BAB II

advertisement
BAB I
MENGENAL TUHAN
DALAM PERSPERKTIF
KITAB KELUARAN BAB 3-4
1.1. Pengantar
Dewasa ini, permasalahan Hak-Hak asasi manusia telah menjadi nilai krusial
untuk dibahas demi meningkatkan harkat dan martabat kaum tertindas, teraniaya dan
yang diperhambakan. Perjuangan para penegak hak-hak asasi menginspirasi penulis
untuk coba memahami dan menemukan Siapakah Tuhan di tengah aneka permasalahan
kemanusiaan tersebut. Permenungan tentang hal ini mengingatkan dan menuntun kita
kepada situasi orang-orang Yahudi masa lalu di Mesir. Pertanyaan ini menggirim saya
untuk menulis tentang Gambaran Tuhan menurut Kitab Keluaran bab 3 – 4
Menanggapi pertanyaan ini, saya membagi uraian bab ini ke dalam beberapa
bagian; pertama, riwayat panggilan Musa. Karena hal ini sepertinya merupakan latar
belakang dari seluruh uraian untuk memahami intervensi Tuhan dalam sejarah bangsa
Yahudi waktu itu. Kedua, penulis akan memusatkan perhatian pada Nama Ilahi Tuhan
yang mana bisa mengantar kita untuk memahami siapakah Tuhan yang sedang berjalan
bersama-sama dengan orang Yahudi. Dia memperkenalkan diriNya kepada Musa sekedar
meyakinkan bahwa Dia berada begitu dekat dengan mereka Selanjutnya penulis
berhadapan dan bergelut dengan pusat permasalahan yaitu: Gambaran Tuhan menurut
Kitab Keluaran. Berkaitan dengan hal terakhir ini, penulis membagi penjabaran ke dalam
dua sub topik seperti ”I shall be with you (Aku akan menyertaimu) dan ” the Creator of
Life and Lord of History (Pencipta kehidupan dan Tuhan atas sejarah). Topik-topik ini
sungguh menuntun penulis untuk menyimpulkan bahwa Tuhan dalam Kitab Keluaran
turun ke bumi sebagai pembebas dalam sejarah umat Manusia. Dia berada bersama
umatNya, memahami situasi pengikutNya dan membebaskannya dari permasalahan yang
dihadapi manusia.
Metode yang saya gunakan di sini adalah dengan meminta orang untuk
merenungkan pengalaman pribadi berkaitan dengan rasa tertindas, teraniaya dan atau
melakukan penindasan terhadap orang lain. Untuk menyempurnakan karya ini, penulis
mendasarkan ide-ide pada buku-buku yang telah dibaca dan refleksi pribadi tentang
permasalahan tersebut. Sebenarnya, saya tidak memberikan interpretasi atau tafsiran
(hermeneutik) tentang teks tetapi saya mendasarkan pikiran dan ide-ide atas teks-teks
tersebut dari Kitab Keluaran bab 3 sampai dengan bab 4. Teks pertama yang saya
gunakan adalah pengalaman Musa di atas Gunung Horeb yang mana dianggap sebagai
panggilan Musa.
1.2. Panggilan Musa
Sebagaimana kita semua ketahui, dari Kitab Keluaran 2:11-15, Musa melarikan
diri dari Mesir karena terlibat dalam perkara pembunuhan orang Mesir yang memukul
orang Yahudi. Musa membela orang Yahudi. Alasan satu-satunya ini telah menjadi
alasan persembunyian Musa di Midian, dengan mertuanya, Jethro, menurut cerita Elohist
atau Raguel menurut tradisi orang-orang Yahudi (Roland E. Murphy, 1962, p.10).
1
Bagaimana pun, pengalaman ini merupakan titik awal dalam upaya memahami seluruh
sejarah Keluaran (exodus), dari itu Musa merasa terdorong dan terpanggil untuk
menghantar Umat Tuhan keluar dari Mesir.
Nama Moses (Roland E. Murphy, Ibid.), yang mana dalam bahasa Mesir berarti
putra, dijelaskan sepertinya berasal dari suatu kata Yahudi yang memiliki bunyi sama
”moseh”, dari kata kerja ”masah” yang berarti menarik keluar. Dahulu kala, permainan
kata begitu penting, khususnya digunakan oleh penulis-penulis kuno untuk mencocokan
dengan situasi. Dan kesesuaian ini tampak dalam nama Moses. Kesesuaian antara situasi
di Mesir dan upaya Musa untuk mengeluarkan orang Israel dari Mesir. Kesesuaian antara
situasi dengan upaya untuk mengeluarkan orang Israel dari Mesir
Moses, di tempat di mana dia menyembunyikan diri dari kemarahan Firaun,
berhadapan dengan Tuhan Keluaran. Di sana Tuhan memanggil dia untuk membebaskan
orang-orang Yahudi dari kungkungan orang-orang Mesir. Dia dipanggil Tuhan. Berkaitan
dengan panggilannya, terdapat dua deskripsi yang berbeda dengan alasan-alasannya
masing-masing. Keduanya secara jelas berbeda dalam pembagian bidang-bidang
uraiannya. Pertama, penggabungan tradisi Elohist dan tradisi orang-orang Yahudi
membeberkan Kel 3,1-4,17, menggambarkan situasi di mana Moses dipanggil Tuhan di
gunung Horeb. Dalam perhitungan ini, kejadian yang dialami Moses mengikuti pola
panggilan profetis seperti yang ditemukan dalam Yesaya 6, Jeremiah 1 dan Yehezkiel 12.
Kedua, narasi yang bersifat imami yang mana mendasari ide-ide panggilan Moses
dalam Kel 6:2-7,13, menempatkan Moses di Mesir. Mereka begitu yakin bahwa Moses
dulu ada bersama sukunya dan di sana dia dipanggil untuk membebaskan umatNya dari
penindasan orang-orang Mesir dan untuk menuntun mereka ke tanah subur Kanaan.
Bagaimana pun, hal ini bisa dipahami jikalau kita sungguh-sungguh mengetahui
hubungan antara Moses dan Tuhan. Tuhan memanggil dia dan reaksinya yang kita kenal
adalah suatu disposisi iman. Iman dalam konteks ini dilihat sebagai suatu ketaatan dari
seorang pribadi yang dipanggil. Secara lebih jauh, ketaatan merupakan suatu jawaban
terhadap wahyu Tuhan (” a response to God’s history with humanity) (Komanchak, 1987,
376), kepada Tuhan yang sedang berpartisipasi dalam sejarah kemanusiaan.
Berkaitan dengan iman Moses, Tuhan sungguh dipercaya menjadi Tuhan satusatunya yang memperlihatkan belaskasihanNya kepada orang-orang Yahudi yang
diperhamba di Mesir. ”Aku adalah Tuhan nenek moyangmu, Tuhan Abraham, Tuhan
Ishak, Tuhan Yakup. Aku telah lama memperhatikan kesengsaraan umatKu yang berada
di Mesir (Kel 3:6-7)(Thomas Nelson, Inc., 1993, p.50). Jikalau Tuhan tidak menyebutkan
kesengsaraan orang-orang Yahudi dan merujuk pada nenek moyang, Abraham, Ishak dan
Jakub, Moses tidak akan memahami. Dengan merujuk pada situasi kesengsaraan orangorang Yahudi, Moses menjadi mengerti untuk alasan apa Tuhan sedang memanggilnya.
Setelah mengetahui bahwa Tuhan menginginkan dia untuk membebaskan orangorang Yahudi, dia mengajukan suatu pertanyaan: ”Siapakah aku ini sehingga aku mesti
pergi menghadap Firaun, dan menuntun kaum Israel keluar dari Mesir (Kel 3:7, Thomas
Nelson, inc. Ibid). Pertanyaan ini menuntun kita untuk memahami ketidakmampuannya,
alasan manusiawi, bahwa dia tidak memiliki kekuasaan, kekuatan dan terutama
ketidakmampuan berbicara dengan baik. Tetapi bila kita menyimak lebih lauh, iman
Moses muncul dan kemudian dia mau menaati apa yang Tuhan telah katakan. Ketaatan
(obedience) merupakan elemen utama untuk beriman. Hal ini pula yang ditekan dan
2
digarisbawahi St Paul dalam pewartaannya kepada jemaat di Roma (Rom 1:5). Ia
berkata: ”...... kita telah menerima rahmat dan misi apostolis kita dalam memenangkan
ketaatan iman di antara segala bangsa untuk penghormatan namaNya (New Jerusalem
Bible, 1985, p. 1866).
Namun patut disadari bahwa iman yang kita telah terima merupakan hadiah
rahmat Tuhan yang memiliki efek sosialnya; bahwa apa yang kita alami atau hadapi
sebagai pengalaman religi atau rohani harus diwartakan kepada orang lain dalam suatu
komunitas iman, lingkungan di mana kita berada. Tentang iman sebagai hadiah rahmat
Tuhan ini, Komanchak at al, mengatakan bahwa tatkala seseorang membiarkan dirinya
secara total mengakar pada kabar gembira (injil) yang merupakan hadiah rahmat Tuhan,
orang itu akan diadili. Situasinya di depan Tuhan dibenarkan, bukan karena upaya
manusia atau kerja dari hukum, melainkan melulu karena hadiah rahmat..... (Komanchak,
Collins, Lane, Ibid. 378). Bahwa iman itu memiliki aspek sosialnya. Ini berarti bahwa
orang beriman harus mewartakannya kepada yang lain, untuk menyelamatkan orang yang
sedang ditindas. Dalam konteks ini, tugas Moses setelah berhadapan dengan Tuhan
Keluaran adalah untuk mewartakan kepada orang-orang Yahudi berkaitan dengan
pengalaman iman dan rohaninya tentang Tuhan yang dia jumpai dan untuk menuntun
mereka keluar dari perhambaan orang-orang Mesir seperti yang telah dikatakan. Dan halhal ini pula menjadi alasan kepulangannya ke Mesir untuk membebaskan orang-orang
Yahudi.
Namun demikian, adalah tidak cukup kuat untuk Moses menghantar keluar
UmatNya tanpa memiliki otoritas atau wewenang kekuasaan. Karena itu, Moses
menanyakan nama Tuhan untuk meyakinkan bahwa ada seseorang di belakang yang
memback up atau menyokong dia. Hal ini menjadi sangat penting terutama untuk
menyakin orang-orang Israel.
1.3. Nama Ilahi (The Divine Name)
Berbicara tentang nama Ilahi menuntun saya ke kontroversi yang sering terjadi
tetapi dalam tulisan ini saya tidak mau mengomentar lebih jauh tentang hal itu selain apa
yang menurut hemat saya cukup masuk akal untuk diterima. Sebab sesungguhnya
masing-masing sarjana Teologi yang terlibat dalam diskusi memulai karya mereka dari
pertanyaan Moses yaitu “Siapa NamaNya (What is His name?)? Apa yang akan saya
katakan kepada mereka (What am I to tell them?)? (Kel 3:13). Tentu saja, dua pertanyaan
ini muncul keluar dari ketakutan eksistensial karena ketidakmampuan dan tidak memiliki
otoritas atau wewenang. Tetapi ada sesuatu yang lebih penting dari hal itu bahwa
menurut pemikiran kuno, nama menunjukan pribadi seseorang, dan untuk mengetahui
nama merupakan upaya untuk mendapatkan kekuasaan atas seseorang (Murphy, Ibid, p.
11), mendapatkan kekuatan dan wewenang untuk melakukan hal-hal selanjutnya.
Tambahan lagi, dikatakan bahwa mengetahui nama dari orang lain adalah untuk
mengenal siapa dan apakah dia itu, baik berkaitan dengan identitasnya, kualitas dan
karakter, atau barangkali lebih tepatnya (sejak hal-hal ini merupakan istilah-istilah
konotasi statis, tidak dikenal dalam pemikiran primitif), kekuasaannya, perannya, fungsi
apa yang orang lain digelarkan atau diberi wewenang untuk melakukan (John Courtney
Murray, 1963, p.7). Dengan kata lain ada relasi resiprokal, timbal balik antara nama dan
3
pemiliknya, karena nama itu sendiri memediasi suatu relasi langsung dengan alam dan
mengungkapkan karakter-karakter individu (Walther Eirchrodt, 1967, p. 40).
Menyangkut nama Tuhan, terdapat tiga kemungkinan interpretasi utama, yaitu
pertama, Aku adalah Aku (I am who I am). Hal ini sangat biasa terjadi dalam kitab suci
Inggris klasik. Kebanyakan sarjana teologi bersepakat bahwa dengan menceritakan
NamaNya, Tuhan menggambarkan diriNya sebagai ada yang sempurna, sesuatu yang
berada tanpa batas. Dia tidak bisa dibandingkan dengan ada yang lain. Dan ditegaskan di
sini ide KeilahianNya sebagai ada yang Absolut. Nama ini merujuk pada Tuhan yang
transendens, yang melampaui, yang keberadaanNya tidak terbatas atau tanpa batasan.
Namun demikian, nama ini mengalami perubahaan tatkala orang-orang Yahudi
berhadapan dengan budaya Helenistis, budaya Yunani. Versi yang berubah tampak dalam
Septuaginta (versi Yunani) yakni Aku adalah Dia yang berada (I am He who is). Kepada
mereka, Tuhan lebih dilihat sebagai Penguasa, Pribadi yang berkuasa yang memberikan
peraturan-peraturan kepada suatu masyarakat atau jemaat. Jika kita menyimak sungguhsungguh tentang hal ini, anda dan saya mungkin bersepakat bahwa orang-orang Yunani
melihat Tuhan dari suatu aspek sosial dalam mana Tuhan digambarkan sebagai pribadi
yang memiliki otoritas, wewenang untuk memerintah sejumlah besar orang atau jemaat,
berjalan bersama dengan sejarah jemaat atau umatNya, Dia ada dan terlibat di tengahtengah kegiatan manusia.
Kedua, interpretasinya mengandung unsur rasa kausalitatif, sebab akibat, yakni,
Aku menciptakan ada, apa saja yang menjadi ada (I make to be whatever comes to be).
Ide dasar dari nama Tuhan ini secara mutlak menempatkan Tuhan sebagai pencipta alam
semesta. Keyakinan ini bersifat mutlak bahwa Tuhan merupakan Pencipta dari segala
sesuatu yang ada di antara orang-orang Israel dari permulaan. (Murray, p. 8). Dari
kalimat ini Tuhan tidak hanya memiliki satu melainkan dua peran dalam instansi-instansi
berbeda seperti bahwa Dia merupakan object keyakinan nenek moyang mereka, Tuhan
yang menciptakan umatNya. Juga, Dia merupakan Yang Kuat berkuasa dibalik sejarah
mereka. Selanjutnya Tuhan yang sama menciptakan segala sesuatu mencakupi surga dan
bumi. Dia merupakan Yang Kuat berkuasa dibalik semua proses dunia material.
Beberapa sarjana mengklaim bahwa ide kedua berkaitan dengan kata kerja
Yahudi mengenai ”berada” yaitu ’ehyeh, asher, ehyeh, yang mana beberapa orang
melihatnya sebagai suatu bentuk kausalitatif dihubungkan dengan pernyataan Dia
menyebabkan ada (He causes to be). Istilah-istilah ini sesungguhnya menghubungkan
kata kerja dengan terjemahan lain Aku adalah Aku (I am who am). Kemudian mereka
tiba pada suatu konsep umum Aku adalah Dia yang berada (I am He who is), atau Aku
adalah satu-satunya yang berada (I am the one who exist). Kalimat ini pada kenyataannya
berbicara lebih banyak tentang Tuhan Esa sebagai yang berada satu-satunya yang masih
berada jauh di luar jangkauan pikiran manusia.
Dalam dua interpretasi terdahulu, tampaknya Tuhan itu bersifat transendens, yang
melampaui segala yang ada dan bahkan di luar batas jangkauan kemampuan manusia
untuk memahami. Dia benar-benar misteri dan tidak terlalu peduli terhadap situasi riil
sejarah umat manusia. Tuhan sendiri sungguh-sungguh menjaga jarak dari seluruh
ciptaanNya sendiri yang mana diyakini diciptakanNya seturut citraNya sendiri.
Tambahan lagi, dan cukup mengejutkan bahwa setelah menciptakan alam semesta,
tampaknya seolah-olah Tuhan keluar dan melepaskan tanggung jawab untuk memelihara
ciptaanNya. Tak bisa dipungkiri bahwa ide tersebut bertentangan dengan Tuhan yang
4
dialami dalam pengalaman iman orang-orang Israel selama keluar dari Mesir dan
dihadapi Moses di Gunung Horeb merupakan Tuhan Keluaran yang sedang berjalan
bersama dengan sejarah umatNya.
Tuhan yang dimaksud, yang digambarkan di atas adalah sebagai Yahweh.
Menurut beberapa Sarjana, kata Yahweh ini berasal dari sebuah kata Aramis ’hawah’
yang digunakan untuk mendesain keberadaan Tuhan. Nama itu memboboti kesannya
bahwa Tuhan didengar sebagai janji bahwa Dia akan hadir bersama umatNya (Murray, p.
9). Inilah Tuhan yang berjanji akan berada bersama Moses, ”Aku akan besertamu (I will
be with you, Kel 3:11). Tambahan lagi, dalam nama ini Moses dan orang-orang Israel
menangkap kesan nama Ilahi dan menegaskannya dalam tetragramaton yang rahasia
YHWH, Yahweh. Keempat huruf ini dihubungkan dengan qal yang tidak sempurna
dengan kata Yahudi ’hayah’ yang berarti ada, to be, Dia ada bersama mereka
(Steinmueller and Sullivan, 1956, p. 759).
Sungguh kuat diyakin bahwa inilah Tuhan yang mewahyukan diriNya kepada
Moses. Dan dari namaNya terdapat indikasi bahwa Dia sedang berjalan di antara
umatNya sebagaimana Dia janjikan: Aku akan besertamu (I will be with you). Dengan
kata lain, seperti telah dijelaskan sebelumnya, inilah gambaran Tuhan Keluaran (Exodus
God).
1.4. Gambaran Tuhan dari Keluaran (Exodus God) dalam Kel 3 – 4
3.1. Aku akan besertamu (I shall be with you)
Menyimak tentang sub topic di atas secara otomatis mengantar penulis pertama
kepada pernyataan Tuhan sebagai jawaban atas ketakutan Moses menghadapi Firaun.
Pernyataan itu memunculkan kenyataan bahwa Moses menerima pada gilirannya janji
Ilahi (Murray p. 6) sebagai janji dari suatu naungan abadi dari Tuhan di tengah umatNya
(Yves Congar, 1962, p. 8). Tuhan yang digambarkan merupakan Tuhan yang sedang
berjalan bersama umatNya, orang-orang Yahudi. Dia merasakan apa yang mereka
rasakan. Dia merupakan Tuhan yang mengatakan, Aku sungguh telah melihat penderitaan
umatKu di Mesir. Ya, Aku sadar akan penderitaan mereka (Kel 3:4).
Tambahan pula, kalimat ini mengingatkan kita akan suatu ungkapan, tabut
perjanjian (thy dwelling place) dalam Perjanjian Lama dan dalam doa Salomon pada
pelayanan kenisah. Dan berhubungan dengan situasi kita, frase tersebut dapat dimengerti
sebagai tabernakel pada saat ini dalam Gereja Katolik di mana diyakini sungguh-sungguh
bahwa Tuhan hadir dan bernaung di tengah para penyembahNya. Dia melihat apa yang
sedang mereka lakukan, mengadili apa yang telah dilakukan dan menunjukkan jalan
kepada tanah terjanji, tanah di mana mengalir susu dan madu (Kel 3:8).
Berkaitan dengan frase tersebut pula, congar (p. 9-13) mencatat kenyataankenyataan berikut yang bisa membantu kita untuk memahami istilah itu. Pertama, awan
(the cloud). Kata ini tentu saja bukan kata baru bagi kita sejak kata ini telah digunakan
sebagai simbol perwujudan atau penampakan Tuhan dalam Gereja Katolik. Dikatakan
bahwa awan turun dan menaungi tabut di mana orang-orang Yahudi menempatkan
perintah-perintah Tuhan. Bukan hanya bahwa kata awan itu memiliki arti seperti
disebutkan di atas, melainkan awan menyimbolkan kehadiran dan ketransendensi Tuhan
di hadapan seluruh ciptaanNya. Entah dalam agama Yahudi maupun dalam agama
5
Kristen, awan itu merupakan tanda dari surga yang turun ke bumi dan dari bumi ke surga
(bandingkan Dan 7:13).
Sungguh diyakini bahwa awan sebagai perantara (intermediari) antara surga dan
bumi, rohani dan jasmani, mimpi dan kenyataan (Nadia Julien, 1996, p. 75). Awan-awan
menjadi perantara jarak antara surga di atas dan bumi di bawah. Juga awan
menyimbolkan suatu visi yang samar-samar tentang sesuatu yang tidak bisa dimengerti
atau seperti dalam surat St Paulus kepada Timotius, bahwa awan itu merupakan terang
yang tidak bisa didekati ( I Tim 6:16).
Kedua, Kemuliaan. Ini merupakan suatu kenyataan yang secara dekat
dihubungkan dengan awan, dalam arti bahwa ini merupakan hal yang sama. Perpedaanperbedaan atara mereka ada sangat tipis terutama dalam artinya. Awan lebih sebagai
gejala dan dengan itu kemuliaan diwahyukan. Kemuliaan merupakan suatu penampakan
penuh dari Tuhan dan seringkali dikarakterisasi dengan suatu nyala api bahwa kehadiran
Tuhan sedang diwahyukan atau bahwa hukuman sedang diumumkan.
Tambahan pula, ide itu sendiri membuat transendensi dan kehadiran Tuhan
menjadi nyata, bisa terlihat oleh yang terpilih dengan sarana-sarana suatu gejala terang
atau lidah api yang dihubungkan dengan beberapa realitas-realitas rahasia, misalnya,
kejadian di Gunung Horeb (Kel 3:2), tabernakel ( Kel 29:42) dan lain-lainnya. Kenyataan
ini sungguh diyakini selama periode pengasingan dan dari kenisah orang-orang Israel.
Bagaimanapun, berbicara tentang kemuliaan tidak bisa dimengerti secara terpisah
dari ide kehadiran dan tabut kenisah Tuhan. Hal ini berkaitan erat dengan kata Yunani
dalam Kitab Suci, Kabod (Eichrodt, p. 29), yang mana hal itu begitu rapat dikaitkan
dengan imajinasi naif untuk kehadiran Tuhan dan bagi kata Aramis atau bagi Mishnais
orang-orang Yahudi, kata shekinah, yang berarti kehadiran, tempat bernaung. Sungguhsungguh dua kata ini membicarakan tentang penampakan dan transendensi Tuhan yang
mana tidak bisa digambarkan dengan kalimat atau kata-kata manusia, melainkan bahwa
Dia, yang bersifat transenden dan jauh di luar batasan manusia, benar-benar hadir dan
bahkan tempat naunganNya ada di tengah-tengah umatNya. Dia memiliki tenda
pertemuan (Congar, p. 11) di tengah segala aktivitas umat pilihanNya. Di tempat ini yang
seringkali diidentifikasikan dengan tenda, tempat naungan (the dwelling place) di mana
mereka menempatkan perintah-perintah Moses yang diperolehnya saat bertemu dengan
Tuhan di Gunung Horeb. Dan semua ini menjadi nampak melalu ide awan (the clouds)
sebagai simbol penampakan Tuhan dalam sejarah manusia.
3.2. Pencipta Kehidupan dan Tuhan dari Sejarah
Tuhan Keluaran (Exodus God), Aku besertamu (I shall be with you),
bagaimanapun merupakan Tuhan yang esensinya melampaui atau di luar jangkauan
pikiran manusia, melebihi ada yang lainnya. Dengan kata lain, bagi ada yang lain Dia
merupakan Penciptanya, memberi kehidupan, tetapi lain pihak Dia tidak mengeklusifkan
diriNya dari ciptaanNya, melainkan berjalan melalui sejarah ciptaanNya. Tentang hal ini
telah ditegaskan Edmund (Edmund Jacob, p. 50) bahwa Tuhan dalam Perjanjian Lama,
khususnya dalam Kitab Keluaran, merupakan Pencipta Kehidupan dan Tuhan dari
Sejarah (Lord of history).
Dalam situasi orang-orang Israel, Tuhan sebagai Pencipta Kehidupan merupakan
Tuhan yang memberikan keberadaan kepada apa saja yang berada. Dia merupakan
sumber hidup dan memberikan kekuatan kepada manusia, khususnya untuk menguasai
6
ada yang lainnya, seperti, dengan menamainya, memberi makan dan memeliharanya
supaya bisa dinikmati semua generasi. Dengan kata lain, Dia merupakan Dia yang
menyebabkan berada (He is He who causes to be).
Bagaimanapun juga, berbicara tentang ada (to be) selalu dikaitkan dengan yang
lain. Saya atau kita dianggap sempurna dalam relasi dengan yang lain atau dalam suatu
pemahaman tentang keberadaan dari yang lainnya. Ide ini ada dalam masyarakat orangorang Yahudi dalam hal bahwa berada berarti ada bersama yang lain (Murray p. 21). Dan
untuk mengenal yang lain berarti harus berkomunikasi dengan yang lain. Dalam kaitan
dengan keberadaan Tuhan, Dia merupakan Ada yang absolut, tetapi keberadaanNya tidak
mengekslusifkanNya dari ada yang lainnya. Dia mewahyukan diriNya kepada Moses
dalam sejarah keberadaan yang lain seperti dalam sebuah lidah api yang keluar dari
semak belukar ( Kel 3:2).
Ide bahwa Tuhan merupakan Tuhan dari sejarah bisa dimengerti dalam konteks
bahwa keberadaanNya diwahyukan kepada ada yang lainnya dan dalam turunNya ke
bumi untuk menyelamatkan umatNya dari perhambaan. Hal ini untuk mengungkapkan
intervensi historik dari Tuhan (Murray, p. 19). Istilah turun ke bumi untuk
menyelamatkan (come down to rescue) menggambarkan kehadiran Tuhan sebagai suatu
yang hidup dan aktif dan mewahyukan kehendakNya dalam kaitan dengan orang-orang
Israel (Congar, p. 7). Bahwa umatNya ditindas, Tuhan telah melihatnya dan teriak atau
seruan mereka telah didengarnya. Tuhan sedang mengikuti mereka. Dan karena
kesedihan dan penderitaan mereka, Tuhan mengirim utusan (messenger) untuk
membebaskan mereka, menuntun mereka keluar dari situasi itu. Sesungguhnya hal ini
berkaitan dengan pendelegasian Moses (Kel 3:16-22, Sean McEvenue, 1990, p. 8). Tetapi
bila kita menyimak lebih dalam dan secara serius, ada suatu nilai yang penuh arti dalam
pembicaraan tentang Tuhan sebagai Pembebas. Ide itu dengan mudah bisa diterima
karena komitmen yang transparan, jelas dari Tuhan dalam sejarah dari orang-orang
Yahudi dalam mana Dia menggunakan Moses untuk menuntun umatNya keluar dari
Mesir. Tentang hal ini, Plastaras (James Plastaras, 1966, p . 15) mengklaimnya sebagai
peristiwa agung (great event) karena Tuhan menunjukan tanda-tanda dan keajaiban yang
luar biasa.
1.5. Kesimpulan
Anda mungkin bersepakat dengan saya bahwa Tuhan seperti yang dijelaskan di
atas merupakan Tuhan yang sedang berjalan melalui sejarah umat manusia sebagai
Pembebas. Mulanya Dia muncul dan menampakkan diri kepada Moses dalam suatu
penampakan ilahi (divine confrontation, McEvenue, p. 8) dan memperkenalkan diriNya
sebagai Aku adalah Aku (I am who I am); Aku adalah Dia yang berada (I am He who is)
atau Aku adalah Dia yang menyebabkan ada ( I am he who causes to be). Bagaimana
pun, citra ini merupakan Tuhan yang bersifat transenden yang memberikan hidup kepada
segala sesuatu. Secara lebih jauh, Dia memperkenalkan diriNya sebagai Yahweh, Tuhan
nenek moyang yang telah melihat penderitaan dan mendengar teriakan, seruan dan
tangisan kaum Israel. Dia berbelaskasihan kepada mereka dan mau membebaskan mereka
dari perhambaannya.
InisiatifNya untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi tampak jelas dalam
panggilan Moses. Dia berjanji untuk menyertainya menentang Firaun. Bahkan kata-kata
7
yang Moses akan gunakan Dia ajarkan. Aku akan menempatkan kata-kata dalam
mulutmu (..... I will be your mouth....) dan akan mengajarkan kepadamu apa yang akan
engkau lakukan (Kel 3:15). Jadi sangat jelas terlihat bahwa Dia merupakan Tuhan yang
mengenal umatNya dan situasi riil mereka, membantu mereka dan membawa mereka
keluar dari penindasan. Sungguh Dia merupakan seorang Pembebas yang turun untuk
menyelamatkan umatNya. Dia selalu ada bersama umatNya membebaskan mereka dari
setiap bentuk perhambaan dan penindasan.
8
Download