NKRI PERLU UU TENTANG ETIKA PENYELENGGARA NEGARA Oleh: Prof. Drs. Komarudin, M.A. Peneliti Utama Kebijakan Publik, pensiunan BPPT tmt 1 Januari 2014 I. PENDAHULUAN Landasan Hukum: 1) Tap MPR RI Nomor X/MPR/1998tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara:mengamanatkan agar menyiapkan sarana dan prasarana, program aksi dan perundang-undangan bagi tumbuh dan tegaknya etika penyelenggara negara. 2) Tap MPR RINomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa(EKB)mengisyaratkan perlunya mengaktualisasikan etika kepemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mengacu pada cita-cita persatuan dan kesatuan, ketahanan, kemandirian, keunggulan dan kejayaan serta kelestarian lingkungan yang dijiwai nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. 3) Tap MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKNmengisyaratkan perlunya membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi etika penyelenggaraan negara. Amanat MPR ini melatarbelakangi perlunya instrumen hukum dalam bentuk ketentuan undang-undang yang sifatnya mewadahi dan memformulasikan prinsip dasar, norma-norma etika dan mekanisme penegakan etika penyelenggara negara.Ketentuan undang-undang ini berperan mendasari pelaksanaan Etika Penyelenggara Negara (EPN) dan pembentukan kode etik lembaga penyelenggara negara yang patut ditegakkan, ditaati, dan dipatuhi untuk dilaksanakan oleh setiap penyelenggara negara dan diwujudkan dalam bersikap, berperilaku, bertindak, dan berucap bagi setiap penyelenggara negara dalam menjalankan tugas penyelenggaraan negara. 4) Tap MPR RI Nomor II/MPR/2002 tentang Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional, termasuk Reformasi Birokrasi dan Membangun Penyelenggara Negara dan Dunia Usaha yang Bersih, mendesak terciptanya penyelenggara negara, dunia usaha, dan seluruh masyarakat yang baik dan bersih. 5) Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2002mengamanatkan pemberantasan KKN, penegakan dan kepastian hukum, dan reformasi birokrasi. 6) UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN: Tujuh asas penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, yaitu kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabel. 7) UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negaramenegaskan pentingnya kode etik dan kode perilaku aparatur negara. 8) PP 42/2004 tentangPembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. 9) Sejak tahun 2001 dibahasRUU Etika Pemerintahan yang kemudian berubah menjadi RUU Perilaku Aparat Negara, RUU Penegakan Etika, dan pada tahun 2011 menjadi RUU Etika Penyelenggara Negara (EPN). Mengapa RUU EPN diperlukan? Kehadiran UU ini diharapkan menjadiramburambu dan obat atas carut marut masalah korupsi, kolusi, nepotisme, serta sikap, 13) 14) 1 tindakan, perilaku, dan etika para penyelenggara negara yang tidak punya budaya malu dan masih penuh dengan kebohongan publik. II. ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA 8) Etika Kehidupan Berbangsa (EKB): • Penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. • Acuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. • Mengedepankan penegakan norma etika dalam penyelenggaraan negara, nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran, amanah, keteladanan,sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, ketaatan terhadap aturan, adil, bijaksana, disiplin, sopan dan santun, menjaga kehormatan, serta martabat diri sebagai warga bangsa, dan menegakkan enam etika. 9) Enam Etika dalam EKB:etika sosial dan budaya; etika poltik dan pemerintahan; etika ekonomi dan bisnis; etika penegakan hukum yang berkeadilan;etika keilmuan; dan etika lingkungan. 10)EKB perlu: diaktualisasikan; diinternalisasikan, disosialisasikan, dan diamalkan; serta melaksanakan pendidikanetika (bersumber dari ajaran agama dan budaya luhur bangsa) dan pendidikan watak dan budi pekerti (menekankan keseimbangan kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan spiritual, serta amal kebajikan). III. JIWA KORPS DAN KODE ETIK PNS 11)PP 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS: PNS yang kuat, kompak dan bersatupadu, memiliki kepekaan, tanggap dan memiliki kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, serta sadar akan tanggungjawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat, dapat diwujudkan melalui pembinaan korps PNS, termasuk kode etiknya. 10)Jiwa Korps PNS: rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan, kerjasama, tanggungjawab, dedikasi disiplin, kreativitas, kebanggaan dan rasa memiliki organisasi PNS dalam NKRI. 11) Kode Etik PNS: pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan PNS dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup sehari-hari. 12) Pembinaan jiwa korps PNS: untuk meningkatkan perjuangan, pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan PNS kepada negara kesatuan dan Pemerintah RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 13) Kehadiran UU 5/2014 tentang ASN(pengganti UU 43/1999 - perbaikan UU 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian)mengamanatkan perubahan PP 53/2010 tentang Disiplin PNS (pengganti PP 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS). Perka BKN 21/2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 53/2010 tentang Disiplin PNS harus diubah. 14) Tiga tujuan pembinaan jiwa korps PNS: • Pertama: membina karakter/watak, memelihara rasa persatuan dan kesatuan secara kekeluargaan guna mewujudkan kerjasama dan semangat pengabdian kepada masyarakat serta meningkatkan kemampuan dan keteladanan PNS. • Kedua: mendorong etos kerja PNS untuk mewujudkan PNS yang bermutu tinggi dan sadar akan tanggungjawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat. 13) 14) 2 • Ketiga: menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran, dan wawasan kebangsaan PNS sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam NKRI. Pembinaan jiwa korps PNS meliputi peningkatan etos kerja dalam meningkatkan produktivitas dan profesionalitas, partisipasi dalam penyusunan kebijakan, peningkatan kerjasama dan kesetiakawanan, dan perlindungan hak-hak sipil atau kepentingan PNS. 15) Nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh PNS (PP 42/2004) meliputi: a. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan UUD NRI 1945; c. Semangat nasionalisme; d. Mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan; e. Ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; f. Penghormatan terhadap hak azasi manusia; g. Tidak diskriminatif; h. Profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi; dan i. Semangat jiwa korps. 16) Dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari setiap PNS wajib bersikap dan berpedoman pada etika(dalam bernegara, dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta etika terhadap diri sendiri dan terhadap sesama PNS yang diatur dalam PP 42/2004). 17) Implikasi Jiwa Korps dan Kode Etik: kode etik instansi dan kode etik organisasi profesi;dan menegakkan amanat UU ASN (pentingnya 13 azas, 7 prinsip, 15 nilai-nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku ASN, dan 12 pengaturan perilakuyang bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN). 18) Nilai dasar meliputi 15 butir, yaitu memegang teguh iedologi Pancasila; setia dan mempertahankan UUD NRI Tahun 1945 serta pemerintahan yang sah; mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia; menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak; membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian; menciptakan lingkungan kerja yang nondiskriminatif; memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur; mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik; memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan program pemerintah; memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun; mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi; menghargai komunikasi, konsultasi dan kerja sama; mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja pegawai; mendorong kesetaraan dalam pekerjaan; dan meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat sistem karier. IV. ETIKA PENYELENGGARA NEGARA 20) Isu strategis: dalam penyelenggaraan negara, terjadi dinamika antara lain timbulnya akibat perkembangan degradasi nilai moral dan norma etika (ditandai sikap, perilaku, tindakan dan ucapan penyelenggara negara yang kadang-kadang kurang etis dalam melaksanakan tugas kegiatannya), misalnya sering terjadi penyelenggara negara membuat pernyataan tidak jujur, tidak benar, berbohong, tidak transparan, kurang bertanggungjawab atas kegagalan pelaksanaan tugas, tidak konsisten dalam pelaksanaan kebijakan atau hukum, cenderung mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan di atas kepentingan masyarakat dan negara, dan kurang adil dalam pelayanan masyarakat). 21) Ini menunjukkan gejala melemahnya penghormatan terhadap prinsip etika, sebagai tata nilai moral dan norma etika, sehingga berakibat mengganggu 13) 14) 3 keharmonisan dan keselarasan yang merugikan kepentingan negara maupun masyarakat (publik). 22) Etika: • Nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku, tindakan atau ucapan. • Etika dimaksudkan untuk mengubah, membentuk, membangun, dan menanamkan sikap dan perilaku (mindset dan culture-set) penyelenggara negara dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. • Dengan etika diharapkan adanya pengembangan budaya organisasi, kejelasan hak dan kewajiban penyelenggara negara, penghargaan dan sanksi, dan memerankan majelis kode etik (majelis penegakan etika). 23) Etika Penyelenggara Negara: • Pada hakikatnya merupakan perangkat nilai dasar dan norma etika untuk memberikan rambu-rambu dalam bersikap, berperilaku, bertindak dan berucap. • Membangun penegakan nilai moral, norma etika dan terwujudnya pengembangan budaya organisasi dalam aktivitas penyelenggaraan negara yang baik dan etis serta akuntabel. • Bercirikan kepribadian yang berperilaku menjunjung asas kepastian hukum dan tertib penyelenggaraan negara. • EPN merupakan instrumen penegakan norma etika, sarana pengembangan kode etik dan budaya organisasi, instrumen pencegahan perilaku koruptif, dan mewujudkan harmonisasi dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 24) Diperlukan kesadaran untuk menghormati, menegakkan dan menjalankan norma etika yang berlaku dalam kehidupan bernegara.Sasaran pelaksanaan UU EPN: terwujudnya penyelenggara negara yang konsisten untuk bersikap jujur, tidak melakukan kebohongan publik, amanah, sportif, siap dan tanggap melayani masyarakat, memiliki keteladanan (menjadi panutan), tidak arogan, siap mundur dari jabatan bila terbukti melakukan kesalahan dan/atau mundur bilamana kebijakannya bertentangan dengan hukum dan merugikan kepentingan masyarakat. 25) Prinsip RUU EPN: • Profesionalisme/profesionalitas, ketaatan dankepatuhan terhadap hukum, kemanusiaan yang adil dan beradab, responsif, akuntabel, konsistensi, transparansi, persatuan dan kesatuan, keteladanan, kesetaraan dan persamaan. • KewajibanPenyelenggara Negara: 1) menghormati, menaati,dan melaksanakan sumpah jabatan dan pakta integritas; 2) menghormati, menaati, dan melaksanakan segala ketentuan peraturan perundang-undangan; 3) menghormati, menaati, dan melaksanakan kebijakan dan tata tertib yang mengatur tugas, fungsi, kewenangan, dan peran; 4) memberikan informasi secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif; 5) menjaga kerahasiaan yang dipercayakan kepadanya; 6) melaporkan harta kekayaan pribadi secara jujur dan benar sesuai peraturan perundang-undangan; 7) menjaga dan memperhatikan kepentingan umum; dan (8) melaporkan segala penerimaan cinderamata selama memangku jabatan (gratifikasi). • Hak-hak Penyelenggara Negara: 1) memperoleh perlakuan yang wajar sesuai tugas, fungsi, dan wewenang; 2) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas; 3) menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari atasan dan kritik masyarakat; 4) menyatakan pendapat dimuka umum secara bertanggungjawab sesuai wewenang; dan 5) mendapatkan pemulihan nama baik. • Laranganbagi Penyelenggara Negara: 1) membuat pernyataan yang tidak benar, berbohong, membingungkan atau meresahkan masyarakat; 2) bertindak 13) 14) 4 diskriminatif dan/atau tidak adil dalam memberikan pelayanan publik; 3) mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung proses peradilan; 4) menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, sanak famili dan/atau pihak lain di luar kepentingan tugas dan wewenang; 5) melakukan perangkapan jabatan; 6) menyalahgunakan fasilitas jabatan; 7) membuat kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang memihak; 8) menerima imbalan atau hadiah berupa barang atau apa saja yang patut diduga atau patut diketahui mempunyai kaitan dengan tugas, fungsi dan wewenang; dan 9) menyalahgunakan dokumen negara. • Sanksimeliputi pemberhentian sementara, pemberhentian, penurunan pangkat, penundaan kenaikan pangkat, dan pemecatan. 26) Kultur birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara sering merugikan dan bahkan menjadi beban masyarakat dan negara. MPR merekomendasikan kepada Presiden agar membangun kultur birokrasi Indonesia yang transparan, akuntabel, bersih, dan bertanggungjawab serta dapat menjadi pelayan masyarakat, abdi negara, contoh, dan teladan masyarakat. Untuk mengatasi degradasi nilai moral dan norma etik serta menegakkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan akuntabel, perlu diaktualisasikan etika pemerintahan dan diterapkan etika penyelenggara negara pada masing-masing lembaga negara. 27) Contoh di lingkungan pemerintahan daerah:Perda 01/2008 tentang Etika Pemerintahan Daerah Kota Solok layak ditiru atau direplikasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yanag bersih dan bebas dari KKN. Perda ini mengatur etika penyelenggara pemerintahan daerah yang terdiri atas pemerintah daerah dan DPRD. Pemerintah Daerah meliputi walikota dan wakil walikota, serta perangkat daerah (sekretaris daerah, sekretariat DPRD, lembaga teknis daerah, dinas daerah, badan usaha milik daerah, kecamatan, dan kelurahan) dan para pegawai (PNS, pegawai tidak tetap, pegawai perusahaan daerah, guru bantu, dan pegawai harian lepas). Kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD diatur dengan PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. V. RUU TENTANG ETIKA PENYELENGGARA NEGARA 28) RUU EPN: • Memberikan landasan hukumdalam tata cara penegakan EPN melalui penerapanketentuan kode etik yang dibentuk pada masing-masing lembaga penyelenggara negara sebagai subyek hukumnya. • Kode etik penyelenggara negara wajibditaati, dipatuhi dan dilaksanakan pada setiap lembaga penyelenggara negara. • Kode etik penyelenggara negaramemuat sistem dan pengaturan tata nilai, norma, aturan atau standar yang menentukan sesuatu hal yang patut atau tidak patut, yang baik atau yang tidak baik menurut ukuran tertentu untuk ditaati atau dilaksanakan oleh penyelenggara negara. • Mendorong terjaganya dan terwujudnyasikap, perbuatan, tindakan, dan/atau ucapan penyelenggara negara sebagai obyek hukum yang baik, yang mencerminkan kepribadian yang amanah, berakhlak mulia, berintegritas yang baik, dapat dipercaya dan terjaga citranya dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan negara. • Sikap dan kepribadianantara lain menegakkan kejujuran, tidak melakukan kebohongan publik, adil, tepat janji, taat aturan, tanggung jawab, tanggap melayani masyarakat, dan siap mundur apabila bertindakmelakukan pelanggaran etika. 13) 14) 5 29) Perbuatan yang dikategorikan melanggar etika: • Sikap, perbuatan, tindakan, dan/atau ucapan penyelenggara negara yang tidak sesuai dengan ketentuan atau norma kode etik (merugikan dan/atau merendahkan nama baik atau harga diri, menurunkan integritas, pamor dan martabat sendiri maupun pihak lain (anggota masyarakat dan lembaga/instansi/badan/negara). • Pelanggar kode etik/etika harus dikenakan sanksi (hukuman yang sifatnya menyentuh moral, menekan dan menyadarkan hati nurani, emosi dan perasaan yang berdampak secara psikologis menimbulkan rasa malu, sehingga terasing dari pergaulan sosial). • Pelanggar kode etik diharapkan mau mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi berbuat hal-hal yang tidak terpuji. 30) Fungsi UU EPN: • Dibentuknya lembaga penegak kode etikyang independen, obyektif, dan netral yang berfungsi menangani peristiwa pelanggaran kode etik dan melakukan pemeriksaan atau klarifikasi untuk membuktikan dan menentukan salah tidaknya, dan menentukan rekomendasi sanksiguna menegakkan kode etik penyelenggara negara. • Diharapkan problematika penegakan nilai moral dan etika yang terjadi di lingkungan penyelenggara negara, dapat diselesaikanmelalui pendekatan yuridis yang dilaksanakan melalui mekanisme penegakan kode etik pada lembaga penyelenggara negara. • Sebagai sarana pembelajarandalam mencegah timbulnya sikap, perilaku, tindakan dan ucapan yang melanggar norma etika ataupun mencegah terjadinya perbuatan yang akan menyimpang dalam penyelenggaraan negara. • Diharapkan dapat meningkatkan pengertian dan pemahaman penyelenggara negaratentang maksud, tujuan, dan fungsi; penyelenggara negara dan etika penyelenggara negara; prinsip etika; budaya kerja; kode etik penyelenggara negara dan pembentukan kode etik;kewajiban dan hak; penegakan kode etik;pelanggaran dan sanksi;ketentuan peralihan, danketentuan penutup. 31) Agus Brotosusilo (FHUI, 2012), penyusun Naskah Akademik RUU EPN: • Bagaimana seyogyanya/seharusnya mengaktualisasikan etika kepemerintahandalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang mengacu pada cita-cita persatuan dan kesatuan, ketahanan, kemandirian, keunggulan dan kejayaan serta kelestarian lingkungan yang dijiwai nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. • Naskah Akademik RUU EPNdimaksudkan untuk menjelaskan secara akademik betapa pentingnya UU EPN yang merupakan salah satu solusi pemecahan masalah birokrasi. Pertimbangan perlunya UU EPN antara lain,dalam dinamika kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan negara, dewasa ini dirasakan timbul gejala mengalami penurunan dalam penerapan nilai-nilai etika dan moral, yang berakibat merendahkan integritas dan martabat bangsa maupun aparatur negara. Untuk menjaga integritas, jati diri, dan martabat dalam penyelenggaraan negara yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur bangsa dan nilai-nilai Pancasila, diperlukan upaya menjaga dan menegakkan nilai-nilai etika moral penyelenggara negara. 32) Ada 8 (delapan) hal penting yang diatur dalam RUU EPN: 1. Ketentuan umum; 2. Prinsip etika; 3. Kewajiban dan hak penyelenggara negara; 4. Kode etik dan pembentukan kode etik; 5. Pengembangan budaya kerja, dan pelaksanaan majelis dan tata carapenegakan kode etik; 13) 14) 6 6. Pelanggaraan dan sanksi; 7. Ketentuan peralihan; dan 8. Ketentuan penutup. 33) Penjelasan hal-hal yang diatur dalam RUU EPN tersebut: 1. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk membangun integritas, profesionalitas, dan jati diri serta menjaga martabat dalampenyelenggaraan negara.Tujuan undang-undang ini adalah untuk menegakkan nilai-nilai moral penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan negara.Sikap, tindakan, dan ucapan penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya didasarkan pada prinsip-prinsip etika.Prinsip etika mencerminkan nilai-nilai moral dan etika yang secara universal dihormati dan berlaku dalam kehidupan sosial, yang memberikan spirit untuk ditetapkan sebagai norma atau ketentuan dan digunakan sebagai tolok ukur dalam pelaksanaan penegakan etika penyelenggara negara. Prinsip ini digunakan untuk mengukur, menilai, dan membandingkan sikap, perilaku, tindakan, dan ucapan dalam praktik pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaran negara. 2. Ketentuan Umum meliputi pengertian tentang penyelenggara negara, etika penyelenggaranegara, prinsip etika penyelenggara negara, kode etik penyelenggara negara, majelis penegak kode etik penyelenggara negara, lembaga penyelenggara negara, dan menteri. 3. Prinsip-prinsip etika: kejujuran, transparansi, tepat janji, taat aturan, keadilan, kewajaran dan kepatutan, tanggung jawab, dan kehati-hatian.Pelaksanaan penegakan penyelenggara negara didasarkan pada prinsip-prinsip etika. • Prinsip kejujuran meliputi nilai-nilai (a) lurus hati dan tidak melakukan kebohongan kepada publik; (b) tidak melakukan kecurangan dalam penyelenggaraan negara; dan (c) tulus dan memiliki keberanian moral untuk menyampaikan kebenaran atau ketidakbenaran. • Prinsip transparansi menuntut penyelenggara negara untuk menyediakan dan memberikan akses terhadap informasi secara terbuka dan transparan kepada publik (Undang-Undang 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan PP 61/2010 tentang Pelaksanaan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; dan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan PP 96/2012 tentang Pelaksanaan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik). • Prinsip tepat janji mengandung nilai-nilai (a) adanya satu kata dengan perbuatan; (b) perbuatan sesuai dengan janji, sumpah, dan ikrar; dan (c) taat melaksanakan kewajiban, komitmen, maklumat, dan pakta integritas. • Prinsip taat aturanmengandung nilai-nilai (a) patuh melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) taat melaksanakan mekanisme, sistem, dan prosedur kerja serta tata tertib administrasi; (c) patuh terhadap ketentuan disiplin; dan (d) perbuatan yang tidak berakibat timbulnya pelanggaran norma sosial. Prinsip keadilan mengandung nilai-nilai (a) arif, bijak, tidak memihak, tidak membedakan gender, status sosial, etnis, dan agama; (b) tidak mengutamakan kepentingan pribadi, kerabat, kroni, dan/atau kelompok; dan (c) mendahulukan kepentingan umum. • Prinsip kewajaran dan kepatutan mengandung nilai-nilai (a) baik, pantas, lazim, dan tidak berlebihan sesuai nilai-nilai moral, norma hukum, adat istiadat atau agama; (b) integritas, profesional, dan bermartabat; (c) kesederhanaan hidup; dan (d) tegas, toleran, dan beretos kerja. • Prinsip tanggung jawab mengandung nilai-nilai (a) berani menanggung risiko, berdedikasi dan bertanggung jawab; (b) tertib, cermat, konsisten, efektif, efisien dan akuntabel; dan (c) peduli, tanggap, dan tangkas. 13) 14) 7 • Prinsip kehati-hatianmengandung nilai-nilai (a) teliti, cermat, dan tepat; dan (b) bijak, toleran, dan sigap. Prinsip-prinsip etika tersebut merupakan dasar untuk merumuskan kode etik pada masing-masing lembaga dan/atau pada kode etik jabatan atau profesi atau korps tertentu dalam penyelenggaraan negara. 4. Undang-Undang ini mengatur kewajiban dan hak penyelenggara negara. • Setiap penyelenggara negara wajib (a) melaksanakan kode etik lembaga; (b) menjaga citra, reputasi, dan integritas lembaga; (c) menjaga hubungan kerja antar lembaga sesuai lingkup tugas, fungsi, dan wewenangnya masing-masing; (d) menaati dan melaksanakan putusan rekomendasi lembaga penegak kode etik; (e) menaati dan melaksanakan ketentuan perundang-undangan, sumpah jabatan, tata tertib, standar prosedur kerja, dan/atau norma, nilai etika yang berlaku pada lembaga; dan (f) mengutamakan kepentingan umum dan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan dalam rangka menjalankan tugas penyelenggaraan negara. • Setiap penyelenggara negara berhak (a) memperoleh perlindungan hukum dalam menegakkan prinsip etika; (b) mengajukan pembelaan secara sendiri atau dengan mendapatkan pendampingan, bilamana diduga melakukan pelanggaran kode etik; dan (c) mendapatkan pemulihan nama baik dan hak-haknya apabila tidak terbukti bersalah melanggar kode etik. 5. RUU ini mengatur kode etik dan pembentukan kode etik. • Pelaksanaan prinsip-prinsip etika penyelenggara negara diwujudkan melalui pembentukan dan penerapan kode etik lembaga sesuai karakteristik bidang tugas masing-masing. • Kode etik berisinilai-nilai, azas, dan norma yang wajib dipatuhi, dihormati dan ditegakkan oleh setiap penyelenggara negara. • Kode etik lembaga wajib disusun dan ditetapkan oleh pimpinan lembaga dan diumumkan kepada publik. Kode etik disusun sekurang-kurangnya memuat (a) tujuan; (b) nilai-nilai, asas dan norma yang menjadi ketentuan dalam kode etik; (c) kewajiban, larangan dan hak; (d) bentuk pelanggaran dan sanksi;(e) lembaga penegak kode etik, tugas, fungsi, wewenang; (f) tata cara pemeriksaan dalam rangka penegakan dan penetapan rekomendasi lembaga penegak kode etik; (g) tata cara pelaksanaan rekomendasi; dan (h) hal-hal lain yang spesifik sesuai kebutuhan dan karakteristik bidang tugas lembaga. 6. Setiap pimpinan lembaga dan/atau profesi wajib menegakkan kode etik melalui pengembangan budaya kerja. Budaya kerja terdiri dari komponen struktural/kelembagaan yang meliputi budaya organisasi dan komponen substansi yang meliputi norma-norma. Pengembangan budaya kerja diatur lebih lanjut dengan peraturan lembaga. Men PANRB telah menetapkan Permen PANRB Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pengembangan Budaya Kerja sebagai perubahan Kepmenpan Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002 tentang Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. 7. Pelaksanaan penegakan kode etik diwujudkan dalam sikap, perilaku, tindakan, dan ucapan penyelenggara negara yang menaati dan mematuhi ketentuan kode etik masing-masing lembaga. • Penegakan kode etik dimaksud dilakukan oleh Majelis Penegak Kode Etik (MPKE).Dalam menegakkan etika penyelenggara negara dibentuk MPKE yang bersifat ad hoc pada masing-masing lembaga. • Pimpinan lembaga menetapkan tata cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan MPKE. 13) 14) 8 • Keanggotaan MPKEterdiri atas 5 (lima) orang atau 7 (tujuh) orang. • Komposisi keanggotaan MPKEterdiri atas ketua merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota, sekretaris merangkap anggota, dan anggota. • Keanggotaan MPKE terdiri atas unsur lembaga, pakar yang memiliki kompetensi relevan, dan unsur masyarakat. 8. Sepuluh persyaratan keanggotaan MPKE harus dipenuhi: • • • • • • • • • • Warga Negara Indonesia; Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Setia kepada Pancasila, UUD NRI 1945, dan NKRI; Cakap, sehat jiwa, memiliki integritas moral dan reputasi yang baik; Tidak pernah melakukan tindakan tercela, tidak patut atau tidak pernah melanggar prinsip-prinsip etika; Tidak pernah terlibat dalam tindakan pelanggaran hukum yang diancam dengan ancaman hukuman pidana; Berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun; Tidak menjadi anggota salah satu partai politik, kecuali pada lembaga legislatif; Memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam penerapan etika penyelenggaraan negara;dan Memenuhi persyaratan lainnya sesuai kebutuhan lembaga. 9. Delapan Tugas Pokok MPKE: 1. Menangani dan menindaklanjuti setiap laporan pengaduan terkait dugaan pelanggaran Kode Etik; 2. Melakukan penelitian, pemeriksaan, klarifikasi atau investigasi terhadap dugaan pelanggaran kodeetik; 3. Melakukan sidang pemeriksaan perkara pelanggaran kode etik; 4. Mendengarkan keterangan saksi ahli, pembela dan/atau penasihat hukum bagi penyelenggara negara terlapor; 5. Memberikan penilaian, pertimbangan dan penetapan rekomendasi atas pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik; 6. Memantau tindak lanjut pelaksanaan penetapan rekomendasi; 7. Membuat penetapan rekomendasi pemulihan nama baik bagi penyelenggara negara terlapor apabila terbukti tidak bersalah;dan 8. Melakukan tugas lainnya sesuai kebutuhan lembaga dalam rangka penerapan kode etik. Dalam melaksanakan tugasnya MPKE memperhatikan dan menindaklanjuti pelanggaran dan/atau pengaduan masyarakat terhadap dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara negara.Pelaksanaan tugas pokok, fungsi, dan wewenang, dilakukan berdasarkan prinsip keadilan dan independensi.MPKE dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang didukung oleh sekretariat lembaga, dan pembiayaan MPKE dibebankan pada anggaran masing-masing lembaga. 10. Tata Cara Pelaksanaan Tugas Pokok MPKE a. Tata cara pelaksanaan tugas pokok MPKEdiatur lebih lanjut oleh MPKE. b. Penegakan kode etik dilaksanakan oleh masing-masing lembaga. c. Penegakan kode etik didasarkan atas laporan pengaduan serta temuan langsung atau tidak langsung terhadap dugaan pelanggaran kode etik. d. Ketentuan tentang tata cara laporan pengaduan sebagai berikut: (a) laporan pengaduan yang diduga mengandung unsur pelanggaran kode etik disampaikan langsung kepada lembaga penegak kode etik atau melalui pimpinan lembaga masing-masing; (b) laporan pengaduan yang diterima oleh pimpinan lembaga, 13) 14) 9 wajib diteruskan kepada MPKE; (c)laporan pengaduan sekurang-kurangnya memuat nama atau identitas pelaku pelanggaran sebagai terlapor, tempat, waktu, dan/atau kronologis peristiwa pelanggaran; (d) laporan pengaduan harus disertai identitas diri pelapor dan bersifat rahasia; dan (e) pelapor pengaduan mendapat jaminan perlindungan kerahasiaannya oleh lembaga penegak kode etik. 11. MPKE bekerja berdasarkan Laporan Pengaduan a. Berdasarkan laporan pengaduan,MPKE segera menindaklanjuti dengan b. c. d. e. menghimpun informasi, melakukan penelitian, penyelidikan, dan pemeriksaan atas tindakan terlapor untuk pembuktian keadaan yang sebenarnya atas laporan peristiwa dugaan pelanggaran kode etik. Lembaga penegak kode etik memanggil terlapor untuk dilakukan pemeriksaan, penyelidikan, investigasi, dan/atau klarifikasi. Berdasarkan hasil proses pembuktian melalui pemeriksaan dalam persidangan atas peristiwa dugaan pelanggaran kode etik, selanjutnya MPKE membuat penetapan rekomendasi atas dasar hasil pemeriksaan tersebut. Dalam rangka pertimbangan untuk menetapkan rekomendasi, MPKE dapat meminta dan/atau mendengar pendapat dari para ahli sesuai bidang yang diperlukan. Penetapan rekomendasi lembaga penegak kode etik, sekurang-kurangnya memuat uraian tentangkronologis peristiwa atau kejadian, bukti fakta peristiwa pelanggaran, pertimbangan dan/atau ketentuan kode etik yang dilanggar, pertimbangan dalam pernyataan keputusan bersalah atau tidak bersalah atas pelanggaran kode etik, serta tindakan dan/atau bentuk sanksi yang harus dilaksanakan. Penetapan rekomendasi disampaikan kepada pimpinan lembaga dan/atau pimpinan atau atasan langsung terlapor untuk wajib ditindaklanjuti dan dilaksanakan. Penetapan rekomendasi lembaga penegak kode etik bersifat final dan mengikat untuk wajib ditindakanlanjuti dan dilaksanakan oleh pimpinan lembaga dan/atau pimpinan atau atasan langsung terlapor dan terlapor. Tatacara pemeriksaan dalam rangka penegakan dan penetapan rekomendasi lembaga penegak kode etik serta tindaklanjut pelaksanaan rekomendasi ditetapkan dalam ketentuan kode etik. f. Apabila perkara dugaan pelanggaran kode etik sekaligus terkait indikasi dan/atau menjadi perkara dugaan pelanggaran hukum yang lain, maka pemeriksaan atas perkara dugaan pelanggaran kode etik tetap dapat dilaksanakan sejalan dengan proses pemeriksaan pelanggaran hukum yang lain tersebut. Pimpinan lembaga memerintahkan kepada pimpinan atau atasan langsung terlapor untuk melaksanakan penetapan rekomendasi MPKE. Jika dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah perintah, pimpinan atau atasan langsung terlapor tidak melaksanakannya, pimpinan lembaga dapat memberikan penetapantindakansanksi administratif dengan terlebih dahulu memberikan peringatan sebelumnya. g. Dalam hal terlapor setelah melalui hasil pemeriksaan dalam lembaga penegak kode etik tidak terbukti bersalah melanggar kode etik, maka lembaga penegak kode etik menetapkan rekomendasi mengenai haltersebut, yang kemudian disampaikan kepada pimpinan lembaga dan/atau pimpinan atau atasan langsung terlapor untuk ditindaklanjuti dengan membuat keputusan pemulihan nama baik terlapor. Apabila pimpinan lembaga dan/atau pimpinan atau atasan langsung terlapor tidak melaksanakan penetapan rekomendasi lembaga penegak kode etik, maka lembaga penegak kode etik mengumumkan penetapan rekomendasi tersebut secara terbuka kepada publik.Tatacara penegakan kode etik diatur lebih lanjut oleh masing-masing lembaga. 13) 14) 10 h. Pelanggaran kode etik meliputi setiap sikap, perilaku, tindakan, dan ucapan penyelenggara negara yang tidak sesuai dan/atau tidak melaksanakan kewajiban yang ditetapkan. Pimpinan lembaga dan/atau pimpinan atau atasan langsung terlapor yang tidak menindaklanjuti untuk melaksanakan penetapan rekomendasi MPKE dikategorikan melakukan pelanggaran kode etik.Perkara dugaan pelanggaran kode etik, apabila diduga mengandung unsur dan/atau terkait dengan dugaan tindakan pelanggaran hukum yang lain, maka lembaga penegak kode etik menindaklanjuti dengan meneruskan perkaranya kepada lembaga yang berwenang berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Perkara dugaan pelanggaran kode etik dimaksud tetap diproses dan dilakukan pemeriksaannya oleh lembaga penegak kode etik. i. Setiap sikap, tindakan, dan ucapan penyelenggara negara yang dinyatakan melanggar ketentuan yang ada, dikenakan sanksi atas pelanggaran kode etik. Sanksi pelanggaran kode etik berupa sanksi moral dan/atau sanksi administratif dalam kategori ringan, sedang dan berat.Sanksi moral dalam kategori ringan, berbentuk (a) teguran lisan dari pimpinan lembaga dan/atau pimpinan langsung terlapor; dan (b) teguran tertulis dari pimpinan lembaga dan/atau pimpinan langsung terlapor. Sanksi moral dalam katagori sedang, berbentuk (a) teguran tertulis dari pimpinan lembaga dan/atau pimpinan langsung terlapor dan dipublikasikan secara terbuka pada lingkungan lembaga tempat berdinas; dan (b) meminta maaf secara tertulis kepada pihak yang terkait dan/atau yang dirugikan dengan dipublikasikan secara terbuka di lingkungan lembaga tempat berdinas. Sanksi moral dalam kategori berat, berbentuk (a) meminta maaf secara tertulis kepada pihak yang terkait dan/atau yang dirugikan dengan dipublikasikan secara terbuka pada satu media cetak harian; dan (b) mengundurkan diri dari jabatan. 34) Penetapan Rekomendasi MPKE • Penetapan rekomendasi MPKEmengenai bentuk dan kategori sanksi, dipertimbangkan atas dasar bukti atau kadar kesalahan atau indikator pelanggaran dari hasil pemeriksaan dalam lembaga penegak kode etik. • Penetapan rekomendasi sanksi MPKEdan tindaklanjut pelaksanaannya diatur dalam ketentuan kode etik lembaga dan/atau kode etik jabatan, profesi atau korps. • Pelaksanaan rekomendasi bentuk sanksi harus dicatat menjadi bagian dalam penilaian kinerja dan/atau daftar catatan kepegawaian atau keanggotaan dari penyelenggara negara yang bersangkutan. 35) Ketentuan Peralihan • Ketentuan Peralihan mengatur bahwa lembaga yang belum memiliki kode etik menetapkan pengaturan kode etik selambat-lambatnya 2 (dua) tahun. • Lembaga yang telah memiliki pengaturan kode etik tetap berlaku dan selambatlambatnya 2 (dua) tahun disempurnakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Ketentuan penutup menegaskan bahwa • Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. • Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. VI. MEWUJUDKAN UU TENTANG ETIKA PENYELENGGARA NEGARA 36) Amanah besar Reformasi 1998: menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang dicita-citakan para founding fathers. • Salah satu amanahadalahreformasi birokrasi, demi terwujudnya pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. \ 13) 14) 11 • Reformasi birokrasi bukanlah pekerjaan mudah. Di sanaterbentang begitu banyak persoalan. Mulai dari macetnya fungsi-fungsi pemerintahan, lemahnya etos dan profesionalisme, hingga buruknya moral birokrasi karena terlalu lama hidup dalam sistem feodal era orde baru. • Untuk memperbaiki itu semua, dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit karena melibatkan jutaan manusia. • Reformasi Birokrasi mengacu pada UU 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025, Perpres 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, dan Permen PANRB 20/2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014, serta Permen PANRB lainnya yang merupakan pelaksanaan reformasi birokrasi. 37) Reformasi birokrasi di Indonesia ibarat baru seumur jagung. • Setidaknya baru pada 2004 ia mulai serius dan efektif dijalankan, terhitung sejak terbitnya Inpres Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.Bandingkan dengan Jepang yang sudah melakukannya sejak 1860 pada saat Restorasi Meiji, atau Amerika Serikat pada 1883. Bahkan yang terdekat, India sudah melaksanakannya sejak 1991 ketika dipimpin Perdana Menteri Narasimha Rao. Sebab itu perlu dimaklumi jika ada banyak hal yang belum terbenahi. Karena memang, membangun manusia dan budaya adalah pekerjaan jangka panjang. • Namun dengan terus diperbaharuinya strategi dan kebijakan pemerintah,kita berharap reformasi birokrasi dapat dipercepat penyelesaiannya. Target reformasi birokrasi instansi pemerintah diselesaikan pada tahun 2012 belum dapat dicapai. Dalam upaya mengejar ketertinggalan itu, reformasi birokrasi tidak bisa dilaksanakan secara parsial dan setengah hati. Ia harus holistik dan menyeluruh, mencakup semua aspek mulai dari penataan organisasi, tata kerja dan sistem manajemen, serta pengembangan sumber daya manusia aparatur. • Pelaksanaan UU harus konsisten, antara lain: UU 39/2008 tentang Kementerian Negara, UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU 5/2014 tentang ASN, UU 6/2014 tentang Desa, UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 38) Etika adalah seperangkat nilai atau norma moral yang berlaku dalam masyarakat. • Etika bermuara pada nilai dari tingkah laku seseorang atau sekelompok orang. • Gayus Lumbun (2010), pakar hukum yang sangat gigih mengusulkan RUU EPN menegaskan pentingnya norma, pola pikir-sikap-tindak-ucap, perubahan paradigma, moral (kejujuran, ketegasan, toleransi, dan etos kerja), hak dan kewajiban, keterkaitan dengan peraturan perundangundangan lain, dan kejelasan perintah Undang-Undang untuk membuat peraturan pemerintah dan peraturan presiden. • Bertens (1977) menegaskan, etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. KBBI mencatat, etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. • Sony Keraf (1995) menegaskan: etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. • EPN tidak terlepas dari segala aspek nilai yang diperlukan oleh penyelenggara negara. • Tegakkan UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN: penyelenggara negara harus menyeimbangkan hak-hak yang dimilikinya dengan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan; 13) 14) 12 diperlukan hubungan harmonis aantarpenyelenggara negara, dan UU EPN diperlukan. • Terwujudnya penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN memerlukan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan untuk itu segala peraturan perundang-undangan tentang etika, harus disertai sanksi. 39) Etika penyelenggara negara terkait dengan budaya kerja dan pengawasan. • Kementerian Agama telah memperkenalkan Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA).RUU EPN diharapkan dapat menjadi instrumen hukum penegakan etika di kalangan birokrasi. • UU EPNakanberperan dalam melandasi, memberikan acuan, dan menjadi pedoman perilaku penyelenggara negara. • Prinsip Etika dalam RUU EPN: tindakan etis yang berlaku universal, yang ditransformasikan dan dikonkritkan pelaksanaannya menjadi norma dan kode etik sehingga sangat jelas parameternya dan dapat diobservasi secara nyata dalam praktik-praktik penyelenggaraan negara. • Penegakan Etika: transparan dan memiliki mekanisme yang jelas melalui lembaga penegak kode etik (kelembagaannya bersifat adhoc pada masing-masing lembaga penyelenggara Negara). 40) Harapan efektivitas itu harus sejalan dengan upaya untuk menguji, mengevaluasi, dan terus melakukan perbaikan dalam pelaksanaannya. • Hampir semua negara maju memiliki peraturan yang mengatur code of conduct bagi aparatnya. Sehingga kita bisa belajar dari negara-negara tersebut bagaimana peraturan ini dapat berlaku efektif. • RUU EPN diharapkan menjadi langkah awal atas strategi kebudayaan kita dalam membangun jati diri bangsa yang lebih maju, lebih beradab, dan beretika. • Pembelajaran Etika: membutuhkan keteladananyang menjadi tanggung jawab para pemimpin dan penyelenggara negara. 41) Makna dan Harapan dari RUU EPN • Kehadiran UU EPN menjadi pendidikan dan modelling mereka yang dilayani, yaitu masyarakat. • UU EPN membangun kepribadian dan budaya kerja aparat untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan prima. • UU EPN mendorong perubahan di internal dan eksternal (perubahan sikap penyelenggara negara kepada masyarakat dengan lebih adil dan wajar). • UU EPN mengakomodir kepentingan dan kebutuhan masyarakat agar terwakili dalam undang-undang ini. • Perangkat UU EPNjangan hanya ada di atas kertas tanpa penegakan hukum (law enforcement). • Penegakannya harus dilakukan secara gradual,dimulai dari hal yang paling mudah dan memungkinkan untuk dilaksanakan. • Dibutuhkan komitmen yang tinggi, konsistensi, dan kesungguhan. • Bagaimana seharusnya penyelenggara negara mempertanggungjawabkan kegagalannya.Apakah harus mundur atau tidak. Penyelenggara negara diharuskan mundur dalam etika, karena beberapa alasan: 1) ada orang lain yang bisa mengerjakan tugas itu dengan baik;2) jika ada konflik dengan atasan karena kebijaksanaan;3) terlibat dalam skandal yang mempermalukan citra pemerintahan; dan 4) apabila terjadi suatu kegagalan yang secara langsung maupun tidak langsung merupakan tanggungjawabnya. 13) 14) 13 VII. PENUTUP 42) Catatan Penutup dan Rekomendasi: • Penyelenggara negara belum menegakkan EKB dan EPN dengan baik, karena itu dibutuhkan UU tentang EPN. RUU EPN perlu dibahas kembali. • UU EPN mendorong penyelenggara negara melakukan perubahan pola pikirsikap-tindak-ucap, revolusi mental yang mengubah sikap dan tindakanaparat penyelenggara negara menjadi makin jujur, konsisten, profesional, bermoral, dan bertanggungjawab, menjauhi kebohongan dan tindakan tidak patut, tidak santun, arogan, perbuatan tercela, mengabaikan kewenangan, tidak diskriminatif, tidak memihak, dan tidak mempengaruhi pembuatan keputusan. • Sesuai harapan David Osborne dan Ted Gaebler (1992), yangmenyarankan pembaharuan birokrasi (reinventing government), perlu dibangun pemerintah yang berorientasi pelanggan, desentralisasi, milik rakyat, misi, tanggap, hasil, kompetitif, wirausaha, katalis, dan berorientasi pasar. Osborne (2007)mengingatkan agar menegakkan etika dan mind-set. • EPN perlu dibarengi pengembangan budaya kerja aparatur negara. • UU EPN merupakan payung bagi kode etik yang sudah dibangun oleh masingmasing lembaga penyelenggara negara:merupakan landasan hukum yang menjadi dasar hukum bagi kode etik yang sudah ada maupun yang akan dibangun pada setiap lembaga penyelenggara negara. FOOTNOTE / TAMBAHAN INFORMASI 1. 13) 14) Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1) Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara, Pejabat, dan Pegawai yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2) Etika Penyelenggara Negara adalah nilai-nilai etika yang bersumber dari ajaran agama, nilai luhur bangsa dan tercermin dalam nilai-nilai Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap, berperilaku, bertindak, dan 14 2. 3. 4. 13) 14) berucap dalam penyelenggaraan negara; 3) Prinsip etika penyelenggara negara yang selanjutnya disebut prinsip etika adalah tata nilai moral yang berlaku secara universal sebagai norma dasar yang dihormati dan dipedomani dalam bersikap, bertindak dan berucap bagi penyelenggara negara sesuai perannya dalam menjalankan aktivitas penyelenggaraan negara; 4) Kode Etik Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah perangkat nilai, norma, aturan atau standar yang disepakati sebagai ketentuan yang dipatuhi dan untuk dilaksanakan dalam bersikap, beperilaku, bertindak, dan berucap bagi penyelenggara negara; 5) Majelis PenegakKode Etik Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Majelis PenegakKode Etik (MPKE) adalah satuan tugas yang dibentuk untuk menegakkan kode etik pada lembaga penyelenggara negara; 6) Lembaga Penyelenggara Negara, yang selanjutnya disebut lembaga adalah instansi atau satuan organisasi meliputi lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, lembaga pengawasan, Bank Indonesia, BUMN, BUMD, dan lembaga kenegaraan lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan; dan 7) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara. Etika adalah rambu-rambu dalam mencapai tujuan organisasi. Etika adalah nilai-nilai universal yang terbentuk dari budaya dan pelembagaan struktur yang terus menerus. Nilainilai dasar etika, yaitu kejujuran, keikhlasan, keadilan, tepat janji, taat aturan, tanggung jawab, kewajaran, dan kepatuhan serta kecermatan dan kehati-hatian, harus dipedomani oleh aparat pemerintahan dan masyarakat. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2004) menegaskan bahwa TAP MPR RI Nomor VI/MPR/2001 lahir sebagai tanggapan terhadap situasi “krisis moral-etika” yang sudah menggejala, harus dijabarkan ke dalam program aksi yang diharapkan menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Program aksi ini berbentuk matriks kegiatan antara Nilai-Nilai (Kejujuran, Keteladanan, Toleransi, Mendahulukan Kepentingan Orang Banyak, dan Etos Kerja) dan Aspek-Aspek (Sosial Budaya, Politik dan Pemerintahan, Ekonomi dan Bisnis, Penegakan Hukum yang Berkeadilan, Keilmuan, dan Lingkungan). Pemerintah Kota Solok telah melaksanakan Etika Pemerintahan dengan ditetapkannya Perda 01/2008 tentang Etika Pemerintahan Daerah Kota Solok dalam upaya meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik (good public governance). Prof.Dr. H.Abudin Nata, MA, UIN (2008) menegaskan bahwa Perda 01/2008 merupakan keinginan kuat dan tanggungjawab moral yang tinggi Pemerintahan Daerah Kota Solok untuk membangun good local governance. Etika Pemerintahan Daerah merupakan daya dorong percepatan pembangunan daerah, dapat direplikasikan ke pemda-pemda lain di Indonesia, serta mendorong perwujudan kepemimpinan yang demokratis, perubahan mind-set dan culture-set, contoh yang baik, panutan dan keteladanan. Prof. Eko Prasodjo (2008) menegaskan bahwa reformasi birokrasi membutuhkan perubahan pola pikir (mind-set), budaya kerja (culture-set), dan etika aparatur negara, melalui internalisasi dan eksternalisasi. Agus Pramusinto (UGM, 2012): Etikamenjadipanduanbagipejabatpublikuntukmenuntunperilaku. Hukumselaluketinggalanzamandantidakbisamengejardinamikaperubahan yang cepat. Hukumadalahetika yang diformalkan. “BaikdanBuruk” diformalkan menjadiaturansehinggaberubahmenjadi “BolehdanTidakBoleh”. Pertanyaannya, apakah UU ini penting? Apa yang digagaskandalamnaskahakademik? Apakahadakekosonganhukumsehinggadiperlukan RUU ini? Apakahmunculnya RUU inimampumemperbaikikondisi di Indonesia? Apakah muatan Etika hanya meliputi kejujuran, tepatjanji, transparansi, taataturan, keadilan, kewajarandankepatutan, tanggung jawab, dan kehati-hatian? Apakah undang-undang ini akan efektif. Contoh: kejujurandantaataturanlebihkongkritdikaitkandenganbagaimanapejabatmenggunakananggara n. Kalauseorangpejabatmenggunakanuangtidaksesuaiketentuan, akanterkenaaturanpengelolaananggaran/keuangan (perjalanan dinas 2 haritetapidilaporkan 5 hari; dan pelaksana perjalanan dinas 2 orangdihitung 5 orang atau lebih). KepprestentangPengadaanBarangdanJasamengaturkonkrittentangkejujuran, taataturan, kewajarandankepatutan, dan kehati-hatian. Taat aturan yang berisitentangkedisiplinansudahdiaturdenganjelasdalam PP 53/2010 tentangDisiplin PNS. Di negaramaju, etikaberjalandenganbaikkarenabudayadankesadaranhukumsudahbaik. Ketikaadakekosonganhukum, merekaakanmenggunakanakalsehatuntukmenilaitindakanberdasarkanetika.Di Indonesia, etika 15 5. 6. 7. 8. 9. 13) 14) yang berupahimbauantidakakanefektif. Yang sudahjelasjelasdiaturdalamhukumsajatidakbisaberjalan. Kekosonganhukumdimanfaatkanuntukmelakukantindakan yang menguntungkandirisendiri. Di masing-masinglembagasudah adalembagapenegakkodeetik. Sebagai contoh di DPR, Kejaksaan, BI, Polri, dan lembaga-lembaga Birokrasi. Dalam upaya menegakkan etika penyelenggara negara dibentuk lembaga penegak kode etik pada masing-masing lembaga. Apa yang semestinya diatur? Harusadamaterialisasitentang apa yang harusdiatursehinggakitamengatursesuatudengankonkrit. Contoh yang lebihkonkrit rangkapjabatan, conflict of interest(pejabattidakbolehpunyabisnis yang terkaitdenganjabatannya), BupatitidakbolehdaftarjadiWabup. IstriBupatitidakbolehmendaftarsebagaiCabupsaatsuamimasih incumbent (bolehsetelahselang 1 periodedijabat olehorang lain). Naskah Akademik RUU tentang Etika Penyelenggara Negara (2012) menegaskan bahwa dalam karya Aristoteles, Ethics, yang berasal dari kata Ethos, dimaksudkan sebagai “habit/kebiasaan”. ... what all men agree is the aim of life, eudaimonia ... . What is aimed at by something is the good for that thing ... .”John O’Manique dalam bukunya “The Origins of Justice: The Evolution of Morality, Human Rights, and Law”, menekankan pentingnya moral. “…. Moral (ethical) pertin to goodness and badness. Moral is normative. Normative statements refer to what is believed to be good or bad, they are value judgments …. They state what one believes to be good and what ought to be, not what (it) is.” (Antony Flew, A Dictionary of Philosophy, London: Pan Books & The Macmillan Press, Second Revised Edition, 1983). Moral (yang baik) terkait pada faham adanya tanggung jawab (responsibility), dan asumsi bahwa budaya itu merupakan sesuatu yang terus berkembang (jadi berubah) dan harus membawa kemajuan (development) dan kehidupan yang semakin baik, aman, sejahtera dan teratur.Dengan demikian terlihat adanya kaitan yang erat antara (1) moral (etika), (2) keinginan untuk semakin maju, sejahtera dan hidup teratur (damai), (3) budaya;dan (4) perilaku manusia; serta (5) masyarakat dan negara. Etika merupakan bagian dari mata rantai kebudayaan (culture), logika (iptek), estetika (seni), dan etika (Pancasila, norma) pribadi (religi dan kesusilaan) dan antarpribadi (kesopanan dan hukum), mengacu pada UUD NRI 1945. Diperlukan pengaturan tentang perilaku penyelenggara negara dan anggota masyarakat. Prinsip dasar etika penyelenggara negara (prinsip etika) adalah tata nilai moral dan etika yang berlaku secara universal sebagai norma dasar yang dihormati dan dipedomani dalam bersikap, berperilaku, bertindak dan berucap bagi penyelenggara negara sesuai perannya dalam menjalankan aktivitas penyelenggaraan negara. Prinsip-prinsip etika sebagai pedoman penyelenggara/peyelenggaraaan negara, yaitu (1) sikap, perilaku, tindakan dan ucapan penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya didasarkan pada prinsip-prinsip etika; dan (2) pelaksanaan penegakan penyelenggaraan negara didasarkan pada prinsip-prinsip etika. Landasan yuridis UU EPN adalah (1) Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945;(2) TAP MPR Nomor X/MPR RI/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara; dan (3) TAP MPR Nomor VI/MPR RI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.Berdasarkan landasan sosiologis, hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar responden sependapat untuk menjaga integritas, jati diri, dan martabat penyelenggara negara, serta perlu segera membentuk Undang-Undang Tentang Etika Penyelenggara Negara. Arah dan sasaran pelaksanaan undang-undang ini adalah terwujudnya penyelenggara negara yang konsisten untuk bersikap jujur, tidak melakukan kebohongan publik, amanah, sportif, siap dan tanggap melayani masyarakat, memiliki keteladanan (menjadi panutan), tidak arogan, siap mundur dari jabatan bila terbukti melakukan kesalahan dan/atau mundur bilamana kebijakannya bertentangan dengan hukum dan merugikan kepentingan masyarakat. Demikian pula apabila terjadi sikap, perilaku, tindakan dan/atau ucapan penyelenggara negara yang tidak mencerminkan atau mengabaikan norma etika, baik yang berakibat timbulnya gangguan, keresahan dan/atau kerugian bagi hak atau kepentingan masyarakat umum (publik), maupun kepentingan bangsa dan negara, maka dapat dikategorikan sebagai sikap dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma etika dan melanggar ketentuan norma etika penyelenggara negara sehingga harus dikenakan sanksi. 16 10. Kementerian PANRB saat ini tengah menyusun RUU EPN. RUU ini ditujukan untuk menjadi sistem dan mekanisme kontrol terhadap sikap dan perilaku penyelenggara negara, baik eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun auditif. Aturan yang bersifat mengikat ini diharapkan dapat menjadi landasan hukum dalam penegakan kode etik dan standar etika penyelenggara negara. Untuk menyambut hal ini Kementerian PANRB mengundang beberapa tokoh untuk menyampaikan pendapatnya atas RUU tersebut, antara lain Prof. Dr. Musdah Mulia, MA, intelektual peraih Yap Thiam HienAward 2008 yang giat menyuarakan iklim beragama yang toleran dan damai. Beliau menegaskan bahwa persoalan etika terutama bagi para penyelenggara negara, adalah persoalan akut yang harus segera diselesaikan. Sebab betapa amburadulnya pelayanan publik (public service) di negara ini, mulai dari lemahnya rasa tanggungjawab, rendahnya disiplin, hingga terbudayanya mental korupsi dan penyuapan. Musdah Mulia memberi apresiasi yang tinggi kepada Kementerian PANRB yang telah membuat RUU EPN dan berharap agarundang-undang ini dapat menjadi instrumen untuk membangun mentalitas dan cara pandang aparatur negara yang lebih beretika dan bermartabat.Hal yang harus diperhatikan, etika dalam undang-undang ini harus dibangun berdasarkan nilai-nilai universal yang berkembang dan dianut secara luas di masyarakat, karena ajaran universal ini termuat di semua nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa Indonesia. RUU ini harus dibangun dengan kesepakatan semua golongan dan tidak dibuat secara ekslusif. Karena itu RUU EPN perlu disosialisasikan secara luas kepada seluruh elemen masyarakat, karena menyangkut penyelenggaraan negara yang harus menyerap aspirasi semua golongan. Golongan itu di antaranya kelompok agama, masyarakat adat, buruh, pedagang kaki lima, dan sebagainya. 11. Melalui undang-undang ini mereka merasa terperhatikan dan terlindungi, khususnya dari perilaku tidak etis para penyelenggara negara. Misalkan saja terhadap kegiatan razia dan penggusuran, yang kerapkali dilakukan dengan cara yang menyinggung nurani kemanusiaan. Di media massa, tindak kekerasan aparat sering dipertontonkan begitu telanjang, bahkan menjadi konsumsi komersil bagi masyarakat. Karena itu, RUU EPN tidak hanya mendorong perubahan di internal tugas aparatur negara, tetapi juga perubahan sikap masyarakat yang mengharapkan perlakuan lebih adil dan wajar. 12. Pendapat para Pakar: • Taufiq Effendi (Menpan 2004-2009) menegaskan, etika mengatur hal-hal yang patut dan tidak patut (boleh dan tidak boleh), serta pejabat publik mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota; anggota DPR, DPD, dan pemangku otoritas publik yang lain, serta memiliki hak dan kewajiban normatif. Di luar itu mereka diikat oleh etika jabatan. • Soedjatmiko menegaskan bahwa etika penyelenggara negara menerapkan prinsip dasar dan nilai-nilai yang menyangkut kebenaran atas sikap, tindak, dan ucapan penyelenggara negara. Etika penyelenggara negara juga harus dilakukan oleh jajaran eksekutif, legislatif, yudikatif, auditif, dan lembaga pemerintahan lainnya. Pejabat negara dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik dituntut untuk menghormati, menegakkan, dan menjaga nilai-nilai moral guna menjalin harmonisasi dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Undang-Undang tentang EPN dimaksudkan untuk membangun integritas nasional, karakter, dan tanggung jawab sosial guna menjaga martabat dan kehormatan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. • Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2008) menegaskan, “bangsa akan maju, jika mempunyai kemandirian dan daya saing, dan akhlak mulia disertai kepribadian yang tangguh”. • Prof. Franz Magnis Soeseno, pakar filsafat etika, mengulas prinsip-prinsip etika dari perspektif filsafat. Bagaimana pengaruh etika dalam membentuk karakter individu dan masyarakat, termasuk perkembangan etika dalam kehidupan sosiologis masyarakat Indonesia. Perlu dibedakan antara etika di satu pihak dan nilai moral di lain pihak, sebab di dalam sejarah etika, ternyata “banyak karya etika merupakan protes terhadap pendapatpendapat moral yang dianggap keliru” dan “etika dianggap kambing yang merusak taman norma-norma tradisional yang indah." • Prof. Dr. Ryaas Rasyid,pakar ilmu pemerintahan sekaligus salah satu konseptor otonomi daerah, mengulas urgensi etika dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), dan bagaimana etika dapat berlaku efektif bagi para penyelenggara negara. 13) 14) 17 • Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, pakar dan praktisi hukum tata negara yang berperan dalam upaya reformasi ketatanegaraan di Indonesia, mengkaji secara yuridis atas instrumen hukum yang mengatur etika penyelenggara negara, termasuk amanat konstitusi pada penegakan etika, khususnya melalui peraturan perundang-undangan. • Prof. Dr. Ramlan Surbakti, M.A., mendefinisikan kode etik (ethics code) dengan kodifikasi kaidah perilaku. • Sebagian masyarakat berpendapat bahwa etika dan moral dapat saling dipertukarkan, tetapi ada juga yang berpandangan lain, misalnya Alois A.Nugroho dalam "Etika Administrasi Bisnis" (2000) yang menyatakan bahwa moral ialah ajaran tentang perilaku yang baik dan buruk, sedangkan etika ialah cabang filsafat yang secara teoretik menyoroti, menganalisis, dan mengevaluasi ajaran-ajaran tersebut, tanpa mengajukan suatu ajaran tentang mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk. • Prof Sunaryati, mantan anggota Ombudsman RI, dalam makalah "Peranan Ombudsman dalam Penegakan Etika dan Sistem Penyelenggaraan Negara yang baik", mengatakan bahwa istilah etika berasal dari bahasa Yunani yang sama artinya dengan morales atau moralis dalam bahasa Latin, yang berarti kelakuan, tabiat, watak, akhlak, dan cara hidup. • Komarudin (2013) dalam artikel 1) “Membangun Jati Diri Bangsa Indonesia Menuju Bangsa Modern”, Jurnal NEGARAWAN Kemensetneg RI Nomor 29 Tahun 2013; 2) “Menuju UU Etika Penyelenggara Negara”, Jurnal NEGARAWAN Kemensetneg RI Nomor 32 Tahun 2014; dan 3) “Revolusi Mental menuju Bangsa Berkepribadian Luhur”, Jurnal NEGARAWAN Kemensetneg RI Nomor 34 Tahun 2015; menegaskan pentingnya etika (etika sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari, kejujuran dan integritas, tanggung jawab, hormat pada aturan dan hukum masyarakat, hormat pada hak orang/warga lain, cinta pada pekerjaan, berusaha keras untuk menabung dan investasi, bekerja keras, tepat waktu, dan tidak menyalahkan orang lain). 13) Inspektorat Jenderal Kementerian Agama yang memperkenalkan Pengawasan dengan Pendekatan Agama, menegaskan keterkatian etika dengan iman (aqidah, keyakinan, kepercayaan akan sesuatu yang berhubungan dengan agama, kepercayaan, keteguhan hati, serta keseimbangan jasmani dan rohani), ilmu (pengetahuan tentang suatu bidang: ilmu agama, ilmu akhlak, dan ilmu kemanusiaan), amal (perbuatan baik dan buruk: amal ibadah, amal jariah, dan amal saleh), amanah (kerabat, menyampaikan pesan, kepercayaan, keamanan, dan ketenteraman), dan hakikat manusia religious (manusia yang taat beragama), memperhatikan azas etika (pertanggungjawaban, pengabdian, kesetiaan dan ketaatan, kepekaan, persamaan, dan kepantasan), penegakan kode etik (menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa; mengutamakan pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat; bekerja jujur, adil, dan amanah; melaksanakan tugas dengan disiplin, profesional, dan inovatif; serta setia kawan dan bertanggung jawab atas kesejahteraan korps). Ditegaskan pentingnya jati diri (identitas, spiritual, jiwa, semangat dan daya gerak yang berasal dari dalam diri manusia), budaya kerja (sikap dan perilaku), etika (berkenaan dengan baik dan buruk, hak dan kewajiban, dan kelakuan yang benar/salah), moral (asas, nilai atau ajaran tertentu yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban), dan moral (azas, nilai, atau ajaran tertentu yang diterima umum mengenai sikap dan perbuatan). Prof. Drs. Komarudin, M.A. Peneliti Utama Kebijakan Publik, BPPT HP 081291367890, 0812 926 965 Email: [email protected] 13) 14) 18 Komarudin, Prof., Drs., M.A., peneliti utama bidang kebijakan publik/analisis sistem pembangunan perumahan dan permukiman, NIP 19481215 197912 1001 (lama: 680000136), PNS di BPPT sejak 1978 s.d. 31 Desember 2013, pensiun tmt 1 Januari 2014, Pembina Utama / IV/e (1 April 2000), lahir di Bogor, 15 Desember 1948, HP 0812 926 9650, 0812 9136 7890, e-mail: [email protected] , alamat rumah di Perumahan Larangan Indah, Jalan Sumatera No. 3, Larangan, Tangerang 15154, Telepon 021-5848242, 021-5848311. Pendidikan, S1 Matematika ITB (1968-1977) dan S2 (Regional Development Planning, Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda, September 1986 – Desember 1987). Pengalaman kerja, Staf Operations Research and Systems Analysis, Divisi AdvancedTechnology Pertamina (1977), BPPT (1978), Pelaksana Tugas Direktur Pengkajian Sistem (1983), Pjs. Direktur Pengkajian Sistem (1991), Pjs. Direktur Pengkajian Sistem Industri Sekunder (1994), Pjs. Deputi Kepala BPPT Bidang Analisis Sistem (1994), Deputi Kepala BPPT Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi (1998), Deputi Menpan Bidang Tata Laksana (2001), Deputi Menpan Bidang Program PAN (2004), Staf Ahli Menpan Bidang Sistem Manajemen (2005), dan Anggota Tim Asistensi Menpan (2007). Jabatan Fungsional Peneliti Utama (1993), Orasi Ilmiah (1994), dan Prof.riset Kebijakan Publik (Februari 2006). Angka Kredit Peneliti Utama pada Agustus 2012 mencapai 3.293,40. Membuat buku Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman (1997), Menjakartakan Warga Jakarta (1997), Membangun Kota Jakarta (1998), dan Pembangunan Perkotaan Berwawasan Lingkungan (1999), Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik (April 2014), dan Reformasi Humas Pemerintah (April 2014). Meraih 13 Juara I-III Lomba Karya Tulis HUT Pemerintah DKI Jakarta (1989-1996), Juara I LKT HUT ke-23 PD Pasar Jaya (1990), Juara I LKT HUT ke-4 Perum Husada Bakti (1990), Juara I LKT Kepariwisataan Pemko Bogor (1990), Juara Harapan LKT Pameran Produksi Indonesia (1990), dan Juara II LKT Habitat, Kemenperkim (1998). Menulis makalah pada seminar/workshop nasional dan internasional, majalah ilmiah/jurnal/media massa, 600 artikel di koran (1987-1997), artikel/presentasi tentang aparatur negara, ketatalaksanaan, pelayanan publik, humas pemerintah, budaya kerja dan etika. Menulis artikel di Jurnal NEGARAWAN, Kemensetneg RI (reformasi birokrasi, pelayanan publik, penataan peraturan perundang-undangan, dan jati diri bangsa); dan Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara, KemenPANRB (reformasi birokrasi, pelayanan publik prima, dan penataan struktur birokrasi). Anggota Tim Penyelesaian RUU Pelayanan Publik (2008-2009) dan Anggota Tim Penyusun 13 dokumen Permen PANRB tentang Humaspem (2009-2012). Presentasi “Decentralization: Improving Public Services in Indonesia” (The Hong Kong Institute of Education, Centre for Governance and Citizenship, Hongkong,17-18 November 2011) dan presentasi “One Village One (Superior) Product, OVOP: An Alternative for Technology-based Rural Development” (Centrefor Governance and Citizenship, Southeast Asia Research Centre, Hongkong, 30 November – 1 Desember 2012). Anggota Tim Evaluasi (2014) dan Koordinator Tim Evaluasi Kompetisi Inovasi Pelayanan PublikKemen PANRB (2015). 13) 14) 19 13) 14) 20