakan alokasinya untuk program pengembangan tenaga listrik sebesar Rp 3.379,4 miliar, program pengembangan listrik perdesaan sebesar Rp 370,5 miliar, serta program pengembangan tenaga migas, batubara dan energi lainnya sebesar Rp 50,1 miliar. Guna memenuhi permintaan masyarakat akan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan merata serta dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat luas, dalam program pengembangan tenaga listrik direncanakan antara lain penyelesaian pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas 2.021,7 megawatt (MW), pembangunan jaringan transmisi sepanjang 2.338 kilometer sirkuit (KMS), serta pembangunan gardu induk dengan kapasitas 7.440 megavolt ampere (MVA). Di samping itu dalam program yang sama juga direncanakan perluasan jaringan distribusi tegangan menengah sepanjang 32.980 KMS dan jaringan distribusi tegangan rendah sepanjang 49.125 KMS, serta perluasan gardu distribusi dengan kapasitas 5.515 MVA. Demikian pula dalam rangka optimalisasi dan peningkatan efisiensi prasarana dan sarana kelistrikan, dalam program yang sama juga direncanakan untuk menyelesaikan renovasi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) antara lain pada PLTA Kracak, PLTA Pelengan, dan PLTA Departemen Keuangan RI 185 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Ketenger, serta melanjutkan konversi penggunaan bahan bakar minyak ke bahan bakar gas antara lain pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Gresik, PLTU Muara Karang, pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) Balikpapan, PLTD Samarinda, serta PLTD Bontang. Sedangkan untuk menunjang upaya pemerataan penyediaan energi listrik di daerah perdesaan, dalam program pengembangan listrik perdesaan direncanakan antara lain pembangunan ketenagalistrikan yang tersebar di 3.406 desa, serta diupayakan pemanfaatan energi setempat dengan mengikutsertakan peran aktif swadaya masyarakat dan pemerintah daerah. Selanjutnya untuk meningkatkan pemakaian gas alam serta menekan tingkat kebocoran gas, dalam program pengembangan tenaga migas, batubara dan energi lainnya, anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk melanjutkan rehabilitasi dan perluasan pipa transmisi, pipa distribusi, dan pipa dinas, antara lain di daerah Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, serta diupayakan pengadaan dan pemasangan meter gas yang tersebar di beberapa kota. Demikian pula guna melanjutkan usaha intensifikasi dan diversifikasi sumber energi, dalam program yang sama direncanakan antara lain peningkatan strategi pengembangan bahan bakar minyak, pemasyarakatan briket batu bara oleh rumah tangga dan industri kecil, serta peningkatan pengusahaan panas bumi. Dalam rangka mengembangkan dan mengelola sumber daya air bagi kepentingan masyarakat dan menunjang pembangunan seluruh sektor yang memerlukan dengan jumlah yang mencukupi, multi yang memadai, serta secara adil dan merata, dalam RAPBN 1995/96 sektor pengairan memperoleh alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 2.042,0 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 355,0 miliar atau sekitar 21 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan bagi subsektor pengembangan sumber daya air sebesar Rp 796,2 miliar dan subsektor irigasi sebesar Rp 1.245,8 miliar. Di subsektor pengembangan sumber daya air, anggaran pembangunan direncanakan alokasi pemanfaatannya untuk program pengembangan dan konservasi sumber daya air sebesar Rp 391,0 miliar, program penyediaan dan pengelolaan air baku sebesar Rp 82,0 miliar, serta program pengelolaan sungai, danau, dan sumber air lainnya sebesar Rp 323,2 miliar. Dalam program pengembangan dan konservasi dan sumber daya air, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk penyusunan rencana induk pada 10 wilayah sungai, diantaranya sungai-sungai Ciujung-Ciliman, Cimanuk-Cisanggarung, Progo-Opak-Oyo, Jratunseluna, dan Pekalen-Sampean. Upaya tersebut ditunjang pula dengan pemasyarakatan sikap hemat air, Departemen Keuangan RI 186 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebagaimana telah dicanangkan secara nasional beberapa waktu yang lalu. Demikian pula dalam program yang sama akan dilakukan antara lain rehabilitasi sejumlah waduk serta melanjutkan pembangunan 6 unit waduk dan 55 unit embung yang berfungsi multiguna di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Untuk menunjang penyediaan air baku di beberapa kota, dalam program penyediaan dan pengelolaan air baku anggaran pembangunan akan dimanfaatkan an tara lain untuk penyediaan air baku bagi kota-kota Jakarta, Surabaya, Semarang, Cilegon, Demak, dan Rembang. Sedangkan dalam program pengelolaan sungai, danau, dan sumber air lainnya anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk perbaikan sepanjang 370 kilometer alur sungai yang sudah kritis, pengelolaan sekitar 2.750 kilometer alur sungai, pengelolaan 6 danau kritis, serta pengamanan sungai dan pengendalian banjir, termasuk banjir lahar akibat letusan gunung berapi. Berbagai upaya tersebut selain dimaksudkan dalam rangka menanggulangi bencana banjir yang ditimbulkan oleh sungai-sungai Ciliwung, Garang, Jeneberang, Bengawan Solo, Deli, dan Percut, juga bertujuan untuk menanggulangi bencana banjir lahar di sekitar gunung-gunung Merapi, Kelud, Semeru, dan Rinjani. Sementara itu di subsektor irigasi, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi sebesar Rp 1.139,9 miliar serta program pengembangan dan pengelolaan daerah rawa sebesar Rp 105,9 miliar. Dalam program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi seluas sekitar 5.943 ribu hektar, serta rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi yang telah dibangun seluas sekitar 139,5 ribu hektar, termasuk untuk penanganan irigasi kecil yang telah dibangun oleh petani dalam upaya menjaga kelestarian fungsinya. Dalam program yang sama juga akan dilakukan pembangunan jaringan irigasi baru yang mencakup areal seluas sekitar 80 ribu hektar, dan pencetakan sawah baru seluas sekitar 90 ribu hektar. Pembangunan ini diarahkan di luar Jawa, antara lain di Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Sedangkan dalam program pengembangan dan pengelolaan daerah rawa, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk melanjutkan pengembangan daerah rawa guna menunjang pengembangan perkebunan, baik yang dikelola oleh rakyat maupun yang dikembangkan dengan pola perusahaan inti rakyat perkebunan (PIR-Bun). Dalam tahun anggaran 1995/96, daerah rawa yang akan dikembangkan meliputi areal seluas sekitar 134 ribu hektar, pembangunan saluran multiguna sepanjang 20 kilometer, serta peningkatan tata saluran tambak yang meliputi saluran primer sepanjang 94 kilometer. Pengembangan tersebut antara lain akan Departemen Keuangan RI 187 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dilaksanakan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Pada beberapa alokasi pengembangan ini juga dikaitkan untuk mendukung program transmigrasi. Pengadaan berbagai sarana dan prasarana dasar sebagaimana diuraikan di atas, di samping dimaksudkan untuk mempercepat upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menujuterciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sekaligus juga diarahkan untuk mendukung pembangunan berbagai sektor ekonomi, terutama guna merangsang tumbuhnya kegiatan produksi, investasi, dan pemasaran di sektor-sektor lainnya, sehingga diharapkan mampu menunjang upaya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam tahun anggaran 1995/96, pembangunan sektor pertanian dan kehutanan juga akan lebih ditingkatkan untuk mendukung proses industrialisasi, meningkatkan produksi komoditi pertanian yang bernilai tinggi, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan pendapatan negara dan devisa, serta memacu pembangunan daerah. Oleh karena itu, dalam RAPBN 1995/96 sektor pertanian dan kehutanan memperoleh alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 1.103,8 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 114,2 miliar atau 11,5 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk subsektor pertanian sebesar Rp 1.061,3 miliar dan subsektor kehutanan sebesar Rp 42,5 miliar. Dalam rangka meningkatkan produksi hasil pertanian untuk memantapkan swasembada pangan, anggaran pembangunan subsektor pertanian direncanakan alokasinya bagi program pembangunan pertanian rakyat terpadu sebesar Rp 322,9 miliar, program pembangunan usaha pertanian sebesar Rp 289,7 miliar, program diversifikasi pangan dan gizi sebesar Rp 22,5 miliar, serta program pengembangan sumber daya, sarana, dan prasarana pertanian sebesar Rp 426,2 miliar. Dalam program pembangunan pertanian rakyat terpadu, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang kegiatan intensifikasi padi, jagung, kedelai dan tebu rakyat, inseminasi buatan untuk ternak potong dan ternak perah, pengembangan penangkapan ikan, serta pengembangan ternak unggas, kambing, dan domba. Sedangkan dalam program pembangunan usaha pertanian direncanakan antara lain peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran hasil pertanian serta peningkatan kualitas dan daya saing hasil pertanian, baik bagi pasaran dalam negeri maupun ekspor. Selanjutnya dalam program diversifikasi pangan dan gizi direncanakan antara lain penyediaan bibit hortikultura, ternak, dan ikan, serta pelatihan penyuluh Departemen Keuangan RI 188 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dan pelatih diversifikasi pangan dan gizi. Demikian pula untuk mengoptimalkan sarana dan prasarana pertanian yang ada serta melengkapi sarana dan prasarana pertanian yang diperlukan, dalam program pengembangan sumber daya, sarana, dan prasarana pertanian direncanakan antara lain pengembangan sumber daya lahan tadah hujan dan pasang surut, pengembangan konservasi lahan kering, pengembangan padang penggembalaan, serta pengembangan perbenihan, baik benih padi, palawija, dan hortikultura maupun bibit perkebunan, peternakan, dan perikanan. Di subsektor kehutanan, anggaran belanja pembangunan diarahkan pemanfaatannya untuk lebih memantapkan pengembangan serta pengelolaan hutan secara lestari guna menjamin kelangsungan penyediaan dan perluasan keanekaragaman hasil hutan bagi pembangunan industri. Selain daripada itu juga akan dilakukan peningkatan peranan hutan, baik sebagai komponen penyangga sistem kehidupan dan pelestarian keanekaragaman hayati, maupun scbagai sumber pendapatan negara, pemacu pembangunan daerah serta sebagai sumber bahan baku bagi industri dalam negeri. Sehubungan dengan itu, anggaran pembangunan subsektor kehutanan direncanakan alokasinya bagi program pembangunan dan pembinaan kehutanan sebesar Rp 37,2 miliar serta program pengembangan usaha perhutanan rakyat sebesar Rp 5,3 miliar. Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan hasil hutan secara lestari, dalam program pembangunan dan pembinaan kehutanan, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang usaha pemeliharaan dan peningkatan multi hutan alam, pengembangan produksi hutan nonkayu, serta pengembangan sistem manajemen hutan lestari. Selain daripada itu guna meningkatkan potensi hutan tanaman yang dibangun di dalam kawasan hutan produksi, dalam program yang sama direncanakan pembangunan pusat perbenihan dan pembibitan, serta penyiapan prakondisi pembangunan hutan tanaman baru, hutan tanaman industri (HTI), dan pelaksanaannya. Sedangkan untuk meningkatkan peranserta aktif masyarakat dalam pembangunan kehutanan, dalam program pengembangan usaha perhutanan rakyat direncanakan antara lain pemantapan dan perencanaan pembangunan hutan rakyat, pengembangan kelembagaan, serta pembinaan, pengelolaan, rehabilitasi, dan perluasan hutan rakyat. Sejalan dengan peran sektor industri sebagai penggerak utama dalam pembangunan ekonomi nasional, pembangunan sektor industri dalam tahun anggaran 1995/96 juga akan lebih ditingkatkan sehingga sektor industri tidak saja dapat tumbuh dan berkembang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan pemerataan, tetapi juga makin berperan penting Departemen Keuangan RI 189 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebagai penggerak pembangunan sektor-sektor lainnya. Sesuai dengan arahan GBHN 1993, pembangunan sektor industri diarahkan untuk menuju kemandirian perekonomian nasional, meningkatkan kemampuan bersaing daripada produksi dalam negeri, serta menaikkan pangsa pasar dalam negeri dan luar negeri, dengan selalu memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan itu, dalam rangka menunjang upaya perluasan basis produksi hasil industri, terutama pengembangan agro industri, pengembangan industri kecil dan menengah, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, penataan struktur dunia usaha, serta pengembangan industri penunjang bagi tumbuhnya industri-industri padat teknologi yang strategis, dalam RAPBN 1995/96 sektor industri mendapat alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 497,3 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 46,8 miliar atau 10,4 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut direncanakan alokasinya bagi program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil, dan menengah sebesar Rp 28,7 miliar, program peningkatan kemampuan teknologi industri sebesar Rp 436,8 miliar, serta program penataan struktur industri sebesar Rp 31,8 miliar. Guna menumbuhkan dan mengembangkan kegiatan usaha ekonomi skala kecil dan menengah yang produktif serta mendukung perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan, dalam program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pembinaan kelompok usaha bersama, pembinaan sentra-sentra industri, dan pengembangan koperasi industri. Sedangkan guna mewujudkan sumber daya manusia industrial yang berkualitas, tangguh, kreatif dan dinamis, serta menumbuhkan wirausaha yang tangguh agar mampu berkompetisi dan berinovasi, dalam program yang sama juga direncanakan pelatihan untuk meningkatkan motivasi para wirausaha untuk berprestasi, penyelenggaraan praktek kerja atau magang, serta pelatihan dan bimbingan teknologi dan pengembangan usaha. Selain daripada itu guna mengembangkan kegiatan ekonomi di daerah perdesaan, termasuk daerah terpencil, daerah terbelakang dan daerah perbatasan, serta mendukung restrukturisasi ekonomi perdesaan, dalam program yang sama juga direncanakan pengembangan agroindustri kecil dan perdesaan, serta pengembangan industri kecil kerajinan dan rumah tangga. Selanjutnya guna lebih memperkukuh struktur industri, dalam program yang sama direncanakan antara lain pengembangan industri menengah mesin, logam dasar dan elektronika, pengembangan industri menengah kimia dasar, pengembangan industri kecil dan menengah Departemen Keuangan RI 190 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 aneka industri, pengembangan industri kecil, baik sebagai industri subkontrak dan penunjang maupun sebagai industri yang berorientasi ekspor, serta penumbuhan wirausaha baru industri kecil dengan tenaga kerja tetap. Demikian pula guna menunjang pengembangan sistem pendukung industri kecil dan menengah, dalam program yang sama direncanakan antara lain pemantapan sistem prasarana kelembagaan dan prasarana fisik, diantaranya berupa peningkatan fasilitas pendidikan dan pelatihan, pengembangan lembaga penelitian, serta pengembangan pusat desain. Sementara itu dalam program peningkatan kemampuan teknologi industri direncanakan antara lain penyusunan standar industri, termasuk penerapannya di perusahaan industri, serta peningkatan kemampuan sarana balai-balai industri. Di samping itu guna menunjang upaya pengembangan teknologi industri, dalam program yang sama anggaran pembangunan selain direncanakan untuk pengembangan dan penerapan teknologi bersih dan teknologi daur ulang, pemanfaatan limbah sebagai bahan baku, serta peningkatan pelaksanaan alih teknologi, juga diupayakan untuk menunjang peningkatan penguasaan teknologi produk, teknologi pengolahan, serta rancang bangun dan perekayasaan industri. Selanjutnya untuk memperluas basis industri dan memperkuat pola keterkaitannya, dalam program penataan struktur industri direncanakan antara lain pengembangan produk-produk industri prioritas yang mempunyai nilai tambah tinggi dan berdaya jangkau strategis, serta pengembangan produk-produk agroindustri yang potensial. Selain itu, guna menghadapi pasaran global dan regional, seperti pasar tunggal Eropa, Asean Free Trade Area (AFTA), serta meningkatkan kerja sama ekonomi regional dalam kerangka Asia Pasific Economic Cooperation (APEC), dalam program yang sama direncanakan antara lain pengembangan dan penganekaragaman produk-produk industri berorientasi ekspor yang mempunyai daya saing kuat. Sedangkan guna mendukung upaya pemerataan pembangunan daerah, peningkatan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, serta pemanfaatan posisi geografis Indonesia bagi akses ke pasar global, dalam program serupa direncanakan antara lain promosi investasi industri, serta perluasan dan penataan struktur persebaran industri, khususnya ke kawasan timur Indonesia. Selanjutnya guna menunjang upaya penyempurnaan pola perdagangan dan sistem distribusi nasional, peningkatan ekspor nonmigas, perluasan dan penataan dunia usaha, peningkatan pelayanan jasa keuangan, serta pemantapan sistem dari kelembagaan koperasi, dalam RAPBN 1995/96 sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan, dari koperasi memperoleh alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 533,7 miliar. Jumlah tersebut Departemen Keuangan RI 191 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 berarti mengalami penurunan sebesar Rp 202,6 miliar atau 27,5 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut direncanakan alokasinya untuk subsektor perdagangan dalam negeri sebesar Rp 18,9 miliar, subsektor perdagangan luar negeri sebesar Rp 141,5 miliar, subsektor pengembangan usaha nasional sebesar Rp 100,2 miliar, subsektor keuangan sebesar Rp 128,6 miliar, serta subsektor koperasi dari pengusaha kecil sebesar Rp 144,5 miliar. Di subsektor perdagangan dalam negeri, dalam rangka menyempurnakan pola perdagangan dan sistem distribusi nasional untuk mewujudkan struktur pasar yang semakin sehat dari mantap, memperluas pemasaran dan penggunaan hasil produksi dalam negeri, mengembangkan dari mengintegrasikan pasar lokal, pasar antar daerah dari pasar antar pulau dengan pasar nasional, serta menunjang berkembangnya usaha pedagang/pengusaha skala menengah dan kecil termasuk koperasi di bidang perdagangan untuk mendukung ekonomi rakyat, alokasi anggaran pembangunan direncanakan untuk program pengembangan perdagangan dan sistem distribusi sebesar Rp 10,9 miliar serta program pengembangan usaha dari lembaga perdagangan sebesar Rp 8,0 miliar. Guna menunjang upaya pengembangan sistem pemasaran dari distribusi nasional serta pemantapan pengadaan dari penyaluran barang-barang strategis dari bahan kebutuhan pokok masyarakat di dalam negeri, dalam program pengembangan perdagangan dari sistem distribusi direncanakan antara lain penyelenggaraan pelayanan informasi, perdagangan, penyelenggaraan pelayanan kemetrologian, penyelenggaraan pameran dagang di dalam negeri, pengembangan distribusi barang penting dan strategis, pengembangan pasar lelang, serta pembangunan pasar desa untuk pasar percontohan. Selanjutnya guna mengembangkan sistem kelembagaan dari informasi perdagangan yang efektif dari efisien, dalam program pengembangan usaha dari lembaga perdagangan direncanakan antara lain pengembangan sistem informasi dari promosi perdagangan, pembinaan lembaga dan prasarana perdagangan, serta pengembangan sistem kemitraan antara pengusaha kecil dari menengah termasuk koperasi dengan pengusaha besar. Sementara itu dalam rangka memperkuat kedudukan Indonesia dalam perdagangan internasional serta mendorong peningkatan ekspor nonmigas, anggaran pembangunan subsektor perdagangan luar negeri direncanakan alokasinya untuk program pengembangan kerja sama perdagangan internasional sebesar Rp 4,2 miliar dari program pengembangan ekspor sebesar Rp 137,3 miliar. Dalam program pengembangan kerjasama perdagangan internasional, direncanakan Departemen Keuangan RI 192 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 antara lain peningkatan akses pasar luar negeri dengan partisipasi aktif dalam berbagai forum internasional, seperti perjanjian bilateral, multilateral, regional serta pemanfaatan lembaga perdagangan internasional, penyebarluasan hasil keputusan kerja sama perdagangan internasional kepada dunia usaha, serta peningkatan kemampuan penyelesaian sengketa dalam kerangka kerja sama perdagangan internasional, termasuk peningkatan peranan atase perdagangan. Dalam program pengembangan ekspor direncanakan antara lain penyusunan analisa pasar luar negeri, penyusunan identifikasi potensi pasar komoditas ekspor, pelayanan pengujian dari sertifikasi mutu komoditi ekspor, penyempurnaan sistem pengujian oleh balai pengujian mutu dalam upaya memperoleh akreditasi internasional, pengembangan pusat promosi perdagangan Indonesia (Indonesian Trade Promotion Centre, ITPC) sebagai wahana promosi produk ekspor Indonesia di luar negeri, penyempurnaan peraturan perdagangan luar negeri dan kebijaksanaan ekspor, serta pengembangan pilot proyek pusat klinik bisnis untuk komoditas ekspor. Di samping itu untuk menunjang pengembangan industri dalam negeri guna penghematan devisa, dalam program serupa direncanakan antara lain usaha pengendalian impor, diantaranya berupa penyempurnaan klasifikasi barang-barang impor serta pengembangan kebijaksanaan impor yang dapat melindungi hak milik intelektual. Dalam rangka mempercepat pengembangan usaha nasional, baik usaha koperasi, usaha negara, maupun usaha swasta agar dapat tumbuh menjadi penggerak perekonomian nasional, anggaran pembangunan subsektor pengembangan usaha nasional direncanakan alokasinya bagi program pengembangan dan pembinaan usaha nasional sebesar Rp 80,2 miliar dan program penyertaan modal pemerintah sebesar Rp 20,0 miliar. Dalam program pengembangan dan pembinaan usaha nasional, anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk menunjang upaya pengembangan iklim usaha nasional yang sehat, dan promosi investasi. Sedangkan dalam program penyertaan modal pemerintah, anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk menunjang upaya peningkatan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas badan-badan usaha milik negara (BUMN) agar mampu melaksanakan peranannya dalam perekonomian nasional. Sementara itu dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan negara, meneiptakan suasana yang mendorong tumbuhnya inisiatif, kreativitas dan peranserta masyarakat dalam pembangunan, serta meningkatkan tabungan pemerintah sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan, anggaran pembangunan subsektor keuangan direncanakan alokasinya untuk Departemen Keuangan RI 193 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 program penerimaan keuangan negara sebesar Rp 1,3 miliar serta program pengembangan lembaga keuangan dan pembinaan kekayaan negara sebesar Rp 127,3 miliar. Guna menunjang upaya peningkatan penerimaan pajak, termasuk penerimaan PBB, melalui program penerimaan keuangan negara direncanakan penyempurnaan sistem informasi manajemen perpajakan serta reklasifikasi tanah pertanian di beberapa wilayah irigasi. Sementara itu melalui program pengembangan lembaga keuangan dan pembinaan kekayaan negara, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang pembinaan dan pengembangan lembaga keuangan, baik asuransi, usaha jasa pembiayaan, maupun dana pensiun, pembinaan dan pengembangan perbankan, serta penyempurnaan penyusunan perhitungan anggaran negara dan penatausahaan inventaris kekayaan negara. Selanjutnya guna memacu dan meningkatkan prakarsa, kemampuan, dan peranan koperasi dan pengusaha kecil dalam perekonomian nasional khususnya perekonomian rakyat, anggaran pembangunan subsektor koperasi dan pengusaha kecil direncanakan alokasinya bagi program pengembangan koperasi sebesar Rp 67,7 miliar dan program pembinaan usaha kecil sebesar Rp 76,8 miliar. Untuk menunjang upaya pengembangan dan pemantapan koperasi, baik di perdesaan maupun di perkotaan, anggaran pembangunan dalam program pengembangan koperasi direncanakan antara lain untuk perluasan informasi pasar, peluang usaha dan promosi usaha koperasi, penyelenggaraan temu usaha dan pameran koperasi, pengembangan usaha koperasi terutama di bidang agribisnis dari agroindustri, pemberian bimbingan, konsultansi dan penyuluhan, serta pengembangan usaha simpan pinjam. Di samping itu dalam rangka pengembangan kemitraan usaha dari kerjasama antar koperasi, dalam program yang sama akan diupayakan antara lain pengembangan jaringan usaha koperasi dari informasi pasar, serta peningkatan koordinasi antar koperasi di tingkat primer dari sekunder. Selanjutnya untuk menunjang pembangunan koperasi di daerah tertinggal, dalam program tersebut direncanakan antara lain pembangunan dari pengembangan warung serba ada (Waserda) dari tempat pelayanan koperasi (TPK), pengadaan sarana koperasi di perdesaan tertinggal, pengembangan dana sehat, serta penyediaan informasi pasar dari peluang usaha. Sementara itu untuk memantapkan dari meningkatkan peran pengusaha kecil sebagai unsur kekuatan ekonomi yang sehat, tangguh dan mandiri, dalam program pembinaan usaha kecil direncanakan peningkatan manajemen dari kewirausahaan melalui pelatihan, praktek kerja/magang dari studi banding, pemberian bimbingan, konsultansi dan penyuluhan manajemen dari kelembagaan kepada berbagai kelompok Departemen Keuangan RI 194 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pengusaha kecil, serta perluasan informasi, pameran dari promosi usaha. Selain daripada itu juga akan diupayakan pembinaan dalam rangka pengembangan incubator usaha, pengembangan pusat konsultansi usaha kecil bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di daerah, pendataan kontribusi pengusaha kecil terhadap ekspor, serta pemantapan data dan statistik usaha kecil dengan antara lain mengupayakan penyusunan direktori pengusaha kecil dan menengah. Untuk menunjang pengembangan usaha kecil, dalam program yang sama anggaran pembangunan juga direncanakan untuk pengembangan jaringan usaha, peningkatan dari pemanfaatan permodalan, peningkatan dan pemanfaatan teknologi industri, peningkatan organisasi dari manajemen, serta peningkatan kemitraan usaha, antara lain melalui penyelenggaraan temu usaha. Pembangunan sektor pariwisata, pos, dan telekomunikasi, sebagai salah satu industri jasa, akan lebih ditingkatkan untuk menunjang upaya memperbesar penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja dari pemerataan kesempatan usaha, mendorong pembangunan daerah, meningkatkan kesejahteraan dari kemakmuran rakyat, serta memperkaya kebudayaan nasional. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan dan mendayagunakan potensi kepariwisataan nasional agar dapat menjadi salah satu komoditas andalan yang mampu menggerakkan berbagai kegiatan ekonomi lainnya, dalam RAPBN 1995/96 sektor pariwisata, pos, dari telekomunikasi diberikan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 1.005,8 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 283,9 miliar atau 39,3 persen dari yang dianggarkan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut direncanakan alokasinya untuk subsektor pariwisata sebesar Rp 41,0 miliar serta subsektor pos dan telekomunikasi sebesar Rp 964,8 miliar. Dalam rangka meningkatkan arus wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia, meningkatkan daya saing kepariwisataan nasional, serta mengembangkan pariwisata nusantara, anggaran pembangunan subsektor pariwisata direncanakan alokasinya untuk program pemasaran pariwisata sebesar Rp 16,0 miliar dan program pengembangan produk wisata sebesar Rp 25,0 miliar. Guna meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan bagi wisatawan mancanegara, dalam program pemasaran pariwisata anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pengadaan dari pencetakan bahan promosi, pengumpulan data pasar, serta penyelenggaraan promosi pariwisata, terutama melalui pusat promosi pariwisata Indonesia di beberapa negara mancanegara. Sedangkan guna meningkatkan arus wisatawan dalam negeri, dalam program yang sama direncanakan antara lain penyelenggaraan pameran pariwisata untuk memasyarakatkan dekade kunjungan Indonesia 1995/96, penyusunan pola sistem pendataan Departemen Keuangan RI 195 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 wisata nusantara, serta lomba nasional kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Di samping itu untuk menunjang upaya penggalakkan wisata remaja, dalam program yang sama direncanakan antara lain peningkatan keterampilan, baik bagi tenaga pembina pariwisata remaja, Pramuka, maupun organisasi remaja, serta penyelenggaraan safari remaja nusantara. Guna meningkatkan upaya pengembangan usaha sarana pariwisata, dalam program pengembangan produk wisata anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang pembinaan penanaman modal di bidang usaha pariwisata, penyelenggaraan pameran kerajinan cenderamata, serta penyusunan dan pencetakan buku peluang investasi usaha pariwisata di kawasan timur Indonesia. Sementara itu guna mendorong pengembangan usaha jasa, objek, dan daya tarik wisata, dalam program yang sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pengembangan usaha agrowisata, penerbitan usaha sarana wisata tirta, penyelenggaraan uji coba jalur wisata baru, serta pengembangan wisata budaya. Selanjutnya untuk menunjang upaya pembinaan kepariwisataan, dalam program yang sama direncanakan pembinaan usaha kecil dan masyarakat di sekitar objek dan kawasan pariwisata, serta penyusunan program operasional pengembangan pariwisata nusantara. Sementara itu dalam rangka lebih memperluas jangkauan serta meningkatkan kelancaran arus surat, barang, uang dan informasi, baik ke seluruh pelosok tanah air termasuk daerah terpencil dan transrnigrasi maupun ke luar negeri, anggaran pembangunan subsektor pos dan telekomunikasi direncanakan alokasinya bagi program pengembangan jasa pos dan giro sebesar Rp 35,4 miliar dan program pengembangan jasa telekomunikasi sebesar Rp 929,4miliar. Guna mengantisipasi pesatnya perkembangan volume lalu-lintas surat serta meningkatkan mutu pelayanan jasa pos dan giro, dalam program pengembangan jasa pos dan giro anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pembangunan kantor pas pembantu dan kantor pos tambahan sebanyak 41 buah yang tersebar di berbagai kecamatan yang belum mempunyai fasilitas tersebut, pembangunan kantor pos besar sebanyak dua buah, mekanisasi dah otomatisasi kantor pos besar di satu lokasi, serta diversifikasi produk pos dan giro. Sedangkan untuk menunjang perluasan jangkauan pelayanan jasa pos, dalam program yang sama direncanakan antara lain pengadaan kendaraan roda dua untuk pos keliling desa, pengadaan kendaraan roda empat dan roda enam untuk pos keliling kota, dan pengadaan sepeda. Demikian pula guna menunjang upaya mempercepat pelayanan jasa pos kepada masyarakat, dalam program yang sama juga direncanakan pengadaan sejumlah timbangan paket elektronik, timbangan surat Departemen Keuangan RI 196 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 elektronik, mesin hitung uang, mesin cap, mesin pengikat, mesin perangko, serta perangkat komputer. Sementara itu untuk meningkatkan jangkauan, mutu dan efisiensi pelayanan jasa telekomunikasi, dalam program pengembangan jasa telekomunikasi direncanakan antara lain pembangunan telepon baru sebanyak 898.800 satuan sambungan yang tersebar di 27 propinsi, pengembangan standarisasi peralatan telekomunikasi, peningkatan sistem monitoring dan manajemen frekuensi radio nasional, serta penyusunan master plan pembagian wilayah digital sellular. Sebagaimana digariskan dalam GBHN 1993 dari Repelita VI, prioritas pembangunan di samping dititikberatkan pada sektor-sektor di bidang ekonomi juga diletakkan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, selain pembangunan infrastruktur yang memadai untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dalam tahun anggaran 1995/96, sejalan dengan percepatan, perluasan, dari pendalaman pembangunan, upaya pengembangan sumber daya manusia juga akan semakin ditingkatkan guna menjamin kesinambungan jalannya pembangunan. Pengembangan dari peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut antara lain diupayakan melalui peningkatan mutu dari pemerataan pelayanan pendidikan, peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kualitas pelayanan dari derajat kesehatan yang makin luas jangkauannya bagi seluruh lapisan masyarakat, pengembangan dari pembinaan kehidupan beragama, serta peningkatan produktivitas sumber daya manusia dari pendayagunaan tenaga kerja di berbagai sektor ekonomi secara optimal. Dalam rangka menunjang upaya peningkatan mutu pendidikan dari memperluas jangkauan pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan, dalam RAPBN 1995/96 sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga mendapat alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 3.359,2 miliar, atau naik sekitar 9,7 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk subsektor pendidikan sebesar Rp 3.061,8 miliar, subsektor pendidikan luar sekolah dan kedinasan sebesar Rp 204,9 miliar, subsektor kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebesar Rp 55,1 miliar, serta subsektor pemuda dan olah raga sebesar Rp 37,4 miliar. Di subsektor pendidikan, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program pembinaan pendidikan dasar sebesar Rp 1.455,4 miliar, program pembinaan pendidikan Departemen Keuangan RI 197 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 menengah sebesar Rp 517,9 miliar, program pembinaan pendidikan tinggi sebesar Rp 785,2 miliar, program pembinaan tenaga kependidikan dan kebudayaan sebesar Rp 157,3 miliar, serta program operasi dari perawatan fasilitas pendidikan dari kebudayaan sebesar Rp 146,0 miliar. Dalam rangka meningkatkan kualitas dari memperluas pelayanan pendidikan prasekolah, anggaran pembangunan yang disediakan bagi program pembinaan pendidikan dasar direncanakan penggunaannya antara lain untuk pembangunan sekitar 32 unit taman kanak-kanak (TK) percontohan, pengadaan 1.300 set alat peraga/alat bermain, pengadaan 530 ribu eksemplar buku pelajaran dan buku perpustakaan, serta penyelenggaraan penataran bagi 5.300 orang kepala sekolah, penilik, dan guru TK. Sementara itu dalam rangka memperluas pemerataan kesempatan belajar pada tingkat sekolah dasar (SD), dalam program yang sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pembangunan 425 unit gedung SD baru, terutama di daerah pemukiman baru dan daerah transmigrasi, penambahan 2.650 ruang kelas, rehabilitasi sejumlah gedung SD, serta pengadaan sekitar 60 juta eksemplar buku pelajaran pokok dari buku perpustakaan. Pengadaan buku terutama buku pelajaran akan diutamakan bagi murid SD dari madrasah ibtidaiyah (MI) di desa tertinggal. Untuk meningkatkan kegiatan olah raga dari Pramuka akan disediakan bantuan sebesar Rp 100 ribu per sekolah. Seperti halnya bantuan operasional dari pemeliharaan sekolah, bantuan ini akan diberikan langsung ke sekolah untuk dikelola pemanfaatannya secara langsung oleh sekolah yang bersangkutan. Sementara itu untuk meningkatkan pelayanan pendidikan di daerah terpencil, akan dilanjutkan pembangunan SD kecil lengkap dengan sarana belajar-mengajar yang memadai, dan peningkatan kualitas proses belajar mengajar. Selain itu juga akan dilakukan pelatihan dan penataran termasuk pelatihan pra jabatan bagi guru baru yang akan bertugas di daerah terpencil. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sekolah luar biasa (SLB), dalam program yang sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pembangunan dan pengembangan SLB pembina tingkat propinsi, penambahan 8 SLB, rehabilitasi sekitar 3 gedung SLB, pengadaan 900 buah peralatan pendidikan khusus, serta penataran dan peningkatan pembinaan bagi 1.800 kepala SLB di sejumlah lembaga pendidikan luar biasa. Sementara itu untuk meningkatkan daya tampung SLTP dalam rangka pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, anggaran pembangunan dalam program yang sama direncanakan antara lain untuk pembangunan gedung SLTP dan penambahan kelas baru yang setara dengan 5.300 ruang. Untuk mendorong peranserta masyarakat, akan diberikan bantuan Departemen Keuangan RI 198 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kepada pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan SLTP. Sedangkan untuk menunjang pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun di daerah-daerah tertentu yang tidak mungkin diselenggarakan sekolah biasa, akan diupayakan pengembangan dan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh melalui SLTP terbuka dan SLTP kecil secara lebih intensif. Selain daripada itu untuk meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, khususnya bagi anak-anak yang berprestasi namun kemampuan ekonominya lemah, dalam program yang sama direncanakan pemberian beasiswa bagi sekitar 90.000 siswa SD, SLTP, dan SLTA. Selanjutnya guna meningkatkan kemampuan profesional guru dan tenaga kependidikan, baik guru SLTP negeri maupun swasta, direncanakan antara lain pemantapan kerja guru (PKG) melalui penyelenggaraan penataran bagi sekitar 31.000 orang guru bidang studi dan kepala sekolah. Guna memperluas daya tampung pendidikan menengah umum, anggaran yang disediakan bagi program pembinaan pendidikan menengah direncanakan penggunaannya antara lain untuk pembangunan sekitar 60 gedung sekolah menengah umum (SMU) negeri, penambahan 650 ruang kelas pada SMU negeri dan swasta, serta pembangunan 20 unit mess guru dan 20 unit asrama murid. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan multi pendidikan pada sekolah menengah umum, dalam program yang sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pengadaan dan pendistribusian sebanyak 11 juta eksemplar buku pelajaran dan buku perpustakaan, serta pengadaan 17 ribu ,unit peralatan pendidikan. Sejalan dengan itu, untuk meningkatkan pembinaan dan pengembangan sekolah menengah kejuruan (SMK), dengan anggaran yang sama akan dilakukan pembangunan sekitar 20 unit gedung SMK, penambahan sekitar 1.500 ruang teori, ruang praktek dan ruang penunjang, serta peningkatan kemampuan manajemen bagi guru dan kepala sekolah. Sedangkan dalam rangka peningkatan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan, akan ditingkatkan kerja sama antara sekolah kejuruan dengan lembaga industri, dunia usaha, dan lembaga terkait lainnya, serta diupayakan penerapan program pengembangan sekolah seutuhnya (PSS) dan konsolidasi manajemen pendidikan menengah kejuruan. Selanjutnya guna mcningkatkan daya tampung dan memperluas kesempatan belajar pada tingkat perguruan tinggi, dalam program pembinaan pendidikan tinggi direncanakan antara lain pengadaan sekitar 2.500 pakct perabot pendidikan dan sekitar 2.000 paket peralatan laboratorium. Sedangkan dalam rangka memperluas kesempatan memperoleh pendidikan tinggi, dalam Departemen Keuangan RI 199 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 program yang sama anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk pcmberian bea siswa kepada 20 ribu mahasiswa yang bcrprcstasi namun kcmampuan ckonominya lemah. Scmentara itu guna mengembangkan kualitas pcndanikan dan mcningkatkan multi dosen dan tcnaga kcpcndidikan lainnya, dalam program tersebut dircncanakan antara lain pcndidikan pasca sarjana bagi 9.200 orang, pelatihan dosen sebanyak 4.000 orang, serta pcngadaan buku, majalah dan jurnal sebanyak 50 ribu eksemplar. Di samping itu kegiatan penelitian, termasuk penelitian hibah bersaing yang diikuti dengan perintisan penerbitan jurnal bertaraf intcrnasional akan ditingkatkan dalam rangka pengembangan Iptek. Pengembangan program studi yang sangat diperlukan untuk menunjang industrialisasi akan mendapat pcrhatian yang lebih tinggi, antara lain melalui pengembangan politeknik dan jurusan-jurusan sains dan keteknikan. Dalam rangka meningkatkan cfisicnsi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan, dalam program pembinaan tcnaga kependidikan dan kebudayaan direncanakan antara lain pemantapan rencana kebutuhan guru dan tenaga pengajar di bcrbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan dalam rangka mcnunjang program wajib bclajar pcndanikan dasar sembilan tahun, pcngangkatan dan pcnycbaran sekitar 11.000 orang guru dan tcnaga kcpcndidikan lainnya, pcncmpatan dan pcmcrataan guru dan kcpala sekolah, scrta pcmberian pcnghargaan bagi guru, dosen, dan tcnaga kcpendidikan yang berprestasi. Sedangkan untuk meningkatkan multi guru, dosen, dan tenaga kependidikan lainnya, dalam program yang sama direncanakan antara lain peningkatan kualifikasi guru SD setara D2 bagi 90 ribu orang, guru SLTP setara D3 sebanyak 50 ribu orang, pendidikan guru SD (PGSD) sebanyak 22 ribu orang, pendidikan lanjutan pasca sarjana (S2) dan doktor (S3) bagi sekitar 1.200 dosen, serta pcngembangan sistem karicr. Selain daripada itu dalam program yang sama juga akan diupayakan antara lain pcningkatan multi tenaga teknis bagi sckitar 2.000 pcnilik keolahragaan, 160 tcnaga tcknis pusat, dan 580 kepala balai pelatihan kegiatan belajar (BPKB), kepala sanggar kcgiatan belajar (SKB), serta pamong belajar BPKB dan SKB. Kegiatan penataran guru akan lebih disempurnakan, baik mekanismc pelaksanaan maupun substansinya, antara lain melalui peningkatan peran balai penataran guru (BPG) dan pusat pengembangan penataran guru (PPPG). Sementara itu untuk mcningkatkan daya guna dan hasil guna kemanfaatan sarana dan prasarana pendidikan yang ada agar proses belajar-mengajar dapat berjalan secara optimal, anggaran yang disediakan bagi program operasi dan pcrawatan fasilitas pendidikan dan kebudayaan akan diarahkan pemanfaatannya antara lain untuk penyediaan biaya operasi Departemen Keuangan RI 200 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pelaksanaan proses belajar-mengajar bagi siswa TK, SD, SLB, SLTP, dan SLTA, pemberian bantuan untuk SLTP swasta termasuk madrasah tsanawiyah (MTs) swasta, dan rchabilitasi bagi sekitar 925 SLTP dan sekolah menengah (SM). Sedangkan untuk meningkatkan cfisiensi dan efektivitas fasilitas kependidikan lainnya, direncanakan antara lain pcningkatan asset kebudayaan di pusat dan di daerah, perawatan museum nasional, inventarisasi asset fasilitas kcbudayaan, serta perawatan peralatan fasilitas kebudayaan bagi 53 unit pelaksana tcknis (UPT). Di subsektor pendidikan luar sekolah dan kedinasan, anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk program pendidikan luar sekolah sebesar Rp 92,3 miliar dan program pendidikan kedinasan sebesar Rp 112,6 miliar. Dalam rangka meningkatkan penguasaan masyarakat terhadap tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, hitung, dan sekaligus memberantas tiga buta, yaitu buta aksara dan angka, buta bahasa Indonesia, dan buta pengetahuan dasar, dalam program pendidikan luar sekolah direncanakan antara lain peningkatan penyelenggaraan kelompok belajar (Kejar) paket A tidak setara SD bagi 1.540.000 orang, Kejar paket A setara SD dalam rangka wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun bagi 200.000 orang, Kejar paket B setara SLTP bagi sekitar 247.000 orang, Kejar usaha bagi 4.000 kejar, permagangan bagi 14.000 orang, serta pengembangan taman bacaan masyarakat. Sementara itu dalam rangka meningkatkan kualitas aparatur negara dan aparatur pemerintah agar sepadan dengan tuntutan perkembangan jaman dan kebutuhan pembangunan, dalam program pendidikan kedinasan akan diupayakan antara lain perbaikan sistem penerimaan peserta pendidikan kedinasan, pemberian kesempatan bagi pegawai untuk melanjutkan studi, serta peningkatan kualitas dan kemampuan tenaga ahli yang diperlukan di semua sektor, seperti tenaga ahli dalam bidang pangan dan gizi, kesehatan, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pariwisata, kesejahteraan sosial, perindustrian, keuangan, perhubungan, administrasi pemerintah, dan pembangunan daerah. Di subsektor kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya sebesar Rp 7,0 miliar, program pembinaan kebahasaan, kesastraan dan kepustakaan sebesar Rp 14,0 miliar, program pembinaan kesenian sebesar Rp 8,6 miliar, program pembinaan tradisi, peningga1an sejarah dan permuseuman sebesar Rp 25,0 miliar, serta program pembinaan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebesar Rp 0,5 miliar. Dalam rangka membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa, serta memperkaya informasi dan pengetahuan kebudayaan, dalam program pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya Departemen Keuangan RI 201 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 akan dilakukan antara lain pengkajian dan perekaman aspek kebudayaan daerah, penelitian dan pengkajian aspek kebudayaan nusantara, penelitian dan pengkajian aspek kebudayaan masa kini, perekaman upacara kesejarahan dan nilai tradisional, serta penerbitan dan penyebarluasan kebijaksanaan kebudayaan. Sementara itu dalam kaitannya dengan program pembinaan kebahasaan, kesastraan, dan kepustakaan, anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk penyusunan buku sastra Indonesia dan sastra daerah, penyusunan naskah "Nilai-nilai Budaya Nusantara", pembabakan kebahasaan melalui revisi kamus besar bahasa Indonesia, serta pencetakan dan penyebarluasan naskah dan buku hasil penelitian. Selain daripada itu dalam program yang sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pengembangan minat dan kebiasaan membaca, pengembangan buku nasional, pengadaan sarana dan prasarana perpustakaan, bail pusat maupun daerah, pengembangan perpustakaan keliling, dan pengadaan sekitar 660 ribu eksemplar buku pustaka. Sedangkan dalam rangka pembinaan perpustakaan, dalam program serupa juga direncanakan antara lain pengadaan bahan pustaka, baik tercetak maupun terekam, penyebarluasan aspek-aspek perpustakaan, pembinaan perpustakaan, dan pembangunan automasi perpustakaan. Dalam ada itu untuk menumbuhkan daya cipta kreatif yang dapat memperkaya khasanah kebudayaan nasional, dalam program pembinaan kesenian akan dilakukan antara lain pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional dan kontemporer, pergelaran apresiasi seni, baik di dalam maupun luar negeri, serta penyelesaian pembangunan gedung taman budaya. Dalam hubungannya dengan program pembinaan tradisi, peninggakan sejarah dan permuseuman., direncanakan antara lain inventarisasi dan dokumentasi sejarah nasional, pengamanan dan penyelamatan benda cagar budaya, penyebarluasan informasi benda cagar budaya, pembinaan tenaga teknis pengamanan permuseuman, serta peningkatan apresiasi masyarakat melalui ceramah, pergelaran, dan pameran koleksi museum. Selanjutnya dalam rangka program pembinaan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, antara lain akan diselenggarakan penelitian dan inventarisasi terhadap organisasi kepercayaan dan ajarannya, serta diupayakan pemeliharaan kerukunan antar penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di subsektor pemuda dan olah raga, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program pembinaan dan pengembangan pemuda sebesar Rp 24,9 miliar serta program pembinaan keolahragaan sebesar Rp 12,5 miliar. Dalam rangka mempersiapkan kader penerus bangsa dalam melanjutkan dan mengisi pembangunan nasional, dalam program pembinaan dan Departemen Keuangan RI 202 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pengembangan pemuda anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pengerahan tenaga sarjana penggerak pembangunan di daerah perdesaan sebanyak 1.400 orang, latihan kepemimpinan dan keterampilan pemuda, serta penyelenggaraan pertukaran pemuda, baik antar propinsi maupun antar negara. Sementara itu guna mendukung usaha pemasyarakatan olahraga dan pengolahragaan masyarakat, dalam program pembinaan keolahragaan direncanakan antara lain pengembangan olahraga massal bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat, pembibitan dan pembinaan olahragawan pelajar, serta pengadaan sarana dan prasarana olahraga. Pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari peningkatan kualitas dan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, untuk menunjang upaya peningkatan kemampuan dan memperluas jangkauan pemerataan pelayanan kesehatan serta perbaikan kesejahteraan rakyat dan taraf hidup masyarakat, dalam RAPBN 1995/96 kepada sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja disediakan anggaran pembangunan sebesar Rp 1.051,9 miliar. Jumlah tersebut berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 20,9 miliar atau 2,0 persen bila dibandingkan dengan anggaran sektor yang sama dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor kesejahteraan sosial sebesar Rp 89,5 miliar, subsektor kesehatan sebesar Rp 948,2 miliar, serta subsektor peranan wanita, anak, dan remaja sebesar Rp 14,2 miliar. Di subsektor kesejahteraan sosial, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan taraf hidup rakyat secara lebih merata, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya masing-masing untuk program pembinaan kesejahteraan sosial sebesar Rp 39,5 miliar, program pelayanan dan rehabilitasi sosial sebesar Rp 30,7 miliar, program pembinaan partisipasi sosial masyarakat sebesar Rp 12,3 miliar, serta program penanggulangan bencana alam sebesar Rp 7,0 miliar. Dalam rangka membina dan mengembangkan swadaya masyarakat serta menggerakkan potensi dan sumber-sumber kesejahteraan sosial yang dimiliki masyarakat, dalam program pcmbinaan kesejahteraan sosial anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk mcnunjang pcmbinaan kesejahteraan sosial bagi sekitar 9.700 KK masyarakat terasing, pcmbinaan tcrhadap sckitar 23.100 orang lanjut usia, baik di dalam maupun di luar panti, serta pembinaan bagi sckitar 28.330 anak terlantar. Selain itu dalam program yang sama juga dircncanakan pcmbcrian bantuan modal kerja bagi sekitar 2.090 kelompok usaha bersama (KUB) yang didahului dengan bimbingan motivasi sosial bagi mereka. Sedangkan untuk mengembalikan dan meningkatkan kemampuan para penyandang masalah kesejahteraan sosial agar dapat Departemen Keuangan RI 203 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya, dalam program pelayanan dan rehabilitasi sosial direncanakan antara lain pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap sekitar 45.000 penyandang cacat, 4.620 orang tuna sosial, dan 2.710 orang anak nakal dan korban narkotika, serta ditingkatkan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penyebaran penyakit AIDS. Sementara itu guna meningkatkan dan mengembangkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pembangunan, anggaran yang disediakan bagi program pembinaan partisipasi sosial masyarakat diprioritaskan pemanfaatannya terutama untuk meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap upaya untuk menangani permasalahan kesejahteraan sosial beserta lingkungannya, serta peningkatan mutu pelayanan sosial secara profesional. Selanjutnya guna meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan masyarakat dalam menghadapi dan menanggulangi bencana alam, akan dilakukan pelatihan penanggulangan bencana melalui pelatihan instruktur dan pengembangan satuan tugas sosial penanggulangan bencana (Satgasos PH), pemberian bantuan bahan material rumah dan bantuan sarana sosial, serta pemulihan fungsi sosial bagi para korban bencana alam. Di subsektor kesehatan, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya masing-masing untuk program penyuluhan kesehatan sebesar Rp 25,5 miliar, program pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit sebesar Rp 238,5 miliar, program pelayanan kesehatan masyarakat sebesar Rp 506,6 miliar, program pencegahan dan pemberantasan penyakit sebesar Rp 144,6 miliar, program perbaikan gizi sebesar Rp 17,9 miliar, program pengawasan obat dan makanan sebesar Rp 14,0 miliar, serta program pembinaan pengobatan tradisional sebesar Rp 1,1 miliar. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan masyarakat untuk hidup bersih dan sehat, anggaran pembangunan pada program penyuluhan kesehatan direncanakan antara lain untuk penyebarluasan informasi kesehatan yang dikembangkan secara sistematis, baik melalui penyuluhan individu dan kelompok maupun melalui media massa, dengan memanfaatkan lembaga swadaya masyarakat yang ada. Sementara itu untuk meningkatkan pemanfaatan prasarana dan sarana kesehatan agar dapat memberikan pelayanan yang lebih luas, bermutu dan efisien, dalam program pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk peningkatan fungsi 22 rumah sakit kelas D menjadi rumah sakit kelas C, peningkatan secara bertahap rumah sakit kelas C menjadi rumah sakit kelas B, penetapan sentra-sentra pelayanan rumah sakit, serta pembinaan rujukan antar rumah sakit, terutama rumah sakit kelas C dan rumah sakit swadana. Dalam pada itu untuk memperluas cakupan dan sekaligus Departemen Keuangan RI 204 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat, dalam program pelayanan kesehatan masyarakat anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) dan keluarga berencana, pelayanan kesehatan bagi anak pra sekolah di 4.500 taman kanakkanak (TK), peningkatan usaha kesehatan sekolah (UKS), serta pelayanan kesehatan bagi kelompok lanjut usia di 816 Puskesmas. Selain daripada itu melalui program yang sama direncanakan pula pelayanan kesehatan mata di 41 Puskesmas, pelayanan penanggulangan penyakit tuberkulosa paru oleh balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4), serta pengembangan pola pelayanan kesehatan matra, yaitu pelayanan kesehatan terpadu bagi para jemaah haji, transmigran, korban bencana alam, masyarakat desa tertinggal, masyarakat terasing, dan masyarakat daerah kumuh. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kualitas dan memperluas jangkauan pelayanan kesehatan, dalam program yang sama akan dilakukan pembangunan 30 unit Puskesmas, 500 unit Puskesmas pembantu, 480 rumah dinas bagi dokter umum, dokter gigi dan tenaga paramedis lainnya, pengadaan 360 Puskesmas keliling, serta pemeliharaan dan operasional bagi 32.955 Puskesmas, Puskesmas pembantu, Puskesmas perawatan, dan Puskesmas keliling. Sedangkan untuk mencegah berjangkitnya penyakit, menurunkan angka kematian dan angka kesakitan, serta mengurangi akibat buruk penyakit, baik menular maupun tidak menular, anggaran pembangunan yang disediakan bagi program pencegahan dan pemberantasan penyakit akan dipergunakan antara lain untuk peningkatan kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit AIDS dan penyakit kelamin lainnya, pengobatan terhadap penderita malaria sebanyak 4,2 juta orang, serta pemberian imunisasi lengkap, yang mencakup vaksinasi campak, BCG, polio, dan DPT terhadap 4,6 juta bayi, imunisasi anti tetanus bagi sekitar 4,9 juta ibu hamil dan wanita usia subur, serta vaksinasi diptheri terhadap sekitar 6,3 juta anak. Seiring dengan itu, guna menunjang perbaikan mutu dan status gizi masyarakat, dalam rangka program perbaikan gizi akan diupayakan antara lain penyuluhan gizi masyarakat melalui kegiatan gerakan sadar pangan dan gizi (GSPG), usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) dengan pemberian makanan tambahan (PMT), dan penggunaan bahan makanan kaya gizi untuk penanggulangan kurang energi protein (KEP) di 27 propinsi di Indonesia, serta direncanakan usaha penanggulangan kelainan gizi melalui pemberian kapsul iodium, kapsul vitamin A, dan tablet/sirup ferum (zat besi). Sedangkan untuk menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan secara lebih merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, serta melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan obat dan makanan, anggaran pembangunan yang disediakan bagi program pengawasan obat dan makanan Departemen Keuangan RI 205 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 akan dimanfaatkan antara lain untuk peningkatan produksi dan pendistribusian obat generik berlogo secara lebih luas, teratur, dan merata. Selanjutnya dalam rangka menggali dan meningkatkan pendayagunaan obat dan cara pengobatan tradisional, dalam program pembinaan pengobatan tradisional anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pembentukan sentra pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional yang tersebar di Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Propinsi Sulawesi Utara, serta diupayakan penggalian pengobatan tradisional warisan pusaka nusantara, diantaranya di propinsi-propinsi Maluku dan Bali. Sementara itu dalam rangka menunjang usaha pembinaan anak dan remaja sebagai generasi penerus perjuangan bangsa dan meningkatkan pembinaan peranan wanita sebagai mitra sejajar pria dalam pembangunan, anggaran pembangunan subsektor peranan wanita, anak, dan remaja direncanakan alokasinya untuk program peranan wanita sebesar Rp 13,2 miliar serta program anak dan remaja sebesar Rp 1,0 miliar. Dalam upaya meningkatkan kedudukan, peranan, kemampuan, kemandirian, serta ketahanan menhal dan spiritual wanita, melalui program peranan wanita akan diupayakan antara lain pelatihan kepemimpinan bagi lebih dari 7.000 wanita, penyelenggaraan bimbingan usaha bagi sekitar 14.000 wanita, serta pengembangan iklim sosial budaya yang mendukung kemajuan dan peranan wanita. Sedangkan untuk mempersiapkan manusia Indonesia yang terdanik, berkualitas tinggi, tangguh, patriotik, kreatif dan produktif, melalui program anak dan remaja akan diupayakan pembentukan motivator pemuda dalam penanggulangan narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya, serta direncanakan peningkatan peran lembaga swadaya masyarakat di kakangan generasi muda, seperti Karang Taruna, pondok pesantren, dan organisasi remaja lainnya. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kemampuan nasional dalam pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), dalam RAPBN 1995/96 sektor ilmu pengetahuan dan teknologi mendapat alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 711,2 miliar. Jumlah tersebut berarti sebesar Rp 181,4 miliar atau 34,2 persen lebih tinggi dari anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Guna mendukung upaya percepatan proses transformasi teknologi, penguasaan teknologi dan rancang bangun, pengembangan ilmu pengetahuan terapan dan dasar, penataan dan pengembangan sistem kelembagaan Iptek, penyediaan sarana dan prasarana penelitian, serta pengembangan wahana yang memadai bagi penerapan Iptek, anggaran pembangunan sektor tersebut akan dialokasikan bagi subsektor teknik produksi dan teknologi sebesar Rp 183,5 miliar, subsektor ilmu pengetahuan terapan dan dasar Departemen Keuangan RI 206 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebesar Rp 80,7 miliar, subsektor kelembagaan, prasarana dan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi sebesar Rp 145,7 miliar, subsektor kelautan sebesar Rp 140,5 miliar, subsektor kedirgantaraan sebesar Rp 38,1 miliar, serta subsektor sistem informasi dan statistik sebesar Rp 122,7 miliar. Di subsektor teknik produksi dan teknologi, anggaran pembangunan direncanakan untuk pembiayaan program teknik produksi sebesar Rp 30,5 miliar dan program penguasaan teknologi sebesar Rp 153,0 miliar. Dalam kaitannya dengan program teknik produksi, akan diupayakan antara lain pengembangan teknik produksi radioisotop dan radiofarmaka, peningkatan kemampuan fasilitas uji terbang, pengadaan peralatan riset mikroelektronika dan standardisasi, pengembangan basis data informasi keanekaragaman hayati, dan penguasaan teknik produksi energi listrik dengan memanfaatkan potensi gelombang laut. Sedangkan dalam hubungannya dengan program penguasaan teknologi antara lain direncanakan penelitian dan pengembangan swasembada pangan dan teknologi tepat guna, penelitian dan pengembangan proses industri kimia, material dan mineral, serta pengembangan kapasitas reaktor riset, riset unggulan terpadu (RUT), dan riset unggulan kemitraan (RUK). Di subsektor ilmu pengetahuan terapan dan dasar, anggaran pembangunan direncanakan penggunaannya masing-masing untuk program pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan terapan sebesar Rp 59,8 miliar serta program pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan dasar sebesar Rp 20,9 miliar. Guna mengimbangi percepatan dan pendalaman pembangunan, dalam program pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan terapan akan diupayakan antara lain pengembangan kemampuan stasiun kedirgantaraan, penelitian untuk mendayagunakan potensi biota darat, penelitian aplikasi isotop dan radiasi untuk meningkatkan produksi pangan, dan pengkajian sistem energi nuklir. Sedangkan dalam usaha untuk mendayagunakan kemajuan ilmu pengetahuan dasar, dalam program pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan dasar anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk penelitian penggunaan teknik berkas netron dalam perekayasaan, penelitian dinamika persaingan ekonomi internasional, pengembangan teknologi bio proses, dan penelitian bioteknologi. Sementara itu alokasi anggaran pembangunan di subsektor kelembagaan prasarana dan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi direncanakan untuk menunjang program pembinaan kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebesar Rp 22,7 miliar serta program Departemen Keuangan RI 207 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pengembangan prasarana dan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi sebesar Rp 123,0 miliar. Dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas pada seluruh bidang ilmu pengetahuan dan teknologi antara lain direncanakan pemantapan sistem informasi antar lembaga, pemasyarakatan hasil-hasil penelitian, serta penciptaan iklim yang kondusif bagi kegiatan penelitian. Sedangkan dalam kaitannya dengan program pengembangan prasarana dan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi, antara lain akan dilakukan pengembangan fasilitas laboratorium ilmu pengetahuan teknik di Bandung, pengembangan laboratorium limnologi di Bogor, pengembangan sistem keamanan kawasan di Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), pembangunan gedung laboratorium pengecoran logam di Lampung, pembangunan lanjutan saluran penyaluran bahan radio aktif, pengembangan fasilitas laboratorium thermodinamika, motor dan propulsi di Serpong, serta pengembangan fasilitas laboratorium biologi molekuler Eijkman. Selanjutnya guna menunjang upaya pendayagunaan dan pemanfaatan potensi ekonomis kelautan nusantara sebagai salah satu modal dasar bagi pembangunan nasional, anggaran pembangunan subsektor kelautan akan dialokasikan untuk program inventarisasi dan evaluasi potensi kelautan sebesar Rp 41,0 miliar dan program pemanfaatan sumber daya kelautan sebesar Rp 99,5 miliar. Untuk mengembangkan potensi berbagai industri kelautan nasional dan penyebarannya di seluruh wilayah tanah air, anggaran yang disediakan bagi program inventarisasi dan evaluasi potensi kelautan akan dipergunakan antara lain untuk pengembangan dan pemanfaatan potensi kelautan kawasan timur Indonesia, peningkatan kemampuan peneliti di bidang kelautan, pengkajian status ekosistem wilayah pesisir, serta renovasi laboratorium kelautan di kawasan timur Indonesia. Di samping itu juga direncanakan pengadaan sarana dan prasarana laboratorium kelautan di Jakarta, peralatan komputer sistem informasi geografis dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan perencanaan wilayah pantai dan pesisir di daerah, survei hidrografi dan pembuatan peta lingkungan pantai, serta operasionalisasi beberapa karat riset. Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan dalam pendayagunaan dan pemanfaatan potensi kekayaan laut, anggaran yang disediakan bagi program pemanfaatan sumber daya kelautan antara lain akan dimanfaatkan untuk mengembangkan stasiun penelitian kelautan di Lombok, pengadaan karat fiset, serta pengembangan pusat data kelautan. Di subsektor kedirgantaraan, dalam rangka mendukung upaya pengembangan informasi dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan, anggaran pembangunan Departemen Keuangan RI 208 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 direncanakan pemanfaatannya untuk program pembinaan kemampuan kedirgantaraan sebesar Rp 24,5 miliar dan program pemanfaatan wahana dirgantara sebesar Rp 13,6 miliar. Dalam program pembinaan kemampuan kedirgantaraan, penggunaan dana tersebut antara lain ditujukan untuk peningkatan mutu data penginderaan jauh dengan memanfaatkan stasiun bumi yang tersedia, pengembangan peralatan pengolahan data satelit, pengumpulan data dan informasi teknis wahana peluncur, pemotretan udara dengan global positioning system (GPS) kinematik, pemetaan dirgantara digital skala 1:50.000, dan pembuatan peta navigasi udara. Selain itu anggaran tersebut juga akan dimanfaatkan untuk melanjutkan upaya penyusunan konsepsi kedirgantaraan nasional. Sedangkan alokasi anggaran pembangunan dalam program pemanfaatan wahana dirgantara akan dimanfaatkan untuk penelitian dinamika atmosfer, peningkatan penguasaan teknologi inventarisasi sumber daya alam, peningkatan mutu pelayanan jasa penyediaan data penginderaan jauh, pelaksanaan survei multi tingkat untuk pemantauan hutan, liputan lahan dan sagu, serta pelayanan jasa pemantauan kondisi atmosfer untuk menghindari gangguan telekomunikasi. Di subsektor sistem informasi dan statistik, guna mengembangkan sistem informasi yang mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta mengembangkan jaringan informasi di berbagai bidang pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat secara luas, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program pengembangan sistem informasi sebesar Rp 19,6 miliar, serta program penyempurnaan dan pengembangan statistik sebesar Rp 103,1 miliar. Dalam rangka penyebarluasan dan pendayagunaan informasi bagi masyarakat, dalam program pengembangan sistem informasi anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pengembangan sistem informasi ilmu pengetahuan dan teknologi nasional guna menunjang pembangunan, pengembangan sistem informasi kearsipan, pengembangan sistem informasi kebijaksanaan Iptek dan teknologi industri, termasuk penerbitan buku-buku ilmiah dan promosi hasil-hasil penelitian, pengembangan sistem informasi kesehatan, serta pengembangan sistem informasi pendidikan. Dalam rangka menunjang perencanaan pembangunan wilayah secara terpadu, akan dikembangkan sistem informasi geografi, sistem informasi mengenai sumber daya alam, serta data pokok dan informasi pembangunan daerah. Guna menunjang manajemen lembaga pemerintah dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya, akan dikembangkan sistem informasi mengenai kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dan peraturan perundangundangan. Selain itu, guna menunjang pengembangan dunia usaha, termasuk kemudahan akses informasi bagi usaha kecil dan menengah, akan dikembangkan sistem dan pelayanan informasi Departemen Keuangan RI 209 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 industri serta penyebaran informasi perdagangan. Berbagai jaringan sistem informasi, baik antar instansi pemerintah, antara instansi pemerintah dengan masyarakat maupun dengan jaringan sistem informasi internasional juga akan dikembangkan. Sedangkan dalam rangka program penyempurnaan dan pengembangan statistik akan diupayakan penyediaan data dan informasi sebagai basis yang penting dalam menunjang penyusunan perencanaan pembangunan nasional, antara lain melalui penyempurnaan dan pengembangan statistik pertanian dan industri, penyempurnaan dan pengembangan statistik pendapatan nasional, regional, dan tabel inputoutput, survei sosial ekonomi nasional, serta penyempurnaan dan pengembangan statistik di seluruh propinsi di Indonesia. Dalam upaya peningkatan kualitas dan efektivitas sumber daya manusia sebagai kekuatan utama pembangunan nasional, dalam RAPBN 1995/96 kepada sektor kependudukan dan keluarga sejahtera direncanakan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 300,3 miliar, yang berarti sebesar Rp 10,1 miliar atau 3,5 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Guna menunjang upaya pengendalian pertumbuhan penduduk, penyebaran penduduk antar daerah yang lebih seimbang, peningkatan kualitas penduduk, serta perwujudan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, anggaran sektor tersebut akan dialokasikan untuk program kependudukan sebesar Rp 2,5 miliar dan program keluarga berencana sebesar Rp 297,8 miliar. Dalam rangka menciptakan keseimbangan antara kuantitas penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, anggaran pembangunan yang disediakan bagi program kependudukan direncanakan antara lain untuk pengembangan dan penyempurnaan sistem informasi kependudukan, pengendalian kelahiran melalui upaya pendewasaan usia kawin, serta pembudayaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS). Sedangkan untuk meningkatkan kepedulian dan peranserta masyarakat dalam mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera, anggaran pembangunan yang disediakan bagi program keluarga berencana (KB) akan dipergunakan antara lain untuk pengadaan obat-obatan dan alat-alat kontrasepsi, operasional tim KB, serta penyediaan prasarana dan sarana penunjang KB lainnya. Selain daripada itu untuk memperkuat ketahanan keluarga dan meningkatkan kualitas kesejahteraan rakyat, dalam program yang sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk penyelenggaraan bina keluarga Balita (BKB), bina keluarga remaja (BKR), serta bina keluarga Lansia (BKL). Sedangkan untuk menunjang upaya pengentasan kemiskinan, dengan anggaran dalam program Departemen Keuangan RI 210 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 yang sama akan dilaksanakan usaha peningkatan pendapatan keluarga akseptor (UPPKA), serta pendataan dan pemetaan keluarga sejahtera secara menyeluruh di Indonesia. Selanjutnya guna menunjang pembentukan tenaga profesional yang mandiri, berkualitas, dan produktif yang dibutuhkan oleh berbagai sektor dan bidang pembangunan, pembinaan ketenagakerjaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas dan pengembangan sumber daya manusia juga akan diupayakan untuk ditingkatkan. Sehubungan dengan itu, dalam RAPBN 1995/96 untuk sektor tenaga kerja direncanakan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 170,6 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 24,1 miliar atau 16,5 persen apabila dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut direncanakan alokasinya masing-masing untuk program pelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja sebesar Rp 79,1 miliar, program penyebaran dan pendayagunaan tenaga kerja sebesar Rp 58,6 miliar, program pembinaan dan pengembangan produktivitas dan kesempatan kerja sebesar Rp 10,2 miliar, serta program pembinaan hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja sebesar Rp 22,7 miliar. Untuk meningkatkan keterampilan, keahlian, dan profesionalisme tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan pembangunan di berbagai sektor dan daerah, anggaran yang disediakan bagi program pelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja direncanakan antara lain untuk memberikan pelatihan bagi tenaga kerja usia muda terdidik melalui pelatihan institusional yang diarahkan pada peningkatan multi produk yang dihasilkan, pelatihan dan pemagangan berdasarkan analisis kebutuhan pasar kerja, serta pelatihan noninstitusional (mobile training unit) secara terpadu dengan program-program pada berbagai sektor lainnya, terutama di desa-desa tertinggal, guna menunjang pengembangan dan pembangunan atas dasar potensi wilayah setempat. Sementara itu anggaran yang disediakan bagi program penyebaran dan pendayagunaan tenaga kerja direncanakan penggunaannya antara lain untuk penempatan tenaga kerja sarjana dan tenaga kerja terdidik lainnya di desa-desa tertinggal dan unit-unit ekonomi produktif lainnya, seperti koperasi unit desa (KUD), menunjang penyaluran tenaga kerja melalui mekanisme antar kerja lokal (AKL) dan antar kerja antar daerah (AKAD), penyaluran tenaga kerja Indonesia ke sektor formal di luar negeri melalui mekanisme antar kerja antar negara (AKAN) dalam rangka percepatan alih teknologi, penyebarluasan teknologi padat karya bagi desa-desa tertinggal, serta penyaluran tenaga kerja penyandang cacat. Departemen Keuangan RI 211 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Selanjutnya guna menunjang peningkatan efisiensi dan produktivitas di semua sektor, dalam program pembinaan dan pengembangan produktivitas dan kesempatan kerja akan diupayakan antara lain pemasyarakatan produktivitas dan pengembangan sumber daya manusia dengan membentuk unit/lembaga produktivitas di perusahaan. Upaya tersebut akan dilakukan, baik melalui penyuluhan langsung kepada masyarakat maupun melalui penyebarluasan informasi di media massa, dunia pendidikan, dan forum masyarakat produktivitas Indonesia. Di samping itu dalam program yang sama juga akan diupayakan pengembangan percontohan desa produktif di 27 propinsi, serta penyusunan dan penetapan standar mutu produktivitas dan efisiensi, baik di lingkup perusahaan maupun secara sektoral. Selanjutnya guna menciptakan kondisi kerja yang saling menguntungkan antara pekerja dan pemakai jasa tenaga kerja serta meningkatkan kesejahteraan dan tarat hidup para pekerja, dalam program pembinaan hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja anggaran pembangunan direncanakan pemanfaatannya antara lain untuk pembinaan dan penyuluhan di perusahaan mengenai aspek hubungan industrial Pancasila, kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja, mendorong terbentuknya beberapa serikat pekerja sektoral, lembaga bipartit di perusahaan dan lembaga tripartit sektoral, menyempurnakan sistem pengupahan yang didasarkan pada kebutuhan hidup dan penilaian prestasi kerja, memperluas jangkauan perlindungan tenaga kerja wanita dalam sektor informal dan tenaga kerja anak-anak di 27 propinsi, serta penerapan dan pembudayaan keselamatan dan kesehatan kerja. Selanjutnya menyadari bahwa pengembangan sumber daya manusia pada dasarnya tidak hanya bersifat material semata, maka pembangunan dan pembinaan berbagai aspek yang menyentuh sendi-sendi kehidupan keagamaan juga senantiasa diupayakan peningkatannya. Sehubungan dengan itu, guna memperkukuh landasan moral dan spiritual masyarakat, menciptakan suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan, ketaqwaan, dan kerukunan yang mantap, serta makin meningkatkan peranserta umat beragama dalam pembangunan, dalam RAPBN 1995/96 sektor agama disediakan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 183,3 miliar. Jumlah tersebut berarti menunjukkan peningkatan sebesar Rp 61,4 miliar atau 50,3 persen bila dibandingkan dengan anggaran yang sama dalam APBN 1994/95. Anggaran pembangunan sektor tersebut akan dialokasikan untuk subsektor pelayanan kehidupan beragama sebesar Rp 23,2 miliar dan subsektor pembinaan pendidikan agama sebesar Rp 160,1 miliar. Di subsektor pelayanan kehidupan beragama, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program peningkatan sarana kehidupan beragama sebesar Rp 15,0 miliar, Departemen Keuangan RI 212 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 program penerangan, bimbingan dan kerukunan hidup umat beragama sebesar Rp 6,5 miliar, serta program peningkatan pelayanan ibadah haji sebesar Rp 1,7 miliar. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan memperluas penyediaan sarana kehidupan beragama, serta meningkatkan pemanfaatan pranata keagamaan, dalam program peningkatan sarana kehidupan beragama direncanakan antara lain pengadaan sekitar 800 ribu buah kitab suci berbagai agama, bantuan pembangunan dan rehabilitasi sekitar 2.500 unit tempat-tempat peribadatan berbagai agama, pembangunan dan rehabilitasi sekitar 110 unit balai nikah dan penasihat perkawinan (BNPP), serta pemberian bantuan bagi pensertifikatan sekitar 17 .000 petak tanah wakaf. Sementara itu untuk meningkatkan pemerataan pendidikan keagamaan, mendorong peranserta dan kepedulian masyarakat dalam kehidupan beragama, serta meningkatkan kerukunan dan kesatuan antar umat beragama, melalui program penerangan, bimbingan dan kerukunan hidup umat beragama, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pemberian bimbingan dan penyuluhan agama bagi sekitar 750 kelompok sasaran dari berbagai agama, peningkatan mutu dan jumlah tenaga penyuluh, dai, dan pemuka agama, yang disertai dengan pengadaan seperangkat paket dakwah, buku dakwah, pedoman dan brosur dakwah, serta penyelenggaraan temu ilmiah dan temu cendekiawan antar agama. Selanjutnya guna meningkatkan pelayanan dan kelancaran penunaian ibadah haji dan umroh bagi umat Islam serta mendukung terbinanya jemaah haji yang mabrur, dalam program peningkatan pelayanan ibadah haji akan diupayakan antara lain perluasan, rehabilitasi, dan pembangunan sekitar 270 unit asrama haji, termasuk perluasan dan rehabilitasi asrama haji di pelabuhan embarkasi dan transit, peningkatan mutu petugas haji dan pengelola asrama haji, serta peningkatan tata cara pelayanan jemaah haji yang lebih profesional. Selain daripada itu dalam program yang sama juga akan diupayakan pemeliharaan kemabruran haji secara berkelanjutan melalui kegiatan amal sosial pembangunan dan pembinaan organisasi persaudaraan haji. Di subsektor pembinaan pendidikan agama, anggaran pembangunan direncanakan penggunaannya untuk pembiayaan program pembinaan pendidikan agama tingkat dasar sebesar Rp 92,2 miliar, program pembinaan pendidikan agama tingkat menengah sebesar Rp 21,3 miliar, program pembinaan pendidikan agama tingkat tinggi sebesar Rp 41,6 miliar, serta program pembinaan kelembagaan dan tenaga penyuluh keagamaan sebesar Rp 5,0 miliar. Dalam rangka menunjang program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, dalam program p6mbinaan pendidikan agama tingkat dasar anggaran pembangunan akan digunakan antara lain untuk Departemen Keuangan RI 213 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 penambahan sekitar 320 ruang kelas bagi madrasah ibtidaiyah negeri (MIN), pembangunan 400 ruang kelas madrasah tsanawiyah negeri (MTsN), serta penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan bagi MIN dan MTsN. Sedangkan untuk menunjang upaya peningkatan mutu pendidikan agama pada sekolah umum, dalam program yang sama direncanakan antara lain penyelenggaraan penataran bagi sekitar 6.200 guru agama dan tenaga kependidikan lainnya, pengadaan 1,3 juta buku pelajaran agama dan buku pedoman bagi guru, serta pemberian bantuan tempat peribadatan. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan keagamaan, anggaran pembangunan yang disediakan bagi program pembinaan pendidikan agama tingkat menengah akan diarahkan pemanfaatannya terutama untuk peningkatan mutu madrasah aliyah negeri (MAN) yang bersifat umum, madrasah aliyah keagamaan (MAK), dan pendidikan agama di sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), baik negeri maupun swasta. Sementara itu dalam program pembinaan pendidikan agama tingkat tinggi anggaran pembangunan akan dipergunakan antara lain untuk peningkatan mutu perguruan tinggi agama (PTA), diantaranya Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dalam pada itu untuk meningkatkan peran lembaga keagamaan dalam pembangunan dan meningkatkan mutu tenaga keagamaan, dalam program pembinaan kelembagaan dan tenaga penyuluh keagamaan direncanakan antara lain peningkatan pendidikan keagamaan pra sekolah. Berkaitan dengan itu, anggaran pembangunan dalam program tersebut akan dimanfaatkan antara lain untuk pengadaan sekitar 57 ribu buku pedoman, penataran bagi sekitar 60 ribu guru raudhatul atfal (RA), pengembangan TK Islam dan madrasah diniyah, serta pelatihan tenaga keagamaan bagi sekitar 120 majelis taklim, 165 remaja masjid, dan 200 taman pengajian Al Qur'an (TPA). Selain daripada itu anggaran pembangunan tersebut juga direncanakan untuk pemberian bantuan kepada pondok pesantren serta pemberian bantuan, baik prasarana dan sarana maupun pelatihan, bagi lembaga keagamaan, lembaga dakwah, dan organisasi keagamaan lainnya. Guna mewujudkan perumahan rakyat dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, teratur, dan dengan harga yang terjangkau masyarakat golongan berpenghasilan rendah, dalam tahun anggaran 1995/96 untuk sektor perumahan dan permukiman direncanakan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 1.102,1 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 214,2 miliar atau 24, 1 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk subsektor perumahan dan permukiman sebesar Rp 1.034,1 miliar serta subsektor penataan kota dan bangunan sebesar Rp 68,0 miliar. Departemen Keuangan RI 214 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Di subsektor perumahan dan permukiman anggaran pembangunan direncanakan alokasinya bagi, pembiayaan program penyediaan perumahan dan permukiman sebesar Rp 134,9 miliar, program perbaikan perumahan dan permukiman sebesar Rp 119,2 miliar, program penyehatan lingkungan permukiman sebesar Rp 307,7 miliar, serta program penyediaan dan pengelolaan air bersih sebesar Rp 472,3 miliar. Dalam rangka penyediaan fasilitas pelayanan dasar di kawasan perumahan dan permukiman dalam skala besar, melalui program penyediaan perumahan dan permukiman anggaran pembangunan antara lain direncanakan untuk menunjang pembangunan prasarana dan sarana lingkungan bagi sekitar 90 ribu unit rumah sangat sederhana, rumah sederhana, dan rumah susun sederhana bagi masyarakat berpendapatan rendah, yang dilaksanakan bersama-sama dunia usaha dan masyarakat. Sedangkan anggaran pembangunan pada program perbaikan perumahan dan permukiman direncanakan antara lain untuk perencanaan, pembinaan, dan pengendalian perumahan dan pemukiman, penanggulangan darurat perumahan dan pemukiman, perbaikan perumahan dan pemukiman di beberapa kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, Irian Jaya, dan Timor Timur, peremajaan sekitar 100 hektar lingkungan pemukiman kota di 5 kawasan, perbaikan lingkungan kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang melalui perbaikan kampung di 60 kota, serta pembangunan desa pusat pengembangan (DPP) di 300 desa. Sementara itu melalui program penyehatan lingkungan pemukiman anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pembangunan dan perbaikan sistem drainase, penanganan persampahan dan air limbah di berbagai kawasan kumuh, perencanaan, pembinaan dan pengendalian penyehatan lingkungan pemukiman (PLP), serta penanggulangan darurat PLP di beberapa kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Timor Timur, dan Irian Jaya. Sedangkan dalam rangka program penyediaan dan pengelolaan air bersih anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang perencanaan, pembinaan dan pengendalian air bersih, penanggulangan darurat air bersih, penyediaan dan pengelolaan air bersih di beberapa kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Timor Timur dan Irian Jaya, serta peningkatan pendayagunaan kapasitas terpasang dan perluasan jangkauan pelayanan air bersih untuk sekitar 20 kota metropolitan dan kota besar, 100 kota sedang, dan 200 kota kecil. Untuk wilayah perdesaan, penyediaan air bersih dan prasarana penyehatan lingkungan pemukiman diarahkan terutama untuk desa-desa tertinggal. Selanjutnya di subsektor penataan kota dan bangunan anggaran pembangunan akan diarahkan penggunaannya untuk program penataan kota sebesar Rp 53,6 miliar dan program Departemen Keuangan RI 215 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 penataan bangunan sebesar Rp 14,4 miliar. Dalam kaitannya dengan program penataan kota, anggaran pembangunan direncanakan antaralain untuk menunjang penyusunan strategi penataan kota dan kawasan, pembinaan teknis tata ruang, penjabaran rencana tata ruang, serta penyusunan rencana, program, dan pengendalian penataan, baik kota dan kawasan maupun bangunan dan lingkungan. Sementara itu melalui program penataan bangunan anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang pembinaan teknis rencana tata bangunan dan lingkungan bagi 34 Dati II, penataan pembangunan gedung sekolah menengah dan rumah sakit, serta penyelenggaraan berbagai penyuluhan untuk meningkatkan pemasyarakatan peraturan perundangan tentang tertib pembangunan dan keselamatan pembangunan. Dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, perlu diupayakan penyerasian tata guna lahan, air, dan sumber daya alam lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis, serta didukung oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi. Untuk menunjang hal tersebut, dalam RAPBN 1995/96 sektor lingkungan hidup dan tata ruang dialokasikan anggaran pembangunan sebesar Rp 517,3 miliar. Jumlah tersebut berarti sebesar Rp 65,0 miliar atau sekitar 14,4 persen lebih tinggi dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk subsektor lingkungan hidup sebesar Rp 385,3 miliar dan subsektor tata ruang sebesar Rp 132,0 miliar. Di subsektor lingkungan hidup, dalam rangka mencegah terjadinya kerusakan sumber alam dan menurunnya kualitas lingkungan serta meningkatkan daya dukung lingkungan sehingga pembangunan nasional yang berkelanjutan dapat terlaksana, anggaran pembangunan akan dialokasikan untuk program pembinaan daerah pantai sebesar Rp 32,7 miliar, program pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup sebesar Rp 21,9 miliar, program penyelamatan hutan, tanah dan air sebesar Rp 22,6 miliar, program rehabilitasi lahan kritis sebesar Rp 188,1 miliar, program pengendalian pencemaran lingkungan hidup Rp 72,2 miliar, serta program inventarisasi dan evaluasi sumber daya darat sebesar Rp 47,8 miliar. Dalam program pembinaan daerah pantai anggaran pembangunan akan dimanfaatkan antara lain untuk menunjang pengamanan daerah pantai Sulawesi Utara dan Bali, pengembangan taman nasional laut Pulau Seribu, pengembangan taman nasional laut Karimunjawa, pengembangan taman nasional laut Cendrawasih, serta pengembangan hutan bakau di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Bali. Sedangkan dalam rangka program pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk mendukung pengembangan analisa mengenai Departemen Keuangan RI 216 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dampak lingkungan (Amdal) kehutanan, penyusunan rencana pengelolaan dampak penting dan sistem Amdal bidang kehutanan, serta peningkatan kemampuan institusi dan personil dalam penilaian Amdal di berbagai bidang pembangunan. Demikian pula melalui program penyelamatan hutan, tanah dan air, anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk menunjang pengembangan taman nasional dan hutan wisata, yang meliputi pengembangan taman nasional di 15 lokasi prioritas, termasuk antara lain Gunung Gede, Pangrango, Ujung Kulon, Gunung Bromo-Tengger, Gunung Lauser, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Way Kambas, dan Kutai, pengembangan hutan lindung, pengembangan kawasan konservasi alam di 7 propinsi, serta pengamanan kawasan hutan terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Sementara itu melalui program rehabilitasi lahan kritis anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang perencanaan dan evaluasi pengelolaan 39 daerah aliran sungai (DAS) prioritas, antara lain DAS sungai Citarum, Cimanuk, Citanduy, Brantas, dan Batang Hari, rehabilitasi lahan dan konservasi tanah melalui penghijauan sedikitnya 450 ribu hektar, reboisasi sekitar 36.500 hektar di daerah aliran sungai, pengelolaan DAS terpadu, serta pengendalian pelauang berpindah. Selanjutnya dalam program inventarisasi dan evaluasi sumber daya darat anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang inventarisasi dan evaluasi sumber daya hutan di wilayah kerja balai Medan, Palembang, Pontianak dan Balikpapan, serta penataan batas dan pengukuhan hutan di wilayah kerja Balai Inventarisasi dan Pengukuhan Hutan Banjarbaru, Manado, Denpasar dan Ambon. Untuk itu akan dilaksanakan pembuatan kelompok petak ukur dan inventarisasi hutan nasional, penafsiran citra satelit, pembuatan peta tematik kehutanan, serta pembuatan batas luar hutan tetap sepanjang 6.976 kilometer. Di subsektor tata ruang, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program penataan ruang sebesar Rp 39,8 miliar dan program penataan pertanahan sebesar Rp 92,2 miliar. Untuk mewujudkan tata ruang yang terencana dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar lingkungan, dan tahapan pengelolaan pembangunan, dalam program penataan ruang anggaran pembangunan diarahkan untuk operasionalisasi strategi nasional pengembangan pola tata ruang (SNPPTR), penyelesaian penyusunan rencana tata ruang pulau, perumusan pengembangan, pemanfaatan dan pengelolaan kawasan pantai/kawasan pesisir, serta penyelesaian permasalahan dalam penataan ruang. Operasionalisasi SNPPTR tersebut mencakup antara lain penjabaran strategi pemanfaatan ruang ke dalam program-program sektoral, perumusan program pengembangan, pemanfaatan dan Departemen Keuangan RI 217 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pengelolaan kawasan khusus, serta perencanaan tata ruang kelautan. Sedangkan penyusunan rencana tata ruang pulau dimaksudkan untuk menjembatani arahan strategi dan pola struktur tata ruang pada tingkat nasional dengan rencana tata ruang wilayah pada tingkat propinsi. Sementara itu berbagai permasalahan dalam penataan ruang, seperti tumpang tindih pemanfaatan lahan, pengaman kawasan lindung, dan pemaduserasian antara tara guna hutan kesepakatan (TGHK) dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) propinsi daerah tingkat I akan diupayakan dapat diselesaikan melalui pemantapan kemampuan aparatur kelembagaan yang terkait dalam penataan ruang. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam pemberian hak atas tanah dan meningkatkan efisiensi administrasi pertanahan, dalam program penataan pertanahan akan diupayakan antara lain penataan penggunaan tanah yang diarahkan terutama pada penyediaan informasi penggunaan tanah berupa pemetaan dan pemutakhiran data penggunaan tanah, penyempurnaan kelembagaan penataan pertanahan, pengembangan administrasi pertanahan yang ditunjang oleh pengembangan data dasar pertanahan dan kegiatan pengelolaan dokumen pertanahan, serta pengkajian dan pengembangan peraturan perundangundangan di bidang pertanahan. Selain dari pada itu dalam rangka penataan penguasaan tanah akan dilaksanakan sertifikasi tanah secara sistematis dan sporadis, percepatan proyek operasi nasional pertanahan (Prona), penyelesaian sertifikasi pertanahan di daerah transmigrasi yang mengalami penunggakan, penyempurnaan proses dan prosedur pengurusan hak atas tanah, serta penertiban dan penyelesaian berbagai masalah pertanahan. Sementara itu pembangunan sector pertahanan keamanan perlu terus ditingkatkan melalui pembangunan kemampuan dan kekuatan agar senantiasa mampu menghadapi ancaman, baik dalam maupun luar negeri, sehingga pembangunan nasional tetap dapat dijaga kesinambungannya dalam suasana yang stabil dan dinamis. Sejalan dengan pembangunan komponen dasar dan komponen pendukung, pembangunan ABRI sebagai inti kekuatan pertahanan keamanan negara diarahkan pada perwujudan postur ABRI yang profesional, efektif, efisien, dan modern. Untuk menunjang pembangunan sektor pertahanan keamanan, dalam RAPBN 1995/96 direncanakan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 1.317,3 miliar, atau mengalami peningkatan sekitar 14 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran Departemen Keuangan RI 218 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tersebut mencakup subsektor rakyat terlatih dan perlindungan masyarakat sebesar Rp 2,4 miliar, subsektor ABRI sebesar Rp 1.250,3 miliar, dan subsektor pendukung sebesar Rp 64,6 miliar. Pembangunan sector rakyat terlatih dan perlindungan masyarakat akan mencakup program kesadaran bela negara dan program penyiapan kekuatan rakyat. Program kesadaran bela negara direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 0,3 miliar yang diarahkan terutama untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran bela negara, baik di lingkungan pendidikan, pekerjaan, maupun permukiman. Dalam rangka menunjang upaya peningkatan dan pengembangan pendidikan kesadaran bela negara (PKBN) di lingkungan pendidikan, dalam program kesadaran bela negara direncanakan antara lain penyiapan mekanisme penyelenggaraan penataran pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN) bagi pelajar dan mahasiswa luar negeri, penyusunan buku pedoman PPBN bagi Pramuka, penyempurnaan pola pemahaman PPBN, penyempurnaan konsep pola penyelenggaraan gerakan nasional tentang disiplin nasional, penyelenggaraan kegiatan PKBN untuk mengisi masa liburan sekolah tingkat SD dan SLTP, serta penyusunan pola penataran terpadu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Sedangkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan dan pengembangan PKBN di lingkungan kerja, dalam program yang sama anggaran pembangunan juga direncanakan untuk melanjutkan penyempurnaan penerapan materi PKBN di lingkungan pekerjaan, peningkatan peranan wanita (P2W) di bidang pertahanan keamanan negara (Hankamneg), serta penyiapan materi simulasi bela negara. Di samping itu dalam rangka menunjang upaya peningkatan dan pengembangan PKBN di lingkungan permukiman, dalam program yang sama juga akan diupayakan penyusunan dan penyempurnaan piranti lunak PKBN di lingkungan permukiman, penyempurnaan penerapan materi PKBN di lingkungan permukiman, penyempurnaan buku pedoman ABRI masuk desa (AMD) di bidang bela negara, penyebarluasan PPBN melalui TVRI dan media massa lainnya, serta penyiapan bahan penyuluhan PPBN. Sementara itu dalam rangka pembinaan kemampuan rakyat terlatih (Ratih), melalui program penyiapan kekuatan negara akan diupayakan antara lain penyempurnaan naskah akademik tentang Ratih, penyusunan RUU Ratih, penganalisaan data tentang calon Ratih untuk bahan perencanaan pembentukan satuan Ratih, serta penyempurnaan kurikulum pendidikan dan pelatihan Ratih. Selain daripada itu guna menunjang upaya pembinaan kekuatan perlindungan masyarakat (Linmas), dalam program yang sama juga direncanakan untuk melanjutkan inventarisasi, komputerisasi data dan pembinaan administrasi para veteran sebagai sumber cadangan TNI, penyandang cacat ABRI dan komponen Departemen Keuangan RI 219 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tenaga manusia Hankamneg lainnya, melanjutkan penyempurnaan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang veteran, serta melanjutkan pemberian keterampilan kepada para penyandang cacat ABRI dan komponen tenaga manusia lainnya agar tetap dapat bekerja sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Selanjutnya guna menunjang upaya peningkatan kualitas kepejuangan dan profesionalisme prajurit ABRI dalam mengemban fungsinya, baik sebagai kekuatan pertahanan kemananan (Hankam) maupun sebagai kekuatan sosial politik (Sospol) yang sesuai dengan perkembangan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), anggaran pembangunan subsektor ABRI direncanakan alokasinya untuk program kewilayahan sebesar Rp 0,9 miliar, program kekuatan sebesar Rp 246,7 miliar, dan program dukungan umum sebesar Rp 1.002,7 miliar. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan fungsi Sospol ABRI, dalam program kewilayahan anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang penyusunan pedoman strategi kaderisasi calon sosial politik ABRI, penyusunan buku referensi dwifungsi ABRI, penyusunan kriteria penugasan Sospol ABRI di lingkungan eksekutif dan legislatif, baik di tingkat pusat, pemerintah daerah tingkat I, maupun pemerintah daerah tingkat II, serta penyusunan kriteria kemampuan Sospol ABRI. Demikian pula dalam rangka menunjang upaya pembinaan kemampuan teritorial, dalam program yang sama juga akan diupayakan pengkajian dan pemantapan konsepsi dan piranti lunak tata ruang wilayah pertahanan nasional pada strata Dati II, penyusunan buku petunjuk (Bujuk) tentang pemantapan piranti lunak. serta pembinaan dan pengembangan kekuatan nasional matra darat, laut, dan udara, sebagai upaya optimalisasi kemampuan Hankamneg di darat, laut, dan udara. Sedangkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan dan pengembangan bala pertahanan keamanan wilayah (Balahankamwil), dalam program kekuatan, anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk pengujian pola operasi keamanan di kawasan barat Indonesia, pengadaan material dan bekal bagi kelengkapan satuan kewilayahan di 10 Kodam, pengadaan kapal TNI-AL berikut kelengkapan dan peralatan lainnya, pengembangan pangkalan TNI-AU, serta pengadaan peralatan khusus kepolisian. Sedangkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan dan pengembangan bala pertahanan keamanan terpusat (Balahankampus), anggaran pembangunan dalam program yang sama direncanakan antara lain untuk menunjang pengujian pola operasi keamanan dan petunjuk operasi keamanan di kawasan barat dan timur Indonesia, pembangunan lapangan tembak TNI-AD, pembangunan dan rehabilitasi prasarana dan Departemen Keuangan RI 220 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sarana pelatihan armada laut TNI-AL, pengadaan peralatan pertahanan udara TNI-AU, serta rehabilitasi beberapa helikopter dan kapal patroli Polri. Selanjutnya melalui program dukungan umum anggaran pembangunan juga direncanakan antara lain untuk peningkatan kemampuan pendukung kekuatan ABRI, informasi, survei dan pemetaan, serta penegakan hukum dan peraturan perundangan dalam rangka meningkatkan disiplin. Sementara itu di subsektor pendukung, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program pembinaan sumber daya alam, buatan dan wilayah negara sebesar Rp 2,4 miliar serta program pembinaan sarana dan prasarana pendukung pertahanan keamanan negara sebesar Rp 62,2 miliar. Dalam rangka mendukung kepentingan Hankamneg, dalam program pembinaan sumber daya alam, buatan dan wilayah negara selain akan dilaksanakan inventarisasi, evaluasi, dan peningkatan pembinaan sumber daya alam, juga direncanakan penyusunan konsep sistem pembinaan terpadu sumber daya alam. Selain daripada itu dalam rangka pembinaan sumber daya buatan, anggaran pembangunan dalam program yang sama direncanakan antara lain untuk penyempurnaan naskah pokok-pokok pembinaan sistem logistik wilayah, serta pemutakhiran dan pembinaan sistem pelaporan data peta geomedik. Sedangkan dalam rangka pengembangan wilayah negara, dalam program yang sama juga direncanakan untuk melanjutkan penentuan batas-batas wilayah kedaulatan negara, penyempurnaan konsep tataruang masing-masing matra wilayah pertahanan, penyempurnaan konsep hala ruang wilayah pertahanan daHal tingkat Kodam dan Korem, serta penyempurnaan konsep tata ruang kelautan dan kedirgantaraan. Selanjutnya dalam program pembinaan sarana dan prasarana pendukung pertahanan dan keamanan negara akan diupayakan penyiapan industri strategis guna mendukung kepentingan Hankamneg, pemanfaatan Iptek guna peningkatan kemampuan penelitian dan pengembangan Hankamneg, serta peningkatan kerja sama internasional di bidang Hankam. Di samping pembangunan Hankamneg, pembangunan sektor aparatur negara dan pengawasan sebagai salah satu unsur penting di dalam menjamin kelancaran jalannya roda pemerintahan dan keberhasilan pelaksanaan pembangunan juga perlu terus ditingkatkan. Dalam RAPBN 1995/96 untuk sektor aparatur negara dan pengawasan direncanakan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 664,4 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 107,4 miliar atau 19,3 persen bila dibandingkan dengan anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk subsektor aparatur negara sebesar Rp 618,8 miliar serta subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan sebesar Rp 45,6 Departemen Keuangan RI 221 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 miliar. Di subsektor aparatur negara, guna mewujudkan sistem administrasi negara yang makin andal, profesional, efisien dan efektif, serta tanggap, baik terhadap aspirasi rakyat maupun terhadap dinamika perubahan lingkungan strategis, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program peningkatan prasarana dan sarana aparatur negara sebesar Rp 318,8 miliar, program peningkatan efisiensi aparatur negara sebesar Rp 76,4 miliar, program pendidikan dan pelatihan aparatur negara sebesar Rp 182,1 miliar, serta program penelitian dan pengkajian kebijaksanaan sebesar Rp 41,5 miliar. Dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan dengan lebih efisien, efektif dan terpadu, baik pada aparatur kenegaraan maupun pada aparatur pemerintahan, dalam program peningkatan prasarana dan sarana aparatur negara tahun anggaran 1995/96 direncanakan antara lain peningkatan prasarana dan sarana fisik, termasuk kegiatan renovasi dan pemeliharaan gedung-gedung kantor pemerintahan serta balai pendidikan dan pelatihan di berbagai departemen/lembaga negara. Sedangkan dalam rangka meningkatkan pendayagunaan organisasi, ketatalaksanaan, serta disiplin dan tertib hukum aparatur negara, anggaran pembangunan dalam program peningkatan efisiensi aparatur negara direncanakan antara lain untuk menunjang pengembangan sistem pemantauan dan pengendalian, serta pengembangan dan pendayagunaan sistem manajemen informasi. Sementara itu untuk meningkatkan kualitas, kemampuan, dan keterampilan pegawai agar dapat melaksanakan tugasnya secara efisien dan efektif, dalam program pendidikan dan pelatihan aparatur negara anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (Diktat) pegawai, peningkatan pengetahuan tenaga widyaiswara, pengembangan koordinasi penyelenggaraan dan kerja sama Diklat luar negeri, serta pengembangan sistem informasi Diklat pegawai negeri sipil. Selanjutnya untuk menunjang upaya pengembangan kebijaksanaan dan penyempurnaan kelembagaan, dalam program penelitian dan pengkajian kebijaksanaan direncanakan antara lain peningkatan penelitian dan pengembangan kebijaksanaan pembangunan di sektor-sektor yang strategis, pengkajian permasalahan kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, serta peningkatan kualitas badan/pusat penelitian dan pengembangan di seluruh instansi pemerintah. Dalam pada itu guna menunjang terwujudnya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa serta untuk mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, anggaran pembangunan subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan Departemen Keuangan RI 222 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pengawasan direncanakan alokasinya untuk program pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan dan diarahkan penggunaannya antara lain bagi penyempurnaan sistem dan prosedur pemeriksaan, penyelenggaraan pengawasan terhadap seluruh proyek-proyek pembangunan, serta peningkatan kemampuan para pengelola proyek dalam melakukan evaluasi dan pengelolaan anggaran proyek. Pembangunan politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media massa merupakan salah satu unsur penting dalam menjamin kemantapan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, yang sangat diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan nasional. Sehubungan dengan itu, guna mendukung terciptanya suasana yang memungkinkan berkembangnya budaya politik yang menjunjung tinggi semangat kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan yang bertanggungjawab berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, meningkatkan hubungan kerja sama internasional yang saling menguntungkan terutama bagi kepentingan nasional, serta meningkatkan kemampuan dan kegiatan penerangan, komunikasi dan media massa, maka dalam RAPBN 1995/96 sektor politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi, dan media massa mendapat alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 152,7 miliar. Dalam rangka menunjang pembangunan politik, peningkatan hubungan persahabatan dan kerja sama multilateral dan bilateral sesuai dengan kepentingan nasional, serta peningkatan kualitas dan jangkauan pembangunan penerangan, komunikasi, dan media massa, anggaran sektor tersebut akan dialokasikan bagi subsektor politik sebesar Rp 5,6 miliar, subsektor hubungan luar negeri sebesar Rp 3,9 miliar, serta subsektor penerangan, komunikasi, dan media massa sebesar Rp 143,2 miliar. Di subsektor politik, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program pembinaan politik dalam negeri sebesar Rp 4,7 miliar dan program penyelenggaraan otonomi daerah sebesar Rp 0,9 miliar. Dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya Demokrasi Pancasila, keterbukaan, tegaknya hukum, serta kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa bagi terciptanya stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, dalam program pembinaan politik dalam negeri anggaran pembangunan akan diarahkan pemanfaatannya antara lain untuk perencanaan umum dan pembinaan politik, pembinaan kesatuan bangsa, pemantapan pengendalian dan stabilitas politik, pemantapan infrastruktur politik, pembinaan ketenteraman dan perlindungan masyarakat, pemantapan suprastruktur politik, dan pembinaan sosial politik daerah. Dalam rangka pembinaan umum, antara lain akan dilakukan bimbingan politik bagi Departemen Keuangan RI 223 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 aparat pemerintah termasuk peningkatan penataran dan pendalaman pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4), administrasi dukungan operasional, serta pemantauan dan evaluasi terhadap manfaat kegiatan santiaji orientasi pengenalan tugas bagi anggota DPRD tingkat I/DPRD tingkat II. Sedangkan dalam rangka menjamin stabilitas nasional yang mantap dan dinamis akan diupayakan pembinaan kesatuan bangsa, antara lain melalui penyelenggaraan forum komunikasi dan konsultansi bagi aparat, pemasyarakatan dan pembudayaan P-4 untuk bekas tahanan dan bekas narapidana G 30 S/PKI, serta peningkatan pembinaan pembauran bangsa melalui santiaji pembauran bagi tenaga pelatih pembauran daerah (TPPD) untuk 10 (sepuluh) Dati I. Sejalan dengan itu, dalam program yang sama juga akan diupayakan pembinaan ketenteraman dan perlindungan masyarakat yang diperluas untuk mempersiapkan, mendorong, dan meningkatkan organisasi kekuatan sosial politik serta organisasi dan lembaga kemasyarakatan, agar dapat menjadi komponen infrakstruktur politik yang tangguh, mandiri, dan berkualitas dalam era keterbukaan komunikasi politik. Demikian pula dalam rangka meningkatkan pembinaan sosial politik daerah selain akan dilakukan penyusunan informasi pengamanan, pengendalian, serta penyelenggaraan koordinasi dan konsultansi, juga direncanakan penyelenggaraan santiaji peningkatan kemampuan dasar masalah penanggulangan sosial politik. Dengan berbagai upaya tersebut, diharapkan peran, fungsi, kualitas dan kemandirian organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat, baik di pusat maupun di daerah, dapat benarbenar menjadi wadah yang semakin mampu menampung, mewakili, mencerminkan dan menyalurkan aspirasi rakyat, khususnya bagi generasi muda. Selanjutnya program penyelenggaraan otonomi daerah diarahkan terutama untuk mempercepat terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, dengan titik pusat pada Dati II, agar makin memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam lingkup keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka pengembangan otonomi daerah, dalam program penyelenggaraan otonomi daerah direncanakan antara lain pengembangan kelembagaan pemerintah daerah, pemantapan persiapan pelaksanaan otonomi di bidang pertanian, perindustrian dan pertambangan, serta penataan wilayah administrasi daerah perbatasan dengan mengupayakan peningkatan peranan pemerintah daerah. Di samping itu guna menunjang peningkatan penyelenggaraan pemerintahan desa, dalam program yarig sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk meningkatkan kemampuan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan, diantaranya melalui penyelenggaraan pelatihan teknis Departemen Keuangan RI 224 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 manajemen keuangan desa, pengembangan lembaga adat, serta penyelenggaraan sistem dan prosedur pemilihan kepala desa. Demikian pula untuk menunjang upaya pendayagunaan sumbersumber pendapatan asli daerah, baik berupa pajak maupun retribusi daerah, dalam program yang sama anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk peningkatan dan pengembangan pendapatan daerah, serta pembinaan dan pengelolaan keuangan daerah. Selanjutnya dalam rangka desentralisasi pembangunan perkotaan, dalam program yang sama anggaran pembangunan juga akan dipergunakan antara lain untuk peningkatan dan pengembangan pengelolaan kota. Di subsektor hubungan luar negeri, anggaran pembangunan direncanakan pemanfaatannya untuk menunjang program hubungan luar negeri sebagai upaya meningkatkan hubungan dan kerja sama di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, serta teknologi, melalui berbagai forum, yang seluruh kegiatannya ditujukan untuk memperjuangkan dan menunjang kepentingan pembangunan nasional. Dalam program tersebut akan diupayakan antara lain penanganan masalah Timor Timur, penegasan alur laut kepulauan, peningkatan kerja sama teknik antar negara berkembang, peningkatan hubungan dan kerja sama ekonomi internasional, serta pengembangan hubungan regional, termasuk peningkatan kerja sama antar anggota ASEAN. Sejalan dengan itu, akan dilakukan peningkatan hubungan luar negeri melalui kerja sama perdagangan serta investasi luar negeri, antara lain dengan penyelenggaraan temu usaha, seminar, lokakarya, serta kunjungan misi perdagangan dan investasi dari dan ke Indonesia. Di samping itu dalam program yang sama juga akan diupayakan penyelesaian masalah pokok dalam hubungan ekonomi internasional, yang diharapkan dapat meningkatkan pembangunan berkelanjutan, memperjuangkan kepentingan nasional dalam kerangka perjanjian perdagangan internasional, baik dalam forum bilateral, regional, maupun miltilateral, serta penghapusan hambatan dan pembatasan perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara industri terhadap negara berkembang melalui kerja sama teknik, baik antar negara berkembang maupun dengan negara maju. Di subsektor penerangan, komunikasi, dan media massa, dalam rangka mewujudkan wawasan nusantara, memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan nasional yang mantap dan dinamis, serta meningkatkan upaya pemasyarakatan dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya untuk program pengembangan operasi penerangan sebesar Rp 22,0 miliar, program pembinaan dan pengembangan radio, televisi dan film sebesar Departemen Keuangan RI 225 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Rp 117,1 miliar, serta program pembinaan dan pengembangan pers sebesar Rp 4,1 miliar. Untuk meningkatkan pemerataan informasi pembangunan serta mengembangkan komunikasi timbal balik secara terbuka dan bertanggung jawab agar makin meningkatkan peranserta dan tanggung jawab masyarakat dalam pembangunan, dalam program pengembangan operasi penerangan anggaran pembangunan direncanakan antara lain untuk peningkatan kegiatan operasional penerangan, seperti penyediaan TV umum dan film penerangan, pembangunan pusat penerangan masyarakat di 6 lokasi, yaitu di Vequeque dan Manufahi-Timor Timur, Kabupaten KendariSulawesi Utara, Lubuk Basang-Sumatera Barat, Manado-Sulawesi Utara dan Wonosobo-Jawa Tengah, rehabilitasi sejumlah Puspenmas, serta pembangunan dua balai penerangan kecamatan di Morotai Utara dan Arso. Sementara itu anggaran pembangunan pada program pembinaan dan pengembangan radio, televisi dan film akan diarahkan pemanfaatannya antara lain untuk menunjang upaya peningkatan jangkauan, kuantitas, dan kualitas penyajian siaran Radio Republik Indonesia (RRI), Televisi Republik Indonesia (TVRI), produksi film, dan rekaman video. Anggaran pembangunan tersebut direncanakan antara lain untuk rehabilitasi sejumlah pemancar dan pembangunan 8 pemancar baru, rehabilitasi peralatan studio, serta pengadaan suku cadang, baik bagi RRI maupun TVRI di seluruh Indonesia. Selain daripada itu dalam program serupa anggaran pembangunan juga direncanakan untuk pembangunan tahap pertama gedung stasiun penyiaran TVRI di Padang, pembangunan gedung stasiun RRI di Natuna, pengadaan peralatan sensor di lembaga sensor film, pembinaan perfilman dan rekaman video, serta pemberian bantuan bagi "post production" untuk mendukung peningkatan produksi film nasional. Selanjutnya untuk lebih memantapkan sistem pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, serta mengembangkan suasana saling percaya antara pers, Pemerintah, dan masyarakat agar dapat diwujudkan suatu tata informasi yang terbuka dan demokratis, maka di bidang pengembangan pers anggaran pembangunan dalam program pembinaan dan pengembangan pers direncanakan antara lain untuk perluasan dan peningkatan jumlah penerbitan koran membangun desa (KMD) dan surat kabar masuk desa (SKMD), serta peningkatan manajemen koran membangun desa untuk meningkatkan kualitas pengelolaannya. Di samping itu di bidang kewartawanan dalam program yang sama direncanakan antara lain pengembangan profesi kewartawanan dan karya jurnalistik pembangunan, serta kunjungan jurnalistik. Sedangkan di bidang grafika, dalam program serupa direncanakan antara lain rehabilitasi beberapa gedung Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), penyelenggaraan Departemen Keuangan RI 226 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 lokakarya tentang teknologi grafika, serta peningkatan sumber daya manusia di bidang usaha percetakan. Dalam pada itu di bidang penerbitan pemerintah, dalam program yang sama direncanakan antara lain penerbitan buku seri Pidato Presiden, buku seri undang-undang dan peraturan pemerintah, serta penerbitan buku mengenai hasil pembangunan. Departemen Keuangan RI 227 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Selanjutnya guna mengantisipasi perubahan dan pergeseran nilai yang menimbulkan kerawanan di dalam masyarakat sebagai akibat dari semakin luasnya pengaruh globalisasi ekonomi dan kebudayaan masyarakat, seiring dengan perkembangan ekonomi dunia yang makin terbuka dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang meningkat pesat, pembangunan sektor hukum akan terus ditingkatkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial, menciptakan lingkungan dan iklim yang mendorong kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, serta mendukung stabilitas nasional yang schat dan dinamis. Sehubungan dengan itu, dalam RAPBN 1995/96 kepada sektor hukum diberikan alokasi anggaran pembangunan sebesar Rp 138,7 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 27,3 miliar atau 24,5persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Dalam rangka menunjang upaya pembangunan materi hukum, menciptakan aparatur hukum yang bersih, berwibawa, penuh pengabdian, profesional, efisien, efektif, sadar dan taat hukum, serta mendukung usaha peningkatan jumlah dan kualitas sarana dan prasarana hukum, anggaran pembangunan sektor hukum tersebut direncanakan alokasinya untuk subsektor pembinaan hukum nasional sebesar Rp 17,2 miliar, subsektor pembinaan aparatur hukum sebesar Rp 37,6 miliar, dan subsektor sarana dan prasarana hukum sebesar Rp 83,9 miliar. Di subsektor pembinaan hukum nasional, dalam rangka mewujudkan perangkat hukum nasional yang mampu mengakomodasikan kebutuhan hukum masyarakat, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya bagi program perencanaan dan pembentukan hukum sebesar Rp 3,4 miliar serta program pengembangan sistem hukum nasional sebesar Rp 13,8 miliar. Program perencanaan dan pembentukan hukum diarahkan terutama untuk meningkatkan kegiatan pembaharuan dan pembentukan perangkat hukum nasional yang mampu mengayomi masyarakat, menjamin kelestarian dan integritas bangsa, serta memberi patokan, pengarahan, dan dorongan dalam perubahan sosial ke arah terwujudnya tatanan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dalam program perencanaan dan pembentukan hukum, dalam tahun anggaran 1995/96 direncanakan antara lain upaya perencanaan materi hukum, diantaranya penyusunan program legislasi nasional yang terarah dan terpadu, perumusan harmonisasi hukum, serta penyusunan perundang-undangan dari berbagai aspek kehidupan nasional. Selain itu, untuk menunjang upaya pembaharuan hukum nasional, dalam program yang sama diupayakan penyesuaian lebih kurang 75 buah produk hukum kolonial dan nasional dalam berbagai bidang hukum, pengembangan teknis perpustakaan dan dokumentasi Departemen Keuangan RI 228 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 hukum, penyusunan kompilasi hukum, serta peningkatan dan pengembangan sistem jaringan informasi dan dokumentasi hukum. Di subsektor pembinaan aparatur hukum, anggaran pembangunan direncanakan alokasinya bagi program pembinaan peradilan sebesar Rp 5,7 miliar, program penerapan dan penegakan hukum sebesar Rp 15,2 miliar, program penyuluhan hukum sebesar Rp 12,8 millar, serta program pelayanan dan bantuan hukum sebesar Rp 3,9 miliar. Anggaran pembangunan dalam program pembinaan peradilan direncanakan penggunaannya terutama untuk pengawasan penyelenggaraan jalannya peradilan pada semua lingkungan peradilan, pelaksanaan pelatihan teknis justisial bagi hakim dari semua lingkungan peradilan, baik peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama maupun peradilan militer, serta penataran panitera dan panitera pengganti. Anggaran pembangunan dalam program penerapan dan penegakan hukum dipergunakan untuk penegakan hukum dalam rangka sistem peradilan pidana terpadu, menunjang upaya penertiban dan pengawasan lalu-lintas orang asing masuk dan keluar negara Indonesia, meningkatkan pemantauan, penyidikan dan penindakan bagi imigran gelap dan orang asing yang menyalahgunakan izin keimigrasian, serta penyempurnaan dan penataan sistem pemasyarakatan termasuk bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak. Sedangkan untuk meningkatkan kadar kesadaran hukum masyarakat agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam program penyuluhan hukum akan diupayakan antara lain pembentukan kelompok keluarga sadar hukum (Kadarkum), serta penyelenggaraan lomba Kadarkum, baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi. Selain itu pelaksanaan kegiatan penyuluhan hukum akan lebih ditingkatkan, baik cakupan, sasaran maupun maten penyuluhannya secara lebih terpadu. Dalam program pelayanan hukum akan diupayakan percepatan pemberian izin pengesahan badan hukum, kewarganegaraan, dan permohonan pendaftaran hak cipta, hak paten dan hak merek, serta pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang kurang mampu, baik melalui pengadilan negeri maupun melalui lembaga bantuan hukum dalam bentuk proyek rintisan yang diberikan langsung kepada masyarakat pencari keadilan. Dalam rangka menunjang upaya penegakan hukum, pembentukan hukum, pengkajian dan penelitian hukum, serta pelayanan dan informasi hukum, anggaran pembangunan subsektor sarana dan prasarana hukum direncanakan alokasinya untuk program pembinaan sarana dan Departemen Keuangan RI 229 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 prasarana hukum sebesar Rp 83,9 miliar. Melalui program pembinaan sarana dan prasarana tersebut, dalam tahun anggaran 1995/96 direncanakan antara lain penyempurnaan, rehabilitasi dan perluasan berbagai prasarana pelayanan hukum, seperti gedung kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan (Lapas), rumah tahanan negara (Rutan), balai bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak (Bispa), kantor imigrasi, pos imigrasi, serta karantina imigrasi, baik di pusat maupun di daerah. Selain daripada itu dalam program yang sama juga akan diupayakan peningkatan sarana dan prasarana badan peradilan yang mendukung kekuasaan kehakiman dalam penyelenggaraan peradilan yang berkualitas, adil, dan bertanggung jawab. Rincian pengeluaran pembangunan atas dasar sektor/subsektor dalam APBN 1994/95 dan RAPBN 1995/96 dapat diikuti dalam Tabel II.31. 2.3.6.2. Pengeluaran pembangunan berdasarkan jenis pembiayaan Pembiayaan investasi sektor pemerintah yang direncanakan melalui pengeluaran pembangunan terdiri dari pembiayaan rupiah dan bantuan proyek. Dalam RAPBN 1995/96 pembiayaan rupiah direncanakan sebesar Rp 19.024,5 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 1.638,2 miliar atau 9,4 persen dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Peningkatan tersebut, sekalipun terbatas, diharapkan tetap dapat mempertahankan kesinambungan usaha dan kegiatan pembangunan di berbagai bidang dan sektor pembangunan secara konsisten, serta mampu mengakomodasikan berbagai sasaran yang direncanakan dalam tahun kedua Repelita VI. Pembiayaan rupiah tersebut dialokasikan masingmasing untuk pembiayaan pembangunan melalui berbagai departemen/lembaga negara, bantuan pembangunan daerah, dan pengeluaran pembangunan lainnya. Dalam RAPBN 1995/96, anggaran belanja pembangunan melalui berbagai departemen/lembaga negara direncanakan sebesar Rp 10.910,0 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 964,4 miliar atau sekitar 9,7 persen dari yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut diarahkan pemanfaatannya terutama untuk proyek-proyek pembangunan di berbagai sektor dan subsektor guna menunjang tercapainya sasaran-sasaran pembangunan tahun kedua Repelita VI. Rencana pembiayaan bagi berbagai proyek pembangunan tersebut dituangkan ke dalam daftar isian proyek (DIP) masing-masing departemen/lembaga, yang berfungsi baik sebagai acuan di dalam pelaksanaan proyek pembangunan maupun sebagai Departemen Keuangan RI 230 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 alat pengendalian, pengawasan, dan evaluasi kegiatan proyek pembangunan yang bersangkutan. Nomor Kode -1 1 01.1 2 02.1 02.2 3 03.1 03.2 4 04.1 5 05.1 05.2 05.3 05.4 05.5 6 06.1 06.2 06.3 06.4 06.5 7 07.1 07.2 Nomor Kode -1 8 08.1 08.2 9 09.1 09.2 10 10.1 10.2 11 11.1 11.2 11.3 11.4 12 12.1 13 13.1 13.2 13.3 14 14.1 14.2 Tabel II.31 PENGELUARANPEMBANGUNANBERDASARKAN SEKTOR/SUBSEKTOR, APBN 1994/95 DAN RAPBN 1995/96 (dalam miliar rupiah) APBN RAPBN ∆ % thd. 1994/95 1995/96 APBN Sektor/Subsektor -2 -3 -4 -5 SEKTOR INDUSTRl 450,5 497,3 10,4 Subsektor Industri 450,5 497,3 10,4 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 989,6 1.103,80 11,5 Subsektor Pertanian 956,3 1.061,30 11 Subsektor Kehutanan 33,3 42,5 27,6 SEKTOR PENGAIRAN 1.687,00 2.042,00 21 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 780,1 796,2 2,1 Subsektor Irigasi 906,9 1.245,80 37,4 SEKTOR TENAGA KERJA 146,5 170,6 16,5 Subsektor Tenaga Kerja 146,5 170,6 16,5 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KOPERASl 736,3 533,7 -27,5 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 16,8 18,9 12,5 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 279,6 141,5 -49,4 Subsektor Pengembangan Usaha Nasional 184,2 100,2 -45,6 Subsektor Keuangan 120,8 128,6 6,5 Subsektor Koperasi dari Pengusaha Keci1 134,9 144,5 7,1 SEKTOR TRANSPORTASl, METEOROLOGl DAN GEOFlSlKA 5.225,50 5.897,90 12,9 Subsektor Prasarana Jalan 3.530,60 3.917,20 10,9 Subsektor Transportasi Darat 589 643,1 9,2 Subsektor Transportasi Laut 466,8 554,4 18,8 Subsektor Transportasi Udara 605,4 749,1 23,7 Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan (SAR) 33,7 34,1 1,2 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGl 3.581,90 3.894,80 8,7 Subsektor Pertambangan 67,8 94,8 39,8 Subsektor Energi 3.514,10 3.800,00 8,1 Sektor/Subsektor -2 SEKTOR PARIWISATA, POS, DAN TELEKOMUNIKASI Subsektor Pariwisata Subsektor Pos dan Telekomunikasi SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI Subsektor Pembangunan Daerah Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG Subsektor Lingkungan Hidup Subsektor Tata Ruang SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA Subsektor Pendidikan Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Subsektor Pemuda dan Olah Raga SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA Subsektor Kesejahteraan Sosial Subsektor Kesehatan Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Subsektor Perumahan dan Permukiman Subsektor Penataan Kota dan Bangunan Departemen Keuangan RI APBN 1994/95 -3 RAPBN 1995/96 -4 ∆ % thd APBN -5 721,9 48,8 673,1 1.005,80 41 964,8 39,3 -16 43,3 5.504,30 4.547,90 956,4 452,3 356,9 95,4 6.139,20 5.113,50 1.025,70 517,3 385,3 132 11,5 12,4 7,2 14,4 8 38,4 3.061,30 2.783,40 194,8 3.359,20 3.061,80 204,9 9,7 10 5,2 52,7 30,4 290,2 290,2 55,1 37,4 300,3 300,3 4,6 23 3,5 3,5 1.031,00 76,2 946,3 8,5 887,9 840,3 47,6 1.051,90 89,5 948,2 14,2 1.102,10 1.034,10 68 2 17,5 0,2 67,1 24,1 23,1 42,9 231 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Nomor Kode Sektor/Subsektor -2 -1 15 15.1 15.2 16 16.1 16.2 16.3 16.4 16.5 16.6 17 17.1 17.2 17.3 18 18.1 18.2 19 19.1 19.2 19.3 20 20.1 20.2 20.3 SEKTOR AGAMA Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI Subsektor Teknik Produksi dan Teknologi Subsektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Dasar Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Subsektor Kelautan Subsektor Kedirgantaraan Subsektor Sistem Informasi dan Statistik SEKTOR HUKUM Subsektor Pembinaan Hukum Nasional Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum Subsektor Sarana dan Prasarana Hukum SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN Subsektor Aparatur Negara Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA Subsektor Politik Subsektor Hubungan Luar Negeri Subsektor Penerangan, Komunikasi dan Media Massa SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN Subsektor Rakyat Terlatih dan Perlindungan Masyarakat Subsektor ABRI Subsektor Pendukung Jumlah Keseluruhan APBN 1994/95 RAPBN 1995/96 ∆ % thd. APBN -3 121,9 22,5 99,4 529,8 147,6 71,3 -4 183,3 23,2 160,1 711,2 183,5 80,7 -5 107,2 86,5 28,8 88,4 111,4 14,2 30,2 67 557 520 145,7 140,5 38,1 122,7 138,7 17,2 37,6 83,9 664,4 618,8 35,9 62,4 32,3 38,8 24,5 21,1 24,5 25,2 19,3 19 37 45,6 23,2 157,4 2,9 3,9 150,6 1.154,60 2,3 1.100,30 52 27.398,30 152,7 5,6 3,9 143,2 1.317,30 2,4 1.250,30 64,6 30.783,50 -3 93,1 0 -4,9 14,1 4,3 13,6 24,2 12,4 50,4 3,1 61,1 34,2 24,3 13,2 Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, memperluas lapangan kerja dan pemerataan kesempatan berusaha, serta menunjang pembangunan daerah, anggaran belanja pembangunan departemen/lembaga negara tersebut diarahkan pemanfaatannya terutama untuk pembangunan prasarana dan sarana ekonomi, penyediaan fasilitas pelayanan dasar bagi masyarakat, serta penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan bagi sarana dan prasarana yang selesai dibangun. Sehubungan dengan itu, guna meningkatkan kemampuan dan Departemen Keuangan RI 232 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 memperluas jangkauan pelayanan jasa transportasi bagi masyarakat, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan penggunaannya antara lain untuk pemeliharaan, rehabilitasi, peningkatan dan pembangunan prasarana jalan dan jembatan di berbagai daerah, pembangunan dan pengembangan prasarana kereta api, angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, serta pengembangan fasilitas pelabuhan laut dan bandar udara. Demikian pula untuk memperlancar arus informasi dan mengembangkan potensi kekayaan alam sebagai salah satu sumber penerimaan devisa negara, pembiayaan pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan alokasinya antara lain untuk proyek pemasaran pariwisata, baik di dalam maupun di luar negeri, pengembangan usaha jasa, obyek, dan daya tarik pariwisata, pengembangan jasa pos dan giro, pengendalian frekuensi radio nasional, serta pengembangan standardisasi dan Sarana telekomunikasi. Sementara itu guna mengimbangi kebutuhan masyarakat akan sumber daya mineral dan energi yang semakin meningkat, melalui anggaran pembangunan departemen/lembaga negara antara lain direncanakan penyempurnaan sarana dan peralatan geologi dan sumber daya mineral, pengembangan energi, pengembangan pertambangan batu bara dan gambut, pengembangan listrik perdesaan, serta pengembangan konservasi energi. Sedangkan untuk menunjang upaya pemantapan swasembada pangan di sekter pertanian, antara lain direncanakan pembangunan proyek-proyek pengairan, pengelolaan sumber air dan pengendalian banjir, pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, pembangunan pertanian rakyat terpadu, pembangunan dan pembinaan tanaman pangan dan hortikultura rakyat terpadu, pengembangan budidaya perkebunan rakyat, diversifikasi pangan dan gizi, serta pengembangan sumber daya, sarana dan prasarana pertanian. Sejalan dengan itu, untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, memperluas lapangan kerja dan pemerataan kesempatan berusaha, khususnya bagi pengusaha golongan ekonomi lemah, antara lain direncanakan proyek pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah, pengembangan standarisasi, akreditasi dan sertifikasi industri, pengembangan dan pelayanan teknologi industri, serta pengembangan sumber daya manusia industrial. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan perbaikan taraf hidup masyarakat, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan pula untuk mendukung upaya peningkatan mutu dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan derajat kesehatan masyarakat, peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta peningkatan produktivitas sumber daya manusia di berbagai bidang Departemen Keuangan RI 233 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pembangunan. Berkaitan dengan itu, guna menunjang program wajib belajar sembilan tahun serta meningkatkan mutu dan memperluas jangkauan pelayanan pendidikan, melalui anggaran pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan peningkatan kualitas dan pembinaan berbagai jenjang pendidikan, pembinaan dan peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan, serta pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana pendidikan. Sedangkan dalam rangka meningkatkan kemampuan dan mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal, direncanakan antara lain pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan terapan, serta pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dasar. Sementara itu dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan perbaikan kesejahteraan rakyat, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan antaralain untuk pembiayaan proyek-proyek penyuluhan kesehatan masyarakat, peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, pemberantasan penyakit menular, perbaikan gizi, pengawasan obat dan makanan, penyediaan dan pengawasan air bersih, serta pendayagunaan tenaga kesehatan. Seiring dengan itu, di bidang kesejahteraan sosial direncanakan antara lain pelayanan dan rehabilitasi sosial, penyuluhan dan bimbingan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, penanggulangan bencana alam, serta penyelenggaraan bimbingan dan rehabilitasi sosial daerah kumuh. Sedangkan untuk memperkukuh landasan mental dan spiritual masyarakat, pembiayaan pembangunan departemen/lembaga negara antara lain direncanakan untuk pengadaan sarana kehidupan beragama, penyelenggaraan bimbingan dan dakwah agama, peningkatan kerukunan hidup antar umat beragama, serta peningkatan pendidikan keagamaan. Dalam pada itu guna meningkatkan produktivitas dan kualitas sumber daya manusia dalam kegiatan pembangunan, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara antara lain direncanakan untuk peningkatan keterampilan tenaga kerja, perluasan lapangan kerja produktif dan pengurangan pengangguran, penyebarluasan informasi dan perencanaan tenaga kerja, pengembangan kesempatan kerja dan produktivitas, serta pengembangan hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja. Untuk menunjang upaya peningkatan mutu dan perluasan jangkauan pelayanan dasar bagi masyarakat, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan antara lain untuk menunjang pembiayaan bagi proyek-proyek pembangunan rumah sederhana (RS), rumah sangat sederhana (RSS), dan rumah susun sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dilaksanakan bersama dengan swasta, perbaikan dan pemugaran perumahan dan permukiman, penyehatan lingkungan permukiman, serta penyediaan dan pengelolaan air bersih. Sedangkan Departemen Keuangan RI 234 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 untuk memelihara kelestarian sumber daya alam dan ekosistem, dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, anggaran pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan antara lain untuk pembiayaan proyek-proyek pengelolaan sampat dan limbah industri, pengembangan keanekaragaman hayati dan pelestarian ekosistem hutan tropika, pengembangan metode analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) dari pengendalian pencemaran, serta peningkatan kemampuan badan pengendali dampak lingkungan (Bapedal) dan pengembangan kelembagaan dampak lingkungan di daerah. Menyadari bahwa salah satu prasyarat keberhasilan pembangunan adalah terciptanya tertib administrasi dan sistem hukum yang baik, maka anggaran pembangunan departemen/lembaga negara selain direncanakan untuk penyusunan peraturan perundangundangan, pengembangan hukum nasional, dan penyuluhan hukum, juga akan dimanfaatkan untuk proyek pengkajian dan pengembangan fasilitas pelayanan hukum serta pembinaan pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Sementara itu dalam rangka menunjang upaya penyebarluasan informasi pembangunan kepada masyarakat, melalui anggaran pembangunan departemen/lembaga negara antara lain direncanakan pengembangan prasarana dari sarana penerangan, pendidikan dan pelatihan penerangan, pembinaan pers, serta pengembangan grafika. Sedangkan dalam usaha memelihara suasana kehidupan masyarakat yang aman dari tertib serta mempertahankan kondisi stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, melalui anggaran belanja pembangunan departemen/lembaga negara direncanakan peningkatan kesadaran bela negara, pendayagunaan fungsi ketertiban umum (Tibum), perlindungan rakyat (Linra), keamanan rakyat (Kamra) dari perlawanan rakyat (Wanra), serta pembangunan dan pembinaan sarana dari prasana pendukung pertahanan dan keamanan negara. Selanjutnya guna menunjang upaya memperluas pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya ke seluruh wilayah tanah air, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mendorong prakarsa dan partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan pembangunan, serta mempercepat pengentasan penduduk miskin terutama di kawasan timur Indonesia, daerah terpencil, dari daerah perbatasan, dalam RAPBN 1995/96 pengeluaran pembangunan bagi daerah direncanakan sebesar Rp 7.320,4 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 498,0 miliar atau 7,3 persen dari anggaran tahun sebelumnya. Anggaran pembangunan daerah tersebut diberikan dalam bentuk program bantuan pembangunan daerah dan pembiayaan pembangunan dengan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB). Program bantuan pembangunan daerah tersebut meliputi Departemen Keuangan RI 235 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 program bantuan pembangunan desa tertinggal (Inpres desa tertinggal/IDT), program bantuan pembangunan desa (Inpres Desa), program bantuan pembangunan daerah tingkat II (Inpres Dati II), program bantuan pembangunan daerah tingkat I (Inpres Dati I), program bantuan pembangunan sekolah dasar (Inpres SD), serta program bantuan pembangunan sarana kesehatan (Inpres kesehatan). Dalam rangka mempercepat upaya mengurangi jumlah penduduk miskin dan jumlah desa atau kelurahan tertinggal, serta meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi penduduk miskin, dalam RAPBN 1995/96 anggaran bagi program bantuan pembangunan desa tertinggal direncanakan sebesar Rp 473,7 miliar. Jumlah tersebut selain akan dialokasikan kepada 22.097 desa yang memenuhi kriteria sebagai desa tertinggal, juga direncanakan untuk pembinaan, pemantauan dan pendampingan di 24.417 desa. Penentuan kategori desa tertinggal didasarkan atas survei potensi desa (Podes) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain prasarana dan sarana sosial ekonomi desa, fasilitas perumahan dan lingkungan, serta keadaan sosial demografi penduduk. Dalam rangka mendukung pembangunan desa tertinggal, khususnya meningkatkan akses pemasaran, mengurangi isolasi, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, direncanakan bantuan pembangunan prasarana sebesar Rp 293,5 miliar bagi 1.879 desa. Melalui program tersebut masing-masing desa tertinggal akan memperoleh alokasi bantuan dalam bentuk modal kerja sebesar Rp 20,0 juta, yang selain diperuntukkan bagi peningkatan kemampuan permodalan dan pengembangan usaha juga diarahkan guna menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dari pemantapan kelembagaan usaha, disertai dengan pembimbingan dari pendampingan khusus. Bantuan tersebut akan disalurkan kepada kelompok masyarakat secara bertahap sesuai dengan rencana kerja yang telah diketahui oleh kepala desa dan camat. Bantuan tersebut diarahkan penggunaannya antara lain untuk menunjang usaha-usaha yang cepat menghasilkan, mendayagunakan potensi yang ada, tidak merusak lingkungan, menghasilkan produk yang dapat dipasarkan, dari dapat digulirkan kepada seluruh anggota kelompok sejalan dengan program pembangunan sektoral dari regional, serta dapat diterima oleh masyarakat. Pada dasarnya dana program IDT tersebut merupakan hibah bergulir yang dikelola oleh dari disalurkan kepada anggota kelompok sebagai pinjaman yang harus dikembalikan kepada kelompok dengan persyaratan yang sesuai dengan kondisi setempat dari kesepakatan anggota melalui musyawarah LKMD. Dana yang tumbuh dari kegiatan kelompok selanjutnya dipergunakan untuk membantu Departemen Keuangan RI 236 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kelompok lain di desa yang sama yang belum memperoleh kesempatan mendapat bantuan. Selanjutnya untuk mendorong peningkatan swadaya gotong royong serta menumbuhkan kreativitas masyarakat dalam pembangunan desa, dalam tahun anggaran 1995/96 alokasi anggaran bagi program bantuan pembangunan desa direncanakan sebesar Rp 426,0 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 2,7 miliar atau 0,6 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Dari jumlah anggaran tersebut, sebesar Rp 386,2 miliar atau 90,7 persen direncanakan alokasinya kepada 64.367 desa sebagai bantuan langsung, sehingga masing-masing desa akan memperoleh dana bantuan sebesar Rp 6,0 juta, yang meliputi bantuan pembangunan desa sebesar Rp 4,5 juta, bantuan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) sebesar Rp 1,0 juta, serta bantuan pembinaan anak-anak dan remaja sebesar Rp 0,5 juta yang pelaksanaannya dipadukan dengan kegiatan PKK. Guna mengembangkan kemampuan dari memperluas jangkauan pelayanan sosial ekonomi masyarakat desa, bantuan pembangunan desa akan diarahkan pemanfaatannya antara lain untuk pembangunan prasarana dari sarana dasar pedesaan, baik prasarana produksi, prasarana perhubungan dan pemasaran, maupun prasarana dari sarana sosial bagi peningkatan kegiatan usaha ekonomi rakyat, serta menunjang kegiatan PKK. Di samping dialokasikan dalam bentuk bantuan langsung, dalam rangka mendorong peningkatan ekonomi masyarakat desa, serta meningkatkan fungsi kelembagaan desa, seperti LKMD dari LMD, dari kelembagaan tingkat kecamatan, yaitu unit daerah kerja pembangunan (UDKP), anggaran bagi program bantuan pembangunan desa tersebut juga direncanakan untuk bantuan pengembangan usaha ekonomi desa (UED) sebesar Rp 12,7 miliar, bantuan penguatan LKMD sebesar Rp 9,6 miliar, bantuan pemantapan UDKP sebesar Rp 6,2 miliar, serta bantuan hadiah juara lomba desa sebesar Rp 1,7 miliar. Guna menunjang pembinaan pembangunan desa, dalam program yang sama juga disediakan bantuan pembinaan operasional pembangunan tingkat kecamatan sebesar Rp 2,9 miliar, bantuan pengelolaan tingkat propinsi, kabupaten dan kotamadya sebesar Rp 4,3 miliar, serta bantuan pembinaan tingkat pusat sebesar Rp 2,4 miliar. Sementara itu guna mendukung upaya memperluas pemberian otonomi yang semakin nyata, serasi, dinamis, dan bertanggung jawab, serta meningkatkan kemampuan daerah tingkat II, baik dalam membiayai kegiatan pembangunan maupun dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah, dalam RAPBN 1995/96 alokasi anggaran bagi program bantuan pembangunan daerah tingkat II direncanakan sebesar Rp 2.525,3 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 107,5 miliar atau 4,4 persen dari jumlah bantuan pembangunan daerah Departemen Keuangan RI 237 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tingkat II yang dianggarkan dalam APBN 1994/95. Peningkatan tersebut disebabkan antara lain oleh adanya kenaikan jumlah bantuan setiap Dati II, serta menampung bantuan pembangunan dan pemugaran pasar kecamatan sebesar Rp 6,0 miliar, bantuan penghijauan sebesar Rp 88:9 miliar, bantuan peningkatan jalan Dati II sebesar Rp 997,6 miliar, serta bantuan rehabilitasi SD dan madrasah ibtidaiyah sebesar Rp 250,0 miliar. Selain itu terdapat pula tambahan akibat pengalihan bantuan rehabilitasi Puskesmas dan Inpres Kesehatan sebesar Rp 51,5 miliar. Melalui program bantuan pembangunan daerah tingkat II tersebut, dalam tahun anggaran 1995/96 setiap kabupaten dan kotamadya akan memperoleh alokasi bantuan yang besarnya dihitung berdasarkan jumlah penduduk dengan bantuan per kapita sebesar Rp 5 ribu, dan bantuan atas dasar luas wilayah sebesar Rp 20 ribu. Sementara itu bagi Dati II yang jumlah penduduknya dibawah 200 ribu jiwa juga disediakan bantuan tambahan agar mencapai jumlah minimum sebesar Rp 1,0 miliar. Selain daripada itu melalui program bantuan pembangunan Dati II tersebut juga disediakan bantuan tambahan sebesar Rp 9,9 miliar yang akan dialokasikan bagi 116 kabupaten berkepulauan, bantuan bagi pemugaran perumahan perdesaan sebesar Rp 18,6 miliar, serta bantuan untuk penyusunan rencana umum tata ruang (RUTR) Dati II sebesar Rp 6,0 miliar. Jumlah seluruh bantuan pembangunan Dati II tersebut merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan dalam APBD tingkat II yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang urusannya telah diserahkan kepada daerah tingkat II sesuai dengan prioritas pembangunan daerah tingkat II yang bersangkutan. Dana bantuan pembangunan daerah tingkat II (Inpres Dati II) tersebut di samping direncanakan untuk menunjang upaya peningkatan kemampuan aparatur pemerintah daerah tingkat II, peningkatan kelembagaan dan keuangan pemerintah daerah tingkat II, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat, juga akan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, meningkatkan pemerataan dan ketersediaan fasilitas pelayanan dasar, serta memperluas lapangan kerja dan pemerataan kesempatan berusaha. Sehubungan dengan itu anggaran tersebut direncanakan pemanfaatannya untuk pembangunan berbagai jenis prasarana dan sarana dasar, seperti prasarana jalan dan jembatan, pengairan, terminal bus, pelabuhan sungai, pasar desa, serta berbagai prasarana lingkungan permukiman, seperti saluran air limbah, bangunan pengendali banjir, dan persampahan. Selanjutnya program bantuan pembangunan daerah tingkat I dimaksudkan antara lain untuk menunjang pemerataan pembangunan antar daerah, peningkatan desentralisasi dan Departemen Keuangan RI 238 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pengembangan otonomi daerah tingkat I, serta pendayagunaan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia secara optimal. Dalam RAPBN 1995/96, alokasi anggaran bagi program bantuan pembangunan Dati I direncanakan sebesar Rp 1.277,1 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 58,4 miliar atau 4,8 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Peningkatan tersebut selain berkaitan dengan tambahan alokasi bantuan pembangunan reboisasi sebesar Rp 22,8 miliar, bantuan peningkatan jalan Dati I sebesar Rp 430,6 miliar, serta biaya untuk peningkatan kemampuan perencanaan, pemantauan dan pengawasan sebesar Rp 3,8 miliar ke dalam program Inpres Dati I, juga disebabkan oleh adanya bantuan tambahan untuk membantu pembiayaan operasi dan pemeliharaan jaringan pengairan/irigasi sebesar Rp 29,7 miliar. Dalam tahun anggaran 1995/96 besarnya bantuan dasar bagi setiap Dati I adalah sebesar Rp 25,0 miliar, yang berarti tidak mengalami peningkatan dari bantuan yang dialokasikan dalam tahun anggaran sebelumnya. Selain daripada bantuan dasar yang jumlahnya ditetapkan sama besar untuk setiap propinsi, terdapat kriteria tambahan bantuan yang diberikan atas dasar luas wilayah daratan masing-masing propinsi. Dalam RAPBN 1995/96 besarnya bantuan yang diberikan atas dasar luas wilayah tersebut direncanakan sebesar Rp 115,2 miliar, yang berarti sama dengan jumlah yang dianggarkan dalam APBN 1994/95. Bantuan pembangunan daerah tingkat I tersebut bersamasama dengan pendapatan asli daerah (PAD) dan penerimaan dari bagi hasil pemungutan PBB dimasukkan ke dalam APBD tingkat I untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang diprioritaskan oleh daerah tingkat I sesuai dengan Repelita daerah tingkat I yang bersangkutan, yaitu antara lain untuk eksploitasi dan pemeliharaan irigasi, pemeliharaan dan peningkatan jalan dan jembatan propinsi, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah daerah tingkat I, peningkatan keserasian pertumbuhan antar daerah, pengembangan investasi daerah, peningkatan upaya penanggulangan kemiskinan, pemantapan kelengkapan dan penggunaan perangkat penataan ruang, serta pengelolaan lingkungan hidup. Dalam RAPBN 1995/96 alokasi anggaran pembangunan bagi program Inpres kesehatan direncanakan sebesar Rp 369,5 miliar, yang berarti mengalami penurunan sebesar Rp 23,8 miliar atau 6,1 persen dari yang dianggarkan dalam APBN 1994/95. Penurunan tersebut terjadi karena adanya pengalihan bantuan rehabilitasi Puskesmas ke dalam Inpres Dati II. Jika tidak dialihkan, anggaran Inpres kesehatan meningkat sebesar Rp 27,7 miliar atau 7,0 persen dari anggaran tahun sebelumnya. Guna meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup schat, melakukan pencegahan penyakit, dan memberikan pelayanan kesehatan dasar, agar tercapai tingkat Departemen Keuangan RI 239 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kesehatan yang optimal, anggaran tersebut diarahkan penggunaannya antara lain untuk menunjang peningkatan lembaga pelayanan kesehatan, peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), pemeliharaan kesehatan usia sekolah, pelayanan kesehatan gigi dan mulut, serta pelayanan laboratorium kesehatan. Melalui program inpres kesehatan tersebut dalam tahun anggaran 1995/96 direncanakan antara lain pembangunan 30 Puskemas, 500 Puskesmas pembantu dan 480 rumah dokter dan paramedis, pengadaan 360 Puskesmas keliling, pendidikan dan pelatihan bagi sekitar 14.620 bidan dan tenaga paramedis, serta penempatan sekitar 21.500 tenaga kesehatan. Selain itu, alokasi anggaran bagi program Inpres kesehatan juga akan dimanfaatkan untuk penyediaan obat-obatan sebesar Rp 151,3 miliar, serta penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan sebesar Rp 78,0 miliar. Melalui Inpres Dati II akan dibiayai rehabilitasi berat dan sedang sekitar 2.940 Puskesmas dan pemeliharaan 32.955 unit Puskesmas. Dalam rangka memperluas kesempatan belajar dan meningkatkan mutu pendidikan dasar terutama untuk menunjang pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun, di perdesaan, daerah perbatasan, daerah terpencil, serta daerah transmigrasi, dalam RAPBN 1995/96 alokasi anggaran pembangunan bagi program Inpres sekolah dasar (Inpres SD) direncanakan sebesar Rp 498,5 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 0,6 miliar dari anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Peningkatan yang tidak terlalu besar tersebut adalah karena dalam jumlah tersebut tidak termasuk dana untuk rehabilitasi SD dari madrasah ibtidaiyah sebesar Rp 250 miliar, yang sejak tahun anggaran 1994/95 telah dialihkan pengelolaannya ke dalam program Inpres Dati II. Dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, anggaran pembangunan tersebut akan diarahkan pemanfaatannya untuk pembangunan 425 gedung SD, penambanan sekitar 2.650 ruang kelas, penyediaan biaya operasional dari pemeliharaan bagi 170.069 gedung SD, pembangunan 1.150 rumah kepala sekolah dari guru, pengadaan 60 juta eksemplar buku, baik buku pelajaran maupun perpustakaan, pengadaan alat transportasi untuk penilik termasuk penilik pendidikan agama, peningkatan kualitas guru, serta pemberian bantuan untuk kegiatan olah raga dan Pramuka sebesar Rp 100.000 per sekolah. Dalam pada itu guna meningkatkan desentralisasi dan pemberian otonomi yang lebih luas kepada daerah, mendorong peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat di daerah, dan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam upaya penggalian sumber-sumber pendapatan asli daerah, dalam RAPBN 1995/96 pembiayaan pembangunan daerah yang berasal dari pembagian dana hasil pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) direncanakan sebesar Departemen Keuangan RI 240 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Rp 1.750,3 miliar, atau mengalami peningkatan sebesar Rp 268,2 miliar (18,1 persen) dari anggaran yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Peningkatan tersebut di samping berkaitan dengan adanya penyempurnaan sistem pembagian hasil pemungutan PBB yang mulai dilaksanakan sejak tahun pertama Repelita VI, juga dipengaruhi oleh rencana penerimaan PBB dalam tahun anggaran 1995/96, sehubungan dengan pelaksanaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dari Bangunan yangmulai diberlakukan sejak 1 lanuari 1995. Selanjutnya sejalan dengan kebijaksanaan peningkatan efisiensi dari efektivitas anggaran belanja pembangunan, alokasi anggaran bagi pembiayaan pembangunan lainnya diupayakan semakin dipertajam prioritas pemanfaatannya untuk memberi peluang kepada program-program pembangunan lain, baik sektoral maupun regional, yang dipandang cukup penting memperoleh kesempatan pembiayaan bagi pencapaian sasaran pembangunan seperti yang direncanakan dalam Repelita VI. Berkaitan dengan itu, dalam RAPBN 1995/96 alokasi anggaran bagi program pembiayaan pembangunan lainnya direncanakan sebesar Rp 794,1 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 175,8 miliar atau 28,4 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut direncanakan alokasinya masing-masing untuk subsidi pupuk sebesar Rp 143,0 miliar, penyertaan modal pemerintah (PMP) sebesar Rp 50,0 miliar, dan pembiayaan lainlain pembangunan (LLP) sebesar Rp 601,1 miliar. Penyediaan anggaran bagi subsidi pupuk sebesar Rp 143,0 miliar dalam RAPBN 1995/96 tersebut berarti mengalami penurunan sebesar Rp 32,0 miliar atau 18,3 persen dari anggaran subsidi pupuk yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Penurunan tersebut terutama karena adanya penghapusan subsidi bagi pupuk jenis ZA dan TSP, sejalan dengan kenaikan harga kedua jenis pupuk tersebut sejak bulan Oktober 1994 masing-masing untuk pupuk jenis ZA sebesar 13,5 persen, yaitu dari Rp 260 per kilogram menjadi Rp 295 per kilogram, dan untuk pupuk jenis TSP sebesar 41,2 persen, yaitu dari Rp 340 per kilogram menjadi Rp 480 per kilogram. Selain dimaksudkan untuk mengurangi beban anggaran negara, pembatasan subsidi tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk oleh petani. Sedangkan alokasi anggaran bagi pembiayaan penyertaan modal pemerintah (PMP) sebesar Rp 50,0 miliar dalam RAPBN 1995/96, berarti sama dengan alokasi anggaran PMP yang disediakan dalam APBN tahun sebelumnya. Alokasi anggaran tersebut akan diupayakan secara Departemen Keuangan RI 241 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 lebih selektif serta diarahkan terutama untuk pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi yang berprioritas tinggi bagi pengembangan dan kelangsungan kegiatan-kegiatan usaha BUMN di berbagai sector ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau perusahaanperusahaan strategis lainnya, seperti penyediaan perumahan rakyat (KPR-BTN) serta pembinaan dan pengembangan industri strategis. Sementara itu alokasi anggaran bagi program pembiayaan lain-lain pembangunan (LLP) sebesar Rp 601,1 miliar dalam RAPBN 1995/96 berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 207,8 miliar atau sekitar 52,8 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut direncanakan pemanfaatannya antara lain untuk menunjang pembiayaan bagi berbagai program pembangunan yang penting, sangat mendesak untuk segera memperoleh penanganan, dan menyangkut kepentingan masyarakat umum, yang karena bersifat khusus dan atau lintas sektoral tidak dapat tercakup dalam pembiayaan departemen atau pembiayaan bagi daerah. Program-program pembangunan tersebut diantaranya adalah penyediaan air bersih, penyehatan lingkungan permukiman, serta operasi dan pemeliharaan rumah sakit (OPRS). Di samping itu anggaran tersebut juga akan dialokasikan untuk program pembinaan daerah pantai, program pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup, program pengendalian pencemaran lingkungan hidup, serta program pengelolaan tata ruang nasional dan pembangunan prasarana kota terpadu. Selanjutnya anggaran tersebut juga akan dialokasikan untuk pengembangan usaha pertanian, pengendalian hama terpadu, pengembangan industri strategis, pembinaan usaha kecil, pengembangan usaha dan lembaga perdagangan, pengembangan perdagangan luar negeri (ekspor nonmigas), serta pengembangan lembaga keuangan dan pembinaan kekayaan negara. Selain daripada itu anggaran tersebut juga akan dimanfaatkan untuk penyempurnaan dan pengembangan statistik, pembinaan dan pengembangan pers, serta peningkatan sarana kehidupan beragama. Menyadari bahwa dana bagi pembiayaan pembangunan yang dapat dihimpun dari dalam negeri belum seluruhnya mampu memenuhi rencana kebutuhan investasi di sektor negara tahun kedua Repelita VI, maka untuk membiayai proyek-proyek produktif yang dapat memberikan dampak sebesar-besarnya bagi upaya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat di berbagai sektor dan subsektor, dana pembiayaan pembangunan yang berasal dari luar negeri dalam bentuk bantuan proyek tetap dimanfaatkan sebagai sumber pelengkap bagi pernbiayaan pembangunan rupiah. Dalam RAPBN 1995/96, anggaran pembangunan yang bersumber dan dana luar negeri dalam bentuk bantuan proyek tersebut Departemen Keuangan RI 242 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 direncanakan berjumlah sebesar Rp 11.759,0 miliar, atau mengalami peningkatan sekitar 17,4 persen dari anggaran bantuan proyek yang direncanakan dalam APBN 1994/95. Anggaran tersebut direncanakan alokasinya terutama untuk penyediaan berbagai sarana dan prasarana ekonomi serta peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sangat diperlukan bagi pembangunan. Rincian pengeluaran pembangunan menurut jenis pembiayaannya dapat diikuti dalam Tabel II.32. Sedangkan gambaran keseluruhan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) tahun anggaran 1995/96 dapat dilihat pada Tabel II.33. Tabel II.32 PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN JENIS PEMBIAYAAN, APBN 1994/95 DAN RAPBN 1995/96 (dalam miliar rupiah) APBN RAPBN % thd. 1994/95 1995/96 APBN Jenis Pembiayaan -1 -2 -3 -4 I. PEMBIAYAAN RUPIAH 17.386,30 19.024,50 9,4 9.945,60 10.910,00 9,7 A. Pembiayaan Departemen/Lembaga 1. Departemen/Lembaga 9.356,30 10.284,80 9,9 2. Hankam 589,3 625,2 6,1 6.822,40 7.320,40 7,3 B. Pembiayaan Bagi Daerah 1. Inpres pembangunan desa tertinggal 389,3 413,7 21,7 2. Inpres pembangunan desa 423,3 426 0,6 1) 3. Inpres pembangunan Dari II 2.417,80 2.525,30 4,4 4. Inpres pembimgunan Dari I 2) 1.218,70 1.277,10 4,8 3) 5. Inpres sekolah dasar 497,9 498,5 0,1 6. Inpres kesehatan 393,3 369,5 4) -6,1 7. Pembangunan daerah dengan dana PBB 1.482,10 1.750,30 18,1 618,3 794,1 28,4 C. Pembiayaan Lain-Lain 1. Subsidi pupuk 175 143 -18,3 2. Penyertaan modal pemerintah 50 50 0 3. Lain-lain pembangunan 393,3 601,1 52,8 10.012,00 11.759,00 17,4 II. BANTUAN PROYEK 27.398,30 30.783,50 12,4 Jumlah 1) Termasuk bantuan pembangunan/pemugaran perumahan perdesaan, bantuan pemugaran pasar kecamatan, Inpres penghijauan, bantuan rehabilitasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah, dan Inpres peningkatan jalan Dati II; 2) Termasuk Inpres reboisasi don Inpres peningkatan jalan Dati I; 3) Tidak termasuk bantuan rehabililasi SD dan Madrasah Ibtidaiyah (dialihkan ke Inpres Dati II); 4) Tidak termasuk dana rehabilitasi dan pemeliharaan Puskesmas (dialihkan ke Inpres Dati II). Departemen Keuangan RI 243 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel II.33 RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1995/96 (dalam miliar rupiah) Penerimaan Jumlah Pengeluaran A. Penerimaan Dalam Negeri I. Penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas) 1. Minyak bumi 2. Gas alam 66.265,20 13.275,60 9.812,20 3.463,40 II. Penerimaan di luar migas 1. Pajak penghasilan 2. Pajak pertambahan nilai 3. Bea masuk 4. C u k a i 5. Pajak ekspor 6. Pajak bumi dan bangunan 7. Pajak lainnya 8. Penerimaan bukan pajak 9. Laba bersih minyak 52.989,60 19.238,60 16.655,20 3.543,10 3.299,20 44,4 1.923,40 319,3 6.491,10 1.475,30 B. Penerimaan Pembangunan I. Bantuan program II. Bantuan proyek Jumlah 11.759,00 11.759,00 78.024,20 Departemen Keuangan RI A. Pengeluaran Rutin I. Belanja pegawai 1. Gaji/pensiun 2. Tunjangan beras 3. Uang makan/lauk pauk 4. Lain2 belanja peg. DN 5. Belanja pegawai LN II. Belanja barang 1. Belanja barang DN 2. Belanja barang LN III. Subsidi daerah otonom 1. Belanja pegawai 2. Belanja nonpegawai IV. Bunga dan cicilan hutang 1. Hutang dalam Negeri 2. Hutang luar Negeri V. Pengeluaran rutin lainnya 1. Subsidi BBM 2. Lain – lain B. Pengeluaran Pembangunan I. Pembiayaan rupiah II. Bantuan proyek Jumlah Jumlah 47.240,70 15.347,30 12.416,30 1.139,60 835 511,2 445,2 4.745,30 4.457,10 288,2 8.409,40 7.932,10 477,3 18.214,90 318,8 17.896,10 523,8 523,8 30.783,50 19.024,50 11.759,00 78.024,20 244 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 BAB III MONETER DAN PERKREDITAN 3.1. Pendahuluan Setelah pemerintah berhasil mengendalikan permintaan domestik dalam beberapa tahun terakhir di dalam rangka menjaga kestabilan harga, kegiatan perekonomian Indonesia dalam tahun anggaran 1993/94 mulai meningkat kembali. Kegiatan investasi yang merupakan faktor dinamis pendorong pertumbuhan ekonomi mulai bergairah kembali terutama setelah terjadinya penurunan suku bunga kredit di dalam negeri, yaitu dari sekitar 22 persen pada awal 1993 menjadi sekitar 18 persen pada akhir 1993. Selanjutnya di bidang penanaman modal asing, Indonesia mulai dihadapkan kepada saingan-saingan baru yang lebih agresif dalam menarik modal dari luar negeri, seperti Cina dan Vietnam. Di sisi lain, bank-bank sebagai lembaga penyedia dana pembiayaan menjadi lebih berhati-hati dalam pemberian kredit kepada dunia usaha dalam rangka memenuhi ketentuan-ketentuan baru di bidang perbankan yang bertujuan untuk mewujudkan manajemen perbankan yang lebih sehat. Sehubungan dengan hal itu, usaha untuk memperbaiki iklim berusaha dan mendorong gairah investasi terus ditingkatkan, baik melalui kebijaksanaan makro maupun melalui langkah-langkah deregulasi di sektor riil sehingga laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dapat dipertahankan. Perkembangan di sektor moneter juga diwarnai oleh meningkatnya pemasukan dana jangka pendek dari luar negeri ke dalam negeri, sebagai akibat suku bunga yang masih relatif tinggi di dalam negeri dan stabilnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, pengendalian inflasi dalam tahun anggaran 1994/95 terus ditingkatkan, sehubungan dengan kenaikan laju inflasi sebesar 5,53 persen dalam sembilan bulan pertama tahun anggaran 1994/95. Walaupun kenaikan laju inflasi dalam periode tersebut tidak terlalu tinggi, masalah pengendalian laju inflasi tetap mendapat perhatian dari pemerintah. Hal tersebut berkaitan dengan kecenderungan meningkatnya kegiatan perekonomian serta meningkatnya lalu lintas modal dari luar negeri, yang dikhawatirkan akan menimbulkan tekanan lebih lanjut kepada laju inflasi. Oleh karena itu kebijaksanaan ekonomi makro yang berhati-hati masih tetap diperlukan agar ekspansi moneter tetap dapat diarahkan untuk mendorong pemulihan kegiatan perekonomian, tanpa menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan ekonomi makro secara keseluruhan. Departemen Keuangan RI 245 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 3.2. Perkembangan harga dan upah Menghadapi era globalisasi serta persaingan yang semakin ketat antara negara-negara di dunia, ketahanan nasional merupakan hal yang penting, khususnya stabilitas di bidang ekonomi, karena stabilitas ekonomi merupakan kondisi pokok bagi kelancaran dan keberhasilan usaha pembangunan nasional. Stabilitas ekomomi seperti tercermin pada terpeliharanya stabilitas hargaharga umum akan mampu mempertahankan dan meningkatkan daya saing barang-barang ekspor Indonesia di pasaran internasional, sehingga dapat mendorong peningkatan ekspor nonmigas. Dalam upaya mewujudkan stabilitas ekonomi tersebut, Pemerintah senantiasa berusaha untuk mengendalikan harga-harga barang dan jasa kebutuhan pokok pada tingkat yang wajar dan terjangkau oleh daya beli masyarakat upaya tersebut ditempuh melalui berbagai kebijaksanaan, baik kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati, maupun kebijaksanaan di sektor riil dalam rangka untuk terus menjamin tersedianya barang-barang kebutuhan pokok masyarakat khususnya beras dan kelancaran distribusinya ke seluruh pelosok tanah air. Upaya-upaya tersebut di atas telah membuahkan hasil yang cukup menggembirakan, sebagaimana tercermin dari perkembangan laju inflasi dari tahun ke tahun, yang dapat dikendalikan pada tingkat yang wajar. Dibandingkan dengan Repelita I, Repelita II, dan Repelita III, tingkat inflasi rata-rata selama Repelita IV, Repelita V, maupun tahun pertama Repelita VI adalah jauh lebih rendah. Demikian pula dengan perkembangan indeks harga perdagangan besar maupun indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi, persentase kenaikannya dari tahun ke tahun cenderung menurun. Dalam pada itu perkembangan harga beberapa barang ekspor primer, khususnya komoditi hasil pertanian, selama periode April-Oktober 1994 memperlihatkan kecenderungan meningkat dibandingkan dengan perkembangannya dalam beberapa tahun sebelumnya. Keadaan ini terutama didukung oleh beberapa faktor, antara lain meningkatnya permintaan pasar sebagai akibat membaiknya pertumbuhan ekonomi beberapa negara maju. Di bidang pengupahan, sejalan dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja, Pemerintah mencanangkan program terpadu, yang antara lain meliputi pengaturan syarat dan kondisi kerja, pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja, peningkatan penyelesaian perselisihan perburuhan, dan peraturan yang berkaitan dengan upah minimum. Di samping itu Departemen Keuangan RI 246 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dalam rangka penyesuaian secara bertahap upah minimum regional (UMR) dengan tingkat kebutuhan fisik minimum, Pemerintah secara serentak mulai bulan April 1995 akan menyeragamkan waktu pelaksanaan ketentuan upah minimum regional dan penyesuaiannya setiap tahun. Sebagai akibat dari kebijaksanaan tersebut, tingkat upah di beberapa sektor mengalami peningkatan yang cukup berarti. 3.2.1. Indeks harga konsumen (IRK) Indeks harga konsumen, yang merupakan dasar penghitungan laju inflasi di Indonesia, dalam tahun anggaran 1994/95 (April-Desember 1994) telah mencapai 5,53 persen. Jika dibandingkan dengan laju inflasi dalam periode yang sama tahun anggaran sebelumnya yaitu sebesar 3,33 persen, angka inflasi kumulatif dalam sembilan bulan pertama tahun anggaran 1994/ 95 tersebut lebih tinggi sebesar 2,20 persen. Tingginya laju inflasi selama sembilan bulan pertama tahun anggaran 1994/95 tersebut lebih banyak disebabkan oleh kenaikan harga-harga yang terjadi dalam bulan Juli, Agustus, dan Oktober 1994, dengan andil inflasi masing-masing sebesar 1,31 persen, 0,89 persen, dan 0,89 persen sehingga secara bersama-sama ketiga bulan tersebut memberikan andil inflasi sebesar 3,15 persen dari kumulatif inflasi dalam periode AprilDesember 1994. Dilihat dari kenaikan harga per kelompok barang, laju inflasi sebesar 5,53 persen yang terjadi dalam periode April-Desember 1994 tersebut sebagian besar disebabkan oleh kenaikan indeks harga kelompok perumahan dan kelompok makanan, masing-masing sebesar 7,92 persen dan 5,24 persen, sedangkan kelompok sanuang dan kelompok aneka barang dan jasa meningkat relatif kecil dibandingkan dengan kedua kelompok sebelumnya, masing-masing hanya sebesar 2,76 persen dan 3,74 persen. Sementara itu, laju inflasi sepanjang tahun 1994 (JanuariDesember 1994) mencapai 9,24 persen, atau 0,53 persen lebih rendah jika dibandingkan dengan laju inflasi dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai sebesar 9,77 persen. Andil inflasi yang cukup menonjol dalam tahun 1994 adalah inflasi yang terjadi dalam bulan Januari dan Februari, masing-masing sebesar 1,25 persen dan 1,76 persen. Faktor utarna penyebab tingginya tingkat inflasi dalam bulan Januari 1994 adalah naiknya harga beberapa komoditi yang termasuk ke dalam kelompok makanan, seperti beras, daging ayam, daging sapi, ikan segar, dan telur ayam. Di samping itu kenaikan indeks harga kelompok sanuang juga memberikan andil yang cukup besar terhadap laju inflasi dalam bulan tersebut. Departemen Keuangan RI 247 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Sedangkan inflasi dalam bulan Februari sebesar 1,76 persen adalah sebagai akibat dari meningkatnya permintaan masyarakat dalam kaitannya dengan bulan puasa dan Idul Fitri. Kemudian penyebab inflasi dalam bulan Juli 1994 adalah pengaruh musim kemarau panjang yang menimbulkan kekeringan di beberapa daerah penghasil beras. Kondisi tersebut telah mendorong indeks harga subkelompok padi-padian, umbi-umbian, dan hasil-hasilnya meningkat sebesar 6,05 persen. Di samping itu, terjadinya kenaikan harga semen, biaya kesehatan, dan biaya pendidikan, juga telah memberikan pengaruh yang cukup berarti terhadap kenaikan inflasi dalam bulan Juli 1994. Inflasi dalam bulan Agustus 1994 terutama disebabkan oleh peningkatan harga kelompok makanan sebesar 1,46 persen dan aneka barang dan jasa sebesar 0,82 persen, sedangkan inflasi dalam bulan Oktober 1994 terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga kelompok perumahan sebesar 1,40 persen dan kelompok makanan sebesar 0,84 persen. Beberapa jenis pengeluaran yang menunjukkan peningkatan harga cukup menonjol dalam kedua bulan tersebut antara lain padi-padian, buah-buahan, bumbu-bumbuan lemak dan minyak, daging dan hasil-hasilnya, ikan diawetkan, biaya tempat tinggal, perlengkapan rumah tangga, kesehatan, serta rekreasi dan olah raga. Namun demikian, bila dilihat per kelompok barang dan jasa, laju inflasi dalam bulan Januari, Februari, Juli dan Agustus 1994 masih danominasi oleh kenaikan indeks harga kelompok makanan, masing-masing sebesar 2,58 persen, 4,51 persen, 1,57 persen dan 1,46 persen, sedangkan dalam bulan Oktober 1994 persentase kenaikan indeks harga kelompok makanan telah menurun menjadi 0,84 persen. Dalam pada itu, perkembangan indeks harga konsumen di 27 ibukota propinsi dalam periode April-Desember 1994, mengalami peningkatan dengan persentase kenaikan berkisar antara 2,83 persen sampai dengan 8,61 persen. Kota yang mengalami inflasi tertinggi adalah Bengkulu, sedangkan inflasi terendah terjadi di kota Palangkaraya. Perkembangan laju inflasi secara nasional maupun terinci menurut ibukota propinsi, dapat dilihat dalam Tabel III.1, Tabel III.2, Departemen Keuangan RI 248 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.1 PERUBAHAN INDEKS HARGA KONSUMEN, 1984/85 - 1994/95 ( dalam persentase ) Akhir periode/ barang kumulatif dan jasa Makanan 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 1) Desember Maret Desember Maret Desember Maret Desember Maret Desember Maret Desember Maret Desember Maret Desember Maret Desember Maret Desember Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 1) Kumulatif 2,47 0,21 0,89 -1,19 0,33 -2,04 0,58 -0,04 0,35 0,35 -0,28 -1,03 0,28 -0,22 0,25 1,41 1,24 2,58 0,91 1,6 -0,71 1,05 -0,03 1,57 1,46 0,24 0,84 0,88 -0,06 5,24 Perumahan 0,2 0,21 0,06 0,02 0,02 0,64 0,37 0,17 0,13 0,11 0,05 0,08 -0,21 0,14 0,04 0,22 0,23 1,15 0,49 0,07 0,9 0,42 0,33 1,42 0,6 1,27 1,4 0,22 1,36 7,92 Sandang 0,05 0,08 0,15 0,09 0,13 0,66 0,14 0,22 0,09 0,19 0,3 0,19 0,18 0,22 0,4 0,82 1,7 2,37 0,28 1,41 0,29 0,06 0,22 0,42 0,02 0,39 0,47 0,55 0,34 2,76 0,08 0,28 0,08 0,01 0,76 1,4 0,05 0,09 0,07 0,12 0,03 0,02 0,04 0,11 0,15 0,13 0,07 0,18 0,23 0,04 0,6 0,11 0,03 1,23 0,82 0,04 0,44 0,11 0,36 3,74 Umum Tahun anggaran 3,64 5,66 8,83 8,29 6,55 5,48 9,11 9,78 10,03 7,04 -5,53 Tahun takwim 8,76 4,31 8,83 8,9 5,47 5,97 9,53 9,52 4,94 9,77 9,24 Sampai dengan bulan Desember Departemen Keuangan RI 249 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.2 1) PERUBAHAN INDEKS UMUM HARGA KONSUMEN DI 27 KOTA DI INDONESIA , 1984/85 - 1994/95 ( dalam persentase ) Banda Bandar Akhir Aceh periode/kumulatif Medan Padang Pekanbaru Jambi Palembang Bengkulu Lampung Jakarta -6 -1 -2 -3 -4 -5 -7 -8 -9 -10 1984/85 Kumulatif -2,65 0,92 --1,26 --4,17 1985/86 Kumulatif -7,02 3,94 --5,73 --4,24 1986/87 Kumulatif -9,8 7,51 --6,24 --8,6 1987/88 Kumulatif -7,12 6,66 --7,88 --8,08 1988/89 Kumulatif -12,5 7,12 --4,19 --5,99 1989/90 Kumulatif -5,74 2,75 --1,71 --4,97 1990/91 Kumulatif 10,5 5,9 7,15 8,21 9,84 4,76 7,26 10,29 5,24 1991/92 Kumulatif 6,7 9,52 9,26 9,03 9,1 8,98 8,09 10,75 8,65 1992/93 Kumulatif 7,05 11,27 9,24 7,72 9,08 8,63 8,8 11,5 9,3 1993/94 Kumulatif 7,72 4,43 6,52 9,12 7 5,8 5,14 7,29 6,85 1994/95 April -0,24 -0,48 -0,45 -0,06 0,13 1,71 0,03 0,81 -0,08 Mei 0,49 1,03 1,74 0,19 0,39 0,47 0,83 0,22 0,36 Juni 1,33 0,21 0,02 -0,47 0,19 0,02 0,22 0,11 2,05 Juli 0,93 1,36 2,25 1,82 1,18 1,22 3,22 1,51 0,85 Agustus 0,45 0,83 0,25 1,29 0,99 2,12 0,89 1,01 0,26 September 0,36 0,97 0,3 0,32 0,27 1,16 -0,23 0,78 0,92 Oktober 1,49 0,15 1,2 0,28 2,18 1,57 1,23 0,23 0,71 0,05 November 1,59 0,54 0,68 0,5 0,01 -0,72 0,41 0,26 -1,38 Desember 0,72 0,96 -0,6 -0,67 0,28 1,4 0,06 0,72 Kumulatif 2) -5,78 -6,62 -4,47 -5,1 -5,01 -8,61 -6,2 -6,13 -4,52 1) Sampat dengan Maret 1990, mencakup 17 kota 2) Sampai dengan bulan Desember Akhir periode/kumulatif -1 1984/85 Kumulatif 1985/86 Kumulatif 1986/87 Kumulatif 1987/88 Kumulatif 1988/89 Kumulatif 1989/90 Kumulatif 1990/91 Kumulatif 1991/92 Kumulatif 1992/93 Kumulatif 1993/94 Kumulatif 1994/95 April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Kumulatif 1) 1) Bandung Semarang -3 -2 3,48 2,97 6,81 5,11 8,76 9,16 9,47 9,89 5,33 6,07 5,45 4,65 9,62 9,76 9,19 10,32 8,41 9,14 8,05 4,61 0,33 -0,5 1,05 0,39 -0,09 0,88 1,39 1,55 1,03 0,25 0,5 0,4 0,28 0,26 -0,19 1,14 1,02 -0,15 -5,32 -4,22 Yogyakarta Surabaya Denpasar Mataram Kupang -4 -5 -6 -7 -8 3,26 4,39 5,98 1,76 0,96 5,95 5,13 11,35 8,24 8,55 8,28 9,87 9,76 9,92 11,47 9,48 7,54 11,88 10,16 5,62 6,17 6,95 7,66 6,95 4,35 4,99 6,21 7,67 10,4 8,61 10,43 9,85 11,17 10,14 5,62 9,62 10,14 8,87 7,33 6,59 8,4 9,54 11,04 9,6 10,11 7,24 8,39 7,2 7,89 7,34 -0,72 -0,35 -1,55 -0,87 -0,06 0,53 0,65 -0,57 0,67 0,29 -0,31 0,3 -0,81 0,04 0,01 1,46 0,77 0,99 2,39 1,42 1,29 0,55 0,55 1,08 0,62 0,49 -0,05 0,35 -0,07 0,25 0,87 2,05 1,4 -0,03 0,08 1,38 0,48 1,66 1,23 -0,2 0,24 0,24 -0,66 0,38 1,27 -5,23 -4,64 -4,46 -4,82 -3,68 Dili -9 ------5,73 5,77 10,7 3,06 -0,06 1,14 0,92 1,24 1,02 0,44 0,7 0,05 0,57 -6,02 Pontianak -10 2,9 8,05 8,94 9,28 6,81 7,1 9,11 9,58 8,25 7,41 -1,48 0,87 0,27 1,38 0,35 0,51 0,81 2,97 -0,82 -4,86 Sampai dcngan bulan Dcscmbcr Departemen Keuangan RI 250 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Akhir Palangka Raya periode/kumulatif Banjarmasin Samarinda Manado -1 -2 -3 -4 -5 1984/85 Kumulatif -3,31 -1,5 1985/86 Kumulatif -4,72 -8,29 1986/87 Kumulatif -8,38 -12,47 1987/88 Kumulatif -10,45 -7,12 1988/89 Kumulatif -4,22 -7,45 1989/90 Kumulatif -8,01 -3,73 1990/91 Kumulatif 9,81 9,26 7,97 7,85 1991/92 Kumulatif 9,79 8,28 11,6 8,25 1992/93 Kumulatif 7,21 9,46 6,46 6,54 1993/94 Kumulatif 8,99 4,42 6,45 10,55 1994/95 April 0,21 -0,36 0,58 -0,37 Mei -0,44 0,82 0,44 1,61 Juni -0,34 -0,42 0,55 -0,44 Juli 0,57 0,81 0,81 0,96 Agustus 0,32 0,94 1,09 2,04 0,15 -0,24 0,75 0,12 September 1,51 0,75 -0,22 1,91 Oktober 0,9 -0,19 1,98 0,71 November 0,37 0,9 0,11 0,1 Desember Kumulatif 1) -2,83 -3,01 -6,09 -6,64 1) Sampai dengan bulan Desember Palu -6 -----6,99 6,89 8,66 5,84 -0,48 -0,53 -0,22 1 0,5 0,92 0,2 2,8 1,3 -5,49 Ujung Pandang Kendari -7 -8 5,33 -4,67 -6,47 -7,24 -4,6 -6,17 -6,04 9,69 7,71 12,25 8,79 9,83 5,94 8,09 0,45 1,55 0,71 -0,01 -0,15 0,37 1,28 0,21 1,46 1,39 0,87 -0,42 0,68 0,05 0,29 0,56 0,56 2,69 -6,15 -6,39 Ambon Jayapura -9 -10 0,05 2,31 2,87 2,02 8,03 13,09 17,25 6,67 21,34 6,31 25,37 5,99 6,55 5,69 5,24 6,79 8,53 7,99 6,11 9,34 0,45 -1,26 1,33 1,24 -0,26 0,23 0,22 0,38 0,66 0,54 0,07 1,43 0,67 1,16 0,09 0,89 0,76 1,63 -3,99 -6,24 3.2.2. Harga beberapa barang konsumsi utama Kemarau panjang yang terjadi dalam tahun 1994 telah menyebabkan terganggunya produksi padi di beberapa daerah sentra penghasil padi, yang mengakibatkan harga beras di beberapa kota mengalami kenaikan yang cukup menonjol. Harga komoditi ini mulai meningkat sejak bulan Juni 1994, dengan kenaikan tertinggi terjadi dalam bulan Juli dan Agustus 1994, sehingga dalam bulan-bulan tersebut kenaikan harga beras telah memberikan andil inflasi masing-masing sebesar 0,41 persen dan 0,38 persen. Dari pemantauan yang dilakukan di delapan ibukota propinsi, kenaikan harga beras selama periode April-Oktober 1994 terjadi di tujuh ibukota propinsi, yaitu Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Ujung Panuang, dan Denpasar, dengan persentase berkisar antara 9,67 persen sampai dengan 40,25 persen. Kenaikan harga beras tertinggi terjadi di kota Denpasar, sedangkan di kota Banjarmasin terjadi penurunan sebesar 3,85 persen. Sementara itu harga beberapa barang konsumsi utama lainnya, seperti tepung terigu dan gula pasir, dalam periode yang sama juga mengalami peningkatan mengikuti perkembangan harga beras. 3.2.3. Harga emas dan mata uang asing Belum tuntasnya persetujuan dagang antara Amerika Serikat dengan Jepang serta masih tingginya defisit dalam neraca perdagangan Amerika Serikat, menyebabkan nilai tukar dolar Departemen Keuangan RI 251 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Amerika Serikat mengalami fluktuasi terhadap beberapa mata uang kuat dunia lainnya. Keadaan tersebut telah memberikan pengaruh kepada para investor untuk tetap menginvestasikan sebagian modalnya ke pasar emas, yang mengakibatkan perkembangan harga emas di beberapa pasar utama dunia, terutama di pasar London, juga mengalami fluktuasi. Setelah meningkat dalam bulan Agustus dan September 1994, dalam bulan Oktober dan November 1994 harga emas di pasar London kembali menurun dibandingkan dengan harga yang terjadi dalam bulan September 1994. Perkembangan harga emas yang fluktuatif tersebut juga berpengaruh terhadap harga emas di dalam negeri. Di pasar Jakarta, harga emas 24 karat dalam bulan November 1994 mengalami penurunan dibandingkan dengan tingkat harga dalam bulan sebelumnya, yaitu sebesar 1,27 persen. Namun jika dibandingkan dengan tingkat harga yang dicapai dalam bulan Maret 1994, harga tersebut dalam bulan November 1994 masih mencalat kenaikan sebesar 0,76 persen. Perkembangan harga emas di pasar Jakarta dan di pasar London dapat dilihat dalam Tabel III.3. Dalam pada itu, perkembangan harga beberapa mata uang asing terhadap rupiah di pasar Jakarta selama periode April-November 1994 mengalami peningkatan. Dolar Amerika dalam periode tersebut meningkat sebesar 1,14 persen, sementara mata uang Eropa, seperti poundsterling Inggris, franc Swiss, mark Jerman, dan guilder Belanda, masing-masing mengalami apresiasi terhadap rupiah sebesar 8,99 persen, 12,46 persen, 11,99 persen, dan 12,44 persen. Mata uang Asia yang mengalami kenaikan harga tertinggi dalam periode tersebut adalah yen Jepang dan dolar Singapura, masing-masing sebesar 8,72 persen dan 8,87 persen, sedangkan dolar Hongkong hanya meningkat sebesar 0,71 persen. Perkembangan harga mata uang asing di Jakarta dapat dilihat dalam Tabel III.4 Departemen Keuangan RI 252 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.3 HARGA RATA-RATA EMAS DI PASAR JAKARTA DI PASAR LONDON, 1984/85 - 1994/95 Jakarta London Rp/gram) ounce) Periode 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 Juni September Desember Maret Juni September Desember Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Departemen Keuangan RI 11.557 11.762 17.080 24.230 23.392 22.408 22.912 22.582 22.345 22.545 22.380 22.135 24.000 24.170 25.125 25.605 25.819 25.500 25.945 26.038 25.665 25.990 26.131 25.800 339.22 331.40 382.35 458.53 417.44 381.95 373.45 356.70 343.35 348.50 333.50 337.85 379.85 355.20 390.70 386.35 376.15 387.50 387.95 383.10 386.15 394.25 384.45 382.95 253 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.4 DARGA RATA-RATA BEBERAPA JENIS MATA UANG ASING DI JAKARTA, 1984/85 -1994/95 ( harga jual dalam rupiah per satuan ) US $ ¥ £ HK $ Sin $ DM CHF NLG Periode -1 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 Juni September Desember Maret Juni September Desember Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November -2 1.053,74 1.124,33 1.410,81 1.653,98 1.712,32 1.792,93 1.875,57 1.978,87 2.037,60 2.046,20 2.064,60 2.079,75 2.094,60 2.112,50 2.117,-2.161,40 2.170,-2.173,-2.169,-2.181,-2.178,-2.186,-2.186,-2.186,-- -3 4,37 5,21 8,96 12,04 13,37 12,56 13,39 14,87 16,07 16,69 16,66 17,77 19,53 20,06 19,29 20,53 20,93 20,67 21,18 22,11 21,8 22,07 22,19 22,32 -4 1.341.92 1.572,31 2.125,98 2.828,42 3.027,75 2.899,01 3.469,37 3.443,08 3.785,-3.792,20 3.197,80 3.052,-3.171,80 3.232,50 3.169,-3.213,-3.215,-3.266,-3.325,-3.388,-3.377,-3.424,-3.509,-3.502,-- -5 137,72 147,8 185,66 215,83 222,05 232,03 243,64 256,85 265,6 266,4 269,-270,75 272,2 274,8 275,4 283,-283,-284,-285,-285,-284,-285,-286,-285,-- -6 488,35 519,5 653,05 800,69 862,58 928,72 1.059,17 1.163,95 1.255,-1.279,60 1.265,40 1.265,25 1.296,60 1.321,20 1.325,-1.366,80 1.388,-1.403,-1.423,-1.441,-1.448,-1.466,-1.479,-1.488,-- -7 356,09 422,03 707,53 946,41 953,88 976,62 1.192,44 1.181,45 1.297,20 1.412,20 1.306,80 1.261,50 1.270,40 1.299,30 1.238,-1.270,70 1.310,75 1.306,-1.334,-1.391,-1.389,-1.405,-1.435,-1.423,-- -8 426,08 504,43 852,49 1.148,21 1.135,49 1.112,75 1.405,18 1.352,33 1.433,80 1.605,60 1.460,80 1.364,-1.427,40 1.487,60 1.445,-1.507,20 1.504,50 1.532,-1.581,-1.647,-1.650,-1.686,-1.727,-1.695,-- -9 315,18 372,25 623,39 839,21 845,04 865,37 1.058,08 1.054,82 1.151,80 1.254,40 1.161,20 1.121,75 1.134,40 1.157,-1.104,-1.130,40 1.136,-1.166,-1.190,-1.240,-1.238,-1.253,-1.282,-1.271,-- 3.2.4. Harga barang-barang ekspor nonmigas Memasuki tahun pertama Repelita VI, perkembangan harga komoditi ekspor primer hasil pertanian mulai membaik dibandingkan dengan perkembangannya dalam dua tahun sebelumnya. Di samping karena menguatnya permintaan pasar sebagai akibat meningkatnya pertumbuhan ekonomi dunia, hal tersebut juga disebabkan oleh terjadinya penurunan pasok di pasar sebagai akibat adanya perbaikan pengaturan tata niaga tingkat dunia melalui perjanjian komoditi, adanya rasionalisasi jumlah produksi oleh negara-negara pemasok, serta terjadinya bencana alam yang mengganggu produksi. Selama tahun anggaran 1994/95 (April-Oktober 1994) harga beberapa komoditi primer, Departemen Keuangan RI 254 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 khususnya komoditi hasil pertanian seperti kopi robusta, karet, kopra, dan minyak sawit mengalami peningkatan di pasar dunia. Kopi robusta di pasar New York dalam periode tersebut meningkat cukup tinggi, yaitu sebesar 180,69 persen, yaitu dari US$ ct 61,46/lb dalam bulan Maret 1994 menjadi US$ ct 172,51/lb dalam bulan Oktober 1994. Kenaikan harga kopi tersebut disebabkan oleh menurunnya pasok kopi dunia sebagai akibat penurunan produksi di beberapa negara penghasil utarna kopi, seperti Brazil dan Meksiko. Di samping itu diberlakukannya skema retensi kopi sejak Oktober 1993 juga mempunyai pengaruh dalam peningkatan harga kopi di pasaran. Komoditi lain yang juga mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi dalam periode April-Oktober 1994 adalah minyak sawit. Komoditi ini mencatat kenaikan harga sekitar 60,05 persen di pasar London, yaitu dari £ 396,76/lt dalam bulan Maret 1994 menjadi £ 635/lt dalam bulan Oktober 1994. Sementara itu, harga karet jenis RSS III di pasar New Yark, London, dan Singapura, dalam 7 bulan terakhir memperlihatkan perkembangan yang meningkat. Dalam periode April-Oktober 1994, komoditi tersebut mengalami kenaikan harga di masing-masing pasar sebesar 52,14 persen, 33,38 persen, dan 39,85 persen. Sementara itu harga rata-rata komoditi kopra di pasar London, walaupun menunjukkan kecenderungan fluktuatif dalam 2 bulan terakhir ini, selama April-Oktober 1994 relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan harga rata-rata tahun sebelumnya. Kecenderungan harga yang berfluktuasi juga terjadi pada komoditi timah putih di pasar London. Setelah mencatat harga tertinggi dalam bulan Juni 1994, dalam bulan-bulan berikutnya harga timah putih sedikit melemah. Baru dalam bulan September dan Oktober 1994 komoditi ini kembali mengalami kenaikan harga rata-rata 2,96 persen per bulan. Sejalan dengan perkembangan harga di pasar internasional, harga komoditi sejenis di pasar dalam negeri juga memperlihatkan perkembangan yang meningkat. Kenaikan harga yang cukup menonjol terjadi pada komoditi kopi robusta, yang dalam periode April-Oktober 1994 mencatat kenaikan harga sebesar 87,34 persen. Komediti lain yang juga mengalami kenaikan harga cukup besar adalah karet jenis RSS I. Dalam periode yang sama harga komoditi ini telah meningkat sebesar 59,93 persen, disusul kemudian oleh komoditi kopra, yang mencatat kenaikan harga sebesar 14,64 persen. Sementara itu harga lada putih dalam lima bulan terakhir memperlihatkan peningkatan, dengan persentase kenaikan rata-rata 3,25 persen per bulan. Sedangkan dalam periode April-Oktober 1994 harga komoditi ini mengalami kenaikan sebesar 12,35 persen. Perkembangan harga beberapa barang ekspor primer di pasar internasional maupun di pasar dalam negeri dapat dilihat dalam Tabel III.5, Tabel III.6, Departemen Keuangan RI 255 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.5 HARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR DI PASAR JAKARTA 1984/85 - 1994/95 ( dalam ribu rupiah per ton) Periode -1 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 Juni September Desember Maret Juni September Desember Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Departemen Keuangan RI Karet RSS I Kopra (Sulawesi) -2 -3 807,7 762,8 1.115,20 1.562,00 1.784,30 1.419,60 1.445,00 1.406,00 1.556,00 1.642,00 1.752,00 1.669,50 1.518,50 1.655,00 1.694,00 1.822,00 1.910,00 1.953,00 2.078,00 2.461,00 2.784,00 2.799,00 2.914,00 471,9 308,9 364,7 452 570,8 486,4 339 753 700 588 578 562 505 473 583 560 568 595 600 599 600 638 642 Lada putih -4 2.779,20 4.710,80 6.673,20 7.742,40 5.673,30 3.588,00 2.580,00 2.307,00 1.925,00 2.325,00 2.400,00 3.250,00 3378 3.900,00 4.006,00 5.400,00 5.200,00 5.175,00 5.300,00 5.400,00 5.750,00 5.800,00 6.067,00 Kopi Robusta -5 1.320,80 2160,4 2.619,50 2.500,00 2.100,00 1.387,50 1386 1.474,00 1.336,00 1.397,00 1.488,00 1.738,00 1.769,00 2.206,00 2.515,00 2.741,00 2.949,00 4.293,00 5.184,00 4.982,00 5.060,00 5.135,00 5.135,00 256 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.6 HARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR UTAMA DI PASAR INTERNASIONAL, 1984/85 - 1994/95 US $ ct/lb RSS III Brp/kg Str $ ct/kg US $/lt Kopra US $/lt (New York) (London) (Singapura) (Manila) (London) -2 -3 -4 Periode -1 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 Juni September Desember Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober 44,46 40,8 42,92 50,12 54,09 46,82 46,-43,06 43,48 41,6 40,77 44,49 45,28 48,-48,58 52,36 61,94 66,43 66,33 68,89 70,21 59,31 58,16 63,43 68,74 58,17 49,9 52,02 62,44 57,19 56,63 57,63 67,71 68,79 70,52 75,75 87,18 87,8 87,77 90,31 174,99 158,01 172,49 206,68 227,58 165,62 144,5 134,99 134,42 127,75 129,12 127,69 145,86 146,85 152,68 157,1 198,81 200,71 193,55 203,99 -5 502,86 296,61 220,64 341,41 396,27 321,96 222,3 --278,-288,75 410,-354,-357,-381,75 405,-399,75 397,75 409,-406,-- -6 658,76 330,23 203,3 322,49 378,85 168,-- 1) 158,33 142,24 140,1 126,19 114,11 142,73 --118,-130,33 130,33 125,7 129,41 130,85 Kopi robusta US$ct/lb Lada putih US $/kg Lada hitam US $/kg eks Palembang (New York) (New York) (New York) -7 123,94 123,41 120,53 92,25 95,32 61,66 45,94 41,48 37,79 38,02 56,83 55,03 61,46 62,54 95,84 129,89 168,83 163,34 196,78 172,51 -8 253,37 -277,50 2) 264,42 311,96 524,27 1,68 1,5 1,59 1.59 ----------- -9 104,98 182,-240,75 2) 250,12 250,45 455,84 1,82 1,21 1,3 1,3 ----------- Timah putih Minyak sawit Br £/mt Br £/lt (London) -10 9.525,78 7.487,86 7.395,-4.031,73 4.220,55 7.658,56 5.880,63 5,618,44 5.653,63 5.076,06 4,269,21 4.763,07 5.423,75 5.401,25 5.480,-5.561,67 5.378,75 5.167,50 5.314,23 5.477,65 Plywood Y/Sheet Eks Malaysia (London) (Tokyo) -11 -12 641,-445,07 269,5 361,14 428,9 320,38 303,32 404,9 414,69 535,13 351,58 402,47 396,76 421,88 486,25 525,-596,25 545,-630,-635,-- -1.032,-1.096,39 1.300,55 912,22 1.037,50 1.224,38 1.065,-1.160,-1.445,-1.260,-1.250,-1.210,-1.225,-1.225,-1.165,-1.165,-1.165,-1.165,--- 1) Sejak bulan Desember 1989 dengan jenis "copra expeller pellets" 2) 1986/87 sampai dengan 1989/90 dalam US$ ct/lb 3.2.5. Indeks umum harga perdagangan besar Kenaikan indeks umum harga perdagangan besar Indonesia dalam 4 tahun terakhir cenderung menurun. Setelah sedikit mcningkat dalam tahun 1992, persentase kenaikan indeks umum harga perdagangan besar dalam tahun 1993 menurun menjadi 3,55 persen, dan dalam tahun 1994 (sampai dengan bulan September 1994) meningkat sebesar 3,92 persen. Andil terbesar dalam kenaikan indeks umum harga perdagangan besar dalam tahun 1994 adalah kenaikan indeks pada sektor pertanian sebesar 15,54 persen serta sektor pertambangan dan penggalian sebesar 7,34 persen. Sementara itu sektor ekspor mengalami penurunan indeks sebesar 1,27 persen. Perkembangan indeks umum harga perdagangan besar Indonesia dapat dilihat dalam Tabel III.7. 3.2.6. Indeks umum harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi Seperti halnya indeks umum harga perdagangan besar (IHPB), indeks umum harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi dalam tahun 1994 (sampai dengan bulan September 1994) mengalami peningkatan sebesar 4,23 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan Departemen Keuangan RI 257 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dengan peningkatannya dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Kelima jenis bahan bangunan/konstruksi yang tercakup dalam perhitungan indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi, yaitu bangunan tempat tinggal dan bangunan bukan tempat tinggal, pekerjaan umum untuk pertanian, pekerjaan umum untuk jalan, jembatan dan pelabuhan, bangunan dan instatasi listrik, serta bangunan lainnya mengalami peningkatan indeks harga antara 2,80 persen sampai dengan 4,04 persen. Perkembangan indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi dapat dilihat dalam Tabel III.8. Tahun -1 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1) 1994 1) Tabel III.7 INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR, 1984 - 1994 ( 1983 = 100) Pertambangan Indeks dan Penggalian umum Ekspor Pertanian Industri Impor -2 -3 -4 -5 -6 -7 113 109 108 113 112 111 118 117 115 119 113 116 128 125 124 129 85 116 145 132 143 158 118 142 163 143 156 164 118 149 177 156 166 178 131 162 191 169 176 191 159 178 206 188 194 201 153 187 225 201 206 208 159 197 251 218 218 212 157 204 290 234 228 214 155 212 Perubahan indeks umum (%) -8 + 11,46 + 4,5 + 0 + 22,41 + 4,93 + 8,72 + 9,88 + 5,06 + 5,35 + 3,55 + 3,92 Sampai dengan bulan September Tabel III.8 INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR BAHAN BANGUNAN/KONSTRUKSI MENURUT JENIS BANGUNAN, 1984 - 1994 (1983 = 100) Tahun -1 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1) 1) Bangunan tem-pat Pekerjaan umum Bangunan dan instalasi untuk jalan, listrik, jembatan dan tinggal dan gas, air minum, dan Bangunan bangunan bukan Pekerjaan umum jembatan dan komunikasi lainnya tempat tinggal untuk pertanian pelabuhan -2 -3 -4 -5 -6 113 109 108 113 112 118 117 115 119 113 128 125 124 129 85 145 132 143 158 118 163 143 156 164 118 177 156 166 178 131 191 169 176 191 159 206 188 194 201 153 225 201 206 208 159 251 218 218 212 157 290 234 228 214 155 Indeks umum Perubahan indeks umum (%) -7 III 116 116 142 149 162 178 187 197 204 212 -8 + + + + + + + + + + + 11,46 4,5 0 22,41 4,93 8,72 9,88 5,06 5,35 3,55 3,92 Sampai dengan bulan September Departemen Keuangan RI 258 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 3.3. Gaji dan upah di berbagai sektor Sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, perkembangan gaji dan upah maksimum dan minimum di beberapa sektor dalam tahun 1994 (sampai dengan bulan Juni 1994) mengalami kenaikan dibandingkan dengan tingkat gaji dan upah dalam tahun 1993. Dari pengamatan secara sektoral, gaji dan upah maksimum di sektor perhubungan dan sektor perdagangan mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya, masing-masing sebesar 47,08 persen dan 20,72 persen. Sementara itu kenaikan gaji dan upah minimum terjadi di sektor perkebunan, sektor listrik, sektor perdagangan, dan sektor perhubungan dengan persentase kenaikan berkisar antara 3,36 persen sampai dengan 102,53 persen. Sektor yang mencatat kenaikan upah minimum tertinggi adalah sektor perhubungan sedangkan kenaikan terendah terjadi di sektor perdagangan. Perkembangan gaji dan upah maksimum dan minimum di berbagai sektor dapat dilihat dalam Tabel III.9. Tabel III.9 Sektor -1 (Rata-rata upah minimum) 1. Perkebunan 2. Pertambangan 3. Industri 4. Bangunan 5. Listrik 6. Perdagangan 7. Perhubungan 8. Jasa-jasa 9. Lain-lain/pegawai negeri (Rata-rata upah maksimum) 1. Perkebunan 2. Pcrtambangan 3. Industri 4. Bangunan 5. Listrik 6. Pcrdagangan 7. Pcrhubungan 8. Jasa-jasa 9. Lain-lain/pegawai negeri 1) UPAH MINIMUM DAN MAKSIMUM DI BERBAGAI SEKTOR, 1986 - 1994 ( rupiah per bulan ) 1986 1987 1988 1989 1996 1991 1992 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 1993 1994 1) -9 -10 43.816 102.999 92.072 18.837 80.608 136.121 110.756 71.597 55.500 46.362 145.973 98.627 96.356 80.608 159.142 115.509 71.597 55.500 50.266 146.081 115.701 96.236 80.608 209.313 115.509 102.146 55.500 67.538 185.187 130.263 119.892 94.998 212.896 117.678 112.000 55.500 100.590 218.241 171.957 221.240 105.751 227.611 133.671 157.585 69.200 134.740 321.750 186.069 176.338 130.990 250.343 168.800 223.252 69.200 149.699 368.870 187.800 254.366 150.182 305.080 223.145 234.683 69.200 169.812 413.807 195.527 289.882 155.240 315.535 230.460 234.683 79.700 240.439 413.807 195.527 289.882 172.865 326.146 466.757 234.683 79.700 489.919 988.727 1.181.116 703.621 551.809 999.892 732.898 576.436 368.880 513.054 1.084.653 1.359.182 1.144.860 551.809 1.193.838 923.062 576.436 368.880 590.384 1.593.079 1.856.189 1.188.131 551.809 1.193.838 923.062 680.100 369.800 758.043 1.979.561 1.856.189 1.188.131 683.794 1.442.426 1.047.077 1.121.810 369.880 1.050.965 2.269.215 1.997.947 1.879.124 821.069 1.967.498 1.172.333 1.775.659 461.900 1.563.064 3.869.560 2.244.380 2.147.802 1.054.296 2.509.900 2.179.183 2.188.040 461.900 1.814.862 3.950.119 2.704.974 2.263.366 1.308.292 3.313.904 2.804.609 2.270.505 461.900 1.835.324 4.495.389 2.920.324 2.656.364 2.643.471 3.732.806 2.930.816 2.509.258 559.700 1.835.324 4.495.389 2.920.324 2.656.364 2.744.415 4.506.183 4.310.603 2.509.258 559.700 Sampai dengan bulan Juni 3.4. Perkembangan uang beredar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Memasuki tahun anggaran 1994/95, situasi moneter menunjukkan perkembangan yang cukup stabil. Hal ini tercapai sebagai hasil pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati dalam beberapa tahun terakhir. Pengendalian moneter yang lebih berhati-hati dimulai Departemen Keuangan RI 259 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sejak tahun 1990/91 sehingga dapat lebih terkendalinya pertumbuhan uang beredar (M1) maupun likuiditas perekonomian (M2). Uang beredar dan likuiditas perekonomian dalam tahun anggaran 1990/91 meningkat masing-masing sebesar 6,4 persen dan 26 persen, lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana uang beredar meningkat sebesar 47,6 persen dan likuiditas perekonomian meningkat sebesar 45,7 persen. Dalam tahun 1991/92 pertumbuhan uang beredar dan likuiditas perekonomian kembali mengalami peningkatan masing-masing sebesar 15,9 persen dan 24,2 persen. Selanjutnya dalam tahun 1992/93, laju pertumbuhan uang beredar meningkat sebesar 12 persen dan likuiditas perekonomian meningkat sebesar 22,2 persen. Dalam tahun anggaran 1993/94 aktivitas ekonomi kembali meningkat dan bersamaan dengan itu laju pertumbuhan uang beredar meningkat pula menjadi sebesar 25,7 persen dan likuiditas perekonomian meningkat dengan 21,2 persen. Sampai dengan akhir Oktober tahun anggaran 1994/95 likuiditas perekonomian mencapai sebesar Rp 165.275 miliar, yang meliputi uang beredar (Ml) sebesar Rp 43.985 miliar (27 persen) dan uang kuasi sebesar Rp 121.290 miliar (73 persen). Hal ini menunjukkan bahwa dalam tahun anggaran 1994/95 sampai dengan akhir Oktober 1994 likuiditas perekonomian mengalami peningkatan sebesar Rp 15.964 miliar (10,7 persen), sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan dalam periode yang sama tahun sebelumnya yang meningkat sebesar Rp 15.522 miliar (12,6 persen). Uang beredar sampai dengan akhir Oktober 1994 mencapai sebesar Rp 43.985 miliar, yang meliputi uang kartal sebesar Rp 17.419 miliar (40 persen) dan uang giral sebesar Rp 26.566 miliar (60 persen). Bila dibandingkan dengan jumlah uang beredar pada akhir Maret 1994 sebesar Rp 38.452 miliar, maka dalam periode April-Oktober 1994 kenaikan jumlah uang beredar mencapai sejumlah Rp 5.533 miliar (14,4 persen). Kenaikan tersebut disebabkan oleh kenaikan uang giral sebesar 16,5 persen dan uang kartal sebesar 11,3 persen. Dalam periode yang sama tahun sebelumnya uang beredar menunjukkan kenaikan sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar Rp 5.022 miliar (16,4 persen). Dalam tahun anggaran 1994/95 sampai dengan bulan Oktober, kenaikan jumlah uang beredar terutama berasal dari pengaruh ekspansi moneter khususnya dari tagihan pada perusahaan dan perorangan sebesar Rp 24.651 miliar, sedangkan pengaruh kontraksi datang dari sektor aktiva luar negeri bersih sebesar Rp 2.079 miliar, sektor pemerintah sebesar Rp 1.882 miliar, sektor simpanan berjangka dan tabungan sebesar Rp 10.431 miliar, dan sektor lainnya sebesar Rp 4.726 miliar. Kenaikan jumlah uang beredar dari sektor tagihan kepada Departemen Keuangan RI 260 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 perusahaan swasta berkaitan dengan peningkatan kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan kepada perusahaan-perusahaan swasta. Perkembangan jumlah uang beredar, likuiditas perekonomian, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dilihat dalam Tabel III.10, Tabel III.11, Tabel III.12 Pada akhir tahun/bulan 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 1) -1 Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober 1) Okt.) Tabel III.10 JUMLAH UANG BEREDAR, 1984/85 - 1994/95 (dalam miliar rupiah) Uang kartal Uang giral Jumlah uang beredar Perubahan tahunan Posisi % Posisi % Posisi -2 -3 -4 -5 -6 -7 3.785 42,1 5.203 57,9 8.988 11,6 5.044 48,2 5.431 51,8 10.475 16,5 5.673 49,3 5.827 50,7 11.500 9,8 5.873 46,5 6.753 53,5 12.626 9,8 6.559 43,7 8.450 56,3 15.009 18,9 7.780 35,1 14.375 64,9 22.155 47,6 9.026 38,3 14.544 61,7 23.570 6,4 11.025 40,4 16.293 59,6 27.318 15,9 9.944 37 16.900 63 26.844 10.440 37,8 17.186 62,2 27.626 11.478 39,9 17.301 60,1 28.779 12.325 40,3 18.268 59,7 30.593 12 12.386 39,2 19.177 60,8 31.563 13.106 37,4 21.935 62,6 35.041 14.431 39 22.605 61 37.036 15.652 40,7 22.800 59,3 38.452 25,7 15.195 9,4 23.352 60,6 38.547 15.252 39,2 23.681 60,8 38.933 15.825 39,5 24.281 60,5 40.106 16.435 40,8 23.830 59,2 40.265 16.833 40,5 24.762 59,5 41.595 17.555 41,4 24.853 58,6 42.408 17.419 39,6 26.566 60,4 43.985 -14,4 - Angka sementara Departemen Keuangan RI 261 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.11 LIKUIDITAS PEREKONOMIAN, 1984/85 - 1994/95 ( dalam miliar rupiah ) Uang kuasi 2) Uang beredar 1) Likuiditas perekonomian 3) Perubahan % tahunan Posisi % Posisi % Posisi -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 1984/85 Maret 8.988 46,2 10.459 53,8 19.447 23,4 1985/86 Maret 10.475 43,3 13.693 56,7 24.168 24,3 1986/87 Maret 11.500 40,4 16.991 59,6 28.491 17,9 1987/88 Maret 12.626 35,4 23.034 64,6 35.660 25,2 1988/89 Maret 15.009 34 29.158 66 44.167 23,9 1989/90 Maret 22.155 34,4 42.212 65,6 64.367 45,7 1990/91 Maret 23.570 29,1 57.554 70,9 81.124 26 1991/92 Maret 27.318 27,1 73.478 72,9 100.796 24,2 1992/93 Juni 26.844 25,1 80.077 74,9 106.921 September 27.626 24,3 85.861 75,7 113.487 Desember 28.779 24,2 90.274 75,8 119.053 Maret 30.593 24,8 92.569 75,2 123.162 22,2 1993/94 Juni 31.563 25,2 93.467 74,8 125.030 September 35.041 25,6 101.674 74,4 136.715 Desember 37.036 25,4 108.563 74,6 145.599 Maret 38.452 25,8 110.859 74,2 149.311 21,2 1994/95 April 38.547 25,7 111.538 74,3 150.085 Mei 38.933 25,8 111.927 74,2 150.860 Juni 40.106 26,2 112.705 73,8 152.811 Juli 40.265 26 114.588 74 154.853 Agustus 41.595 26,2 117.206 73,8 158.801 September 42.048 26,1 120.366 73,9 162.774 43.985 26,6 121.290 73,4 165.275 Oktober 4) (Apr. - Okt.) -10,7 1) Uang beredar dalam arti sempit terdiri atas uang kartal dan uang giral, biasa dinyatakan dengan simbol M1. 2) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan serta rekening valuta asing milik swasta domestik. 3) Merupakan uang beredar dalam arti luas, yang biasa dinyatakan dengan simbol M2, terdiri atas uang beredar dalam arti sempit dan uang kuasi. 4) Angka sementara Pada akhir Tahun/bulan Tabel III.12 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH UANG BEREDAR, 1984/85 - 1994/95 (dalam miliar rupiah) Sektor -1 I. Aktiva luar negeri bersih II. Pemerintah 1. Tagihan kepada lembaga/perusahaan pemerintah 2. Tagihan kepada perusahaan swasta dan perorangan IV. Uang kuasi 1) V. Lainnya Jumlah uang beredar (Uang kartal) (Uang giral) Departemen Keuangan RI 1984/85 -2 2.809 -2.878 3.465 138 3.327 -2.755 292 933 -231 -702 1985/86 -3 1.014 1.199 3.835 178 3.657 -3.234 -1.327 1.487 -1.259 -228 1986/87 -4 2.372 -1.502 5.568 641 4.927 -3.298 -2.115 1.025 -629 -396 1987/88 -5 2.355 1.824 8.200 533 7.667 -6.043 -5.210 1.126 -200 -926 1988/89 -6 -197 -102 11.932 1.215 10.717 -6.124 -3.126 2.383 -686 -1.697 1989190 -7 -736 -62 29.665 1.108 28.557 -13.053 -8.668 7.146 -1.221 -5.925 1990/91 -8 2.277 -4.819 29.745 -1.504 31.249 -15.342 -10.446 1.415 -1.246 -169 1991/92 -9 3.462 -2.407 21.159 1.512 19.647 -15.924 -2.542 3.748 -1.999 -1.749 1992/93 -10 9.715 -62 13.261 53 13.208 -19.091 -548 3.275 -1.300 -1.975 1993/94 -11 -2.177 -1.568 35.489 613 34.876 -18.290 -5.595 7.859 -3.327 -4.532 1994/95 -12 2) -2.079 -1.882 24.651 1.173 23.478 -10.431 -4.726 5.533 -1.767 -3.766 262 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 3.5. Perkiraan jumlah uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2) dan kredit perbankan pada akhir tahun anggaran 1995/96. Untuk mendorong kegiatan perekonomian dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan, Pemerintah masih akan melanjutkan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati, untuk tetap menjaga kestabilan harga, nilai tukar rupiah, serta keseimbangan neraca pembayaran. Kebijaksanaan tersebut perlu didukung oleh piranti-piranti moneter, terutama dalam mengatur jumlah uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), suku bunga, dan kredit perbankan. Dengan melihat hasil dari berbagai paket kebijaksanaan moneter yang telah diambil Pemerintah, serta memperhatikan pula perkiraan laju inflasi dalam tahun anggaran 1995/96, perkembangan neraca pembayaran, dan pelaksanaan APBN dalam tahun anggaran 1994/95, maka jumlah uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), dan kredit perbankan dalam tahun anggaran 1995/96 diperkirakan akan meningkat masing-masing sebesar Rp 8.862 miliar (19 persen), Rp 36.079 miliar (20 persen), dan Rp 35.792 miliar (19 persen). Dengan demikian pada akhir Maret 1996 jumlah uang beredar (M1) diperkirakan mencapai Rp 55.504 miliar, likuiditas perekonomian (M2) mencapai Rp 216.473 miliar, dan kredit perbankan mencapai sebesar Rp 224.170 miliar. 3.6. Pasar Uang dan suku bunga Sejalan dengan perkembangan dunia usaha, Pemerintah terus mengupayakan pengembangan pasar uang, salah satu dari padanya adalah melalui penyempurnaan sistem pelelangan SBI dan kelembagaan di pasar uang dalam rangka mengembangkan aktivitas pasar uang dalam pemberian jasa atas transaksi rupiah dan valuta asing di masa mendatang. Pada sistem pelelangan SRI, sejak Juni 1993 Bank Indonesia telah mengubah sistem pelelangan SBI dalam operasi pasar terbuka dari yang semula menganut sistem cut of rate (COR) menjadi sistem stop out rate (SOR). Melalui sistem SOR tersebut otoritas moneter menetapkan besarnya sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang ditawarkan pada setiap lelang, sedangkan tingginya suku bunga SBI ditentukan oleh mekanisme transaksi di pasar uang. Melalui sistem tersebut, otoritas moneter diharapkan lebih mampu mengendalikan dana cadangan (reserves) bank-bank untuk memonitor bank-bank dalam penyaluran kredit dan penetapan suku bunga. Selanjutnya, di bidang kelembagaan telah danirikan PT Pemeringkat Efek Indonesia Departemen Keuangan RI 263 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 (Pefindo) sebagai lembaga rating yang independen. Lembaga tersebut memiliki wewenang untuk memberikan peringkat bagi sertifikat/surat hutang yang diperdagangkan di pasar modal. Dengan diberikannya peringkat kepada sertifikat/surat hutang yang diterbitkan, kualitas sertifikat/surat hutang tersebut akan dapat diketahui sehingga pilihan yang tersedia di pasar sekunder akan menjadi lebih beragam, tidak terbatas pada SBI saja. Di samping itu, lembaga rating tersebut merupakan sarana yang efektif bagi otoritas moneter dalam memantau perdagangan SBPU di antara bank-bank. Dengan lebih beragam dan meningkatnya kualitas sertifikat/surat hutang akan lebih memperkokoh struktur keuangan. Selanjutnya dalam upaya mendorong perkembangan pasar valuta asing antar bank serta mengurangi ketergantungan kebutuhan devisa perbankan pada Bank Indonesia, dalam tahun 1993 Bank Indonesia melakukan penyempurnaan penentuan nilai tukar rupiah dengan melebarkan perbedaan kurs beli dan kurs jual rupiah terhadap dolar untuk transaksi spot dengan Bank Indonesia, dari sekitar 0,5 persen menjadi sekitar 1 persen. Selain itu, spread kurs beli dan kurs jual uang kertas asing (UKA) rupiah terhadap dolar diperlebar, dari Rp 2,00 menjadi Rp 3,00 masing-masing di atas kurs jual dan di bawah kurs beli devisa Bank Indonesia. Sementara itu, penyempurnaan mekanisme transaksi valuta asing dilakukan dengan memperpendek waktu transaksi bank-bank dengan Bank Indonesia. 3.6.1. Pinjaman antar bank Nilai transaksi di pasar Uang antar bank di Jakarta selama tahun 1994 mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dalam periode Januari-November 1994, nilai transaksi di pasar uang antar bank di Jakarta mencapai Rp 100.949 miliar. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan nilai transaksi dalam periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 80.774 miliar, akan terjadi kenaikan sebesar Rp 20.175 miliar (24,98 persen). Peningkatan volume transaksi dana antar bank tersebut antara lain berkaitan dengan berkurangnya likuiditas bank-bank sehubungan dengan terjadinya arus balik dana jangka pendek ke luar negeri. Dalam pada itu, suku bunga rata-rata tertimbang pinjaman antar bank dalam periode yang sama telah menunjukkan kenaikan dari 7,01 persen menjadi 11,48 persen. Perkembangan nilai transaksi dan tingkat bunga di pasar uang antar bank dapat dilihat dalam Tabel III.13. Departemen Keuangan RI 264 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel 111.13 NILAI TRANSAKSI DAN TINGKAT BUNGA PASAR UANG ANTARBANK DI JAKARTA, 1984 -1994 Nilai transaksi Suku (miliar rupiah ) rata-rata Mas a ( persen (I) -2 -3 1984 8.055 9,95 1985 8.055 9,95 1986 8.022 13,79 1987 9.323 14,5 1988 12.491 14,93 1989 22.906 12,4 1990 38.905 14,93 1991 48.420 15,32 1992 57.806 12,32 1993 90.105 8,72 1994 Januari - Maret 25.615 7,39 April- Juni 27.535 9,31 Juli - September 27.579 10,75 Oktober 10.300 11,5 November 9.920 11,48 3.6.2. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Dalam periode Januari-November 1994 penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) mencapai jumlah sebesar Rp 80.098 miliar, atau menurun sebesar 37,02 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 1993 yang mencapai Rp 127.184 miliar. Rendahnya penerbitan SBI dalam tahun 1994 dibandingkan tahun sebelumnya, disebabkan tingginya penerbitan SBI dalam triwulan ke III dan ke IV tahun 1993, sebagai upaya untuk mengurangi tekanan inflatoir dari arus masuk dana luar negeri. Dengan memperhitungkan pelunasan SBI yang telah jatuh tempo, maka posisi SBI pada akhir November 1994 berjumlah sebesar Rp 14.251 miliar, akan menurun sebesar 36,23 persen dibandingkan dengan posisinya pada akhir November 1993 sebesar Rp 22.349 miliar. 3.6.3. Surat berharga pasar uang (SBPU) Sebagai salah satu piranti moneter, Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) berfungsi menjaga likuiditas perbankan agar sesuai dengan perkembangan moneter. Di samping itu SBPU berfungsi pula sebagai sarana dalam mengatur jumlah uang beredar. Dalam periode Januari-November 1994, Bank Sentral telah melakukan pembelian SBPU sejumlah Rp 61.061 miliar, yang berarti Departemen Keuangan RI 265 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 mengalami peningkatan sebesar Rp 37.027 miliar akan 154,06 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 1993 sebesar Rp 24.034 miliar. Dengan memperhitungkan besarnya penebusan SBPU sebesar Rp 60.260 miliar, maka posisi SBPU sampai dengan akhir November 1994 diperkirakan berjumlah sebesar Rp 2.196 miliar. 3.6.4. Sertifikat deposito Perkembangan dana sertifikat deposito yang berhasil dihimpun oleh bank pemerintah, bank asing maupun bank swasta nasional dalam periode April-September 1994 mengalami penurunan sebesar 6,6 persen yaitu dari Rp 784 miliar menjadi Rp 732 miliar. Dalam periode yang sama tahun anggaran sebelumnya dana sertifikat deposito mengalami kenaikan sebesar 13,6 persen. Menurunnya dana sertifikat deposito dalam tahun anggaran 1994/95 tersebut disebabkan oleh menurunnya dana sertifikat deposito yang dihimpun oleh bank pemerintah, yaitu sebesar 47,3 persen. Sedangkan dana sertifikat deposito yang dihimpun oleh bank swasta maupun bank asing mengalami kenaikan masing-masing sebesar 32,6 persen dan 500 persen. Perkembangan sertifikat deposito dapat dilihat dalam Tabel III.14 Tabel III.14 SERTIFIKA T DEPOSITO, 1984/85 -1994/95 ( dalam miliar rupiah) Bank Bank Bank-bank pemerintah nasional Akhir periode asing 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 . (I) Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember Maret April Mei Juni Juli Agustus September -2 Departemen Keuangan RI -3 418,4 184,3 86 63,8 61,1 76,8 103,1 243 154 371 456 438 374 500 528 414 408 326 259 225 157 218,0 . -4 26 57 32,1 39 21,5 18,8 11 11 12 7 5 4 7 8 6 5 5 4 4 9 9 30 Jumlah -5 0,4 1,4 1,6 118,9 69,3 76,8 320,1 974 747 644 549 401 456 450 463 365 359 377 442 472 440 484 444,8 242,7 119,7 221,7 151,9 172,4 434,2 1.228,00 913 1.022,00 1.010,00 843 837 958,0997 784 772 707 705 706 606 732 266 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 3.6.5. Suku bunga Upaya untuk menurunkan suku bunga perbankan dilakukan Pemerintah secara bertahap melalui pelonggaran kebijalan moneter, sambil tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian. Hasilnya tercermin dari mulai menurunnya suku bunga deposito dan bunga pinjaman dari sekitar 17,20 persen pada akhir tahun 1992 hingga menjadi sekitar 12,20 persen pada awal tahun 1994. Namun demikian, sejak awal tahun anggaran 1994/95 terlihat kecenderungan mulai meningkatnya suku bunga deposito, yang kemudian juga diikuti oleh suku bunga pinjaman. Hal ini berhubungan erat dengan usaha Pemerintah untuk mengendalikan tingkat inflasi melalui instrumen moneter serta pengaruh meningkatnya tingkat bunga internasional. Searah dengan perkembangan tersebut, suku bunga pasar uang antar bank atas dasar ratarata tertimbang telah mengalami kenaikan dari sebesar 7,60 persen dalam bulan Maret 1994 menjadi sebesar 11,48 persen dalam bulan November 1994. Dalam pada itu, tingkat diskonto sertifikat Bank Indonesia (SBI), surat berharga pasar uang (SBPU), dan suku bunga deposito cenderung meningkat. Namun deposito berjangka 12 bulan maupun kredit modal kerja dan kredit investasi mengalami penurunan. Suku bunga ratarata tertimbang deposito rupiah berjangka waktu 3 bulan, 6 bulan, dan 24 bulan mengalami kenaikan, masing-masing dari 11,53 persen, 11,94 persen, dan 15,24 persen pada akhir bulan Maret 1994, menjadi 13,35 persen, 12,57 persen, dan 15,82 persen pada akhir bulan September 1994. Namun dalam periode yang sama, suku bunga deposito berjangka 12 bulan telah menurun dari sebesar 13,40 persen menjadi 11,43 persen. Dalam pada itu, suku bunga pinjaman untuk modal kerja maupun untuk investasi dalam tahun anggaran 1994/95 menurun, masing-masing dari 17,53 persen dan 15,28 persen dalam bulan Maret 1994 menjadi 16,84 persen dan 14,95 persen pada akhir bulan Oktober 1994. Perkembangan suku bunga di dalam negeri dapat dilihat dalam Tabel III.15. Departemen Keuangan RI 267 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.15 SUKU BUNGA, 1988 - 1994 (dalam perseo per tabuo) Kredit SBI') SBPU') 3 bln 1988 Desember 15,3 KMK Deposito 2) 6 bln 12 bln - - 24 bln Investasi - - - 22,3 19,7 1989 Desember 11,64 - 17,06 17,7 18,58 18,82 21 19,3 1990 Desember 17,87 - 21 19,63 18,53 18,52 23,4 20,18 1991 Desember 18,03 20,19 21,88 22,65 22,76 20,58 25,1 19,28 1992 Desember 13,79 13,98 16,72 17,78 18,93 19,91 22,1 18,44 1993 Maret 12,71 13,33 15,71 16,27 17,73 19,25 21,68 18,19 JuDi 1994 9,6 11,53 15,19 15,48 16,61 18,56 20,62 17,62 September 9,18 11,13 13,76 14,52 15,3 17,32 19,3 16,58 Desember 9,08 12 11,79 13,08 14,2 16,08 17,95 15,95 Januari 9,07 12,36 11,65 12,68 13,87 15,61 17,72 15,65 Februari 8,06 11,77 11,66 12,31 13,61 15,75 17,6 15,4 Maret 8,78 11,76 11,53 11,94 13,4 15,24 17,53 15,28 April 8,32 11,87 11,93 11,82 13,16 15,22 16,94 15,25 Mei 9,43 12,58 11,58 11,79 12,93 14,96 16,79 14,86 JuDi 9,33 13,16 12,07 11,89 12,72 14,46 16,8 14,82 Juti 10,12 12,74 12,51 12,04 12,61 14,83 16,84 14,88 Agustus 10,17 13,28 12,94 12,27 12,51 14,54 16,85 14,79 September 10,36 13,59 13,35 12,57 11,43 15,82 16,86 14,79 Oktober 11,09 14,08 - - - - 16,84 14,95 1) Suku bunga SB! dan SBPU atas dasar rata-rata hitung 2) Deposito dari bank pencipta Uang giral. 3.7. Lembaga keuangan perbankan 3.7.1. Struktur kelembagaan Sebagai salah satu lembaga keuangan yang melaksanakan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, industri perbankan memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional serta dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Mengingat begitu pentingnya kedudukan perbankan dalam struktur perekonomian nasional, maka pembinaan terhadap industri perbankan dilakukan secara menyeluruh, baik dalam aspek kuantitas maupun kualitasnya. Sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam berbagai kebijaksanaan deregulasi yang telah dimulai sejak lebih dari satu dekade yang lalu, pembinaan perbankan diarahkan pada upaya untuk memperluas jaringan pelayanan perbankan agar lebih menjangkau ke segenap lapisan masyarakat di seluruh tanah air. Departemen Keuangan RI 268 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Selain itu pembinaan juga diarahkan agar industri perbankan dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dengan tingkat profesionalisme yang tinggi, baik dalam mengemban fungsinya sebagai lembaga keuangan yang mengelola likuiditas masyarakat maupun dalam melaksanakan misinya sebagai agen pembangunan. Reformasi hukum perbankan yang dilakukan melalui disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memberikan landasan hukum yang kuat bagi industri perbankan untuk berakomodasi dan berintegrasi dengan berbagai kemajuan pesat yang terjadi dalam perekonomian nasional dan internasional. Di dalam undang-undang yang baru tersebut diatur beberapa ketentuan pokok perbankan, antara lain ketentuan tentang jenis dan usaha bank, ketentuan perizinan, bentuk hukum dan kepemilikan bank, serta ketentuan pembinaan dan pengawasan bank. Menurut jenis usahanya, bank dibedakan dalam dua jenis, yakni bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Namun demikian, kepada bank-bank umum juga tetap diberi kesempatan untuk mengkhususkan diri dalam melaksanakan kegiatan di bidang tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar pada kegiatan bidang tertentu. Demikian juga BPR diberikan kesempatan untuk meningkatkan diri menjadi bank umum, sejauh BPR tersebut memenuhi persyaratan untuk itu. Sejalan dengan makin meluasnya kegiatan ekonomi yang berkembang dalam masyarakat, persaingan usaha antar bank dalam merebut akses pasar juga berkembang dengan pesat. Untuk menghadapi persaingan usaha yang makin ketat tersebut, setiap industri perbankan dituntut memiliki kinerja usaha yang sehat. Namun demikian Pemerintah juga menyadari bahwa untuk meningkatkan kinerja perbankan secara keseluruhan, banyak aspek usaha bank yang harus dibenahi, diantaranya meliputi struktur keuangan, kualitas aktiva produktif, kualitas manajemen, sumber daya manusia, strategi operasional, dan bahkan menyangkut pula pola pikir masyarakat yang berkepentingan dengan industri perbankan. Untuk itu secara konsisten Pemerintah terus berusaha menciptakan iklim yang memungkinkan dunia perbankan untuk meningkatkan usahanya tetapi sekaligus tetap menjaga kesehatannya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dikeluarkannya paket kebijaksanaan Mei (Pakmei) 1993, selain dimaksudkan untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas dalam melakukan ekspansi kredit, juga dimaksudkan untuk mendorong dunia perbankan agar lebih memperhatikan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dengan cara meningkatkan pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM), cadangan penghapusan aktiva produktif (CPAP), batas maksimum pemberian kredit (BMPK), Departemen Keuangan RI 269 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dan nisbah pinjaman terhadap simpanan (NPTS). Dalam rangka mendorong industri perbankan untuk mempercepat proses konsolidasi, Pemerintah telah pula melakukan kebijaksanaan yang bersifat persuasif dan integratif. Kebijaksanaan itu diantaranya adalah dengan menganjurkan bank-bank yang mempunyai kelemahan dalam bidang manajemen, sumber daya manusia, permodalan, dan struktur keuangan, untuk melakukan merger guna membentuk satu bank yang sehat dan tangguh. Disamping itu untuk menangani adanya kredit bermasalah yang dihadapi oleh beberapa bank, telah dilakukan pula upaya penyelesaian secara mendasar, antara lain melalui pembentukan tim kredit bermasalah pada bank-bank, penyempurnaan sarana hukum dan kerjasama yang lebih erat dengan berbagai instansi terkait, serta dengan lebih menyempurnakan dan mengintensitkan sistem pembinaan dan pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Melalui kebijaksanaan tersebut diharapkan dalam waktu-waktu mendatang industri perbankan dapat tumbuh, berkembang, dan berkompetisi secara sehat berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam meningkatkan pelayanannya kepada perekonomian nasional. Berbagai upaya pembinaan perbankan yang dilakukan secara berkesinambungan, telah membuahkan banyak kemajuan yang cukup menggembirakan. Hal ini antara lain terlihat dari makin membaiknya tingkat pemenuhan bank-bank terhadap persyaratan bank yang sehat, baik pemenuhan terhadap KPMM, BMPK, NPTS, maupun terhadap cadangan penghapusan aktiva produktif. Di samping itu jaringan perbankan yang bertarnbah banyak dan operasi pelayanannya yang makin meluas juga merupakan indikator-indikator kuantitatif yang menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun industri perbankan terus mengalami perkembangan yang pesat. Secara keseluruhan, jumlah bank sampai dengan akhir September 1994 telah mencapai 239 buah, yang terdiri dari 173 buah bank umum, 27 buah bank pembangunan daerah, dan 39 buah bank asing/campuran. Dengan demikian bila dibandingkan dengan jumlah bank yang ada pada akhir Maret 1989 sebanyak 111 buah, maka selama periode April 1989 - September 1994 telah terjadi pertarnbahan bank baru sebanyak 128 buah. Perkembangan jumlah bank tersebut telah diikuti pula dengan perluasan jaringan kantor cabang, yang meningkat dari 1.864 buah pada akhir Maret 1989 menjadi 6.022 buah pada akhir September 1994. Sementara itu jumlah bank perkreditan rakyat (BPR), yang terdiri dari BPR gaya lama dan BPR gaya baru, di luar lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP), dalam periode yang sama telah meningkat dari 5.770 buah menjadi 7.193 buah. Perkembangan jumlah bank dan kantor bank dapat dilihat pada Tabel III.16. Departemen Keuangan RI 270 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tab e I 111.16 JUMLAH BANK DAN KANTOR BANK DlINDONESIA, 1988/89 - 1994/95 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 BANK-BANK UMUM Bank umum pemerintah - Jumlah bank - Jumlah kantor Bank umum swasta nasional - Jumlah bank - Jumlah'kantor Bank pembangunan daerah - Jumlah bank - Jumlah kantor Bank asing/campuran - Jumlah bank - Jumlah kantor Jumlah bank umum - Jumlah bank - Jumlah kantor BANK PERKREDITAN RAKYAT Jumlah bank seluruhnya Jumlah kantor seluruhnya 19?3/94 1994/95 I) 7 860 7 940 7 1.030 7 1.045 7 1.066 7 1.088 7 1.478 66 714 94 1.536 114 2.256 133 2.775 147 2.881 163 3.093 166 3.750 27 269 27 326 27 376 27 412 27 426 27 429 27 645 11 21 23 40 28 48 29 54 39 75 39 78 39 149 111 1.864 5.770 5.881 7.634 151 2.842 5.884 6.035 8.726 176 3.710 6.193 6.369 9.903 196 4.286 6.703 6.899 10.989 220 4.448 6.889 7.109 11.337 236 4.688 7.095 7.331 11.783 239 6.022 7.193 7.432 13.215 I) Sampai dengan bulan September 1994. 2) Tidak termasuk LDKP yang shalusnya belum berubah menjadi BPR. 3.7.2. Pengerahan dana Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara diamanatkan bahwa untuk memantapkan kemandirian bangsa, dalam Repelita VI bangsa Indonesia harus bisa tumbuh dan berkembang dengan sebesar-besarnya memanfaatkan kekuatan sendiri. Ini berarti pembiayaan pembangunan harus lebih banyak bertumpu pada sumber-sumber dana yang berasal dari dalam negeri. Sejalan dengan arahan GBHN tersebut, kegiatan memobilisasi dana dari masyarakat bagi pembiayaan pembangunan terus dilakukan, baik melalui lembaga perbankan maupun lembaga keuangan bukan bank. Untuk meningkatkan peranan dunia perbankan dalam memobilisasi sumber dana dalam masyarakat, Pemerintah telah melakukan berbagai kebijaksanaan, baik yang bersifat mikro maupun makro. Implementasi kebijaksanaan mikro yang dilakukan melalui beberapa paket deregulasi, dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang baik bagi dunia perbankan agar dapat memperluas jaringan operasional, menjalankan manajemen secara baik, serta meningkatkan sistem pelayanan termasuk meningkatkan kreativitas dalam menciptakan berbagai produk jasa pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan kebijaksanaan makro yang dilakukan melalui pengendalian stabilitas ekonomi dimaksudkan agar besaran-besaran moneter, seperti jumlah uang beredar, laju inflasi, dan suku bunga, tetap berada pada tingkat yang wajar, sehingga memungkinkan bagi dunia perbankan untuk menghimpun dana yang sebesar-besarnya dengan Departemen Keuangan RI 271 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tetap memberikan keuntungan menarik bagi masyarakat pemilik dana. Tabe III.17 DANA PERBANKAN MENURUT JENISNY A, 1984/85 - 1994/95 ( dalam miliar rupiah) Akhir periode 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember' Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Giro 7.187,70 7.040,70 7.561,80 8.480,60 10.543,10 15.978,10 17.949,00 21.428,10 22.874,60 23.692,70 23.762,10 25.076,80 27.983,50 32.405,80 32.321,80 31.774,60 32.698,00 33.733,70 34.392,60 34.252,90 35.695,40 36.101,70 38.334,80 Deposito I) Tabungan Jumlah 8.726,00 774,1 16.687,80 12.590,40 1.211,80 20.842,90 14.911,80 1.586,40 24.060,00 20.654,30 1.835,00 30.969,90 26.474,40 2.485,30 39.502,80 36.350,40 6.863,60 59.192,10 49.839,60 9.722,20 77.510,80 56.812,30 17.471,00 95.711,40 60.232,50 19.684,30 102.791,40 63.626,80 22.104,60 109.424,10 65.619,20 25.468,50 114.849,80 64.216,00 28.343,20 117.636,00 66.071,30 29.174,50 123.229,30 71.297,80 32.124,80 135.828,40 74.018,60 35.605,50 141.945,90 74.385,60 37.609,90 143.770,10 74.940,80 37.177,20 144.816,00 75.167,70 37.217,30 146.118,70 75.892,90 37.240,70 147.526,20 78.231,60 37.402,00 149.886,50 79.085,40 37.814,40 153.595,20 82.686,10 38.298,40 157.086,20 83.043,80 38.796,10 160./74,7 1) Termasuk settifikat deposito. Departemen Keuangan RI 272 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.18 DANA PERBANKAN MENURUT KELOMPOK BANK, 1984/85 - 1994/95 ( dalam miliar rupiah) Bank Bank Bank Bank nan Jumlah swasta Akhir periode daerah nasional 1) pemerintah asing (I) -2 -4 -5 -6 -3 1984/85 Maret 10.854,00 668,5 1.932,70 16.687,80 3.232,60 1985/86 Maret 13.303,20 760,4 2.033,50 20.842,90 4.745,80 1986/87 Maret 15.225,40 748,3 2.187,70 24.060,00 5.89&,6 1987/88 Maret 18.815,30 938,3 2.390,20 30.969,90 8.826,10 1988/89 Maret 23.858,50 1.184,30 2.628,40 39.502,80 11.831,60 1989/90 Maret 30.372,70 1.740,80 3.935,50 59.192,10 23.143,10 1990/91 Maret 34.058,80 2.522,40 6.094,40 77.510,80 34.835,20 1991/92 Maret 42.448,40 2.899,10 7.160,60 95.711,40 43.203,30 1992/93 Juni 46.029,60 3.170,40 7.768,00 102.791,40 45.823,40 September 49.598,50 3.380,20 7.644,90 109.424,10 48.800,50 Desember 52.600,10 3.697,00 7.474,10 114.849,80 51.078,60 Maret 54.259,50 3.544,20 7.727,80 117.636,00 52.104,50 55.098,90 4.013,00 7.249,80 123.229,30 1993/94 Juni 56.867,60 September 62.852,70 4.370,40 7.398,30 135.828,40 61.207,00 Desember 61.682,90 4.773,50 8.094,50 141.945,90 67.395,00 Maret 59.355,70 4.613,60 8.213,2. 143.770,10 71.587,60 1994/95 April 60.237,80 71.622,30 4.597,10 8.358,80 144.816,00 Mei 60.903,30 71.825,60 4.879,70 8.509,50 14,6.118,1 Juni 60.604,40 73.466,80 4.979,70 8.475,30 147.526,20 75.215,50 Juli 60.767,60 5.156,00 8.747,40 149.886,50 78.032,20 Agustus 61.324,40 5.282,30 8.956,30 153.595,20 80.386,50 September 62.106,60 5.389,40 9.203,70 157.086,20 Oktober 62.415,40 5.655,40 9.436,80 160.174,70 82.667,10 I) Terdiri dari bank swasta nasional devisa, bank swasta nasional bukan devisa, bank Melalui upaya-upaya tersebut, penghimpunan dana yang dilakukan oleh dunia perbankan dari waktu ke waktu terus menunjukkan peningkatan. Secara keseluruhan dana masyarakat yang berhasil dihimpun oleh perbankan dalam bentuk giro, deposito berjangka, dan tabungan, hingga akhir Oktober 1994 telah mencapai Rp 160.174,7 miliar. Dengan demikian bila dibandingkan dengan posisinya sebesar Rp 59.192,1 miliar pada awal tahun anggaran 1990/91, berarti dalam lima tahun anggaran terakhir (sampai akhir Oktober 1994), rata-rata setiap tahun terjadi kenaikan dana perbankan sebesar Rp 22.440,5 miliar (24,8 persen). Sedangkan bila dibandingkan dengan posisinya sebesar Rp 143.770,1 miliar pada akhir tahun anggaran 1993/94, maka selama 7 bulan pertama tahun anggaran 1994/95 dana perbankan telah meningkat sebesar Rp 16.404,6 miliar (11,4 persen) atau lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan dalam periode yang sama tahun anggaran sebelumnya yang mencapai Rp 20.106 (17,1 persen). Komposisi dana perbankan Departemen Keuangan RI 273 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebesar Rp 160.174,7 miliar tersebut terdiri dari dana giro sebesar Rp 38.334,8 miliar (23,9 persen), deposito berjangka sebesar Rp 83.043,8 miliar (51,9 persen), dan sebesar Rp 38.796,1 miliar (24,2 persen) lainnya berupa dana tabungan. Dilihat menurut kelompok bank penghimpunnya, dari dana perbankan sebesar Rp 160.174,7 miliar tersebut, sebagian besar dihimpun oleh kelompok bank milik negara dan bank umum swasta nasional, yakni masingmasing sebesar Rp 62.415,4 miliar (39 persen) dan Rp 82.667,1 miliar (51,6 persen). Sedangkan yang dihimpun oleh kelompok bank pembangunan daerah adalah sebesar Rp 5.655,4 miliar (3,5 persen), dan oleh kelompok bank asing/campuran adalah sebesar Rp 9.436,8 miliar (5,9 persen). Perkembangan dana perbankan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel III.17, Tabel III.18, 3.7.2.1. Giro Sejalan dengan makin berkembangnya kegiatan-kegiatan ekonomi dalam masyarakat, maka kebutuhan masyarakat akan likuiditas dalam jangka pendek untuk membiayai kegiatan transaksi ekonomi juga semakin meningkat. Hal ini terutama tercermin dari makin bertambah besarnya volume lalu lintas pembayaran giral yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga perbankan. Selama 7 bulan pertama tahun anggaran 1994/95, jumlah pembayaran giral masyarakat yang dikonversi dalam bentuk dana giro di bank, telah meningkat sebesar Rp 6.560,2 miliar (20,6 persen), dibandingkan dengan posisinya sebesar Rp 31.774,6 miliar pada akhir Maret 1994. Dengan demikian sampai akhir Oktober 1994 jumlah dana giro secara keseluruhan telah mencapai Rp 38.334,8 miliar. Sementara itu dalam periode yang sama tahun anggaran sebelumnya dana giro mengalami peningkatan sebesar Rp 6.853,8 miliar atau 27,3 persen. 3.7.2.2. Deposito berjangka Perkembangan tingkat suku bunga dan tingkat kesehatan bank merupakan beberapa faktor yang dipertimbangkan masyarakat dalam menanamkan kelebihan pendapatannya pada lembaga perbankan, khususnya dalam bentuk deposito berjangka. Dengan perkembangan tingkat suku bunga yang cukup kompetitif dalam beberapa tahun terakhir ini, jumlah dana masyarakat yang ditanamkan dalam bentuk deposito berjangka terus mengalami peningkatan yang cukup mantap. Keadaan itu selain menempatkan deposito berjangka sebagai komponen terbesar dalam struktur dana perbankan, juga telah menyebabkan sumbangan dana deposito berjangka terhadap tingkat Departemen Keuangan RI 274 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 likuiditas perekonomian nasional menjadi sangat dominan. Hal ini tercermin dari pangsa dana deposito berjangka yang mencapai 50,2 persen dari volume likuiditas perekonomian sebesar Rp 165.275 miliar. Perkembangan sampai akhir Oktober 1994 menunjukkan jumlah dana deposito berjangka pada dunia perbankan mencapai sebesar Rp 83.043,8 miliar. Apabila dibandingkan dengan posisinya sebesar Rp 74.385,6 miliar pada akhir Maret 1994, maka selama periode April-Oktober 1994 dana deposito berjangka telah meningkat sebesar Rp 8.658,2 miliar atau 11,6 persen. Dana deposito sejumlah Rp 83.043,8 miliar tersebut sebagian besar merupakan deposito berjangka pendek, yakni berjangka 1 bulan sebesar Rp 23.335,8 miliar (28,1 persen), berjangka 3 bulan sebesar Rp 19.919,9 miliar (24 persen), dan yang berjangka 6 bulan sebesar Rp 19.932,9 miliar (24 persen). Sementara itu deposito berjangka 12 bulan dan 24 bulan, jumlahnya masing-masing mencapai Rp 13.330,3 miliar (16,1 persen) dan Rp 615,2 miliar (0,7 persen). Sedangkan deposito berjangka lainnya yang diantaranya termasuk deposito berjangka 9 bulan dan 18 bulan secara keseluruhan mencapai Rp 5.909,7 miliar (7,1 persen). Perkembangan deposito berjangka dapat dilihat pada Tabel III.19 Tabel III.19 Akhir periode DEPOSITO BERJANGKA SELURUH BANK, 1984/85- 1994/95 ( dalam miliar rupiah) 1 bulan I) 3 bulan 6 bulan 12 bulan 24 bulan Lainnya" Jumlah 1984/85 Maret 2.122,70 1.416,50 1.730,90 2.915,80 379,2 160,9 8.726,00 1985/86 1986/87 1987/88 Maret Maret Maret 3.213,60 3.307,90 5.915,30 2.029,20 2.549,30 4.093,20 1.987,70 2.007,60 2.579,70 4.604,00 6.193,20 6.592,20 631 640 1.239,40 124,9 213,8 234,5 12.590,40 14.911,80 20.654,30 1988/89 Maret 5.958,80 6.151,90 4.011,90 7.913,90 2.071,70 366,2 26.474,40 1989/90 1990/91 Maret Maret 9.587,20 20.278,10 6.846,10 10.393,10 6.080,60 7.041,20 11.149,10 8.985,30 2.177,40 816,4 510 2.325,50 36.350,40 49.839,60 1991/92 Maret 17.412,90 12.896,90 10.865,70 10.320,30 911,8 4.404,70 56.812,30 1992/93 Juni September Desember Maret 16.800,20 17.245,00 18.502,90 18.104,00 13.737,90 15.179,30 15.050,50 14.679,80 12.820,10 14.905,50 15.378,30 14.560,10 12.848,50 12.156,90 12.563,40 13.045,90 936,6 865,4 611,5 500,6 4.089,00 3.274,70 3.512,60 3.325,60 60.232,30 63.626,80 65.619,20 64.216,00 1993/94 Juni September Desember Maret April Mei Juni Joli Agostus September Oktober 17.640,10 15.712,00 18.721,30 18.294,70 18.448,60 19.441,90 20.210,30 20.274,10 21.629,40 22.808,60 23.335,80 15.843,40 15.605,90 15.641,00 17.175,00 17.284,00 17.553,90 17.020,00 18.695,60 19.571,80 19.965,10 19.919,90 15'.177,1 18.720,00 19.473,60 19.051,10 18.794,50 18.216,70 18.540,60 18.807,10 19.466,90 20.033,50 19.932,90 13.280,00 15.094,90 15.309,40 15.586,90 15.696,70 15.027,30 14.939,60 14.417,30 13.844,80 13.454,40 13.330,30 515,7 569 585,2 617,2 610,1 656,4 647,6 649,1 642,5 608,1 615,2 3.615,00 5.596,00 4.288,10 3.660,70 4.106,90 4.271,50 4.534,80 5.388,40 4.930,00 5.816,40 5.909,70 66.071,30 71.297,80 74.018,60 74.385,60 74.940,80 75.167,70 75.892,90 78.231,60 80.085,40 82.686,10 83.043,80 1994/95 1) Termasuk deposito yang sudab jatub waletu don deposito on call. 2) Termasuk deposito beljangka waletu 9 bulan don 18 bulan. Departemen Keuangan RI 275 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 3.7.2.3. Tabungan Dengan semakin pesatnya perkembangan jaringan perbankan, persaingan antar bank dalam merebut akses pasar juga berlangsung dengan ketat. Kondisi ini pada akhirnya telah mendorong dunia perbankan untuk mengembangkan kreativitasnya dalam menciptakan berbagai produk simpanan yang dapat diunggulkan sebagai sarana penghimpun dana masyarakat. Melalui berbagai macam jenis tabungan yang menawarkan bermacarn-macarn hadiah yang menarik, industri perbankan telah berhasil meningkatkan penyerapan dana masyarakat, khususnya dari masyarakat berpenghasilan kecil dan menengah. Secara keseluruhan dana masyarakat yang terhimpun dalam bentuk tabungan sampai akhir Oktober 1994 telah mencapai Rp 38.796,1 miliar. Dengan demikian bila dibandingkan dengan posisinya sebesar Rp 37.609 miliar pada akhir Maret 1994, maka selama periode April-Oktober 1994 dana tabungan telah mengalami kenaikan sebesar Rp 1.187,1 miliar (3,2 persen). Sementara itu dalam periode yang sama tahun anggaran sebelumnya peningkatan dana tabungan mencapai Rp 4.873 miliar atau 17,2 persen. Dalam pada itu, sejalan dengan makin meningkatnya taraf hidup masyarakat pedesaan, maka kegiatan memobilisasi dana yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan di pedesaan juga telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Indikasi ini terutama terlihat dari makin bertambah besarnya jumlah dana tabungan masyarakat pedesaan yang dihimpun oleh Bank Rakyat Indonesia. Melalui jaringan unit BRI yang tersebar di berbagai kecamatan, jumlah dana masyarakat pedesaan yang dapat dihimpun dalam bentuk simpanan pedesaan (Simpedes), sampai akhir September 1994 telah meneapai sebesar Rp 3.160,7 miliar. Ini berarti selama 6 bulan pertama tahun anggaran 1994/95 jumlah Simpedes telah mengalami peningkatan sebesar Rp 465 miliar atau 17,3 persen. Sementara itu dalam periode yang sama jumlah penabung telah bertambah dari 6,7 juta orang menjadi 7,6 juta orang. Perkembangan dana tabungan dan Simpedes dapat dilihat pada Tabel III.20 dan Tabel III.21. Departemen Keuangan RI 276 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.20 TABUNGAN PERBANKAN, 1984/85 -1994/95 ( dalam miliar rupiah ) Perubahan Posisi Akhir periode Jumlah % 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret JoDi September Desember Maret JoDi September Desember Maret April Mei JoDi. Joli Agostus September Oktober Departemen Keuangan RI 774,1 1.211,80 1.586,40 1.835,00 2.485,30 6.863,60 9.722,20 17.471,00 19.684,30 22.104,60 25.468,50 28.343,20 29.174,50 32.124,80 35.605,50 37.609,00 31.177,20 37.217,30 37.240,70 37.402,00 37.814,40 38.298,40 38.796,10 437,7 374,6 248,6 650,3 4.378,30 2.858,60 1.918,10 2.213,30 2.420,30 3.363,90 2.874,70 831,3 2.950,30 3.480,70 2.003,50 -431,8 40,1 23,4 161,3 412,4 484 497,7 56,5 30,9 15,7 35,4 176,2 41,6 12,3 12,7 12,3 15,2 11,3 2,9 10,1 10,8 5,6 -1,1 0,1 0,1 0,4 1,1 1,3 1,3 277 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.21 SIMPANAN PEDESAAN, 1984/85 -1994/95 Posisi simpanan Penyimpan (dalam miliar Akhir periode 1984/85 Maret 4.550 0,3 1985/86 Maret 46.046 6,8 1986/87 Maret 592.319 107,3 1987/88 Maret 1.086.156 206,2 1988/89 Maret 1.863.745 398,2 1989/90 Maret 2.866.050 747,4 1990/91 Maret 3.708.325 908,4 1991/92 Maret 4.506.478 1.270,20 1992/93 Juni 4.831.246 1.454,40 September 5.170.678 1.618,40 Desember 5.439.402 1.905,00 Maret 5.616.866 1.935,90 1993/94 Juni 5.995.496 2.161,20 September 6.355.824 2.438,00 Desember 6.327.030 2.697,20 Maret 6.665.021 2.695,70 1994/95 April 6.201.630 2.796,70 Mei 6.225.864 2.849,90 Juni 6.468.401 2.900,00 luli 7.310.109 3.001,60 7.399.292 3.074,50 Agustus 7.560.154 3.160,70 September 3.7.3. Pemanfaatan dana 3.7.3.1. Kebijaksanaan dan perkembangan kredit perbankan Sejalan dengan kemajuan-kemajuan yang terjadi di berbagai bidang, peranan sektor perkreditan dalam menyediakan dana bagi kegiatan ekonomi masyarakat juga terus menunjukkan peningkatan. Sesuai dengan arahan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), kebijaksanaan perkreditan nasional yang dilaksanakan secara terpadu ditujukan untuk mendorong dan memperluas kegiatan ekonomi masyarakat, sedangkan dengan berbagai instrnmen moneter ekspansi kredit tetap dijaga supaya tetap dalam batas-batas yang tidak membahayakan kestabilan ekonomi makro. Dengan berpedoman pada kebijaksanaan terpadu tersebut, sistem perkreditan nasional yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga keuangan, utamanya lembaga keuangan perbankan, terus diperluas dan didorong peningkatannya dengan tetap mengacu pada azas-azas perkreditan yang sehat. Dengan demikian pengalokasian kredit yang dananya bersumber dari masyarakat dapat diarahkan secara efisien, dan dalam rangka memeratakan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja terus diusahakan akses dan penyediaan dana yang lebih besar bagi Departemen Keuangan RI 278 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pengusha kecil, menengah, dan koperasi. Untuk meningkatkan dan memperluas basis pertumbuhan ekonomi nasional, orientasi kebijaksanaan kredit perbankan tetap diarahkan pada sektor-sektor produktif yang mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi, terutama untuk proyek-proyek yang dapat mendorong meningkatnya ekspor nonmigas, menyerap tenaga kelja, serta memberikan darnpak positip terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka mendukung perkembangan usaha kecil dan mendorong sasaran pemerataan, industri perbankan tetap diwajibkan untuk memenuhi sekurang-kurangnya 20 persen dari dana kreditnya untuk membiayai sektor usaha kecil (kredit usaha kecil). Berbagai kebijaksanaan di bidang perbankan terus diperbaiki dan disempurnakan untuk lebih memantapkan industri perbankan sebagai pengelola dana, khususnya sebagai pelaksana sistem perkreditan. Melalui paket kebijaksanaan Mei 1993 Pemerintah telah menyempurnakan peraturan di bidang perbankan, yang antara lain memuat penyempurnaan ketentuan tentang batas maksimum pemberian kredit (BMPK) oleh bank umum maupun bank perkreditan rakyat (BPR). Melalui kebijaksanaan tersebut industri perbankan dapat meningkatkan diversifikasi resiko dan sekaligus meningkatkan pemerataan kreditnya. Ketentuan BMPK yang berlaku saat ini selain dibedakan antara individu dan grup juga dibedakan antara kredit lama dan kredit baru. Pemberian kredit yang diberikan kepada individu, baik untuk kredit lama dan maupun kredit baru, maksimum sebesar 20 persen dari modal. Sementara itu, penyediaan dana kepada sekelompok (grup) peminjam lama dilakukan secara bertahap, yaitu dari maksimum 50 persen dari modal menjadi 35 persen pada akhir Desember 1995 dan 20 persen pada akhir Desember 1997, sedangkan untuk kredit baru maksimum 20 persen dari modal. Guna lebih mendorong perbankan dalam membiayai usaha kecil dan meningkatkan kemampuan usaha kecil dalam memperoleh kredit perbankan, Pemerintah antara lain telah melakukan pengembangan pola kerjasama antar bank dan pemberian bantuan teknis. Dalam kaitannya dengan penyaluran kredit usaha kecil (KUK), pola kerjasama antara bank umum dengan bank perkreditan rakyat (BPR) terus ditingkatkan, dan diharapkan melalui kerjasama tersebut bank umum dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyalurkan KUK dan sekaligus dapat membantu pendanaan BPR. Selanjutnya dalam rangka lebih meningkatkan pemberian KUK oleh bank umum, pola kerjasama tersebut diperluas melalui penerbitan surat Departemen Keuangan RI 279 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 berharga pasar uang-kredit usaha kecil (SBPU-KUK). Dalam kaitannya dengan bantuan teknis, proyek pengembangan usaha kecil (PPUK) juga terus ditingkatkan, dan terutama bertujuan untuk membantu bank dalam mencari nasabah/proyek yang dapat dibiayai dengan KUK. Dalam perkembangannya, sampai dengan bulan Oktober 1994 posisi kredit perbankan dalam rupiah dan valuta asing mencapai jumlah sebesar Rp 179.169 miliar. Dengan demikian selama periode April-Oktober 1994 terjadi peningkatan sebesar Rp 24.290 miliar (15,7 persen), sedangkan dalam periode yang sama tahun sebelumnya menunjukkan peningkatan sebesar Rp 18.777 miliar (15 persen). 3.7.3.2. Kredit perbankan menurut sektor ekonomi Dilihat dari penyaluran menurut sektor, kredit perbankan dapat dikelompokkan ke dalam 6 (enam) sektor, yaitu meliputi sektor perindustrian, sektor perdagangan, sektor jasa-jasa, sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor lain-lain. Dari posisi kredit perbankan sebesar Rp 179.169 miliar yang disalurkan per Oktober 1994, sektor perindustrian menyerap bagian terbesar dari kredit tersebut, yaitu sebesar Rp 55.847 miliar (31,2 persen), yang terutama ditujukan untuk kegiatan produksi pada industri tekstil, sandang, dan kulit serta industri pengolahan bahan kimia, batubara, hasil minyak bumi, karet, dan plastik. Sedangkan kegiatan di sektor perdagangan, khususnya perdagangan eceran, distribusi, dan pengumpulan barang dagangan dalam negeri, menyerap kredit sebesar Rp 42.500 miliar (23,7 persen), diikuti kredit kepada sektor jasa-jasa sebesar Rp 46.068 miliar (25,7 persen), sektor pertanian sebesar Rp 13.675 miliar (7,6 persen), sektor pertambangan sebesar Rp 668 miliar (0,4 persen), dan sektor lain-lain sebesar Rp 20.411 miliar (11,4 persen). Penyaluran kredit untuk sektor jasa-jasa antara lain digunakan untuk pembiayaan jasa konstruksi, jasa dunia usaha, dan jasa-jasa angkutan, pergudangan, serta komunikasi. Sementara itu, kredit untuk sektor lain-lain sebagian besar disalurkan untuk perumahan dan kendaraan. Perkembangan kredit perbankan menurut sektor ekonomi dapat diikuti dalam Tabel III.22 Departemen Keuangan RI 280 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III..22 Sektor -1 Bank-bank pemerintah I) Pertanian Pertambangan Perludustian Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain Bank-bank swasta nasional 2) Pertanian Pertambangan Perindustrian Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain Cabang-cahang hank asjng dan campuran Pertanian Pertambangan perindustrian Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain Jumlah kred1t perbankan J) Pertanian Pertambangan Perindustrian Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain KREDIT PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1985/86 - 1994/95 ( dalam miliar rupiah) 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret -1 -3 -4 -5 -6 -7 -8 16.238 20.075 24.357 31.853 43.280 55.423 62.571 1.728 2.083 2.732 4.017 5.318 6.450 7.744 253 385 279 361 451 580 568 5.810 7.402 9.483 12.259 16.198 21.544 22.420 4.837 5.540 6.618 8.991 11.759 14.086 15.319 2.437 2.657 3.597 4.409 5.947 7.805 9.187 1.173 2.008 1.648 1.816 3.607 4.958 7.333 5.119 6.558 9.204 12.679 24.498 38.153 44.928 95 110 158 286 639 1.074 1.022 5 9 15 27 31 52 67 1.354 1.619 1.911 2.602 4.385 6.706 8.473 2.006 2.649 4.004 5.201 10.388 14.098 14.795 1.316 1.562 2.088 2.905 5.254 8.673 12.336 343 609 1.028 1.658 3.801 7.550 8.235 1.072 2 0 473 316 160 121 22.429 1.825 258 7.637 7.159 3.913 1.637 1.219 4 0 487 315 184 229 27.852 2.197 394 9.508 8.504 4.403 2.846 1.520 1 0 534 375 293 317 35.081 2.891 294 11.928 10.997 5.978 2.993 1.994 8 0 822 495 276 393 46.526 4.311 388 15.683 14.687 7.590 3.867 3.786 25 37 1.866 667 661 530 71.564 5.982. 519 22.449 22.814 11.862 7.938 6.837 105 13 3.063 1.406 1.331 919 100.413 7.629 645 31.313 29.590 "17.809 13.427 9.060 133 95 4.518 1.793 1.009 1.512 116.559 8.899 730 35.411 31.907 22.532 17.080 1992/93 Maret -9 69.821 8.559 498 23.615 15.759 11.979 9.411 45.406 1.389 101 10.325 14.871 13.874 4.846 1993/94 Maret -10 74.615 10.089 214 28.617 15.799 11.880 8.016 68.140 2.086 193 15.443 20.207 23.849 6.362 1994/95 Okt. -11 79.543 10.808 319 28.962 17.336 14.195 7.923 85.562 2.607 199 18.152 22.755 30.360 11.489 9.695 179 125 5.533 1.904 751 1.203 124.922 10.127 724 39.473 32.534 26.604 15.460 12.124 277 216 7.491 2.012 1.296 832 154.879 12.452 623 51.551 38.018 37.025 15.210 14.064 260 150 8.733 2.409 1.513 999 179.169 13.675 668 55.847 42.500 46.068 20.411 1) Termasuk Bank Indonesia 2) Termasuk Bank Pembangunan Daerah 3) Kredit dalam rupiah dan valuta asing. termasuk kredit investasi. KlK. don KMKP 3.7.3.3. Kredit investasi Sejalan dengan upaya Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, pertumbuhan dana investasi dan pembiayaan jangka panjang lainnya yang disalurkan ke berbagai sektor, yang penyediaan kreditnya diberikan melalui lembaga perbankan, selalu diusahakan untuk terus meningkat. Dalam perkembangannya, kredit investasi yang disetujui perbankan sampai dengan bulan Oktober 1994 mencapai jumlah Rp 53.910 miliar, meningkat sebesar Rp 2.230 miliar (4,3 persen) dibandingkan dengan posisi akhir bulan Maret 1994 sebesar Rp 51.680 miliar. Kredit investasi sebesar Rp 53.910 miliar tersebut disalurkan untuk sektor perindustrian, sektor perdagangan, sektor jasa-jasa, sektor pertanian dan sektor lain-lain. Sementara itu, posisi kredit investasi pada akhir bulan Oktober 1994 menunjukkan jumlah sebesar Rp 45.485 miliar, atau meningkat sebesar Rp 2.692 miliar (6,3 persen) bila dibandingkan dengan posisi pada bulan Maret 1994. Mengingat bahwa sumber dana untuk pembiayaan investasi jangka panjang masih kurang memadai, maka kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dalam jumlah yang terbatas Departemen Keuangan RI 281 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 masih disediakan dan mempunyai peranan yang cukup penting dalam proyek-proyek investasi di berbagai sektor. Kredit likuiditas untuk investasi ini disalurkan antara lain untuk pembiayaan investasi di sektor perkebunan, seperti perkebunan inti rakyat (PIR), serta peremajaan, rehabilitasi, dan perluasan tanaman ekspor (PRPTE). Selain daripada itu, penyaluran kredit investasi juga diprioritaskan untuk pengembangan wilayah Indonesia bagian timur melalui kelonggaran jangka waktu kredit, dan kepada bank-bank yang membiayai proyek-proyek di wilayah Indonesia bagian timur diberikan bantuan pembiayaan dari Bank Indonesia. Dalam perkembangannya, mengingat bahwa KLBI bukan merupakan dana yang dipupuk dari masyarakat, maka secara bertahap penyediaan KLBI dialihkan menjadi kredit biasa. Perkembangan kredit investasi dapat dilihat dalam Tabel III.23. Tabel III.23 KREDIT INVESTASI PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1985/86 . 1994/95 ( dalam Millar rupiah) 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Sektor (I) Yang disetujui perbankan Pertanian Perindustrian Pertambangan Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain Posisi pinjaman Pertanian Perindustrian Pertambangan Perdagangan Jasa-jasa Lain-lain -2 -3 7.614 1.526 3.041 227 301 1.594 925 6.119 984 2.539 222 277 1.281 896 -4 9.935 2.147 3.243 382 350 2.733 1.080 7.614 1.300 3.213 368 314 1.415 1.004 -5 11.911 2.629 3.712 263 385 3.812 1.110 9.210 1.744 3.765 230 355 2.033 1.083 -6 -7 15.784 19.454 4.162 0,4847222 5.309 8.372 447 443 608 1.301 4.102 3.734 1.156 206 12.115 15.673 2.637 3.629 4.917 6.639 322 321 548 1.117 2.620 3.767 1.071 200 -8 27.899 7.057 10.987 484 2.151 6.017 1.203 21.586 4.597 9.151 389 I. 904 5.055 490 -9 37.063 11.206 13.260 515 3.234 7.580 1.268 28.210 5.864 11.784 443 2.911 6.197 1.011 44.929 11.508 17.695 507 4.990 8.847 1.382 37.438 7.169 16.489 436 4.185 7.946 1.213 1993/94 Maret 1994/95 Okt. -10 (II) 51.680 12.953 18.716 171 9.144 10.683 13 42.793 8.942 17.208 169 6.767 9.694 13 53.910 13.430 20.397 189 6.648 13.237 9 45.485 9.891 18.069 165 5.804 11.547 9 3.7.3.4. Kredit untuk golongan ekonomi lemah Untuk meningkatkan kegiatan ekonomi golongan pengusaha kecil dan menengah, termasuk usaha yang berkaitan dengan industri kerajinan dan industri rumah tangga, Pemerintah berusaha mengadakan pembinaan sehingga keberadaannya akan semakin efisien dan mampu berkembang mandiri, dapat meningkatkan pendapatan dan membuka lapangan kerja, dan makin mampu meningkatkan peranannya dalam penyediaan barang dan jasa, baik untuk keperluan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai pola pembinaan antara lain keterkaitan usaha kecil, menengah dan besar, pola kemitraan anak-bapak angkat, dan lain-lain terus diusahakan pengembangannya. Salah satu usaha untuk meningkatkan kinerja usaha kecil dan menengah adalah dengan membantu permodalannya, yaitu dengan mewajibkan bank-bank untuk Departemen Keuangan RI 282 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 menyisihkan sebagian kreditnya dalam bentuk kredit usaha kecil (KUK). Kebijaksanaan yang berkaitan dengan kredit usaha kecil (KUK) tersebut secara terus menerus juga disempurnakan dan yang terakhir melalui paket kebijaksanaan Mei 1993, antara lain mengenai plafon kredit yang telah ditingkatkan dari Rp 200 juta menjadi Rp 250 juta. Demikian pula cakupan mengenai kredit kecil yang meliputi semua kredit dengan jumlah maksimum Rp 25 juta tanpa melihat penggunaannya, dan kredit likuiditas Bank Indonesia yang digunakan untuk pembiayaan usaha kecil dapat diperhitungkan dalam KUK. Sementara itu dalam rangka membantu bank umum mencapai kewajibannya dalam menyalurkan KUK, maka bagi bank umum yang belum mencapai KUK sebesar 20 persen dapat membeli SBPU-KUK yang diterbitkan oleh bank umum lain yang telah memiliki rasio KUK di atas 20 persen, dan SBPU-KUK tersebut diakui sebagai pelaksanaan KUK. Posisi KUK sampai dengan akhir bulan Oktober 1994 telah mencapai Rp 33.002,4 miliar. Dari jumlah tersebut, sebagian besar disalurkan oleh bank-bank milik Pemerintah (Persero) yaitu sebesar Rp 16.475 miliar (49,9 persen), bank-bank swasta nasional devisa sebesar Rp 10.951,7 miliar (33,2 persen), dan bank-bank swasta nasional nondevisa sebesar Rp 2.958,3 miliar (9 persen) serta bank pembangunan daerah sebesar Rp 2.617,5 miliar (7,9 persen). Dilihat dari penyaluran KUK menurut setter ekonomi, sektor perdagangan, restoran, dan hotel merupakan penyerap terbesar, yaitu sebesar Rp 12.415,8 miliar (37,6 persen). Selanjutnya setter jasa-jasa menyerap sebesar Rp 6.118,7 miliar (18,5 persen), setter industri menyerap sebesar Rp 3.090,3 miliar (9,4 persen), setter pertanian menyerap sebesar Rp 2.034,6 miliar (6,2 persen), dan sektor lain-lain menyerap sebesar Rp 9.343 miliar (28,3 persen). Apabila dilihat dari jenis penggunaannya, maka kredit modal kerja merupakan jenis penggunaan terbesar, yaitu sebesar Rp 19.200,6 miliar (58,2 persen), sedangkan kredit konsumsi untuk pemilikan rumah (KPR) sampai dengan T-70 nilainya mencapai Rp 5.246,3 miliar (15,9 persen), kredit investasi mencapai sebesar Rp 4.699,2 miliar (14,2 persen), dan kredit konsumsi sampai dengan Rp 25 juta jumlahnya mencapai sebesar Rp 3.856,3 miliar (11,7 persen). Sementara itu apabila dilihat menurut besaran plafonnya, kredit sampai dengan Rp 25 juta merupakan penyerap terbesar yaitu sebesar Rp 14.256,9 miliar (43,2 persen), di atas Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta mencapai Rp 3.520 miliar (10,7 persen), di atas 50 juta sampai dengan Rp 100 juta mencapai Rp 5.022,9 miliar (15,2 persen), di atas Rp 100 juta sampai dengan Rp 150 juta mencapai Rp 3.310,3 miliar (10 persen), di atas Rp 150 juta sampai dengan Rp 200 juta mencapai Rp 4.403,4 miliar (13,3 Departemen Keuangan RI 283 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 persen), dan di atas Rp 200 juta sampai dengan Rp 250 juta mencapai Rp 2.489 miliar (7,6 persen). Selain daripada itu, untuk meningkatkan kegiatan perekonomian di pedesaan, program kredit umum pedesaan (Kupedes) yang dikelola oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) terus dilanjutkan. Dengan jumlah minimum Kupedes yang diberikan sebesar Rp 25 ribu dan maksimum sebesar Rp 25 juta, dan dengan suku bunga 1,5 persen per bulan, yang berlaku baik untuk kegiatan investasi maupun eksploitasi, dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat pedesaan, terutama untuk menumbuhkan kesempatan berusaha, kesempatan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Hal tersebut terbukti dari semakin besarnya Kupedes yang disalurkan, yang sampai dengan akhir bulan September 1994 posisinya telah mencapai jumlah Rp 2.307,4 miliar dengan jumlah nasabah sebanyak 2.011.073 orang. Dari jumlah tersebut, digunakan untuk kegiatan investasi sebesar Rp 452,3 miliar dan untuk kegiatan eksploitasi sebesar Rp 1.855,1 miliar. Perkembangan Kupedes dapat diikuti dalam Tabel III.24. TabelllI.24 KREDIT UMUM PEDESAAN, 1985/86 - 1994/95 ( nasabah dalam ribuan, DUal yang dipinjamkan daft posisi dalam miliar rupiah) Eksploitasi Jumlah Investasi Posisi Akhir Periode Nasabah (kumulatif) 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992193 1993/94 1994/95 Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Juni September Desember Maret Junl September Desember Maret April Mel Juni Juli Agustus September 55,6 81,7 107 136,6 209,2 286,3 338,7 355,3 37(1,8 389,4 410,9 429,9 456,4 486,8 521,6 535,3 55(1,8 567,7 583,4 599,2 616,2 Departemen Keuangan RI Posisi Nilsi yang dipinjamkan (kumulatif) 20,4 33,8 50,4 78,1 174,6 322,6 501 533,6 566,6 608,4 655 701 764,2 841,9 924,9 958,9 997 ],(138,8 ]'(175 1.115,10 1.158,20 Nasabah Nilsi yang (Kumulatif) dipinjamkan (kumulatif) 111,4 13,2 16,5 28,3 95,5 182,1 165,4 168,8 169,8 183,6 165,4 164,5 237,7 276,6 325,2 342,2 365,2 391,6 420 432,1 452,3 1.871,10 3.008,60 4.109,40 5.217,30 6.614,00 7.834,10 9.105,90 9.393,40 9.676,10 9.988,70 10.294,50 10.573,70 10.881,90 11.229,10 11.564,10 11.674.1 11.785,50 11.899,60 120.417,20 121.311,90 12.263,60 548,6 1.050,10 1.6:12,4 2.342,50 3.469,40 4.835,00 6.3INI,3 6.682,30 7.056,70 7.482,70 79.119,20 8.306,70 8.758,20 9.299,20 9.826,90 10.04NI,3 10.174,80 10.362,80 10.539,10 10.737,50 10.951,60 Posisi Nasabah (kumulatif) 249,7 360,6 446,3 478,2 896,9 13.410,30 1.398,50 1.331,30 1.326,80 1.352,90 1.398,50 1.394,70 1.592,80 1.679,70 1.750,80 1.757,70 1.774,20 1.81NI,4 1.806,00 1.836,20 1.855,10 1.926,70 3.090,30 4.216,40 5.353,90 6.823,20 8.120,40 9.444,60 9.748,70 101.146,90 10.378,10 10.705,40 11.IN13,6 11.338,30 11.715,90 12.085,70 12.209,60 12.336,20 12.467,30 125.911,60 12.730,10 12.879,80 Nilai yang dipinjamkan ( kumulatif) 569 1.083,90 1.682,80 2.420,60 3.644,00 5.157,60 6.801,30 7.215,90 7.623,30 8.091,10 8.564,20 9.INI7,7 9.522,40 10.141,10 10.751,80 10.959,20 11.171,60 11.401,60 11.614,60 11.852,60 121.119,80 260,1 373,8 462,8 506,5 992,4 1.482,40 1.563,90 1.5(NI,1 1.496,60 1.536,50 1.563,90 1.559,20 1.830,50 16:56,3 2.076,00 2.(199,9 2.139,40 2.192,00 2.226,00 2.268,30 2.307,40 284 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Dalam rangka pengembangan pembangunan perumahan, terutama untuk membantu masyarakat berpenghasilan menengah kebawah untuk dapat memiliki rumah, Pemerintah masih menyediakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Bank Tabungan Negara. Kredit pernilikan rumah terdiri dari KPR raker A, yaitu meliputi kredit pemilikan kapling siap bangun (KP-KSB), dan kredit perumahan sangat sederhana (KP-RSS) dengan suku bunga 8,5 persen per tahun, rumah type 12 sampai dengan rumah type 21 dengan suku bunga 11 persen per tahun, KPR raker B/Griya Madya (type 27 sampai dengan type 70) dengan suku bunga 16 persen per tahun, serta kredit pemilikan untuk kios/rumah toko yang meliputi kredit pemilikan kios (KP-Kios)/Ruko inti, KP-Ruko Madya, dan KP-Ruko Tama, masing-masing dengan suku bunga sebesar 16,5 persen, 17 persen, dan 17,5 persen per tahun. Sampai dengan bulan November 1994 nilai KPR telah mencapai sebesar Rp 5.218,2 miliar, dengan jumlah rumah yang dibangun sebanyak 948.871 unit. Dari jumlah tersebut, telah dibangun oleh perum Perumnas sebanyak 247.621 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 792 miliar, yang dipergunakan untuk membangun rumah raker A dan raker B sebanyak 245.157 unit rumah dengan nilai kredit sebesar Rp 736 miliar, dan rumah raker C sebanyak 2.464 unit dengan nilai lcredit sebesar Rp 56 miliar. Sedang pembangun swasta telah membangun rumah sebanyak 699.438 unit dengan nilai mencapai Rp 4.419,5 miliar. Jumlah sebesar Rp 4.419,5 miliar tersebut dipergunakan untuk membangun rumah raker A dan B sebanyak 666.760 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 3.683,2 miliar, rumah raker C sebanyak 30.391 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 725,8 miliar, serta rumah toko (ruko) sederhana sebanyak 2.287 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 10,5 miliar. Dalam hal pembangunan perumahan, selain dibangun oleh perum Perumnas dan pembangun swasta, BTN telah pula bekerja sama dengan beberapa bank dalam hal pengadaan perumahan. Sampai saat ini jumlah rumah yang dibangun dari hasil kerjasama tersebut mencapai 1.812 unit dengan nilai kredit sebesar Rp 6,7 miliar. Selain itu, untuk lebih meningkatkan usaha dan kesejahteraan golongan ekonomi lemah, dalam jumlah yang terbatas Pemerintah masih menyediakan kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Jenis kredit yang mendapat dukungan KLBI antara lain adalah kredit usaha tani (KUT) padi/palawija, kredit kepada koperasi untuk membiayai pengadaan barang berprioritas tinggi, seperti pupuk, cengkeh, dan pangan, serta kredit kepada koperasi primer/KUD untuk diteruskan kepada anggota guna membiayai kegiatan yang produktif di luar sektor perdagangan dan jasa. Posisi kredit koperasi sampai dengan bulan September 1994 mencapai jumlah sebesar Rp 460,5 Departemen Keuangan RI 285 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 miliar, yang disalurkan untuk membiayai KUT padi/palawija sebesar Rp 138,6 miliar (30,1 persen), untuk pengadaan pangan/palawija KUD sebesar Rp 63,2 miliar (13,7 persen) untuk kredit tebu rakyat intensifikasi (TRI) sebesar Rp 201,5 miliar (43,7 persen), untuk kredit pupuk sebesar Rp 7,7 miliar (1,7 persen), untuk kredit cengkeh sebesar Rp 25,2 miliar (5,5 persen), untuk kredit sapi perah sebesar Rp 21 miliar (4,6 persen), serta kredit untuk pola III individual sebesar Rp 3,3 miliar ( 0,7 persen). Untuk meningkatkan usaha koperasi melalui pengembangan keuangan koperasi sehingga dapat berswadaya dan mandiri, perum Pengembangan Keuangan Koperasi (Perum PKK) mempunyai peranan yang besar dalam menunjang koperasi dengan memberikan jaminan atas kredit yang diberikan oleh bank kepada koperasi, dan memberikan pinjaman serta bantuan manajemen dan konsultasi. Jaminan yang diberikan oleh perum PKK sampai saat ini meliputi kegiatan koperasi di sektor-sektor pertanian (KUT padi/palawija, pupuk, alat-alat pertanian), perikanan (tambak, darat, cold storage), peternakan (sapi perah, sapi potong, unggas), perkebunan (kemenyan, panili, tebu, coklat, KUT-TRI), kerajinan/industri (bahan bangunan, tas/kulit, air bersih), jasa, serta konsumsi/distribusi (angkutan darat/laut, simpan pinjam, pedagang pasar, dan lain-lain). Sampai dengan pertengahan bulan Desember 1994, secara kumulatif kredit yang diberikan kepada koperasi berjumlah Rp 2.939,9 miliar dan jaminan kredit yang diberikan mencapai jumlah sebesar Rp 2.512,8 miliar. 3.7.4. Lembaga perkreditan lainnya Di samping bank-bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR), berbagai lembaga perkreditan lainnya juga tumbuh di masyarakat, khususnya lembaga yang dibutuhkan oleh masyarakat golongan ekonomi lemah dalam memperoleh dana pinjaman untuk kelangsungan usaha dan aktivitas lainnya. Lembaga perkreditan lainnya tersebut antara lain terdiri dari bank desa, lumbung desa, bank pasar, bank pegawai, lumbung pitih nagari (LPN), lembaga perkreditan desa (LPD), badan kredit desa (BKD), badan kredit kecamatan (BKK), kredit usaha rakyat kecil (KURK), dan lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan. Dalam perkembangannya lembagalembaga tersebut mencerminkan keikutsertaan masyarakat pedesaan dalam pembangunan, yang berakar dari adat atau tradisi yang tumbuh di masing-masing daerah. Diharapkan melalui lembaga perkreditan tersebut, usaha kecil di pedesaan seperti industri rumah tangga, industri Departemen Keuangan RI 286 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kerajinan, perdagangan, dan pengolahan hasil pertanian dapat berkembang dan pada gilirannya ikut meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan. Sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, status lembaga perkreditan tersebut disamakan dengan bank perkreditan rakyat (BPR), setelah memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditetapkan dalam UU tersebut. Masih mengacu pada UU tentang perbankan, lembaga-lembaga perkreditan rakyat atau BPR bukanlah merupakan bank pencipta uang giral. Dengan demikian didalam aktivitasnya tidak diperkenankan memobilisasi dana masyarakat dalam bentuk giro dan ikut serta melakukan lalu lintas pembayaran, di samping tidak diperkenankan pula memperdagangkan valuta asing atau melakukan penyertaan modal. Dalam aktivitasnya lembaga-lembaga perkreditan lainnya ini memobilisasi dana masyarakat dalam bentuk deposito berjangka dan tabungan, dan memanfaatkan dana tersebut melalui pemberian kredit, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai perundangan yang berlaku, serta menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, atau tabungan pada bank lain. 3.8. Lembaga keuangan di luar perbankan 3.8.1. Asuransi Peranan industri asuransi di Indonesia terus diusahakan peningkatannya dalam pembangunan nasional, karena melalui usaha perasuransian selain dapat diberikan santunan atau ganti rugi dari berbagai jenis risiko seperti risiko kecelakaan atau kematian, kerugian atas harta benda, dan risiko lainnya, juga diharapkan makin meningkatnya dana yang dapat dimobilisasi dari masyarakat untuk keperluan pembiayaan pembangunan nasional. Dalam rangka untuk mendorong perkembangan usaha perasuransian tersebut, Pemerintah terus berusaha meningkatkan kemampuan teknis maupun manajemen usaha asuransi agar mampu beroperasi secara efektif dan efisien, baik melalui berbagai deregulasi maupun kebijaksanaan lainnya. Dalam pada itu, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dalam bulan Februari 1993 Pemerintah telah mengeluarkan ketentuan tentang penyelenggaraan usaha perasuransian yang meliputi penutupan obyek asuransi, perizinan serta kesehatan keuangan perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian dilaksanakan secara sehat, bertanggung jawab dan tidak mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia Departemen Keuangan RI 287 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 (SDM), perusahaan asuransi dan reasuransi diwajibkan menyediakan dana untuk pendidikan dan pelatihan bagi pegawai-pegawainya sekurang-kurangnya 5 persen dari anggaran belanja pegawai yang ditetapkan. Selain itu, perusahaan asuransi dan reasuransi juga diperbolehkan menggunakan tenaga kerja asing dengan batas waktu selama-lamanya lima tahun, dengan ketentuan bahwa tenaga kerja asing tersebut diwajibkan untuk melakukan pelatihan dan alih teknologi bagi pegawai-pegawai lokal. Ketentuan-ketentuan tersebut juga diberlakukan bagi perusahaan penunjang usaha asuransi, seperti perusahaan pialang asuransi dan perusahaan penilai kerugian asuransi. Selanjutnya, dalam rangka untuk menjaga agar perusahaan asuransi dan reasuransi mampu memenuhi kewajibannya kepada masyarakat (pemegang polis), Pemerintah juga menyempurnakan ketentuan mengenai kesehatan keuangan bagi kegiatan usaha asuransi dan reasuransi. Dalam hubungan ini, perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi diwajibkan untuk menjaga tingkat solvabilitasnya dengan jumlah sekurang-kurangnya 10 persen dari premi neto. Sementara itu, bagi perusahaan asuransi jiwa ketentuan tingkat solvabilitas tersebut ditetapkan sekurang-kurangnya 1 persen dari cadangan premi, sedangkan untuk bidang asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan selain ketentuan 1 persen tersebut masih harus ditambah 10 persen dari premi neto. Di samping itu, perusahaan asuransi dan reasuransi diperbolehkan menggunakan aktivanya untuk ditanamkan dalam berbagai jenis investasi, seperti deposito berjangka, saham, obligasi, sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan surat berharga pasar uang (SBPU). Bagi perusahaan asuransi kerugian dan reasuransi, jumlah dana investasi tersebut ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar cadangan teknisnya, yang terdiri dari cadangan premi, cadangan tuntutan ganti rugi, ditambah 25 persen dari modal sendiri. Di lain pihak, bagi perusahaan asuransi jiwa, jumlah dana investasi tersebut ditetapkan maksimum sebesar cadangan teknisnya. Sementara itu, untuk menunjang kegiatan perasuransian, Pemerintah juga mengeluarkan peraturan lanjutan mengenai penyelenggaraan perusahaan penunjang usaha asuransi dan reasuransi, yang antara lain mengatur persyaratan, tata cara perizinan, serta penyelenggaraan bagi perusahaan pialang asuransi, pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. Sebagai hasil dari berbagai kebijaksanaan Pemerintah tersebut di atas, dalam memasuki tahun pertama pelaksanaan Repelita VI ini, kegiatan usaha perasuransian mengalami Departemen Keuangan RI 288 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 perkembangan yang cukup menggembirakan terutama setelah kepastian hukumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Hal ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah perusahaan, pendapatan premi, kekayaan (aget), serta dana investasi dari usaha perasuransian tersebut. Dalam tahun 1993, pendapatan prerni bruto usaha perasuransian mencapai jumlah Rp 4.603,8 miliar atau mengalami kenaikan sebesar 39,51 persen apabila dibandingkan dengan pendapatan jumlah premi bruto dalam tahun 1992 yang berjumlah sebesar Rp 3.299,8 miliar. Persentase kenaikan yang dicapai dalam tahun 1993 tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan persentase kenaikan yang dicapai dalam tahun sebelumnya sebesar 24,3 persen. Demikian pula kalau dilihat dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB), rasionya mengalami peningkatan dari 1,27 persen dalam tahun 1992 menjadi 1,56 persen dalam tahun 1993. Peningkatan peranan usaha asuransi juga terlihat dari rasio pendapatan premi bruto terhadap PDB dari sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, yaitu dari 26,5 persen dalam tahun 1992 menjadi 30,5 persen dalam tahun 1993. Dari jumlah premi bruto yang berhasil dihimpun perusahaan-perusahaan asuransi pada tahun 1993, sebesar 36,4 persen berasal dari industri asuransi jiwa, sebesar 48,1 persen dari asuransi kerugian dan reasuransi, sedangkan sisanya sebesar 15,5 persen berasal dari asuransi sosial. Di lain pihak, neraca pembayaran usaha asuransi Indonesia yang dapat menggambarkan kegiatan asuransi ke dan dari luar negeri, seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, dalam tahun 1993 masih mengalami defisit. Dalam tahun 1993 defisit tersebut melebihi defisit tahun sebelumnya, yaitu dari sebesar Rp 354,1 miliar menjadi sebesar Rp 398,7 miliar. Angka defisit yang semakin membesar itu terjadi selain karena semakin tidak seimbangnya penerimaan premi yang diterima dari luar negeri dengan premi yang dibayarkan ke luar negeri, juga disebabkan oleh klaim rasio dari premi asuransi yang diterima dari luar negeri masih melebihi 100 persen, sedangkan klaim rasio dari premi asuransi yang dikeluarkan ke luar negeri hanya sekitar 42 persen. Secara umum hal ini erat hubungannya dengan masih sangat terbatasnya kapasitas pertanggungan perusahaan asuransi nasional untuk menanggung obyek-obyek asuransi dalam jumlah yang besar. Jumlah kekayaan (total aset) perusahaan asuransi dalam tahun 1993 mencapai jumlah Rp 11.267,2 miliar, atau meningkat sebesar 24,95 persen dari kekayaan tahun sebelumnya yang berjumlah sebesar Rp 9.017,3 miliar. Dari jumlah kekayaan tersebut, sebesar 50,1 persen dimiliki oleh perusahaan asuransi jiwa, 29,4 persen dimiliki perusahaan asuransi kerugian dan reasuransi, dan sisanya sebesar 20,5 persen dimiliki perusahaan asuransi sosial. Departemen Keuangan RI 289 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Sementara itu, dana investasi yang ditanamkan oleh industri asuransi juga mengalami peningkatan. Dalam tahun 1993 besarnya dana investasi telah mencapai Rp 8.816,8 miliar, yang merupakan 78 persen dari seluruh kekayaan yang dimiliki seluruh perusahaan asuransi. Dari jumlah tersebut sebesar 54,7 persen berasal dari perusahaan asuransi jiwa, 22,7 persen dari perusahaan asuransi kerugian dan reasuransi, serta sisanya sebesar 22,6 persen berasal dari perusahaan asuransi sosial. Peningkatan dana investasi tersebut cukup berarti bila dibandingkan dengan dana investasi tahun sebelumnya sebesar Rp 7.145,2 miliar. Dilihat dari rincian alokasi dana investasi yang ditanamkan oleh perusahaan asuransi, terlihat bahwa deposito berjangka masih merupakan pilihan utama. Dalam tahun 1993, dana investasi dalam bentuk deposito berjangka mencapai jumlah Rp 4.465,8 miliar atau sebesar 50,6 persen, sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar Rp 2.168,6 miliar atau 24,6 persen, obligasi dan saham sebesar Rp 989,2 miliar atau 11,2 persen, sedangkan sisanya sebesar Rp 1.193,2 miliar atau 13,6 persen ditanam dalam bentuk tanah dan bangunan serta lainnya. Jumlah tuntutan ganti rugi (klaim) yang diajukan oleh nasabah dalam tahun 1993 juga mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu meningkat dengan Rp 764,5 miliar (46,8 persen) apabila dibandingkan dengan tuntutan ganti rugi dalam tahun 1992 yang jumlahnya Rp 1.630,7 miliar. Sementara itu, jumlah perusahaan yang bergerak di bidang asuransi dan reasuransi serta usaha penunjangnya juga terus meningkat. Sampai dengan Agustus 1994, jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi mencapai sebanyak 151 perusahaan, yang terdiri dari 49 perusahaan asuransi jiwa, 93 perusahaan asuransi kerugian, 4 perusahaan reasuransi, dan 5 perusahaan asuransi sosial. Di samping itu, terdapat 110 perusahaan penunjang asuransi, yang terdiri dari 71 pialang asuransi, 21 adjuster, dan 18 perusahaan konsultan aktuaria. Dalam menghadapi perkembangan ekonomi dunia yang cenderung semakin bersifat terbuka dan global pada tahun-tahun terakhir ini, tampak adanya perkembangan arah kegiatan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan asuransi menuju bentuk joint venture dalam upaya menyesuaikan dengan kecenderungan tersebut. Melalui joint venture ini diharapkan industri asuransi Indonesia selain semakin mampu bersaing dengan perusahaan asuransi asing dalam kancah internasional, juga dapat memacu profesionalisme masing-masing perusahaan asuransi. Dari seluruh jumlah perusahaan asuransi di Indonesia, sampai dengan Agustus 1994 perusahaan yang berbentuk joint venture berjumlah 23 perusahaan, yang terdiri dari 16 perusahaan asuransi Departemen Keuangan RI 290 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kerugian dan 7 perusahaan asuransi jiwa. Perkembangan kegiatan perusahaan asuransi dapat dilihat pada Tabel III.25 TabeI III. 25 TOTAL ASET, DANA INVESTASI, PREMI BRUTO, DAN TUNTUTAN GANTI RUGI PERUSAHAAN.PERUSAHAAN ASURANSI DAN REASURANSI, 1986 - 1993 ( dalam miliar rupiah) 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 (I) Total Aset Asuransi jiwa Asuransi sasial Asuransi kerugian don reasuransi lumlah Premi Bruto Asuransi jiwa Asuransi sasial Asuransi kerugian don reasuransi lumlah Tuntutan Ganti Rugi Asuransi jiwa Asuransi sasial Asuransi kerugian don reasuranSl lumlah Dana Investasi Asuransi jiwa Asuransi sasial Asuransi kerugian don reasuranSl lumlah -2 -3 .(4) -5 -6 -7 -8 1993 I) -9 556,4 1.334,80 748,1 2.649,30 677,1 1.611,20 1.012,70 3.301,00 799,1 1.930,10 1.1 77,0 3.906,20 985,6 2.424,10 1.580,60 4.990,30 1.212,90 2.891,50 2.137,60 6.242,00 1.628,80 3.639,80 2.603,30 7.871,90 1.911,50 4.297,00 2.808,80 9.017,30 5.647,30 2.302,80 3.317,10 11.267,20 176,6 274,2 605,6 1.056,40 243,8 316,4 840,2 1.400,40 298,7 350,2 888,6 1.537,50 346,7 391,9 1.093,80 1.832,40 455,4 458,1 1.341,20 2.254,70 562,1 588,8 1.504,70 2.655,60 770,1 756,4 1.773,30 3.299,80 1.676,40 711,1 2.216,30 4.603,80 241,1 90,9 348 680 417,7 137,3 310,9 865,9 469,9 171,9 344,9 986,7 532,5 175,3 483,6 1.191,40 277,7 214,4 524,1 1.016,20 523 285,8 721 1.529,80 564 360,1 706,6 1.630,70 1.314,80 157 923 2.395,20 413 1.208,00 391,8 2.012,80 490,7 1.455,60 584,2 2.530,50 595,9 1.781,40 710,2 3.087,50 730 2.248,00 1.010,90 3.988,90 914,1 2.680,80 1.402,00 4.996,90 1.291,20 3.274,10 1.705,00 6.276,60 1.529,70 3.869,80 1.746,20 7.145,20 4.830,20 1.996,90 2.005,50 8.816,80 1) Sesuai UU Nomor. 2 Th. 1992, Asuransi Sosial terdin dari PT. Asuransi Jasa Rahardja dan PT. Asuransi Tenaga Kerja. 3.8.2. Lembaga pembiayaan Sejalan dengan perkembangan perekonomian dan kegiatan dunia usaha, permintaan terhadap jasa lembaga pembiayaan di luar sektor perbankan juga mengalami peningkatan. Peningkatan peranserta lembaga pembiayaan di dalam membiayai pengembangan dunia usaha di Indonesia sangat penting dalam upaya mengembangkan alternatif sumber dana investasi di tengah-tengah persaingan ekonomi yang semakin kompetitif, terutama bagi pengembangan dunia usaha yang masih baru, dimana faktor modal dan kemampuan manajemen masih terbatas. Menyadari akan pentingnya peranan lembaga pembiayaan tersebut dan dalam rangka mempercepat perkembangan dunia usaha di Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijaksanaan yang ditujukan untuk terus meningkatkan peranserta lembaga pembiayaan di samping lembaga perbankan, pasar modal, dan lain-lainnya. Kebijaksanaan yang telah ditempuh Pemerintah guna mendukung tercapainya tujuan tersebut dilandasi oleh paket kebijaksanaan yang dikeluarkan Pemerintah tanggal 20 Desember Departemen Keuangan RI 291 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 1988 (Pakdes 1988), yang memberikan kemungkinan bagi lembaga pembiayaan untuk meningkatkan mobilisasi dan diversifikasi kegiatan pembiayaan bagi dunia usaha, yaitu melalui sewa guna usaha (leasing), modal ventura, anjak piutang (factoring), kartu kredit, serta pembiayaan konsumen. Sejalan dengan itu, Pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa kebijaksanaan, antara lain berupa penyederhanaan persyaratan dan prosedur perizinan, serta peningkatan partisipasi modal dari pihak asing (85 persen dari modal disetor) dalam pendirian perusahaan pembiayaan patungan. Sementara itu, untuk pengembangan kegiatan sewa guna usaha (leasing), Pemerintah juga memberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan atau pungutan-pungutan impor lainnya kepada perusahaan sewa guna usaha untuk pengadaan barang modal bagi perusahaan PMA/PMDN, sesuai dengan fasilitas yang sama yang dirniliki oleh PMA/PMDN dan atau lessee yang bersangkutan. Dengan ditetapkannya kebijaksanaan tersebut, selain akan memperluas ruang gerak perusahaan sewa guna usaha, juga diharapkan dapat memperlancar proses pengadaan barang-barang modal sehingga dapat menunjang kegiatan produktif dunia usaha. Di samping itu, dengan fasilitas tersebut perlakuan perpajakan atas transaksi sewa guna usaha menjadi lebih rasional dan wajar, sehingga dalam jangka panjang diharapkan akan lebih mampu meningkatkan kegiatan sewa guna usaha. Selanjutnya dalam rangka pengembangan perusahaan modal ventura, sedang diupayakan pembentukan perusahaan modal ventura di seluruh ibukota daerah tingkat I. Berbeda dengan sektor perbankan yang menghimpun dana secara langsung dari masyarakat, baik berupa giro, deposito, maupun tabungan, lembaga-lembaga pembiayaan yang kegiatannya melakukan pembiayaan dalam bentuk persediaan dana atau barang, tidak diperkenankan menarik dana langsung dari masyarakat. Dalam tata cara pendiriannya lembaga pembiayaan dapat dilakukan oleh bank atau perusahaan pembiayaan baru, baik yang berbentuk perseroan terbatas (PT) maupun koperasi setelah memenuhi prosedur perizinan yang berlaku. Dengan demikian diharapkan sebagian kebutuhan pembiayaan investasi bagi dunia usaha dapat dipenuhi melalui kegiatan lembaga pembiayaan. Sejak beberapa tahun terakhir, terutama dalam masa Repelita V, perkembangan lembaga pembiayaan di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Apabila pada akhir tahun 1988 hanya terdapat 83 perusahaan, maka pada akhir tahun 1993 jumlah tersebut telah berkembang menjadi 178 perusahaan. Sejalan dengan itu, jumlah kekayaan (total aset) seluruh perusahaan pembiayaan menunjukkan perkembangan yang cukup mengesankan. Apabila pada Departemen Keuangan RI 292 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 akhir tahun 1988 nilai kekayaan (aset) perusahaan pembiayaan hanya berjumlah Rp 2.138,5 miliar, maka pada akhir tahun 1993 nilai tersebut telah meningkat menjadi sebesar Rp 9.971,4 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 7.832,9 miliar atau hampir empat kali lipat. Kenaikan total aset tersebut tidak saja disebabkan adanya peningkatan jumlah perusahaan yang terus meningkat dari tahun ke tahun, namun juga disebabkan adanya kenaikan kegiatan usaha yang tercermin dari nilai kontrak perusahaan pembiayaan tersebut, terutama dari perusahaan sewa guna usaha (leasing). Nilai kontrak sewa guna usaha telah mengalami peningkatan dari sebesar Rp 1.873,0 miliar dalam tahun 1988 menjadi sejumlah Rp 4.529,0 miliar dalam tahun 1993, atau mengalami peningkatan sebesar 142 persen. Di samping itu, lembaga pembiayaan jasa anjak piutang (factoring company), yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian/pengambilan serta pengurusan piutang, juga mengalami peningkatan usaha yang cukup besar, yang tercermin dari nilai kontraknya. Apabila dalam tahun 1990 nilai kontrak anjak piutang hanya berjumlah Rp 55,3 miliar, maka pada tahun 1993 telah meningkat menjadi Rp 2.162,0 miliar, atau meningkat sebesar 39 kali lipat dalam periode tersebut. Sementara itu, nilai kontrak pembiayaan konsumen telah meningkat dari sebesar Rp 1.571,0 miliar dalam tahun 1991 menjadi Rp 1.926,9 miliar dalam tahun 1993, atau meningkat sebesar 23 persen pada periode tersebut. Sedangkan nilai penyertaan modal ventura dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dari hanya sebesar Rp 4,8 miliar menjadi Rp 67,0 miliar, atau meningkat sebesar 13 kali lipat. Demikian pula nilai pembiayaan kartu kredit, yang baru mulai berkembang sejak tahun 1992, telah mencapai jumlah sebesar Rp 547,5 miliar pada akhir Desember 1993. Perkembangan tersebut di atas menunjukkan bahwa pembiayaan investasi bagi dunia usaha yang berasal dari lembaga pembiayaan di luar perbankan telah, dapat diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai suatu alternatif pembiayaan yang cukup menguntungkan. Perkembangan kegiatan lembaga pembiayaan dapat dilihat pada Tabel III.26. Departemen Keuangan RI 293 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 TabeI III. 26 PERKEMBANGAN KEGIATAN LEMBAGA PEMBIAYAAN, 1985 -1993 ( dalam miliar rupiah) 1985 1986 1987 19881) 1989 1990 1991 Jumlah Perusahaan Kegiatan Usaha - Nitai kontrak sews guns usaha - Nitai pembiayaan anjak piutang - Nitai kontrak pembiayaan konsumen - Nitai penyertaan modal ventura - Nitai pembiayaan kartu kredit Keadaan Keuangan - Total aset - Total equity - 1nvestasi bersih Posis; Pinjaman - Dalam Negeri - Luar negeri 1992 19932) 70 80 83 83 101 121 132 144 178 484,0 - 645,4 - 1.247,2 - 1.873,0 - 2.885,1 - 4.746,4 55.3 1.009,4 - 3.944,7 306,5 1.571,0 4,8 - 3.798,4 784,6 1.530,1 3,1 212,9 4.529,0 2.162,0 1.926,9 67,0 547,5 851,0 153,1 620,7 1.213,3 206,8 958,9 1.656.8 230,3 1.380,80 2.138,5 262.3 1.761,20 3.090,4 433,0 2.754,10 6.589.5 936,7 5.311,40 8.191,8 1.195,8 6.743,00 9.998,4 1.560,3 7.762,00 9.971,4 1.520,2 7.967,00 237,8 321,1 250,4 394,5 413,9 612,5 531,4 1.155,7 907,0 1.274,5 1.293,4 1.476,6 1.936.6 3.403,2 2.793,6 3.296,2 3.794,5 3.452,9 I) S.d. Paledes 1988 2) S.d. Desember 1993 3.8.3. Dana Pensiun Dana pensiun, sebagai suatu lembaga keuangan di luar perbankan, mempunyai dua peranan yang tidak dapat diabaikan dalam menunjang keberhasilan pembangunan nasional. Di samping sebagai sumber dana pembiayaan pembangunan yang diperoleh dari penghimpunan dana masyarakat yang bersifat jangka panjang, juga merupakan suatu lembaga keuangan yang mampu memberikan manfaat pensiun kepada para anggotanya melalui jaminan hari tua yang sekaligus dapat meningkatkan motivasi dan gairah kerja sehingga dapat meningkatkan produktivitas perusahaan. Mengingat sangat strategisnya peranan Dana Pensiun tersebut, maka Pemerintah terus mendorong dan menumbuhkembangkan Dana Pensiun melalui serangkaian kebijaksanaan deregulasi, baik yang menyangkut penyempurnaan kelembagaan maupun yang berkaitan dengan pengelolaan, serta perlindungan terhadap para peserta program Dana Pensiun. Salah satu dasar hukum bagi Dana Pensiun yang sangat mendasar adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tanggal 20 April tentang Dana Pensiun. Dengan undang-undang tersebut dimungkinkan terbentuknya dua jenis badan hukum yang mengelola dan menjalankan dana pensiun, yaitu Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Dana Pensiun Pemberi Kerja merupakan Dana Pensiun yang dibentuk oleh orang atau badan yang mempekerjakan karyawan selaku pendiri, yang menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti (PPMP) bagi kepentingan karyawannya. Sedangkan Dana Pensiun Lembaga Keuangan Departemen Keuangan RI 294 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh lembaga keuangan perbankan atau perusahaan asuransi jiwa yang menyelenggarakan program pensiun iuran pasti (PPJP) bagi perorangan, baik karyawan maupun pekerja mandiri, yang terpisah dari Dana Pensiun Pemberi Kerja dari karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan. Adapun besarnya iuran yang disetorkan, baik oleh pemberi kerja maupun karyawan/peserta ke Dana Pensiun, berkaitan dengan program yang dilaksanakan oleh Dana Pensiun yang bersangkutan, apakah dalam bentuk PPMP atau PPJP. Besarnya iuran pemberi kerja dalam PPJP merupakan persentase tertentu dari pendapatan tiap peserta, di mana persentase iuran pemberi kerja diharuskan lebih besar dari iuran peserta. Sementara itu, besarnya iuran pemberi kerja dalam PPMP didasarkan atas perhitungan aktuaria, di mana pemberi kerja menanggung selisih antara besarnya pendanaan yang dibutuhkan untuk membayarkan manfaat pensiun dan jumlah iuran peserta. Sedangkan besarnya iuran peserta dalam kedua program tersebut (PPMP dan PPJP) merupakan persentase tetap tertentu dari gaji tiap peserta. Dalam usahanya, Dana Pensiun Pemberi Kerja diperbolehkan menyelenggarakan salah satu dari program tersebut (PPMP atau PPJP), sedangkan Dana Pensiun Lembaga Keuangan hanya dapat menjalankan PPJP. Dalam pada itu, dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun tersebut, Dana Pensiun di Indonesia berarti telah memiliki landasan hukum yang kuat dan jelas, baik dalam hal pembentukan maupun teknis penyelenggaraannya. Hal ini karena dalam undang-undang tersebut juga diatur tentang azas-azas yang dianut dalam usaha Dana Pensiun, seperti azas keterpisahan kekayaan Dana Pensiun dari kekayaan badan hukum pendirinya, sistem pendanaan, pembinaan, serta atas pengawasan. Melalui atas-atas tersebut dimungkinkan bagi para pekerja yang tergabung dalam perusahaan maupun pekerja mandiri untuk mendapatkan kesempatan yang lebih luas dalam menikmati program pensiun. Di samping itu, dalam undang-undang tersebut juga diatur mengenai perlindungan terhadap kekayaan Dana Pensiun, serta pengembangan dan pengawasan atas investasi kekayaan Dana Pensiun agar Dana Pensiun dapat berkembang dengan lebih baik, yang sekaligus mendorong perkembangan dana pensiun di Indonesia yang lebih cepat. Dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tersebut, pada bulan Februari 1993 Pemerintah juga telah mengeluarkan ketentuan lebih lanjut mengenai investasi Departemen Keuangan RI 295 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Dana Pensiun. Berdasarkan ketentuan tersebut, perusahaan Dana Pensiun Pemberi Kerja maupun Dana Pensiun Lembaga Keuangan diperbolehkan melakukan investasi dalam bentuk saham, obligasi, dan surat berharga lainnya dengan maksimum sebesar 10 persen untuk setiap penerbitan masing-masing surat berharga tersebut. Sementara itu, investasi dalam bentuk SBPU ditetapkan tidak boleh melebihi 10 persen dari jumlah aktiva dana pensiun. Investasi dalam bentuk deposito berjangka dan sertifikat deposito hanya diperbolehkan dilakukan pada bank yang tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pendiri atau mitra pendiri Dana Pensiun tersebut. Selanjutnya, dalam melakukan investasi, lembaga Dana Pensiun diharuskan mengutamakan aspek keamanan, hasil investasi, serta tingkat likuiditas dari bentuk-bentuk investasi tersebut. Dari jumlah perusahaan yang telah mengajukan permohonan dan penyesuaian menjadi Dana Pensiun, terdapat 508 perusahaan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan 13 perusahaan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Apabila dikelompokkan berdasarkan kepemilikannya, jumlah lembaga Dana Pensiun di Indonesia tersebut terdiri dari 104 Dana Pensiun milik badan usaha milik negara (BUMN) dan 417 Dana Pensiun milik perusahaan swasta. Sampai dengan Desember 1994, dari jumlah tersebut yang telah disahkan menjadi Dana Pensiun sesuai dengan ketentuan Undang-undang Dana Pensiun Tahun 1992 adalah sebanyak 90 perusahaan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan 10 perusahaan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Sementara itu, sampai dengan akhir tahun 1992, jumlah kekayaan Dana Pensiun tercatat sebesar Rp 7.528,7 miliar. Dari jumlah tersebut telah diinvestasikan sebesar Rp 5.370,8 miliar atau sebesar 71,3 persen. Dari jumlah investasi dana pensiun tersebut dialokasikan dalam bentuk sertifikat deposito sebesar Rp 3.329,8 miliar, atau sebesar 62 persen dari seluruh dana yang diinvestasikan. Selanjutnya, dalam rangka mengembangkan sistem pembayaran pensiun, tugas dan kewajiban penyelenggaraan pembayaran pensiun bagi pegawai negeri sipil (PNS) di seluruh Indonesia telah dilimpahkan kepada PT Taspen. Posisi iuran dana pensiun PNS yang berhasil dihimpun oleh PT Taspen sampai dengan akhir September 1994 meningkat sebesar 14 persen, sehingga mencapai jumlah sebesar Rp 6.679,4 miliar. 3.8.4. Pegadaian Di samping lembaga pembiayaan, perkreditan, dan perbankan, Perusahaan Umum Departemen Keuangan RI 296 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 (Perum) Pegadaian juga merupakan lembaga perkreditan yang cukup penting dalam ikut melaksanakan program pembangunan, terutama dalam mendukung golongan ekonomi lemah. Di samping itu, keberadaan Perum Pegadaian juga ikut membantu menghilangkan berbagai lembaga perkreditan gelap dan sejenisnya yang tidak bermanfaat, seperti praktek ijon, pegadaian gelap, riba, dan pinjaman tidak wajar. Dalam rangka meningkatkan pelayanannya, Perum Pegadaian telah memberikan kemudahan dalam hal memperoleh pinjaman, sesuai dengan jaminan memadai yang dimiliki atau dijaminkan oleh peminjam (pegadai). Sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan dana yang dapat diperoleh dengan relatif cepat dan murah, Perum Pegadaian sejak tahun 1994 telah menaikkan batas maksimum pagu pinjaman, dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 2,5 juta, dan menurunkan suku bunga pinjamannya. Selanjutnya sesuai dengan kenaikan pagu pinjaman tersebut, tingkat bunga yang dikenakan pada nasabah/peminjam pada Perum Pegadaian telah diturunkan yang dibagi dalam empat kategori. Untuk nasabah dengan pinjaman sebesar Rp 5 ribu sampai dengan Rp 40 ribu, suku bunganya diturunkan dari 3 persen menjadi 2,5 persen per bulan. Sedangkan tiga kategori lainnya, yaitu nasabah dengan pinjaman sebesar Rp 40,5 ribu sampai dengan Rp 250 ribu, Rp 251 ribu sampai dengan Rp 500 ribu, dan Rp 501 ribu sampai dengan Rp 2,5 juta, suku bunganya juga diturunkan masing-masing dari 4 persen menjadi 3,5 persen perbulan. Dapat ditambahkan bahwa untuk semua kategori pinjaman pada Perum Pegadaian tersebut ditetapkan bahwa jangka waktu pelunasannya maksimum empat bulan. Selain itu, dalam tahun 1994 Perum Pegadaian juga memperkenalkan jenis produk baru, yaitu jasa penitipan surat berharga, perhiasan, dari barang berharga lainnya. Jangka waktu penitipan ditetapkan antara dua minggu sampai satu tahun, dengan tarif Rp 1.500 sampai dengan Rp 30.000. Dalam perkembangannya, pinjaman yang diberikan Perum Pegadaian kepada masyarakat mengalami perkembangan yang cukup pesat. Apabila dalam tahun 1990 jumlah pinjaman yang diberikan baru mencapai jumlah sebesar Rp 433 miliar, maka dalam tahun 1993 jumlah pinjaman tersebut telah meningkat menjadi sebesar Rp 779 miliar. Sejalan dengan perkembangan jumlah pinjaman tersebut, jumlah kantor pegadaian di seluruh Indonesia telah mengalami peningkatan dari 505 kantor cabang pada akhir tahun 1990 menjadi 561 kantor cabang pada akhir tahun 1993. Sedangkan pada akhir September 1994 jumlah tersebut meningkat lagi menjadi 574 kantor cabang, termasuk kantor-kantor cabang baru di wilayah Indonesia bagian timur dan Propinsi Irian Jaya. Kegiatan usaha Perum Pegadaian tersebut diharapkan akan Departemen Keuangan RI 297 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 semakin meningkat lagi dimasa yang akan datang, terutama dengan telah dicanangkannya serangkaian kebijaksanaan pemerintah dalam Repelita VI antara lain berupa program pengentasan kemiskinan melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT), prioritas pengembangan usaha kecil dan menengah, serta diciptakannya iklim keterbukaan yang memungkinkan peranserta pihak swasta dalam usaha pegadaian. 3.9. Pasar modal Pasar modal pada dasarnya merupakan suatu lembaga di luar perbankan yang dapat berfungsi sebagai alternatif investasi portepel (portfolio) bagi pemodal, dari sekaligus sebagai alternatif sumber pendanaan bagi perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tambahan modal. Bagi pemodal, "capihal gain", deviden saham, ataupun pendapatan dari kupon obligasi adalah merupakan beberapa pendorong untuk melakukan investasi di pasar modal, sedangkan bagi perusahaan-perusahaan, tambahan modal, baik yang bersifat permanen (equity) maupun jangka panjang (obligasi), merupakan alternatif sumber dana yang diharapkan dapat diperoleh melalui pasar modal. Perkembangan pasar modal Indonesia telah menunjukkan kinerja yang semakin membaik dalam beberapa tahun terakhir, yang erat hubungannya dengan usaha-usaha memobilisasi dana masyarakat bagi pembangunan melalui pasar modal. Usaha-usaha tersebut antara lain meliputi arahan investasi bagi dana pensiun dalam berbagai jenis investasi (termasuk saham dari obligasi), kebijaksanaan terhadap industri perbankan dimana saham dapat digunakan sebagai agunan, kebijaksanaan deregulasi di sektor riil yang berdampak positip bagi perkembangan dunia usaha, peraturan-peraturan untuk memperbaiki aturan main di pasar modal, serta penegakan peraturan secara konsisten terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Selain usaha/kebijaksanaan pemerintah tersebut, faktor lain yang juga turut mendukung adalah usaha-usaha yang telah dilakukan oleh bursa efek itu sendiri, baik melalui berbagai aturan mainnya maupun melalui para pelaku pasar modal dalam menunjukkan identitas dirinya sebagai pelaku yang baik dan profesional. Keberhasilan memobilisasi dana melalui pasar modal ini diharapkan akan lebih meringankan beban pemerintah dalam penyediaan daha di masa-masa yang akan datang. Dalam rangka untuk lebih menumbuhkembangkan pasar modal Indonesia, pasar modal terus dikembangkan melalui kebijaksanaan sekuritisasi sebagai alternatif sumber pembiayaan Departemen Keuangan RI 298 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pembangunan. Sehubungan dengan itu, Pemerintah telah mengeluarkan raker deregulasi pasar modal melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1990, yang dijabarkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1548 Tahun 1990, yang selanjutnya telah diubah dan ditambah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1199 Tahun 1991. Dalam raker kebijaksanaan tersebut antara lain ditetapkan untuk mengubah fungsi Bapepam yang semula sebagai pelaksana bursa menjadi pengawas bursa. Dalam pelaksanaan lebih lanjut, Bapepam telah mengeluarkan berbagai ketentuan, antara lain mengenai keterbukaan bagi perusahaan "go public" dan perusahaan publik, baik dalam rangka penawaran umum perdana maupun setelah pernyataan menjadi efektif, serta ketentuan di bidang peningkatkan kualitas dan transparansi pelaporan keuangan dengan tujuan mewujudkan suatu pasar modal yang efisien, efektif, dan terbuka. Selanjutnya, untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha menengah dan kecil yang membutuhkan dana melalui pasar modal, Pemerintah telah memberikan izin usaha kepada Bursa Paralel Indonesia (PT BPI) dalam bulan Januari 1994 sebagai penyelenggara perdagangan efek di luar lantai bursa. Bursa Paralel Indonesia tersebut diharapkan dapat menjalankan bursa efek secara efisien, baik yang menyangkut jaminan keamanan yang menyeluruh, pasar yang likuid, maupun sistem penyebaran informasi yang sempurna. Selain itu, untuk lebih mengefisienkan perdagangan di lantai bursa, sejak bulan Juni 1994 PT Kliring dan Deposit Efek Indonesia (PT KDEI) telah melaksanakan sistem netting dalam proses kliring dan penyelesaian untuk semua efek yang ditransaksikan di pasar reguler. Dalam sistem ini transaksi pembelian dan penjualan suatu efek tertentu yang dilaksanakan oleh anggota bursa dipertemukan pada hari bursa pada satu hari bursa. Dengan telah dimulainya sistem penyelesaian perdagangan efek tersebut diharapkan dapat mendorong aktivitas perdagangan dalam volume yang lebih besar dalam waktu-waktu yang akan datang. Selanjutnya dalam rangka pengembangan pasar sekunder obligasi dan membantu para pemodal untuk menilai efek yang diterbitkan perusahaan, Pemerintah telah mendorong berdirinya suatu lembaga Pemeringkat Efek Indonesia yang dikelola swasta dengan nama PT Pefindo. Lembaga ini mempunyai fungsi memberikan perangkat secara independen atas efek yang bersifat hutang, yang diterbitkan berdasarkan kesehatan dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban membayar bunga dan pokok pinjamannya kepada pemodal pada saat jatuh tempo. Upaya-upaya lain untuk mengembangkan pasar sekunder obligasi ini dilakukan melalui penelitian dan studi banding terhadap kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin dapat dikembangkan. Departemen Keuangan RI 299 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Sementara itu, dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia, Pemerintah terus berupaya memperluas/mendorong pasar modal Indonesia agar lebih bertumpu pada kekuatan pemodal dalam negeri. Berkaitan dengan itu, Pemerintah terus berusaha menciptakan iklim yang dapat menunjang bagi kemungkinan beroperasinya kegiatan reksa dana. Reksa dana dalam kegiatannya melaksanakan diversifikasi investasi dari sekumpulan dana para pemodal. Dengan menanamkan dananya melalui reksa dana diharapkan dapat mengurangi risiko bagi para pemodal kecil, sehingga investasi mereka tetap menguntungkan. Dengan usaha-usaha ini diharapkan pasar modal akan semakin aman dan bertambah likuid seiring dengan semakin banyaknya pemodal domestik yang ikut ambil bagian dalam transaksi perdagangan. Untuk mengantisipasi perkembangan di sektor keuangan pada umumnya, terutama dalam kaitannya untuk meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam pembangunan nasional sebagaimana dituangkan dalam Repelita VI, serta dalam rangka menempatkan pasar modal Indonesia sejajar dengan pasar modal di negara-negara maju, maka diperlukan penyempurnaan Undang-undang Pasar Modal agar lebih sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam dunia pasar modal. Dalam kaitannya dengan ini, Pemerintah telah mulai melakukan penyusunan rancangan undang-undang pasar modal yang baru, yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat setelah penyusunannya selesai. Selanjutnya, perkembangan pasar modal Indonesia antara lain dapat dilihat melalui jumlah perusahaan yang "go public", jumlah saham yang dicatatkan di bursa efek, serta aktivitas perdagangan surat berharga di pasar modal. Adapun aktivitas perdagangan saham antara lain tercermin dalam perkembangan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang terjadi di bursa efek. Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Jakarta (BEJ), setelah mengalami peningkatan sehingga mencapai angka tertinggi 612,88 dalam bulan Januari 1994, telah mengalami penurunan sehingga menjadi 449,72 dalam bulan Juli 1994 (terendah dalam periode Januari-November tahun 1994). Penurunan IHSG tersebut antara lain diakibatkan adanya penurunan harga sebagian besar saham dan banyaknya saham-saham baru yang masuk ke bursa, serta kelesuan perdagangan di lantai bursa. Melemahnya perdagangan saham ini juga erat hubungannya dengan banyaknya dana yang diserap ke "right issue" (penawaran terbatas) dari saham emiten yang telah tercatat di bursa. Memasuki bulan Agustus 1994, kondisi pasar modal mulai bergairah kembali, dimana IHSG mencapai angka 510,25 pada akhir bulan Agustus 1994. Walaupun angka IHSG sempat turun lagi pada akhir September 1994, namun saham-saham yang baru, antara lain saham PT Departemen Keuangan RI 300 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Indosat, telah mendorong pemodal-pemodal untuk melakukan transaksi yang lebih besar dengan harapan mendapatkan "capital gain" di pasar sekunder, sehingga angka IHSG meningkat kembali menjadi 523,49 pada akhir Oktober 1994. Kemudian menurun kembali mencapai angka 482,63 pada akhir bulan November 1994. Jumlah perusahaan yang telah memperoleh persetujuan Bapepam untuk "go public" di bursa efek sampai dengan akhir November 1994 telah meningkat menjadi 272 perusahaan, dengan jumlah dana yang terhimpun sebesar Rp 32,2 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari 226 emiten yang mengemisikan saham sebanyak 6.211,2 juta lembar dengan nilai Rp 26 triliun, serta 46 emiten yang mengemisikan obligasi dan sekuritas kredit sebanyak 748.588 lembar dengan nilai Rp 6,2 triliun. Jumlah perusahaan yang memperoleh persetujuan tersebut dalam periode Januari-November 1994 adalah bertarnbah sebanyak 48 emiten, yang berarti lebih besar bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 1993 yang hanya bertarnbah dengan 28 emiten. Perkembangan jumlah saham yang tercatat di BEJ sampai dengan bulan November 1994 mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu meningkat menjadi 23.292,8 juta lembar saham dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp 105,2 triliun, dari sebanyak 9.787,4 juta lembar saham dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp 69,3 triliun pada akhir tahun 1993. Sementara itu trartsaksi perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta dalam periode Januari-November 1994 mencapai volume 4.687,2 juta lembar saham dengan nilai sebesar Rp 23,2 triliun atau nilai perdagangan rata-rata per harinya sebesar Rp 102,3 miliar. Sedangkan volume saham yang diperdagangkan dalam periode yang sama tahun 1993 berjumlah 3.359,9 juta lembar saham dengan nilai sebesar Rp 16,5 triliun, atau nilai perdagangan rata-rata per harinya sebesar Rp 73,7 miliar. Di samping itu, jumlah saham yang tercatat di Bursa Efek Surabaya (BES) sampai dengan akhir November 1994 berjumlah 19.610 juta lembar saham dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp 107,5 triliun, sedangkan yang tercatat di Bursa Paralel berjumlah 76,2 juta lembar saham dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp 1.241,4 miliar. Hal ini berarti terdapat peningkatan yang cukup berarti apabila dibandingkan dengan jumlah saham yang tercatat pada akhir tahun 1993 di BES sebanyak 8.160,9 juta lembar saham dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp 54,1 triliun, dan di Bursa Paralel sebanyak 75,9 juta lembar saham dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp 951,6 miliar. Sementara itu, sertifikat saham yang telah diterbitkan oleh PT Danareksa sampai dengan akhir November 1994 tetap belum berubah, yaitu 12 jenis sertifikat saham dengan nilai sebesar Departemen Keuangan RI 301 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Rp 222,8 miliar, yang terdiri dari dua jenis sertifikat saham perusahaan dengan nilai sebesar Rp 7,8 miliar, lima jenis sertifikat dana unit umum dengan nilai saham sebesar Rp 75 miliar, dua jenis sertifikat dana unit saham pendapatan abadi dengan nilai sebesar Rp 60 miliar, dan tiga jenis sertifikat dana unit saham dengan nilai sebesar Rp 80 miliar. Perkembangan jumlah emiten yang telah mendapat persetujuan efektif Bapepam untuk melakukan emisi saham, obligasi, dan sekuritas kredit, serta sertifikat saham yang telah diterbitkan oleh PT Danareksa dapat diikuti dalam Tabel III.27, Tabel III.28, dan Tabel III.29. Tabel III.27 PERKEMBANGAN JUMLAH EMISI SAHAM PERUSAHAANIBADAN USAHA DI PASAR MODAL, 1984 - 1994 Jumlah Nilai kumulatiC Akbir Jumlah perdana periode perusahaan kumulatiC saham (Iembar) (milyar Rp) 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Departemen Keuangan RI 24 24 24 24 25 67 132 145 145 151 53 162 164 168 174 181 183 187 192 192 194 207 207 207 216 218 226 57.008.842 57.008.842 57.226.562 57.226.562 68.452.387 308.666.206 965.394.566 1.178.465.725 1.178.466.756 1.400.251.236 1.439.599.686 1.761.393.686 1.825.256.186 1.969.502.186 2.206.612.186 3.338.513.735 3.614.230.919 3.860.160.319 4.023.545.991 4.172.495.549 4.367.260.199 5.391.717.624 5.396.717.624 5.396.717.624 5.783.381.047 5.850.631.047 6.211.183.047 128.993 128.993 129.400 129.400 173,7 2.260,50 8.009,40 8.976,10 8.976,10 9.555,90 9.751,10 11.161,80 11.333,30 11.837,40 13.149,60 16.065,00 16.995,90 18.336,70 18.909,00 19.132,50 19.679,90 23.157,20 23.166,20 23.166,20 24.751,20 24.954,20 26.034,10 302 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III. 28 PERKEMBANGAN JUMLAH EMISI OBLIGASI DAN SEKURITAS KREDIT PERUSAHAANIBADAN USAHA DI PASAR MODAL, 1984 - 1994 Akhir periode 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 ([) Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Departemen Keuangan RI Jumlah perusahaan 12) 3 3 3 3 9 22 23 24 25 26 30 34 36 41 42 43 43 43 43 44 45 46 46 46 46 46 46 Jumlah kumulatif emisi ( lembar ) 13) 269.730 282.170 285.915 296.145 322.475 358.664 380.244 384.032 392.513 415.480 630.616 653.788 658.808 675.210 675.980 725.074 725.074 741.534 741.534 743.164 743.903 748.588 748.588 748.588 748.588 748.588 748.588 Nilai kumulatif perdana (juta Rp ) -4 154.718 354.718 404.718 535.718 935,7 1.555,20 2.090,20 2.215,20 2.515,20 2.649,20 3.230,70 3.856,80 4.226,80 4.911,80 5.561,80 5.761,80 5.761,80 6.011,80 6.011,80 6.111,80 6.136,80 6.261,80 6.261,80 6.261,80 6.261,80 6.261,80 6.261,80 303 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel III.29 PERKEMBANGAN JUMLAH SERTIFIKA T YANG DITERBITKAN OLEH PT DANAREKSA, 1984 - 1994 Akhir periode 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Departemen Keuangan RI Jumlah perusahaan 7 8 10 11 11 12 15 13 13 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 Jumlah kumulatif emisi ( lembar) 7.420.300 10.920.300 15.420.300 16.920.300 16.920.300 20.680.000 30.680,90 26.180.900 26.180.900 25.780.900 25.780.900 25.780.900 25.780.900 25.812.400 25.812.400 25.780.900 25.780.900 25.780.900 25.780.900 25.780.900 25.812.400 25.812.400 25.812.400 25.812.400 25.812.400 25.812.400 25.812.400 Nilai kumulatif perdana (juta Rp) 72.793,30 107.793,30 152.793,30 167.793,30 167.793,30 172.793,30 272.793,30 227.793,30 227.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 222.793,30 304 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 BAB IV PERDAGANGAN LUAR NEGERI DAN NERACA PEMBAYARAN 4.1. Pendahuluan Proses pemulihan perekonomian dunia yang telah berlangsung sejak tahun 1991 masih terus berlanjut, walaupun pemulihan tersebut masih terasa lamban. Selama tiga tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi dunia mengalami peningkatan antara 0,6 persen sampai dengan 0,8 persen setiap tahunnya. Dalam tahun 1994, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan mencapai sebesar 3,1 persen, yang berarti meningkat lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai sebesar 2,3 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh membaiknya pertumbuhan ekonomi dan pulihnya perekonomian di sebagian besar negara-negara industri, termasuk Jerman, Perancis, dan Italia, yang dalam tahun sebelumnya pertumbuhan ekonominya mengalami kontraksi. Membaiknya perekonomian negara-negara industri ini merupakan hasil dari meningkatnya permintaan dalam negeri dan sebagai akibat dari meningkatnya tingkat kepercayaan dunia usaha, yang tercermin dari meningkatnya investasi, baik swasta maupun pemerintah. Demikian pula pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang dalam tahun 1994 masih tetap mantap, meskipun mengalami sedikit penurunan dibanding dengan tahun sebelumnya. Hal ini terutama didukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi oleh negara-negara di Asia, terutama Cina, Thailand, dan Korea Selatan, serta negara-negara di Afrika, sebagai hasil dari dilakukannya perbaikan berbagai kebijaksanaan struktural, serta pengendalian stabilitas makro ekonomi secara tepat. Membaiknya perekonomian dunia juga ditandai dengan menurunnya tingkat inflasi di hampir semua negara-negara industri, sebagai hasil dari upaya konsolidasi di bidang fiskal dan meredanya tekanan terhadap kenaikan upah buruh. Demikian pula di negara-negara berkembang, laju inflasi dalam tahun ini diperkirakan dapat ditekan, sehingga tidak meningkat jauh dari tahun sebelumnya melalui upaya program stabilisasi harga serta penerapan kebijaksanaan moneter yang Departemen Keuangan RI 305 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 ketat. Di samping itu, transaksi berjalan diperkirakan tidak jauh berbeda dari tahun yang lalu, dimana transaksi berjalan negara-negara industri secara keseluruhan mengalami surplus, sebagai hasil dari meningkatnya ekspor di sebagian besar negara-negara tersebut. Di lain pihak, negaranegara berkembang pada umumnya mengalami defisit transaksi berjalan, sebagai akibat dari besarnya beban pembayaran hutang luar negeri. Sementara itu, menguatnya nilai tukar Yen terhadap Dollar Amerika telah menimbulkan dampak negatif terhadap neraca pembayaran Indonesia, karena beban pembayaran cicilan pokok hutang yang sudah jatuh tempo beserta bunganya terhadap pinjaman dari Jepang semakin meningkat, serta biaya impor barang-barang modal dan bahan baku menjadi semakin besar. Selain itu, kenaikan suku bunga Dollar di pasar internasional sebagai akibat kebijaksanaan moneter ketat yang diterapkan oleh Amerika Serikat juga turut memberi tekanan terhadap perkembangan neraca pembayaran Indonesia. Dalam menghadapi tekanan terhadap neraca pembayaran tersebut dan untuk menjaga agar keseimbangan neraca pembayaran dapat dipertahankan, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijaksanaan, di antaranya adalah kebijaksanaan yang memberi peluang lebih besar bagi masuknya arus modal dari luar negeri, menciptakan iklim investasi yang merangsang penanaman modal asing, di samping tetap mempertahankan kebijaksanaan devisa bebas. Dengan demikian, diharapkan tercipta peluang untuk meningkatkan ekspar nonmigas sebagai penghasil devisa, yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan dan mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia. Perekonomian dunia juga diwarnai dengan semakin terbukanya perdagangan dunia. Suatu tatanan ekonomi dunia baru telah muncul dengan ditandatanganinya Pakta Maroko atau Deklarasi Marakesh yang dinamai "The Final Act", dimana pengaturan sistem perdagangan Dunia dilaksanakan di bawah prinsip-prinsip perdagangan multilateral, terbuka, dan bebas hambatan, baik hambatan tarif maupun nontarif. Melalui liberalisasi perdagangan, mekanisme pasar diletakkan pada persaingan bebas, sehingga keadaan ini mengakibatkan semakin ketatnya persaingan perdagangan internasional di pasar global, dan bahkan juga di dalam negeri. Dalam mengantisipasi perubahan tatanan perekonomian Dunia tersebut, Pemerintah terus melakukan pembenahan di dalam negeri. melalui penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijaksanaan yang sudah ada, dan menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan baru melalui serangkaian paket-paket deregulasi dan debirokratisasi. Di samping itu terus diupayakan peningkatan kualitas sumber daya yang ada, termasuk sumber daya manusia, dan bersama-sama dengan pihak swasta Departemen Keuangan RI 306 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 membangun proyek-proyek infrastruktur. Sementara itu kebijaksanaan perdagangan luar negeri dan hubungan kerjasama ekonomi dengan negara-negara ASEAN melalui AFTA terus ditingkatkan, begitu juga dengan sesama negara-negara anggota APEC. Deklarasi Bogor yang merupakan hasil pertemuan para pemimpin APEC (APEC Economic Leaders Meeting, AELM) di Bogar pada tanggal 15. Nopember 1994 yang dihadiri pemimpin ekonomi dari 8 negara, telah menghasilkan kesepakatan untuk mewujudkan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka di kawasan Pasifik selambat-lambatnya tahun 2010 bagi negara-negara maju, dan tahun 2020 untuk negara sedang berkembang. Dalam pertemuan tersebut APEC telah menentukan arah dan rancangan masa depan dalam kerjasama ekonomi kawasan, serta memanfaatkan momentum keberhasilan perundingan Putaran Uruguay (GATT) yang bertujuan untuk memperbaiki prospek pertumbuhan ekonomi yang cepat dan merata, tidak hanya bagi kawasan Pasifik tetapi juga bagi seluruh dunia. Sementara itu untuk menunjang liberalisasi perdagangan dan investasi, telah disepakati pula peningkatan kerjasama ekonomi di bidang sumber daya manusia, infrastruktur ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, usaha menengah dan kecil, serta mengikutsertakan pihak swasta. Di samping itu, telah disepakati pula untuk meletakkan landasan idiil, konstitusional, serta landasan operasional dengan tujuan untuk menjamin kerjasama ekonomi kawasan yang berkelanjutan. Deklarasi Bogor juga menyatakan secara tegas menentang keras pembentukan blok perdagangan APEC secara tertutup, serta bertekad mewujudkan sistem perdagangan bebas dan kebebasan untuk berinvestasi di dunia secara keseluruhan. 4.2. Perkembangan ekonomi dan moneter internasional dalam tahun 1994 Ekspansi ekonomi yang sedang berlangsung saat ini di Amerika Serikat dan Kanada, serta adanya tanda-tanda kepulihan ekonomi yang lebih jelas di negara-negara industri Eropa dari Jepang telah membawa perekonomian dunia diperkirakan tumbuh sebesar 3,1 persen dalam tahun 1994 dan 3,6 persen dalam tahun 1995. Meluas dari menguatnya pemulihan ekonomi di negaranegara industri tampaknya menjadi tanda segera berakhirnya kemunduran yang berlarut-larut yang telah mempengaruhi perekonomian seluruh negara di dunia. Pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri maju (G-7) dalam tahun 1994 diperkirakan mencapai 2,8 persen, jauh lebih baik dari laju yang dicapai dalam tahun sebelumnya Departemen Keuangan RI 307 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebesar 1,4 persen. Bila dalam tahun 1993 beberapa negara industri maju seperti Jerman, Perancis, dari Italia mengalami laju pertumbuhan negatif, dalam tahun 1994 ini seluruh negara dalam kelompok tersebut diperkirakan akan mencatat laju pertumbuhan positif. Perekonomian Amerika Serikat diperkirakan tumbuh dari sebesar 3,1 persen dalam tahun sebelumnya menjadi 3,7 persen dalam tahun 1994. Investasi dalam bisnis yang menguat dalam tahun 1993, sebagai reaksi terhadap meningkatnya laba perusahaan-perusahaan dari rendahnya tingkat bunga, masih terus berlanjut sampai tahun 1994 untuk memenuhi meningkatnya permintaan dalam negeri saat ini dan masa mendatang. Naiknya tingkat bunga pinjaman jangka panjang dari titik terendahnya pada kuartal ketiga tahun 1993, diperkirakan agak menurunkan kegiatan investasi dari konsumsi. Namun hal ini diimbangi oleh adanya sumbangan yang lebih kuat dalam pertumbuhan kesempatan kerja dari permintaan luar negeri terhadap barang-barang ekspor Amerika Serikat. Ekspansi ekonomi Kanada terus berlanjut dengan langkah yang makin kuat dalam tahun 1994, dimana para eksportir Kanada memperoleh manfaat dari kuatnya permintaan di Amerika Serikat serta terangkatnya industri dalam negeri, khususnya industri-industri yang berbasis sumber daya, sebagai akibat naiknya harga-harga komoditi. Permintaan dalam negeri yang semakin membaik juga memberikan sumbangan terhadap menguatnya pertumbuhan ekonomi, yang dalam tahun 1994 diproyeksikan sebesar 4,1 persen, dibandingkan dengan sebesar 2,2 persen yang dicapai dalam tahun 1993. Kegiatan ekonomi yang lebih kuat dari yang diperkirakan selama enam bulan pertama tahun 1994, konsumsi swasta yang terbukti tetap mantap sekalipun terjadi kenaikan pajak dalam bulan Januari 1994, dan meningkatnya permintaan dalam negeri dengan laju kenaikan tahunan sebesar 1 persen, telah menyumbang terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi Jerman dalam tahun 1994, yang diperkirakan sebesar 2,3 persen, setelah dalam tahun sebelumnya mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar 1,1 persen. Namun sumbangan terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Jerman ini sesungguhnya berasal dari sektor luar negeri. Meningkatnya daya saing sebagai dampak restrukturisasi industri di dalam negeri dari menurunnya ongkos buruh, serta meluasnya permintaan di pasar Amerika Utara disamping pasar di Eropa sendiri, pada akhirnya telah meningkatkan pertumbuhan ekspor. Perubahan di Perancis terlihat hampir merata antara sumber-sumber dalam negeri dari luar negeri. Pertumbuhan permintaan dalam negeri secara keseluruhan dari pertumbuhan produksi Departemen Keuangan RI 308 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 nasional diperkirakan sama-sama sebesar 1,9 persen dalam tahun 1994, beranjak dari pertumbuhan yang dialami dalam tahun 1993 sebesar minus 1 persen. Menguatnya pengeluaran konsumen di awal tahun 1994 sebagian disebabkan oleh insentif khusus yang diberikan oleh pemerintah bagi pembelian mobil, meskipun pengeluaran bagi barang-barang tahan larna juga telah meningkat. Sementara itu, aktivitas ekonomi Italia sejak awal tahun 1994 juga telah semakin bertambah baik, terutama disebabkan oleh meningkatnya permintaan luar negeri. Volume ekspor selama kuartal pertama tahun 1994 tumbuh sebesar 11 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Meskipun keyakinan konsumen mulai membaik, namun pengeluaran dalam negeri secara keseluruhan diperkirakan tetap lemah karena rendahnya pertumbuhan pendapatan rill dan investasi dalam bisnis yang bersikap hati-hati. Proyeksi pertumbuhan Italia dalam tahun 1994 adalah sebesar 1,5 persen, berbeda jauh dari sebesar minus 0,7 persen dalam tahun 1993. Pemulihan ekonomi yang memberikan daya dorong lebih jauh bagi peningkatan aktivitas ekonomi di negara-negara Eropa, terjadi juga di Inggris. Produksi nasional selama kuartal kedua 1994 diperkirakan meningkat dengan laju pertumbuhan tahunan sebesar 4 persen, yang mencerminkan membaiknya pertumbuhan di sektor penjualan eceran, dan juga berlanjutnya perkembangan di sektor industri dan manufaktur. Atas dasar perkembangan ini, pertumbuhan ekonomi Inggris dalam tahun 1994 diproyeksikan sebesar 3,3 persen, dibandingkan sebesar 2 persen dalam tahun 1993. Kondisi bagi suatu pemulihan ekonomi secara bertahap telah mulai terlihat di Jepang. Beberapa indikator paling akhir yang mendukung ke arah itu antara lain ialah pertumbuhan selama kuartal pertama tahun 1994 yang relatif kuat, yang mencerminkan adanya pertarnbahan dalam konsumsi swasta. Walaupun produksi sektor industri agak berfluktuasi namun secara neto meningkat selama tujuh bulan pertama tahun 1994. Demikian pula survei paling akhir mengenai kondisi bisnis menunjukkan suatu peningkatan dalam bulan Mei, yang merupakan pertama kali sejak tahun 19,89, dan kembali meningkat dalam bulan Agustus. Konsumsi swasta diharapkan menjadi tenaga pendorong pemulihan ekonomi, yang sebagian didukung oleh penurunan pajak pendapatan yang ditetapkan selama paruh kedua tahun 1994. Di samping itu, kebijaksanaan fiskal yang diterapkan pemerintah Jepang telah memberikan dukungan yang sangat besar terhadap aktivitas ekonomi. Dengan beberapa indikasi-indikasi positif tersebut, ekonomi Jepang dalam Departemen Keuangan RI 309 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tahun 1994 diproyeksikan tumbuh sebesar 0,9 persen, lebih baik dibandingkan dengan laju pertumbuhan sebesar 0,1 persen dalam tahun sebelumnya. Sementara itu kinerja ekonomi yang semakin kuat dan terus berlanjut di banyak negaranegara sedang berkembang diperkirakan dapat menghasilkan rata-rata peitumbuhan sebesar 5,6 persen dalam tahun 1994, sedikit menurun dari laju pertumbuhan yang dicapai dalam tahun sebelumnya sebesar 6,1 persen. Selain dari pada itu, perbedaan yang ada di antara negara-negara berkembang yang satu dengan negara lainnya cenderung terus membesar. Perkiraan pertumbuhan rata-rata negara-negara berkembang di kawasan Amerika Latin diproyeksikan menurun dari 3,4 persen dalam tahun 1993 menjadi sebesar 2,8 persen dalam tahun 1994. Pertumbuhan di Meksiko lebih lemah dari yang diduga. Pemulihan aktivitas ekonomi di negara ini hanya sedang saja sebagai akibat naiknya tingkat suku bunga riil di dalam negeri dan adanya ketidakpastian usaha sehubungan dengan berlangsungnya kegiatan pemilihan umum di negara tersebut. Peningkatan produksi yang besar diproyeksikan baru akan terjadi di tahun depan manakala permintaan barang dan jasa mulai meningkat. Di Venezuela, kesulitan-kesulitan ekonomi terus bertambah. Inflasi yang meningkat pesat, ketidakseimbangan fiskal yang makin membesar, dan krisis yang terjadi di sektor keuangan telah memaksa pemerintah Venezuela melakukan suntikan likuiditas dalam jumlah besar dan cadangan devisa yang dimiliki negara tersebut sangat merosot. Di bawah kondisi ini, perekonomian Venezuela diproyeksikan akan mengalami penurunan. Brazil menerapkan program ekonomi yang baru di awal tahun 1994 untuk memerangi tingkat inflasi yang sangat tinggi. Pada paruh pertama tahun ini, langkah-langkah yang ditempuh oleh otoritas moneter negara tersebut ditujukan untuk memperkuat keuangan negara, yang kemudian diikuti dengan langkah pengenakan mata uang baru dalam bulan Juli 1994, serta langkah mengekang arus modal asing ke dalam negeri yang sejak akhir tahun 1991 masuk dalam jumlah yang sangat besar. Pertumbuhan ekonomi Brazil dalam tahun 1994 diproyeksikan sebesar 3 persen. Sementara itu, prestasi ekonomi Peru diperkirakan terus meningkat pesat menyusul pemulihan yang kuat dalam aktivitas ekonomi, khususnya investasi, dalam tahun 1993. Meskipun aliran pemasukan modal merupakan ciri-ciri penting dari perkembangan terakhir di kawasan Asia, namun pertumbuhan negara-negara berkembang untuk kawasan ini secara keseluruhan diproyeksikan sedikit menurun dalam tahun 1994, yaitu sebesar 8 persen dibandingkan sebesar 8,5 persen dalam tahun 1993. Hal tersebut terutama disebabkan mengendurnya langkah ekspansi ekonomi di Cina yang dalam dua tahun terakhir tumbuh sangat Departemen Keuangan RI 310 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pesat. Upaya-upaya yang ditempuh Cina sejak tahun 1993 dimaksudkan untuk mendinginkan suhu perekonomiannya yang memanas dan meningkatnya inflasi, namun demikian arus penanaman modal asing ke negeri ini tetap besar meskipun agak menurun. India juga menikmati arus pemasukan modal yang tetap besar ke dalam negerinya, dan tanda-tanda kepulihan investasi dalam negeri telah terlihat untuk mengimbangi laju pertumbuhan ekspor yang melambat. Sementara itu, aktivitas ekonomi Korea Selatan semakin pulih pada paruh pertama tahun 1994, dan perekonomiannya sedang mendekati kondisi yang optimal. Pertumbuhan di negara-negara berkembang kawasan Eropa dan Timur Tengah secara keseluruhan diproyeksikan menurun lebih jauh, dari sebesar 4,8 persen dalam tahun 1993 menjadi hanya sebesar 1,4 persen dalam tahun 1994. Prospek pertumbuhan bagi negara-negara pengekspor minyak di Timur Tengah tetap terkait erat dengan perkembangan yang terjadi di pasar minyak internasional. Selain dari pada itu, nilai tukar perdagangan (terms of trade) negara pengekspor minyak terus melemah akibat depresiasi Dollar Amerika Serikat dan naiknya harga barang-barang di luar minyak. Ketidakseimbangan finansial juga merupakan hambatan dalam mencapai pertumbuhan yang kuat bagi negara-negara di kawasan tersebut. Aktivitas ekonomi Mesir sedikit membaik dalam tahun 1993, dan dengan terus berlanjutnya reformasi ekonomi serta meningkatnya daya saing, pertumbuhan ekonomi Mesir dalam tahun 1994 diperkirakan akan menguat. Pertumbuhan di Republik Islam Iran diperkirakan agak melambat dalam tahun 1994, yang sebagian disebabkan oleh berlanjutnya penurunan dalam impor. Selanjutnya kondisi ekonomi dan keuangan Turki terus memburuk selama paruh pertama tahun 1994, yang ditandai dengan inflasi yang tinggi, defisit anggaran yang besar, dan ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran yang berperan terhadap depresiasi nilai tukar yang cukup besar. Negara-negara berkembang kawasan Afrika terus memperlihatkan tanda-tanda perbaikan. Harga-harga komoditi yang makin membaik di pasar dunia belakangan ini dan memulihnya permintaan barang-barang ekspor oleh negara-negara industri merupakan faktor-faktor positif bagi perkembangan di kawasan tersebut. Selanjutnya upaya-upaya menuju liberalisasi pasar di banyak negara Afrika juga telah menciptakan kesempatan bagi perkembangan ekonomi yang lebih kuat. Dengan terus berlanjutnya langkah-langkah reformasi struktural dan program stabilisasi di sejumlah negara Afrika, pertumbuhan rata-rata di benua tersebut diproyeksikan naik dari 1 persen dalam tahun 1993 menjadi 3,3 persen dalam tahun 1994. Berkembangnya ekspor dan meningkatnya permintaan dalam negeri di tengah-tengah suasana membaiknya stabilitas dan Departemen Keuangan RI 311 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kepercayaan kalangan dunia usaha menjadikan ekonomi Afrika Selatan tumbuh dengan proyeksi sebesar 3 persen dalam tahun 1994. Peningkatan pertumbuhan yang besar diproyeksikan juga terjadi di Maroko, sebagai akibat pulihnya produksi pertanian dari kemarau panjang yang berlangsung dalam dua tahun terakhir dan meningkatnya permintaan ekspor dari Eropa. Sementara itu berakhirnya musim kemarau panjang juga merupakan pendorong bagi peningkatan ekonomi Aljazair. Harga minyak yang sedikit membaik dan adanya liberalisasi dalam perdagangan juga memberikan sumbangan terhadap proyeksi pertumbuhan yang lebih baik di Aljazair. Proyeksi atas pertumbuhan menyeluruh di negara-negara yang sedang dalam transisi, yaitu bekas negara-negara sosialis Eropa Timur dan Uni Soviet, tidak dapat mengungkapkan secara jelas tentang perbedaan dalam kondisi ekonomi di masing-masing negara. Reformasi ekonomi yang cukup berani di sebagian besar negara-negara Eropa Tengah telah menciptakan iklim ekonomi yang baik dan diperlukan bagi kelanjutan pertumbuhan ekonomi. Pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung di Eropa Barat memberikan dampak positif dan dukungan bagi menguatnya aktivitas ekonomi di negara-negara yang sedang dalam transisi ini. Ekspansi yang relatif kuat sedang berlangsung saar ini di Albania, Polandia, dan Slovenia. Aktivitas ekonomi juga bertambah di negara-negara Baltik, dimana pertumbuhan rata-rata diperkirakan sebesar 5 persen dalam tahun 1994. Namun demikian, situasi ekonomi di Rusia dan di sebagian besar negara-negara dalam transisi lainnya masih tetap buruk, yang ditandai dengan kemerosotan produksi yang masih tetap tesar, meskipun tingkat inflasi tahunan dalam tahun 1994 diproyeksikan menurun. Sementara itu, negara-negara ASEAN diproyeksikan tetap menikmati laju pertumbuhan yang cukup tinggi dalam tahun 1994, kecuali Philipina, yang meskipun diperkirakan akan meraih laju pertumbuhan yang cukup lumayan namun masih tetap berada di bawah standar pertumbuhan rata-rata kawasan tersebut. Perkembangan ekspor yang cepat merupakan faktor penting yang berperan bagi pertumbuhan ekonomi Philipina yang lebih kuat dalam tahun 1994. Sementara itu perekonomian Thailand yang diproyeksikan tampil lebih kuat dalam tahun ini mencerminkan kuatnya pertumbuhan sektor ekspor, khususnya barang-barang manufaktur, dan meningkatnya konsumsi dalam negeri. Ekonomi Malaysia yang terutama didukung oleh pertumbuhan yang kuat dalam sektor manufaktur, jasa, dan konstruksi, diproyeksikan masih tetap mengalami laju pertumbuhan tahunan sebesar 8 persen dalam tahun 1994. Perekonomian Singapura tumbuh lebih Departemen Keuangan RI 312 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tinggi dari yang diperkirakan dalam tahun 1994, yang diproyeksikan mendekati angka 10 persen. Sektor industri elektronika menjadi tenaga pendorong perekonomian dalam tahun ini, sebagai akibat meningkatnya permintaan konsumen di Amerika Serikat dan Asia. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut telah menempatkan ASEAN sebagai salah satu kawasan yang memiliki laju pertumbuhan yang tertinggi dan dinamis di kawasan Asia Pasifik (lihat Tabel IV.1). TabeI IV. 1 NEGARA-NEGARA BERKEMBANG, NEGARA-NEGARA DALAM TRANSISI DAN ASEAN, 1992 - 1994 (dalam persentase) Kelompok negara 1992 1993 A. Dunia B. Negara-negara industri Tujuh negara industri utama 1. Jepang 2. Amerika Serikat 3. Jerman 4. Inggris 5. Perancis 6. Ihalia 7. Kanada Negara-negara industri lainnya C. Negara-negara berkembang 1. Afrika 2. As i a 3. Amerika Latin 4. Eropa dan Timur Tengah D. Negara-negara dalam transisi 1. Eropa Timur dan Tengah 2. R u s i a 3. Asia Tengah dan Transkaukasus E. Negara-negara Asean 1. Mataysia 2. Philipiha 3. Singapura 4. Thailand 5. Brunei Darussalam 1,7 1,5 1,6 1,1 2,3 2,2 -0,5 1,2 0,7 0,6 1 5,9 0,2 8,2 2,5 7 -15,5 -11,7 -19 -17,3 7,8 0,1 5,8 7,6 1 - 19941) 2,3 1,3 1,4 0,1 3,1 1,1 2 1 -0,7 2,2 0,3 6,1 1 8.5 3,4 4,8 -9 -5,7 -12 -10,7 3,1 2,7 2,8 0,9 3,7 2,3 3,3 1,9 1,5 4,1 2,4 5,6 3,3 8 2,8 1,4 -8,3 -5,4 -12 -6,6 8,5 1,7 9,9 7,8 3 8 4,5 10 8,2 3 Perekonomian Dunia yang diproyeksikan semakin membaik dalam tahun 1994, sebagaimana terlihat dari ekspansi yang berlangsung di berbagai kawasan, dan menguatnya pertumbuhan di negara-negara maju, dalam kenyataannya tidak diikuti dengan penurunan tingkat Departemen Keuangan RI 313 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pengangguran di negara-negara industri, khususnya industri maju. Tingkat pengangguran ratarata tahunan di negara-negara industri maju dalam tahun 1994 secara keseluruhan diproyeksikan sebesar 7,3 persen. Ini berarti sama dengan tingkat pengangguran tahunan yang terjadi sebelumnya, meskipun laju pengangguran di beberapa negara industri tersebut, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, terlihat menurun, yaitu masing-masing dari sebesar 6,8 persen, 11,2 persen, dan 10,3 persen dalam tahun 1993, menjadi 6,3 persen, 10,6 persen, dan 9,4 persen dalam tahun 1994. Sementara itu tingkat pengangguran di negara-negara industri maju lainnya, yaitu Perancis, Jerman, dan Italia, diproyeksikan masih akan meningkat, dari masing-masing sebesar 11,9 persen, 8,9 persen, dan 10,4 persen dalam tahun 1993, menjadi sebesar 12,4 persen, 9,8 persen, dan 11,6 persen dalam tahun 1994. Meskipun tingkat pengangguran di Jepang diproyeksikan juga meningkat dalam tahun 1994, yaitu sebesar 2,9 persen dibandingkan dengan sebesar 2,5 persen dalam tahun 1993, namun Jepang tetap merupakan negara industri maju yang memiliki tingkat pengangguran paling rendah (lihat Tabel IV.2). Tab e 1 IV. 2 TINGKA T PENGANGGURAN NEGARA-NEGARA INDUSTRI UT AMA, 1992 - 1994 ( dalam persentase) 1992 1993 19941) Negara Tujuh negara industri utama 1. Jepang 2. Amerika Serikat 3. Jennan 4. Inggris 5. Perancis 6. Italia 7. Kanada 7,2 2,2 7,4 7,7 9,8 10,1 10,7 11,3 7,3 2,5 6,8 8,9 10,3 11,9 10,4 11,2 7,3 2,9 6,3 9,8 9,4 12,4 11,6 10,6 1) Perkiraan Sekalipun sedikit diwarnai oleh kenaikan laju inflasi di dalam kelompok negara-negara berkembang, namun secara umum inflasi Dunia dalam tahun 1994 diperkirakan lebih membaik bila dibandingkan dengan tahun 1993, sebagai dampak semakin rendahnya perkembangan inflasi dalam kelompok negara-negara industri dan kelompok negara-negara yang sedang dalam transisi. Inflasi tahunan di negara-negara industri maju secara keseluruhan diperkirakan menurun, baik secara kelompok maupun secara individual. Secara kelompok, laju inflasi di negara-negara industri maju turun dari sebesar 2,8 persen dalam tahun 1993 menjadi sebesar 2,3 persen dalam Departemen Keuangan RI 314 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tahun 1994. Secara individual, semua negara-negara industri tersebut diproyeksikan mengalami penurunan laju inflasi dalam tahun 1994 dibandingkan tahun sebelumnya. Inflasi tahunan Amerika Serikat turun menjadi sebesar 2,7 persen dari 3 persen dalam tahun 1993. Jepang diperkirakan mengalami laju inflasi paling rendah setelah Kanada dibandingkan dengan negaranegara industri maju lainnya, yaitu hanya sebesar 0,7 persen dalam tahun 1994, menurun dari laju inflasi tahun 1993 yang besarnya 1,3 persen. Tingkat kenaikan harga barang-barang konsumsi yang sangat rendah di Jepang, dan terjadinya apresiasi Yen, telah berperan terhadap menurunnya laju inflasi di Jepang. Sementara itu inflasi yang menurun di negara-negara industri maju lainnya di Eropa, seperti Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia, dalam tahun 1994 disebabkan antara lain oleh kebijaksanaan pengetatan moneter di negara-negara tersebut. Laju inflasi tahunan di negara-negara berkembang secara keseluruhan diproyeksikan agak meningkat, dari sebesar 46,2 persen dalam tahun 1993 menjadi sebesar 47,5 persen dalam tahun 1994, atau meningkat sebesar 1,3 persen. Hal tersebut erat kaitannya dengan peningkatan laju inflasi kelompok negara-negara berkembang di semua kawasan, baik kawasan Asia, Eropa dan Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika, dari masing-masing sebesar 9,7 persen, 24,7 persen, 236,4 persen, dan 32,6 persen dalam tahun 1993, naik menjadi masing-masing 10,3 persen, 27 persen, 244,8 persen, dan 39,3 persen dalam tahun 1994. Dalam pada itu, sekalipun kesulitan-kesulitan masih menghauang upaya meningkatkan aktivitas dan pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negara-negara yang sedang dalam transisi, namun terlihat kemajuan yang berarti dalam menurunkan laju inflasi. Dalam tahun 1994, laju inflasi keseluruhan negara-negara yang sedang dalam transisi diproyeksikan sebesar 330,8 persen, menurun hampir separuh dari laju iriflasi yang terjadi dalam tahun 1993 sebesar 687,9 persen. Penurunan laju inflasi terjadi di kawasan EropaTimur dan Tengah, dan Rusia, dari masing-masing sebesar 442,3 persen dan 915,3 persen dalam tahun 1993 menjadi 216,9 persen dan 336,3 persen dalam tahun 1994. Sebaliknya, peningkatan laju inflasi diperkirakan terjadi di kawasan Asia Tengah dan Transkaukasus yang dalam tahun 1994 diproyeksikan sebesar 1.476,3persen, meningkat dari sebesar 1.324,1 persen dalam tahun 1993. Sementara itu, laju inflasi di negara-negara ASEAN secara individual diperkirakan lebih tinggi dalam tahun 1994 dibandingkan dengan tahun 1993. Laju inflasi tertinggi diperkirakan dialami oleh Philipina, yaitu sebesar 10 persen dibandingkan 7,6 persen dalam tahun sebelumnya. Departemen Keuangan RI 315 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Kemudian diikuti oleh Indonesia, yang dalam tahun 1994 ini mencapai sebesar 9,24 persen dibandingkan dengan 9,77 persen dalam tahun 1993. Meskipun laju inflasinya telah meningkat dibandingkan tahun 1993, Mataysia dan Singapura diperkirakan merupakan dua negara ASEAN yang memiliki laju inflasi yang paling rendah dalam tahun 1994, yaitu masing-masing sebesar 4 persen setelah Brunei Darussalam sebesar 2,5 persen. Situasi moneter internasional selama sembilan bulan pertama tahun ini diwarnai dengan pergerakan nilai tukar beberapa mata uang utama, khususnya Dollar Amerika Serikat terhadap mata-mata uang lainnya. Di pasar uang, Dollar Amerika Serikat telah merosot sebayak 12 persen terhadap Yen dalam dua minggu pertama bulan September 1994, sedang terhadap Deutsche Mark (DM) dan Franc Perancis, Dollar Amerika Serikat jatuh sekitar 11 persen sejak awaiI tahun ini. Namun demikian, berdasarkan nilai efektif nominal, Dollar AS mengalami depresiasi yang lebih kecil, yaitu sebesar 6 persen selama delapan bulan pertama tahun 1994, yang sebagian mencerminkan adanya penguatan Dollar AS terhadap Dollar Kanada. Sementara itu, di samping telah menembus nilai tertingginya sehabis perang terhadap Dollar AS, selanjutnya Yen meningkat sebesar 8 persen secara efektif nominal antara Januari dan Agustus 1994. Namun sampai dengan pertengahan September 1994 Yen hanya sedikit menguat terhadap DM setelah mengalami depresiasi sebesar 8 persen atas mata uang Jerman tersebut sejak Februari 1994. Deutsche Mark kembali menguat secara efektif nominal dalam delapan bulan pertama tahun 1994. Membaiknya prospek pertumbuhan ekonomi di Eropa dan Jepang telah berperan bagi menguatnya nilai Yen dan DM terhadap Dollar AS dalam bulan-bulan terakhir ini. Pasar uang juga tampak telah mengantisipasi kemungkinan kondisi moneter Amerika Serikat yang lebih kebal dari yang sesungguhnya terjadi, dan telah melakukan revisi atas perkiraan-perkiraan tingkat bunga sehubungan telah meredanya penurunan tingkat suku bunga di Jerman. Keteganganketegangan antara Amerika Serikat dan Jepang yang dilatarbelakangi defisit transaksi berjalan Amerika Serikat yang terus menerus dan surplus Jepang yang besar, juga telah berperan terhadap menguatnya Yen. Meskipun mata uang Amerika Serikat akhir-akhir ini mengalami depresiasi yang cukup tajam terhadap Yen, begitu pula terhadap DM, namun dari perspektif waktu yang lebih panjang, penampilan Dollar tidaklah begitu lemah. Dalam bulan Agustus 1994 nilai Dollar AS terhadap Departemen Keuangan RI 316 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 DM dalam artian efektif riil berada kira-kira 3 persen di atas tingkat terendahnya dalam bulan Agustus tahun 1992, pada saat dimana tingkat bunga jangka pendek dan jangka panjang di Eropa jauh di atas tingkat bunga di Amerika Serikat. Sementara itu, pada pertengahan September 1994, nilainya berada kurang lebih 11 persen di atas tingkat nilainya di bulan Agustus 1992 terhadap DM, dan kira-kira 30 persen terhadap Poundsterling. Selain dari pada itu, mata uang Amerika Serikat ini sejak tahun 1991 telah menguat secara mantap atas Dollar Kanada, mitra dagang terbesarnya. Perkembangan tingkat suku bunga, khususnya suku bunga jangka pendek, di beberapa negara industri utama terlihat bervariasi. Suku bunga jangka pendek Amerika Serikat, yang diwakili oleh suku bunga obligasi pemerintah (treasury bills) diperkirakan meningkat menjadi sebesar 4,4 persen dalam tahun 1994 dari sebesar 3 persen dalam tahun sebelumnya. Sebaliknya tingkat bunga Jepang dan Jerman diproyeksikan akan menurun dari masing-masing sebesar 2,7 persen dan 7,2 persen dalam tahun 1993 menjadi sebesar 1,9 persen dan 5,2 persen dalam tahun 1994. Selanjutnya tingkat bunga London Interbank Offered Rate (LIB OR) berjangka waktu enam bulan diperkirakan akan naik menjadi sebesar 5 persen dalam tahun 1994, dari sebesar 3,4 persen dalam tahun sebelumnya. Dalam pada itu, pengaruh positif dari pemulihan ekonomi dunia terhadap pasar modal telah diperlemah oleh dampak meningkatnya tingkat suku bunga jangka panjang sehingga hargaharga saham di tiga dari empat pasar modal utama di Eropa telah jatuh dari harga puncaknya pada pertengahan Mei 1994. Di pertengahan bulan September 1994, indeks-indeks di pasar modal turun sebesar 5 persen di Jerman, 10 persen di Perancis, dan bahkan merosot lebih tajam sebesar 20 persen di Italia. Sementara itu, harga-harga saham di Jepang sangat meningkat dalam paruh pertama tahun 1994, meskipun terjadi penurunan-penurunan sesudah itu, dimana hargaharga saham di pertengahan bulan September 1994 masih 15 persen lebih tinggi dari tingkat harga pada akhir tahun 1993 yang lalu. Perdagangan dunia diperkirakan berkembang semakin kuat dalam periode mendatang, naik lebih dari 7 persen dalam tahun 1994 dan sebesar 6 persen dalam tahun 1995, jauh di atas rata-rata pertumbuhan sebesar 5 persen selama dua dckade yang lalu. Kebangkitan ini jelas mencerminkan meningkatnya aktivitas ekonomi di negara-negara industri, menguatnya permintaan impor di negara-negara yang sedang dalam transisi, dan berlanjutnya pertumbuhan Departemen Keuangan RI 317 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 ekonomi yang cepat di negara-negara berkembang. Selain dari pada itu, perdagangan di antara negara-negara berkembang sendiri juga tampak semakin meningkat sebagai dampak positif dari liberalisasi perdagangan dan meningkatnya penanaman modal asing di negara-negara berkembang. Harga-harga komoditi perdagangan dunia tampak mulai cerah akhir-akhir ini, yang ditandai dengan membaiknya harga kelompok barang-barang manufaktur dan kelompok barangbarang primer bukan minyak di dalam perdagangan dunia. Harga-harga bahan mentah bukan minyak naik cukup berarti, khususnya peningkatan harga yang pesat pada beberapa jenis komoditi tertentu. Iklim yang buruk di Brazil dan rendahnya persediaan yang ada di tingkat produsen telah menyebabkan harga kopi di pasaran dunia membubung tinggi, yang dalam bulan Agustus 1994 saja harganya naik hampir 150 persen di atas harga rata-rata kuartal pertama tahun 1994. Demikian pula harga tembaga dan logam-logam lainnya juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Sementara itu, harga rata-rata minyak mentah di pasar dunia yang sempat mencapai US$ 17,8 per barel dalam bulan April 1993, merosot tajam menjadi US$ 12,65 per barel dalam bulan Desember 1993, yang kemudian meningkat lagi menjadi US$ 13,40 per barel dalam bulan Maret 1994 dan menjadi lebih dari US$ 17 per barel dalam bulan Juli 1994. Meningkatnya permintaan dari benua Eropa dan Amerika Serikat merupakan faktor penyebab naiknya harga minyak selama tujuh bulan pertama tahun 1994, disamping terkendalinya pasokan minyak di pasar dunia oleh negara-negara produsen minyak. Kinerja transaksi berjalan negara-negara industri secara keseluruhan tampak cukup baik akhir-akhir ini, setelah selama bertahun-tahun sebelumnya senantiasa defisit. Transaksi berjalan negara-negara industri mencatat nilai surplus dalam tahun 1993 sebesar US$ 19,3 miliar, setelah dalam tahun sebelumnya masih mencatat nilai defisit sebesar minus US$ 39,9 miliar. Dalam tahun 1994, surplus transaksi berjalan kelompok negara-negara industri diproyeksikan sebesar US$ 17,9 miliar. Sebaliknya, kelompok negara-negara industri utama secara keseluruhan tetap mengalami defisit dalam transaksi berjalan. Bila dalam tahun 1993, defisit yang terjadi adalah sebesar minus US$ 9,9 miliar, dalam tahun 1994 diproyeksikan naik menjadi sebesar minus US$ 23,2 miliar. Di dalam kelompok negara-negara industri utama tersebut, Amerika Serikat tetap mencatat defisit transaksi berjalan paling besar, dengan nilai defisit sebesar minus US$ 103,9 Departemen Keuangan RI 318 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 miliar dalam tahun 1993, dan diproyeksikan meningkat menjadi sebesar minus US$ 149,4 miliar dalam tahun 1994. Sementara itu, Jepang, sekalipun dihadapkan dengan situasi perekonomian yang masih belum cerah dan nilai tukar mata uang Yen terhadap Dollar AS yang cenderung makin kuat, namun dalam kenyataannya tetap meraih surplus transaksi berjalan yang semakin besar. Bila dalam tahun 1993 Jepang mencatat surplus sebesar US$ 131,4 miliar, dalam tahun 1994 diproyeksikan meningkat menjadi sebesar US$135,7 miliar. Perancis dan Italia merupakan dua negara industri utama lainnya yang menikmati surplus dalam transaksi berjalan, sementara Kanada, Inggris, dan Jerman masih mengalami defisit. Dalam pada itu, kinerja transaksi berjalan dalam kelompok negara-negara berkembang secara keseluruhan tetap belum membaik, bahkan semakin buruk dalam dua tahun ini, yang ditandai dengan semakin membesarnya defisit yang dialami. Defisit transaksi berjalan negaranegara berkembang keseluruhan dalam tahun 1993 berjumlah sebesar minus US$ 106,4 miliar, setelah dalam tahun 1992 sempat mengecil menjadi minus US$ 77,4 miliar. Dalam tahun 1994, defisit transaksi berjalan yang dialami kelompok negara berkembang diproyeksikan sebesar minus US$ 104,7 miliar. Adapun defisit transaksi berjalan negara-negara berkembang pengekspor minyak secara keseluruhan diproyeksikan meningkat menjadi minus US$ 53,5 miliar dalam tahun 1994, dari sebesar minus US$ 49,6 miliar dalam tahun 1993. Sementara itu transaksi berjalan di kelompok negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak diproyeksikan agak membaik, dengan menurunnya defisit transaksi berjalan dari sebesar minus US$ 56,8 miliar dalam tahun 1993 menjadi minus US$ 51,2 miliar dalam tahun 1994. Dalam pada itu, defisit transaksi berjalan Indonesia dalam tahun 1994/95 diperkirakan agak memburuk. Bila dalam tahun 1993/94 defisit dalam transaksi berjalan tercatat sebesar minus US$ 2,9 miliar, dalam tahun 1994/95 diperkirakan naik menjadi minus US$ 3,6 miliar. Hal tersebut sebagai akibat peningkatan impor yang lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan ekspor, di samping peningkatan yang juga terjadi dalam pengeluaran jasa-jasa neto bukan migas (lihat Tabel IV.4). Departemen Keuangan RI 319 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 TabeI IV. 4 TRANSAKSI BERJALAN NEGARA-NEGARA INDUSTRI DAN NEGARA-NEGARA BERKEMBANG, 1992-1994 ( dalam milyar US $ ) 1992 1993 19941) Kelompok negara A. Negara-negara industri Tujuh negara industri utama I. Jepang 2. Amerika Serikat 3. Jennan 4. Inggris 5. Perancis 6. ItaIia 7. Kanada Masyarakat Eropa Negara-negara industri lainnya B. Negara-negara berkembang 2) 1. Pengekspor Minyak 2. Bukan Pengekspor Minyak 3. Indonesia 3) - - - -39,9 -35,5 117,6 -67,9 -22 -17,4 3,9 -27,8 -21,9 -61,9 -4,4 -77,4 -57,6 -19,9 -2,6 19,3 -9,9 131,4 -103,9 -20,1 -15,5 10,5 11,4 -23,8 8,3 29,2 -106,4 -49,6 -56,8 -2,9 17,9 -23,2 135,7 -149,4 -16,2 -12,7 9,7 30,6 -21 38,4 41,2 -104,7 -53,5 -51,2 -3,6 I) Perkiraan 2) Termasuk transfer resmi (official transfer) 3) Tahun anggaran Selanjutnya, bila ditinjau masalah hutang luar negeri, tidak terdapat indikasi bahwa jumlah hutang luar negeri negara-negara berkembang secara keseluruhan telah menurun. Terlihat justru sebaliknya, bahwa volume hutang luar negeri kelompok negara-negara berkembang diproyeksikan semakin meningkat termasuk dalam tahun-tahun mendatang. Hutang luar negeri seluruh negara-negara berkembang dalam tahun 1993 tercatat sebesar US$ 1.544,9 miliar, dan jumlah itu diproyeksikan meningkat dalam tahun 1994 menjadi sebesar US$ 1.675,4 miliar. Sementara jumlah hutang luar negeri negara-negara yang sedang dalam transisi juga diproyeksikan bergerak naik, dari sebesar US$ 204,1 miliar dalam tahun 1993 menjadi sebesar US$ 213,8 miliar dalam tahun 1994. Lebih jauh dari pada itu, rasio pembayaran hutang luar negeri terhadap nilai ekspor barang dan jasa (debt-service ratio, DSR) kelompok negara-negara berkembang hampir tidak berubah selama dua tahun ini. Bila dalam tahun 1993, DSR kelompok negara-negara tersebut tercatat sebesar 15,4 persen, dalam tahun 1994 DSR tersebut diperkirakan sebesar 15,3 persen. Sementara itu, DSR kelompok negara-negara dalam transisi tampak makin memburuk, yaitu dari sebesar 8,4 persen dalam tahun lalu menjadi sebesar 17,1 persen dalam tahun 1994. Departemen Keuangan RI 320 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Situasi perekonomian dan perdagangan dunia yang semakin kompetitif dan cepat berubah telah mendorong negara-negara di dunia untuk melakukan kerjasama baru yang saling menguntungkan di bidang ekonomi dan perdagangan, di samping memperkuat kerjasama yang telah ada. Pada sidang KTT keempat kelompok 15 (G-15) yang berlangsung di India dalam bulan Maret 1994 yang lalu, forum tersebut kembali menekankan perlunya memperkuat kerjasama di antara negara-negara berkembang dan upaya perlindungan terhadap kepentingan negara berkembang dalam perdagangan pasca Putaran Uruguay. Selain isu mengenai masalah beban hutang luar negeri negara-negara berkembang dan isu tentang upaya mengatasi kelaparan dan pengentasan kemiskinan yang masih mendera sebagian negara-negara berkembang khususnya Afrika, juga ditegaskan mengenai perlunya mengupayakan dialog antara negara maju dan negara berkembang (Utara-Selatan) yang lebih menekankan kepada pendekatan kemitraan, bukan konfrontasi, dalam mencari penyelesaian terhadap masalah-masalah global. Berkaitan dengan KIT G-15 tersebut, pada pertengahan Agustus 1994 yang lalu di Jakarta telah berlangsung pertemuan tingkat menteri dari 31 negara-negara berkembang/anggota gerakan non blok yang mempunyai beban hutang paling berat. Pertemuan yang disponsori Indonesia tersebut merupakan forum untuk bertukar fikiran dan saling membagi pengalaman tentang cara pengelolaan dan mengatasi masalah hutang luar negeri masing-masing. Kerjasama ekonomi dalam rangka peningkatan perdagangan intra ASEAN melalui AFTA mencatat beberapa perkembangan venting. Siuang Dewan Menteri AFTA kelima yang berlangsung pada tanggal 21 September 1994 di Thailand, telah sepakat untuk mempercepat periode pelaksanaan kawasan perdagangan bebas ASEAN dari periode 15 tahun menjadi 10 tahun, atau realisasi AFTA yang sedianya dilaksanakan per 1 lanuari 2008 kini dipercepat menjadi per 1 Januari 2003. Selanjutnya, selain menyepakati penurunan tarif, baik pada jalur normal (normal track) maupun jalur cepat (fast track) di dalam kerangka pelaksanaan Common Effective Preferential Tarifs (CEPT), Dewan Menteri juga menyepakati beberapa langkah untuk mempercepat liberalisasi ekonomi/perdagangan intra ASEAN. Langkah-langkah tersebut antara lain adalah kesepakatan untuk mempercepat masuknya barang-barang yang untuk sementara tidak terkena skema penurunan tarif (exclusion list) ke dalam daftar barang-barang yang terkena skema penurunan tarif (inclusion list) dalam waktu 5 tahun terhitung per 1 lanuari 1995. Dengan cara demikian, semua jenis barang yang tadinya termasuk di dalam exclusion list, dalam tempo 5 tahun secara bertahap akan masuk ke dalam inclusion list, yang mulai dilaksanakan sejak tanggal Departemen Keuangan RI 321 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 1 Januari 1994. Selain dari pada itu disepakati pula untuk membentuk Unit AFTA dalam Sekretariat ASEAN, dalam rangka mengkoordinasikan dan mengelola AFTA serta masalahmasalah yang berkaitan dengan AFTA secara lebih efektif, termasuk penyelesaian sengketa di dalam perdagangan. Disamping pembentukan Unit AFTA pada Sekretariat ASEAN, untuk memperkuat pelaksanaan CEPT disepakati juga membentuk Unit AFTA nasional di masingmasing negara ASEAN. Perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay dalam kerangka GATT yang memakan waktu lebih dari tujuh tahun akhirnya berhasil diselesaikan dengan ditandatanganinya akta final perundingan perdagangan Putaran Uruguay pada pertengahan April 1994 di Marrakesh, Maroko, menyusul tercapainya kesepakatan atas perundingan tersebut pada pertengahan Desember 1993 di Jenewa, Swiss. Putaran Uruguay ini merupakan putaran yang paling luas dan menyeluruh dari seri putaran perundingan GATT yang telah ada sebelumnya. Disamping pembabasan mengenai langkah-langkah penurunan/penghapusan tarif serta penghapusan hambatan-hambatan non tarif dan subsidi-subsidi, cakupan materi perundingan juga diperluas dengan dimasukkannya unsur-unsur baru, antara lain perjanjian tentang hasil-hasil pertanian, perjanjian tentang tekstil dan pakaian jadi, perdagangan jasa-jasa, perjanjian tentang investasi yang terkait dengan perdagangan (trade-related investment measures, TRIMs), dan perjanjian tentang hak milik intelektual yang terkait dengan perdagangan (trade-related intelectual property rights, TRIPs). Berdasarkan kesepakatan itu pula, kelembagaan GATT sebagai pengatur perdagangan dunia selama ini, akan digantikan oleh lembaga baru yaitu World Trade Organization (WTO) yang diharapkan mulai beroperasi per 1 lanuari 1995, dengan kewenangan dan kekuatan yang lebih besar dari pada GATT. Disamping bertindak mengawasi atau memantau pelaksanaan keputusan-keputusan yang dicapai dalam Putaran Uruguay, WTO juga berfungsi sebagai badan yang akan menyelesaikan sengketa dagang antar negara anggota melalui Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body), serta meninjau kebijaksanaan perdagangan negara-negara anggota melalui "trade policy review mechanism" (TPRM). Perdagangan dunia yang lebih liberal, akses pasar yang lebih terbuka, terciptanya aturan main dalam perdagangan internasional yang lebih pasti, serta berkurangnya proteksionisme dalam perdagangan dunia, khususnya bagi negara-negara sedang berkembang, pada akhirnya akan meningkatkan volume perdagangan, pendapatan, dan investasi serta mendorong proses pemulihan ekonomi dunia ke arah yang lebih Departemen Keuangan RI 322 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 baik di masa mendatang. Bagi Indonesia, pemanfaatan peluang akses pasar yang semakin terbuka untuk peningkatan ekspor akan sangat tergantung kepada kemampuan dalam meningkatkan daya saing barang-barang Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Sementara itu, proses pembukaan pasar untuk prciduk-produk dan jasa yang berasal dari luar negeri juga berarti akan meningkatnya persaingan untuk barang-barang dari jasa di pasar dalam negeri. Pertemuan Para Pemimpin Ekonomi APEC (APEC Economic Leaders Meeting, AELM) yang berlangsung di Bogor tanggal 15 Nopember 1994, yang kedua setelah pertemuan di Seattle (Amerika Serikat) pada tanggal 20 Nopember 1993 yang lalu, akhirnya mencapai kata sepakat untuk mewujudkan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka di kawasan Asia Pasifik selambat-lambatnya tahun 2010 bagi negara-negara maju dan tahun 2020 bagi negara-negara sedang berkembang. Kesepakatan tersebut tercapai setelah semua pemimpin mencapai konsensus mengenai isi-isi perdagangan dan investasi yang bebas di kawasan Asia Pasifik serta batas waktu pencapaiannya, yang kemudian dituangkan dalam deklarasi tekad bersama para pemimpin ekonomi APEC (Deklarasi Bogor). Dalam pertemuan di Bogor ini, APEC telah menentukan arah dan rancangan masa depan kerjasama ekonomi serta memanfaatkan momentum keberhasilan perundingan Putaran Uruguay (GATT) untuk memperbaiki prospek pertumbuhan ekonomi yang cepat, merata, dan seimbang, tidak saja bagi kawasan Asia Pasifik tetapi juga bagi dunia. Dalam rangka menunjang liberalisasi perdagangan dari investasi dimaksud telah disepakati peningkatan kerjasama di berbagai bidang, seperti bidang sumber daya manusia, peningkatan infrastruktur ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, usaha menengah dan kecil, serta peningkatan keikutsertaan sektor swasta. Selanjutnya para pemimpin ekonomi APEC juga sepakat untuk menetapkan landasan idiil, konstitusional, dari landasan operasional untuk menjamin kerjasama ekonomi kawasan yang berkelanjutan. Kemitraan, saling menghormati dan saling menguntungkan ditetapkan sebagai landasan idiil, persetujuan GATT dan WTO sebagai landasan konstitusionalnya, sedang landasan operasionalnya adalah semua persetujuan APEC dengan prinsip yang kuat membantu yang lemah. Selain dari pada itu, dalam deklarasi di atas juga dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan APEC tidak boleh menjurus ke arah blok perdagangan tertutup (inward looking). Dalam deklarasi tersebut dinyatakan tekad mewujudkan sistem perdagangan dari investasi yang bebas dari terbuka, yang akan mendorong serta memperkuat liberalisasi perdagangan dari investasi di dunia sebagai satu keseluruhan. Departemen Keuangan RI 323 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 4.3. Kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri Memasuki tahun pertama pelaksanaan Repelita VI kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri tetap diarahkan untuk meningkatkan efisiensi, kualitas dari produktivitas industri dalam negeri, mendorong pengembangan ekspor nonmigas, memelihara kestabilan harga dan tersedianya barang-barang yang dibutuhkan di dalam negeri, memperluas kesempatan kerja, menghemat devisa impor, serta menurunkan debt service ratio (DSR). Di samping itu, untuk menunjang peningkatan ekspor nonmigas, nilai tukar rupiah yang realistis perlu dipertahankan. Selanjutnya, guna lebih mendorong penanaman modal asing (PMA), khususnya yang berorientasi ekspor, maka iklim usaha dan prasarana perlu ditingkatkan. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, berbagai gejolak ekonomi, moneter, dan perdagangan dunia, akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Dalam tahun 1994, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan membaik, yang tercermin dari meningkatnya volume perdagangan dan menurunnya inflasi dunia. Di samping itu, harga barangbarang manufaktur dan barang primer nonmigas diperkirakan mengalami peningkatan. Perkembangan tersebut akan menguntungkan perekonomian nasional. Namun demikian, adanya kecenderungan regionalisasi ekonomi dan perdagangan, masih tingginya tarif bea masuk di banyak negara, serta masih adanya hambatan-hambatan non-tarif dari negara-negara maju, seperti ekspor yang dikaitkan dengan hak asasi manusia, pajak energi, dan ekotabel, diperkirakan akan mempengaruhi kinerja neraca perdagangan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dalam pada itu, guna menghadapi situasi perekonomian yang semakin kompetitif, mengantisipasi sistem perdagangan yang semakin global, serta meningkatnya kerjasama perdagangan dan investasi seperti APEC, AFTA, dan NAFTA, maka efisiensi ekonomi, kualitas bahan baku, produk akhir, dan daya saing produk-produk nasional terus ditingkatkan. Di samping itu, Pemerintah terus mengupayakan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengembangan ilmu dan teknologi, penciptaan iklim usaha yang lebih kondusif bagi penanam modal, dan penerapan kebijaksanaan makro ekonomi yang berhati-hati. Sehubungan dengan hal itu, Pemerintah dalam bulan Juni 1994 telah mengeluarkan deregulasi di bidang tarif bea masuk, bea masuk tambahan, hala niaga impor, kawasan berikat (KB), dan entrepot produksi tujuan ekspor (EPTE), pengkreditan pajak masukan, serta Departemen Keuangan RI 324 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kemudahan bagi perluasan penanaman modal. Dalam kebijaksanaan tersebut, tarif bea masuk untuk beberapa produk industri, seperti mesin tekstil, mesin jahit, mesin bubut, bar, dan kendaraan bermotor, diturunkan menjadi 0-25 persen. Sedangkan bagi produk-produk pertanian, tarif bea masuknya diturunkan menjadi 5 persen, bahkan bagi produk-produk yang diatur oleh Bulog, seperti kedelai, gandum, beras, serta minyak kelapa sawit, bea masuknya diturnnkan hingga 0 persen. Penurunan tarif bea masuk tersebut diharapkan akan mampu menjaga harga komoditi bahan pokok di dalam negeri. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan industri dalam negeri dan mengantisipasi kesepakatan GATT, beberapa komoditi impor yang semula ditataniagakan, diganti dengan perlindungan tarif. Dalam rangka menciptakan investasi yang lebih menarik dan mendorong peningkatan ekspor nonmigas, Pemerintah telah menyempurnakan kebijaksanaan yang menyangkut kawasan berikat dan entrepot produksi tujuan ekspor (EPTE). Dalam kebijaksanaan tersebut ditetapkan antara lain bahwa peminjaman peralatan/mesin-mesin dari luar EPTE yang semula dilarang, saat ini diperbolehkan. Selanjutnya bagi investor asing yang ingin memperluas usahanya sekurangkurangnya 30 persen dari kapasitas terpasang, diberikan fasilitas impor bahan baku/penolong atas tambahan kapasitas tersebut selama 2 tahun. Sementara itu, Pemerintah telah pula membuka kesempatan investasi dalam bentuk patungan untuk pelayanan umum (infrastruktur), seperti pelayaran, pelabuhan, dan pembangkit tenaga listrik. Di samping kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, Pemerintah juga terus mengupayakan peningkatan daya saing produk nasional melalui peningkatan efisiensi, produktivitas, dan mutu barang. Dalam hal peningkatan mutu, yang ditingkatkan tidak hanya produk akhir, tetapi juga proses pengolahan dan mutu batan baku, agar sesuai dengan standar mutu internasional, yaitu ISO 9000. Di samping itu, Pemerintah telah menyiapkan sistem untuk menetapkan standar ekotabel. Selanjutnya guna lebih mendorong peningkatan ekspor nonmigas, penganekaragaman produk dan pasar ekspor nonmigas, promosi, dan kerjasama dengan mitra dagang terus dikembangkan, dengan terus menjaga ketepatan waktu penyerahan barang dan jasa. Berkaitan dengan hal itu, diperlukan sistem informasi dan administrasi perdagangan yang canggih. Melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, diharapkan laju pertumbuhan ekspor nonmigas akan semakin meningkat, sehingga defisit transaksi berjalan akan semakin mengecil dan jumlah cadangan devisa akan semakin mantap. Departemen Keuangan RI 325 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 4.3.1. Kebijaksanaan di bidang ekspor Berbagai kebijaksanaan deregulasi yang telah ditempuh dalam tahun 1994 dan tahuntahun sebelumnya telah memberikan dampak positif terhadap struktur ekspor Indonesia. Hal ini tercermin dari semakin meningkatnya peranan ekspor nonmigas terhadap ekspor secara keseluruhan. Di samping itu, jenis komoditi ekspor nonmigas semakin beragam dan semakin banyak pula komoditi olahan, termasuk didalamnya komoditi hasil industri sedang, industri kecil, dan hasil kerajinan. Demikian pula pasar ekspor nonmigas menjadi semakin luas. Dalam rangka lebih memantapkan struktur ekspor nonmigas, Pemerintah terus berupaya untuk mendorong ekspor melalui kebijaksanaan yang terpadu antara kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang fiskal dan moneter dengan kebijaksanaan di sektor riil. Di samping itu Pemerintah bersama-sama pengusaha swasta telah pula melakukan berbagai promosi ekspor ke luar negeri, melalui pengiriman misi dagang dan pameran-pameran dagang di luar negeri, membentuk Indonesia Trade Promotion Centre (ITPC) di beberapa negara, menjalin kerjasama dengan mitra dagang, serta menjadi anggota asosiasi dagang internasional. Sementara itu, dalam rangka menghadapi perekonomian dunia yang semakin kompetitif, maka efisiensi, produktivitas, dan kualitas komoditi ekspor terus ditingkatkan. Selain daripada itu iklim usaha yang menarik serta nilai tukar rupiah yang realistis terus dijaga, sehingga daya saing komoditi ekspor nonmigas semakin meningkat. Dalam pada itu, guna memacu ekspor barang jadi, memperluas kesempatan kerja, mendorong pertumbuhan industri hilir, dan meningkatkan hasil devisa, sejak tahun 1992 Pemerintah telah mencabut larangan ekspor kayu bulat/log, kayu dalam bentuk papan lebar dan tidak lebar, kelompok rotan, kelompok kulit mentah, dan komoditi tertentu, yang digantikan dengan pajak yang cukup tinggi. Dalam periode tersebut Pemerintah telah menaikkan pajak ekspor kayu gergajian dan kayu olahan, yang besarnya bervariasi antara US$ 250 sampai dengan US$ 4.800 per meter kubik, sesuai dengan kelompoknya. Dalam kebijaksanaan tersebut, pajak ekspor atas kayu cempaka, melur, meranti, dan lainnya ditetapkan sebesar US$ 250 per meter kubik. Sedangkan bagi kayu cendana, ebony, dan taka, yang berbentuk batang belahan dan tiang pancang atau poles, dikenakan pajak ekspor sebesar US$ 4.800 per meter kubik. Pajak ekspor kayu gergajian dari kelompok agatis, cendana, dan ebony yang dibentuk sepanjang tepi atau Departemen Keuangan RI 326 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 permukaannya diketam, pajak ekspornya masing-masing sebesar US$ 1.200 per meter kubik, sebesar US$ 2.400 per meter kubik, dan sebesar US$ 4.800 per meter kubik. Sementara itu, rotan asakan dan rotan yang sudah dikuliti dikenakan pajak ekspor sebesar US$ 15 per kg. Selanjutnya pajak ekspor kulit mentah dari hewan sejenis lembu dan kuda sebesar US$ 4 per kg, dan pajak ekspor bagi kulit hewan sejenis biri-biri sebesar US$ 10 per lembar. Sedangkan bagi kulit yang telah disamak dikenakan pajak ekspor sebesar 30 persen disamping pajak ekspor tambahan sebesar 20 persen. Dalam tahun 1993, Pemerintah telah menyempurnakan ketentuan mengenai entrepot produksi untuk tujuan ekspor (EPTE) dan kawasan berikat. Dalam hal ini, ketentuan laporan pemeriksaan surveyor (LPS) ditiadakan, dan penyerahan barang antar-EPTE tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Masih dalam tahun 1993, dalam rangka meningkatkan pelayanan fasilitas pembebasan bea mastik dan penangguhan PPN atas bahan asal impor bagi perusahaan eksportir, Pemerintah telah mengubah tatacara pertanggungjawaban pemakaian bahan asal impor yang digunakan untuk memproduksi barang ekspor. Dalam kebijaksanaan tersebut sistem laporan realisasi ekspor (LRE) diganti dengan sistem laporan ekspor (LE). Dalam sistem LE ini, laporan konversi pemakaian bahan tidak perlu diperiksa oleh Sucofindo. Selain itu, penghitungan pemakaian bahan, kandungan bea masuk, bea masuk tambahan, dan PPN, dilakukan atas dasar "self assessment". Dalam rangka lebih memperlancar pelaksanaan pembayaran fasilitas pengembalian, dalam bulan Januari 1994 Pemerintah telah menyempurnakan tatacara pengembalian bea masuk, bea masuk tambahan, pajak ekspor, pajak ekspor tambahan, PPN, dan PPn-BM. Selanjutnya guna mengendalikan harga jual minyak goreng di dalam negeri, dalam bulan September 1994 Pemerintah menetapkan pajak ekspor bagi ekspor crude palm oil (CPO), refined bleached deodorized palm oil (RBD-PO), crude olein, dan refined bleached deodorized olein (RBD-Olein). Tarif pajak ekspor komoditi-komoditi tersebut bervariasi antara 40 sampai dengan 75 persen dari selisih harga ekspor dengan harga dasar yang ditetapkan Pemerintah. Pajak ekspor untuk komoditi-komoditi tersebut dikenakan apabila harga minyak goreng di dalam negeri mencapai lebih dari Rp 1.250 per kg. Sementara itu, partisipasi dan kerjasama kelembagaan internasional terus dilanjutkan dan ditingkatkan, antara lain melalui Organisasi Kopi Internasional (International Coffee Departemen Keuangan RI 327 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Organization, ICO). Melalui siuang ICO, telah dicapai kesepakatan untuk menerapkan skema retensi kopi sebesar 20 persen, yang dimaksudkan untuk meningkatkan harga kopi di pasar internasional. Selanjutnya guna memperbaiki harga timah di pasar internasional, dalam sidang negaranegara penghasil timah (Association of Tin Producing Countries, ATPC) di Bangkok dalam bulan September 1994, telah diputuskan bahwa sampai dengan tahun 1995 masih diberlakukan pembatasan (kuota) ekspor timah dunia, yaitu sebesar 90.600 ton. Indonesia, yang merupakan salah satu anggota ATPC, mendapat jatah sebesar 30.500 ton atau 33,7 persen. Sementara itu, selama tahun 1993-1995 ekspor maniok ke negara-negara Masyarakat Eropa ditetapkan sebesar 2.475.000 ton. Untuk lebih mendorong ekspor, Pemerintah telah pula menerapkan kebijaksanaan imbal beli, yaitu bagi setiap impor pemerintah yang nilainya lebih dari Rp 500 juta dan dibiayai oleh dana APBN, kredit ekspor, atau pinjaman komersial lainnya, pemasok barang-barang tersebut diwajibkan untuk membeli barang-barang Indonesia senilai harga FOB dari barang asal impor. Sampai dengan bulan November 1994, nilai imbal beli meneapai sebesar US$ 5.155,9 juta. Selanjutnya guna meningkatkan kualitas produk nasional agar sesuai dengan standar mutu internasional, yaitu ISO-9000, Pemerintah terus melakukan pembinaan terhadap industri kecil dan industri sedang. Di samping itu, dalam rangka menerapkan sistem ekotabel, Pemerintah telah menyiapkan suatu mekanisme sistem nasional pengelolaan ekotabel di Indonesia. Melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, diharapkan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produkproduk nasional semakin meningkat, sehingga mampu bersaing di pasar global, yang pada gilirannya akan meningkatkan ekspor nonmigas. 4.3.2. Kebijaksanaan di bidang impor Pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia dalam tahun 1994 diperkirakan membaik, yang ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan serta menurunnya inflasi di negara-negara industri. Hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan neraca perdagangan Indonesia, karena negara-negara tersebut merupakan mitra dagang utama bagi Indonesia. Sementara itu, telah diratifikasinya perjanjian perdagangan multilateral Putaran Uruguay (GAIT) dalam bulan April 1994 diperkirakan akan memberikan pengaruh yang cukup Departemen Keuangan RI 328 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 luas bagi dunia usaha di Indonesia, di satu pihak merupakan peluang bagi peningkatan ekspor bukan migas dan di pihak lain dapat meningkatkan masuknya barang-barang impor. Sehubungan dengan hal itu dunia usaha dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, agar produk nasional mampu bersaing di pasar global. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar impor Indonesia merupakan bahan baku/ penolong dan barang modal yang digunakan untuk industri barang ekspor. Dalam pada itu, kebijaksanaan di bidang impor diarahkan untuk mendukung dan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, khususnya untuk memenuhi kebutuhan industri yang berorientasi ekspor, memelihara kestabilan harga, dan menyediakan barang-barang yang dibutuhkan dalam negeri. Berkaitan dengan hal itu, Pemerintah dalam tahun 1994 dan dalam tahun-tahun sebelumnya telah mengeluarkan berbagai raker kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, antara lain raker kebijaksanaan 23 Oktober 1993 yang mencakup enam bidang, yaitu bidang ekspor-impor, tarif bea masuk impor dan tata niaga impor, penyederhanaan penanaman modal, perizinan untuk investasi di bidang farmasi, serta penyederhanaan prosedur analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal). Selanjutnya, dalam rangka lebih mempercepat peningkatan serta perluasan kegiatan ekonomi, dilakukan langkah-langkah untuk mengembangkan iklim usaha yang semakin mantap dan lebih menjamin kelangsungan PMA melalui dua bentuk usaha yaitu usaha patungan dan penanaman modal langsung. Untuk itu Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang mengatur tentang kepemilikan saham dalam perusahaan penanaman modal asing. Di dalam peraturan ini penanaman modal asing yang berpatungan dengan pihak Indonesia diizinkan melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, meliputi pelabuhan, produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api listrik, dan media masa. Dalam usaha patungan tersebut, pihak asing dimungkinkan untuk memiliki saham sampai dengan 95 persen. Selain itu, perusahaan asing bolch juga menguasai 100 persen saham perusahaan, dengan ketentuan perusahaan tersebut harus menjual sahamnya kepada pihak Indonesia setelah 15 tahun sejak produksi komersial melalui pasar modal atau pemilikan langsung (direct placement). Tujuan dari peraturan ini antara lain meningkatkan pertumbuhan ekspor melalui perolehan peluang pasar internasional, serta meningkatkan lapangan kerja, penerimaan pajak, lingkungan hidup, dan perekonomian nasional. Masih dalam tahun 1994, Pemerintah Departemen Keuangan RI 329 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 mengeluarkan raker kebijaksanaan di sektor riil (paket 27 Juni 1994), yang meliputi penyempurnaan bea masuk (BM), bea masuk tambahan (BMT), penghapusan tata niaga impor 27 pas tarif, penyempurnaan peraturan untuk kawasan berikat (KB) dan entrepot produksi tujuan ekspor (EPTE), pengkreditan pajak masukan bagi industri tertentu, dan langkah-langkah untuk memperkuat usaha kecil dan koperasi. Penyempurnaan BM, dan BMT, diarahkan untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan dunia pasca GAIT /putaran Uruguay, dan mendorong peningkatan daya saing produksi dalam negeri. Tarif bea masuk yang diturunkan adalah sebanyak 739 pas tarif, yang meliputi hasil-hasil di bidang industri termasuk komoditi Bulog dan produk kesehatan. Selanjutnya komoditi-komoditi yang tarifnya diturunkan menjadi sekitar 5-30 persen antara lain adalah mesin tekstil, mesin usaha pertanian, mesin-mesin perkakas untuk industri kecil, dan beberapa komponennya. Tarif bea masuk bagi mesin-mesin tekstil dan komponennya diturunkan menjadi 10-25 persen, mesin untuk usaha pertanian tarif BM-nya diturunkan 5-20 persen, dan untuk mesin-mesin perkakas industri kecil (termasuk mesin jahit, butut, penyerut barang, perajut, dan perkakas mesin) tarif BM-nya diturunkan menjadi 5 persen. Selain itu, kendaraan bermotor sedan dan station wagon CBU, BM-nya diturunkan sebesar 25 persen, sedang untuk suku cadang semi trailer diturunkan menjadi 10 persen, dan untuk work truck tarif BM-nya dihapus. Untuk komponen dan subkomponen perakitan/pembuatan alat-alat besar dibebaskan bea masuknya mulai 1 Januari 1995. Sementara itu, sebanyak 18 pas tarif komoditi pertanian, seperti tepung gandum/beras, kedelai kuning, tepung kedelai, gula tebu/bit, teras pulut, dan karung goni, tarif BM-nya dihapus. Selanjutnya minyak goreng (minyak kelapa dan minyak kelapa sawit) yang semula tarif BM-nya 10 persen, diturunkan menjadi 0 persen. Dari sejumlah 220 pos tarif yang selama ini dikenakan tarif BMT, sebanyak 108 pas tarif BMT-nya dihapus, sebanyak 13 pos tarif BMT-nya diturunkan, dan sebanyak 99 pos tarit BMT-nya tetap. Komoditikomoditi yang tarif BMT-nya dihapus antara lain adalah PYC dan copolimer-nya, kawat paku dan kawat untuk jari-jari sepeda, pakan udang, bahan pembasmi serangga, fiber glass, dan white carton. Sedangkan komaditi yang tarif BMT-nya diturunkan antara lain kertas koran, benang karet, profil baja, serta kawat pilin. Di bidang tata niaga impor, sebanyak 8 pos tarif untuk produk aluminium sheet yang semula hanya dapat diimpor oleh importir produsen (IP) diubah menjadi dapat diimpor oleh importir umum (IU). Sementara itu tata cara impor dari sebanyak 17 pos tarif produk motor piston pembakaran mengalami perubahan, yaitu dari agen tunggal/IU menjadi IU. Selanjutnya Departemen Keuangan RI 330 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebanyak 2 pos tarif produk laktosa yang semula ditataniagakan oleh Bulog diubah menjadi IU, dan sebanyak 2 pos tarif bawang putih yang semula diimpor oleh importir terdaftar melalui kebijaksanaan ini ditataniagakan oleh Bulog. Dalam rangka membantu perusahaan meningkatkan daya saing melalui merger atau konsolidasi, fasilitas penangguhan PPN atas barang modal maupun perkreditan atas pajak masukannya tetap berlaku. Bagi perusahaan yang memperluas usahanya dengan cara meningkatkan kapasitas produksinya sekurang-kurangnya 30 persen, diberikan fasilitas impor bahan baku/penolong atas tambahan kapasitas tersebut dalam jangka waktu 2 tahun, tanpa ada ketentuan pembatasan masa pelaksanaan impornya. Dalam rangka menjamin pengadaan bahan baku dengan tetap memperhatikan daya saing hasil produksi dalam negeri, sejak tanggal 17 Oktober 1994 Pemerintah telah menurunkan BM dan BMT atas kertas dari berbagai jenis, dengan tarif kumulatif paling tinggi 20 persen. Melalui kebijaksanaan ini, tarif bea masuk impor kertas tulis/cetak HVS diturunkan dari 30 persen menjadi 20 persen. Selain itu BMT kertas koran dalam gulungan atau lembaran dihapuskan. Sedangkan tarif bea masuk kertas kantong semen dan pupuk diturunkan dari 15 persen menjadi 5 persen. Selanjutnya, asam formiat (asam semut) yang merupakan bahan penolong dalam industri ban, dikenakan BM sebesar 20 persen dan BMT-nya 0 persen, dan stainless steel wire rod, yang merupakan bahan baku industri baut dan mur, tarif BM-nya diturunkan dari 20 persen menjadi 5 persen. Sementara itu, guna mengurangi penyalahgunaan pemakaian rubber processing oil (RPO) dalam pembuatan pelumas palsu yang dapat merugikan perekonomian nasional, Pemerintah telah menyempurnakan klasifikasi tarif BM atas produk minyak bumi tersebut. Untuk produk dimaksud sejak 20 Oktober 1994 dikenakan bea masuk sebesar 5 persen dan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen. Dalam pertemuan Dewan Menteri Area Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA, ASEAN Free Trade Area) yang ke-5 pada akhir September 1994 di Chiangmai, Thailand, telah disepakati bahwa realisasi common effective preferential on tariff (CEPT) dipercepat dari 15 tahun menjadi 10 tahun, yang dimulai tanggal 1 Januari 1995. Dalam kaitan ini, Dewan Menteri AFTA telah sepakat untuk mempercepat masuknya product exclusion list (komoditi yang untuk sementara waktu tidak masuk dalam skema penurunan ratio ke dalam inclusion list (daftar program penurunan ratio, yaitu setiap tahun sebanyak 20 persen komoditi exclusion list sudah masuk Departemen Keuangan RI 331 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dalam inclusion list. Dengan demikian secara bertahap dalam tahun 2000, semua komoditi masuk inclusion list. Di samping itu telah disepakati pula penurunan tarif pada jalur normal (normal track) dan jalur cepat (fast track). Pada jalur normal, untuk komoditi yang tarif bea masuknya 20 persen ke atas, sejak 1 Januari 1995 tarif efektifnya secara bertahap diturunkan menjadi 0-5 persen dalam waktu 8 tahun, sedangkan untuk produk dengan tarif 20 persen ke bawah penurunannya dilaksanakan dalam waktu 5 tahun. Sementara itu pada jalur cepat, sejak 1 Januari 1995 komoditi yang tarif bea masuknya 20 persen ke atas tarif efektifnya secara bertahap diturunkan menjadi 0-5 persen dalam waktu 5 tahun, sedangkan untuk komoditi yang tarif bea masuknya 20 persen ke bawah, diturunkan menjadi 0 - 5 persen dalam waktu 3 tahun. Dalam rangka mencukupi kebutuhan jagung di dalam negeri serta menjaga kestabilan harga, Pemerintah telah membebaskan tarif bea masuk atas 100.000 ton jagung yang dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam bulan November 1994. Selanjutnya guna meningkatkan pelayanan masyarakat khususnya di bidang pelayanan peningkatan kualitas bahan pangan, sejak tanggal 2 Desember 1994 Pemerintah telah membebaskan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah dan pajak penghasilan pasal 22 impor, atas pemasukan mesin dan peralatan laboratorium tertentu oleh Bulog. 4.4. Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1994/95 Menjelang dilaksanakannya hasil kesepakatan Putaran Uruguay, semakin dikokohkannya kerjasama ekonomi dan perdagangan antar negara sekawasan di berbagai belahan dunia, serta makin kerasnya tuntutan terhadap aspek lingkungan, perekonomian Indonesia khususnya neraca pembayaran Indonesia dihadapkan pada tantangan-tantangan yang tidak ringan. Dalam rangka menghadapi tantangan tersebut, Pemerintah secara bertahap dan penuh kehati-hatian telah mengupayakan beberapa antisipasi dan solusinya, sehingga yang pada awalnya merupakan tantangan pada akhirnya diharapkan dapat menjadi peluang. Berkaitan dengan hal itu, dalam tahun 1994 dan tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah telah melakukan berbagai kebijaksanaan deregulasi/debirokratisasi di bidang penanaman modal asing, produksi, perdagangan, dan sektor riil. Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut antara lain meningkatkan pengadaan sarana infrastruktur, mengurangi/membebaskan tarif bea masuk impor bahan baku, menyempurnakan tata cara penghitungan pemakaian bahan, baku asal impor yang Departemen Keuangan RI 332 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 digunakan untuk memproduksi barang ekspor, serta mempertahankan nilai rupiah yang wajar, yang diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing produk ekspor Indonesia dalam menghadapi persaingan di pasar dunia. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan investasi, iklim usaha yang menarik bagi investor asing terus ditingkatkan, dengan tetap memperhatikan aspek pemeliharaan lingkungan. Selain itu, dalam rangka meningkatkan perolehan devisa dari sektor jasa-jasa, Pemerintah terus mendorong pemasukan devisa dari sektor pariwisata dan tenaga kerja Indonesia di luar negeri (TKl). Di pihak lain, Pemerintah terus berupaya untuk melakukan penghematan pengeluaran devisa untuk jasa-jasa, antara lain melalui peningkatan daya angkut dan jumlah armada pelayaran nasional dan mendorong pertumbuhan industri jasa nasional. Selanjutnya Pemerintah terus pula melanjutkan kebijaksanaan pinjaman luar negeri secara berhati-hati, dengan tujuan agar diperoleh pinjaman yang wajar, tanpa ikatan politik, dan tidak memberatkan neraca pembayaran di kemudian hari. Dalam melakukan pinjaman luar negeri, Pemerintah tetap mengutamakan pinjaman yang bersyarat lunak dari Consultative Group for Indonesia (CGI) dan non-CGI. Sementara itu, pinjaman komersial yang dilakukan oleh BUMN dan swasta yang berkaitan dengan proyek-proyek pemerintah dan BUMN dimonitor oleh tim PKLN. Melalui tim ini pinjaman tersebut dipantau agar sesuai dengan plafon yang telah ditetapkan setiap tahun. Adapun penggunaan pinjaman luar negeri tersebut diprioritaskan kepada kegiatan pembangunan, khususnya yang mendorong peningkatan ekspor. Melalui upaya-upaya tersebut diharapkan ekspor nonmigas serta pemasukan modal, terutama investasi langsung dan pemasukan devisa jasa-jasa, akan semakin meningkat. Di sisi lain, impor yang dilakukan dapat lebih diarahkan untuk menunjang peningkatan ekspor nonmigas. Dengan demikian, diharapkan defisit neraca jasa-jasa yang cukup berpengaruh terhadap defisit transaksi berjalan, dapat diimbangi oleh meningkatnya surplus neraca perdagangan, sehingga defisit transaksi berjalan dapat ditekan, dan pada gilirannya dapat memperkuat posisi neraca pembayaran Indonesia. Dalam tahun 1994/95, defisit transaksi berjalan diperkirakan sebesar US$ 3.586 juta, yang berarti meningkat sebesar US$ 646 juta atau 22 persen dari periode sebelumnya. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya impor nonmigas dan defisit neraca jasa-jasa. Dalam tahun 1994/95, realisasi ekspor secara keseluruhan diperkirakan sebesar US$ 40.763 juta, yang terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 9.653 juta dan ekspor nonmigas sebesar US$ 31.110 Departemen Keuangan RI 333 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 juta. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, perkiraan realisasi ekspor dalam tahun 1994/95 mengalami kenaikan seoesar 11,7 persen, yang berarti lebih tinggi dari kenaikan ekspor periode sebelumnya yaitu sebesar 3,4 persen. Peningkatan ekspor ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya ekspor kopi, kayu gergajian, kayu olahan, timah, aluminium, tekstil lainnya, karet olahan, alat-alat listrik, dan ekspor migas. Sementara itu searah dengan berkembangnya kegiatan investasi dan industri di dalam negeri, dalam tahun 1994/95 impor diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 12,6 persen. Kenaikan impor ini terutama disebabkan oleh meningkatnya impor bahan baku dan barang modal, seperti bahan kimia, benang tenun, semen, mesin-mesin, dan alat-alat listrik. Realisasi impor secara keseluruhan dalam tahun 1994/95 diperkirakan sebesar US$ 32.796 juta, yang meliputi impor migas sebesar US$ 3.435 juta dan impor nonmigas sebesar US$ 29.361 juta. Meskipun pemasukan devisa dan sektor pariwisata dan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri mengalami peningkatan yang cukup pesat, namun pengeluaran devisa dari sektor lainnya masih lebih besar dari pemasukannya, sehingga neraca jasa-jasa dalam tahun 1994/95 diperkirakan defisit sebesar US$ 11.553 juta atau 12 persen lebih tinggi dari defisit periode sebelumnya yaitu sebesar US$ 10.317 juta. Peningkatan defisit neraca jasa-jasa tersebut disebabkan oleh lebih tingginya peningkatan pengeluaran jasa-jasa nonmigas, terutama ongkos angkut barang impor dan pembayaran bunga hutang luar negeri. Peningkatan pembayaran bunga hutang luar negeri tersebut antara lain disebabkan adanya pembayaran dipercepat daripada sebagian hutang pemerintah. Dari perkiraan defisit neraca jasa-jasa sebesar US$ 11.553 juta tersebut, sebesar US$ 8.511 juta merupakan jasa nonmigas dan US$ 3.042 juta merupakan jasa migas. Di sisi lain, pemasukan modal neto dalam tahun 1994/95 mengalami penurunan sebesar 1,5 persen sehingga realisasinya mencapai US$ 5.624 juta, yang meliputi pemasukan modal pemerintah sebesar US$ 6.430 juta, pemasukan modal swasta bersih sebesar US$ 4.749 juta, dan pembayaran pokok hutang luar negeri pemerintah sebesar US$ 5.555 juta. Berdasarkan perkiraan realisasi transaksi berjalan, lalu lintas modal, serta selisih yang belum diperhitungkan sebesar US $ 1.025 juta, dalam tahun 1994/95 neraca pembayaran diperkirakan mengalami surplus sebesar US$ 1.013 juta. Dengan demikian, jumlah cadangan devisa pada akhir tahun 1994/95 cukup untuk membiayai impor nonmigas (c&f) sekitar 5 bulan. Departemen Keuangan RI 334 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 4.4.1. Ekspor Pertumbuhan ekspor yang agak melambat dalam tahun 1993/94 diperkirakan mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan dalam tahun 1994/95, yang tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekspor, baik migas maupun nonmigas. Dalam tahun 1994/95 realisasi ekspor diperkirakan meneapai US$ 40.763 juta, yang berarti sebesar 11,7 persen lebih tinggi dari periode sebelumnya yang berjumlah US$ 36.504 juta. Kenaikan tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya ekspor gas alam, kayu gergajian, kayu olahan, timah, aluminium, dan kopi. Dari perkiraan ekspor sebesar US$ 40.763 juta tersebut, sebesar US$ 31.110 juta merupakan ekspor nonmigas dan sebesar US$ 9.653 juta berupa ekspor migas. Ini berarti peranan ekspor nonmigas dalam struktur penerimaan hasil ekspor Indonesia dalam tahun 1994/95 mengalami peningkatan, yaitu dari 74,4 persen dalam tahun 1993/94 menjadi sebesar 76,3 persen. Sementara itu, meningkatnya ekspor kayu gergajian, kayu olahan, timah, aluminium, serta komoditi ekspor lainnya dalam tahun 1994/95 telah menyebabkan ekspor nonmigas dalam periode tersebut mengalami peningkatan sebesar 14,5 persen, sehingga realisasinya diperkirakan menjadi sebesar US$ 31.110 juta. Sementara itu, dalam tahun 1994/95 ekspor migas diperkirakan sebesar US$ 9.653 juta, mencakup ekspor minyak bumi sebesar US$ 5.678 juta dan ekspor gas alam sebesar US$ 3.975 juta. Dibandingkan dengan realisasi periode sebelumnya, ekspor minyak bumi diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 3 persen, dan ekspor gas alam meningkat sebesar 4 persen dalam tahun 1994/95. Sejalan dengan meningkatnya ekspor gas alam, peranannya terhadap ekspor migas juga mengalami sedikit kenaikan, yaitu dari sebesar 40,9 persen dalam tahun 1993/94 menjadi sebesar 41,2 persen dalam tahun 1994/95. Mengingat harga minyak bumi yang tidak menentu, ekspor gas alam terus diupayakan peningkatannya, sehingga ketergantungan terhadap ekspor minyak bumi semakin berkurang. Perkembangan nilai ekspor secara rinci dapat diikuti dalam Tabel IV.6 Departemen Keuangan RI 335 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel IV. 6 NILAI EKSPOR, 1984/85 - 1994/95 ( dalam juta US $) Tahun anggaran Nilai -2 -1 Bukan migas Migas % -3 Nilai -4 Jumlah % -5 Nilai % (6)=(2)+(4) (7)=(3)+(5) 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 13.994 12.437 6.%6 8.841 7.640 9.337 12.763 10.706 70,3 66,8 50,9 48,2 38,5 39,2 45,4 36 5.907 6.175 6.731 9.502 12.184 14.493 15.380 19.008 1992/93 10.480 29,7 24.823 70,3 35.303 100 9.334 9.653 25,6 23,7 27.170 31.110 74,4 76,3 36.504 40.763 100 100 1993/94 1994/95 1) 29,7 33,2 49,1 51,8 61,5 60,8 54,6 64 19.901 18.612 13.697 18.343 19.824 23.830 28.143 29.714 100 100 100 100 100 100 100 100 I) Perkiraan realisasi Realisasi nilai ekspor nonmigas dalam periode April-September 1994 sebesar US$ 15.743,7 juta mencakup ekspor hasil-hasil pertanian sebesar US$ 1.623,1 juta, ekspor hasil-hasil industri sebesar US$ 13.190,9 juta, ekspor hasil-hasil tambang di luar migas sebesar US$ 928,7 juta, dan ekspor hasil-hasil lainnya sebesar US$ 1 juta. Dibandingkan dengan realisasi dalam periode April-September 1993, nilai ekspor nonmigas dalam periode yang sama tahun 1994/95 mengalami kenaikan sebesar US$ 2.358,2 juta atau sebesar 17,6 persen. Kenaikan ekspor nonmigas tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya ekspor komoditi hasil pertanian, hasil industri, dan hasil tambang. Selain nilainya meningkat, ekspor nonmigas juga semakin berorientasi kepada ekspor hasil industri. Hal tersebut disamping merupakan dampak positif dari perkembangan industrialisasi, juga menunjukkan telah terjadinya pergeseran dari dominasi komoditi primer dengan pengolahan minimal beralih ke komoditi industri dengan tingkat pengolahan menengah dan tinggi yang lebih mampu meningkatkan nilai tambah. Dalam periode April-September 1994, nilai ekspor hasil pertanian meningkat 41,2 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah US$ 1.149,9 juta. Komoditi hasil pertanian yang mengalami peningkatan dalam ekspornya antara lain kopi, lada putih, lada hitam, tembakau, biji coklat, dari ubur-ubur/kerang lainnya, udang (segar dan beku), getah karet, dan hasil pertanian lainnya, yang masing-masing meningkat sebesar 197,8 persen, sebesar 34,9 Departemen Keuangan RI 336 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 persen, sebesar 530,4 persen, sebesar 26,5 persen, sebesar 41,3 persen, sebesar 27,8 persen, sebesar 22,5 persen, sebesar 3,4 persen, dan sebesar 4,8 persen. Peningkatan nilai ekspor kopi terutama disebabkan oleh menguatnya harga kopi sebagai akibat dari kegagakan panen di Brasil, yang merupakan negara pengekspor kopi utama. Dalam periode April-September 1994, harga rata-rata kopi Robusta Larnpung di bursa komoditi New York mencapai sebesar US$160,6 cent/lb, atau meningkat sebesar 138,6 persen bila dibandingkan dengan harga rata-rata periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 67,3 cent/lb. Sedangkan meningkatnya ekspor lada hitam dan lada putih disebabkan meningkatnya harga kedua komoditi tersebut sebagai akibat turunnya produksi dunia. Dalam periode April-September 1994, harga rata-rata lada hitam dan lada putih di pasaran dunia masing-masing sebesar Sin$ 268,8 per kuintal dan Sin$ 437,9 per kuintal. Bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, harga rata-rata kedua komoditi dimaksud dalam periode April-September 1994 meningkat masing-masing sebesar 34,5 persen dan sebesar 29,9 persen. Sementara itu peningkatan nilai ekspor ubur-ubur/kerang lainnya antara lain disebabkan oleh adanya peluang pasar yang masih terbuka luas bagi komoditi tersebut. Sedangkan meningkatnya ekspor tembakau dan biji coklat (kakao) terutama disebabkan oleh naiknya harga dan volume ekspor kedua komoditi tersebut. Selanjutnya meningkatnya ekspor udang yang merupakan primadona ekspor hasil pertanian disebabkan antara lain oleh meningkatnya permintaan ekspor komoditi tersebut. Sedangkan naiknya ekspor getah karet terutama disebabkan oleh meningkatnya harga karet di pasar dunia. Di pihak lain, ekspor beberapa komoditi hasil pertanian, seperti teh dan ikan tuna/lainnya, mengalami penurunan, masing-masing sebesar 36,3 persen dan sebesar 7,1 persen. Menurunnya nilai ekspor teh terutama disebabkan oleh menurunnya harga teh yang diakibatkan oleh lemahnya permintaan atas komoditi tersebut, yang dibarengi pula oleh meningkatnya pasokan teh di pasar dunia sebagai akibat panen raya di beberapa negara pengekspor utarna. Sedangkan penurunan ekspor ikan/tuna antara lain disebabkan oleh menurunnya hasil tangkapan kapal lokal. Dalam periode April-September 1994, nilai ekspor hasil industri mencapai US$ 13.190,9 juta, yang berarti meningkat 14,5 persen dari periode yang sama tahun lalu yang berjumlah sebesar US$ 11.523,3 juta. Ekspor produk industri kayu, yang merupakan salah satu komoditi utama ekspor nonmigas, mengalami penurunan sebesar 14 persen dalam periode April-September 1994, sehingga nilai ekspornya menjadi US$ 2.567,1 juta. Penurunan nilai ekspor produk kayu tersebut terutama disebabkan oleh turunnya nilai ekspor kayu lapis, sejalan dengan turunnya Departemen Keuangan RI 337 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 harga produk tersebut karena rendahnya permintaan dari negara-negara pengimpor utama. Sebaliknya, ekspor kayu gergajian dan kayu olahan lainnya mengalami peningkatan masingmasing sebesar 29,1 persen dan sebesar 11,3 persen. Sementara itu, ekspor produk tekstil yang terdiri dari pakaian jadi, kain tenun, dan produk tekstil lainnya, dalam periode April-September 1994 nilainya mencapai US$ 3.110,4 juta atau sebesar 2,5 persen lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan ekspor produk tekstil yang larnban ini terutama disebabkan oleh menurunnya harga produk tekstil sebagai akibat meningkatnya suplai produk tekstil dunia. Ekspor komoditi andalan setelah produk industri kayu dan tekstil adalah atas kaki dan alat-alat listrik, yang mengalami peningkatan ekspor masing-masing sebesar 20,5 persen dan sebesar 60,8 persen. Peningkatan ekspor atas kaki tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya volume ekspornya. Sementara itu, meningkatnya ekspor alat-alat listrik antara lain disebabkan oleh naiknya permintaan dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan meningkatnya nilai jual komoditi tersebut. Dalam periode April-September 1994, nilai ekspor karet olahan mencapai sebesar US$ 701,1 juta atau sebesar 36,5 persen lebih tinggi dari periode sebelumnya yang berjumlah US$ 513,5 juta. Peningkatan ekspor tersebut terutama disebabkan oleh munculnya permintaan dari negara-negara importir baru. Komoditi hasil industri lainnya yang nilai ekspornya mengalami kenaikan adalah bungkil korea, minyak atsiri, stearin, mebel, dan bahan kimia. Peningkatan ekspor bungkil kopra dan minyak atsiri disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor. Sedangkan peningkatan ekspor stearin, mebel, dan bahan kimia, disebabkan antara lain oleh adanya tambahan permintaan dari pasar luar negeri. Sementara itu, meningkatnya harga bijih timah (un wrought) dan aluminium (un wrought) di pasar dunia telah menyebabkan nilai ekspor kedua komoditi tersebut mengalami peningkatan masing-masing sebesar 66,5 persen dan sebesar 31,5 persen. Dalam periode tersebut, nilai ekspor bijih timah dan aluminium masing-masing meneapai sebesar US$ 61,6 juta dan sebesar US$ 167 juta. Di pihak lain, komoditi hasil industri yang mengalami penurunan adalah kain tenun dan semen, yang masing-masing turun sebesar 11,2 persen dan sebesar 35,5 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ekspor semen terutama diakibatkan oleh meningkatnya kebutuhan semen di dalam negeri. Dalam periode April-September 1994, nilai ekspor hasil tarnbang di luar migas Departemen Keuangan RI 338 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 mengalami kenaikan sebesar 30,6 persen, sehingga dalam periode tersebut realisasinya meneapai US$ 928,7 juta. Kenaikan ekspor dimaksud disebabkan oleh meningkatnya ekspor komoditi utama hasil tambang di luar migas, yaitu bijih tembaga, batu bara, dan lainnya, yang masingmasing meningkat sebesar 43,2 persen, 25,4 persen, dan 6,9 persen. Peningkatan ekspor bijih tembaga tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya harga komoditi dimaksud di pasar dunia. Sedangkan peningkatan nilai ekspor batu bara disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor. Di pihak lain, nilai ekspor bijih nikel mengalami penurunan sebesar 9 persen, yang antara lain disebabkan oleh menurunnya harga komoditi ini karena melemahnya permintaan bijih nikel di pasar dunia. Dilihat dari negara tujuan, sebagian besar ekspor dalam periode April-September 1994/95 masih ditujukan ke Jepang, yaitu sebesar US$ 5.611 juta akan 27,4 persen dari total nilai ekspor. Selanjutnya, ekspor ke Amerika Serikat adalah sebesar US$ 3.047 juta (14,9 persen), ke negaranegara Masyarakat Eropa sebesar US$ 2.961 juta (14,4 persen), ke Singapura sebesar US$ 2.253 juta (11 persen), dari ke negara lainnya sebesar US$ 6.628 juta (32,3 persen). Bila ditinjau menurut kawasan, Asia merupakan pasar terbesar bagi produk-produk ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia ke kawasan Asia mencapai sebesar US$ 13.047 juta akan 63,6 persen dari total nilai ekspor. Berikutnya ekspor ke Amerika sebesar US$ 3.513 juta (17,1 persen), ke Eropa sebesar US$ 3.227 juta (15,8 persen), ke Australia dan Oceania sebesar US$ 354 juta (1,7 persen), dan ke Afrika sebesar US$ 359 juta (1,8 persen). Perkembangan realisasi ekspor menurut negara tujuan secara rinci dapat dilihat dalam Tabel IV.8. 4.4.2. Impor Perkembangan nilai impor dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan, walaupun laju pertumbuhannya cenderung menurun. Kenaikan impor tersebut selain sejalan dengan meningkatnya kegiatan perekonomian dalam negeri juga sebagai akibat dari pengaruh kebijaksanaan deregulasi dari debirokratisasi yang telah dilakukan Pemerintah. Dalam tahun anggaran 1994/95 realisasi impor secara keseluruhan diperkirakan meneapai US$ 32.796 juta, yang terdiri atas impor migas sebesar US$ 3.435 juta dari impor bukan migas sebesar US$ 29.361 juta. Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah US$ 29.127 juta, maka impor keseluruhan dalam tahun 1994/95 menunjukkan kenaikan sebesar US$ Departemen Keuangan RI 339 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 3.669 juta akan 12,6 persen. Dalam tahun 1994/95 realisasi impor bukan migas diperkirakan meningkat sebesar US$ 4.050 juta atau 16 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah sebesar US$ 25.311 juta, sebaliknya realisasi impor migas diperkirakan mengalami penurunan sebesar US$ 381 juta akan 10 persen. Tabel IV.8 NILAI EKSPOR MENURUT NEGARA TUJUAN, 1990/91 - 1994/95 ( dalam juta US $) 1994/95 Ncgara (I) I. ASIA ASEAN - Mataysia - Muangthai - Philipina - Singapura - Brunei Darussalam Hongkong Jepang Asia lainnya II. AFRIKA III. AMERIKA -USA -Kanada - Amerika lainnya IV. AUSTRALIA - Australia - lkeania lainnya V. EROPA ME -Inggris - Belanda - Jerman - Belgia & Luxemburg - Peran,is - Denmark -Irlandia -Ihalia - Yunani - Portugal - Spanyol Rusia Empa lainnya Jumlah 1991/92 presentase Nilai dan jumlah 1990/91 presentase Nilai dan jumlah -2 -3 19.068 2.63! 270 206 168 1.977 10 619 11.140 4.678 201 3.529 3.191 132 206 547 474 7J 3.551 3.286 569 751 830 228 311 61 41 296 II 16 172 53 212 26.896 -4 70.9 0,7 13,1 2,0 13,3 100,0 -5 20.272 3.293 362 277 165 2.476 13 756 10.307 5.916 377 4.065 3.651 212 202 700 658 42 4.170 3.853 618 907 875 260 421 86 42 439 19 II 175 42 275 29.584 1992/93 presentase Nilai dan jumlah -6 68.5 1,3 13,7 2.4 14,1 100,0 -7 23.349 4.727 527 434 205 3.530 31 885 11.009 6.728 483 5.351 4.671 284 396 844 780 64 5,371 5.056 905 1.102 1.051 421 490 93 47 610 34 21 282 71 244 35,398 1193/1994 presentase Nilai dan jumlah -8 66.0 1,4 15.1 2,4 15.1 100.0 -9 23.559 4.686 575 393 290 3.397 31 939 10.940 6.'/94 433 6.007 5.254 301 452 831 761 70 5.589 5.159 978 1.094 1.141 364 465 99 36 573 45 28 336 134 296 36.419 (Apr.Sept) presentase Nilai dan jumlah -10 64.7 1,2 16,5 2,3 15,3 100,0 (II) 13.047 3.028 370 206 182 2.253 17 701 5.611 3.707 359 3.513 3.047 168 298 354 320 34 3_227 2.%1 514 633 665 206 221 52 20 334 35 22 259 33 233 20.500 63,6 1,8 17,1 1.7 15, 100,0 ') Angka semenlara Realisasi impor bukan migas dalam periode April-September 1994 mencapai US$ 14.886,4 juta, atau 12 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang sama dalam tahun sebelumnya. Kenaikan impor bukan migas tersebut terutama didorong oleh meningkatnya kebutuhan impor bahan baku/penolong dari barang modal di dalam negeri. Dari nilai impor Departemen Keuangan RI 340 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 bukan migas sebesar US$ 14.886,4 juta tersebut, sebesar US$ 1.064,2 juta berupa barang konsumsi, sebesar US$ 5.709,2 juta berupa barang modal, dari sebesar US$ 8.113 juta berupa bahan baku/penolong. Impor bahan baku/penolong dalam periode April-September 1994 rnengalami peningkatan sebesar 20,2 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama dalam tahun sebelumnya. Meningkatnya impor bahan baku/penolong tersebut disebabkan oleh semakin berkembangnya industri pengolahan di dalam negeri yang banyak membutuhkan komoditi tersebut. Bahan baku/penolong yang mengalami peningkatan impor cukup berarti adalah bahan kimia, benang tenun, semen, besi baja dari logam, bahan-bahan karet dari plastik, alat-alat listrik, serta bahan baku/penolong lainnya, yang masing-masing meningkat sebesar 23,5 persen, 9,6 persen, 428,3 persen, 3,5 persen, 11 persen, 23,4 persen, dari 40,9 persen. Di pihak lain, impor bahan baku yang mengalami penurunan adalah bahan obat-obatan sebesar 5,5 persen, pupuk sebesar 33,8 persen, bahan-bahan kertas sebesar 2,5 persen, dan impor bahan bangunan sebesar 12,4 persen. Sejalan dengan meningkatnya impor bahan baku/penolong, peranannya terhadap impor bukan minyak bumi dan gas alam secara keseluruhan dalam periode April-September 1994 mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 50,8 persen menjadi sebesar 54,5 persen. Sejalan dengan berkembangnya industri barang modal dalam negeri, maka ketergantungan terhadap impor barang modal semakin berkurang. Hal ini ditandai dengan rendahnya pertumbuhan impor barang modal yaitu sebesar 1,9 persen dalam periode AprilSeptember 1994, sehingga realisasinya mencapai sebesar US$ 5.709,2 juta. Melambatnya pertumbuhan impor barang modal tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya impor beberapa komoditi, antara lain alat telekomunikasi dan alat pengangkutan, masing-masing sebesar 11,9 persen dan 16,6 persen. Searah dengan menurunnya pertumbuhan impor barang modal, maka peranannya terhadap impor nonmigas secara keseluruhan juga mengalami penurunan, yaitu dari 42,2 persen dalam periode April-September 1993 menjadi sebesar 38,4 persen dalam periode yang sama tahun 1994. Sementara itu, dalam periode April-September 1994 impor barang konsumsi mencapai US$ 1.064,2 juta atau sebesar 13,6 persen lebih tinggi dari periode sebelumnya yang berjumlah US$ 936,9 juta. Dalam periode tersebut semua komoditi impor barang konsumsi mengalami kenaikan. Komoditi impor barang konsumsi yang peningkatannya cukup pesat adalah sabun dan Departemen Keuangan RI 341 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kosmetik sebesar 31,5 persen, beras sebesar 278,4 persen, tembakau dan olahannya sebesar 20,3 persen, tekstil sebesar 11,6 persen, dan alat-alat rumah tangga sebesar 41,5 persen. Walaupun impor barang konsumsi mengalami peningkatan yang cukup berarti, namun peranannya terhadap impor nonmigas secara keseluruhan relatif sama, yaitu dari sebesar 7 persen dalam periode AprilSeptember 1993 menjadi sebesar 7,1 persen dalam periode yang sama tahun berikutnya. Perkembangan nilai impor sejak tahun 1984/85 sampai dengan bulan September 1994 dapat dilihat dalam Tabel IV.9. Tabel IV.9 NILAI IMPOR BUKAN MINY AK BUMI DAN GAS ALAM MENURUT GOLONGAN BARANG, 1984/85 - 1994/95 dalamjuta US $ Golongan Barang 1984/85 1985/86 1987/88 1988/89 1989190 1990/91 1986/87 I. Barang konsumsi I. Beras 2. Tekstil 3. Susu, makanan, nUnuman dan huah-buahan 4. Temhakau dan olahannya 5. Sahun dan kosmetik 6. Alat-alat rumah tangga 7. Lainnya II, Bahan baknlpenolong I. Bahan kjnUa 2. Bahan obat-ohatan 3. Pupuk 4. Bahan-bahan keetas 5. Benang tenun 6. Semen, kapur, dan bahan hangunan buatan pahrik 7 Besi haja dan logam 8. Bahan-bahan karet & plastik 9. Bahan hangunan 10. Alat-alallistrik II. Lainnya III. Barang modal I. Mesin-mesin 2. Generator listrik 3. Alal telekomuniknsi 4. Peralatan listrik 5. Alat pengangkutan 6. Lainnya Jumlah 603,5 72.3 29.9 465,2 6 35.0 564,3 7,8 40,9 560,5 12,8 39,7 811,5 76,3 78,4 960,6 7 125 1.125,40 12,7 189,7 109,5 25,5 17,7 60,4 288,2 5,749,8 1.322,50 84,2 95,6 174,2 390,6 103,6 22,1 18,4 56,3 223,8 4.925,90 1.199,50 80,5 33,7 141 344,7 147,9 25,4 28,7 72,7 240,9 5.600,30 1.242,90 102,3 25,8 130,3 413,2 141,6 21 24,1 58,8 262,5 6.398,50 1.353,40 97,9 75,9 145,8 523,3 226 32,4 28 50,5 319,9 7,339,4 1.642,30 102,7 59 167,3 625,7 336,7 29,9 32,1 74,6 355,3 8.850,80 1.641,20 109.9 117 175,4 931,3 225,7 51,6 40,1 104 501,6 10.641,40 1.962,50 124,7 99,1 203,3 1.177,30 13 1.204,60 504.1 195,4 164 1.601,60 4.477,80 1.416,90 123,9 120,5 58,5 1.356,10 1.101,90 10,831,1 6,9 977,3 407 195 103,4 1.436,90 3.420,70 1.291,20 85,7 168,7 228,3 562,1 1.084,70 8.811,80 4,5 1.083,30 528,4 198,1 76,3 1.795,20 3.997,10 1.601.2 200 170,5 300,7 717,7 1.007,00 10.161,70 3,7 1.220.5 594,2 194,4 98 2.091,40 4.600,60 2.069,50 167,7 295,3 282,5 553,4 1.232,20 11.559,60 2,9 1.434,50 671,5 183,6 79,3 2.370,60 4,989,2 2.243,40 156,6 256,4 291,5 653,2 1.388,10 13.140,10 3,7 1.926,10 977,7 188,9 131,7 2.647,90 6,145,8 2.734,00 145 339,5 366,4 816.8 1.744,10 15,957,2 10 2.526,20 1.079,30 289,8 103,9 3,065,3 9,590,1 4.625,60 172,8 489,9 506,9 1.422,40 2.372,50 21.356,90 Dilihat dari negara asal, barang-barang impor Indonesia sebagian besar berasal dari negara-negara di Asia, Eropa, dan Amerika. Dalam periode April-September 1994, pangsa impor dari ketiga kawasan tersebut dan negara-negara lainnya terhadap impor secara keseluruhan Departemen Keuangan RI 342 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 masing-masing sebesar 53,1 persen, sebesar 24,2 persen, sebesar 16,4 persen, dan negara-negara lainnya sebesar 6,3 persen. Diantara negara-negara industri utama, Jepang dan Amerika Serikat masih merupakan negara asal impor yang cukup dominan dengan pangsa sebesar 26,2 persen dan sebesar 12,3 persen, disusul Jerman sebesar 8,2 persen, dan negara-negara industri utama lainnya sebesar 9,6 persen. Sementara itu di antara negara-negara di kawasan ASEAN, Singapura masih tetap merupakan negara asal impor terbesar, yaitu sebesar 3,9 persen, kemudian diikuti oleh Mataysia (1,6 persen), Thailand (1,1 persen), dan Philipina (0,2 persen). Perkembangan impor Indonesia menurut negara asal sejak tahun 1990/91 sampai dengan bulan September 1994 dapat dilihat dalam Tabel IV.10. Tabel IV.10 NILAI IMPOR MENURUT NEGARA ASAL, 1990/91 - 1994/95 (dC, dalamjuta US $) 1990/91 Negara Nilai I. ASIA ASEAN -Malaysia - Muangthai - Philipina - Singapura - Brunei Darussalam Hongkong Jepang Asia lainnya II. AFRIKA III. AMERIKA -USA -Kanada - Amerika 1ainnya IV. AUSTRATASIA -AusttaIia - Oceania 1ainnya V. EROPA ME -lnggris - Belanda - lennan - Belgia & Luxemburg -Petaneis - Denmark -Idandia -Italia - Yunani - portugal - Spanyol Rusia Empa lainnya Jumlah 13.064,60 2.112,40 294.4 195.7/ 50.6 1.571.3 0,4 . 276.3 5.875.0 4.800.9 163,8 3.724,7 2.614.8 327.7 782.2 1.385,3 1.273.4 111.9 5.242,4 4.512,5 464,9 578.0 1.731.0 255.1 730.1 I :: I 493.0 4.4 I 7.8 110.1 I 50.1 679.8 i 23.580,8 1992193 1991/92 Presentase dalam Jumah 55,4 0,7 15,8 5,9 22,2 100,0 Nilai 14.348,20 2.501,40 497.5 336.8 83.7 1.583.2 0.2 245.4 6.421.9 5.179.5 198,0 4.409,2 3.500,4 386.7 522.1 1.480,4 1.355,1 125.3 5.738,1 4.630,5 651.3 461.5 2.077,8 299.0 437,2 60.7 13.8 491.2 4.6 2.0 131,4 51.1 1.056.5 26.173,9 Presentase dalam Jumah 54,8 0,8 16,8 5,7 21,9 100,0 Nilai 14.081,10 2.502,00 509,4 283.5 60.0 1.648.2 0.9 222.6 5.870.9 5.485.6 200,7 4.824,0 3.877,3 453.3 493.4 1.564,6 1.428.2 136,4 6.723,2 5.649,5 743.8 584.1 2.151.9 29i.6 893.7 124.8 23,2 588,4 8.5 1,8 237.7 51.3 1.022,4 27.393,6 1993/94 Presentase dalam Jumah 51,4 0,7 17,6 5,7 24,6 100,0 Nilai 15.764,40 2.650,10 531.8 227.3 56.1 1.834.3 0.6 259.1 6.562.3 6.292.9 147,9 4.290,3 3.117.3 427.5 745.5 1.567,0 1.389.9 177.1 7.177,4 5.542,8 795.6 585.2 2.064.0 340.3 805.3 158.1 20.8 550.0 15,4 2.1 206,0 113.6 1.521.0 28.947,0 Presentase dalam Jumah 54,5 0,5 14,8 5,4 24,8 100,0 1994/95') (April) Presentase Nilai dalam Jumah 7.911,20 1.002,10 235.2 161.5 29.3 575.9 0.2 116,4 3.904.0 2.888.7 140.3 2.435,2 1.834.1 236.0 365.1 803,0 724.7 78.3 3.5%,7 2.974,5 448.7 231.9 1.223,8 158,0 404.1 56.1 13.6 341.2 11.7 1.3 84.1 106.3 515.9 14.886,4 53,1 0,9 16,4 5,4 24,2 100,0 ') Angka sementara Departemen Keuangan RI 343 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 4.4.3. Pengeluaran jasa-jasa (neto) Dalam tahun 1994/95, neraca jasa-jasa Indonesia diperkirakan masih mengalami defisit, yang berarti bahwa sisi pengeluaran jasa-jasa lebih besar dari sisi penerimaannya. Sebagaimana diketahui bahwa pengeluaran jasa-jasa tersebut dinominasi oleh pembayaran bunga pinjaman luar negeri dan biaya angkutan laut (freight). Pengeluaran untuk pembayaran bunga hutang luar negeri yang cenderung meningkat dalam tahun 1994/95, berkaitan erat dengan apresiasi Yen terhadap Dollar Amerika dan pembayaran sebagian hutang luar negeri pemerintah yang dipercepat. Sementara itu tingginya biaya angkutan laut dalam neraca jasa-jasa merupakan konsekuensi dari persyaratan pengapakan (term of shipment) ekspor dan impor Indonesia, dimana ekspor menggunakan persyaratan f.o.b. (free on board) sedangkan impor menggunakan metode c.i.f. (cost, insurance and freight). Dalam persyaratan f.o.b., eksportir Indonesia hanya bertanggungjawab atas barang yang dijualnya sampai dengan pelabuhan muat. Sedangkan impor yang menggunakan persyaratan c.i.f., penjual di luar negeri bertanggung jawab atas barang yang dijualnya sampai dengan negara tujuan/pelabuhan bongkar. Dengan kondisi tersebut eksportir dan importir Indonesia tidak dapat menentukan penggunaan kapal untuk mengangkut barangbarangnya. Di samping itu, kondisi pelayaran nasional saat ini masih belum mampu bersaing dengan pelayaran asing, baik dalam jumlah maupun daya angkutnya. Selain pengeluaran jasa freight dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri, pengeluaran jasa-jasa lain, seperti sewa/charter pesawat, iuran kepada badan/lembaga internasional, jasa konsultan, haji, transfer keuntungan PMA ke luar negeri, serta jasa-jasa lainnya yang jumlah netonya cukup besar ikut pula memperbesar defisit pengeluaran jasa neto. Guna mengimbangi pengeluaran jasa-jasa tersebut, upaya-upaya untuk memperbesar pemasukan jasa-jasa terus dikembangkan. Berkaitan dengan itu, langkah-langkah untuk mengembangkan sektor pariwisata dan industri-industri jasa pendukungnya terus dilakukan Pemerintah dengan mengikutsertakan pihak swasta. Selain kesiapan unsur sarana dan prasarana pariwisata di dalam negeri, dilakukan pula promosi/pemasaran ke luar negeri, yaitu dengan mengikuti pameran-pameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Kegiatan lainnya antara lain adalah menjalin kerjasama dengan TV-2 Jerman untuk memproduksi film seri pariwisata Indonesia yang dipancarkan ke daratan Eropa, serta mengadakan kunjungan misi dagang dan pariwisata (TTI, Trade, Tourism, and Investment) ke Eropa, yang sasarannya adalah Departemen Keuangan RI 344 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dan meningkatkan ekspor nonmigas. Selanjutnya dalam bulan September 1994 telah diadakan pasar wisata Indonesia '94 (Tourism Indonesia Mart '94) di Jakarta, yang diikuti oleh berbagai negara dan beberapa propinsi di Indonesia. Selain itu, Pemerintah telah menambah pintu masuk bagi penerbangan asing, daerah tujuan wisata (DTW), dan obyek wisata, seperti wisata laut di taman laut Bunaken di Manado dan agrowisata dengan mengembangkan budidaya tanaman langka dan perkebunan buah-buahan di Cileungsi Jawa Barat. Selanjutnya telah pula dikembangkan wisata konvensi, yang di samping meningkatkan pemasukan devisa juga mengembangkan jasa-jasa di bidang konvensi. Dalam rangka memperpanjang lama tinggal wisatawan mancanegara dan meningkatkan pengeluaran devisa per hari, telah pula dilakukan upaya-upaya antara lain meningkatkan pelayanan di bidang pariwisata, keamanan, ketertiban, keramahtamahan, serta kenyamanan dan kelancaran transportasi. Melalui upaya-upaya tersebut, diharapkan wisatawan asing lebih lama tinggal dan devisa yang dibelanjakan di Indonesia semakin meningkat. Dalam rangka meningkatkan pemasukan devisa dari TKI, telah pula dilakukan upayaupaya lainnya antara lain meningkatkan pengiriman tenaga kerja yang lebih terampil dan yang bekerja diberbagai bidang sesuai dengan permintaan pasar luar negeri, seperti tenaga dokter, perawat, konsultan, dan lainnya. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri ini selain meningkatkan pemasukan devisa, juga dapat mengurangi pengangguran di dalam negeri. Di pihak lain dalam upaya menghemat penggunaan devisa, pemakaian tenaga asing dibatasi jumlah dan diperketat persyaratannya. Sementara itu untuk mengurangi defisit biaya angkutan laut, Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan antara lain memberi kemudahan bagi pengusaha pelayaran untuk mendirikan usaha pelayaran, menambah jumlah dan daya angkut kapal, dan sebagainya. Selanjutnya dalam rangka mernbatasi pinjaman luar negeri yang menjadi beban pemerintah, telah dibentuk Tim PKLN yang mempunyai tugas antara lain melakukan perencanaan dan monitoring pinjaman-pinjaman luar negeri dari sektor BUMN dan sektor swasta yang berkaitan dengan proyek pemerintah dan BUMN. Melalui Tim PKLN ini, pinjaman tersebut dipantau agar sesuai dengan plafon yang telah ditetapkan setiap tahunnya, sehingga pengeluaran devisa untuk pembayaran bunga pinjaman luar negeri dapat terkendali dengan baik. Selain itu, dalam upaya penghematan devisa, PT Garuda Indonesia telah mampu melakukan perawatan besar/overhaul terhadap seluruh pesawat berbadan kecil maupun berbadan lebar di dalam negeri secara Departemen Keuangan RI 345 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 swakelola. Dengan kemampuan ini, selain dapat menghemat devisa yang cukup besar, PT Garuda juga telah menciptakan sarana baru dalam upaya menjual jasa perawatan pesawat ke luar negeri. Dalam rangka menghadapi diberlakukannya WTO (World Trade Organization) dan GATS (General Agreement on Trade in Services) Indonesia akan menghadapi persaingan yang semakin tajam di bidang perdagangan luar negeri dan jasa-jasa. Untuk itu sumber daya manusia dan efisiensi produksi nasional perlu ditingkatkan, sehingga diharapkan defisit neraca jasa-jasa (pengeluaran jasa neto) dapat diperkecil, dan pada akhirnya akan memperkokoh neraca pembayaran Indonesia. Berbagai upaya untuk meningkatkan pemasukan devisa dari jasa-jasa dalam tahun 1994/95 dan tahun-tahun sebelumnya telah menampakkan hasilnya. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia, yaitu dari 1,7 juta orang dalam tahun 1989/90 menjadi sekitar 3,9 juta orang dalam tahun 1994/95. Di samping jumlah wisatawan, pengeluaran devisa yang dibelanjakan juga meningkat, yaitu dari rata-rata US$ 962 per kunjungan dalam tahun 1989/90, menjadi rata-rata US$ 1.172 per kunjungan dalam tahun 1994/95. Meningkatnya jumlah dan pengeluaran devisa dari wisatawan mancanegara tersebut menyebabkan pemasukan devisa dari sektor jasa-jasa pariwisata dalam tahun 1994/95 diperkirakan mencapai US$ 4,6 miliar. Selain itu, pemasukan devisa dari pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri juga meningkat, sehingga dalam tahun 1994/95 mencapai US$ 480 juta akan 155,7 persen lebih tinggi dari awal Pelita V yang berjumlah US$ 187,7 juta. Walaupun pemasukan devisa dari pariwisata dan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri terus meningkat, namun neraca jasa-jasa masih menunjukkan defisit. Hal tersebut terjadi karena pengeluaran devisa untuk pembayaran bunga pinjaman luar negeri pemerintah dan biaya angkutan laut, serta jasa-jasa lainnya masih lebih besar dari pemasukannya. Pengeluaran jasa-jasa pada dalam tahun 1994/95, yang terdiri dari jasa-jasa migas dan nonmigas setelah memperhitungkan penerimaannya, diperkirakan berjumlah US$ 11.553 juta. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berjumlah US$ 10.317 juta, jasa-jasa pada dalam tahun 1994/95 menunjukkan peningkatan sebesar US$ 1.236 juta (12 persen). Dari pengeluaran jasa-jasa pada dalam tahun 1994/95, jasa-jasa migas diperkirakan mencapai sebesar US$ 3.042 juta, atau 1,9 persen lebih tinggi dari realisasi dalam tahun 1993/94 yang berjumlah US$ 2.984 juta. Sedangkan jasa-jasa nonmigas diperkirakan sebesar US$ 8.511 juta, yang berarti meningkat sebesar 16,1 Departemen Keuangan RI 346 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang berjumlah US$ 7.333 juta. 4.4.4. Lalu lintas modal dan transfer Salah satu sasaran pembangunan jangka panjang kedua (PJP II) adalah mewujudkan perekonomian nasional yang mandiri dan andal. GBHN memberikan arahan bahwa dana yang diperlukan untuk pembiayaan pembangunan sejauh mungkin harus diusahakan dari sumber dalam negeri. Oleh karena masih terbatasnya dana dari dalam negeri yang dapat dihimpun, maka masih diperlukan dana yang berasal dari luar negeri. Namun demikian, dalam memanfaatkan dana dari luar negeri Pemerintah tetap berpegang pada beberapa pedoman, antara lain bahwa dana dari luar negeri tersebut tidak mempunyai ikatan politis, bersyarat lunak dengan tenggang waktu pengembalian yang panjang serta bunga yang rendah, besarnya pinjaman tetap harus disesuaikan dengan kemampuan perekonomian nasional dalam pengembaliannya, dan peranannya diupayakan agar semakin mengecil terhadap sumber pembiayaan dalam negeri. Dana pembangunan yang berasal dari luar negeri terdiri dari pinjaman pemerintah, pinjaman luar negeri swasta, dan investasi swasta luar negeri, baik yang bersifat langsung (PMA), maupun yang melalui pasar modal. Dengan masuknya modal luar negeri tersebut, diharapkan potensi kekayaan alam dan sumber daya manusia yang ada dapat lebih dimanfaatkan secara maksimal dan memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya sektor industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Masuknya modal luar negeri ke dalam industri nasional diharapkan pula akan membawa pengaruh yang positif terhadap perekonomian nasional, melalui terjadinya proses alih teknologi, alih kepemilikan, serta peningkatan kesempatan kerja yang disertai dengan peningkatan keahlian dan ketrampilan. Untuk menjaga ekses yang tidak diinginkan, Pemerintah tetap mengupayakan untuk menghindari dominasi perekonomian nasional oleh modal asing, khususnya dalam sektorsektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Upaya menarik modal luar negeri untuk diinvestasikan di dalam negeri tidak berlangsung dengan mudah, mengingat terdapatnya persaingan yang tajam, khususnya di antara negara-negara berkembang, dalam menarik investor asing tersebut. Pada umumnya masing-masing negara berupaya dengan keras untuk menciptakan iklim investasi yang menarik bagi pemodal luar negeri. Sehubungan dengan itu, Pemerintah berupaya untuk terus menyempurnakan ketentuanDepartemen Keuangan RI 347 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 ketentuan yang ada dalam rangka penanaman modal asing. Sedangkan di bidang pinjaman luar negeri, dalam rangka mengamankan kredibilitas bangsa Indonesia di dunia internasional, Pemerintah memegang dengan teguh prinsip untuk memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman sesuai dengan persyaratan dan jadwal pembayaran yang telah disepakati. Dalam tahun 1994/95, lain lintas modal kerja, yang merupakan hasil bersih pemasukan modal pemerintah dan pemasukan modal lainnya setelah dikurangi dengan pembayaran hutang pokok luar negeri pemerintah, diperkirakan mencapai jumlah sebesar US$ 5.624 juta, yang berarti mengalami penurunan sebesar US$ 87 juta, atau 1,5 persen lebih rendah bila dibandingkan dengan realisasi dalam tahun 1993/94 yang berjumlah sebesar US$ 5.711 juta. Penurunan tersebut disebabkan karena pembayaran hutang pokok luar negeri pemerintah diperkirakan akan meningkat menjadi sebesar US$ 5.555 juta dalam tahun 1994/95, dari realisasi sebesar US$ 5.132 juta dalam tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut terutama disebabkan adanya percepatan pembayaran kembali sebagian hutang luar negeri pemerintah. Sementara itu, pemasukan modal pemerintah dalam periode tersebut diperkirakan mengalami peningkatan dari sebesar US$ 6.195 juta menjadi sebesar US$ 6.430 juta. Sedangkan lalu lintas modal lainnya dalam tahun 1994/95 diperkirakan sebesar US$ 4.749 juta, atau lebih tinggi sebesar US$ 101 juta dibandingkan dengan realisasi sebesar US$ 4.648 juta dalam tahun sebelumnya. 4.5. Perkiraan neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1995/96 Situasi penerimaan devisa sebagai sumber pembiayaan pembangunan di tahun 1995/96 diperkirakan akan memperlihatkan gambaran dua sisi yang berbeda. Di satu pihak, penerimaan devisa neto dari ekspor minyak bumi dan gas alam belum dapat menjanjikan prospek yang menggembirakan. Hal ini disebabkan karena harga minyak bumi masih belum menentu dan diperkirakan keadaan ini akan masih berlanjut dalam tahun depan. Di pihak lain, penerimaan devisa dari ekspor nonmigas diharapkan akan memperlihatkan situasi yang lebih menggembirakan. Hal ini disebabkan karena negara-negara industri, khususnya negara-negara mitra dagang Indonesia seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Masyarakat Eropa, serta negaranegara industri baru di Asia seperti Singapura, Taiwan, Hongkong dan Korea, diperkirakan akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dalam tahun 1995/96. Sejalan dengan mulai berkurangnya hambatan-hambatan pada perdagangan bebas, khususnya antar-negara di ASEAN, Departemen Keuangan RI 348 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 keadaan ini diperkirakan juga akan membawa dampak yang positif kepada ekspor nonmigas Indonesia. Berdasarkan perkembangan keadaan tersebut di atas, dalam tahun 1995/96 nilai ekspor migas diperkirakan akan mencapai US$ 9.213 juta, dengan jumlah produksi per hari sebanyak 1,520 juta barel dan harga rata-rata minyak mentah yang diperkirakan sebesar US$ 16,5 per barel. Sementara itu, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang dan semakin berkurangnya hambatan-hambatan pada perdagangan internasional, ekspor nonmigas diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 16,5 persen, sehingga dalam tahun 1995/96 nilainya diperkirakan mencapai sebesar US$ 36.243 juta. Dari segi pengeluaran devisa untuk impor barang dan jasa, penggunaan devisa masih akan dinominasi oleh pengeluaran untuk impor barang modal dan impor bahan baku, yang sebagian besar dipergunakan untuk menunjang kegiatan industri berorientasi ekspor. Dengan meningkatnya kegiatan industri ekspor, pengeluaran devisa untuk impor bahan baku/penolong, serta barang modal diperkirakan akan meningkat pula. Sementara itu, sejalan dengan meningkatnya impor, pengeluaran devisa untuk biaya angkut (freight) akan meningkat, yang pada gilirannya akan meningkatkan defisit pada neraca jasa-jasa neto dalam tahun 1995/96. Dengan perkembangan tersebut di atas, impor barang diperkirakan akan mencapai US$ 37.100 juta, yang mencakup impor migas sebesar US$ 3.336 juta dan impor nonmigas sebesar US$ 33.764 juta. Sementara itu pengeluaran devisa untuk jasa-jasa neto diperkirakan mencapai US$ 12.449 juta, yang terdiri dari jasa-jasa migas sebesar US$ 3.158 juta dan jasa-jasa nonmigas sebesar US$ 9.291 juta. Besarnya impor barang dan jasa tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi defisit pada transaksi berjalan, sehingga dalam tahun 1995/96 diperkirakan sebesar US$ 4.093 juta, yang berarti 14,1 persen lebih tinggi dari perkiraan realisasi tahun anggaran 1994/95. Walaupun pinjaman luar negeri yang bersifat lunak di masa mendatang semakin terbatas, besarnya pinjaman luar negeri pemerintah dalam tahun 1995/96 diperkirakan 0,9 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Selanjutnya, dengan semakin menariknya iklim usaha di dalam negeri, aliran masuk modal swasta neto diperkirakan akan semakin meningkat dalam tahun 1995/96. Dengan demikian, aliran masuk modal neto dalam tahun 1995/96 secara keseluruhan, yang terdiri dari pinjaman luar negeri pemerintah, pembayaran pokok pinjaman luar negeri Departemen Keuangan RI 349 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pemerintah, dan lalu lintas modal swasta luar negeri dalam tahun 1995/96, diperkirakan akan mencapai US$ 5.895 juta, yang berarti meningkat sebesar US$ 271 juta dari tahun sebelumnya. Berdasarkan hal di atas, dalam tahun 1995/96 neraca pembayaran diperkirakan mengalami surplus sebesar US$ 1.802 juta, sehingga cadangan devisa dalam periode tersebut cukup untuk membiayai sebesar 5 bulan impor. 4.5.1. Perkiraan penerimaan minyak bumi dan gas alam (neto) Dalam tahun 1995/96, harga minyak mentah di pasar dunia diperkirakan sedikit lebih tinggi dari harga yang terjadi dalam tahun 1994/95, yaitu sekitar US$ 16,50 per barel. Sedangkan jumlah produksi diperkirakan sebesar 1,520 juta barel per hari atau 0,2 persen lebih rendah dari realisasi dalam tahun sebelumnya sebesar 1,523 juta barel per hari, sementara ekspor gas alam diperkirakan akan mengalami sedikit kenaikan. Berdasarkan hal itu, penerimaan minyak bumi dan gas alam (neto) diperkirakan akan mencapai sebesar US$ 2.719 juta, yang meliputi ekspor migas sebesar US$ 9.213 juta, impor migas sebesar US$ 3.336 juta, dan pengeluaran jasa migas neto sebesar US$ 3.158 juta. 4.5.2. Perkiraan nilai ekspor bukan minyak bumi dan gas alam Realisasi ekspor bukan minyak bumi dan gas alam dalam tahun 1995/96, diperkirakan akan mencapai sebesar US$ 36.243 juta, yang berarti 16,5 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Perkiraan tersebut didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut : (1) Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan negara-negara maju, khususnya negara-negara mitra dagang Indonesia, serta menurunnya laju inflasi di negara-negara tersebut, diperkirakan akan meningkatkan volume perdagangan Indonesia. (2) Dengan semakin terbukanya perdagangan dunia pasca GATT, pangsa pasar ekspor nonmigas di pasar dunia akan semakin meningkat. Di samping itu, dengan diberlakukannya perdagangan bebas antar negara di kawasan ASEAN (AFTA) pada bulan Januari 1995, ekspor nonmigas Indonesia ke negara-negara te:sebut diperkirakan akan meningkat. (3) Berbagai kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi terus dilanjutkan dan disempurnakan, yang pada gilirannya akan lebih meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan standar mutu produkDepartemen Keuangan RI 350 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 produk nasional, sehingga produk di dalam negeri mampu bersaing di pasar global. Sehubungan dengan hal tersebut, ekspor nonmigas dalam tahun 1995/96 diperkirakan akan lebih tinggi dari periode sebelumnya. 4.5.3. Perkiraan nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam Nilai impor bukan minyak bumi dan gas alam dalam tahun anggaran 1995/96 diperkirakan akan mencapai sebesar US$ 33.764 juta, yang berarti 15 persen lebih tinggi dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya yaitu sebesar US$ 29.361 juta. Perkiraan tersebut didasarkan atas asumsi sebagai berikut : (1) Melalui berbagai deregulasi dan debirokratisasi, industri ekspor nonmigas terus didorong dan diperkirakan akan meningkat, sehingga impor bahan baku/penolong dan barang modal juga meningkat. Pada gilirannya hal ini mengakibatkan impor secara keseluruhan akan meningkat pula. (2) Deregulasi yang berkaitan dengan penyederhanaan di bidang investasi dan perizinan, serta peningkatan penyediaan sarana dan prasarana, diperkirakan akan lebih meningkatkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebagai akibatnya, impor barang modal dan bahan baku/penolong dalam rangka penanaman modal langsung juga akan meningkat. (3) Dengan telah diratifikasinya persetujuan Putaran Uruguay, hambatan perdagangan berupa hambatanl tarif dan nontarif secara bertahap akan berkurang. Sejalan dengan hal itu, impor nonmigas diperkirakan akan meningkat. (4) Meningkatnya pendapatan masyarakat pada akhirnya akan mengakibatkan meningkatnya permintaan barang-barang impor serta produksi dalam negeri daripada barang-barang yang mengandung bahan baku impor. 4.5.4. Perkiraan pos lainnya Sejalan dengan meningkatnya pengeluaran devisa untuk pembayaran jasa angkutan laut dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri, pengeluaran jasa (neto) dalam tahun 1995/96 diperkirakan mencapai sebesar US$ 12.449 juta, atau meningkat 7,8 persen dari periode Departemen Keuangan RI 351 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 sebelumnya. Sementara itu lalu lintas modal, yang terdiri atas pemasukan modal pemerintah, pembayaran cicilan pokok hutang luar negeri pemerintah, dan lalu lintas modal swasta, dalam tahun 1995/96 diperkirakan mencapai sebesar US$ 5.895 juta. Perkiraan neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1995/96 dapat dilihat dalam Tabel IV.11. TabeI IV. 11 PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN, 1995/96 (dalamjuta US $) Barang-barang dan jasa-jasa L Ekspor, fob minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam 2. Impor, fob minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam 3. Jasa-jasa minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam 4. Transaksi berjalan minyak bumi dan gas alam bukan minyak bumi dan gas alam SDRs II. III. Pemasukan modal Pemerintah 1. Bantuan program 2. Bantuan proyek dan lain-lain IV. Lalu lintas modallainnya Pembayaran hutang pokok V. VI. Jumlah (I s.d. V) VII. Selisih yang belum dapat diperhitungkan VIII. Lalu lintas moneter I. Departemen Keuangan RI + + + + + + + + - 45.456 9.213 36.243 37.100 3.336 33.764 12.449 3.158 9.291 4.093 2.719 6.812 6.488 0 6.488 5.072 5.665 1.802 0 1.802 352 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 BAB V KEUANGAN DAERAH 5.1. Pendahuluan Pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peranserta aktif masyarakat, serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Pengarahan-pengarahan tersebut telah diamanatkan dengan jelas dalam GBHN 1993 untuk menjadi acuan dalam pembangunan daerah dengan landasan yang kokoh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan pembangunan daerah sangat sejalan dengan pembangunan otonorni daerah, atau bahkan saling terkait satu sama lain untuk saling menunjang dalam pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Dalam rangka mewujudkan suatu kerangka landasan pembangunan yang kokoh, sebagaimana diamanatkan dalam GBHN tersebut, diperlukan dana pembangunan yang cukup besar, baik melalui mobilisasi dana masyarakat untuk investasi yang semakin meningkat, maupun melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat I dan tingkat II. Berbagai program yang dilaksanakan di bidang keuangan daerah selama ini memperlihatkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Penerimaan daerah tingkat I seluruh Indonesia, yang dalam tahun anggaran 1988/89 berjumlah Rp 3.651,5 miliar, telah meningkat menjadi sebesar Rp 8.382,3 miliar dalam tahun anggaran 1993/94, akan telah mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 18,1 persen per tahun. Sedangkan penerimaan daerah tingkat II selama periode 1988/89-1992/93 telah mengalami peningkatan yang lebih tinggi, yaitu dari sebesar Rp 2.568 miliar dalam tahun anggaran 1988/89 menjadi sebesar Rp 6.617,3 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, yang berarti meningkat rata-rata sebesar 26,7 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1988/89 rata-rata penerimaan per daerah tingkat II adalah sebesar Rp 8,9 miliar, dan telah meningkat menjadi sebesar Rp 22,6 miliar dalam tahun anggaran 1992/93. Departemen Keuangan RI 353 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Anggaran pendapatan daerah tingkat I dan tingkat II meliputi pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, serta pinjaman daerah, sedangkan anggaran pengeluaran daerah tingkat I dan tingkat II meliputi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Perkembangan APBD tingkat I dan tingkat II dapat dilihat pada Tabel V.1 sampai dengan Tabel V.9. Tabel V. 1 PENERIMAAN DAERAJI TINGKAT I SELURUH INDONESIA, DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS, 1988189 DAN 1993/94 Repelita IV Repe1ita V No. Uraian 1988/89 1993/94 Jumlah Jumlah Proposi Proposi (Rp miIiar) (Rp miIiar) (%) (%) (I) -2 -3 -5 -6 -4 I. Pendapatan asli daerah (PAD) 814,16 2.199,79 26,24 22,3 2. Bagi hasil pajak dan bukan pajak 213.63 644,42 7,69 5.85 (pBB. IHHlIHPH. dan lainnya) 3. Sumbanganlbantuan pemerintah pusat 2.388,71 5.096,65 60,8 65,41 4. Pinjaman daerah 8.74 38,44 0,46 0,24 5. Sisa lebih tahun sebelumnya 226.30 403.02 4,81 6,2 6. Jumlah penerimaan APBD Tk.l 3.651,54 8.382,32 100 100 7. POB *) 121.606,00 269.385,30 8. Persentase penerimaan APBO Tk.I terhadap POB (6 : 7) 3.11 3 Keterangan : Dalam tahun takwim, atas dasar harga yang berlaku. Angka sementara. Tabel V. 2 PENGELUARAN DAERAH l1NGKAT I SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS, 1988/89 DAN 1993/94 Repelita IV Repelita V No. Uraian 1988/89 1993/94 Jumlah JumIah Proporsi Proporsi (Rp miliar) (Rp miliar) (%) (%) 1. 2. 3. 4. 5. Pengeluaran rutin Pengeluaran pembangunan Jumlah pengeluaran APBD Tk.I PDB') Persentase pengeluaran APBD Tk.I terhadap PDB (3: 4) 2.540,14 811,19 3.351,33 121.606,00 - 75,79 5.400,96 24,21 2.413,01 100 7.813,97 - 269.385.30 2,76 - 69,12 30,88 100 2,9 Ketcrangan : *) Dalam tahun takwim, atas dasar harga. yang berlaku. **) Angka sementara Departemen Keuangan RI 354 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel V. 3 PENDAP AT AN DAERAH TINGKA T I PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94 (dalam miliar rupiah) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Propinsi DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung OKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah Departemen Keuangan RI Repelita IV 1988/89 83,02 240,53 47,98 69,26 30,91 76,26 26,64 112,93 542,58 488,38 470,36 92,89 562,02 80,05 57,22 78,25 78,25 97,45 54,4 61,64 24,54 95,04 28,4 30,35 34,04 62,15 26,01 3.651,54 1989/90 103,98 275,29 55,29 114,9 37,03 91,19 29,34 134,72 710,45 561,56 534,19 94,9 630,49 94,27 68,17 92,71 100,4 110,25 67,46 80 25,26 112,6 34,02 38,54 46,99 75,97 30,15 4.350,13 1990/91 118 318,66 69,26 157,93 48,23 125,42 40,31 147,88 988,09 686,39 608,4 111.73 741,47 119,14 90,91 112,36 141,36 124,62 91,51 106,6 41,16 145,11 49,03 51,01 67,19 115,56 37,31 5.454,65 Repelita V 1991/92 146,57 337,48 78,6 205,54 63,16 142,65 48,48 162,1 1.241,64 802,64 702,83 133,74 854,54 140,19 117,71 129,27 172,89 151,95 107,13 123,32 52,07 103,35 61,67 68,46 79,22 130,46 46,91 6.404,57 1992/93 167,84 384,08 86 228,81 72,13 154,5 55,08 187,62 1.381,11 918,9 834,22 148,13 960,69 162,7 141,8 161,84 202,77 17 1,64 126,79 126,62 56,74 93,9 64,01 81,35 85,82 163,27 61,02 7.279,41 1993/94 194,71 466,71 99,02 231,83 84,13 177,46 61,05 101,37 1.670,66 1.095,79 1.027,69 180,52 1.143,98 198,65 176,24 202,23 205,07 93,01 155,74 138,32 72,82 100,11 72,29 89,46 96,91 178,89 67,67 8.382,32 Pertumbuhan Rata-rata Repelita V (%) 18,6 14,2 15,6 27,3 22,2 18,4 18 -2,1 25,2 17;5 16,9 14,2 15,3 19,9 25,2 20,9 21,2 -0,9 23,4 17,5 24,3 1 20,5 24,1 23,3 23,5 21,1 18,1 355 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel V. 4 BELANJA DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 -1993/94 (dalam miliar rupiah) Repelita IV Repelita V No Propinsi -1 I. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. II. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. -2 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung OK! Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timor Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah Departemen Keuangan RI 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 -3 -4 -5 -6 -7 -8 77,34 96,34 110,1 141,34 162,4 190,16 226,4 267,15 308,91 336,9 383,14 458,58 43,02 49,73 63,25 74,68 82,09 95,22 49,23 73,66 108,67 136,53 183,44 200,42 28,01 34,03 42,9 57,26 65,98 78,84 58,71 72,52 106,07 126,56 133,98 164,53 25,5 27 37,88 47,36 53,94 59,69 93,76 118,27 143,35 160,23 185,44 97,98 466,91 603,74 783,99 1.051,40 1.232,04 1.403,20 466,37 529,44 612,86 759,01 894,71 1.034,88 456,9 516,28 580,78 677,48 810,18 998,8 86,15 87,11 106,88 128,28 141,58 172,77 536,45 598,49 684,98 809,94 946,16 1.109,41 73,75 88,57 108,25 135,87 160,07 191,31 52,52 66,07 84,25 103,37 133,49 168,89 75,23 88,69 109,56 124,76 156,89 200,44 67,87 84,27 118,11 153,64 179,62 162,92 88,81 106,63 121,46 141,14 169,38 90,88 53,76 66,27 90,58 105,84 125,73 155,23 51,85 65,88 89,11 117,95 122,01 134,16 24,02 24,82 37,71 49,33 51,2 70,79 86,07 101,59 124,97 99,31 88,57 92,42 26,14 30,4 43,12 59,08 62,5 70,82 28,24 36,88 48,25 64,78 76,59 84,37 27,54 36,49 53,47 70,84 79,52 91,15 56,91 67,19 103,51 116,49 136,2 171,3 23,87 27,98 36,19 41,61 55,48 64,81 3.351,33 ' 3.965,49 4.859,16 5.890,94 6.872,32 7.813,97 Pertumbuhan Rata-rata Repelita V -9 19,7 15,2 17,2 32,4 23 22,9 18,5 0,9 24,6 17,3 16,9 14,9 15,6 21 26,3 21,7 19,1 0,5 23,6 20,9 24,1 1,4 22,1 24,5 27 24,7 22,1 18,4 356 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 No. Uraian 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Tabel V.5 PENERIMAAN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA, DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS, 1988/89 DAN 1992/93 Repelita IV Repelita V 1988/89 1992/93 Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) Pendapatan asli daerah (PAD) Bagi hasil pajak dan bukan pajak (PBB. IHH/IHPH, dan lainnya) Sumbanganlbantuan pemerintah pusat dan daerah tingkat I Pinjaman daerah Sisa lebih tahun sebelumnya Jumlah penerimaan APBD Tk.lI P D B *) Persentase penerimaan APBD Tk.lI terhadap PDB (6: 7) 403.93 15.73 806.75 12.19 266,69 10.39 837.63 12.66 69.73 . 4.752.79 1,23 41,67 2,92 178,43 100 6.617.27 - 227.795.50**) 71,82 0,63 2,7 100 - 1.790,94 31.53 74.93 2.568.02 121.606,00 - 2,11 - 2,9 Keterangan : *) Dalam tahun takwim. dan atas dasar harga yang herlaku. **) Angka sementara No. Uraian 1. 2. 3. 4. 5. Tabel V, 6 PENGELUARAN DAERAH TINGKAT IT SELURUH INDONESIA, DIBANDINGKAN DENGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS, 1988/89 DAN 1992/93 Repelita V Repelita IV 1992/93 1988/89 Jumlah Jumlah Proporsi Proporsi (Rp miliar) (Rp miliar) (%) (%) Pengeluaran rutin Pengeluaran pembangunan lumlah pengeluaran APBO Tk.1I POB *) Persentase pengeluaran APBO Tk.1I terhadap POB (3: 4) 1.447,72 1.004,39 2.452,\ 1 121.606,00 59,04 40,96 100 2.889,58 3.465,61 6.355,19 227.795,50 45,47 54,53 100 - 2,02 - 2,79 Kelerangan *) Dalam lahun takwim, dan atas dasar harga yang berlaku. Departemen Keuangan RI 357 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel V. 7 JUMLAH DAERAH TINGKA T II PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1992J93 No. Propinsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah Departemen Keuangan RI 1988/89 1992J93 10 17 1,4 6 6 10 4 4 24 35 5 37 7 6 10 6 6 4 23 4 8 6 12 4 9 13 290 10 17 14 6 6 10 4 5 25 35 5 37 7 6 10 6 7 4 23 4 9 6 12 5 9 13 295 358 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel V. 8 PENDAPATAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1988/89 -1992/93 (dalam miliar rupiab) No. Propinsi Repelita IV 1988/89 Keseluruhan Rata-rata Repelita V 1989190 Keseluruhan Rata-rata 1990191 1991/92 1992/93 Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata Pertumbuhan Rata-rata Repelita V (%) I. DIAceh 76,12 7,61 98,57 9,86 138,31 [3,83 160,91 16,()I} 197,45 19,74 2. Sumatera Otara 172,06 10,12 199,17 11,72 269,62 [5,86 330,29 [9,43 369,24 21,72 26,9 2[,0 3. Sumatera Barat 125,75 8,98 131,74 9,41 172,72 12,34 197,8 14,[3 261.6 [ 18,69 20,1 4. Riau 70,77 11,8 92,14 15,36 132,38 22,06 2[5,83 35,97 223,t)l} 37,18 33,2 5. Jambi 55,15 9,19 69,37 11,56 96,03 16,(X) 155,06 25,84 [47,70 24,62 27,9 6. Sumater. Se[atan 144,58 14,46 [69,49 16,95 235,6[ 23,56 300,27 30,03 362,38 36,24 25,8 7. Bengku[u 29,54 7,38 34,99 8,75 50,13 12,53 64,3 [6,08 79,05 19,76 27,9 8. Lampung 55,89 13,97 61.22 15,3 87,27 21,82 108,63 27,16 141,5[ 28,3 26,[ 9. Jawa Baral 314,69 13,11 359,97 15,1X) 533,78 22,24 666,88 27,79 860,08 35,84 28,6 lO. Jawa Tengab 304,11 8,69 339,59 9,7 475,8 [3,59 550,67 15,73 652,19 18,63 2[,0 [I. DI Yogyakarta 32,67 6,53 40,44 8,()I} 55,22 11,04 67,31 13,46 88,44 [7,69 28,3 326,34 8,82 359,7 9,72 527,24 14,25 632,03 17,08 762,71 20,61 23,6 51,[2 7,3 59,19 8,46 87,18 12,45 117,25 16,75 126,39 [8,t)6 25,4 45,5 12. Jawa Timur 13. Kalimantan Barat 14. Kalimantan Tengah 33,54 5,59 45,7 7,62 78,96 13,[6 119,89 19,98 lSO,18 25,03 15. Kalimantan Selatan 42,59 4,26 50,06 5,01 82,72 8,27 112,66 11,27 127,16 12,72 3[,5 16. Kalimatan Timur 61,91 10,32 99,35 16,56 135,12 22,52 193.18 32,2 228,2 38,03 38,6 30,5 17. Sulawesi Otara 36,3 6,05 45,53 6,SO 63,35 9,05 83,2 11,89 105,3 15,04 18. Sulawesi Tengab 37,46 9,36 32,72 8,18 55,95 13,99 59,39 14,85 76,8 19,2 19,7 [9. Sulawesi Selatan 185,1 8,05 224,48 9,76 288,07 12,52 353,25 15,36 463,6 20,16 25,8 26,3 20. Sulawesi Tenggara 41,08 10,27 47,81 11,95 62,6 [5,65 81,3 20,33 104,43 26,11 21. Bali 51,96 6,49 66,48 8,31 98,59 12,32 159,07 19,88 203,05 25,38 40,6 22. Nusa Tenggara Barat 67,3 [1,22 83,13 13,85 115,31 19,22 119,08 19,85 157,15 26,[9 23,6 23. Nusa Tenggara Timur 91,88 7,66 109,61 9,13 150,91 12,58 190,89 15,91 234,25 19,52 26.4 24. Maluku 57,13 14,28 66,84 13,37 94,08 18,82 116,85 23,37 127,79 25,56 22,3 25. Irian Jaya 82,29 9,[4 99,1 11,tll 161,13 [7,90 227,05 25,23 281,11 31,23 36 26. Timor Timur 20,7 1,59 27,55 2,12 56,67 4,36 68,3 5,25 86.43 6,65 42,9 2.568,02 - 8,86 3.013,92 - 10,32 4.304,73 - 14,74 5.451,35 - 18,67 6.617,27 - 22,58 26,7 - Jumlah Rata-rata Tabel V. 9 BELANJA DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI. 1988/89 -1992/93 (dalam miliar rupiah) Repelita IV No. Propinsi Keseluruhan (I) -2 1. DI Aceh 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatern Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Jawa Barat n Rata-rata Repelita V 1988/89 1989190 Rata.rata Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan 1990/91 Rata-rata Keseluruhau 1991/92 Rata-rata Keseluruhan 1992/93 Rata-rata Repelita V (%) -13 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 73.40 7,34 95,02 9,5 133,07 13,31 154,95 15,5 191,18 19,12 27 162,34 9,55 191,87 11,29 261,46 15,38 321,03 18,88 352,52 20,74 21,4 113,8 8,13 130,65 9,33 170,75 12,2 195,26 13,95 255,06 18,22 22,4 64,23 10,7 83,81 13,97 127,31 21,22 172,45 28,74 215,91 35,98 35,4 53,81 8,97 66,49 11,08 93,75 15,62 118,91 19,82 146,37 24,39 28,4 141,13 14,11 152,81 15,28 227,29 22,73 273,7 27,37 351,65 35,16 25,6 26,56 6,64 33,57 8,39 48,86 12,22 63,5 15,88 78,42 19,6 31,1 54,38 13,6 57,82 14,46 85,62 21,4 106,44 26,61 138,08 27,62 26,2 301,36 12,56 352,86 14,7 514,17 21,42 643,26 26,8 828,41 34,52 28,8 2%,55 8,47 329,24 9,41 446,21 12,75 539,21 15,41 639,01 18,26 21,2 30,98 6,2 38,49 7,7 53,79 10,76 64,95 12,99 86,12 17,34 29,4 316,35 8,55 434,68 9,29 511,71 13,83 602,74 16,29 705,51 19,07 22,2 13. Kalimantan Barat 49,43 7,1J6 57,26 8,18 76,98 11 114,41 16,34 124,75 17,82 26 14. Kalimantan Tengah 31,28 5,21 40,47 6,75 70,53 11,76 108,03 18 145,14 24,19 46,8 30,6 10. Jawa Tengah 11. DI Yogyakarta 12. Jawa Timur 15. KalimanJ;U1 Selatan 41,35 4,13 47,4 4,74 77,04 7,7 108,49 10,85 120,12 12,01 16. Kalimatan Timur 53,19 8,86 87,33 14,55 115,84 19,31 168,35 28,06 204,01 34,m 39,9 17. Sulawesi Utara 32,87 '5,48 44,24 6,32 61,49 8,78 82,32 11,76 101,66 14,52 32,6 18. Sulawesi Tengah 29,98 7,49 31,39 7,85 55,32 13,83 58,35 14,59 12,81 18,2 24,8 19. Sulawesi Selatan 178,68 7,77 221,17 9,62 281,97 12,26 348,89 15,17 448,04 19,48 25,8 20. Sulawesi Tenggara 41,06 10,27 47,15 11,79 60,92 15,23 80,08 20,02 96,12 24,03 23,7 21. Bali 49,44 6,18 63,91 7,99 94,04 11,75 154,26 19,28 192,76 24,1 40,5 22. Nusa Tenggara Barat 66,86 11,14 82,61 13,77 112,79 18,8 117,99 19,66 155,17 25,86 23,4 23. Nusa Tenggara Timur 90,75 7,56 108,85 9,07 149,12 12,43 186,71 15,56 230,24 19,19 26,2 24. Maluku 56,25 14,06 63,4 12,68 88,36 17,67 110,79 22,16 125,16 25,03 22,1 25. Irian Jaya 76,08 8,45 93,16 10,35 153,99 17,11 191,37 21,26 265,89 29,54 36,7 26. TimnrTimur 20,02 1,54 26,54 2,04 56,07 4,31 67,87 5,22 84,48 6,5 43,3 2.452,11 - 8,46 2.891,18 - 9,9 4.128,44 - 14,14 5.154,30 - 17,65 6.355,19 - 21,69 26,9 - Jumlah Rata-rata Departemen Keuangan RI 359 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Penilaian secara umum terhadap tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam mobilisasi dana antara lain dapat dilihat dari perkembangan penerimaan daerah sendiri (PDS), yaitu PAD ditambah pajak bumi dan bangunan (PBB). PBB merupakan unsur PDS karena PBB adalah pajak negara yang 91 persen hasilnya diserahkan kepada daerah tingkat I dan tingkat II, dan pada hakekatnya merupakan penerimaan yang dapat memberikan indikasi mengenai tingkat usaha daerah dalam kegiatan pemungutan pajak, di samping merupakan penerimaan bagi hasil pajak yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan daerah. Meningkatnya PDS menggambarkan kemampuan daerah yang semakin meningkat dalam menggali potensi PAD dan PBB, menuju kemandirian daerah di bidang pembiayaan tugas-tugas otonomi daerah. Dengan demikian, peningkatan PDS sangat penting, tidak saja karena pelaksanaan pembangunan di daerah membutuhkan pembiayaan yang cukup besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun, tetapi juga karena sangat diperlukan untuk pengembangan otonomi yang dititikberatkan di daerah tingkat II. Jumlah PDS tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 917,8 miliar, dan dalam tahun anggaran 1993/94 telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.612,1 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata 23,3 persen per tahunnya. Sedangkan PDS tingkat II seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 berjumlah sebesar Rp 619,6 miliar, dan meningkat menjadi sebesar Rp 1.453,3 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata 23,8 persen per tahun. Jumlah PAD tingkat I selurqh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 814,2 miliar, dan dalam tahun anggaran 1993/94 telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.199,8 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata 22 persen per tahunnya. Sedangkan PAD tingkat II seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 berjumlah sebesar Rp 403,9 miliar, yang meningkat menjadi sebesar Rp 806,7 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 18,9 persen per tahun. Proporsi PAD tingkat I terhadap seluruh penerimaan APBD tingkat I juga menunjukkan peningkatan, dari 22,3 persen dalam tahun anggaran 1988/89 meningkat menjadi 26,2 persen dalam tahun anggaran 1993/94. Sedangkan untuk daerah tingkat II seluruh Indonesia, walaupun jumlah nominal PAD meningkat dari tahun ke tahun, namun proporsinya terhadap seluruh penerimaan menunjukkan persentase yang menurun, dari 15,7 persen dalam tahun anggaran 1988/89 menjadi 12,2 persen dalam tahun anggaran 1992/93. Penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak sebagian besar berasal dari penerimaan Departemen Keuangan RI 360 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pajak bumi dan bangunan (PBB), sedangkan bagian lainnya terdiri dari penerimaan yang berasal dari iuran hasil hutan (IHH), iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), serta penerimaan lainnya. Peranan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak daerah tingkat I seluruh Indonesia relatif kecil dibandingkan seluruh penerimaan APBD tingkat I, yaitu sebesar 5,9 persen dalam tahun anggaran 1988/89 dan kemudian naik menjadi sebesar 7,7 persen dalam tahun anggaran 1993/94. Sebaliknya peranan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak daerah tingkat II terhadap penerimaan keseluruhan daerah tingkat II, relatif lebih besar. Persentase bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap penerimaan daerah tingkat II adalah sebesar 10,4 persen dalam tahun anggaran 1988/89, yang meningkat menjadi 12,7 persen dalam tahun anggaran 1992/93. Persentase sumbangan dan bantuan pusat terhadap penerimaan daerah tingkat I menunjukkan penurunan, dari 65,4 persen dalam tahun anggaran 1988/89 menjadi 60,8 persen dalam tahun anggaran 1993/94, walaupun jumlah nominal mengalami peningkatan, dari sebesar Rp 2.388,7 miliar dalam tahun anggaran 1988/89 menjadi sebesar Rp 5.096,7 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Untuk daerah tingkat II, persentase penerimaan yang berasal dari sumbangan dan bantuan mengalami peningkatan yang cukup pesat. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89 penerimaan ini baru mencapai 69,7 persen dari keseluruhan penerimaan daerah tingkat II, maka dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi 71,8 persen dari seluruh penerimaan daerah tingkat II. Meningkatnya persentase alokasi sumbangan dan bantuan terhadap penerimaan daerah tingkat II tersebut antara lain karena semakin banyaknya urusan-urusan yang diserahkan oleh pusat kepada daerah sehubungan dengan kebijaksanaan pusat untuk memberikan otonomi yang semakin besar kepada daerah. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi terutama di perkotaan juga menyebabkan meningkatnya kebutuhan dana sumbangan ini, karena semakin meningkat pula kegiatan pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat. Realisasi pengeluaran rutin daerah tingkat I yang sebagian besar digunakan untuk membiayai. belanja pegawai, dalam tahun anggaran 1988/89 berjumlah Rp 2.540,1 miliar, dan dalam tahun anggaran 1993/94 telah meningkat menjadi sebesar Rp 5.401 miliar. Selama kurun waktu tersebut pengeluaran rutin mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 16,3 persen. Demikian pula telah terjadi peningkatan dalam realisasi pengeluaran pembangunan daerah tingkat I, yang terutama digunakan ootuk membiayai sektor perhubungan dan pariwisata serta sektor aparatur pemerintah. Dalam tahun anggaran 1993/94 pengeluaran pembangunan daerah tingkat I berjumlah Rp 2.413 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 24,4 Departemen Keuangan RI 361 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 persen per tahun jika dibandingkan dengan pengeluaran pembangunan tahun anggaran 1988/89 yang berjumlah Rp 811,2 miliar. Dalam pada itu, realisasi pengeluaran rutin daerah tingkat II selama periode 1988/891992/93 secara keseluruhan menunjukkan perkembangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89 baru mencapai jumlah sebesar Rp 1.447,7 miliar, maka jumlah tersebut telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.889,6 miliar dalam tahun anggaran 1992/93 atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 18,9 persen per tahun. Sedangkan realisasi pengeluaran pembangunan daerah tingkat II dalam tahun anggaran 1988/89 berjumlah Rp 1.004,4 miliar, dan dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi sebesar Rp 3.465,6 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 36,3 persen per tahunnya. Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan program-program pembangunan, berdasarkan penilaian yang obyektif telah dilakukan peningkatan status beberapa wilayah administratif menjadi daerah otonom tingkat II untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89 terdapat 290 daerah tingkat II, maka dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi 295 daerah tingkat II, dengan adanya penambahan 5 daerah tingkat II baru, yaitu Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung di Propinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Daerah Tingkat II Halmahera Tengah di Propinsi Maluku, Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat di Propinsi Lampung, Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar di Propinsi Bali dan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang di Propinsi Jawa Barat. Dalam tahun anggaran 1993/94 telah terbentuk 2 kotamadya daerah tingkat II, yaitu Mataram di Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Jayapura di Propinsi Irian Jaya. Sedangkan dalam tahun anggaran 1994/95 telah terbentuk pula Kotamadya Daerah Tingkat II Palu di Propinsi Sulawesi Tengah, sehingga jumlah daerah tingkat II menjadi 298 daerah tingkat II. 5.2. Kebijaksanaan keuangan daerah Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat, sehingga pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional. Dengan demikian antara keuangan negara dan keuangan daerah juga terdapat hubungan yang sangat erat yang juga mencakup pelaksanaan pembangunan nasional dan Departemen Keuangan RI 362 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 daerah. Dalam GBHN digariskan bahwa untuk memperkokoh negara kesatuan dan memperlancar penyelenggaraan pembangunan nasional, pelaksanaan pemerintahan di daerah harus didasarkan pada otonomi yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab serta disesuaikan dengan kemampuan daerah dalam menyelenggarakan tugas-tugas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan serta mendorong pemerataan pembangunan di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Selain itu daerah harus mampu mengembangkan dan memobilisasi sumber-sumber keuangannya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada daerah Tingkat II. Dikeluarkannya peraturan pemerintah ini dimaksudkan untuk mempertegas komitmen pemerintah terhadap upaya penyelenggaraan pemerintahan di daerah, khususnya di daerah tingkat II, karena kedudukannya yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat. Sejalan dengan kebijaksanaan di bidang otonomi daerah ini maka secara bertahap berbagai urusan akan diserahkan kepada daerah tingkat II, baik dari pemerintah pusat maupun dari daerah tingkat I. Dengan demikian beban tanggung jawab dan tantangan pemerintah daerah tingkat II akan menjadi semakin berat. Untuk mengantisipasi meningkatnya tugas-tugas daerah tingkat II tersebut pendapatan daerah harus ditingkatkan terus untuk membiayai pelaksanaan urusan yang telah diserahkan kepada daerah. Berkenaan dengan itu pemerintah pusat telah memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang cukup potensial dengan berdasarkan ketentuan yang ada, di samping pemerintah daerah dapat memperoleh juga pinjaman, khususnya untuk proyek-proyek yang bersifat pemulihan biaya, dari rekening pembangunan daerah (RPD). Selain daripada itu, untuk lebih menyehatkan badan-badan usaha milik daerah (BUMD), pemerintah pusat telah membantu daerah dalam merumuskan kriteria agar dapat mengukur sendiri kinerja keuangan perusahaan-perusahaan daerah. Tahap pertama telah dimulai dengan memberikan pedoman dan pelatihan dalam menilai kinerja keuangan perusahaan daerah air Departemen Keuangan RI 363 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 minum (PDAM) kepada sekitar 20 persen dari jumlah PDAM di seluruh Indonesia. Dalam pada itu, berbagai upaya peningkatan kualitas bagi para pengelola keuangan daerah juga telah diadakan melalui pelatihan-pelatihan, seperti latihan keuangan daerah (LKD), kursus keuangan daerah (KKD), serta pendidikan dan latihan manajemen perkotaan. Penyelenggaraan pelatihan keuangan daerah dengan memanfaatkan lembaga-lembaga perguruan tinggi, baik yang ada di Jawa maupun di luar Jawa, dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas aparat keuangan daerah secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan pelatihan manajemen perkotaan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas para pengelola kala, guna mengantisipasi tantangantantangan yang timbul karena keterbatasan penyediaan Sarana dan prasarana dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk perkotaan yang sangat pesat. Selain itu terus dilakukan pengiriman pegawai pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan bidang keuangan daerah, untuk mengikuti pendidikan dan latihan di luar negeri. Keseluruhan upaya tersebut ditujukan untuk meningkatkan kualitas aparat pemerintah daerah di bidang keuangan, terutama aparat pemerintah daerah tingkat II, guna mendukung kebijaksanaan pemerintah di bidang otonomi daerah. Disadari oleh pemerintah bahwa semakin banyak pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pemerintah daerah akan semakin terbuka pula kesempatan untuk melaksanakan pembangunan daerahnya sendiri secara nyata dan bertanggung jawab. Dalam upaya mewujudkan pemerataan pembangunan antar daerah, pemerintah mengalokasikan sejumlah dana berupa bantuan, utamanya kepada daerah yang berpendapatan rendah dan kurang potensinya, sehingga kesenjangan antar daerah dapat dikurangi. Selain daripada itu, sejak tahun anggaran 1994/95 pemerintah telah memberikan dana bantuan bagi desa-desa yang miskin melalui program bantuan Inpres desa tertinggal, yang tujuannya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di daerah. Dan dalam upaya untuk meningkatkan keuangan daerah, juga telah diserahkan 10 persen bagian pemerintah pusat dari pajak bumi dan bangunan kepada pemerintah daerah tingkat II. Pembangunan daerah diarahkan pula untuk mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar kota dan desa, percepatan pembangunan di kawasan timur Indonesia, serta dapat berjalan dengan berdaya guna dan berhasil guna di setiap wilayah. Guna menunjang keberhasilan pencapaian tujuan tersebut, diambil pokok-pokok kebijaksanaan sebagai berikut. Departemen Keuangan RI 364 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Pertama, kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi akan terus dilanjutkan dengan sasaran menghilangkan biaya tinggi serta meningkatkan partisipasi dan prakarsa masyarakat, sehingga daerah dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Untuk itu peraturan-peraturan daerah yang kurang mendukung akan menghambat tujuan deregulasi dan debirokratisasi akan dicabut akan disempurnakan. Kedua, pembinaan ke arah kemandirian dalam pembiayaan pembangunan terus ditingkatkan, antara lain dengan meningkatkan pendapatan daerah, baik yang bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, pajak bumi dan bangunan, maupun dari sumber lain. Sedangkan pemberian subsidi/bantuan kepada daerah diberikan untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan, khususnya untuk belanja pegawai dan program-program pembangunan yang akan dicapai. Di samping itu partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan terus didorong dan ditingkatkan agar sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah mencukupi. Dari sisi pengeluaran, dilakukan pengendalian berdasarkan prinsip efisiensi dan efektivitas, dengan memilih program-program berdasarkan skala prioritas. Ketiga, penataan kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat terus ditingkatkan agar seluruh lembaga yang adanapat berfungsi secara optimal, efisien, dan peka terhadap tuntutan pembangunan. Keempat, peningkatan sumber daya manusia terus dilaksanakan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja pemerintah daerah dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Untuk itu akan terus dilakukan pembinaan mental, peningkatan keterampilan dan kreativitas, pemanfaatan teknologi, dan peningkatan kemampuan manajemen dari semua tingkat pemerintahan guna terciptanya pemerintah daerah yang efektif, efisien dan bersih. Untuk mencapai tujuan tersebut akan terus ditingkatkan penyelenggaraan pendidikan dan latihan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kelima, agar hasil-hasil pembangunan berupa sarana dan prasarana dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat yang maksimal perlu disediakan pembiayaan operasi dan pemeliharaan yang memadai. Sementara itu, pembangunan di bidang perkotaan telah memperoleh perhatian yang lebih besar mengingat bahwa dalam dasawarsa terakhir (1980-1990) pertumbuhan penduduk perkotaan telah mencapai 5,4 persen per tahun, yang berarti jauh berada di atas pertumbuhan nasional yang Departemen Keuangan RI 365 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 hanya sekitar 2 persen. Berdasarkan kenyataan tersebut diperkirakan dalam tahun 2000 proporsi penduduk Indonesia yang bermukim di daerah perkotaan akan semakin meningkat dengan pesat. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan tersebut harus diimbangi dengan peningkatan pemenuhan kebutuhan pelayanan dan prasarana. Untuk memenuhi peningkatan kebutuhan yang terus meningkat tersebut, sedangkan di sisi lain pemerintah kota mempunyai keterbatasan pembiayaan, maka pada saat ini sedang disusun suatu rumusan rencana tindakan bagi kebijaksanaan perkotaan. Penjabaran kebijaksanaan tersebut antara lain mencakup pengembangan dan pemantapan sistem perkotaan, peningkatan kemampuan dan produktivitas kota, peningkatan kemampuan sumber daya manusia, pemantapan kelembagaan dan kemampuan keuangan perkotaan, pelembagaan pengelolaan pembangunan yanp terencana dan terpadu berikut perangkat peraturannya, serta peningkatan kualitas lingkungan fisik dan sosial ekonominya. Selain itu konsep pendekatan pembangunan perkotaan yang semula disebut program pembangunan prasarana kota terpadu (P3KT) dikembangkan menjadi program pembangunan perkotaan terpadu (P3T), sehingga cakupan komponennya diperluas tidak hanya meliputi penyediaan prasarana/kebutuhan dasar di bidang pekerjaan umum saja, tetapi juga mencakup sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi di daerah. 5.3. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat I 5.3.1. Penerimaan daerah sendiri Untuk mendukung upaya kemandirian daerah tingkat I di bidang pembiayaan, penerimaan daerah sendiri (PDS) yaitu PAD ditarnbah PBB, harus terus ditingkatkan. PBB dimasukkan sebagai unsur PDS karena meskipun PBB adalah pajak negara tetapi 91 persen dari hasil PBB telah diserahkan kepada daerah tingkat I dan tingkat II, sehingga sebagaimana halnya dengan PAD, PBB dapat digunakan sepenuhnya oleh daerah sesuai dengan kebutuhan daerah. Dengan demikian, PDS yang meningkat akan mencerminkan usaha nyata daerah dalam menggali dana yang diperlukan sekaligus keleluasaan untuk mempergunakannya sesuai prioritas kebutuhan daerah. Selain itu, struktur APBD tingkat I juga akan semakin diperkokoh dalam rangka mendukung pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di daerah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, utamanya melalui Departemen Keuangan RI 366 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 peningkatan efektifitas dan efisiensi pengumpulan dan penggunaan pajak daerah, retribusi daerah, dan PBE. Dalam hal ini penggalian PDS tidak saja diarahkan untuk memperoleh hasil pungutan yang semakin besar, tetapi juga dengan tetap memperhatikan berbagai fungsi fiskal lainnya, khususnya pencapaian upaya pemerataan, pertumbuhan investasi dan ekonomi di daerah, dan stabilitas perekonomian nasional, yang sepenuhnya dilaksanakan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pada itu, dengan semakin meningkatnya pelaksanaan pembangunan di daerah, maka kemampuan ekonomi masyarakat akan semakin meningkat, yang selanjutnya juga akan meningkatkan potensi PDS. Hasil pembangunan selama PJP I telah pula membuktikan hal ini, yaitu meningkatnya realisasi PDS setiap tahunnya selaras dengan pertumbuhan PDRB di masing-masing daerah tingkat I. Secara garis besar PDS terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD, penerimaan dinas-dinas, lain-lain usaha daerah yang sah, dan bagian PBB yang menjadi bagian daerah yang bersangkutan. Dalam periode 1988/89-1993/94 realisasi PDS tingkat I mengalami peningkatan yang cepat. Realisasi PDS tingkat I secara nasional dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 917,8 miliar dan dalam tahun anggaran 1993/94 sebesar Rp 2.612,1 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode tersebut PDS mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 23,3 persen per tahun, yang berarti lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penerimaan APBD tingkat I yang dalam periode yang sama mencapai sebesar 18,1 persen per tahun. Dengan demikian, peranan PDS terhadap penerimaan APBD tingkat I juga telah mengalami peningkatan yang cukup tinggi, yakni dari sebesar 25,1 persen dalam tahun anggaran 1988/89 menjadi sebesar 31,2 persen dalam tahun anggaran 1993/94. Bersamaan dengan itu, peranan PDS terhadap PDB juga cenderung semakin meningkat, yaitu dari sebesar 0,75 persen, dalam, tahun anggaran 1988/89 menjadi sebesar 0,97 persen dalam tahun anggaran 1993/94. Perkembangan peranan PDS terhadap penerimaan daerah tingkat I dan PDB tanpa migas dapat dilihat dalam Tabel V.10. Dengan tetap mempertahankan momentum pembangunan yang ada, di masa yang akan datang diharapkan investasi dan perekonomian di selurnh daerah akan terus tumbuh, sehingga dapat lebih memacu lagi pertumbuhan potensi PDS. Hal ini dimungkinkan karena dengan Departemen Keuangan RI 367 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kemampuan ekonomi masyarakat di daerah yang semakin membaik, sebagaimana tercermin dalam produk domestik regional bruto (PDRB) daerah yang bersangkutan, maka pada gilirannya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kewajiban pajak daerah, retribusi daerah, dan PBB juga akan semakin meningkat, apalagi didukung pula dengan administrasi pengelolaan pungutan yang terus ditingkatkan dan disempurnakan. Persentase PDS terhadap PDRB tanpa migas per daerah tingkat I tertinggi dalam tahun anggaran 1992/93 dicapai Propinsi Riau dan Propinsi DKI Jakarta masing-masing sebesar 2,8 persen, Propinsi Timor Timur sebesar 1,3 persen, dan Propinsi Kalimantan Timur sebesar 1,2 persen. Perkembangan peranan PDS tingkat I terhadap PDRB tanpa migas per daerah tingkat I dapat dilihat dalam TabeI V.11. No. I. 2. 3. 4. 5. Tabel V. 10 PENERtMAAN DAERAH SENDIRI TINGKAT I DAN PROPORSINYA TERHADAP PENERIMAAN DAERAH TINGKAT I DAN PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS, 1988/89 -1993/94 (dalam miliar rupiah) Uraian Repelita IV Repelita V 1988/89 19'89190 1990191 1991192 1992193 PDS tingkat 1 - PAD tingkat 1 - PBB tingkat 1 Penerimaan APBD TIc I PDB ') Persentase PDS Tk.1 terhadap penerimaan APBD (1 : 2) - Persentase PAD Tk. 1 terhadap penerimaan APBD - Persentase PBB Tk. 1 terhadap penerimaan APBD Persentase PDS Tk. 1 terhadap,PDB (1 : 3) - Persentase PAD Tk. 1 terhadap penerimaan PDB - Persentase PBB Tk. 1 terhadap penerimaan PDB 1993194 917,8 814,16 103,64 3.651,54 121.606,00 1.211,02 1.041,40 169,61 4.350,\3 142.454,70 1.639,52 1.438,31 206,21 5.454,65 166.518,40**) 1.871,20 1.604,04 267,16 6.404,57 192.803,10**) 2.048,32 1.743,76 304,56 7.279,41 227.795,50**) 2.612,11 2.199,79 412,32 8.382,32 269.385,30**) 25,13 27,84 30,06 29,22 28,14 31,16 22,30 23,94 26,37 25,05 23,95 26,24 2,84 0,75 3,90 0,85 3,69 0,98 4,17 0,97 4,18 0,90 4,92 0,97 0,67 0,73 0,86 0,83 0,77 0,82 0,09 9,12 0,12 0,14 0,13 0,15 Keterangan : *) Dalam tahuntakwin, dan atas dasar harga yang berlaku **) Angka diperhaiki ***) Angka sementara 5.3.1.1. Pendapatan asli daerah Seperti halnya PDS tingkat I, realisasi PAD tingkat I dalam periode 1988/89-1993/94 juga mengalami peningkatan yang cepat. PAD dari 27 Dati I dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 814,2 miliar, dan dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi sebesar Rp 2.199,8 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode tersebut terjadi kenaikan sebesar Rp 1.385,6 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 22 persen per tahun. Jika dilihat lebih rinci, tingkat pertumbuhan tertinggi dicapai Propinsi Riau dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 35,2 persen, diikuti oleh Propinsi Kalimantan Timur dan Propinsi Irian Jaya, Departemen Keuangan RI 368 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 masing-masing sebesar 32,4 persen dan 26,7 persen. Sedangkan tingkat pertumbuhan terendah terjadi di Propinsi Lampung, Propinsi Sumatera Utara, dan Propinsi Bengkulu dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun di masing-masing daerah sebesar 10,1 persen, 10,9 persen, dan 12,4 persen. Perkembangan dan tingkat pertumbuhan PAD masing-masing propinsi dalam periode 1988/89-1993/94 dapat diikuti dalam Tabel V.12. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. II. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Propinsi DI Aceh Sumatera Vtara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kaliamantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Vlara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi lenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timor Maluku Irian Jaya Timor Timur Indonesia Tabel V. 11 PENERIMAAN DAERAH SENDIRI TINGKAT I DAN PROPORSINY A TERHADAP PDRB TANPA MIGAS PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1992/93 (dalam miliar rupiah) PDS PDRB 1988/89 1992/93 PAD PRR Jumlah I'RR Jumlah 1988 1992 PAD 10,01 50,52 13,03 12,24 5,32 19,04 4,04 14,9 317,81 76,44 65,57 10,99 111,09 7,71 2,87 7,69 13,38 10,25 3,42 18,05 2,51 18,88 4,24 :>,74 3,38 3,17 1,86 '814,16 4,21 5,69 0,69 19,49 0,95 4,27 0,13 1,28 31,58 7,33 4,65 0,63 7,13 0,76 0,98 2,03 4,89 0,47 0,38 1,95 0,16 0,72 0,45 0,34 1,23 1,25 0,02 103,64 14,21 56,21 13,72 31,73 6,27 23,31 4,18 16,18 349,39 83,78 70,22 11,62 118,22 8,47 3,85 9,72 18,27 10,72 3,79 19,99 2,66 19,6 4,68 6,09 4,61 4,42 1,88 917,8 20,51 70,2 25,62 45,83 10,78 34,68 5,91 19,16 774,98 181,28 120,58 22,37 191,1 13,09 5,97 19,09 42,76 13,81 9,25 37,94 3,99 35,74 8,7 11,93 5,79 8,33 4,37 1.743,76 10,32 12,05 2,69 58,24 3,53 13,04 0,61 3,45 90,83 18,27 9.91 1,07- -15,66 2,31 7,76 8,01 19,96 1,52 1,57 5,48 0,86 1,95 1,2 2,26 3,37 8,12 0,54 304,56 30,H2 2.292,91 3.984,72 82,25 7.670,77 13.826,46 28,31 2.561,24 4.276,21 104,()6 1.991,17 3.769,48 14,31 -977,82 1.737,37 47,72 4.859,06 7.610,59 6,52 633,59 1.100,53 22,61 2.539,99 4.351,20 865,81 16.796,03 30.923,62 199,54 20.618,45 37.772,40 130,49 14.799,72 26.809,72 23,44 1.486,98 2.500,87 206,76 20.907,81 38.537,73 15,4 2.092,58 3.702,54 13,73 1.057,20 1.951,43 27,1 1.704,10 3.116,34 62,72 3.058,00 5.298,15 15,33 1.140,79 1.963,00 10,82 723,44 1.267,62 43,42 3.580,66 6.071,25 4,84 629,52 1.063,91 37,7 2.197,82 3.975,31 9,9 950,08 1.870,42 14,18 938.12 1.638,97 9,16 1.119,52 1.923,19 16,46 984,38 2.814,49 4,91 200,09 386,36 2,048,32 118.511,82 ######### PDSIPDRB (%) 1988/89 0,6 0,7 0,5 1,6 0,6 0,5 0,7 0,6 2,1 0,4 0,5 0,8 0,6 0,4 0,4 0,6 0,6 0,9 0,5 0,6 0,4 0,9 0,5 0,6 0,4 0,4 0,9 0,8 1992/93 0,8 0,6 0,7 2,8 0,8 0,6 0,6 0,5 2,8 0,5 0,5 0,9 0,5 0,4 0,7 0,9 1,2 0,8 0,9 0,7 0,5 0,9 0,5 0,9 0,5 0,6 1,3 1 Keterangan: *) PDRR atas dasar harga yang herlaku. Peranan PAD terhadap seluruh penerimaan APBD tingkat I juga mengalami peningkatan. Dalam tahun anggaran 1988/89 peranan PAD hanya sebesar 22,3 persen, sedang dalam tahun anggaran 1993/94 telah menguat menjadi sebesar 26,2 persen. Dalam hal ini pajak daerah dan retribusi daerah memberikan sumbangan yang sangat besar, yaitu sebesar 88 persen dari PAD tingkat I dalam tahun anggaran 1988/89 dan 91 persen dalam tahun anggaran 1993/94. Sebaliknya, bagian laba BUMD, penerimaan dinas-dinas, dan penerimaan lain-lain hanya memberikan sumbangan dalam persentase yang kecil dari PAD tingkat I, meskipun secara nominal mengalami peningkatan, yakni dalam tahun anggaran 1988/89 sebesar Rp 97,4 miliar dan dalam tahun anggaran 1993/94 sebesar Rp 196,9 miliar, atau mengalami tingkat Departemen Keuangan RI 369 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 15,1 persen. Komposisi peranan masing-masing pas penerimaan terhadap PAD tingkat I secara rinci dapat diikuti dalam Tabel V.13. Tabel V. 12 PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89-1993/94 (dalamjuta rupiah) Repelita V Repelita IV No. Propinsi 1988/89 (I) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. -2 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Ri a u Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung OKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timor Kalimantan Baral Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Ulara Sulawesi Tengah Sulawesi Se1atan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 Perlumbuhan Rata-rata 1993/94 Repelita V (%) -3 -4 -5 -6 -7 -8 10.008,62 12.327,96 13.867,24 17.715,57 20.506,33 27.112,14 50.517,91 57.781,98 64.659,59 65.384,26 70.204,55 84.768,17 13.034,51 14.207,26 20.402,15 22.816,16 25.623,74 29.241,05 12.238,36 14.360,96 21.227,74 42.896,46 45.829,15 55.379,28 5.317,97 6.778,56 7.454,75 8.647,26 10.782,03 13.765,87 19.042,25 21.295,66 30.376,74 34.182,96 34.679,62 38.511,51 4.042,40 4.216,70 4.786,04 5.277,79 5.911,65 7.247,16 14.904,38 17.494,32 19.282,20 18.847,03 19.162,Q6 24.076,93 317.808,40 429.660,93 619.479,39 700.599,10 774.979,94 993.655,81 76.444,15 104.941,45 151.283,62 165.333,75 181.275,21 240.877,35 65.571,13 78.929,39 99.299,28 108.965,27 120.583,08 148.351,63 10.992,16 12.899,36 19.100,80 19.142,42 22.369,31 27.985,57 111.087,49 133.860,37 183.171,91 196.758,69 191.096,68 235.381,72 7.707,39 8.631,59 12.044,97 12.189,94 13.091,99 17.595,38 2.871,18 2.390,35 3.124,48 4.767,89 5.965,55 7.996,01 7.686,25 9.334,47 12.140,28 14.093,38 19.092,62 21.807,34 13.379,34 16.661,10 29.438,41 35.207,02 42.762,00 54.502,57 10.254,74 11.289,99 14.264,53 17.734,39 13.811,21 21.177,75 3.419,01 4.398,37 5.678,22 7.510,29 9.245,81 10.840,29 18.046,35 23.094,09 28.524,69 27.098,45 37.939,18 41.565,52 2.505,39 2.768,96 3.514,18 3.838,39 3.987,80 7.383,48 18.884,31 27.503,12 45.367,22 35.374,31 35.744,95 41.619,44 4.235,11 5.714,25 7.855,80 11.006,91 8.697,70 10.798,90 5.743,40 8.028,01 8.305,10 10.359,77 11.927,06 14.831,31 3.381,78 7.392,02 6.240,73 6.643,91 5.787,06 8.444,37 3.168,18 4.148,94 5.703,67 8.238,44 8.333,99 10.358,54 1.864,54 1.377,76 1.714,77 3.407,94 4.370,71 4.511,70 814.156,70 1.041.487,92 1,438.308,50 1.604.037,75 1.743.760,98 2.199,786,80 Tabel V.13 KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA, 1988/89 DAN 1993/94 Repelita V Repelita IV No Komponen PAD 1993/94 1988/89 (Rp miliar) (Rp miliar) % 1. 2 3. 4. 5. Pajak Retribusi Penerimaan laba BUMD Penerimaan dinas-dinas Penerimaan lain-lain Jumlah Departemen Keuangan RI 655,01 61,77 16,72 46,01 34,64 814,16 80,45 7,59 2,05 5,65 4,26 100 1.663,77 339,09 31,84 27,06 138,03 2.199,79 -9 22,1 10,9 17,5 35,2 21 15,1 12,4 10,1 25,6 25,8 17,7 20,6 16,2 18 22,7 23,2 32,4 15,6 26 18,2 24,1 17,1 20,6 20,9 20,1 26,7 19,3 22 % 75,63 15,41 1,45 1,23 6,27 100 370 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 5.3.1.1.1. Pajak daerah Pajak daerah merupakan salah satu unsur PAD, yang mencakup pajak asli daerah dan pajak negara yang telah diserahkan kepada daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, Undang-undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-pajak Negara Kepada Daerah, pajak daerah ialah pungutan daerah menurut peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk petnbiayaan rumah tangga daerah sebagai badan hukum publik. Dalam pasal 56 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah ditekankan bahwa dengan undang-undang sesuatu pajak negara dapat diserahkan kepada daerah. Selanjutnya, pelaksanaan pungutan pajak daerah tersebut diatur antara lain di dalam Undang-undang Nomor 11 Drt tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dari Pasal 58 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang kemudian dijabarkan lagi dalam peraturan daerah. Untuk daerah tingkat I, pajak daerah meliputi antara lain pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB), pajak menangkap ikan di perairan teritorial, pajak kendaraan bermotor alat angkutan di atas air (P-A3), bea balik nama alat angkutan di atas air (BBN-A3), dari pajak pembuatan kapal kayu. Didasarkan atas berbagai pertimbangan, seperti besarnya ongkos pungut dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh, dari kecilnya jumlah penerimaan jenis pajak tertentu di daerah-daerah tertentu, maka dalam pelaksanaannya dapat saja sebagian ataupun semua jenis pajak yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dipungut oleh masing-masing daerah tingkat I. Realisasi penerimaan pajak daerah yang setiap tahun cenderung meningkat menyebabkan pajak daerah tetap sebagai penyumbang terbesar bagi PAD tingkat I. Dalam tahun anggaran 1988/89 jumlah penerimaan pajak daerah tingkat I seluruh Indonesia adalah sebesar Rp 655 miliar dari dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi sebesar Rp 1.663,8 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 154 persen, atau pertumbuhan rata-rata sebesar 20,5 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1993/94, penerimaan pajak daerah terbesar terdapat di Propinsi DKI Jakarta dengan peranan sebesar 46,2 persen dari seluruh penerimaan pajak daerah Departemen Keuangan RI 371 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tingkat I secara nasional, diikuti oleh Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing sebesar 12,1 persen dari 11,7 persen, sehingga apabila dijumlahkan peranan pajak daerah dari ketiga propinsi tersebut meliputi 70 persen dari penerimaan pajak daerah tingkat I secara nasional. Perkembangan penerimaan pajak untuk daerah tingkat I secara rinci dapat dilihat pada Tabel V.14. Tabel V. 14 PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 -1993/94 (dalam juta rupiah) Repelita IV Repelita V No. 1988/89 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 1993/94 Pertumbuhan Rata-rata Repelita V (%) 11.249,71 13.605,81 60.168,16 71.328,28 16.735,24 19.534,58 27.353,40 37.931,29 6.924,06 8.631,71 21.685,70 26.139,32 2.948,67 3.742,29 14.058,09 16.609,97 578.935,77 768.461,67 149.767,25 200.614,66 92.939,68 118.195,75 18.699,10 23.625,01 157.879,14 194.316,74 8.903,08 12.924,63 3.416,81 5.337,55 11.760,13 15.193,14 19.130,58 23.205,60 8.610,16 8.778,00 4.918,12 5.867,43 22.811,05 28.124,01 2.313,28 3.330,45 28.460,06 33.445,36 4.521,79 5.797,99 4.553,69 5.338,13 4.084,26 4.340,12 5.456,57 7.249,42 1.908,30 2.104,98 1.290.191,85 1.663.773,88 13,8 9,7 15,9 28,7 14,2 9,7 6,9 9,4 24,5 24,9 17,7 21 15,7 14,9 28,6 21,8 16,7 10,5 18,5 17,1 28 17,8 16,3 20,7 14,5 28,4 33,4 20,5 Propins; DI Aceh Sumatera Vlara Sumatera Bara! Ri a u Jam bi Sumatera Se1a!an Bengkulu Lampung OK! Jalana Jawa Bara! Jawa Tengab DI Yogyakarta Jawa Timor Kalimantan Bara! Kalimantan Tengab Kalimantan Selatan Kalimantan Timor Sulawesi V!ara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara B al i Nusa Tenggara Bara! Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah 7.114,14 44.864,32 9.347,49 10.752,15 4.446,59 16.445,99 2.685,25 10.612,82 257.271,16 66.018,25 52.329,16 9.103,70 93.729,64 6.441,91 1.519,94 5.677,11 10.737,53 5.327,34 2.512,63 12.772,09 967,7 14.736,74 2.723,22 2.086,57 2.207,65 2.077,02 497,97 655.006,08 1989/90 1990/91 1991/92 8.607,70 8.796,95 9.952,00 51.150,68 57.653,15 55.486,41 9.740,12 13.109,16 16.272,22 12.482,25 17.291,17 24.155,29 4.770,77 5.947,22 5.750,14 16.808,74 20.372,08 22.658,18 2.607,08 3.169,80 3.096,39 13.448,04 13.746,22 13.825,13 331.569,51 470.674,14 520.827,11 87.644,34 128.324,95 138.071,21 63.565,34 81.633,62 87.942,06 10.456,79 14.070,45 15.927,58 110.891,99 154.002,13 156.368,83 7.264,53 10.026,32 9.170,89 1.531,15 2.043,89 2.796,10 7.280,43 8.391,47 11.103,59 12.854,77 15.203,12 18.735,49 5.915,58 7.792,48 8.444,05 2.993,34 3.808,41 4.060,54 16.664,80 20.541,42 18.540,69 1.134,79 1.384,50 1.718,31 22.774,96 33.087,83 27.804,74 . 3.858,36 5.288,66 5.070,17 2.268,53 2.810,11 3.699,03 2.638,82 2.946,06 3.527,03 2.431,94 3.482,78 5.480,75 626,1 733,95 1.316,26 813.981,45 1.106.332,04 1.191.800,19 1992/93 Jenis pajak daerah tingkat I yang dominan dalam memberikan sumbangan terhadap penerimaan pajak daerah adalah PKB dari BBN-KB. Selama lima tahun terakhir, sumbangan penerimaan kedua jenis pajak tersebut terhadap keseluruhan penerimaan pajak daerah tingkat I rata-rata lebih dari 95 persen. Secara rinci per propinsi, dalam tahun anggaran 1993/94 hanya di DKI Jakarta dan Propinsi Kalimantan Tengah yang penerimaan PKB dari BBN-KB memberikan sumbangan terkecil, yaitu masing-masing sebesar 69,5 persen dan 86,5 persen, sedangkan di sebagian terbesar daerah tingkat I lainnya ternyata proporsinya di atas 92 persen dan bahkan di Departemen Keuangan RI 372 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 DI Yogyakarta, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Sulawesi Utara, dan Propinsi Nusa Tenggara Barat, seluruh penerimaan pajak tingkat I adalah berasal dari PKB dan BBN-KB. Relatif kecilnya peranan PKB dan BBN-KB terhadap penerimaan pajak di DKI Jakarta disebabkan karena DKI Jakarta adalah daerah khusus yang dapat memungut pajak-pajak Dari I dan Dari II. Perkembangan dan sumbangan penerimaan PKB dan BBN-KB terhadap penerimaan pajak daerah tingkat I secara rinci dapat diikuti dalam Tabel V.15. TabeI V. 15 PERANAN PKB DAN BBN-KB TERHADAP PENERlMAAN PAJAK DAERAH PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1993/94 (dalam persentase) Repelita V Repelita IV No. Propinsi 1993/94 1988/89 -3 -1 -2 -4 96,4 1. DI Aceh 97,6 93,6 2. Sumatera Utara 96,5 99,9 99,7 3. Sumatera Barat 97,5 4. Ria u 94 99,3 5. Jam b i 97,6 99,6 6. Sumatera Selatan 92,7 96,8 7. Bengkulu 95,4 100 8. Lampung 94,6 77,1 9. OKl Jakarta 69,5 99,3 10. . Jawa Barat 98,2 98,4 11. Jawa Tengah 97,8 99,9 12. DI Yogyakarta 100 99,9 13. Jawa Timur 100 93,1 14. Kalimantan Barat 94,5 92,6 15. Kalimantan Tengah 86,5 99,8 16. Kalimantan Selatan 96,7 99,6 17. Kalimantan Timor 98 99,9 18. Sulawesi Utara 100 100 19. Sulawesi Tengah 92,4 98,4 20. Sulawesi Selatan 98 95,3 21. Sulawesi Tenggara 97,6 100 22. Bali 99 97,6 23. Nusa Tenggara Barat 100 93,8 24. Nusa Tenggara Timur 94,4 100 25. Maluku 99,6 95,8 26. Irian Jaya 99,8 100 27. Timor Timur 96,1 Indonesia 84,8 97,2 Realisasi penerimaan PKB dan BBN-KB yang cenderung meningkat selain meningkatkan kemampuan keuangan daerah tingkat I untuk membiayai belanjanya, juga memberikan dampak yang positif bagi Dati II. Dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan keuangan, keserasian dan keseimbangan laju pertumbuhan antar daerah tingkat II, sejak tahun 1992 sebagian dari penerimaan PKB dan BBN-KB telah disisihkan sebagai sumbangan pemerintah daerah tingkat I Departemen Keuangan RI 373 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 kepada daerah tingkat II. Dana sumbangan tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan rutin dan pembiayaan pembangunan, utamanya pada sektor perhubungan dan sektor pariwisata atau sesuai prioritas daerah tingkat II yang bersangkutan. 5.3.1.1.2. Retribusi daerah Retribusi daerah adalah salah satu bagian dari pendapatan asli daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Drt 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Menurut undang-undang darurat tersebut, retribusi daerah adalah pungutan sebagai imbakan atas pemakaian atau manfaat yang diperoleh secara langsung oleh seseorang atau badan atas jasa yang nyata dari pemerintah daerah. Jasa tersebut dapat berupa jasa pekerjaan, jasa atas usaha atau milik daerah, dan jasa lainnya, termasuk jasa ijin dalam rangka pengendalian, yang secara langsung memberi manfaat bagi pemakai dan memberikan manfaat secara umum bagi masyarakat. Pungutan retribusi daerah sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain tarif yang dikenakan, kualitas dan kuantitas jasa pelayanan yang diberikan, dan tuntutan kebutuhan masyarakat atas jasa pelayanan tersebut. Selanjutnya, untuk pelaksanaan di masing-masing daerah pungutan retribusi daerah dijabarkan dalam bentuk peraturan daerah. Penyusunan, penetapan dan pengesahan peraturan daerah dimaksud sepenuhnya mengaeu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkembangan penerimaan retribusi daerah tingkat I selama beberapa tahun terakhir ini menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Hal ini tidak terlepas dari usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk secara terus-menerus meningkatkan pelayanan nyata kepada masyarakat. Secara keseluruhan jumlah penerimaan retribusi daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 61,8 miliar dan dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi sebesar Rp 339,1 miliar, sehingga selama periode tersebut mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 40,6 persen. Dalam tahun anggaran 1993/94, penerimaan retribusi daerah tingkat I yang terbesar adalah DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp 141,5 miliar (41,7 persen), diikuti oleh Propinsi Jawa Barat sebesar Rp 29,7 miliar (8,8 persen) dan Propinsi Jawa Tengah sebesar Rp 22,9 miliar (6,8 persen). Sementara itu, dilihat dari tingkat pertumbuhan ratarata pertahun dalam periode 1988/89-1993/94, Propinsi Riau mengalami tingkat pertumbuhan Departemen Keuangan RI 374 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 rata-rata tertinggi, yaitu sebesar 68,5 persen, diikuti oleh Propinsi Kalimantan Timur sebesar 60,6 persen dan Propinsi Jambi sebesar 57,5 persen. Sumber penerimaan retribusi daerah di ketiga propinsi tersebut terutama berasal dari penerimaan retribusi izin pengarnbilan pasir, batu dan kerikil, retribusi rumah sakit dan balai pengobatan, retribusi izin pengarnbilan air bawah tanah dan retribusi pengujian kendaraan bermotor. Perkembangan realisasi penerimaan retribusi daerah tingkat I selengkapnya dapat diikuti dalam Tabel V.16. Tabel V. 16 PENERIMAAN RETRmUSI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 -1993/94 (dalamjuta rupiah) Repelita IV Repelita V No. Propinsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Ria u Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung OKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara BaIi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1.132,56 2.459,85 1.530,17 893,75 428,03 1.564,81 672,62 1.600,64 15.132,48 7.541,81 9.422,97 474,18 7.135,66 834,94 253, II 816,56 1.535,58 953, II 701,21 1.843,25 313,3 2.554,35 684,81 576,5 247,59 385, II 85,43 61.774,38 1.655,12 2.690,70 2.107,18 1.111,43 502,36 2.706,48 668,32 1.757,21 70.577,74 12.658,22 10.597,36 609,8 13.348,88 867,92 346,77 1.295,12 1.996,66 997,52 906,6 2.472,41 323,8 2.827,77 1.152,41 739,86 880,3 335,47 43 136.176,41 2.624,18 4.473,52 2.730,26 1.999,72 908,21 7.724,02 848,49 3.564,69 100.261,05 15.815,55 12.257,22 736,05 15.424,87 1.271,67 461 3.322,74 4.393,60 1.545,36 1.249,13 4.569,05 381,8 3.538,23 1.438,37 1.228,73 372,35 649,29 88,84 193.877,99 3.683,92 6.189,91 3.748,05 15.141,70 1.676,36 8.339,80 1.127,17 3.819,79 122.167,42 19.064,36 14.127,01 1.154,01 16.965,99 1.999,69 547,09 2.708,43 4.911,98 1.853,58 2.654,48 5.597,20 618,71 3.803,08 4.009,57 1.717,37 469,83 799,66 251,08 249.147,24 4.617,17 7.554,95 6.683,05 13.638,49 2.932,00 9.483,35 1.318,33 4.157,72 115.185;65 23.635,27 20.277,99 1.401,32 17.952,88 2.978,85 663,58 5.422,56 11.789,91 2.111,17 3.459,25 8.383,91 749,58 4.028,06 2.684,29 2.343,71 476,7 1.059,22 282,07 275.271,03 Pertumbuhan Rata-rata 1993/94 Repelita V (%) 77.971,00 9.449,15 7.702,74 12.135,43 4.145,57 8.524,16 1.950,56 6.438,27 141.527,62 29.741,37 22.893,01 1.757,29 22.576,38 3.828,05 1.335,52 6.033,66 16.397,34 4.597,48 4.101,57 11.179,97 1.563,68 3.910,92 3.235,38 2.736,87 1.199,53 1.811,53 343,5 339.087,56 47,7 30,9 38,2 68,5 57,5 40,4 23,7 32,1 56,4 31,6 19,4 30 25,9 35,6 39,5 49,2 60,6 37 42,4 43,4 37,9 8,9 36,4 36,5 37,1 36,3 32,1 40,6 5.3.1.1.3. Bagian laba badan usaha milik daerah Dasar hukum pembentukan badan usaha milik daerah (BUMD), khususnya perusahaan daerah, adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahan Daerah dan Undangundang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Tujuan pembentukan perusahaan daerah adalah untuk mengembangkan perekonomian daerah dan menarnbah penghasilan daerah. Bidang usaha BUMD mencakup berbagai aspek pelayanan Departemen Keuangan RI 375 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dengan mengutamakan pemberian jasa kepada masyarakat, menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan memberikan sumbangan bagi ekonomi daerah yang keseluruhannya harus dilaksanakan berdasarkan atas-atas ekonomi perusahaan yang sehat. Perkembangan penerimaan bagian laba BUMD daerah tingkat I cenderung menunjukkan kenaikan, kecuali dalam tahun anggaran 1993/94. Dibandingkan dengan penerimaan dalam tahun anggaran 1992/93, realisasi penerimaan bagian laba BUMD Dati I dalam tahun anggaran 1993/94 mengalami penurunan sebesar Rp 8,3 miliar, terutama sebagai darnpak menurunnya tingkat keuntungan beberapa bank pembangunan daerah (BPD). Jumlah penerimaan laba BUMD dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 16,7 mi1iar dan dalam tahun anggaran 1993/94 sebesar Rp 31,8 mi1iar, atau mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 13,8 persen. Dalam tahun anggaran 1993/94, penerimaan bagian laba BUMD terbesar dicapai oleh DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp 13,6 miliar. Jumlah ini mencakup 42,7 persen dari total penerimaan bagian laba BUMD tingkat I secara nasional, kemudian diikuti oleh Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Barat, masing-masing sebesar Rp 2,7 miliar (8,4 persen) dan Rp 2,5 miliar (7,7 persen). Sebagian terbesar sumber penerimaan laba BUMD tersebut berasal dari penerimaan bagian laba BPD, sedang untuk DKI Jakarta ditambah dengan penerimaan dari perusahaan daerah air milium (PDAM). Dilihat dari rata-rata pertumbuhan per tahun, Propinsi Riau mengalami tingkat pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 105,4 persen, kemudian diikuti oleh Propinsi Bengkulu dan Propinsi Kalimantan Tengah, masing-masing sebesar 104,7 persen dan 77,2 persen. Sementara itu, dalam periode yang sama beberapa daerah mengalami pertumbuhan yang menurun, yaitu propinsi-propinsi Larnpung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Timor-Timur. Perkembangan penerimaan yang berasal dari bagian laba BUMD daerah tingkat I secara rinci dapat diikuti dalam Tabel V.17. Departemen Keuangan RI 376 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel V. 17 PENERIMAAN BAGIAN LABA PERUSAHAAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94 (dalamjuta rupiah) Repelita IV Repelita V No. I. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. II. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Propinsi OJ Aceh Sumalera Vlara Sumatera Baral R i au Jam b i Sumalera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Baral Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timor Kalimantan Baral Kalimantan Tengah Kalimantan Selakan Kalimanlan Timor Sulawesi Vtara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara B a Ii Nusa Tenggara Baral Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 159,64 835,65 825,75 25 146,97 31,65 6 238,84 7.508,92 661,56 2.311,76 280,08 642,05 189,16 34,62 261,67 246,85 640 60 72,73 25 180,45 380,4 82 303,68 60 510,7 16.7-21;13 214,93 855,61 856,21 45,57 170 112,17 162,5 560,47 8.190,09 957,49 2.426,50 793,96 993,34 215,98 79,19 334,09 932,16 604,48 50 200 55 208,75 175 15 400 94,5 224,14 19,927,13 294,26 1.013,75 550 278,36 116,17 339,36 242,47 660,33 7.207,16 1.162,03 2.730,04 169,84 941,65 251.19 103,27 20,34 983,53 831,87 80 210,57 60 353,17 409,28 1,67 661,68 125 167,59 19.964,59 361,67 2.534,61 841,45 816,47 364,17 1.042,54 267,54 203,41 15.898,49 3.100,17 2.987,34 494,53 1.441,84 408,99 181,66 30 1.168,07 1.020,00 120,39 335,06 108 318,18 791,14 5 839,19 226,31 213,46 36.119,68 390,01 1.241.68 919,2 959,49 204,37 332,5:1 211,5 242,65 21.351,43 3.443,08 3.251,31 516,16 679,37 369 434,45 224,73 1.172,52 1.020,00 155,5 208,96 206 355,36 828,24 30 750 205,46 480 40.183,01 Pertumbuha Rata-rata 1993/94 Repelita V 282,76 1.219,06 1.048,93 913,02 231,59 471,42 215,47 228,2 13.585,98 2.459,16 2.681,01 728,39 495,17 348 604,46 231,83 1.452,39 1.350,00 65 317,79 287 365,77 824,56 35 905 191,5 302,09 31.840,54 12,1 7,8 4,9 105,4 9,5 71,6 104,7 -0,9 12,6 30 3 21,1 -5,1 13 77,2 -2,4 42,5 16,1 1,6 34,3 62,9 15,2 16,7 -15,7 24,4 26,] -10 13,7 5.3.1.1.4. Penerimaan dinas-dinas daerah Penerimaan dinas-dinas adalah penerimaan yang diterima oleh dinas-dinas daerah yang secara langsung memberikan jasa pelayanan dan jasa perizinan kepada masyarakat, tidak termasuk dinas pendapatan daerah. Jumlah penerimaan dinas-dinas dari masing-masing propinsi dalam tahun anggaran 1993/94 umumnya berfluktuasi. Daerah tingkat I seperti Propinsi Jawa Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan Propinsi Jawa Tengah memperoleh penerimaan dari dinas-dinas daerah yang relatif cukup besar, sedang penerimaan dari dinas-dinas di daerah yang lain, seperti Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Kalimantan Tengah, dan Propinsi Kalimantan Selatan sangat kecil. Sementara itu dilihat dari tingkat perkembangannya, Propinsi Riau mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi, yakni sebesar 51,8 persen, dan diikuti oleh Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Sulawesi Tengah, masing-masing sebesar 49,9 persen dan 45,2 persen. Departemen Keuangan RI 377 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 5.3.1.1.5. Penerimaan lain-lain Hasil penerimaan lain-lain untuk daerah tingkat I seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 34,6 miliar, dan dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi sebesar Rp 138 miliar, atau mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 31,9 persen. Walaupun tidak sebesar peranan penerimaan pajak dan retribusi daerah, peranan penerimaan lain-lain di beberapa daerah cukup besar, seperti di DKI Jakarta, Propinsi Kalimantan Timur, dan Propinsi. Jawa Barat, yaitu masing-masing sebesar Rp 69,2 miliar, Rp 13,3 miliar dan 7,8 miliar. Sedang dilihat dari rata-rata tingkat pertumbuhannya per tahun, Propinsi Kalimantan Timur mengalami tingkat pertumbuhan yang paling tinggi, yaitu 104,9 persen, diikuti oleh DKI Jakarta dan Propinsi Riau, masing-masing sebesar 79,4 persen dan 70,1 persen. Termasuk sebagai penerimaan lain-lain adalah penerimaan dari sewa rumah dan gedung milik daerah, hasil penjualan barang-barang bekas milik daerah, usaha yang dilakukan oleh aparat pemerintah daerah yang bukan perusahaan daerah untuk menghasilkan jasa yang dapat dipergunakan masyarakat, serta usaha lainnya dari daerah yang sifatnya tidak rutin. 5.3.1.2. Bagi hasil pajak dan bukan pajak 5.3.1.2.1. Pajak bumi dan bangunan Ketentuan yang menjadi dasar hukum pemungutan dan pembagian hasil penerimaan PBB adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1985 tentang Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual Kena Pajak pada Pajak bumi dan Bangunan, yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1994, dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 disebutkan bahwa pembagian penerimaan PBB adalah 10 persen untuk pemerintah pusat, 16,2 persen untuk pemerintah daerah tingkat I, 64,8 persen untuk pemerintah daerah tingkat II, dan 9 persen sisanya merupakan upah pungut. Selanjutnya, untuk lebih meningkatkan kemampuan keuangan daerah tingkat II dan pemerataan antar daerah, dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 1994 ditetapkan pula bahwa terhitung sejak tahun anggaran 1994/95 bagian penerimaan pemerintah pusat sebesar 10 persen Departemen Keuangan RI 378 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dibagikan secara merata kepada selurnh daerah tingkat II. Dengan demikian besarnya penerimaan daerah tingkat I dan tingkat II dari PBB secara nasional meningkat menjadi 91 persen. Perkembangan penerimaan PBB daerah tingkat I sejak beberapa tahun terakhir ini meningkat dengan cepat. Dalam tahun anggaran 1988/89 jumlah penerimaan PBB daerah tingkat I baru sebesar Rp 103,6 miliar, sedangkan dalam tahun anggaran 1993/94 telah meningkat menjadi sebesar Rp 412,3 miliar, yang berarti mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 31,8 persen. Beberapa propinsi yang mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun yang cukup tinggi adalah Propinsi Timor Timur yaitu sebesar 127,9 persen, Propinsi Kalimantan Tengah sebesar 66,1 persen, dari Propinsi Irian Jaya sebesar 57,1 persen. Sementara itu, apabila dilihat dari besarnya jumlah penerimaan PBB dalam tahun anggaran 1993/94, DKI Jakarta merupakan propinsi yang menerima PBB paling besar, yaitu sebesar Rp 143,8 miliar, diikuti oleh Propinsi Riau dan Propinsi Kalimantan Timur masing-masing sebesar Rp 56,4 miliar dan Rp 27,9 miliar. Perkembangan penerimaan PBB daerah tingkat I selengkapnya dapat diikuti pada Tabel V.18. Tabel V. 18 PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94 (dalamjuta rupiah) Repelita Repelita V No. Propinsi -1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. -2 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat R i au Jam b i Sumatera Selatan Bengkulu Lampung OKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah 01 Yogyakarta Jawa Timor Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timor Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara B al i Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timor Maluku Irian Jaya Timor Timor Jumlah Departemen Keuangan RI 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 -3 -4 -5 -6 -7 -8 4.205,44 6.785,93 7.054,41 8.440,60 10.315,76 11.709,98 5.688,38 8.636,71 8.981,18 10.308,20 12.048,15 15.773,94 689,39 1.042,48 1.335,58 1.926,41 2.688,63 3.675,12 19.488,92 44.207,82 45.984,66 55.028,68 58.235,68 56.412,80 952,73 2.029,75 2.304,12 3.101,17 3.529,52 6.191,85 4.265,43 5.856,37 8.359,23 11.210,52 13.039,48 18.255,53 133,04 445,62 637,31 676,19 607,12 853,23 1.279,01 2.686,15 2.936,48 3.396,72 3.445,05 3.657,89 31.582,87 39.649,66 50.258,04 76.606,92 90.826,85 143.765,58 7.332,50 11.964,89 13.891,08 16.346,94 18.266,22 25.422,19 4.649,33 6.197,94 7.942,61 8.648,06 9.911,79 13.467,60 625,63 737,6 1.335,58 1.028,20 1.068,72 1.751,39 7.127,55 10.051,51 12.139,74 13.342,39 15.660,85 20.702,12 764,94 1.048.47 1.476,20 1.703,53 2.309,31 3.523,78 980,03 2.583,54 4.432,41 7.354,50 7.762,67 12.393,65 2.033,15 3.610,67 4.700,88 6.370,82 8.009,75 9.928,10 4.887,59 9.879,57 13.429,53 18.477,48 19.957,65 27.879,66 466,6 747,79 1.003,23 1.369,77 1.522,52 2.014,61 375,31 980,7 1.200,71 1.446,34 1.574,28 1.868,14 1.945,04 2.553,28 4.039,40 4.324,30 5.476,71 7.597,04 158,8 430,57 612,35 994,3 855,21 1.195,15 720,2 894,72 1.322,44 1.540,00 1.954,58 2.640,71 446,86 741,21 885,69 1.013,31 1.199,01 1.693,15 343,15 455,4 1.437,78 2.309,63 2.257,38 2.245,44 1.227,25 2.542,47 3.241,98 2.957,06 3.368,37 4.686,94 1.253,03 2.766,50 4.996,45 6.803,51 8.124,76 12.000,11 16,51 84,41 271,73 434,46 540,32 1.015,48 103.638,68 169.611,73 206.210,80 267.160,01 304.556,34 412.321,18 Pertumbuhan Rata-rata Repelita V -9 22,7 22,6 39,8 23,7 45,4 33,7 45 23,4 35,4 28,2 23,7 22,9 23,8 35,7 66,1 37,3 41,7 34 37,8 31,3 49,7 29,7 30,5 45,6 30,7 57,1 127,9 31,8 379 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 5.3.1.2.2. Iuran hasil hutan dan iuran hak pengusahaan hutan Iuran hasil hutan (IHH) dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) adalah penerimaan bukan pajak pemerintah pusat, yang sebagian hasilnya diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat I dan pemerintah daerah tingkat II. Dalam Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pengenaan, Pemungutan, dan Pembagian Iuran Hasil Hutan yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1991 dan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1993, ditetapkan bahwa 45 persen dari pungutan IHH digunakan untuk pembiayaan pembangunan daerah tingkat I (30 persen) dan untuk pembangunan daerah tingkat II (15 persen), sedangkan sisanya sebesar 55 persen digunakan untuk membiayai rehabilitasi hutan secara nasional (20 persen), kehutanan daerah (15 persen), dan untuk pembayaran pajak bumi dan bangunan bagi area blok tebangan (20 persen). Selanjutnya, pembagian hasil IHPH adalah 70 persen untuk daerah tingkat I dan daerah tingkat II, sedangkan sisanya sebesar 30 persen untuk pemerintah pusat. Dalam tahun anggaran 1988/89, realisasi penerimaan IHH dan IHPH daerah tingkat I adalah sebesar Rp 59,2 miliar, dan dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi sebesar Rp 127,9 miliar, yang berarti mengalami kenaikan sebesar Rp 68,7 miliar atau dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun selama periode tersebut sebesar 16,7 persen. Dalam tahun anggaran 1993/94, jumlah penerimaan terbesar IHH dan IHPH adalah Propinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar Rp 25,4 miliar, diikuti oleh Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Riau masing-masing sebesar Rp 20,9 miliar dan Rp 10 miliar. Sementara itu, dalam periode tersebut tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun yang tertinggi dicapai oleh Propinsi Irian Jaya, yaitu sebesar 62 persen, diikuti oleh Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Maluku masing-masing sebesar 46,3 persen dan 42 persen. Khusus realisasi penerimaan IHH dan IHPH di Propinsi Sumatera Selatan dan Propinsi Jawa Barat, meskipun dalam periode tersebut mengalami laju pertumbuhan yang menurun, namun sejak tahun anggaran 1991/92 sampai dengan tahun anggaran 1993/94 jumlahnya cenderung semakin meningkat. Dalam tahun anggaran 1991/92, IHH dan IHPH di Propinsi Sumatera Selatan adalah sebesar Rp 1,7 miliar yang meningkat menjadi sebesar Rp 2,9 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Demikian juga IHH dan IHPH di Propinsi Jawa Barat dalam tahun anggaran 1991/92 adalah sebesar Rp 514,7 juta dan dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi sebesar Rp 1 miliar. Departemen Keuangan RI 380 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 5.3.2. Sumbangan dan bantuan pusat 5.3.2.1. Sumbangan pusat Dalam menunjang pelaksanaan kegiatan rutin di daerah, di samping dana yang bersumber dari daerah sendiri, pemerintah daerah tingkat I juga memperoleh dana dari pemerintah pusat dalam bentuk sumbangan. Sumbangan tersebut merupakan dana yang sangat penting bagi pemerintah daerah tingkat I, karena dengan adanya dana ini pemerintah daerah tingkat I dapat melaksanakan berbagai kegiatan rutin yang menjadi kewajibannya, khususnya kegiatan yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Sedang bagi pemerintah pusat sendiri, dengan pemberian sumbangan ini diharapkan jumlah sarana dan mutu pelayanan masyarakat yang dapat diberikan semakin dapat dipenuhi. Sumbangan pusat meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan. Dalam tahun anggaran 1988/89 jumlah sumbangan pusat adalah sebesar Rp 2.044,5 miliar, sedangkan dalam tahun anggaran 1993/94 jumlahnya meningkat menjadi sebesar Rp 3.929,1 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 14 persen per tahun. Subsidi daerah otonom (SDO) merupakan bagian yang terbesar dari sumbangan pusat yang diberikan kepada pemerintah daerah tingkat I. Dana SDO sebagian besar digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah dan pegawai pusat yang diperbantukan pada daerah otonom. Sedangkan sisanya dipergunakan untuk membiayai belanja nonpegawai yang terdiri dari tiga komponen biaya, yaitu subsidi belanja penyelenggaraan urusan desentralisasi, subsidi belanja penyelenggaraan urusan dekonsentrasi dan pembantuan, dan subsidi belanja pengembangan institusi. Jumlah keseluruhan dana SDO dalam tahun anggaran 1988/89 yang telah disalurkan kepada pemerintah daerah tingkat I adalah sebesar Rp 2.042,9 miliar dan meningkat menjadi sebesar Rp 3.921,4 miliar dalam tahun anggaran 1993/94, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 13,9 persen per tahun. Dana SDO yang disalurkan kepada masing-masing daerah tingkat I umumnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali daerah-daerah tingkat I Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Bali, yang mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi karena sejak tahun anggaran 1993/94 pengeluaran bagi gaji guru SD di daerah-daerah tingkat I tersebut tidak lagi dibukukan dalam APBD tingkat I, melainkan dalam APBD tingkat II yang bersangkutan. Daerah tingkat I yang menerima SDO dengan tingkat Departemen Keuangan RI 381 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi adalah daerah-daerah tingkat I Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, masing-masing sebesar 19,7 persen, 18,8 persen, 18,7 persen, dan 18,5 persen. Sedangkan daerah-daerah tingkat I Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan walaupun tidak menurun penerimaannya tetapi mengalami pertumbuhan rata-rata terendah, yaitu masing-masing sebesar 9,8 persen, 8,9 persen, dan 8,4 persen per tahun. Perkembangan jumlah SDO pada masing-masing daerah tingkat I secara rinci dapat dilihat pada Tabel V.19. Tabel V. 19 PENERIMAAN SUBSIDI DAERAH OTONOM DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94 (dalam Millar rupiah) Repelita IV Repelita V No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. \7. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Propinsi DI Aceh. Sumatera VJara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu . Lampung OK1 Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimanlan Barat Kalimanlan Tengah Kalimanlan Selatan KaIimanlan Timur Sulawesi Vtara Sulawesi Tengah Sulawesi Se1atan Sulawesi Tenggara Ba1 i Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur MaIuku Irian Jaya Timor Timor Jum1ah 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 Pertumbuhau Rata-rata Repelita V(%) 48.08 154,06 17,66 10,91 7,87 22,34 8,75 66,52 118,63 365,54 367,54 59,14 390,61 47,96 28,68 51,74 31,53 60,4 34,99 21,52 8,48 52,57 9,76 10,47 8,83 28,72 9,59 2.042,88 56,25 175,24 19,49 11,97 8,71 22,76 9,68 78,99 129,58 414,43 420,19 61,66 442,81 58,17 33,87 61,21 37,04 70,9 42,43 24,47 6,34 61,1 11,05 11,48 9,79 30,44 10,33 2.320,38 62,99 204,28 19,81 13,26 9,33 23,88 10,71 86,73 138,85 448,9 452,9 66,66 485,01 63,98 36,75 66,99 39,06 74,08 47,26 25,78 9,67 65,97 11,74 12,48 10,29 32,82 10,76 2.530,77 72,68 218,18 22,26 15,21 10,8 26,95 10,79 100,7 156,85 506,19 513,84 85,98 548,71 72,99 43,21 76,56 45,89 84,35 54,55 29,22 11,29 19,51 12,63 13,94 11,88 36,65 12,02 2.813,84 86,47 257,9 22,59 16,76 11,55 29,17 12,14 123,61 193,22 631,72 631,72 92,48 665,22 87,48 50,63 92,69 55,62 101,57 66;67 30,43 12,47 21,84 13,85 14,13 12,69 38,54 12,85 3.373,15 105,25 317,93 27,11 20,92 14,06 33,51 14,74 32,21 235,36 777,2 788,27 116,97 826,01 113,34 67,54 120,94 22,61 21,71 85,97 35,1 14,87 18,94 16,78 16,69 15,14 46,72 15,53 3.921,42 17 15,6 8,9 13,9 12,3 8,4 11 -13,5 14,7 16,3 16,5 14,6 16,2 18,8 18,7 18,5 -6,4 -18,5 19,7 10,3 \1,9 -18,5 \1,4 9,8 11,4 10,2 10,1 13,9 Besarya persentase SDO terhadap keseluruhan penerimaan pemerintah daerah tingkat I selama periode 1988/89-1993/94 cenderung mengalami penurunan. Hal ini terlihat dalam Tabel V.20. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89 persentase SDO dalam keseluruhan penerimaan pemerintah daerah tingkat I adalah sebesar 56 persen, maka dalam tahun anggaran 1993/94 Departemen Keuangan RI 382 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 persentase ini menurun menjadi sebesar 46,8 persen. Menurunnya persentase SDO ini disebabkan karena makin meningkatnya persentase sumber penerimaan lain dalam struktur penerimaan daerah tingkat I, seperti PAD, PBB, bantuan, maupun pinjaman daerah. Apabila dilihat persentase SDO terhadap penerimaan masing-masing daerah tingkat I, maka dalam tahun anggaran 1993/94 daerah-daerah tingkat I Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat memperlihatkan persentase yang tinggi, masing-masing sebesar 76,7 persen, 72,2 persen, dan 70,9 persen. Sedangkan persentase di daerah-daerah tingkat I DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Riau relatif rendah, masing-masing sebesar 14,1 persen, 11 persen, dan 9 persen. Tabel V. 20 PERSENTASE SUBSIDI DAERAH OTONOM TERHADAP DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1993/94 Repelita IV Repelita V No. Proplnsi 1988/89 1993/94 1. DI Aceh 58,8 54,1 2. Sumatera Utara 64 68,1 36,8 27,4 3. Sumatera Barat 4. Riau 15,8 9 5. Jam b i 25,5 16,7 29,3 18,9 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 32,8 24,1 8. Lampung 59,1 31,8 9. DKI Jakarta 21,9 14,1 75 .70,9 10. Jawa Barat 78,1 76,7 11. Jawa Tengah 12. DI Yogyakarta 63,7 64,8 69,5 72,2 13. Jawa Timur 59,9 57,1 14. Kalimantan Barat 50,1 38,3 15. Kalimantan Tengah 66,1 59,8 16. Kalimantan Selatan 40,3 11 17. Kalimantan Timur 18. Sulawesi Utara 62 23,3 64,3 55,2 19. Sulawesi Tengah 34,9 25,4 20. Sulawesi Selatan 21. Sulawesi Tenggara 34,5 20,4 22. Bali 55,3 18,9 34,4 23,2 23. Nusa Tenggara Barat 34,5 18,7 24. Nusa Tenggara Timur 25. Maluku 25,9 15,6 26. Irian Jaya 46,3 26,1 36,9 22,9 27. Timor Timur Indonesia 56 46,8 5.3.2.2. Bantuan pusat Bantuan pusat adalah dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan di daerah, dan diarahkan bagi pencapaian Departemen Keuangan RI 383 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 hasil pembangunan yang sebesar-besarnya dalam rangka pemerataan pembangunan antar daerah. Bantuan pusat, atau yang lebih dikenal dengan program Inpres, diberikan setiap tahun kepada daerah, baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II, yang jumlahnya didasarkan atas kriteria tertentu. Jumlah bantuan ini umumnya memperlihatkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan meningkatnya pembangunan di daerah-daerah. Inpres Dati I merupakan salah satu program bantuan pusat yang ditujukan kepada pemerintah daerah tingkat I. Bantuan tersebut merupakan bantuan yang bersifat bebas, karena baik perencanaan maupun penggunaannya sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing daerah tingkat I. Sasaran pemberian bantuan ini adalah untuk meningkatkan keserasian laju pertumbuhan antar daerah, keserasian sektoral dan regional, serta memeratakan hasil pembangunan. Pada saat dimulainya program Inpres Dari I tahun anggaran 1974/75, tiap daerah tingkat I memperoleh dana dengan batas minimum sebesar Rp 500 juta dan maksimum sebesar Rp 5,6 miliar. Jumlah bantuan ini terus ditingkatkan, hingga dalam tahun anggaran 1987/88 setiap daerah tingkat I memperoleh bantuan dengan batas minimum sebesar Rp 10 miliar dan maksimum sebesar Rp 12 miliar. Selanjutnya dalam tahun anggaran 1988/89 pemberian bantuan ditentukan sama besarnya, tanpa batasan minimum dan maksimum, yaitu sebesar Rp 12 miliar untuk tiap daerah tingkat I. Kemudian mulai tahun anggaran 1990/91, kriteria pemberian dana diubah, yaitu di samping bantuan dasar yang jumlahnya sama untuk setiap daerah tingkat I sebesar Rp 14 miliar juga diberikan bantuan tambahan yang danasarkan atas luas wilayah daratan. Jumlah bantuan dasar yang diberikan dalam tahun anggaran 1991/92,1992/93, dan 1993/94 ditingkatkan lagi masing-masing menjadi sebesar Rp 18 miliar, Rp 22,5 miliar, dan Rp 25 miliar. Di samping peningkatan dalam jumlah bantuan dasar, secara keseluruhan jumlah Inpres Dari I juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu apabila dalam tahun anggaran 1988/89 beIjumlah sebesar Rp 324 miliar, maka dalam tahun anggaran 1993/94 jumlahnya meningkat menjadi sebesar Rp 783 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 19,3 persen per tahun. Adanya perubahan dalam kriteria pemberian Inpres Dati I, yaitu dengan diberikannya bantuan tarnbahan yang didasarkan atas luas wilayah daratan, menyebabkan daerah tingkat I yang mempunyai wilayah yang luas memperoleh bantuan dengan jumlah yang lebih besar daripada daerah yang wilayahnya kecil, sementara daerah-daerah tingkat I tersebut pada umumnya Departemen Keuangan RI 384 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 mempunyai penduduk yang jarang. Hal ini tercermin dalam dana Inpres Dari I per kapita per daerah tingkat I yang dapat dilihat dalam Tabel V.21 dan Grafik V.5. Dalam tahun anggaran 1993/94 daerah-daerah tingkat I Timor Timur, Kalimantan Tengah, dan Irian Jaya mempunyai Inpres Dari I per kapita yang relatif tinggi dibandingkan dengan daerah lain, masing-masing sebesarRp 48.596, Rp 37.219, dan Rp 33.317. Sedangkan daerah-daerah tingkat I Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat mempunyai Inpres Dari I per kapita yang relatif rendah, masingmasing sebesar Rp 1.509, Rp 1.233, dan Rp 661. Rendahnya Inpres Dari I per kapita pada ketiga daerah ini di samping karena memiliki wilayah daratan yang tidak begitu luas, juga karena mempunyai jumlah penduduk yang tinggi. Selain Inpres Dari I, pemerintah daerah tingkat I juga menerima bantuan yang bersifat spesifik, yaitu Inpres peningkatan jalan dan jembatan propinsi (IPJP). Sasaran dari pemberian IPJP adalah untuk memperlancar arus angkutan dan distribusi barang dari daerah pertanian dan industri ke pusat-pusat pemasaran dan sebaliknya, serta untuk membuka daerah-daerah terisolir dalam rangka pemerataan pembangunan, dan meningkatkan mobilitas serta kelancaran perekonomian daerah. Tabel V. 21 BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT I PER KAPITA PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1993/94 (dalam rupiah) No. Repelita IV Repelita V Propinsi 1993/94 1988/89 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau J ambi Sumatera Selatan Bengku1u Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Indonesia Departemen Keuangan RI 3.708 1.219 3.099 3.975 6.368 2.032 11.090 2.256 3.947 365 431 4.185 374 3.910 9.276 4.839 6.981 4.999 7.454 1.779 9.686 4.435 3.691 3.805 6.847 7.957 17 .035 1.999 9.341 3.540 7.290 10.928 18.353 7.539 25.948 5.729 10.110 661 1.509 8.663 1.233 14.962 37.219 12.277 20.860 15.883 27.521 5.480 26.732 10.413 10.957 14.411 25.387 33.317 48.596 6.135 385 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Program IPJP dimulai sejak tahun anggaran 1989/90 dengan alokasi dana sebesar Rp 69,5 miliar. Dalam tahun-tahun berikutnya jumlah bantuan ini terus ditingkatkan, dan terakhir dalam tahun anggaran 1993/94 telah mencapai jumlah sebesar Rp 405,6 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 55,4 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1994/95, dalam rangka upaya peningkatan efisiensi bantuan, pengalokasiannya dimasukkan ke dalam Inpres Dati Bantuan spesifik lain yang diberikan kepada pemerintah daerah tingkat I selain IPJP adalah bantuan reboisasi. Bantuan ini diberikan dalam bentuk program Inpres penghijauan dan reboisasi di mana bantuan penghijauan diberikan kepada pemerintah daerah tingkat II. Program ini ditujukan untuk menanggulangi tanah-tanah kritis sebagai akibat dari kegiatan perladangan berpindah serta penebangan hutan secara sembarangan. Selain itu juga untuk meningkatkan pelaksanaan kegiatan penghijauan dan reboisasi di daerah, serta meningkatkan usaha dan kelestarian sumber-sumber alam, bulan, tanah, dan air di suatu daerah aliran sungai. Adapun alokasi dana Inpres penghijauan dan reboisasi untuk seluruh daerah dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 16,5 miliar, sedang dalam tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi sebesar Rp 104,3 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 44,6 persen per tahun. 5.3.3. Pinjaman pemerintah daerah Pinjaman dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan salah satu alternatif sumber dana yang dapat dimanfaatkan pemerintah daerah tingkat I dalam rangka menutupi kekurangan kebutuhan dana pembangunan di daerah. Pada prinsipnya dana pinjaman tersebut dimaksudkan sebagai pelengkap bagi sumber dana untuk pembangupan daerah, baik dari pendapatan asli daerah, maupun dari sumbangan/bantuan pemerintah pusat dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. Dana yang bersumber dari pinjaman tersebut selain untuk menutupi kebutuhan dana untuk pembangunan juga dapat digunakan untuk penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah (BUMD), seperti untuk penyertaan pada bank pembangunan daerah (BPD), perusahaan daerah air minum (PDAM), serta perusahaan daerah lainnya, dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian daerah dan penerimaan daerah sendiri (PDS). Sumber pinjaman daerah ini dapat berupa pinjaman dari luar negeri yang dipinjam melalui pemerintah pusat (penerusan pinjaman/SLA), ataupun dana yang berasal dari dalam negeri. Saat ini salah satu dana Departemen Keuangan RI 386 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pinjaman yang bersumber dari dalam negeri adalah dari dana yang tersedia dalam rekening pembangunan daerah (RPD). Seiring dengan gerak pembangunan dan peningkatan kebutuhan dana, maka realisasi pinjaman daerah tingkat I seluruh Indonesia dari tahun ke tahun senantiasa meningkat. Realisasi jumlah pinjaman pemerintah daerah tingkat I di seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 8,7 miliar, meningkat menjadi sebesar Rp 38,4 miliar dalam tahun anggaran 1993/94, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 34,6 persen. Pelaksanaan pinjaman oleh pemerintah daerah selama ini senantiasa didasarkan atas kebutuhan daerah dalam membiayai pembangunannya. Dalam tahun anggaran 1993/94, daerah tingkat I yang paling besar memanfaatkan pinjaman untuk pembiayaan pembangunan dan investasi daerahnya adalah DKI Jakarta, sementara pinjaman pemerintah daerah tingkat I lainnya relatif kecil, bila dibandingkan dengan pinjaman pemerintah DKI Jakarta. 5.3.4. Pengeluaran rutin daerah Pengeluaran rutin daerah adalah dana yang dikeluarkan untuk menunjang kelancaran berbagai kegiatan pemerintahan di daerah. Oleh karena itu, tinggi rendahnya aktivitas pemerintah daerah di bidang pemerintahan juga tercermin dari tinggi rendahnya pengeluaran rutin tersebut. Meningkatnya jumlah penduduk sangat erat kaitannya dengan meningkatnya kegiatan pemerintahan di daerah. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan adanya peningkatan kebutuhan masyarakat di bidang pelayanan, yang pada gilirannya membawa pengaruh terhadap peningkatan kegiatan administrasi di lingkungan pemerintah daerah. Kecenderungan tersebut tercermin dari meningkatnya pengeluaran rutin daerah tingkat I dari tahun ke tahun. Dalam tahun anggaran 1988/89 pengeluaran rutin Dati I masih berjumlah Rp 2.540,1 miliar, sedangkan dalam tahun anggaran 1993/94 jumlahnya meningkat menjadi sebesar Rp 5.401 miliar, akan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 16,3 persen per tahun. Di antara semua jenis pengeluaran rutin, belanja pegawai merupakan jenis pengeluaran yang terbesar, yang diikuti oleh belanja barang dan belanja lain-lain, masing-masing sebesar Rp 3.877,5 miliar, Rp 538,1 miliar, dari Rp 435,9 miliar dalam tahun anggaran 1993/94. Sementara ditinjau dari laju pertumbuhan rata-rata per harian, selama periode 1988/89-1993/94 ganjaran/subsidi/sumbangan memperlihatkan laju tertinggi, yaitu sebesar 27,9 persen, sedangkan Departemen Keuangan RI 387 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 angsuran pinjaman/hutang menunjukkan laju terendah, yaitu sebesar 12,3 persen per harian, sebagaimana terlihat pada Tabel V.22. Tabel V. 22 PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA, 1988/89 -1993/94 (dalam mitior rupiah) No. Propinsi I. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Belanja pegawai Belanja barang Belanja pemeliharaan Belanja perjalanan dinas Belanja lain-lain Angsuran pinjamanlhutang Ganjaran/ubsidi/ sumbangan Jumlah 1989/90 Repclita V 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 Pertumbuhan Rata-rata Repelita V (%) 1.919,15 273,8 82,48 28,53 166,86 7,91 2.207,09 304,61 114,04 32,02 199,91 9,71 2.415,98 370,65 152,02 44,14 275,23 12,58 2.686,60 457,34 208,54 50,68 354,66 11,89 3.275,94 507,4 244,71 54,75 402,53 11,8 3.877,54 538,05 261,24 64,4 435,89 14,13 15,1 14,5 25,9 17,7 21,2 12,3 61,39 2,540,14 69,52 2.936,91 90,56 3.361,15 109,91 3.879,60 173,35 4.670,48 209,72 5.400,97 27,9 16,3 Repelita IV 1988/89 Ditinjau dari besarnya pengeluaran rutin per daerah tingkat I, pada umumnya daerahdaerah tingkat I yang berpenduduk banyak mempunyai pengeluaran rutin yang tinggi, seperti terlihat pada daerah-daerah tingkat I Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, yang dalam tahun anggaran 1993/94 masing-masing menunjukkan pengeluatan rutin sebesar Rp 927,1 miliar, Rp 885,6 miliar, Rp 882,1 miliar, dan Rp 818,2 miliar. Sebaliknya di daerah tingkat I yang mempunyai jumlah penduduk sedikit, seperti di Timor Timur, jumlah pengeluaran rutinnya juga relatif rendah, yaitu sebesar Rp 21 miliar. Sementara itu ditinjau dari laju pertumbuhan rata-rata per tahun selama kurun waktu 1988/89-1993/94, pengeluaran rutin di DKI Jakarta mengalami laju pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 25,4 persen. Tingginya laju pertumbuhan rata-rata per tahun pengeluaran rutin di DKI Jakarta dipengaruhi tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, yang terutama disebabkan oleh arus urbanisasi yang sangat tinggi setiap tahunnya. Laju pertumbuhan rata-rata yang negatif terjadi di daerah-daerah tingkat I Lampung, Sulawesi Utara, dan Bali. Hal ini, antara lain disebabkan karena di daerah-daerah tersebut sejak tahun anggaran 1993/94 pembayaran gaji untuk guru SD tidak lagi diadministrasikan di daerah tingkat I melainkan di daerah tingkat II yang bersangkutan. Adapun gambaran mengenai pengeluaran rutin masing-masing daerah tingkat I secara rinci dapat dilihat pada Tabel V.23. Departemen Keuangan RI 388 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel V. 23 PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKA T I PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94 (dalam miliar rupiah) Repelita Repelita V Pertumhuhan No. Propinsi Rata-rata IV 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 Repelita V I. DI Aceh 58,41 69,44 80,1 93,07 112,3 138,25 18,8 2. Sumatera Utara 181,78 208,67 240,41 255,56 298,95 365,07 15 3. Sumatera Barat 28,4 32,25 35,47 42,6 47,89 56,57 14,8 4. Ria u 29,7 38,42 48,86 53,25 66,86 77,04 21 5. Jambi 12,22 13,62 15,28 16,83 19,93 26,95 17,1 6. Sumatera Selatan 39,39 41,46 53,69 60,71 65 79,76 15,2 7. Bengkulu 12,41 13,77 16,11 17,76 19,87 22,81 12,9 8. Lampung 78,08 93,6 106,87 119,92 145,76 56,74 -6,2 9. DKI Jakarta 263,94 331,63 445.30 593,38 715,81 818,23 25,4 10. Jawa Barat 401,6 460,04 510,65 592,09 713,66 882,08 17 II. Jawa Tengah 398,49 455,85 494,77 565,03 711,74 885,57 17,3 12. DI Yogyakarta 67,67 71,62 79,23 100,15 111,41 139,25 15,5 13. Jawa Timur 456,59 512,4 567,59 654,75 799,99 927,13 15,2 14. Kalimantan Barat 55,19 67,64 73,99 85,08 104,7 132,94 19,2 15. Kalimantan Tengah 35,01 41,45 47,11 56,17 67,55 87,33 20,1 16. Kalimantan Se1atan 59,43 71,79 80,29 91,96 115,54 149,98 20,3 17. Kalimantan Timur 47,67 56,37 64,47 81,1 I 00,64 79,63 10,8 18. Sulawesi Utara 69,76 81,69 88,1 97,27 121,13 42,42 -9,5 19. Sulawesi Tengah 38,44 47,13 53,25 62,67 77,2 98,04 20,6 20. SulaweSi Selatan 33,23 36,61 42,58 49,Z6 56,85 66,94 15 21. Sulawesi Tenggara 11,38 10,16 14,5 15,88 17,46 22,27 14,4 22. B al i 65,67 75,85 84,12 40,7 49,25 51,17 -4,9 23. Nusa Tenggara Barat 13,56 15,24 16,9 19,46 23,27 27,95 15,6 24. Nusa Tenggara Timur 16,34 18,69 20,83 24,61 25,99 29,83 12,8 25. Maluku 12,52 14,41 17,19 20,04 22,53 28,45 17,8 26. Irian Jaya 41,76 45,05 50,36 56,11 62,3 87,58 16 27. Timor Timur 11,5 12,03 13,11 14,2 16,91 20,96 12,8 Jumlah 2.540,14 2.936,91 3.361,15 3.879,60 4.670,48 5.400,97 16,3 Pengeluaran rutin merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka kelancaran jalannya pelaksanaan roda pemerintahan di daerah. Sumber dana terbesar untuk pembiayaan kegiatan rutin tersebut adalah berasal dari SDO. Bila keseluruhan SDO dibandingkan dengan keseluruhan pengeluaran rutin, akan terlihat besarnya peranan SDO dalam menunjang kegiatan rutin pemerintah daerah tingkat I. Tabel V.24 dan Grafik V.6 memperlihatkan persentase SDO yang cukup tinggi dalam komponen pengeluaran rutin seluruh daerah tingkat I, yaitu dalam tahun anggaran 1988/89 menunjukkan angka sebesar 80,4 persen, dan dalam tahun anggaran 1993/94 sebesar 72,6 persen. Tingginya angka persentase tersebut karena sebagian besar dana SDO adalah berupa belanja pegawai, sementara belanja pegawai merupakan komponen belanja yang terbesar dalam keseluruhan pengeluaran rutin daerah tingkat I. Di beberapa daerah tingkat I seperti Propinsi Jawa Timur, Propinsi Jawa Tengah, dan Propinsi Jawa Barat, persentase SDO dalam tahun anggaran 1993/94 relatif tinggi terhadap pengeluaran rutin, yaitu masing-masing sebesar Departemen Keuangan RI 389 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 89,1 persen, 89 persen, dan 88,1 persen, sedang di DKI Jakarta, Propinsi Kalimantan Timur, dan Propinsi Riau peranan SDO relatif rendah, yaitu masing-masing sebesar 28,8 persen, 28,4 persen, dan 27,2 persen. 5.3.5. Pengeluaran pembangunan daerah Upaya pemerintah daerah untuk memenuhi tersedianya sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat dilakukan melalui rehabilitasi sarana dan prasarana yang sudah ada serta pembangunan sarana dan prasarana yang baru, yang pembiayaannya ditampung dalam pengeluaran pembangunan daerah. Dengan semakin luasnya jangkauan dan ruang lingkup pembangunan di daerah-daerah, maka pengeluaran pembangunan juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jika dalam tahun anggaran 1988/89 pengeluaran pembangunan seluruh daerah tingkat I masih berjumlah Rp 811,2 miliar, maka dalam tahun anggaran 1993/94 jumlahnya telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.413 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 24,4 persen per tahun. Ditinjau dari pengeluaran pembangunan per sektor, sebagaimana halnya yang terjadi dalam tahun sebelumnya, dalam tahun anggaran 1993/94 sektor perhubungan dan pariwisata masih tetap merupakan sektor yang paling dominan, yaitu meliputi sebesar Rp 766,4 miliar. Sangat dominannya sektor ini karena sebagian besar dananya digunakan untuk membiayai subsektor perhubungan yang merupakan subsektor yang sangat vital bagi kegiatan ekonomi di daerah maupun antar daerah. Sedang subsektor pariwisata merupakan subsektor yang makin mendapat perhatian dalam rangka meningkatkan daya tarik pariwisata Indonesia, terutama bagi wisatawan mancanegara, dengan sasaran akhir masuknya devisa dalam jumlah yang semakin besar. Sektor berikutnya yang memperoleh alokasi cukup besar dalam pengeluaran pembangunan adalah sektor aparatur pemerintah, yang dalam tahun anggaran 1993/94 menunjukkan angka sebesar Rp 318,8 miliar. Besarnya pengeluaran sektor aparatur pemerintah ini adalah sejalan dengan upaya peningkatan sumber daya manusia, baik kuantitas maupun kualitasnya, selaras dengan semakin beratnya tantangan yang harus dihadapi daerah di masa depan. Sektor ketiga yang juga cukup dominan adalah sektor pertanian dan pengairan yang berjumlah sebesar Rp 235,7 miliar. Sektor pertanian dan pengairan mempunyai posisi yang strategis karena sektor Departemen Keuangan RI 390 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 ini menjadi landasan bagi pemantapan swasembada pangan dan peningkatan produksi hasil-hasil pertanian lainnya. Gambaran mengenai pengeluaran pembangunan daerah tingkat I per sektor secara rinci dapat dilihat pada Tabel V.25. Tabel V. 24 PERSENTASE SUBSIDI DAERAH OTONOM TERHADAP DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1993/94 No. Repelita IV Repelita V 1988/89 1993/94 Propinsi -1 -2 -3 -4 I. DI Aceh 82,3 76,1 2. Sumatera Utara 84,7 87,1 3. Sumatera Barat 62,2 47.9 4. Ri au 36,8 27,2 5. J ambi 64,4 52,2 6. Sumatera Selatan 56,7 42 7. Bengkulu 70,5 64,6 8. Lampung 85,2 56,8 9. OKI Jakarta 44,9 28,8 10. Jawa Barat 91 88,1 II. Jawa Tengah 92,2 89 12. DI Yogyakarta 87,4 84 13. Jawa Timur 85,6 89,1 14. Kalimantan Barat 86,9 85,3 15. Kalimantan Teng 81,9 77,3 16. Kalimantan Selatan 87 80,6 17. Kalimantan Timur 66,1 28,4 18. Sulawesi Utara 86,6 51,2 19. Sulawesi Tengah 91 87,7 20. Sulawesi Selatan 64,8 52,4 21. Sulawesi Tenggara 74,5 66,8 22. B al i 80,1 37 23. Nusa Tenggara Barat 72 60 24. Nusa Tenggara Timur 64 56 25. Maluku 70,5 53,2 26. Irian Jaya 68,8 53,3 27. Timor Timur 83,4 74,1 Indonesia 80,4 72,6 Departemen Keuangan RI 391 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel V. 25 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKA T I PER SEKTOR, 1988/89 - 1993/94 (dalam miliar rupiah) No. Sektor -1 I. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. II. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. -2 Sektor pertanian dan pengairan Sektor industri Sektor pertambangan dan energi Sektor perhubungan don pariwisata Sektor perdagangan don koperasi Sektor tenaga kerja don pemukiman kembali Sektor pembangunan daerah Sektor agama Sektor pendidikan, generasi modo, kebudayaan nasional dan kepereayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, kependudukan don keluarga berencana. Sektor perumahan rakyat dan pemukiman Sektor hokum Sektor keamanan dan ketertiban Sektor penerangan, pets dan komunikasi sosial Sektor pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan penelitian Sektor aparatur pemerintah Sektor pengembangan dunia usaha Sektor sumber alam dan lingkungan hidup Subsidi pembangunan kepada daerah bawahan Pembayaran kembali pinjarnan Jumlah Repelita IV 1988/89 1989/90 1992/93 1993/94 Pertumbuhan Rata-rata Repelita V (%) -3 99,11 3,99 7,02 172,37 4,57 (92 116,7 14,93 -4 125,13 5,6 8,07 293,46 3,2 5,97 78,3 18,48 -5 155,61 7,32 11,39 502,8 4,97 9,96 89,91 21,4 -6 192,04 12,26 15,94 662,92 9,12 13,48 117,15 34,39 -7 212,27 11,58 18,06 688,53 10,07 14,65 131,91 37.82 -8 235,67 13,09 20,52 766,35 11,69 15,43 143,97 49,11 -9 18,9 26,8 23,9 34,8 20,7 25,7 4,3 26,9 79,22 85,44 99,74 121,53 143,88 168,38 16,3 39,74 27,81 1,66 10,78 4,65 45,8 28,61 2,4 16,07 7,37 54,58 39,69 3,35 20,84 12,35 71,37 51,84 4,53 38,67 14,35 91,51 65,38 4,76 33,2 13,89 115,55 62,2 5,59 34,99 13,8 23,8 17,5 27,5 26,6 24,3 12,46 136,77 25,57 20,07 28,64 0,25 811,19 15,11 152,63 37,69 26,05 72,59 0,62 1.028,57 21,73 227,18 35,41 36,7 142,92 0,17 1.498,02 26,38 301,57 66,5 46,02 211,14 0,17 2.011,33 32,79 324,89 78,11 51,09 237,47 0 2.201,84 40,32 318,84 81,97 69,33 246,05 0,17 2,413,01 26,5 18,4 26,2 28,1 53,8 -7,9 24,4 Repelita V 1990/91 1991/92 Di antara pengeluaran pembangunan daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1993/94, jumlah pengeluaran pembangunan DKI Jakarta adalah yang terbesar, yaitu sebesar Rp 585 miliar. Jumlah pengeluaran pembangunan di DKI Jakarta ini bahkan masih lebih besar daripada jumlah gabungan pengeluaran pembangunan dari propinsi-propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Riau, dan Jawa Tengah, yaitu sebesar Rp 571,7 miliar. Jumlah penduduk yang besar dan padat, di samping kedudukannya sebagai ibukota negara, menyebabkan pengeluaran pembangunan DKI Jakarta jumlahnya sangat tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya. Pengeluaran tersebut digunakan untuk rehabilitasi atas sarana dan prasarana yang sudah ada, maupun untuk pembangunan sarana dan prasarana lain. Ditinjau dari besarnya laju pertumbuhan rata-rata per tahun per daerah tingkat I selama periode 1988/89-1993/94, terdapat dua daerah tingkat I yang mempunyai pertumbuhan tertinggi, yaitu daerah-daerah tingkat I Riau dan Irian Jaya, masing-masing sebesar 44,6 persen dan 40,8 persen per tahun. Sementara laju pertumbuhan rata-rata terendah terjadi di daerahdaerah tingkat I Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, masing-masing sebesar 14,2 persen dan 12,6 persen per tahun. Gambaran mengenai perkembangan pengeluaran pembangunan dari masingmasing daerah tingkat I secara rinci dapat dilihat pada Tabel V.26. Departemen Keuangan RI 392 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 No. -1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Tabel V.26 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKA T I PER PROPINSI, 1988/89 - 1993/94 (dalam miliar rupiah) Repelita Repelita V Pertumbuha Rata-rata 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 Repelita V Propinsi -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 DI Aceh 18,93 26,89 30 48,27 50,1 51,91 22,4 Sumatera Utara 44,62 58,48 68,5 81,33 84,18 93,51 16 Sumatera Barat 14,62 17,48 27,78 32,07 34,2 38,65 21,5 Riau 19,54 35,24 59,81 83,28 116,59 123,38 44,6 Jambi 15,79 20,42 27,62 40,43 46,05 51,89 26,9 Sumatera Selatan 19,32 31,05 52,38 65,85 68,98 84,77 34,4. Bengkulu 13,09 13,23 21,77 29,6 34,07 36,88 23 Lampung 15,68 24,66 36,47 40,31 39,67 41,24 21,3 OKI Jakarta 202,97 272,11 338,7 458,02 516,23 584,96 23,6 Jawa Barat 64,78 69,4 102,21 166,92 181,06 152,8 18,7 Jawa Tengah 58,41 60,43 86,01 112,44 98,44 113,23 14,2 DI Yogyakarta 18,48 15,49 27,64 28,13 30,17 33,52 12,6 Jawa Timur 79,86 86,09 117,39 155,19 166,17 182,29 17,9 Kalimantan Barat 18,56 20,93 34,26 50,8 55,37 58,37 25,8 Kalimantan Tengah 17,51 24,62 37,14 47,2 65,94 81,55 36 Kalimantan Selatan 15,8 16,9 29,27 32,8 41,35 50,45 26,1 Kalimantan Timur 20,2 27,9 53,64 72,54 78,98 83,29 32,8 Sulawesi Utara 19,05 24,94 33,36 43,87 48,26 48,46 20,5 Sulawesi Tengah 15,32 19,14 37,33 43,16 48,54 57,18 30,1 Sulawesi Selatan 18,62. 29,27 46,53 68,69 65,16 67,22 29,3 Sulawesi Tenggara 12,64 14,66 23,21 33,45 33,74 48,52 30,9 Bali 20,4 25,74 40,86 58,6 39,32 41,25 15,1 .Nusa Tenggara Barat 12,59 15,16 26,23 39,62 39,23 42,87 27,8 Nusa Tenggara Timur 11,9 18,18 27,42 40,17 50,6 54,54 35,6 Maluku 15,02 22,09 36,28 50,8 56,99 62,7 33,1 Irian Jaya 15,15 22,14 53,16 60,38 73,9 83,72 40,8 Timor Timur 12,37 15,95 23,07 27,41 38,57 43,84 28,8 Jumlah 811,19 1.028,57 1.498,02 2.011,33 2.201,84 2.413,01 24,4 Apabila pengeluaran pembangunan dibandingkan dengan total pengeluaran dari masingmasing daerah tingkat I, maka akan terlihat gambaran sebagaimana tampak dalam Tabel V.27. Dalam tahun anggaran 1988/89 terdapat 5 daerah tingkat I yang mempunyai persentase di atas 50 persen, yaitu daerah-daerah tingkat I Jambi, Maluku, Sulawesi Tenggara, Timor Timur, dan Bengkulu, masing-masing sebesar 56,4 persen, 54,5 persen, 52,6 persen, 51,8 persen, dan 51,3 persen. Sedang dalam tahun anggaran 1993/94 persentase tertinggi terjadi di daerah-daerah tingkat I Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Timor Timur, masing-masing sebesar 68,8 persen, 68,5 persen, dan 67,7 persen. Peningkatan jumlah pengeluaran pembangunan yang relatif besar di daerah-daerah tersebut erat kaitannya dengan upaya untuk semakin menyebarkan dan memeratakan pelaksanaan pembangunan ke berbagai daerah. Departemen Keuangan RI 393 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel V. 27 PERSENTASEPENGELUARANPEMBANGUNANTERHADAPTOTAL PENGELUARAN DAERAH TINGKA T I PER PROPINSI, 1988/89 DAN No. Propinsi -1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. S. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. IS. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. -2 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau J ambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung OKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Indonesia Repelita 1988/89 -3 24,5 19,7 34 39,7 56,4 32,9 51,3 16,7 43,5 13,9 12,S 21,5 14.9 25,2 33,3 21 29,S 21,4 2S,5 35,9 52,6 23,7 4S,1 42,1 54,5 26,6 51,S 24,2 Repelita V 1993/94 -4 27,3 20,4 40,6 61,6 65,S 51,5 61,S 42,1 41,7 14,S 11,3 19,4 16,4 30,5 4S,3 25,2 51,1 53,3 36,S 50,1 6S,5 44,6 60,5 64,6 6S,S 4S,9 67,7 30,9 5.4. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat II 5.4.1. Penerimaan daerah sendiri Sama halnya dengan PDS tingkat I, maka PDS tingkat II adalah penjumlahan PAD dan penerimaan PBB yang menjadi porsi daerah tingkat II. Peningkatan PDS memiliki arti yang sangat strategis, baik bagi kepentingan daerah tingkat II maupun kepentingan nasional, khususnya dalam upaya meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pemerintahan daerah dan pembangunan di daerah. Atas dasar pertimbangan tersebut, kemampuan keuangan daerah tingkat II terus ditingkatkan, baik melalui penggalian PAD maupun penggalian PBB. Dalam pada itu, diserahkannya kepada daerah tingkat II bagian PBB yang sebesar 10 persen yang selama ini Departemen Keuangan RI 394 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 merupakan porsi penerimaan pusat sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 1994, diharapkan pula dapat semakin mendorong upaya perbaikan dalam pengelolaan PDS. Selama periode 1988/89-1992/93, realisasi PDS tingkat II mengalami peningkatan dari sebesar Rp 619,6 miliar menjadi sebesar Rp 1.453,3 miliar dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 23,8 persen setiap tahunnya. Peningkatan tersebut terjadi, baik pada PAD maupun PBB tingkat II, dalam jumlah yang cukup berarti, yaitu pertumbuhan rata-rata masing-masing sebesar 18,9 persen dan 31,6 persen per tahun. Perkembangan PDS tingkat II dan proporsinya terhadap PDB tanpa migas secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel V.28. Tabel V. 28 PENERIMAAN DAERAH SENDIRI TINGKA T II DAN PROPORSINY A TERHADAJ" PRODUK DOSTIK BRUTO TJ,'ANPA MIGAS, 1988/89 -1992193 . (dalam iniIiar rupiah) Uraian -1 -2 I. PDS tingkat II - PADtingkatlI - PBB tingkat II 2. Penerimaan APBD tingkat II 3. PDB *) 4. Persentase PDS tingkat II terbadap penerimaan APBD tingkat II (I : 2) - Persentase PAD tingkallI terhadap penerimaan APBD - Persentase PBB tingkat II terhadap penerimaan APBD 5. Persentase PDS tingkat II terbadap PDB (I: 3) - Persentase PAD tingkat II terhadap PDB Repe1ita IV 1988/89 1989190 . 1990/91 -3 619,59 403.93 215,66 2.568,02 121.606,00 -4 839,68 477,92 361,76 3.013,92 142.454,70 -5 1.040,44 591.80 448,64 4.304,73 166.518,40**) 24,13 27,86 24,17 23,20 21,96 15,73 15,86 13,75 12,94 12,19 8,40 12,00 10,42 10,26 9,77 0,51 0,59 0,62 0,66 0,64 0,33 0,34 0,36 0,37 0,35 Repe1ita V 1991/92 1992/93 -6 -7 1.264,55 1.453,30 705,28 806,75 559,27 646,55 5.451,35 6.617.27 192.803,1(;*) 227.795,50 **) : *) Dalam tahun takwin, dan atas dasar harga yang baru Keterangan **) Angka diperbaiki - Meningkatnya realisasi PAD dan PBB tidak saja berdampak positif dalam upaya meningkatkan PDS tingkat II secara nominal, tetapi juga meningkatkan rasio PDS tingkat II terhadap produk domestik regional bruto tanpa migas. PDS dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 619,6 miliar dan dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi sebesar Rp 1.453,3 miliar. Dalam pada itu PDRB tanpa migas tidak termasuk DKI Jakarta dalam tahun 1988 adalah sebesar Rp 101.715,8 miliar dan dalam tahun 1992 telah meningkat menjadi Rp 182.933,9 miliar. Dengan demikian, persentase PDS tingkat II terhadap PDRB tanpa migas telah meningkat Departemen Keuangan RI 395 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dari 0,6 persen menjadi 0,8 persen. Perkembangan tersebut dapat dilihat dalam Tabel V.29. No. Propinsi I. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8-. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengku1u Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat ,Kalimantan Tengab Kaliamantan Selatan Kalimantan Timur S;;Iawesi Vlara Sulawesi Tengab Sulawesi Se1atan Sulawesi tenggara Bali Nusa Tenggara Bahal Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Indonesia Tabel V.29 PENERIMAAN DAERAH SENDIRI TINGKAT II DAN PROPORSINY A TERHADAP PDRB TANPA MIGAS') PER PROPINSI, 1988/89 DAN 1992/93 (dalam miliar rupiah) PDS 1988189 1992193 PAD PBB Jumlah PBB Jumlah 1988 ") PAD 5,59 30,17 12,6 5,91 3,3 9,98 2,48 9,14 81,17 75,65 7.78 73,93 6,36 2,23 6,44 9,59 8,1 2,79 16,91 1,64 14,36 4,94 6,39 3,47 2,85 0,59 403,93 16,79 23,52 2,48 3,48 3,61 14,88 0,48 5,56 31,99 18,62 2,5 32,35 2,79 3,12 7,62 18,22 1,71 1,54 8,47 0,96 3,12 1,77 1,54 4,69 3,78 0,08 215,66 22,38 53,69 14,63 9,4 6,91 24,87 2,95 14,7 113,15 94,27 10,28 106,28 9,15 5,34 14,07 27,8 9,81 4,32 25,38 2,6 17,47 6,71 7,93 8,16 6,63 0,67 619,58 11 54,3 21,29 9,26 6,3 21,94 3,62 12,31 188,5 136,Q9 16,13 145,83 11.24 4,28 11,92 26,54 11,94 5,09 31.55 3,7 35,19 12,73 10,62 5,85 8,02 1,52 806,75 38,95 45,4 11,18 14,06 13,69 54,32 2,64 13,17 78,47 38.48 4,13 69,44 11,41 34,52 29,48 79,75 5,82 5,82 23,59 3,31 8,12 4,79 9,27 13,44 31,55 1,75 646,55 PDRB PDSlPDRB(%) 1992 1988189 1992193 49,95 2.292.91 3.984,72 99,7 7.670,77 13.826,46 32,47 2.561,24 4.276,21 23,31 1.991,17 3.769,48 19,99 977,82 1.737,37 76,26 4.859,06 7.610,59 6,26 633,59 1.100,53 25,48 2.539,99 4.351,20 266,96 20.618,45 37.772,40 174,58 14.799,72 26.809,72 20,26 1,486,98 2.500,87 215,27 20.907,81 38.537,73 22,65 2.092,58 3.702,54 38,79 1.057,20 1.951,43 41.40 1.704,10 3.116,34 106,29 3.058,00 5.298,15 17,76 1.140,79 1.963.00 10,91 723,44 1.267,62 55,14 3.580,66 6.071,25 7,01 629,52 1.063,91 43,32 2.197,82 3.975,31 17,52 950,08 1.870,42 19,8 938,12 1.638,97 19,29 1.119,52 1.923,19 39,57 984,38 2.814,49 3,27 200,09 386,36 1.453,30 101.715,78 182,933,88 1 0,7 0,6 0,5 0,7 0,5 0,5 0,6 0,5 0,6 0,7 0,5 0,4 0,5 0,8 0,9 0,9 0,6 0,7 0,4 0,8 0,7 0,8 0,7 0,7 0,3 0,6 1,3 0,7 0,8 0,6 1,2 1 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,6 0,6 2 1,3 2 0,9 0,9 0,9 0,7 1,1 0,9 1,2 1 1,4 0,8 0,8 Keterangan:*) PDRB atas dasar harga yang berlaku. **) angak diperbaiki diperbaiki 5.4.1.1. Pendapatan asli daerah Pendapatan asli daerah (PAD) tingkat II terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba perusahaan daerah, penerimaan dari dinas-dinas, dan penerimaan lain-lain. Berdasarkan data realisasi perhitungan APBD tingkat II setiap tahunnya, realisasi PAD tingkat II menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Dalam tahun anggaran 1992/93 realisasi penerimaan PAD tingkat II secara nasional mencapai sebesar Rp 806,7 miliar. Dibandingkan dengan realisasi PAD tingkat II dalam tahun anggaran 1988/89sebesar Rp 403,9 miliar, PAD tingkat II mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 18,9 persen. Dalam tahun anggaran 1992/93 peranan PAD tingkat II terhadap PDS adalah sebesar 55,5 persen. Realisasi PAD tingkat II antar propinsi setiap tahunnya bervariasi. Hal ini antara lain disebabkan potensi pungutan PAD dan jumlah Dati II yang berbeda di masing-masing daerah tingkat I. Berdasarkan realisasi PAD tahun anggaran 1992/93, beberapa propinsi yang memiliki PAD tingkat II terbesar adalah propinsi-propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, masing-masing sebesar Rp 188,5 miliar, Rp 145,8 miliar, dan Rp 136,1 miliar, sehingga apabila Departemen Keuangan RI 396 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 ketiganya dijumlahkan menghasilkan PAD sebesar Rp,470,4 miliar, atau 58,3 persen dari seluruh PAD tingkat II. Sedangkan propinsi-propinsi yang memiliki PAD tingkat II terkecil adalah propinsi-propinsi Timor Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara, masing-masing sebesar Rp 1,5 miliar, Rp 3,6 miliar, dan Rp 3,7 miliar. Ketiga propinsi tersebut secara bersama-sama menghasilkan PAD sebesar Rp 8,8 miliar, atau hanya 1,1 persen dari seluruh PAD tingkat I. Apabila dilihat angka pertumbuhan rata-rata PAD tingkat II masing-masing propinsi per tahun dalam kurun waktu 1988/89-1992/93, maka daerah tingkat II di propinsi-propinsi Irian Jaya, Kalimantan Timur, dan Timor Timur mengalami laju pertumbuhan tercepat, yakni masing-masing sebesar 29,6 persen, 29 persen, dan 26,9 persen. Sedangkan angka pertumbuhan terkecil dialami oleh daerah tingkat II di propinsi-propinsi Larnpung, Bengkulu, dan Sulawesi Utara, masing-masing dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 7,7 persen, 9,9 persen, dan 10,2 persen. Perkembangan realisasi PAD tingkat II per propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.30. Tabel V. 30 PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1988/89 -1992/93 (dalamjuta rupiah) No. Propinsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. Repelita IV 1988/89 Keseluruhan Rata2 Dl Aceb Sumaler> U""a Sumalera Barat Riau Jambi Sumalera Solatan Bengkulu Lampung lawa Bara' lawa Teu8ab Dl YO8yakarta lawa Timor Kalimantan Barat Kalimantan Tengab Kalmantan Selatan Kalimantan Timor Sulawesi Utara Sulawesi Tengab Sulawesi Selatan Sulawesi Tengg... Bali Nusa Tengsara Baral Nusa Tengsara Timor Maluku I,ianlaya Timor Timur Jumlah Rata-rata 5.594,41 30.174,04 12.157,97 5.910,72 3.301,85 9.981,39 2.475,38 9.144,68 81.168,03 75.649,96 7.784,18 73.927,61 6.364,26 2.228,80 6.444,75 9.588,64 8.101,33 2.786,70 16.911,07 1.642,94 14.356,35 4.939,77 6.391,75 3.466,06 2.846,64 586,45 403.925,73 - 559,44 1.774,94 868,43 985,12 550,31 998,14 618,85 2.286,17 3.382,00 2.161,43 1.556,84 1.998,04 909,18 371,47 644,48 1.598,11 1.350,22 696,68 735,26 410,74 1.794,54 823,3 532,65 866,52 316,29 45,11 1.392,SS 1989/90 Rata2 Keseluruhan 1990/91 Rata2 Keseluruhan 1991/92 Rata2 Keseluruhan 1992/93 Rata2 Pertumbuhan Rata-rata Repelita V (%) 612,3 1.928,82 1.017,45 1.102,95 611,94 1.125,45 720,62 2.331,78 4.153,27 2.553,88 1.867,27 2.324,67 1.155,75 405,18 682,21 2.036,69 1.247,63 822,7 937,84 502,54 2.412,82 1.057,13 657,02 772,42 360,39 60,99 1,636,71 787,91 2.378,80 1.110,66 1.224,84 762,92 1.437,27 884,45 2.838,11 5.460.52 3.090,78 2.147.52 2.999,01 1.415,40 443,97 760,77 2.713,00 1.432,01 1.059,44 1.039,38 750.59 3.080,86 1.296,27 683,85 1.021,97 584,38 75,35 2.039,71 872.97 2.710,08 1.276.50 1.317.57 1.018,17 1.934,39 936.51 2.781,19 6.665,68 3.418,79 2.803,36 3.486,48 1.476,36 1.032,15 865,98 3.773,64 1.600,74 1.357,35 1.251,01 899,61 3.878,57 1.703,99 842,65 1.092,25 756,78 96,67 2.415,34 1.099,97 3.194,14 1520,71 1.542.56 1.049,95 2.194,48 904,3 2.462,82 7.853,97 3.888,36 3.225,72 3.914,48 1.605,85 712,95 1.191,82 4.423,22 1.705.51 1.271,48 1.371.55 925,65 4.399,15 2.121,81 884,73 1.169,04 891,1 116,92 2.753,40 18,4 15,8 15 11,9 17.5 21,8 9,9 7,7 23,4 15,8 20 18.5 15,3 17,7 16,6 29 10,2 16,2 16,9 22.5 25,1 26,7 13,5 14 29,6 26,9 18,9 - Repelita V Keseluruhan 6.123,03 32.789,96 14.244,31 6.617,72 3.671,62 11.254,45 2.882,49 9.327,12 99.678,41 89.385,77 9.336,34 86.012,93 8.090,26 2.431,06 6.822,09 12.220,14 8.733,38 3.290,82 21.570,29 2.010,16 19.302,52 6.342,79 7.884,29 3.862,10 3.243,47 792,86 477.920,40 - 7.879,11 40.439,60 15.549,25 7.349,05 4.577.52 14.372,71 3.537,81 11.352,45 131.052,48 108.177,13 10.737.58 110.963,45 9.907,83 2.663,83 7.607,71 16.277,98 10.024,10 4.237,77 23.905,74 3.002,34 24.646,87 7.777,63 8.206,18 5.109,84 5.259,41 979,57 595.594,93 - 8.729,68 46.071,43 17.870,96 7.905,42 6.109,00 19.343,90 3.746,04 11.124,77 159.976,20 119.657,63 14.016,82 128.999,83 10.334,52 6.192,89 8.659,77 22.641,82 11.205,20 5.429,40 28.773,19 3.598,44 31.028,55 10.223,92 10.111,84 5.461,26 6.811,04 1.256,73 705.280,25 - 10.999,71 54.300,35 21.290,00 9.255,34 6.299,17 21.944,79 3.617,22 12,314,10 188.495,32 136.092,44 16.128,59 145,834,67 11.240,95 4.277,68 11.918,20 26.539,34 11.938.57 5.085,93 31.545,54 3.702,61 35.193,17 12.730,83 10.616,70 5.845,18 8.019,87 1.519,93 806.746,74 - Ditinjau dan komposisi PAD tingkat II, retribusi daerah merupakan pos penerimaan terbesar. Dalam tahun anggaran 1992/93 realisasi retribusi daerah tingkat II mencapai sebesar Rp 446,2 miliar. Pos ini menyumbang sebesar 55,3 persen dari total PAD tingkat II sebesar Rp 806,8 Departemen Keuangan RI 397 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 miliar, dan sebesar 30,7 persen dari total PDS tingkat II sebesar Rp 1.453,3 miliar. Sedangkan pos pendapatan kedua terbesar adalah pajak daerah, yaitu sebesar Rp 222,4 miliar atau 27,6 persen dari total PAD tingkat II, dan 15,3 persen dari total PDS tingkat II. Komposisi masingmasing pos pendapatan dalam PAD tingkat II dapat dilihat dalam Tabel V.31. Tabel V. 31 KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT SELURUH INDONESIA, 1988/89 DAN 1992/93 Repelita IV Repelita V No. Komponen PAD 1988/89 1992/93 (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) 1. 2. 3. 4. 5. Pajak Retribusi Penerimaan laba BUMD Penerimaan dinas-dinas Penerimaan lain-lain Jumlah 107,44 222,44 11,92 23,02 39,1 403,93 26,6 55,07 2,95 5,7 9,68 100 222,39 446,22 23,55 30,52 84,07 806,75 27,57 55,31 2,92 3,78 10,42 100;00 5.4.1.1.1. Pajak daerah Bagi daerah tingkat II pajak daerah merupakan pos pendapatan kedua terbesar dalam PAD setelah retribusi daerah. Hingga saat ini, dari sekitar 37 jenis pajak yang dikenakan di daerah tingkat II, terdapat 7 jenis pajak yang tetap menjadi andalan Pemda tingkat II, yakni pajak pembangunan I (PP I), pajak penerangan jalan, pajak pertunjukan dan keramaian umum, pajak reklame, pajak pendaftaran perusahaan, pajak potong hewan, dan pajak bangsa asing. Sama halnya dengan pajak daerah tingkat I, dasar pemungutan pajak daerah tingkat II antara lain adalah Undang-undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-pajak Negara, kepada Daerah, dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Untuk lebih meningkatkan penerimaan pajak daerah tingkat II dan sekaligus untuk mengembangkan pariwisata di daerah, dengan Inpres Nomor 6 Tahun 1993 tentang Pemungutan Pajak Pembangunan I dan Retribusi Izin Membangun Hotel di Daerah Tujuan Wisata, telah dipulihkan kembali besarnya tarif PP I dari 5 persen menjadi 10 persen. Dalam tahun anggaran 1992/93, realisasi penerimaan pajak daerah tingkat II adalah sebesar Rp 222,4 miliar. Dibandingkan dengan realisasi tahun anggaran 1988/89 yang sebesar Rp 107,4 miliar, berarti penerimaan pajak daerah tingkat II mengalami pertumbuhan rata-rata per Departemen Keuangan RI 398 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tahun sekitar 19,9 persen. Dalam kurun waktu yang sama pertumbuhan rata-rata tertinggi dialami oleh daerah tingkat II di propinsi-propinsi Nusa Tenggara Barat, Timor Timur, dan Irian Jaya, masing-masing sebesar 55,4 persen, 32,9 persen, dan 30,4 persen. Sedangkan pertumbuhan ratarata terendah dialami oleh daerah tingkat II di propinsi-propinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Bengkulu, masing-masing sebesar 6,1 persen, 6,4 persen, dan 8,1 persen. Dilihat dari perkembangan realisasi penerimaan pajak daerah tingkat II per propinsi, maka daerah tingkat II di propinsi-propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menyumbang pajak daerah tingkat II terbesar dalam tahun anggaran 1992/93, masing-masing sebesar Rp 43,1 miliar, Rp 34,3 miliar, dan Rp 30,7 miliar. Jumlah keseluruhan pajak daerah tingkat II di ketiga propinsi tersebut adalah sebesar Rp 108,1 miliar, atau merupakan 48,6 persen dari total pajak daerah tingkat II tahun anggaran 1992/93. Apabila ditelaah lebih lanjut berdasarkan rata-rata per daerah tingkat II di masing-masing propinsi, maka propinsi-propinsi Bali, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur memiliki rata-rata penerimaan pajak daerah tingkat II tertinggi dalam tahun anggaran 1992/93, yaitu masing-masing sebesar Rp 3,2 miliar, Rp 1,8 miliar, dan Rp 1,6 miliar. Perkembangan realisasi penerimaan pajak daerah tingkat II per propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.32. Tabel V. 32 PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1988/89 .1992193 (dalamjuta rupIah) Repelita IV No. (I) I. 2 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. II. 12. 13. 14. IS. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. Propinsi -2 Dl Aceh Sumalera Uwa Sumalera Baral Rlau Iamb! Sumalera Selatan Bengkulu Lompung Jaw. Baral Jawa Ten8ab Dl Yogyaltaru Jaw. TImor Kalimantan Baral Kalimantan Tengab Kalimantan Selatan Kalimantan Timor Sulawesi Uwa Sulawe,! Tengab Sulawesi 5olatan Sulawesi Tenggara Ball Nusa Tenggara Baral NUl. Tenggara TImor Maluku lrianlaya Timor T'unur Jumlah Rata-rata.. Repelita V 1988/89 Keseluruhan rata-rata Keseluruhan 1989/90 rata-rata Keseluruhan 1990/91 rata-rata Keseluruhan -3 U57.1IO 9.131,31 2.266,04 1.621,26 597.82 2.821,56 617.28 2.370.99 19.919.92 Ig.400;11 2.649.13 14.754,14 2.483.10 g15,63 2.141.75 5.036.43 2.442t14 870&2 4.072;5-3:, 299,"';.'" 10.087,07 352,65 415.85 920,83 651,09 147,38 107.443.76 - -4 155,76 537,14 161.86 270,21 99.64 282,16 154,32 592,75 830 525,72 529,83 398.76 354,73 135,94 214,18 839.41 407,07 217.71 m.in 74;76 1.260,88 58,78 34,65 230.21 72.34 11.34 370,5 () 1.831.48 12.338,01 3.452,67 2.068,71 980,02 3.126,10 669,34 2.769,37 23.462.01 21.703,99 3.204,21 17.163.53 3.252,80 825.71 2.678,76 6,.173,66 2.380,87 988,19, 4.500.52 308,89 13.244,70 636,2 607,11 998,38 794,37 232.92 130.392,51 - (6)' 183,15 725,77 246,62 344,78 163,34 312,61 167,34 692,34 977.58 620,11 640.84 463.8g 464,69 137,62 267,88 1.028,94 340,12 247,05 195,67 77,22 1.655.59 10M3 50.59 199,68 88,26 17,92 446,5 -7 2,082,89 15.450,08 4.143.39 2:M4;tJ! 1p;,32 1.898.91 720,D7 3.082,39 30.011.13 25.006,71 4.006,17 21.578.97 3,249,47 1.033,71 2.963,18 6.582,69 2.796.79 1.111O.i14. 5.261;79' 451.50 16.350,12 1.074,62 678,65 1.193.38 1.483.38 255,62 158.566,16 - (I) 208,29 908,83 295,96 440,68 ,'234,39 389.89 180,02 no.1IO 1.250.46 714,4g 801.23 5g3,22 464,21 172.29 296,32 1.097.12 399,.54 290,21 2?J.fz. 112,87 2.043,76 179.10 56.55 238,68 164,82 19,66 543,G4 0 2,454,91 16.744,68 4.794,96 2.828,67 1.930,88 5.770,38 802,99 3.336.05 35.970,16 28.07g,75 5.289.21 27.243,gg 4.012.80 1.112,75 3.423.52 7.921.85 2.858,16 1.248,39 6.19.15 514,21 19.631,27 1.519,26 m.54 1.278.33 1.742.59 317,72 187.824,06 - Departemen Keuangan RI 1991/92 rata-rata Keseluruhan -10 245,49 984.98 342.50 471,45 321,81 577.04 200,75 834,01 1.498.76 802,25 1.057.84 736,32 573,26 185,46 342,35 1.320,31 408,31 312,1 270.40' 128.55 2.453,91 253,21 64,88 255,67 193,62 24,44 643,23 (II) 2,919,63 20.990,12 5.157,32 3.483,33 1.669.50 6.404,06 844,47 3.665.59 43.083,98 30.745,69 5.963.37 34.298.51 4.152,59 1.246,27 4.041,71 9.461,11 3.131,35 1.104,65 7,337,11 675.91 25.236,91 2.058,69 888,84 1485,99 1.880,74 459.81 111.387, 78 - Pertumbuhan Rata-rala Repelila V 1992/93 rata-rata -12 291,96 1.234,71 368,38 580.56 278,25 640.41 211,12 733.12 1.795,17 g78,45 1.192,67 926,99 593,23 207,71 404,17 1.576,93 447,34 276,16 3)9,01 168.98 3.154,61 343.12 74.07 297,2 208,97 35.37 79,OO . U3) 17 23,1 22,8 21,1 29,3 22.7 8,1 11.5 21,3 13.7 22.5 23.5 13,7 11,2 17,2 17,1 6,4 6,1 15.9 22.6 25,8 55,4 20,9 12,7 30,4 32.9 19,9 - 399 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 5.4.1.1.2. Retribusi daerah Berbeda dengan penerimaan retribusi daerah tingkat I yang hanya sebesar 15,4 persen dari PAD tingkat I, retribusi daerah tingkat II memberikan sumbangan terbesar bagi PAD tingkat II. Hal ini sejalan dengan banyaknya fasilitas ataupun jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah tingkat II kepada masyarakat. Retribusi daerah dapat berupa pungutan atas ijin untuk pengendalian dan pungutan atas pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Karena potensi dan karakteristik jasa pelayanan masing-masing daerah tingkat II berbeda-beda, maka besar dan jenis retribusi antara satu daerah dengan daerah lainnya cenderung berbeda pula. Secara nasional, terdapat 137 jenis retribusi daerah tingkat II, namun sejauh ini hanya beberapa jenis retribusi saja yang potensial dan dikembangkan sebagai sumber penerimaan daerah oleh Pemda tingkat II. Penerimaan retribusi daerah tingkat II di seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 222,4 miliar dan dalam tahun anggaran 1992/93 adalah sebesar Rp 446,2 miliar atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 19 persen per tahun. Secara keseluruhan penerimaan retribusi daerah tingkat II terbesar dalam tahun anggaran 1992/93 dicapai Propinsi Jawa Barat, kemudian diikuti Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi Jawa Tengah, masing-masing sebesar Rp 109,7 miliar, Rp 91,6 miliar, dan Rp 80,6 miliar, sehingga penerimaan retribusi daerah tingkat II di ketiga propinsi ini memberikan sumbangan sebesar 63,2 persen terhadap keseluruhan penerimaan retribusi daerah tingkat II. Sedangkan penerimaan retribusi daerah tingkat II terkecil dalam tahun anggaran 1992/93 terdapat di Propinsi Timor Timur, kemudian diikuti Propinsi Kalimantan Tengah, dan Propinsi Bengkulu, masing-masing sebesar Rp 0,7 miliar, Rp 1,5 miliar, dan Rp 2 miliar atau ketiganya meliputi 0,9 persen dari keseluruhan penerimaan retribusi daerah tingkat II di Indonesia. Pertumbuhan rata-rata retribusi daerah tingkat II tertinggi dicapai daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Timur dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 32,8 persen, sedangkan tingkat pertumbuhan terkecil dicapai daerah tingkat II di Propinsi Riau, sebesar 6,4 persen per tahun. Secara lengkap realisasi penerimaan retribusi daerah tingkat II per propinsi selama periode 1988/89 hingga tahun anggaran 1992/93 dapat dilihat dalam Tabel V.33. Departemen Keuangan RI 400 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel V. 33 PENERIMAAN RETRmUSI DAERAH TINGKA T II PER PROPINSI, 1988189 - 1992193 (dalamjuta rupiah) No. Propinsi I. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. . II. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. DI Aceb Sumatera Utara Sumatra Barat Riou Jamb! Suma""a Sel.1an Ben8kulu Lunpun8 JawaBaral Jawa Tengah DI Yogyalwta Jawa Timur Kalimanlan Baril Kaliman""l Tengah Kalimanlan Se1akan Kalimanlan Timor Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selakan Sulaweai Tenggara Bali Nu.. Tenggara Bar., Nu," Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah Rata-rata Repeliia IV 1988/89 Keseluruhan Rata-Rata 2.856,45 13.984.44 8.024.83 3.715.06 2.245.11 5.031.60 1.303.76 4.156.83 48.968,42 41.436.21 3.948.34 45.093.18 3.037.25 1.048.43 2.930.18 3.333.37 4.577.61 1.408.89 10.771.84 1.045.92 2.847.90 3.984.69 3.004.04 2.084.27 1.266.78 331.73 222.437.13 - 285.65 822,61 573.20 619.18 374.19 503.16 325.94 1.039.21 2.040.35 1.183.89 789.67 1.218.73 433.89 174.74 293.02 555.56 762.94 352.22 468.34 261.48 355.99 664.12 250.34 521,07 140.75 25.52 767,'11. Pertumbuhan Rata-rata Repellta V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 Keseluruhan Rata-Rata Keseluruhan Rata-Rata Keseluruhan Rata-Rata Keseluruhan Rata-Rata (%) Repeliia V 3.227.48 14.763.00 9.401.27 3.802.75 2.339.40 6.026.26 1.588.90 5.817.46 61.674.59 49.974.51 4.256.20 53.060.00 3.950.87 1.031.92 3.319.59 3.762.84 5.640.09 1.739.68 13.699.68 1.399.28 4.242.92 4.500.49 3.556.69 2.334.45 1.459.93 429.95 267.000,10 - 322.75 868,41 671.52 633.79 389.90 602.63 397.23 1.454.37 2.569.77 1.427.84 851.24 1.434.05 564.41 171.99 331.96 627.14 805.73 434.92 595.64 349.82 530.37 750.08 296.39 466.89 162.21 33.07 914,38 4.296.74 18.105.18 10.218,47 3.741.76 2.744.12 7.488.98 1.850.68 7.288.89 75.831.99 60.333.38 4.955.17 75.086.18 5.563.17 1.105.47 3.689.86 5.655.19 6.453.62 2.282.20 15.376.16 2.152.27 5.835.87 5.618.10 4.115.84 2.595.58 1.732.37 460.93 334,578,17 - 429.67 1.065.01 729.89 623.63 457.35 748.90 462.67 1.822.22 3.159.67 1.723.81 991.03 2.029.36 794.74 184.24 368.99 942.53 921.95 570.55 668.53 538.07 729.48 936.35 342.99 519.12 192.49 35,46 1.145,81 4.555.09 20.935.62 11.680.25 3.883.10 3.750.05 10.560.32 1.807.96 6.587.64 91.606.70 70.322,54 6.345.79 85.077.84 5.276.94 1.391.08 4.503.65 7.967.44 7.098.54 2.933.50 19.023.57 2.540.75 7.347.11 6.808.20 5.120.53 2.752.47 2.116.76 617.08 391.610,51 - 455.51 1.231.51 834.30 647.18 625.01 1.056.03 451.99 1.646.91 3.816.95 2.009.22 1.269.16 2.299.40 753.85 231.85 450.36 1.327.91 1.014.08 733.38 827.11 635.19 918.39 1.134.70 426.71 550.49 235.20 47.47 1.344,56 5.220.23 24.390.82 13.812,33 4.756.05 3.963.26 11.928.98 2.014.68 6.694.21 109.737.98 80.592,00 7.134.58 91.608.50 5.875.11 1.491.10 6.475.79 10.378.32 7.202.15 3.045.43 20.460.19 2.340.09 7.908.50 7.474.53 5.410.36 3.030.02 2.466.17 727.71 446.120.i I - 522.02 1.434.75 986.60 792.67 660.54 1.192.90 503.67 1.388.84 4.572,42 2.302.63 1.446.92 2.475.91 839.30 248.52 645.78 1.729.72 1.028.88 761.36 889.57 585.02 988.56 1.245.59 450.86 606.00 274.02 55.98 1521.94 16.3 14.9 14.5 6.4 15.3 24.1 11.5 12,7 22,4 18.1 16.3 19.4 17.9 9.2 21.8 32,8 12 21.3 17,4 22.3 29.1 17.0 15.8 9.8 18.1 21.7 19 - 5.4.1.1.3. Bagian laba badan usaha milik daerah Penerimaan daerah dari bagian laba BUMD tingkat II menunjukkan peningkatan, walaupun peranannya tetap kecil terhadap pendapatan asli daerah. Sebagian besar bagian laba yang diterima oleh daerah tingkat II tersebut adalah berasal dari laba pemsahaan daerah air minum (PDAM), namun ada juga beberapa daerah mendapat bagian laba dari perusahaan daerah lainnya yang jumlahnya tidak sebesar bagian laba dari PDAM. Dalam tahun anggaran 1988/89 besarnya bagian laba BUMD daerah tingkat II seluruh Indonesia adalah sebesar Rp 11,9 miliar dan meningkat menjadi sebesar Rp 23,6 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, atau meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 18,5 persen per tahun. Penerimaan terbesar dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi Jawa Timur, kemudian Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Tengah, masing-masing sebesar Rp 7,6 miliar, Rp 4,9 miliar dan Rp 4,7 miliar, sehingga ketiga propinsi tersebut memberikan kontribusi sebesar 73,2 persen dari keseluruhan penerimaan bagian laba BUMD tingkat II. Sedangkan penerimaan terkecil dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi Sulawesi Tenggara, yaitu sebesar Rp 5,8 juta. Perkembangan penerimaan yang berasal dari bagian laba BUMD tingkat II secara rinci dapat diikuti pada Tabel V.34. Departemen Keuangan RI 401 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel V. 34 PENERIMAAN BAGIAN LABA PERUSAHAAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI, 1988/89 - 1992/93 (dalamjuta rupiah) Repelita IV Repelita V No. Propinsi (I) I. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. II. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22 23. 24. 25. 26. (%) Dr Aceh Samatera Vlara Samatera Barat R i aa lamhi Samatera S"atan Bengkala Lampang lawa Bara' lawa Tengab Dr Yogyakarta lawa Timar Kalimantan Bara' Kalimantan Tengab Kalimantan Selatan Kalimantan Timor Salaw"i Vtara Salaw"i Tengab Sulawesi Selatan Salaw"i Tenggara B al i Na," Tenggara Barat Nasa Tenggara Timur Mataka Irian laya Timor Timor Jamlah Rta. rata 1989190 1988/89 Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata -3 -4 -6 -5 105,88 10,59 15,84 158,36 582,81 34,28 31,46 534.82 382,35 27,31 7.53 105,46 108,45 18,08 22 132 22,68 3,78 4,07 24,42 109,64 10,96 17,64 176,39 , 1,54 0,39 0,09 0,34 25,12 6,28 8,74 34,95 1.606,64 66,94 91,63 2.199,12 2270 64,88 80,43 2.815,07 232,91 194,55 38.91 46,58 5.501,06 4.683,19 126,57 148,68 42,25 42,25 6,04 6.04 40,74 18,08 3,01 6,79 258,62 155,51 15,55 25,86 563,18 277,92 46,32 93,86 104,74 244,09 40,68 14,96 28,16 16,95 4,24 7,04 119,23 123,58 5,37 5,18 50 0 0 12.50 622.52 682,46 85,31 77.81 87,42 61,99 10,33 14.57 109,5 9.13 7,1 85,16 76,65 19,16 14,42 72,1 13,09 1,45 2,69 24,17 8.21 0,63 1,76 22,94 11.924,00 14.036,13 41,U 48,07 - 1990191 Keseluruhan Rata.rata -7 -8 179,25 17,93 813,86 47,87 151,4 10,81 154,61 25,77 30 5 449,24 44,92 18,74 4,69 61,36 15,34 2.992,33 124,68 4.418,01 126,23 225,41 45,08 5.808,68 156,99 75 10,71 66.58 11,1 120,32 12,03 794,6 132,43 58,75 8,39 51,41 12,85 320,35 13,93 0 0 678,91 84,86 51,68 8,6\ 115,7 9,64 175,92 35,18 144,17 16,02 32,14 2,47 17,088,42 61 1991192 Keseluruhan Rata-rata 0 -10 289,5 28,95 620.70 36,51 260.90 18,64 87,72 14.62 41,56 6,93 364,35 36,44 24,7 6,18 96,74 24,18 4.301,66 179,24 4.074,24 116,41 419.71 83,94 7.210,59 194,88 76,45 10,9274,3 12,38 190,4 19,04 1.854,87 309,14 139,22 19,89 38,24 9,56 494,25 21,49 69,47 17,37 769,16 96,14 177,73 29,62 fI8,28 9,86 218,93 43,79 228,72 25,41 27,67 2,13 "'%70,06 76,1.7 1992/93 Keseluruhan Rata-rata -11 (U) 358,33 35,83 698,68 41,1 311.10 22,22 79,39 13,23 216,02 36 307,63 30,76 47,43 11,86 64,74 12,95 4.908,61 204.53 4.721,79 134,91 470,94 94,19 7.603,24 205,49 162,06 23,15 2%,70 49,45 271,34 27,13 1.332,50 222,08 186,44 26,63 68,44 17,11 318,35 13,84 5,77 1,44 425,07 53,13 228,39 38,07 131.04 10,92 168,64 33,73 115,65 12,85 52,52 4,04 3550,84% 80,38 Pertumhuha Rata-rata Repelita V (%) -13 35,6 4,6 -5 -7,5 75,7 29,4 135,6 26,7 32,2 20,1 24,7 12,9 39,9 101,3 14,9 48 -6,5 41,8 26,7 -11,2 38,5 4,6 21,8 72,4 59 18,5 - 5.4.1.1.4. Penerimaan dinas-dinas daerah Penerimaan dinas-dinas daerah adalah penerimaan yang berasal dari dinas-dinas daerah di tingkat II di luar dinas pendapatan daerah. Penerimaan dinas-dinas diperoleh antara lain dari penjualan bibit tanaman, ternak, dan lain sebagainya. Dalam periode 1988/89-1992/93 realisasi penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II meningkat dari sebesar Rp 23 miliar menjadi sebesar Rp 30,8 miliar dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 7,3 persen per tahun. Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II di seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1992/93 yang terbesar dicapai oleh Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Sumatera Utara, masing-masing sebesar Rp 6 miliar dan Rp 5,4 miliar. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun penerimaan dinas-dinas tingkat II mengalami peningkatan, dengan tingkat pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Propinsi Timor Timur, yaitu sebesar 58,6 persen per tahun. 5.4.1.1.5. Penerimaan lain-lain Penerimaan lain-lain adalah bagian penerimaan asli daerah yang tidak termasuk dalam pos penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD, dan penerimaan dari dinas-dinas. Termasuk dalam penerimaan ini antara lain adalah penerimaan sewa rumah dinas milik daerah dan hasil penjualan barang-barang bekas milik daerah. Sumbangan penerimaan ini terhadap PAD Departemen Keuangan RI 402 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 tingkat II dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan. Dalam tahun anggaran 1988/89 besarnya penerimaan lain-lain adalah sebesar Rp 39,1 miliar dan dalam tahun anggaran 1992/93 meningkat menjadi sebesar Rp 84 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 21,1 persen per tahun. Perkembangan penerimaan lain-lain di masing-masing daerah tingkat II pada umumnya menunjukkan peningkatan, walaupun ada beberapa daerah yang mengalami penurunan. Penerimaan terbesar dalam tahun anggaran 1992/93 dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp 24,8 miliar (29,5 persen), diikuti oleh daerah tingkat II di Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Timur, masing-masing sebesar Rp 14,8 miliar (17,6 persen) dan sebesar Rp 10,6 miliar (12,6 persen). Sedang daerah yang mengalami penurumm penerimaan tersebut dibandingkan dengan tahun anggaran 1991/92 adalah daerah tingkat II di propinsi-propinsi Riau, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku. 5.4.1.2. Bagi hasil pajak dan bukan pajak 5.4.1.2.1. Pajak bumi dan bangunan Dasar hukum yang mengatur pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak pusat yang dipungut oleh daerah dan kemudian dibagihasilkan dengan pemerintah daerah tingkat I dan II dengan cara pembagian sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut peraturan tersebut 10 persen dari penerimaan PBB diberikan kepada pemerintah pusat sedangkan 90 persen merupakan bagian dari pemerintahan daerah, yaitu 16,2 persen merupakan bagian pemerintah daerah tingkat I, 64,8 persen bagian pemerintah daerah tingkat II, dan 9 persen sebagai upah pungut. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 83 tanggal 19 Maret 1994, penggunaan penerimaan pajak bumi dan bangunan bagian pemerintah pusat yang sebesar 10 persen dikembalikan kepada seluruh daerah tingkat II secara merata. Penerimaan bagi hasil pajak bumi dan bangunan daerah tingkat II se1uruh Indonesia dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 215,7 miliar dan meningkat menjadi sebesar Departemen Keuangan RI 403 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Rp 646,6 miliar dalam tahun anggaran 1992/93 dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 31,6 persen. Secara keseluruhan penerimaan bagi hasi1 pajak bumi dan bangunan terbesar dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar Rp 79,7 mi1iar, sedangkan secara rata-rata per daerah tingkat II penerimaan terbesar juga dicapai daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar Rp 13,3 mi1iar, dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 44,7 persen. Selama periode 1988/89-1992/93, pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi Timor Timur, kemudian diikuti daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Irian Jaya, masing-masing sebesar 114,8 persen, 82,4 persen, dan 69,9 persen. Sedangkan yang mengalami laju pertumbuhan terkecil adalah daerah tingkat II di DI Yogyakarta dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 13,4 persen per tahun. Selanjutnya perkembangan penerimaan pajak bumi dan bangunan daerah tingkat II per propinsi selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel V.35. Repelila IV No. Propinsi (I) I. 2. 3. 4. 5. 6 7. 8. 9. 10. 11 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. -2 DI Aceh Sumatcra Utara Sumatcra Barat R i au I amhi Sumatera Selakan Bengkulu Lampung Jawa Barat Iowa Tengah DI Yogyakarta lawaTimur Kalimanlan Barat Kalimantau Tcngah Kalimantan Selatan Kalimantau Timur Sulaw"i Vtara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara BaIi Nusa tenggara Barat Nusa Tenggara Timur M a luku Irian jaya Timor Timur Jumlah Rata-rata Tabel V. 35 PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAERAH TINGKA T II PER PROPINSI, 1988/89 . 1992/93 (dalamjuta rupiah) Repelita V I988/89 Keseluruhan Rata-Rata -3 16.788,31 23.515,48 2.475.06 3.484.92 3.612.03 14.884.07 477.82 5.559.28 31.986.09 18.619,23 2.496.80 32.352.61 2.789.60 3.116,09 7.622,75 18.215;73 1.711.93 1.535,26 8.468.21 958.90 3.115.26 1.774.97 1.536.98' 4.691.60 3.784.99 82.05 215,656.02 - -4 1.678.83 1.383.26 176.79 580.82 602.00 1.488,41 119,46 1.389.82 1.332.75 531.98 499.36 874.39 398.51 51?35 762.28 3.035.96 285,32 383.82 368.18 239.73 389.41 295.83 128.08 1.112.90 420,55 6.31 743,64 I989/90 Keseluruhan Rata-rata -5 25.912.92 30.940.37 4.185.78 6.222.50 8.822.85 26.048_4 1.780.13 10.741.14 46.673.34 24.257.33 2.830.34 45.935.20 5.596.27 10.345,48 13.997,30 44.739,37 2.939.05 3.657.95 12.392,41 1.924.98 4.224.24 3.{)66.14 2.136.98 lO.O50.27 12.118_8 220.38 361.759.84 - -6 2.591.29 1.820.02 298.98 1.037.08 1.470.48 2.604.85 445.03 2.685,29 1.944.12 693.07 566.07 1.241,49 799,47 1.124.25 1.399.73 7.456.56 419.86 914.49 538.80 481.24 528.03 511.02 178.08 2.0lO.05 1.346.51 16.95 1.238,'" 1990/91 Keseluruhan Rata-rata -7 29.231.15 35.433.02 5.596.17 7.613.33 9.455.36 32.830,15 2.874.54 11.491.42 58.385.37 - 32,662.26 3.656.06 54.657.67 6.859.19 17.181.12 17.283.65 50.479.35 4.138.23 4.673.92 15.354.30 3.359.80 5.350.63 3.741.12 5.954.94 12.068,26 17.996.78 742.66 449,071.05 - -8 2.923.11 2.084.30 399,73 1.268.89 1.575.89 3.283.01 718,63 2.812.85 2.432.12 933,21 731.21 1.477.23 979.88 2.863,62 1.128,36 8.413.23 591.18 1.168.48 667 _8 839.95 668.83 623.52 496.25 2.413.65 1.999.64 57.13 1.537,91 1991/92 Keseluruhan Rata-rata -9 33.255.56 38.661.96 7.448.92 10.614.60 12.512,47 45.149.89 2.573.29 -.D..166,84 69.013.73 34.626.20 4.063.86 59.759,94 9.292.52 28.647.51 24.528.25 12.115.45 5.118.59 5.708.52 19.089.97 4.268.36 6.468.57 4.202.30 7.712.20 12.133.74 27.148.82 1.387,20 559.269,26 - -10 3.325.56 2.274.23 532,07 1.769.10 2.085,41 4.514,99 643.32 3.441,71 2.875.57 989.32 812,77 1.615.13 1.327.50 4.774.58 2.452.82 12.019,24 731.23 1.427.13 830.00 1.067,09 808.57 700.38 642,68 2.426.75 3.016.54 106.71 1.915,31 Pertumbuhan Rala-rata Repelila V 1992/93 Keseluruhan Rata-rata (%) -11 -12 38.952.83 3.895.28 45.401.37 2.670,67 11.178.10 798.44 14.058,05 2.343.01 13.688.73 2.281.45 54.316.925.431.69 --2642.13 660.53 13.169.33 2.633.87 78.465.99 3.269,42 38.482.77 1.099.51 4.131.03 826.21 69.439.15 1.876.73 11.409.83 1.629.98 34.515.14 5.752.52 29.478.48 2.974.85 79.748.33 13.291.39 5.824.15 832.02 5.823.01 1.455.75 23.591.34 1.025.71 3.311.54 827.88 8.123.13 1.015.39 4.793.68 798,95 9.270.76 712.56 13.443.84 2.688.77 31.456.61 3.505.18 1.747.24 134,4 646.553,45 2.206,67 -13 23.4 17.9 45.8 41.7 39.5 38.2 53,3 24.1 25.1 19.9 13.4 21.0 42.2 82,4 40.2 44.7 35.8 39.6 29.2 36.3 27.1 28,2 56.7 30,1 69.9 114.8 31,6 - 5.4.1.2.2. Bagi hasil bukan pajak Penerimaan bagi hasil bukan pajak antara lain berasal dari iuran hasil hutan (IHH) dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH). Dasar hukum pemungutan dan pembagiannya diatur dalam Departemen Keuangan RI 404 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Keputusan Presiden Nomor 30 tahun 1990, dengan ketentuan 45 persen dari pungutan IHH digunakan untuk pembiayaan pembangunan daerah tingkat I (30 persen) dan untuk pembangunan daerah tingkat II (15 persen), sedangkan sisanya sebesar 55 persen digunakan untuk membiayai rehabilitasi hutan secara nasional (20 persen), kehutanan daerah (15 persen), dan untuk pembayaran pajak bumi dan bangunan bagi area blok tebangan (20 persen). Selanjutnya, pembagian IHPH adalah 70 persen untuk daerah tingkat I dan daerah tingkat II, sedangkan sisanya sebesar 30 persen untuk pemerintah pusat. Penerimaan bagi hasil bukan pajak terbesar dalam tahun anggaran 1992/93 dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Timur, yang secara keseluruhan meliputi jumlah sebesar Rp 8 miliar, diikuti oleh daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Riau, masing-masing sebesar Rp 7 miliar dan Rp 3,1 miliar. Sementara itu, dilihat dari tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun, daerah tingkat II di Propinsi Timor Timur mengalami tingkat pertumbuhan yang tertinggi, yaitu sebesar 54,2 persen, kemudian diikuti oleh daerah tingkat II di Propinsi Lampung dan Propinsi Sumatera Utara, masing-masing sebesar 32,2 persen dan 22,1 persen. 5.4.2. Sumbangan dan bantuan pusat serta daerah tingkat I 5.4.2.1. Sumbangan pusat dan daerah tingkat I Sebagaimana halnya dengan pemerintah daerah tingkat I yang menerima sumbangan dari pemerintah pusat, maka pemerintah daerah tingkat II juga menerima sumbangan yang berasal dari pemerintah pusat, di samping sumbangan dari pemerintah daerah tingkat I. Sumbangan pusat dan daerah tingkat I kepada daerah tingkat II tersebut ditujukan untuk menunjang kegiatan pemerintahan di daerah, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan dan administrasi di daerah tingkat II. Pada umumnya sumbangan pusat dan daerah tingkat I menunjukkan peningkatan setiap tahun sejalan dengan peningkatan kegiatan pemerintahan di daerah tingkat II. Semakin banyak urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah tingkat II dan semakin meningkatnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat merupakan faktor-faktor utama penyebab peningkatan kegiatan pemerintahan di daerah tingkat II. Bila dalam tahun anggaran 1988/89 jumlah sumbangan pusat dan daerah tingkat I masih sebesar Rp 1.031,4 miliar, maka Departemen Keuangan RI 405 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi sebesar Rp 1.957 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 17,4 persen per tahun. Pada umumnya propinsi-propinsi yang menerima sumbangan pusat dan daerah tingkat I dalam jumlah besar adalah propinsi-propinsi yang mempunyai jumlah daerah tingkat II yang relatif banyak. Banyaknya daerah tingkat II di setiap daerah tingkat I erat kaitannya dengan jumlah dan penyebaran penduduk. Propinsi-propinsi dimaksud adalah Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur, yang dalam tahun anggaran 1992/93 menerima sumbangan masing-masing sebesar Rp 239,3 miliar, Rp 157,1 miliar, Rp 144,7 miliar, Rp 142,9 miliar, dan Rp 135,5 miliar.Sebaliknya propinsi-propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Selatan, karena jumlah daerah tingkat II di propinsipropinsi tersebut relatif sedikit, maka jumlah sumbangan untuk seluruh daerah tingkat II di propinsi-propinsi tersebut juga relatif rendah, yaitu masing-masing sebesar Rp 19,8 miliar, Rp 18,3 miliar, Rp 10,9 miliar, dan Rp 9 miliar. Rata-rata jumlah sumbangan pusat dan daerah tingkat I per daerah tingkat II temyata berbeda antara satu propinsi dengan propinsi lain. Dalam tahun anggaran 1992/93, daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara menerima sumbangan rata-rata sebesar, masing-masing sebesar Rp 14,5 miliar, Rp 14,2 miliar, dan Rp 13,9 miliar. Sebaliknya daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Sulawesi Tengah, Timor Timur, dan Kalimantan Selatan menerima sumbangan rata-rata terkecil, masing-masing sebesar Rp 2,7 miliar, Rp 2,7 miliar, dan Rp 0,9 miliar. Sumbangan pusat dan daerah tingkat I sebagian besar diberikan dalam bentuk subsidi daerah otonom (SDO). Sebagian besar SDO tersebut berupa belanja pegawai, yaitu belanja untuk membiayai pegawai daerah otonom dan pegawai pusat yang diperbantukan pada daerah otonom, sedangkan sebagian lainnya berupa belanja nonpegawai yang dibedakan atas subsidi/bantuan dan ganjaran. Adapun komponen-komponen subsidi/bantuan di dalam komponen belanja nonpegawai tersebut terdiri atas subsidi/bantuan penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar negeri (SBPPSDN), subsidi/bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD), subsidi/bantuan pengembangan dan pemeliharaan obyek pariwisata daerah (SBPP-OPD), subsidi/bantuan pengembangan usaha penambangan daerah (SBP-UPD), dan subsidi/bantuan biaya operasional penyuluh pertanian (SBBO-PP). Di pihak lain, komponen ganjaran yang ada dalam komponen SDO nonpegawai tersebut terdiri dari ganjaran Dati II dan ganjaran kecamatan. Ganjaran Dati II ditujukin untuk membiayai operasional pembantu bupati/walikotamadya, Departemen Keuangan RI 406 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 operasional pengawasan inspektorat wilayah kabupaten/kotamadya, penataran P4, pembinaan sosial politik, operasional catakan sipil dan administrasi kependudukan, penyelenggaraan pemerintahan desa, pembinaan administrasi keuangan, pembinaan kelembagaan dan kepegawaian, kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), dan pembinaan generasi muda/pramuka. Sedangkan ganjaran kecarnatan disediakan untuk biaya operasional wilayah kecamatan. Seiring dengan peningkatan kegiatan masing-masing daerah yang bertumpu di daerah tingkat II, jumlah SDO yang diberikan kepada pemerintah daerah. tingkat II juga senantiasa menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini sebagaimana tedihat dari penyaluran dana SDO yang berjumlah Rp 1.012,9 miliar dalam tahun anggaran 1988/89, yang kemudian meningkat menjadi sebesar Rp 1.892 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 16,9 persen per tahun. Bila ditinjau berdasarkan SDO yang diterima masing-masing daerah tingkat II di tiap propinsi, maka dalam tahun anggaran 1992/93 propinsi-propinsi yang menerima SDO tertinggi adalah Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan, masing-masing menerima sebesar Rp 237,3 miliar, Rp 153,2 miliar, dan Rp 143,9 miliar. Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah SDO yang diterima daerah-daerah tingkat II di propinsi Sulawesi Selatan temyata lebih tinggi dari pada SDO yang diterima daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi di Pulau Jawa, padahal jumlah daerah tingkat II di propinsipropinsi di Pulau Jawa lebih banyak dari pada jumlah daerah tingkat II di propinsi Sulawesi Selatan. Hal ini dapat terjadi karena belanja pegawai untuk pegawai daerah tingkat II di propinsipropinsi di Pulau Jawa masih ditangani oleh pemerintah daerah tingkat I, sementara untuk propinsi Sulawesi Selatan belanja pegawai tersebut sudah diserahkan penanganannya kepada masing-masing pemerintah daerah tingkat II yang bersangkutan. Dalam pada itu, bila ditinjau dari laju pertumbuhan dana SDO daerah tingkat II per propinsi, maka daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Bali, Timor Timur, Bengkulu, dan Lampung mempunyai laju pertumbuhan rata-rata tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 93,3 persen, 22,2 persen, 21,9 persen, dan 21,6 persen per tahun. Sebaliknya daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan mempunyai laju pertumbuhan rata-rata terendah, yaitu masing-masing sebesar 9,9 persen, 7,7 persen, 6,1 persen, dan 4,2 persen per tahun. Gambaran mengenai perkembangan SDO pada masing-masing daerah tingkat II di tiap propinsi dapat dilihat pada Tabel V.37. Departemen Keuangan RI 407 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Tabel V. 37 SUBSIDI DAERAH OTONOM DAERAH TlNGKA T n PER PROPINSI, 1988/89 . 1992193 (dalam juts rupiah) Repelita IV No. Propinsi 19881119 Keseluruhan Rata-rata 19891!1O 1990191 1991191 Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata Keseluruhan Rata-rata 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 16.799.38 55.415.09 68.197.49 38.668.87 31.611.67 71.385.20 17.381.40 11.825,53 77.457.06 96.640,61 11.012,93 88.792.S5 10.45].18 10.025.37 6.565.47 10.441.35 15.082.85 8.047.93 117.630.64 27.734.17 6.274.00 44.986.41 65.188.18 33.933.83 55.679,66 15.690,48 1.012.919,28 - 20.124.93 66.295.95 81.214.89 46.198.13 38.713.33 85.654.71 21.146.32 14.420.24 82.881.99 99.543.23 12.982,36 85.406.05 11.970.09 11.776.69 6.608,95 12.392,61 17.936.13 9.243.41 146.008,65 33.857,05 8.213.69 53.461,43 77,920.36 39.670.12 64.040,62 18.169.00 1.16S.850.91 - DI Aceh Suma- Ulan Suma- Barat Rlau Jambi Suma- Selatan Bengkulu Lampuag Jawa Barat Jawa Tengab DI Vogyalwta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantin Tengab Kalimantan Selatan Kalimantan Timor Sulawesi Utara Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Baral Nusa Tenggara Timor Maloku Irian Jaya Tioror Timor Jumlah Rata-rata 1.679.94 3.259.71 4.871.25 6.444.81 5.268.61 7.138,52 4.345,35 2.956,38 3.227,38 2.761,16 2.202,59 2.399,80 1.493,03 1.670.90 656,55 1.740.22 2.513,81 2.011,98 5.114.38 6.933,54 784.25 7.497.74 5.432,35 8.483,46 6.]81.63 1.206,96 3.491,83 Pertumbuhan Rata-rata Repelita V 2.012.49 3.899.76 5.801.06 7.699.69 6.452.22 8.565.47 5.286,58 3.605.06 3.453,42 2.844.09 2,596,47 2.308.27 1.710,01 1.962.78 660,89 2.065,44 2.562,30 2.310.85 6.348,20 8.464,26 1.026.71 8.910,24 6.493.36 7.934,02 7.115.62 1.397.62 3.991.64 22.376.46 70.850.75 87.172,13 51.971.29 42.684.36 96.943.91 23.828.63 16.190.32 91.710,31 IOS.927,40 14.499.32 93.666.06 11.916.83 12.030.13 5.178.11 11.954.81 16.878.29 8.429.98 156.230,35 36.985.88 9.348.91 58.871.05 84.655,18 42.334.74 67.594.97 25.407,12 1.265.637,19 - 2.237.65 4.167.69 6.226,58 8.661.88 7.114.06 9.694.39 5.957.16 4.O47,5g 3.821.26 3.026,50 2.899,86 2.531,52 1.702,40 2.005.02 517,81 1.992,47 2.411,18 2.107,50 6.792.62 9.246,47 1.168.61 9.811.84 7.054.60 8.466.95 7.510,55 1.954.39 4.334,37 26.576.12 2.657.61 80.574.64 4.739.68 ]01.034.98 7.216.78 60.678.15 10.113.03 49.665.47 8.m.58 109.991,48 10.999.15 29.326,78 7.331.69 18.gI7,54 4.704.3g 104.814,30 4.367.26 121.220,38 3.463.44 16.846,15 3.369.23 IOS.039.68 2.838,91 13.657,25 1.951.04 14.062,24 2.343.71 5.574.82 557,48 14.993.30 2.498,88 18.897,47 2.699,64 8.483,61 2.120.90 178.853.03 7.776.22 43.549.30 10.1187.32 67.244.90 8.405.61 67.777,02 11.296,17 95.955.25 7.996.27 48.935.27 9.787.05 75.704,14 8.411,57 26.642,21 2.049.40 1.504.915,49 5.153,82 1991/93 Keseluruhan Rata-rata 34.776.05 70.159.94 127.892.91 75.417.07 62.870.14 143.888.94 38.369,80 25.829.81 '129.953.57 153.164.64 20.577,96 129.761.18 17.494.04 18.358,57 7.748,13 19.161.27 23.992,58 10.834.08 237.337.80 55.628,51 87.540.20 85.120.77 118.514.19 56.659.17 IOS.918.85 35.001,84 1.89"'71.19 - 3.477.61 4.127.06 9.135.2] 12.569,51 10.478.36 14.388.89 9,592.45 5.165.96 5.414.74 4.376.13 4.115,59 3.507.06 2.499.15 3.059.76 774.81 3.193,54 3.427,51 2.708,52 10.319.03 13.907.13 10.942,52 14.186.80 9.876.18 11.331,85 11,768.76 2.692.45 6.457,14 Repelita V ("') 19.9 6.1 17.0 18.2 18.8 19.2 21.9 21.6 13.8 12,2 16.9 9.9 13.7 16.3 4.2 16.4 12,3 7.7 19,2 19 93,3 17.3 16,1 13.7 17.4 22.2 16,9 - Sebagai salah satu sumber dana, SDO masih memegang peran yang penting dalam menunjang berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II, khususnya kegiatan di bidang pemerintahan. Perbandingan antara besarnya SDO terhadap total penerimaan daerah tingkat II menunjukkan persentase yang makin menurun selama periode 1988/89-1992/93, yaitu apabila dalam tahun anggaran 1988/89 persentase tersebut masih sebesar 39,4 persen, maka dalam tahun anggaran 1992/93 telah menurun menjadi sebesar 28,6 persen. Turunnya persentase SDO terhadap penerimaan daerah disebabkan karena makin besarnya jumlah penerimaan dari sumber yang lain, terutama peningkatan dari PAD dan bagian PBB untuk daerah tingkat II. Sementara itu bila dilihat persentase SDO terhadap penerimaan daerah tingkat II di masingmasing propinsi, maka dalam tahun anggaran 1992/93 persentase SDO tertinggi terjadi pada daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur, masing-masing sebesar 54,2 persen, 53,3 persen, 51,2 persen, dan 50,6 persen. Sebaliknya daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan memperlihatkan persentase SDO terhadap penerimaan daerah tingkat II yang relatif rendah, yaitu sebesar 8,4 persen dan 6,1 persen. Rendahnya persentase SDO daerah tingkat II di kedua propinsi ini karena daerah tingkat II di kedua propinsi tersebut mempunyai sumber PDS yang relatif tinggi dalam tahun anggaran 1992/93. Gambaran mengenai persentase SDO Departemen Keuangan RI 408 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 terhadap penerimaan daerah tingkat II di tiap propinsi secara rinci dapat dilihat pada Tabel V.38. Tabel V.38 PERSENTASE SUBSIDI DAERAH OTONOM TERHADAP PENERIMAAN DAERAH TINGKAT I, 1988/89 DAN 1992/93 No. Propinsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. Repelita IV Repelita V 1988/89 1992/93 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi TengaJ1 Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timilr Maluku Irian Jaya Timor Timur Jumlah 22,1 32,2 54,2 54,6 57,3 49,4 58,8 21,2 24,6 31,8 33,7 27,2 20,4 29,9 15,4 16,9 41,S 21,S 63,6 67,5 12,1 66,8 70,9 59,4 67,7 75,8 39,4 17,6 19 48,9 33,8 42,6 39,7 48,S 18,3 15,1 23,S 23,3 17 13,8 12,2 6,1 8,4 22,8 14,1 51,2 53,3 43,1 54,2 50,6 44,3 37,7 40,5 28,6 5.4.2.2. Bantuan pusat dan daerah tingkat I Sebagai usaha penyebarluasan dan pemerataan pembangunan di daerah-daerah serta untuk menyelaraskan dan memperkecil tingkat kesenjangan antar daerah, pemerintah telah menciptakan program bantuan kepada pemerintah daerah dalam bentuk program Inpres. Program bantuan yang ditujukan kepada pemerintah daerah tingkat II tersebut meliputi beberapa jenis, yaitu program Inpres Dati II, program Inpres sekolah dasar (SD), program Inpres kesehatan, serta program Departemen Keuangan RI 409 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 Inpres peningkatan jalan dan jembatan kabupaten/kotamadya (IPJK). Selain itu juga disediakan dana Inpres yang ditujukan khusus untuk desa yang penyalurannya melalui pemerintah daerah tingkat II, yaitu Inpres desa dan Inpres desa tertinggal (IDT). Program Inpres Dati II dimaksudkan untuk menciptakan lapangan kerja dan memperluas kesempatan kerja, mempertinggi produksi, memperlancar distribusi, memperbaiki lingkungan hidup masyarakat yang berpenghasilan renda, serta meningkatkan partisipasi penduduk dalam pembangunan. Alokasi dana Inpres Dati II didasarkan atas jumlah penduduk pada masing-masing daerah tingkat II, dengan pengecualian babwa bagi daerah yang berpenduduk kurang dari suatu jumlah tertentu diberikan bantuan dengan jumlah minimum yang telah ditetapkan. Program ini dimulai sejak tahun anggaran 1970/71, di mana jumlah bantuan ditetapkan sebesar Rp 50 per penduduk. Dalam tahun-tahun berikutnya, jumlah bantuan terus ditingkatkan sehingga dalam tahun anggaran 1988/89 bantuan per kapita yang diberikan adalah sebesar Rp 1.450, dan dalam tahun anggaran 1991/92 meningkat lagi menjadi Rp 3.000 per jiwa. Selanjutnya dalam tahun anggaran 1992/93 jumlah bantuan menjadi sebesar Rp 4.000 per jiwa dengan bantuan minimum sebesar Rp 750 juta untuk tiap Dati II. Jumlah bantuan Inpres Dari II dalam tahun anggaran 1988/89 adalah sebesar Rp 267,2 miliar dan dalam tahun anggaran 1992/93 meningkat menjadi Rp 825,1 miliar, sehingga selama periode 1988/89-1992/93 jumlah bantuan ini telah mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 32,6 persen per tahun. Program Inpres sekolah dasar dimaksudkan untuk memperluas kesempatan belajar bagi kelompok anak usia 7-12 tahun agar dapat tertampung di sekolah-sekolah dasar. Program ini ditujukan untuk pembangunan gedung SD baru berikut perbaikannya, penambahan ruang kelas, pengadaan peralatan sekolah, pembangunan rumah dinas kepala sekolah, guru, dan penjaga sekolah, serta pengadaan perpustakaan dan peralatan olahraga. Alokasi dana Inpres SD didasarkan pada rencana fisik yang akan dilaksanakan, standar bangunan dan peralatan yang akan diadakan, serta biaya satuan untuk tiap kegiatan. Jumlah dana Inpres SD yang telah dialokasikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89 bantuan ini masih berjumlah Rp 130,5 miliar, maka dalam tahun anggaran 1992/93 jumlahnya telah meningkat menjadi sebesar Rp 654,5 miliar, yang berarti telah terjadi pertumbuhan rata-rata sebesar 49,6 persen per tahun. Program Inpres kesehatan adalah program bantuan yang dimaksudkan untuk memberikan Departemen Keuangan RI 410 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 pelayanan kesehatan secara lebih merata dan sedekat mungkin dengan masyarakat, terutama bagi penduduk yang berpenghasilan rendah di perdesaan dan perkotaan, serta untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat dengan menciptakan lingkungan pemukiman yang sehat. Program ini direalisasikan dalam bentuk pembangunan pusat kesehatan masyarkat (Puskesmas) termasuk kelengkapannya, rumah dokter/paramedis, perbaikan/peningkatan Puskesmas, penyediaan Puskesmas keliling, pengadaan obat-obatan, pengadaan alat medis, pembangunan sarana air bersih, dan pembangunan jamban keluarga. Inpres kesehatan dialokasikan berdasarkan atas rencana fisik, standar/prototipe bangunan, peralatan yang dibutuhkan, jenis dan kualitas obat-obatan, jumlah dokter dan tenaga kesehatan, jenis dan jumlah sarana air bersih, jumlah jamban keluarga dan pembuangan air limbah, serta biaya satuan untuk tiap kegiatan. Alokasi dana Inpres kesehatan menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, yaitu apabila dalam tahun anggaran 1988/89 masih berjumlah Rp 98,6 miliar maka dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi sebesar Rp 320 miliar, yang berarti telah berkembang dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 34,2 persen per tahun. Sementara itu program IPJK dimaksudkan untuk menunjang kelancaran arus lalu lintas angkutan orang dan barang, khususnya dari sentra-sentra produksi ke tempat-tempat pemasaran, sehingga dapat menumbuhkan kehidupan perekonomian di daerah-daerah yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah tersebut. Cara pengalokasian dana dilakukan menurut jenis dan volume rencana fisik yang akan dilaksanakan, serta satuan biaya yang ditetapkan untuk setiap kegiatan. Program IPJK yang dimulai sejak tahun anggaran 1979/80 dananya terus ditingkatkan jumlahnya. Dalam tahun anggaran 1988/89 telah dialokasikan dana sebesar Rp 180 miliar, yang meningkat jumlahnya dalam tahun anggaran 1992/93 menjadi sebesar Rp 825,6 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 46,3 persen per tahun. Program Inpres desa dimaksudkan untuk mendorong dan menggerakkan usaha swadaya gotong-royong masyarakat dalam membangun desanya, serta untuk membantu pembangunan proyek-proyek yang diprioritaskan oleh masyarakat desa dan menunjang kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga. Inpres desa diberikan secara prorata kepada desa, di mana tiap desa memperoleh dana dalam jumlah yang sama besarnya dan penggunaan sepenuhnya diserahkan kepada desa. Meningkatnya intensitas pembangunan di desa-desa menyebabkan jumlah bantuan untuk tiap desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam tahun anggaran 1988/89 Departemen Keuangan RI 411 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 jumlah bantuan tiap desa diberikan sebesar Rp 1,5 juta, dengan jumlah keseluruhan menjadi sebesar Rp 112 miliar, sedang dalam tahun anggaran 1992/93 bantuan kepada tiap desa dinaikkan menjadi sebesar Rp 4,5 juta dengan jumlah bantuan keseluruhannya meningkat menjadi sebesar Rp 326,5 miliar, yang berarti bantuan keseluruhan selama periode 1988/89-1992/93 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 30,7 persen per tahun. Program IDT adalah program yang dimulai dalam tahun anggaran 1994/95 dan ditujukan dalam rangka pengentasan kemiskinan, khususnya masyarakat miskin di perdesaan. Inpres ini diberikan kepada setiap desa yang dikategorikan miskin, yang jumlahnya ditentukan sebesar Rp 20 juta untuk setiap desa miskin. Sasaran Inpres ini lebih ditekankan kepada usaha masyarakat untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan produksi di berbagai bidang usaha yang dikembangkan sesuai potensi yang ada di masing-masing desa yang dikategorikan miskin tersebut, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan sumber-sumber penghasilan masyarakat di desa tersebut. Melalui Inpres ini dipadukan berbagai program sektoral dan regional antar desa, sehingga akan berdampak besar terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Jumlah realisasi seluruh bantuan yang diterima oleh daerah tingkat II, termasuk diantaranya Inpres Dati II, Inpres SD, Inpres kesehatan, dan IPJK, senantiasa mengalami peningkatan. Apabila dalam tahun anggaran 1988/89 masih berjumlah Rp 759,5 miliar, maka dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi sebesar Rp 2.795,8 miliar, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 38,5 persen per tahun. Ditinjau dari realisasi bantuan yang diterima oleh daerah tingkat II di tiap propinsi, maka dalam tahun anggaran 1992/93 daerahdaerah tingkat II di propinsi-propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menerima keseluruhan bantuan dalam jumlah terbesar, yaitu masing-masing sebesar Rp 390,6 miliar, Rp 376,4 miliar, dan Rp 279,6 miliar. Namun apabila dilihat dari realisasi bantuan rata-rata yang diterima oleh daerah tingkat II di masing-masing propinsi, maka daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Lampung, Jawa Barat, dan Riau menerima jumlah bantuan rata-rata terbesar, yaitu masing-masing sebesar Rp 16,5 miliar, Rp 16,3 millar, dan Rp 16 miliar. Sementara itu bila dilihat dari laju pertumbuhannya, maka daerah-daerah tingkat II di propinsi-propinsi Timor Timur, Irian Jaya, dan Kalimantan Tengah memperoleh bantuan dengan laju pertumbuhan rata-rata tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 83,6 persen, 72,9 persen, dan 64,5 persen per tahun. Peningkatan laju pertumbuhan yang relatif tinggi di ketiga propinsi tersebut selaras dengan upaya mcmacu pembangunan di propinsi yang bersangkutan. Sebaliknya daerah-daerah tingkat II di Departemen Keuangan RI 412 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 propinsi-propinsi Sumatera Barat, Bali, dan Sulawesi Tengah. memperoleh bantuan dengan laju pertumbuhan rata-rata yang relatif rendah, masing-masing sebesar 24,3 persen, 23 persen, dan 21,5 persen per tahun. 5.4.3. Pinjaman pemerintah daerah Selaras dengan kebijaksanaan pemerintah bahwa titik berat otonomi diletakkan pada daerah tingkat II, maka semakin besar pula tanggung jawab pemerinhah daerah tingkat II dalam pembiayaan pelaksanaan pembangunan. Untuk itu, selain menggunakan dana PDS dan bantuan dari pemerintah pusat dan daerah tingkat I, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan adalah dengan melalui pinjaman. Sebagaimana halnya dengan pinjaman pemerintah daerah tingkat I, dewasa ini pinjaman bagi pemerintah daerah tingkat II, termasuk pinjaman untuk BUMD, terutama berasal dari dana yang bersumber dari luar negeri dalam bentuk penerusan pinjaman (SLA) dan dari dana APBN dalam bentuk rekening pembangunan daerah (RPD). Jumlah pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II termasuk BUMD senantiasa meningkat sesuai dengan peningkatan kebutuhannya. Dalam kurun waktu 1988/891992/93 jumlah pinjaman daerah tingkat II meningkat dari sebesar Rp 31,5 miliar dalam tahun anggaran 1988/89 menjadi sebesar Rp 41,7 miliar dalam tahun anggaran 1992/93, yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 7,3 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1992/93 sejumlah pemerintah daerah tingkat II telah memanfaatkan pinjaman sebagai salah satu sumber pendanaan dalam pembangunannya. Peminjam yang terbesar diantaranya adalah Kotamadya Medan, Kotamadya Yogyakarta, dan Kabupaten Aeeh Selatan, masing-masing sebesar Rp 7,4 miliar, Rp 5,5 miliar, dan Rp 4,4 miliar. Namun pemanfaatan dana pinjaman daerah tersebut relatif masih kecil bagi beberapa pemerintah daerah tingkat II, seperti Kotamadya Sukabumi, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten Sawahlunto, yaitu masing-masing sebesar Rp 85 juta, Rp 80,4 juta, dan Rp 62,1 juta. 5.4.4. Pengeluaran rutin daerah Kegiatan rutin merupakan salah satu kegiatan utama yang dilakukan oleh pemerintah Departemen Keuangan RI 413 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996 daerah, termasuk pemerintah daerah tingkat II. Kegiatan rutin umumnya berkaitan dengan kegiatan pemberian pelayanan kepada masyarakat dan kegiatan administrasi. Sebagai konsekwensi dari pelaksanaan kegiatan rutin tersebut, pemerintah daerah tingkat II harus mengeluarkan dana yang tercermin dalam pengeluaran rutinnya, yang meliputi berbagai komponen biaya, antara lain belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, angsuran pinjaman/hutang, ganjaran/subsidi/sumbangan, dan belanja lain-lain. Pengeluaran rutin senantiasa memperlihatkan keeenderungan yang meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya aktivitas pemerintahan di daerah. Meningkatnya kebutuhan pelayanan kepada masyarakat sebagai akibat pertumbuhan jumlah penduduk tampaknya menjadi faktor utama penyebab meningkatnya kegiatan rutin tersebut, yang pada gilirannya membawa pengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan dana untuk pembiayaannya. Hal ini tampak dari realisasi pengeluaran rutin yang dalam tahun anggaran 1988/89 masih berjumlah Rp 1.447,7 miliar, maka dalam tahun anggaran 1992/93 jumlahnya mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp 2.889,6 miliar, yang berarti telah terjadi pertumbuhan rata-rata sebesar 18,9 persen per tahun. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, belanj