1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemoterapi merupakan metode terapi kanker dengan menggunakan obat-obatan kimiawi. Dewasa ini, pemberian agen kemoterapi masih menjadi lini terdepan dalam penanganan penyakit kanker. Doxorubicin, suatu antibiotik golongan antrasiklin, diketahui memiliki aktivitas terhadap berbagai jenis sel kanker dan menjadi agen kemoterapi pilihan utama pada terapi kanker (Tan et al., 2009). Namun, penggunaan doxorubicin dilaporkan memiliki efek samping di antaranya rambut rontok, radang tenggorokan, bahkan kardiotoksisitas (Bustova, 2009). Selain itu, doxorubicin juga mempengaruhi sistem imun dengan menurunkan produksi interferon-γ (IFNγ), sel natural killer (NK), ekspresi interleukin-2 (IL-2), proliferasi limfosit, rasio CD4+/CD8+ (Zhang et al., 2005). Penurunan sistem imun dapat menyebabkan tubuh rentan terhadap serangan penyakit dan juga akan memperlambat proses penyembuhan kanker. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu senyawa sebagai agen kokemoterapi yang mampu bekerja mengatasi efek imunosupresi dari doxorubicin. Pemilihan agen kokemoterapi dari bahan alam yang dapat mempengaruhi sistem imun merupakan peluang yang prospektif. Salah satu tanaman yang potensial adalah kapulaga (Elettaria cardamomum (L.) Maton). Kapulaga mengandung monoterpen 1,8-cineol yang mampu bertindak sebagai agen kemoprevensi sekaligus kemoterapi (Wattenberg, 1992) dan berpotensi 2 sebagai agen penginduksi apoptosis pada sel kanker (Huang et al., 1999). Selain itu, 1,8-cineol juga telah dilaporkan mampu menstimulasi respon imun melalui peningkatan kemampuan fagositosis dari makrofag (Serafino et al., 2008). Di sisi lain, diketahui bahwa limfosit CD4+ dapat memproduksi sitokin seperti IL-4 yang mampu memicu peningkatan kemampuan fagositosit dari makrofag (Dranoff, 2004). Kapulaga diharapkan dapat menjadi alternatif pilihan sebagai agen kokemoterapi dari bahan alam yang dapat mempengaruhi sistem imun. Beberapa indikator utama untuk menilai fungsi imunitas yang diperantarai oleh sel adalah dengan melihat jumlah limfosit, CD4+ dan CD8+ (Zhang et al., 2005). Namun sampai saat ini pengembangan penelitian mengenai destilat kapulaga (DK) masih terbatas, penelitian yang terdahulu pun masih sebatas studi in vitro. Bahkan belum banyak penelitian yang mengembangkan potensi senyawa 1,8-cineol dari DK sebagai agen imunomodulator. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai aktivitas imunomodulator DK in vivo, terutama sebagai agen kokemoterapi doxorubicin. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana DK mempengaruhi profil hematologi darah dan jumlah limfosit CD4+ dan CD8+ tikus galur Sprague Dawley (SD)? 2. Apakah pemberian DK mempengaruhi profil hematologi darah tikus galur SD yang dipejani doxorubicin? 3 3. Apakah pemberian DK mempengaruhi jumlah limfosit CD4+ dan CD8+ tikus galur SD yang dipejani doxorubicin? C. Pentingnya Penelitian Diusulkan Penelitian ini diusulkan untuk mengeksplorasi sumber bahan alam yang berpotensi sebagai agen imunostimulan dalam upaya pengatasan efek samping agen kemoterapi dalam penanganan kanker yakni penekanan sistem imun. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk menambah data ilmiah mengenai potensi DK sebagai agen imunostimulan sehingga dapat dipublikasikan menjadi sebuah artikel dalam jurnal ilmiah serta menjadi sumber data yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya. D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengeksplorasi dan mengembangkan potensi tanaman kapulaga sebagai alternatif agen imunostimulan berbasis bahan alam untuk mereduksi efek samping agen kemoterapi kanker. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pengaruh DK terhadap profil hematologi darah tikus galur SD yang dipejani doxorubicin. 4 b. Mengetahui pengaruh DK terhadap jumlah limfosit CD4+ dan CD8+ tikus galur SD yang dipejani doxorubicin. E. Tinjauan Pustaka 1. Doxorubicin dan Imunosupresi Metode terapi yang biasanya menjadi lini terdepan dalam pengobatan kanker adalah kemoterapi. Metode kemoterapi dilakukan dengan memberikan obat dalam bentuk senyawa kimia untuk membunuh sel-sel kanker. Namun penggunaan kemoterapi yang berkepanjangan dapat menyebabkan melemahnya sistem imunitas tubuh, dan menyebabkan pasien rentan terhadap penyakit dan infeksi yang lain (Patel et al., 2007). Salah satu agen kemoterapi yang paling sering digunakan adalah doxorubicin (Gambar 1). Doxorubicin dilaporkan dapat menyebabkan penurunan sel darah putih (neuropenia), penurunan IL-2 dan produksi IFN-γ, sehingga menyebabkan penurunan sel sitotoksik natural killer (NK), proliferasi limfosit, dan rasio CD4+/CD8+ (Zhang et al., 2005) yang mengakibatkan degradasi sistem imun tubuh. Oleh karena itu, pengembangan cara pengobatan baru bagi kanker sangat diperlukan. Aplikasi kokemoterapi (kombinasi) dengan senyawa fitokimia dapat dijadikan alternatif pilihan karena umumnya memiliki efek samping yang relatif kecil dan diharapkan dapat mengatasi efek imunosupresi agen kemoterapi (Sharma et al.,2004; Tyagi et al.,2004). 5 Gambar 1. Struktur molekul doxorubicin (Anonim, 2013) 2. Sistem Pertahanan Tubuh Tubuh manusia didukung oleh keberadaan dua macam sistem imun, yaitu sistem imun alami (non-spesifik) dan sistem imun adaptif (spesifik) (Shen and Louie, 2005). Sistem imun tubuh dapat diatur, salah satunya dengan menggunakan imunomodulator. Ada 2 cara mekanisme kerja dari obat imunomodulator, yaitu up regulation (menguatkan sistem imun tubuh / imunostimulasi dan imunorestorasi), dan down regulation (menekan reaksi sistem imun yang berlebihan / imunosupresi). Sistem imun berkaitan erat dengan profil hematologi darah. Hal ini disebabkan karena sel-sel darah termasuk sel-sel sistem imun berasal dari diferensiasi stem cell sumsum tulang yang bersifat pluripotent (Gambar 2). Pluripotent stem cell akan berdiferensiasi menjadi dua jalur yaitu jalur myeloid dan limfoid. Sel-sel myeloid akan berdiferensiasi menjadi eritrosit, monosit, dan granulosit, sedangkan sel-sel limfoid berdiferensiasi menjadi T(thymus)-limfosit dan B(bursa)-limfosit. Semua limfosit T memiliki protein marker berupa CD3+, kecuali limfosit T sitotoksik berupa CD8+ dan limfosit T helper berupa CD4+, sedangkan pada sel B marker proteinnya adalah 6 surface imunoglobulin M (sIgM) yang tidak dijumpai pada limfosit T (Shen and Louie, 2005). Limfosit T Stem Cell Limfoid Stem cell Pluripoten Timus Natural Killer Limfosit B Sel Plasma Eritrosit Megakariosit Stem Cell Myeloid Makrofag Monosit Granulosit Gambar 2. Diferensiasi sel-sel darah dan imun dari stem cell pluripoten (Shen and Louie, 2005) Leukosit adalah sel yang membentuk komponen darah. Leukosit ini berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Di dalam tubuh leukosit tidak berasosiasi secara khusus dengan organ atau jaringan tertentu, leukosit bekerja secara independen layaknya organisme sel tunggal. Leukosit mampu bergerak secara bebas, berinteraksi menangkap serpihan seluler, partikel asing, atau mikroorganisme penyusup. Leukosit memiliki turunan meliputi neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit yang masing-masing memiliki sifat dan fungsi yang berbeda. 7 Limfosit merupakan sel yang istimewa dibanding leukosit yang lain karena kemampuannya mampu mengenali antigen secara spesifik. Limfosit berdiferensiasi dari stem cell didalam hati, sumsum tulang, dan timus sehingga menjadi beberapa kelas utama. Beberapa subpopulasi limfosit T terpisah menjadi limfosit T helper (Th) dan limfosit T sitotoksik. Sel T helper CD4+ adalah pemain utama dalam imunitas spesifik. Mereka berkontribusi dengan memberikan bantuan kepada APC (Antigen Presenting Cells) dan limfosit CD8+ untuk memulai respon imun spesifik. Aktivasi sel ini sangat penting karena diperlukan tubuh untuk menghilangkan patogen, virus, dan kanker (Virella, 2001). Sel T CD4+ mampu memproduksi sitokin yang dapat meningkatkan produksi antibodi sel B, aktivasi sel T CD8+ dan kemampuan fagositosis dari makrofag (Dranoff, 2004). Sel T CD4+ saat ini diklasifikasikan menjadi 4 subset besar berdasarkan faktor transkripsi dan sitokin yang disekresikan, yaitu sel Th1, Th2, Th17, Treg (sel T regulator). Sel Th1 ditandai dengan sekresi interferon- γ (IFN-γ), interleukin-2 (IL-2), tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan IL-12. Sitokin tersebut merupakan suatu sitokin pro inflamasi yang diperlukan untuk aktivasi makrofag. Sel Th2, terutama memproduksi IL-4, IL-5, dan IL-13 yang memainkan peranan penting dalam proses alergi dan pembersihan berbagai patogen ekstraseluler dan parasit (Hammerich et al., 2011). Sitokin tersebut juga dapat meningkatkan fungsi eosinofil dan produksi antibodi pada sel B (Gambar 3). Peran antibodi pada penghambatan perkembangan sel kanker adalah dengan menstimulasi eliminasi sel tumor 8 melalui pengikatan reseptor Fc pada makrofag. Antibodi dalam hal ini berperan sebagai molekul opsonin yang membantu pelekatan antigen dengan sel fagosit (makrofag). Kemudian makrofag dapat melisis sel kanker dengan memproduksi nitric oxide (NO), reactive oxygen species (ROS) dan meningkatkan kemampuan fagositosisnya (Dranoff, 2004). Sel NK Perforin Granzim Sel T CD8+ Proliferasi sel kanker Apoptosis sel kanker Sel Dendritik Antibodi Makrofag Eosinofil Granulosit Sel B Sel T CD4+ Gambar 3. Koordinasi respon imun dalam mengeliminasi sel kanker. Aktivitas sel NK dan limfosit CD8+ dengan mensekresikan perforin dan granzim, dan diferensiasi limfosit CD4+ menjadi sel Th1 dan Th2 dalam mengeliminasi sel kanker (Dranoff, 2004). Gambar 4 menjelaskan sitokin kunci yang mendorong diferensiasi populasi sel Th, sitokin efektor utama dan karakteristik faktor transkripsi. Diferensiasi sel Th1 terutama disebabkan oleh IL-12 dan ditingkatkan oleh IFN-γ. Sel Th2 berkembang dengan keberadaan IL-4. Th1 dan Th2 mengatur secara negatif satu sama lain melalui sekresi sitokin spesifik mereka, misalnya IL-12 menekan induksi sel Th2, sedangkan IL-4 menghambat 9 perkembangan sel Th1. Pada level transkripsional sitokin Th1 berpolarisasi menginduksi faktor transkripsi T-bet dan STAT4 sedangkan sel Th2 memerlukan GATA3 dan STAT6 (Hammerich et al., 2011). Pertahanan tubuh (autoimunitas intrasel) Pertahanan tubuh Alergi Pertahanan tubuh (ekstraseluler) Autoimunitas Penolakan Penekanan respon imun Gambar 4. Diferensiasi subset sel Th (pada tikus). Setelah aktivasi, sel Th naif dapat berdiferensiasi menjadi subset yang berbeda tergantung pada lingkungan sitokin sekitarnya. Sub-populasi yang berbeda menunjukkan pola ekspresi yang berbeda dari faktor transkripsi dan dapat ditandai dengan sekresi sitokin penanda yang unik untuk setiap subset. Setiap subset mengambil bagian pada berbagai jenis respon imun terhadap berbagai patogen atau mediasi autoimunitas (Hammerich et al., 2011). Sel Treg adalah subset unik dari sel Th yang mengontrol sel T efektor untuk mencegah reaksi autoimun. Aktivasi Treg menghasilkan sitokin antiinflamasi IL-10 dan tumor growth factor-β (TGF-β), sehingga menekan perkembangan reaksi imun fungsional. Diferensiasi Treg diinduksi oleh TGF- 10 β namun terhambat oleh sitokin pro inflamasi. Treg dikarakterisasi oleh ekspresi dari faktor transkripsi Foxp3, STAT5 dan ekspresi CD25 pada permukaannya (Hammerich et al., 2011). Sel Th17 adalah subset yang paling baru ditemukan pada tahun 2005, ditandai dengan produksi sitokin IL-17. Sel Th17 mewakili subtipe lain dari sel Th pro inflamasi yang berbeda dari sel Th1 dan Th2 dalam perkembangan dan fungsinya. Diferensiasi sel Th17 memerlukan aksi gabungan dari TGF-β, IL-6, dan IL-21 pada tikus, sedangkan IL-6 dan Il-21 dapat digantikan oleh IL-23 atau IL-1β pada manusia. Sel Th17 dikarakterisasi dengan faktor transkripsi STAT3 dan RORγt (Hammerich et al., 2011). Sel T sitotoksik (Tc) atau limfosit CD8+ adalah limfosit T yang memiliki kemampuan untuk mengenali dan menghancurkan sel target bernukleus yang mengekspresikan peptida nonself atau peptida asing yang kontak dengan mayor histocompatibility complex I (MHC I). Limfosit CD8+ juga memiliki kemampuan untuk mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi atau sel kanker (Gotch, 2012). Neutrofil merupakan pemain penting pada patogenesis injuri paru akut, pengeluaran lipid, mediator enzim, dan radikal oksigen (Szarka et al., 1997). Neutrofil berperan penting dalam pertahanan pertama terhadap bakteri, fungi, dan protozoa. Neutrofil memiliki empat tipe granul, yaitu azurofil, spesifik, gelatinase, dan sekretori. Granul azurofil dipercaya berkontribusi utama pada pembunuhan dan degradasi mikroorganisme yang ditelan yang 11 berada di fagolisosom. Efek antimikroba serprocidin telah banyak dilaporkan dalam berbagai studi (Faurschou and Borregaard, 2003; Reeves et al., 2002). Trombosit merupakan sel turunan yang berasal jalur stem cell myeloid yang berdiferensiasi menjadi megakariosit. Trombosit bukan merupakan bagian dari sel darah putih. Istilah trombosit sebenarnya kurang tepat karena trombosit sejatinya bukan merupakan sel namun hanya berupa keping-keping darah, sehingga lebih tepat disebut sebagai platelet. Platelet memicu penjendalan dengan cara mengumpul bersamaan setelah diaktifkan dan membentuk plak pada kapiler yang rusak. Platelet juga mensekresikan sitokin dan kemokin untuk memicu inflamasi (Virella, 2001). Sel kanker adalah benda asing yang menimbulkan respon imunologis. Immune surveillance adalah konsep yang menyatakan bahwa sistem imun berperan dalam mencegah dan membatasi pertumbuhan tumor (Jakóbisiak et al., 2003). Limfosit T membantu limfosit B untuk membuat antibodi, dan juga dapat memusnahkan patogen intraseluler dengan mengaktifkan makrofag serta membunuh langsung sel yang terinfeksi (Mackay and Rosen, 2000). Walaupun diketahui peranan sistem imun sangat penting, namun keberadaannya dapat terdegradasi. Degradasi sistem imun dapan dikarenakan faktor internal dan penyakit kanker itu sendiri, serta akibat radioterapi, pembedahan, atau kemoterapi yang diberikan (Kentjono, 2003). 12 3. Kapulaga (Elettaria cardamomum (L.) Maton) Pada klasifikasi tanaman kapulaga (Gambar 5) termasuk kedalam kingdom plantae, divisio spermatophyta, sub divisio angiospermae, kelas monokotiledon, ordo zingiberales, famili zingiberaceae, genus elettaria, spesies Elettaria cardamomum (L.) Maton. Tanaman kapulaga merupakan terna tahunan, berumpun rapat, tinggi antara 2-4 m. Batang semu, bulat, beruas, masif, batang dalam tanam berbentuk rimpang, warna hijau pucat. Daun tunggal, berseling, bentuk lanset, tepi rata, ujung runcing, pangkal meruncing, panjang 50-100 cm, lebar 5-100 cm, pertulangan melengkung, permukaan halus, dan berwarna hijau. Bunga majemuk, bentuk malai, keluar dari pangkal batang, tangkai pipih, panjang 20-30 cm, mahkota bunga berbagi, warna putih, kelopak bentuk corong, halus, warna kuning, benang sari silindris, panjang 5-7 mm, warna putih, kepala sari bulat, warna kuning, tangkai putik silindris, panjang 0,5-1,0 cm, warna coklat. Memiliki buah buni, bentuk bulat lonjong, diameter 1-1,5 cm, warna putih coklat kehijauan. Biji bulat, diameter 2-3 mm warna coklat sampai hitam, akar serabut (Wardini and Thomas, 1999). Tumbuhan ini juga banyak dibudidayakan, sebab buahnya digunakan sebagai rempah pada berbagai jenis masakan. 13 Gambar 5. Buah Kapulaga (Anonim, 2010) Buah kapulaga memiliki kandungan berupa minyak atsiri yang tersusun dari berbagai jenis monoterpen. Monoterpen yang dominan terkandung dalam minyak atsiri kapulaga adalah 1,8-cineol (21-41%) dan αterpinil asetat (21-35%), selain dari itu minyak atsiri kapulaga juga mengandung α-terpineol (0,8-6,2%), limonen (1,7-3,7%), sabinen + β-pinen (0,3-2,4%), borneol (0,1-1,2%), linalool (0,4-8,7%), linalil asetat (1,6-2,4%), nerol (0,6-1,6%), geraniol (1,1-3,7%), neril asetat (0,8-1,2%), farnesol (sampai dengan 12,5% dari total isomer), nerolidol (0,2-6,7%), dan isosafrole (3,8%) (Gochev et al., 2012; Huang et al., 1999). Pada penelitian terdahulu dinyatakan bahwa minyak atsiri kapulaga dilaporkan memiliki aktivitas sebagai anti kanker. Minyak atsiri kapulaga berpotensi memodulasi sistem enzimatik, dan memiliki aktivitas sebagai anti inflamasi dengan menekan aktivitas sitokin pro inflamasi (TNF-α), anti proliferasi, dan pro apoptosis (Hashim et al., 1994; Sengupta et al., 2005; Bhattacharjee et al., 2007). Pada penelitian lain disebutkan bahwa senyawa 1,8-cineol sebagai kandungan utama dari minyak atsiri kapulaga memiliki khasiat untuk menginduksi apoptosis melalui fragmentasi oligonukleosid (Moteki et al., 2002). Senyawa 1,8-cineol (Gambar 6) juga mampu bertindak sebagai agen kemoprevensi sekaligus kemoterapi (Wattenberg, 1992), dan 14 mampu menstimulasi respon imun melalui peningkatan kemampuan fagositosis dari makrofag (Serafino et al., 2008). Gambar 6. Struktur 1,8-cineol (Rodriguez et al., 2006) F. LANDASAN TEORI Senyawa fitokimia merupakan salah satu alternatif yang prosektif dalam pengembangan bidang pengobatan. Buah kapulaga dilaporkan memiliki kandungan dominan berupa senyawa monoterpen 1,8-cineol. Senyawa 1,8-cineol mampu menstimulasi respon imun melalui peningkatan fagositosis dari makrofag, dan juga memiliki aktivitas sebagai anti inflamasi. Aktivitas anti inflamasi dari senyawa 1,8-cineol dapat menekan sitokin pro inflamasi yang berperan dalam respon imun non spesifik. Limfosit CD4+ yang merupakan respon imun spesifik, selain mampu mengaktivasi limfosit CD8+, meningkatkan produksi antibodi limfosit B juga dapat memusnahkan patogen seluler dengan meningkatkan kemampuan fagositosis dari makrofag. Maka dapat diperkirakan bahwa peningkatan kemampuan fagositosis dari makrofag tadi disebabkan oleh aktivitas senyawa 1,8-cineol terhadap limfosit CD4+. Keberadaan senyawa yang beraktivitas mampu menstimulasi respon 15 imun dapat memperbaiki profil hematologi darah. Oleh karena itu, diharapkan DK dapat meningkatkan jumlah sel imun dalam darah dan juga dapat meningkatkan jumlah limfosit CD4+ dan CD8+. Penggunaan agen kemoterapi doxorubicin sebagai agen terapi kanker menimbulkan masalah baru berupa efek samping imunosupresi. Oleh karena itu dibutuhkan alternatif berupa aplikasi kombinasi antara agen kemoterapi doxorubicin dengan agen imunomodulator. Buah kapulaga dilaporkan memiliki kandungan dominan berupa senyawa monoterpen yaitu 1,8-cineol. Senyawa 1,8-cineol mampu menstimulasi respon imun. Keberadaan senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai imunomodulator akan mempengaruhi profil hematologi darah yakni meningkatkan jumlah leukosit, limfosit, dan neutrofil. Oleh karena itu, diduga aplikasi kombinasi DK dengan doxorubicin dapat meningkatkan jumlah sel yang terlibat dalam regulasi sistem imun. Limfosit T dan limfosit B mempunyai peranan penting dalam respon imun terhadap sel kanker. Senyawa 1,8-cineol telah terbukti mampu menstimulasi respon imun melalui peningkatan kemampuan fagositosis dari makrofag. Limfosit T yang mengekspresikan CD4+ dan CD8+ juga dapat memusnahkan patogen intraseluler dengan mengaktifkan makrofag. Maka dapat diduga bahwa peningkatan kemampuan fagositosis dari makrofag tersebut bermula dari stimulasi 1,8-cineol terhadap limfosit T. Oleh karena itu, diperkirakan aplikasi kombinasi DK dengan agen kemoterapi doxorubicin 16 dapat memperbaiki efek samping imunosupresi dengan meningkatkan jumlah limfosit CD4+ dan CD8+. G. HIPOTESIS 1. Pemberian DK dapat memperbaiki profil hematologi darah dan meningkatkan jumlah limfosit CD4+ dan CD8+ tikus galur SD. 2. Pemberian DK dapat memperbaiki profil hematologi darah tikus galur SD yang dipejani doxorubicin. 3. Pemberian DK dapat meningkatkan jumlah limfosit CD4+ dan CD8+ tikus galur SD yang dipejani doxorubicin.