BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan, peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ho diterima dan Ha ditolak. r= -0,063, dan p>0,05 menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan sexual discordance . 2. Ho ditolak dan Ha diterima. r= -0,466, dan p<0,05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan dimensi Sexual Permissiveness pada santri di pesantren, dalam arah hubungan negatif signifikan. Artinya semakin tinggi otoritarianisme sayap kanan, maka semakin rendah dimensi Sexual Permissiveness. 3. Ho ditolak dan Ha diterima. r= -0,322, dan p<0,05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan dimensi Sexual Stimulation pada santri di pesantren, dalam arah hubungan negatif signifikan. Artinya semakin tinggi otoritarianisme sayap kanan, maka semakin rendah dimensi Sexual Stimulation. 4. Ho ditolak dan Ha diterima. r= -0,397, dan p<0,05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan dimensi Sexual Obsession pada santri di pesantren dalam arah hubungan negatif 83 signifikan. Artinya semakin tinggi otoritarianisme sayap kanan, maka semakin rendah dimensi Sexual Obsession. 5.2 Diskusi Penelitian mengenai korelasi ini telah membuktikan bahwa ternyata tidak ada hubungan yang signifikan antara otoritarianisme sayap kanan dengan sexual discordance pada santri di pesantren. Tinggi ataupun rendah otoritarianisme sayap kanan tidak ada hubungannya dengan sexual discordance pada santri, begitupun sebaliknya tinggi ataupun rendah sexual discordance, tidak ada hubungannya dengan right wing authoritarianism pada santri. Menurut Suschinsky dan Laluimere (2012), sexual concordance lebih dipengaruhi oleh kesadaran seseorang akan kondisi fisiologisnya. Kesadaran fisiologis ini mencakup kesadaran akan denyut jantung, kesadaran tentang pernapasan/respirasi sendiri. Pada laki-laki, misalnya, sexual concordance berhubungan dengan ereksi penis, dan pada perempuan berkaitan dengan aliran darah di vagina. Mereka juga menambahkan penjelasan bahwa aspek psikologis yang perlu ditekankan dalam menghasilkan sexual concordance adalah aspek psikologis yang berhubungan dengan respons genital (alat kelamin), khususnya pada laki-laki. Keterbangkitan seksual dan fisiologis pada laki-laki membangunkan motivasi seksualnya. Dihubungan dengan penelitian ini, hal ini berarti bahwa rasa malu, rasa takut, maupun rasa nyaman terhadap seksualitas seseorang lebih dipengaruhi oleh kesadaran seseorang akan tubuhnya (kesadaran badaniah) daripada ideologi seperti right wing authoritarianism. Temuan penelitian ini nampaknya mempertanyakan hasil penelitian sebelumnya dari Schmidt (2010) serta Igartua, Thombs, Burgos, dan Montoro (2009) yang memperlihatkan hasil bahwa kenyamanan atau ketidaknyamanan seksual seseorang ditentukan oleh identitas dan orientasi seksualnya, apakah ia homoseksual, heteroseksual, atau biseksual. Homoseksual dan biseksual dilaporkan lebih tidak nyaman secara seksual, atau kombinasinya, daripada heteroseksual. Namun demikian, tetap diperlukan penelitian lebih lanjut, apakah individu yang memiliki ideologi OSK sama atau identik dengan memiliki identitas heteroseksual. Apabila melihat hasil penelitian Stones (2006), yang berjudul "Antigay prejudice among heterosexual males: Right-wing authoritarianism as a stronger predictor than socialdominance orientation and heterosexual identity" ada petunjuk bahwa OSK berbeda dari identitas heteroseksual. Penelitian lebih lanjut mengenai hal ini menjadi penting. Sebagai tambahan penjelasan, menurut Schmidt (2010), sexual discordance/concordance juga ditentukan oleh variabel demografis berupa tingkat penggunaan/penyalahgunaan alkohol, tingkat diagnosis HIV/AIDS dan penyakit menular seksual. Pada uji korelasi kedua, terdapat hubungan antara right wing authoritarianism dengan dimensi sexual permissiveness dalam arah negatif. Artinya, semakin tinggi right wing authoritarianism maka semakin rendah sexual permissiveness. Hal ini didukung oleh penelitian Duckitt (2006) berjudul “Differential effects of right wing authoritarianism and social dominance orientation on outgroup attitudes and their mediation by threat from and competitiveness to outgroups” yang berisi bahwa RWA yang tinggi diketahui akan mengurangi mereka yang dianggap mengancam atau melanggar tatanan sosial (Duckitt, 2006). OSK yang tinggi juga cenderung cukup religius, biasanya terkait dengan sikap anti-gay (Olson, cadge, & Harrison, 2006). Keyakinan agama adalah salah satu pengaruh yang berperan utama dalam perilaku seksual individu (Penhollow, Young, & Denny, 2005). Sebagai contoh, setelah melakukan peninjauan sejumlah studi besar, Koenig, McCullough, dan Larson (2001) menyimpulkan bahwa keyakinan agama terkait dengan tingkat yang lebih rendah aktivitas seksual pranikah dan sikap kurang permisif. Dengan demikian, individu yang berideologi OSK tinggi, kecil kemungkinan melakukan perilaku seksual secara bebas. Individu dengan OSK yang tinggi juga sangat konvensional (Altemeyer, 1996). Hal ini membuat individu dengan OSK yang tinggi sangat mencintai nilai-nilai tradisional yang sudah kuat di masyarakat, misalnya nilai-nilai agama (Altemeyer, 1996). Segala bentuk perubahan atau nilai-nilai yang muncul, perilaku seks bebas akan ditolak, karena bertentangan dengan agama. Pada uji korelasi ketiga, terdapat hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan dimensi sexual stimulation dalam arah negatif. Artinya, semakin tinggi otoritarianisme sayap kanan maka semakin rendah sexual stimulation. Sexual stimulation merupakan perilaku merangsang seksual untuk membangkitkan perasaan seksual panca (sexual indera secara arousal). Byrne et al. (1974) serta Griffitt (1973) menyatakan bahwa orang dengan OSK tinggi cenderung melabel pengalaman bagi negatif. orang-orang Seksual dengan (2009) OSK menambahkan tinggi (Sexual Deviance). bahwa orang-orang dengan situasi-situasi yang ditemukan afraid) Butler keterbangkitan seksual mereka terhadap Berdasarkan hasil-hasil penelitian ini bahwa tergolong Melalui dalam penelitian OSK tinggi melibatkan maka tidak sebagai sebuah sexual arousal Penyimpangan empiris lebih takut penyimpangan mengherankan Butler, (more seksual. bahwa OSK berkorelasi negatif dengan dimensi sexual stimulation dari GSBI. Penelitian lain yang mendukung adalah Jarret Thomas Crawford (2008) yang berjudul “The (Not So) Elusive Liberal in Social Cognition” yang berisi OSK tinggi juga lebih mungkin untuk "menyalahkan korban" yang terkena musibah. Hal ini terutama terjadi ketika korban telah melakukan sesuatu yang melanggar otoriter (misalnya, seorang wanita muda yang diperkosa setelah pergi ke pesta dengan berpakaian seksi). Hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa sexual stimulation sangat rendah dilakukan oleh individu berideologi right wing authoritarianism. Pada uji korelasi keempat, terdapat hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan dimensi sexual obsession dalam arah negatif. Artinya, semakin tinggi right wing authoritarianism maka semakin rendah sexual obsession. Orang-orang yang konservatif tidak terobsesi/terpaku dengan seksual. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Fehring, et al. (1998), dalam studi 82 siswa yang dipilih secara acak dari Catholic University meneliti hubungan antara ukuran multidimensi religiusitas dan ukuran gabungan perilaku seksual (frekuensi tangan untuk aktivitas genital, aktivitas genital-to-genital dan frekuensi hubungan seksual). Menggunakan analisis regresi bertahap, Fehring, et al. (1998) menemukan hubungan terbalik antara religiusitas (religi merupakan salah satu otoritas dalam masyarakat yang dibela oleh orang-orang yang RWA nya tinggi) dan perilaku seksual, mahasiswa lebih sering menghadiri tampat ibadah, merasa lebih pentingnya doa, dan kurang terlibat dalam perilaku seksual. 5.3 Saran 5.3.1 Saran Teoritis 1. Saran bagi penelitian selanjutnya agar peneliti melakukan penelitian pada banyak pesantren di berbagai kota dan desa, dan menambahkan sampel yang lebih banyak (diatas 500 responden) agar ruang lingkup penelitian lebih luas, penelitian menjadi lebih valid dan reliabel. 2. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian lebih mendalam dengan variabel yang sama, dan menambah variabel terikat agar penelitian lebih bervariasi, misalnya sexual behavior. 3. Menambahkan periode penelitian, agar dapat membuktikan hipotesis yang ada. Penelitian ini dilakukan hanya dalam waktu enam bulan, untuk selanjutnya diharapkan penelitian dilakukan sedikitnya selama setahun. 4. Membedakan sampel santri yang menetap di pesantren selama setahun dengan santri yang menetap di pesantren lebih dari tiga tahun, guna melihat bagaimana gambaran right wing authoritarianism antara santri yang menetap selama setahun dengan yang lebih dari tiga tahun. 5. Menambahkan sampel santri pada usia dewasa muda, tidak hanya pada usia remaja, agar hasil penelitian lebih bervariasi. 6. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif, sehingga peneliti kurang dapat mendalami apakah benar-benar terdapat gangguan seksual pada santri atau tidak. Pada penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan metode kualitatif. 7. Penelitian ini tidak dilakukan back-translation, sehingga responden kurang mengerti item yang ada di alat ukur. Penelitian selanjutnya diharapkan agar peneliti melakukan melakukan back-translation. Dalam adaptasi alat ukur, dikenal adanya forward translation dan back translation. Forward translation, seperti yang dilakukan oleh penelitian ini, menerjemahkan alat ukur dari bahasa asing ke Bahasa Indonesia dengan expert judgment dosen pembimbing. Back-translation, menerjemahkan kembali hasil terjemahan bahasa Indonesia tersebut ke bahasa asing awal oleh penerjemah independen, guna mengetahui kecocokan hasil terjemahan. Jika ditemukan kesesuaian antara forward dan back translation, maka hasil adaptasi lebih meningkat kualitasnya. 5.3.2 Saran Praktis - Sebaiknya pesantren menambahkan kurikulum pendidikan seksualitas, agar para santri tidak mencari tahu sendiri tentang makna seksualitas, menghindari efek negatif seks diluar nikah, menghindari gangguan seksual, dan agar santri mengetahui kesehatan reproduksi.