KEKERASAN SEKSUAL Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan.1 Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil. Komnas Perempuan mencatat dalam waktu tiga belas tahun terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan (400.939). Artinya setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data ini merupakan hasil dokumentasi yang berasal dari CATAHU, yaitu catatan tahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban, pemantauan Komnas Perempuan tentang pengalaman kekerasan terhadap perempuan di dalam konteks Aceh, Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaan Otonomi Daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR). Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Ps. 1) 1 Kekerasan seksual dapat dilakukan dan dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam naskah ini, karena fokus kerja Komnas Perempuan, perhatian diberikan kepada pengalaman perempuan berhadapan dengan kekerasan seksual. 2 Grafik 1 Jumlah kekerasan umum berbanding dengan kekerasan seksual Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. Pandangan bahwa kekerasan seksual hanya sebagai kejatahan kesusilaan juga tidak terlepas dari ketimpangan relasi yang menempatkan perempuan sebagai marka atau penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Inilah sebabnya seringkali pembahasan tentang moralitas berujung pada pertanyaan apakah perempuan masih perawan atau tidak sebelum pernikahannya, apakah perempuan melakukan aktivitas seksual hanya dalam kerangka perkawinan, dan sejauh mana perempuan memendam ekspresi seksualitasnya dalam keseharian interaksi sosialnya. Akibatnya, banyak sekali perempuan yang merasa malu untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual karena malu atau kuatir dianggap “tidak suci” atau “tidak bermoral”. Sikap korban membungkam justru pada banyak kesempatan didukung, bahkan didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat sekitarnya. Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan seksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan semata. Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaan menyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang penting dibandingkan dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan ataupun penyiksaan. Padahal, pengalaman perempuan korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi. Aspek khas dari kekerasan seksual terkait dengan wacana moralitas juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan persoalan moralitas 3 menyebabkan korban membungkam dan korban justru disalahkan atas kekerasan yang dialaminya. Karena apa yang dialami korban dimaknai sebagai “aib”, tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga dan komunitasnya, korban seringkali dikucilkan. Ada pula korban yang diusir dari rumah dan kampungnya karena dianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak nama baik keluarga ataupun masyarakat. Pengucilan dan stigmatisasi atau pelabelan dirinya sebagai “barang yang rusak” akibat kekerasan seksual itu bahkan dapat berlangsung sekalipun korban memenangkan kasusnya di pengadilan Peristiwa kekerasan seksual seringkali juga direkatkan pada penilaian tentang “jejak moralitas” perempuan korban. Perempuan korban dituduh sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual karena cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berelasi sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu. Dalam konteks ini pula, korban kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika ia dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkan dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuai dengan iming-iming pelaku. Menyimak berbagai pengalaman kekerasan seksual yang dialami perempuan dan dalam rangka mendekatkan korban akan rasa adil, maka sudah saatnya kekerasan seksual terhadap perempuan dimaknai sebagai:2 sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis gender, tindakan seksual, atau percobaan untuk mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan yang menyasar seksual, atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya tindakan yang bersifat seksual itu tidak terbatas pada serangan fisik kepada tubuh seseorang dan dapat termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi ataupun kontak fisik Sejumlah situasi dimana terdapat ketimpangan relasi yang tegas akan meningkatkan kerentanan perempuan pada kekerasan seksual. Misalnya saja masyarakat yang diatur dalam sistem pemerintahan yang otoriter dan mengagungkan militerisme. Dalam sistem ini, pelanggaran terhadap hak asasi manusia biasa terjadi, dan kekerasan seksual bagian tidak terpisahkan dari berbagai tindak pelanggaran HAM tersebut. Konteks konflik, terutama konflik bersenjata, juga meningkatkan kerentanan perempuan pada kekerasan seksual, khususnya perkosaan, penyiksaan seksual dan eksploitasi seksual. Situasi pengungsian pasca konflik maupun bencana juga menimbulkan kerentanan khusus bagi perempuan akibat fasilitas barak pengungsian yang tidak dapat dikunci, ketiadaan fasilitas penerangan, dan kondisi barak yang tidak bersekat. Demikian pula situasi dalam tahanan atau serupa tahanan, seperti yang dialami oleh para pekerja yang disekap oleh majikannya. 2 Rumusan dirangkum dari penafsiran Pengadilan Kriminal Internasional tentang kekerasan seksual yang dikutip dalam tulisan Patriacia Viseur Seller. The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of Interpretation. Diunduh pada 20 Agustus 2010. http://www2.ohchr.org/english/issues/women/docs/Paper_Prosecution_of_Sexual_Violence.pdf 4 Ranah Kekerasan Seksual Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja dan kapanpun. Data Komnas Perempuan menunjukkan kekerasan seksual terjadi disemua ranah yaitu personal, publik dan negara seperti ditunjukkan pada grafik 2. Jumlah paling tinggi terjadi di ranah personal, yaitu ¾ dari total kekerasan seksual. Di ranah personal artinya kekerasan seksual dilakukan oleh oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkait dengan kehadiran payung hukum, yaitu UU. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang telah disosialisasikan secara meluas ke masyarakat, bertambahnya lembaga-lembaga yang dapat diakses oleh perempuan korban, serta meningkatnya kepercayaan korban pada proses keadilan dan pemulihan yang dapat ia peroleh dengan melaporkan kasusnya itu. Pada saat bersamaan, informasi ini mematahkan mitos bahwa rumah adalah tempat yang aman bagi perempuan dan bahwa perempuan akan terlindungi bila selalu bersama dengan anggota keluarganya yang laki-laki. Jumlah kedua adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik, yaitu 22.284 kasus. Di ranah publik berarti kasus dimana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal. Dalam berbagai dokumentasi, ditemukan pula bahwa pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Jumlahnya mencapai 1.561 kasus. Dalam konteks pelaku adalah aparat negara dalam kapasitas tugasnya inilah yang dimaksudkan sebagai ranah negara. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut. Grafik 2 Jumlah Kekerasan Seksual Berdasarkan Ranah 5 Mengenali Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual: Selama 13 tahun perjalanan Komnas Perempuan melakukan pendokumentasian pengalaman perempuan terhadap kekerasan, Komnas Perempuan mengenali 14 bentuk kekerasan seksual. Keempat belas jenis kekerasan seksual tersebut adalah (1) perkosaan; (2) pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5) perbudakan seksual; (6) intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perksoaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan perkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12) kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama; (13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan. Keempat belas jenis kekerasan seksual ini bukanlah daftar final, karena ada kemungkinan sejumlah jenis kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat keterbatasan informasi mengenainya. Dokumentasi Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa dari total kasus kekerasan seksual yaitu 93.960 kasus, kurang dari 10 persen saja kasus kekerasan seksual yang terpilah, yaitu 8.784 kasus. Sisanya sebanyak 85.176 kasus adalah gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Sementara tiga jenis kekerasan seksual meliputi prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan seperti halnya sunat perempuan, meski ditemukan di dalam berbagai dokumentasi Komnas Perempuan namun tidak memiliki angka yang pasti. Grafik 3 Jumlah Kasus Kekerasan Seksual Berdasarkan Jenis, Data terpilah 1998 – 2010 Pada grafik 3 terlihat bahwa lebih dari 50 persen kasus kekekerasan seksual adalah perkosaan. Selanjutnya disusul perdagangan perempuan untuk tujuan seksual sebesar 15 persen, pelecehan seksual 12 persen. Sisanya secara berturut kurang dari 10 persen seperti nampak dalam gambar yaitu penyiksaan seksual, ekspolitasi seksual, perbudakan seksual, Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan adalah, Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan 6 diskriminatif beralasan moralitas dan agama, pemaksaan aborsi, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, pemaksaan perkawinan. Kompleksitas persoalan kekerasan seksual menuntut kita untuk selalu mengasah kepekaan untuk mengenali dan memahami masing-masing jenis kekerasan seksual. Pemahaman yang dimaksud bukan hanya atas elemen-elemen dari tindak kekerasan seksual itu, tetapi juga atas dampaknya bagi perempuan korban. Hanya dengan mengenali kekerasan seksual secara seksama dan utuh, kita dapat ikut mencegah dan menangani kekerasan seksual. Namun demikian dalam tulisan ini baru satu jenis kekerasan seksual yaitu perkosaan yang akan dibahas secara lengkap. Pilihan atas perkosaan lebih karena angkanya yang paling tinggi. Selain itu berdasarkan pengalaman lembaga pengada layanan, perkosaan merupakan salah satu jenis kekerasan seksual yang sering mereka tangani. Penanganan terhadap kasus perkosaan juga dianggap rumit, baik karena perangkat hukum tentangnya belum komprehensif dan tidak berpihak pada korban, budaya hukum yang juga belum baik, atau karena budaya masyarakat yang tidak mendukung korban untuk memperoleh kebenaran, keadilan dan pemulihan. 7 PERKOSAAN Secara umum, perkosaan seringkali dimaknai dalam konteks yang sempit, yaitu sebagai sebuah tindak pemaksaan hubungan seksual oleh laki-laki terhadap perempuan. Dengan pengertian ini, maka perkosaan hanya mencakup penetrasi penis ke vagina. Padahal berdasarkan pengalaman korban, perkosaan dilakukan bahkan dengan menggunakan jari atau benda-benda tumpul lainnya. Tindakan perkosaan juga seringkali disangkal sebagai perkosaan karena pada diri korban tidak ditemukan bukti-bukti terjadinya perlawanan, atau tidak ditemukan bukti adanya pemaksaan oleh pelaku. Padahal dalam banyak kasus, tindakan perkosaan terjadi dalam kondisi dimana korban berada di bawah ancaman yang tidak memberikannya pilihan lain selain menuruti kehendak pelaku. Alih-alih mendapat dukungan, perempuan korban justru dituduh sebagai perempuan gampangan dan memprovokasi terjadinya tindakan perkosaan itu. Dalam kasus di mana terdapat relasi perkawianan antara korban dan pelaku akan semakin sulit. Hal ini karena pandangan umum bahwa tidak mungkin seorang suami memerkosa istrinya, karena memang sudah seharusnya ia melayani suami. Sementara dokumentasi Komnas Perempuan menunjukkan perkosaan dalam perkawinan terjadi. Jumlahnya memang tidak banyak, yaitu 11 kasus. Namun Komnas Perempuan meyakini jumlah tersebut bisa lebih banyak jika faktor-faktor seperti korban mau dan berani melaporkan kasusnya, akses pada lembaga layanan lebih mudah dan adanya dukungan dari keluarga, komunitas dan masyarakat bagi korban. Berdasarkan pengalaman para korban perkosaan itulah dan dalam perkembangan pemikiran hukum yang memusatkan perhatian pada rasa adil korban, maka pemaknaan perkosaan dikembangkan sesuai dengan pengalaman korban. Dengan demikian, perkosaan dimaknai sebagai3: Serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau pun benda-benda lainnya. Serangan itu dilakukan dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya Ibid., 3 8 Mengapa Perkosaan Terjadi? Saya takut hamil dan takut dianggap perempuan bukan baik-baik, tidak bisa menjaga kehormatan diri. Apalagi setelah peristiwa perkosaan itu, pelaku mengancam akan menyebarluaskan kepada temanteman sekolah kalau saya sudah tidak perawan jika tidak mau mengikuti semua keinginannya, termasuk berhubungan seksual. Saya masih ingin sekolah. Saya tidak punya pilihan lain. Pelaku memanfaatkan situasi ini dan terus menerus memerkosa saya. [Korban Perkosaan, 14 th,] Di banyak masyarakat, relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan telah berlangsung lama. Dalam situasi ini, perempuan kerap diposisikan sebagai objek seksual, objek pengaturan, dan objek ekspresi kuasa oleh laki-laki. Perkosaan adalah ejah-wantah atau manifestasi dari relasi kuasa yang timpang itu. Di dalam konteks ini, karenanya, perkosaan dilakukan tidak sekedar untuk mendapatkan kepuasan seksual. Perkosaan juga dilakukan untuk melukai, mempermalukan, merendahkan, dan menguasai korban. Dalam konteks konflik perkosaan juga dapat menjadi alat menaklukkan, menghukum atau memperoleh informasi dari korban, selain juga digunakan sebagai alat teror untuk menakuti dan melemahkan pihak lawan. Dalam masyarakat yang patriarkhi perempuan dianggap sebagai mahluk yang lemah. Ketika satu kelompok yang bertikai berhasil menguasai dan menaklukkan perempuan bisa diartikan bahwa pihak lainnya tidak mampu melindungi kaum yang lemah sekalipun. Dengan demikian mereka juga dianggap tidak bisa melindungi seluruh komunitasnya. Ini merupakan cara atau strategi untuk melemahkan lawan. Seperti disampaikan di atas bahwa perkosaan adalah manisfestasi relasi kuasa, maka selama relasi kuasa yang timpang dipertahankan, selama itu pula perkosaan bisa dan terus berlangsung. Kondisi ini diperburuk bila proses pencarian keadilan oleh korban justru berhadapan dengan kebuntuan hukum maupun sikap masyarakat yang menyalahkan korban sehingga korban memilih untuk bungkam. Dalam situasi ini, pelaku menjadi semakin tidak segan untuk melakukan perkosaan karena bisa lolos dari tanggung jawab atas tindakannya itu. Kapan dan Dimana Perkosaan Terjadi? Perkosaan bisa terjadi kapan saja dan dimana saja- dalam masyarakat yang sedang berhadapan dengan situasi konflik maupun dalam situasi damai atau normal. Temuan pemantauan Komnas Perempuan dan laporan dari berbagai organisasi pendamping perempuan korban menunjukkan bahwa pelaku perkosaan bisa saja dari orang-orang terdekat korban, misalnya suami, ayah, paman, saudara laki-laki, pacar, tetangga, guru, majikan, tokoh masyarakat, dan pejabat publik. Ada pula kasus-kasus dimana pelaku perkosaan adalah aparat negara yang tidak memiliki relasi personal dengan korban. Artinya, perkosaan itu dapat terjadi di dalam keluarga, di tempat kerja, di tengah-tengah masyarakat, dan di ranah negara. 9 Data Komnas Perempuan dari 1998-2010 menunjukkan bahwa perkosaan adalah jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi, mencapai lebih dari 50 persen dari seluruh kasus yang didokumentasikan atau 4.845 kasus. Namun demikian tidak ada data pasti berapa jumlah perkosaan disetiap ranah. Hal ini lebih dikarenakan terbatasnya informasi yang kami terima mengenainya. Meski tidak ada data pasti, namun jika dilihat dari catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya menunjukkan bahwa kekerasana seksual paling banyak terjadi di ranah personal, dan perkosaan adalah kasus yang paling banyak dilaporkan. Hak Konstitusional yang Dirampas Perkosaan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia seperti tertuang dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara khusus perkosaan merampas hak perempuan sebagai warga negara atas jaminan perlindungan dan rasa aman yang telah dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 28G(1). Karena lahir dari ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, pembiaran terhadap terus berlanjutnya perkosaan terhadap perempuan merampas hak perempuan sebagai warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu (Pasal 28I(2)). Akibat dari perkosaan itu, perempuan korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal 28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28G(2)), dan bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup (Pasal 28A). Banyak pula perempuan korban yang kehilangan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27(1) dan Pasal 28D(1)) karena tidak dapat mengakses proses hukum yang berkeadilan. Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari TIndak Kekerasan Seksual Nasional 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286 287, 290, 291 2. UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48 3. UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3,7) 4. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78 dan 88 Internasional Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1&2, Pasal 68 Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada bulan Desember 1993 Deklarasi Wina Tahun 1993 Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan Secara umum, ada empat faktor penentu perempuan korban perkosaan dalam mengakses 10 keadilan dan pemulihan, yaitu faktor personal, sosial budaya, hukum dan politik. Keempat faktor ini saling kait-mengait dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih. Di tingkat personal, perempuan korban perkosaan bisa menderita trauma mendalam akibat perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya. Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas dan aib mengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, meragukan kesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada sejumlah masyarakat, konsep “AIB” juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dan karma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karena harus menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau para leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan seksual yang ia alami dianggap membongkar aib yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untuk mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir tentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya dengan pelaku kekerasan, misalnya dengan memaksakan perempuan korban menikahi pelakunya. Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang dihadapi korban yaitu aspek substansi, struktur dan budaya hukum. Di tingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia, ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut masih belum utuh. Dalam konteks perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut.4 Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki definisi sempit atas tindak perkosaan itu. Di tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak penyelenggara hukum mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada dimana, dengan siapa jam berapa merupakan beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan kasus perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan bahwa tiadanya perspektif korban tapi juga bentuk mengakimi korban dan menjadikan korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi). 4 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291, Pasal 294 11 Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tersedia tidaknya perlindungan saksi dan korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau melaporkan kasusnya karena kuatir balas dendam pelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu mengurat akar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangan keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan terpercaya. Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korban perkosaan pada proses mencari keadilan dan pemulihan adalah faktor politik. Dalam konteks konflik, proses pengungkapan kebenaran sangat ditentukan oleh itikad baik politik (good will) penyelenggara negara. Hal ini karena kasus kekerasan tersebut melibatkan aparat negara sebagai pelaku kekerasan dan terkait dengan adanya kebijakan-kebijakan negara yang memungkinkan kekerasan tersebut terjadi dan terus berulang. Dalam konteks Tragedi Mei 1998, misalnya, sikap negara membiarkan peristiwa kekerasan dan diskriminasi terhadap masyarakat etnis Tionghoa, dan pada kontroversi tentang ada tidaknya perkosaan pada rangkaian peristiwa kerusuhan Mei 1998 menyebabkan perempuan korban semakin enggan untuk mengungkapkan kasusnya. Dalam konteks Aceh, Tragedi 1965 dan Timor Leste, misalnya, sikap negara pada penuntasan pelanggaran HAM masa lalu terus mendua dan membiarkan korban yang telah mengungkapkan kasusnya terus menunggu tanpa batas waktu kapan proses keadilan akan diawali dengan sungguh-sungguh. Langkah Kita: Kenali dan Tangani Perkosaan Menghindari Perkosaan 1. Selalu bersikap waspada. Sikap ini bisa ditunjukkan misalnya: a. Jika memilih menggunakan taksi sebisa mungkin menggunakan layanan jemput misalnya dari kantor, hotel, pusat perbelajaan dan sebagainya. Dengan layanan ini perusahaan taksi akan mencatat peredaran taksinya, sementara kantor/hotel/atau pusat perbelanjaan juga akan mencatat identitas taksi b. Tulis identitas taksi meliputi nama taksi, pengemudi, no identitas dan no pintu, dan segera kirim pada orang terdekat. Atau c. Segera telpon orang terdekat dan informasikan identitas taksi. Menginformasikan dengan cara ini memungkinkan didengar langsung oleh pengemudi taksi, dan ini bisa membantu mencegah hal-hal yang tidak diinginkan d. Jika memilih bus atau angkot umum segera turun jika merasa ada hal yang aneh dan mencurigakan e. Jika memilih ojek dan memungkinkan, pilihlah yang anda kenal atau ojek langganan. Jangan lupa minta no hp jika ada, juga catat no kendaraan 2. Membekali diri dengan keterampilan bela diri bisa menjadi cara untuk menangkis perkosaan 3. Melakukan perlawanan, seperti berteriak, memukul, menendang, lari dan lain-lain jika ada kesempatan 4. Jika ada kesempatan pukul sekeras-kerasnya pada alat reproduksi laki-laki 5. Waspada terhadap sekeliling dan orang-orang yang belum dikenal 6. Bangun pemahaman tentang perkosaan. Pemahaman akan perkosaan baik itu definisi, bentuk, motif dan cara-cara yang biasa digunakan pelaku bisa membantu menghindari perkosaan. Pengetahuan tentang dampak perkosaan juga membantu seseorang dalam mengambil sikap ketika mengalaminya. 12 Jika Anda Korban 1. Jangan menyalahkan diri sendiri terhadap perkosaan yang anda alami. Bangun keyakinan bahwa pelakulah yang bersalah. Dengan demikian anda akan memiliki kekuatan untuk menghadapi dan mengambil pilihan tepat penyelesaian kasus 2. Jangan langsung membersihkan anggota badan atau mandi karena hal ini akan menghilangkan bukti utama berupa jejak sperma pelaku. 3. Kumpulkan benda-benda yang bisa dijadikan bukti, pakaian yang dikenakan pada saat kejadian, atau benda-benda pelaku yang mungkin tertinggal. Ingat jangan menyentuh alat-alat bukti dengan tangan. Gunakan plastik atau benda lain yang tidak menghilangkan sidik jari pelaku. 4. Segera melapor ke pihak berwajib terdekat. Secara resmi setiap korban perkosaan harus melapor ke polisi. Polisi akan memberikan Surat Permintaan Visum et Repertum atau surat dari polisi yang meminta dokter memeriksa tubuh korban 5. Jika korban memilih langsung ke layanan kesehatan, maka pihak kepolisian bisa didatangkan ke layanan kesehatan tersebut atau 6. Segera ke lembaga layanan terdekat. Perlu diketahui sperma akan berada dalam vagina 4-5 jam. Namun masih bisa ditemukan disekitar antara 24-36 jam. 7. Cari dukungan baik teman, orang terdekat, pendamping, atau lembaga pengadalayanan yang dipercaya. Ceritakan apa yang telah terjadi. Ini penting jika sewaktu-waktu korban mengalami sakit, trauma dan sebagainya. Jika Anda tahu, Jika Anda Saksi 1. Jangan tinggal diam bila mengetahui adanya perkosaan. Segera laporkan pada pihak berwajib. 2. Jangan menyalahkan korban. Dukung ia dalam segala keputusan yang diambil mengenai perkosaan yang dialaminya dan jangan menghakimi jika korban tidak mau melapor kepada pihak berwajib. 3. Segera bawa ke tenaga medis untuk mendapatkan visum. Tidak semua rumah sakit bisa mengeluarkan visum. Diantara rumah sakit yang diakui adalah RSCM, Rumah Sakit Polri, atau Rumah Sakit Daerah yang ditunjuk, rumah sakit yang bekerjasama dengan P2TP2A, atau yang ditunjuk oleh kepolisian. 4. Segera mencari organisasi layanan untuk pendampingan kasus, baik secara psykologi maupun hukum 5. Mendengarkan cerita korban, dan catat dengan baik apa yang disampaikan korban. Hal ini akan bermanfaat jika korban mengalami kondisi tertentu. 6. Berikan informasi kepada korban hak-haknya dan juga keberadaan lembagalembaga yang dapat ia hubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut ataupun masukan bagi upaya pencarian keadilan dan pemulihan 7. Berikan informasi tentang perkosaan seksual kepada anggota keluarga, teman, tetangga, teman sekerja atau lainnya. 8. Ajak mereka untuk ikut mendukung korban dengan cara tidak menyalahkan korban, tidak menstigma, tidak mengucilkan apalagi mengusir korban. 9. Ikut serta dalam advokasi perubahan hukum untuk kepentingan perempuan korban kekerasan, termasuk dengan memantau jalannya proses penegakan hukum. 10. Dukung kerja-kerja lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan dengan mengumpulkan informasi tentang kekerasan seksual yang terjadi di sekelilingmu, memberikan dukungan, ikut serta dalam kampanye atau dalam penggalangan dana bagi penanganan korban. 13 13 JENIS KEKERASAN SEKSUAL LAINNYA Seperti telah di tulis di atas, Komnas Perempuan menemukenali 14 jenis kekerasan seksual. Namun demikian Perkosaan telah diulas secara panjang dalam tulisan ini. Ketiga belas jenis kekerasan lainnya akan diulas satu persatu dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan mendatang. Berikut adalah definisi dari ketiga belas kekerasan seksual tersebut: 1. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya.5 2. Pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi-materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.6 3. Penyiksaan seksual adalah perbuatan yang secara khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga, untuk mengancam atau memaksanya atau orang ketiga, dan untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik.7 4. Eksploitasi Seksual merujuk pada aksi atau percoban penyalahgunaan kekuatan yang berbeda atau kepercayaan, untuk tujuan seksual termasuk tapi tidak terbatas pada memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial maupun politik dari 5 Disadur dari definisi dalam Undang Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 6 Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso 1998-2005, Komnas Perempuan, 2009, hal. 132 dan rumusan yang dikembangkan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, “Bagai Mengurai Benang Kusut: Bercermin Pada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya Pembuktian Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar Pelayanan, Komnas Perempuan,2010, hal. 9 7 Merujuk pada definisi penyiksaan sebagaimana tercantum dalam UU No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, Pasal 1. 14 eksploitasi seksual terhadap orang lain.8 Termasuk di dalamnya adalah tindakan mengiming-imingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, yang kerap disebut oleh lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan sebagai kasus “ingkar janji”. Iming-iming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya sehingga perempuan merasa tidak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi. 5. Perbudakan Seksual adalah sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan yang melekat pada “hak kepemilikan” terhadap seseorang, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi dimana perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa untuk menikah, memberikan pelayanan rumah tangga atau bentuk kerja paksa yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk perkosaan oleh penyekapnya9 6. Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan adalah tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan. Serangan dan intimidasi seksual disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain10 7. Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama mencakup berbagai tindak kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, dan tidak hanya melalui kontak fisik, yang dilakukan untuk mengancam atau memaksakan perempuan mengenakan busana tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara ia berbusana atau berelasi sosial dengan lawan jenisnya. Termasuk di dalamnya adalah kekerasan yang timbul akibat aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. 8. Pemaksaan Aborsi adalah pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.11 9. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual adalah cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan.12 Termasuk dalam penghukuman tidak manusiawi adalah hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat manusia yang ditujukan bagi mereka yang dituduh melanggar norma-norma kesusilaan. 10. Pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan kawin gantung adalah situasi dimana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri, termasuk di dalamnya situasi dimana perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain 8 Buletin sekjen PBB tentang tindakan-tindakan khusus bagi perlindungan dari eksploitasi seksual dan pelanggaran seksual, St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Komnas Perempuan, op.cit., hal. 46 9 Dirumuskan dari pengertian penyiksaan seksual dalam Pasal 7(2)(c) Statuta Roma 10 Komnas Perempuan, Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan, Komnas Perempuan, 2007 11 op.cit. Komnas Perempuan 2009, hal 132 12 Lihat penjelasan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia 15 kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar ia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang ia inginkan atau dengan orang yang tidak ia kenali, untuk tujuan mengurangi beban ekonomi keluarga maupun tujuan lainnya. Pemaksaan perkawinan juga mencakup situasi dimana perempuan dipaksa menikah dengan orang lain agar dapat kembali pada suaminya setelah dinyatakan talak tiga (atau dikenal dengan praktik “Kawin Cina Buta”) dan situasi dimana perempuan terikat dalam perkawinannya sementara proses perceraian tidak dapat dilangsungkan karena berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Tidak termasuk dalam penghitungan jumlah kasus, sekalipun merupakan praktik kawin paksa, adalah tekanan bagi perempuan korban perkosaan untuk menikahi pelaku perkosaan terhadap dirinya. 11. Prostitusi Paksa merujuk pada situasi dimana perempuan dikondisikan dengan tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Pengondisian ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk dapat melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan hutang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual13. 12. Pemaksaan kehamilan yaitu ketika perempuan melanjutkan kehamilan yang tidak ia kehendaki akibat adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya akibat perkosaan tersebut. Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan dalam Statuta Roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya 13. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan merujuk pada kebiasaan berdimensi seksual yang dilakukan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan atau dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan14. 13 14 Diambil dari berbagai sumber Ibid., 16 Praktik terbaik Penanganan Kasus Perkosaan Seorang gadis (H) berusia 15 tahun, masih bersekolah di salah satu SLTP negeri di Kabupaten Maluku Tengah diperkosa oleh gurunya. H adalah gadis ke-20 yang mengalami perkosaan dari pelaku. Pelaku mengancam agar H diam, tidak menceritakan pada siapapun jika masih ingin hidup dan lulus sekolah. Setelah kejadian itu H menjadi murung dan menarik diri dari temantemannya. Seorang teman sekelasnya menemukan catatan H yang menceritakan kejadian perkosaan itu. Kemudian ia melaporkannya kepada orang tua H. Mendengar informasi tesebut orang tua H menyalahkannya. Bahkan ibu H ingin membunuhnya karena dianggap merusak kehormatan keluarga. Peristiwa ini dilaporkan kepada polsek setempat. Pelaku ditangkap karena hasil visum menunjukkan bahwa terjadi perkosaan dan didukung oleh saksi. Di dalam tahanan polisi, pelaku ternyata bebas keluar masuk. Hal ini dikarenakan ia memiliki kedekatan dengan Wakil Kepala Kepolisian Sektor (Wakapolsek). Alih-alih berkas perkara sampai ke Kejaksaan, pelaku justru melarikan diri dengan bantuan Wakapolsek. Dalam perjalanannya kasus ini juga akan diberhentikan penyelindikannya (SP3) dengan alasan pelaku masuk dalam Daftar Pencarian Orang. Padahal SP3 hanya boleh dilakukan jika penyidikan tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tidak pidana. Melihat kasus di atas LAPPAN sebagai organisasi yang mendampingi kasus tersebut melihat adanya kejanggalan dalam proses hukum tersebut. LAPPAN melihat fakta hukum sudah jelas, bukti sudah lengkap, saksi juga ada. Oleh karenanya LAPPAN mengajukan surat permohonan kepada pihak Profesi dan Pengamanan (ProPam) Polda Maluku untuk melakukan investigasi terhadap kasus tersebut. Hasil dari investigasi tersebut menunjukkan bahwa Polsek tidak serius dalam menangani kasus perkosaan itu. Tindak lanjut dari hasil investigasi adalah Kapolsek dan Wakapolsek yang menangani kasus tersebut dipindahkan. Sementara pengganti Kapolsek yang baru diberi tugas untuk menangkap pelaku dan adili. Pengadilan memutus pelaku dengan hukuman lima tahun penjara, padahal jaksa menuntutnya dengan hukuman 12 tahun penjara. Meskipun putusan tersebut dianggap belum adil baik oleh korban maupun keluarga, namun yang lebih penting dari semua itu adalah masa depan korban. Atas dukungan keluarga, LAPPAN mulai membangun pemahaman kepada pihak sekolah tentang kekerasan seksual, khususnya perkosaan. Upaya tersebut membuahkan hasil, karena segenap guru menerima kembali korban sebagai siswa di sekolah itu. Saat ini korban telah menempuh studi di salah satu Perguruan Tinggi di Ambon. 17