Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma

advertisement
Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma
Dalam Undang-Undang
Oleh: Muchamad Ali Safa’at
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)
Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009
yang diucapkan dalam sidang pleno pada tanggal 9 Pebruari 2010.
Perkara tersebut adalah Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, khususnya butir perubahan 37 yang
menghapus ketentuan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Butir 37 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyatakan “Ketentuan
Pasal 118 dihapus”, dengan penjelasan “Cukup jelas”. Sedangkan Pasal
118 yang dihapus tersebut berbunyi sebagai berikut:
(1) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
116 ayat (1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9), ayat (10) dan ayat (11), pihak ketiga yang belum
pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan
sengketa yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83, dan ia
khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dapat
mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan
Pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa itu pada
tingkat pertama;
(2) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya
dapat diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat
alasan-alasan tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, terhadap permohonan
perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
dan Pasal 63.
Perkara pengujian undang-undang ini merupakan satu hal yang
baru dalam perkembangan pengujian undang-undang yang diperiksa dan
diputus oleh MK karena menguji ketentuan yang menghapus ketentuan
yang lama. Lebih menarik lagi karena MK memutus menyatakan
permohonan tidak dapat diterima dengan salah satu pertimbangan hukum
bahwa penghapusan ayat, pasal dan/atau bagian Undang-Undang bukan
merupakan kewenangan MK
karena ketentuan semacam itu tidak
mengandung norma sebagaimana ditentukan sebagai materi muatan
undang-undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Walaupun MK secara prima facie Pemohon dirugikan oleh butir 37
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, namun MK menyatakan tidak
berwenang menilai kerugian itu karena penghapusan ketentuan demikian
merupakan hak pembentuk undang-undang.
Duduk Perkara
Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang hendak
mengajukan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) atas Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah dikuatkan oleh Putusan MA RI
Nomor 27 PK/TUN/2007 tanggal 1 Agustus 2008 jucto Putusan Mahkamah
Agung R.I. Nomor 65 K/TUN/2003 tanggal 26 Maret 2006 juncto Putusan
Pengadilan
Tinggi
Tata
Usaha
Negara
Surabaya
Nomor
70/B/TUN/2002/PT.TUN.SBY tanggal 29 Agustus 2002 Juncto, Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor 57/G/TUN/2001/ PTUN.
SMG. tanggal 04 Maret 2002.
Pemohon merupakan pihak ketiga yang belum pernah ikut atau
diikutsertakan selama pemeriksaan sengketa, serta
dirugikan oleh
putusan-putusan tersebut, yang membatalkan Sertifikat Hak Milik yang
telah dilakukan jual-beli dan dikuasai oleh para pemohon. Terhadap
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tersebut, pemohon
hendak mengajukan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) yang pada
awalnya diakui sebagai salah satu upaya hukum yang dapat dilakukan
berdasarkan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Namun
demikian, upaya tersebut menjadi tidak dapat dilakukan karena ketentuan
pasal dimaksud telah dihapus melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004. Dengan demikian, terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara
tidak lagi dapat dilakukan perlawanan oleh pihak ketiga.
Hilangnya hak mengajukan perlawanan tersebut didalilkan oleh
pemohon telah merugikan hak konstitusional yang dimiliki sebagai warga
negara, yaitu hak membela haknya untuk mencari kebenaran dan keadilan
sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan hak untuk
mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus dalam memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama untuk mencapai persamaan dan
keadilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Oleh
karena itu pemohon meminta agar butir 37 Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pertimbangan Hukum dan Putusan
Dalam putusan ini, pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi baru pada tahap pemeriksaan atas kedudukan hukum pemohon
(legal standing). Oleh karena itu dalam putusan ini tidak terdapat
keterangan
dari
pihak
terkait
pembentuk
undang-undang,
yaitu
pemerintah dan DPR. Dari sisi subyek pemohon (subjectum litis), para
pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia dinyatakan
memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian
undang-undang. Namun demikian, dari sisi obyek yang diajukan
permohonan (objectum litis), dinyatakan bukan merupakan wewenang
Mahkamah Konstitusi dan diputus tidak dapat diterima.
Selengkapnya, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi adalah
sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa terhadap uraian kedudukan hukum (legal
standing) para Pemohon tersebut di atas, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:
[3.8.1]
Bahwa
Mahkamah
Konstitusi
dalam
melaksanakan
kewenangannya untuk menguji Undang-Undang dapat melakukan
pengujian formil dan materiil. Ketentuan mengenai pengujian formil dan
materiil suatu Undang-Undang didasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK
yang menyatakan, ”Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a. pembentukan
undang-undang
tidak
memenuhi
ketentuan
berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; dan/atau
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dalam hal para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil
norma suatu Undang-Undang, Pemohon harus menguraikan mengenai
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Persyaratan demikian harus
dipenuhi dalam suatu permohonan, karena apabila persyaratan tersebut
tidak dipenuhi, maka akan menyebabkan permohonan tidak dapat
diterima [vide Pasal 56 ayat (1) UU MK];
[3.8.2] Bahwa Pasal 1 angka 12 dan Pasal 8 huruf a Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, selanjutnya disebut UU 10/2004, telah menjelaskan mengenai
apa yang dimaksud materi muatan undang-undang dan hal-hal apa saja
yang perlu diatur dalam materi muatan undang-undang tersebut. Adapun
ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 8 huruf a UU 10/2004 adalah
sebagai berikut:
 Pasal 1 angka 12, ”Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan
sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundangundangan”.
 Pasal 8 huruf a, ”Materi muatan yang harus diatur dengan UndangUndang berisi hal-hal yang:
a. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan
pembagian kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara.
negara
serta
[3.8.3] Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan
permohonan pengujian materiil butir 37 UU 9/2004 yang menyatakan,
“Ketentuan Pasal 118 dihapus”. Bahwa materi muatan butir 37 UU 9/2004
yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon tidaklah mengandung
norma sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 8 huruf a UU 10/2004,
tetapi butir 37 UU 9/2004 merupakan ketentuan yang menghapus Pasal
118 UU 5/1986 yang menyatakan:
(1) ”Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
116 ayat (1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (9), ayat (10), dan ayat (11), pihak ketiga yang
belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu
pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal
83 dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan
dilaksanakannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap itu dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap
pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang
mengadili sengketa itu pada tingkat pertama;
(2) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya
dapat diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat
alasan-alasan tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56; terhadap permohonan
perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 dan Pasal 63;
(3) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dengan sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut”;
[3.8.4] Menimbang bahwa yang menjadi alasan para Pemohon adalah
mengenai penghapusan Pasal 118 UU 5/1986 yang merupakan
kewenangan pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) melalui
legislative review, oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak
relevan, karena penghapusan ayat, pasal dan/atau bagian UndangUndang bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi;
[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah
berpendapat secara prima facie Pemohon dirugikan oleh butir 37 UU
9/2004, namun demikian Mahkamah tidak berwenang untuk menilai
kerugian para Pemohon sebagai akibat dihapuskannya butir 37 UU
9/2004, karena penghapusan ketentuan demikian merupakan hak
pembentuk Undang-Undang. Lagipula karena Pemohon belum pernah
menjadi pihak dalam perkara Nomor 27 PK/TUN/2007 tanggal 01 Agustus
2008 junctis Nomor 70/B/TUN/2002/PT.TUN.SBY tanggal 29 Agustus
2002, Nomor 65 K/TUN/2003 tanggal 26 Maret 2006, Nomor
57/G/TUN/2001/PTUN.SMG tanggal 04 Maret 2002, sehingga putusan
tersebut tidak mengikat para Pemohon oleh karena putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara tersebut di atas hanya berlaku dan mengikat pihakpihak yang berperkara. Secara hukum para Pemohon masih memiliki
kesempatan untuk menggunakan upaya hukum;
[3.10] Menimbang bahwa oleh karena para Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a
quo, maka Mahkamah tidak perlu lagi mempertimbangkan pokok
permohonan;
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, terdapat dua alasan
yang mendasari putusan Mahkamah Konstitusi. Pertama, bahwa ketentuan
suatu undang-undang perubahan yang menghapus suatu norma dalam
undang-undang yang diubah dipandang tidak memuat norma yang
menjadi materi muatan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Karena tidak mengandung suatu
norma, maka Mahkamah Konstitusi menyatakan diri tidak berwenang
untuk mengujinya. Pengujian ketentuan penghapusan norma dimaksud
dipandang dapat dilakukan melalui mekanisme legislative review. Kedua,
para
pemohon
dipandang
masih
memiliki
kesempatan
untuk
menggunakan upaya hukum karena belum pernah menjadi pihak dalam
perkara Tata Usaha Negara. Namun demikian, alasan kedua bukan
merupakan alasan pokok, tetapi alasan tambahan, hal itu dapat dilihat
dari kata “Lagipula” pada bagian pertimbangan hukum Paragraf 3.9
berikut ini:
... Lagipula karena Pemohon belum pernah menjadi pihak dalam perkara
Nomor 27 PK/TUN/2007 tanggal 01 Agustus 2008 junctis Nomor
70/B/TUN/2002/PT.TUN.SBY tanggal 29 Agustus 2002, Nomor 65
K/TUN/2003 tanggal 26 Maret 2006, Nomor 57/G/TUN/2001/PTUN.SMG
tanggal 04 Maret 2002, sehingga putusan tersebut tidak mengikat para
Pemohon oleh karena putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut di
atas hanya berlaku dan mengikat pihak-pihak yang berperkara. Secara
hukum para Pemohon masih memiliki kesempatan untuk menggunakan
upaya hukum;
Analisis Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma
Pengujian undang-undang dapat meliputi pengujian formil ataupun
pengujian materiil. Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 menyatakan:
Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon
wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a. Pembentukan
undang-undang
tidak
memenuhi
ketentuan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; dan/atau
b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan atau bagian undang-undang
yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam pengujian formil harus dibuktikan bahwa pembentukan
suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, dan jika terbukti
maka keseluruhan undang-undang itu akan dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sedangkan pengujian materiil, terkait dengan bagian tertentu dari
undang-undang itu yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945 dan
jika terbukti maka bagian itu saja yang akan dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.1
Pengujian materiil dapat dilakukan terhadap keseluruhan undangundang, ataupun bagian-bagian tertentu. Bagian-bagian itu meliputi bab,
pasal, ayat, frase, kata, ataupun bahkan tanda baca. Selain itu juga
dimungkinkan dilakukan pengujian terhadap penjelasan dan lampiran,
bahkan mungkin juga ada pengujian terhadap konsideran suatu undangundang.2
Pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi di atas dapat
dikritisi dari tiga aspek. Pertama, dari sisi pemahaman antara materi
muatan undang-undang dan bentuk-bentuk perubahan ketentuan dalam
undang-undang. Kedua, dari sisi hakikat penghapusan suatu norma.
Ketiga, dari sisi perlindungan terhadap hak warga negara dan kepentingan
publik.
Dari aspek materi muatan undang-undang, ketentuan Pasal 8
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan:
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal
yang:
a. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara.
b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan
Undang-Undang.
1
I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2008), hal. 62 – 63.
2
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK RI, 2005), hal. 57 – 61.
Ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai substansi yang harus
diatur dengan undang-undang. Dengan demikian segala bentuk norma
yang mengatur tentang substansi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 harus diatur dalam produk hukum
yang berbentuk Undang-Undang. Tentu saja terdapat substansi lain yang
“dapat” diatur dalam bentuk undang-undang selain keenam materi itu.
Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut
mengatur tentang substansi, yang dapat diatur dalam suatu undangundang baru sama sekali, undang-undang baru menggantikan undangundang sebelumnya, atau undang-undang yang mengubah sebagian dari
materi undang-undang sebelumnya. Pengaturan tentang hak asasi
manusia, hak dan kewajiban warga negara, hingga keuangan negara
dapat saja dituangkan dalam suatu undang-undang baru ataupun undangundang perubahan.
Oleh karena itu, substansi suatu undang-undang perubahan juga
meliputi materi muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 hanya saja pengaturan dalam undangundang
perubahan
dimaksud
dapat
berupa
perubahan
norma,
penambahan norma, ataupun penghapusan suatu norma. Lampiran
Undang–Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang–Undangan huruf D angka angka 192 dan 198 menyatakan:
192. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan:
a. menyisipkan atau menambah materi ke dalam Peraturan
Perundangundangan; atau
b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan
Perundangundangan.
198. Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan dilakukan
penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat,
maka urutan bab, bagian paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap
dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus.
Penghapusan suatu norma adalah bentuk perubahan, sedangkan
substansi materi muatan harus dilihat pada substansi norma yang dihapus
itu sendiri. Ketentuan butir 37 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang
menyatakan “Ketentuan Pasal 118 dihapus” adalah bentuk perubahan,
sedangkan substansinya harus dilihat pada ketentuan yang dihapus
tersebut, yaitu Pasal 118 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986, yaitu
tentang hak pihak ketiga mengajukan perlawanan terhadap putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Jika dimasukkan dalam kategori Pasal 8
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, materi muatan tersebut paling
tidak terkait dengan hak dan kewajiban warga negara, yaitu hak
mengajukan perlawanan sebagai salah satu bentuk upaya hukum. Oleh
karena itu tidak dapat dikatakan bahwa butir 37 Undang-Undang Nomor 9
Tahun
2004
tidak
mengandung
norma
dengan
materi
muatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004.
Aspek kedua adalah bahwa suatu ketentuan penghapusan norma
selalu dapat dilihat sebagai norma sekaligus menimbulkan norma baru.
Suatu norma hukum hanya dapat dihapus atau tidak diberlakukan oleh
norma hukum, yaitu norma yang menyatakan penghapusan. Suatu aturan
atau perintah hanya akan berlaku mengikat sebagai norma hukum apabila
dirumuskan dan diberlakukan dalam bentuk suatu produk hukum.
Sebaliknya, norma tersebut juga hanya dapat dihapuskan oleh ketentuan
yang harus dimuat dalam bentuk hukum tertentu, yang sama dengan
bentuk hukum dari norma yang dihapuskan atau bentuk hukum yang lebih
tinggi dari norma yang dihapuskan itu sendiri.
Di sisi lain, setiap penghapusan norma hukum selalu menimbulkan
norma hukum baru, bergantung kepada jenis norma yang dihapuskan.
Sebagai contoh, norma hukum pidana adalah norma memuat tentang
perbuatan tertentu yang dilarang dan pelanggaran terhadap larangan
dimaksud diancam dengan sanksi pidana tertentu. Apabila suatu norma
hukum pidana dihapuskan, maka muncul norma baru bahwa perbuatan
yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Misalnya, ketentuan Pasal 306
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan
Jalan menyatakan:
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan angkutan barang yang tidak
dilengkapi surat muatan dokumen perjalanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 168 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah).
Ketentuan dimaksud mengandung norma bahwa setiap pengemudi
kendaraan angkutan barang harus membawa surat muatan dokumen
perjalanan. Apabila hal ini dilanggar, akan dikenai sanksi pidana kurungan
paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00. Jika
dikemudian hari ketentuan ini dihapus, ketentuannya adalah “Pasal 306
dihapus”. Ketentuan tersebut menimbulkan norma baru bahwa pengemudi
kendaraan angkutan barang tidak harus atau boleh membawa atau tidak
membawa surat muatan dokumen perjalanan. Norma yang bersumber
dari penghapusan norma lama ini tentu dapat saja merugikan pihak
tertentu sehingga dapat diajukan pengujian. Apabila permohonan
pengujian dimaksud diterima, maka norma yang menghapuskan yang
dibatalkan sehingga norma lama yang dihapuskan kembali menjadi norma
hukum lagi.
Penghapusan suatu norma memiliki konsekuensi yang lebih besar
jika dilakukan terhadap norma hukum yang mengatur tentang prosedur
atau hukum acara. Penghapusan norma hukum acara dapat berakibat
pada hilangnya hak tertentu atau paling tidak berkurangnya prosedur
yang dapat digunakan untuk mempertahankan suatu hak. Hal inilah yang
terjadi pada penghapusan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 yang berarti menghilangkan hak pihak ketiga untuk mengajukan
perlawanan atas Putusan PTUN. Jika dalam norma hukum pidana
berakibat suatu yang semula dilarang menjadi boleh dilakukan, maka
dalam hukum acara, in casu penghilangan hak mengajukan perlawanan,
hak mengajukan perlawanan yang semula dapat dilakukan menjadi tidak
dapat dilakukan. Penghapusan yang berakibat pada hilangnya hak
tertentu tentu dapat diuji oleh MK.
Penghapusan suatu norma, tentu dapat menimbulkan dampak
sangat besar terhadap hak konstitusional warga negara dan kepentingan
umum. Dalam konteks pengujian undang-undang, ketentuan Pasal
51
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menentukan:
(1)
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Apabila dikemudian hari terjadi perubahan terhadap ketentuan di
atas yang menentukan “Pasal 51 ayat (1) huruf a dihapus, akan
menimbulkan dampak yang sangat besar. Jika ketentuan ini dihapus,
maka normanya adalah bahwa perorangan warga negara Indonesia tidak
dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Permohonan
hanya dapat diajukan oleh kesatuan masyarakat hukum adat, badan
hukum publik atau privat, dan lembaga negara. Hal ini berarti warga
negara kehilangan hak sebagai pemohon dalam perkara pengujian
undang-undang.
Jika
hal
ini
terjadi,
jelas-jelas
merugikan
hak
konstitusional warga negara, dan oleh karena itu sudah selayaknya dapat
diuji oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir akhir dari
konstitusi.
Kesimpulan
Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar meliputi
pengujian secara formil maupun materiil. Pengujian secara materiil
mencakup materi yang sangat luas, dapat keseluruhan materi undangundang, sebagian, atau bagian kecil berupa kata atau bahkan tanda baca
yang dapat mempengaruhi makna suatu norma. Dengan demikian
ketentuan
yang
tidak
saja
mempengaruhi
makna
tetapi
bahkan
keberadaan suatu norma tentu sudah selayaknya dapat diuji oleh
Mahkamah Konstitusi. Apalagi hilangnya suatu norma sangat mungkin
merugikan hak konstitusional warga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mukthie Fadjar. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006.
Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MK RI, 2008.
I Dewa Gede Palguna. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare
State. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2008.
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2005.
Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006.
Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. UU No. 5 Tahun 1986. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1986 Nomor 77. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3344.
Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. UU
No. 24 Tahun 2003. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 98. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4316.
Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. UU No. 9 Tahun 2004. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 35. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4380.
Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. UU No. 22 Tahun 2009. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 96. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5025.
Download