BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat
Kurva penawaran adalah hubungan antara jumlah barang yang perusahaan
bersedia menjual dengan harga barang tersebut (Pindyck dan Rubinfeld, 2005).
Konsep penawaran digunakan untuk menunjukan keinginan para penjual di suatu
pasar. Kurva Penawaran memiliki kemiringan positif karena biaya marginal akan
meningkat apabila kuantitas meningkat (Nicholson, 2000).
Kurva penawaran menunjukan hubungan antara kuantitas suatu barang yang
ditawarkan pada berbagai tingkat harga, ceterus paribus (Arsyad, 1999).
Berdasarkan ragam dari fungsi
permintaan, untuk pemanfaatan
utility
maximization problem, dikenal individual demand function: permintaan kuantitas
sebagai fungsi dari harga (the ordinary demand curve), dan permintaan kuantitas
sebagai fungsi dari pendapatan (the Engle Curve), permintaan kuantitas fungsi
dari harga dan barang lain (the cross-price demand function) (Binger dan
Hoffman, 1988).
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), faktor diluar harga yang
mempengaruhi penawaran yaitu biaya produksi yang terdiri dari faktor tenaga
kerja (labor), modal (capital) dan bahan baku (raw material).
Sedangkan kurva permintaan adalah hubungan antara jumlah barang yang
konsumen bersedia membeli dengan harga barang tersebut (Pindyck dan
Rubinfeld, 2005). Faktor di luar harga yang mempengaruhi permintaan adalah
pendapatan (income), selera (consumer tastes) dan harga barang lain (related
goods) yaitu barang substitusi (substitutes) dan barang komplemen (complements)
10
(Pindyck dan Rubinfeld, 2005). Kurva permintaan memiliki kemiringan negatif
karena nilai marginalnya turun apabila kuantitasnya meningkat (Nicholson, 2000).
Model ekonomi yang paling umum digunakan yaitu model penawaranpermintaan, yang menggambarkan bagaimana harga berperan dalam biaya
produksi dan keinginan pembeli untuk membayar pada tingkat biaya tersebut
(Nicholson, 2000). Model penawaran-permintaan dapat digunakan untuk
menganalisis dampak dari berbagai bentuk kebijakan yang ditetapkan pemerintah,
termasuk
digunakan
untuk
menganalisis
bagaimana
kebijakan
pajak
mempengaruhi konsumen dan produsen. Karakteristik keseimbangan pasar
apabila kuantitas permintaan sama dengan kuantitas penawaran (QD = QS), tidak
terjadi kelebihan penawaran (no excess supply) atau kekurangan (no shortage) dan
tidak ada tekanan terhadap harga untuk berubah (no pressure on the price to
change) (Pindyck dan Rubinfeld, 2005).
Konsep permintaan digunakan untuk menunjukkan keinginan-keinginan
seorang pembeli pada suatu pasar. Fungsi permintaan menunjukan hubungan
antara kuantitas suatu barang yang diminta dengan semua faktor yang
mempengaruhinya. Harga, pendapatan, selera dan harapan-harapan untuk masa
datang merupakan variabel-variabel penting dalam fungsi permintaan. Para
pembeli
dianggap
akan
membeli
barang
dalam
jumlah
yang
dapat
memaksimumkan kepuasan mereka (Arsyad, 1999). Hubungan antara harga dan
kuantitas yang diminta adalah berbanding terbalik. Jika harga naik, kuantitas yang
diminta turun. Hubungan ini disebut “hukum permintaan” (Arsyad, 1999).
Model
penawaran-permintaan
adalah
model
yang
menggambarkan
bagaimana harga suatu barang ditentukan oleh perilaku individu-individu yang
11
membeli
barang
tersebut
dan
perusahaan-perusahaan
yang
menjualnya
(Nicholson, 2000). Beberapa hasil penelitan menyebutkan intervensi kebijakan
yang dilakukan pemerintah akan berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan
kayu bulat.
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), elastisitas adalah persentase
perubahan satu variabel yang menghasilkan perubahan satu persen kenaikan pada
variabel lainnya. Elastisitas permintaan adalah persentase perubahan kuantitas
permintaan dari produk akibat kenaikan satu persen harga. Sedangkan elastisitas
penawaran adalah persentase perubahan kuantitas penawaran akibat kenaikan satu
persen harga. Nicholson (2000) menyebutkan bahwa pada kurva yang memiliki
elastisitas permintaan kurang dari -1 bersifat elastis, dan yang memiliki elastisitas
permintaan sama dengan -1 bersifat unit elastis, serta yang memiliki elastisitas
permintaan lebih dari -1 bersifat inelastis. Untuk kurva yang elastis, perubahan
harga sepanjang kurva akan mempengaruhi terjadinya perubahan kuantitas
permintaan produk secara nyata (significant). Pada kasus inelastis, adanya
perubahan harga akan sangat kecil pengaruhnya terhadap kuantitas permintaan.
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), elastisitas penawaran tergantung kepada
suku bunga, upah, harga bahan baku, dan bahan lainnya (intermediate goods)
yang digunakan untuk menghasilkan produk. Kenaikan biaya input akan
menyebabkan meningkatkanya biaya perusahaan.
Apabila elastisitas permintaan bersifat elastis, maka konsumen akan
membeli sebanyak mungkin yang bisa didapatkan pada harga keseimbangan,
tetapi akan menguranginya apabila harga produk naik dan meningkatkan
pembeliannya apabila harga produk turun (Pindyck dan Rubinfeld, 2005).
12
Sebaliknya apabila harga bersefat inelastis, maka diperlukan kenaikan harga yang
cukup tinggi untuk untuk membuat konsumen mengurangi permintaan dan pindah
ke barang substitusi Menurut McGuyan dan Moyer (1986) faktor yang
mempengaruhi permintaan yaitu ketahanan penggunaan barang, derived
permintaan, sebagai bahan baku produk lain dan (3) Nilai tukar. Harga produk
yang memiliki barang substitusi lebih elastis. Produk tahan lama (durable) bersifat
elastis, dan yang memiliki porsi terbesar anggaran (budget) lebih elastis. Beberapa
nilai elastisitas permintaan jangka panjang dari beberapa komoditi hasil hutan
dapat di lihat pada Tabel 1.
Dengan menggunakan data deret waktu (timeseries) 1967-1982, Sinaga
(1989) membangun model ekonometrika industri produk kayu olahan dengan
menggunakan berbagai simulasi yang menjelaskan hubungan penawaran,
permintaan dan harga, menunjukan adanya pengaruh kebijakan intervensi
pemerintah di setiap sub-sektor industri kayu Indonesia. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan disebutkan bahwa penerapan kebijakan larangan ekspor kayu
bulat akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi dan turunnya harga
kayu bulat domestik.
Berdasarkan hasil penelitian Simangunsong (2001) terhadap model
permintaan internasional berdasarkan data yang diambil dari 64 negara (data
tahun 1973 sampai tahun 1997) terhadap tujuh kelompok hasil hutan, dimana
persamaan penawaran diturunkan dari model harga internasional 18 negara (data
tahun 1975 sampai tahun 1995), serta dilakukan ujicoba permintaan dinamis dan
permintaan statis serta persamaan harga, maka secara umum model statis yang
diduga dengan menggunakan Least Squares with Dummy Variables (LSDV)
13
sangat cocok untuk menduga model permintaan dan penawaran. Juga disebutkan
bahwa terdapat kecenderungan elastisitas yang sama di semua negara.
Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa untuk permintaan hasil hutan akan
memiliki harga yang inelastis.
Berkaitan dengan perkembangan penawaran kayu bulat, saat ini tidak ada
data yang berkaitan dengan luas efektif areal tebang di dalam wilayah kerja HPH.
Namun berdasarkan asumsi bahwa satu hektar hutan produksi menghasilkan ratarata sebanyak 40 m3 (Timotius, 2000), maka luas areal tebang akan sangat
ditentukan oleh volume kayu yang dikeluarkan dan sangat ditentukan oleh
perubahan harga kayu bulat yang berlaku di pasaran.
Sejalan dengan semakin berkurangnya tutupan hutan, termasuk semakin
turunnya kualitas hutan produksi, maka jumlah HPH dan produksi kayu bulat dari
tahun ke tahun semakin menurun. Untuk melaksanakan praktik penebangan yang
lebih baik, maka pemerintah melakukan pengendalian produksi kayu bulat.
Praktik pengendalian produksi kayu bulat hutan alam yang dilakukan pemerintah
melalui sistem pengaturan RKT selama ini dianggap tidak efektif (masih
mengalami kebocoran), terbukti masih banyaknya produksi kayu ilegal di pasar
dalam negeri maupun ekspor (Astana, Sabarudi dan Muttaqin, 2003). Pada
Gambar 1, berdasarkan sumber data yang dari Departemen Kehutanan dan dari
Food Agriculture Organizatio (FAO) dapat dilihat bahwa perkembangan produksi
kayu bulat dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Hal ini juga sejalan
dengan keberadaan kualitas tutupan (forest cover) hutan alam yang semakin
menurun serta jumlah perusahaan HPH yang melakukan kegiatan di kawasan
hutan alam produksi juga semakin menurun.
14
Tabel 1. Elastisitas Permintaan Jangka Panjang Hasil Hutan
Elasticity/
Product
1)
a)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
b)
8)
a)
9)
10) Median
b)
Price elasticity
Sawn
-0.80
-0.22 -0.51
Sawn. c
-0.21 -0.72
-0.24
-1.13 0.38 -0.46
-0.35
Sawn. nc
-0.16 -0.90
-0.16
-0.53 -1.00 -0.07
-0.35
Panels
-0.37
-0.37
Ply
0.15
-0.55
-0.18 -0.09 -0.25
-0.25 -0.21
Part
-0.14
-0.09
-0.17 0.00 -0.69
-0.14
Fiber
-0.17
0.08
-1.11 -0.26 -0.68
-0.26
News
-0.75 -0.59
-1.15 -0.30 -0.05 -0.72 -0.76 -0.27 -0.13 -0.48 -0.18 -0.48
Print
-0.74 -0.21
-0.78 0.00 0.00 -0.49 -0.70 -0.26 -0.09 -0.89 -0.27 -0.27
Opap
-0.83 -0.29
-0.88 -0.01 -0.29 -0.72 -0.45 0.00 -0.69 -0.30 -0.10 -0.30
GDP elasticity
Sawn
0.91
0.50
0.71
Sawn. c
0.71 1.57
1.41
0.85 0.16 0.28
0.78
Sawn. nc
0.53 0.88
1.26
0.25 0.77 0.81
0.79
Panels
1.37
1.37
Ply
1.02
1.46
0.30 0.10 1.47
0.86
0.94
Part
2.32
3.08
0.60 0.97 1.02
1.02
Fiber
1.07
1.70
0.14 1.38 1.55
1.38
News
1.07 0.84
1.23 0.84 1.08 0.95 1.14 0.73 1.54 0.63 1.07
1.07
Print
1.20 1.56
1.24 1.52 1.31 1.03 1.29 1.52 1.47 1.07 1.55
1.31
Opap
1.65 1.41
1.24 0.62 1.59 0.98 1.00 1.61 1.02 0.41 1.30
1.24
1) Biongiono (1978). 43 countries. 1963-1973. a) hingh income. B) low income.
2) Biongiono (1979). 43 countries. 1963-1973.
3) Wibe (1984), 103 countries, 1970-1979.
4) Uutela (1987), 40 countries, 1965-1980.
5) Biongiono and Chang (1986). 10 OECD countries. 1961-1981, within-country estimates.
6) Baudin and Lundberg (1987), major consuming countries, 1961-1981.
7) Prestemon and Buongiono (1993), 24 countries, 1968-1988.
8) Brooks et al (1995), 8 countries, 1964-1991, a) high income, b) low income.
9) Ches-Amil and Buongiono (2000), 14 EU countries, 1969-1992
10) Simangunsong and Buongiono (2001), 62 countries, 1973-1997
Sumber: Simangunsong, 2001
15
Tabel 2. Jatah Produksi Tahunan Kayu Bulat Nasional Tahun 2005-2010
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
PROVINSI
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kep Riau
Jambi
Sumatera
Selatan
Bengkulu
Bangka Belitung
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
NTB
NTT
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Tenggara
Sulawesi
Selatan
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
JUMLAH/Total
2006
500 000
103 350
204 400
300 700
2007
500 000
100 000
106 000
185 000
74 130
70 000
36 630
35 000
TAHUN
2008
35000
75 000
125 000
150 000
2009
50 000
200 000
150 000
2010
35 000
75 000
180 000
175 000
50 000
20 000
50 000
20 000
0
20 000
20 000
525 000
500 000
520 000
1 850 000
2 100 000
2 030 000
65 000
60 000
65 000
2 425 000
2 450 000
2 450 000
30 000
85 000
145 000
35 000
60 000
125 000
40 000
75 000
125 000
90 000
80 000
75 000
33 800
365 750
380 000
822 000
1 850 000
52 200
65 000
2 440 700
2 350 000
25 200
25 650
20 000
85 000
229 600
145 000
149 160
287 250
264 100
1 412 280
825 350
180 000
300 000
310 000
1 439 000
980 000
125 000
325 000
325 000
1 435 000
1 230 000
50 000
350 000
350 000
1 225 000
1 225 000
90 000
300 000
350 000
1 200 000
1 225 000
8 152 250
9 100 000
9 100 000
9 100 000
9 100 000
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2011
16
Penelitian mengenai peraturan dilakukan di Barat Laut Pacific Amerika
Serikat, berkaitan dengan undang-undang species langka (endanger species) untuk
melindungi sejenis burung hantu (Strix occidentalis caurina) dari kepunahan.
Peraturan konservasi berdampak kepada penurunan produksi kayu dari wilayah
penghasil sepertiga kayu softwood di Amerika Serikat. Dengan turunnya produksi
kayu bulat di wilayah tersebut kemudian berdampak kepada keberlanjutan industri
perkayuan dan penyerapan tenaga kerja (Wear dan Park, 1994).
Tahun
Sumber: * Departemen Kehutanan, 2003 dan Kementerian Kehutanan, 2011
** FAO, 2011
Gambar 1. Produksi Kayu Bulat Indonesia Tahun 1995-2009
Dari sisi permintaan, Sinaga (1989) menyebutkan bahwa permintaan kayu
bulat dalam negeri tergatung kepada harga yang berlaku di pasaran dan harga
yang yang berlaku untuk barang substitusinya. Menurut Wan (2009), industry
pengolahan kayu di China sangat tergantung kepada penawaran bahan baku yang
berasal dari impor. Kayu lapis adalah produk kayu olahan yang penting di China,
dan China adalah salah satu negara pengekspor plywood, meskipun tergantung
17
kepada bahan baku dari impor. Walaupun pemerintah secara intensif melakukan
program hutan tanaman, tetapi kebutuhan produksi kayu bulat domestik masih
jauh dari mencukupi.
Samad, et al. (2009) mengemukakan bahwa permintaan kayu bulat dunia
akan meningkat sejalan dengan peningkatan populasi dan peningkatan
pembangunan ekonomi khsusunya di negara-negara berkembang. Dengan alasan
tersebut Malaysia kemudian melakukan komitmen pengellaan hutan lestari,
diantaranya melaksanakan penebangan hutan dengan metoda “reduce impact
logging”. Hal ini mengakibatkan berkurangnya penawaran kayu bulat untuk
industri hilir perkayuan. Malaysia Barat telah mengalami defisit kayu bulat sejak
tahun 1995 berdampak kepada produk utama perkayuan, berpindah dari yang
tadinya surplus menjadi defisit kayu bulat. Dari hasil penelitian perilakuk pasar
kayu bulat di Malaysia Barat berkaitan dengan kebijakan pengelolaan hutan
lestari, menunjukan bahwa pelaksanaan sepenuhnya (full adoption) kebijakan
pengelolaan hutan lestari akan menyebabkan pengurangan penawaran kayu bulat,
yang berlanjut kepada peningkatan harga dalam jangka panjang, namun tidak
berpengaruh kepada permintaan. Kemungkinan kebijakan ini akan mempengaruhi
skema pembangunan hutan tanaman untuk mendukung kelestarian kehutanan di
Malaysia Barat.
Hasil kajian yang diakukan oleh Prahasto dan Nurfatriani
(2001)
menunjukkan bahwa produksi kayu bulat yang dihasilkan dari hutan alam dalam
rentang lima tahun terakhir sebelummya cenderung menurun sedangkan produksi
dari hutan tanaman dari berbagai sumber belum menunjukkan kenaikan yang
berarti. Menurut Surhandari (2008), untuk mengurangi permintaan kayu bulat di
18
Indonesia, alternatif yang mungkin dapat dilakukan dengan pengurangan kapasitas
industri pengolahan kayu, khususnya mengurangi jumlah industri yang dianggap
tidak efisien. Solusi lain yang dapat ditempuh adalah mempercepat pembangunan
hutan tanaman industri (HTI) atau hutan tanaman sejenis seperti hutan tanaman
rakyat (HTR).
Selain untuk pemenuhan bahan baku industri kayu lapis dan kayu gergaji,
produksi kayu bulat Indonesia juga dibutuhkan untuk bahan baku industri pulp.
Perkembangan industri pulp Indonesia selain memiliki peluang pengembangan
yang cukup baik, juga dihadapkan kepada beberapa kendala, diantaranya
persoalan bahan baku, dimana 93 persen kertas dunia berasal dari bahan baku
kayu (Situmorang, 2009).
Upaya untuk melakukan konservasi di Finland akan meningkatkan harga
bahan baku kayu bulat yang juga akan meningkatkan biaya produksi industri
perkayuan. Hal ini telah menyebabkan produksi kayu gergaji turun, tetapi tidak
akan mempengaruhi produksi kertas dan paperboard. Apabila konservasi
meningkatkan impor kayu bulat maka pengaruh terhadap bahan baku terhadap
industri kehutanan menjadi sangat kecil (Hänninen, et al., 2007)
Penelitian dampak kebijakan konservasi di Norwegia yang dilakukan
menggunakan partial equilibrium model untuk sektor kehutanan terhadap harga
kayu bulat dan hasil olahan, menunjukan bahwa harga kayu bulat akan meningkat
rata-rata dengan peningkatan upaya konservasi secara lokal. Dampak terhadap
harga kayu bulat akan menjadi sangat terasa apabila mitra dagang Norwegia juga
melakukan kebijakan konservasi. Apabila pemilik hutan sukarela juga melakukan
konservasi mengikuti kebijakan pemerintah di Norwegia, maka. produksi kayu
19
gergaji domestik diproyeksikan akan berkurang, sementara produksi pulp dan
kertas hampir tidak terpengaruh dalam jangka pendek (short run). Akhirnya
kenaikan permintaan hasil hutan untuk kepentingan lingkungan (environment
good will) akan meningkatkan harga kayu bulat dan intensitas penebangan tidak
berpengaruh terhadap luas kawasan hutan (Bolkesjø et al., 2005)
2.2. Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi
Varian (1987) menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi seperti pajak sering
mempengaruhi anggaran konsumen yang terbatas. Secara teoritis, instrumen pajak
ini akan mempengaruhi perubahan kemiringan (slope) garis anggaran (budget
line) dengan merubah harga yang diterima oleh konsumen.
Nicholson (2000) menjelaskan bahwa untuk mengetahui dampak dari pajak
per unit , perlu dilihat perbedaan pajak yang dibayar oleh pembeli dan pajak yang
dibayar oleh penjual. Pajak per unit merupakan juga besaran harga yang
dibebankan kepada konsumen harga dan produsen. Namun kehilangan yang
mestinya diterima oleh konsumen dan produsen akan menjadi penerimaan bagi
pemerintah.
Penerapan pajak akan membuat harga komoditi meningkat sehingga produsen
akan mengurangi penawaran kayu bulat ke pasar. Dengan penerapan pajak maka
akan terjadi harga keseimbangan baru, dimana harga yang diterima oleh konsumen
adalah sebesar P2, dan harga yang diterima oleh produsen adalah sebesar P3. Provisi
Sumberdaya Hutan (PSDH) atau Resources Royalty Provision adalah pungutan
yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik atas hasil yang dipungut dari
20
hutan negara. Dan DR adalah pungutan yang dibebankan terhadap kayu bulat
hutan alam.
Sumber: Pindyck, 2005 (diolah)
Gambar 2. Penerapan Pajak
Iuran Hasil Hutan di Indonesia pertama kali dipungut tahun 1968,
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1969 tentang Iuran HPH
(IHPH) dan Iuran Hasil Hutan (IHH), Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
2/1/1968 Tahun 1968 tentang Penetapan Besarnya Jumlah IHPH dan IHH, dan
pada waktu itu IHH sudah mencakup pembayaran PBB. Pada tahun 1998
kemudian menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun
1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Bukan Pajak yang berlaku pada
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Besarnya ditetapkan sama sebesar 6
persen dari harga untuk seluruh jenis dan seluruh wilayah. Pada tahun 1999 dasar
hukum yang digunakan adalah Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor 220/kpts-II/1999 tentang Besarnya Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) per
21
satuan Hasil Hutan Kayu. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1999 tentang
Perubahan PP No 59 tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 06/Kep/I/1999 tentang
Penetapan Harga Patokan untuk Perhitungan PSDH, yang kemudian diperbarui
dengan
keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
814/MPP/Kep/12/2002. Besarnya PSDH adalah 10 persen dari harga patokan
(Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, 2005). Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997
tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),
mengelompokan PSDH dalam penerimaan negara bukan pajak.
Pengaruh penerapan kebijakan PSDH dapat didekati dengan penerapan
pajak yang menjelaskan pengaruh pajak terhadap kesejahteraan individu.
Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan pajak, menunjukkan bahwa
kebijakan pajak akan mempengaruhi tingkat produksi kayu bulat.
Simangunsong (2001) menyebutkan bahwa model keseimbangan parsial
perdagangan internasional terhadap kayu tropis dapat digunakan untuk
mempelajari pengaruh liberalisasi perdagangan seperti penghilangan tarif
produksi, konsumsi, ekspor, dan harga serta kesejahteraan negara pengekspor.
Analisis model keseimbangan parsial untuk tujuan analisis, bahwa faktor-faktor
lain tidak berubah (Arsyad, 1999). Hasilnya menunjukkan bahwa dengan
penghapusan tarif akan meningkatkan produksi dan ekspor kayu lapis, kayu
gergaji dan menurunkan harga untuk produk tersebut.
22
Conrad et al. (2005) melakukan penelitian penerapan pajak yang dikenakan
pada kayu hasil produksi sistem tebang pilih pada hutan jenis campuran. Hasil
penelitian ini memberikan insentif dan dampak yang berbeda di Indonesia,
dibandingkan dengan dampaknya yang terjadi di Brazil atau Malaysia, oleh
karena itu disarankan untuk tidak memberlakukan model kebijakan pajak yang
seragam untuk semua negara atau semua jenis hutan.
Di Indonesia, koordinasi dan akuntabilitas yang kuat antara badan-badan
yang mengurus pembayaran REDD+ dan badan-badan yang mengawasi DR akan
sangat penting. Mengingat rencana Kementerian Kehutanan saat ini untuk
mengalokasikan sekitar US$ 2.2 miliar dari DR untuk membiayai pengembangan
hutan tanaman komersial melalui BLU-BPPH (Badan Layanan Umum-Badan
Pembiayaan Pembangunan Hutan) (Barr et al., 2011). Pemberian subsidi untuk
mendukung pembiayaan pembangunan hutan tanaman industry melalui pinjaman
lunak menggunakan dana DR melalui BLU-BPPH sebagaimana sedang
direncanakan pemerintah sangat beresiko, terutama berkaitan dengan transparansi
penggunaan anggaran dan efektifitas penggunaan dana subsidi di lapangan
(Obidzinski dan M. Chaudhury, 2009). Dana yang berasal dari sektor kehutanan
termasuk royalty dari kegiatan eksploitasi hutan dan kesepakatan eksploitasi
sumberdaya, biaya taman nasional, termasuk dana reboisasi serta beberapa iuran
spesifik lainnya, dikelola oleh pemerintah pusat dan didistribusikan ke daerahdaerah. Hanya saja pada praktiknya persoalan distribusi dana ini masih menjadi
persoalan, khususnya dalam hal keterbukaan porsi bagian pemerintah daerah dan
berkaitan dengan ketepatan waktu pendistribusian (Larson, 2004). Hal yang sama
juga terjadi di Kamerun, dimana persoalan yang berkaitan dengan pembagian
23
keuangan dari royalty sektor kehutanan merupakan persoalan yang sensitif,
dimana masalah persoalan distribusi manfaat adalah persoalan yang utama. Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Oyono et al.(2005) tersebut diusulkan untuk
membagikan royalty secara adil dan langsung ke masyarakat. Menurut Alemagi,
(2011), berdasarkan undang-undang di Kamerun, iuran (royalty) yang dipungut
dari perusahaan digunakan bagi pembangunan masyarakat, dimana 50%
dialokasikan untuk Negara, 40% untuk wilayah dimana perusahaan berada dan
10% untuk masyarakat desa tempat perusahaan tersebut beroperasi. Perusahaan
juga diharuskan membayar pajak lingkungan (ecotax) kepada masyarakat yang
nilainya US$1.5 per m3 kayu. Beberapa secara sukarela memberikan kontribusi
antara US$1.2-1.6 per m3 dari setiap kayu yang ditebang dan dijual oleh
perusahaan.
Penetapan harga dan pajak kayu bulat dari hutan alam telah menjadi isu
yang tak kunjung selesai. Dalam jangka menengah hingga jangka panjang harga
internasional berdasarkan FOB sebaiknya dijadikan acuan dalam penetapan pajak
agar industri lebih kompetitif (Dwiprabowo et al., 2003). Dana Reboisasi (DR)
adalah pungutan yang diberlakukan sejak 1989, merupakan dana hutan secara
nasional berupa retribusi berbasis volume tebangan kayu yang dibayarkan oleh
para pemegang konsesi hutan. Selama rentang waktu lebih dari 20 tahun tersebut,
DR telah menghasilkan penerimaan (nominal) sekitar US$ 5.8 milyar,
menjadikannya sumber pendapatan pemerintah terbesar dari sektor kehutanan
(Barr et al., 2010).
Penelitian yang dilakukan Ginoga et al. (2001) menyimpulkan bahwa
potensi penerimaan DR dan IHH/ PSDH sebetulnya akan bisa lebih besar lagi
24
dibandingkan dengan perkiraan potensi apabila kebijakan tarif dan harga patokan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah betul-betul dilakukan. Kebijakan tarif yang
selalu berubah-ubah merupakan salah satu dari beberapa kendala dalam upaya
memperoleh kepastian besarnya dan kelancaran penerimaan iuran.
2.3. Dampak Kebijakan terhadap Kesejahteraan
Kontribusi ekonomi kayu terhadap kesejahteraan sangat tergantung kepada
dukungan kebijakan pemerintah terhadap praktik eksploitasi dan industri
pengelolaan kayu. Kebijakan yang ikut berperan didalamnya termasuk kebijakan
pungutan (iuran) kayu. Penerimaan pemerintah yang berasal dari pungutan bukan
pajak termasuk izin perusahaan, Dana Reboisasi dan PSDH mencapai $682 juta
pada tahun 1997 dan kemudian menurun menjadi $303 juta pada tahun 2002
akibat adanya krisis yang berkepanjangan (World Bank, 2006). Untuk melakukan
evaluasi dampak kebijakan terhadap kesejahteraan dapat dilakukan dengan
menggunakan analisis kesejahteraan.
Bagi negara yang masih memiliki hutan yang berkualitas baik, keberadaan
industri pengolahan kayu akan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat
sekitar . Hal ini juga terjadi di Nigeria, dimana industri kayu lapis didirikan yang
di wilayah Sapele tersebut mampu menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat
di desar Sapele, Nigeria. Keberadaan industri kayu lapis tersebut kemudian
memunculkan industri hilir lainnya yang mengolah produk lanjutan dari industri
hulu tersebut (Okunomo dan Achoja, 2010).
Gambar 2 menunjukan bahwa daerah diantara kurva permintaan dan kurva
penawaran menggambarkan jumlah surplus produsen dan surplus konsumen,
25
dengan menghitung tambahan nilai yang diperoleh dari transaksi pasar. Besarnya
kesejahteraan ini akan maksimum pada keseimbangan pasar persaingan sempurna
(competitive market equilibrium) (Nicholson, 2000).
Menurut Pindyck (2005), surplus konsumen adalah keuntungan total atau
nilai yang diterima konsumen atas biaya yang digunakan untuk membayar barang,
sedangkan surplus produsen adalah keuntungan total atau penerimaan yang
diterima produsen atas biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang
tersebut. Surplus konsumen berada di atas harga dan dibawah permintaan,
sedangkan surplus produsen berada di bawah harga dan di atas penawaran. Just et
al. (1982) menyebutkan bahwa surplus produsen terletak di atas kurva penawaran
dan di bawah garis harga dari perusahaan atau industri, sedangkan surplus
konsumen terletak dibawah kurva permintaan dan di atas garis harga.
Fungsi Produksi Cobb-Douglas adalah fungsi produksi dimana q=AKαLβ,
dimana q adalah tingkat output, K adalah kuantitas modal, dan L adalah kuantitas
tenaga kerja, dimana A, α dan β adalah konstata. Adapun surplus produsen sangat
erat kaitannya dengan keuntungan (profit). Untuk jangka pendek surplus produsen
adalah sama dengan penerimaan (R) dikurangi dengan biaya variabel (VC), yaitu
keuntungan variabel. Keuntungan total adalah penerimaan dikurangi dengan
semua biaya, yaitu biaya variabel dan biaya tetap, dimana; Surplus produsen = PS
= R – VC dan Keuntungan = π = R - VC - FC. Dalam jangka pendek apabila biaya
tetap bernilai positif, maka surplus produsen adalah lebih besar dari keuntungan
(Pindick, 2005)
Download