plagiat merupakan tindakan tidak terpuji plagiat

advertisement
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
TEO
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
SKRIPSI
Oleh :
HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO
NIM: 096114044
PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI
JURUSAN TEOLOGI – FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
TEO
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Teologi
Program Studi Ilmu Teologi
Oleh :
HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO
NIM: 096114044
PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI
JURUSAN TEOLOGI – FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
ii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
SKRIPSI
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
Oleh:
HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO
NIM: 096114044
Telah disetujui oleh:
Pembimbing I
tanggal, .................................
Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr
Pembimbing II
tanggal, .................................
Karl-Edmund Prier, SJ., Lic. Phil.
iii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
SKRIPSI
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
Oleh:
HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO
NIM: 096114044
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal ...........................................
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama lengkap
Tanda tangan
Ketua
: Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr
............................
Sekretaris
: Dr. YB. Prasetyantha, MSF
............................
Anggota
: Karl-Edmund Prier, SJ., Lic. Phil.
............................
Yogyakarta, .............................
Fakultas Teologi
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
(Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr)
iv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PERNYATAAN MENGENAI KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa
skripsi yang berjudul:
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
Tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 9 Juni 2013
Penulis,
Hieronymus Rony Suryo Nugroho
NIM: 096114044
v
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Karya tulis ini saya persembahkan kepada:
Gereja Keuskupan Agung Semarang dan para pembaca
Quaerite Deum per musicam
“Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku;
dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa” (Mzm 23:6).
vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRAK
Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya dalam bentuk musik gamelan
Jawa dengan segala instrumen dan bentuk gendingnya. Kekayaan budaya Jawa ini
dipandang oleh Gereja sebagai peluang untuk pewartaan Injil dan ungkapan iman
umat kepada Allah. Gereja secara positif memandang kebudayaan setempat, serta
“memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi pelbagai suku dan
bangsa” (SC 37) tersebut. Keterbukaan dari Gereja dan budaya Jawa ini,
mendorong adanya inkulturasi demi pewartaan Injil kepada umat Jawa.
Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah peran dan makna
tangga nada pelog di dalam liturgi. Fakta menunjukkan bahwa tangga nada pelog
mendapatkan proporsi yang lebih banyak di dalam buku Kidung Adi mulai dari
gending-gending perintis ciptaan C. Hardjasoebrata pada tahun 1926 sampai
sekarang. Pertanyaan dasarnya adalah mengapa tangga nada pelog digunakan di
dalam liturgi? Bagaimana nyanyian-nyanyian dengan tangga nada pelog ini dapat
membantu umat beriman dalam menghayati Misteri Paskah, yaitu sengsara, wafat
dan kebangkitan Kristus? Bagaimana tangga nada pelog dapat menjadi dasar
untuk nyanyian proprium maupun ordinarium, bahkan aklamasi dan lagu prefasi?
Metode penulisan yang digunakan penulis adalah studi pustaka dan
wawancara. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan
dengan musik gamelan Jawa, kebudayaan Jawa, liturgi secara umum, teologi
inkulturasi, inkulturasi musik liturgi, dan dokumen-dokumen Gereja mengenai
musik liturgi. Narasumber yang akan diwawancarai adalah para pencipta gending
Gereja. Analisis peran dan makna tangga nada pelog dalam liturgi akan ditempuh
melalui analisis gending-gending Gereja bertangga nada pelog terutama yang
terdapat dalam buku Kidung Adi, apakah cocok dengan teori-teori teologi
inkulturasi dan dokumen-dokumen Gereja.
Tangga nada pelog secara struktur memilki intonasi yang tidak
sembarangan. Butuh konsentrasi dalam menyanyikannya. Konsentrasi, pencarian
dan kerinduan manusia kepada Allah, serupa dengan proses menyanyikan tangga
vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
nada pelog. Konsentrasi dalam menyanyikan tangga nada pelog membantu umat
untuk berkonsentrasi dalam menanggapi pewahyuan Allah melalui liturgi.
Mencari Tuhan dalam kebersamaan dengan yang lain.
Gending Gereja mendorong umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar
dan aktif dalam liturgi (bdk. SC 14). Umat dapat mengetahui dan mengerti apa
yang mereka ungkapkan lewat lagu, karena lagu tersebut sesuai dengan cita rasa
Jawa. Mereka dapat mengetahui dan mengerti apa yang terungkap dan
diungkapkan melalui gending Gereja. Kerja sama dalam menyanyikan gending
dan memainkan gamelan juga mencerminkan kebersamaan dan partisipasi umat di
dalam liturgi.
Gending Gereja semakin memperjelas Misteri Kristus. Syair gending Gereja
dapat memperjelas misteri yang sedang dirayakan, karena dikarang dan diolah
dengan bersumber pada Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Melodinya pun
menggunakan tangga pelog yang, selain membutuhkan konsentrasi dalam
menyanyikannya, dapat diolah menjadi gending-gending Gereja dengan berbagai
macam suasana.
viii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRACT
Java has a rich cultural wealth in the form of Javanese gamelan music, with
all its musical instruments and gendings. The Church has a look at this cultural
wealth as an opportunity for evangelization and expression of faith for the people
of God. The Church looks at the local culture positively, “to respect and foster the
genius and talents of the various races and peoples” (SC 37). The openness of
both sides, the Church and Javanese culture, encourages inculturation for the
evangelization to the Javanese peoples.
The concern to be addressed in this essay is the role and meaning of pelog
scales in the liturgy. The evidences suggest that the pelog scales get more
proportion in the Kidung Adi and in sacred gendings created by C.
Hardjasoebrata. Basically the question is why pelog scales are used in the liturgy?
How do the songs based on pelog scales can help the faithful in living the Paschal
Mystery: the passion, death and resurrection of Christ? The method used by the
author is the study of literature and interviews. The author uses books dealing
with Javanese gamelan music, Javanese culture, liturgy in general, inculturation
theology, liturgical inculturation music, and church documents regarding liturgical
music. People who will be interviewed are the composers of sacred gendings.
Analysis of the role and meaning of pelog scales in the liturgy will be pursued
through analysis of the sacred gendings based on pelog scales which were
matched with the theories of inculturation theology and church documents.
Pelog scales need special attention in intonation. It takes concentration when
singing this scales. Concentration, searching, and longing of man to God, are
similar to the process in singing pelog scales. Concentration in singing the pelog
scales helps the singers to concentrate on responding to God’s revelation through
liturgy. Finding God in unity with others.
The sacred gendings encourage the faithful to participate fully, consciously
and actively in liturgy (cf. SC 14). People can know and understand what they
express through the songs, for the songs are in accordance with the Javanese
ix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
culture. Javanese people can know and understand what is revealed and expressed
through the sacred gendings. Team working in singing the gendings and playing
the gamelan also reflects togetherness and participation of the faithful in the
liturgy.
The sacred gendings clarify Christ’s Mistery. The texts of the sacred
gendings clarify the mistery, because they are composed based on the Scipture
and liturgical sources. The melodies based on pelog scales, require contrentration
in singing, the pelog scales can generate various moods.
x
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
KATA PENGANTAR
Tidak jarang muncul komentar, bahwa Misa bahasa Jawa dengan iringan
gending Gereja itu lama dan membosankan. Lagunya lambat, bahasanya kurang
dimengerti, membuat ngantuk, dan hanya dihadiri oleh orang-orang tua. Anakanak muda yang gaul bisa jadi lebih memilih untuk Misa di tempat-tempat yang
iringannya bersemangat, bahasanya dimengerti, dan memungkinkan mereka untuk
bertemu dengan orang-orang seusia mereka. Kata gaul menjadi acuan bagaimana
mereka harus bersikap dan menciptakan relasi dengan yang lain.
Musik gamelan Jawa yang terkesan berat dan sulit untuk dipahami ini
mencerminkan kedalaman maknanya. Musik gamelan Jawa mengandung nilai
filosofis dan religius yang tinggi, sehingga tidak begitu saja bisa dicerna sambil
sepintas lalu. Dibutuhkan refleksi yang mendalam dan konsentrasi yang penuh.
Ketika musik gamelan Jawa mengalami inkulturasi dan menjadi gending Gereja,
makna dan nilainya diperbarui sesuai dengan semangat liturgi Gereja. Gending
Gereja pun menjadi bagian integral dari liturgi, yang dapat membantu umat dalam
merayakan Misteri Paskah dan mengungkapkan imannya. Konsentrasi dan
refleksi semakin dibutuhkan dalam menyanyikan dan memainkan gending Gereja.
Gending Gereja memang menggunakan kedua tangga nada: slendro dan
pelog. Namun, tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih di dalam
gending Gereja. Tangga nada ini memang berbeda dengan tangga nada diatonis
yang sudah biasa dikenali melalui musik Barat dan musik-musik popular. Ada
suatu suasana tertentu yang dibawa dan muncul dari geding-gending Gereja yang
dibuat dengan tangga nada ini. Dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik
untuk secara lebih jauh membahas mengenai “Peran dan Makna Tangga Nada
Pelog di dalam Liturgi”.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mengalami banyak kesulitan dan
tantangan. Kendati demikian, banyak pihak telah membantu penulis untuk tetap
bertahan dalam proses yang panjang ini. Untuk itu, penulis ingin menghaturkan
xi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
rasa syukur kepada Allah atas kehadiran pribadi-pribadi yang membantu dan
memberikan semangat kepada penulis:
1. Rm. Karl-Edmund Prier, SJ., selaku pembimbing pertama yang dengan
penuh kesabaran, kerendahan hati, ketelitian, ketekunan dan kasih,
menuntun penulis, memberikan masukan dan komentar-komentar yang
membangun.
2. Rm. J. Kristanto, Pr., selaku Rektor Seminari Tinggi Santo Paulus yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkembang dalam
masa pendidikan di seminari tercinta ini. Terima kasih juga atas dukungan
dan fasilitas yang disediakan.
3. Rm. Rubiyatmoko, Pr., selaku pembimbing rohani penulis, yang selalu
memberikan peneguhan dan bersedia mendengarkan keluh kesah penulis.
4. Keluarga tercinta: Bapak Suparjana (Pak John) dan Ibu Muryanti, yang
tidak henti-hentinya mendukung dan mengingatkan penulis untuk secara
serius menjalani panggilan dan mengerjakan skripsi. Mas Raymond, Mbak
Emtha, Arvin dan Mbak Ita (Sr. Rita, AK), yang dengan cara mereka
masing-masing mendukung penulis.
5. Teman-teman angkatan: Ontong, Bang Jack, Yusti, Pras, Graha, Bang
Tom, Ipung, Adi, Nanung, Andri, Ari, dan Ivan, yang telah memberikan
semangat dan inspirasi bagi penulis dalam hidup keseharian.
6. Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, yang telah menciptakan
suasana kondusif dan mendorong penulis untuk mengerjakan dan
menyelesakan skripsi ini.
7. Untuk semua orang yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang
telah memberikan berbagai macam dukungan: doa, sapaan, ejekan, canda,
peringatan, paket, buku-buku, mengajari metode penelitian, dll. Penulis
sungguh merasa diteguhkan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan di
sana-sini yang perlu diperbaiki. Maka, sumbangan kritik dan saran demi semakin
xii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
baiknya skripsi ini sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi kecil ini dapat
memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya.
Yogyakarta, 13 April 2013
Hieronymus Rony Suryo Nugroho
Penulis
xiii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
ABSTRACT ....................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ........................................................................................ xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xviii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xix
BAB I.
PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1
Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah .............................................................................. 5
1.3
Metode Penulisan ............................................................................... 6
1.4
Tujuan Penulisan ................................................................................ 6
1.5
Sistematika Penulisan ......................................................................... 7
BAB II.
TANGGA NADA PELOG DALAM MUSIK
GAMELAN JAWA .......................................................................... 9
2.1
Musik Gamelan Jawa sebagai Musik Khas Jawa ............................. 10
2.2
Sistem Tangga Nada Gamelan Jawa ................................................ 20
2.1.1
Tangga Nada Slendro ....................................................................... 23
2.1.2
Tangga Nada Pelog .......................................................................... 26
2.3
Bentuk Gending pada Umumnya ..................................................... 29
2.3.1
Jenis-jenis Tembang ......................................................................... 29
xiv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2.3.1.1
Tembang Macapat atau Alit ............................................................. 29
2.3.1.2
Tembang Tengahan atau Madya ...................................................... 31
2.3.1.3
Tembang Gedhe atau Ageng ............................................................ 31
2.3.1.4
Tembang Dolanan ............................................................................ 32
2.3.1.5
Beberapa Jenis Tembang Lain ......................................................... 33
2.3.2
Jenis-jenis Gending .......................................................................... 34
2.4
Perbandingan Musik Barat dan Timur ............................................. 37
2.5
C. Hardjasoebrata sebagai Perintis Lagu-lagu Inkulturasi Jawa ...... 39
2.6
Rangkuman....................................................................................... 43
BAB III.
DASAR-DASAR INKULTURASI MUSIK LITURGI
GEREJA .......................................................................................... 45
3.1
Inkulturasi Liturgi ............................................................................ 45
3.1.1
Istilah Inkulturasi.............................................................................. 45
3.1.2
Teologi Inkulturasi ........................................................................... 50
3.1.3
Magisterium Gereja Mengenai Inkulturasi ...................................... 54
3.1.4
Tahap-tahap Inkulturasi Liturgi ....................................................... 61
3.1.4.1
Tahap Pertama: Pengambil-alihan (Imposition)............................... 62
3.1.4.2
Tahap Kedua: Penerjemahan ............................................................ 63
3.1.4.3
Tahap Ketiga: Penyesuaian .............................................................. 65
3.1.4.4
Tahap Keempat: Inkulturasi yang Paling Mendalam ....................... 66
3.1.5
Metode-metode Inkulturasi .............................................................. 69
3.1.5.1
Metode Ekuivalen Dinamis (Dynamic Equivalence) ....................... 69
3.1.5.2
Metode Asimilasi Kreatif (Creative Assimilation)........................... 70
3.1.5.3
Metode Pengembangan Organis (Organic Progression) ................. 71
3.2
Inkulturasi Musik Liturgi ................................................................. 73
3.2.4
Dimensi Liturgis ............................................................................... 73
3.2.5
Dimensi Ekklesiologis...................................................................... 75
3.2.6
Dimensi Kristologis.......................................................................... 78
3.3
Rangkuman....................................................................................... 81
xv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB IV.
SUMBANGAN TANGGA NADA PELOG DALAM
INKULTURASI MUSIK LITURGI ............................................. 83
4.1
Perkembangan Tangga Nada Pelog dalam Liturgi ........................... 84
4.1.1
Segi Historis ..................................................................................... 85
4.1.1.1
Langkah 1: Lagu Gregorian dengan Syair Jawa .............................. 85
4.1.1.2
Langkah 2: Lagu Jawa dengan Syair Latin ...................................... 88
4.1.1.3
Langkah 3: Lagu Jawa dengan Syair Jawa....................................... 90
4.1.1.4
Langkah 4: Gending Gereja dengan Paduan Suara .......................... 93
4.1.1.5
Langkah 5: Aklamasi, Prefasi dan Anamnese .................................. 95
a)
Aklamasi........................................................................................... 95
b)
Prefasi ............................................................................................... 97
c)
Anamnesis ........................................................................................ 98
4.1.1.6
Kesimpulan Perkembangan Historis ................................................ 99
4.1.2
Segi Komposisi ................................................................................ 99
4.1.2.1
Syair Lebih Diutamakan................................................................... 99
4.1.2.2
Tangga Nada Pelog Diutamakan .................................................... 101
4.1.2.3
Kesimpulan Segi Komposisi .......................................................... 108
4.2
Makna Tangga Nada Pelog dalam Liturgi ..................................... 108
4.2.1
Dimensi Liturgis ............................................................................. 109
4.2.2
Dimensi Ekklesiologis.................................................................... 111
4.2.3
Dimensi Kristologis........................................................................ 113
4.2.4
Kesimpulan..................................................................................... 116
BAB V.
PENUTUP ..................................................................................... 118
5.1
Kesimpulan..................................................................................... 118
5.2
Saran .............................................................................................. 123
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 126
LAMPIRAN 1 .................................................................................................. 133
LAMPIRAN 2 .................................................................................................. 142
LAMPIRAN 3 .................................................................................................. 150
xvi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
LAMPIRAN 4 .................................................................................................. 163
LAMPIRAN 5 ................................................................................................. 182
xvii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR SINGKATAN
A. Kitab Suci
Kej
Mzm
Yoh
Kis
: Kejadian
: Mazmur
: Yohanes
: Kisah Para Rasul
B. Dokumen-dokumen Gereja
LRI
LU
MS
PUMR
RM
SC
UL
: De Liturgia Romana et Inculturatione, Instruksi IV tentang
Pelaksanaan Konstitusi Liturgi Vatikan II No. 37-40 secara Benar
: Liber Usualis
: Musicam Sacram, Instruksi tentang Musik Liturgi
: Pedoman Umum Misale Romawi, Terjemahan resmi Institutio
Generalis Missalis Romani, 2000
: Redemptoris Missio, Ensiklik Yohanes Paulus II tentang Tugas
Perutusan Gereja
: Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang
Liturgi Suci
: Universa Laus, Dokumen Lembaga Internasional untuk Musik
Gereja, 1980
C. Lain-lain
Art.
Bdk.
KA
KSG
KWI
Lih.
M
PML
PS
TPE
: artikel
: bandingkan
: Kidung Adi, Buku Sembahyangan saha Kekidungan (Buku Doa
dan Nyanyian)
: Kula Sowan Gusti, Kumpulan Gending-gending Gereja Ciptaan
C. Hardjasoebrata
: Konferensi Waligereja Indonesia
: lihat
: Masehi
: Pusat Musik Liturgi
: Puji Syukur
: Tata Perayaan Ekaristi
xviii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Tangga nada slendro ................................................................. 24
Gambar 2.2 : Interval pertama tangga nada slendro ........................................ 24
Gambar 2.3 : Interval kedua tangga nada slendro ........................................... 24
Gambar 2.4 : Pelog pathet nem........................................................................ 26
Gambar 2.5 : Pelog pathet barang................................................................... 27
Gambar 2.6 : Pelog pathet lima ...................................................................... 28
Gambar 2.7 : Ketawang O Sang Sinuci (KA 431) .......................................... 35
Gambar 2.8 : Ladrang Dhuh Sang Sekar (KA 434) ........................................ 35
Gambar 2.9 : Lancaran Rawuha Roh Kang Suci (KA 378) ............................ 35
Gambar 2.10: Skema ketuk kerep .................................................................... 36
Gambar 2.11: Skema ketuk awis...................................................................... 36
Gambar 4.1 : Minggah Ing Pirdus (KA 93) ................................................... 86
Gambar 4.2 : Bait pertama lagu Rawuha Roh Ingkang Murba (KA 384) ...... 87
Gambar 4.3 : Bait pertama lagu Pange Lingua (LU hal. 957) ....................... 88
Gambar 4.4 : Bait pertama lagu Pange Lingua/ Tantum Ergo IV (KSG 23A) 89
Gambar 4.5 : Memujia Pangeran (KA 156) ................................................... 91
Gambar 4.6 : Bait pertama lagu Kula Sowan Gusti (KSG 1) ......................... 94
Gambar 4.7 : Aklamasi salam pada Ritus Pembuka (KA 67) ........................ 96
Gambar 4.8 : Pola lagu 9 (TPE 2005)............................................................. 97
Gambar 4.9 : Anamnese III (KA 127) ............................................................ 98
Gambar 4.10 : Refren dan bait pertama lagu Pindha Sangsam (KA 241)...... 115
xix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Suatu bangsa dikenal lewat kebudayaannya. Kebudayaan tersebut dapat
terwujud melalui berbagai macam hal, seperti bahasa, nyanyian, lukisan, tarian,
sifat-perangai, ibadat, dll. Kebudayaan, dengan segala kompleksitasnya tersebut,
ada dan berkembang beriringan dengan perkembangan bangsa. Kebudayaan tidak
pernah bisa terlepas dari bangsa. Kebudayaan terdapat di mana manusia hidup
bersama, kerja sama, mengungkapkan diri dalam acara bersama. Di dalamnya
diungkapkan secara simbolis visi dan sikap inti yang menentukan hidup manusia,
asal-usulnya dan tujuannya1.
Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya dalam bentuk musik gamelan
Jawa dengan segala instrumen dan bentuk gendingnya. Cara memainkannya yang
komunal dan komposisinya yang unik membuat gamelan Jawa diminati oleh
banyak orang, baik dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, musik gamelan
Jawa menggunakan tangga nada pentatonis slendro dan pelog, yang intervalnya
berbeda dengan tangga nada diatonis yang biasa dikenal.
1
Hans Bernhard Meyer SJ, seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi Musik Liturgi,
Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 4-5.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2
Gamelan Jawa tidak dapat dimainkan sebagaimana mestinya, jika tidak
dilakukan secara bersama-sama. Dibutuhkan suatu kerjasama dan gotong-royong
antar pemain sehingga keindahan lagu dapat diproduksi. Suara bonang barung
akan menjadi semakin indah, jika didampingi oleh bonang penerus. Demikian
pula, suara gong akan menjadi indah dan bermakna, jika diletakan dalam kesatuan
permainan seluruh instrumen gamelan. Lebih jauh dari itu, keindahan lagu tidak
semata muncul dari ketepatan cara memainkannya, tetapi juga karena kesatuan
rasa antar pemain dan antara pemain dengan musik yang dimainkannya.
Tembang-tembang, sebagai musik vokal, diciptakan dengan bentuk dan
aturan yang ketat dan jelas, menggunakan permainan kata, serta memiliki syair
yang bernas. Untuk tembangnya, orang harus memperhitungkan bunyi akhir,
jumlah suku kata, banyaknya baris di dalam bait, dan bentuk lagunya. Sebagai
contoh, tembang Maskumambang, yang termasuk dalam kelompok tembang
macapat, memiliki aturan 12i, 6a, 8i, 8a. Ini berarti bahwa tembang
Maskumambang terdiri dari 4 gatra (baris dalam satu bait), masing-masing gatra
memiliki jumlah suku kata tertentu (gatra pertama sebanyak, 12 suku kata; gatra
kedua sebanyak 6 suku kata; gatra ketiga dan keempat sebanyak 8 suku kata),
dengan bunyi akhir masing-masing gatra adalah i, a, i, a. Berikut ini adalah contoh
syair Maskumambang:
Ing sabanjure Ingsun wus ora bati
Ngunjuk anggur uga
Nganti tekan tembe mburi
Ngunjuk anggur wohing Swarga
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3
Berbeda dengan musik Barat yang membagi dua bagian jenis musik ke
dalam musik sakral dan musik profan, musik Timur tidak memisahkan antara
sakral-profan. Musik dan peribadatan menjadi satu kesatuan yang utuh 2. Manusia
tidak mungkin hidup tanpa Tuhan, dan keyakinan ini terungkap dalam musik dan
nyanyian, yang dalam arti sempit sebagai lagu ibadat; dalam arti luas sebagai lagu
rohani; dan dalam arti lebih luas lagi, sebagai lagu pergaulan yang tetap berlatar
belakang kosmis3. Dimensi horisontal musik pun tetap dikaitkan dengan dimensi
vertikalnya. Melalui musik gamelan, masyarakat Jawa mengungkapkan refleksi
kehidupannya dalam berhubungan dengan Tuhan dan sesama.
Kekhasan musik gamelan Jawa tersebut menjadi peluang bagi Gereja untuk
suatu bentuk inkulturasi. Berkat Konsili Vatikan II, Gereja menjadi semakin
terbuka untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian demi semakin luasnya
pewartaan Kabar Sukacita, terutama dalam konteks kebudayaan pribumi. SC 37
menjadi dasar inkulturasi:
Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan
segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan
suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan
memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa.
Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak
terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan
dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat
semangat Liturgi yang sejati dan asli.
Kebudayaan setempat dipandang sebagai kekayaan yang menghiasi pelbagai
suku bangsa, yang dapat menjadi bagian dari liturgi, sejauh tidak secara mutlak
terikat pada takhyul dan ajaran sesat. Tanpa memperhitungkan budaya setempat,
2
3
Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi Musik Liturgi, 15.
Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi Musik Liturgi, 18.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4
Gereja tidak akan tumbuh, semakin diperkaya dan memperkaya. Inkulturasi
merupakan keharusan teologis yang muncul dari misteri inkarnasi. Sabda Allah
telah mejadi manusia Yahudi, maka Gereja pun harus menjadi Gereja pribumi
dimana pun ia berada. Menolak inkulturasi berarti mengingkari universalitas
keselamatan4.
Inkulturasi Gereja dengan budaya Jawa, khususnya musik gamelan Jawa,
menghasilkan gending Gereja, suatu bentuk musik gamelan yang khusus disajikan
untuk keperluan peribadatan Gereja. Sesuai dengan fungsinya, penyajiannya
bersifat sakral karena ada dalam konteks perayaan liturgi. Budaya Jawa,
khususnya musik gamelan Jawa, pun dapat menjadi sarana pertemuan antara
manusia dengan Allah.
Perkembangan inkulturasi gending Gereja di Keuskupan Agung Semarang
tidak bisa dipisahkan dari peran C. Hardjasoebrata. Sebagai seorang seniman, ia
melihat peluang pengembangan liturgi melalui musik gamelan Jawa. Pada tahun
1925, ia menciptakan lagu Atur Roncen, Sri Yesus Mustikeng Manis, dan O
Kawula Punika. Syairnya diambil dari buku Rerepen Suci dan lagunya dibuat
dengan tangga nada pelog. Percobaan-percobaan lain pun ia buat, dengan
menciptakan gending berlagu Jawa dengan syair Latin. Awalnya gending-gending
ini hanya boleh digunakan di dalam ibadat-ibadat. Usaha inkulturasi gending Jawa
ini terus berlanjut, hingga pada tahun 1956 akhirnya Roma mengizinkan gendinggending Gereja ini digunakan di dalam perayaan Ekaristi5.
4
Lih. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, Kanisius, Yogyakarta 1987, 107.
Pengantar Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, Pusat Musik
Liturgi, Yogyakarta 1987, 6-9.
5
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5
Gending Gereja memang menggunakan tangga nada pelog dan slendro di
dalam liturgi. Namun tampaknya tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang
lebih banyak. Faktanya, seluruh gending Gereja yang dibuat oleh C.
Hardjasoebrata menggunakan tangga nada pelog. Selain itu, dari 547 gending
Gereja yang ada di Kidung Adi, 252 lagu di antaranya adalah lagu dengan tangga
nada pelog. Lagu bertangga nada pelog itu sebesar 46,1%, dengan sisanya adalah
lagu bertangga nada diatonis (38,8%), slendro (11,4%), dan Gregorian (3,7%).
Ada kekhususan sehingga tangga nada pelog mendapatkan bagian yang lebih
banyak daripada tangga nada lainnya, di dalam liturgi Gereja.
1.2
Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah peran dan makna
tangga nada pelog di dalam liturgi. Titik tolak permasalahan adalah fakta, bahwa
tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak di dalam buku
Kidung Adi dan gending-gending Gereja ciptaan C. Hardjasoebrata. Pertanyaan
dasarnya adalah mengapa tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi?
Inti dari teologi liturgi adalah Misteri Paskah, yaitu sengsara, wafat dan
kebangkitan Kristus. Jika tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi,
bagaimana nyanyian-nyanyian dengan tangga nada pelog ini dapat membantu
umat beriman dalam menghayati Misteri Paskah ini?
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1.3
6
Metode Penulisan
Dalam karya tulis ini, penulis akan menggunakan metode studi pustaka dan
wawancara. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan
dengan musik gamelan Jawa, kebudayaan Jawa, liturgi secara umum, teologi
inkulturasi, inkulturasi musik liturgi, dan dokumen-dokumen Gereja mengenai
musik liturgi. Narasumber yang akan diwawancarai adalah para pencipta gending
Gereja. Analisis peran dan makna tangga nada pelog dalam liturgi akan ditempuh
melalui analisis gending-gending Gereja bertangga nada pelog ditatapkan pada
teori-teori Teologi Inkulturasi dan dokumen-dokumen Gereja.
1.4
Tujuan Penulisan
Skripsi ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, skripsi ini dimaksudkan untuk
memperdalam pengetahuan penulis mengenai musik liturgi, khususnya gending
Gereja. Dengan mengetahui secara lebih mendalam mengenai gending Gereja,
penulis terbantu untuk menghayati liturgi, terutama Misteri Paskah yang menjadi
inti dari perayaan liturgi. Kedua, lewat skripsi ini penulis ingin memberikan
sumbangan pemikiran bagi umat beriman dalam menghayati liturgi melalui
gending Gereja. Ketiga, skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan
Sarjana Strata Satu pada Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
7
1.5 Sistematika Penulisan
Secara garis besar, tema skripsi ini akan dijabarkan dalam lima bab. Bab I akan
membahas mengenai latar belakang tulisan ini dibuat, rumusan masalah, metode
penulisan, tujuan dan sistematika penulisannya. Bagian ini menjadi garis besar
alur dan cara penulisan skripsi ini.
Bab II akan membahas musik gamelan Jawa dari sisi sejarah, sistem tangga
nada gamelan Jawa (slendro dan pelog), bentuk tembang dan gending pada
umumnya, dan C. Hardjasoebrata sebagai pelopor inkulturasi gending Gereja.
Gamelan Jawa merupakan produk kebudayaan Jawa melalui interaksinya dengan
kebudayaan Hindu-Jawa, dan Islam-Jawa. Tangganada yang digunakan adalah
tangganada slendro dan pelog, masing-masing dengan tiga pathet. Tangganada
pelog lah paling mendekati tangganada diatonis.
Bab III akan membahas istilah inkulturasi, teologi inkulturasi, tahap-tahap dan
metode inkulturasi, serta dimensi-dimensi musik liturgi. Konsili Vatikan II
membuka pintu dan jendela bagi perkembangan jaman. Tanpa terbuka pada
adanya penyesuaian, Gereja hanya akan menjadi seonggok museum yang sekadar
menyimpan dan meneruskan tradisi tanpa mempedulikan orang-orang yang ada di
dalamnya. Perayaan liturgi pun menjadi kurang menyentuh karena hanya
merupakan urusan hierarki saja, dan partisipasi umat kurang diperhitungkan.
Konsili Vatikan II, di antaranya, memberikan pembaharuan liturgi dalam hal
partisipasi aktif umat dan penghargaan terhadap kekayaan budaya sebagai upaya
pengembangan Gereja lokal. SC 37 menunjukkan bahwa Gereja memelihara dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
8
memajukan kekayaan budaya setempat serta mempertimbangkannya untuk dapat
dipelihara dengan semangat liturgi yang asli dan sejati.
Setelah membahas mengenai tangganada pelog dan dasar inkulturasi musik
liturgi di dalam dokumen Gereja, bab IV akan membahas peran dan makna tangga
nada pelog di dalam liturgi. Gending-gending Jawa memuat nilai kerohanian yang
tinggi. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa tidak memisahkan antara musik
sakral dan musik profan. Dalam hidup sehari-hari, mereka pun menghubungkan
tindakan-tindakan dan kebersamaan hidup dengan Yang Transenden. Musik
gamelan yang memuat nilai kerohanian yang tinggi ini, pun disesuaikan dengan
semangat liturgi Gereja. Dengan begitu kebudayaan Jawa dan liturgi Gereja dapat
saling memperkaya.
Bab V adalah kesimpulan dan saran atas topik yang dibahas dalam skripsi ini.
Bab ini diharapkan dapat menutup dan menyimpulkan rangkaian penjelasan dan
analisis dari bab-bab sebelumnya.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB II
TANGGA NADA PELOG
DALAM MUSIK GAMELAN JAWA
Bentuk gending dan instrumen gamelan Jawa yang dijumpai sekarang sudah
mengalami perkembangan. Pada beberapa dekade terakhir, muncul jenis musik
campursari, yang menggabungkan antara gamelan dengan alat musik elektronik,
seperti gitar, bass, keyboard dan drum. Syairnya kebanyakan menggunakan
bahasa Jawa Ngoko, yang adalah bahasa pergaulan sehari-hari1. Lagu pentatonis
pun diaransemen dengan akor-akor.
Hal ini membuktikan bahwa kebudayaan Jawa, khususnya musik gamelan,
terbuka terhadap perkembangan dan pembaruan yang diperlukan. Kebudayaan
berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Manusia membentuk
kebudayaan dan kebudayaan membentuk manusia. Ada hubungan timbal balik
antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan akan dapat terus berlanjut jika
kebudayaan tersebut dapat terus ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan dan
aktualitas zaman.
1
Fajar Sungkono, “Representasi Ideologi Patriarki dalam Lirik Lagu Musik Campursari (Analisis
Semiotika Representasi Patriarki dalam Lirik Lagu Musik Campursari Bojo Loro, Mendem
Wedoan, Tragedi Tali Kutang oleh Cak Diqin)”, 2009, Diakses dari
http://www.publiksi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/858/532. (12 Desember
2012)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2.1
10
Musik Gamelan Jawa sebagai Musik Khas Jawa
Gamelan Jawa tidak serta merta muncul sebagai satu kelompok alat musik
lengkap. Dibutuhkan waktu yang lama untuk dapat mencapai jumlah dan
komposisi alat musik gamelan seperti yang ada pada zaman ini.
Kebudayaan Jawa memiliki kekhasan dan kekayaan. Dalam pertemuannya
dengan kebudayaan lain, kebudayaan Jawa berkembang menjadi semakin
kompleks dan kaya. Kebudayaan Hindu dan Islam, seperti akan dijelaskan
selanjutnya, memberikan pengaruh yang kuat dan memberikan perubahan yang
signifikan dalam kebudayaan Jawa, tapi ada pula yang kurang begitu berpengaruh.
Dari dirinya sendiri, orang Jawa memiliki keterbukaan kepada kebudayaan dan
gagasan-gagasan dari luar. Kebudayaan asing merangsang perkembangan
kebudayaan Jawa2.
Ada dua kebudayaan asing yang memiliki andil besar dalam perkembangan
budaya Jawa, yaitu Hindu dan Islam. Dua kebudayaan ini relatif mudah
beradaptasi dan mengalami penyesuaian karena keduanya menjadikan agama
sebagai landasan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan persepsi orang Jawa yang
juga memiliki pandangan yang serupa. Hal ini pula yang menjadi penjelasan,
mengapa lebih banyak digunakan istilah Hinduisasi daripada Indianisasi.
Hadirnya
pengaruh
Hindu
tidak
semerta-merta
menggeser
sistem
kepercayaan Jawa. Proses penyesuaian berlangsung melalui proses yang disebut
2
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta 2003, 3.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
11
sebagai lokalisasi. Lokalisasi adalah proses materi-materi India yang cenderung
diretak-retak dan diwujudkan kembali dalam konteksnya yang baru. Makna
aslinya dikuras dan disesuaikan dengan sistem agama, sosial dan politik
konteksnya yang baru. Fragmen-fragmen ini akan memiliki arti dalam suasana
yang baru jika proses tersebut sudah tercapai3.
Kerajaan Hindu-Buddha pada periode setelah abad ke-5, menjadi tempat
berkembangnya kehidupan sosial, agama, politik, kesusastraan dan kesenian.
Sistem tulisan dan puisi Hindu diadaptasi oleh budaya Jawa. Kawya, karya sastra
dan nyanyian India, mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan Jawa,
hingga muncul puisi kekawin Jawa. Isinya sesuai dengan kebudayaan Jawa,
namun aturan metrisnya berciri India4. Pada periode selanjutnya, lagu-lagu baru
sejenis dinamakan sekar ageng (nyanyian luhur). Kekawin Jawa ini ditampilkan di
kalangan bangsawan kerajaan5.
Pengaruh Hindu dapat dibagi dalam dua periode, yaitu Hindu Jawa Tengah
pada abad ke-9, dan Hindu Jawa Timur pada abad ke-12 sampai abad ke-15. Pada
periode antara abad ke-11 sampai abad ke-14, pendidikan musik pertunjukan
merupakan suatu keharusan bagi seluruh warga istana dan keluarga bangsawan.
Seluruh warga istana dari berbagai macam strata sosial diharuskan untuk belajar
kesenian tersebut. Seorang pangeran yang ideal tidak hanya dinilai dari
3
O. W. Wolters seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan
Musikal di Jawa, 7.
4
Dengan sedikit perkecualian, aturan metris pada kakawin sama dengan aturan pada kawya.
Aturan-aturan tersebut dirumuskan sebagai berikut: satu bait (stanza) terdiri dari empat baris, dan
setiap baris memiliki jumlah suku kata yang sama, serta dibentuk pada pola metris yang sama.
Pada pola ini, jumlah setiap suku kata diatur berdasarkan kebutuhan di dalam baris; dan sebuah
suku kata dihitung panjang pendeknya, jika suku kata tersebut diikuti oleh lebih dari satu
konsonan. Suku kata terakhir pada sebuah baris dapat panjang maupun pendek. P. J. Zoetmulder,
Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, Martinus Nijhoff, Hague 1974, 102.
5
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 7, 17.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
12
ketampanannya saja, tetapi juga bagaimana ia memiliki keterampilan dalam hal
seni6. Kemampuannya dalam seni dan musik dipertunjukkan dalam suatu acara
hiburan bersama, dengan juga adanya penampilan dari para penyair kerajaan dan
dayang-dayang. Musik menjadi sarana keakraban untuk para anggota dan abdi
istana dari berbagai kedudukannya 7.
Data mengenai pengaruh Hindu Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai abad
ke-10, sangatlah kurang. Beberapa candi dan monumen memang memberikan
gambaran sekilas mengenai alat musik periode tersebut. Candi Borobudur yang
dibangun pada abad ke-9 oleh dinasti Syailendra, menggambarkan adanya
beberapa alat musik India kuno, yaitu seruling, gendang berbentuk kerucut, dan
alat musik petik seperti lute, tetapi alat-alat ini sudah tidak ada lagi di Jawa.
Memang ada alat musik yang menyerupai kethuk dan saron yang ada sekarang,
tetapi kepastiannya masih perlu ditegaskan kembali8. Orang Jawa mengklaim
bahwa musik gamelan sudah ada jauh sebelum periode Prambanan dan
Borobudur9.
Beberapa ahli memperkirakan bahwa absennya gamelan pada relief candi
Borobudur dikarenakan alasan politis10. Pada masa itu, Jawa dikuasai oleh bangsa
India. Maka, segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa, termasuk
alat musik, tidak boleh ditampilkan. Alasan ini masih perlu dibuktikan
validitasnya, karena tidak ada data yang secara lengkap dan gamblang yang
6
P. J. Zoetmuder, Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, 152, 154.
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 19.
8
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 359.
9
Jennifer Lindsay, Javanese Gamelan: Traditional Orchestra of Indonesia, Oxford University
Press, Singapore-Oxford-New York 1986, 3-4.
10
Mantle Hood seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan
Musikal di Jawa, 359.
7
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
13
mengatakan bahwa Jawa pernah dijajah oleh India. Gagasan mengenai Asia
Tenggara yang pernah dijajah oleh India, ditolak. Laporan sejarah lebih menunjuk
pada proses Indianisasi yang menekankan kekuatan adaptasi lokal11.
Periode Hindu Jawa Timur pada abad ke-12 sampai abad ke-15 diwarnai
dengan kontak antara musik Jawa dan Bali. Hubungan tersebut sudah ada sejak
abad ke-10, berlanjut pada masa Raja Erlangga di Kediri pada abad ke-12, dan
memuncak pada masa Majapahit pada abad ke-14. Majapahit melakukan
pengiriman barang dan mendirikan kerajaan-kerajaan Jawa di Bali. Bahasa Jawa
kuno digunakan di Bali dengan penyesuaian-penyesuaian12, dan masih digunakan
sampai saat ini, terutama dalam pertunjukan teater tradisional Bali berbentuk
naratif maupun musikal13.
Beberapa alat musik Jawa ditemukan di Bali. Gamelan Gambuh dan empat
macam ansambel keramat yang terdiri dari selonding, caruk, gambang dan luang,
berasal dari Hindu Jawa. Gamelan Gambuh yang memiliki tujuh nada merupakan
kelanjutan dari musik Jawa Timur pada abad ke-12. Sistem tujuh nada memang
digunakan pada abad ke-12, bahkan sebelumnya14.
Bonang dan saron pada Gamelan Luang yang ada di Bali, sama dengan
instrumen musik Jawa dengan nama yang sama. Teknik permainan yang
dinamakan sekatian pun ada hubungannya dengan Sekaten, suatu jenis gamelan
11
O. W. Wolters seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan
Musikal di Jawa, 359.
12
O. W. Wolters, History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives, Institute of
Southeast Asian Studies, Pasir Panjang 1982, 26.
13
Walis seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal
di Jawa, 22.
14
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 22.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
14
Jawa kuno15. Berdasarkan kesamaan-kesamaan tersebut, diambillah suatu
kesimpulan bahwa instrumen musik Jawa yang dibawa ke Bali mengalami suatu
penyesuaian sehingga sesuai dengan perasaan lokal16.
Kontak kebudayaan antara Hindu Jawa Timur dan Bali terputus dengan
datangnya Islam17. Kekuasaan kerajaan Hindu-Jawa mulai surut karena adanya
ekspansi Islam pada abad ke-15 melalui jalur perdagangan. Konflik antara para
pedagang Islam dan bangsawan Hindu-Jawa mengakibatkan kemunduran pusatpusat kerajaan Hindu seperti Majapahit18.
Islam sudah masuk dan tersebar di Asia Tenggara dan di Kepulauan
Indonesia sejak abad ke-12 dan abad ke-13. Masuknya Islam ke Indonesia tidak
melalui jalan yang sama. Cerita mengenai orang suci dan para penyebar agama
Islam dan tanah asal usul mereka sangat beragam 19. Kenyataan yang pasti adalah,
bahwa di Aceh, Sumatera Utara, para penguasa di beberapa kota pelabuhan
penting sudah menganut Islam sejak paruh kedua abad ke-13. Pada masa itu,
hegemoni politik di Jawa Timur masih dipegang oleh raja-raja beragama Hindu
Syiwa dan Buddha di Kediri dan Singasari. Majapahit, yang berperan penting di
abad ke-14, belum berdiri. Besar pula kemungkinan bahwa sudah ada orang-orang
Islam yang menetap di Jawa pada abad ke-13. Penyebabnya adalah karena jalur
perdagangan melalui pantai timur Sumatera melewati Laut Jawa menuju ke
15
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 22-23.
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 23.
17
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 21.
18
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 24.
19
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, Grafiti Pers,
Jakarta 1985, 18.
16
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
15
kepulauan rempah-rempah di Maluku20, Indonesia bagian timur, sudah sejak lama
ditempuh. Para pelaut, baik yang beragama Islam atau pun tidak, singgah di pusatpusat permukiman di pantai utara Jawa21.
Bandar-bandar di sepanjang laut Jawa juga menarik perhatian para
pedagang karena tiga hal. Pertama, bandar-bandar di pantai utara Jawa
merupakan pangkalan. Mereka membeli beras dan air sebagai perbekalan untuk
berlayar selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan22. Kedua, bandar-bandar
di pantai utara Jawa telah menjadi tempat penimbunan dan penjualan rempahrempah. Para pelayar dapat membeli rempah-rempah di bandar tersebut, jika
mereka datang pada musim yang tepat. Perkawinan campur antara para pedagang
dengan kaum bangsawan daerah, pegawai-pegawai raja, atau anggota keluarga
raja, dijadikan sebagai tanda jalinan relasi dan pendukung perdagangan23. Ketiga,
bandar-bandar laut tersebut juga menjadi tempat kedudukan para pengusaha dan
pemilik kapal. Mereka menyediakan kapal-kapal laut untuk perdagangan dengan
daerah seberang lautan. Usaha ini membutuhkan modal yang sangat besar. Maka,
dibutuhkanlah kerja sama antara pedagang dari golongan masyarakat yang
bermodal kuat. Dalam pelayaran yang dilakukan, ada orang yang berasal dari
berbagai tempat dan bahasa yang ikut menyusuri pantai-pantai Asia Tenggara,
Kepulauan Indonesia dan India. Karena keragaman inilah Islam cukup lambat
dalam melakukan perubahan-perubahan besar24.
20
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 24.
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 18-19.
22
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 24.
23
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 25.
24
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 26.
21
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
16
Periode Islam-Jawa pada abad ke-15 sampai abad ke-17, menjadi periode
transisi dan krisis kebudayaan. Krisis kebudayaan terjadi bukan hanya karena
peperangan antara pedagang Islam dan bangsawan Hindu, tetapi juga antara
kalangan Islam sendiri25. Islam legalis dan Islam Jawa sinkretis-mistis saling
bertentangan26. Keduanya mempertimbangkan pengaruh profan dari seni
pertunjukan terhadap ajaran dan kehidupan religius mereka. Islam legalis
cenderung menolak seni pertunjukan yang dapat mereduksi iman mereka.
Sedangkan, Islam Jawa sinkretis-mistis menerima seni pertunjukan sebagai bagian
dari kehidupan mereka. Para Sufi Islam, seperti akan dijelaskan selanjutnya,
mendukung adanya sinkretisme antara Islam dan budaya Jawa. Contoh ini dapat
dilihat dari digunakannya terbangan sebagai iringan pertunjukkan wayang dan
slawatan27.
Perpaduan antara ajaran Islam dan seni pertunjukan Jawa ini mengalami
banyak perdebatan di dalam prosesnya. Ceritera wayang yang menggunakan
keluarga Muhammad sebagai tokohnya, melanggar ajaran agama Islam28. Iringan
musik terbangan pun tidak boleh dipergunakan sebagai iringan pertunjukan
wayang. Sifat sakral dan profan tidak boleh dicampur-adukkan dalam suatu
pertunjukan. Pertentangan antara tradisi lama dan baru menunjukkan perlunya
para pemimpin agama Islam untuk merangkul tradisi lama demi perkembangan
dan penyebarluasan agama Islam29.
25
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 25.
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 31.
27
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33.
28
Serat Cabolek seperti dikutip dalam Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di
Jawa, 33.
29
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33.
26
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
17
Budaya Jawa memang memiliki keterbukaan dan toleransi terhadap budaya
lain. Namun, hal ini juga tergantung dari kondisi sosial-politik yang mewarnai
proses keterbukaan dan toleransi dalam penerimaan unsur-unsur baru tersebut.
Kendati orang Jawa sudah berinteraksi selama dua abad dengan Islam, keraguan
dalam eksperimen penggabungan dua musik dari masing-masing budaya tersebut,
tetaplah ada30.
Keberhasilan penyebaran agama dan musik Islam didukung oleh adanya
Islam Sufi. Sufisme berkembang pada pertengahan abad ke-9 dan masuk ke
Indonesia melalui para pedagang Islam31. Sufisme adalah Islam mistik yang
hidupnya menekankan sikap asketik32. Mereka lebih menekankan: hal-hal batiniah
melebihi lahiriah, kontemplasi atas tindakan, pembinaan jiwa di atas interaksi
sosial, dan perkembangan spiritual di atas aturan hukum33. Manusia dan Yang
Transenden ada pada komunikasi langsung melalui intuisi dan pancaindera
spiritual dan emosional34.
Proses perkenalan dan diterimanya Islam mistik ini relatif tenang35. Para
pedagang Islam yang datang ke Indonesia, telah terlebih dahulu mengalami
kontak dengan Hinduisme di Gujarat, tempat asal mereka 36. Keadaan ini
mempermudah proses mereka diterima oleh orang-orang Jawa, karena orang-
30
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33.
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 35.
32
John L. Esposito (eds.), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Mizan, Bandung 2001, 222.
33
John L. Esposito (eds.), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, 223.
34
J. Spencer Trimingham seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan
Perkembangan Musikal di Jawa, 35.
35
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 35.
36
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 363.
31
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
18
orang Jawa pun sudah mengalami kontak dengan Hinduisme dalam kurun waktu
11 abad sebelum Islam datang.
Para Sufi berpandangan bahwa musik memiliki arti yang esensial untuk
kebersatuan dengan Allah dan kebaktian agama. Musik dapat mengantarkan
mereka pada keadaan ekstase. Pendekatan emosional untuk mencapai pencerahan
agama (religious enlightenment), ditekankan. Alasan inilah yang menyebabkan
musik memiliki fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Islam37.
Pada akhirnya, mereka tidak hanya menerima musik terbangan sebagai
musik yang dapat membantu dan memiliki peran dalam kehidupan religius
mereka, tetapi juga musik gamelan Jawa. Para pemimpin Sufi juga melihat
kepentingan dan peran dari seni pertunjukan yang berhubungan dengan musik
gamelan Jawa. Salah satu contohnya adalah acara doa mingguan Islam pada setiap
hari Jumat (Jumungahan) dan setiap hari kelahiran Pangeran Mangkunegara38.
Dzikir dan musik terbangan tampil bergantian dengan pertunjukan non-Islam39:
tari serimpi, tari bedhaya 40, termasuk minum-minum dan judi41. Ritual yang
dilakukan di kraton mengembangkan hubungan yang erat antara budaya Islam dan
Jawa baik dalam konteks sekular maupun keagamaan42. Hiburan sekular dan
aktivitas keagamaan adat Islam dan Jawa hidup berdampingan dengan relatif tidak
bertentangan43.
37
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 36.
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 36.
39
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 37.
40
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 38.
41
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 39.
42
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 37.
43
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 39.
38
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
19
Rebab juga masuk seiring masuknya Islam ke Indonesia. Rebab adalah alat
musik gesek khas daerah Timur Dekat yang berkembang pada abad ke-8. Orang
Arab membawanya ke daerah timur sejauh Indonesia, Afrika Selatan dan
Spanyol44. Pada abad ke-15, rebab berkembang menjadi beberapa alat musik
dengan jumlah senar yang bervariasi mulai dari satu sampai lima senar45, dan
menjadi awal mula dari biola46.
Rebab dipertimbangkan sebagai alat musik pemimpin yang membawakan
nada inti di dalam musik gamelan. Wilayah nada rebab seluas wilayah nada alur
lagu gending. Rebab slendro berwilayah dua oktaf dan dua nada, sedangkan rebab
pelog berwilayah dua oktaf dan tiga nada47. Luas lagu gending juga tidak akan
melebihi luas wilayah nada rebab ini. Rebab dapat digunakan pada tangga nada
apapun, sesuai dengan kehendak para pemain rebab itu sendiri48. Karakter
suaranya yang vokal dan melodis membedakannya dari suara alat-alat ritmis
lain49, seperti bonang, slentem, kenong, demung, saron, dan peking. Pada
kebanyakan gending, rebab berperan sebagai pemimpin dengan membuka
gending, menentukan laras, dan pathet gending yang akan dimainkan. Rebab juga
menuntun pergantian gending dari seksi yang satu ke seksi yang lain50.
44
Christine Ammer, The Facts of File Dictionary of Music, Facts on File, New York 2004, 333.
Michael Kennedy, The Concise Oxford Dictionary of Music, Oxford University Press, Oxford
1980, 522.
46
Arthur Jacobs, The New Penguin Dictionary of Music, Penguin, London 1978.
47
Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, STSI, Surakarta 2002,
22.
48
“Nanging sajatosipun rebab punika kenging kangge raras punapa kemawon, miturut
sakajengipun ingkang ngrebab.”, R. Ng. Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating
Gamelan Wedhapradangga (Serat Saking Gotek) Jilid I-IV, Agape, Sala 1990, 6.
49
Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, 23.
50
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 340-341.
45
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
20
Hubungan Hindu dan Jawa tetap berlangsung melalui jalur perdagangan.
Kebudayaan Hindu masih tetap dapat berjalan dan dihidupi karena Islam tidak
serta merta dapat mengubah dan mempengaruhi budaya Hindu. Para penguasa
Islam tampaknya telah mengenal budaya Hindu, karena mereka telah lama berada
di bawah pengaruh budaya tersebut.
2.2
Sistem Tangga Nada Gamelan Jawa
Gamelan Jawa memiliki dua sistem tangga nada, yaitu slendro dan pelog.
Asal mula kedua tangga nada tersebut tidak dapat dirunut lebih jauh, karena
kurangnya data historis. Beberapa ahli mencoba untuk meneliti asal mula dua
tangga nada tersebut, terutama melalui keterkaitannya dengan konteks zaman.
Jawaban-jawaban mereka pun masih berupa hipotesis.
Kunst mengutip beberapa pendapat Raden Mas Surjaputra dan E. M. Von
Hornbostel. Raden Mas Surjaputra berpandangan bahwa tangga nada pelog
memiliki hubungan dengan tangga nada Hindustan, tapi pada lain waktu ia
berpikir bahwa tangga nada ini adalah asli Jawa. Berdasarkan pemahaman umum
yang diwarnai oleh mitos, tangga nada slendro adalah hadiah dari salah satu dewa
Hindu. Tangga nada pelog merupakan hasil perubahan slendro yang dilakukan
oleh tangan orang yang tidak sopan dan berani. Professor von Hornbostel, seorang
etnomusikolog Jerman51, berpendapat bahwa kedua tangga nada tersebut berasal
51
Hornbostel, “Music of the Orient”, Diakses dari http://www.folkways.si.edu/music-of-theorient/central-asia-islamic-world/album/smithsonia. (12 Desember 2012).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
21
dari Cina, yang juga kemungkinan berasal dari tempat yang lebih jauh dan waktu
yang lebih lampau, yaitu dari Turki di Asia Tengah52.
Kunst menyatakan bahwa berdasar pada fakta historis yang dapat dilihat
secara jelas, pelog datang lebih dahulu beberapa abad ke Jawa dan Bali
dibandingkan dengan slendro. Pelog masuk ke Jawa melalui orang-orang MalayPolinesian yang datang beberapa abad sebelum masehi. Perkembangan politik pun
mendukung masuknya pelog ke Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali. Sedangkan,
slendro masuk ke Jawa pada abad ke-8, saat dinasti Syailendra sedang berkuasa.
Syailendra menurunkan namanya pada gamelan slendro. Kata Syailendra sama
dengan kata slendro53.
Sebaliknya, Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa tangga nada slendro
lebih tua daripada pelog. Ia sendiri tidak memberikan keterangan lebih lanjut dari
pendapatnya tersebut. Namun, ia mengungkapkan bahwa tangga nada yang paling
tua adalah tangga nada Barang-miring. Tidak ada gamelan untuk tangga nada ini,
karena pada zaman tangga nada ini digunakan, belum ada orang Jawa yang dapat
membuat gamelan. Mereka baru memiliki suling, gambang calung dan kendang54.
Slendro memang sempat menggantikan pelog kuno, tetapi penemuanpenemuan saat ini memastikan bahwa keduanya, slendro dan pelog, digunakan
oleh orang Jawa. Sebagai contoh, slendro digunakan untuk mengiringi Wayang
Purwa; sedangkan, pelog digunakan untuk seni-seni bernuansa pra-Hindu, atau
52
J. Kunst, The Music of Java, Koninklijke Vereeniging „Koloniaal Instituut‟, Amsterdam 1973,
2-3.
53
J. Kunst, The Music of Java, 2.
54
Ki Hadjar Dewantara- M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending Djawa¸ Sadubudi, Solo 1936,
52.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
22
juga non-Hindu dengan upacara tertentu, beberapa bentuk tarian, dan dengan
wayang gedog yang menceritakan kisah Pandji yang asli berasal dari Jawa55.
Ada pula penjelasan mengenai asal mula terciptanya tangga nada slendro.
Namun, penjelasan ini lebih bersifat legenda. Seperti legenda yang mengatakan,
bahwa pada tahun 187 M, Sang Hyang Indra membuat suatu gamelan bernama
Surendra, yang lama kelamaan berubah nama menjadi Salendro (slendro).
Gamelan ini memiliki lima instrumen, yaitu gendhing (rebab), kala (kendang),
sangka (gong), pamatut (kethuk), dan sauran (kenong)56. Lagu gendingnya masih
berasal dari sekar kawi atau tembang ageng, yang nadanya juga diikuti oleh rebab
bertangga nada slendro57.
Menurut Karl-Edmund Prier, SJ, ada kemungkinan bahwa tangga nada
pelog merupakan tangga nada asli Jawa. Memang beberapa daerah di Indonesia,
seperti Sumatera, Bali, dan Papua, juga memiliki tangga nada pentatonisnya.
Sumatera pun sekali-sekali menggunakan tangga nada pelog dalam nyanyiannya.
Namun tampaknya tangga nada pentatonis bernama pelog memang hanya ada di
Jawa58.
Tangga nada pelog membutuhkan konsentrasi tinggi dan kesungguhan hati
untuk menyanyikannya. Dalam suatu pengalaman lokakaryanya di Papua, KarlEdmund Prier mengalami bahwa seseorang dapat mencapai tangga nada pelog
dengan konsentrasi yang tinggi. Padahal, sebelumnya orang tersebut menyanyikan
55
J. Kunst, The Music of Java, 3.
R. Ng. Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan Wedhapradangga (Serat
Saking Gotek) Jilid I-IV, 5.
57
R. Ng. Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan Wedhapradangga (Serat
Saking Gotek) Jilid I-IV, 6.
58
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, pukul 12.00
WIB, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta.
56
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
23
bertangga nada pentatonis: la-sol-mi-re-do-la, yang berubah menjadi do-si-so-fami-do59.
Dari sisi ilmu melodi, tangga nada slendro dan pelog masuk dalam kategori
tangga nada pentatonis modal, yaitu tangga nada lima nada yang memakai nada
tertentu sebagai nada finalis. Tangga nada pentatonis dapat dibedakan dalam dua
kategori, yaitu tangga nada lima nada tanpa setengah laras dan tangga nada lima
nada dengan setengah laras. Tangga nada slendro masuk dalam kategori tangga
nada lima nada tanpa setengah laras, sedangkan pelog masuk dalam kategori
tangga nada lima nada dengan setengah laras60.
2.2.1 Tangga Nada Slendro61
Satu oktaf terdiri dari 1200 cent. Dalam musik Barat, 1200 cent ini dibagi
dalam 12 kali setengah nada (sekon kecil). Setiap sekon kecil memiliki jarak 100
cent. Nada-nada kromatik pun tersusun: C – Cis – D – Dis – E – F – Fis – G – Gis
– A – Ais – B – C62.
Dalam gamelan slendro, satu oktaf dibagi dalam lima interval yang sama
besar, yaitu 240 cent. Nada ji dan ro berjarak 240 cent; nada ro dan lu berjarak
59
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik
Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta.
60
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1979, 82-83.
61
Teori ini berdasarkan pada wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17
Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta.
62
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik
Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
24
240 cent; nada lu dan ma berjarak 240 cent; nada ma dan nem berjarak 240 cent;
nada nem dan ji berjarak 240 cent. Masing-masing nada pun memiliki interval
yang lebih besar satu nada dibandingkan dengan nada kromatik musik barat, maka
tidak mungkin dibunyikan pada piano atau organ.
Berikut ini adalah skala interval tangga nada slendro:
Nada
:
ji
Jarak (cent) :
ro
240
lu
240
ma
240
nem
240
ji
240
Gambar 2.1: Tangga nada slendro
Kendati teori menyatakan bahwa setiap sekon memiliki besar interval yang
sama, kenyataan membuktikan, bahwa terdapat berbagai jenis interval slendro.
Karl-Edmund Prier mengungkapkan, bahwa paling tidak ada dua macam slendro:
1. Tangga nada slendro misalnya dengan interval
Nada
:
ji
Jarak (cent):
ro
235
lu
245
ma
235
nem
235
ji
245
Gambar 2.2: Interval pertama tangga nada slendro
Ada interval yang lebih kecil, yaitu 235 cent; dan, ada interval yang lebih besar,
yaitu 245 cent. Bunyinya pun mirip dengan sol-la-do-re-mi-sol.
2. Tangga nada slendro misalnya dengan interval
Nada
:
Jarak (cent):
ji
ro
245
lu
235
ma
235
nem
245
Gambar 2.3: Interval kedua tangga nada slendro
ji
235
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
25
Maka, bunyinya mirip dengan la-do-re-mi-sol-la.
Tangga nada slendro memiliki tiga pathet. Pathet adalah suatu sistem yang
mengatur tugas-tugas nada di dalam suatu lagu. Ada nada yang berperan penyalur
atas, maupun penyalur bawah 63. Sistem pathet sama dengan sistem modal yang
memuat modus-modus (modi), yaitu dengan mengunakan nada tertentu sebagai
nada finalis atau tujuan.
Tiga pathet tersebut adalah sebagai berikut:
1. Slendro pathet sanga, dengan nada finalis 5, bertangga nada: mo-nemji-ro-lu-ma. Contoh: Mangga-mangga Sesarengan (KA. 161), Mugi
Gusti Kersaa Nampi (KA. 210), Pralambang Kraton Swarga (KA.
418), Kidung Para Suci (KA. 445), dan Ing Dalu Punika (KA. 450).
2. Slendro pathet nem, dengan nada finalis 2, bertangga nada: ro-lu-monem-ji-ro. Contoh: Suci (KA. 222), Sembah Nuwun (KA. 246).
3. Slendro pathet manyura, dengan nada finalis 6, bertangga nada: nemji-ro-lu-ma-nem. Contoh: Paring Padhang (KA. 197), Sembah Nuwun
(KA. 257), Mendah Kita Tanpa Panuwun (KA. 391), O Tyas Dalem
Lir Samudra (KA. 408).
Sebetulnya masih ada dua pathet slendro, tetapi hanya ada tiga yang
terkenal. Dua pathet tersebut masing-masing bertonika nada 1 dan 364.
63
64
M. Siswanto, Tuntunan Karawitan I, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 2011, 26.
M. Siswanto, Tuntunan Karawitan I, 26-27.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
26
2.2.2 Tangga Nada Pelog65
Tangga nada pelog termasuk dalam tangga nada hemitonis/ dengan setengah
nada, yang terdiri dari lima nada. Interval tangga nada ini tersusun atas terts besar
dan sekon kecil, misalnya do-mi-fa; sol-si-do. Keunikan susunan nada pada saron
adalah bahwa terdapat tujuh nada yang memungkinkannya untuk dapat dipakai
dalam tiga pathet yang berlainan. Sepintas memang tampak bahwa tangga nada ini
memiliki tujuh nada, tapi pada kenyataannya nada heptatonik ini adalah suatu
kumpulan nada pentatonis biasa. Ketujuh nada tersebut tidak dipakai sekaligus
dalam satu permainan66.
Tangga nada pelog memiliki tiga pathet:
1.
Pelog pathet nem, dengan nada pangkal 6, bertangga nada: ji-ro-luma-nem-ji. Modus ini tidak memiliki nada pat dan pi.
Nada
:
Jarak (cent):
ji
ro
±125
lu
175
ma
±375
nem
125
ji
375
Gambar 2.4 : Pelog pathet nem
Nada ji-ro berinterval sekon kecil (125 cent), ro-lu berinterval sekon
(175 cent), lu-ma berinterval terts besar (375 cent), ma-nem
berinterval sekon kecil (125 cent), dan nem-ji berinterval terts besar
65
Teori ini berdasarkan pada wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17
Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta.
66
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik
Liturgi; lihat pula J. Kunst, The Music of Java, 3.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
27
(375 cent). Dalam gamelan dengan nada nem=Bes, nada-nada tersebut
berbunyi kurang lebih: D-Es-F-A-Bes-D‟, atau mi-fa-sol-si-do-mi.
Contoh lagu dari tangga nada ini: Memujia Pangeran (KA. 156),
Andher Pra Abdi (KA. 158), Klawan Sukeng Wardaya (KA. 206),
Amba Asih Mring Pangeran (KA. 240), O Sakramen Maha Suci (KA.
245), Dak Sawang Mareming Ati (KA. 254), Magnificat (KA. 255).
2. Pelog pathet barang, dengan nada pangkal 3, bertangga nada: ro-luma-nem-pi-ro. Modus ini tidak memiliki nada ji dan pat.
Nada
:
Jarak (cent):
ro
lu
125
ma
375
nem
125
pi
175
Gambar 2.5 : Pelog pathet barang
Nada ro-lu berinterval sekon kecil (125 cent), lu-ma berinterval terts
besar (375 cent), ma-nem berinterval sekon kecil (125 cent), dan nempi berinterval sekon (175 cent). Dalam gamelan dengan nada
nem=Bes, nada-nada tersebut berbunyi kurang lebih: Es/E-F-As/ABes-C‟, atau si-do-mi-fa-sol. Contoh lagu dari tangga nada ini: Bumi
Horeg (KA. 356), Cempeku Paskahan (KA. 357), Cempe Paskah
(KA. 358), Mendah Kita Tanpa Panuwun (KA. 390).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
28
3. Pelog pathet lima, dengan nada pangkal 5, bertangga nada: ji-ro-patma-nem-ji. Modus ini tidak memiliki nada lu dan pi.
Nada
:
Jarak (cent):
ji
ro
±125
pat
±375
ma
175
nem
125
ji
375
Gambar 2.6: Pelog pathet lima
Nada ji-ro berinterval sekon kecil (125 cent), ro-pat berinterval terts
besar (375 cent), pat-ma berinterval sekon (175 cent), ma-nem
berinterval sekon kecil (125 cent), dan nem-ji berinterval terts besar
(375 cent). Dalam gamelan dengan nada nem=Bes, nada-nada tersebut
berbunyi kurang lebih: D-Es-G-As/A-Bes-D‟, atau mi-fa-sol-si-do-mi.
Contoh lagu untuk tangga nada ini: Para Kadang Galilea (KA. 368),
Allah Minggah (KA. 369), Kawula Aturi (KA. 376).
Menurut Karl-Edmund Prier, keunikan dari tangga nada pelog adalah nada
ro yang menjadi nada kompromi. Dalam pathet nem nada ro ditafsirkan sebagai fa
(ro rendah), dan dalam pathet barang ditafsirkan sebagai si (ro tinggi). Sedangkan
nada ma dalam pathet nem ditafsirkan sebagai si (ma tinggi), dan dalam pathet
lima ditafsirkan sebagai fa (ma rendah).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2.3
29
Bentuk Gending pada Umumnya
Dalam karawitan, bentuk gending dapat dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu gending dalam arti balungan dasar gending dan tembang atau nyanyian.
Balungan adalah kerangka lagu gending yang dimainkan menggunakan instrumen
gamelan. Kata balungan berasal dari kata balung dalam bahasa Jawa, yang berarti
tulang atau kerangka. Balungan sendiri dapat digunakan dalam dua arti, yaitu
sebagai kerangka lagu pokok gending dan sebagai kelompok instrumen tertentu
(saron, demung, dan slentem) di dalam gamelan yang khusus memainkan nadanada inti67. Sedangkan istilah tembang didefinisikan sebagai musik vokal, suatu
karya sastra yang harus dilagukan dalam penyajiannya 68.
2.3.1
Jenis-jenis Tembang
Tembang dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu:
2.3.1.1 Tembang Macapat atau Alit
Tembang Macapat atau Alit adalah tembang yang biasa digunakan untuk
membaca buku dan juga sebagai gerongan (dibawakan dalam paduan suara
67
R. L. Martopangrawit seperti dikutip dalam Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu,
Teori dan Perspektif, 13.
68
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, STSI Press, Surakarta 2006, 45.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
30
dengan irama yang metris) dengan menggunakan bahasa Jawa baru69. Tembangtembang macapat terdiri dari: Dandanggula, Mijil, Asmaradana, Sinom, Pangkur,
Durma, Kianti, dan Pucung70. Dalam perkembangannya, beberapa tembang
tengahan pun masuk dalam kelompok tembang ini, yaitu Gambuh, Megatruh atau
Duduwuluh, Balabak, Wirangrong, dan Jurudemung. Tembang ageng yang masuk
dalam kelompok ini adalah Girisa71.
Setiap tembang macapat diatur dalam ketentuan gurulagu (jatuhnya bunyi
akhir pada tiap baris), guruwilangan (jumlah suku kata pada tiap baris), dan
gurugatra (jumlah baris pada tiap bait). Aturan ini bersifat tetap dan ketat, kendati
tembang ini dinyanyikan dengan cengkok atau lagu yang berbeda-beda. Masingmasing tembang macapat memiliki lebih dari satu cengkok72.
Berikut ini adalah contoh syair Sinom73:
Pawarta Kratoning swarga
Mangsa cacawis mring Gusti
Bakal rawuh paring warta
Kratoning Allah wus prapti
King Yoanes Pambaptis
Pawarta ing ngrara samun
Jroning tlatah Yudhea
Martobata sira aglis
Mrih widada ing tembene bagya mulya.
69
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 47.
70
R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu, Sadubudi, Solo 1957, 38.
71
J. Kunst seperti dikutip dalam Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus
Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 46.
72
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 46-47.
73
Diambil dari “II. Pawarta Bab Kratoning Swarga: A. Mangsa Cacawis: Gusti Bakal Rawuh
Martakake Kratoning Allah” dalam G. P. Sindhunata, SJ dan Ag. Suwandi, Injil Papat: Piwulang
Sang Guru Sejati Ing Tembang Macapat, Boekoe Tjap Petroek, Yogyakarta 2008, 67.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2.3.1.2
31
Tembang Tengahan atau Madya
Tembang Tengahan atau Madya adalah tembang yang banyak dipergunakan
sebagai bawa, untuk memulai suatu gending. Tembang ini menggunakan bahasa
Jawa tengahan dengan diatur dalam ketentuan tembang yang sama seperti
tembang macapat74. Contoh dari tembang jenis ini adalah Kuswarini,
Kuswawirangrong, Jurudemung, Blabak, Pamiwalkung, Lontang, Girisaja,
Megatruh, Dudukwuluh, Maskumambang, Kelingan, Pamungu, Raradenok,
Onanganing, dan Kalajaran75.
Berikut ini adalah contoh tembang Megatruh76:
Sigra milir
Sang getek sinangga bajul
Kawan dasa kang jageni
Ing ngarsa miwang ing pungkur
Tanapi ing kanan kering
Kang getek lampahnya alon.
2.3.1.3
Tembang Gedhe atau Ageng
Tembang Gedhe atau Ageng adalah tembang yang digunakan sebagai bawa
atau suluk dalam pedalangan. Tembang ini adalah jenis tembang yang tertua dan
masih menggunakan bahasa Jawa Kawi atau Jawa Kuna. Secara ketat, jenis
74
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 47.
75
R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu, 34-37.
76
Gending Ketawang Megatruh, dari M. Siswanto, dkk., Gending-gending Beksan II Ketawang,
Konservatori Tari Indonesia, Yogyakarta 1975, 44.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
32
tembang ini diatur dalam ketentuan dalam satu bait (sapadeswara) terdiri dari 4
baris (padapala); satu bait dibagi menjadi dua, masing-masing terdiri dari dua
baris yang disebut sapadadirga; jumlah suku kata dalam tiap baris disebut
salampah/ salaku, dan paling sedikit terdiri dari lima suku kata (lampah 5);
menggunakan pedhotan, khususnya bagi tembang ageng yang berlampah tujuh
atau lebih77. Contoh dari jenis tembang ini adalah Citramengeng78, Sikarini,
Bangsapatra79, Citrarini dan Madayanti80. Berikut ini adalah syair tembang
Citrarini yang diciptakan oleh KRT Madukusuma81:
Langen pradangga, ngesti lebdeng pra siswa
Mardi mardawa kagunan karkarena
Mung haywa kemba miwah mengeng ing karna
Antep ing sedya lir parta mangsah yuda.
2.3.1.4
Tembang Dolanan
Istilah tembang dolanan pada awalnya digunakan untuk menyebut jenis
tembang permainan anak. Namun pada perkembangannya, istilah ini pun
digunakan untuk menyebut tembang-tembang hasil kreasi baru dan digunakan
untuk membedakannya dengan tembang-tembang klasik yang adi luhung82.
77
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 47.
78
R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu, 22.
79
R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu, 26.
80
Purwadi, dkk., Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Bina Media, Yogyakarta 2005, 528.
81
Purwadi, dkk., Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, 528.
82
Rahayu Supanggah seperti dikutip dalam Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi
Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 48.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
33
Beberapa tembang dolanan karya C. Hardjasoebrata yang cukup populer adalah
Sinten Nunggang Sepur, Sapa Munggah Gunung, Kupu Kuwe, Go Jago, Bagong
Ngamuk83, Kursi Jebol, Adiku, Omahku, Buta Cakil Untu Telu, Kathok Putih,
Palang Sepur84. Berikut ini adalah contoh syair tembang Omahku85:
Kowe tak kandhani prenahe omahku
Nurut dalan iki ana omah jejer telu
Latar jembar gilar-gilar
Omah gedhong anyar lawang kaca nganggo gambar
Sing wetan cete ijo, sing kulon cete kuning.
Sing tengah campuran ijo royo-royo sulak kuning
Aja wedi-wedi kowe ndang mlebua wae,
Nanging aja gedhong kuwi, omahku presis mburine.
2.3.1.5 Beberapa Jenis Tembang Lain
Sindhenan adalah tembang yang dinyanyikan secara tunggal oleh seorang
pesinden atau waranggana. Sulukan adalah tembang yang dinyanyikan oleh
dalang pada awal atau akhir suatu gending, atau di tengah-tengah pocapan dengan
tujuan untuk menciptakan suatu suasana tertentu yang diharapkan. Sebagai
contoh, tlutur digunakan untuk menciptakan suasana prihatin dan sedih, kawin
digunakan untuk menciptakan suasana bersemangat, dan ada-ada digunakan
83
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 66.
84
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 85.
85
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 85.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
34
untuk suasana tegang atau marah. Laras dan pathet sulukan disamakan dengan
laras dan pathet gending yang akan atau sudah dimainkan86.
2.3.2
Jenis-jenis Gending
Ada berbagai macam perbedaan jenis-jenis gending menurut para ahli. Hal
ini lebih disebabkan karena perbedaan persepsi mengenai definisi kata ageng,
tengahan dan alit. Mereka tetap menggunakan ketiga kriteria ukuran tersebut
dengan penerapan yang agak berbeda.
Ki Hajar Dewantara membagi gending dalam tiga kelompok, yaitu alit,
tengahan, dan ageng. Gending yang termasuk dalam kelompok gending alit
adalah Ketawang, Ladrang, Gangsaran, Tropongan, dan Bibaran. Kecuali bentuk
tersebut, gending alit lain memiliki pola tabuhan instrumen struktural yang
berbeda, yaitu Sampak, Playon, Srepegan, Ayak-ayak dan Prenesan. Gending
tengahan terdiri dari gending-gending dengan pola kendang Candra, Sarayuda,
Gandrung-gandrung, dan Lahela. Beberapa lagu yang termasuk kategori gending
ageng adalah gending-gending dengan pola kendang Mawur, Jangga, Semang87.
86
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 48-49.
87
Ki Hadjar Dewantara- M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending Djawa¸ Sadubudi, Solo 1936,
50-51.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Berikut ini adalah contoh-contoh balungan88:
1. Gending ketawang
Gambar 2.7 : Ketawang O Sang Sinuci (KA 431)
2. Gending ladrang
Gambar 2.8: Ladrang Dhuh Sang Sekar (KA 434)
3. Gending lancaran
Gambar 2.9: Lancaran Rawuha Roh Kang Suci (KA 378)
88
Diambil dari Kidung Adi: Buku Balungan Jilid II, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 2000.
35
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
36
Penggolongan gending dengan menyebutkan ketuk kerep atau awis,
sebenarnya kurang begitu umum digunakan di Yogyakarta, yang biasa menyebut
gending hanya dengan menyebutkan jenis kendangannya saja. Kendati demikian,
penyebutan ketuk kerep atau awis ini dirasa baik karena membantu para pemain
untuk segera mengetahui bentuk dan cara memainkan gending tersebut89.
Pengertian ketuk kerep adalah pukulan ketuk yang dilakukan setiap 8
tabuhan balungan atau 2 gatra dimulai dari gatra pertama setelah gong. Sedangkan
ketuk awis adalah pukulan ketuk yang dilakukan setiap 16 tabuhan balungan atau
4 gatra, dimulai dari gatra kedua setelah gong. 90
Ketuk kerep (tanda + adalah bunyi ketuk):
Gambar 2.10: Skema ketuk kerep
Ketuk awis:
Gambar 2.11: Skema ketuk awis
89
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 54.
90
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 55.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2.4
37
Perbandingan Musik Barat dan Timur
Musik Barat umumnya harmonis dengan tonalitas mayor dan minor sebagai
nada pusat91. Nada-nada dan akor-akor dibentuk berdasar pada kedua tonalitas ini,
dengan adanya suatu perpaduan antara keselarasan dan ketegangan. Permainan
akor menjadi dominan, dan lompatan-lompatan nada yang besar dimungkinkan
sejauh memiliki hubungan dengan akornya92.
Musik Barat sangatlah dinamis93 dan memiliki suatu bentuk yang siklis
dengan mengandalkan pengulangan-pengulangan94. Variasi di dalam pengulangan
menunjukkan adanya gerak dinamis di dalam siklus tersebut. Sebagai contoh,
sonata memiliki suatu alur yang tetap. Di bagian awal, tema disajikan sebagai
perkenalan, tanpa suatu pengembangan apapun. Tema ini menjadi suatu garis
besar yang akan dikembangkan di dalam lagu. Selanjutnya tema tersebut
dikembangkan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan diberi motif,
modulasi, dan perubahan ritme. Pada akhir sonata, disajikanlah suatu bentuk
kesimpulan berupa tema awal dengan segala perkembangannya. Selain itu, musik
Barat ditulis dalam notasi balok yang memastikan nada.
Gaya homofon menjadi bentuk yang banyak dipakai dalam musik Barat
sejak abad ke-17. Perpaduan nada secara vertikal atau akor sangatlah penting
untuk menunjukkan suatu kekompakan. Gaya polifon memang digunakan, namun
tetap perlu menjaga kecocokan nada dengan memperhatikan perpaduan vertikal
91
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 83.
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84.
93
J. Kunst, The Music of Java, 1.
94
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84.
92
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
38
dari nada-nada tersebut95. Peranan akor kembali ditekankan, namun belum tentu
dalam urutan tertentu. Musik Barat penuh dengan aksi dan tegangan. Ekspresi
krisis dan konflik ingin dicapai96. Ada antitesis yang menjadi jawaban atas tesis.
Berbeda dengan musik Barat, musik Timur umumnya bertangga nada
pentatonis (tangga nada lima nada) dan heterofonis97, dengan dua macam
pembagian, yaitu tangga nada pentatonis tanpa setengah laras dan tangga nada
pentatonis dengan setengah laras. Tangga nada slendro masuk dalam jenis
pentatonis tanpa setengah laras, sedangkan tangga nada pelog masuk dalam jenis
pentatonis dengan setengah laras98.
Musik pentatonis modal, dalam hal ini tangga nada slendro dan pelog,
memiliki ciri yang berbeda dari musik Barat. Musik pentatonis tidak dapat serta
merta diaransemen menggunakan teknik aransemen musik tonal
yang
mengutamakan keselarasan dan ketegangan antar nada melalui akor-akor. Pada
dasarnya, musik pentatonis berjalan melangkah, sedangkan musik Barat berdasar
pada jarak antar nada. Tegangan-tegangan dan langkah interval diatonis menjadi
ciri khas dari musik ini. Akor tidak main peranan, karena musik lebih
mengutamakan gerakan horisontal dari nada-nada. Akor-akor memang dapat
terjadi, namun hanya berupa kebetulan dan sebagai akor peralihan99. Jika
aransemen musik tonal dipaksakan, tidak diragukan lagi bahwa ciri khas musik
pentatonis modal akan hilang dan menjadi miskin. Para musisi perlu lebih
95
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84.
J. Kunst, The Music of Java, 1.
97
Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 15.
98
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 82-83.
99
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84.
96
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
39
menyadari kekhasan masing-masing tangga nada untuk dapat menciptakan suatu
musik yang sesuai dengan ciri khasnya.
Dalam gending Jawa, dapat ditemukan bentuk musik polifoni berupa
heterofoni. Bentuk ini dapat ditemukan dalam imitasi antara vokal dengan rebab.
Ritmenya pun cenderung rumit dan berubah-ubah, kadang-kadang berbentuk
heteroritmik100.
2.5
C. Hardjasoebrata sebagai Perintis Lagu-lagu Inkulturasi Jawa101
Proses masuknya gamelan Jawa ke dalam lingkungan Gereja, tidaklah
mudah. Ada berbagai macam aspek kultural yang harus ditinjau kembali agar
gamelan Jawa dapat sungguh sejalan dengan liturgi Gereja. Tujuan utamanya
adalah menciptakan suatu bentuk liturgi yang membumi dan berakar pada budaya
setempat. Orang akan sungguh merasa tersapa, jika mereka disapa melalui dan
dengan bahasa mereka sendiri. Keterbukaan dan kesedian dari kedua belah pihak
untuk melakukan penyesuaian, sangatlah dibutuhkan.
Budaya Jawa sangatlah terbuka terhadap perkembangan dan perubahan.
Kemungkinan untuk menciptakan gending Jawa yang dapat digunakan dalam
peribadatan pun mulai dilihat. Orang Jawa ingin agar liturgi dan peribadatan yang,
100
J. Kunst, The Music of Java, 4.
Penjelasan subbab ini mengikuti penjelasan yang diberikan oleh Karl-Edmund Prier, SJ dalam
C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1987, 6-9.
101
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
40
pada sebelum Konsili Vatikan II diselenggarakan, terasa asing karena kurang
dimengerti, menjadi bentuk perjumpaan yang sangat personal dan mendalam.
C. Hardjasoebrata melihat kesempatan pengembangan musik liturgi melalui
melalui gending Jawa. Pada tahun 1925 ia mengarang lagu Atur Roncen, Sri Yesus
Mustikeng Manis, dan O Kawula Punika. Lagunya dibuat dari tangga nada pelog,
dan syairnya diambil dari buku Rerepen Suci. Usahanya ini mendapatkan
tantangan dari orang-orang di sekitarnya. Mereka beranggapan, bahwa lagu-lagu
ini murahan dan menjadi bentuk profanasi musik Gereja 102. Pada masa itu, lagulagu baru memang jarang diciptakan, kecuali lagu-lagu dolanan103. Maka, lagulagu ciptaan C. Hardjasoebrata itu pun dianggap sebagai lagu dolanan. Lagu-lagu
ini sebenarnya dimaksudkan untuk kepentingan kebaktian sore (salve), namun Br.
Clementinus, yang mendukung kreasi C. Hardjasoebrata ini, memintanya untuk
melatihkan lagu-lagu tersebut pada paduan suara anak-anak sekolah Bruderan
Kidul Loji104.
Dalam kesempatan untuk menyambut Mgr. Van Velsen yang datang
berkunjung pada 31 Januari 1926, C. Hardjasoebrata dan kelompok paduan suara
anak-anak sekolah Bruderan Kidul Loji yang dipimpinnya tersebut, menampilkan
ketiga lagu tersebut. Mgr. Van Velsen sangat menyukainya dan meminta gendinggending tersebut ditampilkan kembali. Tanggapan publik terhadap karya-karyanya
pun menjadi lebih antusias. Mereka yang awalnya tidak menerima gending baru
tersebut, mulai mengakui bahwa gending-gending tersebut indah dan adi luhung.
Atas permintaan Br. Clementinus, Mgr. Van Velsen mengijinkan gending102
Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 7.
Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 8.
104
Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 7-8.
103
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
41
gending Gereja tersebut digunakan di dalam ibadat non liturgis dan bukan di
dalam perayaan Ekaristi105.
Dengan didukung oleh Mgr. Soegijapranata, pada tanggal 22 Oktober 1955,
dibentuklah suatu panitia khusus yang secara intensif mengurusi gending Gereja.
Kepanitiaan ini diketuai oleh E. Harjawardaya, Pr., dengan dibantu oleh C.
Hardjasoebrata dan F. Atmadarsana. Pada tanggal 1 Januari 1956, panitia ini
berhasil mementaskan gending-gending gereja, antara lain adalah Ave Maris
Stella, Kula Sowan Gusti, dan Misa karya F. Atmadarsana106.
Panitia lain dibentuk untuk mengurusi perizinan ke Roma mengenai
penggunaan gending Gereja di dalam liturgi. Panitia tersebut diketuai oleh Mgr.
Soegijapranata, dengan beranggotakan C. Hardjasoebrata, Br. Timoteus, F.
Atmadarsana, Prof. Dr. Zoedmulder, Ki Sindoesawarna dan R. Wiranto. Mereka
ingin agar gending Gereja digunakan dalam liturgi demi semakin menyentuhnya
liturgi Gereja. Pada tahun 1956, Roma mengijinkan gending gereja dipergunakan
dalam liturgi107.
Pada tahun 1957, pusat kegiatan dipindahkan ke Paroki Pugeran. Di sana
diterbitkanlah dokumentasi pertama lagu-lagu Gereja yang baru, berjudul Kyriale
(berisi lagu-lagu ordinarium) dan Natalia (berisi lagu-lagu Natal). Hardjasoebrata
ternyata masih terus menciptakan gending-gending Gereja pada berbagai
105
Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 8.
Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 9.
107
H. R. Wiranto seperti dikutip dalam Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi
Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 103
106
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
42
kesempatan. Gending-gending Gereja tersebut pun dikumpulkan dalam satu buku
berjudul Kula Sowan Gusti108.
Sebelum tahun 1930, gending-gending Gereja tersebut belum diiringi
dengan gamelan. Sesudah itu, instrumen gamelan yang digunakan sebagai iringan
pun masih terbatas pada alat-alat lembut, seperti gender, slentem, kenong, kempul
dan gong. Pembatasan iringan ini berlangsung sampai tahun 1965-an. Sesudah
Konsili Vatikan II, instrumen gamelan secara lengkap digunakan untuk
mengiringi gending Gereja109.
Gending Gereja terus berkembang. Pusat Musik Liturgi (PML) menerbitkan
buku Cahaya Sumunar pada tahun 1978, dan Kidung Adi edisi pertama pada
tahun 1983. PML juga membuat lokakarya komposisi Jawa pada tahun 2002 dan
2005, dan selanjutnya terbit Kidung Adi edisi baru pada tahun 2009.
Sebagai
seorang
musisi
gamelan
Jawa,
Hardjasoebrata
memiliki
keterbukaan pada musik Barat. Ia banyak menggabungkan teori gamelan Jawa dan
teori musik barat yang diketahuinya. Hasilnya adalah gending vokal yang
menggunakan notasi solmisasi dan gending iringan yang menggunakan notasi
Kepatihan110. Memang ada perbedaan interval dan rasa yang muncul, namun
penggabungan ini, paling tidak, dapat memfasilitasi kesulitan orang-orang yang
belum terbiasa dengan notasi Kepatihan.
C. Hardjasoebrata menciptakan banyak gending Gereja, terutama gending
yang menggunakan tangga nada pelog. Dibandingkan dengan tangga nada
108
Penjelasan Karl-Edmund Prier dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 9.
Penjelasan Karl-Edmund Prier dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 9.
110
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 154.
109
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
43
slendro, tangga nada pelog memang lebih dekat pada tangga nada diatonis. Ia juga
berhasil menggabungkan syair berbahasa Latin dengan tangga nada pelog111,
seperti Adoro Te (KSG 17), O Esca Viatorum (KSG 18A), Pange Lingua/Tantum
Ergo IV (KSG 23A). Karakter dan suasana yang dibangun adalah agung dan
khidmat, yaitu suasana yang dapat mendukung suasana peribadatan.
Pembaruan-pembaruan pun ia lakukan dalam musik gamelan Jawa. Ia
membuat aransemen empat suara pada gending vokal, menggabungkan dua
bentuk gending dalam satu gending, dan memadukan konsep birama musik barat
dengan konsep gatra gending Jawa112. Perpaduan-perpaduan tersebut ia tuangkan
dalam 42 gending yang telah dibuatnya 113.
2.6
Rangkuman
Gamelan Jawa yang ditemui sekarang ini merupakan hasil dari proses
panjang penyesuaian dan adaptasi alat-alat musik kuno yang menjadi cikal bakal
gamelan. Agama Hindu dan Islam memiliki pengaruh yang kuat dalam
perkembangan gamelan Jawa ini. Periode sejarah musik di Jawa dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu periode Hindu Jawa Tengah (abad ke-8 sampai abad
ke-10), periode Hindu Jawa Timur (abad ke-12 sampai abad ke-15) dan periode
111
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 154.
112
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 154.
113
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, 155.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
44
Islam Jawa (abad ke-15 sampai abad ke-17). Pembagian periode ini tidaklah
bersifat kaku, karena bisa jadi satu periode telah dimulai sementara periode lain
masih berjalan.
Musik gamelan berbeda dengan musik Barat. Musik Jawa menggunakan
tangga nada pentatonis slendro dan pelog. Akor-akor tidak memiliki peranan,
karena musik jenis ini menekankan gerak horisontal dari nada-nada. Akor-akor
memang dapat terjadi, namun hanya berupa kebetulan dan sebagai akor peralihan.
Tegangan-tegangan dan langkah interval diatonis (melangkah) menjadi ciri khas
dari musik ini. Ditemukan juga bentuk polifoni berupa heterofoni. Bentuk ini
dapat ditemukan dalam imitasi antara vokal dengan rebab. Ritmenya pun
cenderung rumit dan berubah-ubah, kadang-kadang berbentuk heteroritmik.
C. Hardjasoebrata melihat peluang, bahwa gamelan Jawa dapat digunakan
di dalam liturgi Gereja. Dimulai pada tahun 1925, ia berinisiatif untuk melakukan
beberapa percobaan inkulturasi, yaitu dengan menciptakan lagu-lagu Jawa dengan
syair berbahasa Latin, dan menciptakan lagu-lagu Jawa dengan syair berbahasa
Jawa. Percobaan ini berhasil baik, kendati belum mendapatkan izin dari Roma
untuk digunakan di dalam liturgi. Tahun 1956, Roma mengizinkan gending Jawa
ini untuk digunakan di dalam liturgi. Iringan gamelan secara lengkap baru
digunakan di dalam Gereja setelah Konsili Vatikan II.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB III
DASAR-DASAR INKULTURASI MUSIK LITURGI GEREJA
Gereja membuka diri untuk melakukan inkulturasi dengan budaya setempat.
Karena inkulturasi bukanlah tindakan yang sembarangan, Gereja memberikan
ketetapan-ketetapan yang dapat digunakan sebagai dasar inkulturasi. Tegangan
yang ada adalah bagaimana Injil dapat diwartakan melalui budaya setempat.
3.1
3.1.1
Inkulturasi Liturgi
Istilah Inkulturasi
Tema
inkulturasi
memiliki
kompleksitas
yang
mencakup
kajian
interdisipliner: teologi, liturgi, antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat dan ilmu
budaya1. Istilah ini berkembang seiringan dengan berkembangnya istilah-istilah
lain, seperti indigenisasi, inkarnasi, kontekstualisasi, revisi, adaptasi, enkulturasi,
akulturasi2, yang ingin menerangkan hubungan yang mungkin dapat dijalin antara
liturgi dan kebudayaan. Istilah-istilah tersebut digunakan sebagai istilah khas pada
1
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, Kanisius, Yogyakarta
2011, 263.
2
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 265.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
46
kesempatan-kesempatan yang berbeda oleh para antropolog. Para teolog,
misiolog, dan ahli liturgi pun meminjam istilah ini di dalam bidang mereka3.
Akulturasi adalah proses pertemuan antara satu kebudayaan dengan
kebudayaan lainnya, atau pertemuan antara dua kebudayaan. Pertemuan ini
mengandalkan komunikasi yang berpijak pada sikap toleransi dan saling
menghormati. Namun, pertemuan ini terjadi hanya pada tataran permukaan saja
dan sekadar menghasilkan penyejajaran ekspresi budaya yang berasal dari
berbagai asal-usul. Kendati demikian, akulturasi ini merupakan langkah awal dari
inkulturasi. Memang yang dapat muncul adalah penyejajaran dari unsur-unsur
yang tidak berhubungan, namun biasanya penyejajaran ini berkembang pada
asimilasi4. Asimilasi berasal dari kata simile dalam bahasa Latin, yang berarti
mirip. Asimilasi adalah proses pemiripan, yaitu penyesuaian diri berhadapan
dengan situasi baru dengan meninggalkan sikap atau keadaan lama5.
Istilah inkulturasi (inculturatio) mula-mula dipakai pada tahun 1959 dalam
missiologi oleh J. M. Masson, OMI. Pada tahun 1974/1975, para Yesuit
menggunakan istilah tersebutdi dalam diskusi mereka pada Kongregasi Jenderal
yang ke-32. Pada tahun 1977, istilah ini masuk dalam dokumen sinode keuskupan
Roma Ad Populum Dei Nuntius artikel 5, sebagai dokumen resmi Gereja. Dua
3
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis,
Pueblo, Collegeville 1992, 13.
4
Lih. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis,
27.
5
Seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi,
Yogyakarta 1999, 5.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
47
tahun kemudian istilah ini dipakai dalam Catechesi Tradendae artikel 53, dan
sejak saat itu istilah inkulturasi masuk dalam khazanah istilah magisterium6.
Kata inculturatio dimaksudkan sebagai padanan kata Latin enculturatio.
Namun karena bahasa Latin tidak memiliki awalan “en”, maka awalan “in” lah
yang digunakan. Sekadar perubahan imbuhan ternyata membawa pergeseran arti
yang besar7. Enkulturasi adalah istilah antropologis untuk sosialisasi, yang berarti
proses belajar yang dilakukan seseorang, agar ia dapat diterima di dalam
budayanya8. George Herbert Mead, seorang ahli filsafat dan psikologi sosial di
Amerika Serikat, berpendapat bahwa istilah enkulturasi adalah istilah antropologis
yang berarti suatu interaksi simbolis antara masyarakat, sikap mental dan
pendidikan, sehingga terciptalah bentuk-bentuk kegiatan sosial tertentu9.
Sedangkan, kata inkulturasi memiliki makna kata yang jauh berbeda dibandingkan
dengan enkulturasi, di dalam lingkungan teologis, liturgis dan misiologis 10.
Menurut Giancarlo Collet, inkulturasi adalah istilah antropologi budaya dan
teologi11. Ketika digunakan dalam liturgi, setiap istilah mengacu pada salah satu
sisi dari hubungan antara liturgi dan kebudayaan12.
Chupungco mengartikan inkulturasi sebagai proses di mana upacara
keagamaan pra-Kristen diberi arti Kristen. Struktur asli upacara keagamaan
6
Diterjemahkan oleh Karl-Edmund Prier, SJ., dari Walter Kasper (eds.), Lexikon für Theologie und
Kirche, V, Herder-Verlag, Freiburg 2006, kol. 504-505.
7
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity,and Catechesis, 25-26.
8
A. Shorter, seperti dikutip dalam Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals,
Religiosity, and Catechesis, 26; lihat pula Karl-Edmund Prier, SJ., Roda Musik Liturgi, Pusat
Musik Liturgi, Yogyakarta 2011, 51.
9
Diterjemahkan oleh Karl-Edmund Prier, SJ., dari Walter Kasper (eds.), Lexikon für Theologie und
Kirche, VII, kol. 20.
10
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 26.
11
Diterjemahkan oleh Karl-Edmund Prier, SJ., dari Walter Kasper (eds.), Lexikon für Theologie
und Kirche, V, kol. 504-505.
12
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 13.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
48
tersebut tidaklah berubah secara radikal, tetapi diubah oleh Gereja sebagai sarana
pengungkapan misteri Kristen. Akulturasi menyesuaikan budaya Romawi dengan
budaya baru dengan adanya perubahan-perubahan dan modifikasi. Dan,
inkulturasi memasukkan unsur-unsur iman Kristiani ke dalam kebudayaan
tersebut13.
Menurut Giancarlo Collet, inkulturasi adalah
proses ketika Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosial, politik,
religius dan kultural tertentu sedemikian rupa, sehingga Injil tersebut
tidak hanya terungkap dalam unsur-unsur situasinya saja, tetapi juga
menjadi kekuatan yang menginspirasi, membentuk dan mengubah
situasi tersebut, sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja
universal14.
Cakupan pembahasan inkulturasi tidak hanya terbatas pada bidang liturgi
dan ritus-ritus. Orang kadang memandang inkulturasi secara terbatas: penggunaan
blangkon saat misa bahasa Jawa, penggunaan alat musik gondang Batak, adanya
tari-tarian sebagai pengiring persiapan persembahan, sudah dianggap sebagai
inkulturasi. Padahal, inkulturasi lebih luas dari itu. Inkulturasi meliputi seluruh
pengungkapan, penghayatan dan perwujudan iman akan Kristus dalam seluruh
segi kehidupan. Tidak hanya soal musik dan pakaian yang digunakan dalam
berliturgi, inkulturasi juga mencakup berbagai bidang kehidupan iman, baik itu
persekutuan, perwartaan maupun pelayanan15. J. Theckanath membagi cakupan
inkulturasi dalam beberapa bidang: inkulturasi teologi, pembaruan biblis,
13
Lih. Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, diterjemahkan dari
Cultural Adaptation Of The Liturgy, oleh Komisi Liturgi KWI, Kanisius, Yogyakarta 1987, 104.
14
Giancarlo Collet seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 8; lihat
pula E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 266.
15
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan
Matakuliah Teologi Inkulturasi, Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta 2011, 5.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
49
eklesiologis, spiritualitas, pendidikan imam dan religius, katekese dan liturgi16.
Tidak hanya berhenti pada penggunaan unsur-unsur budaya setempat yang
digunakan untuk mengungkapkan iman Kristiani, inkulturasi juga menyangkut
kekuatan iman yang menjiwai hidup seseorang sesuai dengan konteks zaman di
mana orang tersebut hidup17.
Inkulturasi merupakan suatu keharusan yang dialami oleh agama Kristiani
maupun agama-agama lain18. Jika Gereja ingin berkembang dan menjadi tetap
relevan bagi umatnya yang berasal dari berbagai kebudayaan, Gereja harus mau
terbuka dan memandang positif budaya setempat. Asas ecclesia semper
reformanda (Gereja harus senantiasa dipugar) yang dapat diterapkan pada liturgi:
liturgia semper reformanda (Liturgi harus senantiasa dipugar)19, menjadi
semangat dasar untuk berani terbuka terhadap budaya setempat dalam
hubungannya yang saling memperkaya. Hidup Gereja tidak akan mendapatkan
gairahnya, jika liturginya tetap menjadi seonggok museum 20. Budaya setempat
disucikan dan menjadi sarana perjumpaan Allah dengan manusia; Gereja
memperoleh cara baru dalam mengungkapkan warta keselamatannya.
Dalam pembicaraan mengenai inkulturasi, orang perlu membedakan antara
isi dan ungkapan iman21. Isi Injil yang merupakan karya keselamatan Allah
melalui Yesus Kristus di dalam Roh Kudus yang terlaksana dalam sejarah,
16
Seperti dikutip dalam E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja
Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 6-9.
17
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 264-265.
18
E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Kanisius,
Yogyakarta 1999, 80.
19
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 107.
20
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 107.
21
E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, 83.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
50
diungkapkan dalam berbagai bahasa, pola pikir dan budaya tertentu22. Karya
keselamatan Allah tersebut membutuhkan budaya tertentu, sehingga manusia
dapat menangkap dan merasakan pengungkapannya.
Pedro Arrupe berpendapat:
manusia hadir dan bersinggungan dengan Sabda di dalam konteks
budaya tempat ia hidup, dimana Yesus pun dapat memasuki budaya
tersebut. Ketika suatu komunitas terbuka pada Kabar Gembira sambil
tetap memelihara budayanya, Gereja akan menjadi semakin otentik
dan diperkaya dengan nilai-nilai baru. Semangat berbagi di dalam
hidup Kristus juga menjadi dasar bagi perjumpaan seluruh
kebudayaan23.
3.1.2
Teologi Inkulturasi
Dalam perspektif teologi penciptaan, karya keselamatan melalui penebusan
merupakan rencana Allah sejak awal. Allah Tritunggal menciptakan segalanya itu
sungguh amat baik (Kej 1:31). Segala yang diciptakan Allah ini baik dan
berbobot, tidak ada yang kurang bernilai, tidak ada yang semu, tidak ada yang
buruk24. Menurut Ireneus, penciptaan dan penebusan tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Sejak awal penciptaan telah terarah pada pembebasan dosa dari dan
dalam Kristus. Alam ciptaan ini berpotensi untuk ditebus sampai ke unsur-unsur
jasmani karena alam ini diciptakan sendiri dengan tangan-Nya25. Rencana awal
untuk menjadikan manusia sebagai mitra, teman sekerja, bahkan anak-Nya,
22
E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, 82.
Pedro Arrupe, On Inculturation: A Letter of Father General Pedro Arrupe to the whole Society,
Rome, 14 May 1978, 14.
24
Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta 2004, 71.
25
Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2, 51.
23
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
51
diinterupsi oleh dosa Adam. Penciptaan ini pun diperbarui, diperbaiki dan disusun
kembali dalam pribadi Yesus Kristus yang menjadi Adam kedua 26. Demikian
pula, kebudayaan-kebudayaan yang pada dasarnya adalah baik, dapat digunakan
di dalam inkulturasi.
Dasar teologis inkulturasi adalah misteri perutusan trinitaris. Misteri
perutusan trinitaris ini adalah perutusan Putra oleh Bapa di dalam Roh Kudus,
sekaligus perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra. Kedua perutusan ini,
perutusan Putra dan perutusan Roh Kudus, tidak bisa dipisahkan karena mengalir
dari satu sumber, yaitu Allah Bapa, dan melayani rencana keselamatan Bapa yang
terlaksana melalui Putera-Nya, dalam Roh Kudus di dalam rentang sejarah27.
Inkulturasi merupakan konsekuensi logis dari realitas penyelamatan. Karya
keselamatan itu terlaksana secara konkret di dalam sejarah manusia: di dalam
ruang, waktu dan pribadi manusia yang tertentu. Demikian juga, pewartaan iman
Kristiani, yang merupakan penghadiran karya keselamatan Allah melalui Yesus
Kristus, juga perlu membumi28.
Selain itu, inkulturasi berdasar pada tiga misteri yang saling berhubungan,
yaitu misteri inkarnasi, misteri Paska, dan misteri Pentakosta. Pertama, misteri
inkarnasi. “Misteri inkarnasi dapat menjadi alasan pertama dan pola yang
sempurna bagi inkulturasi”29. Lebih jauh dari itu, inkulturasi benar-benar dituntut
oleh hakikat Injil itu sendiri, karena Injil pada dirinya sendiri berisi mengenai
26
Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2, 51-52.
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 267.
28
E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, 82.
29
Pedro Arrupe, On Inculturation: A Letter of Father General Pedro Arrupe to the whole Society,
13.
27
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
52
kehadiran Yesus Kristus di dalam sejarah keselamatan manusia 30. “Firman itu
telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14). Yesus Kristus yang
adalah Putera Allah yang menjadi manusia dengan segala keterbatasannya 31. Ia
masuk dalam konteks hidup manusia dengan segala keterbatasannya. Karena
menjadi manusia, Ia pun terikat pada budaya, adat kebiasaan, bahasa dan pola
pikir tertentu32.
Seperti Yesus yang menjadi orang Yahudi, demikian pula Gereja tidak
hanya menjadi Gereja yang berada (in), tetapi menjadi Gereja yang berasal dari
(from) lokalitas tertentu33. Demikian pula, Injil harus diungkapkan dan
diwujudnyatakan dalam adat, budaya, bahasa, dan pola pikir suatu bangsa yang
konkret34. Manusia yang berasal dari kebudayaan tersebut pun pada akhirnya
dapat sungguh merasakan wujud konkret dari karya penyelamatan Allah melalui
diri Yesus Kristus. Melalui misteri inkarnasi ini, Allah mengangkat, menerima
dan menjadikan seluruh segi kehidupan manusia, termasuk kebudayaannya,
sebagai medan komunikasi dan perjumpaan antara manusia dengan Allah 35.
Kedua, Misteri Paskah. Misteri Paskah adalah puncak sejarah keselamatan
Allah. Dengan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, manusia ditebus dari
dosa dan diselamatkan. Segala segi hidup yang manusia bawa, termasuk
kebudayaan, pun turut ditebus, dibersihkan, dimurnikan, dan disucikan36,
30
E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, 83.
Pedro Arrupe, On Inculturation: A Letter of Father General Pedro Arrupe to the whole Society,
14.
32
E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, 82.
33
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 17.
34
E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, 82.
35
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 267.
36
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 267.
31
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
53
sehingga layak menjadi sarana perjumpaan antara Allah dengan manusia. Hal ini
perlu dilakukan karena tidak semua unsur-unsur budaya baru sesuai dengan nilainilai Injil (SC 21)37. Sebagai contoh, cerita-cerita legenda mengenai asal mula
gamelan, tidak mewarnai atau ikut dibawa dalam liturgi Gereja. Asal mula
gamelan dapat dijelaskan secara lebih ilmiah melalui ilmu etnomusikologi, yang
menerangkan mengenai sejarah asal-usul, perkembangan dan persebaran musik di
dunia. Gamelan Jawa pun semakin dimurnikan dan dibersihkan supaya dapat
digunakan di dalam liturgi. Liturgi harus menghormati kebudayaan, sekaligus
mengundang kebudayaan tersebut untuk memurnikan dan menyucikan dirinya
(bdk. LRI 19).
Ketiga, misteri Pentekosta. Karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus
sudah terjadi 2.000 tahun yang lalu. Pertanyaannya adalah bagaimana penebusan
Yesus Kristus tersebut dapat dialami oleh masing-masing orang pada zaman dan
budayanya? Roh Kudus menjamin sampainya karya keselamatan Allah tersebut
pada masing-masing orang pada zaman dan budayanya. Kisah Para Rasul 2
menunjukkan
diterimanya
Injil
oleh
setiap
budaya
manusia.
Setelah
mendengarkan kotbah Petrus, mereka yang tadinya hanya tercengang dan
termangu (Kis 2: 12), kini hatinya terbuka pada pewartaan Injil. Mereka
menyediakan diri dibaptis38. Dengan turunnya Roh Kudus, inkulturasi Injil
berlangsung terus ke dalam keragaman bahasa dan budaya di seluruh dunia. Injil
pun lahir dalam pelbagai budaya dan bangsa 39. Sebagai contoh, Kitab Suci
diterjemahkan dalam banyak bahasa negara (Indonesia, Inggris, Yunani, Jerman,
37
E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, 83.
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 268.
39
Andreas Feldtkeller seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 9.
38
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
54
Itali) dan daerah (Batak, Bali, Sunda, Toraja, Jawa). Penerjemahan ini membantu
orang untuk mengetahui dan memahami Kabar Sukacita yang menjadi inti dari
Injil. Karya keselamatan Allah pada 2.000 tahun yang lalu diterima secara
personal oleh orang-orang sesuai dengan zaman dan budayanya.
3.1.3
Magisterium Gereja Mengenai Inkulturasi40
Konsili Vatikan II memang tidak atau belum menggunakan istilah
inkulturasi. Kendati demikian, istilah aptatio yang berarti penyesuaian telah
digunakan. Di bagian lain, istilah accomodatio digunakan. Chupungco
membedakan penggunaan istilah aptatio dan accomodatio. Aptatio menyangkut
kuasa Konferensi Waligereja melakukan kemungkinan-kemungkinan berdasarkan
buku-buku yang resmi. Sedangkan, accomodatio adalah penyesuaian yang dibuat
oleh pemimpin ibadat berhadapan dengan keadaan, waktu dan jemaat tempat
ibadat tersebut dilaksanakan, sesuai dengan aturan-aturan yang terdapat dalam
buku-buku resmi41.
Konsili Vatikan II mengajarkan dalam Konstitusi Liturgi:
Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan
segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan
suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan
memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa.
Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak
40
Penjelasan ini mengikuti penjelasan mengenai piagam penyesuaian liturgi dalam Anscar J.
Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 57-74.
41
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 64; Anscar J. Chupungco,
Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 23-24.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
55
terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan
dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat
semangat Liturgi yang sejati dan asli (SC 37).
SC 37 didasarkan pada ensiklik Summi Pontificatus yang ditulis oleh Paus
Pius XII42. Artikel ini berusaha untuk tetap menjaga ketegangan antara melakukan
pembaruan secara wajar dan pelestarian secara sehat. Bahaya yang mungkin
muncul dengan adanya pembaruan adalah semakin dibatasinya ritus Romawi. Ada
kemungkinan bahwa ritus Romawi digantikan dengan ritus lokal, dan ritus
Romawi dipandang sebagai kenangan masa lalu. Perubahan dan pembaruan
semacam itu dapat menghancurkan ritus Romawi itu sendiri43. Padahal,
inkulturasi tidak menuntut diciptakannya rumpun liturgi baru, tetapi untuk
“menanggapi
kebutuhan-kebutuhan
budaya
setempat
dan
mengarah
ke
penyesuaian-penyesuaian yang masih tetap berada dalam kesatuan dengan Ritus
Romawi” (LRI 36).
Gereja memang harus mengusahakan kesatuan di dalam tubuhnya, tetapi
bukan hanya kesatuan lahiriah semata44. Kesatuan lahiriah demi kesatuan iman
bukanlah suatu asas dasar yang harus terus dipegang ketika penyesuaian liturgi
ingin dilakukan berhadapan dengan bermacam-macam jemaat, bangsa-bangsa dan
daerah. Persatuan jemaat regional juga perlu dipertimbangkan. Keseragaman
memang tetap dibutuhkan, tetapi dalam kadar tertentu yang sesuai dengan situasi
dan kondisi jemaat, bangsa dan daerah setempat45.
42
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 59.
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 61.
44
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 60.
45
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 62.
43
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
56
Dalam SC 37, Gereja sungguh menghargai kebudayaan setempat.
Kebudayaan yang merupakan kekayaan yang menghiasi jiwa berbagai suku
bangsa, dipelihara dan dimajukan. Sebagaimana Yesus yang menjadi manusia dan
hadir dalam kebudayaan, pola pikir dan tradisi tertentu, Gereja pun perlu hadir
dan membumi di dalam budaya setempat. Budaya setempat disucikan dan menjadi
sarana pertemuan Allah dengan manusia.
Kriteria tertentu diungkapkan untuk memasukkan unsur-unsur tradisi bangsa
lain ke dalam liturgi46. Syarat pertama adalah apa saja dalam adat kebiasaan para
bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul atau ajaran sesat. Syarat
kedua adalah sejauh adat kebiasaan para bangsa tersebut sesuai dengan hakikat
semangat Liturgi yang sejati dan asli.
Kesulitan utama yang ditemukan adalah dalam menentukan apakah suatu
unsur masuk dalam takhyul atau ajaran sesat, atau tidak. Penentuan ini sulit,
karena barangkali unsur yang dianggap sebagai takhyul itu adalah suatu bentuk
ungkapan iman yang tulus dan polos 47. Sulit untuk menentukan batas antara
takhyul dan iman. Kendati demikian, kesulitan ini tidak boleh menghilangkan
perlunya usaha untuk permurnian dan penilaian kritis terhadap kepercayaan
setempat. Adanya takhyul dalam kehidupan masyarakat pun tidak membuat
Gereja serta merta menolak kepercayaan masyarakat48. Dengan bimbingan Roh
Kudus, Gereja mempertimbangkan untuk membedakan unsur-unsur budaya kafir
yang tidak sesuai tradisi rasuli, dan yang tidak menyimpang dari Injil keselamatan
(bdk. LRI 16).
46
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 62.
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 62.
48
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 63.
47
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
57
LRI 47 menekankan, bahwa liturgi adalah ungkapan iman dan kehidupan
Kristen, maka inkulturasi liturgi perlu dijamin bersih atau tidak dinodai oleh
sinkretisme keagamaan, meski hal itu hanya pada tataran lahiriah. Bentuk
sinkretisme ini terjadi saat tempat-tempat ibadat, peralatan dan busana liturgi, tata
gerak dan sikap badan yang ada setelah inkulturasi, memberi kesan seakan-akan
memiliki arti yang sama seperti saat penginjilan belum terjadi. Bahkan,
sinkretisme akan menjadi lebih jelek lagi jika doa-doa, bacaan Kitab Suci dan
nyanyian-nyanyian diganti dengan kata-kata dari agama lain, biarpun itu semua
memiliki isi moral dan religius yang kita terima.
Konstitusi Liturgi artikel 38 mengungkapkan:
Asal saja kesatuan hakiki ritus Romawi dipertahankan, hendaknya
diberi ruang kepada kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar
dengan pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa, terutama di daerahdaerah Misi, juga bila buku-buku Liturgi ditinjau kembali. Hal itu
hendaklah diperhatikan dengan baik dalam penyusunan upacaraupacara dan penataan rubrik-rubrik.
Artikel 38 membicarakan mengenai penyesuaian yang sah dalam ritus
Romawi49. Memang artikel ini belum menyebutkan secara jelas apa yang
dimaksud dengan “kesatuan hakiki ritus Romawi”. Tetapi, artikel 39 akan
menjelaskan kesatuan hakiki ini sebagai ritus yang diatur dalam “batas-batas yang
telah ditetapkan oleh terbitan otentik buku-buku liturgi”. Kesatuan hakiki diatur
oleh Konferensi Waligereja melalui buku-buku resmi liturgi.
Penyesuaian litugi hendaknya dilakukan pada pelbagai kelompok, daerah,
dan bangsa, terutama di daerah-daerah Misi. Daerah misi mendapatkan prioritas
49
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 63.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
58
perlu adanya penyesuaian. Tapi, tidak berarti bahwa daerah non-misi tidak perlu
mengalami penyesuaian.
Masing-masing kategori komunal tersebut memiliki budaya masing-masing
yang unik. Satu daerah dengan daerah lain memiliki perbedaan. Penyesuaian
dimungkinkan pada daerah-daerah tersebut, bahkan antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain, antara jemaat yang satu dengan jemaat yang lain.
Kendati demikian penyesuaian tetap perlu memperhatikan kontras antara daerah.
Jangan sampai terjadi perbedaan yang terlalu mencolok antara dua atau lebih
daerah yang letaknya berdekatan (SC 23).
Konstitusi Liturgi artikel 39 menyatakan:
Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik bukubuku Liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti
disebut dalam art. 22 (2), berhak untuk memerinci penyesuaianpenyesuaian, terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen,
sakramentali, perarakan, bahasa Liturgi, musik Gereja dan kesenian,
asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam
institusi ini.
Pemimpin Gereja setempat berhak membuat rincian penyesuaianpenyesuaian, sejauh sesuai dengan kaidah-kaidah dasar. Penyesuaian perlu
dilakukan karena upacara harus sesuai dengan situasi kehidupan nyata, tidak
hanya terbatas pada dari mana ritus baru itu berasal. Memang dua hal ini belum
dapat dipisahkan. Ritus menjadi suatu tanda yang hampa, jika ritus tersebut
terpisah dari realitas. Liturgi menjadi kosong dan tanpa buah50.
Penyesuaian itu bukan berarti bahwa suatu upacara dilucuti hingga hanya
tersisa unsur-unsur yang hakikinya saja (bdk. LRI 25). Kecenderungan yang ada
50
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 65.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
59
sekarang adalah melakukan penyesuaian dengan hanya memperhatikan hal-hal
yang hakiki, sehingga liturgi dirasa menjadi lebih singkat, praktis dan lancar. Ini
bukanlah kaidah dasariah yang digunakan untuk penyesuaian liturgi 51. Melalui
penyesuaian, tradisi liturgi Gereja diungkapkan kembali ke dalam dan dengan
bahasa umat setempat52. Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip yang hakiki,
penyesuaian tetap dilakukan agar Gereja dapat terus hidup.
Konsili Vatikan II menyatakan dalam Sacrosanctum Concilium artikel 40:
Akan tetapi, di pelbagai tempat dan situasi, mendesaklah penyesuaian
Liturgi secara lebih mendalam; karena itu juga menjadi lebih sukar.
Maka:
1. Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti
dalam art. 22 (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan,
unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing
bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat Ilahi.
Penyesuaian-penyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang
perlu, hendaklah diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas
persetujuannya dimasukkan dalam Liturgi.
2. Namun, supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan
seperlunya maka Takhta Apostolik akan memberikan wewenang
kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk –bila perlu- dalam
beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang
terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen
pendahuluan yang diperlukan.
3. Ketetapan-ketetapan tentang Liturgi biasanya menimbulkan kesulitankesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi.
Maka, dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini hendaknya tersedia
ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan.
Artikel ini menunjukkan betapa mendesaknya penyesuaian Liturgi perlu
dilakukan. Daerah-daerah misi menjadi pokok perhatian karena kemendesakan
penyesuaian liturgi ini berhadapan dengan kebudayaan setempat. Kendati
51
52
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 65.
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 66.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
60
demikian, penyesuaian di daerah-daerah non-misi tidak bisa diabaikan.
Permasalahannya pun tidak lebih sederhana daripada daerah misi.
Penyesuaian liturgi dapat dilakukan dengan langkah-langkah yang termuat
dalam tiga alinea dari artikel 40 ini. Alinea pertama menyatakan bahwa pemimpin
Gereja setempat mendapatkan wewenang untuk menentukan secara tekun dan
bijaksana, unsur-unsur dan kekhasan dari tradisi setempat yang dapat masuk ke
dalam ibadat suci. Artikel 37 mengatur kriteria unsur dan kekhasan yang dapat
dimasukkan ke dalam liturgi suci. Selanjutnya, unsur-unsur dan kekhasan tersebut
diajukan pada Takhta Apostolik untuk mendapatkan pengesahan. Sejauh disahkan
oleh Takhta Apostolik, unsur-unsur tersebut dapat digunakan dalam ibadat suci.
Alinea kedua membicarakan mengenai wewenang yang diberikan oleh
Takhta Apostolik kepada pemimpin Gereja setempat, untuk melakukan
eksperimen di wilayah dan waktu yang terbatas. Gereja ingin menghindari
penyesuaian yang sembarangan dan tidak mendalam. Nuansa kehati-hatian pun
tampak jelas dalam alinea ini.
Alinea ketiga menunjukkan betapa pentingnya kajian interdisipliner dalam
penyesuaian liturgi. Tidak bisa tidak, Gereja melibatkan para ahli bidang
eksegese, antropologi, sosiologi, psikologi, seni dan bahasa53. “Usaha yang sabar
dan kompleks ini membutuhkan penyelidikan ilmiah dan pengamatan yang terusmenerus. Inkulturasi hidup kristen dan inkulturasi perayaan-perayaan liturgi harus
merupakan buah dari kematangan iman umat yang terus berkembang” (LRI 5).
53
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 68-69.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
61
Artikel 40 meletakkan tanggung jawab besar pada pundak para pemimpin
Gereja setempat untuk mengatur dan menjaga jalannya proses penyesuaian,
karena betapapun mendalamnya inkulturasi, liturgi tidak dapat berjalan tanpa
pengaturan dan pengawasan dari mereka yang diberi tanggung jawab mengenai
hal ini di dalam Gereja (bdk. LRI 27). Merekalah yang mengetahui situasi dan
kondisi Gerejanya, mengambil inisiatif untuk merencanakan dan memimpin
penyesuaian54. Diandaikan bahwa mereka telah memanfaatkan kemungkinankemungkinan penyesuaian yang ditawarkan oleh buku-buku liturgi, serta
membuat evaluasi dan revisi atas penyesuaian yang telah dilakukan, sebagai dasar
untuk melangkah ke penyesuaian yang lebih mendalam (bdk. LRI 63).
3.1.4 Tahap-tahap Inkulturasi Liturgi
Ada berbagai macam pendapat dari para ahli mengenai tahap-tahap
inkulturasi. Berikut ini adalah empat tahap inkulturasi menurut P. Schineller55:
54
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 68.
P. Schineller seperti dikutip dan dijelaskan oleh E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk
Studi dan Praksis Liturgi, 268-271.
55
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
62
3.1.4.1 Tahap Pertama: Pengambil-alihan (Imposition)56
Tahap pengambil-alihan atau imposition sebenarnya belum masuk dalam
tahap inkulturasi liturgi. Imposition adalah bahwa teks ajaran atau liturgi asing
dengan begitu saja diambil dan digunakan secara utuh tanpa proses penerjemahan
terlebih dahulu, oleh orang dari budaya tertentu. Tahap ini tetap dimasukkan
dalam tahap inkulturasi, karena, paling tidak, orang yang menghayati tersebut
berasal dari budaya lain dan ia menghayati liturgi tersebut menurut hati dan jiwa
mereka sendiri. Sebagai contoh, orang Indonesia merayakan Misa berbahasa Latin
atau Inggris. Kendati orang tersebut dapat hadir dan mengikuti Misa dengan baik,
penghayatannya tetaplah berbeda dengan orang Latin atau Inggris asli dalam
menghayatinya. Ada latar belakang budaya yang tidak dapat dilepaskan dan
dihilangkan.
Karl-Edmund Prier berpendapat, bahwa tahap pengambil-alihan ini
merupakan tahap pendahuluan dari inkulturasi. Belum ada penyesuaian yang
terjadi, kendati unsur dari budaya yang satu sudah digunakan di dalam budaya
yang lain. Inkulturasi memiliki unsur kreativitas yang memunculkan hal-hal baru
hasil penyesuaian kedua budaya. Sekadar memindah tanpa perubahan suatu unsur
budaya untuk digunakan di dalam budaya lain, baru merupakan langkah
56
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 268; E. Martasudjita,
Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi
Inkulturasi, 32-33.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
63
pendahuluan dari inkulturasi, untuk tidak menyebutnya sebagai bukan
inkulturasi57.
3.1.4.2
Tahap Kedua: Penerjemahan58
Pada tahap ini, teks-teks liturgi dari bahasa asing diterjemahkan ke dalam
bahasa pribumi. Hal ini sudah menjadi suatu bentuk inkulturasi yang lumayan,
karena penyesuaian bahasa sudah merupakan bagian dari budaya manusia.
Penerjemahan ini bukanlah suatu usaha yang mudah. Berbagai macam segi:
linguistik, sosiologis, teologis, antropologis, dll., perlu diperhitungkan. Contoh
dari tahap ini adalah penerjemahan Kitab Suci, dan ajaran-ajaran Gereja.
Penerjemahan teks-teks Kitab Suci adalah langkah pertama yang penting di dalam
proses inkulturasi liturgi (bdk. LRI 28). Keuntungan dari tahap ini adalah
kesetiaan umat pada tradisi iman Gereja, terjaga59.
Robert Schreiter60 membagi tahap penerjemahan ini dalam dua langkah:
pertama, membebaskan pesan Kristen dari budaya sebelumnya, dan kedua,
penerjemahan ke dalam situasi baru. Ia juga menyebutkan dua kelemahan tahap
ini, yaitu pemahaman positivis terhadap budaya dan teori biji dan kulit. Pertama,
57
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, pada hari Rabu, 10 April 2013, pukul 11.35 WIB di
Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
58
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 268-269.
59
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan
Matakuliah Teologi Inkulturasi, 34.
60
Penjelasan mengenai kelemahan dan kekuatan ini mengikuti penjelasan Robert Schreiter seperti
dikutip dalam E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal:
Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 34.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
64
pemahaman positivis terhadap budaya. Model penerjemahan mengasumsikan
adanya paralelisme antara budaya asing dan budaya setempat. Hal yang dilupakan
adalah bahwa suatu simbol budaya yang mau diterjemahkan sering memiliki latar
belakang dan makna yang berbeda dengan budaya setempat. Kedua, teori biji dan
kulit. Model ini terlalu mengasumsikan bahwa isi yang diungkapkan dalam Kitab
Suci itu mengatasi budaya, memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari budaya lain
dan dapat langsung diterjemahkan ke dalam budaya lain. Metode ini melupakan
kaitan antara isi dan ungkapan.
Dalam musik liturgi, metode penerjemahan ini ada dalam lagu-lagu
Gregorian berbahasa Indonesia. Syair Latin dalam lagu Gregorian diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia61. Sebagai contoh, syair lagu Sanctus yang dalam
bahasa Latin berbunyi “Sanctus, sanctus, sanctus Dominus Deus Sabaoth. Pleni
sunt coeli et terra gloria tua. Hosanna in excelsis. Benedictus qui venit in nomine
Domini. Hosanna in excelsis”, diterjemahkan dengan “Kudus, kudus, kuduslah
Tuhan Allah segala kuasa. Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu. Terpujilah
Engkau di surga. Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan. Terpujilah Engkau
di surga”.
61
PS 386.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3.1.4.3
65
Tahap Ketiga: Penyesuaian
Tahap ini sudah merupakan langkah inkulturasi yang lebih nyata
dibandingkan dengan tahap-tahap sebelumnya. Tahap penyesuaian ini disebut
dalam dua istilah, yaitu adaptatio dan accomodatio. Konsili Vatikan II
menggunakan kata aptatio untuk juga mengartikan adaptatio atau accomodatio.
Kata adaptatio sendiri berasal dari kata ad dan aptare (melengkapi,
menyesuaikan). Chupungco membedakan aptatio dari accomodatio. Aptatio
adalah
kuasa
Konferensi
Waligereja
untuk
melakukan
kemungkinan-
kemungkinan berdasarkan buku-buku yang resmi. Sedangkan, accomodatio
adalah penyesuaian yang dibuat oleh pemimpin ibadat berhadapan dengan
keadaan, waktu dan jemaat tempat ibadat tersebut dilaksanakan, sesuai dengan
aturan-aturan yang terdapat dalam buku-buku resmi62.
Konstitusi Liturgi artikel 37-39 mengatur tahap penyesuaian ini.
Penyesuaian dapat dilakukan sejauh sesuai “dengan hakekat semangat liturgi yang
sejati dan asli” (SC 37). Kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dapat
dilakukan dengan berbagai kelompok, daerah dan bangsa, asalkan kesatuan
dengan Ritus Romawi tetap dipertahankan (bdk. SC 38). Ritusnya tetap Ritus
Romawi, tetapi unsur-unsur budaya setempat sudah masuk dan mengalami
penyesuaian. Dalam hal ini, para pemimpin Gereja yang berwenang memiliki hak
untuk membuat rincian penyesuaian-penyesuaian apa yang dapat dilakukan,
62
Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 64; Anscar J. Chupungco,
Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 23-24.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
66
terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan,
bahasa Liturgi, musik Gereja dan kesenian (bdk. SC 39). Contoh dari tahap ini
adalah diciptakannya musik liturgi dengan gaya daerah, misalnya gaya Batak,
Jawa, Sunda, dan Flores.
3.1.4.4
Tahap Keempat: Inkulturasi yang Paling Mendalam
Tahap keempat ini adalah tahap inkulturasi yang paling mendalam; oleh
karena itu, tahap ini tidak mudah untuk dilakukan (bdk. SC 40). Budaya setempat
adalah titik tolak inkulturasi yang sejati63. Melalui inkulturasi, unsur-unsur
budayanya tetap, tetapi maknanya telah dibaptis oleh Injil Yesus Kristus 64. Misteri
iman kristiani diungkapkan melalui unsur-unsur budaya setempat. Yohanes
Paulus II dalam RM 54 menunjukkan dua prinsip proses inkulturasi: pertama,
kesesuaian dengan Injil, dan kedua, persekutuan dengan Gereja semesta65.
Inkulturasi perlu dilakukan dengan perlahan-lahan dengan melibatkan seluruh
umat Allah, karena umat beriman secara keseluruhan memiliki sensus fidei yang
tidak bisa diabaikan (RM 54)66.
63
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 270.
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan
Matakuliah Teologi Inkulturasi, 36.
65
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan
Matakuliah Teologi Inkulturasi, 37.
66
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan
Matakuliah Teologi Inkulturasi, 37.
64
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
67
Karena kemendesakan dan ketidakmudahan dalam proses inkulturasi ini,
Gereja menetapkan beberapa aturan dalam Sacrosanctum Concilium artikel 40:
1. Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti
dalam art. 22 (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan,
unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing
bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat Ilahi.
Penyesuaian-penyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang
perlu, hendaklah diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas
persetujuannya dimasukkan dalam Liturgi.
2. Namun, supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan
seperlunya maka Takhta Apostolik akan memberikan wewenang
kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk –bila perlu- dalam
beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang
terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen
pendahuluan yang diperlukan.
3. Ketetapan-ketetapan tentang Liturgi biasanya menimbulkan
kesulitan-kesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerahdaerah Misi. Maka, dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini
hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan.
Dengan demikian, inkulturasi yang sejati membutuhkan suatu usaha yang keras
untuk menentukan menentukan unsur-unsur budaya asli mana yang dapat
dimasukkan ke dalam liturgi. Inkulturasi pun tidak bisa dilakukan secara
sembarangan, membutuhkan pengawasan, dan melibatkan berbagai pihak. Hal ini
demi menjaga kesatuan antara inkulturasi yang dilakukan dengan ritus Romawi.
Karena inkulturasi bukanlah untuk menciptakan rumpun liturgi baru, tetapi untuk
“menanggapi
kebutuhan-kebutuhan
budaya
setempat
dan
mengarah
ke
penyesuaian-penyesuaian yang masih tetap berada dalam kesatuan dengan Ritus
Romawi” (LRI 36).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
68
E. Martasudjita menjelaskan tahap inkulturasi yang paling mendalam ini
dengan contoh inkulturasi antara teologi dan liturgi Paskah 67. Paskah adalah
tradisi Yahudi untuk merayakan karya pembebasan Allah atas bangsa Israel dari
penindasan bangsa Mesir. Tradisi ini berasal dari Perjanjian Lama. Tetapi, setelah
peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, Paskah Yahudi ini
mendapatkan isi yang baru bagi orang Kristen. Simbol-simbol yang digunakan
masih tetap dari lingkungan Yahudi, tetapi isinya sudah betul-betul baru. Paskah
Yahudi yang merupakan perayaan karya pembebasan Allah bagi bangsa Israel
dari penjajahan bangsa Mesir, kini mendapatkan kepenuhannya dalam misteri
Paskah Yesus Kristus yang merupakan karya pembebasan Allah bagi manusia
terhadap penjajahan dosa.
Karl-Edmund Prier berpendapat, bahwa inkulturasi yang mendalam
memang sampai pada kreativitas68. Unsur-unsur baru muncul dari pertemuan
antara dua budaya. Masing-masing budaya semakin diperkaya dengan hal baru
yang sebelumnya belum didapatkan.
67
Contoh tahap inkulturasi yang paling mendalam ini mengikuti contoh yang dibuat dalam E.
Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah
Teologi Inkulturasi, 37.
68
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, pada hari Rabu, 10 April 2013, pukul 11.35 WIB di
Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
69
3.1.5 Metode-metode Inkulturasi 69
3.1.5.1
Metode Ekuivalen Dinamis (Dynamic Equivalence)
Menurut Chupungco, metode ekuivalen dinamis ini merupakan proses
inkulturasi dengan mengganti suatu unsur dari liturgi Ritus Romawi, dengan
unsur dari budaya lokal yang memiliki makna atau nilai yang sama. Karenanya,
sisi linguistik, ritual dan unsur simbolis dari liturgi Romawi diungkapkan kembali
dengan pola pikir, cara berbicara dan ritual setempat. Suatu bentuk liturgi yang
kreatif memang dapat tercipta, namun hal ini berdasar pada buku-buku resmi, dan
tidak muncul secara murni dari sekadar imajinasi70.
Lawan dari ekuivalen dinamis adalah penerjemahan unsur secara statis atau
tidak berubah. Dalam hal penerjemahan suatu istilah, padanan kata dicari tanpa
memperhitungkan pola budaya, sejarah dan pengalaman hidup budaya setempat.
Sebagai contoh, kata misteri digunakan untuk menerjemahkan kata mysterion, dan
kata sakramen untuk menerjemahkan kata sacramentum. Di satu sisi, metode ini
mempertahankan doktrin iman71.
Bentuk penerjemahan lain selain penerjemahan statis adalah penerjemahan
idiomatis. Penerjemahan cara ini lebih mementingkan makna kata dan padanan
unsur yang ada pada budaya setempat. Chupungco mencatat usulan A. Echiegu
untuk menerjemahkan kata dignitas ke dalam bahasa Igbo, bahasa Nigeria. Ia
69
A. Chupungco seperti dikutip dan dijelaskan oleh E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam
Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 41-43.
70
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 3738.
71
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 38.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
70
menerjemahkan kata dignitas dengan kata-kata “menggunakan bulu burung
elang”. Dalam konteks budaya bangsa Nigeria, bulu-bulu elang yang disematkan
di rambut menunjukkan martabat dan posisi seseorang di dalam masyarakatnya.
Tuhan yang memberikan martabat kepada manusia, sejajar dengan Tuhan yang
memberikan bulu elang kepada manusia72.
3.1.5.2
Metode Asimilasi Kreatif (Creative Assimilation)
Metode ini menyangkut dua hal, yaitu apa yang ditawarkan budaya asli dan
apa yang dapat ditambahkan untuk liturgi kristiani73. Penyesuaian dilakukan pada
simbol-simbol dan bagian-bagian liturgi tanpa mengusik tata liturgi Gereja itu
sendiri74. Menurut ketentuan SC 38-39 dan 63b, metode asimilasi kreatif ini tidak
dapat dianggap sebagai metode inkulturasi liturgi biasa. Inkulturasi normalnya
dimulai dari sumber-sumber yang telah ada, karena inkulturasi lebih sama dengan
penerjemahan dari pada suatu bentuk penciptaan baru75.
Metode ini berperan penting dalam proses perkembangan liturgi selama
masa patristik. Para bapa Gereja, seperti Tertullianus, Hipolytus dan Ambrosius
juga memberikan sumbangan terhadap perkembangan ritus inisiasi. Contoh klasik
yang dapat digunakan adalah pemberian secangkir susu dan madu, dan
72
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 40.
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan
Matakuliah Teologi Inkulturasi, 41.
74
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan
Matakuliah Teologi Inkulturasi, 42.
75
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 45.
73
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
71
pembasuhan kaki para babtisan baru76. Dalam konteks budaya-budaya di
Indonesia, metode ini dilakukan dalam bentuk penyesuaian pada bangunan
gedung gereja yang memiliki corak budaya setempat, tari-tarian yang digunakan
dalam perarakan pembuka dan perarakan bahan-bahan persembahan77.
3.1.5.3
Metode Pengembangan Organis (Organic Progression)78
Chupungco berpendapat bahwa metode pengembangan organis ini
merupakan usaha untuk melengkapi dan menambahkan bentuk liturgi yang sejak
awal sudah dibentuk dan ditetapkan oleh Takhta Suci setelah Konsili Vatikan II.
Buku-buku liturgi dibaca kembali untuk dilengkapi kekurangannya 79. Metode ini
merupakan pengembangan, karena adanya bentuk baru yang diberikan pada
liturgi. Sedangkan, metode ini organis karena pengembangan ini dilakukan
dengan tetap mengikuti tujuan dasar dari bentuk-bentuk liturgi yang sudah ada
dan pada tradisi liturgi. SC 23 menegaskan metode pengembangan organis ini
dengan mengatakan, bahwa “hendaknya diusahakan dengan cermat, agar bentuk-
76
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 4445.
77
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan
Matakuliah Teologi Inkulturasi, 42.
78
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 4751.
79
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 47.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
72
bentuk baru itu bertumbuh secara kurang lebih organis dari bentuk-bentuk yang
sudah ada”80.
Jika tidak ada pengembangan secara organis dalam praktek liturgi yang
berdasarkan pada buku-buku liturgi, Gereja tidak akan menjadi semakin
diperkaya. Atau, jika pengembangan tidak mempengaruhi usaha inkulturasi yang
dilakukan oleh Gereja-gereja lokal, liturgi untuk Gereja lokal akan kecil
kemungkinannya untuk menjadi kenyataan81.
Contoh dari penerapan metode ini adalah masuknya tradisi sungkeman
dalam tata perayaan perkawinan dan tahbisan imam. Sungkeman adalah tradisi
Jawa untuk melakukan penghormatan dan memohon doa restu pada kedua orang
tua. Dalam tata perayaan perkawinan, kedua mempelai melakukan sungkeman
setelah mereka mengucapkan janji perkawinan dan sah menjadi suami-istri.
Dengan sungkeman ini, kedua mempelai mengungkapkan bahwa kini mereka
telah menjadi bagian keluarga dari kedua mempelai, mau berbakti pada orangtua
masing-masing dan keluarga masing-masing pasangan. Sedangkan, sungkeman
dalam perayaan tahbisan imam dilakukan sebelum calon imam ditahbiskan. Ia
meminta doa restu kepada kedua orangtuanya untuk dipisahkan dan menjadi
pemimpin umat82.
80
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 48.
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 51.
82
E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan
Matakuliah Teologi Inkulturasi, 42.
81
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3.2
73
Inkulturasi Musik Liturgi
Makna musik liturgi menurut Konsili Vatikan II dapat dirumuskan dalam
tiga poin dimensi83:
3.2.1
Dimensi Liturgis
Musik liturgi adalah musik yang berbeda dari musik profan pada umumnya,
karena fungsi dan tujuan musik ini dibuat untuk kepentingan ibadat liturgi. Tidak
mungkinlah musik dilepaskan dari konteksnya 84. Musik ini menjadi tradisi Gereja
yang tidak ternilai harganya, dan lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni
lainnya. Keterikatan antara nyanyian dan syairnya membuat musik ini menjadi
bagian yang meriah yang penting atau integral. Musik bukanlah sekadar hiasan,
tetapi liturgi itu sendiri85. Karena menjadi bagian yang integral, pilihan nyanyian
ibadat harus bisa dipertanggungjawabkan.
83
Pembagian makna musik liturgi ke dalam tiga dimensi ini dibuat berdasarkan penjelasan yang
ada pada E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 195-197.
84
Karl-Edmund Prier, SJ., Pedoman untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa
Laus, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1987, 9.
85
Bdk. SC 112; E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 195; lihat
pula komentar Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, Pusat
Musik Liturgi, Yogyakarta 1988, 3-4. Dibedakan antara nyanyian liturgi sebagai pengiring dan
nyanyian sebagai liturgi itu sendiri. Nyanyian liturgi sebagai pengiring adalah nyanyian-nyanyian
yang menyertai ritus tertentu, seperti perarakan imam dan para petugas liturgi menuju altar, iringan
persiapan persembahan, dan iringan imam dan para petugas liturgi yang menuju ke sakristi.
Nyanyian pengiring ini disebut proprium. Sedangkan, nyanyian sebagai bagian dari liturgi itu
sendiri adalah bagian tertentu dari liturgi yang memang perlu dibawakan dengan cara dinyanyikan,
seperti Kyrie, Gloria, mazmur tanggapan, bait pengantar Injil, prefasi, Sanctus dan Agnus Dei.
Nyanyian sebagai bagian liturgi ini disebut ordinarium.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
74
Musik liturgi menjadi musik khusus yang digunakan upacara-upacara
liturgi. Melaluinya, umat beriman dapat “mengungkapkan doa-doa secara lebih
mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya
upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak” (SC 112). Seni membantu
manusia untuk mengungkapkan dirinya secara lebih mendalam dalam ungkapan
doa, iman dan rasa syukur pada Allah di dalam liturgi.
Berbeda dengan musik profan, musik liturgi memiliki tujuan untuk
“kemuliaan Allah dan pengudusan Umat beriman” (SC 112). Dua hal ini
merupakan relasi vertikal-dialogis antara manusia dengan Allah: katabatis dan
anabatis86. Segi katabatis adalah gerakan turun dari Allah kepada manusia. Allah
menawarkan diri agar manusia memperoleh keselamatan. Ini merupakan
pengudusan yang dilakukan Allah pada manusia. Sedangkan, segi anabatis adalah
gerakan naik dari manusia kepada Allah. Manusia menganggapi tawaran Allah
tersebut dengan menyembah dan memuliakan Allah87.
Konsili membuka kesempatan agar kesenian-kesenian sejati dapat masuk ke
dalam ibadat. Kriteria utamanya adalah kesesuaian dengan tujuan musik liturgi,
yaitu demi kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman. Karenanya,
diandaikan adanya proses pemilihan dan pemilahan antara kesenian yang sejati
dan tidak sejati88. Kriteria utama musik liturgi dalam dimensi ini adalah
bagaimana suatu musik atau nyanyian dapat membantu umat dalam berliturgi,
86
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 119.
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 120.
88
Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, 4.
87
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
75
yaitu berjumpa dengan Allah dan sesama 89. Seni membantu manusia untuk masuk
ke dalam misteri, untuk menemukan Allah yang tersembunyi.
3.2.2
Dimensi Ekklesiologis
Musik memiliki dimensi ekklesiologis, artinya musik liturgi dimaksudkan
untuk mengungkapkan peran serta umat secara aktif. Konstitusi Liturgi
mengungkapkan bahwa perayaan liturgi hendaknya memungkinkan “semua orang
beriman dibimbing kearah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif” (SC
14). Musik memiliki peran penting dalam membantu memasuki misteri iman dan
menangkap sabda Tuhan dan karunia sakramen yang sedang dirayakan90.
Kesesuaian antara musik liturgi dengan tema liturgi dan tempat
dilaksanakannya liturgi tersebut, dapat semakin membantu umat. Bentuk musik,
lagu dan alat-alat musik juga perlu disesuaikan dengan keanggunan gedung gereja
(bdk. LRI 40). Arsitektur gedung gereja juga menentukan sesuai tidaknya suatu
alat musik digunakan. Orgel pipa pada umumnya dipasang bersamaan dengan
dibangunnya gedung gereja. Besarnya gedung menentukan pula orgel yang akan
dipasang di dalamnya. Karena hal inilah, masing-masing gereja memiliki suara
orgel yang khas. Demikian pula arsitektur gedung gereja dari kebudayaan lain.
Gedung gereja berarsitektur joglo sebagai bangunan khas masyarakat Jawa, sesuai
89
90
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 195.
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 196.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
76
dengan instrumen gamelan yang digunakan di dalamnya. Kesesuaian antara
arsitektur, alat musik dan liturgi, dapat membantu umat untuk menghayati
perayaan Liturgi secara lebih baik.
Musik memang dapat membuat liturgi menjadi semakin semarak (bdk. SC
112). Tetapi, kemeriahan liturgi tidak tergantung dari indahnya nyanyian atau
bagusnya upacara. Kemeriahan yang sejati ada pada makna perayaan atau ibadat
itu sendiri, dengan memperhitungkan keterpaduan perayaan liturgi tersebut serta
pelaksanaan bagian-bagian sesuai dengan ciri khasnya. Musik liturgi yang indah
memang diharapkan ada, namun ukuran ini tidaklah mutlak, karena tergantung
dari ketersediaan tenaga-tenaga yang dapat menjalankan tugasnya secara baik
(bdk. MS 11). Pemazmur, solis, dan kor yang terlatih dan dapat bernyanyi dengan
baik memang didambakan untuk memeriahkan suatu perayaan liturgi. Jika
memang nyanyiannya terlalu sulit dan tidak tersedia tenaga-tenaga yang dapat
menyanyikannya secara tepat, petugas tersebut bisa membawakannya tanpa
menyanyi, yaitu dengan mendaraskannya dengan suara yang lantang dan jelas.
Tapi hal ini tidak bisa dilakukan hanya demi mudahnya saja (bdk. MS 9).
Para pengiring, yaitu organis dan pemain alat musik lain, perlu memiliki
disposisi batin yang baik saat mengiringi ibadat liturgi. Mereka hendaknya
mengikuti ibadat liturgi dengan penuh kesadaran. Dengan begitu, mereka dapat
memainkan alat musik tersebut dengan sebagaimana mestinya (MS 67). Bermusik
di dalam liturgi adalah bermusik dalam konteks berdoa. Saat para pemain musik
dapat menghayati musiknya sebagai doa, ia pun dapat membantu umat yang hadir
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
77
untuk berdoa. Peran sertanya sebagai petugas liturgi menuntutnya untuk bersikap
serius dan khidmat dalam mengiringi.
Peran serta aktif para petugas liturgi dan umat akan semakin meriah jika
dilakukan dengan bahasa setempat (bdk. SC 36 dan 113). Musik liturgi pun akan
semakin mengena pada hati umat jika menggunakan bahasa yang diketahui umat
setempat. Penggunaan bahasa Latin memang tetap dipertahankan, namun
penggunaan bahasa pribumi pun dapat menjadi sangat bermanfaat bagi umat (bdk.
SC 36 [1] dan [2]). Inkulturasi dalam tahap terjemahan minimal telah membantu
umat untuk mengerti apa yang mereka ungkapkan.
Gereja menghargai tradisi musik orang-orang di tanah misi, baik yang sudah
menjadi musik ibadat maupun yang belum. Tradisi tersebut diletakkan sewajarnya
di dalam liturgi. Gereja juga masih berhati-hati dengan penyesuaian yang
dilakukan, sebagai antisipasi dari penyesuaian yang bersifat serampangan. Kriteria
penghargaannya adalah musik yang berperan penting dalam kehidupan beragama
dan bermasyarakat (SC 119). Gereja tidak ingin mengambil begitu saja musik dari
budaya setempat, tetapi musik setempat dimajukan dalam ibadat dengan melalui
proses pengolahan terlebih dahulu91.
Kriteria musik liturgi di sini adalah bagaimana musik memungkinkan umat
untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Musik
yang sesuai dengan citarasa setempat akan semakin mendorong umat untuk
berpartisipasi92.
91
92
Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, 10.
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 196.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3.2.3
78
Dimensi Kristologis
Misteri Kristus dapat semakin diperjelas dengan musik liturgi melalui syair
dan lagunya. Isi syair dapat membantu umat untuk memperdalam misteri iman
yang sedang dirayakan di dalam liturgi 93. Syair yang dibuat harus sesuai dengan
ajaran Katolik dan ditimba dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi (bdk. SC
121). Melalui lagu, umat dapat terbantu untuk berkontemplasi dan merenung pada
misteri iman yang dirayakan. Lagu yang sesuai dengan jiwa perayaan liturgi akan
menciptakan suasana yang mendukung untuk doa dan perjumpaan umat dengan
Allah94.
Para pencipta lagu perlu memiliki kesadaran untuk mengembangkan musik
Gereja. Mereka memiliki tanggung jawab untuk semakin memperkaya khazanah
musik Gereja, entah dengan menciptakan musik vokal maupun instrumental, yang
tetap disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Syaratnya, syair-syair lagu
tersebut harus selaras dengan ajaran Katolik dan ditimba dari Kitab Suci dan
sumber-sumber Liturgi (bdk. SC 121), serta memiliki mutu sastra yang indah
(bdk. LRI 40). Yang dinyanyikan pertama-tama adalah teks liturgi, sehingga suara
umat dapat didengar dalam tindakan liturgi yang mereka lakukan (bdk. LRI 48).
Bahasa menjadi elemen penting yang secara jelas menunjukkan penyesuaian
yang terjadi. Bahasa yang merupakan sarana komunikasi di antara umat,
“digunakan untuk mewartakan kabar gembira keselamatan kepada orang-orang
93
94
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 196.
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 197.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
79
beriman dan untuk menyatakan doa Gereja kepada Tuhan” (LRI 39). Penyesuaian
yang perlu diperhitungkan antara bahasa pribumi dengan lagu-lagu baru.
Kekhasan bahasa pribumi tidak boleh diabaikan, dan aturan-aturan musik ibadat
tetap harus dijalankan (bdk. MS 54).
Kesulitan
yang
dapat
muncul
dalam
inkulturasi
adalah
kurang
diperhatikannya keindahan dalam permainan kata pada bahasa daerah dalam lagu
baru pada versi Indonesia95. Bahasa daerah memiliki nuansa gaya sastra dan
istilah-istilah yang khas menggambarkan diri masyarakatnya. Pada lagu-lagu
terjemahan, hilangnya suasana ini lebih terasa. Perlu juga diperhatikan mengenai
unsur-unsur bahasa mana yang layak dimasukkan ke dalam perayaan liturgi (LRI
39).
Setelah Konsili Vatikan II dilaksanakan, perkembangan khazanah musik
liturgi menjadi semakin pesat. Dinamika liturgi yang baru ternyata menghasilkan
ciptaan-ciptaan musik liturgi yang baru96; di sisi lain, perayaan liturgi berubah
secara musikal karena musik yang berbeda atau baru97. Tradisi musik ibadat
selama 2.000 tahun tetap layak untuk dilanjutkan pada zaman sekarang98.
Muncul ribuan karya yang menggunakan syair dari proprium, dengan lebih
sedikit karya yang menggunakan syair ordinarium. Jumlah ini semakin bertambah
bukan hanya karena banyaknya bahasa yang digunakan, tetapi juga karena
banyaknya kelompok di dalam jemaat. Hasilnya adalah melimpahnya jumlah
95
Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 52.
Bernard Huijbers, “Liturgical Music after the Second Vatican Council”, Concilium 132, 106;
lihat pula Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, 12.
97
Bernard Huijbers, “Liturgical Music after the Second Vatican Council”, 106.
98
Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, 12.
96
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
80
karya-karya di seluruh dunia. Karya-karya tersebut sulit untuk dikenali dan
dipertukarkan satu sama lain, tidak seperti Ordinarium Latin pada zaman dahulu99.
Dalam konteks Indonesia yang memiliki 1.128 suku bangsa 100 dan 746
bahasa daerah101, keanekaragaman dapat menjadi potensi inkulturasi musik liturgi
yang sangat subur. Para pemusik daerah setempat perlu disadarkan dan
menyadari, bahwa mereka memiliki potensi besar untuk mengembangkan musik
liturgi setempat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki budaya tersebut dan
mengetahui seluk beluk dan filosofi hidupnya. Yang menjadi pencipta musik
terkadang bukanlah para ahli musik yang terbiasa mencipta dan mengolah musik,
tetapi mereka dapat pula datang dari kalangan petani, guru dan katekis102. Mereka
memiliki kemampuan untuk menyusun lagu yang puitis, menciptakan lagu baru,
menghafalkan lagu-lagu daerah yang dapat digunakan sebagai contoh lagu baru,
dan mengiringi lagu dengan alat sederhana103.
Ciri khas musik tradisional ini tidak bisa diabaikan dan begitu saja diukur
baik-buruknya menggunakan teori musik Barat. Sebaliknya, keunikan musik
daerah dan kemampuan para musisi setempat dalam menciptakan lagu baru untuk
kepentingan liturgi, semakin memperkaya khazanah musik Gereja. Kriteria musik
liturgi di sini bukan pada popularitas lagu di tengah umat, tetapi pada adanya
99
Bernard Huijbers, “Liturgical Music after the Second Vatican Council”, 102.
Fitri Diana Wuryanti, “Implementasi Konvensi Diskriminasi Rasial”, 2013, Diakses dari
http://www.ham.go.id/download.php%3Fid%3D732208%26mod%3D3%2Bjumlah+suku+bangsa
+di+indonesia&hl=en&tbo=d&biw=1346&bih=618&gbv=1&sei=_I8dUZbTCcW4rAeB3oHgCA
&ct=clnk. (15 Februari 2013).
101
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, “10 Persen Bahasa Dunia Ada di
Indonesia”, 2013, Diunduh dari http://www.menkokesra.go.id/content/10-persen-bahasa-duniaada-di-indonesia. (15 Februari 2013).
102
Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 49.
103
Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 48-49.
100
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
81
kecocokan antara musik dengan jiwa dan misteri iman akan Kristus yang
dirayakan di dalam liturgi104.
3.3
Rangkuman
Giancarlo Collet mendefinikan inkulturasi sebagai
proses ketika Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosial, politik,
religius dan kultural tertentu sedemikian rupa, sehingga Injil tersebut
tidak hanya terungkap dalam unsur-unsur situasinya saja, tetapi juga
menjadi kekuatan yang menginspirasi, membentuk dan mengubah
situasi tersebut, sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja
universal105.
Inkulturasi tidak hanya terbatas pada bidang liturgi saja, tetapi pada keseluruhan
segi hidup manusia.
Dalam perspektif teologi penciptaan, karya keselamatan melalui penebusan
merupakan rencana Allah sejak awal. Allah Tritunggal menciptakan segalanya itu
sungguh amat baik (Kej 1:31). Alam ciptaan ini berpotensi untuk ditebus sampai
ke unsur-unsur jasmani, karena alam ini diciptakan sendiri dengan tangan-Nya.
Teologi inkulturasi berdasar pula pada misteri perutusan trinitaris. Misteri
perutusan trinitaris ini adalah perutusan Putra oleh Bapa di dalam Roh Kudus
(inkarnasi), sekaligus perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra (pentekosta).
Kedua perutusan ini, perutusan Putra dan perutusan Roh Kudus, tidak bisa
dipisahkan karena mengalir dari satu sumber, yaitu Allah Bapa, dan melayani
104
E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 197.
Giancarlo Collet seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 8;
lihat pula E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 266.
105
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
82
rencana keselamatan Bapa yang terlaksana melalui Putera-Nya dengan sengsara,
wafat dan kebangkitan-Nya, dalam Roh Kudus di dalam rentang sejarah (paskah).
Berkat penebusan Yesus Kristus, Adam kedua, penciptaan diperbarui, diperbaiki
dan disusun kembali.
Inkulturasi musik liturgi menurut Konsili Vatikan II dapat dibagi dalam tiga
dimensi, yaitu dimensi liturgi, dimensi ekklesiologis dan dimensi kristologis.
Pertama, dimensi liturgi. Kriteria musik liturgi menurut dimensi ini adalah
bagaimana suatu musik atau nyanyian dapat membantu umat dalam berliturgi,
yaitu berjumpa dengan Allah dan sesama. Kedua, dimensi ekklesiologis.
Kriterianya adalah bagaimana musik memungkinkan umat untuk berpartisipasi
secara penuh, sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Ketiga, dimensi kristologis.
Kriterianya adalah bagaimana Misteri Kristus dapat semakin diperjelas dengan
musik liturgi melalui syair dan lagunya.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB IV
SUMBANGAN TANGGA NADA PELOG
DALAM INKULTURASI MUSIK LITURGI
Gereja telah membuka diri untuk adanya inkulturasi musik liturgi. Aturanaturan pun sudah dibuat demi terjaminnya usaha inkulturasi tersebut, agar tidak
menjauh dari tujuan musik liturgi, yaitu demi “kemuliaan Allah dan pengudusan
Umat beriman” (SC 112). Dengan musik pula, umat dapat “mengungkapkan doadoa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan
memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak” (SC 112). Seni
membantu manusia untuk mengungkapkan doa dan pujian secara lebih mendalam,
serta menjadi jalan masuk Gereja untuk mewartakan Kabar Sukacita.
Pembicaraan mengenai inkulturasi tidak bisa dilepaskan dari dua sisi, yaitu
isi iman dan bentuk pengungkapannya. Isi iman yang ingin disampaikan itu sama
dan tidak berubah, sedangkan pengungkapannya itu dapat berubah-ubah sesuai
dengan konteks budaya dan zaman yang dihadapi. Gamelan Jawa sebagai musik
khas budaya Jawa, diangkat dan dijadikan sarana pengungkapan iman akan
Misteri Paska. Isi yang ingin diungkapkan adalah pengalaman kasih Allah yang
terwujud dalam karya keselamatan-Nya melalui diri Yesus Kristus di dalam Roh
Kudus. Sedangkan, bentuk pengungkapannya adalah melalui gending-gending
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
84
Jawa yang secara khusus diciptakan untuk kepentingan liturgi Gereja.
Menanggapi tawaran keselamatan dari Allah tersebut, manusia memuji dan
menyembah Allah. Orang Jawa menyembah dan memuji Allah melalui gending
Gereja.
Tangga nada pelog dan slendro memang digunakan di dalam liturgi Gereja.
Namun tampaknya tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak.
Seluruh gending Gereja ciptaan C. Hardjasoebrata menggunakan tangga nada
pelog. Buku lagu Kula Sowan Gusti yang berisi lagu-lagu Gereja karangan C.
Hardjasoebrata pun seluruhnya bertangga nada pelog. Dari 547 lagu yang ada di
Kidung Adi, 252 lagu di antaranya adalah lagu bertangga nada pelog. Dengan
begitu, 46,1% lagu di dalam Kidung Adi adalah lagu bertangga nada pelog. Lagu
lainnya adalah lagu bertangga nada slendro (11,4%), Gregorian (3,7%), dan
diatonis (38,8%). Bertolak dari fakta tersebut, penulis ingin melihat peran dan
makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Pembahasan akan dibatasi pada musik
vokal yang menggunakan tangga nada pelog. Proses inkulturasi ini akan ditinjau
dari peran dan maknanya di dalam liturgi Gereja.
4.1
Perkembangan Tangga Nada Pelog dalam Liturgi
Pembahasan mengenai peran musik dan nyanyian dalam liturgi harus
menyangkut masalah musik dan nyanyian di dalam seluruh bidang liturgi. Bidang
liturgi resmi Gereja adalah perayaan sakramen-sakramen, perayaan sabda, dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
85
ibadat harian. Ada pula bentuk-bentuk ibadat yang masuk dalam cakupan liturgi,
seperti ibadat sakramentali, devosi, dst1. Peran tangga nada pelog di dalam liturgi
akan dibahas secara luas, mencakup bidang liturgi resmi Gereja dan ibadat-ibadat
yang masuk dalam cakupan liturgi.
Pembahasan tidak didasarkan pada bagian-bagian dari upacara liturgi, tetapi
pada musik liturgi itu sendiri, khususnya gending Gereja. Pertanyaannya adalah
bagaimana tangga nada pelog berperan dalam liturgi melalui gending-gending
Gereja. Peran ini akan dilihat dari dua segi, yaitu segi historis dan segi komposisi.
4.1.1 Segi Historis
4.1.1.1
Langkah 1: Lagu Gregorian dengan Syair Jawa
Lagu Gregorian merupakan lagu monophoni, yaitu lagu vokal yang hanya
menggunakan satu suara. Kata-kata adalah yang utama, sedangkan lagu
mengabdi pada kata-kata. Ada dua macam lagu Gregorian, yaitu sillabis dan
melismatis. Sillabis berarti bahwa satu suku kata mendapatkan satu nada,
sedangkan melismatis berarti satu suku kata mendapatkan beberapa nada.
Pada langkah ini, lagu Gregorian mendapatkan syair terjemahan berbahasa
Jawa. Hal ini sudah menjadi suatu bentuk inkulturasi awal, karena penyesuaian
bahasa
1
sudah
merupakan
penyesuaian
pada
bagian
budaya
manusia.
E. Martasudjita, Pr. dan J. Kristanto, Pr., Panduan Memilih Nyanyian Liturgi, Kanisius,
Yogyakarta 2007, 22.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
86
Penerjemahan bukanlah suatu usaha yang mudah. Berbagai macam segi:
linguistik, sosiologis, teologis, antropologis, dan lain-lain, perlu diperhitungkan.
Keuntungan dari tahap ini adalah kesetiaan umat pada tradisi iman Gereja,
terjaga.
Contoh lagu Gregorian dengan syair berbahasa Jawa adalah Minggah Ing
Pirdus (KA 93), dan Rawuha Roh Ingkang Murba (KA 384)2. Lagu Minggah Ing
Pirdus merupakan lagu terjemahan dari lagu In Paradisum dari Liber Usualis,
yang digunakan dalam upacara pemakaman saat jenazah dimasukkan ke dalam
kubur. Lagu ini menggunakan modus 7 dengan nada finalis sol.
Gambar 4.1: Minggah Ing Pirdus (KA 93)
2
Lihat pula KA 85, 87, 91, 93, 105, 118, 247, 306, 311, 316, 327, 328, 331, 340, 342, 349, 353,
384, 386.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
87
Contoh lain adalah lagu Rawuha Roh Ingkang Murba:
Gambar 4.2: Bait pertama lagu Rawuha Roh Ingkang Murba (KA 384)
Lagu Rawuha Roh Ingkang Murba ini merupakan terjemahan dari lagu Veni
Creator Spiritus yang syair dan lagu aslinya diambil dari madah hari raya
Pentekosta pada Liber Usualis. Lagu ini menggunakan modus 8, dengan nada
finalis sol.
Tahap penggabungan lagu Gregorian dan syair berbahasa Jawa ini termasuk
dalam inkulturasi tahap penerjemahan. Teks asli diterjemahkan ke dalam bahasa
Jawa dengan tetap mempertahankan nuansa, arti terjemahan, isi teologi dan fungsi
lagu tersebut di dalam liturgi. Tangga nada pelog belum berperan apa-apa di sini.
Lagu Gregorian yang pada awalnya memang sudah dikenal karena biasa
dinyanyikan, kini dimengerti isinya. Umat Jawa mengetahui apa yang terungkap
dan mereka ungkapkan lewat lagu tersebut.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4.1.1.2
88
Langkah 2: Lagu Jawa dengan Syair Latin
Pada tahun 1925/1926, C. Hardjasoebrata mulai melakukan percobaan
inkulturasi dengan menggabungkan lagu Jawa dengan syair Latin. Percobaan ini
dilakukan dengan dasar kesukaannya pada lagu Gregorian dan konteks pada masa
itu yang masih mewajibkan penggunaan bahasa Latin di dalam liturgi. Upaya ini
menghasilkan lagu-lagu seperti Jesu Dulcis Memoria (KSG 16), Adoro Te (KSG
17), O Esca Viatorum (KSG 18A), Pange Lingua/Tantum Ergo IV (KSG 23A).
Lagu Jesu Dulcis Memoria, Adoro Te, dan Pange Lingua/Tantum Ergo IV
menggunakan tangga nada pelog nem, sedangkan O Esca Viatorum menggunakan
tangga nada pelog barang. Menurut Karl-Edmund Prier, C. Hardjasoebrata
memang menyukai dan merasa bahwa lagu Gregorian itu bagus. Tantangan yang
dipilihnya adalah bagaimana syair Latin itu dapat diungkapkan dengan tangga
nada pelog.
Salah satu lagu Pange Lingua yang terkenal di Indonesia adalah lagu yang
diambil dari ibadat sore kedua pada Hari Raya Tubuh Kristus.
Gambar 4.3: Bait pertama lagu Pange Lingua (LU hal. 957)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
89
Lagu ini menggunakan tangga nada frigis, bermodus 3, dengan nada finalis mi.
Setiap suku kata mendapatkan satu nada (sillabis). Suasana yang diciptakan oleh
tangga nada frigis adalah mistis, lembut, dan transenden3.
Oleh C. Hardjasoebrata, syair lagu Gregorian ini diambil dan diberi tangga
nada pelog nem hingga menjadi:
Gambar 4.4: Bait pertama lagu Pange Lingua/ Tantum Ergo IV (KSG 23A)
Lagu ini menggunakan tangga nada pelog pathet nem. Pelog pathet nem bertangga
nada: ji-ro-lu-mo-nem-ji, atau mi-fa-sol-si-do-mi. Suasana khas yang ingin
diciptakan pelog pathet nem adalah sabar, sareh, dan tidak terlalu nglangut4.
Demikian pula, lagu ini menggunakan nada ro atau fa sebagai awalan untuk
menghindari kesan tegas, dan menekankan suasana sareh, lembut dan transenden.
C. Hardjasoebrata tetap mempertahankan suasana lagu Gregorian modus frigis
dengan menggunakan lagu pelog pathet nem dengan nada finalis mi.
Bentuk inkulturasi tahap ini masih terjadi separuh-separuh. Kendati umat
sudah merasakan sentuhan suasana budaya Jawa melalui tangga nada pelog, syair
3
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1994, 90.
Ki Hadjar Dewantara lan M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gendhing Djawa, Sadu-Budi, Solo
1957, 56.
4
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
90
lagunya masih berbahasa Latin dan lagunya masih terikat pada jumlah suku kata
syair bahasa Latin. Tahap ini juga bisa disebut sebagai tahap penerjemahan.
Bahasa syairnya memang belum diterjemahkan, tetapi tangga nadanya telah
diterjemahkan. Modus frigis memiliki suasana yang serupa dengan pelog pathet
nem dengan cara pengolahan tertentu.
4.1.1.3
Langkah 3: Lagu Jawa dengan Syair Jawa
Pada bagian ini, inkulturasi telah menghasilkan lagu yang bertangga nada
Jawa dengan syair berbahasa Jawa. Kaitan antara lagu dan syair tetap
diperhitungkan, karena “nyanyian suci yang terikat pada kata-kata adalah bagian
liturgi yang integral dan meriah” (SC 112). Isi syair diungkapkan semakin jelas
dengan lagu. Banyak lagu jenis ini, baik proprium maupun ordinarium, telah
tercipta, dan ini menjadi bukti bahwa inkulturasi pada tahap penyesuaian telah
berhasil. Contoh lagu Jawa dengan syair Jawa adalah lagu Kidung Pudyastuti (KA
155), Memujia Pangeran (KA 156), Mba Sumujud (KA 157), Andher Pra Abdi
(KA 158), Kula Sowan Gusti (KA 160), Ordinarium Misa Rudita (KA 174, 184,
219, 229), Ordinarium Misa Kratoning Allah (KA 173, 183, 218, 228).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
91
Berikut ini adalah lagu Memujia Pangeran yang dapat menjadi contoh lagu
Jawa dengan syair Jawa:
Gambar 4.5: Memujia Pangeran (KA 156)
Lagu Memujia Pangeran ini diciptakan oleh Al. Wahyasudibya dengan
menggunakan tangga nada pelog nem. Lagu ini singkat dan terdiri dari dua bait.
Keuntungannya adalah lagu ini dapat dinyanyikan berulang-ulang sesuai dengan
kebutuhan tanpa perlu khawatir durasi waktunya menjadi terlalu lama. Karena
masuk ke dalam liturgi, durasi lagu tidak boleh terlalu panjang.
Paul Widyawan mengungkapkan, bahwa “durasi gending Gereja harus
pendek”5. Budi Santoso mengusulkan bentuk lagu yang singkat untuk
mengantisipasi terlalu lamanya gending Gereja. Sebagai contoh, ia pernah
membuat sebuah lagu komuni dengan durasi waktu 15 menit. Ternyata pembagian
komuni dilakukan oleh banyak prodiakon dan para suster. Komuni pun hanya
berlangsung selama lima menit. Lagu-lagu singkat dirasa lebih memadai, karena
5
Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi,
Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
92
dapat diulang jika waktu masih tersisa6. Cara lain adalah dengan menciptakan
lagu yang bertempo cepat, seperti yang dilakukan oleh JB. Sukodi dan Paul
Widyawan7.
Untuk menciptakan lagu Jawa dengan syair Jawa, unsur pertama yang perlu
disesuaikan adalah bentuk lagunya. Karl-Edmund Prier8 dan Paul Widyawan9
mengungkapkan, bahwa musik Jawa tradisional tidak memiliki bentuk musik
maupun vokal seperti mazmur tanggapan. Mazmur tanggapan menggunakan
bentuk responsorial dengan resitatif. Maksudnya, pemazmur menyanyikan ayatayat mazmur secara resitatif, dan umat menjawabnya dengan refrein. Selain itu,
lagu Kemuliaan tidak cocok diiringi dengan bentuk-bentuk seperti ketawang dan
ladrang, serta “tidak boleh ribut-ribut” dalam mengiringinya. Diperlukan bentuk
balungan khusus untuk mengiringi, misalnya Kemuliaan dan Bapa Kami. Bentukbentuk kreasi baru ini merupakan bukti dari inkulturasi antara Gereja dan musik
Jawa. Ada perubahan dari bentuk musik gamelan untuk keperluan liturgi; dan, ada
perubahan di dalam liturgi, yaitu lagu-lagu baru yang berupa gending Gereja.
Penyesuaian dapat dilakukan sejauh sesuai “dengan hakekat semangat
liturgi yang sejati dan asli” (SC 37). Kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang
wajar dapat dilakukan dengan berbagai kelompok, daerah dan bangsa, asalkan
kesatuan dengan Ritus Romawi tetap dipertahankan (bdk. SC 38). Ritusnya tetap
6
Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran.
Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, 25.
8
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik
Liturgi, Yogyakarta.
9
Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi,
Yogyakarta.
7
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
93
Ritus Romawi, tetapi unsur-unsur budaya setempat, dalam hal ini gending Jawa,
sudah masuk dan mengalami penyesuaian.
4.1.1.4
Langkah 4: Gending Gereja dengan Paduan Suara
Langkah pembaruan yang terjadi selanjutnya adalah bentuk gending Gereja
dengan paduan suara. Gending Jawa pada dasarnya tidak memiliki bentuk paduan
suara. Memang ada gerongan, yaitu tembang yang dibawakan dalam bentuk kor,
tetapi iramanya itu metris10 dan dibawakan dalam satu suara saja. Pada tahun
1925, C. Hardjasoebrata memulai percobaan aransemen tiga suara untuk gending
Jawa11. Hal ini berlanjut sampai pada gending-gending Gereja.
Kini gending-gending Gereja telah umum diaransemen dengan paduan
suara. Aturan aransemennya tidak mengandalkan akor-akor seperti aransemen
lagu tonal, tetapi berdasar pada gerak horisontal nada, langkah-langkah diatonis,
dan heterofon12. Jika cara aransemen lagu tonal dipaksakan pada lagu pentatonis,
tidak diragukan lagi bahwa ciri khas musiknya akan hilang dan menjadi miskin.
Contoh gending Gereja dengan aransemen paduan suara dapat dilihat pada
buku kor Kula Sowan Gusti (PML 84-K), Rejeki Kaswargan (PML 148-K), dan
Pepadhang Agung (PML 177-K); serta lagu Gya Mengoa (KA 269), Gloria (KA
10
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C.
Hardjasoebrata, STSI Press, Surakarta 2006, 47.
11
Pengantar Karl-Edmund Prier, SJ., pada C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, Pusat Musik
Liturgi, Yogyakarta 1987, 7.
12
Untuk aturan dan langkah-langkah aransemen lagu pentatonis, lihat Karl-Edmund Prier, SJ.,
Ilmu Harmoni, 84-88.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
94
285), dan Ayo Gegancangan Sowan Gusti (KA 681). Lagu Kula Sowan Gusti
menggunakan tangga nada pelog barang yang diaransemen dengan gaya polifoni
untuk dua suara:
Gambar 4.6: Bait pertama lagu Kula Sowan Gusti (KSG 1)
Paduan suara semakin memperindah gending Gereja dan membangun
kesatuan hati umat yang berliturgi. Bagian suara yang satu memperkaya dan
menjadi pendamping suara yang lain. Hal ini menunjukkan adanya kebersamaan
dan kerja sama di dalam perbedaan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4.1.1.5
95
Langkah 5: Aklamasi, Prefasi dan Anamnese
Inkulturasi yang terjadi memunculkan aklamasi, prefasi dan anamnese baru
bertangga nada pelog yang digunakan di dalam liturgi. Syairnya merupakan
terjemahan dari bahasa Latin, dan lagunya menggunakan tangga nada pelog.
Memang ada juga bentuk-bentuk aklamasi, prefasi dan anamnese yang tetap
menggunakan tangga nada Gregorian, dengan syair berbahasa Jawa.
a) Aklamasi
Aklamasi adalah suatu pernyataan yang diserukan atau dinyanyikan sebagai
wujud jawaban iman atas misteri yang dirayakan dan sebagai wujud partisipasi
umat dalam perayaan. Bentuk aklamasi tertua dan tersingkat adalah “Amin”.
Aklamasi Amin ini telah ada sejak abad ke-213. Alleluya juga merupakan
aklamasi. Sebagai bait pengantar Injil, aklamasi ini dinyanyikan oleh umat dengan
dipandu oleh paduan suara atau solis (bdk. PUMR 62).
Berikut ini adalah contoh aklamasi salam pada Ritus Pembuka di dalam
perayaan Ekaristi:
13
A. Heuken SJ., Ensiklopedi Gereja 1, Cipta Loka Caraka, Jakarta 2004, 69.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
96
Gambar 4.7: Aklamasi salam pada Ritus Pembuka (KA 67)
Tangga nada yang digunakan adalah tangga nada pelog. Terjemahan syair
aklamasi ini sebenarnya kurang tepat dengan teks asli pada Missale Romanum:I:
Dominus vobiscum, U: Et cum spiritu tuo.Tetapi terjemahan bahasa Jawa ini tetap
digunakan demi konteks budaya Jawa yang ada. Teks Latin ini diterjemahkan
dengan metode ekuivalen dinamis (dynamic equivalence)14, yaitu dengan
mengganti suatu unsur dari liturgi Ritus Romawi, dengan unsur dari budaya lokal
yang memiliki makna atau nilai yang sama. Karenanya, sisi linguistik dari
aklamasi liturgi Romawi ini diungkapkan kembali dengan pola pikir, cara
berbicara dan ritual setempat.
Penerjemahan ini dilakukan secara idiomatis, yaitu mementingkan makna
kata dan padanan unsur yang ada pada budaya setempat. Kalimat et cum spiritu
tuo diterjemahkan dengan kalimat kaliyan kula sadaya. Kata roh (spiritus) dalam
budaya Jawa juga mengandung konotasi roh-roh yang bergentayangan, yang
menghuni pohon dan batu-batu. Maka terjemahan pun lebih disesuaikan dengan
budaya Jawa dan dengan liturgi itu sendiri.
14
Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 3738.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
97
b) Prefasi
Prefasi bertujuan untuk menyatakan syukur. “Atas nama seluruh jemaat,
imam memuji Allah Bapa dan bersyukur kepada-Nya atas seluruh karya
penyelamatan atau atas alasan tertentu” (PUMR 79a). Prefasi selalu diakhiri
dengan ajakan agar umat bersama para kudus dan semua malaikat memadukan
suara untuk memuji Allah dan disambung dengan “Kudus” 15. Sebagai bagian dari
Doa Syukur Agung dan ungkapan syukur pada Allah, prefasi pada hakekatnya
sendiri merupakan suatu nyanyian16.
Lagu prefasi bertangga nada pelog yang diciptakan, digunakan baik untuk
prefasi berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa.
Gambar 4.8: Pola lagu 9 (TPE 2005)
Prefasi yang dinyanyikan dengan pola lagu pelog ini tentu saja harus diawali
dengan dialog pembuka prefasi yang bertangga nada pelog juga.
Tangga nada pelog pathet nem yang digunakan dalam pola lagu di atas
diolah menjadi lagu prefasi yang hidup dan mencerminkan rasa syukur. Prefasi
15
Lihat teks-teks prefasi pada Konferensi Waligereja Indonesia, Tata Perayaan Ekaristi, Kanisius,
Yogykarata 2005, 46-105.
16
Karl-Edmund Prier, SJ., Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta
2010, 20.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
98
adalah pujian dan syukur kepada Allah Bapa atas karya keselamatan-Nya atau atas
alasan-alasan tertentu (PUMR 79a). Maka dari itu prefasi memang perlu
dinyanyikan secara hidup, dan penuh rasa syukur, agar hati umat dapat memuji
dan bersyukur kepada Allah.
c)
Anamnesis
Anamnesis merupakan seruan atau aklamasi yang bertujuan untuk
“mengenangkan
Kristus,
terutama
sengsara-Nya
yang
menyelamatkan,
kebangkitan-Nya yang mulia, dan kenaikan-Nya ke surga” (PUMR 79e).Karena
merupakan seruan, maka paling baik jika anamnesis ini dinyanyikan 17.
Anamnesis III adalah sebagai berikut:
Gambar 4.9: Anamnese III (KA 127)
17
Karl-Edmund Prier, SJ., Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, 21.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
99
Suasana sabar dan sareh diciptakan melalui tangga nada pelog nem yang
digunakan pada anamnesis III ini. Suasana tenang yang ingin diciptakannya ini
sejalan dengan kekhidmatan yang dibutuhkan untuk mengenangkan sengsara,
kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga.
4.1.1.6
Kesimpulan Perkembangan Historis
Proses inkulturasi peran tangga nada pelog di dalam liturgi secara historis
telah melampaui tahap pengambil-alihan (imposition) dan penerjemahan. Tangga
nada pelog telah sampai pada tahap penyesuaian dengan liturgi, dan dapat
digunakan sebagai tangga nada untuk membentuk gending-gending Gereja.
Perannya itu serupa dan dapat menggantikan tangga nada diatonis dan Gregorian
yang selama ini telah digunakan untuk lagu-lagu liturgi, demi suatu bentuk
penghayatan iman yang khas pribumi. Suasana yang timbul dari gending-gending
Gereja, tergantung pada bagaimana tangga nada pelog itu diolah dalam ketiga
pathet: lima, nem, dan barang.
4.1.2 Segi Komposisi
4.1.2.1
Syair Lebih Diutamakan
Syair dari musik liturgi harus dibuat secara serius dengan memperhitungkan
isinya “yang selaras dengan ajaran Katolik, bahkan hendaknya ditimba dari Kitab
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
100
Suci dan sumber-sumber liturgi” (SC 121). Demikian juga gending-gending
Gereja yang diciptakan harus bersumber dari Kitab Suci maupun sumber-sumber
liturgi. Budi Santoso pernah menciptakan suatu lagu dengan inspirasi yang
didapat dari homili seorang pastor. Kendati demikian, ia tetap mencari dasar
bibilisnya18.
Siswanto menekankan perlunya pengolahan syair dalam terang iman dan
Kitab Suci. Ia mengatakan bahwa “jika iman pencipta tebal, apa yang dibacanya
pasti mengena. Jika imannya kurang tebal, mungkin lagu-lagu itu akan kurang
beriman. Sebuah lagu tergantung pada si pembuat”19. Kedalaman dan
penghayatan iman pencipta mempengaruhi kedalaman lagu yang diciptakan.
Mengenai metode pembuatan syair, Siswanto berpendapat:
Kalau sudah tahu betul-betul isinya kalimat itu, kita baru bisa
membuat lagu itu dengan baik. Tapi kalau belum begitu menguasai
betul-betul isinya itu, ya lagunya tidak akan mungkin baik. Ayat itu
perlu benar-benar dimasak. Kalau sudah mantap ayat demi ayat, dan
kata demi kata, barulah dibuat lagu. Membuat lagu itu demikian,
kalimat demi kalimat, kata demi kata20.
Teks-teks Kitab Suci maupun sumber-sumber liturgi direnungkan dan
dikontekstualisasikan dengan keadaan masyarakat Jawa. Berdasar pada lokakaryalokakarya musik liturgi yang telah dijalaninya, Karl-Edmund Prier berpendapat,
bahwa teks-teks “Kitab Suci dicari, dan dicari apa artinya bagi masyarakat Jawa.
Setelah itu syair barulah dibuat”21.
18
Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran.
Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran.
20
Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran.
21
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik
Liturgi, Yogyakarta.
19
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
101
Kitab Suci menjadi sumber utama, karena Kitab Suci memuat Injil yang
intinya adalah perwartaan kabar keselamatan yang dilakukan Allah melalui Yesus
Kristus di dalam Roh Kudus, bagi manusia. Misteri iman akan Kristus ini dihayati
di dalam liturgi dalam berbagai macam bentuk. Secara lebih jelas, buku-buku lagu
telah menyediakan lagu-lagu yang sesuai dengan misteri iman yang dirayakan di
dalam liturgi. Kidung Adi memuat nyanyian-nyanyian tematis, seperti mangsa
Adven, mangsa Prapaskah/ Pasa/ Pamartobat, Sangsara Dalem, upacara Minggu
Adi (Minggu Palem, Kemis Putih, Jemuah Adi, Minggu Paskah), Mekrad Dalem,
Pentakosta, Syukur, Yesus Kristus, Gereja/ Tugas Sosial, Maria, Para Suci, dan
wanci dalu.
SC 112 mengungkapkan secara tegas, bahwa “tradisi musik Gereja Tradisi
musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih
gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyayian suci
yang terikat pada kata-kata merupakan bagian liturgi meriah yang penting atau
integral”. Kata-kata mendapatkan penekanan yang lebih, karena kemampuannya
untuk menjadi media pewartaan ajaran iman.
4.1.2.2
Tangga Nada Pelog Diutamakan
Ada beberapa pendapat mengenai penggunaan tangga nada pelog di dalam
liturgi. Gamelan Jawa menggunakan tangga nada pentatonis dalam dua bentuk,
yaitu slendro dan pelog. Masing-masing tangga nada memiliki sifat khas dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
102
kegunaannya masing-masing. Teori mengenai tangga nada slendro dan pelog
sudah dijelaskan pada bab II.
Mengenai tangga nada slendro, Karl-Edmund Prier berpendapat:
Itu musik yang unik, dalam arti tidak ada pegangan-pegangan yang
biasa kita pakai dengan do-re-mi itu. Tetapi nada-nada adalah tengahtengah itu. Sehingga, cara mendengar musik gamelan slendro itu
berarti melepaskan pegangan seperti do-re-mi. Dengan demikian
terjadilah: kita melepaskan pegangan-pegangan yang selalu kita pakai
dengan mengukur-ukur, dan kita mulai melayang-layang. Menurut
hemat saya, itu sangat cocok untuk berjumpa dengan Tuhan: dengan
melepaskan diri, melepaskan pegangan-pegangan kita. Menemukan
Tuhan justru di situ, ketika kita melepaskan pegangan-pegangan
kita22.
Tangga nada slendro tidak bisa begitu saja disejajarkan atau diukur dengan
menggunakan skala diatonis. Ada perbedaan interval yang menjadikan tangga
nada slendro dan diatonis akan mengalami selisih jika disejajarkan. Ukuranukuran diatonis yang biasa digunakan tidak dapat secara mutlak digunakan, dan
bahkan lebih baik dilepaskan untuk dapat menyanyikan lagu-lagu slendro
sebagaimana mestinya. Oleh Karl-Edmund Prier, usaha melepaskan peganganpegangan diatonis ini dimaknai sebagai melepaskan diri dan pegangan-pegangan
manusiawi untuk dapat mencari-cari dan menemukan Tuhan. Manusia
menyembah dan memuliakan Allah, sebagai tanggapan atas karya keselamatan
yang ditawarkan-Nya.
Sejalan dengan Karl-Edmund Prier, Siswanto dan Budi Santoso juga
berpendapat bahwa tangga nada slendro itu sulit untuk dinyanyikan. Siswanto
22
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik
Liturgi, Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
103
juga mendasarkan pendapatnya ini pada perhitungan selisih antara interval
diatonis dan slendro23. Budi Santoso mengungkapkan:
Kebanyakan lagu-lagu slendro di Paroki Ganjuran, digunakan untuk
lagu-lagu Jumat Adi dan sripah(kematian). Memang agak susah, jika
telinganya tidak peka. Memang susah untuk membuat lagu-lagu
slendro itu. Lebih baik dan lebih gampang membuat lagu pelog.
Sembarang menyanyi pun, kita akan masuk ke dalam tangga nada
pelog. Orang menyanyi itu terkadang lebih banyak pelognya daripada
slendro. Slendro itu terkadang susah. Interval antara nada yang satu
dengan yang lainnya itu agak berbeda, dibandingkan dengan pelog.
Pelog itu gampang24.
Tangga nada slendro sulit dinyanyikan, jika si penyanyi tidak memiliki kepekaan
nada. Untuk para pencipta pun, lagu-lagu slendro lebih sulit dibuat. Lebih mudah
membuat lagu-lagu bertangga nada pelog.
Menurut Siswanto, tangga nada pelog lebih dekat dengan tangga nada
diatonis. Ia mengungkapkan:
Laras pelog itu memang mudah sekali untuk disesuaikan dalam tangga
nada diatonis. Tangga nada slendro memiliki interval yang sama.
Tangga nada yang mudah dihapal adalah pelog, yang sudah ada miripmiripnya dengan diatonis. Diatonis itu hampir sama dengan pelog25.
Sebagaimana tangga nada diatonis, tangga nada pelog memiliki interval besar dan
kecil, dengan nada-nada do-mi-fa-sol-si. Menurut Siswanto, kemiripan inilah
yang menjadikan tangga nada pelog lebih mudah dinyanyikan daripada tangga
nada slendro.
Tangga nada pelog dan slendro digunakan dalam gending Gereja. Ada
perbedaan pendapat mengenai proporsi tangga nada mana yang lebih banyak
23
Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran.
Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran.
25
Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran.
24
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
104
digunakan di dalam liturgi. C. Hardjasoebrata sendiri menciptakan gending Gereja
dengan seluruhnya menggunakan tangga nada pelog. Buku Kidung Adi terbitan
PML juga sebagian besar memuat nyanyian-nyanyian bertangga nada pelog. KarlEdmund Prier berpendapat mengenai tangga nada pelog yang digunakan di dalam
liturgi:
Menyanyikan lagu pelog itu termasuk harus hati-hati, karena
intonasinya tidak sembarangan dan diselingi dengan nada kecil-kecil.
Itu menuntut suatu konsentrasi. Konsentrasi berarti mesti bernyanyi
dengan berhati-hati, dengan hati juga. Tidak hanya hati-hati, tetapi
hatinya ikut. Karena tujuannya adalah untuk membawa hati kepada
Tuhan dan Tuhan bisa dicari seperti kita mencari nada-nada. Suatu
disiplin, harus hati-hati, supaya menjadi betul, dan tidak salah nyanyi.
Saya melihatnya dari konstruksi tangga nada pelog yang agak unik itu.
Pergantian interval besar dan kecil ini menuntut perhatian besar26.
Interval besar-kecil yang ada pada tangga nada pelog menuntut suatu kehatihatian dan hati. Untuk menyanyikannya dibutuhkan konsentrasi. Konsentrasi
dalam mencari nada dimaknai sebagai konsentrasi untuk mencari Tuhan.
Paul Widyawan dan Siswanto27 berpendapat bahwa slendro dapat digunakan
di dalam liturgi. Seringnya hanya digunakan satu pangkon atau tangga nada dalam
liturgi Gereja, lebih disebabkan alasan praktis gamelan laras apa yang tersedia di
gereja tersebut. Paul Widyawan tidak banyak menyentuh slendro, karena ketidaktersediaan gamelan slendro di gereja28. Jika gamelan slendro tersedia, ia akan
menggunakannya juga. Demikian pula diungkapkan Siswanto:
Gereja-gereja yang memiliki gamelan slendro itu jarang sekali. Para
pencipta lagu memikirkan juga hal ini, bahwa gereja-gereja itu
26
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik
Liturgi, Yogyakarta.
27
Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran.
28
Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi,
Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
105
kebanyakan memiliki gamelan pelog. Yang memiliki slendro itu jarang
sekali. Karena hal itu, para pencipta lagu, termasuk saya, banyak
menggunakan yang pelog29.
Mengenai suasana atau perasaan yang ditimbulkan, Budi Santoso
mengatakan bahwa “lagu pelog itu lebih ceria, lebih membawa suasana
kegembiraan. Itu barangkali ada hubungannya juga dengan perayaan Ekaristi yang
adalah pesta”30. Sebaliknya, slendro di Paroki Ganjuran biasa digunakan pada
ibadat Jumat pertama, untuk tlutur yang bernuansa susah dan sedih. Berbeda
dengan Budi Santoso, Paul Widyawan mengatakan kalau slendro lah yang lebih
banyak digunakan dalam hiburan31.
Siswanto memiliki menyampaikan pandangan yang berbeda:
Lagunya itu membutuhkan suasana apa? Jadi, tinggal lagu itu
membutuhkan suasana susah atau gembira. Umumnya suasana itu bisa
dibuat susah, gembira, dan anggun. Misalnya untuk membuat suasana
sedih, nada-nada yang digunakan itu diambil dari tangga nada pelog.
Tangga nada itu memiliki nada dasar. Nada dasar mana yang akan
diambil? Untuk lagu yang bagaimana? Misalnya, lagu dengan suasana
susah itu menggunakan nada-nada yang tidak pokok, yang tidak baku,
yang kekuatannya itu tipis. Jika pada tangga nada ini nada yang kuat
adalah sol atau do, kedua nada ini digunakan sedikit saja.Yang diolah
adalah rasanya. Lagu bisa menimbulkan suasana, kalau sudah digarap.
Misalnya, tangga nada pelog barang. Pelog barang itu meriah
sekali,tetapi juga bisa digunakan untuk suasana susah 32.
Bagi Siswanto, tangga nada pelog dan slendro dapat diolah menjadi lagu dengan
berbagai suasana, seperti senang, sedih, semangat, khidmat, dll. Perasaan atau
suasana muncul setelah lagu tersebut diolah dan diperdengarkan.
29
Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran.
Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran.
31
Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi,
Yogyakarta.
32
Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran.
30
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
106
Ki Hajar Dewantara mendeskripsikan rasa yang timbul dari tangga nada
slendro dan pelog berdasarkan pathet-pathetnya. Tangga nada slendro memiliki
tiga pathet, yaitu enem, sanga, dan manyura. Slendro pathet enem biasa
dimainkan pada sore hari hingga pukul 23.00. Suasana yang ditimbulkan adalah
gembira dan sederhana, seperti kehidupan seorang anak kecil. Kata “enem” dalam
pathet enem adalah lambang dari jiwa muda (enem-muda dalam bahasa Jawa).
Slendro pathet sanga biasa dimainkan pada pukul 23.00 sampai pukul 03.00. Rasa
yang ditimbulkan adalah tenteram, gagah, sabar, dan dewasa. Slendro pathet
manyura dimainkan antara pukul 03.00 sampai matahari terbit. Rasa yang
ditimbulkan adalah gembira, indah, centil, dan bersemangat seperti orang muda33.
Mengenai tangga nada pelog, Ki Hajar Dewantara juga mendeskripsikan
rasa yang timbul dari permainannya. Tangga nada pelog terdiri dari tiga pathet,
yaitu gangsal (lima), enem, dan barang. Pelog pathet lima dimainkan pada sore
hari. Rasa yang ditimbulkan adalah nglangut (hanyut, terbawa), sedih, dan penuh
belas kasihan. Pelog pathet enem dimainkan pada tengah malam, seperti slendro
pathet sanga. Rasa yang muncul adalah sabar, tenang, dan tidak terlalu nglangut.
Pelog pathet barang dimainkan pada pagi hari, seperti slendro pathet manyura.
Rasa yang ditimbulkan adalah gembira, hidup, dan bersemangat muda34.
Lagu dengan tangga nada pelog maupun slendro dapat digunakan di dalam
liturgi. Keduanya dapat membantu umat untuk mengkontemplasikan misteri iman
yang sedang dirayakan. Nada-nada dan bentuk lagu gamelan Jawa sendiri
33
Lihat penjelasan ini dalam Ki Hadjar Dewantara lan M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending
Djawa, 53-54.
34
Lihat penjelasan ini dalam Ki Hadjar Dewantara lan M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending
Djawa, 55-56.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
107
mengandung suatu makna filosofi, teleologis dan teologis seperti yang
diungkapkan Karl-Edmund Prier:
Musik gamelan memuat suatu kerinduan akan Yang Agung. Maka, itu
tidak kebetulan dipakai di dalam liturgi. Kita berpangkal dari sini, dan
melihat ke surga. Kita berpangkal dari sini, tetapi semuanya serba
ternganga, serba tidak sempurna, merindukan yang lebih baik,
merindukan keselamatan, merindukan hari kiamat juga, dan itu sangat
liturgis. Kita mempunyai teleologi. Menuju kepada teleos, kepada
tujuan. Menuju ke sana, merindukan itu. Merindukan penyelesaian.
Gending Jawa, tersusun dalam gatra. Tiap gatra memiliki empat nada:
Nang-ning-nang-NANG, nang-ning-nang-NANG. Progresif, atau
terarah. Lain dengan musik barat: SATU-dua-tiga-empat, SATU-duatiga-empat. Artinya, dalam musik Barat tekanan yang berat ada di
depan35.
Seperti halnya para penabuh gamelan yang menunggu bunyi gong sebagai
penutup suatu musik gamelan, demikian juga manusia merindukan yang lebih
baik, merindukan keselamatan, menuju kepada satu-satunya tujuan, yaitu Tuhan.
Dari berbagai macam pendapat yang ada di atas, dapat diambil empat
kesimpulan mengapa tangga nada pelog lebih diutamakan di dalam liturgi.
Pertama, secara musikal tangga nada pelog lebih mudah dinyanyikan, karena
lebih dekat dengan tangga nada diatonis. Tangga nada pelog memiliki interval
besar-kecil, serupa dengan interval yang dimiliki tangga nada diatonis. Tangga
nada slendro lebih sulit dinyanyikan, karena memiliki interval yang sama.
Dibutuhkan kepekaan untuk menyanyikannya. Kedua, hanya sedikit gereja-gereja
yang memiliki gamelan slendro, dan lebih banyak gereja-gereja yang memiliki
gamelan pelog. Para pencipta lagu lebih banyak menciptakan gending Gereja
bertangga nada pelog karena hal ini. Ketiga, tangga nada pelog lebih banyak
35
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik
Liturgi, Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
108
digunakan dalam gending-gending bernuansa tenang dan sabar, sedangkan
slendro lebih banyak digunakan dalam gending-gending bernuansa gagah dan
bersemangat. Keempat, suasana atau penjiwaan lagu yang diciptakan tergantung
dari bagaimana tangga nada itu diolah.
4.1.2.3
Kesimpulan Segi Komposisi
Dari segi komposisi, gending Gereja mengutamakan syair, karena isi syair
diambil dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Syair ini memuat ajaran iman,
ungkapan syukur dan pujian umat pada Allah. Tangga nada yang banyak
digunakan adalah tangga nada pelog, karena lebih mudah dalam menyanyikannya,
kendati membutuhkan konsentrasi dan kehati-hatian. Tangga nada pelog itu lebih
dekat dengan tangga nada diatonis; kebanyakan gereja memiliki gamelan pelog;
dan memunculkan suasana gagah dan bersemangat.
4.2
Makna Tangga Nada Pelog dalam Liturgi
Misteri Kristus dapat dihadirkan melalui musik liturgi, dan umat dapat
masuk dalam Misteri Kristus melalui musik liturgi36. Karenanya, musik Gereja
tidak boleh sembarangan. Musik ini haruslah sejak awal dikhususkan untuk
36
E. Martasudjita, Pr. dan J. Kristanto, Pr., Panduan Memilih Nyanyian Liturgi, 14-15.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
109
kepentingan liturgi. Gending-gending Gereja dapat masuk ke dalam liturgi Gereja
jika memiliki kriteria yang terbagi dalam tiga dimensi, yaitu liturgi, ekklesiologi
dan kristologi.
4.2.1 Dimensi Liturgis
Kriteria musik liturgi dalam dimensi ini adalah bagaimana suatu musik atau
nyanyian dapat membantu umat dalam berliturgi, yaitu berjumpa dengan Allah
dan sesama. Musik bukanlah sekadar tempelan pada liturgi, tetapi merupakan
bagian integral dan utuh dari liturgi itu sendiri (bdk. SC 112). Ada musik yang
bersifat sebagai pengiring ritus tertentu, ada pula yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari bagian ritus itu sendiri. Karena fungsinya itu, musik liturgi tidak
bisa hanya sembarangan dipilih.
Gending-gending Gereja bertangga nada pelog telah diciptakan sesuai
fungsinya, yaitu untuk ordinarium, proprium dan aklamasi-aklamasi. Ini
menunjukkan bahwa tangga nada pelog bisa digunakan sebagai tangga nada untuk
berbagai macam lagu. Contoh ordinarium yang mengunakan tangga nada pelog
adalah Misa Rudita (KA 174, 184, 219, 229), dan Misa Kratoning Allah (KA 173,
183, 218, 228). Sedangkan, contoh proprium yang ada, antara lain Kula Sowan
Gusti (KA 159), Mungguh Gusti Ora Mbangun (KA 160), Mangga Gusti Kersaa
Nampi (KA 207), O Sakramen Maha Suci (KA 245), dan Atur Roncen (KA 279).
Tangga nada pelog telah menjadi bagian integral dari liturgi.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
110
Dari struktur tangga nadanya, tangga nada pelog memiliki interval besarkecil yang membutuhkan konsentrasi dalam menyanyikannya, dengan intonasi
yang tidak sembarangan. Karl-Edmund Prier mengungkapkan bahwa konsentrasi
pada tangga nada pelog membawa kita kepada Tuhan. Tuhan bisa dicari seperti
kita mencari nada-nada37. Dengan lagu yang tepat, hati dan pikiran umat semakin
terarah kepada Allah. Umat beriman dapat “mengungkapkan doa-doa secara lebih
mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya
upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak” (SC 112). Seni, dalam hal
ini gending Gereja bertangga nada pelog, mampu membantu manusia untuk
mengungkapkan dirinya kepada Allah di dalam liturgi, secara lebih mendalam.
Dalam kriteria musik dapat membantu umat untuk bertemu dengan Allah,
musik memuat aspek dialog vertikal: katabatis dan anabatis. Allah mewahyukan
diri-Nya, menawarkan keselamatan kepada manusia, melalui diri Yesus Kristus
yang hadir dalam konteks hidup manusia, dengan segala pola pikir, adat istiadat
dan budayanya. Allah hadir melalui Putra-Nya untuk menguduskan dunia.
Demikian pula gending Gereja bertangga nada pelog yang bersumber dari Kitab
Suci dan sumber-sumber liturgi, menjadi konteks yang menghadirkan Yesus
Kristus sendiri. Lagi pula, inti dari Injil adalah Kabar Sukacita.
Setelah Allah menyapa manusia dan menawarkan keselamatan pada
manusia, manusia menanggapi tawaran dan sapaan tersebut dengan menyembah
dan memuliakan Allah. Ini adalah gerak naik dari manusia kepada Allah. Melalui
gending Gereja, umat menyembah dan memuliakan Allah. Rahmat keselamatan
37
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik
Liturgi, Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
111
dari Allah ditanggapi dengan segenap hati melalui nyanyian dengan syair
berbahasa Jawa dan bertangga nada pelog didukung dengan bunyi gamelan.
4.2.2 Dimensi Eklesiologis
Kriteria musik liturgi dalam dimensi ini adalah bagaimana musik
memungkinkan umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam
perayaan liturgi. Musik yang sesuai dengan citarasa setempat akan semakin
mendorong umat untuk berpartisipasi38. Partisipasi ini dituntut oleh hakikat liturgi
sendiri dan berdasar pada pembaptisan, dalam bentuk partisipasi batiniah dan
partisipasi lahiriah (MS 15). Konstitusi Liturgi mengungkapkan bahwa perayaan
liturgi hendaknya memungkinkan “semua orang beriman dibimbing kearah
keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif” (SC 14). Musik memiliki peran
penting dalam membantu memasuki misteri iman dan menangkap sabda Tuhan
dan karunia sakramen yang sedang dirayakan39.
Upaya-upaya inkulturasi telah dilakukan demi terciptanya gending Gereja
yang dapat membantu umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif
dalam liturgi. Contohnya adalah aklamasi-aklamasi bertangga nada pelog dan
berbahasa Jawa. Aklamasi ini menjadi suatu pernyataan yang diserukan atau
dinyanyikan sebagai wujud jawaban iman atas misteri yang dirayakan dan sebagai
38
Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, Kanisius,
Yogyakarta 2011, 196.
39
Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 196.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
112
wujud partisipasi umat dalam perayaan. PUMR 79b menunjukkan, bahwa Kudus
adalah bagian integral dari Doa Syukur Agung yang harus dilambungkan oleh
seluruh jemaat bersama iman. Bentuk partisipasi umat ini merupakan wujud
pembaruan untuk gending Jawa, mengingat lagu Jawa sebenarnya hanya
menggunakan satu tunggal (dalang, sinden, macapat), dan masyarakat Jawa
kurang mengenal lagu bersama. Proses inkulturasi telah sampai pada tahap
penyesuaian dan memunculkan bentuk-bentuk aklamasi, anamnese, proprium,
serta ordinarium, yang memberikan tempat bagi umat untuk ambil bagian di
dalamnya.
Secara sosiologis, orang Jawa mementingkan aspek kebersamaan. Musik
gamelan adalah musik komunal, yang membutuhkan antara 10 sampai 15 pemain.
Masing-masing instrumen dapat dimainkan dengan sebagaimana mestinya dan
indah, jika dimainkan dalam kesatuan dengan yang lainnya. Hal ini tentu berbeda
dengan musik orkestra Barat yang memungkinkan adanya bentuk konserto yang
memperlawankan antara satu alat musik dengan keseluruhan orkestra. Instrumen
gamelan itu bersifat saling membutuhkan satu sama lain. Tidak mungkinlah
seseorang mengiringi suatu lagu hanya dengan menggunakan gong atau kempul.
Gong maupun kempul dapat dimainkan sebagaimana mestinya bila digabungkan
dengan alat-alat lain, seperti bonang, saron, demung, kendang, gender, rebab, siter
dan gambang.
Cara memainkan alat musik yang bersama-sama ini menggambarkan
kehidupan masyarakat Jawa yang mengutamakan aspek sosialitas. Orang-orang
hadir dan berkumpul dalam satu tempat yang sama dan memainkan alat musik
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
113
yang menjadi bagiannya masing-masing untuk menciptakan ritme yang berbeda
namun ada dalam satu kesatuan. Demikian pula iringan gending Gereja perlu
dibuat dengan kerja sama antara pemain. Ciri musik gamelan Jawa adalah
heterofoni, yaitu semua pemain memainkan balungan yang sama dengan adanya
variasi-variasi yang dimainkan pada waktu yang sama. Kesatuan bunyi ini
menciptakan suatu bunyi yang indah. Selain itu, ada pula bentuk dialog yang
tercipta di dalam teknik main bersama ini: pemain kendang memainkan ritme
tertentu untuk mempercepat ataupun memperlambat tempo permainan, sinden dan
rebab berdialog dengan saling menirukan melodi masing-masing, dan suatu
kalimat lagu di dalam musik gamelan diakhiri dengan bunyi gong 40. Teknik main
bersama-sama ini mengandaikan adanya sekelompok pemain. Dalam liturgi,
teknik ini dibawa dan semakin memperjelas aspek kebersamaan dan partisipasi.
4.2.3 Dimensi Kristologis
Misteri Kristus dapat semakin diperjelas dengan musik liturgi melalui syair
dan lagunya. Isi syair dapat membantu umat untuk memperdalam misteri iman
yang sedang dirayakan di dalam liturgi 41. Syair yang dibuat harus sesuai dengan
ajaran Katolik dan ditimba dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi (bdk. SC
121). Melalui lagu, umat dapat terbantu untuk berkontemplasi dan merenung pada
40
41
Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 21.
Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 196.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
114
misteri iman yang dirayakan. Lagu yang sesuai dengan jiwa perayaan liturgi akan
menciptakan suasana yang mendukung untuk doa dan perjumpaan umat dengan
Allah42. Kriteria musik liturgi di sini bukan pada popularitas lagu di tengah umat,
tetapi pada adanya kecocokan antara musik dengan jiwa dan misteri iman akan
Kristus yang dirayakan di dalam liturgi43.
Seperti sudah diungkapkan di atas, syair diutamakan di dalam gending
Gereja. Syair harus bersumber dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi.
Gending-gending Gereja yang merupakan hasil terjemahan dari nyanyian
Gregorian tidak mengalami masalah dalam hal isi, sejauh terjemahannya betul,
karena syair Latin yang diterjemahkan bersumber dari sumber-sumber tradisi
Gereja. Contoh gending Gereja yang bersumber pada Kitab Suci adalah Pindha
Sangsam (KA 241) yang bersumber dari teks Mazmur 42: 1-12.
42
43
Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 197.
Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 197.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
115
Gambar 4.10: Refren dan bait pertama lagu Pindha Sangsam (KA 241)
Selain itu, ada pula inkulturasi syair dengan bentuk penerjemahan isi teks
Kitab Suci secara idiomatis. Lagu Memujia Pangeran (KA 156) bersumber dari
teks Mazmur 150. “Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan
gambus dan kecapi! Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan
permainan kecapi dan seruling! Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting,
pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang!” (Mzm 150: 3-5). Teks ini
diterjemahkan dalam lagu tersebut dengan syair: Memujia Pangeran mahaagung,
kang ngratoni jagad alam sawegung. Caosana rerepen gendhing kidung, iringana
gender, gong, saron, demung. Alat-alat musik yang disebutkan dalam Mzm 150:
3-5 (gambus, kecapi, rebana, seruling, dan ceracap) diterjemahkan ke dalam
budaya Jawa dengan gender, gong, saron dan demung.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
116
Lagu yang ada dapat membantu umat untuk mengkontemplasikan dan
merenungkan misteri iman yang sedang dirayakan. Di dalam liturgi, tangga nada
pelog memiliki proporsi yang lebih dibandingkan tangga nada slendro. Hal ini
karena struktur tangga nada ini yang dekat dengan tangga nada diatonis, dan
berbagai macam suasana lagu yang dapat diciptakan melaluinya. Tiga pathet
dalam tangga nada pelog dapat diolah menjadi gending-gending Gereja dengan
berbagai macam suasana. Lebih jauh dari itu, satu pathet dapat diolah menjadi
gending Gereja dengan suasana yang berbeda. Contohnya adalah lagu Dak
Sawang Mareming Ati (KA 255) dan Gusti Midhangetna (KA 302). Kedua lagu
ini menggunakan tangga nada pelog pathet nem, tetapi dengan pengolahan dan
fungsi lagu yang berbeda. Lagu Dak Sawang Mareming Ati memiliki suasana
yang gembira dan bersemangat, sedangkan lagu Gusti Midhangetna merupakan
lagu Prapaska yang bertema pertobatan.
4.2.4
Kesimpulan
Upaya inkulturasi yang dilakukan harus sejalan dengan tujuan musik liturgi,
yaitu “demi kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman” (SC 112). Tujuan ini
dicapai melalui tiga dimensi yang menjadi kriteria sebuah lagu inkultuasi dapat
digunakan di dalam liturgi: dimensi liturgi, dimensi ekklesiologi, dan dimensi
kristologi. Inkulturasi gending Gereja telah memiliki tiga dimensi ini.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
117
Pertama, dimensi liturgis. Gending Gereja bertangga nada pelog, mampu
membantu manusia untuk mengungkapkan dirinya kepada Allah di dalam liturgi,
secara lebih mendalam. Demikian pula gending Gereja bertangga nada pelog yang
bersumber dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi, menjadi konteks yang
menghadirkan Yesus Kristus sendiri (katabatis). Melalui gending Gereja, umat
menyembah dan memuliakan Allah. Rahmat keselamatan dari Allah ditanggapi
dengan segenap hati melalui nyanyian dengan syair berbahasa Jawa dan bertangga
nada pelog (anabatis).
Kedua, dimensi eklesiologis. Gending Gereja mendorong umat untuk
berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Teknik
bermain gamelan bersama-sama juga mencerminkan sisi kebersamaan umat.
Bahasa Jawa dan tangga nada pentatonis yang digunakan untuk gending Gereja,
hadir dari konteks hidup umat, sehingga mereka mengetahui dan memahami apa
yang terungkap dan diungkapkan.
Ketiga, dimensi kristologis. Syair gending Gereja dapat memperjelas
Misteri Kristus, karena diolah dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Melodi
gending Gereja yang menggunakan tangga nada pelog, dapat membantu umat
untuk mengkontemplasikan misteri iman yang sedang dirayakan. Tangga nada
pelog dari dirinya sendiri memadai untuk diolah menjadi gending Gereja dengan
berbagai macam suasana.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB V
PENUTUP
Musik gamelan Jawa adalah warisan tradisi yang bernilai seni tinggi.
Sebagai salah satu unsur dari keluasan budaya Jawa, musik gamelan Jawa
mengalami inkulturasi yang menjadikannya gending Gereja. Usaha inkulturasi
telah berbuah dan masih terus berjalan. Umat perlu menjaga warisan budaya
sekaligus harta Gereja ini, demi ungkapan iman yang mengena dan Kabar
Sukacita yang semakin menyentuh hati umat Jawa.
5.1
Kesimpulan
Gamelan Jawa telah digunakan oleh agama Hindu dan Islam sebagai sarana
pewartaan agama. Gereja juga melakukan penyesuaian yang serupa agar gamelan
Jawa dapat digunakan di dalam liturgi. Proses penyesuaian ini memang tidak
mudah dan membutuhkan usaha yang keras. Gereja menetapkan kriteria tertentu
agar tujuan musik Gereja, yaitu demi “kemuliaan Allah dan pengudusan umat
beriman” (SC 112). Tidak sembarangan musik dapat diambil dan dijadikan musik
liturgi. Yang profan tidak boleh dicampur adukkan dengan yang kudus.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
119
Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa yang tidak secara mutlak terikat
pada takhyul dan ajaran sesat dipertahankan dan digunakan oleh Gereja (bdk. SC
37). Gamelan Jawa tidak secara mutlak terikat pada takhyul dan ajaran sesat.
Memang ada berbagai legenda dan mitos yang menyertai sejarah terbentuknya
instrumen dan tangga nada gamelan. Namun itu semua masih dapat dibuktikan
secara historis dan ilmiah melalui bidang etnomusikologi, walaupun penjelasan
para ahli kebanyakan masih berupa hipotesis. Gamelan Jawa merupakan hasil dari
kontak antara budaya Hindu yang berasal dari India dan budaya Jawa kuno, antara
Islam yang berasal dari daerah Timur Tengah dan Gujarat dan gamelan yang
sudah terbentuk di Jawa pada abad 14-15. Melalui kontak yang terjadi ini,
instrumen gamelan dan bentuk gendingnya semakin diperkaya.
Gamelan Jawa memiliki kekhasan dibandingkan dengan musik Barat.
Gamelan Jawa menggunakan tangga nada pentatonis slendro dan pelog, dengan
tiga pathet pada masing-masing tangga nada. Lagu-lagunya mengandalkan
tegangan-tegangan dan langkah-langkah diatonis. Akor-akor tidak main peranan
karena musik gamelan Jawa lebih menekankan gerak horisontal nada. Musiknya
berbentuk heterofoni dengan ritme yang heteroritmik.
Musik Jawa menuju pada tujuan akhir (teleos). Ciri khas gending Jawa, baik
instrumental maupun vokal, adalah aksen pada suku kata terakhir. Dalam musik
instrumental, permainan musik gamelan selalu menuju pada bunyi gong ageng.
Tanpa suara gong, permainan menjadi tidak lengkap, terasa menggantung, dan
tanpa akhir. Para pemain alat yang lain akan menunggu bunyi gong terakhir
supaya mereka dapat memukul nada terakhir pada alat masing-masing. Pada
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
120
musik vokal, kata-kata bahasa Jawa memiliki aksen di suku kata terakhir. Hal ini
menunjukkan bahwa musik Jawa mengantarkan para penyanyi, pemain dan
pendengarnya pada tujuan akhir dan bunyi akhir yang mempersatukan.
Kekhasan musik gamelan Jawa ini menjadi peluang bagi Gereja untuk
sarana pewartaan Injil. Sejarah membuktikan bahwa gamelan Jawa dapat
disesuaikan untuk pewartaan ajaran agama. Agama Hindu dan Islam juga telah
menggunakan gamelan Jawa sebagai sarana pewartaan. Gamelan Jawa, atau
budaya Jawa pada umumnya, memiliki keterbukaan terhadap bentuk-bentuk
penyesuaian dan pengembangan. Di sisi lain, Gereja pun membuka diri terhadap
penyesuaian-penyesuaian berkat Konsili Vatikan II. Gereja secara positif
memandang kebudayaan setempat sebagai “kekayaan yang menghiasi jiwa
pelbagai suku bangsa” (SC 37). Keterbukaan dari dua pihak, budaya Jawa dan
Gereja, menjadi pendukung adanya inkulturasi demi pewartaan Injil yang semakin
mengena kepada umat Jawa.
Gamelan Jawa telah mengalami inkulturasi dan menjadi gending Gereja.
Musik gamelan Jawa memenuhi kriteria sebagai musik liturgi. Tujuan dari musik
liturgi adalah demi kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman (bdk. SC
112). Telah diciptakan berbagai macam lagu untuk berbagai tema dan ibadat
liturgi. Secara khusus, gending Gereja bertangga nada pelog, yang dipelopori oleh
C. Hardjasoebrata pada tahun 1925, mendapatkan proporsi yang lebih banyak
daripada gending Gereja bertangga nada slendro. Dari 547 lagu yang ada di
Kidung Adi, 252 lagu di antaranya adalah lagu bertangga nada pelog. Dengan
begitu, 46,1% lagu di dalam Kidung Adi adalah lagu bertangga nada pelog. Lagu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
121
lainnya adalah lagu bertangga nada slendro (11,4%), Gregorian (3,7%), dan
diatonis (38,8%).
Tangga nada pelog memiliki peran dan makna di dalam liturgi. Peran tangga
nada ini adalah menjadi bahan dasar lagu-lagu gending Gereja (proprium,
ordinarium, aklamasi-aklamasi, prefasi, anamnese). Secara historis, gending
Gereja bertangga nada pelog muncul lebih dahulu daripada gending bertangga
nada slendro. C. Hardjasoebrata memulai usaha inkulturasinya dengan
menggunakan tangga nada pelog. Bahkan seluruh gending Gereja ciptaannya
menggunakan tangga nada pelog. Dari segi komposisi, lagu pelog tetap mengabdi
pada syair. Syair tetap diutamakan. Lagu pelog mendapatkan proporsi yang lebih
karena empat hal. Pertama, tangga nada pelog lebih mudah dinyanyikan, karena
lebih dekat dengan tangga nada diatonis, kendati besarnya interval berbeda. Tetap
dibutuhkan konsentrasi dalam menyanyikannya. Kedua, lebih banyak gereja yang
memiliki gamelan pelog daripada slendro. Maka, para pencipta gending Gereja
lebih banyak menggunakan tangga nada pelog. Ketiga, tangga nada pelog lebih
banyak digunakan dalam gending-gending bernuansa tenang dan sabar, sedangkan
slendro lebih banyak digunakan dalam gending-gending bernuansa gagah dan
bersemangat. Keempat, pathet-pathet dalam tangga nada pelog memadai untuk
diolah menjadi lagu-lagu dengan berbagai suasana. Tangga nada pelog lima dapat
diolah menjadi lagu dengan suasana sedih dan penuh belas kasih; tangga nada
pelog enem dapat diolah menjadi lagu dengan suasana tenang, sabar dan khidmat;
dan, tangga nada pelog pathet barang dapat diolah menjadi lagu dengan suasana
gembira dan hidup.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
122
Makna tangga nada pelog dalam liturgi dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu
liturgis, eklesiologis dan kristologis. Dari dimensi liturgis, gending Gereja
bertangga nada pelog membantu umat untuk bertemu dengan Tuhan dan sesama,
serta telah menjadi musik yang integral dengan liturgi. Telah diciptakan
ordinarium, proprium, dan aklamasi-aklamasi untuk kepentingan liturgi. Tangga
nada pelog secara struktur memilki intonasi yang tidak sembarangan. Butuh
konsentrasi dalam menyanyikannya. Konsentrasi, pencarian dan kerinduan
manusia kepada Allah, serupa dengan proses menyanyikan tangga nada pelog.
Konsentrasi dalam menyanyikan tangga nada pelog membantu kita untuk
berkonsentrasi dalam menanggapi sapaan Allah melalui liturgi. Mencari Tuhan
dalam kebersamaan dengan yang lain.
Dari dimensi eklesiologis, gending Gereja mendorong umat untuk
berpartisipasi secara sadar, penuh dan aktif. Umat dapat mengetahui dan mengerti
apa yang mereka ungkapkan lewat lagu, karena lagu tersebut sesuai dengan cita
rasa Jawa. Dengan menggunakan kebudayaannya sendiri, umat dapat semakin
sadar, penuh dan aktif dalam mengikuti liturgi. Mereka dapat mengetahui dan
mengerti apa yang terungkap dan diungkapkan melalui gending Gereja. Selain itu,
kerja sama dalam menyanyikan gending dan memainkan gamelan juga
mencerminkan kebersamaan dan partisipasi umat di dalam Gereja.
Dari dimensi kristologis, gending Gereja semakin memperjelas Misteri
Kristus. Syair gending Gereja dapat memperjelas misteri yang sedang dirayakan,
karena dibuat dan diolah dengan bersumber pada Kitab Suci dan sumber-sumber
liturgi. Melodinya pun menggunakan tangga pelog yang, selain membutuhkan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
123
konsentrasi dalam menyanyikannya, dapat diolah menjadi gending-gending
Gereja dengan berbagai macam suasana.
5.2
Saran
Pada bagian ini, penulis akan memberikan beberapa saran sehubungan
dengan musik Jawa pada umumnya, dan gending Gereja pada khususnya.
Pertama, pendidikan budaya Jawa perlu secara serius diberikan kepada
generasi muda. Inkulturasi mengandaikan kokoh dan lestarinya suatu budaya,
serta kecintaan orang-orang pribumi terhadap budayanya. Inkulturasi tidak akan
terjadi tanpa hal ini. Demikian pula, inkulturasi gending Gereja tidak bisa lepas
dari kecintaan umat Jawa pada budayanya sendiri. Pendidikan budaya Jawa,
khususnya gending Jawa, perlu diberikan secara serius demi bertahannya budaya
Jawa dan kelanjutan inkulturasi gending Gereja. Proses sosialisasi budaya Jawa
ini mengandaikan dimilikinya pengetahuan dan penghayatan budaya Jawa secara
baik, dari generasi tua.
Kedua, para gembala umat perlu lebih mendukung dan menghargai upaya
inkulturasi budaya Jawa dan gending Gereja. Penghargaan dapat muncul ketika
para pastor mau mendalami dan melihat inkulturasi sebagai cara umat untuk
mengungkapkan imannya dan cara Gereja untuk menyampaikan Kabar Sukacita.
Kebijakan yang kurang memihak inkulturasi gending Gereja tampak, misalnya
dari disingkirkannya seperangkat gamelan dari dalam gedung gereja, dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
124
dijadwalkannya Misa berbahasa Jawa pada waktu-waktu dimana hanya ada sedikit
umat yang hadir. Bertolak dari hal ini pula, pendidikan budaya pada calon imam
perlu diberikan secara serius.
Ketiga, perlu adanya regenerasi pemain dan pencipta gending Gereja. Demi
semakin berkembangnya gending Gereja, orang-orang muda yang berpotensi dan
memiliki minat dapat diberi motivasi dan fasilitas agar potensi dan minat mereka
dapat berkembang dan berbuah. Regenerasi pemain instrumen gamelan mungkin
relatif lebih mudah daripada regenerasi pencipta gending.
Keempat, perlu adanya sosialisasi mengenai gending-gending Gereja.
Gending-gending Gereja dilatihkan pada umat dan digunakan saat perayaan
Ekaristi atau ibadat-ibadat. Semakin sering dilatihkan dan digunakan, semakin
berkembanglah penguasaan umat pada perbendaharaan gending-gending Gereja
yang sudah ada. Dengan begitu, umat dapat lebih leluasa memilih lagu sesuai
dengan tema-tema yang sedang dirayakan.
Gereja juga hidup di tengah budaya Jawa. Kalau Gereja mau hidup, bertahan,
dan berhasil mewartakan Kabar Sukacita di tanah Jawa, Gereja harus mau
berkontak dengan budaya Jawa. Lagipula, inti dari Injil adalah pewartaan karya
keselamatan Allah melalui Yesus Kristus di dalam Roh Kudus. Pesan Injil pada
dirinya sendiri bersifat inkulturatif. Melalui musik gamelan Jawa, khususnya
gending Gereja bertangga nada pelog, Gereja dapat mewartakan Injil yang
menggerakan, menginspirasi, dan mengubah hidup manusia.
Akhirnya, seluruh tulisan dalam skripsi ini ingin mengajak para pembaca
untuk semakin menyadari dan memahami kekayaan budaya Jawa berupa musik
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
125
gamelan Jawa, khususnya gending Gereja bertangga nada pelog. Dengan semakin
menyadari dan memahami peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi,
diharapkan umat semakin terbantu untuk merayakan karya penyelamatan Allah di
dalam perayaan Ekaristi dan ibadat-ibadat.
Quaerite Deum per musicam
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
126
DAFTAR PUSTAKA
A.
Dokumen
1963
Constitution on the Sacred Liturgy, The Liturgical Press,
Collegeville.
2002
Pedoman Umum Misale Romawi, Komisi Liturgi KWI (terj.
Indonesia), Nusa Indah, Ende.
2004
Dokumen Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana, SJ (terj. Indonesia),
Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor, Jakarta.
2008
De Liturgia Romana et Inculturatione, Komisi Liturgi KWI (terj.
Indonesia), Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor, Jakarta.
Konferensi Waligereja Indonesia,
2005
Tata Perayaan Ekaristi, Kanisius, Yogykarata.
Sacra Sedis Apostolicae et Sacrorum Rituum Congregationis Typographi,
1964
Liber Usualis: Missae et Officii, Desclee & Socii, Parisiis-TornaciRomae- Neo Eboraci.
B.
Buku
Arrupe, P.,
1978
On Inculturation: A Letter of Father General Pedro Arrupe to the
whole Society, Rome, 14 May 1978.
Syukur Dister, N., OFM.,
2004
Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta 2004.
Chupungco, A. J.,
1987
Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, diterjemahkan dari Cultural
Adaptation Of The Liturgy, oleh Komisi Liturgi KWI, Kanisius,
Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1992
Liturgical
Inculturation:
Sacramentals,
Religiosity,
127
and
Catechesis, Pueblo, Collegeville.
Graaf, H. J. de, -Th. G. Th. Pigeaud,
1985
Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, Grafiti Pers, Jakarta.
Hardjasoebrata, C.,
1987
Kula Sowan Gusti, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
Ki Hadjar Dewantara- M. Ng. Najawirangka,
1936
Kawruh Gending Djawa¸ Sadubudi, Solo.
Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia,
2011
Puji Syukur, Obor, Jakarta.
Kunst, J.,
1973
The Music of Java, Koninklijke Vereeniging „Koloniaal Instituut‟,
Amsterdam.
Lindsay, J.,
1986
Javanese Gamelan: Traditional Orchestra of Indonesia, Oxford
University Press, Singapore-Oxford-New York.
Martasudjita, E., Pr.,
1999
Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Kanisius,
Yogyakarta.
2011
Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan
Matakuliah Teologi Inkulturasi, Fakultas Teologi Wedabhakti,
Yogyakarta.
2011
Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, Kanisius,
Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
128
Martasudjita, E., Pr.- J. Kristanto, Pr.,
2007
Panduan Memilih Nyanyian Liturgi, Kanisius, Yogyakarta.
Pradjapangrawit, R. Ng.,
1990
Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan Wedhapradangga (Serat
Saking Gotek), I-IV, Agape, Sala.
Prier, K. E., SJ.,
1979
Ilmu Harmoni, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
1987
Pedoman untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen
Universa Laus, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
1988
Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, Pusat Musik
Liturgi, Yogyakarta.
1999
Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
2010
Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, Pusat Musik Liturgi,
Yogyakarta.
2011
Roda Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
Pusat Musik Liturgi,
1983
Kidung Adi: Buku Sembahyangan saha Kekidungan, Pusat Musik
Liturgi, Yogyakarta.
2000
Kidung Adi: Buku Balungan Jilid II, Pusat Musik Liturgi,
Yogyakarta.
2002
Pepadhang Agung, Pusat Musik Litugi, Yogyakarta.
2004
Sembahan Sudra, Pusat Musik LIturgi, Yogyakarta.
2006
Rejeki Kaswargan, Pusat Musik LIturgi, Yogyakarta.
2009
Kidung Adi: Buku Sembahyangan saha Kekidungan (edisi baru),
Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
Ranggawarsita, R. Ng.,
1957
Mardawalagu, Sadubudi, Solo.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
129
Sagimun M. D.,
1982
R. C. Hardjosubroto: Hasil Karya dan Pengabdiannya,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional, Yogyakarta.
Sindhunata, G. P., SJ.-Ag. Suwandi,
2008
Injil Papat: Piwulang Sang Guru Sejati Ing Tembang Macapat,
Boekoe Tjap Petroek, Yogyakarta.
Siswanto, M.,
2011
Tuntunan Karawitan I, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
Siswanto, M., dkk.,
1975
Gending-gending
Beksan
II
Ketawang,
Konservatori
Tari
Indonesia, Yogyakarta.
Subuh,
2006
Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gendinggending Karya C. Hardjasoebrata, STSI Press, Surakarta.
Sumarsam,
2002
Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, STSI,
Surakarta.
2003
Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wolters, O. W.,
1982
History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives,
Institute of Southeast Asian Studies, Pasir Panjang.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
130
Zoetmulder, P. J.,
1974
Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, Martinus
Nijhoff, Hague.
C.
Kamus/Ensiklopedi
Ammer, C.,
2004
The Facts of File Dictionary of Music, Facts on File, New York.
Esposito, J. L., (eds.),
2001
Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Mizan, Bandung .
Heuken, A., SJ.,
2004
Ensiklopedi Gereja, I, Cipta Loka Caraka, Jakarta.
Jacobs, A.,
1978
The New Penguin Dictionary of Music, Penguin, London.
Kasper, W., (eds.),
2006
Lexikon für Theologie und Kirche, V, Herder-Verlag, Freiburg.
2006
Lexikon für Theologie und Kirche, VII, Herder-Verlag, Freiburg.
Kennedy, M.,
1980
The Concise Oxford Dictionary of Music, Oxford University Press,
Oxford.
Purwadi, dkk.,
2005
Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Bina Media, Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
131
D. Artikel
Huijbers, B.,
1980
“Liturgical Music after the Second Vatican Council”, Concilium
132, 101-111.
E.
Alkitab
Lembaga Alkitab Indonesia,
2005
F.
Alkitab, LAI, Jakarta.
Internet
Fajar Sungkono,
2009
“Representasi Ideologi Patriarki dalam Lirik Lagu Musik
Campursari (Analisis Semiotika Representasi Patriarki dalam Lirik
Lagu Musik Campursari Bojo Loro, Mendem Wedoan, Tragedi
Tali Kutang oleh Cak Diqin)”, diakses dari
http://www.publiksi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewF
ile/858/532. (12 Desember 2013)
Fitri Diana Wuryanti,
2013
“Implementasi Konvensi Diskriminasi Rasial”, Diakses dari
http://www.ham.go.id/download.php%3Fid%3D732208%26mod%
3D3%2Bjumlah+suku+bangsa+di+indonesia&hl=en&tbo=d&biw=
1346&bih=618&gbv=1&sei=_I8dUZbTCcW4rAeB3oHgCA&ct=c
lnk. (15 Februari 2013)
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat,
2013
“10 Persen Bahasa Dunia Ada di Indonesia”, diakses dari
http://www.menkokesra.go.id/content/10-persen-bahasa-dunia-adadi-indonesia. (15 Februari 2013)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Hornbostel,
2011
“Music of The Orient”, Diakses dari
http://www.folkways.si.edu/music-of-the-orient/central-asiaislamic-world/album/smithsonia. (12 Desember 2012)
G.
Narasumber Wawancara
1. Nama
Tempat, tgl. Lahir
2. Nama
Tempat, tgl. Lahir
3. Nama
Tempat, tgl. Lahir
4. Nama
Tempat, tgl. Lahir
: Karl-Edmund Prier, SJ
: Weinheim, 18 September 1937
: Paul Widyawan
: Yogyakarta, 18 Januari 1945
: Martinus Siswanto
: Kulon Progo, 22 Februari 1935
: Yohanes Budi Santoso
: Bantul, 30 Maret 1952
132
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
133
LAMPIRAN 1
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ
Pusat Musik Liturgi, 21 Februari 2013, pkl 10.15 WIB
Rm. Prier
: Ya pertanyaan yang pertama, mengapa Anda tertarik denga musik
gamelan. Bagi saya musik gamelan itu musik budaya tinggi, high culture,
maka saya merasa itu memuat nilai-nilai yang tidak kalah dengan high
culture yang lain itu. High culture yang lain, ada misalnya musik
Gregorian, ada yang musik klasik, ada kita punya dari Yunani, dari Mesir,
yang dulu-dulu. Maka saya merasa di situ tertanam nilai-nilai yang dari
generasi-generasi dulu, yang nampak misalnya di dalam sistim main
bersama-sama. Yang memimpin tidak berdiri di depan, tapi duduk di
tengah-tengah. Di dalam masyarakat desa bahwa musik itu ada ...... , tapi
ada juga partisipasi dengan bermain, dengan teknik bermain yang berbedabeda, sehingga ada kerja sama dan dengan demikian mencerminkan
budaya eee.... apa... yang pasti itu sebagai suatu cermin hidup masyarakat
dan jiwa masyarakat yang asli itu. Ini sebabnya mengapa saya tertarik
dengan gamelan. Dan dulu waktu mulai belajar gamelan tanpa teori, harus
dengan belajar harus mendengar dan harus merasa. Itulah yang membuat
saya tertarik. Bukan ini yang ini, temanya yang ini... ini dan itu, tetapi ya
ada juga slendro. Saya senang sekali slendro. Karena itu musik yang unik,
dalam arti tidak ada eee... pegangan-pegangan yang biasa kita pakai
dengan doremi itu. Tetapi nada-nada adalah tengah-tengah, itu. Sehingga
sistem mendengar musik gamelan slendro itu harus melepaskan mencaricari apanya ada apa itu ya.... dengan demikian terjadilah sesuatu bahwa
kita melepaskan pegangan-pegangan itu yang selalu kita dengar dengan
mengukur-ukur, jadi mulai melayang-layang, atau mulai eee... ya.... istilah
saya begitu, ya. Dan menurut hemat saya, itu sangat cocok untuk berjumpa
dengan Tuhan: dengan melepaskan diri, melepaskan pegangan-pegangan
kita, lalu eee..... ya bagaimana, ya? Menemukan justru di situ, ya... ketika
kita melepaskan pegangan-pegangan kita. Cukup ini saja ya....
Rony : Ooo...gitu. Yang menurut Romo mengenai musik gamelan Jawa yang
masuk dalam liturgi?
Rm. Prier
: Ya ini yang kedua, ya? Eee...inkulturasi dari gamelan. Ya
inkulturasi berarti bahwa gamelan itu diiii... pakai dengan catatan bahwa
alat-alatnya mesti sama seperti dipakai di luar... ehem (berdehem)...
namun bahwa dicipkatan bentuk-bentuk yang lain, bentuk musik, bentuk
vokal terutama seperti mazmur tanggapan. Tidak ada mazmur tanggapan
dalam budaya Jawa, to? Kalo sembayang tidak pernah pakai bentuk seperti
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
134
itu. Artinya, ini adalah ciri dari inkulturasi, bahwa kreasi baru dan dengan
demikian dipakai dengan cara yang lain. Kalo misalnya mengiringi
kemuliaan, tidak cocok dengan bentuk-bentuk ketawang dan ladrang,
tetapi ada pula yang khusus itu. Dan dengan demikian kelihatan yang
penabuh harus belajar lagi untuk mengiringi kemuliaan, misalnya. Bapa
kami, karena itu ada kreasi baru. Bentuknya yang baru, tapi sekali lagi......
bukan dalam arti menciptakan alat yang baru, tetapi penggunaannya,
bentuknya, lagunya. Itulah yang dimaksudkan dengan inkulturasi musik
gamelan di dalam liturgi. Jadi, liturgi pun disesuaikan dengan dengan
musik itu. Imam mempunyai lagu baru untuk mengangkat prefasi. Eee...
selama ini lagu gregorian pun digantikan dengan lagu pelog itu. Gamelan
menyambung musiknya. Itulah inkulturasi. Jadi ada perubahan dari pihak
gamelan termasuk bentuk-bentuknya yang baru. Ada sedikit perubahan
dari liturgi, dimana imam mempunyai lagu yang baru. Saya kira juga tidak
salah. Pernah saya alami juga, seluruh Doa Syukur Agung diiringi dengan
gamelan itu. Meskipun memang tidak nyanyi, atau hanya nyanyi sedikit.
Tetapi gamelan bunyi sebagai latar belakang, itu, untuk syair dan teks Doa
Syukur Agung. Pernah saya alami, tetapi mungkin sekarang tidak berani
lagi. Tetapi ini pun salah satu bentuk inkulturasi, bahwa liturgi pun ee...
dapat wajah yang baru dengan gamelan itu. Baik, itu mungkin maksud dari
inkulturasi. Yah, yang ketiga?
Rony : Bagaimana pendapat Romo tentang musik gamelan jawa yang digunakan
dalam liturgi?
Rm. Prier
: Ya sudah saya katakan, ya. Ini menjadi bagian dari liturgi
Namun dengan ungkapan yang baru yang tidak ada di dalam barat. Maka,
eee.... musik itu mesti mencipkakan juga suasana yang lain daripada
organ.... eee...dalam lagu2 gregorian, karena memang lebih tenang...
mem...ya transparan ke arah Tuhan, itu saya kira dengan bumbu gamelan.
Eee... yang gong yang besar. Itu membawa suasana yang ya bagi saya saya
sebut transenden itu ya. Transenden untuk membawa hati kita kepada
Tuhan, dan justru konstitusi liturgi megnatakan sangat tepat kalau musik
liturgi itu membawa hati kepada surga. Eee...ee.... saya kira tercapai di
dalam ini. Bahwa musik gamelan jawa memciptakan suasana itu.
Rony : Lalu itu romo, mengenai para penabuhnya atau pemainnya sendiri, kirakira sikap apa yang dibutuhkan untuk apa memainkan gamelan itu
sehingga bisa cocok dengan liturgi.
Rm. Prier
: Ya saya kira pertama-tama pada orang Jawa bersikap-sikap
seperti orang jawa yang memainkan gamelan, main bonang dengan
sepertinya baik itu. Dengan main rebab dengan baik, seperti dia belajar
hingga ini tidak berubah. Yang berubah ya paling-paling menyesuaikan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
135
diri pada pengendang, harus tau tidak boleh... mmm... ribut-ribut, itu.
Dengan pegangan yang seperti tarian, tetapi mesti menahan diri untuk
suasana khidmat, tetapi basic-nya sendiri dan sikapnya itu pasti sama.
Main bonang sedikit-sedikit ee main-main yang menambah, atau
memperlambat, mempercepat, itu sangat bagus untuk liturgi, untuk
menciptakan suasana khidmat, untuk membantu dia berdoa. Dan saya kira
dalam hati orangnya juga mau berdoa, iya to? Tetapi tekniknya sendiri
sama, seperti biasa, ()... harus sebagus mungkin, sehalus mungkin...
ee...sesempurna mungkin, tidak eee... perlu mencari teknik yang baru,
yang memang ada adalah bentuknya dan mungkin hanya harus hati-hati.
Dan mungkin ada-ada gatra yang tidak utuh, bisa jadi ya..hanya dua
hitungan sudah stop, itu. Ini ada hal-hal yang mesti dilatih supaya
percobaannya betul. Tetapi tekniknya sama, tekniknya untuk main alat-alat
itu. Itu seperti tradisional betul-betul, maka eee.... budaya Jawa dalam hal
ini memang tetap dilestarikan.
Rony : Lalu menurut romo apakah lagu gereja sekarang ini sudah menjadi milik
umat? Dalam artian umat sendiri sudah merasakan bahwa itu adalah ciri
khas mereka? Lalu apakah sudah membantu mereka sendiri untuk
mengungkapkan diri kepada Tuhan?
Rm. Prier
: Saya kira harus ditanyakan kepada umat... ehem... saya dalam hal
ini hanya bisa mengira, bahwa ... ehem...yang ikut aaa...gamelan hari
minggu pagi jam 8 di gereja Pugeran, pasti orang yang merasa dibantu
dengan nyanyian itu, eee... lebih-lebih lagi yang lama mereka pakai
sehingga menjadi ungkapan doa, tetapi mungkin tidak seluruh umat
senang dengan gamelan. Maka ada juga misa bahasa indonesia di Pugeran,
dan ada eee... juga lagu Jawa, juga lagu gamelan. Dengan demikian sudah
kelihatan, itu suatu proses bahwa sebagian senang, sebagian tidak begitu
senang. Eee... Tetapi mungkin baik kalo tanya kepada umat sendiri. Saya
dalam hal ini paling-paling mengira, bahwa seperti itu.
Rony : Romo kan di sini sebagai pencipta juga. Lalu, eee... menurut romo,
mengapa tangga nada pelog digunakan dalam lagu-lagu liturgi, terutama
mengenai, bagaimana mengenai makna ini, hubungan antara perasaan
yang muncul dari tangga nada pelog tersebut, sehingga dapat membantu
umat untuk berdoa.
Rm. Prier
: Ya seperti sudah pernah saya katakan. Menurut hemat saya,
menyanyikan lagu pelog itu termasuk harus hati-hati, karena intonasinya
tidak sembarangan, cepat-cepat tangga nada mi-fa itu, lalu mendapat fasol-si yang diselingi dengan nada kecil-kecil. Itu mendengar sendiri
menuntut suatu konsentrasi. Konsentrasi berarti tidak mesti bernyanyi
dengan berhati-hati, dengan hati juga ya. Tidak hanya hati-hati, tetapi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
136
hatinya ikut. Dan saya kira inilah dasar mengapa sejak dulu nada pelog
dijadikan .... yang mengundang untuk dipakai yang hebat-hebat, uyonuyon, mesti pake slendro, to? Maka sejak dulu dibuat seleksi, yang dipilih
bukan semua lagu jawa, bukan semua tangga nada, khususnya pelog, itu.
Karena tujuannya adalah untuk membawa kepada Tuhan dan Tuhan bisa
dicari seperti kita mencari nada-nada dan ketika Tuhan.... saya kira ini
adalah menurut hemat saya bahwa eee... bahwa musik sendiri menuntut
suatu keprihatinan, suatu yaa.... disiplin, suatu ya harus hati-hati ya...
supaya menjadi betul, dan tidak salah nyanyi. Ya...baik, ini ya jawaban
saya mungkin ini sebagai pemusik mungkin orang lain menghayatinya
dengan cara yang lain, tetapi saya melihatnya dari konstruksi eee tangga
nada pelog yang agak unik itu. Kalo pada besar, atau pada keciiil.
Aa...kecil. Bahwa ini eemm.. menuntut perhatian besar, itu. Saya kira
mesti hati-hati, karena melihat tangga nada pelog. Iya,... dan sejarah
menurut hemat saya membuktikan itu juga ya... bahwa sejak awal, pak
Harjosubroto memakai nada pelog, itu. Sayang tidak bisa ditanyakan lebih
lanjut. Jadi mungkin murid-muridnya seperti Pak Siswanto, itu bisa
menjawab juga mengapa pak Harjosubroto memakai lagu pelog. Padahal
pak Harjosubroto menciptakan banyak lagu dolanan untuk anak-anak,
sekolah, ada juga slendro, ada juga pelog. Tapi untuk lagu gereja yang ia
buat, itu melulu pelog. Ya...mungkin saya juga ingin tahu, ya... mungkin
pak siswanto juga nanti menjawab bagaimana, ya...
Rony : Lalu romo, mengenai para pencipta sendiri, kira-kira apa yang
dibutuhkan atau kesadaran apa yang perlu mereka tumbuhkan, sehingga
mereka itu bisa mengembangkan gending Gereja secara lebih jauh. Karena
sekarang, sepertinya pencipta itu kan sangat sedikit, lebih memilih lagulagu .... ya menciptakan lagu-lagu pop, atau .....
Rm. Prier
: Ya ini adalah hubungan dengan inkulturasi. Inkulturasi
mengandaikan bahwa kita hidup dalam budaya tertentu, senang dengan
lagu tertentu, menghargai gamelan Jawa. Dengan demikian muncul eee....
dengan sendiri lagu-lagu seperti itu, yang kita cintai yang kita hayati
sebagai ungkapan iman yang tidak mungkin pada lebih bagus dari pada
yang lain. Kalau memang ada orang Jakarta menciptakan lagu pelog, itu
yaa... mencari-cari toh membayangkan-membayangkan, mungkin begini
begitu, untuk jakarta. Dan nampaknya terjadilah begitu ada dalam lagu
Puji Syukur, ada lagu-lagu jawa yang saya rasa lahir dalam suasan kering,
itu. Bukan di tengah ee... hidup di mana gamelan bunyi, dan di mana...
eee.... men... men... merangsang ketika menciptakan lagu-lagu seperti itu.
Ini saya hanya men..me..melihat dari hasil... ee.... ada lagu-lagu yang
diciptakan oleh orang-orang Jakarta. Maka saya rasa dalam hal ini, eee....
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
137
bukti dibuat-buat saja, dan ya musik mungkin ada maksud apa, tapi saya
rasa yang normal itu, musik ee... inkulturasi dipicu oleh budaya yang
hidup itu. Jadi sangat tepat di ganjuran, sangat tepat juga di kalasan, atau
di berbah, dimana pak Sukodi ada di sana, gamelan bisa terdengar, itu.
Bukan hanya pada hari raya, tetapi di rumah mereka juga punya gamelan.
Punya gamelan di rumah. Dan di ganjuran, ya ... pak Yosep itu pasti juga
ikut main di gereja. Hingga dengan demikian sudah menjadi daging, sudah
menjadi ungkapan... eemmm... memang harus diakui bahwa sekarang
gamelan tidak lagi terkenal seperti dulu-dulu. Meskipun saya dengar ya di
sekolah sekarang mulai lagi digalakan anak-anak belajar gamelan, itu. Dan
saya kira sangat tepat itu untuk menanam apa... ee... memiliki budaya jawa
melalui musik, tari-tarian, dari bahasa Jawa. Kalau saya rasa ini adalah
eee... mendidik karakter dan juga jiwa, dan sayang kalau ini dilupakan.
Meskipun untuk sehari-hari itu dapat ()... tetapi saya rasa masih hidup itu,
dan tidak hilang. Maka mungkin mudah-mudahan ada tren bahwa
sekarang gamelan jawa supaya lebih banyak ... sekolah-sekolah dan
dengan demikian anak-anak juga mendapatkan tempat juga di situ. Dan
ada juga di sini anak-anak SMP belajar gamelan. Ya... bisa pernah ingin
belajar gamelan, tapi di sini diajak selain main organ, coba main gamelan.
Dan mereka tertarik, ya karena itu ada efek main bersama-sama. Bersamasama berarti yang didukung oleh orkes seluruhnya.
Tidak hanya per pribadi apa yang saya main, tetapi didukung
teknik vokal dengan permainan bersama-sama. Dan itu terjadi tidak hanya
dalam gamelan, ini juga terjadi pada musik orkes barat, itu. Semua
pemusik mengatakan hebat kalau saya main ini dan masih mendengar alat
ini itu. Merasa dipersatukan. Ya baik ini... ee...gamelan agak cocok juga
untuk pengalaman itu. Dan seperti tadi saya mengatakan, ada keunikan:
tangga nada, alat-alat musik yang eee... mempunyai ungkapan,
mempunyai pengaruh pada indra orang yang bermain itu. Saya kira di sini
ada anak-anak SMP. Mereka sudah bisa belajar gamelan, kemudian tiga
bulan berikutnya main angklung. Mereka sudah tanya, kapan kita main
lagi gamelan. Artinya ada arti, dan dengan demikian, eee... jelas bisa
dibina cinta kepada musik jawa itu. Ini saya kira eee... tidak berarti bahwa
ini ada ... () tapi mungkin membawa lima tahun yang terakhir kurang
digalakan, ya... sehingga. Eee... tidak itu masuk dalam kesadaran. Tetapi
kalau mengalami nampaknya kita menjadi terpacu ee... pengalaman yang
tetap berarti juga. Ya baik, itu pendapat saya. Jadi ini mengarang untuk
menyampaikan juga mengalami pegangan hidup gamelan, konteks itu
dibangun sendiri muncul gamelan, namun kalau di kota, di apalagi di jawa
barat, itu jauh dari konteks itu sendiri. Mungkin juga salah, kalau orang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
138
jakarta mau membanggakan diri mau menciptakan lagu-lagu jawa. Ini baru
satu contoh ..... artifisial .... dibuat-buat. Dan menurut hemat saya di dalam
Puji Syukur ada sejumlah lagu yang tidak bunyi, ya... dalam hal itu ya
hanya mengikut tangga nada tetapi tidak ada hati, dan diwarnai ....
Rony : Lalu kan, gini romo. Menurut pengalaman romo itu saat melakukan
lokakarya untuk menciptakan gending gereja itu. Kira-kira faktor
pendukung apa lalu hambatan apa yang biasanya ditemui dalam berkontak
dengan musisi musik Jawa.
Rm. Prier
: Ya pertama-tama... ee.. yang alasannya waktu itu kita mau
membaharui eee... kidung adi itu yang dibuat tahun 84 mau dilengakapi
dengan lagu-lagu yang masih kurang. Tema-tema pengantin di sana tidak
ada, lagu-lagu tema sosial, tidak ada. Lalu kita mengadakan. Waktu itu
saya menciptakan lagu-lagu khusus. Tetapi itu itu tantangannya,
alasannya, keuntungannya, peluangnya... e.. kemudian eee... kita
menghubungi orang-orang yang pernah mengarang, ada yang berniat
untuk mengarang, yang merasa penting bahwa lagu-lagu diciptakan kan
kita...kita dalam hal ini mendukung apa... eee... masuk dalam suasana
itu...ya... tema-tema misalnya untuk mematu orang miskin... kita cari teksteks kitab suci, kita ngomong-ngomong mengenai apa artinya untuk
masyarakat jawa, dan kemudian... ee.. mereka dipacu untuk mengarang
dalam hal itu yang menyusun teks dalam bahasa Jawa. Eee.... saat itu juga,
ya ada teks. Dan dalam konteks musik gamelan, ya ... ini gamelan ada ya.
() ....Sejarah..... dicari lagu dari situ. Itu ee.. prosesnya. Memang saya
mengalami juga ada tantangan, hambatan atau apa namanya kesulitan.
Dengan menirukan bahasa kromo inggil yang tidak selalu dipakai dalam
misa atau ibadat jawa, termasuk juga padupan kencana, termasuk kidung
adi. Eee. .. masih sulit untuk menemukan kata-kata yang indah seperti itu.
Ya saya sebenarnya dalam hati bertanya juga mengapa kita harus memakai
bahasa itu kalau masyarakat juga tidak tahu...itu apa, itu. Tetapi saya tidak
berani terlalu banyak omong. Tapi saya merasa untuk mencari kata-kata
itu...(). Maka lebih sulit menyusun syair yang indah, yang bermutu, yang
sastra tinggi. Daripada lagu lagunya tidak sulit itu. Tapi syairnya kuncinya
juga menjadi tantangan karena kita tahu kutipan-kutipan kitab suci yang
mengenai perkawinan yang lebih sedikit dari pada hanya diterbitkan dari 1
korintus 13, sedari kutipan-kutipan itu juga menjadi tantangan, apa itu arti
untuk jaman sekarang, dirumuskan dalam konteks jawa. Dan ini satu hal.
Yang kedua, yang saya lebih berat itu, melanjutkan tradisi syair dengan
bahasa krama inggil. Baik, saya tidak tahu. Tapi menurut hemat saya..
masih eee... masih terlalu tinggi, dan bisa juga menjadi hambatan untuk
generasi muda, untuk menghayatinya. Musiknya dapat dihayati, tetapi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
139
kalau kata-kata terlalu banyak yang asing itu mungkin juga tidak terlalu
ideal. Ya baik, ini mengenai bahasa jawa. Ada juga sekarang jalur-jalur
menggunakan lagu jawa tetapi dengan syair indonesia. Dan tampaknya
sukses juga, ya... artinya bahwa bahasanya telah dimengerti dan kalau
musiknya menarik, ya tidak hanya orang jawa yang suka dengan lagu-lagu
Raja Agung. Orang Flores pun senang menyanyikan lagu Raja Agung, itu
ya... maka ini kelihatan ada daya tarik dari lagu-lagu tertentu, mungkin
tidak semua, ya. Tetapi jangan-jangan bahasa Jawa krama inggil menjadi
hambatan. Ini pengalaman waktu lokakarya. Tapi saya mulai berdiskusi,
tapi kemudian merasa ini tidak berkenan. Ya sudah saya tutup mulut, ya....
hehehehe....
Rony : Hehehe... oiya. Lalu ...mmm. ... mengenai yang apa yang pak
Harjosubroto sendiri kan menciptakan gending jawa tapi dengan kata-kata
bahasa Latin.
Rm. Prier
: oo...ya itu memang harus dimengerti dalam konteks itu. Waktu itu
seluruh liturgi ya akhirnya misa terutama wajib menggunakan bahasa latin.
Ia mengatakan kepada saya, “saya merasa lagu gregorian bagus sekali.”
Kata-kata yang dia yang sudah tahu bahasa latin, ya.. karena diajar. Tapi
saya merasa apakah kita bisa juga mengungkapkan isi itu dengan lagu
pelog, itu. Itu tantangan untuk dia. Jadi memang karena fokusnya atau
wajibnya, atau apanya, tidak ada diskusi bahwa ini pakai bahasa lain
kecuali bahasa latin, maka dia berpangkal pada gregorian, tapi dengan
men... ya.. dengan lagu-lagu jawa itu, ya. Ee... ini harus dimengerti dari
situ, ya. Bahwa itu berarti tidak ada diskusi bahwa ini pakai bahasa lain.
Memang ada juga kemudian lagu-lagu untuk ibadat pujian. Pujian berarti
minggu sore, dulu: ada adorasi, ada ee.. doa menghormati bunda maria.
Dan di situ mulai ada ...ee... praktek bahasa jawa, karena dirasa itu bukan
liturgi. Karena kita melihat bentuk lain juga, ya. Tapi dulu dikatakan ini di
luar liturgi, dan di situ lebih cocok pakai bahasa jawa. Tapi untuk misa,
tidak ada diskusi: tetap bahasa Latin. Yah ini harus dimengerti dari
konteks itu. Tapi menarik saya masih ingat ia mengatakan, “saya suka
sekali dengan lagu gregorian.” Dan tentu saja dalam bahasa Latin, itu ya.
Dan tantangan untuk dia, apakah mungkin latin itu tidak juga diungkapkan
sebagus lagu gregorian. Dulu dia mencoba itu. Jadi bahasa, ungkapan dari
syair dalam bahasa latin, dengan lagu gregorian itu indah dan inilah mau
di... diolah dengan lagu jawa, itu. Jadi isi .... lagu gregorian. Tapi justru ia
terispirasi dengan lagu gregorian, untuk mencoba memakai tangga nada
pelog, itu. Memang itu eksperimen dia sendiri, tidak ada orang yang
menyuruh dia, tetapi eee... ini waktu pengalaman dari gregorian,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
140
pengalaman dari gamelan jawa, sampai akhirnya nampaknya cukup kaya
untuk mengungkapkan diri. Ada rasa cocok hati juga ini.
Rony : Lalu mengenai Jawa dan Gereja sendiri...
Rm. Prier
: Apa?
Rony : Jawa dan gereja. Mengenai budaya Jawa dan gereja. Kira-kira eee.. di
bagian mana, kedua komponen ini saling memperkaya, terutama dalam hal
musik?
Rm. Prier
: Berarti inkulturasi?
Rony : Maksudnya, kan kalo yang pernah romo sebutkan kan inkulturasi itu kan
saling memperkaya, saling mentransformasi, lalu apakah gereja juga
mengalamai perubahan?
Rm. Prier
: Saya kira mengalami juga, ya... jadi misalnya, kalo kita melihat
pada tabernakel-tabernakel yang diciptakan yang sekarang di Pugeran.
Pugeran membuat tabernakel dengan tutup. Karena karena itu adalah sisi
jawa bahwa ada rahasia, ada ciri atau apa yang tidak bisa melihat, itu.
Maka ada pernah tutup di... ada yang... sudah pernah melihat? Lihatlah
tabernakel di gereja pugeran, itu. Menarik, itu. Bahwa ini tidak sampai,
tidak ditutup, tetapi ada selubungnya yang bisa ditutup untuk mengatakan
untuk wawancara mengapa raja tidak begitu saja kita menatap raja. Jadi
ada ee... hal yang misterius, ada hal yang.... ee... lebih daripada yang kita
lihat. Kraton itu kraton, ada juga yang demikian. Tapi ke depannya, hal ...
yang misterius, ya. Istilah apa, ya? Yang kedua itu, saya tertarik pada
tabernakel di gereja Nandan, itu. Sebaiknya, lihatlah juga. Suatu ... ()...
dari kayu, tapi pohon, dan dari ..... ee... pohon-pohon yang tumbuh dari
pangkal itu dari sumber hidup, itu sangat bagus, itu. Yang menciptakan itu
saya ndak tahu, tapi bagi saya berarti ini ditransformasikan: ekaristi
sebagai liturgi... () dan bukan seperti di tempat kita. Itu sudah jelas sekali
itu lahir dari transformasi itu. Bahwa katabatis itu diwujudkan lain dengan
gaya eropa. Ya juga gereja kumetiran itu takhta ... seperti di eropa juga
ada. Tapi ini hanya suatu contoh. Saya kira musiknya juga eee...
menimbulkan transformasi itu. Maka kita menggunakan gong saat
konsekrasi. Itu pun suatu makna, to? Dulu ada lonceng, dan sekarang kita
masih pakai lonceng. Tapi gong itu, mee.....
Menjadi tanda lahir, tetapi juga ketika perhatian, tetapi bunyi
lonceng .... menurut hemat saya, mengangkat juga dan mencari musik
tidak hanya mendengar dan mendengar tetapi membawa hati kita ke sana.
Dan menurut hemat saya, seluruh budaya jawa itu adalah terarah ke sana.
Dan coba kita lihat seluruh musik ee... gending jawa, menuju terarah ke
gatra yang ke empat: Nang-ning-nang-nang, nang-ning-nang-nang.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
141
Menuju, progresif, atau antara terarah, ya. Inilah. Lain dengan musik
barat: satu-dua-tiga-empat, satu-dua-tiga-empat. Lalu menghilang. Nah,
saya kira bahwa gamelan membedakan itu. Itu juga tidak hanya kebetulan
di dalam liturgi. Kita justru berpangkal di sini, dan melihat ke surga. Kita
berpangkal dari sini, tetapi kita melihat bahwa semuanya serba ternganga,
serba tidak sempurna, merindukan yang lebih baik, merindukan
keselamatan, merindukan hari kiamat juga, dan itu sangat liturgis. Dan kita
sedikit melupakan itu, membuat suatu show dulu, lalu sesudahnya itu
kelihatan bahwa ketika kita itu melanjutkan program yang sudah dibuat
itu. Maka saya kira ini seluruh liturgi memang dibantu oleh faham itu. Kita
mempunyai teleologi, ya istilahnya. Menuju kepada teleos, kepada tujuan.
Dan dengan demikian...ee.. saya kira, membantu kita untuk supaya jangan
lupa. Bukan hanya sekarang yang kita buat, ya. Tapi menuju ke sana,
merindukan itu. Merindukan penyelesaian. Nah di situ saya lihat pengaruh
dari budaya jawa, terutama musik jawa pada liturgi, pada hidup. Saya
memperhatikan Raja Agung pada, eee... dalam mitologi eee.... dalam
mitologi Jawa? Menunggu.....
Rony : Ratu adil?
Rm. Prier
: Ratu adil, iya to? Itu juga jelas, itu, menuju ke sana, toh? Dan
tidak menghayati sekarang, sudah kita sekarang, sudah itu, tetapi ada
banyak yang belum sempurna. Dan kita harapkan, ini datang. Dan sangat
konkret dalam musik jawa, dan kata-kata jawa berakhir pada suku kata
terakhir. Lain dengan bahasa Inggris, dan bahasa Batak, dan bahasa
Jerman, di mana aksen ada di depan, dan sebagainya. Dan baik ini saya
rasa tanpa banyak omong-omong orang mendapat itu dalam musik
inkulturasi jawa itu dan menghayatinya juga pasti. Itu pun menjadi gerak
refleks, membentuk jiwa dan doa. Dan saya kira ini sudah menjadi daging
dalam banyak hal. Ya ini visi saya, ya. Hehehehe....
Rony : Hehehehe.... oke, sepertinya itu romo. Pertanyaan yang ditanyakan.
Rm. Prier
: Ya baik, mudah-mudahan ada yang bisa lebih banyak menjawab
mengenai umat. Tapi harus tanya kepada umat, ya. Jadi, saya kira pasti ada
yang tidak dapat dicari, tidak hanya dengan bla-bla-bla... hehehe....
Rony : Hehehe....
Rm. Prier
: Oke, baik. Mari silakan... (mempersilakan minum)
Rony : Oh ya....
-selesaiWaktu : 40’20”
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
142
LAMPIRAN 2
Wawancara dengan Paul Widyawan
Pusat Musik Liturgi, 21 Februari 2013, pukul 11.30 WIB.
Pak Paul: Dan karena contoh dari orang tua saya, orang tua saya tiap hari minggu
kalau yang mengkoreksi pekerjaan rumah dari murid-murid itu, ia
nembang jawa. Itu haa.... pada sisi yang lain, ibu saya karena sekolah di
mendut, ia menyanyi bahasa Belanda.
Rony : Hmmm ....
Pak Paul: Lagu-lagu bahasa Belanda, jadi saya bisa musik barat maupun musik
timur. Hanya sekarang ini saya merasa musik timur kurang banyak yang
mendukung, terutama sekali karena orang jawa sendiri sepertinya tidak
peduli pada musiknya. Padahal itu menurut saya bagus. Ya...Sudah, itu
saja, prakteknya.
Rony : Lalu ini, pak, mengenai pengalaman bapak sendiri kan banyak mencipta
lagu, ya pak ya?
Pak Paul: He’eh
Rony : Lalu, kira-kira tangga nada pelog itu, yang kalau saya lihat sendiri dari
KA, ya pak ya, kenapa kok tangga nada pelog itu kok lebih banyak
digunakan daripada slendro?
Pak Paul: Pertama-tama kalo menurut saya ya... eee.... kalo gamelan mau menjadi
dua pangkon ditaruh dalam gereja, sudah tidak mungkin. Satu pangkon
saja... aaaa.... dikatakan memakan tempat banyak, kan tinggal dibuang
seperti di Gereja Kota Baru. Itu punya gamelan malah dibuang. Nah...
rumangsa saya kualat, itu....
Rony : Hahaha...
Pak Paul: Iya, kualat. Karena dia tidak berpikir jernih, kalau kita harus, bukan
hanya generasi tua, tapi kita harus mencintai budaya itu, karena kita tidak
mungkin sebagai orang jawa itu,... kita... apa... namanya... anu... u..a....
secara spontan bedoa bahasa Inggris, dan menyanyi lagu bahasa Inggris.
Rumangsa saya menyalahi kodrat. Karena di lain-lain tempat, mereka suka
pada musiknya sendiri yang cocok dengan musiknya sendiri. Kalau kita
melihat bahwa kadarnya semua, ya orang Eropa menyukai budaya Eropa.
Tapi kalo orang misalnya,...emeri..ameri...Amerika Latin mereka
menyanyikan lagu-lagu.... gayaa... Cuba. Itu orang Afrika ya mereka
menyanyikan lagu-lagu lagu syair. Itu paling cocok menurut saya. Kalo
bangsa itu menyanyi lagu-lagu Eropa, ya itu lucu.... ya bunyinya lucu. Lha
itu kok. Sekarang masalahnya yang menentukan arah siapa, yang
mempunyai dana, siapa. Kuasa sama dana, sama saja dengan politik.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
143
Rony : Hehehe... ya sama?
Pak Paul: Ya kalo misalnya kalo romo-romo tidak belajar musik Jawa, ya tidak
...tidak akan peduli. Dia kan ber...pe..per...berpalsafah tentang segala
sesuatu, tapi tidak mempraktekkan ... ha..itu... kalo menurut saya lho...
Rony : Jadi gereja juga harus sesuai dengan di mana dia berpijak?
Pak Paul: Iya seharusnya berpijak. Kita terlalu berkiblat barat... heheheh....
Rony : Eee...
Pak Paul: Kurang memberi tempat pada jati diri itu. Menurut saya.
Rony : Lalu itu pak... eee... kan bapak kan berpengalaman di banyak lokakarya
ya pak ya....
Pak Paul: Ya he’eh...
Rony : lalu kan disebutkan tadi kan kalo bisa kan gereja kan berpijak pada...
pada budayanya sendiri. Lalu pengalaman bapak dalam lokakarya itu
bagaimana tantangan lalu pendukung apa yang yang....
Pak Paul: yaa.... bisa jadi, ya adatnya sendiri adat dalam arti kegiatane wong jowo
itu bagaimana.... e... kemudian lebih mencintai adat itu. Adat....daa...da....
terbedakan dengan kita sebagai orang solo, orang jawa, memiliki adat, tapi
juga memiliki rasa perasaan... mm...aa.... cara berpikir.... jadi banyak
orang yang...yang.... mem... lestarikan, mau melestarikan adat itu dengan
budayanya. Melestarikan...eee... adat jawa keb...keb...kebudayaan jawa
dengan...dengan...dengan... dengan... nyanyian atau dengan apa pokoknya
memacu misalnya lalu seperti diiii... Ganjuran itu, lalu tumpeng barang
itu. Kalau saya...saya menurut saya...itu tidak terlalu..tidak terlalu
hakiki...tumpeng ya semua ya... selalu membuat tumpeng lalu
sejajen..padahal ...a.... persembahan itu sudah..sudah... mestinya sudah
ada.... bahkan tidak perlu banyak tumpeng. Tapi yang dilestarikan kan
bangsa macem itu. Musiknya malah tidak. Padahal musik itu
fleksibel...musik itu ....Cuman musik juga harus..aaa... fleksibel,
tidak..tidak...apa...tidak ...kenceng pas mau misanya... ini pakemnya harus
ini...jadi harus begini... kita mau melestarikan adat di dalam gereja. Akibat
tidak tidak mau melestarikan adat, ya kita tidak mau meninggalkan
sebagai orang Jawa. Itu... ya..
kalo saya lho...tidak... banyak orang mengerti ... bahwa dia harus matimatian me..me... mendukung adat itu dengan
Pak Paul: Itu..itu juntrungnya sudah...he...ee.... misalnya penyembahan berhala...
ha...ha ..atau apa. Kita tidak mau ke situ, hanya menurut saya...
kalo....kalo... dalam gereja...kalo ngak...ngik..ngok...rasanya kurang tepat...
ngak...ngik...ngok...lho..musik hiburan yang sekarang itu tidak
berdasarkan ...tidak cocok...kalo gregorian barang itu malah itu identitas
gereja.... tidak apa-apa. Tidak..tidak..me...me...menurut hemat saya tidak
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
144
terlalu asing malahan. Yang asing itu kalo kita langsung cuman mencomot
dari budaya hiburan sekarang ini. Banyak mungkin katanya mungkin ee....
ya isaku ya ming kaya ngono... ha, sebelum mengatakan itu, belajar. Kalo
kita...kita..kita paksakan, misalnya anak-anak ya, kita ajari tangga nada
pentatonis. Kemaren baru latihan kor anak-anak... juga kita ajari. Bolehnya
mereka menjadi senang kan kalau mereka sudah diberi tahu...karena
mereka tidak diberi tahu oleh orang tuanya ya saya beri tahu.... hehehe.....
kita memulai memulai nyanyian saja ... sudah pake bahasa jawa... tapi
sekarang di sekolah-sekolah juga kesadaran itu ada.... aaa...tapi menurut
hemat saya sedikit terlambat... ya ada usaha-usaha... kalo di jawa...di
sini...karena itu..karena ada...eee.... istilah muatan lokal... ya...mereka
dipaksa mencari... terpaksa...tapi...sesungguhnya banyak orang yang kalo
melihat TV Jogja...masih ada kuis bahasa Jawa, kayak gitu. Karena kalo
tidak ya dilupakan. Ya kita semua mau berdoa bahasa Inggris ya ...
hehehe.... itu lucu...kalo menurut hemat saya itu lucu...kalo di luar negeri
ya... terserah kita mau kemana. Tapi kalo cuma di sini, apa doa itu harus
pake bahasa Inggris? Mentang-mentang bahasa Inggris baru keren kali ya?
Rony :hehehe.... Dianggap keren kali ya??? hehehe
Pak Paul: ya itu..... ya... tapi kalo bahasa Inggris mereka mau, kalo bahasa Jawa
malah tidak mau... itu lucu... kalo saya tidak akan begitu..sa ya bahasa
inggris ya isa, bahasa jawa ya bisa...hahaha... dua-duanya harus bisa. Ya
itu... kita tanggungjawabnya....
Rony : itu pak, mengenai para pencipta sendiri....para penciptaa...kira-kira
tuhh...apa ya kesadaran apa ya yang perlu dibangun oleh para pencipta,
terutama pencipta gending Gereja itu...
Pak Paul: eee... mereka harus tahu bahwa bagaimanapun durasi di dalam misa itu
... ora isa klenengan ..
Rony : gak kayak wayang?
Pak Paul: misalnya ..bentuk-bentuk kita harus harus kompromi. Misalnya mazmur
.... tidak...tidak... dalam waktu yang singkat, njuk...wah itu mainnya
kurang... kita harus kita harus mencari terobosan, yang...yang memadai.
Kendangannya pinatut, nah itu. Jadi, jadi disesuaikan dengan kebiasaan
Gereja juga. Lha ini yang musikus Jawa, para penulis Jawa, kurang tau
mengenai ini. Ya mereka taunya cuma endi balungane, thuthuk. Nek tidak
cocok, ha iki apalagi masih ada persoalan misalnya Jogja, po Solo, wa ra
entek-entek. Kalo begitu harus eee.... suatu ketika ning swarga itu ya ya
kudu ditakoni kowe Yogja pa Solo... hahahaha.... Ndak bisa, to? Kecuali
antara Jogja-Solo kan ada banyak varian. Misalnya ngulon sithik ada
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
145
banyumasan, nah kita kan harus belajar, kita kan sedang belajar, kita kan
belajar jawa piye, Jawa Timur bagaimana. Ini kita juga sedang menyurati
Sorah Jati seksi liturgi keuskupan Malang. Kita kan mau mengajari
membuat itu. Ha perkara hasilnya itu sudah maksimal atau belum ya kita
tidak bisa berhenti....tidak berhenti. Tapi kalau cuma ditanya hasilmu apa,
ha itu nanti dulu. Itu ajar saja dulu. Nek mau dibuat cepat, tidak bisa. Anda
bisa menulis dengan cepat, tapi kalo kita tidak bisa. Yang kita tulis tidak...
kita butuh waktu. Banyak banyak waktu... banyak .... ya itu, korban
perasaan, korban. Ya mari kita persembahkan perasaan kita kepada
Tuhan. Nah gitu to? Haa... ning ko sek, kowe le sinau ki mboko sikak...
saya tidak berani me...me...memcanangkan kalo dari.. dari satu lokakarya
itu sudah tentu hasilnya top, itu ...itu masih harus dicoba-coba. Tapi kita
menyediakan materinya untuk...untukk...untuk... apa...untuk paroki-paroki
siapa yang mau memakai. Tapi sekarang kita cukup...cukup...menyeluruh,
cukup kelesuan menyeluruh. Karena apa? Tuntutan di luar Gereja itu lebih
banyak. Misalnya ada semester pendek, ada ini, ada itu, yang membuat
orang-orang semua sibuk ke situ. Dipacu-pacu memang ke arah situ, tidak
pernah ada waktu lagi untuk untuk ...yang ada ming wong tuwo-tuwo,
wong tuwo tuwo. Haa... jadi kan di banyak paroki hanya orang tua sama
anak kecil, malahan. Anak kecil saja sekarang sudah sibuk: bahasa Inggris,
apa...
Rony : Les
Pak Paul: les, iya. Saya...hahaha... kalau latihan selalu mengatakan: konsentrasi
ya...
Rony : hehehe...mikir yang lain
Pak Paul: Ya membutuhkan hiburan, gitu sebetulnya. Saya tau kalo mereka
membutuhkan hiburan. Karena di sekolahan itu mereka dipacu-pacu
supaya menjadi manusia super.
Rony : wahahaa... serba bisa
Pak Paul: Manusia super cuma ininya (menunjuk kepala), tapi hatinya tidak,
perasaannya tidak, hahahaha.... cilakanya di situ.
Rony : lalu ini pak, mengenai gendhing Gereja ini sendiri ya pak?
Pak Paul: tidak ada.
Rony : ha?
Pak Paul: tidak ada. Kalo istilahnya penggending Gereja itu, kita kalo...kalo ...
eee... kerawitan itu banyak dalam banyak hal... ya kita terpaksa kita
meminjam... sana, meminjam sini, penabuh dari sana. Jadi itulah
masalahnya kan kekurangan yang kita buat di sini dengan kursus ini,
misalnya eee.... selain belajar organ, kita belajar kerawitan, yang yang ...
anak-anak SMP. Namanya kursus con brio...
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
146
Rony : con brio.
Pak Paul: ha... itu..itu... belajar.karena kalo tidak tidak tidak pernah belajar ya
saya pastikan mengharapkan pemusik-pemusik yang sudah jadi ya sukar.
Sementara pemusik yang jadi sendiri katakanlah kalo misalnya
untuk...untuk Gereja kan, ungsons... anu...anu...eee.... dia tidak pernah
mendapat bayaran... tidak pernah ada.... hidup dari mana? Jadi dia lebih
senang nabuh nang nggon wayang, karena lebih bebas ...lebih bebas
iramanya ...lebih lebih sesuai dengan dengan hatinya dia yang di wayang
itu. Wayang itu kalo ditanggap wayang kan seneng banget. Pokoke
karawitan, karawitan yang asli. Ha itu menurut saya juga campur, di situ
tidak pernah ada misalnya karawitan Katolik. Kalo dulu ada ...dulu ada...
paguyuban... eee... tari sama kerawitan Katolik. Namanya apa... shhh...
mm... apa... saya...saya ikut kok dulu. Dulu ikut, saya. ... lupa...lupa...tapi
kalo...kalo .... nanti pada suatu ketika saya ingat. Itu...itu orang katolik
semua: penabuhnya, wayangnya, yang sing njoget ya umat. Tapi orang
katolik semua... ya itu paguyuban Katolik, saya masih ingat,
karena...karena itu sebenernya bagus. Kalo...kalo ada bukan...bukan...
untuk menjadi kita eksklusif, itu tidak...tidak... tapi maksud saya untuk
kalo ada kebutuhan tenaga itu. Sekarang ya ada tenaga, tapi tenaga itu
misalnya ee... bisa minta, ya kita ya harus bayar. Karena kita melihat itu...
keadaannya dia. Kalo tidak dibayar ya...ya ra isa. Ya hanya kita harus
pinter-pinter mencari duitnya.... iya...ya... itu
Rony : iya?
Pak Paul: iya. Itu lain dengan organis. Organis kan dia cuma seorang. Kalo
pengrawit kan paling nggak enam orang. Dan harus banyak menyesuaikan
diri. Karena di sana itu kebutuhan misalnya karena durasi kita harus
pendek, harus bagus. Nah itu nek kanggone wong jowo... lha gek teng, wis
dikon bubar... lha itu tidak bisa, karena...karena ya rasanya pada hari-hari
pesta mungkin...mungkin bisa lebih eee.... lebih rowa lagi. Jadi kalo begitu
nanti nggon vokalnya timbul masalah, karena saya pernah mengalami
misalnya eee... ini dibuat eee.... orang pe...paduan suranya buagus sekali...
paduan suara bagus, kerawitannya apik banget. Tapi mereka menelepon
saya, “ ini kami menyanyikan karyanya bapak, kok ra dadi-dadi ki piye?”
Haa.... saya dipethuk nganggo montor apik banget, nginep ning hotel sing
apik, lalu hanya disuruh itu.... hanya disuruh itu, saya melihat sendiri
bagaimana keduanya tidak saling bertemu. Kornya itu sing kor ora ngerti
gamelan. Lha wong jowo ning ra ngerti gamelan. Sing karawitan itu ora
ngerti nge-kor... lha ini mau hahaha...bagaimana? saya... whoa gene ming
kaya ngene? Ha ya tak dudut saja sebentar sudah jadi. “Kok gampang,
ya?” ya ternyata gampang. Tapi karena masing-masing tidak mau belajar,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
147
keluar dari lingkungannya, eee.... kahanane kono kaya ngopo. Kalo belajar
sedikit, misalnya penabuh gamelan belajar membaca not, dan orang
paduan suara belajar not jowo, naa... kalo tau kedua-duanya, wong kuwi
kabeh wekke dhewe... kalo kedua-duanya belajar, ya bisa. Entah pengrawit
sendiri, itu kalo yang khusus sekali wong maksud saya tidak ada. Ya ada,
di salah satu paroki ... di... di pugeran di sana, tapi ya gelem... nek ora
kuwi ya.... kalo ada orang yang semangat nglumpuk-nglumpukke mereka,
mereka mau. Kalo tidak ya mung meneng wae... wah malah gamelane.
kalo saya, rumangsa saya gamelanne fals. Mung dinengke wae... kita
tidak. Ana gamelan sing rasane kurang, benakke, kalo kita. Di sana, tidak.
Ya itu di paroki ya kadang-kadang ada orang yang sudah merasa pinter itu.
Pinter ora ngerti nek salah, nek dikandhani ora kena ya uwis. Itu...
masalahnya terutama.
Rony : berarti kayak masalah penyesuaian itu lebih ke durasi, lalu saling melihat
situasi?
Pak Paul: ya fleksibel,
Rony : fleksibel?
Pak Paul: kita harus fleksibel. Nanti akan tercapai gending yang bagus, gending
yang bunyinya bagus. Saya kalo hal tidak itu, ya repot. Kalo ...kalo ...
misalnya orang jawa yang mengatakan , waa ..... bagaimana kita harus
merangkak-merangkak di bawahnya tokoh itu. Haa... tidak. Kita tidak
harus merangkak-rangkak. Hahaha... titik. Kita hanya harus berpikir luwes
saya, fleksibel. Menurut saya itu. Cuman itu... haa.. kalo nanti sukar nanti
diperbaiki. Tapi tidak ada banyak referensinya. Kalo musik jawa referensi
Jaap Kunst, to?
Rony : iya, Jaap Kunst.
Pak Paul: haa... Jaap Kunst, londo.
Rony : ya itu lho pak. Belajar dari orang luar.
Pak Paul: ya biarkan. Biarkan... mencateti gejala-gejala yang ada. Steman di sini
beda dengan di situ. Kita harus menarik kesimpulan sendiri. Tidak sematamata lalu: Jaap Kunst kandha ngene, kudu.... ha... tidak. Kalau tau... tidak,
kalau saya... kowe kandha ngono ya wis matur nuwun. Ning, kita harus...
harus mencari sendiri. Jaap Kunst kan sudah meninggal dunia. Tidak perlu
kita ...
Nek ono wong sing scholar ... hahaha.... terus Jaap Kunst mengatakan...
hahaha... sakkarepmu.... sakkarepmu. Kita tidak begitu... maka dari itu
kalo mau belajar ini, musik aaa... gamelan dan pemgakaiannianya
bagaimana, ya harus dengan keterbukaan... eee... musik itu sendiri
terhadap pelaku-pelaku musiknya, terhadap kebutuhan Gereja itu apa,... ya
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
148
macem-macem, harus...harus... ndelok kana, ndelok kene... itu cocok.
Tidak gampang di situ.
Rony : mmm... lalu, pak. Pertanyaan terakhir, pak. Eee menurut pengalaman dan
perasaan bapak sendiri itu, tangga nada pelog itu menimbulkan rasa apa
pak... kalo memainkan, mungkin kan muncul juga perasaan beda ya pak
main apa slendro lalu pelog.
Pak Paul: iya... kalo... e... kalo ... kalo itu... a...a... kalo kedua-duanya ya seneng,
saya seneng. Cuman, cuman...cuman kalo slendro itu anu....eee.....
le...lebih banyak dipakai untuk-untuk nggon hiburan,... misalnya untuk ...
tapi kita tidak banyak menyentuh slendro karena terutama
karena...karena...karena.... gamelan yang ada pelog. Nek kalo gamelan di
Gereja ada ada slendro aaa... kita bisa nggarap slendro itu juga. Kita bisa
kok dengan... dengan bukan hanya dengan apa... dengan gamelan. Dengan
Clavinova itu. Clavinova itu bisa distem, dilaras menurut slendro itu bisa.
Yaa... hanya membutuhkan tenaga ...kudu mikir. Dan, telinga kita bisa
ngepasi, saya juga pernah mencoba. Aaa... cuman untuk itu...untuk itu kan
tiap organis harus mempunyai clavinova yang bisa disetel. Haa.... nang
Greja wis masalah lagi. Haa... pertama-tama adalah telinga itu
menyesuaikan. Ning rumangsa...rumangsa saya bisa. Kita telah mencoba
dengan lagu dari Madura. Itu dilaras eee.... dengan gamelan slendro
dengan apa gender slendro...a... lalu dimainkan. Notasinya tetap notasi
doremi ini, tapi wis ora percoyo dengan ini ora percoyo. Kira-kira
munggah medhunne gitu. Aa.. saya bilang kira-kira munggah medhunne
gitu. Nanti ...nanti kalo mulai menyanyi...nganu, telinganya dipasang....
bisa...bisa...bisa...bisa. jadi, kita mau eksperimen lagi nanti kita mau
nggarap Banyuwanginan. Kita slendronya kalo bisa, itu dengan gender
slendro, dengan...dengan clavinovanya distem sedikit.
Rony : oo... berarti kalo begitu slendro sama pelog itu bisa digunakan di gereja?
Pak Paul: ya bisa, ning perkara boleh atau tidak aa... buka saya, urusan saya...ha....
Rony : hahaha...
Pak Paul: aa... antara boleh dan tidak... aa... kono mikir ora, sing berwenang?
Mikir atau tidak? Ya... kalo dia tidak punya waktu untuk berpikir, ya
harusnya diserahkan pada kita. Tapi sering kali kan tidak. Bisa sekarang
kita begini... haa... mm... sing kuasa begini. Haa... ee..ya.. elik... rumangsa
saya elik..haha....elik...hahaha.... ya rumangsa saya elik.... ya dia tidak
tahu-menahu mengenai musik hidup. Njur terus mung waton nggawe
peraturan
begini-begini....
ha...
gamelan
disisihke
barang...
kleru...kleru...kleru....kualat nek saya. Saya bilang itu kualat. Yaa...
gimana. Tentu saja perasaannya kita teman-teman... mbok daripada
...daripada...daripada... begitu ya... ha.. nek...nek.... nek ada imlek barang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
149
ya kabeh ya disulap dadi .... malah ada yang barongsai mlebu greja ya...
mungkin peranan duwit, atau atau peranan saya ndak tahu. Karena saya
tidak mikir itu. Saya mikir ini ee... sayangnya kalau kita membuat
eksperimen begini... itu begini...begini... lalu dimintakan saja,
karena...karena... di gereja periklanannya kurang...kurang baik...haa...
ya...misa-misa bahasa jawa kan ya... ditaruh diwaktu yang paling pagi,
yang wong-wong isi sithik... ha..itu.. itu... kebijaksanaan ... kebijaksanaan
yang punya yang bos. Kalo saya bosnya tidak sampai begitu.
Rony : yang ramai, ya... hahaaha
Pak Paul: ya itu. Mesti begitu. Mungkin cari...lha wong iki wekke dhewe kok le...
mesthi...mesthi... di...ee...di apa... diberi kesempatan, paling tidak ora...ora
sah ditonjolkan, tapi diberi kesempatan. Haa... tapi karena wong jowo itu
umumnya wong ngalahan, ya njur...njur dadi begitu. Ya ngalahan, ya wis
ra papa, ya wis... (). Di sini ada anaknya...anaknya karyawan sini yang:
”Ben, mas. anakku ben nggolek...”. Ya saya main bareng. Yo wis kana,
kalo punya alasan sendrii...hahaha.... iya....
Rony : Ya udah, begitu pak makasih ngomong-ngomong.
-selesaiWaktu: 23’33”
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
150
LAMPIRAN 3
Wawancara dengan Martinus Siswanto
Pugeran, Kamis 7 Maret 2013, pukul 10.30 WIB..
Pak Siswanto : Pelog dan slendro itu sama saja
Rony
: Oh, ya sama saja? Ooo....
Pak Siswanto : Jadi itu, itu memang lain, nganunya orang yang ahli dalam
diatonis, mesti mengatakan pelog itu lebih mudah dipelajari. Tapi,
bagi saya itu sama saja.
Rony
: Tapi kan ini pak, kalo saya. Yang saya liat juga kan setelah saya
buka kidung adi itu kan pak, ternyata sebagian besar juga tangga
nada pelog.
Pak Siswanto : Nah itu sebabnya, di gereja-gereja itu yang punya slendro itu
jarang sekali. Jadi yang buat itu yang memikirkan ini mau dipakai
di gereja, dan gereja itu kebanyakan pelog. Yang slendro itu jarang
sekali. Maka, si pembuat itu, termasuk saya sendiri, melihat itu
juga. Memikirkan itu yang ada itu pelog. Jadi saya juga banyak
menggunakan yang pelog. () itu.
Rony
: Jadi lebih sebenarnya alasan praktis, gamelan laras apa yang ada,
dipakai?
Pak Siswanto : Ya laras pelog itu, memang. Untuk anu apa, untuk jalan, untuk
menyesuaikan dalam diatonis itu mudah sekali. Karena kalau
tangga nada slendro kan sama, intervalnya itu kan sama.
Rony
: Oh, iya. Sama.
Pak Siswanto : Tapi kalo pelog, kan besar kecil.
Rony
: Tapi dulu pak Harjosubroto kan membuat semua lagunya dengan
pelog. Apa ada latar belakangnya?
Pak Siswanto : Ha iya, itu. Kemungkinan juga waktu itu, yang...yang... yang
mudah dihapal itu yang pelog itu. Yang sudah, anu, ada miripmiripnya dengan diatonis. Hanya begitu saja. Kemungkinan itu.
Maka dari itu, dan...dan untuk menyesuaikan lagu-lagu yang ada
kan diatonis. Diatonis itu hampir sama dengan pelog.
Rony
: Seperti intervalnya? Besar-kecilnya juga?
Pak Siswanto : Iya, besar-kecilnya juga ada. Kalo slendro kan intervalnya kan
sama, jadi kurang ... ya memang...memang lebih sukar slendronya,
daripada pelog.
Rony
: O begitu. Tapi kira-kira ya pak, suasana apa sih yang yang
dominan misalnya kita main pelog, atau main slendro? Suasana
dominan apa yang ada? Suasana perasaan apa yang muncul?
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
151
Pak Siswanto : Ha itu tidak.... Lagunya itu membutuhkan yang mana? Jadi,
tinggal lagu itu itu butuh susah atau gembira, atau... umumnya itu
bisa dibuat susah, gembira, dan ya anggun itu, bisa saja.
Rony
: Jadi pelog itu bisa untuk yang lagu-lagu riang? Itu bisa?
Pak Siswanto : Ooo... sangat-sangat bisa. Malah bisa sekali, itu pelog.
Rony
: Jadi situasinya itu sebenarnya, sebenarnya situasi riang dan
khidmat itu ada di kedua tangga nada itu, pak?
Pak Siswanto : Iya. Bukan hanya untuk anu penyusunan lagu itu.
Rony
: Maksudnya gimana, pak?
Pak Siswanto : Ya misalnya karena akan membuat sedih, nada-nada yang
digunakan itu, nada-nada yang dalam pelog itu, kan. Ada apa, ya?
Tangga nada itu kan ada yang nada dasar. Ha, itu nanti yang
diambil itu nada dasar yang mana? Untuk lagu yang bagaimana?
Misalnya untuk lagu yang susah, itu ya menggunakan nada-nada
yang tidak pokok, yang tidak baku. Tapi yang kekuatannya itu
tipis. Kalo misalnya itu, tangga nada ini.... yang kuat misalnya sol
atau atau do, ya... ya menggunakan itu sedikit saja. Yang rasanya
ini, yang diolah....
Rony
: Re?
Pak Siswanto : Ya, misalnya itu gitu. Iya. Itu kalo untuk sedih, susah, itu.
Rony
: He‟eh. Oo...gitu, ya?
Pak Siswanto : Jadi, apa, baik slendro maupun pelog, untuk membuat nada yang
susah atau yang ceria itu, tergantung lagunya itu yang me... me ...
ingin yang susah atau ingin yang gembira.
Rony
: Jadi, dua-duanya bisa digunakan untuk membuat lagu susah dan
gembira?
Pak Siswanto : Bisa.
Rony
: Bisa. Berarti kayak misalnya apa yang di lagu-lagu yang di
Kidung Adi, itu berarti itu, ya pak ya, lebih apa... sebenarnya lebih
alasan praktis untuk menggunakan tangga nada pelog itu?
Pak Siswanto : Iya.
Rony
: Tergantung gamelan apa yang ada di situ, ya?
Pak Siswanto : Iya.
Rony
: Tapi saya juga pernah baca, apa ya? Tulisannya Ki Hajar
Dewantara itu, pak, tentang tangga nada pelog dengan slendro.
Pak Siswanto : Iya. Itu Sariswara, ya?
Rony
: Kayaknya Mardawalagu.
Pak Siswanto : Sariswara, itu.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
152
Rony
: He, eh. Itu kan ada juga tangga nada pelog, yang pelog tertentu.
Misalnya patet tertentu ada...ada menimbulkan suasana apa... welas
asih, lalu menimbulkan suasana, apa ya?
Pak Siswanto : Ha menimbulkan itu karena sudah digarap. Kalo belum digarap,
ya.... kalo belum digarap, ya.... Sekarang misalnya tangga nada...
misalnya pelog barang. Pelog barang itu meriah sekali. Tapi dibuat
susah ya bisa...iya.
Rony
: Hehehehe....
Pak Siswanto : Hehehehe.... itu meriah sekali yang nama pelog barang itu.
(bersenandung) Na ... ne...na...ni....na... ne...
na...ne...na...ni...na...ne... ne.... ehem (berdehem). Saya itu baru
watuk, jadi.... (bersenandung) ra...re...ra...ri...ra...re... aduh swarane
kurang apik. Pokoknya dibuat meriah bisa, dibuat susah bisa.
Misalnya tadi itu, saya juga agak.... agak...
Misalnya... la...lo...la...lo...la...lo... (bersenandung). Ini bagaimana
perasaan Anda? (menyanyi) Pindha sangsam angupados toya,
sukma kula ngesthi mring Paduka. Ini kan tidak gembira, misalnya
saja. Tapi kalo akan bergembira: (menyanyi)Pangon utama njagi
agung mundhung sih kadarman, mundhung, mundhung sih
kadarman. Ini agak gembira. Jadi tergantung akan dibuat apa juga
bisa.
Rony
: Berarti ini pak, misalnya tangga nada slendro dan pelog itu berarti
di dalam liturgi posisinya sama.
Pak Siswanto : Sekarang buat tangga nada saja. Tangga nada yang bagus yang
dipakai biasa, itu hanya ada tiga. Kalo pelog: tangga nada pelog
pathet lima, pathet nem, pathet barang. Itu satu degna yang lain itu
perbedaannya satu kuint-satu kuint. Jadi, pathet lima naik satu
kuint menjadi patet nem, naik satu kuint menjadi pelog barang.
Nah, terus ketiga-tiganya ini bisa disebut fa-sol-si-do-mi-fa. Kalo
jawanya, kalo aslinya yang pathet lima itu: mo-nem-ji-ro-pat-mo.
Mo-nem-ji-ro-pat-mo ini bisa dibaca fa-sol-si-do-mi-fa. Pelog
pathe nem: ro-lu-mo-nem-ji-ro. Ini bisa dibaca: fa-sol-si-do-mi-fa.
Yang barang: nem-pi-ro-lu-mo-nem, juga bisa dibaca fa-sol-si-domi-fa. Jadi bisa dibaca fa-sol-si-do-mi-fa. Fa-sol-si-do-mi-fa.
Mm... ya...
Rony
: Berarti sejauh ini peranan tangga nada pelog di dalam liturgi itu
sama dengan slendro, dari banyaknya digunakan, atau untuk
membuat suasana tertentu?
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
153
Pak Siswanto : Oo ... yaa... bisa saja itu. Sama. Slendro juga bisa dibuat nganu,
yang itu... yang meriah bisa, yang susah bisa. Pokoknya tuh samasama bisa.
Rony
: Jadi, lebih ke alasan, apa, di gereja itu biasanya lebih banyak
yang punya gamelan pelog?
Pak Siswanto : Ya pelog. Itu pertanyaan keduanya, biasanya karena banyak
orang yang mengenal diatonis, orang kalau diberi anu itu,
konsumsi pelog itu mesti mudah untuk membaca. Kalo slendro kan
agak sukar. Tapi kalo diberi pelog itu, dengan sendirinya
membacanya sudah bisa. Fa-sol-si-do-mi-fa, sudah jadi.
Rony
: Tapi toh kan tidak sama persis kan? Dengan...
Pak Siswanto : Ha tidak samanya persis itu kan ada yang diistilahnya embat.
Embat itu hanya sebelas, eh enam belas hertz. Manusia sudah tidak
bisa membedakan. Ini ini dalam teori sudah ada. Jadi,...jadi...
sebetulnya tuh ... 100....200...100...200.... apa itu plek itu? Tidak
mesthi! Mesti berbeda. Tapi perbedaannya itu, ini sudah bisa. Jadi,
selisih, eh apa, selisih 16 hertz, telinga sudah tidak bisa mendengar.
Ha, itu yang disebut embat. Itu jadi ya dua selisih. Biar di sini, tapi
bisa di sini, bisa di sini.
Rony
: Berati kayak interval itu jumlahnya misalnya penghitungan
dengan beberap cent seperti yang dibuat Jaap Kunst itu gak mutlak,
ya pak?
Pak Siswanto : Kalo mau dimutlakan ya bisa saja. Dalam teorinya mutlak, ya.
Tapi dalam prakteknya apa ya seperti itu? Saya menyuarakan itu,
saya maksudnya do apakah suara saya betul- betul do? Misalnya
saja. Tapi yang membuat, memang ini do, ini re, ini mi. Tapi yang
membawakan itu tau kalau dia mau membawakan do-re-mi. Tapi
apakah do-re-mi nya itu sudah tepat? Tidak mesti. Ada embat itu
tadi.
Rony
: Berarti sama saja, ya...? heehehe...
Pak Siswanto : Sama saja. Hehehe....
Rony
: Lalu ini, pak, kan bapak juga banyak berkecimpung di musikmusik gereja juga, ya pak? Lalu menurut bapak sendiri, menurut
pengalaman bapak, bagaimana penerimaan umat terhadap musik
gamelan yang digunakan di gereja? Kan dulu musiknya kan
Gregorian, yang berorientasi pada barat. Setelah ada musik
gamelan yang menggunakan budaya Jawa sendiri, tanggapan umat
bagaimana?
Pak Siswanto : Kalau di gereja pugeran, saya kira tidak ada masalah apa-apa.
Baik muda maupun tua semuanya itu... hanya biasanya yang muda
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
154
itu untuk latihan itu, agak segan. Soalnya apa? Menyamakan
dengan gamelan itu kan mulainya gimana... gimana itu kan harus
tahu akan gamelan. Dan tidak mesti itu, apa, pemimpinnya terus
apa bisa melagukan. Tetapi pas dengan gamelannya itu kapan? Tek
nya itu kapan? Itu itu biasanya yang yang muda-muda agak segan.
Tapi kalau sudah apa, sudah mempelajari, ya mudah saja. Lebihlebih kalau di pugeran, itu semua lingkungan itu sudah belajar
gamelan semua.
Iya betul itu. nganu, di nganu... di paroki pugeran itu setiap satu
lingkungan itu sudah bisa nabuh gamelan. Artinya itu, misa
gamelan itu sudah mengalami semuanya. Yang tidak bisa na...
misalnya di lingkungan ini tidak ada yang menabuh, lingkungan
saya yang diminta untuk menabuh. Tapi semua sudah bisa.
Rony
: Jadi sudah bisa jalan sendiri. lalu menurut pendapat bapak sendiri,
bagaimana hubungan atara budaya jawa dengan gereja sendiri?
Karena gereja sendiri kan istilahnya kan budaya luar juga, kan?
Budaya Eropa, lalu masuk ke Indonesia. Lalu bagaimana hubungan
budaya jawa dengan gereja sendiri? Apakah kira-kira bisa klop?
Atau sejauh mana budaya jawa bisa memperkaya gereja? Lalu
bagaimana gereja bisa masuk ke dalam budaya jawa itu sendiri?
Dari pengalaman bapak.
Pak Siswanto : Ha lebih-lebih ini adanya apa lagu-lagu gereja yang adat jawa. Ini
lebih mendekatkan lagi, bahwa, apa, orang-orang Jawa atau orang
Indonesia itu tidak memikirkan ini barat, ini anu. Tapi, ini sudah
ini gereja kita. Jadi sudah anu, apa... bedanya sudah tidak ada,
seolah-olah itu.
Rony
: Berarti budaya Jawa bisa memperkaya liturgi gereja itu juga?
Pak Siswanto : Iya, lebih-lebih itu kalo dulu dengan bahasa Latin itu, orangorang hanya mendengar saja, tapi tidak tahu maksudnya. Sekarang
kan sudah jelas ini kan isinya ini... ini kan terus mempertebal iman
juga. Misalnya saja, contohnya, orang-orang Islam kan nyanyi.
Apakah itu mereka itu masuk betul-betul? Tidak tentu. Lain
dengan orang-orang Katolik Kristen. Kalo tau sendiri Bapa Kami
itu isine Bapa Kami, tak kira Allah-huakbar itu, yang mana to itu?
Tau mengucapkan, tapi... hehehe.... lho ini lho saya terus terang
saja. Maka dari itu semuanya itu, wis kalo .... ini ya ini. Tapi kalo
untuk membedakan ini, wah ini.. ini barat- ini timur, saya kira dari
saya lihat, tidak ada. Perbedaan itu tidak ada.
Rony
: Jadi inkulturasi itu, kalo kita pake istilah inkulturasi, itu sudah....
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
155
Pak Siswanto : Ya itulah memang itu, berhasil itu. dengan inkulturasi itu gereja
kita bisa berhasil. Ya itu contohnya itu bismilah hirohman nirohim.
Saya bisa, tapi apa itu maksudnya itu? Saya tidak tahu. Tapi kalo
Bapa Kami, Rama Kawula, cetha ini. Jawa. Lha ini bedanya itu
hanya diambil dan diaku. Hehehe...
Rony
: Tapi kalo dulu saya lihat bukunya Pak Harjosubroto itu, Pak
Harjosubroto itu pernah eksperimen, ya pak? Buat apa... dengan
kata-kata Latin, tapi dengan lagu....
Pak Siswanto : Oo ... dulu itu memang yang pertama-tama memang yang dibuat
itu Latin. Jadi, apa... romo... eh Pak Harjosubroto yang tamatan
(......) tahun 25 itu membuatnya itu Latin, belum Jawa. Sampai
dipentaskan itu masih Latin semua. Haa.... Jawa itu ha ya setelah
itu sedikit demi sedikit membuat Jawa. Tapi dulu tu Latin.
Rony
: Karena apa, pak? Apakah karena belum boleh pake Jawa, atau
apa?
Pak Siswanto : Ha itu karena pertama, karena mencoba-coba. Mencoba-coba itu
mestinya karena yang ada itu Latin, ya .... Latin di ...anu...
Rony
: Tapi misalnya gini, pak. Kan gending jawa kan banyak pakai
bahasa Jawa kromo, ya pak? Apakah sejauh ini dimengerti oleh
anak-anak muda bahasa-bahasanya? Karena kan ada istilah-istilah
tertentu yang jarang ditemui juga sampai sekarang.
Pak Siswanto : Misalnya?
Rony
: Misalnya apa, ya? Misalnya kata angorong, gitu. Angorong itu
kan untuk anak muda zaman sekarang kan udah jarang dengar dan
tidak tahu artinya..
Pak Siswanto : Itu dalam-dalam petemuan-pertemuan kalo nyinggung itu harus
ada yang tanya. Kok ini ngorong itu atau itu ... mesti ada yang
tanya. Misalnya dalam latian nyanyi. Kok itu ngorong itu apa to
itu? ha... mesti saja tidak tahu, tapi dari sedikit...sedikit... dalam
latihan itu, kan tahu.
Rony
: Jadi bahasa-bahasa yang sulit atau istilah tertentu itu tidak jadi
kendala?
Pak Siswanto : Tidak, saya rasa tidak. Misalnya di dalam latihan-latihan itu.
Anak-anak muda itu kan misalnya „apane‟, nek diwaca „opone‟ itu.
jangan „oponya‟. Jadi „apanya‟. Itu jadi jalan, sedikit jalan. Oleh
pimpinan diperlihatkan. Tembung-tembung. Tulisan kan „punika‟,
tidak ada yang „menika‟. Ha itu dalam lagu-lagu itu nanti
dibetulkan oleh si... nanti jangan dibaca „punika‟, tapi membacanya
„menika‟. Misalnya macam-macam itu. Ya kalo itu... memang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
156
anak-anak muda banyak yang tidak tahu, ya. Tapi dari sedikit
menjadi anu.....
Rony
: Lalu untuk masalah inkulturasi tadi pak, yang gendng gereja itu.
Menurut bapak tuh, apa yang dibutuhkan pemain penabuh gamelan
itu bisa masuk ke dalam liturgi atau upacara peribadatan atau
Ekarisiti. Maksudnya itu dis... apa, ya? Eee... sikap apa yang perlu
seorang penabuh miliki?
Pak Siswanto : Itu sudah otomatis dalam anu... otomatis dalam tabuhan itu
sendiri. itu orang-orang yang nabuh, nabuh gamelan ngiringi itu
saya berdoa, tidak main-main. Itu sudah otomatis pikirannya.
Misalnya latihan untuk kor. Itu semuanya itu sudah saya itu
berdoa. Jadinya itu tidak usah diarahkan, tapi dengan sendirinya
orang-orang itu jiwanya sudah ...
Rony
: Jadi sambil menabuh sambil berdoa?
Pak Siswanto : Ya iya to, seolah-olah itu iya... sudah tidak memikirkan yang ini
ini lagi, tapi semuanya sudah untuk Tuhan.
Rony
: Secara otomatis sudah nyambung, dia duduk di mana, lalu dia ada
di mana..?
Pak Siswanto : Iya..iya...iya...
Rony
: Ooo... lalu kira-kira menurut pengalaman bapak sendiri juga,
kesadaran apa yang seharusnya dimiliki oleh para pencipta lagu,
untuk mengembangkan gending gereja, terutama gending jawa ini?
Yang perlu dimiliki oleh para pencipta, atau apa, ya? Atau
dorongan apa yang seharusnya dimiliki?
Pak Siswanto : Ha yang harus dimiliki itu terus terang mengenai soal imannya.
Kalo imannya tebal, membaca buku pasti mengenai. Tapi kalo
kurang tebal, mungkin lagu-lagunya itu kurang...kurang iman. Jadi
itu itu tergantung pada... anu.. sebuah lagu-lagu itu kan tergantung
pada si pembuat. Lagu-lagu nya saja tergantung pada si pembuat.
Kalo yang membuat itu imannya sudah tebal, membuatnya mesti
betul-betul ini... maka kalau ditanyakan, ini
mengganggu...anak...anda sembahyang atau tidak? Mesti tidak.
Karena itu betul-betul sudah lagu itu sudah lagu untuk berdoa. Jadi
maka dari itu, tergantung pada iman yang membuat lagu itu....
Rony
: Lalu bapak juga sering ikut lokakarya yang diadakan PML, ya
pak?
Pak Siswanto : Ha dulu, sekarang sudah tidak. Pengalaman apa pak misalnya
berkontak dengan para musisi gending gereja yang lain?
Pak Siswanto : Ha dulu pernah ya ada pertanyaan, ada soal. Ada pro dan kotra itu
mesti ada , to? Di Solo itu pernah terjadi demikian. Saya dan Pak
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Siswanto
Rony
Pak Siswanto
Rony
Pak Siswanto
Rony
Pak Siswanto
157
Harjosubroto, atau tidak dengan PML, ya itu. mengenai diskusi ini
ditentang oleh orang-orang Solo: “Itu lagu-lagu Gereja lagu jawa
di Gereja itu kan hanya nyonya londo ditapihi”. Ha itu lagu-lagu
anu kok dijawakan.
Nganu, nyerangnya itu begini: itu kan hanya nyonya londo ditapihi
saja. Tapi, Pak Harjosubroto jawabnya pinter: “Tidak itu, pak. Tapi
gadis jawa memakai rok.” Dulu gadis jawa itu pakai tapih.
Hehehehe... dia diam saja. Hahahaha.....
: Ada pro kontra juga sebenernya pak?
: Wooooo... dulu kontranya banyak sekali. Itu penyerangan yang
tajam sekali. “Wahh.... gadis Eropa dipakai...dijarit saja, itu.” Tapi,
Pak Harjosubroto pandai juga membalas: “Bukan itu, pak.
Sekarang itu gadis Jawa pakai rok.” Hahahaha... kalau dulu gadis
Jawa itu tidak ada yang pakai rok. Pakai tapih semua. Jawabnya
gitu. Jadi itu saya membuat lagu-lagu Jawa ini untuk di dalam
gereja, itu artinya yaitu menurut zaman di sini, zamannya gadis
Jawa sudah pakai rok itu tadi. Hehehehe...
: Ooo... lalu untuk bapak sendiri sebagai pencipta lalu dengan
teman-teman bapak sendiri sebagai pencipta juga, itu kira-kira
tantangan atau hambatan apa lalu kesempatan apa yang ada, dalam
apa,... dalam menciptakan gending gereja? Kesulitan atau
keuntungan apa yang ada saat menciptakan gending gereja?
: Ha ituu...... .... bagi saya, kalau sudah tahu betul-betul isinya
kalimat itu, itu kita baru bisa membuat lagu itu dengan baik. Tapi
kalau belum begitu menguasai betul-betul isinya itu, ya lagunya
tidak akan mungkin baik.
: Jadi ayatnya, dulu kata-katanya, baru nanti bikin lagunya?
: Ayatnya itu dinganu dulu, dimasak dulu betul-betul kalo itu sudah
ayat demi ayat, kata demi kata itu kita sudah tahu betul-betul, itu
baru dibuat lagu.
: Suasana? Baru...
: Nanti suasananya akan ketemu, sudah. Waktu itu ya... pak...
wong saya sendiri guru, ya. Saya kan mengajar murid untuk mee...
mee... karena yang kalo di karawitan kan anak-anak itu sudah bisa
menciptakan lagu. Saya kalo menyuruh anak bagaimana untuk
menciptakan lagu. Misalnya, Parangtritis. Anak tu diajak ke sana.
Itu yang dilihat itu ombak. Mat-kan ombak itu bagaimana. Yang
betul-betul ana sing lambat, ana sing lurus, njur susahe kaya ngapa,
njur nek nerjang wong kaya ngapa, nganu pokoknya itu pikiren
yang sampe anu... setelah itu nanti ada jingking. Jalan-jalan. Itu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
158
makin seru. Jingking itu cari apa to itu? Kok ke sana kemari? Itu
harus sampai itu harus sampai tahu, maksudnya jingking. Jangan
hanya ooo... gek diparani mlayu. Jangan itu harus di...itu. Lihat di
sana ada anak pacaran: kok kae ndelik ki dha ngapa to kae? Itu
juga diperhatikan betul itu juga ternyata itu. Dulu lalu ada pentas
setelah disuruh buat lagu-lagu itu. Bapak-bapak sepuh itu tidak
setuju: masak anak-anak disuruh membuat lagu. Saya itu yang
memberikan tanggungjawab: sudah nanti kalau tidak bisa, saya
yang saya berani mencoba. Ternyata setelah dipentaskan lhaa...
kok bisa apik. Jadi itu tadi, apa-apa itu harus ditekuni betul-betul.
Kalo hanya isih ragu-ragu tidak akan baik. Sudah apa saja, sudah
mesthi. Jadi orang melihat itu harus dinganu. Yaitu di pantai itu
banyak sekali werna werna sing la... itu semua itu dimatke betulbetul. Jangan hanya sepintas lalu, tapi betul-betul dinikmati.
Membuat lagu juga demikian, kalimat demi kalimat, kata demi
kata, dianu betul-betul, ... lha.... oo.. ini.
Rony
: Jadi menurut bapak tu, mudah pak, untuk membuat lagu yang
lagu Jawa untuk liturgi itu?
Pak Siswanto : Bagi saya ya ..ya.. biasa saja. Karena membuat lagu Jawa juga
bisa, membuat lagu ... heheheh....
Rony
: Hehehhehe....
Pak Siswanto : Ha dulu enaknya lagi, sistim Jawa, sistim pelog, sistimnya kan
bukan...bukan... sistim harmoni, tapi sistim melodi. Maka dibuat
lagu-lagu oyak-oyakan dan sebagainya bisa itu. Seneng, itu karena
sistemnya itu melodi, bukan sistem harmoni seperti do-re-mi-fasol, bukan itu, tapi sudah akor, tapi harmoni. Maka bisa disusun
yaa... menjadi beberapa lagu untuk lagu tiga empat dan sebagainya.
Dusnya itu sistimnya itu soalnya tidak tidak akor to? Jadi jadi
mudah.
Rony
: Tapi kan suatu ketika juga kan ketemu itu kan pak?... Kalo di
dengan melodi, satu titik tertentu.
Pak Siswanto : Iya..iya... pengertiannya ya. Ini.. di sini sampai ini. Ini bisa di sini
dibuat melodi bagaimana. Tapi jatuhnya di sini ini aa.. semuanya
harus do. Ya kana meh dinggo sol apa terserah. Tapi di sini nanti
harus sampai do, entah itu do rendah atau do tinggi, di sini saya
minta di do. Kalau tidak do, ya sol atau apa yang ada hubungannya
dengan kuintnya itu.
Ibu Siswanto : Ni makanan desa mas.. hehehehe.....
Rony-Bertus : Hehehehehehe....
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
159
Ibu Siswanto : Mangga...
Rony-Bertus : Ijih, matur nuwun.
Pak Siswanto : Ya soalnya, anu opo. Yang nama gamelan itu ... semuanya kan
ukurannya kan dulu nama-nama itu kan diambil dari bagian tubuh.
Rony
: Bilah-bilah?
Pak Siswanto : Bilah-bilah itu namanya lho, namanya bukan ji-ro-lu-pat-monem.
Rony
: Dhadha, gulu?
Pak Siswanto : Tapi dhadha, gulu. Jadi siji itu penunggul. Penunggul itu artinya
barang yang unggul bagi manusia. Barang yang unggul itu ya
antaranya kepala. Itu kan yang paling dihormati itu. Nanti kalo ke
turun.,Gulu. Dhadha, eh gulu dulu. Gulu atau jangga. Ini saya
dekatkan jalan, atau mergi. Trus dhadha. Dhadha itu hidup, urip.
Trus lima. Lima itu sengsem. Sengsem itu kesenengan duniawi. Ya
lima itu rasa. Ha ini kalo dibuat lagu, ro ji ro nem ro ji nem ma. Ini
sudah menjadi lagu. Msialnya ro ji, ya. Mergane arep luhur utawa
arep dihurmati uwong, kudu nglewati rasa, nggunakake rasa. Ke
dalan itu jangan dalan gitu, ngliwati, nggunakke, pokokke
dasanamane jalan itu apa. Urip juga dasanamane urip itu apa. Itu
semua dimeditasi, dalanne wong arep ajen kelingan, kudu
nggunakke rasa: Ki ro ji ro nem. Tambah meneh ro ji nem mo:
dalane wong luhur. Kejaba ro ji nem mo, kejaba ngunggahke eh...
mergane kejaba nggunake rasa, nggunakke sengsem. Sengsem ki
kebutuhan donya. Padane akeh. Panjenengan iki Rony senengane
badminton. Sing tak apali senengane badminton. Mesti rame le
omong. Dadi iki... ha roso ki sudah jelas. Dadi, mila nggih, lagulagu ingkang klasik, itu tidak bisa ditelan jaman itu, karena
mempunyai kalau disurasa, lagu-lagu itu ada maksudnya semua,
ada isinya. Jadi membuatnya tidak asal membuat, tapi... ha ini tadi,
saya membuat dua bait saja sudah ....
Rony
: Berarti dari dari makna bilah itu sendiri, bilah berhubungan
dengan tubuh?
Pak Siswanto : Iya. Kenapa orang-orang itu kok yang sering disebut kok jangga,
dhadha.
Rony
: Lalu kira-kira ada kesulitan gak pak, kalo membuat lagu Jawa?
Maksudnya, ya entah itu kesulitan dari apa ya? Penerimaan umat,
atau dari para romonya sendiri, atau dalam proses pembuatannya
itu sendiri? Ada kesulitan gak pak sejauh ini bapak alami dalam ya
menjadi pencipta itu ada kesulitan, gak?
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
160
Pak Siswanto : Kalo saya kok gak ada kesulitan.
Rony
: Jadi dari romo-romonya sendiri langsung menerima juga, ada
lagu baru?
Pak Siswanto : Ha ternyata misalnya itu lokakarya di PML itu, langsung
membuat-membuat-membuat itu, terakhir sesudah membuat terus
dianuke,... dibaca bersama, trus nyatanya kebanyakan diakui
oleh..... kalo semuanya sudah ada pedoman, to? Misalnya pathet
barang itu lak nada-nada yang dipakai itu yang mana, pathet nem
itu nada-nada yang dipakai itu yang mana, di semuanya itu kan
sudah tertentu. Sebetulnya itu sudah tidak ada kesulitan.
Bertus
: Lalu kan melihat umumnya ya pak ya, sekarang ini kan yang
namanya penabuh gamelan itu kok rasa-rasanya untuk orang muda
itu kok semakin berkurang? Itu rasa-rasanya. Ya mungkin ada
beberapa di sebagian tempat tapi kan kok rasa-rasanya umumnya
kalo misalnya kalo pergi ke mana, gitu, ke gereja mana, gitu, selalu
kebanyakan yang terlihat itu adalah orang-orang yang sudah sepuh
atau sudah itu. Lalu kalau misalnya melihat ini sendiri, ada gejolak
apa, kok sampai seperti ini? Lalu mungkin apakah mungkin juga
sudah ada usaha-usaha untuk meregenerasikan atau menurunkan
supaya nanti itu anak-anak muda itu ayo gantian. Gantian untuk
sekarang yang nabuh gamelan. Apakah sekarang usaha-usaha itu
sudah ada?
Pak Siswanto : Ha ini, sebetulnya ini jangan menyalahkan anak-anak muda, tapi
salahkan orang tuanya. Istimewa saja, orangtuanya tidak pernah
memberi nganu... itu pasti orang tuanya yang. ... tapi kalo anak
kecil-kecil dianu orang tua, itu pasti manut. Cotohnya saja saya ini.
Cucu saya itu masih kecil-kecil, sudah basa. Apakah saya ingin
dihormati? Bukan itu! Tapi supaya dengan teman-teman itu bisa
menghormati. Anak saya itu dulu basa semua. Dengan temanteman itu basa, tidak pernah congkrah. Itu tidak pernah. Lho betul.
Anak saya itu dulu dolan dengan teman-temannya dengan
memakai basa. Ternyata ya ...ya... jadi saya mengatakan salah nya
yang tua itu, betul seperti itu. Kalo yang tua itu memberi teladan,
mesti diturut, to? Ha sekarang tidak. anak kecil-kecil....malah sing
tuwo sing marai Indonesia. Lho iya, gak? Lha itu sebenarnya orang
tua itu memberi nganu, kok. Jadi jangan salahkan anak mudanya,
tapi salahkan yang tua. Hehehehehe.....
Rony
: Trus kalo usahanya sendiri?
Pak Siswanto : Ha... ini tinggal kalo dianu orang tua, ya anaknya lalu anu to?....
gumregah to yang... eee..... hehehhe.... ya demikian itu. Mestinya
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
161
ya dilihat. Itu jadi anak-anak kecil sudah tidak ...tidak....misalnya
bahasa Jawa saja. Ha di rumah itu ibunya, semuanya sudah
menggunakan bahasa Indonesia, bagaimana anak itu bisa? Ya
dengan sendirinya dia ya .... dia tidak akan cinta pada bahasa Jawa.
Rony
: Lalu kembali ke musik tadi, pak. Sejauh apa eee... itu pak. Gereja
itu menetapkan batasan-batasan untuk lagu gending gereja untuk
bisa masuk dalam liturgi. Ada batasannya gak pak?
Pak Siswanto : Kok saya rasa tidak ada batasannya. Tidak ada. Dan apa, lagulagu itu sebetulnya itu to. Orang-orang itu, to apa itu kalimatkalimat bagus itu sudah dibuat oleh gereja. Kita itu hanya tinggal
membuat lagunya. Jadi nganu, apa tu. Kata-kata semuanya itu
sudah ada semuanya. Kari.... (....)
Rony
: Kata-katanya itu dari mana pak biasanya diambil?
Pak Siswanto : Kalo itu dari mazmur, atau dari mana, romo tidak tahu, dan saya
juga tidak tahu. Ha misalnya Bapa Kami ada ya... untuk macammacam itu semua lagu itu sudah ada teks, kita tinggal membuat
lagu. Saya kira menurut pengetahuan saya kok tidak ada yang
disuruh membuat sendiri, membuat satu ... karena kalau demikian
nanti akan menyimpang dari tujuan gereja. Hahahaha... lho mesti
itu mesti itu..... karena njuk ya saya seneng lagu ini, ya sudah. saya
seharusnya membuat kalimat yang bagaimana. Gawat, jadi saya
betulkan, gereja siapa, to? setiap kali. Inilah kedua. Pokoknya
terserah membuatnya, tapi lagunya harus ini. Tidak boleh diowahi.
Wis pokoknya semacam ini saja. kadang itu sering sering itu ada
yang sulit. Ya Sulit sedikit, tapi ya diotak-atik bagaimana supaya
lagu ini tidak sampai melenceng, itu ya. Tapi lagu itu tetep
demikian.
Rony
: Lalu ini pak, mengenai pencipta sendiri, apakah lalu pencipta
gending gereja itu harus orang Jawa sendiri atau orang dari daerah
lain bisa menciptakan itu? Dalam artian misalnya orang Sunda
menciptakan lagu gereja berbahasa Jawa? Apakah itu menurut
bapak bisa?
Pak Siswanto : Ha orang Sunda misalnya membuat lagu-lagu gereja Sunda, yang
bisa saja.
Rony
: Tapi untuk misalnya silang budaya, maksudnya dia menciptakan
lagu Jawa, kira-kira yang dihasilkan akan bagaimana?
Pak Siswanto : Ha kalo itu sukar, itu sukar itu. Misalnya saya orang Jawa, saya
membuat lagu Sunda, saya harus sudah tahu akan Sunda dulu.
Kalau saya belum tahu Sunda dulu, tidak mungkin akan baik. Itu
demikian. Ya sama saja misalnya ya pokoknya dari mana saja,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
162
harus tahu akan budayanya. Harus menjumpai anu budaya di situ
dulu.
Rony
: Kembali lagi ke masalah tangga nada tadi. Berarti kesimpulannya
tangga nada slendro dan pelog itu punya peran dan makna yang
sama di dalam liturgi?
Pak Siswanto : Iya, sama, iya.
Rony
: Jadi lebih ke misalnya, lebih banyaknya mana yang digunakan
misalnya dalam hal ini tangga nada pelog misalnya, lebih banyak
digunakan, lebih karena alasan praktis karena gamelan apa yang
ada di dalam gereja?
Pak Siswanto : Iya... iya.... misalnya di Ganjuran. Ganjuran itu banyak
menggunakan slendro. Ganjuran. Kan di sana gamelannya slendro.
Iya.... tiap pasturan pasti ada gamelan to? Di Jogja misa gamelan.
Karena memang gamelannya slendro.
Rony
: Ooo... ya.ya.ya... hehehehe...
Pak Siswanto : Jadi tidak kok. Karena yang pokoknya slendro pelog itu
semuanya sama. Tinggal alatnya itu dipukulnya berbeda.
Rony
: Itu mungkin pak, mengenai musik-musik sendiri sepertinya sudah
cukup di situ.
-selesaiWaktu : 43‟10”
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
163
LAMPIRAN 4
Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso,
Ganjuran, 7 Maret 2013, pukul 17.15 WIB.
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
: Romo Prier minta, supaya saya karawitane itu kan lagu-lagu baru
yang di Kidung Adi yang baru, itu kan belom ada yang nabuh. Ha
saya disuruh nganu itu waduh. Saya maksud saya sing lagu-lagu
saya. Romo prier kersane itu. Saya ndak ingin. Itu. Dan pelog, ke
sini yang sering dipakai memang pelog. Itu juga ada pelog, ada
pelog nem, ada slendro, tapi yang sini yang sering tak pake, pelog,
pelog nem. Slendro saya juga mulai tak pake. Karena di sini juga
ada gamelan slendro, terus bagus. Dari pada gak pernah dithuthuk.
Ha slendro itu kebanyakan dulu yang buat lagu-lagu slendro itu
bapak saya. Ha iya ... sing...sing nganu romo prier itu dulu.
: Pak siapa?
: Pak pujaharsana, pujaharsana. Itu kan dulu kan awalnya kan.
Romo prier kan kayaknya dari irian, trus jogja sini, trus ganjuran
sini, jadi sama bapak saya itu. Jadi jaman masuk gereja itu kan
awalnya kan dari ganjuran itu. Ha.a.. romo prier itu. Trus rampung
sama ayah saya, trus saya dii.... romo prier nghadiahi bapak saya,
saya disekolahke di ami, dulu waktu itu dulu ami itu. Dimasuke di
ami itu, sampai sekarang.
:Ngajar di sana, ya berarti bapak?
: Iya...iya, ngajar di isi. Mmm....
: Kan, apa, kan kalo misalnya ngomong masalah gamelan, gamelan
masuk gereja kan ngomong inkulturasi juga ya...
: Ya..inkulturasi..
: Lalu mulai dengan pertanyaan-pertanyaan...
: Nggih...
: Kalau menurut bapak tu, bagaimana mengenai musik gamelan
jawa yang digunakan dalam liturgi gereja? Menurut bapak kira-kira
itu cocok atau tidak? Menurut bapak, gimana?
: Kalo saya, gamelan masuk gereja itu, ee... kalo saya sudah pernah
jadi mulai dari gamelan itu komplit, trus tidak boleh pake kendang,
tidak boleh pake saron, trus akhrinya boleh lagi, tapi itu kan cuma
pandangan orang-orang antarane di cuma di sini. Dicoba-coba itu,
kalo sekarang, dipake semua. Semua dipake. Lha... lagu-lagu
gamelan yang masuk liturgi itu ya ... kalo saya ada yang cocok, ada
yang belum. Artinya ya yang cocok itu kalo yang memang itu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Budi
164
mampu membantu umat dalam berdoa itu lebih khusuk, lebih
mantep, lebih sreg, itu barangkali ya cocok. Tapi ya ada lagu-lagu
gamelan yang sering-sering itu kurang cocok di...untuk liturgi.
Sekarang banyak seni karawitan banyak di ganjuran, perkumpulan
karawitan itu. Itu ada yang coba ya semacam eksperimeneksperimentasi, lagu-lagu gamelan tradisi misalnya ayun-ayun
misalnya, cuma diganti syaire. Itu mereka orang-orang jawa,
orang-orang yang tua-tua itu, kalo dengan itu ha iki kayak lagu
ayun-ayun. Tetapi mereka sok... lho syaire kok liriknya kok kayak
gitu? Jadi gak sempat ke gereja, mung ha iki ayun-ayun kok lirike
diganti. Jadi gak sempat, itu malah mengganggu to itu, kayaknya.
Malah mengganggu. Itu ya ada yang cocok, ada yang tidak. Lha
kalo lagu-lagu ganjuran ini khusus, mas. Ehem... jadi lagu-lagu
yang misale yang saya buat, itu saya belum ke estetikanya gamelan
itu. Belum ke estetikanya. Saya mau mencoba membuat sedikit tak
kasih kreasi, supaya mereka itu seneng ke gamelan dulu. Tapi
nyatanya susah di sini. Iya susah. Karena saya ingin yang mudamuda itu ada peremajaan gitu, tak coba, tak kasih. Ya ada yang
tertarik, ya banyak yang tertarik, tapi setelah itu ya trus lupa lagi
lupa lagi. Ganjuran itu dulu sama romo wi misdinare diajari.
Diajari, trus tak teruske, sampe-sampe mudika, sampe-sampe gedegede itu. Ning akhirnya ya hilang lagi, karena ke utara kan dha
kuliah itu ya bubar lagi. Whoo ini pak aris ini sekarang mencoba
melatih anak-anak SD, itu pak aris ya ndak ada ya susah, ya ndak
isa. Ini yang muda-muda yang masih tetep, stela duce. Kalo stela
duce itu terus saja. Kalo pas tugas gamelan ha itu mesti kita
ngundang saya misale untuk latihan, untuk liturgi itu. Arepa ganti,
tetep ada terus kalo stela duce. Gitu, gitu. Kalo saya liat yang di
luar itu, waduh susah. Jadi gamelan masuk liturgi itu memang ada
yang ini, ada yang cocok, ada yang kurang cocok.
: Trus kriterianya apa pak, cocok dan tidak cocoknya itu?
Kriterianya apa?
: Kalo saya itu cuma ini, ya namanya inkulturasi itu budaya
setempat masuk liturgi trus itu kira-kira itu nanti akhirnya
membantu umat itu lebih khusuk, lebih lebih khidmat, lebih sreg,
itu apa nggak? Kalo nggak ya berarti ya itu bukan inkulturasi.
Karena banyak eksperimen-eksperimen dari yang yang kerawitankerawitan yang lain itu sok sok individualnya masih menonjol. Jadi
apa ya.... kalo pertunjukkan kaya wong umuk, to? Dadi sok sok
umukke itu malah dadi sing nomor satu, jadi malah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
165
mengesampingkan liturginya. Iya, he’eh. Lah aa... dari keuskupan
sendiri kayaknya juga belum punya garis tegas untuk ooo.... liturgi
itu yang kie... ini..ini...ini, ndak ... ndak ... ndak....kayaknya ndak
ada, masih bebas. Untungnya makanya ganjuran itu biasane mesti
sok beda karo yang lain. Karena ya mencari bentuk itu, belum
belum belum jelas. Ha... dari keuskupan sendiri juga tidak ada rel
yang jelas. Jadi masih belum . tapi kebanyakan ganjuran berjalan
bagus, kok inkulturasinya. Ini karena sudah dimulai sejak ayah
saya, sekitar tauuuuuuun 68, 65, 6 setelah PKI itu.
: Berarti seangkatan dengan pak harjosubroto juga ya pak?
: Iya...iya...he’eh.... he’eh. Lha pak harjosubroto itu sa... e... dulu
itu yang ngarang lagu nata agung. Nata agung itu kan yang mbikin
kan bapak saya, ha terus, gending-gendingnya pak harjosubroto itu.
Itu kan juga polemik sering-sering sok polemik. Malah sekarang
ada muncul, bapake romo, kangmase romo wi itu juga ngaku nata
agung. Kalo saya punya anune.... anu apa, bekas-bekas awal
mbuatnya itu. Ha dulu itu bapak saya itu ndalahe wonge... apa ya
pak, mas? Itu dulu itu kayaknya kaya wong mlebu masalah PKI itu
lho... trus ditolong sama romo sini. Bapak saya dulu itu bagonge kalo masih pernah dengar- cipta kawedar, ngesti pendawa, wayang
kui. Ha.. bagonge kan bapak saya itu. Ha itu kayaknya berbau
politik itu, trus sama kalo nggak salah sama romo kalo nggak salah
romo florens, melihat bapak saya seneng sok gitu-gitu itu,
diamankan di gereja itu. Trus habis itu gestapo itu, setelah gestapo
itu... gestapo itu. Ha bapak saya dulu itu orangnnya keras. Bapak
saya dulu itu dulu keluarga saya itu dua belas. Ha jadi setiap
malem, bapak punya ide buat lagu itu.
Itu anaknya semua bangun. Semua harus bangun, semua bangun,
kamu pegang itu, kamu pegang itu. Pokoknya harus, harus.
Akhirnya saya itu juga sampe gak seneng sama gamelan, sampe
gak seneng, karena harus dipaksa itu to kalo malam. Kalo nggak
dithuthuk pake, itu kan dulu ada gamparan itu lo mas...
tek...tekk..tek...tek... kayu itu lho thuthukke. Jadi saya malah gak
seneng gamelan. Makanya saya disekolahkan sama romo prier di
sana itu ngambil musik, diatonis itu. Ee... kok sekarang saya kok
malah kembali ke gamelan lagi... semua bisa. Saudara-saudara saya
semua bisa alat musik, semua bisa. Karena dipaksa itu. Keras.
: Berarti latar belakang bapak itu musik barat, ya pak?
: Kalo saya, ya. Musik barat. He’eh.
: Jadi untuk yang gamelan lebih otodidak.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pak Budi
Rony
166
: Iya, karena sejak kecil dipaksa itu. Hehehe... haa... itu lucu mas
yang di sini itu. Saya sempat gak ke geraja itu 14 tahun. 14 tahun
saya itu lupa sama gereja. Ndak mau ke gereja. Gara-gara gamelan
saya yang awal, gamelan masuk gereja itu kan bapak saya nggowo
gamelan seko ngomah, dibawa ke gereja. Itu hilang! Sampai
sekarang hilang. Nah, pas waktu itu romo marta. Itu gamelan yang
dibawa bapak itu sebetulnya bukan gamelannya bapak, gamelane
perkumpulan orang-orang perkumpulan kampung sini, yang
notabene sini itu muhammadiyah. Waaahhh.... jadi itu sok sok arep
didadekke masalah itu lho. Makane saya keroyo royo ke gereja,
mau tak ambil itu hilang. Lha terus ndalahe itu trus rame saya sama
romo itu. Rame jan rame, karena belakang saya, daripada mereka
yang maju, lebih baik saya memperlihatkan kepada mereka nek
saya juga keras di hadapan romo. Ooo... dadi rame, rame. Akhirnya
terus itu, saya mutung. Udah saya gak akan ke gereja. 14tahun
saya. Ha kemarin gempa, romo tomo itu kok ngasih saya gendeng,
boto, pasir, semua banyak banget itu. Haa.... bareng dikasih romo
tomo itu , saya kayak kayak kayak dipanggil lagi gitu. Pas malem
kalo gak salah malem kemis itu, mau misa di sini. Pagi itu, dari
pagi itu saya ndak ke kantor, wah aku arep pokoke aku mengko
meh ketemu romo tomo. Saya harus matur nuwun karo tyas dalem,
sama romo tomo, saya bikin lagu awalnya. Nyoba lagu itu sing
pentatonis itu lho, awalnya itu. Trus romo misa di sni, “romo saya
matur nuwun,” dan saya ngomong banyak sama romo tomo. Dan
ucapan terima kasih saya, saya buat lagu buat tyas dalem, untuk
romo tomo. “mpun, dilatih mawon, mengko dinggo misa sisan”.
Trus sebelum misa itu tak latihkan, trus misa itu dipakai itu. Haa...
terus karena itu pentatonis, saya coba nglumpukke gamelan yang
sisa-sisa itu, coba tak buat balungane, jadi. Trus akhirnya tak pake
latihan di candi itu, trus mulai masuk di gereja. Mulai di gereja,
trus dari romo karena romo tomo juga tahu, romo...dulu itu romo...
aaa..... yang dari klepu itu siapa? Mmm.... romo dari klepu itu
sekarang sudah pindah, dhuh... romo siapa itu. Ha saya malah terus
dikasih tugas, dikasih ini...dikasih ini.... aa.. romo itu dulu malah,
”aku diajari anu, diajari anu dinggo dinggo prefasine,” misalnya.
Ha.. saya sering ke situ, terus terus saya malah masuk masuk
sampai sekarang, sampai sekarang... saya sempat 14 tahun gak ke
gereja, sama sekali.
: Lalu masalah musik lagi tadi yang gamelan, kan kalo saya lihat di
Kidung adi itu ya pak, itu kan sebagian besar itu tangga nada pelog
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
167
itu, apakah ada penyebabnya? Penggunaan tangga nada pelog
dalam liturgi, atau slendro dalam liturgi?
: Kalo pengamatan saya, pelog itu lebih lebih mudah diii... diii...
lagukan, daripada slendro. Ha... daripada slendro. Ha kebanyakan
lagu-lagu slendro itu di ganjuran ini, digunakan untk lagu-lagu...
eee... kalo jumat adi itu. Kebanyakan itu, walau banyak pula lagulagunya bapak itu yang dipakai di jumat adi. Jadi untuk istilahnya
kalo.... ck...aaaa.... untuk sripah barang itu lho mas. Untuk itu ada
istilahnya, agak...agak...agak... miring-miring. Agak –agak susah
memang untuk . ... kalo telinganya gak peka, memang susah, untuk
membuat lagu-lagu slendro itu. Lebih baik, lebih gampang
membuat yang pelog. Itu sak nyanyi-nyanyine itu biasane sok
masuk pelog. Orang nyanyi itu sok sok banyak pelognya, dari pada
slendro. Kalo slendro sok sok susah. Jadi itu, interval antara nada
satu dengan yang lainnya itu memang agak-agak berbeda, dengan
yang pelog. Kalo yang pelog itu gampang. Lebih gampang.
: Tapi kira-kira gimana, pak? Apakah ee.... penggunaan tangga
nada pelog di dalam liturgi itu ada maksud tertentu, pak? Selain
misalnya alasan praktis intervalnya?
: Ya selain itu, kan lagunya kan lebih cerita, lebih...lebih...lebih
banyak yang ceria-ceria,
: Pelog lebih banyak yang ceria?
: Iya, iya. lebih kegembiraan-kegembiraan. Lah itu barangkali ada
hubungannya perayaan ekarisiti itu juga kan pesta. Jadi nuansa
riangnya ada.
: Apa bukan slendro untuk lagu-lagu riang, pak biasanya?
: Slendro kalo di ganjuran, makanya saya kalo di ganjuran, itu ada
juga banyak lagu-lagu yang riang. Tapi kebanyakan yang
digunakan di sini, kebanyakan untuk tlutur. Tlutur itu ee...
gendhing bernuansa susah, sedih. Jadi untuk jumat pertama... itu
biasanya tlutur, biasanya pake tlutur. Haa.... sekarang yang mereka
punya itu yang senang ya tluturnya itu, yang tluturnya itu... slendro
itu yang paling banyak itu generasinya kan pak pujaharsono, pak
saridan, trus saya. Waktu bapak, pak pujo itu banyak slendronya.
Nah slendronya, pak saridan banyak pelognya, tapi juga ada
slendronya. Kalo saya ini masih sudah pelog... log. Haa... kalo saya
mau lagu-lagu slendro, saya cuma ngambil punyanya pak saridal
atau pak puja. He’eh. Itu agak agak susah, telinga saya. Mungkin
karena telinga saya diatonis. Hahaha... diatonis. Tapi merekamereka juga merasakan agak susah, untuk untuk slendro. Wong ...
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
168
dari pelog saja kan ada pelog bem, ada pelog barang. Yang pelog
yang lebih riang sebetulnya yang barang itu, tapi yang kebanyakan
digunakan di sini pelog nem, bemnya, bemnya..
: Trus kira-kira tangga nada pelog itu kalo digunakan punya nuansa
apa pak, dibandingkan dengan tangga nada slendro. Nuansa
perasaan atau menimbulkan...
: Biasanya ya suasananya riang... suasanya lebih lebih riang, lebih
lebih senang, lebih meriah. Dan mudah. Dan lebih mudah. Lebih
orang nyanyi-nyayi itu wis... pelog.
: Dekat dengan diatonis itu?
: Ya?
: Pelog itu....
: Pelog?
: Lebih dekat dengan tangga nada diatonis?
: Ooo... jauh, mas. Itu sendiri-sendiri. Jadi ada tangga nada diatonis
sendiri, pelog sendiri.
: Maksudnya intervalnya, kan ada interval besar-kecil.
: Ooo... beda. Intervalnya juga beda, intervalnya beda. Kalo
diatonis itu kan: 1-1- ½ - 1 – 1- 1- ½ . itu. Kalo kalo pelog, ndak.
Kebanyakan kalo diatonis kan di sembarang tempat yang namanya
A yang namanya C yang namanya D itu sama. Kalo yang ini
nggak. Sok-sok di sini itu ada yang di gamelan yang di sini
berbeda dengan yang... ya ini ada dua: yang candi sama yang
gereja. Itu larasnya juga sudah sudah berbeda, walaupun cuma
sedikit, cuma sedikit. Tapi beda, tetep beda. He’eh. Jadi tidak
punya ketentuan, kalo nada ini harus sekian hertz... itu ndak ada,
ndak ada. Cuma cuma cuma telinga aja. He’eh.
: Berarti intinya slendro dan pelog itu bisa digunakan dalam liturgi
itu.
: Bisa, bisa.
: Jadi gak ada pembedaan khusus?
: Ndak-ndak ada pembedaan. Ya bedanya cuma cuma suasana yang
ditimbulkan itu. He’eh. Trus diii.... liturgi itu kan ya itu tadi, ada
yang suasana paskah, misalnya. Suasana jumat agung, misalnya.
Itu kan ada bedanya. Lah kalo yang di gereja itu kan .. yang
namanya jumat agung itu kan tidak ada iringan sama sekali, mulai
kemis putih gloria, itu, sudah ditutup. Kalo di ganjuran dimasuki
tlutur itu, pake slendro itu. Pake slendro....
: Berarti dua suasana: riang dan sedih, bisa untuk slendro bisa
untuk pelog.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
169
: Bisa, bisa. Yang pelog untuk sedih juga bisa, yang slendro juga
untuk seneng juga bisa. Juga bisa. Cuma interval nadanya yang
sering susah untuk me.. aa.. dibedakan. Lah itu nanti barangkali
kalo ke candi itu ada slendro, ada pelog. Yang menghadap barat itu
semua tak kasih pelog, yang mengadap ke selatan itu tak kasih
slendro. Itu diurutke wae... deng...deng...deng...deng...deng.... itu
kan nanti bedanya jauh, bedanya jauh. Trus nanti kan yang depan
itu kan yang hadap sana itu pelog, yang hadap selatan itu gambang,
yang gender itu barang, yang di sini itu ... eh yang menghadap ke
utara itu barang, yang menghadap ke selatan itu slendro. Ngapa
kok tak hadepke selatan yang slendro? Karena kebanyakan di
ganjuran ini saya menggunakan pelog bem sama pelog barang.
Lha, si gender sing penggender itu kan mesti harus lihat altar terus.
Nah nanti kira-kira romo mau itu kan. Lha makanya tak kasihkan
utara. Sing slendro sering gak dipake, tak hadapkan sana. Walau
sekarang sudah mulai tak coba lagi, beberapa bulan slendro, dan
tak pake lagi, tak masukkan lagi.
: Jadi situasinya sama apa, sebenernya suasana yang ditimbulkan
itu sama, ya?
: Sebetulnya untuk pentatonis itu sama dengan diatonis, kok. Isa
dinggo sedih, bisa dinggo susah. Tapi kebanyakan di sini, yang
pelog itu yang sering dipake, karena lebih lebih lebih mudah, dan
suasanannya bisa lebih kecekel, bisa ke ke capai. Slendro juga
dipakai, tapi sok sok kebanyakaan di juamt agung. Walau sekarang
sudah mulai tak coba juga untuk liturgi, jumat pertama sudah mulai
tak masukan lagu-lagu slendro.
: Lalu untuk yang gending jawa yang klasik, berarti
penggunaannya juga sama, slendro pelog juga?
: Sama... sama,.... untuk yang klasik sama. Yang klasik sama,
dengan yang...yang sekarang.
: Saya kan pernah baca tulisannya ki hajar dewantara itu kan, di
sana cenderung dibedakan antara slendro dan pelog. Slendro itu
untuk yang lagu lagu yang semacam lagu-lagu dolanan, uyonuyon, lain-lain.... lalu yang pelog itu lebih ke yang suasana
khidmat, lalu welas asih, lalu menimbulkan rasa....
: Ya... betul... betul...betul... lha di situ kan dikatakan hebat, untuk
anak-anak. Itu kan sama saja dengan yang riang, untuk yang sedih.
Cuma di sini itu pelog lebih tebel dari yang slendro, karena di sini
itu dari pak saridal itu, saya, telinganya. Karena pak saridal itu juga
orang diatonis. Saya juga orang diatonis, itu sok agak susah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Budi
170
membuat itu ... tapi sebetulnya juga ndak susah, karena ada
contohnya. Umpamane sing slendro itu kan sing Prau Layar itu. Itu
kan
seneng,
itu.
(bersenandung)
Tii...tii...ti...ta..te...ta...
ti...ti..ta...ti..ta...te...ta...ta.... itu kan seneng, itu. Tapi sok sok mau
menuangkan karena apa, ya. Karena kalo saya membuat lagu, itu
liriknya kan tak sesuaikan karo liturginya, ha itu sing sok menjadi
ini. Kayak misalnya anda mau membuat skripsi. Mbuat judul dulu.
Itu kan pola pikir kita kan di di di apa, terbatas oleh itu. Harus
kembali ke judul, harus kembali ke judul. Kembali ke judul. Beda
kalo saya misalnya sistem kliping. Kliping, ooo... saya mau
ngganjuran. Semua yang ada hubungannya inkulturasi gamelan
saya jadikan satu: musik musik musik, budaya budaya budaya,
liturgi liturgi liturgi. Dah, nanti itu dikasih kata sambung, trus
diboca baca boca baca, judulnya muncul sendiri, skripsi sudah jadi.
Heheheha... ha itu lho... Sok sok trik-trik kiat kita gitu itu. Sok ...
ha itu untuk gamelan slendro juga begitu itu. Itu ya bisa tak buat
seneng-seneng, kok. Untuk yang pelog, saya lebih seneng kalo itu
karena sering kalo saya buat lagu itu tak ngeng-ngeng –ngeng,
sambil oooo itu tak nggo pisungsung. Saya membayangkan wong
arak-arakan, wah ning kok kurang sepi, nek arak-arakkan kok
mung tak ngenekke. Kudu tak kei, harus tak kasih nuansa supaya
bisa untuk nari. Jadi kalo persembahan juga lagunya itu, ning juga
bisa dipake juga untuk menari, tapi juga bisa juga untuk eee...
performance. Untuk untuk nyanyian itu... haaa... itu lho. Kalo
bayangan slendro, saya susah banget, untuk membayangkan itu.
Tapi barangkali nanti kalo saya punya link untuk untuk lebih tahu
slendro, saya juga akan kembali ke slendro lagi. Tapi sekarang
yang tak kuasai itu pelognya itu. Ya barang, ya bem. Saya agak
lebih menguasai, daripada yang slendro. Ngenge lho mas....
: Lalu sejauh bapak mencipta itu, kira-kira kesulitan apa yang ada?
: Kalo untuk gending, itu saya untuk membuat lagu saya tidak ada
hambatan, ya. Misale salah satu... dhuh... kemarin itu jumat
pertama itu, sing lagu komuni kok kayaknya kurang ...atau....
setiap jumat, setiap anu ke gereja ganjuran, anggere komuni lagune
kok ming itu-itu. Padahal saya pas ke kampus, pas merah itu saya
punya motif, misalnya. Ri rari rirari riari. Langsung saya berhenti,
tak pinggirkan mobil saya, tak catet motifnya itu. Motifnya itu tak
catet. Trus saya sambil jalan itu... rirari rirari riari, itu kan mesti
lupa, haa.. kalau lupa saya mesti mandeg, tak catet lagi. Nanti saya
sampai di kampus, lagunya tak kumpulkan jadi satu, mesti dah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Budi
171
jadi. Trus komuni kui...komuni... aku njupuk apa yo nik komuni.
Wa ada kebebasan. Nek komuni, saya punya kebebasan. Kalo
melodinya sudah jadi, sok sok melodi sama lirik itu kayak suami
istri. Nanti muncul sendiri. Misalnya aku nggawe tema komuni.
Trus tak ulang-ulang –ulang dhuh, kurang enak kurang enak. Lalu
nanti trus pulang, tak sempurnakan, tak coba buka injil, misalnya.
Gitu nanti jadi. Itu saya sudah banyak mas, sekitar 60 an saya buat
itu.
: Sumber-sumber inspirasi bapak waktu membuat gending gereja
itu apa, pak? Kitab suci, lalu apa? Sumber misalnya untuk syair.
: Untuk lirik ya tetep Kitab Suci. Suatu saat itu saya dulu pas misa
pas romo tomo itu pas homiline ada kalimat yang bagus, tapi juga
kalo kalo homili ka sok injil. Ha itu ada kalimatnya romo tomo
yang bagus. Ha itu langsung saya catet. Romo tomo kok anggere
ning sini kok mesthi ngedika berkah dalem. Romo tomo kok kalo
di sini kok mesti: kemarilah siapa yang berbeban berat, saya akan
memberi kelegaan. Ha itu sak sak itu tak cathet itu tak gaweke lagu
itu jadi. Berkah dalem itu tak gawekke lagu, jadi. Ha nanti terus
pas pisusungsung itu tak pakai berkah daleme, atau itu memberi
kelegaan itu. “lho kok anu pak Toso?”. Ha nggih, ha romo sering
ngendika ngaten, ya tak tak kula nggih melu ngeling-ngeling kok
kula. Saya melu ngeling-ngeling romo. “:Ha nggih-nggih-nggih. “
ha romo tomo itu ndilalahnya selalu menekankan kayak romo
sugiyapranoto, dadia katolik seratus persen, dadia wong jowo
seratus persen. Ha... kayak saya, trus saya reko reko itu lesung. Itu
itu misteri itu lesung sama gamelan gereja itu misteri itu. Suatu
saat itu saya ning kampus, saya tu nduwe pikiran: ngganjuran ki
nek romo tomo seneng tradisi ki, nek tak kei lesung ki pie? Saya
terus ke daerah karangkajen. Saya tuh ngenyang lesung itu sana itu
mintanya dua juta seperempat. Tak nyang dari enam ratus sampe
delapan ratus. Delapan ratus, aku mikir. Tak unggahi sak yuta. Aku
iklas tak kekke nggrejo, bojoku ngerti, mesti dadi rame...
hahahaha.... wah.. ya wis lah. Sesuk sesuk tak parani meneh, sampe
delapan ratus itu terus saya mundur, tak parani meneh, tak
sembayangne sik. Saya pulang di sini, saya ini saya dapat sore jam
4. Jam 4 itu saya sarapan di paroki. Saya datang di situ itu di situ
ada lesung, mas. Sing ngenehi pak polseknya ganjuran, pak mur.
Itu ngasih lesung itu, trus ngasih lonceng untuk satpam itu. Itu
saya.... aku mau ki bar ngenyang lesung ora entuk kok ning kene
kok ana lesung. Terus tak tlusur tak tlusur tak tlusur,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
172
Terus itu romo jarot bilang anu le maringi pak mur. Saya cari,
langsung saya cari. Kok kok ana kontak, gitu lho. Saya tanya, pak
polsek. Pak mur. Ndilalahe pak mur itu masih ada mambu-mambu
family. Karena gara-gara anak saya dapet adiknya bojone adine
pak mur itu, jadi ya agak dekat. Ngopo kok pak mur kok... nganu.
Nggih, kula nduwe akeh, kok. Sampeyan kersa napa pripun? Malah
saya mau dikasih. Aneh, kok... ndak, aku ki mau nggolek, nganthi
ngenyang lesung, nganthi wolung ngatus, kui ora isa, ora sida tak
ambil. Nek tak jupuk tak kekke ngendi? Lesunge mau kui, coba tak
go mulih malah bojoku ngerti, aku malah dadi rame. Padahal saya
kalo itu dapet, langsung tak kasih gereja. “aku lak mbiyen dadi
polsek di wonosari, kayu kayu kan banyak. Lha di antara itu ada
beberapa lesung. Karena saya ndak mau dikasih lesung pak mur
itu, terus dikasikan utara sini, lesung itu. Ha itu. .... aneh, ini. Jan
jan..jan...jan...kaget, aku iki. Karena saya merasa diparingi lewat
pak mur. Tapi saya itu mesthi ora ono nek kontak karo pak mur.
Gak ada kontak. Itu pasti dari sana, mesti mantul. Langsung ibuibu warung itu, karena saya nggak punya... wah tak latehke sapa ya
iki. Langsung tak kumpulkan ibu-ibu warung, tak ajari lesung, tak
ajari lesung. Maka lesung itu setiap...setiap prosesi juni itu mesthi
gamelan, lesung, trus saya juga ngelatih slawatan. Trus sini tak
tambah lagi kenthong, kenthong untuk untuk ronda itu. Kalo
kenthong itu tak latih itu, sudah sering tak pake jumat kliwon. Sini
lak selain jumat pertama ada ibadat jumat kliwon, itu yang dianu
abdi dalem itu lho. Lha itu sering tak nggo ngisi itu. Karena di situ
cuma tak isi nek ora slawatan, gederan, ya ming itu terus. Ha terus
tak kasih ee... nganggo klotekan kentong, ya untuk ibadat. Di sini
jalan, jalan. Jadi kayaknya itu , saya itu, saya masuk gereja lagi
dijawil romo tomo. Dan ini saya kayane dituntun romo tomo itu.
Haa... romo tomo itu haaa... seneng. Nggih, lesung, lesung. Setiap
romo tomo ada tamu, lesung itu: lesunge muni, hari kartini ya
lesunge muni. Jadi jadi kerep kerep bunyi itu. Heeh. Ibu-ibu sini.
Ibu ibu warung itu, ndilalahe banyak wong katolik itu. Banyak
wong katolik, tapi ada yang tidak katolik juga. Ada lesung, tak
latih kentongan, kalo yang slawatan itu yang daerah mayadadi itu.
Itu juga lumayan itu, sampe ke mana-mana itu. Hehehehe....
slawatan. Itu juga sering tak campur. Gamelan tak kolaborasikan
dengan slawatan. Kalo prosesi: gamelan, slawatan, lesung.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
173
: Ini pak, lalu untuk penabuh-penabuh ee... itu sendiri, kira-kira
misalnya mereka main untuk liturgi apa yang mreka butuhkan?
Maksudnya situasi apa, atau sikap seperti apa yang seharusnya
mereka miliki?
: Yaaaaa.... kalo sini itu saya dulu pernah bapak saya itu yang
nabuh itu malah bukan orang katolik, malah ada kaumme, itu. Ada
mbah kaum. Dijak. Itu ya mung e... garek koordinatore e, garek
pelatihnya, tinggal tinggal anunya, tinggal semuanya kalo mereka
itu kebanyakan kalo sini kan, yaa.... mbaca. Jadi jadi jan sebetulnya
rasanya ya belum belum belum penuh, ya. Tapi kalo yang sudah
menjiwai itu kan ndak usah mbaca sudah. Kalo sini kan masih
masih baca, masih masih itu.
: Tapi maksudnya beda kan pak, misalnya seorang penabuh main
untuk wayang, main untuk liturgi, kira kira?
: O ya jelas, jelas. Karena mereka juga orang katolik, kalo anu ya...
tetep tetep dalam suasana misa. Dalam suasana ibadah. He’eh.
Bukan dalam suasana pertunjukkan. Lha itu juga juga fungsiiiiiiii...
musiknya, fungsi lirik karo lagu, juga membantu. Nek lagu atau
musiknya, gamelanne itu membuat si niyaga itu tidak sopan , tidak
pantas di liturgi, ya wiss.... bukan inkulturasi. Tapi sampe
niyaganya juga ikut ikut beribadat, itu lebih mantep, lebih khidmat,
ya itu inkulturasi. Cuma itu kalo saya membedakan. Apa itu
inkulturasi apa nggak? Sik, kira kira mengganggu liturgi ndak?
Nek mengganggu liturgi, berarti itu bukan. Arepa apik kaya ngapa.
Karena biasanya saya sok punya: ha itu sesuk lagune napa pak
Tosa? Pokokke sing tok senengi, sing paling apik kanggomu,
kekke Gusti Allah. Cuma itu lho. Anu mawon, niki. Ya udah, tak
iki, tak iki. Ha, apa? Iki iki iki. Ya saya itu lha itu karena dia juga
senengnya itu, kan ya terbawa, to? Lagune, lirike ya mesthi ana...
ana....kasih sayange, ada itu, ada nuansa-nuansa Kitab Suci juga
akan membantu itu.
: Berarti beda, ya?
: Ya he’eh. Mbok lagu-lagu yang di kidung adi itu. Nek lagu
kidung adi, apike kaya ngopo, orang-orang lain sudah bisa,
barangkali lebih bagus mereka daripada kok unekke saiki. Ning
nek saiki lagune dhewe, produke wong ganjuran dhewe, itu mereka
belum pernah nyoba, belum pernah lebih baik dari pada kita,
awakke dhewe isih oleh nomer siji. Lha mergane awake dhewe
nomer siji, mbok keke Gusti Allah. Hehehe... cuma itu saja.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
174
: Kalo untuk penciptanya sendiri, pak, kesadaran apa yang
dibutuhkan untuk mengembangkan gending gereja.
: Kalo di sini itu kayaknya gen’e mas. Gen itu begini. Artinya dulu
bapak saya, terus pak saridal. Waktu pak saridal itu sebetulnya
saya itu sudah sudah ayo aku diewangi... aku diewangi. Ning
karena dulu saya neng nengan sama gereja, saya gemang. Karena
pak saridal itu dulu dulu muridnya bapak. Murid bapak. Haa...
terus setiap nganu, saya mesti dijak itu nggak ini. Ha.. terus
sekrang itu nurunnya itu pak saridal itu nurune ning windu, sama
yuyun. Windu itu yang di kanisius itu lho, di jakarta sekarang. Itu...
lha bapak saya juga nuruni saya. Juga nuruni saya. Jadi kayaknya
masih.. masih garis. Yang lain juga saya sudah ini, gawea lirik sak
karepmu, gawea lagu sak karepmu. Nek kowe gampang gawe lagu,
mengko lirike tak isenane. Nek kowe seneng lirik, engko lagune
tak gawene. Itu ya susah. Yang lain susah, susah, saya susah.
Karena saya pengin wa nek liturgi ganjuran itu ya teke wong
ganjuran kabeh.
Haa... itu dudu. Dudu. Anu saya gitu. Ini susah mas. Jadi ini
kayaknya masih-masih lagu-lagu karena sing saya pak puja itu
saya ngembangke gamelan ini, sing talere pak saridal ini lebih
codong bukan gamelanne, ning keronconge. Dia buat lagu-lagu
liturgi yang keroncong. Itu susah mas untuk untuk ngader anu itu...
ngader itu. Dadi kaya dene talenta apa, ya? Itune sendiri sendiri.
: Jadi butuh talenta?
: Iya... hehehe... padahal mereka itu udah jago-jago, mas. Jadi
umpamane lagu, saya rangkul, wa wis apalan, mas. Tapi nek tak
suruh coba gawea lagu. Wis pangkur kuwi lah sak karepmu. Itu
tetep gak jalan, tetep gak jalan. Saya kerep itu, saya kerep. Di sini
kan yang lulusan UNY karawitan ada, yang lulusan ISI karawitan,
ada. Lha itu aja susah. Susah. Susah.Tak suruh nggawe, tak suruh...
ayo mlakune seka ngganjuran. Malah ada satu yang bukan lulusan
apa-apa ning dekke pinter gamelan itu sering sing mbuat, malahan.
Ya udah.... tapi susah untuk untuk untuk kaderisasi.
Hmmm....hmmm....
Anak Pak Budi
: Mari diminum.
Rony dan Sigit
: Nggih.
Pak Budi
: Ngader susah, mas. Wong saya itu kemarin itu juga masuk
disiplin karawitan itu ya mbuh kok itu, kok. Nggak ngerti. Kan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
175
saya kan ndak ini ya ndak seneng karawitan. Saya senennya musik,
tapi saya semua alat itu saya bisa, biarpun hanya sedikit sedikit,
saya bisa semua. Jadi...jadi...jadi...karena saya bisa semua, mereka
yang lain itu ya sok-sok ya isane kalo saron ya saron, kalo geder ya
gender. Yang ini spesialis semua. Haa... jadi karena saya bisa
semua, saya bisa terus isa nglatih, malahan. Haa.. walau saya nek
kon nuthuk ra isa. Tapi saya bisa ngelatih karena tau oo... karaktere
ngene, karaktere ngene. Karena saya dulu itu anakke pak puja,
walaupun mereka itu lebih jago dari saya, tak suruh abang, abang,
tak suruh ijo, ijo. Ngene, ngene, ngene, manut. Karena sebetulnya
dia lebih jago, lebih bagus, lebih ini, tapi tak kon ini.... karena ra
taler itu, trus dia juga pernah ikut rombongan-rombongan itu, jadi
sejak dulu. Jadi mangkanya, he’eh....
: Lalu mengenai syairnya sendiri itu pak. Kan sebenarnya kan
gending jawa kan pake bahasa jawa juga. Lalu kan ada istilahistilah tertentu dalam bahasa jawa yang sekarang kan gak familiar
lagi. Lalu sekarang bagaimana itu ditanggapi oleh anak muda
sekarang? Kan kadang ada satu kata tertentu misalnya istilah
angorong, gitu. Itu kan mungkin sudah gak familiar lagi untuk
anak-anak sekarang. Lalu apakah itu semacam menjadi hambatan
atau tidak, pak?
: Kalau kata angorong itu ada dalam Kitab Suci, saya tidak akan
mengubah. Jadi umpamane ada.... ya itu, memang walau mbuh itu
pentatonis atau diatonis, membuat liriknya, sok sok sok sok di di di
tepat tepatkan. Jadi, misalnya, eee... mungguhing, mungging. Trus
dibuat gitu misalnya. Itu ndak masalah. Tapi koneksitas dengan
kalimat selanjutnya kan memberi jalan... o... maksudnya kan itu..
mungguhing, menjadi mungging. Itu kan karena hanya harus
disesuaikan dengan lagune aja. Kerep, itu saya menggali, menggal
menggal menggal kayak gitu, kerep. Memang memang ya itu. Sok
sok sok wegah ngrubah notasinya aja, melodinya aja. Wis aku
mantep ngono. Nek tak ubah ngono ora sreg. Trus liriknya yang
kita sesuaikan, liriknya yang kita sesuaikan. Ya mangkannya trus
ada penggalan-penggalan penggalan itu. Tapi itu kalimat
belakangnya akan nuntun, ooo... karepe gitu.
: Trus kira-kira pas atau nggak pak misalnya syair bahasa
indonesia, digunakan tapi lagunya bahasa... apa... gendingnya
jawa?
: Saya lagu misa bahasa indonesia pake gending jawa, ada. Kalo
jawa yang gending jawa, banyak. Tapi saya punya satu misa, satu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
176
misa, termasuk ordinariumnya bahasa indonesia, tapi pake
gamelan. Kalo ganjuran ini saya ngiringi gamelan jawa pake
bahasa jawa, romone pas pake bahasa inggris, romo uskup. Itu
lebih dari dua kali. He’eh. Dulu pas ada kunjungan 70 wakil, 70
negara itu, ada. Itu romo uskup pake bahasa inggris, sini gamelan
jawa. Liriknya juga pake jawa. Lha saya mbuat lagu lagu bahasa
indonesia gamelan, itu kebutuhan. Suatu saat, ada orang jakarta
pengen lihat gereja ini, pengen jadi manten di sini, pake gending
gamelan, lha saya mbuat. Trus trus sampe sekarang, jadi kalo ada
misa orang di luar ganjuran yang pake bahasa indonesia, jadi
manten di sini, pake gending itu bahasa indonesia. Dah lengkap
satu misa.
: Lalu itu pak, apakah pencipta gending gereja itu harus orang jawa
asli yang hidup di budayanya itu? Atau kayak tadi misalnya, orang
jakarta menciptakan lagu liturgi tapi untuk gending gereja jawa?
: Kalo saya kok bebas ya mas, tidak harus harus ini. Karena
pentatonis itu kan juga universal. Diatonis, pentatonis. Yang ngeng
ngeng ngeng ngeng pentatonis. Orang di manapun bisa, gak harus
orang ganjuran. Lha kidung adi itu kan gak harus orang ganjuran.
: Berarti ada kemungkinan ya pak, orang sunda menciptakan lagu
gending jawa gereja?
: Salah satu lagu saya yang saya buat itu pake nuansa mBali. Saya
buat itu.... heh... ssst.. (mengusir anjing)... heh...heh.... ada nuansa
bali. Trus kalo yang sunda saya agak kesulitan, karena sunda itu
biasanya akan tampak kalo si pengendangnnya itu tahu karakter
sunda. Jadi kalo arepa gayane gaya sunda tapi gendangnya gak
seperti gaya sunda, ndak kelihatan. Itu saya belum punya
pengendang he’eh. Tapi kalo bali, masih agak mendekati jawa,
pasti bisa.
: Lalu untuk partisipasi umat dalam liturgi itu sendiri, pak.
: Di ganjuran sini masih di persimpangan. Ada pro, ada kontra.
Walau si pro, yang kontra, itu sebetulnya bukan keee..... materinya
itu. Persoalanne misale. Jane aku seneng ming gamelan, ning
ganjuran kesuen nik gamelan. Kelamaen. Itu merga kelamaen itu.
Tapi gamelane seneng. Ada yang memang gamelane ra seneng,
kesuwenne ra seneng. Jadi macem-macem, masih ada di
persimpangan antara ya-tidak. Tapi karena itu saya itu di sini itu
yang saya rasakan, yang saya dambakan, yang saya impikan,
keterlibatan romo, keterlibatan paroki itu ikut lebih menggerakan
inkulturasi-inkulturasi. Di sini cuma romo tomo, kok. Romo yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Budi
Rony
177
lain itu, ya wis luweeeehhh... kayak kayaknya luweh luweh, dewan
paroki juga luweh luweh. Pokokke nek gamelan, pak Toso.
Anggere nganu, romone, dewan paroki sama aja itu. tapi kalo romo
tomo itu sok sok di kotbah barang sok nyinggung nyinggung. Tapi
di sini yaaaa... saya, misalnya, sebentulnya berat melawan arus
sing isih do kontra kontra itu. Lalu sok sok sering nek......... (masuk
ke dalam, mengusir anjing). Itu keterlibatan romo paroki
sebetulnya saya mengharapkan sekali. Minimal, minimal. Dulu
romo jarot itu nganthi tak peksa. Ha tak paksa: mo, tak ajari, mo,
bilang terima kasih. Coba, romo! Terima kasih. Gimana, to pak?
Pokokke anggere misa gamelan, ibu ibu ki le dandan wis ket jam
telu awan. Bapak-bapak ki do nganggo pakaian jowo itu juga
kemringet, gembrobyos. Mbok bar misa ki matur nuwun karo sing
kor apa sing karawitan, misalnya. Sampe tak ajari gitu, tak paksa
kok. Kalo lupa: piye to mo, kok ora nganu. Lha terus besoknya:
wah anu aku lali ee.. pak. Itu cuma barang sepele, tapi whua itu
hebat itu nganunya. Mereka itu semangate itu terus. Wis kesel
kesel wis ngene ngenge, mung matur nuwun we... ya walaupun
mereka terus ke Tuhan, ya. Tapi tetep tetep kemanusiaan itu tetep
dibutuhkan untuk mereka itu. Sok sok terima kasih ke yang lain
lain, gamelane ora. Sok sok sok marai dongkol. Nek ora, ora sah
kabeh. Saya itu dulu sama romo jarot, iya: bilang Terima Kasih!
Hehehehe.... Itu sih sok sok lupa, nek lupa sok tak tegur: romo kok
lupa to romo? Wah nggih he itu, nganu. Ya nggak papa, lain kali.
Jadine, sok sok sok sok merasa nggedandul, jadi untuk untuk untuk
lalu di sini itu sok ada jumat pertama, jumat kliwonan. Jumat
kliwon itu sok sok itu diadakan sarasehan. Pak toso, mengko
inkulturasi panjenengan. Nah pas jumat kliwon itu, setelah ibadat
itu, ada saresehan saresehan itu, saya ngomong. Ha mereka itu sok
sok tanya jawab di situ, ngomong ngomong ngomong itu. Tapi sing
gelem ning jumat kliwonan itu ya cuma sedikit. Tidak tidak
menjangkau masa itu.
: Berarti sebenarnya dukungan dari romo-romo paroki juga butuh,
ya?
: Iya iya iya iya, besar itu. He’eh. Mungkin romo tomo itu di mata
umat ganjuran itu punya karisma ya. Menurut romo tomo dari pada
romo romo yang lain. Hehehehe... iya, he’eh.
: Tapi kira kira menghambat gak pak, sikap romo romo yang cuek
cuek dengan budaya jawa itu?
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
178
: Ya biasanya itu ya anu, ming sok marai gela, mas. Mereka, sini
itu banyak perkumpulan karawitan. Penabuh penabuh karawitan itu
banyak, setiap wilayah itu sudah tak itung, ada. Trus upamane
romone: Gusti manunggalo itu nggak bisa, aaahhh itu marai..... itu
romo romo yang marai jumat pertama, sok sok romo paroki kan
dak di luar. Haa.. trus yang itu kan romo romo itu. Ha.. ada
beberapa romo yang sebelum misa, itu aku sok klintat klintut di
sakristi itu, saya ngajari. Romo, minulyane mangkeh ngaten:
minulya Allah ing ngaluhur, tak ajari ngono. Tirokke sampe bisa.
Tapi ada juga romo yang luwah luweh ooo. Ordinariume wis tak
kasih note, minulya sing lain, misalnya. Sok sok mbubrahke kok.
Nah nek mbubrahke kor, mau masuk kornya itu kan susah. Itu
biasane nek tidak terkendali, ya ngrusak keseluruhan, itu. Jadi
mung sok sok ana romo sing sok nggampangke... hehehehe... sok
sok ana sing pengen isa. Padahal kalau itu mau memperhatikan.
Umpamane : (menyanyikan secara benar) minulya Allah ing
ngaluhur.. lan... mereka langsung mesthi spontan: lan ... tapi kalo:
(menyanyi secara keliru) minulya Allah ing ngaluhur. Ora isa
neruske lho sana. Lha... itu akan merusak semua, keseluruhan itu.
Soale itu nanti umatnya akan: lho, kok ra muni muni. Lho. Ha itu
sudah bubrah kabeh. Padahal saya sok: romo, anu ordinarium
minulya kados pundi romo? Ooo.. gampil, mboten punapa-punapa,
saged. Ooo... weeee... metune. Le muni bakso, metune soto...
whadhuh... cilaka, cilaka. Bubrah kore, kore bubrah. Lha itu
biasane sok sok mereka mereka itu: piye to pak kok ora nganu?
Lha aku mau ning sakristi wis takon le muni isa, ya saya percaya
aja. Ning rikuh, he... kornya ya isin, umatte ya ting plirik.. dha anu.
Itu ya sok sok andil merusak suasana. Hehehehe......
: Lalu dari gereja sendiri, sejauh bapak temui atau ketahui tu ada
batas batasan nggak pak, untuk memasukkan gending gending
gereja, gending jawa ke dalam liturgi gereja? Ada batasan-batasan,
gak?
: Batasan sing gimana?
: Ya maksudnya yang bentuk bentuk lagunya harus seperti ini, atau
durasinya harus segini?
: Eee...nek kalo itu saya malah tidak tidak tidak ini ya... tidak tidak
memathok. Durasi tidak memathok ini. Jadiiiii... saya itu cuma
punya misi, saya kepingin umat ganjuran itu seneng sik. Jadi saya
belum ke estetikanya belum ke keindahannya belum ke rasanya,
belum ke anu. Pokoknya krungu gamelan, kreasine gamelan, dia
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
179
seneng gamelan dulu. Nanti kalau mereka seneng itu, nanti dia kan
akan masuk. Kalo sudah masuk, lha gek. Itu itu saja. Baru cari
pasien dulu. Itu susah mas, itu aja susah. Itu aja susah. Itu aja
susah. Kalo dikasih lagu-lagu yang tradisi, lebih berat lagi. Lebih
berat lagi, lebih lama lagi, lebih berat lagi. Lebih lama lagi, lebih
berat lagi. Mesti semakin mereka tidak seneng. Makane tak kasih
kreasi. Pak saridal itu juga sudah kreasi, sudah kreasi. Saya
meneruskan pak saridal itu tak tambahi kreasi kreasi. Hanya
supaya mereka seneng dulu mas. Jadi misalnya kalo ee.e... misale
saya buat komuni, saya buat lagu wa.. kalo komuni ini paling isa
seperempat jam, misalnya. Tak buat lagu, ee... ternyata saiki
prodiakon, suster melu nampakke. Ha itu kan paling cuma limang
menit rampung. Itu ya sok sok sok keblasukke di situ. Makanya
saya seneng buat lagu-lagu pendek, nanti kalo kira-kira waktunya
masih anu yan diulang. Cuma itu aja. Jadi jadi jadi masalah durasi,
masalah waktu agak saya kesampingkan. Lagu lagune itu menarik,
mudah, ning ya indah. Bisa untuk liturgi. Cuma itu aja. Jadi
menarik, mudah, indah. menarik indah, menarik. Mudah, jadi le
nabuh ya mudah, le nyanyekke ya mudah, umate le niroke ya
mudah. Menarik lagune ya cuma itu aja. Jadi menarik, mudah,
indah.
: Jadi gak ada batasan tertentu yang dari gereja?
: Ha makanya itu dari keuskupan sendiri kan tidak ada garis pokok
inkulturasi. Belum muncul. Kesempatan bagi saya, karena belum
ada garis itu. Haa... bisa mengembangkan kereasiku, sak karepku.
Tapi itu harus disesuaikan untuk kebutuhan liturgi. Eee... dulu itu
romo jon. Romo jon itu dulu kan juga dari lulusan ISI. Itu banyak
anu ganjuran itu. Masak kon melu nabuh, tak suruh ikut nabuh jadi
pengrawite, tak... itu orang timor, dari orang NTT. Jadi rada brintik
itu. Romo jon. Itu tak pakein blangkon... hahaha... mantep banget.
Karena le skripsi skripsine tak bimbing. Trus tak suruh latihan, ikut
latihan, tak suruh lebih masuk mengenal. Itu....
: Lalu mengenai inkulturasi tadi, pak.
: Mangga diunjuk.
: Oh, ya.... Mengenai.... (minum dulu). Kan kalo inkulturasi kan
mengandaikan adanya kontak antara budaya jawa dan budaya
gereja sendiri. Lagipula budaya gereja kan kalo mau kita bilang
kan budaya import dari eropa. Kira-kira dari kontak itu, bagianbagian apa saja yang saling memperkaya, saling mengubah?
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pak Budi
Rony
180
: Ganjuran ini pernah terjadi rame. Sampe sampe sampe dewan
paroki, sampe romo paroki turun tangan. Gara-gara jumat agung
itu ada prosesi jadi arak-arakan jadi ada yang pokoknya tidak pakai
iringan, ada yang pakai iringan. Pas wektu itu kemis putih itu kan
setelah gloria, kan sudah ndak boleh diiringi. Lha karena itu wis
kulinane latian pake diiringi, nek ra diiringi lak mesti mlorot.
Disetop! Pas misa, itu. Disetop sama tim liturginya. Disetop,
disetop, brenti. Ndak mau berenti, tetep tetep sini tetep ini. Setop
lagi, tarik metu. Deg. “Karepmu apa, karepmu piye?!!” dadi rame.
Haa... terus waktu itu romo agus, romo agus pur... romo agus
purrr... wadi? Ha itu le nyapih itu begini. “saiki penjenengan, Anda
mau pake sistim eropa apa belanda? Ya kalo belanda kalo namanya
susah ya nggak ada iringan. Trus ditutup kabeh, rak pake ini.” Itu
mbuh bener mbuh salah. Mbuh. Tapi waktu itu sempat nggo
nyapih itu menda, semuanya diem. Kalo pake eropa, gak masalah
pake iringan. Tapi kalo anda pake iringan, tapi kalo anda pake
belanda, gak pake iringan. Sampe sekarang ganjuran itu setiap
jumat pertama tetep diiringi gamelan, tetep diiringi gamelan.
Percampuran budaya itu tadi aku ra ngerti sing bener tu gimana itu.
Apa bener versi belanda sama versi eropa, ndak ngerti itu. Tapi
yang jelas, di sini jumat agung itu pasti diiringi. Kalo gereja yang
lain tidak itu, nyatanya di sini ya nggak. Maka barangkali kalo
lebih jelasnya, sing budaya eropa apa belanda itu tadi mati.
Mungkin budaya ganjuran tetep pake di situ. Muncul itu, muncul
yang baru ini. Karena gereja yang lain tidak ada, tapi ganjuran ada.
Tapi baru, kebaruanne ganjuran. Hehehehe.... juga ini, ya.... terus
yang pentatonis kebanyakan hidupnya cuma cuma di di daerah
pentatonis jawa, ya. Jadi kalo... saya membuat lagu itu kebanyakan
ide saya diatonis, eropa. Diatonis. Terus, saya transferkan ke
pentatonis. Jadi kedua-dua kedua- dua budaya itu barangkali tetep
menjadi satu, menjadi menjadi tidak membunuh salah satu. Yang
satu hidup yang satu ndak. Berdampingan, itu. Berdampingan. Jadi
saya misalnya lagu buat anu, melodinya mesti tak buat diatonis.
Doremifasolasido..... ning karena diatonis itu itu isa tak
pentatoniske, lasi do remi fa sel la. Misalnya itu, makanya. Tapi
notasinya kan diatonis. Itu jalan. Pentatonisnya juga jalan. Hidup
berdampingan.
: Tapi toh kan gak secara persis sama. Maksudnya, di diatonis
nadanya begini?
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pak Budi
Rony
Pak Budi
Rony
Pak Budi
181
: Diatonisnya intervalnya tetep diatonis. Lagu-lagu saya diatonis
terus. Tapi nuansannya diatonis itu tak nuansa pentatonis. Ha...
pentatonis pelog itu re dan la hilang, misalnya. Ha re dan la tak
ilangin aja, tapi kan intervalnya diatonis kan tetep. Cuma nada re
sama la saja sing tak hilangin. Yang lain tak pake. Cuma itu. Haa...
itu. Tapi itu kalo kalo misalnya diii.. mau jadi diatonise tus,
pentatonise tus. Lah itu sebetulnya dua dunia itu kalo dicampur ya
ndak isa kok mas. Itu ndak isa itu, diatonis sama pentatonis itu
dicampur itu ndak bisa. Kalo diukur intervale itu ya mesti geseh.
Mesthi ngalor ngidul. Air sama... he’eh
: Selisih?
: He eh. Tapi karena itu suasanane dipentatoniske, ya nyatanya ya
kok bisa diterima, bisa sejalan. Sejalan.
: Kayaknya segitu dulu, pak..hehehehe....
: Njih. Pokokke setiap saat, saya bantu, saya bantu. Sini saya kerep
kok. Kemarin itu orang dari... eee.... orangnya itu diii.....
-selesaiWaktu : 1.04’23”
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
182
LAMPIRAN 5
DAFTAR PERTANYAAN
1. Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan inkulturasi (musik liturgi)?
2. Bagaimana pendapat Anda tentang musik gamelan Jawa yang digunakan
dalam liturgi Gereja?
3. Menurut pengalaman Anda, bagaimana hubungan antara budaya Jawa dan
musik Gereja?
4. Melihat fenomena yang ada, mengapa tangga nada pelog banyak
digunakan dalam lagu-lagu liturgi? (fungsi, makna)
5. Bagaimana gending Gereja (bertangga nada pelog) dapat membantu umat
dalam berdoa/berliturgi?
Download