ABSTRAK Alfiani Eliata Sallata. KAJIAN POTENSI SUMBERDAYA UNTUK PENGELOLAAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN IKAN KERAPU DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN AMPIBABO, KABUPATEN PARIGI MOUTONG, SULAWESI TENGAH. Di bawah bimbingan : Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MS. dan Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc. Penelitian yang di lakukan di Kecamatan Ampibabo ini mempunyai dua tujuan: (1) mengetahui potensi sumberdaya lingkungan berdasarkan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan yang diperuntukkan bagi budidaya rumput laut dan ikan kerapu. Keseuaian lingkungan perairan untuk kemudian dianalisis menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan (2) Menyusun rencana pengelolaan kawasan budidaya laut. Wilayah pesisir yang sesuai untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA sebesar 1.605,84 Ha dan sesuai dengan beberapa faktor pembatas sebesar 1.608,86 Ha. Untuk budidaya rumput laut sistem longline, luasan perairan yang sangat sesuai sebesar 925,88 Ha, dan sesuai sebesar 8.633,19 Ha. Lebih lanjut, diketahui bahwa di pesisir Kecamatan Ampibabo mempunyai luas potensi kawasan budidaya laut (rumput laut dan ikan kerapu) sebesar 2531,72 Ha, masing-masing sebesar 1.605,84 Ha untuk budidaya ikan kerapu dan 925,88 Ha untuk budidaya rumput laut. Hasil perhitungan kawasan yang efektif untuk budidaya laut dengan memperhatikan peruntukan lain dan utilitas budidaya di wilayah ini di peroleh sebesar 508.207 Ha Melalui Sustainable Livelihood Approach (SLA) diperoleh suatu rencana pengelolaan kawasan budidaya laut (rumput laut sistem longline dan ikan kerapu sistem KJA). Rencana pengelolaan antara lain penataan ruang kawasan budidaya laut, menjaga keberlanjutan sumberdaya pesisir, memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, pembangunan infrastruktur, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dan penguatan modal melalui pemberian kredit. Kesemuanya itu bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir serta mempertahankan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat. ABSTRACT Alfiani Eliata Sallata. STUDY OF RESOURCE POTENCY FOR MANAGEMENT OF SEAWEEDS CULTURE AND GROUPER CULTURE IN OF AMPIBABO, PARIGI MOUTONG REGENCY COASTAL AREA, NORT SULAWESI. Under the supervision of Fredinan Yulianda, Phd. and Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc. The research in Ampibabo Sub District are divided into two purposes: (1) to know the potencies of environmental resources base on aquatic physic, chemical and biology water used by seaweeds and grouper culture. Based on suitability of water quality analysis by using Geographic Information System (GIS) and (2) to make the management plan of marine culture area. Coastel that is suitable area for grouper culture in floating cage system is 1.605,84 Ha and suitable with border factor is about 1.608,86 Ha. The other area that is very suitable for seaweed culture is 925,88 Ha and suitable is 8.633,19 Ha. Ampibabo Sub District has potential area for marine culture is about 2531,72 Ha, where 1.605,84 Ha for grouper culture and 925,88 Ha for seaweed culture. Consist of the effective area for marine culture with limited another focus and utilization marine culture in this area is about 508,207 Ha. Through the implementation of Sustainable Livelihood Approach (SLA) concept is found the Management Plan of marine culture area (seaweed culture and grouper cage culture by floating cage system). This Management Plan are consist of: Spatial Plan of Marine Culture, to keep coastal area sustainability, empowerment social economic organizations, to develop infrastructure, Transfer of Know-how and Transfer of Technology, Capital empowerment (Credit for farmers). In this case, resource sustainability utilization of Livelihood Sustainability of community. Parigi Moutong Regency is the part of Tomini bay water that had rich of coastal and marine resources. It have cost lines is about 447 Km and the area is about 16.000 km2, the most of the regencies region location in coastal are. Ampibabo Sub District is the ones from ten sub district in Parigi Moutong Regencies. The purposes of research in Ampibabo Sub District are to know potencies of environmental resources base on physical, chemical and biological of water. Based on suitability of water analysis using by Geographic Information System (GIS), the results are: for seaweed culture very suitable of area for develop is 56.28 Ha and suitable with border factor is about 115.25 Ha. For grouper culture in floating cage system, the area that very suitable is about 32.47 Ha, and suitable is 1038.08 Ha. Based on feasibility Business analysis of seaweed culture using by Benefit Cost analysis, financially known that seaweeds culture and grouper culture by floating cage system area suitable for develop. Value of Benefit-Cost ratio for seaweed culture is 1.57, and grouper in Floating cage system is 2.26. Seaweed culture area and culture and grouper culture by floating cage management in Ampibabo Sub District aim to know-how increasing and increase of ability of farmers, economic organization powers, to manage of land use activities, and keep coastal resources sustainability. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Budidaya laut merupakan bagian dari budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik seperti ikan (finfish), udang (krustasea), moluska, ekinodermata, dan alga (Effendi 2004). Terdapat beberapa komoditas perikanan yang potensial untuk dikembangkan dalam usaha perikanan budidaya laut antara lain teripang, kakap, tiram, kerang darah, ikan kerapu, abalone, tiram mutiara, rumput laut, dan kuda laut. Adapun komoditas tersebut selain berpotensi sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal akan protein bersumber dari laut, juga merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Ikan kerapu misalnya, saat ini menjadi salah satu komoditi unggulan budidaya laut karena memiliki peluang eksport yang menjanjikan terutama untuk tujuan pasar Hongkong dan Singapura. Volume produksi komoditas ikan kerapu untuk eksport mencapai 35.000 ton per tahun. Jenis ikan kerapu yang telah banyak dikembangkan antara lain kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Di pasar dunia, harga ikan kerapu bebek rata-rata Rp. 300.000,00 per kilogram (Kompas 2005), sedangkan untuk kerapu macan di tingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000,00 sampai Rp 100.000,00 dan berkisar antara US$ 12-17 di Pasar Asia, tergantung ukuran ikan (DKP 2006). Keunggulan lain yang dimiliki dalam budidaya ikan kerapu yaitu penguasaan teknologi. Teknologi pembenihan dan pembesaran telah banyak berkembang dan sebagian besar sudah dikuasai dengan baik. Di Indonesia sendiri, pembesaran ikan kerapu terutama dengan sistem keramba jaring apung (KJA) telah banyak dikembangkan di beberapa propinsi di Indonesia untuk skala besar, menengah maupun kecil. Komoditi unggulan perikanan budidaya lainnya yang tidak kalah populer di pasaran adalah rumput laut. Rumput laut terutama untuk jenis Eucheuma cottonii yang juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii merupakan jenis telah banyak dikembangkan di hampir setiap propinsi di Indonesia. Selain karena relatif mudah dan modalnya relatif murah, rumput laut juga mempunyai nilai 2 ekonomi yang relatif tinggi. Di Propinsi Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bulukumba dan Sinjai misalnya, harga rumput laut kering di tingkat petani berkisar antara Rp. 3.800,00 – Rp. 4.000,00 per kilogram, sedangkan di tingkat pabrik harga rumput laut sebesar Rp. 4.700,00 – Rp. 5000,00 per kilogram (Kompas 2004). Keberadaan usaha budidaya rumput laut sangat membantu masyarakat nelayan dan pembudidaya di wilayah pesisir sebagai salah satu sumber pendapatan tambahan keluarga. Menurut DKP (2006), di Indonesia rumput laut di eksport umumnya dalam bentuk kering dengan jenis Gracillarta spp. Euchema cotonii dan E. spinosum dengan tujuan China, Hong Kong, Spanyol, Jepang dan Philippina. Lebih lanjut diketahui bahwa, nilai ekspor rumput laut baru berkontribusi sekitar 1 % dari total ekspor hasil perikanan. Sebagaimana diketahui Indonesia memililiki potensi sumberdaya alam yang mendukung untuk dikembangkannya budidaya laut. Menurut DKP (2006), potensi perairan untuk budidaya ikan kerapu dan rumput laut di Indonesia masing-masing sekitar 1.1 juta ha. Kecamatan Ampibabo adalah salah satu dari 10 Kecamatan yang berada di Kabupaten Parigi Moutong. Kecamatan ini mempunyai panjang garis pantai mencapai 56,25 km dan luas wilayah secara keseluruhan ± 589,99 Km2. Secara Topografi Kecamatan Ampibabo terbagi atas 15 Desa yang sebagian besar berada di wilayah pesisir atau sebanyak 14 desa pesisir. Kondisi wilayah terutama pesisir dan laut yang ada di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong dinilai dari luas wilayah perairan pesisirnya, cukup mendukung untuk dikembangkannnya perikanan budidaya khususnya budidaya laut. Kondisi tersebut juga didukung dengan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Parigi Moutong untuk mulai membangun potensi sumberdaya alam yang dimiliki untuk dapat meningkatkan nilai produksi perikanan daerah. Bagi sektor perikanan budidaya laut hal tersebut diatas menjadi suatu langkah maju untuk mulai mengembangkan sektor ini. Karena diharapkan, dengan berkembangnya sektor perikanan budidaya laut, dimasa akan datang akan dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir melalui lapangan kerja baru. Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut Kecamatan Ampibabo melalui kegiatan budidaya yang dikembangkan khususnya 3 untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu, haruslah didasarkan pada elemenelemen pendukung. Faktor lingkungan merupakan salah satu elemen utama yang mendukung keberlangsungan kegiatan usaha budidaya. Adapun beberapa faktor pendukung lainnya yang juga penting meliputi teknologi, aset sosial budaya dan ekonomi masyarakat, infrastruktur, dan sumberdaya manusia. Dengan adanya interaksi dari faktor-faktor tersebut di harapkan dapat diperoleh pemanfaatan kawasan yang optimal. Pemanfaatan kawasan perairan pesisir haruslah di lakukan pada suatu lokasi yang sesuai untuk setiap komoditinya. Oleh karena itu untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir Kecamatan Ampibabo, penelitian mengenai kajian potensi sumberdaya terutama untuk budidaya rumput laut dan ikan kerapu sangatlah diperlukan. Lebih lanjut, untuk mendapatkan suatu kegiatan budidaya yang berkelanjutan dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi, diperlukan juga suatu pengelolaan kawasan. Dari hasil kajian ini, diharapkan dapat menjadi petunjuk dalam pengembangannya, sehingga dapat dijadikan bahan acuan bagi berbagai pihak terkait seperti pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. 1.2. Perumusan Masalah Wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo merupakan bagian dari perairan Teluk Tomini yang dikenal kaya akan sumberdaya alam pesisir dan lautnya. Pemanfaatan kawasan pesisir Kecamatan Ampibabo untuk kegiatan budidaya rumput laut dan ikan kerapu diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Akan tetapi kondisi yang dirasakan saat ini adalah belum optimalnya pemanfaatan kawasan untuk budidaya laut baik dari segi produksi maupun keberlanjutan usaha budidaya. Rumput laut dan ikan kerapu merupakan dua komoditi yang menjadi arahan pengembangan pemerintah Kabupaten Parigi Moutong. Untuk memberikan dukungan terhadap kegiatan usaha khususnya rumput laut, pada awal tahun 2005 pemerintah melalui Dinas perikanan Kabupaten Parigi Moutong memberikan bantuan berupa modal awal untuk budidaya rumput laut dengan sistem tali panjang atau longline. Akan tetapi kondisi yang ditemui adalah tidak 4 adanya keberlanjutan usaha. Untuk budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung (KJA), investasi terutama dari pihak swasta sangat dibutuhkan karena besarnya modal yang dalam menjalankan kegiatan ini. Beberapa faktor penyebabnya masih belum banyaknya investasi untuk kegiatan ini adalah masih belum adanya informasi yang jelas akan potensi wilayah perairan yang dapat dijadikan dasar untuk pengembangan budidaya ikan sistem KJA. Lingkungan perairan merupakan faktor utama dalam mendukung keberlanjutan usaha budidaya. Kualitas lingkungan perairan yang baik akan berpengaruh pada kualitas produk yang dihasilkan. Pemilihan lokasi yang tepat untuk menjadi tempat di lakukan kegiatan budidaya dalam hal ini budidaya rumput laut dan ikan kerapu penting untuk diketahui, sehingga menghasilkan suatu arahan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan usaha. Selain itu dapat juga memberikan informasi mengenai seberapa besar potensi yang ada sehingga optimalisasi dalam pemanfaatan wilayah dapat di realisasikan. Beberapa faktor lain yang menjadi pendukung keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya lingkungan perairan bagi usaha budidaya rumput laut dan ikan kerapu antara lain teknologi produksi budidaya, kondisi sosial dan budaya masyarakat, ketersediaan infrastruktur dan permodalan. Beberapa faktor pendukung tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan, akan tetapi belum mendapat kajian yang lebih mendalam. Hal tersebut dapat dilihat dari perencanaan terutama oleh pemerintah daerah setempat yang telah dilaksanakan, akan tetapi hasil yang diinginkan dalam pemanfaatan untuk mendapat hasil produksi yang berkelanjutan tidak diperoleh. 1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji potensi sumberdaya lingkungan yang diperuntukkan bagi pengembangan budidaya rumput laut dan ikan kerapu 2. Menyusun rencana pengelolaan kawasan budidaya rumput laut dan ikan kerapu terutama didasarkan pada potensi sumberdaya lingkungan beserta dengan aspek pendukungnya yaitu aspek sosial ekonomi dan aspek teknis 5 Adapun manfaat penelitian adalah : 1. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam rencana pengelolaan kawasan budidaya laut yang juga terkait dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) di pesisir Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong. 2. Memberikan informasi kepada masyarakat dan swasta mengenai potensi pengembangan kegiatan budidaya laut di pesisir Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong. 1.4. Kerangka Pemikiran Salah satu pemanfaatan wilayah pesisir yang dirasakan dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap produksi perikanan yaitu perikanan budidaya laut. Budidaya rumput laut dan ikan kerapu merupakan dua komoditi yang banyak dikembangkan karena permintaan pasar yang cukup besar. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pesisir khususnya bagi kegiatan budidaya rumput laut dan ikan kerapu maka haruslah bertumpu pada keberadaan sumberdaya lingkungan khususnya lingkungan perairan pesisir. Sumberdaya lingkungan perairan pesisir erat kaitannya dengan kualitas fisik, kimia, dan biologi yang menjadi parameter utama untuk kesesuaian lokasi budidaya. Sistem budidaya yang menjadi pilihan juga menjadi bagian penting dalam penetapan suatu lokasi budidaya laut. Budidaya dengan metode tali panjang atau longline dan keramba jaring apung (KJA) menjadi pilihan dalam sistem yang akan dikembangkan, sehingga kriteria yang di tetapkan di sesuaikan dengan jenis komoditi dan sistem tersebut. Oleh karena itu, untuk mewujudkan suatu konsep pengelolaan kawasan budidaya laut yang berkelanjutan, maka dilakukan suatu kajian yang meliputi potensi sumberdaya lingkungan bagi pengembangan budidaya rumput laut dan ikan kerapu. Potensi sumberdaya lingkungan juga didukung dengan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, ketersediaan prasarana dan sarana pendukung, serta kebijakan pemerintah daerah (Gambar 1). Sistem Informasi geografis (SIG) merupakan salah satu analisis spasial yang digunakan untuk menganalisis potensi sumberdaya lingkungan terutama kesesuaiannya perairan bagi kegiatan budidaya rumput laut dan kerapu sistem keramba jaring apung. Sistem Informasi Geografi telah banyak digunakan dalam 6 melakukan berbagai analisis keruangan seperti halnya perencanaan wilayah dan pengelolaan sumberdaya alam. Untuk mencapai tujuan penelitian ini terlebih dahulu harus diketahui kondisi spesifik wilayah ini yang diperlukan untuk studi SIG, seperti model data, struktur, dan teknik pengelolaan basis data. Begitu juga perlunya data mengenai eksisting perairan, kualitas fisik dan kimia perairan, batimetri, kecepatan arus, sebaran terumbu karang, lamun, rumput laut dan sebagainya, dimana informasi ini sangatlah penting untuk menghasilkan suatu perencanaan yang optimal, khususnya bagi penataan kawasan untuk pengelolaan kawasan budidaya perikanan budidaya. 7 SUMBERDAYA DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN AMPIBABO, KAB. PARIGI MOUTONG Kondisi fisik, kimia dan biologi perairan Budidaya Rumput Laut Sistem Longline Kesesuaian Lingkungan Perairan Untuk Kegiatan Budidaya Laut Potensi Sumberdaya Lingkungan Bagi Pengembangan Budidaya Laut Budidaya Ikan Kerapu Sistem KJA Kelayakan Usaha Budidaya Laut Kebijakan Pembangunan Pemerintah Daerah (RTRW wilayah Kabupaten Parigi Moutong) Sarana dan Prasarana Pendukung Kegiatan Budidaya Laut Aspek Sosial Ekonomi daBudaya Masyarakat Rencana Pengelolaan Kawasan BudidayaRumput Laut dan Ikan Kerapu Gambar 1. Kerangka pikir kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan kawasan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut Perikanan budidaya atau akuakultur merupakan bagian dari perikanan dan kelautan mempunyai arti penting dalam memberikan kontribusinya, walaupun diakui perikanan tangkap masih memberikan kontribusi yang lebih pada sektor perikanan. Akan tetapi, berdasar data dari FAO (2002), produksi perikanan tangkap dunia cenderung mengalami penurunan akibat eksploitasi dan menurunnya sumberdaya ikan di laut, sedangkan akuakultur mempunyai kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan. Ditambahkan bahwa, aquakultur juga mampu menciptakan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat bahwa akuakultur dapat dilakukan di setiap lapisan masyarakat mulai dari pedesaan sampai dengan perkotaan; mempunyai karakteristik usaha yang cepat menghasilkan (quick yielding) dengan margin keuntungan yang cukup besar; mempunyai cakupan usaha yang luas, sehingga dapat memacu pembangunan industri hulu maupun hilir (seperti pabrik pakan, hatchery/pembenihan, industri jaring, industri pengolahan, cold storage, pabrik es dsb.); dapat mengatasi kemiskinan penduduk; sudah tersedia teknologi terapan. Lebih lanjut, Muir dan Roberts (1985) menambahkan bahwa budidaya perikanan diharapkan mengisi kekurangan kebutuhan protein akibat stagnasi dan menurunnya produksi perikanan sementara populasi manusia bertambah dengan cepat Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan. Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik (Shell dan Lowell 1993), untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial (Shang 1990). Selain memproduksi makanan, budidaya laut juga bertujuan untuk meningkatkan stok ikan di laut (stock enhancement). Kebijakan pemanfaatan potensi akuakultur bagi pengembangan ekonomi nasional yang akan ditempuh adalah melalui pengembangan kawasan budidaya 9 dan komoditas unggulan. Berdasarkan hasil kajian Ditjen Perikanan Budidaya tahun 2004, diperkirakan terdapat 8,36 juta ha perairan laut yang secara indikatif dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan budidaya laut. Dari luasan tersebut, untuk budidaya ikan bersirip (fin fish) 20%, kekerangan 10%, rumput laut 60% dan lainnya 10%. Tingkat pemanfaatan sebagian besar provinsi baru mencapai kurang dari 1%, namun sebagian lainnya telah mencapai di atas 1% sampai 25%, yaitu DKI Jakarta sekitar 24%, Bali sekitar 8%, Sulawesi Tenggara sekitar 6%, dan NTT sekitar 2%. Di kabupaten Situbondo misalnya, telah mengembangkan usaha budidaya laut seperti budidaya ikan kerapu, lobster dan rumput laut. Jenis ikan yang dipelihara di KJA antara lain; ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu sunu (Plectropomus leopardus; P. maculatus ), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan udang lobster. Hasil produksi dari KJA pada umumnya diperdagangkan dalam keadaan hidup. Sedangkan untuk pengembangan budidaya rumput laut jenis yang sudah dikembangkan adalah Eucheuma cottoni. Produksi rumput laut di Kabupaten Situbondo di perkirakan sekitar 2.534 ton pertahun dengan nilai penjualan 1.7 milyar rupiah. Aktivitas ini pada tahun 2005 diusahakan oleh 385 pembudidaya (pengusaha) dengan ancak pertahun sekitar 770 buah (Pemda Situbondo 2005). Pengembangan budidaya laut dan pantai di Indonesia berjalan sangat lamban disebabkan karena adanya berbagai permasalahan yang dihadapi. Jika disarikan, permasalahan tersebut dapat digolongkan kedalam 4 bagian yaitu masalah yang berkaitan dengan alam atau lingkungan, masalah sosial-ekonomi, masalah kelembagaan dan masalah teknologi. Lee (1997) menyatakan bahwa untuk pengembangan budidaya (termasuk perikanan), harus didukung oleh lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan. Clark dan Beveridge (1989) mengatakan bahwa tantangan pengembangan budidaya ikan terletak pada kurangnya teknologi. Belum berkembangnya berkembang dengan baik di Indonesia, dikarenakan tingkat penguasaan teknologi budidaya masih lemah. Sebagai gambaran, meskipun teknologi budidaya laut yang telah dikuasai meliputi teknologi kakap putih, beronang dan kerapu, namun diantara komoditas- 10 komoditas tersebut, yang teknologinya betul-betul telah mantap dikuasai barulah teknologi budidaya kakap putih dan kerapu. 2.2. Komoditas Budidaya Laut 2.2.1. Rumput Laut Rumput Laut dengan jenis-jenisnya yang beragam merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang cukup potensial karena mempunyai nilai ekonomis penting. Beberapa jenis rumput laut merupakan komoditas yang menjadi komoditi ekspor Indonesia. Jenis-jenis tersebut mengandung senyawa polisakarida, seperti keraginan yang berasal dari Eucheuma spp., agar-agar yang berasal dari Gracilaria spp., Gelidium spp., dan alginat dari Sargassum spp., Turbinaria spp., dan Laminaria spp. Karaginan berperan sebagai pengatur keseimbangan dan pengemulsi yang banyak digunakan pada industi instant, makanan, farmasi dan kosmetik (Mubarak dkk 1990; DKP 2004). Rumput laut tumbuh hampir diseluruh bagian hidrosfer sampai batas kedalaman sinar matahari masih dapat mencapainya. Selain itu, hidup sebagai fitobentos dengan menancap atau melekatkan dirinya pada substrat lumpur, pasir, karang, fragmen karang mati, batu, kayu, dan benda keras lainnya, serta ada pula yang menempel pada tumbuhan lain. Jenis seperti Eucheuma sp. dan Gracilaria sp. merupakan jenis-jenis yang telah banyak di budidayakan. Secara taksonomi jenis tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum : Rhodophyta Class Ordo : Rhodophyceae (Rumput laut merah) : Gigartinales Family : Solieriaceae; Gracilariaceae Genus : Eucheuma Spesies : Eucheuma cottonii Eucheuma cottonii sebagai penghasil Karaginan Eucheuma cottonii adalah salah satu kelompok algae Rhodophyceae penghasil karagian. Ciri fisik jenis ini adalah mempunyai thallus silindris, 11 permukaan licin, cartilogeneus, warna tidak terlalu tetap kadang-kadang hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah tergantung pada kualitas pencahayaan. Oleh Aslan (1998), mengatakan bahwa Eucheuma cottonii mempunyai habitat khas berupa daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu yang kecil dan substrat batu karang mati. Karaginan merupakan ekstrak rumput laut yang tidak lain adalah senyawa kompleks polisakarida yang dibangun dari sejumlah unit galaktosa dan 3,6anhydro-galaktosa baik mengandung sulfat maupun tidak dengan ikatan alfa-1,3D-Galaktosa dan beta-1,4-3,6-ahnydro-galaktosa secara bergantian. Eucheuma cottonii terutama dimanfaatkan dalam bentuk kappa-carrageenan. Hellebust and Cragie (1978), karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan komponen lain. Lebih lanjut oleh Glicksman (1983), bahwa karaginan merupakan getah rumput laut dari hasil ekstraksi rumput laut merah menggunakan air panas. Oleh Wilkinson and Moore (1982), bahwa dalam industri pangan karaginan dimanfaatkan untuk memperbaiki penampilan produk kopi, beer, sosis, salad, ice cream, susu kental manis, coklat, coklat, jeli, dll. Untuk industri farmasi digunakan dalam pembuatan obat berupa syrup, tablet, dsb, sedangkan dalam industri kosmetik digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan tujuan mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan shampo, pelembab, dsb. Yunizal dkk (2000) menyatakan bahwa sebagai bahan baku pengolahan, rumput laut harus dipanen pada umur yang tepat. E. Cottonii dipanen setelah berumur 1,5 bulan atau lebih. Sedangkan oleh Mukti (1987) menyatakan bahwa pemanenan sudah dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum. Lebih lanjut oleh Departemen Pertanian (1995), bahwa tingkat pertumbuhan rumput laut mencapai puncak pada saat beratnya mencapai ± 600 g/rumpun. Kandungan karaginannya mencapai puncak tertinggi pada umur 6 – 8 minggu dan dipanen dengan cara memotong bagian ujung tanaman yang sedang tumbuh. Berdasarkan hasil penelitian Iksan (2005), bahwa semakin tinggi pertumbuhan bobot basah maka 12 semakin tinggi kadar karaginan sampai batas tertentu atau minggu keempat, kemudian menurun seiiring dengan kenaikan bobot basah. 2.2.2. Ikan Kerapu Ikan kerapu yang merupakan salah satu jenis ikan yang habitat hidupnya di terumbu karang (ikan karang) banyak terdapat di perairan Indonesia. Ikan jenis ini potensial dibudidayakan karena pertumbuhannya relatif cepat, mudah dipelihara, mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan tahan terhadap ruang terbatas atau dapat dikembangkan pada keramba jaring apung (Aditya dkk. 2001). Dalam SEAFDEC (2001), bahwa di dunia Internasional ikan kerapu dikenal dengan nama grouper dan merupakan jenis ikan yang diperdagangkan dalam keadaan hidup serta paling populer di daerah Asia-Pacifik. Ikan ini telah dibudidayakan secara luas di Asia Tenggara. Harga kerapu macan hidup di tingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000,00-Rp. 100.000,00/kg dan sekitar US$ 12-17 di Hong Kong tergantung ukuran ikan. Pengetahuan tentang biologi ikan kerapu sangat mendukung keberhasilan usaha budidaya ikan kerapu, terutama morfologi, penyebaran atau distribusi, habitat, pakan dan kebiasaan makannya. Secara umum kerapu mempunyai bentuk badan yang gemuk pipih dengan kulit bersisik, hidup di perairan karang yang bersih, dan beruaya atau migrasi terbatas pada kisaran lingkungan perairan dengan kadar garam 31-34 ppt, pH 7,0 - 8,5, oksigen terlarut > 5 ppm, Nitrite nitrogen 0 – 0,05 ppm dan amonia (NH3-N ) < 0,02 ppm (DKP, 2006) Ikan kerapu adalah termasuk jenis ikan carnivora atau pemakan daging. Pada fase larva, dibutuhkan pakan berupa zooplankton seperti Brachionus sp. dan mikro organisme lainnya. Untuk fase benih dibutuhkan artemia (brine shrim) kemudian udang-udang kecil (jambret) dan ikan kecil, lalu pada tingkat dewasa adalah ikan, cumi dan lainnya (Anonim, 2006). Terdapat sekitar 91 jenis ikan kerapu di Indonesia yang berasal dari 7 (tujuh) genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopolis, Cromileptes, Epinephelus, Plecuropomus, dan Variola (DKP 2005 dan Sunyoto 1993). Menurut Subiyanto (2003), bahwa oleh pemerintah telah berhasil mengembangkan dan mensosialisasikan ikan kerapu terutama untuk jenis macan 13 (Epinephelus fuscoguttatus), tikus (Chromileptes altivelis), dan lumpur (Epinephelus suillus), serta diperkuat oleh tinggi dan stabilnya harga jual kerapu hidup tersebut terutama permintaan ekspor. Adapun dalam Randall (1987), klasifikasi ikan kerapu adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata Class : Osteichtyes Sub-Class : Actinopterygii Ordo : Percomorphii Sub-Ordo : Percoide Family : Serramidae Genus : Epinephelus; Cromileptes; Plectropomus; Piectropus Spesies : Epinephelus fuscoguttatus (kerapu macan), Chromileptes altivelis (kerapu tikus), Epinephelus Epinephelus coloides bleckeri (kerapu (kerapu lumpur), lumpur), Cromileptes polyphekadion (kerapu batik), Plectropomus leopanchus (kerapu sunu), Piectropus maculatus (kerapu sunu) 2.3. Sistem Budidaya 2.3.1. Budidaya Kerapu Sistem Keramba Jaring Apung Jaring apung (cage culture) atau keramba jaring apung (KJA) adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung (floating net cage) dengan bantuan pelampung yang ditempatkan di perairan. Sistem ini ditempatkan di perairan pada kedalaman 7 – 40 m, dengan kecepatan arus optimal sekitar 0,15 sampai 0,35 m/detik (Efendi 2004). Selain kedalaman dan kecepatan arus, faktor keterlindungan juga penting untuk diperhatikan yang erat kaitannya dengan keberadaan konstruksi keramba di laut. Perairan yang berupa teluk dan selat sangat cocok untuk menjadi lokasi KJA. Sistem KJA umumnya menggunakan padat penebaran ikan yang relatif tinggi, sehingga tergolong berteknologi intensif. Mengingat kepadatan ikan tinggi, maka dibutuhkan lokasi dengan sirkulasi air yang baik sehingga mampu mensuplai oksigen yang cukup bagi organisme budidaya dan ketersediaan 14 pakan yang cukup. Sistem budidaya ini seyogyanya dilakukan oleh Sumber Daya manusia (SDM) dengan kemampuan pembudidayaan yang relatif tinggi. Sistem ini digunakan untuk budidaya kelompok ikan, udang lobster dan ikan hias (PKSPL 2005). 2.3.2. Sistem Budidaya Rumput Laut Metode budidaya yang akan dilakukan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut itu sendiri. Sampai saat ini telah dikembangkan 5 metode budidaya rumput laut berdasarkan pada posisi tanaman terhadap dasar perairan. Metoda-metoda tersebut meliputi : metoda lepas dasar, metoda rakit apung, metode long line dan metode jalur serta metode keranjang (kantung). Adapun metoda budidaya rumput laut yang telah direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan, meliputi: metoda lepas dasar, metoda apung (rakit), metode long line dan metode jalur. Namun dalam penerapannya, keempat macam metoda tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan di mana lokasi budidaya rumput laut akan dilaksanakan (Dit. Perikanan Budidaya-DKP 2006). A. Metode lepas dasar Metode ini sangat tepat diterapkan pada areal perairan antara intertidal dan subtidal dimana pada saat air surut terendah dasar perairan masih terendam air serta lebih banyak memanfaatkan perairan yang relatif dangkal (Sudjatmiko dan Angkasa 2006). Metode ini dilakukan pada dasar perairan yang berpasir atau berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan patok/pacang, Namun hal ini akan sulit dilakukan bila dasar perairan terdiri dari batu karang. Penanaman dengan metode ini dilakukan dengan cara merentangkan tali ris yang telah berisi ikatan tanaman pada tali ris utama dan posisi tanaman budidaya berada sekitar 30 cm di atas dasar perairan (perkirakan pada saat surut terendah masih tetap terendam air). Patok terbuat dari kayu yang berdiameter sekitar 5 cm sepanjang 1 m dan runcing pada salah satu ujungnya. Jarak antara patok untuk merentangkan tali ris sekitar 2,5 m. Setiap patok yang berjajar dihubungkan dengan tali ris polyethylen (PE) berdiameter 8 mm. Jarak antara tali rentang sekitar 20 - 25 cm. 15 B. Metode rakit apung Metode rakit apung adalah cara membudidayakan rumput laut dengan menggunakan rakit yang terbuat dari bambu/kayu. Metode ini cocok diterapkan pada perairan berkarang dimana pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit dari bambu/kayu. Ukuran setiap rakit sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan material. Ukuran rakit dapat disesuaikan dengan kondisi perairan tetapi pada prinsipnya ukuran rakit yang dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut yang ditanam. Untuk menahan agar rakit tidak hanyut terbawa oleh arus, digunakan jangkar (patok) dengan tali PE yang berukuran 10 mm sebagai penahannya. Untuk menghemat areal dan memudahkan pemeliharaan, beberapa rakit dapat digabung menjadi satu dan setiap rakit diberi jarak sekitar 1 meter. Bibit 50 -100 gr diikatkan di tali plastik berjarak 20-25 cm pada setiap titiknya. Pertumbuhan tanaman yang menggunakan metode apung ini, umumnya lebih baik daripada metode lepas dasar, karena pergerakan air dan intensitas cahaya cukup memadai bagi pertumbuhan rumput laut. Metode apung memiliki keuntungan lain yaitu pemeliharaannya mudah dilakukan, terbebas tanaman dari gangguan bulu babi dan binatang laut lain, berkurangnya tanaman yang hilang karena lepasnya cabang-cabang, serta pengendapan pada tanaman lebih sedikit. Kerugian dari metode ini adalah biaya lebih mahal dan waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan sarana budidayanya relatif lebih lama. Sedangkan bagi tanaman itu sendiri adalah tanaman terlalu dekat dengan permukaan air, sehingga tanaman sering muncul kepermukaan air, terutama pada saat laut kurang berombak. Munculnya tanaman kepermukaan air dalam waktu lama, dapat menyebabkan cabang-cabang tanaman menjadi pucat karena kehilangan pigmen dan akhimya akan mati. C. Metode tali panjang Metode budidaya ini banyak diminati oleh masyarakat karena alat dan bahan yang digunakan lebih tahan lama, dan mudah untuk didapat. Teknik budidaya rumput laut dengan metode ini adalah menggunakan tali sepanjang 50100 meter yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap 16 25 meter diberi pelampung utama yang terbuat dari drum plastik atau styrofoam. Pada setiap jarak 5 meter diberi pelampung berupa potongan styrofoam/karet sandal atau botol aqua bekas 500 ml. Pada saat pemasangan tali utama harus diperhatikan arah arus pada posisi sejajar atau sedikit menyudut untuk menghindari terjadinya belitan tali satu dengan lainnya. Bibit rumput laut sebanyak 50 - 100 gram diikatkan pada sepanjang tali dengan jarak antar titik lebih kurang 25 Cm. Jarak antara tali satu dalam satu blok 0,5 m dan jarak antar blok 1 m dengan mempertimbangkan kondisi arus dan gelombang setempat. Dalam satu blok terdapat 4 tali yang berfungsi untuk jalur sampan pengontrolan (jika dibutuhkan). Dengan demikian untuk satu hektar hamparan dapat dipasang 128 tali, di mana setiap tali dapat di tanaman 500 titik atau diperoleh 64.000 titik per ha. Apabila berat bibit awal yang di tanaman antara 50 - 100 gram, maka jumlah bibit yang dibutuhkan sebesar antara 3.200 kg - 6.400 kg per ha areal budidaya. Menurut Sudjatmiko dan Angkasa (2006), bahwa keuntungan metode ini antara lain: tanaman cukup menerima sinar matahari; tanaman lebih tahan terhadap perubahan kualitas air; terbebas dari hama yang biasanya menyerang dari dasar perairan; pertumbuhannya lebih cepat; cara kerjanya lebih mudah; biayanya lebih murah; dan kualitas rumput laut yang dihasilkan baik. D. Metode jalur Metode jalur merupakan salah satu metode yang baru berkembang di masyarakat menyesuaikan dengan kebiasaan dan kondisi perairannya. Metode ini merupakan kombinasi antara metode rakit dan metode long line. Kerangka metode ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar. Pada kedua ujung setiap bambu dihubungkan dengan tali PE diameter 0,6 mm sehingga membentuk persegi panjang dengan ukuran 5 m x 7 m per petak. Satu unit terdiri dari 7 - 10 petak. Pada kedua ujung setiap unit diberi jangkar seberat 100 kg. Penanaman dimulai dengan mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang telah dilengkapi tali PE 0,2 cm sebagai pengikat bibit rumput laut. Setelah bibit diikat kemudian tali jalur tersebut dipasang pada kerangka yang telah tersedia dengan jarak tanam yang digunakan minimal 25 cm x 30 cm 17 2.4. Lokasi Budidaya Laut dan Kualitas Perairan 2.4.1. Lokasi Budidaya Perairan laut yang digunakan untuk kegiatan budidaya umumnya merupakan perairan yang relatif terlindungi seperti teluk, selat, dan shallaow sea (laut dangkal). Keterlindungan lokasi budidaya terutama dari gempuran ombak besar, badai, dan angin kencang. Lebih lanjut dalam Efendi (2004) terdapat tiga jenis lokasi di perairan laut yang memiliki sifat keterlindungan adalah sebagai berikut : 1. Teluk Teluk merupakan perairan laut yang menjorok masuk ke dalam daratan. Oleh karena itu, perairan teluk relatif terlindungi dari ombak besar, badai, dan angin. Sirkulasi air yang masuk banyak dipengaruhi oleh arus akibat pasang surut air laut. Arus laut relatif lambat pada perairan dengan kisaran pasut yang kecil (0,01 – 0,10 m/detik) sehingga sirkulasi air di perairan akan relatif keci. 2. Selat Merupakan perairan laut di antara dua pulau atau beberapa pulau. Keberadaan pulau yang berada mengapit dan mengelilingi perairan laut tersebut menyebabkan selat realif terlindungi dari angin dan ombak badai. Keberadaan pulau di yang mengapit perairan laut tersebut dapat memecah dan membelokkan air dan arah massa air laut sehingga tidak merusak. Lebih lanjut, selat yang relatif sempit dan memiliki kisaran pasit yang sangat lebar (3 – 5 m) ada kalanya perairan memiliki arus laut yang sangat kuat hingga mencapai >0.5 m/detik. 3. Shallow water Shallow water atau perairan laut dangkal umumnya di temukan di dekat pantai. Perairan ini memiliki lebar beberapa meter hingga bebeberapa kilometer dari pantai. Di dalam kawasan perairan laut dangkal terdapat beberapa bagian seperti reef flat dan mud flat (0 – 5 m) dan yang dikenal dengan laguna atau goba (7 – 15 m), serta karang pelindung atau barrier reef yang melindungi dari gempuran ombak laut terbuka. Ombak dan arus laut yang besifat turbulen (mangaduk) ketika mencapai dan menghantam karang pelindung berubah menjadi ombak dan arus laut yang bersifat lamininer (mengendapkan) sehingga baik untuk lokasi budidaya laut. 18 2.4.2. Kualitas Perairan Kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kegiatan budidaya perikanan. Kondisi perairan laut dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kelayakan suatu perairan untuk kegiatan budidaya laut. Salah satu acuan yang digunakan untuk analisis data parameter kualitas perairan yaitu Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.15 Tahun 2004, tentang Baku Mutu Air Laut, terutama baku mutu untuk Biota Laut. Adapaun kriteria kualitas air sesuai dengan KEPMEN LH No. 15 tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Baku Mutu Kualitas Air Laut terutama untuk biota laut menurut KEPMEN LH No. 5 Tahun 2004 No Parameter Satuan Baku Mutu No. karang : > 5 mangrove : lamun : > 3 6 7 8 9 0.015 0.0008 0.5 0.01 0.003 0.01 12 13 14 15 mg/l µg/l mg/l MBAS mg/l µg/l µg/l 1 2 3 4 5 6 7 LOGAM BERAT Raksa (Hg) Arsen (As) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Tombal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l m 2 3 Kebauan Kekeruhan NTU alami <5 10 11 4 Padatan tersuspensi Total mg/l 5 6 Sampah Suhu karang : 20 mangrove : 80 lamun : 20 nihil coral : 28 -30 mangrove : 28-32 lamun : 28-30 nihil 7 Lapisan Minyak - 1 2 KIMIA pH Salinitas o /oo 7 - 8.5 alami coral : 33-34 mangrove : s/d 34 lamun : 33-34 1 1 0.01 0.01 0.001 0.005 0.012 0.001 0.008 0.005 0.005 BIOLOGI 3 Oksigen Terlarut mg/l >5 1 Coliform (total) 4 BOD5 Amonia Total (NH3-N) mg/l 20 2 Patogen mg/l 0.3 3 Plankton 5 Baku mutu mg/l mg/l mg/l mg/l FISIKA Kecerahan C Satuan Fosfat (PO4-P) Nitrat (NO3-N) Sianida (CN-) Sulfida (H2S) Senyawa fenol total PCB total Surfaktan (Deterjen) Minyak & lemak Pestisida TBT (Tribulintin) 1 o Parameter MPN/100 ml Sel/100 ml Sel/100 ml 1000 nihil tidak bloom 19 2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu media yang baik untuk menyampaikan hasil analisis bagi para pengambil keputusan, pengelola, dan pemerintahan. O’Callaghan dan Garner (1991), mengatakan bahwa teknologi SIG banyak digunakan terutama untuk pengelolaan sumberdaya alam seperti perencanaan industri pertanian, konservasi sumberdaya alam, eksploitasi sumberdaya mineral, pengelolaan taman nasional dan pengelolaan wilayah pesisir. Secara umum keuntungan penggunaan SIG pada perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam adalah: • Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital dan analog) dari berbagai sumber dan memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data diantara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait • Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif daripada pekerjaan manual dan memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien. • Mampu melakukan permodelan, pengujian dan pembandingan beberapa alternatif kegiatan. SIG pada dasarnya adalah suatu sistem informasi (perangkat lunak) yang bereferensi dan berbasis komputer yang mampu menampung, menyimpan, mengolah, dan mensimulasi data spasial, sehingga menghasilkan output sesuai tujuan. Dalam Prahasta (2001), di jelaskan bahwa dalam SIG menggabungkan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi, dan geografis. Dari pengertian ketiga unsur pokok ini, dapat dipahami bahwa SIG merupakan salah satu sistem informasi yang menekankan pada informasi geografis, yang merupakan bagian dari keruangan (spatial). Penggunaan kata “geografis” mengandung pengertian suatu persoalan mengenai bumi secara tiga dimensi. Termaksud didalamnya tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu obyek terletak, dan informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diketahui SIG bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karakteristik dan potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu mengintegrasikan beberapa data/peta dan mempunyai kemampuan sebagai pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian 20 rupa, sehingga data tersebut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan. Dalam SIG data disimpan dalam dua bentuk, yaitu : data spasial dan data atribut. Untuk keperluan analisis data spasial, data atribut disimpan secara terpisah ini, kemudian diintegrasikan (Macgure dan Goodchild 1991). Dengan menggunakan data yang diperoleh dari fasilitas citra satelit, dan foto udara yang dapat dihubungkan secara langsung, maka data diperoleh dari periode tertentu pada area yang sama, dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi di rona muka bumi. 2.6. Analisis Biaya Manfaat Budidaya laut merupakan sistem produksi yang mencakup input produksi (prasarana dan sarana produksi), proses produksi (sejak persiapan hingga pemanenan) dan output produksi (penananganan pascapanen dan pemasaran). Orientasi budidaya laut adalah medapatkan keuntungan, sehingga merupakan kegiatan bisnis (aquacultural business atau akuabisnis, sebagai padanan agribisnis dalam bidang pertanian). Sistem akuabisnis terdiri dari beberapa subsistem (sebagaimana berlaku di agribisnis), yakni 1) subsitem pengadaan sarana dan prasarana produksi, 2) subsistem proses produksi, 3) subsistem penanganan pascapanen dan pemasaran dan 4) subsistem pendukung. Analisis biaya manfaat (Benefit-Cost Analysis, BCA) dikembangkan untuk memberi sebuah cara sistematik untuk membandingkan keuntungan dan kerugian ekonomi dari berbagai alternatif kegiatan. Dalam bentuk yang paling sederhana, analisis biaya manfaat meliputi identifikasi semua manfaat dan biaya selama jangka waktu kegiatan/proyek, menjabarkan nilai-nilai manfaat dan biaya pada periode-periode tertentu dalam satu rentang waktu, serta menghitung perbandingan antara manfaat dan biaya (Mitchell 1997). Menurut Field (1994), terdapat empat langkah dasar dalam melakukan BCA yakni: 1. Spesifikasikan secara jelas proyek atau kegiatan yang akan dilakukan; 2. Berikan gambaran secara kuantitatif input dan output kegiatan; 3. Estimasi biaya dan manfaat sosial dari input dan output tersebut; 4. Bandingkan manfaat dan biaya tersebut. 21 Alternatif-alternatif kegiatan dari hasil langkah-langkah di atas, kemudian disusun berdasarkan rasio manfaat-biaya (Benefit-Cost Ratio). Pada umumnya para pengambil kebijakan hanya tertarik pada alternatif yang mempunyai rasio yang lebih dari satu. Dengan kata lain, agar secara ekonomi layak, sebuah alternatif kegiatan diharapkan memberikan lebih banyak manfaat daripada biaya yang harus dikeluarkan. Dari semua alternatif yang rasionya lebih besar dari satu (B/C > 1), biasanya alternatif dengan rasio tertinggi cenderung dipilih. III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah pesisir kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong yang secara administrasi terdiri dari 11 Desa pesisir (Gambar 2). Adapun batas laut disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan serta aksebilitas yang terkait dengan kegiatan budidaya laut. Pengambilan data lapang dilakukan pagi hingga siang hari pada musim peralihan yakni pada bulan Mei 2006. Lebih lanjut, kegiatan pengumpulan data sekunder, pengolahan, analisa dan interpretasi data dilakukan pada bulan Juni 2006 sampai November 2006. 3.2. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian maka dilakukan pengumpulan data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer mengenai potensi sumberdaya lingkungan melalui pendugaan kualitas fisik, kimia, dan biologi perairan. Data mengenai kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat dikumpulkan melalui studi dokumen, kuisioner, dan wawancara mendalam. Sedangkan untuk data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber yang memberikan informasi yang relevan terhadap penelitian seperti BAKOSURTANAL, BPS, BAPPEDA Kabupaten Parigi Moutong, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong, Kecamatan, dan Desa. 3.2.1. Potensi Sumberdaya Lingkungan di Wilayah Pesisir Kecamatan Ampibabo Kualitas Perairan Data yang diambil untuk mengetahui potensi sumberdaya lingkungan meliputi pengukuran kondisi fisik, kimia dan biologi perairan. Dalam hal ini, pengamatan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan dilakukan pada beberapa lokasi pengamatan. Pengukuran kualitas air dilakukan dengan pengambilan contoh air laut pada beberapa stasiun. Penentuan titik pengamatan menggunakan teknik Sistem random sampling, dengan jarak antara stasiun pengamatan menyesuaikan lokasi (Clark dan Hosking 1986; Morain 1999). Setip lokasi 23 pengamatan di pilih berdasarkan keterwakilannya dari segi ekosistem maupun pemanfaatan lingkungan perairan tersebut. Alat yang digunakan sebagai penanda di lapangan adalah Global Positioning System (Tabel 2 dan Gambar 2). Tabel 2. Stasiun pengamatan di perairan pesisir Kecamatan Ampibabo Stasiun Pengamatan St1 St2 St3 St4 St5 St6 St7 St8 St9 Koordinat (UTM) Keterangan 0173929 9949250 0174093 9950442 0173165 9953503 0173216 9947708 Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman penduduk di Desa Ampibabo Perairan pesisir di tempat bekas budidaya rumput laut di Desa Lemo Muara sungai buranga di Desa Buranga 0171616 9944614 0171490 9941585 0171582 9940751 0172951 9930171 0170026 9960730 Perairan pesisir dekat pelabuhan perikanan di Desa Paranggi Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman penduduk di Desa Lemo Muara sungai Towera di Desa Towera Perairan pesisir di tempat bekas budidaya rumput laut di Desa Towera Perairan pesisir di lokasi budidaya ikan kerapu sistem KJA, Desa Marantale Perairan pesisir Desa Tomoli Pengambilan contoh air pada pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi di perairan diambil menggunakan alat vandorn water sampler yang dilakukan mulai pukul 10.00 sampai 15.00 WITA. Kedalaman perairan yang diambil sebagai sampel yaitu pada lapisan permukaan (0.2 D), lapisan tengah (0.6 D) dan lapisan dasar (0.8 D). Dimana D adalah kedalaman perairan. Lebih lanjut, sampel air dianalisis di Laboratorium Limnologi, Manajemen Sumberdaya Perikanan, FPIK, IPB. Adapun beberapa parameter fisik, kimia dan biologi lingkungan perairan yang diamati disajikan pada Tabel 3. Gambar 2. Lokasi pengamatan kualitas perairan di perairan pantai Kecamatan Ampibabo A. Parameter fisik perairan a. Suhu Temperatur air pada beberapa contoh air diukur dengan menggunakan thermometer digital dengan satuan oC. Pengukuran di lakukan pada permukaan, tengah dan dasar perairan. Tabel 3. Parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang diamati No Parameter Parameter Alat yang digunakan Lingkungan II Fisik Keterangan Suhu (oC) Thermometer Pengukuran insitu Kecerahan (%) Secchi disk Pengukuran insitu Kekeruhan (NTU) Tubiditymeter Laboratorium Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) Software ER Landsat-TM Kedalaman Tali Penduga Pengukuran insitu Peta Batimetri Data sekunder Pasang Surut - Data sekunder Arus Laut (m/dtk) - Data sekunder Gelombang - Data sekunder Mapper Substrat Dasar Pengambilan insitu dan data sekunder III I Kimia Biologi PH pH meter Pengukuran Insitu Salinitas (o/oo) Refraktometer Pengukuran Insitu DO (mg/l) DO meter Pengukuran Insitu BOD5 Alat titrasi Insitu&Laboratorium Fosfat (mg/l) Spektrofotometer Laboratorium Nitrit (mg/l) Spektrofotometer Laboratorium Nitrat (mg/l) Spektrofotometer Laboratorium Amonia (mg/l) Spektrofotometer Laboratorium Plankton Mikroskop Laboratorium b. Kecerahan Kecerahan perairan pada beberapa lokasi pengamatan diukur dengan menggunakan secchi disk dalam satuan persen (%). 23 c. Kekeruhan Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam air. Terutama dipengaruhi bahan-bahan tersuspensi seperi lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik, plankton, serta organisme mokroskopik lainnya. Secara langsung kekeruhan mempengaruhi proses pernafasan organisme perairan seperti menutupi insang ikan, selain itu juga dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air. Pada penelitian ini kekeruhan diukur dengan alat turbiditymeter. Satuan yang di gunakan adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit). d. Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) Untuk menduga konsentrasi muatan padatan tersuspensi di gunakana aplikasi penginderaan jauh dengan Landsat-TM. Oleh Hasyim dan Bidawi (1997), bahwa keberadaan materi-materi organik dan anorganik yang tersuspensi mempengaruhi nilai pantulan (reflektansi) dari suatu badan air. Informasi tentang nilai pantulan pada cahaya tampak dari badan air dapat digunakan untuk memberi gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh muatan padatan tersuspensi (MPT) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi daripada air jernih. Puncak reflektansi pada air keruh memiliki kisaran nilai panjang gelombang yang lebih besar daripada air jernih. Algoritma yang digunakan adalah algoritma hasil penelitian Hasyim dan Bidawi (1997) : MPT (mg/l)= (100.6678)+(5.5085*TM3)+0.4563*(TM32)+0.9775*(TM2*TM3) Keterangan : MPT = Muatan Padatan Tersuspensi (mg/l) TM2 = Band 2 Satelit LANDSAT ETM TM3 = Band 3 Satelit LANDSAT ETM 24 e. Substrat Dasar Substrat dasar laut dapat menjadi indikator kualitas air diatasnya. Substrat dasar laut biasanya dibedakan atas karang, pasir, lumpur dan terdapat kombinasi antara ketiganya. Substrat dasar karang dan pasir atau karang berpasir atau pasir karang mengindikasikan perairan tersebut cocok untuk budidya rumput laut dan kerapu. b. Parameter kimia perairan a. pH Pada setiap stasiun pengamatan diukur pH perairan diukur dengan menggunakan pH meter. b. Salinitas Informasi mengenai salinitas sangat diperlukan untuk kegiatan budidaya laut, karena perubahan salinitas yang drastis akan berakibat fatal terhadap organisme yang dipelihara. Di samping itu, informasi tentang salinitas diperlukan pula untuk pengelolaan perairan, terutama yang berkaitan dengan distribusi dan luas sebaran dampak yang mungkin terjadi. Pengukuran salinitas perairan dilakukan dengan mengambil sampel air pada setiap stasiun pengamatan, untuk kemudian diukur dengan menggunakan alat refraktometer. b. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut adalah jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari hasil fotosintesa oleh fitoplankton atau tanaman air lainnya, dan difusi dari udara. Pada penelitian ini untuk mengetahui kadar oksigen dalam air dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang disebut DO-meter. c. BOD5 Kebutuhan Oksigen Biologis atau yang lebih dikenal BOD5 (biochemical oxygen demand) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik selama 5 hari penyimpanan. 25 BOD yang dimaksudkan dalam hal ini adalah banyaknya oksigen terlarut yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang mudah terurai, sebagai contoh bahan organik limbah domestik. d. Fosfat Contoh sebanyak 25 ml disaring dengan kertas saring Whatman no 42 kemudian ditambahkan dengan larutan 2,5 ml antara molybdate dan potassium antimonyltartrate. Larutan tersebut di baca dengan spectrofotometer dengan panjang gelombang 543 nm. e. Nitrit (NO2-) Contoh yang telah disaring dengan kertas saring whatman no. 42 diambil sebanyak 25 ml. Contoh tersebut ditambahkan dengan larutan sulfamida 0.3 ml dan larutan NED 0.3 ml, kemudian diamkan selama 10 menit. Larutan tersebut dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 543 nm. f. Amoniak (NH3) Senyawa amoniak yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi senyawa nitrat (NO3-) atau senyawa nitrit (NO2) oleh mikroorganisme Peningkatan kadar amoniak di laut berkaitan erat dengan masuknya air laut yang mudah di urai. Penguraian bahan organik yang mengandung unsur nitrogen akan menghasilkan senyawa nitrat, nitrit dan seterusnya menjadi amoniak. Metode yang paling umum dipake untuk mengukur kadar amoniak dalam air laut adalah metode spektrofotometer. Contoh air yang di peroleh dari setiap stasiun pengamatan tidak dapat dianalisis secepatnya, oleh karena itu contoh air di usahakan pada keadaan dinginkan pada suhu 4oC. Setelah tiba di laboratorium dibekukan pada suhu -20oc atau diberi larutan fenol atau H2SO4. 26 b. Parameter biologi perairan Fitoplankton Pengambilan sampel untuk mengoleksi plankton di lakukan dengan menggunakan alat berbentuk jaring atau disebut juga dengan jaring plankton. Adapun jaring yang digunakan berukuran 30 – 50 µm. Selanjutnya identifikasi jenis dilakukan dengan bantuan mikroskop dan buku identifikasi plankton seperti Sachlan (1972), Davis (1955), dan Yamaji (1979). Penghitungan plankton menggunakan Sedgewig Rafter Counting Cell di bawah mikroskop (APHA, 1989). Analisis data fitoplankton dilakukan dengan menghitung kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi, yang adalah sebagai berikut : 1. Kelimpahan fitopalankton Kelimpahan plankton adalah jumlah sel plankton jenis ke-i pada volume air tertentu. Rumus yang digunakan adalah : N=nx A C 1 x x B D E Keterangan: N = Kelimpahan plankton (sel/liter) n = Rataan jumlah total sel per lapangan pandang A = luas permukaan Sedgewig-Rafter Counting Cell (mm2) B = luas satu lapangan pandang (mm2) C = volume air sampel hasil saringan (ml) D = volume air sampel yang disaring (l) E = volume air di Sedgewig -Rafter Counting Cell (ml) 2. Indeks keanekaragaman fitoplankton Indeks ini merupakan perhitungan berdasarkan informasi mengenai keteracakan dalam sebuah sistem. Indeks yang digunakan adalah indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus : H '= s ∑ i =1 ⎡ ni ⎢⎣ N log ni ⎤ N ⎥⎦ 27 Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman S = Jumlah jenis yang ditemukan ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah total individu Nilai indeks keanekaragaman ini kemudian dikelompokkan menjadi : H<1 : keanekaragaman rendah, komunitas tidak stabil 1 <H<3 : keanekaragaman sedang H>3 : keanekaragaman tinggi, komunitas stabil 3. Indeks keseragaman Keseragaman yang diwujudkan dalam indeks regularitas (equitability index) adalah suatu penggambaran mengenai sebaran individu setiap spesies dalam komunitas. Indeks Keseragaman (E) plankton dihitung berdasarkan persamaan berikut: E= H' H' atau E = Logs H ' Maks Keterangan : E = Keseragaman H’ = indeks keanekaragaman s = jumlah genera (plankton) Dari perbandingan ini didapat suatu nilai yang besarnya antara 0 dan 1, artinya : Semakin kecil nilai E akan semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, artinya penyebaran jumlah individu setiap spesies mendominasi populasi tersebut. • Semakin besar nilai E, maka populasi menunjukkan keseragaman, bahwa jumlah individu setiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda (Odum, 1971) 28 4. Indeks Dominansi Untuk menghitung dominansi jenis digunakan indeks Simpson yang dihitung dengan menggunakan persamaan berikut : s D = ∑ [Pi]2 i=1 Keterangan : D = Indeks Dominansi Pi = ni/N ni = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah total individu semua spesies i = 1,2,3,…, S = jumlah genera Nilai D berkisar antara 0 sampai 1, artinya : Jika nilai D mendekati 0, berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi Jika nilai D mendekati 1, berati ada salah satu genera yang mendominasi (Odum, 1971). 3.2.2. Pendekatan Sosial Ekonomi dan BudayaMasyarakat Penelitian ini memerlukan kajian yang mencakup aspek sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Hal ini memiliki tujuan agar pengelolaan kawasan budidaya rumput laut dan ikan kerapu yang dilakukan di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi moutong tidak semata mata mengejar tingkat produktivitas, namun juga didasarkan pada pertimbangan kepentingan yang lebih luas yaitu terjaganya keselarasan kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Data-data dan informasi yang diperlukan adalah sebagai berikut: A. Data sosial dan budaya (1) Data kependudukan (2) Pola pemanfaatan sumberdaya (3) Identifikasi adanya konflik pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir (4) Kelembagaan sosial yang ada (5) Kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir 29 B. Data ekonomi (1) Investasi Bisnis perikanan yang ada di Kabupaten Parigi Moutong (2) Produksi hasil perikanan (3) Sistem dan rantai pemasaran produk perikanan (4) Kelembagaan ekonomi yang mendukung pengembangan perikanan Data-data tersebut berasal dari data primer yang diperoleh melalui investigasi langsung yaitu wawancara dengan masyarakat, maupun data sekunder yang berasal dari BPS, Bappeda, Dinas perikanan dan kelautan, Dinas Koperasi, LSM setempat dan dari berbagai sumber yang terkait. 3.3. Analisis Data 3.3.1. Analisis secara spasial dengan SIG Bertujuan untuk menentukan kesesuaian lokasi budidaya rumput laut sistem tali panjang dan ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung (KJA) Menurut Ismail, dkk (2002), bahwa usaha kegiatan budidaya laut tidak dapat dilakukan disemua daerah pesisir karena membutuhkan beberapa persyaratan seperti persyaratan teknis, biologis, non teknis (sosial budaya dan ekonomi). Data yang berhubungan dengan persyaratan tersebut harus dapat dikelola dengan baik, sehingga dapat memberikan hasil analisis yang maksimal. Sejak banyaknya data dan informasi ini dalam bentuk spasial, Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu aplikasi yang sangat relevan dalam melakukan analisis ini. Data-data yang diperoleh untuk kemudian dikelompokkan berdasarkan tahapan analisis yaitu analisis spasial dengan SIG menggunakan perangkat Arcview 3.3. A. Penyusunan basis data spasial Proses analisis awal dari pembuatan peta dasar digital di Kecamatan Ampibabo, dimulai dari scan atau proyeksi peta rupa bumi ke dalam peta dasar. Peta dasar yang diperoleh bersumber dari hasil digitasi citra satelit. Adapun Informasi yang diambil dari peta rupa bumi dan peta batimetri meliputi garis pantai, sungai, garis batas wilayah, sungai, jaringan transportasi (jalan), mangrove, penggunaan lahan, sebaran penduduk (pemukiman), letak dan nama 30 lokasi, garis kontur, ketinggian daratan, dan kedalaman laut. Kemudian dilakukan registrasi memindahkan titik koordinat peta rupa bumi ke dalam peta dasar. Untuk mendapatkan kondisi tata guna lahan terkini dilakukan pemindahan peta citra ke dalam peta dasar dengan program er-mapper. Setelah itu, dilakukan digitasi dan topologi yaitu mendigitasi dan mengidentifikasi peta dasar dengan informasi yang telah diambil dari peta rupa bumi dan citra. Selanjutnya diperoleh hasil peta dasar digital kawasan pesisir kecamatan Ampibabo yang menjadi objek proses analisis spasial selanjutnya. Data kualitas perairan yang dikumpulkan berasal dari titik-titik pengamatan yang penyebarannya mewakili lokasi penelitian. Untuk menganalisis secara spasial, terlebih dahulu dilakukan interpolasi, yang merupakan suatu metode pengolahan data titik menjadi area (polygon). Cara interpolasi titik menjadi area menggunakan metode Nearest Neighbor (Burrough & McDonnell, 1998; Morain, 1999). Dari hasil interpolasi masing-masing parameter kualitas perairan yang diperoleh, disusun dalam bentuk peta tematik. Luasan perairan yang layak bagi kegiatan budidaya laut dihasilkan setelah seluruh data parameter utama pembobotan dalam bentuk peta tematik di overlay (tumpangsusunkan). B. Pembobotan dan skoring Penilaian secara kuantitatif terhadap tingkat kelayakan perairan dilakukan melalui pembobotan dan skoring. Pembobotan pada setiap faktor pembatas di tentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap peruntukan budidaya kerapu sistem KJA dan rumput laut. Untuk menentukan nilai akhir (skor) dari setiap faktor-faktor tersebut, maka dihitung perkalian bobot dengan skala penilaian, kemudian dihitung skor total semua faktor pembatas dari setiap kolom skala penilaian mulai dari sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan tidak sesuai (S3). Adapun pengertian skala penilaian pada setiap kolom adalah sebagai berikut : S1 (sesuai) : lahan/perairan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari. S2 (sesuai) : perairan mempunyai pembatas agak berat untuk suatu 31 penggunaan tertentu secara lestari. Pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas dan keuntungan yang diperoleh. N (tidak sesuai) : perairan mempunyai pembatas sangat berat / permanen, sehingga tidak mungkin untuk digunakan terhadap penggunaan yang lestari. Untuk mendapatkan selang nilai pada setiap kategori ditentukan dari nilai persentase dari hasil perhitungan yang telah dilakukan. Kisaran persentase skala penilaian pada setiap kolom yaitu : Kategori sangat sesuai (S1) : Y ≥ 85% Kategori sesuai (S2) : Y ≤ 50 – 84% Kategori tidak sesuai (S3) : Y ≤ 50% Hasil akhir dari analisis SIG melalui pendekatan index overlay akan diperoleh dari ranking kelas kesesuaian lahan budidaya, dengan rumus : n S= ∑ SijWi i n ∑Wi i Dimana : S = Indeks terbobot area/polygon Sij = Skor/nilai kelas ke-j dari coverage atau peta ke-i Wi = Bobot untuk input peta (coverage ke-i) N = Jumlah peta 3.3.2. Analisis Sosial Ekonomi Analisis yang dilakukan dalam kajian sosial ekonomi dan budaya masyarakat dalam studi pengelolaan kawasan budidaya kerapu sistem KJA dan budidaya Rumput Laut di Kecamatan Ampibabo adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif yang dibutuhkan terutama informasi mengenai kependudukan, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana serta kelembagaan yang ada di masyarakat. 32 3.3.3. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Metode ini digunakan untuk menganalisis kawasan dengan memasukkan unsur biaya dan manfaat yang disesuaikan dengan kawasan daerah penelitian. Analisis biaya dan manfaat telah banyak digunakan untuk menilai kelayakan suatu kegiatan usaha, dimaksudkan agar para investor, nelayan pembudidaya dan masyarakat mendapatkan gambaran mengenai kelayakan suatu rencana usaha yang akan dilakukan dari segi sosial maupun ekonomi. A. Net Present Value (NPV) Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh selama umur ekonomis kegiatan. NPV merupakan selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran, yang dinyatakan dengan rumus sebagai berikut : NPV = n Bt − Ct ∑ (1 + i) t =1 t Keterangan : Bt = manfaat proyek pada tahun ke t Ct = biaya proyek pada tahun ke t n = Umur ekonomis proyek i = Tingkat bunga t = 1, 2, 3,..., n Kriteria : NPV > 0, berarti budidaya laut layak diusahakan NPV = 0, berarti budidaya laut mengembalikan sebesar biaya yang dikeluarkan NPV < 0, berarti budidaya laut tidak layak diusahakan/rugi B. Benefit Cost Ratio (BCR) Analisa ini bertujuan untuk mengetahui ratio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria alternatif yang layak adalah BCR > 1 dan meletakkan alternatif yang mempunyai BCR tertinggi pada tingkat pertama. Secara Matematik, BCR dapat disajikan sebagai berikut : 33 t ⎫ ⎧ n t⎫ ⎧ BCR = ⎨(∑ Bt ) / (1 + r ) ⎬ / ⎨Ct / ⎛⎜1 + r ⎞⎟ ⎬ t = 0 ⎠ ⎭ ⎭ ⎩ ⎝ ⎩ t =0 Kriteria : B/C > 1, berarti budidaya laut layak diusahakan B/C = 1, berarti budidaya laut berada pada titik tidak untung dan rugi B/C < 1, berarti budidaya laut tidak layak diusahakan/rugi 3.3.4. Pendekatan Keberlanjutan Mata Pencaharian (Sustainable Livelihood Approach-SLA) Dalam Campbell (1999), bahwa SLA merupakan salah satu cara penilaian yang objektifitas dalam menentukan prioritas pembangunan. Adapun kerangka kerja yang digunakan dalam pendekatan Sustainable Livelihood untuk implementasi perencanaan adalah sebagai berikut : Aset livelihood Konteks Kerentanan: - Kecenderungan - Goncangan - Musim - Sumberdaya - Manusia Sumberdaya Alam Ekonomi Sosial Fisik (infrastruktur) Struktur dan Proses Strategi Livelihood Hasil Livelihood (Rencana Pengelolaan) Gambar 3. Kerangka kerja dalam Sustainable Livelihood Approach (SLA) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kecamatan Ampibabo 4.1.1. Letak Geografis dan Administrasi Kecamatan Ampibabo adalah salah satu dari 10 Kecamatan yang berada di Kabupaten Parigi Moutong. Secara Geografis Kecamatan Ampibabo terletak pada Posisi Koordinat 119o53’11” – 120o04’12” BT dan 0o02’48” – 0o37’55” LS. Luas wilayah Kecamatan Ampibabo secara keseluruhan ± 589,99 Km2, Letak Geografis Kecamatan Ampibabo berbatasan Langsung dengan : Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kasimbar Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Tomini Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Parigi Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala Secara Topografi Kecamatan Ampibabo terbagi atas 15 Desa dengan Luas desa seperti yang termuat dalam Tabel 3 di bawah ini : Tabel 4. Jumlah dan luas desa di Kecamatan Ampibabo Desa Luas (km2) 1 Marantale 45,35 2 Silanga 42,55 3 Siniu 31,62 4 Towera 27,00 5 Tolole 23,54 6 Toga 5,54 7 Sidole 45,01 8 Paranggi 6,92 9 Ampibabo 45,71 10 Lemo 51,93 11 Buranga 41,55 12 Tomoli 89,39 13 Toribulu 55,40 14 Sienjo 39,47 15 Pinotu 36,01 Ampibabo 589,99 Sumber: Ampibabo dalam Angka (2005) 38 4.1.2. Musim Secara umum, cuaca di Indonesia mengalami dua musim yakni musim basah (hujan) dan kering (kemarau), yang dipisahkan oleh periode-periode peralihan. Musim kering terjadi mulai Juni hingga September yang dipengaruhi oleh massa udara di benua Australia saat berlangsungnya muson tenggara. Musim hujan, yang dimulai dari bulan Desember sampai Maret di pengaruhi oleh massa udara di samudera pasifik dan benua asia ketika berlangsung musim muson timur laut. Pada musim-musim itu angin bertiup mantap dengan kecepatan rendah hingga sedang. Periode peralihan terjadi April hingga Mei dan Oktober hingga November, ditandai dengan kondisi angin melemah dan tidak stabil. Lebih lanjut, di jelaskan bahwa musim hujan dan musim kemarau tidak benar-benar terjadi pada saat yang sama di seluruh pelosok kepulauan. Secara umum, musim hujan mempunyai sedikit lebih banyak air dan lebih sedikit sinar matahari dibandingkan musim kemarau (Tomaschik et al 1997). Di kawasan Teluk Tomini sendiri, Bulan basah berlangsung selama 7 sampai 9 bulan dan bulan kering 1 sampai 3 bulan. Curah hujan berlangsung secara merata yaitu tertinggi terjadi pada bulan Desember sampai Januari dan bulan Juni sampai Juli. Suhu udara berkisar antara 29,4oC hingga 30oC (BRKP, 2003). 4.1.3. Morfologi Kondisi Morfologi Pesisir Kecamatan Ampibabo di lihat dari system lahan yang terbentuk Dataran, Kipas dan Lahar, Pantai, Perbukitan dan Rawa Pasut. Morfologi Dataran di kelompokan kedalam Dataran Karstik berbukit kecil; meliputi 6 Desa Pesisir (Tomoli, Buranga, Lemo, Ampibabo, Toga dan Tolole). Morfologi Kipas dan Lahar, dikelompokkan kedalam; Kipas Aluvial non vulkanik yang melereng landai. Dari 15 desa yang berada di pesisir Kecamatan Ampibabo, terdapat 82% desa yang masuk dalam kelompok morfologi ini, kecuali desa Toga. Morfologi Perbukitan, dikelompokan kedalam; Punggung bukit sedimen asimetrik tak terorientasi, meliputi 6 desa di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo (Toribulu, Buranga, Paranggi dan Toga). Morfologi Rawa Pasut dikelompokan kedalam Dataran Lumpur antar Pasang surut dibawah Holofit, 39 meliputi 4 Desa di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo (Toribulu, Buranga, Lemo dan Ampibabo). 4.1.4. Litologi Topologi wilayah daratan, terdiri dari batu gamping tersebar di Desa Tomoli, Buranga, Lemo, Ampibabo, Toga, dan Tolole. Wilayah Kipas dan Lahar, terdiri Aluvium endapan kipas aluvial dan kolovium, terdapat pada 82% dari jumlah 14 Desa yang berada di pesisir Kecamatan Ampibabo. Wilayah Perbukitan, terdiri dari batu pasir, konglomerat, batu lumpur, dan serpih, tersebar di Desa Toribulu, Buranga, Lemo, dan Ampibabo. 4.2. Potensi Sumberdaya Lingkungan 4.2.1. Kondisi Fisik, Kimia dan Biologi Perairan pantai Kecamatan Ampibabo merupakan bagian dari perairan Teluk Tomini, Pulau Sulawesi. Salah satu teluk terbesar di Indonesia ini mempunyai luas 59.500 km2, pada bagian timur berbatasan dengan Laut Maluku dan bagian timur laut berbatasan dengan Laut Sulawesi. Teluk Tomini merupakan perairan yang dikenal relatif subur dan memiliki sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan. Pemanfaatan lingkungan perairan pantai Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong untuk kegiatan budidaya laut merupakan salah satu bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk pengelolaan kawasan yang didukung dengan data-data terutama kondisi perairan baik fisik, kimia, dan biologi. Budidaya laut khususnya rumput laut dan ikan kerapu, merupakan komoditi-komoditi unggulan untuk dikembangkan. Diharapkan dengan dukungan data kondisi perairan yang cukup lengkap dalam pemanfaatannya kelak dapat berlangsung dengan baik. A. Parameter fisik perairan a. Kedalaman Kedalaman di perairan pantai Kecamatan Ampibabo dapat dilihat pada Gambar 4. Kedalaman tersebut merupakan hasil pengukuran lapang yang 40 dilakukan oleh kegiatan Survei dan Pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) dalam rangka penyediaan data dasar spasial wilayah pesisir Sulawesi Tengah Tahun 2004. Pada kegiatan survey tersebut memperlihatkan bahwa kedalaman laut di perairan pantai Kecamatan Ampibabo berkisar antara 0 – 60 meter. Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran lapang yang dilakukan pada Bulan Mei 2005, di peroleh beberapa variasi kedalaman sebagaimana tercantum dalam Tabel 5 berikut ini : Tabel 5. Variasi kedalaman di perairan pantai Kecamatan Ampibabo Stasiun Kedalaman 3 St1 10 St2 2 St3 6 St4 5 St5 0 St6 10 St7 15 St8 20 St9 Kedalaman perairan sangat berpengaruh bagi kegiatan budidaya laut. Untuk budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung idealnya pada kedalaman antar 7 - 40 m (Effendi 2004). Selain pengaruhnya terhadap intensitas cahaya matahari yang masuk, kondisi dimana perairan dengan kedalaman < 7 meter dapat mempengaruhi kualitas perairan terutama dari sisa kotoran ikan yang membusuk didasar perairan, sedangkan pada kedalaman > 40 meter berdampak kepada perubahan faktor lingkungan dan juga pengaruhnya terhadap besarnya biaya terutama untuk memperkokoh konstruksi keramba. Berbeda dengan kedalaman perairan pada budidaya kerapu sistem KJA, kegiatan budidaya rumput laut, membutuhkan perairan yang relatif dangkal. Perairan dengan kedalaman kedalaman antara 2 – 15 m merupakan kedalaman yang baik terutama untuk metode budidaya sistem rakit apung, rawai (long-line) dan sistem jalur (Dit. Perikanan Budidaya-DKP 2005). Akan tetapi perlu juga di perhatikan pola pasang surut yang ada terutama pada saat surut terendah. Gambar 4. Peta kedalaman di perairan Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong b. Pasang surut Berdasarkan data yang di peroleh dari hasil kegiatan survei dan pemetaan Lokasi MCRMP (2004), pada stasiun pengamatan Marantale-Ampibabo, diketahui tipe pasut yang ada adalah tipe campuran cenderung ke semi diurnal. Pasang surut tipe ini umum terjadi di perairan Indonesia Timur yaitu dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Tipe pasut suatu perairan ditentukan oleh frekuensi air pasang dan surut per hari. Tipe pasut dapat ditentukan secara kuantitatif, yaitu dengan membandingkan amplitudo (tinggi gelombang) dari komponen-komponen pasut tunggal utama dengan amplitudo komponen pasut ganda utama, menggunakan persamaan Formzahl (Gambar 5). PASANG SURUT STASION MARANGTALE-AMPIBABO 300 Tinggi Air (cm) 250 200 150 100 50 0 6/29/04 7/4/04 7/9/04 7/14/04 7/19/04 7/24/04 7/29/04 8/3/04 Tanggal Sumber : MCRMP, 2004 Gambar 5. Tipe pasang surut di Kecamatan Ampibabo Hasil data yang dipelajari menunjukkan muka air tertinggi yang dicapai pada saat pasang dalam satu siklus pasut mencapai 285.80 cm dengan muka air rerata (MSL) sebesar 0.00. Sedangkan, kedudukan air terendah yang dicapai pada saat surut mencapai - 152.96 cm. Lebih lanjut dalam Wyrtki (1961) dalam BRKP (2003), menyatakan bahwa di perairan Teluk Tomini tipe pasutnya adalah campuran cenderung ke semi diurnal. Pada daerah sekitar mulut teluk mempunyai pasang tertinggi sekitar +2,50 meter dan air surut terendah -2.64 m meter. c. Arus Berdasarkan data riset daya dukung sumberdaya di perairan Teluk Tomini (BRKP, 2003), di ketahui bahwa arus di perairan Teluk Tomini di pengaruhi oleh 39 pola arus yang terjadi di perairan laut maluku. Arus permukaan bergerak dari arah laut seram menuju barat yang sebagian memasuki Teluk Tomini dan Teluk Tolo, juga ada yang menuju Laut maluku. Kecepatan arus yang bergerak dari Laut Maluku berkisar antara lebih dari 0.05 m/detik hingga lebih dari 0.20 m/detik, dan ketika masuk perairan Teluk Tomini kecepatan berkurang hingga berkisar antara 0.05 m/detik hingga 0.01 m/detik. Lebih lanjut, kondisi arus di perairan Kecamatan Ampibabo hasilnya di pelajari dari data kegiatan Survei dan pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) di Kabupaten Parigi Moutong (Tabel 6). Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa, kecepatan arus yang masuk ke perairan pantai kecamatan Ampibabo umumnya relatif kecil. Pada kondisi arus menuju surut purnama, kecepatan arus maksimum terjadi hingga 0.1904 m/dtk, sedangkan kecepatan arus maksimum yang terukur pada kondisi arus menuju pasang tertinggi purnama sebesar 0.0770 m/dtk. Tabel 6. Kecepatan arus di perairan kecamatan Ampibabo Arus i arus menuju surut purnama i arus pasang tertinggi purnama Kecepatan Arus Maksimum (m/dtk) 0.1904 0.0770 Dalam kegiatan budidaya laut pengetahuan mengenai arus di perairan merupakan bagian yang penting. Untuk kegiatan budidaya ikan sistem keramba jaring apung, arus di butuhkan sebagai sumber oksigen dan dapat menghilangkan limbah yang berada di keramba, akan tetapi di sisi lain arus yang kuat akan berdampak pada konstruksi keramba, lambatnya pertumbuhan ikan karena energi akan banyak terpakai untuk bergerak pada arus yang kuat, serta kehilangan makanan. Sedangkan dalam kegiatan budidaya rumput laut, selain untuk sumber oksigen, pergerakan air yang cukup di butuhkan sebagai pembawa nutrients, mencuci kotoran yang menempel pada thallus, serta mencegah terjadinya perubahan suhu yang besar. Dalam FAO (1989), bahwa idealnya kecepatan arus untuk kegiatan budidaya ikan dengan sistem keramba lebih dari 0.05 m/dtk dan kurang dari 1 m/dtk, sedangkan kecepatan arus optimumnya sebesar 0.1 m/dtk. Bagi kegiatan budidaya rumput laut, oleh Ditjenperbud-DKP (2006), bahwa 40 kecepatan arus yang ideal untuk kegiatan budidaya rumput laut yaitu antara 0.2 – 0.4 m/dtk. d. Gelombang Berdasarkan hasil analisis data ketinggian gelombang laut yang dilakukan oleh BRKP (2002), gelombang di perairan Teluk Tomini secara umum tingginya 1 - 2 meter. Selama Musim Barat (Desember-Februari), Musim Peralihan Barat ke Timur (Maret-Mei), dan Musim Peralihan Timur ke Barat (SeptemberNovember), tinggi gelombang maksimum sekitar 1,5 meter. Sedangkan tinggi gelombang pada musim Timur (Juni-Agustus) adalah sekitar 2 meter. Perairan pantai kecamatan Ampibabo terletak di wilayah barat Teluk Tomini yang merupakan bagian dalam teluk, sehingga gelombang yang masuk ke dalam akan mengalami penurunan dan akan di jumpai yang jauh lebih kecil dari pada yang di dekat mulut teluk. Lebih lanjut, berdasarkan hasil Survei dan pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) tahun 2004 di perairan Kecamatan Ampibabo (Tabel 6), di peroleh tinggi gelombang maksimum pada musim timur sebesar 0.5 m dan pada musim barat setinggi 0.2700. Untuk kegiatan budidaya laut khususnya budidaya dengan sistem keramba jaring apung pengetahuan mengenai kondisi gelombang di calon lokasi budidaya penting untuk diketahui. Hal tersebut terutama untuk menjaga agar konstruksi keramba tetap kokoh atau kuat. Oleh karena itu di sarankan perairan dengan tinggi gelombang < 1 meter sesuai untuk kegiatan budidaya sistem keramba apung (FAO, 1986). Lebih lanjut oleh Moller (1997) dalam Beverage (1987), bahwa sebaiknya keramba dirancang dan dibangun untuk tahan terhadap kisaran perubahan cuaca yang menyebabkan perubahan tinggi gelombang permukaan air laut. Oleh karena itu, sebaiknya keramba apung dirancang untuk tahan terhadap perubahan tinggi gelombang yang mencapai 1-1.5 m. Tabel 6. Tinggi gelombang di perairan pantai Kecamatan Ampibabo Gelombang Gelombang musim timur Tinggi Gelombang Maksimum 0.5000 m Tinggi Gelombang Minimum 0.3100 m Gelombang musim barat 0.2700 m 0.2000 m 41 e. Suhu Berdasarkan hasil pengamatan lapang yang dilakukan pada bulan Mei 2006 di stasiun 1 sampai 9, suhu di perairan pantai kecamatan Ampibabo berkisar antara 30.5 – 32oC. Suhu permukaan perairan pada setiap stasiun berkisar antara 31 – 32oC dengan rerata 31.7oC, untuk suhu bagian tengah perairan berkisar antara 31 – 31.8oC dengan rerata 31.2oC, sedangkan suhu di dekat dasar perairan berkisar antara 30.5 – 32oC. Kisaran suhu pada setiap stasiun jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6. 32.5 Permukaan Tengah Dekat dasar 32.0 Suhu oC 31.5 31.0 30.5 30.0 29.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Stasiun Gambar 6. Suhu di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada musim peralihan Kisaran suhu berdasarkan strata vertikal kolom air diketahui tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kedalaman. Hal ini disebabkan karena variasi kedalaman pengambilan sampel air yang tidak terlalu signifikan yaitu antara 0 – 20 m. Perbedaan suhu antar stasiun juga tidak berada pada kisaran yang lebar. Kondisi ini terjadi karena lokasi pengamatan merupakan wilayah perairan yang hampir memiliki kesamaan terutama dalam hal paparan terhadap sinar matahari. Secara umum perairan di negara dengan iklim tropik seperti Indonesia tidak mempunyai fluktuasi perubahan suhu yang besar. Menurut Nontji (1993), suhu air permukaan di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28 – 31oC. Lebih lanjut Nontji menambahkan bahwa suhu air di dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada di lepas pantai. Pengaruh lainnya yang menyebabkan tingginya suhu di suatu perairan adalah kedalaman serta kecepatan angin. Sedangkan dalam Boyd ( 1990), kisaran suhu antara 25 – 32oC merupakan kisaran yang mendukung kehidupan organisme akuatik. 42 Suhu dalam kegiatan budidaya perairan memiliki peran yang sangat penting, karena diperlukan suhu yang optimal untuk perkembangan dan pertumbuhan biota budidaya. Suhu yang optimal meningkatkan nafsu makan dan intake pakan sehingga mempercepat pertumbuhan biota karena akan memberikan kelancaran dan kemudahan dalam metabolisme. Dalam FAO (1989), bahwa suhu optimum untuk budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) bagi sebagian besar wilayah tropis berkisar 27 – 31°C, dan akan mampu tumbuh serta menyesuaikan diri pada lingkungan dengan temperatur antara 20 – 35oC. Bagi kegiatan budidaya rumput laut, suhu air yang optimal bagi pertumbuhannya berkisar antara 20 – 28oC (Dirjenperbud-DKP 2005), sedangkan dalam Luning (1990), menyatakan bahwa di daerah tropis rumput laut dapat tumbuh pada kisaran suhu 20oC-30oC, lebih lanjut Johanes dalam Hutagalung (1998), menetapkan batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, coklat, dan merah adalah 34, 5oC dan alga biru hijau 37oC. f. Substrat dasar perairan Beberapa tipe substrat yang dikenal mulai dari berbatu sampai pasir halus, tentunya harus dipilih sebagai tempat untuk menempatkan keramba. Substrat berbatu tentunya akan bermanfaat untuk mengurangi resiko limbah yang ada di dasar perairan karena kecepatan arusnya yang relatif cepar, akan tetapi perlu juga diingat bagaimana dampaknya terhadap pertumbuhan ikan dan konstruksi keramba. Untuk kegiatan budidaya rumput laut dan ikan keramba jaring apung, tipe substrat yang baik dipilih menjadi lokasi budidaya yaitu lokasi dengan substrat dasar pasir kasar dan pecahan karang. Tipe tersebut selain sebagai indikator gerakan air laut yang cukup besar, sedangkan dasar perairan yang terdiri dari lumpur umumnya mempunyai gerakan air yang kurang. Hasil pengamatan lapangan yang di lakukan pada beberapa lokasi di pantai Ampibabo di ketahui beberapa tipe substrat yaitu pasir kasar dan pecahan karang, pasir, pasir berlumpur banyak, pasir halus dan pecahan karang, pasir sedikit berlumpur, dan berlumpur (Tabel 7). Tabel 7. Tipe substrat perairan di perairan pantai Di Kecamatan Ampibabo Stasiun Pengamatan Tipe substrat dasar 43 St1 St2 St3 St4 St5 St6 St7 St8 St9 Pasir dan pecahan karang Pasir Pasir, berlumpur banyak Pasir, dan pecahan karang Pasir, sedikit berlumpur Berbatu Pasir, sedikit berlumpur Pasir dan pecahan karang Pasir dan pecahan karang g. Kecerahan, Kekeruhan (NTU) dan Padatan Tersuspensi TSS Kecerahan perairan erat hubungannya dengan sejauh mana penetrasi cahaya matahari dapat masuk ke perairan yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Hasil pengukuran tingkat kecerahan perairan untuk setiap stasiun pengamatan di ketahui bahwa kecerahan perairan terendah berada pada lokasi yang dekat dengan muara-muara sungai. Selain itu, pada lokasi dengan substrat dasar terdiri dari pasir berlumpur dan berlumpur seperti pada stasiun 3 dan 7, juga mempunyai nilai kecerahan yang rendah. Akan tetapi untuk beberapa lokasi pengukuran nilai kecerahan berkisar antara 80 – 100%. Nilai kekeruhan di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006 berkisar antara 0.340 – 0.850 NTU (Gambar 7). Nilai tertinggi diperoleh pada permukaan perairan stasiun 4, tepatnya di dekat pelabuhan perikanan desa Paranggi, sedangkan nilai kekeruhan terendah diperoleh pada permukaan perairan stasiun 2 atau di desa Lemo. Nilai kekeruhan yang di peroleh masih jauh dari yang di syaratkat oleh KEPMEN LH No. 15 Tahun 2004 tentang baku mutu tentang Kekeruhan (NTU) baku air laut bagi biota yaitu < 5 NTU. 0.900 0.800 0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 - Permukaan Pertengahan Dekat dasar 1 2 3 4 5 6 Stasiun 7 8 9 Gambar 7. Nilai kekeruhan (NTU) di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006 44 Kekeruhan disebabkan oleh masuknya bahan organik tersuspensi ke dalam perairan yang berasal dari erosi tanah, limbah tambang, dan kegiatan budidaya. Masuknya padatan tersuspensi di perairan pantai kecamatan Ampibabo terutama berasal dari sungai yang bermuara di sekitarnya. Dalam Lind et.al (1997), bahwa sumber kekeruhan di perairan selain disebabkan oleh padatan tersuspensi, juga akibat dari keberadaan phytoplankton. Untuk mengetahui muatan padatan tersuspensi (MPT) secara spasial di gunakan data Citra satelit Landsat ETM untuk akuisisi bulan Februari Tahun 2002 (Gambar 8). Berdasarkan data tersebut diperoleh kadar TSS tertinggi umumnya di daerah-daerah pantai dekat muara sungai. Nilai TSS tertinggi terhitung antara 2022.5 mg/l, dan semakin ke arah laut nilai TSS berkurang hingga menjadi < 15 mg/l. Menurut Alabaster dan Llyod (1982), nilai TSS < 25 mg/l tidak membawa pengaruh terhadap kegiatan perikanan. TSS dan kekeruhan yang tinggi akan berpengaruh bagi kehidupan biota di perairan. Pertama, menghalangi atau mengurangi penetrasi cahaya ke dalam kolom air sehingga menghambat proses fotosintesis oleh fitoplankton atau tumbuhan air lainnya, yang selanjutnya berarti mengurangi pasokan oksigen terlarut, jumlah fitoplankton sebagai makanan pun akan menurun. Kedua, secara langsung kandungan TSS yang tinggi dapat mengganggu pernafasan biota karena dapat menutup insang. Dampak lainnya dari kekeruhan dan TSS yang tinggi, (yang biasanya karena partikel-partikel tanah/lumpur dan bahan organik) adalah sedimentasi yang selanjutnya menyebabkan perairan menjadi semakin dangkal. Selain itu, keberadaan dari kekeruhan/sedimentasi yang terjadi di perairan pantai juga akan berakibat pada penumpukan bahan organik di dasar perairan, yang menyebabkan meningkatnya proses dekomposisi sehingga akan dapat mengurangi kandungan oksigen perairan dan menghasilkan bahan-bahan toksik seperti amonia, H2S, CH4, NO2 dan lain-lain. 45 Gambar 8. Nilai Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) di Kecamatan Ampibabo h. Debit Air Sungai Suplai air sungai yang masuk ke perairan pesisir apabila masuk dalam jumlah yang sangat besar akan berpengaruh organisme yang di budidayakan. Pengaruhnya terutama pada terjadinya perubahan salinitas dan sedimen yang terbawa oleh aliran sungai ke laut. Berdasarkan hasil perhitungan debit air sungai dari data curah hujan tahun 2005 pada DAS Olaya, diketahui bahwa debit air 46 sungai yang masuk terbesar terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 425.68 m3 dan terendah terjadi pada bulan November yaitu sebesar 44.02 m3 (Lampiran 2). B. Parameter kimia perairan a. Salinitas Hasil pengukuran salinitas di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada Bulan Mei Tahun 2006 mendapatkan nilai salinitas berkisar antara 30 – 34 ppto dengan rerata 33.42 ppt. Untuk setiap stasiun pengamatan diperoleh salinitas yang cukup tingggi yaitu berkisar antara 33 – 34 ppt, begitu pula dengan berdasarkan stratifikasi kedalamannya yaitu permukaan, pertengahan dan dekat dasar perairan. Hal berbeda dijumpai pada lokasi pengamatan di mana merupakan muara sungai, salinitas yang diukur bernilai 30 ppt. Untuk jelasnya kisaran salinitas dapat dilihat Salinitas ( o/oo) pada Gambar 9. 35 34 33 32 31 30 29 28 1 2 3 4 5 Stasiun 6 7 8 9 Permukaan Tengah Dekat dasar Gambar 9. Salinitas di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006 Secara umum salinitas di perairan pantai Kecamatan Ampibabo tidak menunjukkan variasi yang besar. Selain itu, salinitas perairan daerah ini dinilai cukup tinggi yang dikarenakan pada saat penelitian supplay air tawar yang berasal dari muara-muara sungai disekitarnya sangat sedikit, serta rendahnya curah hujan. Dalam Nontji (1989), Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Salinitas berhubungan dengan fungsi fisiologis organisme perairan dalam mengatur keseimbangan tubuh akibat tekanan osmotik yang diterimanya. Setiap jenis organisme dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu 47 tergantung pada toleransi dan adaptasinya terhadap lingkungan. Kisaran salinitas di perairan pantai Kecamatan Ampibabo sesuai bagi kegiatan budidaya laut. Untuk kegiatan budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii misalnya, dapat tumbuh dengan baik pada perairan dengan salinitas antara 28 – 35 ppt (Dirjenperbud-DKP 2006) dan salinitas optimumnya 33 ppt (Mubarak dkk 1990), untuk budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung salinitas air laut antara 30 – 35 ppt merupakan kisaran yang sesuai, karena sesuai dengan kondisi alami kehidupannya yaitu di perairan karang (Hafiz dkk 1999). b. Oksigen Terlarut (DO) Dari hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada stasiun 1 sampai 9 saat musim, di peroleh kisaran nilai DO antara 6.6 – 7.3 mg/l dengan rerata 6.9 mg/l. Berdasarkan stratifikasi perairan, nilai DO pada permukaan berkisar antara 6.8 – 7.3 mg/l dengan rerata 6.93 mg/l, pada bagian tengah perairan 6.6 -7.2 mg.l dengan rerata 6.9 mg/l, sedangkan untuk bagian dasar bernilai 6.6 – 7.3 mg/l dengan rerata 6.89 mg/l (Gambar 10). Perbedaan nilai oksigen diperairan dipengaruhi oleh beberapa hal seperti waktu pengambilan sampel dan kondisi cuaca pada saat itu. Pada siang hari fotosintesis lebih tinggi karena intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi dibandingkan pagi dan sore hari sehingga oksigen yang dihasilkan akan lebih banyak. Pada saat pengukuran dan pengambilan contoh air, intensitas cahaya matahari penuh bersinar, hal ini menyebabkan intensitas cahaya sampai menembus hingga ke kedalaman tertentu perairan. Oksigen Terlarut (mg/l) 7.4 Permukaan Tengah Dekat dasar 7.2 7.0 6.8 6.6 6.4 6.2 1 2 3 4 5 6 Stasiun 7 8 9 48 Gambar 10. Oksigen Terlarut (DO) di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada musim peralihan Menurut Boyd (1990), kadar oksigen terlarut perairan yang diperuntukkkan bagi kepentingan perikanan tidak kurang dari 5 mg/l. Dalam Akbar dkk (2002) mengatakan bahwa, untuk kegiatan budidaya ikan kerapu macan dan kerapu tikus dalam keramba jaring apung konsentrasi oksigen dalam air yang sesuai lebih dari 5 mg/l, lebih lanjut dijelaskan bahwa konsentrasi oksigen terlarut dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan dan mengurangi daya dukung perairan. Oleh karena itu kondisi DO perairan pantai kecamatan Ampibabo dinilai sangat layak untuk kegiatan perikanan budidaya. c. Biologycal Oxygen Demand (BOD) Pengukuran BOD5 pada bulan Mei 2006, diperoleh nilai BOD5 berkisar antara 0.6 – 2.3 mg/l dengan rata-rata 1.27 mg/l. Nilai tertinggi (2.3 mg/l) diperoleh di dekat dasar perairan pada stasiun 4 atau dekat pelabuhan desa Paranggi, sedangkan nilai terendah (0.6 mg/l) di peroleh pada permukaan air stasiun 8(Gambar 11). Tingginya nilai BOD menggambarkan semakin besarnya bahan organik yang akan di dekomposisi dengan menggunakan oksigen di perairan. Apabila tidak diimbangi dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi juga, maka akan mengganggu biota yang hidup di perairan. Selain itu akan menghasilkan bahanbahan beracun sebagai hasil dari dekomposisi seperti amonia dan hidrogen sulfida. Masih kurangnya kegiatan yang menghasilkan limbah, terutama limbah organik di wilayah pantai Ampibabo menyebabkan rendahnya nilai BOD5. Untuk kegiatan budidya ikan sistem keramba jaring apung nilai BOD5 yang sesuai < 5 mg/l (FAO, 1989). Lebih lanjut, berdasarkan kriteria baku mutu air laut (KEPMENLH Nomor 51 tahun 2004) untuk biota perairan nilai BOD5 harus < 20 mg/l, dengan demikian nilai BOD5 pada stasiun-stasiun pengamatan memenuhi kriteria untuk budidaya perikanan. d. Derajat Keasaman (pH) 49 Berdasarkan hasil analisis lapangan pada musim peralihan, air laut menunjukkan nilai pH berkisar antara 7.1 – 8.9 dengan rata-rata 8.4. Nilai pH pada permukaan berkisar antara 7.1 – 8.4 dengan rata-rata 8.05, pada pertengahan perairan berkisar antara 7.6 – 8.4 dengan rata-rata 8.10, sedangkan dekat dasar perairan berkisar antara 7.8 – 8.4 dengan rata-rata 8.18 (Gambar 12). Nilai pH yang diperoleh pada setiap stasiun umumnya bersifat basah, terkecuali nilai pH pada permukaan muara sungai Towera yang hampir mendekati netral atau tujuh karena pengaruh air tawar. 2.5 BOD5 (mg/l) 2.0 1.5 1.0 0.5 Permukaan Pertengahan Dekat Dasar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Stasiun Gambar 11. Nilai BOD5 di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006 Hinga (2002), mengatakan bahwa pada sebagian besar lingkungan pesisir mengalami perubahan 1 unit nilai pH dari 7.5 sampai 8.5, terkadang juga terjadi perubahan dari pH lebih besar dari 9 atau kurang dari 7. Setiap spesies mempunyai batasan dalam beradaptasi terhadap perubahan nilai pH, karena sebagian besar organisme laut mempunyai sesuai pada kisaran pH 7 sampai 8.5, di luar daripada itu dapat menggangu perumbuhannya. Lebih Lanjut, McDonald (1983) dalam Beveridge (1987), bahwa pH merupakan ukuran dari aktifitas ion hidrogen, penting dalam kegiatan budidaya karena nilai pH yang terlalu asam atau basa dapat dengan cepat merusak permukaan insang, sampai menyebabkan kematian. e. Amonia (NH3-N) Berdasarkan hasil analisis contoh air di laboratorium diperoleh kadar Amonia pada stasiun 1 sampai 9 berkisar antara 0.277 – 0.535 mg/l dengan ratarata 0.32 mg/l. Nilai amonia tertinggi diperoleh pada stasiun 1 dekat dasar 50 perairan pantai desa lemo, sedangkan nilai terendah diperoleh pada stasiun 4 yaitu permukaan perairan pantai desa Paranggi atau dekat pelabuhan perikanan. (Gambar 13). 8.5 PH 8.0 7.5 7.0 6.5 6.0 1 2 3 4 5 Stasiun 6 7 8 9 Permukaan Pertengahan Dasar Gambar 12. Nilai pH di perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006 Perairan pantai kecamatan Ampibabo, di sekitarnya belum banyak terdapat aktivitas atau kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi kondisi perairan. Dalam Hodgkiss & Lu (2004), bahwa peningkatan aktifitas manusia di wilayah pesisir seperti limbah dan buangan manusia, peningkatan penggunaan pupuk dalam kegiatan pertanian, aliran permukaan, masukan nutrien dari sungai, kegiatan pariwisata, budidaya laut, dan sebagainya merupakan penyebab pencemaran lingkungan. Untuk kegiatan budidaya laut kadar amonia yang optimum mencapai 0 mg/l. Akan tetapi dalam kisaran tertentu masih dapat di toleransi karena kondisi alamiah. Kadar amonia yang diperoleh hampir seluruh stasiun belum melebihi batas nilai yang ditentukan untuk budidaya perikanan. Dalam FAO (1989), untuk kegiatan budidaya ikan sistem keramba jaring apung kandungan amonia di perairan haruslah < 0.5 mg/l. Lebih lanjut, dalam KEPMENLH nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut, memberikan batasan kadar amonia 0,3 mg/l. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dari hasil pengukuran kadar amonia perairan layak untuk kegiatan budidaya atau untuk kehidupan biota lainnya. f. Nitrat (NO3-N) Hasil analisis kandungan nitrat pada perairan pantai Kecamatan Ampibab pada bulan Mei 2006 rata-rata 0.110 mg/l. Diperoleh nilai tertinggi pada stasiun 6 51 tepatnya pada permukaan sungai Towera yaitu 0.326 mg/l, sedangkan nilai terendah terdapat pada stasiun 1 tepatnya pada pertengahan perairan di stasiun 1 yaitu 0.032 mg/l (Gambar 14). 0.600 Amonia (mg/l) 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 Permukaan 1 Pertengahan Dekat Dasar 2 3 4 5 6 7 8 9 Stasiun Gambar 13. Nilai Amonia pada permukaan, pertengahan, dan dekat dasar perairan pantai Kecamatan Ampibabo pada Bulan Mei Tingginya kadar nitrat pada permukaan stasiun 6 di pengaruhi oleh sungai Towera yang berada tepat di lokasi pengambilan contoh air. Sungai towera membawa zat organik terurai sehinga mempengaruhi tinggat kesuburan. Hodgkiss & Lu (2004), mengatakan bahwa, secara alami nitrogen yang masuk ke perairan pesisir di bawa oleh aliran permukaan sungai, sebagai hasil fiksasi nitrogen, presipitation, dan upweling. Tetapi, jika di kaitkan dengan tingkat kesuburan perairan, maka perairan pantai kecamatan Ampibabo masih belum dikategorikan sebagai perairan yang belum mengalami eutrofikasi, dan akan mengakibatkan terjadinya blooming algae, yang lebih jauh menyebabkan perairan mengalami kekurangan oksigen. Oleh FAO (1989), untuk kegiatan budidaya ikan hendaknya pada perairan dengan kadar amonia < 4 mg/l. 0.350 Nitrat (Mg/l) 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 Permukaan Pertengahan Dekat Dasar 1 2 3 4 5 Stasiun 6 7 8 9 52 Gambar 14. Nilai Amonia pada permukaan, pertengahan, dan dekat dasar perairan pantai Kecamatan Ampibabo. g. Fosfat (PO4-P) Kadar fosfat di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada bulan Mei 2006 untuk stasiun 1 sampai 9 pada permukaan, pertengahan dan dekat dasar perairan bernilai < 0.001 mg/l. Kisaran nilai fosfat yang diperoleh di seluruh stasiun jika dibandingkan dengan KEPMENLH nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut bagi biota belum melebihi batas nilai yang ditentukan yaitu 0,013 mg/l. Fosfat merupakan salah satu bioindikator kesuburan dalam suatu perairan, oleh sebab itu keberadaannya di perairan sangat penting. Akan tetapi, kadar fosfat pada peraiaran laut tidak dibutuhkan dalam jumlah yang terlalu banyak. Meningkatnya kadar fosfat di suatu perairan akan menyebababkan terjadinya eutrofikasi. Berdasarkan hasil penelitian Hodgkis dan Lu (1997), perbandingan unsur N dan P di perairan untuk berapa jenis alga antara 5 : 1 sampai 15 : 1, dan itu berbeda untuk setiap jenisnya. Lebih lanjut oleh Redfield (1958) dalam Lu dan Hodgkis (2004) yang dikenal juga dengan perbandingan Redfield, dalam air laut perbandingan unsur N dan P yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton yaitu 15 : 1. C. Parameter biologi Fitoplankton Dari hasil identifikasi di temukan 39 spesies fitoplankton yang tergabung dalam 4 kelas yaitu 3 spesies dari kelas Cyanophyceae, 29 dari Bacillariophyceae, 3 spesies dari Dinophyceae, dan 4 spesies dari kelas Chlophyceae. Adapun jenisjenis yang di temukan jelasnya dapat di lihat pada Lampiran 3. Lebih lanjut, hasil perhitungan kelimpahan, keanekaragaman dan keseragaman fitoplankton bulan Mei 2006 dapat dilihat pada Tabel 8. Kelimpahan individu berkisar antara 20000-3120000 ind/m3 dengan nilai rata-rata 664934.78 ind/m3. Kelimpahan tertinggi terdapat di dekat dasar perairan stasiun 1 yaitu Synedra sp dari kelas Bcillariophceae. Sedangkan berdasarkan hasil analisis Indeks Keanekaragaman di peroleh nilai berkisar antara 0.64–1.83 dengan rata-rata 1.42. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 6 53 (permukaan sungai) dan terendah terdapat pada stasiun 2. Berdasarkan klasifikasi indeks keanekaragaman Shannon-Wiener tampak bahwa status hampir di semua stasiun pengamatan termasuk dalam kategori keanekaragaman sedang. Apabila melihat indeks keseragaman fitoplankton, diketahui bahwa pada stasiun 5 tepatnya di kolom perairan mempunyai indeks keseragaman tertinggi yaitu 1.61 yang berarti mempunyai jumlah individu setiap sama atau tidak jauh berbeda. Indeks keseragaman terendah sebesar 0.28 yang dijumpai di dekat dasar perairan stasiun 9. Tabel 8. Stasiun S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 Kelimpahan, dan Keanekaragaman Fitoplankton di perairan pantai Kecamatan Ampibabo Kedalaman (m) 0.6 1.2 2.4 2 4 8 0.4 1.6 1.2 2.4 4.8 1 2 4 0 2 8 3 6 12 4 8 12 Kelimpahan (ind/m3) 1248000 652500 3120000 20000 936000 157500 52500 1248000 1248000 95000 1560000 1560000 2148000 110000 782500 27500 32500 73500 51000 44500 68500 29500 28500 Keanekaragaman Keseragaman 1.39 1.53 1.83 1.32 0.64 1.69 1.50 1.04 1.04 1.67 1.33 1.33 1.56 1.50 0.83 1.41 1.74 1.56 1.78 1.46 1.81 1.43 1.33 1 0.53 0.94 0.95 0.93 0.81 0.77 0.95 0.95 0.81 0.96 0.96 1.61 0.72 0.36 0.88 0.97 0.87 0.91 0.91 0.93 0.89 0.28 Perairan pantai kecamatan Ampibabo merupakan salah satu perairan yang di perkirakan masih belum terkena dampak dari kegiatan manusia seperti industri, budidaya tambak dan budidaya keramba, pertanian, dan lain sebagainya. Bebebrapa kelompok alga laut memproduksi racun yang akan membunuh ikan dan juga secara tidak langsung terakumulasi dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi. Oleh Strom (1928) dalam Basmi (2000) bahwa dengan mengetahui konsentrasi nitrogen dan fosfat dapat mengetahui tingkat kesuburan di 54 perairan yang juga erat kaitannya dengan produktifitas primer terutama oleh fitoplankton. Peningkatan jumlah limbah yang masuk keperairan terutama akibat kegiatan pertanian, dan budidaya perairan menghasilkan apa yang di kenal dengan eutrophication yang lebih jauh akan mengakibatkan bloom algae beracun atau yang dikenal dengan red tides. Oleh Peng et al. 2002; Zheng et al. 2001; Li et al. 1993; Qiu, 2001 dalam Song et al. 2004). Konsentrasi makronutrien dan perbandingan unsur N dan P di perairan penting untuk mengontrol pertumbuhan alga di teluk. 4.2.2. Ekosistem Pesisir dan Laut Ekosistem di wilayah pesisir dan laut merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pengelolaan wilayah pesisir. Penting untuk mengetahui kondisi ekosistem agar dalam pengembangan suatu sektor terutama untuk manfaat ekonominya, seminimal mungkin tidak berdampak pada keberlangsungan ekosistem ini (Lampiran 4). a. Ekosistem Terumbu Karang Hasil pengamatan terumbu karang ini di peroleh dari kegiatan Survei dan Pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) tahun 2004. Sebaran terumbu karang yang teramati umumnya berjarak 2 – 20 meter ke arah laut, dengan kedalaman 5 – 25 meter. Prosentasi dan kondisi tutupan karang di Kecamatan Ampibabo jelasnya dapat di lihat pada Tabel 9 di bawah ini: Tabel 9. Prosentasi karang di Kecamatan Ampibabo Kategori Karang Lokasi Contoh Prosentasi Tutupan Karang Batu - Silanga 54% - Paranggi 15% - Tomoli 37.5% - P. Tomoli 40% - Pinotu 10% Sumber : Data MCRMP Kabupaten Parigi Moutong, 2004 (Diolah) Kategori Kondisi Tutupan Karang Bagus Buruk Sedang Sedang Buruk 55 Jumlah jenis karang yang teramati sebesar 19 - 27 genus, dengan jenis dominan adalah Acropora dan Porites. Berdasarkan data tersebut di ketahui bahwa, hanya di Desa Silanga yang kondisi terumbu karangya masih dapat dikatakan baik, di Desa Tomoli dan Pulau Tomoli dalam kategori sedang, dan perairan yang berada di Desa Paranggi dan Pinotu dengan kategori buruk. Desa paranggi merupakan wilayah perairan yang banyak di lalui oleh kapal-kapal nelayan dan padat dengan aktivitasnya karena dekat dengan pelabuhan perikanan. Selain itu, berdasarkan hasil identifikasi, beberapa faktor seperti penambangan karang, bom, serta sedimentasi dari daratan merupakan beberapa penyebab terjadinya perubahan terhadap ekosistem terumbu karang di wilayah ini. Sebagai mana di ketahui bahwa, terumbu karang merupakan salah satu ekosistem laut yang mendukung kehidupan berbagai jenis ikan dan invertebrata lainnya. Unit utama yang membentuk ekosistem ini adalah endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang di hasilkan oleh hewan karang seperti sceleractinian dan organisme lain yang menghasilkan kalsium karbonat. Terumbu karang tumbuh subur pada perairan jernih, dangkal hingga kedalaman 100 m, dan dengan suhu perairan antara 18 – 30oC, oleh karena itu banyak terdapat di wilayah tropis. Akan tetapi, ekosistem ini sangat rentan baik oleh aktivitas manusia maupun oleh ancaman bersumber dari alam. Dalam Souter & Lindén (2000), bahwa ancaman terbesar terhadap keberadaan ekosistem terumbu karang adalah peningkatan jumlah penduduk di wilayah pesisir. Pembangunan infrastruktur (pelabuhan laut dan udara, industri, fasilitas rekreasi, dan fasilitas umu lainnya), penambangan karang, penggunaan bom dan racun untuk mendapatkan ikan, aktifitas pariwisata, erosi, serta polusi yang berasal dari darat dan laut merupakan beberapa sumber ancaman besar terhadap keberlangsungan ekosisitem terumbu karang. b. Padang Lamun Padang lamun di temukan hanya di beberapa titik tententu di perairan dangkal kecamatan Ampibabo. Hasil analis yang dilakukan dalam kegiatan kegiatan Survei dan pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) tahun 2004, di desa Tomoli dan desa Pinotu, ditemukan 4 56 spesies lamun. Keempat jenis lamun yang di temukan yaitu jenis Syringodium isoetifolium, Enhalus acaroides, Cymodocea rotundata, dan Thalassia hemprichii. Di Tomoli memiliki area tutupan lamun yang cukup luas dan dapat dikategorikan dalam kondisi baik, begitu juga dengan kondisi lamun yang ada di Pinotu. c. Ekosistem Mangrove Ekosistem mengrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai karakteristik habitat yang khas. Tumbuh pada daerah pasang surut yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung, dan atau berpasir. Di beberapa lokasi di Kecamatan Ampibabo juga di temukan ekosistem mangrove yang tersebar di beberapa lokasi yang umumnya dekat dengan muara-muara sungai : Hasil analis yang dilakukan dalam kegiatan kegiatan Survei dan pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) tahun 2004 di beberapa lokasi di kecamatan Ampibabo adalah sebagai berikut : 1. Desa Tapoya Pada ekosistem mangrove di Tapoya ditemukan 6 jenis mangrove yaitu Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops decandra, Rhyzopora apiculata, R. Stylosa, dan Sonneratia alba. Jenis Rhyzopora apiculata dan R. Stylosa merupakan jenis yang dominan. Dalam setiap 100m2 di temukan sebanyak 44 individu yang ditemukan termasuk jumlah yang relatif besar. Tetapi jumlah anakan sebanyak 7 dan jumlah sapihan yang ditemukan sebanyak 9 dapat dikatakan jumlah yang relatif kecil. Rata-rata diameter pohon sebesar 18,33 cm dan rata-rata tinggi pohon sebesar 11,17 m menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di lokasi ini memiliki pohon-pohon yang ukuran batangnya relatif besar dan tinggi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa mangrove yang ada di lokasi ini tergolong berusia relatif tua. 2. Desa Tomoli Pada ekosistem mangrove di Tomoli ditemukan 5 jenis mangrove yaitu Bruguiera gymnorrhiza, Rhyzopora apiculat, Ceriops tagal, R. Stylosa, dan Sonneratia alba. Jenis Rhyzopora apiculata, merupakan jenis yang mendominasi. Jumlah individu/100m2 sebanyak 29 individu yang ditemukan termasuk jumlah yang relatif kecil, sehingga mangrove di lokasi ini dikategorikan dalam kondisi 57 cukup. Demikian juga dengan jumlah anakan sebanyak 6 dan jumlah sapihan sebanyak 12 dapat dikatakan relatif sedikit. Rata-rata diameter pohon sebesar 20,50 cm dan rata-rata tinggi pohon sebesar 12,00 m menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di lokasi ini memiliki pohon-pohon yang ukuran batangnya relatif besar dan tinggi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa mangrove yang ada di lokasi ini tergolong berusia tua. 3. Desa Pinoto Pada ekosistem mangrove di Desa Pinoto ditemukan 4 jenis mangrove yang didominasi oleh jenis Avicennia marina. Beberapa jenis mangrove yang di temukan yaitu Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Rhyzopora stylosa, dan Sonneratia alba. Jumlah individu/100m2 sebanyak 26 yang ditemukan termasuk jumlah yang relatif sedikit dan masuk pada kondisi yang dikategorikan cukup, demikian juga untuk jumlah anakan yang ditemukan sebanyak 9 dan sapihan sebanyak 3. Rata-rata diameter pohon sebesar 18,75 cm dan rata-rata tinggi pohon sebesar 10,63 m menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di lokasi ini memiliki pohon-pohon yang ukuran batangnya relatif besar. Kondisi ini mengindikasikan bahwa mangrove yang ada tergolong berusia cukup tua. 4.3. Sosial Ekonomi Budaya dan Kelembagaan 4.3.1. Kependudukan Penduduk Kecamatan Ampibabo umumnya merupakan suku asli setempat, hanya dibeberapa tempat terdapat suku-suku pendatang seperti Bugis, Kaili dan juga para trasnmigrasi dari Jawa dan Bali. Jumlah penduduk Kecamatan Ampibabo hingga tahun 2005 sebanyak 39.825 jiwa dengan jumlah keluarga sebanyak 10.476 KK. Terjadi pertambahan penduduk sebanyak 764 jiwa dari jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 39.061 jiwa. Salah satu aspek penting untuk melihat konsentrasi penduduk pada suatu wilayah adalah dengan melihat kepadatan penduduk per kilometer persegi. Kepadatan di Kecamatan Ampibabo sebesar 68 jiwa /km2. Kepadatan penduduk tertinggi berada di Desa Paranggi sebesar 368 jiwa /km2, diikuti Desa Toga sebesar 220 jiwa /km2 dan Desa Ampibabo sebagai ibu kota Kecamatan sebesar 107 jiwa/km2. Ketersediaan sarana dan prasarana yang cukup lengkap menjadikan 58 Desa Paranggi dan Ampibabo sebagai ibu kota Kecamatan mempunyai konsentrasi penduduk yang lebih padat. Secara rinci Jumlah keluarga, penduduk dan kepadatannya dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini : Tabel 10 . Jumlah Keluarga, Penduduk dan Kepadatannya di Kecamatan Ampibabo Desa Jumlah Penduduk Keluarga Kepadatan Penduduk/Km2 1 Marantale 2.328 611 51 2 Silanga 2.401 647 56 3 Siniu 1.730 464 50 4 Towera 1.373 403 51 5 Tolole 1.961 516 83 6 Toga 1.219 327 220 7 Sidole 3.186 851 71 8 Paranggi 2.546 757 368 9 Ampibabo 4.883 1.219 107 10 Lemo 2.625 628 51 11 Buranga 2.392 561 58 12 Tomoli 4.055 1.079 45 13 Toribulu 4.897 1.351 88 14 Sienjo 2.417 629 61 15 Pinotu 1.812 433 50 Ampibabo 2005 39.825 10.476 68 2004 39.061 10.398 62 Sumber : BPS Parigi Moutong 2005 Umumnya masyarakat Kecamatan Ampibabo menggantungkan sumber pendapatan dari hasil perkebunan dan pertanian. Di wilayah ini, hanya sebagain kecil masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Lebih lanjut diketahui bahwa terdapat 2 kategori nelayan yang berada di Kecamatan Ampibabo yaitu nelayan tetap dan nelayan musiman. Nelayan tetap adalah nelayan yang pekerjaannya hanya mencari ikan, dan tidak mempunyai pekerjaan lain, sedangkan nelayan musiman adalah nelayan yang mencari ikan hanya sebagai sampingan. Nelayan musiman biasanya melaut hanya pada musim-musim tertentu dan waktu lainnya mereka gunakan untuk berkebun atau bertani. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada beberapa nelayan yang pernah membudidayakan rumput laut, bahwa pekerjaan membudidayakan rumput laut hanya dijadikan sebagai sumber penghasilan tambahan. Masyarakat 59 umumnya masih mengandalkan sektor perkebunan dan pertanian sebagai sumber penghasilan utama. Komoditi perkebunan seperti kakao dan cengkeh masih merupakan sektor andalan di wilayah ini. Apabila dilihat dari pendidikan formal yang dijalani oleh masyarakat pesisir pantai Kecamatan Ampibabo, diketahui bahwa sebagian besar responden hanya berpendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD). Dari 60 responden anggota kelompok nelayan rumput laut yang diwawancarai sebanyak 55 orang atau 61.1% mempunyai pendidikan SD, berpendidikan SMP sebanyak 14 atau 20%, SMU masing-masing sebanyak 18 orang atau 15.6% dan yang berpendidikan sarjana hanya sebanyak 3 orang atau 3.3%. Bukan hanya pendidikan formal saja yang rendah, pendidikan non formal dan ketrampilan juga sangat terbatas. Kegiatankegiatan pelatihan mengenai teknologi perikanan jarang diikuti oleh masyarakat, kalaupun ada hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat. Apabila dilihat dari ketersediaan sarana pendidikan formal, sekarang ini dapat ditemukan sebanyak 46 buah SD, 8 buah SMP, dan sebanyak 2 buah SMU. Adapun lokasi Sekolah Dasar hampir dijumpai di setiap desa, sedangkan untuk SLTP dan SMU hanya di jumpai di ibukota Kecamatan. Selain bangunan fisik penunjang pendidikan, yang perlu menjadi perhatian utama yaitu kualitas atau mutu pendidikan. Dengan tersdianya sarana pendidikan diharapkan dapat menciptakan sumberdaya manusia yang mampu akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dapat mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dalam sektor perikanan budidaya laut, untuk menunjang keberlangsungan kegiatan usaha budidaya diperlukan pengetahuan mengenai teknologi khususnya yang menunjang bagi kegiatan budidaya laut, agar meningkatkan hasil yang diperoleh. Kemampuan tersebut dapat di peroleh melalui pendidikan formal dan non-formal baik dari pemerintah maupun swasta. Dalam bidang kesehatan, masyarakat Kecamatan Ampibabo umumnya sudah terjangkau oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Di wilayah ini terdapat 1 buah Puskesmas dan 5 buah Puskesmas pembantu. Adapun jumlah dokter dan perawat yang ada sudah mencukupi kebutuhan masyarakat yaitu 2 dokter umum, 18 perawat dan 3 bidan. Pelayanan kesehatan juga dilengkapi dengan fasilitas 60 yang cukup, kondisi ini ditunjang dengan akses jalan yang sangat baik untuk mencapai daerah lain termaksud ibukota Kabupaten. 4.3.2. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan A. Perikanan tangkap Wilayah perairan pantai Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong memiliki berbagai potensi sumberdaya perikanan. Jenis-jenis potensi sumberdaya tersebut terdiri dari berbagai jenis ikan seperti kerapu, cumi-cumi, udang, layang, lemuru dan teripang. Alat tangkap yang digunakan seperti pancing, bubu, pukat dan ada juga yang menggunakan sianida untuk menangkap beberapa jenis ikan karang. Lebih lanjut, untuk wilayah Kabupaten Parigi moutong, Kecamatan Ampibabo merupakan salah satu dengan produksi hasil tangkapan ikan terbesar (Tabel 11) Kecamatan Ampibabo dengan produksi terbesar yaitu sejumlah 3942 ton, kemudian kecamatan Sausu sebanyak 2471 ton dan kecamatan Parigi sebesar 1972.2 ton. Untuk Kec. Ampibabo Jenis ikan tangkapan terbesar adalah ikan campuran yang mencapai 1019.3 ton dan produksi terkecil adalah jenis teripang dengan total produksi sebesar 0.6 ton. Produksi perikanan tersebut dihasilkan oleh rumah tangga perikanan (RTP) dari perahu tanpa motor, motor tempel dan kapal motor (Tabel 11). Tabel 11. Produksi ikan di Kecamatan Ampibabo, Parigi dan Sausu Kabupaten Parigi Moutong Tahun 2003 No. Produksi Ikan Kecamatan Jumlah (Ton) Ampibabo Sausu Parigi 1 Selar 704.9 457 328 1489.9 2 Layang 588.6 410 659 1657.6 3 Tuna 567.6 319 235 1121.6 4 Cakalang 625 198 153 976.0 5 Ikan dasar 273 168 137 578.0 6 Bandeng 124 140 110.9 374.9 7 Udang 39 48 38.4 125.4 8 Teripang 0.6 0.5 0.3 1.4 9 Campuran 1019.3 710.5 250 1979.8 10 Ikan Teri 20 60.6 Jumlah 3942 2471 1972.2 8385.2 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Parigi Moutong 2004 61 Jumlah kapal yang terdapat di wilayah ini sebanyak 244 unit. Umumnya menggunakan motor tempel atau sebanyak 198 unit dan yang menggunakan kapal motor sebanyak 16 unit dan selebihnya merupakan perahu tanpa motor. Nelayan kecamatan Ampibabo dengan kapasitas kapal yang kecil hanya mencari ikan di perairan pantai, dan pertengahan teluk, sedangkan dengan kapal dengan kapal motor besar mencari ikan hingga perairan mulut Teluk Tomini. Tabel 12 . Jenis alat tangkap dan jumlah kapal di Kecamatan Ampibabo, 2004 No Nama Desa Jumlah Kapal (Unit) Jenis Perahu Motor Tempel Kapal Motor (PK) (GT) 5.5 5.5 5.5 - 1 2 3 Marantale Silanga Siniu 10 33 24 4 5 6 7 Towera Tolole Toga Parangi 17 11 12 40 5.5 5.5 5.5 5 s/d 16 7 5 s/d 10 Ampibabo Lemo Buranga Tomoli Toribulu Sienjo Pinotu 22 13 2 15 10 6 29 5 s/d 7 5 s/d 5.5 5 s/d 5.5 5 3.5 s/d 5.5 5.5 3 s/d 13 - 8 9 10 11 12 13 14 Jenis Alat Tangkap Pancing Pancing Pancing Purse seine dan pancing Pancing Pancing dan pukat Purse seine dan pancing Pancing Pancing Pancing Pancing dan pukat Pancing dan pukat Pancing Pancing Sumber : Dinas perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong (Diolah) B. Perikanan budidaya laut Bentang garis pantai Kabupaten Parigi Moutong sepanjang 447 Km menjadikan wilayah ini berpotensi besar bagi pengembangan perikanan budidaya laut. Hampir keseluruhan wilayah perairan pantai dinilai sangat cocok untuk pengembangan budidaya laut khususnya beberapa komoditi unggulan seperti rumput laut, kerapu, kakap, dan Teripang. Pemerintah daerah dalam hal ini telah merespon hal tersebut dengan memberikan bantuan usaha bagi kegiatan budidaya laut beberapa komoditi tersebut sejak tahun 2003. Adapun untuk Kecamatan Ampibabo berdasarkan data Dinas Perikanan dan Keluatan Kabupaten Parigi 62 Moutong luas wilayah perairan yang berpotensi untuk pengembangan budidaya laut sebesar 150 Ha, dan hanya berada di perairan Pulau Tomoli, Desa Tomoli. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa luas lahan yang telah dimanfaatakan sebesar 30 ha. Beberapa wilayah di Kabupaten Parigi Moutong yang berpotensi untuk pengembangan budidaya laut sebagaimana tertulis pada Tabel 13 berikut ini : Tabel 13. Potensi Pengembangan Budidaya Laut di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil No Kecamatan Nama Pesisir dan Pulau Potensi (Ha) Potensi Telah Dimanfaatakan (Ha) 1 Sausu Pesisir Sausu 400 30 2 Parigi P. Makakata & Pesisir Toboli 250 50 3 4 5 Ampibabo Tinombo Kasimbar P.Tomoli Pesisir Tinombo & Sidoan Pesisir Kasimbar & Posona 150 250 300 30 40 50 6 Tomini 1. P.Tomini 100 50 2. 3. P.Tengah P. Malalang 150 5 - 4. P. Tabong 100 - 5. P. Sumogaling 50 - 6. 7. P. Kubur Pesisir Ambesia 75 300 210 Pesisir Bajo 200 50 7 Bolano Lambunu 6 Moutong 1. P. Olue 100 - 2. P. Soboya 50 - 3. P. Maloang 4. P. Lolayo 450 150 - 5. P. Ongka 10 - 3.09 500 Jumlah Sumber : Diskanlut Kabupaten Parigi Moutong. 4.3.3. Sarana dan Prasarana Pendukung A. Transportasi dan Komunikasi Keberadaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan perekonomian di Kecamatan Ampibabo sangat diperlukan. Umumnya masyarakat sudah menjadikan mobil dan motor sebagai alat transportasi utama. Sarana jalan antar 63 Desa umumnya sudah sangat memadai sehingga memudahkan masyarakat untuk mengangkut hasil produkasi pertanian dan perikanan ke tempat-tempat pemasaran. Sebagaimana diketahui Kecamatan Ampibabo berada dipesisir teluk Tomini. Dilewati oleh arus lalu lintas darat Trans Sulawesi jurusan selatan (Propinsi Sulawesi Selatan), ke utara (Propinsi Gorontalo) maupun menuju ke ibukota Propinsi Sulawesi Tengah (Palu), sehingga memudahkan akses untuk menuju daerah lainnya dan memperlancar distribusi barang dari dan ke wilayah ini. Sarana telekomunikasi yang terdapat di Kecamatan Ampibabo yaitu telepon seluler (ponsel), signal beberapa operator ponsel sudah dapat di jangkau di hampir setiap tempat dipesisir wilayah ini. Di samping itu dengan adanya teknologi yang lebih maju, masyarakat sudah dapat menyaksikan siaran televisi baik nasional maupun lokal. Selain itu, berbagai informasi juga dapat diperoleh masyarakat melalui surat kabar yang dapat diterima hampir setiap hari. Dengan adanya akses jalan yang baik, dan didukung dengan jaringan telekomunikasi yang sudah dapat diakses oleh masyarakat, dapat dijadikan pendukung dalam peningkatan perekonomian masyarakat. B. Listrik Listrik merupakan sarana penunjang yang sangat penting terutama terhadap aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Umumnya listrik digunakan untuk aktivitas penerangan. Menurut data PLN tahun 2005, jumlah pelanggan listrik di Kecamatan Ampibabo sebanyak 3.590. Layanan listrik yang tersedia 24 jam penuh setiap harinya, akan tetapi masih terdapat beberapa kendala. Kendala yang seringkali ada yaitu pemadaman bergilir yang dialami tidak hanya oleh masyarakat Kecamatan Ampibabo tetapi hampir disemua wilayah Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Ditahun mendatang layanan listrik sebagai salah satu pemacu pergerakan ekonomi diyakini akan semakin membaik karena pemerintah setempat sangat memperhatikan kondisi ini, ditunjang dengan adanya pembangunan pembangkit listrik tenaga air di wilayah Tentena, Poso dan PLTU Panau, Palu, Sulawesi Tengah, yang di harapkan mampu mensuplai kebutuhan listrik Pulau Sulawesi dan Sulawesi Tengah khususnya. 64 4.3.4. Sarana Penunjang Sektor Perikanan Salah satu infrastruktur yang terkait dengan kegiatan perikanan ditemukan diwilayah ini. Di Desa Paranggi tepatnya, terdapat Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) dan juga Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hasil tangkapan nelayan mempunyai akses pasar yang baik. Selain dipasarkan untuk pemenukan kebutuhan masyarakat lokal, hasil tangkapan juga langsung dipasarkan ke daerah terutama kota palu yang dapat di tempuh kurang lebih 3.5 jam perjalanan. Ikan-ikan dengan nilai jual tinggi atau yang mempunyai pasar eksport seperti ikan tuna dan lobster di pasarkan langsung melalui Gorontalo dan atau Surabaya. 4.3.5. Konflik Pemanfaatan dan Keamanan Pembangunan perikaan budidaya laut seperti sistem bagan, kja, dan budidaya rumput laut perkembangannya semakin pesat, akan tetapi juga rawan konflik terutama dalam pemanfaatan ruang di laut. Konflik pemanfaatan yang terjadi di wilayah pesisir kecamatan Ampibabo terutama yang terkait dengan kegiatan budidaya laut yaitu kurangnya informasi yang di peroleh terutama oleh nelayan tangkap tentang kegiatan budidaya. Berdasarkan informasi yang diperoleh di beberapa lokasi yang pernah di lakukan kegiatan budidaya rumput laut, banyak di jumpai tali-tali yang terputus. Di perkirakan oleh karena di lewati oleh perahu nelayan yang melintasi lokasi budidaya. Petani budidaya rumput laut umumnya tidak sepanjang waktu berada di lokasi budidaya, sehingga tidak terpantau. Terutama pada malam hari, banyak perahu-perahu yang melintasi lokasi budidaya. Menurut Usman yang merupakan salah satu nelayan tangkap tradisional yang ada di Desa Tolole, bahwa tidak mengetahui bahwa tali-tali yang ada di perairan merupakan kegiatan budidaya, oleh karena menggagu jalan perahunya maka tali-tali tersebut di potong. Lebih lanjut, Nasrun (nelayan tangkap tradisional Desa Pinotu) mengatakan bahwa, apabila ada informasi mengenai adanya kegiatan budidaya maka mereka akan mencari jalur-jalur yang tidak melintasi lokasi tersebut. Oleh karena itu, pengembangan suatu sektor haruslah juga memperhatikan fungsi-fungsi lainnya yang ada di perairan. Di perlukan pengaturan yang tegas 65 dalam pemanfaatan laut sehingga konflik pemanfaatan tidak terjadi, yang sebenarnya akan merugikan masyarakat setempat. Kondisi seperti yang umumnya terjadi di Kecamatan Ampibabo masih dapat di tanggulangi, dengan memberikan informasi yang jelas terhadap masyarakat atau bahkan melibatkannya dalam kegiatan budidaya laut. Dimasa yang akan datang apabila tidak ada pengaturan yang jelas maka akan menjadi potensi konflik dalam masyarakat. Menurut Malik dkk (2003), konflik dalam pemanfaatan sumberdaya dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah masalah kepentingan. Konflik kepentingan merupakan konflik yang terjadi karena adanya persaingan kepentingan yang dirasakan atau pun yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik ini terjadi karena suatu pihak lebih yakin bahwa untuk memenuhi kebutuhannya pihak lain harus berkorban Umumnya, konflik jenis ini dipicu oleh (1) masalah-masalah mendasar seperti uang, sumberdaya fisik dan waktu, (2) masalah tata cara, seperti sikap dalam menanggapi suatu masalah, (3) masalah psikologis, seperti persepsi, kepercayaan, kehormatan dan keadilan. Faktor penting lain yang perlu di perhatikan dalam kegiatan budidaya laut yaitu keamanan. Jenis usaha yang dikembangkan di perairan pantai ini biasanya sangat dekat dengan aktifitas atau kawasan penduduk sehingga rentan terhadap pencurian. Oleh karena itu, untuk meminimalisir dampak ini perlu dilakukan penjagaan yang rutin. Untuk kegiatan budidaya rumput laut, model penjagaan yang melibatkan anggota keluarga secara bergantian bisa dilakukan, sedangkan untuk kegiatan budidaya sistem KJA membangun rumah jaga dilokasi budidaya merupakan syarat penting karena investasi yang cukup besar. Di Kecamatan Ampibabo, para nelayan pembudidaya sering mengeluhkan kehilangan rumput laut milik mereka pada waktu menjelang panen. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa masyarakat yang pernah membudidayakan rumput laut, mereka tidak pernah memperkirakan sebelumnya akan kehilangan rumput laut yang mereka budidayakan. Para nelayan pembudidaya disibukkan dengan aktifitasnya lainnya di darat untuk bertani dan berkebun pada sianghari dan hanya sewaktu-waktu saja melihat lahan rumput lautnya. Sedangkan pada malam hari tidak dilakukan penjagaan yang rutin. 66 4.3.6. Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Kondisi perekonomian sebagian besar masyarakat nelayan pesisir Kecamatan Ampibabo masih dapat digolongkan menengah ke bawah. Potensi ekonomi yang ada belum termanfaatkan secara optimal. Pengembangan usaha rakyat, khususnya dalam budidaya perikanan dan penangkapan ikan masih mengalami kendala klasik yaitu lemahnya kemampuan permodalan, rendahnya teknologi penangkapan dan pasca panen, kapasitas sumber daya manusia yang sangat rendah dan akses pasar yang sangat terbatas. Hingga saat ini jarang skali ditemukan lembaga ekonomi seperti bank dan koperasi nelayan, sehingga akses modal masih jauh dari jangkauan. Beberapa program pemerintah yang ada selama ini belum membawa arti besar terhadap perubahan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Salah satu program pemerintah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Parimo Moutong pada Tahun 2004 adalah pemberian modal usaha budidaya rumput laut kepada beberapa anggota kelompok nelayan. Kucuran modal yang diterima oleh anggota kelompok nelayan di setiap desa berbeda-beda waktunya, sehingga kegiatan budidaya tidak dilakukan pada bulan yang sama. Budidaya rumput laut yang dilakukan di perairan pantai umumnya tidak berlangsung lama. Beberapa anggota kelompok nelayan yang sudah menerima modal dan melakukan usahanya tidak melanjutkan kegiatannya lagi dikarenakan ketidakberhasilan usaha. Ada yang berhasil panen tetapi bulan berikutnya tidak berjalan dengan baik, tetapi ada juga yang tidak berhasil panen atau rumpu laut mengalami kerusakan. Faktor ekologi dan keamanan merupakan salah satu yang dikeluhkan oleh masyarakat. Banyak rumput laut yang mati sebelum dipanen, dan ada juga yang hilang padahal waktu untuk dipanen sudah dekat. 4.3.7. Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan kebijakan pemerintah dalam penetapan pemanfaatan ruang, sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan dalam perumusan kebijakan. Keluaran dari penyusunan tata ruang sekurang-kurangnya berisi beberapa hal seperti rencana struktur dan pola 67 pemanfaatan ruang, rencana pengelolaan kawasan lindung dan budidaya, rencana pengelolaan pusat kegiatan, kawasan pendukung, dan kawasan tertentu (Widodo, 2005). Pesisir dan laut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah daratan, oleh karena itu perencanaan tata ruang pesisir dan laut penting peranannya dalam pengaturan pola pemanfaatan, rehabilitasi dan konservasi. Pola pengaturan sistem zonasi merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk rencana pengelolaan. Rencana tata ruang merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam merencanakan suatu kawasan. Pengelolaan kawasan budidaya laut di perairan pantai kecamatan Ampibabo secara geografis termasuk dalam wilayah Kabupaten Parigi Moutong, maka rencana tata ruang yang diacu adalah rencana tata ruang kabupaten Parigi Moutong. Didalam RTRW Kabupaten Parigi Moutong wilayah perencanaan secara umum dibagi menjadi dua kawasan yaitu kawasan budidaya dan kawasan lindung. Dari hal tersebut, dokumen rencana pengelolaan wilayah budidaya adalah zona pemanfaatan umum dan wilayah lindung dimasukkan dalam zona perlindungan atau konservasi. Dalam pengelolaan kawasan budidaya laut khususnya budidaya sistem KJA dan rumput laut yang merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir maka digunakan kebijakan pemerintah daerah yaitu rencana Pengelolaan Pesisir dan Laut yang didalamnya juga mengacu pada RTRW Kabupaten. Dalam rencana pengelolaan Pesisir dan Laut yang terutama adalah yang menyangkut dengan rencana zonasi. Penetapan zona pemukiman perkotaan dan pemukiman pedesaan dalam rencana pengelolaan diambil dari RTRW kabupaten yang menetapkan kawasan-kawasan pemukiman. Demikian juga dengan sistem jaringan transportasi (darat dan laut) dalam RTRW disesuaikan juga dalam rencana pengelolaan. Adapun untuk wilayah Kecamatan Ampibabo rencana zonasi wilayah pesisir dan laut lebih jelas dapat dilihat dalam Lampiran . Selain mengacu pada rencana strategis pengelolaan wilayah pesisir dan laut Kabupaten Parigi Moutong, dalam pengelolaan kawasan budidaya laut di Kecamatan Parigi Moutong, juga mengacu pada masterplan pengembangan kawasan budidaya Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam masterplan pengembangan kawasan budidaya zona pengembangan dibagi menjadi 3 wilayah yaitu pada zona 68 I meliputi wilayah bagian laut sulawesi dan atau selat makasar, zona II meliputi wilayah perairan teluk Tomini, dan zona III meliputi wilayah perairan teluk Tolo. Kabupaten Parigi Moutong termasuk kedalam Zona II pengembangan. Berdasarkan identifikasi luasan yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2005, potensi pengembangan kawasan untuk budidaya kerapu sistem KJA di kecamatan Ampibabo seluas 100 Ha, yang terolah barulah 0.08 Ha, sedangkan untuk potensi kawasan untuk budidaya rumput laut seluas 200 Ha dan yang terolah seluas 5 Ha. Selanjutnya, berdasarkan Usulan dinas perikanan dan kelautan Kabupaten Parigi Moutong, luas potensi kawasan untuk budidaya laut di Kecamatan Ampibabo seluas 300 Ha, dengan komoditi yang dibudidayakan seperti kerapu, kakap, teripang, kepiting, dan rumput laut. 4.4. Analisis Kesesuaian Untuk Kegiatan Budidaya Rumput Laut Sistem Longline dan Ikan Kerapu Sistem KJA 4.4.1. Analisis Potensi lahan berdasarkan kriteria kesesuaian lingkungan perairan menggunakan Analisis Spasial dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Pemilihan lokasi yang sesuai untuk budidaya laut di perairan pantai kecamatan Ampibabo didasarkan pada persyaratan lokasi berdasarkan karakteristik lingkungan perairan terutama kualitas fisik, kimia, dan biologi. Dari semua persyaratan lingkungan yang dianalisa, beberapa parameter lingkungan perairan dapat dikategorikan memenuhi kriteria yang disyaratkan. Parameter tersebut tinggi gelombang, muatan padatan tersuspensi (MPT), kekeruhan, pH, kecerahan perairan, amonia (NH3), nitrat (NO3), fosfat (PO4), biological oxygen demand (BOD), oksigen terlarut (DO), dan bioindikator kesuburan perairan (fitoplankton). Beberapa parameter penting dimasukkan dalam kriteria analisis kesesuaian lahan dengan SIG. Parameter tersebut di tentukan selain berdasarkan kondisi lokasi pengamatan juga mangadopsi dari kriteria parameter kesesuaian yang telah di lakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Parameter yang menjadi pengaruh dominan memiliki faktor pembobot yang paling besar, sebaliknya dengan 69 parameter yang kurang dominan memiliki faktor mebobot yang lebih kecil. Matriks kesesuaian untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA dan budidaya rumput laut sistem longline jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14 dan Tabel 15. A. Kesesuaian untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA Berdasarkan kondisi lingkungan fisik dan kimia perairan laut yang telah di uraikan tersebut di atas dan dari hasil pembobotan dan skoring yang dilakukan, maka lokasi yang sangat sesuai (S1) untuk budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung yaitu sebesar 1615.154 Ha. Luas lokasi yang sesuai (S2) atau mempunyai beberapa faktor pembatas dalam mengusahakannya sebesar 946.698 Ha, sedangkan luas lokasi yang tidak sesuai (N) atau tidak bisa dilakukan usaha budidaya sebesar 11456.705 Ha (Gambar 15). Tabel 14. Matriks kriteria kesesuaian perairan untuk budidaya kerapu sistem KJA No 1 2 3 Parameter Keterlindungan Kedalaman (m) Kecepatan arus (m/dtk) Bobot S1 Skor 10 Terlindungi 30 10 10 - 30 30 9 0.1 - 0.35 4 Substrat dasar 9 5 Kecerahan (%) Oksigen terlarut (mg/l) 8 Karang, Pasir dan pecahan karang > 75 8 >6 7 Salinitas (ppt) 4 30 - 35 8 Suhu (oC) 4 25 - 31 6 Total 62 S2 Agak terlindungi 7 - 9 atau 31 - 40 Skor 27 0.05 - 0.09 18 27 Pasir, sedikit berlumpur 24 24 12 12 0 186 N Tidak terlindungi <7&> 40 < 0.05 & > 0.35 Skor 18 Lumpur 9 50 - 75 16 < 50 8 5-6 16 <5 8 8 < 29& > 35 4 8 < 20 & > 35 20 - 29 20 - 24 atau 32 35 0 20 20 124 10 10 9 4 62 Sumber : Dimodifikasi dari FAO 1989, Bakosurtanal dan LPPM-IPB 2005, dan Sosealisa 2005 B. Kesesuaian untuk budidaya rumput laut sistem longline Untuk kegiatan budidaya rumput laut memerlukan kriteria parameter fisik dan lingkungan yang secara umum tidak terlalu berbeda. Perbedaan budidaya komoditi ini dengan kegiatan budidaya ikan kerapu adalah pada pengaruh parameter yang merupakan faktor pembatas utama atau lebih dominan. Parameter 70 kecerahan perairan, kandungan nitrat dan nitrit, serta kecepatan arus menjadi parameter pembatas utama sehingga diberi bobot yang lebih tinggi. Selain itu, mengingan kondisi geografis wilayah perairan pesisir Kecamatan Ampibabo yang banyak terdapat muara-muara sunga, maka untuk mencegah terjadinya perubahan salinitas yang drastis serta masuknya sedimen maka pada setiap muara di buat buffer. Adapun kriteria kesesuaian perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15 berikut ini : Tabel 15. Matriks kriteria kesesuaian perairan untuk budidaya rumpu laut sistem longline NO 1 Parameter Kecerahan (%) 2 Bobo t Sko r S1 S2 Skor 10 > 75 30 50 - 75 20 Nitrat (mg/l) 10 0.01-0.7 30 0.8-1.0 20 3 Fosfat (mg/l) 10 0.003-0.03 30 20 4 Kecepatan arus (m/dtk) 9 0.2 - 0.3 0.04-0.1 0.1 - 0.19 atau 0.300.4 27 Karang, Pasir dan pecahan karang 24 24 5 Substrat dasar 6 Salinitas (ppt) 8 28 - 34 Suhu (oC) 8 25 - 30 6 5-8 4 >5 7 8 9 10 Kedalaman (m) Oksigen terlarut (mg/l) Buffer Total 8 Pasir, sedikit berlumpur 16 24 18 9 -15 12 16 3-4 >900& >1500 0 18 237 <50 <0.01 & >1.0 <0.003 & >0.1 10 10 10 < 0.1 & > 0.4 9 Lumpur 8 < 28 & > 36 8 < 20 & > 35 8 < 5 & > 15 6 <3 4 16 35 - 36 20 - 24 atau 31 - 35 12 6 79 18 Sko r N 8 >600& >1000 0 12 158 <300 &< 500 0 4 77 Sumber : Modifikasi dari Mubarak dkk 1990, FAO 1989, dan Ditjenperbud-DKP 2005 Berdasarkan hasil analisis menggunakan SIG, di perairan Pantai Kecamatan Ampibabo terdapat lokasi yang sangat sesuai (S1) untuk budidaya rumput laut sebesar 592.881 Ha. Lokasi perairan yang sangat sesuai umumnya berada diperairan yang relatif lebih dangkal. Luas lokasi yang sesuai (S2) akan tetapi dengan beberapa faktor pembatas yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan usaha budidaya sebesar 8633.194 Ha, dan lokasi yang tidak sesuai 71 (N) sebesar 5093.225 Ha (Gambar 16). Sebagaimana di ketahui, kegiatan budidaya rumput laut relatif ramah lingkungan, sehingga pengembangannya memungkinkan untuk memanfaatkan lokasi yang berpotensi, akan tetapi penting juga untuk memperhatikan alokasi pemanfaatan lahan lain di wilayah perairan pesisir. 4.4.2. Kawasan Budidaya Laut di Kecamatan Ampibabo Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pemanfaatan kawasan budidaya laut terutama untuk kegiatan budidaya rumput laut dan ikan kerapu sistem KJA, di perairan pantai Kecamatan Ampibabo, maka di buat suatu analisis spasial yang bertujuan untuk rencana pengelolaan kawasan budidaya laut dalam hal penataan ruang kawasan budaya laut. Berdasarkan hasil anlisis SIG diperoleh luasan kawasan budidaya ikan kerapu sistem KJA sebesar 1615.154 Ha dan luasan kawasan budidaya rumput laut sebesar 925.881 Ha (Gambar 17). Lebih lanjut diketahui bahwa perairan pantai Kecamatan Ampibabo yang berpotensi untuk pengembangan kawasan budidaya laut sebesar 2541.035 Ha, yang di kategori sebagai sangat sesuai . Perlu untuk menjadi perhatian akan pentingnya pengembangan usaha budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, maka potensi yang ada tidak di manfaatkan secara keseluruhan. Oleh karena itu penting untuk diketahui luasan yang efektif untuk kawasan budidaya rumput laut dan ikan kerapu, dengan mempertimbangkan pemanfaatan lain seperti kawasan perlindungan, unitilitas budidaya, jalur pelayaran, pelabuhan, dan aktifitas perikanan tangkap. Lebih lanjut, berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa luas efektif kawasan budidaya di Kecamatan Ampibabo sebesar 508.207 Ha atau 20% dari luas kawasan potensial. 4.4.3. Kelayakan Usaha Budidaya A. Kelayakan Usaha Budidaya Kerapu Sistem KJA Kegiatan budidaya ikan kerapu yang ada di kecamatan Ampibabo belumlah banyak dilakukan. Kondisi tersebut disebabkan belum banyaknya informasi yang di terima serta keterbatasan modal masyarakat mengenai kegiatan 72 usaha terutama pembesaran ikan kerapu. Satu-satunya kegiatan pembesaran ikan kerapu yang ada di wilayah ini adalah yang berada di Desa Marantale. Jenis ikan kerapu yang dibudidayakan yaitu kerapu macan. Kegiatan ini salah satu kegiatan kerjasama antara Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong, dengan masyarakat setempat. Kegiatan yang baru dimulai pada Tahun 2005 ini harapkan dapat menjadi percobaan sekaligus contoh untuk pengembangannya di wilayah ini. Dibandingkan dengan budidaya rumput laut, budidaya keramba jaring apung membutuhkan modal yang besar dan tingkat teknik budidaya yang relatif lebih sulit. Budidaya pembesaran ikan kerapu memerlukan investasi awal yang terdiri dari jaring apung, perahu katinting, lampu petromaks, serta rumah jaga. Biaya investasi yang di butuhkan sebesar Rp. 13.150.000,00. Pada kegiatan ini, digunakan sebanyak 4 kantong jaring apung, sehingga biaya operasional yang dibutuhkan sebesar Rp. 34.070.000,00 Komponen biaya operasional tersebut terdiri dari biaya tetap sebesar Rp. 1.150.000,00 dan biaya variabel sebesar Rp. 32.920.000,00. Biaya tetap terdiri dari biaya peralatan produksi dan perawatan, sedangkan biaya variabel terdiri dari biaya pakan, benih, tenaga kerja, dan bahan bakar minyak. Selain itu, dalam usaha budidaya juga dimasukkan bunga modal sebesar 2% yang dibayarkan dalam setiap panennya sebesar Rp. 9.444.000,00. Gambar 15. Peta kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA Gambar 16. Peta kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut sistem longline Gambar 17. Peta kesesuaian kawasan budidaya laut (rumput laut dan ikan kerapu) B. Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut Di Kecamatan Ampibabo terdapat beberapa kelompok nelayan pembudidaya yang berada di beberapa desa. Masing-masing anggota mempunyai tanggungjawab pada usahanya masing-masing. Modal awal yang di miliki oleh setiap anggota bersumber dari pemerintah dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong, dengan harapan dapat di jadikan salah satu sumber pendapatan masyarakat setempat. Analisis usaha yang dilakukan terhadap kegiatan budidaya rumput laut skala rumah tangga (satuan KK) memperlihatkan keuntungan yang cukup tinggi. Rumput laut dapat dipanen setelah 45 hari sejak masa tanam (1,5 bulan). Dalam setiap tahunnya kegiatan produksi dapat dilakukan dalam 6 kali siklus penanaman. Untuk satu unit kegiatan budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii seluas 1000 m2 menggunakan sistem tali panjang di perlukan modal sebesar Rp. 2.491.500,00. Modal tersebut terdiri dari biaya sarana produksi tahan lama sebesar Rp. 1.666.500,00 dan biaya variabel untuk setiap siklusnya sebesar Rp. 1.735.200,00. Harga jual rumput laut di Kecamatan Ampibabo berkisar antara Rp. 3500 - Rp. 4000 per Kg kering. Berdasarkan sumber data yang di peroleh, pada saat ini harga rumput laut kering per Kg kering di tingkat petani adalah Rp. 3500. Dalam setiap satu siklus panen rumput laut di peroleh keuntungan sebesar Rp. 1.837.500,00. Rumput laut yang ada di Kabupaten Parigi Moutong, umumnya di bawa ke Provinsi Gorontalo untuk kemudian melalui proses pembersihan dan lebih lanjut di kirim ke Surabaya oleh pedagang-pedagang yang ada di Provinsi Gorontalo. Dari Surabaya kemudian rumput laut kering tersebut didistribusikan ke berbagai industri pangan, kosmetik, obat-obatan dan sebagian di eksport ke berbagai negara. Hasil produksi sebesar 535 kg kering rumput laut per tahun maka penerimaan kotor yang di terima oleh petani sebesar Rp. 7.523.900,00. Lebih lanjut, prospek pengembangan usaha budidaya rumput laut dikaji menggunakan cashflow selama 10. Dengan discount factor 16% di peroleh NPV sebesar Rp. 36.845.143,00 dan nilai Benefit Cost Ratio sebesar 3.24. Berdasarkan hasil tersebut di ketahui bahwa, investasi untuk rumput laut memberikan manfaat bersih 3.24 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan (nilai B/C >1). Oleh karena itu 39 berdasarkan hasil kriteria investasi yang terdiri dari NPV dan Benefit Cost Ratio, secara finansial kegiatan investasi pada usaha budidaya rumput laut layak untuk dikembangkan (Lampiran 6). 4.5. Sustainable Livelihood Approach (SLA) Sumberdaya perairan pesisir dan laut di Kecamatan Parigi Moutong memiliki peluang untuk dikembangkan, terutama untuk kegiatan budidaya laut khususnya untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu. Akan tetapi, untuk mengembangkan suatu kawasan perairan diperlukan perencanaan yang termaksud didalamnya adalah mengetahui seberapa besar potensi yang ada di kawasan tersebut untuk kedepannya dapat dimanfaatkan. Potensi perikanan budidaya yang ada di Kecamatan Ampibabo seperti yang sudah digambarkan diatas, diharapkan dimasa akan datang dalam pengelolaannya haruslah juga memperhitungkan segenap aspek yang terkait sehingga keberlanjutan sumberdaya dan ekosistem yang ada tetap terjaga. Aspek-aspek tersebut diantaranya aspek ekologis, sosial, teknologi, dan sumberdaya manusia. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil yang diharapkan maka diperlukan suatu arahan pengelolaan kawasan budidaya laut yang dalam hal ini dilakukan dengan pendekatan Sustainable Livelihood untuk mendapatkan keluaran yang bermanfaat bagi keberlanjutan mata pencaharian masyarakat. Pendekatan SLA dilakukan dengan melihat kondisi rentan yang terdapat di lingkungan masyarakat. Hal ini penting untuk diketahui karena akan berdampak pada kelangsungan mata pencaharian dan kehidupan masyarakat. Adapun faktorfaktor yang memberikan kontribusi pada kondisi kerentanan sebagaimana pada Tabel 15 dibawah ini : Tabel 15. Faktor-faktor yang memberikan kontribusi pada kondisi kerentanan Kecenderungan • Berkurangnya stok sumberdaya perikanan • Meningkatnya angka kemiskinan • Menurunnya permintaan pasar • Meningkatnya Goncangan • Konflik pemanfaatan sumberdaya • Penularan penyakit dalam masyarakat dan kelompok • Dampak dari adanya perang Musim • Isu mengenai adanya musim penyakit • Adanya musim penyakit yang menyerang komoditi perikanan • Adanya musim 40 degradasi lingkungan (hilangnya ekosistem manggrove,hilangnya keanekaragaman hayati, hancurnya habitat) permintaan jenis ikan tertentu • Adanya musim dimana banyak tenaga kerja upahan Sumber : Modifikasi dari Campbel 1999 Kontrol dari pemerintah melalui kebijakan yang ada dapat dijadikan aturan sehingga akan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh kondisi kerentanan tersebut. Selain itu, pelibatan sektor swasta dan masyarakat setempat juga menjadi unsur penting didalamnya. SLA dimulai dengan memahami apa kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat serta bagaimana untuk membangun hal tersebut dan SLA merujuk pada kekuatan itu seperti modal aset. Terdapat lima tipe modal aset yaitu manusia, sosial, sumberdaya, fisik, dan finansial. Adapun Pendekatan Sustainable Livelihood yang dimodifikasi dari Campbell (1999), jelasnya dapat di lihat pada Tabel 16. Tabel 16. Konsep Pendekatan dalam Sustainable Livelihood, modifikasi dari Campbell (1999) Aset Livelihood Livelihood Strategi Modal Sumberdaya: • Kualitas perairan (fisik, kimia dan biologi) • Sumberdaya perikanan • Ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove dan lamun) • Potensi sumberdaya alam lainnya seperti lahan pertanian, kebun, dan hutan Modal Sosial : • Kelompok masyarakat • Hubungan antar masyarakat dan kelompok • Konflik pemanfaatan • Kekeluargaan Modal Fisik : • Pelabuhan • Transportasi dan pasar • Energi • Pengolahan • Teknologi budidaya (sistem dan management budidaya) Sumberdaya : • Mempertahankan kualitas perairan • Mengoptimalkan hasil budidaya • Menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan rehabilitasi • Sebagai sumber mata pencaharian dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup Sosial : • Menjaga hubungan yang baik antar kelompok masyarakat • Memperluas jaringan perdagangan • Menciptakan hubungan yang dilandaskan atas kekeluargaan Fisik : • Peningkatan fasilitas infrastruktur penunjang sektor perikanan • Investasi di bidang pengolahan perikanan • Akses terhadap informasi teknologi budidaya 41 Aset Livelihood Modal Manusia : • Keterampilan • Pendidikan dan Kesehatan Modal Finansial : • Ketersediaan Kredit • Tabungan dan Asuransi Livelihood Strategi Manusia : • Mempertahankan • Peningkatan keterampilan melalui pelatihan dalam hal kemampuan teknik budidaya, pengolahan, dan management kredit. • Oleh pemerintah melalui kebijakan dalam peningkatan tingkat pendidikan dan kesehatan Finansial : Penguatan modal usaha oleh pemerintah dan perbankan Berdasarkan konsep pendekatan Sustainable Livelihood diatas, maka dapat dibuat suatu rencana pengelolaan bagi keberlanjutan matapencaharian masyarakat pesisir Kecamatan Ampibabo adalah sebagai berikut : Tabel 17. Rencana pengelolaan kawasan budidaya laut Aset Rencana Pengelolaan Pelaksana Modal Sumberdaya - Penataan kawasan budidaya laut - Menjaga keberlanjutan sumberdaya pesisir Pemerintah dan masyarakat Modal Sosial - Memperkuat kelembagaan sosial dan ekonomi seperti koperasi nelayan dan kelompok nelayan Pemerintah, masyarakat, dan swasta Modal Fisik - Pembangunan infrastruktur - Akses pasar Pemerintah, dan swasta Modal Finansial - Penguatan modal melalui pemberian kredit - Membentuk lembaga keuangan mikro - Membentuk lembaga pinjam kredit Pemerintah, swasta, dan masyarakat 4.5.1. Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya Laut (Budidaya Rumput Laut dan Ikan Kerapu). A. Penataan kawasan budidaya laut Berbagai aktivitas manusia dalam pemanfaatan lahan di wilayah pesisir mulai dari kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, daerah perlindungan dan atau konservasi, pemukiman, aktivitas pelabuhan, dan industri. Setiap 42 kegiatan tersebut mempunyai ruangnya masing-masing, sehingga apabila tidak ada suatu kebijakan penataan kawasan, maka akan berdampak kepada keberlanjutan setiap kegiatan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu melalui kegiatan Coastal Resources Management Project (MCRMP) dengan melakukan rencana zonasi di lingkungan pesisir. Langkah ini merupakan cara untuk mengurangi konflik pemanfaatan yang berada di lingkungan pesisir, dengan menentukan zona untuk masing-masing kegiatan. Untuk wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong, dengan panjang garis pantai 56.25 km terdapat berbagai aktivitas masyarakat yang memanfaatkan kawasan ini. Berbagai aktivitas seperti perikanan tangkap, budidaya laut, budidaya tambak, pemukiman penduduk, pelabuhan, dan rencana pembangunan industri hasil perikanan kedepannya perlu menjadi perhatian terutama dalam pengaturan penggunaan lahan. Kebijakan pemerintah untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya dan berbagai aktifitas di wilayah pesisir melalui peraturan daerah (PERDA) tentang tata ruang wilayah pesisir yang di dalamnya mencakup zonasi kawasan dimasa mendatang untuk segera realisisikan keberadaannya. Untuk mewujudkan suatu rencana tata ruang yang dapat diterapkan maka diperlukan pelibatan masyarakat dan segenap stakeholders dalam penyusunannya. Hal tersebut dilakukan agar didalam pelaksanaannya kelak tidak ada yang merasa diuntungkan dan atau dirugikan dengan adanya aturan yang ada, sehingga setiap kegiatan dapat berjalan dengan baik tanpa mengganggu kegiatan yang lainnya. Kegiatan budidaya laut merupakan salah satu kegiatan yang memanfaatakan kawasan pesisir khususnya perairan pantai. Tidak semua perairan pantai yang ada di wilayah pesisir dapat dimanfaatkan menjadi kawasan budidaya laut. Berdasarkan hasil identifikasi dan anlisis spatial yang dilakukan, beberapa perairan pantai Kecamatan Ampibabo berpotensi untuk dilakukannya budidaya rumput laut khususnya jenis Eucheuma sp dan ikan kerapu dalam keramba jaring apung. Dari hasil analisis spatial diperoleh luas total perairan potensial untuk dikembangkan sebesar 2541.035 Ha, masing-masing 1615.154 Ha untuk area budidaya ikan kerapu sistem KJA, dan 925.881 Ha untuk areal budidaya rumput 43 laut sistem longline. Adapun beberapa hal penting lainnya yang menjadi perhatian dalam penataan kawasan budidaya laut adalah sebagai berikut : a. Pengaturan jalur pelayaran nelayan tangkap traditional Hal ini terutama untuk mencegah terjadinya konflik pemanfaatan antara nelayan budidaya dan nelayan tangkap. Kondisi tersebut pernah dialami oleh beberapa nelayan yang pernah membudidayakan rumput laut di beberapa Desa di Kecamatan Ampibabo. Lokasi budidaya laut yang umumnya dekat dengan bibir pantai dinilai sangat sesuai, selain faktor lingkungan juga menguntungkan dari aksebilitasnya. Akan tetapi lokasi-lokasi budidaya tersebut tidak menutup kemungkinan merupakan jalur pelayaran nelayan tangkap traditional. Oleh karena itu diperlukan pengaturan jalur pelayaran, sehingga jelas bagi kedua kepentingan tersebut dalam melaksanakan kegiatannya masing-masing. Pengaturan oleh pemerintah setempat mengenai hal ini, hendaknya disertai dengan sosialisasi sehingga dalam pelaksanaannya, masyarakat dan investor mengetahui dengan lokasi-lokasi yang tempat untuk aktivitas kegiatan budidaya yang aman dari jalur pelayaran. b. Kawasan budidaya laut yang terhindar dari muara-muara sungai Di wilayah pesisir pantai Kecamatan Ampibabo dijumpai beberapa jenis sungai yang sifatnya musiman. Sungai-sungai tersebut umumnya mempunyai suplai air yang relatif sedikit. Akan tetapi, pada musim tertentu atau hujan di wilayah hulu, akan dijumpai kondisi dimana air yang masuk ke sungai disertai lumpur sangat banyak, sehingga diperkirakan akan mempengaruhi kegiatan budidaya yang ada didekat muara sungai. Oleh karena itu, untuk menghindari dampak yang ditimbulkan akibat penurunan salinitas air laut serta penurunan tingkat kecerahan sehingga menyebabkan kematian pada komoditas budidaya, maka dalam arahan kawasan budidaya hendaklah jauh dari muara-muara sungai, baik sungai besar maupun kecil. c. Terhindar dari aktivitas pelabuhan dan industri perikanan Dalam merencanakan suatu kawasan budidaya laut, tidak dapat dihindari keberadaan aktivitas lain yang ada di wilayah tersebut. Memberikan ruang untuk pemanfaatan seperti pelabuhan, industri perikanan dan areal pemukiman penduduk terutama yang dekat dengan bibir pantai. Di Kecamatan 44 Ampibabo terutama di Desa Marantale, terdapat satu tempat pendaratan ikan (pelabuhan) yang menjadi tempat bagi nelayan-nelayan tangkap untuk mendaratkan hasil tangkapannya. Pada pagi dan sore hari aktivitas di pelabuhan ini meningkat, akan banyak kapal dan perahu nelayan yang masuk. Selain pelabuhan, di Desa Marantale juga di rencanakan akan dibangun industri pengolahan perikanan sehingga akan semakin meningkatkan aktivitas terutama lalu lintas kapal yang melewati perairan tersebut. Kedua kawasan tersebut penting menjadi perhatian, sehingga dalam pemanfaatan perairan untuk budidaya laut, untuk menghindari areal yang dekat dan masih dipengaruhi oleh kedua kegiatan tersebut. Hasil analisis potensi lahan perairan bagi kegiatan budidaya rumput laut dan ikan kerapu sistem, diharapkan dapat menjadi masukan dalam penetapan kawasan budidaya laut sebagai salah satu bagian dalam penataan wilayah pesisir dan bahkan dimasukkan ke dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Parigi Moutong. Dengan adanya penataan kawasan wilayah pesisir yang didalamnya termasuk kawasan budidaya laut, diharapkan tidak terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo. B. Menjaga Keberlanjutan Sumberdaya Pesisir Sumberdaya alam merupakan modal utama dalam mengembangkan suatu sektor pembangunan. Untuk sektor perikanan budidaya laut khususnya, kualitas perairan merupakan syarat utama bagi keberlangsungan kegiatannya. Oleh karena itu, penting untuk menjaga kualitas perairan agar tidak mengurangi fungsi dari perairan itu sendiri terutama untuk perikanan budidaya. Peningkatan aktivitas manusia baik yang berada di dekat pantai atau yang berada di daratan berdampak pada lingkungan perairan laut. Dampak yang ditimbulkan terutama berasal dari buangan limbah yang masuk ke perairan. Di Kecamatan Ampibabo berdasarkan hasil identifikasi, hinga saat ini umumnya perairannya masih dalam kondisi yang masih baik atau belum tercemar. Akan tetapi perlu untuk menjadi perhatian, agar dimasa mendatang dengan semakin meningkatnya aktivitas masyarakat dan kegiatan industri, tidak menjadi 45 permasalahan yang akan mengganggu keberlanjutan sumberdaya yang ada di wilayah ini. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan adalah : 1. Memperhatikan daya dukung lingkungan perairan untuk kegiatan budidaya laut Pengembangan kegiatan budidaya laut untuk komoditi ikan kerapu khususnya secara berkelanjutan haruslah disesuaikan dengan kapasitas daya dukung lingkungan. Budidaya ikan kerapu sistem KJA berpotensi menghasilkan limbah organik dan apabila tidak dikelola dengan baik akan membahayakan kelangsungan kegiatan budidaya itu sendiri. Jika kegiatan budidaya laut terus berkembang di wilayah Kecamatan Ampibabo, tidak menutup kemungkinan dalam jangka waktu tertentu perairan akan mengalami penurunan kualitas karena keterbatasan lingkungan untuk secara alami mengasimilasi limbah organik. Oleh karena itu agar kegiatan budidaya laut khususnya budidaya ikan sistem KJA tetap berkelanjutan maka perlu untuk mengelola lingkungan. 2. Kegiatan monitoring kualitas perairan Kegiatan budidaya laut dan berbagai aktivitas lainnya yang dilakukan di perairan pesisir akan menyebabkan berbagai perubahan kualitas perairan. Untuk menjaga kondisi perairan agar dapat terus dimanfaatkan, perlu dilakukan kegiatan monitoring secara teratur. Kegiatan ini merupakan kewenangan pemerintah setempat melalui Badan Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong, serta dinas lain yang terkait. Untuk mengetahui fluktuasi kualitas perairan pantai Kecamatan Ampibabo agar menunjang kegiatan budidaya laut. perlu dilakukan kegiatan monitoring secara berkala (teratur). Adapun tujuan dari monitoring disamping untuk mengetahui kualitas perairan yang layak untuk budidaya laut adalah untuk mencegah kematian ikan secara massal dan akan mengakibatkan kerugian pembudidaya ikan. Parameter kunci yang harus dimonitor memang berbeda untuk kepentingan setiap komoditi budidaya. Namun secara umum dapat digeneralisir 46 untuk persyaratan hidup biota laut dan kepentingan budidaya. Beberapa parameter kunci yang harus di monitor dari sisi kualitas air diantaranya salinitas, DO, ammonia, nitrat, pH, suhu, kandungan ammonia pada sedimen dan lumpur. 3. Mempertahankan dan mengelola ekosistem Di beberapa lokasi pantai Kecamatan Ampibabo dapat ditemukan tipe ekosistem seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Oleh karena penting bagi berbagai pihak terutama pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mempertahankan dan mengelola ketiga ekosistem itu. Untuk ekosistem mangrove misalnya, pemerintah dalam hal ini, dapat melakukan program rehabilitas melalui penanaman kembali, terutama pada daerah-daerah yang sudah rusak kondisinya. 4. Pengaturan areal pemukiman dan sistem sanitasinya Umumnya pemukiman yang berada di wilayah pesisir tidak memperhitungkan dampak yang akan ditimbulkan. Pemukiman penduduk yang dibangun sangat dekat dengan bibir pantai. Kondisi tersebut umumnya dijumpai pada pemukiman masyarakat nelayan yang erat hubungannya dengan aksebilitas. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan agar dampak terhadap lingkungan perairan dan ekosistem pesisir dapat diminimalisir antara lain : (1) Mengembangkan pembangunan pemukiman lebih kerah dararan; (2) pemukiman yang relatif dekat dengan pantai arah depan rumah menghadap ke pantai; (3) mempertahankan dan membuat green belt dalam hal ini mangrove di pesisir dengan ketebalan 250 – 300 meter untuk mencegah kerusakan pemukiman akibat badai dan pasar air laut yang tinggi; (4) sosialisasi pemerintah terhadap masyarakat mengenai bangunan rumah yang memenuhi persayaratan sanitasi; dan (5) mengembangkan sistem septic tank di setiap rumah masyarakat untuk pembuangan tinja manusia dengan jarak sumur diusahakan 5 – 10 meter. C. Memperkuat kelembagaan sosial dan ekonomi masyarakat Kelembagaan sosial seperti kelompok-kelompok nelayan yang sudah ada hendaknya dipertahankan dan lebih diperkuat keberadaannya sehingga, posisi untuk tawar-menawar dengan pihak lain (pemerintah dan swasta) dan aksesnya terhadap sumber modal ekonomi juga lebih mudah. Memperkuat keberadaan kelembagaan sosial yang ada dapat dilakukan dengan memberikan status hukum. 47 Salah satu contoh pemberian status hukum yaitu dengan membentuk lembaga ekonomi seperti koperasi. Dengan adanya koperasi, diharapkan masyarakat dapat akses terhadap modal terutama perbankan dan aspek ekonomi seluruh anggotanya dapat mengelola usahanya dengan baik. E. Pembangunan infrastruktur Infrastruktur merupakan modal yang diperlukan untuk mendukung kegiatan usaha budidaya laut. Beberapa infrastruktur yang penting bagi kegiatan perikanan budidaya yang langsung maupun kurang nyata keberadaannya antara lain pelabuhan dan jeti, pabrik es, pembenihan, jalan, perumahan, sekolah, supply air, klinik kesehatan, listrik dan pasar. Selain oleh pemerintah daerah maupun pusat, pemenuhan infrastruktur pendukung juga dapat dipenuhi melalui sektor swasta terutama yang berinvestasi di bidang perikanan. Kondisi yang yang ada di Kecamatan Ampibabo dimana beberapa infrastruktur telah cukup memadai seperti pelabuhan, listrik, pasar, akses jalan, pabrik es, prasarana kesehatan, dan pasar. Akan tetapi infrastruktur yang sifatnya langsung bagi kegiatan budidaya laut seperti teknologi pembenihan untuk menyediakan bibit yang baik masih belum tersedia. Selama ini benih untuk budidaya ikan kerapu khususnya untuk wilayah Kabupaten Parigi Moutong dan sekitarnya masih berasal dari Gondol, Bali. Padahal sebagaimana diketahui untuk keberlangsungan kegiatan budidaya (bukan hanya pembesaran) bibit atau benih yang baik sangat penting. Untuk itu, langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah adalah mengupayakan pembangunan Balai Penelitian Teknologi Budidaya Laut, sehingga tidak hanya menghasilkan bibit atau benih unggulan akan tetapi senantiasa mengikuti perkembangan teknologi budidaya. Hal itu dapat dilakukan apabila keinginan pemerintah untuk sungguh-sungguh mengembangkan sektor perikanan budidaya laut di wilayah ini menjadi unjung tombak dalam mensejahterakan masyarakat dan pendapatan bagi daerah. Selain itu kerjasama dengan pihak swasta juga merupakan salah satu langkah tepat yang dapat dilakukan. F. Memperkuat akses terhadap pasar 48 Sebelum memilih komoditas yang akan dibudidayakan, perlu diketahui terlebih dahulu pasar yang akan menjadi target komoditi yang akan dikembangkan. Pemilihan komoditi rumput laut dan ikan kerapu sebagai komoditi unggulan untuk dikembangkan merupakan langkah yang tepat. Ikan kerapu hingga saat ini masih memiliki nilai jual yang cukup tinggi terutama untuk pasar eksport. Harga kerapu macan ditingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000 – 100.000/kg dan sekitar US$ 12-17 di hongkong tergantung ukuran ikan (DKP, 2006). Sedangkan untuk rumput laut dalam hal ini jenis Eucheuma cottonii terutama banyak dimanfaatkan dalam industri makanan dan kosmetika, sehingga permintaan akan komoditi ini cenderung tetap ada. Oleh karena permintaan pasar yang cukup besar, sehingga peningkatan akan mutu produk yang dihasilkan juga harus menjadi perhatian. Untuk pasar eksport ikan kerapu misalnya, beberapa kriteria yang menjadi prasarat antara lain ukuran konsumsi, teknik produksi yang mengikuti trend di pasar dunia yaitu ramah lingkungan, tekanan konsumen (bebas bakteri dan penggunaan antibiotik), dan implementasi HACCP. Apabila beberapa prasyarat yang diinginkan pihak konsumen terpenuhi, maka tinggal bagaimana mempertahankan kondisi lingkungan agar usaha budidaya tetap berkelanjutan. G. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi Penguasaan mengenai management usaha dan teknologi budidaya merupakan syarat penting bagi keberhasilan kegiatan budidaya laut. Untuk kegiatan budidaya ikan kerapu misalnya, penting untung peguasaan teknik budidaya mulai dari penyebaran benih, pemberian pakan, perawatan alat, hingga pengamatan kesehatan ikan dan kulitas air. Demikian halnya juga untuk kegiatan budidaya rumput laut, pengetahuan untuk menghasilkan kualitas rumput laut yang baik, pencegahan dari predator dan penyakit, serta teknologi pasca panen perlu diketahui oleh masyarakat. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi ke masyarakat dapat dilakukan oleh pemerintah melalui pelatihan. Selain mengenai management lahan budidaya, pelatihan tentang management usaha juga perlu dilakukan agar masyarakat bisa lebih mengembangkan usahanya. Pihak swasta dalam hal ini juga punya peranan 49 yang cukup penting. Investasi di bidang budidaya laut membutuhkan perencanaan yang baik. Oleh karena itu penguasaan teknologi budidaya tidak lagi dapat diragukan. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk dapat mentransfernya ke masyarakat lokal baik dengan pelatihan, maupun aplikasi langsung dalam kegiatan tersebut dengan sistem plasma. H. Penguatan modal usaha melalui kredit Berdasarkan tingkat perekonomian, mayarakat nelayan selama ini dikenal sebagai masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang cukup rendah. Sesungguhnya hal tersebut tidak akan terjadi apabila masyarakat khususnya nelayan diberikan akses terhadap modal usaha untuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Modal diperlukan untuk membeli sarana produksi. Untuk kegiatan budidaya rumput laut sistem tali panjang misalnya, dalam satu siklus panen diperlukan modal sebagai biaya produksi sebesar Rp 2.491.000,00 untuk menghasilkan 529 kgrumput laut dengan keuntungan mencapai Rp 654.000,00. Sedangkan untuk kegiatan budidaya ikan kerapu sistem KJA yang modal yang diperlukan relatif sangat besar. Untuk memproduksi ikan kerapu macan dengan berat perekor 0.5 kg sebanyak 4 ton, diperlukan biaya produksi sebesar Rp. 442.000.000,00 dan keuntungan yang akan diperoleh sebesar Rp. 122.0000,00 (DKP, 2006). Di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo, salah satu penyebab belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya perairan untuk kegiatan budidaya laut yaitu akses terhadap modal usaha. Selama ini masyarakat hanya tergantung pada pemberian modal usaha perikanan oleh pemerintah padahal pemerintah tidak dapat terus-menerus menyediakan. Kondisi yang terjadi pada Tahun 2005 di mana dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Parigi Moutong berupa pemberian modal usaha kegiatan Budidaya Eucheuma Cottonii tidak berkelanjutan, akibat dari tidak adanya manajemen usaha masyarakat untuk keberjanjutan usaha, selain dari faktor lingkungan seperti yang sudah dijelaskan. Kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Perikanan dan Kelautan untuk mendorong meningkatnya sektor perikanan budidaya laut melalui kerjasama dengan perbankan nasional telah dilakukan sehingga memberikan 50 angin segar untuk berkembangnya usaha budidaya laut. Diharapkan dimasa akan ditasng tidak hanya untuk usaha skala besar saja yang dapat akses terhadap modal perbankan akan tetapi masyarakat terutama masyarakat nelayan. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan selain modal perbankan, sehingga masyarakat dapat turut serta dalam melakukan kegiatan budidaya laut adalah dengan menciptakan iklim investasi yang baik bagi para investor terutama di daerah. Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong diharapkan melakukan hal tersebut, karena dengan adanya investasi masyarakat lokal disekitarnya juga akan tergerak perekonomiaannya. Salah satu contoh pelibatan masyarakat lokal adalah dengan menciptakan sistem usaha budidaya laut yang sifatnya plasma, sehingga dimasa akan datang masyarakat dimungkinkan untuk mandiri dalam usahanya. I. Membentuk lembaga keuangan mikro dan Lembaga Penjamin Kredit Aksesibilitas nelayan terhadap lembaga keuangan Bank sangat terbatas mengingat kondisi nelayan Indonesia masih non bankable sehingga ketergantungan mereka terhadap rentenir sangat tinggi, dalam hal ini peran serta pemerintah sangat diharapkan dengan membentuk suatu lembaga keuangan mikro dipedesaan seperti Bank Perkereditan Rakyat (BPR) dan Ventura, akan tetapi dalam perjalannya kedua bank ini telah keluar dari konsep awalnya. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, peran pemerintah daerah baik Provinsi maupun Kabupaten sangat diperlukan dengan membentuk Lembaga Penjamin Kredit serta mengoptimalkan dan mengkoordinir dana-dana revolving (Revolving Fund) baik yang berasal dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara (APBN), Angaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD) Provinsi atau Kabupaten juga Dana Pengembangan Masyarakat (Community Development Fund) yang ada pada BUMN dan swasta-swasta besar. Dana-dana tersebut diatas jika dikumpulkan dalam suatu lembaga dan dikoordinir oleh orang yang profesinal manfaatnya akan lebih membuka aksesibilitas masyarakat bawah terhadap Lembaga Keuangan yang selama ini masih sangat rendah. Peran pemerintah dalam memfasilitasi kelima asset sangat diperlukan dalam pengembangan masyarakat umumnya dan nelayan khusnya. Sehingga hasil yang diharapkan melalui pendekatan Sustainable Livelihood adalah terciptanya 51 mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat pesisir Kecamatan Ampibabo yang di dukung oleh beberapa faktor antara lain : 1. Tata ruang wilayah pesisir dan laut yang sesuai 2. Kuatnya kelembagaan masyarakat 3. Infrastruktur yang memadai 4. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia 5. Penguatan modal masyarakat. V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab Hasil dan Pembahasan tentang pengelolaan Pengelolaan Kawasan Budidaya Rumput Laut dan Ikan Kerapu 52 Sistem KJA di Wilayah Pesisir Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Lingkungan perairan pantai Kecamatan Ampibabo mempunyai potensi yang cukup mendukung untuk dilakukannya kegiatan budidaya laut 2. Kawasan perairan pantai yang memiliki potensi untuk kegiatan budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung berdasarkan kriteria kesesuaian sangat sesuai (S1) mempunyai luas 129.75 Ha; sesuai (S2) mempunyai luasan 25.45 Ha; dan tidak sesuai (N) 12410.64 Ha. Kawasan perairan pantai yang memiliki potensi untuk kegiatan budidaya rumput laut berdasarkan kriteria kesesuaian sangat sesuai (S1) mempunyai luas 38.17 Ha; sesuai (S2) dengan luas 90.53 Ha; dan tidak sesuai (N) 12437.14 Ha. 3. Hasil analisis SIG diperoleh peta kawasan budidaya laut khususnya budidaya sistem KJA dan budidaya rumput laut di pesisir pantai Kecamatan Ampibabo Luas kawasan untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA sebesar 135.41 Ha, sedangkan kawasan budidaya rumput laut sebesar 21.79 Ha. 4. Usaha budidaya rumput laut dan ikan kerapu sistem KJA yang dilakukan oleh masyarakat maupun investor di Kecamatan Ampibabo secara finansial layak untuk dikembangkan 5. Berdasarkan Sustainable Livelihood Approach (SLA) atau pendekatan keberlanjutan mata pencaharian, dapat di peroleh suatu rencana pengelolaan kawasan budidaya laut yang antara lain : (1) penataan ruang kawasan budidaya laut; (2) menjaga keberlanjutan sumberdaya pesisir; (3) memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat; (4) pembangunan infrastruktur; (5) transfer ilmu pengetahuan dan teknologi; (6) penguatan modal melalui pemberian kredit (7) membentuk lembaga keuangan mikro dan lembaga simpan pinjang. keberlanjutan Kesemuanya pemanfaatan itu bertujuan sumberdaya untuk yang mempertahankan mendukung untuk mempertahankan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut terdapat beberapa sara guna menyempurnakan pengelolaan kawasan budidaya laut (rumput laut dam ikan 53 kerapu sistem KJA) di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong, adalah sebagai berikut : 1. Diperlukan kajian yang lebih lengkap tentang daya dukung kawasan terutama untuk kegiatan budidaya laut khususnya budidaya rumput laut dan ikan kerapu sistem keramba jaring apung (KJA) 2. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai beberapa kegiatan (pariwisata, konservasi, dan perikanan tangkap) yang mempunyai interaksi dan mempengaruhi pelaksanaan budidaya laut, sehingga di hasilkan suatu rencana pengelolaan yang memasukkan seluruh pemanfaatan yang ada. 54 Pengolahan Limbah terpadu Berbagai aktivitas yang ada maupun akan di bangun di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo antara lain : - Pelabuhan dan industri perikanan - Kawasan pemukiman Areal pemukiman penduduk yang - Areal Tambak udang dan bandeng Beberapa areal lahan di pesisir Kecamatan Ampibabo telah dimanfaatkan menjadi kawasan budidaya tambak udang dan bandeng. Kegiatan budidaya tambak ini cukup banyak berkembang terutama di dua desa pesisir yaitu Desa Lemo dan desa Buranga. Kegiatan budidaya tambak yang dilaksanakan sifatnya adalah tambak tradisional sehingga limbah organik pakan yang dihasilkan tidak begitu berdampak besar terhadap perairan di sekitarnya. Akan tetapi, kedepannya perlu menjadi diperhatikan apabila semakin berkembangnya kegiatan ini, yaitu limbah yang akan masuk ke perairan pesisir. Sebagaimana diketahui misi pembangunan perikanan budidaya perikanan adalah melaksanakan pembangunan perikanan budidaya yang bertanggungjawab dan ramah lingkungan serta berorientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegiatan budidaya tambak apabila dikelola dengan sistem budidaya yang berteknologi dan management tambak yang baik akan bernilai ekonomi tinggi. Pemukiman penduduk 55 Selain kualitas perairan adalah dengan mempertahankan keberadaan ekosistem pesisir laut. Menjaga ekosistem pesisir Memperkuat kelembagaan sosial dan ekonomi seperti koperasi nelayan dan kelompok nelayan Mengurangi kerentanan Bagaimana rumput laut dan bagaimana kerapu. Modal fisikl akan meningkatkan modal ekonomi . Penguatan dan Pengembangan Kapasitas Pasca Usaha Budidaya Perikanan. Secara bio-teknis keberhasilan usaha perikanan budidaya laut dan pantai ditentukan oleh penguasan dan penerapan secara tepat dan benar lima elemen dasar (panca usaha) budidaya perikanan, yaitu (Dahuri, 2003): (1) perbenihan, (2) pakan atau nutrisi (3) pengendalian hama dan penyakit (4) manajemen kualitas air dan tanah, (5) pon engineering dan layout perkolaman. Kemampuan dalam mengusai dan menerapkan panca usaha budidaya perikanan ini harus senantiasa terus ditingkatkan, jika ingin potensi ekonomi yang sangat besar ini dapat mewujudkan kemakmuran yang dicitacitakan. 3.13. Pembangunan Prasarana Potensi ekonomi yang terdapat pada usaha perikanan budidaya laut dan pantai sangat besar, tetapi realisasinya sangat kecil, disebabkan antara lain terbatasnya prasarana, seperti saluran irigasi dan drainase pertambakan, akses jalan dan sebagainya. Selama ini, saluran irigasi tambak merupakan bagian terhilir dari sistem irigasi sawah (pertanian), sehingga air yang masuk ke tambak kebanyakan mengandung sisa-sisa pestisida, herbisida, atau pupuk dari lahan pertanian. Oleh karena itu perlu membangun prasarana ini khusus untuk kawasan pertambakan sebagaimana dipraktekkan secara berhasil di Thailand. 3.14. Penerapan Sistem Bisnis Perikanan Budidaya Secara Terpadu Pembangunan perikanan budidaya hendaknya dilakukan berdasarkan pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara terpadu, sehingga arah dan kebijakan pembangunan merefleksikan kegiatan dari seluruh fungsi sub sistem perikanan yang meliputi pembangunan sub-sistem perbenihan, sub-sistem usaha budidaya, sub-sistem pasca panen dan pemasaran yang ditunjang oleh pembangunan sub-sistem kesehatan ikan dan lingkungannya serta pembangunan sub-sistem prasarana budidaya perikanan. 56 Dalam pembangunan budidaya tambak yang menjadi sorotan adalah berkaitan dengan pembangunan budidaya yang berkelanjutan sesuai dengan amanat FAO (1995) melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries, sehingga arah pembangunan perikanan budidaya, khususnya budidaya udang hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip pembangunan yang bertanggungjawab dengan memadukan elemen daya dukung dan pengendalian lingkungan. Akses Terhadap Pasar Tata ruang----pengantar panjang pantai ampibabo Total panjag pantai yang dianalisis 34.114 Totl ampibabo 56.25 6. Aspek legal Efisiensi operasional budidaya berarti biaya produksi dapat ditekan, antara lain dengan mengurangi ongkos transportasi dari darat ke lokasi budidaya di laut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan lebih mendekatkan lokasi budidaya ke pantai. Oleh karena itu dalam reduksi luas potensial menjadi luas yang direkomendasikan, lokasi yang sesuai paling dekat dengan pantailah yang akan dipertahankan. Pengelompokan kawasan pengembangan budidaya laut berdasarkan kepada kesamaan sistem dan komoditas dapat memudahkan pembinaan, pengawasan dan meningkatkan efisiensi dan keamanan. Pembentukan kelompok pembudidaya laut dapat dilakukan berdasarkan pengelompokan lokasi budidaya, sehingga distribusi sarana produksi dan hasil menjadi lebih efisien. Lokasi dan tata ruang pengembangan budidaya laut di Teluk Ekas disajikan dalam Gambar 22. Peta.. Karamba Jaring Apung 57 Sistem karamba jaring apung (KJA) untuk budidaya ikan dan udang lobster yang akan dibangun berukuran 288 m2 atau 24x12 m untuk setiap unitnya, dan setiap unit terdiri dari 18 kantong jaring (6x3) yang berukuran 3x3x3 m (Tabel 8.1). Sistem ini terdiri dari rangka, pelampung, kantong jaring, jalan inspeksi, rumah jaga dan jangkar beserta tambangnya (Lampiran). Rangka bisa dibuat dari kayu atau bambu. Pelampung terbuat dari drum plastik, styrofoam yang dibungkus dengan terpal, kayu gabus atau bambu. Kantong jaring berukuran 3x3x3 m dan terbuat dari bahan PE dengan ukuran benang D18 hingga D33. Kantong jaring diikatkan ke rangka. Jalan inspeksi mengelilingi kantong jaring, di atas rangka terbuat dari papan, dan berukuran lebar 50-60 cm, di atas jalan ini kegiatan pemeliharaan dilakukan. Rumah jaga dibuat berukuran 3x3 m dan terdiri dari rangka yang terbuat kayu atau bambu, dindingnya dibuat dari papan atau bilik (anyaman dari bahan bambu). Jangkar beserta tambangnya (20 mm) berfungsi untuk menjaga posisi KJA tetap pada tempatnya, berupa/terbuat dari batu, besi atau cor semen. b. Rakit dan Longline Rakit dan longline merupakan sistem budidaya yang bisa digunakan untuk budidaya rumput laut dan kerang mutiara. Rakit untuk budidaya rumput laut terbuat dari bambu yang dirangkai menjadi berbentuk segi empat dan dilengkapi dengan bambu diagonal (Lampiran) Dengan bahan bambu tersebut, rakit bisa mengapung di dekat permukaan air. Di antara dua sisi rakit dibentangkan tali yang berfungsi sebagai tempat pelekatan rumpun rumput laut. Tali ini disebut tali ris, dan jarak antar tali adalah 25 cm. Rumput laut diikatkan ke tali ris dengan jarak 25 cm, menggunakan tali pengikat. Dengan ditentukan jarak tanam antar rumpun rumput laut adalah 25 X 25 cm. Rakit bambu ini diikatkan ke jangkar dengan menggunakan tambang 10 mm, sehingga posisinya tetap. Setiap unit rakit bambu untuk budidaya rumput lau berukuran 8x8 m (64 m2), sesuai dengan ukuran satu batang bambu yang tersedia di sekitar lokasi pengembangan budidaya laut di Teluk Ekas. Selalu ada jarak antar unit rakit, sehingga memungkinkan lalu lintas sampan untuk operasional budidaya. Rakit untuk budidaya kerang mutiara terdiri dari rangka kayu, pelampung, rumah jaga, jangkar dan tambangnya, serta keranjang (basket) dan tambangnya. Konstruksi sistem rakit ini hampir mirip dengan KJA, kecuali kantong jaring (Lampiran). Pada sistem rakit untuk budidaya kerang mutiara ini tidak terdapat 58 komponen kantong jaring. Pada rangka kayu tersebut digantung keranjang sebagai wadah pemeliharaan kerang, pada kedalaman 3-5 m dari permukaan air laut. Setiap unit rakit untuk budidaya kerang mutiara ini berukuran 375 m2 atau 25x15 m. Jarak antar unit rakit kerang muitara ini adalah 250m, sehingga setiap unit rakit memiliki radius 500 m. Sistem longline bisa digunakan untuk menggantikan sistem rakit, baik untuk budidaya rumput laut maupun kerang mutiara. Dalam sistem ini bentangan tambang yang mengapung digunakan sebagai pegangan/basis penempelan tali ris pada budidaya rumput laut, atau keranjang (basket) pada budidaya kerang mutiara. Untuk mempertahankankan bentangan tambang tetap mengapung digunakan pelampung. Pada budidaya rumput laut digunakan jerigen plastik sebagai pelempung utama dan botol bekas kemasan air mineral sebagai pelampung antara. Pada budidaya ini pula, bentangan tambang bisa dirangkai sehingga mirip konstruksi sistem rakit dalam dimensi yang lebih besar. Setiap unit longline rumput laut berukuran 1.000 m2, dan selalu ada jarak antar unit untuk alur sampan, sehingga memudahkan operasional budidaya. JUDUL BARU : POTENSI PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUTB LAUT DAN IKAN KERAPU SISTEM KJA di Pesisir pantai Kecamana Ampiabo, Kabupaten Parigi moutong, sulawesi tenganh Pelatihan manajemen dan pengembangan masyarakat V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab Hasil dan Pembahasan tentang pengelolaan Pengelolaan Kawasan Budidaya Rumput Laut dan Ikan Kerapu Sistem KJA di Wilayah Pesisir Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Lingkungan perairan pantai Kecamatan Ampibabo mempunyai potensi yang cukup mendukung untuk dilakukannya kegiatan budidaya laut khususnya budidaya rumput laut dan ikan kerapu 2. Kawasan perairan pantai yang memiliki potensi untuk kegiatan budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung berdasarkan kriteria kesesuaian sangat sesuai (S1) mempunyai luas 1.605,84 Ha; sesuai (S2) mempunyai luasan 1.608,86 Ha; dan tidak sesuai (N) 9.378,32 Ha. Kawasan perairan pantai yang memiliki potensi untuk kegiatan budidaya rumput laut dengan sistem longline berdasarkan kriteria kesesuaian, sangat sesuai (S1) mempunyai luas 925,88 Ha; sesuai (S2) dengan luas 8.633,19 Ha; dan tidak sesuai (N) 5.093,33 Ha. 3. Hasil analisis SIG diperoleh peta kawasan budidaya laut khususnya budidaya sistem KJA dan budidaya rumput laut di pesisir pantai Kecamatan Ampibabo Luas kawasan untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA sebesar 1.605,84 Ha, sedangkan kawasan budidaya rumput laut sebesar 925,88 Ha. Secara keseluruhan potensi lingkungan sebagai lokasi budidaya sebesar 2531.72 Ha. 4. Hasil perhitungan luasan efektif untuk kawasan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di Kecamatan Ampibabo sebesar 506.34 Ha. Lokasi yang sangat sesuai untuk budidaya ini tersebar hampir di semua wilayah Desa di Kecamatan Ampibabo. 5. Berdasarkan Sustainable Livelihood Approach (SLA) atau pendekatan keberlanjutan mata pencaharian, dapat di peroleh suatu rencana pengelolaan kawasan budidaya laut yang antara lain : (1) penataan ruang kawasan budidaya laut; (2) menjaga keberlanjutan sumberdaya pesisir; (3) memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat; (4) pembangunan infrastruktur; (5) transfer ilmu pengetahuan dan teknologi; (6) penguatan modal melalui 97 pemberian kredit (7) membentuk lembaga keuangan mikro dan lembaga simpan pinjang. keberlanjutan Kesemuanya pemanfaatan itu bertujuan sumberdaya untuk yang mempertahankan mendukung untuk mempertahankan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut terdapat beberapa saran guna menyempurnakan pengelolaan kawasan budidaya laut (rumput laut sistem longline dan ikan kerapu sistem KJA) di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong, adalah sebagai berikut : 1. Peneliti dalan hal ini melakukan penelitian pada bulan Mei atau pada musim peralihan. Oleh, karena itu di perlukan kajian lainnya yang sama akan tetapi di lakukan pada musim kemarau dan musim hujan, sehingga di dapatkan hasil yang lebih baik lagi. Selain itu penelitian lebih lanjut mengenai beberapa kegiatan lainnya seperti pariwisata, konservasi, dan perikanan tangkap, yang mempunyai interaksi dan mempengaruhi pelaksanaan budidaya laut, sehingga di hasilkan suatu rencana pengelolaan kawasan pesisir yang memasukkan seluruh pemanfaatan yang ada. 2. Bagi pemerintah daerah khususnya, dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat ditindak lanjuti dengan memasukkannya ke dalam Rencana Tata Ruang Daerah Kabupaten. Lebih lanjut, untuk kemudian menyusun suatu program bagi pemanfaatan kawasan budidaya laut (khususnya ikan kerapu dan rumput laut), agar kawasan dapat di manfaatkan secara optimal dan mensejahterakan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Ahmad T, P.T. Imanto, Muchari, A. Basyarie, P. Sunyoto B. Slamet, Mayunar, R. Purba, S. Diana S. Redjeki, S.A. Pranowo, dan S. Murtiningsih. 1991. Operasional Pembesaran Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring Apung. Balai penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Departemen Pertanian. Akbar A, Sudjiharto, dan Sunaryat. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan Ikan Kerapu Tikus (Cromileptis altivelis di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Perikanan Budidaya Lampung. APHA (American Public Health Association). 1989. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. 17th edition. APHA, AWWA (American Water Work Association) and WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington DC. [Anonim]. 2004. Rencana Zonasi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong. [Anonim]. 2005. Analisis Kesesuaian Marine Culture Wilayah ALKI II. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Mayarakat, Institut Pertanian Bogor. [Anonim]. 2005. Membangun Kejayaan Perikanan Budidaya. Warta Budidaya edisi dalam www.dkp.go.id. [Anonim]. 2005. Penyusunan Masterplan Kawasan Pengembangan Budidaya Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah. Aslan M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. Basmi JH. 2000. Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor. Beveridge M C M. 1987. Cage Culture. Fishing News Books Ltd. 1 Long Garden Walk, Farnham, Surrey, England. [BRKP]. Balai Riset Kelautan dan Perikanan. 2003. Profil Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Teluk Tomini. Editor : Burhanudin S., Supangat A., Sulistiyo A., Rameyo T., dan Kepel C. Jakarta. 99 Brown, K. Thomkins B and Adger W.N. 2001. Trade-Off Analysis for Participatory Coastel Zone Decision-Making. Overseas Development Group, University East Anglia. Norwick. UK. www.ack.uk/dev/odg. Burrough, P.S and R.A. McDonnel. 1998. Principal of Geographical Information System. Oxford University Press. Byod C E. 1990. Water Quality Management in Pond for Aquaculture. Birmingham Publishing Company. Birmingham. Albama. Campbell J. 1999. Linking The Suistainable livelihood Approach and code of Conduct for responsible Fisheries. Workshop facilitator’s Bacround Notes Prepared for the DFID Funded FAO-Implementes Sustainable Fisheries Livelihoods Project (SFLP). Clark, W.A.V. and P.L. Hosking. 1986. Statistical Methods for Geographers. John Wiley & Sons, Inc.. Clarke, R. and M. Beveridge. 1989. Off shore fish farming. Infofish International, 3 (89) : 12 – 15. Davis C.C. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State university. USA. Departemen Pertanian. 1995. Rumput Laut: Cara, Budidaya dan Pengolahannya. Kantor Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta. [Dit. Perikanan Budidaya - DKP]. 2006. Direktorat Jenderal Perikanan BudidayaDepartemen Perikanan dan Kelautan. Profil Rumput Laut di Indonesia. [DKP.]. Departemen Perikanan dan Kelautan. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. 2006. Budidaya Kerapu Macan (Epinephelus fusgotattus) Dalam Keramba Jaring Apung, dalam www.dkp.go.id. [DKP]. Departemen Perikanan Dan Kelautan. 2006. Syarat Budidaya Ikan Kerapu. Buku Teknis Budidaya Ikan kerapu Ditjen Perikanan BudidayaDepartemen Kelautan dan Perikanan. Effendi E. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. FAO]. Food Agriculture Organizatioan. 1989. Site Selection Criteria for Marine Finfish Netcage Culture in Asia. Regional Seafarming Development and Demonstration Project in Asia. National Inland fisheries Institute Kasetsart University Campus Bangkhen, Bangkok. Thailand. [FAO]. Food Agriculture Organizatioan. 1989. Site Selection of Euscheuma spp. Gliksman M. 1969. Gum Technology in the Food Industry. Academic Press. New York. 100 Hafiz A. Sudjiharno dan Anindiastuti. 1999. Pemilihan Lokasi; Pembenihan Kerapu Tikus (Cromileptis altivelis). Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Laut, Lampung. Hasyim, Bidawi, 1997. Optimasi Penggunaan Data Inderaja dan Sistem Informasi Geografi untuk Pengawasan Kualitas Lingkungan Pantai Akibat Limbah Industri. Dewan Riset Nasional. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Jakarta. Hellebust JA, Craige JS. 1978. Handbook of Phycological Methods. Cambridge University Press. London. Hinga, K.R. 2002. effect of pH on Coastal Marine Phytoplankton. Marine Ecology Progress Series 238: 281 – 300 Hodgkiss, I.J. and S. Lu. 2004. The effects of nutrients and their ratio on phytoplankton abudance in Jun Bay, Hongkong. Hydrobiologia 512 : 215 – 229. Hodgkiss, I.J. & K.C. Ho. 1997. Are changes in P : N ratios in coastel water the key increased red tide blooms?. Hydrobiologia 352 : 141 - 147 Hutagalung, H.P., D. Setiapermana dan Riyono S.H. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota (Buku 2). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta. Kadariah, L. Karlina dan C. Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penelitian, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta. Ikhsan KHI. 2005. Thesis. Kajian Pertumbuhan, Produksi Rumput Laut (Eucheuma cottonii) dan Kandungan Karaginan Pada Berbagai Bobot Bibit dan Asal Thalus di Perairan Desa Guruaping Oba Maluku Utara. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Ismail, W. E, Pratiwi, Wedjatmiko, E. Savitri, Suwidah, dan A. Wijono. 2002. Analisis Kebijakan Pembangunan Usaha Budidaya Laut. Dalam Heruwati et.al. (eds) Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan. Pusat Riset Pengelolaan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. p. 1-20. Lee, C.S. 1997. Constraints and government intervention for the development of aquaculture in developing countries. Aquaculture Economics and Managements, 1(1) : 65 – 71. Lind, O.T, Chrzanowski T.H, and L. Davalos-Lind. 1997. Clay turbidity and relative production of bacterioplankton and phytoplankton. Hydrobiologia 353 : 1 – 8 101 Malik I. Wijardjo B. Fauzi N. dan A. Royo. 2003. Menyeimbangi Kekuatan, Pilihan Strategi Menyelesaikan konflik atas Sumberdaya Alam. Jakarta. Morain S. 1999. GIS Solution in Natural Resources Management: Balancing the Technical-Political Equation. On Word Press. USA. Mubarak, H., S. Ilyas, W. Ismail, I.S. Wahyuni, S.H. Hartati, E. Pratiwi, Z. Jangkaru, dan R. Arifuddin. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan, IDRC, Infish. Muir, J. F. & R. J. Roberts.1985. Recent Advances in Aquaculture. Croom Helm Ltd., London, Sydney. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Hal: Odum E.P. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd Edition. W.B. Sounders Co. Philadelpia and London. Pemda Kabupaten Situbondo. 2005. Potensi Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Situbondo. www.situbondo.go.ida. PKSPL-IPB. 2005. Studi Tata Ruang Pengembangan Budidaya Perikanan di Kawasan Teluk Ekas kerjasama antara Bagian Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan NTB (COFISH PROJECT). Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung. Sachlan M. 1972. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. Shang, Y. C. 1990. Aquaculture Economic Analysis: an Introduction. The World Aquaculture Society, Los Angeles. Shell, E. W & T. F. Lowell. 1993. The Development of Aquaculture: an Ecosystem Perspective. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University, Alabama. Song X, Huang L, Zhang J, Huang X, Zhang J, Yin J, Tan Y, and S Liu. 2004. Variation of phytoplankton biomass and primary production in Day Bay during spring and summer. Marine Pollution Bulletin. www.elsevier .com/marpolbul. Sosealisa A. 2006. Disertasi. Kajian Pengelolaan Pesisir dan Laut Gugusan PulauPulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak numfor, Papua. IPB. Bogor 102 Souter D.W. and Olof lindén. 2000. The health and future of coral reef system. Ocean & Coastel Management 43: 657 – 688. Sudjatmiko, W & W.I. Angkasa. Teknik Budidaya Rumput Laut Dengan Metoda Tali Panjang. Direktorat Kebijaksanaan Pengembangan&Penerapan Teknologi-BPPT. www.iptek.net.id/ttg/artlkp/artikel 18.htm. Tomascik T.A, A.J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa. 1997. The Ecology of Indonesia Seas: Part One (The Ecology of Indonesia Series Volume VII). Periplus Edition (HK) Ltd. Widodo SM. 2005. Tahapan Krusial Dalam Menata Ruang. Perspektif Keterpaduan Dalam Penataan Ruang Darat-Laut. USAID-BAPPENAS. Yamaji C.S. 1979. Illustration og the Marine Plankton of Japan. Hoikiska Publ. Co. Ltd. Japan. Yunizal, Murtini JT, Utomo BS, TH Suryaningrum. 2000. Teknologi Pemanfaatan Rumput Laut. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan. 104 Beberapa jenis ikan kerapu yang di budidayakan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kerapu lumpur (Epinephelus coiodes) Hamilton Kerapu malabar (E. Malabaricus) Bloch and Schneider Kerapu macan (E. Fuscoguttatus) Forsskal Kerapu sunu (Plectropomus leopardus) Lacepede Kerapu bintik (E. Bleekeri) Vaillant Kerapu sunu Lodikasar (P. Maculatus) Bloch Kerapu bebek’tikus Cromileptis altivelis (Valenciennes) Aquaculture Department Southeast asian Fisheries Development Centre Tigbauan, lloilo, Philippines. 2001. Pembudidayaan dan Manajemen Kesehatan Ikan Kerapu. ASIAN-PACIFIC ECONOMIC COORPORATION Wilkinson JB. RJ Moore. 1982. Harry’s Cosmetocology. Seventh edition. Deorge Godwil London. Pp. 612. 105 . 1. Teknologi Budidaya Laut dan pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Japan International Corporation Agency (2001). Jakarta. Pusat Penelitian dan pengembangan eksplorasi Laut dan perikanan bekerjasama dengan JICA Usaha budidaya ikan kerapu perlu ditingkatkan mengingat permintaan terhadap ikan kerapu cukup tinggi dan selama ini penyediaannya masih didominasi dari usaha penangkapan saja. Usaha pelestaria kerapu masih rendah, sementara stoknya di alam sangat terbatas dan sumbangan budidaya ikan kerapu terhadap pembangunan nasional masih sedikit sekali. Parameter yang digunakan untuk budidaya kerapu meliputi parameter dependen yaitu sarana, teknologi, dan input produksi, sedangkan parameter independen adalah iklim, air, adat,hukum, dan kebijakan. Selain itu ada pula dibedakan menjadi parameter umum (topografi, kondisi biologi, fisik, kimia, hukum dan peraturan, kualitas sumberdaya manusia, sistem kepemilikan yang ada, masterplan lahan pantai, infrasruktur, daya dukung, ). Sukadi (1999), dalam Wardoyo dan Murniyati 2001, menambahkan bahwa budidya laut dapat dilakukan di pantai, daerah pasang surut (intertidal), sub-litoral, permukaan, pertengahan, dan dasar perairan laut. Karena habitat ikan kerapu sendiri di alam, dimana mereka hidupnya didasar umumnya di karang-karang dengan salinitas air laut maka budidaya kan kerapu umumnya dapat dilakukan di daerah sub-litoral, permukaan, pertengahan,dan dasar pantai laut. Sukadi, M.F. 1999 Potensi Lahan Budidaya Laut. Makalah seminar Pengembangan budidaya laut di Indonesia dalam mendukung Protekan 2003. Jakarta, 26 – 27 agustus. 20pp Hutagalung, H.P 198. Pengaruh Suhu Terhadap Kehidupan Organisme Laut. Pewarta Oseana. LON-LIPI. Jakarta. Vol 13. Hal : 153-163 Luning, K. 1990. Seaweed : Their envoronmental, Biogeography, and ecophysiology. Charles Yarish and Hugh Kirkman (editors). John Wiley dan Sons, Inc Canada. 527 p Krebs C.J. 1989. Ecological Methodology. University of British Columbia. Harper and Row Publishers. New York.