kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan budidaya rumput laut

advertisement
ABSTRAK
Alfiani Eliata Sallata. KAJIAN POTENSI SUMBERDAYA UNTUK
PENGELOLAAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN IKAN KERAPU DI
WILAYAH PESISIR KECAMATAN AMPIBABO, KABUPATEN PARIGI
MOUTONG, SULAWESI TENGAH. Di bawah bimbingan : Dr. Ir. Fredinan
Yulianda, MS. dan Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc.
Penelitian yang di lakukan di Kecamatan Ampibabo ini mempunyai dua
tujuan: (1) mengetahui potensi sumberdaya lingkungan berdasarkan kondisi fisik,
kimia dan biologi perairan yang diperuntukkan bagi budidaya rumput laut dan
ikan kerapu. Keseuaian lingkungan perairan untuk kemudian dianalisis
menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan (2) Menyusun rencana
pengelolaan kawasan budidaya laut. Wilayah pesisir yang sesuai untuk budidaya
ikan kerapu sistem KJA sebesar 1.605,84 Ha dan sesuai dengan beberapa faktor
pembatas sebesar 1.608,86 Ha. Untuk budidaya rumput laut sistem longline,
luasan perairan yang sangat sesuai sebesar 925,88 Ha, dan sesuai sebesar 8.633,19
Ha. Lebih lanjut, diketahui bahwa di pesisir Kecamatan Ampibabo mempunyai
luas potensi kawasan budidaya laut (rumput laut dan ikan kerapu) sebesar 2531,72
Ha, masing-masing sebesar 1.605,84 Ha untuk budidaya ikan kerapu dan 925,88
Ha untuk budidaya rumput laut. Hasil perhitungan kawasan yang efektif untuk
budidaya laut dengan memperhatikan peruntukan lain dan utilitas budidaya di
wilayah ini di peroleh sebesar 508.207 Ha
Melalui Sustainable Livelihood Approach (SLA) diperoleh suatu rencana
pengelolaan kawasan budidaya laut (rumput laut sistem longline dan ikan kerapu
sistem KJA). Rencana pengelolaan antara lain penataan ruang kawasan budidaya
laut, menjaga keberlanjutan sumberdaya pesisir, memperkuat kelembagaan sosial
ekonomi masyarakat, pembangunan infrastruktur, transfer ilmu pengetahuan dan
teknologi dan penguatan modal melalui pemberian kredit. Kesemuanya itu
bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam
wilayah pesisir serta mempertahankan keberlanjutan mata pencaharian
masyarakat.
ABSTRACT
Alfiani Eliata Sallata. STUDY OF RESOURCE POTENCY FOR
MANAGEMENT OF SEAWEEDS CULTURE AND GROUPER CULTURE
IN OF AMPIBABO, PARIGI MOUTONG REGENCY COASTAL AREA,
NORT SULAWESI. Under the supervision of Fredinan Yulianda, Phd. and
Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc.
The research in Ampibabo Sub District are divided into two purposes: (1)
to know the potencies of environmental resources base on aquatic physic,
chemical and biology water used by seaweeds and grouper culture. Based on
suitability of water quality analysis by using Geographic Information System
(GIS) and (2) to make the management plan of marine culture area. Coastel that is
suitable area for grouper culture in floating cage system is 1.605,84 Ha and
suitable with border factor is about 1.608,86 Ha. The other area that is very
suitable for seaweed culture is 925,88 Ha and suitable is 8.633,19 Ha. Ampibabo
Sub District has potential area for marine culture is about 2531,72 Ha, where
1.605,84 Ha for grouper culture and 925,88 Ha for seaweed culture. Consist of the
effective area for marine culture with limited another focus and utilization marine
culture in this area is about 508,207 Ha.
Through the implementation of Sustainable Livelihood Approach (SLA)
concept is found the Management Plan of marine culture area (seaweed culture
and grouper cage culture by floating cage system). This Management Plan are
consist of: Spatial Plan of Marine Culture, to keep coastal area sustainability,
empowerment social economic organizations, to develop infrastructure, Transfer
of Know-how and Transfer of Technology, Capital empowerment (Credit for
farmers). In this case, resource sustainability utilization
of Livelihood
Sustainability of community.
Parigi Moutong Regency is the part of Tomini bay water that had rich of coastal
and marine resources. It have cost lines is about 447 Km and the area is about
16.000 km2, the most of the regencies region location in coastal are. Ampibabo
Sub District is the ones from ten sub district in Parigi Moutong Regencies. The
purposes of research in Ampibabo Sub District are to know
potencies of
environmental resources base on physical, chemical and biological of water.
Based on suitability of water analysis using by Geographic Information System
(GIS), the results are: for seaweed culture very suitable of area for develop is
56.28 Ha and suitable with border factor is about 115.25 Ha. For grouper culture
in floating cage system, the area that very suitable is about 32.47 Ha, and suitable
is 1038.08 Ha. Based on feasibility Business analysis of seaweed culture using by
Benefit Cost analysis, financially known that seaweeds culture and grouper
culture by floating cage system area suitable for develop. Value of Benefit-Cost
ratio for seaweed culture is 1.57, and grouper in Floating cage system is 2.26.
Seaweed culture area and culture and grouper culture by floating cage
management in Ampibabo Sub District aim to know-how increasing and increase
of ability of farmers, economic organization powers, to manage of land use
activities, and keep coastal resources sustainability.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Budidaya laut merupakan bagian dari budidaya perikanan (akuakultur)
yang didefinisikan sebagai intervensi yang terencana dan sengaja oleh manusia
dalam proses produksi organisme akuatik seperti ikan (finfish), udang (krustasea),
moluska, ekinodermata, dan alga (Effendi 2004). Terdapat beberapa komoditas
perikanan yang potensial untuk dikembangkan dalam usaha perikanan budidaya
laut antara lain teripang, kakap, tiram, kerang darah, ikan kerapu, abalone, tiram
mutiara, rumput laut, dan kuda laut. Adapun komoditas tersebut selain berpotensi
sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal akan protein bersumber dari laut,
juga merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi.
Ikan kerapu misalnya, saat ini menjadi salah satu komoditi unggulan
budidaya laut karena memiliki peluang eksport yang menjanjikan terutama untuk
tujuan pasar Hongkong dan Singapura. Volume produksi komoditas ikan kerapu
untuk eksport mencapai 35.000 ton per tahun. Jenis ikan kerapu yang telah banyak
dikembangkan antara lain kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus). Di pasar dunia, harga ikan kerapu bebek rata-rata Rp.
300.000,00 per kilogram (Kompas 2005), sedangkan untuk kerapu macan di
tingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000,00 sampai Rp
100.000,00 dan berkisar antara US$ 12-17 di Pasar Asia, tergantung ukuran ikan
(DKP 2006). Keunggulan lain yang dimiliki dalam budidaya ikan kerapu yaitu
penguasaan teknologi. Teknologi
pembenihan dan pembesaran telah banyak
berkembang dan sebagian besar sudah dikuasai dengan baik. Di Indonesia sendiri,
pembesaran ikan kerapu terutama dengan sistem keramba jaring apung (KJA)
telah banyak dikembangkan di beberapa propinsi di Indonesia untuk skala besar,
menengah maupun kecil.
Komoditi unggulan perikanan budidaya lainnya yang tidak kalah populer
di pasaran adalah rumput laut. Rumput laut terutama untuk jenis Eucheuma
cottonii yang juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii merupakan jenis
telah banyak dikembangkan di hampir setiap propinsi di Indonesia. Selain karena
relatif mudah dan modalnya relatif murah, rumput laut juga mempunyai nilai
2
ekonomi yang relatif tinggi. Di Propinsi Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten
Takalar, Jeneponto, Bulukumba dan Sinjai misalnya, harga rumput laut kering di
tingkat petani berkisar antara Rp. 3.800,00 – Rp. 4.000,00 per kilogram,
sedangkan di tingkat pabrik harga rumput laut sebesar Rp. 4.700,00 – Rp. 5000,00
per kilogram (Kompas 2004). Keberadaan usaha budidaya rumput laut sangat
membantu masyarakat nelayan dan pembudidaya di wilayah pesisir sebagai salah
satu sumber pendapatan tambahan keluarga. Menurut DKP (2006), di Indonesia
rumput laut di eksport umumnya dalam bentuk kering dengan jenis Gracillarta
spp. Euchema cotonii dan E. spinosum dengan tujuan China, Hong Kong,
Spanyol, Jepang dan Philippina. Lebih lanjut diketahui bahwa, nilai ekspor
rumput laut baru berkontribusi sekitar 1 % dari total ekspor hasil perikanan.
Sebagaimana diketahui Indonesia memililiki potensi sumberdaya alam
yang mendukung untuk dikembangkannya budidaya laut. Menurut DKP (2006),
potensi perairan untuk budidaya ikan kerapu dan rumput laut di Indonesia
masing-masing sekitar 1.1 juta ha. Kecamatan Ampibabo adalah salah satu dari 10
Kecamatan yang berada di Kabupaten Parigi Moutong. Kecamatan ini mempunyai
panjang garis pantai mencapai 56,25 km dan luas wilayah secara keseluruhan ±
589,99 Km2. Secara Topografi Kecamatan Ampibabo terbagi atas 15 Desa yang
sebagian besar berada di wilayah pesisir atau sebanyak 14 desa pesisir.
Kondisi wilayah terutama pesisir dan laut yang ada di Kecamatan
Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong dinilai dari luas wilayah perairan
pesisirnya, cukup mendukung untuk dikembangkannnya perikanan budidaya
khususnya budidaya laut. Kondisi tersebut juga didukung dengan kebijakan
Pemerintah Daerah Kabupaten Parigi Moutong untuk mulai membangun potensi
sumberdaya alam yang dimiliki untuk dapat meningkatkan nilai produksi
perikanan daerah. Bagi sektor perikanan budidaya laut hal tersebut diatas menjadi
suatu langkah maju untuk mulai mengembangkan sektor ini. Karena diharapkan,
dengan berkembangnya sektor perikanan budidaya laut, dimasa akan datang akan
dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat, terutama masyarakat pesisir melalui lapangan kerja baru.
Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut
Kecamatan Ampibabo melalui kegiatan budidaya yang dikembangkan khususnya
3
untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu, haruslah didasarkan pada elemenelemen pendukung. Faktor lingkungan merupakan salah satu elemen utama yang
mendukung keberlangsungan kegiatan usaha budidaya. Adapun beberapa faktor
pendukung lainnya yang juga penting meliputi teknologi, aset sosial budaya dan
ekonomi masyarakat, infrastruktur, dan sumberdaya manusia. Dengan adanya
interaksi dari faktor-faktor tersebut di harapkan dapat diperoleh pemanfaatan
kawasan yang optimal.
Pemanfaatan kawasan perairan pesisir haruslah di lakukan pada suatu
lokasi yang sesuai untuk setiap komoditinya. Oleh karena itu untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir Kecamatan Ampibabo,
penelitian mengenai kajian potensi sumberdaya terutama untuk budidaya rumput
laut dan ikan kerapu sangatlah diperlukan. Lebih lanjut, untuk mendapatkan suatu
kegiatan budidaya yang berkelanjutan dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi,
diperlukan juga suatu pengelolaan kawasan. Dari hasil kajian ini, diharapkan
dapat menjadi petunjuk dalam pengembangannya, sehingga dapat dijadikan bahan
acuan bagi berbagai pihak terkait seperti pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah
Wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo merupakan bagian dari perairan
Teluk Tomini yang dikenal kaya akan sumberdaya alam pesisir dan lautnya.
Pemanfaatan kawasan pesisir Kecamatan Ampibabo untuk kegiatan budidaya
rumput laut dan ikan kerapu diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti
dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Akan tetapi kondisi yang
dirasakan saat ini adalah belum optimalnya pemanfaatan kawasan untuk budidaya
laut baik dari segi produksi maupun keberlanjutan usaha budidaya.
Rumput laut dan ikan kerapu merupakan dua komoditi yang menjadi
arahan
pengembangan
pemerintah
Kabupaten
Parigi
Moutong.
Untuk
memberikan dukungan terhadap kegiatan usaha khususnya rumput laut, pada awal
tahun 2005 pemerintah melalui Dinas perikanan Kabupaten Parigi Moutong
memberikan bantuan berupa modal awal untuk budidaya rumput laut dengan
sistem tali panjang atau longline. Akan tetapi kondisi yang ditemui adalah tidak
4
adanya keberlanjutan usaha. Untuk budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba
jaring apung (KJA), investasi terutama dari pihak swasta sangat dibutuhkan
karena besarnya modal yang dalam menjalankan kegiatan ini. Beberapa faktor
penyebabnya masih belum banyaknya investasi untuk kegiatan ini adalah masih
belum adanya informasi yang jelas akan potensi wilayah perairan yang dapat
dijadikan dasar untuk pengembangan budidaya ikan sistem KJA.
Lingkungan perairan merupakan faktor utama dalam mendukung
keberlanjutan usaha budidaya. Kualitas lingkungan perairan yang baik akan
berpengaruh pada kualitas produk yang dihasilkan. Pemilihan lokasi yang tepat
untuk menjadi tempat di lakukan kegiatan budidaya dalam hal ini budidaya
rumput laut dan ikan kerapu penting untuk diketahui, sehingga menghasilkan
suatu arahan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan usaha. Selain itu
dapat juga memberikan informasi mengenai seberapa besar potensi yang ada
sehingga optimalisasi dalam pemanfaatan wilayah dapat di realisasikan.
Beberapa faktor lain yang menjadi pendukung keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya lingkungan perairan bagi usaha budidaya rumput laut dan ikan kerapu
antara lain teknologi produksi budidaya, kondisi sosial dan budaya masyarakat,
ketersediaan infrastruktur dan permodalan. Beberapa faktor pendukung tersebut
merupakan bagian yang tak terpisahkan, akan tetapi belum mendapat kajian yang
lebih mendalam. Hal tersebut dapat dilihat dari perencanaan terutama oleh
pemerintah daerah setempat yang telah dilaksanakan, akan tetapi hasil yang
diinginkan dalam pemanfaatan untuk mendapat hasil produksi yang berkelanjutan
tidak diperoleh.
1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji potensi sumberdaya lingkungan yang diperuntukkan bagi
pengembangan budidaya rumput laut dan ikan kerapu
2. Menyusun rencana pengelolaan kawasan budidaya rumput laut dan ikan
kerapu terutama didasarkan pada potensi sumberdaya lingkungan beserta
dengan aspek pendukungnya yaitu aspek sosial ekonomi dan aspek teknis
5
Adapun manfaat penelitian adalah :
1. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam rencana pengelolaan
kawasan budidaya laut yang juga terkait dengan rencana tata ruang wilayah
(RTRW) di pesisir Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat dan swasta mengenai potensi
pengembangan kegiatan budidaya laut di pesisir Kecamatan Ampibabo,
Kabupaten Parigi Moutong.
1.4. Kerangka Pemikiran
Salah satu pemanfaatan wilayah pesisir yang dirasakan dapat memberikan
kontribusi yang berarti terhadap produksi perikanan yaitu perikanan budidaya
laut. Budidaya rumput laut dan ikan kerapu merupakan dua komoditi yang banyak
dikembangkan
karena
permintaan
pasar
yang
cukup
besar.
Untuk
mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pesisir khususnya bagi kegiatan budidaya
rumput laut dan ikan kerapu maka haruslah bertumpu pada keberadaan
sumberdaya lingkungan khususnya lingkungan perairan pesisir. Sumberdaya
lingkungan perairan pesisir erat kaitannya dengan kualitas fisik, kimia, dan
biologi yang menjadi parameter utama untuk kesesuaian lokasi budidaya.
Sistem budidaya yang menjadi pilihan juga menjadi bagian penting dalam
penetapan suatu lokasi budidaya laut. Budidaya dengan metode tali panjang atau
longline dan keramba jaring apung (KJA) menjadi pilihan dalam sistem yang akan
dikembangkan, sehingga kriteria yang di tetapkan di sesuaikan dengan jenis
komoditi dan sistem tersebut. Oleh karena itu, untuk mewujudkan suatu konsep
pengelolaan kawasan budidaya laut yang berkelanjutan, maka dilakukan suatu
kajian yang meliputi potensi sumberdaya lingkungan bagi pengembangan
budidaya rumput laut dan ikan kerapu. Potensi sumberdaya lingkungan juga
didukung dengan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, ketersediaan
prasarana dan sarana pendukung, serta kebijakan pemerintah daerah (Gambar 1).
Sistem Informasi geografis (SIG) merupakan salah satu analisis spasial
yang digunakan untuk menganalisis potensi sumberdaya lingkungan terutama
kesesuaiannya perairan bagi kegiatan budidaya rumput laut dan kerapu sistem
keramba jaring apung. Sistem Informasi Geografi telah banyak digunakan dalam
6
melakukan berbagai analisis keruangan seperti halnya perencanaan wilayah dan
pengelolaan sumberdaya alam. Untuk mencapai tujuan penelitian ini terlebih
dahulu harus diketahui kondisi spesifik wilayah ini yang diperlukan untuk studi
SIG, seperti model data, struktur, dan teknik pengelolaan basis data. Begitu juga
perlunya data mengenai eksisting perairan, kualitas fisik dan kimia perairan,
batimetri, kecepatan arus, sebaran terumbu karang, lamun, rumput laut dan
sebagainya, dimana informasi ini sangatlah penting untuk menghasilkan suatu
perencanaan yang optimal, khususnya bagi penataan kawasan untuk pengelolaan
kawasan budidaya perikanan budidaya.
7
SUMBERDAYA DI WILAYAH
PESISIR KECAMATAN
AMPIBABO, KAB. PARIGI
MOUTONG
Kondisi fisik, kimia
dan biologi perairan
Budidaya Rumput
Laut Sistem Longline
Kesesuaian Lingkungan
Perairan Untuk Kegiatan
Budidaya Laut
Potensi Sumberdaya
Lingkungan Bagi
Pengembangan
Budidaya Laut
Budidaya Ikan Kerapu
Sistem KJA
Kelayakan Usaha
Budidaya Laut
Kebijakan Pembangunan
Pemerintah Daerah
(RTRW wilayah Kabupaten Parigi
Moutong)
Sarana dan Prasarana
Pendukung Kegiatan Budidaya Laut
Aspek Sosial Ekonomi daBudaya
Masyarakat
Rencana Pengelolaan
Kawasan BudidayaRumput
Laut dan Ikan Kerapu
Gambar 1. Kerangka pikir kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan kawasan
budidaya rumput laut dan ikan kerapu di Kecamatan Ampibabo,
Kabupaten Parigi Moutong
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut
Perikanan budidaya atau akuakultur merupakan bagian dari perikanan dan
kelautan mempunyai arti penting dalam memberikan kontribusinya, walaupun
diakui perikanan tangkap masih memberikan kontribusi yang lebih pada sektor
perikanan. Akan tetapi, berdasar data dari FAO (2002), produksi perikanan
tangkap dunia cenderung mengalami penurunan akibat eksploitasi dan
menurunnya sumberdaya ikan di laut, sedangkan akuakultur mempunyai
kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan. Ditambahkan bahwa,
aquakultur juga mampu menciptakan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja.
Hal ini dapat dilihat bahwa akuakultur dapat dilakukan di setiap lapisan
masyarakat mulai dari pedesaan sampai dengan perkotaan; mempunyai
karakteristik usaha yang cepat menghasilkan (quick yielding) dengan margin
keuntungan yang cukup besar; mempunyai cakupan usaha yang luas, sehingga
dapat memacu pembangunan industri hulu maupun hilir (seperti pabrik pakan,
hatchery/pembenihan, industri jaring, industri pengolahan, cold storage, pabrik es
dsb.); dapat mengatasi kemiskinan penduduk; sudah tersedia teknologi terapan.
Lebih lanjut, Muir dan Roberts (1985) menambahkan bahwa budidaya perikanan
diharapkan mengisi kekurangan kebutuhan protein akibat stagnasi dan
menurunnya produksi perikanan sementara populasi manusia bertambah dengan
cepat
Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan
organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka
mendapatkan keuntungan.
Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan
budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang
terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik
(Shell dan Lowell 1993), untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial
(Shang 1990). Selain memproduksi makanan, budidaya laut juga bertujuan untuk
meningkatkan stok ikan di laut (stock enhancement).
Kebijakan pemanfaatan potensi akuakultur bagi pengembangan ekonomi
nasional yang akan ditempuh adalah melalui pengembangan kawasan budidaya
9
dan komoditas unggulan. Berdasarkan hasil kajian Ditjen Perikanan Budidaya
tahun 2004, diperkirakan terdapat 8,36 juta ha perairan laut yang secara indikatif
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan budidaya laut. Dari luasan
tersebut, untuk budidaya ikan bersirip (fin fish) 20%, kekerangan 10%, rumput
laut 60% dan lainnya 10%. Tingkat pemanfaatan sebagian besar provinsi baru
mencapai kurang dari 1%, namun sebagian lainnya telah mencapai di atas 1%
sampai 25%, yaitu DKI Jakarta sekitar 24%, Bali sekitar 8%, Sulawesi Tenggara
sekitar 6%, dan NTT sekitar 2%.
Di kabupaten Situbondo misalnya, telah mengembangkan usaha budidaya
laut seperti budidaya ikan kerapu, lobster dan rumput laut. Jenis ikan yang
dipelihara di KJA antara lain; ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu
sunu (Plectropomus leopardus; P. maculatus ), kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus), dan udang lobster. Hasil produksi dari KJA pada umumnya
diperdagangkan dalam keadaan hidup. Sedangkan untuk pengembangan budidaya
rumput laut jenis yang sudah dikembangkan adalah Eucheuma cottoni. Produksi
rumput laut di Kabupaten Situbondo di perkirakan sekitar 2.534 ton pertahun
dengan nilai penjualan 1.7 milyar rupiah. Aktivitas ini
pada tahun 2005
diusahakan oleh 385 pembudidaya (pengusaha) dengan ancak pertahun sekitar
770 buah (Pemda Situbondo 2005).
Pengembangan budidaya laut dan pantai di Indonesia berjalan sangat
lamban disebabkan karena adanya berbagai permasalahan yang dihadapi. Jika
disarikan, permasalahan tersebut dapat digolongkan kedalam 4 bagian yaitu
masalah yang berkaitan dengan alam atau lingkungan, masalah sosial-ekonomi,
masalah kelembagaan dan masalah teknologi. Lee (1997) menyatakan bahwa
untuk pengembangan budidaya (termasuk perikanan), harus didukung oleh
lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan. Clark dan Beveridge
(1989) mengatakan bahwa tantangan pengembangan budidaya ikan terletak pada
kurangnya teknologi. Belum berkembangnya berkembang dengan baik di
Indonesia, dikarenakan tingkat penguasaan teknologi budidaya masih lemah.
Sebagai gambaran, meskipun teknologi budidaya laut yang telah dikuasai meliputi
teknologi kakap putih, beronang dan kerapu, namun diantara komoditas-
10
komoditas tersebut, yang teknologinya betul-betul telah mantap dikuasai barulah
teknologi budidaya kakap putih dan kerapu.
2.2. Komoditas Budidaya Laut
2.2.1. Rumput Laut
Rumput Laut dengan jenis-jenisnya yang beragam merupakan salah satu
sumberdaya perikanan yang cukup potensial karena mempunyai nilai ekonomis
penting. Beberapa jenis rumput laut merupakan komoditas yang menjadi komoditi
ekspor Indonesia. Jenis-jenis tersebut mengandung senyawa polisakarida, seperti
keraginan yang berasal dari Eucheuma spp., agar-agar yang berasal dari
Gracilaria spp., Gelidium spp., dan alginat dari Sargassum spp., Turbinaria spp.,
dan Laminaria spp. Karaginan berperan sebagai pengatur keseimbangan dan
pengemulsi yang banyak digunakan pada industi instant, makanan, farmasi dan
kosmetik (Mubarak dkk 1990; DKP 2004).
Rumput laut tumbuh hampir diseluruh bagian hidrosfer sampai batas
kedalaman sinar matahari masih dapat mencapainya. Selain itu, hidup sebagai
fitobentos dengan menancap atau melekatkan dirinya pada substrat lumpur, pasir,
karang, fragmen karang mati, batu, kayu, dan benda keras lainnya, serta ada pula
yang menempel pada tumbuhan lain. Jenis seperti Eucheuma sp. dan Gracilaria
sp. merupakan jenis-jenis yang telah banyak di budidayakan. Secara taksonomi
jenis tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Phylum : Rhodophyta
Class
Ordo
: Rhodophyceae (Rumput laut merah)
: Gigartinales
Family : Solieriaceae; Gracilariaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonii
Eucheuma cottonii sebagai penghasil Karaginan
Eucheuma cottonii adalah salah satu kelompok algae Rhodophyceae
penghasil karagian. Ciri fisik jenis ini adalah mempunyai thallus silindris,
11
permukaan licin, cartilogeneus, warna tidak terlalu tetap kadang-kadang hijau,
hijau kuning, abu-abu dan merah tergantung pada kualitas pencahayaan. Oleh
Aslan (1998), mengatakan bahwa Eucheuma cottonii mempunyai habitat khas
berupa daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu yang kecil
dan substrat batu karang mati.
Karaginan merupakan ekstrak rumput laut yang tidak lain adalah senyawa
kompleks polisakarida yang dibangun dari sejumlah unit galaktosa dan 3,6anhydro-galaktosa baik mengandung sulfat maupun tidak dengan ikatan alfa-1,3D-Galaktosa dan beta-1,4-3,6-ahnydro-galaktosa secara bergantian. Eucheuma
cottonii terutama dimanfaatkan dalam bentuk kappa-carrageenan. Hellebust and
Cragie (1978), karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan
bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan
komponen lain. Lebih lanjut oleh Glicksman (1983), bahwa karaginan merupakan
getah rumput laut dari hasil ekstraksi rumput laut merah menggunakan air panas.
Oleh Wilkinson and Moore (1982), bahwa dalam industri pangan karaginan
dimanfaatkan untuk memperbaiki penampilan produk kopi, beer, sosis, salad, ice
cream, susu kental manis, coklat, coklat, jeli, dll. Untuk industri farmasi
digunakan dalam pembuatan obat berupa syrup, tablet, dsb, sedangkan dalam
industri kosmetik digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan
tujuan mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan
shampo, pelembab, dsb.
Yunizal dkk (2000) menyatakan bahwa sebagai bahan baku pengolahan,
rumput laut harus dipanen pada umur yang tepat. E. Cottonii dipanen setelah
berumur 1,5 bulan atau lebih. Sedangkan oleh Mukti (1987) menyatakan bahwa
pemanenan sudah dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap
cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum. Lebih lanjut oleh
Departemen Pertanian (1995), bahwa tingkat pertumbuhan rumput laut mencapai
puncak pada saat beratnya mencapai ± 600 g/rumpun. Kandungan karaginannya
mencapai puncak tertinggi pada umur 6 – 8 minggu dan dipanen dengan cara
memotong bagian ujung tanaman yang sedang tumbuh. Berdasarkan hasil
penelitian Iksan (2005), bahwa semakin tinggi pertumbuhan bobot basah maka
12
semakin tinggi kadar karaginan sampai batas tertentu atau minggu keempat,
kemudian menurun seiiring dengan kenaikan bobot basah.
2.2.2. Ikan Kerapu
Ikan kerapu yang merupakan salah satu jenis ikan yang habitat hidupnya di
terumbu karang (ikan karang) banyak terdapat di perairan Indonesia. Ikan jenis ini
potensial dibudidayakan karena pertumbuhannya relatif cepat, mudah dipelihara,
mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan tahan
terhadap ruang terbatas atau dapat dikembangkan pada keramba jaring apung
(Aditya dkk. 2001). Dalam SEAFDEC (2001), bahwa di dunia Internasional ikan
kerapu dikenal dengan nama grouper dan merupakan jenis ikan yang
diperdagangkan dalam keadaan hidup serta paling populer di daerah Asia-Pacifik.
Ikan ini telah dibudidayakan secara luas di Asia Tenggara. Harga kerapu macan
hidup di tingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000,00-Rp.
100.000,00/kg dan sekitar US$ 12-17 di Hong Kong tergantung ukuran ikan.
Pengetahuan tentang biologi ikan kerapu sangat mendukung keberhasilan
usaha budidaya ikan kerapu, terutama morfologi, penyebaran atau distribusi,
habitat, pakan dan kebiasaan makannya. Secara umum kerapu mempunyai bentuk
badan yang gemuk pipih dengan kulit bersisik, hidup di perairan karang yang
bersih, dan beruaya atau migrasi terbatas pada kisaran lingkungan perairan dengan
kadar garam 31-34 ppt, pH 7,0 - 8,5, oksigen terlarut > 5 ppm, Nitrite nitrogen 0 –
0,05 ppm dan amonia (NH3-N ) < 0,02 ppm (DKP, 2006)
Ikan kerapu adalah termasuk jenis ikan carnivora atau pemakan daging.
Pada fase larva, dibutuhkan pakan berupa zooplankton seperti Brachionus sp. dan
mikro organisme lainnya. Untuk fase benih dibutuhkan artemia (brine shrim)
kemudian udang-udang kecil (jambret) dan ikan kecil, lalu pada tingkat dewasa
adalah ikan, cumi dan lainnya (Anonim, 2006).
Terdapat sekitar 91 jenis ikan kerapu di Indonesia yang berasal dari 7
(tujuh) genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopolis, Cromileptes,
Epinephelus, Plecuropomus, dan Variola (DKP 2005 dan Sunyoto 1993).
Menurut
Subiyanto
(2003),
bahwa
oleh
pemerintah
telah
berhasil
mengembangkan dan mensosialisasikan ikan kerapu terutama untuk jenis macan
13
(Epinephelus
fuscoguttatus),
tikus
(Chromileptes
altivelis),
dan
lumpur
(Epinephelus suillus), serta diperkuat oleh tinggi dan stabilnya harga jual kerapu
hidup tersebut terutama permintaan ekspor. Adapun dalam Randall (1987),
klasifikasi ikan kerapu adalah sebagai berikut :
Phylum
: Chordata
Class
: Osteichtyes
Sub-Class
: Actinopterygii
Ordo
: Percomorphii
Sub-Ordo
: Percoide
Family
: Serramidae
Genus
: Epinephelus; Cromileptes; Plectropomus; Piectropus
Spesies
: Epinephelus fuscoguttatus (kerapu macan), Chromileptes altivelis
(kerapu
tikus),
Epinephelus
Epinephelus
coloides
bleckeri
(kerapu
(kerapu
lumpur),
lumpur),
Cromileptes
polyphekadion (kerapu batik), Plectropomus leopanchus (kerapu
sunu), Piectropus maculatus (kerapu sunu)
2.3. Sistem Budidaya
2.3.1. Budidaya Kerapu Sistem Keramba Jaring Apung
Jaring apung (cage culture) atau keramba jaring apung (KJA) adalah
sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung (floating net
cage) dengan bantuan pelampung yang ditempatkan di perairan. Sistem ini
ditempatkan di perairan pada kedalaman 7 – 40 m, dengan kecepatan arus
optimal sekitar 0,15 sampai 0,35 m/detik (Efendi 2004). Selain kedalaman dan
kecepatan arus, faktor keterlindungan juga penting untuk diperhatikan yang
erat kaitannya dengan keberadaan konstruksi keramba di laut. Perairan yang
berupa teluk dan selat sangat cocok untuk menjadi lokasi KJA.
Sistem KJA umumnya menggunakan padat penebaran ikan yang relatif
tinggi, sehingga tergolong berteknologi intensif. Mengingat kepadatan ikan
tinggi, maka dibutuhkan lokasi dengan sirkulasi air yang baik sehingga mampu
mensuplai oksigen yang cukup bagi organisme budidaya dan ketersediaan
14
pakan yang cukup. Sistem budidaya ini seyogyanya dilakukan oleh Sumber
Daya manusia (SDM) dengan kemampuan pembudidayaan yang relatif tinggi.
Sistem ini digunakan untuk budidaya kelompok ikan, udang lobster dan ikan
hias (PKSPL 2005).
2.3.2. Sistem Budidaya Rumput Laut
Metode budidaya yang akan dilakukan sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan rumput laut itu sendiri. Sampai saat ini telah dikembangkan 5
metode budidaya rumput laut berdasarkan pada posisi tanaman terhadap dasar
perairan. Metoda-metoda tersebut meliputi : metoda lepas dasar, metoda rakit
apung, metode long line dan metode jalur serta metode keranjang (kantung).
Adapun metoda budidaya rumput laut yang telah direkomendasikan oleh
Direktorat Jenderal Perikanan, meliputi: metoda lepas dasar, metoda apung (rakit),
metode long line dan metode jalur. Namun dalam penerapannya, keempat macam
metoda tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan di mana lokasi
budidaya rumput laut akan dilaksanakan (Dit. Perikanan Budidaya-DKP 2006).
A. Metode lepas dasar
Metode ini sangat tepat diterapkan pada areal perairan antara intertidal dan
subtidal dimana pada saat air surut terendah dasar perairan masih terendam air
serta lebih banyak memanfaatkan perairan yang relatif dangkal (Sudjatmiko dan
Angkasa 2006). Metode ini dilakukan pada dasar perairan yang berpasir atau
berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan patok/pacang, Namun hal ini
akan sulit dilakukan bila dasar perairan terdiri dari batu karang. Penanaman
dengan metode ini dilakukan dengan cara merentangkan tali ris yang telah berisi
ikatan tanaman pada tali ris utama dan posisi tanaman budidaya berada sekitar 30
cm di atas dasar perairan (perkirakan pada saat surut terendah masih tetap
terendam air). Patok terbuat dari kayu yang berdiameter sekitar 5 cm sepanjang 1
m dan runcing pada salah satu ujungnya. Jarak antara patok untuk merentangkan
tali ris sekitar 2,5 m. Setiap patok yang berjajar dihubungkan dengan tali ris
polyethylen (PE) berdiameter 8 mm. Jarak antara tali rentang sekitar 20 - 25 cm.
15
B. Metode rakit apung
Metode rakit apung adalah cara membudidayakan rumput laut dengan
menggunakan rakit yang terbuat dari bambu/kayu. Metode ini cocok diterapkan
pada perairan berkarang dimana pergerakan airnya didominasi oleh ombak.
Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit dari bambu/kayu. Ukuran setiap
rakit sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan material. Ukuran rakit dapat
disesuaikan dengan kondisi perairan tetapi pada prinsipnya ukuran rakit yang
dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut yang
ditanam.
Untuk menahan agar rakit tidak hanyut terbawa oleh arus, digunakan
jangkar (patok) dengan tali PE yang berukuran 10 mm sebagai penahannya. Untuk
menghemat areal dan memudahkan pemeliharaan, beberapa rakit dapat digabung
menjadi satu dan setiap rakit diberi jarak sekitar 1 meter. Bibit 50 -100 gr
diikatkan di tali plastik berjarak 20-25 cm pada setiap titiknya. Pertumbuhan
tanaman yang menggunakan metode apung ini, umumnya lebih baik daripada
metode lepas dasar, karena pergerakan air dan intensitas cahaya cukup memadai
bagi pertumbuhan rumput laut. Metode apung memiliki keuntungan lain yaitu
pemeliharaannya mudah dilakukan, terbebas tanaman dari gangguan bulu babi
dan binatang laut lain, berkurangnya tanaman yang hilang karena lepasnya
cabang-cabang, serta pengendapan pada tanaman lebih sedikit. Kerugian dari
metode ini adalah biaya lebih mahal dan waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan
sarana budidayanya relatif lebih lama. Sedangkan bagi tanaman itu sendiri adalah
tanaman terlalu dekat dengan permukaan air, sehingga tanaman sering muncul
kepermukaan air, terutama pada saat laut kurang berombak. Munculnya tanaman
kepermukaan air dalam waktu lama, dapat menyebabkan cabang-cabang tanaman
menjadi pucat karena kehilangan pigmen dan akhimya akan mati.
C. Metode tali panjang
Metode budidaya ini banyak diminati oleh masyarakat karena alat dan
bahan yang digunakan lebih tahan lama, dan mudah untuk didapat. Teknik
budidaya rumput laut dengan metode ini adalah menggunakan tali sepanjang 50100 meter yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap
16
25 meter diberi pelampung utama yang terbuat dari drum plastik atau styrofoam.
Pada setiap jarak 5 meter diberi pelampung berupa potongan styrofoam/karet
sandal atau botol aqua bekas 500 ml.
Pada saat pemasangan tali utama harus diperhatikan arah arus pada posisi
sejajar atau sedikit menyudut untuk menghindari terjadinya belitan tali satu
dengan lainnya. Bibit rumput laut sebanyak 50 - 100 gram diikatkan pada
sepanjang tali dengan jarak antar titik lebih kurang 25 Cm. Jarak antara tali satu
dalam satu blok 0,5 m dan jarak antar blok 1 m dengan mempertimbangkan
kondisi arus dan gelombang setempat. Dalam satu blok terdapat 4 tali yang
berfungsi untuk jalur sampan pengontrolan (jika dibutuhkan). Dengan demikian
untuk satu hektar hamparan dapat dipasang 128 tali, di mana setiap tali dapat di
tanaman 500 titik atau diperoleh 64.000 titik per ha. Apabila berat bibit awal yang
di tanaman antara 50 - 100 gram, maka jumlah bibit yang dibutuhkan sebesar
antara 3.200 kg - 6.400 kg per ha areal budidaya. Menurut Sudjatmiko dan
Angkasa (2006), bahwa keuntungan metode ini antara lain: tanaman cukup
menerima sinar matahari; tanaman lebih tahan terhadap perubahan kualitas air;
terbebas
dari
hama
yang
biasanya
menyerang
dari
dasar
perairan;
pertumbuhannya lebih cepat; cara kerjanya lebih mudah; biayanya lebih murah;
dan kualitas rumput laut yang dihasilkan baik.
D. Metode jalur
Metode jalur merupakan salah satu metode yang baru berkembang di
masyarakat menyesuaikan dengan kebiasaan dan kondisi perairannya. Metode ini
merupakan kombinasi antara metode rakit dan metode long line. Kerangka metode
ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar. Pada kedua ujung setiap bambu
dihubungkan dengan tali PE diameter 0,6 mm sehingga membentuk persegi
panjang dengan ukuran 5 m x 7 m per petak. Satu unit terdiri dari 7 - 10 petak.
Pada kedua ujung setiap unit diberi jangkar seberat 100 kg. Penanaman dimulai
dengan mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang telah dilengkapi tali PE 0,2
cm sebagai pengikat bibit rumput laut. Setelah bibit diikat kemudian tali jalur
tersebut dipasang pada kerangka yang telah tersedia dengan jarak tanam yang
digunakan minimal 25 cm x 30 cm
17
2.4. Lokasi Budidaya Laut dan Kualitas Perairan
2.4.1. Lokasi Budidaya
Perairan laut yang digunakan untuk kegiatan budidaya umumnya
merupakan perairan yang relatif terlindungi seperti teluk, selat, dan shallaow sea
(laut dangkal). Keterlindungan lokasi budidaya terutama dari gempuran ombak
besar, badai, dan angin kencang. Lebih lanjut dalam Efendi (2004) terdapat tiga
jenis lokasi di perairan laut yang memiliki sifat keterlindungan adalah sebagai
berikut :
1. Teluk
Teluk merupakan perairan laut yang menjorok masuk ke dalam daratan.
Oleh karena itu, perairan teluk relatif terlindungi dari ombak besar, badai, dan
angin. Sirkulasi air yang masuk banyak dipengaruhi oleh arus akibat pasang surut
air laut. Arus laut relatif lambat pada perairan dengan kisaran pasut yang kecil
(0,01 – 0,10 m/detik) sehingga sirkulasi air di perairan akan relatif keci.
2. Selat
Merupakan perairan laut di antara dua pulau atau beberapa pulau.
Keberadaan pulau yang berada mengapit dan mengelilingi perairan laut tersebut
menyebabkan selat realif terlindungi dari angin dan ombak badai. Keberadaan
pulau di yang mengapit perairan laut tersebut dapat memecah dan membelokkan
air dan arah massa air laut sehingga tidak merusak. Lebih lanjut, selat yang relatif
sempit dan memiliki kisaran pasit yang sangat lebar (3 – 5 m) ada kalanya
perairan memiliki arus laut yang sangat kuat hingga mencapai >0.5 m/detik.
3. Shallow water
Shallow water atau perairan laut dangkal umumnya di temukan di dekat
pantai. Perairan ini memiliki lebar beberapa meter hingga bebeberapa kilometer
dari pantai. Di dalam kawasan perairan laut dangkal terdapat beberapa bagian
seperti reef flat dan mud flat (0 – 5 m) dan yang dikenal dengan laguna atau goba
(7 – 15 m), serta karang pelindung atau barrier reef yang melindungi dari
gempuran ombak laut terbuka. Ombak dan arus laut yang besifat turbulen
(mangaduk) ketika mencapai dan menghantam karang pelindung berubah menjadi
ombak dan arus laut yang bersifat lamininer (mengendapkan) sehingga baik untuk
lokasi budidaya laut.
18
2.4.2. Kualitas Perairan
Kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
kegiatan budidaya perikanan. Kondisi perairan laut dapat dijadikan sebagai salah
satu indikator kelayakan suatu perairan untuk kegiatan budidaya laut. Salah satu
acuan yang digunakan untuk analisis data parameter kualitas perairan yaitu
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.15 Tahun
2004, tentang Baku Mutu Air Laut, terutama baku mutu untuk Biota Laut.
Adapaun kriteria kualitas air sesuai dengan KEPMEN LH No. 15 tahun 2004
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Baku Mutu Kualitas Air Laut terutama untuk biota laut menurut
KEPMEN LH No. 5 Tahun 2004
No
Parameter
Satuan
Baku Mutu
No.
karang : > 5
mangrove : lamun : > 3
6
7
8
9
0.015
0.0008
0.5
0.01
0.003
0.01
12
13
14
15
mg/l
µg/l
mg/l
MBAS
mg/l
µg/l
µg/l
1
2
3
4
5
6
7
LOGAM BERAT
Raksa (Hg)
Arsen (As)
Kadmium (Cd)
Tembaga (Cu)
Tombal (Pb)
Seng (Zn)
Nikel (Ni)
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
m
2
3
Kebauan
Kekeruhan
NTU
alami
<5
10
11
4
Padatan tersuspensi
Total
mg/l
5
6
Sampah
Suhu
karang : 20
mangrove : 80
lamun : 20
nihil
coral : 28 -30
mangrove :
28-32
lamun : 28-30
nihil
7
Lapisan Minyak
-
1
2
KIMIA
pH
Salinitas
o
/oo
7 - 8.5
alami
coral : 33-34
mangrove : s/d
34
lamun : 33-34
1
1
0.01
0.01
0.001
0.005
0.012
0.001
0.008
0.005
0.005
BIOLOGI
3
Oksigen Terlarut
mg/l
>5
1
Coliform (total)
4
BOD5
Amonia Total
(NH3-N)
mg/l
20
2
Patogen
mg/l
0.3
3
Plankton
5
Baku
mutu
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
FISIKA
Kecerahan
C
Satuan
Fosfat (PO4-P)
Nitrat (NO3-N)
Sianida (CN-)
Sulfida (H2S)
Senyawa fenol
total
PCB total
Surfaktan
(Deterjen)
Minyak & lemak
Pestisida
TBT (Tribulintin)
1
o
Parameter
MPN/100
ml
Sel/100
ml
Sel/100
ml
1000
nihil
tidak
bloom
19
2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu media yang baik
untuk menyampaikan hasil analisis bagi para pengambil keputusan, pengelola, dan
pemerintahan. O’Callaghan dan Garner (1991), mengatakan bahwa teknologi SIG
banyak digunakan terutama untuk pengelolaan sumberdaya alam seperti
perencanaan industri pertanian, konservasi sumberdaya alam, eksploitasi
sumberdaya mineral, pengelolaan taman nasional dan pengelolaan wilayah pesisir.
Secara umum keuntungan penggunaan SIG pada perencanaan dan
pengelolaan sumber daya alam adalah:
• Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital
dan analog) dari berbagai sumber dan memiliki kemampuan yang baik dalam
pertukaran data diantara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait
• Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif daripada
pekerjaan manual dan memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien.
• Mampu melakukan permodelan, pengujian dan pembandingan beberapa
alternatif kegiatan.
SIG pada dasarnya adalah suatu sistem informasi (perangkat lunak) yang
bereferensi dan berbasis komputer yang mampu menampung, menyimpan,
mengolah, dan mensimulasi data spasial, sehingga menghasilkan output sesuai
tujuan. Dalam Prahasta (2001), di jelaskan bahwa dalam SIG menggabungkan
dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi, dan geografis. Dari pengertian
ketiga unsur pokok ini, dapat dipahami bahwa SIG merupakan salah satu sistem
informasi yang menekankan pada informasi geografis, yang merupakan bagian
dari keruangan (spatial). Penggunaan kata “geografis” mengandung pengertian
suatu persoalan mengenai bumi secara tiga dimensi. Termaksud didalamnya
tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi
dimana suatu obyek terletak, dan informasi mengenai keterangan-keterangan
(atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diketahui
SIG bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karakteristik dan
potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu
mengintegrasikan beberapa data/peta dan mempunyai kemampuan sebagai
pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian
20
rupa, sehingga data tersebut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai
kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan. Dalam SIG
data disimpan dalam dua bentuk, yaitu : data spasial dan data atribut. Untuk
keperluan analisis data spasial, data atribut disimpan secara terpisah ini, kemudian
diintegrasikan (Macgure dan Goodchild 1991). Dengan menggunakan data yang
diperoleh dari fasilitas citra satelit, dan foto udara yang dapat dihubungkan secara
langsung, maka data diperoleh dari periode tertentu pada area yang sama, dipakai
untuk mengetahui perubahan yang terjadi di rona muka bumi.
2.6. Analisis Biaya Manfaat
Budidaya laut merupakan sistem produksi yang mencakup input produksi
(prasarana dan sarana produksi), proses produksi (sejak persiapan hingga
pemanenan) dan output produksi (penananganan pascapanen dan pemasaran).
Orientasi budidaya laut adalah medapatkan keuntungan, sehingga merupakan
kegiatan bisnis (aquacultural business atau akuabisnis, sebagai padanan agribisnis
dalam bidang pertanian).
Sistem akuabisnis terdiri dari beberapa subsistem
(sebagaimana berlaku di agribisnis), yakni 1) subsitem pengadaan sarana dan
prasarana produksi, 2) subsistem proses produksi, 3) subsistem penanganan
pascapanen dan pemasaran dan 4) subsistem pendukung.
Analisis biaya manfaat (Benefit-Cost Analysis, BCA) dikembangkan untuk
memberi sebuah cara sistematik untuk membandingkan keuntungan dan kerugian
ekonomi dari berbagai alternatif kegiatan. Dalam bentuk yang paling sederhana,
analisis biaya manfaat meliputi identifikasi semua manfaat dan biaya selama
jangka waktu kegiatan/proyek, menjabarkan nilai-nilai manfaat dan biaya pada
periode-periode
tertentu
dalam
satu
rentang
waktu,
serta
menghitung
perbandingan antara manfaat dan biaya (Mitchell 1997). Menurut Field (1994),
terdapat empat langkah dasar dalam melakukan BCA yakni:
1.
Spesifikasikan secara jelas proyek atau kegiatan yang akan
dilakukan;
2.
Berikan gambaran secara kuantitatif input dan output kegiatan;
3.
Estimasi biaya dan manfaat sosial dari input dan output tersebut;
4.
Bandingkan manfaat dan biaya tersebut.
21
Alternatif-alternatif kegiatan dari hasil langkah-langkah di atas, kemudian
disusun berdasarkan rasio manfaat-biaya (Benefit-Cost Ratio). Pada umumnya
para pengambil kebijakan hanya tertarik pada alternatif yang mempunyai rasio
yang lebih dari satu. Dengan kata lain, agar secara ekonomi layak, sebuah
alternatif kegiatan diharapkan memberikan lebih banyak manfaat daripada biaya
yang harus dikeluarkan. Dari semua alternatif yang rasionya lebih besar dari satu
(B/C > 1), biasanya alternatif dengan rasio tertinggi cenderung dipilih.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian meliputi wilayah pesisir kecamatan Ampibabo,
Kabupaten Parigi Moutong yang secara administrasi terdiri dari 11 Desa pesisir
(Gambar 2). Adapun batas laut disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan
serta aksebilitas yang terkait dengan kegiatan budidaya laut. Pengambilan data
lapang dilakukan pagi hingga siang hari pada musim peralihan yakni pada bulan
Mei 2006. Lebih lanjut, kegiatan pengumpulan data sekunder, pengolahan, analisa
dan interpretasi data dilakukan pada bulan Juni 2006 sampai November 2006.
3.2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian maka dilakukan pengumpulan
data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer
mengenai potensi sumberdaya lingkungan melalui pendugaan kualitas fisik,
kimia, dan biologi perairan. Data mengenai kondisi sosial ekonomi dan budaya
masyarakat dikumpulkan melalui studi dokumen, kuisioner, dan wawancara
mendalam. Sedangkan untuk data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber
yang
memberikan
informasi
yang
relevan
terhadap
penelitian
seperti
BAKOSURTANAL, BPS, BAPPEDA Kabupaten Parigi Moutong, Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong, Kecamatan, dan Desa.
3.2.1. Potensi Sumberdaya Lingkungan di Wilayah Pesisir Kecamatan
Ampibabo
Kualitas Perairan
Data yang diambil untuk mengetahui potensi sumberdaya lingkungan
meliputi pengukuran kondisi fisik, kimia dan biologi perairan. Dalam hal ini,
pengamatan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan dilakukan pada beberapa
lokasi pengamatan. Pengukuran kualitas air dilakukan dengan pengambilan
contoh air laut pada beberapa stasiun. Penentuan titik pengamatan menggunakan
teknik Sistem random sampling, dengan jarak antara stasiun pengamatan
menyesuaikan lokasi (Clark dan Hosking 1986; Morain 1999). Setip lokasi
23
pengamatan di pilih berdasarkan keterwakilannya dari segi ekosistem maupun
pemanfaatan lingkungan perairan tersebut. Alat yang digunakan sebagai penanda
di lapangan adalah Global Positioning System (Tabel 2 dan Gambar 2).
Tabel 2. Stasiun pengamatan di perairan pesisir Kecamatan Ampibabo
Stasiun
Pengamatan
St1
St2
St3
St4
St5
St6
St7
St8
St9
Koordinat
(UTM)
Keterangan
0173929
9949250
0174093
9950442
0173165
9953503
0173216
9947708
Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman
penduduk di Desa Ampibabo
Perairan pesisir di tempat bekas budidaya
rumput laut di Desa Lemo
Muara sungai buranga di Desa Buranga
0171616
9944614
0171490
9941585
0171582
9940751
0172951
9930171
0170026
9960730
Perairan pesisir dekat pelabuhan perikanan di
Desa Paranggi
Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman
penduduk di Desa Lemo
Muara sungai Towera di Desa Towera
Perairan pesisir di tempat bekas budidaya
rumput laut di Desa Towera
Perairan pesisir di lokasi budidaya ikan kerapu
sistem KJA, Desa Marantale
Perairan pesisir Desa Tomoli
Pengambilan contoh air pada pengukuran parameter fisika, kimia dan
biologi di perairan diambil menggunakan alat vandorn water sampler yang
dilakukan mulai pukul 10.00 sampai 15.00 WITA. Kedalaman perairan yang
diambil sebagai sampel yaitu pada lapisan permukaan (0.2 D), lapisan tengah (0.6
D) dan lapisan dasar (0.8 D). Dimana D adalah kedalaman perairan. Lebih lanjut,
sampel air dianalisis di Laboratorium Limnologi, Manajemen Sumberdaya
Perikanan, FPIK, IPB. Adapun beberapa parameter fisik, kimia dan biologi
lingkungan perairan yang diamati disajikan pada Tabel 3.
Gambar 2. Lokasi pengamatan kualitas perairan di perairan pantai Kecamatan Ampibabo
A. Parameter fisik perairan
a. Suhu
Temperatur air pada beberapa contoh air diukur dengan menggunakan
thermometer digital dengan satuan oC. Pengukuran di lakukan pada permukaan,
tengah dan dasar perairan.
Tabel 3. Parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang diamati
No
Parameter
Parameter
Alat yang
digunakan
Lingkungan
II
Fisik
Keterangan
Suhu (oC)
Thermometer
Pengukuran insitu
Kecerahan (%)
Secchi disk
Pengukuran insitu
Kekeruhan (NTU)
Tubiditymeter
Laboratorium
Muatan Padatan
Tersuspensi (MPT)
Software ER
Landsat-TM
Kedalaman
Tali Penduga
Pengukuran insitu
Peta Batimetri
Data sekunder
Pasang Surut
-
Data sekunder
Arus Laut (m/dtk)
-
Data sekunder
Gelombang
-
Data sekunder
Mapper
Substrat Dasar
Pengambilan insitu
dan data sekunder
III
I
Kimia
Biologi
PH
pH meter
Pengukuran Insitu
Salinitas (o/oo)
Refraktometer
Pengukuran Insitu
DO (mg/l)
DO meter
Pengukuran Insitu
BOD5
Alat titrasi
Insitu&Laboratorium
Fosfat (mg/l)
Spektrofotometer
Laboratorium
Nitrit (mg/l)
Spektrofotometer
Laboratorium
Nitrat (mg/l)
Spektrofotometer
Laboratorium
Amonia (mg/l)
Spektrofotometer
Laboratorium
Plankton
Mikroskop
Laboratorium
b. Kecerahan
Kecerahan perairan pada beberapa lokasi pengamatan diukur dengan
menggunakan secchi disk dalam satuan persen (%).
23
c. Kekeruhan
Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu
perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan
dan diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam air. Terutama dipengaruhi
bahan-bahan tersuspensi seperi lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik,
plankton, serta organisme mokroskopik lainnya. Secara langsung kekeruhan
mempengaruhi proses pernafasan organisme perairan seperti menutupi insang
ikan, selain itu juga dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air. Pada
penelitian ini kekeruhan diukur dengan alat turbiditymeter. Satuan yang di
gunakan adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit).
d. Muatan Padatan Tersuspensi (MPT)
Untuk menduga konsentrasi muatan padatan tersuspensi di gunakana
aplikasi penginderaan jauh dengan Landsat-TM. Oleh Hasyim dan Bidawi (1997),
bahwa keberadaan materi-materi organik dan anorganik yang tersuspensi
mempengaruhi nilai pantulan (reflektansi) dari suatu badan air. Informasi tentang
nilai pantulan pada cahaya tampak dari badan air dapat digunakan untuk memberi
gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh muatan
padatan tersuspensi (MPT) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat
spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih
tinggi daripada air jernih. Puncak reflektansi pada air keruh memiliki kisaran nilai
panjang gelombang yang lebih besar daripada air jernih.
Algoritma yang digunakan adalah algoritma hasil penelitian Hasyim dan
Bidawi (1997) :
MPT (mg/l)= (100.6678)+(5.5085*TM3)+0.4563*(TM32)+0.9775*(TM2*TM3)
Keterangan
: MPT = Muatan Padatan Tersuspensi (mg/l)
TM2 = Band 2 Satelit LANDSAT ETM
TM3 = Band 3 Satelit LANDSAT ETM
24
e. Substrat Dasar
Substrat dasar laut dapat menjadi indikator kualitas air diatasnya. Substrat
dasar laut biasanya dibedakan atas karang, pasir, lumpur dan terdapat kombinasi
antara ketiganya. Substrat dasar karang dan pasir atau karang berpasir atau pasir
karang mengindikasikan perairan tersebut cocok untuk budidya rumput laut dan
kerapu.
b. Parameter kimia perairan
a. pH
Pada setiap stasiun pengamatan diukur pH perairan diukur dengan
menggunakan pH meter.
b. Salinitas
Informasi mengenai salinitas sangat diperlukan untuk kegiatan budidaya
laut, karena perubahan salinitas yang drastis akan berakibat fatal terhadap
organisme yang dipelihara. Di samping itu, informasi tentang salinitas diperlukan
pula untuk pengelolaan perairan, terutama yang berkaitan dengan distribusi dan
luas sebaran dampak yang mungkin terjadi. Pengukuran salinitas perairan
dilakukan dengan mengambil sampel air pada setiap stasiun pengamatan, untuk
kemudian diukur dengan menggunakan alat refraktometer.
b. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut adalah jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air.
Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari hasil fotosintesa oleh fitoplankton
atau tanaman air lainnya, dan difusi dari udara. Pada penelitian ini untuk
mengetahui kadar oksigen dalam air dilakukan dengan menggunakan alat ukur
yang disebut DO-meter.
c. BOD5
Kebutuhan Oksigen Biologis atau yang lebih dikenal BOD5 (biochemical
oxygen demand) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik selama 5 hari penyimpanan.
25
BOD yang dimaksudkan dalam hal ini adalah banyaknya oksigen terlarut yang
dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang mudah
terurai, sebagai contoh bahan organik limbah domestik.
d. Fosfat
Contoh sebanyak 25 ml disaring dengan kertas saring Whatman no 42
kemudian ditambahkan dengan larutan 2,5 ml antara molybdate dan potassium
antimonyltartrate. Larutan tersebut di baca dengan spectrofotometer dengan
panjang gelombang 543 nm.
e. Nitrit (NO2-)
Contoh yang telah disaring dengan kertas saring whatman no. 42 diambil
sebanyak 25 ml. Contoh tersebut ditambahkan dengan larutan sulfamida 0.3 ml
dan larutan NED 0.3 ml, kemudian diamkan selama 10 menit. Larutan tersebut
dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 543 nm.
f. Amoniak (NH3)
Senyawa amoniak yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi
senyawa nitrat (NO3-) atau senyawa nitrit (NO2) oleh mikroorganisme
Peningkatan kadar amoniak di laut berkaitan erat dengan masuknya air laut yang
mudah di urai. Penguraian bahan organik yang mengandung unsur nitrogen akan
menghasilkan senyawa nitrat, nitrit dan seterusnya menjadi amoniak. Metode
yang paling umum dipake untuk mengukur kadar amoniak dalam air laut adalah
metode spektrofotometer.
Contoh air yang di peroleh dari setiap stasiun pengamatan tidak dapat
dianalisis secepatnya, oleh karena itu contoh air di usahakan pada keadaan
dinginkan pada suhu 4oC. Setelah tiba di laboratorium dibekukan pada suhu -20oc
atau diberi larutan fenol atau H2SO4.
26
b. Parameter biologi perairan
Fitoplankton
Pengambilan sampel untuk mengoleksi plankton di lakukan dengan
menggunakan alat berbentuk jaring atau disebut juga dengan jaring plankton.
Adapun jaring yang digunakan berukuran 30 – 50 µm. Selanjutnya identifikasi
jenis dilakukan dengan bantuan mikroskop dan buku identifikasi plankton seperti
Sachlan (1972), Davis (1955), dan Yamaji (1979). Penghitungan plankton
menggunakan Sedgewig Rafter Counting Cell di bawah mikroskop (APHA,
1989).
Analisis data fitoplankton dilakukan dengan menghitung kelimpahan,
keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi, yang adalah sebagai berikut :
1. Kelimpahan fitopalankton
Kelimpahan plankton adalah jumlah sel plankton jenis ke-i pada volume
air tertentu. Rumus yang digunakan adalah :
N=nx
A C 1
x x
B D E
Keterangan:
N
= Kelimpahan plankton (sel/liter)
n
= Rataan jumlah total sel per lapangan pandang
A
= luas permukaan Sedgewig-Rafter Counting Cell (mm2)
B
= luas satu lapangan pandang (mm2)
C
= volume air sampel hasil saringan (ml)
D
= volume air sampel yang disaring (l)
E
= volume air di Sedgewig -Rafter Counting Cell (ml)
2. Indeks keanekaragaman fitoplankton
Indeks ini merupakan perhitungan berdasarkan informasi mengenai keteracakan
dalam sebuah sistem. Indeks yang digunakan adalah indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener dengan rumus :
H '=
s
∑
i =1
⎡ ni
⎢⎣ N log
ni ⎤
N ⎥⎦
27
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman
S
= Jumlah jenis yang ditemukan
ni = jumlah individu jenis ke-i
N
= jumlah total individu
Nilai indeks keanekaragaman ini kemudian dikelompokkan menjadi :
H<1
:
keanekaragaman rendah, komunitas tidak stabil
1 <H<3
:
keanekaragaman sedang
H>3
:
keanekaragaman tinggi, komunitas stabil
3. Indeks keseragaman
Keseragaman yang diwujudkan dalam indeks regularitas (equitability
index) adalah suatu penggambaran mengenai sebaran individu setiap spesies
dalam komunitas. Indeks Keseragaman (E) plankton dihitung berdasarkan
persamaan berikut:
E=
H'
H'
atau E =
Logs
H ' Maks
Keterangan :
E
= Keseragaman
H’ = indeks keanekaragaman
s
= jumlah genera (plankton)
Dari perbandingan ini didapat suatu nilai yang besarnya antara 0 dan 1, artinya :
Semakin kecil nilai E akan semakin kecil pula keseragaman suatu populasi,
artinya penyebaran jumlah individu setiap spesies mendominasi populasi tersebut.
• Semakin besar nilai E, maka populasi menunjukkan keseragaman, bahwa
jumlah individu setiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda
(Odum, 1971)
28
4. Indeks Dominansi
Untuk menghitung dominansi jenis digunakan indeks Simpson yang dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut :
s
D = ∑ [Pi]2
i=1
Keterangan :
D
= Indeks Dominansi
Pi
= ni/N
ni
= jumlah individu spesies ke-i
N
= jumlah total individu semua spesies
i
= 1,2,3,…,
S
= jumlah genera
Nilai D berkisar antara 0 sampai 1, artinya :
Jika nilai D mendekati 0, berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi
Jika nilai D mendekati 1, berati ada salah satu genera yang mendominasi
(Odum, 1971).
3.2.2. Pendekatan Sosial Ekonomi dan BudayaMasyarakat
Penelitian ini memerlukan kajian yang mencakup aspek sosial budaya dan
ekonomi masyarakat. Hal ini memiliki tujuan agar pengelolaan kawasan budidaya
rumput laut dan ikan kerapu yang dilakukan di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten
Parigi moutong tidak semata mata mengejar tingkat produktivitas, namun juga
didasarkan pada pertimbangan kepentingan yang lebih luas yaitu terjaganya
keselarasan kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Data-data dan
informasi yang diperlukan adalah sebagai berikut:
A. Data sosial dan budaya
(1) Data kependudukan
(2) Pola pemanfaatan sumberdaya
(3) Identifikasi adanya konflik pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir
(4) Kelembagaan sosial yang ada
(5) Kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir
29
B. Data ekonomi
(1) Investasi Bisnis perikanan yang ada di Kabupaten Parigi Moutong
(2) Produksi hasil perikanan
(3) Sistem dan rantai pemasaran produk perikanan
(4) Kelembagaan ekonomi yang mendukung pengembangan perikanan
Data-data tersebut berasal dari data primer yang diperoleh melalui
investigasi langsung yaitu wawancara dengan masyarakat, maupun data sekunder
yang berasal dari BPS, Bappeda, Dinas perikanan dan kelautan, Dinas Koperasi,
LSM setempat dan dari berbagai sumber yang terkait.
3.3. Analisis Data
3.3.1. Analisis secara spasial dengan SIG
Bertujuan untuk menentukan kesesuaian lokasi budidaya rumput laut
sistem tali panjang dan ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung (KJA)
Menurut Ismail, dkk (2002), bahwa usaha kegiatan budidaya laut tidak dapat
dilakukan disemua daerah pesisir karena membutuhkan beberapa persyaratan
seperti persyaratan teknis, biologis, non teknis (sosial budaya dan ekonomi). Data
yang berhubungan dengan persyaratan tersebut harus dapat dikelola dengan baik,
sehingga dapat memberikan hasil analisis yang maksimal. Sejak banyaknya data
dan informasi ini dalam bentuk spasial, Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan salah satu aplikasi yang sangat relevan dalam melakukan analisis ini.
Data-data yang diperoleh untuk kemudian dikelompokkan berdasarkan tahapan
analisis yaitu analisis spasial dengan SIG menggunakan perangkat Arcview 3.3.
A. Penyusunan basis data spasial
Proses analisis awal dari pembuatan peta dasar digital di Kecamatan
Ampibabo, dimulai dari scan atau proyeksi peta rupa bumi ke dalam peta dasar.
Peta dasar yang diperoleh bersumber dari hasil digitasi citra satelit. Adapun
Informasi yang diambil dari peta rupa bumi dan peta batimetri meliputi garis
pantai, sungai, garis batas wilayah, sungai, jaringan transportasi (jalan),
mangrove, penggunaan lahan, sebaran penduduk (pemukiman), letak dan nama
30
lokasi, garis kontur, ketinggian daratan, dan kedalaman laut. Kemudian dilakukan
registrasi memindahkan titik koordinat peta rupa bumi ke dalam peta dasar.
Untuk mendapatkan kondisi tata guna lahan terkini dilakukan pemindahan
peta citra ke dalam peta dasar dengan program er-mapper. Setelah itu, dilakukan
digitasi dan topologi yaitu mendigitasi dan mengidentifikasi peta dasar dengan
informasi yang telah diambil dari peta rupa bumi dan citra. Selanjutnya diperoleh
hasil peta dasar digital kawasan pesisir kecamatan Ampibabo yang menjadi objek
proses analisis spasial selanjutnya.
Data kualitas perairan yang dikumpulkan berasal dari titik-titik
pengamatan yang penyebarannya mewakili lokasi penelitian. Untuk menganalisis
secara spasial, terlebih dahulu dilakukan interpolasi, yang merupakan suatu
metode pengolahan data titik menjadi area (polygon). Cara interpolasi titik
menjadi area menggunakan metode Nearest Neighbor (Burrough & McDonnell,
1998; Morain, 1999). Dari hasil interpolasi masing-masing parameter kualitas
perairan yang diperoleh, disusun dalam bentuk peta tematik. Luasan perairan yang
layak bagi kegiatan budidaya laut dihasilkan setelah seluruh data parameter utama
pembobotan dalam bentuk peta tematik di overlay (tumpangsusunkan).
B. Pembobotan dan skoring
Penilaian secara kuantitatif terhadap tingkat kelayakan perairan dilakukan
melalui pembobotan dan skoring. Pembobotan pada setiap faktor pembatas di
tentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap peruntukan
budidaya kerapu sistem KJA dan rumput laut. Untuk menentukan nilai akhir
(skor) dari setiap faktor-faktor tersebut, maka dihitung perkalian bobot dengan
skala penilaian, kemudian dihitung skor total semua faktor pembatas dari setiap
kolom skala penilaian mulai dari sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan tidak sesuai
(S3). Adapun pengertian skala penilaian pada setiap kolom adalah sebagai
berikut :
S1 (sesuai)
: lahan/perairan tidak mempunyai pembatas yang berat
untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari.
S2 (sesuai)
: perairan mempunyai pembatas agak berat untuk
suatu
31
penggunaan tertentu secara lestari. Pembatas tersebut
akan mengurangi produktivitas dan keuntungan yang
diperoleh.
N (tidak sesuai)
: perairan mempunyai pembatas sangat berat / permanen,
sehingga
tidak mungkin untuk digunakan terhadap
penggunaan yang lestari.
Untuk mendapatkan selang nilai pada setiap kategori ditentukan dari nilai
persentase dari hasil perhitungan yang telah dilakukan. Kisaran persentase skala
penilaian pada setiap kolom yaitu :
Kategori sangat sesuai (S1)
: Y ≥ 85%
Kategori sesuai (S2)
: Y ≤ 50 – 84%
Kategori tidak sesuai (S3)
: Y ≤ 50%
Hasil akhir dari analisis SIG melalui pendekatan index overlay akan
diperoleh dari ranking kelas kesesuaian lahan budidaya, dengan rumus :
n
S=
∑ SijWi
i
n
∑Wi
i
Dimana :
S
= Indeks terbobot area/polygon
Sij
= Skor/nilai kelas ke-j dari coverage atau peta ke-i
Wi
= Bobot untuk input peta (coverage ke-i)
N
= Jumlah peta
3.3.2. Analisis Sosial Ekonomi
Analisis yang dilakukan dalam kajian sosial ekonomi dan budaya
masyarakat dalam studi pengelolaan kawasan budidaya kerapu sistem KJA dan
budidaya Rumput Laut di Kecamatan Ampibabo adalah analisis deskriptif.
Analisis deskriptif yang dibutuhkan terutama informasi mengenai kependudukan,
sumberdaya manusia, sarana dan prasarana serta kelembagaan yang ada di
masyarakat.
32
3.3.3. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya
Metode ini digunakan untuk menganalisis kawasan dengan memasukkan
unsur biaya dan manfaat yang disesuaikan dengan kawasan daerah penelitian.
Analisis biaya dan manfaat telah banyak digunakan untuk menilai kelayakan suatu
kegiatan usaha, dimaksudkan agar para investor, nelayan pembudidaya dan
masyarakat mendapatkan gambaran mengenai kelayakan suatu rencana usaha
yang akan dilakukan dari segi sosial maupun ekonomi.
A. Net Present Value (NPV)
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang
diperoleh selama umur ekonomis kegiatan. NPV merupakan selisih antara nilai
sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran, yang
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
NPV =
n
Bt − Ct
∑ (1 + i)
t =1
t
Keterangan :
Bt
= manfaat proyek pada tahun ke t
Ct
= biaya proyek pada tahun ke t
n
= Umur ekonomis proyek
i
= Tingkat bunga
t
= 1, 2, 3,..., n
Kriteria :
NPV > 0, berarti budidaya laut layak diusahakan
NPV = 0, berarti budidaya laut mengembalikan sebesar biaya yang
dikeluarkan
NPV < 0, berarti budidaya laut tidak layak diusahakan/rugi
B. Benefit Cost Ratio (BCR)
Analisa ini bertujuan untuk mengetahui ratio jumlah nilai sekarang dari
manfaat dan biaya. Kriteria alternatif yang layak adalah BCR > 1 dan meletakkan
alternatif yang mempunyai BCR tertinggi pada tingkat pertama. Secara
Matematik, BCR dapat disajikan sebagai berikut :
33
t
⎫
⎧ n
t⎫ ⎧
BCR = ⎨(∑ Bt ) / (1 + r ) ⎬ / ⎨Ct / ⎛⎜1 + r ⎞⎟ ⎬
t
=
0
⎠ ⎭
⎭ ⎩ ⎝
⎩ t =0
Kriteria :
B/C > 1, berarti budidaya laut layak diusahakan
B/C = 1, berarti budidaya laut berada pada titik tidak untung dan rugi
B/C < 1, berarti budidaya laut tidak layak diusahakan/rugi
3.3.4. Pendekatan Keberlanjutan Mata Pencaharian (Sustainable Livelihood
Approach-SLA)
Dalam Campbell (1999), bahwa SLA merupakan salah satu cara penilaian
yang objektifitas dalam menentukan prioritas pembangunan. Adapun kerangka
kerja yang digunakan dalam pendekatan Sustainable Livelihood untuk
implementasi perencanaan adalah sebagai berikut :
Aset livelihood
Konteks
Kerentanan:
- Kecenderungan
- Goncangan
- Musim
- Sumberdaya
-
Manusia
Sumberdaya Alam
Ekonomi
Sosial
Fisik (infrastruktur)
Struktur
dan Proses
Strategi
Livelihood
Hasil Livelihood
(Rencana Pengelolaan)
Gambar 3. Kerangka kerja dalam Sustainable Livelihood Approach (SLA)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Kecamatan Ampibabo
4.1.1. Letak Geografis dan Administrasi
Kecamatan Ampibabo adalah salah satu dari 10 Kecamatan yang berada di
Kabupaten Parigi Moutong. Secara Geografis Kecamatan Ampibabo terletak pada
Posisi Koordinat 119o53’11” – 120o04’12” BT dan 0o02’48” – 0o37’55” LS. Luas
wilayah Kecamatan Ampibabo secara keseluruhan ± 589,99 Km2, Letak Geografis
Kecamatan Ampibabo berbatasan Langsung dengan :
ƒ
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kasimbar
ƒ
Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Tomini
ƒ
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Parigi
ƒ
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala
Secara Topografi Kecamatan Ampibabo terbagi atas 15 Desa dengan Luas desa
seperti yang termuat dalam Tabel 3 di bawah ini :
Tabel 4. Jumlah dan luas desa di Kecamatan
Ampibabo
Desa
Luas (km2)
1
Marantale
45,35
2
Silanga
42,55
3
Siniu
31,62
4
Towera
27,00
5
Tolole
23,54
6
Toga
5,54
7
Sidole
45,01
8
Paranggi
6,92
9
Ampibabo
45,71
10
Lemo
51,93
11
Buranga
41,55
12
Tomoli
89,39
13
Toribulu
55,40
14
Sienjo
39,47
15
Pinotu
36,01
Ampibabo
589,99
Sumber: Ampibabo dalam Angka (2005)
38
4.1.2. Musim
Secara umum, cuaca di Indonesia mengalami dua musim yakni musim
basah (hujan) dan kering (kemarau), yang dipisahkan oleh periode-periode
peralihan. Musim kering terjadi mulai Juni hingga September yang dipengaruhi
oleh massa udara di benua Australia saat berlangsungnya muson tenggara. Musim
hujan, yang dimulai dari bulan Desember sampai Maret di pengaruhi oleh massa
udara di samudera pasifik dan benua asia ketika berlangsung musim muson timur
laut. Pada musim-musim itu angin bertiup mantap dengan kecepatan rendah
hingga sedang. Periode peralihan terjadi April hingga Mei dan Oktober hingga
November, ditandai dengan kondisi angin melemah dan tidak stabil. Lebih lanjut,
di jelaskan bahwa musim hujan dan musim kemarau tidak benar-benar terjadi
pada saat yang sama di seluruh pelosok kepulauan. Secara umum, musim hujan
mempunyai sedikit lebih banyak air dan lebih sedikit sinar matahari dibandingkan
musim kemarau (Tomaschik et al 1997).
Di kawasan Teluk Tomini sendiri, Bulan basah berlangsung selama 7
sampai 9 bulan dan bulan kering 1 sampai 3 bulan. Curah hujan berlangsung
secara merata yaitu tertinggi terjadi pada bulan Desember sampai Januari dan
bulan Juni sampai Juli. Suhu udara berkisar antara 29,4oC hingga 30oC (BRKP,
2003).
4.1.3. Morfologi
Kondisi Morfologi Pesisir Kecamatan Ampibabo di lihat dari system lahan
yang terbentuk Dataran, Kipas dan Lahar, Pantai, Perbukitan dan Rawa Pasut.
Morfologi Dataran di kelompokan kedalam Dataran Karstik berbukit kecil;
meliputi 6 Desa Pesisir (Tomoli, Buranga, Lemo, Ampibabo, Toga dan Tolole).
Morfologi Kipas dan Lahar, dikelompokkan kedalam; Kipas Aluvial non
vulkanik yang melereng landai. Dari 15 desa yang berada di pesisir Kecamatan
Ampibabo, terdapat 82% desa yang masuk dalam kelompok morfologi ini, kecuali
desa Toga. Morfologi Perbukitan, dikelompokan kedalam; Punggung bukit
sedimen asimetrik tak terorientasi, meliputi 6 desa di wilayah pesisir Kecamatan
Ampibabo (Toribulu, Buranga, Paranggi dan Toga). Morfologi Rawa Pasut
dikelompokan kedalam Dataran Lumpur antar Pasang surut dibawah Holofit,
39
meliputi 4 Desa di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo (Toribulu, Buranga,
Lemo dan Ampibabo).
4.1.4. Litologi
Topologi wilayah daratan, terdiri dari batu gamping tersebar di Desa
Tomoli, Buranga, Lemo, Ampibabo, Toga, dan Tolole. Wilayah Kipas dan Lahar,
terdiri Aluvium endapan kipas aluvial dan kolovium, terdapat pada 82% dari
jumlah 14 Desa yang berada di pesisir Kecamatan Ampibabo. Wilayah
Perbukitan, terdiri dari batu pasir, konglomerat, batu lumpur, dan serpih, tersebar
di Desa Toribulu, Buranga, Lemo, dan Ampibabo.
4.2. Potensi Sumberdaya Lingkungan
4.2.1. Kondisi Fisik, Kimia dan Biologi
Perairan pantai Kecamatan Ampibabo merupakan bagian dari perairan
Teluk Tomini, Pulau Sulawesi. Salah satu teluk terbesar di Indonesia ini
mempunyai luas 59.500 km2, pada bagian timur berbatasan dengan Laut Maluku
dan bagian timur laut berbatasan dengan Laut Sulawesi. Teluk Tomini merupakan
perairan yang dikenal relatif subur dan memiliki sumberdaya perikanan yang
potensial untuk dikembangkan.
Pemanfaatan
lingkungan
perairan
pantai
Kecamatan
Ampibabo,
Kabupaten Parigi Moutong untuk kegiatan budidaya laut merupakan salah satu
bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk
pengelolaan kawasan yang didukung dengan data-data terutama kondisi perairan
baik fisik, kimia, dan biologi. Budidaya laut khususnya rumput laut dan ikan
kerapu,
merupakan
komoditi-komoditi
unggulan
untuk
dikembangkan.
Diharapkan dengan dukungan data kondisi perairan yang cukup lengkap dalam
pemanfaatannya kelak dapat berlangsung dengan baik.
A. Parameter fisik perairan
a. Kedalaman
Kedalaman di perairan pantai Kecamatan Ampibabo dapat dilihat pada
Gambar 4. Kedalaman tersebut merupakan hasil pengukuran lapang yang
40
dilakukan oleh kegiatan Survei dan Pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and
Coastal Resources Management Project) dalam rangka penyediaan data dasar
spasial wilayah pesisir Sulawesi Tengah Tahun 2004. Pada kegiatan survey
tersebut memperlihatkan bahwa kedalaman laut di perairan pantai Kecamatan
Ampibabo berkisar antara 0 – 60 meter. Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran
lapang yang dilakukan pada Bulan Mei 2005, di peroleh beberapa variasi
kedalaman sebagaimana tercantum dalam Tabel 5 berikut ini :
Tabel 5. Variasi kedalaman di perairan pantai
Kecamatan Ampibabo
Stasiun
Kedalaman
3
St1
10
St2
2
St3
6
St4
5
St5
0
St6
10
St7
15
St8
20
St9
Kedalaman perairan sangat berpengaruh bagi kegiatan budidaya laut.
Untuk budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung idealnya pada
kedalaman antar 7 - 40 m (Effendi 2004). Selain pengaruhnya terhadap intensitas
cahaya matahari yang masuk, kondisi dimana perairan dengan kedalaman < 7
meter dapat mempengaruhi kualitas perairan terutama dari sisa kotoran ikan
yang membusuk didasar perairan, sedangkan pada kedalaman > 40 meter
berdampak kepada perubahan faktor lingkungan dan juga pengaruhnya terhadap
besarnya biaya terutama untuk memperkokoh konstruksi keramba.
Berbeda dengan kedalaman perairan pada budidaya kerapu sistem KJA,
kegiatan budidaya rumput laut, membutuhkan perairan yang relatif dangkal.
Perairan dengan kedalaman kedalaman antara 2 – 15 m merupakan kedalaman
yang baik terutama untuk metode budidaya sistem rakit apung, rawai (long-line)
dan sistem jalur (Dit. Perikanan Budidaya-DKP 2005). Akan tetapi perlu juga di
perhatikan pola pasang surut yang ada terutama pada saat surut terendah.
Gambar 4. Peta kedalaman di perairan Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong
b. Pasang surut
Berdasarkan data yang di peroleh dari hasil kegiatan survei dan pemetaan
Lokasi MCRMP (2004), pada stasiun pengamatan Marantale-Ampibabo,
diketahui tipe pasut yang ada adalah tipe campuran cenderung ke semi diurnal.
Pasang surut tipe ini umum terjadi di perairan Indonesia Timur yaitu dalam satu
hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya
berbeda. Tipe pasut suatu perairan ditentukan oleh frekuensi air pasang dan
surut per hari. Tipe pasut dapat ditentukan secara kuantitatif, yaitu dengan
membandingkan amplitudo (tinggi gelombang) dari komponen-komponen pasut
tunggal utama dengan amplitudo komponen pasut ganda utama, menggunakan
persamaan Formzahl (Gambar 5).
PASANG SURUT
STASION MARANGTALE-AMPIBABO
300
Tinggi Air (cm)
250
200
150
100
50
0
6/29/04
7/4/04
7/9/04
7/14/04
7/19/04
7/24/04
7/29/04
8/3/04
Tanggal
Sumber : MCRMP, 2004
Gambar 5. Tipe pasang surut di Kecamatan Ampibabo
Hasil data yang dipelajari menunjukkan muka air tertinggi yang dicapai
pada saat pasang dalam satu siklus pasut mencapai 285.80 cm dengan muka air
rerata (MSL) sebesar 0.00. Sedangkan, kedudukan air terendah yang dicapai pada
saat surut mencapai - 152.96 cm. Lebih lanjut dalam Wyrtki (1961) dalam BRKP
(2003), menyatakan bahwa di perairan Teluk Tomini tipe pasutnya adalah
campuran cenderung ke semi diurnal. Pada daerah sekitar mulut teluk mempunyai
pasang tertinggi sekitar +2,50 meter dan air surut terendah -2.64 m meter.
c. Arus
Berdasarkan data riset daya dukung sumberdaya di perairan Teluk Tomini
(BRKP, 2003), di ketahui bahwa arus di perairan Teluk Tomini di pengaruhi oleh
39
pola arus yang terjadi di perairan laut maluku. Arus permukaan bergerak dari arah
laut seram menuju barat yang sebagian memasuki Teluk Tomini dan Teluk Tolo,
juga ada yang menuju Laut maluku. Kecepatan arus yang bergerak dari Laut
Maluku berkisar antara lebih dari 0.05 m/detik hingga lebih dari 0.20 m/detik, dan
ketika masuk perairan Teluk Tomini kecepatan berkurang hingga berkisar antara
0.05 m/detik hingga 0.01 m/detik.
Lebih lanjut, kondisi arus di perairan Kecamatan Ampibabo hasilnya di
pelajari dari data kegiatan Survei dan pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and
Coastal Resources Management Project) di Kabupaten Parigi Moutong (Tabel 6).
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa, kecepatan arus yang masuk ke
perairan pantai kecamatan Ampibabo umumnya relatif kecil. Pada kondisi arus
menuju surut purnama, kecepatan arus maksimum terjadi hingga 0.1904 m/dtk,
sedangkan kecepatan arus maksimum yang terukur pada kondisi arus menuju
pasang tertinggi purnama sebesar 0.0770 m/dtk.
Tabel 6. Kecepatan arus di perairan kecamatan Ampibabo
Arus
i arus menuju surut purnama
i arus pasang tertinggi purnama
Kecepatan
Arus Maksimum (m/dtk)
0.1904
0.0770
Dalam kegiatan budidaya laut pengetahuan mengenai arus di perairan
merupakan bagian yang penting. Untuk kegiatan budidaya ikan sistem keramba
jaring apung, arus di butuhkan sebagai sumber oksigen dan dapat menghilangkan
limbah yang berada di keramba, akan tetapi di sisi lain arus yang kuat akan
berdampak pada konstruksi keramba, lambatnya pertumbuhan ikan karena energi
akan banyak terpakai untuk bergerak pada arus yang kuat, serta kehilangan
makanan. Sedangkan dalam kegiatan budidaya rumput laut, selain untuk sumber
oksigen, pergerakan air yang cukup di butuhkan sebagai pembawa nutrients,
mencuci kotoran yang menempel pada thallus, serta mencegah terjadinya
perubahan suhu yang besar. Dalam FAO (1989), bahwa idealnya kecepatan arus
untuk kegiatan budidaya ikan dengan sistem keramba lebih dari 0.05 m/dtk dan
kurang dari 1 m/dtk, sedangkan kecepatan arus optimumnya sebesar 0.1 m/dtk.
Bagi kegiatan budidaya rumput laut, oleh Ditjenperbud-DKP (2006), bahwa
40
kecepatan arus yang ideal untuk kegiatan budidaya rumput laut yaitu antara 0.2 –
0.4 m/dtk.
d. Gelombang
Berdasarkan hasil analisis data ketinggian gelombang laut yang dilakukan
oleh BRKP (2002), gelombang di perairan Teluk Tomini secara umum tingginya
1 - 2 meter. Selama Musim Barat (Desember-Februari), Musim Peralihan Barat ke
Timur (Maret-Mei), dan Musim Peralihan Timur ke Barat (SeptemberNovember), tinggi gelombang maksimum sekitar 1,5 meter. Sedangkan tinggi
gelombang pada musim Timur (Juni-Agustus) adalah sekitar 2 meter. Perairan
pantai kecamatan Ampibabo terletak di wilayah barat Teluk Tomini yang
merupakan bagian dalam teluk, sehingga gelombang yang masuk ke dalam akan
mengalami penurunan dan akan di jumpai yang jauh lebih kecil dari pada yang di
dekat mulut teluk. Lebih lanjut, berdasarkan hasil Survei dan pemetaan Lokasi
MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) tahun 2004 di
perairan Kecamatan Ampibabo (Tabel 6), di peroleh tinggi gelombang maksimum
pada musim timur sebesar 0.5 m dan pada musim barat setinggi 0.2700.
Untuk kegiatan budidaya laut khususnya budidaya dengan sistem keramba
jaring apung pengetahuan mengenai kondisi gelombang di calon lokasi budidaya
penting untuk diketahui. Hal tersebut terutama untuk menjaga agar konstruksi
keramba tetap kokoh atau kuat. Oleh karena itu di sarankan perairan dengan tinggi
gelombang < 1 meter sesuai untuk kegiatan budidaya sistem keramba apung
(FAO, 1986). Lebih lanjut oleh Moller (1997) dalam Beverage (1987), bahwa
sebaiknya keramba dirancang dan dibangun untuk tahan terhadap kisaran
perubahan cuaca yang menyebabkan perubahan tinggi gelombang permukaan air
laut. Oleh karena itu, sebaiknya keramba apung dirancang untuk tahan terhadap
perubahan tinggi gelombang yang mencapai 1-1.5 m.
Tabel 6. Tinggi gelombang di perairan pantai Kecamatan Ampibabo
Gelombang
Gelombang musim timur
Tinggi Gelombang
Maksimum
0.5000 m
Tinggi Gelombang
Minimum
0.3100 m
Gelombang musim barat
0.2700 m
0.2000 m
41
e. Suhu
Berdasarkan hasil pengamatan lapang yang dilakukan pada bulan Mei
2006 di stasiun 1 sampai 9, suhu di perairan pantai kecamatan Ampibabo berkisar
antara 30.5 – 32oC. Suhu permukaan perairan pada setiap stasiun berkisar antara
31 – 32oC dengan rerata 31.7oC, untuk suhu bagian tengah perairan berkisar
antara 31 – 31.8oC dengan rerata 31.2oC, sedangkan suhu di dekat dasar perairan
berkisar antara 30.5 – 32oC. Kisaran suhu pada setiap stasiun jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 6.
32.5
Permukaan
Tengah
Dekat dasar
32.0
Suhu oC
31.5
31.0
30.5
30.0
29.5
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 6. Suhu di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada musim peralihan
Kisaran suhu berdasarkan strata vertikal kolom air diketahui tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antar kedalaman. Hal ini disebabkan karena variasi
kedalaman pengambilan sampel air yang tidak terlalu signifikan yaitu antara 0 –
20 m. Perbedaan suhu antar stasiun juga tidak berada pada kisaran yang lebar.
Kondisi ini terjadi karena lokasi pengamatan merupakan wilayah perairan yang
hampir memiliki kesamaan terutama dalam hal paparan terhadap sinar matahari.
Secara umum perairan di negara dengan iklim tropik seperti Indonesia
tidak mempunyai fluktuasi perubahan suhu yang besar. Menurut Nontji (1993),
suhu air permukaan di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28 – 31oC.
Lebih lanjut Nontji menambahkan bahwa suhu air di dekat pantai biasanya sedikit
lebih tinggi dari pada di lepas pantai. Pengaruh lainnya yang menyebabkan
tingginya suhu di suatu perairan adalah kedalaman serta kecepatan angin.
Sedangkan dalam Boyd ( 1990), kisaran suhu antara 25 – 32oC merupakan kisaran
yang mendukung kehidupan organisme akuatik.
42
Suhu dalam kegiatan budidaya perairan memiliki peran yang sangat
penting, karena diperlukan suhu yang optimal untuk perkembangan dan
pertumbuhan biota budidaya. Suhu yang optimal meningkatkan nafsu makan dan
intake pakan sehingga mempercepat pertumbuhan biota karena akan memberikan
kelancaran dan kemudahan dalam metabolisme. Dalam FAO (1989), bahwa suhu
optimum untuk budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) bagi sebagian
besar wilayah tropis berkisar 27 – 31°C, dan akan mampu tumbuh serta
menyesuaikan diri pada lingkungan dengan temperatur antara 20 – 35oC. Bagi
kegiatan budidaya rumput laut, suhu air yang optimal bagi pertumbuhannya
berkisar antara 20 – 28oC (Dirjenperbud-DKP 2005), sedangkan dalam Luning
(1990), menyatakan bahwa di daerah tropis rumput laut dapat tumbuh pada
kisaran suhu 20oC-30oC, lebih lanjut Johanes dalam Hutagalung (1998),
menetapkan batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, coklat, dan merah
adalah 34, 5oC dan alga biru hijau 37oC.
f. Substrat dasar perairan
Beberapa tipe substrat yang dikenal mulai dari berbatu sampai pasir halus,
tentunya harus dipilih sebagai tempat untuk menempatkan keramba. Substrat
berbatu tentunya akan bermanfaat untuk mengurangi resiko limbah yang ada di
dasar perairan karena kecepatan arusnya yang relatif cepar, akan tetapi perlu juga
diingat bagaimana dampaknya terhadap pertumbuhan ikan dan konstruksi
keramba. Untuk kegiatan budidaya rumput laut dan ikan keramba jaring apung,
tipe substrat yang baik dipilih menjadi lokasi budidaya yaitu lokasi dengan
substrat dasar pasir kasar dan pecahan karang. Tipe tersebut selain sebagai
indikator gerakan air laut yang cukup besar, sedangkan dasar perairan yang terdiri
dari lumpur umumnya mempunyai gerakan air yang kurang. Hasil pengamatan
lapangan yang di lakukan pada beberapa lokasi di pantai Ampibabo di ketahui
beberapa tipe substrat yaitu pasir kasar dan pecahan karang, pasir, pasir berlumpur
banyak, pasir halus dan pecahan karang, pasir sedikit berlumpur, dan berlumpur
(Tabel 7).
Tabel 7. Tipe substrat perairan di perairan pantai
Di Kecamatan Ampibabo
Stasiun Pengamatan
Tipe substrat dasar
43
St1
St2
St3
St4
St5
St6
St7
St8
St9
Pasir dan pecahan karang
Pasir
Pasir, berlumpur banyak
Pasir, dan pecahan karang
Pasir, sedikit berlumpur
Berbatu
Pasir, sedikit berlumpur
Pasir dan pecahan karang
Pasir dan pecahan karang
g. Kecerahan, Kekeruhan (NTU) dan Padatan Tersuspensi TSS
Kecerahan perairan erat hubungannya dengan sejauh mana penetrasi
cahaya matahari dapat masuk ke perairan yang dibutuhkan untuk proses
fotosintesis. Hasil pengukuran tingkat kecerahan perairan untuk setiap stasiun
pengamatan di ketahui bahwa kecerahan perairan terendah berada pada lokasi
yang dekat dengan muara-muara sungai. Selain itu, pada lokasi dengan substrat
dasar terdiri dari pasir berlumpur dan berlumpur seperti pada stasiun 3 dan 7, juga
mempunyai nilai kecerahan yang rendah. Akan tetapi untuk beberapa lokasi
pengukuran nilai kecerahan berkisar antara 80 – 100%.
Nilai kekeruhan di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada bulan Mei
2006 berkisar antara 0.340 – 0.850 NTU (Gambar 7). Nilai tertinggi diperoleh
pada permukaan perairan stasiun 4, tepatnya di dekat pelabuhan perikanan desa
Paranggi, sedangkan nilai kekeruhan terendah diperoleh pada permukaan perairan
stasiun 2 atau di desa Lemo. Nilai kekeruhan yang di peroleh masih jauh dari yang
di syaratkat oleh KEPMEN LH No. 15 Tahun 2004 tentang baku mutu tentang
Kekeruhan (NTU)
baku air laut bagi biota yaitu < 5 NTU.
0.900
0.800
0.700
0.600
0.500
0.400
0.300
0.200
0.100
-
Permukaan
Pertengahan
Dekat dasar
1
2
3
4
5
6
Stasiun
7
8
9
Gambar 7. Nilai kekeruhan (NTU) di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada
bulan Mei 2006
44
Kekeruhan disebabkan oleh masuknya bahan organik tersuspensi ke dalam
perairan yang berasal dari erosi tanah, limbah tambang, dan kegiatan budidaya.
Masuknya padatan tersuspensi di perairan pantai kecamatan Ampibabo terutama
berasal dari sungai yang bermuara di sekitarnya. Dalam Lind et.al (1997), bahwa
sumber kekeruhan di perairan selain disebabkan oleh padatan tersuspensi, juga
akibat dari keberadaan phytoplankton.
Untuk mengetahui muatan padatan tersuspensi (MPT) secara spasial di
gunakan data Citra satelit Landsat ETM untuk akuisisi bulan Februari Tahun 2002
(Gambar 8). Berdasarkan data tersebut diperoleh kadar TSS tertinggi umumnya di
daerah-daerah pantai dekat muara sungai. Nilai TSS tertinggi terhitung antara 2022.5 mg/l, dan semakin ke arah laut nilai TSS berkurang hingga menjadi < 15
mg/l. Menurut Alabaster dan Llyod (1982), nilai TSS < 25 mg/l tidak membawa
pengaruh terhadap kegiatan perikanan.
TSS dan kekeruhan yang tinggi akan berpengaruh bagi kehidupan biota di
perairan. Pertama, menghalangi atau mengurangi penetrasi cahaya ke dalam
kolom air sehingga menghambat proses fotosintesis oleh fitoplankton atau
tumbuhan air lainnya, yang selanjutnya berarti mengurangi pasokan oksigen
terlarut, jumlah fitoplankton sebagai makanan pun akan menurun. Kedua, secara
langsung kandungan TSS yang tinggi dapat mengganggu pernafasan biota karena
dapat menutup insang. Dampak lainnya dari kekeruhan dan TSS yang tinggi,
(yang biasanya karena partikel-partikel tanah/lumpur dan bahan organik) adalah
sedimentasi yang selanjutnya menyebabkan perairan menjadi semakin dangkal.
Selain itu, keberadaan dari kekeruhan/sedimentasi yang terjadi di perairan pantai
juga akan berakibat pada penumpukan bahan organik di dasar perairan, yang
menyebabkan meningkatnya proses dekomposisi sehingga akan dapat mengurangi
kandungan oksigen perairan dan menghasilkan bahan-bahan toksik seperti
amonia, H2S, CH4, NO2 dan lain-lain.
45
Gambar 8. Nilai Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) di Kecamatan Ampibabo
h. Debit Air Sungai
Suplai air sungai yang masuk ke perairan pesisir apabila masuk dalam
jumlah yang sangat besar akan berpengaruh organisme yang di budidayakan.
Pengaruhnya terutama pada terjadinya perubahan salinitas dan sedimen yang
terbawa oleh aliran sungai ke laut. Berdasarkan hasil perhitungan debit air sungai
dari data curah hujan tahun 2005 pada DAS Olaya, diketahui bahwa debit air
46
sungai yang masuk terbesar terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 425.68 m3
dan terendah terjadi pada bulan November yaitu sebesar 44.02 m3 (Lampiran 2).
B. Parameter kimia perairan
a. Salinitas
Hasil pengukuran salinitas di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada
Bulan Mei Tahun 2006 mendapatkan nilai salinitas berkisar antara 30 – 34 ppto
dengan rerata 33.42 ppt. Untuk setiap stasiun pengamatan diperoleh salinitas yang
cukup tingggi yaitu berkisar antara 33 – 34 ppt, begitu pula dengan berdasarkan
stratifikasi kedalamannya yaitu permukaan, pertengahan dan dekat dasar perairan.
Hal berbeda dijumpai pada lokasi pengamatan di mana merupakan muara sungai,
salinitas yang diukur bernilai 30 ppt. Untuk jelasnya kisaran salinitas dapat dilihat
Salinitas ( o/oo)
pada Gambar 9.
35
34
33
32
31
30
29
28
1
2
3
4
5
Stasiun
6
7
8
9
Permukaan
Tengah
Dekat dasar
Gambar 9. Salinitas di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada bulan Mei
2006
Secara umum salinitas di perairan pantai Kecamatan Ampibabo tidak
menunjukkan variasi yang besar. Selain itu, salinitas perairan daerah ini dinilai
cukup tinggi yang dikarenakan pada saat penelitian supplay air tawar yang berasal
dari muara-muara sungai disekitarnya sangat sedikit, serta rendahnya curah hujan.
Dalam Nontji (1989), Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai.
Salinitas berhubungan dengan fungsi fisiologis organisme perairan dalam
mengatur keseimbangan tubuh akibat tekanan osmotik yang diterimanya. Setiap
jenis organisme dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu
47
tergantung pada toleransi dan adaptasinya terhadap lingkungan. Kisaran salinitas
di perairan pantai Kecamatan Ampibabo sesuai bagi kegiatan budidaya laut.
Untuk kegiatan budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii misalnya, dapat
tumbuh dengan baik pada perairan dengan salinitas antara 28 – 35 ppt
(Dirjenperbud-DKP 2006) dan salinitas optimumnya 33 ppt (Mubarak dkk 1990),
untuk budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung salinitas air laut antara
30 – 35 ppt merupakan kisaran yang sesuai, karena sesuai dengan kondisi alami
kehidupannya yaitu di perairan karang (Hafiz dkk 1999).
b. Oksigen Terlarut (DO)
Dari hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut di perairan pantai
Kecamatan Ampibabo pada stasiun 1 sampai 9 saat musim, di peroleh kisaran
nilai DO antara 6.6 – 7.3 mg/l dengan rerata 6.9 mg/l. Berdasarkan stratifikasi
perairan, nilai DO pada permukaan berkisar antara 6.8 – 7.3 mg/l dengan rerata
6.93 mg/l, pada bagian tengah perairan 6.6 -7.2 mg.l dengan rerata 6.9 mg/l,
sedangkan untuk bagian dasar bernilai 6.6 – 7.3 mg/l dengan rerata 6.89 mg/l
(Gambar 10). Perbedaan nilai oksigen diperairan dipengaruhi oleh beberapa hal
seperti waktu pengambilan sampel dan kondisi cuaca pada saat itu. Pada siang
hari fotosintesis lebih tinggi karena intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi
dibandingkan pagi dan sore hari sehingga oksigen yang dihasilkan akan lebih
banyak. Pada saat pengukuran dan pengambilan contoh air, intensitas cahaya
matahari penuh bersinar, hal ini menyebabkan intensitas cahaya sampai
menembus hingga ke kedalaman tertentu perairan.
Oksigen Terlarut (mg/l)
7.4
Permukaan
Tengah
Dekat dasar
7.2
7.0
6.8
6.6
6.4
6.2
1
2
3
4
5
6
Stasiun
7
8
9
48
Gambar 10. Oksigen Terlarut (DO) di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada
musim peralihan
Menurut
Boyd
(1990),
kadar
oksigen
terlarut
perairan
yang
diperuntukkkan bagi kepentingan perikanan tidak kurang dari 5 mg/l. Dalam
Akbar dkk (2002) mengatakan bahwa, untuk kegiatan budidaya ikan kerapu
macan dan kerapu tikus dalam keramba jaring apung konsentrasi oksigen dalam
air yang sesuai lebih dari 5 mg/l, lebih lanjut dijelaskan bahwa konsentrasi
oksigen terlarut dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan dan
mengurangi daya dukung perairan. Oleh karena itu kondisi DO perairan pantai
kecamatan Ampibabo dinilai sangat layak untuk kegiatan perikanan budidaya.
c. Biologycal Oxygen Demand (BOD)
Pengukuran BOD5 pada bulan Mei 2006, diperoleh nilai BOD5 berkisar
antara 0.6 – 2.3 mg/l dengan rata-rata 1.27 mg/l. Nilai tertinggi (2.3 mg/l)
diperoleh di dekat dasar perairan pada stasiun 4 atau dekat pelabuhan desa
Paranggi, sedangkan nilai terendah (0.6 mg/l) di peroleh pada permukaan air
stasiun 8(Gambar 11).
Tingginya nilai BOD menggambarkan semakin besarnya bahan organik
yang akan di dekomposisi dengan menggunakan oksigen di perairan. Apabila
tidak diimbangi dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi juga, maka akan
mengganggu biota yang hidup di perairan. Selain itu akan menghasilkan bahanbahan beracun sebagai hasil dari dekomposisi seperti amonia dan hidrogen
sulfida. Masih kurangnya kegiatan yang menghasilkan limbah, terutama limbah
organik di wilayah pantai Ampibabo menyebabkan rendahnya nilai BOD5. Untuk
kegiatan budidya ikan sistem keramba jaring apung nilai BOD5 yang sesuai < 5
mg/l (FAO, 1989). Lebih lanjut, berdasarkan kriteria baku mutu air laut
(KEPMENLH Nomor 51 tahun 2004) untuk biota perairan nilai BOD5 harus < 20
mg/l, dengan demikian nilai BOD5 pada stasiun-stasiun pengamatan memenuhi
kriteria untuk budidaya perikanan.
d. Derajat Keasaman (pH)
49
Berdasarkan hasil analisis lapangan pada musim peralihan, air laut
menunjukkan nilai pH berkisar antara 7.1 – 8.9 dengan rata-rata 8.4. Nilai pH
pada permukaan berkisar antara 7.1 – 8.4 dengan rata-rata 8.05, pada pertengahan
perairan berkisar antara 7.6 – 8.4 dengan rata-rata 8.10, sedangkan dekat dasar
perairan berkisar antara 7.8 – 8.4 dengan rata-rata 8.18 (Gambar 12). Nilai pH
yang diperoleh pada setiap stasiun umumnya bersifat basah, terkecuali nilai pH
pada permukaan muara sungai Towera yang hampir mendekati netral atau tujuh
karena pengaruh air tawar.
2.5
BOD5 (mg/l)
2.0
1.5
1.0
0.5
Permukaan
Pertengahan
Dekat Dasar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 11. Nilai BOD5 di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada bulan Mei
2006
Hinga (2002), mengatakan bahwa pada sebagian besar lingkungan pesisir
mengalami perubahan 1 unit nilai pH dari 7.5 sampai 8.5, terkadang juga terjadi
perubahan dari pH lebih besar dari 9 atau kurang dari 7. Setiap spesies
mempunyai batasan dalam beradaptasi terhadap perubahan nilai pH, karena
sebagian besar organisme laut mempunyai sesuai pada kisaran pH 7 sampai 8.5, di
luar daripada itu dapat menggangu perumbuhannya. Lebih Lanjut, McDonald
(1983) dalam Beveridge (1987), bahwa pH merupakan ukuran dari aktifitas ion
hidrogen, penting dalam kegiatan budidaya karena nilai pH yang terlalu asam atau
basa dapat dengan cepat merusak permukaan insang, sampai menyebabkan
kematian.
e. Amonia (NH3-N)
Berdasarkan hasil analisis contoh air di laboratorium diperoleh kadar
Amonia pada stasiun 1 sampai 9 berkisar antara 0.277 – 0.535 mg/l dengan ratarata 0.32 mg/l. Nilai amonia tertinggi diperoleh pada stasiun 1 dekat dasar
50
perairan pantai desa lemo, sedangkan nilai terendah diperoleh pada stasiun 4 yaitu
permukaan perairan pantai desa Paranggi atau dekat pelabuhan perikanan.
(Gambar 13).
8.5
PH
8.0
7.5
7.0
6.5
6.0
1
2
3
4
5
Stasiun
6
7
8
9
Permukaan
Pertengahan
Dasar
Gambar 12. Nilai pH di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada bulan
Mei 2006
Perairan pantai kecamatan Ampibabo, di sekitarnya belum banyak terdapat
aktivitas atau kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi kondisi perairan.
Dalam Hodgkiss & Lu (2004), bahwa peningkatan aktifitas manusia di wilayah
pesisir seperti limbah dan buangan manusia, peningkatan penggunaan pupuk
dalam kegiatan pertanian, aliran permukaan, masukan nutrien dari sungai,
kegiatan pariwisata, budidaya laut, dan sebagainya merupakan penyebab
pencemaran lingkungan.
Untuk kegiatan budidaya laut kadar amonia yang optimum mencapai 0
mg/l. Akan tetapi dalam kisaran tertentu masih dapat di toleransi karena kondisi
alamiah. Kadar amonia yang diperoleh hampir seluruh stasiun belum melebihi
batas nilai yang ditentukan untuk budidaya perikanan. Dalam FAO (1989), untuk
kegiatan budidaya ikan sistem keramba jaring apung kandungan amonia di
perairan haruslah < 0.5 mg/l. Lebih lanjut, dalam KEPMENLH nomor 51 tahun
2004 tentang baku mutu air laut, memberikan batasan kadar amonia 0,3 mg/l.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dari hasil pengukuran kadar amonia
perairan layak untuk kegiatan budidaya atau untuk kehidupan biota lainnya.
f. Nitrat (NO3-N)
Hasil analisis kandungan nitrat pada perairan pantai Kecamatan Ampibab
pada bulan Mei 2006 rata-rata 0.110 mg/l. Diperoleh nilai tertinggi pada stasiun 6
51
tepatnya pada permukaan sungai Towera yaitu 0.326 mg/l, sedangkan nilai
terendah terdapat pada stasiun 1 tepatnya pada pertengahan perairan di stasiun 1
yaitu 0.032 mg/l (Gambar 14).
0.600
Amonia (mg/l)
0.500
0.400
0.300
0.200
0.100
Permukaan 1
Pertengahan
Dekat Dasar
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 13. Nilai Amonia pada permukaan, pertengahan, dan dekat dasar perairan
pantai Kecamatan Ampibabo pada Bulan Mei
Tingginya kadar nitrat pada permukaan stasiun 6 di pengaruhi oleh sungai
Towera yang berada tepat di lokasi pengambilan contoh air. Sungai towera
membawa zat organik terurai sehinga mempengaruhi tinggat kesuburan. Hodgkiss
& Lu (2004), mengatakan bahwa, secara alami nitrogen yang masuk ke perairan
pesisir di bawa oleh aliran permukaan sungai, sebagai hasil fiksasi nitrogen,
presipitation, dan upweling. Tetapi, jika di kaitkan dengan tingkat kesuburan
perairan, maka perairan pantai kecamatan Ampibabo masih belum dikategorikan
sebagai perairan yang belum mengalami eutrofikasi, dan akan mengakibatkan
terjadinya blooming algae, yang lebih jauh menyebabkan perairan mengalami
kekurangan oksigen. Oleh FAO (1989), untuk kegiatan budidaya ikan hendaknya
pada perairan dengan kadar amonia < 4 mg/l.
0.350
Nitrat (Mg/l)
0.300
0.250
0.200
0.150
0.100
0.050
Permukaan
Pertengahan
Dekat Dasar
1
2
3
4
5
Stasiun
6
7
8
9
52
Gambar 14. Nilai Amonia pada permukaan, pertengahan, dan dekat dasar perairan
pantai Kecamatan Ampibabo.
g. Fosfat (PO4-P)
Kadar fosfat di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006
untuk stasiun 1 sampai 9 pada permukaan, pertengahan dan dekat dasar perairan
bernilai < 0.001 mg/l. Kisaran nilai fosfat yang diperoleh di seluruh stasiun jika
dibandingkan dengan KEPMENLH nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air
laut bagi biota belum melebihi batas nilai yang ditentukan yaitu 0,013 mg/l.
Fosfat merupakan salah satu bioindikator kesuburan dalam suatu perairan,
oleh sebab itu keberadaannya di perairan sangat penting. Akan tetapi, kadar fosfat
pada peraiaran laut tidak dibutuhkan dalam jumlah yang terlalu banyak.
Meningkatnya kadar fosfat di suatu perairan akan menyebababkan terjadinya
eutrofikasi. Berdasarkan hasil penelitian Hodgkis dan Lu (1997), perbandingan
unsur N dan P di perairan untuk berapa jenis alga antara 5 : 1 sampai 15 : 1, dan
itu berbeda untuk setiap jenisnya. Lebih lanjut oleh Redfield (1958) dalam Lu dan
Hodgkis (2004) yang dikenal juga dengan perbandingan Redfield, dalam air laut
perbandingan unsur N dan P yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton yaitu
15 : 1.
C. Parameter biologi
Fitoplankton
Dari hasil identifikasi di temukan 39 spesies fitoplankton yang tergabung
dalam 4 kelas yaitu 3 spesies dari kelas Cyanophyceae, 29 dari Bacillariophyceae,
3 spesies dari Dinophyceae, dan 4 spesies dari kelas Chlophyceae. Adapun jenisjenis yang di temukan jelasnya dapat di lihat pada Lampiran 3. Lebih lanjut, hasil
perhitungan kelimpahan, keanekaragaman dan keseragaman fitoplankton bulan
Mei 2006 dapat dilihat pada Tabel 8.
Kelimpahan individu berkisar antara 20000-3120000 ind/m3 dengan nilai
rata-rata 664934.78 ind/m3. Kelimpahan tertinggi terdapat di dekat dasar perairan
stasiun 1 yaitu Synedra sp dari kelas Bcillariophceae. Sedangkan berdasarkan
hasil analisis Indeks Keanekaragaman di peroleh nilai berkisar antara 0.64–1.83
dengan rata-rata 1.42. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 6
53
(permukaan sungai) dan terendah terdapat pada stasiun 2. Berdasarkan klasifikasi
indeks keanekaragaman Shannon-Wiener tampak bahwa status hampir di semua
stasiun pengamatan termasuk dalam kategori keanekaragaman sedang. Apabila
melihat indeks keseragaman fitoplankton, diketahui bahwa pada stasiun 5
tepatnya di kolom perairan mempunyai indeks keseragaman tertinggi yaitu 1.61
yang berarti mempunyai jumlah individu setiap sama atau tidak jauh berbeda.
Indeks keseragaman terendah sebesar 0.28 yang dijumpai di dekat dasar perairan
stasiun 9.
Tabel 8.
Stasiun
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
Kelimpahan, dan Keanekaragaman Fitoplankton di perairan pantai
Kecamatan Ampibabo
Kedalaman
(m)
0.6
1.2
2.4
2
4
8
0.4
1.6
1.2
2.4
4.8
1
2
4
0
2
8
3
6
12
4
8
12
Kelimpahan
(ind/m3)
1248000
652500
3120000
20000
936000
157500
52500
1248000
1248000
95000
1560000
1560000
2148000
110000
782500
27500
32500
73500
51000
44500
68500
29500
28500
Keanekaragaman
Keseragaman
1.39
1.53
1.83
1.32
0.64
1.69
1.50
1.04
1.04
1.67
1.33
1.33
1.56
1.50
0.83
1.41
1.74
1.56
1.78
1.46
1.81
1.43
1.33
1
0.53
0.94
0.95
0.93
0.81
0.77
0.95
0.95
0.81
0.96
0.96
1.61
0.72
0.36
0.88
0.97
0.87
0.91
0.91
0.93
0.89
0.28
Perairan pantai kecamatan Ampibabo merupakan salah satu perairan yang
di perkirakan masih belum terkena dampak dari kegiatan manusia seperti industri,
budidaya tambak dan budidaya keramba, pertanian, dan lain sebagainya.
Bebebrapa kelompok alga laut memproduksi racun yang akan membunuh ikan
dan juga secara tidak langsung terakumulasi dalam tubuh manusia yang
mengkonsumsi. Oleh Strom (1928) dalam Basmi (2000) bahwa dengan
mengetahui konsentrasi nitrogen dan fosfat dapat mengetahui tingkat kesuburan di
54
perairan yang juga erat kaitannya dengan produktifitas primer terutama oleh
fitoplankton. Peningkatan jumlah limbah yang masuk keperairan terutama akibat
kegiatan pertanian, dan budidaya perairan menghasilkan apa yang di kenal dengan
eutrophication yang lebih jauh akan mengakibatkan bloom algae beracun atau
yang dikenal dengan red tides. Oleh Peng et al. 2002; Zheng et al. 2001; Li et al.
1993; Qiu, 2001 dalam Song et al. 2004). Konsentrasi makronutrien dan
perbandingan unsur N dan P di perairan penting untuk mengontrol pertumbuhan
alga di teluk.
4.2.2. Ekosistem Pesisir dan Laut
Ekosistem di wilayah pesisir dan laut merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam pengelolaan wilayah pesisir. Penting untuk mengetahui kondisi
ekosistem agar dalam pengembangan suatu sektor terutama untuk manfaat
ekonominya, seminimal mungkin tidak berdampak pada keberlangsungan
ekosistem ini (Lampiran 4).
a. Ekosistem Terumbu Karang
Hasil pengamatan terumbu karang ini di peroleh dari kegiatan Survei dan
Pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project)
tahun 2004. Sebaran terumbu karang yang teramati umumnya berjarak 2 – 20
meter ke arah laut, dengan kedalaman 5 – 25 meter. Prosentasi dan kondisi
tutupan karang di Kecamatan Ampibabo jelasnya dapat di lihat pada Tabel 9 di
bawah ini:
Tabel 9. Prosentasi karang di Kecamatan Ampibabo
Kategori Karang
Lokasi Contoh
Prosentasi
Tutupan
Karang Batu
- Silanga
54%
- Paranggi
15%
- Tomoli
37.5%
- P. Tomoli
40%
- Pinotu
10%
Sumber : Data MCRMP Kabupaten Parigi Moutong, 2004 (Diolah)
Kategori Kondisi
Tutupan Karang
Bagus
Buruk
Sedang
Sedang
Buruk
55
Jumlah jenis karang yang teramati sebesar 19 - 27 genus, dengan jenis
dominan adalah Acropora dan Porites.
Berdasarkan data tersebut di ketahui
bahwa, hanya di Desa Silanga yang kondisi terumbu karangya masih dapat
dikatakan baik, di Desa Tomoli dan Pulau Tomoli dalam kategori sedang, dan
perairan yang berada di Desa Paranggi dan Pinotu dengan kategori buruk. Desa
paranggi merupakan wilayah perairan yang banyak di lalui oleh kapal-kapal
nelayan dan padat dengan aktivitasnya karena dekat dengan pelabuhan perikanan.
Selain itu, berdasarkan hasil identifikasi, beberapa faktor seperti penambangan
karang, bom, serta sedimentasi dari daratan merupakan beberapa penyebab
terjadinya perubahan terhadap ekosistem terumbu karang di wilayah ini.
Sebagai mana di ketahui bahwa, terumbu karang merupakan salah satu
ekosistem laut yang mendukung kehidupan berbagai jenis ikan dan invertebrata
lainnya. Unit utama yang membentuk ekosistem ini adalah endapan-endapan
masif terutama kalsium karbonat yang di hasilkan oleh hewan karang seperti
sceleractinian dan organisme lain yang menghasilkan kalsium karbonat. Terumbu
karang tumbuh subur pada perairan jernih, dangkal hingga kedalaman 100 m, dan
dengan suhu perairan antara 18 – 30oC, oleh karena itu banyak terdapat di wilayah
tropis. Akan tetapi, ekosistem ini sangat rentan baik oleh aktivitas manusia
maupun oleh ancaman bersumber dari alam. Dalam Souter & Lindén (2000),
bahwa ancaman terbesar terhadap keberadaan ekosistem terumbu karang adalah
peningkatan jumlah penduduk di wilayah pesisir. Pembangunan infrastruktur
(pelabuhan laut dan udara, industri, fasilitas rekreasi, dan fasilitas umu lainnya),
penambangan karang, penggunaan bom dan racun untuk mendapatkan ikan,
aktifitas pariwisata, erosi, serta polusi yang berasal dari darat dan laut merupakan
beberapa sumber ancaman besar terhadap keberlangsungan ekosisitem terumbu
karang.
b. Padang Lamun
Padang lamun di temukan hanya di beberapa titik tententu di perairan
dangkal kecamatan Ampibabo. Hasil analis yang dilakukan dalam kegiatan
kegiatan Survei dan pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources
Management Project) tahun 2004, di desa Tomoli dan desa Pinotu, ditemukan 4
56
spesies lamun. Keempat jenis lamun yang di temukan yaitu jenis Syringodium
isoetifolium, Enhalus acaroides, Cymodocea rotundata, dan Thalassia hemprichii.
Di Tomoli memiliki area tutupan lamun yang cukup luas dan dapat dikategorikan
dalam kondisi baik, begitu juga dengan kondisi lamun yang ada di Pinotu.
c. Ekosistem Mangrove
Ekosistem mengrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir
yang mempunyai karakteristik habitat yang khas. Tumbuh pada daerah pasang
surut yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung, dan atau berpasir. Di beberapa
lokasi di Kecamatan Ampibabo juga di temukan ekosistem mangrove yang
tersebar di beberapa lokasi yang umumnya dekat dengan muara-muara sungai :
Hasil analis yang dilakukan dalam kegiatan kegiatan Survei dan pemetaan
Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) tahun
2004 di beberapa lokasi di kecamatan Ampibabo adalah sebagai berikut :
1. Desa Tapoya
Pada ekosistem mangrove di Tapoya ditemukan 6 jenis mangrove yaitu
Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops decandra, Rhyzopora
apiculata, R. Stylosa, dan Sonneratia alba. Jenis Rhyzopora apiculata dan R.
Stylosa merupakan jenis yang dominan. Dalam setiap 100m2 di temukan sebanyak
44 individu yang ditemukan termasuk jumlah yang relatif besar. Tetapi jumlah
anakan sebanyak 7 dan jumlah sapihan yang ditemukan sebanyak 9 dapat
dikatakan jumlah yang relatif kecil. Rata-rata diameter pohon sebesar 18,33 cm
dan rata-rata tinggi pohon sebesar 11,17 m menunjukkan bahwa ekosistem
mangrove di lokasi ini memiliki pohon-pohon yang ukuran batangnya relatif besar
dan tinggi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa mangrove yang ada di lokasi ini
tergolong berusia relatif tua.
2. Desa Tomoli
Pada ekosistem mangrove di Tomoli ditemukan 5 jenis mangrove yaitu
Bruguiera gymnorrhiza, Rhyzopora apiculat, Ceriops tagal, R. Stylosa, dan
Sonneratia alba. Jenis Rhyzopora apiculata, merupakan jenis yang mendominasi.
Jumlah individu/100m2 sebanyak 29 individu yang ditemukan termasuk jumlah
yang relatif kecil, sehingga mangrove di lokasi ini dikategorikan dalam kondisi
57
cukup. Demikian juga dengan jumlah anakan sebanyak 6 dan jumlah sapihan
sebanyak 12 dapat dikatakan relatif sedikit. Rata-rata diameter pohon sebesar
20,50 cm dan rata-rata tinggi pohon sebesar 12,00 m menunjukkan bahwa
ekosistem mangrove di lokasi ini memiliki pohon-pohon yang ukuran batangnya
relatif besar dan tinggi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa mangrove yang ada di
lokasi ini tergolong berusia tua.
3. Desa Pinoto
Pada ekosistem mangrove di Desa Pinoto ditemukan 4 jenis mangrove
yang didominasi oleh jenis Avicennia marina. Beberapa jenis mangrove yang di
temukan yaitu Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Rhyzopora stylosa, dan
Sonneratia alba. Jumlah individu/100m2 sebanyak 26 yang ditemukan termasuk
jumlah yang relatif sedikit dan masuk pada kondisi yang dikategorikan cukup,
demikian juga untuk jumlah anakan yang ditemukan sebanyak 9 dan sapihan
sebanyak 3. Rata-rata diameter pohon sebesar 18,75 cm dan rata-rata tinggi pohon
sebesar 10,63 m menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di lokasi ini memiliki
pohon-pohon yang ukuran batangnya relatif besar. Kondisi ini mengindikasikan
bahwa mangrove yang ada tergolong berusia cukup tua.
4.3. Sosial Ekonomi Budaya dan Kelembagaan
4.3.1. Kependudukan
Penduduk Kecamatan Ampibabo umumnya merupakan suku asli setempat,
hanya dibeberapa tempat terdapat suku-suku pendatang seperti Bugis, Kaili dan
juga para trasnmigrasi dari Jawa dan Bali. Jumlah penduduk Kecamatan
Ampibabo hingga tahun 2005 sebanyak 39.825 jiwa dengan jumlah keluarga
sebanyak 10.476 KK. Terjadi pertambahan penduduk sebanyak 764 jiwa dari
jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 39.061 jiwa.
Salah satu aspek penting untuk melihat konsentrasi penduduk pada suatu
wilayah adalah dengan melihat kepadatan penduduk per kilometer persegi.
Kepadatan di Kecamatan Ampibabo sebesar 68 jiwa /km2. Kepadatan penduduk
tertinggi berada di Desa Paranggi sebesar 368 jiwa /km2, diikuti Desa Toga
sebesar 220 jiwa /km2 dan Desa Ampibabo sebagai ibu kota Kecamatan sebesar
107 jiwa/km2. Ketersediaan sarana dan prasarana yang cukup lengkap menjadikan
58
Desa Paranggi dan Ampibabo sebagai ibu kota Kecamatan mempunyai
konsentrasi penduduk yang lebih padat. Secara rinci Jumlah keluarga, penduduk
dan kepadatannya dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini :
Tabel 10 . Jumlah Keluarga, Penduduk dan Kepadatannya di Kecamatan
Ampibabo
Desa
Jumlah Penduduk Keluarga
Kepadatan
Penduduk/Km2
1 Marantale
2.328
611
51
2 Silanga
2.401
647
56
3 Siniu
1.730
464
50
4 Towera
1.373
403
51
5 Tolole
1.961
516
83
6 Toga
1.219
327
220
7 Sidole
3.186
851
71
8 Paranggi
2.546
757
368
9 Ampibabo
4.883
1.219
107
10 Lemo
2.625
628
51
11 Buranga
2.392
561
58
12 Tomoli
4.055
1.079
45
13 Toribulu
4.897
1.351
88
14 Sienjo
2.417
629
61
15 Pinotu
1.812
433
50
Ampibabo 2005
39.825
10.476
68
2004
39.061
10.398
62
Sumber : BPS Parigi Moutong 2005
Umumnya masyarakat Kecamatan Ampibabo menggantungkan sumber
pendapatan dari hasil perkebunan dan pertanian. Di wilayah ini, hanya sebagain
kecil masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Lebih lanjut diketahui bahwa
terdapat 2 kategori nelayan yang berada di Kecamatan Ampibabo yaitu nelayan
tetap dan nelayan musiman. Nelayan tetap adalah nelayan yang pekerjaannya
hanya mencari ikan, dan tidak mempunyai pekerjaan lain, sedangkan nelayan
musiman adalah nelayan yang mencari ikan hanya sebagai sampingan. Nelayan
musiman biasanya melaut hanya pada musim-musim tertentu dan waktu lainnya
mereka gunakan untuk berkebun atau bertani.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada beberapa nelayan yang
pernah membudidayakan rumput laut, bahwa pekerjaan membudidayakan rumput
laut hanya dijadikan sebagai sumber penghasilan tambahan. Masyarakat
59
umumnya masih mengandalkan sektor perkebunan dan pertanian sebagai sumber
penghasilan utama. Komoditi perkebunan seperti kakao dan cengkeh masih
merupakan sektor andalan di wilayah ini.
Apabila dilihat dari pendidikan formal yang dijalani oleh masyarakat
pesisir pantai Kecamatan Ampibabo, diketahui bahwa sebagian besar responden
hanya berpendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD). Dari 60 responden anggota
kelompok nelayan rumput laut yang diwawancarai sebanyak 55 orang atau 61.1%
mempunyai pendidikan SD, berpendidikan SMP sebanyak 14 atau 20%, SMU
masing-masing sebanyak 18 orang atau 15.6% dan yang berpendidikan sarjana
hanya sebanyak 3 orang atau 3.3%. Bukan hanya pendidikan formal saja yang
rendah, pendidikan non formal dan ketrampilan juga sangat terbatas. Kegiatankegiatan pelatihan mengenai teknologi perikanan jarang diikuti oleh masyarakat,
kalaupun ada hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat. Apabila dilihat dari
ketersediaan sarana pendidikan formal, sekarang ini dapat ditemukan sebanyak 46
buah SD, 8 buah SMP, dan sebanyak 2 buah SMU. Adapun lokasi Sekolah Dasar
hampir dijumpai di setiap desa, sedangkan untuk SLTP dan SMU hanya di jumpai
di ibukota Kecamatan. Selain bangunan fisik penunjang pendidikan, yang perlu
menjadi perhatian utama yaitu kualitas atau mutu pendidikan. Dengan tersdianya
sarana pendidikan diharapkan dapat menciptakan sumberdaya manusia yang
mampu akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dapat
mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Dalam sektor perikanan budidaya laut, untuk menunjang keberlangsungan
kegiatan usaha budidaya diperlukan pengetahuan mengenai teknologi khususnya
yang menunjang bagi kegiatan budidaya laut, agar meningkatkan hasil yang
diperoleh. Kemampuan tersebut dapat di peroleh melalui pendidikan formal dan
non-formal baik dari pemerintah maupun swasta.
Dalam bidang kesehatan, masyarakat Kecamatan Ampibabo umumnya
sudah terjangkau oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Di wilayah ini terdapat 1
buah Puskesmas dan 5 buah Puskesmas pembantu. Adapun jumlah dokter dan
perawat yang ada sudah mencukupi kebutuhan masyarakat yaitu 2 dokter umum,
18 perawat dan 3 bidan. Pelayanan kesehatan juga dilengkapi dengan fasilitas
60
yang cukup, kondisi ini ditunjang dengan akses jalan yang sangat baik untuk
mencapai daerah lain termaksud ibukota Kabupaten.
4.3.2. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
A. Perikanan tangkap
Wilayah perairan pantai Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi
Moutong memiliki berbagai potensi sumberdaya perikanan. Jenis-jenis potensi
sumberdaya tersebut terdiri dari berbagai jenis ikan seperti kerapu, cumi-cumi,
udang, layang, lemuru dan teripang. Alat tangkap yang digunakan seperti pancing,
bubu, pukat dan ada juga yang menggunakan sianida untuk menangkap beberapa
jenis ikan karang. Lebih lanjut, untuk wilayah Kabupaten Parigi moutong,
Kecamatan Ampibabo merupakan salah satu dengan produksi hasil tangkapan
ikan terbesar (Tabel 11)
Kecamatan Ampibabo dengan produksi terbesar yaitu sejumlah 3942 ton,
kemudian kecamatan Sausu sebanyak 2471 ton dan kecamatan Parigi sebesar
1972.2 ton. Untuk Kec. Ampibabo Jenis ikan tangkapan terbesar adalah ikan
campuran yang mencapai 1019.3 ton dan produksi terkecil adalah jenis teripang
dengan total produksi sebesar 0.6 ton. Produksi perikanan tersebut dihasilkan oleh
rumah tangga perikanan (RTP) dari perahu tanpa motor, motor tempel dan kapal
motor (Tabel 11).
Tabel 11. Produksi ikan di Kecamatan Ampibabo, Parigi dan Sausu Kabupaten
Parigi Moutong Tahun 2003
No.
Produksi Ikan
Kecamatan
Jumlah
(Ton)
Ampibabo Sausu
Parigi
1 Selar
704.9
457
328
1489.9
2 Layang
588.6
410
659
1657.6
3 Tuna
567.6
319
235
1121.6
4 Cakalang
625
198
153
976.0
5 Ikan dasar
273
168
137
578.0
6 Bandeng
124
140
110.9
374.9
7 Udang
39
48
38.4
125.4
8 Teripang
0.6
0.5
0.3
1.4
9 Campuran
1019.3
710.5
250
1979.8
10 Ikan Teri
20
60.6
Jumlah
3942
2471
1972.2
8385.2
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Parigi Moutong 2004
61
Jumlah kapal yang terdapat di wilayah ini sebanyak 244 unit. Umumnya
menggunakan motor tempel atau sebanyak 198 unit dan yang menggunakan kapal
motor sebanyak 16 unit dan selebihnya merupakan perahu tanpa motor. Nelayan
kecamatan Ampibabo dengan kapasitas kapal yang kecil hanya mencari ikan di
perairan pantai, dan pertengahan teluk, sedangkan dengan kapal dengan kapal
motor besar mencari ikan hingga perairan mulut Teluk Tomini.
Tabel 12 . Jenis alat tangkap dan jumlah kapal di Kecamatan Ampibabo, 2004
No
Nama Desa
Jumlah
Kapal (Unit)
Jenis Perahu
Motor Tempel
Kapal Motor
(PK)
(GT)
5.5
5.5
5.5
-
1
2
3
Marantale
Silanga
Siniu
10
33
24
4
5
6
7
Towera
Tolole
Toga
Parangi
17
11
12
40
5.5
5.5
5.5
5 s/d 16
7
5 s/d 10
Ampibabo
Lemo
Buranga
Tomoli
Toribulu
Sienjo
Pinotu
22
13
2
15
10
6
29
5 s/d 7
5 s/d 5.5
5 s/d 5.5
5
3.5 s/d 5.5
5.5
3 s/d 13
-
8
9
10
11
12
13
14
Jenis Alat Tangkap
Pancing
Pancing
Pancing
Purse seine dan
pancing
Pancing
Pancing dan pukat
Purse seine dan
pancing
Pancing
Pancing
Pancing
Pancing dan pukat
Pancing dan pukat
Pancing
Pancing
Sumber : Dinas perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong (Diolah)
B. Perikanan budidaya laut
Bentang garis pantai Kabupaten Parigi Moutong sepanjang 447 Km
menjadikan wilayah ini berpotensi besar bagi pengembangan perikanan budidaya
laut. Hampir keseluruhan wilayah perairan pantai dinilai sangat cocok untuk
pengembangan budidaya laut khususnya beberapa komoditi unggulan seperti
rumput laut, kerapu, kakap, dan Teripang. Pemerintah daerah dalam hal ini telah
merespon hal tersebut dengan memberikan bantuan usaha bagi kegiatan budidaya
laut beberapa komoditi tersebut sejak tahun 2003. Adapun untuk Kecamatan
Ampibabo berdasarkan data Dinas Perikanan dan Keluatan Kabupaten Parigi
62
Moutong luas wilayah perairan yang berpotensi untuk pengembangan budidaya
laut sebesar 150 Ha, dan hanya berada di perairan Pulau Tomoli, Desa Tomoli.
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa luas lahan yang telah dimanfaatakan
sebesar 30 ha. Beberapa wilayah di Kabupaten Parigi Moutong yang berpotensi
untuk pengembangan budidaya laut sebagaimana tertulis pada Tabel 13 berikut
ini :
Tabel 13. Potensi Pengembangan Budidaya Laut di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
No
Kecamatan
Nama Pesisir dan Pulau
Potensi
(Ha)
Potensi Telah
Dimanfaatakan (Ha)
1
Sausu
Pesisir Sausu
400
30
2
Parigi
P. Makakata & Pesisir Toboli
250
50
3
4
5
Ampibabo
Tinombo
Kasimbar
P.Tomoli
Pesisir Tinombo & Sidoan
Pesisir Kasimbar & Posona
150
250
300
30
40
50
6
Tomini
1.
P.Tomini
100
50
2.
3.
P.Tengah
P. Malalang
150
5
-
4.
P. Tabong
100
-
5.
P. Sumogaling
50
-
6.
7.
P. Kubur
Pesisir Ambesia
75
300
210
Pesisir Bajo
200
50
7
Bolano
Lambunu
6
Moutong
1. P. Olue
100
-
2. P. Soboya
50
-
3. P. Maloang
4. P. Lolayo
450
150
-
5. P. Ongka
10
-
3.09
500
Jumlah
Sumber : Diskanlut Kabupaten Parigi Moutong.
4.3.3. Sarana dan Prasarana Pendukung
A. Transportasi dan Komunikasi
Keberadaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan perekonomian di
Kecamatan
Ampibabo
sangat
diperlukan.
Umumnya
masyarakat
sudah
menjadikan mobil dan motor sebagai alat transportasi utama. Sarana jalan antar
63
Desa umumnya sudah sangat memadai sehingga memudahkan masyarakat untuk
mengangkut hasil produkasi pertanian dan perikanan ke tempat-tempat
pemasaran. Sebagaimana diketahui Kecamatan Ampibabo berada dipesisir teluk
Tomini. Dilewati oleh arus lalu lintas darat Trans Sulawesi jurusan selatan
(Propinsi Sulawesi Selatan), ke utara (Propinsi Gorontalo) maupun menuju ke
ibukota Propinsi Sulawesi Tengah (Palu), sehingga memudahkan akses untuk
menuju daerah lainnya dan memperlancar distribusi barang dari dan ke wilayah
ini.
Sarana telekomunikasi yang terdapat di Kecamatan Ampibabo yaitu
telepon seluler (ponsel), signal beberapa operator ponsel sudah dapat di jangkau di
hampir setiap tempat dipesisir wilayah ini. Di samping itu dengan adanya
teknologi yang lebih maju, masyarakat sudah dapat menyaksikan siaran televisi
baik nasional maupun lokal. Selain itu, berbagai informasi juga dapat diperoleh
masyarakat melalui surat kabar yang dapat diterima hampir setiap hari. Dengan
adanya akses jalan yang baik, dan didukung dengan jaringan telekomunikasi yang
sudah dapat diakses oleh masyarakat, dapat dijadikan pendukung dalam
peningkatan perekonomian masyarakat.
B. Listrik
Listrik merupakan sarana penunjang yang sangat penting terutama
terhadap aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Umumnya listrik digunakan untuk
aktivitas penerangan. Menurut data PLN tahun 2005, jumlah pelanggan listrik di
Kecamatan Ampibabo sebanyak 3.590. Layanan listrik yang tersedia 24 jam
penuh setiap harinya, akan tetapi masih terdapat beberapa kendala. Kendala yang
seringkali ada yaitu pemadaman bergilir yang dialami tidak hanya oleh
masyarakat Kecamatan Ampibabo tetapi hampir disemua wilayah Kabupaten
Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Ditahun mendatang layanan listrik sebagai
salah satu pemacu pergerakan ekonomi diyakini akan semakin membaik karena
pemerintah setempat sangat memperhatikan kondisi ini, ditunjang dengan adanya
pembangunan pembangkit listrik tenaga air di wilayah Tentena, Poso dan PLTU
Panau, Palu, Sulawesi Tengah, yang di harapkan mampu mensuplai kebutuhan
listrik Pulau Sulawesi dan Sulawesi Tengah khususnya.
64
4.3.4. Sarana Penunjang Sektor Perikanan
Salah satu infrastruktur yang terkait dengan kegiatan perikanan ditemukan
diwilayah ini. Di Desa Paranggi tepatnya, terdapat Pelabuhan Pendaratan Ikan
(PPI) dan juga Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hasil tangkapan nelayan
mempunyai akses pasar yang baik. Selain dipasarkan untuk pemenukan kebutuhan
masyarakat lokal, hasil tangkapan juga langsung dipasarkan ke daerah terutama
kota palu yang dapat di tempuh kurang lebih 3.5 jam perjalanan. Ikan-ikan dengan
nilai jual tinggi atau yang mempunyai pasar eksport seperti ikan tuna dan lobster
di pasarkan langsung melalui Gorontalo dan atau Surabaya.
4.3.5. Konflik Pemanfaatan dan Keamanan
Pembangunan perikaan budidaya laut seperti sistem bagan, kja, dan
budidaya rumput laut perkembangannya semakin pesat, akan tetapi juga rawan
konflik terutama dalam pemanfaatan ruang di laut. Konflik pemanfaatan yang
terjadi di wilayah pesisir kecamatan Ampibabo terutama yang terkait dengan
kegiatan budidaya laut yaitu kurangnya informasi yang di peroleh terutama oleh
nelayan tangkap tentang kegiatan budidaya. Berdasarkan informasi yang diperoleh
di beberapa lokasi yang pernah di lakukan kegiatan budidaya rumput laut, banyak
di jumpai tali-tali yang terputus. Di perkirakan oleh karena di lewati oleh perahu
nelayan yang melintasi lokasi budidaya.
Petani budidaya rumput laut umumnya tidak sepanjang waktu berada di
lokasi budidaya, sehingga tidak terpantau. Terutama pada malam hari, banyak
perahu-perahu yang melintasi lokasi budidaya. Menurut Usman yang merupakan
salah satu nelayan tangkap tradisional yang ada di Desa Tolole, bahwa tidak
mengetahui bahwa tali-tali yang ada di perairan merupakan kegiatan budidaya,
oleh karena menggagu jalan perahunya maka tali-tali tersebut di potong. Lebih
lanjut, Nasrun (nelayan tangkap tradisional Desa Pinotu) mengatakan bahwa,
apabila ada informasi mengenai adanya kegiatan budidaya maka mereka akan
mencari jalur-jalur yang tidak melintasi lokasi tersebut.
Oleh karena itu, pengembangan suatu sektor haruslah juga memperhatikan
fungsi-fungsi lainnya yang ada di perairan. Di perlukan pengaturan yang tegas
65
dalam pemanfaatan laut sehingga konflik pemanfaatan tidak terjadi, yang
sebenarnya akan merugikan masyarakat setempat. Kondisi seperti yang umumnya
terjadi di Kecamatan Ampibabo masih dapat di tanggulangi, dengan memberikan
informasi yang jelas terhadap masyarakat atau bahkan melibatkannya dalam
kegiatan budidaya laut.
Dimasa yang akan datang apabila tidak ada pengaturan yang jelas maka
akan menjadi potensi konflik dalam masyarakat. Menurut Malik dkk (2003),
konflik dalam pemanfaatan sumberdaya dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah masalah kepentingan. Konflik kepentingan merupakan konflik
yang terjadi karena adanya persaingan kepentingan yang dirasakan atau pun yang
secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik ini terjadi karena suatu pihak
lebih yakin bahwa untuk memenuhi kebutuhannya pihak lain harus berkorban
Umumnya, konflik jenis ini dipicu oleh (1) masalah-masalah mendasar seperti
uang, sumberdaya fisik dan waktu, (2) masalah tata cara, seperti sikap dalam
menanggapi suatu masalah, (3) masalah psikologis, seperti persepsi, kepercayaan,
kehormatan dan keadilan.
Faktor penting lain yang perlu di perhatikan dalam kegiatan budidaya laut
yaitu keamanan. Jenis usaha yang dikembangkan di perairan pantai ini biasanya
sangat dekat dengan aktifitas atau kawasan penduduk sehingga rentan terhadap
pencurian. Oleh karena itu, untuk meminimalisir dampak ini perlu dilakukan
penjagaan yang rutin. Untuk kegiatan budidaya rumput laut, model penjagaan
yang melibatkan anggota keluarga secara bergantian bisa dilakukan, sedangkan
untuk kegiatan budidaya sistem KJA membangun rumah jaga dilokasi budidaya
merupakan syarat penting karena investasi yang cukup besar.
Di Kecamatan Ampibabo, para nelayan pembudidaya sering mengeluhkan
kehilangan rumput laut milik mereka pada waktu menjelang panen. Berdasarkan
hasil wawancara dengan beberapa masyarakat yang pernah membudidayakan
rumput laut, mereka tidak pernah memperkirakan sebelumnya akan kehilangan
rumput laut yang mereka budidayakan. Para nelayan pembudidaya disibukkan
dengan aktifitasnya lainnya di darat untuk bertani dan berkebun pada sianghari
dan hanya sewaktu-waktu saja melihat lahan rumput lautnya. Sedangkan pada
malam hari tidak dilakukan penjagaan yang rutin.
66
4.3.6. Kelembagaan Ekonomi Masyarakat
Kondisi perekonomian sebagian besar masyarakat nelayan pesisir
Kecamatan Ampibabo masih dapat digolongkan menengah ke bawah. Potensi
ekonomi yang ada belum termanfaatkan secara optimal. Pengembangan usaha
rakyat, khususnya dalam budidaya perikanan dan penangkapan ikan masih
mengalami kendala klasik yaitu lemahnya kemampuan permodalan, rendahnya
teknologi penangkapan dan pasca panen, kapasitas sumber daya manusia yang
sangat rendah dan akses pasar yang sangat terbatas. Hingga saat ini jarang skali
ditemukan lembaga ekonomi seperti bank dan koperasi nelayan, sehingga akses
modal masih jauh dari jangkauan.
Beberapa program pemerintah yang ada selama ini belum membawa arti
besar terhadap perubahan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat
pesisir. Salah satu program pemerintah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan
Parimo Moutong pada Tahun 2004 adalah pemberian modal usaha budidaya
rumput laut kepada beberapa anggota kelompok nelayan. Kucuran modal yang
diterima oleh anggota kelompok nelayan di setiap desa berbeda-beda waktunya,
sehingga kegiatan budidaya tidak dilakukan pada bulan yang sama. Budidaya
rumput laut yang dilakukan di perairan pantai umumnya tidak berlangsung lama.
Beberapa anggota kelompok nelayan yang sudah menerima modal dan melakukan
usahanya tidak melanjutkan kegiatannya lagi dikarenakan ketidakberhasilan
usaha. Ada yang berhasil panen tetapi bulan berikutnya tidak berjalan dengan
baik, tetapi ada juga yang tidak berhasil panen atau rumpu laut mengalami
kerusakan. Faktor ekologi dan keamanan merupakan salah satu yang dikeluhkan
oleh masyarakat. Banyak rumput laut yang mati sebelum dipanen, dan ada juga
yang hilang padahal waktu untuk dipanen sudah dekat.
4.3.7. Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan kebijakan pemerintah
dalam penetapan pemanfaatan ruang, sebagai pedoman penyelenggaraan
pemerintahan dalam perumusan kebijakan. Keluaran dari penyusunan tata ruang
sekurang-kurangnya berisi beberapa hal seperti rencana struktur dan pola
67
pemanfaatan ruang, rencana pengelolaan kawasan lindung dan budidaya, rencana
pengelolaan pusat kegiatan, kawasan pendukung, dan kawasan tertentu (Widodo,
2005). Pesisir dan laut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah
daratan, oleh karena itu perencanaan tata ruang pesisir dan laut penting
peranannya dalam pengaturan pola pemanfaatan, rehabilitasi dan konservasi. Pola
pengaturan sistem zonasi merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk
rencana pengelolaan.
Rencana tata ruang merupakan salah satu faktor penting yang perlu
diperhatikan dalam merencanakan suatu kawasan. Pengelolaan kawasan budidaya
laut di perairan pantai kecamatan Ampibabo secara geografis termasuk dalam
wilayah Kabupaten Parigi Moutong, maka rencana tata ruang yang diacu adalah
rencana tata ruang kabupaten Parigi Moutong. Didalam RTRW Kabupaten Parigi
Moutong wilayah perencanaan secara umum dibagi menjadi dua kawasan yaitu
kawasan budidaya dan kawasan lindung. Dari hal tersebut, dokumen rencana
pengelolaan wilayah budidaya adalah zona pemanfaatan umum dan wilayah
lindung dimasukkan dalam zona perlindungan atau konservasi.
Dalam pengelolaan kawasan budidaya laut khususnya budidaya sistem
KJA dan rumput laut yang merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir
maka digunakan kebijakan pemerintah daerah yaitu rencana Pengelolaan Pesisir
dan Laut yang didalamnya juga mengacu pada RTRW Kabupaten. Dalam rencana
pengelolaan Pesisir dan Laut yang terutama adalah yang menyangkut dengan
rencana zonasi. Penetapan zona pemukiman perkotaan dan pemukiman pedesaan
dalam rencana pengelolaan diambil dari RTRW kabupaten yang menetapkan
kawasan-kawasan pemukiman. Demikian juga dengan sistem jaringan transportasi
(darat dan laut) dalam RTRW disesuaikan juga dalam rencana pengelolaan.
Adapun untuk wilayah Kecamatan Ampibabo rencana zonasi wilayah pesisir dan
laut lebih jelas dapat dilihat dalam Lampiran .
Selain mengacu pada rencana strategis pengelolaan wilayah pesisir dan laut
Kabupaten Parigi Moutong, dalam pengelolaan kawasan budidaya laut di
Kecamatan Parigi Moutong, juga mengacu pada masterplan pengembangan
kawasan budidaya Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam masterplan pengembangan
kawasan budidaya zona pengembangan dibagi menjadi 3 wilayah yaitu pada zona
68
I meliputi wilayah bagian laut sulawesi dan atau selat makasar, zona II meliputi
wilayah perairan teluk Tomini, dan zona III meliputi wilayah perairan teluk Tolo.
Kabupaten Parigi Moutong termasuk kedalam Zona II pengembangan.
Berdasarkan identifikasi luasan yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2005, potensi pengembangan kawasan
untuk budidaya kerapu sistem KJA di kecamatan Ampibabo seluas 100 Ha, yang
terolah barulah 0.08 Ha, sedangkan untuk potensi kawasan untuk budidaya
rumput laut seluas 200 Ha dan yang terolah seluas 5 Ha. Selanjutnya, berdasarkan
Usulan dinas perikanan dan kelautan Kabupaten Parigi Moutong, luas potensi
kawasan untuk budidaya laut di Kecamatan Ampibabo seluas 300 Ha, dengan
komoditi yang dibudidayakan seperti kerapu, kakap, teripang, kepiting, dan
rumput laut.
4.4. Analisis Kesesuaian Untuk Kegiatan Budidaya Rumput Laut Sistem
Longline dan Ikan Kerapu Sistem KJA
4.4.1. Analisis Potensi lahan berdasarkan kriteria kesesuaian lingkungan
perairan menggunakan Analisis Spasial dengan Sistem Informasi
Geografis (SIG)
Pemilihan lokasi yang sesuai untuk budidaya laut di perairan pantai
kecamatan
Ampibabo
didasarkan
pada
persyaratan
lokasi
berdasarkan
karakteristik lingkungan perairan terutama kualitas fisik, kimia, dan biologi. Dari
semua persyaratan lingkungan yang dianalisa, beberapa parameter lingkungan
perairan dapat dikategorikan memenuhi kriteria yang disyaratkan. Parameter
tersebut tinggi gelombang, muatan padatan tersuspensi (MPT), kekeruhan, pH,
kecerahan perairan, amonia (NH3), nitrat (NO3), fosfat (PO4), biological oxygen
demand (BOD), oksigen terlarut (DO), dan bioindikator kesuburan perairan
(fitoplankton).
Beberapa parameter penting dimasukkan dalam kriteria analisis kesesuaian
lahan dengan SIG. Parameter tersebut di tentukan selain berdasarkan kondisi
lokasi pengamatan juga mangadopsi dari kriteria parameter kesesuaian yang telah
di lakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Parameter yang menjadi pengaruh
dominan memiliki faktor pembobot yang paling besar, sebaliknya dengan
69
parameter yang kurang dominan memiliki faktor mebobot yang lebih kecil.
Matriks kesesuaian untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA dan budidaya rumput
laut sistem longline jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14 dan Tabel 15.
A. Kesesuaian untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA
Berdasarkan kondisi lingkungan fisik dan kimia perairan laut yang telah di
uraikan tersebut di atas dan dari hasil pembobotan dan skoring yang dilakukan,
maka lokasi yang sangat sesuai (S1) untuk budidaya ikan kerapu sistem
keramba jaring apung yaitu sebesar 1615.154 Ha. Luas lokasi yang sesuai (S2)
atau mempunyai beberapa faktor pembatas dalam mengusahakannya sebesar
946.698 Ha, sedangkan luas lokasi yang tidak sesuai (N) atau tidak bisa
dilakukan usaha budidaya sebesar 11456.705 Ha (Gambar 15).
Tabel 14. Matriks kriteria kesesuaian perairan untuk budidaya kerapu sistem KJA
No
1
2
3
Parameter
Keterlindungan
Kedalaman
(m)
Kecepatan arus
(m/dtk)
Bobot
S1
Skor
10
Terlindungi
30
10
10 - 30
30
9
0.1 - 0.35
4
Substrat dasar
9
5
Kecerahan (%)
Oksigen
terlarut (mg/l)
8
Karang,
Pasir dan
pecahan
karang
> 75
8
>6
7
Salinitas (ppt)
4
30 - 35
8
Suhu (oC)
4
25 - 31
6
Total
62
S2
Agak
terlindungi
7 - 9 atau
31 - 40
Skor
27
0.05 - 0.09
18
27
Pasir,
sedikit
berlumpur
24
24
12
12
0
186
N
Tidak
terlindungi
<7&>
40
< 0.05 &
> 0.35
Skor
18
Lumpur
9
50 - 75
16
< 50
8
5-6
16
<5
8
8
< 29& >
35
4
8
< 20 & >
35
20 - 29
20 - 24
atau 32 35
0
20
20
124
10
10
9
4
62
Sumber : Dimodifikasi dari FAO 1989, Bakosurtanal dan LPPM-IPB 2005, dan
Sosealisa 2005
B. Kesesuaian untuk budidaya rumput laut sistem longline
Untuk kegiatan budidaya rumput laut memerlukan kriteria parameter fisik
dan lingkungan yang secara umum tidak terlalu berbeda. Perbedaan budidaya
komoditi ini dengan kegiatan budidaya ikan kerapu adalah pada pengaruh
parameter yang merupakan faktor pembatas utama atau lebih dominan. Parameter
70
kecerahan perairan, kandungan nitrat dan nitrit, serta kecepatan arus menjadi
parameter pembatas utama sehingga diberi bobot yang lebih tinggi. Selain itu,
mengingan kondisi geografis wilayah perairan pesisir Kecamatan Ampibabo yang
banyak terdapat muara-muara sunga, maka untuk mencegah terjadinya perubahan
salinitas yang drastis serta masuknya sedimen maka pada setiap muara di buat
buffer. Adapun kriteria kesesuaian perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15 berikut ini :
Tabel 15. Matriks kriteria kesesuaian perairan untuk budidaya rumpu laut sistem
longline
NO
1
Parameter
Kecerahan
(%)
2
Bobo
t
Sko
r
S1
S2
Skor
10
> 75
30
50 - 75
20
Nitrat (mg/l)
10
0.01-0.7
30
0.8-1.0
20
3
Fosfat (mg/l)
10
0.003-0.03
30
20
4
Kecepatan
arus (m/dtk)
9
0.2 - 0.3
0.04-0.1
0.1 - 0.19
atau 0.300.4
27
Karang,
Pasir dan
pecahan
karang
24
24
5
Substrat
dasar
6
Salinitas
(ppt)
8
28 - 34
Suhu (oC)
8
25 - 30
6
5-8
4
>5
7
8
9
10
Kedalaman
(m)
Oksigen
terlarut
(mg/l)
Buffer
Total
8
Pasir,
sedikit
berlumpur
16
24
18
9 -15
12
16
3-4
>900&
>1500
0
18
237
<50
<0.01 &
>1.0
<0.003 &
>0.1
10
10
10
< 0.1 & >
0.4
9
Lumpur
8
< 28 & > 36
8
< 20 & > 35
8
< 5 & > 15
6
<3
4
16
35 - 36
20 - 24 atau
31 - 35
12
6
79
18
Sko
r
N
8
>600&
>1000
0
12
158
<300 &<
500
0
4
77
Sumber : Modifikasi dari Mubarak dkk 1990, FAO 1989, dan Ditjenperbud-DKP
2005
Berdasarkan hasil analisis menggunakan SIG, di perairan Pantai
Kecamatan Ampibabo terdapat lokasi yang sangat sesuai (S1) untuk budidaya
rumput laut sebesar 592.881 Ha. Lokasi perairan yang sangat sesuai umumnya
berada diperairan yang relatif lebih dangkal. Luas lokasi yang sesuai (S2) akan
tetapi dengan beberapa faktor pembatas yang akan berpengaruh terhadap
keberhasilan usaha budidaya sebesar 8633.194 Ha, dan lokasi yang tidak sesuai
71
(N) sebesar 5093.225 Ha (Gambar 16). Sebagaimana di ketahui, kegiatan
budidaya rumput laut relatif ramah lingkungan, sehingga pengembangannya
memungkinkan untuk memanfaatkan lokasi yang berpotensi, akan tetapi penting
juga untuk memperhatikan alokasi pemanfaatan lahan lain di wilayah perairan
pesisir.
4.4.2. Kawasan Budidaya Laut di Kecamatan Ampibabo
Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pemanfaatan kawasan
budidaya laut terutama untuk kegiatan budidaya rumput laut dan ikan kerapu
sistem KJA, di perairan pantai Kecamatan Ampibabo, maka di buat suatu analisis
spasial yang bertujuan untuk rencana pengelolaan kawasan budidaya laut dalam
hal penataan ruang kawasan budaya laut. Berdasarkan hasil anlisis SIG diperoleh
luasan kawasan budidaya ikan kerapu sistem KJA sebesar 1615.154 Ha dan
luasan kawasan budidaya rumput laut sebesar 925.881 Ha (Gambar 17). Lebih
lanjut diketahui bahwa perairan pantai Kecamatan Ampibabo yang berpotensi
untuk pengembangan kawasan budidaya laut sebesar 2541.035 Ha, yang di
kategori sebagai sangat sesuai .
Perlu untuk menjadi perhatian akan pentingnya pengembangan usaha
budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, maka potensi yang ada tidak
di manfaatkan secara keseluruhan. Oleh karena itu penting untuk diketahui luasan
yang efektif untuk kawasan budidaya rumput laut dan ikan kerapu, dengan
mempertimbangkan pemanfaatan lain seperti kawasan perlindungan, unitilitas
budidaya, jalur pelayaran, pelabuhan, dan aktifitas perikanan tangkap. Lebih
lanjut, berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa luas efektif kawasan
budidaya di Kecamatan Ampibabo sebesar 508.207 Ha atau 20% dari luas
kawasan potensial.
4.4.3. Kelayakan Usaha Budidaya
A. Kelayakan Usaha Budidaya Kerapu Sistem KJA
Kegiatan budidaya ikan kerapu yang ada di kecamatan Ampibabo
belumlah banyak dilakukan. Kondisi tersebut disebabkan belum banyaknya
informasi yang di terima serta keterbatasan modal masyarakat mengenai kegiatan
72
usaha terutama pembesaran ikan kerapu. Satu-satunya kegiatan pembesaran ikan
kerapu yang ada di wilayah ini adalah yang berada di Desa Marantale. Jenis ikan
kerapu yang dibudidayakan yaitu kerapu macan. Kegiatan ini salah satu kegiatan
kerjasama antara Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong,
dengan masyarakat setempat. Kegiatan yang baru dimulai pada Tahun 2005 ini
harapkan dapat menjadi percobaan sekaligus contoh untuk pengembangannya di
wilayah ini.
Dibandingkan dengan budidaya rumput laut, budidaya keramba jaring
apung membutuhkan modal yang besar dan tingkat teknik budidaya yang relatif
lebih sulit. Budidaya pembesaran ikan kerapu memerlukan investasi awal yang
terdiri dari jaring apung, perahu katinting, lampu petromaks, serta rumah jaga.
Biaya investasi yang di butuhkan sebesar Rp. 13.150.000,00. Pada kegiatan ini,
digunakan sebanyak 4 kantong jaring apung, sehingga biaya operasional yang
dibutuhkan sebesar Rp. 34.070.000,00 Komponen biaya operasional tersebut
terdiri dari biaya tetap sebesar Rp. 1.150.000,00 dan biaya variabel sebesar Rp.
32.920.000,00. Biaya tetap terdiri dari biaya peralatan produksi dan perawatan,
sedangkan biaya variabel terdiri dari biaya pakan, benih, tenaga kerja, dan bahan
bakar minyak. Selain itu, dalam usaha budidaya juga dimasukkan bunga modal
sebesar 2% yang dibayarkan dalam setiap panennya sebesar Rp. 9.444.000,00.
Gambar 15. Peta kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA
Gambar 16. Peta kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut sistem longline
Gambar 17. Peta kesesuaian kawasan budidaya laut (rumput laut dan ikan kerapu)
B. Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut
Di
Kecamatan
Ampibabo
terdapat
beberapa
kelompok
nelayan
pembudidaya yang berada di beberapa desa. Masing-masing anggota mempunyai
tanggungjawab pada usahanya masing-masing. Modal awal yang di miliki oleh
setiap anggota bersumber dari pemerintah dalam hal ini Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Parigi Moutong, dengan harapan dapat di jadikan salah satu
sumber pendapatan masyarakat setempat. Analisis usaha yang dilakukan terhadap
kegiatan budidaya rumput laut skala rumah tangga (satuan KK) memperlihatkan
keuntungan yang cukup tinggi.
Rumput laut dapat dipanen setelah 45 hari sejak masa tanam (1,5 bulan).
Dalam setiap tahunnya kegiatan produksi dapat dilakukan dalam 6 kali siklus
penanaman. Untuk satu unit kegiatan budidaya rumput laut jenis Eucheuma
cottonii seluas 1000 m2 menggunakan sistem tali panjang di perlukan modal
sebesar Rp. 2.491.500,00. Modal tersebut terdiri dari biaya sarana produksi tahan
lama sebesar Rp. 1.666.500,00 dan biaya variabel untuk setiap siklusnya sebesar
Rp. 1.735.200,00. Harga jual rumput laut di Kecamatan Ampibabo berkisar antara
Rp. 3500 - Rp. 4000 per Kg kering. Berdasarkan sumber data yang di peroleh,
pada saat ini harga rumput laut kering per Kg kering di tingkat petani adalah Rp.
3500. Dalam setiap satu siklus panen rumput laut di peroleh keuntungan sebesar
Rp. 1.837.500,00. Rumput laut yang ada di Kabupaten Parigi Moutong, umumnya
di bawa ke Provinsi Gorontalo untuk kemudian melalui proses pembersihan dan
lebih lanjut di kirim ke Surabaya oleh pedagang-pedagang yang ada di Provinsi
Gorontalo. Dari Surabaya kemudian rumput laut kering tersebut didistribusikan ke
berbagai industri pangan, kosmetik, obat-obatan dan sebagian di eksport ke
berbagai negara.
Hasil produksi sebesar 535 kg kering rumput laut per tahun maka
penerimaan kotor yang di terima oleh petani sebesar Rp. 7.523.900,00. Lebih
lanjut, prospek pengembangan usaha budidaya rumput laut dikaji menggunakan
cashflow selama 10. Dengan discount factor 16% di peroleh NPV sebesar Rp.
36.845.143,00 dan nilai Benefit Cost Ratio sebesar 3.24. Berdasarkan hasil
tersebut di ketahui bahwa, investasi untuk rumput laut memberikan manfaat bersih
3.24 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan (nilai B/C >1). Oleh karena itu
39
berdasarkan hasil kriteria investasi yang terdiri dari NPV dan Benefit Cost Ratio,
secara finansial kegiatan investasi pada usaha budidaya rumput laut layak untuk
dikembangkan (Lampiran 6).
4.5. Sustainable Livelihood Approach (SLA)
Sumberdaya perairan pesisir dan laut di Kecamatan Parigi Moutong
memiliki peluang untuk dikembangkan, terutama untuk kegiatan budidaya laut
khususnya untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu. Akan tetapi, untuk
mengembangkan suatu kawasan perairan diperlukan perencanaan yang termaksud
didalamnya adalah mengetahui seberapa besar potensi yang ada di kawasan
tersebut untuk kedepannya dapat dimanfaatkan. Potensi perikanan budidaya yang
ada di Kecamatan Ampibabo seperti yang sudah digambarkan diatas, diharapkan
dimasa akan datang dalam pengelolaannya haruslah juga memperhitungkan
segenap aspek yang terkait sehingga keberlanjutan sumberdaya dan ekosistem
yang ada tetap terjaga. Aspek-aspek tersebut diantaranya aspek ekologis, sosial,
teknologi, dan sumberdaya manusia. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil
yang diharapkan maka diperlukan suatu arahan pengelolaan kawasan budidaya
laut yang dalam hal ini dilakukan dengan pendekatan Sustainable Livelihood
untuk mendapatkan keluaran yang bermanfaat bagi keberlanjutan mata
pencaharian masyarakat.
Pendekatan SLA dilakukan dengan melihat kondisi rentan yang terdapat di
lingkungan masyarakat. Hal ini penting untuk diketahui karena akan berdampak
pada kelangsungan mata pencaharian dan kehidupan masyarakat. Adapun faktorfaktor yang memberikan kontribusi pada kondisi kerentanan sebagaimana pada
Tabel 15 dibawah ini :
Tabel 15. Faktor-faktor yang memberikan kontribusi pada kondisi kerentanan
Kecenderungan
• Berkurangnya stok
sumberdaya perikanan
• Meningkatnya angka
kemiskinan
• Menurunnya
permintaan pasar
• Meningkatnya
Goncangan
• Konflik pemanfaatan
sumberdaya
• Penularan penyakit
dalam masyarakat dan
kelompok
• Dampak dari adanya
perang
Musim
• Isu mengenai adanya
musim penyakit
• Adanya musim
penyakit yang
menyerang komoditi
perikanan
• Adanya musim
40
degradasi lingkungan
(hilangnya ekosistem
manggrove,hilangnya
keanekaragaman
hayati, hancurnya
habitat)
permintaan jenis ikan
tertentu
• Adanya musim dimana
banyak tenaga kerja
upahan
Sumber : Modifikasi dari Campbel 1999
Kontrol dari pemerintah melalui kebijakan yang ada dapat dijadikan aturan
sehingga akan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh kondisi kerentanan
tersebut. Selain itu, pelibatan sektor swasta dan masyarakat setempat juga menjadi
unsur penting didalamnya.
SLA dimulai dengan memahami apa kekuatan yang dimiliki oleh
masyarakat serta bagaimana untuk membangun hal tersebut dan SLA merujuk
pada kekuatan itu seperti modal aset. Terdapat lima tipe modal aset yaitu manusia,
sosial, sumberdaya, fisik, dan finansial. Adapun Pendekatan Sustainable
Livelihood yang dimodifikasi dari Campbell (1999), jelasnya dapat di lihat pada
Tabel 16.
Tabel 16. Konsep Pendekatan dalam Sustainable Livelihood, modifikasi dari
Campbell (1999)
Aset Livelihood
Livelihood Strategi
Modal Sumberdaya:
• Kualitas perairan (fisik, kimia dan
biologi)
• Sumberdaya perikanan
• Ekosistem pesisir (terumbu karang,
mangrove dan lamun)
• Potensi sumberdaya alam lainnya
seperti lahan pertanian, kebun, dan
hutan
Modal Sosial :
• Kelompok masyarakat
• Hubungan antar masyarakat dan
kelompok
• Konflik pemanfaatan
• Kekeluargaan
Modal Fisik :
• Pelabuhan
• Transportasi dan pasar
• Energi
• Pengolahan
• Teknologi budidaya (sistem dan
management budidaya)
Sumberdaya :
• Mempertahankan kualitas perairan
• Mengoptimalkan hasil budidaya
• Menjaga kelestarian ekosistem pesisir
dan rehabilitasi
• Sebagai sumber mata pencaharian dan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup
Sosial :
• Menjaga hubungan yang baik antar
kelompok masyarakat
• Memperluas jaringan perdagangan
• Menciptakan
hubungan
yang
dilandaskan atas kekeluargaan
Fisik :
• Peningkatan fasilitas infrastruktur
penunjang sektor perikanan
• Investasi di bidang pengolahan
perikanan
• Akses terhadap informasi teknologi
budidaya
41
Aset Livelihood
Modal Manusia :
• Keterampilan
• Pendidikan dan Kesehatan
Modal Finansial :
• Ketersediaan Kredit
• Tabungan dan Asuransi
Livelihood Strategi
Manusia :
• Mempertahankan
• Peningkatan keterampilan melalui
pelatihan dalam hal kemampuan teknik
budidaya,
pengolahan,
dan
management kredit.
• Oleh pemerintah melalui kebijakan
dalam peningkatan tingkat pendidikan
dan kesehatan
Finansial :
Penguatan modal usaha oleh pemerintah
dan perbankan
Berdasarkan konsep pendekatan Sustainable Livelihood diatas, maka dapat
dibuat suatu rencana pengelolaan bagi keberlanjutan matapencaharian masyarakat
pesisir Kecamatan Ampibabo adalah sebagai berikut :
Tabel 17. Rencana pengelolaan kawasan budidaya laut
Aset
Rencana Pengelolaan
Pelaksana
Modal Sumberdaya
- Penataan kawasan budidaya
laut
- Menjaga keberlanjutan
sumberdaya pesisir
Pemerintah dan masyarakat
Modal Sosial
- Memperkuat kelembagaan
sosial dan ekonomi seperti
koperasi nelayan dan kelompok
nelayan
Pemerintah, masyarakat, dan
swasta
Modal Fisik
- Pembangunan infrastruktur
- Akses pasar
Pemerintah, dan swasta
Modal Finansial
- Penguatan modal melalui
pemberian kredit
- Membentuk lembaga keuangan
mikro
- Membentuk lembaga pinjam
kredit
Pemerintah, swasta, dan
masyarakat
4.5.1. Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya Laut (Budidaya Rumput
Laut dan Ikan Kerapu).
A. Penataan kawasan budidaya laut
Berbagai aktivitas manusia dalam pemanfaatan lahan di wilayah pesisir
mulai dari kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, daerah perlindungan
dan atau konservasi, pemukiman, aktivitas pelabuhan, dan industri. Setiap
42
kegiatan tersebut mempunyai ruangnya masing-masing, sehingga apabila tidak
ada suatu kebijakan penataan kawasan, maka akan berdampak kepada
keberlanjutan setiap kegiatan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan oleh
pemerintah yaitu melalui kegiatan Coastal Resources Management Project
(MCRMP) dengan melakukan rencana zonasi di lingkungan pesisir. Langkah ini
merupakan cara untuk mengurangi konflik pemanfaatan yang berada di
lingkungan pesisir, dengan menentukan zona untuk masing-masing kegiatan.
Untuk wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong,
dengan panjang garis pantai 56.25 km terdapat berbagai aktivitas masyarakat
yang memanfaatkan kawasan ini. Berbagai aktivitas seperti perikanan tangkap,
budidaya laut, budidaya tambak, pemukiman penduduk, pelabuhan, dan rencana
pembangunan industri hasil perikanan kedepannya perlu menjadi perhatian
terutama dalam pengaturan penggunaan lahan. Kebijakan pemerintah untuk
mengatur pemanfaatan sumberdaya dan berbagai aktifitas di wilayah pesisir
melalui peraturan daerah (PERDA) tentang tata ruang wilayah pesisir yang di
dalamnya mencakup zonasi kawasan dimasa mendatang untuk segera realisisikan
keberadaannya. Untuk mewujudkan suatu rencana tata ruang yang dapat
diterapkan maka diperlukan pelibatan masyarakat dan segenap stakeholders dalam
penyusunannya. Hal tersebut dilakukan agar didalam pelaksanaannya kelak tidak
ada yang merasa diuntungkan dan atau dirugikan dengan adanya aturan yang ada,
sehingga setiap kegiatan dapat berjalan dengan baik tanpa mengganggu kegiatan
yang lainnya.
Kegiatan
budidaya
laut
merupakan
salah
satu
kegiatan
yang
memanfaatakan kawasan pesisir khususnya perairan pantai. Tidak semua perairan
pantai yang ada di wilayah pesisir dapat dimanfaatkan menjadi kawasan budidaya
laut. Berdasarkan hasil identifikasi dan anlisis spatial yang dilakukan, beberapa
perairan pantai Kecamatan Ampibabo berpotensi untuk dilakukannya budidaya
rumput laut khususnya jenis Eucheuma sp dan ikan kerapu dalam keramba jaring
apung. Dari hasil analisis spatial diperoleh luas total perairan potensial untuk
dikembangkan sebesar 2541.035 Ha, masing-masing 1615.154 Ha untuk area
budidaya ikan kerapu sistem KJA, dan 925.881 Ha untuk areal budidaya rumput
43
laut sistem longline. Adapun beberapa hal penting lainnya yang menjadi perhatian
dalam penataan kawasan budidaya laut adalah sebagai berikut :
a. Pengaturan jalur pelayaran nelayan tangkap traditional
Hal ini terutama untuk mencegah terjadinya konflik pemanfaatan
antara nelayan budidaya dan nelayan tangkap. Kondisi tersebut pernah dialami
oleh beberapa nelayan yang pernah membudidayakan rumput laut di beberapa
Desa di Kecamatan Ampibabo. Lokasi budidaya laut yang umumnya dekat
dengan bibir pantai dinilai sangat sesuai, selain faktor lingkungan juga
menguntungkan dari aksebilitasnya. Akan tetapi lokasi-lokasi budidaya
tersebut tidak menutup kemungkinan merupakan jalur pelayaran nelayan
tangkap traditional. Oleh karena itu diperlukan pengaturan jalur pelayaran,
sehingga jelas bagi kedua kepentingan tersebut dalam melaksanakan
kegiatannya masing-masing. Pengaturan oleh pemerintah setempat mengenai
hal ini, hendaknya disertai dengan sosialisasi sehingga dalam pelaksanaannya,
masyarakat dan investor mengetahui dengan lokasi-lokasi yang tempat untuk
aktivitas kegiatan budidaya yang aman dari jalur pelayaran.
b. Kawasan budidaya laut yang terhindar dari muara-muara sungai
Di wilayah pesisir pantai Kecamatan Ampibabo dijumpai beberapa
jenis sungai yang sifatnya musiman. Sungai-sungai tersebut umumnya
mempunyai suplai air yang relatif sedikit. Akan tetapi, pada musim tertentu
atau hujan di wilayah hulu, akan dijumpai kondisi dimana air yang masuk ke
sungai disertai lumpur sangat banyak, sehingga diperkirakan akan
mempengaruhi kegiatan budidaya yang ada didekat muara sungai. Oleh karena
itu, untuk menghindari dampak yang ditimbulkan akibat penurunan salinitas
air laut serta penurunan tingkat kecerahan sehingga menyebabkan kematian
pada komoditas budidaya, maka dalam arahan kawasan budidaya hendaklah
jauh dari muara-muara sungai, baik sungai besar maupun kecil.
c. Terhindar dari aktivitas pelabuhan dan industri perikanan
Dalam merencanakan suatu kawasan budidaya laut, tidak dapat
dihindari keberadaan aktivitas lain yang ada di wilayah tersebut. Memberikan
ruang untuk pemanfaatan seperti pelabuhan, industri perikanan dan areal
pemukiman penduduk terutama yang dekat dengan bibir pantai. Di Kecamatan
44
Ampibabo terutama di Desa Marantale, terdapat satu tempat pendaratan ikan
(pelabuhan) yang menjadi tempat bagi nelayan-nelayan tangkap untuk
mendaratkan hasil tangkapannya. Pada pagi dan sore hari aktivitas di
pelabuhan ini meningkat, akan banyak kapal dan perahu nelayan yang masuk.
Selain pelabuhan, di Desa Marantale juga di rencanakan akan dibangun
industri pengolahan perikanan sehingga akan semakin meningkatkan aktivitas
terutama lalu lintas kapal yang melewati perairan tersebut. Kedua kawasan
tersebut penting menjadi perhatian, sehingga dalam pemanfaatan perairan
untuk budidaya laut, untuk menghindari areal yang dekat dan masih
dipengaruhi oleh kedua kegiatan tersebut.
Hasil analisis potensi lahan perairan bagi kegiatan budidaya rumput laut
dan ikan kerapu sistem, diharapkan dapat menjadi masukan dalam penetapan
kawasan budidaya laut sebagai salah satu bagian dalam penataan wilayah pesisir
dan bahkan dimasukkan ke dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Parigi
Moutong. Dengan adanya penataan kawasan wilayah pesisir yang didalamnya
termasuk kawasan budidaya laut, diharapkan tidak terjadi tumpang tindih
pemanfaatan kawasan di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo.
B. Menjaga Keberlanjutan Sumberdaya Pesisir
Sumberdaya alam merupakan modal utama dalam mengembangkan suatu
sektor pembangunan. Untuk sektor perikanan budidaya laut khususnya, kualitas
perairan merupakan syarat utama bagi keberlangsungan kegiatannya. Oleh karena
itu, penting untuk menjaga kualitas perairan agar tidak mengurangi fungsi dari
perairan itu sendiri terutama untuk perikanan budidaya.
Peningkatan aktivitas manusia baik yang berada di dekat pantai atau yang
berada di daratan berdampak pada lingkungan perairan laut. Dampak yang
ditimbulkan terutama berasal dari buangan limbah yang masuk ke perairan. Di
Kecamatan Ampibabo berdasarkan hasil identifikasi, hinga saat ini umumnya
perairannya masih dalam kondisi yang masih baik atau belum tercemar. Akan
tetapi perlu untuk menjadi perhatian, agar dimasa mendatang dengan semakin
meningkatnya aktivitas masyarakat dan kegiatan industri, tidak menjadi
45
permasalahan yang akan mengganggu keberlanjutan sumberdaya yang ada di
wilayah ini. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan adalah :
1. Memperhatikan daya dukung lingkungan perairan untuk kegiatan
budidaya laut
Pengembangan kegiatan budidaya laut untuk komoditi ikan kerapu
khususnya secara berkelanjutan haruslah disesuaikan dengan kapasitas daya
dukung lingkungan. Budidaya ikan kerapu sistem KJA berpotensi menghasilkan
limbah organik dan apabila tidak dikelola dengan baik akan membahayakan
kelangsungan kegiatan budidaya itu sendiri. Jika kegiatan budidaya laut terus
berkembang di wilayah Kecamatan Ampibabo, tidak menutup kemungkinan
dalam jangka waktu tertentu perairan akan mengalami penurunan kualitas karena
keterbatasan lingkungan untuk secara alami mengasimilasi limbah organik. Oleh
karena itu agar kegiatan budidaya laut khususnya budidaya ikan sistem KJA tetap
berkelanjutan maka perlu untuk mengelola lingkungan.
2. Kegiatan monitoring kualitas perairan
Kegiatan budidaya laut dan berbagai aktivitas lainnya yang dilakukan di
perairan pesisir akan menyebabkan berbagai perubahan kualitas perairan. Untuk
menjaga kondisi perairan agar dapat terus dimanfaatkan, perlu dilakukan kegiatan
monitoring secara teratur. Kegiatan ini merupakan kewenangan pemerintah
setempat melalui Badan Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) dan
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong, serta dinas lain yang
terkait.
Untuk mengetahui fluktuasi kualitas perairan pantai Kecamatan Ampibabo
agar menunjang kegiatan budidaya laut. perlu dilakukan kegiatan monitoring
secara berkala (teratur). Adapun tujuan dari monitoring disamping untuk
mengetahui kualitas perairan yang layak untuk budidaya laut adalah untuk
mencegah kematian ikan secara massal dan akan mengakibatkan kerugian
pembudidaya ikan. Parameter kunci yang harus dimonitor memang berbeda untuk
kepentingan setiap komoditi budidaya. Namun secara umum dapat digeneralisir
46
untuk persyaratan hidup biota laut dan kepentingan budidaya.
Beberapa
parameter kunci yang harus di monitor dari sisi kualitas air diantaranya salinitas,
DO, ammonia, nitrat, pH, suhu, kandungan ammonia pada sedimen dan lumpur.
3. Mempertahankan dan mengelola ekosistem
Di beberapa lokasi pantai Kecamatan Ampibabo dapat ditemukan tipe
ekosistem seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Oleh karena
penting bagi berbagai pihak terutama pemangku kepentingan (stakeholders) untuk
mempertahankan dan mengelola ketiga ekosistem itu. Untuk ekosistem mangrove
misalnya, pemerintah dalam hal ini, dapat melakukan program rehabilitas melalui
penanaman kembali, terutama pada daerah-daerah yang sudah rusak kondisinya.
4. Pengaturan areal pemukiman dan sistem sanitasinya
Umumnya
pemukiman
yang
berada
di
wilayah
pesisir
tidak
memperhitungkan dampak yang akan ditimbulkan. Pemukiman penduduk yang
dibangun sangat dekat dengan bibir pantai. Kondisi tersebut umumnya dijumpai
pada pemukiman masyarakat nelayan yang erat hubungannya dengan aksebilitas.
Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan agar dampak terhadap lingkungan
perairan dan ekosistem pesisir dapat diminimalisir antara lain : (1)
Mengembangkan pembangunan pemukiman lebih kerah dararan; (2) pemukiman
yang relatif dekat dengan pantai arah depan rumah menghadap ke pantai; (3)
mempertahankan dan membuat green belt dalam hal ini mangrove di pesisir
dengan ketebalan 250 – 300 meter untuk mencegah kerusakan pemukiman akibat
badai dan pasar air laut yang tinggi; (4) sosialisasi pemerintah terhadap
masyarakat mengenai bangunan rumah yang memenuhi persayaratan sanitasi; dan
(5) mengembangkan sistem septic tank di setiap rumah masyarakat untuk
pembuangan tinja manusia dengan jarak sumur diusahakan 5 – 10 meter.
C. Memperkuat kelembagaan sosial dan ekonomi masyarakat
Kelembagaan sosial seperti kelompok-kelompok nelayan yang sudah ada
hendaknya dipertahankan dan lebih diperkuat keberadaannya sehingga, posisi
untuk tawar-menawar dengan pihak lain (pemerintah dan swasta) dan aksesnya
terhadap sumber modal ekonomi juga lebih mudah. Memperkuat keberadaan
kelembagaan sosial yang ada dapat dilakukan dengan memberikan status hukum.
47
Salah satu contoh pemberian status hukum yaitu dengan membentuk lembaga
ekonomi seperti koperasi. Dengan adanya koperasi, diharapkan masyarakat dapat
akses terhadap modal terutama perbankan dan aspek ekonomi seluruh anggotanya
dapat mengelola usahanya dengan baik.
E. Pembangunan infrastruktur
Infrastruktur merupakan modal yang diperlukan untuk mendukung
kegiatan usaha budidaya laut. Beberapa infrastruktur yang penting bagi kegiatan
perikanan budidaya yang langsung maupun kurang nyata keberadaannya antara
lain pelabuhan dan jeti, pabrik es, pembenihan, jalan, perumahan, sekolah, supply
air, klinik kesehatan, listrik dan pasar. Selain oleh pemerintah daerah maupun
pusat, pemenuhan infrastruktur pendukung juga dapat dipenuhi melalui sektor
swasta terutama yang berinvestasi di bidang perikanan.
Kondisi yang yang ada di Kecamatan Ampibabo dimana beberapa
infrastruktur telah cukup memadai seperti pelabuhan, listrik, pasar, akses jalan,
pabrik es, prasarana kesehatan, dan pasar. Akan tetapi infrastruktur yang sifatnya
langsung bagi kegiatan budidaya laut seperti teknologi pembenihan untuk
menyediakan bibit yang baik masih belum tersedia. Selama ini benih untuk
budidaya ikan kerapu khususnya untuk wilayah Kabupaten Parigi Moutong dan
sekitarnya masih berasal dari Gondol, Bali. Padahal sebagaimana diketahui untuk
keberlangsungan kegiatan budidaya (bukan hanya pembesaran) bibit atau benih
yang baik sangat penting. Untuk itu, langkah yang dapat ditempuh oleh
pemerintah adalah mengupayakan pembangunan Balai Penelitian Teknologi
Budidaya Laut, sehingga tidak hanya menghasilkan bibit atau benih unggulan
akan tetapi senantiasa mengikuti perkembangan teknologi budidaya. Hal itu dapat
dilakukan apabila keinginan pemerintah untuk sungguh-sungguh mengembangkan
sektor perikanan budidaya laut di wilayah ini menjadi unjung tombak dalam
mensejahterakan masyarakat dan pendapatan bagi daerah. Selain itu kerjasama
dengan pihak swasta juga merupakan salah satu langkah tepat yang dapat
dilakukan.
F. Memperkuat akses terhadap pasar
48
Sebelum memilih komoditas yang akan dibudidayakan, perlu diketahui
terlebih dahulu pasar yang akan menjadi target komoditi yang akan
dikembangkan. Pemilihan komoditi rumput laut dan ikan kerapu sebagai komoditi
unggulan untuk dikembangkan merupakan langkah yang tepat. Ikan kerapu
hingga saat ini masih memiliki nilai jual yang cukup tinggi terutama untuk pasar
eksport. Harga kerapu macan ditingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara
Rp. 80.000 – 100.000/kg dan sekitar US$ 12-17 di hongkong tergantung ukuran
ikan (DKP, 2006). Sedangkan untuk rumput laut dalam hal ini jenis Eucheuma
cottonii terutama banyak dimanfaatkan dalam industri makanan dan kosmetika,
sehingga permintaan akan komoditi ini cenderung tetap ada.
Oleh karena permintaan pasar yang cukup besar, sehingga peningkatan
akan mutu produk yang dihasilkan juga harus menjadi perhatian. Untuk pasar
eksport ikan kerapu misalnya, beberapa kriteria yang menjadi prasarat antara lain
ukuran konsumsi, teknik produksi yang mengikuti trend di pasar dunia yaitu
ramah lingkungan, tekanan konsumen (bebas bakteri dan penggunaan antibiotik),
dan implementasi HACCP. Apabila beberapa prasyarat yang diinginkan pihak
konsumen terpenuhi, maka tinggal bagaimana mempertahankan kondisi
lingkungan agar usaha budidaya tetap berkelanjutan.
G. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi
Penguasaan mengenai management usaha dan teknologi budidaya
merupakan syarat penting bagi keberhasilan kegiatan budidaya laut. Untuk
kegiatan budidaya ikan kerapu misalnya, penting untung peguasaan teknik
budidaya mulai dari penyebaran benih, pemberian pakan, perawatan alat, hingga
pengamatan kesehatan ikan dan kulitas air. Demikian halnya juga untuk kegiatan
budidaya rumput laut, pengetahuan untuk menghasilkan kualitas rumput laut yang
baik, pencegahan dari predator dan penyakit, serta teknologi pasca panen perlu
diketahui oleh masyarakat.
Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi ke masyarakat dapat dilakukan
oleh pemerintah melalui pelatihan. Selain mengenai management lahan budidaya,
pelatihan tentang management usaha juga perlu dilakukan agar masyarakat bisa
lebih mengembangkan usahanya. Pihak swasta dalam hal ini juga punya peranan
49
yang cukup penting. Investasi di bidang budidaya laut membutuhkan perencanaan
yang baik. Oleh karena itu penguasaan teknologi budidaya tidak lagi dapat
diragukan. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk dapat mentransfernya ke
masyarakat lokal baik dengan pelatihan, maupun aplikasi langsung dalam
kegiatan tersebut dengan sistem plasma.
H. Penguatan modal usaha melalui kredit
Berdasarkan tingkat perekonomian, mayarakat nelayan selama ini dikenal
sebagai
masyarakat
dengan
tingkat
kesejahteraan
yang
cukup
rendah.
Sesungguhnya hal tersebut tidak akan terjadi apabila masyarakat khususnya
nelayan diberikan akses terhadap modal usaha untuk pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut. Modal diperlukan untuk membeli sarana produksi. Untuk
kegiatan budidaya rumput laut sistem tali panjang misalnya, dalam satu siklus
panen diperlukan modal sebagai biaya produksi sebesar Rp 2.491.000,00 untuk
menghasilkan 529 kgrumput laut dengan keuntungan mencapai Rp 654.000,00.
Sedangkan untuk kegiatan budidaya ikan kerapu sistem KJA yang modal yang
diperlukan relatif sangat besar. Untuk memproduksi ikan kerapu macan dengan
berat perekor 0.5 kg sebanyak 4 ton, diperlukan biaya produksi sebesar Rp.
442.000.000,00 dan keuntungan yang akan diperoleh sebesar Rp. 122.0000,00
(DKP, 2006).
Di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo, salah satu penyebab belum
optimalnya pemanfaatan sumberdaya perairan untuk kegiatan budidaya laut yaitu
akses terhadap modal usaha. Selama ini masyarakat hanya tergantung pada
pemberian modal usaha perikanan oleh pemerintah padahal pemerintah tidak
dapat terus-menerus menyediakan. Kondisi yang terjadi pada Tahun 2005 di mana
dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Parigi
Moutong berupa pemberian modal usaha kegiatan Budidaya Eucheuma Cottonii
tidak berkelanjutan, akibat dari tidak adanya manajemen usaha masyarakat untuk
keberjanjutan usaha, selain dari faktor lingkungan seperti yang sudah dijelaskan.
Kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Perikanan dan
Kelautan untuk mendorong meningkatnya sektor perikanan budidaya laut melalui
kerjasama dengan perbankan nasional telah dilakukan sehingga memberikan
50
angin segar untuk berkembangnya usaha budidaya laut. Diharapkan dimasa akan
ditasng tidak hanya untuk usaha skala besar saja yang dapat akses terhadap modal
perbankan akan tetapi masyarakat terutama masyarakat nelayan. Adapun beberapa
langkah yang dapat dilakukan selain modal perbankan, sehingga masyarakat dapat
turut serta dalam melakukan kegiatan budidaya laut adalah dengan menciptakan
iklim investasi yang baik bagi para investor terutama di daerah. Pemerintah
Kabupaten Parigi Moutong diharapkan melakukan hal tersebut, karena dengan
adanya
investasi
masyarakat
lokal
disekitarnya
juga
akan
tergerak
perekonomiaannya. Salah satu contoh pelibatan masyarakat lokal adalah dengan
menciptakan sistem usaha budidaya laut yang sifatnya plasma, sehingga dimasa
akan datang masyarakat dimungkinkan untuk mandiri dalam usahanya.
I. Membentuk lembaga keuangan mikro dan Lembaga Penjamin Kredit
Aksesibilitas nelayan terhadap lembaga keuangan Bank sangat terbatas
mengingat
kondisi
nelayan
Indonesia
masih
non
bankable
sehingga
ketergantungan mereka terhadap rentenir sangat tinggi, dalam hal ini peran serta
pemerintah sangat diharapkan dengan membentuk suatu lembaga keuangan mikro
dipedesaan seperti Bank Perkereditan Rakyat (BPR) dan Ventura, akan tetapi
dalam perjalannya kedua bank ini telah keluar dari konsep awalnya.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, peran pemerintah daerah baik
Provinsi maupun Kabupaten sangat diperlukan dengan membentuk Lembaga
Penjamin Kredit serta mengoptimalkan dan mengkoordinir dana-dana revolving
(Revolving Fund) baik yang berasal dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara
(APBN), Angaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD) Provinsi atau
Kabupaten juga Dana Pengembangan Masyarakat (Community Development
Fund) yang ada pada BUMN dan swasta-swasta besar. Dana-dana tersebut diatas
jika dikumpulkan dalam suatu lembaga dan dikoordinir oleh orang yang
profesinal manfaatnya akan lebih membuka aksesibilitas masyarakat bawah
terhadap Lembaga Keuangan yang selama ini masih sangat rendah.
Peran pemerintah dalam memfasilitasi kelima asset sangat diperlukan
dalam pengembangan masyarakat umumnya dan nelayan khusnya. Sehingga hasil
yang diharapkan melalui pendekatan Sustainable Livelihood adalah terciptanya
51
mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat pesisir Kecamatan
Ampibabo yang di dukung oleh beberapa faktor antara lain :
1. Tata ruang wilayah pesisir dan laut yang sesuai
2. Kuatnya kelembagaan masyarakat
3. Infrastruktur yang memadai
4. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia
5. Penguatan modal masyarakat.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab Hasil dan Pembahasan tentang
pengelolaan Pengelolaan Kawasan Budidaya Rumput Laut dan Ikan Kerapu
52
Sistem KJA di Wilayah Pesisir Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong,
terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Lingkungan perairan pantai Kecamatan Ampibabo mempunyai potensi yang
cukup mendukung untuk dilakukannya kegiatan budidaya laut
2. Kawasan perairan pantai yang memiliki potensi untuk kegiatan budidaya ikan
kerapu sistem keramba jaring apung berdasarkan kriteria kesesuaian sangat
sesuai (S1) mempunyai luas 129.75 Ha; sesuai (S2) mempunyai luasan 25.45
Ha; dan tidak sesuai (N) 12410.64 Ha. Kawasan perairan pantai yang
memiliki potensi untuk kegiatan budidaya rumput laut berdasarkan kriteria
kesesuaian sangat sesuai (S1) mempunyai luas 38.17 Ha; sesuai (S2) dengan
luas 90.53 Ha; dan tidak sesuai (N) 12437.14 Ha.
3. Hasil analisis SIG diperoleh peta kawasan budidaya laut khususnya budidaya
sistem KJA dan budidaya rumput laut di pesisir pantai Kecamatan Ampibabo
Luas kawasan untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA sebesar 135.41 Ha,
sedangkan kawasan budidaya rumput laut sebesar 21.79 Ha.
4. Usaha budidaya rumput laut dan ikan kerapu sistem KJA yang dilakukan oleh
masyarakat maupun investor di Kecamatan Ampibabo secara finansial layak
untuk dikembangkan
5. Berdasarkan Sustainable Livelihood Approach (SLA) atau pendekatan
keberlanjutan mata pencaharian, dapat di peroleh suatu rencana pengelolaan
kawasan budidaya laut yang antara lain : (1) penataan ruang kawasan
budidaya laut; (2) menjaga keberlanjutan sumberdaya pesisir; (3) memperkuat
kelembagaan sosial ekonomi masyarakat; (4) pembangunan infrastruktur; (5)
transfer ilmu pengetahuan dan teknologi; (6) penguatan modal melalui
pemberian kredit (7) membentuk lembaga keuangan mikro dan lembaga
simpan
pinjang.
keberlanjutan
Kesemuanya
pemanfaatan
itu
bertujuan
sumberdaya
untuk
yang
mempertahankan
mendukung
untuk
mempertahankan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat.
Saran
Berdasarkan
kesimpulan
tersebut
terdapat
beberapa
sara
guna
menyempurnakan pengelolaan kawasan budidaya laut (rumput laut dam ikan
53
kerapu sistem KJA) di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong, adalah
sebagai berikut :
1. Diperlukan kajian yang lebih lengkap tentang daya dukung kawasan terutama
untuk kegiatan budidaya laut khususnya budidaya rumput laut dan ikan kerapu
sistem keramba jaring apung (KJA)
2. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai beberapa kegiatan
(pariwisata, konservasi, dan perikanan tangkap) yang mempunyai interaksi
dan mempengaruhi pelaksanaan budidaya laut, sehingga di hasilkan suatu
rencana pengelolaan yang memasukkan seluruh pemanfaatan yang ada.
54
Pengolahan Limbah terpadu
Berbagai aktivitas yang ada maupun akan di bangun di wilayah pesisir
Kecamatan Ampibabo antara lain :
- Pelabuhan dan industri perikanan
- Kawasan pemukiman
Areal pemukiman penduduk yang
- Areal Tambak udang dan bandeng
Beberapa areal lahan di pesisir Kecamatan Ampibabo telah
dimanfaatkan menjadi kawasan budidaya tambak udang dan bandeng.
Kegiatan budidaya tambak ini cukup banyak berkembang terutama di dua desa
pesisir yaitu Desa Lemo dan desa Buranga. Kegiatan budidaya tambak yang
dilaksanakan sifatnya adalah tambak tradisional sehingga limbah organik
pakan yang dihasilkan tidak begitu berdampak besar terhadap perairan di
sekitarnya. Akan tetapi, kedepannya perlu menjadi diperhatikan apabila
semakin berkembangnya kegiatan ini, yaitu limbah yang akan masuk ke
perairan pesisir. Sebagaimana diketahui misi pembangunan perikanan
budidaya perikanan adalah melaksanakan pembangunan perikanan budidaya
yang bertanggungjawab dan ramah lingkungan serta berorientasi pada
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegiatan budidaya tambak
apabila dikelola dengan sistem budidaya yang berteknologi dan management
tambak yang baik akan bernilai ekonomi tinggi.
Pemukiman penduduk
55
Selain kualitas perairan adalah dengan mempertahankan keberadaan
ekosistem pesisir laut. Menjaga ekosistem pesisir
Memperkuat kelembagaan sosial dan ekonomi seperti koperasi nelayan dan
kelompok nelayan
Mengurangi kerentanan
Bagaimana rumput laut dan bagaimana kerapu.
Modal fisikl akan meningkatkan modal ekonomi
. Penguatan dan Pengembangan Kapasitas Pasca Usaha Budidaya Perikanan.
Secara bio-teknis keberhasilan usaha perikanan budidaya laut dan pantai ditentukan oleh
penguasan dan penerapan secara tepat dan benar lima elemen dasar (panca usaha)
budidaya perikanan, yaitu (Dahuri, 2003): (1) perbenihan, (2) pakan atau nutrisi (3)
pengendalian hama dan penyakit (4) manajemen kualitas air dan tanah, (5) pon
engineering dan layout perkolaman. Kemampuan dalam mengusai dan menerapkan
panca usaha budidaya perikanan ini harus senantiasa terus ditingkatkan, jika ingin
potensi ekonomi yang sangat besar ini dapat mewujudkan kemakmuran yang dicitacitakan.
3.13. Pembangunan Prasarana
Potensi ekonomi yang terdapat pada usaha perikanan budidaya laut dan pantai sangat
besar, tetapi realisasinya sangat kecil, disebabkan antara lain terbatasnya prasarana,
seperti saluran irigasi dan drainase pertambakan, akses jalan dan sebagainya. Selama
ini, saluran irigasi tambak merupakan bagian terhilir dari sistem irigasi sawah (pertanian),
sehingga air yang masuk ke tambak kebanyakan mengandung sisa-sisa pestisida,
herbisida, atau pupuk dari lahan pertanian. Oleh karena itu perlu membangun prasarana
ini khusus untuk kawasan pertambakan sebagaimana dipraktekkan secara berhasil di
Thailand.
3.14. Penerapan Sistem Bisnis Perikanan Budidaya Secara Terpadu
Pembangunan perikanan budidaya hendaknya dilakukan berdasarkan pendekatan
sistem bisnis perikanan budidaya secara terpadu, sehingga arah dan kebijakan
pembangunan merefleksikan kegiatan dari seluruh fungsi sub sistem perikanan yang
meliputi pembangunan sub-sistem perbenihan, sub-sistem usaha budidaya, sub-sistem
pasca panen dan pemasaran yang ditunjang oleh pembangunan sub-sistem kesehatan
ikan dan lingkungannya serta pembangunan sub-sistem prasarana budidaya perikanan.
56
Dalam pembangunan budidaya tambak yang menjadi sorotan adalah berkaitan dengan
pembangunan budidaya yang berkelanjutan sesuai dengan amanat FAO (1995) melalui
Code of Conduct for Responsible Fisheries, sehingga arah pembangunan perikanan
budidaya, khususnya budidaya udang hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip
pembangunan yang bertanggungjawab dengan memadukan elemen daya dukung dan
pengendalian lingkungan.
Akses Terhadap Pasar
Tata ruang----pengantar panjang pantai ampibabo
Total panjag pantai yang dianalisis 34.114
Totl ampibabo 56.25
6.
Aspek legal
Efisiensi operasional budidaya berarti biaya produksi dapat ditekan, antara lain
dengan mengurangi ongkos transportasi dari darat ke lokasi budidaya di laut.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan lebih mendekatkan lokasi budidaya ke
pantai.
Oleh karena itu dalam reduksi luas potensial menjadi luas yang
direkomendasikan, lokasi yang sesuai paling dekat dengan pantailah yang akan
dipertahankan.
Pengelompokan kawasan pengembangan budidaya laut berdasarkan kepada
kesamaan sistem dan komoditas dapat memudahkan pembinaan, pengawasan
dan
meningkatkan
efisiensi
dan
keamanan.
Pembentukan
kelompok
pembudidaya laut dapat dilakukan berdasarkan pengelompokan lokasi budidaya,
sehingga distribusi sarana produksi dan hasil menjadi lebih efisien.
Lokasi dan tata ruang pengembangan budidaya laut di Teluk Ekas disajikan
dalam Gambar 22. Peta..
Karamba Jaring Apung
57
Sistem karamba jaring apung (KJA) untuk budidaya ikan dan udang lobster yang
akan dibangun berukuran 288 m2 atau 24x12 m untuk setiap unitnya, dan setiap
unit terdiri dari 18 kantong jaring (6x3) yang berukuran 3x3x3 m (Tabel 8.1).
Sistem ini terdiri dari rangka, pelampung, kantong jaring, jalan inspeksi, rumah
jaga dan jangkar beserta tambangnya (Lampiran). Rangka bisa dibuat dari kayu
atau bambu. Pelampung terbuat dari drum plastik, styrofoam yang dibungkus
dengan terpal, kayu gabus atau bambu. Kantong jaring berukuran 3x3x3 m dan
terbuat dari bahan PE dengan ukuran benang D18 hingga D33. Kantong jaring
diikatkan ke rangka. Jalan inspeksi mengelilingi kantong jaring, di atas rangka
terbuat dari papan, dan berukuran lebar 50-60 cm, di atas jalan ini kegiatan
pemeliharaan dilakukan. Rumah jaga dibuat berukuran 3x3 m dan terdiri dari
rangka yang terbuat kayu atau bambu, dindingnya dibuat dari papan atau bilik
(anyaman dari bahan bambu). Jangkar beserta tambangnya (20 mm) berfungsi
untuk menjaga posisi KJA tetap pada tempatnya, berupa/terbuat dari batu, besi
atau cor semen.
b. Rakit dan Longline
Rakit dan longline merupakan sistem budidaya yang bisa digunakan untuk
budidaya rumput laut dan kerang mutiara. Rakit untuk budidaya rumput laut
terbuat dari bambu yang dirangkai menjadi berbentuk segi empat dan dilengkapi
dengan bambu diagonal (Lampiran) Dengan bahan bambu tersebut, rakit bisa
mengapung di dekat permukaan air. Di antara dua sisi rakit dibentangkan tali
yang berfungsi sebagai tempat pelekatan rumpun rumput laut. Tali ini disebut tali
ris, dan jarak antar tali adalah 25 cm. Rumput laut diikatkan ke tali ris dengan
jarak 25 cm, menggunakan tali pengikat. Dengan ditentukan jarak tanam antar
rumpun rumput laut adalah 25 X 25 cm. Rakit bambu ini diikatkan ke jangkar
dengan menggunakan tambang 10 mm, sehingga posisinya tetap. Setiap unit
rakit bambu untuk budidaya rumput lau berukuran 8x8 m (64 m2), sesuai dengan
ukuran satu batang bambu yang tersedia di sekitar lokasi pengembangan
budidaya laut di Teluk Ekas.
Selalu ada jarak antar unit rakit, sehingga
memungkinkan lalu lintas sampan untuk operasional budidaya.
Rakit untuk budidaya kerang mutiara terdiri dari rangka kayu, pelampung, rumah
jaga, jangkar dan tambangnya, serta keranjang (basket) dan tambangnya.
Konstruksi sistem rakit ini hampir mirip dengan KJA, kecuali kantong jaring
(Lampiran). Pada sistem rakit untuk budidaya kerang mutiara ini tidak terdapat
58
komponen kantong jaring.
Pada rangka kayu tersebut digantung keranjang
sebagai wadah pemeliharaan kerang, pada kedalaman 3-5 m dari permukaan air
laut. Setiap unit rakit untuk budidaya kerang mutiara ini berukuran 375 m2 atau
25x15 m. Jarak antar unit rakit kerang muitara ini adalah 250m, sehingga setiap
unit rakit memiliki radius 500 m.
Sistem longline bisa digunakan untuk menggantikan sistem rakit, baik untuk
budidaya rumput laut maupun kerang mutiara.
Dalam sistem ini bentangan
tambang yang mengapung digunakan sebagai pegangan/basis penempelan tali
ris pada budidaya rumput laut, atau keranjang (basket) pada budidaya kerang
mutiara.
Untuk mempertahankankan bentangan tambang tetap mengapung
digunakan pelampung.
Pada budidaya rumput laut digunakan jerigen plastik
sebagai pelempung utama dan botol bekas kemasan air mineral sebagai
pelampung antara. Pada budidaya ini pula, bentangan tambang bisa dirangkai
sehingga mirip konstruksi sistem rakit dalam dimensi yang lebih besar. Setiap
unit longline rumput laut berukuran 1.000 m2, dan selalu ada jarak antar unit
untuk alur sampan, sehingga memudahkan operasional budidaya.
JUDUL BARU : POTENSI PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUTB
LAUT DAN IKAN KERAPU SISTEM KJA di Pesisir pantai Kecamana
Ampiabo, Kabupaten Parigi moutong, sulawesi tenganh
Pelatihan manajemen dan pengembangan masyarakat
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab Hasil dan Pembahasan tentang
pengelolaan Pengelolaan Kawasan Budidaya Rumput Laut dan Ikan Kerapu
Sistem KJA di Wilayah Pesisir Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong,
terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Lingkungan perairan pantai Kecamatan Ampibabo mempunyai potensi yang
cukup mendukung untuk dilakukannya kegiatan budidaya laut khususnya
budidaya rumput laut dan ikan kerapu
2. Kawasan perairan pantai yang memiliki potensi untuk kegiatan budidaya ikan
kerapu sistem keramba jaring apung berdasarkan kriteria kesesuaian sangat
sesuai (S1) mempunyai luas 1.605,84 Ha; sesuai (S2) mempunyai luasan
1.608,86 Ha; dan tidak sesuai (N) 9.378,32 Ha. Kawasan perairan pantai yang
memiliki potensi untuk kegiatan budidaya rumput laut dengan sistem longline
berdasarkan kriteria kesesuaian, sangat sesuai (S1) mempunyai luas 925,88
Ha; sesuai (S2) dengan luas 8.633,19 Ha; dan tidak sesuai (N) 5.093,33 Ha.
3. Hasil analisis SIG diperoleh peta kawasan budidaya laut khususnya budidaya
sistem KJA dan budidaya rumput laut di pesisir pantai Kecamatan Ampibabo
Luas kawasan untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA sebesar 1.605,84 Ha,
sedangkan kawasan budidaya rumput laut sebesar 925,88 Ha. Secara
keseluruhan potensi lingkungan sebagai lokasi budidaya sebesar 2531.72 Ha.
4. Hasil perhitungan luasan efektif untuk kawasan budidaya rumput laut dan
ikan kerapu di Kecamatan Ampibabo sebesar 506.34 Ha. Lokasi yang sangat
sesuai untuk budidaya ini tersebar hampir di semua wilayah Desa di
Kecamatan Ampibabo.
5. Berdasarkan Sustainable Livelihood Approach (SLA) atau pendekatan
keberlanjutan mata pencaharian, dapat di peroleh suatu rencana pengelolaan
kawasan budidaya laut yang antara lain : (1) penataan ruang kawasan
budidaya laut; (2) menjaga keberlanjutan sumberdaya pesisir; (3) memperkuat
kelembagaan sosial ekonomi masyarakat; (4) pembangunan infrastruktur; (5)
transfer ilmu pengetahuan dan teknologi; (6) penguatan modal melalui
97
pemberian kredit (7) membentuk lembaga keuangan mikro dan lembaga
simpan
pinjang.
keberlanjutan
Kesemuanya
pemanfaatan
itu
bertujuan
sumberdaya
untuk
yang
mempertahankan
mendukung
untuk
mempertahankan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat.
Saran
Berdasarkan
kesimpulan
tersebut
terdapat
beberapa
saran
guna
menyempurnakan pengelolaan kawasan budidaya laut (rumput laut sistem
longline dan ikan kerapu sistem KJA) di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi
Moutong, adalah sebagai berikut :
1. Peneliti dalan hal ini melakukan penelitian pada bulan Mei atau pada musim
peralihan. Oleh, karena itu di perlukan kajian lainnya yang sama akan tetapi di
lakukan pada musim kemarau dan musim hujan, sehingga di dapatkan hasil
yang lebih baik lagi. Selain itu penelitian lebih lanjut mengenai beberapa
kegiatan lainnya seperti pariwisata, konservasi, dan perikanan tangkap, yang
mempunyai interaksi dan mempengaruhi pelaksanaan budidaya laut, sehingga
di hasilkan suatu rencana pengelolaan kawasan pesisir yang memasukkan
seluruh pemanfaatan yang ada.
2. Bagi pemerintah daerah khususnya, dengan adanya hasil penelitian ini
diharapkan dapat ditindak lanjuti dengan memasukkannya ke dalam Rencana
Tata Ruang Daerah Kabupaten. Lebih lanjut, untuk kemudian menyusun suatu
program bagi pemanfaatan kawasan budidaya laut (khususnya ikan kerapu dan
rumput laut), agar kawasan dapat di manfaatkan secara optimal dan
mensejahterakan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad T, P.T. Imanto, Muchari, A. Basyarie, P. Sunyoto B. Slamet, Mayunar, R.
Purba, S. Diana S. Redjeki, S.A. Pranowo, dan S. Murtiningsih. 1991.
Operasional Pembesaran Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring Apung.
Balai penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan. Departemen Pertanian.
Akbar A, Sudjiharto, dan Sunaryat. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Macan
(Epinephelus fuscoguttatus) dan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptis altivelis
di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut, Departemen Kelautan
dan Perikanan, Direktorat Perikanan Budidaya Lampung.
APHA (American Public Health Association). 1989. Standard Methods for
Examination of Water and Wastewater. 17th edition. APHA, AWWA
(American Water Work Association) and WPCF (Water Pollution Control
Federation). Washington DC.
[Anonim]. 2004. Rencana Zonasi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Dinas Perikanan
dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong.
[Anonim]. 2005. Analisis Kesesuaian Marine Culture Wilayah ALKI II. Pusat
Survei Sumberdaya Alam Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan
Mayarakat, Institut Pertanian Bogor.
[Anonim]. 2005. Membangun Kejayaan Perikanan Budidaya. Warta Budidaya
edisi dalam www.dkp.go.id.
[Anonim]. 2005. Penyusunan Masterplan Kawasan Pengembangan Budidaya
Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah. Dinas Perikanan dan Kelautan
Propinsi Sulawesi Tengah.
Aslan M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta.
Basmi JH. 2000. Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor.
Beveridge M C M. 1987. Cage Culture. Fishing News Books Ltd. 1 Long Garden
Walk, Farnham, Surrey, England.
[BRKP]. Balai Riset Kelautan dan Perikanan. 2003. Profil Sumberdaya Kelautan
dan Perikanan Teluk Tomini. Editor : Burhanudin S., Supangat A.,
Sulistiyo A., Rameyo T., dan Kepel C. Jakarta.
99
Brown, K. Thomkins B and Adger W.N. 2001. Trade-Off Analysis for
Participatory Coastel Zone Decision-Making. Overseas Development
Group, University East Anglia. Norwick. UK. www.ack.uk/dev/odg.
Burrough, P.S and R.A. McDonnel. 1998. Principal of Geographical Information
System. Oxford University Press.
Byod C E. 1990. Water Quality Management in Pond for Aquaculture.
Birmingham Publishing Company. Birmingham. Albama.
Campbell J. 1999. Linking The Suistainable livelihood Approach and code of
Conduct for responsible Fisheries. Workshop facilitator’s Bacround Notes
Prepared for the DFID Funded FAO-Implementes Sustainable Fisheries
Livelihoods Project (SFLP).
Clark, W.A.V. and P.L. Hosking. 1986. Statistical Methods for Geographers.
John Wiley & Sons, Inc.. Clarke, R. and M. Beveridge. 1989. Off shore
fish farming. Infofish International, 3 (89) : 12 – 15.
Davis C.C. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State
university. USA.
Departemen Pertanian. 1995. Rumput Laut: Cara, Budidaya dan Pengolahannya.
Kantor Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta.
[Dit. Perikanan Budidaya - DKP]. 2006. Direktorat Jenderal Perikanan BudidayaDepartemen Perikanan dan Kelautan. Profil Rumput Laut di Indonesia.
[DKP.]. Departemen Perikanan dan Kelautan. Balai Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut Gondol. 2006. Budidaya Kerapu Macan (Epinephelus
fusgotattus) Dalam Keramba Jaring Apung, dalam www.dkp.go.id.
[DKP]. Departemen Perikanan Dan Kelautan. 2006. Syarat Budidaya Ikan
Kerapu. Buku Teknis Budidaya Ikan kerapu Ditjen Perikanan BudidayaDepartemen Kelautan dan Perikanan.
Effendi E. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta.
FAO]. Food Agriculture Organizatioan. 1989. Site Selection Criteria for Marine
Finfish Netcage Culture in Asia. Regional Seafarming Development and
Demonstration Project in Asia. National Inland fisheries Institute Kasetsart
University Campus Bangkhen, Bangkok. Thailand.
[FAO]. Food Agriculture Organizatioan. 1989. Site Selection of Euscheuma spp.
Gliksman M. 1969. Gum Technology in the Food Industry. Academic Press. New
York.
100
Hafiz A. Sudjiharno dan Anindiastuti. 1999. Pemilihan Lokasi; Pembenihan
Kerapu Tikus (Cromileptis altivelis). Departemen Pertanian, Direktorat
Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Laut, Lampung.
Hasyim, Bidawi, 1997. Optimasi Penggunaan Data Inderaja dan Sistem
Informasi Geografi untuk Pengawasan Kualitas Lingkungan Pantai Akibat
Limbah Industri. Dewan Riset Nasional. Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi. Jakarta.
Hellebust JA, Craige JS. 1978. Handbook of Phycological Methods. Cambridge
University Press. London.
Hinga, K.R. 2002. effect of pH on Coastal Marine Phytoplankton. Marine
Ecology Progress Series 238: 281 – 300
Hodgkiss, I.J. and S. Lu. 2004. The effects of nutrients and their ratio on
phytoplankton abudance in Jun Bay, Hongkong. Hydrobiologia 512 : 215
– 229.
Hodgkiss, I.J. & K.C. Ho. 1997. Are changes in P : N ratios in coastel water the
key increased red tide blooms?. Hydrobiologia 352 : 141 - 147
Hutagalung, H.P., D. Setiapermana dan Riyono S.H. 1997. Metode Analisis Air
Laut, Sedimen dan Biota (Buku 2). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi. LIPI. Jakarta.
Kadariah, L. Karlina dan C. Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga
Penelitian, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta.
Ikhsan KHI. 2005. Thesis. Kajian Pertumbuhan, Produksi Rumput Laut
(Eucheuma cottonii) dan Kandungan Karaginan Pada Berbagai Bobot
Bibit dan Asal Thalus di Perairan Desa Guruaping Oba Maluku Utara.
Program Pascasarjana. IPB. Bogor.
Ismail, W. E, Pratiwi, Wedjatmiko, E. Savitri, Suwidah, dan A. Wijono. 2002.
Analisis Kebijakan Pembangunan Usaha Budidaya Laut. Dalam Heruwati
et.al. (eds) Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan. Pusat Riset
Pengelolaan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. p. 1-20.
Lee, C.S. 1997. Constraints and government intervention for the development of
aquaculture in developing countries.
Aquaculture Economics and
Managements, 1(1) : 65 – 71.
Lind, O.T, Chrzanowski T.H, and L. Davalos-Lind. 1997. Clay turbidity and
relative production of bacterioplankton and phytoplankton. Hydrobiologia
353 : 1 – 8
101
Malik I. Wijardjo B. Fauzi N. dan A. Royo. 2003. Menyeimbangi Kekuatan,
Pilihan Strategi Menyelesaikan konflik atas Sumberdaya Alam. Jakarta.
Morain S. 1999. GIS Solution in Natural Resources Management: Balancing the
Technical-Political Equation. On Word Press. USA.
Mubarak, H., S. Ilyas, W. Ismail, I.S. Wahyuni, S.H. Hartati, E. Pratiwi, Z.
Jangkaru, dan R. Arifuddin. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput
Laut. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan, IDRC, Infish.
Muir, J. F. & R. J. Roberts.1985. Recent Advances in Aquaculture. Croom Helm
Ltd., London, Sydney.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Hal:
Odum E.P. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd Edition. W.B. Sounders Co.
Philadelpia and London.
Pemda Kabupaten Situbondo. 2005. Potensi Kelautan dan Perikanan di
Kabupaten Situbondo. www.situbondo.go.ida.
PKSPL-IPB. 2005. Studi Tata Ruang Pengembangan Budidaya Perikanan di
Kawasan Teluk Ekas kerjasama antara Bagian Proyek Pembangunan
Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan NTB (COFISH PROJECT).
Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis.
Informatika. Bandung.
Sachlan M. 1972. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat
Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta.
Shang, Y. C. 1990. Aquaculture Economic Analysis: an Introduction. The
World Aquaculture Society, Los Angeles.
Shell, E. W & T. F. Lowell. 1993. The Development of Aquaculture: an
Ecosystem Perspective. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn
University, Alabama.
Song X, Huang L, Zhang J, Huang X, Zhang J, Yin J, Tan Y, and S Liu. 2004.
Variation of phytoplankton biomass and primary production in Day Bay
during spring and summer. Marine Pollution Bulletin. www.elsevier
.com/marpolbul.
Sosealisa A. 2006. Disertasi. Kajian Pengelolaan Pesisir dan Laut Gugusan PulauPulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak numfor, Papua. IPB.
Bogor
102
Souter D.W. and Olof lindén. 2000. The health and future of coral reef system.
Ocean & Coastel Management 43: 657 – 688.
Sudjatmiko, W & W.I. Angkasa. Teknik Budidaya Rumput Laut Dengan Metoda
Tali Panjang. Direktorat Kebijaksanaan Pengembangan&Penerapan
Teknologi-BPPT. www.iptek.net.id/ttg/artlkp/artikel 18.htm.
Tomascik T.A, A.J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa. 1997. The Ecology of
Indonesia Seas: Part One (The Ecology of Indonesia Series Volume VII).
Periplus Edition (HK) Ltd.
Widodo SM. 2005. Tahapan Krusial Dalam Menata Ruang. Perspektif
Keterpaduan Dalam Penataan Ruang Darat-Laut. USAID-BAPPENAS.
Yamaji C.S. 1979. Illustration og the Marine Plankton of Japan. Hoikiska Publ.
Co. Ltd. Japan.
Yunizal, Murtini JT, Utomo BS, TH Suryaningrum. 2000. Teknologi
Pemanfaatan Rumput Laut. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Eksplorasi Laut dan Perikanan.
104
Beberapa jenis ikan kerapu yang di budidayakan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kerapu lumpur (Epinephelus coiodes) Hamilton
Kerapu malabar (E. Malabaricus) Bloch and Schneider
Kerapu macan (E. Fuscoguttatus) Forsskal
Kerapu sunu (Plectropomus leopardus) Lacepede
Kerapu bintik (E. Bleekeri) Vaillant
Kerapu sunu Lodikasar (P. Maculatus) Bloch
Kerapu bebek’tikus Cromileptis altivelis (Valenciennes)
Aquaculture Department Southeast asian Fisheries Development Centre Tigbauan,
lloilo, Philippines. 2001. Pembudidayaan dan Manajemen Kesehatan Ikan
Kerapu. ASIAN-PACIFIC ECONOMIC COORPORATION
Wilkinson JB. RJ Moore. 1982. Harry’s Cosmetocology. Seventh edition. Deorge
Godwil London. Pp. 612.
105
.
1. Teknologi Budidaya Laut dan pengembangan Sea Farming di Indonesia.
Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Japan
International Corporation Agency (2001). Jakarta. Pusat Penelitian dan
pengembangan eksplorasi Laut dan perikanan bekerjasama dengan JICA
Usaha budidaya ikan kerapu perlu ditingkatkan mengingat permintaan terhadap
ikan kerapu cukup tinggi dan selama ini penyediaannya masih didominasi
dari usaha penangkapan saja. Usaha pelestaria kerapu masih rendah,
sementara stoknya di alam sangat terbatas dan sumbangan budidaya ikan
kerapu terhadap pembangunan nasional masih sedikit sekali. Parameter
yang digunakan untuk budidaya kerapu meliputi parameter dependen yaitu
sarana, teknologi, dan input produksi, sedangkan parameter independen
adalah iklim, air, adat,hukum, dan kebijakan. Selain itu ada pula dibedakan
menjadi parameter umum (topografi, kondisi biologi, fisik, kimia, hukum
dan peraturan, kualitas sumberdaya manusia, sistem kepemilikan yang ada,
masterplan lahan pantai, infrasruktur, daya dukung, ).
Sukadi (1999), dalam Wardoyo dan Murniyati 2001, menambahkan bahwa
budidya laut dapat dilakukan di pantai, daerah pasang surut (intertidal),
sub-litoral, permukaan, pertengahan, dan dasar perairan laut. Karena
habitat ikan kerapu sendiri di alam, dimana mereka hidupnya didasar
umumnya di karang-karang dengan salinitas air laut maka budidaya kan
kerapu umumnya dapat dilakukan di daerah sub-litoral, permukaan,
pertengahan,dan dasar pantai laut.
Sukadi, M.F. 1999 Potensi Lahan Budidaya Laut. Makalah seminar
Pengembangan budidaya laut di Indonesia dalam mendukung Protekan
2003. Jakarta, 26 – 27 agustus. 20pp
Hutagalung, H.P 198. Pengaruh Suhu Terhadap Kehidupan Organisme Laut.
Pewarta Oseana. LON-LIPI. Jakarta. Vol 13. Hal : 153-163
Luning, K. 1990. Seaweed : Their envoronmental, Biogeography, and
ecophysiology. Charles Yarish and Hugh Kirkman (editors). John Wiley
dan Sons, Inc Canada. 527 p
Krebs C.J. 1989. Ecological Methodology. University of British Columbia.
Harper and Row Publishers. New York.
Download