9 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.1

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Tinjauan Umum
2.1.1
Pengertian Cagar Budaya
Bangunan Cagar Budaya adalah sebuah kelompok bangunan bersejarah dan
lingkungannya, yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan nilai sosial
budaya masa kini maupun masa lalu (Burra Charter, 1992: 21). Pada dasarnya dasar
pelakasanaan konservasi bangunan arsitektur cagar budaya mengacu pada ramburambu kebijakan secara nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan cagar
budaya dan peraturan terkait lainnya, maupun peraturan-peraturan yang dikeluarkan
yang diberlakukan secara regional, misalnya Pemda DKI Jakarta. Secara garis besar
terdapat beberapa rambu-rambu yang menjadi rujukan adalah sebagai berikut.
1. Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya; Pasal 1 yang
menyatakan
“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan
keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Bangunan Cagar
Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan
manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding,
dan beratap.”
2. Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya; Pasal 5 yang
menyatakan “Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi
kriteria:
a.
Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b.
Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
9
10
c.
Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan; dan
d.
Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.”
3. Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya; Pasal 77 yang
menyatakan :
a. Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang rusak
dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara memperbaiki,
memperkuat,
dan/atau
mengawetkannya
melalui
pekerjaan
rekonstruksi,
konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.
b. Pemugaran Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan:
a) Keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan
b) Kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin
c) Penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak
d) Kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.
c. Pemugaran harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian pada masa
mendatang dengan tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat dan
keselamatan Cagar Budaya.
4. SK Gubernur KDKI Jakarta No.475 tahun 1993 yang mengatakan, Penetapan
Bangunan-bangunan Bersejarah di daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Benda
Cagar Budaya.
5. Peraturan Menteri No. 01/PRT/M/ 2015 tentang gedung cagar budaya yang
dilestarikan; Pasal 7 yang menyatakan:
a. Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 terdiri atas:
a) Peruntukan dan Intensitas bangunan gedung
b) Arsitektur bangunan gedung
c) Pengendalian dampak lingkungan
b. Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diberlakukan dalam hal bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan
mengalami perubahan fungsi, bentukm karakter fisik dana tau penambahan
gedung.
11
6. Peraturan Menteri No. 01/PRT/M/ 2015 tentang gedung cagar budaya yang
dilestarikan; Pasal 10 yang menyatakan:
a. Penyelenggaraan bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan meliputi
kegiatan:
a) Persiapan
b) Perencanaan Teknis
c) Pelaksanaan
d) Pemanfaatan
e) Pembongkaran
7. Peraturan Menteri No. 01/PRT/M/ 2015 tentang gedung cagar budaya yang
dilestarikan; Pasal 14 yang menyatakan:
1. Rekomendasi dan tindakan pelestarian bangunan gedung cagar budaya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (5) berupa
a) Perlindungan
b) Pengembangan
c) Pemanfaatan
2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas
a) Pemeliharaan
b) Pemugaran
3. Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas
a) Revitalisasi
b) Adaptasi
8. Peraturan Menteri No. 01/PRT/M/ 2015 tentang gedung cagar budaya yang
dilestarikan; Pasal 16 yang menyatakan “Adaptasi sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 14 ayat (3) huruf b dilakukan melalui upaya pengembangan bangunan
gedung cagar budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini
dengan cara melakukan perubahan terbatas yang tidak mengakibatkan penurunan
nilai penting atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.”
12
1.1.2
Upaya Mempertahankan Bangunan Cagar Budaya
Dalam mempertahankan bangunan cagar budaya terdapat rambu-rambu dan
kebijakan dalam pelaksanaannya, yang diatur secara peraturan perundang-undangan.
Salah satunya adalah Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya;
Pasal 83 yang menyatakan:
1. Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi
untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:
a) Ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya;
dan/atau
b) Ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau
Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
2. Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a) Mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada cagar budaya;
b) Menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
c) Mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau
d) Mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika
lingkungan di sekitarnya.
2.1.3
Definisi Preservasi
Sebuah tindakan atau proses yang bertujuan mempertahankan bentuk asli dan
kondisi pada bangunan dan berusaha untuk mementingkan proses pemeliharaannya.
Preservasi jarang digunakan pada Negara Amerika, karena mereka menggunakan
istilah yang mirip yaitu konservasi. Istilah preservasi digunakan pada Negara Inggris
dan Australia. Oleh sebab itu penulis kedepan akan
menggunakan istilah yang
digunakan oleh Negara Inggris.
2.1.4
Definisi dan Bentuk-Bentuk Konservasi
Konservasi adalah suatu proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau
obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik.
Yang termasuk cara pemeliharaan dan bila memungkingkan menurut keadaan proses
preservasi, restorasi, rekonstruksi, dan adaptasi, maupun kombinasinya termasuk
kedalam proses konservasi. (Burra Charter :1999).Konservasi juga merupakan salah
satu pengelolaan sumber budaya.
13
Konservasi merupakan suatu proses memahami, menjaga, yang juga
mementingkan pemeliharaan, perbaikan, pengembalian, dan adaptasi terhadap aset
sejarah untuk memelihara kepentingan kebudayaan. Konservasi merupakan salah
satu proses pengelolaan yang berkelanjutan terhadap perubahan, yang dalam
prosesnya memperhatikan beberapa pendekatan nilai yaitu nilai umur dan
kelangkaan, nilai arsitektur, nilai artistik, nilai kebudayaan, nilai asosiatif, nilai
ekonomi, nilai pendidikan, nilai emosi, nilai sejarah, nilai landscape, kekhasan
daerah, nilai politik, nilai masyarakat, nilai agama, nilai sosial, nilai simbolik, nilai
teknik, nilai sains, penelitian dan pengetahuan, dan tampilan suatu kota
(Architectural Conservation:Aylin Orbasli).
Bentuk-bentuk kegiatan konservasi diantaranya:
Tabel 1. Istilah dan Pengertian
KONSERVASI
Sebuah proses yang bertujuan memperpanjang umur warisan budaya
bersejarah, dengan cara memelihara dan melindungi keotentikan dan
maknanya dari gangguan kerusakan, agar dapat dipergunakan pada saat
sekarang maupun masa yang akan dating baik dengan menghidupkan
kembali fungsi lama atau dengan memperkenalkan fungsi baru yang
dibutuhkan
PRESERVASI
Sebuah tindakan atau proses yang bertujuan mempertahankan bentuk asli,
(Murtagh, 1988)
integritas, dan material dari suatu bangunan atau struktur mencakup juga
bentuk-bentuk asli dan tanaman-tanaman yang ada di dalam tapaknya.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah pekerjaan stabilisasi, jika diperlukan ,
tanpa melupakan pemeliharaan yang terus menerus pada material bangunan
RESTORASI
Sebuah tindakan atau proses yang bertujuan mengembalikan bentuk serta
(Murtagh, 1988)
detail-detail sebuah property dan settingnya secara akurat seperti tampak
pada periode tertentu, dengan cara menghilangkan bagian-bagian tambahan
yang dilakukan kemudian, ataupun dengan melengkapi kembali bagianbagiannya yang hilang
REKONSTRUKSI Sebuah tindakan atau proses membangun kembali sebuah bangunan atau
(Murtagh, 1988)
struktur atau objek atau bagian-bagiannya yang telah hilang atau rusak
seperti tampak pada periode tertentu
ADAPTIVE-USE
(Murtagh, 1988)
Sebuah proses pengubahan sebuah bangunan untuk kegunaan berbeda
dari tujuan kegunaan ketika bangunan tersebut didirikan
14
REHABILITTASI
(Murtagh, 1988)
Tindakan atau proses pengembalian sebuah objek pada konsisi yang dapat
dipergunakan
kembali
melalui
perbaikan
atau
perubahan
yang
memungkinkan penggunaan sementara yang efisien , sementara wujudwujud yang bernilai sejarah, arsitektur dan budaya tetap dipertahankan
RENOVASI
Moderanisasi bangunan bersejarah yang masih dipertanyakan dengan
(Murtagh, 1988)
terjadinya perbaikan yang tidak tepat yang menghilangkan wujud dan
detail penting
REVITALISASI
Sebuah proses untuk meningkatkan kegiatan sosial dan ekonomi
bangunan/lingkungan bersejarah, yang sudah kehilangan vitalitas aslinya
FASADISASI
Mempertahankan hanya bagian fasaf bangunan bersejarah sepanjang proses
(Murtagh, 1988)
perubahan, dimana sisa dari wujud struktur tersebut hampir seluruhnya
diubah atau dihancurkan
HERITAGE
Sesuatu yang dilestarikan oleh generasi terdahulu(tangible dan intangible)
(Murtagh, 1988)
dan diserahkan kepada generasi yang ada sekarang untuk diteruskan ke
generasi yang akan datang
CULTURAL
Heritage yang diasosiasikan dengan manusia dan kegiatannya (tangible
HERITAGE
dan intangible)
(De Silva,
ICOMOS
1996:61)
BANGUNAN
BERSEJARAH
Bangunan beserta tapaknya yang telah memenuhi kriteria yang ditentukan
oleh UURI 92 tentang benda cagar budaya
Sumber: Harastoeti. 2011. 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung
2.1.4
Penerapan, Prinsip dan Panduan Konservasi
A. Etika Konservasi
Selain prinsip umum, terdapat peran lain yang mendasari dalam tahap konservasi
yaitu etika dalam konservasi. pendekatan terhadap nilai yang didapatkan mendukung
suatu kegiatan konservasi juga harus didasari oleh unsur keutuhan dan keaslian.
Keutuhan (Integrity)
Konservasi harus dilakukan dengan keutuhan untuk mengembalikan bangunan,
dengan menggunakan material yang sesuai untuk tujuan dan “cara yang tepat”.
Bangunan bersejarah merupakan barang peninggalan dari masa lalu yang
memberikan detail dan informasi tentang masa lalu tersebut yang merupakan salah
15
satu keutuhan sejarah. Mengembalikan bangunan dapat melalui restorasi atau
rekonstruksi yang dapat mencirikan keadaan dimasa lalu, untuk tujuan penyajian
keaslian dari bangunan. Keutuhan disini mencakup:
a) Keutuhan Fisik bangunan (material bangunan dan hubungan antar unsur lainnya)
b) Keutuhan struktur yang digunakan
c) Keutuhan desain
d) Keutuhan estetika yang digunakan
e) Keutuhan bangunan (layout dan fungsi)
f) Integritas dari tim professional konservasi.
Keaslian (Authenticity)
Keaslian menurut kamus bahasa inggris oxford berarti asli, yang sumber asal
mulanya tidak perlu dipertanyakan kembali. Sumber lain mengatakan juga bahwa
keaslian sebagai kebenaran. Terdapat banyak unsur keaslian pada projek bangunan
konservasi yang perlu diperhatikan, salah satunya dari keaslian suatu penggunaan
material untuk mempertahankan desain semula yang digunakan arsitek. Keaslian
berarti asli dalam arti mengembalikan bangunan ke bentuk semula. Keaslian dalam
unsur konservasi berkaitan dengan:
a) Bentuk desain
b) Material
c) Teknik, tradisi dan proses
d) Tempat, konteks, layout
e) Fungsi dam kegunaan bangunan
Replika merupakan salah satu contoh penerapan yang memiliki kekurangan unsur
keasliannya. Padahal material asli pada bangunan merupakan salah satu bukti nyata
dalam sejarah untuk masa depan, sehingga material asli pda bangunan tidak boleh
diganti secara keseluruhan harus tetap mempertahankan yang ada. Walapun
teknologi telah maju dan dapat menciptakan sesuai aslinya, tetapi unsur keaslian dan
spririt dari bangunan tersebut telah hilang.
B. Penerapan tindakan konservasi pada fisik dan fungsi bangunan
Dalam berkembangnya kebutuhan, sering terdapat penyesuaian fungsi pada
bangunan lama agar bisa dimanfaatkan kemabali pada masa kini maupun pada masa
yang akan datang. Buttenshaw et.al (1991:157-158 dalam Tiesdell et al, 1996:4)
16
menyatakan bahwa kegagalan untuk mencari fungsi baru pada bangunan lama akan
menyebabkan sebuah kota menjadi kota museum. Sehingga dalam mengatas
permasalahan tersebut, alternatif penyesuaiannya menggunakan konsep adaptive-use,
yang dapat dilihat dari 2 sisi, yakni:
a) Bangunan yang dipreservasi pada umumnya bentuk asli harus dipertahankan,
tidak boleh diubah, sehingga penyeleksian dalam memilih fungsi baru pada
bangunan
b) Bangunan yang dikonservasi lebih bebas dalam menampung, berbagai fungsi
baru, karena masih dimungkinkan mengubah bangunan, jika memang diperlukan,
sampai batas-batas tertentu, sejauh tidak menyalahi konsep konservasi
Tabel 2. Kaitan Antara Kegiatan Konservasi dengan Perubahan Fisik dan Fungsi
FISIK
TIDAK
FUNGSI
BERUBAH
TIDAK
BERUBAH
KEGIATAN
BERUBAH
BERUBAH
Penambaha
Pembongkar-
Menerus &
Adaptasi
n&
an sebagian
berkembang
terhadap
penyisipan
&
(extended-
kebutuhan
elemen
penggantian
Use)
baru
bangunan
elemen baru
(adaptiveUse)
baru
KONSERVASI
Renovasi
Rehabilitasi
Fasadisasi
PRESERVASI
Rekonstruksi
Restorasi
Replikasi
REVITALISASI
Sumber: Harastoeti. 2011. 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung
= terjadi
= Tidak Terjadi
Dapat kita lihat pada tabel 1.2 penerapan jenis kegiatan konservasi terhadap
perubahan fisik dan fungsi bangunan, bahwa kelompok kegiatan konservasi
(renovasi, rehabilitasi, fasadisasi) memungkinkan adanya perubahan fisik bangunan,
17
fungsi boleh menerus atau berubah. Sedangkan kelompok kegiatan preservasi
(rekonstruksi, restorasi, dan replikasi) sebaliknya.
C. Penerapan pada Bangunan
Dalam pengerjaan suatu proyek konservasi tentu akan menemukan bebepa
keputusan yang harus dibuat agar proses dapat berlangsung. Oleh karena itu terdapat
prinsip-prinsip dasar konservasi yang telah dibagi menjadi 3 bagian yaitu
pemahaman, pelaksanaan, dan evaluasi.
Tabel 3. Prinsip Dasar dari Konservasi
Berdasarkan bukti dan keterangan yang telah ada (kondisi fisik)
Pemahaman
Pemahaman sejarah bangunan
Lokasi bangunan dan lingkungan sekitarnya
Pelaksanaan
Penggunaan fungsi yang sesuai
Perbaikan material
Tradisi dan Teknologi
Kesinambungan
Bukti historical
Tindakan pendekatan baru pada permasalahan yang baru
Evaluasi
Suistainability
Interpretasi
Sumber:Aylin Orbasli. 2008. Architectural Conservation
Berdasarkan tabel diatas kita dapat mengambil kesimpulan yaitu:
a) Konservasi harus didasari oleh pemahaman sejarah dari kondisi awal hingga saat
ini, yang merupakan nilai bagi budaya maupun yang lainnya.
b) Perbaikan material sebaiknya mengikuti petunjuk yang telah ada atau konsultasi
dengan pakar yang mengerti tentang material baik itu secara kualitas dan usia
c) Pendekatan yang sesuai harus didasarkan pada kejujuran dan keaslian
d) Prinsip diatas bertujuan sebagai sumber dan petunjuk dalam pelaksanaan
konservasi, pada saat proses pengerjaan tetap harus berkonsultasi dengan pakar
e) Konservasi
memperhatikan
(suistainability)
masa
lalu-
masa
kini
dan
masa
depan
18
Dari setiap jenis kegiatan konservasi, adaptive reuse merupakan salah satu
kegiatan yang cocok untuk diaplikasikan pada Gedung Rotterdamsche Lloyd yang
diikuti dengan kegiatan restorasi.
2.1.5
Pengertian Adaptive reuse
Hampir setiap bangunan akan mengalami perubahan fungsi seiring
berjalannya waktu, yang diikuti dengan perubahan layout ruang dan perubahan
fasad/permukaan bangunan. Melakukan perubahan pada bangunan untuk memuat
fungsi baru juga dikatakan mengaktifkan kembali kegunaan pada bangunan
bersejarah. Walaupun demikian pemuatan fungsi baru harus sesuai dengan fasad
bangunan dan integritasnya yang kuat.
Bangunan menjadi terbuang atau tidak terpakai disebabkan oleh berapa hal
diantaranya terjadinya perubahan ekonomi, industri, demografi, dan kenaikan biaya
perawatan bangunan, dan yang paling utama bangunan sudah tidak sesuai dengan
fungsi yang dibutuhkan. Oleh sebab itu agar bangunan dapat memenuhi kebutuhan
dari pemiliknya, bangunan mengalami adaptasi dan diperbarui, sementara struktur
utama tetap.
Tidak semua fungsi baru yang digunakan pada bangunan bersejarah sesuai,
Apabila tingkat intervensi yang diperlukan untuk memasukan fungsi baru pada
gedung menimbulkan kerusakan pada nilai sejarahnya, maka fungsi tersebut
dikatakan tidak sesuai dengan bangunannya. Fungsi baru pada bangunan harus
mempertimbangkan
apakah
fungsi
yang
ingin
dimasukan
sesuai
dengan
bangunannya (apakah memiliki jendela yang cukup, apakah fungsi yang baru dapat
melindungi dan mengangkat bukti kebudayaan pada gedung tersebut). Selain fungsi,
lokasi menjadi salah satu pertimbangan dalam memasukan fungsi baru dalam sebuah
bangunan. Karena setiap lokasi memiliki kebutuhan yang berbeda-beda.
2.2
Tinjauan Khusus
2.2.1
Sejarah Kota Jakarta
Kota Tua Jakarta, juga dikenal dengan sebutan Batavia Lama (Oud Batavia),
adalah sebuah wilayah kecil di Jakarta, Indonesia. Wilayah khusus ini memiliki luas
1,3 kilometer persegi melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia,Taman
Sari dan Roa Malaka). Dijuluki "Permata Asia" dan "Ratu dari Timur" pada abad ke-
19
16 oleh pelayar Eropa, Jakarta Lama dianggap sebagai pusat perdagangan untuk
benua Asia karena lokasinya yang strategis dan sumber daya melimpah.
Pada zaman VOC, di sepanjang Kali Besar ada berbagai bangunan seperti
gudang, pemukiman pribadi, gereja, dan pasar. Beberapa pasar yang ada di kawasan
Kali Besar antara lain Pasar Sayur, Pasar Pisang, Pasar Ayam, dan Pasar Beras. Di
antara bangunan yang terletak di sepanjang Jl. Kali Besar Barat dan Jl. Kali Besar
Timur yang rata-rata bergaya Eropa serta didirikan pada abad ke-19, meliputi
bangunan lama, kantor dan juga gudang. Kali Besar merupakan pusat perekonomian
dan perdagangan VOC dimana terdapat bangunan-bangunan untuk pembuatan dan
perbaikan kapal-kapal serta orang-orang kuli atau budak bekerja. Daerah Kali Besar
dipandang sebagai daerah kediaman kelas elit pada awal abad ke-18 dan menjadi
daerah pusat kantor-kantor perdagangan internasional di era berikutnya. Salah satu
contohnya adalah bangunan Toko Merah. Banyak rumah orang Tionghoa terdapat di
sini yang dibakar pada tahun 1740. Kali Besar beberapa kali berubah fungsi, setelah
Ciliwung diluruskan (1632) kapal-kapal kecil membawa barang dari laut dan dari
pedalaman ke pelabuhan. Sejak tahun 1870 semakin banyak perusahaan niaga yang
berkantor di Kali Besar, hingga sampai tahun 1960-an merupakan daerah pusat
kantor-kantor perdagangan internasional.
Ketika Kali Besar menjadi pusat dagang, berakibat keberadaan gereja dan
pasar lenyap. Posisinya sebagai pusat dagang hampir saja tergeser dengan selesainya
Pelabuhan Tanjung Priok yang hanya berjarak 10 km dari Kali Besar (1885).
Munculnya wabah malaria menjadikan daerah ini tidak kondusif sebagai pusat bisnis
baru. Baru pada tahun 1900, banyak pengusaha yang pindah ke sepanjang Noordwijk
dan Rijswijk.
2.2.2
Sejarah Gedung Rotterdamsche Lloyd
Bangunan Rotterdamsche Lloyd dahulu dikenal sebagai gedung Dunlop&
Kolff yang berfungsi sebagai kantor perusahaan percetakan dan ban tahun 1900,
pada tahun 1938 bangunan ini bealih fungsi menjadi kantor Rotterdamsche Llyod
dibidang perkapalan. setelah awal abad ke-20 menjadi termasuk kedalam kawasan
gedung internationale credit en Handelsvereeniging Rotterdam, atau lebih dikenal
dengan nama Rotterdam Internatio yang sekarang kita kenal dengan PT. Cipta
Niaga. Gedung ini merupakan rancangan yang dibuat oleh biro arsitek Ed Cuypers en
Hulswit. Gedung ini memiliki pintu masuk menghadap ke Jalan kali besar timur 3,
20
dan kearah jalan pintu besar utara. Gedung yang memiliki 2 lantai ini serta basement
yang berfungsi sebagai penyimpanan uang pada zaman kolonial, serta lorong yang
menghubungkannya dengan pintu di pelabuhan sunda kelapa. Saat nasionalisasi
perusahaan-perusahaan belanda, gedung ini diambil alih dan dijadikan aset oleh PT.
Aneka Niaga dan sempat menjadi area pedagang pada kawasan kota tua tahun .
Tetapi sekarang telah menjadi hak milik PT.Perusahaan Perdagangan Indonesia.
Tabel 4. Data Bangunan
Lokasi
Jalan Kalibesar Timur 3 No.15A, Jakarta Barat
Fungsi Awal
Kantor Perusahaan
Fungsi Saat Ini
Tidak digunakan
Arsitek
Biro Arsitek Ed Cuypers en Hulswit
Konstruksi Beton
Subbiro Weltevreden of Hollandsche Maatschappij
Pemasok Batu
Firma D.Weegewijs, Amsterdam
Interior
Firma Lindeman & Schooneveld, Amsterdam
Sumber: UPK Kota Tua
Gambar 4. Gedung Dahulu(1900) - Saat Ini(2015)
Sumber:Batavia Nineteenth Century Photography – Dokumen Pribadi
2.2.3
Lokasi Gedung Rotterdamsche Lloyd
Gedung Rotterdamsche Lloyd terletak di pada Jalan Kali Besar Timur 3
No.15A, Tamansari, Kota Jakarta Barat. Gedung ini terletak di hook sehingga
memiliki 2 pintu masuk menghadap ke Jalan kali besar timur 3 yang langsung
berbatasan dengan jalan raya, dan kearah Jalan pintu besar utara yang menuju
kearah taman fatahillah.
21
Gambar 5. Lokasi Gedung Rotterdamsche Lloyd
Sumber: Google Maps
2.2.4
Perkembangan Gedung Rotterdamsche Lloyd
Data gedung Rotterdamsche Lloyd tidak cukup banyak ditemukan, oleh
sebab itu penulis menganalisa bentuk tampak bangunan dengan membandingkan
dengan gedung disampingnya.
Gambar 6. Foto Udara (1928) Gedung Rotterdamsche Lloyd
Sumber: Collection Dirk Teeuwen, Holland
Pada foto diatas dapat dilihat bahwa gedung Rotterdamsche memiliki atap
yang sama dengan gedung disebelahnya, padahal jika dilihat sekarang gedung
Rotterdamsche memiliki atap yang berbeda (gambar 5). Oleh sebab itu penulis,
mencari foto gedung lama untuk gedung disebelah Rotterdamsche Lloyd.
1. Van Vaulten and Cox
Merupakan salah satu firma perdagangan di Batavia, gedung ini selain
dijadikan kantor juga dijadikan Toko perdagangan pada tahun 1875.
22
Gambar 7. Gedung the Firm of Van Vaulten and Cox (1875)
Sumber: Batavia Nineteenth Century Photography
2. G.Kolff & Co.
Merupakan salah satu firma percetakan, penerbit, serta penjual buku yang
didirikan pada tahun 1848 di zaman kolonial. Mereka juga menerbitkan koran
pada tahun 1885. Dan membuka cabang kedua di Jalan Juanda pada bulan
September 1894.
Gambar 8. Gedung G.Kolff & Co. (1875) - G.Kolff & Co. (1936)
Sumber: Batavia Nineteenth Century Photography – Collection Dirk Teeuwen, Holland
2.3
Tinjauan Terhadap style
2.3.1
Arsitektur Kolonial di Indonesia
Arsitektur Kolonial adalah sebutan terhadap arsitektur eropa terutama
Belanda yang dibawa ke Indonesia pada masa penjajahan. Sebutan tersebut berlanjut
hingga kini untuk bangunan-bangunan yang memiliki gaya yang sama dengan
arsitektur pada masa penjajahan dahulu. Kemungkinan sebutan ini untuk
membedakan arsitektur gaya Eropa dengan arsitektur Eropa yang dibawa oleh
Belanda ke Indonesia, karena tentu saja arsitektur tersebut telah menjadi sesuatu
yang baru karena proses-proses adaptasi dan akulturasi dengan konteks lingkungan
dan budaya Indonesia. Arsitektur Kolonial memberikan pengaruh kepada terciptanya
23
arsitektur-arsitektur baru di Indonesia. Dengan percampuran budaya, material, ilmu
pengetahuan (metode struktur, konsep dan pemograman ruang, dan lain-lainnya)
menyebabkan arsitektur yang dibawa oleh penjajah ini berubah menjadi sesuatu yang
baru, diantaranya adalah arsitektur Imperium, arsitektur Indis dan arsitektur Nieuwe
Bouwen.
Arsitektur Imperium
Adalah arsitektur yang banyak dipengaruhi oleh arsitektur neoklasik romawi dan
yunani serta reinansances. Arsitektur ini banyak dipergunakan untuk menunjukan
kekuasaan, kemegahan, kemakmuran dan kekayaan. Arsitektur ini digunakan untuk
menunjukan status sosial dari pemilik bangunan. Arsitektur ini biasanya
dipergunakan pada arsitektur bangunan pemerintahan dan militer. Berikut beberapa
contoh arsitektur Imperium dan arsiteknya;
A. Istana Bogor (1744), Van Imhoff
Dirancang dengan gaya imperium untuk mengesankan monumental dan sbagai
lambang kekuasaan. Penggunaan kolo-kolom ionic dan pediment pada fasad, bentuk
jendela dengan ornamen atau relief diatasnya, penggunaan entablature, penggunaan
cupola, dll. Dan pada interiornya terdapat pahatan lukisan diatap dan kolom yang
digunakan adalah kolom Corinthian.
Gambar 9. Istana Bogor, Van Imhoff
Sumber: www.skyscrapercity.com diakses tanggal 15 April 2015
B. Istana Negara (1873), Drosarres
Hampir sama dengan istana bogor yang berkesan monumental dan kekuasaan,
sekarang istana ini telah menjadi istana Negara Republik Indonesia. Gaya neo klasik
24
juga dipakai pada arsitektur ini, dengan penggunaan deretan kolom doric pada fasad,
jendela-jendela besar dengan ornamen segitiga diatasnya.
Gambar 10. Istana Negara, Drosarres
Sumber: www.oba-obatan.blogspot.com diakses tanggal 15 April 2015
Arsitektur Indis
Arsitektur indis adalah sebutan untuk arsitektur yang menggabungkan gaya Eropa
dengan arsitektur tradisional Indonesia. Percampuran ini bisa terjadi pada sebuha
bangunan yang menggunakan gaya arsitektur neo klasik atau art deco, tetapi
diadaptasikan dengan iklim dan budaya Indonesia dengan penambahan ventilasi,
bukaan yang berjumlah banyak, atap miring dan lebar, denah yang menerapkan
budaya-budaya dari Indonesia. Penggunaan material lokal juga ikut berperan penting
dalam manifestasi arsitektur indis.Arsitektur tradisional yang dipergunakan tidak
hanya satu jenis saja, tetapi ada juga yang meggunakan beberapa arsitektur
tradisional dengan metode konstruksi Eropa dan material-material lokal. Berikut
beberapa contoh dibawah ini:
Gambar 11. Gedung Kampus ITB – Gedung Sate Bandung
Sumber: www.commons.wikipedia.org – kickdavid.com diakses tanggal 15 April 2015
25
Nieuwe Bouwen
Pengaruh perkembangan arsitektur modern disebut juga dengan arsitektur Niuwen
Bouwen. Arsitektur ini merupakan arsitektur modern yang terpengaruh art deco, de
stijl, dan beberapa pengaruh dari arsitektur Eropa dan Amerika seperti Le Corbusier
dan Frank Llyod Wright. Arsitektur ini tentu saja sudah diadaptasikan dengan iklim
dan budaya di Indonesia. Sehingga gaya yang dihasilkan memiliki perbedaan dengan
arsitektur modern di Eropa maupun di Amerika. Berikut beberapa contohnya:
A. Pusat Perdagangan Bandung (1919), C.P Wolf Schuemaker
Bentuk dan dekorasi bangunan sangat dipengaruhi oleh konsep-konsep arsitektur
modern.Penggunaan bentukan-bentukan murni serta penggunaan komposisikomposisi elemen vertikal horizontal menjadi ciri khas bangunan ini.
Gambar 12. Pusat Perdagangan Bandung Dahulu-Sekarang
Sumber: www.uniknya.com – www.bapusipda.jabarprov.go.id diakses tanggal 15 April 2015
B. Villa Isola Bandung (1932), C.P Wolf Schoemaker
Gambar 13. Villa Isola Bandung Dahulu-Sekarang
Sumber: www.uniknya.com – rickylicious.blogspot.com diakses tanggal 15 April 2015
26
C. Villa de Locomotiven, Bandung, A.F Albers
Gambar 14. Villa de Locomotive, A.F Albers
Sumber: www.findracadabra.blogspot.com diakses tanggal 15 April 2015
2.3.2
Karateristik Art deco
Gaya Art deco adalah suatu gaya pada seni kontemporer presentatif yang
lahir di Eropa seiring dengan perubahan dan perkembangan kebudayaan pada
jaman yang labil, yang menuntut pembaharuan-pembaharuan berupa keinginan
akan sesuatu yang baru untuk memenuhi kebutuhan pada jaman tersebut. Hal
ini didorong oleh semangat baru akibat revolusi industri di daratan Eropa,
yaitu dengan memanfaatkan bahan-bahan yang dihasilkan pabrik
karya
seni
sehingga
Art
Deco
lebih
untuk
suatu
bersifat fleksibel dalam menemukan
medianya seperti pada karya seni, karya furniture, alat rumah tangga maupun pada
karya arsitektur.
Pada
tahun 1928
mendeskripsikan karakter
bangunan
yaitu adanya
seorang
art
deco
pengamat
dalam
kaitannya
arsitektur
modem
dengan
tampilan
pemakaian garis lurus, geometris dan cenderung
mengikuti proporsi kubus yang dipengaruhi oleh aliran kubisme. Garis datar
yang sederhana dan kuat dengan sentuhan dekorasi pada warna, besitempa dan
kaca untuk relief .
Pembagian trend dalam arsitektur art deco di Amerika sebagai berikut:
Zig-zag Modeme
Banyak digunakan untuk bangunan-bangunan komersial yang mempunyai gaya
eksotik. Ciri utama dari gaya ini adalah:
a) Kekayaan omamen pada eksterior diulang ke dalam interior.
27
b) Ornamen-ornarnen yang digunakan adalah : Motif binatang, Sinar matahari,
geometris beribentuk zig-zag, segitiga, garis, !ingkaran bersegmen dan
spiral, bentuk zigurat (mengecil dipuncak), Air mancur beribentuk mozaik,
Motif tanaman abstrak.
c) Pengaruh budaya Yunani, Aztek, Assyria, Maya dan Mesir dengan
abstraksi, adaptasi dan rekombinasi.
d) Penggunaan warna yang menyala.
e) Mengambil ekspresi dari jaman mesin berupa penangkal petir, kapal laut,
jembatan, automobil dan sebagainya.
Gambar 15. Pintu Masuk Hoover Factory
Sumber: An Introduction to 20th century Architecture
Classical Modeme
Trend ini muncul sebagai perwujudan keinginan untuk menghidupkan kembali
gaya historik dan penyederhanaan bentuk - bentuk klasik yang pada umumnya
rumit.
Ciri utamanya adalah:
a) Massa Simetris.
b) Menara pusat dengan puncak datar
c) Unsur horisontal kuat.
d) Ada dekorasi di atas pintu masuk.
e) Menara sebagai klimaks bangunan.
f) Permukaan dinding sederhana sebagai ganti dari kolom - kolom klasik.
28
g) Tembok vertikal datar.
h) Mempunyai kesan permanen.
i) Pada eksterior dihiasi relief atau patung yang berdiri sendiri.
Gambar 16. Niagara Hudson Building
Sumber: An Introduction to 20th century Architecture
Streamline Modeme
Trend yang menggunakan kekuatan garis sebagai pembentuk ekspresi.
Ciri-cirinya sebagai berikut :
a) Orientasi horisontal
b) Atap datar
c) Bentuk aerodinamik pada garis kurva
d) Setback tiga dimensional
e) Banyak menggunakan kaca dan jendela
f) Kaya warna
g) Menggunakan baja atau logam sebagai penguat railing
h) Meniru bentuk efisiensi mesin dan merupakan perkembangan dari zig-zag
modern
Gambar 17. Gustaf House - New York
Sumber: An Introduction to 20th century Architecture
29
Tropical Deco
Style ini merupakan
cabang
dart trend
Streamline yang muncul karena
adanya adaptasi terhadap iklim tropis pada sebuah negara. Ciri-cirinya adalah :
a) Horizontal dan bergaris cepat gaya streamline
b) Ornamen menggunakan gaya organik dan klasik
c) Balkon berbentuk dek
d) Jendela berbentuk segi delapan atau lubang meriam
e) Adanya alis penahan sinar matahari dan air hujan atau dengan set-back
jendela asimetris dan garis kurva
f) Material metal dan kaca sebagai pembentuk garis lurus yang tajam.
Gambar 18. Palmer House - Miami Beach
Sumber: An Introduction to 20th century Architecture
2.4
Novelty
Menurut Jacques dalam Bani (2004).
konsep pelestarian pada awalnya
cenderung hanya melestarikan (preserve) dan mempertahankan bangunan sebagai
suatu museum. Dan pengawetan benda-benda monumen bersejarah. Yang
perkembangannya saat ini pelestarian tidak hanya mencakup skala bangunan dan
benda saja melainkan pada lingkungan. Menurut Shankland dalam Bani (2004),
lingkup pelestarian dapat dibedakan atas desa dan kota kecil bersejarah, kawasan
bersejarah dalam kota besar, kota bersejarah, dan kelompok bangunan bersejarah.
Seiring perkembangan peranan konservasi tidak cukup hanya memelihara dan
melestarikan saja, melainkan perlu dilandasi oleh motivasi sosial, budaya, aspek
estetis dan pertimbangan segi ekonomi yang mengejawantahkan simbolisme,
identitas suatu kelompok ataupun aset kota. Sehingga upaya konservasi berkembang
ke tahap aktivasi bangunan, yang menghidupkan kembali aktivitas didalam bangunan
30
yang awalnya pernah ada, tetapi telah mengalami kemunduran/degradasi yang
disebabkan oleh beberapa hal. Perkembangan ini diikuti dengan tahap restorasi dan
renovasi pada bangunan.
Dalam tahapan perkembangan selanjutnya, walaupun konservasi telah
mengembalikan fungsi yang ada pada bangunan sebelumnya sehingga dapat hidup
kembali. Tetapi seiring perkembangan zaman tingkat kebutuhan yang dibutuhkan
pun oleh pengguna
juga berbeda dari periode sebelumnya dengan lahan yang
tersedia semakin terbatas. Oleh sebab itu untuk memiliki wadah yang memenuhi
kebutuhan yang dibutuhkan saat ini tanpa membuat bangunan baru menjadi suatu
tuntutan. Sehingga upaya konservasi dengan menambahkan fasilitas dan fungsi yang
memadai untuk kegunaan saat ini (adaptive reuse) dipakai untuk menjawab
permasalahan tersebut dengan tanpa merubah struktur utama. Proses konservasi
dengan adaptive reuse juga dianggap sebagai salah satu penghematan energi
diberbagai bidang.
31
2.5
Kerangka Berpikir
Kerangka Berpikir Penelitian
Gambar 19. Kerangka Berpikir
Sumber : Olahan Penulis
32
Download