bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Permasalahan
A.1. Latar Belakang Permasalahan
Sudah sepanjang zaman penggenapan akan eskatologi1 merupakan suatu hal yang
senantiasa dinantikan, khususnya oleh orang Kristen. Dewasa ini, berbagai macam responpun
timbul terhadap eskatologi tersebut. Ada yang sangat tertarik untuk membahasnya sehingga
tak jarang akan jatuh pada usaha untuk menghitung-hitung hari parousia (kedatangan
kembali) Yesus. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa di kota Bandung beberapa waktu yang
lalu, yakni dengan munculnya sebuah kelompok yang menamakan dirinya “Pondok Nabi”.
Seluruh anggota kelompok ini datang dari berbagai daerah di Indonesia setelah meninggalkan
sekolah, pekerjaan, tempat tinggal dan menjuali harta benda yang mereka miliki untuk
menantikan kedatangan hari kiamat yang mereka yakini akan terjadi, seperti yang diperkirakan
oleh pemimpin mereka yakni Pendeta Mangapin Sibuea. Kejadian seperti ini bukanlah sebuah
fenomena yang baru saja terjadi, khususnya bagi kalangan umat Kristiani. Jonggi Cho juga
pernah meramalkan bahwa akhir zaman akan terjadi pada tahun 1998.2 Sejak kematian Yesus,
sepanjang sejarah kekristenan, memang selalu muncul segolongan kecil umat Kristen yang
mempercayai Yesus datang pada tahun-tahun tertentu seperti tahun 500, 1000, 1260, 1420,
1553, 1972, 1992, 1998, 1999, 2000, 2006, 2007.3 Semua ini menunjukkan begitu besar
pengharapan manusia atas kedatangan Yesus kedua kalinya, tetapi akhirnya malah “menutup
mata” terhadap kehidupan saat ini dan di dunia ini. Di pihak lain, ada pula orang yang tidak
1
Istilah eskatologi sendiri berasal dari bahasa Yunani “έσχατος” (eschatos) yang berarti: yang akhir atau yang
terakhir, dan “λογος” (logos) yang berarti ilmu. Jadi eskatologi berarti ilmu yang mempelajari tentang hal akhir,
atau yang biasanya dikenal sebagai ilmu yang mempelajari tentang akhir zaman. Penggunaan umum kata
eschatos ini sendiri biasanya mengacu kepada akhir dari materi (Mat. 5:26; Luk. 12:59), tempat (Kis. 1:8)
ataupun waktu (Mat. 12:45; 20:8), tetapi yang berhubungan dengan eskatologi itu sendiri mengambil dari
pengertian: apa yang akhir dalam waktu. Hal ini dijelaskan sebagian menurut Septuaginta (diambil dari
Perjanjian Lama: ‫מּיּם‬‫ )בּאַהּרּיּתּ הּיּ‬dan sebagian pengaruh dari ramalan h`me,ra| (ēmera) “Hari Tuhan” (Kittel,
“εσχατος” dalam Theological Dictionary of New Testament Vol. II, Gerhard Kittel (ed.), WM. B. Eerdmans
Publishing Company Grand Rapids, Michigan, 1964, p. 697). Oleh karena itu, berbicara tentang eskatologi
berarti berbicara tentang datangnya “Hari Tuhan”. Artinya pembicaraan tersebut berbicara tentang saat dimana
Tuhan datang untuk menggenapi semua janji-Nya yakni dengan menghadirkan Kerajaan Allah yang disertai
dengan kedatangan Mesias di bumi ini.
2
www.yabina.org/artikel/A%2711_72.htm.
3
www.surya.co.id/12112003/126.phtml.27.
1
suka dengan pembahasan eskatologi bahkan menolaknya. Yang penting baginya adalah
bagaimana manusia harus menghadapi hidup sekarang ini. Parousia Yesus adalah masa yang
telah lama tertunda, dan mungkin kedatangan-Nya adalah masa yang masih jauh lagi dari
kehidupannya sekarang. Jadi dengan kata lain, bagi mereka yang demikian eskatologi itu sama
sekali tidak dapat menjawab keadaan hidup sekarang ini. Dari kedua respon tersebut, menurut
penyusun, hal ini terjadi karena sulitnya menghubungkan antara “saat ini dan di sini” (segi
present) dengan “saat itu dan di sana” (segi futuris) yang tidak kunjung datang itu. Respon lain
yang juga sering muncul terhadap eskatologi ini adalah adanya orang yang merasa takut ketika
membaca keadaan yang akan terjadi sebelum kedatangan Yesus. Bagi mereka yang merasa
takut, masa itu dianggap sebagai ancaman akan kehidupannya. Keadaan yang “future” itu
hanya dijadikan motivasi untuk hidup pada jalan yang diperintahkan Tuhan (yang mentaati
dan melakukannya akan masuk surga, dan yang menolaknya akan masuk neraka).
Di kalangan para teolog sendiri, banyak terjadi penafsiran yang berbeda-beda bahkan
bertentangan satu dengan yang lainnya. Misalnya saja A. Schweitzer yang selalu menekankan
sifat futuris dari pekabaran Yesus dan C. H. Dood yang menekankan segi presentis.4 Ada pula
yang menekankan pandangannya terhadap pengertiannya tentang sejarah, seperti R. Bultmann
yang menekankan sejarah perseorangan, sementara itu O. Cullmann menekankan tentang
sejarah universal.5 Tidak itu saja, terhadap tanda-tanda yang mendahului kedatangan Yesus,
4
Menurut A. Schweitzer, segenap pikiran Yesus terarah pada kedatangan Kerajaan Allah dengan segera (Dr.
Ulrich Beyer, Garis-Garis Besar Eskatologi dalam Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003, p. 1).
Konsep eskatologis tersebut terletak pada dasar pengajaran-Nya bahkan sejak awal pelayanan-Nya yang pertama
di Galilea. Baginya, perintah Yesus terhadap kedua belas murid bukanlah untuk mengajar atau mendidik,
melainkan memperingatkan manusia akan dekatnya Kerajaan Allah sehingga perlu membuat keputusan dengan
segera. Manusia tidak melakukan usaha untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, tetapi mempersiapkan dirinya
melalui pertobatan untuk menerima Kerajaan yang datang dengan tiba-tiba. Jadi menurutnya, etika yang terdapat
dalam ajaran Yesus merupakan sarana mempersiapkan seseorang untuk masuk ke dalam Kerajaan itu
Sebaliknya, C.H. Dood mengatakan bahwa zaman baru itu sudah datang; Allah telah membangun Kerajaan-Nya.
Konsep metodologis mengenai Hari Tuhan telah diwujudkan dalam sebuah peristiwa sejarah yang pasti dan telah
terjadi melalui pelayanan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Eskatologi telah terpenuhi atau
“direalisasikan”. Baginya, tidak seharusnya meyakini kedatangan Kristus kedua kali, sebaliknya harus memahami
bahwa hanya ada satu kedatangan. Yesus tidak berbicara tentang bagaimana Kerajaan itu pada masa yang akan
datang, tetapi Ia berbicara tentang Kerajaan itu pada saat ini (Millard J. Erickson, Pandangan Kontemporer
dalam Eskatologi, SAAT, Malang, 2000, p. 23-25, 32).
5
R. Bultmann mengartikan bahwa sejarah tidak hanya sebagai suatu rentetan zaman yang berturut-turut,
melainkan juga meliputi kesejarahan eksistensi manusia. Maksudnya adalah sejarah hidup yang dialami setiap
manusia mengandung dua kemungkinan yakni dapat atau tidakkah manusia menemui kepribadiannya yang sejati.
Baginya, setiap orang yang mendengarkan pekabaran Injil berhadapan langsung dengan suatu panggilan dan
menuntut suatu keputusan yang tegas dari dirinya. Eksistensi dari eskatologis bukanlah milik yang tersedia tetap,
2
tafsirannya juga berbeda-beda. Ada yang menerangkan bahwa tanda-tanda itu akan terjadi
dengan cara yang menyolok (mis: perang yang berlainan dari perang yang biasa terjadi, gempa
bumi yang luar biasa, kelaparan yang luar biasa, dsb), dan ada pula yang mengatakan bahwa
tanda-tanda yang mengawali kedatangan Yesus adalah kejadian yang datang secara
menyeluruh yakni meliputi seluruh dunia (mis: perang menjadi perang dunia, gempa bumi dan
bencana alam di seluruh dunia, dsb).6
Beranjak dari berbagai macam respon dan tafsiran yang demikian, penyusun tertarik
untuk membahas eskatologi sebagai bahan skripsi. Doktrin eskatologi milik gereja yang saat
ini direspon dengan berbagai macam cara tersebut, tentunya bertolak dari cara penafsiran
terhadap Alkitab juga. Untuk itu, di sini penyusun memilih Injil Lukas sebagai bahan yang
akan digali lebih jauh. Adapun yang menjadi alasan bagi penyusun memilih Injil ini adalah
karena selain sifatnya yang historis, Lukas menulis karyanya terutama untuk menjawab
pergumulan jemaat mengenai penundaan parousia7. Dalam hal ini, penyusun sendiri juga
masih mempertanyakan: “Benarkah parousia mengalami penundaan?” Selain itu, penyusun
juga tertarik untuk menggali kitab ini karena ditulis oleh seorang yang cerdas8, dan
melainkan yang harus diwujudkan senantiasa dengan baru melalui keputusan iman yang senantiasa baru pula.
Sedangkan bagi O. Cullmann kesaksian Perjanjian Baru tentang eskatologi adalah mengenai dimensi-dimensi
sejarah yang universal, yang melebihi kepentingan perseorangan. Pandangannya berorientasi pada dua pola
kejadian eskaton yaitu: sudah genap realisasinya, belum kelihatan kesempurnaannya. Hari kemenangan sudah
tiba dengan kedatangan serta karya Yesus dan sekarang manusia sudah ditebus. Tetapi di pihak lain, dosa masih
berpengaruh, maut belum ditiadakan, dan seluruh dunia tampaknya belum dikuasai oleh kemenangan Tuhan
Yesus. Kedua pola waktu ini — “sudah” dan “belum” — dianggap sebagai pekabaran asasi dalam pemberitaan
semua lapisan Perjanjian Baru (Dr. Ulrich Beyer, Garis-Garis Besar ESKATOLOGI dalam Perjanjian Baru,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003, p. 2-4).
6
Menurut Dr. H. Hadiwijono, cara penafsiran seperti ini tidak benar karena ini juga sudah mengandung sifat:
memperhitungkan kedatangan Yesus kembali. Sebelum Tuhan Yesus datang kembali orang jadi menentukan
tanda-tandanya, padahal Alkitab sendiri mengatakan bahwa Hari Tuhan datang seperti pencuri, datang tanpa
tanda-tanda lahiriah dan secara tiba-tiba (Luk. 17:20, 2 Ptr 3:10). Lalu bagaimana kita memahami semua ini?
Untuk memahami hal itu, di sini penyusun sependapat dengan Dr. Harun H. yang menegaskan bahwa kita harus
menyadari ayat-ayat tersebut tidak bisa ditafsirkan begitu saja tanpa memiliki hubungannya dengan yang lain.
Nubuat-nubuat yang berbentuk wahyu, senantiasa dihubungkan dengan kejadian-kejadian yang terjadi pada
zaman wahyu tadi dikaruniakan, jadi masih sangat erat hubungannya dengan zaman itu (Dr. H. Hadiwijono, Iman
Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, p. 483-486). Oleh karena itu, dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut,
selain melihat keutuhannya dalam kitabnya, harus pula dipertimbangkan situasi ataupun zaman saat hal-hal
tersebut diajarkan.
7
Pdt. Drs. Henk ten Napel mengatakan: “Dalam Injil Lukas muncullah masalah yang berhubungan dengan
“keterlambatan parousia”. Dalam jemaat Kristen mula-mula ada penantian yang kuat akan kedatangan Kristus
untuk kedua kalinya. Akan tetapi pengharapan itu mengalami suatu krisis, sebab makin hari makin nyata bahwa
parousia Yesus Kristus belum terjadi juga. Lukas menulis kedua karangannya (Injil Lukas dan Kisah Para
Rasul), antara lain sebagai suatu sumbangan untuk mengatasi masalah yang pelik ini“ (Pdt. Drs. Henk ten Napel
Jalan Yang Lebih Utama Lagi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, p. 86).
8
Hal ini terlihat dari gaya penceritaannya yang sistematis, dimana penulis juga melakukan penyelidikan terlebih
dahulu sebelum menuliskan karyanya (Luk. 1:1-4).
3
dialamatkan kepada seorang petinggi kekaisaran Romawi9 yang bernama Theophilus (Luk.
1:1-4). Tentunya hal ini memiliki nilai tersendiri yang pasti berbeda jika diberikan kepada
mereka yang menderita dan melihat eskatologi hanya sebagai sarana untuk menghibur dan
menguatkan manusia dari penderitaan.
A.2. Rumusan Permasalahan
Penundaan parousia merupakan masalah yang senantiasa diperdebatkan oleh para
teolog, khususnya pada Injil Lukas. Persoalan pokoknya bukan pada pertanyaan apakah Lukas
mengantisipasi sebuah perwujudan eskatologi, tetapi pada pertanyaan apakah dia menyusun
perwujudan eskatologi itu sebagai masa depan yang sudah dekat atau masih jauh.10 Ini berarti
yang diperdebatkan oleh para teolog pada umumnya adalah masalah “waktu” kedatangan
parousia itu: hampir sampai ataukah masih jauh. Kebingungan ini juga muncul ketika Lukas
menguraikan perihal Kerajaan Allah yang juga menekankan kedua hal tersebut. Di satu sisi
Lukas menyatakan bahwa perwujudannya dapat dilihat dan sudah sangat dekat yang ditandai
dengan pernyataan: “Kerajaan Allah sudah dekat, …angkatan ini tidak akan berlalu sebelum
semuanya terjadi.” (Luk 9:27; 10:9,11; 21:32), tetapi di sisi lain dia menggambarkan bahwa
perwujudannya tidak dapat dilihat dan waktunya masih jauh (tidak diketahui) yang ditandai
dengan pernyataan: “orang akan berkata…, jangan kamu ikut” (Luk 17:23; 19:11; 21:8; Kis
1:6-8). Kebingungan ini juga semakin bertambah dengan adanya pernyataan Yesus yang
ditulis oleh Lukas pada pasal 17:21 “…Kerajaan Allah ada diantara kamu”. Lalu bagaimana
memahami semuanya ini dalam eskatologi Lukas?
Seorang teolog bernama Wilson mengemukakan bahwa ketidak-konsistenan Lukas
menekankan kedua hal itu disebabkan perhatian utamanya pada pastoral, dimana kedua
penekanan itu dilakukan dalam rangka mengatasi masalah penundaan parousia.11 Hal itu
jugalah yang dikatakan oleh R. Bultmann dan Hans Conzelman. Conzelmann mengatakan
bahwa Lukas menyadari adanya penundaan parousia yang dihadapi oleh jemaat Kristen mulamula, sehingga dia merasa perlu menulis kembali dan memaparkan tentang sejarah
9
Diduga Theofilus memegang suatu jabatan tinggi dalam pemerintahan kekaisaran Romawi, sebab penggunaan
kata “Yang Mulia” (Yun. kratistos) yang dipakai oleh penulis. Kata ini juga muncul dalam Kis 23:26 dan 24:3
yang mengacu kepada gubernur Romawi Feliks, serta Kis 26:25 yang mengacu pada gubernur Romawi Festus.
Jadi sangat memungkinkan Theofilus juga memegang jabatan semacam itu (Drs. B.F.Drewes, Satu Injil Tiga
Pekabar, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1982, p. 241).
10
D. E. Aune, Eschatology (Early Christian Eschatology), The Anchor Bible Dictionary.
11
D. E. Aune, Eschatology (Early Christian Eschatology), The Anchor Bible Dictionary
4
keselamatan untuk mengatasi hal itu. Menurutnya, Lukas telah menggunakan sumbernya
sebaik mungkin. Dia menambah ataupun meniadakan beberapa bagian dari sumbernya tentang
pengharapan awal dari perwujudan eskatologi yang segera datang kepada masa yang lebih
panjang, yakni periode gereja:12
“…, in the quotation from Joel in the story of Pentecost (Act ii, 17ff.), the Spirit is
thought of as a sign of the End, in the source and also in Luke, but the interpretation is
different in each case. In their original sense the “last days” have not yet been
expanded into a longer epoch, which is what happens in Luke’s conception of Spirit
and of the Church, according to which the outpouring of Spirit is no longer itself the
start of Eschaton, but the beginning of a longer epoch, the period of the Church. It is
true that this is the last epoch in the course of redemptive history, but this very fact
represents a change in the understanding of the “last days”. The Spirit Himself is no
longer eschatological gift, but the substitute in the meantime for the possession of
ultimate salvation; He makes it possible for believers to exist in the continuing life of
the world and in persecution, and He gives the power for missionary endeavour and for
endurance.”
Atas pandangan Bultmann dan Conzelmann itu, Prof. E.Earle Ellis memunculkan
suatu pertanyaan: “Manakah bukti bahwa tidak terjadinya (penundaan) parousia itu
merupakan masalah penting yang harus diselesaikan?” Bagi Earle Ellis sendiri, motif
penundaan dalam Lukas tidak berbicara tentang hal itu. Di dalam Lukas 12:39, 45; 17:20, 23;
19:11; 21:8 dan Kis 1:6-8, penundaan tersebut bukanlah masalah “waktu” tetapi masalah
ketidaksetiaan. Baginya, perlu dicatat bahwa ini hanya sebuah penekanan motif kembar
“segera dan tertunda” yang Lukas temukan dalam tradisinya. Kemungkinan, penekanan
tersebut menjadi pusat teologi Lukas sendiri dan sekaligus juga menyediakan sebuah respon
untuk masalah gereja. Menurut Earle Ellis masalahnya bukanlah menyangkut penundaan
parousia, tetapi pada sebuah pemikiran apokaliptik13 yang keliru yang menyalahgunakan
pengajaran Yesus dan mengancam menyesatkan misi gereja.14
12
Hans Conzelmann, The Theology of St. Luke, Faber and Faber, New York, 1960, p. 95.
Apokaliptik adalah suatu wawasan keagamaan yang menyingkapkan tentang eskatologi, astronomi, penciptaan,
alam baka (angkasa/surga), atau masalah-masalah yang berpusat pada Yerusalem yang menyenangkan (I. J.
Kreitzer, ”Apocalyptic, Apocaypticism” dalam Dictionary of The Later New Testament & Its Developments, Ralp
P. Martin & Peter H. Davids (ed.), Intervarsity Press, Leicester-England, 1997, p. 55-57) Ungkapan “sastra
apokaliptik” merujuk pada suatu jenis tulisan mengenai penyataan Ilahi yang dihasilkan dalam lingkungan
keyahudian kira-kira tahun 250 SM sampai 100 M yang diambil alih serta dipertahankan oleh gereja Kristen (D.
S. Russell, Penyingkapan Ilahi: Pengantar ke dalam Apokaliptik Yahudi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993,
p.19).
14
E.Earle Ellis, Eschatology in Luke, Fortress Press, Philadelphia 1972, p. 17-19
13
5
Dari apa yang telah penyusun paparkan di atas, terlihat bahwa penekanan motif
“segera dan ditunda” tersebut muncul dan dipahami berbeda oleh pembaca saat ini. Di satu
sisi ada yang mengatakan bahwa itu adalah masalah “waktu” parousia Yesus — apa yang
dilakukan oleh Lukas dalam tulisannya merupakan antisipasi terhadap masalah penundaan
parousia itu — tetapi di sisi lain Earle Ellis mengatakan bahwa penekanan motif tersebut
sebenarnya bukan masalah “waktu” tetapi merupakan masalah ketidaksetiaan. Jika demikian,
manakah pernyataan yang benar ketika pembaca Lukas ingin memahami eskatologi yang
terdapat dalam karyanya?
Satu hal menarik yang Ellis katakan adalah masalahnya bukanlah pada penundaan
parousia, tetapi justru pada sebuah pemikiran apokaliptik yang keliru yang menyalahgunakan
pengajaran Yesus dan mengancam menyesatkan misi gereja. “Pemikiran apokaliptik yang
keliru”, itulah yang merupakan kunci dari semua permasalahan yang ada terhadap eskatologi,
khususnya terhadap eskatologi Lukas sendiri. Adanya berbagai macam hasil perhitungan
tanggal kedatangan parousia, pandangan apakah eskaton itu sudah terwujud atau belum, serta
berbagai macam respon yang muncul dari orang Kristen saat ini (ada yang terlalu menyukai
eskatologi dan ada pula yang tidak percaya), semua ini menunjukkan adanya cara penafsiran
yang berbeda-beda dalam mendekati sastra apokaliptik untuk memahami eskatologi tersebut,
khususnya pada Injil Lukas sendiri. Oleh karena itu, di sini penyusun mengangkat sebuah
permasalahan: bagaimana interpretasi apokaliptik yang tepat khususnya dalam mengetahui
dimensi apokaliptik Injil Lukas? Dengan menjawab pertanyaan ini akan ditemukan pula ajaran
eskatologi sekaligus amanat yang disampaikan Lukas kepada para pembacanya.
B. Judul
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah penyusun paparkan di
atas, maka skripsi ini diberi judul:
“TINJAUAN APOKALIPTIK TERHADAP ESKATOLOGI LUKAS 17:20-37”
C. Batasan Masalah
Untuk menghindari permasalahan yang bisa saja menjadi sangat luas, maka dalam
penulisan skripsi ini penyusun membatasinya dengan berfokus pada Lukas 17:20-37. Perikop
6
ini diambil sebagai bahan yang akan penyusun tafsirkan dengan alasan karena disinilah
eskatologi Lukas yang paling menonjol. Tetapi dalam pembahasannya tentu saja penyusun
akan melihat kaitannya dengan pasal 21 yang juga menjadi pasal eskatologi Injil Lukas. Selain
itu, dalam skripsi ini juga, penyusun membatasi diri dengan hanya memberi tanggapan
terhadap tiga perspektif penafsiran eskatologi yang nantinya akan diuraikan tersendiri.
D. Metode Penulisan
Dalam membahas dan memaparkan lebih lanjut penulisan skripsi ini, penyusun
menggunakan metode penulisan yang disebut dengan metode deskriptif-analitis. Maksudnya
adalah memaparkan data-data yang diperoleh melalui studi literatur dan kemudian
menganalisa kaitannya secara kritis terhadap Injil Lukas sendiri.
Adapun metode penelitian yang penyusun lakukan terhadap Injil Lukas tersebut adalah
dengan menggunakan tinjauan apokaliptik sehingga ditemukan dimensi apokaliptik yang
terdapat dalam Injil Lukas, ajaran eskatologinya serta amanatnya bagi para pembacanya.
E. Sistematika Penulisan
Bab I.
Pendahuluan
Pada bagian ini dibicarakan tentang latar belakang masalah, rumusan
permasalahan, pemilihan judul, batasan masalah, metode penulisan dan
sistematika penulisannya.
Bab II.
Orientasi ke Dalam Apokaliptik
Pada bab ini penyusun akan menguraikan tentang bagaimana apokaliptik pada
umumnya. Adapun pembahasan itu adalah mengenai pengertian, ciri dan ide
apokaliptik, gambaran dunia dimana apokaliptik tumbuh dan berkembang, serta
uraian beberapa kitab apokaliptik termasuk Naskah Laut Mati yang juga
membicarakan tentang penantian Mesias.
7
Bab III.
Eskatologi Lukas Ditinjau Dari Tradisi Apokaliptis
Dalam bagian ini, penyusun akan menguraikan unsur-unsur apokaliptik yang
bagaimana yang dipakai Lukas dalam Luk. 17:20-37. Di sini, penyusun akan
melakukan penafsiran terhadap perikop tersebut dengan tinjauan apokaliptik,
sehingga nantinya ditemukan ajaran eskatologi serta amanat yang disampaikan
oleh Lukas kepada para pembacanya.
Bab IV.
Perspektif Penafsiran Eskatologi
Pada bab ini penyusun berusaha untuk menggunakan hasil tafsiran pada bab
sebelumnya
untuk
mengatasi
berbagai
penafsiran
eskatologi
yang
mmbingungkan bahkan menyimpang. Pada awal bab ini, penyusun akan
membahas tiga perspektif penafsiran eskatologi, yakni gerakan kultus yang
sering melakukan penanggalan akhir zaman, Hans Conzelmann serta Oscar
Cullmann. Kemudian pada bagian selanjutnya, penyusun akan memberikan
tanggapan pada ketiga perspektif tersebut berdasarkan hasil tafsiran yang telah
penyusun lakukan dalam bab III.
Bab V.
Penutup
Pada bab ini, penyusun akan memberikan suatu kesimpulan dari hasil
pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dimana kesimpulan tersebut merupakan
jawaban dari permasalah skripsi ini.
8
Download