BAB V Hasil dan Pembahasan

advertisement
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI)
Lembaga Lansia Indonesia yang dibentuk pada tanggal 29 Mei 2000
mempunyai visi untuk menjadikan lembaga ini sebagai mitra pemerintah yang
berdaya guna dan berhasil guna untuk menciptakan situasi dan kondisi yang
kondusif dalam mewujudkan lanjut usia yang berkualitas, mandiri dan berguna.
Dalam mewujudkan visi tersebut, LLI membuat beberapa misi, yaitu: pertama,
meningkatkan
kualitas
lansia
secara
berkesinambungan,
yang
meliputi
kesehatan fisik, mental, sosial dan spiritual, pengetahuan dan keterampilan serta
jaminan sosial dan kebutuhan hidup. Kedua, mengupayakan kemandirian lansia
selama mungkin agar kehidupannya menjadi produktif dan berguna bagi dirinya
sendiri, keluarga, kelompok dan masyarakat. Ketiga, meningkatkan keadaan
masyarakat untuk menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan lansia
menjadi subyek dalam kehidupan selama mungkin. Keempat, meningkatkan
kepedulian masyarakat untuk memberikan pelayanan dan perawatan bagi lansia
yang memerlukan, secara manusiawi dan bermartabat.
Lembaga Lanjut Usia terdiri dari 7 bidang yaitu: Bidang Pembinaan
Kesra, Bidang Pembinaan Kesehatan Lansia, Bidang Peningkatan SDM Lansia,
Bidang Kerohanian dan Keagamaan, Bidang Peningkatan Peran Serta
Masyarakat, Bidang Penelitian Pengembangan dan Organisasi dan Bidang
Hubungan Dalam dan Luar Negeri.
Bidang pembinaan kesra, LLI mengembangkan dana dan teknologi guna
membantu para lansia untuk memperpanjang kemampuan kemandirian sosial
dan ekonomi, termasuk perolehan Sistem Jaminan Sosial Nasional untuk seluruh
lanjut usia yang bergerak dibidang formal, informal maupun non formal serta
mempermudah akses bagi para lansia dalam pemanfaatan fasititas umum.
Dibidang pembinaan kesehatan, LLI telah mengupayakan pedoman
tentang kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, serta pelayanan
terpadu. Bidang ini juga mengupayakan klinik Geriatri, Rehabilitasi Medik
Geriatri, mendorong profesionalisme dibidang ilmu dan perawatan Geriatri,
mengusahakan kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan serta
pelestarian lingkungan hidup dikaitkan dengan kesehatan.
Untuk peningkatan SDM Lansia, LLI mengadakan berbagai pelatihan dan
keterampilan, mengupayakan terbentuknya kesempatan kerja bagi lansia. Untuk
peningkatan peran serta masyarakat, LLI menitikberatkan upaya peningkatan
30
peran keluarga terhadap anggotanya yang lanjut usia, serta membangun serta
meluaskan jaringan kerja dengan generasi muda organisasi masyarakat
termasuk
melalui
RT/RW.
Dalam
rangka
ini
dilakukan
pilot
proyek
pengembangan POSYANDU Lansia di Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan
Depok, untuk membentuk kelompok lansia dengan peran keluarga dan
masyarakat yang peduli pada masalah kesehatan lansia.
Lembaga Lanjut Usia (LLI) memiliki berbagai cabang pada tiap daerah,
salah satunya di Bogor. LLI Kota Bogor dibentuk berdasarkan surat keputusan
walikota Bogor pada tanggal 25 Juni 2004. LLI Bogor memiliki visi mewujudkan
lansia Bogor yang berkualitas mandiri berguna, bahagia dengan upaya bersama
antar masyarakat dan pemerintah melalui LLI Kota Bogor yang efektif dan
efisien. Untuk mewujudkan visi tersebut, LLI Kota Bogor memiliki misi untuk
meningkatkan kualitas dan usia harapan hidup seluruh lansia di Kota Bogor
secara berkesinambungan.
Program kerja yang disusun oleh LLI Kota Bogor ada empat bidang,
antara lain: bidang kesehatan, bidang rohani dan agama, bidang informasi dan
komunikasi dan bidang umum. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan LLI Kota
Bogor antara lain jalan sehat bagi lansia, senam lansia setiap sabtu,
pemeriksaan kesehatan bagi lansia, pemberian penghargaan bagi pasangan
lansia yang telah berumah tangga lebih dari 50 tahun, pengajian bersama,
undian haji dan bakti sosial dengan kunjungan ke panti werdha.
Karakteristik Lansia
Usia dan Jenis Kelamin
Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang
mengalami perubahan anatomi, fisiologis dan biokimia pada jaringan atau organ
yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan
secara keseluruhan (Fatmah 2011). Lanjut usia adalah manusia yang sudah
memasuki usia 60 tahun (Sumintarsih 2006). Menurut WHO diacu dalam
Komnas Lansia (2008), lansia dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu 4559 tahun sebagai kelompok usia menengah (middle age), 60-74 tahun sebagai
usia lanjut (elderly), 75-89 tahun sebagai usia tua (old) dan 90 tahun ke atas
sebagai kelompok usia sangat tua (very old). Berdasarkan Tabel 7, dapat
diketahui sebanyak 83.3% lansia berada pada kisaran usia 60-74 tahun,
sedangkan 16.7% berada pada kisaran usia 75-90 tahun. Pada usia 60-74 tahun,
proporsi lansia perempuan lebih besar dibandingkan dengan lansia laki-laki,
31
sedangkan pada usia 75-90 memiliki proporsi sebaliknya. Lansia tertua dalam
penelitian ini berusia 82 tahun. Rata-rata usia lansia yaitu sebesar 68.0 6.05.
Berikut ini adalah tabel sebaran lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Tabel 7 Sebaran lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin
Usia (thn)
Laki-laki
n
11
3
14
60-74 tahun
75-90 tahun
Total
%
78.6
21.4
100
Perempuan
n
%
14
87.5
2
12.5
16
100
Total
n
25
5
30
%
83.3
16.7
100
Pendidikan
Menurut BPS (2004), tingkat pendidikan dapat diukur dari pendidikan
terakhir yang ditamatkan. Tingkat pendidikan pada penelitian ini terbagi menjadi
enam kategori, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat
SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat dan tamat perguruan tinggi. Sebagian
besar lansia (40.0%) mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi.
Lansia yang tamat SD/sederajat sebanyak (10.0%), tamat SMP/sederajat
(30.0%), dan tamat SMA/sederajat (20.0%). Pada Tabel 8 dapat diketahui pula
tingkat pendidikan tertinggi yaitu tamat perguruan tinggi lebih banyak terjadi pada
lansia laki-laki (50.0%) daripada perempuan (31.3%).
Tabel 8 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD/ sederajat
Tamat SMP/ sederajat
Tamat SMA/ sederajat
Tamat Perguruan tinggi
Total
Laki-laki
n
%
0
0.0
0
0.0
1
7.1
4
28.6
2
14.3
7
50.0
14
100
Perempuan
n
%
0
0.0
0
0.0
2
12.5
5
31.3
4
25.0
5
31.3
16
100
Total
n
0
0
3
9
6
12
30
%
0.0
0.0
10.0
30.0
20.0
40.0
100
Lansia peserta senam lanjut usia sebagian besar tinggal di kota, sehingga
lebih mengerti akan pentingnya pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu
perguruan tinggi. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Sediaoetama (2008)
bahwa tingkat pendidikan yang lebih berkaitan dengan pengetahuan gizi yang
lebih tinggi yang memungkinkan dimilikinya informasi tentang gizi dan kesehatan
yang lebih baik yang mendorong terbentuknya perilaku makan yang baik. Pada
penelitian ini tidak ada lansia yang tidak tamat SD maupun tidak bersekolah,
tingkat pendidikan yang paling rendah adalah tamat SD/sederajat (10.0%)
dengan jumlah lansia yang minimum.
32
Pekerjaan
Sebanyak 70.0% lansia sudah pensiun dari pekerjaannya. Persentase
pensiun pada lansia laki-laki (92.9%) lebih besar daripada perempuan (50.0%).
Namun masih ada lansia yang bekerja (3.3%). Lansia yang bekerja mencari
nafkah lebih banyak dilakukan oleh laki-laki (7.1%) sedangkan lansia perempuan
lebih banyak menjadi ibu rumah tangga. Jenis pekerjaan yang masih dilakukan
adalah pegawai swasta. Sedangkan lansia lain sudah tidak bekerja, pensiun dan
ibu rumah tangga.
Tabel 9 Sebaran lansia berdasarkan pekerjaan
Pekerjaan
Tidak bekerja
Buruh bangunan, angkut
Pedagang keliling
Supir angkut, ojek
PNS
Pegawai swasta
IRT
Lainnya
Total
n
0
0
0
0
0
1
0
13
14
Laki-laki
%
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
7.1
0.0
92.9
100
Perempuan
n
%
1
6.3
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
7
43.8
8
50.0
16
100
Total
n
1
0
0
0
0
1
7
21
30
%
3.3
0.0
0.0
0.0
0.0
3.3
23.3
70.0
100
Bertambahnya usia lansia berdampak pada menurunnya kondisi fisik dan
penurunan kemampuan untuk bekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang
dilakukan oleh Muningatun (2006) yang menyatakan bahwa sebanyak 55.6%
lansia di Kecamatan Ciampea tidak bekerja. Menurut Suhardjo (1989) diacu
dalam Sukandar (2007) kemampuan individu menyediakan makanan dalam
jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi oleh pendapatan dan daya beli
yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan dan secara tidak
langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan individu.
Sumber Pendapatan
Sumber pendapatan adalah asal biaya yang diperoleh atau dipergunakan
lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Dari sumber pendapatan
secara total yang diterima oleh lansia, bantuan yang berasal dari pensiunan
memiliki persentase paling tinggi yaitu 73.3 persen. Dari Tabel 10 juga dapat
diketahui sumber pendapatan lain yang diterima selain dari pensiunan yaitu
bantuan dari anak 16.7%, sendiri 3.3% dan lainnya 6.7%. Dari hasil wawancara,
bantuan yang diberikan kepada lansia sebagian besar berupa makanan, baik
dalam bentuk mentah maupun makanan siap saji namun ada pula yang diberikan
bantuan berupa uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena sudah tidak
berpenghasilan.
33
Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan sumber pendapatan
Sumber Pendapatan
Anak
Cucu
Sendiri
Pensiunan
Bantuan Sosial (Paguyuban lansia,
Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) dari
Depsos)
Lainnya
Total
Laki-laki
n
%
1
7.1
0
0.0
0
0.0
13
92.9
Perempuan
n
%
4
25.0
0
0.0
1
6.3
9
56.3
n
5
0
1
22
Total
%
16.7
0.0
3.3
73.3
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
14
0.0
100
2
16
12.5
100
2
30
6.7
100
Besar Keluarga
Menurut Hurlock (1999) berdasarkan jumlah atau besar anggota
keluarga, keluarga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu keluarga kecil (≤4
orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Besarnya
keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam
satu rumah. Menurut Sumawarman (2004) besar keluarga akan mempengaruhi
kesehatan, pola konsumsi dan konsumsi zat gizi seseorang. Rumah tangga
dengan jumlah anggota yang lebih banyak akan membeli dan mengonsumsi
beras, daging, sayuran dan buah-buahan yang lebih banyak dibandingkan
dengan rumah tangga yang memiliki anggota lebih sedikit.
Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan besar keluarga
Besar Keluarga
≤ 4 orang
5-6 orang
≥ 7 orang
Total
Laki-laki
n
%
11
78.6
3
21.4
0
0.0
14
100
Perempuan
n
%
10
62.5
5
31.3
1
6.0
16
100
n
21
8
1
30
Total
%
70,0
26,7
3.3
100
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia
termasuk dalam kategori keluarga kecil (≤ 4 orang) dengan persentase 70.0%.
Lansia lainnya termasuk dalam kategori keluarga sedang 26.7% dan keluarga
besar 3.3%. Berdasarkan wawancara, lansia yang termasuk dalam keluarga kecil
hanya tinggal sendiri atau berdua dengan suami karena anak-anak mereka
sudah memiliki keluarga sendiri sehingga tinggal terpisah.
Status Pernikahan
Berdasarkan Tabel 12, sebagian besar lansia berstatus menikah.
Persentase lansia berstatus menikah pada laki-laki (92.9%) lebih tinggi daripada
perempuan (68.8%). Sedangkan lansia lainnya berstatus cerai hidup (3.0%) dan
cerai mati (16.7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan terhadap 100
orang lansia di tiga kelurahan di kota Bogor oleh Ruslianti dan Kusharto (2006),
34
tidak seperti lansia laki-laki yang cenderung berada dalam status kawin hingga
mereka sangat tua dan meninggal, namun lansia wanita cenderung tetap
mempertahankan status janda atau cerai.
Tabel 12 Sebaran lansia berdasarkan status pernikahan
Status Pernikahan
Tidak menikah
Menikah
Cerai hidup
Cerai mati
Total
Laki-laki
n
%
0
0.0
13
92.9
0
0.0
1
7.1
14
100
Perempuan
n
%
0
0.0
11
68.8
1
6.0
4
25.0
16
100
n
0
24
1
5
30
Total
%
0.0
80.0
3.0
16.7
100
Living Arrangement
Living arrangement adalah keberadaan seseorang yang tinggal bersama
lansia dalam satu rumah. McKenzie et al. (2008) menyebutkan bahwa living
arrangement pada populasi lansia merupakan hal yang penting. Hal ini
berhubungan erat dengan pendapatan, status kesehatan, dan keberadaan
pendamping (caregiver). Living arrangement dikelompokkan menjadi dua, yaitu
tinggal sendiri dan tinggal bersama (suami, anak, cucu, ataupun keluarga lain).
Tabel 13 Sebaran lansia berdasarkan living arrangement
Living Arrangement
Tinggal sendiri
Tinggal bersama
Total
Laki-laki
n
%
0
0.0
14
100
14
100
Perempuan
n
%
2
12.5
14
87.5
16
100
n
2
28
30
Total
%
7.0
93.0
100
Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia (93.0%) baik lakilaki maupun perempuan berstatus tinggal bersama. Berdasarkan hasil
wawancara, lansia lebih banyak tinggal bersama suami jika masih berstatus
menikah. Akan tetapi ada pula lansia yang tinggal bersama dengan anak beserta
cucu dan suami dalam satu rumah. Sebagian kecil lansia (7.0%) berstatus tinggal
sendiri. Hasil wawancara menyebutkan kecenderungan lansia tinggal sendiri
dikarenakan anak-anak yang sudah memiliki keluarga baru sehingga memilih
untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Adapun lansia yang tinggal sendiri
beralasan tidak ingin membebani anak jika diajak tinggal bersama.
Motivasi Mengkuti Senam
Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidak
memberatkan yang diterapkan pada lansia. Aktivitas olahraga ini akan membantu
tubuh agar tetap bugar dan tetap segar karena melatih tulang tetap kuat,
mendorong jantung bekerja optimal dan membantu menghilangkan radikal bebas
yang berkeliaran di dalam tubuh (Kurniadi 2010). Menurut Handoko (2002)
35
motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia, yang
menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Sebaran
motivasi lansia untuk mengikuti senam disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Motivasi lansia mengikuti senam
Motivasi mengikuti senam
n
%
Kesehatan
28
71.8
Menjalin silahturahmi sesama lansia
8
20.5
Mencari kegiatan
2
5.1
Senang melakukan senam
1
2.6
Selain dilakukan wawancara mengenai data karakteristik lansia, diajukan
pula pertanyaan mengenai motivasi lansia untuk mengikuti senam yang diadakan
setiap minggu. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian besar
lansia mengikuti senam dengan alasan kesehatan (71.8%). Menyadari kondisi
fisik yang semakin menurun ketika usia lanjut, para lansia melakukan tindak
pencegahan dengan melakukan olahraga, salah satunya senam untuk menjaga
tubuh tetap sehat. Selain alasan kesehatan, lansia mengikuti senam dengan
alasan menjalin tali silahturahmi sesama lansia (20.5%), mencari kegiatan (5.1%)
dan senang melakukan senam (2.6%).
Kebiasaan Sarapan
Frekuensi Sarapan
Sarapan (makan pagi) adalah suatu kegiatan yang penting sebelum
melakukan aktivitas fisik pada pagi hari, dengan melakukan sarapan dapat
menyumbangkan 25% dari kebutuhan total energi harian. Sebagai bagian dari
pola makan, sarapan dapat disesuaikan dengan ritme dimulainya aktivitas pagi.
(Khomsan 2005). Tabel 15 menyajikan sebaran lansia berdasarkan frekuensi
sarapan. Sebagian besar lansia (66.7%) selalu melakukan kegiatan sarapan
pagi. Persentase kegiatan sarapan pada lansia perempuan (68.8%) lebih besar
daripada laki-laki (64.3%).
Tabel 15 Sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan
Kebiasaan Sarapan
Tidak pernah
Jarang (< 4 kali/minggu)
Sering (≥ 4-6 kali/minggu)
Selalu (7 kali/minggu)
Total
Laki-laki
n
%
0
0.0
3
21.4
2
14.3
9
64.3
14
100
Perempuan
n
%
1
6.3
0
0.0
4
25.0
11
68.8
16
100
n
1
3
6
20
30
Total
%
3.3
10.0
20.0
66.7
100
Sebagian besar lansia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki
persentase kebiasaan sarapan yang cukup baik yang dinyatakan dengan hasil
36
frekuensi selalu sarapan secara menyeluruh lebih dari 50% sehingga bersifat
homogen atau tidak beragam. Herlina (2001) dalam hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa pada lansia di perkotaan sebanyak 86.6% melakukan
sarapan pagi karena faktor kebiasaan dan menjaga kesehatan. Dalam hal ini
dapat terlihat bahwa kesadaran lansia di perkotaan akan pentingnya melakukan
sarapan pagi tinggi.
Lansia pada penelitian ini dibedakan menjadi dua kelompok usia yaitu
usia lanjut (60-74 tahun) dan usia tua (75-90 tahun). Berikut adalah sebaran
lansia berdasarkan frekuensi sarapan dan usia yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan dan usia.
Frekuensi sarapan baik pada kelompok usia lanjut (60-74 tahun) dan usia
tua (75-90 tahun) adalah selalu sarapan dengan frekuensi 7 kali/minggu. Hasil ini
sesuai dengan Sharkey et al. (2002) yang menyebutkan bahwa frekuensi
sarapan meningkat seiring dengan usia (p<0.01) terutama pada kelompok lansia
(60-74 tahun, 75-84 tahun dan ≥85 tahun). Namun masih ada pula lansia yang
tidak pernah sarapan setiap hari, sebanyak 4.0% pada kelompok usia 60-74
tahun. Alasan lansia tidak melakukan sarapan pagi adalah karena tidak terbiasa.
Khomsan (2005) mengemukakan bahwa ada dua manfaat yang bisa
diambil jika seseorang melakukan sarapan pagi. Pertama, sarapan pagi
menyumbang karbohidrat untuk meningkatkan kadar gula darah sehingga gairah
dan konsentrasi kerja jadi lebih baik. Kedua, memberikan kontribusi penting
beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin dan
mineral. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara frekuensi sarapan pada lansia laki-laki dan
perempuan (p>0.05).
37
Waktu Sarapan
Sarapan dapat dilakukan antara pukul 06.00-08.00 namun waktu ini
bukan acuan keharusan (Khomsan 2005). Waktu sarapan dibedakan menjadi
empat kategori waktu meliputi pukul 07.00-08.00, pukul 08.00-09.00, pukul
09.00-10.00, dan lainnya. Berikut data waktu sarapan lansia disajikan pada Tabel
16.
Tabel 16 Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan
Waktu Sarapan
07.00 - 08.00
08.00 - 09.00
09.00 - 10.00
Lainnya
Total
n
11
0
2
1
14
Laki-laki
%
78.6
0.0
14.3
7.1
100
Perempuan
n
%
11
68.8
1
6.0
1
6.0
3
18.8
16
100
Total
n
22
1
3
4
30
%
73.3
3.0
10.0
13.3
100
Sebagian besar lansia (73.3%) lebih banyak melakukan sarapan pada
pukul 07.00-08.00 WIB. Dengan lansia laki-laki (78.6%) dan lansia perempuan
(68.8%). Sebagian kecil lansia (13.3%) melakukan sarapan pada pukul 05.0006.00 WIB yang dilakukan sebelum melakukan aktivitas di pagi hari.
Lansia pada penelitian ini dikategorikan menjadi kelompok usia lanjut dan
usia tua, sebagian besar lansia melakukan kegiatan sarapan pada pukul 07.0008.00. Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan dan usia disajikan pada
Gambar 3 berikut.
Gambar 3 Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan dan usia.
Seluruh lansia yang termasuk dalam kelompok usia tua (100%)
melakukan sarapan pada pukul 07.00-08.00, sedangkan untuk kelompok usia
lanjut (68.0%) melakukan sarapan pada jam yang sama. Hal ini mereka lakukan
agar memperoleh energi yang akan digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-
38
hari. Namun ada pula lansia yang termasuk dalam kategori waktu lainnya, yaitu
melakukan kegiatan sarapan sebelum pukul 07.00, berdasarkan hasil wawancara
kepada lansia mereka melakukan hal tersebut karena saat bangun pagi sudah
terasa lapar dikarenakan tidak makan malam pada hari sebelumnya.
Jenis Makanan Sarapan
Jenis makanan sarapan pada lansia terbagi menjadi 10 jenis makanan
sarapan, yaitu roti/kue, gorengan, susu/teh manis, bubur ayam, nasi+lauk pauk,
nasi uduk, nasi goreng, bihun goreng, mie goreng dan lainnya seperti havermout
dan sereal. Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan terdapat pada
Tabel 17. Persentase jenis makanan yang sering (26.2%) dikonsumsi oleh lansia
adalah nasi+lauk pauk. Hasil penelitian ini serupa dengan yang dilakukan oleh
Sari (2010) yang menunjukkan bahwa 96.9% lansia pada saat sarapan lebih
banyak mengonsumsi makanan pokok (nasi) dan lauk pauk. Selain makanan
sarapan tersebut, lansia juga sering mengonsumsi roti/kue (19.7%) yang disertai
dengan susu/teh manis (18.0%).
Tabel 17 Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan
Jenis Makanan Sarapan
Roti/kue
Gorengan
Susu atau teh manis
Bubur ayam
Nasi+lauk pauk
Nasi uduk
Nasi goreng
Bihun goreng
Mie goreng
Lainnya
n
5
3
4
1
11
1
3
0
0
3
Laki-laki
%
16.1
9.7
12.9
3.2
35.5
3.2
9.7
0.0
0.0
9.7
Perempuan
n
%
7
23.3
2
6.7
7
23.3
3
10.0
5
16.7
0
0.0
3
10.0
0
0.0
0
0.0
3
10.0
Total
n
12
5
11
4
16
1
6
0
0
6
%
19.7
8.2
18.0
6.6
26.2
1.6
9.8
0.0
0.0
9.8
Sarapan sebaiknya mengonsumsi makanan lengkap, yakni yang
mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan gizi
yang seimbang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral
(Sianturi 2002). Hasil penelitian menunjukkan makanan yang dikonsumsi oleh
lansia belum mengandung semua unsur gizi seimbang, lansia hanya
mengonsumsi salah satu dari unsur gizi, seperti roti manis yang dikombinasikan
dengan kopi, teh manis, atau susu.
Sebagian kecil lansia (8.2%) mengonsumsi makanan camilan. Makanan
camilan terdiri dari dua jenis yaitu makanan camilan basah seperti pisang goreng
dan makanan camilan kering seperti produk ekstruksi (Nuraida et al 2009).
Makanan camilan yang sering dikonsumsi oleh lansia adalah pisang goreng, tahu
goreng, buras, talas dan singkong. Menurut Khomsan (2005) makanan jajanan
39
atau camilan seringkali lebih banyak mengandung karbohidrat dan hanya sedikit
protein, vitamin, dan mineral. Akibat ketidaklengkapan gizi dalam makanan
jajanan sehingga makanan jajanan tidak dapat menggantikan makanan sarapan.
Makanan lain yang sering dikonsumsi adalah nasi+lauk pauk dengan nasi
sebagai sumber karbohidrat dan ikan, tempe atau tahu sebagai pangan sumber
protein nabati, sumber vitamin dan mineral tidak diperhatikan oleh lansia
sehingga dapat mempengaruhi kebutuhan akan sumber tersebut. Khomsan
(2005) menyebutkan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat (nasi) perlu
disertai makanan lain sumber vitamin/mineral dari sayur dan buah sehingga
mekanisme proses pencernaan menjadi lancar.
Jenis makanan sarapan lansia cukup bervariasi dan umumnya jenis
makanan sarapan tersebut dikonsumsi secara bergantian setiap hari. Makanan
dengan menu nasi+lauk pauk lebih banyak dikonsumsi oleh lansia (60-74 tahun),
sedangkan untuk usia tua (75-95 tahun) memilih menu lainnya seperti havermout
dan sereal. Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan dan usia
disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan dan usia.
40
Asupan dan Kontribusi Makanan Sarapan
Zat gizi yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A
dan vitamin C. Rata-rata sumbangan energi dan zat gizi makanan sarapan
terhadap asupan dan kecukupan lansia terdapat pada Tabel 18.
Tabel 18 Rata-rata sumbangan energi dan zat gizi makanan sarapan terhadap
asupan dan kecukupan lansia
Zat Gizi
Laki-laki
Perempuan
P
Energi
Asupan energi makanan sarapan (kkal/hari)
600
431
Kontribusi terhadap asupan total (%)
30.1
29.5
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
28.1
26.0
Asupan protein makanan sarapan (g)
18.1
10.2
Kontribusi terhadap asupan total (%)
27.8
24.6
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
30.1
21.7
1109.9
1330.0
Kontribusi terhadap asupan total (%)
84.9
98.2
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
2.1
3.9
Asupan Fosfor makanan sarapan (mg)
303.3
282.9
Kontribusi terhadap asupan total (%)
37.7
38.3
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
43.9
35.7
Asupan vitamin A makanan sarapan (RE)
410.8
256.6
Kontribusi terhadap asupan total (%)
17.2
16.4
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
50.5
56.6
Asupan vitamin C makanan sarapan (mg)
1.8
0.8
Kontribusi terhadap asupan total (%)
2.6
1.5
4564.8
342.2
0.072
Protein
0.006
Kalsium
Asupan Kalsium makanan sarapan (mg)
0.830
Fosfor
0.882
Vitamin A
0.161
Vitamin C
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%)
0.178
Makanan sarapan pada lansia laki-laki dapat memberikan kontribusi
energi (30.1%), protein (27.8%), kalsium (84.9%), fosfor (37.7%), vitamin A
(17,2%) dan vitamin C (2.6%) terhadap asupan total. Sedangkan pada lansia
perempuan makanan sarapan menyumbangkan kontribusi energi (29.5%),
protein (24.6%), kalsium (98.2%), fosfor (38.3%), vitamin A (16.4%) dan vitamin
C (1.5%). Rata-rata kontribusi energi, protein, vitamin A dan vitamin C pada
lansia laki-laki lebih tinggi daripada lansia perempuan. Untuk kontribusi kalsium
dan fosfor pada lansia perempuan lebih tinggi. Makanan sarapan yang
dikonsumsi oleh lansia cukup banyak mengandung energi seperti roti, nasi uduk,
41
nasi goreng, ketupat tahu, bubur ayam, havermout dan sereal gandum. Sumber
protein makanan sarapan pada lansia berasal dari ayam goreng, ikan, telur
ayam, daging sapi, tempe dan tahu. Sumber vitamin A dan C diperoleh dari
makanan seperti hati, kuning telur, minyak, bayam, wortel, kacang panjang,
jagung, tomat, jeruk, pepaya, semangka dan melon. Kontribusi kalsium dan
fosfor yang lebih tinggi pada lansia wanita diduga karena pada lansia wanita,
konsumsi sumber kalsium seperti susu pada sarapan pagi lebih sering daripada
laki-laki yang biasanya mengonsumsi teh atau kopi pada pagi hari. Almatsier et al
(2011) menyebutkan bahwa makanan kaya kalsium adalah susu dan hasil
olahannya seperti keju dan yogurt, ikan teri dan ikan yang dimakan dengan
tulangnya misalnya ikan duri lunak.
Kontribusi terhadap kecukupan gizi diperoleh dari rata-rata konsumsi
sarapan selama 7 hari kemudian dibandingkan dengan rata-rata tingkat
kecukupan gizi lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 18
dapat diketahui kontribusi energi dari zat gizi terhadap kecukupan gizi makanan
sarapan pada lansia laki-laki yaitu energi (28.1%), protein (30.1%), kalsium
(2.1%), fosfor (43.9%), vitamin A (50.5%) dan vitamin C (4564.8%) dan pada
lansia perempuan makanan sarapan memberikan kontribusi energi (26.0%),
protein (21.7%), kalsium (3.9%), fosfor (35.7%), vitamin A (56.5%), vitamin C
(342.2%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsumsi makanan sarapan lansia
baik laki-laki maupun perempuan telah memenuhi kebutuhan energi, protein,
vitamin A dan vitamin C sekitar 20-30% yang dibutuhkan dari makanan sarapan.
Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antara asupan protein makanan sarapan pada lansia laki-laki dan
perempuan (p<0.05).
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh
setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi.
Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti
umur, jenis kelamin, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik (Almatsier 2006).
Menurut Kusharto dan Sa’adiyah (2008) konsumsi pangan merupakan informasi
tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau
sekelompok orang pada waktu tertentu.
Konsumsi zat gizi individu diperoleh dari hasil recall 2 x 24 jam. Konsumsi
zat gizi yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A dan
42
vitamin
C.
Sedangkan
tingkat
kecukupan
gizi
diketahui
dengan
cara
membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi oleh individu
dengan angka kecukupan yang dianjurkan. Rata-rata asupan dan tingkat
kecukupan energi dan zat gizi lansia disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lansia
No
Zat Gizi
1
Energi (Kal)
2
Protein (g)
3
Kalsium (mg)
4
Fosfor (mg)
5
6
Asupan Zat Gizi
Laki-laki
Perempuan
Tingkat Kecukupan Gizi (%)
Laki-laki
Perempuan
1992.9 ± 565.8
1460.3 ± 322.9
94.4 ± 31.3
83.2 ± 19.2
65.0 ± 28.1
41.3 ± 11.0
219.1 ± 100.2
166.8 ± 46.6
1307.4 ± 1748.8
1354.7 ± 3456.8
176.5 ± 260.9
163.8 ± 426.0
804.4 ± 456.6
739.0 ± 720.1
137.0 ± 85.5
118.0 ± 117.7
Vitamin A (RE)
2387.1 ± 1268.7
1560.8 ± 831.0
392.6 ± 203.3
293.9 ± 154.5
Vitamin C (mg)
70.6 ± 70.1
56.1 ± 24.9
761.5 ± 666.2
69.7 ± 28.2
Energi. Rata-rata konsumsi energi lansia laki-laki (1992.9 ± 565.8 Kal)
lebih tinggi daripada lansia perempuan (1460.3 ± 322.9 Kal). Persentase ratarata tingkat kecukupan energi lansia laki-laki 94.4% juga lebih tinggi daripada
lansia
perempuan
83.2%.
Menurut
Depkes
(2003)
umumnya
laki-laki
memerlukan zat gizi lebih banyak (terutama kalori, protein dan lemak)
dibandingkan dengan wanita karena postur, otot dan luas permukaan tubuh lebih
besar atau lebih luas daripada wanita. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa
rata-rata tingkat kecukupan lansia laki-laki berada pada kategori normal (90119% AKG), sedangkan pada lansia perempuan rata-rata tingkat kecukupan
energinya berada pada kategori defisit tingkat ringan (80-89%). Uji beda
independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara tingkat kecukupan energi pada lansia laki-laki dan perempuan
(p>0.05).
Protein. Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang
terbentuk dari serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam
makanan di dalam tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat
berguna bagi tubuh yaitu untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot,
tulang, enzim dan sel darah merah (Fatmah 2010). Berdasarkan Tabel 19, ratarata asupan protein pada lansia laki-laki (65.0 ± 28.1 g) lebih tinggi daripada
lansia perempuan (41.3 ± 11.0 g). Persentase rata-rata tingkat kecukupan protein
lansia laki-laki sebesar 219.1% dan 166.8% pada lansia perempuan. Sehingga
rata-rata tingkat kecukupan lansia laki-laki dan perempuan termasuk dalam
kategori lebih (>120%). Tingkat kecukupan protein yang berlebih ini diduga
43
karena lansia banyak mengonsumsi pangan protein, baik hewani maupun nabati,
ditunjukkan dengan menu makan sehari-hari lansia hanya berupa nasi+lauk
seperti ayam, tempe maupun tahu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Almatsier
(2006) kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu
tertinggi. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein pada lansia laki-laki
dan perempuan (p<0.05).
Kalsium. Rata-rata asupan kalsium pada lansia perempuan 1354.7 ±
3456.8 mg lebih tinggi daripada lansia laki-laki 1307.4 ± 1748.8 mg. Tingkat
kecukupan kalsium lansia laki-laki 176.5% dan lansia perempuan 163.8%. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kecukpan kalsium pada kedua kelompok berada
dalam kategori cukup (≥ 77%). Menurut Almatsier (2006) sumber kalsium utama
adalah susu dan hasil susu, seperti keju dan sumber kalsium baik lainnya adalah
ikan dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering. Lansia pada penelitian ini
banyak mengonsumsi susu terutama pada sarapan pagi, serta ikan kering yang
ditambahkan sebagai lauk pada menu makan siang sehingga asupan kalsium
tergolong cukup. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan kalsium pada
lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05).
Fosfor. Fosfor mempunyai berbagai fungsi dalam tubuh seperti klasifikasi
tulang dan gigi, mengatur pengalihan energi, absorpsi dan transportasi zat gizi,
bagian dari ikatan tubuh esensial, dan pengaturan keseimbangan asam-basa
(Almatsier 2006). Rata-rata asupan fosfor pada lansia laki-laki (804.4 ± 456.6
mg) lebih tinggi daripada lansia perempuan (739.0 ± 720.1 mg). Tingkat
kecukupan fosfor lansia termasuk laki-laki mencapai 137% dan 118% pada
perempuan. Berdasarkan hasil tersebut, tingkat kecukupan fosfor lansia berada
dalam kategori cukup (≥ 77%) sama halnya dengan tingkat kategori kalsium. Uji
beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara tingkat kecukupan fosfor pada lansia laki-laki dan
perempuan (p>0.05).
Vitamin A. Rata-rata asupan vitamin A pada lansia laki-laki (2387.1 ±
1268.7 RE/hari) lebih tinggi daripada lansia perempuan (1560.8 ± 831.0 RE/hari).
Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok lansia sebesar
>100% sehingga termasuk dalam kategori cukup (≥ 77%). Sumber vitamin A
yang banyak dikonsumsi lansia antara lain hati ayam, ikan, kuning telur, dan
44
pemakaian minyak goreng ketika memasak. Uji beda independent sample t-test
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat
kecukupan vitamin A pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05).
Vitamin C. Rata-rata asupan vitamin C pada lansia laki-laki (70.6 ± 70.1
mg) lebih tinggi daripada lansia perempuan (56.1 ± 24.9 mg). Tingkat kecukupan
vitamin C pada laki-laki sebesar 761.5% yang termasuk dalam kategori cukup (≥
77%), berbeda pada lansia perempuan yang hanya mencapai 69.7% sehingga
dikategorikan kurang (<77%). Rendahnya tingkat kecukupan vitamin C pada
lansia perempuan diduga karena jumlah konsumsi buah (jeruk, pepaya, tomat)
dan beberapa sayuran yang mengandung sumber vitamin C masih kurang.
Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau
kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai penyakit.
Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melndungi dari serangan
kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih,
mencegah katarak, memperbaiki kualitas sperma, dan mencegah penyakit gusi
(Fatmah 2010). Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin C pada lansia lakilaki dan perempuan (p<0.05). Perbedaan tingkat kecukupan vitamin C pada
lansia laki-laki dan perempuan ini diduga karena perbedaan angka kecukupan
gizi antara lansia laki-laki dan perempuan. Menurut WNPG (2004) angka
kecukupan vitamin C pada laki-laki usia 50-64 tahun dan >65 tahun adalah 9 mg,
sedangkan pada lansia perempuan adalah 75 mg.
Status Gizi
Status gizi merupakan kondisi kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan
penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan. Penilaian status gizi seseorang atau
sekelompok orang bertujuan untuk mengetahui baik buruknya status gizi (Riyadi
2003). Status gizi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan IMT (kg/m2).
Kategori status gizi dibagi menjadi empat yaitu underweight, normal, overweight
dan obese. Sebaran status gizi lansia dapat dilihat pada Tabel 20.
45
Tabel 20 Sebaran lansia berdasarkan jenis kelamin dan status gizi
Status Gizi
Underweight
Normal
Overweight
Obese
Total
n
1
9
0
4
14
Laki-laki
%
7.0
64.3
0.0
28.6
100
Perempuan
n
%
0
0.0
56.0
9
0
0.0
43.8
7
16
100
Total
n
1
18
0
11
30
%
3.3
60.0
0.0
36.7
100
Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia
termasuk dalam kategori status gizi normal (60.0%). Sebanyak 36.7% lansia
termasuk dalam kategori status gizi obese. Status gizi obese lebih banyak terjadi
pada perempuan (43.8%). Menurut WHO (2000) wanita cenderung mengalami
peningkatan penyimpanan lemak, sehingga memiliki kemungkinan untuk menjadi
obesitas.
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh
cukup zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara
umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh
mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Baik pada status gizi
kurang maupun gizi lebih terjadi gangguan gizi yang disebabkan oleh berbagai
faktor antara lain kebiasaan makan yang salah, gigi-geligi yang tidak baik, dan
kelainan struktur saluran cerna (Almatsier 2006). Sebaran lansia berdasarkan
status gizi dan usia disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan usia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (56.0%) dan (80.0%) lansia dari dua
kelompok usia yang berbeda termasuk dalam kategori status gizi normal. Status
gizi underweight banyak terjadi pada usia tua (75-90 tahun). Berdasarkan hasil
wawancara, lansia mengalami penurunan nafsu makan. Ketika usia mulai menua
46
mulai banyak gigi yang tanggal mengakibatkan gangguan fungsi mengunyah
yang berdampak pada kurangnya asupan gizi pada usia lanjut (Depkes 2003). Uji
beda independent sample t-test menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara status gizi lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05).
Menurut Forbes (1987) diacu dalam Ferro-Luzzi (1996) seseorang yang telah
memasuki usia lanjut akan mengalami penurunan massa otot yang akan
berbanding terbalik dengan proporsi lemak didalam tubuhnya sehingga
cenderung akan mengalami peningkatan resiko terjadinya obesitas yang lebih
lanjut akan mengalami peningkatan resiko terjadinya penyakit degeneratif.
Status Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis
(Departemen Sosial RI 2003), sedangkan status kesehatan adalah situasi
kesehatan yang dialami oleh seseorang dan penyakit yang diderita yang
merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keadaan kesehatan
seseorang (Astawan & Wahyuni 1988). Dalam penelitian ini, status kesehatan
dilihat dari keluhan kesehatan, frekuensi dan lama sakit serta tindakan
pengobatan.
Keluhan kesehatan merupakan berbagai keluhan fisik yang dialami
meliputi berbagai keluhan dan penyakit yang diderita selama satu bulan terakhir,
termasuk penyakit kronis meskipun tidak kambuh. Darmojo (2000) menyatakan
bahwa penyakit atau keluhan yang umum diderita oleh lansia adalah rematik
(arthritis), hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru-paru (bronchitis/dyspnea),
diabetes mellitus, jatuh (falls), lumpuh separuh badan, TBC, patah tulang, dan
kanker.
Tabel 21 Sebaran lansia berdasarkan keluhan kesehatan
Keluhan Kesehatan
Tidak ada keluhan
Terdapat 1 jenis keluhan
Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan
Total
Laki-laki
n
%
2
14.3
3
21.4
9
64.3
14
100
Perempuan
n
%
2
12.5
3
18.8
11
68.8
16
100
n
4
6
20
30
Total
%
13.3
20.0
66.7
100
Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia (66.7%) mengalami
lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan terakhir. Keluhan kesehatan lebih
banyak terjadi pada lansia perempuan (68.8%) dibandingkan dengan lansia lakilaki (64.3%). Keluhan kesehatan yang ditanyakan pada penelitian ini antara lain
47
sering buang air besar, susah buang air kecil, pegal-pegal, pusing, sering buang
air kecil, tangan/kaki kesemutan dan gatal/alergi.
Jenis Penyakit Infeksi dan Non Infeksi
Penyakit adalah suatu keadaan terganggunya fungsi tubuh yang terjadi
sebagai respons terhadap infeksi, tekanan, atau kondisi lainnya (Diana 2006).
Jenis penyakit pada penelitian ini terbagi dua yaitu penyakit infeksi dan penyakit
non infeksi. Berikut ini adalah tabel sebaran lansia berdasarkan penyakit infeksi
dan non infeksi.
Tabel 22 Sebaran lansia berdasarkan penyakit infeksi dan non infeksi
Jenis Penyakit
Penyakit Infeksi
Diare
TBC
Influenza
Tifus
Penyakit Non Infeksi
Maag
Asma
Katarak
Hipertensi
Diabetes
Jantung
Rematik
Asam Urat
Laki-laki
Perempuan
n
%
n
%
1
0
3
0
10.0
0.0
30.0
0.0
0
0
2
0
0.0
0.0
18.2
0.0
2
0
3
4
4
1
1
2
20.0
0.0
30.0
40.0
40.0
10.0
10.0
20.0
3
0
0
4
2
2
7
4
27.3
0.0
0.0
36.4
18.2
18.2
63.6
36.4
Jenis penyakit infeksi yang paling banyak diderita lansia dalam satu bulan
terakhir adalah influenza dengan persentase pada lansia laki-laki sebesar 30.0%
dan 18.2% pada lansia perempuan, penyakit infeksi lainnya yang diderita adalah
diare (10.0%). Hal ini sejalan dengan pendapat Arisman (2007) yang
menyatakan bahwa penyakit yang sering dialami lansia diantaranya adalah
gangguan pernapasan dan pencernaan karena adanya penurunan fungsi dari
organ tubuh maupun metabolisme tubuh.
Selain penyakit infeksi, menurut Rahardjo et al. (2009) penyakit atau
gangguan kesehatan pada orang usia lanjut umumnya berupa penyakit-penyakit
kronik-menahun dan degeneratif, seperti penyakit hipertensi, diabetes mellitus,
osteoporosis, demensia, gangguan jantung, gangguan pencernaan, gangguan
pernapasan, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan
pengunyahan dan sebagainya. Selain itu, pada usia lanjut di Indonesia penyakitpenyakit infeksi akut juga masih sering terjadi, misalnya infeksi saluran
pernapasan
atas
(radang
tenggorokan,
influenza)
atau
infeksi
saluran
48
pernapasan bawah (pneumonia, tbc), infeksi saluran kemih, infeksi kulit. Dalam
penelitian ini, penyakit non infeksi yang paling banyak diderita oleh lansia adalah
hipertensi dengan persentase sebesar 40.0% dan 36.4% masing-masing pada
lansia laki-laki dan perempuan. Schlenker (2000) menyatakan bahwa hipertensi
atau penyakit darah tinggi merupakan penyakit kardiovaskular yang seringkali
berhubungan dengan penuaan dan menyerang pria maupun wanita. Hipertensi
menjadi masalah serius bagi rata-rata kaum lansia. Penyakit non infeksi lainnya
yang cukup banyak diderita oleh lansia laki-laki adalah diabetes (40.0%), asam
urat (20.0%) dan maag (20.0%), sedangkan pada lansia perempuan sebanyak
63.0% menderita penyakit rematik, asam urat (36.4%), maag (27.3%), diabetes
dan jantung masing-masing (18.2%).
Lama dan Frekuensi Sakit
Lama dan frekuensi sakit menunjukkan rata-rata berapa kali dan berapa
lama terjadinya sakit dalam 1 bulan terakhir. Lama sakit yang digunakan dalam
penelitian ini terbagi empat kategori, yaitu 1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari dan >14
hari (BPS 2000). Jumlah seluruh lansia yang sakit sebanyak 21 orang dari 30
orang. Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa sebagian besar lansia (33.3%)
berada pada kategori lama sakit 1-3 hari. Uji beda independent sample t-test
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara lama sakit
pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05).
Frekuensi sakit dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu 1 kali/bulan, 2
kali/bulan dan ≥3 kali/bulan. Tabel 23 menunjukkan bahwa frekuensi sakit
sebagian lansia peserta senam (52.4%) adalah 1 kali/bulan. Untuk frekuensi sakit
2 kali/bulan diperoleh persentase 38.1% dan ≥3 kali/bulan sebanyak 9.5%. Uji
beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara frekuensi sakit pada lansia laki-laki dan perempuan
(p>0.05). Berikut disajikan data mengenai lama dan frekuensi sakit lansia peserta
senam terpadu.
Tabel 23 Sebaran lansia berdasarkan lama dan frekuensi sakit
Lama sakit
Frekuensi sakit
Kategori
1-3 hari
4-7 hari
8-14 hari
>14 hari
Total
1 kali/bulan
2 kali/bulan
≥3 kali/bulan
Total
n
7
6
3
5
21
11
8
2
21
%
33,3
28,6
14,3
23,8
100
52,4
38,1
9,5
100
49
Skor Morbiditas
Salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan dapat dilihat dari
skor morbiditas. Angka morbiditas merupakan indikator kesehatan yang cukup
sensitif (Depkes 2007). Skor morbiditas dihitung dengan cara mengalikan lama
sakit dan frekuensi sakit untuk setiap gejala/jenis penyakit. Skor morbiditas
dikategorikan menurut interval kelas Sugiyono (2009) menjadi rendah (0-19),
sedang (20-39) dan tinggi (40-60). Skor morbiditas menunjukkan status
kesehatan. Skor morbiditas yang rendah menunjukkan status kesehatan yang
tinggi. Berikut ini adalah tabel sebaran lansia berdasarkan status kesehatan.
Tabel 24 Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan
Status kesehatan
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Laki-laki
n
%
4
40.0
0
0.0
6
60.0
10
100
Perempuan
n
%
8
72.7
2
18.2
1
9.1
11
100
Total
n
12
2
7
21
%
57.1
9.5
33.3
100
Berdasarkan Tabel 24, sebagian besar lansia (57.1%) berada kategori
status kesehatan tinggi dengan persentase lansia perempuan (72.7%) lebih
besar daripada laki-laki (40.0%). Namun masih ada lansia yang termasuk dalam
status kesehatan rendah (33.3%) dan (9.5%) termasuk kategori status kesehatan
sedang.
Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan
perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian,
umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (morbiditas) (Depkes
2008). Sebagian besar lansia baik kelompok usia lanjut dan usia tua, memiliki
status kesehatan yang tinggi (56.3% dan 60.0%), namun masih ada pula lansia
yang memiliki status kesehatan rendah dengan persentase 40.0% pada usia tua.
Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan dan usia dapat dilihat pada
Gambar 6.
50
Gambar 6 Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan dan usia.
Status kesehatan lansia tidak boleh terlupakan karena berpengaruh
dalam penilaian kebutuhan zat gizi. Ada lansia yang tergolong sehat dan ada
lansia mengidap penyakit kronis (Arisman 2007). Status kesehatan yang rendah
dapat disebabkan oleh dua hal yaitu frekuensi sakit yang sering dan lamanya
lansia menderita sakit. Berdasarkan hasil uji beda independent sample t-test,
tidak terdapat perbedaan yang nyata antara status kesehatan lansia laki-laki dan
perempuan (p>0.05).
Tindakan Pengobatan
Tindakan pengobatan yang dilakukan pada penelitian ini antara lain
puskesmas, rumah sakit, obat warung dan obat tradisional/jamu. Dari Tabel 25
dapat dilihat bahwa sebagian besar lansia pergi ke rumah sakit untuk melakukan
tindakan pengobatan, persentase jasa pengobatan ke rumah sakit pada lansia
laki-laki sebanyak 70.8% dan pada lansia perempuan sebesar 45.8%. Selain
pergi ke rumah sakit, pengobatan melalui puskesmas banyak dipilih oleh lansia,
terutama pada lansia perempuan (29.2%) dan (16.7%) pada laki-laki.
Berdasarkan hasil wawancara, lansia yang memilih berobat ke rumah sakit
dikarenakan penyakit yang diderita sudah cukup parah dan obat yang diberikan
oleh dokter di rumah sakit lebih menyembuhkan daripada obat warung ataupun
jamu. Namun ada beberapa lansia yang memilih puskesmas karena alasan biaya
dan akses yang dekat dari rumah.
51
Tabel 25 Sebaran lansia berdasarkan tindakan pengobatan
Tindakan Pengobatan
Puskesmas
Rumah Sakit
Obat Warung
Obat Tradisional/jamu
n
4
17
2
1
Laki-laki
%
16.7
70.8
8.3
4.2
Perempuan
n
%
29.2
7
45.8
11
8.3
2
17.0
4
Total
n
11
28
4
5
%
22.9
58.3
8.3
10.4
Daya Tahan Jantung Paru
Daya tahan jantung paru adalah kemampuan fungsional jantung paru
mensuplai oksigen untuk kerja otot dalam waktu yang lama (Irianto 2000).
Pengukuran daya tahan jantung paru ditentukan oleh kekuatan aerobik maksimal
(VO2 max) yang didefinisikan sebagai rata-rata tertinggi oksigen yang dapat
dihasilkan selama latihan dan diperlihatkan dalam jumlah millimeter oksigen yang
dikonsumsi per kilogram berat badan per menit (Fatmah 2011). Ada beberapa
alat ukur untuk mengetahui daya tahan jantung paru seseorang diantaranya
adalah pengukuran dengan tes jalan satu mil (1,609 km). Tes ini digunakan untuk
mengestimasi VO2 max orang yang berusia 20 tahun keatas dan orang yang
mempunyai masalah dengan fisik seperti orang lanjut usia (Kuntaraf & Kuntaraf
1992 diacu dalam Simon 2006). Pengkategorian VO2 max dibagi menjadi lima
yaitu sangat kurang, kurang, sedang, baik, dan sangat baik. Hasil VO2 max dapat
dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26 Sebaran lansia berdasarkan jenis kelamin dan VO2 max
VO2 Max
Sangat kurang
Kurang
Sedang
Baik
Sangat Baik
Total
n
0
0
6
6
2
14
Laki-laki
%
0.0
0.0
42.9
42.9
14.3
100
Perempuan
n
%
1
6.3
1
6.3
11
68.8
3
18.8
0
0.0
16
100
Total
n
1
1
17
9
2
30
%
3.3
3.3
56.7
30.0
6.7
100
Data pada Tabel 26 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia 56.7%
memiliki nilai VO2 max yang termasuk dalam kategori sedang. Lansia perempuan
dengan nilai VO2 max sedang (68.8%) lebih tinggi persentasenya dibandingkan
dengan lansia laki-laki (42.9%). Nilai VO2 max dengan kategori baik, terdapat
lansia perempuan sebanyak 18.8% dan 42.9% lansia laki-laki. Sedangkan untuk
kategori VO2 max sangat baik sebanyak 14.3% seluruhnya pada lansia laki-laki.
Untuk kategori sangat kurang dan kurang sebanyak 6.3% berada pada lansia
perempuan.
52
Lansia berusia 60-74 tahun memiliki rata-rata nilai VO2 max 30.1 ± 7.21
sedangkan lansia berusia 75-90 tahun memiliki rata-rata nilai VO2 max 34.3 ±
6.65. Sebaran lansia berdasarkan usia dan VO2 max dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27 Sebaran lansia berdasarkan usia dan VO2 max
VO2 Max
Sangat kurang
Kurang
Sedang
Baik
Sangat Baik
Total
60-74 tahun
n
%
1
4.0
1
4.0
16
64.0
6
24.0
1
4.0
25
100
75-90 tahun
n
%
0
0.0
1
20.0
0
0.0
3
60.0
1
20.0
5
100
Total
n
1
2
16
9
2
30
%
3.3
6.7
53.3
30.0
6.7
100
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa untuk kategori sangat
kurang, sebagian besar adalah lansia dengan usia 60-74 tahun (4.0%). Pada
kategori kurang, jumlah lansia pada usia 60-74 tahun dan 75-90 tahun masingmasing sebanyak 1 orang dengan persentase 4.0% dan 20.0%, kemudian untuk
nilai VO2 max dengan kategori sedang, seluruhnya berada pada tingkatan usia
lansia (60-74 tahun) dengan persentase 64.0%. Pada kategori baik, lansia tua
(75-90 tahun) memiliki persentase yang lebih tinggi (60.0%) dibandingkan
dengan lansia (60-74 tahun) yaitu (24.0%). Untuk kategori sangat baik diperoleh
hasil (4.0%) untuk lansia usia 60-74 tahun dan (20.0%) pada lansia 75-90 tahun.
Hasil persentase yang tinggi pada lansia tua (75-90 tahun) jika
dibandingkan dengan lansia (60-74 tahun) dikarenakan jumlah responden kedua
kelompok tersebut memiliki perbedaan yang sangat besar. Selain itu,
berdasarkan hasil wawancara dengan responden, lansia tua kebiasaan olahraga
yang lebih baik dengan rutin melakukan jalan pagi dengan jarak 2-3 km, hal
tersebut dilakukan untuk menjaga kondisi tubuh tetap sehat. Olahraga teratur
selain dapat mengurangi stres, juga dapat menurunkan berat badan, membakar
lebih banyak lemak di dalam darah, dan memperkuat otot-otot jantung (Vitahealth
2006).
Menurut Fatmah (2010) diacu dalam Kesehatan Komunitas (2002)
kebugaran meningkat sampai mecapai maksimal pada usia 25-30 tahun,
kemudian akan terjadi penurunan kapasitas fungsional dari seluruh tubuh, kirakira sebesar 0.8-1 % per tahun, tetapi bila rajin berolahraga penurunan ini dapat
dikurang sampai separuhnya. Setelah dilakukan uji beda independent sample ttest menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai VO2
max lansia laki-laki dan perempuan (p<0.05).
53
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebugaran salah satunya
adalah aktivitas fisik yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu aktivitas fisik
terstruktur (kegiatan olahraga) dan aktivitas fisik tidak terstruktur (berjalan,
bersepeda dan bekerja) (Fatmah 2010). Pada lansia perempuan, aktivitas fisik
terstrukturnya lebih tinggi seperti melakukan pekerjaan di rumah dan mengikuti
aktivitas olahraga lainnya setiap minggu, berbeda dengan lansia laki-laki yang
menggunakan waktu luangnya untuk santai atau hanya duduk. Pernyataan
tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Simon (2006) yang
menyatakan bahwa peningkatan VO2 max yang lebih besar pada umumnya
adalah terhadap individu yang tidak terlatih, sedangkan pada orang yang
latihannya teratur dan pada atlet yang banyak mempergunakan daya tahan,
maka peningkatan VO2 max nya kecil.
Perolehan nilai VO2 max lansia dihasilkan dengan melakukan tes jalan
kaki satu mil (1,609 km). Tes ini dilakukan dengan cara lansia diukur berat badan
dan denyut nadi istirahat sebelum melakukan tes, kemudian melakukan jalan
kaki sejauh 1,609 km. Setelah jarak selesai ditempuh, dicatat waktu tempuhnya
dan dihitung denyut nadi selama 10 detik. Hasil tersebut kemudian dijumlahkan
untuk mendapatkan nilai VO2 max lansia
Hubungan Antar Variabel
Hubungan Kebiasaan Sarapan dan Status Gizi
Hasil uji korelasi Spearman antara kebiasaan sarapan dengan status gizi
menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Dari hasil ini
dapat diketahui bahwa lansia yang memiliki frekuensi sarapan yang baik
cenderung memiliki status gizi yang normal, namun karena data yang kurang
homogen sehingga apabila dihubungkan dengan frekuensi sarapan tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Menurut Riyadi (2003) status gizi
dipengaruhi oleh faktor langsung seperti intake makanan dan status kesehatan.
Kedua faktor tersebut saling tergantung satu sama lainnya. Melakukan sarapan
secara teratur belum tentu meningkatkan status gizi seseorang karena makanan
sarapan hanya mengandung 25% dari kebutuhan total energi harian apabila
mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Hubungan Kebiasaan Sarapan dengan Daya Tahan Jantung Paru
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara kebiasaan sarapan dengan daya tahan jantung paru
(p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa apabila individu memiliki kebiasaan
54
sarapan yang baik, belum tentu mempengaruhi daya tahan jantung paru.
Khomsan (2005) sarapan dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan
untuk meningkatkan kadar gula darah. Dengan kadar gula darah yang normal,
gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk
meningkatkan produktivitas.
Hubungan Status Gizi dengan Daya Tahan Jantung Paru
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara status gizi dengan daya tahan jantung paru (p<0.05). Hal ini
berarti terdapat kecenderungan lansia yang memiliki status gizi yang baik maka
daya tahan jantung paru baik. Menurut Bredbenner et al. (2009) olahraga teratur
dapat membantu proses pencernaan, meningkatkan penyimpanan kalsium
tulang, serta menguatkan jantung sehingga zat gizi dapat diantarkan ke sel-sel
dengan efisien. Hal ini didukung dengan pernyataan Almatsier (2006) status gizi
baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang
digunakan
secara
efisien,
sehingga
memungkinkan
pertumbuhan
fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada
tingkat setinggi mungkin.
Hubungan Status Kesehatan dengan Daya Tahan Jantung Paru
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara status kesehatan dengan daya tahan jantung paru
(p>0.05).
Artinya
lama
atau
tidaknya
lansia
terjangkit
penyakit
tidak
mempengaruhi daya tahan jantung paru lansia tersebut. Menurut Irianto (2000)
seseorang yang merasa sehat belum tentu bugar sebab untuk dapat
mengerjakan tugas sehari-hari seseorang tidak hanya bebas dari penyakit saja
tetapi juga dituntut memiliki kebugaran. Tabel nilai p untuk setiap korelasi dapat
dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
Download