KONSEP AWAL

advertisement
NKRI PERLU UU TENTANG ETIKA PENYELENGGARA NEGARA
Oleh: Prof. Drs. Komarudin, M.A.
Peneliti Utama Kebijakan Publik, pensiunan BPPT tmt 1 Januari 2014
I. PENDAHULUAN
Landasan Hukum:
1) Tap
MPR RI Nomor X/MPR/1998tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional
Sebagai Haluan Negara:mengamanatkan agar menyiapkan sarana dan prasarana,
program aksi dan perundang-undangan bagi tumbuh dan tegaknya etika
penyelenggara negara.
2) Tap
MPR
RINomor
VI/MPR/2001
tentang
Etika
Kehidupan
Berbangsa(EKB)mengisyaratkan perlunya mengaktualisasikan etika kepemerintahan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mengacu pada cita-cita persatuan dan
kesatuan, ketahanan, kemandirian, keunggulan dan kejayaan serta kelestarian
lingkungan yang dijiwai nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
3) Tap MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan KKNmengisyaratkan perlunya membentuk
undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang
muatannya meliputi etika penyelenggaraan negara.
Amanat MPR ini melatarbelakangi perlunya instrumen hukum dalam bentuk
ketentuan undang-undang yang sifatnya mewadahi dan memformulasikan prinsip
dasar, norma-norma etika dan mekanisme penegakan etika penyelenggara
negara.Ketentuan undang-undang ini berperan mendasari pelaksanaan Etika
Penyelenggara Negara (EPN) dan pembentukan kode etik lembaga
penyelenggara negara yang patut ditegakkan, ditaati, dan dipatuhi untuk
dilaksanakan oleh setiap penyelenggara negara dan diwujudkan dalam bersikap,
berperilaku, bertindak, dan berucap bagi setiap penyelenggara negara dalam
menjalankan tugas penyelenggaraan negara.
4) Tap MPR RI Nomor II/MPR/2002 tentang Percepatan Pemulihan Ekonomi
Nasional, termasuk Reformasi Birokrasi dan Membangun Penyelenggara Negara dan
Dunia Usaha yang Bersih, mendesak terciptanya penyelenggara negara, dunia usaha,
dan seluruh masyarakat yang baik dan bersih.
5) Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2002mengamanatkan pemberantasan KKN,
penegakan dan kepastian hukum, dan reformasi birokrasi.
6) UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN: Tujuh asas penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari KKN, yaitu kepastian hukum, tertib
penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, dan akuntabel.
7) UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negaramenegaskan pentingnya kode etik dan
kode perilaku aparatur negara.
8) PP 42/2004 tentangPembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS.
9) Sejak tahun 2001 dibahasRUU Etika Pemerintahan yang kemudian berubah menjadi
RUU Perilaku Aparat Negara, RUU Penegakan Etika, dan pada tahun 2011
menjadi RUU Etika Penyelenggara Negara (EPN).
Mengapa RUU EPN diperlukan? Kehadiran UU ini diharapkan menjadiramburambu dan obat atas carut marut masalah korupsi, kolusi, nepotisme, serta sikap,
13)
14)
1
tindakan, perilaku, dan etika para penyelenggara negara yang tidak punya budaya
malu dan masih penuh dengan kebohongan publik.
II. ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA
8) Etika Kehidupan Berbangsa (EKB):
• Penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan
berbangsa.
• Acuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertaqwa dan
berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa.
• Mengedepankan penegakan norma etika dalam penyelenggaraan negara, nilai
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran, amanah,
keteladanan,sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa
malu, tanggung jawab, ketaatan terhadap aturan, adil, bijaksana, disiplin, sopan
dan santun, menjaga kehormatan, serta martabat diri sebagai warga bangsa, dan
menegakkan enam etika.
9) Enam Etika dalam EKB:etika sosial dan budaya; etika poltik dan pemerintahan; etika
ekonomi dan bisnis; etika penegakan hukum yang berkeadilan;etika keilmuan; dan
etika lingkungan.
10)EKB perlu: diaktualisasikan; diinternalisasikan, disosialisasikan, dan diamalkan; serta
melaksanakan pendidikanetika (bersumber dari ajaran agama dan budaya luhur
bangsa) dan pendidikan watak dan budi pekerti (menekankan keseimbangan
kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan spiritual, serta amal kebajikan).
III. JIWA KORPS DAN KODE ETIK PNS
11)PP 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS: PNS yang kuat,
kompak dan bersatupadu, memiliki kepekaan, tanggap dan memiliki kesetiakawanan
yang tinggi, berdisiplin, serta sadar akan tanggungjawabnya sebagai unsur aparatur
negara dan abdi masyarakat, dapat diwujudkan melalui pembinaan korps PNS,
termasuk kode etiknya.
10)Jiwa Korps PNS: rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan, kerjasama,
tanggungjawab, dedikasi disiplin, kreativitas, kebanggaan dan rasa memiliki organisasi
PNS dalam NKRI.
11) Kode Etik PNS: pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan PNS dalam
melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup sehari-hari.
12) Pembinaan jiwa korps PNS: untuk meningkatkan perjuangan, pengabdian,
kesetiaan, dan ketaatan PNS kepada negara kesatuan dan Pemerintah RI berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
13) Kehadiran UU 5/2014 tentang ASN(pengganti UU 43/1999 - perbaikan UU 8/1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian)mengamanatkan perubahan PP 53/2010 tentang
Disiplin PNS (pengganti PP 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS). Perka BKN
21/2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 53/2010 tentang Disiplin PNS harus diubah.
14) Tiga tujuan pembinaan jiwa korps PNS:
• Pertama: membina karakter/watak, memelihara rasa persatuan dan kesatuan secara
kekeluargaan guna mewujudkan kerjasama dan semangat pengabdian kepada
masyarakat serta meningkatkan kemampuan dan keteladanan PNS.
• Kedua: mendorong etos kerja PNS untuk mewujudkan PNS yang bermutu tinggi dan
sadar akan tanggungjawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi
masyarakat.
13)
14)
2
• Ketiga: menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran, dan wawasan
kebangsaan PNS sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam
NKRI. Pembinaan jiwa korps PNS meliputi peningkatan etos kerja dalam
meningkatkan produktivitas dan profesionalitas, partisipasi dalam penyusunan
kebijakan, peningkatan kerjasama dan kesetiakawanan, dan perlindungan hak-hak
sipil atau kepentingan PNS.
15) Nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh PNS (PP 42/2004) meliputi:
a. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan UUD NRI 1945;
c. Semangat nasionalisme;
d. Mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan;
e. Ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
f. Penghormatan terhadap hak azasi manusia;
g. Tidak diskriminatif;
h. Profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi; dan
i. Semangat jiwa korps.
16) Dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari setiap PNS wajib
bersikap dan berpedoman pada etika(dalam bernegara, dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta etika terhadap diri
sendiri dan terhadap sesama PNS yang diatur dalam PP 42/2004).
17) Implikasi Jiwa Korps dan Kode Etik: kode etik instansi dan kode etik organisasi
profesi;dan menegakkan amanat UU ASN (pentingnya 13 azas, 7 prinsip, 15 nilai-nilai
dasar serta kode etik dan kode perilaku ASN, dan 12 pengaturan perilakuyang
bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN).
18) Nilai dasar meliputi 15 butir, yaitu memegang teguh iedologi Pancasila; setia dan
mempertahankan UUD NRI Tahun 1945 serta pemerintahan yang sah; mengabdi
kepada negara dan rakyat Indonesia; menjalankan tugas secara profesional dan tidak
berpihak; membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian; menciptakan lingkungan
kerja yang nondiskriminatif; memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang
luhur; mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik; memiliki
kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan program pemerintah; memberikan
layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna,
berhasil guna, dan santun; mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi;
menghargai komunikasi, konsultasi dan kerja sama; mengutamakan pencapaian hasil
dan mendorong kinerja pegawai; mendorong kesetaraan dalam pekerjaan; dan
meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat
sistem karier.
IV. ETIKA PENYELENGGARA NEGARA
20) Isu strategis: dalam penyelenggaraan negara, terjadi dinamika antara lain timbulnya
akibat perkembangan degradasi nilai moral dan norma etika (ditandai sikap, perilaku,
tindakan dan ucapan penyelenggara negara yang kadang-kadang kurang etis dalam
melaksanakan tugas kegiatannya), misalnya sering terjadi penyelenggara negara
membuat pernyataan tidak jujur, tidak benar, berbohong, tidak transparan, kurang
bertanggungjawab atas kegagalan pelaksanaan tugas, tidak konsisten dalam
pelaksanaan kebijakan atau hukum, cenderung mengutamakan kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan di atas kepentingan masyarakat dan negara, dan kurang adil
dalam pelayanan masyarakat).
21) Ini menunjukkan gejala melemahnya
penghormatan terhadap prinsip etika,
sebagai tata nilai moral dan norma etika, sehingga berakibat mengganggu
13)
14)
3
keharmonisan dan keselarasan yang merugikan kepentingan negara maupun
masyarakat (publik).
22) Etika:
• Nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur
sikap, perilaku, tindakan atau ucapan.
• Etika dimaksudkan untuk mengubah, membentuk, membangun, dan
menanamkan sikap dan perilaku (mindset dan culture-set) penyelenggara negara
dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa.
• Dengan etika diharapkan adanya pengembangan budaya organisasi, kejelasan
hak dan kewajiban penyelenggara negara, penghargaan dan sanksi, dan
memerankan majelis kode etik (majelis penegakan etika).
23) Etika Penyelenggara Negara:
• Pada hakikatnya merupakan perangkat nilai dasar dan norma etika untuk
memberikan rambu-rambu dalam bersikap, berperilaku, bertindak dan berucap.
• Membangun penegakan nilai moral, norma etika dan terwujudnya
pengembangan budaya organisasi dalam aktivitas penyelenggaraan negara yang
baik dan etis serta akuntabel.
• Bercirikan kepribadian yang berperilaku menjunjung asas kepastian hukum dan
tertib penyelenggaraan negara.
• EPN merupakan instrumen penegakan norma etika, sarana pengembangan kode
etik dan budaya organisasi, instrumen pencegahan perilaku koruptif, dan
mewujudkan harmonisasi dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
24) Diperlukan kesadaran untuk menghormati, menegakkan dan menjalankan
norma etika yang berlaku dalam kehidupan bernegara.Sasaran pelaksanaan UU
EPN: terwujudnya penyelenggara negara yang konsisten untuk bersikap jujur, tidak
melakukan kebohongan publik, amanah, sportif, siap dan tanggap melayani
masyarakat, memiliki keteladanan (menjadi panutan), tidak arogan, siap mundur dari
jabatan bila terbukti melakukan kesalahan dan/atau mundur bilamana kebijakannya
bertentangan dengan hukum dan merugikan kepentingan masyarakat.
25) Prinsip RUU EPN:
• Profesionalisme/profesionalitas, ketaatan dankepatuhan terhadap hukum,
kemanusiaan yang adil dan beradab, responsif, akuntabel, konsistensi,
transparansi, persatuan dan kesatuan, keteladanan, kesetaraan dan persamaan.
• KewajibanPenyelenggara Negara: 1) menghormati, menaati,dan melaksanakan
sumpah jabatan dan pakta integritas; 2) menghormati, menaati, dan melaksanakan
segala ketentuan peraturan perundang-undangan; 3) menghormati, menaati, dan
melaksanakan kebijakan dan tata tertib yang mengatur tugas, fungsi, kewenangan,
dan peran; 4) memberikan informasi secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif;
5) menjaga kerahasiaan yang dipercayakan kepadanya; 6) melaporkan harta
kekayaan pribadi secara jujur dan benar sesuai peraturan perundang-undangan;
7) menjaga dan memperhatikan kepentingan umum; dan (8) melaporkan segala
penerimaan cinderamata selama memangku jabatan (gratifikasi).
• Hak-hak Penyelenggara Negara: 1) memperoleh perlakuan yang wajar sesuai
tugas, fungsi, dan wewenang; 2) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan
tugas; 3) menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari atasan
dan kritik masyarakat; 4) menyatakan pendapat dimuka umum secara
bertanggungjawab sesuai wewenang; dan 5) mendapatkan pemulihan nama baik.
• Laranganbagi Penyelenggara Negara: 1) membuat pernyataan yang tidak benar,
berbohong, membingungkan atau meresahkan masyarakat; 2) bertindak
13)
14)
4
diskriminatif dan/atau tidak adil dalam memberikan pelayanan publik; 3)
mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung proses peradilan; 4)
menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, sanak famili
dan/atau pihak lain di luar kepentingan tugas dan wewenang; 5) melakukan
perangkapan jabatan; 6) menyalahgunakan fasilitas jabatan; 7) membuat
kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang memihak; 8) menerima
imbalan atau hadiah berupa barang atau apa saja yang patut diduga atau patut
diketahui mempunyai kaitan dengan tugas, fungsi dan wewenang; dan 9)
menyalahgunakan dokumen negara.
• Sanksimeliputi pemberhentian sementara, pemberhentian, penurunan pangkat,
penundaan kenaikan pangkat, dan pemecatan.
26) Kultur birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara
sering merugikan dan bahkan menjadi beban masyarakat dan negara. MPR
merekomendasikan kepada Presiden agar membangun kultur birokrasi Indonesia yang
transparan, akuntabel, bersih, dan bertanggungjawab serta dapat menjadi pelayan
masyarakat, abdi negara, contoh, dan teladan masyarakat. Untuk mengatasi degradasi
nilai moral dan norma etik serta menegakkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik
dan akuntabel, perlu diaktualisasikan etika pemerintahan dan diterapkan etika
penyelenggara negara pada masing-masing lembaga negara.
27) Contoh di lingkungan pemerintahan daerah:Perda 01/2008 tentang Etika
Pemerintahan Daerah Kota Solok layak ditiru atau direplikasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah yanag bersih dan bebas dari KKN. Perda ini mengatur etika
penyelenggara pemerintahan daerah yang terdiri atas pemerintah daerah dan DPRD.
Pemerintah Daerah meliputi walikota dan wakil walikota, serta perangkat daerah
(sekretaris daerah, sekretariat DPRD, lembaga teknis daerah, dinas daerah, badan
usaha milik daerah, kecamatan, dan kelurahan) dan para pegawai (PNS, pegawai tidak
tetap, pegawai perusahaan daerah, guru bantu, dan pegawai harian lepas).
Kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD diatur dengan PP 41/2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah.
V. RUU TENTANG ETIKA PENYELENGGARA NEGARA
28) RUU EPN:
• Memberikan
landasan hukumdalam tata cara penegakan EPN melalui
penerapanketentuan kode etik yang dibentuk pada masing-masing lembaga
penyelenggara negara sebagai subyek hukumnya.
• Kode etik penyelenggara negara wajibditaati, dipatuhi dan dilaksanakan pada
setiap lembaga penyelenggara negara.
• Kode etik penyelenggara negaramemuat sistem dan pengaturan tata nilai,
norma, aturan atau standar yang menentukan sesuatu hal yang patut atau tidak
patut, yang baik atau yang tidak baik menurut ukuran tertentu untuk ditaati atau
dilaksanakan oleh penyelenggara negara.
• Mendorong terjaganya dan terwujudnyasikap, perbuatan, tindakan, dan/atau
ucapan penyelenggara negara sebagai obyek hukum yang baik, yang
mencerminkan kepribadian yang amanah, berakhlak mulia, berintegritas yang
baik, dapat dipercaya dan terjaga citranya dalam melaksanakan tugas
penyelenggaraan negara.
• Sikap dan kepribadianantara lain menegakkan kejujuran, tidak melakukan
kebohongan publik, adil, tepat janji, taat aturan, tanggung jawab, tanggap
melayani masyarakat, dan siap mundur apabila bertindakmelakukan pelanggaran
etika.
13)
14)
5
29) Perbuatan yang dikategorikan melanggar etika:
• Sikap, perbuatan, tindakan, dan/atau ucapan penyelenggara negara yang tidak
sesuai dengan ketentuan atau norma kode etik (merugikan dan/atau merendahkan
nama baik atau harga diri, menurunkan integritas, pamor dan martabat sendiri
maupun pihak lain (anggota masyarakat dan lembaga/instansi/badan/negara).
• Pelanggar kode etik/etika harus dikenakan sanksi (hukuman yang sifatnya
menyentuh moral, menekan dan menyadarkan hati nurani, emosi dan perasaan
yang berdampak secara psikologis menimbulkan rasa malu, sehingga terasing dari
pergaulan sosial).
• Pelanggar kode etik diharapkan mau mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi berbuat hal-hal yang tidak terpuji.
30) Fungsi UU EPN:
• Dibentuknya lembaga penegak kode etikyang independen, obyektif, dan netral
yang berfungsi menangani peristiwa pelanggaran kode etik dan melakukan
pemeriksaan atau klarifikasi untuk membuktikan dan menentukan salah tidaknya,
dan menentukan rekomendasi sanksiguna menegakkan kode etik penyelenggara
negara.
• Diharapkan problematika penegakan nilai moral dan etika yang terjadi di
lingkungan penyelenggara negara, dapat diselesaikanmelalui pendekatan
yuridis yang dilaksanakan melalui mekanisme penegakan kode etik pada lembaga
penyelenggara negara.
• Sebagai sarana pembelajarandalam mencegah timbulnya sikap, perilaku,
tindakan dan ucapan yang melanggar norma etika ataupun mencegah terjadinya
perbuatan yang akan menyimpang dalam penyelenggaraan negara.
• Diharapkan dapat meningkatkan pengertian dan pemahaman penyelenggara
negaratentang maksud, tujuan, dan fungsi; penyelenggara negara dan etika
penyelenggara negara; prinsip etika; budaya kerja; kode etik penyelenggara negara
dan pembentukan kode etik;kewajiban dan hak; penegakan kode etik;pelanggaran
dan sanksi;ketentuan peralihan, danketentuan penutup.
31) Agus Brotosusilo (FHUI, 2012), penyusun Naskah Akademik RUU EPN:
• Bagaimana
seyogyanya/seharusnya
mengaktualisasikan
etika
kepemerintahandalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang mengacu pada
cita-cita persatuan dan kesatuan, ketahanan, kemandirian, keunggulan dan
kejayaan serta kelestarian lingkungan yang dijiwai nilai-nilai agama dan nilai-nilai
luhur budaya bangsa.
• Naskah Akademik RUU EPNdimaksudkan untuk menjelaskan secara akademik
betapa pentingnya UU EPN yang merupakan salah satu solusi pemecahan masalah
birokrasi. Pertimbangan perlunya UU EPN antara lain,dalam dinamika kehidupan
berbangsa dan penyelenggaraan negara, dewasa ini dirasakan timbul gejala
mengalami penurunan dalam penerapan nilai-nilai etika dan moral, yang berakibat
merendahkan integritas dan martabat bangsa maupun aparatur negara. Untuk
menjaga integritas, jati diri, dan martabat dalam penyelenggaraan negara yang
berlandaskan pada nilai-nilai luhur bangsa dan nilai-nilai Pancasila, diperlukan
upaya menjaga dan menegakkan nilai-nilai etika moral penyelenggara negara.
32) Ada 8 (delapan) hal penting yang diatur dalam RUU EPN:
1. Ketentuan umum;
2. Prinsip etika;
3. Kewajiban dan hak penyelenggara negara;
4. Kode etik dan pembentukan kode etik;
5. Pengembangan budaya kerja, dan pelaksanaan majelis dan tata carapenegakan kode
etik;
13)
14)
6
6. Pelanggaraan dan sanksi;
7. Ketentuan peralihan; dan
8. Ketentuan penutup.
33) Penjelasan hal-hal yang diatur dalam RUU EPN tersebut:
1. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk membangun integritas, profesionalitas,
dan jati diri serta menjaga martabat dalampenyelenggaraan negara.Tujuan
undang-undang ini adalah untuk menegakkan nilai-nilai moral penyelenggara
negara dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan
negara.Sikap, tindakan, dan ucapan penyelenggara negara dalam melaksanakan
tugas, fungsi, dan wewenangnya didasarkan pada prinsip-prinsip etika.Prinsip etika
mencerminkan nilai-nilai moral dan etika yang secara universal dihormati dan
berlaku dalam kehidupan sosial, yang memberikan spirit untuk ditetapkan sebagai
norma atau ketentuan dan digunakan sebagai tolok ukur dalam pelaksanaan
penegakan etika penyelenggara negara. Prinsip ini digunakan untuk mengukur,
menilai, dan membandingkan sikap, perilaku, tindakan, dan ucapan dalam praktik
pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaran negara.
2. Ketentuan Umum meliputi pengertian tentang penyelenggara negara, etika
penyelenggaranegara, prinsip etika penyelenggara negara, kode etik penyelenggara
negara, majelis penegak kode etik penyelenggara negara, lembaga penyelenggara
negara, dan menteri.
3. Prinsip-prinsip etika: kejujuran, transparansi, tepat janji, taat aturan, keadilan,
kewajaran dan kepatutan, tanggung jawab, dan kehati-hatian.Pelaksanaan
penegakan penyelenggara negara didasarkan pada prinsip-prinsip etika.
• Prinsip kejujuran meliputi nilai-nilai (a) lurus hati dan tidak melakukan
kebohongan kepada publik;
(b) tidak melakukan kecurangan dalam
penyelenggaraan negara; dan (c) tulus dan memiliki keberanian moral untuk
menyampaikan kebenaran atau ketidakbenaran.
• Prinsip transparansi menuntut penyelenggara negara untuk menyediakan dan
memberikan akses terhadap informasi secara terbuka dan transparan kepada
publik (Undang-Undang 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan PP
61/2010 tentang Pelaksanaan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik; dan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan PP 96/2012 tentang
Pelaksanaan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik).
• Prinsip tepat janji mengandung nilai-nilai (a) adanya satu kata dengan
perbuatan; (b) perbuatan sesuai dengan janji, sumpah, dan ikrar; dan (c) taat
melaksanakan kewajiban, komitmen, maklumat, dan pakta integritas.
• Prinsip taat aturanmengandung nilai-nilai (a) patuh melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan; (b) taat melaksanakan mekanisme, sistem, dan
prosedur kerja serta tata tertib administrasi; (c) patuh terhadap ketentuan
disiplin; dan (d) perbuatan yang tidak berakibat timbulnya pelanggaran norma
sosial. Prinsip keadilan mengandung nilai-nilai (a) arif, bijak, tidak memihak,
tidak membedakan gender, status sosial, etnis, dan agama; (b) tidak
mengutamakan kepentingan pribadi, kerabat, kroni, dan/atau kelompok; dan (c)
mendahulukan kepentingan umum.
• Prinsip kewajaran dan kepatutan mengandung nilai-nilai (a) baik, pantas,
lazim, dan tidak berlebihan sesuai nilai-nilai moral, norma hukum, adat istiadat
atau agama; (b) integritas, profesional, dan bermartabat; (c) kesederhanaan
hidup; dan (d) tegas, toleran, dan beretos kerja.
• Prinsip tanggung jawab mengandung nilai-nilai (a) berani menanggung risiko,
berdedikasi dan bertanggung jawab; (b) tertib, cermat, konsisten, efektif, efisien
dan akuntabel; dan (c) peduli, tanggap, dan tangkas.
13)
14)
7
• Prinsip kehati-hatianmengandung nilai-nilai (a) teliti, cermat, dan tepat; dan
(b) bijak, toleran, dan sigap.
Prinsip-prinsip etika tersebut merupakan dasar untuk merumuskan kode etik pada
masing-masing lembaga dan/atau pada kode etik jabatan atau profesi atau korps
tertentu dalam penyelenggaraan negara.
4. Undang-Undang ini mengatur kewajiban dan hak penyelenggara negara.
• Setiap penyelenggara negara wajib (a) melaksanakan kode etik lembaga; (b)
menjaga citra, reputasi, dan integritas lembaga; (c) menjaga hubungan kerja
antar lembaga sesuai lingkup tugas, fungsi, dan wewenangnya masing-masing;
(d) menaati dan melaksanakan putusan rekomendasi lembaga penegak kode
etik; (e) menaati dan melaksanakan ketentuan perundang-undangan, sumpah
jabatan, tata tertib, standar prosedur kerja, dan/atau norma, nilai etika yang
berlaku pada lembaga; dan (f) mengutamakan kepentingan umum dan
kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan
dalam rangka menjalankan tugas penyelenggaraan negara.
• Setiap penyelenggara negara berhak (a) memperoleh perlindungan hukum
dalam menegakkan prinsip etika; (b) mengajukan pembelaan secara sendiri atau
dengan mendapatkan pendampingan, bilamana diduga melakukan pelanggaran
kode etik; dan (c) mendapatkan pemulihan nama baik dan hak-haknya apabila
tidak terbukti bersalah melanggar kode etik.
5. RUU ini mengatur kode etik dan pembentukan kode etik.
• Pelaksanaan prinsip-prinsip etika penyelenggara negara diwujudkan
melalui pembentukan dan penerapan kode etik lembaga sesuai karakteristik
bidang tugas masing-masing.
• Kode etik berisinilai-nilai, azas, dan norma yang wajib dipatuhi, dihormati dan
ditegakkan oleh setiap penyelenggara negara.
• Kode etik lembaga wajib disusun dan ditetapkan oleh pimpinan lembaga
dan diumumkan kepada publik. Kode etik disusun sekurang-kurangnya
memuat (a) tujuan; (b) nilai-nilai, asas dan norma yang menjadi ketentuan
dalam kode etik; (c) kewajiban, larangan dan hak; (d) bentuk pelanggaran dan
sanksi;(e) lembaga penegak kode etik, tugas, fungsi, wewenang; (f) tata cara
pemeriksaan dalam rangka penegakan dan penetapan rekomendasi lembaga
penegak kode etik; (g) tata cara pelaksanaan rekomendasi; dan (h) hal-hal lain
yang spesifik sesuai kebutuhan dan karakteristik bidang tugas lembaga.
6. Setiap pimpinan lembaga dan/atau profesi wajib menegakkan kode etik
melalui pengembangan budaya kerja. Budaya kerja terdiri dari komponen
struktural/kelembagaan yang meliputi budaya organisasi dan komponen substansi
yang meliputi norma-norma. Pengembangan budaya kerja diatur lebih lanjut
dengan peraturan lembaga. Men PANRB telah menetapkan Permen PANRB Nomor
39 Tahun 2012 tentang Pengembangan Budaya Kerja sebagai perubahan
Kepmenpan Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002 tentang Pengembangan Budaya Kerja
Aparatur Negara.
7. Pelaksanaan penegakan kode etik diwujudkan dalam sikap, perilaku,
tindakan, dan ucapan penyelenggara negara yang menaati dan mematuhi
ketentuan kode etik masing-masing lembaga.
• Penegakan kode etik dimaksud dilakukan oleh Majelis Penegak Kode Etik
(MPKE).Dalam menegakkan etika penyelenggara negara dibentuk MPKE yang
bersifat ad hoc pada masing-masing lembaga.
• Pimpinan lembaga menetapkan tata cara pemilihan, pengangkatan dan
pemberhentian keanggotaan MPKE.
13)
14)
8
• Keanggotaan MPKEterdiri atas 5 (lima) orang atau 7 (tujuh) orang.
• Komposisi keanggotaan MPKEterdiri atas ketua merangkap anggota, wakil
ketua merangkap anggota, sekretaris merangkap anggota, dan anggota.
• Keanggotaan MPKE terdiri atas unsur lembaga, pakar yang memiliki
kompetensi relevan, dan unsur masyarakat.
8. Sepuluh persyaratan keanggotaan MPKE harus dipenuhi:
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Warga Negara Indonesia;
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
Setia kepada Pancasila, UUD NRI 1945, dan NKRI;
Cakap, sehat jiwa, memiliki integritas moral dan reputasi yang baik;
Tidak pernah melakukan tindakan tercela, tidak patut atau tidak pernah
melanggar prinsip-prinsip etika;
Tidak pernah terlibat dalam tindakan pelanggaran hukum yang diancam
dengan ancaman hukuman pidana;
Berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65
(enam puluh lima) tahun;
Tidak menjadi anggota salah satu partai politik, kecuali pada lembaga legislatif;
Memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam penerapan etika penyelenggaraan
negara;dan
Memenuhi persyaratan lainnya sesuai kebutuhan lembaga.
9. Delapan Tugas Pokok MPKE:
1. Menangani dan menindaklanjuti setiap laporan pengaduan terkait dugaan
pelanggaran Kode Etik;
2. Melakukan penelitian, pemeriksaan, klarifikasi atau investigasi terhadap dugaan
pelanggaran kodeetik;
3. Melakukan sidang pemeriksaan perkara pelanggaran kode etik;
4. Mendengarkan keterangan saksi ahli, pembela dan/atau penasihat hukum bagi
penyelenggara negara terlapor;
5. Memberikan penilaian, pertimbangan dan penetapan rekomendasi atas
pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik;
6. Memantau tindak lanjut pelaksanaan penetapan rekomendasi;
7. Membuat penetapan rekomendasi pemulihan nama baik bagi penyelenggara
negara terlapor apabila terbukti tidak bersalah;dan
8. Melakukan tugas lainnya sesuai kebutuhan lembaga dalam rangka penerapan
kode etik.
Dalam melaksanakan tugasnya MPKE memperhatikan dan menindaklanjuti
pelanggaran dan/atau pengaduan masyarakat terhadap dugaan pelanggaran
kode etik oleh penyelenggara negara.Pelaksanaan tugas pokok, fungsi, dan
wewenang, dilakukan berdasarkan prinsip keadilan dan independensi.MPKE dalam
melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang didukung oleh sekretariat lembaga, dan
pembiayaan MPKE dibebankan pada anggaran masing-masing lembaga.
10. Tata Cara Pelaksanaan Tugas Pokok MPKE
a. Tata cara pelaksanaan tugas pokok MPKEdiatur lebih lanjut oleh MPKE.
b. Penegakan kode etik dilaksanakan oleh masing-masing lembaga.
c. Penegakan kode etik didasarkan atas laporan pengaduan serta temuan langsung
atau tidak langsung terhadap dugaan pelanggaran kode etik.
d. Ketentuan tentang tata cara laporan pengaduan sebagai berikut: (a) laporan
pengaduan yang diduga mengandung unsur pelanggaran kode etik disampaikan
langsung kepada lembaga penegak kode etik atau melalui pimpinan lembaga
masing-masing; (b) laporan pengaduan yang diterima oleh pimpinan lembaga,
13)
14)
9
wajib diteruskan kepada MPKE; (c)laporan pengaduan sekurang-kurangnya
memuat nama atau identitas pelaku pelanggaran sebagai terlapor, tempat, waktu,
dan/atau kronologis peristiwa pelanggaran; (d) laporan pengaduan harus disertai
identitas diri pelapor dan bersifat rahasia; dan (e) pelapor pengaduan mendapat
jaminan perlindungan kerahasiaannya oleh lembaga penegak kode etik.
11. MPKE bekerja berdasarkan Laporan Pengaduan
a. Berdasarkan laporan pengaduan,MPKE segera menindaklanjuti dengan
b.
c.
d.
e.
menghimpun informasi, melakukan penelitian, penyelidikan, dan pemeriksaan
atas tindakan terlapor untuk pembuktian keadaan yang sebenarnya atas laporan
peristiwa dugaan pelanggaran kode etik.
Lembaga penegak kode etik memanggil terlapor untuk dilakukan
pemeriksaan, penyelidikan, investigasi, dan/atau klarifikasi.
Berdasarkan hasil proses pembuktian melalui pemeriksaan dalam
persidangan atas peristiwa dugaan pelanggaran kode etik, selanjutnya MPKE
membuat penetapan rekomendasi atas dasar hasil pemeriksaan tersebut. Dalam
rangka pertimbangan untuk menetapkan rekomendasi, MPKE dapat meminta
dan/atau mendengar pendapat dari para ahli sesuai bidang yang diperlukan.
Penetapan rekomendasi lembaga penegak kode etik, sekurang-kurangnya
memuat uraian tentangkronologis peristiwa atau kejadian, bukti fakta
peristiwa pelanggaran, pertimbangan dan/atau ketentuan kode etik yang
dilanggar, pertimbangan dalam pernyataan keputusan bersalah atau tidak
bersalah atas pelanggaran kode etik, serta tindakan dan/atau bentuk sanksi
yang harus dilaksanakan.
Penetapan rekomendasi disampaikan kepada pimpinan lembaga dan/atau
pimpinan atau atasan langsung terlapor untuk wajib ditindaklanjuti dan
dilaksanakan. Penetapan rekomendasi lembaga penegak kode etik bersifat final
dan mengikat untuk wajib ditindakanlanjuti dan dilaksanakan oleh pimpinan
lembaga dan/atau pimpinan atau atasan langsung terlapor dan terlapor.
Tatacara pemeriksaan dalam rangka penegakan dan penetapan rekomendasi
lembaga penegak kode etik serta tindaklanjut pelaksanaan rekomendasi
ditetapkan dalam ketentuan kode etik.
f. Apabila perkara dugaan pelanggaran kode etik sekaligus terkait indikasi
dan/atau menjadi perkara dugaan pelanggaran hukum yang lain, maka
pemeriksaan atas perkara dugaan pelanggaran kode etik tetap dapat
dilaksanakan sejalan dengan proses pemeriksaan pelanggaran hukum yang lain
tersebut. Pimpinan lembaga memerintahkan kepada pimpinan atau atasan
langsung terlapor untuk melaksanakan penetapan rekomendasi MPKE. Jika
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah perintah, pimpinan atau atasan
langsung terlapor tidak melaksanakannya,
pimpinan lembaga dapat
memberikan penetapantindakansanksi administratif dengan terlebih dahulu
memberikan peringatan sebelumnya.
g. Dalam hal terlapor setelah melalui hasil pemeriksaan dalam lembaga
penegak kode etik tidak terbukti bersalah melanggar kode etik, maka
lembaga penegak kode etik menetapkan rekomendasi mengenai haltersebut,
yang kemudian disampaikan kepada pimpinan lembaga dan/atau pimpinan atau
atasan langsung terlapor untuk ditindaklanjuti dengan membuat keputusan
pemulihan nama baik terlapor. Apabila pimpinan lembaga dan/atau pimpinan
atau atasan langsung terlapor tidak melaksanakan penetapan rekomendasi
lembaga penegak kode etik, maka lembaga penegak kode etik mengumumkan
penetapan rekomendasi tersebut secara terbuka kepada publik.Tatacara
penegakan kode etik diatur lebih lanjut oleh masing-masing lembaga.
13)
14)
10
h. Pelanggaran kode etik meliputi setiap sikap, perilaku, tindakan, dan ucapan
penyelenggara negara yang tidak sesuai dan/atau tidak melaksanakan kewajiban
yang ditetapkan. Pimpinan lembaga dan/atau pimpinan atau atasan langsung
terlapor yang tidak menindaklanjuti untuk melaksanakan penetapan
rekomendasi MPKE dikategorikan melakukan pelanggaran kode etik.Perkara
dugaan pelanggaran kode etik, apabila diduga mengandung unsur dan/atau
terkait dengan dugaan tindakan pelanggaran hukum yang lain, maka lembaga
penegak kode etik menindaklanjuti dengan meneruskan perkaranya kepada
lembaga yang berwenang berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Perkara dugaan pelanggaran kode etik dimaksud tetap diproses dan
dilakukan pemeriksaannya oleh lembaga penegak kode etik.
i. Setiap sikap, tindakan, dan ucapan penyelenggara negara yang dinyatakan
melanggar ketentuan yang ada, dikenakan sanksi atas pelanggaran kode
etik. Sanksi pelanggaran kode etik berupa sanksi moral dan/atau sanksi
administratif dalam kategori ringan, sedang dan berat.Sanksi moral dalam
kategori ringan, berbentuk (a) teguran lisan dari pimpinan lembaga dan/atau
pimpinan langsung terlapor; dan (b) teguran tertulis dari pimpinan lembaga
dan/atau pimpinan langsung terlapor. Sanksi moral dalam katagori sedang,
berbentuk (a) teguran tertulis dari pimpinan lembaga dan/atau pimpinan
langsung terlapor dan dipublikasikan secara terbuka pada lingkungan lembaga
tempat berdinas; dan (b) meminta maaf secara tertulis kepada pihak yang
terkait dan/atau yang dirugikan dengan dipublikasikan secara terbuka di
lingkungan lembaga tempat berdinas. Sanksi moral dalam kategori berat,
berbentuk (a) meminta maaf secara tertulis kepada pihak yang terkait dan/atau
yang dirugikan dengan dipublikasikan secara terbuka pada satu media cetak
harian; dan (b) mengundurkan diri dari jabatan.
34) Penetapan Rekomendasi MPKE
• Penetapan rekomendasi MPKEmengenai bentuk dan kategori sanksi,
dipertimbangkan atas dasar bukti atau kadar kesalahan atau indikator
pelanggaran dari hasil pemeriksaan dalam lembaga penegak kode etik.
• Penetapan rekomendasi sanksi MPKEdan tindaklanjut pelaksanaannya diatur
dalam ketentuan kode etik lembaga dan/atau kode etik jabatan, profesi atau korps.
• Pelaksanaan rekomendasi bentuk sanksi harus dicatat menjadi bagian dalam
penilaian kinerja dan/atau daftar catatan kepegawaian atau keanggotaan dari
penyelenggara negara yang bersangkutan.
35) Ketentuan Peralihan
• Ketentuan Peralihan mengatur bahwa lembaga yang belum memiliki kode etik
menetapkan pengaturan kode etik selambat-lambatnya 2 (dua) tahun.
• Lembaga yang telah memiliki pengaturan kode etik tetap berlaku dan selambatlambatnya 2 (dua) tahun disempurnakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang
ini. Ketentuan penutup menegaskan bahwa
• Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
• Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
VI. MEWUJUDKAN UU TENTANG ETIKA PENYELENGGARA NEGARA
36) Amanah besar Reformasi 1998: menata kembali kehidupan berbangsa dan
bernegara, sebagaimana yang dicita-citakan para founding fathers.
• Salah satu amanahadalahreformasi birokrasi, demi terwujudnya pemerintahan
yang baik, bersih, dan berwibawa. \
13)
14)
11
• Reformasi birokrasi bukanlah pekerjaan mudah. Di sanaterbentang begitu
banyak persoalan. Mulai dari macetnya fungsi-fungsi pemerintahan, lemahnya etos
dan profesionalisme, hingga buruknya moral birokrasi karena terlalu lama hidup
dalam sistem feodal era orde baru.
• Untuk memperbaiki itu semua, dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit karena
melibatkan jutaan manusia.
• Reformasi Birokrasi mengacu pada UU 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025,
Perpres 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, dan Permen
PANRB 20/2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014, serta Permen
PANRB lainnya yang merupakan pelaksanaan reformasi birokrasi.
37) Reformasi birokrasi di Indonesia ibarat baru seumur jagung.
• Setidaknya baru pada 2004 ia mulai serius dan efektif dijalankan, terhitung sejak
terbitnya Inpres Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi.Bandingkan dengan Jepang yang sudah melakukannya sejak 1860 pada
saat Restorasi Meiji, atau Amerika Serikat pada 1883. Bahkan yang terdekat, India
sudah melaksanakannya sejak 1991 ketika dipimpin Perdana Menteri Narasimha
Rao. Sebab itu perlu dimaklumi jika ada banyak hal yang belum terbenahi. Karena
memang, membangun manusia dan budaya adalah pekerjaan jangka panjang.
• Namun dengan terus diperbaharuinya strategi dan kebijakan pemerintah,kita
berharap reformasi birokrasi dapat dipercepat penyelesaiannya. Target
reformasi birokrasi instansi pemerintah diselesaikan pada tahun 2012 belum dapat
dicapai. Dalam upaya mengejar ketertinggalan itu, reformasi birokrasi tidak bisa
dilaksanakan secara parsial dan setengah hati. Ia harus holistik dan menyeluruh,
mencakup semua aspek mulai dari penataan organisasi, tata kerja dan sistem
manajemen, serta pengembangan sumber daya manusia aparatur.
• Pelaksanaan UU harus konsisten, antara lain: UU 39/2008 tentang Kementerian
Negara, UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU 5/2014 tentang ASN, UU 6/2014
tentang Desa, UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU 30/2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.
38) Etika adalah seperangkat nilai atau norma moral yang berlaku dalam
masyarakat.
• Etika bermuara pada nilai dari tingkah laku seseorang atau sekelompok orang.
• Gayus Lumbun (2010), pakar hukum yang sangat gigih mengusulkan RUU
EPN menegaskan pentingnya norma, pola pikir-sikap-tindak-ucap,
perubahan paradigma, moral (kejujuran, ketegasan, toleransi, dan etos
kerja), hak dan kewajiban, keterkaitan dengan peraturan perundangundangan lain, dan kejelasan perintah Undang-Undang untuk membuat
peraturan pemerintah dan peraturan presiden.
• Bertens (1977) menegaskan, etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
KBBI mencatat, etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
• Sony Keraf (1995) menegaskan: etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai
nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola
perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.
• EPN tidak terlepas dari segala aspek nilai yang diperlukan oleh penyelenggara
negara.
• Tegakkan UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari KKN: penyelenggara negara harus menyeimbangkan hak-hak yang
dimilikinya dengan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan;
13)
14)
12
diperlukan hubungan harmonis aantarpenyelenggara negara, dan UU EPN
diperlukan.
• Terwujudnya penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN
memerlukan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan untuk
itu segala peraturan perundang-undangan tentang etika, harus disertai
sanksi.
39) Etika penyelenggara negara terkait dengan budaya kerja dan pengawasan.
• Kementerian Agama telah memperkenalkan Pengawasan dengan Pendekatan
Agama (PPA).RUU EPN diharapkan dapat menjadi instrumen hukum penegakan
etika di kalangan birokrasi.
• UU EPNakanberperan dalam melandasi, memberikan acuan, dan menjadi pedoman
perilaku penyelenggara negara.
• Prinsip Etika dalam RUU EPN: tindakan etis yang berlaku universal, yang
ditransformasikan dan dikonkritkan pelaksanaannya menjadi norma dan kode etik
sehingga sangat jelas parameternya dan dapat diobservasi secara nyata dalam
praktik-praktik penyelenggaraan negara.
• Penegakan Etika: transparan dan memiliki mekanisme yang jelas melalui lembaga
penegak kode etik (kelembagaannya bersifat adhoc pada masing-masing lembaga
penyelenggara Negara).
40) Harapan efektivitas itu harus sejalan dengan upaya untuk menguji,
mengevaluasi, dan terus melakukan perbaikan dalam pelaksanaannya.
• Hampir semua negara maju memiliki peraturan yang mengatur code of
conduct bagi aparatnya. Sehingga kita bisa belajar dari negara-negara tersebut
bagaimana peraturan ini dapat berlaku efektif.
• RUU EPN diharapkan menjadi langkah awal atas strategi kebudayaan kita
dalam membangun jati diri bangsa yang lebih maju, lebih beradab, dan beretika.
• Pembelajaran Etika: membutuhkan keteladananyang menjadi tanggung jawab
para pemimpin dan penyelenggara negara.
41) Makna dan Harapan dari RUU EPN
• Kehadiran UU EPN menjadi pendidikan dan modelling mereka yang dilayani,
yaitu masyarakat.
• UU EPN membangun kepribadian dan budaya kerja aparat untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan prima.
• UU EPN mendorong perubahan di internal dan eksternal (perubahan sikap
penyelenggara negara kepada masyarakat dengan lebih adil dan wajar).
• UU EPN mengakomodir kepentingan dan kebutuhan masyarakat agar terwakili
dalam undang-undang ini.
• Perangkat UU EPNjangan hanya ada di atas kertas tanpa penegakan hukum (law
enforcement).
• Penegakannya harus dilakukan secara gradual,dimulai dari hal yang paling
mudah dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
• Dibutuhkan komitmen yang tinggi, konsistensi, dan kesungguhan.
• Bagaimana seharusnya penyelenggara negara mempertanggungjawabkan
kegagalannya.Apakah harus mundur atau tidak. Penyelenggara negara
diharuskan mundur dalam etika, karena beberapa alasan: 1) ada orang lain yang
bisa mengerjakan tugas itu dengan baik;2) jika ada konflik dengan atasan karena
kebijaksanaan;3) terlibat dalam skandal yang mempermalukan citra
pemerintahan; dan 4) apabila terjadi suatu kegagalan yang secara langsung
maupun tidak langsung merupakan tanggungjawabnya.
13)
14)
13
VII. PENUTUP
42) Catatan Penutup dan Rekomendasi:
• Penyelenggara negara belum menegakkan EKB dan EPN dengan baik, karena
itu dibutuhkan UU tentang EPN. RUU EPN perlu dibahas kembali.
• UU EPN mendorong penyelenggara negara melakukan perubahan pola pikirsikap-tindak-ucap, revolusi mental yang mengubah sikap dan tindakanaparat
penyelenggara negara menjadi makin jujur, konsisten, profesional, bermoral, dan
bertanggungjawab, menjauhi kebohongan dan tindakan tidak patut, tidak santun,
arogan, perbuatan tercela, mengabaikan kewenangan, tidak diskriminatif, tidak
memihak, dan tidak mempengaruhi pembuatan keputusan.
• Sesuai harapan David Osborne dan Ted Gaebler (1992), yangmenyarankan
pembaharuan birokrasi (reinventing government), perlu dibangun pemerintah
yang berorientasi pelanggan,
desentralisasi, milik rakyat,
misi, tanggap, hasil, kompetitif, wirausaha,
katalis, dan berorientasi pasar. Osborne
(2007)mengingatkan agar menegakkan etika dan mind-set.
• EPN perlu dibarengi pengembangan budaya kerja aparatur negara.
• UU EPN merupakan payung bagi kode etik yang sudah dibangun oleh masingmasing lembaga penyelenggara negara:merupakan landasan hukum yang
menjadi dasar hukum bagi kode etik yang sudah ada maupun yang akan dibangun
pada setiap lembaga penyelenggara negara.
FOOTNOTE / TAMBAHAN INFORMASI
1.
13)
14)
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1) Penyelenggara Negara adalah Pejabat
Negara, Pejabat, dan Pegawai yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif, dan
pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2) Etika Penyelenggara Negara adalah
nilai-nilai etika yang bersumber dari ajaran agama, nilai luhur bangsa dan tercermin dalam
nilai-nilai Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap, berperilaku, bertindak, dan
14
2.
3.
4.
13)
14)
berucap dalam penyelenggaraan negara; 3) Prinsip etika penyelenggara negara yang
selanjutnya disebut prinsip etika adalah tata nilai moral yang berlaku secara universal sebagai
norma dasar yang dihormati dan dipedomani dalam bersikap, bertindak dan berucap bagi
penyelenggara negara sesuai perannya dalam menjalankan aktivitas penyelenggaraan negara;
4) Kode Etik Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah perangkat nilai,
norma, aturan atau standar yang disepakati sebagai ketentuan yang dipatuhi dan untuk
dilaksanakan dalam bersikap, beperilaku, bertindak, dan berucap bagi penyelenggara negara;
5) Majelis PenegakKode Etik Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Majelis
PenegakKode Etik (MPKE) adalah satuan tugas yang dibentuk untuk menegakkan kode etik
pada lembaga penyelenggara negara; 6) Lembaga Penyelenggara Negara, yang selanjutnya
disebut lembaga adalah instansi atau satuan organisasi meliputi lembaga eksekutif, lembaga
legislatif, lembaga yudikatif, lembaga pengawasan, Bank Indonesia, BUMN, BUMD, dan
lembaga kenegaraan lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan; dan 7)
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendayagunaan aparatur negara.
Etika adalah rambu-rambu dalam mencapai tujuan organisasi. Etika adalah nilai-nilai
universal yang terbentuk dari budaya dan pelembagaan struktur yang terus menerus. Nilainilai dasar etika, yaitu kejujuran, keikhlasan, keadilan, tepat janji, taat aturan, tanggung
jawab, kewajaran, dan kepatuhan serta kecermatan dan kehati-hatian, harus dipedomani oleh
aparat pemerintahan dan masyarakat. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2004)
menegaskan bahwa TAP MPR RI Nomor VI/MPR/2001 lahir sebagai tanggapan terhadap
situasi “krisis moral-etika” yang sudah menggejala, harus dijabarkan ke dalam program aksi
yang diharapkan menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Program aksi ini
berbentuk matriks kegiatan antara Nilai-Nilai (Kejujuran, Keteladanan, Toleransi,
Mendahulukan Kepentingan Orang Banyak, dan Etos Kerja) dan Aspek-Aspek (Sosial Budaya,
Politik dan Pemerintahan, Ekonomi dan Bisnis, Penegakan Hukum yang Berkeadilan,
Keilmuan, dan Lingkungan). Pemerintah Kota Solok telah melaksanakan Etika Pemerintahan
dengan ditetapkannya Perda 01/2008 tentang Etika Pemerintahan Daerah Kota Solok dalam
upaya meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik (good public governance). Prof.Dr.
H.Abudin Nata, MA, UIN (2008) menegaskan bahwa Perda 01/2008 merupakan keinginan kuat
dan tanggungjawab moral yang tinggi Pemerintahan Daerah Kota Solok untuk membangun
good local governance. Etika Pemerintahan Daerah merupakan daya dorong percepatan
pembangunan daerah, dapat direplikasikan ke pemda-pemda lain di Indonesia, serta
mendorong perwujudan kepemimpinan yang demokratis, perubahan mind-set dan culture-set,
contoh yang baik, panutan dan keteladanan. Prof. Eko Prasodjo (2008) menegaskan bahwa
reformasi birokrasi membutuhkan perubahan pola pikir (mind-set), budaya kerja (culture-set),
dan etika aparatur negara, melalui internalisasi dan eksternalisasi.
Agus
Pramusinto
(UGM,
2012):
Etikamenjadipanduanbagipejabatpublikuntukmenuntunperilaku.
Hukumselaluketinggalanzamandantidakbisamengejardinamikaperubahan
yang
cepat.
Hukumadalahetika
yang
diformalkan.
“BaikdanBuruk”
diformalkan
menjadiaturansehinggaberubahmenjadi “BolehdanTidakBoleh”. Pertanyaannya, apakah UU
ini
penting?
Apa
yang
digagaskandalamnaskahakademik?
Apakahadakekosonganhukumsehinggadiperlukan RUU ini? Apakahmunculnya RUU
inimampumemperbaikikondisi di Indonesia? Apakah muatan Etika hanya meliputi kejujuran,
tepatjanji, transparansi, taataturan, keadilan, kewajarandankepatutan, tanggung jawab, dan
kehati-hatian?
Apakah
undang-undang
ini
akan
efektif.
Contoh:
kejujurandantaataturanlebihkongkritdikaitkandenganbagaimanapejabatmenggunakananggara
n.
Kalauseorangpejabatmenggunakanuangtidaksesuaiketentuan,
akanterkenaaturanpengelolaananggaran/keuangan (perjalanan dinas 2 haritetapidilaporkan 5
hari; dan pelaksana perjalanan dinas 2 orangdihitung 5 orang atau lebih).
KepprestentangPengadaanBarangdanJasamengaturkonkrittentangkejujuran,
taataturan,
kewajarandankepatutan,
dan
kehati-hatian.
Taat
aturan
yang
berisitentangkedisiplinansudahdiaturdenganjelasdalam PP 53/2010 tentangDisiplin PNS. Di
negaramaju,
etikaberjalandenganbaikkarenabudayadankesadaranhukumsudahbaik.
Ketikaadakekosonganhukum,
merekaakanmenggunakanakalsehatuntukmenilaitindakanberdasarkanetika.Di Indonesia, etika
15
5.
6.
7.
8.
9.
13)
14)
yang
berupahimbauantidakakanefektif.
Yang
sudahjelasjelasdiaturdalamhukumsajatidakbisaberjalan.
Kekosonganhukumdimanfaatkanuntukmelakukantindakan yang menguntungkandirisendiri.
Di masing-masinglembagasudah adalembagapenegakkodeetik. Sebagai contoh di DPR,
Kejaksaan, BI, Polri, dan lembaga-lembaga Birokrasi. Dalam upaya menegakkan etika
penyelenggara negara dibentuk lembaga penegak kode etik pada masing-masing lembaga. Apa
yang
semestinya
diatur?
Harusadamaterialisasitentang
apa
yang
harusdiatursehinggakitamengatursesuatudengankonkrit.
Contoh
yang
lebihkonkrit
rangkapjabatan,
conflict
of
interest(pejabattidakbolehpunyabisnis
yang
terkaitdenganjabatannya),
BupatitidakbolehdaftarjadiWabup.
IstriBupatitidakbolehmendaftarsebagaiCabupsaatsuamimasih incumbent (bolehsetelahselang 1
periodedijabat olehorang lain).
Naskah Akademik RUU tentang Etika Penyelenggara Negara (2012) menegaskan bahwa dalam
karya Aristoteles, Ethics, yang berasal dari kata Ethos, dimaksudkan sebagai “habit/kebiasaan”.
... what all men agree is the aim of life, eudaimonia ... . What is aimed at by something is the good
for that thing ... .”John O’Manique dalam bukunya “The Origins of Justice: The Evolution of
Morality, Human Rights, and Law”, menekankan pentingnya moral. “…. Moral (ethical) pertin
to goodness and badness. Moral is normative. Normative statements refer to what is believed to be
good or bad, they are value judgments …. They state what one believes to be good and what ought
to be, not what (it) is.” (Antony Flew, A Dictionary of Philosophy, London: Pan Books & The
Macmillan Press, Second Revised Edition, 1983).
Moral (yang baik) terkait pada faham adanya tanggung jawab (responsibility), dan asumsi
bahwa budaya itu merupakan sesuatu yang terus berkembang (jadi berubah) dan harus
membawa kemajuan (development) dan kehidupan yang semakin baik, aman, sejahtera dan
teratur.Dengan demikian terlihat adanya kaitan yang erat antara (1) moral (etika), (2)
keinginan untuk semakin maju, sejahtera dan hidup teratur (damai), (3) budaya;dan (4)
perilaku manusia; serta (5) masyarakat dan negara. Etika merupakan bagian dari mata rantai
kebudayaan (culture), logika (iptek), estetika (seni), dan etika (Pancasila, norma) pribadi (religi
dan kesusilaan) dan antarpribadi (kesopanan dan hukum), mengacu pada UUD NRI 1945.
Diperlukan pengaturan tentang perilaku penyelenggara negara dan anggota masyarakat.
Prinsip dasar etika penyelenggara negara (prinsip etika) adalah tata nilai moral dan etika yang
berlaku secara universal sebagai norma dasar yang dihormati dan dipedomani dalam bersikap,
berperilaku, bertindak dan berucap bagi penyelenggara negara sesuai perannya dalam
menjalankan aktivitas penyelenggaraan negara.
Prinsip-prinsip etika sebagai pedoman penyelenggara/peyelenggaraaan negara, yaitu (1) sikap,
perilaku, tindakan dan ucapan penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan
wewenangnya didasarkan pada prinsip-prinsip etika; dan (2) pelaksanaan penegakan
penyelenggaraan negara didasarkan pada prinsip-prinsip etika. Landasan yuridis UU EPN
adalah (1) Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945;(2) TAP MPR Nomor X/MPR
RI/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan
normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara; dan (3) TAP MPR Nomor VI/MPR
RI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.Berdasarkan landasan sosiologis, hasil penelitian
lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar responden sependapat untuk menjaga integritas,
jati diri, dan martabat penyelenggara negara, serta perlu segera membentuk Undang-Undang
Tentang Etika Penyelenggara Negara.
Arah dan sasaran pelaksanaan undang-undang ini adalah terwujudnya penyelenggara negara
yang konsisten untuk bersikap jujur, tidak melakukan kebohongan publik, amanah, sportif,
siap dan tanggap melayani masyarakat, memiliki keteladanan (menjadi panutan), tidak arogan,
siap mundur dari jabatan bila terbukti melakukan kesalahan dan/atau mundur bilamana
kebijakannya bertentangan dengan hukum dan merugikan kepentingan masyarakat. Demikian
pula apabila terjadi sikap, perilaku, tindakan dan/atau ucapan penyelenggara negara yang
tidak mencerminkan atau mengabaikan norma etika, baik yang berakibat timbulnya gangguan,
keresahan dan/atau kerugian bagi hak atau kepentingan masyarakat umum (publik), maupun
kepentingan bangsa dan negara, maka dapat dikategorikan sebagai sikap dan perilaku yang
tidak sesuai dengan norma etika dan melanggar ketentuan norma etika penyelenggara negara
sehingga harus dikenakan sanksi.
16
10. Kementerian PANRB saat ini tengah menyusun RUU EPN. RUU ini ditujukan untuk menjadi
sistem dan mekanisme kontrol terhadap sikap dan perilaku penyelenggara negara, baik
eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun auditif. Aturan yang bersifat mengikat ini diharapkan
dapat menjadi landasan hukum dalam penegakan kode etik dan standar etika penyelenggara
negara. Untuk menyambut hal ini Kementerian PANRB mengundang beberapa tokoh untuk
menyampaikan pendapatnya atas RUU tersebut, antara lain Prof. Dr. Musdah Mulia, MA,
intelektual peraih Yap Thiam HienAward 2008 yang giat menyuarakan iklim beragama yang
toleran dan damai. Beliau menegaskan bahwa persoalan etika terutama bagi para
penyelenggara negara, adalah persoalan akut yang harus segera diselesaikan. Sebab betapa
amburadulnya pelayanan publik (public service) di negara ini, mulai dari lemahnya rasa
tanggungjawab, rendahnya disiplin, hingga terbudayanya mental korupsi dan penyuapan.
Musdah Mulia memberi apresiasi yang tinggi kepada Kementerian PANRB yang telah
membuat RUU EPN dan berharap agarundang-undang ini dapat menjadi instrumen untuk
membangun mentalitas dan cara pandang aparatur negara yang lebih beretika dan
bermartabat.Hal yang harus diperhatikan, etika dalam undang-undang ini harus dibangun
berdasarkan nilai-nilai universal yang berkembang dan dianut secara luas di masyarakat,
karena ajaran universal ini termuat di semua nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
RUU ini harus dibangun dengan kesepakatan semua golongan dan tidak dibuat secara ekslusif.
Karena itu RUU EPN perlu disosialisasikan secara luas kepada seluruh elemen masyarakat,
karena menyangkut penyelenggaraan negara yang harus menyerap aspirasi semua golongan.
Golongan itu di antaranya kelompok agama, masyarakat adat, buruh, pedagang kaki lima, dan
sebagainya.
11. Melalui undang-undang ini mereka merasa terperhatikan dan terlindungi, khususnya dari
perilaku tidak etis para penyelenggara negara. Misalkan saja terhadap kegiatan razia dan
penggusuran, yang kerapkali dilakukan dengan cara yang menyinggung nurani kemanusiaan.
Di media massa, tindak kekerasan aparat sering dipertontonkan begitu telanjang, bahkan
menjadi konsumsi komersil bagi masyarakat. Karena itu, RUU EPN tidak hanya mendorong
perubahan di internal tugas aparatur negara, tetapi juga perubahan sikap masyarakat yang
mengharapkan perlakuan lebih adil dan wajar.
12. Pendapat para Pakar:
• Taufiq Effendi (Menpan 2004-2009) menegaskan, etika mengatur hal-hal yang patut dan
tidak patut (boleh dan tidak boleh), serta pejabat publik mulai dari Presiden, Gubernur,
Bupati, dan Walikota; anggota DPR, DPD, dan pemangku otoritas publik yang lain, serta
memiliki hak dan kewajiban normatif. Di luar itu mereka diikat oleh etika jabatan.
• Soedjatmiko menegaskan bahwa etika penyelenggara negara menerapkan prinsip dasar dan
nilai-nilai yang menyangkut kebenaran atas sikap, tindak, dan ucapan penyelenggara
negara. Etika penyelenggara negara juga harus dilakukan oleh jajaran eksekutif, legislatif,
yudikatif, auditif, dan lembaga pemerintahan lainnya. Pejabat negara dalam upaya
mewujudkan tata pemerintahan yang baik dituntut untuk menghormati, menegakkan, dan
menjaga nilai-nilai moral guna menjalin harmonisasi dalam tata kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Undang-Undang tentang EPN dimaksudkan untuk membangun
integritas nasional, karakter, dan tanggung jawab sosial guna menjaga martabat dan
kehormatan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.
• Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2008) menegaskan, “bangsa akan maju, jika
mempunyai kemandirian dan daya saing, dan akhlak mulia disertai kepribadian yang
tangguh”.
• Prof. Franz Magnis Soeseno, pakar filsafat etika, mengulas prinsip-prinsip etika dari
perspektif filsafat. Bagaimana pengaruh etika dalam membentuk karakter individu dan
masyarakat, termasuk perkembangan etika dalam kehidupan sosiologis masyarakat
Indonesia. Perlu dibedakan antara etika di satu pihak dan nilai moral di lain pihak, sebab di
dalam sejarah etika, ternyata “banyak karya etika merupakan protes terhadap pendapatpendapat moral yang dianggap keliru” dan “etika dianggap kambing yang merusak taman
norma-norma tradisional yang indah."
• Prof. Dr. Ryaas Rasyid,pakar ilmu pemerintahan sekaligus salah satu konseptor otonomi
daerah, mengulas urgensi etika dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good
governance), dan bagaimana etika dapat berlaku efektif bagi para penyelenggara negara.
13)
14)
17
• Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, pakar dan praktisi hukum tata negara yang berperan dalam
upaya reformasi ketatanegaraan di Indonesia, mengkaji secara yuridis atas instrumen
hukum yang mengatur etika penyelenggara negara, termasuk amanat konstitusi pada
penegakan etika, khususnya melalui peraturan perundang-undangan.
• Prof. Dr. Ramlan Surbakti, M.A., mendefinisikan kode etik (ethics code) dengan kodifikasi
kaidah perilaku.
• Sebagian masyarakat berpendapat bahwa etika dan moral dapat saling dipertukarkan,
tetapi ada juga yang berpandangan lain, misalnya Alois A.Nugroho dalam "Etika
Administrasi Bisnis" (2000) yang menyatakan bahwa moral ialah ajaran tentang perilaku
yang baik dan buruk, sedangkan etika ialah cabang filsafat yang secara teoretik menyoroti,
menganalisis, dan mengevaluasi ajaran-ajaran tersebut, tanpa mengajukan suatu ajaran
tentang mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk.
• Prof Sunaryati, mantan anggota Ombudsman RI, dalam makalah "Peranan Ombudsman
dalam Penegakan Etika dan Sistem Penyelenggaraan Negara yang baik", mengatakan
bahwa istilah etika berasal dari bahasa Yunani yang sama artinya dengan morales atau
moralis dalam bahasa Latin, yang berarti kelakuan, tabiat, watak, akhlak, dan cara hidup.
• Komarudin (2013) dalam artikel 1) “Membangun Jati Diri Bangsa Indonesia Menuju
Bangsa Modern”, Jurnal NEGARAWAN Kemensetneg RI Nomor 29 Tahun 2013; 2)
“Menuju UU Etika Penyelenggara Negara”, Jurnal NEGARAWAN Kemensetneg RI Nomor
32 Tahun 2014; dan 3) “Revolusi Mental menuju Bangsa Berkepribadian Luhur”, Jurnal
NEGARAWAN Kemensetneg RI Nomor 34 Tahun 2015; menegaskan pentingnya etika
(etika sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari, kejujuran dan integritas,
tanggung jawab, hormat pada aturan dan hukum masyarakat, hormat pada hak
orang/warga lain, cinta pada pekerjaan, berusaha keras untuk menabung dan investasi,
bekerja keras, tepat waktu, dan tidak menyalahkan orang lain).
13) Inspektorat Jenderal Kementerian Agama yang memperkenalkan Pengawasan dengan
Pendekatan Agama, menegaskan keterkatian etika dengan iman (aqidah, keyakinan,
kepercayaan akan sesuatu yang berhubungan dengan agama, kepercayaan, keteguhan hati,
serta keseimbangan jasmani dan rohani), ilmu (pengetahuan tentang suatu bidang: ilmu agama,
ilmu akhlak, dan ilmu kemanusiaan), amal (perbuatan baik dan buruk: amal ibadah, amal
jariah, dan amal saleh), amanah (kerabat, menyampaikan pesan, kepercayaan, keamanan, dan
ketenteraman), dan hakikat manusia religious (manusia yang taat beragama), memperhatikan
azas etika (pertanggungjawaban, pengabdian, kesetiaan dan ketaatan, kepekaan, persamaan,
dan kepantasan), penegakan kode etik (menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa;
mengutamakan pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat; bekerja jujur, adil, dan
amanah; melaksanakan tugas dengan disiplin, profesional, dan inovatif; serta setia kawan dan
bertanggung jawab atas kesejahteraan korps). Ditegaskan pentingnya jati diri (identitas,
spiritual, jiwa, semangat dan daya gerak yang berasal dari dalam diri manusia), budaya kerja
(sikap dan perilaku), etika (berkenaan dengan baik dan buruk, hak dan kewajiban, dan
kelakuan yang benar/salah), moral (asas, nilai atau ajaran tertentu yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban), dan moral (azas, nilai, atau ajaran tertentu yang
diterima umum mengenai sikap dan perbuatan).
Prof. Drs. Komarudin, M.A.
Peneliti Utama Kebijakan Publik, BPPT
HP 081291367890, 0812 926 965 Email: [email protected]
13)
14)
18
Komarudin, Prof., Drs., M.A., peneliti utama bidang kebijakan publik/analisis sistem
pembangunan perumahan dan permukiman, NIP 19481215 197912 1001 (lama: 680000136), PNS
di BPPT sejak 1978 s.d. 31 Desember 2013, pensiun tmt 1 Januari 2014, Pembina Utama / IV/e
(1 April 2000), lahir di Bogor, 15 Desember 1948, HP 0812 926 9650, 0812 9136 7890, e-mail:
[email protected] , alamat rumah di Perumahan Larangan Indah, Jalan Sumatera No. 3,
Larangan, Tangerang 15154, Telepon 021-5848242, 021-5848311. Pendidikan, S1 Matematika
ITB (1968-1977) dan S2 (Regional Development Planning, Institute of Social Studies, Den Haag,
Belanda, September 1986 – Desember 1987).
Pengalaman kerja, Staf Operations Research and Systems Analysis, Divisi AdvancedTechnology
Pertamina (1977), BPPT (1978), Pelaksana Tugas Direktur Pengkajian Sistem (1983), Pjs.
Direktur Pengkajian Sistem (1991), Pjs. Direktur Pengkajian Sistem Industri Sekunder (1994),
Pjs. Deputi Kepala BPPT Bidang Analisis Sistem (1994), Deputi Kepala BPPT Bidang
Pengkajian Kebijakan Teknologi (1998), Deputi Menpan Bidang Tata Laksana (2001), Deputi
Menpan Bidang Program PAN (2004), Staf Ahli Menpan Bidang Sistem Manajemen (2005), dan
Anggota Tim Asistensi Menpan (2007).
Jabatan Fungsional Peneliti Utama (1993), Orasi Ilmiah (1994), dan Prof.riset Kebijakan Publik
(Februari 2006). Angka Kredit Peneliti Utama pada Agustus 2012 mencapai 3.293,40. Membuat
buku Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman (1997), Menjakartakan Warga
Jakarta (1997), Membangun Kota Jakarta (1998), dan Pembangunan Perkotaan Berwawasan
Lingkungan (1999), Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik (April 2014), dan Reformasi
Humas Pemerintah (April 2014).
Meraih 13 Juara I-III Lomba Karya Tulis HUT Pemerintah DKI Jakarta (1989-1996), Juara I LKT
HUT ke-23 PD Pasar Jaya (1990), Juara I LKT HUT ke-4 Perum Husada Bakti (1990), Juara I
LKT Kepariwisataan Pemko Bogor (1990), Juara Harapan LKT Pameran Produksi Indonesia
(1990), dan Juara II LKT Habitat, Kemenperkim (1998).
Menulis makalah pada seminar/workshop nasional dan internasional, majalah ilmiah/jurnal/media
massa, 600 artikel di koran (1987-1997), artikel/presentasi tentang aparatur negara,
ketatalaksanaan, pelayanan publik, humas pemerintah, budaya kerja dan etika. Menulis artikel di
Jurnal NEGARAWAN, Kemensetneg RI (reformasi birokrasi, pelayanan publik, penataan
peraturan perundang-undangan, dan jati diri bangsa); dan Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara,
KemenPANRB (reformasi birokrasi, pelayanan publik prima, dan penataan struktur birokrasi).
Anggota Tim Penyelesaian RUU Pelayanan Publik (2008-2009) dan Anggota Tim Penyusun 13
dokumen Permen PANRB tentang Humaspem (2009-2012). Presentasi “Decentralization:
Improving Public Services in Indonesia” (The Hong Kong Institute of Education, Centre for
Governance and Citizenship, Hongkong,17-18 November 2011) dan presentasi “One Village One
(Superior) Product, OVOP: An Alternative for Technology-based Rural Development” (Centrefor
Governance and Citizenship, Southeast Asia Research Centre, Hongkong, 30 November – 1
Desember 2012). Anggota Tim Evaluasi (2014) dan Koordinator Tim Evaluasi Kompetisi Inovasi
Pelayanan PublikKemen PANRB (2015).
13)
14)
19
13)
14)
20
Download