bab ii tinjauan pustaka dan dasar teori

advertisement
 D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
2.1 Hasil Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian yang digunakan dalam Tugas Akhir ini yang pernah
dilakukan dan masih berkaitan dengan tema penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1. “Analisis Kinerja Bundaran Tak Bersinyal Studi Kasus Bundaran Manahan
Solo, oleh Akhmad Dani S (2009) ”
Dari
hasil penelitian yang dilakukan arus terbesar terjadi pada hari Rabu siang
jam 12.00-13.00 WIB dengan nilai Derajat Kejenuhan (DS) yaitu pada lengan
0,686 - 0,772. Tundaan lalu lintas bundaran rata-rata = 7,451 det/smp, Tundaan
bundaran = 11,451 det/smp. Peluang Antrian bundaran minimal 16% dan
maksimal 37%. Dari hasil kondisi tersebut Bundaran Gelora Manahan hanya
mampu melayani arus lalu-lintas sampai tahun 2008 dengan DS rata-rata 0,772.
Alternatif pemecahan masalah dengan menggunakan Alternatif perbaikan 2
yaitu melakukan perubahan geometrik dan mengalihkan kendaraan bermotor
roda dua maupun tidak bermotor. Tundaan lalulintas bundaran rata-rata = 3,667
det/smp, Tundaan bundaran = 7,667 det/smp. Peluang Antrian bundaran
minimal 5% dan maksimal 10%. Dengan penerapan Alternatif 2 ini kinerja
bundaran dapat melayani arus lalulintas 15 tahun lebih lama yaitu tahun 20082023.
2. “Kajian Teknis Terhadap Kelayakan Bundaran Tugu Raden Intan, oleh
M.Adrian Romadhonni 2011”
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kinerja bundaran eksisting tahun 2010
masih memenuhi ketetapan MKJI 1997 (DS≤0,75) yaitu Derajat Kejenuhan
(DS) pada lengan 0,71 - 0,74. Berdasarkan tahap analisis per 5 tahun, pada tahun
2015 perlu dilakukan rekondisi geometrik karena DS > 0,75. Pada tahun 2020
setelah rekondisi geometrik, tidak memenuhi persyaratan MKJI 1997 karena itu
diperlukan solusi yang lain yaitu dengan persimpangan tidak sebidang.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
|7
MKJI 1997
Tidak bersinyal
Bundaran Tugu Raden Intan
Analisis prediksi
forecasting sampai 2020
MKJI 1997
Tidak bersinyal
Bundaran Pojok Teknik UGM
Analisis prediksi
forecasting sampai 2023
Tidak Bersinyal
Bundaran Cibiru Bandung
Analisis prediksi forecasting
sampai 2017
Jenis Bundaran
Lokasi
Perbedaan
Manfaat Penelitian
MKJI 1997
Mengetahui Kinerja Simpang,
Derajat Kejenuhandan Peluang
Antrian
Mengetahui Kinerja Bundaran,
Derajat Kejenuhan, Tundaan serta Mengetahui Kinerja Bundaran,
Derajat Kejenuhan
DED, RAB dan juga Metode
Pelaksanaan Perancangan
Judul Penelitian
Metode Analisis
Kajian Teknis Terhadap
kelayakan Bundaran Tugu Raden
Intan
Evaluasi Kinerja dan Perancangan Analisis Kinerja Bundaran Tak
Bersinyal Studi Kasus Bundaran
Ulang Bundaran Cibiru Kota
Manahan Solo
Bandung
M.Adrian Rhomadonni (2011)
Akhmad Dani S (2009)
Teddi Apriyadi (2012)
Penelitian sekarang oleh :
Tabel 2.1 Perbedaan Penelitian Terdahulu dan Sekarang
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
|8
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.2 Perbandingan Penelitian Terdahulu Dengan Penelitian Sekarang
Penelitian yang dilakukan berjudul “Perancangan Bundaran Cibiru Dengan
Proyeksi
Arus Tahun 2017 Kota Bandung”, acuan yang digunakan dalam analisis
bundaran ini adalah menggunakan metode MKJI 1997 dan Pd T-20-2004.
Perbedaan pada penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian sebelumnya
adalah hasil yang didapatkan pada penelitian sekarang lebih kepada DED, RAB
dan penjadwalan. Penyusun perlu melakukan survey guna mendapatkan data
primer
yang akurat mengingat setiap tahun selalu bertambahnya kendaraan dan
populasi
penduduk di Kota Bandung. Diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan yang terjadi di Bundaran Cibiru.
2.3 Tata Guna Lahan
2.3.1 Garis Sempadan Jalan
Menurut Perda No. 14 tahun 1999, Garis Sempadan Jalan (GSJ) adalah
garis rencana jalan yang ditetapkan dalam rencana kota. Ruang terbuka diantara
GSJ dan GSB harus digunakan sebagai ruang terbuka hijau dan/atau lahan
peresapan air hujan. Dalam hal jarak antara GSB dan GSJ kurang dari jarak bebas
yang ditetapkan, maka jarak bidang tampak terluar dengan GSJ pada lantai kelima
atau lebih, minimal sama dengan jarak bebas yang ditetapkan.
2.3.2 Garis Sempadan Bangunan
Menurut Perda No. 14 tahun 1999, Garis Sempadan Bangunan (GSB)
adalah garis yang tidak boleh dilampaui oleh denah bangunan kearah GSJ yang
ditetapkan dalam rencana kota atau garis diatas permukaan tanah yang pada
pendirian bangunan kearah yang berbatasan tidak boleh dilampaui. Dalam
mendirikan atau memperbaharui bangunan seluruhnya atau sebagian bangunan,
tidak boleh melanggar Garis Sempadan Bangunan (GSB) yang telah ditetapkan
dalam rencana kota.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
|9
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.3.3 Penggunaan Lahan
Menurut MKJI, lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut tata
guna
tanah dan aksesibilitas jalan tersebut dari aktivitas sekitarnya. Hal ini
ditetapkan secara kualitatif dari pertimbangan teknik lalu-lintas, yaitu :
1. Komersial Komersial Tata guna lahan komersial (misalnya pertokoan, rumah
makan, perkantoran) dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan
kendaraan.
2. Permukiman
Tata guna lahan tempat tinggal dengan jalan masuk langsung bagi
pejalan
kaki dan kendaraan.
3. Akses terbatas Tanpa jalan masuk atau jalan masuk langsung terbatas (misalnya
karena adanya penghalang fisik, jalan samping dsb).
2.4 Jalan
Di dalam UU RI No.38 tahun 2004 tentang jalan disebutkan bahwa jalan
sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama
dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan
dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai
keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan
memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan
nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran
pembangunan nasional.
2.4.1 Definisi Jalan
UU RI No.38 tahun 2004 menyebutkan definisi jalan yaitu adalah prasarana
transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap
dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada
permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air,
serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 10
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.4.2 Fungsi dan Peranan Jalan
UU RI No.38 tahun 2004 tentang Jalan mengelompokan jalan umum
menurut
fungsinya yaitu dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan
lokal, dan jalan lingkungan. Berdasarkan klasifikasi tersebut, klasifikasi jalan
menurut fungsinya dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Fungsi dan Karakteristik Jalan
UU RI No.38 Tahun 2004 tentang Jalan
Fungsi
Arteri
Kolektor
Lokal
Lingkungan
Pelayanan
Perjalanan
Angkutan Utama
Jarak Jauh
Tinggi
Dibatasi*
Angkutan
Pengumpul/Pembagi
Jarak
Sedang
Sedang
Dibatasi
Angkutan Setempat
Jarak Dekat
Rendah
Tidak
Dibatasi
Angkutan
Lingkungan
Jarak Dekat
Rendah
-
Ciri
Jalan
Umum
Jalan
Umum
Jalan
Umum
Jalan
Umum
Jumlah
Jalan
Masuk
Kecepatan
Rata-rata
*) : Secara berdaya guna
Sumber : UU RI No.38 tahun 2004 tentang Jalan
Sedangkan menurut perannya, jalan memiliki peran diantara lain :
1. Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting
dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik,
pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
2. Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
3. Jalan yang merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan
dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia.
2.4.3 Sistem Jaringan Jalan
Menurut Studyana (2009) dengan melihat perkembangan pertumbuhan
sosial-ekonomi maka kebutuhan perjalanan waktu yang akan datang dapat
diramalkan dengan menggunakan kebutuhan perjalanan yang tersedia. Pada
umumnya jaringan transportasi direncanakan untuk waktu pelayanan tertentu,
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 11
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
sepanjang interval waktu pelayanan tersebut, jaringan transportasi diharapkan
mampu melayani kebutuhan pergerakan yang terjadi. Perencanaan yang
komprehensif
meliputi rumusan tujuan dan kebijaksanaan untuk pengelolaan
sumber daya angkutan dan fasilitas jaringan jalan perlu peningkatan tindakan
operasional dan mempertahankan keluwesan antar moda angkutan, dikaitkan secara
lebih seksama agar tercapai sasaran secara integral dari perencanaan yang telah
disusun secara matang, sehingga dapat diambil suatu kebijaksanaan yang meliputi
beberapa
hal seperti berikut :
a. Mengutamakan prioritas penyediaan angkutan umum.
b. Penyediaan dan pembangunan infrastruktur angkutan yang dapat memberi
kesempatan kerja di daerah perkotaan atau keseluruh daerah rencana.
c. Pengembangan jaringan jalan yang strategis bagi pergerakan angkutan dan
dapat mengurangi tingkat kecelakaan yang tinggi sekaligus meningkatkan
standar perawatan jalan kendaraan.
d. Memastikan bahwa jalan-jalan tersebut tetap berfungsi pada suatu standar
pelayanan tertentu.
Sasaran yang diinginkan dengan maksud untuk mengurutkan peringkat
rencana-rencana dari segi tingkat pencapaian tujuan. Kebijaksanaan dapat meliputi
peningkatan jalan agar warga kota dengan lancar dapat mencapai ke tempat kerja,
tempat berbelanja dan fasilitas-fasilitas sosial lainnya. Hasilnya dapat diukur
dengan melihat indikasi jumlah fasilitas berbagai macam yang dapat ditempatkan
secara lebih menguntungkan untuk melayani distribusi kelompok penduduk yang
berbeda. Untuk meningkatkan kebutuhan pergerakan angkutan barang dapat diuji
dengan membandingkan peningkatan pada jaringan jalan dalam beberapa hal
seperti :
1. Meniadakan kemacetan, minimal dapat mengurangi kemacetan.
2. Perubahan rencana jalan.
3. Pembatasan pada suatu jalan baru.
4. Peningkatan tanda-tanda atau rambu-rambu lalu lintas.
Menurut UU RI No.38 tahun 2004 tentang jalan, sistem jaringan jalan terdiri
atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 12
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.4.3.1 Sistem Jaringan Jalan Primer
Sistem jaringan jalan yang disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata
ruang
dan struktur ruang wilayah nasional, yang menghubungkan simpul-simpul
jasa distribusi (Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985).
Sistem jaringan jalan primer sebagaimana dimaksud pada UU RI No.38
tahun 2004, merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi
barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan
menghubungkan
semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
Jaringan jalan primer adalah jaringan jalan yang menghubungkan secara
menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal, dan
pusat kegiatan di bawahnya sampai ke persil dalam satu satuan wilayah
pengembangan (Pedoman Penentuan Klasifikasi Jalan di Kawasan Perkotaan,
Pd.T-18-2004-B). Jaringan jalan ini terdiri dari:
a. Jalan Arteri Primer
Adalah jalan yang secara efisien menghubungkan antar pusat kegiatan
nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah.
b. Jalan Kolektor Primer
Adalah jalan yang secara efisien menghubungkan antar pusat kegiatan
wilayah atau menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat
kegiatan lokal.
c. Jalan Lokal Primer
Adalah jalan yang secara efisien menghubungkan pusat kegiatan
nasional dengan persil atau pusat kegiatan wilayah dengan persil atau pusat
kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lokal, pusat kegiatan lokal dengan
pusat kegiatan di bawahnya, pusat kegiatan lokal dengan persil, atau pusat
kegiatan dibawahnya sampai persil.
Hubungan antara hirarki perkotaan dengan peranan ruas jalan
penghubungnya dalam sistem jaringan jalan primer diberikan pada Tabel
2.3 dan Gambar 2.1
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 13
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.3 Hubungan Antara Hirarki Kota dengan Peranan Ruas Jalan dalam Sistem Jaringan Jalan
Primer
Sumber : Pd T-18-2004-B
Gambar 2.1 Sistem Jaringan Jalan Primer
Sumber : Pd T-18-2004-B
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 14
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.4.3.2 Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Sistem jaringan jalan yang disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata
ruang
kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi
primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan
seterusnya sampai ke perumahan (Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985).
Sistem jaringan jalan sekunder sebagaimana dimaksud pada UU RI No.38
tahun 2004, sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan
jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Jaringan jalan ini terdiri dari:
a. Jalan Arteri Sekunder
Jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder
kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan
sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan
kawasan sekunder kedua (Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985).
b. Jalan Kolektor Sekunder
Jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan
sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder ketiga (Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985).
c. Jalan Lokal Sekunder
Jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan
perumahan, menghubungkan kawasan sekunder dengan perumahan,
kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. (Peraturan
Pemerintah RI No. 26/1985).
Hubungan antara kawasan perkotaan dengan peranan ruas jalan dalam
system jaringan jalan sekunder data dilihat pada Tabel 2.4 dan Gambar 2.2
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 15
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.4 Hubungan Antara Hirarki Kota dengan Peranan Ruas Jalan dalam Sistem Jaringan Jalan
Sekunder
Sumber : Pd T-18-2004-B
Gambar 2.2 Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Sumber : Pd T-18-2004-B
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 16
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.4.3.3 Kriteria Penetapan Klasifikasi Fungsi Jalan
Kriteria disini dimaksudkan sebagai ciri-ciri umum, yang diharapkan pada
masing-masing
fungsi jalan, dan merupakan arahan untuk fungsi jalan yang perlu
dipenuhi/didekati.
a. Jalan Arteri Primer
Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan arteri primer harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :

Kriteria-kriteria jalan arteri primer terdiri atas :
- Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60
(enam puluh) kilometer per jam (km/h);
- Lebar badan jalan arteri primer paling rendah 11 (sebelas) meter (Gambar
2.3);
- Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi secara efisien; jarak antar
jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 500 meter;
- Persimpangan pada jalan arteri primer diatur dengan pengaturan tertentu
yang sesuai dengan volume lalu lintasnya;
- Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu
lintas rata-rata;
- Besarnya volume lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari
fungsi jalan yang lain;
- Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka,
lampu pengatur lalu lintas, lampu penerangan jalan dan lain-lain;
- Jalur khusus seharusnya disediakan, yang dapat digunakan untuk sepeda dan
kendaraan lambat lainnya;
- Jalan arteri primer seharusnya dilengkapi dengan median jalan.

Ciri-ciri jalan arteri primer terdiri atas :
- Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan jalan arteri primer luar
kota;
- Jalan arteri primer melalui atau menuju kawasan primer;
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 17
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
- Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu lintas regional;
untuk itu, lalu lintas tersebut tidak boleh terganggu oleh lalu-lintas ulang
alik, dan lalu-lintas lokal, dari kegiatan lokal ;
- Kendaraan angkutan barang berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan
melalui jalan ini;
- Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan tidak diijinkan;
- Jalan arteri primer dilengkapi dengan tempat istirahat pada setiap jarak 25
km.
Ruwasja
Ruwasja
Rumija
Rumaja
Ruwasja
Ruwasja
Rumija
Rumaja
Gambar 2.3 Tipikal Penampang Melintang Jalan Arteri Primer
Sumber : Pd T-18-2004-B
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 18
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
b. Jalan Kolektor Primer
Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan kolektor primer harus memenuhi
persyaratan
sebagai berikut :

Kriteria-kriteria jalan kolektor primer terdiri atas :
- Jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
40 (empat puluh) km/h;
- Lebar badan jalan kolektor primer paling rendah 9 (sembilan) meter
(Gambar 2.4);
- Jumlah jalan masuk ke jalan kolektor primer dibatasi secara efisien; jarak
antar jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 400 meter;
- Persimpangan pada jalan kolektor primer diatur dengan pengaturan tertentu
yang sesuai dengan volume lalu lintasnya;
- Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari
volume lalu lintas rata-rata;
- Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka,
lampu pengatur lalu lintas dan lampu penerangan jalan;
- Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari jalan
arteri primer;
- Dianjurkan tersedianya jalur khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan
kendaraan lambat lainnya.

Ciri-ciri jalan kolektor primer terdiri atas :
- Jalan kolektor primer dalam kota merupakan terusan jalan kolektor primer
luar kota;
- Jalan kolektor primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri
primer;
- Kendaraan angkutan barang berat dan bus dapat diijinkan melalui jalan ini;
- Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak
diijinkan pada jam sibuk.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 19
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Ruwasja
Ruwasja
Rumija
Rumaja
Ruwasja
Ruwasja
Rumija
Rumaja
Gambar 2.4 Tipikal Penampang Melintang Jalan Kolektor Primer
Sumber : Pd T-18-2004-B
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 20
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
c. Jalan Lokal Primer
Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan lokal primer harus memenuhi
persyaratan
sebagai berikut :

Kriteria-kriteria jalan lokal primer terdiri atas :
- Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20
(dua puluh) km/h;
- Lebar badan jalan lokal primer paling rendah 6,5 (enam setengah) meter
(Gambar 2.5);
- Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah pada
sistem primer.

Ciri-ciri jalan lokal primer terdiri atas :
- Jalan lokal primer dalam kota merupakan terusan jalan lokal primer luar
kota;
- Jalan lokal primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer
lainnya;
- Kendaraan angkutan barang dan bus dapat diijinkan melalui jalan ini.
-
Ruwasja
Ruwasja
Rumija
Rumaja
Gambar 2.5 Tipikal Penampang Melintang Jalan Lokal Primer
Sumber : Pd T-18-2004-B
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 21
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
d. Jalan Arteri Sekunder
Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan arteri sekunder harus memenuhi
persyaratan
sebagai berikut :

Kriteria-kriteria jalan arteri sekunder terdiri atas :
- Jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
30 (tiga puluh) km/h;
- Lebar badan jalan paling rendah 11 (sebelas) meter (Gambar 2.6);
- Akses langsung dibatasi tidak boleh lebih pendek dari 250 meter;
- Persimpangan pada jalan arteri sekunder diatur dengan pengaturan tertentu
yang sesuai dengan volume lalu lintasnya;
- Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume
lalu lintas rata-rata;
- Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka,
lampu pengatur lalu lintas, lampu jalan dan lain-lain;
- Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling besar dari sistem
sekunder yang lain;
- Dianjurkan tersedianya jalur khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan
kendaraan lambat lainnya;
- Jarak selang dengan kelas jalan yang sejenis lebih besar dari jarak selang
dengan kelas jalan yang lebih rendah.

Ciri-ciri jalan arteri sekunder terdiri atas :
- Jalan arteri sekunder menghubungkan :
i. Kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu;
ii. Antar kawasan sekunder kesatu;
iii. Kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua;
iv. Jalan arteri/kolektor primer dengan kawasan sekunder kesatu;
- lalu lintas cepat pada jalan arteri sekunder tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas lambat;
- kendaraan angkutan barang ringan dan bus untuk pelayanan kota dapat
diijinkan melalui jalan ini;
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 22
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
- lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya
tidak diijinkan pada jam sibuk.
Ruwasja
Ruwasja
Rumija
Rumaja
Ruwasja
Ruwasja
Rumija
Rumaja
Gambar 2.6 Tipikal Penampang Melintang Jalan Arteri Sekunder
Sumber : Pd T-18-2004-B
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 23
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
e. Jalan Kolektor Sekunder
Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan kolektor sekunder harus memenuhi
persyaratan
sebagai berikut :

Kriteria-kriteria jalan kolektor sekunder terdiri atas :
- Jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling
rendah 20 (dua puluh) km/h;
- Lebar badan jalan kolektor sekunder paling rendah 9 (sembilan) meter
(Gambar 2.7);
- Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup;
- Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari sistem
primer dan arteri sekunder.

Ciri-ciri jalan kolektor sekunder terdiri atas :
- Jalan kolektor sekunder menghubungkan :
i. Antar kawasan sekunder kedua;
ii. Kawasan sekunder kedua dengan sekunder ketiga;
- Kendaraan angkutan barang berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini di
daerah pemukiman ;
- Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 24
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Ruwasja
Ruwasja
Rumija
Rumaja
Ruwasja
Ruwasja
Rumija
Rumaja
Gambar 2.7 Tipikal Penampang Melintang Jalan Kolektor Sekunder
Sumber : Pd T-18-2004-B
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 25
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
f. Jalan Lokal Sekunder
Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan lokal sekunder harus memenuhi
persyaratan
sebagai berikut :

Kriteria-kriteria jalan lokal sekunder terdiri atas :
- Jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
10 (sepuluh) km/h;
- Lebar badan jalan lokal sekunder paling rendah 6,5 (enam setengah) meter
(Gambar 2.8);
- Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah
dibandingkan dengan fungsi jalan lain.

Ciri-ciri jalan lokal sekunder terdiri atas :
- Jalan lokal sekunder menghubungkan :
i. Antar kawasan sekunder ketiga atau di bawahnya;
ii. Kawasan sekunder dengan perumahan;
- Kendaraan angkutan barang berat dan bus tidak diijinkan melalui fungsi
jalan ini di daerah pemukiman ;
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 26
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Ruwasja
Ruwasja
Rumija
Rumaja
Ruwasja
Ruwasja
Rumija
Rumaja
Gambar 2.8 Tipikal Penampang Melintang Jalan Lokal Sekunder
Sumber : Pd T-18-2004-B
2.4.4 Perencanaan Jalan
1. Ruas
Ruas
Jalan
adalah
bagian
atau
penggal
jalan
diantara
dua
simpul/persimpangan sebidang atau tidak sebidang baik yang dilengkapi dengan
alat pemberi isyarat lalu lintas ataupun tidak (Wikipedia). Berikut merupakan
sketsa gambar ruas, dapat dilihat pada Gambar 2.9
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 27
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.9 Sketsa Gambar Ruas
Sumber : Wikipedia
2. Simpang
Simpang adalah simpul dalam jaringan transportasi dimana dua atau lebih
ruas jalan bertemu, di sini arus lalu lintas mengalami konflik (Wikipedia).
Secara umum, simpang terdiri atas simpang bersinyal, yakni simpang yang
dilengkapi dengan lampu lalu lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lampu Lalulintas
(disingkat APILL), dan simpang tak bersinyal, yakni simpang tanpa APILL, dan
biasanya diatur dengan rambu (asrian.wordpress.com, Samarinda city).
Simpang dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu simpang 3, simpang 4 dan
simpang 5 (MKJI).
2.5 Bundaran
Bundaran adalah suatu sistem arus satu arah yang melingkari suatu
potongan jalan, dimana arus masuk diatur dengan prioritas tanda untuk mengalah
dan prioritas diberikan pada arus yang datang dari kanan.
Faktor keamanan sangat bergantung sekali dari kemampuan pengendara
yang memasuki arus berputar. Bundaran akan beroperasi dengan baik pada
persimpangan dengan arus lalu lintas yang merata di setiap lengan. Akan tetapi
bundaran membutuhkan lahan yang luas, dibandingkan dengan persimpangan
lainnya.
Kemampuan untuk mengatasi arus U-turn adalah salah satu keuntungan
bundaran. Akan tetapi dengan meningkatnya arus pada masing-masing lengan
akan mengakibatkan kondisi locking yang mengakibatkan kemacetan total pada
bundaran.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 28
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Bundaran merupakan salah satu jenis pengendalian persimpangan yang
umumnya dipergunakan pada daerah perkotaan dan luar kota sebagai titik
pertemuan
antara beberapa ruas jalan dengan tingkat arus lalu lintas sedang karena
mempunyai tingkat kecelakan lalu lintas relative lebih rendah dibandingkan jenis
persimpangan bersinyal maupun tak bersinyal (MKJI 1997). Perhitungan kinerja
bundaran termasuk dalam bagian perhitungan kinerja weaving section
sebagaimanan tercantum dalam MKJI. Rotary dan Roundabout adalah jenis
persimpangan
kanalisasi yang terdiri dari sebuah lingkaran pusat yang dikelilingi
oleh jalan satu arah atau yang umumnya lebih dikenal dengan istilah bundaran,
seperti terlihat pada Gambar 2.10
Gambar 2.10 Rotary dan Roundabout
Sumber : Ouotes
Bundaran umumnya mempunyai tingkat keselamatan yang lebih baik
dibandingkan jenis pengendalian persimpangan yang lain, tingkat kecelakaan lalu
lintas bundaran sekitar 0,3 kejadian per juta kendaraan (tingkat kecelakaan lalu
lintas pada persimpangan bersinyal 0,43 dan simpang tak bersinyal 0,6) karena
rendahnya kecelakan lalu lintas (maksimum 50 km/jam) dan kecilnya sudut
pertemuan titik konflik, dan pada saat melewati bundaran kendaraan tidak harus
berhenti saat volume lalu lintas rendah.( Khisty 2002)
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 29
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Desutama (2008), menyebutkan bahwa bundaran memiliki keunggulan
sebagai berikut :
a. Mampu mengarahkan kendaraan dari lajur dengan arah pergerakan lurus
sehingga sedemikian akan memperlambat kecepatannya.
b. Dapat membatasi manuver (alih gerak) kendaraan menjadi bentuk
pergerakan lainnya (diverging, weaving, merging) sehingga kecepatan
kendaraan relatif menurun ketike melewatinya.
Dampak positif yang didapat dari penggunaannya adalah :
a. Dapat meningkatkan pemilihan kontrol
b. Menghasilkan antrian yang relatif kecil pada periode jam tidak sibuk jika
dibandingkan dengan traffic signals
c. Dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperlambat kecepatan
kendaraan
d. Didak menghambat pergerakan kendaraan secara maksimal seperti pada
saat traffic light menyala merah.
Bundaran lalu lintas digunakan untuk memperlambat kecepatan kendaraan,
namun tidak akan menghambat kendaraan tersebut secara besar seperti halnya
ketika arus berhenti disaat lampu merah menyala. Teknik ini khususnya sangat
bermanfaat jika digunakan pada jalan yang dimanfaatkan untuk kendaraan dengan
kecepatan tinggi.
Martinovich (2010), mengatakan bahwa bundaran biasanya digunakan di
daerah pusat perkotaan yang secara tradisional digunakan untuk memutuskan
konflik antara pejalan kaki dengan arus lalu lintas di daerah yang terbuka luas. Di
sisi lain, gerakan kendaraan yang masuk ke bundaran hampir menghilangkan
potensi kecepatan tinggi, sudut dan kanan kiri tabrakan. Tabrakan dari belakang
juga sering berkurang pada bundaran.
2.6 Arus Lalu Lintas
Arus lalu-lintas menurut IHCM (Indonesian Highway Capacity Manual)
(1997), arus lalu-lintas adalah jumlah unsur lalu-lintas yang melalui titik tak
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 30
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
terganggu dihulu, pendekat per satuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan/jam
atau smp/jam. Nilai arus lalu-lintas (Q) mencerminkan komposisi arus lalu-lintas
dalam
satuan mobil penumpang (smp). Ekivalensi mobil penumpang (emp) dapat
diturunkan secara empiris untuk setiap tipe kendaraan sebagai berikut :
1. Kendaraan ringan /Light Vehicle (LV)
Meliputi mobil penumpang, minibus, truck pick up, dan jeep.
2. Kendaraan berat / Heavy Vehicle (HV)
Meliputi truk 2 as, truk 3 as dan bus.
3. Sepeda motor (MC)
Meliputi sepeda motor dan kendaraan roda 3
4. Kendaraan tak bermotor (UM)
Meliputi sepeda, becak, kereta kuda dan kereta dorong.
Menurut Sukirman (1994), arus lalu-lintas disebut sebagai volume lalulintas, yaiitu jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satuan
waktu (hari, jam, menit). Dimana perkerasan jalan yang lebih lebar dibutuhkan
pada volume lalu-lintas yang tinggi, karena apabila jalan yang terlalu lebar
dipergunakan untuk volume lalu-lintas rendah akan cenderung membahayakan,
pengemudi dapat mempercepat laju kendaraannya, sedangkan situasi jalan tidak
dapat dipastikan begitu saja. Volume lalu lintas dapat dinyatakan dalam :
1. Lalu-lintas harian rata-rata (Average Daily Traffic / ADT)
Jumlah satuan volume lalu-lintas lebih dari satu hari dan kurang dari satu
tahun dibagi dengan jumlah dari dalam periode tertentu.
2. Lalu-lintas harian rata-rata tahunan (Average Annual Daily Traffic/AADT)
Jumlah volume lalu-lintas dalam satu-tahun dibagi jumlah hari dalam tahun
tersebut.
Dari uraian diatas, untuk perencanaan jalan raya termasuk informasiinformasi yang dibutuhkan haruslah relevan antara volume sekarang dan volume
yang akan datang.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 31
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.7 Rasio Jalinan Bundaran
Pw = QW/QTOT ……………………………………………………….…… (1)
Dengan
:
QW
= Arus menjalin (smp/jam)
QTOT = Arus total (smp/jam)
PW
= Rasio jalinan
Rasio
kendaraan tak bermotor (PUM)
PUM = QUM / QVEH …………………………………...…………………….......... (2)
keterangan :
QUM
= Arus kendaraan non motor (kendaraan non motor/jam)
QVEH = Arus kendaraan (smp/jam)
Berbagai macam pola pergerakan tersebut akan saling berpotongan
sehingga menimbulkan titik-titik konflik pada suatu persimpangan. Sebagai
contoh, pada persimpangan dengan empat lengan pendekat mempunyai 32 titik
konflik, yaitu crossing, 8 titik merging, 8 titik diverging.
Gambar 2.11 Titik konflik persimpangan empat lengan pendekat dan bundaran lalu-lintas
Sumber : Ouotes
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 32
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.8 Tipe Jalinan
Tipe jalinan terbagi menjadi dua tipe utama yaitu :
1. Bagian
jalinan tunggal
Gambar 2.12 Bagian Jalinan Tunggal
Sumber : MKJI 1997
Keterangan :
W1
= Lebar pendekat 1 yang akan masuk kebagian jalinan
W2
= Lebar pendekat 2 yang akan masuk kebagian jalinan
LW
= Panjang jalinan
WW = Lebar jalinan
WE
= Lebar rata-rata pendekat untuk masing-masing bagian jalinan
WE
=
W1+W2
2
…………………………………...……………………......… (3)
jika W1 > WW maka W1 = WW dan bila W2 > WW maka W2 = WW
2. Bagian jalinan bundaran
Gambar 2.13 Bagian Jalinan Bundaran
Sumber : MKJI 1997
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 33
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Keterangan :
W1
= Lebar pendekat 1 yang akan masuk kebagian jalinan bundaran
W2 = Lebar pendekat 2 yang akan masuk kebagian jalinan bundaran
W3
LW
= Lebar pendekat 3 yang akan masuk kebagian jalinan bundaran
= Panjang jalinan
WW = Lebar jalinan
WE
= Lebar rata-rata pendekat untuk masing-masing bagian jalinan
2.9 Ukuran Kinerja
Ukuran kinerja dalam analisis operasional pada bundaran yang dapat
diperkirakan berdasarkan aturan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997
adalah :
1. Kapasitas
2. Derajat Kejenuhan
3. Tundaan
4. Peluang Antrian
2.9.1 Kapasitas
Kapasitas (C) sesungguhnya (smp/jam) dihitung dengan menggunakan
induksi faktor penyesuaian F. Besarnya kapasitas tersebut dihitung dengan
menggunakan persamaan :
𝑾
𝐂 = 𝟏𝟑𝟓 × 𝑾𝑾 𝟏,𝟑 × (𝟏 + 𝑾 𝑬 )𝟏,𝟓 × (𝟏 −
𝑾
𝐏𝐖 𝟎,𝟓
)
𝟑
× (𝟏 +
𝑾𝑾 −𝟏,𝟖
)
𝐋𝑾
× 𝑭𝑪𝑺 × 𝐅𝑹𝑺𝑼 (4)
Keterangan :
WE
= (lebar masuk rata-rata) = ½ (W1 + W2)
WW = Lebar jalinan (m)
LW
= Panjang jalinan (m)
PW
= Rasio jalinan
FCS = Faktor penyesuaian ukuran kota
FRSU = Faktor penyesuaian tipe lingkaran
Faktor penyesuaian FCS untuk ukuran kota dimasukan sebagai jumlah
penduduk di seluruh daerah perkotaan sebagaimana Tabel 2.5 di bawah ini.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 34
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.5 Kelas Ukuran Kota
Sumber : MKJI 1997
Faktor penyesuaian F tipe lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas
menurut guna tanah dan aksesibilitas jalan tersebut dari aktifitas sekitarnya. Hal
ini ditetapkan secara kualitatif dari pertimbangan teknik lalu-lintas sebagaimana
yang ditunjukan melalui Tabel 2.6 di bawah ini.
Tabel 2.6 Tipe Lingkungan Jalan
Sumber : MKJI 1997
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 35
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Nilai faktor penyesuaian seperti ditampilkan pada Tabel 2.7
Tabel
2.7 Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping dan Kendaraan Tidak
Bermotor (FRSU)
Sumber : MKJI 1997
Kapasitas dasar adalah kapasitas pada geometri dan prosentase jalinan tertentu
tanpa induksi faktor penyesuaian dan dihitung dengan persamaan :
𝑾
𝐂𝐨 = 𝟏𝟑𝟓 × 𝑾𝑾 𝟏,𝟑 × (𝟏 + 𝑾 𝑬 )𝟏,𝟓 × (𝟏 −
𝑾
𝐏𝐖 𝟎,𝟓
)
𝟑
× (𝟏 +
𝑾𝑾 −𝟏,𝟖
)
𝐋𝑾
……. (5)
Keterangan :
WE
= (lebar masuk rata-rata) = ½ (W1 + W2)
WW = Lebar jalinan (m)
LW
= Panjang jalinan (m)
PW
= Rasio jalinan
FCS = Faktor penyesuaian ukuran kota
FRSU = Faktor penyesuaian tipe lingkaran
Faktor Ww = 135 x Ww1,3
Faktor WE / WW = (1 + WE / WW)1,5
Faktor PW = (1 - PW / 3)0,5
Faktor WW / LW = (1 + WW / LW) -1,8
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 36
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.14 Faktor Ww = 135 x Ww1,3
Sumber : MKJI 1997
Gambar 2.15 Faktor WE / WW = (1 + WE / WW)1,5
Sumber : MKJI 1997
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 37
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.16 Faktor PW = (1 - PW / 3)0,5
Sumber : MKJI 1997
Gambar 2.17 Faktor WW / LW = (1 + WW / LW) -1,8
Sumber : MKJI 1997
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 38
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.9.2 Derajat Kejenuhan
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997, derajat kejenuhan (DS)
bagian
jalinan dihitung berdasarkan persamaan berikut:
DS =
QSMP
C
……………………………………………………...…….………. (6)
QSMP = Qkendaraan x Fsmp ………………….…………………………………..…. (7)
Fsmp =
(LV%+HV% x empHV +MC% x empMC )
100
………………………….. (8)
Derajat kejenuhan bundaran ditentukan sebagai berikut :
DS = maks dari (DS) ; i = 1 …. n
Dimana :
DSi = Derajat kejenuhan bagian jalinan i
n
= Jumlah bagian jalinan pada bundaran tersebut
QSMP = Arus total (smp/jam)
Fsmp = Faktor mobil satuan penumpang
C
= Kapasitas (smp/jam)
Gambar 2.18 Tundaan lalu-lintas bagian jalinan vs Derajat kejenuhan (DT vs DS)
Sumber : MKJI 1997
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 39
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.9.3 Tundaan
Tundaan pada bagian jalan dapat terjadi karena dua sebab berikut ini.
1. Tundaan lalu-lintas (DT) akibat interaksi lalu-lintas dengan gerakan yang
lain dalam persimpangan.
2. Tundaan geometric (DG) akibat perlambatan dan percepatan lalu-lintas.
Tundaan rata-rata bagian jalinan dihitung sebagai berikut ini :
D
= DT + DG
Dengan : D = Tundaan rata-rata bagian jalinan (det/smp)
DT = Tundaan lalu-lintas rata-rata bagian jalinan (det/smp)
DG = Tundaan geometric rata-rata bagian jalinan(det/smp)
Tundaan lalu-lintas pada bagian jalinan ditentukan berdasarkan kurva
tundaan empiris dengan derajat kejenuhan sebagai variable masukan.
Tundaan Geometrik pada bagian jalinan ditentukan sebagai berikut :
DG = (1-DS) x 4 + DS x 4 …………………………………….…… (9)
Tundaan rata-rata bundaran dihitung sebagai berikut :
DTR = ∑ (Qi D x DTi) / Qmasuk + DG ; i = 1 s/d n ………………… (10)
Dimana,
DTR = Tundaan bundaran ra-rata (det/smp)
i
= Bagian jalinan I dalam bundaran
n
= Jumlah bagian jalinan dalam bundaran
Qi
= Arus total lapangan pada bagian jalinan i (smp/jam)
DTi = Tundaan lalu-lintas rata-rata pada bagian jalinan i (det/smp)
Qmasuk = Jumlah arus total yang masuk bundaran (smp/jam)
DG = Tundaan rata-rata geometrik pada bagian jalinan (det/smp)
Tundaan bundaran adalah tundaan lalu-lintas rata-rata per kendaraan masuk
bundaran dan dihitung sebagai berikut :
DR = DTR + 4 (det/smp) …………………………………................(11)
Nilai-nilai tundaan yang didapat dengan cara ini dapat digunakan bersama
dengan nilai tundaan dan waktu tempuh yang didapat dengan cara lain untuk
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 40
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
menentukan waktu tempuh sepanjang rute didalam jaringan jalan.
Selanjutnya tundaan geometrik pada persimpangan harus disesuaikan bagi
kecepatan ruas jalan sesungguhnya.
Nilai normal kecepatan digunakan adalah 40 km/jam, tundaan geometrik
kendaraan yang tidak terhambat 4 detik, dan percepatan/perlambatan 1,5
m/s2.
2.9.4
Peluang Antrian pada Bagian Jalinan Bundaran
Peluang antrian QP% pada bagian jalinan ditentukan berdasarkan kurva
antrian empiris, dengan derajat kejenuhan sebagai variable masukan.
Peluang antrian bundaran ditentukan dengan enggunakan rumus :
QP% = maks dari (QPi%) ; i = 1 … n ………………………………….. (12)
Dimana :
QP% = Peluang antrian bagian jalinan i
n
= Jumlah bagian jalinan dalam bundaran
Gambar 2.19 Peluang antrian vs Derajat kejenuhan (QP vs DS)
Sumber : MKJI 1997
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 41
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.10 Perancangan Bundaran
Pedoman perancangan bundaran sesuai dengan Pd. T-20-2004-B. Pedoman
bundaran harus memperhatikan aspek sebagai berikut :
perencanaan
1. Kelancaran lalu lintas ;
2. Keselamatan lalu lintas ;
3. Ketersediaan lahan yang cukup ;
4. Efisiensi ;
5. Kemudahan akses bagi pejalan kaki dan penyandang cacat ;
6. Sosialisasi peraturan berlalu lintas di bundaran kepada pengguna jalan
2.10.1 Parameter Perencanaan
Parameter perencanaan pada Pd. T-20-2004-B yang perlu diperhatikan
adalah :
1. Volume lalu-lintas rencana yang digunakan dalam perencanaan bundaran
adalah volume lalu-lintas seluruh lengan yang diperkirakan akan memasuki
bundaran pada akhir umur rencana ;
2. Kendaraan rencana yang digunakan adalah kendaraan dengan radius putar
yang paling besar ;
3. Kecepatan rencana yang digunakan dalam perancangan dibatasi maksimum
50 km/jam
2.10.2 Elemen Bundaran
Secara fisik bundaran terdiri atas :
1. Pulau bundaran ;
2. Jalur lingkar ;
3. Lindasan truk/apron truk ;
4. Pulau pemisah.
Gambaran fisik bundaran dengan 3 lengan dapat dilihat pada Gambar 2.20
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 42
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.20 Bagian / Elemen Geometrik Bundaran 3 Lengan
Sumber : Pd. T-20-2004-B
2.10.3 Jumlah Lajur Lingkar
Ketentuan jumlah lajur lingkar sesuai dengan yang ada pada Pd. T-202004-B yang menjelaskan bahwa :
1. Jumlah lajur lingkar maksimum bundaran yang diatur dalam pedoman ini
adalah 2 lajur lingkar. Jumlah lajur lingkar ditentukan berdasarkan volume
lalu-lintas harian rencana pada persimpangan (Tabel 2.8) dengan syarat
volume lalu-lintas harian rencana yang lebih besar dari 40.000 kendaraan
per hari tidak dapat mengikuti Pd. T-20-2004-B.
Tabel 2.8 Jumlah Lajur Lingkar
Sumber : Pd. T-20-2004-B
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 43
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2. Jumlah lajur pada jalur masuk atau jalur keluar tidak boleh lebih besar dari
jumlah lajur pada jalur lingkar.
2.10.4 Diameter Bundaran
Diameter bundaran diukur dari sisi luar lingkaran yang bersinggungan
dengan lengan pendekat. Diameter bundaran ditentukan berdasarkan kendaraan
rencana dan kecepatan rencana. Tabel 2.9 menampilkan rentang diameter
bundaran
untuk kendaraan rencana dan kecepatan rencana yang dipilih.
Tabel 2.9 Kecepatan Rencana Maksimum dan Dimensi Bundaran
Sumber : Pd. T-20-2004-B
2.10.5 Lebar Jalur Lingkar
a) Bundaran Sederhana dan Bundaran Lajur Tunggal
Bundaran sederhana dan bundaran lajur tunggal merupakan bundaran yang
memiliki 1 lajur lingkar pada jalur lingkar, lajur masuk dan lajur keluar. Lebar jalur
lingkar minimum merupakan lebar dari jalur masuk dan kebutuhan manuver
membelok dari kendaraan, lebar antara 4.30 m - 4.90 m.
b) Bundaran Lajur Ganda
Bundaran lajur ganda merupakan bundaran yang memiliki 2 lajur lingkar
pada jalur lingkar, lajur masuk dan lajur keluar. Lebar jalur lingkar pada bundaran
dengan lajur ganda ditampilkan pada Tabel 2.10
2.10.6 Pulau Bundaran
a) Bentuk geometri yang umum dipakai untuk pulau bundaran adalah
lingkaran. Selain lingkaran, seperti bentuk oval, tidak disarankan.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 44
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
b) Pulau bundaran harus memberikan pandangan yang cukup bagi pengendara
untuk mengantisipasi kendaraan dari arah lengan pendekat lain.
Penempatan obyek di dalam pulau bundaran harus memperhatikan jarak
pandang jalur lingkar dan jarak pandang henti jalur lingkar.
c) Pulau bundaran dapat dilengkapi dengan apron truk, untuk desain bundaran
yang mengakomodasi kendaraan rencana truk dan trailer. Lebar apron truk
berkisar antara 1-4 meter.
Gambar 2.21 Tipikal Pulau Bundaran
Sumber : Pd. T-20-2004-B
d) Diameter pulau bundaran dihitung dengan mengurangkan total lebar jalur
lingkar terhadap diameter bundaran :
- Untuk bundaran lajur tunggal, diameter pulau bundaran adalah diameter
bundaran dikurangi dua kali lebar jalur lingkar yang dipilih.
- Untuk bundaran lajur ganda, lihat Tabel 2.10
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 45
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.10 Lebar Minimum Jalur Lingkar Pada Bundaran Jalur Ganda
Sumber : Pd. T-20-2004-B
Gambar 2.22 Ilustrasi Lebar Jalur Lingkar
Sumber : Pd. T-20-2004-B
2.10.7 Superelevasi Jalur Lingkar
Superelevasi jalur lingkar bundaran sebesar 2 %, superelevasi apron truk
sebesar 3 % - 4 %. Gambar superelevasi jalur lingkat dapat dilihat pada Gambar
2.23
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 46
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.23 Potongan Meintang Jalur Lingkar dan Lindasar Truk
Sumber : Pd. T-20-2004-B
2.10.8 Lebar Pendekat
Lebar pendekat yang dirancang adalah :
1. Lajur masuk dan lajur keluar (entry and exit)
2. Radius masuk dan radius keluar
3. Kelandaian dan superelevasi lengan pendekat
4. Alinyemen horizontal pendekat
5. Pulau pemisah (splitter island)
2.10.8.1 Lajur Masuk dan Lajur Keluar (entry and exit)
Lebar lajur masuk untuk bundaran dengan lajur tunggal maupun lajur ganda
berkisar antara 4.30 m – 4.90 m.
Lajur masuk dapat dimodifikasi/diubah/dilebarkan untuk meningkatkan
kapasitas dengan cara :
1. Memberikan lajur tambahan atau lajur parallel pada lengan pendekat
2. Melebarkan pendekat secara gradual (flare)
Gambar 2.24 dan 2.25 menampilkan peningkatan kapasitas pada lajur
masuk.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 47
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.24 Peningkatan Kapasitas Jalan dengan Menambah Lajur pada Lengan Pendekat
Sumber : Pd. T-20-2004-B
Gambar 2.25 Peningkatan Lebar Jalan dengan Memperlebar Flare
Sumber : Pd. T-20-2004-B
Kesinambungan radius masuk dengan jalur lingkar secara signifikan akan
memberikan dampak kepada aspek keselamatan. Radius masuk/keluar, pulau
bundaran dan jalur lingkar memberikan kontribusi kepada manuver kendaraan
yang akan masuk atau keluar jalur lingkar.
Gambar 2.26 menampilkan ilustrasi kesinambungan jalur masuk dan keluar
dengan jalur lingkar.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 48
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.26 Ilustrasi Jalur Masuk dan Keluar
Sumber : Pd. T-20-2004-B
2.10.8.2 Radius Masuk dan Radius Keluar
Radius masuk dan radius keluar bundaran ditentukan oleh persamaan (13)
berikut ini :
……………………………………………….(13)
Dengan pengertian :
V
adalah kecepatan rencana pada lengan pendekat, km/h
R
adalah radius masuk/keluar, m
e
adalah superelevasi (0.02 - 0.03)
f
adalah koefisien gesek (friksi) permukaan jalan
Gambar 2.27 Hubungan Koefisien Gesek dengan Kecepatan Rencana
Sumber : Pd. T-20-2004-B
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 49
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Koefisien gesek ditentukan berdasarkan fungsi dari kecepatan rencana,
dengan mengacu kepada standar yang dikeluarkan oleh AASHTO. Hubungan
koefisien
gesek dengan kecepatan rencana ditentukan berdasarkan Gambar 2.27
Tabel 2.11 menampilkan variasi kecepatan rencana dan radius masuk serta
radius keluar.
Tabel 2.11 Variasi Kecepatan Rencana dan Radius Minimum Masuk Serta Keluar
Sumber : Pd. T-20-2004-B
2.10.8.3 Kelandaian dan Superelevasi Lengan Pendekat
Kelandaian maksimum lengan pendekat dan daerah persimpangan
bundaran pada persimpangan sebidang adalah 4 %
2.10.8.4 Alinyemen Horizontal Pendekat
Titik pusat bundaran seharusnya ditempatkan pada perpotongan sumbu
(centerline) dari masing-masing lengan pendekat. Namun dimungkinkan pula jika
sumbu dari salah satu lengan bergeser ke arah kanan dari titik pusat bundaran.
Namun tidak dibenarkan jika sumbu salah satu pendekat bergeser ke arah kiri dari
titik pusat bundaran.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 50
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.28 Alinyemen Pendekat
Sumber : Pd. T-20-2004-B
2.10.8.5 Pulau Pemisah (splitter island)
Kriteria dari perancangan pulau pemisah adalah :
1. Pulau pemisah harus tersedia di setiap lengan bundaran. Selain dipergunakan
untuk membimbing kendaraan memasuki jalur lingkar, pulau pemisah juga
berfungsi sebagai "tempat perberhentian (refuge)" bagi penyebrang jalan dan
membantu mengendalikan kecepatan.
2. Total panjang minimum dari pulau pemisah lebih kurang 15 m. Gambar 2.29
menampilkan dimensi minimum dari pulau pemisah.
3. Meningkatkan lebar dari pulau pemisah secara signifikan akan memberikan
konstribusi tingkat kecelakaan pada jalur lingkar.
4. Dimensi dari hidung pulau pemisah ditampilkan pada Gambar 2.30
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 51
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.29 Tipikal Pulau Pemisah
Sumber : Pd. T-20-2004-B
Gambar 2.30 Dimensi Hidung Pulau Pemisah
Sumber : Pd. T-20-2004-B
2.10.9 Kebebasan Pandang di Bundaran
Kebebasan pandang di bundaran yang dirancang adalah :
1. Kebebasan pandang pada bundaran dan wilayah pendekat bundaran
2. Jarak pandang henti
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 52
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.10.9.1 Kebebasan Pandang pada Bundaran dan Wilayah Pendekat
Bundaran
Hal yang perlu diperhatikan adalah :
1. Desain bundaran harus memberikan kebebasan pandang kepada pengemudi
untuk dapat mengantisipasi pergerakan kendaraan di jalur lingkat maupun
kendaraan yang memasuki daerah perseimpangan bundaran. Karena itu, seluruh
wilayah yang termasuk dalam daerah kebebasan pandang pengemudi harus
terbebas
dari obyek yang dapat mengganggu kebebasan pandang. Arsiran pada
Gambar
2.31 memperlihatkan wilayah kebebasan pandang yang harus
disediakan pada wilayah bundaran.
2. Wilayah kebebasan pandang diukur dari titik A yang terletak 15 m sebelum
garis prioritas. Dari jarak tersebut, pengemudi harus dapat mengantisipasi
kendaraan yang bergerak pada jalur lingkar (d2) maupun kendaraan pada lengan
pendekat yang akan memasuki jalur lingkar dari arah kanan (d1).
3. Kebebasan pandang samping ditentukan dengan menarik garis sepanjang b m
ke arah tepi lengan pendekat di sebelah kanan. Panjang garis b dihitung dengan
rumus (14).
b = 0.278 (V konflik) (tc) …………………………………..…………… (14)
Dengan pengertian :
b adalah jarak pandang lengan bundaran, meter
V konflik adalah 70 % kecepatan rencana lengan pendekat, km/h
tc adalah selisih waktu kritis saan masuk pada jalan utama, detik (6,5 detik)
4. Jika kecepatan konflik yang telah ditentukan sebelumnya, panjang garis b dapat
mengacu pada Tabel 2.12
5. Jarak
pandang
bundaran
ditentukan
dengan
mengansumsikan
mata
pengendaran setinggi 1080 mm dan tinggi obyek (kendaraan lain) adalah 600
mm.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 53
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.31 Jarak Pandang Bundaran
Sumber : Pd. T-20-2004-B
Tabel 2.12 Jarak Pandang ke Lengan Bundaran (b)
Sumber : Pd. T-20-2004-B
2.10.9.2 Jarak Pandang Henti
Langkah perancangan untuk jarak pandang henti adalah :
1. Jarak pandang henti dihitung dengan persamaan (15)
…………………………………………….(15)
Dengan pengertian :
d adalah jarak pandang berhenti, m
t adalah waktu reaksi, diasumsikan 2.5 detik
V adalah kecepatan, km/jam
a adalah deselerasi pengemudi, diasumsikan 3.4 m/detik2
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 54
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2. Untuk kecepatan yang telah ditentukan, jarak pandang harus minimum pada
bundaran dapat dilihat pada Tabel 2.13
\ Tabel 2.13 Jarak Pandang Henti Minimum
Sumber : Pd. T-20-2004-B
3. Khusus untuk perencanaan persimpangan dengan bundaran terdapat 3 jarak
pandang henti yang harus dihitung, yaitu :
a) Jarak pandang henti pendekat
Jarak pandang henti ini merupakan jarak aman yang dibutuhkan pengemudi
untuk dapat memberhentikan kendaraannya dalam mengantisipasi obyek atau
penyebrang jalan pada lengan pendekat, seperti terlihat pada Gambar 2.32
Gambar 2.32 Jarak Pandang Henti Pendekat
Sumber : Pd. T-20-2004-B
b) Jarak pandang henti jalur lingkar
Jarak pandang henti ini merupakan jarak aman yang dibutuhkan pengemudi
untuk dapat memberhentikan kendaraannya dalam mengantisipasi obyek di
jalur lingkar. Dapat dilihat pada Gambar 2.33
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 55
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.33 Jarak Pandang Henti Jalur Lingkar
Sumber : Pd. T-20-2004-B
c) Jarak pandang henti jalur penyebrang jalan pada jalur keluar
Jarak pandang henti ini merupakan jarak aman yang dibutuhkan pengemudi
untuk dapat memberhentikan kendaraannya dalam mengantisipasi obyek atau
penyebrang jalan pada lajur keluar. Dapat dilihat pada Gambar 2.34
Gambar 2.34 Jarak Pandang Henti Jalur Penyeberang Jalan pada Jalur Keluar
Sumber : Pd. T-20-2004-B
2.11 Struktur Perkerasan Jalan
Struktur perkerasan jalan yang digunakan pada pelebaran badan jalan dalam
tugas akhir ini adalah struktur perkerasan lentur yang mengacu pada Pt.T-01-2002B tentang Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 56
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Struktur perkerasan lentur umumnya terdiri atas :
1. Tanah Dasar (Sub Grade Course)
2. Lapis Pondasi Bawah (Sub Bace Course)
3. Lapis Pondasi (Base Course)
4. Lapis Permukaan (Surface Course)
Susunan lapis perkerasan dapat dilihat seperti pada Gambar 2.35
Gambar 2.35 Susunan Lapis Perkerasan Lentur
Sumber : Pd. T-20-2004-B
2.11.1 Tanah Dasar
Parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan adalah Modulus
Resilien (MR). Modulus Resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari
CBR standar.
MR (psi)
= 1.500 x CBR
…………………………................ (16)
2.11.2 Lapis Pondasi Bawah
Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang
terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi. Fungsi lapis pondasi bawah antara
lain:
1. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar
beban roda.
2. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisanlapisan diatasnya daat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya
konstruksi).
3. Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
4. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 57
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.11.3 Lapis Pondasi
Lapis pondasi adala bagian dari perkerasan lentur yang terletak langsung di
bawah lapis permukaan. Fungsi lapis pondasi antara lain :
1. Sebagai bagian kontruksi perkerasan yang menahan beban roda.
2. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.
2.11.4
Lapis Permukaan
Lapis permukaan perkerasan lentur terdiri atas campuran mineral agregat
dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya
terletak di atas lapis pondasi. Fungsi lapis permukaan antara lain :
1. Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda.
2. Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari
kerusakan akibat cuaca.
3. Sebagai lapisan aus (wearing course).
2.11.5 Kriteria Perencanaan
Adapun kriteria perencanaan perkerasan lentur adalah sebagai berikut :
1. Lalu Lintas
a. Angka ekivalen Beban Gardar Sumbu Kendaraan (E)
Angka ekivalen beban gardar sumbu kendaraan (E) untuk roda tunggal
dipergunakan Rumus (17)
………………..(17)
b. Reliabilitas
Faktor perencanaan reliabilitas memperhitungkan kemungkinan variasi
perkiraan lalu-lintas (w18) dan perkiraan kinerja (W18), dan karenanya
memberikan tingkat reliabilitas dimana seksi perkerasan akan bertahan
selama selang waktu yang direncanakan. Tingkat reliabilitas untuk
bermacam-macam klasifikasi jalan dapat dilihat pada Tabel 2.14
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 58
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.14 Rekomendasi Tingkat Reliabilitas Untuk Bermacam-Macam Klasifikasi Jalan
Sumber : Pt. T-01-2002-B
Reliabilitas kinerja perencanaan dikontrol dengan Faktor Reliabilitas (FR)
yang dikalikan dengan perkitaan lalu lintas (w18) selama umur rencana untuk
memperoleh prediksi kinerja (W18). Faktor Reliabilitas merupakan fungsi dari
Deviasi Standar Keseluruhan (Overall Standard Deviation, S0) yang
memperhitungkan kemungkinan variasi perkiraan lalu lintas dan perkiraan
kinerja untuk W18 yang diberikan. Deviasi Standar (S0) harus dipilih yang
mewakili kondisi setempat. Rentang S0 adalah 0,4 – 0,5.
c. Lalu Lintas Pada Lajur Rencana
Lalu lintas pada lajur rencana (w18) diberikan dalam kumulatif beban gandar
standar. Untuk mendapatkan lalu lintas pada lajur rencana ini digunakan
Rumus (18)
w18 = DD x DL x ŵ18
……………………………….(18)
dimana :
DD
= faktor distribusi arah
DL
= faktor distribusi lajur
ŵ18
= beban gardar standar kumulatif untuk dua arah
Pada umumnya DD diambil 0,5 . Nilai faktor distribusi lajur (DL) dapat
dilihat pada Tabel 2.15
Tabel 2.15 Faktor Distribusi Lajur (DL)
Sumber : Pt. T-01-2002-B
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 59
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Lalu lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan lentur dalam
pedoman ini adalah lalu lintas kumulatif selama umur rencana. Secara
numerik rumusan lalu lintas kumulatif seperti pada Rumus (19)
………………………………………….… (19)
Dimana :
Wt
= jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif
w18
= beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun
n
= umur pelayanan (tahun)
g
= perkembangan lalu lintas (%).
2. Koefisien Drainase.
Nilai koefisien drainase (m) dapat dilihat pada Tabel 2.16
Tabel 2.16 Koefisien Drainase (m) Untuk Memodifikasi Koefisien Kekuatan Relative
Sumber : Pt.T-01-2002-B
3. Indeks Permukaan (IP)
Indeks permukaan ini menyatakan nilai ketidakrataan dan kekuatan
perkerasan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang
lewat. Adapun beberapa IP beserta artinya adalah sebagai berikut :
IP = 2,5
: menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik
IP = 2,0
: menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih
mantap.
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 60
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
IP = 1,5
: menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin
(jalan tidak terputus).
IP = 1,0
: menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat
sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan.
Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana,
perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan sebagaimana
dilihat
pada Tabel 2.17
Tabel 2.17 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IP t)
Sumber : Pt.T-01-2002-B
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IP0)
perlu diperhatikan jenis lapis permukaan perkerasan pada awal umur rencana
yang dapat dilihat pada Tabel 2.18
Tabel 2.18 Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IP 0)
Sumber : Pt.T-01-2002-B
4. Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis perkerasan, estimasi
koefisien kekuatan relatif dikelompokkan ke dalam 5 kategori yaitu :
a. Beton aspal (asphalt concrete).
b. Lapis pondasi granular (granular base)
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 61
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
c. Lapis pondasi bawah granular (granular sub base)
d. Cement-treated base (CTB)
e. Asphalt-treated base (ATB)
2.11.6 Batas-Batas Minimum Tebal Lapis Perkerasan
Tebal minimum untuk lapis permukaan berbeton aspal dan lapis pondasi
agregat dapat dilihat pada Tabel 2.19
Tabel 2.19 Tebal Minimum Lapis Permukaan Berbeton Aspal dan Lapis Pondasi Agregat
Sumber : Pd. T-20-2004-B
Teddi Apriyadi, Perancangan Bundaran Cibiru….
| 62
Download