ISSN : 2085 - 0204 JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT ANJAR ISTIANTO EKA DIAH KARTININGRUM, SKM Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia Di Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto BADRIYAH SARMINI MOEDJIARTO, M.MPd Pemberian Makanan Tambahan Terhadap Kehadiran Balita Di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember EKA KUSFARINI NURSAIDAH, M.Kes Pendampingan Suami Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Saat Menghadapi Proses Persalinan Di BPS Ny. Hj. Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon Sidoarjo EKA NONITASARI IKA KHUSNIA, S.Kep.Ns Perbandingan Gejala PMS Antara Siswi Yang Aktif Dan Tidak Aktif Olahraga Lari Pada Siswi Di Smp Penanggungan Ngoro-Trawas Mojokerto LATIFATUL ISHAQ FARIDA YULIANI, S.SiT, SKM Ukuran Lingkar Lengan Atas Dengan Berat Badan Bayi Lahir Di BPS Ana Susanti Balongbendo 2010 RISFAN BATUATAS TRIPENI, S.ST. M.Kes Pengaruh Peran Ibu Dengan Keberhasilan Toilet Training Pada Anak Usia Toddler Di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto NURUL AINI Faktor- Faktor Yang Melatarbelakangi Perilaku Merokok Pada Remaja Di SMK “Raden Patah” Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto HOSPITAL Hlm. Mojokerto ISSN VOL 4 NO. 1 MAJAPAHIT 1 - 82 Pebruari 2012 2085 - 0204 JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO HOSPITAL MAJAPAHIT Media ini terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Pebruari dan Bulan Nopember diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Kesehatan Majapahit, berisi artikel hasil penelitian tentang kesehatan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris Pembina Ketua Yayasan Politeknik Kesehatan Majapahit Nurwidji Pelindung Direktur Politeknik Kesehatan Majapahit dr. Rahmi, S.A. Ketua Penyunting Eka Diah Kartiningrum, SKM. Wakil Ketua Penyunting Nurul Hidayah, S.Kep., Ners. Penyunting Pelaksana Dwi Helynarti, S.Si. Anwar Holil, M.Pd. Penyunting Ahli Prof. Dr. Moedjiarto, M.Sc. Sarmini Moedjiarto, S.Pd., MM.Pd. Nursaidah, M.Kes Rifa’atul Laila Mahmudah, M.Farm.Klin Distribusi Indriyanti. T.W, Amd.Akt Yudha Lagha HK, S.Psi Alamat Redaksi : Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736 Email : [email protected] BIAYA BERLANGGANAN Rp. 20.000,-/Eks + Biaya Kirim HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4. No. 1, Pebruari 2012 ISSN : 2085 - 0204 Pengantar Redaksi, Tema hari kesehatan sedunia tahun 2012 yakni ”Ageing and Health” atau Penuaan dan Kesehatan menginspirasi para peneliti Poltekkes Majapahit untuk sedikit mengupas seputar status kesehatan lanjut usia, sedangkan untuk menjelaskan lebih dalam tentang kesehatan yang diurai dalam jurnal Hospital Majapahit Vol 2 no 2 adalah tentang kesehatan balita, ibu dan remaja. Artikel yang pertama ditulis oleh Anjar Istianto dan Eka Diah Kartiningrum, SKM yang menguraikan tentang Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia Di Desa Kebonagung Puri Mojokerto. Dalam artikel ini dijelaskan peranan penting keluarga dalam mengatur diit lansia serta merencanakan semua bentuk menu makanan yang sangat dibutuhkan pada usia tersebut. Peranan penting keluarga sangat dibutuhkan mengingat tingginya ketergantungan lansia pada orang sekitar. Peranan keluarga yang negative dapat menyumbangkan munculnya masalah gizi pada lansia yang berarti meningkatkan jumlah kejadian gizi buruk maupun obesitas yang berdampak pada turunnya angka harapan hidup lansia. Artikel yang kedua ditulis oleh Badriyah dan Sarmini Moedjiarto, M.MPd yang menjelaskan tentang Pemberian Makanan Tambahan Terhadap Kehadiran Balita Di Posyandu Desa Kamal Arjasa Jember. Kehadiran Balita di Posyandu memegang peranan penting dalam monitoring status gizi balita. Melalui posyandu kejadian gizi buruk balita yang kerap muncul sejak tahun 2007 sebagai penunjuk awal krisis moneter dapat diturunkan. Namun seringkali karena kesibukan orang tua khususnya ibu yang harus bekerja, angka absensi kunjungan posyandu oleh balita semakin rendah. Sehingga upaya pemberian PMT diharapkan bisa menjadi motivasi yang dapat meningkatkan angka kunjungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata pemberian makanan tambahan yang menarik mampu meningkatkan minat berkunjung ke posyandu. Oleh sebab itu penting bagi pengelola program posyandu untuk memperhatikan faktor yang dapat meningkatkan motivasi ibu dan balita untuk berkunjung ke posyandu sebagai upaya mencegah gizi buruk pada kelompok yang rawan yaitu ibu dan bayi/balita. Artikel yang ketiga mengenai Pendampingan suami dengan tingkat kecemasan ibu saat menghadapi proses persalinan di BPS Ny. Hj. Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon Sidoarjo yang ditulis oleh Eka Kusfarini dan Nursaidah, MKes. Proses persalinan selalu menimbulkan kecemasan tersendiri terutama yang dialami oleh pendamping persalinan dalam hal ini biasanya adalah suami. Namun selain suami, ibu bersalin juga mengalami kecemasan yang tak kalah tinggi. Kecemasan ibu bersalin dapat meningkatkan tensi serta berakibat pada terjadinya eklampsia yang terakhir justru berdampak pada kematian ibu bersalin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendampingan suami dengan kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan. Ibu yang bersalin dengan didampingi suami merasa sedikit lebih tenang daripada tanpa pendampingan suami. Pendampingan suami memberikan dampak secara psikologis sehingga ibu mampu menjalani persalinan dengan cepat, aman dan lancar sehingga menjamin keselamatan baik pada ibu maupun bayinya. Artikel yang keempat ditulis oleh Eka Nonitasari dan Ika Khusnia, S.Kep.Ns yakni tentang Perbandingan gejala PMS antara siswi yang aktif dan tidak aktif olahraga lari pada siswi SMP Penanggungan Ngoro Trawas Mojokerto. Gejala PMS merupakan gejala yang mampu menghambat aktivitas setiap remaja. Bahkan dalam kondisi tertentu remaja sama sekali tidak bisa beraktivitas selama mengalami PMS. Namun olahraga ditemukan sebagai salah satu cara HOSPITAL MAJAPAHIT untuk mengurangi gangguan selama mengalami PMS. Rutinitas dalam berolah raga ternyata mampu meningkatkan produksi hormon endorfin yang menimbulkan rasa gembira, selain itu dapat menurunkan kadar kortisol dan epinefrin pada urin setelah 24 jam yang berperan menurunkan kadar pada fase luteal dalam siklus haid. Karena pada fase luteal yang menyebabkan wanita merasa kurang happy dan nyeri-nyeri, seperti nyeri haid atau sakit kepala. Karena merasa tidak happy inilah yang menyebabkan si wanita menjadi badmood, sensitif, gampang sedih, discouraged dalam menimbulkan gejala psikologis pada saat mengalami PMS. Artikel yang kelima mengenai ukuran lingkar lengan atas dengan berat badan bayi lahir di BPS Ana Susanti Balong bendo tahun 2010 yang ditulis oleh Latifatul Ishaq dan Farida Yuliani, S.SiT.,SKM. Ibu hamil dengan status gizi yang buruk dapat melahirkan bayi dengan berat lahir yang rendah bahkan meninggal. Banyak resiko yang membahayakan bagi ibu maupun bayinya pada saat kondisi status gizi sangat buruk. Salah satu cara untuk mengukur status gizi ibu hamil adalah melalui ukuran LILA (Lingkar Lengan Atas). Ibu hamil dengan LILA yang < 23,5 cm mengalami masalah gizi yang sangat kronis sehingga melahirkan bayi dengan berat < 2500 gram. Hal tersebut bisa terjadi akibat intake yang tidak adekuat sebelum dan selama kehamilan. Kekurangan intake yang sehat dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan janin dalam kandungan. Monitoring gizi yang baik selama kehamilan hendaknya diperhatikan untuk menurunkan angka kejadian kematian ibu dan bayi. Artikel yang terakhir ditulis oleh Risfan Batuatas dan Tripeni, S.ST.MKes yang menjelaskan tentang pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia Toddler di Playgroup Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto. Tingkat keberhasilan toilet training disebabkan karena peranan ibu dalam menstimulus toddler agar terbiasa melakukan toileting setelah buang air. Kesabaran ibu dalam mendidik dan mengajari anak tentang cara penting toilet training mampu menciptakan balita yang mandiri dan tidak tergantung pada orang tua setiap selesai buang air. Semua artikel diatas merupakan hasil pemikiran dan penelitian civitas akademik Poltekkes Majapahit yang diharapkan mampu memberikan masukan dan rekomendasi dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan seluruh masyarakat Indonesia. Redaksi, HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4. No. 1, Pebruari 2012 ISSN : 2085 - 0204 Kebijakan Editorial dan Pedoman Penulisan Artikel Kebijakan Editorial Jurnal Hospital Majapahit diterbitkan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto secara berkala (setiap 6 bulan) dengan tujuan untuk menyebarluaskan informasi hasil penelitian, artikel ilmiah kepada akademisi, mahasiswa, praktisi dan lainnya yang menaruh perhatian terhadap penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan. Lingkup hasil penelitian dan artikel yang dimuat di Jurnal Hospital Majapahit ini berkaitan dengan pendidikan yang dilakukan oleh Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto. Jurnal Hospital Majapahit menerima kiriman artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Penentuan artikel yang dimuat dalam Jurnal Hospital Majapahit dilakukan melalui proses blind review oleh editor Hospital Majapahit. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam penentuan pemuat artikel, antara lain : terpenuhinya syarat penulisan dalam jurnal ilmiah, metode penelitian yang digunakan, kontribusi hasil penelitian dan artikel terhadap perkembangan pendidikan kesehatan. Penulis harus menyatakan bahwa artikel yang dikirim ke Hospital Majapahit, tidak dikirim atau dipublikasikan dalam majalah atau jurnal ilmiah lainnya. Editor bertanggung jawab untuk memberikan telaah konstruktif terhadap artikel yang akan dimuat, dan apabila dipandang perlu editor menyampaikan hasil evaluasi artikel kepada penulis. Artikel yang diusulkan untuk dimuat dalam jurnal Hospital Majapahit hendaknya mengikuti pedoman penulisan artikel yang dibuat oleh editor. Artikel dapat dikirim ke editor Jurnal Hospital Majapahit dengan alamat : Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email : [email protected] HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4. No. 1, Pebruari 2012 ISSN : 2085 - 0204 Pedoman Penulisan Artikel. Penulisan artikel dalam jurnal kesehatan hospital majapahit yang diharapkan menjadi pertimbangan penulis. Format. 1. Artikel diketik dengan spasi ganda pada kertas A4 (210 x 297 mm). 2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan Courier atau Times New Roman font 11 – 12 atau sebanyak 15 sampai dengan 20 halaman. 3. Margin atas, bawah, samping kanan dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi. 4. Semua halaman sebaiknya diberi nomor urut. 5. Setiap table dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar serta sumber kutipan. 6. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor halaman jika dipandang perlu. Contoh : a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Rahman, 2003), jika disertai dengan halaman (Rahman, 2003:36). b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (David dan Anderson, 1989). c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari satu penulis (David dkk, 1989). d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (David, 1989, 1992), jika tahun publikasi sama (David, 1989a, 1989b). e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim yang bersangkutan (BPS, 2007: DIKNAS, 2006). Isi Tulisan. Tulisan yang berupa hasil penelitian disusun sebagai berikut : Abstrak, bagian ini memuat ringkasan artikel atau ringkasan penelitian yang meliputi masalah penelitian, tujuan, metode, hasil, dan kontribusi hasil penelitian. Abstrak disajikan diawal teks dan terdiri antara 200 sampai dengan 400 kata (sebaiknya disajikan dalam bahasa inggris). Abstrak diberi kata kunci (key word) untuk memudahkan penyusunan indeks artikel. Pendahuluan, menguraikan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan untuk menjadi hipotesis dan model penelitian. Kerangka Teoritis, memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan untuk mengembangkan hipotesis dan model penelitian. Metode Penelitian, memuat pendekatan yang digunakan, pengumpulan data, definisi Dan pengukuran variable serta metode dan teknik analisis data yang digunakan. Hasil Penelitian, berisi pemaparan data hasil tentang hasil akhir dari proses kerja teknik analisis data, bentuk akhir bagian ini adalah berupa angka, gambar dan tabel. Pembahasan, memuat abstraksi peneliti setelah mengkaji hasil penelitian serta teori – teori yang sudah ada dan dijadikan dasar penelitian. Daftar Pustaka, memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel, hanya sumber yang diacu saja yang perlu dicantumkan dalam daftar pustaka. HOSPITAL MAJAPAHIT Jurnal : Berry, L. 1995. “Ralationship Marketing of Service Growing Interest, Emerging Perspective”. Journal of the Academy Marketing Science. 23. (4) : 236 – 245. Buku : Asnawi SK dan Wijaya C. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan, Prosedur, Ide dan Kontrol. Yogyakarta : Graha Ilmu. Artikel dari Publikasi Elekronik : Orr. 2002. “Leader Should do more than reduce turnover”. Canadian HR Reporter. 15, 18, ABI/INFORM Research. 6 & 14 http://www.proquest.com/pqdauto[06/01/04]. Majalah : Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209. Pedoman : Joreskog and Sorbom. 1996. Prelis 2 : User’s Reference Guide, Chicago, SSI International. Simposium : Pandey. LM. 2002. Capital Structur and Market Power Interaction : evidence from Malaysia, in Zamri Ahmad, Ruhani Ali, Subramaniam Pillay. 2002. Procedings for the fourt annual Malaysian Finance Assiciation Symposium. 31 May-1. Penang. Malaysia. Paper : Martinez and De Chernatony L. 2002. “The Effect of Brand Extension Strategies Upon Brand Image”. Working Paper. UK : The University of Birmingham. Undang-Undang & Peraturan Pemerintah : Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Ekonomi. Tahun XIV. (3) : 193-209. Skripsi, Thesis, Disertasi : Christianto I. 2008. Penentuan Strategi PT Hero Supermarket Tbk, Khususnya pada Kategori Supermarket di Kotamadya Jakarta Barat berdasarkan Pendekatan Analisis Konsep Three Stage Fred R. David (Skripsi). Jakarta : Program Studi Manajemen, Institut Bisnis dan Informatika Indonesia. Surat Kabar : Gito. 26 Mei 2006. Penderes. Perajin Nira Sebagian Kurang Profesional. Kompas: 36 (Kolom 4-5). Penyerahan Artikel : Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar cetakan kepada : Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email : [email protected] HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 2. No. 2, Nopember 2010 ISSN : 2085 - 0204 DAFTAR ISI PERAN KELUARGA DALAM ASUPAN NUTRISI LANSIA DI DESA KEBONAGUNG KECAMATAN PURI KABUPATEN MOJOKERTO ............................ Anjar Istianto Eka Diah Kartiningrum, SKM 1 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN TERHADAP KEHADIRAN BALITA DI POSYANDU DESA KAMAL KECAMATAN ARJASA KABUPATEN JEMBER ...... Badriyah Sarmini Moedjiarto, M.MPd 12 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto PENDAMPINGAN SUAMI DENGAN TINGKAT KECEMASAN IBU SAAT MENGHADAPI PROSES PERSALINAN DI BPS NY. HJ. AMALIA AMD.KEB SIMOGIRANG PRAMBON SIDOARJO ................................................................................................ Eka Kusfarini Nursaidah, M.Kes 22 PERBANDINGAN GEJALA PMS ANTARA SISWI YANG AKTIF DAN TIDAK AKTIF OLAHRAGA LARI PADA SISWI DI SMP PENANGGUNGAN NGOROTRAWAS MOJOKERTO ................................................................................................................................. Eka Nonitasari Ika Khusnia, S.Kep.Ns 36 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto UKURAN LINGKAR LENGAN ATAS DENGAN BERAT BADAN BAYI LAHIR DI BPS ANA SUSANTI BALONGBENDO 2010 ............................................................................... Latifatul Ishaq Farida Yuliani, S.SiT, SKM Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto 50 HOSPITAL MAJAPAHIT PENGARUH PERAN IBU DENGAN KEBERHASILAN TOILET TRAINING PADA ANAK USIA TODDLER DI PLAY GROUP TARBIYATUSH SHIBIYAN MOJOANYAR MOJOKERTO...................................................................................................................... Risfan Batuatas Tripeni, S.St. M.Kes Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363 Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736, Email : [email protected] 70 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 PERAN KELUARGA DALAM ASUPAN NUTRISI LANSIA DI DESA KEBONAGUNG KECAMATAN PURI KABUPATEN MOJOKERTO 1 2 Anjar Istianto1, Eka Diah Kartiningrum, S.KM.2 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRACT Family plays an important role in planning and presenting a balanced diet for the elderly to fulfillment the nutritional. The purpose of this study was to identify family role of nutrition in elderly. This research used household suvey. The family role of nutrition all needs in elderly as variable in this research. Families with elderly amounted to 37 respondents as samples which is selected by consecutive sampling. Collecting data using questionnaires, the data obtained and analyzed using T score. The results showed that most respondents have a positive role to fulfill the nutritional needs of elderly people was about 19 respondents (51.4%). Families indicated a positive role by planning meals and preparing a balanced diet for the elderly in everyday life. Planning involved setting eating meals and beverages, food ingredients and size selection of food consumption, while the preparation of a balanced diet for the elderly include, restriction of certain food ingredients for the health of the elderly, limiting the size of the consumption of carbohydrates, proteins, and other food. The role of the family was very important for the health of the elderly, families that play a positive role in fulfilling the nutritional needs of older adults, the elderly will be spared from a variety of degenerative diseases and less susceptible to infectious diseases. The conclusion of this study was the validity of nutrient intake will influence the nutritional status of elderly which is depends on the role of nutrition to elderly families. Keyword: Roles, Nutrition, Elderly A. PENDAHULUAN Perubahan gizi pada lansia merupakan salah satu masalah yang harus ditangani yang diakibatkan oleh perubahan pola makan, perubahan fisik maupun mental yang diperburuk oleh penyakit degeneratif yang diderita (Roger, 2003). Apabila disertai dengan kekurangan protein menyebabkan kerusakan-kerusakan sel yang tidak dapat diperbaiki, akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit menurun, kemungkinan akan mudah terkena infeksi (Proverawati dan Wati, 2010). Satu lagi masalah gizi salah adalah kelebihan gizi. Lansia cenderung lebih mudah menjadi gemuk di banding kelompok dewasa muda karena untuk berat badan yang sama, lansia mempunyai lemak yang lebih banyak. Obesitas dapat memperburuk kondisi kesehatan kelompok lansia karena dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi, serta diabetes mellitus tipe II (Wirakusumah, 2000). Kebutuhan gizi lansia perlu dipenuhi secara adekuat untuk kelangsungan proses pergantian sel dalam tubuh, mengatasi proses menua, dan memperlambat terjadinya usia biologis (Nugroho, 2008). Kondisi kekurangan gizi pada lansia dapat berbentuk KKP (kurang kalori protein) kronik, baik ringan maupun berat. Darmojo,R.B&H. H.Martono dalam Wirakusumah (2000) melaporkan bahwa lansia yang mengalami kekurangan gizi di indonesia sebanyak 3,4%, sedangkan yang mempunyai berat badan kurang sebanyak 28,3%, sedangkan lansia yang mengalami obesitas di Indonesia sebanyak 3,4% dan berat badan lebih sebanyak 1 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 6,7%. Menurut Riskesdas (2007) prevalensi obesitas sentral pada penduduk Indonesia yang berumur 45-54 (26,1%), umur 55-65 (23,1%), umur 65-74 (18,9%), dan umur 75 keatas (15,8%). Berbagai faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi lanjut usia meliputi faktor dari lanjut usia sendiri, faktor keluarga, faktor lingkungan, faktor pelayanan, aktivitas fisik, kemunduran biologis, pengobatan, depresi dan kondisi mental dan penyakit. Sehubungan dengan faktor keluarga, hal tersebut menyangkut jumlah generasi, pola tinggal, sikap, tingkat sosial-ekonomi keluarga, dan khususnya pengetahuan dalam perawatan dan pemenuhan gizi pada lanjut usia (Wirakusumah, 2002). Dalam melakukan perawatan terhadap lansia, setiap anggota keluarga memiliki peranan yang sangat penting, di antaranya adalah membantu melakukan persiapan makanan bagi lansia, susunan makanan lansia harus mengandung semua unsur gizi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, air, dan serat dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan serta seimbang dalam komposisinya (Maryam Dkk, 2008). Bagi tenaga kesehatan di tuntut untuk memberikan pendidikan kesehatan, dalam dalam hal pendidikan gizi kepada masyarakat maupun individu, untuk dapat berperan serta dalam mengatasi masalah kesehatan dan gizi serta memperbaiki pola hidup masyarakat (Proverawati Dkk, 2010). Peran sebagai perawat harus selalu memberikan beberapa materi mengenai nutrisi. Di komunitas, perawat jarang berhubungan langsung dengan bidang nutrisi atau perawat wilayah. Namun perawat kunjungan kesehatanlah yang lebih banyak terlibat dalam penyuluhan pada lansia mengenai diet dan nutrisi. Selain itu, mereka dapat membantu individu atau keluarga untuk menguasai teknik sterilisasi yang diperlukan (Roger, 2003). Dari uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia di Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Peran a. Pengertian Menurut Kozier Barbara dalam Janah (2009) Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu. b. Peran Keluarga Peran keluarga adalah seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat Jhonson dan Leny (2010). c. Peranan Keluarga Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut: 1) Ayah sebagai suami dari istri dan ayah bagi anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. 2) Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. 2 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 3) Anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. d. Peran Keluarga Dalam Perawatan Lansia Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya. Peranan keluarga dalam perawatan lansia antara lain menjaga atau merawat lansia, mempertahankan dan meningkatkan status mental, mengantisipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual bagi lansia. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh anggota keluarga dalam melaksanakan perannya terhadap lansia, yaitu: melakukan pembicaraan terarah, mempertahankan kehangatan keluarga, membantu melakukan persiapan makanan bagi lansia, membantu dalam hal transportasi, membantu memenuhi sumbersumber keuangan, memberi kasih saying, menghormati dan menghargai, bersikap sabar dan bijaksana terhadap perilaku lansia, memberi kasih sayang, menyediakan waktu, serta perhatian, jangan menganggapnya sebagai beban, memberi kesempatan untuk tinggal bersama, mintalah nasihatnya dalam peristiwa-peristiwa penting, mengajaknya dalam acara-acara keluarga, membantu mencukupi kebutuhannya, memberi dorongan untuk tetap mengikuti kegiatan-kegiatan di luar rumah termasuk pengembangan hobi, membantu mengatur keuangan, mengupayakan sarana transportasi untuk kegiatan mereka termasuk rekreasi, memeriksakan kesehatan secara teratur, memberi dorongan untuk tetap hidup bersih dan sehat, mencegah terjadinya kecelakaan, baik di dalam maupun di luar rumah, pemeliharaan kesehatan usia lanjut adalah tanggung jawab bersama, memberi perhatian yang baik terhadap orang tua yang sudah lanjut, maka anakanak kita kelak akan bersikap yang sama (Maryam Dkk, 2008). e. Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia Kecukupan gizi lansia akan terpenuhi apabila memperhatikan pola makan yang beragam dan bergizi seimbang. Pada dasarnya, tidak ada jenis makanan yang spesifik untuk lansia. Namun, untuk menentukan jenis diet lansia harus mempertimbangkan kondisi kesehatan. Penurunan kemampuan mencerna makanan, serta perubahan selera makan. Oleh sebab itu, penyajian makanan untuk lansia selain harus memperhatikan kecukupan gizi juga konsistensi dan tekstur makanan sehingga lansia tidak mengalami kesulitan mencerna dan terhindar dari masalah kekurangan gizi (Wirakusumah, 2000). Peran tersebut adalah menurut (Nugroho, 2008): 1) Merencanakan makan untuk lansia a) Porsi makan perlu diperhatikan, jangan terlalu kenyang. Porsi makan hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga dapat makan lebih sering dengan porsi yang kecil, b) Banyak minum dan kurangi garam. Banyak minum dapat memperlancar pengeluaran sisa makanan. Menghindari makanan yang terlalu asin akan mengurangi kerja ginjal dan mencegah kemungkinan terjadinya tekanan darah tinggi, c) Membatasi penggunaan kalori hingga berat badan dalm batas normal, terutama makanan yang manis atau gula dan makanan yang berlemak. Kebutuhan usia lanjut di atas 60 tahun adalah 1700 kalori dan di atas 70 tahun adalah 1500 kalori, d) Bagi lanjut usia yang proses penuaannya sudah lebih lanjut, hal berikut perlu diperhatikan: 3 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 (1) Mengonsumsi makanan yang mudah dicerna (2) Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan gorengan (3) Bila kesulitan mengunyahkarena gigi rusak atau gigi palsu kurang baik, makanan harus lunak/lembek atau dicincang (4) Makan dalam porsi kecil, tetapi sering (5) Makanan kudapan, susu, buah, dan sari buah sebaiknya diberikan e) Batasi minum kopi dan teh. Minuman tersebut boleh diberikan, tetapi hrus diencerkan karena berguna untuk merangsang gerakan usus dan menambah nafsu makan 2) Menyiapkan Menu Seimbang untuk Lansia Menu adalah susunan hidangan yang dipersiapkan atau disajikan pada waktu makan. Menu seimbang untuk lanjut usia adalah susunan makanan yang mengandung cukup semua unsur gizi yang dibutuhkan lanjut usia. Menurut (Nugroho, 2008) syarat menu seimbang untuk lanjut usia adalah: a) Mengandung zat gizi beraneka ragam bahan makabnan yang terdiri atas zat tenaga, zat pembangun, dan zat pangatur b) Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi oleh lanjut usia adalah 50% dari hidrat arang yang merupakan hidrat arang komplek (sayuran, kacangkacangan, dan biji-bijian) c) Jumlah lemak dalam makanan dibatasi, yaitu 25-30% dari total kalori d) Jumlah protein yang baik dikonsumsi disesuaikan dengan lanjut usia, yaitu 8-10% dari total kalori e) Dianjurkan mengandung tinggi serat (selulosa) yang bersumber pada buah, sayur, dan macam-macam pati, yang dikonsumsi dalam jumlah secara bertahap f) Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti susu non-flat, yoghurt, dan ikan g) Makanan mengandung tinggi tinggi zat besi (Fe), seperti kacang-kacangan, hati, daging, bayam, atau sayuran hijau h) Membatasi penggunaan garam i) Bahan makanan sebagai sumber zat gizi sebaiknya dari bahan makanan yang segar dan mudah dicerna j) Hindari bahan makanan yang mengandung tinggi alkohol k) Pilih makanan yang mudaah dikunyah seperti makanan lunak Tabel 1 Contoh Menu Lansia Dan Jumlah Bahan Pangan Penyusunan Menu (Wirakusumah, 2000) : URT Jumlah (g) Menu Bahan Pangan L W L W Pagi: Roti Telur Roti 4 iris* 2 iris 80 40 Telur 1 btr 1 btr 60 60 Mentega ½ sdm ½ sdm 5 5 Tomat 1 bh 1 bh 50 50 Selada bokor 3 lbr 3 lbr 25 25 Susu non-fat Tepung susu 2 sdm 4 sdm 20 20 Selingan pk.10.00 Pisang tanduk 1bh* ½ bh 200 100 Kolak pisang Santan ¼ gls ¼ gls 50 50 Gula merah 2 sdm 2 sdm 16 16 4 HOSPITAL MAJAPAHIT Menu Siang Nasi Semur Pepes tahu Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Bahan Pangan Nasi Daging cincang Kentang Minyak Tahu Telur Bayam Pisang URT L W 1 ½ gls* 2 sdm 1 bh 1 sdm 1 bh 1 sdm 1 ½ gls 1bh 1 gls 2 sdm 1 bh 1 sdm 1 bh 1 sdm 1 ½ gls 1 bh Jumlah (g) L W 150 50 50 10 100 30 150 75 135 50 50 10 100 30 150 75 Sayur bening Buah Selingan pk. 17.00 Tepung beras 8 sdm 8 sdm 50 50 Papais Santan ¼ gls ¼ gls 50 50 Gula pasir 1 sdm 1 sdm 8 8 Malam: Mi baso Mi basah 1 gls 1 gls 100 100 Baso 4 bh 4 bh 50 50 Sawi hijau ½ gls ½ gls 50 50 Minyak 1 sdm 1 sdm 5 5 Buah Pepaya 1 ptg 1 ptg 100 100 Keterangan : * : Jumlah porsi yang berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan kalori L : Lansia pria dengan angka kecukupan energi 2.200 kkal W : Lansia wanita dengan angka kecukupan energi 1.850 kkal Berbagai menu untuk lansia dapat dibuat dengan menggunakan Daftar Bahan Makanan Penukar. C. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan survey. Survey adalah suatu rancangan yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berhubungan dengan prevalensi, distribusi dan hubungan antar variabel dalam suatu populasi (Nursalam, 2008). Penelitian ini menggunakan survey deskriptif, yaitu survey rumah tangga. Survey rumah tangga (household survey) adalah suatu survey deskriptif yang ditujukan kepada rumah tangga (Notoatmodjo, 2010). 5 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Kerangka Kerja Lansia: 1. Middle age (45-59) 2. Elderlby (60-74) 3. Old (75-90) 4. Very old (>90) Peran keluarga: 1. Merencanakan makan 2. Menyiapkan menu seimbang Nutrisi pada lansia Faktor-faktor yang mempengaruhi nutrisi pada lansia: 1. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan 2. Berkurangnya indra pengecapan 3. Esofagus melebar 4. Rasa lapar menurun 5. Peristaltik usus melemah 6. Penyerapan makanan di usus melemah Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti Gambar 1 Kerangka Konseptual Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia di Desa Kebunagung Kecamatan Puri Kabupaten Jombang. Sumber : Nugroho (2000), Proverawati (2010), Nugroho (2008). 2. Populasi, Sampel, Variabel dan Instrumen Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki lansia di desa kebunagung kecamatan puri kabupaten mojokerto yang berjumlah 225 orang, sedangkan sampel diseleksi menggunakan consecutive sampling yaitu pengambilan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu. Nursalam (2008). Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi meliputi: a) Keluarga yang memiliki lansia baik laki-laki maupun perempuan. b) Keluarga yang bersedia menjadi responden. c) Keluarga yang ada di rumah saat peneliti datang. d) Jika ada 2 lansia dalam satu rumah maka hanya diambil 1. Sedangkan kriteria eksklusi meliputi: a) Lansia dalam kondisi sakit. b) Lansia yang mengalami depresi. c) Keluarga yang tidak bisa baca tulis (buta huruf). Variabel pada penelitian ini adalah peran keluarga dalam asupan nutrisi lansia yakni Seperangkat tingkah laku keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi lansia meliputi: merencanakan makan untuk lansia, dan menyiapkan menu seimbang untuk lansia, yang di ukur menggunakan angket. 6 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 3. Teknik Analisis Data Setiap jawaban pertanyaan diberi skor dengan pedoman sebagai berikut: 1 untuk jawaban TP (tidak pernah), 2 untuk jawaban KD (kadang-kadang), dan 3 untuk jawaban SR (sering). T = 50 + 10 Keterangan : X = Skor responden pada skala sikap yang hendak diubah manjadi skor T = Mean skor kelompok S = Deviasi standart skor kelompok Setelah di hitung menggunakan rumus di atas selanjutnya diklasifikasikan menjadi: a. Perilaku positif : jika Skor T hasil perhitungan > mean T (50) b. Perilaku negatif : Jika skor T hasil penghitungan < mean T (50) (Azwar, 2007). Hasil pengolahan data dinterpretasikan dengan menggunakan skala kualitatif yaitu: 100% 76-99% 51-75% 50% 26-49% 1-25% 0% = seluruhnya responden = hampir seluruh responden = sebagian besar responden = setengah dari responden = hampir setengah dari responden = sebagian kecil dari responden = tidak satupun dari responden (Arikunto, 2002). D. HASIL PENELITIAN 1. Data Umum a. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto tanggal 01 s/d 15 juli 2011. No Pendidikan Frekuensi (f) Persentase (%) 1 SD 11 29,7 2 SMP 10 27,0 3 SMU 11 29,7 4 Perguruan tinggi 5 13,5 Jumlah 37 100 Tabel 2 menjelaskan bahwa hampir setengah dari responden berpendidikan SMA sebanyak 11 responden (29,7%). b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan 7 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto 01 – 15 juli 2011. No Pekerjaan Frekuensi (f) Presentase (%) 1 Bekerja 33 89,2 2 Tidak bekerja 4 10,8 Jumlah 37 100 Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden memiliki pekerjaan yaitu sebanyak 33 responden (89,2%). c. Karakteristik Responden Berdasarkan Penghasilan Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penghasilan di Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto 01 – 15 juli 2011. No Penghasilan Frekuensi (f) Presentase (%) 1 < 100.000 8 21,6 2 100.000-500.000 16 43,2 3 500.000-1000.000 8 21,6 4 >1.000.000 5 13,5 Jumlah 37 100 Tabel 4 menjelaskan bahwa hampir setengah dari responden memiliki penghasilan 100.000,00-500.000,00 yaitu sebanyak 16 responden (43,2%). d. Karakteristik Responden Berdasarkan Sumber informasi Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi di Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto 01 – 15 juli 2011. No Informasi Frekuensi (f) Presentase (%) 1 Tidak 17 45,9 2 Iya 20 54,1 Jumlah 37 100 Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapatkan informasi tentang asupan nutrisi lansia yaitu sebanyak 20 responden (54,1%). 2. Data Khusus Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia Tabel 6 Distribusi Frekuensi Peran Keluarga Dalam Asupan Nutrisi Lansia di Desa Kebonagung Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto 01 – 15 juli 2011. No Peran Keluarga Dalam Frekuensi (f) Presentase (%) Asupan Nutrisi Lansia 1. Positif 19 51,4 2. Negatif 18 48,6 Jumlah 37 100 Tabel 6 menjelaskan bahwa sebagian besar responden mempunyai peran positif yaitu sebanyak 19 responden (51,4%). E. PEMBAHASAN Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar keluarga lansia berperan positif dalam memenuhi kebutuhan nutrisi lansia yaitu sebanyak 19 responden (51,4%) sedangkan responden yang memiliki peran negatif sebanyak 18 responden (48,6%). Keluarga berperan positif dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi lansia yaitu sebanyak 19 8 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 responden (51,4%) ditunjukkan dengan keluarga merencanakan makan untuk lansia dan menyiapkan menu seimbang untuk lansia. Peran keluarga dalam asupan nutrisi lansia ialah merencanakan makan untuk lansia diantaranya, porsi makan perlu diperhatikan, jangan terlalu kenyang, banyak minum dan kurangi garam, menghindari makanan yang terlalu asin, membatasi penggunaan kalori hingga berat badan dalam batas normal. Bagi lanjut usia yang proses penuaannya sudah lebih lanjut, hal berikut perlu diperhatikan, (Mengonsumsi makanan yang mudah dicerna, hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan gorengan, bila kesulitan mengunyah karena gigi rusak atau gigi palsu kurang baik, makanan harus lunak/lembek atau dicincang, makan dalam porsi kecil tetapi sering, makanan kudapan, susu, buah, dan sari buah sebaiknya diberikan, batasi minum kopi dan teh). Peran yang kedua adalah menyiapkan menu seimbang untuk lansia. syarat menu seimbang untuk lanjut usia adalah mengandung zat gizi beraneka ragam bahan makanan yang terdiri atas zat tenaga, zat pembangun, dan zat pangatur, jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi oleh lanjut usia adalah 50% dari hidrat arang yang merupakan hidrat arang komplek, jumlah lemak dalam makanan dibatasi, jumlah protein yang baik dikonsumsi disesuaikan dengan lanjut usia, yaitu, menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, makanan mengandung tinggi tinggi zat besi (Fe), membatasi penggunaan garam, bahan makanan sebagai sumber zat gizi sebaiknya dari bahan makanan yang segar dan mudah dicerna, hindari bahan makanan yang mengandung tinggi alkohol, pilih makanan yang mudah dikunyah seperti makanan lunak (Nugroho, 2008). Keluarga berperan positif ditunjukkan dengan keluarga merencanakan makan dan menyajikan menu seimbang bagi lansia. Perencanaan makan meliputi keluarga memperhatikan porsi makan untuk lansia, mengatur porsi makan dalam satu hari, mengatur porsi minum yang lebih banyak, dan keluarga memilih makanan yang mudah dikunyah, seperti makanan dimasak agak lembek. Sedangkan dalam penyajian makan untuk lansia meliputi, keluarga menyajikan makanan yang mengandung gizi beraneka ragam, menyajikan makanan dengan jumlah kalori yang baik, menyajikan makanan yang tinggi kalsium (susu, ikan, yaghut), menyajikan makanan yang mengandung serat (sayursayuran, buah-buahan), Keluarga juga berperan positif dalam menghindari makanan yang harus dihindari oleh lansia antara lain membatasi penggunaan makanan yang manis (gula), membatasi makanan yang mengandung lemak (margarin, gorengan), membatasi penggunaan garam, dan membatasi lansia untuk minum kopi atau teh. Peran positif keluarga didukung oleh faktor pengatahuan keluarga, hal tersebut ditunjukkan pada tabel 4.4 berdasarkan data umum yang di dapat sebagian besar responden mendapatkan informasi mengenai asupan nutrisi lansia yaitu sebanyak 20 responden (54,1%), dari ini keluarga mengerti pentingnya asupan nutrisi lansia, oleh sebab itu keluarga berperan positif terhadap asupan nutrisi lansia. Hasil penelitian menjelaskan bahwa dalam merencanakan makan untuk lansia sebagian besar responden berperan negatif yaitu sebanyak 21 responden (56,8%). Peran keluarga dalam merencanakan makan untuk lansia antara lain ; porsi makan harus diperhatikan , jangan terlalu kenyang, porsi makan hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga dapat makan lebih sering dengan porsi yang kecil, banyak minum dan kurangi garam, membatasi penggunaan kalori hingga berat badan dalam batas normal, terutama makanan yang manis (gula) dan makanan yang berlemak, bagi lansia yang proses penuaannya sudah lebih lanjut konsumsi makanan yang mudah dicerna, seperti makanan yang dimasak agak lunak, berikan makanan kudapan seperti, susu, buah, dan sari roti, batasi minum kopi atau teh (Nugroho, 2008). Dalam merencanakan makan untuk lansia keluarga berperan negatif ditunjukkan dengan keluarga tidak memperhatikan porsi 9 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 makan untuk lansia, tidak mengatur makan secara merata dalam satu hari sehingga lansia tidak bisa makan dengan porsi kecil dengan frekuensi sering, tidak memberikan makanan yang mudah dicerna seperti nasi dimasak agak lembek, tidak memberikan makanan kudapan seperti susu, buah, dan sari roti, kemudian dalam membatasi penggunaan makanan yang harus dihindari oleh lansia keluarga tidak membatasi penggunaan kalori, tidak membatasi penggunaan garam, tidak membatasi makanan manis (gula), dan keluarga tidak membatasi makanan yang berlemak. Dalam menyiapkan menu seimbang untuk lansia sebagian besar responden berperan positif yaitu sebanyak 20 responden (59,9%). Dalam menyiapkan menu seimbang untuk lansia makanan harus mengandung zat gizi beraneka ragam (zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur), jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi oleh lansia adalah 50% dari hidrat arang yang merupakan hidrat arang komplek (sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian), jumlah lemak dalam makanan dibatasi, jumlah protein yang baik dikonsumsi disesuaikan dengan lanjut usia, yaitu 8-10% dari total kalori, makanan dianjurkan mangandung serat yang bersumber dari buah, sayur, dan macam-macam makanan pati, yang dikonsumsi secara bertahap, makanan tinggi kalsium (susu, yoghut, ikan), makanan mengandung tinggi zat besi (Fe), hindari makanan yang tinggi alkohol, dan pilih makanan yang mudah dikunyah (Nugroho,2008). Dalam menyiapkan menu seimbang untuk lansia keluarga berperan positif ditunjukkan dengan keluarga memberikan makanan yang beraneka ragam yang terdiri atas zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur, keluarga memberikan makanan dengan jumlah kalori yang baik, keluarga memberikan makanan cukup protein, keluarga menyiapkan makanan yang mengandung tinggi serat, keluarga memberi makanan tinggi kalsium, keluarga memberi makanan yang mengandung zat besi (Fe), keluarga menghindari makanan yang tinggi alkohol, dan keluarga memilih makanan yang mudah dikunyah atau makanan lunak. Keluarga berperan negatif dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi lansia yaitu sebanyak 18 responden (48,6%) ditunjukkan dengan keluarga tidak merencanakan makan untuk lansia dan tidak menyiapkan menu seimbang untuk lansia. Berbagai faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi lanjut usia meliputi faktor dari lanjut usia itu sendiri, faktor keluarga, faktor lingkungan, faktor pelayanan, aktifitas fisik, kemunduran biologis, pengobatan, depresi, dan kondisi mental dan penyakit (Wirakusumah, 2002). Salah satu masalah gizi pada lansia adalah kelebihan gizi. Obesitas dapat memperburuk kondisi kesehatan kelompok lansia karena dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi serta diabetes melitus tipe II (Wirakusumah, 2000). Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya (Nugroho, 2008). Keluarga hendaknya memperhatikan kecukupan gizi lansia akan terpenuhi apabila memperhatikan pola makan yang beragam dan bergizi seimbang (Wirakusumah, 2000). Peran negatif pada keluarga akan berdampak pada munculnya masalah kesehatan pada lansia seperti obesitas dan berbagai penyakit misal, penyakit infeksi dan penyakit degeneratif. Banyak faktor yang mempengaruhi peran keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi pada lansia diantaranya adalah faktor penghasilan, hal tersebut ditunjukkan pada tabel 4.3 disimpulkan bahwa hampir setengah dari responden mepunyai penghasilan 100.000,00 – 500.000,00 yaitu sebanyak 16 responden (43,2%). Dilihat dari penghasilan responden yang minimum, kemungkinan keluarga tidak bisa membeli makanan yang kaya akan zat gizi. Faktor lain yang mendukung peran negatif keluarga adalah faktor pekerjaan, berdasarkan tabel 4.2 disimpulkan bahwa hampir seluruh responden memiliki pekerjaan yaitu sebanyak 33 responden (89,2). Kemungkinan 10 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 keluarga tidak sempat dalam melakukan perannya dalam asupan nutrisi lansia yaitu merencanakan makan dan menyiapkan menu seimbang bagi lansia. F. PENUTUP Sebagian besar keluarga lansia melakukan perannya dalam menyediakan, merencanakan dan menyiapkan menu seimbang bagi lansia, namun masih banyak keluarga yang tidak melaksanakan perannya yang disebabkan karena rendahnya pengetahuan dalam mengatur asupan nutrisi lansia. Oleh sebab itu hendaknya keluarga memperhatikan selalu aktif mencari informasi tentang asupan nutrisi lansia, sedangkan lansia aktif dalam kegiatankegiatan masyarakat, serta membentuk paguyuban seperti posyandu lansia untuk memantau status kesehatannya. DAFTAR PUSTAKA Dinkes Kabupaten Kebumen. (2007). Laporan Riset Kesehatan. Dasar (http://www.kesehatan kebumenkab.go.id/data/lapriskesdas,pdf). Diakses pada tanggal 28 april 2011. Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta : Rineka cipta. Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta : Rineka cipta. Aswar, S. (2007). Sikap manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta : pustaka pelajar. Budiarto, E. (2003). Metodologi penelitian kedokteran. Jakarta : EGC. Hidayat, A.A. (2007). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Jakarta : salemba medika. Janah, L.F. (2009). Teori peran.(http://bidanlia.blogspot.com). Diakses pada tanggal 3 mei 2011. Jhonson R. dan Leni R. (2010). keperawatan keluarga. yogyakarta : nuha medika Maryam, R.S. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta : salemba medika. Milian, A.(2011). Pengetahuaan keluarga tentang pemenuhan kebutuhan gizi pada lansia. (http://www.armymilian.info). Diakses pada tanggal 28 april 2011. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta. Rineka cipta Nugroho, W. (2000). Keperawatan gerontik. Jakarta. EGC. Nugroho, W. (2008). Keperawatan gerontik dan geriatrik. Jakarta : EGC. Nursalam. (2008). Metodologi riset keperawatan. Jakarta : Infomedika. Proverawati, A. dan Wati, E.K. (2010). Ilmu gizi untuk keperawatan dan kesehatan. Yogyakarta : Muha Medika. Supariasa, I.D.N. (2002). Penilaian status giz. Jakarta : EGC. Watson, R. (2003). Perawatan pada lansia. Jakarta : EGC. Wirakusumah, E.S. (2000). Tetap bugar di usia lanjut. Jakarta : Trubus Agriwidya. 11 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN TERHADAP KEHADIRAN BALITA DI POSYANDU DESA KAMAL KECAMATAN ARJASA KABUPATEN JEMBER 1 Badriyah1 , Sarmini Moedjiarto, M.MPd2 Mahasiswi Prodi DIII Kebidanan Poltekkes Majapahit 2 Dosen Poltekkes Majapahit ABSTRACT Malnutrition on the Indonesian infant was the main problem to get optimally healthy for infant. There were some programs to infant which made by government to rehabilitate nutrition status of infant. one of them was posyandu (integrated service post). The action of posyandu is done by cadre. The data told about presenting infant in Posyandu haven’t yet fulfilled the best target; they had problem that need the best way to solve it. The aim of this study is to determine effect of additional feeding in presenting infant at Posyandu. This was observational study by analytical method. The writer used secondary data that consist of visiting posyandu and additional feeding infant that observed by checklist. There was 80 respondents. The result showed that there was 6o infants (80%) from 80 infants are given by PMT (additional feeding), and 48 infants (80%) come to posyandu, then 12 infants (12%) didn’t come to posyandu. The result of Chi square is known by chi square count > chi square table (6,77>3,841). The analysis of chi square showed that additional feeding by selffinancing could affected presenting infants in posyandu. Additional feeding self-financing is proven to support presenting infant in posyandu. The hoped from communities by awareness self in presenting infant in posyandu is daily activities to need be done therefore without additional feeding, so that Indonesian infant gets the health services optimally. Keyword: additional, feeding, presenting, Posyandu A. PENDAHULUAN Indonesia berada diperingkat 130 dalam kasus balita dengan status gizi kurang berdasarkan data HDI (Human Development Index) (Republika, 2004) Hal ini dibuktikan dengan adanya data yang menunjukan bahwa di tahun 2007, 4 juta balita di Indonesia menderita kurang gizi. 700 ribu diantaranya menderita gizi buruk (Anonim, 2008). Di Jawa Timur melalui program pemantauan status gizi (PSG) dinyatakan bahwa, pada tahun 2005 terdapat 19,3 % balita terdeteksi menderita Kurang Energi Protein (KEP), yang dikategorikan dalam balita dengan status gizi kurang mencapai 16,6 % dan balita dengan status gizi buruk berjumlah 2,7 % (Depkes RI, 2006). Status gizi pada balita perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena kekurangan gizi pada balita dapat menyebabkan kerusakan yang irreversible (tidak dapat dipulihkan), seperti dijelaskan oleh Proverawati, (2009:135). Djaiman (2001) berpendapat bahwa, Posyandu (Pos pelayanan terpadu) merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat dan untuk masyarakat, mempunyai salah satu kegiatan rutin untuk memantau pertumbuhan balita dengan menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat) Melalui kurve KMS dapat diketahui keberadaan balita dengan status gizi kurang (Gsianturi, 2004). Gsianturi (2004) menjelaskan keberadan Posyandu mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk membantu peningkatan status gizi pada balita. Oleh karena itu, peranan kader Posyandu sebagai pelaksana kegiatan Posyandu diharapkan mampu 12 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 memantau status gizi balita dengan baik sekaligus mampu meningkatkan status gizi balita tersebut. Kabupaten Jember pada tahun 2009 menyatakan telah memiliki 2.750 Posyandu dengan jumlah balita 152.309 anak. Jumlah kehadiran balita di Posyandu mencapai 71,76 %, sedangkan di kecamatan Arjasa Kabupaten Jember terdiri dari 6 Desa dan 46 Posyandu dengan jumlah balita 3.153 balita. Tingkat kehadiran balita di Posyandu mencapai 70,88 % (2.235 balita). Desa Kamal sebagai salah satu wilayah kerja Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember, mempunyai 5 Posyandu dengan 420 balita. Tingkat kehadiran balita di Posyandu mencapai 73,72 % (305 balita). Melalui studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan September 2010, Posyandu Manggis yang berada di wilayah kerja Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember, mempunyai 96 balita dengan tingkat kehadiran hanya mencapai 58,33 % (56 balita) Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kehadiran balita di Posyandu Manggis Desa Kamal kecamatan Arjasa Kabupaten Jember kurang memenuhi target yang ditentukan. Untuk mengetahui balita dengan satus gizi kurang maka diperlukan pemantauan status gizi balita melalui kurve KMS (Kartu Menuju Sehat) di Posyandu. Jika diketahui kurva KMS berada dalam garis warna hijau dapat dinyatakan bahwa status balita adalah baik, tapi jika kurve KMS berada pada garis bawah merah menunjukan bahwa status gizi balita tersebut adalah buruk (Anonim, 2008). Apabila jumlah kehadiran balita tidak memenuhi target yang diharapkan, maka jumlah balita yang menderita gizi burukpun tidak akan terdeteksi dengan baik. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan status gizi balita tidak akan pernah terlaksana dengan baik. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mendorong kehadiran balita di Posyandu. PMT atau Pemberian Makanan Tambahan, merupakan salah satu program Pemerintah untuk meningkatkan gizi balita (Pro-Health, 2009) Diharapkan melalui PMT atau pemberian makanan tambahan dapat mendorong kehadiran balita di Posyandu. Berdasarkan data diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan terhadap Kehadiran Balita di Posyandu di Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Dasar Pemberian Makanan Tambahan (PMT) a. Pengertian Pemberian Makanan Tambahan (PMT) PMT atau yang disebut juga Pemberian Makanan Tambahan adalah upaya pemberian penambahan makanan tanpa mengurangi jumlah makanan yang dimakan setiap hari di rumah. PMT sebagai sarana pemulihan gizi dalam arti kuratif, rehabilitatif dan sebagai sarana penyuluhan sebagai bentuk kegiatan pemberian gizi berupa makanan dari luar keluarga, dalam rangka UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga), (Pro-Health, 2009). b. Tujuan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Usia balita yang merupakan usia dimana seorang anak akan mengalami tumbuh kembang dan aktivitas yang sangat pesat membutuhkan asupan gizi yang cukup. Pemberian makanan tambahan kapada balita di Posyandu diberikan dengan tujuan sebagai upaya perbaikan gizi balita (Pro-Health, 2009). c. Sasaran Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Sasaran PMT adalah balita yang dikategorikan dalam golongan rawan gizi atau balita yang menderita kurang gizi. Adapun kriteria balita yang mendapatkan PMT dari Pemerintah adalah balita yang tiga kali berturut-turut tidak naik timbangannya serta balita yang berat badannya pada kurve KMS (Kartu Menuju Sehat) terletak dibawah garis merah (Pro-Health, 2009). 13 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 d. 2. Komposisi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Menurut Departemen Kesehatan RI seperti dikutip oleh Judiono (2003) bahwa persyaratan pemberian makanan tambahan pada anak usia pra sekolah atau balita harus memenuhi nilai gizi yang berkisar 200-300 kalori dan 5-8 gram protein. Bahan makanan yang digunakan dalam PMT sebaiknya merupakan bahan makanan bersumber kalori dan protein tanpa mengesampingkan sumber zat gizi lain seperti : padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, ikan, sayuran hijau, kelapa dan hasil olahannya (Pro-Health, 2009). Berikut adalah contoh menu PMT bagi balita di Posyandu (Ismawati dkk, 2010:32) : 1). Menu PMT bayi usia 6-12 bulan Dapat berupa : Bubur susu labu kuning, Nasi tim ikan tengiri, Nasi tim ayam campur sayur, Jus alpukat dan lain-lain. 2). Menu PMT anak usia diatas 1 tahun Misalnya : Sup kacang merah, Mie goreng ayam, Sate bola-bola tahu, Puding buah warna-warni dan lain-lain. PMT dapat diberikan dalam bentuk makanan selingan atau makanan lengkap dalam porsi kecil. Pengolahan PMT sebaiknya menggunakan bahan makanan setempat yang banyak mengandung protein nabati/hewani, yang diolah dengan mempergunakan resep daerah atau dimodifikasi, dimasak dan dikemas dengan baik, aman serta memenuhi syarat kebersihan serta kesehatan. Pengadaan PMT disesuikan dengan ketersediaan dana yang berasal dari program pemerintah dan swadana masyarakat (Ismawati dkk, 2010:31). Berdasarkan hal tersebut, Pemberian PMT di Posyandu sebagai upaya mendorong kehadiran balita ke Posyandu merupakan sosialisasi yang tepat bagi ibu balita untuk memahami tentang makanan sehat dan bergizi seimbang. Konsep Dasar Kehadiran Balita di Posyandu Kehadiran balita di Posyandu adalah bentuk kedatangan balita secara fisik di Posyandu untuk mengikuti kegiatan Posyandu. Diharapkan dengan kehadiran balita di Posyandu yang mencapai target 100 % kehadiran, dapat mendeteksi balita dengan status gizi kurang dan memberikan upaya perbaikan gizi balita melalui PMT. Menurut Siswono, (2001) dijelaskan bahwa, untuk menanggulangi masalah kekurangan gizi pada anak balita dibutuhkan pemberdayaan masyarakat melalui 6 tahap, yaitu : a. Pengorganisasian Masyarakat b. Pelatihan c. Penimbangan Balita d. Penyuluhan gizi balita e. Pemberian Makanan Tambahan f. Penggalangan Dana Program Pemberian Makanan Tambahan yang diberikan oleh Pemerintah hanya diberikan kepada balita dengan status gizi kurang (Pro-Health, 2009), sedangkan keberadaan Posyandu dengan jumlah balita yang hadir tidak memenuhi target, membuat penyelenggara kegiatan Posyandu berupaya untuk mendorong balitanya mengikuti kegitan Posyandu. Hal itu dilakukan dengan melakukan pemberian makanan tambahan (PMT) menggunakan dana swadaya masyarakat (Siswono, 2001). 14 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 C. METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan rancangan penelitian cross sectional yaitu merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan atau sekali waktu (Hidayat, 2007 : 56). Variabel yang digunakan adalah variabel Independen dan variabel Dependen. Variabel independen yang digunakan adalah pemberian makanan tambahan sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah kehadiran balita di Posyandu. Tabel 1 Definisi Operasional Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Terhadap Kehadiran Balita di Posyandu. Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala Pemberian Melalui pemberian makanan Diberi PMT : 1 Nominal Makanan tambahan tanpa mengurangi Tidak diberi PMT : 0 Tambahan jumlah makanan yang dimakan (Hidayat, 2007) setiap hari di rumah, diharapkan dapat mendorong kehadiran balita di Posyandu. Alat pengukuran menggunakan check list pemberian makanan tambahan. Kehadiran Kedatangan balita secara fisik Hadir : 1 Nominal balita di di Posyandu untuk mengikuti Tidak Hadir : 0 Posyandu kegiatan Posyandu dapat (Hidayat, 2007) meningkatkan angka kehadiran balita di Posyandu Alat pengukuran menggunakan buku kunjungan balita ke Posyandu . Hipotesis yang diuji antara lain: H1 : Ada pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap kehadiran Balita di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. H0 : Tidak ada pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap kehadiran Balita di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. Populasi yang digunakan adalah semua balita di Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember pada bulan September 2010 yang berjumlah 420 anak. Sedangkan sampel harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi terdiri dari: 1). Balita yang tinggal di wilayah Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. 2). Balita yang berusia 6 bulan – 5 tahun. 3). Balita yang mempunyai KMS (Kartu Menuju Sehat) di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. 4). Balita yang hadir di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. Kriteria eksklusi antara lain : 1). Balita yang sakit. 2). Balita yang berusia kurang dari 6 bulan 3). Balita yang berusia lebih dari 5 tahun. 4). Balita yang baru pertama kali mengikuti Posyandu di Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. 15 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Untuk menentukan besar sampel dapat dilakukan dengan penghitungan rumus. Menurut Nursalam (2008:91-92), jika besar populasi < 1.000 maka dapat dilakukan penghitungan dengan rumus sebagai berikut: n= Keterangan: n : jumlah sampel N : jumlah populasi d : tingkat signifikansi (p) Jadi total sampel berdasarkan rumus adalah sebesar 80 balita. Sampel diseleksi menggunakan teknik Probability Sampling menggunakan metode Cluster Sampling, yaitu pengelompokan sampel berdasarkan wilayah atau populasi lokasi (Nursalam, 2008 : 94). Penghitungan dengan rumus proporsional pada pengambilan sampel tiap Posyandu di Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember diperoleh hasil sebagai berikut: Posyandu Manggis 38 : ni = x 80= 18 balita Posyandu Manggis 39: ni = x 80= 17 balita Posyandu Manggis 40: ni = x 80= 16 balita Posyandu Manggis 41: ni = x 80= 14 balita Posyandu Manggis 42: ni = 80 420 x 80= 15 balita Data dikumpulkan menggunakan teknik Dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data dengan cara mengambil data yang berasal dari dokumen asli berupa daftar periksa (Hidayat, 2007 : 100). Dokumen yang dianalisa menggunakan data yang berasal dari buku pemberian PMT dan buku kunjungan balita ke Posyandu di Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember pada tahun 2009. Untuk mengetahui pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap kehadiran balita di Posyandu, peneliti melakukan uji Chi Square. Pemilihan uji Chi Square digunakan untuk membandingkan atau membedakan dua variabel serta untuk menguji generalisasi dari hasil analisis (Hidayat, 2007). D. HASIL PENELITIAN 1. Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010 No Usia Balita Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. 6 - 12 bulan 33 41 2. 1 - 5 tahun 47 59 Jumlah 80 100 Sumber : Data sekunder tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010 Tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari 50% balita berusia 1 – 5 tahun. 2. Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010 No Jenis Kelamin Frekuensi (f) Prosentase (%) 1. Laki-Laki 32 40 2. Perempuan 48 60 Jumlah 80 100 16 HOSPITAL MAJAPAHIT 3. 4. 5. Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Sumber : Data sekunder Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010 Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar balita (60%) berjenis kelamin perempuan. Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian Makanan Tambahan Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemberian Makanan Tambahan di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010 Pemberian Makanan No Frekuensi (f) Prosentase (%) Tambahan 1. Diberi PMT 60 75 2. Tidak diberi PMT 20 25 Jumlah 80 100 Sumber : Data sekunder Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010 Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar balita (75%) mendapatkan PMT. Frekuensi Responden Berdasarkan Kehadiran Balita di Posyandu Tabel 5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kehadiran Balita di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010 Kehadiran Balita di No Frekuensi (f) Prosentase (%) Posyandu 1. Hadir 58 72,5 2. Tidak hadir 22 27,5 Jumlah 80 100 Sumber : Data sekunder Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010. Tabel 5 menunjukkan bahwa lebih dari 50% balita hadir di Posyandu. Analisa Perhitungan Uji Chi Square Tabel 6 Tabel Silang Pemberian Makanan Tambahan dengan Kehadiran Balita di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember Tanggal 25 Oktober – 13 Nopember 2010 Kehadiran Total Pemberian makanan tambahan Tidak hadir Hadir Frek % Frek % Frek % Tidak diberi PMT 10 50 10 50 20 100 Diberi PMT 12 20 48 80 60 100 Jumlah 22 27,5 58 72,5 80 100 Hasil uji chi square dengan menggunakan SPSS versi 12 for windows diperoleh nilai chi square hitung sebesar 6,771, sedangkan nilai chi square tabel pada df = 1 sebesar 3,841. Dengan demikian nilai chi square hitung > chi square tabel (6,771 > 3,841) atau nilai signifikansi lebih kecil dari = 5% (0,009 < 0,05) yang berarti bahwa H0 ditolak atau H1 diterima artinya ada pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap kehadiran Balita di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. E. PEMBAHASAN 1. Pemberian Makanan Tambahan Hasil penelitian menunjukkan bahwa 60 balita (75%) balita telah diberi PMT dan 20 (25%) balita tidak diberi PMT di Posyandu. Pemberian makanan tambahan merupakan salah satu kegiatan Posyandu dalam upaya perbaikan status gizi balita. Usia balita merupakan usia pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan 17 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 asupan gizi yang cukup, sehingga berbagai bentuk kegiatan Posyandu seperti konsultasi gizi dan pelayanan gizi pada balita diberikan untuk mencapai tujuan tersebut (Pro-health, 2009). Program pemberian Makanan Tambahan yang diberikan oleh Pemerintah hanya diberikan kepada balita dengan status gizi kurang (Pro-Health, 2009), sedangkan keberadaan Posyandu dengan jumlah balita yang hadir tidak memenuhi target, membuat penyelenggaraan kegiatan Posyandu berupaya untuk mendorong balitanya mengikuti kegiatan Posyandu. Hal itu dilakukan dengan melakukan pemberian makanan tambahan (PMT) menggunakan dana swadana masyarakat (Siswono, 2001). PMT dapat diberikan dalam bentuk makanan selingan atau makanan lengkap dalam porsi kecil. Pengolahan PMT sebaiknya menggunakan bahan makanan setempat yang banyak mengandung protein nabati/hewani, yang diolah dengan mempergunakan resep daerah atau dimodifikasi, dimasak dan dikemas dengan baik, aman serta memenuhi syarat kebersihan serta, kesehatan. Berikut adalah contoh menu PMT bagi balita di Posyandu (Ismawati dkk, 2010:32) : a. Menu PMT bagi usia 6-12 bulan Dapat berupa : Bubur susu labu kuning, Nasi tim ikan tengiri, Nasi tim ayam campur sayur, Jus alpukat dan lain-lain. b. Menu PMT anak usia diatas 1 tahun Misalnya : Sup kacang merah, Mie goreng ayam, Sate bola-bola tabu, Puding buah wawa-warni dan lain-lain. Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar balita di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember telah mendapatkan PMT. Hal ini dikarenakan Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember telah menerapkan PMT, sebagai salah satu program rutin yang dilaksanakan dalam kegiatan Posyandu, sehingga secara tidak langsung balita yang hadir di Posyandu akan mendapatkan PMT swadana yang dikelola oleh kader Posyandu. Adanya balita yang tidak mendapatkan PMT dikarenakan oleh beberapa alasan diantaranya adalah ; pendapat orang tua balita yang menyatakan bahwa balitanya datang ke Posyandu karena ingin mendapatkan imunisasi, pengobatan dan ingin mengetahui kenaikan berat badan anaknya saja, sehingga mereka segera pulang setelah mendapatkan pelayanan Posyandu yang diinginkan tanpa menunggu pembagian PMT. 2. Kehadiran balita di Posyandu Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% balita dinyatakan hadir di Posyandu. Balita atau anak usia bawah lima tahun adalah anak usia kurang dari lima tahun (Proverawati, 2009) Masa balita merupakan usia penting dalam tumbuh kembang anak secara fisik. Pada usia ini terjadi proses pertumbuhan yang sangat pesat, sehingga memerlukan asupan gizi yang cukup sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini dikarenakan angka kecukupan gizi tersebut berpengaruh untuk kondisi kesehatan balita yang berkesinambungan di masa yang akan datang (Depkes RI, 2006). Posyandu atau Pos Pelayanan Terpadu yang merupakan salah satu buntuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM), dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat. Posyandu dibentuk guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2006). Kehadiran balita di Posyandu merupakan syarat mutlak dalam pelaksanaan kegiatan di Posyandu. Berbagai macam kegiatan Posyandu yang terdiri dari 18 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 penyelenggaraan PMT secara swadana, penimbangan dan pemantauan KMS, vaksinasi, konsultasi gizi, pelayanan gizi, pelayanan kesehatan dasar, memberikan rujukan, dan pengobatan, diharapkan mampu meningkatkan angka kehadiran balita di Posyandu. (Siswono, 2001 dan Gsianturi, 2004). Balita sebagai sasaran utama dalam kegiatan Posyandu mempunyai peranan penting untuk hadir dalam kegiatan Posyandu. Kehadiran balita di Posyandu yang tiliak memenuhi target kehadiran, merupakan masalah utama dalam pelaksanaan kegiatan di Posyandu. Oleh karena itu sebagai salah satu upaya untuk mendorong kehadiran balita dilakukan dengan memberikan PMT secara swadana oleh kader Posyandu. Dalam memberikan PMT di Posyandu diharapkan kader Posyandu memperhatikan kualitas dan kuantitas PMT, penyajian PMT secara, bervariasi yang diyakini mampu meningkatkan angka kehadiran balita di Posyandu. Beberapa faktor yang menyebabkan ketidak hadiran balita di Posyandu adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang pentingnya Posyandu, terbukti dengan adanya pendapat orang tua yang menyatakan bahwa apabila balitanya sehat tidak perlu datang ke Posyandu. Kesibukan orang tua balita juga menjadi faktor penghalang kehadiran balita di Posyandu. Selain itu letak geografis desa Kamal yang berupa pegunungan dengan jarak yang jauh dari tempat pelayanan Posyandu juga dapat menjadi faktor penghalang kehadiran balita di Posyandu. 3. Tabulasi silang pemberian makanan tambahan dengan kehadiran balita Hasil penelitian menjelaskan bahwa jumlah balita yang diberi PMT adalah 60 balita (80%) dari keseluruhan jumlah responden 80 balita. Hadir di Posyandu sebanyak 48 balita (80%) dan tidak hadir di Posyandu sebanyak 12 balita (20%). Sedangkan balita yang tidak diberi PMT sebanyak 20 balita (20%) dari total keseluruhan jumlah responden. Hadir di Posyandu 10 balita (50%) dan tidak hadir di Posyandu 10 balita (50%). Cross tab antara pemberian makanan tambahan dengan kehadiran balita di Posyandu diketahui chi square hitung > chi square tabel (6,771 > 3,841) atau nilai signifikansi lebih kecil dari (X = 5% (0,009 < 0,05) yang berarti bahwa Ho ditolak atau H1, diterima, artinya ada pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap kehadiran Balita di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. Menurut Pro-Health (2009), PMT atau yang disebut juga Pemberian Makanan Tambahan adalah upaya pemberian penambahan makanan tanpa mengurangi jumlah makanan yang dimakan setiap hari di rumah. Pemberian makanan tambahan atau PMT pads balita dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki status gizi balita dalam rangka UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga). Selain sebagai upaya perbaikan gizi balita, penyelenggaran PMT secara swadana dalam kegiatan di Posyandu (Siswono, 2001) diharapkan dapat mendorong kehadiran balita di Posyandu. Kehadiran balita di Posyandu adalah merupakan bentuk kehadiran balita secara fisik dalam mengikuti kegiatan Posyandu yang meliputi penimbangan dan pemantauan KMS, vaksinasi, pelayanan gizi, konsultasi gizi serta penyelenggaraan PMT secara swadana bagi balita (Modifikasi Gsianturi, 2004 dan Siswono, 2001). Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang optimal terhadap balita dibutuhkan keikutsertakan balita dalam kegiatan Posyandu melalui kehadiran balita di POsyandu, hal ini merupakan modal utama untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi balita melalui kegiatan rutin Posyandu. Pemberian makanan tambahan (PMT) secara swadana dalam kegiatan Posyandu diketahui dapat mempengaruhi kehadiran balita di Posyandu. Terbukti dari 60 balita yang diberi PMT, 48 balita (80%) dinyatakan hadir di Posyandu. 19 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Hasil penelitian menjelaskan bahwa dari 48 balita yang hadir 33 balita berusia 1–5 tahun dan 15 balita berusia 6-12 bulan. Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa yang hadir di Posyandu sebagian besar berusia 1-5 tahun, karena balita yang berusia 1-5 tahun sudah mengerti dan dapat merasakan tentang adanya pemberian makan tambahan di Posyandu. Hasil tersebut menunjukkan pemberian makanan tambahan mempunyai peranan penting untuk mendorong kehadiran balita di Posyandu. Balita yang telah mendapatkan PMT tetapi tidak hadir di Posyandu dari 12 balita, 10 balita berusia 6-12 bulan dan 2 balita 1-5 tahun. Diketahui yang tidak hadir sebagian besar balita yang berusia 6-12 bulan dikarenakan balita tidak hadir karena sakit, sebagian ibu mengatakan bahwa ke Posyandu hanya membutuhkan imunisasi dan ingin tahu perkembangan anaknya serta mendapat penyuluhan, karena pada usia tersebut bayi masih bergantung kepada orangtuanya, dengan alasan sibuk, bayi setelah mendapat imunisasi langsung pulang. Balita yang tidak mendapatkan PMT dari 20 balita 10 balita tidak hadir dan 10 balita yang hadir. Diketahui sebagian ibu mengatakan bahwa kehadirannya memang mereka sudah sadar akan pentingnya Posyandu ingin mendapatkan pelayanan Imunisasi, pengobatan serta penyuluhan, sedangkan sebagian ibu mengatakan ketidak hadirannya dikarenakan tidak mendapatkan PMT dan ada juga yang mengatakan bahwa balitanya sedang sakit dan lain-lain. Pelaksanaan pemberian makanan tambahan di desa Kamal dapat meningkatkan angka kehadiran balita di Posyandu. F. PENUTUP Kesimpulan hasil penelitian antara lain bahwa terdapat 60 balita (75%) yang mendapatkan PMT, Jumlah kehadiran balita di Posyandu diketahui sebanyak 58 balita (72.5%), Hasil analisis antara pemberian makanan tambahan terhadap kehadiran di Posyandu dengan menggunakan uji chi square dengan menggunakan SPSS versi 12 for windows diperoleh nilai chi square hitung sebesar 6,771, sedangkan nilai chi square tabel pada df = 1 sebesar 3,841. Dengan demikian nilai chi square hitung > chi square tabel (6,771 > 3,841) atau nilai signifikansi lebih kecil dari = 5% (0,009 < 0,05) yang berarti bahwa H0 ditolak atau H1 diterima artinya ada pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap kehadiran Balita di Posyandu Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember. Hendaknya kader Posyandu dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan Posyandu, tidak hanya pada pemberian makanan tambahan secara swadana saja tetapi juga dalam kegiatan Posyandu yang lainnya seperti penimbangan dan pemantauan KMS, vaksinasi, konsultasi gizi, pengobatan dan lainlain dalam upaya peningkatan derajat kesehatan balita. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Mengetahui Status Gizi Balita Anda. http://medicastore.com/artikel/247/Mengetahui_Status_Gizi_Balita_Anda.html. akses 25 September 2010. 10.00 wib Depkes RI. 2006. Buku Pegangan Kader Posyandu . Jakarta Depkes RI. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping ASI Lokal Tahun 2006. Jakarta Djaiman, Sri Poerdji Hastoety. 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Balita Berkunjung ke Posyandu. http://[email protected]. akses 25 September 2010. 10.00 wib 20 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Gsianturi. 2004. Gizi Buruk Di Tengah Kemegahan Kota. http://www.republika.co.id/ASP/Koran_detail.asp?id=164622&kat_id=286. akses 15 September 2010. 15.00 wib Hidayat, Alimul Aziz. 2007. Penelitian Keperawatan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika Ismawati, Cahyo dkk. 2010. Posyandu & Desa Siaga. Nuha Medika : Yogyakarta Notoatmojo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta : Jakarta Notoatmojo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta : Jakarta Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Pro-Health. 2009. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Anak Usia Pra Sekolah. http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/02/10/ pemberian-makanan-tambahanpmt-balita/. akses 15 September 2010. 13.00 wib Proverawati dkk, Atikah. 2009. Buku Ajar Gizi Untuk Kebidanan. Nuha Medika : Yogyakarta Siswono. 2001. Enam Langkah Menbuat Status Gizi Balita Meningkat. http:/www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1001578227.81523. akses 25 September 2010. 10.00 wib UU RI. 2000. Undang-Undang no 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Jakarta 21 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 PENDAMPINGAN SUAMI DENGAN TINGKAT KECEMASAN IBU SAAT MENGHADAPI PROSES PERSALINAN DI BPS Ny. Hj. AMALIA Amd.Keb SIMOGIRANG PRAMBON SIDOARJO 1 2 Eka Kusfarini1, Nur Saidah, M.Kes2 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRACT The support or involvement of the husband is very necessary in a mother's psychological development that facing the birth process. The purpose of this study to determine the relationship between husband assistancy with anxiety on the laboring mother. This was a crossectional study. Assisted by husband as an independent variable and anxiety during labor as the dependent variable. The study population of all labor mothers in BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang, Prambon, Sidoarjo as many as 30 maternal. Samples were taken by concecutive sampling of 24 respondents. Data were collected with a questionnaire and tested with the chi square test and presented in tabular form. Results showed that 13 respondents who are not accompanied her husband there was 1 respondent (4.1%) who did not experience anxiety, 7 respondents (29.1%) had anxiety and 5 being the respondents (20.8%) experienced severe anxiety. The results of mann-whitney test data showed that Z = 2,531, Z table = 0.0288, ρ = 0,015 dan α = 0,05 so that ρ < α then H0 rejected and H1 accepted means there is a relationship between husband assistance with the level of anxiety when faced the labor. Husband assistance will give a good impact on psychological wives so that they can perform labor well, safely and smoothly.The results could be used as additional information and insight for the community about the delivery process so as to enhance the knowledge held by the public, especially the husband that will have children so as to determine appropriate action in the face of labor later. Keywords: Husband assistance, Anxiety, labor. A. PENDAHULUAN Persalinan merupakan proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari rahm ibu, persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan setelah 37 minggu dan tanpa disertai adanya penyulit (APN, 2008). Berbagai perasaan akan muncul ketika ibu sedang menghadapi persalinan seperti merasa cemas, khawatir, dan gelisah yang belum jelas sebabnya sehingga dapat menghambat proses persalinan sedangkan pada bayi terjadi asfiksi. Saat inilah dukungan atau keterlibatan suami sangat diperlukan dalam perkembangan kejiwaan seorang ibu yang sedang menghadapi proses persalinan. Beberapa hal yang dapat di lakukan suami dalam perkembangan kejiwaan seorang ibu atau istri selama proses persalinan berlangsung yaitu memberikan dukungan emosi, serta memberikan semangat dan kenyamanan pada ibu. Berdasarkan SDKI survei terakhir tahun 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000 Kelahiran Hidup, meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia (Meneg, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan di BPS Idawati Lampung Selatan pada bulan Mei 2009 diperoleh data dari 20 responden ibu primigravida dan 20 ibu multigravida terdapat tingkat kecemasan pada ibu bersalin primigravida didapatkan tingkat berat sebesar 83,4%, tingkat sedang sebesar 16,6%. Tingkat kecemasan pada ibu 22 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 multigravida didapatkan tingkat berat sebesar 7%, tingkat sedang sebesar 71,5% dan tingkat ringan sebesar 21,5%. Ibu bersalin yang di tunggu suami lebih jarang mengalami kecemasan dari pada yang tidak didampingi oleh suami, kehadiran seorang suami saat persalinan memberikan manfaat pada seorang ibu terutama pada proses persalinan seperti persalinan berjalan lebih singkat, nyeri berkurang, robekan jalan lahir berkurang, nilai APGAR lebih baik, keadaan emosi ibu lebih stabil. Akan tetapi masih saja banyak suami yang tidak mendampingi istrinya selama proses persalinan sehingga mempengaruhi proses persalinan (Iskandar, 2005). Dukungan psikologi dan perhatian akan memberi dampak tehadap pola kehidupan sosial keharmonisan, penghargaan, pengorbanan, kasih sayang dan empati pada wanita hamil dan dari aspek teknis, dapat mengurangi aspek sumber daya misalnya: tenaga ahli, cara penyelesaian persalinan normal,akselerasi,kendali nyeri dan asuhan neonatal (Saiffudin, 2001) Lebih dari separuh (104,6 juta orang) dari total penduduk Indonesia (208,2 juta orang) adalah perempuan. Namun kualitas hidup perempuan jauh tertinggal dibandingkan laki- laki (UNICEF, 2000). Pada kenyataannya di Indonesia masih terjadi permasalahan adanya ketimpangan gender baik dalam informasi maupun peran sehingga masih adanya anggapan bahwa kesehatan reproduksi adalah urusan perempuan. Selama ini pendampingan suami dalam proses persalinan dianggap aneh bahkan cenderung suami tidak ingin tahu bagaimana penderitaan istri yang sedang berjuang dengan penuh resiko dalam menghadapi persalinan (Depkes RI, 2000). Berdasarkan studi pendahuluan yang ada di BPS Hj. Amalia Amd.Keb Simogirang, Prambon, Sidoarjo pada tanggal 18 April – 02 Mei 2011 terdapat 6 ibu bersalin yang tidak didampingi suami terlihat tegang, gelisah dan pada saat wawancara ibu bersalin menyatakan bahwa dia merasa khawatir dengan kondisi kehamilan dan berharap sekali suaminya bisa datang sebelum bayinya lahir. Sedangkan 4 ibu bersalin yang sudah didampingi suami terlihat rileks, tenang dan pada saat wawancara ibu menyatakan bahwa dia merasa baik-baik saja karena ada suami yang sedang menunggui disampingnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan atau bidan yaitu memberikan semangat, mau mendengarkan keluhan ibu, dan memberikan perhatian penuh sebab kecemasan ibu dapat diatasi oleh rasa percaya diri (Bony, 2004). Untuk mengatasi kecemasan pada seorang ibu saat proses persalinan, maka kecemasan tersebut dapat ditanggulangi dengan ibu berusaha menenangkan diri serta menghilangkan sumber kecemasan satu persatu sehingga kepercayaan diri semakin meningkat. Selanjutnya serahkan sepenuhnya kepada tenaga kesehatan serta Tuhan Yang Maha Esa, selain itu juga diharapkan adanya dukungan dari suami dan keluarga serta tenaga kesehatan untuk melaksanakan asuhan sayang ibu selama proses persalinan, karena keberadaan suami sangatlah penting dalam menciptakan rasa aman dan nyaman, pada seorang istri atau ibu saat melakukan persalinan terutama saat mengkoordinasikan kekuatan his dan mengejan (Ayub, 2008). Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang ”Hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan ibu saat menghadapi proses persalinan. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Dasar Pendampingan Suami a. Pengertian Pendampingan adalah menemani dan menjaga, menyertai dalam suka dan duka. Suami adalah pria yang menjadi pasangan istri. Pendampingan suami adalah pria yang menjadi pasangan istri yang menemani dan menjaga istri (Depdiknas, 2001). Kehadiran suami sangat membawa ketentraman bagi istri yang akan bersalin, suami juga dapat memainkan peran yang aktif dalam memberikan dukungan fisik dan dorongan moral kepada istrinya. Suami mempunyai hak untuk berada dalam kamar 23 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 bersalin, tetapi ada sebagian istri yang tidak menghendaki kehadiran suami di kamar bersalin dan akan merasa lebih nyaman bila didampingi petugas kesehatan. Sepanjang pasangan suami-istri tersebut menghendakinya mereka akan merasa senang jika diperbolehkan bersama-sama dalam kamar bersalin (Bony, 2004). Proses persalinan merupakan pengalaman yang menguras banyak tenaga, emosi secara fisik. Oleh karena itu akan sangat menyenangkan jika dapat membagi pengalaman tersebut dengan seseorang, pilihan pertama yang dipilih adalah suami karena ia telah terlibat dengan proses kehamilan sejak awal. Perlu diketahui bahwa tidak semua suami dapat menjadi pendampingan persalinan istrinya. Oleh karena itu aturlah pendampingan pengganti untuk berjaga-jaga jika suami berhalangan, orang tersebut adalah ibu kandung, ibu mertua, saudara atau sahabat perempuan ibu (Anna, 2008). b. Peran suami dalam proses persalinan Menurut Bobak (2004) peran suami dalam proses persalinan dibagi menjadi 3 tingkatan 1) Sebagai pengarah atau pemimpin persalinan a) Membantu menghitung kontraksi sehingga ibu mengetahui kemajuan persalinan b) Memberi dorongan dan keyakinan pada ibu selama persalinan c) Membantu menciptakan suasana nyaman di ruang bersalin d) Aktif dalam membantu teknik bernafas, relaksasi dan mengatasi nyeri 2) Sebagai anggota tim penolong persalinan Berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan yang diminta ibu selama proses persalinan yakni sebagai penyaksi persalinan. Hal yang wajar jika pendamping persalinan gugup menghadapi persalinan. Memang, sulit menyaksikan orang terkasih menderita kesakitan saat bersalin. Meskipun demikian, akhirnya banyak suami bersyukur karena diberi kesempatan menjadi saksi peristiwa ajaib yaitu kelahiran bayi, sehingga dapat mempererat hubungan dengan istri karena sudah bersama-sama melalui sebuah momen khusus. Adapun peran yang dipilih suami tampaknya sangat berkaitan dengan pola interaksi hubungan suami istri sejak belum adanya kehamilan. Tingkat ketergantungan, saling berbagi dan saling pengertian diantara mereka seringkali menjadi prediktor bagi suami untuk berperan selama proses persalinan. c. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendampingan istri bersalin Menurut Kurniasih, (2004) agar pendampingan suami saat istri bersalin berjalan lancar ada beberapa hal yang perlu dicermati, seperti : 1. Siap mental Semakin banyak informasi yang didapat suami soal bagaimana proses persalinan berlangsung, semakin baik karena suami akan mendapatkan gambaran sehingga mentalnya lebih siap. Pahami kondisi pasangan yang tengah cemas, takut dan kesakitan. 2. Bersikap tenang Menghindari perasaan terlalu cemas atau panik dan jangan terpancing emosi dengan reaksi dan perlakuan istri. 3. Menerima sikap dan reaksi istri Memahami bahwa respon istri yang tak mengenakkan, seperti berkata kasar, menggit tangan suami, memukul atau lainnya, bukan karena istri membenci suami melainkan reaksi dari kesakitan yang dirasakannya. 4. Tidak memberikan nasehat dan kata-kata yang membuat istri makin panik 5. Mendahulukan kebutuhan istri dibanding dokumentasi 24 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Kehadiran suami diruang bersalin biasanya untuk membuat dokumentasi foto atau film kelahiran sikecil. Namun, jika nyatanya istri merasa tidak nyaman dan membutuhkan dukungan yang baik dari suami, lupakan dulu urusan dokumentasi ini. Sebagai jalan tengah, mungkin bisa dicari petugas medis yang bersedia membantu mengambil gambar atau merekam gambar proses persalinan sementara ayah tetap mendampingi ibu. d. Manfaat pendampingan istri bersalin Menurut psikolog dari RS Fatmawati Masera Idul Adha (2004) bagi suami yang siap fisik dan mentalnya dalam mendampingi istri bersalin mempunyai manfaat sebagai berikut : 1. Memberi rasa tenang dan penguat secara psikis pada istri Suami adalah orang terdekat yang dapat memberikan rasa aman dan tenang yang diharapkan istri dalam menjalani proses persalinan itu. Ditengah kondisi yang tidak nyaman, istri memerlukan pegangan, dukungan dan semangat untuk mengurangi kecemasan, ketakutan dan mengurangi kepanikannya. 2. Selalu ada bila dibutuhkan Dengan berada disisi istri, suami siap membantu apa yang dibutuhkan istri, dari mengambilkan minum hingga mengelap keringatnya. Ketika ada suatu tindakan dokter yang memerlukan keputusan keluarga, seperti tindakan vakum atau operasi akan ada suami yang akan memberikan persetujuan atau tindakan segera. 3. Kedekatan emosi suami istri bertambah Suami akan melihat sendiri perjuangan antara hidup dan mati sang istri saat melahirkan membuatnya akan bertambah sayang pada istrinya. 4. Menumbuhkan naluri kebapakan Tapi bukan jaminan pasti bahwa kehadiran saat istri melahirkan akan langsung mendekatkan ayah dan anak. Sebab banyak faktor lain. Namun setidaknya perhatian yang diberikan ayah saat kelahiran sang buah hati sudah bisa menumbuhkan keterikatan dengan anaknya. Bisa dikatakan itu merupakan modal awal perlu diteruskan dengan ikutnya ayah terlibat dalam pengasuhan sikecil. 2. Konsep Dasar Kecemasan a) Pengertian Kecemasan (anxietas) adalah suatu keadaan dimana individu/ atau kelompok mengalami perasaan gelisah dan aktivisi sistem saraf otonom dalam berespons terhadap ancaman yang tidak jelas non spesifik (Carpenito, 2000). Kecemasan (anxiety) adalah suatu perasaan yang sifatnya umum dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya. Beberapa ahli teori sosial berpendapat bahwa wanita memiliki resiko dalam masyarakat dan sifat-sifat dasar mereka dalam menjalani hubungan dengan orang lain (Wirawihardjo, 2005). Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang, dan karena itu tidak berlangsung lama (Ramaiah, 2003). b) Teori – teori Kecemasan Menurut Stuart dan Sundeen (2003) terdapat teori yang dikembangkan untuk menjelaskan penyebab kecemasan, diantaranya adalah: a. Teori psikoanalitik 25 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara elemen kepribadian yaitu “Id dan Superego”. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitive seseorang sedangkan Superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego atau aku, berfungsi adalah meningkatkan ego bahwa ada bahaya. b. Teori interpersonal Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Orang dengan harga diri rendah mudah mengalami perkembangan kecemasan pada kehidupan selanjutnya. c. Teori prilaku Kecemasan merupakan produk frustasi yaitu sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan ynag diinginkan. Individu yang terbiasa dihadapkan ketakutan yang berlebihan lebih sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya. d. Teori keluarga Gangguan kecemasan merupakan hal yang ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan kecemasan dan antar gangguan kecemasan dengan depresi. e. Teori biologis Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu mengatur kecemasan. Freud mengidentifikan dua jenis situasi yang menimbulkan kecemasan. Satu situasi melibatkan stimulasi istinktual yang melanda, prototip dari ini adalah pengalaman kelahiran. Situasi kedua disebut dengan kecemasan sinyal (signal anxiety) bekerja pada tingkat bawah sadar dan berperan memobilisasi kekuatan ego untuk mengatasi bahaya. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pada proses persalinan Menurut Stuart & Sundeen (2003) factor – factor yang mempengaruhi kecemasan sebagai berikut : a. Stressor Predisposisi Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa : 1) Peristiwa traumatic yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional. 2) Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu. 3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan rasa ketidakmampuan individu berfikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan. 4) Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang berdampak terhadap ego. 5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu. 6) Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress akan mempengaruhi individu dalam berespons terhadap konflik yang dialami karena pola mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga. 7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respons individu dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya. 26 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang mengandung benzodiazepine, karena benzodiazepine dapat menekan neurotransmitter gamma aminobutyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan. b. Stressor presipitasi Stressor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat mencetuskan timbulnya kecemasan. Stressor presipitasi kecemasan dikelompokkan menjadi dua bagian : 1) Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas fisik yang meliputi : a) Sumber internal meliputi : kegagalan mekanisme fisiologis system imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (missal hamil) b) Sumber eksternal meliputi : paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan lingkungan., kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal 2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal. a) Sumber internal , meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan di tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri b) Sumber ekternal meliputi : kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, social budaya. c. Perilaku Secara langsung kecemasan dapat diekspresikan melalui respons fisiologis dan psikologis dan secara tidak langsung melalui pengembangan mekanisme kosong sebagai pertahanan melawan kecemasan. d. Sumber dan Mekanisme Koping Individu dapat menanggulangi stress dan kecemasan dengan menggunakan atau mengambil sumber koping dari lingkungan baik dari social, interpersonal. Sumber koping tersebut indivdiu dapat mengadopsi strategi koping yang efektif. Kemampuan indivdiu menaggulangi kecemasan secara konstruksi merupakan faktor utama yang membuat klien berperilaku patologis atau tidak. Bila individu sedang mengalami kecemasan ia akan mencoba menetralisasi, mengingkari atau meniadakan kecemasan dengan mengembangkan pola koping. Pada kecemasan ringan, mekanisme koping yang biasanya digunakan adalah menangis, tidur, makan, tertawa, berkhayal, memaki, merokok, olahraga, mengurangi kontak mata dengan orang lain, membatasi diri pada orang lain (Suliswati,2005). 4. Tanda-tanda kecemasan Stuart dan Sundeen (2003) berpendapat bahwa kecemasan mempunyai tandatanda yang di bagi sebagai berikut: a. Fisiologis 1) Kardiovaskuler: jantung berdebar, tekanan darah meningkat/ menurun mau pingsan, denyut nadi menurun. 2) Pernafasan: napas cepat atau pendek, tekanan pada dada, napas dangkal, terengah-engah. 3) Neuro Muskular: Mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, gelisah, wajah tegang. 4) Gastrointestinal: kelihangan nafsu makan, mual diare. 5) Trakfus urinarius: tidak dapat menahan tenang, sering berkemih. 27 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 6) Kulit: wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak tangan) wajah pucat. b. 5. Perilaku Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, menghindar. c. Kognitif Perhatian terganggu konsentasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, hambatan berpikir, kreativitas menurun. d. Afektif Mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, ketakutan, gugup. Tingkat kecemasan Stuart dan Sundeen (2003) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan sebagai berikut: a. Kecemasan ringan Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan seharihari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. b. Kecemasan sedang Kecemasan ini memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. c. Kecemasan berat Kecemasan ini sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat berfikir tentang hal lain. d. Tingkat panik dari kecemasan Mengukur tingkat kecemasan pasien dapat digunakan skala HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety) yang telah dianggap baku (Dadang, 2003) 1) Penilaian Nilai 0 (Tidak ada gejala sama sekali) Nilai 1 (Satu gejala dari pilihan yang ada) Nilai 2 (Separuh dari gejala yang ada) Nilai 3 (Lebih dari separuh dari gejala yang ada) Nilai 4 (Semua gejala ada) 2) Penilaian derajat kecemasan Skor < 6 : Tidak ada kecemasan Skor 6-14 : Kecemasan ringan Skor 15-27 : Kecemasan sedang Skor > 27 : Kecemasan berat Untuk mengetahui sejumlah mana derajat kecemasan seseorang ringan, sedang, berat, atau panik, digunakan alat ukur dengan nama HRS-A yang terdiri dari 14 kelompok gejala masing-masing dirinci secara spesifik dengan gejala sebagai berikut : a) Perasaan cemas Firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung b) Ketegangan Merasa tegang, lesu, mudah terkejut, tidak dapat istirahat dengan nyenyak, mudah menangis, gemetar, gelisah. 28 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 c) Ketakutan Pada gelap, ditinggal sendiri, pada orang asing. d) Gangguan tidur Sukar memulai tidur, terbangun malam hari, tidur tidak nyeyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi, mimpi buruk, mimpi menakutkan. e) Gangguan kecerdasan Daya ingat buruk, sulit konsentrasi, sering bingung f) Perasaan depresi Kehilangan minat, sedih, bangun dini hari, perasaan berubah-ubah sepanjang hari, berkurang kesukaran pada hobi. g) Gejala somatik Sakit dan nyeri kepala, kaku, kedutan otot, gigi gemetar, suara tidak stabil h) Gejala sensorik Telinga berdenging, penglihatan kabur, muka merah dan pucat, merasa lemah, perasaan di tusuk-tusuk. i) Gejala Cardiovaskuler Denyut nadi cepat, berdebar-debar, denyut nadi mengeras, rasa lemah, jantung hilang sekejap. j) Gejala pernapasan Rasa tertekan di dada, nafas pendek atau sesak, sering menarik napas panjang, rasa tercekik. k) Gejala Gastrointestinal Sulit menahan mual, muntah, berat badan menurun, konstipasi atau sulit buang air besar, gangguan pencernaan, perut terasa penuh atau kembung. l) Gejala urogenetalia Sering kencing, tidak dapat menahan kencing . m) Gejala vegetatif atau autonom Mulut kering, muka kering mudah berkeringat n) Perilaku saat wawancara Gelisah, tidak tenang, mengerutkan dahi, muka tegang napas pendek dan cepat, muka merah. Penilaian atau pemakaian alat ukur ini dilakukan oleh dokter (psikiater) atau orang yang telah dilatih untuk menggunakannya melalui teknik wawancara langsung atau menggunakan kuesioner. Perlu diketahui bahwa alat ukur HRS-A ini bukan dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis gangguan cemas, diagnosis gangguan cemas ditegakkan dari pemeriksaan klinis oleh dokter (psikiater), sedangkan alat untuk mengukur derajat berat ringannya gangguan cemas itu digunakan alat ukur HRS-A (Nursalam, 2003). C. METODE PENELITIAN Peneliti menggunakan pendekatan penelitian analitik karena bertujuan untuk menganalisa, membuktikan adanya pengaruh, menguji berdasarkan teori yang ada dan menggunakan desain penelitian cross sectional. Variabel independent dalam penelitian ini adalah pendampingan suami. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah kecemasan ibu bersalin dalam menghadapi persalinan. Hipotesis Penelitian yang diuji dalam penelitian ini antara lain: 29 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 H0 : Tidak ada hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat menghadapi persalinan pada ibu bersalin. H1 : Ada hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat menghadapi persalinan pada ibu bersalin. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang,Prambon,Sidoarjo sebanyak 30 ibu bersalin. Sampel pada penelitian ini diambil dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut : 1. Kriteria inklusi Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu target yang terjangkau yang akan diteliti. (Nursalam, 2003). Adapun kriteria pada penelitian ini adalah : a. Ibu bersalin yang bersedia diteliti dengan menandatangani surat persetujuan menjadi responden. b. Ibu bersalin dengan persalinan normal c. Ibu yang didampingi dan tidak didampingi suami d. Ibu yang menjalani rawat inap 2. Kriteria ekslusi Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyekyang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena pelbagai sebab (Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi pada penelitian ini sebagai berikut : a. Ibu bersalin yang dengan komplikasi persalinan (eklampsi,Sc) b. Ibu bersalin yang tidak bersedia menjadi responden Sampling adalah suatu proses seleksi sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat, 2007). Concecutive sampling yaitu sampling dimana setiap individu yang mengalami kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah responden terpenuhi (Hidayat, 2007). Pengumpulan data kecemasan dilakukan menggunakan skala HARS yang terdiri dari 14 gejala kecemasan dan untuk mengetahui pendampingan suami menggunakan checklist. Analisa data menggunakan statistik korelasi chi square untuk mengetahui hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat menghadapi persalinan pada ibu bersalin dengan taraf signifikasi 0,05. D. HASIL PENELITIAN 1. Umur Tabel 1 Karakterisitik Responden Berdasarkan Umur di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 30 Juni 2011 Umur < 20 tahun 20 – 35 tahun > 35 tahun Total Frekuensi 4 14 6 24 Prosentase (%) 16,7 58,3 25,0 100 Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia 20-35 tahun sebanyak 14 responden (58,3%). 30 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 2. Pendidikan Tabel 2 Karakterisitik Responden Berdasarkan Pendidikan di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 30 Juni 2011 Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA D3/Perguruan tinggi Total Frekuensi 2 4 14 4 0 24 Prosentase (%) 8.3 16,7 58,3 16,7 0 100 Tabel 2 diatas menjelaskan bahwa sebagian besar responden mempunyai latar belakang pendidikan SMP sebanyak 14 responden (58,3%). 3. Pekerjaan Tabel 3 Karakterisitik Responden Berdasarkan Pekerjaan di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 30 Juni 2011 Pekerjaan Swasta Wiraswasta Tani PNS Total Frekuensi 4 19 1 0 24 Prosentase (%) 16,7 79,2 4,2 0 100 Tabel 3 diatas diperoleh data bahwa sebagian besar responden bekerja secara wiraswasta seperti berdagang, membuka toko sebanyak 19 responden (79,2%). 4. Pendampingan Suami Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendampingan Suami di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon Sidorajo Pendampingan Didampingi Tidak Didampingi Total Frekuensi 11 13 24 Prosentase (%) 45,8 54,2 100 Tabel 4 menunjukan bahwa sebagian besar responden tidak didampingi suami saat menghadapi proses persalinan sebanyak 13 responden (54,2%). 5. Kecemasan Ibu Bersalin Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kecemasan ibu bersalin di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 30 Juni 2011 Kecemasan Tidak Ada Kecemasan Kecemasan Ringan Kecemasan Sedang Kecemasan Berat Frekuensi 3 5 10 6 31 Prosentase (%) 12,5 20 41,7 25,0 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Kecemasan Tidak Ada Kecemasan Kecemasan Ringan Kecemasan Sedang Kecemasan Berat Total Frekuensi 3 5 10 6 24 Prosentase (%) 12,5 20 41,7 25,0 100 Tabel 5 diatas diperoleh data bahwa hampir setengahnya responden mengalami kecemasan sedang sebanyak 10 responden (41,7%). 6. Hubungan Pendampingan suami dengan kecemasan ibu saat menghadapi persalinan Tabel 6 Tabulasi silang antara Pendampingan suami dengan kecemasan ibu saat menghadapi persalinan di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang Prambon Sidoarjo Pada Tanggal 23 Mei – 30 Juni 2011 Pendampingan Suami Didampingi Tidak didampingi Total Tidak Cemas F % 2 8,3 1 4,1 3 12,5 Kecemasan Cemas Cemas Ringan Sedang F % F % 5 20,8 3 12,5 0 0 7 29,1 5 20,8 10 2,4 Total Cemas Berat F % 1 4,1 5 20,8 6 24,9 F 11 13 24 % 45,8 54,1 100 Tabel 6 diatas menunjukkan data bahwa dari 13 responden yang tidak didampingi suaminya terdapat 1 responden (4,1%) yang tidak mengalami kecemasan, 7 responden (29,1%) mengalami cemas sedang dan 5 responden (20,8%) mengalami kecemasan berat. Hasil uji mann whitney diperoleh data bahwa skor Z = 2,531, Z table = 0.0288, ρ = 0,015 dan α = 0,05 sehingga ρ < α maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya terdapat hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat menghadapi persalinan pada ibu bersalin di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang, Prambon, Sidoarjo. E. PEMBAHASAN 1. Pendampingan Suami Hasil penelitian yang dilakukan Pada Tanggal 23 Mei – 30 Juni 2011 di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang,Prambon,Sidoarjo terhadap 24 responden diperoleh hasil sebagian besar responden tidak didampingi suami saat menghadapi proses persalinan sebanyak 13 responden (54,2%). Pendampingan adalah menemani dan menjaga, menyertai dalam suka dan duka. Suami adalah pria yang menjadi pasangan istri. Pendampingan suami adalah pria yang menjadi pasangan istri yang menemani dan menjaga istri (Depdiknas, 2001). Teori lain menyatakan bahwa kehadiran suami sangat membawa ketentraman bagi istri yang akan bersalin, suami juga dapat memainkan peran yang aktif dalam memberikan dukungan fisik dan dorongan moral kepada istrinya. Suami mempunyai hak untuk berada dalam kamar bersalin, tetapi ada sebagian istri yang tidak menghendaki kehadiran suami di kamar bersalin dan akan merasa lebih nyaman bila didampingi petugas kesehatan. Sepanjang pasangan suami-istri tersebut menghendakinya mereka akan merasa senang jika diperbolehkan bersama-sama dalam kamar bersalin (Bony, 2004). Suami Responden penelitian ini menunjukkan bahwa mereka sudah cukup mengerti tentang tindakan penting yang dapat dilakukan untuk membantu istri dalam meringankan proses persalinan diantaranya mendampingi ketika istri sedang melahirkan, karena dengan adanya dampingan suami maka istri akan merasa lebih relaks dan lebih tenang dalam menghadapi persalinan dan proses persalinan akan dapat berjalan dengan lancar. Banyaknya suami yang tidak mendampingi ketika istri melahirkan karena adanya 32 HOSPITAL MAJAPAHIT 2. Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 kesibukan suami bekerja diantaranya ada yang bekerja sebagai pelaut dan ada juga yang pengusaha yang ketika itu sedang ada urusan di luar kota dan tidak dapat meninggalkan urusan tersebut, sedangkan pada saat penelitian paling banyak responden di dampingi oleh orang tuanya sendiri. Kecemasan Responden dalam proses persalinan Berdasarkan tabel 4.5 diatas diperoleh data hampir setengahnya responden mengalami kecemasan sedang sebanyak 10 responden (41,7%). Kecemasan (anxietas) adalah suatu keadaan dimana individu/ atau kelompok mengalami perasaan gelisah dan aktivisi sistem saraf otonom dalam berespons terhadap ancaman yang tidak jelas non spesifik (Carpenito, 2000).. Sedangkan menurut Stuart dan Sundeen (2003) kecemasan sedang merpuakan kecemasan yang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Kecemasan terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor predisposisi yang berupa peristiwa traumatik, konflik emosional, konsep diri yang terganggu, frustasi, gangguan fisik, riwayat pernah mengalami gangguan fisik, yang kedua adalah faktor stressor presipitasi yang merupakan ancaman terhadap integritas fisik, ancaman harga diri, dan juga faktor perilaku juga faktor mekanisme koping (Stuart & Sundeen,2003). Menurut Videbeck (2008) menyatakan bahwa tanda - tanda kecemasan sedang pada seseorang adalah sebagai berikut : Respons fisik : ketegangan otot sedang, tandatanda vital meningkat, pupil dilatasi, mulai berkeringat, sering mondar-mandir, memukul tangan, suara berubah : bergetar, nada suara tinggi, kewaspadaan dan ketegangan meningkat, sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung. Respons kognitif : lapang persepsi menurun, tidak perhatian secara selektif, fkcus terhadap stimulus meningkat, rentang perhatian menurun, penyelesaian masalah menurun, pembelajaran terjadi dengan memfokuskan. Respons emosional : tidak nyaman, mudah tersinggung, kepercayaan diri goyah, tidak sabar dan gembira.Pada kecemasan ringan dan sedang, individu dapat memproses informasi, belajar, dan menyelesaikan masalah. Pada kenyataannya, tingkat kecemasan memotivasi pembelajaran dan perubahan perilaku. Keterampilan kognitif mendominasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat kecemasan sedang. Terjadinya kecemasan sedang pada responden penelitian ini karena responden merasa khawatir dengan keadaan dirinya dan janin dalam proses persalinan serta takut dengan adanya jahitan atau luka pada jalan lahir yang terlalu lebar. Kecemasan sedang pada responden penelitian ini dapat ditunjukkan dari hasil pemeriksaan TTV dimana diperoleh sebagian besar nadi responden meningkat dan sebagian besar tekanan darah responden juga meningkat. Kecemasan pada responden penelitian ini terjadi karena dipengaruhi oleh pendidikan, usia, dan pekerjaan responden. Karakteristik pendidikan responden diperoleh data bahwa sebagian besar responden mempunyai latar belakang pendidikan SMP sebanyak 14 responden (58,3%). Latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa mereka sudah cukup mampu dalam menghadapi permasahan yang terjadi pada dirinya dan mereka mampu untuk melakukan koping yang adaptif sehingga responden dapat menghadapi permasalahan yang dialami dengan baik dan tidak terlalu mengganggu keadaan dirinya. Sesuai dengan teori Stuart (2003) yang menyatakan bahwa ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Pola yang biasa digunakan individu untuk mengatasi ansietas ringan cenderung tetap dominan ketika ansietas menjadi lebih intens. Ansietas 33 HOSPITAL MAJAPAHIT 3. Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 ringan sering ditanggulangi tanpa pemikiran yang sadar. Ansietas sedang dan berat menimbulkan dua jenis mekanisme koping. Berdasarkan usia responden diperoleh data bahwa sebagian besar responden berusia 20-35 tahun sebanyak 14 responden (58,3%). Kemampuan individu menaggulangi kecemasan secara konstruksi merupakan faktor utama yang membuat klien berperilaku patologis atau tidak. Bila individu sedang mengalami kecemasan ia akan mencoba menetralisasi, mengingkari atau meniadakan kecemasan dengan mengembangkan pola koping. Pada kecemasan ringan, mekanisme koping yang biasanya digunakan adalah menangis, tidur, makan, tertawa, berkhayal, memaki, merokok, olahraga, mengurangi kontak mata dengan orang lain, membatasi diri pada orang lain (Suliswati,2005). Responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia dewasa sehingga mereka mempunyai informasi dan wawasan yang cukup tentang persalinan sehingga responden dapat menggunakan wawasan tersebut untuk dapat meningkatkan koping yang dimiliki dengan baik. Berdasarkan pekerjaan responden diperoleh data bahwa sebagian besar responden bekerja secara wiraswasta seperti berdagang, membuka toko sebanyak 19 responden (79,2%). Menurut Stuart (2003) menyatakan bahwa salah satu penyebab kecemasan yaitu adanya ancaman terhadap harga diri diantranya sumber internal meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan di tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri. Responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa latar belakang pekerjaan yang dimiliki oleh responden dapat memicu terjadinya stress atau kecemasan karena dengan pekerjaan tersebut responden harus dapat mengatur manajemen pekerjaan dengan baik dan ketika responden harus menjalani proses persalinan kemungkinan mereka merasa khawtir dengan keadaan usahanya, atau juga responden merasa takut jika konsumen mereka tidak akan kembali lagi karena responden tutup agak lama. Hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat menghadapi persalinan pada ibu bersalin Tabel 4.6 diatas menunjukkan data bahwa dari 10 responden yang mengalami kecemasan sedang dalam menghadapi proses persalinan terdapat 3 responden (12,5%) didampingi suami dalam proses persalinannya dan 7 responden (29,1%) tidak didampingi suami dalam proses persalinannya. Hasil uji mann whitney diperoleh data bahwa skor Z = 2,531, Z table = 0.0288, ρ = 0,015 dan α = 0,05 sehingga ρ < α maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya terdapat hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat menghadapi persalinan pada ibu bersalin di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang,Prambon,Sidoarjo Menurut Stuart (2003) faktor yang mempengaruhi kecemasan responden antara lain adalah sumber koping dimana individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggerakkan sumber koping di lingkungan. Sumber koping tersebut berupa modal ekonomi, kemampuan penyelesaian masalah, dukungan social, dan keyakinan budaya dapat membantu individu mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil. Menurut Bobak (2004) peran suami dalam proses persalinan dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu sebagai pengarah atau pemimpin persalinan, sebagai anggota tim penolong persalinan dan sebagai penyaksi persalinan. dalam pelaksanana pendampingan suami akan memberikan dampak yang baik pada psikologis istri sehingga mereka dapat melakukan proses persalinan dengan baik, aman dan lancar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi proses persalinan seorang ibu membutuhkan 34 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 keadaan yang tenang dan relaks sehingga mereka dapat melewati proses tersebut dengan aman dan lancar. Salah satu tindakan yang dapat menurunkan tingkat kecemasan yang dimiliki oleh seorang istri pada saat menghadapi proses persalinan yaitu kehadiran suami mereka, dimana dengan kehadiran suami untuk mendampingi istri pada saat melahirkan akan menimbulkna perasaan tenang dan nyaman sehinggga dapat membuat istri merasa rileks dan dapat mengurangi kecemasan yang mereka rasakan, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dengan adanya pendampingan suami pada saat proses persalinan istri maka akan menimbulkan perasaan tenang dan relax pada istri karena dengan adanya suami istri merasa termotivasi untuk dapat melakukan proses persalinan dengan baik untuk melahirkan anak mereka. F. PENUTUP Pendampingan suami saat menghadapi persalinan pada ibu bersalin di BPS Hj. Amalia Amd. Keb, Simogirang, Prambon, Sidoarjo sebagian besar responden tidak didampingi suami saat menghadapi proses persalinan sebanyak 13 responden (54,2%). Kecemasan ibu bersalin di BPS Hj. Amalia Amd. Keb, Simogirang, Prambon, Sidoarjo diperoleh data bahwa hampir setengahnya responden mengalami kecemasan sedang sebanyak 10 responden (41,7%). Hasil uji mann whitney diperoleh data bahwa skor Z = 2,531, Z table = 0.0288, ρ = 0,015 dan α = 0,05 sehingga ρ < α maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya terdapat hubungan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan saat menghadapi persalinan pada ibu bersalin di BPS Hj.Amalia Amd.Keb Simogirang, Prambon, Sidoarjo. Dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan diharapkan tenaga kesehatan lebih meningkatkan materi yang dapat menunjang upaya penyuluhan yang diberikan melalui penelitian, seminar atau juga dari literatur kepustakaan lainnya sehingga ibu dapat lebih memahami dan mengerti tentang proses persalinan yang baik dan bagaimana cara mengurangui kecemasan pada saat proses persalinan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Arikunto (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Ayub (2008). Gambaran pendampingan selama proses persalinan. Tersedia di http://www.Scribd.com/doc/hubungan-dukungspesifikasi diakses tanggal 17 April 2011 Bobak. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC Carpernito, Iynda Jual. (2000). Diagnosa Keperawatan. ECG. Jakarta. Hawari. (2008). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta : FKUI Hidayat (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. JNPK-KR (2008). Asuhan Persalinan Normal dan Inisiasi Menyusu Dini. Jakarta: JHPIEGO Corporation. Kompas (2010). Angka Kematian Ibu. Tersedia di http://nasional .kompas.com/read/2008/06/30/18272998/tahun 2010. Diakses tanggal 17 April 2011 Manuaba, (2010). Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta : EGC Menegpp (2009). Angka kematian ibu. Tersedia di http://www. menegpp.go.id/ aplikasi data. Diakses tanggal 12 Mei 2011. Mochtar (2005). Sinopsis Obstetri Jilid I. Jakarta : EGC Notoatmodjo (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo. (2010). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan : Yogyakarta. Andi offset Nursalam (2003) Konsep Penerapan Metodologi Ilmu Keperawatan Jakarta Salemba Medika 35 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Nursalam (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penerapan Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Pudji Rochyati (2003). Screening antenatal pada ibu hamil Surabaya : Airlangga University Press Saifudin. (2002). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. Sarwono (2007). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Stuart dan Sundeen (2003). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC PERBANDINGAN GEJALA PMS ANTARA SISWI YANG AKTIF DAN TIDAK AKTIF OLAHRAGA LARI PADA SISWI DI SMP PENANGGUNGAN NGOROTRAWAS MOJOKERTO Eka Nonitasari1, Ika Khusnia, S.Kep.Ns2 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit 2 Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit 1 ABSTRACT Premenstrual Syndrome is a combination of symptoms of physical distress, psychological, and behavioral change in which the symptoms are so severe that it interferes daily activities. Many women who experience disturbance before or during menstruation. This study was conducted to compare premenstrual syndrome among female students who have active and inactive sport in SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas. This study used a descriptive design. Population taken all the girls at SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas with a sample of 133 people that’s selected by consecutive samplin. of data collection using questionnaires and interviews. The variables in this study consisted of two variables, the are variable track the symptoms of PMS. The results of this study obtained a minority of respondents are actively running experiencing <50% symptoms of PMS as many as six respondents (4.5%), and most respondents did not actively exercise ≥ 50% experienced symptoms of PMS as many as 125 respondents ( 94%). This is obtained because the student is not active sport girl sport considered when experiencing PMS can only aggravate the pain but with exercise can decrease PMS symptoms.When jogging is done regularly for three times a week with a frequency of 20-45 minutes, will reduce the symptoms of PMS like symptoms characterized by physical, headache, pain pungggung, aching rheumatic pain, acne, breast tenderness, heavy legs, abdominal pain bottom, flatulence, diarrhea, often hungry, and mental symptoms are marked with an uneasy feeling, irritability, insomnia, anxiety, depression, and personality seemed to disappear. Therefore, students should be more motivated by the problem of PMS symptoms and can be run with regular exercise for 3 times a week, and applied in everyday life. Keyword: Sports Running, Symptoms of PMS. A. PENDAHULUAN Premenstruasi sindrom adalah sekelompok gejala yang terjadi menjelang periode menstruasi. Gejala PMS bisa fisik, perilaku atau keduanya. Setiap wanita mengalami gejala yang berbeda. Gejala-gejala ini berlangsung beberapa hari sebelum menstruasi. Peristiwa PMS, yang ditentukan oleh proses somato-psikis sifatnya meliputi unsur-unsur hormonal, biokimiawi dan psikososial, sering disertai gangguan fisik dan mental, tetapi juga disertai perasaan tidak nyaman dan stres mental. gejala ini merupakan kombinasi dari fisikal distress, psikologikal, dan atau perubahan tingkah laku dimana gejala tersebut sangat parah sehingga 36 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 mengganggu aktivitas sehari-hari. Banyak wanita yang mengalami gangguan sebelum maupun saat menstruasi (Ramaiah, 2006). Keluhan yang terjadi biasanya berupa keluhan yang bersifat psikis dan sifat seperti perasaan males bergerak ,badan menjadi lemas, serta mudah merasa lelah, nafsu makan meningkat dan suka makanan yang asam, emosi menjadi labil, bisanya perempuan mudah uring-uringan, sensitif, dan perasaan negatif lainnya, kepala nyeri, pingsan, berat badan bertambah karena tubuh menyimpan air dalam jumlah yang banyak ,pinggang tersa pegal (Maulana,2008). Sekitar 80-95% perempuan pada usia melahirkan mengalami gejala-gejala premenstruasi yang dapat mengganggu aspek dalam kehidupannya .Gejala tersebut dapat diperkirakan dan biasanya terjadi secara regular pada dua minggu periode sebelum menstruasi.hal ini hilang begitu dimulainya perdarahan, namun dapat pula berlanjut setelahnya pada sekitar 14% wanita berusia 14-50 tahun, menurut suatu penelitia mengalami sindrom pramenstruasi atau yang lebih dikenal dengan PMS (Owen, 2007) Menurut penelitian (Haryani, 2008) berdasarkan data awal yang diperoleh dari pengakuan siswi SMA Negeri 2 Sidoarjo, yaitu dari perwakilan kelas 1 sebanyak 10 orang,kelas kelas 2 10 orang, dan kelas 3 10 orang di dapatkan yang mengalami PMS seperti bejerawat sebanyak 22 orang (73%), nyeri payudara sebanyak 19 orang (63%), badan pegalpegal sebanyak 21 orang (70%) dan yang mengalami kelabilan emosi menjelang datangnya menstruasi sebanyak 15 orang (50%), dan gejala PMS lainnya sebanyak 7 orang (23%), dari 30 orang tersebut yang mengaku olahraga secara teratur setiap minggu sebanyak 9 orang (30%) dan yang lain mengaku melakukan olahraga hanya 1 kali dalam satu minggu yaitu pada waktu mata pelajaran olahraga di sekolah, melakukan olahraga sebanyak 3 orang (10%),mengurangi makanan yang dipercaya memperberat gejala sebanyak 4 orang (13%). Sindrom premenstruasi Merupakan sekelompok gejala yang terjadi menjelang periode menstruasi, Terdiri gejala fisik dan psikologis yang terjadi pada wanita saat fase akhir luteal siklus menstruasi (antara 7-14 hari menjelang menstruasi) dan menghilang pada permulaan sampai beberapa hari menstruasi. Gejala psikologis yang sering muncul meliputi depresi, mudah marah, tegang, mudah menangis, hipersensitif, dan suasana hati yang labil. Gejala fisik yang tidak nyaman dapat berupa nyeri perut, mudah lelah, bengkak, berjerawat, dan peningkatan berat badan. Perubahan perilaku juga dapat terjadi seperti nafsu makan meningkat,konsentrasi menurun, suka menyendiri, mudah lupa, dan motivasi berkurang.Salah satu Untuk mengurangi keluhan yang muncul pada sindrom premenstruasi,dapat dilakukan dengan olahraga teratur,karena dengan olahraga lari dapat meningkatkan produksi hormon endorfin yang menimbulkan rasa gembira,selain itu dapat menurunkan kadar kortisol dan epinefrin pada urin setelah 24jam yg berperan dalam menimbulkan gejala psikologis pd sindrom premenstruasi. Maka dari itu perawat berperan hari menjalankan fungsinya sebagai pendidik (Edukator) yaitu dengan memberikan penjelasan tentang cara mengurangi tanda dan gejala PMS (Anonym,2010). Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan peneliti dengan judul “Perbandingan gejala PMS antara siswi yang aktif olahraga dan tidak olahraga” di SMP PENANGGUNGAN Ngoro –Trawas. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Premenstruasi sindrom a. Pengertian Premenstruasi sindrom (PMS) adalah suatu kondisi yang terdiri atas beberapa gejala fisik, emosi dan perilaku yang dialami oleh seorang perempuan sebelum datangnya siklus menstruasi ,yang menyebabkan ia mengalami gangguan dalam fungsi dan aktivitas seharihari Gejala-gejala tersebut akan menghilang saat menstruasi tiba.(Sylvia , 2010) Dan terdapat gejala-gejala yang dialami wanita sehingga fungsi normal wanita dan hubungan antar pribadinya terganggu (Glasier, 2005). Premenstruasi sindrom suatu sekelompok 37 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 gejala yang terjadi menjelang periode menstruasi. Gejala ini bisa fisik ,perilaku atau keduanya.Setiap wanita mengalami gejala-gejala ini berlangsung beberapa hari sebelum menstruasi (Ramaiah, 2006). Premenstruasi sindrom adalah suatu kumpulan gejala fisik, psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita dan secara konsisten terjadi selama tahap lutealdari siklus menstruasi akibat perubahanhormonal yang berhubungan dengan siklus saat ovulasi (pelepasan sel telur dan ovarium) dan menstruasi.secara kultural, singkatan PMS dipahami secara luas untuk mengacu pada berbagai kesulitan yang dihubungkan dengan menstruasi,dan singkatan itu digunakan lebih sering bahkam didalam peristiwa sehari-hari. Sindrom premenstruasi sindrom juga disebut tegangan premenstruasi (PMT). Gejala-gejala tersebut dapat diperkirakan dan biasanya terjadi secara reguler pada 7-14 hari sebelum datangnya menstruasi (Saryono, 2009). b. Etiologi PMS belum jelas ,tetapi mungkin faktor penting adalah gangguan ini lebih cenderung akibat fenomena biologis dari pada gangguan psikologis murni,peneliti terbaru menunjukkan bahwa wanita mempunyai kecenderungan mengalami perubahan alam perasaan premenstruasi sindrom tidak mempunyai kadar hormonal yang abnormal atau beberapa gangguan pengaturan hormon ,tetapi akibat lebih sensitifnya terhadap perubahan siklus hormonal normal.Fluktuasi esterogen dan progesteron yang bersirkulasi dapat menyebabkan efek pada neurotransmitter, noradrenergik, dan dopaminergik.yang lebih muda menderita PMS adalah wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid dan terhadap faktor-faktor psikologis Adapun faktor yang meningkatkan resiko terjadinya PMS, antara lain sebagai berikut: 1) Wanita yang perna melahirkan 2) Status perkawinan (wanita yang sudah banyak menikah lebih banyak mengalami PMS di bandingkan dengan yang belum menikah) 3) Usia(PMS semakin sering dan mengganggu dengan bertambahnya usia terutama antara usia 30-45 tahun). 4) Stres dapat memperberat PMS 5) Diet (faktor kebiasaan makan seperti tinggi gula, garam, kopi, teh, coklat, minum bersoda, produk susu, makanan olahan memperberat gejala PMS. 6) Kekurangan zat-zat gizi seperti kurang vitamin B (terutama B6), vitamin E, vitamin C, Mgnesium, zat besi, asam lemak linoleat. Kebiasaan minum alkohol dan merokok juga memperberat PMS. 7) Kegiatan fisik (kurang berolaraga dan aktivitas fisik mnyebabkan semakin beratnya PMS c. Gejala-gejala Sekitar 80-95% perempuan pada usia melahirkan mengalami gejala-gejala premenstruasi yang dapt mengganggu aspek dalam kehidupan.pada sekitar 14% perempuan antara usia 14-50 tahun,menurut penelitian mengalami sindrom premenstruasi .keluhan yang dialami bisa bervariasi dari bulan ke bulan, bisa menjadi lebih ringan ataupun lebih berat dan berupa gangguan mental (mudah tersinggung, sensitive) maupun gangguan fisik, adapun gejala-gejala yamg muncul antara lain, sebagai berikut (Waluyo, 2009): 1) Fisik a) Kelemahan umum (lekas letih,pegal,linu) yaitu dari peningkatan kadar hormon esterogen 38 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 b) Acne (jerawat), adalah kondisi abnormal kulit akibat gangguan berlebihan produksi kelenjar minyak (sebaceus gland) yang menyebabkan penyumbatan saluran folikel dan rambut pori-pori kulit dan perubahan hormonal yang merangsang kelenjar minyak di kulit. Perubahan hormonal lainnya yang dapat menjadi pemicu timbulnya jerawat adalah masa menstruasi, c) Nyeri kepala, hipotiroid (kurangnya hormon tiroid di tubuh). d) Nyeri payudara, nyeri punggung,perut bagian bawah . Kelainan kandungan seperti endometriosis dapat menimbulkan gejala dismenorea (nyeri) e) Kaki dan sendi terasa lunglai disebabkan oleh disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon progesteron dan estrogen, di mana hormon progesteron dalam siklus haid terlalu tinggi dibandingkan dengan hormon estrogennya f) Gangguan saluran cerna misalnya rasa penuh /kembung,konstipasi,diare . Hal ini Peningkatan kadar hormon estrogen menyebabkan retensi cairan di dalam tubuh yang melebihi nilai normal. Retensi cairan adalah akibat dari peningkatan kadar hormon estrogen yang menyebabkan tubuh mengurangi jumlah cairan yang dikeluarkannya sehingga jumlah total cairan di dalam tubuh bertambah dibandingkan normalnya. g) Perubahan nafsu makan ,sering merasa lapar (food carvings). berkumpulnya air pada jaringan di luar sel (ekstrasel) karena asupan garam atau gula yang tinggi. 2) Mental a) Mood menjadi labil (moodswing),iritabilitas (mudah tersinggung), depresi, ansietas, dan mudah marah. Hal tersebut disebabkan hormon estrogen dan progesteron yang menurun dengan drastis sesaat sebelum terjadinya menstruasi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sistem reproduksi terkait erat dengan susunan saraf pusat, termasuk otak. Oleh karena itu, perubahan hormonal yang mengatur sistem reproduksi kemungkinan juga akan berpengaruh pada kerja otak yang mengatur emosi dan mood (perasaa b) Gangguan konstipasi, kepribadian seakan sirna, hilangnya percaya diri. Hal ini Peningkatan kadar hormon estrogen menyebabkan retensi cairan di dalam tubuh yang melebihi nilai normal. Retensi cairan adalah akibat dari peningkatan kadar hormon estrogen yang menyebabkan tubuh mengurangi jumlah cairan yang dikeluarkannya sehingga jumlah total cairan di dalam tubuh bertambah dibandingkan normalnya. c) Insomnia, Gelisah, suasana hati serba tak nyaman, kondisi hipoestrogen (kurangnya hormon estrogen) pada wanita d) Depresi, Kadar hormon estrogen dalam darah meningkat sehingga menimbulkan gejala depresi. d. Tipe-tipe PMS Menurut Dr. Guy E.Abraham, dalam Saryono dan Waluyo, (2010), membagi PMS menurut gejalanya yakni PMS tipe A,H,C dan D. Delapan puluh persen ganggguan PMS termasuk tipe A. Penderita tipe H sekitar 60%, PMS C 40%, PMS D 20%. Kadang-kadang seorang wanita mengalami kombinasi gejala, misalnya A dan D secara bersamaan,dan setiap tipe memiliki gejalanya sendiri-sendiri. Tipe-tipe PMS antara lain (Saryono, 2009): 1) PMS tipe A Sindrom premenstruasi tipe A (anxiety) ditandai dengan gejala seperti rasa cemas, sensitif, saraf tegang, perasaan lsbil. Bahkan beberapa wanita mengalami depresi ringan sampai sedang saat sebelum mendapat menstruasi. Gejala ini timbul akibat ketidakseimbangan hormon esterogen dan progesteron: hormon esterogen 39 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 terlalu tinggi dibandingkan dengan hormon progesteron kadang dilakukan untuk mengurangi gejala,tetapi beberapa penelitian mengatakan, penderita PMS bisa jadi kekurangan vitamin B6 dan magnesium. Penderita PMS A sebaiknya banyak mengkonsumsi makanan berserat dan mengurangi atau membatasi minum kopi. 2) PMS Tipe H Sindrom premenstruasi tipe H (hiperbydratin) memiliki gejala edema (pembengkakan ), perut kembung, nyeri pada buah dada, pembengkakan tangan dan kaki, peningkatan berat badan sebelum menstruasi. 3) PMS Tipe C Sindrom premenstruasi tipe C (craving) ditandai dengan rasa lapar ingin mengkonsumsi makanan yangmanis-manis (biasanya coklat) dan karbohidrat sederhana (biasanya gula). Pada umumnya sekitar 20 menit setelah menyantap gula dalam jumlah banyak, timbul gejala hipoglikemia seperti kelelahan ,jantung berdebar, pusing kepala yang terkadang sampai pingsan. Hipoglikemia timbul karena pengeluaran hormon insulin dalam tubuh meningkat.Rasa ingin menyantap makanan manis dapat disebabkan oleh stres, tinggi garam dalam diet makanan, tidak terpenuhinya asam lemak esensial (omega 6), atau kurangnya magnesium. 4) PMS Tipe D Sindrom premenstruasi tipe D (depression) ditandai dengan gejala rasa depresi, ingin menangis, lemah, gangguan tidur, pelupa, bingung, sulit dalam mengucapkan kata-kata (verbalisasi), bahkan kadang-kadang muncul rasa ingin bunuh diri atau mencoba bunuh diri. e. Kriteria dasar diagnosa dari PMS Ada tiga elemen penting dalam mengdiagnosa apakah seorang wanita mengalami PMS yaitu jika ditemukan: 1) Gejala yang sesuai dengan gejala PMS 2) Dialami disetiap siklus menstruasi 3) Menimbulkan gangguan dalam aktivitas sehari-hari f. Terapi PMS Jenis dan pilihan pengobatan tergantung kepada berat ringannya pengaruh yang ditimbulkan PMS. Pembagian pengobatan meliputi : a). Mengatur pola hidup (life style) 1) Tidak minum alkohol 2) Menghindari (tidak) merokok 3) Mengurangi kopi 4) Belajar mengenali PMS dan mengendalikan perasaan 5) Beberapa referensi menganjurkan pengaturan pola makan,maksudnya gizi seimbang 6) Olahraga 3 kali seminggu,dengan joging/lari sekitar 20-45 menit sebelum PMS 7) Memanagemen stres, misalnya: meditasi, jalan-jalan, berkebun, dll b). Obat non-hormonal 1) Vitamin (roborantia) 2) Antidepresan (hanya jika diperlukan) 3) Analgetika (pereda nyeri) 4) Antiinflamasinon steroid (ibuprofen,natrium diklofenak,dll) c). Obat hormonal 1) Golongan progesteron 2) Hormon kombinasi 3) Hormon sintetik 40 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 4) Hormon estrogen d). Konseling (kepada psikolog) Pencegahan PMS (sindrom premenstruasi) dapat dilakukan melalui diet yang didapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Batasi konsumsi makanan tinggi gula, tinggi garam, daging merah (sapi dan kambing), alkohol, kopi, teh coklat, serta minuman bersoda. 2) Kurangi rokok dan berhenti merokok 3) Batasi konsumsi protein(sebanyak 1,5gr/kg berat badan per orang) 4) Meningkatkan konsumsi, ikan, ayam, kacang-kacangan, dan biji-bijian sebagai sumber protein 5) Batasi konsumsi makanan produk susu dan olahannya (keju, es krim, dan lainnya) dan gunakan kedelei sebagai penggantinya. 6) Batasi konsumsi lemak dari bahan hewani dan lemak dari makanan yang digoreng. 7) Meningkatkan konsumsi sayuran hijau. 8) Konsumsi vitaminB kompleks terutama vitamin B6,vitamin E, kalsium, magnesium juga omega-6 (asamlinolenat gamma GLA), di samping diet, perhatikan pula hal-hal berikut ini untuk mencegah munculnya PMS 9) Melakukan olahraga dan aktifitas fisik secara teratur ,seperti melakukan lari atau aerobik 10) Menghindari dan mengatasi stres. 11) Menjaga berat badan, berat badan yang berlebih dapat meningkatkan risiko menderita PMS. 12) Catat jadwal siklus haid anda serta serta kenali gejala PMS. 13) Perhatikan pula apakah anda sudah dapat mengatasi PMS pada siklus–siklus datang bulan terakhir. 2. Konsep olahraga lari a. Definisi Olahraga lari adalah pengembangan dari berjalan dan tidak mempunyai sifat khusus sifat-sifat tersebut antara lain,pada suatu saat kaki tidak kontak dengan tanah, atau tidak terjadi tumpuan pada tanah, saat ini dikenal dengan saat melayang menyebabkan badan dalam keadaan kurang stabil. Olahraga lari/joging adalah Aktifitas olahraga dalam bentuk lari /perlahan-lahan atau lari santai selama 20-45 menit. (Tisnowati,2005) Secara kesehatan merupakan olahraga menyehatkan. Olahraga murah yang tak butuh perlengkapan rumit. Olahraga ini bisa dilakukan oleh siapa pun, tua muda, kaya dan miskin. Menurut penelitian para ilmuwan. Lari pagi dapat mencegah penyakit stress dan depresi. Menurut dalam Anonym 2009, seorang pelari marathon, psikolog, dan penulis buku the Exercise Prescription for Depression and Anxiety, mengatakan bahwa peningkatan aliran darah dapat membuat kita lebih tenang menghadapi stress dan meregangkan otot-otot.Selain itu para ahli percaya bahwa pengeluaran beta-endorphin selama berlari bisa membantu meningkatkan mood (semangat). Hal yang sama terjadi pada wanita yang akan melalui masa menopause atau menjelang menstruasi b. Klasifikasi Lari 1) Lari jarak pendek adalah lari yang menempuh jarak antara 50 m sampai dengan jarak 400 m. oleh karena itu kebutuhan utama untuk lari jarak pendek adalah kecepatan. Kecepatan dalam lari jarak pendek adalah hasil kontraksi yang kuat dan cepat dari otot-otot yang dirubah menjadi gerakan 41 HOSPITAL MAJAPAHIT c. Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 halus lancer dan efisien dan sangat dibutuhkan bagi pelari untuk mendapatkan kecepatan yang tinggi. tujuan lari jarak pendek adlah untuk memaksimalkan kecepatan horizontal, yang dihasilkan dari dorongan badan ke depan. Kecepatan lari ditentukan oleh panjang langkah dan frekuensi langkah (jumlah langkah persatuan waktu). Oleh karena itu, seorang pelari jarak pendek harus dapat meningkatkan satu atau kedua-duanya 2) Gerak lari jarak menengah (800 m- 1500 m) dan sedikit berbeda dengan gerakan lari jarak pendek .terletak pada cara kaki menapak. Lari jarak menengah, kaki menapak ball hell-ball, ialah menapakkan pada ujung kaki tumit dan menolak dengan ujung kaki. Star dikakukan dengan cara berdiri.Yang perlu diperhatikan pada lari jarak menengah: a) Badan harus selalu rilaks atau santai. b) Lengan diayun dan tidak terlalu tinggi seperti pada lari jarak pendek Badan condong ke depan kia-kira 15º dari garis vertical. Panjang langkah tetap dan lebar tekanan pada ayunan paha ke depan, panjang langkah harus sesuai dengan panjang tungkai. Angkat lutut cukup tinggi (tidak setinggi lari jarak pendek). Penguasaan terhadap kecepatan lari (pace) dan kondisi fisik serta daya tahan tubuh yang baik. Dalam lari jarak menengah gerakan lari harus dilakukan dengan sewajarnya, kaki diayunkan ke depan seenaknya, panjang langkah tidak terlalu dipaksakan kecuali menjelang masuk garis finis. 3) Lari jarak jauh dilakukan dalam lintasan stadion jarak 3000m, ke atas, 5000m, 10.000m, sedangkan marathon dan juga cross-country, harus dilakukan diluar stadion kecuali star dan finis, secara fisik dan mental merupakan keharusan bagi pelari jarak jauh. Ayunan lengan dan gerakan kaki dilakuakan seringan-ringannya. Makin jauh jarak lari yang ditempuh makin rendah lutut diangkat dan langkah juga makin kecil. 4) Lari Estafet atau dengan kata lain disebut "Lari sambung menyambung sambil membawa tongkat" adalah salah satu jenis olahraga yang berinduk pada bidang atletik. Pelarinya berjumlah lebih dari 1 orang & kurang dari 5 orang yang tergabung dalam 1 tim, dimana masing-masing pelari sudah diatur dalam jarak tertentu untuk kemudian bersiap-siap menunggu atau menerima tongkat Estafet dari teman dan kemudian berlari untuk menyerahkan tongkat tersebut kepada teman 1 tim dan seterusnya saling mengoforkan tongkat hingga memasuki garis finis. Siapa yang pertama mencapai garis finis maka Tim tersebutlah yang menang. (http//www.Sport Medicine (2008). Deskripsi pola lari yang baik sebagai berikut: 1) Badan diatur sedemikian rupa hingga condong kedepan seimbang denga pola langkah yang dilakukan . 2) Kedua lengan diayun secara luas dalam garis vertikal dan seirama dengan gerakan kaki berlawanan . 3) Kaki tumpu bersentuhan dengan tanah rata, dan hanpir dibawah titik berat badan. 4) Lutut pada kaki tumpu ditekuk secara halus setalah kaki tumpu bersentuhan dengan tanah. 5) Perentangan tungkai yang tersentuh dengan tanah ,pinggul,lutut dan pergelangan kaki mendorong badan kearah depan dan mengangkat kaki yang bukan kaki tumpuhan. 42 HOSPITAL MAJAPAHIT d. Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 6) Lutut pada kaki ayun, diayunkan kedepan dengan cepat sampai setinggi lutut, sehingga bersamaan dengan itu, terjadi penekukan tungkai bagaian bawah sampai tumit dekat pantat. Manfaat olahraga lari Berlari punya banyak keuntungan. JoAnn Manson, MD, kepala pengobatan preventif dari Brigham and Women’s Hospital mengatakan bahwa banyak manfaat yang datang untuk kesehatan dari olahraga yang cukup menantang, seperti berlari. Berikut ini di antaranya. Terdapat beberapa manfaat dari melakukan olahraga lari 1) Penglihatan Orang yang berlari sekitar 56 kilometer per minggu diketahui memiliki penglihatan yang jauh lebih sekitar 54 persen ketimbang orang yang hanya berlari sekitar 16 kilometer per minggu. 2) Menjaga jantung Pelari yang berjoging sekitar 16 kilometer atau lebih per minggu menurunkan risiko sebanyak 39 persen dari ketergantungan obat-obatan tekanan darah tinggi dan menurunkan sekitar 34 persen obat-obatan penurun kadar kolesterol ketimbang mereka yang berlari tidak lebih dari 4 kilometer per minggu. 3) Tulang kuat Berlari ternyata membantu menguatkan tulang lebih baik ketimbang aktivitas aerobik. Para peneliti melihat di University of Missouri menemukan hal ini dari perbandingan dengan orang yang bersepeda. Sekitar 63 persen pesepeda memiliki kepadatan tulang yang rendah di tulang punggung dan pinggul, sementara hanya ditemukan 19 persen pelari yang mengalami hal ini 4) Berfikir cepat Sebuah survei pernah dilangsungkan terhadap beberapa karyawan di Inggris. Mereka diminta mengukur tingkat konsentrasi dan hasil kerja pada hari mereka berolahraga lari dan ketika di hari mereka berlari di pagi harinya. Survei mengatakan bahwa di hari mereka berlari, tingkat konsentrasi serta produktivitas kerja mereka meningkat dan hanya sedikit melakukan kesalahan. 5) Tidur nyenyak Para peneliti melihat efek berlari pada orang-orang yang memiliki kondisi insomnia. Di hari mereka berlari, ditemukan bahwa mereka bisa tidur setelah 17 menit berbaring, sementara di hari mereka tidak berlari, mereka butuh sekitar 38 menit hingga bisa tidur. Bahkan mereka juga tidur 1 jam lebih lama di keesokan harinya. 6) Infeksi saluran penafasan atas Mereka yang berlari sejam per hari mengurangi risiko 18 persen terkena infeksi saluran pernapasan atas ketimbang mereka yang tidak aktif, menurut penelitian di Swedia. Ternyata aktivitas menengah pun bisa meningkatkan imun tubuh 7) Hidup lebih lama Sebuah rangkuman dari 22 penelitian menemukan bahwa orang yang berolahraga sekitar 2.5 jam per minggu mengurangi 19 persen risiko meninggal di usia muda ketimbang mereka yang tidak berolahraga. 43 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Penelitian lain mengatakan bahwa mereka yang aktif menurunkan 50 persen risiko meninggal terlalu dini e. Efek-efek dari olahraga lari adalah: 1) Membuat jantung kuat, dimana semakin memperlancar peredaran darah dan pernafasan 2) Mempercepat sistem pencernaan dan membantu Anda menyingkirkan masalah pencernaan dan menetralkan depresi 3) Meningkatkan kapasitas untuk bekerja dan mengarahkan pada kehidupan yang aktif 4) Jogging membantu Anda membakar lemak dan mengatasi kegemukan 5) Kalau Anda bermasalah dengan selera makan, jogging membantu Anda memperbaikinya 6) Jogging mengencangkan otot kaki, paha dan punggung 7) Membuat tidur lebih nyenyak, melakukan jogging secara teratur memberikan manfaat bagus buat kondisi fisik dan kesehatan lainnya. Jogging juga memberikan kesenangan secara fisik dan mental B. Kerangka Konseptual Adalah Kerangka hubungan antara konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Nursalam, 2003). Faktor penyebab PMS : Wanita yang pernah melahirkan Status perkawinan Usia Stress Diet Zat zat gizi Olahraga lari: Olahraga lari estafet Olahraga lari jarak pendek Olahraga lari jarak jauh Olahraga joging Olahraga joging Kurangnya Olahraga PMS Tanda dan gejala: Fisik Kelemahan umum Nyeri kepala,punggung Nyeri payudarakaki dan sendi terasa lunglai Mental Mood menjadi labil Mudah marah G3 konstipasi Gelisah, suasana tdk nyaman, depresi Gambar 1 Kerangka konsep perbandingan gejala PMS antara siswi yang aktif dan tidak aktif olahraga lari pada siswi SMP PENANGGUNGAN ngori-trawas 44 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian survey. Survey adalah suatu rancangan yang digunakan untuk menyediakan infoormasi yang berhubungan dengan prevalensi ,distribusi dan hubungan antara variabel dalam suatu populasi (Nursalam, 2008). Metode pendekatan yang digunakan adalah survey morbiditas (Morbidity Survey) yaitu suatu survey deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui kejadian dan distribusi penyakit dalam populasi. (Nugroho, 2010). Dalam penelitian ini sering dibuat untuk mengidentifikasi kejadian PMS pada siswi yang aktif olahraga lari dan yang tidak aktif olahraga lari. Variabel independent dalam penelitian ini adalah aktifitas olahraga dalam bentuk lari / perlahan-lahan atau lari santai selama 20-45 menit dengan frekuensi 3x seminggu yang memakai teknik wawancara. Variabel dependent dalam penelitian adalahn gejala PMS yang meliputi gejala fisik: kelemahan umum (lekas letih, pegal, linu), acne (jerawat), nyeri kepala, punggung, perut bagian bawah, nyeri payudara, kaki terasa lunglai, gangguan saluran cerna, perubahan nafsu makan, sering merasa lapar dan gejala Mental: mood menjadi labil, mudah marah, gangguan konstipasi, insomnia, gelisah, suasana hati serba tak nyaman, depresi yang diukur dengan lembar kuesioner. Pada penelitian ini populasinya semua siswi SMP PENANGGUNGAN ngoro-trawas, pada kelas 1A sebanyak 17 siswi,kelas 1B sebanyak 19 siswi, kelas 1C sebanyak 19 siswi,kelas 2A sebanyak 23 siswi, kelas 2B sebanyak19 siswi, kelas 3A sebanyak 25 siswi, kelas 3B sebanyak 16 siswi. Jadi semua siswi SMP PENANGGUNGAN ngoro-trawas sebanyak 133 siswi. Pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling yaitu cara penetapan sampel dengan mencari subjek atau dasar hal-hal yang menyenangkan atau mengenakan peneliti (Nursalam, 2008). Dengan kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Nursalam, 2008). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: Siswi dari SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas yang mengalami PMS, Bersedia menjadi responden, Sehat jasmani dan rohani. Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak dapat memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: mengalami gangguan reproduksi seperti kanker, dan mengalami cacat fisik. D. HASIL PENELITIAN Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan usia remaja putri di PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas pada tanggal 13-18 Juli 2011 No 1. 2. 3. 4. Usia 12 tahun 13tahun 14 tahun 15 tahun Jumlah Frekuensi 22 39 48 24 133 SMP Presentase 17 29 36 18 100 Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa hampir setengahnya responden berusia 14 tahun yaitu sebanyak 48 orang (36%) Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pelaksanaan olahraga lari di SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas tanggal 13-18 Juli 2011 No 1 2 Olahraga lari Aktif Tidak aktif Jumlah Frekuensi 6 127 133 Persentase 4,5% 95,5% 100% Tabel 2 di atas di dapatkan data hampir semua responden yang tidak aktif olahraga lari yaitu sebanyak 127 responden (95,5%). 45 HOSPITAL MAJAPAHIT Tabel 3 No 1 2 Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Distribusi frekuensi responden berdasarkan gejala sindrom pramenstruasi (PMS) di SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas tanggal 13-18 Juli 2011 Gejala PMS Mengalami ≥ 50% gejala PMS Mengalami < 50% gejala PMS Jumlah Frekuensi 125 8 Persentase 94 6 133 100 Tabel 3 di atas di dapatkan data hampir semuanya responden yang mengalami ≥ 50% gejala PMS yaitu sebanyak 125 responden(94%). Tabel 5.2 Tabulasi silang gejala PMS dan olahraga lari pada siswi SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas tanggal 13-18 Juli 2011 Gejala PMS Olahraga lari Aktif Tidak aktif Total Mengalami ≥ 50% gejala PMS Mengalami < 50% gejala PMS Total 0 125(94 %) 125(94 %) 6( 4,5%) 2( 1,5 %) 8( 6%) 6( 4,5 %) 127( 95,5%) 133 (100%) Tabel 4 menunjukkan sebagian kecil responden yang aktif olahraga lari yang mengalami < 50% gejala PMS yaitu 6 responden (4,5%), dan hampir semuanya responden yang tidak aktif olahraga yang mengalami ≥50% gejala PMS yaitu sebanyak 125 responden (94%) . E. PEMBAHASAN 1. Olahraga lari aktif & tidak aktif Tabel 1 didapatkan data bahwa responden yang tidak aktif hampir semuanya yaitu sebanyak 127 orang (95,5%), dan responden yang aktif olahraga sebagian kecil yaitu sebanyak 6 orang (4,5%). Olahraga lari adalah pengembangan dari berjalan dan tidak mempunyai sifat khusus sifat-sifat tersebut antara lain, pada suatu saat kaki tidak kontak dengan tanah, atau tidak terjadi tumpuan pada tanah, saat ini dikenal dengan saat melayang menyebabkan badan dalam keadaan kurang stabil. Olahraga lari/joging adalah Aktifitas olahraga dalam bentuk lari /perlahan-lahan atau lari santai selama 20-45 menit. Lari merupakan olahraga yang menyehatkan. Olahraga murah yang tak butuh perlengkapan rumit dan Olahraga ini bisa dilakukan oleh siapa saja, tua muda, kaya dan miskin.. Pada dasarnya tidak ada istilah terlambat untuk olahraga lari/joging, siapapun bisa melakukan olahrga lari/joging. Dengan melakukan olahraga lari/joging badan menjadi padat, bugar sehingga membantu ketegangan emosional pada saat PMS, dari segi emosional semakin terasa berat bukan saat menstruasinya tetapi saat menjelang menstruasi ketika rahim berkontraksi untuk mengeluarkan lapisannya yang tidak dibuahi oleh sperma. (Tisnowati,2005). Dari hasil penelitian didapatkan siswi tidak aktif olahraga karena waktu mengalami PMS siswi menganggap olahraga hanya dapat memperberat rasa sakitnya padahal dengan berolahraga gejala PMS dapat berkurang sehinggah mereka tidak melakukan olahraga sama sekali, serta absen bila ada jadwal kegiatan olahgara disekolah. Untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal sebaiknya olahraga lari/joging dilakukan secara aktif yaitu minimal 3 kali dalam seminggu dengan frekuensi 20-45 menit .Dan siswi yang aktif olahraga pada awalnya memang sudah terbiasa melakukan olahraga sehingga mereka dapat merasakan bahwa dengan berolahraga secara teratur bisa mengurangi gejala PMS, karena dengan melakukan olahraga lari / joging badan menjadi 46 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 padat, bugar sehingga membantu ketegangan emosional pada saat PMS . Olahraga jenis ini tidak hanya sebatas lari saja, tetapi bisa dilakukan dengan olahraga yang lain. 2. Gejala PMS Hasil penelitian yang diperoleh dengan pembagian kuesioner pada siswi SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas, secara keseluruan yang Mengalami ≥ 50% yaitu sebanyak 125 siswi. Sindrom premenstruasi (PMS) adalah suatu gejala fisik dan psikologis yang terjadi pada wanita saat fase akhir luteal siklus menstruasi (antara 7-14 hari menjelang menstruasi) dan menghilang pada permulaan sampai beberapa hari menstruasi. Gejala psikologis yang sering muncul meliputi depresi, mudah marah, tegang, mudah menangis, hipersensitif, dan suasana hati yang labil. Gejala fisik yang tidak nyaman dapat berupa nyeri perut, mudah lelah, bengkak, berjerawat, dan peningkatan berat badan. Perubahan perilaku juga dapat terjadi seperti nafsu makan meningkat, konsentrasi menurun, suka menyendiri, mudah lupa, dan motivasi berkurang, disebabkan kadar hormon serotonin menurun karena adanya perubahan jumlah hormon esterogen.Wanita dengan PMS mengalami berbagai variasi gejala fisik dan psikis 2 hingga 14 hari sebelum menstruasi. Gejala-gejala PMS menghilang setelah datangnya menstruasi. Diperkirakan sekitar 75% wanita mengalami PMS (dengan berbagai tingkatan), dan 20-50% diantaranya ditengarai mengganggu aktivitas sehari-hari. Beberapa faktor yang meningkatkan resiko terjadinya PMS yaitu PMS semakin berat setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila perna mengalami kehamilan dengan komplikasi seperti toksima, wanita yang sudah menikah lebih banyak mengalami PMS di bandingkan yang belum menikah, PMS semakin dan mengganggu dengan bertambahnya usia, terutamaantara usia 30-45 tahun, faktor stres memperberat gangguan PMS ,faktor kebiasaan makan seperti tinggi gula, garam, kopi, teh, coklat, minuman bersoda, produk susu, makanan olahan, memperberat gejala PMS, kekurangan zat-zat gizi seperti kurang vitamin B (terutama B6), vitamin E, vitamin C, magnesium, zat besi, seng, asam lemak linoleat, serta kebiasaan merokok dan minuman alkohol juga dapat memperberat gejala PMS, dan kurang berolahraga dan aktivitas fisik menyebabkan semakin beratnya PMS (Saryono,2009). Mayoritas siswi mengalami gejala PMS kelemahan umum (lekas, letih, pegal, linu) sebanyak 132 responden, nyeri punggung sebanyak 114 responden, nyeri perut bagian bawah sebanyak 102 responden, nyeri payudara sebanyak 127 responden, perasaan tidak enak sebanyak 116 responden, mudah marah sebanyak 124 responden, dan tidak berolahraga secara teratur sebanyak 127 responden. Sehingga hampir semua yang Mengalami ≥ 50%. Berdasarkan hal ini maka diperlukan untuk melakukan aktifitas olahraga secara teratur dengan olahraga 3 kali dalam seminggu dengan frekuensi 20-45 menit. Karena dari gejala-gejala PMS tersebut kadar hormon serotonin menurun karena adanya perubahan jumlah hormon esterogen. 3. Perbandingan gejala PMS antara siswi yang aktif dan tidak aktif olahraga lari pada siswi SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas Dalam penelitian ini ditemukan terdapat perbandingan gejala PMS antara siswi yang aktif dan tidak aktif olahraga lari pada siswi SMP PENANGGUNGAN Ngoro-Trawas. Didapatkan tabel 4.5 tabulasi silang gejala PMS dan olahraga lari yaitu sebagian kecil responden yang aktif olahraga lari yang mengalami < 50% gejala PMS yaitu 6 responden (4,5%), dan hampir semuanya responden yang tidak aktif olahraga yang mengalami ≥50% gejala PMS yaitu sebanyak 125 responden (94%) . Faktor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya PMS, antara lain sebagai berikut: wanita yang pernah melahirkan, status perkawinan (wanita yang sudah banyak menikah lebih banyak mengalami PMS di bandingkan dengan yang belum menikah), usia (PMS 47 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 semakin sering dan mengganggu dengan bertambahnya usia ,terutama antara usia 30-45 tahun). Stres dapat memperberat PMS. Kegiatan fisik (kurang berolahraga dan aktivitas fisik mnyebabkan semakin beratnya PMS. Salah satu Untuk mengurangi keluhan yang muncul pada sindrom premenstruasi, dapat dilakukan dengan olahraga teratur, dengan melakukan olahraga selama 3 kali dalam seminggu dengan frekuensi 20-45 menit. Karena dengan olahraga yang teratur dapat meningkatkan produksi hormon endorfin yang menimbulkan rasa gembira, selain itu dapat menurunkan kadar kortisol dan epinefrin pada urin setelah 24 jam yang berperan menurunkan kadar pada fase luteal dalam siklus haid. Karena, pada fase luteal inilah yang menyebabkan wanita merasa kurang happy dan nyerinyeri, seperti nyeri haid atau sakit kepala. Karena merasa tidak happy inilah yang menyebabkan si wanita menjadi badmood, sensitif, gampang sedih, discouraged dalam menimbulkan gejala psikologis pada sindrom premenstruasi (Anonym, 2010). Dengan Olahraga yang aktif dapat juga menurunkan risiko osteoporosis, mengurangi imunitas tubuh, serta meningkatkan rasa percaya diri. Menurut penelitian para ilmuwan. Lari pagi dapat mencegah penyakit stress dan depresi. Menurut Anonym 2009, seorang pelari marathon, psikolog, dan penulis buku the Exercise Prescription for Depression and Anxiety, mengatakan bahwa peningkatan aliran darah dapat membuat kita lebih tenang menghadapi stress dan meregangkan otot-otot.Selain itu para ahli percaya bahwa pengeluaran beta-endorphin selama berlari bisa membantu meningkatkan mood (semangat). Hasil penelitian ini didapatkan bahwa hampir seluruhnya siswi tidak aktif olahraga lari karena siswi menganggap olahraga pada saat PMS dapat memperberat rasa sakitnya padahal dengan olahraga secara teratur dengan jumlah 3 kali dalam seminggu dengan frekuensi 20-45 menit, sehingga dapat membantu mengurangi gejala PMS. Karena dengan berolahraga lari peningkatan aliran darah dapat membuat kita lebih tenang menghadapi stress dan meregangkan otot-otot. Selain itu bahwa pengeluaran beta-endorphin selama berlari bisa membantu meningkatkan mood (semangat). E. PENUTUP Hasil penelitian di dapatkan data hampir semua responden yang tidak aktif olahraga lari yaitu sebanyak 127 responden, sebagian besar responden yang mengalami ≥ 50% gejala PMS yaitu sebanyak 125 responden. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian kecil responden yang aktif olahraga lari yang mengalami < 50% gejala PMS yaitu 6 responden (4,5%), dan sebagian besar responden yang tidak aktif olahraga yang mengalami ≥50% gejala PMS yaitu sebanyak 125 responden (94%). Penelitian ini sifatnya sederhana, sehingga belum mampu mengajikan hasil yang maksimal. Maka dari itu di perlukan penelitian lebih lanjut yang lebih berkembang sehingga di dapatkan yang lebih maksimal. Siswi hendaknya lebih termotivasi dengan masalah gejala PMS dan bisa melakukan olahraga lari dengan teratur selama 3 kali dalam seminggu, dan di menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta : Rineka cipta Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta : Rineka cipta. Aziz alimul. (2007). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisa data. Jakarta : Salemba medika. Hidayat, A.A. (2007). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Jakarta : Salemba medika. Notoatdmojo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta. Rineka cipta. Nursalam. (2008). Metodologi keperawatan. riset Jakarta : Informadika. 48 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 ________. (2007). Laporan riset kesehatan. Dasar (http://www.kesehatan kebunmenkab.go.id/data/lapriskesdas,pdf). Diakses pada tanggal 28 april 2011. Mansjoer, arif. (2008). Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius. Setiadi, (2007). Konsep dan penulisan riset keperawatan. yogyakarta : Graha ilmu. http://www.Selintas-Keperawatan/2010/Showing-Newers-Post-With-Label-PrementrualSyndrom. http://www. Khusus mahasiswi /2009/Premenstruasi sindrom. Price, A Sylvia,dkk. (2006) patofisiologi. Jakarta : EGC. Saryono dan waluyo. (2009). Sindrom ptemenstruasi. Yogjakarta : Medikal Book. Silvia. (2010). Sindrom premenstruasi. FKUI. Jakarta : medik indonesia. Tisnowati Tamat, dkk. (2005). Pendidikan jasmani dan kesehatan. Jakarta : Universitas terbuka 49 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 UKURAN LINGKAR LENGAN ATAS DENGAN BERAT BADAN BAYI LAHIR DI BPS. ANA SUSANTI BALONGBENDO 2010 Latifatul Ishaq1, Farida Yuliani, SSiT., S.KM.2 1 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit 2 Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRACT Women with chronic conditions of less energy or less nutritional status during pregnancy often give birth to LBW. The purpose of this study was to determine the relationship LILA size of pregnant women with weight babies born in BPS Ana Susanti. AMD. Keb, Balongbendo, Sidoarjo. The study used a retrospective design and the population is used throughout the birthing mother in 2010 as many as 138 people with a sample of 102 people that selected using Simple Random Sampling. The results analyzed using the test statistic wilxocon. Result showed the largest percentage (78.4%) of the group of respondents that have a size of ≥ 23.5 cm Lila there are 80 respondents. And the largest percentage of babies born to have a normal body weight that is there were 66 infants (64.7%). There is a significant relationship between the size of LILA pregnant women with weight babies born. LILA have relationships of pregnant women with birth weight performed the Wilcoxon test with significant level of 0.05 obtained value of Z = (3.494) with a significant level of 0.000. Due to a significant level of 0.000 then Ho is rejected, it means there is a relationship pregnant with Lila size birth weight. This is because of the intake of adequate nutrition at the time before and during pregnancy. Thus the required monitoring of health and nutritional status of pregnant mothers either in early pregnancy and during pregnancy is an effort to approach a potential in relation to increased maternal and child welfare. Key words: Lila, weight newborns A. PENDAHULUAN Lingkar lengan atas (LILA) merupakan suatu indikator untuk mengetahui resiko KEK pada wanita usia subur (WUS). (Supariasa, 2002:48). Ukuran LILA juga di gunakan untuk memprediksi kemungkinan bayi yang dilahirkan memiliki berat lahir rendah. Pengukuran LILA tidak dapat di gunakan untuk memantau pertumbuhan status gizi dalam jangka pendek. Pengukuran LILA digunakan karena pengukurannya sangat mudah dan cepat. Adapun ambang batas LILA WUS (ibu hamil) dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Hasil pengukuran LILA ada dua kemungkinan yaitu kurang dari 23,5 cm dan di atas atau sama dengan 23,5 cm. Jika ukuran lingkar lengan atas (LILA) kurang dari 23,5 cm maka ibu hamil tersebut menderita KEK (Dep. Kes. RI, 2002). Ibu hamil yang menderita KEK mempunyai resiko lebih besar terutama pada trimester III kehamilan di bandingkan dengan ibu hamil normal (Istiarti, 2008). Akibatnya mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kematian saat persalinan, perdarahan pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. (Dep.kes.RI, 2001). Bayi dengan berat lahir rendah 50 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 (<2500 gram) akan mengalami kemunduran pada intelektualnya. Hal ini karena BBLR memiliki berat otak yanglebih rendah menunjukkan defisit sel-sel otak sebanyak 8-14 dari normal, yang merupakan pertanda anak kurang cerdas dari seharusnya (Husaini, 2001). Prevalensi resiko KEK wanita usia subur (WUS) di provinsi Jawa Timur sebesar 15,9% (Riskesdas, 2007). Sedangkan di kabupaten Sidoarjo prevalensi resiko KEK pada wanita usia subur (WUS) sebesar 20,1% (Riskesdas, 2007). Prevalensi bayi lahir dengan BBLR di Jawa Timur sebesar 9,9%, sedangkan pada daerah kabupaten Sidoarjo sebesar 6,5% (Riskesdas, 2007). Masalah status gizi ibu hamil akan berpengaruh pada ukuran lingkar lengan atas ibu hamil. Ibu mempunyai peran besar didalam pertumbuhan dan kesehatan janin yang dikandungnya dan akan berdampak pada berat badan bayi yang dilahirkan, serta juga akan berpengaruh pada perkembangan otak dan pertumbuhan fisik bayi. Ukuran lingkar lengan atas ibu hamil diakibatkan oleh status gizi yang kurang, status ekonomi dan rendahnya pengetahuan sehingga mempengaruhi asupan nutrisi selama hamil. Untuk itu bidan dan kader kesehatan perlu meningkatkan penyuluhan akan pentingnya gizi selama hamil sehingga ibu termotivasi untuk memenuhi kebutuhan gizi selama hamil. Untuk mengurangi angka kelahiran bayi dg BBLR. Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang ukuran lingkar lengan atas dengan berat badan bayi lahir di BPS. Ana susanti. Amd. Keb. Tahun 2010. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Lingkar Lengan Atas (LILA) a. Pengertian LILA Lingkaran lengan atas adalah suatu cara untuk menghitung skala gizi wanita usia subur, baik ibu hamil maupun calon ibu untuk mengidentifikasi wanita yang mempunyai resiko melahirkan bayi berat badan lahir rendah. (Kamus online, 2010) b. Tujuan Pengukuran LILA 1) Mengetahui resiko KEK WUS, baik ibu hamil maupun calon ibu, untuk menapis wanita yang mempunyai resiko melahirkan bayi berat lahir rendah. 2) Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar lebih berperan dalam pencegahan dan penanggulangan KEK. 3) Mengembangkan gagasan baru di kalangan masyarakat dengan tujuan meningkatkankesejahteraan ibu dan anak. 4) Meningkatkan peran petugas lintas sektoral dalam upaya perbaikan gizi WUS yang menderita KEK. 5) Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran WUS yang menderita KEK (Supariasa, 2001:49) c. Ambang Batas Setelah melalui penelitian khusus untuk perempuan Indonesia, diperoleh standar lingkar lengan atas (LILA) sebagai berikut: 1) Jika lingkar lengan atas (LILA) kurang dari 23,5 cm: artinya status gizi ibu hamil kurang , dan kemungkinan mengalami KEK (Kekurangan Energi Kronis) atau anemia kronis, dan beresiko lebih tinggi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). 2) Jika lingkar lengan atas (LILA) sama atau lebih dari 23,5 cm: artinya status gizi ibu hamil baik, dan resiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rendah (Almatseir, 2001:62) d. Cara Mengukur LILA 51 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Pengukuran LILA dilakukan melalui urut-urutan yang telah ditetapkan. Ada 7 urutan pengukuran LILA, yaitu: 1) Tetapkan posisi bahu dan siku 2) Letakkan pita antara bahu dan siku 3) Tentukan titik tengah lengan 4) Lingkarkan pita LILA pada tengah lengan 5) Pita jangan terlalu ketat 6) Pita jangan terlalu longgar 7) Baca skala hasil pengukuran e. Penyebab Lingkar Lengan Kurang dari 23,5 cm (Kekurangan Energi Kronis) 1) Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi, bencana alam, kebijakan politik atau ekonomi yang memberatkan rakyat. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makanan yang adekuat. 2) Ibu hamil tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang. 3) Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat yang tidak membenarkan mengkonsumsi makanan tertentu pada ibu hamil hal ini dapat merugikan ibu haml dan menghambat kesempatan ibu hamil untuk mendapatkan gizi yang seimbang. 4) Pola makan yang salah 5) Sering sakit (frequent infection). Menjadi penyebab terpenting kedua kekurangan gizi, apalagi di negara-negara terbelakang dan yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana kasadaran akan kebersihan/personal hygiene yang masih kurang, serta ancaman penyakit tertentu, khususnya infeksi kronik (Supariasa, 2001:63). f. Akibat jika LILA kurang dari 23,5 cm 1) Terhadap Ibu Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu antara lain: anemia, perdarahan, perdarahan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit infeksi. 2) Terhadap persalinan Pengaruh Gizi kurang terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum waktunya (premature), perdarahan setelah persalinan, serta persalinan dengan operasi cenderung meningkat. 3) Terhadap Janin Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan abortus,kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati dalam kandungan), lahir dengan berat badan rendah (BBLR). (Jundarwanto, 2009) g. Pemeriksaan Ibu Hamil Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui status gizi ibu hamil antara lain memantau kenaikan berat badan selama hamil, mengukur lingkar lengan atas (LILA), dan mengukur kadar Hb. Kenaikan berat badan selama hamil sekitar 10-12 kg. Kenaikan berat badan ini juga sekaligus memantau pertumbuhan janin. Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) dimaksudkan untuk mengetahui apakah ibu hamil tersebut menderita kekurangan energi kronis (KEK), sedangkan pengukuran kadar Hb untuk mengetahui ibu hamil mengalami anemia atau tidak (Jundarwanto, 2009). 52 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 h. Upaya Untuk Mengatasi Masalah Gizi 1) Program Upaya Perbaikan Gizi Keluarga(UPGK). 2) Pemberian kapsul vitamin A untuk anak usia 1-4 tahun. 3) Distribusi kapsul yodium untuk penduduk di daerah rawan gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY). 4) Pemberian tablet Fe untuk ibu hamil. 5) Pemantauan tingkat konsumsi gizi penduduk secara berkala (SKG). 6) Pemantauan status gizi (PSG) anak balita. (Sulistia, 2008) 2. Konsep Dasar Ibu Hamil a. Pengertian Ibu hamil adalah seorang perempuan yang sedang mengandung. (Sarwono, 2009:356). Menurut Federasi Obsetri Ginekologi Internasional, kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi (Sarwono, 2008:213). b. Hal yang harus dilakukan oleh ibu hamil: 1) Memenuhi kebutuhan nutrisi sesuai mutu seimbang. 2) Hindari pekerjaan yang berat. 3) Cukup istirahat selama perjalanan: Ada baiknya tiap beberapa jam sekali berhenti untuk istirahat, buang air kecil dan makan. Berapa lama harus berhenti, tergantung kondisi masing-masing, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 6 jam. 4) Bila dirasa ada keluhan, sebaiknya segera kontak dengan tenaga kesehatan. Akibat kesalahan biasanya timbul keluhan berupa sakit perut bagian bawah atau kontraksi. Bila hal itu terus terjadi selama perjalanan, sebaiknya segera kontrol ke dokter. 5) Waspadai bila sampai keluar flek. Flek adalah tanda pertama terjadinya keguguran. Bila sampai ada flek, sebaiknya segera ke dokter kandungan. (Ida bagus, 1998:92) c. Perkembangan Dan Perubahan Pada ibu Hamil 1) Rahim atau uterus Rahim yang semula beratnya sebesar jempol atau beratnya 30 gram akan mengalami hipertrofi dan hiperplasia sehingga menjadi seberat 1000 gram saat akhir kehamilan. Otot rahim mengalami hiperplasia dan hipertrofi menjadi lebih besar, lunak dan dapat mengikuti pembesaran rahim karena pertumbuhan janin. 2) Vagina atau liang senggama Vagina dan vulva mengalami peningkatan pembuluh darah karena pengaruh estrogen sehingga tampak makin merah dan kebiru-biruan. 3) Ovarium atau indung telur Dengan terjadinya kehamilan, indung telur yang mengandung korpus luteum gravidarum akan meneruskan fungsinya sampai terbentuknya plasenta yang sempurna pada umur16minggu. Kejadian ini tidak dapat lepas dari kemampuan villi korialis yang mengeluarkan hormon corionic gonadotropin yang mirip hormon uteutropik hipofisis anterior. 4) Payudara Payudara mengalami pertumbuhan dan perkembangan sebagai persiapan pemberian ASI pada saat laktasi. Perkembangan payudara tidak 53 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 dapat dilepaskan dari pengaruh hormon saat kehamilan, yaitu estrogen, progesteron dan somatotropin. Perubahan payudara pada ibu hamil adalah sebagai berikut: a) Payudara menjadi lebih besar. b) Terdapat hyperpigmentasi pada areola mamae. c) Glandula montgomery makin tampak. d) Puting susu menonjol. 5) Sirkulasi Darah Ibu a) Volume Darah Volume darah semakin meningkat dimana jumlah serum darahlebih besar dari pertumbuhan sel darah, sehingga terjadi semacam pengenceran darah (hemodilusi), dengan puncaknya pada usia kehamilan 32 minggu. Serum darah (volume darah) bertambah sebesar 25-30% sedangkan sel darah bertambah sekitar 20%. b) Sel Darah Sel darah merah jumlahnya semakin meningkat, untuk dapat mengimbangi pertumbuhan janin dan rahim. Tetapi pertambahan sel darah tidak seimbang dengan peningkatan volume darah sehingga terjadi hemodelusi yang disertai anemia fisiologis. Sel darah putih meningkat dengan mencapai jumlah sebesar 10.000/ml. Dengan hemodelusi dan anemia fisiologis maka laju endap darah semakin tinggi dan dapat mencapai 4 kali dari angka normal. c) Sistem Respirasi Pada kehamilan juga terjadi perubahan sistem respirasi untuk dapat memenuhi kebutuhan O2. Disamping itu terjadi desakan diafragma karena dorongan rahim yang membesar pada usia kehamilan 32 minggu. Sebagai kompensasi terjadinya desakan rahim dan kebutuhan O2 yang meningkat, ibu hamil akan bernafas lebih, yaitu sekitar 20 sampai 25% dari pernafasan biasanya. d) Sistem Pencernaan Karena pengaruh estrogen, pengeluaran asam lambung meningkat yang dapat menyebabkan: 1) Pengeluaran air liur berlebihan (hipersaliva). 2) Daerah lambung terasa panas. 3) Terjadi pusing kepala. 4) Muntah. 5) Muntah berlebihan (Hyperemesis gravidarum) sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari. 6) Gerak usus semakin berkurang dan dapat menyebabkan konstipasi. e) Traktus urinarius Karena pengaruh desakan hamil muda dan turunnya kepala bayi pada hamil tua terjadi gangguan miksi dalam bentuk sering kencing. f) Perubahan Pada Kulit Pada kulit terjadi perubahan deposit pigmen dan hiperpigmentasi karena pengaruh melanophore stimulating hormon lobus hipofisis anterior dan pengaruh kelenjar suprarenalis. Hiperpigmentasi ini terjadi pada stria gravidarum, livida dan alba, dan areola mamae, papilla mamae, linea nigra, dan cloasma gravidarum. g) Metabolisme 54 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Dengan terjadinya kehamilan, metabolisme tubuh mengalami perubahan yang mendasar, dimana kebutuhan nutrisi semakin tinggi untuk pertumbuhan janin dan persiapan untuk memberikan ASI. Perubahan metabolisme adalah: 1) Metabolisme basal naik sebesar 15% sampai 20% dari semula terutama pada trimester ketiga. 2) Keseimbangan asam basa mengalami penurunan yang disebabkan oleh hemodilusi darah dan kebutuhan mineral yang dibutuhkan janin. 3) Kebutuhan protein wanita hamil makin tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, perkembangan organ kehamilan dan persiapan laktasi. Dalam makanan diperlukan protein yang tinggi sekitar ½ gr/kg BB atau sebutir telur ayam sehari. 4) Berat badan ibu hamil mengalami kenaikan. 5) Berat badan ibu hamil akan bertambah sekitar 10-12 kg selama hamil. Memperhatikan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa ibu hamil memerlukan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi. Oleh karena itu perlu diperhatikan susunan makanan empat sehat lima sempurna. (Sarwono, 2008:357) 3. Konsep Berat Badan Bayi Lahir a. Pengertian Berat badan bayi lahir adalah berat bayi yang ditimbang kurang dari 24 jam setelah persalinan (Kamus online, 2010). b. Berat badan bayi lahir digolongkan menjadi 3 yaitu : 1) Berat badan lahir normal yaitu bayi yang lahir dengan berat badan 2500 – 4000 gram. 2) Berat badan lahir rendah yaitu bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram. 3) Makrosomia yaitu bayi baru lahir dengan berat badan > 4000 gram. (Ida Bagus, 2001) c. Faktor-faktor yang mempengaruhi berat bayi lahir Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan bayi lahir antara lain dipengaruhi oleh: 1) Paritas Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN, 2006). Menurut Prawirohardjo (2009), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan grandemultipara. a) Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di dunia luar (Varney, 2006) b) Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali (Prawirohardjo, 2009). c) Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2008). 2) Keteraturan ANC (Ante Natal Care) Ante Natal Care adalah upaya preventif program pelayanan kesehatan obstetrik untuk optimalisasi luaran maternal dan neonatal melalui serangkaian kegiatan pemantauan rutin selama kehamilan. (Prawirohardjo, 2008) 3) Ukuran lingkar lengan atas ibu kurang dari 23,5 cm, 4) sosio demografi (umur, pendidikan, pekerjaan) 55 HOSPITAL MAJAPAHIT d. e. f. g. Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 5) kebiasaan ibu merokok, minum-minuman keras, konsumsi obat-obatan 6) lingkungan eksternal, 7) genetika. (Nyoman Supariasa, 2002:28) Kriteria Fisik Bayi Normal 1. Cukup bulan : usia kehamilan 37-42 minggu 2. Berat badan lahir : 2500-4000 gram (sesuai masa kehamilan) 3. Panjang badan : 44-53 cm 4. Lingkar kepala (melalui diameter biparietal) : 31-36 cm 5. Skor Apgar : 7-10 6. Tanpa kelainan kongenital atau trauma persalinan Kriteria neurologik bayi normal 1. Frog position (fleksi ekstremitas atas dan bawah) 2. Reflek moro (+) 3. Reflek hisap (+) 4. Reflek menggenggam (+) 5. Reflek rooting (Antonius, 2000) Pemantauan Bayi Baru Lahir Tujuan pemantauan bayi baru lahir adalah untuk mengetahui aktifitas bayi normal atau tidak dan identifikasi masalah kesehatan bayi baru lahir yang memerlukan perhatian keluarga dan penolong persalinan serta tindak lanjut petugas kesehatan. 1) 2 jam pertama setelah lahir Hal-hal yang harus dinilai waktu pemantauan bayi pada jam pertama sesudah lahir meliputi: a) Kemampuan menghisap kuat dan lemah b) Bayi tampak aktif dan lemah c) Bayi kemerahan atau biru 2) Sebelum penolong persalinan meninggalkan ibu dan bayi Penolong persalinan melakukan pemeriksaan dan penilaian terhadap ada tidaknya masalah kesehatan yang memerlukan tindak lanjut seperti: a) Bayi kecil untuk masa kehamilan atau bayi kurang bulan b) Gangguan pernafasan c) Hipotermi d) Infeksi e) Cacat bawaan atau trauma lahir Pemantauan Berat Badan Bayi 1) Penurunan Berat Badan Bayi Berat badan bayi akan mengalami penurunan selama hari-hari pertama kelahirannya, karena memang sampai hari ke-4 berat badan bayi turun sampai 7,5-10% masih normal dan akan kembali ke berat badan lahir pada hari ke 7. Perolehan berat badan ini sangat tergantung dari seringnya bayi menyusu dan posisi menyusui yang benar. 2) Kenaikan Berat Badan Bayi Pada bulan pertama, biasanya kenaikan berat badan rata-rata bayi mencapai 500-1400 gr. Pada bulan ke-2 akan bertambah sekitar 1 kg dari berat badan tubuhnya waktu lahir. Normalnya pada bulan ke-2, berat badan bayi akan mencapai 3,5 kg hingga 6,8 kg. 56 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Di bulan ke-3, berat badan bayi ditentukan oleh berat badannya saat lahir. Sebagai patokan, kisaran berat badan bayi usia 3 bulan adalah 4,3 kg hingga 6,8 kg. h. Cara Mempertahankan Berat Badan Bayi 1) Susui bayi sesering mungkin dengan posisi menyusui yang benar. 2) Bangunkan bayi bila tidur lebih dari 2 jam dengan membuka gedongnya. 3) Hitung jumlah frekwensi kencing untuk mengetahui jumlah ASI yang didapat bayi. Jumlah normal adalah 8 kali atau lebih, warna kencing kuning muda atau bening. 4) Kontrol berat badan bayi saat usia bayi 5-7 hari. Supaya berat badan bayi dapat dievaluasi pada 1 bulan pertama. (Sri lestariningsih, 2010) 4. Konsep Bayi Berat Lahir Rendah(BBLR) a. Pengertian BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan krang dari 2500 gr tanpa memandang masa kehamilan. Berat lahir adalah berat yang ditimbang dalam satu jam setalah lahir. Untuk keperluan bidan didesa berat lahir diterima dalam 24 jam pertama setelah lahir. Penyebab BBLR sangat komplek. BBLR dapat disebabkan oleh kehamilan kurang bulan. (Suririnah, 2008) Bayi kurang bulan adalah bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, sebagai bayi kurang bulan belum siap hidup diluar kandungan dan mendapatkan kesulitan untuk mulia bernafas, menghisap, melawan infeksi dan menjaga tubuhnya agar tetap hangat. (Sarwono, 2007:376) Bayi kecil masa kehamilan (KMK) adalah bayi yang tidak tumbuh dengan baik di dalam kandungan selama kehamilan. Ada 3 kelompok bayi yang termasuk bayi KMK yaitu KMK lebih bulan, KMK cukup bulan dan KMK kurang bulan. Bayi KMK cukup bulan kebanyakan mampu bernafas dan menghisap dengan baik. Sedangkan bayi KMK kurang bulan kadang kemampuan bernafas dan menghisapnya lemah. (Sarwono, 2007:377) b. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan BBLR Penyebab BBLR umumnya tidak hanya satu, oleh karena itu sulit untuk dilakukan pencegahan. Kita dapat menurunkan angka prevalensi BBLR di masyarakat dengan upaya mendorong semua perawatan kesehatan remaja putri dan mengusahakan semua ibu hamil mendapatkan perawatan antenatal yang komprehensif. (Dinkes, 2009) 1) Faktor Ibu a) Umur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. b) Jarak Kehamilan Terlalu Pendek (kurang dari 1 tahun). c) Mempunyai BBLR sebelumnya. d) Lingkar lengan atas ibu kurang dari 23,5 cm. e) Ibu hamil dengan masalah-masalah seperti : anemia berat, pre-eklamsia atau hipertensi’ infeksi selama kehamilan, hepatitis, IMS, HIV/AIDS, malaria, dan kehamilan ganda. (Kosim, 2005:124) 2) Faktor Bayi a) Cacat bawaan Selama kehamilan mengajari ibu dan keluarga untuk tidak mengkonsumsi obat yang tidak dianjurkan oleh tenaga kesehatan, mengenali tanda bahaya dalam kehamilan dan bayi baru lahir. b) Infeksi selama dalam kandungan 57 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Mendapat pengobatan terhadap masalah-masalah yang ada. (Asrining, 2003:245) c. Masalah-masalah Pada BBLR BBLR lebih mudah meninggal atau mengalami masalah kesehatan yang serius. Berat bayi dan masa kehamilan menggambarkan resiko, semakin kecil berat bayi dan semakin muda masa kehamilan semakin besar resikonya. Masalahmasalah yang biasanya terjadi pada BBLR, antara lain: 1) Asfiksia BBLR bisa kurang, cukup atau lebih bulan, semuanya berdampak pada proses adaptasi pernapasan waktu lahir sehingga mengalami asfiksia lahir. BBLR membutuhkan kecepatan dan ketrampilan resusitasi. 2) Gangguan nafas Gangguan nafas yang sering terjadi pada BLBR kurang bulan adalah penyakit membran hialin, sedangkan pada BBLR lebih bulan adalah aspirasi mekonium. BBLR yang mengalami gangguan nafas harus segera dirujuk ke fasilitas rujukan yang lebih tinggi. 3) Hipotermi Karena hanya sedikitnya lemak tubuh dan sistem pengaturan suhu tubuh pada bayi baru lahir belum matang. Metode kangguru dengan “kontak kulit dengan kulit” membantu BBLR tetap hangat. 4) Hipoglikemi Karena hanya sedikitnya simpanan energi pada bayi baru lahir dengan BBLR. BBLR membutuhkan ASI sesegera mungkin setelah lahir dan minum sangat sering (setiap 2 jam) pada minggu pertama. 5) Masalah pemberian ASI Karena ukuran tubuh BBLR kecil, kurang energi, lemah, lambungnya kecil dan tidak dapat menghisap. BBLR sering mendapatkan ASI dengan bantuan, membutuhkan pemberian ASI dalam jumlah yang lebih sedikit tapi sering. BBLR dengan kehamilan lebih atau sama dengan 35 minggu dan berat lahir lebih atau sama dengan 2000 gram umumnya bisa langsung menetek. 6) Infeksi Karena sistem kekebalan tubuh BBLR belum matang. Keluarga dan tenaga kesehatan yang merawat BBLR harus melakukan tindakan pencegahan infeksi antara lain dengan mencuci tangan dengan baik. 7) Ikterus (Kadar bilirubin yang tinggi) Karena fungsi hati belum matang. BBLR menjadi kuning lebih awal dan lebih lama dari pada bayi yang cukup beratnya. 8) Masalah pendarahan Berhubungan dengan belum matangnya sistem pembekuan darah saat lahir. Beri vitamin K 1 injeksi intra muskuler dengan dosis tunggal 1 mg di paha kiri setelah selesai melakukan resusitasi. (Dinkes, 2009) d. Gambaran Klinis BBLR Karena beratnya kurang dari 2500 gram bayi lahir dengan berat lahir rendah dan lemak dibawah kulitnya sangat sedikit. Tanda-tanda bayi BBLR : 1) Kulit tipis dan mengkilap 2) Tulang rawan telinga sangat lunak 58 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 3) Lanugo banyak terutama punggung 4) Jaringan payudara belum terlihat, puting berupa titik 5) Pada bayi perempuan labia mayora belum menutupi labia minora 6) Pada bayi laki-laki skrotum belum banyak lipatan, testis kadang belum turun. 7) Rajah telapak kaki kurang dari 1/3 bagian atau belum terbentuk. 8) Kadang disertai dengan pernafasan tidak teratur. 9) Aktivitas dan tangisanya lemah. 10) Menghisap atau menelan tidak efektif atau lemah Tanda-tanda bayi masa kehamilan (KMK) : 1) Umur janin dapat cukup, dapat kurang atau lebih bulan tetapi berat kurang dari 2500 gram. 2) Gerakannya cukup aktif, tangis cukup kuat 3) Kulit keriput, lemak bawah kulit tipis 4) Bila kurang bulan jaringan payudara kecil, puting susu kecil. Bila cukup bulan payudara dan puting sesuai dengan masa kehamilan. 5) Bayi perempuan bila cukup bulan labia mayora menutupi labia minora. 6) Bayi laki-liki testisnya mungkin telah turun 7) Rajah telapak kaki lebih dari 1/3 bagian. 8) Menghisap cukup kuat (Utami, 2007:28) Tanda bayi cukup bulan 1) Berat badan lebih atau sama dengan 2500 gram. 2) Gerakan aktif 3) Tangisan kuat 4) Rajah 1/3 bagian 5) Menghisap kuat 6) Pada bayi laki-laki testis sudah turun 7) Pada bayi perempuan labia mayora sudah menutupi labia minora 8) Payudara dan puting sudah tampak 9) Kulit agak pucat karena lebih tebal (Sarwono, 2005:459) e. Penatalaksanaan BBLR 1) Tatalaksana BBLR saat lahir : Resusitasi : BBLR merupakan salah satu resiko untuk terjadinya asfiksia lahir, sehingga tatalaksana pada saat lahir adalah tindakan resusitasi. 2) Tatalaksana BBLR setelah lahir a) Menanyakan riwayat Tanyakan tanggal perkiraan kelahiran ataunumur kehamilan b) Melakukan pemeriksaan (1) Timbang berat bayi setalah lahir (0-24 jam) dan bernafas baik. Timbanga harus dilapisi dengan kain hangat agar tidak menjadi dingin. (2) Lakukan pemeriksaan fisik c) Menentukan masalah/kebutuhan Tentukan bayi adalah : (1) BBLR yang boleh dirawat oleh bidan, adalah BBLR dengan berat diatas 2500 gram, tanpa masalah atau komplikasi. (2) BBLR < 2000 gram atau > 2000 gram tetapi bermasalah maka harus dirujuk. 59 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 d) Rencana perawatan Untuk semua bayi dengan berat 2000-2499 gram : (1) Jaga bayi agar tetap hangat a. Jaga bayi selalu kontak kulit dengan ibunya. b. Tutupi ibu dan bayi dengan selimut atau kain yang hangat c. Tutupi kepala bayi dengan kain atau topi d. Jangan memandikan bayi sebelum suhu stabil atau paling tidak 6 jam setelah lahir. (2) Mendorong ibu menetei (atau memerah kolostrum dan memberikan warna dan minum ASI (menghisap) setiap 30-60 menit selama 6 jam. (3) Beri bayi baru lahir dosis tunggal vit K1 yaitu dengan dosis 1 mg/IM, ajari ibu dan keluarga menjaga bayi tetap hangat dengan selalu melakukan kontak kulit dengan kulit. (4) Beri bayi baru lahir salep mata tetrasiklin 1 % (5) Jika suhu axila turun dibawah 36,5 , lakukan perawatan metode kangguru. Hangatkan bayi dengan menghangatkan ruangan pakai sumber panas dan tutupi bayi dengan selimut hangat. (6) Sarankan ibu dan keluarga selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah memegang bayi. Jika masalah bertambah : Jika BBLR membiru atau memiliki gangguan pernafasan, stimulasi dan rujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap dengan pedoman rujukan. Jika bayi tidak menghisap dengan baik perah dan beri ASI dengan menggunakan cangkir dan segara rujuk ke fasilitas kesehatan. e) Pemantauan Kunjungi bayi minimal dua kali dalam minggu pertama dan selanjutnya sekali dalam setiap minggu sampai berat badan bayi 2500 gram menggunakan format MTBM. BBLR diperbolehkan turun beratnya hingga 10 % - 5 % dalam sepuluh hari pertama kemudian sudah harus naik kurang lebih 15 gram sehari. (Suirinah, 2009) f. Asuhan BBLR Sehat BBLR sering mempunyai masalah selama minggu-minggu pertama kehidupannya. Gunakan langkah-langkahpemecahan masalah sebagai pedoman untuk memberikan perawatan selama kunjungan : 1) Menanyakan riwayat a) Apakah bayi menghisap dengan baik? b) Berapa kali bayi diteteki? c) Berapa kali bayi kencing dalam satu hari? d) Bagaimana BAB nya dan seberapa sering bayi BAB dalam satu hari? 2) Pemeriksaan a) Perhatikan bayi menetek dan ajarkan posisi yang benar. b) Timbang bayi BBL harus naik berat badannya secara teratur / sekurangnya 15 gram sehari setelah berumur 10 hari. 3) Lihat Bayi : a) Warna kulit 60 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Ikterus tampak lebih awal dan menghilanh lebih lama pada BBLR/kurang bulan. Rujuk bayi jika ditemukan ikterus pada 24 jam pertama atau setelah 2 minggu atau jika tangan dan kaki kuning. b) Pernafasan : frekwensi nafas 30-60x/menit tidak sesak c) Kepala: UUB cekung/cembung, kaput socsedaneum/sephalhematum. d) Tali pusat (kemerahan, berbau busuk, atau berair) e) Raba suhu tubuh, apakah terjadi hipotermi atau tidak f) Menentukan masalah dan kebutuhan (1) Tentukan apakah berat badan bayi bertambah (2) Tentukan apakah bayi anda mempunyai masalah (3) Perhatikan apakah kebutuhan bayi anda terpenuhi : kehangatan, pencegahan infeksi, ASI, keamanan, kasih sayang dan tidur. 4) Merencanakan perawatan a) Jika bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki tanda-tanda bahaya, segera rujuk ke fasilitas kesehatan. b) Jika BBLR tumbuh dengan baik dan tidak ada tanda bahaya: (1) Periksa apakah dapat diberikan imunisasi (2) Buat rencana perawatan untuk beberapa masalah yang tidak dikehendaki. (3) Lanjutkan memberikan saran pada ibu, bagaimana merawat bayi: (a) Jaga bayi tetap hangat dengan perawatan metode kanguru. (b) Lindungi bayi dari infeksi (cuci tangan, hindari kontak dengan orang yang sakit). (c) Berikan ASI eksklusif sesuai jadwal. (d) Tunjukkan kasih sayang pada bayi. (e) Perhatikan tanda-tanda bahaya saat memeriksa. (4) Rencana kunjungan selanjutnya yang diperlukan untuk pemantauan lebih lanjut Imunisasi : pakai jadwal yang sama dengan bayi dengan berat badan normal. 5) Melakukan pemantauan a) Kunjungi BBLR setiap minggu untuk memeriksa pertumbuhannya dan untuk menemukan permasalahan sampai beratnya 2500 gram. b) Saat berat bayi mencapai 2500 gram mulailah dengan berangsur angsur mengurangi lamanya kontak kulit dengan kulit. g. Perawatan Metode Kangguru BBLR membutuhkan bantuan dan waktu untuk penyesuaian kehidupan di luar rahim. Mereka juga memerlukan bantuan untuk tetap hangat dan mendapatkan ASI yang cukup untuk tumbuh. Satu cara untuk enolong bayi mendapatkan kebutuhan ini adalah menjagabayi tetap kontak kulit dengan ibunya. Perwatan metode kanguru adalah suatu cara agar BBLR terpenuhi kebutuhan khusus mereka dalam mempertahankan kehangatan suhu tubuh. Perawatan metode kanguru memiliki tiga komponen : 1) Kontak kulit dengan kulit antara bagian depan tubuh bayi dengan dada dan perut ibu dalam baju. Ibu merupakan sumber panas bagi bayi. Kontak kulit dengan kulit dimulai saat setelah lahir dan berlanjut siang dan malam. Bayi hanya memakai topi dan kain untuk menjaga kepala agar tetap hangat. 2) ASI Eksklusif 61 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Bayi menetek segara setelah lahir dan sering. Kain yang membungkus disekeliling ibu dan bayi dilonggarkan untuk meneteki. Berikan informasi untuk membantu ibu bagaimana meneteki bayi. 3) Memberikan dukungan kepada ibu dan bayi Walaupun kebutuhan ibu dan bayi terpenuhi dengan tidak memisahkan mereka. Ibu membutuhkan banyak dukungan dari suami dan keluarga yang lain untuk menjaga kontak yang terus menerus ini. Di fasilitas kesehatan petugas akan membantu. Di rumah keluarga akan membantu. (Dinkes, 2009) h. Manfaat metode kangguru 1) Bayi a) Pernafasan bayi baru lahir menjadi teratur dan stabil b) Suhu bayi baru lahir meningkat dan stabil pada suhu normal c) Mengurangi kejadian infeksi (terutama infeksi saluran pernafasan dan saluran cerna). d) BBLR menetek dengan baik dan berat badan meningkat dengan cepat. e) Istirahat atau tidur lebih banyak dan nyenyak. f) Bayi merasa aman dan nyaman. 2) Ibu a) Ibu menjadi lebih dekat dengan bayinya secara emosional b) Ibu menjadi merasa mampu merawat bayinya c) Produksi ASI cukup atau banyak sehingga tidak perlu tambahan susu formula. d) Menghemat pengeluaran biaya dalam rumah tangga. (Kardinan, 2009) i. Pemberian ASI pada BBLR 1) ASI adalah makanan sempurna untuk semua bayi. 2) Semua BBLR membutuhkan ASI yang adekuat. 3) ASI eksklusif dan tidak dibatasi adalah bagian penting dari metode kanguru. 4) Dengan bayi yang sangat dekat dengan ibunya, bayi akan mencium bau ASI dan dapat mulai menghisap ketika lapar. 5) BBLR memiliki lambung yang kecil dan tidak dapat minum dalam jumlah banyak mereka cepat lelah. 6) BBLR memerlukan makanan yang cukup untuk pulih dari saat lahir dan untuk tumbuh, tetapi mereka tidak cukup energi untuk menghisap lama-lama. 7) Cara meneteki bayi dengan berat badan lahir rendah a) Cari tempat yang tenang untuk meneteki BBLR dapat memiliki sistem syaraf yang belum matang. Suara, cahaya, dan aktivitas dapat mengganggu bayi menghisap. b) Perah beberapa tetes ASI di puting payudara untuk membantu bayi mulai menghisap. c) Berikan bayi istirahat sejenak selama saat meneteki. d) Menetek adalah pekerjaan berat bagi BBLR. e) Air susu yang terlalu deras pada bayi kecil menyebabkan batuk dan cegukan, untuk itu lakukan : (1) Hentikan pemberian ASI untuk sementara. (2) Muliai menyusu kembali setelah pernafasan normal. (3) Apabila ASI masih terlalu deras memancar, atur posisi ibu setengah baring. 62 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 f) Jika BBLR tidak memiliki cukup tenaga untuk menghisap lama atau memiliki reflek menghisap yang cukup kuat : (1) Ajari ibu untuk memerah ASI (2) Ajari ibu untuk menyuapi bayinya dengan ASI yang diperah dengan menggunakan cangkir atau sendok. (3) Bayi 2000 gram sehat bisa menghisap, menelan dan apabila ada masalah segera rujuk (Asrining, 2003:129) j. Tanda Bahaya Bayi Baru Lahir Segera rujuk BBLR yang memiliki tanda-tanda sebagai berikut: 1) Masalah pemberian ASI atau tidak dapat menghisap 2) Letargi 3) Gangguan pernafasan 4) Kejang 5) Teraba dingin atau panas 6) Perdarahan tali pusat 7) Ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir 8) Muntah terus menerus dengan perut kembung, diare lendir dan darah. 9) Pucat sianosis / biru pada bibir atau bagian akral (Utami, 2007:148) k. Asuhan BBLR sakit 1) Hipotermi Sedang Definisi Suhu tubuh bayi antara 36-36,4 . Pengukuran dilakukan pada axila selama 3-5 menit. Asuhan hipotermi sedang a) Ganti pakaian yang dingin dan basah dengan pakaian yang hangat dan kering, memakai topi dan selimuti bayi yang hangat. b) Bila ada ibu atau pengganti ibu anjurkan menghangatkan bayi dengan kontak kulit dengan kulit. c) Periksa ulang suhu bayi 1 jam kemudian, bila suhu bayi naik dalam batas normal, berarti usaha menghangatkan berhasil. d) Anjurkan ibu untuk menyusui lebih sering. Bila bayi tidak dapat menyusu berikan ASI peras menggunakan sendok. e) Rujuk apabila ada salah satu keadaan seperti di bawah ini : (1) Jika setelah menghangatkan selama 1 jam tidak ada kenaikan suhu. (2) Bila reflek hisap bayi lemah. (3) Terdapat gangguan nafas atau kejang. (4) Bila disertai tanda mengantuk/letargis atau bagian tubuh bayi mengeras. l. Pemantauan Tumbuh Kembang BBLR 1) Tumbuh Kembang a) Bayi BBLR memerlukan pemantauan secara periodik (hari ke 2, 7, 14, 21). b) Penurunan berat badan bayi masih bisa diterima maksimal 10 % dari berat lahir pada 7 hari pertama dan 15 % pada 10 hari pertama usia bayi. c) Setelah berat lahir tercapai kembali, kenaikan berat badan sekurang kurangnya 90 gram per 6 hari. 2) Pemantauan Pertumbuhan BBLR a) Panjang badan anak 63 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 (1) Panjang badan yang diukur dalam posisi anak tidur (pada anak umur < 24 bulan) atau dalam posisi anak berdiri tegak dengan kepala, punggung, pantat, tumit menempel pada suatu bidang tegak (pada anak usia > 24 bulan). (2) Pengukuran tinggi badan, alat yang dipakai adalah mikrotois yang sudah ditera, dapat mengukur tinggi badan dengan kapasitas maksimal 200 cm dengan ketelitian 0,1 cm. (3) Angka dibaca sampai milimeter. b) Berat badan anak (1) Berat badan yang diperoleh dari penimbangan. (2) Penimbangan dilakukan tanpa alas kaki dan pakaian tipis, kalau perlu tidak berpakaian dan pembacaan dilakukan dalam gram. c) Lingkar kepala anak Lingkar kepala diukur melewati dahi menutupi alis mata dan bagian belakang kepala yang menonjol, dinyatakan dalam satuan cm. 3) Pemantauan perkembangan BBLR a) Motorik dinilai adalah motorik kasar (mengangkat kepala, berbalik, duduk, merangkak, dan berdiri) dan motorik halus (mengikuti gerakan benda, menggenggam, meraih benda, dll). b) Sensorik dinilai adalah indra penglihatan, raba, rasa, pendengaran dan penciuman. c) Psikososial yang dinilai adalah kemampuan berinteraksi dengan lingkungan. d) Kemandirian yang dinilai kesiapan untuk menolong dirinya sendiri tidak tergantung dengan orang lain. (Dinkes, 2009) C. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian analitik dengan menggunakan rancang bangun Case control dimana definisi Case Control adalah suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektive.Variabel independent dalam penelitian ini adalah ukuran lingkar lengan atas ibu hamil. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah berat badan bayi lahir. Hipotesa alternatif yang akan diuji adalah sebagai berikut: H1 = Ada hubungan antara ukuran LILA dan BB Bayi Baru Lahir. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin di BPS. Ana Susanti. Amd. Keb Desa Wonokupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo tahun 2010 sebanyak 138 responden dari bulan Januari – Desember. Besar sampel diambil dalam penelitian ini yaitu menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Isaac dan Micheal dengan menggunakan pendekatan statistic dengan tingkat kesalahan sebesar 5% (0,05) dan tingkat kepercayaan nya 95% (Eva, Sebagariang, Ellya, dkk, 2010, hal.75). Besar sampel 101,72 jadi besar sampel menjadi 102 orang. Sampel yang ada diambil secara acak sederhana (simple random) yaitu dengan melakukan undian atau lotre terhadap nomor responden pada daftar sampel sampai memenuhi batas sampel yang ditentukan. Teknik pengumpulan data baik ukuran LILA dan berat badan bayi lahir menggunakan teknik dokumentasi. Instrumen yang digunakan adalah Rekam medis. Setelah data terkumpul, kemudian analisis secara analitik dengan menggunakan uji statistik yaitu WILXOCON Marth Pairs Test. D. HASIL PENELITIAN 64 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Tabel 1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan paritas ibu di BPS Ana Susanti. Amd. Keb Tahun 2010. Tanggal 22 Juni 2011. No 1 2 3 Paritas Primipara Multipara Grandemultipara Jumlah Frekuensi (f) 39 45 18 102 Prosentase (%) 38,2 44,1 17,6 100 (Sumber : Rekam Medis tahun 2010) Tabel 1 dapat dilihat bahwa hampir setengah dari jumlah responden yaitu 44,1% berada pada kelompok multipara sebanyak 45 orang. Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia ibu di BPS Ana Susanti. Amd. Keb Tahun 2010. Tanggal 22 Juni 2011 No 1 2 3 Usia < 20 Tahun 20 – 35 Tahun Tahun Jumlah Frekuensi (f) 16 75 11 Prosentase (%) 15,7 73,5 10,8 102 100 (Sumber : Rekam Medis tahun 2010) Tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar dari jumlah responden yaitu 73,5% terletak pada kelompok usia 20 – 35 tahun sebanyak 75 orang. Tabel 3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan ibu di BPS Ana Susanti. Amd. Keb Tahun 2010. Tanggal 22 Juni 2011 No 1 2 3 4 Pendidikan Tidak Sekolah SD / SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah Frekuensi (f) 11 30 44 17 102 Prosentase (%) 10,8 29,4 43,1 16,7 100 (Sumber : Rekam Medis tahun 2010) Tabel 3 dapat dilihat bahwa hampir setengah dari responden yaitu 43,1 %, terletak pada kelompok yang berpendidikan SMA sebanyak 44 orang. Tabel 4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan ibu bersalin di BPS Ana Susanti. Amd. Keb Tahun 2010. Tanggal 22 Juni 2011 No 1 2 Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja Jumlah Frekuensi (f) 65 37 102 Prosentase (%) 63,7 36,3 100 (Sumber : Rekam Medis tahun 2010) Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar dari jumlah responden yaitu 63,7% terletak pada kelompok tidak bekerja sebanyak 65 orang. Tabel 5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan ukuran lingkar lengan atas ibu hamil di BPS Ana Susanti Amd. Keb Tahun 2010. Diambil pada tanggal 22 juni 2011 dari Rekam Medis. No 1 2 Ukuran LILA < 23,5 cm cm Jumlah Frekuensi (f) 22 80 102 (Sumber : Rekam Medis tahun 2010) 65 Prosentase (%) 21,6 78,4 100 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Tabel 5 dapat dilihat bahwa hampir separuh dari jumlah responden yaitu 78,4%, terletak pada kelompok ibu yang mempunyai ukuran LILA 23,5 cm sebanyak 80 orang. Tabel 6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan berat badan bayi yang dilahirkan oleh ibu bersalin di BPS Ana Susanti. AMd. Keb Tahun 2010. Diambil pada tanggal 22 juni 2011 dari Rekam Medis. No 1 2 3 Berat BBL BBLR(< 2500) BBLN( 2500-4000) Makrosomia Jumlah 4000) Frekuensi (f) 25 66 11 Prosentase (%) 24,5 64,7 10,8 102 100 (Sumber : Rekam Medis tahun 2010) Tabel 6 dapat dilihat bahwa sebagian besar dari jumlah responden yaitu 64,7% terletak pada kelompok BBLN sebanyak 66 bayi. Tabel 7 Tabel tabulasi silang ukuran lingkar lengan atas (LILA) ibu hamil di BPS Ana Susanti. AMd. Keb tahun 2010. Diambil pada tanggal 22 juni 2011 dari Rekam Medis. N Ukuran LILA Berat Badan Bayi Lahir Jumlah o BBLN % BBLR % Makro % N % somia 1 66 64,7 3 2,9 11 10,8 80 78,4 cm 2 <23,5 cm 0 0 22 21,6 0 0 22 21,6 Jumlah 66 64,7 25 24,5 11 10,8 102 100 (Sumber : Rekam Medis tahun 2010) Tabulasi silang pada tabel 7 menunjukkan bahwa ibu dengan LILA < 23,5 cm melahirkan bayi dengan berat badan lahir yang lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang mempunyai LILA 23,5 cm, dimana sebagian kecil ibu mempunyai LILA < 23,5 cm yaitu 21,6% melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu ada 22 orang. Dan sebagian besar ibu mempunyai LILA 23,5 cm yaitu 64,7% melahirkan bayi dengan berat badan lahir normal ( 2500 – 4000 gram) yaitu ada 66 orang. Kejadian bayi dengan berat lahir lebih / makrosomia ( 4000 gram), tidak ada pada ibu dengan LILA < 23,5 cm, sedangkan pada ibu dengan LILA 23,5 cm ada 11 kasus (10,8%). Uji analitik perhitungan hubungan ukuran lingkar lengan atas (LILA) ibu hamil dengan berat badan bayi lahir dilakukan dengan software SPSS versi 14 menggunakan uji WILCOXON dengan tingkat signifikan 0,05 didapatkan nilai koefisien sebesar Z = 3,494 dengan tingkat signifikan ( 0,000. Karena tingkat signifikan ( = 0,000 maka Ho ditolak, berarti ada hubungan ukuran lingkar lengan atas (LILA) ibu hamil dengan berat badan bayi lahir. E. PEMBAHASAN 1.Lingkar Lengan Atas Ibu Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa hampir seluruh dari jumlah responden yaitu 78,4%, terdapat pada kelompok ibu yang mempunyai LILA 23,5 cm 66 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 sebesar 80 orang. Menurut Depkes RI : 2001, Ibu hamil yang memiliki LILA < 23,5 cm selain beresiko untuk melahirkan dengan berat badan bayi lahir rendah, juga beresiko kematian dalam persalinan, perdarahan pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Lingkar lengan atas digunakan untuk menghitung skala gizi atau menilai status gizi pada wanita usia subur, baik ibu hamil maupun calon ibu. (Kamus online : 2010). Adapun ambang batas LILA WUS (ibu hamil) dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau di bagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lebih rendah. Lingkar lengan atas merupakan indicator status gizi yang digunakan terutama untuk mendeteksi kurang energi protein pada anak-anak dan merupakan alat yang baik untuk mendeteksi wanita usia subur dan ibu hamil dengan resiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Hal ini sesuai dengan Depkes RI yang dikutip oleh Supariasa (2002). Dalam penelitian ini ditemukan sebagian besar dari jumlah responden yaitu 63,7%, pada kelompok ibu tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga sebesar 65 orang. Ibu yang tidak bekerja mempunyai lebih banyak waktu untuk istirahat. Dan ibu yang mempunyai pekerjaan dinilai lebih bisa memenuhi kebutuhan gizinya. 2.Berat Badan Bayi Baru Lahir Tabel 4.6 menunjukkan bahwa sebagian besar dari jumlah responden yaitu 64,7% pada kelompok BBLN (2500-4000 gram) sebesar 66 orang dari 102 bayi yang dilahirkan pada tahun 2010. Faktor yang mempengaruhi berat badan bayi lahir yaitu meliputi status gizi ibu pada saat hamil, hal ini dapat dapat dipantau melalui penambahan berat badan saat hamil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bobak (2004 : 204) yaitu peningkatan berat badan selam hamil memberi kontribusi penting terhadap kesuksesan suatu kehamilan. Peningkatan ini didistribusikan ke janin yang sedang berkembang dan peningkatan cairan tubuh dan jaringan payudara ibu, sebagian peningkatan berat disimpan dalam bentuk lemak sebagai cadangan makanan untuk memenuhi kebutuhan perkembangan janin selama trimester terahir. Sehingga mempengaruhi berat badan lahir bayi. Menurut Suparyanto (2010), paritas juga mempengaruhi berat badan bayi lahir. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa berat badan bayi lahir > 2500 gram lebih banyak di temukan pada ibu multigravida. Karena pada ibu multigravida lebih mempunyai pengalaman dalam kehamilan terutama tentang gizi pada ibu hamil. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan kesehatan ibu. Ibu yang berpendidikan tingkat pemahaman tentang kesehatan jauh lebih baik dibandingkan dengan ibu yang tidak berpendidikan. Ibu yang berpendidikan pemahamannya akan lebih baik dalam memperoleh pengetahuan, informasi, konseling atau hal lain tentang kesehatan. Sehingga akan berpengaruh terhadap perawatan ANC. Dalam penelitian ini ditemukan tingkat pendidikan rendah atau tidak sekolah lebih sedikit di bandingkan SD/SMP, SMA ataupun perguruan tinggi. Selain pendidikan faktor lain yang dapat mempengaruhi berat badan bayi lahir adalah usia ibu, berdasarkan penelitian ini usia ibu 20-35 tahun diperoleh hasil lebih besar, sedangkan usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih sedikit. Usia 20-35 tahun dinilai lebih baik dan sudah matur atau siap menerima kahamilan dibandingkan dengan usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ida Bagus Gede Manuaba (2000 : 35) yaitu umur kurang dari 20 tahun merupakan usia pertumbuhan dan perkembangan dari organ reproduksi sehingga masih belum sempurna dalam menerima buah kehamilan dan 67 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 perkembangan selanjutnya, sedangkan umur lebih dari 35 tahun perkembangan reproduksi sudah mulai degenerasi sehingga fungsi mulai menurun dan apabila terjadi kehamilan zat nutrisi menjadi kurang adekuat sehingga bayi yang di lahirkan mempunyai berat lahir yang rendah. Berat badan bayi lahir > 2500 gram sebagian besar dilahirkan oleh ibu hamil yang mempunyai status gizi cukup atau baik. Begitu juga berat badan bayi lahir < 2500 gram sebagian besar dilahirkan oleh ibu hamil yang mempunyai status gizi buruk atau gizi kurang. 3. Hubungan Ukuran Lengkar Lengan Atas Ibu dengan Berat Badan Bayi Lahir Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan LILA < 23,5 cm melahirkan bayi dengan berat badan lahir yang lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang mempunyai LILA 23,5 cm, dimana sebagian kecil ibu mempunyai LILA < 23,5 cm yaitu 21,6% melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu ada 22 orang. Sebagian besar ibu mempunyai LILA 23,5 cm yaitu 64,7% melahirkan bayi dengan berat badan lahir normal ( 2500 – 4000 gram) yaitu ada 66 orang. Kejadian bayi dengan berat lahir lebih / makrosomia ( 4000 gram), tidak ada pada ibu dengan LILA < 23,5 cm, sedangkan pada ibu dengan LILA 23,5 cm ada 11 kasus (10,8%). Perhitungan hubungan ukuran LILA ibu hamil dengan berat badan bayi lahir dilakukan dengan software SPSS versi 14 menggunakan uji wilcoxon dengan tingkat signifkan 0,05 didapat nilai Z = 3,494 dengan tingkat signifikan 0,000. Karena tingkat signifikan kurang dari 0,05 maka Ho ditolak, berarti ada hubungan ukuran lingkar lengan atas ibu hamil dengan berat badan bayi lahir. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian khusus di Indonesia, diperoleh standart LILA jika LILA <23,5 cm maka status gizi ibu hamil kurang, kemungkinan mengalami KEK (Kurang Energi Kronis) dan beresiko tinggi melahirkan bayi BBLR. Dan jika LILA 23,5 cm maka status gizi ibu hamil baik dan resiko melahirkan bayi BBLR sangat rendah. Pengukuran LILA dapat digunakan untuk deteksi dini dan menapis dan resiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). (http://www.Kehamilansehat.net/artikel/gizi+kesehatan:2010). kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, bayi lahir mati, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati dalam kandungan), BBLR. Wanita usia subur (WUS) harus mempunyai gizi yang baik, misalnya dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila LILA ibu hamil kurang dari angka tersebut, sebaiknya kehamilan ditunda sehingga tidak beresiko melahirkan bayi dengan BBLR. Ibu hamil wajib berstatus gizi baik. Agar janinnya tidak mengalami hambatan dan selanjutnya melahirkan bayi dengan berat yang normal. Menurut pendapat (Supariasa, 2001 : 51) hasil pengukuran LILA ada dua kemungkinan yaitu < 23,5 cm dan 23,5 cm. Apabila hasil pengukuran < 23,5 cm berarti beresiko KEK dan 23,5 cm tidak beresiko KEK. Jadi untuk menapis wanita < 23,5 cm, sebalum hamil harus mempunyai 23,5 cm yaitu dengan memperbanyak asupan gizi seimbang, dan apabila ukuran LILA < 23,5 cm disarankan untuk menunda kehamilan terlebih dahulu agar nantinya tidak melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir rendah (BBLR). Ada beberapa hal yang menyebabkan ibu melahirkan bayi dengan makrosomia yaitu pengaruh kecukupan gizi porsi makanan yang dikonsumsi ibu hamil akan berpengaruh terhadap bobot janin. Asupan gizi yang berlebih bisa mengakibatkan bayi lahir dengan berat diatas rata-rata. Faktor genetik obesitas atau overweight yang dialami ayah-ibu dapat menurun pada bayi. (Ayurai : 2009). 68 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Ibu hamil selain harus menjaga asupan gizi yang seimbang juga harus mengatur jarak kehamilan, jarak kehamilan yang terlalu dekat < 2 tahun dan jumlah anak yang lebih dari 4 dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin sehingga menyebabkan BBLR.(Departemen Kesehatan : 2001). Ukuran LILA mempengaruhi berat badan bayi saat lahir, ibu dengan LILA normal sebagian besar melahirkan bayi dengan berat yang normal dan juga bayi dengan makrosomia, karena asupan gizi berpengaruh langsung terhadap perkembangan janin yang di dalam kandungan. F. PENUTUP Hasil penelitian di BPS Ana Susanti. AMd. Keb Desa Wonokupang Kec Balongbendo Kab Sidoarjo pada bulan Juli 2011 dapat disimpulkan bahwa : Ukuran LILA ibu hamil 23,5 cm ada 80 orang (78,4%), Berat badan bayi lahir normal (BBLN) ada 66 bayi (64,7%), Hubungan ukuran LILA ibu hamil dengan berat badan bayi lahir dilakukan dengan software SPSS versi 14 menggunakan uji wilcoxon dengan tingkat signifikan 0,05 didapat nilai Z = (3,494) dengan tingkat signifikan 0,000. Karena tingkat signifikan 0,000 maka Ho ditolak, berarti ada hubungan ukuran LILA ibu hamil dengan berat badan bayi lahir. Hendaknya profesi bidan lebih mengoptimalkan penyuluhan tentang nutrisi atau gizi pada masa kehamilan dan meningkatkan pelayanan kebidanan bagi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Almatsier. 2001. Status Gizi Balita. Jakarta: PT Rineka Cipta. Asrining. 2003. Penanganan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC. Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Depkes. 2002. Kekurangan Energi Kronis. Jakarta: Depkes RI. Depkes. 2009. Penyebab BBLR. Jakarta: Depkes RI. Hidayat A. Alimul. 2007. Riset Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. Jundarwanto. 2009. KPD or Premature of Rupture Membrane. http://www.kia.com diakses pada tanggal 15 April 2011. Kardinan. 2009. Kurang Energi Kronis. www.indoskripsi.com. Diakses tanggal 15 April 2011. Khosim. 2005. Perawatan Bayi Baru Lahir. Jakarta: IDAI. Lestariningsih, Sri. 2010. Penanganan Bayi Baru Lahir. http://id.Shvoong.com. Diakses tanggal 7 Mei 2011. Nasir. Moh. 2009. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia. Reza, Budi. 2010. Gizi Ibu Hamil. http://www.kehamilan.net. Riskesdas. 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar Propinsi Jawa Timur. Jakarta: Depkes RI. Supariasa. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Sari, Puspita. 2010. Pemantauan Berat Badan Bayi. http://www.Gizi.net diakses tanggal 7 Mei 2011. Sarwono. 2007. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan> Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Suririnah. 2008. Berat Badan Bayi Lahir Rendah. http://www.smrnd.com diakses tanggal 16 April 2011. Sulistina. 2008. Kejadian BBLR. http://www.smrnd.com diakses tanggal 16 April 2011. 69 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Utami. 2007. Inisiasi MenyusuDini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda. Widi. 2010. Konsep Paritas. http://www.info-ibu.com diakses tanggal 7 Mei 2011. PENGARUH PERAN IBU DENGAN KEBERHASILAN TOILET TRAINING PADA ANAK USIA TODDLER DI PLAY GROUP TARBIYATUSH SHIBIYAN MOJOANYAR MOJOKERTO 1 Risfan Batuatas1, Tripeni, SST. M.Kes2 Mahasiswa Politeknik Kesehatan Majapahit 2 Dosen Politeknik Kesehatan Majapahit ABSTRACT Most of the mothers still use diapers on their children when they can make a rash around his bottom. The purpose of this study was to determine the effect of the role of mothers with successful toilet training for children ages toddler in Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto.This type of research used Crossectional design. The indenpendent variable in this study is the role of parents and dependen variable is the success of toilet training. Population in this study were all mothers with children ages toddler in Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto, and 34 people selected as samples using the purposive sampling technique. Data analyzed using chi square test. The results obtained most of the respondents expressed support in the successful toilet training as many as 14 respondents (56%) and most of the respondents succeeded in potty training children as many as 17 respondents (68%). Chi square test results obtained sig count (ρ) = 0.004 <0.05 so that H0 is rejected, which means there is the influence of the role of mothers with successful toilet training for children ages toddler in Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto. The necessary patience and attention to a psychic so that toddler can successfully make toilet training. Health workers must provide health education to parents with young children about science-related health of children with toilet training so that parents can find out and provide a supporting role in her toddler. Key words : Role of the Mothers, Toilet Training, Childhood Toddler. A. PENDAHULUAN Training atau melatih ke toilet terjemahan bebasnya merupakan salah satu pelajaran yang harus kita ajarkan pada anak agar bisa mandiri ke toilet dan tidak bergantung terus pada diapers. Sebagian besar ibu-ibu masih sering menggunakan diapers pada anaknya padahal tersebut dapat membuat ruam-ruam di sekitar pantatnya (Azwir, 2010). Selain itu, toilet training juga mengajarkan anak untuk dapat membersihkan kotorannya sendiridan memakai kembali celananya (Rawins, 2008). Studi terbaru mengenai toilet training merekomendasikan para orangtua untuk mulai mengenalkantoilet training saat anak berusia 27-32 bulan. Anak yang baru mulai belajar menggunakan toilet di atas usia 3 tahun cenderung lebih sering mengompol hingga usia sekolah. Sebaliknya, bila Anda mulai mengenalkan anak untuk pipis dan buang air besar di toilet sebelum ia berusia 27 bulan justru lebih sering gagal. Para peneliti melakukan studi dengan mewawancarai 157 orangtua yang memiliki anak berusia 470 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 12 tahun yang rutin berkonsultasi pada dokter karena anaknya masih mengompol. Para orangtua tersebut ditanyai kapan mereka mulai mengajarkan toilet training dan metode apa yang dipakai. Jawaban para responden itu kemudian dibandingkan dengan orangtua dari 58 anak yang memiliki kemiripan usia, gender, ras, dan faktor lain, namun tidak punya masalah mengompol (Hana, 2010) Sebuah survey yang pernah ada di Indonesia oleh tabloid Nakita menyebutkan, setengah juta anak berusia 6–16 tahun masih suka ngompol, yang terdiri dari:17% anak berusia 5 tahun, 14% anak berusia 7 tahun, 9% anak berusia 9 tahun, dan 1–2% anak berusia 15 tahun, Sedangkan sekitar 30% anak berumur 4 tahun, 10% anak berumur 6 tahun, 3% anak berumur 12 tahun dan 1% anak berumur 18 tahun masih mengompol di tempat tidur. Terdapat juga sekitar 20% anak usia balita tidak melakukan toilet training dan 75% orang tua tidak memandang kondisi seperti itu sebagai masalah. Para orangtua khususnya kaum ibu terkadang masih bingung kapan dan bagaimana harus memulai toilet training untuk balitanya. Sebetulnya, cukup mudah untuk mengetahui kapan anak sudah dapat dikenalkan dengan toilet training. Salah satunya, saat anak mulai menunjukkan minatnya untuk melepas popoknya atau ia bangun tidur siang dalam keadaan kering tidak mengompol, atau ia tahu kapan waktunya ia harus pup atau pipis.Kendati demikian faktor psikologi anak tidak boleh dilupakan. Tak sedikit anak yang mengalami stress saat dikenalkan toilet training. Sehingga saat memasuki toilet anak sering tak jadi BAB. Namun, begitu keluar toilet anak malah BAB Jika demikian adanya ini akan mempersulit waktu belajarnya. Anak akan merasa sangat takut pada saat dirinya sudah mulai merasa ingin membuang hajatnya. Seringkali pada beberapa anak kegagalan proses toilet training ditandai dengan anak sering menahan keluarnya hajat besar yang lama kelamaan akan membuat terganggunya fungsi pencernaan. Anak tetap akan membuang hajat (besar maupun kecil) di tempat yang tidak tepat. Bahkan, ada juga anak yang sudah mengalami frustrasi sehingga kerapkali rewel dan menangis ketika buang hajat. Sebaliknya, jika proses toilet training dirasakan anak sebagai kegiatan yang menakutkan dan mencemaskan dirinya karena terlalu banyak tekanan dan hukuman dari orangtua, maka hal ini hanyalah akan menggagalkan proses tersebut (Bataviase, 2010). Dukungan psikis menjadi prasyarat utama kesuksesan toilet training. Jangan sampai ada pemaksaan ataupun hukuman (fisik dan psikis) terhadap anak. Dukungan yang dibutuhkan bagi anak pada proses ini dapat diberikan seperti memberikan pujian ketika anak berhasil membuang hajatnya di kloset. Katakan kepadanya bahwa dirinya hebat dan pintar. Dapat pula kita ajak kepada anak-anak kita untuk melihat produk hajat yang telah mereka buang ke dalam kloset sambil menjelaskannya. Sehingga mereka mengetahui keseluruhan proses yang sedang terjadi selama proses toilet training.Pujian yang diberikan pada anak pada intinya salah satu bentuk kegiatan toilet training menjadi hal yang sangat menyenangkan bagi anak. Ini dimaksudkan agar anak tidak mengalami rasa takut dan cemas ketika dirinya akan membuang hajat di tempat yang tepat sehingga mempermudah anak untuk membiasakan dirinya membuang hajat di tempat yang tepat (Bataviase, 2010). B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Dasar Peran Orang Tua a. Pengertian Peran Orang Tua Peran adalah perilaku yang berkenaan dengan siapa yang memegang posisi tertentu, posisi mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam sistem sosial. Setiap individu menempati posisi-posisi multiple, orang dewasa, dan pria suami yang berkaitan dengan masing masing posisi ini adalah sejumlah peran, di dalam posisi ibu, beberapa peran yang terkait 71 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 adalah sebagai penjaga rumah, merawat anak,pemimpin kesehatan dalam keluarga, masak, sahabat atau teman bermain. Peran adalah serangkaian perilaku yang di harapkan seseorang sesuai dengan posisi social yang diberikan baik secara formal dan informal (Supartini, 2004) Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan pengertian orang tua di atas, tidak terlepas dari pengertian keluarga, karena orang tua merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah tergantikan oleh keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak (Arif, 2010). Menurut Depkes RI keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul serta tinggal dalam suatu tempat berada dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergangungan (Riyadi, 2010). b. Struktur Peran Keluarga Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal, sedangkan posisi adalah keberadaan seseorang dalam sistem sosial. Peran juga diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengontrol atau memengaruhi atau mengubah perilaku orang lain. Peran anggota keluarga dijalankan untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga, yang dijalankan melalui peran formal maupun informal. Peran formal yang dijalankan keluarga menentukan tercapainya keseimbangan dalam keluarga atau tidak. Banyak hal yang menjelaskan tentang peran formal dalam keluarga, di antaranya Nye dan Gecas (dalam Friedman) mengemukakan bahwa beberapa peran dasar dan laki-laki sebagai ayah dan wanita sebagai ibu yang mempunyai posisi sosial sebagal pemberi layanan, yaitu peran penjaga rumah, pemelihara anak, peran sosialisasi anak, peran rekreasi, mempertahankan hubungan dengan keluarga wanita atau lain-lain, pemenuhan kebutuhan pasangan, dan peran seksual. Sedangkan peran informal dan keluarga bisa menentukan keseimbangan keluarga dan bisa juga tidak, tetapi lebih bersifat adaptif dan mempertahankan kesejahteraan keluarga. Peran informal adalah peran sebagai pemberi dorongan, peran mempertahankan keharmonisan, peran untuk kompromi, peran untuk memulai atau berkontribusi dalam menghadapi masalah, peran untuk pelopor, koordinator dan peran informal lainnya (Supartini, 2004). c. Tugas Perkembangan keluarga dengan tahap anak toddler Menurut Friedman (2004) Tugas tugas perkembangan keluarga dengan anak usia toddler diantaranya: memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti rumah, ruang bermain, privasi, keamanan, mensosialisasikan anak, mengintegrasikan anak yang baru sementara tetap memenuhi kebutuhan anak anak yang lain, mempertahankan hubungan yang sehat dalam keluarga (hubungan perkawinan dan hubungan orang tua dan anak) dan diluar keluarga (keluarga besar dan komunitas). Menurut Engel (2010) tahap perkembangan keluarga dengan anak usia toddler dimulai pada saat anak pertama berusia 3 tahun dan melibatkan 72 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 sosialisasi anak serta keberhasilan penyesuaian terhadap perpisahan antara orang tua dengan anak. Menurut Ali (2010) tahap perkembangan keluarga dengan anak toddler adalah memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti rumah, ruang bermain, privasi, keamanan, dll, menyosialisasikan anak, mengintegrasikan anak yang baru sementara tetap memenuhi kebutuhan anak yang lain, mempertahankan hubungan yang sehat di dalam keluarga (hubungan perkawinan dan hubungan orang tua serta anak) dan diluar keluarga (keluarga besar dan komunitas). Masalah kesehatan fisik utama pada tahap ini adalah penyakit menular yang lazim pada anak-anak, anak jatuh, luka, luka bakar, keracunan dan kecelakaankecelakaan lain. Sedangkan menurut Suprajitno (2004) kebutuhan perkembangan keluarga sesuai tahap perkembangan anak usia toddler adalah : 1) Memenuhi kebutuhan anggota keluarga, misalnya kebutuhan tempat tinggal, privasi dan rasa aman 2) Membantu anak untuk besosialisasi 3) Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, sementara kebutuhan anak yang lain (tua) juga harus terpenuhi 4) Mempertahankan hubungan yang sehat, baik di dalam atau diluar keluarga (keluarga lain dan lingkungan sekitar) 5) Pembagian waktu untuk individu, pasangan, dan anak (biasanya keluarga mempunyai tingkat kerepotan yang tinggi) 6) Pembagian tanggung jawab anggota keluarga 7) Merencanakan kegiatan dan waktu untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak. d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peran Orang Tua Menurut Supartini (2004) peran dapat dipelajari melalui proses sosialisasi secara tahapan perkembangan anak yang dijalankan melalui interaksi antar anggota keluarga. Peran yang dipelajari akan mendapat penguatan melalui pemberian penghargaan baik dengan kasih sayang, perhatian dan persahabatan, kemampuan orang tua menjalankan peran ini tidak dipelajari melalui pendidikan secara formal, melainkan berdasarkan pengalaman orang tua lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran orang tua terhadap anak usia pra sekolah, antara lain : 1) Pendidikan orang tua Shifrin 1997 dan wong 2001, mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk dapat menjadi lebih siap dalam menjalankan peran adalah dengan terlibat aktif dalam setiap upaya pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalh anak dengan secara reguler memeriksakan dan mencari pelayanan imunisasi, memberikan nutrisi yang adekuat, memperhatikan keamanan dan melaksanakan praktik pencegahan kecelakaan, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak, dan menilai perkembangan fungsi keluarga dalam perawatan anak 2) Pekerjaan atau pendapatan Pekerjaan keluarga akan mempengaruhi peran orang tua karena waktu yang diberikan tidak maksimal. 3) Jumlah anak Jumlah anak yang banyak dan jarak yang terlalu dekat akan mengurangi kasih sayang pada anak. 73 HOSPITAL MAJAPAHIT e. f. Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 4) Usia orang tua Apabila terlalu tua atau muda, mungkin tidak dapat mengerjakan peran tersebut secara optimal. 5) Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak Hasil riset menunjukkan bahwa orang tua yang mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap dalam menjalankan peran. 6) Stres orang tua Stres yang dialami orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan peran, terutama dalam kaitannya dengan strategi koping yang dimiliki dalam menghadapi permasalahan anak. 7) Hubungan suami istri Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan berdampak pada kemampuan mereka menjalankan perannya sebagai orang tua dan merawat anak serta mengasuh anak dengan penuh rasa kebahagiaan karena satu sama lain dapat saling memberi dukungan dan menghadapi segala masalah dengan koping yang positif. Peran Orang Tua Terhadap Toilet Training Peran orang tua terhadap toilet training pada anak dapat diwujudkan dalam bentuk peran pada anak dalam toilet training, menurut Ratna (2010) bentuk peran antara lain : 1) Perhatian Secara Emosi Diekspresikan melalui kasih sayang, cinta atau empati yang bersifat memberikan peran. Kadang dengan hanya menunjukkan ekspresi saja sudah dapat memberikan rasa tenteram. Ekspresi ini penting untuk seseorang terutama seorang orang tua, karena ekspresi yang salah dapat menimbulkan rasa malas pada anak untuk melakukan toilet training. 2) Bantuan Instrumental Barang-barang yang diinginkan oleh anak untuk dapat termotivasi untuk melakukan toilet training, seperti dengan membelikan peralatan toilet training yang sesuai dengan keinginan anak. 3) Pemberian Informasi Informasi sekecil apapun merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi anak untuk melakukan toilet training, misalnya bagaimana dampaknya anak jika tidak mau melakukan toilet Training 4) Peran penilaian Orang tua dapat memberikan penilaian pada anak dalam melakukan toilet training, seperti menilai apakah sudah sesuai atau belum, dll. Pengaruh peran orang tua terhadap anak Menurut Ratna (2010) pengaruh peran atau peran orang tua terhadap anak dapat berdampak positif bagi anak, antara lain : 1) Menggambarkan keeratan hubungan antara orang tua dengan anak 2) Peran orang tua dapat membantu mempercepat proses pemahaman dan motivasi anak dalam melakukan toilet training 3) Anak akan mempunyai kemampuan beradaptasi dan mengelola maupun menyelesaikan masalahnya 4) Peran yang diberikan orang tua tidak membuat anak menjadi tergantung terhadap bantuan, tetapi akan menjadikan anak lebih cepat mandiri karena yakin akan kemampuannya dan mengerti akan keberadaannya 74 HOSPITAL MAJAPAHIT 2. Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Konsep Dasar Toilet Training a. Pengertian Toilet training merupakan cara untuk melatih anak-anak agar bias menahan buang air besar dan kecil sehingga bisa buang pada tempatnya yaitu toilet (Yulia, 2010) Toilet training (mengajarkan anak ke toilet) adalah cara anak untuk mengontrol kebiasaan membuang hajatnya di tempat yang semestinya, sehingga tidak sembarang membuang hajatnya (Ijs, 2010). b. Kesiapan memulai toilet Training 1) Usia anak sekitar 18-30 bulan. Umumnya anak siap pada usia 24 bulan, biasanya anak belum konsisten mengendalikan BAK dan BAB mereka karena masih belum menyadari fungsi tubuhnya. 2) Anak tidak berada dalam situasi yang mungkin membuatnya tertekan (Stres) seperti lahirnya adik, pindah rumah, ganti pengasuh dan sebagainya. 3) Anak siap secara fisik dan emosional. Sedangkan waktu anak dikatakan siap melakukan toilet Training adalah : 1) Tetap kering dalam waktu yang cukup lama (kurang lebih 2 jam) 2) BAK dalam jumlah banyak 3) Menunjukkan tanda akan BAB/BAK 4) Mampu mengikuti perindah sederhana 5) Berjalan dengan baik 6) Memahami konsep penggunaan toilet 7) Memahami adanya hubungan antara BAK dan BAB di toilet dengan celana yang bersih/kering 8) Memahami bahasa yang menunjukkan pada BAB dan BAK 9) Dapat membuat orang lain memahami keinginannya untuk peri BAB dan BAK 10) Mampu duduk dengan tenang dalam waktu yang cukup lama (Fitri, 2006 : 63) Sedangkan menurut Wong (2009) kesiapan anak dalam toilet Training adalah : 1) Kesiapan fisik a) Kontrol volunter sfingter anal dan utrtral, biasanya pada usia 18 sampai 24 bulan b) Mampu tidak mengompol selama 2 jam,. Jumlah popok yang basah berkurang, tidak mengompol selama tidur siang c) Defekasi teratur d) Keterampilan motorik kasar yaitu duduk, berjalan dan berjongkok e) Keterampilan motorik halus, membuka pakaian 2) Kesiapan mental a) Mengenali urgensi defekasi atau berkemih b) Keterampilan komunikasi verval atau non verbal untuk menunjukkan saat basah atau memiliki urgensi defekasi atau berkemin c) Keterampilan kognitif untuk menirukan perilaku yang tepat dan mengikuti perintah 3) Kesiapan psikologis a) Mengekspresikan keinginan untuk menyenangkan orang tua b) Mampu duduk di toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa bergoyang atau terjatuh c) Keingintahuan mengenai kebiasaan toilet orang dewasa atau kakak 75 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 d) Ketidaksabaran akibat popok yang kotor oleh feses atau basah, ingin untuk segera diganti 4) Kesiapan parental a) Mengenali tingkat kesiapan anak b) Berkeinginan untuk meluangkan waktu untuk toilet Training c) Ketiadaan stres atau perubahan keluarga, seperti perceraian, pindah rumah, sibling baru atau akan bepergian. c. Cara mempermudah toilet Training 1) Memberi contoh. Ajak anak bersama Anda/pasangan/ saudaranya/teman bermain yang lebih besar, bila akor pergi ke toilet dan biarkan anak duduk di atas toilet tanpa perlu membuka celananya bila anak tidak mau. Tujuannya hanya memperkenalkannya sehingga jika saatnya tiba anak sudah mengenali dan merasa aman dengan toilet. 2) Untuk toilet duduk, Anda dapat menggunakan dudukan toilet yang disesuaikan dengan ukuran anak yang banyak dijual sekarang mi sehingga anak merasa aman dan nyaman saat duduk di atasnya. 3) Berikan bangku kecil yang kuat untuknya sehingga dia dapat naik ke toilet dan berikan tempat duduk toilet khusus untuk anak agar dia merasa aman. Anak akan meminta Anda untuk memeganginya saat dia sedang di toilet. Meskipun anak sudah dapat turun dan naik dengan mudah, dia masih memerlukan Anda untuk membersihkannya. 4) Untuk anak perempuan, ajarkan dia untuk membersihkan diri setelah BAK/BAB dan arah depan ke belakang untuk menghindari kontak kotoran dengan vagina yang dapat menyebabkan infeksi saluran kencing. 5) Toilet jongkok lebih mudah untuk anak laki-laki saat BAK. Untuk anak perempuan, ajarkan dia untuk berjongkok. Saat buang air, contohkan anak untuk jongkok. Biasanya anak takut terjatuh, biarkan dia berjangkak hanya pada salah satu sisi sambil dipegangi. Setelah lebih besar dia akan dapat memulai jongkok seperti biasanya. 6) Ajarkan anak kebiasaan mencuci tangan setelah selesai menggunakan toilet. 7) Jagalah kebersihan toilet Anda, pastikan tidak 11cm dan bersih, sehingga toilet nyaman dan aman buat anak. (Suririnah, 2009) C. METODE PENELITIAN Rancang bangun penelitian menggunakan pendekatan “Cross Sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat dan tidak ada tindak lanjut (Nursalam, 2008). Hipotesis yang diuji adalah: H1 : Ada pengaruh peran orang tua (ibu) dengan keberhasilan toilet training pada anak usia toddler di Play Group TarbiyatushShibiyanMojoanyar Mojokerto Dalam penelitian ini variabel independennya adalah peran orang tua sedangkan variabel dependennya adalah keberhasilan toilet training. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruhorang tua (ibu) dengan anak usia toddler di Play Group TarbiyatushShibiyanMojoanyar Mojokerto yang berjumlah 35 orang, sedangkan sampel pada penelitian ini adalah orang tua (ibu) dengan anak usia toddler di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto yang memenuhi kriteria inklusi (karakteristik 76 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti) yang meliputi: a. Ibu yang mempunyai anak usia 1-3 tahun di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto b. Ibu yang bersedia menjadi responden Sedangkan kriteria eksklusi (menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi) meliputi: a. Ibu yang tidak datang saat penelitian b. Ibu yang sedang sakit saat penelitian Sampel diseleksi menggunakan teknik Purposive Sampling, yakni teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu saja (Nursalam, 2008). Data dikumpulkan menggunakan angket. Kuesioner berisi 12 soal tertutup tentang peran orang tuayang disusun sendiri oleh peneliti serta sudah diuji validitas dan reabilitasnya. Pengumpulan data keberhasilan toilet training menggunakan kuesioner sederhana dan lembar checklist. Pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia toddler ditentukan dengan menggunakan uji chi square. D. HASIL PENELITIAN Tabel 1 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan umur Di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokertopada bulan Juli 2011 No Umur Frekuensi Persentase (%) 1 < 20 tahun 2 20 – 35 tahun 22 88 3 >35 tahun 3 12 Total 25 100 Tabel 1 menjelaskan bahwa hampir seluruh responden berusia 20 – 35 tahun yaitu sebanyak 22 responden (88%). Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan Di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokertopada bulan Juli 2011 No Pendidikan Frekuensi Persentase (%) 1 SD 3 12 2 SMP 8 32 3 SMA 14 56 4 PT 0 0 Total 25 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah lulusan SMA yaitu 14 responden (56%). Tabel 3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan Di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokertopada bulan Juli 2011 No Pekerjaan Frekuensi Persentase (%) 1 Bekerja 5 20 2 Tidak bekerja 20 80 Total 25 100 Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga yaitu sebesar 20 responden (80%). Tabel 4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan peran ibu Di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokertopada bulan Juli 2011 No Peran ibu Frekuensi Persentase (%) 1 Mendukung 14 56 77 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 2 Tidak mendukung 11 44 Total 25 25 Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan mendukung dalam keberhasilan toilet trainingyaitu sebanyak 14 responden (56%). Tabel 5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan keberhasilan toilet training di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokertopada bulan Juli 2011 No Keberhasilan toilet Frekuensi Persentase (%) training 1 Berhasil 17 68 2 Tidak berhasil 8 32 Total 25 100 Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden anak berhasil dalam toilet training yaitu sebanyak 17 responden (68%). Tabel 6 Tabulasi silang pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia toddler di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokertopada bulan Juli 2011 Keberhasilan toilet training TOTAL No Peran ibu Berhasil tidak berhasil f % f % f % 1 Mendukung 13 92,9 1 7,1 14 100 2 Tidak mendukung 4 36,4 7 63,6 11 100 Total 17 68 8 32 25 100 Hasil uji chi-square = 6,625 dengandf = 1 Nilai koefisien korelasi = 0,515 Tabel 6 menjelaskan bahwa dari 14 responden yang menunjukkan peran mendukung didapatkan hampir seluruh anaknya berhasil dalam toilet trainingyaitu sebanyak 13 responden (92,9%). Sedangkan dari 11 responden yang menunjukkan peran tidak mendukung didapatkan sebagian besar anaknya tidak berhasil dalam toilet Training yaitu sebanyak 7 responden (63,6%). Hasil uji chisquare dengan α = 0,05 dengan daerah kritis penolakan X2Tabel ≥ 3,841 didapatkan bahwa X 2Hitung = 6,625 berarti X 2Hitung> X2Tabel, atau jika dilihat dari nilai signifikansi didapatkan sig hitung (ρ) = 0,004 < 0,05 sehingga Ho ditolak yang artinya ada pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia toddler di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto. Untuk melihat seberapa erat tingkat hubungan tersebut maka dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi sebesar 0,515menurut Somantri (2006) nilai korelasi tersebut dalam kategori cukup erat. E. PEMBAHASAN 1. Peran ibu Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan mendukung dalam keberhasilan toilet training yaitu sebanyak 14 responden (56%) dan sisanya menunjukkan peran tidak mendukung dalam toilet trainingyaitu sebanyak 11 orang (44%). Peran adalah perilaku yang berkenaan dengan siapa yang memegang posisi tertentu, posisi mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam sistem sosial. Setiap individu menempati posisi-posisi multiple, orang dewasa, dan pria suami yang berkaitan dengan 78 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 masingmasing posisi ini adalah sejumlah peran, di dalam posisi ibu, beberapa peran yang terkait adalah sebagai penjaga rumah, merawat anak, pemimpin kesehatan dalam keluarga, masak, sahabat atau teman bermain. Peran adalah serangkaian perilaku yang di harapkan seseorang sesuai dengan posisi social yang diberikan baik secara formal dan informal (Supartini, 2004). Menurut Friedman (2004) Tugas tugas perkembangan keluarga dengan anak usia toddler diantaranya: memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti rumah, ruang bermain, privasi, keamanan, mensosialisasikan anak, mengintegrasikan anak yang baru sementara tetap memenuhi kebutuhan anak anak yang lain, mempertahankan hubungan yang sehat dalam keluarga (hubungan perkawinan dan hubungan orang tua dan anak) dan diluar keluarga (keluarga besar dan komunitas). Keberhasilan seorang anak dimasa depan sangat ditentukan oleh bimbingan, didikan dan peran orang tua dalam pembentukan karakter anak sejak dini, tidak terkecuali peran orang tua dalam keberhasilan toilet training. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden menunjukkan peran mendukung pada toilet training, peran orang tua dapat diidentifikasi berdasarkan hasil kuesioner. Berdasarkan hasil kuesioner peran emosional didapatkan responden mendukung dalam bentuk orang tua harus selalu sabar mengajarkan anak untuk berlatih buang air kecil atau buang air besar ke toilet. Untuk peran instrumental responden kurang menunjukkan perannya pada bentuk responden kurang memotivasi anak untuk berlatih toilet training dengan membelikan peralatan buang air kecil atau buang air besar yang diinginkan oleh anak. Pada kuesioner peran pemberian informasi responden menunjukkan perannya dalam bentuk selalu memberikan pengetahuan pada anak tentang apa saja yang harus dilakukan dalam buang air kecil atau buang air besar. Sedangkan berdasarkan peran pemberian penilaian responden kurang menunjukkan peran mendukung dalam bentuk orang tua tidak perlu memberikan pujian pada anak jika anak belum berhasil melakukan toilet training. Peran yang diberikan orang tua pada anaknya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berdasarkan data didapatkan usia, pendidikan dan pekerjaan sangat mempengaruhi peran dalam keberhasilan toilet Training. Hasil analisa data antara peran dengan usia didapatkan setengah responden berusia 20-35 tahun mendukung dalam keberhasilan toilet trainingyaitu sebanyak 11 responden (50%). Menurut Supartini (2004) apabila terlalu tua atau muda, mungkin tidak dapat mengerjakan peran tersebut secara optimal. Usia responden tergolong usia dewasa muda jadi cukup matang untuk berfikir dan bertindak terutama dalam memberikan peran yang mendukung pada anak untuk melakukan toilet Training. Hasil analisa data antara peran dengan pendidikan didapatkan hampir setengah responden yang berpendidikan SMA berperan mendukung dalam toilet Training yaitu sebanyak 12 responden (48%). Menurut Supartini (2004) beberapa cara yang dapat dilakukan untuk dapat menjadi lebih siap dalam menjalankan peran adalah dengan terlibat aktif dalam setiap upaya pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang berpendidikan lebih baik cenderung menunjukkan peran mendukung pada toilet trainingpada anak hal tersebut dikarenakan orang tua lebih siap dan mengetahui apa yang dibutuhkan oleh anak sehingga dapat memberikan peran yang lebih optimal pada anak dalam melakukan toilet training. Hasil tabulasi silang antara pekerjaan dengan peran orang tua didapatkan sebagian besar orang tua yang tidak bekerja memberikan peran mendukung pada toilet trainingpada anak yaitu sebanyak 14 responden (56%). Menurut Supartini (2004) pekerjaan keluarga akan mempengaruhi peran orang tua karena waktu yang diberikan tidak maksimal, hal tersebut sesuai dengan yang terjadi ditempat penelitian di mana orang tua yang tidak bekerja 79 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 cenderung berperan mendukung pada toilet Training anak karena lebih mempunyai banyak waktu untuk melakukannya. 2. Keberhasilan toilet training Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar responden anak berhasil dalam toilet training yaitu sebanyak 17 responden (68%) dan sisanya tidak berhasil dalam toilet trainingyaitu sebanyak 8 responden (32%). Toilet training merupakan cara untuk melatih anak-anak agar bias menahan buang air besar dan kecil sehingga bisa buang pada tempatnya yaitu toilet (Yulia, 2010). Toilet training (mengajarkan anak ke toilet) adalah cara anak untuk mengontrol kebiasaan membuang hajatnya di tempat yang semestinya, sehingga tidak sembarang membuang hajatnya (Ijs, 2010).Usia anak sekitar 18-30 bulan. Umumnya anak siap pada usia 24 bulan, biasanya anak belum konsisten mengendalikan BAK dan BAB mereka karena masih belum menyadari fungsi tubuhnya. Anak tidak berada dalam situasi yang mungkin membuatnya tertekan (Stres) seperti lahirnya adik, pindah rumah, ganti pengasuh dan sebagainya (Fitri, 2006 : 63) Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar anak berhasil dalam melakukan toilet training dan keberhasilan tersebut akan berpengaruh secara fisik anak akan terlihat lebih bersih dan tidak meninggalkan bekas-bekas iritasi atau ruam pada pantat anak. Secara psikis anak akan lebih percaya diri. 3. Analisa pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia toddler Hasil penelitian menjelaskan bahwa dari 14 responden yang menunjukkan peran mendukung didapatkan hampir seluruh anaknya berhasil dalam toilet training yaitu sebanyak 13 responden (92,9%). Sedangkan dari 11 responden yang menunjukkan peran tidak mendukung didapatkan sebagian besar anaknya tidak berhasil dalam toilet Training yaitu sebanyak 7 responden (63,6%). Hasil uji chisquare dengan α = 0,05 dengan daerah kritis penolakan X2Tabel ≥ 3,841 didapatkan bahwa X 2Hitung = 6,625 berarti X 2Hitung>X2Tabel, atau jika dilihat dari nilai signifikansi didapatkan sig hitung (ρ) = 0,004 < 0,05 sehingga Ho ditolak yang artinya ada pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia toddler di Play Group TarbiyatushShibiyanMojoanyar Mojokerto. Untuk melihat seberapa erat tingkat hubungan tersebut maka dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi sebesar 0,515 menurut Somantri (2006) nilai korelasi tersebut dalam kategori cukup erat. Peran orang tua terhadap toilet training pada anak dapat diwujudkan dalam bentuk peran pada anak dalam toilet training, menurut Ratna (2010) bentuk peran antara lain. Diekspresikan melalui kasih sayang, cinta atau empati yang bersifat memberikan peran. Kadang dengan hanya menunjukkan ekspresi saja sudah dapat memberikan rasa tenteram. Ekspresi ini penting untuk seseorang terutama seorang orang tua, karena ekspresi yang salah dapat menimbulkan rasa malas pada anak untuk melakukan toilet Training. Barang-barang yang diinginkan oleh anak untuk dapat termotivasi untuk melakukan toilet training, seperti dengan membelikan peralatan toilet training yang sesuai dengan keinginan anak. Informasi sekecil apapun merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi anak untuk melakukan toilet training, misalnya bagaimana dampaknya anak jika tidak mau melakukan toilet Training. Hasil penelitian menunjukkan besarnya pengaruh peran orang tua terhadap keberhasilan toilet Training anak.Sebetulnya, cukup mudah untuk mengetahui kapan anak sudah dapat dikenalkan dengan toilet training. Salah satunya, saat anak mulai menunjukkan minatnya untuk melepas popoknya atau ia bangun tidur siang dalam keadaan kering tidak mengompol, atau ia tahu kapan waktunya ia harus pup atau pipis. Namun diperlukan kesabaran dan perhatian secara psikis sehingga anak dapat berhasil melakukan toilet training. 80 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Hasil penelitian mengalami sedikit kesenjangan di mana masih terdapat orang tua yang tidak mendukung namun anaknya berhasil dalam melakukan toilet trainingyaitu sebanyak 4 responden (36,4%).Hal tersebut tidak terlepas dari didikan dari guru di Play Group TarbiyatushShibiyanMojoanyar Mojokerto yang selalu mendidik kebaikan perilaku pada anak terutama bagaimana cara melakukan toilet training sehingga anak lama-lama akan terbiasa dengan didikan yang diberikan oleh guru dan mampu melakukan toilet training. F. PENUTUP Hasil penelitian yang berjudul pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia toddler di Play Group Tarbiyatush Shibiyan Mojoanyar Mojokerto pada bulan Juli 2011 didapatkan simpulan bahwa Sebagian besar responden menyatakan mendukung dalam keberhasilan toilet training yaitu sebanyak 14 responden (56%), Sebagian besar responden anak berhasil dalam toilet training yaitu sebanyak 17 responden (68%), dan Hasil uji chisquare dengan α = 0,05 dengan daerah kritis penolakan X2Tabel ≥ 3,841 didapatkan bahwa X 2Hitung = 6,625 berarti X2Hitung>X2Tabel, atau jika dilihat dari nilai signifikansi didapatkan sig hitung (ρ) = 0,004 < 0,05 sehingga Ho ditolak yang artinya ada pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak usia toddler di Play Group TarbiyatushShibiyanMojoanyar Mojokerto. Oleh sebab itu, tenaga kesehatan harus memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua dengan anak balita tentang ilmu kesehatan anak yang berhubungan dengan toilet Training supaya orang tua dapat mengetahui dan memberikan peran yang mendukung pada anaknya. DAFTAR PUSTAKA Arif, 2010. Peran Orang Tua terhadap Anak. Tersedia di http://berkarya.um.ac.id/?p=5504 Azwir, 2010. Bagaimana Melatih 'Toilet Training' pada Anak. Tersedia di http://joyazwir.multiply.com/journal/item/10?&show_interstitial1&u=%2Fjournal%2 Fitem Bataviase, 2010. Bangun Suasana Menyenangkan UntukAnak. Tersedia di http://bataviase.co.id/detailberita-10555027.html Budiarto, Eko. 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC Engel Joyce, 2009. Pengkajian Pediatrik. Seri Pedoman Praktis. Ed 4. Jakarta. EGC Fitri Ayani. 2006. Seri Parent'sGuide. Diary Tumbuh Kembang Anak. Jakarta. ReadPublishingHouse Friedman, Marilyn. 2004. Keperawatan Keluarga. Teori Dan Praktik. Jakarta. EGC Hana, 2010. Kapan Waktu Terbaik Ajarkan "Toilet Training" pada Anak. Tersedia di http://hanababyshop.multiply.com/reviews/item/23 Hidayat A. Alimul. 2007. Riset Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika Ijs. 2010. Toilet Training untuk Balita. Tersedia di http://www.indosiar.com/ragam/79080/toilet-training-untuk-balita Muscari, May E. 2005. Panduan Belajar. Keperawatan Pediatrik. Jakarta. EGC Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Nursalam. 2003. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Patriani. 2009. http://dunia-anak-sehat.blogspot.com/2009/02/tumbuh-kembang-toddler.html 81 HOSPITAL MAJAPAHIT Vol 4 No. 1 Pebruari 2012 Ratna, Dwi. 2010.Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta : Bina Pustaka Rawins, 2008. Toilet Training Sejak Dini. Tersedia di http://duniaanak.rawins.com / 2008 /12/toilet-training-sejak-dini.html Riyadi, 2010. Keluarga. Tersedia di http://adyraalya.blogspot.com/ Setiadi, 2007. Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan. Jakarta. Graha Ilmu Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Jakarta : Alfabeta Supartini. Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Keperawatan Anak. Jakarta. EGC Suprajitno, 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga. Aplikasi Dan Praktik. Jakarta. EGC Suririnah, dr. 2010. Buku PintarMengasuh Batita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Jakarta. EGC Yulia, 2010. Toilet Training. Tersedia di http://yulia-putri.blogspot.com/2010/05/toilettraining.html 82