BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Permasalahan Sudah sepanjang zaman penggenapan akan eskatologi1 merupakan suatu hal yang senantiasa dinantikan, khususnya oleh orang Kristen. Dewasa ini, berbagai macam responpun timbul terhadap eskatologi tersebut. Ada yang sangat tertarik untuk membahasnya sehingga tak jarang akan jatuh pada usaha untuk menghitung-hitung hari parousia (kedatangan kembali) Yesus. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa di kota Bandung beberapa waktu yang lalu, yakni dengan munculnya sebuah kelompok yang menamakan dirinya “Pondok Nabi”. Seluruh anggota kelompok ini datang dari berbagai daerah di Indonesia setelah meninggalkan sekolah, pekerjaan, tempat tinggal dan menjuali harta benda yang mereka miliki untuk menantikan kedatangan hari kiamat yang mereka yakini akan terjadi, seperti yang diperkirakan oleh pemimpin mereka yakni Pendeta Mangapin Sibuea. Kejadian seperti ini bukanlah sebuah fenomena yang baru saja terjadi, khususnya bagi kalangan umat Kristiani. Jonggi Cho juga pernah meramalkan bahwa akhir zaman akan terjadi pada tahun 1998.2 Sejak kematian Yesus, sepanjang sejarah kekristenan, memang selalu muncul segolongan kecil umat Kristen yang mempercayai Yesus datang pada tahun-tahun tertentu seperti tahun 500, 1000, 1260, 1420, 1553, 1972, 1992, 1998, 1999, 2000, 2006, 2007.3 Semua ini menunjukkan begitu besar pengharapan manusia atas kedatangan Yesus kedua kalinya, tetapi akhirnya malah “menutup mata” terhadap kehidupan saat ini dan di dunia ini. Di pihak lain, ada pula orang yang tidak 1 Istilah eskatologi sendiri berasal dari bahasa Yunani “έσχατος” (eschatos) yang berarti: yang akhir atau yang terakhir, dan “λογος” (logos) yang berarti ilmu. Jadi eskatologi berarti ilmu yang mempelajari tentang hal akhir, atau yang biasanya dikenal sebagai ilmu yang mempelajari tentang akhir zaman. Penggunaan umum kata eschatos ini sendiri biasanya mengacu kepada akhir dari materi (Mat. 5:26; Luk. 12:59), tempat (Kis. 1:8) ataupun waktu (Mat. 12:45; 20:8), tetapi yang berhubungan dengan eskatologi itu sendiri mengambil dari pengertian: apa yang akhir dalam waktu. Hal ini dijelaskan sebagian menurut Septuaginta (diambil dari Perjanjian Lama: מּיּם )בּאַהּרּיּתּ הּיּdan sebagian pengaruh dari ramalan h`me,ra| (ēmera) “Hari Tuhan” (Kittel, “εσχατος” dalam Theological Dictionary of New Testament Vol. II, Gerhard Kittel (ed.), WM. B. Eerdmans Publishing Company Grand Rapids, Michigan, 1964, p. 697). Oleh karena itu, berbicara tentang eskatologi berarti berbicara tentang datangnya “Hari Tuhan”. Artinya pembicaraan tersebut berbicara tentang saat dimana Tuhan datang untuk menggenapi semua janji-Nya yakni dengan menghadirkan Kerajaan Allah yang disertai dengan kedatangan Mesias di bumi ini. 2 www.yabina.org/artikel/A%2711_72.htm. 3 www.surya.co.id/12112003/126.phtml.27. 1 suka dengan pembahasan eskatologi bahkan menolaknya. Yang penting baginya adalah bagaimana manusia harus menghadapi hidup sekarang ini. Parousia Yesus adalah masa yang telah lama tertunda, dan mungkin kedatangan-Nya adalah masa yang masih jauh lagi dari kehidupannya sekarang. Jadi dengan kata lain, bagi mereka yang demikian eskatologi itu sama sekali tidak dapat menjawab keadaan hidup sekarang ini. Dari kedua respon tersebut, menurut penyusun, hal ini terjadi karena sulitnya menghubungkan antara “saat ini dan di sini” (segi present) dengan “saat itu dan di sana” (segi futuris) yang tidak kunjung datang itu. Respon lain yang juga sering muncul terhadap eskatologi ini adalah adanya orang yang merasa takut ketika membaca keadaan yang akan terjadi sebelum kedatangan Yesus. Bagi mereka yang merasa takut, masa itu dianggap sebagai ancaman akan kehidupannya. Keadaan yang “future” itu hanya dijadikan motivasi untuk hidup pada jalan yang diperintahkan Tuhan (yang mentaati dan melakukannya akan masuk surga, dan yang menolaknya akan masuk neraka). Di kalangan para teolog sendiri, banyak terjadi penafsiran yang berbeda-beda bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya. Misalnya saja A. Schweitzer yang selalu menekankan sifat futuris dari pekabaran Yesus dan C. H. Dood yang menekankan segi presentis.4 Ada pula yang menekankan pandangannya terhadap pengertiannya tentang sejarah, seperti R. Bultmann yang menekankan sejarah perseorangan, sementara itu O. Cullmann menekankan tentang sejarah universal.5 Tidak itu saja, terhadap tanda-tanda yang mendahului kedatangan Yesus, 4 Menurut A. Schweitzer, segenap pikiran Yesus terarah pada kedatangan Kerajaan Allah dengan segera (Dr. Ulrich Beyer, Garis-Garis Besar Eskatologi dalam Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003, p. 1). Konsep eskatologis tersebut terletak pada dasar pengajaran-Nya bahkan sejak awal pelayanan-Nya yang pertama di Galilea. Baginya, perintah Yesus terhadap kedua belas murid bukanlah untuk mengajar atau mendidik, melainkan memperingatkan manusia akan dekatnya Kerajaan Allah sehingga perlu membuat keputusan dengan segera. Manusia tidak melakukan usaha untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, tetapi mempersiapkan dirinya melalui pertobatan untuk menerima Kerajaan yang datang dengan tiba-tiba. Jadi menurutnya, etika yang terdapat dalam ajaran Yesus merupakan sarana mempersiapkan seseorang untuk masuk ke dalam Kerajaan itu Sebaliknya, C.H. Dood mengatakan bahwa zaman baru itu sudah datang; Allah telah membangun Kerajaan-Nya. Konsep metodologis mengenai Hari Tuhan telah diwujudkan dalam sebuah peristiwa sejarah yang pasti dan telah terjadi melalui pelayanan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Eskatologi telah terpenuhi atau “direalisasikan”. Baginya, tidak seharusnya meyakini kedatangan Kristus kedua kali, sebaliknya harus memahami bahwa hanya ada satu kedatangan. Yesus tidak berbicara tentang bagaimana Kerajaan itu pada masa yang akan datang, tetapi Ia berbicara tentang Kerajaan itu pada saat ini (Millard J. Erickson, Pandangan Kontemporer dalam Eskatologi, SAAT, Malang, 2000, p. 23-25, 32). 5 R. Bultmann mengartikan bahwa sejarah tidak hanya sebagai suatu rentetan zaman yang berturut-turut, melainkan juga meliputi kesejarahan eksistensi manusia. Maksudnya adalah sejarah hidup yang dialami setiap manusia mengandung dua kemungkinan yakni dapat atau tidakkah manusia menemui kepribadiannya yang sejati. Baginya, setiap orang yang mendengarkan pekabaran Injil berhadapan langsung dengan suatu panggilan dan menuntut suatu keputusan yang tegas dari dirinya. Eksistensi dari eskatologis bukanlah milik yang tersedia tetap, 2 tafsirannya juga berbeda-beda. Ada yang menerangkan bahwa tanda-tanda itu akan terjadi dengan cara yang menyolok (mis: perang yang berlainan dari perang yang biasa terjadi, gempa bumi yang luar biasa, kelaparan yang luar biasa, dsb), dan ada pula yang mengatakan bahwa tanda-tanda yang mengawali kedatangan Yesus adalah kejadian yang datang secara menyeluruh yakni meliputi seluruh dunia (mis: perang menjadi perang dunia, gempa bumi dan bencana alam di seluruh dunia, dsb).6 Beranjak dari berbagai macam respon dan tafsiran yang demikian, penyusun tertarik untuk membahas eskatologi sebagai bahan skripsi. Doktrin eskatologi milik gereja yang saat ini direspon dengan berbagai macam cara tersebut, tentunya bertolak dari cara penafsiran terhadap Alkitab juga. Untuk itu, di sini penyusun memilih Injil Lukas sebagai bahan yang akan digali lebih jauh. Adapun yang menjadi alasan bagi penyusun memilih Injil ini adalah karena selain sifatnya yang historis, Lukas menulis karyanya terutama untuk menjawab pergumulan jemaat mengenai penundaan parousia7. Dalam hal ini, penyusun sendiri juga masih mempertanyakan: “Benarkah parousia mengalami penundaan?” Selain itu, penyusun juga tertarik untuk menggali kitab ini karena ditulis oleh seorang yang cerdas8, dan melainkan yang harus diwujudkan senantiasa dengan baru melalui keputusan iman yang senantiasa baru pula. Sedangkan bagi O. Cullmann kesaksian Perjanjian Baru tentang eskatologi adalah mengenai dimensi-dimensi sejarah yang universal, yang melebihi kepentingan perseorangan. Pandangannya berorientasi pada dua pola kejadian eskaton yaitu: sudah genap realisasinya, belum kelihatan kesempurnaannya. Hari kemenangan sudah tiba dengan kedatangan serta karya Yesus dan sekarang manusia sudah ditebus. Tetapi di pihak lain, dosa masih berpengaruh, maut belum ditiadakan, dan seluruh dunia tampaknya belum dikuasai oleh kemenangan Tuhan Yesus. Kedua pola waktu ini — “sudah” dan “belum” — dianggap sebagai pekabaran asasi dalam pemberitaan semua lapisan Perjanjian Baru (Dr. Ulrich Beyer, Garis-Garis Besar ESKATOLOGI dalam Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003, p. 2-4). 6 Menurut Dr. H. Hadiwijono, cara penafsiran seperti ini tidak benar karena ini juga sudah mengandung sifat: memperhitungkan kedatangan Yesus kembali. Sebelum Tuhan Yesus datang kembali orang jadi menentukan tanda-tandanya, padahal Alkitab sendiri mengatakan bahwa Hari Tuhan datang seperti pencuri, datang tanpa tanda-tanda lahiriah dan secara tiba-tiba (Luk. 17:20, 2 Ptr 3:10). Lalu bagaimana kita memahami semua ini? Untuk memahami hal itu, di sini penyusun sependapat dengan Dr. Harun H. yang menegaskan bahwa kita harus menyadari ayat-ayat tersebut tidak bisa ditafsirkan begitu saja tanpa memiliki hubungannya dengan yang lain. Nubuat-nubuat yang berbentuk wahyu, senantiasa dihubungkan dengan kejadian-kejadian yang terjadi pada zaman wahyu tadi dikaruniakan, jadi masih sangat erat hubungannya dengan zaman itu (Dr. H. Hadiwijono, Iman Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, p. 483-486). Oleh karena itu, dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, selain melihat keutuhannya dalam kitabnya, harus pula dipertimbangkan situasi ataupun zaman saat hal-hal tersebut diajarkan. 7 Pdt. Drs. Henk ten Napel mengatakan: “Dalam Injil Lukas muncullah masalah yang berhubungan dengan “keterlambatan parousia”. Dalam jemaat Kristen mula-mula ada penantian yang kuat akan kedatangan Kristus untuk kedua kalinya. Akan tetapi pengharapan itu mengalami suatu krisis, sebab makin hari makin nyata bahwa parousia Yesus Kristus belum terjadi juga. Lukas menulis kedua karangannya (Injil Lukas dan Kisah Para Rasul), antara lain sebagai suatu sumbangan untuk mengatasi masalah yang pelik ini“ (Pdt. Drs. Henk ten Napel Jalan Yang Lebih Utama Lagi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, p. 86). 8 Hal ini terlihat dari gaya penceritaannya yang sistematis, dimana penulis juga melakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum menuliskan karyanya (Luk. 1:1-4). 3 dialamatkan kepada seorang petinggi kekaisaran Romawi9 yang bernama Theophilus (Luk. 1:1-4). Tentunya hal ini memiliki nilai tersendiri yang pasti berbeda jika diberikan kepada mereka yang menderita dan melihat eskatologi hanya sebagai sarana untuk menghibur dan menguatkan manusia dari penderitaan. A.2. Rumusan Permasalahan Penundaan parousia merupakan masalah yang senantiasa diperdebatkan oleh para teolog, khususnya pada Injil Lukas. Persoalan pokoknya bukan pada pertanyaan apakah Lukas mengantisipasi sebuah perwujudan eskatologi, tetapi pada pertanyaan apakah dia menyusun perwujudan eskatologi itu sebagai masa depan yang sudah dekat atau masih jauh.10 Ini berarti yang diperdebatkan oleh para teolog pada umumnya adalah masalah “waktu” kedatangan parousia itu: hampir sampai ataukah masih jauh. Kebingungan ini juga muncul ketika Lukas menguraikan perihal Kerajaan Allah yang juga menekankan kedua hal tersebut. Di satu sisi Lukas menyatakan bahwa perwujudannya dapat dilihat dan sudah sangat dekat yang ditandai dengan pernyataan: “Kerajaan Allah sudah dekat, …angkatan ini tidak akan berlalu sebelum semuanya terjadi.” (Luk 9:27; 10:9,11; 21:32), tetapi di sisi lain dia menggambarkan bahwa perwujudannya tidak dapat dilihat dan waktunya masih jauh (tidak diketahui) yang ditandai dengan pernyataan: “orang akan berkata…, jangan kamu ikut” (Luk 17:23; 19:11; 21:8; Kis 1:6-8). Kebingungan ini juga semakin bertambah dengan adanya pernyataan Yesus yang ditulis oleh Lukas pada pasal 17:21 “…Kerajaan Allah ada diantara kamu”. Lalu bagaimana memahami semuanya ini dalam eskatologi Lukas? Seorang teolog bernama Wilson mengemukakan bahwa ketidak-konsistenan Lukas menekankan kedua hal itu disebabkan perhatian utamanya pada pastoral, dimana kedua penekanan itu dilakukan dalam rangka mengatasi masalah penundaan parousia.11 Hal itu jugalah yang dikatakan oleh R. Bultmann dan Hans Conzelman. Conzelmann mengatakan bahwa Lukas menyadari adanya penundaan parousia yang dihadapi oleh jemaat Kristen mulamula, sehingga dia merasa perlu menulis kembali dan memaparkan tentang sejarah 9 Diduga Theofilus memegang suatu jabatan tinggi dalam pemerintahan kekaisaran Romawi, sebab penggunaan kata “Yang Mulia” (Yun. kratistos) yang dipakai oleh penulis. Kata ini juga muncul dalam Kis 23:26 dan 24:3 yang mengacu kepada gubernur Romawi Feliks, serta Kis 26:25 yang mengacu pada gubernur Romawi Festus. Jadi sangat memungkinkan Theofilus juga memegang jabatan semacam itu (Drs. B.F.Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1982, p. 241). 10 D. E. Aune, Eschatology (Early Christian Eschatology), The Anchor Bible Dictionary. 11 D. E. Aune, Eschatology (Early Christian Eschatology), The Anchor Bible Dictionary 4 keselamatan untuk mengatasi hal itu. Menurutnya, Lukas telah menggunakan sumbernya sebaik mungkin. Dia menambah ataupun meniadakan beberapa bagian dari sumbernya tentang pengharapan awal dari perwujudan eskatologi yang segera datang kepada masa yang lebih panjang, yakni periode gereja:12 “…, in the quotation from Joel in the story of Pentecost (Act ii, 17ff.), the Spirit is thought of as a sign of the End, in the source and also in Luke, but the interpretation is different in each case. In their original sense the “last days” have not yet been expanded into a longer epoch, which is what happens in Luke’s conception of Spirit and of the Church, according to which the outpouring of Spirit is no longer itself the start of Eschaton, but the beginning of a longer epoch, the period of the Church. It is true that this is the last epoch in the course of redemptive history, but this very fact represents a change in the understanding of the “last days”. The Spirit Himself is no longer eschatological gift, but the substitute in the meantime for the possession of ultimate salvation; He makes it possible for believers to exist in the continuing life of the world and in persecution, and He gives the power for missionary endeavour and for endurance.” Atas pandangan Bultmann dan Conzelmann itu, Prof. E.Earle Ellis memunculkan suatu pertanyaan: “Manakah bukti bahwa tidak terjadinya (penundaan) parousia itu merupakan masalah penting yang harus diselesaikan?” Bagi Earle Ellis sendiri, motif penundaan dalam Lukas tidak berbicara tentang hal itu. Di dalam Lukas 12:39, 45; 17:20, 23; 19:11; 21:8 dan Kis 1:6-8, penundaan tersebut bukanlah masalah “waktu” tetapi masalah ketidaksetiaan. Baginya, perlu dicatat bahwa ini hanya sebuah penekanan motif kembar “segera dan tertunda” yang Lukas temukan dalam tradisinya. Kemungkinan, penekanan tersebut menjadi pusat teologi Lukas sendiri dan sekaligus juga menyediakan sebuah respon untuk masalah gereja. Menurut Earle Ellis masalahnya bukanlah menyangkut penundaan parousia, tetapi pada sebuah pemikiran apokaliptik13 yang keliru yang menyalahgunakan pengajaran Yesus dan mengancam menyesatkan misi gereja.14 12 Hans Conzelmann, The Theology of St. Luke, Faber and Faber, New York, 1960, p. 95. Apokaliptik adalah suatu wawasan keagamaan yang menyingkapkan tentang eskatologi, astronomi, penciptaan, alam baka (angkasa/surga), atau masalah-masalah yang berpusat pada Yerusalem yang menyenangkan (I. J. Kreitzer, ”Apocalyptic, Apocaypticism” dalam Dictionary of The Later New Testament & Its Developments, Ralp P. Martin & Peter H. Davids (ed.), Intervarsity Press, Leicester-England, 1997, p. 55-57) Ungkapan “sastra apokaliptik” merujuk pada suatu jenis tulisan mengenai penyataan Ilahi yang dihasilkan dalam lingkungan keyahudian kira-kira tahun 250 SM sampai 100 M yang diambil alih serta dipertahankan oleh gereja Kristen (D. S. Russell, Penyingkapan Ilahi: Pengantar ke dalam Apokaliptik Yahudi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993, p.19). 14 E.Earle Ellis, Eschatology in Luke, Fortress Press, Philadelphia 1972, p. 17-19 13 5 Dari apa yang telah penyusun paparkan di atas, terlihat bahwa penekanan motif “segera dan ditunda” tersebut muncul dan dipahami berbeda oleh pembaca saat ini. Di satu sisi ada yang mengatakan bahwa itu adalah masalah “waktu” parousia Yesus — apa yang dilakukan oleh Lukas dalam tulisannya merupakan antisipasi terhadap masalah penundaan parousia itu — tetapi di sisi lain Earle Ellis mengatakan bahwa penekanan motif tersebut sebenarnya bukan masalah “waktu” tetapi merupakan masalah ketidaksetiaan. Jika demikian, manakah pernyataan yang benar ketika pembaca Lukas ingin memahami eskatologi yang terdapat dalam karyanya? Satu hal menarik yang Ellis katakan adalah masalahnya bukanlah pada penundaan parousia, tetapi justru pada sebuah pemikiran apokaliptik yang keliru yang menyalahgunakan pengajaran Yesus dan mengancam menyesatkan misi gereja. “Pemikiran apokaliptik yang keliru”, itulah yang merupakan kunci dari semua permasalahan yang ada terhadap eskatologi, khususnya terhadap eskatologi Lukas sendiri. Adanya berbagai macam hasil perhitungan tanggal kedatangan parousia, pandangan apakah eskaton itu sudah terwujud atau belum, serta berbagai macam respon yang muncul dari orang Kristen saat ini (ada yang terlalu menyukai eskatologi dan ada pula yang tidak percaya), semua ini menunjukkan adanya cara penafsiran yang berbeda-beda dalam mendekati sastra apokaliptik untuk memahami eskatologi tersebut, khususnya pada Injil Lukas sendiri. Oleh karena itu, di sini penyusun mengangkat sebuah permasalahan: bagaimana interpretasi apokaliptik yang tepat khususnya dalam mengetahui dimensi apokaliptik Injil Lukas? Dengan menjawab pertanyaan ini akan ditemukan pula ajaran eskatologi sekaligus amanat yang disampaikan Lukas kepada para pembacanya. B. Judul Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah penyusun paparkan di atas, maka skripsi ini diberi judul: “TINJAUAN APOKALIPTIK TERHADAP ESKATOLOGI LUKAS 17:20-37” C. Batasan Masalah Untuk menghindari permasalahan yang bisa saja menjadi sangat luas, maka dalam penulisan skripsi ini penyusun membatasinya dengan berfokus pada Lukas 17:20-37. Perikop 6 ini diambil sebagai bahan yang akan penyusun tafsirkan dengan alasan karena disinilah eskatologi Lukas yang paling menonjol. Tetapi dalam pembahasannya tentu saja penyusun akan melihat kaitannya dengan pasal 21 yang juga menjadi pasal eskatologi Injil Lukas. Selain itu, dalam skripsi ini juga, penyusun membatasi diri dengan hanya memberi tanggapan terhadap tiga perspektif penafsiran eskatologi yang nantinya akan diuraikan tersendiri. D. Metode Penulisan Dalam membahas dan memaparkan lebih lanjut penulisan skripsi ini, penyusun menggunakan metode penulisan yang disebut dengan metode deskriptif-analitis. Maksudnya adalah memaparkan data-data yang diperoleh melalui studi literatur dan kemudian menganalisa kaitannya secara kritis terhadap Injil Lukas sendiri. Adapun metode penelitian yang penyusun lakukan terhadap Injil Lukas tersebut adalah dengan menggunakan tinjauan apokaliptik sehingga ditemukan dimensi apokaliptik yang terdapat dalam Injil Lukas, ajaran eskatologinya serta amanatnya bagi para pembacanya. E. Sistematika Penulisan Bab I. Pendahuluan Pada bagian ini dibicarakan tentang latar belakang masalah, rumusan permasalahan, pemilihan judul, batasan masalah, metode penulisan dan sistematika penulisannya. Bab II. Orientasi ke Dalam Apokaliptik Pada bab ini penyusun akan menguraikan tentang bagaimana apokaliptik pada umumnya. Adapun pembahasan itu adalah mengenai pengertian, ciri dan ide apokaliptik, gambaran dunia dimana apokaliptik tumbuh dan berkembang, serta uraian beberapa kitab apokaliptik termasuk Naskah Laut Mati yang juga membicarakan tentang penantian Mesias. 7 Bab III. Eskatologi Lukas Ditinjau Dari Tradisi Apokaliptis Dalam bagian ini, penyusun akan menguraikan unsur-unsur apokaliptik yang bagaimana yang dipakai Lukas dalam Luk. 17:20-37. Di sini, penyusun akan melakukan penafsiran terhadap perikop tersebut dengan tinjauan apokaliptik, sehingga nantinya ditemukan ajaran eskatologi serta amanat yang disampaikan oleh Lukas kepada para pembacanya. Bab IV. Perspektif Penafsiran Eskatologi Pada bab ini penyusun berusaha untuk menggunakan hasil tafsiran pada bab sebelumnya untuk mengatasi berbagai penafsiran eskatologi yang mmbingungkan bahkan menyimpang. Pada awal bab ini, penyusun akan membahas tiga perspektif penafsiran eskatologi, yakni gerakan kultus yang sering melakukan penanggalan akhir zaman, Hans Conzelmann serta Oscar Cullmann. Kemudian pada bagian selanjutnya, penyusun akan memberikan tanggapan pada ketiga perspektif tersebut berdasarkan hasil tafsiran yang telah penyusun lakukan dalam bab III. Bab V. Penutup Pada bab ini, penyusun akan memberikan suatu kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dimana kesimpulan tersebut merupakan jawaban dari permasalah skripsi ini. 8