ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KUNYIT

advertisement
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KUNYIT (Curcuma longa
Linn) DAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
BUDIDAYA TANAH JAWA BERDASARKAN
PENANDA MOLEKULER RAPD
RIANI MERYALITA
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
RIANI MERYALITA. Analisis Keragaman Genetik Kunyit (Curcuma longa
Linn.) Dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Budidaya Tanah Jawa
Berdasarkan Penanda Molekuler RAPD. Dibimbing oleh POPI ASRI
KURNIATIN dan LAKSMI AMBARSARI.
Penanda molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)
merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam analisis keragaman genetik
tanaman. Kunyit (Curcuma longa Linn.) dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) sebagai tanaman obat herbal potensial memiliki distribusi luas di wilayah
Indonesia yang dapat berpengaruh terhadap pola keragaman genetiknya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola keragaman genetik dari 12 sampel
genus Curcuma yang berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Penelitian
diawali dengan optimasi isolasi DNA dan amplifikasi DNA, hingga analisis lokus
dan konstruksi pohon filogenetik menggunakan metode UPGMA (Unweighted
Pair Group Method Arithmatic Mean) dari software NTSYS. Modifikasi protokol
isolasi DNA dengan penambahan Proteinase K setelah proses inkubasi dan
RNAse setelah proses pencucian menunjukkan hasil paling baik. DNA yang
diisolasi memiliki ukuran berkisar pada 9000 bp dengan kualitas pita yang cukup
baik. Amplifikasi DNA dengan 20 primer acak terpilih pada 7 sampel kunyit
menghasilkan 278 pita DNA dari 177 lokus, dan pada 5 sampel temulawak
menghasilkan 184 pita DNA dari 143 lokus yang seluruhnya merupakan pita
polimorfik. Analisis kemiripan genetik 7 varietas Curcuma longa Linn.
menunjukkan nilai koefisien kemiripan genetik sebesar 42.37% - 94.35% dan
19.58% - 85.31% pada 5 varietas Curcuma xanthorrhhiza Roxb. Hasil
pengelompokan pada nilai koefisien kemiripan genetik 51.65% dan 33.17%
menunjukkan bahwa 7 varietas kunyit dan 5 varietas temulawak yang diteliti
berasal dari dua kelompok besar.
Kata kunci: kunyit, temulawak, polimorfisme, RAPD.
ABSTRACT
RIANI MERYALITA. Genetic Diversity Analysis of Turmeric (Curcuma longa
Linn.) and Wild Ginger (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) From Java Land
Cultivation Based on RAPD Molecular Marker. Under the supervision of POPI
ASRI KURNIATIN and LAKSMI AMBARSARI.
Molecular marker of RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) is a
technique use to analyze the genetic diversity among plants. Turmeric (Curcuma
longa L.) dan wild ginger (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) as potential herbal
medicinal plants have wide range distribution area in Indonesia which may
affected their genetic diversity pattern. The main emphasis of this research was to
assess the genetic diversity pattern from 12 samples of Curcuma from various
cultivation place in Java Island. This present study began by the optimation of
DNA isolation and amplification, construction and analysis of phylogenetic tree
using UPGMA (Unweighted Pair Group Method Arithmatic Mean) method from
NTSYS software. Modification of Doyle & Doyle (1990) DNA isolation protocol
with the addition of Proteinase K after incubation and RNAse after washing
process showed the best results. DNA isolation revealed fairly good quality bands
with the size about 9000 bp. DNA amplification using 20 random choosen
primers in 7 samples of turmeric expanded 278 DNA bands from 177 loci, and in
5 samples of wild ginger yielded 184 DNA bands of 143 loci with 100% of
polymorphic bands. Genetic similarity analysis of Curcuma longa Linn. showed
the genetic similarity coefficient between 7 varieties about 42.37% - 94.35%, and
between 5 varieties of Curcuma xanthorrhhiza Roxb about 19.58% - 85.31%. The
clustering results on the genetic similarity coefficient value of 51.65% and
33.17% indicated that the seven varieties of turmeric and five varieties of wild
ginger derived from two major groups.
Keywords: turmeric, wild ginger, polimorphism, RAPD.
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KUNYIT (Curcuma longa
Linn) DAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
BUDIDAYA TANAH JAWA BERDASARKAN
PENANDA MOLEKULER RAPD
RIANI MERYALITA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul
: Analisis Keragaman Genetik Kunyit (Curcuma longa Linn) dan
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Budidaya Tanah Jawa
Berdasarkan Penanda Molekuler RAPD
Nama : Riani Meryalita
NIM : G84080024
Disetujui
Komisi Pembimbing
Popi Asri Kurniatin, S.Si.Apt, M.Si.
Ketua
Dr. Laksmi Ambarsari, MS.
Anggota
Diketahui
Dr.Ir. I Made Artika, MApp.Sc.
Ketua Departemen Biokimia
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini
sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains di
Departemen Biokimia. Karya ilmiah ini berjudul “Analisis Keragaman Genetik
Kunyit (Curcuma longa Linn) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Budidaya Tanah Jawa Berdasarkan Penanda Molekuler RAPD”. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni 2012 di Laboratorium Biokimia,
Departemen Biokimia dan Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Popi Asri Kurniatin,
S.Si.Apt, M.Si. dan Dr. Laksmi Ambarsari, MS. atas bimbingan, waktu, dan
perhatiannya kepada penulis selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan seluruh
keluarga tercinta atas segala doa, dukungan, dan perhatiannya. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada Annisa Utami, Deffy Prahaditya dan Nur
Aeny P. selaku rekan kerja, Mas Ferdi, Mas Erik, Sri, Rayhanah dan Adil selaku
rekan satu laboratorium, Iqbal Syukri dan teman-teman Biokimia lain, serta
teman-teman satu kontrakan, Akfia R.K., Yunita S.M., dan Firzatus S. atas
bantuannya selama penelitian dan penyusunan skripsi. Semoga karya ilmiah ini
dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi semua.
Bogor, Agustus 2012
Riani Meryalita
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pacitan pada tanggal 10 Mei 1990 dari ayah Budi
Santoso dan ibu Slamet Setiani sebagai anak ke-1 dari dua bersaudara. Tahun
2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Gresik dan diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Mayor studi
Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Selama
masa studi, penulis pernah aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Tahun
2008-2009 penulis aktif di Dewan Gedung Asrama (A3), tahun 2008-2010 penulis
aktif di Asosiasi Mahasiswa Pertanian Internasional (IAAS) Local Committee IPB
sebagai Executive Secretary II dan Expert Staff of Vice Director Communication
pada IAAS National Committee Indonesia. Di tahun yang sama, penulis turut andil
dalam kepanitiaan 53rd World Congress IAAS International di Indonesia. Pada
Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA), penulis juga aktif sebagai Koordinator
Divisi Kewirausahaan (2008-2009), Wakil Ketua (2010-2011) dan Fasilitator
pada Weekly English Coversation Club PES-D (Pintar English Sejak Dini)
OMDA HIMASURYA PLUS IPB serta Bendahara OMDA IMAJATIM (Ikatan
Mahasiswa Jawa Timur) IPB (2009-2010). Penulis juga pernah mengikuti
Program Pendahuluan Bela Negara (PPBN) LATSARMIL MENWA Yon VII,
Korem 061/Suryakancana, TA. 2009 dan tercatat sebagai Anggota Resimen
Mahasiswa Mahawarman Batalyon VII Kompi-A/IPB (TA. 2010). Penulis cukup
terlibat dalam berbagai kepanitiaan dari acara yang diselenggarakan oleh Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) seperti Masa Orientasi Kampus MPKMB ’46, Bazar
Ceria (2009) dan Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI 2010).
Penulis juga ikut serta dalam kegiatan-kegiatan Himpunan Profesi
Biokimia (CREBs) baik sebagai anggota pelaksana maupun panitia, antara lain
SEMAR Kanker Biokimia 2009, Biochemist in Charity, Workshop dan Seminar
K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja), Lomba Karya Ilmiah Populer (LKIP),
MPD (Masa Orientasi Departemen) ENZIM ’46 serta Seminar Nasional
Kesehatan 2012 dengan tema Hepatoprotektor. Penulis pernah menjalani Praktik
Lapangan di PT. Frisian Flag Indonesia pada bulan Juli hingga Agustus 2011 dan
menulis laporan ilmiah yang berjudul Penggunaan Metode Deteksi dan Enumerasi
Pada Pengendalian Mutu Mikrobiologi Produk Susu Kental Manis (SKM) PT.
Frisian Flag Indonesia. Pada tahun 2010 penulis mengikuti program kreativitas
mahasiswa bidang penelitian (PKMP) yang didanai DIKTI dan lolos PIMNAS
(Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) XXIV-2011 dengan judul Pemanfaatan
Ekstrak Kulit Buah Delima (Punica granatum Linn.) Budidaya Lokal Bogor
Sebagai Inhibitor Hepatotoksik. Penulis juga sempat mengikuti kursus Bahasa
Jerman Sprảchkurs der Einfuhrungsstufe pada bulan Maret sampai April 2011.
Selama kuliah, penulis pernah menerima beberapa beasiswa, antara lain Beswan
KML PT. Kelola Mina Laut (2008), POM-IPB (2008-2010), Bank Indonesia
(2010-2011) dan Peningkatan Prestasi Akademik (PPA 2011-2012). Pada tahun
2010, penulis pernah menjadi asisten praktikum Mikrobiologi Dasar dan Genetika
Dasar untuk mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Departemen
Biologi, serta asisten praktikum Struktur Fungsi Subseluler dan Pengantar
Penelitian Biokimia untuk mahasiswa Departemen Biokimia pada tahun 2012.
Penulis juga terpilih sebagai oral poster presenter dalam International
Conference on Biomedical Science 2012 di Institut Teknologi Bandung.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA
Kunyit (Curcuma longa Linn) .....................................................................
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) ................................................
Keragaman Genetik.....................................................................................
Penanda Molekuler .....................................................................................
RAPD-PCR ................................................................................................
2
3
4
4
4
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat............................................................................................
Metode Penelitian .......................................................................................
6
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Optimasi Metode Isolasi DNA ...........................................................
Hasil Isolasi DNA Kunyit dan Temulawak ..................................................
Analisis Kuantitatif DNA Hasil Isolasi ........................................................
Profil Pita RAPD Kunyit dan Temulawak ...................................................
Analisis Filogenetik dan Kemiripan Genetik ...............................................
8
10
11
12
13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ..................................................................................................... 15
Saran........................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 15
LAMPIRAN ................................................................................................... 19
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Tanaman Kunyit.......................................................................................... 2
2
Tanaman Temulawak .................................................................................. 3
3
Gen B yang teramplifikasi dan dapat dimurnikan untuk analisis lanjut ........ 5
4
Produk reaksi PCR dengan kedua pasang primer untuk A dan B .................. 5
5
Produk reaksi PCR dengan hanya 1 pasang primer untuk produk B .............. 5
6
Hasil running gel RAPD PCR ....................................................................... 6
7
Elektroforegram variasi metode Doyle & Doyle (1990) ................................. 9
8
Elektroforegram hasil isolasi DNA kunyit dan temulawak ........................... 11
9
Pohon filogenetik Curcuma longa Linn. berdasarkan pola pita RAPD ......... 13
10 Pohon filogenetik Curcuma xanthorrhiza berdasarkan pola pita RAPD ....... 14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Strategi penelitian ...................................................................................... 20
2
Bagan optimasi metode isolasi DNA (modifikasi Doyle & Doyle 1990)...... 21
3
Daftar urutan primer yang digunakan dalam penelitian sampel kunyit ........ 23
4
Daftar urutan primer yang digunakan dalam penelitian sampel temulawak . 24
5
Hasil analisis kuantitatif DNA dengan spektrofotometer ............................ 25
6
Matriks kemiripan genetik antar sampel kunyit .......................................... 26
7
Matriks kemiripan genetik antar sampel temulawak ................................... 26
8
Elektroforegram hasil RAPD kunyit dan temulawak dengan 20 primer ...... 27
9
Data lokus yang muncul pada setiap sampel kunyit oleh setiap primer ......... 31
10 Data lokus yang muncul pada setiap sampel temulawak oleh setiap primer .. 33
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara di
dunia yang memiliki sumberdaya hayati
sangat beragam sehingga dinyatakan sebagai
negara "mega-biodiversity". Dengan daratan
seluas 1,3% dari total luas daratan yang ada di
dunia, Indonesia memiliki 10% spesies bunga,
12% mamalia dunia, 17% burung di dunia,
lebih dari 400 spesies palem dan sekitar
25.000 jenis tumbuhan berbunga (Bappenas
2003). Keanekaragaman hayati menjadi salah
satu kekayaan alam Indonesia yang tidak
ternilai, baik berupa keanekaragaman
populasi, jenis maupun genetik. Penggalian
potensi keanekaragaman hayati tersebut dapat
membuka peluang pemanfaatan sumberdaya
hayati sebagai modal dalam pembangunan
nasional. Di antara keanekaragaman hayati
yang berpotensi besar untuk dikembangkan
adalah tanaman obat. Salah satunya yaitu jenis
temu-temuan. Tidak kurang dari 24 marga
atau sekitar 600 jenis tanaman ini menyebar di
kawasan
Melanesia
seperti
Malaysia,
Indonesia, Brunei, Singapura, Philipina,
Papua, dan New Guinea (Larsen et al. 1999).
Temu-temuan merupakan tanaman yang
sudah sangat dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Jenis tanaman ini telah biasa
digunakan oleh masyarakat luas (tidak hanya
di Indonesia) sebagai bumbu untuk keperluan
memasak sehari-hari, serta dikonsumsi
sebagai obat guna menjaga kesehatan dan
penangkal penyakit (Dalimartha 2001).
Sejalan dengan kemajuan teknologi maka
penggunaan tanaman ini telah meluas dalam
bidang industri, minuman, kosmetik, bahan
pewarna dan minyak atsiri. Manfaat terbesar
yang sangat dirasakan oleh masyarakat dari
tanaman ini adalah sebagai jamu (Wardana
2002; Wijayakusuma 2002). Di Indonesia,
jamu memiliki segmen pasar yang sangat luas.
Selain bersifat lebih alami, mahalnya harga
obat kimia sintetik telah mendorong
masyarakat untuk beralih ke jamu. Seiring
dengan meningkatnya kebutuhan akan jamu
oleh masyarakat, maka dapat dipastikan akan
meningkat pula kebutuhan akan bahan baku
jamu. Bahan bahan baku jamu yang memiliki
banyak kegunaan adalah temulawak dan
kunyit.
Temulawak diketahui memiliki efek
farmakologi dalam menurunkan kadar
kolesterol, antiinflamasi (anti radang),
laxative (pencahar) dan anti hepatotoksik
(Afifah 2003). Kunyit dapat berfungsi untuk
pengobatan hepatitis, antioksidan, gangguan
pencernaan, anti mikroba, anti kolesterol, anti
HIV dan anti tumor (Cousins et al. 2007).
Keduanya memiliki varietas yang sangat
melimpah di Indonesia. Namun demikian,
pemasalahan yang dihadapi saat ini adalah
masih kurangnya informasi tentang penanda
keragaman genetik dari tanaman kunyit
maupun temulawak varietas lokal yang telah
dibudidayakan. Dalam hal ini analisis secara
molekuler memiliki peran yang sangat penting
(Setiyo 2001).
Keanekaragaman genetik dapat menjadi
sumberdaya bagi perekonomian, pariwisata,
kesehatan,
dan
budaya.
Keberadaan
keanekaragaman genetik tidak merata di
setiap wilayah, bergantung pada ekosistem
wilayahnya (Thaikert dan Paisooksantivatana
2009). Upaya untuk mengetahui keragaman
suatu tanaman dapat dilakukan berdasarkan
perbedaan ciri morfologi atau menggunakan
penanda molekuler. Setiyo (2001) dan Ribaut
(2002) menjelaskan bahwa penanda molekuler
merupakan teknik yang efektif dalam analisis
genetik dan telah diaplikasikan secara luas
dalam program pemuliaan tanaman. Penanda
molekuler antara lain penanda isozim dan
penanda DNA seperti metode RAPD
(Random Amplification of Polimorphic DNA).
Kedua penanda tersebut mempunyai prinsip
dan interpretasi genetika yang sama.
Perbedaannya hanya terlihat pada pita
polimorfisme. Pada isozim pita polimorfisme
berupa protein atau ekspresi gen, sedangkan
pada marka DNA berupa fragmen DNA
(Puspendra et al. 2002; Shukla et al. 2004).
Penggunaan penanda isozim mempunyai
keterbatasan umur tanaman berpengaruh
terhadap pola pita yang dihasilkan. Di
samping itu, penanda isozim menghasilkan
polimorfisme yang terbatas, sehingga sulit
untuk membedakan kultivar yang berkerabat
dekat (Ribaut et al. 2002). Marka DNA,
khususnya RAPD memiliki kelebihan pada
kemudahan dan perolehan hasil yang cepat
dengan polimorfisme pita DNA dalam jumlah
banyak. Dengan teknik RAPD, perbedaan
genom yang disebabkan keunikan rangkaian
nukleotida primer yang berkesesuaian dengan
nukleotida pada genom tanaman dapat
dideteksi (Samal et al. 2003).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pola sidik jari dan keragaman sampel tanaman
kunyit dan temulawak kultivar tanah Jawa
berdasarkan penanda molekuler RAPD
dengan hipotesis terdapat pola polimorfisme
dan keragaman genetik pada sampel yang
diteliti. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat
memberikan
informasi
terkait
keragaman genetik plasma nutfah yang sangat
diperlukan untuk mendukung program
pemuliaan dan konservasi. Penanda molekuler
Random Amplification of Polimorphic DNA
(RAPD) dapat meningkatkan efisiensi pada
tahap awal seleksi dan dapat memperpendek
waktu yang diperlukan untuk pemuliaan
tanaman kunyit dan temulawak, sehingga para
pemulia tanaman dapat dengan cepat
melakukan proses pemuliaan untuk perolehan
varietas unggul. Di samping itu, penelitian ini
dapat memudahkan para peneliti yang akan
menggunakan tanaman kunyit ataupun
temulawak sebagai objek penelitian di bidang
molekuler.
TINJAUAN PUSTAKA
Kunyit (Curcuma longa Linn)
Gambar 1 Tanaman kunyit (Taryono 2001)
Kunyit atau kunir (Curcuma longa Linn)
termasuk salah satu tanaman rempah dan obat
asli dari wilayah Asia Tenggara, berupa
semak dan bersifat tahunan (perenial) yang
tersebar di seluruh daerah tropis (gambar 1).
Tanaman kunyit tumbuh subur dan liar
disekitar hutan/bekas kebun. Diperkirakan
berasal dari Binar pada ketinggian 1300-1600
m dpl, ada juga yang mengatakan bahwa
kunyit berasal dari India. Kata Curcuma
berasal dari bahasa Arab Kurkum dan Yunani
Karkom. Pada tahun 77-78 SM, Dioscorides
menyebut tanaman ini sebagai Cyperus
menyerupai jahe, tetapi pahit, kelat, dan
sedikit pedas, tetapi tidak beracun. Tanaman
ini banyak dibudidayakan di Asia Selatan
khususnya di India, Cina Selatan, Taiwan,
Indonesia (Jawa), dan Filipina. Tanaman ini
kemudian mengalami persebaran ke daerah
Indo-Malaysia, Indonesia, Australia bahkan
Afrika. Hampir setiap orang Indonesia dan
India serta bangsa Asia umumnya pernah
mengonsumsi tanaman rempah ini, baik
sebagai pelengkap bumbu masakan, jamu atau
untuk menjaga kesehatan (Taryono 2001).
Kunyit tergolong dalam kelompok jahejahean, Zingiberaceae. Kunyit yang memiliki
nama ilmiah lain Curcuma domestica Val. ini
telah dikenal di berbagai daerah dengan
beberapa nama lokal, seperti Turmeric
(Inggris), Kurkuma (Belanda), Kunyit
(Indonesia dan Malaysia), Kunir (Jawa),
Koneng (Sunda), Konyet (Madura). Kunyit
telah
diklasifikasikan
dalam
kerajaan
Tumbuhan (Plantae) pada sub Tumbuhan
berpembuluh (Tracheobionta) dan super divisi
Spermatophyta (Menghasilkan biji) pada
divisi Tumbuhan berbunga (Magnoliophyta).
Kunyit tergolong kelas Liliopsida yang
merupakan
tumbuhan
berkeping
satu
(monokotil) pada sub kelas Commelinidae.
Kunyit termasuk dalam bangsa Zingiberales,
suku jahe-jahean (Zingiberaceae) marga
Curcuma dengan nama spesies Curcuma
longa Linn (Taryono 2001).
Tanaman kunyit umumnya tumbuh dengan
tinggi mencapai 40 hingga 100 cm. Kunyit
memiliki batang semu, bulat, tegak, dengan
warna hijau kekuningan yang disusun oleh
pelepah daun dan membentuk rimpang.
Kunyit berdaun tunggal, berbentuk bulat telur
memanjang dengan bagian ujung serta
pangkal daun meruncing dan tepi daun rata.
Ukuran daun antara 10 hingga 40 cm dan
lebar 8 hingga 12.5 cm. Tulang daun kunyit
menyirip dengan warna hijau pucat. Bunga
kunyit berambut dan bersisik dari pucuk
hingga batang semu, termasuk bunga
majemuk dengan mahkota berukuran 3 cm
dan lebar 1.5 cm dengan warna putih
kekuningan.Kulit luar rimpang berwarna
jingga kecoklatan dan dagingnya berwarna
jingga kekuningan (Taryono 2001).
Beberapa
tanaman
yang memiliki
kekerabatan dekat dengan kunyit antara lain
temu hitam, temu giring, kunyit mangga, temu
putri, temu lawak, temu putih, kunyit merah.
Kunyit adalah rempah-rempah yang biasa
digunakan dalam masakan di negara-negara
Asia. Kunyit sering digunakan sebagai bumbu
dalam masakan sejenis gulai dan pemberi
warna kuning pada masakan, atau sebagai
pengawet. Produk farmasi berbahan baku
kunyit mampu bersaing dengan berbagai obat
paten, misalnya untuk peradangan sendi
(arthritis-rheumatoid) atau osteo-arthritis
berbahan
aktif
natrium
diklofenak,
piroksikam, dan fenil butason dengan harga
yang relatif mahal atau suplemen makanan
dalam bentuk kapsul. Produk bahan jadi dari
ekstrak kunyit berupa suplemen makanan
dalam bentuk kapsul dan industrinya sudah
berkembang. Suplemen makanan dibuat dari
bahan baku ekstrak kunyit dengan bahan
tambahan Vitamin B1, B2, B6, B12, Vitamin
E, Lesitin, Amprotab, Mg-stearat, Nipagin
dan Kolidon 90 (Cousins et al. 2007).
Kunyit mengandung senyawa yang
berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid
yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin
sebanyak 10% dan bisdesmetoksikurkumin
sebanyak 1-5% dan zat- zat bermanfaat
lainnya seperti minyak atsiri yang terdiri dari
keton sesquiterpen, turmeron, tumeon 60%,
Zingiberen 25%, felandren, sabinen, borneol
dan sineil. Kunyit juga mengandung lemak
sebanyak 1-3%, protein 30%, pati 8%,
vitamin C 45-55%, dan garam-garam mineral,
yaitu zat besi, fosfor, dan kalsium (Wu 2003).
Kurkumin dan minyak atsiri bersifat
antioksidatif dan antiinflamasi (Duvoix et al.
2005).
Prakash et al. (2003) melaporkan bahwa
senyawa bioaktif kunyit memiliki efek
protektif terhadap sel hati dari zat kimia yang
bersifat toksik seperti carbon tetrachlorida
(CCl4). Secara tradisional, rimpang kunyit
juga dapat digunakan sebagai obat masuk
angin, obat sesak napas, obat gatal dan luka,
antidiare, serta peluruh empedu (Winarto
2003).
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Gambar 2 Tanaman temulawak (foto pribadi)
Temulawak
(Curcuma
xanthorrhiza
Roxb.) merupakan tanaman obat berupa
tumbuhan rumpun berbatang semu (gambar
2). Di daerah Jawa Barat temulawak disebut
sebagai koneng gede sedangkan di Madura
disebut sebagai temu lobak. Kawasan IndoMalaysia merupakan tempat awal penyebaran
temulawak ke seluruh dunia. Saat ini selain di
Asia Tenggara, temulawak dapat ditemui pula
di Cina, IndoCina, Barbados, India, Jepang,
Korea, di Amerika Serikat dan di beberapa
negara Eropa. Temulawak termasuk dalam
suku temu-temuan dengan klasifikasi yang
sama dengan kunyit dan hanya berbeda pada
jenis dengan nama spesies Curcuma
xanthorrhiza Roxb. (Syukur 2002).
Tanaman yang berasal dari Pulau Jawa ini
dapat tumbuh baik pada dataran rendah
sampai ketinggian 1500 meter diatas
permukaan
laut.
Temulawak
dapat
berkembang dengan baik pada tanah yang
gembur
dan
sebagian
besar
telah
dibudidayakan di Indonesia, Malaysia,
Thailand, serta Filipina (Syukur 2002). Di
Indonesia
satu-satunya
bagian
yang
dimanfaatkan adalah rimpang temulawak
untuk dibuat jamu godog. Rimpang ini
mengandung 48-59,64 % zat tepung, 1,62,2 % kurkumin dan 1,48-1,63 % minyak
asiri. Tanaman temulawak memiliki tinggi
yang dapat mencapai 1 meter.
Temulawak berbatang semu dengan warna
hijau atau coklat gelap. Daunnya tumbuh pada
bagian batang sebanyak dua hingga sembilan
helai tiap batang, berbentuk bundar
memanjang dan berwarna hijau atau coklat
keunguan terang hingga gelap. Panjang daun
temulawak umumnya mencapai 31 hingga 84
cm dengan lebar antara 10 hingga 18 cm.
Akar rimpangnya terbentuk sempurna dengan
cabang yang kuat dan warna hijau gelap.
Tanaman temulawak memiliki perbungaan
lateral. Tangkai bunganya ramping dan
bersisik dengan panjang mencapai 9 hingga
23 cm dengan lebar 4 hingga 6 cm. Kelopak
bunga temulawak memiliki panjang antara 8
hingga 13 mm, berwarna hijau muda, berbulu,
berbentuk tabung dengan panjang mencapai
4.5 cm secara keseluruhan. Warna helai bunga
temulawak adalah putih dengan bagian ujung
berwarna merah, berbentuk bundar, dan
panjang mencapai 1.25 hingga 2 cm dan lebar
1 cm (Rukmana 2004).
Penelitian terbaru mengenai temulawak
adalah manfaatnya sebagai penjaga vitalitas
hati (hepatoproteksi) oleh senyawa – senyawa
bioaktif seperti kurkuminoid dan desmetoksi
kurkumin. Kurkumin bermanfaat sebagai anti
inflamasi (anti radang) dan anti hepatotoksik
(anti keracunan empedu). Efek farmakologi
lainnya yaitu dapat menurunkan kadar
kolesterol, laxative (pencahar), diuretik
(peluruh kencing), dan menghilangkan nyeri
sendi (Afifah 2003).
Rimpang temulawak juga dapat digunakan
sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu
makan dan melancarkan ASI (Wardana 2002;
Rukmana 2004). Selain dimanfaatkan sebagai
jamu dan obat, temulawak juga dimanfaatkan
sebagai
sumber
karbohidrat
dengan
mengambil patinya, kemudian diolah menjadi
bubur makanan untuk bayi dan penderita
gangguan pencernaan. Di sisi lain, temulawak
juga mengandung senyawa beracun yang
dapat mengusir nyamuk, karena tumbuhan
tersebut menghasilkan minyak atsiri yang
mengandung linelool, geraniol yaitu golongan
fenol yang mempunyai daya repellan nyamuk
Aedes aegypti (Ningsih 2008).
Keragaman Genetik
Keragaman genetik merupakan variasi
genetik di dalam setiap spesies yang
mencakup aspek biokimia, struktur, dan sifat
organisme yang diturunkan secara fisik dari
induknya dan dibentuk dari DNA. Secara
umum, penyebab keragaman genetik dari
suatu populasi adalah adanya mutasi,
rekombinasi, atau migrasi gen dari satu
tempat ke tempat lain. Migrasi suatu individu
atau populasi dari satu tempat ke tempat lain
yang ditunjukkan oleh aliran gen merupakan
tahap awal terjadinya isolasi geografi dan
hibridisasi
yang
dapat
meningkatkan
keragaman karakter genetik dan menimbulkan
kombinasi gen baru (Campbell et al. 2002).
Populasi menjadi sarana utama bagi
pertukaran alel antar individu. Pertukaran alel
yang terjadi secara acak dalam sekelompok
mahluk hidup sejenis yang mendiami suatu
wilayah pada waktu tertentu menghasilkan
kombinasi gen yang menjadikan keragaman
genetik dalam populasi (Jusuf 2001).
Keragaman genetik dalam populasi tanaman
didasarkan pada kepentingan perolehan
karakter unggul. Keragaman genetik yang
tinggi dapat memperbesar peluang untuk
mendapatkan genotip yang mengekspresikan
sifat unggul (Samal et al. 2003). Keragaman
genetik suatu tanaman dapat ditingkatkan
dengan proses mutasi yang menghasilkan
perubahan materi genetik tingkat genom,
kromosom, DNA, atau gen. Seleksi genotip
tanaman sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki melalui teknik mutasi juga dapat
dilakukan pada proses pemuliaan tanaman
(Jusuf 2001).
Keragaman genetik dapat dianalisis
melalui
hasil
elektroforesis
DNA.
Polimorfisme dapat ditunjukkan dari pita
DNA yang terbentuk dan dapat dianalisis
dengan program khusus seperti Numerical
Taxonomy and Multivariate Analysis System
(NTSYS/RAP Distance) dan Treecon. Prinsip
dari kedua perangkat lunak tersebut adalah
perbedaan bobot molekul dari pita - pita DNA
yang terbentuk dan merujuk pada kesepakatan
biner. Jika muncul pita DNA pada suatu posisi
berat molekul akan dianggap bernilai 1
sedangkan jika tidak ada akan bernilai 0
(Suryanto 2003).
Penanda Molekuler
Penanda molekuler adalah teknik yang
digunakan dalam analisis perubahan pada
tingkat DNA yang tidak terlihat oleh penanda
lainnya. Teknik ini sangat berperan dalam
proses identifikasi genotipe suatu individu,
derajat kekerabatan, variasi genetik suatu
populasi tanaman, determinasi gen yang
diinginkan dalam genotip spesifik maupun
pengembangan
varietas
baru
melalui
transformasi (Azrai 2005). Penanda molekuler
juga
dapat
digunakan
untuk
DNA
fingerprinting tetua, transgen backcross,
homozigositas, dan peta genetika Quantitative
Trait Loci, serta untuk mengetahui adanya
introgresi gen, pemetaan gen, gen tagging dan
konservasi plasma nutfah (Herran et al. 2000;
Lebrun et al. 2001).
Penanda molekuler dibedakan menjadi
empat kelompok berdasarkan prinsip dasar
dan metodologi yang digunakan. Kelompok
pertama adalah hibridisasi berdasarkan
penanda seperti Dispersed Repetitive DNA
(drDNA) dan Restriction Fragment Length
Polymorphisms (RFLP). Kelompok kedua
adalah PCR berdasarkan penanda yang
menggunakan sepasang primer seperti
Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP), Random Amplified Polymorphic
DNA (RAPD), mikrosatelit, Single Nucleotide
Polymorphism (SNP), dan Sequence Tagged
Sites (STS). Kelompok ketiga merupakan
penanda molekuler berdasarkan PCR yang
dilanjutkan dengan hibridisasi. Umumnya
dilakukan dengan teknik fingerprinting
oligonukleotida
menggunakan
fragmen
RAPD. Kelompok keempat yaitu sequencing
dan chip DNA berdasarkan penanda yang
menggunakan gel sebagai dasar untuk
mendapatkan hasil PCR dengan deteksi SNP
(Puspendra et al. 2002; Gupta et al. 2008).
Penanda molekuler mempunyai beberapa
kelebihan bila dibandingkan dengan penanda
morfologi dan isozim. Keberadaan penanda
molekuler di dekat gen akan membantu
penentuan posisi gen. Selain itu, penanda
molekuler menunjukkan polimorfisme yang
tinggi sehingga dapat mendeteksi keragaman
genetika. Suatu penanda akan efektif jika
dapat membedakan antara dua tetua yang
berbeda genotipe dan terwariskan pada
keturunannya (Muladno 2002).
RAPD-PCR
RAPD PCR atau Random Amplified
Polymorphic DNA merupakan salah satu
teknik molekuler berupa penggunaan penanda
tertentu untuk mempelajari keanekaragaman
genetika. Reaksi RAPD merupakan reaksi
PCR dengan prinsip amplifikasi segmen DNA
secara in vitro yang pada dasarnya tidak
diketahui (acak). Teknik ini melibatkan
penempelan primer tertentu yang dirancang
sesuai kebutuhan. Primer biasanya berupa
sepuluh nukleotida yang dapat menempel
pada cetakan DNA yang komplementer, dan
selanjutnya akan dibentuk menjadi utas DNA
baru. Jumlah produk amplifikasi PCR
berhubungan langsung dengan jumlah dan
orientasi sekuen yang komplementer terhadap
primer di dalam genom tanaman (Samal et al.
2003).
Penggunaan
teknik
RAPD
memungkinkan untuk deteksi polimorfisme
fragmen DNA. Penanda RAPD adalah
fragmen DNA dari amplifikasi PCR segmen
acak dari genom DNA dengan primer tunggal
sekuen nukleotida yang tidak diketahui
(Suryanto 2003).
RAPD PCR tidak membutuhkan banyak
pengetahuan spesifik mengenai sekuen DNA
organisme target. Sepuluh pasang basa primer
akan atau tidak akan dapat mengamplifikasi
segmen DNA, bergantung dari posisi
komplementer pada sekuen primer. Contoh
tidak akan ada fragmen diproduksi jika primer
menempel pada bagian yang terlalu jauh, atau
ujung 3 primer tidak saling berhadapan. Hal
tersebut mengakibatkan jika mutasi terjadi
pada DNA cetakan di sisi yang sebelumnya
komplementer pada primer, maka hasil PCR
tidak akan diproduksi. Hal tersebut
mengakibatkan susunan segmen amplifikasi
DNA yang berbeda pada gel (NCBI 2011).
dan 3 pada utas bawah dari DNA cetakan dan
melakukan annealing pada situs 4,5, dan 6
pada utas atas DNA cetakan. Dalam contoh
ini, hanya 2 produk terbentuk; Produk A
dihasilkan oleh amplifikasi PCR dari urutan
DNA yang terletak di antara primer terikat
pada posisi 2 dan 5; Produk B adalah yang
dihasilkan oleh amplifikasi PCR dari urutan
DNA yang terletak diantara primer terikat
pada posisi 3 dan 6.
Gambar 4 Produk reaksi PCR dengan kedua
pasang primer untuk A dan B
(NCBI 2011).
Gambar 5 Produk reaksi PCR dengan hanya
1 pasang primer untuk produk B
(NCBI 2011).
Gambar 3 Gen B yang teramplifikasi dan
dapat dimurnikan untuk analisis
lebih lanjut (NCBI 2011).
Dalam reaksi RAPD, sebuah fragmen
besar DNA digunakan sebagai cetakan dalam
sebuah reaksi PCR yang mengandung banyak
salinan primer acak tunggal (gambar 4).
Panah mewakili salinan multiple dari primer
(semua primer memiliki urutan yang sama).
Arah panah juga menunjukkan arah dimana
sintesis DNA akan terjadi. Angka-angka
mewakili lokasi pada DNA cetakan dimana
primer akan melakukan annealing. Primer
akan melakukan annealing pada situs 1, 2,
Dapat dilihat bahwa tidak ada produk PCR
yang dihasilkan oleh primer terikat pada
posisi 1 dan 4 karena primer ini terpisah
terlalu
jauh
untuk
memungkinkan
penyelesaian reaksi. Dapat dilihat pula bahwa
tidak ada produk PCR yang dihasilkan oleh
primer terikat pada posisi 4 dan 2 atau posisi 5
dan 3 karena pasangan primer tidak
berorientasi terhadap satu sama lain. Pada
gambar sebelumnya, jika DNA cetakan lain
(genom) diperoleh dari sumber yang berbeda
(belum terkait), kemungkinan akan ada
beberapa perbedaan dalam urutan DNA dari
dua cetakan. Misalkan ada perubahan dalam
urutan di lokasi primer pada situs annealing #
2, seperti ditunjukkan dalam gambar 5, primer
tidak lagi mampu melakukan annealing ke
situs # 2. Dengan demikian produk PCR A
tidak diproduksi dan hanya produk B yang
diproduksi. Jika akan melakukan running
untuk reaksi 2 RAPD PCR di atas pada gel
agarosa, maka akan terlihat hasil seperti pada
gambar 6. Lajur 1 merupakan marka
molekuler, lajur 2 dan 3 adalah hasil reaksi
RAPD 1 dan 2. Penggunaan penanda RAPD
relatif sederhana dan mudah dalam hal
preparasi. Teknik RAPD memberikan hasil
yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik
molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu
menghasilkan jumlah karakter relatif tidak
terbatas, sehingga sangat membantu keperluan
analisis keanekaragaman organisme yang
tidak diketahui latar belakang genomnya.
Teknik RAPD sering digunakan untuk
membedakan organisme tingkat tinggi
(eucaryote). Namun demikian beberapa
peneliti menggunakan teknik ini untuk
membedakan organisme tingkat rendah
melalui piranti organel sel seperti mitokondria
(Suryanto 2003).
Gambar 6 Hasil running gel RAPD-PCR
(NCBI 2011).
Langkah-langkah metode PCR RAPD
secara umum, yaitu: isolasi DNA, reaksi PCR
dengan primer, pemisahan fragmen DNA
dengan elektroforesis gel, dan visualisasi
fragmen
DNA menggunakan
etidium
bromida. Fragmen DNA yang digunakan
dapat berupa sejumlah DNA kecil dan DNA
harus bersih serta memiliki bobot molekular
tinggi. Jika jumlah molekul DNA tidak
mencukupi maka hasil PCR akan susah
dipastikan. Reaksi PCR membutuhkan primer
dengan panjang 10 pasang basa, penambahan
MgCl2, dan siklus penempelan dengan DNA
cetakan
pada
suhu
rendah
(40oC).
Elektroforesis gel dapat dilakukan pada gel
agarosa (Tridjatmiko 2006) dan gel akrilamid
(Bintang 2010). RAPD relatif mudah
dilakukan serta memiliki fragmen DNA
dengan jumlah yang tinggi. Primer yang tak
tentu mudah diperoleh dan tidak memerlukan
informasi gen atau genom awal. RAPD PCR
hanya membutuhkan DNA target dengan
jumlah yang sedikit. Biaya metode RAPD
PCR murah (Primrose & Twyman 2006).
Semua marker RAPD dominan sehingga
tidak mungkin untuk membedakan dari
segmen DNA yang diampilifikasi dari lokus
yang heterozigous (sekali salin) atau
homozigous (2 kali salinan). Co-dominant
RAPD markers, observasi sebagai segmen
DNA berbeda ukuran diamplifikasi dari lokus
yang sama sehingga jarang dideteksi. Teknik
RAPD bergantung pada laboratorium dan
perlu dengan hati-hati mengembangkan
protokol laboratorium untuk menghasilkan
produk yang banyak. Pasangan yang tidak
tepat di antara primer dan DNA cetakan
mungkin menghasilkan ketidak beradaan total
hasil PCR yang sama dengan penurunan
jumlah hasil PCR. Jadi, hasil RAPD dapat
menjadi sulit untuk diinterpretasikan (NCBI
2011).
Cara-cara yang dapat digunakan untuk
mengembangkan lokus spesifik pada marker,
yaitu: pita marker RAPD polimorfik diisolasi
dari gel, marker RAPD diamplifikasi di dalam
reaksi PCR, hasil PCR diklon dan disekuen,
dan primer baru yang panjang dan spesifik
didisain dari sekuen DNA yang disebut SCAR
(Sequenced Characterized Amplified Region
Marker) (NCBI 2011). RAPD dapat
digunakan dalam berbagai aplikasi, yaitu
perbedaan genetika, karakterisasi germplam,
struktur genetika populasi, domestikasi,
deteksi variasi somaklonal, identifikasi
pertanian,
pemurnian
hibridisasi,
dan
pemetaan genom (Primrose & Twyman 2006).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
terdiri dari mortar dan pestle, tabung
Eppendorf 1.5 mL, inkubator shaker
WiseBath, vortex Genie2, neraca analitik
OHAUS,
mikropipet
Eppendorf,
tip,
microcentrifuge Hettich Mikro 200R dan
5415R Eppendorf, mesin PCR ESCO
(APBIO), DNA spektrofotometer GeneQuant
1300. Perangkat elektroforesis gel agarosa
BIO-RAD, gel tray, sisir, power supply,
parafilm, UV transilluminator (Gel Doc
AlphaInnotech), gelas ukur, gelas piala,
microwave, autoklaf, botol sterilisasi, botol
stok larutan, plastik klip, masker, sarung
tangan, tisu, freezer WiseCryo dan perangkat
lunak AlphaImager EP.
Bahan-bahan yang digunakan pada
penelitian ini terdiri atas bahan untuk
ekstraksi DNA terdiri atas sampel daun
temulawak Wonogiri, Sukabumi, Sragen,
BPTO (Karanganyar) dan C3 (Cursina 3)
Bogor, kunyit Wonigiri, Ngawi, Turina 1
(Bogor), Turina 2 (Bogor), Ciemas, Nagrak
dan
BPTO
(Karanganyar),
polyvinyl
pyrrolidone (PVP) 1.5%, bufer ekstrak yang
terdiri dari 2% b/v CTAB (Cetyl
trimethylammonium bromide), 1.4 M NaCl,
50 mM EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic
Acid), 100 mM Tris-HCl (pH 8) dan 0.2%
(v/v) 2- merkaptoetanol, kloroform, isoamil
alkohol, isopropanol dingin, etanol 76%,
ddH2O, Proteinase K dan RNase A
(Fermentas Life Sciences), serta molecular
water. Bahan – bahan untuk visualisasi hasil
isolasi dan amplifikasi terdiri atas gel agarosa,
bufer TBE 0.5x (Tris Borat-EDTA), etidium
bromida (0.5 µg mL-1), loading buffer
(bromophenol blue 2.5% : sukrosa 40%),
marker GeneRuler 100 bp Plus DNA Ladder
(Fermentas Life Sciences), dan marker
Thermo Scientific (Invitrogen) 1 Kb Plus.
Bahan – bahan untuk PCR RAPD meliputi
bufer PCR (10x Dream Taq bufer + 20 mM
MgCl2) 1.5 mM (Fermentas Life Sciences),
dNTP Mix 2mM (Fermentas Life Sciences),
Dream Taq DNA Polimerase (Fermentas Life
Sciences), dan primer acak RAPD yang terdiri
dari OPA 16-20, OPB 16-20, OPC 16-20, dan
OPD 16-20 (AIT Biotech).
Metode Penelitian
Pelaksanaan penelitian meliputi beberapa
tahap kegiatan, yaitu optimasi metode isolasi
DNA, ekstraksi DNA, uji kualitatif dan uji
kuantitatif DNA hasil isolasi, RAPD-PCR,
visualisasi hasil RAPD-PCR dan analisis hasil
amplifikasi dengan perangkat lunak Alpha
Imager EP.
Optimasi Metode Isolasi DNA (Modifikasi
Doyle & Doyle 1990 tanpa Nitrogen Cair)
Modifikasi I. Sampel daun sebanyak 0.2
gram dan digerus dengan 0.5 gram PVP dan
0.75 mL bufer ekstraksi (2% b/v CTAB, 1.4
M NaCl, 20 mM EDTA, 100 mM Tris-HCl
(pH 8), 0.2% (v/v) 2-merkaptoetanol).
Inkubasi dilakukan dengan incubator shaker
pada suhu 65°C 50 rpm selama satu jam.
Sampel ditambahkan 0.75 mL kloroform:
isoamil alkohol (24:1) dan sentrifugasi 12.000
rpm selama 10 menit. Supernatan diendapkan
dengan 2/3 volume isopropanol dingin dan
disentrifugasi 11.000 rpm selama 10 menit.
Pelet kasar yang telah kering diberi 25 µL
molecular water dan disimpan pada suhu 20°C (lampiran 2).
Modifikasi II. Modifikasi terletak pada
penambahan proses pencucian pelet kasar dari
modifikasi I dengan dua kali volume 76%
etanol dan diinversi (10x), kemudian
dilakukan sentrifugasi 12.000 rpm selama 10
menit dan diberi 25 µL molecular water.
Modifikasi III. Modifikasi III merupakan
lanjutan dari modifikasi II. Pelet DNA yang
diperoleh dari modifikasi II dimurnikan
dengan penambahan 0.1 volume amonium
asetat 3M pH 5.2 dan 95% etanol. Etanol
ditambahkan dua kali volume setelah
penambahan amonium asetat 3M. Campuran
dibiarkan selama 1-2 jam pada suhu ruang
kemudian disentrifugasi selama 15 menit
dengan kecepatan maksimum pada suhu
ruang. Supernatan dibuang, pelet dicuci
dengan 500 µL etanol 70% (<10°C) dan
diinversi (10x) kemudian sentrifugasi pada
pada suhu ruang selama 5 menit dengan
kecepatan maksimum. Supernatant dibuang,
pellet dikeringkan dan ditambah 25 µL MW.
Modifikasi IV. Modifikasi IV memiliki
perbedaan perlakuan. Endapan DNA kering
dari modifikasi I diberi ddH2O dan Proteinase
K (10 µg mL-1) kemudian diinkubasi pada
55°C selama 30 menit dan 65°C selama 20
menit. RNase A (5 µg mL-1) ditambahkan dan
diinkubasi 37°C selama 120 menit. Kemudian
sentrifugasi kembali dengan kecepatan 8.000
rpm selama 5 menit.
Modifikasi V. Modifikasi V merupakan
lanjutan modifikasi II dengan penambahan
RNAse (5 µg mL-1) setelah melarutkan pelet
DNA dalam 25 µL MW. Kemudian
diinkubasi 37°C selama 120 menit dan
sentrifugasi pada 8.000 rpm selama 5 menit.
Modifikasi VI. Pada modifikasi VI
dilakukan penambahan Proteinase K pada
campuran sampel dan bufer yang telah
diaktivasi pada suhu 65oC (sebelum
penambahan
kloroform:isoamilalkohol).
Tahap berikutnya sama seperti pada
modifikasi I.
Modifikasi
VII.
Modifikasi
VII
merupakan lanjutan dari modifikasi VI.
Setelah diperoleh pelet kasar kemudian
dilakukan tahapan seperti modifikasi II dan V
yaitu proses pencucian dengan dua kali
volume 76% etanol.
Modifikasi VIII. Modifikasi terakhir yang
merupakan lanjutan dari modifikasi VII.
Setelah tahap akhir modifikasi VII, dilakukan
proses pemurnian seperti pada modifikasi III
yaitu menggunakan 0.1 volume amonium
asetat 3M pH 5.2 dan 95% etanol (lampiran
2). Dari hasil optimasi, metode isolasi DNA
yang digunakan adalah metode Doyle &
Doyle (1990) modifikasi VII.
Visualisasi Hasil Isolasi DNA
Visualisasi DNA hasil isolasi dilakukan
dengan cara elektroforesis gel agarosa 1%
dalam bufer TBE (Tris borat-EDTA) dengan
pewarna etidium bromida (0.5 µg mL-1).
Sebanyak 0.3 gram bubuk agarosa dipanaskan
dalam 30 mL bufer TBE 0.5x hingga larut
kemudian didiamkan pada suhu kamar hingga
hangat. Selanjutnya ditambahkan 5 µl EtBr
dan dituang ke dalam cetakan gel
elektroforesis yang telah dipasangi sisir
(cetakan sumur) hingga gel memadat. Gel
yang sudah padat dipindahkan ke dalam bak
elektroforesis yang berisi larutan bufer TBE
0.5x. Sampel kemudian dicampur dengan
loading buffer dengan perbandingan 2:5 pada
parafilm.
Setelah
tercampur,
sampel
diinjeksikan ke dalam sumur gel. Marker yang
digunakan berukuran 1 Kb sebanyak 1 µL.
Setelah semua sampel selesai diinjeksi, alat
elektroforesis dihubungkan pada power supply
yang dialiri tegangan listrik 100 volt selama ±
1 jam. Hasil diamati dengan menggunakan
lampu UV dalam transilluminator Gel Doc
Alpha Innotech.
Uji Kuantitatif DNA
Uji kuantitatif dilakukan dengan metode
spektrofotometri
menggunakan
DNA
spektrofotometer GeneQuant 1300. Suspensi
DNA hasil isolasi diencerkan dengan
pengenceran 100x menggunakan molecular
water. Absorban dibaca pada panjang
gelombang (λ) 260 nm, 280 nm dan 230 nm.
RAPD (Random Amplified Polymorphic
DNA)
Analisis RAPD dilakukan
dengan
menggunakan primer acak OPA 16-20, OPB
16-20, OPC 16-20, OPD 16-20. Reaksi PCR
dilakukan menggunakan kit dengan volume
reaksi mengacu pada Williams et al. (1990),
yaitu 20 µL yang terdiri dari 2 µL 50 ng/µL
sampel DNA, 2 µL 1x bufer PCR, 0.125 µL
unit DreamTaqTM DNA Polymerase, 2 µL 2
mM dNTP Mix, dan 0.8 µL 5 µM primer.
Program siklus termal yang dilakukan dengan
PCR meliputi dua tahap siklus. Tahap pertama
yaitu aktivasi awal (pre denaturasi) 1 siklus
pada 92°C selama 2 menit, diikuti siklus
berikutnya pada suhu 92°C selama 3 menit 30
detik untuk penyempurnaan proses denaturasi
DNA. Kemudian pada suhu 35°C selama 1
menit untuk penempelan primer (annealing),
dan 72°C selama 1 menit untuk tahapan
perpanjangan rantai (elongasi). Untuk siklus
berikutnya program suhu yang digunakan
92°C selama 1 menit untuk denaturasi DNA,
35°C selama 1 menit untuk penempelan
primer, 72°C selama 2 menit untuk tahapan
perpanjangan rantai hingga sebanyak 44 kali
siklus, serta 72°C selama 7 menit terakhir
untuk memastikan proses perpanjangan DNA
yang diamplifikasi telah selesai seluruhnya.
Hasil PCR kemudian diamati dengan
elektroforesis gel agarosa.
Visualisasi Hasil Amplifikasi
Visualisasi hasil amplifikasi dilakukan
dengan teknik elektroforesis gel agarosa
1.7%. Sebanyak 0.425 gram bubuk agarosa
dipanaskan dalam 25 mL bufer TBE 0.5x.
Langkah selanjutnya sama dengan proses
visualisasi hasil isolasi DNA.
Analisis Hasil Elektroforesis
Fragmen hasil amplifikasi yang dilakukan
merupakan lokus DNA yang bersifat
dominan. Evaluasi dari pita – pita yang
dihasilkan dilihat dari fragmen DNA yang
mempunyai
berat
molekul
tertentu.
Pengukuran bobot molekul (molecular
weight) DNA hasil amplifikasi dilakukan
dengan menggunakan software AlphaImager
EP. Data yang diperoleh kemudian digunakan
untuk melakukan proses scoring marka RAPD
untuk
mendapatkan
pola
keragaman
genetiknya dengan software NTSYS 2.02.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Optimasi Metode Isolasi DNA
Isolasi DNA merupakan langkah awal
analisis dalam bidang molekuler. DNA
membentuk asosiasi kompleks dengan RNA
dan protein di dalam sel sehingga dibutuhkan
teknik yang tepat untuk mengisolasinya.
Preparasi DNA terdiri dari pemecahan sel dan
pelarutan DNA yang diikuti beberapa langkah
enzimatis atau kimiawi untuk menghilangkan
kontaminan protein, RNA, dan makromolekul
lain (Surzycki 2000; Santoso 2005). Preparasi
DNA untuk tujuan manipulasi molekuler
mencakup tiga tahapan, yaitu pemecahan
dinding sel, penghilangan molekul selain
DNA, dan pemurnian DNA (Sudjadi 2008).
Isolasi DNA tanaman relatif sulit karena
tanaman mengandung polisakarida dan
polifenol dalam jumlah yang cukup besar
(Jose & Usha 2000; Santoso 2005). Tanaman
obat sebagai sumber daya hayati yang
mengandung komponen bioaktif tertentu, juga
dapat mempengaruhi proses isolasi dan
manipulasi DNA pada tahap berikutnya
(Padmalatha & Prasad 2006; Sahasrabudhe &
Deodhar 2010). Metode isolasi DNA yang
dilakukan berdasar pada protokol Doyle &
Doyle (1990). Teknik ini hampir serupa
dengan
teknik
isolasi
DNA
yang
dikembangkan oleh Castillo (1994) yakni
menggunakan Cetyl trimethyl ammonium
bromide (CTAB). Perbedaannya terletak pada
penggunaan CH3COONa pada metode
Castillo (1994) sedangkan pada metode Doyle
& Doyle (1990) tidak. Protokol Doyle &
Doyle (1990) tergolong mudah dilakukan dan
sering digunakan untuk ekstraksi DNA
tanaman (Ardiana 2009; Ribeiro et al. 2007).
Hasil visualisasi optimasi metode isolasi
DNA dengan teknik elektroforesis gel agarosa
menunjukkan bahwa hampir semua variasi
dengan berbagai modifikasi menghasilkan pita
DNA dengan intensitas cukup baik, kecuali
pita DNA pada lajur 3 (gambar 7).
menghasilkan pita DNA yang tipis. Hal yang
sama juga terlihat pada lajur 3 (modifikasi III)
dan 8 (modifikasi 8). Modifikasi III
merupakan lanjutan dari modifikasi I dan
modifikasi
VIII
merupakan
lanjutan
modifikasi VI. Keduanya mengalami proses
lanjutan yaitu pencucian dengan etanol dan
pemurnian dengan amonium asetat.
Modifikasi III dan VIII memiliki
perbedaan
pada
penambahan
enzim.
Modifikasi VIII mengalami penambahan
Proteinase K setelah inkubasi awal sedangkan
modifikasi III tidak. Pita DNA yang
dihasilkan tipis namun dengan smear yang
lebih tipis pula bila dibandingkan pita DNA
pada lajur 1. Perolehan hasil yang kurang baik
pada kedua metode tersebut dapat disebabkan
oleh terjadinya kerusakan DNA saat proses
pemurnian menggunakan amonium asetat dan
etanol pada suhu ruang. Pita DNA pada lajur
4 (modifikasi IV), 5 (modifikasi V), dan 6
(modifikasi VI) menghasilkan intensitas yang
Modifikasi
yang
digunakan
(1) Metode
Doyle &
Doyle
(2)
Etanol
76%
(3) Etanol
76% dan
ammoniu
m asetat
3M
(4) Etanol
76% dan
Proteinase
K
(5)
RNAse
A
(6)
Proteinase
K
(7)
Proteinase
K dan
RNAse A
(8)
Gabungan
variasi 3, 5,
dan 6.
Gambar 7 Elektroforegram variasi metode Doyle & Doyle (1990) tanpa nitrogen cair.
Pita DNA pada lajur 1 merupakan hasil
isolasi DNA dengan metode Doyle & Doyle
(1990) tanpa nitrogen cair (modifikasi I).
Modifikasi I menunjukkan ketidak efisienan
karena smear yang muncul paling banyak
meskipun pita yang dihasilkan cukup baik.
Hal ini mungkin diakibatkan oleh tahapan
yang cukup sederhana dibandingkan ketujuh
variasi metode isolasi lainnya, yaitu hanya
sampai pada crude pellet (setelah penambahan
isopropanol) tanpa pencucian dengan etanol
maupun penambahan Proteinase K dan
RNAse A. Pita pada lajur 2 merupakan hasil
dari isolasi dengan modifikasi perlakuan
pencucian pellet dengan etanol 76% (dua kali
volume) dan dibolak balik (diinversi) 10x.
Pita DNA yang diperoleh memiliki intensitas
lebih rendah bila dibandingkan dengan pita
DNA pada lajur 1, sehingga modifikasi II ini
juga tergolong
tidak efisien karena
cukup tinggi namun masih terlihat adanya
smear. Modifikasi IV, V dan VI kurang
efisien disebabkan masih memiliki banyak
kontaminan meskipun memberikan hasil pita
DNA yang cukup tebal. Ketiga modifikasi
metode memiliki perbedaan letak penambahan
Proteinase K pada tahapan isolasi. Pada
modifikasi IV, Proteinase K ditambahkan
pada crude pellet setelah penambahan
isopropanol kemudian ditambahkan juga
RNAse A setelahnya. Modifikasi V tidak
mengalami penambahan Proteinase K
melainkan RNAse A setelah pencucian
dengan etanol. Hasil ketiga modifikasi
menunjukkan bahwa modifikasi VI dengan
penambahan proteinase K pada tahap awal
setelah inkubasi tanpa penambahan RNAse A,
menghasilkan smear yang lebih sedikit dan
pita DNA yang lebih tebal dibandingkan
dengan modifikasi IV dan V.
Pita DNA pada lajur 7 merupakan hasil
dari modifikasi VII dengan modifikasi
penambahan proteinase K setelah inkubasi
awal dan penambahan RNAse A setelah
pencucian dengan etanol 76%. Secara
keseluruhan, modifikasi VII memberikan hasil
paling baik ditinjau dari ketebalan pita DNA
yang didapat dan sedikitnya smear. Jika
dibandingkan dengan modifikasi lainnya yang
memiliki perolehan pita DNA yang hampir
sama tebal (modifikasi I, IV, V dan VI), hasil
visualisasi modifikasi VII menunjukkan
proses isolasi yang baik ditandai dengan
sedikitnya enzim maupun kontaminan lain
(polisakarida dan protein) yang tersisa pada
sumur. Berdasarkan hasil optimasi metode
isolasi, metode modifikasi VII dipilih untuk
melakukan isolasi sampel DNA kunyit dan
temulawak.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa metode Doyle & Doyle (1990) dengan
modifikasi penambahan proteinase K setelah
inkubasi awal dan penambahan RNAse A
setelah pencucian dengan etanol 76% adalah
metode terbaik. Hal tersebut dilihat dari
intensitas pita DNA yang terbentuk dan
sedikitnya smear yang muncul, sehingga
dalam penelitian ini metode tersebut
digunakan untuk proses isolasi DNA genom.
Hasil Isolasi DNA Kunyit dan Temulawak
DNA diisolasi dari sampel daun
temulawak dan kunyit yang rimpangnya
berasal dari beberapa wilayah di pulau Jawa,
yaitu
Wonogiri,
Sukabumi,
Sragen,
Karanganyar, Ngawi, Ciemas, Nagrak dan
Bogor. Rimpang tersebut ditanam di kebun
percobaan LPPM Biofarmaka IPB dan
diambil daunnya untuk keperluan analisis.
Daun yang diambil merupakan daun muda
pada tangkai pertengahan. Daun yang masih
muda baik digunakan untuk proses isolasi
karena masih memiliki aktivitas biosintesis
DNA yang cukup tinggi, sehingga DNA yang
dapat terisolasi akan cukup banyak pula
(Ardiana 2009).
Proses isolasi DNA diawali dengan
penggerusan untuk membantu memecahkan
dinding sel secara mekanik. Penambahan βmerkaptoetanol dalam bufer ekstraksi dan
polyvinylpyrrolidone (PVP) saat penggerusan
bertujuan untuk menghambat enzim polifenol
oksidase yang dapat mendegradasi rantai
DNA dan menyebabkan teroksidasinya
senyawa fenol terhadap asam nukleat
(Prana&Hartati 2003). Larutan bufer ekstraksi
pada metode Doyle & Doyle (1990) terdiri
atas beberapa senyawa yang memiliki fungsi
berbeda. Larutan Tris-HCl 100 mM
digunakan untuk memberikan kondisi pH
yang optimum (pH=8), larutan NaCl 1.4 M
sebagai penstabil sehingga mempercepat
reaksi-reaksi yang terjadi pada tahapan
berikutnya. Larutan ethylene diamine tetra
asetate acid (EDTA) 20 mM digunakan untuk
melemahkan kekuatan dinding sel (Barnum
2005). EDTA juga berfungsi sebagai
pengkelat ion magnesium. Ion magnesium
adalah kofaktor yang dibutuhkan enzim
nuklease untuk menjadi aktif. Bufer yang
mengandung ethylene diamine tetraasetate
acid (EDTA) dapat mengkelat ion magnesium
bebas dan mencegah enzim nuklease bekerja,
sehingga dapat melindungi asam nukleat dari
degradasi (Barnum 2005; Herison et al. 2003).
Larutan CTAB 2% dalam bufer ekstraksi
berfungsi untuk mengendapkan senyawa
polisakarida dan menghilangkan polifenol
yang juga merupakan kontaminan pada proses
isolasi. Proses pemecahan membran sel
dengan CTAB aktif pada suhu 65ºC sehingga
bufer ekstraksi harus dipanaskan pada suhu
65ºC untuk mengaktifkan reaksi (Azizah
2009). Proses lisis sel dengan larutan CTAB
akan menghasilkan kuantitas DNA yang
cukup tinggi, terutama dari jaringan segar
dengan jumlah DNA yang dihasilkan
bervariasi tergantung pada spesies dan kondisi
awal sampel yang digunakan (Ardiana 2009).
DNA yang diisolasi harus bebas dari
kontaminan-kontaminan, termasuk protein.
Campuran kloroform berfungsi mengekstrak
protein dan oligopeptida (Walker&Wilson
2000). Hasil isolasi DNA menunjukkan masih
terdapat kontaminan berdasarkan smear yang
muncul sangat tipis. Larutan fenol atau
campuran
fenol-kloroform
dapat
mendenaturasi
protein
(Walker&Wilson
2000). Sebagian besar protein akan
terdenaturasi dan larut di dalam fase organik
atau mengendap di antara fase organik dan
supernatan (Walker&Wilson 2000). Isolasi
DNA dengan metode Doyle & Doyle (1990)
tidak menggunakan fenol dalam tahapannya
karena menurut Frick& Moediartianto 2004,
senyawa fenol dapat menjadi mutagen yang
berbahaya dalam proses isolasi, sehingga
digunakan alternatif kloroform isoamilalkohol
(CI) untuk menghindari terjadinya hal
tersebut.
Hasil sentrifugasi akan menghasilkan
campuran larutan yang terpisah menjadi tiga
fase. Larutan CI yang memiliki densitas
paling tinggi akan berada di dasar tabung
sentrifus. Larutan yang berada di bagian
tengah merupakan protein yang telah larut di
dalam CI. Supernatan yang dihasilkan
mengandung DNA, RNA dan sebagian
protein (Sudjadi 2008). Larutan DNA yang
diambil dipindahkan dalam tabung sentrifus
baru dan ditambahkan dengan isopropanol
dingin. Penambahan isopropanol bertujuan
mengendapkan DNA (Surzycki 2000;
Subandiyah 2006). Isopropanol lebih efisien
dalam
proses
pengendapan
DNA
dibandingkan etanol. Namun, isopropanol
kurang
mudah
menguap
sehingga
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mengeringkan pelet DNA yang terisolasi
(Sambrook et al. 2001). Oleh karena itu, Pelet
DNA yang telah disentrifugasi setelah
penambahan isopropanol kemudian dicuci
dengan etanol untuk mempermudah proses
pengeringan. Fase ini sekaligus bertujuan
untuk memekatkan DNA hasil isolasi dan
menghilangkan residu CI yang digunakan
pada proses deproteinasi (Surzycki 2000).
Profil hasil isolasi DNA dari 7 sampel
kunyit dan 5 sampel temulawak dengan
elektroforesis gel agarosa 1% terlihat pada
gambar 8. Elektroforegram menunjukkan
ukuran DNA yang diperoleh seluruhnya
berkisar pada 9000 base pair (bp) dengan
intensitas pita DNA paling terang tampak
pada sampel 6 (kunyit T2) kemudian sampel 9
(temulawak C3). Adanya pita pada bagian
awal proses migrasi menunjukkan bahwa
DNA yang dihasilkan termasuk DNA total.
Hal tersebut juga terlihat dari besarnya ukuran
DNA yang dihasilkan. Secara umum, DNA
2002).
Hasil
isolasi
(gambar
8)
memperlihatkan sedikitnya kontaminan RNA
yang dapat mengganggu proses PCR karena
telah melalui
proses pemurnian dengan
penambahan RNAse.
total terdiri atas bentuk superkoil, linear, dan
sirkular.
Hal
tersebut
tidak
terlalu
berpengaruh terhadap proses PCR karena
bukan merupakan senyawa fenolik atau
polisakarida yang mampu mempengaruhi
kerja enzim Taq DNA polymerase (Bangun
Hasil uji kuantitatif memperlihatkan
tingkat kemurnian DNA berdasarkan rasio
A260/A280 yang menunjukkan nilai sebesar
1.151 - 1.636 (lampiran 3). DNA dapat
dinyatakan murni jika nilai rasio A260/A280
bernilai antara 1.6-1.8 (Farrell 2010) atau 1.8-
Analisis Kuantitatif DNA Hasil Isolasi
Analisis kuantitatif dilakukan dengan
metode spektrofotometri UV-VIS. Suspensi
DNA hasil isolasi diencerkan dengan
pengenceran 100x menggunakan molecular
water. Hal tersebut dilakukan untuk
menghindari kesalahan yang timbul akibat
terlalu pekatnya sampel. Absorban dibaca
pada panjang gelombang (λ) 260 nm, 280 nm
dan 230 nm. Pengukuran absorbansi pada
panjang gelombang tersebut memberikan
informasi
mengenai
konsentrasi
dan
kemurnian sampel DNA. Ikatan rangkap pada
basa penyusun DNA menyebabkan sinar UV
dapat terserap.
Panjang gelombang 260 nm digunakan
karena merupakan serapan maksimum radiasi
UV oleh DNA. Pengukuran pada panjang
gelombang 280 nm dilakukan untuk
mengetahui adanya kontaminasi protein
sedangkan pada panjang gelombang 230 nm
untuk mengetahui kontaminasi polisakarida
dan fenol. Nilai absorbansi 1 dari hasil
pembacaan dengan spektrofotometer setara
dengan 50 µg/mL dan disebut dengan faktor
konversi. Informasi yang diperoleh kemudian
digunakan dalam proses penghitungan
konsentrasi DNA (Brown 2003).
2.0 (Sambrook 2001). Kemurnian DNA hasil
isolasi yang memiliki nilai A260/A230 dibawah
standar dapat diakibatkan karena masih
terdapat kontaminan polisakarida sehingga
meningkatkan viskositas hasil isolasi,
komponen inhibitor seperti polifenol yang
dapat menghambat reaksi enzim maupun
kerusakan DNA akibat endonuklease (Sudjadi
2008).
Konsentrasi DNA yang dihasilkan berkisar
antara 90 – 1560 ng/µL (lampiran 3). Pada
proses PCR RAPD konsentrasi DNA yang
dibutuhkan hanya sebesar 50 ng/µL sehingga
perlu dilakukan pengenceran. Rendahnya
kebutuhan DNA yang hanya sekitar 0.5-50 ng
ini merupakan salah satu kelebihan dari teknik
PCR RAPD (Primrose & Twyman 2006).
Dari hasil analisis secara kuantitatif dapat
diketahui bahwa DNA hasil isolasi tidak
cukup murni karena memiliki rasio tingkat
kemurnian dibawah standar.
Profil Pita RAPD Kunyit dan Temulawak
Random Amplified Polymorphic DNA
merupakan suatu teknik berdasarkan proses
reaksi PCR menggunakan primer utas pendek.
Polimorfisme merupakan penemuan variasi
lokus gen yang diwariskan sebagai hasil dari
beberapa peristiwa yang menghilangkan atau
mengubah ukuran fragmen (Setiyo 2001).
Polimorfisme
pada
fragmen
yang
teramplifikasi dapat terjadi karena beberapa
faktor, antara lain substitusi atau delesi basa
pada situs penempelan, insersi yang membuat
situs penempelan terlalu jauh untuk
mendukung terjadinya amplifikasi, atau
insersi/delesi yang mengubah ukuran fragmen
yang diamplifikasi.
Profil pita RAPD kunyit. Pita DNA total
yang tampak pada proses amplifikasi
menggunakan 20 primer acak terpilih pada 7
sampel kunyit yaitu 278 pita DNA dari 177
lokus. Amplikon dari setiap primer cukup
bervariasi yaitu antara 1 hingga 13 lokus,
dengan ukuran fragmen yang sangat beragam
antara 200 bp sampai 5250 bp. Hal ini
disebabkan oleh primer yang bersifat acak dan
menempel secara acak pula pada genom yang
sesuai karena memiliki situs yang homolog.
Pita polimorfik dapat menggambarkan
keadaan genom tanaman. Semakin banyak
pita polimorfik semakin tinggi pula
keragaman genetiknya (Primrose & Twyman
2006). Pola marka yang diperoleh pada hasil
amplifikasi sampel kunyit berbeda satu sama
lain. DNA sampel K1 yaitu kunyit BPTO
varietas Karanganyar dapat teramplifikasi
dengan menggunakan primer OPA 18, OPB
16, OPD 16, OPD 17, OPD 18 dan OPD 19.
Sampel K2 kunyit varietas Ciemas
teramplifikasi oleh primer OPA 16, OPA 17,
OPA 19, OPA 20, OPB 16, OPC 16–20.
DNA sampel K3 (kunyit varietas Nagrak)
tidak teramplifikasi dengan semua seri primer
acak terpilih yang digunakan (lampiran 4).
Sampel K4 kunyit varietas Ngawi
teramplifikasi dengan primer OPA 17, OPA
18, OPA 19, OPA 20, OPB 19, OPC 19, OPD
16 dan OPD 20. DNA sampel K5 yaitu kunyit
Turina 1 varietas Bogor dapat teramplifikasi
hanya dengan menggunakan primer OPC 16.
Sampel K6 kunyit Turina 2 varietas Bogor
dapat teramplifikasi oleh primer OPA 17,
OPA 18, OPA 19, OPA 20, OPB 16, OPB 19,
OPC 17, OPC 18, OPC 19, OPC 20 dan OPD
16. DNA sampel K7 (kunyit varietas
Wonogiri) dapat teramplifikasi dengan
menggunakan primer OPA 18, OPA 19, OPA
20, OPB 19, OPC 16, OPC 18 dan OPD 16
(lampiran 4).
Hasil RAPD menunjukkan bahwa dari 20
primer acak terpilih yang digunakan,
seluruhnya menghasilkan pita polimorfik
kecuali OPB 17, 18 dan 20 yang tidak
menghasilkan amplikon pada tujuh sampel
kunyit yang diteliti. OPA 18, OPA 19 dan
OPA 20 dapat mengamplifikasi paling banyak
sampel dibandingkan dengan primer lainnya,
dengan jumlah lokus terbesar yang muncul
oleh OPA 18 yaitu 43 lokus. OPD 17, 18, 19
menghasilkan paling sedikit yaitu sebanyak 1
lokus (lampiran 4).
Profil pita RAPD temulawak. Pita DNA
total yang tampak pada proses amplifikasi
menggunakan 20 primer acak terpilih pada 5
sampel temulawak adalah sebanyak 184 pita
DNA dari 143 lokus. Amplikon dari setiap
primer cukup bervariasi yaitu antara 1 hingga
12 lokus, dengan ukuran fragmen yang
dihasilkan juga bervariasi antara 200 bp
sampai 3500 bp (lampiran 5). Seperti pada
sampel kunyit, pola marka yang diperoleh
pada hasil amplifikasi sampel temulawak juga
berbeda satu sama lain. DNA sampel T1
(temulawak BPTO varietas Karanganyar)
teramplifikasi dengan menggunakan primer
OPA 18, OPA 20, OPB 16, OPC 16, OPC 17
dan OPC 18. Sampel T2 yang merupakan
temulawak C3 (Cursina 3) varietas Bogor,
tidak teramplifikasi dengan semua seri primer
acak terpilih yang digunakan (lampiran 4).
DNA sampel T3 (varietas Sragen) dapat
teramplifikasi oleh primer OPA 18, OPA 19,
OPA 20, OPB 16, OPC 18, OPC 19, OPC 20
dan OPD 20. Sampel T4 (temulawak varietas
Sukabumi) teramplifikasi dengan primer OPC
18 dan OPD 20.
DNA sampel T5 yaitu temulawak varietas
Wonogiri dapat teramplifikasi dengan
menggunakan primer OPA 18, OPA 19, OPB
16, OPB 19, OPC 16, OPC 18, OPC 19, OPC
20, OPD 16 dan OPD 20. Dari 20 primer acak
terpilih yang digunakan untuk melakukan
RAPD pada sampel temulawak, seluruhnya
menghasilkan pita polimorfik kecuali OPA
16, OPB 17, 18 dan 20, serta OPD 17, 18 dan
19. OPC 18 dapat mengamplifikasi paling
banyak sampel dibandingkan dengan primer
lainnya, dengan jumlah lokus terbesar yang
muncul juga oleh OPC 18 yaitu 37 lokus.
OPA 17 menghasilkan paling sedikit, yaitu
sebanyak 5 lokus (lampiran 5).
Keberhasilan dalam proses amplifikasi
tergantung pada penempelan primer pada situs
komplemen (homolog) yang jaraknya
berdekatan dengan berbagai ukuran pasang
basa. Perbedaan hasil amplifikasi tersebut
menunjukkan terjadinya kompetisi dalam
proses penempelan primer sehingga dapat
menghasilkan fragmen DNA dalam jumlah
banyak atau jumlah sedikit. Adanya
amplifikasi DNA dengan primer acak tunggal
menunjukkan kedua utas DNA mempunyai
sekuen yang komplemen dengan primer yang
digunakan (Samal et al. 2003). Pita hasil
amplifikasi kemudian dianalisis lebih lanjut
untuk mengetahui
tingkat
keragaman
genetiknya melalui analisis kemiripan genetik.
Analisis filogenetik dan kemiripan genetik
Analisis hubungan kekerabatan genetik
antar tanaman dapat ditentukan berdasarkan
kemiripan genetik antar individu. Kekerabatan
genetik di antara sampel tanaman kunyit dan
temulawak dilakukan dengan analisis
gerombol (cluster analysis) dalam bentuk
dendogram
menggunakan
metode
pemasangan kelompok aritmatika tidak
berbobot (Unweighted Pair Grouping Method
with
Aritmatic
Averaging,
UPGMA)
berdasarkan pada tingkat kemiripan genetik,
dengan perangkat lunak NTSYS (Numerical
Taxonomy and Multivariate Analysis System).
Pita-pita DNA hasil elektroforesis pada gel
agarosa diubah menjadi data biner. Setiap pita
mewakili satu karakter dan diberi nilai
berdasarkan ada tidaknya suatu pita. Angka
satu “1” menunjukkan pita yang terbentuk dan
angka nol “0” menunjukan pita yang tidak
terbentuk (Tarinezhad 2005).
Hasil analisis UPGMA berupa dendogram
kemiripan genetik pada 7 sampel kunyit
(gambar 9) dan 5 sampel temulawak yang
diteliti. Nilai koefisien kemiripan genetik pada
gambar 9 menunjukan angka kedekatan
genetik antara 7 sampel Curcuma longa Linn.
kultivar tanah Jawa. Varietas berbeda dari
spesies Curcuma longa yang telah diteliti
dapat terpisah menjadi dua kelompok besar
(dua kluster utama) pada koefisien 51.65%
(0.5165). Kelompok pertama hanya berisi satu
individu yaitu kunyit Turina 2, sedangkan
kelompok kedua terdiri atas 6 sampel tanaman
kunyit lainnya yang akan terpisah lagi pada
K.BPTO
K.Nagrak
K.T1
K.Ciemas
K.Wonogiri
K.Ngawi
K.T2
0.460
0.519
0.578
0.637
0.696
0.754
0.813
0.872
0.931
0.990
Koefisien Kemiripan Genetik
Gambar 9 Pohon filogenetik 7 varietas Curcuma longa Linn. berdasarkan pola pita hasil RAPD.
koefisien kemiripan genetik lebih tinggi.
Garis putus-putus berwarna merah pada
pohon filogenetik merupakan alternatif pilihan
dalam pengelompokan individu. Garis
pertama menunjukkan koefisien kemiripan
genetik sebesar
63.7%
yang
dapat
mengelompokkan sampel kunyit menjadi 4
kelompok (gambar 9). Garis kedua pada
koefisien kemiripan genetik sebesar 81.3%
mampu mengelompokkan sampel menjadi 5
kelompok dengan kelompok pertama sampai
kelompok keempat masing – masing hanya
berisi satu individu yakni sampel kunyit
Turina 2 (Bogor), Ngawi, Wonogiri dan
Ciemas. Kelompok kelima terbagi lebih jauh
pada koefisien kemiripan genetik 85.73%
menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama
hanya
berisi
sampel
kunyit
BPTO
(Karanganyar), sedangkan kelompok kedua
beranggotakan kunyit Nagrak dan Turina 1
(Bogor) yang dipisahkan kembali pada
koefisien 94.35%.
Semua sampel Curcuma longa yang
diteliti telah diidentifikasi sebagai satu
kelompok tersendiri pada koefisien 94.58%.
Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa
semakin tinggi nilai koefisien kemiripan
genetik, semakin banyak pula pengelompokan
individu yang terjadi. Koefisien kemiripan
genetik dari seluruh varietas Curcuma longa
yang diteliti berkisar antara 42.37% - 94.35%
(lampiran 6). Berdasarkan hasil analisis
penanda molekuler RAPD, kemiripan genetik
tertinggi terjadi pada kunyit Turina 1 (varietas
Bogor) dengan kunyit varietas Nagrak pada
nilai koefisien kemiripan genetik sebesar
94.35% dan koefisien kemiripan genetik
terendah terjadi antara kunyit varietas Ngawi
dengan varietas Ciemas sebesar 42.37%
(lampiran 6).
Hasil analisis UPGMA pada 5 spesies
Curcuma xanthorrhiza Roxb. dengan varietas
berbeda (gambar 10) menunjukkan bahwa
sampel yang diteliti terpisah menjadi dua
kelompok besar (dua kluster utama) pada
koefisien 33.17% (0.3317). Kelompok
pertama hanya berisi satu individu yaitu
sampel temulawak Wonogiri, sedangkan
kelompok kedua terdiri atas 4 sampel tanaman
temulawak lainnya yang akan terpisah lagi
pada koefisien kemiripan genetik lebih tinggi.
Garis pertama menunjukkan koefisien
kemiripan genetik sebesar 48.7% yang dapat
mengelompokkan sampel kunyit menjadi 2
kelompok.
Garis kedua pada koefisien kemiripan
genetik
sebesar
69.3%
mampu
mengelompokkan
sampel
menjadi
3
kelompok dengan kelompok pertama dan
ketiga hanya berisi satu individu yakni sampel
temulawak varietas Wonogiri, dan temulawak
BPTO (varietas Karanganyar). Sedangkan
kelompok kedua terbagi lebih jauh pada
koefisien kemiripan genetik 76.63% menjadi
2 kelompok. Kelompok pertama hanya berisi
sampel temulawak Sragen, sedangkan
kelompok kedua beranggotakan sampel
temulawak Sukabumi dan Cursina 3 (varietas
Bogor) yang telah dipisahkan kembali pada
koefisien 85.31%. Pada koefisien 85.31%
semua sampel Curcuma xanthorrhiza Roxb.
yang diteliti telah diidentifikasi sebagai satu
T.BPTO
T.C3
T.Sukabumi
T.Sragen
T.Wonogiri
0.280
0.349
0.418
0.487
0.556
0.624
0.693
0.762
0.831
0.900
Koefisien Kemiripan Genetik
Gambar 10 Pohon filogenetik 5 varietas Curcuma xanthorrhiza Roxb. berdasarkan pola pita hasil RAPD.
kelompok tersendiri (gambar 10).
Hasil yang diperoleh pada sampel
temulawak juga menunjukkan bahwa semakin
tinggi nilai koefisien kemiripan genetik,
semakin banyak pula pengelompokan individu
yang terjadi. Koefisien kemiripan genetik dari
seluruh varietas Curcuma xanthorrhiza Roxb.
yang diteliti berkisar antara 19.58% - 85.31%
(lampiran 7). Berdasarkan hasil analisis
penanda molekuler RAPD, kemiripan genetik
tertinggi terjadi pada temulawak Cursina 3
(varietas Bogor) dengan temulawak Sukabumi
pada nilai koefisien sebesar 85.31% dan
koefisien kemiripan genetik terendah yaitu
antara
temulawak
Wonogiri
dengan
temulawak BPTO (varietas Karanganyar)
pada nilai koefisien kemiripan genetik sebesar
19.58%
Tingginya nilai kemiripan genetik
menunjukkan genotipe yang identik antara
kedua individu. Beberapa penelitian serupa
memaparkan tingginya tingkat keragaman
genetik genus Curcuma yang kemungkinan
dipengaruhi oleh perbedaan kondisi ekologi
dalam wilayah distribusi populasi (Thaikert
dan Paisooksantivatana 2009). Penyebab
utama tingginya tingkat polimorfisme bisa
jadi merupakan variasi intraspesifik seperti
dilansir Nayak et al (2006) yang memaparkan
bahwa tingginya jumlah lokus polimorfik
mengungkapkan variasi intraspesifik yang
mendalam antar kultivar.
Hasil penelitian sinergis berdasarkan
penanda RAPD oleh Jan et al (2010)
menunjukkan polimorfisme antara 20
genotipe Curcuma longa dari tiga populasi
berbeda di Pakistan sebesar 96,84%.
Didukung dengan pemaparan hasil penelitian
sebelumnya oleh Islam tahun 2007 mengenai
nilai keragaman genetik yang tinggi pada
Curcuma zedoaria, dapat dibuktikan adanya
kecenderungan mempertahankan keragaman
genetik yang tinggi dalam populasi pada
tumbuhan tropis (Lowe 2004).
Keragaman genetik pada populasi dapat
terjadi karena berbagai proses, seperti
rekombinasi, mutasi, aliran gen atau migrasi
gen dari satu tempat ke tempat lain (Campbell
et al 2002). Populasi menjadi sarana utama
bagi pertukaran alel antar individu, sehingga
pengelompokan suatu individu dalam populasi
merupakan tahap awal sebelum dilakukan
persilangan dalam tahap pemuliaan tanaman
(Setiyo 2001). Berdasarkan pengelompokan
pada hasil penelitian maka persilangan dapat
dilakukan menggunakan individu dari dua
kelompok yang berbeda (keragaman genetik
tinggi) dan menghindari tetua dari kelompok
yang sama untuk menghasilkan keturunan
yang memiliki sifat unggul (Primrose &
Twyman 2006). Semakin banyak basis
genetik yang dapat dibentuk, maka efisiensi
pemuliaan
pada
strategi
koleksi,
pemeliharaan, dan pengelolaan suatu spesies
juga akan meningkat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Primer OPA 16-20, OPB 16 dan 19, OPC
16-20 dan OPD 16-20 dapat digunakan untuk
mengamplifikasi DNA sampel tanaman
kunyit, sedangkan sampel temulawak dapat
diamplifikasi dengan menggunakan primer
OPA 17-20, OPB 16 dan 19, OPC 16-20,
OPD 16 dan 20. Teknik RAPD yang
dilakukan menghasilkan 100% pita polimorfik
dengan hasil dendogram klasifikasi 7 sampel
kunyit menunjukkan koefisien kemiripan
genetik berkisar antara 42.37% - 94.35% dan
koefisien kemiripan genetik 5 varietas sampel
temulawak antara 19.58% - 85.31%. Semakin
tinggi koefisien kemiripan genetik, semakin
kecil keragaman genetiknya.
Saran
Perlu dilakukan penelusuran primerprimer yang mampu mengelompok dengan
tingkat kepercayaan 95% dengan studi
statistika untuk mengetahui derajat ketelitian
data
UPGMA
(analisis
bootstrap)
menggunakan program Winboot, serta
penggunaan primer yang lebih banyak dan
beragam agar daerah genom Curcuma longa
Linn dan Curcuma xanthorrhiza Roxb. yang
teramplifikasi dapat semakin terwakili.
DAFTAR PUSTAKA
Afifah E. 2003. Khasiat dan Manfaat
Temulawak, Rimpang Penyembuh
Aneka Penyakit. Jakarta: Tim
Lentera. PT. Agromedia Pustaka.
Ardiana D.W. 2009. Teknik isolasi DNA
genom tanaman pepaya dan jeruk
dengan menggunakan modifikasi
bufer CTAB. J. Teknik Pertanian.
14(1): 12-16.
Azizah A. 2009. Perbandingan pola pita
amplifikasi DNA daun, bunga, dan
buah kelapa sawit normal dan
abnormal [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
Azrai M. 2005. Pemanfaatan marka molekuler
dalam proses seleksi pemulian
tanaman. Jurnal AgroBiogen 1(1):
26-37.
Bangun SII. 2002. Analisis Genotipe Normal
dan Abnormal pada Klon Kelapa
Sawit (Elaeis gueineensis Jacq.)
dengan RAPD. [tesis]. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Bappenas 2003. Strategi dan Rencana Aksi
Keanekaragaman Hayati Indonesia
2003-2020 [Dokumen Nasional].
Jakarta:
Badan
Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Barnum
SR. 2005. Biotechnology an
Introduction
2nd
Ed.
USA:
Brooks/Cole.
Bintang M. 2010. Teknik Penelitian Biokimia.
Jakarta: Erlangga.
Brown TA. 2003. Pengantar Kloning Gen.
Muhammad
SA,
penerjemah.
Terjemahan dari: Gene Cloning an
Introduction. Yogyakarta: Yayasan
Essentia Medika.
Campbell, Reece-Mitchell. 2002. Biologi 5th
Edition. Jakarta: Erlangga.
Castillo OC. 1994. Detection of genetik
diversity
and
selective
gene
introgression in coffee using RAPD
markers. Theor. Appl. Genet. 87:
934-940.
Cousins M, Adelberg J, Chen F, Rieck J.
2007. Antioxidant capacity of fresh
and dried rhizome from four clones
of turmeric (Curcuma longa L.)
grown in vitro. Indust. Crops Prod.
25: 129-135.
Dalimartha S. 2001. Atlas Tumbuhan Obat
Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya.
Doyle, J.J., J.L. Doyle. 1990. Isolation of
plant DNA from fresh tissue. Focus.
12: 13-15.
Duvoix A, Blasius R, Delhalle S, Schneken
burger M, Morceau F, Henry E,
Dicato M, Diederich, M. 2005.
Chemopreventive and Theraupetic
Effects of Curcumin. Cancer Letter
223: 181-190.
Farrell R. 2010. RNA Methodologies 4th Ed: A
Laboratory Manual for Isolation and
Characterization.
San
Diego:
Elsevier Inc.
Frick H, Moediartianto. 2004. Ilmu Konstruksi
Bangunan Kayu. Jakarta: Kanisius.
Gupta S, Srivastava M, Mishra GP, Naik PK,
Chauhan RS, Tiwari SK, Kumar M,
Singh R. 2008. Analogy of ISSR and
RAPD markers for comparative
analysis of genetic diversity among
different Jatropha curcas genotypes.
African Journal of Biotechnology
7:4230-4243.
Herran A, Estioko L, Becker D, Rodriquez
M.J.B. 2000. Linkage mapping and
QTL analysis in coconut. J. Theor.
Appl. Genet. 101:292 - 300.
Herison C, Rustikawati, Eliyanti. 2003.
Penentuan protokol yang tepat untuk
menyiapkan DNA genom cabai
(Capsicum Sp.). Jurnal Akta Agrosia
6(2): 38-43.
Islam
MA, Meister A, Schubert V,
Kloppstech K, Esch E. 2007. Genetik
diversity and cytogenetik analysis in
Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe
from Bangladesh. Genet. Resourc.
Crop Evol. 54: 149-156.
Jan HU, Rabbani MA, Shinwari ZK. 2010.
Assessment of genetik diversity of
indigenous turmeric (Curcuma longa
L.) germplasm from Pakistan using
RAPD markers. J. Med. Plants Res.
5(5): 823-830.
Jose J, Usha R. 2000. Extraction of
geminiviral DNA from a highly
mucilaginous plant (Abelmoschus
esculentus). Plant Mol. Biol. Rep. 18:
349 - 355.
Jusuf M. 2001. Genetika I: Struktur dan
Ekspresi Gen. Bogor: Sagung Seto.
Larsen K., H. Ibrahim., S.H. Khaw dan L.G.
Saw. 1999. Ginggers of Peninsular
Malaysia and Singapore. Natural
HistoryPublications (Borneo). Kota
Kinabalu.
Lebrun P, Baudouin R, Bourdeix J.L, Konan
J.H.A, Barker C, Aldam A, Herràn
and Ritter. 2001. Construction of a
linkage map of the rennel island tall
coconut type (Cocos nucifera L.) and
QTL analysis for yield characters. J.
Genome. 44:962-970.
Lowe A, Harris S, Ashton P. 2004. Ecological
Genetics: Design, Analysis and
Application.
United
Kingdom:
Blackwell Publishing.
Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa
Genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha
Muda.
Nayak S, Naik PK, Acharya LK, Pattnaik AK.
2006. Detection and evalution of
genetik variation in 17 promising
cultivars of turmeric (Curcuma longa
L.) using nuclear DNA content and
RAPD markers. Cytologia. 71: 4975.
NCBI. 2011. National Center for Biological
Information.
NCBI
[terhubung
berkala].http://www.ncbi.nlm.nih.go
v/ [25 Desember 2011].
Ningsih SU. 2008. Pengaruh konsentrasi
ekstrak tem lawak terhadap jumlah
nyamuk Aedes aegypti yang hinggap
pada tangan manusia [skripsi].
Surakarta: Fakultas Keguruan dan
Ilmu
Pendidikan,
Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Padmalatha K. and M.N.V. Prasad. 2006.
Optimization of DNA isolation and
PCR protocol for RAPD analysis of
selected medicinal and aromatic
plants of conservation concern from
Peninsular
India.
Afr.
J.
Biotechnology. 5:230-234.
Prakash O, Singh GN, Singh RM, Mathur SC,
Bajpai M, Yadav S. 2008. Protective
effect on a Herbal Formula Against
Carbon
Tetrachloride
Induced
Hepatotoxicity International Journal
of Pharmacology. 4: 282-286.
Prana T.K., Hartati N.S. 2003. Identifikasi
Sidik Jari DNA Talas (Colocasia
esculenta L. Schott) Indonesia dengan
Teknik RAPD (Random Amplified
Polymorphic DNA ): Skrining Primer
dan Optimalisasi Kondisi PCR. J.
Natur Indonesia. 5 (2): 107-112.
Primrose SB, Twyman RM. 2006. Principles
of Gene Manipulation and Genomics 7th
Ed. USA: Blackwell Publishing.
Puspendra K, Gupta, Rajeev K, Varshney,
Manoj P. 2002. Molecular Markers:
Principles and Methodology. In
Molecular Techniques in Crop
Improvement. SM. Jain S.M., D.S.
Brar and B.S. Ahloowalia, editor.
Netherland:
Kluwer
Academic
Publishers.
Ribaut JM, Bänzinger M, Betran J, Jiang C,
Edmeades GO, Dreher K, Hoisington
D. 2002. Use of Molecular Markers
in
Plant
Breeding:
Drought
Tolerance Improvement in Tropical
Maize. Di dalam: Manjit SK, editor.
Quantitative Genetics, Genomics and
Plant
Breeding.
UK:
CAB
International.
Ribeiro RA, Lovato MB. 2007. Comparative
analysis of different DNA extraction
protocols in fresh and herbarium
specimens of the genus Dalbergia.
Genet. Mol. Res. 6: 173-187.
Rukmana R. 2004. Temulawak: Tanaman
Rempah dan Obat. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Sahasrabudhe A, Deodhar
M. 2010.
Standardization of DNA extraction
and optimization of RAPD-PCR
condition in Garcinia indica.
International Journal of Botany.
6(3): 293-298.
Samal S. , Rout G.R., and Lenka P.C. 2003.
Analysis of Genetic Relationship
between Populations of Cashew
(Anacardium occidentale L.) by
Using
Morphological
Characterisation and RAPD Markers.
Plant Soil Environ. 49(4):176-182.
Sambrook J., Fritsch E.F., Maniatis T. 2001.
Molecular cloning: A laboratory
manual. USA: Cold Spring Harbor
Lab Press.
Setiyo I.E. 2001. Pemetaan dan keragaman
genetik RAPD pada kelapa sawit
sungai pancur (RISPA). Tesis.
Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Shukla N, Sangwan NS, Misra OH, Sangwan
RS. 2004. Characterization of
Boerhavia diffusa L. mutant lines
by RAPD and isozyme selected for
agronomically valuable traits. J.
Genetic & Breed 58:37-46.
Santoso P.J. 2005. Modified CTAB-based on
DNA isolation procedure for fruit
crops. Jurnal Stigma XIV(1): 1-4.
Subandiyah S. 2006. Polymerase Chain
atau
Reaction
untuk
deteksi
identifikasi
patogen
tumbuhan.
Pelatihan dan Workshop Identifikasi
DNA dengan Aplikasi PCR. Malang.
hlm. 43-50.
Sudjadi.
2008. Bioteknologi
Yogyakarta: Kanisius.
Kesehatan.
Suryanto D. 2003. Melihat keanekargaman
organisme melalui beberapa teknik
genetika molekular. USU Digital
Library
[terhubung
berkala].
http://www.library.usu.ac.id/modules.
php [7 Februari 2012].
Surzycki S. 2000. Basic Techniques in
Molecular Biology. New York :
Springer-Verlag (Berlin) Heidelberg.
Syukur C. 2002. Budidaya Tanaman Obat
Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya.
Tarinezhad A, A Sabouri & SA Mohammadi
2005. Statistical software NTSYS PC
application in plant breeding. In: The
7th Conference of Iran Statistics.
Teheran:
Allame
Tobatabaci
University [September 2005]
Taryono. 2001. Budidaya dan Pengolahan
Tanaman
Kunyit
(Curcuma
domestica Val). Bogor: Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian, Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat.
Thaikert R, Paisooksantivatana Y. 2009.
Variation of total curcuminoids
content, antioxidant activity and
genetik diversity in turmeric
(Curcuma longa L.) collections.
Kasetsart. J. Nat. Sci. 43: 507-518.
Tridjatmiko K.R. 2006. Penggunaan metode
PCR untuk deteksi cepat keragaman
DNA. Pelatihan dan Workshop
Identifikasi DNA dengan Aplikasi
PCR. Malang. hlm. 22-25.
Walker JM, Wilson K. 2000. Principles and
Techniques
of
Practical
Biochemistry.
UK:
Cambridge
University Press.
Wardana, H.D. 2002. Pemanfaatan plasma
nutfah dalam industri jamu dan
kosmetika alami. Buletin Plasma
Nutfah 8(2):84-85.
Wijayakusuma H. M. H. 2002. Tumbuhan
Berkasiat Obat Indonesia. Jakarta:
Milenia Populer.
Winarto WP. 2003. Khasiat dan Manfaat
Kunyit. Jakarta. Agromedia Pustaka.
Wu NC. 2003. Safety and anti-inflammatory
Activity of Curcumin: A Component
of Turmeric (Curcuma longa). The
Journal
of
Alternative
and
Complementary Medicine. 9:161168.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Strategi Penelitian
Isolasi DNA (Doyle
& Doyle 1990 yang
dimodifikasi)
•Optimasi
•Ekstraksi
•Visualisasi
(elektroforesis gel
agarosa)
•Uji Kuantitatif
Amplifikasi DNA
(William et al. 1990)
•PCR RAPD
•Visualisasi
(elektroforesis gel
agarosa)
Analisis Molekuler
•AlphaImager EP
software
•Scoring pita DNA
•Metode UPGMA
(NTSYS 2.02)
•Interpretasi Data
Lampiran 2 Bagan optimasi metode isolasi DNA ( modifikasi Doyle & Doyle 1990)
Lanjutan lampiran 2 Bagan optimasi metode isolasi DNA
Lampiran 3 Hasil analisis kuantitatif DNA dengan spektrofotometer
Sampel
Kunyit BPTO (Karanganyar)
Kunyit Ciemas
Kunyit Nagrak
Kunyit Ngawi
Kunyit Turina 1 (Bogor)
Kunyit Turina 2 (Bogor)
Kunyit Wonogiri
Temulawak BPTO (Karanganyar)
Temulawak C3 (Cursina 3) Bogor
Temulawak Sragen
Temulawak Sukabumi
Temulawak Wonogiri
A260
0.134
0.194
0.074
0.115
0.206
0.018
0.022
0.202
0.067
0.061
0.111
0.312
A260/A280
1.229
1.260
1.194
1.186
1.151
1.636
1.467
1.154
1.426
1.220
1.194
1.156
Contoh perhitungan [DNA]:

Fp (Faktor pengenceran) = 100 kali

[DNA]Kunyit BPTO
= A260 x Fp x 50 ng/µL
= 0.134 x 100 x 50 ng/µL
= 670 ng/µL
A260/A230
0.993
1.026
0.961
0.958
0.834
1.059
0.500
0.824
0.713
0.803
0.933
0.804
[DNA] ng/µL
670
970
370
575
1030
90
110
1010
335
305
555
1560
Lampiran 4 Daftar urutan primer yang digunakan dalam penelitian sampel kunyit
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Jumlah lokus teramplifikasi
Jenis
Primer
Sekuens
OPA 16
OPA 17
OPA 18
OPA 19
OPA 20
OPB 16
OPB 17
OPB 18
OPB 19
OPB 20
OPC 16
OPC 17
OPC 18
OPC 19
OPC 20
OPD 16
OPD 17
OPD 18
OPD 19
OPD 20
Jumlah lokus
K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
polimorfik
5’ AGCCAGCGAA 3’
5’ GACCGCTTGT 3’
5’ AGGTGACCGT 3’
5’ CAAACGTCGG 3’
5’ GTTGCGATCC 3’
5’ TTTGCCCGGA 3’
5’AGGGAACGAG 3’
5’ CCACAGCAGT 3’
5’ ACCCCCGAAG 3’
5’ GGACCCTTAC 3’
5’ CACACTCCAG 3’
5’ TTCCCCCCAG 3’
5’ TGAGTGGGTG 3’
5’ GTTGCCAGCC 3’
5’ ACTTCGCCAC 3’
5’ AGGGCGTAAG 3’
5’ TTTCCCACGG 3’
5’ GAGAGCCAAC 3’
5’ CTGGGGACTT 3’
5’ ACCCGGTCAC 3’
0
0
8
0
0
8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
2
1
0
4
6
7
0
0
0
0
8
5
11
3
9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
11
6
9
0
0
0
5
0
0
0
0
5
0
4
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7
13
2
10
7
0
0
7
0
0
6
9
6
10
1
0
0
0
0
0
0
11
4
11
0
0
0
11
0
8
0
11
0
0
2
0
0
0
0
2
14
43
16
36
22
0
0
23
0
26
11
31
14
19
8
1
1
1
10
Jumlah total
20
56
0
56
10
78
58
278
Keterangan:
K1 = Kunyit BPTO (Karanganyar)
K2 = Kunyit Ciemas
K3 = Kunyit Nagrak
K4 = Kunyit Ngawi
K5 = Kunyit Turina 1 (Bogor)
K6 = Kunyit Turina 2 (Bogor)
K7 = Kunyit Wonogiri
Ukuran lokus (bp)
1500-2250
350-3000
200-3250
600-2250
300-5250
550-3000
0
0
550-3500
0
500-4000
700-2000
350-3250
1000-3000
450-3000
350-1350
850
950
900
700-3000
Lampiran 5 Daftar urutan primer yang digunakan dalam penelitian sampel temulawak
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Jumlah lokus teramplifikasi
Jenis
Primer
Sekuens
OPA 16
OPA 17
OPA 18
OPA 19
OPA 20
OPB 16
OPB 17
OPB 18
OPB 19
OPB 20
OPC 16
OPC 17
OPC 18
OPC 19
OPC 20
OPD 16
OPD 17
OPD 18
OPD 19
OPD 20
Jumlah lokus
T1
T2
T3
T4
T5
polimorfik
5’ AGCCAGCGAA 3’
5’ GACCGCTTGT 3’
5’ AGGTGACCGT 3’
5’ CAAACGTCGG 3’
5’ GTTGCGATCC 3’
5’ TTTGCCCGGA 3’
5’AGGGAACGAG 3’
5’ CCACAGCAGT 3’
5’ ACCCCCGAAG 3’
5’ GGACCCTTAC 3’
5’ CACACTCCAG 3’
5’ TTCCCCCCAG 3’
5’ TGAGTGGGTG 3’
5’ GTTGCCAGCC 3’
5’ ACTTCGCCAC 3’
5’ AGGGCGTAAG 3’
5’ TTTCCCACGG 3’
5’ GAGAGCCAAC 3’
5’ CTGGGGACTT 3’
5’ ACCCGGTCAC 3’
0
0
5
0
10
4
0
0
0
0
9
6
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
1
2
3
0
0
0
0
0
0
5
6
2
0
0
0
0
5
0
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11
0
0
0
0
0
0
5
0
0
9
11
0
6
0
0
7
0
7
0
11
8
12
7
0
0
0
13
0
5
18
12
12
13
0
0
7
0
16
6
37
14
14
7
0
0
0
23
Jumlah total
44
0
28
21
91
184
Keterangan:
T1 = Temulawak BPTO (Karanganyar)
T2 = Temulawak Cursina 3 (Bogor)
T3 = Temulawak Sragen
T4 = Temulawak Sukabumi
T5 = Temulawak Wonogiri
Ukuran lokus (bp)
0
600-1200
200-3000
750-3500
400-2500
400-1750
0
0
650-3500
0
400-3500
950-3000
400-2750
650-2750
400-2000
450-1350
0
0
0
300-1500
Lampiran 6 Matriks kemiripan genetik antara 7 sampel kunyit berdasarkan
proporsi fragmen yang dimiliki bersama
Sampel
K.BPTO K.Ciemas K.Nagrak K.Ngawi
K.BPTO
1.0000000
K.Ciemas
0.6384181 1.0000000
K.Nagrak
0.8870056 0.6836158 1.0000000
K.Ngawi
0.5932203 0.4237288 0.6836158 1.0000000
K.Turina 1 K.Turina 2 K.Wonogiri
K.Turina 1
0.8305085 0.6723164 0.9435028 0.6271186 1.0000000
K.Turina 2
0.5480226 0.5028249 0.5593220 0.4802260 0.5028249 1.0000000
K.Wonogiri
0.6271186 0.5028249 0.6723164 0.4689266 0.6723164 0.4915254 1.0000000
Lampiran 7 Matriks kemiripan genetik antara 5 sampel temulawak berdasarkan
proporsi fragmen yang dimiliki bersama
Sampel
T.BPTO T.Cursina 3 T.Sragen T.Sukabumi T.Wonogiri
T.BPTO
1.0000000
T.Cursina 3
T.Sragen
0.6993007 1.0000000
0.6013986 0.8041958 1.0000000
T.Sukabumi
0.6223776 0.8531469 0.7272727 1.0000000
T.Wonogiri
0.1958042 0.3706294 0.3846154 0.3776224 1.0000000
Lampiran 8 Elektroforegram hasil RAPD Kunyit dan Temulawak dengan 20 primer
Elektroforegram sampel kunyit BPTO
Elektroforegram sampel kunyit Ciemas
Elektroforegram sampel kunyit Nagrak
Elektroforegram sampel kunyit Ngawi
Elektroforegram sampel kunyit Thurina 1
Elektroforegram sampel kunyit Thurina 2
Elektroforegram sampel kunyit Wonogiri
Elektroforegram sampel temulawak BPTO
Elektroforegram sampel temulawak C3
Elektroforegram sampel temulawak Ngawi
Elektroforegram sampel temulawak Sragen
Elektroforegram sampel temulawak Sukabumi
Elektroforegram sampel temulawak Wonogiri
Keterangan : M= Marker
A16-20= OPA 16 – 20
B16-20= OPB 16 – 20
C16-20= OPC 16 – 20
D16-20= OPD 16 – 20
Lampiran 9 Data lokus yang muncul pada setiap sampel kunyit oleh setiap primer
Sampel/
Primer
OPA 16
OPA 17
OPA 18
OPA 19
K1
0
0
3250, 2250,
1500, 1200,
950, 800,
650, 500,
0
K2
1500, 2250
0
0
200, 300,
350, 500,
700, 850,
950, 1000,
1350, 1750,
2500
0
600, 850,
950, 1500,
0
650, 800,
950, 1200,
1750, 2250
0
850, 950
1000, 1200,
1350, 1500
0
300, 650,
700, 800,
900, 1000,
1500, 2000,
3000
0
600, 700,
800, 900,
1350, 1500,
2750, 3250,
4000, 5000
650, 900,
950, 1000,
1200, 1350,
1750, 2750,
3250, 5000,
5250
0
600, 1000,
1200, 1350,
2000, 2750,
3000
0
1750, 2000,
2250, 2750,
3000
0
1200, 1500,
1750, 2000,
2500, 3000,
3250
550, 650,
950, 1000,
1200, 1350,
1500, 1750,
2000,
3250,3500
0
0
500, 550,
700, 950,
1200, 1350,
1500, 2750,
3500, 4000
0
0
0
0
0
700, 950,
1000, 1200,
1500, 1750,
0
0
0
750, 1000,
1200, 1350,
1500, 1750,
2000, 2500,
3000
0
OPB 16
550, 1000,
1200, 1350,
1500, 1750,
2750
0
0
0
0
600, 700,
900, 1000,
1200, 1350,
1500, 2000
750, 1000,
1350, 1750,
2000,
400, 500,
750, 900,
950, 1000,
1200, 1350,
1500, 1750,
2250
0
0
0
0
OPC 18
0
OPC 19
0
1750, 1200,
1000
0
1750, 2000,
2250, 2750,
3000
0
0
450, 1000,
1200, 1350,
1500, 1750,
2000, 2750,
3000
0
0
0
OPC 20
K7
0
1500
3000, 1750,
1500, 1350,
1200, 1000,
700, 550,
OPC 17
K6
350, 700,
850, 1500,
1750, 2750
700, 850,
950, 1000,
1750, 2500
0
K5
0
0
OPC 16
K4
0
OPA 20
OPB 19
K3
350, 750,
1350, 1500,
1750, 2250,
3000
300, 350,
400, 450,
650, 800,
950, 1200,
1350, 2000,
2250, 2500,
3000
1350, 1500,
1750, 2000,
2250, 2750
450, 600,
700, 800,
1000, 1200,
1500, 1750,
2000, 2500
650, 750,
800, 900,
1200, 1350,
1500, 1750,
2250, 2500,
3250
0
0
Sampel/
Primer
K1
K2
K3
OPD 16
850,
0
0
OPD 17
OPD 18
OPD 19
850,
950
900
0
0
0
0
0
0
OPD 20
0
0
0
Keterangan:
K1 = Kunyit BPTO (Karanganyar)
K2 = Kunyit Ciemas
K3 = Kunyit Nagrak
K4 = Kunyit Ngawi
K5 = Kunyit Turina 1 (Bogor)
K6 = Kunyit Turina 2 (Bogor)
K7 = Kunyit Wonogiri
K4
350, 650,
700, 1200
0
0
0
700, 950,
1000, 1200,
1350, 1500,
1750, 2000,
2500, 3000
K5
K6
K7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Lampiran 10 Data lokus yang muncul pada setiap sampel temulawak oleh setiap primer
Sampel/
Primer
OPA 16
0
0
0
OPA 17
0
0
0
OPA 18
200, 250,
300, 450,
600,
0
900, 1200, 1500,
2250
0
OPA 19
0
0
800
0
0
800, 1350
0
0
550, 1000, 1750
0
0
0
0
0
0
400, 500, 600, 900,
1500, 2500, 3500
0
0
0
0
0
800, 950, 1200,
1750, 2000
500, 550, 600,
800, 850,
1000, 1200,
1500, 1750,
2000, 2500
400, 500, 550, 800,
850, 1000, 1200,
1350, 1500, 1750,
2000
OPA 20
OPB 16
OPB 19
OPC 16
OPC 17
OPC 18
T.BPTO
400, 450,
550, 650,
800, 950,
1200, 1350,
1750, 2500
450, 550,
900, 950,
0
400, 550,
750, 950,
1000, 1200,
1350, 1750
950, 1200,
1350, 1750,
2750, 3000
400, 450,
500, 800,
950, 1000,
1200, 1350,
1750, 2250
T.C3
T.Sragen
T.Sukabumi
0
600, 750, 900,
1000, 1200
OPC 19
0
0
650, 900, 1000,
1200, 1500, 2750
0
OPC 20
0
0
700, 900
0
OPD 16
0
0
0
0
OPD 17
OPD 18
OPD 19
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
OPD 20
0
0
550, 850, 1000,
1200, 1500
300, 400, 450,
550, 900,
Keterangan:
T1 = Temulawak BPTO (Karanganyar)
T2 = Temulawak Cursina 3 (Bogor)
T3 = Temulawak Sragen
T4 = Temulawak Sukabumi
T5 = Temulawak Wonogiri
T. Wonogiri
0
650, 800, 850, 1000,
1200, 1500, 1750,
2000, 3000
750, 800, 900, 1000,
1200, 1350, 1500,
1750, 2000, 2750,
3500
0
400, 500, 600, 950,
1500, 1750
650, 900, 1350, 1500,
1750, 3250, 3500
700, 800, 900, 950,
1350, 1500, 2000
400, 450, 550, 650,
800, 950, 1000, 1200,
1350, 1500, 1750,
2000,
450, 650, 750, 900,
1000, 1200, 1350
0
0
0
350, 400, 500, 550,
600, 700, 750, 800,
850, 950, 1000, 1200,
1500
Download