BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Dakwaan
a) Pengertian Surat Dakwaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) tidak
mengatur mengenai adanya Surat Dakwaan. Surat dakwaan adalah suatu surat
yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum, yang memuat
uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang
didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang
waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat mana menjadi
dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di sidang pengadilan (Harun M.
Husein dan Hamrat Hamid, 1994:43).
Surat Dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut
umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke
pengadilanyang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan
di mana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap
mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan teah didakwakan oleh terdakwa
yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu pula yang nantinya merupakan
dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan
untuk
dibuktikan apakah benar perbuatan yang dakwaan itu betul dilakukan dan
apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggung jawabkan
untuk perbuatan itu (A. Soetomo, 1989).
Berdasarkan definisi yang diuraikan diatas, terdapat perbedaan satu
sama lain namun di balik perbedaannyatersebut terkandung persamaan di dalam
intinya. Inti persamaan diatas berkisar pada hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa surat dakwaan merupakan suatu akte. Sebagai suatu
akte tentunya surat dakwaan harus mencantumkan anggal
tanggal pembuatannya dan tanda tangan pembuatnya.
Suatu akte yang tidak mencantukan tanggal dan tanda
tangan pembuatnya tidak memiliki kekuatan sebagai akte,
meskipun mungkin secara umumdapat dikatakan sebagai
surat.
2. Bahwa setiap definisi surat dakwaan tersebut selalu
mengandung element yang sama yaitu adanya perumusan
tentang tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan
tempat dilakukannya tindak pidana.
3. Bahwa dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa, haruslah dilakukan secara cermat, jelas,
dan lengkap,sebagaimana diisyaratkan dalam ketentuan
perundang-undangan.
4. Bahwa surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan
perkara di siding pengadilan.
b) Fungsi Surat Dakwaan
Surat dakwaan merupakan surat atau akte yang sangat penting
kedudukannya dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dilihat dari fungsi
yang sedemikian penting, maka surat dakwaan meduduki posisi yang sentral
dalam proses penyelesaian perkara di siding pengadilan.
Sebagai suatu akta, maka surat dakwaan mempunyai fungsi yang sangat
dominan di dalam proses pidana. Fungsi-fungsi surat dakwaan tersebut yakni :
a) Bahwa surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus
membatsi ruang lingkup pemeriksaan siding, hal ini berarti
:
(1) Dalam pemeriksaan sidang, pemeriksaan itu dibatasi
oleh fakta-fakta perbuatan yang didakwakan oeh
penuntut umum dalam surat dakwaan yang menjadi
dasar pemeriksan siding tersebut.
(2) Hakim/Pengadilan dalam menjatuhkan putusannya
harus semata-mata didasarkan pada hasil pemeriksaan
dan penilain terhadap fakta-fakta yang didakwakan
dalam surat dakwaan.
(3) Keseluruhan isi dakwaan yang terbukti di persidangan
merupakan
dasar
pertimbangan
hakim
dalam
menjatuhkan putusan.
(4) Tindak pidana apa yang dinyatakan terbukti di
persidangan harus dapat dicari dan ditemukan kembali
dalam surat dakwaan.
b) Fungsi surat dakwan bagi penuntut umum, hakim dan
terdakwa/penasihat hukum.
(1) Fungsi surat dakwaan bagi penuntut umum
Bagi penuntut umum surat dakwaan merupakan
dasar pelimpahan perkara, karena dengan pelimpahan
perkara tersebut penuntut umum meminta agar perkara
tersebut di periksa dan di putus dalam sidang
pengadilan, atas dakwaan yang dilampirkan dalam
pelimpahan perkara tersebut.
(2) Fungsi surat dakwaan bagi hakim
Surat dakwaan bagi hakim merupakan dasar
pemeriksaan, membatasi ruang lingkup pemeriksaan,
dasar pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan
tentang bersalah tidaknya terdakwa dalam tindak
pidana yang didakwakan kepadanya.
(3) Fungsi surat dakwaan bagi terdakwa atau penasihat
hukum
Bagi terdakwa/penasihat hukum surat dakwaan
merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan dan
oleh karena itulah surat dakwaan harus disusun secara
cermat, jelas, dan lengkap. Surat dakwaan yang tidak
memenuhi syarat tersebut, akan merugikan hak
pembelaan
terdakwa
dan
oleh
karenanya
dapat
dinyatakan batal demi hukum (Harun M. Husein dan
Hamrat Hamid, 1994:94-95).
c) Syarat-Syarat Surat Dakwaan
Syarat surat dakwaan dapat dilihat dalam Pasal 143 KUHAP, yang
mencantumkan dua syarat untuk memenuhi sebuah surat dakwaan yaitu
(Yahya Harahap,2002:391):
a) Syarat Formil
Syarat formil yang diatur didalam Pasal 143 ayat
(2) huruf a KUHAP memuat hal-hal yang berhubungan
dengan :
(1) Surat dakwaan diberi tanggal dan di tandatangani oleh
penuntut umum/jaksa.
(2) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan
pekerjaan tersangka.
b) Syarat Materiil
Syarat materiil yang diatur didalam Pasal 143 ayat
(2) huruf b KUHAP memuat dua unsur yang tidak boleh di
lalaikan yaitu :
(1) Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak
pidana yang di dakwakan
(2) Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan
(tempus delecti dan locus delicti)
d) Bentuk Surat Dakwaan
Di dalam KUHAP tidak menetapkan bagaimana bentuk surat
dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum. Mengenai bentuk-bentuk surat
dakwaan adalah merupakan produk yang timbul dari ilmu pengetahuan
hukum dan praktek peradilan.
Bentuk-bentuk surat dakwaan tersebut adalah sebagai berikut :
a) Dakwaan Tunggal/Biasa
Bentuk surat dakwaan biasa adalah surat dakwaan
yang disusun dalam rumusan “tunggal”. Surat dakwaan
hanya berisi satu saja dakwaan. Umumnya perumusan
dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas
serta
tindak
mengandung
fakta
“penyertaan”
(mededaderschap) atau factor concursus maupun faktor
“alternatif” atau factor “subsidair”. Baik pelakunya maupun
tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa jelas dan
sederhana, sehingga surat dakwaan cukup dirumuskan
dalam bentuk tunggal (Yahya Harahap,2002:398). Hal ini
berarti
bahwa
mempunyai
penyusunan
sifat
sederhana
surat
dakwaan
yaitu
sederhana
tunggal
dalam
perumusannya maupun sederhana dalam pembuktian dan
penerapan hukumnya.
b) Dakwaan Alternatif
Surat dakwaan ini didakwakan beberapa perumusan
tindak pidana, tetapi pada hakekatnya yang merupakan
tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak
pidana saja diantara tindak pidana yang didakwakan.
Dakwaan ini digunakan dalam hal antara kualifikasi tindak
pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain
menunjukkan corak atau ciri yang sama atau hampir
bersamaan dan bila belum didapat keputusan tentang tidak
pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam
dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun
secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan
bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya.
Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetap
hanya satu dakwaan yang akan dibuktikan. Pembuktian
dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai
lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang
dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka
dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
c) Dakwaan Subsidair
Susunan dakwaan subsidair ini umumnya dalam
lingkup suatu perbuatan yang parallel atau satu jurusan
yang dalam dakwaan disusun berdasar pada urutan berat
ringannya perbuatan yang tentu akan berbeda tentang berat
ringan ancaman pidananya. Dalam dakwaan ini terdiri dari
beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis
dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai
pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun
secara berurut dimulai dari tindak pidana yang diancam
dengan pidana terberat sampai dengan tindak pidana yang
diancam dengan pidana teringan. Pembuktian dilakukan
secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan
lapisan terbawah.
d) Dakwaan Kumulatif
Bentuk surat dakwaan ini terdapat beberapa tindak
pidana masing-masing berdiri sendiri artinya tidak ada
hubungan antara tindak pidana yang satu tehadap yang lain
dan
didakwakan
secara
serempak.
Dalam
hal
ini
didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus dari kesemua
dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Tindak pidana
yang didakwakan masing-masing berdiri sendiri, tetapi
didakwakan secara serempak asal saja pelaku dari tindak
pidana itu adalah sama. Dakwaan yang tidak terbukti harus
dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari
dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal
terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masingmasing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri.
e) Dakwaan Kombinasi atau Gabungan
Dakwaan kombinasi adalah merupakan kombinasi
dari dakwaan yang berbentuk alternatif dengan dakwaan
subsidair atau antara dakwaan komulatif dengan dakwaan
subsidair atau antara dakwaan komulatif dengan dakwaan
alternatif, dan sebagainya. Dakwaan ini harus diperhatikan
secara teliti mengenai bentuk-bentuk dari kumulasinya, dan
jangan sampai upaya untuk mencegah terdakwa lepas dari
dakwaan.
Timbulnya
bentuk
ini
seiring
dengan
perkembangan di bidang kriminalitas yang semakin variatif
baik dalam bentuk atau jenisnya maupun dalam modus
operandi yang dipergunakan.
2. Tinjauan Tentang Penuntut Umum
a) Pengertian Penuntut Umum
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 memberikan
uraian pengertian Jaksa dan Penuntut Umum pada Pasal 1 butir
6a dan b serta Pasal 13 menegaskan bahwa:
a) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta
melaksanakan
putusan
pengadilan
yang
telah
memperoleh kekuatan hukum tetap ( Pasal 1 butir 6a
KUHAP ).
b) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang
untuk
melakukan
penuntutan
dan
melaksanakan penetapan hakim ( Pasal 1 butir 6a jo. Pasal
13 KUHAP ).
b) Wewenang Penuntut umum
Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan
terhadap siapapun yang di dakwa melakukan suatu tindak
pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara
ke pengadialan yang berwenang mengadili. Penuntut Umum
mempunyai wewenang :
a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
b) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110
ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam
rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c) Memberikan
perpanjangan
penahanan,
melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah
status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik;
d) Membuat surat dakwaan ( letter of accuasation );
e) Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f) Menyampaikan
pemberitahuan
kepada
terdakwa
tentangketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang
disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk dating pada siding yang telah
ditentukan;
g) Melakukan penuntutan ( to carry out accusation );
h) Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan
undang-undang ini;
j) Melaksanakan penetapan hakim;
c) Beberapa pengertian yang berkaitan dengan Penuntutan
a) Penuntutan
adalah
tindakan
Penuntut
Umum
untuk
melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang
berwenang dalah hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di siding pengadilan;
b) Penuntut Umum adalah Jaksa yang di beri wewenang oleh
Undang-Undang
untuk
melakukan
penuntutan
dan
melaksanakan penetapan hakim;
c) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UndangUndang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memporeleh
kekuatan hukum yang tetap;
d) Surat Dakwaan adalah surat atau akta yang dibuat oleh
Jaksa Penuntut Umum yang berisi rumusan tindak pidana
yang
didakwakan
terhadap
terdakwa
berdasarkan
kesimpulan yang ditarik dari hasil penyelidikan dan
merupakan dasar pemeriksaan didepan siding pengadilan;
e) Suarat Tuntutan adalah Naskah atau Surat yang berisi uraian
Penutut Umum mengenai hasil pemeriksaan perkara pidana
di sidang pengadilan tentang pembuktian berdasarkan surat
dakwaan, disertai tuntutan pidana terhadap terdakwa,
apabila terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan. Dan apabila dinilai terdakwa tidak
terbukti bersalah dituntut untuk dibebaskan atau dilepaskan
dari segala tuntutan hokum;
f) Tuntutan pidana adalah permintaan Penuntut Umum kepada
Pengadilan ( Hakim ) mengenai jenis dan berat / ringannya
pidana ( hukuman ) yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
(HMA Kuffal, 2010:201-202).
3. Pencemaran Nama Baik
a) Pengertian Pencemaran Nama Baik
Pencemaran nama baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada
dasarnya adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan
dalam arti seksual sehingga orang itu merasa dirugikan. Kehormatan dan
nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain, karena menyerang kehormatan akan
berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang
nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat
tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan atau
nama baik sudah cukup dijadikan alasan untuk menuduh seseorang telah
melakukan penghinaan (A.Vebriyanti Rasyid, 2014:24).
Di Indonesia, Pasal-Pasal penghinaan ini masih dipertahankan.
Alasannya, selain menghasilkan character assassination, pencemaran nama
baik juga dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia yang
masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur. Karena itu, pencemaran
nama baik adalah salah satu bentuk rechtsdelicten dan bukan wetdelicten.
Artinya, pencemaran nama baik sudah dianggap sebagai bentuk ketidakadilan
sebelum dinyatakan dalam Undang-Undang karena telah melanggar kaidah
sopan santun. Bahkan lebih dari itu, pencemaran nama baik dianggap
melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran itu terdapat fitnah.
(Brian
Prastyo,
“Penghinaan
dan
Pencemaran
Nama
Baik”,
http://staff.blog.ui.ac.id/brian.amy/2008 /04/18/penghinaan-dan-pencemarannama-baik/#more-8 diakses pada hari Rabu tanggal 02 Desember 2015, pukul
19.25 wib).
Larangan memuat kata penghinaan sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11 tahun 2008 sebenarnya dibuat untuk
melindungi hak-hak individu dan institusi dikarenakan pada dasarnya
informasi yang akan kita publikasikan seharusnya sudah mendapat izin dari
yang bersangkutan agar yang bersangkutan tidak merasa dirugikan dengan
perbuatan kita tersebut sehingga kita bisa mempertanggung jawabkannya.
Selain Pasal 27 dan 28 UU ITE No. 11 2008 tentang pencemaran
nama baik, dalam kitab-kitab undang hukum pidana juga mengatur tentang
pidana penghinaan dan pencemaran nama baik.
b) Bentuk Pencemaran Nama Baik
Pencemaran nama baik terlihat dari 2 macam, yaitu pencemaran nama
baik secara lisan, dan pencemaran nama baik secara tertulis. Dalam
pencemaran nama baik dikenal dengan istilah penghinaan, dimana dibagi
menjadi sebagai berikut :
a. Penghinaan materiil
Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan
yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka
yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang
digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk
membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum.
b. Penghinaan formil
Dalam hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan, melainkan
bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan
caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara
menyatakan adalah
dengan
cara-cara
kasar
dan
tidak
objektif.
Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan
dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup.
Perlu diketahui bahwa pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan
secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) maupun dengan tulisan atau gambar
(Pasal 310 ayat [2] KUHP). Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa
penghinaan itu sendiri ada 6 macam, yaitu:
(1) Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP)
Menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara
“menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud
agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak).
(2) Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP)
Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan
tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu
dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut
pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau
gambar.
(3) Fitnah (Pasal 311 KUHP)
Pasal 310 KUHP, sebagaimana kami sarikan, perbuatan dalam Pasal 310 ayat
(1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan
(tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela
kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Jadi, yang dimaksud
dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista
dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa
tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak
dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar.
(4) Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata
makian yang sifatnya menghina. Pasal 315 KUHP, sebagaimana kami sarikan,
mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain
“menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “sundel”,
dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan
ringan”. Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan seperti
meludahi di mukanya.
(5) Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP)
Dalam
buku
yang
berjudul Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam hukuman dalam pasal ini
ialah orang yang dengan sengaja:
a. memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada
pembesar negeri;
b. menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang
kepada pembesar negeri (R. Sugandhi, S.H. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, hal 337).
(6) Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP)
Pasal 318 KUHP, sebagaimana kami sarikan, yang diancam hukuman dalam
pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang
menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana,
misalnya: dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan
di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan
kejahatan
Delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang bersifat
subyektif yang artinya penilaian terhadap pencemaran nama baik sangat
bergantung pada pihak yang diserang nama baiknya. Oleh karenanya, delik
dalam pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa
diproses oleh pihak yang berwenang jika ada pengaduan dari saksi korban
pencemaran nama baik. Dengan kata lain tulisan atau lisan bisa dikatakan
mencemarkan nama baik diukur dari bagaimana korban merasa hal tersebut
menyerang nama baiknya. Walaupun dalam pembuktiannya nanti hakimlah
yang memutuskan. Tindak pidana atas nama baik yan dimaksud melalui lisan
yang secara sengaja disiarkan (disebar) atau dipertunjukkan untuk menyerang
reputasi atau kehormatan orang lain (A.Vebriyanti Rasyid, 2014:24).
4. Tinjauan tentang Putusan Hakim.
a) Kajian tentang Hakim
Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia( Bambang Poernomo,1988:30).
Menurut ketentuan KUHAP Pasal 1 butir (8) yang dimaksud
dengan pengertian hakim adalah pejabat peradilan Negara yang
diberi wewenang oleh undang-undang yang mengadili. Sedangkan
menurut Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman hakim pada Mahkamah Agung dan
hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
linkungan peradilan umum ,lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer ,lingkungan peradilan Tata Usaha Negara ,dan
hakim pada pengadilan khusus yang berada pada lingkungan
peradilan tersebut. Dan pada Pasal 19 hakim adalah pejabat Negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UndangUndang. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa seorang hakim harus
memiliki
integritas
dan
,jujur,adil,profesional,
dan
kepribadian
yang
berpengalaman di
tidak
tercela
bidang hukum.
Kebebasan peradilan dan kebebasan hakim merupakan syarat mutlak
bagi suatu Negara hukum. Peradilan yang bebas dapat memberikan
suatu keadilan tanpa dipengarui oleh kekuatan dan kekuaaan dari
pihak manapun dalam bentuk apapun. Kebebasan hakim juga mutlak
diperlukan terutama untuk menjamin keobyektifan hukum dalam
putusannya,kebebasan hakim bukanlah dimaksudkan adanya suatu
hak-hak istimewa dari para hakim untuk daapat berbuat sebebas-
bebasnya terhadap suatu perkara yang diperiksa karena hakim harus
terikat dan tunduk pada hakim .
b) Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan
Putusan yang dijatuhkan hakim terhdap suatu perkara ,harus benarbenar menghayati arti amanah dan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing
.Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsurunsur dari suatu tindak pidana yang dapat menunjukkan perbuatan
terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang
didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan
terhadap amar atau diktum putusan hakim( Lilik Mulyadi ,2007:193).
a) Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang
didasarkan oada fakta –fakta yuridis yang terungkap dalam
persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang
harus dimuat didalam putusan ( Rusli Muhammad,2007 212-220)
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan
hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di
dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan
sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan
yang
bersifat
yuridis
ini
diantaranya
yaitu
(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4748/1/09E01948.pdf):
(1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan
tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang
disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan,
dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam
pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah
surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syaratsyarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi identitas
terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu
dilakukannya tindak pidana dan memuat Pasal yang dilanggar
(Pasal 143 ayat (2) KUHAP).
(2) Tuntutan Pidana
Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis
dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut
oleh
Jaksa Penuntut
Umum untuk
dijatuhkan oleh
pengadilan kepada terdakwa, dengan menjelaskan karena
telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana, Jaksa
Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut
di atas. Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut
Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum
dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang
disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan
oleh
Jaksa
Penuntut
Umum
sebelum
sampai
pada
tuntutannya di dalam requisitoir itu biasanya Penuntut
Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur
tindak pidana yang ia dakwakan kepada terdakwa, dengan
memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.
(3) Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan
ia
alami
sendiri
dengan
menyebut
alasan
dari
pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti
seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a.
Keterangan saksi merupakan keterangan mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan alami
sendiri, yang harus disampaikan dalam sidang pengadilan
dengan
mengangkat
sumpah.
Keterangan
saksi
yang
disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil
pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian
orang lain tidak dapat dinilai sabagai alat bukti yang sah.
Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut
dengan istilah testimonium de auditu. Kesaksian de auditu
dimungkinkan dapat terjadi di persidangan.
(4) Keterangan Terdakwa
Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e,
keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan
terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang
ia alami sendiri, ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan
terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan
keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan
kepadanya.
(5) Barang-barang Bukti
Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa
untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil
dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti
yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk
menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan
terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adanya
barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan
menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang
tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan
diakui oleh terdakwa maupun para saksi.
b) Pertimbangan Non Yuridis
Di samping pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim dalam
menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non
yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan
nilai keadilan, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis.
Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai
yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan terdakwa,
Memperhatikan ada atua tidaknya perdamaian ,kesalahan, peran
korban, Faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan, Faktor kebdayaan,yaitu sebagi hasil karya
cipta dn rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan
hidup.
c) Pertimbangan yang Memberatkan dan Meringankan
Seorang
hakim
mempertimbangkan
dalam
apakah
menjatuhkan
terdakwa
putusan
benar-benar
harus
melakukan
perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Lalu hakim juga harus
mempertimbangkan
juga
hal-hal
yang
memberatkan
dan
meringankan terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, hakim
dipengaruhi
oleh
banyak
hal
yang
dapat
dipakai
sebagai
pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan, baik
yang terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang, jangan
sampai penentuan pidana oleh hakim itu akan berdampak buruk
dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan hukum itu sendiri
pada khususnya.
Selain alat bukti yang sah, untuk menentukan berat ringannya pidana
yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, ada faktor lain yang harus
diperhatikan oleh hakim, yaitu hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang
memberatkan.
(1) Pertimbangan yang Memberatkan
(a) Hal-hal yang Memberatkan Pidana dalam KUHP
KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan
alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang
memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP) dimana
pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52
KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
“bilamana
seseorang
pejabat
karena
melakukan tindakan pidana, melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya atau pada
waktu melakukan tindak pidana memakai
kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang
diberikan kepadanya karena jabatannya,
pidananya dapat ditambah sepertiganya”
Yang kedua yaitu recidive atau pengulangan dimana dalam KUHP
menganut sistem Recidive Khusus artinya pemberatan pidana hanya
dikenakan
pada
pengulangan
jenis-jenis
tindak
pidana
(kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam
tenggang waktu tertentu, dan yang terakhir yaitu gabungan atau
semenloop (adalah orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana).
(b) Hal-hal yang Memberatkan pada Putusan Pengadilan
Dalam hal ini yang dijadikan dasar alasan
memberatkan pidana yaitu meresahkan masyarakat.
(2) Hal-hal yang Meringankan
Menurut
KUHP
alasan-alasan
yang
dapat
meringankan pidana adalah:
(a) Percobaan (Pasal 53 ayat (2 dan 3));
(b) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1 dan
2));
(c) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47).
Selain itu hal-hal yang dapat meringankan dalam
persidangan adalah sebagai berikut:
(1) Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap pengadilan, dan
pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya
persidangan;
(2) Pada
kejahatannya
tersebut
tidak
ada
motif
yang
berhubungan dengan latar belakang publik;
(3) Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan penyealan
atas perbuatannya.
c) Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Perkara Pidana
Mengenai jenis putusan hakim ,ada 2 (dua) jenis putusan
hakim dalam hukum pidana yang dikenal selama ini, yaitu putusan
sela dan putusan akhir.
a) Putusan Sela
Putusan sela merupakan putusan yang belum menyinggung mengenai
pokok perkara yang terdapat didalam suatu dakwaan. Dalam hal ini
berkaitan dengan suatu peristiwa apabila terdakwa atau penasihat
hukum mengajukan suatu keberatan bahwa pengadilan tidak
berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima
atau surat dakwaan harus dibatalkan.
Upaya-upaya hukum dalam hukum acara pidana dibedakan menjadi 2
(dua) bagian, yaitu:
a. Upaya Hukum Biasa, yang terdiri dari:
1. Pemeriksaan tingkat banding pada Pengadilan Tinggi;
2. Pemeriksaan tingkat kasasi pada Mahkamah Agung.
b. Upaya Hukum Luar Biasa, yang terdiri dari:
1.
Pemeriksaan
tingkat
kasasi
demi
kepentingan
umum,
dimana permohonannya diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya;
2. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka kedudukan putusan
sela berada pada pengadilan tingkat pertama, dalam hal ini adalah Pengadilan
Negeri.
b) Putusan Akhir
Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka
sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan
memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara
dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai
putusan akhir (Ahmad Rifai, 2010: 112).
Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang dapat
dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
(1) Putusan Bebas (vrijspraak)
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan
terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya,
apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap
terdakwa di persidangan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Putusan bebas ini dijelaskan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP,
yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa
diputus bebas. Dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang
diisyaratkan oleh pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu karena:
(a)Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
yang disebut oleh pasal 184 KUHAP, misalnya hanya ada
satu saksi saja, tanpa diteguhkan dengan bukti lain;
(b)Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi
Hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan
terdakwa, misalnya terdapat dua keterangan saksi, akan
tetapi Hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa;
(c)Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti
(2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (onslaag van
allerecht vervolging)
Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan dijatuhkan
oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana
dalam dakwaan
Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa
perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan
oleh karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari
segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP) (Ahmad
Rifai, 2010: 113).
Putusan Pengadilan lepas dari segala tuntutan hukum
adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah
melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat Pengadilan
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Dasar
hukum jenis putusan ini terdapat dalam pasal 191 ayat (2)
KUHAP yang menyebutkan : “Jika pengadilan berpendapat
bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,
tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka
terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan.
(3) Putusan Pemidanaan
Jenis putusan pengadilan ini adalah putusan yang membebankan
suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti
secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan itu. Apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan maka pengadilan
menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).
Terdakwa telah terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Penuntut Umum,
maka terhadap terdakwa harus dipatuhi pidana yang setimpal dengan
tindak pidana yang dilakukannya. Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pidana
terdiri atas :
(1)
Pidana Pokok
: Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana
Kurungan, dan Denda;
(2)
Pidana Tambahan : Pencabutan hak-hak tertentu,
Perampasan barang-barang tertentu, dan Pengumuman
Putusan Pengadilan.
5. Tinjauan tentang Eksepsi
a) Pengertian Eksepsi
Eksepsi secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks
hukum acara, bermakna tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada halhal
yang
menyangkut
syarat-syarat
atau
formalitas
gugatan
yang
mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Tujuan pokok pengajuan eksepsi
yaitu agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa
pokok perkara (M.Yahya Harahap, 2002:418).
Berdasarkan Pasal 156 ayat (1) KUHAP pengajuan keberatan adalah hak
dari terdakwa dengan memperhatikan bahwa eksepsi harus diajukan pada
siding pertama yaitu setelah Penuntut Umum membacakan surat dakwaan.
Eksepsi yang dapat diajukan di luar tenggang waktu tersebut adalah eksepsi
mengenai kewenangan mengadili sebagaimana disebut dalam Pasal 156 ayat
(7) KUHAP.
b)
Jenis-Jenis Eksepsi
Eksepsi di bagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1) Eksepsi Kewenangan Mengadili (exception of incompetency) adalah
pengadilan yang dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili.
Kewenangan mengadili sendiri terdapat dua jenis yaitu tidak berwenang
secara absolut yang didasarkan pada faktor perbedaan lingkungan
peradilan berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman dan juga tidak
berwenang secara relatif yang didasarkan pada faktor daerah atau
wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan yang
sama.
2) Eksepsi Kewenangan Menuntut Gugur dalam ini terjadi karena tindak
pidana yang didakwakan telah pernah diputus dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap atau dalam bahasa latinnya ne bis in idem atau
terjadi karena penuntutan yang diajukan telah melampau tenggang
waktu atau daluarsa (soal daluarsa dalam KUHP diatur dalam Pasal 78 –
82) atau terjadi karena terdakwa telah meninggal dunia.
3) Eksepsi Dakwaan Tidak Dapat Diterima, hal ini diajukan bila tata cara
pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat formil. Apabila
tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sedang dalam
pemeriksaan di pengadilan negeri lain. Apabila orang yang diajukan
sebagai terdakwa keliru (salah orang) dalam artian yang seharusnya
diajukan adalah orang lain (dalam hal ini pelaku tindak pidana yang
sebenarnya), Apabila bentuk dakwaan yang diajukan tidak tepat dalam
hal ini berarti Penuntut Umum keliru dalam merumuskan tindak pidana
yang dilakukan oleh terdakwa.
4) Eksepsi Dakwaan Batal Demi Hukum, dalam hal ini dakwaan tidak
memunhi syarat yang diminta dalam Pasal 142 ayat (2) KUHAP
sehingga dianggap kabur, membingungkan, sekaligus menyesatkan yang
berakibat sulit bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan diri. Ada
beberapa sebab yang menyebabkan dakwaan batal demi hukum
diantaranya adalah Dakwaan tidak memuat tanggal dan tanda tangan
dimana berdasarkan Pasal 143 ayat (2) KUHAP meminta Jaksa Penuntut
Umum untuk membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan tanda
tangan, Dakwaan tidak memuat secara lengkap identitas terdakwa yang
terdiri dari nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir atau umur, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan (Pasal 143
ayat (2) KUHAP). Dakwaan tidak menyebut tempat dan waktu kejadian
dimana tindak pidana tersebut terjadi (Pasal 143 ayat (2) huruf (b)
KUHAP). Dakwaan tidak disusun secara cermat, jelas, dan lengkap
mengenai uraian tindak pidana yang didakwakan dalam artian semua
unsur delik dirumuskan dalam pasal pidana yang didakwakan harus
cermat disebut satu persatu serta menyebut dengan cermat, lengkap, dan
jelas mengenai cara tindak pidana dilakukan secara utuh.
B. Kerangka Pemikiran
Proses Persidangan
Perkara Pencemaran
Nama Baik Nomor :
276/Pid.B/2013/Pn.Mtr
Penuntut Umum
Hakim
Terdakwa
Surat Dakwaan
Kabur /
Obscuur Libel
Putusan
Sela
Eksepsi
Gambar 1. Kerangka pemikiran
Keterangan
Kerangka pemikiran tersebut penulis buat untuk menjelasan alur berpikir
penulis dalam menyusun Penelitian Hukum ini. Berdasarkan kerangka pemikiran
diatas Proses Persidangan Tindak Pidana Pecemaran Nama Baik Nomor :
276/Pid.B/2013/Pn.Mtr .
Surat Dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara, Penuntut Umum
merupakan pejabat yang berwenang untuk membuat suatu Surat Dakwaan.
Mengingat bahwa Surat Dakwaan ini akan menjadi dasar dari Penuntut Umum untuk
mengajukan tuntutan hukumannya. Hakim dalam menjatuhkan putusan beracuan
pada dakwaan dari Penuntut Umum.
Berdasarkan penjelasan mengenai hal tersebut maka Penuntut Umum dalam
membuat Surat Dakwaan dilakukan secara tidak jelas karena tidak mencantumkan
pasal tindak pidananya dan mengakibtkan dakwaan Penuntut Umum dinyatakan oleh
Hakim Kabur/Obscuur Libel. Dikarenakan putusan ini merupakan putusan sela yang
belum mencangkup pokok perkara maka Hakim memutus Surat DakwaanBatal Demi
Hukum dan Terdakwaa bebas dari segala tuntutan.
Download