BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan a. Definisi Gangguan hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai kenaikan tekanan darah sistolik >140mmHg dan tekanan darah diastolik >90mmHg yang dilihat dari dua kali pengukuran dengan jeda enam jam pada masa kehamilan (George, 2014). Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan darah: hipertensi ringan (Tekanan darah sistolik 140-149 mmHg dan Tekanan darah diastolik 90-99 mmHg), sedang (Tekanan darah sistolik 150-159 mmHg dan Tekanan darah diastolik 100-109 mmHg), dan berat (Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan Tekanan darah diastolik ≥110 mmHg). Gangguan hipertensi dalam kehamilan dapat terjadi pada wanita hamil yang sudah menderita hipertensi kronis primer atau sekunder dan pada wanita yang menderita hipertensi onset baru pada kehamilan trimester kedua (NICE, 2010). Gangguan hipertensi dalam kehamilan menyebabkan komplikasi pada kehamilan sebesar 5-15%. (Visintin C, 2010; Sirait, 2012). 5 6 b. Klasifikasi Berdasarkan The National High Blood pressure Education Program of the NHLBI dan pedoman American College of Obstetricians and Gynecologist, gangguan hipertensi dalam kehamilan dibagi menjadi empat kategori (Podymow, 2007): 1) Hipertensi gestasional 2) Hipertensi kronik 3) Preeklampsia 4) Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia Tabel 2.1 Klasifikasi Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan Secara Umum Usia gestasi Tekanan darah ibu (minggu) (mmHg) Hipertensi gestasional ≥20 minggu Hipertensi kronik Klasifikasi Proteinuria Kejang >140/90 × × ≤ 20 minggu >140/90 × × Preeklampsia ≥20 minggu >140/90 ≥300mg/24j × Eklampsia ≥20 minggu >160/110 ≥500mg/24j √ ≤ 20 minggu >140/90 Onset baru × Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia (Ankichetty et al., 2013) 2. Hipertensi Gestasional a. Definisi Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah sistolik ≥140mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥90mmHg yang diukur minimal dua 7 kali dan terjadi setelah 20 minggu kehamilan pada wanita yang tekanan darahnya normal sebelum hamil (Barra et al., 2012). Hipertensi gestasional adalah hipertensi de novo yang muncul pada pertengahan kehamilan tanpa adanya gambaran klinis preeklampsia (terutama proteinuria). Beberapa wanita dengan hipertensi gestasional bisa berkembang menjadi preeklampsia, sehingga diagnosis hipertensi gestasional hanya dapat ditegakkan saat post partum. Jika hipertensi hilang pada post partum, diagnosis dapat ditegakkan sebagai hipertensi kehamilan transien (Podymow, 2007). Menurut Mammaro (2009), diagnosis hipertensi gestasional atau transient hypertension baru dapat ditegakkan secara retrospektif setelah dipastikan tidak ada perkembangan kearah preeklampsia dan jika tekanan darah kembali normal setelah minggu ke-12 postpartum. b. Patofisiologi Hipertensi gestasional, preeklampsia dan superimposed preeklampsia memiliki kesamaan patofisiologi (Gluhovschi et al., 2012). Perbedaan hipertensi gestasional dengan preeklampsia adalah onsetnya lebih lambat, hipertensi ringan - sedang, dan pengobatan antihipertensinya lebih mudah terkontrol (Gluhovschi et al., 2012). Patofisiologi hipertensi gestasional, preeklampsia, dan superimposed preeklampsia sangat kompleks karena dipengaruhi beberapa faktor yaitu: 8 1) Kegagalan Plasentasi Pada kehamilan normal, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot pembuluh arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi hambur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular dan peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta (Prawirohardjo, 2009). Selain invasi trofoblas, pada kehamilan normal terdapat proses angiogenesis dalam perkembangan plasenta yang diperankan oleh faktor angiogenik yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF) dan placental growth factor (PGF). VEGF dan PGF diproduksi oleh trofoblas dan vaskularisasi plasenta (Gluhovschi et al., 2012). Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi atau tidak adekuatnya invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampaknya akan menimbulkan 9 perubahan pada hipertensi dalam kehamilan (Prawirohardjo, 2009). Plasenta yang mengalami iskemia bersama dengan sel trofoblas akan mengeluarkan zat-zat pressor misalnya cytokines, thromboxan A2, anti-angiogenic molecules soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt1) dan soluble endoglin (sEng) yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi. Sedangkan prostasiklin (PGI2, merupakan vasodilator penting) diproduksi dalam jumlah sedikit. Molekul sFlt1 yang diproduksi plasenta yang mengalami iskemia memiliki afinitas yang kuat dengan VEGF, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara faktor angiogenik dan antiangiogenik. Hal ini berhubungan dengan fenomena inflamasi yang menyebabkan endotheliosis. Efek vasopressor dan fenomena endotheliosis ini dapat meningkatkan jumlah sel darah pada pembuluh plasenta sehingga terjadi peningkatan tekanan darah untuk mengimbangi aliran darah uteroplasenta yang menurun agar asupan nutrisi untuk janin dari ibu tetap terjaga baik (Gluhovschi et al., 2012). 10 Gambar 2.1 Perbandingan ilustrasi proses plasentasi normal (atas) dan plasentasi pada hipertensi gestasional (bawah) (Karumanchi et al., 2005) 2) Angiotensin II Kehamilan merupakan kondisi fisiologis yang ditandai dengan peningkatan progresif komponen-komponen sistem renin-angiotensin yang berbeda-beda (RAS) (Chen et al., 2014). RAS adalah sistem sirkulasi endokrin yang bertanggungjawab terhadap regulasi tekanan darah, garam, dan homeostasis cairan. RAS juga berperan penting pada transpor oksigen dan nutrisi kepada janin. Peningkatan RAS 11 menyebabkan peningkatan angiotensin II (Ang II). Walaupun kadar RAS cenderung meningkat regulasinya selama kehamilan karena pengaruh esterogen, tekanan darah tetap normal karena terdapat resistensi terhadap efek pressor angiotensin II secara progresif (Anton et al., 2010). Salah satu komponen peptida RAS, angiotensin (1-7) [Ang-(17)], merupakan vasodilator yang dihasilkan dari beberapa enzim berbeda, seperti angiotensin-converting enzyme (ACE2), yang memproduksi Ang-(1-7) dengan cara mendegradasi Ang II. Ang-(1-7) meningkat kadarnya di sirkulasi pada trimester akhir kehamilan. Keseimbangan antara kedua peptida aktif Ang II (vasokonstriktor dan molekul angiogenik) dan Ang-(1-7) (vasodilator dan molekul anti angiogenik) sangat berarti untuk menjaga kehamilan tetap normal (Anton et al., 2010). Hipertensi gestasional ditandai dengan peningkatan sensitivitas terhadap angiotensin II sehingga terjadi penurunan regulasi komponen RAS termasuk Plasma Ang I, Ang II, Ang-(1-7), dan aktivitas plasma renin (Anton et al., 2008; Gluhovschi et al., 2012). 3) Faktor Genetik Hipertensi gestasional lebih sering terjadi pada wanita hamil yang memiliki riwayat preeklampsia sebelumnya. Penelitian terbaru mengatakan bahwa terdapat hubungan antara trisomi kromosom 13 12 pada janin terhadap kejadian hipertensi gestasional ibu. Karena, gen Flt1 terletak pada kromosom 13, sehingga bila terjadi polimorfisme pada gen tersebut akan meningkatkan risiko untuk terjadi hipertensi gestasional pada ibu (Gluhovschi et al., 2012; Mustafa et al., 2012). Perubahan pada gen VEGF juga dapat menyebabkan endotheliosis yang kemudian menginduksi ekspresi faktor-faktor pressor seperti sFlt1 dan sEng sehingga terjadi vasokontriksi berlebihan yang menyebabkan peningkatan tekanan darah ibu (Gluhovschi et al., 2012) c. Faktor Risiko 1) Primigravida 2) Hiperplasentosis, seperti molahidatidosa, kehamilan multipel, diabetes melitus, bayi besar. 3) Usia kehamilan yang ekstrim (<20 tahun atau >35 tahun) 4) Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia dan eklampsia 5) Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil 6) Obesitas (Prawirohardjo, 2009) 13 3. Kelahiran Preterm a. Definisi Kelahiran preterm atau kelahiran prematur adalah kelahiran bayi sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu atau 259 hari, terhitung sejak hari pertama menstruasi terakhir (Tucker, 2004). Usia kelahiran preterm dibagi menjadi tiga subkategori berdasarkan kategori World Health Organization (WHO), yaitu: 1) Extremely preterm (<28 minggu) 2) Very preterm (28 hingga <32 minggu) 3) Moderate to late preterm (32 hingga <37 minggu) Faktor yang sangat berpengaruh pada kejadian kelahiran preterm adalah hipertensi pada kehamilan, ketuban pecah dini (KPD), tinggi ibu <1.5m, oligo-/polyhydramnion, dan kehamilan kembar (Rao et al., 2014). b. Patofisiologi Kelahiran preterm dan term memiliki jalur persalinan yang sama meskipun terjadi pada usia kehamilan yang berbeda. Jalur persalinan preterm maupun term terdiri dari: peningkatan kontraktilitas uterus, pembukaan serviks, dan ruptur membran. Perbedaan mendasar antara persalinan preterm dan term adalah bahwa persalinan term terjadi karena "aktivasi fisiologis" jalur persalinan, sedangkan persalinan preterm terjadi karena "aktivasi patologis" yang mengaktifkan satu atau lebih komponen di jalur persalinan (Romero dan Lockwood, 2008). 14 1) Peningkatan Kontraktilitas uterus Kontraktilitas uterus terjadi selama kehamilan, namun persalinan ditandai dengan perubahan dramatis pola kontraktilitas dari "kontraktur" menjadi "kontraksi". Kontraktur adalah aktivitas myometrium yang berlangsung beberapa menit, berhubungan dengan peningkatan tekanan intrauterin. Kontraksi adalah aktivitas myometrium dengan durasi singkat yang berhubungan dengan peningkatan dramatis tekanan intrauterin. Perubahan pola kontraktur menjadi kontraksi dapat terjadi secara fisiologis selama persalinan atau dapat terinduksi kejadian patologis seperti infeksi (Romero dan Lockwood, 2008). 2) Remodeling Serviks Perubahan yang terjadi pada serviks meliputi: (1) pelunakan, (2) pembukaan, (3) dilatasi, dan, setelah persalinan, (4) repair. Studi sonografik menunjukkan bahwa pemendekan serviks terjadi sebelum peningkatan dramatis kontrasitlitas uterus yang menandai persalinan term dan preterm. Pelunakan serviks mulai saat awal kehamilan. Pembukaan serviks ditandai dengan dengan penurunan konsentrasi kolagen. Dilatasi serviks merupakan fenomena inflamasi, dimana terdapat influks makrofag, neutrofil, dan degradasi matriks. Chemokines seperti IL-8 dan S100A9 menarik sel-sel inflamasi, yang kemudian melepaskan sitokin proinflamasi, termasuk IL-1β dan TNF 15 α yang mengaktivasi jalur sinyal (NF)-κB. (NF)-κB dapat memblokade aksi progesteron yang dimediasi reseptor (Romero dan Lockwood, 2008). 3) Aktivasi Membran Ketuban Istilah aktivasi membran ketuban adalah untuk satu set kompleks kejadian anatomik dan biokimia yang menyebabkan pemisahan kutub bawah membran amniochorionic dari segmen bawah uterus dan pada akhirnya membran ruptur dengan spontan dan terjadilah persalinan plasenta. Aktivitas enzim dari matriks metalloproteinase (MMPs) dan protease lain terlibat dalam proses rupturnya membran ketuban (Romero dan Lockwood, 2008). c. Faktor Risiko 1) Riwayat Kelahiran Preterm Riwayat kelahiran preterm merupakan faktor risiko terbesar untuk terjadinya kelahiran preterm pada kehamilan berikutnya. Risiko terulangnya kelahiran preterm juga dipengaruhi oleh riwayat ibu yang lahir preterm (Offiah et al., 2012). 2) Ketuban Pecah Dini Ketuban pecah dini (KPD) hanya berdampak pada 2% kehamilan namun berhubungan dengan 40-45% kelahiran preterm. Tiga penyebab kematian neonatus yang berhubungan dengan ketuban 16 pecah dini adalah kelahiran preterm, sepsis, dan hipoplasia pulmonar (Offiah et al., 2012). 3) Perdarahan Antepartum Perdarahan pervaginam pada awal masa kehamilan telah diteliti merupakan faktor risiko independen yang dapat menyebabkan kelahiran preterm. Penyebab perdarahan antepartum lain seperti solusio plasenta dan plasenta previa, jika tidak segera ditangani bahkan dapat menyebabkan kematian janin dan ibu (Offiah et al., 2012). 4) Distensi Uterus Berlebihan Peregangan berlebihan otot dinding uterus menginduksi pembentukan gap junction, peningkatan regulasi reseptor oksitosin, dan produksi prostaglandin E2, F2 dan miosin rantai ringan kinase yang dapat menyebabkan kontraksi uterus dan dilatasi serviks. Distensi uterus dapat disebabkan oleh volume cairan amnion yang abnormal dan kehamilan multipel (Offiah et al., 2012). 5) Stress Stress psikologi ditemukan lebih sering pada ibu primipara muda yang memiliki predisposisi genetik. Stres fisik maupun psikologi pada ibu menyebabkan aktivasi prematur dari aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA). Aksis HPA ini menyebabkan insufisiensi uteroplasenta dan mengakibatkan kondisi 17 stres pada janin. Stres pada janin menyebabkan peningkatan kadar corticotropin releasing hormone (CRH) yang merupakan mediator stres. Selanjutnya diikuti oleh perubahan ACTH, prostaglandin, reseptor oksitosin, cyclooxygenase-2, matriks metallo-proteinase, dehydroepiandrosterone interleukin-8, synthase (DHEA-S), esterogen plasenta, dan pembesaran kelenjar adrenal janin (Offiah et al., 2012) 6) Usia Ibu Wanita berusia dibawah 16 tahun dan diatas 35 tahun memiliki 2-4% risiko lebih tinggi untuk terjadinya kelahiran preterm daripada ibu hamil yang berusia 21-34 tahun. Walaupun begitu, belum ada cukup bukti kuat yang mengatakan bahwa usia ibu mempengaruhi kelahiran preterm secara independen (Offiah et al., 2012). 7) Penyakit Infeksi Penyakit infeksi dan inflamasi adalah inisiator penting dalam mekanisme terjadinya kelahiran preterm. Pernyataan tersebut diungkapkan setelah penemuan bakteri positif pada plasenta dari ibu yang melahirkan bayi preterm. 25% dari seluruh kelahiran preterm terjadi pada ibu yang terdapat koloni bakteri pada uterusnya (Romero et al., 2007). Bakteri memproduksi prostaglandin yang dapat mengganggu keadaan stabil uterus, sehingga menyebabkan pelunakan serviks dan induksi kelahiran preterm. Respon inflamasi karena 18 infeksi bakteri berupa sitokin yang menyebabkan peningkatan kadar prostaglandin lebih lanjut (Srinivasan et al., 2009). 8) Faktor Janin Faktor janin yang dapat mempengaruhi kelahiran preterm salah satunya adalah penyakit kongenital dan pertumbuhan janin terhambat (IUGR) (Offiah et al., 2012). 4. Hubungan Hipertensi Gestasional dengan Kelahiran Preterm Pada wanita dengan hipertensi gestasional, komponen RAS menurun kadar regulasinya, termasuk plasma Ang I, Ang II, Ang-(1-7) dan aktivitas plasma renin (Anton et al., 2008). Menurunnya kadar regulasi komponen RAS menyebabkan ketidakseimbangan tekanan darah pada kehamilan karena Ang II dan Ang-(1-7) merupakan regulator pelepasan sFlt1 dan sEng yang dapat menimbulkan vasokonstriksi pada tingkat plasenta. Menurut penelitian Chen (2014), kadar Ang-(1-7) yang rendah pada ibu dan janin merupakan penyebab kelahiran preterm. 19 B. Kerangka Pikir Fertilisasi Sistem Renin Angiotensin Mengatur tekanan darah, transpor oksigen dan nutrisi ke janin 1. Kegagalan plasentasi 2. Riwayat Preeklampsia 3. Trisomi kromosom 13 janin 4. Primigravida 5. Usia <20 tahun atau >35 tahun produksi sFlt1 dan sEng (vasokonstriktor) Ketidakseimbangan vasokonstriktor vasodilator Kadar Renin Angiotensin menurun Hipertensi gestasional Ang II dan Ang(1-7) menurun Kontraksi uterus 1. 2. 3. 4. Dapat dikendalikan: Riwayat preterm Usia ekstrim ibu Faktor janin Penyakit infeksi Keterangan : : Memicu : Faktor perancu : Diteliti Kelahiran preterm Tidak dapat dikendalikan: 1. Stres dan kecemasan 2. Riwayat penyakit dahulu Gambar 2.2 Skema Kerangka Pemikiran : Tidak diteliti : Faktor risiko