Page FILANTROPI BERBASIS LINGKUNGAN

advertisement
FILANTROPI BERBASIS LINGKUNGAN:
MENUJU KEMASLAHATAN EKONOMI
Khairul Imam
Jl. Brigjend Katamso No.136 Pangenrejo Purworejo 54115 Jawa Tengah
email: [email protected] HP: 081392313191
1.
Pendahuluan
Keunikan pendekatan sistem ekonomi Islam terletak pada sistem moral yang
mewarnai tingkah laku ekonomi, dimana segala aspek kehidupan, termasuk
ekonomi berjalan secara integral (kesatuan, keseimbangan, keadilan, kebebasan
dan pertang-gungjawaban). Islam menerapkan nilai-nilai intrumental dan normanorma operasional yang diterapkan dalam pembentukan lembaga-lembaga ekonomi
masyarakat. Islam menetapkan landasan filsafat ilmu pada nilai-nilai al-Quran dan
Hadits, dimana dengan landasan iman dan panduan al-Quran dan Hadits, dapat
menemukan nilai moral yang diyakini sebagai suatu kebenaran mutlak dan dapat
menjadi panduan ekonomi bagi manusia (Nazaruddin, 2013:2)
Dalam Islam, motif aktivitas ekonomi lebih diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan dasar (needs) yang tentu ada batasnya, meskipun bersifat dinamis sesuai
tingkat ekonomi masyarakat pada saat itu. Selain itu, kepuasan dalam Islam tidak
hanya terbatas pada materi, tetapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat
abstrak, seperti amal saleh yang dilakukan manusia. Oleh karena itu, perilaku
ekonomi dalam Islam tidak didominasi oleh nilai alami yang dimiliki oleh setiap
individu manusia, tetapi ada nilai di luar diri manusia yang kemudian membentuk
perilaku ekonomi mereka, yaitu Islam itu sendiri yang diyakini sebagai tuntunan
utama dalam hidup dan kehidupan manusia (Ascarya, 2006:4).
Aturan dalam ekonomi Islam adalah aturan yang bersumber pada kerangka
konseptual masyarakat dalam hubungannya dengan Allah SWT, sesama manusia,
makhluk hidup lain, lingkungan dan tujuan hidup manusia. Sedangkan pada sistem
ekonomi lain tidak terdapat aturan-aturan yang menetapkan aturan perilaku
manusia tersebut. Sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang lahir dari
sistem sosial Islami yang diharapkan dapat memberikan solusi terhadap berbagai
permasalahan ekonomi masyarakat (Mannan, 1997: 357).
1|Page
Teks-teks keagamaan telah memuat banyak sekali pesan yang berkaitan
dengan bidang kehidupan ekonomi, baik secara eksplisit maupun implisit. Hanya
saja secara keseluruhan aksentuasi dari nash-nash tersebut lebih pada ajaran-ajaran
atau pesan-pesan moral universalnya, sesuai dengan semangat dasar al-Qur’an itu
sendiri yaitu semangat moral yang menekankan pada ide-ide keadilan sosial dan
ekonomi (Fazlurrahman, 1994:36)
Prinsip keadilan merupakan pilar terpenting dalam ekonomi Islam.
Penegakkan
keadilan
senantiasa
ditekankan
dalam
Al-Qur’an,
termasuk
penegakkan keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan, sebagai
misi utama para Nabi yang diutus Allah SWT;
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa buktibukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (QS. Al-Hadid (57):25).
Dalam teori ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosio-ekonomi dilandasi
oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu
(takaful) dan saling tolong menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin
maupun antara penguasa dan rakyat (Agustianto, 2011). Bahkan konsep ekonomi
Islam tidak hanya memberikan keadilan sosial dan ekonomi untuk umat Islam saja,
tetapi berlaku universal, karena itu ekonomi Islam juga dipraktikkan oleh sebagian
kalangan non Muslim (Thomas J Sargent, 2013), seperti dikutip Oman Daily
Observer, Senin (21/10/2013).
Ada ungkapan menarik dari Fahmi Huwaydi,sebagaimana dikutip Sinarta:
“Jika kita mencari padanan kata yang praktis, ringkas dan komprehensif
dalam satu kata dari segala yang dikandung syariah, kita tidak akan
menemukan padanan selain “keadilan”. Jika tauhid merupakan
penyangga aqidah maka keadilan adalah penyangga syariah. Praktek
keIslaman yang benar tidak akan tuntas jika dua sisi tersebut tidak saling
menguatkan. Selain itu, jika kita hanya membatasi pada salah satunya
dan mengabaikan yang lain, maka hanya akan menghasilkan proses yang
menyimpang dan bagaimanapun tidak akan mampu menegakkan praktek
keIslaman” (Sinarta, 2012).
Agama, secara fungsional, memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat, baik bagi masyarakat tradisional maupun modern, agama merupakan
tempat mereka mencari makna hidup yang final dan ultimate sehingga segala
bentuk perilaku dan tindakan selalu berkiblat pada tuntunan agama (Soelaeman,
1995: 63)
2|Page
Persoalan yang dihadapi umat manusia sekarang adalah munculnya suatu
pandangan yang menempatkan aspek materi diatas segalanya. Pandangan hidup
yang berpijak pada ideologi materialisme inilah yang kemudian mendorong
perilaku manusia menjadi pelaku ekonomi yang hedonistik, sekularistik dan
materialistik (Iswadi, 2007:48)
Perilaku hedonistik, sekularistik dan materialistik tersebut, disadari atau
tidak, tidak hanya berdampak pada kahidupan sosial ekonomi masyarakat, namun
juga memberikan dampak terhadap lingkungan sekitar kita. Berbagai perspektif
digunakan untuk mencari akar persoalan beserta pemecahannya. Agama, di
antaranya, dipandang punya andil besar dalam membentuk berbagai pandangan
tentang lingkungan dan aktifitas manusia di dalamnya.
White (1974) menjelaskan bahwa perubahan perlakuan manusia atas
lingkungan sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Keduanya
menunjukkan dominasinya atas dunia abad Pertengahan. Meskipun demikian,
karakter ilmu dan teknologi beserta dampak ekologisnya dibentuk oleh asumsiasumsi yang berkembang pada masa itu. Agama dipandang sebagai akar dari
asumsi-asumsi tersebut, sehingga agamalah yang melatarbelakangi perubahan
perlakuan manusia atas ekologi dengan ilmu dan teknologinya. Agama
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan. Kritik White ini mendorong para
pemeluk agama untuk melakukan refleksi ke arah teologi kritis, terutama
menyangkut pandangan: relasi Allah dan alam; dan relasi umat manusia dan alam
(Timm, 2003: 109).
Kepedulian akan lingkungan baru muncul pada dekade 1970-an sebagai
akibat dari tumbuhnya kesadaran umum ekologi tahun 1960-an, tepatnya ketika
artikel karya Lynn White, Jr. dipublikasikan lewat jurnal Science tahun 1967. Di
dalamnya ditegaskan bahwa persoalan lingkungan global berakar dari keyakinan
agama.
Stephen Schwartz dalam The Two Face of Islam: Saudi Fundamentalism and
Its Role Terrorism, sebagaimana dikutip Ikhwan (2010) menyatakan bahwa jika
agama tidak memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia, tidak menutup
kemungkinan akan lenyap ditelan sejarah manusia sebagaimana pernah dialami
agama pagan. Masa depan agama akan ditentukan sejauh mana ia bermanfaat untuk
kehidupan manusia di bumi.
3|Page
Jika menggunakan perspektif Schumacher dalam A Guide for the Perplexed,
krisis lingkungan yang terjadi pada era modern ini sangat terkait dengan krisis
kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan.
Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya manusia yang
dipersalahkan dan bukannya Tuhan. Manusialah yang melakukan berbagai
tindakan destruktif terhadap alam. Perusakan lingkungan, penebangan liar,
eksploitasi properti alam secara besar-besaran dan segala tindakan merusak alam
lain merupakan sumber malapetaka dan bencana (Ihwan, 2010)
Paper ini membahas pelaksanaan kegiatan filantropi dalam perspektif Islam,
baik yang dilakukan oleh individu atau perusahaan, dalam upaya untuk menjaga
keberlangsungan sumber daya alam
sebagai salah satu faktor produksi dalam
ekonomi. Metode yang digunakan adalah qualitative research dengan pendekatan
normatif. Tujuan paper ini adalah untuk menyampaikan konsep filantropi
lingkungan dalam perpsktif ekonomi Islam dalam upaya menjaga kelangsungan
sumber daya alam dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan
masyarakat, khususnya di Indonesia.
2.
Islam dan Filantropi
Islam, sebagai sebuah agama, tidak hanya selalu mementingkan urusan
akhirat, tetapi juga urusan duniawi. Dalam konsep ekonomi, Islam menekankan
pentingnya pemerataan distribusi pendapatan diantara masyarakat, seperti
tercantum dalam surat Al-Hasyr ayat 7.
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah,
untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orangorang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu,
Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.(QS.
Al-Hasyr (59): 7)
Umer Chapra menyatakan bahwa Islam begitu intens menekankan pada nilai
persaudaraan dan keadilan menuntut semua sumber-sumber daya yang ada di
tangan manusia sebagai titipan sakral dari Allah dan harus dimanfaatkan untuk
4|Page
mengaktualisasi maqashid syar’iyah di antaranya ; (1) Pemenuhan kebutuhan
pokok, (2) Sumber pendapatan yang sah, (3) Distribusi pendapatan dan kekayaan
yang merata, dan (4) Stabilitas pertumbuhan ekonomi yang sehat (Chapra, 1995:
216)
Keadilan sosial dalam ekonomi Islam membutuhkan satu kondisi yang dapat
menjamin terciptanya kesempatan yang sama pada setiap orang untuk berusaha
mencapai apa yang diinginkan dengan kemampuan, namun tidak menuntut
kesamaan hasil dari peroses tersebut. Tidak membenarkan perbedaan kekayaan
yang melampaui batas kewajaran serta mempertahankannya dalam batasan-batasan
yang wajar (Ghofur, 2012: 321) Keadilan dalam ekonomi Islam juga memiliki
tujuan, yakni agar kekayaan tidak menumpuk pada sebagian kecil masyarakat
tetapi selalu beredar dalam masyarakat. Keadilan distribusi menjamin terciptanya
pembagian yang adil dalam kemakmuran, sehingga memberikan konstribusi ke
arah kehidupan yang lebih baik (Haidar Naqvi, 1994:35)
Keadilan ekonomi merupakan spirit ekonomi Islam yang merupakan jiwa
dari ajaran tauhid. Paradigma tauhid menumbuhkan semangat untuk menuntun
kerjasama dalam mencapai keadilan ekonomi. Islam, dalam upaya membangun
sistem ekonomi, bukan hanya menawarkan konsep-konsep moral teoritis, bahkan
memberikan pedoman pelaksanaan yang layak untuk diterapkan, sebagai contoh
dimana prilaku dan tindakan ekonomi yang diterapkan pada zaman Rasul dan
zaman Khalifah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam setiap aktivitas
ekonomi yang berbasis pada sistem keadilan (Nazaruddin, 2013:2).
Muhammad Shyarif Chaudhry, yang dikutip oleh Ghofur (2012: 321),
mengemukakan bahwa distribusi pendapatan penting dilakukan untuk menciptakan
kesejahteraan di masyarakat sebagai bagian dari komitmen persaudaraan dan umat.
Untuk menciptakan distribusiyang adil, dilakukan dengan merealisasikan aktifitas
berbagi/karitas, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Islam, seperti zakat,
wakaf, waris dan lain sebagainya. Dalam pandangan modern, aktifitas distribusi
pendapatan atau barbagi tersebut dikenal dengan istilah filantropi.
Filantropi berasal dari philanthropy: Philos (cinta) dan anthropos (manusia).
Konseptualisasi filantropi adalah praktik giving, services, dan association secara
sukarela untuk membantu pihak lain. Menurut James O. Midgley (1995), filantropi
merupakan salah satu pendekatan dari tiga pendekatan untuk mempromosikan
5|Page
kesejahteraan termasuk di dalamnya upaya pengentasan kemiskinan yaitu
pendekatan social service (social administration), social work dan philanthropy
(Tamim, 2011:36)
Pada prinsipnya,
aktifitas filantropi
dalam
Islam
diterapkan
guna
mewujudkan prinsip keadilan dalam ekonomi, yaitu: 1) pemenuhan kebutuhan bagi
semua makhluk, 2) memberikan efek positif bagi pemberi itu sendiri seperti halnya
zakat di samping dapat membersihkan diri dan harta, juga meningkatkan keimanan
dan menumbuhkan kebiasaan untuk berbagi, 3) menciptakan kebaikan di antara
semua orang, 4) mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan, 5)
pemanfaatan lebih baik terhadap sumberdaya dan aset, 6) memberikan harapan
pada orang lain melalui pemberian. (Ghofur, 2012: 323)
Dalam kehidupan masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia, aktifitas
filantropi bukan merupakan hal yang asing. Bahkan, aktifitas filantropi tersebut
dapat dikatakan telah menjadi aktifitas sehari-hari masyarakat. Namun, pola
aktifitas filantropi tersebut masih bersifat tradisional, belum terorganisir secara
optimal. Menurut Saidi dan Abidin (2004: 134-136), tidak optimalnya
pendayagunaan dana filantropi disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:
Pertama, pola menyumbang masyarakat yang bersifat langsung dan
individual. Sebagian besar masyarakat masih lebih suka menyumbangkan dananya
secara langsung kepada penerima daripada menyalurkannya lewat organisasi sosial.
Selain itu, dari sisi donatur, ada kecenderungan untuk menyumbang kepada
organisasi-organisasi yang program atau kegiatannya berkaitan erat dengan dirinya,
seperti untuk pelayanan sosial, perbaikan kawasan perumahan dan kampung
halamannya, dan sejenisnya. Sebaliknya organisasi yang bidang kegiatannya tidak
berkaitan langsung dengan kepentingannya, seperti organisasi kesenian, lingkungan
hidup, advokasi, hukum, dll. kurang mendapatkan dana.
Kedua, pemahaman ideologi yang sempit dan kurang tepat, baik oleh donatur
maupun lembaga sosial menyebabkan sumbangan yang disampaikan hanya
terfokus pada program-program penyantunan fakir miskin, anak yatim, panti
jompo, korban bencana, dan sejenisnya. Sebaliknya, bagi lembaga sosial yang
bergerak di bidang pemberdayaan perempuan, pelestarian lingkungan, advokasi
hukum dan HAM, perlindungan konsumen, jarang diberi sumbangan karena
dianggap bukan golongan yang berhak mendapatkan sumbangan.
6|Page
Ketiga, prioritas/pilihan program belum menjadi pertimbangan dalam
memberikan sumbangan. Prioritas dalam memberikan sumbangan hanya diarahkan
pada program-program darurat (crush program) seperti penanganan bencana atau
penanganan kaum miskin/terlantar.
3.
Islam dan lingkungan hidup
Agama Islam sendiri sangat dekat dengan prinsip pelestarian lingkungan,
bahkan Al-Quran juga telah mengingatkan bahwa:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS.
Ar-Rum,(30):41).
Prinsip dasar dalam ajaran Islam yang menjadi basis norma paradigma
pelestarian lingkungan adalah bahwa manusia adalah Khalifah Allah di muka bumi;
“dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
dan bumi diciptakan untuk kepentingan manusia;
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan
Dia Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah (2): 29)
Tetapi, bukan berarti manusia berhak berbuat sekehendaknya terhadap bumi
dan alam sekitarnya. Perilaku manusia terhadap alam harus tetap sesuai dengan
aturan-aturan Allah. Posisi sebagai hamba, menurut Hossein Nasr, menunjukkan
bahwa kekuasaan manusia atas segala apa yang ada di bumi dibatasi oleh
ketundukan kepada hukum-hukum Allah (Fata, 2006) Lebih lanjut, konsekuensi
dari posisi dan peran sebagai Khalifah, menjadikan manusia memiliki tanggung
jawab di hadapan Tuhan atas amanat yang diterimanya. Manusia harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukannya, tidak hanya
kepada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk (hewan, tumbuhan, udara, dll)
di sekelilingnya. Bahkan dalam terma dualisme ontologis dalam Teologi Islam,
yaitu Allah SWT (Khaliq) dan ciptaan (makhluk), menjadikan manusia berposisi
sama dengan alam, yaitu sebagai ciptaan Allah.
7|Page
Dalam kenyataanya, doktrin keunggulan manusia atas makhluk lain dan
mandat pengelolaan alam dalam Islam, secara sadar maupun tidak, -seringkalimenjadi faktor perilaku perusakan alam. Secara tidak langsung doktrin ini
mengajarkan sikap superioritas manusia atas makhluq lainnya (terutama alam)
sehingga manusia berhak melakukan tindakan apapun terhadap alam. Pembacaan
seperti ini dikuatkan oleh Al-Qur’an yang menyebutkan penciptaan bumi adalah
untuk kepentingan manusia.
“Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa
yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya.
dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izinNya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada manusia” (QS. Al-Hajj (22):65).
Namun, memang sering kali kita melihat sifat manusia yang kufur nikmat.
salah satu hal yang paling jelas terlihat adalah kebiasaan manusia untuk menguras
semua kekayaan alam tanpa memperdulikan kelestariannya. Padahal sesungguhnya
didalam ajaran Islam telah dijelaskan tentang tata cara pemanfaatan alam dengan
baik. Bahkan Allah SWT dalam al-Qur’an surat menyebutkan bahwa orang-orang
yang merusak lingkungan itu termasuk golongan orang munafiq:
“Dan bila dikatakan kepada mereka: “janganlan kamu membuat kerusakan
dimuka bumi.” Mereka menjawab: “sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itu orang-orang
yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS al-Baqarah (2):1112)
4.
Filantropi Lingkungan dalam Islam
Untuk membahas peranan filantropi lingkungan sebagai salah satu upaya
meningkatkan kemaslahatan ekonomi, menarik untuk kita cermati definisi Chapra
tentang ekonomi Islam:
“Islamic economics may than be defined as a branch of knowledge which
helps realize human well-being through an allocation and distribution of
scarce resources that is in conformity with Islamic teachings without unduly
curbing individual freedom or creating continued macroeconomic and
ecological imbalances.” (Chapra, 1996, 33).
Berdasarkan definisi tersebut Nampak bahwa ekonomi Islam merupakan
suatu jalan untuk membantu merealiasaikan kesejahteraan manusia melalui
kegiatan pengalokasian dan pendistribusian sumber-sumber daya langka yang
seirama dengan tujuan syariat atau Maqasid Syariah tanpa mengekang kebebasan
8|Page
individu, menciptakan ketidakseimbangan makro-ekonomi dan lingkungan
(ekologi).
Ekoteologi tidak hanya mengeksplorasi hubungan antara agama dan alam
dalam hal degradasi alam, tetapi juga dalam hal pengelolaan ekosistem secara
umum. Secara khusus, ekoteologi berusaha tidak hanya untuk mengidentifikasi isu
yang menonjol dalam hubungan antara alam dan agama, tetapi juga untuk
menguraikan solusi potensial. Hal ini penting karena banyak pendukung dan
penyumbang ekoteologi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan pendidikan
yang tidak cukup untuk menginspirasi perubahan yang diperlukan dalam krisis
lingkungan kita saat ini (Brown, 1999)
Adapun peletak dasar hubungan manusia dengan alam dan makhluk lain
adalah: pertama, kewajiban menggali dan mengelola alam dengan segala
kekayaannya;
“Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan memerintahkan kalian
memakmurkannya (mengurusnya)” (QS. Hud (11):61). Kedua, manusia sebagai
pengelola alam tidak diperkenankan merusak lingkungan, karena pada akhirnya hal
itu akan merusak kehidupan umat manusia itu sendiri; “dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya” (Al-A’raf
(7):56).
Mengenai konsep hubungan antara agama dan lingkungan hidup, lebih jauh
Wardani (2009) dalam pembahasannya tentang konsep ekoteologi memberikan dua
pengertian yang saling menopang. Pertama, teologi yang berbasis (paradigma)
lingkungan dalam pengertian rumusan-rumusan teologi dan metode-metode
pengenalan Tuhan dibangun atas dasar bukti-bukti kealaman yang inderawi
(sehingga mudah dipahami) dan mudah dinalar, seperti dalam beberapa contoh di
atas. Konsep kosmologi al-Qur’an memiliki basis yang kuat dalam hal ini,
misalnya:
“Maka Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. kamukah yang
menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya?
kalau Kami kehendaki,
niscaya Kami jadikan Dia asin, Maka Mengapakah kamu tidak bersyukur?” (QS.
al-Waqi’ah (56): 68-70)
Kedua, persoalan bagaimana implikasi teologis dalam memandang alam
secara positif, sebagaimana digali oleh tokoh Islam, Isma’il al-Faruqi dalam
9|Page
“Tawhid: Its Implication for Thought and Life” yang menjelaskan tentang implikasi
Tauhid dalam pemikiran dan kehidupan. Oleh karena itu, bukan hanya persoalan
“sekularisasi” fenomena-femomena alam di satu sisi, melainkan juga kesadaran
tentang alam sebagai mediator, sebagai “pertanda” (ayat) kebesaran Tuhan
(Mustofa, 2012)
5.
Peran Korporasi dalam Filantropi Lingkungan
Fakta menunjukkan bahwa proses industrialisasi yang mengejar keuntungan
ekonomi semata telah menyebabkan pencemaran lingkungan. Pada tahun 1980-an
akhir dan awal 1990-an, masyarakat global mulai merasakan bahwa telah terjadi
perubahan iklim (climate changei) yang ekstrim karena pemanasan global/global
warming (Fajar, 2010: 238). Sejak masa itu, mulai muncul kesadaran dan
pemikiran bahwa perusahaan tidak lagi semata mencari keuntungan, tetapi juga
melayani kepentingan sosial. Mukti Fajar mengutip pandangan Bryant Maynard Jr
dan Susan E Menrtens dalam buku The Fourth Wave: Business in the 21st Century,
yang menawarkan paradigma baru perusahaan yang bertujuan untuk melayani
masyarakat (serve as global steward), dimana pada konsep gelombang keempat
(fourth wave) bisnis adalah mengintegrasikan seluruh dimensi kehidupan dan
masyarakat. Juga munculnya konsep Tripple Bottom Lines, bahwa korporasi
bertujuan untuk mencari keuntungan (profit), menciptakan kesejahteraan sosial
(people) dan melestarikan lingkungan hidup (planet), dikenal dengan istilah
Corporation for Profit, People and Planet (Fajar, 2010: 8).
10 | P a g e
Bearable
Equitable
Sustainable
Viable
Triple Bottom Lines
Pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan, menempatkan pertumbuhan
ekonomi di atas manusia dan ekologi yang menjadi tumpuan kesejahteraan
manusia. Semua hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic
growth), sehingga diperlukan visi pembangunan yang mendahulukan kesejaheraan
manusia, dikenal dengan sebutan sustainability development atau pembangunan
berkelanjutan (Korten, 2001: 60).
Sustainable development telah memberikan pertumbuhan ekonomi yang besar
di negara maju dimana segala kebijakannya didasarkan pada keberlanjutan dan
perluasan sumber daya alam. Hal ini meyakinkan bahwa pemenuhan kebutuhan
saat ini, tanpa kompromi harus mempertimbangkan pula kebutuhan generasi masa
depan (Herrmann, 2004: 209)
Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) dapat diartikan sebagai
aktivitas perusahaan untuk ikut mengatasi permasalahan sosial dengan peningkatan
ekonomi, perbaikan kualitas hidup masyarakat dan mengurangi berbagai dampak
operasionalnya terhadap lingkungan , yang dalam jangka panjang mempunyai
keuntungan bagi perusahaan dan pembangunan masyarakat (Fajar, 2010: 34)
CSR merupakan bentuk nyata kepedulian kalangan dunia usaha terhadap
lingkungan di sekitarnya. Kegiatan CSR ini dilakukan di berbagai bidang, mulai
dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan bahkan sosial budaya. Konsep
11 | P a g e
CSR sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan sudah mulai dikenal
semenjak tahun 1970an, namun mulai berkembang pesat di Indonesia sejak tahun
2000. Beberapa perusahaan yang kegiatannya berdampak terhadap lingkungan
sudah mulai merintis kegiatan CSR yang peduli lingkungan dan secara sukarela
mengungkapkan kinerja CSR mereka dalam berbagai cara, baik melalui pelaporan
khusus dan terpisah, maupun menjadi bagian dari laporan tahunan.
Beberapa perusahaan menyatakan sudah melaksanakan CSR bidang
lingkungan, namun masih belum dilakukan secara holistic. Beberapa kegiatan CSR
yang ada hanya dilakukan sesaat dan tidak berkelanjutan sehingga target yang
dicapai tidak terpenuhi, sebagai contoh misalnya pelaksanaan kegiatan penanaman
pohon yang tidak disertai pemeliharaannya, baik dari sisi pendanaan maupun
personal atau lembaga yang seharusnya bertanggung jawab, sehingga upaya
penanaman menjadi sia-sia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012:4)
Aktifitas CSR yang telah dilakukan oleh korporasi di Indonesia antara lain ;
Aksi Bersih - Bersih Masjid di Seluruh Indonesia oleh BRISyariah pada bulan
Ramadan 1435 H (2014),
Kegiatan Corporate Social Responsibility di BRIS
terbagi atas 6 perhatian yaitu: 1) Pendidikan, 2) Kesehatan, 3) Pemberdayaan
Perekonomian, 4) Sarana Publik dan Lingkungan Hidup, 5) Da'wah, serta bantuan
sarana Ibadah serta 6) Bantuan Santunan, Musibah dan Bencana dan Program
Green Airline sebagai pilar CSR Garuda Indonesia untuk mejadi Green Airline
yang mampu menghindari atau setidaknya meminimalkan dampak terhadap
kelestarian lingkungan hidup.
Aktifitas pelestarian lingkungan juga dilakukan Pemerintah Indonesia yang
pada tahun 2014 ini mengusung tema Hari Lingkungan Hidup yaitu “Satukan
Langkah, Lindungi Ekosistem Pesisir dari Dampak Perubahan Iklim” yang
dimaksudkan untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat atas pentingnya
perlindungan ekosistem pesisir dan dampak perubahan iklim dalam rangka
ketahanan lingkungan. Tema ini selaras dengan tema World Environment Day
2014 yang dikeluarkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP)
yaitu “Raise Your Voice, Not the Sea Level” (Siaran Pers Kementerian
Lingkungan Hidup dalam Peluncuran Pekan Lingkungan Indonesia Tahun 2014)
Untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan kegiatan CSR bidang
lingkungan tidak hanya diperlukan komitmen yang kuat, namun juga partisipasi
12 | P a g e
aktif semua pihak yang peduli terhadap keberlangsungan kehidupan umat manusia
kini, esok dan di masa datang. Tujuh alternatif CSR Bidang Lingkungan pada
Petunjuk Pelaksanaan ini mencakup:
1. Produksi Bersih (Cleaner Production)
2. Konservasi Energi dan Sumber Daya Alam
3. Kantor Ramah Lingkungan (Eco Office)
4. Pengelolaan Sampah Melalui Reduce, Reuse, Recycle (3R)
5. Energi Terbarukan
6. Adaptasi Perubahan Iklim
7. Pendidikan Lingkungan Hidup. (KLH, 2012:8-9)
6.
Kesimpulan
Paradigma ekosentrisme yang diterima oleh masyarakat, memposisikan
manusia sejajar dengan mahluk hidup lainnya di muka bumi. Tidak ada satu
justifikasi apapun yang memposisikan manusia lebih tinggi dan memiliki izin untuk
melakukan eksploitasi alam tanpa batas.
Sehingga, lebih jauh, paradigma ini
meminta manusia agar lebih arif dan bijaksana dalam menggunakan akal
pikirannya. Dengan paradigma ini manusia diharapkan dapat bersahabat dengan
alam dengan cara menjaga keberlangsungannya.
Mengingat peran lingkungan yang sangat besar terhadap kelangsungan
sebuah kehidupan, maka peran serta kita semua, baik individu maupun korporasi,
dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup menjadi sebuah keharusan.
Wujud kepedulian lingkungan tersebut dapat ditunjukkan melalui berbagai ragam
cara, mulai dari aktifitas yang sifatnya global sampai pada hal yang lebih rinci
menyangkut pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama berkaitan dengan upaya
pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup.
Upaya yang perlu digalakkan adalah dengan menerapkan konsep filantropi
lingkungan dalam setiap aktifitas ekonomi, baik yang dilakukan oleh individu
melalui penerapan zakat, infaq, sedekah, hibah, wakaf, dan aktifitas berbagi
lainnya. Korporasi/perusahaan sebagai pelaku ekonomi yang lebih besar
diharapkan juga menerapkan pola filantropi lingkungan, melalui aktifitas CSR,
tidak hanya dalam bentuk kegiatan simbolik seperti penanaman pohon, tetapi juga
pola kebertanggungjawaban sosial secara berkelanjutan.
13 | P a g e
Perubahan dalam pola pikir masyarakat juga perlu dilakukan agar kegiatan
filantropi tidak hanya sebatas kegiatan beramal yang temporer untuk menangani
kasus-kasus
bencana,
tapi
mulai
diarahkan
secara
profesional
dan
berkesinambungan untuk program-program pembangunan jangka panjang.
Jika kesadaran tersebut telah tumbuh, maka secara langsung akan
membentuk pribadi yang tidak hanya berpikir menciptakan kesejahteraan individu,
namun juga bertanggung jawab pada terciptanya kemaslahatan ekonomi dalam
masyarakat, yaitu memperoleh falah (kedamaian dan kesejahteraan dunia-akhirat).
Wallahu a’lam bisshawab.
14 | P a g e
Daftar Pustaka
Ascarya. 2006. Akad dan Produk Bank Syariah: Konsep dan Praktek di Beberapa
Negara. Jakarta: Bank Indonesia.
Brown. Valerie. 1999. The Rise of Ecotheology. 21stC: The World of Research at
Columbia. Volume 3. Issue 4. http://www.columbia.edu/cu/21stC/issue3.4/brown.html. diunduh tanggal 26 Oktober 2013.
Chapra , M. Umer. 1995. Islam and the Economic Challenge (Islamic Economic Series
17). Virginia: The International institute of Islamic Thought and The Islamic
Foundation.
Chapra. M. Umer. 1996. What is Islamic Economics?. Jeddah. Saudi Arabia: IRTI –
IDB.
Edwards. Denis. 2007. Ecology at The Heart of Faith (The Change of Heart That Leads
to A New Way of Living on Earth). Orbis Books: Maryknoll. New York.
Fajar. Mukti ND. Dr. 2010. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fata. Ahmad Khoirul. 2006. Ekoteologi dan Fiqih Lingkungan. http://cakfatadenbagus.blogspot.com/2008/10/ekoteologi-dan-fiqih-lingkungan.html. diunduh
tanggal 26 Oktober 2013.
Fazlurrahman. 1994. Islam. cet.II. terj. Ahsin Mohammad. Bandung : Pustaka.
Ghofur. Ruslan Abdul. 2012. Kebijakan Distribusi Ekonomi Islam Dalam Membangun
Keadilan Ekonomi Indonesia. Jurnal ISLAMICA. Vol. 6. No. 2. Maret.
Herrmann. Kristina K. 2004. “Corporate Social Responsibility And Sustainable
Development: The European Union initiative as A Case Study” in Indiana
Journal of Global Legal Studies. Summer Edition.
Hidayanto. Fajar. 2008. Praktek RIba dan kesenjangan Sosial. Jurnal Ekonomi Islam
La_Riba. Vol. II. No. 2. Desember 2008.
Ihwan. Muhammad. 2010. Ekoteologi: Mendekati Tuhan Melalu Perspektif Ekologi.
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2010/08/10/ekoteologi-mendekatituhan-melalu-perspektif-ekologi-221069.html. diunduh tanggal 26 Oktober
2013.
Iswadi. Muhammad. 2007. Ekonomi Islam: Kajian Konsep Dan Model Pendekatan.
Jurnal Mazahib. Vol. IV. No. 1. Juni 2007.
Kementerian lingkungan Hidup. 2012. Petunjuk Pelaksanaan CSR Bidang Lingkungan.
Jakarta: t.n.p.
Korten. David C. 2001. Menuju Abad Ke-21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global.
terj. Lilian Teja Sudhana. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mannan. M. Abdul. 1997.Teori dan Peraktek Ekonomi Islam. terj. M. Nastangin
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Naqvi. Syed Nawab Haidar. 1994. Islam. Economics and Society. UK: Kegan Paul
International.
Nazaruddin. 2013. Islam Dan Keadilan Ekonomi. http://nazaruddinaw.com/?p=321.
diunduh 25 Oktober 2013.
Soelaeman. 1995. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT.Eresco.
White. Lynn. Jr. 1974. The Historical Roots of Our Ecological Crisis [with discussion
of St Francis; reprint. 1967].Ecology and religion in history. New York: Harper and
Row.
15 | P a g e
Download