TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU HUKUM INDONESIA : MEMBACA ULANG FILSAFAT HUKUM GUSTAV RADBRUCH Oleh : Tristam P. Moeliono Dan Tanius Sebastian Tendesi Reduksionis dan Utilitarianis dalam Ilmu Hukum Indonesia: Membaca Ulang Filsafat Hukum Gustav Radbruch Oleh: Tristam P. Moeliono dan Tanius Sebastian1 Universitas Katolik Parahyangan 1. Pengantar Pada berbagai kesempatan diskusi ilmiah dan pustaka filsafat hukum Indonesia, seringkali, nama Radbruch dirujuk dan dikait-kaitkan terutama dengan topik “keadilan, kemanfaatan, dan kepastian”. Namun rujukan dan pengkaitan itu kerap tidak terlalu jelas apakah memang dikutip dari pemikiran filsafat hukum Radbruch. Kita bisa menemukan dua contoh dalam dunia hukum Indonesia yang memperlihatkan gejala kegemaran pengutipan dan ketidaktepatan pemahaman sebuah teori, termasuk teori Radbruch tentang tujuan hukum. Contoh yang pertama ada di sebuah perempatan jalan utama di Bandung. Di salah satu sudut perempatan yang dekat dengan lampu tanda lalu lintas di kota itu sebuah papan reklame dengan ukuran lumayan besar berdiri. Di papan itu tertulis sebuah kalimat: “Tiga nilai dasar hukum: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.” Kalimat ini tidak begitu jelas lantaran tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai apa maksud penyampaiannya sehingga terkesan sebagai iklan layanan masyarakat belaka. Apakah kalimat tersebut bersumber atau terkait dengan karya-karya Radbruch? Apa yang menarik adalah tercantumnya gambar kecil berupa simbol institusional Mahkamah Agung Republik Indonesia di pojokan papan reklame tersebut. Barangkali kita bisa mengungkapkan arti isi papan reklame tersebut dengan semiotika tapi bukan itu minat kajian tulisan ini. Papan tiga nilai dasar hukum itu merupakan contoh gejala kegemaran pengutipan yang menyangkut sebuah teori atau pemikiran hukum. Contoh yang kedua berada pada tataran berbeda. Gejalanya di sini terkait langsung dengan metode berpikir ilmiah dalam pengembanan ilmu hukum. Masih soal rangkaian “keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum”, gagasan tentang paradigma ilmu hukum Indonesia pun rupanya tak lepas dari gejala ketidakjelasan pemahaman atas teori hukum yang ada. Dalam sebuah teks kunci yang mengemukakan refleksi tentang struktur ilmu hukum Indonesia, Arief Sidharta menjelaskan rangkaian tersebut sebagai sebuah konsep dalam paradigma ilmu hukum nasional kita. Lebih spesifik lagi, dengan penyebutan yang agak lain, keadilan, kehasil-gunaan, dan kepastian menjadi isi dari “cita-hukum” Pancasila yang 1 Kedua orang penulis adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. 1 merupakan fundamen ilmu hukum Indonesia.2 Tidak ada keterangan atau argumen lebih lanjut soal dari mana pemahaman rangkaian ini berasal. Gejala ini menarik karena kita menemukannya dalam sebuah karya intelektual akademis yang penting dalam ranah pemikiran hukum di tanah air.3 Kedua gejala yang disebut di atas selintas seperti tidak ada hubungannya satu sama lain. Gejala yang satu adalah papan reklame di pojokan jalan di kota Bandung, sedang gejala yang lainnya adalah hasil pemikiran ilmiah. Namun keduanya menunjukkan gejala yang sama: kita kerap mengutip suatu gagasan besar tanpa tahu dan peduli dari mana asalnya dan bagaimana sebaiknya memahami suatu gagasan (in casu dalam bidang teori dan filsafat hukum) dalam konteks yang paling tepat. Di sini sepertinya gagasan Radbruch menjadi bahan rujukan tanpa disertai studi mendalam atas teks, konteks hidupnya, dan komentar-komentar kritis terhadapnya. Kita bisa menyoroti dua problematika disiplin ilmu hukum kita dalam kaitannya dengan urgensi bagi upaya membaca ulang filsafat hukum Radbruch. Pertama, rangkaian “keadilan, kemanfaatan, dan kepastian” telah direduksi dari kompleksitas gagasan “aslinya”. Dampak paling serius dari pereduksian ini adalah pengutamaan salah satu unsur di atas dua sisanya. Kedua, buruknya kinerja ilmiah dunia ilmu hukum Indonesia yang menunjukkan kecenderungan eklektisisme dan artinya sekaligus fragmentasi pemahaman atas “teori”. Maka menurut kami telah terjadi kesalahpahaman dunia pemikiran tentang ilmu hukum Indonesia dalam pembacaan terhadap filsafat hukum Radbruch. Beranjak dari pemahaman bahwa pengembanan teori atau filsafat hukum akan juga menentukan cara kita berhukum4, maka di sini hendak diargumentasikan bahwa 2 Arief Sidharta di sini membicarakan cita-hukum Pancasila sebagai bagian dari pandangannya tentang “upaya mengeksplisitkan Paradigma Ilmu Hukum Indonesia”. Ia menyatakan bahwa: “Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita-hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan … Yang dimaksud dengan cita-hukum adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur: keadilan, kehasil-gunaan dan kepastian hukum.” B. Arief Sidharta, “Struktur Ilmu Hukum” dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, (eds.) Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan (Yogyakarta: Thafa Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012), hlm. 60-61. 3 Teks Arief Sidharta yang dirujuk di atas adalah sebuah artikel yang dikumpulkan menjadi bagian dari proceedings konggres ilmu hukum yang diselenggarakan atas kerjasama Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia (ASHI) dan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip). Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan, “Mentari Pagi Ilmu Hukum: Refleksi dan Rekonstruksi Pengetahuan” dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, (eds.) Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan (Yogyakarta: Thafa Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012), hlm. xxi. 4 Titik tolaknya adalah pandangan bahwa ilmu hukum mempengaruhi praktik hukum dan juga sebaliknya merupakan pandangan yang khas bersifat hermeneutis. Gagasan-gagasan tentang ilmu hukum Indonesia terkait dengan hermeneutika yang merupakan metode dan filsafat tentang penafsiran makna. Perlu diperhatikan di sini bahwa, Paul Scholten-pun telah menyatakan hal ini dalam teks tahun 1942 tentang 2 Problem statement instrumentalisme dan eklektisisme menimbulkan tendensi reduksionis dan utilitarianis dalam pengembanan ilmu hukum kita. Berdasarkan pembacaan ulang terhadap filsafat hukum Radbruch, kami menyebut rangkaian tersebut sebagai “tri-tujuan hukum”. Di sini, kami hendak menjelaskan bahwa tri-tujuan hukum tersebut lebih tepat dipahami sebagai “keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum”. Pemahaman yang lain ini, kalau tidak ingin disebut sebagai yang baru, mengemukakan kritik atas pembacaan yang instrumentalis terhadap teoriteori Radbruch. Di samping itu, dengan menyebut istilah “kebertujuan” daripada “kemanfaatan” kami hendak memperlihatkan bahwa gagasan Radbruch menentang utilitarianisme dalam praktik hukum. Tendensi utilitarianis ini tampak dari penitik-beratan ide kemanfaatan bagi kepentingan banyak orang dalam praktik hukum. Tri-tujuan hukum bukanlah “tujuan hukum” itu sendiri melainkan sebuah ide hukum, yakni suatu orientasi etis pembentukan hukum yang sah. Titik berat ide hukum menurut Radbruch adalah keadilan berupa jaminan dan perlindungan kesetaraan. Tulisan ini bermaksud untuk menelusuri jejak pemikiran Radbruch dan menunjukkan kekeliruan tafsir di dalam diskursus ilmu hukum di Indonesia terhadap pemikirannya. Untuk itu, kami akan memaparkan argumen di atas lebih lanjut melalui beberapa bagian penjelasan. Setelah pengantar ini, kami akan membongkar bukti-bukti adanya pengaruh ajaran Radbruch dan kekeliruan pemahaman terhadapnya dalam diskursus ilmu hukum Indonesia. Bukti-bukti tersebut dapat dilacak dalam tulisan-tulisan ilmiah. Kami akan menunjukkan reduksi gagasan-gagasan tentang tri-tujuan hukum Radbruch yang seringkali dinyatakan sebagai rangkaian “keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum” tanpa dijelaskan apa akar gagasan rangkaian tersebut. Implikasi kekeliruan dan reduksi tersebut terwujud dalam dampak metodologis terhadap pengembanan ilmu hukum Indonesia. Utilitarianisme menjadi tumpuan bagi dua kegiatan utama pengembanan tersebut.5 Setelah itu akan didudukan perkara sesungguhnya dari teori-teori hukum Radbruch, yakni konteks alam pikir dan kontroversi seputar pemikiran Radbruch sesuai masa abad ke-19 dan ke-20. Kami akan menutup dengan memberi catatan kritis dan sejumlah penggarisbawahan hal penting. karakter keilmuan ilmu hukum. Menurutnya, kendati ilmu hukum pertama-tama berkutat dengan “kenyataan hukum” dalam rupa hukum positif, bagaimanapun juga perhatiannya tidak bisa dilepaskan dari “kehidupan kejiwaan” berupa kesadaran dan hukum tidak tertulis. Scholten menyebut momen ini sebagai sebuah dialektika. Dalam pandangan Scholten, ilmu hukum yang berdialektika seperti ini adalah “ilmu hukum yang menangkap kenyataan dari hukum”. Pendeknya, ilmu hukum tersebut menjadi realistis. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, terj. Arief Sidharta (Bandung: PT. Alumni, 2013), hlm. 19-21. 5 Menurut Arief Sidharta, pengembanan ilmu hukum terdiri dari dua tahap kegiatan, yaitu (1) pemaparan hukum dalam wujud metode penalaran serta interpretasi dan (2) sistematisasi berupa pembentukan hukum. B. Arief Sidharta, “Struktur Ilmu Hukum”, hlm. 40-46. 3 2. Problem Kinerja Ilmiah dan Pereduksian Teori Radbruch Tanpa bermaksud meniadakan sedikit pun kontribusi nyata para pengajar, peneliti, dan ahli-ahli hukum kita, kutipan panjang dari pendapat Sunaryati Hartono secara verbatim berikut cukup tajam menyinggung problematika kinerja ilmiah di atas6: “Akan tetapi setelah direnungkan secara lebih mendalam, maka saya tersentak oleh suatu pertanyaan yang timbul di dalam hati : Bagaimana dengan Ilmu Hukum Indonesia sendiri? Kenalkah kita akan jalan fikiran dan teori-teori hukum yang telah dikembangkan oleh pakarpakar bangsa Indonesia sendiri, seperti teori yang dikemukakan oleh Prof. Soepomo, Prof. Hazairin, Prof. Soediman, Prof. Djokosutono, Prof. Satochid, Prof. Moeljatno, Prof. Djojodiguno dan lain-lain ? Kenalkah kita akan berbagai putusan pengadilan dan pertimbangan hukum hakim-hakim Indonesia yang terkenal ? Bahkan kenalkah kita akan hakim-hakim Indonesia yang terbaik ? Benarkah kita mengenal betul teori-teori hukum yang dikemukakan oleh pakar-pakar asing, ataukah kita hanya mengutip uraian singkat seorang professor, yang mengutip pendapat pakar tersebut dari buku yang mengutip sebagian pendapat pakar asing itu. Benarkah kita mengenal filsafat hukum Hans Kelsen, atau teori Kranenburg, atau teori Roscoe Pound dan Wolfgang Friedmann ? Ataukah kita hanya mengutip apa yang pernah dikatakan oleh dosen kita tentang Hans Kelsen, Kranenburg atau Roscoe Pound, yang pada gilirannya juga mengulangi apa yang dikatakan oleh dosennya mengenai ketiga tokoh itu ?” Barangkali kita kerap menemukan bagaimana para mahasiswa ilmu hukum bahkan sarjana hukum seringkali hanya mengandalkan rangkuman pemikiran dari pemikir-pemikir asing yang dibuat oleh orang-orang lain. Jarang bahkan tidak muncul upaya untuk membaca dan menelusuri sendiri pemikiran dari penulis-penulis asing tersebut. Kendala lain yang terkait adalah rendahnya penguasaan bahasa asing dan budaya baca. Bahkan sekarang ini diktat dan rangkuman (pandangan) – dipermudah oleh internet, mesin pencari serta layanan Duduk jasa Wikipedia – tuntas menggantikan uraian panjang lebar dari para pemikir atau penulis perkaranya: ataupun peneliti asli. Dalam hal filsafat hukum Radbruch, maka boleh dikatakan bahwa yang terjadi menurut keresahan Sunaryati di atas adalah kesalahpahaman dan kekeliruan tafsir yang “di-iya-kan” bersama (deliberate misreading). 2.1. Problem Kinerja Ilmiah Dunia Ilmu Hukum Indonesia Para sarjana dan atau pemikir hukum Indonesia seringkali terlalu mudah mereduksi pandangan (doktrin, ajaran, pandangan filsafat) dari orang-orang lain (dalam negeri maupun luar negeri atau asing) ke dalam satu-dua kalimat dan dengan begitu menghindar dari keniscayaan merunut dengan cermat apa yang sebenarnya dimaksud oleh penulis atau 6 Sunaryati Hartono, “Tentang Pengembanan dan Pembinaan Ilmu Hukum Nasional” dalam Percicikan Gagasan tentang Hukum. Kumpulan Tulisan Ilmiah Alumni dan Staf Pengajar FH Unpar, ed. A. Yoyon (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 1988), hlm. 47. 4 mengapa harus resah? penutur asli dan mengikuti perdebatan yang kemudian muncul darinya. 7 Maka, pandangan Savigny hanya disebut sebagai pandangan bahwa hukum hidup dan berkembang bersama masyarakat; John Austin sekadar diingat sebagai ahli hukum yang menyatakan law as the command of the sovereign backed up by sanctions; Montesquieu dikenang sebagai penggagas trias politica; dan seterusnya. Mengapa mereka mengatakan itu dan kemudian diskusi yang muncul dari itu jarang diangkat.8 Meski begitu, kita pun bisa menemukan beberapa pengecualian yang memperlihatkan pembacaan yang sesuai terhadap pandangan para pemikir, khususnya juga terhadap filsafat hukum Radbruch. Dilepaskan dari konteks sosial politik kemunculan dan aliran pemikiran tentang hukum (tidak selamanya berkesinambungan, namun bisa fragmentaris bahkan acak), teori, ajaran (doktrin) atau pemikiran dari para ahli hukum bahkan filsuf hukum tersebut di atas diajarkan sebagai hafalan mati, bukan sesuatu yang memaksa kita memberikan tanggapan dan mengambil posisi menolak, menerima, mendukung dengan catatan atau apapun. Pemikiran mereka – para pemikir atau filsuf atau teoritikus tentang hukum “asing” – dengan demikian dipersamakan dengan ajaran agama (dogma) yang harus diterima utuh, diyakini dengan iman bukan dicermati dengan akal kritis. Alhasil para ahli hukum di Indonesia-pun mereduksi diri menjadi penganut “kepercayaan” yang harus membela pandangan yang diimani dengan darah, keringat, dan air mata. 7 Salah satu karya monumental dari pemikir Indonesia yang mempelajari dengan tekun berbagai aliran filsafat hukum dan berusaha mengkaitkannya dengan penalaran hukum yang sesuai dengan konteks keindonesiaan adalah buku “Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum” karangan Shidarta. Buku tersebut lahir dari sebuah penelitian disertasi sang penulis di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Di dalam “Prakata” untuk buku setebal 450 halaman lebih tersebut, Shidarta membuat semacam disclaimer bahwa “pembaca tidak akan menemukan kupasan mendetail tentang latar belakang tokoh-tokoh pendukung tiap-tiap aliran, proses kelahiran model-model penalaran tersebut, dan polemik yang menyertainya.” Namun tampaknya Shidarta tidak mau terjebak dalam kinerja ilmiah yang reduktif. Sebab, baginya karyanya tersebut “bernuansakan meta-keilmuan hukum” dan menelusuri benang merah dari model penalaran menurut aliranaliran filsafat hukum yang ia bahas demi kemudahan mencapai tujuan dan kegunaan kajiannya. Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Buku 1 Akar Filosofis (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm. ix. 8 Dalam arti ini, menarik untuk menyimak kata pengantar yang ditulis oleh para editor buku kumpulan artikel hasil Konggres Ilmu Hukum Nasional. Dalam rangka menjelaskan konsep ilmu hukum menurut Satjipto Rahardjo dalam kaitannya dengan perkembangan mutakhir sains dan masyarakat, para editor tersebut dengan sangat rajin mengutip banyak sekali nama dan teori tentang hukum yang berasal dari orang-orang asing. Asumsi di balik tulisan mereka itu kelihatannya adalah bahwa ada kesamaan yang niscaya berujung pada sebuah sintesis dari gagasan tokoh-tokoh terkemuka seperti Hans Kelsen, Roscoe Pound, Joseph Raz, dan Roger Cotterrell. Dengan asumsi itu pula konsep “jurisprudence” menjadi disamakan dengan konsep “ilmu hukum”. Tentu saja asumsi tersebut bisa dikritisi lebih lanjut tapi karena keterbatasan yang ada maka tulisan ini tidak membahasnya lebih lanjut. Esmi Warassih, Suteki, & Awaludin Marwan, “Mentari Pagi Ilmu Hukum: Refleksi dan Rekonstruksi Pengetahuan” dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, (eds.) Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan (Yogyakarta: Thafa Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012), hlm. v-xxiii. 5 Selain itu kebiasaan lain dari kebiasaan banyak pemikir hukum di Indonesia ialah menyembunyikan pandangannya sendiri dengan mengutip sebanyak-banyaknya pandangan dari penulis (atau aturan hukum tertulis) yang dianggap lebih otoritatif. Jarang bahkan tidak pernah diketemukan adanya pandangan yang tegas menilai, menolak atau merevisi pandangan-pandangan otoritatif. Mungkin dalam budaya (keilmuan di-) Indonesia bersikap konfrontatif terhadap satu ide, gagasan atau orang tertentu dianggap tidak sopan. Begitu juga dengan menyatakan dengan tegas posisi dan pandangan penulis atau peneliti. Pandangan peneliti harus dirumuskan dengan sangat abstrak dan impersonal. Alhasil baik pandangannya sendiri maupun pandangan para penulis yang dikutip menjadi tidak jelas dan kabur. Pembaca dipersilakan menyimpulkan sendiri dan penulis asli tidak dapat dan mungkin menyombongkan diri tentang posisi pandangannya maupun temuan-temuannya. Lagipula dalam rasa bahasa Indonesia, individualis dan ambisius bermakna peyoratif.. Pemakaian slogan “kepastian, kemanfaatan, dan kepastian hukum” sekiranya dapat mengilustrasikan reduksionisme, eklektisisme, dan instrumentalisme kinerja ilmu hukum di atas. Kendati serba tidak menentu9, kami di sini menduga keras bahwa pandangan tentang tritujuan hukum berasal dari Gustav Radbruch, seorang pemikir ilmu hukum atau filsuf dari Jerman dari periode 1930-1940’an. Dugaan ini diperkuat penelusuran atas pustaka (filsafat atau pengantar ilmu) hukum. Ketika topiknya adalah “tujuan hukum”, maka kerap disebutkan Pembacaan umum dan dibincangkan tri-tujuan di atas dan dirujuk nama Gustav Radbruch dan tentunya nama- terhadap filsafat nama lain baik yang terkenal maupun kurang terkenal. hukum Teks berbahasa Indonesia tentang ilmu atau filsafat hukum yang secara eksplisit Radbruch di menyebut nama Radbruch dan dalam hubungannya dengan topik ide hukum adalah Indonesia terjemahan Arief Sidharta atas karya seorang Profesor Fakultas Hukum Universitas Groningen, D.H.M. Meuwissen. Gagasan Radbruch di situ muncul dalam pembahasan mengenai salah satu dalil filsafat hukum, yakni bahwa filsafat hukum bertugas untuk merefleksikan “‘kenyataan hukum’ yang harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari Ide-Hukum (Cita-Hukum).”10 Ada lima hal yang menarik untuk digarisbawahi dari apa yang diterjemahkan oleh Arief Sidharta. Pertama, ide hukum disama-artikan dengan cita hukum 9 Cobalah ketik dan masukan kata-kata kunci “keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum radbruch” dalam alat pencari di dunia internet, Google. Pada bagian web, diberitahukan bahwa hasil pencarian untuk katakata kunci tersebut adalah sekitar 3.430 hasil. Google, https://www.google.co.id/search?q=keadilan+kemanfaatan+kepastian+hukum+radbruch&espv=2&biw=144 0&bih=755&source=lnms&sa=X&ved=0CAYQ_AUoAGoVChMI78jsxuHfyAIVCpWUCh2SlwUQ&dpr=1, diakses pada 26 Oktober 2015. 10 D.H.M. Meuwissen, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terj. B. Arief Sidharta (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 19. Perhatikan bahwa Arief Sidharta di sini menulis secara spesifik “ide-hukum” serta “cita-hukum”. 6 (Rechtsidee). Kedua, sudah ditunjukkan bahwa ide hukum berakar dari paham NeoKantianisme. Ketiga, ide hukum terjabarkan dalam tiga aspek, yakni “kepastian hukum, kegunaan, dan keadilan”. Keempat, posisi filosofis Radbruch adalah relativisme nilai. Kelima, ide hukum memilik orientasinya. Lima hal inilah yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Namun, seperti yang sudah disinggung di muka, Arief Sidharta sendiri menjadikan tiga aspek ide hukum tersebut sebagai rujukan, menyebutnya sebagai cita-hukum nasional yang berwujud Pancasila, dan memandangnya sebagai tumpuan pengembanan ilmu hukum nasional. Masih soal eksistensi teori-teori Radbruch dalam lingkungan pemikiran tentang hukum di Indonesia. Pembahasan tentang gagasan Radbruch dapat kita temukan juga dalam dua buku “klasik” seputar refleksi tentang hukum. Boleh dibilang pembacaan terhadap Radbruch dalam dua buku tersebut merupakan pengecualian terhadap problem kinerja ilmiah di atas. Buku yang pertama, “Etika Politik” karangan Franz Magnis-Suseno yang beberapa kali merujuk Radbruch.11 Pembacaan terhadap gagasan Radbruch tentang keadilan sebagai ciri hakiki hukum memperlihatkan bahwa Magnis-Suseno menempatkannya menurut kerangka tema filsafat hukum yang sesuai. Buku yang kedua adalah karangan Theo Huijbers yang berjudul “Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah”. 12 Huijbers mendekati filsafat hukum dari segi perkembangan alam pikiran Barat. Dalam kerangka itu, Radbruch mendapat status yang sesuai dengan periode atau masa sejarahnya. Kendati berbau ad hominem, kita dapat melihat sesuatu yang menarik dari latar belakang kedua pengarang buku tersebut. Keduanya, seperti yang kita ketahui, terlatih dalam pendidikan tentang filsafat. Keduanya pula datang dari tradisi budaya Barat. Berkaca dari keduanya maka agaknya makin kuat sinyalemen tentang kelemahan kinerja ilmiah dunia ilmu hukum Indonesia yang bertendensi reduksionistis. 2.2. Implikasi Metodologis: Utilitarianisme Cara Berhukum Pemahaman umum yang tercermin dari pustaka yang ada ialah kadangkala tri-tujuan hukum saling berbenturan. Dengan merujuk pada adagium summum ius, summa injura diyakini bahwa pembuatan aturan yang semakin rinci (demi kepastian dan ketertiban) justru akan berujung pada ketidakadilan. Sebaliknya penekanan pada (rasa) keadilan (orang per orang atau kelompok masyarakat) dapat berujung pada ketidakpastian dan digadaikannya kepentingan bersama. Kemanfaatan (utilitarianisme) dari aturan atau pemberlakuan suatu 11 12 Lihat: Frans Magnis-Suseno, Etika Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003). Lihat: Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius, 1982). 7 ketentuan atau aturan seringkali juga harus menyingkirkan tujuan hukum menjaga kepastian hukum bahkan keadilan. Apa yang bermanfaat (bagi kemaslahatan banyak orang) itulah hukum. Sebaliknya penekanan pada kepastian hukum (dalam wujud ketentuan-ketentuan yang sangat rinci dan rumit) bisa jadi menghasilkan hukum yang jelas tidak bermanfaat bagi masyarakat terkecuali bagi birokrasi yang membuatnya. Lantas, apakah tepat memahami kemanfaatan di sini sebagai ide hukum menurut Radbruch? Radbruch jelas berpikir, menulis dan berkarya menghadapi tantangan zaman yang jauh berbeda dari yang dihadapi Indonesia dan dunia hukum Indonesia sekarang ini. Juga dapat dicermati bahwa Rabruch menulis tentang situasi hukum di Jerman sebelum, semasa rezim pemerintahan Hitler dan sesudahnya. Berkenaan dengan itu diperdebatkan oleh banyak komentator apakah Rabruch pasca Perang Dunia II beralih dari penganut positivisme menjadi pendukung aliran hukum kodrat atau sebenarnya ia hanya mempertegas pandangannya setelah mengamati ketidakadilan dan kekejamanan hukum produk rezim pemerintahan Hilter. Pertanyaan besarnya ialah apakah pandangan Radbruch dapat sepenuhnya dilepaskan dari konteks zaman (Jerman sebelum dan sesudah Perang Dunia II) dan ditafsir ulang untuk menjawab permasalahan dan situasi (perkembangan pemikiran) hukum di Indonesia? Mahasiswa di fakultas hukum (setidaknya di Universitas Katolik Parahyangan) diajar bahwa hukum adalah seperangkat instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan sosial-politik-ekonomi tertentu yang dicanangkan pemerintah atau setidak-tidaknya mencapai tujuan negara (kepentingan nasional atau yang diabstraksikan sebagai “Negara Hukum Pancasila”). Mungkin tidak by design namun lebih by accident, fakultas hukum mengajarkan pada mahasiswa bahwa hukum (itupun dibatasi pada produk perundang-undangan dalam arti luas) sebagai produk politik. Pemahaman yang didukung pula berita-berita di media massa perihal pembahasan rancangan perundang-undangan di Dewan Perwakilan Rakyat atau pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Alhasil banyak analisis tentang hukum yang ada kerapkali lebih menekankan tarik-menarik kepentingan (partai, golongan penekan, dan lain-lain) dan pertarungan politik yang menjadi panggung pembuatan aturan hukum termasuk pembatalan perundang-undangan oleh MK. Terbayangkan dibalik pemahaman ini pengaruh sejumlah teori besar baik dari pemikir hukum Indonesia maupun dari asing. Kita dapat sebut Mochtar Kusuma-Atmadja, hukum (produk perundang-undangan dalam arti luas) sebagai sarana pembaharuan masyarakat, Sunaryati Hartono yang mencita-citakan pembaharuan dan pembangunan satu hukum nasional serta mengembangkan pengertian hukum ekonomi (dalam arti sempit dan luas). Selain itu juga dapat disebut Satjipto Rahardjo (pemikiran hukum progresif: bahwa hukum 8 Radbruch dipahami seturut praktik hukum yang utilitarianis di Indonesia harus dikembangkan demi manusia; bukan semata-mata untuk pembangunan) dan Soetandyo Wignjosoebroto (hukum sebagai produk politik). Benang merah dari ke-empat pemikir hukum Indonesia ialah pemahaman hukum sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu (abstrak-ideal maupun konkrit-contigent). Ilustrasi lain dalam praktik hukum Indonesia dari pemahaman hukum sebagai sarana yang dibenarkan tujuan muncul dengan jelas dari zaman pemerintahan Orde Baru. Perintah yang diterbitkan Letnan Jenderal Soeharto untuk menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai ke akar-akarnya sekaligus melegitimasi tidak saja pembantaian massal semua orang yang “dianggap” (tanpa perlu dibuktikan dihadapan pengadilan) terlibat (langsung maupun tidak langsung) dalam tindakan penculikan atau pembunuhan sejumlah jenderal angkatan darat plus beberapa perwira rendahan dan satu anak kecil, namun juga pencabutan hak-hak sipil-politik bahkan ekonomi dari mereka yang dianggap tidak bersih diri maupun lingkungan (masyarakat Tionghoa, termasuk para eksil (mahasiswa di luar negeri, terutama Uni Soviet, Republik Rakyat Cina waktu itu, dan Eropa Timur) maupun keluarga dekat atau jauh dari mereka yang “dianggap” bersalah terlibat dengan satu dan lain cara dengan PKI. Dengan cara yang sama, kepentingan memberikan shock therapy kepada para “preman” membenarkan (legitimasi) “perintah” Presiden Soeharto untuk melakukan penculikan-penganiayaanpembunuhan mereka yang disangka berperilaku sebagai preman atau gali. Sekalipun pada masa yang sama, perintah Presiden Soekarno untuk “ganyang Malaysia” sebagai bagian dari konfrontasi dengan “Nekolim” (neo-kolonialisme dan imperialisme) diam-diam tidak dipatuhi oleh pimpinan Angkatan Darat. Mereka dari Angkatan Darat justru diam-diam menjalin hubungan dengan pihak Malaysia. Begitu juga perintah Presiden Abdurachman Wahid sebagai panglima tertinggi agar Tentara Nasional Indonesia (TNI) membubarkan Parlemen tidak ditaati. Hasil akhirnya adalah kekuasaan Presiden dicabut (impeachment) dan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Singkat kata, kemungkinan besar, dalam kedua kasus di atas, hukum dipahami tidak hanya harus berasal dari pihak yang berdaulat, melainkan lebih dari itu, harus didukung oleh kemampuan menjatuhkan sanksi. Di samping itu dapat pula kita jumpai ilustrasi lain tentang penggunaan hukum sebagai sarana mencapai tujuan apapun yang seolah-olah tampak tidak terlalu berbahaya, sekalipun tetap dengan dampak sosial-ekonomi yang luar biasa buruknya. Misalnya berkaitan dengan aturan-aturan hukum baik dari zaman pemerintahan Orde Baru atau sesudahnya yang membenarkan pengambilalihan atau “apropriasi” kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam (termasuk tanah) dari semua orang oleh negara demi 9 kepentingan nasional (pembangunan dan atau pertumbuhan ekonomi) untuk diserahkan kepada investor. Contoh lain di mana kepentingan umum dan kebahagiaan sebanyak mungkin orang (mayoritas) dianggap membenarkan “hukum” berkaitan dengan aturan tentang pendirian rumah ibadah (yang harus dibaca rumah ibadah bagi non-muslim khususnya Nasrani). Penegakkan aturan tersebut yang dibaca memiliki tri-tujuan hukum (“kepastian-keadilan-kemanfaatan”) kemudian diterjemahkan dan dibaca sebagai perintah dari pemerintah setempat untuk membongkar dan mengusir masyarakat Nasrani dari suatu wilayah tertentu, misalnya yang terjadi di banyak tempat di Indonesia (kabupaten Aceh Singkil pada Oktober 2015). Lantas di mana penting dan perlunya pemikiran Radbruch? Sumbangan pemikiran Radbruch yang dapat kita re-aktualisasikan di sini ialah pembahasannya tentang keabsahan hukum dan ide hukum. Jelas bahwa Radbruch ketika berbicara tentang tri-tujuan hukum akan menyatakan bahwa perintah yang berdaulat (di Indonesia) seperti digambarkan di atas – sekalipun betul aturan yang ditetapkan penguasa – bukanlah hukum yang memberikan kepastian-keadilan-kemanfaatan bagi semua orang. Persoalan yang akan dibahas di sini ialah apakah betul pemikiran Radbruch sesederhana yang dirujuk dan dikutip oleh “iklan masyarakat” atau pun gagasan ilmu hukum nasional dan apakah betul dalam pemikirannya tri-tujuan hukum tersebut niscaya berbenturan. Dengan melakukan penelusuran kembali dapat diharapkan suara asli Radbruch dapat diperdengarkan dan sekaligus kita dapat menengok dengan kritis pemahaman yang berlaku perihal adanya perbenturan yang tidak dapat didamaikan antara tri-tujuan hukum di atas. 3. Mengenal Filsafat Hukum Radbruch Kita harus menempatkan pemikiran Radbruch sesuai dengan konteks zamannya. Historical embededness dari suatu gagasan atau perkembangan pemikiran tidak dapat diabaikan begitu saja. Dari situ kita akan melihat pengaruh setting alam pikir Jerman di antara akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 terhadap pemikiran Radbruch. Dengan memperhatikan konteks sejarah inipun, maka muncul perdebatan di antara pembaca Rabruch: apakah ada “dua gagasan Radbruch” yang berbeda, yakni yang muncul sebelum dan sesudah rezim Nazi berkuasa ataukah kita sebenarnya berbicara tentang evolusi pemikiran. Dalam konteks itu akan ditelaah teori Radbruch tentang tri-tujuan hukum yang telah disinggung di bagian pengantar tulisan ini. 10 3.1. Hidup dan Karya-karya Radbruch Di bawah ini akan dipaparkan bio-bibilografi ringkas dari Radbruch.13 Tujuan menyoroti hidup dan karya-karya Radbruch adalah untuk menelaah seberapa jauh teori asli Radbruch telah tereduksi dalam alam pemikiran hukum di Indonesia. Maka itu, pemikirannya harus dipahami secara tekstual maupun kontekstual. Cara ini dipilih dengan sengaja sekaligus sebagai tanggapan terhadap kritikan Sunaryati terkait problem kinerja ilmiah ilmu hukum nasional. Gustav Radbruch (1878-1949) adalah anak seorang pedagang dari Lubeck (Jerman). Ia memulai studinya tentang hukum pada 1898 di Munich. Sejak masa kuliah ia tertarik dengan mata pelajaran tentang ekonomi nasional dan reformasi sosial yang digagas Lujo Bretano. Di Leipzig, tempat ia belajar selama tiga semester selama 1898 sampai 1900, ia berjumpa tokoh-tokoh yang memperkenalkannya pada beberapa kajian. Karl Bucher memperkenalkan Radbruch pada psikologisme empiris dalam makroekonomi, Wilhelm Hundt pada filsafat, dan Karl Lamprecht pada pandangan sosiologis terhadap sejarah sebagai sejarah kebudayaan. Beberapa tokoh lain membuatnya terpesona melalui kuliah dan bukubuku: Rudolf Sohm tentang hukum kanonik dan Franz von Liszt tentang hukum pidana (criminal law). Radbruch lantas mengikuti dan bergabung dengan seminar Liszt tentang politik hukum pidana. Hofmann mengungkapkan bahwa dari gagasan-gagasan Liszt dan juga pengaruh Rudolf von Jhering-lah Radbruch mengajukan pandangannya tentang tujuan (purpose), termasuk ketika ia menjadi Menteri Hukum Republik Weimar pada 1921-1922. Dalam kapasitas sebagai menteri, Radbruch mendorong reformasi hukum pidana. Sebuah rancangan kitab hukum pidana yang baru selama masa jabatannya adalah hasil karyanya. Terlihat bahwa minat Radbruch yang besar pada dunia akademik juga dibarengi dengan keterlibatannya dalam dunia praktis. Ia juga ikut serta dalam gerakan sipil dan politik. Ia adalah anggota Volkspartei dan menjadi anggota dewan kota. Pengalamannya sebagai prajurit garis depan mendorongnya menjadi seorang sosialis. Setelah Perang Dunia I, Radbruch aktif di Partai Sosial Demokrat. Karir sosial-politiknya yang terbilang bagus itu beriringan dengan karir akademik yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan pemikirannya, termasuk dalam hal refleksi filosofis tentang hukum. 13 Kami mendasarkan uraian tentang topik ini pada dua sumber rujukan, yakni: Wolfgang Friedman (1967), “Gustav Radbruch” in Encyclopedia of Philosophy, 2nd Edition, Volume 8 Price-Sextus Empiricus, ed. Donald M. Borchert (Farmington Hills: Thomson Gale, 2006), pp. 229-230; Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch: On the Logic of Traditional Legal Concepts to the Sociological Theories of Law to the Renewal of Legal Idealism” in A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence. Volume 9. A History of the Philosophy of Law in the Civil Law World, 1600–1900, eds. Damiano Canale, Paolo Grossi, and Hasso Hofmann (New York: Springer, 2009), pp. 301-354. 11 Profil biobibliografi dari Radbruch Radbruch mengajar di Heidelberg sebagai dosen luar biasa sejak 1903. Keterangan lain menyebutkan bahwa ia sempat beberapa kali dipindah-tugaskan: pada 1914, ia bekerja di Universitas Konigsberg (Prussia) sebagai profesor, pada 1919 ke Universitas Kiel, dan 1926 ke Heidelberg.14 Di tempat yang terakhir itu, ia diangkat menjadi profesor pada 1910. Pada ruang dan waktu inilah, kehidupan intelektual Radbruch terasah berkat diskusi-diskusinya dengan tokoh-tokoh kunci dalam tradisi filsafat, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan Jerman. Hofmann mencatat bahwa ketika Radbruch berada di Heidelberg, di tempat yang sama bekerja pula Wilhelm Windelband (1848-1915), Emil Lask (1875-1915), Ernst Troeltsch (1865-1923), Max Weber (1864-1920), dan Georg Jellinek (1851-1911). Ada pula nama besar seperti Heinrich Rickert (1863-1936) yang sangat dipengaruhi Windelband serta yang menjadi pelopor Neo-Kantianisme Mazhab Baden atau yang dikenal juga sebagai aliran Jerman Barat Daya.15 Namun saat menjadi pengajar di Heidelberg inilah, Radbruch mengalami masa kekuasaan rezim Nazi. Oleh rezim itu dan akibat latar belakang aktivitas politiknya, Radbruch dipecat dari posisi akademiknya di Heidelberg pada 1933. Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 1945, posisinya tersebut dipulihkan lagi dan ia menjadi Profesor Hukum Pidana dan Filsafat Hukum di Heidelberg. Dalam posisinya itu ia mempengaruhi arah baru pendidikan hukum dan filsafat Jerman sampai waktu meninggalnya. Karya-karya tulis Radbruch yang dapat kami tunjukkan adalah sebagai berikut. Einführung in die Rechtswissenschaft (Pengantar ke Filsafat Hukum atau Introduction to Jurisprudence) ditulis pada 1910 adalah basis dari bangunan filsafat hukum Radbruch. Rechtsphilosophie (Filsafat Hukum atau Legal Philosophy) merupakan edisi ketiga yang terbit 1932. Edisi ketiga ini merupakan revisi dari karya yang sama dengan judul berbeda, Grundzüge der Rechtsphilosophie (Prinsip-prinsip Dasar Filsafat Hukum atau Basic Principles of Legal Philosophy), yang telah terbit dalam dua edisi; yang pertama kali, 1914 14 Keterangan ini diambil dari semacam pengantar singkat tentang karir dan karya Radbruch dalam buku kumpulan terjemahan bahasa Inggris karya-karya Radbruch, bersama Lask dan Dabin, yang dieditori oleh Edwin W. Patterson. Terjemahan karya “Filsafat Hukum” (Legal Philosophy) Radbruch ini menjadi sumber utama rujukan kami di sini. 15 Keberadaan dan pengaruh Neo-Kantianisme dalam karya-karya Radbruch tidaklah bisa dikategorikan secara tunggal. Di samping Sekolah Baden, melalui dua tokoh utamanya, Windelband dan Rickert, pada pemikiran hukum Radbruch juga terdapat pengaruh Max Weber. Tokoh yang disebut terakhir malah ada yang menggolongkannya sebagai bagian dari Neo-Kantianism Sosiologis yang berdiri di antara aliran Heidelberg dan tradisi lain yang dibangun oleh Wilhelm DIlthey (1833-1912) dan George Simmel (1858-1918). Lewis White Beck (1967), “Neo-Kantianism” in Encyclopedia of Philosophy, 2nd Edition, Volume 8 Price-Sextus Empiricus, ed. Donald M. Borchert (Farmington Hills: Thomson Gale, 2006), pp. 544-545. Konstelasi pemikiran Jerman ini tercermin dalam perdebatan terkenal antara dua kubu: pembela metode ilmu alam dan ilmu humaniora. Soal ini dipaparkan lebih lanjut di bagian tentang konteks dan kontroversi filsafat hukum Radbruch. 12 lalu yang kedua, 1922. Namun menurut Radbruch sendiri dalam pengantarnya, edisi ketiga berjudul Rechtsphilosophie ini bukan hanya edisi baru melainkan “sebuah buku baru”. Karya ini lahir, demikian Radbruch, dari keperluan akan adanya pembaharuan di satu sisi dan di sisi lain ketidakmungkinan mengerjakannya pada masa-masa perang dan revolusi yang terjadi.16 Sesudah Perang Dunia II, karya Radbruch yang diterbitkan adalah: Fünf Minuten Rechtsphilosophie (Lima Menit Filsafat Hukum atau Five Minutes of Legal Philosophy), terbit pertama kali 1945; Gesetzliches Unrecht und Ubergesetzliches Recht (Ketidakadilan dari Undang-Undang dan Keadilan yang di atas Undang-Undang), terbit pada 1946; lalu kumpulan dari Grundzüge, Fünf Minuten, dan Gesetzliches yang disatukan menjadi edisi Rechtsphilosophie versi editan Erik Wolf.17 Artikel Radbruch pasca Perang Dunia II yang berbahasa Inggris dan yang terkenal karena dianggap menimbulkan kontroversi soal “dua jenis” arah filsafat hukumnya adalah yang berjudul “Statutory Lawlessness and SupraStatutory Law”, terbit pada 2006 sebagai versi terjemahan.18 Karya-karya Radbruch tentang filsafat hukum dapat dikatakan merupakan tinjauan ulang terhadap alam pikir Jerman abad ke-19. Berdasarkan proyek besar inilah, kita lantas dapat menemukan keberlanjutan pembahasan topik-topik tentang refleksi terhadap hukum dalam karya-karya Radbruch. Demikianlah sedari Einführung, yang merupakan kumpulan kuliah-kuliahnya di Akademi Dagang Mannheim, telah dinyatakan oleh Radbruch bahwa hukum merupakan dan filsafat hukum adalah bagian dari keseluruhan budaya.19 Mengikuti penjelasan Hofmann, buku yang menjadi dasar filsafat hukum Radbruch tersebut telah membicarakan topik antinomi tiga nilai bagi kebudayaan dan juga hukum, yakni nilai logis, estetis, dan etis. Ketiganya menjadi tujuan bagi “hukum-hukum kebudayaan” (cultural laws) yang, kendati berangkat dari keberadaan masing-masing nilai, hendak menghasilkan keseimbangan di antara “wawasan ilmiah, ciptaan artistik, kapabilitas moral dan ketertiban sosial.”20 Dengan kata lain, hukum merupakan bagian dan tidak terpisahkan dari kebudayaan. Beranjak dari pemahaman itulah lantas muncul gagasan Radbruch tentang pemilahan atau distingsi tentang tugas hukum, yakni nilai apa yang mau dilayani atau diwujudkannya. 16 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 47. Informasi ini diambil dari Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, hlm. 162. Huijbers di sini menyebutkan bahwa tahun edisi Rechtsphilosophie yang ia rujuk adalah 1963. 18 Versi bahasa Inggris ini dibahas dan dirujuk oleh Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law”, The Student Journal of Law, http://www.sjol.co.uk/issue-3/radbruch, diakses 5 September 2015. 19 Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch”, hlm. 350. 20 Gustav Radbruch, Einführung in die Rechtswissenschaft, catatan kaki nomor 101, sebagaimana dikutip oleh Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch”, hlm. 350. 17 13 Di satu pihak, terdapat individu sebagai pengemban tujuan tersebut. Di sini etika individual menjadi landasan pembenaran (adanya) hukum. Di lain pihak, terdapat entitas “supra individual”, yakni negara, suatu organisme yang menjunjung hukum bukan sebagai nilai individual melainkan sebagai nilai imanen dirinya (negara) dan keadilan sebagai tujuan puncaknya. Maka terdapat kontradiksi antara dua tujuan hukum (yang dipandang sebagai sebagai budaya), yaitu tujuan yang mengabdi kepentingan individu dengan yang supra individual (negara). Bagi Radbruch, sebagaimana tertuang dalam Einführung, penyelesaian harus dicari bukan melalui pertimbangan-pertimbangan ilmiah melainkan dikembalikan ke pilihan pribadi tiap orang. Bagi Radbruch, pilihan tersebut terwujud dalam kontes partai politik dalam pemilihan umum. Lebih spesifik lagi, soal penentuan pilihan pribadi itu menyangkut gagasan kunci Radbruch, yakni “relativisme”. Menurut Radbruch, relativisme mengajarkan baik penentuan sikap seseorang dan keadilan bagi satu sama lainnya. Perlu ditekankan di sini bahwa tesis relativisme Radbruch terkait dengan ide demokrasi dalam praksis politik.21 Topik tentang pilihan pribadi dalam kaitannya dengan aktivitas politik dalam partai serta topik antinomi tiga nilai terkait muncul lebih lanjut dalam gagasan filsafat hukum Radbruch, yakni di dalam Grundzüge. Grundzüge adalah elaborasi lebih rinci tentang gagasan filsafat hukum Radbruch. Selain topik-topik yang sudah ia bahas dalam buku Einführung di atas, Grundzüge mengembangkan lebih lanjut topik tujuan hukum yang mengacu pada ajaran NeoKantianisme. Topik ini, yang juga merupakan pokok bahasan kami di sini, menyangkut masalah validitas hukum. Komitmen Kantian Radbruch terhadap filsafat hukum terungkap dari dua posisi. Pertama, bahwa hukum haruslah valid/absah bukan berdasarkan sifat positifnya melainkan hukum yang benar (the right law); validitas bukan datang dari hukum itu sendiri melainkan pada nilai, arti, dan tujuan hukum, yakni keadilan.22 Kedua, pengadopsian “dualisme metodis”, yakni pembedaan nilai dan realitas, antara yang ada (Sein) 21 “For relativism is the conceptual presupposition of democracy. Democracy refuses to identity itself with a definite political view … Relativism, which teaches that no political view is demonstratable – and non refutable – is apt to counteract that self-rigtheousness which is usual in our political controversies … Thus relativism teaches both determination in one’s own attitude and justice toward that of another.” Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 48. 22 Gustav Radbruch, Grundzüge der Rechtsphilosophie, hlm. 22, sebagaimana dikutip oleh Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch”, hlm. 352. Sekali lagi perlu diklarifikasi di sini bahwa ada variasi sumber rujukan karya asli Radbruch sendiri. Grundzüge yang dipakai oleh Hofmann, menurut daftar pustakanya, adalah edisi terbitan 1993 yang berbahasa Jerman. Adapun yang kami rujuk adalah edisi ketiga, hasil revisi, dari Grundzüge, yakni Rechtsphilosophie yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (Legal Philosophy) versi editan Edwin W. Patterson. 14 dan yang seharusnya (Sollen), yang khas filsafat Kant, sebagai pendekatan terhadap penentuan validitas hukum. Evaluasi terhadap validitas hukum menurut pendekatan ini harus didasarkan pada refleksi dan orientasi terhadap nilai-nilai hukum. Makna tri-tujuan hukum: keadilan, keberlanjutan, dan kepastian hukum, harus dikaitkan pada dua pokok di atas, relativisme dan dualisme metodis. Inilah yang menjadi konteks pemikiran filsafat hukum Radbruch. Dalam konteks tersebut kita bisa menelusuri duduk perkaranya: apa yang menjadi fokus perhatian Radbruch?; apa yang hendak ia kritisi?; apa lawan pemikirannya? Di samping itu, dari kisah hidupnya yang pernah menderita kekejaman Nazi, muncul perdebatan soal konsistensi alur teori hukumnya. Ada pandangan umum yang menerima dan menyatakan bahwa teori hukum Radbruch mengalami patahan, yakni sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Kengerian terhadap gerakan Nazi menjadikan Radbruch mengubah haluan filsafat hukumnya. Barbarisme penguasa Jerman yang sangat formalistik waktu itu menjadikan Radbruch berpaling mengikuti teori hukum kodrat.23 Di sinilah letak soal hubungan tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum. Dalam kerangka tema hubungan hukum dan moralitas, timbul pertanyaan: apakah Radbruch adalah seorang positivis yang kemudian berubah menjadi pengikuti teori hukum kodrat?; apakah dengan begitu teori tentang ide hukum juga mengalami perubahan makna? Kontroversi perlu kita kaji sebelum menelaah apa yang dimaksud dengan: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum. Apa yang sebenarnya hendak Radbruch kemukakan melalui teori tentang tujuan hukumnya itu? Konteks dan kontroversi pemikiran Radbruch berikut ini kiranya berguna untuk mengantar kita menuju pemahaman akan hal tersebut. 3.2. Konteks dan Kontroversi Uraian tentang hidup dan karya-karya Radbruch membawa kita pada dua tema yang menjadi kerangka pemikiran filsafat hukumnya. Tema yang pertama adalah konteks alam 23 Wolfgang Friedman (1967). “Gustav Radbruch”, hlm. 230. Torben Spaak adalah salah satu pihak mengemukakan problematika “dua Radbruch”, yang sebelum dan yang sesudah perang, ini dalam kaitannya dengan topik hubungan hukum dan moralitas. Torben Spaak, “Meta-Ethics and Legal Theory: The Case of Gustav Radbruch” Law and Philosophy, Vol. 28, No. 3 (May, 2009), pp. 261-290. Ungkapan paling tajam tentang pergantian posisi pemikiran Radbruch juga datang dari pembacaan H.L.A. Hart mengenai gelombang kritik terhadap gagasan pemisahan hukum dan moralitas. Hart menyayangkan fakta bahwa Radbruch awalnya adalah seorang positivis - beralih menjadi pengkritik keras pemisahan hukum dan moralitas, bukan atas dasar konstruksi penalaran, melainkan sekadar karena pengalaman hidupnya ketika menyaksikan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sesama manusia. H.L.A. Hart, Essays in Jurisprudence and Philosophy (Oxford: CLanderon Press, 1985), hlm. 72. Survei yang menarik, kompleks, dan mendasar tentang ada tidaknya perubahan pemikiran Radbruch bisa dibaca dari Weismaan. Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law”. 15 pikir Radbruch. Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, ia dipengaruhi oleh NeoKantianisme yang berkembang di lingkungan Heidelberg. Lebih dari itu, ia pun terlihat memegang teguh komitmen Kantian dan mengembangkannya dalam gagasan filsafat hukum. Hal ini jelas menempatkannya dalam suatu konstelasi alam pikir di mana ia bersinggungan, bersilangan, dan bahkan bentrok dengan sejumlah pandangan. Dengan kata lain, filsafat hukum Radbruch mengandung kompleksitas tertentu terkait alam pikir filsafat Jerman. Lantas tema yang kedua adalah kontroversi menyangkut penafsiran terhadap teori-teori hukum Radbruch. Persoalan kontroversi ini menjadi pertaruhan bagi kita di sini. Sebab, apabila kita mampu menyerap inti sari kontroversi tersebut besar kemungkinan kita dapat memperoleh mengungkap makna sesungguhnya dari tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum. Konteks alam pikir Radbruch yang paling utama di sini adalah Neo-Kantianisme. Dari namanya kita bisa mengidentifikasi bahwa paham ini terkait dengan gerakan pembaharuan filsafat dan semangat Kant. Pemicu gerakan “kembali ke Kant” ini adalah dua kejadian yang bertolak belakang namun yang semestinya sudah final di bawah traktat filsafat kritis Kant.24 Di pihak yang satu ada kelesuan metafisika idealisme dalam memproduksi pengetahuan. Di lain pihak, membabi-butanya materialisme atas nama ilmu pengetahuan alam, teknologi, dan ekonomi nasional. Cara berpikir ilmiah (rasionalistik-deterministik atau yang sering juga dikenal sebagai paham saintisme) menjadi dominan dan menyingkirkan idealisme. Realitas berdasarkan ilmu pengetahuan alam, teknologi dan ekonomi pada akhirnya direduksi menjadi soal materi (materialisme). Padahal Kant sudah berupaya mendamaikan antara paham rasionalisme Cartesian yang mengunggulkan rasio dan empirisme Hume yang mengembalikan pemahaman akan realitas kepada pengalaman inderawi. Neo-Kantianisme, demikian Copleston, adalah salah satu bentuk keyakinan akan kehebatan filsafat Kant yang telah “dengan sangat teliti mengkritisi pengetahuan manusia” dan yang di abad ke-20 kiranya dapat membantu untuk “menghindari meluapnya metafisika tanpa jatuh dalam paham dogmatis para materialis”.25 24 Istilah dan moto “Kembali ke Kant!” (“Back to Kant!”) muncul dalam karya Otto Liebmann (1840-1912) yang dipublikasikan pada 1865 di Stuttgart. Karya tersebut berjudul Kant und die Epigonen. Uraian tentang latar belakang historis dan gagasan-gagasan Neo-Kantianisme di sini kami rujuk pada dua sumber bacaan, yakni Frederick Copleston, A History of Philosophy. Volume VII. Modern Philosophy: From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, dan Nietzsche (New York: Image Books Doubleday, 1994), hlm. 361-373, dan Lewis White Beck (1967), “Neo-Kantianism” in Encyclopedia of Philosophy, 2nd Edition, Volume 8 Price-Sextus Empiricus, ed. Donald M. Borchert (Farmington Hills: Thomson Gale, 2006), pp. 539-546. 25 Frederick Copleston, A History of Philosophy. Volume VII, hlm. 361. 16 NeoKantianisme dan filsafat hukum Jerman antara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 Mazhab Heidelberg yang mempengaruhi Radbruch adalah salah satu dari dua mazhab kunci Neo-Kantianisme. Dari arah yang berbeda, terdapat pula mazhab atau sekolah NeoKantianisme lain yang bernama Mazhab Baden. Kalau grup Heidelberg dipimpin oleh Windelband dan Rickert dengan gagasan mengenai filsafat nilai dan refleksi atas ilmu-ilmu budaya atau manusia, maka grup Baden diusung terutama oleh dua eksponennya, Hermann Cohen (1842-1918) dan Paul Natorp (1854-1924). Keduanya memfokuskan diri pada tema epistemologi, aplikasi logika pikiran dan matematika, serta kesadaran etis. Kita patut memeriksa lebih lanjut refleksi Windelband dan Rickert di sini karena dari keduanya-lah, Radbruch meminjam dan mengolah lebih lanjut ide-ide tentang filsafat nilai dan dualisme metodis dalam ranah epistemologi dan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Windelband, filsafat nilai adalah sebuah penelusuran terhadap dasar-dasar anggapan dan prinsip-prinsip berbagai keputusan nilai (value judgements). Windelband pun tertarik dengan pertanyaan soal bagaimana hubungan penelusuran tersebut dengan kesadaran subjek yang membuat keputusan. Setiap keputusan nilai pada dasarnya bersifat aksiologis. Artinya, pikiran kita itu diarahkan oleh sebuah nilai atau norma tentang yang seharusnya. Dalam pandangan Windelband, ada tiga bentuk keputusan nilai, yaitu logika, etika, dan estetika. Ketiganya mengandaikan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan.26 Tapi dari mana nilai-nilai tersebut berasal? Apa landasannya? Di titik inilah masuk unsur transendental dari norma dan kesadaran, yakni sejenis kerangka besar dan universal yang menjadi cantolan bagi arahan nilai-nilai. Unsur transendental ini berada di balik kesadaran empiris dan menjadi ikatan bersama (common bond) bagi setiap keputusan nilai yang dibuat individu. Filsafat nilai ini sangat kentara dalam alur berpikir filsafat hukum Radbruch, terutama mengenai hakikat hukum dan filsafat hukum yang berorientasi pada nilai-nilai. Rickert, yang mengembangkan lebih lanjut pandangan Windelband, menyatakan bahwa nilai-nilai memiliki ranahnya sendiri dalam realitas. Oleh karenanya, ranah itu pun menjadi objek pengetahuan tersendiri yang berbeda dari objek ranah inderawi. Pembedaan ini menentukan bagaimana kesadaran dan pengetahuan subjek sampai pada keputusan nilai. Pada ranah inderawi, subjek mengetahui objek realitas yang ada (eksistensi) melalui operasi ilmu pengetahuan. Pada ranah nilai, subjek mengetahui sekaligus memaknai objek inderawi bersamaan dengan objek non-inderawi berupa pengalaman hidup. Di sini penilaian bukan muncul melalui persepsi melainkan pemahaman (Verstehen) terhadap berbagai peristiwa 26 Frederick Copleston, A History of Philosophy. Volume VII, hlm. 364. 17 (sejarah, kesenian, moral, dan institusi-institusi) sebagai objek kebudayaan.27 Dari Rickert, Radbruch belajar bahwa ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan hukum, terhubung dengan nilai-nilai kebudayaan. Nilai dari hukum tidak lain adalah nilai dari kebudayaan. Dualisme metodis yang diusung Rabruch-pun bertolak dari pemilahan nilai dan realitas yang merujuk pada pandangan Rickert. Posisi pemikiran lain yang juga langsung mempengaruhi filsafat hukum Radbruch, namun tidak langsung terkait dengan Mazhab Neo-Kantianisme versi Windelband dan Rickert di atas, berasal dari Weber. Darinya-lah Radbruch berhutang soal gagasan relativisme. Sebagaimana Weber, Radbruch pun meyakini (sambil meneruskan wawasan Windelband dan Rickert tentang nilai) bahwa nilai-nilai tidak bisa dibuktikan keberadaannya secara ilmiah lantaran itu semua adalah urusan hati nurani (Gewissen) dan bukannya urusan ilmu pengetahuan (Wissenchaft).28 Selain konteks alam pikir di atas, hal yang juga tidak bisa dilewatkan, adalah kontroversi seputar pandangannya terhadap makna tri-tujuan hukum, keadilan, dan hakikat filsafat hukum. Kontroversi yang dimaksud di sini adalah pertentangan pendapat antar beberapa komentator dan penafsir Radbruch mengenai benar tidaknya telah terjadi perubahan posisi Radbruch: dari positivis ke teori hukum kodrat; dari prioritas pada kepastian hukum menjadi pada keadilan; dari norma hukum ke moralitas sebagai landasan validitas hukum. Spaak meringkas pandangan umum yang berlaku tentang ada dua jenis posisi teoritis Radbruch yang berbeda ini.29 Bahwa ada Radbruch, seorang positivis hukum dan relativis moral sebelum masa Perang Dunia II, yang menyatakan tidak adanya hubungan konseptual antara hukum dan moralitas, serta adanya kerangka moral sebagai landasan validitas keputusan moral itu sendiri. Lantas terdapat pula pandangan Radbruch, pasca Perang Dunia II, yang menegaskan adanya hubungan konseptual antara hukum dan moralitas. Persoalannya di sini ialah kalau betul ada “dua Radbruch” yang berbeda, maka konsekuensi logis darinya adalah ada pula dua pandangan berbeda tentang tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum. Pertanyaannya: mana di antara ketiganya yang akhirnya menjadi nilai dasar bagi hukum? Kebingungan seperti ini, menurut kami, pada kasus problem kinerja ilmiah ilmu hukum Indonesia, juga muncul dalam ekspresi tentang bagian mana dari ketiga hal itu yang harus didahulukan, meski kemungkinan besar pertanyaan tersebut tidak dimengerti seturut kontroversi “dua Radbruch”. Tendensi reduksi pengemban 27 Lewis White Beck (1967), “Neo-Kantianism”, hlm. 544. Wolfgang Friedman (1967). “Gustav Radbruch”, hlm. 229. 29 Torben Spaak, “Meta-Ethics and Legal Theory”, hlm. 262. 28 18 Kontroversi tentang adanya “dua Radbruch” ilmu hukum Indonesia, contohnya saja, membuat kita senang berargumen dengan lumayan kacau bahwa hukum haruslah adil, sambil tetap pasti, namun asal bermanfaat. Kami di sini tidak bermaksud untuk masuk ke dalam diskursus dan perdebatan soal apakah pandangan Radbruch sebelum dan sesudah perang merupakan sebuah kontinuitas (dan karenanya selaras) atau sebaliknya suatu diskontinuitas (dan karenanya ada pergeseran posisi pemikiran hukum). Namun tidak ada salahnya untuk memperhatikan pendapat pihak yang memandang adanya perubahan posisi Radbruch dari yang positivistik ke yang menyatukan hukum dengan moralitas. Hart, raksasa positivisme hukum kontemporer dari Inggris, adalah salah seorang yang paling gamblang berargumentasi bahwa telah terjadi pergeseran tersebut. Hart berargumen bahwa kisah perubahan posisi Radbruch adalah bentuk kritik terhadap doktrin pemisahan (separasi) hukum dan moralitas.30 Satu hal yang perlu disadari, doktrin pemisahan hukum dan moralitas di atas lahir dari tradisi paham utilitarianisme yang diusung terutama oleh Jeremy Bentham dan John Austin. Kembali ke Radbruch, menurut Hart, ia adalah salah satu dari barisan pemikir Jerman yang berkonfrontasi dengan doktrin separasi a la utilitarianisme. Mereka ini: “bersikeras bagi perlunya penggabungan apa yang para Utilitarianis pisahkan karena separasi inilah yang paling penting di mata para Utilitarianis; sebab mereka [para pemikir Jerman, termasuk Radbruch] disita perhatiannya dengan masalah yang dikemukakan oleh keberadaan hukum-hukum yang jahat secara moral.”31 Dari kaca mata Hart setidaknya diketahui bahwa Radbruch, pada akhirnya, menolak doktrin pemisahan hukum dan moralitas yang bertumpu pada utilitarianisme Inggris. Hal ini penting untuk digarisbawahi sekalipun bukan satu-satunya yang penting. Bagaimanapun juga kontroversi “dua Radbruch” di atas tetap berlaku. Dengan menerima adanya kontroversi ini serta mengikuti alur konteks alam pikir Radbruch, maka pemahaman yang lebih jernih atas tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum-pun mesti beranjak dari ikhtiar mengdentifikasi rival-rival pemikiran Radbruch. Pertanyaannya sekarang: apa yang sebenarnya menjadi pokok pergulatan pemikiran filosofis Radbruch tentang hukum menurut konteks dan kontroversi di sini? 30 Dari uraian Hart tentang kemunculan doktrin tersebut dalam sejarah pemikiran dan perubahan sosial di Inggris akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, kita bisa mengidentifikasi tiga corak dasarnya. Pertama, perlunya memilah secara tegas dan jelas hukum sebagaimana adanya dari hukum sebagaimana yang seharusnya. Kedua, dari sekadar fakta bahwa sebuah aturan melanggar standar-standar moral tidaklah lantas bisa disimpulkan bahwa aturan tersebut bukan aturan hokum. Ketiga, sebaliknya, dari sekadar fakta keberadaan sebuah aturan dikehendaki atas dasar moralitas tidak berarti aturan tersebut menjadi aturan hukum. H.L.A. Hart, Essays in Jurisprudence and Philosophy, hlm. 50 dan 55. 31 H.L.A. Hart, Essays in Jurisprudence and Philosophy, hlm. 73. Kalimat di dalam tanda dalam kurung oleh kami penulis. 19 Menurut hemat kami, pergulatan Radbruch berkenaan dengan cara pandang filosofis terhadap hukum. Radbruch memulai refleksinya dengan sebuah pandangan tentang hakikat filsafat hukum. Filsafat hukum dalam pandangannya merupakan cara pandang terhadap hukum sebagai nilai budaya.32 Karakteristik filsafat hukum adalah filsafat nilai yang merujuk ke pemikiran Windelband dan Rickert. Logika, etika, dan estetika menandai laku mengevaluasi (evaluating attitude) yang muncul dari karakter tersebut. Hakikat filsafat hukum yang evaluatif ini kemudian menentukan pula hakikat hukum atau yang, dalam katakata Radbruch sendiri, disebut sebagai ide hukum (idea of law). “Ide sesungguhnya dari hukum … yang merupakan prinsip konstitutif dari dan juga standar evaluasi bagi, realitas hukum, mengacu pada sikap mengevaluasi.”33 Namun dari asumsi filosofis yang Radbruch gali dan tetapkan, kebudayaanlah yang menandai hakikat hukum. “Hukum adalah sebuah fenomena kultural, artinya, sebuah fakta yang terkait pada nilai”. 34 Maka, secara konseptual pemahaman terhadap hukum tampil dalam laku yang terkait nilai (value-relating attitude). Dari gagasan terakhir ini – bahwa hakikat hukum secara konseptual adalah untuk merealisasikan ide hukum – muncullah pernyataan yang sangat terkenal dari Radbruch bahwa “Hukum mungkin saja menjadi tidak adil (summum ius – summa injuria); tapi hal itu adalah hukum hanya karena maksudnya menjadi adil.”35 Dari konteks dan kontroversi, pergulatan Radbruch tentang hakikat filsafat hukum di atas, dapat ditunjukkan penolakannya terhadap paham filosofis yang menyingkirkan pemaknaan dan pengaitan hukum dengan nilai etis.36 Kita bisa memahami sekarang bahwa 32 Radbruch memilah empat jenis laku filosofis menurut asumsi filosofis yang membedakan “nilai” dan “realitas”. Dasar pemilahan ini adalah pola-pola hubungan yang terbentuk antara nilai dan realitas dalam pengalaman kita. Itulah alasannya mengapa Radbruch menyebutnya sebagai laku (attitude). Mengikuti uraian Radbruch, empat laku tersebut kemudian memunculkan tiga cara pandang tentang hukum. Dua laku di antaranya saling terkait erat dan kami terangkan di paragraf ini. Dua laku lainnya adalah laku buta nilai (value-blind attitude) dan laku penaklukan nilai (value-conquering attitude). Laku buta nilai membuat kita hanya menerima eksistensi yang ada tanpa menilai tujuannya. Menurut Radbruch, hukum tidaklah mungkin untuk dimengerti dengan laku nir-nilai seperti ini. Sementara laku penaklukan nilai memainkan perannya dalam pandangan religius terhadap hukum. Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 51-52. Chroust menyatakan bahwa tiga laku (terkait nilai, mengevaluasi nilai, dan penaklukan nilai) bersifat filosofis sedangkan laku buta nilai dengan metode realistic membantatah segala bentuk pengaruh nilai dalam refleksi filsafat hukum. 33 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 52. Anton-Hermann Chroust, “The Philosophy of Law of Gustav Radbruch”, The Philosophical Review, Vol. 53, No. 1 (Jan. 1944), pp. 25. 34 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 52. 35 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 52. Magnis-Suseno telah mengutip pernyataan Radbruch ini ketika ia membicarakan keadilan sebagai ciri hukum dalam teksnya tentang etika politik. Frans Magnis-Suseno, Etika Politik, hlm. 82. 36 Chroust menyatakan bahwa Radbruch, sebagaimana Kant dalam karya-karya etikanya, menolak segala bentuk empirisisme, positivisme, pragmatisme, historisisme, atau pun evolusionisme. Paham-paham besar filosofis ini, menurut Chroust, menyatukan dua metode pemahaman yang sejatinya berbeda dan saling 20 apa yang Radbruch hadapi adalah gagasan-gagasan yang muncul dan berkembang pada zamannya yang bertendesi menampik aspek kontemplatif, substantif, dan bertujuan (purposive) dari filsafat hukum. Seperti yang dipaparkan di bagian berikutnya nanti, pencirian filsafat hukum dalam pandangan Radbruch bertopang pada dua konsep utama, yakni dualisme metodis dan relativisme. Tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum pun tidak lepas dari titik tolak pandangan di atas. Radbruch mempertahankan titik tolak tersebut dalam pergulatannya dengan “gerhana total kontemplasi nilai-nilai hukum melalui kontemplasi realitas hukum.”37 Gejala gerhana (kegelapan) tersebut terjadi karena ada tarikan atau tegangan beberapa aliran pemikiran hukum.38 Pada satu titik, seperti yang telah terindikasikan dari latar belakang Neo-Kantianisme, pemakaian metode ilmu pengetahuan yang murni empiris terhadap realitas hukum menguat. Di titik yang lain, eksistensi Mazhab Historis mengalami kontradiksi dalam hal metode evaluasi hukum, yakni antara “irasionalisme reaksioner” yang menempuh jalan evaluasi sejarah dan “rasionalisme Hegelian” yang hendak menjustifikasi nilai-nilai hukum berdasarkan perkembangan materialistik. Kontradiksi tersebut terjadi lantaran asumsi metode yang monistik alias tidak memisahakan realitas dari nilai. Namun yang menjadi penentu akhir dalam pergulatan ini adalah pendekatan yang murni positivistik terhadap hukum, yakni yang berupa pengembangan teori konsep-konsep umum dari hukum. Di titik ini, filsafat hukum menjadi filsafat hukum positif. Rudolf von Jhering (1818-1892) merupakan tokoh yang patut memperoleh penghargaan tertinggi atas jasanya menggenapkan teori hukum umum. Hukum pun diartikan sama dengan preskripsi. Radbruch kemudian muncul dengan misi mengatasi monisme metodis. Caranya jelas dengan mengajukan pandangan dualisme metodis. Kekuatan dualisme metodis ini, dalam pandangan Radbruch, adalah pengkontemplasian dua hal, realitas hukum dan nilai hukum. Lebih lanjut, langkah berikutnya dari pengadopsian dualisme tersebut menunjukkan adanya “ … keharusan untuk mengatasi utilitarianisme dari tujuan-tujuan parsial dengan mengajukan sebuah ide tujuan yang final, absolut.”39 Didorong oleh kekuatan gagasan itu dan juga pengaruh ajaran teori hukum kodrat Rudolf Stammler (1856-1938), Radbruch tampil ke independen, yakni konsep-konsep nilai etis dan dasar-dasar ilmiah (scientific) dari fakta empiris. AntonHermann Chroust, “The Philosophy of Law of Gustav Radbruch”, pp. 25. 37 Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch”, hlm. 352. 38 Tentang hal ini, kami merujuk pada uraian Hasso Hofmann tentang keterlibatan Radbruch dalam perjalanan filsafat hukum Jerman abad ke-19. Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch”, hlm. 352-354. 39 Gustav Radbruch, Grundzüge der Rechtsphilosophie, hlm. 37, sebagaimana dikutip oleh Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch”, hlm. 353. 21 gelanggang pergulatan filsafat hukum. Ia mengemukakan refleksi mengenai isi dari “hukum yang benar” (right law), yakni yang mengandung keadilan sebagai tujuan pamungkasnya. Sampai di sini kita telah mempelajari konteks alam pikir dan kontroversi perkembangan filsafat hukum Radbruch. Dari dua topik tersebut sekiranya kita dapat mengenal secara sungguh-sungguh latar belakang, dasar-dasar anggapan, dan keterlibatan Radbruch dalam dunia pemikiran abad ke-19 dan ke-20 di Barat pada umumnya dan di Jerman pada khususnya. Konteks alam pikir Radbruch, sebagaimana dijelaskan di atas, ternyata terkait erat dengan pengaruh Neo-Kantianisme Mazhab Heidelberg. Sementara kontroversi yang muncul adalah perdebatan tentang adanya “dua Radbruch”. Tema yang terakhir ini membawa kita pada setting pergulatan filsafat hukum. Lantas apa faedahnya mengurai berbagai hal ini bagi pemahaman yang lebih seksama atas tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum? Berdasarkan konteks dan kontroversi filsafat hukum Radbruch, sudah barang tentu terdapat kompleksitas tertentu yang sangat berharga dari pemikirannya untuk direduksi. Kecenderungan untuk mereduksi membuat dunia pengembanan ilmu hukum Indonesia meleset dalam memaknai tri-tujuan hukum di atas. Implikasi metodologisnya adalah instrumentalisme dan utilitarianisme tidak hanya dalam memaknai tapi juga merealisasikan hukum, keadilan, dan moralitas. . 3.3. Isi Ide Hukum Pada bagian ini hendak diklarifikasi apa yang sebenarnya dimaksud dengan tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum. Sebagaimana telah ditunjukkan di atas, menurut hemat kami, ketiganya harus dipahami dalam kaitan dengan konteks dan kontroversi yang muncul seputar perkembangkan dan pergulatan filsafat hukum Radbruch. Gagasangagasan teori hukum Radbruch berada dalam diskursus antara teori hukum kodrat dan positivisme hukum. Kendati begitu, posisi Radbruch adalah mempertahankan dan mengembangkan pandangan keadilan substansial (substantial justice) dalam kaitannya dengan validitas legal atau keabsahan hukum, baik sejak sebelum pengalamannya akan Perang Dunia II maupun sesudahnya.40 Perpaduan tesis keadilan substansial ini dengan konsep dualisme metodis serta relativisme menjadikan filsafat hukum Radbruch tidak mudah untuk dikelompokan ke dalam paham naturalis (hukum kodrat) atau justru positivisme hukum. Maka tri-tujuan hukum Radbruch perlu ditafsir ulang dalam cahaya perpaduan tersebut. Dari sudut ini, problematikanya adalah soal sejauh apa tri-tujuan hukum tersebut 40 Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law”. Weismann di sini telah mengindikasikan bahwa Radbruch mengikuti pendekatan positivistik tapi sambil memegang relativisme. 22 dijadikan tumpuan dunia pengembanan ilmu hukum kita. Kuncinya, menurut kami, adalah pada pemahaman tentang keadilan substansial dalam filsafat hukum Radbruch. Klarifikasi di sini dimulai dengan masalah pengertian dan hubungan elemen-elemen tri-tujuan hukum sebagai ide hukum. Radbruch mengungkapkan perihal “keadilan”, “kebertujuan”, dan “kepastian hukum” ketika ia membuat antinomi ide hukum (idea of law). Antinomi tersebut mengacu pada pengkonsepsian apa itu hukum menurut Radbruch. Hukum merupakan konsep yang terkait dengan nilai dan pengejawantahannya dalam realitas itupun melayani nilai itu. Ide hukum adalah apa yang mengarahkan, mengorientasikan pelayanan hukum terhadap nilai.41 Radbruch meyakini bahwa elemen ide hukum yang pertama dan utama adalah “keadilan” (justice). Namun ia juga mengamati bahwa keadilan tidak menetapkan apa yang disebut atau dikualifikasi sebagai adil. Alhasil kepada ide hukum perlu ditambahkan elemen “kebertujuan” (atau yang dalam terjemahan bahasa Inggris dari kata-kata Radburch sendiri disebut dengan expediency atau suitability for a purpose, bahkan purposiveness).42 Di sinilah paham relativisme memainkan perannya, yaitu untuk menjawab apa yang menjadi tujuan hukum, sebagaimana akan ditunjukkan sebentar lagi. Lebih lanjut, Radbruch menyatakan bahwa bagaimanapun juga relativisme tidak dapat dipertahankan terus-menerus, sebagaimana yang juga Meuwissen sudah tunjukkan. Sebab, perlu ada tatanan hukum yang tertib. Hukum, maka itu, adalah hukum positif tapi bukan demi ketertiban itu sendiri melainkan demi “hukum yang benar” alias, sebagaimana yang sudah kami singgung, demi keadilan. “Kepastian hukum” (legal certainty) adalah elemen ide hukum dalam hal positivitas hukum tersebut. Penetapan elemen-elemen ide hukum di atas kemudian memunculkan persoalan bagaimana ketiganya saling berhubungan atau yang dikenal sebagai “problem formula Radbruch”. Pada dasarnya Radbruch sudah mengatakan bahwa “tiga elemen ide hukum itu mengasumsikan satu dengan yang lain – tapi pada saat yang bersamaan mereka bertentangan satu dengan yang lain.”43 Satu hal yang pasti, ketiga elemen ide hukum tersebut senantiasa berada dalam tegangan (tension). Maka bisa dikatakan bahwa Radbruch tidaklah hendak membakukan rumusan bahwa, misalnya, keadilan adalah prioritas dari kebertujuan dan atau 41 Gustav Radbruch, Legal Philosohy, hlm. 73. Di sini kita dapat mengingat kembali pokok-pokok yang sudah Arief Sidharta terjemahkan perihal dalil filsafat hukum menurut Meuwissen. D.H.M. Meuwissen, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terj. B. Arief Sidharta (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 19-21. 42 Gustav Radbruch, Legal Philosohy, hlm. 108. Untuk selanjutnya kami menggunakan kata “kebertujuan” untuk menggantikan kata “kemanfaatan”. 43 Gustav Radbruch, Legal Philosohy, hlm. 109. 23 kepastian hukum. Bagi Radbruch, ketiga elemen ide hukum dalam formulanya menampilkan pertentangan berbagai karakter dari cara pandang dan sikap terhadap hukum. Duduk perkara yang sesungguhnya adalah soal dinamika tri-tujuan hukum tersebut dalam kaitannya dengan gagasan kunci Radbruch tentang dualisme metodis, relativisme, dan juga hubungan hukum dan moralitas. Kata dinamika di sini merepresentasikan pokok dari konteks dan kontroversi pemikiran Radbruch. Bagaimanapun juga kisah hidup dan keterlibatan intelektual Radbruch turut menentukan konsepsi teori hukumnya. Inti perhatian teorinya adalah mengenai tujuan hukum, yakni keadilan sebagai nilai absolut yang dilayani oleh hukum. Maka merujuk pada Weismann, isi ide hukum di sini berkenaan dengan pembentukan hukum dan dengan keabsahan hukum.44 Adanya dinamika tampil dalam perubahan penekanan yang diberikan Radbruch terhadap landasan dua hal tersebut. Sebelum meninjau apa dan bagaimana perubahan penekanan tersebut, kita perlu mengklarifikasi terlebih dahulu perihal dualisme metodis, relativisme, dan hubungan hukum dan moralitas. Seperti telah ditegaskan sebelumnya dualisme metodis berakar dari komitmen Kantian Radbruch yang memisahkan bidang “yang seharusnya” (Sollen atau ought) dengan bidang “yang ada” (Sein atau is). Esensi dualisme metodis ini, menurut Radbruch, adalah aturan logika bahwa pernyataan “yang seharusnya” tidak dapat diturunkan atau didasarkan dari pernyataan “yang ada”.45 Maksud Radbruch mengemukakan konsepsi ini adalah untuk menegaskan ciri evaluatif dari pemikiran tentang hukum. Di dalam pergulatan pemikiran itu terdapat ideal hukum yang Radbruch umpamakan seperti ide figur patung Daud yang belum terbentuk dari materi berupa bongkahan batu marmer namun sudah terbayang dalam visi pemahatnya, Michaelangelo. Ide hukum seperti itulah yang memberi penilaian “yang seharusnya” terhadap hukum dan filsafat hukum yang bertugas melakukannya. Ada pun relativisme berkenaan dengan langkah bagaimana penilaian di atas dilaksanakan. Menurut metode relativisme, penilaian menurut ide hukum bukan ditentukan dari sesuatu yang absolut baik atau buruk, benar atau salah. Apa “yang seharusnya” bukan 44 “... even before Hitler came to power there was a continuous presence of the idea of justice as an aim which legislators always should at least strive for. In that sense, the adaptation merely consists in an up-grading of the role of fundamental justice to a validity claim... .” Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law”. 45 Gustav Radbruch, Legal Philosohy, hlm. 53. 24 diturunkan dari kriteria yang tertinggi melainkan dari wujud-wujud nilai tertentu.46 Metode relativisme menampik pendeterminasian nilai berdasarkan penetapan ilmiah. Selanjutnya tentang hubungan hukum dan moralitas, Radbruch pun memandangnya menurut pendekatan filsafat nilai terhadap hukum. Cukup pasti bahwa Radbruch membuat pemilahan hukum dan moralitas tapi baginya hukum tetaplah berkomitmen bagi keadilan. Dari titik tolak inilah muncul diskusi tentang pembentukan hukum dan prinsip keabsahannya. Dengan kata lain, masalah hubungan hukum dan moralitas adalah masalah ada tidaknya keinginan membentuk hukum yang adil. Pertanyaan pokoknya ialah dari mana datangnya keinginan tersebut? Apa landasannya? Upaya mencari jawaban atas masalah ini membawa kita kembali pada pemaknaan tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum. 4. Catatan Kritis Bagian berikut ini adalah sebuah catatan kritis menyangkut dua hal yang sudah dipaparkan panjang lebar sebelumnya. Hal yang pertama adalah soal suara asli dari filsafat hukum Radbruch. Hal yang kedua adalah soal pemahaman terhadapnya yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Dari hal yang terakhir ini muncul pertanyaan: apa yang bisa dipetik dari ajaran filsafat hukum Radbruch bagi cara berhukum kita di Indonesia? Menyangkut hal yang pertama. Dari uraian sebelumnya, kita melihat adanya keterkaitan antara konsepsi tri-tujuan hukum Radbruch dan masalah pembentukan hukum yang adil. Berkenaan dengan tri-tujuan hukum sendiri dan juga berkaca dari problematika dalam dunia pengembanan ilmu hukum Indonesia, pertanyaan yang masih “menggantung” adalah tentang formula Radbruch. Dikatakan menggantung karena meskipun di atas sudah diterangkan bahwa ketiganya selalu bertegangan satu sama lain, kita tetap dapat menemukan adanya pola-pola formula ide hukum yang dinyatakan oleh Radbruch sendiri. Pola-pola formula Radbruch tersebut, seperti yang kami paparkan berikut ini, menyangkut landasan keabsahan hukum atau validitas legal. Dalam pandangan Radbruch, keadilan substansial merupakan landasan keabsahan tersebut. sekaligus titik berat bagi formula ide hukum. Apa yang dimaksud dengan keadilan substansial itu? Terdapat beberapa langkah pendekatan terhadap pertanyaan ini. Langkah yang pertama adalah dengan menengok kembali konteks dan kontroversi seputar teori-teori hukum Radbruch. Sesuai dengan ajaran Neo-Kantian yang Radbruch ikuti, terdapat “nilai hukum” (legal value) yang memiliki fungsi 46 Gustav Radbruch, Legal Philosohy, hlm. 53. Bdk. Anton-Hermann Chroust, “The Philosophy of Law of Gustav Radbruch”, hlm. 28. 25 konstitutif dalam menentukan keabsahan hukum.47 Hukum dikatakan sah jika dan hanya jika ia ditentukan oleh nilai konstitutif tersebut. Kita telah melihat bahwa ide hukumlah yang mengemban peran konstitutif ini. Namun ajaran Neo-Kantian itu pula yang membuat ide hukum Radbruch sebagai nilai konstitutif bekerja justru secara formal. Artinya, keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum lebih merupakan bentuk-bentuk daripada isi yang menentukan keabsahan hukum. Kalau begitu apa yang menentukan isi atau substansi bagi keabsahan hukum? Jawabannya adalah proses politis.48 Setidak-tidaknya ada dua implikasi dari karakter formal ide hukum ini. Pertama, keabsahan hukum bergantung pada pemenuhan prosedur pembuatan hukum di tangan legislator.49 Kedua, titik berat ide hukum terletak pada elemen kebertujuan. Implikasi yang disebut terakhir ini perlu dijelaskan lebih lanjut. Radbruch sendiri dalam teks Grundzüge edisi ketiga menyatakan bahwa “eksistensi tatanan hukum lebih penting daripada keadilan dan kebertujuan … “ sehingga tugas pertama hukum adalah menjaga kepastian hukum. 50 Pandangan Radbruch ini apabila dibaca secara menyeluruh bukan berarti menyingkirkan sama sekali keadilan dan kebertujuan. Justru dalam rangka menjaga kepastian hukum itu, kebertujuan memainkan peran yang sangat penting, yakni untuk “mengoperasionalkan” keadilan. Kebertujuan di sini berfungsi sebagai semacam alat ukur bagi kesetaraan yang mau direalisasikan oleh elemen keadilan. Langkah pertama di atas mengemukakan konsep keadilan formal dari Radbruch. Meminjam kata-kata Weismann, keadilan formal tersebut bagaikan “botol kosong” tanpa isi nilai apa pun (disinterested).51 Langkah berikutnya menunjukkan bahwa Radbruch menggeser konsepsi keadilan formalnya menjadi substansial. Konteks pengalaman hidup Radbruch pasca Perang Dunia II memang turut mempengaruhi pergeseran ini. Namun kami tidak bermaksud untuk ikut dalam perdebatan soal “dua Radbruch” yang positivis atau yang naturalis. Alasan kami menerima adanya pergeseran ke keadilan substansial ini didasarkan pada posisi filsafat hukum Radbruch yang sedari awal berkomitmen teguh pada keadilan. 47 Alexander Somek, “German Legal Philosophy and Theory in the Nineteenth and Twentienth Centuries” in A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory. Second Edition, ed. Dennis Patterson (West Sussex: Blackwell Publishing Ltd, 2010), pp. 345-346. 48 Alexander Somek, “German Legal Philosophy and Theory in the Nineteenth and Twentienth Centuries”, pp. 346. 49 Ada dua syarat validitas legal menurut Radbruch. Pertama, kesesuaian dengan proses legislatif yang ada, seperti pembuatan keputusan parlemen yang berdasarkan pada voting mayoritas. Kedua, penerapan hukum yang telah dibuat tersebut. Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie, hlm. 302 sebagaimana dikutip oleh Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law”. 50 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 108. 51 Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law”. 26 Mengacu pada gagasan filsafat nilai, maka nilai absolut bagi hukum menurut Radbruch adalah adil.52 Titik berat ide hukum di sini bukan lagi pada kebertujuan melainkan keadilan itu sendiri. Pembentukan hukum yang mencederai kesetaraan orang-orang yang menjadi subjek pengaturannya tidaklah sah secara legal. Konsepsi keadilan substansial menunjukkan bahwa tujuan hukum yang pertama dan utama menurut Radbruch adalah jaminan atas perlakuan yang setara di hadapan hukum. Dalam formula ide hukum Radbruch, elemen keadilan (substansial) menjadi titik berat bagi pembentukan hukum dan klaim keabsahannya. Dalam bentuk pernyataan yang lain, kesetaraan sebagai keadilan adalah nilai yang harus terwujud menurut ide hukum.53 Dari Radbruch kita dapat memetik pemahaman bahwa tujuan hukum yang sesungguhnya adalah pemenuhan nilai-nilai etis. Pengertian apa itu hukum pun tidak bisa dilepaskan dari ide dasarnya yang terbagi ke dalam tiga elemen keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum. Elemen-elemen tri-tujuan hukum ini menurut jalan pikiran Radbruch sendiri jelas menampik paham utilitarianisme. Berkaca dari situ, maka keliru apabila kita memahami tri-tujuan hukum dalam cahaya utilitarianis. Lebih lanjut, dengan paham bahwa kesetaraan merupakan inti keadilan dalam ide hukum maka refleksi ilmu hukum pun sejatinya bertumpu pada penghormatan hak. Pemahaman seperti ini sekalipun didasari pada pembacaan dari tangan kedua karya-karya Radbruch (dalam bahasa Inggris) menunjukkan bahwa pemikirannya sendiri tidak sebatas apa itu tujuan hukum. Ide hukum yang dibaca sebagai cita hukum nasional dan yang menjadi tumpuan struktur ilmu hukum menurut Arief Sidharta pun sekiranya lebih tepat dimaknai sesuai alur berpikir Radbruch sendiri ini. Cita hukum yang dijelmakan sebagai ideologi Pancasila barangkali justru membuat pemahaman atas tujuan hukum menjadi licin. Akibatnya, tumpuan ilmu hukum mudah terpeleset menjadi pandangan yang mengedepankan kemanfaatan umum yang utilitarianis, entah atas nama “keadilan” atau “ketertiban”. Asumsi yang berlaku dalam pandangan itu adalah penyamaan apa yang negara buat atau tentukan sebagai apa yang baik. Kami pikir di sinilah letak bahaya nomor satunya, yakni semacam formalisasi, instrumentalisasi, atau mekanisasi hukum yang dilanggengkan oleh disiplin ilmunya sendiri melalui metode kinerja ilmiah. Inspirasi dari ajaran Radbruch dapat ditempatkan dalam kerangka pandangan yang mengkritisi bahaya tersebut. 52 53 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 91. Bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, hlm. 112-119. Magnis-Suseno di sini menguraikan tiga nilai dasar dalam hukum, yakni kesamaan, kebebasan, dan solidaritas. Baginya, tiga nilai dasar ini berimplikasi bagi syarat sahnya (kriteria validitas legal) hukum. 27 5. Penutup Ada dua pokok besar yang bisa kita simpulkan. Pokok yang pertama mengenai kinerja ilmiah dunia pengembanan ilmu hukum Indonesia. Terlihat betapa kompleksitas pemikiran Radbruch telah direduksi sedemikian rupa. Tendesi reduksionis ini kita temukan dalam kinerja ilmiah para pembelajar dan ahli hukum Indonesia yang suka mengutip tanpa disertai upaya pengenalan yang mendalam atas suatu teori hukum beserta sang penteorinya. Dari sinilah muncul instrumentalisme hukum sebagai akibat metodologis dari pembiasaan dan kebiasaan pengembanan ilmu hukum yang eklektik. Instrumentalisme tersebut berdampingan erat dengan utilitarianisme yang menomorsatukan kemanfaatan tanpa mengindahkan rasa keadilan masyarakat maupun kepastian hukum. Dalam kaitannya dengan konsep tri-tujuan hukum Radbruch, ternyata tidak terlalu tepat memahami cita-hukum sebagai sesuatu yang mengandung ide kemanfaatan. Tri-tujuan hukum menurut kami tidaklah bertitik berat pada kemanfaatan dalam arti yang utilitarianis. Hal ini menyangkut pokok yang kedua. Pokok yang kedua mengenai makna tri-tujuan hukum menurut Radbruch. Ada beberapa hal yang dapat kita garis bawahi. Pertama, tujuan hukum dalam pandangan Radbruch adalah perwujudan “kebaikan etis” karena hukum melayani nilai etis berdasarkan gagasan filsafat nilai Neo-Kantian. Kedua, tujuan hukum tersebut terwujud dalam tiga elemen ide hukum yang disebut sebagai tri-tujuan hukum. Ketiga, konteks dan kontroversi seputar filsafat hukum Radbruch memperlihatkan bahwa ia jelas dan tegas menolak utilitarianisme. Keempat, sebagai implikasi dari yang disebut terakhir, tri-tujuan hukum lebih tepat dipahami sebagai keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum di mana titik beratnya ada pada penjaminan kesetaraan sebagai keadilan substansial dalam hukum. Bahwa Radbruch mengajarkan kita banyak hal tentang filsafat hukum adalah sesuatu yang gamblang berdasarkan upaya penelusuran jejak-jejak pemikirannya yang telah dilakukan dalam tulisan ini. Akan tetapi di sisi lain adalah gamblang juga bahwa gagasangagasan Radbruch menjadi keliru dimengerti apabila ia dipandang secara reduktif, yakni sebagai penganjur utilitarianisme yang menekankan kemanfaatan dan menyingkirkan kepastian hukum serta keadilan. Dari apa yang telah kami bentangkan soal pengenalan terhadap sosok dan teori-teori hukum Radbruch, kami mengemukakan bahwa tri-tujuan hukum lebih tepat dibaca sebagai keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum. Tri-tujuan hukum adalah isi dari ide hukum dan bukan “tujuan hukum” itu sendiri sebagaimana yang selama ini dipahami secara umum dalam peredaran wacana ilmu hukum kita. Ide hukum merupakan orientasi etis yang menekankan penjaminan dan perlindungan kesetaraan dalam hukum. 28 Membaca ulang filsafat hukum Radbruch sekiranya membuka pandangan kita bahwa kinerja ilmiah dunia pengembanan ilmu hukum kita telah keliru – untuk meminjam kata-kata Sunaryati Hartono – “mempelajari jalan pikiran” salah seorang pakar asing, yang tidak hanya berpengaruh dalam dunia pemikiran hukum abad ke-20 tapi juga, yang secara khusus bahkan jejak-jejaknya ada dalam perkembangan dunia ilmu hukum Indonesia. Apakah buruknya kinerja ilmiah dunia pengembanan ilmu hukum terjadi secara keseluruhan, dalam arti bahwa jalan pikiran dan teori semua pakar orang Indonesia sendiri menderita reduksionisme, eklektisisme, dan instrumentalisme, adalah pertanyaan yang jawabannya terbuka untuk diargumentasikan lebih lanjut. Bagaimana dengan jalan pikiran dan teori “law as a tool of social engineering” yang dikait-kaitkan dengan tokoh sociological jurisprudence Amerika abad ke-20 dan yang kerap dirujuk berdampingan dengan “teori hukum pembangunan” Mochtar Kusuma-Atmadja yang termasyhur itu? Apa betul positivisme hukum yang suka kita gugat itu merupakan paham yang sedemikian salah, kaku, dan dinginnya terhadap aspek keadilan? Padahal Herbert Hart, orang Inggris yang merupakan tokoh kunci positivisme hukum kontemporer, mengemukakan adanya “kandungan minimum moralitas” dalam hukum. Ini hanyalah sekelumit ihwal bagi proyek mengenal sungguh-sungguh teori-teori hukum yang turut mempengaruhi dunia pengembanan ilmu hukum kita. Barangkali kehendak, kalau tidak mau dibilang ambisi, untuk usaha pengenalan seperti itulah yang perlu kita tumbuhkan, kendati di dalam hatinya Sunaryati Hartono sudah tersentak akibat betapa mendesaknya pelaksanaan usaha tersebut di dunia ilmu hukum nasional Indonesia, sejak hampir dua dekade yang lampau. Daftar Pustaka Anderson, R. Lanier. “The Debate over the Geisteswissenschaften in German Philosophy.” In The Cambridge History of Philosophy 1870-1945, ed. Thomas Baldwin. Cambridge: Cambridge University Press, 2003, pp. 221-234. Beck, Lewis White (1967). “Neo-Kantianism.” In Encyclopedia of Philosophy, 2nd Edition, Volume 8 Price-Sextus Empiricus, ed. Donald M. Borchert. Farmington Hills: Thomson Gale, 2006, pp. 539-546. Chroust, Anton-Hermann. “The Philosophy of Law of Gustav Radbruch.” The Philosophical Review 53 (January 1944): 23-45. http://www.jstor.org/stable/2181218. Diakses pada 24 Juli 2015. 29 Copleston, Frederick. A History of Philosophy. Volume VII. Modern Philosophy: From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, dan Nietzsche. New York: Image Books Doubleday, 1994. Friedmann, Wolfgang (1967). “Gustav Radbruch.” In Encyclopedia of Philosophy, 2nd Edition, Volume 8 Price-Sextus Empiricus, ed. Donald M. Borchert. Farmington Hills: Thomson Gale, 2006, pp. 229-230. Hart, H.L.A. Essays in Jurisprudence and Philosophy. Oxford: Oxford University Press, 1985. Hartono, Sunaryati. “Tentang Pengembanan dan Pembinaan Ilmu Hukum Nasional.” Dalam Percicikan Gagasan tentang Hukum. Kumpulan Tulisan Ilmiah Alumni dan Staf Pengajar FH Unpar, ed. A. Yoyon. Bandung: Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 1988, pp. 45-52. Hofmann, Hasso. “From Jhering to Radbruch: On the Logic of Traditional Legal Concepts to the Sociological Theories of Law to the Renewal of Legal Idealism.” In A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence. Volume 9. A History of the Philosophy of Law in the Civil Law World, 1600–1900, eds. Damiano Canale, Paolo Grossi, and Hasso Hofmann. New York: Springer, 2009, pp. 301-354. Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius, 1982. Magnis-Suseno, Franz. Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003. Meuwissen, D.H.M. Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Terj. B. Arief Sidharta. Bandung: Refika Aditama, 2009. Radbruch, Gustav. “Five Minutes of Legal Philosophy (1945).” Trans. Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson. Oxford Journal of Legal Studies 26 (Spring 2006): 13-15. http://www.jstor.org/stable/3600539. Diakses pada 24 Juli 2015. Radbruch, Gustav. “Legal Philosophy.” In The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin. Ed. Edwin W. Patterson. Trans. Kurt Wilk. Cambrigde. Massachusetts: Harvard University Press, 1950, pp. 47-224. Rahardjo, Satjipto. “Ilmu Hukum di Indonesia dalam Lintasan Perkembangan Sains.” Dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, ed. Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan. Yogyakarta: Thafa Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012, pp. 609655. Shidarta. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Buku 1 Akar Filosofis. Yogyakarta: Genta Publishing, 2013. Sidharta, B. Arief. “Struktur Ilmu Hukum.” Dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, ed. Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan. Yogyakarta: Thafa 30 Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012, pp. 1-75. Somek, Alexander. ”German Legal Philosophy and Theory in the Nineteenth and Twentienth Centuries.” In A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory. Second Edition, ed. Dennis Patterson. West Sussex: Blackwell Publishing Ltd, 2010, pp. 339349. Warassih, Emi, Suteki, dan Awaludin Marwan. “Mentari Pagi Ilmu Hukum: Refleksi dan Rekonstruksi Pengetahuan.” Dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, ed. Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan. Yogyakarta: Thafa Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012, pp. v-xxiii. Weismann, Paul. “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law.” The Student Journal of Law. http://www.sjol.co.uk/issue-3/radbruch. Diakses pada 5 September 2015. 31