TINJAUAN PUSTAKA Fournier’s Gangrene Felicia Setiawan*, Riana Novianti*, Wicaksono M.T.P.** Dokter Internship, ** Bagian Bedah Rumah Sakit Tentara Dr. R. Hardjanto Balikpapan, Kalimantan Timur, Indonesia ABSTRAK Fournier’s gangrene (FG) merupakan fasciitis nekrotikans yang progresif pada daerah penis, skrotum, dan perineum. Infeksi yang terjadi bersifat polimikrobial, gabungan antara bakteri aerob dan anaerob. Fournier’s gangrene tergolong penyakit yang berpotensi fatal dengan angka mortalitas tinggi dan termasuk dalam kasus kegawatdaruratan bedah dan urologi. Dasar penanganan FG meliputi stabilisasi hemodinamik, terapi antibiotik sistemik, dan debridement. Beberapa penelitian terakhir berupaya untuk mengembangkan suatu metode untuk memperkirakan prognosis pasien. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah sistem penskoran Fournier's gangrene severity index (FGSI). Insidens terjadinya FG dilaporkan lebih tinggi di negara berkembang namun jarang ditemukan laporan kasus di Asia Tenggara. Penulis melaporkan penanganan kasus FG pada rumah sakit tipe C di Balikpapan, Kalimantan Timur. Kata kunci: Fournier gangrene, Fournier gangrene severity index, fasciitis nekrotikans ABSTRACT Fournier’s gangrene (FG) is a progressive necrotizing fascciitis of the penis, scrotum, and perineum. The majority of cases are polymicrobial, mixed of aerob and anaerob bacterial infection. Fournier’s gangrene is a potentially lethal disease with high mortality rate. Hemodynamic stabilization, radical surgical debridement and intravenous broad-spectrum antibiotics are the mainstream therapy. Many of latest researches attempted to develop a scoring index to stratify the risk in FG patients. Fournier's gangrene severity index (FGSI) is one of the useful predictors. It was developed in order to aid physicians in predicting mortality probability. While the incidence was known to be much higher in developing countries, Fournier’s gangrene case report is rarely found in Southeast Asian countries. We report a FG case and its management in setting of tetriary care facility in Balikpapan, East Kalimantan. Felicia Setiawan, Riana Novianti, Wicaksono M. T. P. Fournier’s Gangrene. Key words: Fournier’s gangrene, Fournier gangrene severity index, necrotizing fasciitis PENDAHULUAN Fournier's gangrene (selanjutnya disingkat FG) merupakan fasciitis nekrotikans yang progresif pada daerah penis, skrotum, dan perineum. FG termasuk penyakit infeksi yang fatal namun jarang terjadi. FG pertama kali ditemukan pada tahun 1883 oleh seorang venerologis Prancis Jean Alfred Fournier. Infeksi pada FG memiliki karakteristik khas, yaitu akan menyebabkan trombosis pada pembuluh darah subkutis yang akan menyebabkan nekrosis kulit di sekitarnya.1 FG merupakan penyakit yang memiliki potensi fatal dengan angka mortalitas tinggi dan termasuk dalam kasus kegawatdaruratan bedah dan urologi. Pada beberapa tahun terakhir kasus insiden FG cenderung meningkat. Hal ini disebabkan faktor predisposisi dari FG seperti diabetes mellitus, imunosupresi, dan penyakit hati dan ginjal kronik juga meningkat dalam beberapa tahun ini. Infeksi pada sebagian besar kasus FG Alamat korespondensi 432 merupakan gabungan sinergis antara bakteri aerob dan anaerob. Dasar penanganan FG adalah dengan stabilisasi hemodinamik, terapi antibiotik sistemik, dan surgical debridement.2,3 LAPORAN KASUS Pasien laki-laki usia 32 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) RS Tentara Dr. Hardjanto dengan keluhan pembengkakan kedua skrotum dan perineum sejak 1 hari sebelum masuk UGD. Pasien datang dalam keadaan demam, mual, nyeri perut bagian bawah, kedua skrotum, dan perineum. Riwayat penyakit: Delapan hari sebelumnya pasien mengalami nyeri perut bagian sekitar pusar terus menerus dengan disertai demam, mual, dan penurunan nafsu makan. Tujuh hari sebelum masuk UGD nyeri perut yang dialami pasien berpindah ke bagian perut kanan bawah, semakin lama semakin hebat dan masih disertai demam, mual, dan penurunan nafsu makan. Satu hari sebelum masuk UGD, kedua skrotum dan perineum tampak membengkak, kemerahan, mengeluarkan nanah dari lubang ukuran diameter 0,5 cm di skrotum kanan bagian bawah. Pada saat pertama kali masuk UGD pasien tampak sakit berat dengan kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital nadi, frekuensi napas, dan tekanan darah dalam batas normal dan suhu 39,3°C. Abdomen tampak datar, bising usus dalam batas normal, dengan nyeri tekan di bagian iliaka kiri – kanan, muscular defense tidak ditemukan. Status lokalis: tampak pembengkakan pada kedua skrotum dengan ukuran 10 x 7,5 cm, teraba lunak, berbau busuk, tanda – tanda inflamasi pada kedua skrotum dan perineum, tampak pus dari ulkus ukuran diameter 0,5 cm di skrotum kanan bawah. Dilakukan pemeriksaan laboratorium email: [email protected] CDK-205/ vol. 40 no. 6, th. 2013 TINJAUAN PUSTAKA menunjukkan tanda-tanda sepsis dengan anemia dan hipoalbuminemia. Pemeriksaan ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, dan elektrolit dalam batas normal. (b) Perawatan awal dilakukan dengan stabilisasi hemodinamik, perbaikan keadaan umum, dan pemberian antibiotik sistemik spektrum luas (meropenem dan metronidazol) mulai dari hari pertama perawatan. Perbaikan keadaan umum dilakukan dengan diet tinggi protein, pemberian obat-obatan anti nyeri dan pencegahan stress ulcer, transfusi albumin 20% dan packed red cell (PRC) untuk mengatasi hipoalbuminemia dan anemia. Pada perawatan hari ke-5, dilakukan surgical debridement dan multiple incision pada bagian iliaka kiri dan iliaka kanan. Pada saat dilakukan evakuasi pus, ditemukan pus sekitar + 300 cc di dalam skrotum. Pada perawatan hari ke-11, dilakukan surgical debridement kedua, jumlah pus yang dievakuasi berkurang. Pada perawatan hari ke-23, pasien diperbolehkan rawat jalan di rumah dan direncanakan akan dilakukan bedah rekonstruksi bulan berikutnya. Pada 1 bulan pasca perawatan awal dilakukan perawatan lanjutan berupa rekonstruksi skrotum dan perineum. Pada pasien ini, tidak dilakukan kultur kuman dan tes resistensi antibiotik. Pengetahuan mengenai etiologi tidak terlalu berpengaruh dalam penatalaksanaan terapi pasien FG karena etiologi kuman-kuman penyebabnya polimikrobial sehingga dalam terapi diberikan antibiotik spektrum luas. Pada beberapa tahun terakhir, kasus insidens FG cenderung meningkat. Telah terjadi peningkatan signifikan kasus FG dalam beberapa tahun ini. Salah satu rumah sakit di Amerika Tengah melaporkan telah terjadi 41 kasus dalam 4 tahun terakhir. Hal ini disebabkan faktor predisposisi FG, seperti diabetes melitus, imunosupresi, serta penyakit hati dan ginjal kronis juga meningkat dalam beberapa tahun ini. Infeksi pada FG lebih banyak terjadi pada pasien dengan penurunan imunitas tubuh.2,5 Gambar (a) menunjukkan pembengkakan di abdomen bagian bawah dan skrotum, dengan beberapa area nekrosis yang berwarna kehitaman. Gambar (b) menunjukkan skrotum setelah dilakukan debridement dan reparasi pada PATOFISIOLOGI Telah disebutkan sebelumnya bahwa adanya infeksi polimikrobial yang terutama berasal dari daerah kolorektal dan urogenital menjadi sumber utama infeksi FG. Dari fokus infeksi tersebut, penyebaran ke lapisan fasia dapat terjadi, dan nekrosis dapat meluas dengan kecepatan sekitar 2 cm per jam.2,8 abdomen bawah dan skrotum. (a) ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO Seperti telah disebutkan sebelumnya, FG disebabkan infeksi bakteri aerob dan anaerob seperti E. coli, coliform, Klebsiella spp., Bacteroides spp., Streptococcus spp., Enterococcus spp., Pseudomonas spp., Proteus spp. dan Clostridium spp.4 Perbedaan bakteri yang menginfeksi pada FG tidak berkorelasi dengan tendensi mortalitas lebih tinggi.2 Berbagai sumber menyebutkan bahwa adanya infeksi terutama dari kolorektal (infeksi, keganasan) dan urogenital menempati urutan pertama penyebab FG, walaupun sumber lain seperti kulit akibat trauma, pascaoperasi, maupun ulkus dekubitus juga perlu dipertimbangkan.2,5 Terdapat predisposisi sistemik yang berkontribusi terhadap terjadinya dan buruknya prognosis FG antara lain pengobatan steroid jangka panjang, diabetes melitus, alkoholisme kronis, penyakit jantung seperti penyakit jantung koroner, dan hipertensi arterial, gagal ginjal, dan koagulopati.6,7 CDK-205/ vol. 40 no. 6, th. 2013 Pada awal terjadinya FG, akan sulit membedakan antara fasciitis yang terjadi pada FG dengan selulitis karena keduanya menunjukkan tanda inflamasi yaitu pembengkakan yang terasa nyeri, eritema, dan hipertermia. Namun, dalam perjalanan penyakit selanjutnya, dapat terlihat tanda dan gejala tipikal termasuk di dalamnya edema yang terasa sangat nyeri pada pada area kulit yang terkena, perubahan warna kulit, bula, atau krepitus. Apabila penyebaran sudah mencapai fasia, akan tampak ulkus berwarna kehitaman yang tidak terasa nyeri. Hal ini disebabkan oleh adanya oklusi vaskuler fasia sehingga terjadi iskemia yang menyebabkan nekrosis jaringan. Krepitasi dapat ditemukan pada beberapa kasus FG, terjadi karena bakteri anaerob secara sinergis menghasilkan eksotoksin yang menyebabkan nekrosis dan pembentukan gas.7 Pada pasien ini, berdasarkan anamnesis riwayat penyakit, terdapat kecurigaan apendisitis akut. Selama tujuh hari, terdapat keluhan nyeri di bagian perut kanan bawah disertai demam, mual, muntah, dan penurunan nafsu 433 LAPORAN KASUS Tabel 1 Sistem Penskoran Fournier Gangrene Severity Index (FGSI) Parameter Nilai abnormal tinggi Normal Nilai abnormal rendah Nilai FGSI kasus (*) +4 +3 +2 +1 0 +1 +2 +3 +4 Suhu (°C) >41 39-40,9 - 38,5-39 36-38,4 34-35,9 32-33,9 30-31,9 <29,9 0 (38,3°C) Frekuensi Jantung (x/menit) >160 140-179 110-139 - 70-109 - 55-69 40-54 <39 0 (108 x/menit) Frekuensi Napas (x/menit) >50 35-49 - 25-34 12-24 10-11 6-9 - <5 0 (22 x/menit) Sodium Serum (mmol/L) >180 170-179 160-169 150-159 130-149 - 120-129 111-119 <110 0 (136 mmol/L) Potasium Serum (mmol/L) >7 6-6,9 - 5,5-5,9 3,5-5,4 3-3,4 2,5-2,9 - <2,5 0 (4,3 mmol/L) Kreatinin Serum (mmol/L) >3,5 2-3,4 1,5-1,9 - 0,6-1,4 - <0,6 - - 0 (0,6) Hematokrit (%) >60 - 50-59,9 46-49,9 30-45,9 - 20-29,9 - <20 +2 (25) Leukosit (x1.000 sel/mm3) >40 - 20-39,9 15-19,9 3-14,9 - 1-2,9 - <1 +2 (25) Bikarbonat Serum (mmol/L) >53 41-51,9 - 32-40,9 22-31,9 - 18-21,9 15-17,9 <15 0 (23) Keterangan: (*) angka dalam kurung menunjukkan hasil pemeriksaan pasien dalam kasus. makan. Diperkirakan apendisitis akut yang dialami pasien telah mengalami perforasi dan kemungkinan sebagian appendiks terletak retroperitoneal. Berdasarkan mekanisme gravitasi, terjadi penumpukan pus ke tempat yang lebih rendah, dalam hal ini ruang retroperitoneal bagian terendah. Pada regio tersebut, terdapat hubungan dengan fasia skrotum. Penundaan pengobatan menyebabkan infeksi terus meluas sampai meliputi kedua skrotum dan perineum. TATA LAKSANA Dasar penanganan FG adalah dengan stabilisasi hemodinamik, terapi antibiotik sistemik spektrum luas, dan surgical debridement.2,3 Pada kasus ini, selama harihari pertama perawatan, dilakukan perbaikan keadaan umum dan stabilisasi hemodinamik. Perbaikan keadaan umum dilakukan dengan diet tinggi protein, pemberian obat-obatan anti nyeri, pencegahan stress ulcer, serta transfusi albumin 20% dan packed red cell (PRC) untuk mengatasi hipoalbuminemia dan anemia. Kadar albumin serum pasien saat pertama kali datang sebesar 1,9 mg% (nilai normal 3,8-4,2 mg%). Penurunan kadar albumin ini disebabkan oleh stres metabolik akibat infeksi pada FG. Pemberian antibiotik spektrum luas telah dimulai dari hari pertama perawatan. Pada hari pertama perawatan, pasien diberikan antibiotik seftriakson 1.000 mg dua kali sehari dan metronidazol 500 mg tiga kali sehari. Pada hari ketiga perawatan, seftriakson diganti dengan meropenem. Surgical debridement dilakukan sebanyak dua 434 kali pada pasien ini. Pada hari perawatan ke-23, pasien diperbolehkan pulang dalam keadaan infeksi telah teratasi dan keadaan umum baik. Surgical debridement menjadi salah satu cara terapi FG dan dilakukan sesegera mungkin setelah keadaan umum pasien memungkinkan. Pembentukan gas gangren didokumentasikan dapat mencapai 1 cm2 per jam sehingga surgical debridement harus sesegera mungkin dilakukan. Pada sebagian besar kasus FG, debridement pertama tidak dapat membersihkan seluruh (100%) jaringan nekrotik dan perlu dilakukan debridement lanjutan. Perawatan di rumah sakit pada pasien FG diperhitungkan akan mencapai 6-8 minggu.9 Satu bulan setelah perawatan pertama, dilakukan rekonstruksi skrotum pada pasien. Selama perawatan, tidak ditemukan adanya nekrosis pada testis dan fasia perineum pada pasien sehingga tidak dilakukan orkhidektomi. Pada kasus FG, frekuensi terjadinya testicular gangrene dapat mencapai 20% kasus dan memerlukan orkhidektomi. Sampai saat ini, mekanisme terjadinya testicular gangrene belum dapat dijelaskan karena secara anatomis adanya lapisan fasia dapat mencegah penyebaran infeksi ke daerah testis.2 Beberapa teori yang pernah dikembangkan untuk menjelaskan terjadinya testicular gangrene antara lain pada kasus FG dengan orchidoepididymitis sebagai etiologi utamanya. Dalam kasus demikian, testicular gangrene tidak dapat dihindarkan. Teori kedua adalah adanya keadaan hiperkoagulasi dan disseminated intravascular coagulation (DIC) yang terjadi pada kasus sepsis berat, menyebabkan terjadinya oklusi pembuluh darah kecil di bagian testis dan korpus kavernosum sehingga terjadi iskemia dan nekrosis.2 PROGNOSIS FG merupakan penyakit infeksi dengan mortalitas tinggi. Sampai saat ini, belum ditentukan suatu konsensus bersama untuk menentukan tingkat keparahan FG. Pada beberapa tahun ini, tetap dilaporkan tingginya mortalitas pada kasus FG, bahkan dengan pengobatan antibiotik spektrum luas, surgical debridement, dan perawatan intensif.3 Beberapa penelitian terakhir tentang FG berupaya untuk mengembangkan suatu metode untuk memperkirakan prognosis pasien. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah sistem penskoran Fournier's gangrene severity index (FGSI). Penilaian FGSI paling baik dilakukan saat pertama kali pasien datang. FGSI dapat menjadi salah satu alternatif yang mudah dan objektif dalam menentukan prognosis pasien FG.3,9-11 Hasil penelitian menunjukkan bahwa FGSI dengan nilai >9 memiliki mortalitas mencapai 75%, sedangkan FGSI <9 memiliki survival rate mencapai 78 %.3 Pasien yang sembuh dari FG umumnya mempunyai FGSI antara 6-9.9 Penggunaan FGSI dengan cut-off pada nilai 9 memiliki sensitivitas 71,4% dan spesifisitas CDK-205/ vol. 40 no. 6, th. 2013 LAPORAN KASUS 90% dalam menentukan prognosis.10 Pada kasus ini, nilai FGSI pasien saat hari pertama perawatan adalah 4. Pasien ini kami nilai memiliki prognosis yang baik. Selain penggunaan FGSI, penentuan prognosis pasien juga dipengaruhi oleh beberapa keadaan lainnya. Adanya penyakit penyerta, seperti diabetes melitus, kelainan ginjal dan hati kronis, serta keadaan imunosupresi, memperburuk prognosis pasien FG. Mortalitas FG dengan penyakit penyerta tersebut dapat mencapai 66-80%.1-2 Faktor usia juga memengaruhi prognosis pasien. Pasien dengan usia di atas 60 tahun memiliki mortalitas lebih tinggi.1 Penelitian menunjukkan bahwa hasil kultur bakteri yang diperoleh pada pasien FG hampir selalu polimikrobial, dan jenis bakteri tidak mempengaruhi prognosis pasien.1-2,11 Pasien yang datang dalam keadaan sepsis berat atau syok septik memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan pasien yang tidak sepsis.2 Faktor luas permukaan tubuh yang terkena fasciitis secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang meninggal. Infeksi yang mengenai dinding abdomen dan kulit ekstremitas bawah akan memiliki luas permukaan infeksi lebih luas.2-3 Luka setelah penyembuhan FG pada sebagian besar kasus tidak menyebabkan sekuele infeksi, kecuali pada kasus adanya penyakit penyerta, seperti imunosupresi.2 Sampai saat ini, baru ada dua kasus yang melaporkan terjadinya karsinoma sel skuamosa pada bekas luka FG setelah penyembuhan dua tahun.12 DAFTAR PUSTAKA 1. Andres Humberto Vargas, Jorge Carbonell, Daniel Osorio, Herney Andres Garcia. Evaluation of Fournier’s necrosis in a high complexity hospital. General urology. Arch Esp Urol. 2011;64:94852. 2. Silvio Altarac, Davorin Katušin, Suad Crnica. Fournier’s gangrene: Etiology and outcome analysis of 41 patients. Urol Int. 2012;88:289-93. 3. Gutiérrez-Ochoa J, Castillo-de Lira HH, Velázquez-Macías RF. Usefulness of Fournier’s gangrene severity index: A comparative study. Rev Mex Urol. 2010;70:27-30. 4. Sarwar U, Akhtar N. Fournier’s gangrene developing secondary to infected hydrocele: An unique clinical scenario. Urol Ann. 2012;4:131-4. 5. Mehl AA, et al. Management of Fournier’s gangrene: Experience of a university hospital of curitiba. Rev Col Bras Cir. 2010;37:435-41. 6. Nakatani H. Fournier’s gangrene in elderly patient: Report of a case. The Journal of Medical Investigation. 2011;58:255-8. 7. Martinschek A. Prognostic aspects, survival rate, and predisposing risk factors in patients with Fournier’s gangrene and necrotizing soft tissue infections: Evaluation of clinical outcome of 55 patients. Urol Int. 2012;89:173-9. 8. Goktas C. Factors affecting the number of debridements in Fournier’s gangrene: Our results in 36 cases. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg. 2012;18(1):43-8. 9. Alejandro García Morua, Juan Antonio Acuña Lopez, Jesus Domingo Gutierrez Garcia. Fournier’s gangrene: Our experience in 5 years, bibliographic review and assessment of Fournier’s gangrene severity index. Arch Esp Urol. 2009;62:532-40. 10. Corcoran AT, Smaldone MC, Gibbons EP. Validation of the Fournier’s gangrene severity index in a large contemporary series. J Urol. 2008;180:944-8. 11. Kabay S, Yucel M, Yaylak F, Algin MC. The clinical features of Fournier’s gangrene and the predictivity of the Fournier’s gangrene severity index on the outcomes. Int Urol Nephrol. 2008;40:997-1004. 12. Chintamani, Manu Shankar, Vinay Singhal. Squamous cell carcinoma developing in the scar of Fournier’s gangrene. BMC Cancer. 2004;4:16. CDK-205/ vol. 40 no. 6, th. 2013 435