PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI TEO PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG DALAM LITURGI: SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI SKRIPSI Oleh : HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO NIM: 096114044 PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI JURUSAN TEOLOGI – FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI TEO PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG DALAM LITURGI: SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Teologi Program Studi Ilmu Teologi Oleh : HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO NIM: 096114044 PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI JURUSAN TEOLOGI – FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013 ii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI SKRIPSI PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG DALAM LITURGI: SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI Oleh: HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO NIM: 096114044 Telah disetujui oleh: Pembimbing I tanggal, ................................. Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr Pembimbing II tanggal, ................................. Karl-Edmund Prier, SJ., Lic. Phil. iii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI SKRIPSI PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG DALAM LITURGI: SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI Oleh: HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO NIM: 096114044 Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal ........................................... dan dinyatakan memenuhi syarat Susunan Panitia Penguji Nama lengkap Tanda tangan Ketua : Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr ............................ Sekretaris : Dr. YB. Prasetyantha, MSF ............................ Anggota : Karl-Edmund Prier, SJ., Lic. Phil. ............................ Yogyakarta, ............................. Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Dekan, (Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr) iv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PERNYATAAN MENGENAI KEASLIAN SKRIPSI Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul: PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG DALAM LITURGI: SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI Tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 9 Juni 2013 Penulis, Hieronymus Rony Suryo Nugroho NIM: 096114044 v PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Karya tulis ini saya persembahkan kepada: Gereja Keuskupan Agung Semarang dan para pembaca Quaerite Deum per musicam “Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa” (Mzm 23:6). vi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRAK Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya dalam bentuk musik gamelan Jawa dengan segala instrumen dan bentuk gendingnya. Kekayaan budaya Jawa ini dipandang oleh Gereja sebagai peluang untuk pewartaan Injil dan ungkapan iman umat kepada Allah. Gereja secara positif memandang kebudayaan setempat, serta “memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi pelbagai suku dan bangsa” (SC 37) tersebut. Keterbukaan dari Gereja dan budaya Jawa ini, mendorong adanya inkulturasi demi pewartaan Injil kepada umat Jawa. Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Fakta menunjukkan bahwa tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak di dalam buku Kidung Adi mulai dari gending-gending perintis ciptaan C. Hardjasoebrata pada tahun 1926 sampai sekarang. Pertanyaan dasarnya adalah mengapa tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi? Bagaimana nyanyian-nyanyian dengan tangga nada pelog ini dapat membantu umat beriman dalam menghayati Misteri Paskah, yaitu sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus? Bagaimana tangga nada pelog dapat menjadi dasar untuk nyanyian proprium maupun ordinarium, bahkan aklamasi dan lagu prefasi? Metode penulisan yang digunakan penulis adalah studi pustaka dan wawancara. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan dengan musik gamelan Jawa, kebudayaan Jawa, liturgi secara umum, teologi inkulturasi, inkulturasi musik liturgi, dan dokumen-dokumen Gereja mengenai musik liturgi. Narasumber yang akan diwawancarai adalah para pencipta gending Gereja. Analisis peran dan makna tangga nada pelog dalam liturgi akan ditempuh melalui analisis gending-gending Gereja bertangga nada pelog terutama yang terdapat dalam buku Kidung Adi, apakah cocok dengan teori-teori teologi inkulturasi dan dokumen-dokumen Gereja. Tangga nada pelog secara struktur memilki intonasi yang tidak sembarangan. Butuh konsentrasi dalam menyanyikannya. Konsentrasi, pencarian dan kerinduan manusia kepada Allah, serupa dengan proses menyanyikan tangga vii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI nada pelog. Konsentrasi dalam menyanyikan tangga nada pelog membantu umat untuk berkonsentrasi dalam menanggapi pewahyuan Allah melalui liturgi. Mencari Tuhan dalam kebersamaan dengan yang lain. Gending Gereja mendorong umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam liturgi (bdk. SC 14). Umat dapat mengetahui dan mengerti apa yang mereka ungkapkan lewat lagu, karena lagu tersebut sesuai dengan cita rasa Jawa. Mereka dapat mengetahui dan mengerti apa yang terungkap dan diungkapkan melalui gending Gereja. Kerja sama dalam menyanyikan gending dan memainkan gamelan juga mencerminkan kebersamaan dan partisipasi umat di dalam liturgi. Gending Gereja semakin memperjelas Misteri Kristus. Syair gending Gereja dapat memperjelas misteri yang sedang dirayakan, karena dikarang dan diolah dengan bersumber pada Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Melodinya pun menggunakan tangga pelog yang, selain membutuhkan konsentrasi dalam menyanyikannya, dapat diolah menjadi gending-gending Gereja dengan berbagai macam suasana. viii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRACT Java has a rich cultural wealth in the form of Javanese gamelan music, with all its musical instruments and gendings. The Church has a look at this cultural wealth as an opportunity for evangelization and expression of faith for the people of God. The Church looks at the local culture positively, “to respect and foster the genius and talents of the various races and peoples” (SC 37). The openness of both sides, the Church and Javanese culture, encourages inculturation for the evangelization to the Javanese peoples. The concern to be addressed in this essay is the role and meaning of pelog scales in the liturgy. The evidences suggest that the pelog scales get more proportion in the Kidung Adi and in sacred gendings created by C. Hardjasoebrata. Basically the question is why pelog scales are used in the liturgy? How do the songs based on pelog scales can help the faithful in living the Paschal Mystery: the passion, death and resurrection of Christ? The method used by the author is the study of literature and interviews. The author uses books dealing with Javanese gamelan music, Javanese culture, liturgy in general, inculturation theology, liturgical inculturation music, and church documents regarding liturgical music. People who will be interviewed are the composers of sacred gendings. Analysis of the role and meaning of pelog scales in the liturgy will be pursued through analysis of the sacred gendings based on pelog scales which were matched with the theories of inculturation theology and church documents. Pelog scales need special attention in intonation. It takes concentration when singing this scales. Concentration, searching, and longing of man to God, are similar to the process in singing pelog scales. Concentration in singing the pelog scales helps the singers to concentrate on responding to God’s revelation through liturgy. Finding God in unity with others. The sacred gendings encourage the faithful to participate fully, consciously and actively in liturgy (cf. SC 14). People can know and understand what they express through the songs, for the songs are in accordance with the Javanese ix PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI culture. Javanese people can know and understand what is revealed and expressed through the sacred gendings. Team working in singing the gendings and playing the gamelan also reflects togetherness and participation of the faithful in the liturgy. The sacred gendings clarify Christ’s Mistery. The texts of the sacred gendings clarify the mistery, because they are composed based on the Scipture and liturgical sources. The melodies based on pelog scales, require contrentration in singing, the pelog scales can generate various moods. x PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI KATA PENGANTAR Tidak jarang muncul komentar, bahwa Misa bahasa Jawa dengan iringan gending Gereja itu lama dan membosankan. Lagunya lambat, bahasanya kurang dimengerti, membuat ngantuk, dan hanya dihadiri oleh orang-orang tua. Anakanak muda yang gaul bisa jadi lebih memilih untuk Misa di tempat-tempat yang iringannya bersemangat, bahasanya dimengerti, dan memungkinkan mereka untuk bertemu dengan orang-orang seusia mereka. Kata gaul menjadi acuan bagaimana mereka harus bersikap dan menciptakan relasi dengan yang lain. Musik gamelan Jawa yang terkesan berat dan sulit untuk dipahami ini mencerminkan kedalaman maknanya. Musik gamelan Jawa mengandung nilai filosofis dan religius yang tinggi, sehingga tidak begitu saja bisa dicerna sambil sepintas lalu. Dibutuhkan refleksi yang mendalam dan konsentrasi yang penuh. Ketika musik gamelan Jawa mengalami inkulturasi dan menjadi gending Gereja, makna dan nilainya diperbarui sesuai dengan semangat liturgi Gereja. Gending Gereja pun menjadi bagian integral dari liturgi, yang dapat membantu umat dalam merayakan Misteri Paskah dan mengungkapkan imannya. Konsentrasi dan refleksi semakin dibutuhkan dalam menyanyikan dan memainkan gending Gereja. Gending Gereja memang menggunakan kedua tangga nada: slendro dan pelog. Namun, tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih di dalam gending Gereja. Tangga nada ini memang berbeda dengan tangga nada diatonis yang sudah biasa dikenali melalui musik Barat dan musik-musik popular. Ada suatu suasana tertentu yang dibawa dan muncul dari geding-gending Gereja yang dibuat dengan tangga nada ini. Dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk secara lebih jauh membahas mengenai “Peran dan Makna Tangga Nada Pelog di dalam Liturgi”. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mengalami banyak kesulitan dan tantangan. Kendati demikian, banyak pihak telah membantu penulis untuk tetap bertahan dalam proses yang panjang ini. Untuk itu, penulis ingin menghaturkan xi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI rasa syukur kepada Allah atas kehadiran pribadi-pribadi yang membantu dan memberikan semangat kepada penulis: 1. Rm. Karl-Edmund Prier, SJ., selaku pembimbing pertama yang dengan penuh kesabaran, kerendahan hati, ketelitian, ketekunan dan kasih, menuntun penulis, memberikan masukan dan komentar-komentar yang membangun. 2. Rm. J. Kristanto, Pr., selaku Rektor Seminari Tinggi Santo Paulus yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkembang dalam masa pendidikan di seminari tercinta ini. Terima kasih juga atas dukungan dan fasilitas yang disediakan. 3. Rm. Rubiyatmoko, Pr., selaku pembimbing rohani penulis, yang selalu memberikan peneguhan dan bersedia mendengarkan keluh kesah penulis. 4. Keluarga tercinta: Bapak Suparjana (Pak John) dan Ibu Muryanti, yang tidak henti-hentinya mendukung dan mengingatkan penulis untuk secara serius menjalani panggilan dan mengerjakan skripsi. Mas Raymond, Mbak Emtha, Arvin dan Mbak Ita (Sr. Rita, AK), yang dengan cara mereka masing-masing mendukung penulis. 5. Teman-teman angkatan: Ontong, Bang Jack, Yusti, Pras, Graha, Bang Tom, Ipung, Adi, Nanung, Andri, Ari, dan Ivan, yang telah memberikan semangat dan inspirasi bagi penulis dalam hidup keseharian. 6. Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, yang telah menciptakan suasana kondusif dan mendorong penulis untuk mengerjakan dan menyelesakan skripsi ini. 7. Untuk semua orang yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan berbagai macam dukungan: doa, sapaan, ejekan, canda, peringatan, paket, buku-buku, mengajari metode penelitian, dll. Penulis sungguh merasa diteguhkan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan di sana-sini yang perlu diperbaiki. Maka, sumbangan kritik dan saran demi semakin xii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI baiknya skripsi ini sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi kecil ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Yogyakarta, 13 April 2013 Hieronymus Rony Suryo Nugroho Penulis xiii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... vi ABSTRAK ......................................................................................................... vii ABSTRACT ....................................................................................................... ix KATA PENGANTAR ........................................................................................ xi DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiv DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xviii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xix BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5 1.3 Metode Penulisan ............................................................................... 6 1.4 Tujuan Penulisan ................................................................................ 6 1.5 Sistematika Penulisan ......................................................................... 7 BAB II. TANGGA NADA PELOG DALAM MUSIK GAMELAN JAWA .......................................................................... 9 2.1 Musik Gamelan Jawa sebagai Musik Khas Jawa ............................. 10 2.2 Sistem Tangga Nada Gamelan Jawa ................................................ 20 2.1.1 Tangga Nada Slendro ....................................................................... 23 2.1.2 Tangga Nada Pelog .......................................................................... 26 2.3 Bentuk Gending pada Umumnya ..................................................... 29 2.3.1 Jenis-jenis Tembang ......................................................................... 29 xiv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2.3.1.1 Tembang Macapat atau Alit ............................................................. 29 2.3.1.2 Tembang Tengahan atau Madya ...................................................... 31 2.3.1.3 Tembang Gedhe atau Ageng ............................................................ 31 2.3.1.4 Tembang Dolanan ............................................................................ 32 2.3.1.5 Beberapa Jenis Tembang Lain ......................................................... 33 2.3.2 Jenis-jenis Gending .......................................................................... 34 2.4 Perbandingan Musik Barat dan Timur ............................................. 37 2.5 C. Hardjasoebrata sebagai Perintis Lagu-lagu Inkulturasi Jawa ...... 39 2.6 Rangkuman....................................................................................... 43 BAB III. DASAR-DASAR INKULTURASI MUSIK LITURGI GEREJA .......................................................................................... 45 3.1 Inkulturasi Liturgi ............................................................................ 45 3.1.1 Istilah Inkulturasi.............................................................................. 45 3.1.2 Teologi Inkulturasi ........................................................................... 50 3.1.3 Magisterium Gereja Mengenai Inkulturasi ...................................... 54 3.1.4 Tahap-tahap Inkulturasi Liturgi ....................................................... 61 3.1.4.1 Tahap Pertama: Pengambil-alihan (Imposition)............................... 62 3.1.4.2 Tahap Kedua: Penerjemahan ............................................................ 63 3.1.4.3 Tahap Ketiga: Penyesuaian .............................................................. 65 3.1.4.4 Tahap Keempat: Inkulturasi yang Paling Mendalam ....................... 66 3.1.5 Metode-metode Inkulturasi .............................................................. 69 3.1.5.1 Metode Ekuivalen Dinamis (Dynamic Equivalence) ....................... 69 3.1.5.2 Metode Asimilasi Kreatif (Creative Assimilation)........................... 70 3.1.5.3 Metode Pengembangan Organis (Organic Progression) ................. 71 3.2 Inkulturasi Musik Liturgi ................................................................. 73 3.2.4 Dimensi Liturgis ............................................................................... 73 3.2.5 Dimensi Ekklesiologis...................................................................... 75 3.2.6 Dimensi Kristologis.......................................................................... 78 3.3 Rangkuman....................................................................................... 81 xv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB IV. SUMBANGAN TANGGA NADA PELOG DALAM INKULTURASI MUSIK LITURGI ............................................. 83 4.1 Perkembangan Tangga Nada Pelog dalam Liturgi ........................... 84 4.1.1 Segi Historis ..................................................................................... 85 4.1.1.1 Langkah 1: Lagu Gregorian dengan Syair Jawa .............................. 85 4.1.1.2 Langkah 2: Lagu Jawa dengan Syair Latin ...................................... 88 4.1.1.3 Langkah 3: Lagu Jawa dengan Syair Jawa....................................... 90 4.1.1.4 Langkah 4: Gending Gereja dengan Paduan Suara .......................... 93 4.1.1.5 Langkah 5: Aklamasi, Prefasi dan Anamnese .................................. 95 a) Aklamasi........................................................................................... 95 b) Prefasi ............................................................................................... 97 c) Anamnesis ........................................................................................ 98 4.1.1.6 Kesimpulan Perkembangan Historis ................................................ 99 4.1.2 Segi Komposisi ................................................................................ 99 4.1.2.1 Syair Lebih Diutamakan................................................................... 99 4.1.2.2 Tangga Nada Pelog Diutamakan .................................................... 101 4.1.2.3 Kesimpulan Segi Komposisi .......................................................... 108 4.2 Makna Tangga Nada Pelog dalam Liturgi ..................................... 108 4.2.1 Dimensi Liturgis ............................................................................. 109 4.2.2 Dimensi Ekklesiologis.................................................................... 111 4.2.3 Dimensi Kristologis........................................................................ 113 4.2.4 Kesimpulan..................................................................................... 116 BAB V. PENUTUP ..................................................................................... 118 5.1 Kesimpulan..................................................................................... 118 5.2 Saran .............................................................................................. 123 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 126 LAMPIRAN 1 .................................................................................................. 133 LAMPIRAN 2 .................................................................................................. 142 LAMPIRAN 3 .................................................................................................. 150 xvi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI LAMPIRAN 4 .................................................................................................. 163 LAMPIRAN 5 ................................................................................................. 182 xvii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR SINGKATAN A. Kitab Suci Kej Mzm Yoh Kis : Kejadian : Mazmur : Yohanes : Kisah Para Rasul B. Dokumen-dokumen Gereja LRI LU MS PUMR RM SC UL : De Liturgia Romana et Inculturatione, Instruksi IV tentang Pelaksanaan Konstitusi Liturgi Vatikan II No. 37-40 secara Benar : Liber Usualis : Musicam Sacram, Instruksi tentang Musik Liturgi : Pedoman Umum Misale Romawi, Terjemahan resmi Institutio Generalis Missalis Romani, 2000 : Redemptoris Missio, Ensiklik Yohanes Paulus II tentang Tugas Perutusan Gereja : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci : Universa Laus, Dokumen Lembaga Internasional untuk Musik Gereja, 1980 C. Lain-lain Art. Bdk. KA KSG KWI Lih. M PML PS TPE : artikel : bandingkan : Kidung Adi, Buku Sembahyangan saha Kekidungan (Buku Doa dan Nyanyian) : Kula Sowan Gusti, Kumpulan Gending-gending Gereja Ciptaan C. Hardjasoebrata : Konferensi Waligereja Indonesia : lihat : Masehi : Pusat Musik Liturgi : Puji Syukur : Tata Perayaan Ekaristi xviii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 : Tangga nada slendro ................................................................. 24 Gambar 2.2 : Interval pertama tangga nada slendro ........................................ 24 Gambar 2.3 : Interval kedua tangga nada slendro ........................................... 24 Gambar 2.4 : Pelog pathet nem........................................................................ 26 Gambar 2.5 : Pelog pathet barang................................................................... 27 Gambar 2.6 : Pelog pathet lima ...................................................................... 28 Gambar 2.7 : Ketawang O Sang Sinuci (KA 431) .......................................... 35 Gambar 2.8 : Ladrang Dhuh Sang Sekar (KA 434) ........................................ 35 Gambar 2.9 : Lancaran Rawuha Roh Kang Suci (KA 378) ............................ 35 Gambar 2.10: Skema ketuk kerep .................................................................... 36 Gambar 2.11: Skema ketuk awis...................................................................... 36 Gambar 4.1 : Minggah Ing Pirdus (KA 93) ................................................... 86 Gambar 4.2 : Bait pertama lagu Rawuha Roh Ingkang Murba (KA 384) ...... 87 Gambar 4.3 : Bait pertama lagu Pange Lingua (LU hal. 957) ....................... 88 Gambar 4.4 : Bait pertama lagu Pange Lingua/ Tantum Ergo IV (KSG 23A) 89 Gambar 4.5 : Memujia Pangeran (KA 156) ................................................... 91 Gambar 4.6 : Bait pertama lagu Kula Sowan Gusti (KSG 1) ......................... 94 Gambar 4.7 : Aklamasi salam pada Ritus Pembuka (KA 67) ........................ 96 Gambar 4.8 : Pola lagu 9 (TPE 2005)............................................................. 97 Gambar 4.9 : Anamnese III (KA 127) ............................................................ 98 Gambar 4.10 : Refren dan bait pertama lagu Pindha Sangsam (KA 241)...... 115 xix PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu bangsa dikenal lewat kebudayaannya. Kebudayaan tersebut dapat terwujud melalui berbagai macam hal, seperti bahasa, nyanyian, lukisan, tarian, sifat-perangai, ibadat, dll. Kebudayaan, dengan segala kompleksitasnya tersebut, ada dan berkembang beriringan dengan perkembangan bangsa. Kebudayaan tidak pernah bisa terlepas dari bangsa. Kebudayaan terdapat di mana manusia hidup bersama, kerja sama, mengungkapkan diri dalam acara bersama. Di dalamnya diungkapkan secara simbolis visi dan sikap inti yang menentukan hidup manusia, asal-usulnya dan tujuannya1. Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya dalam bentuk musik gamelan Jawa dengan segala instrumen dan bentuk gendingnya. Cara memainkannya yang komunal dan komposisinya yang unik membuat gamelan Jawa diminati oleh banyak orang, baik dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, musik gamelan Jawa menggunakan tangga nada pentatonis slendro dan pelog, yang intervalnya berbeda dengan tangga nada diatonis yang biasa dikenal. 1 Hans Bernhard Meyer SJ, seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 4-5. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2 Gamelan Jawa tidak dapat dimainkan sebagaimana mestinya, jika tidak dilakukan secara bersama-sama. Dibutuhkan suatu kerjasama dan gotong-royong antar pemain sehingga keindahan lagu dapat diproduksi. Suara bonang barung akan menjadi semakin indah, jika didampingi oleh bonang penerus. Demikian pula, suara gong akan menjadi indah dan bermakna, jika diletakan dalam kesatuan permainan seluruh instrumen gamelan. Lebih jauh dari itu, keindahan lagu tidak semata muncul dari ketepatan cara memainkannya, tetapi juga karena kesatuan rasa antar pemain dan antara pemain dengan musik yang dimainkannya. Tembang-tembang, sebagai musik vokal, diciptakan dengan bentuk dan aturan yang ketat dan jelas, menggunakan permainan kata, serta memiliki syair yang bernas. Untuk tembangnya, orang harus memperhitungkan bunyi akhir, jumlah suku kata, banyaknya baris di dalam bait, dan bentuk lagunya. Sebagai contoh, tembang Maskumambang, yang termasuk dalam kelompok tembang macapat, memiliki aturan 12i, 6a, 8i, 8a. Ini berarti bahwa tembang Maskumambang terdiri dari 4 gatra (baris dalam satu bait), masing-masing gatra memiliki jumlah suku kata tertentu (gatra pertama sebanyak, 12 suku kata; gatra kedua sebanyak 6 suku kata; gatra ketiga dan keempat sebanyak 8 suku kata), dengan bunyi akhir masing-masing gatra adalah i, a, i, a. Berikut ini adalah contoh syair Maskumambang: Ing sabanjure Ingsun wus ora bati Ngunjuk anggur uga Nganti tekan tembe mburi Ngunjuk anggur wohing Swarga PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3 Berbeda dengan musik Barat yang membagi dua bagian jenis musik ke dalam musik sakral dan musik profan, musik Timur tidak memisahkan antara sakral-profan. Musik dan peribadatan menjadi satu kesatuan yang utuh 2. Manusia tidak mungkin hidup tanpa Tuhan, dan keyakinan ini terungkap dalam musik dan nyanyian, yang dalam arti sempit sebagai lagu ibadat; dalam arti luas sebagai lagu rohani; dan dalam arti lebih luas lagi, sebagai lagu pergaulan yang tetap berlatar belakang kosmis3. Dimensi horisontal musik pun tetap dikaitkan dengan dimensi vertikalnya. Melalui musik gamelan, masyarakat Jawa mengungkapkan refleksi kehidupannya dalam berhubungan dengan Tuhan dan sesama. Kekhasan musik gamelan Jawa tersebut menjadi peluang bagi Gereja untuk suatu bentuk inkulturasi. Berkat Konsili Vatikan II, Gereja menjadi semakin terbuka untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian demi semakin luasnya pewartaan Kabar Sukacita, terutama dalam konteks kebudayaan pribumi. SC 37 menjadi dasar inkulturasi: Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli. Kebudayaan setempat dipandang sebagai kekayaan yang menghiasi pelbagai suku bangsa, yang dapat menjadi bagian dari liturgi, sejauh tidak secara mutlak terikat pada takhyul dan ajaran sesat. Tanpa memperhitungkan budaya setempat, 2 3 Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi Musik Liturgi, 15. Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi Musik Liturgi, 18. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 4 Gereja tidak akan tumbuh, semakin diperkaya dan memperkaya. Inkulturasi merupakan keharusan teologis yang muncul dari misteri inkarnasi. Sabda Allah telah mejadi manusia Yahudi, maka Gereja pun harus menjadi Gereja pribumi dimana pun ia berada. Menolak inkulturasi berarti mengingkari universalitas keselamatan4. Inkulturasi Gereja dengan budaya Jawa, khususnya musik gamelan Jawa, menghasilkan gending Gereja, suatu bentuk musik gamelan yang khusus disajikan untuk keperluan peribadatan Gereja. Sesuai dengan fungsinya, penyajiannya bersifat sakral karena ada dalam konteks perayaan liturgi. Budaya Jawa, khususnya musik gamelan Jawa, pun dapat menjadi sarana pertemuan antara manusia dengan Allah. Perkembangan inkulturasi gending Gereja di Keuskupan Agung Semarang tidak bisa dipisahkan dari peran C. Hardjasoebrata. Sebagai seorang seniman, ia melihat peluang pengembangan liturgi melalui musik gamelan Jawa. Pada tahun 1925, ia menciptakan lagu Atur Roncen, Sri Yesus Mustikeng Manis, dan O Kawula Punika. Syairnya diambil dari buku Rerepen Suci dan lagunya dibuat dengan tangga nada pelog. Percobaan-percobaan lain pun ia buat, dengan menciptakan gending berlagu Jawa dengan syair Latin. Awalnya gending-gending ini hanya boleh digunakan di dalam ibadat-ibadat. Usaha inkulturasi gending Jawa ini terus berlanjut, hingga pada tahun 1956 akhirnya Roma mengizinkan gendinggending Gereja ini digunakan di dalam perayaan Ekaristi5. 4 Lih. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, Kanisius, Yogyakarta 1987, 107. Pengantar Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1987, 6-9. 5 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 5 Gending Gereja memang menggunakan tangga nada pelog dan slendro di dalam liturgi. Namun tampaknya tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak. Faktanya, seluruh gending Gereja yang dibuat oleh C. Hardjasoebrata menggunakan tangga nada pelog. Selain itu, dari 547 gending Gereja yang ada di Kidung Adi, 252 lagu di antaranya adalah lagu dengan tangga nada pelog. Lagu bertangga nada pelog itu sebesar 46,1%, dengan sisanya adalah lagu bertangga nada diatonis (38,8%), slendro (11,4%), dan Gregorian (3,7%). Ada kekhususan sehingga tangga nada pelog mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada tangga nada lainnya, di dalam liturgi Gereja. 1.2 Rumusan Masalah Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Titik tolak permasalahan adalah fakta, bahwa tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak di dalam buku Kidung Adi dan gending-gending Gereja ciptaan C. Hardjasoebrata. Pertanyaan dasarnya adalah mengapa tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi? Inti dari teologi liturgi adalah Misteri Paskah, yaitu sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Jika tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi, bagaimana nyanyian-nyanyian dengan tangga nada pelog ini dapat membantu umat beriman dalam menghayati Misteri Paskah ini? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1.3 6 Metode Penulisan Dalam karya tulis ini, penulis akan menggunakan metode studi pustaka dan wawancara. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan dengan musik gamelan Jawa, kebudayaan Jawa, liturgi secara umum, teologi inkulturasi, inkulturasi musik liturgi, dan dokumen-dokumen Gereja mengenai musik liturgi. Narasumber yang akan diwawancarai adalah para pencipta gending Gereja. Analisis peran dan makna tangga nada pelog dalam liturgi akan ditempuh melalui analisis gending-gending Gereja bertangga nada pelog ditatapkan pada teori-teori Teologi Inkulturasi dan dokumen-dokumen Gereja. 1.4 Tujuan Penulisan Skripsi ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, skripsi ini dimaksudkan untuk memperdalam pengetahuan penulis mengenai musik liturgi, khususnya gending Gereja. Dengan mengetahui secara lebih mendalam mengenai gending Gereja, penulis terbantu untuk menghayati liturgi, terutama Misteri Paskah yang menjadi inti dari perayaan liturgi. Kedua, lewat skripsi ini penulis ingin memberikan sumbangan pemikiran bagi umat beriman dalam menghayati liturgi melalui gending Gereja. Ketiga, skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan Sarjana Strata Satu pada Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 7 1.5 Sistematika Penulisan Secara garis besar, tema skripsi ini akan dijabarkan dalam lima bab. Bab I akan membahas mengenai latar belakang tulisan ini dibuat, rumusan masalah, metode penulisan, tujuan dan sistematika penulisannya. Bagian ini menjadi garis besar alur dan cara penulisan skripsi ini. Bab II akan membahas musik gamelan Jawa dari sisi sejarah, sistem tangga nada gamelan Jawa (slendro dan pelog), bentuk tembang dan gending pada umumnya, dan C. Hardjasoebrata sebagai pelopor inkulturasi gending Gereja. Gamelan Jawa merupakan produk kebudayaan Jawa melalui interaksinya dengan kebudayaan Hindu-Jawa, dan Islam-Jawa. Tangganada yang digunakan adalah tangganada slendro dan pelog, masing-masing dengan tiga pathet. Tangganada pelog lah paling mendekati tangganada diatonis. Bab III akan membahas istilah inkulturasi, teologi inkulturasi, tahap-tahap dan metode inkulturasi, serta dimensi-dimensi musik liturgi. Konsili Vatikan II membuka pintu dan jendela bagi perkembangan jaman. Tanpa terbuka pada adanya penyesuaian, Gereja hanya akan menjadi seonggok museum yang sekadar menyimpan dan meneruskan tradisi tanpa mempedulikan orang-orang yang ada di dalamnya. Perayaan liturgi pun menjadi kurang menyentuh karena hanya merupakan urusan hierarki saja, dan partisipasi umat kurang diperhitungkan. Konsili Vatikan II, di antaranya, memberikan pembaharuan liturgi dalam hal partisipasi aktif umat dan penghargaan terhadap kekayaan budaya sebagai upaya pengembangan Gereja lokal. SC 37 menunjukkan bahwa Gereja memelihara dan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 8 memajukan kekayaan budaya setempat serta mempertimbangkannya untuk dapat dipelihara dengan semangat liturgi yang asli dan sejati. Setelah membahas mengenai tangganada pelog dan dasar inkulturasi musik liturgi di dalam dokumen Gereja, bab IV akan membahas peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Gending-gending Jawa memuat nilai kerohanian yang tinggi. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa tidak memisahkan antara musik sakral dan musik profan. Dalam hidup sehari-hari, mereka pun menghubungkan tindakan-tindakan dan kebersamaan hidup dengan Yang Transenden. Musik gamelan yang memuat nilai kerohanian yang tinggi ini, pun disesuaikan dengan semangat liturgi Gereja. Dengan begitu kebudayaan Jawa dan liturgi Gereja dapat saling memperkaya. Bab V adalah kesimpulan dan saran atas topik yang dibahas dalam skripsi ini. Bab ini diharapkan dapat menutup dan menyimpulkan rangkaian penjelasan dan analisis dari bab-bab sebelumnya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB II TANGGA NADA PELOG DALAM MUSIK GAMELAN JAWA Bentuk gending dan instrumen gamelan Jawa yang dijumpai sekarang sudah mengalami perkembangan. Pada beberapa dekade terakhir, muncul jenis musik campursari, yang menggabungkan antara gamelan dengan alat musik elektronik, seperti gitar, bass, keyboard dan drum. Syairnya kebanyakan menggunakan bahasa Jawa Ngoko, yang adalah bahasa pergaulan sehari-hari1. Lagu pentatonis pun diaransemen dengan akor-akor. Hal ini membuktikan bahwa kebudayaan Jawa, khususnya musik gamelan, terbuka terhadap perkembangan dan pembaruan yang diperlukan. Kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Manusia membentuk kebudayaan dan kebudayaan membentuk manusia. Ada hubungan timbal balik antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan akan dapat terus berlanjut jika kebudayaan tersebut dapat terus ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan dan aktualitas zaman. 1 Fajar Sungkono, “Representasi Ideologi Patriarki dalam Lirik Lagu Musik Campursari (Analisis Semiotika Representasi Patriarki dalam Lirik Lagu Musik Campursari Bojo Loro, Mendem Wedoan, Tragedi Tali Kutang oleh Cak Diqin)”, 2009, Diakses dari http://www.publiksi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/858/532. (12 Desember 2012) PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2.1 10 Musik Gamelan Jawa sebagai Musik Khas Jawa Gamelan Jawa tidak serta merta muncul sebagai satu kelompok alat musik lengkap. Dibutuhkan waktu yang lama untuk dapat mencapai jumlah dan komposisi alat musik gamelan seperti yang ada pada zaman ini. Kebudayaan Jawa memiliki kekhasan dan kekayaan. Dalam pertemuannya dengan kebudayaan lain, kebudayaan Jawa berkembang menjadi semakin kompleks dan kaya. Kebudayaan Hindu dan Islam, seperti akan dijelaskan selanjutnya, memberikan pengaruh yang kuat dan memberikan perubahan yang signifikan dalam kebudayaan Jawa, tapi ada pula yang kurang begitu berpengaruh. Dari dirinya sendiri, orang Jawa memiliki keterbukaan kepada kebudayaan dan gagasan-gagasan dari luar. Kebudayaan asing merangsang perkembangan kebudayaan Jawa2. Ada dua kebudayaan asing yang memiliki andil besar dalam perkembangan budaya Jawa, yaitu Hindu dan Islam. Dua kebudayaan ini relatif mudah beradaptasi dan mengalami penyesuaian karena keduanya menjadikan agama sebagai landasan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan persepsi orang Jawa yang juga memiliki pandangan yang serupa. Hal ini pula yang menjadi penjelasan, mengapa lebih banyak digunakan istilah Hinduisasi daripada Indianisasi. Hadirnya pengaruh Hindu tidak semerta-merta menggeser sistem kepercayaan Jawa. Proses penyesuaian berlangsung melalui proses yang disebut 2 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2003, 3. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 11 sebagai lokalisasi. Lokalisasi adalah proses materi-materi India yang cenderung diretak-retak dan diwujudkan kembali dalam konteksnya yang baru. Makna aslinya dikuras dan disesuaikan dengan sistem agama, sosial dan politik konteksnya yang baru. Fragmen-fragmen ini akan memiliki arti dalam suasana yang baru jika proses tersebut sudah tercapai3. Kerajaan Hindu-Buddha pada periode setelah abad ke-5, menjadi tempat berkembangnya kehidupan sosial, agama, politik, kesusastraan dan kesenian. Sistem tulisan dan puisi Hindu diadaptasi oleh budaya Jawa. Kawya, karya sastra dan nyanyian India, mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan Jawa, hingga muncul puisi kekawin Jawa. Isinya sesuai dengan kebudayaan Jawa, namun aturan metrisnya berciri India4. Pada periode selanjutnya, lagu-lagu baru sejenis dinamakan sekar ageng (nyanyian luhur). Kekawin Jawa ini ditampilkan di kalangan bangsawan kerajaan5. Pengaruh Hindu dapat dibagi dalam dua periode, yaitu Hindu Jawa Tengah pada abad ke-9, dan Hindu Jawa Timur pada abad ke-12 sampai abad ke-15. Pada periode antara abad ke-11 sampai abad ke-14, pendidikan musik pertunjukan merupakan suatu keharusan bagi seluruh warga istana dan keluarga bangsawan. Seluruh warga istana dari berbagai macam strata sosial diharuskan untuk belajar kesenian tersebut. Seorang pangeran yang ideal tidak hanya dinilai dari 3 O. W. Wolters seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 7. 4 Dengan sedikit perkecualian, aturan metris pada kakawin sama dengan aturan pada kawya. Aturan-aturan tersebut dirumuskan sebagai berikut: satu bait (stanza) terdiri dari empat baris, dan setiap baris memiliki jumlah suku kata yang sama, serta dibentuk pada pola metris yang sama. Pada pola ini, jumlah setiap suku kata diatur berdasarkan kebutuhan di dalam baris; dan sebuah suku kata dihitung panjang pendeknya, jika suku kata tersebut diikuti oleh lebih dari satu konsonan. Suku kata terakhir pada sebuah baris dapat panjang maupun pendek. P. J. Zoetmulder, Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, Martinus Nijhoff, Hague 1974, 102. 5 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 7, 17. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 12 ketampanannya saja, tetapi juga bagaimana ia memiliki keterampilan dalam hal seni6. Kemampuannya dalam seni dan musik dipertunjukkan dalam suatu acara hiburan bersama, dengan juga adanya penampilan dari para penyair kerajaan dan dayang-dayang. Musik menjadi sarana keakraban untuk para anggota dan abdi istana dari berbagai kedudukannya 7. Data mengenai pengaruh Hindu Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai abad ke-10, sangatlah kurang. Beberapa candi dan monumen memang memberikan gambaran sekilas mengenai alat musik periode tersebut. Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 oleh dinasti Syailendra, menggambarkan adanya beberapa alat musik India kuno, yaitu seruling, gendang berbentuk kerucut, dan alat musik petik seperti lute, tetapi alat-alat ini sudah tidak ada lagi di Jawa. Memang ada alat musik yang menyerupai kethuk dan saron yang ada sekarang, tetapi kepastiannya masih perlu ditegaskan kembali8. Orang Jawa mengklaim bahwa musik gamelan sudah ada jauh sebelum periode Prambanan dan Borobudur9. Beberapa ahli memperkirakan bahwa absennya gamelan pada relief candi Borobudur dikarenakan alasan politis10. Pada masa itu, Jawa dikuasai oleh bangsa India. Maka, segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa, termasuk alat musik, tidak boleh ditampilkan. Alasan ini masih perlu dibuktikan validitasnya, karena tidak ada data yang secara lengkap dan gamblang yang 6 P. J. Zoetmuder, Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, 152, 154. Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 19. 8 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 359. 9 Jennifer Lindsay, Javanese Gamelan: Traditional Orchestra of Indonesia, Oxford University Press, Singapore-Oxford-New York 1986, 3-4. 10 Mantle Hood seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 359. 7 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 13 mengatakan bahwa Jawa pernah dijajah oleh India. Gagasan mengenai Asia Tenggara yang pernah dijajah oleh India, ditolak. Laporan sejarah lebih menunjuk pada proses Indianisasi yang menekankan kekuatan adaptasi lokal11. Periode Hindu Jawa Timur pada abad ke-12 sampai abad ke-15 diwarnai dengan kontak antara musik Jawa dan Bali. Hubungan tersebut sudah ada sejak abad ke-10, berlanjut pada masa Raja Erlangga di Kediri pada abad ke-12, dan memuncak pada masa Majapahit pada abad ke-14. Majapahit melakukan pengiriman barang dan mendirikan kerajaan-kerajaan Jawa di Bali. Bahasa Jawa kuno digunakan di Bali dengan penyesuaian-penyesuaian12, dan masih digunakan sampai saat ini, terutama dalam pertunjukan teater tradisional Bali berbentuk naratif maupun musikal13. Beberapa alat musik Jawa ditemukan di Bali. Gamelan Gambuh dan empat macam ansambel keramat yang terdiri dari selonding, caruk, gambang dan luang, berasal dari Hindu Jawa. Gamelan Gambuh yang memiliki tujuh nada merupakan kelanjutan dari musik Jawa Timur pada abad ke-12. Sistem tujuh nada memang digunakan pada abad ke-12, bahkan sebelumnya14. Bonang dan saron pada Gamelan Luang yang ada di Bali, sama dengan instrumen musik Jawa dengan nama yang sama. Teknik permainan yang dinamakan sekatian pun ada hubungannya dengan Sekaten, suatu jenis gamelan 11 O. W. Wolters seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 359. 12 O. W. Wolters, History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives, Institute of Southeast Asian Studies, Pasir Panjang 1982, 26. 13 Walis seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 22. 14 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 22. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 14 Jawa kuno15. Berdasarkan kesamaan-kesamaan tersebut, diambillah suatu kesimpulan bahwa instrumen musik Jawa yang dibawa ke Bali mengalami suatu penyesuaian sehingga sesuai dengan perasaan lokal16. Kontak kebudayaan antara Hindu Jawa Timur dan Bali terputus dengan datangnya Islam17. Kekuasaan kerajaan Hindu-Jawa mulai surut karena adanya ekspansi Islam pada abad ke-15 melalui jalur perdagangan. Konflik antara para pedagang Islam dan bangsawan Hindu-Jawa mengakibatkan kemunduran pusatpusat kerajaan Hindu seperti Majapahit18. Islam sudah masuk dan tersebar di Asia Tenggara dan di Kepulauan Indonesia sejak abad ke-12 dan abad ke-13. Masuknya Islam ke Indonesia tidak melalui jalan yang sama. Cerita mengenai orang suci dan para penyebar agama Islam dan tanah asal usul mereka sangat beragam 19. Kenyataan yang pasti adalah, bahwa di Aceh, Sumatera Utara, para penguasa di beberapa kota pelabuhan penting sudah menganut Islam sejak paruh kedua abad ke-13. Pada masa itu, hegemoni politik di Jawa Timur masih dipegang oleh raja-raja beragama Hindu Syiwa dan Buddha di Kediri dan Singasari. Majapahit, yang berperan penting di abad ke-14, belum berdiri. Besar pula kemungkinan bahwa sudah ada orang-orang Islam yang menetap di Jawa pada abad ke-13. Penyebabnya adalah karena jalur perdagangan melalui pantai timur Sumatera melewati Laut Jawa menuju ke 15 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 22-23. Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 23. 17 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 21. 18 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 24. 19 H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, Grafiti Pers, Jakarta 1985, 18. 16 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 15 kepulauan rempah-rempah di Maluku20, Indonesia bagian timur, sudah sejak lama ditempuh. Para pelaut, baik yang beragama Islam atau pun tidak, singgah di pusatpusat permukiman di pantai utara Jawa21. Bandar-bandar di sepanjang laut Jawa juga menarik perhatian para pedagang karena tiga hal. Pertama, bandar-bandar di pantai utara Jawa merupakan pangkalan. Mereka membeli beras dan air sebagai perbekalan untuk berlayar selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan22. Kedua, bandar-bandar di pantai utara Jawa telah menjadi tempat penimbunan dan penjualan rempahrempah. Para pelayar dapat membeli rempah-rempah di bandar tersebut, jika mereka datang pada musim yang tepat. Perkawinan campur antara para pedagang dengan kaum bangsawan daerah, pegawai-pegawai raja, atau anggota keluarga raja, dijadikan sebagai tanda jalinan relasi dan pendukung perdagangan23. Ketiga, bandar-bandar laut tersebut juga menjadi tempat kedudukan para pengusaha dan pemilik kapal. Mereka menyediakan kapal-kapal laut untuk perdagangan dengan daerah seberang lautan. Usaha ini membutuhkan modal yang sangat besar. Maka, dibutuhkanlah kerja sama antara pedagang dari golongan masyarakat yang bermodal kuat. Dalam pelayaran yang dilakukan, ada orang yang berasal dari berbagai tempat dan bahasa yang ikut menyusuri pantai-pantai Asia Tenggara, Kepulauan Indonesia dan India. Karena keragaman inilah Islam cukup lambat dalam melakukan perubahan-perubahan besar24. 20 H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 24. H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 18-19. 22 H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 24. 23 H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 25. 24 H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, 26. 21 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 16 Periode Islam-Jawa pada abad ke-15 sampai abad ke-17, menjadi periode transisi dan krisis kebudayaan. Krisis kebudayaan terjadi bukan hanya karena peperangan antara pedagang Islam dan bangsawan Hindu, tetapi juga antara kalangan Islam sendiri25. Islam legalis dan Islam Jawa sinkretis-mistis saling bertentangan26. Keduanya mempertimbangkan pengaruh profan dari seni pertunjukan terhadap ajaran dan kehidupan religius mereka. Islam legalis cenderung menolak seni pertunjukan yang dapat mereduksi iman mereka. Sedangkan, Islam Jawa sinkretis-mistis menerima seni pertunjukan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Para Sufi Islam, seperti akan dijelaskan selanjutnya, mendukung adanya sinkretisme antara Islam dan budaya Jawa. Contoh ini dapat dilihat dari digunakannya terbangan sebagai iringan pertunjukkan wayang dan slawatan27. Perpaduan antara ajaran Islam dan seni pertunjukan Jawa ini mengalami banyak perdebatan di dalam prosesnya. Ceritera wayang yang menggunakan keluarga Muhammad sebagai tokohnya, melanggar ajaran agama Islam28. Iringan musik terbangan pun tidak boleh dipergunakan sebagai iringan pertunjukan wayang. Sifat sakral dan profan tidak boleh dicampur-adukkan dalam suatu pertunjukan. Pertentangan antara tradisi lama dan baru menunjukkan perlunya para pemimpin agama Islam untuk merangkul tradisi lama demi perkembangan dan penyebarluasan agama Islam29. 25 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 25. Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 31. 27 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33. 28 Serat Cabolek seperti dikutip dalam Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33. 29 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33. 26 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 17 Budaya Jawa memang memiliki keterbukaan dan toleransi terhadap budaya lain. Namun, hal ini juga tergantung dari kondisi sosial-politik yang mewarnai proses keterbukaan dan toleransi dalam penerimaan unsur-unsur baru tersebut. Kendati orang Jawa sudah berinteraksi selama dua abad dengan Islam, keraguan dalam eksperimen penggabungan dua musik dari masing-masing budaya tersebut, tetaplah ada30. Keberhasilan penyebaran agama dan musik Islam didukung oleh adanya Islam Sufi. Sufisme berkembang pada pertengahan abad ke-9 dan masuk ke Indonesia melalui para pedagang Islam31. Sufisme adalah Islam mistik yang hidupnya menekankan sikap asketik32. Mereka lebih menekankan: hal-hal batiniah melebihi lahiriah, kontemplasi atas tindakan, pembinaan jiwa di atas interaksi sosial, dan perkembangan spiritual di atas aturan hukum33. Manusia dan Yang Transenden ada pada komunikasi langsung melalui intuisi dan pancaindera spiritual dan emosional34. Proses perkenalan dan diterimanya Islam mistik ini relatif tenang35. Para pedagang Islam yang datang ke Indonesia, telah terlebih dahulu mengalami kontak dengan Hinduisme di Gujarat, tempat asal mereka 36. Keadaan ini mempermudah proses mereka diterima oleh orang-orang Jawa, karena orang- 30 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33. Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 35. 32 John L. Esposito (eds.), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Mizan, Bandung 2001, 222. 33 John L. Esposito (eds.), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, 223. 34 J. Spencer Trimingham seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 35. 35 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 35. 36 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 363. 31 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 18 orang Jawa pun sudah mengalami kontak dengan Hinduisme dalam kurun waktu 11 abad sebelum Islam datang. Para Sufi berpandangan bahwa musik memiliki arti yang esensial untuk kebersatuan dengan Allah dan kebaktian agama. Musik dapat mengantarkan mereka pada keadaan ekstase. Pendekatan emosional untuk mencapai pencerahan agama (religious enlightenment), ditekankan. Alasan inilah yang menyebabkan musik memiliki fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Islam37. Pada akhirnya, mereka tidak hanya menerima musik terbangan sebagai musik yang dapat membantu dan memiliki peran dalam kehidupan religius mereka, tetapi juga musik gamelan Jawa. Para pemimpin Sufi juga melihat kepentingan dan peran dari seni pertunjukan yang berhubungan dengan musik gamelan Jawa. Salah satu contohnya adalah acara doa mingguan Islam pada setiap hari Jumat (Jumungahan) dan setiap hari kelahiran Pangeran Mangkunegara38. Dzikir dan musik terbangan tampil bergantian dengan pertunjukan non-Islam39: tari serimpi, tari bedhaya 40, termasuk minum-minum dan judi41. Ritual yang dilakukan di kraton mengembangkan hubungan yang erat antara budaya Islam dan Jawa baik dalam konteks sekular maupun keagamaan42. Hiburan sekular dan aktivitas keagamaan adat Islam dan Jawa hidup berdampingan dengan relatif tidak bertentangan43. 37 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 36. Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 36. 39 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 37. 40 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 38. 41 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 39. 42 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 37. 43 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 39. 38 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 19 Rebab juga masuk seiring masuknya Islam ke Indonesia. Rebab adalah alat musik gesek khas daerah Timur Dekat yang berkembang pada abad ke-8. Orang Arab membawanya ke daerah timur sejauh Indonesia, Afrika Selatan dan Spanyol44. Pada abad ke-15, rebab berkembang menjadi beberapa alat musik dengan jumlah senar yang bervariasi mulai dari satu sampai lima senar45, dan menjadi awal mula dari biola46. Rebab dipertimbangkan sebagai alat musik pemimpin yang membawakan nada inti di dalam musik gamelan. Wilayah nada rebab seluas wilayah nada alur lagu gending. Rebab slendro berwilayah dua oktaf dan dua nada, sedangkan rebab pelog berwilayah dua oktaf dan tiga nada47. Luas lagu gending juga tidak akan melebihi luas wilayah nada rebab ini. Rebab dapat digunakan pada tangga nada apapun, sesuai dengan kehendak para pemain rebab itu sendiri48. Karakter suaranya yang vokal dan melodis membedakannya dari suara alat-alat ritmis lain49, seperti bonang, slentem, kenong, demung, saron, dan peking. Pada kebanyakan gending, rebab berperan sebagai pemimpin dengan membuka gending, menentukan laras, dan pathet gending yang akan dimainkan. Rebab juga menuntun pergantian gending dari seksi yang satu ke seksi yang lain50. 44 Christine Ammer, The Facts of File Dictionary of Music, Facts on File, New York 2004, 333. Michael Kennedy, The Concise Oxford Dictionary of Music, Oxford University Press, Oxford 1980, 522. 46 Arthur Jacobs, The New Penguin Dictionary of Music, Penguin, London 1978. 47 Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, STSI, Surakarta 2002, 22. 48 “Nanging sajatosipun rebab punika kenging kangge raras punapa kemawon, miturut sakajengipun ingkang ngrebab.”, R. Ng. Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan Wedhapradangga (Serat Saking Gotek) Jilid I-IV, Agape, Sala 1990, 6. 49 Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, 23. 50 Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 340-341. 45 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 20 Hubungan Hindu dan Jawa tetap berlangsung melalui jalur perdagangan. Kebudayaan Hindu masih tetap dapat berjalan dan dihidupi karena Islam tidak serta merta dapat mengubah dan mempengaruhi budaya Hindu. Para penguasa Islam tampaknya telah mengenal budaya Hindu, karena mereka telah lama berada di bawah pengaruh budaya tersebut. 2.2 Sistem Tangga Nada Gamelan Jawa Gamelan Jawa memiliki dua sistem tangga nada, yaitu slendro dan pelog. Asal mula kedua tangga nada tersebut tidak dapat dirunut lebih jauh, karena kurangnya data historis. Beberapa ahli mencoba untuk meneliti asal mula dua tangga nada tersebut, terutama melalui keterkaitannya dengan konteks zaman. Jawaban-jawaban mereka pun masih berupa hipotesis. Kunst mengutip beberapa pendapat Raden Mas Surjaputra dan E. M. Von Hornbostel. Raden Mas Surjaputra berpandangan bahwa tangga nada pelog memiliki hubungan dengan tangga nada Hindustan, tapi pada lain waktu ia berpikir bahwa tangga nada ini adalah asli Jawa. Berdasarkan pemahaman umum yang diwarnai oleh mitos, tangga nada slendro adalah hadiah dari salah satu dewa Hindu. Tangga nada pelog merupakan hasil perubahan slendro yang dilakukan oleh tangan orang yang tidak sopan dan berani. Professor von Hornbostel, seorang etnomusikolog Jerman51, berpendapat bahwa kedua tangga nada tersebut berasal 51 Hornbostel, “Music of the Orient”, Diakses dari http://www.folkways.si.edu/music-of-theorient/central-asia-islamic-world/album/smithsonia. (12 Desember 2012). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 21 dari Cina, yang juga kemungkinan berasal dari tempat yang lebih jauh dan waktu yang lebih lampau, yaitu dari Turki di Asia Tengah52. Kunst menyatakan bahwa berdasar pada fakta historis yang dapat dilihat secara jelas, pelog datang lebih dahulu beberapa abad ke Jawa dan Bali dibandingkan dengan slendro. Pelog masuk ke Jawa melalui orang-orang MalayPolinesian yang datang beberapa abad sebelum masehi. Perkembangan politik pun mendukung masuknya pelog ke Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali. Sedangkan, slendro masuk ke Jawa pada abad ke-8, saat dinasti Syailendra sedang berkuasa. Syailendra menurunkan namanya pada gamelan slendro. Kata Syailendra sama dengan kata slendro53. Sebaliknya, Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa tangga nada slendro lebih tua daripada pelog. Ia sendiri tidak memberikan keterangan lebih lanjut dari pendapatnya tersebut. Namun, ia mengungkapkan bahwa tangga nada yang paling tua adalah tangga nada Barang-miring. Tidak ada gamelan untuk tangga nada ini, karena pada zaman tangga nada ini digunakan, belum ada orang Jawa yang dapat membuat gamelan. Mereka baru memiliki suling, gambang calung dan kendang54. Slendro memang sempat menggantikan pelog kuno, tetapi penemuanpenemuan saat ini memastikan bahwa keduanya, slendro dan pelog, digunakan oleh orang Jawa. Sebagai contoh, slendro digunakan untuk mengiringi Wayang Purwa; sedangkan, pelog digunakan untuk seni-seni bernuansa pra-Hindu, atau 52 J. Kunst, The Music of Java, Koninklijke Vereeniging „Koloniaal Instituut‟, Amsterdam 1973, 2-3. 53 J. Kunst, The Music of Java, 2. 54 Ki Hadjar Dewantara- M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending Djawa¸ Sadubudi, Solo 1936, 52. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 22 juga non-Hindu dengan upacara tertentu, beberapa bentuk tarian, dan dengan wayang gedog yang menceritakan kisah Pandji yang asli berasal dari Jawa55. Ada pula penjelasan mengenai asal mula terciptanya tangga nada slendro. Namun, penjelasan ini lebih bersifat legenda. Seperti legenda yang mengatakan, bahwa pada tahun 187 M, Sang Hyang Indra membuat suatu gamelan bernama Surendra, yang lama kelamaan berubah nama menjadi Salendro (slendro). Gamelan ini memiliki lima instrumen, yaitu gendhing (rebab), kala (kendang), sangka (gong), pamatut (kethuk), dan sauran (kenong)56. Lagu gendingnya masih berasal dari sekar kawi atau tembang ageng, yang nadanya juga diikuti oleh rebab bertangga nada slendro57. Menurut Karl-Edmund Prier, SJ, ada kemungkinan bahwa tangga nada pelog merupakan tangga nada asli Jawa. Memang beberapa daerah di Indonesia, seperti Sumatera, Bali, dan Papua, juga memiliki tangga nada pentatonisnya. Sumatera pun sekali-sekali menggunakan tangga nada pelog dalam nyanyiannya. Namun tampaknya tangga nada pentatonis bernama pelog memang hanya ada di Jawa58. Tangga nada pelog membutuhkan konsentrasi tinggi dan kesungguhan hati untuk menyanyikannya. Dalam suatu pengalaman lokakaryanya di Papua, KarlEdmund Prier mengalami bahwa seseorang dapat mencapai tangga nada pelog dengan konsentrasi yang tinggi. Padahal, sebelumnya orang tersebut menyanyikan 55 J. Kunst, The Music of Java, 3. R. Ng. Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan Wedhapradangga (Serat Saking Gotek) Jilid I-IV, 5. 57 R. Ng. Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan Wedhapradangga (Serat Saking Gotek) Jilid I-IV, 6. 58 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, pukul 12.00 WIB, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta. 56 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 23 bertangga nada pentatonis: la-sol-mi-re-do-la, yang berubah menjadi do-si-so-fami-do59. Dari sisi ilmu melodi, tangga nada slendro dan pelog masuk dalam kategori tangga nada pentatonis modal, yaitu tangga nada lima nada yang memakai nada tertentu sebagai nada finalis. Tangga nada pentatonis dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu tangga nada lima nada tanpa setengah laras dan tangga nada lima nada dengan setengah laras. Tangga nada slendro masuk dalam kategori tangga nada lima nada tanpa setengah laras, sedangkan pelog masuk dalam kategori tangga nada lima nada dengan setengah laras60. 2.2.1 Tangga Nada Slendro61 Satu oktaf terdiri dari 1200 cent. Dalam musik Barat, 1200 cent ini dibagi dalam 12 kali setengah nada (sekon kecil). Setiap sekon kecil memiliki jarak 100 cent. Nada-nada kromatik pun tersusun: C – Cis – D – Dis – E – F – Fis – G – Gis – A – Ais – B – C62. Dalam gamelan slendro, satu oktaf dibagi dalam lima interval yang sama besar, yaitu 240 cent. Nada ji dan ro berjarak 240 cent; nada ro dan lu berjarak 59 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta. 60 Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1979, 82-83. 61 Teori ini berdasarkan pada wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta. 62 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 24 240 cent; nada lu dan ma berjarak 240 cent; nada ma dan nem berjarak 240 cent; nada nem dan ji berjarak 240 cent. Masing-masing nada pun memiliki interval yang lebih besar satu nada dibandingkan dengan nada kromatik musik barat, maka tidak mungkin dibunyikan pada piano atau organ. Berikut ini adalah skala interval tangga nada slendro: Nada : ji Jarak (cent) : ro 240 lu 240 ma 240 nem 240 ji 240 Gambar 2.1: Tangga nada slendro Kendati teori menyatakan bahwa setiap sekon memiliki besar interval yang sama, kenyataan membuktikan, bahwa terdapat berbagai jenis interval slendro. Karl-Edmund Prier mengungkapkan, bahwa paling tidak ada dua macam slendro: 1. Tangga nada slendro misalnya dengan interval Nada : ji Jarak (cent): ro 235 lu 245 ma 235 nem 235 ji 245 Gambar 2.2: Interval pertama tangga nada slendro Ada interval yang lebih kecil, yaitu 235 cent; dan, ada interval yang lebih besar, yaitu 245 cent. Bunyinya pun mirip dengan sol-la-do-re-mi-sol. 2. Tangga nada slendro misalnya dengan interval Nada : Jarak (cent): ji ro 245 lu 235 ma 235 nem 245 Gambar 2.3: Interval kedua tangga nada slendro ji 235 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 25 Maka, bunyinya mirip dengan la-do-re-mi-sol-la. Tangga nada slendro memiliki tiga pathet. Pathet adalah suatu sistem yang mengatur tugas-tugas nada di dalam suatu lagu. Ada nada yang berperan penyalur atas, maupun penyalur bawah 63. Sistem pathet sama dengan sistem modal yang memuat modus-modus (modi), yaitu dengan mengunakan nada tertentu sebagai nada finalis atau tujuan. Tiga pathet tersebut adalah sebagai berikut: 1. Slendro pathet sanga, dengan nada finalis 5, bertangga nada: mo-nemji-ro-lu-ma. Contoh: Mangga-mangga Sesarengan (KA. 161), Mugi Gusti Kersaa Nampi (KA. 210), Pralambang Kraton Swarga (KA. 418), Kidung Para Suci (KA. 445), dan Ing Dalu Punika (KA. 450). 2. Slendro pathet nem, dengan nada finalis 2, bertangga nada: ro-lu-monem-ji-ro. Contoh: Suci (KA. 222), Sembah Nuwun (KA. 246). 3. Slendro pathet manyura, dengan nada finalis 6, bertangga nada: nemji-ro-lu-ma-nem. Contoh: Paring Padhang (KA. 197), Sembah Nuwun (KA. 257), Mendah Kita Tanpa Panuwun (KA. 391), O Tyas Dalem Lir Samudra (KA. 408). Sebetulnya masih ada dua pathet slendro, tetapi hanya ada tiga yang terkenal. Dua pathet tersebut masing-masing bertonika nada 1 dan 364. 63 64 M. Siswanto, Tuntunan Karawitan I, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 2011, 26. M. Siswanto, Tuntunan Karawitan I, 26-27. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 26 2.2.2 Tangga Nada Pelog65 Tangga nada pelog termasuk dalam tangga nada hemitonis/ dengan setengah nada, yang terdiri dari lima nada. Interval tangga nada ini tersusun atas terts besar dan sekon kecil, misalnya do-mi-fa; sol-si-do. Keunikan susunan nada pada saron adalah bahwa terdapat tujuh nada yang memungkinkannya untuk dapat dipakai dalam tiga pathet yang berlainan. Sepintas memang tampak bahwa tangga nada ini memiliki tujuh nada, tapi pada kenyataannya nada heptatonik ini adalah suatu kumpulan nada pentatonis biasa. Ketujuh nada tersebut tidak dipakai sekaligus dalam satu permainan66. Tangga nada pelog memiliki tiga pathet: 1. Pelog pathet nem, dengan nada pangkal 6, bertangga nada: ji-ro-luma-nem-ji. Modus ini tidak memiliki nada pat dan pi. Nada : Jarak (cent): ji ro ±125 lu 175 ma ±375 nem 125 ji 375 Gambar 2.4 : Pelog pathet nem Nada ji-ro berinterval sekon kecil (125 cent), ro-lu berinterval sekon (175 cent), lu-ma berinterval terts besar (375 cent), ma-nem berinterval sekon kecil (125 cent), dan nem-ji berinterval terts besar 65 Teori ini berdasarkan pada wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta. 66 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi; lihat pula J. Kunst, The Music of Java, 3. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 27 (375 cent). Dalam gamelan dengan nada nem=Bes, nada-nada tersebut berbunyi kurang lebih: D-Es-F-A-Bes-D‟, atau mi-fa-sol-si-do-mi. Contoh lagu dari tangga nada ini: Memujia Pangeran (KA. 156), Andher Pra Abdi (KA. 158), Klawan Sukeng Wardaya (KA. 206), Amba Asih Mring Pangeran (KA. 240), O Sakramen Maha Suci (KA. 245), Dak Sawang Mareming Ati (KA. 254), Magnificat (KA. 255). 2. Pelog pathet barang, dengan nada pangkal 3, bertangga nada: ro-luma-nem-pi-ro. Modus ini tidak memiliki nada ji dan pat. Nada : Jarak (cent): ro lu 125 ma 375 nem 125 pi 175 Gambar 2.5 : Pelog pathet barang Nada ro-lu berinterval sekon kecil (125 cent), lu-ma berinterval terts besar (375 cent), ma-nem berinterval sekon kecil (125 cent), dan nempi berinterval sekon (175 cent). Dalam gamelan dengan nada nem=Bes, nada-nada tersebut berbunyi kurang lebih: Es/E-F-As/ABes-C‟, atau si-do-mi-fa-sol. Contoh lagu dari tangga nada ini: Bumi Horeg (KA. 356), Cempeku Paskahan (KA. 357), Cempe Paskah (KA. 358), Mendah Kita Tanpa Panuwun (KA. 390). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 28 3. Pelog pathet lima, dengan nada pangkal 5, bertangga nada: ji-ro-patma-nem-ji. Modus ini tidak memiliki nada lu dan pi. Nada : Jarak (cent): ji ro ±125 pat ±375 ma 175 nem 125 ji 375 Gambar 2.6: Pelog pathet lima Nada ji-ro berinterval sekon kecil (125 cent), ro-pat berinterval terts besar (375 cent), pat-ma berinterval sekon (175 cent), ma-nem berinterval sekon kecil (125 cent), dan nem-ji berinterval terts besar (375 cent). Dalam gamelan dengan nada nem=Bes, nada-nada tersebut berbunyi kurang lebih: D-Es-G-As/A-Bes-D‟, atau mi-fa-sol-si-do-mi. Contoh lagu untuk tangga nada ini: Para Kadang Galilea (KA. 368), Allah Minggah (KA. 369), Kawula Aturi (KA. 376). Menurut Karl-Edmund Prier, keunikan dari tangga nada pelog adalah nada ro yang menjadi nada kompromi. Dalam pathet nem nada ro ditafsirkan sebagai fa (ro rendah), dan dalam pathet barang ditafsirkan sebagai si (ro tinggi). Sedangkan nada ma dalam pathet nem ditafsirkan sebagai si (ma tinggi), dan dalam pathet lima ditafsirkan sebagai fa (ma rendah). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2.3 29 Bentuk Gending pada Umumnya Dalam karawitan, bentuk gending dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu gending dalam arti balungan dasar gending dan tembang atau nyanyian. Balungan adalah kerangka lagu gending yang dimainkan menggunakan instrumen gamelan. Kata balungan berasal dari kata balung dalam bahasa Jawa, yang berarti tulang atau kerangka. Balungan sendiri dapat digunakan dalam dua arti, yaitu sebagai kerangka lagu pokok gending dan sebagai kelompok instrumen tertentu (saron, demung, dan slentem) di dalam gamelan yang khusus memainkan nadanada inti67. Sedangkan istilah tembang didefinisikan sebagai musik vokal, suatu karya sastra yang harus dilagukan dalam penyajiannya 68. 2.3.1 Jenis-jenis Tembang Tembang dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu: 2.3.1.1 Tembang Macapat atau Alit Tembang Macapat atau Alit adalah tembang yang biasa digunakan untuk membaca buku dan juga sebagai gerongan (dibawakan dalam paduan suara 67 R. L. Martopangrawit seperti dikutip dalam Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, 13. 68 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, STSI Press, Surakarta 2006, 45. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 30 dengan irama yang metris) dengan menggunakan bahasa Jawa baru69. Tembangtembang macapat terdiri dari: Dandanggula, Mijil, Asmaradana, Sinom, Pangkur, Durma, Kianti, dan Pucung70. Dalam perkembangannya, beberapa tembang tengahan pun masuk dalam kelompok tembang ini, yaitu Gambuh, Megatruh atau Duduwuluh, Balabak, Wirangrong, dan Jurudemung. Tembang ageng yang masuk dalam kelompok ini adalah Girisa71. Setiap tembang macapat diatur dalam ketentuan gurulagu (jatuhnya bunyi akhir pada tiap baris), guruwilangan (jumlah suku kata pada tiap baris), dan gurugatra (jumlah baris pada tiap bait). Aturan ini bersifat tetap dan ketat, kendati tembang ini dinyanyikan dengan cengkok atau lagu yang berbeda-beda. Masingmasing tembang macapat memiliki lebih dari satu cengkok72. Berikut ini adalah contoh syair Sinom73: Pawarta Kratoning swarga Mangsa cacawis mring Gusti Bakal rawuh paring warta Kratoning Allah wus prapti King Yoanes Pambaptis Pawarta ing ngrara samun Jroning tlatah Yudhea Martobata sira aglis Mrih widada ing tembene bagya mulya. 69 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 47. 70 R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu, Sadubudi, Solo 1957, 38. 71 J. Kunst seperti dikutip dalam Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 46. 72 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 46-47. 73 Diambil dari “II. Pawarta Bab Kratoning Swarga: A. Mangsa Cacawis: Gusti Bakal Rawuh Martakake Kratoning Allah” dalam G. P. Sindhunata, SJ dan Ag. Suwandi, Injil Papat: Piwulang Sang Guru Sejati Ing Tembang Macapat, Boekoe Tjap Petroek, Yogyakarta 2008, 67. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2.3.1.2 31 Tembang Tengahan atau Madya Tembang Tengahan atau Madya adalah tembang yang banyak dipergunakan sebagai bawa, untuk memulai suatu gending. Tembang ini menggunakan bahasa Jawa tengahan dengan diatur dalam ketentuan tembang yang sama seperti tembang macapat74. Contoh dari tembang jenis ini adalah Kuswarini, Kuswawirangrong, Jurudemung, Blabak, Pamiwalkung, Lontang, Girisaja, Megatruh, Dudukwuluh, Maskumambang, Kelingan, Pamungu, Raradenok, Onanganing, dan Kalajaran75. Berikut ini adalah contoh tembang Megatruh76: Sigra milir Sang getek sinangga bajul Kawan dasa kang jageni Ing ngarsa miwang ing pungkur Tanapi ing kanan kering Kang getek lampahnya alon. 2.3.1.3 Tembang Gedhe atau Ageng Tembang Gedhe atau Ageng adalah tembang yang digunakan sebagai bawa atau suluk dalam pedalangan. Tembang ini adalah jenis tembang yang tertua dan masih menggunakan bahasa Jawa Kawi atau Jawa Kuna. Secara ketat, jenis 74 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 47. 75 R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu, 34-37. 76 Gending Ketawang Megatruh, dari M. Siswanto, dkk., Gending-gending Beksan II Ketawang, Konservatori Tari Indonesia, Yogyakarta 1975, 44. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 32 tembang ini diatur dalam ketentuan dalam satu bait (sapadeswara) terdiri dari 4 baris (padapala); satu bait dibagi menjadi dua, masing-masing terdiri dari dua baris yang disebut sapadadirga; jumlah suku kata dalam tiap baris disebut salampah/ salaku, dan paling sedikit terdiri dari lima suku kata (lampah 5); menggunakan pedhotan, khususnya bagi tembang ageng yang berlampah tujuh atau lebih77. Contoh dari jenis tembang ini adalah Citramengeng78, Sikarini, Bangsapatra79, Citrarini dan Madayanti80. Berikut ini adalah syair tembang Citrarini yang diciptakan oleh KRT Madukusuma81: Langen pradangga, ngesti lebdeng pra siswa Mardi mardawa kagunan karkarena Mung haywa kemba miwah mengeng ing karna Antep ing sedya lir parta mangsah yuda. 2.3.1.4 Tembang Dolanan Istilah tembang dolanan pada awalnya digunakan untuk menyebut jenis tembang permainan anak. Namun pada perkembangannya, istilah ini pun digunakan untuk menyebut tembang-tembang hasil kreasi baru dan digunakan untuk membedakannya dengan tembang-tembang klasik yang adi luhung82. 77 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 47. 78 R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu, 22. 79 R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu, 26. 80 Purwadi, dkk., Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Bina Media, Yogyakarta 2005, 528. 81 Purwadi, dkk., Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, 528. 82 Rahayu Supanggah seperti dikutip dalam Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 48. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 33 Beberapa tembang dolanan karya C. Hardjasoebrata yang cukup populer adalah Sinten Nunggang Sepur, Sapa Munggah Gunung, Kupu Kuwe, Go Jago, Bagong Ngamuk83, Kursi Jebol, Adiku, Omahku, Buta Cakil Untu Telu, Kathok Putih, Palang Sepur84. Berikut ini adalah contoh syair tembang Omahku85: Kowe tak kandhani prenahe omahku Nurut dalan iki ana omah jejer telu Latar jembar gilar-gilar Omah gedhong anyar lawang kaca nganggo gambar Sing wetan cete ijo, sing kulon cete kuning. Sing tengah campuran ijo royo-royo sulak kuning Aja wedi-wedi kowe ndang mlebua wae, Nanging aja gedhong kuwi, omahku presis mburine. 2.3.1.5 Beberapa Jenis Tembang Lain Sindhenan adalah tembang yang dinyanyikan secara tunggal oleh seorang pesinden atau waranggana. Sulukan adalah tembang yang dinyanyikan oleh dalang pada awal atau akhir suatu gending, atau di tengah-tengah pocapan dengan tujuan untuk menciptakan suatu suasana tertentu yang diharapkan. Sebagai contoh, tlutur digunakan untuk menciptakan suasana prihatin dan sedih, kawin digunakan untuk menciptakan suasana bersemangat, dan ada-ada digunakan 83 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 66. 84 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 85. 85 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 85. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 34 untuk suasana tegang atau marah. Laras dan pathet sulukan disamakan dengan laras dan pathet gending yang akan atau sudah dimainkan86. 2.3.2 Jenis-jenis Gending Ada berbagai macam perbedaan jenis-jenis gending menurut para ahli. Hal ini lebih disebabkan karena perbedaan persepsi mengenai definisi kata ageng, tengahan dan alit. Mereka tetap menggunakan ketiga kriteria ukuran tersebut dengan penerapan yang agak berbeda. Ki Hajar Dewantara membagi gending dalam tiga kelompok, yaitu alit, tengahan, dan ageng. Gending yang termasuk dalam kelompok gending alit adalah Ketawang, Ladrang, Gangsaran, Tropongan, dan Bibaran. Kecuali bentuk tersebut, gending alit lain memiliki pola tabuhan instrumen struktural yang berbeda, yaitu Sampak, Playon, Srepegan, Ayak-ayak dan Prenesan. Gending tengahan terdiri dari gending-gending dengan pola kendang Candra, Sarayuda, Gandrung-gandrung, dan Lahela. Beberapa lagu yang termasuk kategori gending ageng adalah gending-gending dengan pola kendang Mawur, Jangga, Semang87. 86 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 48-49. 87 Ki Hadjar Dewantara- M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending Djawa¸ Sadubudi, Solo 1936, 50-51. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Berikut ini adalah contoh-contoh balungan88: 1. Gending ketawang Gambar 2.7 : Ketawang O Sang Sinuci (KA 431) 2. Gending ladrang Gambar 2.8: Ladrang Dhuh Sang Sekar (KA 434) 3. Gending lancaran Gambar 2.9: Lancaran Rawuha Roh Kang Suci (KA 378) 88 Diambil dari Kidung Adi: Buku Balungan Jilid II, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 2000. 35 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 36 Penggolongan gending dengan menyebutkan ketuk kerep atau awis, sebenarnya kurang begitu umum digunakan di Yogyakarta, yang biasa menyebut gending hanya dengan menyebutkan jenis kendangannya saja. Kendati demikian, penyebutan ketuk kerep atau awis ini dirasa baik karena membantu para pemain untuk segera mengetahui bentuk dan cara memainkan gending tersebut89. Pengertian ketuk kerep adalah pukulan ketuk yang dilakukan setiap 8 tabuhan balungan atau 2 gatra dimulai dari gatra pertama setelah gong. Sedangkan ketuk awis adalah pukulan ketuk yang dilakukan setiap 16 tabuhan balungan atau 4 gatra, dimulai dari gatra kedua setelah gong. 90 Ketuk kerep (tanda + adalah bunyi ketuk): Gambar 2.10: Skema ketuk kerep Ketuk awis: Gambar 2.11: Skema ketuk awis 89 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 54. 90 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 55. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2.4 37 Perbandingan Musik Barat dan Timur Musik Barat umumnya harmonis dengan tonalitas mayor dan minor sebagai nada pusat91. Nada-nada dan akor-akor dibentuk berdasar pada kedua tonalitas ini, dengan adanya suatu perpaduan antara keselarasan dan ketegangan. Permainan akor menjadi dominan, dan lompatan-lompatan nada yang besar dimungkinkan sejauh memiliki hubungan dengan akornya92. Musik Barat sangatlah dinamis93 dan memiliki suatu bentuk yang siklis dengan mengandalkan pengulangan-pengulangan94. Variasi di dalam pengulangan menunjukkan adanya gerak dinamis di dalam siklus tersebut. Sebagai contoh, sonata memiliki suatu alur yang tetap. Di bagian awal, tema disajikan sebagai perkenalan, tanpa suatu pengembangan apapun. Tema ini menjadi suatu garis besar yang akan dikembangkan di dalam lagu. Selanjutnya tema tersebut dikembangkan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan diberi motif, modulasi, dan perubahan ritme. Pada akhir sonata, disajikanlah suatu bentuk kesimpulan berupa tema awal dengan segala perkembangannya. Selain itu, musik Barat ditulis dalam notasi balok yang memastikan nada. Gaya homofon menjadi bentuk yang banyak dipakai dalam musik Barat sejak abad ke-17. Perpaduan nada secara vertikal atau akor sangatlah penting untuk menunjukkan suatu kekompakan. Gaya polifon memang digunakan, namun tetap perlu menjaga kecocokan nada dengan memperhatikan perpaduan vertikal 91 Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 83. Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84. 93 J. Kunst, The Music of Java, 1. 94 Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84. 92 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 38 dari nada-nada tersebut95. Peranan akor kembali ditekankan, namun belum tentu dalam urutan tertentu. Musik Barat penuh dengan aksi dan tegangan. Ekspresi krisis dan konflik ingin dicapai96. Ada antitesis yang menjadi jawaban atas tesis. Berbeda dengan musik Barat, musik Timur umumnya bertangga nada pentatonis (tangga nada lima nada) dan heterofonis97, dengan dua macam pembagian, yaitu tangga nada pentatonis tanpa setengah laras dan tangga nada pentatonis dengan setengah laras. Tangga nada slendro masuk dalam jenis pentatonis tanpa setengah laras, sedangkan tangga nada pelog masuk dalam jenis pentatonis dengan setengah laras98. Musik pentatonis modal, dalam hal ini tangga nada slendro dan pelog, memiliki ciri yang berbeda dari musik Barat. Musik pentatonis tidak dapat serta merta diaransemen menggunakan teknik aransemen musik tonal yang mengutamakan keselarasan dan ketegangan antar nada melalui akor-akor. Pada dasarnya, musik pentatonis berjalan melangkah, sedangkan musik Barat berdasar pada jarak antar nada. Tegangan-tegangan dan langkah interval diatonis menjadi ciri khas dari musik ini. Akor tidak main peranan, karena musik lebih mengutamakan gerakan horisontal dari nada-nada. Akor-akor memang dapat terjadi, namun hanya berupa kebetulan dan sebagai akor peralihan99. Jika aransemen musik tonal dipaksakan, tidak diragukan lagi bahwa ciri khas musik pentatonis modal akan hilang dan menjadi miskin. Para musisi perlu lebih 95 Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84. J. Kunst, The Music of Java, 1. 97 Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 15. 98 Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 82-83. 99 Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84. 96 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 39 menyadari kekhasan masing-masing tangga nada untuk dapat menciptakan suatu musik yang sesuai dengan ciri khasnya. Dalam gending Jawa, dapat ditemukan bentuk musik polifoni berupa heterofoni. Bentuk ini dapat ditemukan dalam imitasi antara vokal dengan rebab. Ritmenya pun cenderung rumit dan berubah-ubah, kadang-kadang berbentuk heteroritmik100. 2.5 C. Hardjasoebrata sebagai Perintis Lagu-lagu Inkulturasi Jawa101 Proses masuknya gamelan Jawa ke dalam lingkungan Gereja, tidaklah mudah. Ada berbagai macam aspek kultural yang harus ditinjau kembali agar gamelan Jawa dapat sungguh sejalan dengan liturgi Gereja. Tujuan utamanya adalah menciptakan suatu bentuk liturgi yang membumi dan berakar pada budaya setempat. Orang akan sungguh merasa tersapa, jika mereka disapa melalui dan dengan bahasa mereka sendiri. Keterbukaan dan kesedian dari kedua belah pihak untuk melakukan penyesuaian, sangatlah dibutuhkan. Budaya Jawa sangatlah terbuka terhadap perkembangan dan perubahan. Kemungkinan untuk menciptakan gending Jawa yang dapat digunakan dalam peribadatan pun mulai dilihat. Orang Jawa ingin agar liturgi dan peribadatan yang, 100 J. Kunst, The Music of Java, 4. Penjelasan subbab ini mengikuti penjelasan yang diberikan oleh Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1987, 6-9. 101 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 40 pada sebelum Konsili Vatikan II diselenggarakan, terasa asing karena kurang dimengerti, menjadi bentuk perjumpaan yang sangat personal dan mendalam. C. Hardjasoebrata melihat kesempatan pengembangan musik liturgi melalui melalui gending Jawa. Pada tahun 1925 ia mengarang lagu Atur Roncen, Sri Yesus Mustikeng Manis, dan O Kawula Punika. Lagunya dibuat dari tangga nada pelog, dan syairnya diambil dari buku Rerepen Suci. Usahanya ini mendapatkan tantangan dari orang-orang di sekitarnya. Mereka beranggapan, bahwa lagu-lagu ini murahan dan menjadi bentuk profanasi musik Gereja 102. Pada masa itu, lagulagu baru memang jarang diciptakan, kecuali lagu-lagu dolanan103. Maka, lagulagu ciptaan C. Hardjasoebrata itu pun dianggap sebagai lagu dolanan. Lagu-lagu ini sebenarnya dimaksudkan untuk kepentingan kebaktian sore (salve), namun Br. Clementinus, yang mendukung kreasi C. Hardjasoebrata ini, memintanya untuk melatihkan lagu-lagu tersebut pada paduan suara anak-anak sekolah Bruderan Kidul Loji104. Dalam kesempatan untuk menyambut Mgr. Van Velsen yang datang berkunjung pada 31 Januari 1926, C. Hardjasoebrata dan kelompok paduan suara anak-anak sekolah Bruderan Kidul Loji yang dipimpinnya tersebut, menampilkan ketiga lagu tersebut. Mgr. Van Velsen sangat menyukainya dan meminta gendinggending tersebut ditampilkan kembali. Tanggapan publik terhadap karya-karyanya pun menjadi lebih antusias. Mereka yang awalnya tidak menerima gending baru tersebut, mulai mengakui bahwa gending-gending tersebut indah dan adi luhung. Atas permintaan Br. Clementinus, Mgr. Van Velsen mengijinkan gending102 Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 7. Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 8. 104 Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 7-8. 103 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 41 gending Gereja tersebut digunakan di dalam ibadat non liturgis dan bukan di dalam perayaan Ekaristi105. Dengan didukung oleh Mgr. Soegijapranata, pada tanggal 22 Oktober 1955, dibentuklah suatu panitia khusus yang secara intensif mengurusi gending Gereja. Kepanitiaan ini diketuai oleh E. Harjawardaya, Pr., dengan dibantu oleh C. Hardjasoebrata dan F. Atmadarsana. Pada tanggal 1 Januari 1956, panitia ini berhasil mementaskan gending-gending gereja, antara lain adalah Ave Maris Stella, Kula Sowan Gusti, dan Misa karya F. Atmadarsana106. Panitia lain dibentuk untuk mengurusi perizinan ke Roma mengenai penggunaan gending Gereja di dalam liturgi. Panitia tersebut diketuai oleh Mgr. Soegijapranata, dengan beranggotakan C. Hardjasoebrata, Br. Timoteus, F. Atmadarsana, Prof. Dr. Zoedmulder, Ki Sindoesawarna dan R. Wiranto. Mereka ingin agar gending Gereja digunakan dalam liturgi demi semakin menyentuhnya liturgi Gereja. Pada tahun 1956, Roma mengijinkan gending gereja dipergunakan dalam liturgi107. Pada tahun 1957, pusat kegiatan dipindahkan ke Paroki Pugeran. Di sana diterbitkanlah dokumentasi pertama lagu-lagu Gereja yang baru, berjudul Kyriale (berisi lagu-lagu ordinarium) dan Natalia (berisi lagu-lagu Natal). Hardjasoebrata ternyata masih terus menciptakan gending-gending Gereja pada berbagai 105 Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 8. Penjelasan Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 9. 107 H. R. Wiranto seperti dikutip dalam Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 103 106 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 42 kesempatan. Gending-gending Gereja tersebut pun dikumpulkan dalam satu buku berjudul Kula Sowan Gusti108. Sebelum tahun 1930, gending-gending Gereja tersebut belum diiringi dengan gamelan. Sesudah itu, instrumen gamelan yang digunakan sebagai iringan pun masih terbatas pada alat-alat lembut, seperti gender, slentem, kenong, kempul dan gong. Pembatasan iringan ini berlangsung sampai tahun 1965-an. Sesudah Konsili Vatikan II, instrumen gamelan secara lengkap digunakan untuk mengiringi gending Gereja109. Gending Gereja terus berkembang. Pusat Musik Liturgi (PML) menerbitkan buku Cahaya Sumunar pada tahun 1978, dan Kidung Adi edisi pertama pada tahun 1983. PML juga membuat lokakarya komposisi Jawa pada tahun 2002 dan 2005, dan selanjutnya terbit Kidung Adi edisi baru pada tahun 2009. Sebagai seorang musisi gamelan Jawa, Hardjasoebrata memiliki keterbukaan pada musik Barat. Ia banyak menggabungkan teori gamelan Jawa dan teori musik barat yang diketahuinya. Hasilnya adalah gending vokal yang menggunakan notasi solmisasi dan gending iringan yang menggunakan notasi Kepatihan110. Memang ada perbedaan interval dan rasa yang muncul, namun penggabungan ini, paling tidak, dapat memfasilitasi kesulitan orang-orang yang belum terbiasa dengan notasi Kepatihan. C. Hardjasoebrata menciptakan banyak gending Gereja, terutama gending yang menggunakan tangga nada pelog. Dibandingkan dengan tangga nada 108 Penjelasan Karl-Edmund Prier dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 9. Penjelasan Karl-Edmund Prier dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, 9. 110 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 154. 109 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 43 slendro, tangga nada pelog memang lebih dekat pada tangga nada diatonis. Ia juga berhasil menggabungkan syair berbahasa Latin dengan tangga nada pelog111, seperti Adoro Te (KSG 17), O Esca Viatorum (KSG 18A), Pange Lingua/Tantum Ergo IV (KSG 23A). Karakter dan suasana yang dibangun adalah agung dan khidmat, yaitu suasana yang dapat mendukung suasana peribadatan. Pembaruan-pembaruan pun ia lakukan dalam musik gamelan Jawa. Ia membuat aransemen empat suara pada gending vokal, menggabungkan dua bentuk gending dalam satu gending, dan memadukan konsep birama musik barat dengan konsep gatra gending Jawa112. Perpaduan-perpaduan tersebut ia tuangkan dalam 42 gending yang telah dibuatnya 113. 2.6 Rangkuman Gamelan Jawa yang ditemui sekarang ini merupakan hasil dari proses panjang penyesuaian dan adaptasi alat-alat musik kuno yang menjadi cikal bakal gamelan. Agama Hindu dan Islam memiliki pengaruh yang kuat dalam perkembangan gamelan Jawa ini. Periode sejarah musik di Jawa dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu periode Hindu Jawa Tengah (abad ke-8 sampai abad ke-10), periode Hindu Jawa Timur (abad ke-12 sampai abad ke-15) dan periode 111 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 154. 112 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 154. 113 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 155. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 44 Islam Jawa (abad ke-15 sampai abad ke-17). Pembagian periode ini tidaklah bersifat kaku, karena bisa jadi satu periode telah dimulai sementara periode lain masih berjalan. Musik gamelan berbeda dengan musik Barat. Musik Jawa menggunakan tangga nada pentatonis slendro dan pelog. Akor-akor tidak memiliki peranan, karena musik jenis ini menekankan gerak horisontal dari nada-nada. Akor-akor memang dapat terjadi, namun hanya berupa kebetulan dan sebagai akor peralihan. Tegangan-tegangan dan langkah interval diatonis (melangkah) menjadi ciri khas dari musik ini. Ditemukan juga bentuk polifoni berupa heterofoni. Bentuk ini dapat ditemukan dalam imitasi antara vokal dengan rebab. Ritmenya pun cenderung rumit dan berubah-ubah, kadang-kadang berbentuk heteroritmik. C. Hardjasoebrata melihat peluang, bahwa gamelan Jawa dapat digunakan di dalam liturgi Gereja. Dimulai pada tahun 1925, ia berinisiatif untuk melakukan beberapa percobaan inkulturasi, yaitu dengan menciptakan lagu-lagu Jawa dengan syair berbahasa Latin, dan menciptakan lagu-lagu Jawa dengan syair berbahasa Jawa. Percobaan ini berhasil baik, kendati belum mendapatkan izin dari Roma untuk digunakan di dalam liturgi. Tahun 1956, Roma mengizinkan gending Jawa ini untuk digunakan di dalam liturgi. Iringan gamelan secara lengkap baru digunakan di dalam Gereja setelah Konsili Vatikan II. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB III DASAR-DASAR INKULTURASI MUSIK LITURGI GEREJA Gereja membuka diri untuk melakukan inkulturasi dengan budaya setempat. Karena inkulturasi bukanlah tindakan yang sembarangan, Gereja memberikan ketetapan-ketetapan yang dapat digunakan sebagai dasar inkulturasi. Tegangan yang ada adalah bagaimana Injil dapat diwartakan melalui budaya setempat. 3.1 3.1.1 Inkulturasi Liturgi Istilah Inkulturasi Tema inkulturasi memiliki kompleksitas yang mencakup kajian interdisipliner: teologi, liturgi, antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat dan ilmu budaya1. Istilah ini berkembang seiringan dengan berkembangnya istilah-istilah lain, seperti indigenisasi, inkarnasi, kontekstualisasi, revisi, adaptasi, enkulturasi, akulturasi2, yang ingin menerangkan hubungan yang mungkin dapat dijalin antara liturgi dan kebudayaan. Istilah-istilah tersebut digunakan sebagai istilah khas pada 1 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, Kanisius, Yogyakarta 2011, 263. 2 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 265. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 46 kesempatan-kesempatan yang berbeda oleh para antropolog. Para teolog, misiolog, dan ahli liturgi pun meminjam istilah ini di dalam bidang mereka3. Akulturasi adalah proses pertemuan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya, atau pertemuan antara dua kebudayaan. Pertemuan ini mengandalkan komunikasi yang berpijak pada sikap toleransi dan saling menghormati. Namun, pertemuan ini terjadi hanya pada tataran permukaan saja dan sekadar menghasilkan penyejajaran ekspresi budaya yang berasal dari berbagai asal-usul. Kendati demikian, akulturasi ini merupakan langkah awal dari inkulturasi. Memang yang dapat muncul adalah penyejajaran dari unsur-unsur yang tidak berhubungan, namun biasanya penyejajaran ini berkembang pada asimilasi4. Asimilasi berasal dari kata simile dalam bahasa Latin, yang berarti mirip. Asimilasi adalah proses pemiripan, yaitu penyesuaian diri berhadapan dengan situasi baru dengan meninggalkan sikap atau keadaan lama5. Istilah inkulturasi (inculturatio) mula-mula dipakai pada tahun 1959 dalam missiologi oleh J. M. Masson, OMI. Pada tahun 1974/1975, para Yesuit menggunakan istilah tersebutdi dalam diskusi mereka pada Kongregasi Jenderal yang ke-32. Pada tahun 1977, istilah ini masuk dalam dokumen sinode keuskupan Roma Ad Populum Dei Nuntius artikel 5, sebagai dokumen resmi Gereja. Dua 3 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, Pueblo, Collegeville 1992, 13. 4 Lih. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 27. 5 Seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 5. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 47 tahun kemudian istilah ini dipakai dalam Catechesi Tradendae artikel 53, dan sejak saat itu istilah inkulturasi masuk dalam khazanah istilah magisterium6. Kata inculturatio dimaksudkan sebagai padanan kata Latin enculturatio. Namun karena bahasa Latin tidak memiliki awalan “en”, maka awalan “in” lah yang digunakan. Sekadar perubahan imbuhan ternyata membawa pergeseran arti yang besar7. Enkulturasi adalah istilah antropologis untuk sosialisasi, yang berarti proses belajar yang dilakukan seseorang, agar ia dapat diterima di dalam budayanya8. George Herbert Mead, seorang ahli filsafat dan psikologi sosial di Amerika Serikat, berpendapat bahwa istilah enkulturasi adalah istilah antropologis yang berarti suatu interaksi simbolis antara masyarakat, sikap mental dan pendidikan, sehingga terciptalah bentuk-bentuk kegiatan sosial tertentu9. Sedangkan, kata inkulturasi memiliki makna kata yang jauh berbeda dibandingkan dengan enkulturasi, di dalam lingkungan teologis, liturgis dan misiologis 10. Menurut Giancarlo Collet, inkulturasi adalah istilah antropologi budaya dan teologi11. Ketika digunakan dalam liturgi, setiap istilah mengacu pada salah satu sisi dari hubungan antara liturgi dan kebudayaan12. Chupungco mengartikan inkulturasi sebagai proses di mana upacara keagamaan pra-Kristen diberi arti Kristen. Struktur asli upacara keagamaan 6 Diterjemahkan oleh Karl-Edmund Prier, SJ., dari Walter Kasper (eds.), Lexikon für Theologie und Kirche, V, Herder-Verlag, Freiburg 2006, kol. 504-505. 7 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity,and Catechesis, 25-26. 8 A. Shorter, seperti dikutip dalam Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 26; lihat pula Karl-Edmund Prier, SJ., Roda Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 2011, 51. 9 Diterjemahkan oleh Karl-Edmund Prier, SJ., dari Walter Kasper (eds.), Lexikon für Theologie und Kirche, VII, kol. 20. 10 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 26. 11 Diterjemahkan oleh Karl-Edmund Prier, SJ., dari Walter Kasper (eds.), Lexikon für Theologie und Kirche, V, kol. 504-505. 12 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 13. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 48 tersebut tidaklah berubah secara radikal, tetapi diubah oleh Gereja sebagai sarana pengungkapan misteri Kristen. Akulturasi menyesuaikan budaya Romawi dengan budaya baru dengan adanya perubahan-perubahan dan modifikasi. Dan, inkulturasi memasukkan unsur-unsur iman Kristiani ke dalam kebudayaan tersebut13. Menurut Giancarlo Collet, inkulturasi adalah proses ketika Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosial, politik, religius dan kultural tertentu sedemikian rupa, sehingga Injil tersebut tidak hanya terungkap dalam unsur-unsur situasinya saja, tetapi juga menjadi kekuatan yang menginspirasi, membentuk dan mengubah situasi tersebut, sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja universal14. Cakupan pembahasan inkulturasi tidak hanya terbatas pada bidang liturgi dan ritus-ritus. Orang kadang memandang inkulturasi secara terbatas: penggunaan blangkon saat misa bahasa Jawa, penggunaan alat musik gondang Batak, adanya tari-tarian sebagai pengiring persiapan persembahan, sudah dianggap sebagai inkulturasi. Padahal, inkulturasi lebih luas dari itu. Inkulturasi meliputi seluruh pengungkapan, penghayatan dan perwujudan iman akan Kristus dalam seluruh segi kehidupan. Tidak hanya soal musik dan pakaian yang digunakan dalam berliturgi, inkulturasi juga mencakup berbagai bidang kehidupan iman, baik itu persekutuan, perwartaan maupun pelayanan15. J. Theckanath membagi cakupan inkulturasi dalam beberapa bidang: inkulturasi teologi, pembaruan biblis, 13 Lih. Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, diterjemahkan dari Cultural Adaptation Of The Liturgy, oleh Komisi Liturgi KWI, Kanisius, Yogyakarta 1987, 104. 14 Giancarlo Collet seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 8; lihat pula E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 266. 15 E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta 2011, 5. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 49 eklesiologis, spiritualitas, pendidikan imam dan religius, katekese dan liturgi16. Tidak hanya berhenti pada penggunaan unsur-unsur budaya setempat yang digunakan untuk mengungkapkan iman Kristiani, inkulturasi juga menyangkut kekuatan iman yang menjiwai hidup seseorang sesuai dengan konteks zaman di mana orang tersebut hidup17. Inkulturasi merupakan suatu keharusan yang dialami oleh agama Kristiani maupun agama-agama lain18. Jika Gereja ingin berkembang dan menjadi tetap relevan bagi umatnya yang berasal dari berbagai kebudayaan, Gereja harus mau terbuka dan memandang positif budaya setempat. Asas ecclesia semper reformanda (Gereja harus senantiasa dipugar) yang dapat diterapkan pada liturgi: liturgia semper reformanda (Liturgi harus senantiasa dipugar)19, menjadi semangat dasar untuk berani terbuka terhadap budaya setempat dalam hubungannya yang saling memperkaya. Hidup Gereja tidak akan mendapatkan gairahnya, jika liturginya tetap menjadi seonggok museum 20. Budaya setempat disucikan dan menjadi sarana perjumpaan Allah dengan manusia; Gereja memperoleh cara baru dalam mengungkapkan warta keselamatannya. Dalam pembicaraan mengenai inkulturasi, orang perlu membedakan antara isi dan ungkapan iman21. Isi Injil yang merupakan karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus di dalam Roh Kudus yang terlaksana dalam sejarah, 16 Seperti dikutip dalam E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 6-9. 17 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 264-265. 18 E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Kanisius, Yogyakarta 1999, 80. 19 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 107. 20 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 107. 21 E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, 83. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 50 diungkapkan dalam berbagai bahasa, pola pikir dan budaya tertentu22. Karya keselamatan Allah tersebut membutuhkan budaya tertentu, sehingga manusia dapat menangkap dan merasakan pengungkapannya. Pedro Arrupe berpendapat: manusia hadir dan bersinggungan dengan Sabda di dalam konteks budaya tempat ia hidup, dimana Yesus pun dapat memasuki budaya tersebut. Ketika suatu komunitas terbuka pada Kabar Gembira sambil tetap memelihara budayanya, Gereja akan menjadi semakin otentik dan diperkaya dengan nilai-nilai baru. Semangat berbagi di dalam hidup Kristus juga menjadi dasar bagi perjumpaan seluruh kebudayaan23. 3.1.2 Teologi Inkulturasi Dalam perspektif teologi penciptaan, karya keselamatan melalui penebusan merupakan rencana Allah sejak awal. Allah Tritunggal menciptakan segalanya itu sungguh amat baik (Kej 1:31). Segala yang diciptakan Allah ini baik dan berbobot, tidak ada yang kurang bernilai, tidak ada yang semu, tidak ada yang buruk24. Menurut Ireneus, penciptaan dan penebusan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sejak awal penciptaan telah terarah pada pembebasan dosa dari dan dalam Kristus. Alam ciptaan ini berpotensi untuk ditebus sampai ke unsur-unsur jasmani karena alam ini diciptakan sendiri dengan tangan-Nya25. Rencana awal untuk menjadikan manusia sebagai mitra, teman sekerja, bahkan anak-Nya, 22 E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, 82. Pedro Arrupe, On Inculturation: A Letter of Father General Pedro Arrupe to the whole Society, Rome, 14 May 1978, 14. 24 Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta 2004, 71. 25 Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2, 51. 23 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 51 diinterupsi oleh dosa Adam. Penciptaan ini pun diperbarui, diperbaiki dan disusun kembali dalam pribadi Yesus Kristus yang menjadi Adam kedua 26. Demikian pula, kebudayaan-kebudayaan yang pada dasarnya adalah baik, dapat digunakan di dalam inkulturasi. Dasar teologis inkulturasi adalah misteri perutusan trinitaris. Misteri perutusan trinitaris ini adalah perutusan Putra oleh Bapa di dalam Roh Kudus, sekaligus perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra. Kedua perutusan ini, perutusan Putra dan perutusan Roh Kudus, tidak bisa dipisahkan karena mengalir dari satu sumber, yaitu Allah Bapa, dan melayani rencana keselamatan Bapa yang terlaksana melalui Putera-Nya, dalam Roh Kudus di dalam rentang sejarah27. Inkulturasi merupakan konsekuensi logis dari realitas penyelamatan. Karya keselamatan itu terlaksana secara konkret di dalam sejarah manusia: di dalam ruang, waktu dan pribadi manusia yang tertentu. Demikian juga, pewartaan iman Kristiani, yang merupakan penghadiran karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus, juga perlu membumi28. Selain itu, inkulturasi berdasar pada tiga misteri yang saling berhubungan, yaitu misteri inkarnasi, misteri Paska, dan misteri Pentakosta. Pertama, misteri inkarnasi. “Misteri inkarnasi dapat menjadi alasan pertama dan pola yang sempurna bagi inkulturasi”29. Lebih jauh dari itu, inkulturasi benar-benar dituntut oleh hakikat Injil itu sendiri, karena Injil pada dirinya sendiri berisi mengenai 26 Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2, 51-52. E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 267. 28 E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, 82. 29 Pedro Arrupe, On Inculturation: A Letter of Father General Pedro Arrupe to the whole Society, 13. 27 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 52 kehadiran Yesus Kristus di dalam sejarah keselamatan manusia 30. “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14). Yesus Kristus yang adalah Putera Allah yang menjadi manusia dengan segala keterbatasannya 31. Ia masuk dalam konteks hidup manusia dengan segala keterbatasannya. Karena menjadi manusia, Ia pun terikat pada budaya, adat kebiasaan, bahasa dan pola pikir tertentu32. Seperti Yesus yang menjadi orang Yahudi, demikian pula Gereja tidak hanya menjadi Gereja yang berada (in), tetapi menjadi Gereja yang berasal dari (from) lokalitas tertentu33. Demikian pula, Injil harus diungkapkan dan diwujudnyatakan dalam adat, budaya, bahasa, dan pola pikir suatu bangsa yang konkret34. Manusia yang berasal dari kebudayaan tersebut pun pada akhirnya dapat sungguh merasakan wujud konkret dari karya penyelamatan Allah melalui diri Yesus Kristus. Melalui misteri inkarnasi ini, Allah mengangkat, menerima dan menjadikan seluruh segi kehidupan manusia, termasuk kebudayaannya, sebagai medan komunikasi dan perjumpaan antara manusia dengan Allah 35. Kedua, Misteri Paskah. Misteri Paskah adalah puncak sejarah keselamatan Allah. Dengan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, manusia ditebus dari dosa dan diselamatkan. Segala segi hidup yang manusia bawa, termasuk kebudayaan, pun turut ditebus, dibersihkan, dimurnikan, dan disucikan36, 30 E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, 83. Pedro Arrupe, On Inculturation: A Letter of Father General Pedro Arrupe to the whole Society, 14. 32 E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, 82. 33 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 17. 34 E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, 82. 35 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 267. 36 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 267. 31 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 53 sehingga layak menjadi sarana perjumpaan antara Allah dengan manusia. Hal ini perlu dilakukan karena tidak semua unsur-unsur budaya baru sesuai dengan nilainilai Injil (SC 21)37. Sebagai contoh, cerita-cerita legenda mengenai asal mula gamelan, tidak mewarnai atau ikut dibawa dalam liturgi Gereja. Asal mula gamelan dapat dijelaskan secara lebih ilmiah melalui ilmu etnomusikologi, yang menerangkan mengenai sejarah asal-usul, perkembangan dan persebaran musik di dunia. Gamelan Jawa pun semakin dimurnikan dan dibersihkan supaya dapat digunakan di dalam liturgi. Liturgi harus menghormati kebudayaan, sekaligus mengundang kebudayaan tersebut untuk memurnikan dan menyucikan dirinya (bdk. LRI 19). Ketiga, misteri Pentekosta. Karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus sudah terjadi 2.000 tahun yang lalu. Pertanyaannya adalah bagaimana penebusan Yesus Kristus tersebut dapat dialami oleh masing-masing orang pada zaman dan budayanya? Roh Kudus menjamin sampainya karya keselamatan Allah tersebut pada masing-masing orang pada zaman dan budayanya. Kisah Para Rasul 2 menunjukkan diterimanya Injil oleh setiap budaya manusia. Setelah mendengarkan kotbah Petrus, mereka yang tadinya hanya tercengang dan termangu (Kis 2: 12), kini hatinya terbuka pada pewartaan Injil. Mereka menyediakan diri dibaptis38. Dengan turunnya Roh Kudus, inkulturasi Injil berlangsung terus ke dalam keragaman bahasa dan budaya di seluruh dunia. Injil pun lahir dalam pelbagai budaya dan bangsa 39. Sebagai contoh, Kitab Suci diterjemahkan dalam banyak bahasa negara (Indonesia, Inggris, Yunani, Jerman, 37 E. Martasudjita, Pr., Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, 83. E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 268. 39 Andreas Feldtkeller seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 9. 38 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 54 Itali) dan daerah (Batak, Bali, Sunda, Toraja, Jawa). Penerjemahan ini membantu orang untuk mengetahui dan memahami Kabar Sukacita yang menjadi inti dari Injil. Karya keselamatan Allah pada 2.000 tahun yang lalu diterima secara personal oleh orang-orang sesuai dengan zaman dan budayanya. 3.1.3 Magisterium Gereja Mengenai Inkulturasi40 Konsili Vatikan II memang tidak atau belum menggunakan istilah inkulturasi. Kendati demikian, istilah aptatio yang berarti penyesuaian telah digunakan. Di bagian lain, istilah accomodatio digunakan. Chupungco membedakan penggunaan istilah aptatio dan accomodatio. Aptatio menyangkut kuasa Konferensi Waligereja melakukan kemungkinan-kemungkinan berdasarkan buku-buku yang resmi. Sedangkan, accomodatio adalah penyesuaian yang dibuat oleh pemimpin ibadat berhadapan dengan keadaan, waktu dan jemaat tempat ibadat tersebut dilaksanakan, sesuai dengan aturan-aturan yang terdapat dalam buku-buku resmi41. Konsili Vatikan II mengajarkan dalam Konstitusi Liturgi: Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak 40 Penjelasan ini mengikuti penjelasan mengenai piagam penyesuaian liturgi dalam Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 57-74. 41 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 64; Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 23-24. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 55 terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli (SC 37). SC 37 didasarkan pada ensiklik Summi Pontificatus yang ditulis oleh Paus Pius XII42. Artikel ini berusaha untuk tetap menjaga ketegangan antara melakukan pembaruan secara wajar dan pelestarian secara sehat. Bahaya yang mungkin muncul dengan adanya pembaruan adalah semakin dibatasinya ritus Romawi. Ada kemungkinan bahwa ritus Romawi digantikan dengan ritus lokal, dan ritus Romawi dipandang sebagai kenangan masa lalu. Perubahan dan pembaruan semacam itu dapat menghancurkan ritus Romawi itu sendiri43. Padahal, inkulturasi tidak menuntut diciptakannya rumpun liturgi baru, tetapi untuk “menanggapi kebutuhan-kebutuhan budaya setempat dan mengarah ke penyesuaian-penyesuaian yang masih tetap berada dalam kesatuan dengan Ritus Romawi” (LRI 36). Gereja memang harus mengusahakan kesatuan di dalam tubuhnya, tetapi bukan hanya kesatuan lahiriah semata44. Kesatuan lahiriah demi kesatuan iman bukanlah suatu asas dasar yang harus terus dipegang ketika penyesuaian liturgi ingin dilakukan berhadapan dengan bermacam-macam jemaat, bangsa-bangsa dan daerah. Persatuan jemaat regional juga perlu dipertimbangkan. Keseragaman memang tetap dibutuhkan, tetapi dalam kadar tertentu yang sesuai dengan situasi dan kondisi jemaat, bangsa dan daerah setempat45. 42 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 59. Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 61. 44 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 60. 45 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 62. 43 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 56 Dalam SC 37, Gereja sungguh menghargai kebudayaan setempat. Kebudayaan yang merupakan kekayaan yang menghiasi jiwa berbagai suku bangsa, dipelihara dan dimajukan. Sebagaimana Yesus yang menjadi manusia dan hadir dalam kebudayaan, pola pikir dan tradisi tertentu, Gereja pun perlu hadir dan membumi di dalam budaya setempat. Budaya setempat disucikan dan menjadi sarana pertemuan Allah dengan manusia. Kriteria tertentu diungkapkan untuk memasukkan unsur-unsur tradisi bangsa lain ke dalam liturgi46. Syarat pertama adalah apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul atau ajaran sesat. Syarat kedua adalah sejauh adat kebiasaan para bangsa tersebut sesuai dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli. Kesulitan utama yang ditemukan adalah dalam menentukan apakah suatu unsur masuk dalam takhyul atau ajaran sesat, atau tidak. Penentuan ini sulit, karena barangkali unsur yang dianggap sebagai takhyul itu adalah suatu bentuk ungkapan iman yang tulus dan polos 47. Sulit untuk menentukan batas antara takhyul dan iman. Kendati demikian, kesulitan ini tidak boleh menghilangkan perlunya usaha untuk permurnian dan penilaian kritis terhadap kepercayaan setempat. Adanya takhyul dalam kehidupan masyarakat pun tidak membuat Gereja serta merta menolak kepercayaan masyarakat48. Dengan bimbingan Roh Kudus, Gereja mempertimbangkan untuk membedakan unsur-unsur budaya kafir yang tidak sesuai tradisi rasuli, dan yang tidak menyimpang dari Injil keselamatan (bdk. LRI 16). 46 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 62. Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 62. 48 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 63. 47 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 57 LRI 47 menekankan, bahwa liturgi adalah ungkapan iman dan kehidupan Kristen, maka inkulturasi liturgi perlu dijamin bersih atau tidak dinodai oleh sinkretisme keagamaan, meski hal itu hanya pada tataran lahiriah. Bentuk sinkretisme ini terjadi saat tempat-tempat ibadat, peralatan dan busana liturgi, tata gerak dan sikap badan yang ada setelah inkulturasi, memberi kesan seakan-akan memiliki arti yang sama seperti saat penginjilan belum terjadi. Bahkan, sinkretisme akan menjadi lebih jelek lagi jika doa-doa, bacaan Kitab Suci dan nyanyian-nyanyian diganti dengan kata-kata dari agama lain, biarpun itu semua memiliki isi moral dan religius yang kita terima. Konstitusi Liturgi artikel 38 mengungkapkan: Asal saja kesatuan hakiki ritus Romawi dipertahankan, hendaknya diberi ruang kepada kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa, terutama di daerahdaerah Misi, juga bila buku-buku Liturgi ditinjau kembali. Hal itu hendaklah diperhatikan dengan baik dalam penyusunan upacaraupacara dan penataan rubrik-rubrik. Artikel 38 membicarakan mengenai penyesuaian yang sah dalam ritus Romawi49. Memang artikel ini belum menyebutkan secara jelas apa yang dimaksud dengan “kesatuan hakiki ritus Romawi”. Tetapi, artikel 39 akan menjelaskan kesatuan hakiki ini sebagai ritus yang diatur dalam “batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik buku-buku liturgi”. Kesatuan hakiki diatur oleh Konferensi Waligereja melalui buku-buku resmi liturgi. Penyesuaian litugi hendaknya dilakukan pada pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa, terutama di daerah-daerah Misi. Daerah misi mendapatkan prioritas 49 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 63. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 58 perlu adanya penyesuaian. Tapi, tidak berarti bahwa daerah non-misi tidak perlu mengalami penyesuaian. Masing-masing kategori komunal tersebut memiliki budaya masing-masing yang unik. Satu daerah dengan daerah lain memiliki perbedaan. Penyesuaian dimungkinkan pada daerah-daerah tersebut, bahkan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, antara jemaat yang satu dengan jemaat yang lain. Kendati demikian penyesuaian tetap perlu memperhatikan kontras antara daerah. Jangan sampai terjadi perbedaan yang terlalu mencolok antara dua atau lebih daerah yang letaknya berdekatan (SC 23). Konstitusi Liturgi artikel 39 menyatakan: Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik bukubuku Liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22 (2), berhak untuk memerinci penyesuaianpenyesuaian, terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa Liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam institusi ini. Pemimpin Gereja setempat berhak membuat rincian penyesuaianpenyesuaian, sejauh sesuai dengan kaidah-kaidah dasar. Penyesuaian perlu dilakukan karena upacara harus sesuai dengan situasi kehidupan nyata, tidak hanya terbatas pada dari mana ritus baru itu berasal. Memang dua hal ini belum dapat dipisahkan. Ritus menjadi suatu tanda yang hampa, jika ritus tersebut terpisah dari realitas. Liturgi menjadi kosong dan tanpa buah50. Penyesuaian itu bukan berarti bahwa suatu upacara dilucuti hingga hanya tersisa unsur-unsur yang hakikinya saja (bdk. LRI 25). Kecenderungan yang ada 50 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 65. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 59 sekarang adalah melakukan penyesuaian dengan hanya memperhatikan hal-hal yang hakiki, sehingga liturgi dirasa menjadi lebih singkat, praktis dan lancar. Ini bukanlah kaidah dasariah yang digunakan untuk penyesuaian liturgi 51. Melalui penyesuaian, tradisi liturgi Gereja diungkapkan kembali ke dalam dan dengan bahasa umat setempat52. Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip yang hakiki, penyesuaian tetap dilakukan agar Gereja dapat terus hidup. Konsili Vatikan II menyatakan dalam Sacrosanctum Concilium artikel 40: Akan tetapi, di pelbagai tempat dan situasi, mendesaklah penyesuaian Liturgi secara lebih mendalam; karena itu juga menjadi lebih sukar. Maka: 1. Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti dalam art. 22 (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat Ilahi. Penyesuaian-penyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang perlu, hendaklah diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan dalam Liturgi. 2. Namun, supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya maka Takhta Apostolik akan memberikan wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk –bila perlu- dalam beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan. 3. Ketetapan-ketetapan tentang Liturgi biasanya menimbulkan kesulitankesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi. Maka, dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan. Artikel ini menunjukkan betapa mendesaknya penyesuaian Liturgi perlu dilakukan. Daerah-daerah misi menjadi pokok perhatian karena kemendesakan penyesuaian liturgi ini berhadapan dengan kebudayaan setempat. Kendati 51 52 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 65. Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 66. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 60 demikian, penyesuaian di daerah-daerah non-misi tidak bisa diabaikan. Permasalahannya pun tidak lebih sederhana daripada daerah misi. Penyesuaian liturgi dapat dilakukan dengan langkah-langkah yang termuat dalam tiga alinea dari artikel 40 ini. Alinea pertama menyatakan bahwa pemimpin Gereja setempat mendapatkan wewenang untuk menentukan secara tekun dan bijaksana, unsur-unsur dan kekhasan dari tradisi setempat yang dapat masuk ke dalam ibadat suci. Artikel 37 mengatur kriteria unsur dan kekhasan yang dapat dimasukkan ke dalam liturgi suci. Selanjutnya, unsur-unsur dan kekhasan tersebut diajukan pada Takhta Apostolik untuk mendapatkan pengesahan. Sejauh disahkan oleh Takhta Apostolik, unsur-unsur tersebut dapat digunakan dalam ibadat suci. Alinea kedua membicarakan mengenai wewenang yang diberikan oleh Takhta Apostolik kepada pemimpin Gereja setempat, untuk melakukan eksperimen di wilayah dan waktu yang terbatas. Gereja ingin menghindari penyesuaian yang sembarangan dan tidak mendalam. Nuansa kehati-hatian pun tampak jelas dalam alinea ini. Alinea ketiga menunjukkan betapa pentingnya kajian interdisipliner dalam penyesuaian liturgi. Tidak bisa tidak, Gereja melibatkan para ahli bidang eksegese, antropologi, sosiologi, psikologi, seni dan bahasa53. “Usaha yang sabar dan kompleks ini membutuhkan penyelidikan ilmiah dan pengamatan yang terusmenerus. Inkulturasi hidup kristen dan inkulturasi perayaan-perayaan liturgi harus merupakan buah dari kematangan iman umat yang terus berkembang” (LRI 5). 53 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 68-69. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 61 Artikel 40 meletakkan tanggung jawab besar pada pundak para pemimpin Gereja setempat untuk mengatur dan menjaga jalannya proses penyesuaian, karena betapapun mendalamnya inkulturasi, liturgi tidak dapat berjalan tanpa pengaturan dan pengawasan dari mereka yang diberi tanggung jawab mengenai hal ini di dalam Gereja (bdk. LRI 27). Merekalah yang mengetahui situasi dan kondisi Gerejanya, mengambil inisiatif untuk merencanakan dan memimpin penyesuaian54. Diandaikan bahwa mereka telah memanfaatkan kemungkinankemungkinan penyesuaian yang ditawarkan oleh buku-buku liturgi, serta membuat evaluasi dan revisi atas penyesuaian yang telah dilakukan, sebagai dasar untuk melangkah ke penyesuaian yang lebih mendalam (bdk. LRI 63). 3.1.4 Tahap-tahap Inkulturasi Liturgi Ada berbagai macam pendapat dari para ahli mengenai tahap-tahap inkulturasi. Berikut ini adalah empat tahap inkulturasi menurut P. Schineller55: 54 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 68. P. Schineller seperti dikutip dan dijelaskan oleh E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 268-271. 55 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 62 3.1.4.1 Tahap Pertama: Pengambil-alihan (Imposition)56 Tahap pengambil-alihan atau imposition sebenarnya belum masuk dalam tahap inkulturasi liturgi. Imposition adalah bahwa teks ajaran atau liturgi asing dengan begitu saja diambil dan digunakan secara utuh tanpa proses penerjemahan terlebih dahulu, oleh orang dari budaya tertentu. Tahap ini tetap dimasukkan dalam tahap inkulturasi, karena, paling tidak, orang yang menghayati tersebut berasal dari budaya lain dan ia menghayati liturgi tersebut menurut hati dan jiwa mereka sendiri. Sebagai contoh, orang Indonesia merayakan Misa berbahasa Latin atau Inggris. Kendati orang tersebut dapat hadir dan mengikuti Misa dengan baik, penghayatannya tetaplah berbeda dengan orang Latin atau Inggris asli dalam menghayatinya. Ada latar belakang budaya yang tidak dapat dilepaskan dan dihilangkan. Karl-Edmund Prier berpendapat, bahwa tahap pengambil-alihan ini merupakan tahap pendahuluan dari inkulturasi. Belum ada penyesuaian yang terjadi, kendati unsur dari budaya yang satu sudah digunakan di dalam budaya yang lain. Inkulturasi memiliki unsur kreativitas yang memunculkan hal-hal baru hasil penyesuaian kedua budaya. Sekadar memindah tanpa perubahan suatu unsur budaya untuk digunakan di dalam budaya lain, baru merupakan langkah 56 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 268; E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 32-33. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 63 pendahuluan dari inkulturasi, untuk tidak menyebutnya sebagai bukan inkulturasi57. 3.1.4.2 Tahap Kedua: Penerjemahan58 Pada tahap ini, teks-teks liturgi dari bahasa asing diterjemahkan ke dalam bahasa pribumi. Hal ini sudah menjadi suatu bentuk inkulturasi yang lumayan, karena penyesuaian bahasa sudah merupakan bagian dari budaya manusia. Penerjemahan ini bukanlah suatu usaha yang mudah. Berbagai macam segi: linguistik, sosiologis, teologis, antropologis, dll., perlu diperhitungkan. Contoh dari tahap ini adalah penerjemahan Kitab Suci, dan ajaran-ajaran Gereja. Penerjemahan teks-teks Kitab Suci adalah langkah pertama yang penting di dalam proses inkulturasi liturgi (bdk. LRI 28). Keuntungan dari tahap ini adalah kesetiaan umat pada tradisi iman Gereja, terjaga59. Robert Schreiter60 membagi tahap penerjemahan ini dalam dua langkah: pertama, membebaskan pesan Kristen dari budaya sebelumnya, dan kedua, penerjemahan ke dalam situasi baru. Ia juga menyebutkan dua kelemahan tahap ini, yaitu pemahaman positivis terhadap budaya dan teori biji dan kulit. Pertama, 57 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, pada hari Rabu, 10 April 2013, pukul 11.35 WIB di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 58 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 268-269. 59 E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 34. 60 Penjelasan mengenai kelemahan dan kekuatan ini mengikuti penjelasan Robert Schreiter seperti dikutip dalam E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 34. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 64 pemahaman positivis terhadap budaya. Model penerjemahan mengasumsikan adanya paralelisme antara budaya asing dan budaya setempat. Hal yang dilupakan adalah bahwa suatu simbol budaya yang mau diterjemahkan sering memiliki latar belakang dan makna yang berbeda dengan budaya setempat. Kedua, teori biji dan kulit. Model ini terlalu mengasumsikan bahwa isi yang diungkapkan dalam Kitab Suci itu mengatasi budaya, memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari budaya lain dan dapat langsung diterjemahkan ke dalam budaya lain. Metode ini melupakan kaitan antara isi dan ungkapan. Dalam musik liturgi, metode penerjemahan ini ada dalam lagu-lagu Gregorian berbahasa Indonesia. Syair Latin dalam lagu Gregorian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia61. Sebagai contoh, syair lagu Sanctus yang dalam bahasa Latin berbunyi “Sanctus, sanctus, sanctus Dominus Deus Sabaoth. Pleni sunt coeli et terra gloria tua. Hosanna in excelsis. Benedictus qui venit in nomine Domini. Hosanna in excelsis”, diterjemahkan dengan “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah segala kuasa. Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu. Terpujilah Engkau di surga. Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan. Terpujilah Engkau di surga”. 61 PS 386. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3.1.4.3 65 Tahap Ketiga: Penyesuaian Tahap ini sudah merupakan langkah inkulturasi yang lebih nyata dibandingkan dengan tahap-tahap sebelumnya. Tahap penyesuaian ini disebut dalam dua istilah, yaitu adaptatio dan accomodatio. Konsili Vatikan II menggunakan kata aptatio untuk juga mengartikan adaptatio atau accomodatio. Kata adaptatio sendiri berasal dari kata ad dan aptare (melengkapi, menyesuaikan). Chupungco membedakan aptatio dari accomodatio. Aptatio adalah kuasa Konferensi Waligereja untuk melakukan kemungkinan- kemungkinan berdasarkan buku-buku yang resmi. Sedangkan, accomodatio adalah penyesuaian yang dibuat oleh pemimpin ibadat berhadapan dengan keadaan, waktu dan jemaat tempat ibadat tersebut dilaksanakan, sesuai dengan aturan-aturan yang terdapat dalam buku-buku resmi62. Konstitusi Liturgi artikel 37-39 mengatur tahap penyesuaian ini. Penyesuaian dapat dilakukan sejauh sesuai “dengan hakekat semangat liturgi yang sejati dan asli” (SC 37). Kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dapat dilakukan dengan berbagai kelompok, daerah dan bangsa, asalkan kesatuan dengan Ritus Romawi tetap dipertahankan (bdk. SC 38). Ritusnya tetap Ritus Romawi, tetapi unsur-unsur budaya setempat sudah masuk dan mengalami penyesuaian. Dalam hal ini, para pemimpin Gereja yang berwenang memiliki hak untuk membuat rincian penyesuaian-penyesuaian apa yang dapat dilakukan, 62 Anscar J. Chupungco, OSB., Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 64; Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 23-24. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 66 terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa Liturgi, musik Gereja dan kesenian (bdk. SC 39). Contoh dari tahap ini adalah diciptakannya musik liturgi dengan gaya daerah, misalnya gaya Batak, Jawa, Sunda, dan Flores. 3.1.4.4 Tahap Keempat: Inkulturasi yang Paling Mendalam Tahap keempat ini adalah tahap inkulturasi yang paling mendalam; oleh karena itu, tahap ini tidak mudah untuk dilakukan (bdk. SC 40). Budaya setempat adalah titik tolak inkulturasi yang sejati63. Melalui inkulturasi, unsur-unsur budayanya tetap, tetapi maknanya telah dibaptis oleh Injil Yesus Kristus 64. Misteri iman kristiani diungkapkan melalui unsur-unsur budaya setempat. Yohanes Paulus II dalam RM 54 menunjukkan dua prinsip proses inkulturasi: pertama, kesesuaian dengan Injil, dan kedua, persekutuan dengan Gereja semesta65. Inkulturasi perlu dilakukan dengan perlahan-lahan dengan melibatkan seluruh umat Allah, karena umat beriman secara keseluruhan memiliki sensus fidei yang tidak bisa diabaikan (RM 54)66. 63 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 270. E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 36. 65 E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 37. 66 E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 37. 64 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 67 Karena kemendesakan dan ketidakmudahan dalam proses inkulturasi ini, Gereja menetapkan beberapa aturan dalam Sacrosanctum Concilium artikel 40: 1. Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti dalam art. 22 (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat Ilahi. Penyesuaian-penyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang perlu, hendaklah diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan dalam Liturgi. 2. Namun, supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya maka Takhta Apostolik akan memberikan wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk –bila perlu- dalam beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan. 3. Ketetapan-ketetapan tentang Liturgi biasanya menimbulkan kesulitan-kesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerahdaerah Misi. Maka, dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan. Dengan demikian, inkulturasi yang sejati membutuhkan suatu usaha yang keras untuk menentukan menentukan unsur-unsur budaya asli mana yang dapat dimasukkan ke dalam liturgi. Inkulturasi pun tidak bisa dilakukan secara sembarangan, membutuhkan pengawasan, dan melibatkan berbagai pihak. Hal ini demi menjaga kesatuan antara inkulturasi yang dilakukan dengan ritus Romawi. Karena inkulturasi bukanlah untuk menciptakan rumpun liturgi baru, tetapi untuk “menanggapi kebutuhan-kebutuhan budaya setempat dan mengarah ke penyesuaian-penyesuaian yang masih tetap berada dalam kesatuan dengan Ritus Romawi” (LRI 36). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 68 E. Martasudjita menjelaskan tahap inkulturasi yang paling mendalam ini dengan contoh inkulturasi antara teologi dan liturgi Paskah 67. Paskah adalah tradisi Yahudi untuk merayakan karya pembebasan Allah atas bangsa Israel dari penindasan bangsa Mesir. Tradisi ini berasal dari Perjanjian Lama. Tetapi, setelah peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, Paskah Yahudi ini mendapatkan isi yang baru bagi orang Kristen. Simbol-simbol yang digunakan masih tetap dari lingkungan Yahudi, tetapi isinya sudah betul-betul baru. Paskah Yahudi yang merupakan perayaan karya pembebasan Allah bagi bangsa Israel dari penjajahan bangsa Mesir, kini mendapatkan kepenuhannya dalam misteri Paskah Yesus Kristus yang merupakan karya pembebasan Allah bagi manusia terhadap penjajahan dosa. Karl-Edmund Prier berpendapat, bahwa inkulturasi yang mendalam memang sampai pada kreativitas68. Unsur-unsur baru muncul dari pertemuan antara dua budaya. Masing-masing budaya semakin diperkaya dengan hal baru yang sebelumnya belum didapatkan. 67 Contoh tahap inkulturasi yang paling mendalam ini mengikuti contoh yang dibuat dalam E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 37. 68 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, pada hari Rabu, 10 April 2013, pukul 11.35 WIB di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 69 3.1.5 Metode-metode Inkulturasi 69 3.1.5.1 Metode Ekuivalen Dinamis (Dynamic Equivalence) Menurut Chupungco, metode ekuivalen dinamis ini merupakan proses inkulturasi dengan mengganti suatu unsur dari liturgi Ritus Romawi, dengan unsur dari budaya lokal yang memiliki makna atau nilai yang sama. Karenanya, sisi linguistik, ritual dan unsur simbolis dari liturgi Romawi diungkapkan kembali dengan pola pikir, cara berbicara dan ritual setempat. Suatu bentuk liturgi yang kreatif memang dapat tercipta, namun hal ini berdasar pada buku-buku resmi, dan tidak muncul secara murni dari sekadar imajinasi70. Lawan dari ekuivalen dinamis adalah penerjemahan unsur secara statis atau tidak berubah. Dalam hal penerjemahan suatu istilah, padanan kata dicari tanpa memperhitungkan pola budaya, sejarah dan pengalaman hidup budaya setempat. Sebagai contoh, kata misteri digunakan untuk menerjemahkan kata mysterion, dan kata sakramen untuk menerjemahkan kata sacramentum. Di satu sisi, metode ini mempertahankan doktrin iman71. Bentuk penerjemahan lain selain penerjemahan statis adalah penerjemahan idiomatis. Penerjemahan cara ini lebih mementingkan makna kata dan padanan unsur yang ada pada budaya setempat. Chupungco mencatat usulan A. Echiegu untuk menerjemahkan kata dignitas ke dalam bahasa Igbo, bahasa Nigeria. Ia 69 A. Chupungco seperti dikutip dan dijelaskan oleh E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 41-43. 70 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 3738. 71 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 38. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 70 menerjemahkan kata dignitas dengan kata-kata “menggunakan bulu burung elang”. Dalam konteks budaya bangsa Nigeria, bulu-bulu elang yang disematkan di rambut menunjukkan martabat dan posisi seseorang di dalam masyarakatnya. Tuhan yang memberikan martabat kepada manusia, sejajar dengan Tuhan yang memberikan bulu elang kepada manusia72. 3.1.5.2 Metode Asimilasi Kreatif (Creative Assimilation) Metode ini menyangkut dua hal, yaitu apa yang ditawarkan budaya asli dan apa yang dapat ditambahkan untuk liturgi kristiani73. Penyesuaian dilakukan pada simbol-simbol dan bagian-bagian liturgi tanpa mengusik tata liturgi Gereja itu sendiri74. Menurut ketentuan SC 38-39 dan 63b, metode asimilasi kreatif ini tidak dapat dianggap sebagai metode inkulturasi liturgi biasa. Inkulturasi normalnya dimulai dari sumber-sumber yang telah ada, karena inkulturasi lebih sama dengan penerjemahan dari pada suatu bentuk penciptaan baru75. Metode ini berperan penting dalam proses perkembangan liturgi selama masa patristik. Para bapa Gereja, seperti Tertullianus, Hipolytus dan Ambrosius juga memberikan sumbangan terhadap perkembangan ritus inisiasi. Contoh klasik yang dapat digunakan adalah pemberian secangkir susu dan madu, dan 72 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 40. E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 41. 74 E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 42. 75 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 45. 73 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 71 pembasuhan kaki para babtisan baru76. Dalam konteks budaya-budaya di Indonesia, metode ini dilakukan dalam bentuk penyesuaian pada bangunan gedung gereja yang memiliki corak budaya setempat, tari-tarian yang digunakan dalam perarakan pembuka dan perarakan bahan-bahan persembahan77. 3.1.5.3 Metode Pengembangan Organis (Organic Progression)78 Chupungco berpendapat bahwa metode pengembangan organis ini merupakan usaha untuk melengkapi dan menambahkan bentuk liturgi yang sejak awal sudah dibentuk dan ditetapkan oleh Takhta Suci setelah Konsili Vatikan II. Buku-buku liturgi dibaca kembali untuk dilengkapi kekurangannya 79. Metode ini merupakan pengembangan, karena adanya bentuk baru yang diberikan pada liturgi. Sedangkan, metode ini organis karena pengembangan ini dilakukan dengan tetap mengikuti tujuan dasar dari bentuk-bentuk liturgi yang sudah ada dan pada tradisi liturgi. SC 23 menegaskan metode pengembangan organis ini dengan mengatakan, bahwa “hendaknya diusahakan dengan cermat, agar bentuk- 76 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 4445. 77 E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 42. 78 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 4751. 79 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 47. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 72 bentuk baru itu bertumbuh secara kurang lebih organis dari bentuk-bentuk yang sudah ada”80. Jika tidak ada pengembangan secara organis dalam praktek liturgi yang berdasarkan pada buku-buku liturgi, Gereja tidak akan menjadi semakin diperkaya. Atau, jika pengembangan tidak mempengaruhi usaha inkulturasi yang dilakukan oleh Gereja-gereja lokal, liturgi untuk Gereja lokal akan kecil kemungkinannya untuk menjadi kenyataan81. Contoh dari penerapan metode ini adalah masuknya tradisi sungkeman dalam tata perayaan perkawinan dan tahbisan imam. Sungkeman adalah tradisi Jawa untuk melakukan penghormatan dan memohon doa restu pada kedua orang tua. Dalam tata perayaan perkawinan, kedua mempelai melakukan sungkeman setelah mereka mengucapkan janji perkawinan dan sah menjadi suami-istri. Dengan sungkeman ini, kedua mempelai mengungkapkan bahwa kini mereka telah menjadi bagian keluarga dari kedua mempelai, mau berbakti pada orangtua masing-masing dan keluarga masing-masing pasangan. Sedangkan, sungkeman dalam perayaan tahbisan imam dilakukan sebelum calon imam ditahbiskan. Ia meminta doa restu kepada kedua orangtuanya untuk dipisahkan dan menjadi pemimpin umat82. 80 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 48. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 51. 82 E. Martasudjita, Pr., Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, 42. 81 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3.2 73 Inkulturasi Musik Liturgi Makna musik liturgi menurut Konsili Vatikan II dapat dirumuskan dalam tiga poin dimensi83: 3.2.1 Dimensi Liturgis Musik liturgi adalah musik yang berbeda dari musik profan pada umumnya, karena fungsi dan tujuan musik ini dibuat untuk kepentingan ibadat liturgi. Tidak mungkinlah musik dilepaskan dari konteksnya 84. Musik ini menjadi tradisi Gereja yang tidak ternilai harganya, dan lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya. Keterikatan antara nyanyian dan syairnya membuat musik ini menjadi bagian yang meriah yang penting atau integral. Musik bukanlah sekadar hiasan, tetapi liturgi itu sendiri85. Karena menjadi bagian yang integral, pilihan nyanyian ibadat harus bisa dipertanggungjawabkan. 83 Pembagian makna musik liturgi ke dalam tiga dimensi ini dibuat berdasarkan penjelasan yang ada pada E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 195-197. 84 Karl-Edmund Prier, SJ., Pedoman untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1987, 9. 85 Bdk. SC 112; E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 195; lihat pula komentar Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1988, 3-4. Dibedakan antara nyanyian liturgi sebagai pengiring dan nyanyian sebagai liturgi itu sendiri. Nyanyian liturgi sebagai pengiring adalah nyanyian-nyanyian yang menyertai ritus tertentu, seperti perarakan imam dan para petugas liturgi menuju altar, iringan persiapan persembahan, dan iringan imam dan para petugas liturgi yang menuju ke sakristi. Nyanyian pengiring ini disebut proprium. Sedangkan, nyanyian sebagai bagian dari liturgi itu sendiri adalah bagian tertentu dari liturgi yang memang perlu dibawakan dengan cara dinyanyikan, seperti Kyrie, Gloria, mazmur tanggapan, bait pengantar Injil, prefasi, Sanctus dan Agnus Dei. Nyanyian sebagai bagian liturgi ini disebut ordinarium. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 74 Musik liturgi menjadi musik khusus yang digunakan upacara-upacara liturgi. Melaluinya, umat beriman dapat “mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak” (SC 112). Seni membantu manusia untuk mengungkapkan dirinya secara lebih mendalam dalam ungkapan doa, iman dan rasa syukur pada Allah di dalam liturgi. Berbeda dengan musik profan, musik liturgi memiliki tujuan untuk “kemuliaan Allah dan pengudusan Umat beriman” (SC 112). Dua hal ini merupakan relasi vertikal-dialogis antara manusia dengan Allah: katabatis dan anabatis86. Segi katabatis adalah gerakan turun dari Allah kepada manusia. Allah menawarkan diri agar manusia memperoleh keselamatan. Ini merupakan pengudusan yang dilakukan Allah pada manusia. Sedangkan, segi anabatis adalah gerakan naik dari manusia kepada Allah. Manusia menganggapi tawaran Allah tersebut dengan menyembah dan memuliakan Allah87. Konsili membuka kesempatan agar kesenian-kesenian sejati dapat masuk ke dalam ibadat. Kriteria utamanya adalah kesesuaian dengan tujuan musik liturgi, yaitu demi kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman. Karenanya, diandaikan adanya proses pemilihan dan pemilahan antara kesenian yang sejati dan tidak sejati88. Kriteria utama musik liturgi dalam dimensi ini adalah bagaimana suatu musik atau nyanyian dapat membantu umat dalam berliturgi, 86 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 119. E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 120. 88 Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, 4. 87 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 75 yaitu berjumpa dengan Allah dan sesama 89. Seni membantu manusia untuk masuk ke dalam misteri, untuk menemukan Allah yang tersembunyi. 3.2.2 Dimensi Ekklesiologis Musik memiliki dimensi ekklesiologis, artinya musik liturgi dimaksudkan untuk mengungkapkan peran serta umat secara aktif. Konstitusi Liturgi mengungkapkan bahwa perayaan liturgi hendaknya memungkinkan “semua orang beriman dibimbing kearah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif” (SC 14). Musik memiliki peran penting dalam membantu memasuki misteri iman dan menangkap sabda Tuhan dan karunia sakramen yang sedang dirayakan90. Kesesuaian antara musik liturgi dengan tema liturgi dan tempat dilaksanakannya liturgi tersebut, dapat semakin membantu umat. Bentuk musik, lagu dan alat-alat musik juga perlu disesuaikan dengan keanggunan gedung gereja (bdk. LRI 40). Arsitektur gedung gereja juga menentukan sesuai tidaknya suatu alat musik digunakan. Orgel pipa pada umumnya dipasang bersamaan dengan dibangunnya gedung gereja. Besarnya gedung menentukan pula orgel yang akan dipasang di dalamnya. Karena hal inilah, masing-masing gereja memiliki suara orgel yang khas. Demikian pula arsitektur gedung gereja dari kebudayaan lain. Gedung gereja berarsitektur joglo sebagai bangunan khas masyarakat Jawa, sesuai 89 90 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 195. E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 196. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 76 dengan instrumen gamelan yang digunakan di dalamnya. Kesesuaian antara arsitektur, alat musik dan liturgi, dapat membantu umat untuk menghayati perayaan Liturgi secara lebih baik. Musik memang dapat membuat liturgi menjadi semakin semarak (bdk. SC 112). Tetapi, kemeriahan liturgi tidak tergantung dari indahnya nyanyian atau bagusnya upacara. Kemeriahan yang sejati ada pada makna perayaan atau ibadat itu sendiri, dengan memperhitungkan keterpaduan perayaan liturgi tersebut serta pelaksanaan bagian-bagian sesuai dengan ciri khasnya. Musik liturgi yang indah memang diharapkan ada, namun ukuran ini tidaklah mutlak, karena tergantung dari ketersediaan tenaga-tenaga yang dapat menjalankan tugasnya secara baik (bdk. MS 11). Pemazmur, solis, dan kor yang terlatih dan dapat bernyanyi dengan baik memang didambakan untuk memeriahkan suatu perayaan liturgi. Jika memang nyanyiannya terlalu sulit dan tidak tersedia tenaga-tenaga yang dapat menyanyikannya secara tepat, petugas tersebut bisa membawakannya tanpa menyanyi, yaitu dengan mendaraskannya dengan suara yang lantang dan jelas. Tapi hal ini tidak bisa dilakukan hanya demi mudahnya saja (bdk. MS 9). Para pengiring, yaitu organis dan pemain alat musik lain, perlu memiliki disposisi batin yang baik saat mengiringi ibadat liturgi. Mereka hendaknya mengikuti ibadat liturgi dengan penuh kesadaran. Dengan begitu, mereka dapat memainkan alat musik tersebut dengan sebagaimana mestinya (MS 67). Bermusik di dalam liturgi adalah bermusik dalam konteks berdoa. Saat para pemain musik dapat menghayati musiknya sebagai doa, ia pun dapat membantu umat yang hadir PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 77 untuk berdoa. Peran sertanya sebagai petugas liturgi menuntutnya untuk bersikap serius dan khidmat dalam mengiringi. Peran serta aktif para petugas liturgi dan umat akan semakin meriah jika dilakukan dengan bahasa setempat (bdk. SC 36 dan 113). Musik liturgi pun akan semakin mengena pada hati umat jika menggunakan bahasa yang diketahui umat setempat. Penggunaan bahasa Latin memang tetap dipertahankan, namun penggunaan bahasa pribumi pun dapat menjadi sangat bermanfaat bagi umat (bdk. SC 36 [1] dan [2]). Inkulturasi dalam tahap terjemahan minimal telah membantu umat untuk mengerti apa yang mereka ungkapkan. Gereja menghargai tradisi musik orang-orang di tanah misi, baik yang sudah menjadi musik ibadat maupun yang belum. Tradisi tersebut diletakkan sewajarnya di dalam liturgi. Gereja juga masih berhati-hati dengan penyesuaian yang dilakukan, sebagai antisipasi dari penyesuaian yang bersifat serampangan. Kriteria penghargaannya adalah musik yang berperan penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat (SC 119). Gereja tidak ingin mengambil begitu saja musik dari budaya setempat, tetapi musik setempat dimajukan dalam ibadat dengan melalui proses pengolahan terlebih dahulu91. Kriteria musik liturgi di sini adalah bagaimana musik memungkinkan umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Musik yang sesuai dengan citarasa setempat akan semakin mendorong umat untuk berpartisipasi92. 91 92 Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, 10. E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 196. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3.2.3 78 Dimensi Kristologis Misteri Kristus dapat semakin diperjelas dengan musik liturgi melalui syair dan lagunya. Isi syair dapat membantu umat untuk memperdalam misteri iman yang sedang dirayakan di dalam liturgi 93. Syair yang dibuat harus sesuai dengan ajaran Katolik dan ditimba dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi (bdk. SC 121). Melalui lagu, umat dapat terbantu untuk berkontemplasi dan merenung pada misteri iman yang dirayakan. Lagu yang sesuai dengan jiwa perayaan liturgi akan menciptakan suasana yang mendukung untuk doa dan perjumpaan umat dengan Allah94. Para pencipta lagu perlu memiliki kesadaran untuk mengembangkan musik Gereja. Mereka memiliki tanggung jawab untuk semakin memperkaya khazanah musik Gereja, entah dengan menciptakan musik vokal maupun instrumental, yang tetap disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Syaratnya, syair-syair lagu tersebut harus selaras dengan ajaran Katolik dan ditimba dari Kitab Suci dan sumber-sumber Liturgi (bdk. SC 121), serta memiliki mutu sastra yang indah (bdk. LRI 40). Yang dinyanyikan pertama-tama adalah teks liturgi, sehingga suara umat dapat didengar dalam tindakan liturgi yang mereka lakukan (bdk. LRI 48). Bahasa menjadi elemen penting yang secara jelas menunjukkan penyesuaian yang terjadi. Bahasa yang merupakan sarana komunikasi di antara umat, “digunakan untuk mewartakan kabar gembira keselamatan kepada orang-orang 93 94 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 196. E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 197. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 79 beriman dan untuk menyatakan doa Gereja kepada Tuhan” (LRI 39). Penyesuaian yang perlu diperhitungkan antara bahasa pribumi dengan lagu-lagu baru. Kekhasan bahasa pribumi tidak boleh diabaikan, dan aturan-aturan musik ibadat tetap harus dijalankan (bdk. MS 54). Kesulitan yang dapat muncul dalam inkulturasi adalah kurang diperhatikannya keindahan dalam permainan kata pada bahasa daerah dalam lagu baru pada versi Indonesia95. Bahasa daerah memiliki nuansa gaya sastra dan istilah-istilah yang khas menggambarkan diri masyarakatnya. Pada lagu-lagu terjemahan, hilangnya suasana ini lebih terasa. Perlu juga diperhatikan mengenai unsur-unsur bahasa mana yang layak dimasukkan ke dalam perayaan liturgi (LRI 39). Setelah Konsili Vatikan II dilaksanakan, perkembangan khazanah musik liturgi menjadi semakin pesat. Dinamika liturgi yang baru ternyata menghasilkan ciptaan-ciptaan musik liturgi yang baru96; di sisi lain, perayaan liturgi berubah secara musikal karena musik yang berbeda atau baru97. Tradisi musik ibadat selama 2.000 tahun tetap layak untuk dilanjutkan pada zaman sekarang98. Muncul ribuan karya yang menggunakan syair dari proprium, dengan lebih sedikit karya yang menggunakan syair ordinarium. Jumlah ini semakin bertambah bukan hanya karena banyaknya bahasa yang digunakan, tetapi juga karena banyaknya kelompok di dalam jemaat. Hasilnya adalah melimpahnya jumlah 95 Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 52. Bernard Huijbers, “Liturgical Music after the Second Vatican Council”, Concilium 132, 106; lihat pula Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, 12. 97 Bernard Huijbers, “Liturgical Music after the Second Vatican Council”, 106. 98 Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, 12. 96 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 80 karya-karya di seluruh dunia. Karya-karya tersebut sulit untuk dikenali dan dipertukarkan satu sama lain, tidak seperti Ordinarium Latin pada zaman dahulu99. Dalam konteks Indonesia yang memiliki 1.128 suku bangsa 100 dan 746 bahasa daerah101, keanekaragaman dapat menjadi potensi inkulturasi musik liturgi yang sangat subur. Para pemusik daerah setempat perlu disadarkan dan menyadari, bahwa mereka memiliki potensi besar untuk mengembangkan musik liturgi setempat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki budaya tersebut dan mengetahui seluk beluk dan filosofi hidupnya. Yang menjadi pencipta musik terkadang bukanlah para ahli musik yang terbiasa mencipta dan mengolah musik, tetapi mereka dapat pula datang dari kalangan petani, guru dan katekis102. Mereka memiliki kemampuan untuk menyusun lagu yang puitis, menciptakan lagu baru, menghafalkan lagu-lagu daerah yang dapat digunakan sebagai contoh lagu baru, dan mengiringi lagu dengan alat sederhana103. Ciri khas musik tradisional ini tidak bisa diabaikan dan begitu saja diukur baik-buruknya menggunakan teori musik Barat. Sebaliknya, keunikan musik daerah dan kemampuan para musisi setempat dalam menciptakan lagu baru untuk kepentingan liturgi, semakin memperkaya khazanah musik Gereja. Kriteria musik liturgi di sini bukan pada popularitas lagu di tengah umat, tetapi pada adanya 99 Bernard Huijbers, “Liturgical Music after the Second Vatican Council”, 102. Fitri Diana Wuryanti, “Implementasi Konvensi Diskriminasi Rasial”, 2013, Diakses dari http://www.ham.go.id/download.php%3Fid%3D732208%26mod%3D3%2Bjumlah+suku+bangsa +di+indonesia&hl=en&tbo=d&biw=1346&bih=618&gbv=1&sei=_I8dUZbTCcW4rAeB3oHgCA &ct=clnk. (15 Februari 2013). 101 Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, “10 Persen Bahasa Dunia Ada di Indonesia”, 2013, Diunduh dari http://www.menkokesra.go.id/content/10-persen-bahasa-duniaada-di-indonesia. (15 Februari 2013). 102 Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 49. 103 Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 48-49. 100 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 81 kecocokan antara musik dengan jiwa dan misteri iman akan Kristus yang dirayakan di dalam liturgi104. 3.3 Rangkuman Giancarlo Collet mendefinikan inkulturasi sebagai proses ketika Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosial, politik, religius dan kultural tertentu sedemikian rupa, sehingga Injil tersebut tidak hanya terungkap dalam unsur-unsur situasinya saja, tetapi juga menjadi kekuatan yang menginspirasi, membentuk dan mengubah situasi tersebut, sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja universal105. Inkulturasi tidak hanya terbatas pada bidang liturgi saja, tetapi pada keseluruhan segi hidup manusia. Dalam perspektif teologi penciptaan, karya keselamatan melalui penebusan merupakan rencana Allah sejak awal. Allah Tritunggal menciptakan segalanya itu sungguh amat baik (Kej 1:31). Alam ciptaan ini berpotensi untuk ditebus sampai ke unsur-unsur jasmani, karena alam ini diciptakan sendiri dengan tangan-Nya. Teologi inkulturasi berdasar pula pada misteri perutusan trinitaris. Misteri perutusan trinitaris ini adalah perutusan Putra oleh Bapa di dalam Roh Kudus (inkarnasi), sekaligus perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra (pentekosta). Kedua perutusan ini, perutusan Putra dan perutusan Roh Kudus, tidak bisa dipisahkan karena mengalir dari satu sumber, yaitu Allah Bapa, dan melayani 104 E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 197. Giancarlo Collet seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 8; lihat pula E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 266. 105 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 82 rencana keselamatan Bapa yang terlaksana melalui Putera-Nya dengan sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, dalam Roh Kudus di dalam rentang sejarah (paskah). Berkat penebusan Yesus Kristus, Adam kedua, penciptaan diperbarui, diperbaiki dan disusun kembali. Inkulturasi musik liturgi menurut Konsili Vatikan II dapat dibagi dalam tiga dimensi, yaitu dimensi liturgi, dimensi ekklesiologis dan dimensi kristologis. Pertama, dimensi liturgi. Kriteria musik liturgi menurut dimensi ini adalah bagaimana suatu musik atau nyanyian dapat membantu umat dalam berliturgi, yaitu berjumpa dengan Allah dan sesama. Kedua, dimensi ekklesiologis. Kriterianya adalah bagaimana musik memungkinkan umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Ketiga, dimensi kristologis. Kriterianya adalah bagaimana Misteri Kristus dapat semakin diperjelas dengan musik liturgi melalui syair dan lagunya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB IV SUMBANGAN TANGGA NADA PELOG DALAM INKULTURASI MUSIK LITURGI Gereja telah membuka diri untuk adanya inkulturasi musik liturgi. Aturanaturan pun sudah dibuat demi terjaminnya usaha inkulturasi tersebut, agar tidak menjauh dari tujuan musik liturgi, yaitu demi “kemuliaan Allah dan pengudusan Umat beriman” (SC 112). Dengan musik pula, umat dapat “mengungkapkan doadoa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak” (SC 112). Seni membantu manusia untuk mengungkapkan doa dan pujian secara lebih mendalam, serta menjadi jalan masuk Gereja untuk mewartakan Kabar Sukacita. Pembicaraan mengenai inkulturasi tidak bisa dilepaskan dari dua sisi, yaitu isi iman dan bentuk pengungkapannya. Isi iman yang ingin disampaikan itu sama dan tidak berubah, sedangkan pengungkapannya itu dapat berubah-ubah sesuai dengan konteks budaya dan zaman yang dihadapi. Gamelan Jawa sebagai musik khas budaya Jawa, diangkat dan dijadikan sarana pengungkapan iman akan Misteri Paska. Isi yang ingin diungkapkan adalah pengalaman kasih Allah yang terwujud dalam karya keselamatan-Nya melalui diri Yesus Kristus di dalam Roh Kudus. Sedangkan, bentuk pengungkapannya adalah melalui gending-gending PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 84 Jawa yang secara khusus diciptakan untuk kepentingan liturgi Gereja. Menanggapi tawaran keselamatan dari Allah tersebut, manusia memuji dan menyembah Allah. Orang Jawa menyembah dan memuji Allah melalui gending Gereja. Tangga nada pelog dan slendro memang digunakan di dalam liturgi Gereja. Namun tampaknya tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak. Seluruh gending Gereja ciptaan C. Hardjasoebrata menggunakan tangga nada pelog. Buku lagu Kula Sowan Gusti yang berisi lagu-lagu Gereja karangan C. Hardjasoebrata pun seluruhnya bertangga nada pelog. Dari 547 lagu yang ada di Kidung Adi, 252 lagu di antaranya adalah lagu bertangga nada pelog. Dengan begitu, 46,1% lagu di dalam Kidung Adi adalah lagu bertangga nada pelog. Lagu lainnya adalah lagu bertangga nada slendro (11,4%), Gregorian (3,7%), dan diatonis (38,8%). Bertolak dari fakta tersebut, penulis ingin melihat peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Pembahasan akan dibatasi pada musik vokal yang menggunakan tangga nada pelog. Proses inkulturasi ini akan ditinjau dari peran dan maknanya di dalam liturgi Gereja. 4.1 Perkembangan Tangga Nada Pelog dalam Liturgi Pembahasan mengenai peran musik dan nyanyian dalam liturgi harus menyangkut masalah musik dan nyanyian di dalam seluruh bidang liturgi. Bidang liturgi resmi Gereja adalah perayaan sakramen-sakramen, perayaan sabda, dan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 85 ibadat harian. Ada pula bentuk-bentuk ibadat yang masuk dalam cakupan liturgi, seperti ibadat sakramentali, devosi, dst1. Peran tangga nada pelog di dalam liturgi akan dibahas secara luas, mencakup bidang liturgi resmi Gereja dan ibadat-ibadat yang masuk dalam cakupan liturgi. Pembahasan tidak didasarkan pada bagian-bagian dari upacara liturgi, tetapi pada musik liturgi itu sendiri, khususnya gending Gereja. Pertanyaannya adalah bagaimana tangga nada pelog berperan dalam liturgi melalui gending-gending Gereja. Peran ini akan dilihat dari dua segi, yaitu segi historis dan segi komposisi. 4.1.1 Segi Historis 4.1.1.1 Langkah 1: Lagu Gregorian dengan Syair Jawa Lagu Gregorian merupakan lagu monophoni, yaitu lagu vokal yang hanya menggunakan satu suara. Kata-kata adalah yang utama, sedangkan lagu mengabdi pada kata-kata. Ada dua macam lagu Gregorian, yaitu sillabis dan melismatis. Sillabis berarti bahwa satu suku kata mendapatkan satu nada, sedangkan melismatis berarti satu suku kata mendapatkan beberapa nada. Pada langkah ini, lagu Gregorian mendapatkan syair terjemahan berbahasa Jawa. Hal ini sudah menjadi suatu bentuk inkulturasi awal, karena penyesuaian bahasa 1 sudah merupakan penyesuaian pada bagian budaya manusia. E. Martasudjita, Pr. dan J. Kristanto, Pr., Panduan Memilih Nyanyian Liturgi, Kanisius, Yogyakarta 2007, 22. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 86 Penerjemahan bukanlah suatu usaha yang mudah. Berbagai macam segi: linguistik, sosiologis, teologis, antropologis, dan lain-lain, perlu diperhitungkan. Keuntungan dari tahap ini adalah kesetiaan umat pada tradisi iman Gereja, terjaga. Contoh lagu Gregorian dengan syair berbahasa Jawa adalah Minggah Ing Pirdus (KA 93), dan Rawuha Roh Ingkang Murba (KA 384)2. Lagu Minggah Ing Pirdus merupakan lagu terjemahan dari lagu In Paradisum dari Liber Usualis, yang digunakan dalam upacara pemakaman saat jenazah dimasukkan ke dalam kubur. Lagu ini menggunakan modus 7 dengan nada finalis sol. Gambar 4.1: Minggah Ing Pirdus (KA 93) 2 Lihat pula KA 85, 87, 91, 93, 105, 118, 247, 306, 311, 316, 327, 328, 331, 340, 342, 349, 353, 384, 386. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 87 Contoh lain adalah lagu Rawuha Roh Ingkang Murba: Gambar 4.2: Bait pertama lagu Rawuha Roh Ingkang Murba (KA 384) Lagu Rawuha Roh Ingkang Murba ini merupakan terjemahan dari lagu Veni Creator Spiritus yang syair dan lagu aslinya diambil dari madah hari raya Pentekosta pada Liber Usualis. Lagu ini menggunakan modus 8, dengan nada finalis sol. Tahap penggabungan lagu Gregorian dan syair berbahasa Jawa ini termasuk dalam inkulturasi tahap penerjemahan. Teks asli diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan tetap mempertahankan nuansa, arti terjemahan, isi teologi dan fungsi lagu tersebut di dalam liturgi. Tangga nada pelog belum berperan apa-apa di sini. Lagu Gregorian yang pada awalnya memang sudah dikenal karena biasa dinyanyikan, kini dimengerti isinya. Umat Jawa mengetahui apa yang terungkap dan mereka ungkapkan lewat lagu tersebut. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 4.1.1.2 88 Langkah 2: Lagu Jawa dengan Syair Latin Pada tahun 1925/1926, C. Hardjasoebrata mulai melakukan percobaan inkulturasi dengan menggabungkan lagu Jawa dengan syair Latin. Percobaan ini dilakukan dengan dasar kesukaannya pada lagu Gregorian dan konteks pada masa itu yang masih mewajibkan penggunaan bahasa Latin di dalam liturgi. Upaya ini menghasilkan lagu-lagu seperti Jesu Dulcis Memoria (KSG 16), Adoro Te (KSG 17), O Esca Viatorum (KSG 18A), Pange Lingua/Tantum Ergo IV (KSG 23A). Lagu Jesu Dulcis Memoria, Adoro Te, dan Pange Lingua/Tantum Ergo IV menggunakan tangga nada pelog nem, sedangkan O Esca Viatorum menggunakan tangga nada pelog barang. Menurut Karl-Edmund Prier, C. Hardjasoebrata memang menyukai dan merasa bahwa lagu Gregorian itu bagus. Tantangan yang dipilihnya adalah bagaimana syair Latin itu dapat diungkapkan dengan tangga nada pelog. Salah satu lagu Pange Lingua yang terkenal di Indonesia adalah lagu yang diambil dari ibadat sore kedua pada Hari Raya Tubuh Kristus. Gambar 4.3: Bait pertama lagu Pange Lingua (LU hal. 957) PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 89 Lagu ini menggunakan tangga nada frigis, bermodus 3, dengan nada finalis mi. Setiap suku kata mendapatkan satu nada (sillabis). Suasana yang diciptakan oleh tangga nada frigis adalah mistis, lembut, dan transenden3. Oleh C. Hardjasoebrata, syair lagu Gregorian ini diambil dan diberi tangga nada pelog nem hingga menjadi: Gambar 4.4: Bait pertama lagu Pange Lingua/ Tantum Ergo IV (KSG 23A) Lagu ini menggunakan tangga nada pelog pathet nem. Pelog pathet nem bertangga nada: ji-ro-lu-mo-nem-ji, atau mi-fa-sol-si-do-mi. Suasana khas yang ingin diciptakan pelog pathet nem adalah sabar, sareh, dan tidak terlalu nglangut4. Demikian pula, lagu ini menggunakan nada ro atau fa sebagai awalan untuk menghindari kesan tegas, dan menekankan suasana sareh, lembut dan transenden. C. Hardjasoebrata tetap mempertahankan suasana lagu Gregorian modus frigis dengan menggunakan lagu pelog pathet nem dengan nada finalis mi. Bentuk inkulturasi tahap ini masih terjadi separuh-separuh. Kendati umat sudah merasakan sentuhan suasana budaya Jawa melalui tangga nada pelog, syair 3 Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1994, 90. Ki Hadjar Dewantara lan M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gendhing Djawa, Sadu-Budi, Solo 1957, 56. 4 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 90 lagunya masih berbahasa Latin dan lagunya masih terikat pada jumlah suku kata syair bahasa Latin. Tahap ini juga bisa disebut sebagai tahap penerjemahan. Bahasa syairnya memang belum diterjemahkan, tetapi tangga nadanya telah diterjemahkan. Modus frigis memiliki suasana yang serupa dengan pelog pathet nem dengan cara pengolahan tertentu. 4.1.1.3 Langkah 3: Lagu Jawa dengan Syair Jawa Pada bagian ini, inkulturasi telah menghasilkan lagu yang bertangga nada Jawa dengan syair berbahasa Jawa. Kaitan antara lagu dan syair tetap diperhitungkan, karena “nyanyian suci yang terikat pada kata-kata adalah bagian liturgi yang integral dan meriah” (SC 112). Isi syair diungkapkan semakin jelas dengan lagu. Banyak lagu jenis ini, baik proprium maupun ordinarium, telah tercipta, dan ini menjadi bukti bahwa inkulturasi pada tahap penyesuaian telah berhasil. Contoh lagu Jawa dengan syair Jawa adalah lagu Kidung Pudyastuti (KA 155), Memujia Pangeran (KA 156), Mba Sumujud (KA 157), Andher Pra Abdi (KA 158), Kula Sowan Gusti (KA 160), Ordinarium Misa Rudita (KA 174, 184, 219, 229), Ordinarium Misa Kratoning Allah (KA 173, 183, 218, 228). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 91 Berikut ini adalah lagu Memujia Pangeran yang dapat menjadi contoh lagu Jawa dengan syair Jawa: Gambar 4.5: Memujia Pangeran (KA 156) Lagu Memujia Pangeran ini diciptakan oleh Al. Wahyasudibya dengan menggunakan tangga nada pelog nem. Lagu ini singkat dan terdiri dari dua bait. Keuntungannya adalah lagu ini dapat dinyanyikan berulang-ulang sesuai dengan kebutuhan tanpa perlu khawatir durasi waktunya menjadi terlalu lama. Karena masuk ke dalam liturgi, durasi lagu tidak boleh terlalu panjang. Paul Widyawan mengungkapkan, bahwa “durasi gending Gereja harus pendek”5. Budi Santoso mengusulkan bentuk lagu yang singkat untuk mengantisipasi terlalu lamanya gending Gereja. Sebagai contoh, ia pernah membuat sebuah lagu komuni dengan durasi waktu 15 menit. Ternyata pembagian komuni dilakukan oleh banyak prodiakon dan para suster. Komuni pun hanya berlangsung selama lima menit. Lagu-lagu singkat dirasa lebih memadai, karena 5 Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 92 dapat diulang jika waktu masih tersisa6. Cara lain adalah dengan menciptakan lagu yang bertempo cepat, seperti yang dilakukan oleh JB. Sukodi dan Paul Widyawan7. Untuk menciptakan lagu Jawa dengan syair Jawa, unsur pertama yang perlu disesuaikan adalah bentuk lagunya. Karl-Edmund Prier8 dan Paul Widyawan9 mengungkapkan, bahwa musik Jawa tradisional tidak memiliki bentuk musik maupun vokal seperti mazmur tanggapan. Mazmur tanggapan menggunakan bentuk responsorial dengan resitatif. Maksudnya, pemazmur menyanyikan ayatayat mazmur secara resitatif, dan umat menjawabnya dengan refrein. Selain itu, lagu Kemuliaan tidak cocok diiringi dengan bentuk-bentuk seperti ketawang dan ladrang, serta “tidak boleh ribut-ribut” dalam mengiringinya. Diperlukan bentuk balungan khusus untuk mengiringi, misalnya Kemuliaan dan Bapa Kami. Bentukbentuk kreasi baru ini merupakan bukti dari inkulturasi antara Gereja dan musik Jawa. Ada perubahan dari bentuk musik gamelan untuk keperluan liturgi; dan, ada perubahan di dalam liturgi, yaitu lagu-lagu baru yang berupa gending Gereja. Penyesuaian dapat dilakukan sejauh sesuai “dengan hakekat semangat liturgi yang sejati dan asli” (SC 37). Kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dapat dilakukan dengan berbagai kelompok, daerah dan bangsa, asalkan kesatuan dengan Ritus Romawi tetap dipertahankan (bdk. SC 38). Ritusnya tetap 6 Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran. Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, 25. 8 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 9 Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 7 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 93 Ritus Romawi, tetapi unsur-unsur budaya setempat, dalam hal ini gending Jawa, sudah masuk dan mengalami penyesuaian. 4.1.1.4 Langkah 4: Gending Gereja dengan Paduan Suara Langkah pembaruan yang terjadi selanjutnya adalah bentuk gending Gereja dengan paduan suara. Gending Jawa pada dasarnya tidak memiliki bentuk paduan suara. Memang ada gerongan, yaitu tembang yang dibawakan dalam bentuk kor, tetapi iramanya itu metris10 dan dibawakan dalam satu suara saja. Pada tahun 1925, C. Hardjasoebrata memulai percobaan aransemen tiga suara untuk gending Jawa11. Hal ini berlanjut sampai pada gending-gending Gereja. Kini gending-gending Gereja telah umum diaransemen dengan paduan suara. Aturan aransemennya tidak mengandalkan akor-akor seperti aransemen lagu tonal, tetapi berdasar pada gerak horisontal nada, langkah-langkah diatonis, dan heterofon12. Jika cara aransemen lagu tonal dipaksakan pada lagu pentatonis, tidak diragukan lagi bahwa ciri khas musiknya akan hilang dan menjadi miskin. Contoh gending Gereja dengan aransemen paduan suara dapat dilihat pada buku kor Kula Sowan Gusti (PML 84-K), Rejeki Kaswargan (PML 148-K), dan Pepadhang Agung (PML 177-K); serta lagu Gya Mengoa (KA 269), Gloria (KA 10 Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, STSI Press, Surakarta 2006, 47. 11 Pengantar Karl-Edmund Prier, SJ., pada C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1987, 7. 12 Untuk aturan dan langkah-langkah aransemen lagu pentatonis, lihat Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84-88. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 94 285), dan Ayo Gegancangan Sowan Gusti (KA 681). Lagu Kula Sowan Gusti menggunakan tangga nada pelog barang yang diaransemen dengan gaya polifoni untuk dua suara: Gambar 4.6: Bait pertama lagu Kula Sowan Gusti (KSG 1) Paduan suara semakin memperindah gending Gereja dan membangun kesatuan hati umat yang berliturgi. Bagian suara yang satu memperkaya dan menjadi pendamping suara yang lain. Hal ini menunjukkan adanya kebersamaan dan kerja sama di dalam perbedaan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 4.1.1.5 95 Langkah 5: Aklamasi, Prefasi dan Anamnese Inkulturasi yang terjadi memunculkan aklamasi, prefasi dan anamnese baru bertangga nada pelog yang digunakan di dalam liturgi. Syairnya merupakan terjemahan dari bahasa Latin, dan lagunya menggunakan tangga nada pelog. Memang ada juga bentuk-bentuk aklamasi, prefasi dan anamnese yang tetap menggunakan tangga nada Gregorian, dengan syair berbahasa Jawa. a) Aklamasi Aklamasi adalah suatu pernyataan yang diserukan atau dinyanyikan sebagai wujud jawaban iman atas misteri yang dirayakan dan sebagai wujud partisipasi umat dalam perayaan. Bentuk aklamasi tertua dan tersingkat adalah “Amin”. Aklamasi Amin ini telah ada sejak abad ke-213. Alleluya juga merupakan aklamasi. Sebagai bait pengantar Injil, aklamasi ini dinyanyikan oleh umat dengan dipandu oleh paduan suara atau solis (bdk. PUMR 62). Berikut ini adalah contoh aklamasi salam pada Ritus Pembuka di dalam perayaan Ekaristi: 13 A. Heuken SJ., Ensiklopedi Gereja 1, Cipta Loka Caraka, Jakarta 2004, 69. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 96 Gambar 4.7: Aklamasi salam pada Ritus Pembuka (KA 67) Tangga nada yang digunakan adalah tangga nada pelog. Terjemahan syair aklamasi ini sebenarnya kurang tepat dengan teks asli pada Missale Romanum:I: Dominus vobiscum, U: Et cum spiritu tuo.Tetapi terjemahan bahasa Jawa ini tetap digunakan demi konteks budaya Jawa yang ada. Teks Latin ini diterjemahkan dengan metode ekuivalen dinamis (dynamic equivalence)14, yaitu dengan mengganti suatu unsur dari liturgi Ritus Romawi, dengan unsur dari budaya lokal yang memiliki makna atau nilai yang sama. Karenanya, sisi linguistik dari aklamasi liturgi Romawi ini diungkapkan kembali dengan pola pikir, cara berbicara dan ritual setempat. Penerjemahan ini dilakukan secara idiomatis, yaitu mementingkan makna kata dan padanan unsur yang ada pada budaya setempat. Kalimat et cum spiritu tuo diterjemahkan dengan kalimat kaliyan kula sadaya. Kata roh (spiritus) dalam budaya Jawa juga mengandung konotasi roh-roh yang bergentayangan, yang menghuni pohon dan batu-batu. Maka terjemahan pun lebih disesuaikan dengan budaya Jawa dan dengan liturgi itu sendiri. 14 Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 3738. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 97 b) Prefasi Prefasi bertujuan untuk menyatakan syukur. “Atas nama seluruh jemaat, imam memuji Allah Bapa dan bersyukur kepada-Nya atas seluruh karya penyelamatan atau atas alasan tertentu” (PUMR 79a). Prefasi selalu diakhiri dengan ajakan agar umat bersama para kudus dan semua malaikat memadukan suara untuk memuji Allah dan disambung dengan “Kudus” 15. Sebagai bagian dari Doa Syukur Agung dan ungkapan syukur pada Allah, prefasi pada hakekatnya sendiri merupakan suatu nyanyian16. Lagu prefasi bertangga nada pelog yang diciptakan, digunakan baik untuk prefasi berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa. Gambar 4.8: Pola lagu 9 (TPE 2005) Prefasi yang dinyanyikan dengan pola lagu pelog ini tentu saja harus diawali dengan dialog pembuka prefasi yang bertangga nada pelog juga. Tangga nada pelog pathet nem yang digunakan dalam pola lagu di atas diolah menjadi lagu prefasi yang hidup dan mencerminkan rasa syukur. Prefasi 15 Lihat teks-teks prefasi pada Konferensi Waligereja Indonesia, Tata Perayaan Ekaristi, Kanisius, Yogykarata 2005, 46-105. 16 Karl-Edmund Prier, SJ., Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 2010, 20. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 98 adalah pujian dan syukur kepada Allah Bapa atas karya keselamatan-Nya atau atas alasan-alasan tertentu (PUMR 79a). Maka dari itu prefasi memang perlu dinyanyikan secara hidup, dan penuh rasa syukur, agar hati umat dapat memuji dan bersyukur kepada Allah. c) Anamnesis Anamnesis merupakan seruan atau aklamasi yang bertujuan untuk “mengenangkan Kristus, terutama sengsara-Nya yang menyelamatkan, kebangkitan-Nya yang mulia, dan kenaikan-Nya ke surga” (PUMR 79e).Karena merupakan seruan, maka paling baik jika anamnesis ini dinyanyikan 17. Anamnesis III adalah sebagai berikut: Gambar 4.9: Anamnese III (KA 127) 17 Karl-Edmund Prier, SJ., Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, 21. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 99 Suasana sabar dan sareh diciptakan melalui tangga nada pelog nem yang digunakan pada anamnesis III ini. Suasana tenang yang ingin diciptakannya ini sejalan dengan kekhidmatan yang dibutuhkan untuk mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. 4.1.1.6 Kesimpulan Perkembangan Historis Proses inkulturasi peran tangga nada pelog di dalam liturgi secara historis telah melampaui tahap pengambil-alihan (imposition) dan penerjemahan. Tangga nada pelog telah sampai pada tahap penyesuaian dengan liturgi, dan dapat digunakan sebagai tangga nada untuk membentuk gending-gending Gereja. Perannya itu serupa dan dapat menggantikan tangga nada diatonis dan Gregorian yang selama ini telah digunakan untuk lagu-lagu liturgi, demi suatu bentuk penghayatan iman yang khas pribumi. Suasana yang timbul dari gending-gending Gereja, tergantung pada bagaimana tangga nada pelog itu diolah dalam ketiga pathet: lima, nem, dan barang. 4.1.2 Segi Komposisi 4.1.2.1 Syair Lebih Diutamakan Syair dari musik liturgi harus dibuat secara serius dengan memperhitungkan isinya “yang selaras dengan ajaran Katolik, bahkan hendaknya ditimba dari Kitab PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 100 Suci dan sumber-sumber liturgi” (SC 121). Demikian juga gending-gending Gereja yang diciptakan harus bersumber dari Kitab Suci maupun sumber-sumber liturgi. Budi Santoso pernah menciptakan suatu lagu dengan inspirasi yang didapat dari homili seorang pastor. Kendati demikian, ia tetap mencari dasar bibilisnya18. Siswanto menekankan perlunya pengolahan syair dalam terang iman dan Kitab Suci. Ia mengatakan bahwa “jika iman pencipta tebal, apa yang dibacanya pasti mengena. Jika imannya kurang tebal, mungkin lagu-lagu itu akan kurang beriman. Sebuah lagu tergantung pada si pembuat”19. Kedalaman dan penghayatan iman pencipta mempengaruhi kedalaman lagu yang diciptakan. Mengenai metode pembuatan syair, Siswanto berpendapat: Kalau sudah tahu betul-betul isinya kalimat itu, kita baru bisa membuat lagu itu dengan baik. Tapi kalau belum begitu menguasai betul-betul isinya itu, ya lagunya tidak akan mungkin baik. Ayat itu perlu benar-benar dimasak. Kalau sudah mantap ayat demi ayat, dan kata demi kata, barulah dibuat lagu. Membuat lagu itu demikian, kalimat demi kalimat, kata demi kata20. Teks-teks Kitab Suci maupun sumber-sumber liturgi direnungkan dan dikontekstualisasikan dengan keadaan masyarakat Jawa. Berdasar pada lokakaryalokakarya musik liturgi yang telah dijalaninya, Karl-Edmund Prier berpendapat, bahwa teks-teks “Kitab Suci dicari, dan dicari apa artinya bagi masyarakat Jawa. Setelah itu syair barulah dibuat”21. 18 Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran. Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 20 Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 21 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 19 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 101 Kitab Suci menjadi sumber utama, karena Kitab Suci memuat Injil yang intinya adalah perwartaan kabar keselamatan yang dilakukan Allah melalui Yesus Kristus di dalam Roh Kudus, bagi manusia. Misteri iman akan Kristus ini dihayati di dalam liturgi dalam berbagai macam bentuk. Secara lebih jelas, buku-buku lagu telah menyediakan lagu-lagu yang sesuai dengan misteri iman yang dirayakan di dalam liturgi. Kidung Adi memuat nyanyian-nyanyian tematis, seperti mangsa Adven, mangsa Prapaskah/ Pasa/ Pamartobat, Sangsara Dalem, upacara Minggu Adi (Minggu Palem, Kemis Putih, Jemuah Adi, Minggu Paskah), Mekrad Dalem, Pentakosta, Syukur, Yesus Kristus, Gereja/ Tugas Sosial, Maria, Para Suci, dan wanci dalu. SC 112 mengungkapkan secara tegas, bahwa “tradisi musik Gereja Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyayian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian liturgi meriah yang penting atau integral”. Kata-kata mendapatkan penekanan yang lebih, karena kemampuannya untuk menjadi media pewartaan ajaran iman. 4.1.2.2 Tangga Nada Pelog Diutamakan Ada beberapa pendapat mengenai penggunaan tangga nada pelog di dalam liturgi. Gamelan Jawa menggunakan tangga nada pentatonis dalam dua bentuk, yaitu slendro dan pelog. Masing-masing tangga nada memiliki sifat khas dan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 102 kegunaannya masing-masing. Teori mengenai tangga nada slendro dan pelog sudah dijelaskan pada bab II. Mengenai tangga nada slendro, Karl-Edmund Prier berpendapat: Itu musik yang unik, dalam arti tidak ada pegangan-pegangan yang biasa kita pakai dengan do-re-mi itu. Tetapi nada-nada adalah tengahtengah itu. Sehingga, cara mendengar musik gamelan slendro itu berarti melepaskan pegangan seperti do-re-mi. Dengan demikian terjadilah: kita melepaskan pegangan-pegangan yang selalu kita pakai dengan mengukur-ukur, dan kita mulai melayang-layang. Menurut hemat saya, itu sangat cocok untuk berjumpa dengan Tuhan: dengan melepaskan diri, melepaskan pegangan-pegangan kita. Menemukan Tuhan justru di situ, ketika kita melepaskan pegangan-pegangan kita22. Tangga nada slendro tidak bisa begitu saja disejajarkan atau diukur dengan menggunakan skala diatonis. Ada perbedaan interval yang menjadikan tangga nada slendro dan diatonis akan mengalami selisih jika disejajarkan. Ukuranukuran diatonis yang biasa digunakan tidak dapat secara mutlak digunakan, dan bahkan lebih baik dilepaskan untuk dapat menyanyikan lagu-lagu slendro sebagaimana mestinya. Oleh Karl-Edmund Prier, usaha melepaskan peganganpegangan diatonis ini dimaknai sebagai melepaskan diri dan pegangan-pegangan manusiawi untuk dapat mencari-cari dan menemukan Tuhan. Manusia menyembah dan memuliakan Allah, sebagai tanggapan atas karya keselamatan yang ditawarkan-Nya. Sejalan dengan Karl-Edmund Prier, Siswanto dan Budi Santoso juga berpendapat bahwa tangga nada slendro itu sulit untuk dinyanyikan. Siswanto 22 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 103 juga mendasarkan pendapatnya ini pada perhitungan selisih antara interval diatonis dan slendro23. Budi Santoso mengungkapkan: Kebanyakan lagu-lagu slendro di Paroki Ganjuran, digunakan untuk lagu-lagu Jumat Adi dan sripah(kematian). Memang agak susah, jika telinganya tidak peka. Memang susah untuk membuat lagu-lagu slendro itu. Lebih baik dan lebih gampang membuat lagu pelog. Sembarang menyanyi pun, kita akan masuk ke dalam tangga nada pelog. Orang menyanyi itu terkadang lebih banyak pelognya daripada slendro. Slendro itu terkadang susah. Interval antara nada yang satu dengan yang lainnya itu agak berbeda, dibandingkan dengan pelog. Pelog itu gampang24. Tangga nada slendro sulit dinyanyikan, jika si penyanyi tidak memiliki kepekaan nada. Untuk para pencipta pun, lagu-lagu slendro lebih sulit dibuat. Lebih mudah membuat lagu-lagu bertangga nada pelog. Menurut Siswanto, tangga nada pelog lebih dekat dengan tangga nada diatonis. Ia mengungkapkan: Laras pelog itu memang mudah sekali untuk disesuaikan dalam tangga nada diatonis. Tangga nada slendro memiliki interval yang sama. Tangga nada yang mudah dihapal adalah pelog, yang sudah ada miripmiripnya dengan diatonis. Diatonis itu hampir sama dengan pelog25. Sebagaimana tangga nada diatonis, tangga nada pelog memiliki interval besar dan kecil, dengan nada-nada do-mi-fa-sol-si. Menurut Siswanto, kemiripan inilah yang menjadikan tangga nada pelog lebih mudah dinyanyikan daripada tangga nada slendro. Tangga nada pelog dan slendro digunakan dalam gending Gereja. Ada perbedaan pendapat mengenai proporsi tangga nada mana yang lebih banyak 23 Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran. 25 Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 24 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 104 digunakan di dalam liturgi. C. Hardjasoebrata sendiri menciptakan gending Gereja dengan seluruhnya menggunakan tangga nada pelog. Buku Kidung Adi terbitan PML juga sebagian besar memuat nyanyian-nyanyian bertangga nada pelog. KarlEdmund Prier berpendapat mengenai tangga nada pelog yang digunakan di dalam liturgi: Menyanyikan lagu pelog itu termasuk harus hati-hati, karena intonasinya tidak sembarangan dan diselingi dengan nada kecil-kecil. Itu menuntut suatu konsentrasi. Konsentrasi berarti mesti bernyanyi dengan berhati-hati, dengan hati juga. Tidak hanya hati-hati, tetapi hatinya ikut. Karena tujuannya adalah untuk membawa hati kepada Tuhan dan Tuhan bisa dicari seperti kita mencari nada-nada. Suatu disiplin, harus hati-hati, supaya menjadi betul, dan tidak salah nyanyi. Saya melihatnya dari konstruksi tangga nada pelog yang agak unik itu. Pergantian interval besar dan kecil ini menuntut perhatian besar26. Interval besar-kecil yang ada pada tangga nada pelog menuntut suatu kehatihatian dan hati. Untuk menyanyikannya dibutuhkan konsentrasi. Konsentrasi dalam mencari nada dimaknai sebagai konsentrasi untuk mencari Tuhan. Paul Widyawan dan Siswanto27 berpendapat bahwa slendro dapat digunakan di dalam liturgi. Seringnya hanya digunakan satu pangkon atau tangga nada dalam liturgi Gereja, lebih disebabkan alasan praktis gamelan laras apa yang tersedia di gereja tersebut. Paul Widyawan tidak banyak menyentuh slendro, karena ketidaktersediaan gamelan slendro di gereja28. Jika gamelan slendro tersedia, ia akan menggunakannya juga. Demikian pula diungkapkan Siswanto: Gereja-gereja yang memiliki gamelan slendro itu jarang sekali. Para pencipta lagu memikirkan juga hal ini, bahwa gereja-gereja itu 26 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 27 Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 28 Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 105 kebanyakan memiliki gamelan pelog. Yang memiliki slendro itu jarang sekali. Karena hal itu, para pencipta lagu, termasuk saya, banyak menggunakan yang pelog29. Mengenai suasana atau perasaan yang ditimbulkan, Budi Santoso mengatakan bahwa “lagu pelog itu lebih ceria, lebih membawa suasana kegembiraan. Itu barangkali ada hubungannya juga dengan perayaan Ekaristi yang adalah pesta”30. Sebaliknya, slendro di Paroki Ganjuran biasa digunakan pada ibadat Jumat pertama, untuk tlutur yang bernuansa susah dan sedih. Berbeda dengan Budi Santoso, Paul Widyawan mengatakan kalau slendro lah yang lebih banyak digunakan dalam hiburan31. Siswanto memiliki menyampaikan pandangan yang berbeda: Lagunya itu membutuhkan suasana apa? Jadi, tinggal lagu itu membutuhkan suasana susah atau gembira. Umumnya suasana itu bisa dibuat susah, gembira, dan anggun. Misalnya untuk membuat suasana sedih, nada-nada yang digunakan itu diambil dari tangga nada pelog. Tangga nada itu memiliki nada dasar. Nada dasar mana yang akan diambil? Untuk lagu yang bagaimana? Misalnya, lagu dengan suasana susah itu menggunakan nada-nada yang tidak pokok, yang tidak baku, yang kekuatannya itu tipis. Jika pada tangga nada ini nada yang kuat adalah sol atau do, kedua nada ini digunakan sedikit saja.Yang diolah adalah rasanya. Lagu bisa menimbulkan suasana, kalau sudah digarap. Misalnya, tangga nada pelog barang. Pelog barang itu meriah sekali,tetapi juga bisa digunakan untuk suasana susah 32. Bagi Siswanto, tangga nada pelog dan slendro dapat diolah menjadi lagu dengan berbagai suasana, seperti senang, sedih, semangat, khidmat, dll. Perasaan atau suasana muncul setelah lagu tersebut diolah dan diperdengarkan. 29 Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, pada hari Kamis, 7 Maret 2013, di Ganjuran. 31 Wawancara dengan Paul Widyawan, pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 32 Wawancara dengan Martinus Siswanto, Kamis 7 Maret 2013, di Pugeran. 30 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 106 Ki Hajar Dewantara mendeskripsikan rasa yang timbul dari tangga nada slendro dan pelog berdasarkan pathet-pathetnya. Tangga nada slendro memiliki tiga pathet, yaitu enem, sanga, dan manyura. Slendro pathet enem biasa dimainkan pada sore hari hingga pukul 23.00. Suasana yang ditimbulkan adalah gembira dan sederhana, seperti kehidupan seorang anak kecil. Kata “enem” dalam pathet enem adalah lambang dari jiwa muda (enem-muda dalam bahasa Jawa). Slendro pathet sanga biasa dimainkan pada pukul 23.00 sampai pukul 03.00. Rasa yang ditimbulkan adalah tenteram, gagah, sabar, dan dewasa. Slendro pathet manyura dimainkan antara pukul 03.00 sampai matahari terbit. Rasa yang ditimbulkan adalah gembira, indah, centil, dan bersemangat seperti orang muda33. Mengenai tangga nada pelog, Ki Hajar Dewantara juga mendeskripsikan rasa yang timbul dari permainannya. Tangga nada pelog terdiri dari tiga pathet, yaitu gangsal (lima), enem, dan barang. Pelog pathet lima dimainkan pada sore hari. Rasa yang ditimbulkan adalah nglangut (hanyut, terbawa), sedih, dan penuh belas kasihan. Pelog pathet enem dimainkan pada tengah malam, seperti slendro pathet sanga. Rasa yang muncul adalah sabar, tenang, dan tidak terlalu nglangut. Pelog pathet barang dimainkan pada pagi hari, seperti slendro pathet manyura. Rasa yang ditimbulkan adalah gembira, hidup, dan bersemangat muda34. Lagu dengan tangga nada pelog maupun slendro dapat digunakan di dalam liturgi. Keduanya dapat membantu umat untuk mengkontemplasikan misteri iman yang sedang dirayakan. Nada-nada dan bentuk lagu gamelan Jawa sendiri 33 Lihat penjelasan ini dalam Ki Hadjar Dewantara lan M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending Djawa, 53-54. 34 Lihat penjelasan ini dalam Ki Hadjar Dewantara lan M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending Djawa, 55-56. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 107 mengandung suatu makna filosofi, teleologis dan teologis seperti yang diungkapkan Karl-Edmund Prier: Musik gamelan memuat suatu kerinduan akan Yang Agung. Maka, itu tidak kebetulan dipakai di dalam liturgi. Kita berpangkal dari sini, dan melihat ke surga. Kita berpangkal dari sini, tetapi semuanya serba ternganga, serba tidak sempurna, merindukan yang lebih baik, merindukan keselamatan, merindukan hari kiamat juga, dan itu sangat liturgis. Kita mempunyai teleologi. Menuju kepada teleos, kepada tujuan. Menuju ke sana, merindukan itu. Merindukan penyelesaian. Gending Jawa, tersusun dalam gatra. Tiap gatra memiliki empat nada: Nang-ning-nang-NANG, nang-ning-nang-NANG. Progresif, atau terarah. Lain dengan musik barat: SATU-dua-tiga-empat, SATU-duatiga-empat. Artinya, dalam musik Barat tekanan yang berat ada di depan35. Seperti halnya para penabuh gamelan yang menunggu bunyi gong sebagai penutup suatu musik gamelan, demikian juga manusia merindukan yang lebih baik, merindukan keselamatan, menuju kepada satu-satunya tujuan, yaitu Tuhan. Dari berbagai macam pendapat yang ada di atas, dapat diambil empat kesimpulan mengapa tangga nada pelog lebih diutamakan di dalam liturgi. Pertama, secara musikal tangga nada pelog lebih mudah dinyanyikan, karena lebih dekat dengan tangga nada diatonis. Tangga nada pelog memiliki interval besar-kecil, serupa dengan interval yang dimiliki tangga nada diatonis. Tangga nada slendro lebih sulit dinyanyikan, karena memiliki interval yang sama. Dibutuhkan kepekaan untuk menyanyikannya. Kedua, hanya sedikit gereja-gereja yang memiliki gamelan slendro, dan lebih banyak gereja-gereja yang memiliki gamelan pelog. Para pencipta lagu lebih banyak menciptakan gending Gereja bertangga nada pelog karena hal ini. Ketiga, tangga nada pelog lebih banyak 35 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 108 digunakan dalam gending-gending bernuansa tenang dan sabar, sedangkan slendro lebih banyak digunakan dalam gending-gending bernuansa gagah dan bersemangat. Keempat, suasana atau penjiwaan lagu yang diciptakan tergantung dari bagaimana tangga nada itu diolah. 4.1.2.3 Kesimpulan Segi Komposisi Dari segi komposisi, gending Gereja mengutamakan syair, karena isi syair diambil dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Syair ini memuat ajaran iman, ungkapan syukur dan pujian umat pada Allah. Tangga nada yang banyak digunakan adalah tangga nada pelog, karena lebih mudah dalam menyanyikannya, kendati membutuhkan konsentrasi dan kehati-hatian. Tangga nada pelog itu lebih dekat dengan tangga nada diatonis; kebanyakan gereja memiliki gamelan pelog; dan memunculkan suasana gagah dan bersemangat. 4.2 Makna Tangga Nada Pelog dalam Liturgi Misteri Kristus dapat dihadirkan melalui musik liturgi, dan umat dapat masuk dalam Misteri Kristus melalui musik liturgi36. Karenanya, musik Gereja tidak boleh sembarangan. Musik ini haruslah sejak awal dikhususkan untuk 36 E. Martasudjita, Pr. dan J. Kristanto, Pr., Panduan Memilih Nyanyian Liturgi, 14-15. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 109 kepentingan liturgi. Gending-gending Gereja dapat masuk ke dalam liturgi Gereja jika memiliki kriteria yang terbagi dalam tiga dimensi, yaitu liturgi, ekklesiologi dan kristologi. 4.2.1 Dimensi Liturgis Kriteria musik liturgi dalam dimensi ini adalah bagaimana suatu musik atau nyanyian dapat membantu umat dalam berliturgi, yaitu berjumpa dengan Allah dan sesama. Musik bukanlah sekadar tempelan pada liturgi, tetapi merupakan bagian integral dan utuh dari liturgi itu sendiri (bdk. SC 112). Ada musik yang bersifat sebagai pengiring ritus tertentu, ada pula yang menjadi bagian tak terpisahkan dari bagian ritus itu sendiri. Karena fungsinya itu, musik liturgi tidak bisa hanya sembarangan dipilih. Gending-gending Gereja bertangga nada pelog telah diciptakan sesuai fungsinya, yaitu untuk ordinarium, proprium dan aklamasi-aklamasi. Ini menunjukkan bahwa tangga nada pelog bisa digunakan sebagai tangga nada untuk berbagai macam lagu. Contoh ordinarium yang mengunakan tangga nada pelog adalah Misa Rudita (KA 174, 184, 219, 229), dan Misa Kratoning Allah (KA 173, 183, 218, 228). Sedangkan, contoh proprium yang ada, antara lain Kula Sowan Gusti (KA 159), Mungguh Gusti Ora Mbangun (KA 160), Mangga Gusti Kersaa Nampi (KA 207), O Sakramen Maha Suci (KA 245), dan Atur Roncen (KA 279). Tangga nada pelog telah menjadi bagian integral dari liturgi. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 110 Dari struktur tangga nadanya, tangga nada pelog memiliki interval besarkecil yang membutuhkan konsentrasi dalam menyanyikannya, dengan intonasi yang tidak sembarangan. Karl-Edmund Prier mengungkapkan bahwa konsentrasi pada tangga nada pelog membawa kita kepada Tuhan. Tuhan bisa dicari seperti kita mencari nada-nada37. Dengan lagu yang tepat, hati dan pikiran umat semakin terarah kepada Allah. Umat beriman dapat “mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak” (SC 112). Seni, dalam hal ini gending Gereja bertangga nada pelog, mampu membantu manusia untuk mengungkapkan dirinya kepada Allah di dalam liturgi, secara lebih mendalam. Dalam kriteria musik dapat membantu umat untuk bertemu dengan Allah, musik memuat aspek dialog vertikal: katabatis dan anabatis. Allah mewahyukan diri-Nya, menawarkan keselamatan kepada manusia, melalui diri Yesus Kristus yang hadir dalam konteks hidup manusia, dengan segala pola pikir, adat istiadat dan budayanya. Allah hadir melalui Putra-Nya untuk menguduskan dunia. Demikian pula gending Gereja bertangga nada pelog yang bersumber dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi, menjadi konteks yang menghadirkan Yesus Kristus sendiri. Lagi pula, inti dari Injil adalah Kabar Sukacita. Setelah Allah menyapa manusia dan menawarkan keselamatan pada manusia, manusia menanggapi tawaran dan sapaan tersebut dengan menyembah dan memuliakan Allah. Ini adalah gerak naik dari manusia kepada Allah. Melalui gending Gereja, umat menyembah dan memuliakan Allah. Rahmat keselamatan 37 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ., pada hari Kamis, 21 Februari 2013, di Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 111 dari Allah ditanggapi dengan segenap hati melalui nyanyian dengan syair berbahasa Jawa dan bertangga nada pelog didukung dengan bunyi gamelan. 4.2.2 Dimensi Eklesiologis Kriteria musik liturgi dalam dimensi ini adalah bagaimana musik memungkinkan umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Musik yang sesuai dengan citarasa setempat akan semakin mendorong umat untuk berpartisipasi38. Partisipasi ini dituntut oleh hakikat liturgi sendiri dan berdasar pada pembaptisan, dalam bentuk partisipasi batiniah dan partisipasi lahiriah (MS 15). Konstitusi Liturgi mengungkapkan bahwa perayaan liturgi hendaknya memungkinkan “semua orang beriman dibimbing kearah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif” (SC 14). Musik memiliki peran penting dalam membantu memasuki misteri iman dan menangkap sabda Tuhan dan karunia sakramen yang sedang dirayakan39. Upaya-upaya inkulturasi telah dilakukan demi terciptanya gending Gereja yang dapat membantu umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam liturgi. Contohnya adalah aklamasi-aklamasi bertangga nada pelog dan berbahasa Jawa. Aklamasi ini menjadi suatu pernyataan yang diserukan atau dinyanyikan sebagai wujud jawaban iman atas misteri yang dirayakan dan sebagai 38 Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, Kanisius, Yogyakarta 2011, 196. 39 Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 196. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 112 wujud partisipasi umat dalam perayaan. PUMR 79b menunjukkan, bahwa Kudus adalah bagian integral dari Doa Syukur Agung yang harus dilambungkan oleh seluruh jemaat bersama iman. Bentuk partisipasi umat ini merupakan wujud pembaruan untuk gending Jawa, mengingat lagu Jawa sebenarnya hanya menggunakan satu tunggal (dalang, sinden, macapat), dan masyarakat Jawa kurang mengenal lagu bersama. Proses inkulturasi telah sampai pada tahap penyesuaian dan memunculkan bentuk-bentuk aklamasi, anamnese, proprium, serta ordinarium, yang memberikan tempat bagi umat untuk ambil bagian di dalamnya. Secara sosiologis, orang Jawa mementingkan aspek kebersamaan. Musik gamelan adalah musik komunal, yang membutuhkan antara 10 sampai 15 pemain. Masing-masing instrumen dapat dimainkan dengan sebagaimana mestinya dan indah, jika dimainkan dalam kesatuan dengan yang lainnya. Hal ini tentu berbeda dengan musik orkestra Barat yang memungkinkan adanya bentuk konserto yang memperlawankan antara satu alat musik dengan keseluruhan orkestra. Instrumen gamelan itu bersifat saling membutuhkan satu sama lain. Tidak mungkinlah seseorang mengiringi suatu lagu hanya dengan menggunakan gong atau kempul. Gong maupun kempul dapat dimainkan sebagaimana mestinya bila digabungkan dengan alat-alat lain, seperti bonang, saron, demung, kendang, gender, rebab, siter dan gambang. Cara memainkan alat musik yang bersama-sama ini menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa yang mengutamakan aspek sosialitas. Orang-orang hadir dan berkumpul dalam satu tempat yang sama dan memainkan alat musik PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 113 yang menjadi bagiannya masing-masing untuk menciptakan ritme yang berbeda namun ada dalam satu kesatuan. Demikian pula iringan gending Gereja perlu dibuat dengan kerja sama antara pemain. Ciri musik gamelan Jawa adalah heterofoni, yaitu semua pemain memainkan balungan yang sama dengan adanya variasi-variasi yang dimainkan pada waktu yang sama. Kesatuan bunyi ini menciptakan suatu bunyi yang indah. Selain itu, ada pula bentuk dialog yang tercipta di dalam teknik main bersama ini: pemain kendang memainkan ritme tertentu untuk mempercepat ataupun memperlambat tempo permainan, sinden dan rebab berdialog dengan saling menirukan melodi masing-masing, dan suatu kalimat lagu di dalam musik gamelan diakhiri dengan bunyi gong 40. Teknik main bersama-sama ini mengandaikan adanya sekelompok pemain. Dalam liturgi, teknik ini dibawa dan semakin memperjelas aspek kebersamaan dan partisipasi. 4.2.3 Dimensi Kristologis Misteri Kristus dapat semakin diperjelas dengan musik liturgi melalui syair dan lagunya. Isi syair dapat membantu umat untuk memperdalam misteri iman yang sedang dirayakan di dalam liturgi 41. Syair yang dibuat harus sesuai dengan ajaran Katolik dan ditimba dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi (bdk. SC 121). Melalui lagu, umat dapat terbantu untuk berkontemplasi dan merenung pada 40 41 Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 21. Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 196. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 114 misteri iman yang dirayakan. Lagu yang sesuai dengan jiwa perayaan liturgi akan menciptakan suasana yang mendukung untuk doa dan perjumpaan umat dengan Allah42. Kriteria musik liturgi di sini bukan pada popularitas lagu di tengah umat, tetapi pada adanya kecocokan antara musik dengan jiwa dan misteri iman akan Kristus yang dirayakan di dalam liturgi43. Seperti sudah diungkapkan di atas, syair diutamakan di dalam gending Gereja. Syair harus bersumber dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Gending-gending Gereja yang merupakan hasil terjemahan dari nyanyian Gregorian tidak mengalami masalah dalam hal isi, sejauh terjemahannya betul, karena syair Latin yang diterjemahkan bersumber dari sumber-sumber tradisi Gereja. Contoh gending Gereja yang bersumber pada Kitab Suci adalah Pindha Sangsam (KA 241) yang bersumber dari teks Mazmur 42: 1-12. 42 43 Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 197. Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 197. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 115 Gambar 4.10: Refren dan bait pertama lagu Pindha Sangsam (KA 241) Selain itu, ada pula inkulturasi syair dengan bentuk penerjemahan isi teks Kitab Suci secara idiomatis. Lagu Memujia Pangeran (KA 156) bersumber dari teks Mazmur 150. “Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi! Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling! Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang!” (Mzm 150: 3-5). Teks ini diterjemahkan dalam lagu tersebut dengan syair: Memujia Pangeran mahaagung, kang ngratoni jagad alam sawegung. Caosana rerepen gendhing kidung, iringana gender, gong, saron, demung. Alat-alat musik yang disebutkan dalam Mzm 150: 3-5 (gambus, kecapi, rebana, seruling, dan ceracap) diterjemahkan ke dalam budaya Jawa dengan gender, gong, saron dan demung. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 116 Lagu yang ada dapat membantu umat untuk mengkontemplasikan dan merenungkan misteri iman yang sedang dirayakan. Di dalam liturgi, tangga nada pelog memiliki proporsi yang lebih dibandingkan tangga nada slendro. Hal ini karena struktur tangga nada ini yang dekat dengan tangga nada diatonis, dan berbagai macam suasana lagu yang dapat diciptakan melaluinya. Tiga pathet dalam tangga nada pelog dapat diolah menjadi gending-gending Gereja dengan berbagai macam suasana. Lebih jauh dari itu, satu pathet dapat diolah menjadi gending Gereja dengan suasana yang berbeda. Contohnya adalah lagu Dak Sawang Mareming Ati (KA 255) dan Gusti Midhangetna (KA 302). Kedua lagu ini menggunakan tangga nada pelog pathet nem, tetapi dengan pengolahan dan fungsi lagu yang berbeda. Lagu Dak Sawang Mareming Ati memiliki suasana yang gembira dan bersemangat, sedangkan lagu Gusti Midhangetna merupakan lagu Prapaska yang bertema pertobatan. 4.2.4 Kesimpulan Upaya inkulturasi yang dilakukan harus sejalan dengan tujuan musik liturgi, yaitu “demi kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman” (SC 112). Tujuan ini dicapai melalui tiga dimensi yang menjadi kriteria sebuah lagu inkultuasi dapat digunakan di dalam liturgi: dimensi liturgi, dimensi ekklesiologi, dan dimensi kristologi. Inkulturasi gending Gereja telah memiliki tiga dimensi ini. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 117 Pertama, dimensi liturgis. Gending Gereja bertangga nada pelog, mampu membantu manusia untuk mengungkapkan dirinya kepada Allah di dalam liturgi, secara lebih mendalam. Demikian pula gending Gereja bertangga nada pelog yang bersumber dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi, menjadi konteks yang menghadirkan Yesus Kristus sendiri (katabatis). Melalui gending Gereja, umat menyembah dan memuliakan Allah. Rahmat keselamatan dari Allah ditanggapi dengan segenap hati melalui nyanyian dengan syair berbahasa Jawa dan bertangga nada pelog (anabatis). Kedua, dimensi eklesiologis. Gending Gereja mendorong umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Teknik bermain gamelan bersama-sama juga mencerminkan sisi kebersamaan umat. Bahasa Jawa dan tangga nada pentatonis yang digunakan untuk gending Gereja, hadir dari konteks hidup umat, sehingga mereka mengetahui dan memahami apa yang terungkap dan diungkapkan. Ketiga, dimensi kristologis. Syair gending Gereja dapat memperjelas Misteri Kristus, karena diolah dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Melodi gending Gereja yang menggunakan tangga nada pelog, dapat membantu umat untuk mengkontemplasikan misteri iman yang sedang dirayakan. Tangga nada pelog dari dirinya sendiri memadai untuk diolah menjadi gending Gereja dengan berbagai macam suasana. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB V PENUTUP Musik gamelan Jawa adalah warisan tradisi yang bernilai seni tinggi. Sebagai salah satu unsur dari keluasan budaya Jawa, musik gamelan Jawa mengalami inkulturasi yang menjadikannya gending Gereja. Usaha inkulturasi telah berbuah dan masih terus berjalan. Umat perlu menjaga warisan budaya sekaligus harta Gereja ini, demi ungkapan iman yang mengena dan Kabar Sukacita yang semakin menyentuh hati umat Jawa. 5.1 Kesimpulan Gamelan Jawa telah digunakan oleh agama Hindu dan Islam sebagai sarana pewartaan agama. Gereja juga melakukan penyesuaian yang serupa agar gamelan Jawa dapat digunakan di dalam liturgi. Proses penyesuaian ini memang tidak mudah dan membutuhkan usaha yang keras. Gereja menetapkan kriteria tertentu agar tujuan musik Gereja, yaitu demi “kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman” (SC 112). Tidak sembarangan musik dapat diambil dan dijadikan musik liturgi. Yang profan tidak boleh dicampur adukkan dengan yang kudus. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 119 Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul dan ajaran sesat dipertahankan dan digunakan oleh Gereja (bdk. SC 37). Gamelan Jawa tidak secara mutlak terikat pada takhyul dan ajaran sesat. Memang ada berbagai legenda dan mitos yang menyertai sejarah terbentuknya instrumen dan tangga nada gamelan. Namun itu semua masih dapat dibuktikan secara historis dan ilmiah melalui bidang etnomusikologi, walaupun penjelasan para ahli kebanyakan masih berupa hipotesis. Gamelan Jawa merupakan hasil dari kontak antara budaya Hindu yang berasal dari India dan budaya Jawa kuno, antara Islam yang berasal dari daerah Timur Tengah dan Gujarat dan gamelan yang sudah terbentuk di Jawa pada abad 14-15. Melalui kontak yang terjadi ini, instrumen gamelan dan bentuk gendingnya semakin diperkaya. Gamelan Jawa memiliki kekhasan dibandingkan dengan musik Barat. Gamelan Jawa menggunakan tangga nada pentatonis slendro dan pelog, dengan tiga pathet pada masing-masing tangga nada. Lagu-lagunya mengandalkan tegangan-tegangan dan langkah-langkah diatonis. Akor-akor tidak main peranan karena musik gamelan Jawa lebih menekankan gerak horisontal nada. Musiknya berbentuk heterofoni dengan ritme yang heteroritmik. Musik Jawa menuju pada tujuan akhir (teleos). Ciri khas gending Jawa, baik instrumental maupun vokal, adalah aksen pada suku kata terakhir. Dalam musik instrumental, permainan musik gamelan selalu menuju pada bunyi gong ageng. Tanpa suara gong, permainan menjadi tidak lengkap, terasa menggantung, dan tanpa akhir. Para pemain alat yang lain akan menunggu bunyi gong terakhir supaya mereka dapat memukul nada terakhir pada alat masing-masing. Pada PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 120 musik vokal, kata-kata bahasa Jawa memiliki aksen di suku kata terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa musik Jawa mengantarkan para penyanyi, pemain dan pendengarnya pada tujuan akhir dan bunyi akhir yang mempersatukan. Kekhasan musik gamelan Jawa ini menjadi peluang bagi Gereja untuk sarana pewartaan Injil. Sejarah membuktikan bahwa gamelan Jawa dapat disesuaikan untuk pewartaan ajaran agama. Agama Hindu dan Islam juga telah menggunakan gamelan Jawa sebagai sarana pewartaan. Gamelan Jawa, atau budaya Jawa pada umumnya, memiliki keterbukaan terhadap bentuk-bentuk penyesuaian dan pengembangan. Di sisi lain, Gereja pun membuka diri terhadap penyesuaian-penyesuaian berkat Konsili Vatikan II. Gereja secara positif memandang kebudayaan setempat sebagai “kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku bangsa” (SC 37). Keterbukaan dari dua pihak, budaya Jawa dan Gereja, menjadi pendukung adanya inkulturasi demi pewartaan Injil yang semakin mengena kepada umat Jawa. Gamelan Jawa telah mengalami inkulturasi dan menjadi gending Gereja. Musik gamelan Jawa memenuhi kriteria sebagai musik liturgi. Tujuan dari musik liturgi adalah demi kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman (bdk. SC 112). Telah diciptakan berbagai macam lagu untuk berbagai tema dan ibadat liturgi. Secara khusus, gending Gereja bertangga nada pelog, yang dipelopori oleh C. Hardjasoebrata pada tahun 1925, mendapatkan proporsi yang lebih banyak daripada gending Gereja bertangga nada slendro. Dari 547 lagu yang ada di Kidung Adi, 252 lagu di antaranya adalah lagu bertangga nada pelog. Dengan begitu, 46,1% lagu di dalam Kidung Adi adalah lagu bertangga nada pelog. Lagu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 121 lainnya adalah lagu bertangga nada slendro (11,4%), Gregorian (3,7%), dan diatonis (38,8%). Tangga nada pelog memiliki peran dan makna di dalam liturgi. Peran tangga nada ini adalah menjadi bahan dasar lagu-lagu gending Gereja (proprium, ordinarium, aklamasi-aklamasi, prefasi, anamnese). Secara historis, gending Gereja bertangga nada pelog muncul lebih dahulu daripada gending bertangga nada slendro. C. Hardjasoebrata memulai usaha inkulturasinya dengan menggunakan tangga nada pelog. Bahkan seluruh gending Gereja ciptaannya menggunakan tangga nada pelog. Dari segi komposisi, lagu pelog tetap mengabdi pada syair. Syair tetap diutamakan. Lagu pelog mendapatkan proporsi yang lebih karena empat hal. Pertama, tangga nada pelog lebih mudah dinyanyikan, karena lebih dekat dengan tangga nada diatonis, kendati besarnya interval berbeda. Tetap dibutuhkan konsentrasi dalam menyanyikannya. Kedua, lebih banyak gereja yang memiliki gamelan pelog daripada slendro. Maka, para pencipta gending Gereja lebih banyak menggunakan tangga nada pelog. Ketiga, tangga nada pelog lebih banyak digunakan dalam gending-gending bernuansa tenang dan sabar, sedangkan slendro lebih banyak digunakan dalam gending-gending bernuansa gagah dan bersemangat. Keempat, pathet-pathet dalam tangga nada pelog memadai untuk diolah menjadi lagu-lagu dengan berbagai suasana. Tangga nada pelog lima dapat diolah menjadi lagu dengan suasana sedih dan penuh belas kasih; tangga nada pelog enem dapat diolah menjadi lagu dengan suasana tenang, sabar dan khidmat; dan, tangga nada pelog pathet barang dapat diolah menjadi lagu dengan suasana gembira dan hidup. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 122 Makna tangga nada pelog dalam liturgi dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu liturgis, eklesiologis dan kristologis. Dari dimensi liturgis, gending Gereja bertangga nada pelog membantu umat untuk bertemu dengan Tuhan dan sesama, serta telah menjadi musik yang integral dengan liturgi. Telah diciptakan ordinarium, proprium, dan aklamasi-aklamasi untuk kepentingan liturgi. Tangga nada pelog secara struktur memilki intonasi yang tidak sembarangan. Butuh konsentrasi dalam menyanyikannya. Konsentrasi, pencarian dan kerinduan manusia kepada Allah, serupa dengan proses menyanyikan tangga nada pelog. Konsentrasi dalam menyanyikan tangga nada pelog membantu kita untuk berkonsentrasi dalam menanggapi sapaan Allah melalui liturgi. Mencari Tuhan dalam kebersamaan dengan yang lain. Dari dimensi eklesiologis, gending Gereja mendorong umat untuk berpartisipasi secara sadar, penuh dan aktif. Umat dapat mengetahui dan mengerti apa yang mereka ungkapkan lewat lagu, karena lagu tersebut sesuai dengan cita rasa Jawa. Dengan menggunakan kebudayaannya sendiri, umat dapat semakin sadar, penuh dan aktif dalam mengikuti liturgi. Mereka dapat mengetahui dan mengerti apa yang terungkap dan diungkapkan melalui gending Gereja. Selain itu, kerja sama dalam menyanyikan gending dan memainkan gamelan juga mencerminkan kebersamaan dan partisipasi umat di dalam Gereja. Dari dimensi kristologis, gending Gereja semakin memperjelas Misteri Kristus. Syair gending Gereja dapat memperjelas misteri yang sedang dirayakan, karena dibuat dan diolah dengan bersumber pada Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Melodinya pun menggunakan tangga pelog yang, selain membutuhkan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 123 konsentrasi dalam menyanyikannya, dapat diolah menjadi gending-gending Gereja dengan berbagai macam suasana. 5.2 Saran Pada bagian ini, penulis akan memberikan beberapa saran sehubungan dengan musik Jawa pada umumnya, dan gending Gereja pada khususnya. Pertama, pendidikan budaya Jawa perlu secara serius diberikan kepada generasi muda. Inkulturasi mengandaikan kokoh dan lestarinya suatu budaya, serta kecintaan orang-orang pribumi terhadap budayanya. Inkulturasi tidak akan terjadi tanpa hal ini. Demikian pula, inkulturasi gending Gereja tidak bisa lepas dari kecintaan umat Jawa pada budayanya sendiri. Pendidikan budaya Jawa, khususnya gending Jawa, perlu diberikan secara serius demi bertahannya budaya Jawa dan kelanjutan inkulturasi gending Gereja. Proses sosialisasi budaya Jawa ini mengandaikan dimilikinya pengetahuan dan penghayatan budaya Jawa secara baik, dari generasi tua. Kedua, para gembala umat perlu lebih mendukung dan menghargai upaya inkulturasi budaya Jawa dan gending Gereja. Penghargaan dapat muncul ketika para pastor mau mendalami dan melihat inkulturasi sebagai cara umat untuk mengungkapkan imannya dan cara Gereja untuk menyampaikan Kabar Sukacita. Kebijakan yang kurang memihak inkulturasi gending Gereja tampak, misalnya dari disingkirkannya seperangkat gamelan dari dalam gedung gereja, dan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 124 dijadwalkannya Misa berbahasa Jawa pada waktu-waktu dimana hanya ada sedikit umat yang hadir. Bertolak dari hal ini pula, pendidikan budaya pada calon imam perlu diberikan secara serius. Ketiga, perlu adanya regenerasi pemain dan pencipta gending Gereja. Demi semakin berkembangnya gending Gereja, orang-orang muda yang berpotensi dan memiliki minat dapat diberi motivasi dan fasilitas agar potensi dan minat mereka dapat berkembang dan berbuah. Regenerasi pemain instrumen gamelan mungkin relatif lebih mudah daripada regenerasi pencipta gending. Keempat, perlu adanya sosialisasi mengenai gending-gending Gereja. Gending-gending Gereja dilatihkan pada umat dan digunakan saat perayaan Ekaristi atau ibadat-ibadat. Semakin sering dilatihkan dan digunakan, semakin berkembanglah penguasaan umat pada perbendaharaan gending-gending Gereja yang sudah ada. Dengan begitu, umat dapat lebih leluasa memilih lagu sesuai dengan tema-tema yang sedang dirayakan. Gereja juga hidup di tengah budaya Jawa. Kalau Gereja mau hidup, bertahan, dan berhasil mewartakan Kabar Sukacita di tanah Jawa, Gereja harus mau berkontak dengan budaya Jawa. Lagipula, inti dari Injil adalah pewartaan karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus di dalam Roh Kudus. Pesan Injil pada dirinya sendiri bersifat inkulturatif. Melalui musik gamelan Jawa, khususnya gending Gereja bertangga nada pelog, Gereja dapat mewartakan Injil yang menggerakan, menginspirasi, dan mengubah hidup manusia. Akhirnya, seluruh tulisan dalam skripsi ini ingin mengajak para pembaca untuk semakin menyadari dan memahami kekayaan budaya Jawa berupa musik PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 125 gamelan Jawa, khususnya gending Gereja bertangga nada pelog. Dengan semakin menyadari dan memahami peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi, diharapkan umat semakin terbantu untuk merayakan karya penyelamatan Allah di dalam perayaan Ekaristi dan ibadat-ibadat. Quaerite Deum per musicam PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 126 DAFTAR PUSTAKA A. Dokumen 1963 Constitution on the Sacred Liturgy, The Liturgical Press, Collegeville. 2002 Pedoman Umum Misale Romawi, Komisi Liturgi KWI (terj. Indonesia), Nusa Indah, Ende. 2004 Dokumen Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana, SJ (terj. Indonesia), Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor, Jakarta. 2008 De Liturgia Romana et Inculturatione, Komisi Liturgi KWI (terj. Indonesia), Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor, Jakarta. Konferensi Waligereja Indonesia, 2005 Tata Perayaan Ekaristi, Kanisius, Yogykarata. Sacra Sedis Apostolicae et Sacrorum Rituum Congregationis Typographi, 1964 Liber Usualis: Missae et Officii, Desclee & Socii, Parisiis-TornaciRomae- Neo Eboraci. B. Buku Arrupe, P., 1978 On Inculturation: A Letter of Father General Pedro Arrupe to the whole Society, Rome, 14 May 1978. Syukur Dister, N., OFM., 2004 Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta 2004. Chupungco, A. J., 1987 Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, diterjemahkan dari Cultural Adaptation Of The Liturgy, oleh Komisi Liturgi KWI, Kanisius, Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1992 Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, 127 and Catechesis, Pueblo, Collegeville. Graaf, H. J. de, -Th. G. Th. Pigeaud, 1985 Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, Grafiti Pers, Jakarta. Hardjasoebrata, C., 1987 Kula Sowan Gusti, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. Ki Hadjar Dewantara- M. Ng. Najawirangka, 1936 Kawruh Gending Djawa¸ Sadubudi, Solo. Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia, 2011 Puji Syukur, Obor, Jakarta. Kunst, J., 1973 The Music of Java, Koninklijke Vereeniging „Koloniaal Instituut‟, Amsterdam. Lindsay, J., 1986 Javanese Gamelan: Traditional Orchestra of Indonesia, Oxford University Press, Singapore-Oxford-New York. Martasudjita, E., Pr., 1999 Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Kanisius, Yogyakarta. 2011 Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal: Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi, Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta. 2011 Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, Kanisius, Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 128 Martasudjita, E., Pr.- J. Kristanto, Pr., 2007 Panduan Memilih Nyanyian Liturgi, Kanisius, Yogyakarta. Pradjapangrawit, R. Ng., 1990 Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan Wedhapradangga (Serat Saking Gotek), I-IV, Agape, Sala. Prier, K. E., SJ., 1979 Ilmu Harmoni, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 1987 Pedoman untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 1988 Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 1999 Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 2010 Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 2011 Roda Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. Pusat Musik Liturgi, 1983 Kidung Adi: Buku Sembahyangan saha Kekidungan, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 2000 Kidung Adi: Buku Balungan Jilid II, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. 2002 Pepadhang Agung, Pusat Musik Litugi, Yogyakarta. 2004 Sembahan Sudra, Pusat Musik LIturgi, Yogyakarta. 2006 Rejeki Kaswargan, Pusat Musik LIturgi, Yogyakarta. 2009 Kidung Adi: Buku Sembahyangan saha Kekidungan (edisi baru), Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. Ranggawarsita, R. Ng., 1957 Mardawalagu, Sadubudi, Solo. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 129 Sagimun M. D., 1982 R. C. Hardjosubroto: Hasil Karya dan Pengabdiannya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Yogyakarta. Sindhunata, G. P., SJ.-Ag. Suwandi, 2008 Injil Papat: Piwulang Sang Guru Sejati Ing Tembang Macapat, Boekoe Tjap Petroek, Yogyakarta. Siswanto, M., 2011 Tuntunan Karawitan I, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. Siswanto, M., dkk., 1975 Gending-gending Beksan II Ketawang, Konservatori Tari Indonesia, Yogyakarta. Subuh, 2006 Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gendinggending Karya C. Hardjasoebrata, STSI Press, Surakarta. Sumarsam, 2002 Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, STSI, Surakarta. 2003 Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Wolters, O. W., 1982 History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives, Institute of Southeast Asian Studies, Pasir Panjang. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 130 Zoetmulder, P. J., 1974 Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, Martinus Nijhoff, Hague. C. Kamus/Ensiklopedi Ammer, C., 2004 The Facts of File Dictionary of Music, Facts on File, New York. Esposito, J. L., (eds.), 2001 Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Mizan, Bandung . Heuken, A., SJ., 2004 Ensiklopedi Gereja, I, Cipta Loka Caraka, Jakarta. Jacobs, A., 1978 The New Penguin Dictionary of Music, Penguin, London. Kasper, W., (eds.), 2006 Lexikon für Theologie und Kirche, V, Herder-Verlag, Freiburg. 2006 Lexikon für Theologie und Kirche, VII, Herder-Verlag, Freiburg. Kennedy, M., 1980 The Concise Oxford Dictionary of Music, Oxford University Press, Oxford. Purwadi, dkk., 2005 Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Bina Media, Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 131 D. Artikel Huijbers, B., 1980 “Liturgical Music after the Second Vatican Council”, Concilium 132, 101-111. E. Alkitab Lembaga Alkitab Indonesia, 2005 F. Alkitab, LAI, Jakarta. Internet Fajar Sungkono, 2009 “Representasi Ideologi Patriarki dalam Lirik Lagu Musik Campursari (Analisis Semiotika Representasi Patriarki dalam Lirik Lagu Musik Campursari Bojo Loro, Mendem Wedoan, Tragedi Tali Kutang oleh Cak Diqin)”, diakses dari http://www.publiksi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewF ile/858/532. (12 Desember 2013) Fitri Diana Wuryanti, 2013 “Implementasi Konvensi Diskriminasi Rasial”, Diakses dari http://www.ham.go.id/download.php%3Fid%3D732208%26mod% 3D3%2Bjumlah+suku+bangsa+di+indonesia&hl=en&tbo=d&biw= 1346&bih=618&gbv=1&sei=_I8dUZbTCcW4rAeB3oHgCA&ct=c lnk. (15 Februari 2013) Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2013 “10 Persen Bahasa Dunia Ada di Indonesia”, diakses dari http://www.menkokesra.go.id/content/10-persen-bahasa-dunia-adadi-indonesia. (15 Februari 2013) PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Hornbostel, 2011 “Music of The Orient”, Diakses dari http://www.folkways.si.edu/music-of-the-orient/central-asiaislamic-world/album/smithsonia. (12 Desember 2012) G. Narasumber Wawancara 1. Nama Tempat, tgl. Lahir 2. Nama Tempat, tgl. Lahir 3. Nama Tempat, tgl. Lahir 4. Nama Tempat, tgl. Lahir : Karl-Edmund Prier, SJ : Weinheim, 18 September 1937 : Paul Widyawan : Yogyakarta, 18 Januari 1945 : Martinus Siswanto : Kulon Progo, 22 Februari 1935 : Yohanes Budi Santoso : Bantul, 30 Maret 1952 132 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 133 LAMPIRAN 1 Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ Pusat Musik Liturgi, 21 Februari 2013, pkl 10.15 WIB Rm. Prier : Ya pertanyaan yang pertama, mengapa Anda tertarik denga musik gamelan. Bagi saya musik gamelan itu musik budaya tinggi, high culture, maka saya merasa itu memuat nilai-nilai yang tidak kalah dengan high culture yang lain itu. High culture yang lain, ada misalnya musik Gregorian, ada yang musik klasik, ada kita punya dari Yunani, dari Mesir, yang dulu-dulu. Maka saya merasa di situ tertanam nilai-nilai yang dari generasi-generasi dulu, yang nampak misalnya di dalam sistim main bersama-sama. Yang memimpin tidak berdiri di depan, tapi duduk di tengah-tengah. Di dalam masyarakat desa bahwa musik itu ada ...... , tapi ada juga partisipasi dengan bermain, dengan teknik bermain yang berbedabeda, sehingga ada kerja sama dan dengan demikian mencerminkan budaya eee.... apa... yang pasti itu sebagai suatu cermin hidup masyarakat dan jiwa masyarakat yang asli itu. Ini sebabnya mengapa saya tertarik dengan gamelan. Dan dulu waktu mulai belajar gamelan tanpa teori, harus dengan belajar harus mendengar dan harus merasa. Itulah yang membuat saya tertarik. Bukan ini yang ini, temanya yang ini... ini dan itu, tetapi ya ada juga slendro. Saya senang sekali slendro. Karena itu musik yang unik, dalam arti tidak ada eee... pegangan-pegangan yang biasa kita pakai dengan doremi itu. Tetapi nada-nada adalah tengah-tengah, itu. Sehingga sistem mendengar musik gamelan slendro itu harus melepaskan mencaricari apanya ada apa itu ya.... dengan demikian terjadilah sesuatu bahwa kita melepaskan pegangan-pegangan itu yang selalu kita dengar dengan mengukur-ukur, jadi mulai melayang-layang, atau mulai eee... ya.... istilah saya begitu, ya. Dan menurut hemat saya, itu sangat cocok untuk berjumpa dengan Tuhan: dengan melepaskan diri, melepaskan pegangan-pegangan kita, lalu eee..... ya bagaimana, ya? Menemukan justru di situ, ya... ketika kita melepaskan pegangan-pegangan kita. Cukup ini saja ya.... Rony : Ooo...gitu. Yang menurut Romo mengenai musik gamelan Jawa yang masuk dalam liturgi? Rm. Prier : Ya ini yang kedua, ya? Eee...inkulturasi dari gamelan. Ya inkulturasi berarti bahwa gamelan itu diiii... pakai dengan catatan bahwa alat-alatnya mesti sama seperti dipakai di luar... ehem (berdehem)... namun bahwa dicipkatan bentuk-bentuk yang lain, bentuk musik, bentuk vokal terutama seperti mazmur tanggapan. Tidak ada mazmur tanggapan dalam budaya Jawa, to? Kalo sembayang tidak pernah pakai bentuk seperti PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 134 itu. Artinya, ini adalah ciri dari inkulturasi, bahwa kreasi baru dan dengan demikian dipakai dengan cara yang lain. Kalo misalnya mengiringi kemuliaan, tidak cocok dengan bentuk-bentuk ketawang dan ladrang, tetapi ada pula yang khusus itu. Dan dengan demikian kelihatan yang penabuh harus belajar lagi untuk mengiringi kemuliaan, misalnya. Bapa kami, karena itu ada kreasi baru. Bentuknya yang baru, tapi sekali lagi...... bukan dalam arti menciptakan alat yang baru, tetapi penggunaannya, bentuknya, lagunya. Itulah yang dimaksudkan dengan inkulturasi musik gamelan di dalam liturgi. Jadi, liturgi pun disesuaikan dengan dengan musik itu. Imam mempunyai lagu baru untuk mengangkat prefasi. Eee... selama ini lagu gregorian pun digantikan dengan lagu pelog itu. Gamelan menyambung musiknya. Itulah inkulturasi. Jadi ada perubahan dari pihak gamelan termasuk bentuk-bentuknya yang baru. Ada sedikit perubahan dari liturgi, dimana imam mempunyai lagu yang baru. Saya kira juga tidak salah. Pernah saya alami juga, seluruh Doa Syukur Agung diiringi dengan gamelan itu. Meskipun memang tidak nyanyi, atau hanya nyanyi sedikit. Tetapi gamelan bunyi sebagai latar belakang, itu, untuk syair dan teks Doa Syukur Agung. Pernah saya alami, tetapi mungkin sekarang tidak berani lagi. Tetapi ini pun salah satu bentuk inkulturasi, bahwa liturgi pun ee... dapat wajah yang baru dengan gamelan itu. Baik, itu mungkin maksud dari inkulturasi. Yah, yang ketiga? Rony : Bagaimana pendapat Romo tentang musik gamelan jawa yang digunakan dalam liturgi? Rm. Prier : Ya sudah saya katakan, ya. Ini menjadi bagian dari liturgi Namun dengan ungkapan yang baru yang tidak ada di dalam barat. Maka, eee.... musik itu mesti mencipkakan juga suasana yang lain daripada organ.... eee...dalam lagu2 gregorian, karena memang lebih tenang... mem...ya transparan ke arah Tuhan, itu saya kira dengan bumbu gamelan. Eee... yang gong yang besar. Itu membawa suasana yang ya bagi saya saya sebut transenden itu ya. Transenden untuk membawa hati kita kepada Tuhan, dan justru konstitusi liturgi megnatakan sangat tepat kalau musik liturgi itu membawa hati kepada surga. Eee...ee.... saya kira tercapai di dalam ini. Bahwa musik gamelan jawa memciptakan suasana itu. Rony : Lalu itu romo, mengenai para penabuhnya atau pemainnya sendiri, kirakira sikap apa yang dibutuhkan untuk apa memainkan gamelan itu sehingga bisa cocok dengan liturgi. Rm. Prier : Ya saya kira pertama-tama pada orang Jawa bersikap-sikap seperti orang jawa yang memainkan gamelan, main bonang dengan sepertinya baik itu. Dengan main rebab dengan baik, seperti dia belajar hingga ini tidak berubah. Yang berubah ya paling-paling menyesuaikan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 135 diri pada pengendang, harus tau tidak boleh... mmm... ribut-ribut, itu. Dengan pegangan yang seperti tarian, tetapi mesti menahan diri untuk suasana khidmat, tetapi basic-nya sendiri dan sikapnya itu pasti sama. Main bonang sedikit-sedikit ee main-main yang menambah, atau memperlambat, mempercepat, itu sangat bagus untuk liturgi, untuk menciptakan suasana khidmat, untuk membantu dia berdoa. Dan saya kira dalam hati orangnya juga mau berdoa, iya to? Tetapi tekniknya sendiri sama, seperti biasa, ()... harus sebagus mungkin, sehalus mungkin... ee...sesempurna mungkin, tidak eee... perlu mencari teknik yang baru, yang memang ada adalah bentuknya dan mungkin hanya harus hati-hati. Dan mungkin ada-ada gatra yang tidak utuh, bisa jadi ya..hanya dua hitungan sudah stop, itu. Ini ada hal-hal yang mesti dilatih supaya percobaannya betul. Tetapi tekniknya sama, tekniknya untuk main alat-alat itu. Itu seperti tradisional betul-betul, maka eee.... budaya Jawa dalam hal ini memang tetap dilestarikan. Rony : Lalu menurut romo apakah lagu gereja sekarang ini sudah menjadi milik umat? Dalam artian umat sendiri sudah merasakan bahwa itu adalah ciri khas mereka? Lalu apakah sudah membantu mereka sendiri untuk mengungkapkan diri kepada Tuhan? Rm. Prier : Saya kira harus ditanyakan kepada umat... ehem... saya dalam hal ini hanya bisa mengira, bahwa ... ehem...yang ikut aaa...gamelan hari minggu pagi jam 8 di gereja Pugeran, pasti orang yang merasa dibantu dengan nyanyian itu, eee... lebih-lebih lagi yang lama mereka pakai sehingga menjadi ungkapan doa, tetapi mungkin tidak seluruh umat senang dengan gamelan. Maka ada juga misa bahasa indonesia di Pugeran, dan ada eee... juga lagu Jawa, juga lagu gamelan. Dengan demikian sudah kelihatan, itu suatu proses bahwa sebagian senang, sebagian tidak begitu senang. Eee... Tetapi mungkin baik kalo tanya kepada umat sendiri. Saya dalam hal ini paling-paling mengira, bahwa seperti itu. Rony : Romo kan di sini sebagai pencipta juga. Lalu, eee... menurut romo, mengapa tangga nada pelog digunakan dalam lagu-lagu liturgi, terutama mengenai, bagaimana mengenai makna ini, hubungan antara perasaan yang muncul dari tangga nada pelog tersebut, sehingga dapat membantu umat untuk berdoa. Rm. Prier : Ya seperti sudah pernah saya katakan. Menurut hemat saya, menyanyikan lagu pelog itu termasuk harus hati-hati, karena intonasinya tidak sembarangan, cepat-cepat tangga nada mi-fa itu, lalu mendapat fasol-si yang diselingi dengan nada kecil-kecil. Itu mendengar sendiri menuntut suatu konsentrasi. Konsentrasi berarti tidak mesti bernyanyi dengan berhati-hati, dengan hati juga ya. Tidak hanya hati-hati, tetapi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 136 hatinya ikut. Dan saya kira inilah dasar mengapa sejak dulu nada pelog dijadikan .... yang mengundang untuk dipakai yang hebat-hebat, uyonuyon, mesti pake slendro, to? Maka sejak dulu dibuat seleksi, yang dipilih bukan semua lagu jawa, bukan semua tangga nada, khususnya pelog, itu. Karena tujuannya adalah untuk membawa kepada Tuhan dan Tuhan bisa dicari seperti kita mencari nada-nada dan ketika Tuhan.... saya kira ini adalah menurut hemat saya bahwa eee... bahwa musik sendiri menuntut suatu keprihatinan, suatu yaa.... disiplin, suatu ya harus hati-hati ya... supaya menjadi betul, dan tidak salah nyanyi. Ya...baik, ini ya jawaban saya mungkin ini sebagai pemusik mungkin orang lain menghayatinya dengan cara yang lain, tetapi saya melihatnya dari konstruksi eee tangga nada pelog yang agak unik itu. Kalo pada besar, atau pada keciiil. Aa...kecil. Bahwa ini eemm.. menuntut perhatian besar, itu. Saya kira mesti hati-hati, karena melihat tangga nada pelog. Iya,... dan sejarah menurut hemat saya membuktikan itu juga ya... bahwa sejak awal, pak Harjosubroto memakai nada pelog, itu. Sayang tidak bisa ditanyakan lebih lanjut. Jadi mungkin murid-muridnya seperti Pak Siswanto, itu bisa menjawab juga mengapa pak Harjosubroto memakai lagu pelog. Padahal pak Harjosubroto menciptakan banyak lagu dolanan untuk anak-anak, sekolah, ada juga slendro, ada juga pelog. Tapi untuk lagu gereja yang ia buat, itu melulu pelog. Ya...mungkin saya juga ingin tahu, ya... mungkin pak siswanto juga nanti menjawab bagaimana, ya... Rony : Lalu romo, mengenai para pencipta sendiri, kira-kira apa yang dibutuhkan atau kesadaran apa yang perlu mereka tumbuhkan, sehingga mereka itu bisa mengembangkan gending Gereja secara lebih jauh. Karena sekarang, sepertinya pencipta itu kan sangat sedikit, lebih memilih lagulagu .... ya menciptakan lagu-lagu pop, atau ..... Rm. Prier : Ya ini adalah hubungan dengan inkulturasi. Inkulturasi mengandaikan bahwa kita hidup dalam budaya tertentu, senang dengan lagu tertentu, menghargai gamelan Jawa. Dengan demikian muncul eee.... dengan sendiri lagu-lagu seperti itu, yang kita cintai yang kita hayati sebagai ungkapan iman yang tidak mungkin pada lebih bagus dari pada yang lain. Kalau memang ada orang Jakarta menciptakan lagu pelog, itu yaa... mencari-cari toh membayangkan-membayangkan, mungkin begini begitu, untuk jakarta. Dan nampaknya terjadilah begitu ada dalam lagu Puji Syukur, ada lagu-lagu jawa yang saya rasa lahir dalam suasan kering, itu. Bukan di tengah ee... hidup di mana gamelan bunyi, dan di mana... eee.... men... men... merangsang ketika menciptakan lagu-lagu seperti itu. Ini saya hanya men..me..melihat dari hasil... ee.... ada lagu-lagu yang diciptakan oleh orang-orang Jakarta. Maka saya rasa dalam hal ini, eee.... PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 137 bukti dibuat-buat saja, dan ya musik mungkin ada maksud apa, tapi saya rasa yang normal itu, musik ee... inkulturasi dipicu oleh budaya yang hidup itu. Jadi sangat tepat di ganjuran, sangat tepat juga di kalasan, atau di berbah, dimana pak Sukodi ada di sana, gamelan bisa terdengar, itu. Bukan hanya pada hari raya, tetapi di rumah mereka juga punya gamelan. Punya gamelan di rumah. Dan di ganjuran, ya ... pak Yosep itu pasti juga ikut main di gereja. Hingga dengan demikian sudah menjadi daging, sudah menjadi ungkapan... eemmm... memang harus diakui bahwa sekarang gamelan tidak lagi terkenal seperti dulu-dulu. Meskipun saya dengar ya di sekolah sekarang mulai lagi digalakan anak-anak belajar gamelan, itu. Dan saya kira sangat tepat itu untuk menanam apa... ee... memiliki budaya jawa melalui musik, tari-tarian, dari bahasa Jawa. Kalau saya rasa ini adalah eee... mendidik karakter dan juga jiwa, dan sayang kalau ini dilupakan. Meskipun untuk sehari-hari itu dapat ()... tetapi saya rasa masih hidup itu, dan tidak hilang. Maka mungkin mudah-mudahan ada tren bahwa sekarang gamelan jawa supaya lebih banyak ... sekolah-sekolah dan dengan demikian anak-anak juga mendapatkan tempat juga di situ. Dan ada juga di sini anak-anak SMP belajar gamelan. Ya... bisa pernah ingin belajar gamelan, tapi di sini diajak selain main organ, coba main gamelan. Dan mereka tertarik, ya karena itu ada efek main bersama-sama. Bersamasama berarti yang didukung oleh orkes seluruhnya. Tidak hanya per pribadi apa yang saya main, tetapi didukung teknik vokal dengan permainan bersama-sama. Dan itu terjadi tidak hanya dalam gamelan, ini juga terjadi pada musik orkes barat, itu. Semua pemusik mengatakan hebat kalau saya main ini dan masih mendengar alat ini itu. Merasa dipersatukan. Ya baik ini... ee...gamelan agak cocok juga untuk pengalaman itu. Dan seperti tadi saya mengatakan, ada keunikan: tangga nada, alat-alat musik yang eee... mempunyai ungkapan, mempunyai pengaruh pada indra orang yang bermain itu. Saya kira di sini ada anak-anak SMP. Mereka sudah bisa belajar gamelan, kemudian tiga bulan berikutnya main angklung. Mereka sudah tanya, kapan kita main lagi gamelan. Artinya ada arti, dan dengan demikian, eee... jelas bisa dibina cinta kepada musik jawa itu. Ini saya kira eee... tidak berarti bahwa ini ada ... () tapi mungkin membawa lima tahun yang terakhir kurang digalakan, ya... sehingga. Eee... tidak itu masuk dalam kesadaran. Tetapi kalau mengalami nampaknya kita menjadi terpacu ee... pengalaman yang tetap berarti juga. Ya baik, itu pendapat saya. Jadi ini mengarang untuk menyampaikan juga mengalami pegangan hidup gamelan, konteks itu dibangun sendiri muncul gamelan, namun kalau di kota, di apalagi di jawa barat, itu jauh dari konteks itu sendiri. Mungkin juga salah, kalau orang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 138 jakarta mau membanggakan diri mau menciptakan lagu-lagu jawa. Ini baru satu contoh ..... artifisial .... dibuat-buat. Dan menurut hemat saya di dalam Puji Syukur ada sejumlah lagu yang tidak bunyi, ya... dalam hal itu ya hanya mengikut tangga nada tetapi tidak ada hati, dan diwarnai .... Rony : Lalu kan, gini romo. Menurut pengalaman romo itu saat melakukan lokakarya untuk menciptakan gending gereja itu. Kira-kira faktor pendukung apa lalu hambatan apa yang biasanya ditemui dalam berkontak dengan musisi musik Jawa. Rm. Prier : Ya pertama-tama... ee.. yang alasannya waktu itu kita mau membaharui eee... kidung adi itu yang dibuat tahun 84 mau dilengakapi dengan lagu-lagu yang masih kurang. Tema-tema pengantin di sana tidak ada, lagu-lagu tema sosial, tidak ada. Lalu kita mengadakan. Waktu itu saya menciptakan lagu-lagu khusus. Tetapi itu itu tantangannya, alasannya, keuntungannya, peluangnya... e.. kemudian eee... kita menghubungi orang-orang yang pernah mengarang, ada yang berniat untuk mengarang, yang merasa penting bahwa lagu-lagu diciptakan kan kita...kita dalam hal ini mendukung apa... eee... masuk dalam suasana itu...ya... tema-tema misalnya untuk mematu orang miskin... kita cari teksteks kitab suci, kita ngomong-ngomong mengenai apa artinya untuk masyarakat jawa, dan kemudian... ee.. mereka dipacu untuk mengarang dalam hal itu yang menyusun teks dalam bahasa Jawa. Eee.... saat itu juga, ya ada teks. Dan dalam konteks musik gamelan, ya ... ini gamelan ada ya. () ....Sejarah..... dicari lagu dari situ. Itu ee.. prosesnya. Memang saya mengalami juga ada tantangan, hambatan atau apa namanya kesulitan. Dengan menirukan bahasa kromo inggil yang tidak selalu dipakai dalam misa atau ibadat jawa, termasuk juga padupan kencana, termasuk kidung adi. Eee. .. masih sulit untuk menemukan kata-kata yang indah seperti itu. Ya saya sebenarnya dalam hati bertanya juga mengapa kita harus memakai bahasa itu kalau masyarakat juga tidak tahu...itu apa, itu. Tetapi saya tidak berani terlalu banyak omong. Tapi saya merasa untuk mencari kata-kata itu...(). Maka lebih sulit menyusun syair yang indah, yang bermutu, yang sastra tinggi. Daripada lagu lagunya tidak sulit itu. Tapi syairnya kuncinya juga menjadi tantangan karena kita tahu kutipan-kutipan kitab suci yang mengenai perkawinan yang lebih sedikit dari pada hanya diterbitkan dari 1 korintus 13, sedari kutipan-kutipan itu juga menjadi tantangan, apa itu arti untuk jaman sekarang, dirumuskan dalam konteks jawa. Dan ini satu hal. Yang kedua, yang saya lebih berat itu, melanjutkan tradisi syair dengan bahasa krama inggil. Baik, saya tidak tahu. Tapi menurut hemat saya.. masih eee... masih terlalu tinggi, dan bisa juga menjadi hambatan untuk generasi muda, untuk menghayatinya. Musiknya dapat dihayati, tetapi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 139 kalau kata-kata terlalu banyak yang asing itu mungkin juga tidak terlalu ideal. Ya baik, ini mengenai bahasa jawa. Ada juga sekarang jalur-jalur menggunakan lagu jawa tetapi dengan syair indonesia. Dan tampaknya sukses juga, ya... artinya bahwa bahasanya telah dimengerti dan kalau musiknya menarik, ya tidak hanya orang jawa yang suka dengan lagu-lagu Raja Agung. Orang Flores pun senang menyanyikan lagu Raja Agung, itu ya... maka ini kelihatan ada daya tarik dari lagu-lagu tertentu, mungkin tidak semua, ya. Tetapi jangan-jangan bahasa Jawa krama inggil menjadi hambatan. Ini pengalaman waktu lokakarya. Tapi saya mulai berdiskusi, tapi kemudian merasa ini tidak berkenan. Ya sudah saya tutup mulut, ya.... hehehehe.... Rony : Hehehe... oiya. Lalu ...mmm. ... mengenai yang apa yang pak Harjosubroto sendiri kan menciptakan gending jawa tapi dengan kata-kata bahasa Latin. Rm. Prier : oo...ya itu memang harus dimengerti dalam konteks itu. Waktu itu seluruh liturgi ya akhirnya misa terutama wajib menggunakan bahasa latin. Ia mengatakan kepada saya, “saya merasa lagu gregorian bagus sekali.” Kata-kata yang dia yang sudah tahu bahasa latin, ya.. karena diajar. Tapi saya merasa apakah kita bisa juga mengungkapkan isi itu dengan lagu pelog, itu. Itu tantangan untuk dia. Jadi memang karena fokusnya atau wajibnya, atau apanya, tidak ada diskusi bahwa ini pakai bahasa lain kecuali bahasa latin, maka dia berpangkal pada gregorian, tapi dengan men... ya.. dengan lagu-lagu jawa itu, ya. Ee... ini harus dimengerti dari situ, ya. Bahwa itu berarti tidak ada diskusi bahwa ini pakai bahasa lain. Memang ada juga kemudian lagu-lagu untuk ibadat pujian. Pujian berarti minggu sore, dulu: ada adorasi, ada ee.. doa menghormati bunda maria. Dan di situ mulai ada ...ee... praktek bahasa jawa, karena dirasa itu bukan liturgi. Karena kita melihat bentuk lain juga, ya. Tapi dulu dikatakan ini di luar liturgi, dan di situ lebih cocok pakai bahasa jawa. Tapi untuk misa, tidak ada diskusi: tetap bahasa Latin. Yah ini harus dimengerti dari konteks itu. Tapi menarik saya masih ingat ia mengatakan, “saya suka sekali dengan lagu gregorian.” Dan tentu saja dalam bahasa Latin, itu ya. Dan tantangan untuk dia, apakah mungkin latin itu tidak juga diungkapkan sebagus lagu gregorian. Dulu dia mencoba itu. Jadi bahasa, ungkapan dari syair dalam bahasa latin, dengan lagu gregorian itu indah dan inilah mau di... diolah dengan lagu jawa, itu. Jadi isi .... lagu gregorian. Tapi justru ia terispirasi dengan lagu gregorian, untuk mencoba memakai tangga nada pelog, itu. Memang itu eksperimen dia sendiri, tidak ada orang yang menyuruh dia, tetapi eee... ini waktu pengalaman dari gregorian, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 140 pengalaman dari gamelan jawa, sampai akhirnya nampaknya cukup kaya untuk mengungkapkan diri. Ada rasa cocok hati juga ini. Rony : Lalu mengenai Jawa dan Gereja sendiri... Rm. Prier : Apa? Rony : Jawa dan gereja. Mengenai budaya Jawa dan gereja. Kira-kira eee.. di bagian mana, kedua komponen ini saling memperkaya, terutama dalam hal musik? Rm. Prier : Berarti inkulturasi? Rony : Maksudnya, kan kalo yang pernah romo sebutkan kan inkulturasi itu kan saling memperkaya, saling mentransformasi, lalu apakah gereja juga mengalamai perubahan? Rm. Prier : Saya kira mengalami juga, ya... jadi misalnya, kalo kita melihat pada tabernakel-tabernakel yang diciptakan yang sekarang di Pugeran. Pugeran membuat tabernakel dengan tutup. Karena karena itu adalah sisi jawa bahwa ada rahasia, ada ciri atau apa yang tidak bisa melihat, itu. Maka ada pernah tutup di... ada yang... sudah pernah melihat? Lihatlah tabernakel di gereja pugeran, itu. Menarik, itu. Bahwa ini tidak sampai, tidak ditutup, tetapi ada selubungnya yang bisa ditutup untuk mengatakan untuk wawancara mengapa raja tidak begitu saja kita menatap raja. Jadi ada ee... hal yang misterius, ada hal yang.... ee... lebih daripada yang kita lihat. Kraton itu kraton, ada juga yang demikian. Tapi ke depannya, hal ... yang misterius, ya. Istilah apa, ya? Yang kedua itu, saya tertarik pada tabernakel di gereja Nandan, itu. Sebaiknya, lihatlah juga. Suatu ... ()... dari kayu, tapi pohon, dan dari ..... ee... pohon-pohon yang tumbuh dari pangkal itu dari sumber hidup, itu sangat bagus, itu. Yang menciptakan itu saya ndak tahu, tapi bagi saya berarti ini ditransformasikan: ekaristi sebagai liturgi... () dan bukan seperti di tempat kita. Itu sudah jelas sekali itu lahir dari transformasi itu. Bahwa katabatis itu diwujudkan lain dengan gaya eropa. Ya juga gereja kumetiran itu takhta ... seperti di eropa juga ada. Tapi ini hanya suatu contoh. Saya kira musiknya juga eee... menimbulkan transformasi itu. Maka kita menggunakan gong saat konsekrasi. Itu pun suatu makna, to? Dulu ada lonceng, dan sekarang kita masih pakai lonceng. Tapi gong itu, mee..... Menjadi tanda lahir, tetapi juga ketika perhatian, tetapi bunyi lonceng .... menurut hemat saya, mengangkat juga dan mencari musik tidak hanya mendengar dan mendengar tetapi membawa hati kita ke sana. Dan menurut hemat saya, seluruh budaya jawa itu adalah terarah ke sana. Dan coba kita lihat seluruh musik ee... gending jawa, menuju terarah ke gatra yang ke empat: Nang-ning-nang-nang, nang-ning-nang-nang. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 141 Menuju, progresif, atau antara terarah, ya. Inilah. Lain dengan musik barat: satu-dua-tiga-empat, satu-dua-tiga-empat. Lalu menghilang. Nah, saya kira bahwa gamelan membedakan itu. Itu juga tidak hanya kebetulan di dalam liturgi. Kita justru berpangkal di sini, dan melihat ke surga. Kita berpangkal dari sini, tetapi kita melihat bahwa semuanya serba ternganga, serba tidak sempurna, merindukan yang lebih baik, merindukan keselamatan, merindukan hari kiamat juga, dan itu sangat liturgis. Dan kita sedikit melupakan itu, membuat suatu show dulu, lalu sesudahnya itu kelihatan bahwa ketika kita itu melanjutkan program yang sudah dibuat itu. Maka saya kira ini seluruh liturgi memang dibantu oleh faham itu. Kita mempunyai teleologi, ya istilahnya. Menuju kepada teleos, kepada tujuan. Dan dengan demikian...ee.. saya kira, membantu kita untuk supaya jangan lupa. Bukan hanya sekarang yang kita buat, ya. Tapi menuju ke sana, merindukan itu. Merindukan penyelesaian. Nah di situ saya lihat pengaruh dari budaya jawa, terutama musik jawa pada liturgi, pada hidup. Saya memperhatikan Raja Agung pada, eee... dalam mitologi eee.... dalam mitologi Jawa? Menunggu..... Rony : Ratu adil? Rm. Prier : Ratu adil, iya to? Itu juga jelas, itu, menuju ke sana, toh? Dan tidak menghayati sekarang, sudah kita sekarang, sudah itu, tetapi ada banyak yang belum sempurna. Dan kita harapkan, ini datang. Dan sangat konkret dalam musik jawa, dan kata-kata jawa berakhir pada suku kata terakhir. Lain dengan bahasa Inggris, dan bahasa Batak, dan bahasa Jerman, di mana aksen ada di depan, dan sebagainya. Dan baik ini saya rasa tanpa banyak omong-omong orang mendapat itu dalam musik inkulturasi jawa itu dan menghayatinya juga pasti. Itu pun menjadi gerak refleks, membentuk jiwa dan doa. Dan saya kira ini sudah menjadi daging dalam banyak hal. Ya ini visi saya, ya. Hehehehe.... Rony : Hehehehe.... oke, sepertinya itu romo. Pertanyaan yang ditanyakan. Rm. Prier : Ya baik, mudah-mudahan ada yang bisa lebih banyak menjawab mengenai umat. Tapi harus tanya kepada umat, ya. Jadi, saya kira pasti ada yang tidak dapat dicari, tidak hanya dengan bla-bla-bla... hehehe.... Rony : Hehehe.... Rm. Prier : Oke, baik. Mari silakan... (mempersilakan minum) Rony : Oh ya.... -selesaiWaktu : 40’20” PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 142 LAMPIRAN 2 Wawancara dengan Paul Widyawan Pusat Musik Liturgi, 21 Februari 2013, pukul 11.30 WIB. Pak Paul: Dan karena contoh dari orang tua saya, orang tua saya tiap hari minggu kalau yang mengkoreksi pekerjaan rumah dari murid-murid itu, ia nembang jawa. Itu haa.... pada sisi yang lain, ibu saya karena sekolah di mendut, ia menyanyi bahasa Belanda. Rony : Hmmm .... Pak Paul: Lagu-lagu bahasa Belanda, jadi saya bisa musik barat maupun musik timur. Hanya sekarang ini saya merasa musik timur kurang banyak yang mendukung, terutama sekali karena orang jawa sendiri sepertinya tidak peduli pada musiknya. Padahal itu menurut saya bagus. Ya...Sudah, itu saja, prakteknya. Rony : Lalu ini, pak, mengenai pengalaman bapak sendiri kan banyak mencipta lagu, ya pak ya? Pak Paul: He’eh Rony : Lalu, kira-kira tangga nada pelog itu, yang kalau saya lihat sendiri dari KA, ya pak ya, kenapa kok tangga nada pelog itu kok lebih banyak digunakan daripada slendro? Pak Paul: Pertama-tama kalo menurut saya ya... eee.... kalo gamelan mau menjadi dua pangkon ditaruh dalam gereja, sudah tidak mungkin. Satu pangkon saja... aaaa.... dikatakan memakan tempat banyak, kan tinggal dibuang seperti di Gereja Kota Baru. Itu punya gamelan malah dibuang. Nah... rumangsa saya kualat, itu.... Rony : Hahaha... Pak Paul: Iya, kualat. Karena dia tidak berpikir jernih, kalau kita harus, bukan hanya generasi tua, tapi kita harus mencintai budaya itu, karena kita tidak mungkin sebagai orang jawa itu,... kita... apa... namanya... anu... u..a.... secara spontan bedoa bahasa Inggris, dan menyanyi lagu bahasa Inggris. Rumangsa saya menyalahi kodrat. Karena di lain-lain tempat, mereka suka pada musiknya sendiri yang cocok dengan musiknya sendiri. Kalau kita melihat bahwa kadarnya semua, ya orang Eropa menyukai budaya Eropa. Tapi kalo orang misalnya,...emeri..ameri...Amerika Latin mereka menyanyikan lagu-lagu.... gayaa... Cuba. Itu orang Afrika ya mereka menyanyikan lagu-lagu lagu syair. Itu paling cocok menurut saya. Kalo bangsa itu menyanyi lagu-lagu Eropa, ya itu lucu.... ya bunyinya lucu. Lha itu kok. Sekarang masalahnya yang menentukan arah siapa, yang mempunyai dana, siapa. Kuasa sama dana, sama saja dengan politik. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 143 Rony : Hehehe... ya sama? Pak Paul: Ya kalo misalnya kalo romo-romo tidak belajar musik Jawa, ya tidak ...tidak akan peduli. Dia kan ber...pe..per...berpalsafah tentang segala sesuatu, tapi tidak mempraktekkan ... ha..itu... kalo menurut saya lho... Rony : Jadi gereja juga harus sesuai dengan di mana dia berpijak? Pak Paul: Iya seharusnya berpijak. Kita terlalu berkiblat barat... heheheh.... Rony : Eee... Pak Paul: Kurang memberi tempat pada jati diri itu. Menurut saya. Rony : Lalu itu pak... eee... kan bapak kan berpengalaman di banyak lokakarya ya pak ya.... Pak Paul: Ya he’eh... Rony : lalu kan disebutkan tadi kan kalo bisa kan gereja kan berpijak pada... pada budayanya sendiri. Lalu pengalaman bapak dalam lokakarya itu bagaimana tantangan lalu pendukung apa yang yang.... Pak Paul: yaa.... bisa jadi, ya adatnya sendiri adat dalam arti kegiatane wong jowo itu bagaimana.... e... kemudian lebih mencintai adat itu. Adat....daa...da.... terbedakan dengan kita sebagai orang solo, orang jawa, memiliki adat, tapi juga memiliki rasa perasaan... mm...aa.... cara berpikir.... jadi banyak orang yang...yang.... mem... lestarikan, mau melestarikan adat itu dengan budayanya. Melestarikan...eee... adat jawa keb...keb...kebudayaan jawa dengan...dengan...dengan... dengan... nyanyian atau dengan apa pokoknya memacu misalnya lalu seperti diiii... Ganjuran itu, lalu tumpeng barang itu. Kalau saya...saya menurut saya...itu tidak terlalu..tidak terlalu hakiki...tumpeng ya semua ya... selalu membuat tumpeng lalu sejajen..padahal ...a.... persembahan itu sudah..sudah... mestinya sudah ada.... bahkan tidak perlu banyak tumpeng. Tapi yang dilestarikan kan bangsa macem itu. Musiknya malah tidak. Padahal musik itu fleksibel...musik itu ....Cuman musik juga harus..aaa... fleksibel, tidak..tidak...apa...tidak ...kenceng pas mau misanya... ini pakemnya harus ini...jadi harus begini... kita mau melestarikan adat di dalam gereja. Akibat tidak tidak mau melestarikan adat, ya kita tidak mau meninggalkan sebagai orang Jawa. Itu... ya.. kalo saya lho...tidak... banyak orang mengerti ... bahwa dia harus matimatian me..me... mendukung adat itu dengan Pak Paul: Itu..itu juntrungnya sudah...he...ee.... misalnya penyembahan berhala... ha...ha ..atau apa. Kita tidak mau ke situ, hanya menurut saya... kalo....kalo... dalam gereja...kalo ngak...ngik..ngok...rasanya kurang tepat... ngak...ngik...ngok...lho..musik hiburan yang sekarang itu tidak berdasarkan ...tidak cocok...kalo gregorian barang itu malah itu identitas gereja.... tidak apa-apa. Tidak..tidak..me...me...menurut hemat saya tidak PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 144 terlalu asing malahan. Yang asing itu kalo kita langsung cuman mencomot dari budaya hiburan sekarang ini. Banyak mungkin katanya mungkin ee.... ya isaku ya ming kaya ngono... ha, sebelum mengatakan itu, belajar. Kalo kita...kita..kita paksakan, misalnya anak-anak ya, kita ajari tangga nada pentatonis. Kemaren baru latihan kor anak-anak... juga kita ajari. Bolehnya mereka menjadi senang kan kalau mereka sudah diberi tahu...karena mereka tidak diberi tahu oleh orang tuanya ya saya beri tahu.... hehehe..... kita memulai memulai nyanyian saja ... sudah pake bahasa jawa... tapi sekarang di sekolah-sekolah juga kesadaran itu ada.... aaa...tapi menurut hemat saya sedikit terlambat... ya ada usaha-usaha... kalo di jawa...di sini...karena itu..karena ada...eee.... istilah muatan lokal... ya...mereka dipaksa mencari... terpaksa...tapi...sesungguhnya banyak orang yang kalo melihat TV Jogja...masih ada kuis bahasa Jawa, kayak gitu. Karena kalo tidak ya dilupakan. Ya kita semua mau berdoa bahasa Inggris ya ... hehehe.... itu lucu...kalo menurut hemat saya itu lucu...kalo di luar negeri ya... terserah kita mau kemana. Tapi kalo cuma di sini, apa doa itu harus pake bahasa Inggris? Mentang-mentang bahasa Inggris baru keren kali ya? Rony :hehehe.... Dianggap keren kali ya??? hehehe Pak Paul: ya itu..... ya... tapi kalo bahasa Inggris mereka mau, kalo bahasa Jawa malah tidak mau... itu lucu... kalo saya tidak akan begitu..sa ya bahasa inggris ya isa, bahasa jawa ya bisa...hahaha... dua-duanya harus bisa. Ya itu... kita tanggungjawabnya.... Rony : itu pak, mengenai para pencipta sendiri....para penciptaa...kira-kira tuhh...apa ya kesadaran apa ya yang perlu dibangun oleh para pencipta, terutama pencipta gending Gereja itu... Pak Paul: eee... mereka harus tahu bahwa bagaimanapun durasi di dalam misa itu ... ora isa klenengan .. Rony : gak kayak wayang? Pak Paul: misalnya ..bentuk-bentuk kita harus harus kompromi. Misalnya mazmur .... tidak...tidak... dalam waktu yang singkat, njuk...wah itu mainnya kurang... kita harus kita harus mencari terobosan, yang...yang memadai. Kendangannya pinatut, nah itu. Jadi, jadi disesuaikan dengan kebiasaan Gereja juga. Lha ini yang musikus Jawa, para penulis Jawa, kurang tau mengenai ini. Ya mereka taunya cuma endi balungane, thuthuk. Nek tidak cocok, ha iki apalagi masih ada persoalan misalnya Jogja, po Solo, wa ra entek-entek. Kalo begitu harus eee.... suatu ketika ning swarga itu ya ya kudu ditakoni kowe Yogja pa Solo... hahahaha.... Ndak bisa, to? Kecuali antara Jogja-Solo kan ada banyak varian. Misalnya ngulon sithik ada PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 145 banyumasan, nah kita kan harus belajar, kita kan sedang belajar, kita kan belajar jawa piye, Jawa Timur bagaimana. Ini kita juga sedang menyurati Sorah Jati seksi liturgi keuskupan Malang. Kita kan mau mengajari membuat itu. Ha perkara hasilnya itu sudah maksimal atau belum ya kita tidak bisa berhenti....tidak berhenti. Tapi kalau cuma ditanya hasilmu apa, ha itu nanti dulu. Itu ajar saja dulu. Nek mau dibuat cepat, tidak bisa. Anda bisa menulis dengan cepat, tapi kalo kita tidak bisa. Yang kita tulis tidak... kita butuh waktu. Banyak banyak waktu... banyak .... ya itu, korban perasaan, korban. Ya mari kita persembahkan perasaan kita kepada Tuhan. Nah gitu to? Haa... ning ko sek, kowe le sinau ki mboko sikak... saya tidak berani me...me...memcanangkan kalo dari.. dari satu lokakarya itu sudah tentu hasilnya top, itu ...itu masih harus dicoba-coba. Tapi kita menyediakan materinya untuk...untukk...untuk... apa...untuk paroki-paroki siapa yang mau memakai. Tapi sekarang kita cukup...cukup...menyeluruh, cukup kelesuan menyeluruh. Karena apa? Tuntutan di luar Gereja itu lebih banyak. Misalnya ada semester pendek, ada ini, ada itu, yang membuat orang-orang semua sibuk ke situ. Dipacu-pacu memang ke arah situ, tidak pernah ada waktu lagi untuk untuk ...yang ada ming wong tuwo-tuwo, wong tuwo tuwo. Haa... jadi kan di banyak paroki hanya orang tua sama anak kecil, malahan. Anak kecil saja sekarang sudah sibuk: bahasa Inggris, apa... Rony : Les Pak Paul: les, iya. Saya...hahaha... kalau latihan selalu mengatakan: konsentrasi ya... Rony : hehehe...mikir yang lain Pak Paul: Ya membutuhkan hiburan, gitu sebetulnya. Saya tau kalo mereka membutuhkan hiburan. Karena di sekolahan itu mereka dipacu-pacu supaya menjadi manusia super. Rony : wahahaa... serba bisa Pak Paul: Manusia super cuma ininya (menunjuk kepala), tapi hatinya tidak, perasaannya tidak, hahahaha.... cilakanya di situ. Rony : lalu ini pak, mengenai gendhing Gereja ini sendiri ya pak? Pak Paul: tidak ada. Rony : ha? Pak Paul: tidak ada. Kalo istilahnya penggending Gereja itu, kita kalo...kalo ... eee... kerawitan itu banyak dalam banyak hal... ya kita terpaksa kita meminjam... sana, meminjam sini, penabuh dari sana. Jadi itulah masalahnya kan kekurangan yang kita buat di sini dengan kursus ini, misalnya eee.... selain belajar organ, kita belajar kerawitan, yang yang ... anak-anak SMP. Namanya kursus con brio... PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 146 Rony : con brio. Pak Paul: ha... itu..itu... belajar.karena kalo tidak tidak tidak pernah belajar ya saya pastikan mengharapkan pemusik-pemusik yang sudah jadi ya sukar. Sementara pemusik yang jadi sendiri katakanlah kalo misalnya untuk...untuk Gereja kan, ungsons... anu...anu...eee.... dia tidak pernah mendapat bayaran... tidak pernah ada.... hidup dari mana? Jadi dia lebih senang nabuh nang nggon wayang, karena lebih bebas ...lebih bebas iramanya ...lebih lebih sesuai dengan dengan hatinya dia yang di wayang itu. Wayang itu kalo ditanggap wayang kan seneng banget. Pokoke karawitan, karawitan yang asli. Ha itu menurut saya juga campur, di situ tidak pernah ada misalnya karawitan Katolik. Kalo dulu ada ...dulu ada... paguyuban... eee... tari sama kerawitan Katolik. Namanya apa... shhh... mm... apa... saya...saya ikut kok dulu. Dulu ikut, saya. ... lupa...lupa...tapi kalo...kalo .... nanti pada suatu ketika saya ingat. Itu...itu orang katolik semua: penabuhnya, wayangnya, yang sing njoget ya umat. Tapi orang katolik semua... ya itu paguyuban Katolik, saya masih ingat, karena...karena itu sebenernya bagus. Kalo...kalo ada bukan...bukan... untuk menjadi kita eksklusif, itu tidak...tidak... tapi maksud saya untuk kalo ada kebutuhan tenaga itu. Sekarang ya ada tenaga, tapi tenaga itu misalnya ee... bisa minta, ya kita ya harus bayar. Karena kita melihat itu... keadaannya dia. Kalo tidak dibayar ya...ya ra isa. Ya hanya kita harus pinter-pinter mencari duitnya.... iya...ya... itu Rony : iya? Pak Paul: iya. Itu lain dengan organis. Organis kan dia cuma seorang. Kalo pengrawit kan paling nggak enam orang. Dan harus banyak menyesuaikan diri. Karena di sana itu kebutuhan misalnya karena durasi kita harus pendek, harus bagus. Nah itu nek kanggone wong jowo... lha gek teng, wis dikon bubar... lha itu tidak bisa, karena...karena ya rasanya pada hari-hari pesta mungkin...mungkin bisa lebih eee.... lebih rowa lagi. Jadi kalo begitu nanti nggon vokalnya timbul masalah, karena saya pernah mengalami misalnya eee... ini dibuat eee.... orang pe...paduan suranya buagus sekali... paduan suara bagus, kerawitannya apik banget. Tapi mereka menelepon saya, “ ini kami menyanyikan karyanya bapak, kok ra dadi-dadi ki piye?” Haa.... saya dipethuk nganggo montor apik banget, nginep ning hotel sing apik, lalu hanya disuruh itu.... hanya disuruh itu, saya melihat sendiri bagaimana keduanya tidak saling bertemu. Kornya itu sing kor ora ngerti gamelan. Lha wong jowo ning ra ngerti gamelan. Sing karawitan itu ora ngerti nge-kor... lha ini mau hahaha...bagaimana? saya... whoa gene ming kaya ngene? Ha ya tak dudut saja sebentar sudah jadi. “Kok gampang, ya?” ya ternyata gampang. Tapi karena masing-masing tidak mau belajar, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 147 keluar dari lingkungannya, eee.... kahanane kono kaya ngopo. Kalo belajar sedikit, misalnya penabuh gamelan belajar membaca not, dan orang paduan suara belajar not jowo, naa... kalo tau kedua-duanya, wong kuwi kabeh wekke dhewe... kalo kedua-duanya belajar, ya bisa. Entah pengrawit sendiri, itu kalo yang khusus sekali wong maksud saya tidak ada. Ya ada, di salah satu paroki ... di... di pugeran di sana, tapi ya gelem... nek ora kuwi ya.... kalo ada orang yang semangat nglumpuk-nglumpukke mereka, mereka mau. Kalo tidak ya mung meneng wae... wah malah gamelane. kalo saya, rumangsa saya gamelanne fals. Mung dinengke wae... kita tidak. Ana gamelan sing rasane kurang, benakke, kalo kita. Di sana, tidak. Ya itu di paroki ya kadang-kadang ada orang yang sudah merasa pinter itu. Pinter ora ngerti nek salah, nek dikandhani ora kena ya uwis. Itu... masalahnya terutama. Rony : berarti kayak masalah penyesuaian itu lebih ke durasi, lalu saling melihat situasi? Pak Paul: ya fleksibel, Rony : fleksibel? Pak Paul: kita harus fleksibel. Nanti akan tercapai gending yang bagus, gending yang bunyinya bagus. Saya kalo hal tidak itu, ya repot. Kalo ...kalo ... misalnya orang jawa yang mengatakan , waa ..... bagaimana kita harus merangkak-merangkak di bawahnya tokoh itu. Haa... tidak. Kita tidak harus merangkak-rangkak. Hahaha... titik. Kita hanya harus berpikir luwes saya, fleksibel. Menurut saya itu. Cuman itu... haa.. kalo nanti sukar nanti diperbaiki. Tapi tidak ada banyak referensinya. Kalo musik jawa referensi Jaap Kunst, to? Rony : iya, Jaap Kunst. Pak Paul: haa... Jaap Kunst, londo. Rony : ya itu lho pak. Belajar dari orang luar. Pak Paul: ya biarkan. Biarkan... mencateti gejala-gejala yang ada. Steman di sini beda dengan di situ. Kita harus menarik kesimpulan sendiri. Tidak sematamata lalu: Jaap Kunst kandha ngene, kudu.... ha... tidak. Kalau tau... tidak, kalau saya... kowe kandha ngono ya wis matur nuwun. Ning, kita harus... harus mencari sendiri. Jaap Kunst kan sudah meninggal dunia. Tidak perlu kita ... Nek ono wong sing scholar ... hahaha.... terus Jaap Kunst mengatakan... hahaha... sakkarepmu.... sakkarepmu. Kita tidak begitu... maka dari itu kalo mau belajar ini, musik aaa... gamelan dan pemgakaiannianya bagaimana, ya harus dengan keterbukaan... eee... musik itu sendiri terhadap pelaku-pelaku musiknya, terhadap kebutuhan Gereja itu apa,... ya PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 148 macem-macem, harus...harus... ndelok kana, ndelok kene... itu cocok. Tidak gampang di situ. Rony : mmm... lalu, pak. Pertanyaan terakhir, pak. Eee menurut pengalaman dan perasaan bapak sendiri itu, tangga nada pelog itu menimbulkan rasa apa pak... kalo memainkan, mungkin kan muncul juga perasaan beda ya pak main apa slendro lalu pelog. Pak Paul: iya... kalo... e... kalo ... kalo itu... a...a... kalo kedua-duanya ya seneng, saya seneng. Cuman, cuman...cuman kalo slendro itu anu....eee..... le...lebih banyak dipakai untuk-untuk nggon hiburan,... misalnya untuk ... tapi kita tidak banyak menyentuh slendro karena terutama karena...karena...karena.... gamelan yang ada pelog. Nek kalo gamelan di Gereja ada ada slendro aaa... kita bisa nggarap slendro itu juga. Kita bisa kok dengan... dengan bukan hanya dengan apa... dengan gamelan. Dengan Clavinova itu. Clavinova itu bisa distem, dilaras menurut slendro itu bisa. Yaa... hanya membutuhkan tenaga ...kudu mikir. Dan, telinga kita bisa ngepasi, saya juga pernah mencoba. Aaa... cuman untuk itu...untuk itu kan tiap organis harus mempunyai clavinova yang bisa disetel. Haa.... nang Greja wis masalah lagi. Haa... pertama-tama adalah telinga itu menyesuaikan. Ning rumangsa...rumangsa saya bisa. Kita telah mencoba dengan lagu dari Madura. Itu dilaras eee.... dengan gamelan slendro dengan apa gender slendro...a... lalu dimainkan. Notasinya tetap notasi doremi ini, tapi wis ora percoyo dengan ini ora percoyo. Kira-kira munggah medhunne gitu. Aa.. saya bilang kira-kira munggah medhunne gitu. Nanti ...nanti kalo mulai menyanyi...nganu, telinganya dipasang.... bisa...bisa...bisa...bisa. jadi, kita mau eksperimen lagi nanti kita mau nggarap Banyuwanginan. Kita slendronya kalo bisa, itu dengan gender slendro, dengan...dengan clavinovanya distem sedikit. Rony : oo... berarti kalo begitu slendro sama pelog itu bisa digunakan di gereja? Pak Paul: ya bisa, ning perkara boleh atau tidak aa... buka saya, urusan saya...ha.... Rony : hahaha... Pak Paul: aa... antara boleh dan tidak... aa... kono mikir ora, sing berwenang? Mikir atau tidak? Ya... kalo dia tidak punya waktu untuk berpikir, ya harusnya diserahkan pada kita. Tapi sering kali kan tidak. Bisa sekarang kita begini... haa... mm... sing kuasa begini. Haa... ee..ya.. elik... rumangsa saya elik..haha....elik...hahaha.... ya rumangsa saya elik.... ya dia tidak tahu-menahu mengenai musik hidup. Njur terus mung waton nggawe peraturan begini-begini.... ha... gamelan disisihke barang... kleru...kleru...kleru....kualat nek saya. Saya bilang itu kualat. Yaa... gimana. Tentu saja perasaannya kita teman-teman... mbok daripada ...daripada...daripada... begitu ya... ha.. nek...nek.... nek ada imlek barang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 149 ya kabeh ya disulap dadi .... malah ada yang barongsai mlebu greja ya... mungkin peranan duwit, atau atau peranan saya ndak tahu. Karena saya tidak mikir itu. Saya mikir ini ee... sayangnya kalau kita membuat eksperimen begini... itu begini...begini... lalu dimintakan saja, karena...karena... di gereja periklanannya kurang...kurang baik...haa... ya...misa-misa bahasa jawa kan ya... ditaruh diwaktu yang paling pagi, yang wong-wong isi sithik... ha..itu.. itu... kebijaksanaan ... kebijaksanaan yang punya yang bos. Kalo saya bosnya tidak sampai begitu. Rony : yang ramai, ya... hahaaha Pak Paul: ya itu. Mesti begitu. Mungkin cari...lha wong iki wekke dhewe kok le... mesthi...mesthi... di...ee...di apa... diberi kesempatan, paling tidak ora...ora sah ditonjolkan, tapi diberi kesempatan. Haa... tapi karena wong jowo itu umumnya wong ngalahan, ya njur...njur dadi begitu. Ya ngalahan, ya wis ra papa, ya wis... (). Di sini ada anaknya...anaknya karyawan sini yang: ”Ben, mas. anakku ben nggolek...”. Ya saya main bareng. Yo wis kana, kalo punya alasan sendrii...hahaha.... iya.... Rony : Ya udah, begitu pak makasih ngomong-ngomong. -selesaiWaktu: 23’33” PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 150 LAMPIRAN 3 Wawancara dengan Martinus Siswanto Pugeran, Kamis 7 Maret 2013, pukul 10.30 WIB.. Pak Siswanto : Pelog dan slendro itu sama saja Rony : Oh, ya sama saja? Ooo.... Pak Siswanto : Jadi itu, itu memang lain, nganunya orang yang ahli dalam diatonis, mesti mengatakan pelog itu lebih mudah dipelajari. Tapi, bagi saya itu sama saja. Rony : Tapi kan ini pak, kalo saya. Yang saya liat juga kan setelah saya buka kidung adi itu kan pak, ternyata sebagian besar juga tangga nada pelog. Pak Siswanto : Nah itu sebabnya, di gereja-gereja itu yang punya slendro itu jarang sekali. Jadi yang buat itu yang memikirkan ini mau dipakai di gereja, dan gereja itu kebanyakan pelog. Yang slendro itu jarang sekali. Maka, si pembuat itu, termasuk saya sendiri, melihat itu juga. Memikirkan itu yang ada itu pelog. Jadi saya juga banyak menggunakan yang pelog. () itu. Rony : Jadi lebih sebenarnya alasan praktis, gamelan laras apa yang ada, dipakai? Pak Siswanto : Ya laras pelog itu, memang. Untuk anu apa, untuk jalan, untuk menyesuaikan dalam diatonis itu mudah sekali. Karena kalau tangga nada slendro kan sama, intervalnya itu kan sama. Rony : Oh, iya. Sama. Pak Siswanto : Tapi kalo pelog, kan besar kecil. Rony : Tapi dulu pak Harjosubroto kan membuat semua lagunya dengan pelog. Apa ada latar belakangnya? Pak Siswanto : Ha iya, itu. Kemungkinan juga waktu itu, yang...yang... yang mudah dihapal itu yang pelog itu. Yang sudah, anu, ada miripmiripnya dengan diatonis. Hanya begitu saja. Kemungkinan itu. Maka dari itu, dan...dan untuk menyesuaikan lagu-lagu yang ada kan diatonis. Diatonis itu hampir sama dengan pelog. Rony : Seperti intervalnya? Besar-kecilnya juga? Pak Siswanto : Iya, besar-kecilnya juga ada. Kalo slendro kan intervalnya kan sama, jadi kurang ... ya memang...memang lebih sukar slendronya, daripada pelog. Rony : O begitu. Tapi kira-kira ya pak, suasana apa sih yang yang dominan misalnya kita main pelog, atau main slendro? Suasana dominan apa yang ada? Suasana perasaan apa yang muncul? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 151 Pak Siswanto : Ha itu tidak.... Lagunya itu membutuhkan yang mana? Jadi, tinggal lagu itu itu butuh susah atau gembira, atau... umumnya itu bisa dibuat susah, gembira, dan ya anggun itu, bisa saja. Rony : Jadi pelog itu bisa untuk yang lagu-lagu riang? Itu bisa? Pak Siswanto : Ooo... sangat-sangat bisa. Malah bisa sekali, itu pelog. Rony : Jadi situasinya itu sebenarnya, sebenarnya situasi riang dan khidmat itu ada di kedua tangga nada itu, pak? Pak Siswanto : Iya. Bukan hanya untuk anu penyusunan lagu itu. Rony : Maksudnya gimana, pak? Pak Siswanto : Ya misalnya karena akan membuat sedih, nada-nada yang digunakan itu, nada-nada yang dalam pelog itu, kan. Ada apa, ya? Tangga nada itu kan ada yang nada dasar. Ha, itu nanti yang diambil itu nada dasar yang mana? Untuk lagu yang bagaimana? Misalnya untuk lagu yang susah, itu ya menggunakan nada-nada yang tidak pokok, yang tidak baku. Tapi yang kekuatannya itu tipis. Kalo misalnya itu, tangga nada ini.... yang kuat misalnya sol atau atau do, ya... ya menggunakan itu sedikit saja. Yang rasanya ini, yang diolah.... Rony : Re? Pak Siswanto : Ya, misalnya itu gitu. Iya. Itu kalo untuk sedih, susah, itu. Rony : He‟eh. Oo...gitu, ya? Pak Siswanto : Jadi, apa, baik slendro maupun pelog, untuk membuat nada yang susah atau yang ceria itu, tergantung lagunya itu yang me... me ... ingin yang susah atau ingin yang gembira. Rony : Jadi, dua-duanya bisa digunakan untuk membuat lagu susah dan gembira? Pak Siswanto : Bisa. Rony : Bisa. Berarti kayak misalnya apa yang di lagu-lagu yang di Kidung Adi, itu berarti itu, ya pak ya, lebih apa... sebenarnya lebih alasan praktis untuk menggunakan tangga nada pelog itu? Pak Siswanto : Iya. Rony : Tergantung gamelan apa yang ada di situ, ya? Pak Siswanto : Iya. Rony : Tapi saya juga pernah baca, apa ya? Tulisannya Ki Hajar Dewantara itu, pak, tentang tangga nada pelog dengan slendro. Pak Siswanto : Iya. Itu Sariswara, ya? Rony : Kayaknya Mardawalagu. Pak Siswanto : Sariswara, itu. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 152 Rony : He, eh. Itu kan ada juga tangga nada pelog, yang pelog tertentu. Misalnya patet tertentu ada...ada menimbulkan suasana apa... welas asih, lalu menimbulkan suasana, apa ya? Pak Siswanto : Ha menimbulkan itu karena sudah digarap. Kalo belum digarap, ya.... kalo belum digarap, ya.... Sekarang misalnya tangga nada... misalnya pelog barang. Pelog barang itu meriah sekali. Tapi dibuat susah ya bisa...iya. Rony : Hehehehe.... Pak Siswanto : Hehehehe.... itu meriah sekali yang nama pelog barang itu. (bersenandung) Na ... ne...na...ni....na... ne... na...ne...na...ni...na...ne... ne.... ehem (berdehem). Saya itu baru watuk, jadi.... (bersenandung) ra...re...ra...ri...ra...re... aduh swarane kurang apik. Pokoknya dibuat meriah bisa, dibuat susah bisa. Misalnya tadi itu, saya juga agak.... agak... Misalnya... la...lo...la...lo...la...lo... (bersenandung). Ini bagaimana perasaan Anda? (menyanyi) Pindha sangsam angupados toya, sukma kula ngesthi mring Paduka. Ini kan tidak gembira, misalnya saja. Tapi kalo akan bergembira: (menyanyi)Pangon utama njagi agung mundhung sih kadarman, mundhung, mundhung sih kadarman. Ini agak gembira. Jadi tergantung akan dibuat apa juga bisa. Rony : Berarti ini pak, misalnya tangga nada slendro dan pelog itu berarti di dalam liturgi posisinya sama. Pak Siswanto : Sekarang buat tangga nada saja. Tangga nada yang bagus yang dipakai biasa, itu hanya ada tiga. Kalo pelog: tangga nada pelog pathet lima, pathet nem, pathet barang. Itu satu degna yang lain itu perbedaannya satu kuint-satu kuint. Jadi, pathet lima naik satu kuint menjadi patet nem, naik satu kuint menjadi pelog barang. Nah, terus ketiga-tiganya ini bisa disebut fa-sol-si-do-mi-fa. Kalo jawanya, kalo aslinya yang pathet lima itu: mo-nem-ji-ro-pat-mo. Mo-nem-ji-ro-pat-mo ini bisa dibaca fa-sol-si-do-mi-fa. Pelog pathe nem: ro-lu-mo-nem-ji-ro. Ini bisa dibaca: fa-sol-si-do-mi-fa. Yang barang: nem-pi-ro-lu-mo-nem, juga bisa dibaca fa-sol-si-domi-fa. Jadi bisa dibaca fa-sol-si-do-mi-fa. Fa-sol-si-do-mi-fa. Mm... ya... Rony : Berarti sejauh ini peranan tangga nada pelog di dalam liturgi itu sama dengan slendro, dari banyaknya digunakan, atau untuk membuat suasana tertentu? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 153 Pak Siswanto : Oo ... yaa... bisa saja itu. Sama. Slendro juga bisa dibuat nganu, yang itu... yang meriah bisa, yang susah bisa. Pokoknya tuh samasama bisa. Rony : Jadi, lebih ke alasan, apa, di gereja itu biasanya lebih banyak yang punya gamelan pelog? Pak Siswanto : Ya pelog. Itu pertanyaan keduanya, biasanya karena banyak orang yang mengenal diatonis, orang kalau diberi anu itu, konsumsi pelog itu mesti mudah untuk membaca. Kalo slendro kan agak sukar. Tapi kalo diberi pelog itu, dengan sendirinya membacanya sudah bisa. Fa-sol-si-do-mi-fa, sudah jadi. Rony : Tapi toh kan tidak sama persis kan? Dengan... Pak Siswanto : Ha tidak samanya persis itu kan ada yang diistilahnya embat. Embat itu hanya sebelas, eh enam belas hertz. Manusia sudah tidak bisa membedakan. Ini ini dalam teori sudah ada. Jadi,...jadi... sebetulnya tuh ... 100....200...100...200.... apa itu plek itu? Tidak mesthi! Mesti berbeda. Tapi perbedaannya itu, ini sudah bisa. Jadi, selisih, eh apa, selisih 16 hertz, telinga sudah tidak bisa mendengar. Ha, itu yang disebut embat. Itu jadi ya dua selisih. Biar di sini, tapi bisa di sini, bisa di sini. Rony : Berati kayak interval itu jumlahnya misalnya penghitungan dengan beberap cent seperti yang dibuat Jaap Kunst itu gak mutlak, ya pak? Pak Siswanto : Kalo mau dimutlakan ya bisa saja. Dalam teorinya mutlak, ya. Tapi dalam prakteknya apa ya seperti itu? Saya menyuarakan itu, saya maksudnya do apakah suara saya betul- betul do? Misalnya saja. Tapi yang membuat, memang ini do, ini re, ini mi. Tapi yang membawakan itu tau kalau dia mau membawakan do-re-mi. Tapi apakah do-re-mi nya itu sudah tepat? Tidak mesti. Ada embat itu tadi. Rony : Berarti sama saja, ya...? heehehe... Pak Siswanto : Sama saja. Hehehe.... Rony : Lalu ini, pak, kan bapak juga banyak berkecimpung di musikmusik gereja juga, ya pak? Lalu menurut bapak sendiri, menurut pengalaman bapak, bagaimana penerimaan umat terhadap musik gamelan yang digunakan di gereja? Kan dulu musiknya kan Gregorian, yang berorientasi pada barat. Setelah ada musik gamelan yang menggunakan budaya Jawa sendiri, tanggapan umat bagaimana? Pak Siswanto : Kalau di gereja pugeran, saya kira tidak ada masalah apa-apa. Baik muda maupun tua semuanya itu... hanya biasanya yang muda PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 154 itu untuk latihan itu, agak segan. Soalnya apa? Menyamakan dengan gamelan itu kan mulainya gimana... gimana itu kan harus tahu akan gamelan. Dan tidak mesti itu, apa, pemimpinnya terus apa bisa melagukan. Tetapi pas dengan gamelannya itu kapan? Tek nya itu kapan? Itu itu biasanya yang yang muda-muda agak segan. Tapi kalau sudah apa, sudah mempelajari, ya mudah saja. Lebihlebih kalau di pugeran, itu semua lingkungan itu sudah belajar gamelan semua. Iya betul itu. nganu, di nganu... di paroki pugeran itu setiap satu lingkungan itu sudah bisa nabuh gamelan. Artinya itu, misa gamelan itu sudah mengalami semuanya. Yang tidak bisa na... misalnya di lingkungan ini tidak ada yang menabuh, lingkungan saya yang diminta untuk menabuh. Tapi semua sudah bisa. Rony : Jadi sudah bisa jalan sendiri. lalu menurut pendapat bapak sendiri, bagaimana hubungan atara budaya jawa dengan gereja sendiri? Karena gereja sendiri kan istilahnya kan budaya luar juga, kan? Budaya Eropa, lalu masuk ke Indonesia. Lalu bagaimana hubungan budaya jawa dengan gereja sendiri? Apakah kira-kira bisa klop? Atau sejauh mana budaya jawa bisa memperkaya gereja? Lalu bagaimana gereja bisa masuk ke dalam budaya jawa itu sendiri? Dari pengalaman bapak. Pak Siswanto : Ha lebih-lebih ini adanya apa lagu-lagu gereja yang adat jawa. Ini lebih mendekatkan lagi, bahwa, apa, orang-orang Jawa atau orang Indonesia itu tidak memikirkan ini barat, ini anu. Tapi, ini sudah ini gereja kita. Jadi sudah anu, apa... bedanya sudah tidak ada, seolah-olah itu. Rony : Berarti budaya Jawa bisa memperkaya liturgi gereja itu juga? Pak Siswanto : Iya, lebih-lebih itu kalo dulu dengan bahasa Latin itu, orangorang hanya mendengar saja, tapi tidak tahu maksudnya. Sekarang kan sudah jelas ini kan isinya ini... ini kan terus mempertebal iman juga. Misalnya saja, contohnya, orang-orang Islam kan nyanyi. Apakah itu mereka itu masuk betul-betul? Tidak tentu. Lain dengan orang-orang Katolik Kristen. Kalo tau sendiri Bapa Kami itu isine Bapa Kami, tak kira Allah-huakbar itu, yang mana to itu? Tau mengucapkan, tapi... hehehe.... lho ini lho saya terus terang saja. Maka dari itu semuanya itu, wis kalo .... ini ya ini. Tapi kalo untuk membedakan ini, wah ini.. ini barat- ini timur, saya kira dari saya lihat, tidak ada. Perbedaan itu tidak ada. Rony : Jadi inkulturasi itu, kalo kita pake istilah inkulturasi, itu sudah.... PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 155 Pak Siswanto : Ya itulah memang itu, berhasil itu. dengan inkulturasi itu gereja kita bisa berhasil. Ya itu contohnya itu bismilah hirohman nirohim. Saya bisa, tapi apa itu maksudnya itu? Saya tidak tahu. Tapi kalo Bapa Kami, Rama Kawula, cetha ini. Jawa. Lha ini bedanya itu hanya diambil dan diaku. Hehehe... Rony : Tapi kalo dulu saya lihat bukunya Pak Harjosubroto itu, Pak Harjosubroto itu pernah eksperimen, ya pak? Buat apa... dengan kata-kata Latin, tapi dengan lagu.... Pak Siswanto : Oo ... dulu itu memang yang pertama-tama memang yang dibuat itu Latin. Jadi, apa... romo... eh Pak Harjosubroto yang tamatan (......) tahun 25 itu membuatnya itu Latin, belum Jawa. Sampai dipentaskan itu masih Latin semua. Haa.... Jawa itu ha ya setelah itu sedikit demi sedikit membuat Jawa. Tapi dulu tu Latin. Rony : Karena apa, pak? Apakah karena belum boleh pake Jawa, atau apa? Pak Siswanto : Ha itu karena pertama, karena mencoba-coba. Mencoba-coba itu mestinya karena yang ada itu Latin, ya .... Latin di ...anu... Rony : Tapi misalnya gini, pak. Kan gending jawa kan banyak pakai bahasa Jawa kromo, ya pak? Apakah sejauh ini dimengerti oleh anak-anak muda bahasa-bahasanya? Karena kan ada istilah-istilah tertentu yang jarang ditemui juga sampai sekarang. Pak Siswanto : Misalnya? Rony : Misalnya apa, ya? Misalnya kata angorong, gitu. Angorong itu kan untuk anak muda zaman sekarang kan udah jarang dengar dan tidak tahu artinya.. Pak Siswanto : Itu dalam-dalam petemuan-pertemuan kalo nyinggung itu harus ada yang tanya. Kok ini ngorong itu atau itu ... mesti ada yang tanya. Misalnya dalam latian nyanyi. Kok itu ngorong itu apa to itu? ha... mesti saja tidak tahu, tapi dari sedikit...sedikit... dalam latihan itu, kan tahu. Rony : Jadi bahasa-bahasa yang sulit atau istilah tertentu itu tidak jadi kendala? Pak Siswanto : Tidak, saya rasa tidak. Misalnya di dalam latihan-latihan itu. Anak-anak muda itu kan misalnya „apane‟, nek diwaca „opone‟ itu. jangan „oponya‟. Jadi „apanya‟. Itu jadi jalan, sedikit jalan. Oleh pimpinan diperlihatkan. Tembung-tembung. Tulisan kan „punika‟, tidak ada yang „menika‟. Ha itu dalam lagu-lagu itu nanti dibetulkan oleh si... nanti jangan dibaca „punika‟, tapi membacanya „menika‟. Misalnya macam-macam itu. Ya kalo itu... memang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 156 anak-anak muda banyak yang tidak tahu, ya. Tapi dari sedikit menjadi anu..... Rony : Lalu untuk masalah inkulturasi tadi pak, yang gendng gereja itu. Menurut bapak tuh, apa yang dibutuhkan pemain penabuh gamelan itu bisa masuk ke dalam liturgi atau upacara peribadatan atau Ekarisiti. Maksudnya itu dis... apa, ya? Eee... sikap apa yang perlu seorang penabuh miliki? Pak Siswanto : Itu sudah otomatis dalam anu... otomatis dalam tabuhan itu sendiri. itu orang-orang yang nabuh, nabuh gamelan ngiringi itu saya berdoa, tidak main-main. Itu sudah otomatis pikirannya. Misalnya latihan untuk kor. Itu semuanya itu sudah saya itu berdoa. Jadinya itu tidak usah diarahkan, tapi dengan sendirinya orang-orang itu jiwanya sudah ... Rony : Jadi sambil menabuh sambil berdoa? Pak Siswanto : Ya iya to, seolah-olah itu iya... sudah tidak memikirkan yang ini ini lagi, tapi semuanya sudah untuk Tuhan. Rony : Secara otomatis sudah nyambung, dia duduk di mana, lalu dia ada di mana..? Pak Siswanto : Iya..iya...iya... Rony : Ooo... lalu kira-kira menurut pengalaman bapak sendiri juga, kesadaran apa yang seharusnya dimiliki oleh para pencipta lagu, untuk mengembangkan gending gereja, terutama gending jawa ini? Yang perlu dimiliki oleh para pencipta, atau apa, ya? Atau dorongan apa yang seharusnya dimiliki? Pak Siswanto : Ha yang harus dimiliki itu terus terang mengenai soal imannya. Kalo imannya tebal, membaca buku pasti mengenai. Tapi kalo kurang tebal, mungkin lagu-lagunya itu kurang...kurang iman. Jadi itu itu tergantung pada... anu.. sebuah lagu-lagu itu kan tergantung pada si pembuat. Lagu-lagu nya saja tergantung pada si pembuat. Kalo yang membuat itu imannya sudah tebal, membuatnya mesti betul-betul ini... maka kalau ditanyakan, ini mengganggu...anak...anda sembahyang atau tidak? Mesti tidak. Karena itu betul-betul sudah lagu itu sudah lagu untuk berdoa. Jadi maka dari itu, tergantung pada iman yang membuat lagu itu.... Rony : Lalu bapak juga sering ikut lokakarya yang diadakan PML, ya pak? Pak Siswanto : Ha dulu, sekarang sudah tidak. Pengalaman apa pak misalnya berkontak dengan para musisi gending gereja yang lain? Pak Siswanto : Ha dulu pernah ya ada pertanyaan, ada soal. Ada pro dan kotra itu mesti ada , to? Di Solo itu pernah terjadi demikian. Saya dan Pak PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Siswanto Rony Pak Siswanto Rony Pak Siswanto Rony Pak Siswanto 157 Harjosubroto, atau tidak dengan PML, ya itu. mengenai diskusi ini ditentang oleh orang-orang Solo: “Itu lagu-lagu Gereja lagu jawa di Gereja itu kan hanya nyonya londo ditapihi”. Ha itu lagu-lagu anu kok dijawakan. Nganu, nyerangnya itu begini: itu kan hanya nyonya londo ditapihi saja. Tapi, Pak Harjosubroto jawabnya pinter: “Tidak itu, pak. Tapi gadis jawa memakai rok.” Dulu gadis jawa itu pakai tapih. Hehehehe... dia diam saja. Hahahaha..... : Ada pro kontra juga sebenernya pak? : Wooooo... dulu kontranya banyak sekali. Itu penyerangan yang tajam sekali. “Wahh.... gadis Eropa dipakai...dijarit saja, itu.” Tapi, Pak Harjosubroto pandai juga membalas: “Bukan itu, pak. Sekarang itu gadis Jawa pakai rok.” Hahahaha... kalau dulu gadis Jawa itu tidak ada yang pakai rok. Pakai tapih semua. Jawabnya gitu. Jadi itu saya membuat lagu-lagu Jawa ini untuk di dalam gereja, itu artinya yaitu menurut zaman di sini, zamannya gadis Jawa sudah pakai rok itu tadi. Hehehehe... : Ooo... lalu untuk bapak sendiri sebagai pencipta lalu dengan teman-teman bapak sendiri sebagai pencipta juga, itu kira-kira tantangan atau hambatan apa lalu kesempatan apa yang ada, dalam apa,... dalam menciptakan gending gereja? Kesulitan atau keuntungan apa yang ada saat menciptakan gending gereja? : Ha ituu...... .... bagi saya, kalau sudah tahu betul-betul isinya kalimat itu, itu kita baru bisa membuat lagu itu dengan baik. Tapi kalau belum begitu menguasai betul-betul isinya itu, ya lagunya tidak akan mungkin baik. : Jadi ayatnya, dulu kata-katanya, baru nanti bikin lagunya? : Ayatnya itu dinganu dulu, dimasak dulu betul-betul kalo itu sudah ayat demi ayat, kata demi kata itu kita sudah tahu betul-betul, itu baru dibuat lagu. : Suasana? Baru... : Nanti suasananya akan ketemu, sudah. Waktu itu ya... pak... wong saya sendiri guru, ya. Saya kan mengajar murid untuk mee... mee... karena yang kalo di karawitan kan anak-anak itu sudah bisa menciptakan lagu. Saya kalo menyuruh anak bagaimana untuk menciptakan lagu. Misalnya, Parangtritis. Anak tu diajak ke sana. Itu yang dilihat itu ombak. Mat-kan ombak itu bagaimana. Yang betul-betul ana sing lambat, ana sing lurus, njur susahe kaya ngapa, njur nek nerjang wong kaya ngapa, nganu pokoknya itu pikiren yang sampe anu... setelah itu nanti ada jingking. Jalan-jalan. Itu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 158 makin seru. Jingking itu cari apa to itu? Kok ke sana kemari? Itu harus sampai itu harus sampai tahu, maksudnya jingking. Jangan hanya ooo... gek diparani mlayu. Jangan itu harus di...itu. Lihat di sana ada anak pacaran: kok kae ndelik ki dha ngapa to kae? Itu juga diperhatikan betul itu juga ternyata itu. Dulu lalu ada pentas setelah disuruh buat lagu-lagu itu. Bapak-bapak sepuh itu tidak setuju: masak anak-anak disuruh membuat lagu. Saya itu yang memberikan tanggungjawab: sudah nanti kalau tidak bisa, saya yang saya berani mencoba. Ternyata setelah dipentaskan lhaa... kok bisa apik. Jadi itu tadi, apa-apa itu harus ditekuni betul-betul. Kalo hanya isih ragu-ragu tidak akan baik. Sudah apa saja, sudah mesthi. Jadi orang melihat itu harus dinganu. Yaitu di pantai itu banyak sekali werna werna sing la... itu semua itu dimatke betulbetul. Jangan hanya sepintas lalu, tapi betul-betul dinikmati. Membuat lagu juga demikian, kalimat demi kalimat, kata demi kata, dianu betul-betul, ... lha.... oo.. ini. Rony : Jadi menurut bapak tu, mudah pak, untuk membuat lagu yang lagu Jawa untuk liturgi itu? Pak Siswanto : Bagi saya ya ..ya.. biasa saja. Karena membuat lagu Jawa juga bisa, membuat lagu ... heheheh.... Rony : Hehehhehe.... Pak Siswanto : Ha dulu enaknya lagi, sistim Jawa, sistim pelog, sistimnya kan bukan...bukan... sistim harmoni, tapi sistim melodi. Maka dibuat lagu-lagu oyak-oyakan dan sebagainya bisa itu. Seneng, itu karena sistemnya itu melodi, bukan sistem harmoni seperti do-re-mi-fasol, bukan itu, tapi sudah akor, tapi harmoni. Maka bisa disusun yaa... menjadi beberapa lagu untuk lagu tiga empat dan sebagainya. Dusnya itu sistimnya itu soalnya tidak tidak akor to? Jadi jadi mudah. Rony : Tapi kan suatu ketika juga kan ketemu itu kan pak?... Kalo di dengan melodi, satu titik tertentu. Pak Siswanto : Iya..iya... pengertiannya ya. Ini.. di sini sampai ini. Ini bisa di sini dibuat melodi bagaimana. Tapi jatuhnya di sini ini aa.. semuanya harus do. Ya kana meh dinggo sol apa terserah. Tapi di sini nanti harus sampai do, entah itu do rendah atau do tinggi, di sini saya minta di do. Kalau tidak do, ya sol atau apa yang ada hubungannya dengan kuintnya itu. Ibu Siswanto : Ni makanan desa mas.. hehehehe..... Rony-Bertus : Hehehehehehe.... PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 159 Ibu Siswanto : Mangga... Rony-Bertus : Ijih, matur nuwun. Pak Siswanto : Ya soalnya, anu opo. Yang nama gamelan itu ... semuanya kan ukurannya kan dulu nama-nama itu kan diambil dari bagian tubuh. Rony : Bilah-bilah? Pak Siswanto : Bilah-bilah itu namanya lho, namanya bukan ji-ro-lu-pat-monem. Rony : Dhadha, gulu? Pak Siswanto : Tapi dhadha, gulu. Jadi siji itu penunggul. Penunggul itu artinya barang yang unggul bagi manusia. Barang yang unggul itu ya antaranya kepala. Itu kan yang paling dihormati itu. Nanti kalo ke turun.,Gulu. Dhadha, eh gulu dulu. Gulu atau jangga. Ini saya dekatkan jalan, atau mergi. Trus dhadha. Dhadha itu hidup, urip. Trus lima. Lima itu sengsem. Sengsem itu kesenengan duniawi. Ya lima itu rasa. Ha ini kalo dibuat lagu, ro ji ro nem ro ji nem ma. Ini sudah menjadi lagu. Msialnya ro ji, ya. Mergane arep luhur utawa arep dihurmati uwong, kudu nglewati rasa, nggunakake rasa. Ke dalan itu jangan dalan gitu, ngliwati, nggunakke, pokokke dasanamane jalan itu apa. Urip juga dasanamane urip itu apa. Itu semua dimeditasi, dalanne wong arep ajen kelingan, kudu nggunakke rasa: Ki ro ji ro nem. Tambah meneh ro ji nem mo: dalane wong luhur. Kejaba ro ji nem mo, kejaba ngunggahke eh... mergane kejaba nggunake rasa, nggunakke sengsem. Sengsem ki kebutuhan donya. Padane akeh. Panjenengan iki Rony senengane badminton. Sing tak apali senengane badminton. Mesti rame le omong. Dadi iki... ha roso ki sudah jelas. Dadi, mila nggih, lagulagu ingkang klasik, itu tidak bisa ditelan jaman itu, karena mempunyai kalau disurasa, lagu-lagu itu ada maksudnya semua, ada isinya. Jadi membuatnya tidak asal membuat, tapi... ha ini tadi, saya membuat dua bait saja sudah .... Rony : Berarti dari dari makna bilah itu sendiri, bilah berhubungan dengan tubuh? Pak Siswanto : Iya. Kenapa orang-orang itu kok yang sering disebut kok jangga, dhadha. Rony : Lalu kira-kira ada kesulitan gak pak, kalo membuat lagu Jawa? Maksudnya, ya entah itu kesulitan dari apa ya? Penerimaan umat, atau dari para romonya sendiri, atau dalam proses pembuatannya itu sendiri? Ada kesulitan gak pak sejauh ini bapak alami dalam ya menjadi pencipta itu ada kesulitan, gak? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 160 Pak Siswanto : Kalo saya kok gak ada kesulitan. Rony : Jadi dari romo-romonya sendiri langsung menerima juga, ada lagu baru? Pak Siswanto : Ha ternyata misalnya itu lokakarya di PML itu, langsung membuat-membuat-membuat itu, terakhir sesudah membuat terus dianuke,... dibaca bersama, trus nyatanya kebanyakan diakui oleh..... kalo semuanya sudah ada pedoman, to? Misalnya pathet barang itu lak nada-nada yang dipakai itu yang mana, pathet nem itu nada-nada yang dipakai itu yang mana, di semuanya itu kan sudah tertentu. Sebetulnya itu sudah tidak ada kesulitan. Bertus : Lalu kan melihat umumnya ya pak ya, sekarang ini kan yang namanya penabuh gamelan itu kok rasa-rasanya untuk orang muda itu kok semakin berkurang? Itu rasa-rasanya. Ya mungkin ada beberapa di sebagian tempat tapi kan kok rasa-rasanya umumnya kalo misalnya kalo pergi ke mana, gitu, ke gereja mana, gitu, selalu kebanyakan yang terlihat itu adalah orang-orang yang sudah sepuh atau sudah itu. Lalu kalau misalnya melihat ini sendiri, ada gejolak apa, kok sampai seperti ini? Lalu mungkin apakah mungkin juga sudah ada usaha-usaha untuk meregenerasikan atau menurunkan supaya nanti itu anak-anak muda itu ayo gantian. Gantian untuk sekarang yang nabuh gamelan. Apakah sekarang usaha-usaha itu sudah ada? Pak Siswanto : Ha ini, sebetulnya ini jangan menyalahkan anak-anak muda, tapi salahkan orang tuanya. Istimewa saja, orangtuanya tidak pernah memberi nganu... itu pasti orang tuanya yang. ... tapi kalo anak kecil-kecil dianu orang tua, itu pasti manut. Cotohnya saja saya ini. Cucu saya itu masih kecil-kecil, sudah basa. Apakah saya ingin dihormati? Bukan itu! Tapi supaya dengan teman-teman itu bisa menghormati. Anak saya itu dulu basa semua. Dengan temanteman itu basa, tidak pernah congkrah. Itu tidak pernah. Lho betul. Anak saya itu dulu dolan dengan teman-temannya dengan memakai basa. Ternyata ya ...ya... jadi saya mengatakan salah nya yang tua itu, betul seperti itu. Kalo yang tua itu memberi teladan, mesti diturut, to? Ha sekarang tidak. anak kecil-kecil....malah sing tuwo sing marai Indonesia. Lho iya, gak? Lha itu sebenarnya orang tua itu memberi nganu, kok. Jadi jangan salahkan anak mudanya, tapi salahkan yang tua. Hehehehehe..... Rony : Trus kalo usahanya sendiri? Pak Siswanto : Ha... ini tinggal kalo dianu orang tua, ya anaknya lalu anu to?.... gumregah to yang... eee..... hehehhe.... ya demikian itu. Mestinya PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 161 ya dilihat. Itu jadi anak-anak kecil sudah tidak ...tidak....misalnya bahasa Jawa saja. Ha di rumah itu ibunya, semuanya sudah menggunakan bahasa Indonesia, bagaimana anak itu bisa? Ya dengan sendirinya dia ya .... dia tidak akan cinta pada bahasa Jawa. Rony : Lalu kembali ke musik tadi, pak. Sejauh apa eee... itu pak. Gereja itu menetapkan batasan-batasan untuk lagu gending gereja untuk bisa masuk dalam liturgi. Ada batasannya gak pak? Pak Siswanto : Kok saya rasa tidak ada batasannya. Tidak ada. Dan apa, lagulagu itu sebetulnya itu to. Orang-orang itu, to apa itu kalimatkalimat bagus itu sudah dibuat oleh gereja. Kita itu hanya tinggal membuat lagunya. Jadi nganu, apa tu. Kata-kata semuanya itu sudah ada semuanya. Kari.... (....) Rony : Kata-katanya itu dari mana pak biasanya diambil? Pak Siswanto : Kalo itu dari mazmur, atau dari mana, romo tidak tahu, dan saya juga tidak tahu. Ha misalnya Bapa Kami ada ya... untuk macammacam itu semua lagu itu sudah ada teks, kita tinggal membuat lagu. Saya kira menurut pengetahuan saya kok tidak ada yang disuruh membuat sendiri, membuat satu ... karena kalau demikian nanti akan menyimpang dari tujuan gereja. Hahahaha... lho mesti itu mesti itu..... karena njuk ya saya seneng lagu ini, ya sudah. saya seharusnya membuat kalimat yang bagaimana. Gawat, jadi saya betulkan, gereja siapa, to? setiap kali. Inilah kedua. Pokoknya terserah membuatnya, tapi lagunya harus ini. Tidak boleh diowahi. Wis pokoknya semacam ini saja. kadang itu sering sering itu ada yang sulit. Ya Sulit sedikit, tapi ya diotak-atik bagaimana supaya lagu ini tidak sampai melenceng, itu ya. Tapi lagu itu tetep demikian. Rony : Lalu ini pak, mengenai pencipta sendiri, apakah lalu pencipta gending gereja itu harus orang Jawa sendiri atau orang dari daerah lain bisa menciptakan itu? Dalam artian misalnya orang Sunda menciptakan lagu gereja berbahasa Jawa? Apakah itu menurut bapak bisa? Pak Siswanto : Ha orang Sunda misalnya membuat lagu-lagu gereja Sunda, yang bisa saja. Rony : Tapi untuk misalnya silang budaya, maksudnya dia menciptakan lagu Jawa, kira-kira yang dihasilkan akan bagaimana? Pak Siswanto : Ha kalo itu sukar, itu sukar itu. Misalnya saya orang Jawa, saya membuat lagu Sunda, saya harus sudah tahu akan Sunda dulu. Kalau saya belum tahu Sunda dulu, tidak mungkin akan baik. Itu demikian. Ya sama saja misalnya ya pokoknya dari mana saja, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 162 harus tahu akan budayanya. Harus menjumpai anu budaya di situ dulu. Rony : Kembali lagi ke masalah tangga nada tadi. Berarti kesimpulannya tangga nada slendro dan pelog itu punya peran dan makna yang sama di dalam liturgi? Pak Siswanto : Iya, sama, iya. Rony : Jadi lebih ke misalnya, lebih banyaknya mana yang digunakan misalnya dalam hal ini tangga nada pelog misalnya, lebih banyak digunakan, lebih karena alasan praktis karena gamelan apa yang ada di dalam gereja? Pak Siswanto : Iya... iya.... misalnya di Ganjuran. Ganjuran itu banyak menggunakan slendro. Ganjuran. Kan di sana gamelannya slendro. Iya.... tiap pasturan pasti ada gamelan to? Di Jogja misa gamelan. Karena memang gamelannya slendro. Rony : Ooo... ya.ya.ya... hehehehe... Pak Siswanto : Jadi tidak kok. Karena yang pokoknya slendro pelog itu semuanya sama. Tinggal alatnya itu dipukulnya berbeda. Rony : Itu mungkin pak, mengenai musik-musik sendiri sepertinya sudah cukup di situ. -selesaiWaktu : 43‟10” PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 163 LAMPIRAN 4 Wawancara dengan Yohanes Budi Santoso, Ganjuran, 7 Maret 2013, pukul 17.15 WIB. Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi : Romo Prier minta, supaya saya karawitane itu kan lagu-lagu baru yang di Kidung Adi yang baru, itu kan belom ada yang nabuh. Ha saya disuruh nganu itu waduh. Saya maksud saya sing lagu-lagu saya. Romo prier kersane itu. Saya ndak ingin. Itu. Dan pelog, ke sini yang sering dipakai memang pelog. Itu juga ada pelog, ada pelog nem, ada slendro, tapi yang sini yang sering tak pake, pelog, pelog nem. Slendro saya juga mulai tak pake. Karena di sini juga ada gamelan slendro, terus bagus. Dari pada gak pernah dithuthuk. Ha slendro itu kebanyakan dulu yang buat lagu-lagu slendro itu bapak saya. Ha iya ... sing...sing nganu romo prier itu dulu. : Pak siapa? : Pak pujaharsana, pujaharsana. Itu kan dulu kan awalnya kan. Romo prier kan kayaknya dari irian, trus jogja sini, trus ganjuran sini, jadi sama bapak saya itu. Jadi jaman masuk gereja itu kan awalnya kan dari ganjuran itu. Ha.a.. romo prier itu. Trus rampung sama ayah saya, trus saya dii.... romo prier nghadiahi bapak saya, saya disekolahke di ami, dulu waktu itu dulu ami itu. Dimasuke di ami itu, sampai sekarang. :Ngajar di sana, ya berarti bapak? : Iya...iya, ngajar di isi. Mmm.... : Kan, apa, kan kalo misalnya ngomong masalah gamelan, gamelan masuk gereja kan ngomong inkulturasi juga ya... : Ya..inkulturasi.. : Lalu mulai dengan pertanyaan-pertanyaan... : Nggih... : Kalau menurut bapak tu, bagaimana mengenai musik gamelan jawa yang digunakan dalam liturgi gereja? Menurut bapak kira-kira itu cocok atau tidak? Menurut bapak, gimana? : Kalo saya, gamelan masuk gereja itu, ee... kalo saya sudah pernah jadi mulai dari gamelan itu komplit, trus tidak boleh pake kendang, tidak boleh pake saron, trus akhrinya boleh lagi, tapi itu kan cuma pandangan orang-orang antarane di cuma di sini. Dicoba-coba itu, kalo sekarang, dipake semua. Semua dipake. Lha... lagu-lagu gamelan yang masuk liturgi itu ya ... kalo saya ada yang cocok, ada yang belum. Artinya ya yang cocok itu kalo yang memang itu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Budi 164 mampu membantu umat dalam berdoa itu lebih khusuk, lebih mantep, lebih sreg, itu barangkali ya cocok. Tapi ya ada lagu-lagu gamelan yang sering-sering itu kurang cocok di...untuk liturgi. Sekarang banyak seni karawitan banyak di ganjuran, perkumpulan karawitan itu. Itu ada yang coba ya semacam eksperimeneksperimentasi, lagu-lagu gamelan tradisi misalnya ayun-ayun misalnya, cuma diganti syaire. Itu mereka orang-orang jawa, orang-orang yang tua-tua itu, kalo dengan itu ha iki kayak lagu ayun-ayun. Tetapi mereka sok... lho syaire kok liriknya kok kayak gitu? Jadi gak sempat ke gereja, mung ha iki ayun-ayun kok lirike diganti. Jadi gak sempat, itu malah mengganggu to itu, kayaknya. Malah mengganggu. Itu ya ada yang cocok, ada yang tidak. Lha kalo lagu-lagu ganjuran ini khusus, mas. Ehem... jadi lagu-lagu yang misale yang saya buat, itu saya belum ke estetikanya gamelan itu. Belum ke estetikanya. Saya mau mencoba membuat sedikit tak kasih kreasi, supaya mereka itu seneng ke gamelan dulu. Tapi nyatanya susah di sini. Iya susah. Karena saya ingin yang mudamuda itu ada peremajaan gitu, tak coba, tak kasih. Ya ada yang tertarik, ya banyak yang tertarik, tapi setelah itu ya trus lupa lagi lupa lagi. Ganjuran itu dulu sama romo wi misdinare diajari. Diajari, trus tak teruske, sampe-sampe mudika, sampe-sampe gedegede itu. Ning akhirnya ya hilang lagi, karena ke utara kan dha kuliah itu ya bubar lagi. Whoo ini pak aris ini sekarang mencoba melatih anak-anak SD, itu pak aris ya ndak ada ya susah, ya ndak isa. Ini yang muda-muda yang masih tetep, stela duce. Kalo stela duce itu terus saja. Kalo pas tugas gamelan ha itu mesti kita ngundang saya misale untuk latihan, untuk liturgi itu. Arepa ganti, tetep ada terus kalo stela duce. Gitu, gitu. Kalo saya liat yang di luar itu, waduh susah. Jadi gamelan masuk liturgi itu memang ada yang ini, ada yang cocok, ada yang kurang cocok. : Trus kriterianya apa pak, cocok dan tidak cocoknya itu? Kriterianya apa? : Kalo saya itu cuma ini, ya namanya inkulturasi itu budaya setempat masuk liturgi trus itu kira-kira itu nanti akhirnya membantu umat itu lebih khusuk, lebih lebih khidmat, lebih sreg, itu apa nggak? Kalo nggak ya berarti ya itu bukan inkulturasi. Karena banyak eksperimen-eksperimen dari yang yang kerawitankerawitan yang lain itu sok sok individualnya masih menonjol. Jadi apa ya.... kalo pertunjukkan kaya wong umuk, to? Dadi sok sok umukke itu malah dadi sing nomor satu, jadi malah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony 165 mengesampingkan liturginya. Iya, he’eh. Lah aa... dari keuskupan sendiri kayaknya juga belum punya garis tegas untuk ooo.... liturgi itu yang kie... ini..ini...ini, ndak ... ndak ... ndak....kayaknya ndak ada, masih bebas. Untungnya makanya ganjuran itu biasane mesti sok beda karo yang lain. Karena ya mencari bentuk itu, belum belum belum jelas. Ha... dari keuskupan sendiri juga tidak ada rel yang jelas. Jadi masih belum . tapi kebanyakan ganjuran berjalan bagus, kok inkulturasinya. Ini karena sudah dimulai sejak ayah saya, sekitar tauuuuuuun 68, 65, 6 setelah PKI itu. : Berarti seangkatan dengan pak harjosubroto juga ya pak? : Iya...iya...he’eh.... he’eh. Lha pak harjosubroto itu sa... e... dulu itu yang ngarang lagu nata agung. Nata agung itu kan yang mbikin kan bapak saya, ha terus, gending-gendingnya pak harjosubroto itu. Itu kan juga polemik sering-sering sok polemik. Malah sekarang ada muncul, bapake romo, kangmase romo wi itu juga ngaku nata agung. Kalo saya punya anune.... anu apa, bekas-bekas awal mbuatnya itu. Ha dulu itu bapak saya itu ndalahe wonge... apa ya pak, mas? Itu dulu itu kayaknya kaya wong mlebu masalah PKI itu lho... trus ditolong sama romo sini. Bapak saya dulu itu bagonge kalo masih pernah dengar- cipta kawedar, ngesti pendawa, wayang kui. Ha.. bagonge kan bapak saya itu. Ha itu kayaknya berbau politik itu, trus sama kalo nggak salah sama romo kalo nggak salah romo florens, melihat bapak saya seneng sok gitu-gitu itu, diamankan di gereja itu. Trus habis itu gestapo itu, setelah gestapo itu... gestapo itu. Ha bapak saya dulu itu orangnnya keras. Bapak saya dulu itu dulu keluarga saya itu dua belas. Ha jadi setiap malem, bapak punya ide buat lagu itu. Itu anaknya semua bangun. Semua harus bangun, semua bangun, kamu pegang itu, kamu pegang itu. Pokoknya harus, harus. Akhirnya saya itu juga sampe gak seneng sama gamelan, sampe gak seneng, karena harus dipaksa itu to kalo malam. Kalo nggak dithuthuk pake, itu kan dulu ada gamparan itu lo mas... tek...tekk..tek...tek... kayu itu lho thuthukke. Jadi saya malah gak seneng gamelan. Makanya saya disekolahkan sama romo prier di sana itu ngambil musik, diatonis itu. Ee... kok sekarang saya kok malah kembali ke gamelan lagi... semua bisa. Saudara-saudara saya semua bisa alat musik, semua bisa. Karena dipaksa itu. Keras. : Berarti latar belakang bapak itu musik barat, ya pak? : Kalo saya, ya. Musik barat. He’eh. : Jadi untuk yang gamelan lebih otodidak. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pak Budi Rony 166 : Iya, karena sejak kecil dipaksa itu. Hehehe... haa... itu lucu mas yang di sini itu. Saya sempat gak ke geraja itu 14 tahun. 14 tahun saya itu lupa sama gereja. Ndak mau ke gereja. Gara-gara gamelan saya yang awal, gamelan masuk gereja itu kan bapak saya nggowo gamelan seko ngomah, dibawa ke gereja. Itu hilang! Sampai sekarang hilang. Nah, pas waktu itu romo marta. Itu gamelan yang dibawa bapak itu sebetulnya bukan gamelannya bapak, gamelane perkumpulan orang-orang perkumpulan kampung sini, yang notabene sini itu muhammadiyah. Waaahhh.... jadi itu sok sok arep didadekke masalah itu lho. Makane saya keroyo royo ke gereja, mau tak ambil itu hilang. Lha terus ndalahe itu trus rame saya sama romo itu. Rame jan rame, karena belakang saya, daripada mereka yang maju, lebih baik saya memperlihatkan kepada mereka nek saya juga keras di hadapan romo. Ooo... dadi rame, rame. Akhirnya terus itu, saya mutung. Udah saya gak akan ke gereja. 14tahun saya. Ha kemarin gempa, romo tomo itu kok ngasih saya gendeng, boto, pasir, semua banyak banget itu. Haa.... bareng dikasih romo tomo itu , saya kayak kayak kayak dipanggil lagi gitu. Pas malem kalo gak salah malem kemis itu, mau misa di sini. Pagi itu, dari pagi itu saya ndak ke kantor, wah aku arep pokoke aku mengko meh ketemu romo tomo. Saya harus matur nuwun karo tyas dalem, sama romo tomo, saya bikin lagu awalnya. Nyoba lagu itu sing pentatonis itu lho, awalnya itu. Trus romo misa di sni, “romo saya matur nuwun,” dan saya ngomong banyak sama romo tomo. Dan ucapan terima kasih saya, saya buat lagu buat tyas dalem, untuk romo tomo. “mpun, dilatih mawon, mengko dinggo misa sisan”. Trus sebelum misa itu tak latihkan, trus misa itu dipakai itu. Haa... terus karena itu pentatonis, saya coba nglumpukke gamelan yang sisa-sisa itu, coba tak buat balungane, jadi. Trus akhirnya tak pake latihan di candi itu, trus mulai masuk di gereja. Mulai di gereja, trus dari romo karena romo tomo juga tahu, romo...dulu itu romo... aaa..... yang dari klepu itu siapa? Mmm.... romo dari klepu itu sekarang sudah pindah, dhuh... romo siapa itu. Ha saya malah terus dikasih tugas, dikasih ini...dikasih ini.... aa.. romo itu dulu malah, ”aku diajari anu, diajari anu dinggo dinggo prefasine,” misalnya. Ha.. saya sering ke situ, terus terus saya malah masuk masuk sampai sekarang, sampai sekarang... saya sempat 14 tahun gak ke gereja, sama sekali. : Lalu masalah musik lagi tadi yang gamelan, kan kalo saya lihat di Kidung adi itu ya pak, itu kan sebagian besar itu tangga nada pelog PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi 167 itu, apakah ada penyebabnya? Penggunaan tangga nada pelog dalam liturgi, atau slendro dalam liturgi? : Kalo pengamatan saya, pelog itu lebih lebih mudah diii... diii... lagukan, daripada slendro. Ha... daripada slendro. Ha kebanyakan lagu-lagu slendro itu di ganjuran ini, digunakan untk lagu-lagu... eee... kalo jumat adi itu. Kebanyakan itu, walau banyak pula lagulagunya bapak itu yang dipakai di jumat adi. Jadi untuk istilahnya kalo.... ck...aaaa.... untuk sripah barang itu lho mas. Untuk itu ada istilahnya, agak...agak...agak... miring-miring. Agak –agak susah memang untuk . ... kalo telinganya gak peka, memang susah, untuk membuat lagu-lagu slendro itu. Lebih baik, lebih gampang membuat yang pelog. Itu sak nyanyi-nyanyine itu biasane sok masuk pelog. Orang nyanyi itu sok sok banyak pelognya, dari pada slendro. Kalo slendro sok sok susah. Jadi itu, interval antara nada satu dengan yang lainnya itu memang agak-agak berbeda, dengan yang pelog. Kalo yang pelog itu gampang. Lebih gampang. : Tapi kira-kira gimana, pak? Apakah ee.... penggunaan tangga nada pelog di dalam liturgi itu ada maksud tertentu, pak? Selain misalnya alasan praktis intervalnya? : Ya selain itu, kan lagunya kan lebih cerita, lebih...lebih...lebih banyak yang ceria-ceria, : Pelog lebih banyak yang ceria? : Iya, iya. lebih kegembiraan-kegembiraan. Lah itu barangkali ada hubungannya perayaan ekarisiti itu juga kan pesta. Jadi nuansa riangnya ada. : Apa bukan slendro untuk lagu-lagu riang, pak biasanya? : Slendro kalo di ganjuran, makanya saya kalo di ganjuran, itu ada juga banyak lagu-lagu yang riang. Tapi kebanyakan yang digunakan di sini, kebanyakan untuk tlutur. Tlutur itu ee... gendhing bernuansa susah, sedih. Jadi untuk jumat pertama... itu biasanya tlutur, biasanya pake tlutur. Haa.... sekarang yang mereka punya itu yang senang ya tluturnya itu, yang tluturnya itu... slendro itu yang paling banyak itu generasinya kan pak pujaharsono, pak saridan, trus saya. Waktu bapak, pak pujo itu banyak slendronya. Nah slendronya, pak saridan banyak pelognya, tapi juga ada slendronya. Kalo saya ini masih sudah pelog... log. Haa... kalo saya mau lagu-lagu slendro, saya cuma ngambil punyanya pak saridal atau pak puja. He’eh. Itu agak agak susah, telinga saya. Mungkin karena telinga saya diatonis. Hahaha... diatonis. Tapi merekamereka juga merasakan agak susah, untuk untuk slendro. Wong ... PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony 168 dari pelog saja kan ada pelog bem, ada pelog barang. Yang pelog yang lebih riang sebetulnya yang barang itu, tapi yang kebanyakan digunakan di sini pelog nem, bemnya, bemnya.. : Trus kira-kira tangga nada pelog itu kalo digunakan punya nuansa apa pak, dibandingkan dengan tangga nada slendro. Nuansa perasaan atau menimbulkan... : Biasanya ya suasananya riang... suasanya lebih lebih riang, lebih lebih senang, lebih meriah. Dan mudah. Dan lebih mudah. Lebih orang nyanyi-nyayi itu wis... pelog. : Dekat dengan diatonis itu? : Ya? : Pelog itu.... : Pelog? : Lebih dekat dengan tangga nada diatonis? : Ooo... jauh, mas. Itu sendiri-sendiri. Jadi ada tangga nada diatonis sendiri, pelog sendiri. : Maksudnya intervalnya, kan ada interval besar-kecil. : Ooo... beda. Intervalnya juga beda, intervalnya beda. Kalo diatonis itu kan: 1-1- ½ - 1 – 1- 1- ½ . itu. Kalo kalo pelog, ndak. Kebanyakan kalo diatonis kan di sembarang tempat yang namanya A yang namanya C yang namanya D itu sama. Kalo yang ini nggak. Sok-sok di sini itu ada yang di gamelan yang di sini berbeda dengan yang... ya ini ada dua: yang candi sama yang gereja. Itu larasnya juga sudah sudah berbeda, walaupun cuma sedikit, cuma sedikit. Tapi beda, tetep beda. He’eh. Jadi tidak punya ketentuan, kalo nada ini harus sekian hertz... itu ndak ada, ndak ada. Cuma cuma cuma telinga aja. He’eh. : Berarti intinya slendro dan pelog itu bisa digunakan dalam liturgi itu. : Bisa, bisa. : Jadi gak ada pembedaan khusus? : Ndak-ndak ada pembedaan. Ya bedanya cuma cuma suasana yang ditimbulkan itu. He’eh. Trus diii.... liturgi itu kan ya itu tadi, ada yang suasana paskah, misalnya. Suasana jumat agung, misalnya. Itu kan ada bedanya. Lah kalo yang di gereja itu kan .. yang namanya jumat agung itu kan tidak ada iringan sama sekali, mulai kemis putih gloria, itu, sudah ditutup. Kalo di ganjuran dimasuki tlutur itu, pake slendro itu. Pake slendro.... : Berarti dua suasana: riang dan sedih, bisa untuk slendro bisa untuk pelog. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi 169 : Bisa, bisa. Yang pelog untuk sedih juga bisa, yang slendro juga untuk seneng juga bisa. Juga bisa. Cuma interval nadanya yang sering susah untuk me.. aa.. dibedakan. Lah itu nanti barangkali kalo ke candi itu ada slendro, ada pelog. Yang menghadap barat itu semua tak kasih pelog, yang mengadap ke selatan itu tak kasih slendro. Itu diurutke wae... deng...deng...deng...deng...deng.... itu kan nanti bedanya jauh, bedanya jauh. Trus nanti kan yang depan itu kan yang hadap sana itu pelog, yang hadap selatan itu gambang, yang gender itu barang, yang di sini itu ... eh yang menghadap ke utara itu barang, yang menghadap ke selatan itu slendro. Ngapa kok tak hadepke selatan yang slendro? Karena kebanyakan di ganjuran ini saya menggunakan pelog bem sama pelog barang. Lha, si gender sing penggender itu kan mesti harus lihat altar terus. Nah nanti kira-kira romo mau itu kan. Lha makanya tak kasihkan utara. Sing slendro sering gak dipake, tak hadapkan sana. Walau sekarang sudah mulai tak coba lagi, beberapa bulan slendro, dan tak pake lagi, tak masukkan lagi. : Jadi situasinya sama apa, sebenernya suasana yang ditimbulkan itu sama, ya? : Sebetulnya untuk pentatonis itu sama dengan diatonis, kok. Isa dinggo sedih, bisa dinggo susah. Tapi kebanyakan di sini, yang pelog itu yang sering dipake, karena lebih lebih lebih mudah, dan suasanannya bisa lebih kecekel, bisa ke ke capai. Slendro juga dipakai, tapi sok sok kebanyakaan di juamt agung. Walau sekarang sudah mulai tak coba juga untuk liturgi, jumat pertama sudah mulai tak masukan lagu-lagu slendro. : Lalu untuk yang gending jawa yang klasik, berarti penggunaannya juga sama, slendro pelog juga? : Sama... sama,.... untuk yang klasik sama. Yang klasik sama, dengan yang...yang sekarang. : Saya kan pernah baca tulisannya ki hajar dewantara itu kan, di sana cenderung dibedakan antara slendro dan pelog. Slendro itu untuk yang lagu lagu yang semacam lagu-lagu dolanan, uyonuyon, lain-lain.... lalu yang pelog itu lebih ke yang suasana khidmat, lalu welas asih, lalu menimbulkan rasa.... : Ya... betul... betul...betul... lha di situ kan dikatakan hebat, untuk anak-anak. Itu kan sama saja dengan yang riang, untuk yang sedih. Cuma di sini itu pelog lebih tebel dari yang slendro, karena di sini itu dari pak saridal itu, saya, telinganya. Karena pak saridal itu juga orang diatonis. Saya juga orang diatonis, itu sok agak susah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Budi 170 membuat itu ... tapi sebetulnya juga ndak susah, karena ada contohnya. Umpamane sing slendro itu kan sing Prau Layar itu. Itu kan seneng, itu. (bersenandung) Tii...tii...ti...ta..te...ta... ti...ti..ta...ti..ta...te...ta...ta.... itu kan seneng, itu. Tapi sok sok mau menuangkan karena apa, ya. Karena kalo saya membuat lagu, itu liriknya kan tak sesuaikan karo liturginya, ha itu sing sok menjadi ini. Kayak misalnya anda mau membuat skripsi. Mbuat judul dulu. Itu kan pola pikir kita kan di di di apa, terbatas oleh itu. Harus kembali ke judul, harus kembali ke judul. Kembali ke judul. Beda kalo saya misalnya sistem kliping. Kliping, ooo... saya mau ngganjuran. Semua yang ada hubungannya inkulturasi gamelan saya jadikan satu: musik musik musik, budaya budaya budaya, liturgi liturgi liturgi. Dah, nanti itu dikasih kata sambung, trus diboca baca boca baca, judulnya muncul sendiri, skripsi sudah jadi. Heheheha... ha itu lho... Sok sok trik-trik kiat kita gitu itu. Sok ... ha itu untuk gamelan slendro juga begitu itu. Itu ya bisa tak buat seneng-seneng, kok. Untuk yang pelog, saya lebih seneng kalo itu karena sering kalo saya buat lagu itu tak ngeng-ngeng –ngeng, sambil oooo itu tak nggo pisungsung. Saya membayangkan wong arak-arakan, wah ning kok kurang sepi, nek arak-arakkan kok mung tak ngenekke. Kudu tak kei, harus tak kasih nuansa supaya bisa untuk nari. Jadi kalo persembahan juga lagunya itu, ning juga bisa dipake juga untuk menari, tapi juga bisa juga untuk eee... performance. Untuk untuk nyanyian itu... haaa... itu lho. Kalo bayangan slendro, saya susah banget, untuk membayangkan itu. Tapi barangkali nanti kalo saya punya link untuk untuk lebih tahu slendro, saya juga akan kembali ke slendro lagi. Tapi sekarang yang tak kuasai itu pelognya itu. Ya barang, ya bem. Saya agak lebih menguasai, daripada yang slendro. Ngenge lho mas.... : Lalu sejauh bapak mencipta itu, kira-kira kesulitan apa yang ada? : Kalo untuk gending, itu saya untuk membuat lagu saya tidak ada hambatan, ya. Misale salah satu... dhuh... kemarin itu jumat pertama itu, sing lagu komuni kok kayaknya kurang ...atau.... setiap jumat, setiap anu ke gereja ganjuran, anggere komuni lagune kok ming itu-itu. Padahal saya pas ke kampus, pas merah itu saya punya motif, misalnya. Ri rari rirari riari. Langsung saya berhenti, tak pinggirkan mobil saya, tak catet motifnya itu. Motifnya itu tak catet. Trus saya sambil jalan itu... rirari rirari riari, itu kan mesti lupa, haa.. kalau lupa saya mesti mandeg, tak catet lagi. Nanti saya sampai di kampus, lagunya tak kumpulkan jadi satu, mesti dah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Budi 171 jadi. Trus komuni kui...komuni... aku njupuk apa yo nik komuni. Wa ada kebebasan. Nek komuni, saya punya kebebasan. Kalo melodinya sudah jadi, sok sok melodi sama lirik itu kayak suami istri. Nanti muncul sendiri. Misalnya aku nggawe tema komuni. Trus tak ulang-ulang –ulang dhuh, kurang enak kurang enak. Lalu nanti trus pulang, tak sempurnakan, tak coba buka injil, misalnya. Gitu nanti jadi. Itu saya sudah banyak mas, sekitar 60 an saya buat itu. : Sumber-sumber inspirasi bapak waktu membuat gending gereja itu apa, pak? Kitab suci, lalu apa? Sumber misalnya untuk syair. : Untuk lirik ya tetep Kitab Suci. Suatu saat itu saya dulu pas misa pas romo tomo itu pas homiline ada kalimat yang bagus, tapi juga kalo kalo homili ka sok injil. Ha itu ada kalimatnya romo tomo yang bagus. Ha itu langsung saya catet. Romo tomo kok anggere ning sini kok mesthi ngedika berkah dalem. Romo tomo kok kalo di sini kok mesti: kemarilah siapa yang berbeban berat, saya akan memberi kelegaan. Ha itu sak sak itu tak cathet itu tak gaweke lagu itu jadi. Berkah dalem itu tak gawekke lagu, jadi. Ha nanti terus pas pisusungsung itu tak pakai berkah daleme, atau itu memberi kelegaan itu. “lho kok anu pak Toso?”. Ha nggih, ha romo sering ngendika ngaten, ya tak tak kula nggih melu ngeling-ngeling kok kula. Saya melu ngeling-ngeling romo. “:Ha nggih-nggih-nggih. “ ha romo tomo itu ndilalahnya selalu menekankan kayak romo sugiyapranoto, dadia katolik seratus persen, dadia wong jowo seratus persen. Ha... kayak saya, trus saya reko reko itu lesung. Itu itu misteri itu lesung sama gamelan gereja itu misteri itu. Suatu saat itu saya ning kampus, saya tu nduwe pikiran: ngganjuran ki nek romo tomo seneng tradisi ki, nek tak kei lesung ki pie? Saya terus ke daerah karangkajen. Saya tuh ngenyang lesung itu sana itu mintanya dua juta seperempat. Tak nyang dari enam ratus sampe delapan ratus. Delapan ratus, aku mikir. Tak unggahi sak yuta. Aku iklas tak kekke nggrejo, bojoku ngerti, mesti dadi rame... hahahaha.... wah.. ya wis lah. Sesuk sesuk tak parani meneh, sampe delapan ratus itu terus saya mundur, tak parani meneh, tak sembayangne sik. Saya pulang di sini, saya ini saya dapat sore jam 4. Jam 4 itu saya sarapan di paroki. Saya datang di situ itu di situ ada lesung, mas. Sing ngenehi pak polseknya ganjuran, pak mur. Itu ngasih lesung itu, trus ngasih lonceng untuk satpam itu. Itu saya.... aku mau ki bar ngenyang lesung ora entuk kok ning kene kok ana lesung. Terus tak tlusur tak tlusur tak tlusur, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 172 Terus itu romo jarot bilang anu le maringi pak mur. Saya cari, langsung saya cari. Kok kok ana kontak, gitu lho. Saya tanya, pak polsek. Pak mur. Ndilalahe pak mur itu masih ada mambu-mambu family. Karena gara-gara anak saya dapet adiknya bojone adine pak mur itu, jadi ya agak dekat. Ngopo kok pak mur kok... nganu. Nggih, kula nduwe akeh, kok. Sampeyan kersa napa pripun? Malah saya mau dikasih. Aneh, kok... ndak, aku ki mau nggolek, nganthi ngenyang lesung, nganthi wolung ngatus, kui ora isa, ora sida tak ambil. Nek tak jupuk tak kekke ngendi? Lesunge mau kui, coba tak go mulih malah bojoku ngerti, aku malah dadi rame. Padahal saya kalo itu dapet, langsung tak kasih gereja. “aku lak mbiyen dadi polsek di wonosari, kayu kayu kan banyak. Lha di antara itu ada beberapa lesung. Karena saya ndak mau dikasih lesung pak mur itu, terus dikasikan utara sini, lesung itu. Ha itu. .... aneh, ini. Jan jan..jan...jan...kaget, aku iki. Karena saya merasa diparingi lewat pak mur. Tapi saya itu mesthi ora ono nek kontak karo pak mur. Gak ada kontak. Itu pasti dari sana, mesti mantul. Langsung ibuibu warung itu, karena saya nggak punya... wah tak latehke sapa ya iki. Langsung tak kumpulkan ibu-ibu warung, tak ajari lesung, tak ajari lesung. Maka lesung itu setiap...setiap prosesi juni itu mesthi gamelan, lesung, trus saya juga ngelatih slawatan. Trus sini tak tambah lagi kenthong, kenthong untuk untuk ronda itu. Kalo kenthong itu tak latih itu, sudah sering tak pake jumat kliwon. Sini lak selain jumat pertama ada ibadat jumat kliwon, itu yang dianu abdi dalem itu lho. Lha itu sering tak nggo ngisi itu. Karena di situ cuma tak isi nek ora slawatan, gederan, ya ming itu terus. Ha terus tak kasih ee... nganggo klotekan kentong, ya untuk ibadat. Di sini jalan, jalan. Jadi kayaknya itu , saya itu, saya masuk gereja lagi dijawil romo tomo. Dan ini saya kayane dituntun romo tomo itu. Haa... romo tomo itu haaa... seneng. Nggih, lesung, lesung. Setiap romo tomo ada tamu, lesung itu: lesunge muni, hari kartini ya lesunge muni. Jadi jadi kerep kerep bunyi itu. Heeh. Ibu-ibu sini. Ibu ibu warung itu, ndilalahe banyak wong katolik itu. Banyak wong katolik, tapi ada yang tidak katolik juga. Ada lesung, tak latih kentongan, kalo yang slawatan itu yang daerah mayadadi itu. Itu juga lumayan itu, sampe ke mana-mana itu. Hehehehe.... slawatan. Itu juga sering tak campur. Gamelan tak kolaborasikan dengan slawatan. Kalo prosesi: gamelan, slawatan, lesung. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi 173 : Ini pak, lalu untuk penabuh-penabuh ee... itu sendiri, kira-kira misalnya mereka main untuk liturgi apa yang mreka butuhkan? Maksudnya situasi apa, atau sikap seperti apa yang seharusnya mereka miliki? : Yaaaaa.... kalo sini itu saya dulu pernah bapak saya itu yang nabuh itu malah bukan orang katolik, malah ada kaumme, itu. Ada mbah kaum. Dijak. Itu ya mung e... garek koordinatore e, garek pelatihnya, tinggal tinggal anunya, tinggal semuanya kalo mereka itu kebanyakan kalo sini kan, yaa.... mbaca. Jadi jadi jan sebetulnya rasanya ya belum belum belum penuh, ya. Tapi kalo yang sudah menjiwai itu kan ndak usah mbaca sudah. Kalo sini kan masih masih baca, masih masih itu. : Tapi maksudnya beda kan pak, misalnya seorang penabuh main untuk wayang, main untuk liturgi, kira kira? : O ya jelas, jelas. Karena mereka juga orang katolik, kalo anu ya... tetep tetep dalam suasana misa. Dalam suasana ibadah. He’eh. Bukan dalam suasana pertunjukkan. Lha itu juga juga fungsiiiiiiii... musiknya, fungsi lirik karo lagu, juga membantu. Nek lagu atau musiknya, gamelanne itu membuat si niyaga itu tidak sopan , tidak pantas di liturgi, ya wiss.... bukan inkulturasi. Tapi sampe niyaganya juga ikut ikut beribadat, itu lebih mantep, lebih khidmat, ya itu inkulturasi. Cuma itu kalo saya membedakan. Apa itu inkulturasi apa nggak? Sik, kira kira mengganggu liturgi ndak? Nek mengganggu liturgi, berarti itu bukan. Arepa apik kaya ngapa. Karena biasanya saya sok punya: ha itu sesuk lagune napa pak Tosa? Pokokke sing tok senengi, sing paling apik kanggomu, kekke Gusti Allah. Cuma itu lho. Anu mawon, niki. Ya udah, tak iki, tak iki. Ha, apa? Iki iki iki. Ya saya itu lha itu karena dia juga senengnya itu, kan ya terbawa, to? Lagune, lirike ya mesthi ana... ana....kasih sayange, ada itu, ada nuansa-nuansa Kitab Suci juga akan membantu itu. : Berarti beda, ya? : Ya he’eh. Mbok lagu-lagu yang di kidung adi itu. Nek lagu kidung adi, apike kaya ngopo, orang-orang lain sudah bisa, barangkali lebih bagus mereka daripada kok unekke saiki. Ning nek saiki lagune dhewe, produke wong ganjuran dhewe, itu mereka belum pernah nyoba, belum pernah lebih baik dari pada kita, awakke dhewe isih oleh nomer siji. Lha mergane awake dhewe nomer siji, mbok keke Gusti Allah. Hehehe... cuma itu saja. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Budi Rony Pak Budi 174 : Kalo untuk penciptanya sendiri, pak, kesadaran apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan gending gereja. : Kalo di sini itu kayaknya gen’e mas. Gen itu begini. Artinya dulu bapak saya, terus pak saridal. Waktu pak saridal itu sebetulnya saya itu sudah sudah ayo aku diewangi... aku diewangi. Ning karena dulu saya neng nengan sama gereja, saya gemang. Karena pak saridal itu dulu dulu muridnya bapak. Murid bapak. Haa... terus setiap nganu, saya mesti dijak itu nggak ini. Ha.. terus sekrang itu nurunnya itu pak saridal itu nurune ning windu, sama yuyun. Windu itu yang di kanisius itu lho, di jakarta sekarang. Itu... lha bapak saya juga nuruni saya. Juga nuruni saya. Jadi kayaknya masih.. masih garis. Yang lain juga saya sudah ini, gawea lirik sak karepmu, gawea lagu sak karepmu. Nek kowe gampang gawe lagu, mengko lirike tak isenane. Nek kowe seneng lirik, engko lagune tak gawene. Itu ya susah. Yang lain susah, susah, saya susah. Karena saya pengin wa nek liturgi ganjuran itu ya teke wong ganjuran kabeh. Haa... itu dudu. Dudu. Anu saya gitu. Ini susah mas. Jadi ini kayaknya masih-masih lagu-lagu karena sing saya pak puja itu saya ngembangke gamelan ini, sing talere pak saridal ini lebih codong bukan gamelanne, ning keronconge. Dia buat lagu-lagu liturgi yang keroncong. Itu susah mas untuk untuk ngader anu itu... ngader itu. Dadi kaya dene talenta apa, ya? Itune sendiri sendiri. : Jadi butuh talenta? : Iya... hehehe... padahal mereka itu udah jago-jago, mas. Jadi umpamane lagu, saya rangkul, wa wis apalan, mas. Tapi nek tak suruh coba gawea lagu. Wis pangkur kuwi lah sak karepmu. Itu tetep gak jalan, tetep gak jalan. Saya kerep itu, saya kerep. Di sini kan yang lulusan UNY karawitan ada, yang lulusan ISI karawitan, ada. Lha itu aja susah. Susah. Susah.Tak suruh nggawe, tak suruh... ayo mlakune seka ngganjuran. Malah ada satu yang bukan lulusan apa-apa ning dekke pinter gamelan itu sering sing mbuat, malahan. Ya udah.... tapi susah untuk untuk untuk kaderisasi. Hmmm....hmmm.... Anak Pak Budi : Mari diminum. Rony dan Sigit : Nggih. Pak Budi : Ngader susah, mas. Wong saya itu kemarin itu juga masuk disiplin karawitan itu ya mbuh kok itu, kok. Nggak ngerti. Kan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Budi Rony Pak Budi 175 saya kan ndak ini ya ndak seneng karawitan. Saya senennya musik, tapi saya semua alat itu saya bisa, biarpun hanya sedikit sedikit, saya bisa semua. Jadi...jadi...jadi...karena saya bisa semua, mereka yang lain itu ya sok-sok ya isane kalo saron ya saron, kalo geder ya gender. Yang ini spesialis semua. Haa... jadi karena saya bisa semua, saya bisa terus isa nglatih, malahan. Haa.. walau saya nek kon nuthuk ra isa. Tapi saya bisa ngelatih karena tau oo... karaktere ngene, karaktere ngene. Karena saya dulu itu anakke pak puja, walaupun mereka itu lebih jago dari saya, tak suruh abang, abang, tak suruh ijo, ijo. Ngene, ngene, ngene, manut. Karena sebetulnya dia lebih jago, lebih bagus, lebih ini, tapi tak kon ini.... karena ra taler itu, trus dia juga pernah ikut rombongan-rombongan itu, jadi sejak dulu. Jadi mangkanya, he’eh.... : Lalu mengenai syairnya sendiri itu pak. Kan sebenarnya kan gending jawa kan pake bahasa jawa juga. Lalu kan ada istilahistilah tertentu dalam bahasa jawa yang sekarang kan gak familiar lagi. Lalu sekarang bagaimana itu ditanggapi oleh anak muda sekarang? Kan kadang ada satu kata tertentu misalnya istilah angorong, gitu. Itu kan mungkin sudah gak familiar lagi untuk anak-anak sekarang. Lalu apakah itu semacam menjadi hambatan atau tidak, pak? : Kalau kata angorong itu ada dalam Kitab Suci, saya tidak akan mengubah. Jadi umpamane ada.... ya itu, memang walau mbuh itu pentatonis atau diatonis, membuat liriknya, sok sok sok sok di di di tepat tepatkan. Jadi, misalnya, eee... mungguhing, mungging. Trus dibuat gitu misalnya. Itu ndak masalah. Tapi koneksitas dengan kalimat selanjutnya kan memberi jalan... o... maksudnya kan itu.. mungguhing, menjadi mungging. Itu kan karena hanya harus disesuaikan dengan lagune aja. Kerep, itu saya menggali, menggal menggal menggal kayak gitu, kerep. Memang memang ya itu. Sok sok sok wegah ngrubah notasinya aja, melodinya aja. Wis aku mantep ngono. Nek tak ubah ngono ora sreg. Trus liriknya yang kita sesuaikan, liriknya yang kita sesuaikan. Ya mangkannya trus ada penggalan-penggalan penggalan itu. Tapi itu kalimat belakangnya akan nuntun, ooo... karepe gitu. : Trus kira-kira pas atau nggak pak misalnya syair bahasa indonesia, digunakan tapi lagunya bahasa... apa... gendingnya jawa? : Saya lagu misa bahasa indonesia pake gending jawa, ada. Kalo jawa yang gending jawa, banyak. Tapi saya punya satu misa, satu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi 176 misa, termasuk ordinariumnya bahasa indonesia, tapi pake gamelan. Kalo ganjuran ini saya ngiringi gamelan jawa pake bahasa jawa, romone pas pake bahasa inggris, romo uskup. Itu lebih dari dua kali. He’eh. Dulu pas ada kunjungan 70 wakil, 70 negara itu, ada. Itu romo uskup pake bahasa inggris, sini gamelan jawa. Liriknya juga pake jawa. Lha saya mbuat lagu lagu bahasa indonesia gamelan, itu kebutuhan. Suatu saat, ada orang jakarta pengen lihat gereja ini, pengen jadi manten di sini, pake gending gamelan, lha saya mbuat. Trus trus sampe sekarang, jadi kalo ada misa orang di luar ganjuran yang pake bahasa indonesia, jadi manten di sini, pake gending itu bahasa indonesia. Dah lengkap satu misa. : Lalu itu pak, apakah pencipta gending gereja itu harus orang jawa asli yang hidup di budayanya itu? Atau kayak tadi misalnya, orang jakarta menciptakan lagu liturgi tapi untuk gending gereja jawa? : Kalo saya kok bebas ya mas, tidak harus harus ini. Karena pentatonis itu kan juga universal. Diatonis, pentatonis. Yang ngeng ngeng ngeng ngeng pentatonis. Orang di manapun bisa, gak harus orang ganjuran. Lha kidung adi itu kan gak harus orang ganjuran. : Berarti ada kemungkinan ya pak, orang sunda menciptakan lagu gending jawa gereja? : Salah satu lagu saya yang saya buat itu pake nuansa mBali. Saya buat itu.... heh... ssst.. (mengusir anjing)... heh...heh.... ada nuansa bali. Trus kalo yang sunda saya agak kesulitan, karena sunda itu biasanya akan tampak kalo si pengendangnnya itu tahu karakter sunda. Jadi kalo arepa gayane gaya sunda tapi gendangnya gak seperti gaya sunda, ndak kelihatan. Itu saya belum punya pengendang he’eh. Tapi kalo bali, masih agak mendekati jawa, pasti bisa. : Lalu untuk partisipasi umat dalam liturgi itu sendiri, pak. : Di ganjuran sini masih di persimpangan. Ada pro, ada kontra. Walau si pro, yang kontra, itu sebetulnya bukan keee..... materinya itu. Persoalanne misale. Jane aku seneng ming gamelan, ning ganjuran kesuen nik gamelan. Kelamaen. Itu merga kelamaen itu. Tapi gamelane seneng. Ada yang memang gamelane ra seneng, kesuwenne ra seneng. Jadi macem-macem, masih ada di persimpangan antara ya-tidak. Tapi karena itu saya itu di sini itu yang saya rasakan, yang saya dambakan, yang saya impikan, keterlibatan romo, keterlibatan paroki itu ikut lebih menggerakan inkulturasi-inkulturasi. Di sini cuma romo tomo, kok. Romo yang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Budi Rony 177 lain itu, ya wis luweeeehhh... kayak kayaknya luweh luweh, dewan paroki juga luweh luweh. Pokokke nek gamelan, pak Toso. Anggere nganu, romone, dewan paroki sama aja itu. tapi kalo romo tomo itu sok sok di kotbah barang sok nyinggung nyinggung. Tapi di sini yaaaa... saya, misalnya, sebentulnya berat melawan arus sing isih do kontra kontra itu. Lalu sok sok sering nek......... (masuk ke dalam, mengusir anjing). Itu keterlibatan romo paroki sebetulnya saya mengharapkan sekali. Minimal, minimal. Dulu romo jarot itu nganthi tak peksa. Ha tak paksa: mo, tak ajari, mo, bilang terima kasih. Coba, romo! Terima kasih. Gimana, to pak? Pokokke anggere misa gamelan, ibu ibu ki le dandan wis ket jam telu awan. Bapak-bapak ki do nganggo pakaian jowo itu juga kemringet, gembrobyos. Mbok bar misa ki matur nuwun karo sing kor apa sing karawitan, misalnya. Sampe tak ajari gitu, tak paksa kok. Kalo lupa: piye to mo, kok ora nganu. Lha terus besoknya: wah anu aku lali ee.. pak. Itu cuma barang sepele, tapi whua itu hebat itu nganunya. Mereka itu semangate itu terus. Wis kesel kesel wis ngene ngenge, mung matur nuwun we... ya walaupun mereka terus ke Tuhan, ya. Tapi tetep tetep kemanusiaan itu tetep dibutuhkan untuk mereka itu. Sok sok terima kasih ke yang lain lain, gamelane ora. Sok sok sok marai dongkol. Nek ora, ora sah kabeh. Saya itu dulu sama romo jarot, iya: bilang Terima Kasih! Hehehehe.... Itu sih sok sok lupa, nek lupa sok tak tegur: romo kok lupa to romo? Wah nggih he itu, nganu. Ya nggak papa, lain kali. Jadine, sok sok sok sok merasa nggedandul, jadi untuk untuk untuk lalu di sini itu sok ada jumat pertama, jumat kliwonan. Jumat kliwon itu sok sok itu diadakan sarasehan. Pak toso, mengko inkulturasi panjenengan. Nah pas jumat kliwon itu, setelah ibadat itu, ada saresehan saresehan itu, saya ngomong. Ha mereka itu sok sok tanya jawab di situ, ngomong ngomong ngomong itu. Tapi sing gelem ning jumat kliwonan itu ya cuma sedikit. Tidak tidak menjangkau masa itu. : Berarti sebenarnya dukungan dari romo-romo paroki juga butuh, ya? : Iya iya iya iya, besar itu. He’eh. Mungkin romo tomo itu di mata umat ganjuran itu punya karisma ya. Menurut romo tomo dari pada romo romo yang lain. Hehehehe... iya, he’eh. : Tapi kira kira menghambat gak pak, sikap romo romo yang cuek cuek dengan budaya jawa itu? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi 178 : Ya biasanya itu ya anu, ming sok marai gela, mas. Mereka, sini itu banyak perkumpulan karawitan. Penabuh penabuh karawitan itu banyak, setiap wilayah itu sudah tak itung, ada. Trus upamane romone: Gusti manunggalo itu nggak bisa, aaahhh itu marai..... itu romo romo yang marai jumat pertama, sok sok romo paroki kan dak di luar. Haa.. trus yang itu kan romo romo itu. Ha.. ada beberapa romo yang sebelum misa, itu aku sok klintat klintut di sakristi itu, saya ngajari. Romo, minulyane mangkeh ngaten: minulya Allah ing ngaluhur, tak ajari ngono. Tirokke sampe bisa. Tapi ada juga romo yang luwah luweh ooo. Ordinariume wis tak kasih note, minulya sing lain, misalnya. Sok sok mbubrahke kok. Nah nek mbubrahke kor, mau masuk kornya itu kan susah. Itu biasane nek tidak terkendali, ya ngrusak keseluruhan, itu. Jadi mung sok sok ana romo sing sok nggampangke... hehehehe... sok sok ana sing pengen isa. Padahal kalau itu mau memperhatikan. Umpamane : (menyanyikan secara benar) minulya Allah ing ngaluhur.. lan... mereka langsung mesthi spontan: lan ... tapi kalo: (menyanyi secara keliru) minulya Allah ing ngaluhur. Ora isa neruske lho sana. Lha... itu akan merusak semua, keseluruhan itu. Soale itu nanti umatnya akan: lho, kok ra muni muni. Lho. Ha itu sudah bubrah kabeh. Padahal saya sok: romo, anu ordinarium minulya kados pundi romo? Ooo.. gampil, mboten punapa-punapa, saged. Ooo... weeee... metune. Le muni bakso, metune soto... whadhuh... cilaka, cilaka. Bubrah kore, kore bubrah. Lha itu biasane sok sok mereka mereka itu: piye to pak kok ora nganu? Lha aku mau ning sakristi wis takon le muni isa, ya saya percaya aja. Ning rikuh, he... kornya ya isin, umatte ya ting plirik.. dha anu. Itu ya sok sok andil merusak suasana. Hehehehe...... : Lalu dari gereja sendiri, sejauh bapak temui atau ketahui tu ada batas batasan nggak pak, untuk memasukkan gending gending gereja, gending jawa ke dalam liturgi gereja? Ada batasan-batasan, gak? : Batasan sing gimana? : Ya maksudnya yang bentuk bentuk lagunya harus seperti ini, atau durasinya harus segini? : Eee...nek kalo itu saya malah tidak tidak tidak ini ya... tidak tidak memathok. Durasi tidak memathok ini. Jadiiiii... saya itu cuma punya misi, saya kepingin umat ganjuran itu seneng sik. Jadi saya belum ke estetikanya belum ke keindahannya belum ke rasanya, belum ke anu. Pokoknya krungu gamelan, kreasine gamelan, dia PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Rony Pak Budi Rony Pak Budi Rony 179 seneng gamelan dulu. Nanti kalau mereka seneng itu, nanti dia kan akan masuk. Kalo sudah masuk, lha gek. Itu itu saja. Baru cari pasien dulu. Itu susah mas, itu aja susah. Itu aja susah. Itu aja susah. Kalo dikasih lagu-lagu yang tradisi, lebih berat lagi. Lebih berat lagi, lebih lama lagi, lebih berat lagi. Lebih lama lagi, lebih berat lagi. Mesti semakin mereka tidak seneng. Makane tak kasih kreasi. Pak saridal itu juga sudah kreasi, sudah kreasi. Saya meneruskan pak saridal itu tak tambahi kreasi kreasi. Hanya supaya mereka seneng dulu mas. Jadi misalnya kalo ee.e... misale saya buat komuni, saya buat lagu wa.. kalo komuni ini paling isa seperempat jam, misalnya. Tak buat lagu, ee... ternyata saiki prodiakon, suster melu nampakke. Ha itu kan paling cuma limang menit rampung. Itu ya sok sok sok keblasukke di situ. Makanya saya seneng buat lagu-lagu pendek, nanti kalo kira-kira waktunya masih anu yan diulang. Cuma itu aja. Jadi jadi jadi masalah durasi, masalah waktu agak saya kesampingkan. Lagu lagune itu menarik, mudah, ning ya indah. Bisa untuk liturgi. Cuma itu aja. Jadi menarik, mudah, indah. menarik indah, menarik. Mudah, jadi le nabuh ya mudah, le nyanyekke ya mudah, umate le niroke ya mudah. Menarik lagune ya cuma itu aja. Jadi menarik, mudah, indah. : Jadi gak ada batasan tertentu yang dari gereja? : Ha makanya itu dari keuskupan sendiri kan tidak ada garis pokok inkulturasi. Belum muncul. Kesempatan bagi saya, karena belum ada garis itu. Haa... bisa mengembangkan kereasiku, sak karepku. Tapi itu harus disesuaikan untuk kebutuhan liturgi. Eee... dulu itu romo jon. Romo jon itu dulu kan juga dari lulusan ISI. Itu banyak anu ganjuran itu. Masak kon melu nabuh, tak suruh ikut nabuh jadi pengrawite, tak... itu orang timor, dari orang NTT. Jadi rada brintik itu. Romo jon. Itu tak pakein blangkon... hahaha... mantep banget. Karena le skripsi skripsine tak bimbing. Trus tak suruh latihan, ikut latihan, tak suruh lebih masuk mengenal. Itu.... : Lalu mengenai inkulturasi tadi, pak. : Mangga diunjuk. : Oh, ya.... Mengenai.... (minum dulu). Kan kalo inkulturasi kan mengandaikan adanya kontak antara budaya jawa dan budaya gereja sendiri. Lagipula budaya gereja kan kalo mau kita bilang kan budaya import dari eropa. Kira-kira dari kontak itu, bagianbagian apa saja yang saling memperkaya, saling mengubah? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pak Budi Rony 180 : Ganjuran ini pernah terjadi rame. Sampe sampe sampe dewan paroki, sampe romo paroki turun tangan. Gara-gara jumat agung itu ada prosesi jadi arak-arakan jadi ada yang pokoknya tidak pakai iringan, ada yang pakai iringan. Pas wektu itu kemis putih itu kan setelah gloria, kan sudah ndak boleh diiringi. Lha karena itu wis kulinane latian pake diiringi, nek ra diiringi lak mesti mlorot. Disetop! Pas misa, itu. Disetop sama tim liturginya. Disetop, disetop, brenti. Ndak mau berenti, tetep tetep sini tetep ini. Setop lagi, tarik metu. Deg. “Karepmu apa, karepmu piye?!!” dadi rame. Haa... terus waktu itu romo agus, romo agus pur... romo agus purrr... wadi? Ha itu le nyapih itu begini. “saiki penjenengan, Anda mau pake sistim eropa apa belanda? Ya kalo belanda kalo namanya susah ya nggak ada iringan. Trus ditutup kabeh, rak pake ini.” Itu mbuh bener mbuh salah. Mbuh. Tapi waktu itu sempat nggo nyapih itu menda, semuanya diem. Kalo pake eropa, gak masalah pake iringan. Tapi kalo anda pake iringan, tapi kalo anda pake belanda, gak pake iringan. Sampe sekarang ganjuran itu setiap jumat pertama tetep diiringi gamelan, tetep diiringi gamelan. Percampuran budaya itu tadi aku ra ngerti sing bener tu gimana itu. Apa bener versi belanda sama versi eropa, ndak ngerti itu. Tapi yang jelas, di sini jumat agung itu pasti diiringi. Kalo gereja yang lain tidak itu, nyatanya di sini ya nggak. Maka barangkali kalo lebih jelasnya, sing budaya eropa apa belanda itu tadi mati. Mungkin budaya ganjuran tetep pake di situ. Muncul itu, muncul yang baru ini. Karena gereja yang lain tidak ada, tapi ganjuran ada. Tapi baru, kebaruanne ganjuran. Hehehehe.... juga ini, ya.... terus yang pentatonis kebanyakan hidupnya cuma cuma di di daerah pentatonis jawa, ya. Jadi kalo... saya membuat lagu itu kebanyakan ide saya diatonis, eropa. Diatonis. Terus, saya transferkan ke pentatonis. Jadi kedua-dua kedua- dua budaya itu barangkali tetep menjadi satu, menjadi menjadi tidak membunuh salah satu. Yang satu hidup yang satu ndak. Berdampingan, itu. Berdampingan. Jadi saya misalnya lagu buat anu, melodinya mesti tak buat diatonis. Doremifasolasido..... ning karena diatonis itu itu isa tak pentatoniske, lasi do remi fa sel la. Misalnya itu, makanya. Tapi notasinya kan diatonis. Itu jalan. Pentatonisnya juga jalan. Hidup berdampingan. : Tapi toh kan gak secara persis sama. Maksudnya, di diatonis nadanya begini? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pak Budi Rony Pak Budi Rony Pak Budi 181 : Diatonisnya intervalnya tetep diatonis. Lagu-lagu saya diatonis terus. Tapi nuansannya diatonis itu tak nuansa pentatonis. Ha... pentatonis pelog itu re dan la hilang, misalnya. Ha re dan la tak ilangin aja, tapi kan intervalnya diatonis kan tetep. Cuma nada re sama la saja sing tak hilangin. Yang lain tak pake. Cuma itu. Haa... itu. Tapi itu kalo kalo misalnya diii.. mau jadi diatonise tus, pentatonise tus. Lah itu sebetulnya dua dunia itu kalo dicampur ya ndak isa kok mas. Itu ndak isa itu, diatonis sama pentatonis itu dicampur itu ndak bisa. Kalo diukur intervale itu ya mesti geseh. Mesthi ngalor ngidul. Air sama... he’eh : Selisih? : He eh. Tapi karena itu suasanane dipentatoniske, ya nyatanya ya kok bisa diterima, bisa sejalan. Sejalan. : Kayaknya segitu dulu, pak..hehehehe.... : Njih. Pokokke setiap saat, saya bantu, saya bantu. Sini saya kerep kok. Kemarin itu orang dari... eee.... orangnya itu diii..... -selesaiWaktu : 1.04’23” PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 182 LAMPIRAN 5 DAFTAR PERTANYAAN 1. Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan inkulturasi (musik liturgi)? 2. Bagaimana pendapat Anda tentang musik gamelan Jawa yang digunakan dalam liturgi Gereja? 3. Menurut pengalaman Anda, bagaimana hubungan antara budaya Jawa dan musik Gereja? 4. Melihat fenomena yang ada, mengapa tangga nada pelog banyak digunakan dalam lagu-lagu liturgi? (fungsi, makna) 5. Bagaimana gending Gereja (bertangga nada pelog) dapat membantu umat dalam berdoa/berliturgi?