KEKERASAN SEKSUAL

advertisement
KEKERASAN SEKSUAL
Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap
perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan.1 Persoalan ketimpangan
relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan.
Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang
dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu
pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber
daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status
sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan
patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid,
tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil.
Komnas Perempuan mencatat dalam waktu tiga belas tahun terakhir kasus kekerasan
seksual berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus
dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan (400.939). Artinya
setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data ini merupakan hasil
dokumentasi yang berasal dari CATAHU, yaitu catatan tahunan Komnas Perempuan
bersama lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban, pemantauan Komnas
Perempuan tentang pengalaman kekerasan terhadap perempuan di dalam konteks Aceh,
Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaan Otonomi Daerah,
dan rujukan Komnas Perempuan pada data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi
Timor Leste (CAVR).
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan
berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis,
termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan
atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang,
baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi
(Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Ps. 1)
1
Kekerasan seksual dapat dilakukan dan dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam naskah ini, karena
fokus kerja Komnas Perempuan, perhatian diberikan kepada pengalaman perempuan berhadapan dengan
kekerasan seksual.
2
Grafik 1
Jumlah kekerasan umum berbanding dengan kekerasan seksual
Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak
banyak masyarakat yang memahami dan peka tentang persoalan ini. Kekerasan seksual
seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini
bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Dalam KUHP kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai
pelanggaran terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat
perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual
adalah persoalan moralitas semata.
Pandangan bahwa kekerasan seksual hanya sebagai kejatahan kesusilaan juga tidak terlepas
dari ketimpangan relasi yang menempatkan perempuan sebagai marka atau penanda
kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Inilah sebabnya seringkali pembahasan tentang
moralitas berujung pada pertanyaan apakah perempuan masih perawan atau tidak sebelum
pernikahannya, apakah perempuan melakukan aktivitas seksual hanya dalam kerangka
perkawinan, dan sejauh mana perempuan memendam ekspresi seksualitasnya dalam
keseharian interaksi sosialnya. Akibatnya, banyak sekali perempuan yang merasa malu
untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual karena malu atau kuatir dianggap “tidak
suci” atau “tidak bermoral”. Sikap korban membungkam justru pada banyak kesempatan
didukung, bahkan didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat
sekitarnya.
Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan seksual lebih sering dipahami
sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan semata. Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah
kesusilaan menyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang penting dibandingkan
dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan ataupun penyiksaan. Padahal,
pengalaman perempuan korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual
dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu
melanjutkan hidupnya lagi.
Aspek khas dari kekerasan seksual terkait dengan wacana moralitas juga menjadi salah satu
hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan dan
pemulihan. Pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan persoalan moralitas
3
menyebabkan korban membungkam dan korban justru disalahkan atas kekerasan yang
dialaminya. Karena apa yang dialami korban dimaknai sebagai “aib”, tidak saja bagi dirinya
tetapi juga bagi keluarga dan komunitasnya, korban seringkali dikucilkan. Ada pula korban
yang diusir dari rumah dan kampungnya karena dianggap tidak mampu menjaga
kehormatan dan merusak nama baik keluarga ataupun masyarakat. Pengucilan dan
stigmatisasi atau pelabelan dirinya sebagai “barang yang rusak” akibat kekerasan seksual itu
bahkan dapat berlangsung sekalipun korban memenangkan kasusnya di pengadilan
Peristiwa kekerasan seksual seringkali juga direkatkan pada penilaian tentang “jejak
moralitas” perempuan korban. Perempuan korban dituduh sebagai penyebab atau pemberi
peluang terjadinya kekerasan seksual karena cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia
berelasi sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya pada
sebuah waktu atau lokasi tertentu. Dalam konteks ini pula, korban kerap dituduh
membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika ia dianggap tidak berupaya untuk melawan
pelaku, menempatkan dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuai
dengan iming-iming pelaku.
Menyimak berbagai pengalaman kekerasan seksual yang dialami perempuan dan dalam
rangka mendekatkan korban akan rasa adil, maka sudah saatnya kekerasan seksual terhadap
perempuan dimaknai sebagai:2
 sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis
gender,
 tindakan seksual, atau percobaan untuk mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan
yang menyasar seksual, atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang
menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi,
ancaman, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau
dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau atas seseorang
yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya
 tindakan yang bersifat seksual itu tidak terbatas pada serangan fisik kepada tubuh
seseorang dan dapat termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi
ataupun kontak fisik
Sejumlah situasi dimana terdapat ketimpangan relasi yang tegas akan meningkatkan
kerentanan perempuan pada kekerasan seksual. Misalnya saja masyarakat yang diatur dalam
sistem pemerintahan yang otoriter dan mengagungkan militerisme. Dalam sistem ini,
pelanggaran terhadap hak asasi manusia biasa terjadi, dan kekerasan seksual bagian tidak
terpisahkan dari berbagai tindak pelanggaran HAM tersebut. Konteks konflik, terutama
konflik bersenjata, juga meningkatkan kerentanan perempuan pada kekerasan seksual,
khususnya perkosaan, penyiksaan seksual dan eksploitasi seksual. Situasi pengungsian
pasca konflik maupun bencana juga menimbulkan kerentanan khusus bagi perempuan
akibat fasilitas barak pengungsian yang tidak dapat dikunci, ketiadaan fasilitas penerangan,
dan kondisi barak yang tidak bersekat. Demikian pula situasi dalam tahanan atau serupa
tahanan, seperti yang dialami oleh para pekerja yang disekap oleh majikannya.
2
Rumusan dirangkum dari penafsiran Pengadilan Kriminal Internasional tentang kekerasan seksual yang dikutip dalam
tulisan Patriacia Viseur Seller. The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of
Interpretation. Diunduh pada 20 Agustus 2010.
http://www2.ohchr.org/english/issues/women/docs/Paper_Prosecution_of_Sexual_Violence.pdf
4
Ranah Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja dan kapanpun. Data Komnas Perempuan
menunjukkan kekerasan seksual terjadi disemua ranah yaitu personal, publik dan negara
seperti ditunjukkan pada grafik 2. Jumlah paling tinggi terjadi di ranah personal, yaitu ¾
dari total kekerasan seksual. Di ranah personal artinya kekerasan seksual dilakukan oleh
oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan,
perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Banyaknya jumlah kasus
di tingkat personal bisa jadi terkait dengan kehadiran payung hukum, yaitu UU. No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang telah
disosialisasikan secara meluas ke masyarakat, bertambahnya lembaga-lembaga yang dapat
diakses oleh perempuan korban, serta meningkatnya kepercayaan korban pada proses
keadilan dan pemulihan yang dapat ia peroleh dengan melaporkan kasusnya itu. Pada saat
bersamaan, informasi ini mematahkan mitos bahwa rumah adalah tempat yang aman bagi
perempuan dan bahwa perempuan akan terlindungi bila selalu bersama dengan anggota
keluarganya yang laki-laki.
Jumlah kedua adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik, yaitu
22.284 kasus. Di ranah publik berarti kasus dimana korban dan pelaku tidak memiliki
hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan,
tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.
Dalam berbagai dokumentasi, ditemukan pula bahwa pelaku kekerasan adalah aparatur
negara dalam kapasitas tugas. Jumlahnya mencapai 1.561 kasus. Dalam konteks pelaku
adalah aparat negara dalam kapasitas tugasnya inilah yang dimaksudkan sebagai ranah
negara. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan,
aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau
justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.
Grafik 2
Jumlah Kekerasan Seksual Berdasarkan Ranah
5
Mengenali Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual:
Selama 13 tahun perjalanan Komnas Perempuan melakukan pendokumentasian
pengalaman perempuan terhadap kekerasan, Komnas Perempuan mengenali 14 bentuk
kekerasan seksual. Keempat belas jenis kekerasan seksual tersebut adalah (1) perkosaan;
(2) pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5) perbudakan
seksual; (6) intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan
perksoaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi;
(10) pemaksaan perkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12)
kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan
diskriminatif beralasan moralitas dan agama; (13) penghukuman tidak manusiawi dan
bernuansa seksual; (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau
mendiskriminasi perempuan. Keempat belas jenis kekerasan seksual ini bukanlah daftar
final, karena ada kemungkinan sejumlah jenis kekerasan seksual yang belum kita kenali
akibat keterbatasan informasi mengenainya.
Dokumentasi Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa dari total kasus kekerasan
seksual yaitu 93.960 kasus, kurang dari 10 persen saja kasus kekerasan seksual yang
terpilah, yaitu 8.784 kasus. Sisanya sebanyak 85.176 kasus adalah gabungan dari kasus
perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Sementara tiga jenis kekerasan
seksual meliputi prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual
yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan seperti halnya sunat perempuan,
meski ditemukan di dalam berbagai dokumentasi Komnas Perempuan namun tidak
memiliki angka yang pasti.
Grafik 3
Jumlah Kasus Kekerasan Seksual Berdasarkan Jenis, Data terpilah 1998 – 2010
Pada grafik 3 terlihat bahwa lebih dari 50 persen kasus kekekerasan seksual adalah
perkosaan. Selanjutnya disusul perdagangan perempuan untuk tujuan seksual sebesar 15
persen, pelecehan seksual 12 persen. Sisanya secara berturut kurang dari 10 persen seperti
nampak dalam gambar yaitu penyiksaan seksual, ekspolitasi seksual, perbudakan seksual,
Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan adalah,
Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan
6
diskriminatif beralasan moralitas dan agama, pemaksaan aborsi, penghukuman tidak
manusiawi dan bernuansa seksual, pemaksaan perkawinan.
Kompleksitas persoalan kekerasan seksual menuntut kita untuk selalu mengasah kepekaan
untuk mengenali dan memahami masing-masing jenis kekerasan seksual. Pemahaman yang
dimaksud bukan hanya atas elemen-elemen dari tindak kekerasan seksual itu, tetapi juga
atas dampaknya bagi perempuan korban. Hanya dengan mengenali kekerasan seksual
secara seksama dan utuh, kita dapat ikut mencegah dan menangani kekerasan
seksual. Namun demikian dalam tulisan ini baru satu jenis kekerasan seksual yaitu
perkosaan yang akan dibahas secara lengkap.
Pilihan atas perkosaan lebih karena angkanya yang paling tinggi. Selain itu berdasarkan
pengalaman lembaga pengada layanan, perkosaan merupakan salah satu jenis kekerasan
seksual yang sering mereka tangani. Penanganan terhadap kasus perkosaan juga dianggap
rumit, baik karena perangkat hukum tentangnya belum komprehensif dan tidak berpihak
pada korban, budaya hukum yang juga belum baik, atau karena budaya masyarakat yang
tidak mendukung korban untuk memperoleh kebenaran, keadilan dan pemulihan.
7
PERKOSAAN
Secara umum, perkosaan seringkali dimaknai dalam konteks yang sempit, yaitu sebagai
sebuah tindak pemaksaan hubungan seksual oleh laki-laki terhadap perempuan. Dengan
pengertian ini, maka perkosaan hanya mencakup penetrasi penis ke vagina. Padahal
berdasarkan pengalaman korban, perkosaan dilakukan bahkan dengan menggunakan jari
atau benda-benda tumpul lainnya.
Tindakan perkosaan juga seringkali disangkal sebagai perkosaan karena pada diri korban
tidak ditemukan bukti-bukti terjadinya perlawanan, atau tidak ditemukan bukti adanya
pemaksaan oleh pelaku. Padahal dalam banyak kasus, tindakan perkosaan terjadi dalam
kondisi dimana korban berada di bawah ancaman yang tidak memberikannya pilihan lain
selain menuruti kehendak pelaku. Alih-alih mendapat dukungan, perempuan korban justru
dituduh sebagai perempuan gampangan dan memprovokasi terjadinya tindakan perkosaan
itu.
Dalam kasus di mana terdapat relasi perkawianan antara korban dan pelaku akan semakin
sulit. Hal ini karena pandangan umum bahwa tidak mungkin seorang suami memerkosa
istrinya, karena memang sudah seharusnya ia melayani suami. Sementara dokumentasi
Komnas Perempuan menunjukkan perkosaan dalam perkawinan terjadi. Jumlahnya
memang tidak banyak, yaitu 11 kasus. Namun Komnas Perempuan meyakini jumlah
tersebut bisa lebih banyak jika faktor-faktor seperti korban mau dan berani melaporkan
kasusnya, akses pada lembaga layanan lebih mudah dan adanya dukungan dari keluarga,
komunitas dan masyarakat bagi korban.
Berdasarkan pengalaman para korban perkosaan itulah dan dalam perkembangan
pemikiran hukum yang memusatkan perhatian pada rasa adil korban, maka pemaknaan
perkosaan dikembangkan sesuai dengan pengalaman korban. Dengan demikian, perkosaan
dimaknai sebagai3:
Serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang
dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus
atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan
organ seksual atau pun benda-benda lainnya. Serangan itu dilakukan
dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan
sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan,
penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau
dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan
atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang
sesungguhnya
Ibid.,
3
8
Mengapa Perkosaan Terjadi?
Saya takut hamil dan takut dianggap perempuan bukan baik-baik, tidak bisa menjaga kehormatan
diri. Apalagi setelah peristiwa perkosaan itu, pelaku mengancam akan menyebarluaskan kepada temanteman sekolah kalau saya sudah tidak perawan jika tidak mau mengikuti semua keinginannya,
termasuk berhubungan seksual. Saya masih ingin sekolah. Saya tidak punya pilihan lain. Pelaku
memanfaatkan situasi ini dan terus menerus memerkosa saya. [Korban Perkosaan, 14 th,]
Di banyak masyarakat, relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan telah
berlangsung lama. Dalam situasi ini, perempuan kerap diposisikan sebagai objek seksual,
objek pengaturan, dan objek ekspresi kuasa oleh laki-laki. Perkosaan adalah ejah-wantah
atau manifestasi dari relasi kuasa yang timpang itu.
Di dalam konteks ini, karenanya, perkosaan dilakukan tidak sekedar untuk mendapatkan
kepuasan seksual. Perkosaan juga dilakukan untuk melukai, mempermalukan,
merendahkan, dan menguasai korban. Dalam konteks konflik perkosaan juga dapat
menjadi alat menaklukkan, menghukum atau memperoleh informasi dari korban, selain
juga digunakan sebagai alat teror untuk menakuti dan melemahkan pihak lawan.
Dalam masyarakat yang patriarkhi perempuan dianggap sebagai mahluk yang lemah. Ketika
satu kelompok yang bertikai berhasil menguasai dan menaklukkan perempuan bisa
diartikan bahwa pihak lainnya tidak mampu melindungi kaum yang lemah sekalipun.
Dengan demikian mereka juga dianggap tidak bisa melindungi seluruh komunitasnya. Ini
merupakan cara atau strategi untuk melemahkan lawan.
Seperti disampaikan di atas bahwa perkosaan adalah manisfestasi relasi kuasa, maka selama
relasi kuasa yang timpang dipertahankan, selama itu pula perkosaan bisa dan terus
berlangsung. Kondisi ini diperburuk bila proses pencarian keadilan oleh korban justru
berhadapan dengan kebuntuan hukum maupun sikap masyarakat yang menyalahkan
korban sehingga korban memilih untuk bungkam. Dalam situasi ini, pelaku menjadi
semakin tidak segan untuk melakukan perkosaan karena bisa lolos dari tanggung jawab atas
tindakannya itu.
Kapan dan Dimana Perkosaan Terjadi?
Perkosaan bisa terjadi kapan saja dan dimana saja- dalam masyarakat yang sedang
berhadapan dengan situasi konflik maupun dalam situasi damai atau normal. Temuan
pemantauan Komnas Perempuan dan laporan dari berbagai organisasi pendamping
perempuan korban menunjukkan bahwa pelaku perkosaan bisa saja dari orang-orang
terdekat korban, misalnya suami, ayah, paman, saudara laki-laki, pacar, tetangga, guru,
majikan, tokoh masyarakat, dan pejabat publik. Ada pula kasus-kasus dimana pelaku
perkosaan adalah aparat negara yang tidak memiliki relasi personal dengan korban. Artinya,
perkosaan itu dapat terjadi di dalam keluarga, di tempat kerja, di tengah-tengah masyarakat,
dan di ranah negara.
9
Data Komnas Perempuan dari 1998-2010 menunjukkan bahwa perkosaan adalah jenis
kekerasan seksual yang paling banyak terjadi, mencapai lebih dari 50 persen dari seluruh
kasus yang didokumentasikan atau 4.845 kasus. Namun demikian tidak ada data pasti
berapa jumlah perkosaan disetiap ranah. Hal ini lebih dikarenakan terbatasnya informasi
yang kami terima mengenainya. Meski tidak ada data pasti, namun jika dilihat dari catatan
tahunan kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya menunjukkan bahwa kekerasana
seksual paling banyak terjadi di ranah personal, dan perkosaan adalah kasus yang paling
banyak dilaporkan.
Hak Konstitusional yang Dirampas
Perkosaan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia seperti tertuang dalam
konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara
khusus perkosaan merampas hak perempuan sebagai warga negara atas jaminan
perlindungan dan rasa aman yang telah dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 28G(1).
Karena lahir dari ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, pembiaran
terhadap terus berlanjutnya perkosaan terhadap perempuan merampas hak perempuan
sebagai warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan untuk mendapatkan
perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu (Pasal 28I(2)). Akibat dari perkosaan itu,
perempuan korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal
28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia (Pasal 28G(2)), dan bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup
(Pasal 28A). Banyak pula perempuan korban yang kehilangan haknya atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum (Pasal 27(1) dan Pasal 28D(1)) karena tidak dapat mengakses proses
hukum yang berkeadilan.
Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari TIndak Kekerasan Seksual
Nasional
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286
287, 290, 291
2. UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48
3. UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
pasal 1 (3,7)
4. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66
(1,2), 69, 78 dan 88
Internasional
 Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1&2, Pasal 68
 Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata
 Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada bulan
Desember 1993
 Deklarasi Wina Tahun 1993
Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan
Secara umum, ada empat faktor penentu perempuan korban perkosaan dalam mengakses
10
keadilan dan pemulihan, yaitu faktor personal, sosial budaya, hukum dan politik. Keempat
faktor ini saling kait-mengait dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk
melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih.
Di tingkat personal, perempuan korban perkosaan bisa menderita trauma mendalam akibat
perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan pada
peristiwa yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut
yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan peristiwa
yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu atau tidak
bersedia untuk melaporkan kasusnya.
Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas dan aib mengakibatkan masyarakat
cenderung menyalahkan korban, meragukan kesaksian korban atau mendesak korban
untuk bungkam. Pada sejumlah masyarakat, konsep “AIB” juga dikaitkan dengan konsep
nasib sial dan karma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karena harus
menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau para
leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan seksual yang ia alami dianggap membongkar aib
yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untuk mengambil
keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir tentang “aib” seringkali
menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya atau bahkan dipaksa
untuk menjalani hidupnya dengan pelaku kekerasan, misalnya dengan memaksakan
perempuan korban menikahi pelakunya.
Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan
yang dihadapi korban yaitu aspek substansi, struktur dan budaya hukum. Di tingkat
substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia,
ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut masih belum utuh. Dalam konteks
perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual
yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat
penetrasi tersebut.4 Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan
perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan
hukum yang hanya memiliki definisi sempit atas tindak perkosaan itu.
Di tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus
untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.
Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan hukum
dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum,
banyak penyelenggara hukum mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan
kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada
perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Pertanyaan seperti
memakai baju apa, sedang berada dimana, dengan siapa jam berapa merupakan beberapa
pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan
kasus perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan bahwa tiadanya
perspektif korban tapi juga bentuk mengakimi korban dan menjadikan korban mengalami
kekerasan kembali (reviktimisasi).
4
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291, Pasal 294
11
Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tersedia tidaknya perlindungan saksi dan
korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau melaporkan kasusnya
karena kuatir balas dendam pelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu
mengurat akar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangan keyakinan
bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan terpercaya.
Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korban perkosaan pada proses mencari
keadilan dan pemulihan adalah faktor politik. Dalam konteks konflik, proses
pengungkapan kebenaran sangat ditentukan oleh itikad baik politik (good will) penyelenggara
negara. Hal ini karena kasus kekerasan tersebut melibatkan aparat negara sebagai pelaku
kekerasan dan terkait dengan adanya kebijakan-kebijakan negara yang memungkinkan
kekerasan tersebut terjadi dan terus berulang. Dalam konteks Tragedi Mei 1998, misalnya,
sikap negara membiarkan peristiwa kekerasan dan diskriminasi terhadap masyarakat etnis
Tionghoa, dan pada kontroversi tentang ada tidaknya perkosaan pada rangkaian peristiwa
kerusuhan Mei 1998 menyebabkan perempuan korban semakin enggan untuk
mengungkapkan kasusnya. Dalam konteks Aceh, Tragedi 1965 dan Timor Leste, misalnya,
sikap negara pada penuntasan pelanggaran HAM masa lalu terus mendua dan membiarkan
korban yang telah mengungkapkan kasusnya terus menunggu tanpa batas waktu kapan
proses keadilan akan diawali dengan sungguh-sungguh.
Langkah Kita: Kenali dan Tangani Perkosaan
Menghindari Perkosaan
1. Selalu bersikap waspada. Sikap ini bisa ditunjukkan misalnya:
a. Jika memilih menggunakan taksi sebisa mungkin menggunakan layanan
jemput misalnya dari kantor, hotel, pusat perbelajaan dan sebagainya.
Dengan layanan ini perusahaan taksi akan mencatat peredaran taksinya,
sementara kantor/hotel/atau pusat perbelanjaan juga akan mencatat
identitas taksi
b. Tulis identitas taksi meliputi nama taksi, pengemudi, no identitas dan no
pintu, dan segera kirim pada orang terdekat. Atau
c. Segera telpon orang terdekat dan informasikan identitas taksi.
Menginformasikan dengan cara ini memungkinkan didengar langsung oleh
pengemudi taksi, dan ini bisa membantu mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan
d. Jika memilih bus atau angkot umum segera turun jika merasa ada hal yang
aneh dan mencurigakan
e. Jika memilih ojek dan memungkinkan, pilihlah yang anda kenal atau ojek
langganan. Jangan lupa minta no hp jika ada, juga catat no kendaraan
2. Membekali diri dengan keterampilan bela diri bisa menjadi cara untuk menangkis
perkosaan
3. Melakukan perlawanan, seperti berteriak, memukul, menendang, lari dan lain-lain
jika ada kesempatan
4. Jika ada kesempatan pukul sekeras-kerasnya pada alat reproduksi laki-laki
5. Waspada terhadap sekeliling dan orang-orang yang belum dikenal
6. Bangun pemahaman tentang perkosaan. Pemahaman akan perkosaan baik itu
definisi, bentuk, motif dan cara-cara yang biasa digunakan pelaku bisa membantu
menghindari perkosaan. Pengetahuan tentang dampak perkosaan juga membantu
seseorang dalam mengambil sikap ketika mengalaminya.
12
Jika Anda Korban
1. Jangan menyalahkan diri sendiri terhadap perkosaan yang anda alami. Bangun
keyakinan bahwa pelakulah yang bersalah. Dengan demikian anda akan memiliki
kekuatan untuk menghadapi dan mengambil pilihan tepat penyelesaian kasus
2. Jangan langsung membersihkan anggota badan atau mandi karena hal ini akan
menghilangkan bukti utama berupa jejak sperma pelaku.
3. Kumpulkan benda-benda yang bisa dijadikan bukti, pakaian yang dikenakan pada
saat kejadian, atau benda-benda pelaku yang mungkin tertinggal. Ingat jangan
menyentuh alat-alat bukti dengan tangan. Gunakan plastik atau benda lain yang
tidak menghilangkan sidik jari pelaku.
4. Segera melapor ke pihak berwajib terdekat. Secara resmi setiap korban perkosaan
harus melapor ke polisi. Polisi akan memberikan Surat Permintaan Visum et Repertum
atau surat dari polisi yang meminta dokter memeriksa tubuh korban
5. Jika korban memilih langsung ke layanan kesehatan, maka pihak kepolisian bisa
didatangkan ke layanan kesehatan tersebut atau
6. Segera ke lembaga layanan terdekat. Perlu diketahui sperma akan berada dalam
vagina 4-5 jam. Namun masih bisa ditemukan disekitar antara 24-36 jam.
7. Cari dukungan baik teman, orang terdekat, pendamping, atau lembaga
pengadalayanan yang dipercaya. Ceritakan apa yang telah terjadi. Ini penting jika
sewaktu-waktu korban mengalami sakit, trauma dan sebagainya.
Jika Anda tahu, Jika Anda Saksi
1. Jangan tinggal diam bila mengetahui adanya perkosaan. Segera laporkan pada pihak
berwajib.
2. Jangan menyalahkan korban. Dukung ia dalam segala keputusan yang diambil
mengenai perkosaan yang dialaminya dan jangan menghakimi jika korban tidak
mau melapor kepada pihak berwajib.
3. Segera bawa ke tenaga medis untuk mendapatkan visum. Tidak semua rumah sakit
bisa mengeluarkan visum. Diantara rumah sakit yang diakui adalah RSCM, Rumah
Sakit Polri, atau Rumah Sakit Daerah yang ditunjuk, rumah sakit yang bekerjasama
dengan P2TP2A, atau yang ditunjuk oleh kepolisian.
4. Segera mencari organisasi layanan untuk pendampingan kasus, baik secara
psykologi maupun hukum
5. Mendengarkan cerita korban, dan catat dengan baik apa yang disampaikan korban.
Hal ini akan bermanfaat jika korban mengalami kondisi tertentu.
6. Berikan informasi kepada korban hak-haknya dan juga keberadaan lembagalembaga yang dapat ia hubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut ataupun
masukan bagi upaya pencarian keadilan dan pemulihan
7. Berikan informasi tentang perkosaan seksual kepada anggota keluarga, teman,
tetangga, teman sekerja atau lainnya.
8. Ajak mereka untuk ikut mendukung korban dengan cara tidak menyalahkan
korban, tidak menstigma, tidak mengucilkan apalagi mengusir korban.
9. Ikut serta dalam advokasi perubahan hukum untuk kepentingan perempuan
korban kekerasan, termasuk dengan memantau jalannya proses penegakan hukum.
10. Dukung kerja-kerja lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan
dengan mengumpulkan informasi tentang kekerasan seksual yang terjadi di
sekelilingmu, memberikan dukungan, ikut serta dalam kampanye atau dalam
penggalangan dana bagi penanganan korban.
13
13 JENIS KEKERASAN SEKSUAL LAINNYA
Seperti telah di tulis di atas, Komnas Perempuan menemukenali 14 jenis kekerasan seksual.
Namun demikian Perkosaan telah diulas secara panjang dalam tulisan ini. Ketiga belas jenis
kekerasan lainnya akan diulas satu persatu dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan
terhadap Perempuan mendatang. Berikut adalah definisi dari ketiga belas kekerasan seksual
tersebut:
1. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang
dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan prostitusi ataupun
eksploitasi seksual lainnya.5
2. Pelecehan seksual
merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik
maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas
seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau
ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi-materi pornografi dan
keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang
bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung merasa
direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan
dan keselamatan.6
3. Penyiksaan seksual adalah perbuatan yang secara khusus menyerang organ dan
seksualitas perempuan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa
sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual, pada
seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang
ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah
dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga, untuk mengancam atau memaksanya
atau orang ketiga, dan untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi atas
alasan apapun, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas
hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik.7
4. Eksploitasi Seksual merujuk pada aksi atau percoban penyalahgunaan kekuatan
yang berbeda atau kepercayaan, untuk tujuan seksual termasuk tapi tidak terbatas
pada memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial maupun politik dari
5
Disadur dari definisi dalam Undang Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
6 Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM
Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso 1998-2005, Komnas Perempuan, 2009, hal. 132 dan rumusan yang
dikembangkan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, “Bagai Mengurai Benang Kusut: Bercermin
Pada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya Pembuktian Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar Pelayanan, Komnas
Perempuan,2010, hal. 9
7
Merujuk pada definisi penyiksaan sebagaimana tercantum dalam UU No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan
Martabat Manusia, Pasal 1.
14
eksploitasi seksual terhadap orang lain.8 Termasuk di dalamnya adalah tindakan
mengiming-imingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan,
yang kerap disebut oleh lembaga pengada layanan bagi perempuan korban
kekerasan sebagai kasus “ingkar janji”. Iming-iming ini menggunakan cara pikir
dalam masyarakat yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya
sehingga perempuan merasa tidak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti
kehendak pelaku, agar ia dinikahi.
5. Perbudakan Seksual adalah sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap
kekuasaan yang melekat pada “hak kepemilikan” terhadap seseorang, termasuk
akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual.
Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi dimana perempuan dewasa dan
anak-anak dipaksa untuk menikah, memberikan pelayanan rumah tangga atau
bentuk kerja paksa yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk
perkosaan oleh penyekapnya9
6. Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan
perkosaan adalah tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa
takut atau penderitaan psikis pada perempuan. Serangan dan intimidasi seksual
disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan
lain-lain10
7. Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan
lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama mencakup berbagai
tindak kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, dan tidak hanya melalui
kontak fisik, yang dilakukan untuk mengancam atau memaksakan perempuan
mengenakan busana tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara ia
berbusana atau berelasi sosial dengan lawan jenisnya. Termasuk di dalamnya adalah
kekerasan yang timbul akibat aturan tentang pornografi yang melandaskan diri
lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual.
8. Pemaksaan Aborsi adalah pengguguran kandungan yang dilakukan karena
adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.11
9. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual adalah cara
menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu
yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan.12 Termasuk dalam
penghukuman tidak manusiawi adalah hukuman cambuk dan hukuman-hukuman
yang merendahkan martabat manusia yang ditujukan bagi mereka yang dituduh
melanggar norma-norma kesusilaan.
10. Pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan kawin gantung adalah
situasi dimana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri,
termasuk di dalamnya situasi dimana perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain
8
Buletin sekjen PBB tentang tindakan-tindakan khusus bagi perlindungan dari eksploitasi seksual dan pelanggaran
seksual, St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Komnas Perempuan, op.cit., hal. 46
9 Dirumuskan dari pengertian penyiksaan seksual dalam Pasal 7(2)(c) Statuta Roma
10 Komnas Perempuan, Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan, Komnas Perempuan, 2007
11 op.cit. Komnas Perempuan 2009, hal 132
12 Lihat penjelasan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak
Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia
15
kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar ia menikah, sekalipun bukan dengan
orang yang ia inginkan atau dengan orang yang tidak ia kenali, untuk tujuan
mengurangi beban ekonomi keluarga maupun tujuan lainnya. Pemaksaan
perkawinan juga mencakup situasi dimana perempuan dipaksa menikah dengan
orang lain agar dapat kembali pada suaminya setelah dinyatakan talak tiga (atau
dikenal dengan praktik “Kawin Cina Buta”) dan situasi dimana perempuan terikat
dalam perkawinannya sementara proses perceraian tidak dapat dilangsungkan
karena berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Tidak
termasuk dalam penghitungan jumlah kasus, sekalipun merupakan praktik kawin
paksa, adalah tekanan bagi perempuan korban perkosaan untuk menikahi pelaku
perkosaan terhadap dirinya.
11. Prostitusi Paksa merujuk pada situasi dimana perempuan dikondisikan dengan
tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Pengondisian
ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan
tersebut tidak berdaya untuk dapat melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya
dengan penyekapan, penjeratan hutang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa
memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual
atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual13.
12. Pemaksaan kehamilan yaitu ketika perempuan melanjutkan kehamilan yang tidak
ia kehendaki akibat adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.
Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak
diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya akibat perkosaan tersebut.
Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam
konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan dalam Statuta
Roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang
perempuan untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi
etnis dari suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional
lainnya
13. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau
mendiskriminasi perempuan Praktik tradisi bernuansa seksual yang
membahayakan atau mendiskriminasi perempuan merujuk pada kebiasaan
berdimensi seksual yang dilakukan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan
agama dan/atau budaya, yang dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis
maupun seksual pada perempuan atau dilakukan untuk mengontrol seksualitas
perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan14.
13
14
Diambil dari berbagai sumber
Ibid.,
16
Praktik terbaik Penanganan Kasus Perkosaan
Seorang gadis (H) berusia 15 tahun, masih bersekolah di salah satu SLTP
negeri di Kabupaten Maluku Tengah diperkosa oleh gurunya. H adalah gadis
ke-20 yang mengalami perkosaan dari pelaku. Pelaku mengancam agar H
diam, tidak menceritakan pada siapapun jika masih ingin hidup dan lulus
sekolah. Setelah kejadian itu H menjadi murung dan menarik diri dari temantemannya.
Seorang teman sekelasnya menemukan catatan H yang menceritakan kejadian
perkosaan itu. Kemudian ia melaporkannya kepada orang tua H. Mendengar
informasi tesebut orang tua H menyalahkannya. Bahkan ibu H ingin
membunuhnya karena dianggap merusak kehormatan keluarga.
Peristiwa ini dilaporkan kepada polsek setempat. Pelaku ditangkap karena
hasil visum menunjukkan bahwa terjadi perkosaan dan didukung oleh saksi. Di
dalam tahanan polisi, pelaku ternyata bebas keluar masuk. Hal ini dikarenakan
ia memiliki kedekatan dengan Wakil Kepala Kepolisian Sektor (Wakapolsek).
Alih-alih berkas perkara sampai ke Kejaksaan, pelaku justru melarikan diri
dengan bantuan Wakapolsek. Dalam perjalanannya kasus ini juga akan
diberhentikan penyelindikannya (SP3) dengan alasan pelaku masuk dalam
Daftar Pencarian Orang. Padahal SP3 hanya boleh dilakukan jika penyidikan
tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tidak pidana.
Melihat kasus di atas LAPPAN sebagai organisasi yang mendampingi kasus
tersebut melihat adanya kejanggalan dalam proses hukum tersebut. LAPPAN
melihat fakta hukum sudah jelas, bukti sudah lengkap, saksi juga ada. Oleh
karenanya LAPPAN mengajukan surat permohonan kepada pihak Profesi dan
Pengamanan (ProPam) Polda Maluku untuk melakukan investigasi terhadap
kasus tersebut. Hasil dari investigasi tersebut menunjukkan bahwa Polsek
tidak serius dalam menangani kasus perkosaan itu. Tindak lanjut dari hasil
investigasi adalah Kapolsek dan Wakapolsek yang menangani kasus tersebut
dipindahkan. Sementara pengganti Kapolsek yang baru diberi tugas untuk
menangkap pelaku dan adili.
Pengadilan memutus pelaku dengan hukuman lima tahun penjara, padahal
jaksa menuntutnya dengan hukuman 12 tahun penjara. Meskipun putusan
tersebut dianggap belum adil baik oleh korban maupun keluarga, namun yang
lebih penting dari semua itu adalah masa depan korban. Atas dukungan
keluarga, LAPPAN mulai membangun pemahaman kepada pihak sekolah
tentang kekerasan seksual, khususnya perkosaan. Upaya tersebut
membuahkan hasil, karena segenap guru menerima kembali korban sebagai
siswa di sekolah itu. Saat ini korban telah menempuh studi di salah satu
Perguruan Tinggi di Ambon.
17
Download