29 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI) Lembaga Lansia Indonesia yang dibentuk pada tanggal 29 Mei 2000 mempunyai visi untuk menjadikan lembaga ini sebagai mitra pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna untuk menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif dalam mewujudkan lanjut usia yang berkualitas, mandiri dan berguna. Dalam mewujudkan visi tersebut, LLI membuat beberapa misi, yaitu: pertama, meningkatkan kualitas lansia secara berkesinambungan, yang meliputi kesehatan fisik, mental, sosial dan spiritual, pengetahuan dan keterampilan serta jaminan sosial dan kebutuhan hidup. Kedua, mengupayakan kemandirian lansia selama mungkin agar kehidupannya menjadi produktif dan berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, kelompok dan masyarakat. Ketiga, meningkatkan keadaan masyarakat untuk menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan lansia menjadi subyek dalam kehidupan selama mungkin. Keempat, meningkatkan kepedulian masyarakat untuk memberikan pelayanan dan perawatan bagi lansia yang memerlukan, secara manusiawi dan bermartabat. Lembaga Lanjut Usia terdiri dari 7 bidang yaitu: Bidang Pembinaan Kesra, Bidang Pembinaan Kesehatan Lansia, Bidang Peningkatan SDM Lansia, Bidang Kerohanian dan Keagamaan, Bidang Peningkatan Peran Serta Masyarakat, Bidang Penelitian Pengembangan dan Organisasi dan Bidang Hubungan Dalam dan Luar Negeri. Bidang pembinaan kesra, LLI mengembangkan dana dan teknologi guna membantu para lansia untuk memperpanjang kemampuan kemandirian sosial dan ekonomi, termasuk perolehan Sistem Jaminan Sosial Nasional untuk seluruh lanjut usia yang bergerak dibidang formal, informal maupun non formal serta mempermudah akses bagi para lansia dalam pemanfaatan fasititas umum. Dibidang pembinaan kesehatan, LLI telah mengupayakan pedoman tentang kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, serta pelayanan terpadu. Bidang ini juga mengupayakan klinik Geriatri, Rehabilitasi Medik Geriatri, mendorong profesionalisme dibidang ilmu dan perawatan Geriatri, mengusahakan kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan serta pelestarian lingkungan hidup dikaitkan dengan kesehatan. Untuk peningkatan SDM Lansia, LLI mengadakan berbagai pelatihan dan keterampilan, mengupayakan terbentuknya kesempatan kerja bagi lansia. Untuk peningkatan peran serta masyarakat, LLI menitikberatkan upaya peningkatan 30 peran keluarga terhadap anggotanya yang lanjut usia, serta membangun serta meluaskan jaringan kerja dengan generasi muda organisasi masyarakat termasuk melalui RT/RW. Dalam rangka ini dilakukan pilot proyek pengembangan POSYANDU Lansia di Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Depok, untuk membentuk kelompok lansia dengan peran keluarga dan masyarakat yang peduli pada masalah kesehatan lansia. Lembaga Lanjut Usia (LLI) memiliki berbagai cabang pada tiap daerah, salah satunya di Bogor. LLI Kota Bogor dibentuk berdasarkan surat keputusan walikota Bogor pada tanggal 25 Juni 2004. LLI Bogor memiliki visi mewujudkan lansia Bogor yang berkualitas mandiri berguna, bahagia dengan upaya bersama antar masyarakat dan pemerintah melalui LLI Kota Bogor yang efektif dan efisien. Untuk mewujudkan visi tersebut, LLI Kota Bogor memiliki misi untuk meningkatkan kualitas dan usia harapan hidup seluruh lansia di Kota Bogor secara berkesinambungan. Program kerja yang disusun oleh LLI Kota Bogor ada empat bidang, antara lain: bidang kesehatan, bidang rohani dan agama, bidang informasi dan komunikasi dan bidang umum. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan LLI Kota Bogor antara lain jalan sehat bagi lansia, senam lansia setiap sabtu, pemeriksaan kesehatan bagi lansia, pemberian penghargaan bagi pasangan lansia yang telah berumah tangga lebih dari 50 tahun, pengajian bersama, undian haji dan bakti sosial dengan kunjungan ke panti werdha. Karakteristik Lansia Usia dan Jenis Kelamin Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomi, fisiologis dan biokimia pada jaringan atau organ yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan (Fatmah 2011). Lanjut usia adalah manusia yang sudah memasuki usia 60 tahun (Sumintarsih 2006). Menurut WHO diacu dalam Komnas Lansia (2008), lansia dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu 4559 tahun sebagai kelompok usia menengah (middle age), 60-74 tahun sebagai usia lanjut (elderly), 75-89 tahun sebagai usia tua (old) dan 90 tahun ke atas sebagai kelompok usia sangat tua (very old). Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui sebanyak 83.3% lansia berada pada kisaran usia 60-74 tahun, sedangkan 16.7% berada pada kisaran usia 75-90 tahun. Pada usia 60-74 tahun, proporsi lansia perempuan lebih besar dibandingkan dengan lansia laki-laki, 31 sedangkan pada usia 75-90 memiliki proporsi sebaliknya. Lansia tertua dalam penelitian ini berusia 82 tahun. Rata-rata usia lansia yaitu sebesar 68.0 6.05. Berikut ini adalah tabel sebaran lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tabel 7 Sebaran lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin Usia (thn) Laki-laki n 11 3 14 60-74 tahun 75-90 tahun Total % 78.6 21.4 100 Perempuan n % 14 87.5 2 12.5 16 100 Total n 25 5 30 % 83.3 16.7 100 Pendidikan Menurut BPS (2004), tingkat pendidikan dapat diukur dari pendidikan terakhir yang ditamatkan. Tingkat pendidikan pada penelitian ini terbagi menjadi enam kategori, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat dan tamat perguruan tinggi. Sebagian besar lansia (40.0%) mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Lansia yang tamat SD/sederajat sebanyak (10.0%), tamat SMP/sederajat (30.0%), dan tamat SMA/sederajat (20.0%). Pada Tabel 8 dapat diketahui pula tingkat pendidikan tertinggi yaitu tamat perguruan tinggi lebih banyak terjadi pada lansia laki-laki (50.0%) daripada perempuan (31.3%). Tabel 8 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/ sederajat Tamat SMP/ sederajat Tamat SMA/ sederajat Tamat Perguruan tinggi Total Laki-laki n % 0 0.0 0 0.0 1 7.1 4 28.6 2 14.3 7 50.0 14 100 Perempuan n % 0 0.0 0 0.0 2 12.5 5 31.3 4 25.0 5 31.3 16 100 Total n 0 0 3 9 6 12 30 % 0.0 0.0 10.0 30.0 20.0 40.0 100 Lansia peserta senam lanjut usia sebagian besar tinggal di kota, sehingga lebih mengerti akan pentingnya pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Sediaoetama (2008) bahwa tingkat pendidikan yang lebih berkaitan dengan pengetahuan gizi yang lebih tinggi yang memungkinkan dimilikinya informasi tentang gizi dan kesehatan yang lebih baik yang mendorong terbentuknya perilaku makan yang baik. Pada penelitian ini tidak ada lansia yang tidak tamat SD maupun tidak bersekolah, tingkat pendidikan yang paling rendah adalah tamat SD/sederajat (10.0%) dengan jumlah lansia yang minimum. 32 Pekerjaan Sebanyak 70.0% lansia sudah pensiun dari pekerjaannya. Persentase pensiun pada lansia laki-laki (92.9%) lebih besar daripada perempuan (50.0%). Namun masih ada lansia yang bekerja (3.3%). Lansia yang bekerja mencari nafkah lebih banyak dilakukan oleh laki-laki (7.1%) sedangkan lansia perempuan lebih banyak menjadi ibu rumah tangga. Jenis pekerjaan yang masih dilakukan adalah pegawai swasta. Sedangkan lansia lain sudah tidak bekerja, pensiun dan ibu rumah tangga. Tabel 9 Sebaran lansia berdasarkan pekerjaan Pekerjaan Tidak bekerja Buruh bangunan, angkut Pedagang keliling Supir angkut, ojek PNS Pegawai swasta IRT Lainnya Total n 0 0 0 0 0 1 0 13 14 Laki-laki % 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.1 0.0 92.9 100 Perempuan n % 1 6.3 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 7 43.8 8 50.0 16 100 Total n 1 0 0 0 0 1 7 21 30 % 3.3 0.0 0.0 0.0 0.0 3.3 23.3 70.0 100 Bertambahnya usia lansia berdampak pada menurunnya kondisi fisik dan penurunan kemampuan untuk bekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Muningatun (2006) yang menyatakan bahwa sebanyak 55.6% lansia di Kecamatan Ciampea tidak bekerja. Menurut Suhardjo (1989) diacu dalam Sukandar (2007) kemampuan individu menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi oleh pendapatan dan daya beli yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan dan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan individu. Sumber Pendapatan Sumber pendapatan adalah asal biaya yang diperoleh atau dipergunakan lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Dari sumber pendapatan secara total yang diterima oleh lansia, bantuan yang berasal dari pensiunan memiliki persentase paling tinggi yaitu 73.3 persen. Dari Tabel 10 juga dapat diketahui sumber pendapatan lain yang diterima selain dari pensiunan yaitu bantuan dari anak 16.7%, sendiri 3.3% dan lainnya 6.7%. Dari hasil wawancara, bantuan yang diberikan kepada lansia sebagian besar berupa makanan, baik dalam bentuk mentah maupun makanan siap saji namun ada pula yang diberikan bantuan berupa uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena sudah tidak berpenghasilan. 33 Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan sumber pendapatan Sumber Pendapatan Anak Cucu Sendiri Pensiunan Bantuan Sosial (Paguyuban lansia, Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) dari Depsos) Lainnya Total Laki-laki n % 1 7.1 0 0.0 0 0.0 13 92.9 Perempuan n % 4 25.0 0 0.0 1 6.3 9 56.3 n 5 0 1 22 Total % 16.7 0.0 3.3 73.3 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 14 0.0 100 2 16 12.5 100 2 30 6.7 100 Besar Keluarga Menurut Hurlock (1999) berdasarkan jumlah atau besar anggota keluarga, keluarga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Besarnya keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Menurut Sumawarman (2004) besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan, pola konsumsi dan konsumsi zat gizi seseorang. Rumah tangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak akan membeli dan mengonsumsi beras, daging, sayuran dan buah-buahan yang lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki anggota lebih sedikit. Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga ≤ 4 orang 5-6 orang ≥ 7 orang Total Laki-laki n % 11 78.6 3 21.4 0 0.0 14 100 Perempuan n % 10 62.5 5 31.3 1 6.0 16 100 n 21 8 1 30 Total % 70,0 26,7 3.3 100 Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia termasuk dalam kategori keluarga kecil (≤ 4 orang) dengan persentase 70.0%. Lansia lainnya termasuk dalam kategori keluarga sedang 26.7% dan keluarga besar 3.3%. Berdasarkan wawancara, lansia yang termasuk dalam keluarga kecil hanya tinggal sendiri atau berdua dengan suami karena anak-anak mereka sudah memiliki keluarga sendiri sehingga tinggal terpisah. Status Pernikahan Berdasarkan Tabel 12, sebagian besar lansia berstatus menikah. Persentase lansia berstatus menikah pada laki-laki (92.9%) lebih tinggi daripada perempuan (68.8%). Sedangkan lansia lainnya berstatus cerai hidup (3.0%) dan cerai mati (16.7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang lansia di tiga kelurahan di kota Bogor oleh Ruslianti dan Kusharto (2006), 34 tidak seperti lansia laki-laki yang cenderung berada dalam status kawin hingga mereka sangat tua dan meninggal, namun lansia wanita cenderung tetap mempertahankan status janda atau cerai. Tabel 12 Sebaran lansia berdasarkan status pernikahan Status Pernikahan Tidak menikah Menikah Cerai hidup Cerai mati Total Laki-laki n % 0 0.0 13 92.9 0 0.0 1 7.1 14 100 Perempuan n % 0 0.0 11 68.8 1 6.0 4 25.0 16 100 n 0 24 1 5 30 Total % 0.0 80.0 3.0 16.7 100 Living Arrangement Living arrangement adalah keberadaan seseorang yang tinggal bersama lansia dalam satu rumah. McKenzie et al. (2008) menyebutkan bahwa living arrangement pada populasi lansia merupakan hal yang penting. Hal ini berhubungan erat dengan pendapatan, status kesehatan, dan keberadaan pendamping (caregiver). Living arrangement dikelompokkan menjadi dua, yaitu tinggal sendiri dan tinggal bersama (suami, anak, cucu, ataupun keluarga lain). Tabel 13 Sebaran lansia berdasarkan living arrangement Living Arrangement Tinggal sendiri Tinggal bersama Total Laki-laki n % 0 0.0 14 100 14 100 Perempuan n % 2 12.5 14 87.5 16 100 n 2 28 30 Total % 7.0 93.0 100 Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia (93.0%) baik lakilaki maupun perempuan berstatus tinggal bersama. Berdasarkan hasil wawancara, lansia lebih banyak tinggal bersama suami jika masih berstatus menikah. Akan tetapi ada pula lansia yang tinggal bersama dengan anak beserta cucu dan suami dalam satu rumah. Sebagian kecil lansia (7.0%) berstatus tinggal sendiri. Hasil wawancara menyebutkan kecenderungan lansia tinggal sendiri dikarenakan anak-anak yang sudah memiliki keluarga baru sehingga memilih untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Adapun lansia yang tinggal sendiri beralasan tidak ingin membebani anak jika diajak tinggal bersama. Motivasi Mengkuti Senam Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidak memberatkan yang diterapkan pada lansia. Aktivitas olahraga ini akan membantu tubuh agar tetap bugar dan tetap segar karena melatih tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran di dalam tubuh (Kurniadi 2010). Menurut Handoko (2002) 35 motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia, yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Sebaran motivasi lansia untuk mengikuti senam disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Motivasi lansia mengikuti senam Motivasi mengikuti senam n % Kesehatan 28 71.8 Menjalin silahturahmi sesama lansia 8 20.5 Mencari kegiatan 2 5.1 Senang melakukan senam 1 2.6 Selain dilakukan wawancara mengenai data karakteristik lansia, diajukan pula pertanyaan mengenai motivasi lansia untuk mengikuti senam yang diadakan setiap minggu. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian besar lansia mengikuti senam dengan alasan kesehatan (71.8%). Menyadari kondisi fisik yang semakin menurun ketika usia lanjut, para lansia melakukan tindak pencegahan dengan melakukan olahraga, salah satunya senam untuk menjaga tubuh tetap sehat. Selain alasan kesehatan, lansia mengikuti senam dengan alasan menjalin tali silahturahmi sesama lansia (20.5%), mencari kegiatan (5.1%) dan senang melakukan senam (2.6%). Kebiasaan Sarapan Frekuensi Sarapan Sarapan (makan pagi) adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada pagi hari, dengan melakukan sarapan dapat menyumbangkan 25% dari kebutuhan total energi harian. Sebagai bagian dari pola makan, sarapan dapat disesuaikan dengan ritme dimulainya aktivitas pagi. (Khomsan 2005). Tabel 15 menyajikan sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan. Sebagian besar lansia (66.7%) selalu melakukan kegiatan sarapan pagi. Persentase kegiatan sarapan pada lansia perempuan (68.8%) lebih besar daripada laki-laki (64.3%). Tabel 15 Sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan Kebiasaan Sarapan Tidak pernah Jarang (< 4 kali/minggu) Sering (≥ 4-6 kali/minggu) Selalu (7 kali/minggu) Total Laki-laki n % 0 0.0 3 21.4 2 14.3 9 64.3 14 100 Perempuan n % 1 6.3 0 0.0 4 25.0 11 68.8 16 100 n 1 3 6 20 30 Total % 3.3 10.0 20.0 66.7 100 Sebagian besar lansia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki persentase kebiasaan sarapan yang cukup baik yang dinyatakan dengan hasil 36 frekuensi selalu sarapan secara menyeluruh lebih dari 50% sehingga bersifat homogen atau tidak beragam. Herlina (2001) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pada lansia di perkotaan sebanyak 86.6% melakukan sarapan pagi karena faktor kebiasaan dan menjaga kesehatan. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa kesadaran lansia di perkotaan akan pentingnya melakukan sarapan pagi tinggi. Lansia pada penelitian ini dibedakan menjadi dua kelompok usia yaitu usia lanjut (60-74 tahun) dan usia tua (75-90 tahun). Berikut adalah sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan dan usia yang disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan dan usia. Frekuensi sarapan baik pada kelompok usia lanjut (60-74 tahun) dan usia tua (75-90 tahun) adalah selalu sarapan dengan frekuensi 7 kali/minggu. Hasil ini sesuai dengan Sharkey et al. (2002) yang menyebutkan bahwa frekuensi sarapan meningkat seiring dengan usia (p<0.01) terutama pada kelompok lansia (60-74 tahun, 75-84 tahun dan ≥85 tahun). Namun masih ada pula lansia yang tidak pernah sarapan setiap hari, sebanyak 4.0% pada kelompok usia 60-74 tahun. Alasan lansia tidak melakukan sarapan pagi adalah karena tidak terbiasa. Khomsan (2005) mengemukakan bahwa ada dua manfaat yang bisa diambil jika seseorang melakukan sarapan pagi. Pertama, sarapan pagi menyumbang karbohidrat untuk meningkatkan kadar gula darah sehingga gairah dan konsentrasi kerja jadi lebih baik. Kedua, memberikan kontribusi penting beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin dan mineral. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi sarapan pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). 37 Waktu Sarapan Sarapan dapat dilakukan antara pukul 06.00-08.00 namun waktu ini bukan acuan keharusan (Khomsan 2005). Waktu sarapan dibedakan menjadi empat kategori waktu meliputi pukul 07.00-08.00, pukul 08.00-09.00, pukul 09.00-10.00, dan lainnya. Berikut data waktu sarapan lansia disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan Waktu Sarapan 07.00 - 08.00 08.00 - 09.00 09.00 - 10.00 Lainnya Total n 11 0 2 1 14 Laki-laki % 78.6 0.0 14.3 7.1 100 Perempuan n % 11 68.8 1 6.0 1 6.0 3 18.8 16 100 Total n 22 1 3 4 30 % 73.3 3.0 10.0 13.3 100 Sebagian besar lansia (73.3%) lebih banyak melakukan sarapan pada pukul 07.00-08.00 WIB. Dengan lansia laki-laki (78.6%) dan lansia perempuan (68.8%). Sebagian kecil lansia (13.3%) melakukan sarapan pada pukul 05.0006.00 WIB yang dilakukan sebelum melakukan aktivitas di pagi hari. Lansia pada penelitian ini dikategorikan menjadi kelompok usia lanjut dan usia tua, sebagian besar lansia melakukan kegiatan sarapan pada pukul 07.0008.00. Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan dan usia disajikan pada Gambar 3 berikut. Gambar 3 Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan dan usia. Seluruh lansia yang termasuk dalam kelompok usia tua (100%) melakukan sarapan pada pukul 07.00-08.00, sedangkan untuk kelompok usia lanjut (68.0%) melakukan sarapan pada jam yang sama. Hal ini mereka lakukan agar memperoleh energi yang akan digunakan untuk melakukan kegiatan sehari- 38 hari. Namun ada pula lansia yang termasuk dalam kategori waktu lainnya, yaitu melakukan kegiatan sarapan sebelum pukul 07.00, berdasarkan hasil wawancara kepada lansia mereka melakukan hal tersebut karena saat bangun pagi sudah terasa lapar dikarenakan tidak makan malam pada hari sebelumnya. Jenis Makanan Sarapan Jenis makanan sarapan pada lansia terbagi menjadi 10 jenis makanan sarapan, yaitu roti/kue, gorengan, susu/teh manis, bubur ayam, nasi+lauk pauk, nasi uduk, nasi goreng, bihun goreng, mie goreng dan lainnya seperti havermout dan sereal. Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan terdapat pada Tabel 17. Persentase jenis makanan yang sering (26.2%) dikonsumsi oleh lansia adalah nasi+lauk pauk. Hasil penelitian ini serupa dengan yang dilakukan oleh Sari (2010) yang menunjukkan bahwa 96.9% lansia pada saat sarapan lebih banyak mengonsumsi makanan pokok (nasi) dan lauk pauk. Selain makanan sarapan tersebut, lansia juga sering mengonsumsi roti/kue (19.7%) yang disertai dengan susu/teh manis (18.0%). Tabel 17 Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan Jenis Makanan Sarapan Roti/kue Gorengan Susu atau teh manis Bubur ayam Nasi+lauk pauk Nasi uduk Nasi goreng Bihun goreng Mie goreng Lainnya n 5 3 4 1 11 1 3 0 0 3 Laki-laki % 16.1 9.7 12.9 3.2 35.5 3.2 9.7 0.0 0.0 9.7 Perempuan n % 7 23.3 2 6.7 7 23.3 3 10.0 5 16.7 0 0.0 3 10.0 0 0.0 0 0.0 3 10.0 Total n 12 5 11 4 16 1 6 0 0 6 % 19.7 8.2 18.0 6.6 26.2 1.6 9.8 0.0 0.0 9.8 Sarapan sebaiknya mengonsumsi makanan lengkap, yakni yang mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan gizi yang seimbang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Sianturi 2002). Hasil penelitian menunjukkan makanan yang dikonsumsi oleh lansia belum mengandung semua unsur gizi seimbang, lansia hanya mengonsumsi salah satu dari unsur gizi, seperti roti manis yang dikombinasikan dengan kopi, teh manis, atau susu. Sebagian kecil lansia (8.2%) mengonsumsi makanan camilan. Makanan camilan terdiri dari dua jenis yaitu makanan camilan basah seperti pisang goreng dan makanan camilan kering seperti produk ekstruksi (Nuraida et al 2009). Makanan camilan yang sering dikonsumsi oleh lansia adalah pisang goreng, tahu goreng, buras, talas dan singkong. Menurut Khomsan (2005) makanan jajanan 39 atau camilan seringkali lebih banyak mengandung karbohidrat dan hanya sedikit protein, vitamin, dan mineral. Akibat ketidaklengkapan gizi dalam makanan jajanan sehingga makanan jajanan tidak dapat menggantikan makanan sarapan. Makanan lain yang sering dikonsumsi adalah nasi+lauk pauk dengan nasi sebagai sumber karbohidrat dan ikan, tempe atau tahu sebagai pangan sumber protein nabati, sumber vitamin dan mineral tidak diperhatikan oleh lansia sehingga dapat mempengaruhi kebutuhan akan sumber tersebut. Khomsan (2005) menyebutkan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat (nasi) perlu disertai makanan lain sumber vitamin/mineral dari sayur dan buah sehingga mekanisme proses pencernaan menjadi lancar. Jenis makanan sarapan lansia cukup bervariasi dan umumnya jenis makanan sarapan tersebut dikonsumsi secara bergantian setiap hari. Makanan dengan menu nasi+lauk pauk lebih banyak dikonsumsi oleh lansia (60-74 tahun), sedangkan untuk usia tua (75-95 tahun) memilih menu lainnya seperti havermout dan sereal. Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan dan usia disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan dan usia. 40 Asupan dan Kontribusi Makanan Sarapan Zat gizi yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A dan vitamin C. Rata-rata sumbangan energi dan zat gizi makanan sarapan terhadap asupan dan kecukupan lansia terdapat pada Tabel 18. Tabel 18 Rata-rata sumbangan energi dan zat gizi makanan sarapan terhadap asupan dan kecukupan lansia Zat Gizi Laki-laki Perempuan P Energi Asupan energi makanan sarapan (kkal/hari) 600 431 Kontribusi terhadap asupan total (%) 30.1 29.5 Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 28.1 26.0 Asupan protein makanan sarapan (g) 18.1 10.2 Kontribusi terhadap asupan total (%) 27.8 24.6 Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 30.1 21.7 1109.9 1330.0 Kontribusi terhadap asupan total (%) 84.9 98.2 Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 2.1 3.9 Asupan Fosfor makanan sarapan (mg) 303.3 282.9 Kontribusi terhadap asupan total (%) 37.7 38.3 Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 43.9 35.7 Asupan vitamin A makanan sarapan (RE) 410.8 256.6 Kontribusi terhadap asupan total (%) 17.2 16.4 Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 50.5 56.6 Asupan vitamin C makanan sarapan (mg) 1.8 0.8 Kontribusi terhadap asupan total (%) 2.6 1.5 4564.8 342.2 0.072 Protein 0.006 Kalsium Asupan Kalsium makanan sarapan (mg) 0.830 Fosfor 0.882 Vitamin A 0.161 Vitamin C Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 0.178 Makanan sarapan pada lansia laki-laki dapat memberikan kontribusi energi (30.1%), protein (27.8%), kalsium (84.9%), fosfor (37.7%), vitamin A (17,2%) dan vitamin C (2.6%) terhadap asupan total. Sedangkan pada lansia perempuan makanan sarapan menyumbangkan kontribusi energi (29.5%), protein (24.6%), kalsium (98.2%), fosfor (38.3%), vitamin A (16.4%) dan vitamin C (1.5%). Rata-rata kontribusi energi, protein, vitamin A dan vitamin C pada lansia laki-laki lebih tinggi daripada lansia perempuan. Untuk kontribusi kalsium dan fosfor pada lansia perempuan lebih tinggi. Makanan sarapan yang dikonsumsi oleh lansia cukup banyak mengandung energi seperti roti, nasi uduk, 41 nasi goreng, ketupat tahu, bubur ayam, havermout dan sereal gandum. Sumber protein makanan sarapan pada lansia berasal dari ayam goreng, ikan, telur ayam, daging sapi, tempe dan tahu. Sumber vitamin A dan C diperoleh dari makanan seperti hati, kuning telur, minyak, bayam, wortel, kacang panjang, jagung, tomat, jeruk, pepaya, semangka dan melon. Kontribusi kalsium dan fosfor yang lebih tinggi pada lansia wanita diduga karena pada lansia wanita, konsumsi sumber kalsium seperti susu pada sarapan pagi lebih sering daripada laki-laki yang biasanya mengonsumsi teh atau kopi pada pagi hari. Almatsier et al (2011) menyebutkan bahwa makanan kaya kalsium adalah susu dan hasil olahannya seperti keju dan yogurt, ikan teri dan ikan yang dimakan dengan tulangnya misalnya ikan duri lunak. Kontribusi terhadap kecukupan gizi diperoleh dari rata-rata konsumsi sarapan selama 7 hari kemudian dibandingkan dengan rata-rata tingkat kecukupan gizi lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui kontribusi energi dari zat gizi terhadap kecukupan gizi makanan sarapan pada lansia laki-laki yaitu energi (28.1%), protein (30.1%), kalsium (2.1%), fosfor (43.9%), vitamin A (50.5%) dan vitamin C (4564.8%) dan pada lansia perempuan makanan sarapan memberikan kontribusi energi (26.0%), protein (21.7%), kalsium (3.9%), fosfor (35.7%), vitamin A (56.5%), vitamin C (342.2%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsumsi makanan sarapan lansia baik laki-laki maupun perempuan telah memenuhi kebutuhan energi, protein, vitamin A dan vitamin C sekitar 20-30% yang dibutuhkan dari makanan sarapan. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan protein makanan sarapan pada lansia laki-laki dan perempuan (p<0.05). Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik (Almatsier 2006). Menurut Kusharto dan Sa’adiyah (2008) konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi zat gizi individu diperoleh dari hasil recall 2 x 24 jam. Konsumsi zat gizi yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A dan 42 vitamin C. Sedangkan tingkat kecukupan gizi diketahui dengan cara membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi oleh individu dengan angka kecukupan yang dianjurkan. Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lansia disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lansia No Zat Gizi 1 Energi (Kal) 2 Protein (g) 3 Kalsium (mg) 4 Fosfor (mg) 5 6 Asupan Zat Gizi Laki-laki Perempuan Tingkat Kecukupan Gizi (%) Laki-laki Perempuan 1992.9 ± 565.8 1460.3 ± 322.9 94.4 ± 31.3 83.2 ± 19.2 65.0 ± 28.1 41.3 ± 11.0 219.1 ± 100.2 166.8 ± 46.6 1307.4 ± 1748.8 1354.7 ± 3456.8 176.5 ± 260.9 163.8 ± 426.0 804.4 ± 456.6 739.0 ± 720.1 137.0 ± 85.5 118.0 ± 117.7 Vitamin A (RE) 2387.1 ± 1268.7 1560.8 ± 831.0 392.6 ± 203.3 293.9 ± 154.5 Vitamin C (mg) 70.6 ± 70.1 56.1 ± 24.9 761.5 ± 666.2 69.7 ± 28.2 Energi. Rata-rata konsumsi energi lansia laki-laki (1992.9 ± 565.8 Kal) lebih tinggi daripada lansia perempuan (1460.3 ± 322.9 Kal). Persentase ratarata tingkat kecukupan energi lansia laki-laki 94.4% juga lebih tinggi daripada lansia perempuan 83.2%. Menurut Depkes (2003) umumnya laki-laki memerlukan zat gizi lebih banyak (terutama kalori, protein dan lemak) dibandingkan dengan wanita karena postur, otot dan luas permukaan tubuh lebih besar atau lebih luas daripada wanita. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa rata-rata tingkat kecukupan lansia laki-laki berada pada kategori normal (90119% AKG), sedangkan pada lansia perempuan rata-rata tingkat kecukupan energinya berada pada kategori defisit tingkat ringan (80-89%). Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Protein. Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim dan sel darah merah (Fatmah 2010). Berdasarkan Tabel 19, ratarata asupan protein pada lansia laki-laki (65.0 ± 28.1 g) lebih tinggi daripada lansia perempuan (41.3 ± 11.0 g). Persentase rata-rata tingkat kecukupan protein lansia laki-laki sebesar 219.1% dan 166.8% pada lansia perempuan. Sehingga rata-rata tingkat kecukupan lansia laki-laki dan perempuan termasuk dalam kategori lebih (>120%). Tingkat kecukupan protein yang berlebih ini diduga 43 karena lansia banyak mengonsumsi pangan protein, baik hewani maupun nabati, ditunjukkan dengan menu makan sehari-hari lansia hanya berupa nasi+lauk seperti ayam, tempe maupun tahu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Almatsier (2006) kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu tertinggi. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein pada lansia laki-laki dan perempuan (p<0.05). Kalsium. Rata-rata asupan kalsium pada lansia perempuan 1354.7 ± 3456.8 mg lebih tinggi daripada lansia laki-laki 1307.4 ± 1748.8 mg. Tingkat kecukupan kalsium lansia laki-laki 176.5% dan lansia perempuan 163.8%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecukpan kalsium pada kedua kelompok berada dalam kategori cukup (≥ 77%). Menurut Almatsier (2006) sumber kalsium utama adalah susu dan hasil susu, seperti keju dan sumber kalsium baik lainnya adalah ikan dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering. Lansia pada penelitian ini banyak mengonsumsi susu terutama pada sarapan pagi, serta ikan kering yang ditambahkan sebagai lauk pada menu makan siang sehingga asupan kalsium tergolong cukup. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan kalsium pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Fosfor. Fosfor mempunyai berbagai fungsi dalam tubuh seperti klasifikasi tulang dan gigi, mengatur pengalihan energi, absorpsi dan transportasi zat gizi, bagian dari ikatan tubuh esensial, dan pengaturan keseimbangan asam-basa (Almatsier 2006). Rata-rata asupan fosfor pada lansia laki-laki (804.4 ± 456.6 mg) lebih tinggi daripada lansia perempuan (739.0 ± 720.1 mg). Tingkat kecukupan fosfor lansia termasuk laki-laki mencapai 137% dan 118% pada perempuan. Berdasarkan hasil tersebut, tingkat kecukupan fosfor lansia berada dalam kategori cukup (≥ 77%) sama halnya dengan tingkat kategori kalsium. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan fosfor pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Vitamin A. Rata-rata asupan vitamin A pada lansia laki-laki (2387.1 ± 1268.7 RE/hari) lebih tinggi daripada lansia perempuan (1560.8 ± 831.0 RE/hari). Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok lansia sebesar >100% sehingga termasuk dalam kategori cukup (≥ 77%). Sumber vitamin A yang banyak dikonsumsi lansia antara lain hati ayam, ikan, kuning telur, dan 44 pemakaian minyak goreng ketika memasak. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin A pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Vitamin C. Rata-rata asupan vitamin C pada lansia laki-laki (70.6 ± 70.1 mg) lebih tinggi daripada lansia perempuan (56.1 ± 24.9 mg). Tingkat kecukupan vitamin C pada laki-laki sebesar 761.5% yang termasuk dalam kategori cukup (≥ 77%), berbeda pada lansia perempuan yang hanya mencapai 69.7% sehingga dikategorikan kurang (<77%). Rendahnya tingkat kecukupan vitamin C pada lansia perempuan diduga karena jumlah konsumsi buah (jeruk, pepaya, tomat) dan beberapa sayuran yang mengandung sumber vitamin C masih kurang. Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai penyakit. Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melndungi dari serangan kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih, mencegah katarak, memperbaiki kualitas sperma, dan mencegah penyakit gusi (Fatmah 2010). Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin C pada lansia lakilaki dan perempuan (p<0.05). Perbedaan tingkat kecukupan vitamin C pada lansia laki-laki dan perempuan ini diduga karena perbedaan angka kecukupan gizi antara lansia laki-laki dan perempuan. Menurut WNPG (2004) angka kecukupan vitamin C pada laki-laki usia 50-64 tahun dan >65 tahun adalah 9 mg, sedangkan pada lansia perempuan adalah 75 mg. Status Gizi Status gizi merupakan kondisi kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan. Penilaian status gizi seseorang atau sekelompok orang bertujuan untuk mengetahui baik buruknya status gizi (Riyadi 2003). Status gizi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan IMT (kg/m2). Kategori status gizi dibagi menjadi empat yaitu underweight, normal, overweight dan obese. Sebaran status gizi lansia dapat dilihat pada Tabel 20. 45 Tabel 20 Sebaran lansia berdasarkan jenis kelamin dan status gizi Status Gizi Underweight Normal Overweight Obese Total n 1 9 0 4 14 Laki-laki % 7.0 64.3 0.0 28.6 100 Perempuan n % 0 0.0 56.0 9 0 0.0 43.8 7 16 100 Total n 1 18 0 11 30 % 3.3 60.0 0.0 36.7 100 Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia termasuk dalam kategori status gizi normal (60.0%). Sebanyak 36.7% lansia termasuk dalam kategori status gizi obese. Status gizi obese lebih banyak terjadi pada perempuan (43.8%). Menurut WHO (2000) wanita cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak, sehingga memiliki kemungkinan untuk menjadi obesitas. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Baik pada status gizi kurang maupun gizi lebih terjadi gangguan gizi yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kebiasaan makan yang salah, gigi-geligi yang tidak baik, dan kelainan struktur saluran cerna (Almatsier 2006). Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan usia disajikan pada Gambar 5. Gambar 5 Sebaran lansia berdasarkan status gizi dan usia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (56.0%) dan (80.0%) lansia dari dua kelompok usia yang berbeda termasuk dalam kategori status gizi normal. Status gizi underweight banyak terjadi pada usia tua (75-90 tahun). Berdasarkan hasil wawancara, lansia mengalami penurunan nafsu makan. Ketika usia mulai menua 46 mulai banyak gigi yang tanggal mengakibatkan gangguan fungsi mengunyah yang berdampak pada kurangnya asupan gizi pada usia lanjut (Depkes 2003). Uji beda independent sample t-test menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Menurut Forbes (1987) diacu dalam Ferro-Luzzi (1996) seseorang yang telah memasuki usia lanjut akan mengalami penurunan massa otot yang akan berbanding terbalik dengan proporsi lemak didalam tubuhnya sehingga cenderung akan mengalami peningkatan resiko terjadinya obesitas yang lebih lanjut akan mengalami peningkatan resiko terjadinya penyakit degeneratif. Status Kesehatan Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Departemen Sosial RI 2003), sedangkan status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang dan penyakit yang diderita yang merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keadaan kesehatan seseorang (Astawan & Wahyuni 1988). Dalam penelitian ini, status kesehatan dilihat dari keluhan kesehatan, frekuensi dan lama sakit serta tindakan pengobatan. Keluhan kesehatan merupakan berbagai keluhan fisik yang dialami meliputi berbagai keluhan dan penyakit yang diderita selama satu bulan terakhir, termasuk penyakit kronis meskipun tidak kambuh. Darmojo (2000) menyatakan bahwa penyakit atau keluhan yang umum diderita oleh lansia adalah rematik (arthritis), hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru-paru (bronchitis/dyspnea), diabetes mellitus, jatuh (falls), lumpuh separuh badan, TBC, patah tulang, dan kanker. Tabel 21 Sebaran lansia berdasarkan keluhan kesehatan Keluhan Kesehatan Tidak ada keluhan Terdapat 1 jenis keluhan Terdapat lebih dari 1 jenis keluhan Total Laki-laki n % 2 14.3 3 21.4 9 64.3 14 100 Perempuan n % 2 12.5 3 18.8 11 68.8 16 100 n 4 6 20 30 Total % 13.3 20.0 66.7 100 Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia (66.7%) mengalami lebih dari satu jenis keluhan dalam satu bulan terakhir. Keluhan kesehatan lebih banyak terjadi pada lansia perempuan (68.8%) dibandingkan dengan lansia lakilaki (64.3%). Keluhan kesehatan yang ditanyakan pada penelitian ini antara lain 47 sering buang air besar, susah buang air kecil, pegal-pegal, pusing, sering buang air kecil, tangan/kaki kesemutan dan gatal/alergi. Jenis Penyakit Infeksi dan Non Infeksi Penyakit adalah suatu keadaan terganggunya fungsi tubuh yang terjadi sebagai respons terhadap infeksi, tekanan, atau kondisi lainnya (Diana 2006). Jenis penyakit pada penelitian ini terbagi dua yaitu penyakit infeksi dan penyakit non infeksi. Berikut ini adalah tabel sebaran lansia berdasarkan penyakit infeksi dan non infeksi. Tabel 22 Sebaran lansia berdasarkan penyakit infeksi dan non infeksi Jenis Penyakit Penyakit Infeksi Diare TBC Influenza Tifus Penyakit Non Infeksi Maag Asma Katarak Hipertensi Diabetes Jantung Rematik Asam Urat Laki-laki Perempuan n % n % 1 0 3 0 10.0 0.0 30.0 0.0 0 0 2 0 0.0 0.0 18.2 0.0 2 0 3 4 4 1 1 2 20.0 0.0 30.0 40.0 40.0 10.0 10.0 20.0 3 0 0 4 2 2 7 4 27.3 0.0 0.0 36.4 18.2 18.2 63.6 36.4 Jenis penyakit infeksi yang paling banyak diderita lansia dalam satu bulan terakhir adalah influenza dengan persentase pada lansia laki-laki sebesar 30.0% dan 18.2% pada lansia perempuan, penyakit infeksi lainnya yang diderita adalah diare (10.0%). Hal ini sejalan dengan pendapat Arisman (2007) yang menyatakan bahwa penyakit yang sering dialami lansia diantaranya adalah gangguan pernapasan dan pencernaan karena adanya penurunan fungsi dari organ tubuh maupun metabolisme tubuh. Selain penyakit infeksi, menurut Rahardjo et al. (2009) penyakit atau gangguan kesehatan pada orang usia lanjut umumnya berupa penyakit-penyakit kronik-menahun dan degeneratif, seperti penyakit hipertensi, diabetes mellitus, osteoporosis, demensia, gangguan jantung, gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan dan sebagainya. Selain itu, pada usia lanjut di Indonesia penyakitpenyakit infeksi akut juga masih sering terjadi, misalnya infeksi saluran pernapasan atas (radang tenggorokan, influenza) atau infeksi saluran 48 pernapasan bawah (pneumonia, tbc), infeksi saluran kemih, infeksi kulit. Dalam penelitian ini, penyakit non infeksi yang paling banyak diderita oleh lansia adalah hipertensi dengan persentase sebesar 40.0% dan 36.4% masing-masing pada lansia laki-laki dan perempuan. Schlenker (2000) menyatakan bahwa hipertensi atau penyakit darah tinggi merupakan penyakit kardiovaskular yang seringkali berhubungan dengan penuaan dan menyerang pria maupun wanita. Hipertensi menjadi masalah serius bagi rata-rata kaum lansia. Penyakit non infeksi lainnya yang cukup banyak diderita oleh lansia laki-laki adalah diabetes (40.0%), asam urat (20.0%) dan maag (20.0%), sedangkan pada lansia perempuan sebanyak 63.0% menderita penyakit rematik, asam urat (36.4%), maag (27.3%), diabetes dan jantung masing-masing (18.2%). Lama dan Frekuensi Sakit Lama dan frekuensi sakit menunjukkan rata-rata berapa kali dan berapa lama terjadinya sakit dalam 1 bulan terakhir. Lama sakit yang digunakan dalam penelitian ini terbagi empat kategori, yaitu 1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari dan >14 hari (BPS 2000). Jumlah seluruh lansia yang sakit sebanyak 21 orang dari 30 orang. Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa sebagian besar lansia (33.3%) berada pada kategori lama sakit 1-3 hari. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara lama sakit pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Frekuensi sakit dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu 1 kali/bulan, 2 kali/bulan dan ≥3 kali/bulan. Tabel 23 menunjukkan bahwa frekuensi sakit sebagian lansia peserta senam (52.4%) adalah 1 kali/bulan. Untuk frekuensi sakit 2 kali/bulan diperoleh persentase 38.1% dan ≥3 kali/bulan sebanyak 9.5%. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi sakit pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Berikut disajikan data mengenai lama dan frekuensi sakit lansia peserta senam terpadu. Tabel 23 Sebaran lansia berdasarkan lama dan frekuensi sakit Lama sakit Frekuensi sakit Kategori 1-3 hari 4-7 hari 8-14 hari >14 hari Total 1 kali/bulan 2 kali/bulan ≥3 kali/bulan Total n 7 6 3 5 21 11 8 2 21 % 33,3 28,6 14,3 23,8 100 52,4 38,1 9,5 100 49 Skor Morbiditas Salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan dapat dilihat dari skor morbiditas. Angka morbiditas merupakan indikator kesehatan yang cukup sensitif (Depkes 2007). Skor morbiditas dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dan frekuensi sakit untuk setiap gejala/jenis penyakit. Skor morbiditas dikategorikan menurut interval kelas Sugiyono (2009) menjadi rendah (0-19), sedang (20-39) dan tinggi (40-60). Skor morbiditas menunjukkan status kesehatan. Skor morbiditas yang rendah menunjukkan status kesehatan yang tinggi. Berikut ini adalah tabel sebaran lansia berdasarkan status kesehatan. Tabel 24 Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan Status kesehatan Tinggi Sedang Rendah Total Laki-laki n % 4 40.0 0 0.0 6 60.0 10 100 Perempuan n % 8 72.7 2 18.2 1 9.1 11 100 Total n 12 2 7 21 % 57.1 9.5 33.3 100 Berdasarkan Tabel 24, sebagian besar lansia (57.1%) berada kategori status kesehatan tinggi dengan persentase lansia perempuan (72.7%) lebih besar daripada laki-laki (40.0%). Namun masih ada lansia yang termasuk dalam status kesehatan rendah (33.3%) dan (9.5%) termasuk kategori status kesehatan sedang. Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (morbiditas) (Depkes 2008). Sebagian besar lansia baik kelompok usia lanjut dan usia tua, memiliki status kesehatan yang tinggi (56.3% dan 60.0%), namun masih ada pula lansia yang memiliki status kesehatan rendah dengan persentase 40.0% pada usia tua. Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan dan usia dapat dilihat pada Gambar 6. 50 Gambar 6 Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan dan usia. Status kesehatan lansia tidak boleh terlupakan karena berpengaruh dalam penilaian kebutuhan zat gizi. Ada lansia yang tergolong sehat dan ada lansia mengidap penyakit kronis (Arisman 2007). Status kesehatan yang rendah dapat disebabkan oleh dua hal yaitu frekuensi sakit yang sering dan lamanya lansia menderita sakit. Berdasarkan hasil uji beda independent sample t-test, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara status kesehatan lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05). Tindakan Pengobatan Tindakan pengobatan yang dilakukan pada penelitian ini antara lain puskesmas, rumah sakit, obat warung dan obat tradisional/jamu. Dari Tabel 25 dapat dilihat bahwa sebagian besar lansia pergi ke rumah sakit untuk melakukan tindakan pengobatan, persentase jasa pengobatan ke rumah sakit pada lansia laki-laki sebanyak 70.8% dan pada lansia perempuan sebesar 45.8%. Selain pergi ke rumah sakit, pengobatan melalui puskesmas banyak dipilih oleh lansia, terutama pada lansia perempuan (29.2%) dan (16.7%) pada laki-laki. Berdasarkan hasil wawancara, lansia yang memilih berobat ke rumah sakit dikarenakan penyakit yang diderita sudah cukup parah dan obat yang diberikan oleh dokter di rumah sakit lebih menyembuhkan daripada obat warung ataupun jamu. Namun ada beberapa lansia yang memilih puskesmas karena alasan biaya dan akses yang dekat dari rumah. 51 Tabel 25 Sebaran lansia berdasarkan tindakan pengobatan Tindakan Pengobatan Puskesmas Rumah Sakit Obat Warung Obat Tradisional/jamu n 4 17 2 1 Laki-laki % 16.7 70.8 8.3 4.2 Perempuan n % 29.2 7 45.8 11 8.3 2 17.0 4 Total n 11 28 4 5 % 22.9 58.3 8.3 10.4 Daya Tahan Jantung Paru Daya tahan jantung paru adalah kemampuan fungsional jantung paru mensuplai oksigen untuk kerja otot dalam waktu yang lama (Irianto 2000). Pengukuran daya tahan jantung paru ditentukan oleh kekuatan aerobik maksimal (VO2 max) yang didefinisikan sebagai rata-rata tertinggi oksigen yang dapat dihasilkan selama latihan dan diperlihatkan dalam jumlah millimeter oksigen yang dikonsumsi per kilogram berat badan per menit (Fatmah 2011). Ada beberapa alat ukur untuk mengetahui daya tahan jantung paru seseorang diantaranya adalah pengukuran dengan tes jalan satu mil (1,609 km). Tes ini digunakan untuk mengestimasi VO2 max orang yang berusia 20 tahun keatas dan orang yang mempunyai masalah dengan fisik seperti orang lanjut usia (Kuntaraf & Kuntaraf 1992 diacu dalam Simon 2006). Pengkategorian VO2 max dibagi menjadi lima yaitu sangat kurang, kurang, sedang, baik, dan sangat baik. Hasil VO2 max dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Sebaran lansia berdasarkan jenis kelamin dan VO2 max VO2 Max Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat Baik Total n 0 0 6 6 2 14 Laki-laki % 0.0 0.0 42.9 42.9 14.3 100 Perempuan n % 1 6.3 1 6.3 11 68.8 3 18.8 0 0.0 16 100 Total n 1 1 17 9 2 30 % 3.3 3.3 56.7 30.0 6.7 100 Data pada Tabel 26 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia 56.7% memiliki nilai VO2 max yang termasuk dalam kategori sedang. Lansia perempuan dengan nilai VO2 max sedang (68.8%) lebih tinggi persentasenya dibandingkan dengan lansia laki-laki (42.9%). Nilai VO2 max dengan kategori baik, terdapat lansia perempuan sebanyak 18.8% dan 42.9% lansia laki-laki. Sedangkan untuk kategori VO2 max sangat baik sebanyak 14.3% seluruhnya pada lansia laki-laki. Untuk kategori sangat kurang dan kurang sebanyak 6.3% berada pada lansia perempuan. 52 Lansia berusia 60-74 tahun memiliki rata-rata nilai VO2 max 30.1 ± 7.21 sedangkan lansia berusia 75-90 tahun memiliki rata-rata nilai VO2 max 34.3 ± 6.65. Sebaran lansia berdasarkan usia dan VO2 max dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran lansia berdasarkan usia dan VO2 max VO2 Max Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat Baik Total 60-74 tahun n % 1 4.0 1 4.0 16 64.0 6 24.0 1 4.0 25 100 75-90 tahun n % 0 0.0 1 20.0 0 0.0 3 60.0 1 20.0 5 100 Total n 1 2 16 9 2 30 % 3.3 6.7 53.3 30.0 6.7 100 Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa untuk kategori sangat kurang, sebagian besar adalah lansia dengan usia 60-74 tahun (4.0%). Pada kategori kurang, jumlah lansia pada usia 60-74 tahun dan 75-90 tahun masingmasing sebanyak 1 orang dengan persentase 4.0% dan 20.0%, kemudian untuk nilai VO2 max dengan kategori sedang, seluruhnya berada pada tingkatan usia lansia (60-74 tahun) dengan persentase 64.0%. Pada kategori baik, lansia tua (75-90 tahun) memiliki persentase yang lebih tinggi (60.0%) dibandingkan dengan lansia (60-74 tahun) yaitu (24.0%). Untuk kategori sangat baik diperoleh hasil (4.0%) untuk lansia usia 60-74 tahun dan (20.0%) pada lansia 75-90 tahun. Hasil persentase yang tinggi pada lansia tua (75-90 tahun) jika dibandingkan dengan lansia (60-74 tahun) dikarenakan jumlah responden kedua kelompok tersebut memiliki perbedaan yang sangat besar. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan responden, lansia tua kebiasaan olahraga yang lebih baik dengan rutin melakukan jalan pagi dengan jarak 2-3 km, hal tersebut dilakukan untuk menjaga kondisi tubuh tetap sehat. Olahraga teratur selain dapat mengurangi stres, juga dapat menurunkan berat badan, membakar lebih banyak lemak di dalam darah, dan memperkuat otot-otot jantung (Vitahealth 2006). Menurut Fatmah (2010) diacu dalam Kesehatan Komunitas (2002) kebugaran meningkat sampai mecapai maksimal pada usia 25-30 tahun, kemudian akan terjadi penurunan kapasitas fungsional dari seluruh tubuh, kirakira sebesar 0.8-1 % per tahun, tetapi bila rajin berolahraga penurunan ini dapat dikurang sampai separuhnya. Setelah dilakukan uji beda independent sample ttest menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai VO2 max lansia laki-laki dan perempuan (p<0.05). 53 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebugaran salah satunya adalah aktivitas fisik yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu aktivitas fisik terstruktur (kegiatan olahraga) dan aktivitas fisik tidak terstruktur (berjalan, bersepeda dan bekerja) (Fatmah 2010). Pada lansia perempuan, aktivitas fisik terstrukturnya lebih tinggi seperti melakukan pekerjaan di rumah dan mengikuti aktivitas olahraga lainnya setiap minggu, berbeda dengan lansia laki-laki yang menggunakan waktu luangnya untuk santai atau hanya duduk. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Simon (2006) yang menyatakan bahwa peningkatan VO2 max yang lebih besar pada umumnya adalah terhadap individu yang tidak terlatih, sedangkan pada orang yang latihannya teratur dan pada atlet yang banyak mempergunakan daya tahan, maka peningkatan VO2 max nya kecil. Perolehan nilai VO2 max lansia dihasilkan dengan melakukan tes jalan kaki satu mil (1,609 km). Tes ini dilakukan dengan cara lansia diukur berat badan dan denyut nadi istirahat sebelum melakukan tes, kemudian melakukan jalan kaki sejauh 1,609 km. Setelah jarak selesai ditempuh, dicatat waktu tempuhnya dan dihitung denyut nadi selama 10 detik. Hasil tersebut kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan nilai VO2 max lansia Hubungan Antar Variabel Hubungan Kebiasaan Sarapan dan Status Gizi Hasil uji korelasi Spearman antara kebiasaan sarapan dengan status gizi menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Dari hasil ini dapat diketahui bahwa lansia yang memiliki frekuensi sarapan yang baik cenderung memiliki status gizi yang normal, namun karena data yang kurang homogen sehingga apabila dihubungkan dengan frekuensi sarapan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Menurut Riyadi (2003) status gizi dipengaruhi oleh faktor langsung seperti intake makanan dan status kesehatan. Kedua faktor tersebut saling tergantung satu sama lainnya. Melakukan sarapan secara teratur belum tentu meningkatkan status gizi seseorang karena makanan sarapan hanya mengandung 25% dari kebutuhan total energi harian apabila mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hubungan Kebiasaan Sarapan dengan Daya Tahan Jantung Paru Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan dengan daya tahan jantung paru (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa apabila individu memiliki kebiasaan 54 sarapan yang baik, belum tentu mempengaruhi daya tahan jantung paru. Khomsan (2005) sarapan dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Dengan kadar gula darah yang normal, gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Hubungan Status Gizi dengan Daya Tahan Jantung Paru Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan daya tahan jantung paru (p<0.05). Hal ini berarti terdapat kecenderungan lansia yang memiliki status gizi yang baik maka daya tahan jantung paru baik. Menurut Bredbenner et al. (2009) olahraga teratur dapat membantu proses pencernaan, meningkatkan penyimpanan kalsium tulang, serta menguatkan jantung sehingga zat gizi dapat diantarkan ke sel-sel dengan efisien. Hal ini didukung dengan pernyataan Almatsier (2006) status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Hubungan Status Kesehatan dengan Daya Tahan Jantung Paru Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status kesehatan dengan daya tahan jantung paru (p>0.05). Artinya lama atau tidaknya lansia terjangkit penyakit tidak mempengaruhi daya tahan jantung paru lansia tersebut. Menurut Irianto (2000) seseorang yang merasa sehat belum tentu bugar sebab untuk dapat mengerjakan tugas sehari-hari seseorang tidak hanya bebas dari penyakit saja tetapi juga dituntut memiliki kebugaran. Tabel nilai p untuk setiap korelasi dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.