issn - POLTEKKES Majapahit Mojokerto

advertisement
ISSN : 2085 - 0204
JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT
ANJAR ISTIANTO
EKA DIAH KARTININGRUM, SKM
Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia Di Desa Kebonagung
Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto
BADRIYAH
SARMINI MOEDJIARTO, M.MPd
Pemberian Makanan Tambahan Terhadap Kehadiran Balita Di Posyandu
Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember
EKA KUSFARINI
NURSAIDAH, M.Kes
Pendampingan Suami Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Saat Menghadapi
Proses Persalinan Di BPS Ny. Hj. Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon
Sidoarjo
EKA NONITASARI
IKA KHUSNIA, S.Kep.Ns
Perbandingan Gejala PMS Antara Siswi Yang Aktif Dan Tidak Aktif Olahraga
Lari Pada Siswi Di Smp Penanggungan Ngoro-Trawas Mojokerto
LATIFATUL ISHAQ
FARIDA YULIANI, S.SiT, SKM
Ukuran Lingkar Lengan Atas Dengan Berat Badan Bayi Lahir Di BPS Ana
Susanti Balongbendo 2010
RISFAN BATUATAS
TRIPENI, S.ST. M.Kes
Pengaruh Peran Ibu Dengan Keberhasilan Toilet Training Pada Anak Usia
Toddler Di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto
NURUL AINI
Faktor- Faktor Yang Melatarbelakangi Perilaku Merokok Pada Remaja
Di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto
HOSPITAL
Hlm.
Mojokerto
ISSN
VOL 4
NO. 1
MAJAPAHIT
1 - 82
Pebruari 2012
2085 - 0204
JURNAL ILMIAH KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO
HOSPITAL MAJAPAHIT
Media ini terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Pebruari dan Bulan Nopember
diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Politeknik Kesehatan Majapahit, berisi artikel hasil penelitian tentang kesehatan
yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
Pembina
Ketua Yayasan Politeknik Kesehatan Majapahit
Nurwidji
Pelindung
Direktur Politeknik Kesehatan Majapahit
dr. Rahmi, S.A.
Ketua Penyunting
Eka Diah Kartiningrum, SKM.
Wakil Ketua Penyunting
Nurul Hidayah, S.Kep., Ners.
Penyunting Pelaksana
Dwi Helynarti, S.Si.
Anwar Holil, M.Pd.
Penyunting Ahli
Prof. Dr. Moedjiarto, M.Sc.
Sarmini Moedjiarto, S.Pd., MM.Pd.
Nursaidah, M.Kes
Rifa’atul Laila Mahmudah, M.Farm.Klin
Distribusi
Indriyanti. T.W, Amd.Akt
Yudha Lagha HK, S.Psi
Alamat Redaksi :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736
Email : [email protected]
BIAYA BERLANGGANAN
Rp. 20.000,-/Eks + Biaya Kirim
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4. No. 1, Pebruari 2012
ISSN : 2085 - 0204
Pengantar Redaksi,
Tema hari kesehatan sedunia tahun 2012 yakni ”Ageing and Health” atau Penuaan dan
Kesehatan menginspirasi para peneliti Poltekkes Majapahit untuk sedikit mengupas seputar
status kesehatan lanjut usia, sedangkan untuk menjelaskan lebih dalam tentang kesehatan
yang diurai dalam jurnal Hospital Majapahit Vol 2 no 2 adalah tentang kesehatan balita, ibu
dan remaja.
Artikel yang pertama ditulis oleh Anjar Istianto dan Eka Diah Kartiningrum, SKM yang
menguraikan tentang Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia Di Desa Kebonagung Puri
Mojokerto. Dalam artikel ini dijelaskan peranan penting keluarga dalam mengatur diit lansia
serta merencanakan semua bentuk menu makanan yang sangat dibutuhkan pada usia tersebut.
Peranan penting keluarga sangat dibutuhkan mengingat tingginya ketergantungan lansia pada
orang sekitar. Peranan keluarga yang negative dapat menyumbangkan munculnya masalah
gizi pada lansia yang berarti meningkatkan jumlah kejadian gizi buruk maupun obesitas yang
berdampak pada turunnya angka harapan hidup lansia.
Artikel yang kedua ditulis oleh Badriyah dan Sarmini Moedjiarto, M.MPd yang menjelaskan
tentang Pemberian Makanan Tambahan Terhadap Kehadiran Balita Di Posyandu Desa Kamal
Arjasa Jember. Kehadiran Balita di Posyandu memegang peranan penting dalam monitoring
status gizi balita. Melalui posyandu kejadian gizi buruk balita yang kerap muncul sejak tahun
2007 sebagai penunjuk awal krisis moneter dapat diturunkan. Namun seringkali karena
kesibukan orang tua khususnya ibu yang harus bekerja, angka absensi kunjungan posyandu
oleh balita semakin rendah. Sehingga upaya pemberian PMT diharapkan bisa menjadi
motivasi yang dapat meningkatkan angka kunjungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ternyata pemberian makanan tambahan yang menarik mampu meningkatkan minat
berkunjung ke posyandu. Oleh sebab itu penting bagi pengelola program posyandu untuk
memperhatikan faktor yang dapat meningkatkan motivasi ibu dan balita untuk berkunjung ke
posyandu sebagai upaya mencegah gizi buruk pada kelompok yang rawan yaitu ibu dan
bayi/balita.
Artikel yang ketiga mengenai Pendampingan suami dengan tingkat kecemasan ibu saat
menghadapi proses persalinan di BPS Ny. Hj. Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon
Sidoarjo yang ditulis oleh Eka Kusfarini dan Nursaidah, MKes. Proses persalinan selalu
menimbulkan kecemasan tersendiri terutama yang dialami oleh pendamping persalinan dalam
hal ini biasanya adalah suami. Namun selain suami, ibu bersalin juga mengalami kecemasan
yang tak kalah tinggi. Kecemasan ibu bersalin dapat meningkatkan tensi serta berakibat pada
terjadinya eklampsia yang terakhir justru berdampak pada kematian ibu bersalin. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendampingan suami dengan kecemasan
ibu dalam menghadapi persalinan. Ibu yang bersalin dengan didampingi suami merasa sedikit
lebih tenang daripada tanpa pendampingan suami. Pendampingan suami memberikan dampak
secara psikologis sehingga ibu mampu menjalani persalinan dengan cepat, aman dan lancar
sehingga menjamin keselamatan baik pada ibu maupun bayinya.
Artikel yang keempat ditulis oleh Eka Nonitasari dan Ika Khusnia, S.Kep.Ns yakni tentang
Perbandingan gejala PMS antara siswi yang aktif dan tidak aktif olahraga lari pada siswi SMP
Penanggungan Ngoro Trawas Mojokerto. Gejala PMS merupakan gejala yang mampu
menghambat aktivitas setiap remaja. Bahkan dalam kondisi tertentu remaja sama sekali tidak
bisa beraktivitas selama mengalami PMS. Namun olahraga ditemukan sebagai salah satu cara
HOSPITAL MAJAPAHIT
untuk mengurangi gangguan selama mengalami PMS. Rutinitas dalam berolah raga ternyata
mampu meningkatkan produksi hormon endorfin yang menimbulkan rasa gembira, selain itu
dapat menurunkan kadar kortisol dan epinefrin pada urin setelah 24 jam yang berperan
menurunkan kadar pada fase luteal dalam siklus haid. Karena pada fase luteal yang
menyebabkan wanita merasa kurang happy dan nyeri-nyeri, seperti nyeri haid atau sakit
kepala. Karena merasa tidak happy inilah yang menyebabkan si wanita menjadi badmood,
sensitif, gampang sedih, discouraged dalam menimbulkan gejala psikologis pada saat
mengalami PMS.
Artikel yang kelima mengenai ukuran lingkar lengan atas dengan berat badan bayi lahir di
BPS Ana Susanti Balong bendo tahun 2010 yang ditulis oleh Latifatul Ishaq dan Farida
Yuliani, S.SiT.,SKM. Ibu hamil dengan status gizi yang buruk dapat melahirkan bayi dengan
berat lahir yang rendah bahkan meninggal. Banyak resiko yang membahayakan bagi ibu
maupun bayinya pada saat kondisi status gizi sangat buruk. Salah satu cara untuk mengukur
status gizi ibu hamil adalah melalui ukuran LILA (Lingkar Lengan Atas). Ibu hamil dengan
LILA yang < 23,5 cm mengalami masalah gizi yang sangat kronis sehingga melahirkan bayi
dengan berat < 2500 gram. Hal tersebut bisa terjadi akibat intake yang tidak adekuat sebelum
dan selama kehamilan. Kekurangan intake yang sehat dapat mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan janin dalam kandungan. Monitoring gizi yang baik selama kehamilan
hendaknya diperhatikan untuk menurunkan angka kejadian kematian ibu dan bayi.
Artikel yang terakhir ditulis oleh Risfan Batuatas dan Tripeni, S.ST.MKes yang menjelaskan
tentang pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia Toddler di
Playgroup Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto. Tingkat keberhasilan toilet training
disebabkan karena peranan ibu dalam menstimulus toddler agar terbiasa melakukan toileting
setelah buang air. Kesabaran ibu dalam mendidik dan mengajari anak tentang cara penting
toilet training mampu menciptakan balita yang mandiri dan tidak tergantung pada orang tua
setiap selesai buang air.
Semua artikel diatas merupakan hasil pemikiran dan penelitian civitas akademik Poltekkes
Majapahit yang diharapkan mampu memberikan masukan dan rekomendasi dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan seluruh masyarakat Indonesia.
Redaksi,
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4. No. 1, Pebruari 2012
ISSN : 2085 - 0204
Kebijakan Editorial dan Pedoman Penulisan Artikel
Kebijakan Editorial
Jurnal Hospital Majapahit diterbitkan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto secara
berkala (setiap 6 bulan) dengan tujuan untuk menyebarluaskan informasi hasil penelitian,
artikel ilmiah kepada akademisi, mahasiswa, praktisi dan lainnya yang menaruh perhatian
terhadap penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan. Lingkup hasil penelitian dan artikel
yang dimuat di Jurnal Hospital Majapahit ini berkaitan dengan pendidikan yang dilakukan oleh
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto.
Jurnal Hospital Majapahit menerima kiriman artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris. Penentuan artikel yang dimuat dalam Jurnal Hospital Majapahit dilakukan
melalui proses blind review oleh editor Hospital Majapahit. Hal-hal yang dipertimbangkan
dalam penentuan pemuat artikel, antara lain : terpenuhinya syarat penulisan dalam jurnal
ilmiah, metode penelitian yang digunakan, kontribusi hasil penelitian dan artikel terhadap
perkembangan pendidikan kesehatan. Penulis harus menyatakan bahwa artikel yang dikirim ke
Hospital Majapahit, tidak dikirim atau dipublikasikan dalam majalah atau jurnal ilmiah lainnya.
Editor bertanggung jawab untuk memberikan telaah konstruktif terhadap artikel yang akan
dimuat, dan apabila dipandang perlu editor menyampaikan hasil evaluasi artikel kepada penulis.
Artikel yang diusulkan untuk dimuat dalam jurnal Hospital Majapahit hendaknya mengikuti
pedoman penulisan artikel yang dibuat oleh editor. Artikel dapat dikirim ke editor Jurnal
Hospital Majapahit dengan alamat :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : [email protected]
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4. No. 1, Pebruari 2012
ISSN : 2085 - 0204
Pedoman Penulisan Artikel.
Penulisan artikel dalam jurnal kesehatan hospital majapahit yang diharapkan menjadi
pertimbangan penulis.
Format.
1. Artikel diketik dengan spasi ganda pada kertas A4 (210 x 297 mm).
2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan Courier atau Times New Roman font 11 – 12
atau sebanyak 15 sampai dengan 20 halaman.
3. Margin atas, bawah, samping kanan dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi.
4. Semua halaman sebaiknya diberi nomor urut.
5. Setiap table dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar
serta sumber kutipan.
6. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor
halaman jika dipandang perlu. Contoh :
a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Rahman, 2003), jika disertai dengan
halaman (Rahman, 2003:36).
b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (David dan Anderson, 1989).
c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari satu penulis (David dkk, 1989).
d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (David, 1989, 1992), jika tahun
publikasi sama (David, 1989a, 1989b).
e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim
yang bersangkutan (BPS, 2007: DIKNAS, 2006).
Isi Tulisan.
Tulisan yang berupa hasil penelitian disusun sebagai berikut :
Abstrak, bagian ini memuat ringkasan artikel atau ringkasan penelitian yang meliputi masalah
penelitian, tujuan, metode, hasil, dan kontribusi hasil penelitian. Abstrak disajikan diawal teks
dan terdiri antara 200 sampai dengan 400 kata (sebaiknya disajikan dalam bahasa inggris).
Abstrak diberi kata kunci (key word) untuk memudahkan penyusunan indeks artikel.
Pendahuluan, menguraikan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi
landasan untuk menjadi hipotesis dan model penelitian.
Kerangka Teoritis, memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi
landasan untuk mengembangkan hipotesis dan model penelitian.
Metode Penelitian, memuat pendekatan yang digunakan, pengumpulan data, definisi
Dan pengukuran variable serta metode dan teknik analisis data yang digunakan.
Hasil Penelitian, berisi pemaparan data hasil tentang hasil akhir dari proses kerja teknik
analisis data, bentuk akhir bagian ini adalah berupa angka, gambar dan tabel.
Pembahasan, memuat abstraksi peneliti setelah mengkaji hasil penelitian serta teori – teori
yang sudah ada dan dijadikan dasar penelitian.
Daftar Pustaka, memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel, hanya sumber yang diacu
saja yang perlu dicantumkan dalam daftar pustaka.
HOSPITAL MAJAPAHIT
Jurnal :
Berry, L. 1995. “Ralationship Marketing of Service Growing Interest, Emerging Perspective”.
Journal of the Academy Marketing Science. 23. (4) : 236 – 245.
Buku :
Asnawi SK dan Wijaya C. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan, Prosedur, Ide dan Kontrol.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Artikel dari Publikasi Elekronik :
Orr. 2002. “Leader Should do more than reduce turnover”. Canadian HR Reporter. 15, 18,
ABI/INFORM Research. 6 & 14 http://www.proquest.com/pqdauto[06/01/04].
Majalah :
Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas
Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Pedoman :
Joreskog and Sorbom. 1996. Prelis 2 : User’s Reference Guide, Chicago, SSI International.
Simposium :
Pandey. LM. 2002. Capital Structur and Market Power Interaction : evidence from Malaysia, in
Zamri Ahmad, Ruhani Ali, Subramaniam Pillay. 2002. Procedings for the fourt annual Malaysian
Finance Assiciation Symposium. 31 May-1. Penang. Malaysia.
Paper :
Martinez and De Chernatony L. 2002. “The Effect of Brand Extension Strategies Upon Brand
Image”. Working Paper. UK : The University of Birmingham.
Undang-Undang & Peraturan Pemerintah :
Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas
Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209.
Skripsi, Thesis, Disertasi :
Christianto I. 2008. Penentuan Strategi PT Hero Supermarket Tbk, Khususnya pada Kategori
Supermarket di Kotamadya Jakarta Barat berdasarkan Pendekatan Analisis Konsep Three Stage
Fred R. David (Skripsi). Jakarta : Program Studi Manajemen, Institut Bisnis dan Informatika
Indonesia.
Surat Kabar :
Gito. 26 Mei 2006. Penderes. Perajin Nira Sebagian Kurang Profesional. Kompas: 36 (Kolom 4-5).
Penyerahan Artikel :
Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar cetakan kepada :
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : [email protected]
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 2. No. 2, Nopember 2010
ISSN : 2085 - 0204
DAFTAR ISI
PERAN KELUARGA DALAM ASUPAN NUTRISI LANSIA DI DESA
KEBONAGUNG KECAMATAN PURI KABUPATEN MOJOKERTO ............................
Anjar Istianto
Eka Diah Kartiningrum, SKM
1
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN TERHADAP KEHADIRAN BALITA DI
POSYANDU DESA KAMAL KECAMATAN ARJASA KABUPATEN JEMBER ......
Badriyah
Sarmini Moedjiarto, M.MPd
12
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
PENDAMPINGAN SUAMI DENGAN TINGKAT KECEMASAN IBU SAAT
MENGHADAPI PROSES PERSALINAN DI BPS NY. HJ. AMALIA AMD.KEB
SIMOGIRANG PRAMBON SIDOARJO ................................................................................................
Eka Kusfarini
Nursaidah, M.Kes
22
PERBANDINGAN GEJALA PMS ANTARA SISWI YANG AKTIF DAN TIDAK
AKTIF OLAHRAGA LARI PADA SISWI DI SMP PENANGGUNGAN NGOROTRAWAS MOJOKERTO .................................................................................................................................
Eka Nonitasari
Ika Khusnia, S.Kep.Ns
36
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
UKURAN LINGKAR LENGAN ATAS DENGAN BERAT BADAN BAYI LAHIR
DI BPS ANA SUSANTI BALONGBENDO 2010 ...............................................................................
Latifatul Ishaq
Farida Yuliani, S.SiT, SKM
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
50
HOSPITAL MAJAPAHIT
PENGARUH PERAN IBU DENGAN KEBERHASILAN TOILET TRAINING
PADA ANAK USIA TODDLER DI PLAY GROUP TARBIYATUSH SHIBIYAN
MOJOANYAR MOJOKERTO......................................................................................................................
Risfan Batuatas
Tripeni, S.St. M.Kes
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto
Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363
Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,
Email : [email protected]
70
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
PERAN KELUARGA DALAM ASUPAN NUTRISI LANSIA
DI DESA KEBONAGUNG KECAMATAN PURI
KABUPATEN MOJOKERTO
1
2
Anjar Istianto1, Eka Diah Kartiningrum, S.KM.2
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
Family plays an important role in planning and presenting a balanced diet for the elderly to
fulfillment the nutritional. The purpose of this study was to identify family role of nutrition in
elderly. This research used household suvey. The family role of nutrition all needs in elderly
as variable in this research. Families with elderly amounted to 37 respondents as samples
which is selected by consecutive sampling. Collecting data using questionnaires, the data
obtained and analyzed using T score. The results showed that most respondents have a
positive role to fulfill the nutritional needs of elderly people was about 19 respondents
(51.4%). Families indicated a positive role by planning meals and preparing a balanced diet
for the elderly in everyday life. Planning involved setting eating meals and beverages, food
ingredients and size selection of food consumption, while the preparation of a balanced diet
for the elderly include, restriction of certain food ingredients for the health of the elderly,
limiting the size of the consumption of carbohydrates, proteins, and other food. The role of the
family was very important for the health of the elderly, families that play a positive role in
fulfilling the nutritional needs of older adults, the elderly will be spared from a variety of
degenerative diseases and less susceptible to infectious diseases. The conclusion of this study
was the validity of nutrient intake will influence the nutritional status of elderly which is
depends on the role of nutrition to elderly families.
Keyword: Roles, Nutrition, Elderly
A. PENDAHULUAN
Perubahan gizi pada lansia merupakan salah satu masalah yang harus ditangani yang
diakibatkan oleh perubahan pola makan, perubahan fisik maupun mental yang diperburuk
oleh penyakit degeneratif yang diderita (Roger, 2003). Apabila disertai dengan
kekurangan protein menyebabkan kerusakan-kerusakan sel yang tidak dapat diperbaiki,
akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit menurun, kemungkinan akan
mudah terkena infeksi (Proverawati dan Wati, 2010). Satu lagi masalah gizi salah adalah
kelebihan gizi. Lansia cenderung lebih mudah menjadi gemuk di banding kelompok
dewasa muda karena untuk berat badan yang sama, lansia mempunyai lemak yang lebih
banyak. Obesitas dapat memperburuk kondisi kesehatan kelompok lansia karena dapat
memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah,
hipertensi, serta diabetes mellitus tipe II (Wirakusumah, 2000). Kebutuhan gizi lansia
perlu dipenuhi secara adekuat untuk kelangsungan proses pergantian sel dalam tubuh,
mengatasi proses menua, dan memperlambat terjadinya usia biologis (Nugroho, 2008).
Kondisi kekurangan gizi pada lansia dapat berbentuk KKP (kurang kalori protein)
kronik, baik ringan maupun berat. Darmojo,R.B&H. H.Martono dalam Wirakusumah
(2000) melaporkan bahwa lansia yang mengalami kekurangan gizi di indonesia sebanyak
3,4%, sedangkan yang mempunyai berat badan kurang sebanyak 28,3%, sedangkan lansia
yang mengalami obesitas di Indonesia sebanyak 3,4% dan berat badan lebih sebanyak
1
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
6,7%. Menurut Riskesdas (2007) prevalensi obesitas sentral pada penduduk Indonesia
yang berumur 45-54 (26,1%), umur 55-65 (23,1%), umur 65-74 (18,9%), dan umur 75
keatas (15,8%).
Berbagai faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi lanjut usia meliputi faktor dari
lanjut usia sendiri, faktor keluarga, faktor lingkungan, faktor pelayanan, aktivitas fisik,
kemunduran biologis, pengobatan, depresi dan kondisi mental dan penyakit. Sehubungan
dengan faktor keluarga, hal tersebut menyangkut jumlah generasi, pola tinggal, sikap,
tingkat sosial-ekonomi keluarga, dan khususnya pengetahuan dalam perawatan dan
pemenuhan gizi pada lanjut usia (Wirakusumah, 2002). Dalam melakukan perawatan
terhadap lansia, setiap anggota keluarga memiliki peranan yang sangat penting, di
antaranya adalah membantu melakukan persiapan makanan bagi lansia, susunan makanan
lansia harus mengandung semua unsur gizi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral,
vitamin, air, dan serat dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan serta seimbang dalam
komposisinya (Maryam Dkk, 2008). Bagi tenaga kesehatan di tuntut untuk memberikan
pendidikan kesehatan, dalam dalam hal pendidikan gizi kepada masyarakat maupun
individu, untuk dapat berperan serta dalam mengatasi masalah kesehatan dan gizi serta
memperbaiki pola hidup masyarakat (Proverawati Dkk, 2010). Peran sebagai perawat
harus selalu memberikan beberapa materi mengenai nutrisi. Di komunitas, perawat jarang
berhubungan langsung dengan bidang nutrisi atau perawat wilayah. Namun perawat
kunjungan kesehatanlah yang lebih banyak terlibat dalam penyuluhan pada lansia
mengenai diet dan nutrisi. Selain itu, mereka dapat membantu individu atau keluarga
untuk menguasai teknik sterilisasi yang diperlukan (Roger, 2003). Dari uraian diatas
peneliti tertarik untuk meneliti tentang Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia di
Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Peran
a. Pengertian
Menurut Kozier Barbara dalam Janah (2009) Peran adalah seperangkat
tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai
kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik
dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku
yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu.
b. Peran Keluarga
Peran keluarga adalah seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi
dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok
dan masyarakat Jhonson dan Leny (2010).
c. Peranan Keluarga
Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut:
1) Ayah sebagai suami dari istri dan ayah bagi anak-anak, berperan sebagai
pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai anggota
dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta
sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
2) Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk
mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya,
pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta
sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat
berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
2
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
3) Anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan tingkat
perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
d. Peran Keluarga Dalam Perawatan Lansia
Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam
mempertahankan kesehatannya. Peranan keluarga dalam perawatan lansia antara
lain menjaga atau merawat lansia, mempertahankan dan meningkatkan status
mental, mengantisipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan motivasi dan
memfasilitasi kebutuhan spiritual bagi lansia.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh anggota keluarga dalam
melaksanakan perannya terhadap lansia, yaitu: melakukan pembicaraan terarah,
mempertahankan kehangatan keluarga, membantu melakukan persiapan makanan
bagi lansia, membantu dalam hal transportasi, membantu memenuhi sumbersumber keuangan, memberi kasih saying, menghormati dan menghargai, bersikap
sabar dan bijaksana terhadap perilaku lansia, memberi kasih sayang, menyediakan
waktu, serta perhatian, jangan menganggapnya sebagai beban, memberi
kesempatan untuk tinggal bersama, mintalah nasihatnya dalam peristiwa-peristiwa
penting, mengajaknya dalam acara-acara keluarga, membantu mencukupi
kebutuhannya, memberi dorongan untuk tetap mengikuti kegiatan-kegiatan di luar
rumah termasuk pengembangan hobi, membantu mengatur keuangan,
mengupayakan sarana transportasi untuk kegiatan mereka termasuk rekreasi,
memeriksakan kesehatan secara teratur, memberi dorongan untuk tetap hidup
bersih dan sehat, mencegah terjadinya kecelakaan, baik di dalam maupun di luar
rumah, pemeliharaan kesehatan usia lanjut adalah tanggung jawab bersama,
memberi perhatian yang baik terhadap orang tua yang sudah lanjut, maka anakanak kita kelak akan bersikap yang sama (Maryam Dkk, 2008).
e. Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia
Kecukupan gizi lansia akan terpenuhi apabila memperhatikan pola makan
yang beragam dan bergizi seimbang. Pada dasarnya, tidak ada jenis makanan yang
spesifik untuk lansia. Namun, untuk menentukan jenis diet lansia harus
mempertimbangkan kondisi kesehatan. Penurunan kemampuan mencerna
makanan, serta perubahan selera makan. Oleh sebab itu, penyajian makanan untuk
lansia selain harus memperhatikan kecukupan gizi juga konsistensi dan tekstur
makanan sehingga lansia tidak mengalami kesulitan mencerna dan terhindar dari
masalah kekurangan gizi (Wirakusumah, 2000). Peran tersebut adalah menurut
(Nugroho, 2008):
1) Merencanakan makan untuk lansia
a) Porsi makan perlu diperhatikan, jangan terlalu kenyang. Porsi makan
hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga dapat makan lebih
sering dengan porsi yang kecil,
b) Banyak minum dan kurangi garam. Banyak minum dapat memperlancar
pengeluaran sisa makanan. Menghindari makanan yang terlalu asin akan
mengurangi kerja ginjal dan mencegah kemungkinan terjadinya tekanan
darah tinggi,
c) Membatasi penggunaan kalori hingga berat badan dalm batas normal,
terutama makanan yang manis atau gula dan makanan yang berlemak.
Kebutuhan usia lanjut di atas 60 tahun adalah 1700 kalori dan di atas 70
tahun adalah 1500 kalori,
d) Bagi lanjut usia yang proses penuaannya sudah lebih lanjut, hal berikut
perlu diperhatikan:
3
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
(1) Mengonsumsi makanan yang mudah dicerna
(2) Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan gorengan
(3) Bila kesulitan mengunyahkarena gigi rusak atau gigi palsu kurang baik,
makanan harus lunak/lembek atau dicincang
(4) Makan dalam porsi kecil, tetapi sering
(5) Makanan kudapan, susu, buah, dan sari buah sebaiknya diberikan
e) Batasi minum kopi dan teh. Minuman tersebut boleh diberikan, tetapi hrus
diencerkan karena berguna untuk merangsang gerakan usus dan menambah
nafsu makan
2) Menyiapkan Menu Seimbang untuk Lansia
Menu adalah susunan hidangan yang dipersiapkan atau disajikan pada
waktu makan. Menu seimbang untuk lanjut usia adalah susunan makanan yang
mengandung cukup semua unsur gizi yang dibutuhkan lanjut usia. Menurut
(Nugroho, 2008) syarat menu seimbang untuk lanjut usia adalah:
a) Mengandung zat gizi beraneka ragam bahan makabnan yang terdiri atas zat
tenaga, zat pembangun, dan zat pangatur
b) Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi oleh lanjut usia adalah 50% dari
hidrat arang yang merupakan hidrat arang komplek (sayuran, kacangkacangan, dan biji-bijian)
c) Jumlah lemak dalam makanan dibatasi, yaitu 25-30% dari total kalori
d) Jumlah protein yang baik dikonsumsi disesuaikan dengan lanjut usia, yaitu
8-10% dari total kalori
e) Dianjurkan mengandung tinggi serat (selulosa) yang bersumber pada buah,
sayur, dan macam-macam pati, yang dikonsumsi dalam jumlah secara
bertahap
f) Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti susu non-flat,
yoghurt, dan ikan
g) Makanan mengandung tinggi tinggi zat besi (Fe), seperti kacang-kacangan,
hati, daging, bayam, atau sayuran hijau
h) Membatasi penggunaan garam
i) Bahan makanan sebagai sumber zat gizi sebaiknya dari bahan makanan
yang segar dan mudah dicerna
j) Hindari bahan makanan yang mengandung tinggi alkohol
k) Pilih makanan yang mudaah dikunyah seperti makanan lunak
Tabel 1 Contoh Menu Lansia Dan Jumlah Bahan Pangan Penyusunan
Menu (Wirakusumah, 2000) :
URT
Jumlah (g)
Menu
Bahan Pangan
L
W
L
W
Pagi:
Roti Telur
Roti
4 iris*
2 iris
80
40
Telur
1 btr
1 btr
60
60
Mentega
½ sdm
½ sdm 5
5
Tomat
1 bh
1 bh
50
50
Selada bokor
3 lbr
3 lbr
25
25
Susu non-fat Tepung susu
2 sdm
4 sdm
20
20
Selingan
pk.10.00
Pisang tanduk
1bh*
½ bh
200
100
Kolak pisang Santan
¼ gls
¼ gls
50
50
Gula merah
2 sdm
2 sdm
16
16
4
HOSPITAL MAJAPAHIT
Menu
Siang
Nasi
Semur
Pepes tahu
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Bahan Pangan
Nasi
Daging cincang
Kentang
Minyak
Tahu
Telur
Bayam
Pisang
URT
L
W
1 ½ gls*
2 sdm
1 bh
1 sdm
1 bh
1 sdm
1 ½ gls
1bh
1 gls
2 sdm
1 bh
1 sdm
1 bh
1 sdm
1 ½ gls
1 bh
Jumlah (g)
L
W
150
50
50
10
100
30
150
75
135
50
50
10
100
30
150
75
Sayur bening
Buah
Selingan pk.
17.00
Tepung beras
8 sdm
8 sdm
50
50
Papais
Santan
¼ gls
¼ gls
50
50
Gula pasir
1 sdm
1 sdm
8
8
Malam:
Mi baso
Mi basah
1 gls
1 gls
100
100
Baso
4 bh
4 bh
50
50
Sawi hijau
½ gls
½ gls
50
50
Minyak
1 sdm
1 sdm
5
5
Buah
Pepaya
1 ptg
1 ptg
100
100
Keterangan :
*
: Jumlah porsi yang berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan kalori
L
: Lansia pria dengan angka kecukupan energi 2.200 kkal
W : Lansia wanita dengan angka kecukupan energi 1.850 kkal
Berbagai menu untuk lansia dapat dibuat dengan menggunakan Daftar Bahan
Makanan Penukar.
C. METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan
survey. Survey adalah suatu rancangan yang digunakan untuk menyediakan informasi
yang berhubungan dengan prevalensi, distribusi dan hubungan antar variabel dalam
suatu populasi (Nursalam, 2008). Penelitian ini menggunakan survey deskriptif, yaitu
survey rumah tangga. Survey rumah tangga (household survey) adalah suatu survey
deskriptif yang ditujukan kepada rumah tangga (Notoatmodjo, 2010).
5
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Kerangka Kerja
Lansia:
1. Middle age (45-59)
2. Elderlby (60-74)
3. Old (75-90)
4. Very old (>90)
Peran keluarga:
1. Merencanakan makan
2. Menyiapkan menu seimbang
Nutrisi pada lansia
Faktor-faktor yang mempengaruhi nutrisi pada lansia:
1. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan
2. Berkurangnya indra pengecapan
3. Esofagus melebar
4. Rasa lapar menurun
5. Peristaltik usus melemah
6. Penyerapan makanan di usus melemah
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 1
Kerangka Konseptual Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi
Lansia di Desa Kebunagung Kecamatan Puri Kabupaten Jombang.
Sumber : Nugroho (2000), Proverawati (2010), Nugroho (2008).
2. Populasi, Sampel, Variabel dan Instrumen Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki lansia di desa
kebunagung kecamatan puri kabupaten mojokerto yang berjumlah 225 orang,
sedangkan sampel diseleksi menggunakan consecutive sampling yaitu pengambilan
sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukan
dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu. Nursalam (2008). Sampel yang diambil
harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusi meliputi:
a) Keluarga yang memiliki lansia baik laki-laki maupun perempuan.
b) Keluarga yang bersedia menjadi responden.
c) Keluarga yang ada di rumah saat peneliti datang.
d) Jika ada 2 lansia dalam satu rumah maka hanya diambil 1.
Sedangkan kriteria eksklusi meliputi:
a) Lansia dalam kondisi sakit.
b) Lansia yang mengalami depresi.
c) Keluarga yang tidak bisa baca tulis (buta huruf).
Variabel pada penelitian ini adalah peran keluarga dalam asupan nutrisi lansia
yakni Seperangkat tingkah laku keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi lansia
meliputi: merencanakan makan untuk lansia, dan menyiapkan menu seimbang untuk
lansia, yang di ukur menggunakan angket.
6
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
3. Teknik Analisis Data
Setiap jawaban pertanyaan diberi skor dengan pedoman sebagai berikut: 1 untuk
jawaban TP (tidak pernah), 2 untuk jawaban KD (kadang-kadang), dan 3 untuk
jawaban SR (sering).
T = 50 + 10
Keterangan :
X = Skor responden pada skala sikap yang hendak diubah manjadi skor T
= Mean skor kelompok
S = Deviasi standart skor kelompok
Setelah di hitung menggunakan rumus di atas selanjutnya diklasifikasikan
menjadi:
a. Perilaku positif : jika Skor T hasil perhitungan > mean T (50)
b. Perilaku negatif : Jika skor T hasil penghitungan < mean T (50)
(Azwar, 2007).
Hasil pengolahan data dinterpretasikan dengan menggunakan skala kualitatif
yaitu:
100%
76-99%
51-75%
50%
26-49%
1-25%
0%
= seluruhnya responden
= hampir seluruh responden
= sebagian besar responden
= setengah dari responden
= hampir setengah dari responden
= sebagian kecil dari responden
= tidak satupun dari responden (Arikunto, 2002).
D. HASIL PENELITIAN
1. Data Umum
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di
Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto
tanggal 01 s/d 15 juli 2011.
No
Pendidikan
Frekuensi (f) Persentase (%)
1
SD
11
29,7
2
SMP
10
27,0
3
SMU
11
29,7
4
Perguruan tinggi
5
13,5
Jumlah
37
100
Tabel 2 menjelaskan bahwa hampir setengah dari responden berpendidikan
SMA sebanyak 11 responden (29,7%).
b.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
7
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa
Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto 01 – 15 juli
2011.
No
Pekerjaan
Frekuensi (f) Presentase (%)
1
Bekerja
33
89,2
2
Tidak bekerja
4
10,8
Jumlah
37
100
Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden memiliki
pekerjaan yaitu sebanyak 33 responden (89,2%).
c. Karakteristik Responden Berdasarkan Penghasilan
Tabel 4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penghasilan di
Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto 01 –
15 juli 2011.
No
Penghasilan
Frekuensi (f) Presentase (%)
1
< 100.000
8
21,6
2
100.000-500.000
16
43,2
3
500.000-1000.000
8
21,6
4
>1.000.000
5
13,5
Jumlah
37
100
Tabel 4 menjelaskan bahwa hampir setengah dari responden memiliki
penghasilan 100.000,00-500.000,00 yaitu sebanyak 16 responden (43,2%).
d. Karakteristik Responden Berdasarkan Sumber informasi
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi
di Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto 01
– 15 juli 2011.
No
Informasi
Frekuensi (f) Presentase (%)
1
Tidak
17
45,9
2
Iya
20
54,1
Jumlah
37
100
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapatkan
informasi tentang asupan nutrisi lansia yaitu sebanyak 20 responden (54,1%).
2. Data Khusus Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia
Tabel 6
Distribusi Frekuensi Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi
Lansia di Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten
Mojokerto 01 – 15 juli 2011.
No
Peran Keluarga Dalam
Frekuensi (f) Presentase (%)
Asupan Nutrisi Lansia
1.
Positif
19
51,4
2.
Negatif
18
48,6
Jumlah
37
100
Tabel 6 menjelaskan bahwa sebagian besar responden mempunyai peran
positif yaitu sebanyak 19 responden (51,4%).
E. PEMBAHASAN
Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar keluarga lansia berperan positif
dalam memenuhi kebutuhan nutrisi lansia yaitu sebanyak 19 responden (51,4%)
sedangkan responden yang memiliki peran negatif sebanyak 18 responden (48,6%).
Keluarga berperan positif dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi lansia yaitu sebanyak 19
8
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
responden (51,4%) ditunjukkan dengan keluarga merencanakan makan untuk lansia dan
menyiapkan menu seimbang untuk lansia.
Peran keluarga dalam asupan nutrisi lansia ialah merencanakan makan untuk lansia
diantaranya, porsi makan perlu diperhatikan, jangan terlalu kenyang, banyak minum dan
kurangi garam, menghindari makanan yang terlalu asin, membatasi penggunaan kalori
hingga berat badan dalam batas normal. Bagi lanjut usia yang proses penuaannya sudah
lebih lanjut, hal berikut perlu diperhatikan, (Mengonsumsi makanan yang mudah dicerna,
hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan gorengan, bila kesulitan mengunyah
karena gigi rusak atau gigi palsu kurang baik, makanan harus lunak/lembek atau
dicincang, makan dalam porsi kecil tetapi sering, makanan kudapan, susu, buah, dan sari
buah sebaiknya diberikan, batasi minum kopi dan teh). Peran yang kedua adalah
menyiapkan menu seimbang untuk lansia. syarat menu seimbang untuk lanjut usia adalah
mengandung zat gizi beraneka ragam bahan makanan yang terdiri atas zat tenaga, zat
pembangun, dan zat pangatur, jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi oleh lanjut usia
adalah 50% dari hidrat arang yang merupakan hidrat arang komplek, jumlah lemak dalam
makanan dibatasi, jumlah protein yang baik dikonsumsi disesuaikan dengan lanjut usia,
yaitu, menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, makanan mengandung tinggi
tinggi zat besi (Fe), membatasi penggunaan garam, bahan makanan sebagai sumber zat
gizi sebaiknya dari bahan makanan yang segar dan mudah dicerna, hindari bahan
makanan yang mengandung tinggi alkohol, pilih makanan yang mudah dikunyah seperti
makanan lunak (Nugroho, 2008).
Keluarga berperan positif ditunjukkan dengan keluarga merencanakan makan dan
menyajikan menu seimbang bagi lansia. Perencanaan makan meliputi keluarga
memperhatikan porsi makan untuk lansia, mengatur porsi makan dalam satu hari,
mengatur porsi minum yang lebih banyak, dan keluarga memilih makanan yang mudah
dikunyah, seperti makanan dimasak agak lembek. Sedangkan dalam penyajian makan
untuk lansia meliputi, keluarga menyajikan makanan yang mengandung gizi beraneka
ragam, menyajikan makanan dengan jumlah kalori yang baik, menyajikan makanan yang
tinggi kalsium (susu, ikan, yaghut), menyajikan makanan yang mengandung serat (sayursayuran, buah-buahan), Keluarga juga berperan positif dalam menghindari makanan yang
harus dihindari oleh lansia antara lain membatasi penggunaan makanan yang manis
(gula), membatasi makanan yang mengandung lemak (margarin, gorengan), membatasi
penggunaan garam, dan membatasi lansia untuk minum kopi atau teh. Peran positif
keluarga didukung oleh faktor pengatahuan keluarga, hal tersebut ditunjukkan pada tabel
4.4 berdasarkan data umum yang di dapat sebagian besar responden mendapatkan
informasi mengenai asupan nutrisi lansia yaitu sebanyak 20 responden (54,1%), dari ini
keluarga mengerti pentingnya asupan nutrisi lansia, oleh sebab itu keluarga berperan
positif terhadap asupan nutrisi lansia.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa dalam merencanakan makan untuk lansia
sebagian besar responden berperan negatif yaitu sebanyak 21 responden (56,8%). Peran
keluarga dalam merencanakan makan untuk lansia antara lain ; porsi makan harus
diperhatikan , jangan terlalu kenyang, porsi makan hendaknya diatur merata dalam satu
hari sehingga dapat makan lebih sering dengan porsi yang kecil, banyak minum dan
kurangi garam, membatasi penggunaan kalori hingga berat badan dalam batas normal,
terutama makanan yang manis (gula) dan makanan yang berlemak, bagi lansia yang
proses penuaannya sudah lebih lanjut konsumsi makanan yang mudah dicerna, seperti
makanan yang dimasak agak lunak, berikan makanan kudapan seperti, susu, buah, dan
sari roti, batasi minum kopi atau teh (Nugroho, 2008). Dalam merencanakan makan untuk
lansia keluarga berperan negatif ditunjukkan dengan keluarga tidak memperhatikan porsi
9
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
makan untuk lansia, tidak mengatur makan secara merata dalam satu hari sehingga lansia
tidak bisa makan dengan porsi kecil dengan frekuensi sering, tidak memberikan makanan
yang mudah dicerna seperti nasi dimasak agak lembek, tidak memberikan makanan
kudapan seperti susu, buah, dan sari roti, kemudian dalam membatasi penggunaan
makanan yang harus dihindari oleh lansia keluarga tidak membatasi penggunaan kalori,
tidak membatasi penggunaan garam, tidak membatasi makanan manis (gula), dan
keluarga tidak membatasi makanan yang berlemak. Dalam menyiapkan menu seimbang
untuk lansia sebagian besar responden berperan positif yaitu sebanyak 20 responden
(59,9%). Dalam menyiapkan menu seimbang untuk lansia makanan harus mengandung
zat gizi beraneka ragam (zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur), jumlah kalori
yang baik untuk dikonsumsi oleh lansia adalah 50% dari hidrat arang yang merupakan
hidrat arang komplek (sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian), jumlah lemak
dalam makanan dibatasi, jumlah protein yang baik dikonsumsi disesuaikan dengan lanjut
usia, yaitu 8-10% dari total kalori, makanan dianjurkan mangandung serat yang
bersumber dari buah, sayur, dan macam-macam makanan pati, yang dikonsumsi secara
bertahap, makanan tinggi kalsium (susu, yoghut, ikan), makanan mengandung tinggi zat
besi (Fe), hindari makanan yang tinggi alkohol, dan pilih makanan yang mudah dikunyah
(Nugroho,2008). Dalam menyiapkan menu seimbang untuk lansia keluarga berperan
positif ditunjukkan dengan keluarga memberikan makanan yang beraneka ragam yang
terdiri atas zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur, keluarga memberikan makanan
dengan jumlah kalori yang baik, keluarga memberikan makanan cukup protein, keluarga
menyiapkan makanan yang mengandung tinggi serat, keluarga memberi makanan tinggi
kalsium, keluarga memberi makanan yang mengandung zat besi (Fe), keluarga
menghindari makanan yang tinggi alkohol, dan keluarga memilih makanan yang mudah
dikunyah atau makanan lunak.
Keluarga berperan negatif dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi lansia yaitu
sebanyak 18 responden (48,6%) ditunjukkan dengan keluarga tidak merencanakan
makan untuk lansia dan tidak menyiapkan menu seimbang untuk lansia.
Berbagai faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi lanjut usia meliputi faktor dari
lanjut usia itu sendiri, faktor keluarga, faktor lingkungan, faktor pelayanan, aktifitas
fisik, kemunduran biologis, pengobatan, depresi, dan kondisi mental dan penyakit
(Wirakusumah, 2002). Salah satu masalah gizi pada lansia adalah kelebihan gizi.
Obesitas dapat memperburuk kondisi kesehatan kelompok lansia karena dapat memicu
timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi serta
diabetes melitus tipe II (Wirakusumah, 2000). Keluarga merupakan support system utama
bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya (Nugroho, 2008). Keluarga hendaknya
memperhatikan kecukupan gizi lansia akan terpenuhi apabila memperhatikan pola makan
yang beragam dan bergizi seimbang (Wirakusumah, 2000).
Peran negatif pada keluarga akan berdampak pada munculnya masalah kesehatan
pada lansia seperti obesitas dan berbagai penyakit misal, penyakit infeksi dan penyakit
degeneratif. Banyak faktor yang mempengaruhi peran keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan nutrisi pada lansia diantaranya adalah faktor penghasilan, hal tersebut
ditunjukkan pada tabel 4.3 disimpulkan bahwa hampir setengah dari responden mepunyai
penghasilan 100.000,00 – 500.000,00 yaitu sebanyak 16 responden (43,2%). Dilihat dari
penghasilan responden yang minimum, kemungkinan keluarga tidak bisa membeli
makanan yang kaya akan zat gizi. Faktor lain yang mendukung peran negatif keluarga
adalah faktor pekerjaan, berdasarkan tabel 4.2 disimpulkan bahwa hampir seluruh
responden memiliki pekerjaan yaitu sebanyak 33 responden (89,2). Kemungkinan
10
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
keluarga tidak sempat dalam melakukan perannya dalam asupan nutrisi lansia yaitu
merencanakan makan dan menyiapkan menu seimbang bagi lansia.
F. PENUTUP
Sebagian besar keluarga lansia melakukan perannya dalam menyediakan, merencanakan
dan menyiapkan menu seimbang bagi lansia, namun masih banyak keluarga yang tidak
melaksanakan perannya yang disebabkan karena rendahnya pengetahuan dalam mengatur
asupan nutrisi lansia. Oleh sebab itu hendaknya keluarga memperhatikan selalu aktif
mencari informasi tentang asupan nutrisi lansia, sedangkan lansia aktif dalam kegiatankegiatan masyarakat, serta membentuk paguyuban seperti posyandu lansia untuk
memantau status kesehatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Dinkes Kabupaten Kebumen. (2007). Laporan Riset Kesehatan. Dasar (http://www.kesehatan
kebumenkab.go.id/data/lapriskesdas,pdf). Diakses pada tanggal 28 april 2011.
Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta : Rineka cipta.
Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta : Rineka cipta.
Aswar, S. (2007). Sikap manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta : pustaka pelajar.
Budiarto, E. (2003). Metodologi penelitian kedokteran. Jakarta : EGC.
Hidayat, A.A. (2007). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Jakarta : salemba
medika.
Janah, L.F. (2009). Teori peran.(http://bidanlia.blogspot.com). Diakses pada tanggal 3 mei
2011.
Jhonson R. dan Leni R. (2010). keperawatan keluarga. yogyakarta : nuha medika
Maryam, R.S. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta : salemba medika.
Milian, A.(2011). Pengetahuaan keluarga tentang pemenuhan kebutuhan gizi pada lansia.
(http://www.armymilian.info). Diakses pada tanggal 28 april 2011.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta. Rineka cipta
Nugroho, W. (2000). Keperawatan gerontik. Jakarta. EGC.
Nugroho, W. (2008). Keperawatan gerontik dan geriatrik. Jakarta : EGC.
Nursalam. (2008). Metodologi riset keperawatan. Jakarta : Infomedika.
Proverawati, A. dan Wati, E.K. (2010). Ilmu gizi untuk keperawatan dan kesehatan.
Yogyakarta : Muha Medika.
Supariasa, I.D.N. (2002). Penilaian status giz. Jakarta : EGC.
Watson, R. (2003). Perawatan pada lansia. Jakarta : EGC.
Wirakusumah, E.S. (2000). Tetap bugar di usia lanjut. Jakarta : Trubus Agriwidya.
11
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN TERHADAP KEHADIRAN BALITA DI
POSYANDU DESA KAMAL KECAMATAN ARJASA KABUPATEN JEMBER
1
Badriyah1 , Sarmini Moedjiarto, M.MPd2
Mahasiswi Prodi DIII Kebidanan Poltekkes Majapahit
2
Dosen Poltekkes Majapahit
ABSTRACT
Malnutrition on the Indonesian infant was the main problem to get optimally healthy for
infant. There were some programs to infant which made by government to rehabilitate
nutrition status of infant. one of them was posyandu (integrated service post). The action of
posyandu is done by cadre. The data told about presenting infant in Posyandu haven’t yet
fulfilled the best target; they had problem that need the best way to solve it. The aim of this
study is to determine effect of additional feeding in presenting infant at Posyandu. This was
observational study by analytical method. The writer used secondary data that consist of
visiting posyandu and additional feeding infant that observed by checklist. There was 80
respondents. The result showed that there was 6o infants (80%) from 80 infants are given by
PMT (additional feeding), and 48 infants (80%) come to posyandu, then 12 infants (12%)
didn’t come to posyandu. The result of Chi square is known by chi square count > chi square
table (6,77>3,841). The analysis of chi square showed that additional feeding by selffinancing could affected presenting infants in posyandu. Additional feeding self-financing is
proven to support presenting infant in posyandu. The hoped from communities by awareness
self in presenting infant in posyandu is daily activities to need be done therefore without
additional feeding, so that Indonesian infant gets the health services optimally.
Keyword: additional, feeding, presenting, Posyandu
A. PENDAHULUAN
Indonesia berada diperingkat 130 dalam kasus balita dengan status gizi kurang
berdasarkan data HDI (Human Development Index) (Republika, 2004) Hal ini dibuktikan
dengan adanya data yang menunjukan bahwa di tahun 2007, 4 juta balita di Indonesia
menderita kurang gizi. 700 ribu diantaranya menderita gizi buruk (Anonim, 2008). Di
Jawa Timur melalui program pemantauan status gizi (PSG) dinyatakan bahwa, pada
tahun 2005 terdapat 19,3 % balita terdeteksi menderita Kurang Energi Protein (KEP),
yang dikategorikan dalam balita dengan status gizi kurang mencapai 16,6 % dan balita
dengan status gizi buruk berjumlah 2,7 % (Depkes RI, 2006).
Status gizi pada balita perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena
kekurangan gizi pada balita dapat menyebabkan kerusakan yang irreversible (tidak dapat
dipulihkan), seperti dijelaskan oleh Proverawati, (2009:135).
Djaiman (2001) berpendapat bahwa, Posyandu (Pos pelayanan terpadu)
merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat
dan untuk masyarakat, mempunyai salah satu kegiatan rutin untuk memantau
pertumbuhan balita dengan menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat) Melalui kurve
KMS dapat diketahui keberadaan balita dengan status gizi kurang (Gsianturi, 2004).
Gsianturi (2004) menjelaskan keberadan Posyandu mempunyai pengaruh yang
cukup besar untuk membantu peningkatan status gizi pada balita. Oleh karena itu,
peranan kader Posyandu sebagai pelaksana kegiatan Posyandu diharapkan mampu
12
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
memantau status gizi balita dengan baik sekaligus mampu meningkatkan status gizi balita
tersebut. Kabupaten Jember pada tahun 2009 menyatakan telah memiliki 2.750 Posyandu
dengan jumlah balita 152.309 anak. Jumlah kehadiran balita di Posyandu mencapai 71,76
%, sedangkan di kecamatan Arjasa Kabupaten Jember terdiri dari 6 Desa dan 46
Posyandu dengan jumlah balita 3.153 balita. Tingkat kehadiran balita di Posyandu
mencapai 70,88 % (2.235 balita). Desa Kamal sebagai salah satu wilayah kerja
Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember, mempunyai 5 Posyandu dengan 420 balita.
Tingkat kehadiran balita di Posyandu mencapai 73,72 % (305 balita). Melalui studi
pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan September 2010, Posyandu
Manggis yang berada di wilayah kerja Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten
Jember, mempunyai 96 balita dengan tingkat kehadiran hanya mencapai 58,33 % (56
balita) Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kehadiran balita di
Posyandu Manggis Desa Kamal kecamatan Arjasa Kabupaten Jember kurang memenuhi
target yang ditentukan.
Untuk mengetahui balita dengan satus gizi kurang maka diperlukan pemantauan
status gizi balita melalui kurve KMS (Kartu Menuju Sehat) di Posyandu. Jika diketahui
kurva KMS berada dalam garis warna hijau dapat dinyatakan bahwa status balita adalah
baik, tapi jika kurve KMS berada pada garis bawah merah menunjukan bahwa status gizi
balita tersebut adalah buruk (Anonim, 2008). Apabila jumlah kehadiran balita tidak
memenuhi target yang diharapkan, maka jumlah balita yang menderita gizi burukpun
tidak akan terdeteksi dengan baik. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan status gizi
balita tidak akan pernah terlaksana dengan baik. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk
mendorong kehadiran balita di Posyandu. PMT atau Pemberian Makanan Tambahan,
merupakan salah satu program Pemerintah untuk meningkatkan gizi balita (Pro-Health,
2009) Diharapkan melalui PMT atau pemberian makanan tambahan dapat mendorong
kehadiran balita di Posyandu. Berdasarkan data diatas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan terhadap Kehadiran Balita di
Posyandu di Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
a. Pengertian Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
PMT atau yang disebut juga Pemberian Makanan Tambahan adalah upaya
pemberian penambahan makanan tanpa mengurangi jumlah makanan yang
dimakan setiap hari di rumah. PMT sebagai sarana pemulihan gizi dalam arti
kuratif, rehabilitatif dan sebagai sarana penyuluhan sebagai bentuk kegiatan
pemberian gizi berupa makanan dari luar keluarga, dalam rangka UPGK (Usaha
Perbaikan Gizi Keluarga), (Pro-Health, 2009).
b. Tujuan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
Usia balita yang merupakan usia dimana seorang anak akan mengalami
tumbuh kembang dan aktivitas yang sangat pesat membutuhkan asupan gizi
yang cukup. Pemberian makanan tambahan kapada balita di Posyandu diberikan
dengan tujuan sebagai upaya perbaikan gizi balita (Pro-Health, 2009).
c. Sasaran Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
Sasaran PMT adalah balita yang dikategorikan dalam golongan rawan gizi
atau balita yang menderita kurang gizi. Adapun kriteria balita yang mendapatkan
PMT dari Pemerintah adalah balita yang tiga kali berturut-turut tidak naik
timbangannya serta balita yang berat badannya pada kurve KMS (Kartu Menuju
Sehat) terletak dibawah garis merah (Pro-Health, 2009).
13
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
d.
2.
Komposisi Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
Menurut Departemen Kesehatan RI seperti dikutip oleh Judiono (2003)
bahwa persyaratan pemberian makanan tambahan pada anak usia pra sekolah
atau balita harus memenuhi nilai gizi yang berkisar 200-300 kalori dan 5-8 gram
protein. Bahan makanan yang digunakan dalam PMT sebaiknya merupakan
bahan makanan bersumber kalori dan protein tanpa mengesampingkan sumber
zat gizi lain seperti : padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, ikan, sayuran
hijau, kelapa dan hasil olahannya (Pro-Health, 2009).
Berikut adalah contoh menu PMT bagi balita di Posyandu (Ismawati dkk,
2010:32) :
1). Menu PMT bayi usia 6-12 bulan
Dapat berupa : Bubur susu labu kuning, Nasi tim ikan tengiri, Nasi tim ayam
campur sayur, Jus alpukat dan lain-lain.
2). Menu PMT anak usia diatas 1 tahun
Misalnya : Sup kacang merah, Mie goreng ayam, Sate bola-bola tahu, Puding
buah warna-warni dan lain-lain.
PMT dapat diberikan dalam bentuk makanan selingan atau makanan
lengkap dalam porsi kecil. Pengolahan PMT sebaiknya menggunakan bahan
makanan setempat yang banyak mengandung protein nabati/hewani, yang diolah
dengan mempergunakan resep daerah atau dimodifikasi, dimasak dan dikemas
dengan baik, aman serta memenuhi syarat kebersihan serta kesehatan.
Pengadaan PMT disesuikan dengan ketersediaan dana yang berasal dari
program pemerintah dan swadana masyarakat (Ismawati dkk, 2010:31).
Berdasarkan hal tersebut, Pemberian PMT di Posyandu sebagai upaya
mendorong kehadiran balita ke Posyandu merupakan sosialisasi yang tepat bagi
ibu balita untuk memahami tentang makanan sehat dan bergizi seimbang.
Konsep Dasar Kehadiran Balita di Posyandu
Kehadiran balita di Posyandu adalah bentuk kedatangan balita secara fisik di
Posyandu untuk mengikuti kegiatan Posyandu. Diharapkan dengan kehadiran balita
di Posyandu yang mencapai target 100 % kehadiran, dapat mendeteksi balita dengan
status gizi kurang dan memberikan upaya perbaikan gizi balita melalui PMT.
Menurut Siswono, (2001) dijelaskan bahwa, untuk menanggulangi masalah
kekurangan gizi pada anak balita dibutuhkan pemberdayaan masyarakat melalui 6
tahap, yaitu :
a. Pengorganisasian Masyarakat
b. Pelatihan
c. Penimbangan Balita
d. Penyuluhan gizi balita
e. Pemberian Makanan Tambahan
f. Penggalangan Dana
Program Pemberian Makanan Tambahan yang diberikan oleh Pemerintah
hanya diberikan kepada balita dengan status gizi kurang (Pro-Health, 2009),
sedangkan keberadaan Posyandu dengan jumlah balita yang hadir tidak memenuhi
target, membuat penyelenggara kegiatan Posyandu berupaya untuk mendorong
balitanya mengikuti kegitan Posyandu. Hal itu dilakukan dengan melakukan
pemberian makanan tambahan (PMT) menggunakan dana swadaya masyarakat
(Siswono, 2001).
14
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
C. METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan rancangan penelitian cross sectional yaitu merupakan
rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan
atau sekali waktu (Hidayat, 2007 : 56). Variabel yang digunakan adalah variabel Independen
dan variabel Dependen. Variabel independen yang digunakan adalah pemberian makanan
tambahan sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah kehadiran balita di Posyandu.
Tabel 1 Definisi Operasional Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Terhadap
Kehadiran Balita di Posyandu.
Variabel
Definisi Operasional
Kriteria
Skala
Pemberian Melalui pemberian makanan Diberi PMT : 1
Nominal
Makanan
tambahan tanpa mengurangi Tidak diberi PMT : 0
Tambahan jumlah makanan yang dimakan (Hidayat, 2007)
setiap
hari
di
rumah,
diharapkan dapat mendorong
kehadiran balita di Posyandu.
Alat pengukuran menggunakan
check list pemberian makanan
tambahan.
Kehadiran Kedatangan balita secara fisik Hadir : 1
Nominal
balita di di Posyandu untuk mengikuti Tidak Hadir : 0
Posyandu kegiatan
Posyandu
dapat (Hidayat, 2007)
meningkatkan angka kehadiran
balita di Posyandu Alat
pengukuran
menggunakan
buku kunjungan balita ke
Posyandu .
Hipotesis yang diuji antara lain:
H1 : Ada pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap kehadiran Balita di Posyandu
Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember.
H0 : Tidak ada pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap kehadiran Balita di
Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember.
Populasi yang digunakan adalah semua balita di Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten
Jember pada bulan September 2010 yang berjumlah 420 anak. Sedangkan sampel harus
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi terdiri dari:
1). Balita yang tinggal di wilayah Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember.
2). Balita yang berusia 6 bulan – 5 tahun.
3). Balita yang mempunyai KMS (Kartu Menuju Sehat) di Posyandu Desa Kamal
Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember.
4). Balita yang hadir di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember.
Kriteria eksklusi antara lain :
1). Balita yang sakit.
2). Balita yang berusia kurang dari 6 bulan
3). Balita yang berusia lebih dari 5 tahun.
4). Balita yang baru pertama kali mengikuti Posyandu di Desa Kamal Kecamatan Arjasa
Kabupaten Jember.
15
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Untuk menentukan besar sampel dapat dilakukan dengan penghitungan rumus. Menurut
Nursalam (2008:91-92), jika besar populasi < 1.000 maka dapat dilakukan penghitungan
dengan rumus sebagai berikut:
n=
Keterangan:
n : jumlah sampel
N : jumlah populasi
d : tingkat signifikansi (p)
Jadi total sampel berdasarkan rumus adalah sebesar 80 balita. Sampel diseleksi menggunakan
teknik Probability Sampling menggunakan metode Cluster Sampling, yaitu pengelompokan
sampel berdasarkan wilayah atau populasi lokasi (Nursalam, 2008 : 94). Penghitungan dengan
rumus proporsional pada pengambilan sampel tiap Posyandu di Desa Kamal Kecamatan
Arjasa Kabupaten Jember diperoleh hasil sebagai berikut:
Posyandu Manggis 38 : ni =
x 80= 18 balita
Posyandu Manggis 39: ni =
x 80= 17 balita
Posyandu Manggis 40: ni =
x 80= 16 balita
Posyandu Manggis 41: ni =
x 80= 14 balita
Posyandu Manggis 42: ni =
80
420
x 80= 15 balita
Data dikumpulkan menggunakan teknik Dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data
dengan cara mengambil data yang berasal dari dokumen asli berupa daftar periksa (Hidayat,
2007 : 100). Dokumen yang dianalisa menggunakan data yang berasal dari buku pemberian
PMT dan buku kunjungan balita ke Posyandu di Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten
Jember pada tahun 2009. Untuk mengetahui pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap
kehadiran balita di Posyandu, peneliti melakukan uji Chi Square. Pemilihan uji Chi Square
digunakan untuk membandingkan atau membedakan dua variabel serta untuk menguji
generalisasi dari hasil analisis (Hidayat, 2007).
D. HASIL PENELITIAN
1. Frekuensi Responden Berdasarkan Usia
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia di Posyandu Desa
Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember Tanggal 25 Oktober –
13 Nopember 2010
No
Usia Balita
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
6 - 12 bulan
33
41
2.
1 - 5 tahun
47
59
Jumlah
80
100
Sumber : Data sekunder tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010
Tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari 50% balita berusia 1 – 5 tahun.
2. Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di
Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember
Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010
No
Jenis Kelamin
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
1.
Laki-Laki
32
40
2.
Perempuan
48
60
Jumlah
80
100
16
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
4.
5.
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Sumber : Data sekunder Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar balita (60%) berjenis kelamin
perempuan.
Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian Makanan Tambahan
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian Makanan
Tambahan di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten
Jember Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010
Pemberian Makanan
No
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
Tambahan
1.
Diberi PMT
60
75
2.
Tidak diberi PMT
20
25
Jumlah
80
100
Sumber : Data sekunder Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar balita (75%) mendapatkan PMT.
Frekuensi Responden Berdasarkan Kehadiran Balita di Posyandu
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kehadiran Balita di Posyandu
Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember Tanggal 25
Oktober – 13 Nopember 2010
Kehadiran Balita di
No
Frekuensi (f)
Prosentase (%)
Posyandu
1. Hadir
58
72,5
2. Tidak hadir
22
27,5
Jumlah
80
100
Sumber : Data sekunder Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010.
Tabel 5 menunjukkan bahwa lebih dari 50% balita hadir di Posyandu.
Analisa Perhitungan Uji Chi Square
Tabel 6 Tabel Silang Pemberian Makanan Tambahan dengan Kehadiran
Balita di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten
Jember Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010
Kehadiran
Total
Pemberian makanan tambahan
Tidak hadir
Hadir
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Tidak diberi PMT
10
50
10
50
20
100
Diberi PMT
12
20
48
80
60
100
Jumlah
22
27,5
58
72,5
80
100
Hasil uji chi square dengan menggunakan SPSS versi 12 for windows
diperoleh nilai chi square hitung sebesar 6,771, sedangkan nilai chi square tabel
pada df = 1 sebesar 3,841. Dengan demikian nilai chi square hitung > chi square
tabel (6,771 > 3,841) atau nilai signifikansi lebih kecil dari = 5% (0,009 < 0,05)
yang berarti bahwa H0 ditolak atau H1 diterima artinya ada pengaruh pemberian
makanan tambahan terhadap kehadiran Balita di Posyandu Desa Kamal Kecamatan
Arjasa Kabupaten Jember.
E. PEMBAHASAN
1. Pemberian Makanan Tambahan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 60 balita (75%) balita telah diberi PMT
dan 20 (25%) balita tidak diberi PMT di Posyandu. Pemberian makanan tambahan
merupakan salah satu kegiatan Posyandu dalam upaya perbaikan status gizi balita.
Usia balita merupakan usia pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan
17
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
asupan gizi yang cukup, sehingga berbagai bentuk kegiatan Posyandu seperti
konsultasi gizi dan pelayanan gizi pada balita diberikan untuk mencapai tujuan
tersebut (Pro-health, 2009).
Program pemberian Makanan Tambahan yang diberikan oleh Pemerintah
hanya diberikan kepada balita dengan status gizi kurang (Pro-Health, 2009),
sedangkan keberadaan Posyandu dengan jumlah balita yang hadir tidak memenuhi
target, membuat penyelenggaraan kegiatan Posyandu berupaya untuk mendorong
balitanya mengikuti kegiatan Posyandu. Hal itu dilakukan dengan melakukan
pemberian makanan tambahan (PMT) menggunakan dana swadana masyarakat
(Siswono, 2001).
PMT dapat diberikan dalam bentuk makanan selingan atau makanan lengkap
dalam porsi kecil. Pengolahan PMT sebaiknya menggunakan bahan makanan setempat
yang banyak mengandung protein nabati/hewani, yang diolah dengan mempergunakan
resep daerah atau dimodifikasi, dimasak dan dikemas dengan baik, aman serta
memenuhi syarat kebersihan serta, kesehatan.
Berikut adalah contoh menu PMT bagi balita di Posyandu (Ismawati dkk,
2010:32) :
a. Menu PMT bagi usia 6-12 bulan
Dapat berupa : Bubur susu labu kuning, Nasi tim ikan tengiri, Nasi tim ayam
campur sayur, Jus alpukat dan lain-lain.
b. Menu PMT anak usia diatas 1 tahun
Misalnya : Sup kacang merah, Mie goreng ayam, Sate bola-bola tabu, Puding
buah wawa-warni dan lain-lain.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar balita di Posyandu Desa
Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember telah mendapatkan PMT. Hal ini
dikarenakan Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember telah
menerapkan PMT, sebagai salah satu program rutin yang dilaksanakan dalam kegiatan
Posyandu, sehingga secara tidak langsung balita yang hadir di Posyandu akan
mendapatkan PMT swadana yang dikelola oleh kader Posyandu. Adanya balita yang
tidak mendapatkan PMT dikarenakan oleh beberapa alasan diantaranya adalah ;
pendapat orang tua balita yang menyatakan bahwa balitanya datang ke Posyandu
karena ingin mendapatkan imunisasi, pengobatan dan ingin mengetahui kenaikan berat
badan anaknya saja, sehingga mereka segera pulang setelah mendapatkan pelayanan
Posyandu yang diinginkan tanpa menunggu pembagian PMT.
2. Kehadiran balita di Posyandu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% balita dinyatakan hadir di
Posyandu. Balita atau anak usia bawah lima tahun adalah anak usia kurang dari lima
tahun (Proverawati, 2009) Masa balita merupakan usia penting dalam tumbuh
kembang anak secara fisik. Pada usia ini terjadi proses pertumbuhan yang sangat
pesat, sehingga memerlukan asupan gizi yang cukup sesuai dengan kebutuhannya. Hal
ini dikarenakan angka kecukupan gizi tersebut berpengaruh untuk kondisi kesehatan
balita yang berkesinambungan di masa yang akan datang (Depkes RI, 2006).
Posyandu atau Pos Pelayanan Terpadu yang merupakan salah satu buntuk
upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM), dikelola dan diselenggarakan
dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat. Posyandu dibentuk guna memberdayakan
masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2006).
Kehadiran balita di Posyandu merupakan syarat mutlak dalam pelaksanaan
kegiatan di Posyandu. Berbagai macam kegiatan Posyandu yang terdiri dari
18
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
penyelenggaraan PMT secara swadana, penimbangan dan pemantauan KMS,
vaksinasi, konsultasi gizi, pelayanan gizi, pelayanan kesehatan dasar, memberikan
rujukan, dan pengobatan, diharapkan mampu meningkatkan angka kehadiran balita di
Posyandu. (Siswono, 2001 dan Gsianturi, 2004).
Balita sebagai sasaran utama dalam kegiatan Posyandu mempunyai peranan
penting untuk hadir dalam kegiatan Posyandu. Kehadiran balita di Posyandu yang
tiliak memenuhi target kehadiran, merupakan masalah utama dalam pelaksanaan
kegiatan di Posyandu. Oleh karena itu sebagai salah satu upaya untuk mendorong
kehadiran balita dilakukan dengan memberikan PMT secara swadana oleh kader
Posyandu. Dalam memberikan PMT di Posyandu diharapkan kader Posyandu
memperhatikan kualitas dan kuantitas PMT, penyajian PMT secara, bervariasi yang
diyakini mampu meningkatkan angka kehadiran balita di Posyandu. Beberapa faktor
yang menyebabkan ketidak hadiran balita di Posyandu adalah kurangnya pengetahuan
ibu tentang pentingnya Posyandu, terbukti dengan adanya pendapat orang tua yang
menyatakan bahwa apabila balitanya sehat tidak perlu datang ke Posyandu. Kesibukan
orang tua balita juga menjadi faktor penghalang kehadiran balita di Posyandu. Selain
itu letak geografis desa Kamal yang berupa pegunungan dengan jarak yang jauh dari
tempat pelayanan Posyandu juga dapat menjadi faktor penghalang kehadiran balita di
Posyandu.
3. Tabulasi silang pemberian makanan tambahan dengan kehadiran balita
Hasil penelitian menjelaskan bahwa jumlah balita yang diberi PMT adalah 60
balita (80%) dari keseluruhan jumlah responden 80 balita. Hadir di Posyandu
sebanyak 48 balita (80%) dan tidak hadir di Posyandu sebanyak 12 balita (20%).
Sedangkan balita yang tidak diberi PMT sebanyak 20 balita (20%) dari total
keseluruhan jumlah responden. Hadir di Posyandu 10 balita (50%) dan tidak hadir di
Posyandu 10 balita (50%). Cross tab antara pemberian makanan tambahan dengan
kehadiran balita di Posyandu diketahui chi square hitung > chi square tabel (6,771 >
3,841) atau nilai signifikansi lebih kecil dari (X = 5% (0,009 < 0,05) yang berarti
bahwa Ho ditolak atau H1, diterima, artinya ada pengaruh pemberian makanan
tambahan terhadap kehadiran Balita di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa
Kabupaten Jember.
Menurut Pro-Health (2009), PMT atau yang disebut juga Pemberian Makanan
Tambahan adalah upaya pemberian penambahan makanan tanpa mengurangi jumlah
makanan yang dimakan setiap hari di rumah. Pemberian makanan tambahan atau PMT
pads balita dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki status gizi balita dalam
rangka UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga). Selain sebagai upaya perbaikan gizi
balita, penyelenggaran PMT secara swadana dalam kegiatan di Posyandu (Siswono,
2001) diharapkan dapat mendorong kehadiran balita di Posyandu.
Kehadiran balita di Posyandu adalah merupakan bentuk kehadiran balita secara
fisik dalam mengikuti kegiatan Posyandu yang meliputi penimbangan dan pemantauan
KMS, vaksinasi, pelayanan gizi, konsultasi gizi serta penyelenggaraan PMT secara
swadana bagi balita (Modifikasi Gsianturi, 2004 dan Siswono, 2001). Untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang optimal terhadap balita dibutuhkan
keikutsertakan balita dalam kegiatan Posyandu melalui kehadiran balita di POsyandu,
hal ini merupakan modal utama untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi
balita melalui kegiatan rutin Posyandu. Pemberian makanan tambahan (PMT) secara
swadana dalam kegiatan Posyandu diketahui dapat mempengaruhi kehadiran balita di
Posyandu. Terbukti dari 60 balita yang diberi PMT, 48 balita (80%) dinyatakan hadir
di Posyandu.
19
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Hasil penelitian menjelaskan bahwa dari 48 balita yang hadir 33 balita berusia
1–5 tahun dan 15 balita berusia 6-12 bulan. Berdasarkan data diatas dapat diketahui
bahwa yang hadir di Posyandu sebagian besar berusia 1-5 tahun, karena balita yang
berusia 1-5 tahun sudah mengerti dan dapat merasakan tentang adanya pemberian
makan tambahan di Posyandu. Hasil tersebut menunjukkan pemberian makanan
tambahan mempunyai peranan penting untuk mendorong kehadiran balita di
Posyandu.
Balita yang telah mendapatkan PMT tetapi tidak hadir di Posyandu dari 12
balita, 10 balita berusia 6-12 bulan dan 2 balita 1-5 tahun. Diketahui yang tidak hadir
sebagian besar balita yang berusia 6-12 bulan dikarenakan balita tidak hadir karena
sakit, sebagian ibu mengatakan bahwa ke Posyandu hanya membutuhkan imunisasi
dan ingin tahu perkembangan anaknya serta mendapat penyuluhan, karena pada usia
tersebut bayi masih bergantung kepada orangtuanya, dengan alasan sibuk, bayi setelah
mendapat imunisasi langsung pulang.
Balita yang tidak mendapatkan PMT dari 20 balita 10 balita tidak hadir dan 10
balita yang hadir. Diketahui sebagian ibu mengatakan bahwa kehadirannya memang
mereka sudah sadar akan pentingnya Posyandu ingin mendapatkan pelayanan
Imunisasi, pengobatan serta penyuluhan, sedangkan sebagian ibu mengatakan ketidak
hadirannya dikarenakan tidak mendapatkan PMT dan ada juga yang mengatakan
bahwa balitanya sedang sakit dan lain-lain. Pelaksanaan pemberian makanan
tambahan di desa Kamal dapat meningkatkan angka kehadiran balita di Posyandu.
F. PENUTUP
Kesimpulan hasil penelitian antara lain bahwa terdapat 60 balita (75%) yang mendapatkan
PMT, Jumlah kehadiran balita di Posyandu diketahui sebanyak 58 balita (72.5%), Hasil
analisis antara pemberian makanan tambahan terhadap kehadiran di Posyandu dengan
menggunakan uji chi square dengan menggunakan SPSS versi 12 for windows diperoleh nilai
chi square hitung sebesar 6,771, sedangkan nilai chi square tabel pada df = 1 sebesar 3,841.
Dengan demikian nilai chi square hitung > chi square tabel (6,771 > 3,841) atau nilai
signifikansi lebih kecil dari = 5% (0,009 < 0,05) yang berarti bahwa H0 ditolak atau H1
diterima artinya ada pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap kehadiran Balita di
Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. Hendaknya kader Posyandu
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan Posyandu, tidak hanya pada pemberian
makanan tambahan secara swadana saja tetapi juga dalam kegiatan Posyandu yang lainnya
seperti penimbangan dan pemantauan KMS, vaksinasi, konsultasi gizi, pengobatan dan lainlain dalam upaya peningkatan derajat kesehatan balita.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Mengetahui Status Gizi Balita Anda.
http://medicastore.com/artikel/247/Mengetahui_Status_Gizi_Balita_Anda.html.
akses 25 September 2010. 10.00 wib
Depkes RI. 2006. Buku Pegangan Kader Posyandu . Jakarta
Depkes RI. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping ASI Lokal Tahun 2006.
Jakarta
Djaiman, Sri Poerdji Hastoety. 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Balita Berkunjung
ke Posyandu. http://[email protected]. akses 25 September 2010.
10.00 wib
20
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Gsianturi. 2004. Gizi Buruk Di Tengah Kemegahan Kota.
http://www.republika.co.id/ASP/Koran_detail.asp?id=164622&kat_id=286. akses 15
September 2010. 15.00 wib
Hidayat, Alimul Aziz. 2007. Penelitian Keperawatan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba
Medika
Ismawati, Cahyo dkk. 2010. Posyandu & Desa Siaga. Nuha Medika : Yogyakarta
Notoatmojo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta : Jakarta
Notoatmojo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta : Jakarta
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
Pro-Health. 2009. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Anak Usia Pra Sekolah.
http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/02/10/
pemberian-makanan-tambahanpmt-balita/. akses 15 September 2010. 13.00 wib
Proverawati dkk, Atikah. 2009. Buku Ajar Gizi Untuk Kebidanan. Nuha Medika : Yogyakarta
Siswono. 2001. Enam Langkah Menbuat Status Gizi Balita Meningkat.
http:/www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1001578227.81523. akses 25
September 2010. 10.00 wib
UU RI. 2000. Undang-Undang no 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Jakarta
21
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
PENDAMPINGAN SUAMI DENGAN TINGKAT KECEMASAN IBU SAAT
MENGHADAPI PROSES PERSALINAN DI BPS Ny. Hj. AMALIA Amd.Keb
SIMOGIRANG PRAMBON SIDOARJO
1
2
Eka Kusfarini1, Nur Saidah, M.Kes2
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
The support or involvement of the husband is very necessary in a mother's
psychological development that facing the birth process. The purpose of this study to
determine the relationship between husband assistancy with anxiety on the laboring mother.
This was a crossectional study. Assisted by husband as an independent variable and anxiety
during labor as the dependent variable. The study population of all labor mothers in BPS
Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang, Prambon, Sidoarjo as many as 30 maternal. Samples were
taken by concecutive sampling of 24 respondents. Data were collected with a questionnaire
and tested with the chi square test and presented in tabular form. Results showed that 13
respondents who are not accompanied her husband there was 1 respondent (4.1%) who did
not experience anxiety, 7 respondents (29.1%) had anxiety and 5 being the respondents
(20.8%) experienced severe anxiety. The results of mann-whitney test data showed that Z =
2,531, Z table = 0.0288, ρ = 0,015 dan α = 0,05 so that ρ < α then H0 rejected and H1
accepted means there is a relationship between husband assistance with the level of anxiety
when faced the labor. Husband assistance will give a good impact on psychological wives so
that they can perform labor well, safely and smoothly.The results could be used as additional
information and insight for the community about the delivery process so as to enhance the
knowledge held by the public, especially the husband that will have children so as to
determine appropriate action in the face of labor later.
Keywords: Husband assistance, Anxiety, labor.
A. PENDAHULUAN
Persalinan merupakan proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari
rahm ibu, persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan setelah 37
minggu dan tanpa disertai adanya penyulit (APN, 2008). Berbagai perasaan akan muncul
ketika ibu sedang menghadapi persalinan seperti merasa cemas, khawatir, dan gelisah yang
belum jelas sebabnya sehingga dapat menghambat proses persalinan sedangkan pada bayi
terjadi asfiksi. Saat inilah dukungan atau keterlibatan suami sangat diperlukan dalam
perkembangan kejiwaan seorang ibu yang sedang menghadapi proses persalinan. Beberapa
hal yang dapat di lakukan suami dalam perkembangan kejiwaan seorang ibu atau istri selama
proses persalinan berlangsung yaitu memberikan dukungan emosi, serta memberikan
semangat dan kenyamanan pada ibu. Berdasarkan SDKI survei terakhir tahun 2007 AKI
Indonesia sebesar 228 per 100.000 Kelahiran Hidup, meskipun demikian angka tersebut
masih tertinggi di Asia (Meneg, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan di BPS Idawati
Lampung Selatan pada bulan Mei 2009 diperoleh data dari 20 responden ibu primigravida dan
20 ibu multigravida terdapat tingkat kecemasan pada ibu bersalin primigravida didapatkan
tingkat berat sebesar 83,4%, tingkat sedang sebesar 16,6%. Tingkat kecemasan pada ibu
22
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
multigravida didapatkan tingkat berat sebesar 7%, tingkat sedang sebesar 71,5% dan tingkat
ringan sebesar 21,5%. Ibu bersalin yang di tunggu suami lebih jarang mengalami kecemasan
dari pada yang tidak didampingi oleh suami, kehadiran seorang suami saat persalinan
memberikan manfaat pada seorang ibu terutama pada proses persalinan seperti persalinan
berjalan lebih singkat, nyeri berkurang, robekan jalan lahir berkurang, nilai APGAR lebih
baik, keadaan emosi ibu lebih stabil. Akan tetapi masih saja banyak suami yang tidak
mendampingi istrinya selama proses persalinan sehingga mempengaruhi proses persalinan
(Iskandar, 2005).
Dukungan psikologi dan perhatian akan memberi dampak tehadap pola kehidupan
sosial keharmonisan, penghargaan, pengorbanan, kasih sayang dan empati pada wanita hamil
dan dari aspek teknis, dapat mengurangi aspek sumber daya misalnya: tenaga ahli, cara
penyelesaian persalinan normal,akselerasi,kendali nyeri dan asuhan neonatal (Saiffudin, 2001)
Lebih dari separuh (104,6 juta orang) dari total penduduk Indonesia (208,2 juta orang) adalah
perempuan. Namun kualitas hidup perempuan jauh tertinggal dibandingkan laki- laki
(UNICEF, 2000). Pada kenyataannya di Indonesia masih terjadi permasalahan adanya
ketimpangan gender baik dalam informasi maupun peran sehingga masih adanya anggapan
bahwa kesehatan reproduksi adalah urusan perempuan. Selama ini pendampingan suami
dalam proses persalinan dianggap aneh bahkan cenderung suami tidak ingin tahu bagaimana
penderitaan istri yang sedang berjuang dengan penuh resiko dalam menghadapi persalinan
(Depkes RI, 2000). Berdasarkan studi pendahuluan yang ada di BPS Hj. Amalia Amd.Keb
Simogirang, Prambon, Sidoarjo pada tanggal 18 April – 02 Mei 2011 terdapat 6 ibu bersalin
yang tidak didampingi suami terlihat tegang, gelisah dan pada saat wawancara ibu bersalin
menyatakan bahwa dia merasa khawatir dengan kondisi kehamilan dan berharap sekali
suaminya bisa datang sebelum bayinya lahir. Sedangkan 4 ibu bersalin yang sudah
didampingi suami terlihat rileks, tenang dan pada saat wawancara ibu menyatakan bahwa dia
merasa baik-baik saja karena ada suami yang sedang menunggui disampingnya.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan atau bidan yaitu
memberikan semangat, mau mendengarkan keluhan ibu, dan memberikan perhatian penuh
sebab kecemasan ibu dapat diatasi oleh rasa percaya diri (Bony, 2004). Untuk mengatasi
kecemasan pada seorang ibu saat proses persalinan, maka kecemasan tersebut dapat
ditanggulangi dengan ibu berusaha menenangkan diri serta menghilangkan sumber kecemasan
satu persatu sehingga kepercayaan diri semakin meningkat. Selanjutnya serahkan sepenuhnya
kepada tenaga kesehatan serta Tuhan Yang Maha Esa, selain itu juga diharapkan adanya
dukungan dari suami dan keluarga serta tenaga kesehatan untuk melaksanakan asuhan sayang
ibu selama proses persalinan, karena keberadaan suami sangatlah penting dalam menciptakan
rasa aman dan nyaman, pada seorang istri atau ibu saat melakukan persalinan terutama saat
mengkoordinasikan kekuatan his dan mengejan (Ayub, 2008). Berdasarkan uraian di atas
maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang ”Hubungan antara pendampingan
suami dengan tingkat kecemasan ibu saat menghadapi proses persalinan.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Pendampingan Suami
a. Pengertian
Pendampingan adalah menemani dan menjaga, menyertai dalam suka dan
duka. Suami adalah pria yang menjadi pasangan istri. Pendampingan suami adalah
pria yang menjadi pasangan istri yang menemani dan menjaga istri (Depdiknas, 2001).
Kehadiran suami sangat membawa ketentraman bagi istri yang akan bersalin,
suami juga dapat memainkan peran yang aktif dalam memberikan dukungan fisik dan
dorongan moral kepada istrinya. Suami mempunyai hak untuk berada dalam kamar
23
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
bersalin, tetapi ada sebagian istri yang tidak menghendaki kehadiran suami di kamar
bersalin dan akan merasa lebih nyaman bila didampingi petugas kesehatan. Sepanjang
pasangan suami-istri tersebut menghendakinya mereka akan merasa senang jika
diperbolehkan bersama-sama dalam kamar bersalin (Bony, 2004).
Proses persalinan merupakan pengalaman yang menguras banyak tenaga,
emosi secara fisik. Oleh karena itu akan sangat menyenangkan jika dapat membagi
pengalaman tersebut dengan seseorang, pilihan pertama yang dipilih adalah suami
karena ia telah terlibat dengan proses kehamilan sejak awal. Perlu diketahui bahwa
tidak semua suami dapat menjadi pendampingan persalinan istrinya. Oleh karena itu
aturlah pendampingan pengganti untuk berjaga-jaga jika suami berhalangan, orang
tersebut adalah ibu kandung, ibu mertua, saudara atau sahabat perempuan ibu (Anna,
2008).
b. Peran suami dalam proses persalinan
Menurut Bobak (2004) peran suami dalam proses persalinan dibagi menjadi 3
tingkatan
1) Sebagai pengarah atau pemimpin persalinan
a) Membantu menghitung kontraksi sehingga ibu mengetahui kemajuan
persalinan
b) Memberi dorongan dan keyakinan pada ibu selama persalinan
c) Membantu menciptakan suasana nyaman di ruang bersalin
d) Aktif dalam membantu teknik bernafas, relaksasi dan mengatasi nyeri
2) Sebagai anggota tim penolong persalinan
Berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan yang diminta ibu selama proses
persalinan yakni sebagai penyaksi persalinan. Hal yang wajar jika pendamping
persalinan gugup menghadapi persalinan. Memang, sulit menyaksikan orang terkasih
menderita kesakitan saat bersalin. Meskipun demikian, akhirnya banyak suami
bersyukur karena diberi kesempatan menjadi saksi peristiwa ajaib yaitu kelahiran
bayi, sehingga dapat mempererat hubungan dengan istri karena sudah bersama-sama
melalui sebuah momen khusus. Adapun peran yang dipilih suami tampaknya sangat
berkaitan dengan pola interaksi hubungan suami istri sejak belum adanya kehamilan.
Tingkat ketergantungan, saling berbagi dan saling pengertian diantara mereka
seringkali menjadi prediktor bagi suami untuk berperan selama proses persalinan.
c. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendampingan istri bersalin
Menurut Kurniasih, (2004) agar pendampingan suami saat istri bersalin
berjalan lancar ada beberapa hal yang perlu dicermati, seperti :
1. Siap mental
Semakin banyak informasi yang didapat suami soal bagaimana proses persalinan
berlangsung, semakin baik karena suami akan mendapatkan gambaran sehingga
mentalnya lebih siap. Pahami kondisi pasangan yang tengah cemas, takut dan
kesakitan.
2. Bersikap tenang
Menghindari perasaan terlalu cemas atau panik dan jangan terpancing emosi
dengan reaksi dan perlakuan istri.
3. Menerima sikap dan reaksi istri
Memahami bahwa respon istri yang tak mengenakkan, seperti berkata kasar,
menggit tangan suami, memukul atau lainnya, bukan karena istri membenci
suami melainkan reaksi dari kesakitan yang dirasakannya.
4. Tidak memberikan nasehat dan kata-kata yang membuat istri makin panik
5. Mendahulukan kebutuhan istri dibanding dokumentasi
24
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Kehadiran suami diruang bersalin biasanya untuk membuat dokumentasi foto
atau film kelahiran sikecil. Namun, jika nyatanya istri merasa tidak nyaman dan
membutuhkan dukungan yang baik dari suami, lupakan dulu urusan
dokumentasi ini. Sebagai jalan tengah, mungkin bisa dicari petugas medis yang
bersedia membantu mengambil gambar atau merekam gambar proses persalinan
sementara ayah tetap mendampingi ibu.
d. Manfaat pendampingan istri bersalin
Menurut psikolog dari RS Fatmawati Masera Idul Adha (2004) bagi suami
yang siap fisik dan mentalnya dalam mendampingi istri bersalin mempunyai manfaat
sebagai berikut :
1. Memberi rasa tenang dan penguat secara psikis pada istri
Suami adalah orang terdekat yang dapat memberikan rasa aman dan
tenang yang diharapkan istri dalam menjalani proses persalinan itu. Ditengah
kondisi yang tidak nyaman, istri memerlukan pegangan, dukungan dan semangat
untuk mengurangi kecemasan, ketakutan dan mengurangi kepanikannya.
2. Selalu ada bila dibutuhkan
Dengan berada disisi istri, suami siap membantu apa yang dibutuhkan istri,
dari mengambilkan minum hingga mengelap keringatnya. Ketika ada suatu
tindakan dokter yang memerlukan keputusan keluarga, seperti tindakan vakum
atau operasi akan ada suami yang akan memberikan persetujuan atau tindakan
segera.
3. Kedekatan emosi suami istri bertambah
Suami akan melihat sendiri perjuangan antara hidup dan mati sang istri
saat melahirkan membuatnya akan bertambah sayang pada istrinya.
4. Menumbuhkan naluri kebapakan
Tapi bukan jaminan pasti bahwa kehadiran saat istri melahirkan akan
langsung mendekatkan ayah dan anak. Sebab banyak faktor lain. Namun
setidaknya perhatian yang diberikan ayah saat kelahiran sang buah hati sudah
bisa menumbuhkan keterikatan dengan anaknya. Bisa dikatakan itu merupakan
modal awal perlu diteruskan dengan ikutnya ayah terlibat dalam pengasuhan
sikecil.
2. Konsep Dasar Kecemasan
a) Pengertian
Kecemasan (anxietas) adalah suatu keadaan dimana individu/ atau kelompok
mengalami perasaan gelisah dan aktivisi sistem saraf otonom dalam berespons
terhadap ancaman yang tidak jelas non spesifik (Carpenito, 2000).
Kecemasan (anxiety) adalah suatu perasaan yang sifatnya umum dimana
seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal
maupun wujudnya. Beberapa ahli teori sosial berpendapat bahwa wanita memiliki
resiko dalam masyarakat dan sifat-sifat dasar mereka dalam menjalani hubungan
dengan orang lain (Wirawihardjo, 2005).
Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu
tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi
yang sangat menekan kehidupan seseorang, dan karena itu tidak berlangsung lama
(Ramaiah, 2003).
b) Teori – teori Kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen (2003) terdapat teori yang dikembangkan untuk
menjelaskan penyebab kecemasan, diantaranya adalah:
a. Teori psikoanalitik
25
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara elemen kepribadian
yaitu “Id dan Superego”. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitive
seseorang sedangkan Superego mencerminkan hati nurani seseorang dan
dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego atau aku, berfungsi adalah
meningkatkan ego bahwa ada bahaya.
b. Teori interpersonal
Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan
dan penolakan interpersonal. Orang dengan harga diri rendah mudah mengalami
perkembangan kecemasan pada kehidupan selanjutnya.
c. Teori prilaku
Kecemasan merupakan produk frustasi yaitu sesuatu yang mengganggu
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan ynag diinginkan. Individu yang
terbiasa dihadapkan ketakutan yang berlebihan lebih sering menunjukkan kecemasan
pada kehidupan selanjutnya.
d. Teori keluarga
Gangguan kecemasan merupakan hal yang ditemui dalam suatu keluarga.
Ada tumpang tindih dalam gangguan kecemasan dan antar gangguan kecemasan
dengan depresi.
e. Teori biologis
Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk
benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu mengatur kecemasan. Freud
mengidentifikan dua jenis situasi yang menimbulkan kecemasan. Satu situasi
melibatkan stimulasi istinktual yang melanda, prototip dari ini adalah
pengalaman kelahiran. Situasi kedua disebut dengan kecemasan sinyal (signal
anxiety) bekerja pada tingkat bawah sadar dan berperan memobilisasi kekuatan
ego untuk mengatasi bahaya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pada proses persalinan
Menurut Stuart & Sundeen (2003) factor – factor yang mempengaruhi
kecemasan sebagai berikut :
a. Stressor Predisposisi
Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang
dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Ketegangan dalam kehidupan tersebut
dapat berupa :
1) Peristiwa traumatic yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan
dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional.
2) Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik.
Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat
menimbulkan kecemasan pada individu.
3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan rasa ketidakmampuan individu
berfikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.
4) Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan
yang berdampak terhadap ego.
5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman
terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.
6) Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress akan
mempengaruhi individu dalam berespons terhadap konflik yang dialami karena
pola mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga.
7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respons
individu dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.
26
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang
mengandung benzodiazepine, karena benzodiazepine dapat menekan
neurotransmitter gamma aminobutyric acid (GABA) yang mengontrol
aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.
b. Stressor presipitasi
Stressor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
mencetuskan timbulnya kecemasan. Stressor presipitasi kecemasan
dikelompokkan menjadi dua bagian :
1) Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas
fisik yang meliputi :
a) Sumber internal meliputi : kegagalan mekanisme fisiologis system imun,
regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (missal hamil)
b) Sumber eksternal meliputi : paparan terhadap infeksi virus dan bakteri,
polutan lingkungan., kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya
tempat tinggal
2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.
a) Sumber internal , meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal di
rumah dan di tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai
ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri
b) Sumber ekternal meliputi : kehilangan orang yang dicintai, perceraian,
perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, social budaya.
c. Perilaku
Secara langsung kecemasan dapat diekspresikan melalui respons fisiologis
dan psikologis dan secara tidak langsung melalui pengembangan mekanisme
kosong sebagai pertahanan melawan kecemasan.
d. Sumber dan Mekanisme Koping
Individu dapat menanggulangi stress dan kecemasan dengan menggunakan
atau mengambil sumber koping dari lingkungan baik dari social, interpersonal.
Sumber koping tersebut indivdiu dapat mengadopsi strategi koping yang efektif.
Kemampuan indivdiu menaggulangi kecemasan secara konstruksi
merupakan faktor utama yang membuat klien berperilaku patologis atau tidak.
Bila individu sedang mengalami kecemasan ia akan mencoba menetralisasi,
mengingkari atau meniadakan kecemasan dengan mengembangkan pola koping.
Pada kecemasan ringan, mekanisme koping yang biasanya digunakan adalah
menangis, tidur, makan, tertawa, berkhayal, memaki, merokok, olahraga,
mengurangi kontak mata dengan orang lain, membatasi diri pada orang lain
(Suliswati,2005).
4. Tanda-tanda kecemasan
Stuart dan Sundeen (2003) berpendapat bahwa kecemasan mempunyai tandatanda yang di bagi sebagai berikut:
a. Fisiologis
1) Kardiovaskuler: jantung berdebar, tekanan darah meningkat/ menurun mau
pingsan, denyut nadi menurun.
2) Pernafasan: napas cepat atau pendek, tekanan pada dada, napas dangkal,
terengah-engah.
3) Neuro Muskular: Mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, gelisah, wajah
tegang.
4) Gastrointestinal: kelihangan nafsu makan, mual diare.
5) Trakfus urinarius: tidak dapat menahan tenang, sering berkemih.
27
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
6) Kulit: wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak tangan) wajah pucat.
b.
5.
Perilaku
Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat menarik diri dari
hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, menghindar.
c. Kognitif
Perhatian terganggu konsentasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan
penilaian, hambatan berpikir, kreativitas menurun.
d. Afektif
Mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, ketakutan, gugup.
Tingkat kecemasan
Stuart dan Sundeen (2003) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan sebagai
berikut:
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan seharihari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan
persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan dan kreativitas.
b. Kecemasan sedang
Kecemasan ini memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal
yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
c. Kecemasan berat
Kecemasan ini sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang
cenderung memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat
berfikir tentang hal lain.
d. Tingkat panik dari kecemasan
Mengukur tingkat kecemasan pasien dapat digunakan skala HRS-A
(Hamilton Rating Scale for Anxiety) yang telah dianggap baku (Dadang, 2003)
1) Penilaian
Nilai 0
(Tidak ada gejala sama sekali)
Nilai 1
(Satu gejala dari pilihan yang ada)
Nilai 2
(Separuh dari gejala yang ada)
Nilai 3
(Lebih dari separuh dari gejala yang ada)
Nilai 4
(Semua gejala ada)
2) Penilaian derajat kecemasan
Skor < 6
: Tidak ada kecemasan
Skor 6-14
: Kecemasan ringan
Skor 15-27
: Kecemasan sedang
Skor > 27
: Kecemasan berat
Untuk mengetahui sejumlah mana derajat kecemasan seseorang ringan,
sedang, berat, atau panik, digunakan alat ukur dengan nama HRS-A yang
terdiri dari 14 kelompok gejala masing-masing dirinci secara spesifik
dengan gejala sebagai berikut :
a) Perasaan cemas
Firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung
b) Ketegangan
Merasa tegang, lesu, mudah terkejut, tidak dapat istirahat dengan
nyenyak, mudah menangis, gemetar, gelisah.
28
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
c) Ketakutan
Pada gelap, ditinggal sendiri, pada orang asing.
d) Gangguan tidur
Sukar memulai tidur, terbangun malam hari, tidur tidak nyeyak, bangun
dengan lesu, banyak mimpi, mimpi buruk, mimpi menakutkan.
e) Gangguan kecerdasan
Daya ingat buruk, sulit konsentrasi, sering bingung
f) Perasaan depresi
Kehilangan minat, sedih, bangun dini hari, perasaan berubah-ubah
sepanjang hari, berkurang kesukaran pada hobi.
g) Gejala somatik
Sakit dan nyeri kepala, kaku, kedutan otot, gigi gemetar, suara tidak
stabil
h) Gejala sensorik
Telinga berdenging, penglihatan kabur, muka merah dan pucat, merasa
lemah, perasaan di tusuk-tusuk.
i) Gejala Cardiovaskuler
Denyut nadi cepat, berdebar-debar, denyut nadi mengeras, rasa lemah,
jantung hilang sekejap.
j) Gejala pernapasan
Rasa tertekan di dada, nafas pendek atau sesak, sering menarik napas
panjang, rasa tercekik.
k) Gejala Gastrointestinal
Sulit menahan mual, muntah, berat badan menurun, konstipasi atau sulit
buang air besar, gangguan pencernaan, perut terasa penuh atau
kembung.
l) Gejala urogenetalia
Sering kencing, tidak dapat menahan kencing .
m) Gejala vegetatif atau autonom
Mulut kering, muka kering mudah berkeringat
n) Perilaku saat wawancara
Gelisah, tidak tenang, mengerutkan dahi, muka tegang napas pendek
dan cepat, muka merah.
Penilaian atau pemakaian alat ukur ini dilakukan oleh dokter (psikiater) atau
orang yang telah dilatih untuk menggunakannya melalui teknik wawancara
langsung atau menggunakan kuesioner. Perlu diketahui bahwa alat ukur
HRS-A ini bukan dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis gangguan
cemas, diagnosis gangguan cemas ditegakkan dari pemeriksaan klinis oleh
dokter (psikiater), sedangkan alat untuk mengukur derajat berat ringannya
gangguan cemas itu digunakan alat ukur HRS-A (Nursalam, 2003).
C. METODE PENELITIAN
Peneliti menggunakan pendekatan penelitian analitik karena bertujuan untuk
menganalisa, membuktikan adanya pengaruh, menguji berdasarkan teori yang ada dan
menggunakan desain penelitian cross sectional. Variabel independent dalam penelitian ini
adalah pendampingan suami. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah kecemasan ibu
bersalin dalam menghadapi persalinan. Hipotesis Penelitian yang diuji dalam penelitian ini
antara lain:
29
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
H0 : Tidak ada hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat
menghadapi persalinan pada ibu bersalin.
H1 : Ada hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat
menghadapi persalinan pada ibu bersalin.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin di BPS Hj.Amalia Amd.Keb
Simogirang,Prambon,Sidoarjo sebanyak 30 ibu bersalin. Sampel pada penelitian ini diambil
dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut :
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu target yang terjangkau
yang akan diteliti. (Nursalam, 2003). Adapun kriteria pada penelitian ini adalah :
a. Ibu bersalin yang bersedia diteliti dengan menandatangani surat persetujuan menjadi
responden.
b. Ibu bersalin dengan persalinan normal
c. Ibu yang didampingi dan tidak didampingi suami
d. Ibu yang menjalani rawat inap
2. Kriteria ekslusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyekyang memenuhi kriteria
inklusi dari studi karena pelbagai sebab (Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi pada penelitian
ini sebagai berikut :
a. Ibu bersalin yang dengan komplikasi persalinan (eklampsi,Sc)
b. Ibu bersalin yang tidak bersedia menjadi responden
Sampling adalah suatu proses seleksi sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi
yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat,
2007). Concecutive sampling yaitu sampling dimana setiap individu yang mengalami kriteria
inklusi dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah responden
terpenuhi (Hidayat, 2007). Pengumpulan data kecemasan dilakukan menggunakan skala
HARS yang terdiri dari 14 gejala kecemasan dan untuk mengetahui pendampingan suami
menggunakan checklist. Analisa data menggunakan statistik korelasi chi square untuk
mengetahui hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat
menghadapi persalinan pada ibu bersalin dengan taraf signifikasi 0,05.
D. HASIL PENELITIAN
1. Umur
Tabel 1 Karakterisitik Responden Berdasarkan Umur di BPS Hj.Amalia
Amd.Keb Simogirang Prambon Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 30 Juni
2011
Umur
< 20 tahun
20 – 35 tahun
> 35 tahun
Total
Frekuensi
4
14
6
24
Prosentase (%)
16,7
58,3
25,0
100
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia 20-35 tahun
sebanyak 14 responden (58,3%).
30
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
2. Pendidikan
Tabel 2 Karakterisitik Responden Berdasarkan Pendidikan di BPS Hj.Amalia
Amd.Keb Simogirang Prambon Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 30 Juni
2011
Pendidikan
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
D3/Perguruan tinggi
Total
Frekuensi
2
4
14
4
0
24
Prosentase (%)
8.3
16,7
58,3
16,7
0
100
Tabel 2 diatas menjelaskan bahwa sebagian besar responden mempunyai latar
belakang pendidikan SMP sebanyak 14 responden (58,3%).
3. Pekerjaan
Tabel 3 Karakterisitik Responden Berdasarkan Pekerjaan di BPS Hj.Amalia
Amd.Keb Simogirang Prambon Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 30 Juni
2011
Pekerjaan
Swasta
Wiraswasta
Tani
PNS
Total
Frekuensi
4
19
1
0
24
Prosentase (%)
16,7
79,2
4,2
0
100
Tabel 3 diatas diperoleh data bahwa sebagian besar responden bekerja secara
wiraswasta seperti berdagang, membuka toko sebanyak 19 responden (79,2%).
4. Pendampingan Suami
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendampingan Suami di
BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon Sidorajo
Pendampingan
Didampingi
Tidak Didampingi
Total
Frekuensi
11
13
24
Prosentase (%)
45,8
54,2
100
Tabel 4 menunjukan bahwa sebagian besar responden tidak didampingi suami saat
menghadapi proses persalinan sebanyak 13 responden (54,2%).
5. Kecemasan Ibu Bersalin
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kecemasan ibu bersalin di
BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon Sidoarjo Pada Tanggal 23
Mei – 30 Juni 2011
Kecemasan
Tidak Ada Kecemasan
Kecemasan Ringan
Kecemasan Sedang
Kecemasan Berat
Frekuensi
3
5
10
6
31
Prosentase (%)
12,5
20
41,7
25,0
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Kecemasan
Tidak Ada Kecemasan
Kecemasan Ringan
Kecemasan Sedang
Kecemasan Berat
Total
Frekuensi
3
5
10
6
24
Prosentase (%)
12,5
20
41,7
25,0
100
Tabel 5 diatas diperoleh data bahwa hampir setengahnya responden mengalami
kecemasan sedang sebanyak 10 responden (41,7%).
6. Hubungan Pendampingan suami dengan kecemasan ibu saat menghadapi
persalinan
Tabel 6 Tabulasi silang antara Pendampingan suami dengan kecemasan ibu saat
menghadapi persalinan di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon
Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 30 Juni 2011
Pendampingan Suami
Didampingi
Tidak didampingi
Total
Tidak
Cemas
F
%
2 8,3
1 4,1
3 12,5
Kecemasan
Cemas
Cemas
Ringan
Sedang
F
%
F
%
5
20,8 3
12,5
0
0
7
29,1
5
20,8 10
2,4
Total
Cemas
Berat
F
%
1
4,1
5
20,8
6
24,9
F
11
13
24
%
45,8
54,1
100
Tabel 6 diatas menunjukkan data bahwa dari 13 responden yang tidak didampingi
suaminya terdapat 1 responden (4,1%) yang tidak mengalami kecemasan, 7 responden
(29,1%) mengalami cemas sedang dan 5 responden (20,8%) mengalami kecemasan berat.
Hasil uji mann whitney diperoleh data bahwa skor Z = 2,531, Z table = 0.0288, ρ = 0,015
dan α = 0,05 sehingga ρ < α maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya terdapat hubungan
antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat menghadapi persalinan pada
ibu bersalin di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang, Prambon, Sidoarjo.
E. PEMBAHASAN
1. Pendampingan Suami
Hasil penelitian yang dilakukan Pada Tanggal 23 Mei – 30 Juni 2011 di BPS
Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang,Prambon,Sidoarjo terhadap 24 responden diperoleh
hasil sebagian besar responden tidak didampingi suami saat menghadapi proses
persalinan sebanyak 13 responden (54,2%). Pendampingan adalah menemani dan
menjaga, menyertai dalam suka dan duka. Suami adalah pria yang menjadi pasangan
istri. Pendampingan suami adalah pria yang menjadi pasangan istri yang menemani dan
menjaga istri (Depdiknas, 2001). Teori lain menyatakan bahwa kehadiran suami sangat
membawa ketentraman bagi istri yang akan bersalin, suami juga dapat memainkan peran
yang aktif dalam memberikan dukungan fisik dan dorongan moral kepada istrinya. Suami
mempunyai hak untuk berada dalam kamar bersalin, tetapi ada sebagian istri yang tidak
menghendaki kehadiran suami di kamar bersalin dan akan merasa lebih nyaman bila
didampingi petugas kesehatan. Sepanjang pasangan suami-istri tersebut menghendakinya
mereka akan merasa senang jika diperbolehkan bersama-sama dalam kamar bersalin (Bony,
2004). Suami Responden penelitian ini menunjukkan bahwa mereka sudah cukup
mengerti tentang tindakan penting yang dapat dilakukan untuk membantu istri dalam
meringankan proses persalinan diantaranya mendampingi ketika istri sedang melahirkan,
karena dengan adanya dampingan suami maka istri akan merasa lebih relaks dan lebih
tenang dalam menghadapi persalinan dan proses persalinan akan dapat berjalan dengan
lancar. Banyaknya suami yang tidak mendampingi ketika istri melahirkan karena adanya
32
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
kesibukan suami bekerja diantaranya ada yang bekerja sebagai pelaut dan ada juga yang
pengusaha yang ketika itu sedang ada urusan di luar kota dan tidak dapat meninggalkan
urusan tersebut, sedangkan pada saat penelitian paling banyak responden di dampingi
oleh orang tuanya sendiri.
Kecemasan Responden dalam proses persalinan
Berdasarkan tabel 4.5 diatas diperoleh data hampir setengahnya responden
mengalami kecemasan sedang sebanyak 10 responden (41,7%). Kecemasan (anxietas)
adalah suatu keadaan dimana individu/ atau kelompok mengalami perasaan gelisah dan
aktivisi sistem saraf otonom dalam berespons terhadap ancaman yang tidak jelas non
spesifik (Carpenito, 2000).. Sedangkan menurut Stuart dan Sundeen (2003) kecemasan
sedang merpuakan kecemasan yang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada
hal yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Kecemasan
terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor predisposisi yang
berupa peristiwa traumatik, konflik emosional, konsep diri yang terganggu, frustasi,
gangguan fisik, riwayat pernah mengalami gangguan fisik, yang kedua adalah faktor
stressor presipitasi yang merupakan ancaman terhadap integritas fisik, ancaman harga
diri, dan juga faktor perilaku juga faktor mekanisme koping (Stuart & Sundeen,2003).
Menurut Videbeck (2008) menyatakan bahwa tanda - tanda kecemasan sedang
pada seseorang adalah sebagai berikut : Respons fisik : ketegangan otot sedang, tandatanda vital meningkat, pupil dilatasi, mulai berkeringat, sering mondar-mandir, memukul
tangan, suara berubah : bergetar, nada suara tinggi, kewaspadaan dan ketegangan
meningkat, sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung. Respons
kognitif : lapang persepsi menurun, tidak perhatian secara selektif, fkcus terhadap
stimulus meningkat, rentang perhatian menurun, penyelesaian masalah menurun,
pembelajaran terjadi dengan memfokuskan. Respons emosional : tidak nyaman, mudah
tersinggung, kepercayaan diri goyah, tidak sabar dan gembira.Pada kecemasan ringan
dan sedang, individu dapat memproses informasi, belajar, dan menyelesaikan masalah.
Pada kenyataannya, tingkat kecemasan memotivasi pembelajaran dan perubahan
perilaku. Keterampilan kognitif mendominasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
tingkat kecemasan sedang. Terjadinya kecemasan sedang pada responden penelitian ini
karena responden merasa khawatir dengan keadaan dirinya dan janin dalam proses
persalinan serta takut dengan adanya jahitan atau luka pada jalan lahir yang terlalu lebar.
Kecemasan sedang pada responden penelitian ini dapat ditunjukkan dari hasil
pemeriksaan TTV dimana diperoleh sebagian besar nadi responden meningkat dan
sebagian besar tekanan darah responden juga meningkat. Kecemasan pada responden
penelitian ini terjadi karena dipengaruhi oleh pendidikan, usia, dan pekerjaan responden.
Karakteristik pendidikan responden diperoleh data bahwa sebagian besar
responden mempunyai latar belakang pendidikan SMP sebanyak 14 responden (58,3%).
Latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh responden pada penelitian ini
menunjukkan bahwa mereka sudah cukup mampu dalam menghadapi permasahan yang
terjadi pada dirinya dan mereka mampu untuk melakukan koping yang adaptif sehingga
responden dapat menghadapi permasalahan yang dialami dengan baik dan tidak terlalu
mengganggu keadaan dirinya. Sesuai dengan teori Stuart (2003) yang menyatakan
bahwa ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab
utama terjadinya perilaku patologis. Pola yang biasa digunakan individu untuk mengatasi
ansietas ringan cenderung tetap dominan ketika ansietas menjadi lebih intens. Ansietas
33
HOSPITAL MAJAPAHIT
3.
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
ringan sering ditanggulangi tanpa pemikiran yang sadar. Ansietas sedang dan berat
menimbulkan dua jenis mekanisme koping.
Berdasarkan usia responden diperoleh data bahwa sebagian besar responden
berusia 20-35 tahun sebanyak 14 responden (58,3%).
Kemampuan individu
menaggulangi kecemasan secara konstruksi merupakan faktor utama yang membuat
klien berperilaku patologis atau tidak. Bila individu sedang mengalami kecemasan ia
akan mencoba menetralisasi, mengingkari atau meniadakan kecemasan dengan
mengembangkan pola koping. Pada kecemasan ringan, mekanisme koping yang biasanya
digunakan adalah menangis, tidur, makan, tertawa, berkhayal, memaki, merokok,
olahraga, mengurangi kontak mata dengan orang lain, membatasi diri pada orang lain
(Suliswati,2005). Responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
responden berusia dewasa sehingga mereka mempunyai informasi dan wawasan yang
cukup tentang persalinan sehingga responden dapat menggunakan wawasan tersebut
untuk dapat meningkatkan koping yang dimiliki dengan baik.
Berdasarkan pekerjaan responden diperoleh data bahwa sebagian besar
responden bekerja secara wiraswasta seperti berdagang, membuka toko sebanyak 19
responden (79,2%). Menurut Stuart (2003) menyatakan bahwa salah satu penyebab
kecemasan yaitu adanya ancaman terhadap harga diri diantranya sumber internal
meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan di tempat kerja,
penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat
mengancam harga diri. Responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa latar
belakang pekerjaan yang dimiliki oleh responden dapat memicu terjadinya stress atau
kecemasan karena dengan pekerjaan tersebut responden harus dapat mengatur
manajemen pekerjaan dengan baik dan ketika responden harus menjalani proses
persalinan kemungkinan mereka merasa khawtir dengan keadaan usahanya, atau juga
responden merasa takut jika konsumen mereka tidak akan kembali lagi karena responden
tutup agak lama.
Hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat
menghadapi persalinan pada ibu bersalin
Tabel 4.6 diatas menunjukkan data bahwa dari 10 responden yang mengalami
kecemasan sedang dalam menghadapi proses persalinan terdapat 3 responden (12,5%)
didampingi suami dalam proses persalinannya dan 7 responden (29,1%) tidak
didampingi suami dalam proses persalinannya.
Hasil uji mann whitney diperoleh data bahwa skor Z = 2,531, Z table = 0.0288, ρ
= 0,015 dan α = 0,05 sehingga ρ < α maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya terdapat
hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat menghadapi
persalinan pada ibu bersalin di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang,Prambon,Sidoarjo
Menurut Stuart (2003) faktor yang mempengaruhi kecemasan responden antara
lain adalah sumber koping dimana individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan
menggerakkan sumber koping di lingkungan. Sumber koping tersebut berupa modal
ekonomi, kemampuan penyelesaian masalah, dukungan social, dan keyakinan budaya
dapat membantu individu mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan
mengadopsi strategi koping yang berhasil.
Menurut Bobak (2004) peran suami dalam proses persalinan dibagi menjadi 3
tingkatan yaitu sebagai pengarah atau pemimpin persalinan, sebagai anggota tim
penolong persalinan dan sebagai penyaksi persalinan. dalam pelaksanana pendampingan
suami akan memberikan dampak yang baik pada psikologis istri sehingga mereka dapat
melakukan proses persalinan dengan baik, aman dan lancar. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa dalam menghadapi proses persalinan seorang ibu membutuhkan
34
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
keadaan yang tenang dan relaks sehingga mereka dapat melewati proses tersebut dengan
aman dan lancar. Salah satu tindakan yang dapat menurunkan tingkat kecemasan yang
dimiliki oleh seorang istri pada saat menghadapi proses persalinan yaitu kehadiran suami
mereka, dimana dengan kehadiran suami untuk mendampingi istri pada saat melahirkan
akan menimbulkna perasaan tenang dan nyaman sehinggga dapat membuat istri merasa
rileks dan dapat mengurangi kecemasan yang mereka rasakan, oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa dengan adanya pendampingan suami pada saat proses persalinan istri
maka akan menimbulkan perasaan tenang dan relax pada istri karena dengan adanya
suami istri merasa termotivasi untuk dapat melakukan proses persalinan dengan baik
untuk melahirkan anak mereka.
F. PENUTUP
Pendampingan suami saat menghadapi persalinan pada ibu bersalin di BPS Hj. Amalia
Amd. Keb, Simogirang, Prambon, Sidoarjo sebagian besar responden tidak didampingi
suami saat menghadapi proses persalinan sebanyak 13 responden (54,2%). Kecemasan ibu
bersalin di BPS Hj. Amalia Amd. Keb, Simogirang, Prambon, Sidoarjo diperoleh data
bahwa hampir setengahnya responden mengalami kecemasan sedang sebanyak 10
responden (41,7%). Hasil uji mann whitney diperoleh data bahwa skor Z = 2,531, Z table
= 0.0288, ρ = 0,015 dan α = 0,05 sehingga ρ < α maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya
terdapat hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat
menghadapi persalinan pada ibu bersalin di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang,
Prambon, Sidoarjo. Dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan diharapkan tenaga
kesehatan lebih meningkatkan materi yang dapat menunjang upaya penyuluhan yang
diberikan melalui penelitian, seminar atau juga dari literatur kepustakaan lainnya sehingga
ibu dapat lebih memahami dan mengerti tentang proses persalinan yang baik dan
bagaimana cara mengurangui kecemasan pada saat proses persalinan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Arikunto (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Ayub (2008). Gambaran pendampingan selama proses persalinan. Tersedia di
http://www.Scribd.com/doc/hubungan-dukungspesifikasi diakses tanggal 17 April
2011
Bobak. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC
Carpernito, Iynda Jual. (2000). Diagnosa Keperawatan. ECG. Jakarta.
Hawari. (2008). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta : FKUI
Hidayat (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika.
JNPK-KR (2008). Asuhan Persalinan Normal dan Inisiasi Menyusu Dini. Jakarta: JHPIEGO
Corporation.
Kompas
(2010).
Angka
Kematian
Ibu.
Tersedia
di
http://nasional
.kompas.com/read/2008/06/30/18272998/tahun 2010. Diakses tanggal 17 April 2011
Manuaba, (2010). Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta : EGC
Menegpp (2009). Angka kematian ibu. Tersedia di http://www. menegpp.go.id/ aplikasi data.
Diakses tanggal 12 Mei 2011.
Mochtar (2005). Sinopsis Obstetri Jilid I. Jakarta : EGC
Notoatmodjo (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo. (2010). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan :
Yogyakarta. Andi offset
Nursalam (2003) Konsep Penerapan Metodologi Ilmu Keperawatan Jakarta Salemba Medika
35
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Nursalam (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penerapan Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Pudji Rochyati (2003). Screening antenatal pada ibu hamil Surabaya : Airlangga University
Press
Saifudin. (2002). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Sarwono (2007). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Stuart dan Sundeen (2003). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
PERBANDINGAN GEJALA PMS ANTARA SISWI YANG AKTIF DAN TIDAK
AKTIF OLAHRAGA LARI PADA SISWI DI SMP PENANGGUNGAN NGOROTRAWAS MOJOKERTO
Eka Nonitasari1, Ika Khusnia, S.Kep.Ns2
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
2
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
1
ABSTRACT
Premenstrual Syndrome is a combination of symptoms of physical distress,
psychological, and behavioral change in which the symptoms are so severe that it interferes
daily activities. Many women who experience disturbance before or during menstruation. This
study was conducted to compare premenstrual syndrome among female students who have
active and inactive sport in SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas. This study used a
descriptive design. Population taken all the girls at SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas
with a sample of 133 people that’s selected by consecutive samplin. of data collection using
questionnaires and interviews. The variables in this study consisted of two variables, the are
variable track the symptoms of PMS. The results of this study obtained a minority of
respondents are actively running experiencing <50% symptoms of PMS as many as six
respondents (4.5%), and most respondents did not actively exercise ≥ 50% experienced
symptoms of PMS as many as 125 respondents ( 94%). This is obtained because the student is
not active sport girl sport considered when experiencing PMS can only aggravate the pain but
with exercise can decrease PMS symptoms.When jogging is done regularly for three times a
week with a frequency of 20-45 minutes, will reduce the symptoms of PMS like symptoms
characterized by physical, headache, pain pungggung, aching rheumatic pain, acne, breast
tenderness, heavy legs, abdominal pain bottom, flatulence, diarrhea, often hungry, and mental
symptoms are marked with an uneasy feeling, irritability, insomnia, anxiety, depression, and
personality seemed to disappear. Therefore, students should be more motivated by the
problem of PMS symptoms and can be run with regular exercise for 3 times a week, and
applied in everyday life.
Keyword: Sports Running, Symptoms of PMS.
A. PENDAHULUAN
Premenstruasi sindrom adalah sekelompok gejala yang terjadi menjelang periode
menstruasi. Gejala PMS bisa fisik, perilaku atau keduanya. Setiap wanita mengalami gejala
yang berbeda. Gejala-gejala ini berlangsung beberapa hari sebelum menstruasi. Peristiwa
PMS, yang ditentukan oleh proses somato-psikis sifatnya meliputi unsur-unsur hormonal,
biokimiawi dan psikososial, sering disertai gangguan fisik dan mental, tetapi juga disertai
perasaan tidak nyaman dan stres mental. gejala ini merupakan kombinasi dari fisikal distress,
psikologikal, dan atau perubahan tingkah laku dimana gejala tersebut sangat parah sehingga
36
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
mengganggu aktivitas sehari-hari. Banyak wanita yang mengalami gangguan sebelum
maupun saat menstruasi (Ramaiah, 2006). Keluhan yang terjadi biasanya berupa keluhan yang
bersifat psikis dan sifat seperti perasaan males bergerak ,badan menjadi lemas, serta mudah
merasa lelah, nafsu makan meningkat dan suka makanan yang asam, emosi menjadi labil,
bisanya perempuan mudah uring-uringan, sensitif, dan perasaan negatif lainnya, kepala nyeri,
pingsan, berat badan bertambah karena tubuh menyimpan air dalam jumlah yang banyak
,pinggang tersa pegal (Maulana,2008). Sekitar 80-95% perempuan pada usia melahirkan
mengalami gejala-gejala premenstruasi yang dapat mengganggu aspek dalam kehidupannya
.Gejala tersebut dapat diperkirakan dan biasanya terjadi secara regular pada dua minggu
periode sebelum menstruasi.hal ini hilang begitu dimulainya perdarahan, namun dapat pula
berlanjut setelahnya pada sekitar 14% wanita berusia 14-50 tahun, menurut suatu penelitia
mengalami sindrom pramenstruasi atau yang lebih dikenal dengan PMS (Owen, 2007)
Menurut penelitian (Haryani, 2008) berdasarkan data awal yang diperoleh dari
pengakuan siswi SMA Negeri 2 Sidoarjo, yaitu dari perwakilan kelas 1 sebanyak 10
orang,kelas kelas 2 10 orang, dan kelas 3 10 orang di dapatkan yang mengalami PMS seperti
bejerawat sebanyak 22 orang (73%), nyeri payudara sebanyak 19 orang (63%), badan pegalpegal sebanyak 21 orang (70%) dan yang mengalami kelabilan emosi menjelang datangnya
menstruasi sebanyak 15 orang (50%), dan gejala PMS lainnya sebanyak 7 orang (23%), dari
30 orang tersebut yang mengaku olahraga secara teratur setiap minggu sebanyak 9 orang
(30%) dan yang lain mengaku melakukan olahraga hanya 1 kali dalam satu minggu yaitu pada
waktu mata pelajaran olahraga di sekolah, melakukan olahraga sebanyak 3 orang
(10%),mengurangi makanan yang dipercaya memperberat gejala sebanyak 4 orang (13%).
Sindrom premenstruasi Merupakan sekelompok gejala yang terjadi menjelang periode
menstruasi, Terdiri gejala fisik dan psikologis yang terjadi pada wanita saat fase akhir luteal
siklus menstruasi (antara 7-14 hari menjelang menstruasi) dan menghilang pada permulaan
sampai beberapa hari menstruasi. Gejala psikologis yang sering muncul meliputi depresi,
mudah marah, tegang, mudah menangis, hipersensitif, dan suasana hati yang labil. Gejala fisik
yang tidak nyaman dapat berupa nyeri perut, mudah lelah, bengkak, berjerawat, dan
peningkatan berat badan. Perubahan perilaku juga dapat terjadi seperti nafsu makan
meningkat,konsentrasi menurun, suka menyendiri, mudah lupa, dan motivasi berkurang.Salah
satu Untuk mengurangi keluhan yang muncul pada sindrom premenstruasi,dapat dilakukan
dengan olahraga teratur,karena dengan olahraga lari dapat meningkatkan produksi hormon
endorfin yang menimbulkan rasa gembira,selain itu dapat menurunkan kadar kortisol dan
epinefrin pada urin setelah 24jam yg berperan dalam menimbulkan gejala psikologis pd
sindrom premenstruasi. Maka dari itu perawat berperan hari menjalankan fungsinya sebagai
pendidik (Edukator) yaitu dengan memberikan penjelasan tentang cara mengurangi tanda dan
gejala PMS (Anonym,2010). Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
peneliti dengan judul “Perbandingan gejala PMS antara siswi yang aktif olahraga dan tidak
olahraga” di SMP PENANGGUNGAN Ngoro –Trawas.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Premenstruasi sindrom
a. Pengertian
Premenstruasi sindrom (PMS) adalah suatu kondisi yang terdiri atas beberapa gejala
fisik, emosi dan perilaku yang dialami oleh seorang perempuan sebelum datangnya siklus
menstruasi ,yang menyebabkan ia mengalami gangguan dalam fungsi dan aktivitas seharihari Gejala-gejala tersebut akan menghilang saat menstruasi tiba.(Sylvia , 2010) Dan
terdapat gejala-gejala yang dialami wanita sehingga fungsi normal wanita dan hubungan
antar pribadinya terganggu (Glasier, 2005). Premenstruasi sindrom suatu sekelompok
37
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
gejala yang terjadi menjelang periode menstruasi. Gejala ini bisa fisik ,perilaku atau
keduanya.Setiap wanita mengalami gejala-gejala ini berlangsung beberapa hari sebelum
menstruasi (Ramaiah, 2006).
Premenstruasi sindrom adalah suatu kumpulan gejala fisik, psikologis, dan emosi
yang terkait dengan siklus menstruasi wanita dan secara konsisten terjadi selama tahap
lutealdari siklus menstruasi akibat perubahanhormonal yang berhubungan dengan siklus
saat ovulasi (pelepasan sel telur dan ovarium) dan menstruasi.secara kultural, singkatan
PMS dipahami secara luas untuk mengacu pada berbagai kesulitan yang dihubungkan
dengan menstruasi,dan singkatan itu digunakan lebih sering bahkam didalam peristiwa
sehari-hari. Sindrom premenstruasi sindrom juga disebut tegangan premenstruasi (PMT).
Gejala-gejala tersebut dapat diperkirakan dan biasanya terjadi secara reguler pada 7-14
hari sebelum datangnya menstruasi (Saryono, 2009).
b. Etiologi
PMS belum jelas ,tetapi mungkin faktor penting adalah gangguan ini lebih
cenderung akibat fenomena biologis dari pada gangguan psikologis murni,peneliti terbaru
menunjukkan bahwa wanita mempunyai kecenderungan mengalami perubahan alam
perasaan premenstruasi sindrom tidak mempunyai kadar hormonal yang abnormal atau
beberapa gangguan pengaturan hormon ,tetapi akibat lebih sensitifnya terhadap perubahan
siklus hormonal normal.Fluktuasi esterogen dan progesteron yang bersirkulasi dapat
menyebabkan efek pada neurotransmitter, noradrenergik, dan dopaminergik.yang lebih
muda menderita PMS adalah wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam
siklus haid dan terhadap faktor-faktor psikologis
Adapun faktor yang meningkatkan resiko terjadinya PMS, antara lain sebagai
berikut:
1) Wanita yang perna melahirkan
2) Status perkawinan (wanita yang sudah banyak menikah lebih banyak mengalami PMS
di bandingkan dengan yang belum menikah)
3) Usia(PMS semakin sering dan mengganggu dengan bertambahnya usia terutama
antara usia 30-45 tahun).
4) Stres dapat memperberat PMS
5) Diet (faktor kebiasaan makan seperti tinggi gula, garam, kopi, teh, coklat, minum
bersoda, produk susu, makanan olahan memperberat gejala PMS.
6) Kekurangan zat-zat gizi seperti kurang vitamin B (terutama B6), vitamin E, vitamin C,
Mgnesium, zat besi, asam lemak linoleat. Kebiasaan minum alkohol dan merokok juga
memperberat PMS.
7) Kegiatan fisik (kurang berolaraga dan aktivitas fisik mnyebabkan semakin beratnya
PMS
c. Gejala-gejala
Sekitar 80-95% perempuan pada usia melahirkan mengalami gejala-gejala
premenstruasi yang dapt mengganggu aspek dalam kehidupan.pada sekitar 14%
perempuan antara usia 14-50 tahun,menurut penelitian mengalami sindrom premenstruasi
.keluhan yang dialami bisa bervariasi dari bulan ke bulan, bisa menjadi lebih ringan
ataupun lebih berat dan berupa gangguan mental (mudah tersinggung, sensitive) maupun
gangguan fisik, adapun gejala-gejala yamg muncul antara lain, sebagai berikut (Waluyo,
2009):
1) Fisik
a) Kelemahan umum (lekas letih,pegal,linu) yaitu dari peningkatan kadar hormon
esterogen
38
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
b) Acne (jerawat), adalah kondisi abnormal kulit akibat gangguan berlebihan
produksi kelenjar minyak (sebaceus gland) yang menyebabkan penyumbatan
saluran folikel dan rambut pori-pori kulit dan perubahan hormonal yang
merangsang kelenjar minyak di kulit. Perubahan hormonal lainnya yang dapat
menjadi pemicu timbulnya jerawat adalah masa menstruasi,
c) Nyeri kepala, hipotiroid (kurangnya hormon tiroid di tubuh).
d) Nyeri payudara, nyeri punggung,perut bagian bawah . Kelainan kandungan seperti
endometriosis dapat menimbulkan gejala dismenorea (nyeri)
e) Kaki dan sendi terasa lunglai disebabkan oleh disebabkan oleh ketidakseimbangan
hormon progesteron dan estrogen, di mana hormon progesteron dalam siklus haid
terlalu tinggi dibandingkan dengan hormon estrogennya
f) Gangguan saluran cerna misalnya rasa penuh /kembung,konstipasi,diare . Hal ini
Peningkatan kadar hormon estrogen menyebabkan retensi cairan di dalam tubuh
yang melebihi nilai normal. Retensi cairan adalah akibat dari peningkatan kadar
hormon estrogen yang menyebabkan tubuh mengurangi jumlah cairan yang
dikeluarkannya sehingga jumlah total cairan di dalam tubuh bertambah
dibandingkan normalnya.
g) Perubahan nafsu makan ,sering merasa lapar (food carvings). berkumpulnya air
pada jaringan di luar sel (ekstrasel) karena asupan garam atau gula yang tinggi.
2) Mental
a) Mood menjadi labil (moodswing),iritabilitas (mudah
tersinggung), depresi,
ansietas, dan mudah marah. Hal tersebut disebabkan hormon estrogen dan
progesteron yang menurun dengan drastis sesaat sebelum terjadinya menstruasi.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sistem reproduksi terkait erat dengan susunan
saraf pusat, termasuk otak. Oleh karena itu, perubahan hormonal yang mengatur
sistem reproduksi kemungkinan juga akan berpengaruh pada kerja otak yang
mengatur emosi dan mood (perasaa
b) Gangguan konstipasi, kepribadian seakan sirna, hilangnya percaya diri. Hal ini
Peningkatan kadar hormon estrogen menyebabkan retensi cairan di dalam tubuh
yang melebihi nilai normal. Retensi cairan adalah akibat dari peningkatan kadar
hormon estrogen yang menyebabkan tubuh mengurangi jumlah cairan yang
dikeluarkannya sehingga jumlah total cairan di dalam tubuh bertambah
dibandingkan normalnya.
c) Insomnia, Gelisah, suasana hati serba tak nyaman, kondisi hipoestrogen
(kurangnya hormon estrogen) pada wanita
d) Depresi, Kadar hormon estrogen dalam darah meningkat sehingga menimbulkan
gejala depresi.
d. Tipe-tipe PMS
Menurut Dr. Guy E.Abraham, dalam Saryono dan Waluyo, (2010), membagi
PMS menurut gejalanya yakni PMS tipe A,H,C dan D. Delapan puluh persen
ganggguan PMS termasuk tipe A. Penderita tipe H sekitar 60%, PMS C 40%, PMS D
20%. Kadang-kadang seorang wanita mengalami kombinasi gejala, misalnya A dan D
secara bersamaan,dan setiap tipe memiliki gejalanya sendiri-sendiri. Tipe-tipe PMS
antara lain (Saryono, 2009):
1) PMS tipe A
Sindrom premenstruasi tipe A (anxiety) ditandai dengan gejala seperti rasa
cemas, sensitif, saraf tegang, perasaan lsbil. Bahkan beberapa wanita mengalami
depresi ringan sampai sedang saat sebelum mendapat menstruasi. Gejala ini timbul
akibat ketidakseimbangan hormon esterogen dan progesteron: hormon esterogen
39
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
terlalu tinggi dibandingkan dengan hormon progesteron kadang dilakukan untuk
mengurangi gejala,tetapi beberapa penelitian mengatakan, penderita PMS bisa jadi
kekurangan vitamin B6 dan magnesium. Penderita PMS A sebaiknya banyak
mengkonsumsi makanan berserat dan mengurangi atau membatasi minum kopi.
2) PMS Tipe H
Sindrom premenstruasi tipe H (hiperbydratin) memiliki gejala edema
(pembengkakan ), perut kembung, nyeri pada buah dada, pembengkakan tangan
dan kaki, peningkatan berat badan sebelum menstruasi.
3) PMS Tipe C
Sindrom premenstruasi tipe C (craving) ditandai dengan rasa lapar ingin
mengkonsumsi makanan yangmanis-manis (biasanya coklat) dan karbohidrat
sederhana (biasanya gula). Pada umumnya sekitar 20 menit setelah menyantap
gula dalam jumlah banyak, timbul gejala hipoglikemia seperti kelelahan ,jantung
berdebar, pusing kepala yang terkadang sampai pingsan. Hipoglikemia timbul
karena pengeluaran hormon insulin dalam tubuh meningkat.Rasa ingin menyantap
makanan manis dapat disebabkan oleh stres, tinggi garam dalam diet makanan,
tidak terpenuhinya asam lemak esensial (omega 6), atau kurangnya magnesium.
4) PMS Tipe D
Sindrom premenstruasi tipe D (depression) ditandai dengan gejala rasa
depresi, ingin menangis, lemah, gangguan tidur, pelupa, bingung, sulit dalam
mengucapkan kata-kata (verbalisasi), bahkan kadang-kadang muncul rasa ingin
bunuh diri atau mencoba bunuh diri.
e. Kriteria dasar diagnosa dari PMS
Ada tiga elemen penting dalam mengdiagnosa apakah seorang wanita mengalami
PMS yaitu jika ditemukan:
1) Gejala yang sesuai dengan gejala PMS
2) Dialami disetiap siklus menstruasi
3) Menimbulkan gangguan dalam aktivitas sehari-hari
f. Terapi PMS
Jenis dan pilihan pengobatan tergantung kepada berat ringannya pengaruh yang
ditimbulkan PMS. Pembagian pengobatan meliputi :
a). Mengatur pola hidup (life style)
1) Tidak minum alkohol
2) Menghindari (tidak) merokok
3) Mengurangi kopi
4) Belajar mengenali PMS dan mengendalikan perasaan
5) Beberapa referensi menganjurkan pengaturan pola makan,maksudnya gizi
seimbang
6) Olahraga 3 kali seminggu,dengan joging/lari sekitar 20-45 menit sebelum PMS
7) Memanagemen stres, misalnya: meditasi, jalan-jalan, berkebun, dll
b). Obat non-hormonal
1) Vitamin (roborantia)
2) Antidepresan (hanya jika diperlukan)
3) Analgetika (pereda nyeri)
4) Antiinflamasinon steroid (ibuprofen,natrium diklofenak,dll)
c). Obat hormonal
1) Golongan progesteron
2) Hormon kombinasi
3) Hormon sintetik
40
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
4) Hormon estrogen
d). Konseling (kepada psikolog)
Pencegahan PMS (sindrom premenstruasi) dapat dilakukan melalui diet yang didapat
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Batasi konsumsi makanan tinggi gula, tinggi garam, daging merah (sapi dan
kambing), alkohol, kopi, teh coklat, serta minuman bersoda.
2) Kurangi rokok dan berhenti merokok
3) Batasi konsumsi protein(sebanyak 1,5gr/kg berat badan per orang)
4) Meningkatkan konsumsi, ikan, ayam, kacang-kacangan, dan biji-bijian sebagai
sumber protein
5) Batasi konsumsi makanan produk susu dan olahannya (keju, es krim, dan
lainnya) dan gunakan kedelei sebagai penggantinya.
6) Batasi konsumsi lemak dari bahan hewani dan lemak dari makanan yang
digoreng.
7) Meningkatkan konsumsi sayuran hijau.
8) Konsumsi vitaminB kompleks terutama vitamin B6,vitamin E, kalsium,
magnesium juga omega-6 (asamlinolenat gamma GLA), di samping diet,
perhatikan pula hal-hal berikut ini untuk mencegah munculnya PMS
9) Melakukan olahraga dan aktifitas fisik secara teratur ,seperti melakukan lari atau
aerobik
10) Menghindari dan mengatasi stres.
11) Menjaga berat badan, berat badan yang berlebih dapat meningkatkan risiko
menderita PMS.
12) Catat jadwal siklus haid anda serta serta kenali gejala PMS.
13) Perhatikan pula apakah anda sudah dapat mengatasi PMS pada siklus–siklus
datang bulan terakhir.
2. Konsep olahraga lari
a. Definisi
Olahraga lari adalah pengembangan dari berjalan dan tidak mempunyai
sifat khusus sifat-sifat tersebut antara lain,pada suatu saat kaki tidak kontak
dengan tanah, atau tidak terjadi tumpuan pada tanah, saat ini dikenal dengan saat
melayang menyebabkan badan dalam keadaan kurang stabil.
Olahraga
lari/joging adalah Aktifitas olahraga dalam bentuk lari /perlahan-lahan atau lari
santai selama 20-45 menit. (Tisnowati,2005)
Secara kesehatan merupakan olahraga menyehatkan. Olahraga murah yang
tak butuh perlengkapan rumit. Olahraga ini bisa dilakukan oleh siapa pun, tua
muda, kaya dan miskin. Menurut penelitian para ilmuwan. Lari pagi dapat
mencegah penyakit stress dan depresi. Menurut dalam Anonym 2009, seorang
pelari marathon, psikolog, dan penulis buku the Exercise Prescription for
Depression and Anxiety, mengatakan bahwa peningkatan aliran darah dapat
membuat kita lebih tenang menghadapi stress dan meregangkan otot-otot.Selain
itu para ahli percaya bahwa pengeluaran beta-endorphin selama berlari bisa
membantu meningkatkan mood (semangat). Hal yang sama terjadi pada wanita
yang akan melalui masa menopause atau menjelang menstruasi
b. Klasifikasi Lari
1) Lari jarak pendek adalah lari yang menempuh jarak antara 50 m sampai
dengan jarak 400 m. oleh karena itu kebutuhan utama untuk lari jarak
pendek adalah kecepatan. Kecepatan dalam lari jarak pendek adalah hasil
kontraksi yang kuat dan cepat dari otot-otot yang dirubah menjadi gerakan
41
HOSPITAL MAJAPAHIT
c.
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
halus lancer dan efisien dan sangat dibutuhkan bagi pelari untuk
mendapatkan kecepatan yang tinggi. tujuan lari jarak pendek adlah untuk
memaksimalkan kecepatan horizontal, yang dihasilkan dari dorongan badan
ke depan. Kecepatan lari ditentukan oleh panjang langkah dan frekuensi
langkah (jumlah langkah persatuan waktu). Oleh karena itu, seorang pelari
jarak pendek harus dapat meningkatkan satu atau kedua-duanya
2) Gerak lari jarak menengah (800 m- 1500 m) dan sedikit berbeda dengan
gerakan lari jarak pendek .terletak pada cara kaki menapak. Lari jarak
menengah, kaki menapak ball hell-ball, ialah menapakkan pada ujung kaki
tumit dan menolak dengan ujung kaki. Star dikakukan dengan cara
berdiri.Yang perlu diperhatikan pada lari jarak menengah:
a) Badan harus selalu rilaks atau santai.
b) Lengan diayun dan tidak terlalu tinggi seperti pada lari jarak pendek
Badan condong ke depan kia-kira 15º dari garis vertical. Panjang
langkah tetap dan lebar tekanan pada ayunan paha ke depan, panjang
langkah harus sesuai dengan panjang tungkai. Angkat lutut cukup tinggi
(tidak setinggi lari jarak pendek). Penguasaan terhadap kecepatan lari
(pace) dan kondisi fisik serta daya tahan tubuh yang baik.
Dalam lari jarak menengah gerakan lari harus dilakukan dengan sewajarnya,
kaki diayunkan ke depan seenaknya, panjang langkah tidak terlalu
dipaksakan kecuali menjelang masuk garis finis.
3) Lari jarak jauh dilakukan dalam lintasan stadion jarak 3000m, ke atas,
5000m, 10.000m, sedangkan marathon dan juga cross-country, harus
dilakukan diluar stadion kecuali star dan finis, secara fisik dan mental
merupakan keharusan bagi pelari jarak jauh. Ayunan lengan dan gerakan
kaki dilakuakan seringan-ringannya. Makin jauh jarak lari yang ditempuh
makin rendah lutut diangkat dan langkah juga makin kecil.
4) Lari Estafet atau dengan kata lain disebut "Lari sambung menyambung
sambil membawa tongkat" adalah salah satu jenis olahraga yang berinduk
pada bidang atletik. Pelarinya berjumlah lebih dari 1 orang & kurang dari 5
orang yang tergabung dalam 1 tim, dimana masing-masing pelari sudah
diatur dalam jarak tertentu untuk kemudian bersiap-siap menunggu atau
menerima tongkat Estafet dari teman dan kemudian berlari untuk
menyerahkan tongkat tersebut kepada teman 1 tim dan seterusnya saling
mengoforkan tongkat hingga memasuki garis finis. Siapa yang pertama
mencapai garis finis maka Tim tersebutlah yang menang. (http//www.Sport
Medicine (2008).
Deskripsi pola lari yang baik sebagai berikut:
1) Badan diatur sedemikian rupa hingga condong kedepan seimbang denga
pola langkah yang dilakukan .
2) Kedua lengan diayun secara luas dalam garis vertikal dan seirama dengan
gerakan kaki berlawanan .
3) Kaki tumpu bersentuhan dengan tanah rata, dan hanpir dibawah titik berat
badan.
4) Lutut pada kaki tumpu ditekuk secara halus setalah kaki tumpu bersentuhan
dengan tanah.
5) Perentangan tungkai yang tersentuh dengan tanah ,pinggul,lutut dan
pergelangan kaki mendorong badan kearah depan dan mengangkat kaki
yang bukan kaki tumpuhan.
42
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
6) Lutut pada kaki ayun, diayunkan kedepan dengan cepat sampai setinggi
lutut, sehingga bersamaan dengan itu, terjadi penekukan tungkai bagaian
bawah sampai tumit dekat pantat.
Manfaat olahraga lari
Berlari punya banyak keuntungan. JoAnn Manson, MD, kepala
pengobatan preventif dari Brigham and Women’s Hospital mengatakan bahwa
banyak manfaat yang datang untuk kesehatan dari olahraga yang cukup
menantang, seperti berlari. Berikut ini di antaranya. Terdapat beberapa manfaat
dari melakukan olahraga lari
1) Penglihatan
Orang yang berlari sekitar 56 kilometer per minggu diketahui memiliki
penglihatan yang jauh lebih sekitar 54 persen ketimbang orang yang hanya
berlari sekitar 16 kilometer per minggu.
2) Menjaga jantung
Pelari yang berjoging sekitar 16 kilometer atau lebih per minggu
menurunkan risiko sebanyak 39 persen dari ketergantungan obat-obatan
tekanan darah tinggi dan menurunkan sekitar 34 persen obat-obatan penurun
kadar kolesterol ketimbang mereka yang berlari tidak lebih dari 4 kilometer
per minggu.
3) Tulang kuat
Berlari ternyata membantu menguatkan tulang lebih baik ketimbang
aktivitas aerobik. Para peneliti melihat di University of Missouri
menemukan hal ini dari perbandingan dengan orang yang bersepeda. Sekitar
63 persen pesepeda memiliki kepadatan tulang yang rendah di tulang
punggung dan pinggul, sementara hanya ditemukan 19 persen pelari yang
mengalami hal ini
4) Berfikir cepat
Sebuah survei pernah dilangsungkan terhadap beberapa karyawan di
Inggris. Mereka diminta mengukur tingkat konsentrasi dan hasil kerja pada
hari mereka berolahraga lari dan ketika di hari mereka berlari di pagi
harinya. Survei mengatakan bahwa di hari mereka berlari, tingkat
konsentrasi serta produktivitas kerja mereka meningkat dan hanya sedikit
melakukan kesalahan.
5) Tidur nyenyak
Para peneliti melihat efek berlari pada orang-orang yang memiliki kondisi
insomnia. Di hari mereka berlari, ditemukan bahwa mereka bisa tidur
setelah 17 menit berbaring, sementara di hari mereka tidak berlari, mereka
butuh sekitar 38 menit hingga bisa tidur. Bahkan mereka juga tidur 1 jam
lebih lama di keesokan harinya.
6) Infeksi saluran penafasan atas
Mereka yang berlari sejam per hari mengurangi risiko 18 persen terkena
infeksi saluran pernapasan atas ketimbang mereka yang tidak aktif, menurut
penelitian di Swedia. Ternyata aktivitas menengah pun bisa meningkatkan
imun tubuh
7) Hidup lebih lama
Sebuah rangkuman dari 22 penelitian menemukan bahwa orang yang
berolahraga sekitar 2.5 jam per minggu mengurangi 19 persen risiko
meninggal di usia muda ketimbang mereka yang tidak berolahraga.
43
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Penelitian lain mengatakan bahwa mereka yang aktif menurunkan 50 persen
risiko meninggal terlalu dini
e. Efek-efek dari olahraga lari adalah:
1) Membuat jantung kuat, dimana semakin memperlancar peredaran darah dan
pernafasan
2) Mempercepat sistem pencernaan dan membantu Anda menyingkirkan
masalah pencernaan dan menetralkan depresi
3) Meningkatkan kapasitas untuk bekerja dan mengarahkan pada kehidupan
yang aktif
4) Jogging membantu Anda membakar lemak dan mengatasi kegemukan
5) Kalau Anda bermasalah dengan selera makan, jogging membantu Anda
memperbaikinya
6) Jogging mengencangkan otot kaki, paha dan punggung
7) Membuat tidur lebih nyenyak, melakukan jogging secara teratur
memberikan manfaat bagus buat kondisi fisik dan kesehatan lainnya.
Jogging juga memberikan kesenangan secara fisik dan mental
B. Kerangka Konseptual
Adalah Kerangka hubungan antara konsep yang ingin diamati atau diukur melalui
penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Nursalam, 2003).
Faktor penyebab PMS :
Wanita yang pernah
melahirkan
Status perkawinan
Usia
Stress
Diet
Zat zat gizi
Olahraga lari:
Olahraga lari estafet
Olahraga lari jarak
pendek
Olahraga lari jarak jauh
Olahraga joging
Olahraga joging
Kurangnya Olahraga
PMS
Tanda dan gejala:
Fisik
Kelemahan umum
Nyeri kepala,punggung
Nyeri payudarakaki dan sendi terasa lunglai
Mental
Mood menjadi labil
Mudah marah
G3 konstipasi
Gelisah, suasana tdk nyaman, depresi
Gambar 1
Kerangka konsep perbandingan gejala PMS antara siswi yang aktif
dan tidak aktif olahraga lari pada siswi SMP PENANGGUNGAN
ngori-trawas
44
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian survey. Survey adalah suatu
rancangan yang digunakan untuk menyediakan infoormasi yang berhubungan dengan
prevalensi ,distribusi dan hubungan antara variabel dalam suatu populasi (Nursalam, 2008).
Metode pendekatan yang digunakan adalah survey morbiditas (Morbidity Survey) yaitu suatu
survey deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui kejadian dan distribusi penyakit dalam
populasi. (Nugroho, 2010). Dalam penelitian ini sering dibuat untuk mengidentifikasi
kejadian PMS pada siswi yang aktif olahraga lari dan yang tidak aktif olahraga lari. Variabel
independent dalam penelitian ini adalah aktifitas olahraga dalam bentuk lari / perlahan-lahan
atau lari santai selama 20-45 menit dengan frekuensi 3x seminggu yang memakai teknik
wawancara. Variabel dependent dalam penelitian adalahn gejala PMS yang meliputi gejala
fisik: kelemahan umum (lekas letih, pegal, linu), acne (jerawat), nyeri kepala, punggung,
perut bagian bawah, nyeri payudara, kaki terasa lunglai, gangguan saluran cerna, perubahan
nafsu makan, sering merasa lapar dan gejala Mental: mood menjadi labil, mudah marah,
gangguan konstipasi, insomnia, gelisah, suasana hati serba tak nyaman, depresi yang diukur
dengan lembar kuesioner.
Pada penelitian ini populasinya semua siswi SMP PENANGGUNGAN ngoro-trawas,
pada kelas 1A sebanyak 17 siswi,kelas 1B sebanyak 19 siswi, kelas 1C sebanyak 19
siswi,kelas 2A sebanyak 23 siswi, kelas 2B sebanyak19 siswi, kelas 3A sebanyak 25 siswi,
kelas 3B sebanyak 16 siswi. Jadi semua siswi SMP PENANGGUNGAN ngoro-trawas
sebanyak 133 siswi. Pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah consecutive
sampling yaitu cara penetapan sampel dengan mencari subjek atau dasar hal-hal yang
menyenangkan atau mengenakan peneliti (Nursalam, 2008). Dengan kriteria inklusi
merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi
syarat sebagai sampel (Nursalam, 2008). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: Siswi
dari SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas yang mengalami PMS, Bersedia menjadi
responden, Sehat jasmani dan rohani. Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek
penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak dapat memenuhi syarat sebagai sampel.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: mengalami gangguan reproduksi seperti kanker,
dan mengalami cacat fisik.
D. HASIL PENELITIAN
Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan usia remaja putri di
PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas pada tanggal 13-18 Juli 2011
No
1.
2.
3.
4.
Usia
12 tahun
13tahun
14 tahun
15 tahun
Jumlah
Frekuensi
22
39
48
24
133
SMP
Presentase
17
29
36
18
100
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa hampir setengahnya responden berusia 14
tahun yaitu sebanyak 48 orang (36%)
Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pelaksanaan olahraga lari di
SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas tanggal 13-18 Juli 2011
No
1
2
Olahraga lari
Aktif
Tidak aktif
Jumlah
Frekuensi
6
127
133
Persentase
4,5%
95,5%
100%
Tabel 2 di atas di dapatkan data hampir semua responden yang tidak aktif
olahraga lari yaitu sebanyak 127 responden (95,5%).
45
HOSPITAL MAJAPAHIT
Tabel 3
No
1
2
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Distribusi
frekuensi
responden
berdasarkan
gejala
sindrom
pramenstruasi (PMS) di SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas tanggal
13-18 Juli 2011
Gejala PMS
Mengalami ≥ 50% gejala PMS
Mengalami < 50% gejala PMS
Jumlah
Frekuensi
125
8
Persentase
94
6
133
100
Tabel 3 di atas di dapatkan data hampir semuanya responden yang mengalami ≥
50% gejala PMS yaitu sebanyak 125 responden(94%).
Tabel 5.2 Tabulasi silang gejala PMS dan olahraga lari pada siswi SMP
PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas tanggal 13-18 Juli 2011
Gejala PMS
Olahraga lari
Aktif
Tidak aktif
Total
Mengalami
≥ 50% gejala
PMS
Mengalami
< 50% gejala
PMS
Total
0
125(94 %)
125(94 %)
6( 4,5%)
2( 1,5 %)
8( 6%)
6( 4,5 %)
127( 95,5%)
133 (100%)
Tabel 4 menunjukkan sebagian kecil responden yang aktif olahraga lari yang
mengalami < 50%
gejala PMS yaitu 6 responden (4,5%), dan hampir semuanya
responden yang tidak aktif olahraga yang mengalami ≥50% gejala PMS yaitu sebanyak
125 responden (94%) .
E. PEMBAHASAN
1. Olahraga lari aktif & tidak aktif
Tabel 1 didapatkan data bahwa responden yang tidak aktif hampir semuanya yaitu
sebanyak 127 orang (95,5%), dan responden yang aktif olahraga sebagian kecil yaitu
sebanyak 6 orang (4,5%). Olahraga lari adalah pengembangan dari berjalan dan tidak
mempunyai sifat khusus sifat-sifat tersebut antara lain, pada suatu saat kaki tidak kontak
dengan tanah, atau tidak terjadi tumpuan pada tanah, saat ini dikenal dengan saat
melayang menyebabkan badan dalam keadaan kurang stabil. Olahraga lari/joging adalah
Aktifitas olahraga dalam bentuk lari /perlahan-lahan atau lari santai selama 20-45 menit.
Lari merupakan olahraga yang
menyehatkan. Olahraga murah yang tak butuh
perlengkapan rumit dan Olahraga ini bisa dilakukan oleh siapa saja, tua muda, kaya dan
miskin.. Pada dasarnya tidak ada istilah terlambat untuk olahraga lari/joging, siapapun
bisa melakukan olahrga lari/joging. Dengan melakukan olahraga lari/joging badan
menjadi padat, bugar sehingga membantu ketegangan emosional pada saat PMS, dari segi
emosional semakin terasa berat bukan saat menstruasinya tetapi saat menjelang
menstruasi ketika rahim berkontraksi untuk mengeluarkan lapisannya yang tidak dibuahi
oleh sperma. (Tisnowati,2005). Dari hasil penelitian didapatkan siswi tidak aktif olahraga
karena waktu mengalami PMS siswi menganggap olahraga hanya dapat memperberat rasa
sakitnya padahal dengan berolahraga gejala PMS dapat berkurang sehinggah mereka tidak
melakukan olahraga sama sekali, serta absen bila ada jadwal kegiatan olahgara disekolah.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal sebaiknya olahraga lari/joging dilakukan
secara aktif yaitu minimal 3 kali dalam seminggu dengan frekuensi 20-45 menit .Dan
siswi yang aktif olahraga pada awalnya memang sudah terbiasa melakukan olahraga
sehingga mereka dapat merasakan bahwa dengan berolahraga secara teratur bisa
mengurangi gejala PMS, karena dengan melakukan olahraga lari / joging badan menjadi
46
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
padat, bugar sehingga membantu ketegangan emosional pada saat PMS . Olahraga jenis
ini tidak hanya sebatas lari saja, tetapi bisa dilakukan dengan olahraga yang lain.
2. Gejala PMS
Hasil penelitian yang diperoleh dengan pembagian kuesioner pada siswi SMP
PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas, secara keseluruan yang Mengalami ≥ 50% yaitu
sebanyak 125 siswi. Sindrom premenstruasi (PMS) adalah suatu gejala fisik dan
psikologis yang terjadi pada wanita saat fase akhir luteal siklus menstruasi (antara 7-14
hari menjelang menstruasi) dan menghilang pada permulaan sampai beberapa hari
menstruasi. Gejala psikologis yang sering muncul meliputi depresi, mudah marah, tegang,
mudah menangis, hipersensitif, dan suasana hati yang labil. Gejala fisik yang tidak
nyaman dapat berupa nyeri perut, mudah lelah, bengkak, berjerawat, dan peningkatan
berat badan. Perubahan perilaku juga dapat terjadi seperti nafsu makan meningkat,
konsentrasi menurun, suka menyendiri, mudah lupa, dan motivasi berkurang, disebabkan
kadar hormon serotonin menurun karena adanya perubahan jumlah hormon
esterogen.Wanita dengan PMS mengalami berbagai variasi gejala fisik dan psikis 2
hingga 14 hari sebelum menstruasi. Gejala-gejala PMS menghilang setelah datangnya
menstruasi. Diperkirakan sekitar 75% wanita mengalami PMS (dengan berbagai
tingkatan), dan 20-50% diantaranya ditengarai mengganggu aktivitas sehari-hari.
Beberapa faktor yang meningkatkan resiko terjadinya PMS yaitu PMS semakin berat
setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila perna mengalami kehamilan dengan
komplikasi seperti toksima, wanita yang sudah menikah lebih banyak mengalami PMS di
bandingkan yang belum menikah, PMS semakin dan mengganggu dengan bertambahnya
usia, terutamaantara usia 30-45 tahun, faktor stres memperberat gangguan PMS ,faktor
kebiasaan makan seperti tinggi gula, garam, kopi, teh, coklat, minuman bersoda, produk
susu, makanan olahan, memperberat gejala PMS, kekurangan zat-zat gizi seperti kurang
vitamin B (terutama B6), vitamin E, vitamin C, magnesium, zat besi, seng, asam lemak
linoleat, serta kebiasaan merokok dan minuman alkohol juga dapat memperberat gejala
PMS, dan kurang berolahraga dan aktivitas fisik menyebabkan semakin beratnya PMS
(Saryono,2009).
Mayoritas siswi mengalami gejala PMS kelemahan umum (lekas, letih, pegal, linu)
sebanyak 132 responden, nyeri punggung sebanyak 114 responden, nyeri perut bagian
bawah sebanyak 102 responden, nyeri payudara sebanyak 127 responden, perasaan tidak
enak sebanyak 116 responden, mudah marah sebanyak 124 responden, dan tidak
berolahraga secara teratur sebanyak 127 responden. Sehingga hampir semua yang
Mengalami ≥ 50%. Berdasarkan hal ini maka diperlukan untuk melakukan aktifitas
olahraga secara teratur dengan olahraga 3 kali dalam seminggu dengan frekuensi 20-45
menit. Karena dari gejala-gejala PMS tersebut kadar hormon serotonin menurun karena
adanya perubahan jumlah hormon esterogen.
3. Perbandingan gejala PMS antara siswi yang aktif dan tidak aktif olahraga lari
pada siswi SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas
Dalam penelitian ini ditemukan terdapat perbandingan gejala PMS antara siswi yang
aktif dan tidak aktif olahraga lari pada siswi SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas.
Didapatkan tabel 4.5 tabulasi silang gejala PMS dan olahraga lari yaitu sebagian kecil
responden yang aktif olahraga lari yang mengalami < 50% gejala PMS yaitu 6 responden
(4,5%), dan hampir semuanya responden yang tidak aktif olahraga yang mengalami
≥50% gejala PMS yaitu sebanyak 125 responden (94%) .
Faktor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya PMS, antara lain sebagai berikut:
wanita yang pernah melahirkan, status perkawinan (wanita yang sudah banyak menikah
lebih banyak mengalami PMS di bandingkan dengan yang belum menikah), usia (PMS
47
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
semakin sering dan mengganggu dengan bertambahnya usia ,terutama antara usia 30-45
tahun). Stres dapat memperberat PMS. Kegiatan fisik (kurang berolahraga dan aktivitas
fisik mnyebabkan semakin beratnya PMS. Salah satu Untuk mengurangi keluhan yang
muncul pada sindrom premenstruasi, dapat dilakukan dengan olahraga teratur, dengan
melakukan olahraga selama 3 kali dalam seminggu dengan frekuensi 20-45 menit. Karena
dengan olahraga yang teratur dapat meningkatkan produksi hormon endorfin yang
menimbulkan rasa gembira, selain itu dapat menurunkan kadar kortisol dan epinefrin pada
urin setelah 24 jam yang berperan menurunkan kadar pada fase luteal dalam siklus haid.
Karena, pada fase luteal inilah yang menyebabkan wanita merasa kurang happy dan nyerinyeri, seperti nyeri haid atau sakit kepala. Karena merasa tidak happy inilah yang
menyebabkan si wanita menjadi badmood, sensitif, gampang sedih, discouraged dalam
menimbulkan gejala psikologis pada sindrom premenstruasi (Anonym, 2010). Dengan
Olahraga yang aktif dapat juga menurunkan risiko osteoporosis, mengurangi imunitas
tubuh, serta meningkatkan rasa percaya diri. Menurut penelitian para ilmuwan. Lari pagi
dapat mencegah penyakit stress dan depresi. Menurut Anonym 2009, seorang pelari
marathon, psikolog, dan penulis buku the Exercise Prescription for Depression and
Anxiety, mengatakan bahwa peningkatan aliran darah dapat membuat kita lebih tenang
menghadapi stress dan meregangkan otot-otot.Selain itu para ahli percaya bahwa
pengeluaran beta-endorphin selama berlari bisa membantu meningkatkan mood
(semangat).
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa hampir seluruhnya siswi tidak aktif olahraga
lari karena siswi menganggap olahraga pada saat PMS dapat memperberat rasa sakitnya
padahal dengan olahraga secara teratur dengan jumlah 3 kali dalam seminggu dengan
frekuensi 20-45 menit, sehingga dapat membantu mengurangi gejala PMS. Karena dengan
berolahraga lari peningkatan aliran darah dapat membuat kita lebih tenang menghadapi
stress dan meregangkan otot-otot. Selain itu bahwa pengeluaran beta-endorphin selama
berlari bisa membantu meningkatkan mood (semangat).
E. PENUTUP
Hasil penelitian di dapatkan data hampir semua responden yang tidak aktif olahraga lari yaitu
sebanyak 127 responden, sebagian besar responden yang mengalami ≥ 50% gejala PMS yaitu
sebanyak 125 responden. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian kecil responden
yang aktif olahraga lari yang mengalami < 50% gejala PMS yaitu 6 responden (4,5%), dan
sebagian besar responden yang tidak aktif olahraga yang mengalami ≥50% gejala PMS yaitu
sebanyak 125 responden (94%). Penelitian ini sifatnya sederhana, sehingga belum mampu
mengajikan hasil yang maksimal. Maka dari itu di perlukan penelitian lebih lanjut yang lebih
berkembang sehingga di dapatkan yang lebih maksimal. Siswi hendaknya lebih termotivasi
dengan masalah gejala PMS dan bisa melakukan olahraga lari dengan teratur selama 3 kali
dalam seminggu, dan di menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta : Rineka cipta
Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta : Rineka cipta.
Aziz alimul. (2007). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisa data. Jakarta :
Salemba medika.
Hidayat, A.A. (2007). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Jakarta : Salemba
medika.
Notoatdmojo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta. Rineka cipta.
Nursalam. (2008). Metodologi keperawatan. riset Jakarta : Informadika.
48
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
________.
(2007).
Laporan
riset
kesehatan.
Dasar
(http://www.kesehatan
kebunmenkab.go.id/data/lapriskesdas,pdf). Diakses pada tanggal 28 april 2011.
Mansjoer, arif. (2008). Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
Setiadi, (2007). Konsep dan penulisan riset keperawatan. yogyakarta : Graha ilmu.
http://www.Selintas-Keperawatan/2010/Showing-Newers-Post-With-Label-PrementrualSyndrom.
http://www. Khusus mahasiswi /2009/Premenstruasi sindrom.
Price, A Sylvia,dkk. (2006) patofisiologi. Jakarta : EGC.
Saryono dan waluyo. (2009). Sindrom ptemenstruasi. Yogjakarta : Medikal Book.
Silvia. (2010). Sindrom premenstruasi. FKUI. Jakarta : medik indonesia.
Tisnowati Tamat, dkk. (2005). Pendidikan jasmani dan kesehatan. Jakarta : Universitas
terbuka
49
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
UKURAN LINGKAR LENGAN ATAS DENGAN BERAT BADAN BAYI LAHIR DI
BPS. ANA SUSANTI BALONGBENDO 2010
Latifatul Ishaq1, Farida Yuliani, SSiT., S.KM.2
1
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
2
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
Women with chronic conditions of less energy or less nutritional status during
pregnancy often give birth to LBW. The purpose of this study was to determine the
relationship LILA size of pregnant women with weight babies born in BPS Ana Susanti.
AMD. Keb, Balongbendo, Sidoarjo. The study used a retrospective design and the population
is used throughout the birthing mother in 2010 as many as 138 people with a sample of 102
people that selected using Simple Random Sampling. The results analyzed using the test
statistic wilxocon. Result showed the largest percentage (78.4%) of the group of respondents
that have a size of ≥ 23.5 cm Lila there are 80 respondents. And the largest percentage of
babies born to have a normal body weight that is there were 66 infants (64.7%). There is a
significant relationship between the size of LILA pregnant women with weight babies born.
LILA have relationships of pregnant women with birth weight performed the Wilcoxon test
with significant level of 0.05 obtained value of Z = (3.494) with a significant level of 0.000.
Due to a significant level of 0.000 then Ho is rejected, it means there is a relationship
pregnant with Lila size birth weight. This is because of the intake of adequate nutrition at the
time before and during pregnancy. Thus the required monitoring of health and nutritional
status of pregnant mothers either in early pregnancy and during pregnancy is an effort to
approach a potential in relation to increased maternal and child welfare.
Key words: Lila, weight newborns
A. PENDAHULUAN
Lingkar lengan atas (LILA) merupakan suatu indikator untuk mengetahui resiko KEK
pada wanita usia subur (WUS). (Supariasa, 2002:48). Ukuran LILA juga di gunakan untuk
memprediksi kemungkinan bayi yang dilahirkan memiliki berat lahir rendah. Pengukuran
LILA tidak dapat di gunakan untuk memantau pertumbuhan status gizi dalam jangka pendek.
Pengukuran LILA digunakan karena pengukurannya sangat mudah dan cepat. Adapun
ambang batas LILA WUS (ibu hamil) dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Hasil
pengukuran LILA ada dua kemungkinan yaitu kurang dari 23,5 cm dan di atas atau sama
dengan 23,5 cm. Jika ukuran lingkar lengan atas (LILA) kurang dari 23,5 cm maka ibu hamil
tersebut menderita KEK (Dep. Kes. RI, 2002).
Ibu hamil yang menderita KEK mempunyai resiko lebih besar terutama pada trimester
III kehamilan di bandingkan dengan ibu hamil normal (Istiarti, 2008). Akibatnya mereka
mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR), kematian saat persalinan, perdarahan pasca persalinan yang sulit karena lemah dan
mudah mengalami gangguan kesehatan. (Dep.kes.RI, 2001). Bayi dengan berat lahir rendah
50
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
(<2500 gram) akan mengalami kemunduran pada intelektualnya. Hal ini karena BBLR
memiliki berat otak yanglebih rendah menunjukkan defisit sel-sel otak sebanyak 8-14 dari
normal, yang merupakan pertanda anak kurang cerdas dari seharusnya (Husaini, 2001).
Prevalensi resiko KEK wanita usia subur (WUS) di provinsi Jawa Timur sebesar 15,9%
(Riskesdas, 2007). Sedangkan di kabupaten Sidoarjo prevalensi resiko KEK pada wanita usia
subur (WUS) sebesar 20,1% (Riskesdas, 2007). Prevalensi bayi lahir dengan BBLR di Jawa
Timur sebesar 9,9%, sedangkan pada daerah kabupaten Sidoarjo sebesar 6,5% (Riskesdas,
2007).
Masalah status gizi ibu hamil akan berpengaruh pada ukuran lingkar lengan atas ibu
hamil. Ibu mempunyai peran besar didalam pertumbuhan dan kesehatan janin yang
dikandungnya dan akan berdampak pada berat badan bayi yang dilahirkan, serta juga akan
berpengaruh pada perkembangan otak dan pertumbuhan fisik bayi. Ukuran lingkar lengan atas
ibu hamil diakibatkan oleh status gizi yang kurang, status ekonomi dan rendahnya
pengetahuan sehingga mempengaruhi asupan nutrisi selama hamil. Untuk itu bidan dan kader
kesehatan perlu meningkatkan penyuluhan akan pentingnya gizi selama hamil sehingga ibu
termotivasi untuk memenuhi kebutuhan gizi selama hamil. Untuk mengurangi angka
kelahiran bayi dg BBLR. Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang ukuran lingkar lengan atas dengan berat badan bayi lahir di
BPS. Ana susanti. Amd. Keb. Tahun 2010.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Lingkar Lengan Atas (LILA)
a. Pengertian LILA
Lingkaran lengan atas adalah suatu cara untuk menghitung skala gizi wanita
usia subur, baik ibu hamil maupun calon ibu untuk mengidentifikasi wanita yang
mempunyai resiko melahirkan bayi berat badan lahir rendah. (Kamus online, 2010)
b. Tujuan Pengukuran LILA
1) Mengetahui resiko KEK WUS, baik ibu hamil maupun calon ibu, untuk
menapis wanita yang mempunyai resiko melahirkan bayi berat lahir rendah.
2) Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar lebih berperan dalam
pencegahan dan penanggulangan KEK.
3) Mengembangkan gagasan baru di kalangan masyarakat dengan tujuan
meningkatkankesejahteraan ibu dan anak.
4) Meningkatkan peran petugas lintas sektoral dalam upaya perbaikan gizi WUS
yang menderita KEK.
5) Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran WUS yang
menderita KEK (Supariasa, 2001:49)
c. Ambang Batas
Setelah melalui penelitian khusus untuk perempuan Indonesia,
diperoleh standar lingkar lengan atas (LILA) sebagai berikut:
1) Jika lingkar lengan atas (LILA) kurang dari 23,5 cm: artinya status gizi ibu
hamil kurang , dan kemungkinan mengalami KEK (Kekurangan Energi
Kronis) atau anemia kronis, dan beresiko lebih tinggi melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
2) Jika lingkar lengan atas (LILA) sama atau lebih dari 23,5 cm: artinya status
gizi ibu hamil baik, dan resiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) lebih rendah (Almatseir, 2001:62)
d. Cara Mengukur LILA
51
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Pengukuran LILA dilakukan melalui urut-urutan yang telah ditetapkan. Ada 7
urutan pengukuran LILA, yaitu:
1) Tetapkan posisi bahu dan siku
2) Letakkan pita antara bahu dan siku
3) Tentukan titik tengah lengan
4) Lingkarkan pita LILA pada tengah lengan
5) Pita jangan terlalu ketat
6) Pita jangan terlalu longgar
7) Baca skala hasil pengukuran
e. Penyebab Lingkar Lengan Kurang dari 23,5 cm (Kekurangan Energi Kronis)
1) Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi
sosial ekonomi, bencana alam, kebijakan politik atau ekonomi yang
memberatkan rakyat. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya
makanan yang adekuat.
2) Ibu hamil tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang.
3) Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat yang
tidak membenarkan mengkonsumsi makanan tertentu pada ibu hamil hal
ini dapat merugikan ibu haml dan menghambat kesempatan ibu hamil
untuk mendapatkan gizi yang seimbang.
4) Pola makan yang salah
5) Sering sakit (frequent infection). Menjadi penyebab terpenting kedua
kekurangan gizi, apalagi di negara-negara terbelakang dan yang sedang
berkembang seperti Indonesia, dimana kasadaran akan kebersihan/personal
hygiene yang masih kurang, serta ancaman penyakit tertentu, khususnya
infeksi kronik (Supariasa, 2001:63).
f. Akibat jika LILA kurang dari 23,5 cm
1) Terhadap Ibu
Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada
ibu antara lain: anemia, perdarahan, perdarahan ibu tidak bertambah secara
normal, dan terkena penyakit infeksi.
2) Terhadap persalinan
Pengaruh Gizi kurang terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan
persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum waktunya (premature),
perdarahan setelah persalinan, serta persalinan dengan operasi cenderung
meningkat.
3) Terhadap Janin
Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan
janin dan dapat menimbulkan abortus,kematian neonatal, cacat bawaan, anemia
pada bayi, asfiksia intra partum (mati dalam kandungan), lahir dengan berat
badan rendah (BBLR). (Jundarwanto, 2009)
g. Pemeriksaan Ibu Hamil
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui status gizi ibu
hamil antara lain memantau kenaikan berat badan selama hamil, mengukur
lingkar lengan atas (LILA), dan mengukur kadar Hb. Kenaikan berat badan
selama hamil sekitar 10-12 kg. Kenaikan berat badan ini juga sekaligus
memantau pertumbuhan janin. Pengukuran lingkar lengan atas (LILA)
dimaksudkan untuk mengetahui apakah ibu hamil tersebut menderita
kekurangan energi kronis (KEK), sedangkan pengukuran kadar Hb untuk
mengetahui ibu hamil mengalami anemia atau tidak (Jundarwanto, 2009).
52
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
h. Upaya Untuk Mengatasi Masalah Gizi
1) Program Upaya Perbaikan Gizi Keluarga(UPGK).
2) Pemberian kapsul vitamin A untuk anak usia 1-4 tahun.
3) Distribusi kapsul yodium untuk penduduk di daerah rawan gangguan akibat
kekurangan yodium (GAKY).
4) Pemberian tablet Fe untuk ibu hamil.
5) Pemantauan tingkat konsumsi gizi penduduk secara berkala (SKG).
6) Pemantauan status gizi (PSG) anak balita.
(Sulistia, 2008)
2. Konsep Dasar Ibu Hamil
a. Pengertian
Ibu hamil adalah seorang perempuan yang sedang mengandung. (Sarwono,
2009:356). Menurut Federasi Obsetri Ginekologi Internasional, kehamilan
didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan
dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi (Sarwono, 2008:213).
b. Hal yang harus dilakukan oleh ibu hamil:
1) Memenuhi kebutuhan nutrisi sesuai mutu seimbang.
2) Hindari pekerjaan yang berat.
3) Cukup istirahat selama perjalanan: Ada baiknya tiap beberapa jam sekali
berhenti untuk istirahat, buang air kecil dan makan. Berapa lama harus
berhenti, tergantung kondisi masing-masing, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 6
jam.
4) Bila dirasa ada keluhan, sebaiknya segera kontak dengan tenaga kesehatan.
Akibat kesalahan biasanya timbul keluhan berupa sakit perut bagian bawah
atau kontraksi. Bila hal itu terus terjadi selama perjalanan, sebaiknya segera
kontrol ke dokter.
5) Waspadai bila sampai keluar flek. Flek adalah tanda pertama terjadinya
keguguran. Bila sampai ada flek, sebaiknya segera ke dokter kandungan.
(Ida bagus, 1998:92)
c. Perkembangan Dan Perubahan Pada ibu Hamil
1) Rahim atau uterus
Rahim yang semula beratnya sebesar jempol atau beratnya 30 gram
akan mengalami hipertrofi dan hiperplasia sehingga menjadi seberat 1000
gram saat akhir kehamilan. Otot rahim mengalami hiperplasia dan hipertrofi
menjadi lebih besar, lunak dan dapat mengikuti pembesaran rahim karena
pertumbuhan janin.
2) Vagina atau liang senggama
Vagina dan vulva mengalami peningkatan pembuluh darah karena
pengaruh estrogen sehingga tampak makin merah dan kebiru-biruan.
3) Ovarium atau indung telur
Dengan terjadinya kehamilan, indung telur yang mengandung korpus
luteum gravidarum akan meneruskan fungsinya sampai terbentuknya plasenta
yang sempurna pada umur16minggu.
Kejadian ini tidak dapat lepas dari kemampuan villi korialis yang
mengeluarkan hormon corionic gonadotropin yang mirip hormon uteutropik
hipofisis anterior.
4) Payudara
Payudara mengalami pertumbuhan dan perkembangan sebagai
persiapan pemberian ASI pada saat laktasi. Perkembangan payudara tidak
53
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
dapat dilepaskan dari pengaruh hormon saat kehamilan, yaitu estrogen,
progesteron dan somatotropin.
Perubahan payudara pada ibu hamil adalah sebagai berikut:
a) Payudara menjadi lebih besar.
b) Terdapat hyperpigmentasi pada areola mamae.
c) Glandula montgomery makin tampak.
d) Puting susu menonjol.
5) Sirkulasi Darah Ibu
a) Volume Darah
Volume darah semakin meningkat dimana jumlah serum
darahlebih besar dari pertumbuhan sel darah, sehingga terjadi semacam
pengenceran darah (hemodilusi), dengan puncaknya pada usia kehamilan
32 minggu. Serum darah (volume darah) bertambah sebesar 25-30%
sedangkan sel darah bertambah sekitar 20%.
b) Sel Darah
Sel darah merah jumlahnya semakin meningkat, untuk dapat
mengimbangi pertumbuhan janin dan rahim. Tetapi pertambahan sel darah
tidak seimbang dengan peningkatan volume darah sehingga terjadi
hemodelusi yang disertai anemia fisiologis. Sel darah putih meningkat
dengan mencapai jumlah sebesar 10.000/ml. Dengan hemodelusi dan
anemia fisiologis maka laju endap darah semakin tinggi dan dapat
mencapai 4 kali dari angka normal.
c) Sistem Respirasi
Pada kehamilan juga terjadi perubahan sistem respirasi untuk dapat
memenuhi kebutuhan O2. Disamping itu terjadi desakan diafragma karena
dorongan rahim yang membesar pada usia kehamilan 32 minggu. Sebagai
kompensasi terjadinya desakan rahim dan kebutuhan O2 yang meningkat,
ibu hamil akan bernafas lebih, yaitu sekitar 20 sampai 25% dari pernafasan
biasanya.
d) Sistem Pencernaan
Karena pengaruh estrogen, pengeluaran asam lambung meningkat
yang dapat menyebabkan:
1) Pengeluaran air liur berlebihan (hipersaliva).
2) Daerah lambung terasa panas.
3) Terjadi pusing kepala.
4) Muntah.
5) Muntah berlebihan (Hyperemesis gravidarum) sehingga mengganggu
kehidupan sehari-hari.
6) Gerak usus semakin berkurang dan dapat menyebabkan konstipasi.
e) Traktus urinarius
Karena pengaruh desakan hamil muda dan turunnya kepala bayi
pada hamil tua terjadi gangguan miksi dalam bentuk sering kencing.
f) Perubahan Pada Kulit
Pada kulit terjadi perubahan deposit pigmen dan hiperpigmentasi
karena pengaruh melanophore stimulating hormon lobus hipofisis anterior
dan pengaruh kelenjar suprarenalis. Hiperpigmentasi ini terjadi pada stria
gravidarum, livida dan alba, dan areola mamae, papilla mamae, linea
nigra, dan cloasma gravidarum.
g) Metabolisme
54
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Dengan terjadinya kehamilan, metabolisme tubuh mengalami
perubahan yang mendasar, dimana kebutuhan nutrisi semakin tinggi untuk
pertumbuhan janin dan persiapan untuk memberikan ASI.
Perubahan metabolisme adalah:
1) Metabolisme basal naik sebesar 15% sampai 20% dari semula
terutama pada trimester ketiga.
2) Keseimbangan asam basa mengalami penurunan yang disebabkan oleh
hemodilusi darah dan kebutuhan mineral yang dibutuhkan janin.
3) Kebutuhan protein wanita hamil makin tinggi untuk pertumbuhan dan
perkembangan janin, perkembangan organ kehamilan dan persiapan
laktasi. Dalam makanan diperlukan protein yang tinggi sekitar ½ gr/kg
BB atau sebutir telur ayam sehari.
4) Berat badan ibu hamil mengalami kenaikan.
5) Berat badan ibu hamil akan bertambah sekitar 10-12 kg selama hamil.
Memperhatikan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa ibu hamil
memerlukan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi. Oleh karena
itu perlu diperhatikan susunan makanan empat sehat lima sempurna.
(Sarwono, 2008:357)
3. Konsep Berat Badan Bayi Lahir
a. Pengertian
Berat badan bayi lahir adalah berat bayi yang ditimbang kurang dari 24 jam
setelah persalinan (Kamus online, 2010).
b. Berat badan bayi lahir digolongkan menjadi 3 yaitu :
1) Berat badan lahir normal yaitu bayi yang lahir dengan berat badan 2500 – 4000
gram.
2) Berat badan lahir rendah yaitu bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir
kurang dari 2500 gram.
3) Makrosomia yaitu bayi baru lahir dengan berat badan > 4000 gram.
(Ida Bagus, 2001)
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi berat bayi lahir
Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan bayi lahir antara lain dipengaruhi
oleh:
1) Paritas
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita
(BKKBN, 2006). Menurut Prawirohardjo (2009), paritas dapat dibedakan
menjadi primipara, multipara dan grandemultipara.
a) Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup
besar untuk hidup di dunia luar (Varney, 2006)
b) Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu
kali (Prawirohardjo, 2009).
c) Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau
lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan
(Manuaba, 2008).
2) Keteraturan ANC (Ante Natal Care)
Ante Natal Care adalah upaya preventif program pelayanan kesehatan obstetrik
untuk optimalisasi luaran maternal dan neonatal melalui serangkaian kegiatan
pemantauan rutin selama kehamilan. (Prawirohardjo, 2008)
3) Ukuran lingkar lengan atas ibu kurang dari 23,5 cm,
4) sosio demografi (umur, pendidikan, pekerjaan)
55
HOSPITAL MAJAPAHIT
d.
e.
f.
g.
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
5) kebiasaan ibu merokok, minum-minuman keras, konsumsi obat-obatan
6) lingkungan eksternal,
7) genetika.
(Nyoman Supariasa, 2002:28)
Kriteria Fisik Bayi Normal
1. Cukup bulan
: usia kehamilan 37-42 minggu
2. Berat badan lahir
: 2500-4000 gram (sesuai masa kehamilan)
3. Panjang badan
: 44-53 cm
4. Lingkar kepala (melalui diameter biparietal) : 31-36 cm
5. Skor Apgar
: 7-10
6. Tanpa kelainan kongenital atau trauma persalinan
Kriteria neurologik bayi normal
1. Frog position (fleksi ekstremitas atas dan bawah)
2. Reflek moro (+)
3. Reflek hisap (+)
4. Reflek menggenggam (+)
5. Reflek rooting
(Antonius, 2000)
Pemantauan Bayi Baru Lahir
Tujuan pemantauan bayi baru lahir adalah untuk mengetahui aktifitas bayi normal
atau tidak dan identifikasi masalah kesehatan bayi baru lahir yang memerlukan
perhatian keluarga dan penolong persalinan serta tindak lanjut petugas kesehatan.
1) 2 jam pertama setelah lahir
Hal-hal yang harus dinilai waktu pemantauan bayi pada jam pertama sesudah
lahir meliputi:
a) Kemampuan menghisap kuat dan lemah
b) Bayi tampak aktif dan lemah
c) Bayi kemerahan atau biru
2) Sebelum penolong persalinan meninggalkan ibu dan bayi
Penolong persalinan melakukan pemeriksaan dan penilaian terhadap ada
tidaknya masalah kesehatan yang memerlukan tindak lanjut seperti:
a) Bayi kecil untuk masa kehamilan atau bayi kurang bulan
b) Gangguan pernafasan
c) Hipotermi
d) Infeksi
e) Cacat bawaan atau trauma lahir
Pemantauan Berat Badan Bayi
1) Penurunan Berat Badan Bayi
Berat badan bayi akan mengalami penurunan selama hari-hari pertama
kelahirannya, karena memang sampai hari ke-4 berat badan bayi turun sampai
7,5-10% masih normal dan akan kembali ke berat badan lahir pada hari ke 7.
Perolehan berat badan ini sangat tergantung dari seringnya bayi menyusu dan
posisi menyusui yang benar.
2) Kenaikan Berat Badan Bayi
Pada bulan pertama, biasanya kenaikan berat badan rata-rata bayi mencapai
500-1400 gr. Pada bulan ke-2 akan bertambah sekitar 1 kg dari berat badan
tubuhnya waktu lahir. Normalnya pada bulan ke-2, berat badan bayi akan
mencapai 3,5 kg hingga 6,8 kg.
56
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Di bulan ke-3, berat badan bayi ditentukan oleh berat badannya saat lahir.
Sebagai patokan, kisaran berat badan bayi usia 3 bulan adalah 4,3 kg hingga
6,8 kg.
h. Cara Mempertahankan Berat Badan Bayi
1) Susui bayi sesering mungkin dengan posisi menyusui yang benar.
2) Bangunkan bayi bila tidur lebih dari 2 jam dengan membuka gedongnya.
3) Hitung jumlah frekwensi kencing untuk mengetahui jumlah ASI yang didapat
bayi. Jumlah normal adalah 8 kali atau lebih, warna kencing kuning muda atau
bening.
4) Kontrol berat badan bayi saat usia bayi 5-7 hari. Supaya berat badan bayi dapat
dievaluasi pada 1 bulan pertama.
(Sri lestariningsih, 2010)
4. Konsep Bayi Berat Lahir Rendah(BBLR)
a. Pengertian
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan krang dari 2500 gr tanpa
memandang masa kehamilan. Berat lahir adalah berat yang ditimbang dalam satu jam
setalah lahir. Untuk keperluan bidan didesa berat lahir diterima dalam 24 jam pertama
setelah lahir. Penyebab BBLR sangat komplek. BBLR dapat disebabkan oleh
kehamilan kurang bulan. (Suririnah, 2008)
Bayi kurang bulan adalah bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu,
sebagai bayi kurang bulan belum siap hidup diluar kandungan dan mendapatkan
kesulitan untuk mulia bernafas, menghisap, melawan infeksi dan menjaga tubuhnya
agar tetap hangat. (Sarwono, 2007:376)
Bayi kecil masa kehamilan (KMK) adalah bayi yang tidak tumbuh dengan baik
di dalam kandungan selama kehamilan. Ada 3 kelompok bayi yang termasuk bayi
KMK yaitu KMK lebih bulan, KMK cukup bulan dan KMK kurang bulan. Bayi KMK
cukup bulan kebanyakan mampu bernafas dan menghisap dengan baik. Sedangkan
bayi KMK kurang bulan kadang kemampuan bernafas dan menghisapnya lemah.
(Sarwono, 2007:377)
b. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan BBLR
Penyebab BBLR umumnya tidak hanya satu, oleh karena itu sulit untuk
dilakukan pencegahan. Kita dapat menurunkan angka prevalensi BBLR di masyarakat
dengan upaya mendorong semua perawatan kesehatan remaja putri dan mengusahakan
semua ibu hamil mendapatkan perawatan antenatal yang komprehensif. (Dinkes,
2009)
1) Faktor Ibu
a) Umur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
b) Jarak Kehamilan Terlalu Pendek (kurang dari 1 tahun).
c) Mempunyai BBLR sebelumnya.
d) Lingkar lengan atas ibu kurang dari 23,5 cm.
e) Ibu hamil dengan masalah-masalah seperti : anemia berat, pre-eklamsia
atau hipertensi’ infeksi selama kehamilan, hepatitis, IMS, HIV/AIDS,
malaria, dan kehamilan ganda. (Kosim, 2005:124)
2) Faktor Bayi
a) Cacat bawaan
Selama kehamilan mengajari ibu dan keluarga untuk tidak mengkonsumsi
obat yang tidak dianjurkan oleh tenaga kesehatan, mengenali tanda bahaya
dalam kehamilan dan bayi baru lahir.
b) Infeksi selama dalam kandungan
57
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Mendapat pengobatan terhadap masalah-masalah yang ada.
(Asrining, 2003:245)
c. Masalah-masalah Pada BBLR
BBLR lebih mudah meninggal atau mengalami masalah kesehatan yang
serius. Berat bayi dan masa kehamilan menggambarkan resiko, semakin kecil
berat bayi dan semakin muda masa kehamilan semakin besar resikonya. Masalahmasalah yang biasanya terjadi pada BBLR, antara lain:
1) Asfiksia
BBLR bisa kurang, cukup atau lebih bulan, semuanya berdampak
pada proses adaptasi pernapasan waktu lahir sehingga mengalami asfiksia
lahir. BBLR membutuhkan kecepatan dan ketrampilan resusitasi.
2) Gangguan nafas
Gangguan nafas yang sering terjadi pada BLBR kurang bulan adalah
penyakit membran hialin, sedangkan pada BBLR lebih bulan adalah aspirasi
mekonium. BBLR yang mengalami gangguan nafas harus segera dirujuk ke
fasilitas rujukan yang lebih tinggi.
3) Hipotermi
Karena hanya sedikitnya lemak tubuh dan sistem pengaturan suhu
tubuh pada bayi baru lahir belum matang. Metode kangguru dengan “kontak
kulit dengan kulit” membantu BBLR tetap hangat.
4) Hipoglikemi
Karena hanya sedikitnya simpanan energi pada bayi baru lahir dengan
BBLR. BBLR membutuhkan ASI sesegera mungkin setelah lahir dan minum
sangat sering (setiap 2 jam) pada minggu pertama.
5) Masalah pemberian ASI
Karena ukuran tubuh BBLR kecil, kurang energi, lemah, lambungnya
kecil dan tidak dapat menghisap. BBLR sering mendapatkan ASI dengan
bantuan, membutuhkan pemberian ASI dalam jumlah yang lebih sedikit tapi
sering. BBLR dengan kehamilan lebih atau sama dengan 35 minggu dan
berat lahir lebih atau sama dengan 2000 gram umumnya bisa langsung
menetek.
6) Infeksi
Karena sistem kekebalan tubuh BBLR belum matang. Keluarga dan
tenaga kesehatan yang merawat BBLR harus melakukan tindakan pencegahan
infeksi antara lain dengan mencuci tangan dengan baik.
7) Ikterus (Kadar bilirubin yang tinggi)
Karena fungsi hati belum matang. BBLR menjadi kuning lebih awal
dan lebih lama dari pada bayi yang cukup beratnya.
8) Masalah pendarahan
Berhubungan dengan belum matangnya sistem pembekuan darah saat
lahir. Beri vitamin K 1 injeksi intra muskuler dengan dosis tunggal 1 mg di
paha kiri setelah selesai melakukan resusitasi.
(Dinkes, 2009)
d. Gambaran Klinis BBLR
Karena beratnya kurang dari 2500 gram bayi lahir dengan berat lahir
rendah dan lemak dibawah kulitnya sangat sedikit.
Tanda-tanda bayi BBLR :
1) Kulit tipis dan mengkilap
2) Tulang rawan telinga sangat lunak
58
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
3) Lanugo banyak terutama punggung
4) Jaringan payudara belum terlihat, puting berupa titik
5) Pada bayi perempuan labia mayora belum menutupi labia minora
6) Pada bayi laki-laki skrotum belum banyak lipatan, testis kadang belum turun.
7) Rajah telapak kaki kurang dari 1/3 bagian atau belum terbentuk.
8) Kadang disertai dengan pernafasan tidak teratur.
9) Aktivitas dan tangisanya lemah.
10) Menghisap atau menelan tidak efektif atau lemah
Tanda-tanda bayi masa kehamilan (KMK) :
1) Umur janin dapat cukup, dapat kurang atau lebih bulan tetapi berat kurang dari
2500 gram.
2) Gerakannya cukup aktif, tangis cukup kuat
3) Kulit keriput, lemak bawah kulit tipis
4) Bila kurang bulan jaringan payudara kecil, puting susu kecil. Bila cukup bulan
payudara dan puting sesuai dengan masa kehamilan.
5) Bayi perempuan bila cukup bulan labia mayora menutupi labia minora.
6) Bayi laki-liki testisnya mungkin telah turun
7) Rajah telapak kaki lebih dari 1/3 bagian.
8) Menghisap cukup kuat
(Utami, 2007:28)
Tanda bayi cukup bulan
1) Berat badan lebih atau sama dengan 2500 gram.
2) Gerakan aktif
3) Tangisan kuat
4) Rajah 1/3 bagian
5) Menghisap kuat
6) Pada bayi laki-laki testis sudah turun
7) Pada bayi perempuan labia mayora sudah menutupi labia minora
8) Payudara dan puting sudah tampak
9) Kulit agak pucat karena lebih tebal
(Sarwono, 2005:459)
e. Penatalaksanaan BBLR
1) Tatalaksana BBLR saat lahir :
Resusitasi : BBLR merupakan salah satu resiko untuk terjadinya asfiksia lahir,
sehingga tatalaksana pada saat lahir adalah tindakan resusitasi.
2) Tatalaksana BBLR setelah lahir
a) Menanyakan riwayat
Tanyakan tanggal perkiraan kelahiran ataunumur kehamilan
b) Melakukan pemeriksaan
(1) Timbang berat bayi setalah lahir (0-24 jam) dan bernafas baik.
Timbanga harus dilapisi dengan kain hangat agar tidak menjadi
dingin.
(2) Lakukan pemeriksaan fisik
c) Menentukan masalah/kebutuhan
Tentukan bayi adalah :
(1) BBLR yang boleh dirawat oleh bidan, adalah BBLR dengan berat
diatas 2500 gram, tanpa masalah atau komplikasi.
(2) BBLR < 2000 gram atau > 2000 gram tetapi bermasalah maka harus
dirujuk.
59
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
d) Rencana perawatan
Untuk semua bayi dengan berat 2000-2499 gram :
(1) Jaga bayi agar tetap hangat
a. Jaga bayi selalu kontak kulit dengan ibunya.
b. Tutupi ibu dan bayi dengan selimut atau kain yang hangat
c. Tutupi kepala bayi dengan kain atau topi
d. Jangan memandikan bayi sebelum suhu stabil atau paling tidak 6
jam setelah lahir.
(2) Mendorong ibu menetei (atau memerah kolostrum dan memberikan
warna dan minum ASI (menghisap) setiap 30-60 menit selama 6 jam.
(3) Beri bayi baru lahir dosis tunggal vit K1 yaitu dengan dosis 1 mg/IM,
ajari ibu dan keluarga menjaga bayi tetap hangat dengan selalu
melakukan kontak kulit dengan kulit.
(4) Beri bayi baru lahir salep mata tetrasiklin 1 %
(5) Jika suhu axila turun dibawah 36,5 , lakukan perawatan metode
kangguru. Hangatkan bayi dengan menghangatkan ruangan pakai
sumber panas dan tutupi bayi dengan selimut hangat.
(6) Sarankan ibu dan keluarga selalu mencuci tangan sebelum dan
sesudah memegang bayi.
Jika masalah bertambah : Jika BBLR membiru atau memiliki
gangguan pernafasan, stimulasi dan rujuk ke fasilitas kesehatan yang
lebih lengkap dengan pedoman rujukan. Jika bayi tidak menghisap
dengan baik perah dan beri ASI dengan menggunakan cangkir dan segara
rujuk ke fasilitas kesehatan.
e) Pemantauan
Kunjungi bayi minimal dua kali dalam minggu pertama dan
selanjutnya sekali dalam setiap minggu sampai berat badan bayi 2500
gram menggunakan format MTBM.
BBLR diperbolehkan turun beratnya hingga 10 % - 5 % dalam
sepuluh hari pertama kemudian sudah harus naik kurang lebih 15 gram
sehari. (Suirinah, 2009)
f. Asuhan BBLR Sehat
BBLR sering mempunyai masalah selama minggu-minggu pertama
kehidupannya. Gunakan langkah-langkahpemecahan masalah sebagai pedoman
untuk memberikan perawatan selama kunjungan :
1) Menanyakan riwayat
a) Apakah bayi menghisap dengan baik?
b) Berapa kali bayi diteteki?
c) Berapa kali bayi kencing dalam satu hari?
d) Bagaimana BAB nya dan seberapa sering bayi BAB dalam satu hari?
2) Pemeriksaan
a) Perhatikan bayi menetek dan ajarkan posisi yang benar.
b) Timbang bayi
BBL harus naik berat badannya secara teratur / sekurangnya 15 gram
sehari setelah berumur 10 hari.
3) Lihat Bayi :
a) Warna kulit
60
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Ikterus tampak lebih awal dan menghilanh lebih lama pada BBLR/kurang
bulan. Rujuk bayi jika ditemukan ikterus pada 24 jam pertama atau
setelah 2 minggu atau jika tangan dan kaki kuning.
b) Pernafasan : frekwensi nafas 30-60x/menit tidak sesak
c) Kepala: UUB cekung/cembung, kaput socsedaneum/sephalhematum.
d) Tali pusat (kemerahan, berbau busuk, atau berair)
e) Raba suhu tubuh, apakah terjadi hipotermi atau tidak
f) Menentukan masalah dan kebutuhan
(1) Tentukan apakah berat badan bayi bertambah
(2) Tentukan apakah bayi anda mempunyai masalah
(3) Perhatikan apakah kebutuhan bayi anda terpenuhi : kehangatan,
pencegahan infeksi, ASI, keamanan, kasih sayang dan tidur.
4) Merencanakan perawatan
a) Jika bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki tanda-tanda bahaya,
segera rujuk ke fasilitas kesehatan.
b) Jika BBLR tumbuh dengan baik dan tidak ada tanda bahaya:
(1) Periksa apakah dapat diberikan imunisasi
(2) Buat rencana perawatan untuk beberapa masalah yang tidak
dikehendaki.
(3) Lanjutkan memberikan saran pada ibu, bagaimana merawat bayi:
(a) Jaga bayi tetap hangat dengan perawatan metode kanguru.
(b) Lindungi bayi dari infeksi (cuci tangan, hindari kontak dengan
orang yang sakit).
(c) Berikan ASI eksklusif sesuai jadwal.
(d) Tunjukkan kasih sayang pada bayi.
(e) Perhatikan tanda-tanda bahaya saat memeriksa.
(4) Rencana kunjungan selanjutnya yang diperlukan untuk pemantauan
lebih lanjut
Imunisasi : pakai jadwal yang sama dengan bayi dengan berat badan
normal.
5) Melakukan pemantauan
a) Kunjungi BBLR setiap minggu untuk memeriksa pertumbuhannya dan
untuk menemukan permasalahan sampai beratnya 2500 gram.
b) Saat berat bayi mencapai 2500 gram mulailah dengan berangsur angsur
mengurangi lamanya kontak kulit dengan kulit.
g. Perawatan Metode Kangguru
BBLR membutuhkan bantuan dan waktu untuk penyesuaian kehidupan di
luar rahim. Mereka juga memerlukan bantuan untuk tetap hangat dan
mendapatkan ASI yang cukup untuk tumbuh. Satu cara untuk enolong bayi
mendapatkan kebutuhan ini adalah menjagabayi tetap kontak kulit dengan ibunya.
Perwatan metode kanguru adalah suatu cara agar BBLR terpenuhi kebutuhan
khusus mereka dalam mempertahankan kehangatan suhu tubuh. Perawatan
metode kanguru memiliki tiga komponen :
1) Kontak kulit dengan kulit antara bagian depan tubuh bayi dengan dada dan
perut ibu dalam baju.
Ibu merupakan sumber panas bagi bayi. Kontak kulit dengan kulit dimulai
saat setelah lahir dan berlanjut siang dan malam. Bayi hanya memakai topi
dan kain untuk menjaga kepala agar tetap hangat.
2) ASI Eksklusif
61
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Bayi menetek segara setelah lahir dan sering. Kain yang membungkus
disekeliling ibu dan bayi dilonggarkan untuk meneteki. Berikan informasi
untuk membantu ibu bagaimana meneteki bayi.
3) Memberikan dukungan kepada ibu dan bayi
Walaupun kebutuhan ibu dan bayi terpenuhi dengan tidak memisahkan
mereka. Ibu membutuhkan banyak dukungan dari suami dan keluarga yang
lain untuk menjaga kontak yang terus menerus ini. Di fasilitas kesehatan
petugas akan membantu. Di rumah keluarga akan membantu. (Dinkes, 2009)
h. Manfaat metode kangguru
1) Bayi
a) Pernafasan bayi baru lahir menjadi teratur dan stabil
b) Suhu bayi baru lahir meningkat dan stabil pada suhu normal
c) Mengurangi kejadian infeksi (terutama infeksi saluran pernafasan dan
saluran cerna).
d) BBLR menetek dengan baik dan berat badan meningkat dengan cepat.
e) Istirahat atau tidur lebih banyak dan nyenyak.
f) Bayi merasa aman dan nyaman.
2) Ibu
a) Ibu menjadi lebih dekat dengan bayinya secara emosional
b) Ibu menjadi merasa mampu merawat bayinya
c) Produksi ASI cukup atau banyak sehingga tidak perlu tambahan susu
formula.
d) Menghemat pengeluaran biaya dalam rumah tangga.
(Kardinan, 2009)
i. Pemberian ASI pada BBLR
1) ASI adalah makanan sempurna untuk semua bayi.
2) Semua BBLR membutuhkan ASI yang adekuat.
3) ASI eksklusif dan tidak dibatasi adalah bagian penting dari metode kanguru.
4) Dengan bayi yang sangat dekat dengan ibunya, bayi akan mencium bau ASI
dan dapat mulai menghisap ketika lapar.
5) BBLR memiliki lambung yang kecil dan tidak dapat minum dalam jumlah
banyak mereka cepat lelah.
6) BBLR memerlukan makanan yang cukup untuk pulih dari saat lahir dan untuk
tumbuh, tetapi mereka tidak cukup energi untuk menghisap lama-lama.
7) Cara meneteki bayi dengan berat badan lahir rendah
a) Cari tempat yang tenang untuk meneteki
BBLR dapat memiliki sistem syaraf yang belum matang. Suara, cahaya,
dan aktivitas dapat mengganggu bayi menghisap.
b) Perah beberapa tetes ASI di puting payudara untuk membantu bayi mulai
menghisap.
c) Berikan bayi istirahat sejenak selama saat meneteki.
d) Menetek adalah pekerjaan berat bagi BBLR.
e) Air susu yang terlalu deras pada bayi kecil menyebabkan batuk dan
cegukan, untuk itu lakukan :
(1) Hentikan pemberian ASI untuk sementara.
(2) Muliai menyusu kembali setelah pernafasan normal.
(3) Apabila ASI masih terlalu deras memancar, atur posisi ibu setengah
baring.
62
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
f) Jika BBLR tidak memiliki cukup tenaga untuk menghisap lama atau
memiliki reflek menghisap yang cukup kuat :
(1) Ajari ibu untuk memerah ASI
(2) Ajari ibu untuk menyuapi bayinya dengan ASI yang diperah dengan
menggunakan cangkir atau sendok.
(3) Bayi 2000 gram sehat bisa menghisap, menelan dan apabila ada
masalah segera rujuk (Asrining, 2003:129)
j. Tanda Bahaya Bayi Baru Lahir
Segera rujuk BBLR yang memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
1) Masalah pemberian ASI atau tidak dapat menghisap
2) Letargi
3) Gangguan pernafasan
4) Kejang
5) Teraba dingin atau panas
6) Perdarahan tali pusat
7) Ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir
8) Muntah terus menerus dengan perut kembung, diare lendir dan darah.
9) Pucat sianosis / biru pada bibir atau bagian akral
(Utami, 2007:148)
k. Asuhan BBLR sakit
1) Hipotermi Sedang
Definisi
Suhu tubuh bayi antara 36-36,4 . Pengukuran dilakukan pada axila selama 3-5
menit.
Asuhan hipotermi sedang
a) Ganti pakaian yang dingin dan basah dengan pakaian yang hangat dan
kering, memakai topi dan selimuti bayi yang hangat.
b) Bila ada ibu atau pengganti ibu anjurkan menghangatkan bayi dengan
kontak kulit dengan kulit.
c) Periksa ulang suhu bayi 1 jam kemudian, bila suhu bayi naik dalam batas
normal, berarti usaha menghangatkan berhasil.
d) Anjurkan ibu untuk menyusui lebih sering. Bila bayi tidak dapat
menyusu berikan ASI peras menggunakan sendok.
e) Rujuk apabila ada salah satu keadaan seperti di bawah ini :
(1) Jika setelah menghangatkan selama 1 jam tidak ada kenaikan suhu.
(2) Bila reflek hisap bayi lemah.
(3) Terdapat gangguan nafas atau kejang.
(4) Bila disertai tanda mengantuk/letargis atau bagian tubuh bayi
mengeras.
l. Pemantauan Tumbuh Kembang BBLR
1) Tumbuh Kembang
a) Bayi BBLR memerlukan pemantauan secara periodik (hari ke 2, 7, 14,
21).
b) Penurunan berat badan bayi masih bisa diterima maksimal 10 % dari
berat lahir pada 7 hari pertama dan 15 % pada 10 hari pertama usia bayi.
c) Setelah berat lahir tercapai kembali, kenaikan berat badan sekurang
kurangnya 90 gram per 6 hari.
2) Pemantauan Pertumbuhan BBLR
a) Panjang badan anak
63
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
(1) Panjang badan yang diukur dalam posisi anak tidur (pada anak umur
< 24 bulan) atau dalam posisi anak berdiri tegak dengan kepala,
punggung, pantat, tumit menempel pada suatu bidang tegak (pada
anak usia > 24 bulan).
(2) Pengukuran tinggi badan, alat yang dipakai adalah mikrotois yang
sudah ditera, dapat mengukur tinggi badan dengan kapasitas
maksimal 200 cm dengan ketelitian 0,1 cm.
(3) Angka dibaca sampai milimeter.
b) Berat badan anak
(1) Berat badan yang diperoleh dari penimbangan.
(2) Penimbangan dilakukan tanpa alas kaki dan pakaian tipis, kalau
perlu tidak berpakaian dan pembacaan dilakukan dalam gram.
c) Lingkar kepala anak
Lingkar kepala diukur melewati dahi menutupi alis mata dan bagian
belakang kepala yang menonjol, dinyatakan dalam satuan cm.
3) Pemantauan perkembangan BBLR
a) Motorik dinilai adalah motorik kasar (mengangkat kepala, berbalik,
duduk, merangkak, dan berdiri) dan motorik halus (mengikuti gerakan
benda, menggenggam, meraih benda, dll).
b) Sensorik dinilai adalah indra penglihatan, raba, rasa, pendengaran dan
penciuman.
c) Psikososial yang dinilai adalah kemampuan berinteraksi dengan
lingkungan.
d) Kemandirian yang dinilai kesiapan untuk menolong dirinya sendiri tidak
tergantung dengan orang lain. (Dinkes, 2009)
C. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian analitik dengan menggunakan rancang bangun
Case control dimana definisi Case Control adalah suatu penelitian analitik yang menyangkut
bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektive.Variabel
independent dalam penelitian ini adalah ukuran lingkar lengan atas ibu hamil. Variabel
dependent dalam penelitian ini adalah berat badan bayi lahir. Hipotesa alternatif yang akan
diuji adalah sebagai berikut:
H1 = Ada hubungan antara ukuran LILA dan BB Bayi Baru Lahir.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin di BPS. Ana Susanti. Amd. Keb
Desa Wonokupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo tahun 2010 sebanyak 138
responden dari bulan Januari – Desember. Besar sampel diambil dalam penelitian ini yaitu
menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Isaac dan Micheal dengan menggunakan
pendekatan statistic dengan tingkat kesalahan sebesar 5% (0,05) dan tingkat kepercayaan nya
95% (Eva, Sebagariang, Ellya, dkk, 2010, hal.75). Besar sampel 101,72 jadi besar sampel
menjadi 102 orang. Sampel yang ada diambil secara acak sederhana (simple random) yaitu
dengan melakukan undian atau lotre terhadap nomor responden pada daftar sampel sampai
memenuhi batas sampel yang ditentukan. Teknik pengumpulan data baik ukuran LILA dan
berat badan bayi lahir menggunakan teknik dokumentasi. Instrumen yang digunakan adalah
Rekam medis. Setelah data terkumpul, kemudian analisis secara analitik dengan
menggunakan uji statistik yaitu WILXOCON Marth Pairs Test.
D. HASIL PENELITIAN
64
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Tabel 1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan paritas ibu di BPS Ana Susanti.
Amd. Keb Tahun 2010. Tanggal 22 Juni 2011.
No
1
2
3
Paritas
Primipara
Multipara
Grandemultipara
Jumlah
Frekuensi (f)
39
45
18
102
Prosentase (%)
38,2
44,1
17,6
100
(Sumber : Rekam Medis tahun 2010)
Tabel 1 dapat dilihat bahwa hampir setengah dari jumlah responden yaitu 44,1%
berada pada kelompok multipara sebanyak 45 orang.
Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia ibu di BPS Ana Susanti.
Amd. Keb Tahun 2010. Tanggal 22 Juni 2011
No
1
2
3
Usia
< 20 Tahun
20 – 35 Tahun
Tahun
Jumlah
Frekuensi (f)
16
75
11
Prosentase (%)
15,7
73,5
10,8
102
100
(Sumber : Rekam Medis tahun 2010)
Tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar dari jumlah responden yaitu 73,5%
terletak pada kelompok usia 20 – 35 tahun sebanyak 75 orang.
Tabel 3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan ibu di BPS Ana
Susanti. Amd. Keb Tahun 2010. Tanggal 22 Juni 2011
No
1
2
3
4
Pendidikan
Tidak Sekolah
SD / SMP
SMA
Perguruan Tinggi
Jumlah
Frekuensi (f)
11
30
44
17
102
Prosentase (%)
10,8
29,4
43,1
16,7
100
(Sumber : Rekam Medis tahun 2010)
Tabel 3 dapat dilihat bahwa hampir setengah dari responden yaitu 43,1 %, terletak
pada kelompok yang berpendidikan SMA sebanyak 44 orang.
Tabel 4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan ibu bersalin di BPS
Ana Susanti. Amd. Keb Tahun 2010. Tanggal 22 Juni 2011
No
1
2
Pekerjaan
Tidak Bekerja
Bekerja
Jumlah
Frekuensi (f)
65
37
102
Prosentase (%)
63,7
36,3
100
(Sumber : Rekam Medis tahun 2010)
Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar dari jumlah responden yaitu 63,7%
terletak pada kelompok tidak bekerja sebanyak 65 orang.
Tabel 5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan ukuran lingkar lengan atas
ibu hamil di BPS Ana Susanti Amd. Keb Tahun 2010. Diambil pada
tanggal 22 juni 2011 dari Rekam Medis.
No
1
2
Ukuran LILA
< 23,5 cm
cm
Jumlah
Frekuensi (f)
22
80
102
(Sumber : Rekam Medis tahun 2010)
65
Prosentase (%)
21,6
78,4
100
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Tabel 5 dapat dilihat bahwa hampir separuh dari jumlah responden yaitu 78,4%,
terletak pada kelompok ibu yang mempunyai ukuran LILA
23,5 cm sebanyak 80
orang.
Tabel 6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan berat badan bayi yang
dilahirkan oleh ibu bersalin di BPS Ana Susanti. AMd. Keb Tahun 2010.
Diambil pada tanggal 22 juni 2011 dari Rekam Medis.
No
1
2
3
Berat BBL
BBLR(< 2500)
BBLN( 2500-4000)
Makrosomia
Jumlah
4000)
Frekuensi (f)
25
66
11
Prosentase (%)
24,5
64,7
10,8
102
100
(Sumber : Rekam Medis tahun 2010)
Tabel 6 dapat dilihat bahwa sebagian besar dari jumlah responden yaitu 64,7%
terletak pada kelompok BBLN sebanyak 66 bayi.
Tabel 7 Tabel tabulasi silang ukuran lingkar lengan atas (LILA) ibu hamil di BPS
Ana Susanti. AMd. Keb tahun 2010. Diambil pada tanggal 22 juni 2011
dari Rekam Medis.
N Ukuran LILA
Berat Badan Bayi Lahir
Jumlah
o
BBLN %
BBLR %
Makro %
N
%
somia
1
66
64,7 3
2,9
11
10,8 80
78,4
cm
2 <23,5 cm
0
0
22
21,6 0
0
22
21,6
Jumlah
66
64,7 25
24,5 11
10,8 102
100
(Sumber : Rekam Medis tahun 2010)
Tabulasi silang pada tabel 7 menunjukkan bahwa ibu dengan LILA < 23,5 cm
melahirkan bayi dengan berat badan lahir yang lebih rendah dibandingkan dengan ibu
yang mempunyai LILA
23,5 cm, dimana sebagian kecil ibu mempunyai LILA < 23,5
cm yaitu 21,6% melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu ada 22
orang. Dan sebagian besar ibu mempunyai LILA
23,5 cm yaitu 64,7% melahirkan bayi
dengan berat badan lahir normal ( 2500 – 4000 gram) yaitu ada 66 orang. Kejadian bayi
dengan berat lahir lebih / makrosomia ( 4000 gram), tidak ada pada ibu dengan LILA <
23,5 cm, sedangkan pada ibu dengan LILA
23,5 cm ada 11 kasus (10,8%). Uji analitik
perhitungan hubungan ukuran lingkar lengan atas (LILA) ibu hamil dengan berat badan
bayi lahir dilakukan dengan software SPSS versi 14 menggunakan uji WILCOXON
dengan tingkat signifikan
0,05 didapatkan nilai koefisien sebesar Z = 3,494 dengan
tingkat signifikan (
0,000. Karena tingkat signifikan (
= 0,000 maka Ho ditolak,
berarti ada hubungan ukuran lingkar lengan atas (LILA) ibu hamil dengan berat badan
bayi lahir.
E. PEMBAHASAN
1.Lingkar Lengan Atas Ibu
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa hampir seluruh dari jumlah
responden yaitu 78,4%, terdapat pada kelompok ibu yang mempunyai LILA
23,5 cm
66
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
sebesar 80 orang. Menurut Depkes RI : 2001, Ibu hamil yang memiliki LILA < 23,5 cm
selain beresiko untuk melahirkan dengan berat badan bayi lahir rendah, juga beresiko
kematian dalam persalinan, perdarahan pasca persalinan yang sulit karena lemah dan
mudah mengalami gangguan kesehatan.
Lingkar lengan atas digunakan untuk menghitung skala gizi atau menilai status
gizi pada wanita usia subur, baik ibu hamil maupun calon ibu. (Kamus online : 2010).
Adapun ambang batas LILA WUS (ibu hamil) dengan resiko KEK di Indonesia adalah
23,5 cm. Apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau di bagian merah pita LILA,
artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK dan diperkirakan akan melahirkan berat
bayi lebih rendah. Lingkar lengan atas merupakan indicator status gizi yang digunakan
terutama untuk mendeteksi kurang energi protein pada anak-anak dan merupakan alat
yang baik untuk mendeteksi wanita usia subur dan ibu hamil dengan resiko melahirkan
bayi dengan berat badan lahir rendah. Hal ini sesuai dengan Depkes RI yang dikutip
oleh Supariasa (2002).
Dalam penelitian ini ditemukan sebagian besar dari jumlah responden yaitu
63,7%, pada kelompok ibu tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga sebesar 65
orang. Ibu yang tidak bekerja mempunyai lebih banyak waktu untuk istirahat. Dan ibu
yang mempunyai pekerjaan dinilai lebih bisa memenuhi kebutuhan gizinya.
2.Berat Badan Bayi Baru Lahir
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa sebagian besar dari jumlah responden yaitu
64,7% pada kelompok BBLN (2500-4000 gram) sebesar 66 orang dari 102 bayi yang
dilahirkan pada tahun 2010. Faktor yang mempengaruhi berat badan bayi lahir yaitu
meliputi status gizi ibu pada saat hamil, hal ini dapat dapat dipantau melalui
penambahan berat badan saat hamil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bobak (2004 :
204) yaitu peningkatan berat badan selam hamil memberi kontribusi penting terhadap
kesuksesan suatu kehamilan. Peningkatan ini didistribusikan ke janin yang sedang
berkembang dan peningkatan cairan tubuh dan jaringan payudara ibu, sebagian
peningkatan berat disimpan dalam bentuk lemak sebagai cadangan makanan untuk
memenuhi kebutuhan perkembangan janin selama trimester terahir. Sehingga
mempengaruhi berat badan lahir bayi.
Menurut Suparyanto (2010), paritas juga mempengaruhi berat badan bayi lahir.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa berat badan bayi lahir > 2500 gram lebih banyak
di temukan pada ibu multigravida. Karena pada ibu multigravida lebih mempunyai
pengalaman dalam kehamilan terutama tentang gizi pada ibu hamil.
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan kesehatan ibu.
Ibu yang berpendidikan tingkat pemahaman tentang kesehatan jauh lebih baik
dibandingkan dengan ibu yang tidak berpendidikan. Ibu yang berpendidikan
pemahamannya akan lebih baik dalam memperoleh pengetahuan, informasi, konseling
atau hal lain tentang kesehatan. Sehingga akan berpengaruh terhadap perawatan ANC.
Dalam penelitian ini ditemukan tingkat pendidikan rendah atau tidak sekolah lebih
sedikit di bandingkan SD/SMP, SMA ataupun perguruan tinggi.
Selain pendidikan faktor lain yang dapat mempengaruhi berat badan bayi lahir
adalah usia ibu, berdasarkan penelitian ini usia ibu 20-35 tahun diperoleh hasil lebih
besar, sedangkan usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih sedikit. Usia
20-35 tahun dinilai lebih baik dan sudah matur atau siap menerima kahamilan
dibandingkan dengan usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ida Bagus Gede Manuaba (2000 : 35) yaitu
umur kurang dari 20 tahun merupakan usia pertumbuhan dan perkembangan dari organ
reproduksi sehingga masih belum sempurna dalam menerima buah kehamilan dan
67
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
perkembangan selanjutnya, sedangkan umur lebih dari 35 tahun perkembangan
reproduksi sudah mulai degenerasi sehingga fungsi mulai menurun dan apabila terjadi
kehamilan zat nutrisi menjadi kurang adekuat sehingga bayi yang di lahirkan
mempunyai berat lahir yang rendah.
Berat badan bayi lahir > 2500 gram sebagian besar dilahirkan oleh ibu hamil
yang mempunyai status gizi cukup atau baik. Begitu juga berat badan bayi lahir < 2500
gram sebagian besar dilahirkan oleh ibu hamil yang mempunyai status gizi buruk atau
gizi kurang.
3. Hubungan Ukuran Lengkar Lengan Atas Ibu dengan Berat Badan Bayi Lahir
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan LILA < 23,5 cm melahirkan
bayi dengan berat badan lahir yang lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang
mempunyai LILA
23,5 cm, dimana sebagian kecil ibu mempunyai LILA < 23,5 cm
yaitu 21,6% melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu ada 22
orang. Sebagian besar ibu mempunyai LILA
23,5 cm yaitu 64,7% melahirkan bayi
dengan berat badan lahir normal ( 2500 – 4000 gram) yaitu ada 66 orang. Kejadian bayi
dengan berat lahir lebih / makrosomia ( 4000 gram), tidak ada pada ibu dengan LILA
< 23,5 cm, sedangkan pada ibu dengan LILA
23,5 cm ada 11 kasus (10,8%).
Perhitungan hubungan ukuran LILA ibu hamil dengan berat badan bayi lahir
dilakukan dengan software SPSS versi 14 menggunakan uji wilcoxon dengan tingkat
signifkan 0,05 didapat nilai Z = 3,494 dengan tingkat signifikan
0,000. Karena
tingkat signifikan kurang dari 0,05 maka Ho ditolak, berarti ada hubungan ukuran
lingkar lengan atas ibu hamil dengan berat badan bayi lahir.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian khusus di Indonesia, diperoleh standart
LILA jika LILA <23,5 cm maka status gizi ibu hamil kurang, kemungkinan mengalami
KEK (Kurang Energi Kronis) dan beresiko tinggi melahirkan bayi BBLR. Dan jika
LILA
23,5 cm maka status gizi ibu hamil baik dan resiko melahirkan bayi BBLR
sangat rendah. Pengukuran LILA dapat digunakan untuk deteksi dini dan menapis dan
resiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
(http://www.Kehamilansehat.net/artikel/gizi+kesehatan:2010). kekurangan gizi pada ibu
hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan
keguguran, bayi lahir mati, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati
dalam kandungan), BBLR. Wanita usia subur (WUS) harus mempunyai gizi yang baik,
misalnya dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila LILA ibu hamil kurang dari
angka tersebut, sebaiknya kehamilan ditunda sehingga tidak beresiko melahirkan bayi
dengan BBLR. Ibu hamil wajib berstatus gizi baik. Agar janinnya tidak mengalami
hambatan dan selanjutnya melahirkan bayi dengan berat yang normal. Menurut
pendapat (Supariasa, 2001 : 51) hasil pengukuran LILA ada dua kemungkinan yaitu <
23,5 cm dan
23,5 cm. Apabila hasil pengukuran < 23,5 cm berarti beresiko KEK dan
23,5 cm tidak beresiko KEK. Jadi untuk menapis wanita < 23,5 cm, sebalum hamil
harus mempunyai
23,5 cm yaitu dengan memperbanyak asupan gizi seimbang, dan
apabila ukuran LILA < 23,5 cm disarankan untuk menunda kehamilan terlebih dahulu
agar nantinya tidak melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir rendah (BBLR).
Ada beberapa hal yang menyebabkan ibu melahirkan bayi dengan makrosomia
yaitu pengaruh kecukupan gizi porsi makanan yang dikonsumsi ibu hamil akan
berpengaruh terhadap bobot janin. Asupan gizi yang berlebih bisa mengakibatkan bayi
lahir dengan berat diatas rata-rata. Faktor genetik obesitas atau overweight yang dialami
ayah-ibu dapat menurun pada bayi. (Ayurai : 2009).
68
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Ibu hamil selain harus menjaga asupan gizi yang seimbang juga harus
mengatur jarak kehamilan, jarak kehamilan yang terlalu dekat < 2 tahun dan jumlah
anak yang lebih dari 4 dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin sehingga
menyebabkan BBLR.(Departemen Kesehatan : 2001). Ukuran LILA mempengaruhi
berat badan bayi saat lahir, ibu dengan LILA normal sebagian besar melahirkan bayi
dengan berat yang normal dan juga bayi dengan makrosomia, karena asupan gizi
berpengaruh langsung terhadap perkembangan janin yang di dalam kandungan.
F. PENUTUP
Hasil penelitian di BPS Ana Susanti. AMd. Keb Desa Wonokupang Kec Balongbendo Kab
Sidoarjo pada bulan Juli 2011 dapat disimpulkan bahwa : Ukuran LILA ibu hamil
23,5 cm
ada 80 orang (78,4%), Berat badan bayi lahir normal (BBLN) ada 66 bayi (64,7%), Hubungan
ukuran LILA ibu hamil dengan berat badan bayi lahir dilakukan dengan software SPSS versi
14 menggunakan uji wilcoxon dengan tingkat signifikan 0,05 didapat nilai Z = (3,494) dengan
tingkat signifikan
0,000. Karena tingkat signifikan 0,000 maka Ho ditolak, berarti ada
hubungan ukuran LILA ibu hamil dengan berat badan bayi lahir. Hendaknya profesi bidan
lebih mengoptimalkan penyuluhan tentang nutrisi atau gizi pada masa kehamilan dan
meningkatkan pelayanan kebidanan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier. 2001. Status Gizi Balita. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Asrining. 2003. Penanganan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC.
Depkes. 2002. Kekurangan Energi Kronis. Jakarta: Depkes RI.
Depkes. 2009. Penyebab BBLR. Jakarta: Depkes RI.
Hidayat A. Alimul. 2007. Riset Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba
Medika.
Jundarwanto. 2009. KPD or Premature of Rupture Membrane. http://www.kia.com diakses
pada tanggal 15 April 2011.
Kardinan. 2009. Kurang Energi Kronis. www.indoskripsi.com. Diakses tanggal 15 April
2011.
Khosim. 2005. Perawatan Bayi Baru Lahir. Jakarta: IDAI.
Lestariningsih, Sri. 2010. Penanganan Bayi Baru Lahir. http://id.Shvoong.com. Diakses
tanggal 7 Mei 2011.
Nasir. Moh. 2009. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia.
Reza, Budi. 2010. Gizi Ibu Hamil. http://www.kehamilan.net.
Riskesdas. 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar Propinsi Jawa Timur. Jakarta: Depkes RI.
Supariasa. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Sari, Puspita. 2010. Pemantauan Berat Badan Bayi. http://www.Gizi.net diakses tanggal 7 Mei
2011.
Sarwono. 2007. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan> Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Suririnah. 2008. Berat Badan Bayi Lahir Rendah. http://www.smrnd.com diakses tanggal 16
April 2011.
Sulistina. 2008. Kejadian BBLR. http://www.smrnd.com diakses tanggal 16 April 2011.
69
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Utami. 2007. Inisiasi MenyusuDini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda.
Widi. 2010. Konsep Paritas. http://www.info-ibu.com diakses tanggal 7 Mei 2011.
PENGARUH PERAN IBU DENGAN KEBERHASILAN TOILET TRAINING PADA
ANAK USIA TODDLER DI PLAY GROUP TARBIYATUSH SHIBIYAN
MOJOANYAR MOJOKERTO
1
Risfan Batuatas1, Tripeni, SST. M.Kes2
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit
2
Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit
ABSTRACT
Most of the mothers still use diapers on their children when they can make a rash
around his bottom. The purpose of this study was to determine the effect of the role of
mothers with successful toilet training for children ages toddler in Play Group Tarbiyatush
Shibiyan Mojoanyar Mojokerto.This type of research used Crossectional design. The
indenpendent variable in this study is the role of parents and dependen variable is the success
of toilet training. Population in this study were all mothers with children ages toddler in Play
Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto, and 34 people selected as samples using
the purposive sampling technique. Data analyzed using chi square test. The results obtained
most of the respondents expressed support in the successful toilet training as many as 14
respondents (56%) and most of the respondents succeeded in potty training children as many
as 17 respondents (68%). Chi square test results obtained sig count (ρ) = 0.004 <0.05 so that
H0 is rejected, which means there is the influence of the role of mothers with successful toilet
training for children ages toddler in Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto.
The necessary patience and attention to a psychic so that toddler can successfully make toilet
training. Health workers must provide health education to parents with young children about
science-related health of children with toilet training so that parents can find out and provide a
supporting role in her toddler.
Key words : Role of the Mothers, Toilet Training, Childhood Toddler.
A. PENDAHULUAN
Training atau melatih ke toilet terjemahan bebasnya merupakan salah satu pelajaran
yang harus kita ajarkan pada anak agar bisa mandiri ke toilet dan tidak bergantung terus pada
diapers. Sebagian besar ibu-ibu masih sering menggunakan diapers pada anaknya padahal
tersebut dapat membuat ruam-ruam di sekitar pantatnya (Azwir, 2010). Selain itu, toilet
training juga mengajarkan anak untuk dapat membersihkan kotorannya sendiridan memakai
kembali celananya (Rawins, 2008). Studi terbaru mengenai toilet training merekomendasikan
para orangtua untuk mulai mengenalkantoilet training saat anak berusia 27-32 bulan. Anak
yang baru mulai belajar menggunakan toilet di atas usia 3 tahun cenderung lebih sering
mengompol hingga usia sekolah. Sebaliknya, bila Anda mulai mengenalkan anak untuk pipis
dan buang air besar di toilet sebelum ia berusia 27 bulan justru lebih sering gagal. Para
peneliti melakukan studi dengan mewawancarai 157 orangtua yang memiliki anak berusia 470
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
12 tahun yang rutin berkonsultasi pada dokter karena anaknya masih mengompol. Para
orangtua tersebut ditanyai kapan mereka mulai mengajarkan toilet training dan metode apa
yang dipakai. Jawaban para responden itu kemudian dibandingkan dengan orangtua dari 58
anak yang memiliki kemiripan usia, gender, ras, dan faktor lain, namun tidak punya masalah
mengompol (Hana, 2010)
Sebuah survey yang pernah ada di Indonesia oleh tabloid Nakita menyebutkan,
setengah juta anak berusia 6–16 tahun masih suka ngompol, yang terdiri dari:17% anak
berusia 5 tahun, 14% anak berusia 7 tahun, 9% anak berusia 9 tahun, dan 1–2% anak berusia
15 tahun, Sedangkan sekitar 30% anak berumur 4 tahun, 10% anak berumur 6 tahun, 3% anak
berumur 12 tahun dan 1% anak berumur 18 tahun masih mengompol di tempat tidur. Terdapat
juga sekitar 20% anak usia balita tidak melakukan toilet training dan 75% orang tua tidak
memandang kondisi seperti itu sebagai masalah.
Para orangtua khususnya kaum ibu terkadang masih bingung kapan dan bagaimana
harus memulai toilet training untuk balitanya. Sebetulnya, cukup mudah untuk mengetahui
kapan anak sudah dapat dikenalkan dengan toilet training. Salah satunya, saat anak mulai
menunjukkan minatnya untuk melepas popoknya atau ia bangun tidur siang dalam keadaan
kering tidak mengompol, atau ia tahu kapan waktunya ia harus pup atau pipis.Kendati
demikian faktor psikologi anak tidak boleh dilupakan. Tak sedikit anak yang mengalami
stress saat dikenalkan toilet training. Sehingga saat memasuki toilet anak sering tak jadi BAB.
Namun, begitu keluar toilet anak malah BAB Jika demikian adanya ini akan mempersulit
waktu belajarnya. Anak akan merasa sangat takut pada saat dirinya sudah mulai merasa ingin
membuang hajatnya. Seringkali pada beberapa anak kegagalan proses toilet training ditandai
dengan anak sering menahan keluarnya hajat besar yang lama kelamaan akan membuat
terganggunya fungsi pencernaan. Anak tetap akan membuang hajat (besar maupun kecil) di
tempat yang tidak tepat. Bahkan, ada juga anak yang sudah mengalami frustrasi sehingga
kerapkali rewel dan menangis ketika buang hajat. Sebaliknya, jika proses toilet training
dirasakan anak sebagai kegiatan yang menakutkan dan mencemaskan dirinya karena terlalu
banyak tekanan dan hukuman dari orangtua, maka hal ini hanyalah akan menggagalkan proses
tersebut (Bataviase, 2010).
Dukungan psikis menjadi prasyarat utama kesuksesan toilet training. Jangan sampai
ada pemaksaan ataupun hukuman (fisik dan psikis) terhadap anak. Dukungan yang
dibutuhkan bagi anak pada proses ini dapat diberikan seperti memberikan pujian ketika anak
berhasil membuang hajatnya di kloset. Katakan kepadanya bahwa dirinya hebat dan pintar.
Dapat pula kita ajak kepada anak-anak kita untuk melihat produk hajat yang telah mereka
buang ke dalam kloset sambil menjelaskannya. Sehingga mereka mengetahui keseluruhan
proses yang sedang terjadi selama proses toilet training.Pujian yang diberikan pada anak pada
intinya salah satu bentuk kegiatan toilet training menjadi hal yang sangat menyenangkan bagi
anak. Ini dimaksudkan agar anak tidak mengalami rasa takut dan cemas ketika dirinya akan
membuang hajat di tempat yang tepat sehingga mempermudah anak untuk membiasakan
dirinya membuang hajat di tempat yang tepat (Bataviase, 2010).
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar Peran Orang Tua
a. Pengertian Peran Orang Tua
Peran adalah perilaku yang berkenaan dengan siapa yang memegang
posisi tertentu, posisi mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam
sistem sosial. Setiap individu menempati posisi-posisi multiple, orang
dewasa, dan pria suami yang berkaitan dengan masing masing posisi ini
adalah sejumlah peran, di dalam posisi ibu, beberapa peran yang terkait
71
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
adalah sebagai penjaga rumah, merawat anak,pemimpin kesehatan dalam
keluarga, masak, sahabat atau teman bermain. Peran adalah serangkaian
perilaku yang di harapkan seseorang sesuai dengan posisi social yang
diberikan baik secara formal dan informal (Supartini, 2004)
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu,
dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat
membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk
mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan
tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan pengertian orang tua di atas, tidak terlepas dari pengertian keluarga,
karena orang tua merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah
tergantikan oleh keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak (Arif,
2010).
Menurut Depkes RI keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang
terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul serta tinggal
dalam suatu tempat berada dibawah suatu atap dalam keadaan saling
ketergangungan (Riyadi, 2010).
b. Struktur Peran Keluarga
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang
sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal,
sedangkan posisi adalah keberadaan seseorang dalam sistem sosial. Peran juga
diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengontrol atau memengaruhi
atau mengubah perilaku orang lain.
Peran anggota keluarga dijalankan untuk menjaga keseimbangan dalam
keluarga, yang dijalankan melalui peran formal maupun informal. Peran formal
yang dijalankan keluarga menentukan tercapainya keseimbangan dalam
keluarga atau tidak. Banyak hal yang menjelaskan tentang peran formal dalam
keluarga, di antaranya Nye dan Gecas (dalam Friedman) mengemukakan bahwa
beberapa peran dasar dan laki-laki sebagai ayah dan wanita sebagai ibu yang
mempunyai posisi sosial sebagal pemberi layanan, yaitu peran penjaga rumah,
pemelihara anak, peran sosialisasi anak, peran rekreasi, mempertahankan
hubungan dengan keluarga wanita atau lain-lain, pemenuhan kebutuhan
pasangan, dan peran seksual. Sedangkan peran informal dan keluarga bisa
menentukan keseimbangan keluarga dan bisa juga tidak, tetapi lebih bersifat
adaptif dan mempertahankan kesejahteraan keluarga. Peran informal adalah
peran sebagai pemberi dorongan, peran mempertahankan keharmonisan, peran
untuk kompromi, peran untuk memulai atau berkontribusi dalam menghadapi
masalah, peran untuk pelopor, koordinator dan peran informal lainnya
(Supartini, 2004).
c. Tugas Perkembangan keluarga dengan tahap anak toddler
Menurut Friedman (2004) Tugas tugas perkembangan keluarga dengan
anak usia toddler diantaranya: memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti
rumah, ruang bermain, privasi, keamanan, mensosialisasikan anak,
mengintegrasikan anak yang baru sementara tetap memenuhi kebutuhan anak
anak yang lain, mempertahankan hubungan yang sehat dalam keluarga
(hubungan perkawinan dan hubungan orang tua dan anak) dan diluar keluarga
(keluarga besar dan komunitas).
Menurut Engel (2010) tahap perkembangan keluarga dengan anak usia
toddler dimulai pada saat anak pertama berusia 3 tahun dan melibatkan
72
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
sosialisasi anak serta keberhasilan penyesuaian terhadap perpisahan antara orang
tua dengan anak.
Menurut Ali (2010) tahap perkembangan keluarga dengan anak toddler
adalah memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti rumah, ruang bermain,
privasi, keamanan, dll, menyosialisasikan anak, mengintegrasikan anak yang
baru sementara tetap memenuhi kebutuhan anak yang lain, mempertahankan
hubungan yang sehat di dalam keluarga (hubungan perkawinan dan hubungan
orang tua serta anak) dan diluar keluarga (keluarga besar dan komunitas).
Masalah kesehatan fisik utama pada tahap ini adalah penyakit menular yang
lazim pada anak-anak, anak jatuh, luka, luka bakar, keracunan dan kecelakaankecelakaan lain.
Sedangkan menurut Suprajitno (2004) kebutuhan perkembangan
keluarga sesuai tahap perkembangan anak usia toddler adalah :
1) Memenuhi kebutuhan anggota keluarga, misalnya kebutuhan tempat tinggal,
privasi dan rasa aman
2) Membantu anak untuk besosialisasi
3) Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, sementara kebutuhan anak yang
lain (tua) juga harus terpenuhi
4) Mempertahankan hubungan yang sehat, baik di dalam atau diluar keluarga
(keluarga lain dan lingkungan sekitar)
5) Pembagian waktu untuk individu, pasangan, dan anak (biasanya keluarga
mempunyai tingkat kerepotan yang tinggi)
6) Pembagian tanggung jawab anggota keluarga
7) Merencanakan kegiatan dan waktu untuk menstimulasi pertumbuhan dan
perkembangan anak.
d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peran Orang Tua
Menurut Supartini (2004) peran dapat dipelajari melalui proses
sosialisasi secara tahapan perkembangan anak yang dijalankan melalui interaksi
antar anggota keluarga. Peran yang dipelajari akan mendapat penguatan melalui
pemberian penghargaan baik dengan kasih sayang, perhatian dan persahabatan,
kemampuan orang tua menjalankan peran ini tidak dipelajari melalui pendidikan
secara formal, melainkan berdasarkan pengalaman orang tua lain.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran orang tua terhadap anak
usia pra sekolah, antara lain :
1) Pendidikan orang tua
Shifrin 1997 dan wong 2001, mengemukakan beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk dapat menjadi lebih siap dalam menjalankan peran
adalah dengan terlibat aktif dalam setiap upaya pendidikan anak, mengamati
segala sesuatu dengan berorientasi pada masalh anak dengan secara reguler
memeriksakan dan mencari pelayanan imunisasi, memberikan nutrisi yang
adekuat, memperhatikan keamanan dan melaksanakan praktik pencegahan
kecelakaan, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak, dan menilai
perkembangan fungsi keluarga dalam perawatan anak
2) Pekerjaan atau pendapatan
Pekerjaan keluarga akan mempengaruhi peran orang tua karena
waktu yang diberikan tidak maksimal.
3) Jumlah anak
Jumlah anak yang banyak dan jarak yang terlalu dekat akan
mengurangi kasih sayang pada anak.
73
HOSPITAL MAJAPAHIT
e.
f.
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
4) Usia orang tua
Apabila terlalu tua atau muda, mungkin tidak dapat mengerjakan
peran tersebut secara optimal.
5) Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
Hasil riset menunjukkan bahwa orang tua yang mempunyai
pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap dalam
menjalankan peran.
6) Stres orang tua
Stres yang dialami orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang
tua dalam menjalankan peran, terutama dalam kaitannya dengan strategi
koping yang dimiliki dalam menghadapi permasalahan anak.
7) Hubungan suami istri
Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan berdampak
pada kemampuan mereka menjalankan perannya sebagai orang tua dan
merawat anak serta mengasuh anak dengan penuh rasa kebahagiaan karena
satu sama lain dapat saling memberi dukungan dan menghadapi segala
masalah dengan koping yang positif.
Peran Orang Tua Terhadap Toilet Training
Peran orang tua terhadap toilet training pada anak dapat diwujudkan
dalam bentuk peran pada anak dalam toilet training, menurut Ratna (2010)
bentuk peran antara lain :
1) Perhatian Secara Emosi
Diekspresikan melalui kasih sayang, cinta atau empati yang bersifat
memberikan peran. Kadang dengan hanya menunjukkan ekspresi saja sudah
dapat memberikan rasa tenteram. Ekspresi ini penting untuk seseorang
terutama seorang orang tua, karena ekspresi yang salah dapat menimbulkan
rasa malas pada anak untuk melakukan toilet training.
2) Bantuan Instrumental
Barang-barang yang diinginkan oleh anak untuk dapat termotivasi
untuk melakukan toilet training, seperti dengan membelikan peralatan toilet
training yang sesuai dengan keinginan anak.
3) Pemberian Informasi
Informasi sekecil apapun merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi
anak untuk melakukan toilet training, misalnya bagaimana dampaknya anak
jika tidak mau melakukan toilet Training
4) Peran penilaian
Orang tua dapat memberikan penilaian pada anak dalam melakukan
toilet training, seperti menilai apakah sudah sesuai atau belum, dll.
Pengaruh peran orang tua terhadap anak
Menurut Ratna (2010) pengaruh peran atau peran orang tua terhadap
anak dapat berdampak positif bagi anak, antara lain :
1) Menggambarkan keeratan hubungan antara orang tua dengan anak
2) Peran orang tua dapat membantu mempercepat proses pemahaman dan
motivasi anak dalam melakukan toilet training
3) Anak akan mempunyai kemampuan beradaptasi dan mengelola maupun
menyelesaikan masalahnya
4) Peran yang diberikan orang tua tidak membuat anak menjadi tergantung
terhadap bantuan, tetapi akan menjadikan anak lebih cepat mandiri karena
yakin akan kemampuannya dan mengerti akan keberadaannya
74
HOSPITAL MAJAPAHIT
2.
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Konsep Dasar Toilet Training
a. Pengertian
Toilet training merupakan cara untuk melatih anak-anak agar bias
menahan buang air besar dan kecil sehingga bisa buang pada tempatnya yaitu
toilet (Yulia, 2010)
Toilet training (mengajarkan anak ke toilet) adalah cara anak untuk
mengontrol kebiasaan membuang hajatnya di tempat yang semestinya, sehingga
tidak sembarang membuang hajatnya (Ijs, 2010).
b. Kesiapan memulai toilet Training
1) Usia anak sekitar 18-30 bulan. Umumnya anak siap pada usia 24 bulan,
biasanya anak belum konsisten mengendalikan BAK dan BAB mereka
karena masih belum menyadari fungsi tubuhnya.
2) Anak tidak berada dalam situasi yang mungkin membuatnya tertekan (Stres)
seperti lahirnya adik, pindah rumah, ganti pengasuh dan sebagainya.
3) Anak siap secara fisik dan emosional.
Sedangkan waktu anak dikatakan siap melakukan toilet Training adalah :
1) Tetap kering dalam waktu yang cukup lama (kurang lebih 2 jam)
2) BAK dalam jumlah banyak
3) Menunjukkan tanda akan BAB/BAK
4) Mampu mengikuti perindah sederhana
5) Berjalan dengan baik
6) Memahami konsep penggunaan toilet
7) Memahami adanya hubungan antara BAK dan BAB di toilet dengan celana
yang bersih/kering
8) Memahami bahasa yang menunjukkan pada BAB dan BAK
9) Dapat membuat orang lain memahami keinginannya untuk peri BAB dan
BAK
10) Mampu duduk dengan tenang dalam waktu yang cukup lama
(Fitri, 2006 : 63)
Sedangkan menurut Wong (2009) kesiapan anak dalam toilet Training adalah :
1) Kesiapan fisik
a) Kontrol volunter sfingter anal dan utrtral, biasanya pada usia 18 sampai
24 bulan
b) Mampu tidak mengompol selama 2 jam,. Jumlah popok yang basah
berkurang, tidak mengompol selama tidur siang
c) Defekasi teratur
d) Keterampilan motorik kasar yaitu duduk, berjalan dan berjongkok
e) Keterampilan motorik halus, membuka pakaian
2) Kesiapan mental
a) Mengenali urgensi defekasi atau berkemih
b) Keterampilan komunikasi verval atau non verbal untuk menunjukkan
saat basah atau memiliki urgensi defekasi atau berkemin
c) Keterampilan kognitif untuk menirukan perilaku yang tepat dan
mengikuti perintah
3) Kesiapan psikologis
a) Mengekspresikan keinginan untuk menyenangkan orang tua
b) Mampu duduk di toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa bergoyang atau
terjatuh
c) Keingintahuan mengenai kebiasaan toilet orang dewasa atau kakak
75
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
d) Ketidaksabaran akibat popok yang kotor oleh feses atau basah, ingin
untuk segera diganti
4) Kesiapan parental
a) Mengenali tingkat kesiapan anak
b) Berkeinginan untuk meluangkan waktu untuk toilet Training
c) Ketiadaan stres atau perubahan keluarga, seperti perceraian, pindah
rumah, sibling baru atau akan bepergian.
c.
Cara mempermudah toilet Training
1) Memberi contoh.
Ajak anak bersama Anda/pasangan/ saudaranya/teman bermain yang
lebih besar, bila akor pergi ke toilet dan biarkan anak duduk di atas toilet
tanpa perlu membuka celananya bila anak tidak mau. Tujuannya hanya
memperkenalkannya sehingga jika saatnya tiba anak sudah mengenali dan
merasa aman dengan toilet.
2) Untuk toilet duduk, Anda dapat menggunakan dudukan toilet yang
disesuaikan dengan ukuran anak yang banyak dijual sekarang mi sehingga
anak merasa aman dan nyaman saat duduk di atasnya.
3) Berikan bangku kecil yang kuat untuknya sehingga dia dapat naik ke toilet
dan berikan tempat duduk toilet khusus untuk anak agar dia merasa aman.
Anak akan meminta Anda untuk memeganginya saat dia sedang di toilet.
Meskipun anak sudah dapat turun dan naik dengan mudah, dia masih
memerlukan Anda untuk membersihkannya.
4) Untuk anak perempuan, ajarkan dia untuk membersihkan diri setelah
BAK/BAB dan arah depan ke belakang untuk menghindari kontak kotoran
dengan vagina yang dapat menyebabkan infeksi saluran kencing.
5) Toilet jongkok lebih mudah untuk anak laki-laki saat BAK. Untuk anak
perempuan, ajarkan dia untuk berjongkok. Saat buang air, contohkan anak
untuk jongkok. Biasanya anak takut terjatuh, biarkan dia berjangkak hanya
pada salah satu sisi sambil dipegangi. Setelah lebih besar dia akan dapat
memulai jongkok seperti biasanya.
6) Ajarkan anak kebiasaan mencuci tangan setelah selesai menggunakan toilet.
7) Jagalah kebersihan toilet Anda, pastikan tidak 11cm dan bersih, sehingga
toilet nyaman dan aman buat anak.
(Suririnah, 2009)
C. METODE PENELITIAN
Rancang bangun penelitian menggunakan pendekatan “Cross Sectional yaitu jenis
penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen
dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat dan tidak ada tindak lanjut
(Nursalam, 2008). Hipotesis yang diuji adalah:
H1 : Ada pengaruh peran orang tua (ibu) dengan keberhasilan toilet training pada
anak usia toddler di Play Group TarbiyatushShibiyanMojoanyar Mojokerto
Dalam penelitian ini variabel independennya adalah peran orang tua sedangkan variabel
dependennya adalah keberhasilan toilet training. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruhorang tua
(ibu)
dengan
anak
usia
toddler
di
Play Group
TarbiyatushShibiyanMojoanyar Mojokerto yang berjumlah 35 orang, sedangkan sampel
pada penelitian ini adalah orang tua (ibu) dengan anak usia toddler di Play Group
Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto yang memenuhi kriteria inklusi (karakteristik
76
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti)
yang meliputi:
a. Ibu yang mempunyai anak usia 1-3 tahun di Play Group Tarbiyatush Shibiyan
Mojoanyar Mojokerto
b. Ibu yang bersedia menjadi responden
Sedangkan kriteria eksklusi (menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi
kriteria inklusi) meliputi:
a. Ibu yang tidak datang saat penelitian
b. Ibu yang sedang sakit saat penelitian
Sampel diseleksi menggunakan teknik Purposive Sampling, yakni teknik penentuan
sampel untuk tujuan tertentu saja (Nursalam, 2008). Data dikumpulkan menggunakan
angket. Kuesioner berisi 12 soal tertutup tentang peran orang tuayang disusun sendiri
oleh peneliti serta sudah diuji validitas dan reabilitasnya.
Pengumpulan data keberhasilan toilet training menggunakan kuesioner sederhana dan
lembar checklist. Pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia
toddler ditentukan dengan menggunakan uji chi square.
D. HASIL PENELITIAN
Tabel 1 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan umur Di Play Group
Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokertopada bulan Juli 2011
No
Umur
Frekuensi
Persentase (%)
1
< 20 tahun
2
20 – 35 tahun
22
88
3
>35 tahun
3
12
Total
25
100
Tabel 1 menjelaskan bahwa hampir seluruh responden berusia 20 – 35 tahun yaitu
sebanyak 22 responden (88%).
Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan Di Play Group
Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokertopada bulan Juli 2011
No
Pendidikan
Frekuensi
Persentase (%)
1
SD
3
12
2
SMP
8
32
3
SMA
14
56
4
PT
0
0
Total
25
100
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah lulusan SMA yaitu 14
responden (56%).
Tabel 3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan Di Play Group
Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokertopada bulan Juli 2011
No
Pekerjaan
Frekuensi
Persentase (%)
1
Bekerja
5
20
2
Tidak bekerja
20
80
Total
25
100
Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden tidak bekerja atau sebagai ibu
rumah tangga yaitu sebesar 20 responden (80%).
Tabel 4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan peran ibu Di Play Group
Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokertopada bulan Juli 2011
No
Peran ibu
Frekuensi
Persentase (%)
1
Mendukung
14
56
77
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
2
Tidak mendukung
11
44
Total
25
25
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan mendukung dalam
keberhasilan toilet trainingyaitu sebanyak 14 responden (56%).
Tabel 5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan keberhasilan toilet training di
Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokertopada bulan Juli
2011
No
Keberhasilan toilet
Frekuensi
Persentase (%)
training
1
Berhasil
17
68
2
Tidak berhasil
8
32
Total
25
100
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden anak berhasil dalam toilet training
yaitu sebanyak 17 responden (68%).
Tabel 6 Tabulasi silang pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training
pada anak usia toddler di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar
Mojokertopada bulan Juli 2011
Keberhasilan
toilet training
TOTAL
No
Peran ibu
Berhasil
tidak berhasil
f
%
f
%
f
%
1
Mendukung
13
92,9
1
7,1
14
100
2
Tidak mendukung
4
36,4
7
63,6
11
100
Total
17
68
8
32
25
100
Hasil uji chi-square = 6,625 dengandf = 1
Nilai koefisien korelasi = 0,515
Tabel 6 menjelaskan bahwa dari 14 responden yang menunjukkan peran mendukung
didapatkan hampir seluruh anaknya berhasil dalam toilet trainingyaitu sebanyak 13
responden (92,9%). Sedangkan dari 11 responden yang menunjukkan peran tidak
mendukung didapatkan sebagian besar anaknya tidak berhasil dalam toilet Training yaitu
sebanyak 7 responden (63,6%). Hasil uji chisquare dengan α = 0,05 dengan daerah kritis
penolakan X2Tabel ≥ 3,841 didapatkan bahwa X 2Hitung = 6,625 berarti X 2Hitung> X2Tabel, atau
jika dilihat dari nilai signifikansi didapatkan sig hitung (ρ) = 0,004 < 0,05 sehingga Ho
ditolak yang artinya ada pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak
usia toddler di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto. Untuk melihat
seberapa erat tingkat hubungan tersebut maka dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi
sebesar 0,515menurut Somantri (2006) nilai korelasi tersebut dalam kategori cukup erat.
E. PEMBAHASAN
1. Peran ibu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan
mendukung dalam keberhasilan toilet training yaitu sebanyak 14 responden (56%) dan
sisanya menunjukkan peran tidak mendukung dalam toilet trainingyaitu sebanyak 11
orang (44%).
Peran adalah perilaku yang berkenaan dengan siapa yang memegang posisi tertentu,
posisi mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam sistem sosial. Setiap individu
menempati posisi-posisi multiple, orang dewasa, dan pria suami yang berkaitan dengan
78
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
masingmasing posisi ini adalah sejumlah peran, di dalam posisi ibu, beberapa peran yang
terkait adalah sebagai penjaga rumah, merawat anak, pemimpin kesehatan dalam keluarga,
masak, sahabat atau teman bermain. Peran adalah serangkaian perilaku yang di harapkan
seseorang sesuai dengan posisi social yang diberikan baik secara formal dan informal
(Supartini, 2004). Menurut Friedman (2004) Tugas tugas perkembangan keluarga dengan
anak usia toddler diantaranya: memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti rumah, ruang
bermain, privasi, keamanan, mensosialisasikan anak, mengintegrasikan anak yang baru
sementara tetap memenuhi kebutuhan anak anak yang lain, mempertahankan hubungan yang
sehat dalam keluarga (hubungan perkawinan dan hubungan orang tua dan anak) dan diluar
keluarga (keluarga besar dan komunitas).
Keberhasilan seorang anak dimasa depan sangat ditentukan oleh bimbingan, didikan
dan peran orang tua dalam pembentukan karakter anak sejak dini, tidak terkecuali peran orang
tua dalam keberhasilan toilet training. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar
responden menunjukkan peran mendukung pada toilet training, peran orang tua dapat
diidentifikasi berdasarkan hasil kuesioner. Berdasarkan hasil kuesioner peran emosional
didapatkan responden mendukung dalam bentuk orang tua harus selalu sabar mengajarkan
anak untuk berlatih buang air kecil atau buang air besar ke toilet. Untuk peran instrumental
responden kurang menunjukkan perannya pada bentuk responden kurang memotivasi anak
untuk berlatih toilet training dengan membelikan peralatan buang air kecil atau buang air
besar yang diinginkan oleh anak. Pada kuesioner peran pemberian informasi responden
menunjukkan perannya dalam bentuk selalu memberikan pengetahuan pada anak tentang apa
saja yang harus dilakukan dalam buang air kecil atau buang air besar. Sedangkan berdasarkan
peran pemberian penilaian responden kurang menunjukkan peran mendukung dalam bentuk
orang tua tidak perlu memberikan pujian pada anak jika anak belum berhasil melakukan toilet
training.
Peran yang diberikan orang tua pada anaknya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
berdasarkan data didapatkan usia, pendidikan dan pekerjaan sangat mempengaruhi peran
dalam keberhasilan toilet Training.
Hasil analisa data antara peran dengan usia didapatkan setengah responden berusia
20-35 tahun mendukung dalam keberhasilan toilet trainingyaitu sebanyak 11 responden
(50%). Menurut Supartini (2004) apabila terlalu tua atau muda, mungkin tidak dapat
mengerjakan peran tersebut secara optimal. Usia responden tergolong usia dewasa muda jadi
cukup matang untuk berfikir dan bertindak terutama dalam memberikan peran yang
mendukung pada anak untuk melakukan toilet Training.
Hasil analisa data antara peran dengan pendidikan didapatkan hampir setengah
responden yang berpendidikan SMA berperan mendukung dalam toilet Training yaitu
sebanyak 12 responden (48%). Menurut Supartini (2004) beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk dapat menjadi lebih siap dalam menjalankan peran adalah dengan terlibat aktif dalam
setiap upaya pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah
anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang berpendidikan lebih baik
cenderung menunjukkan peran mendukung pada toilet trainingpada anak hal tersebut
dikarenakan orang tua lebih siap dan mengetahui apa yang dibutuhkan oleh anak sehingga
dapat memberikan peran yang lebih optimal pada anak dalam melakukan toilet training.
Hasil tabulasi silang antara pekerjaan dengan peran orang tua didapatkan sebagian
besar orang tua yang tidak bekerja memberikan peran mendukung pada toilet trainingpada
anak yaitu sebanyak 14 responden (56%). Menurut Supartini (2004) pekerjaan keluarga akan
mempengaruhi peran orang tua karena waktu yang diberikan tidak maksimal, hal tersebut
sesuai dengan yang terjadi ditempat penelitian di mana orang tua yang tidak bekerja
79
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
cenderung berperan mendukung pada toilet Training anak karena lebih mempunyai banyak
waktu untuk melakukannya.
2. Keberhasilan toilet training
Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar responden anak berhasil dalam
toilet training yaitu sebanyak 17 responden (68%) dan sisanya tidak berhasil dalam toilet
trainingyaitu sebanyak 8 responden (32%). Toilet training merupakan cara untuk melatih
anak-anak agar bias menahan buang air besar dan kecil sehingga bisa buang pada tempatnya
yaitu toilet (Yulia, 2010). Toilet training (mengajarkan anak ke toilet) adalah cara anak untuk
mengontrol kebiasaan membuang hajatnya di tempat yang semestinya, sehingga tidak
sembarang membuang hajatnya (Ijs, 2010).Usia anak sekitar 18-30 bulan. Umumnya anak
siap pada usia 24 bulan, biasanya anak belum konsisten mengendalikan BAK dan BAB
mereka karena masih belum menyadari fungsi tubuhnya. Anak tidak berada dalam situasi
yang mungkin membuatnya tertekan (Stres) seperti lahirnya adik, pindah rumah, ganti
pengasuh dan sebagainya (Fitri, 2006 : 63)
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar anak berhasil dalam melakukan toilet
training dan keberhasilan tersebut akan berpengaruh secara fisik anak akan terlihat lebih
bersih dan tidak meninggalkan bekas-bekas iritasi atau ruam pada pantat anak. Secara psikis
anak akan lebih percaya diri.
3. Analisa pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia
toddler
Hasil penelitian menjelaskan bahwa dari 14 responden yang menunjukkan peran
mendukung didapatkan hampir seluruh anaknya berhasil dalam toilet training yaitu sebanyak
13 responden (92,9%). Sedangkan dari 11 responden yang menunjukkan peran tidak
mendukung didapatkan sebagian besar anaknya tidak berhasil dalam toilet Training yaitu
sebanyak 7 responden (63,6%).
Hasil uji chisquare dengan α = 0,05 dengan daerah kritis penolakan X2Tabel ≥ 3,841
didapatkan bahwa X 2Hitung = 6,625 berarti X 2Hitung>X2Tabel, atau jika dilihat dari nilai
signifikansi didapatkan sig hitung (ρ) = 0,004 < 0,05 sehingga Ho ditolak yang artinya ada
pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia toddler di Play Group
TarbiyatushShibiyanMojoanyar Mojokerto. Untuk melihat seberapa erat tingkat hubungan
tersebut maka dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi sebesar 0,515 menurut Somantri
(2006) nilai korelasi tersebut dalam kategori cukup erat.
Peran orang tua terhadap toilet training pada anak dapat diwujudkan dalam bentuk
peran pada anak dalam toilet training, menurut Ratna (2010) bentuk peran antara lain.
Diekspresikan melalui kasih sayang, cinta atau empati yang bersifat memberikan peran.
Kadang dengan hanya menunjukkan ekspresi saja sudah dapat memberikan rasa tenteram.
Ekspresi ini penting untuk seseorang terutama seorang orang tua, karena ekspresi yang salah
dapat menimbulkan rasa malas pada anak untuk melakukan toilet Training. Barang-barang
yang diinginkan oleh anak untuk dapat termotivasi untuk melakukan toilet training, seperti
dengan membelikan peralatan toilet training yang sesuai dengan keinginan anak. Informasi
sekecil apapun merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi anak untuk melakukan toilet
training, misalnya bagaimana dampaknya anak jika tidak mau melakukan toilet Training.
Hasil penelitian menunjukkan besarnya pengaruh peran orang tua terhadap
keberhasilan toilet Training anak.Sebetulnya, cukup mudah untuk mengetahui kapan anak
sudah dapat dikenalkan dengan toilet training. Salah satunya, saat anak mulai menunjukkan
minatnya untuk melepas popoknya atau ia bangun tidur siang dalam keadaan kering tidak
mengompol, atau ia tahu kapan waktunya ia harus pup atau pipis. Namun diperlukan
kesabaran dan perhatian secara psikis sehingga anak dapat berhasil melakukan toilet training.
80
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Hasil penelitian mengalami sedikit kesenjangan di mana masih terdapat orang tua
yang tidak mendukung namun anaknya berhasil dalam melakukan toilet trainingyaitu
sebanyak 4 responden (36,4%).Hal tersebut tidak terlepas dari didikan dari guru di Play
Group TarbiyatushShibiyanMojoanyar Mojokerto yang selalu mendidik kebaikan perilaku
pada anak terutama bagaimana cara melakukan toilet training sehingga anak lama-lama akan
terbiasa dengan didikan yang diberikan oleh guru dan mampu melakukan toilet training.
F. PENUTUP
Hasil penelitian yang berjudul pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training
pada anak usia toddler di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto pada bulan
Juli 2011 didapatkan simpulan bahwa Sebagian besar responden menyatakan mendukung
dalam keberhasilan toilet training yaitu sebanyak 14 responden (56%), Sebagian besar
responden anak berhasil dalam toilet training yaitu sebanyak 17 responden (68%), dan Hasil
uji chisquare dengan α = 0,05 dengan daerah kritis penolakan X2Tabel ≥ 3,841 didapatkan
bahwa X 2Hitung = 6,625 berarti X2Hitung>X2Tabel, atau jika dilihat dari nilai signifikansi
didapatkan sig hitung (ρ) = 0,004 < 0,05 sehingga Ho ditolak yang artinya ada pengaruh peran
ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia toddler di Play Group
TarbiyatushShibiyanMojoanyar Mojokerto. Oleh sebab itu, tenaga kesehatan harus
memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua dengan anak balita tentang ilmu kesehatan
anak yang berhubungan dengan toilet Training supaya orang tua dapat mengetahui dan
memberikan peran yang mendukung pada anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, 2010. Peran Orang Tua terhadap Anak. Tersedia di http://berkarya.um.ac.id/?p=5504
Azwir, 2010. Bagaimana Melatih 'Toilet Training' pada Anak. Tersedia di
http://joyazwir.multiply.com/journal/item/10?&show_interstitial1&u=%2Fjournal%2
Fitem
Bataviase, 2010. Bangun Suasana Menyenangkan UntukAnak. Tersedia di
http://bataviase.co.id/detailberita-10555027.html
Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta :
EGC
Engel Joyce, 2009. Pengkajian Pediatrik. Seri Pedoman Praktis. Ed 4. Jakarta. EGC
Fitri Ayani. 2006. Seri Parent'sGuide. Diary Tumbuh Kembang Anak. Jakarta.
ReadPublishingHouse
Friedman, Marilyn. 2004. Keperawatan Keluarga. Teori Dan Praktik. Jakarta. EGC
Hana, 2010. Kapan Waktu Terbaik Ajarkan "Toilet Training" pada Anak. Tersedia di
http://hanababyshop.multiply.com/reviews/item/23
Hidayat A. Alimul. 2007. Riset Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba
Medika
Ijs.
2010.
Toilet
Training
untuk
Balita.
Tersedia
di
http://www.indosiar.com/ragam/79080/toilet-training-untuk-balita
Muscari, May E. 2005. Panduan Belajar. Keperawatan Pediatrik. Jakarta. EGC
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Nursalam. 2003. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika
Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika
Patriani. 2009. http://dunia-anak-sehat.blogspot.com/2009/02/tumbuh-kembang-toddler.html
81
HOSPITAL MAJAPAHIT
Vol 4 No. 1 Pebruari 2012
Ratna, Dwi. 2010.Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta : Bina Pustaka
Rawins, 2008. Toilet Training Sejak Dini. Tersedia di http://duniaanak.rawins.com / 2008
/12/toilet-training-sejak-dini.html
Riyadi, 2010. Keluarga. Tersedia di http://adyraalya.blogspot.com/
Setiadi, 2007. Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan. Jakarta. Graha Ilmu
Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Jakarta : Alfabeta
Supartini. Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Keperawatan Anak. Jakarta. EGC
Suprajitno, 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga. Aplikasi Dan Praktik. Jakarta. EGC
Suririnah, dr. 2010. Buku PintarMengasuh Batita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Jakarta. EGC
Yulia, 2010. Toilet Training. Tersedia di http://yulia-putri.blogspot.com/2010/05/toilettraining.html
82
Download